Perawan Lembah Wilis 7
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
rayuan, kini seperti suara ketawa seekor kuntilanak.
"Hi-hi-hi-hi-hik"!"
"Wuni, keluarlah engkau ............ !" Tiba-tiba dari luar
rumah itu terdengar suara laki-laki yang besar dan parau.
Mendengar ini, kembali Sariwuni terkekeh lalu tubuhnya
berkelebat, ia sudah lenyap menerobos keluar dari dalam
kamar melalui pintu. Suara ketawanya masih terdengar
sebentar, kemudian suasana menjadi sunyi kembali.
Adipati Tejolaksono tidak mengejar. Ia seorang yang
waspada. la maklum bahwa munculnya wanita itu memang
sudah diatur terlebih dahulu. Fihak musuh, entah siapa
mereka, telah mengenalnya, telah tahu akan kedatangannya
dan sengaja menyuruh wanita iblis itu menjaga di pintu.
Agaknya tadinya mereka hendak menggunakan wanita
cantik itu menjebaknya, menggunakan kecantikannya. Ia
bergidik kalau teringat. Andaikata batinnya tidak teguh dan
ia roboh oleh, rayuan dan kecantikan wajah dan tubuh
wanita itu, tentu ia benar-benar akan mati dalam
kenikmatan seperti yang dikatakan Sariwuni tadi!
Andaikata ia meladeni rayuan Sariwuni, tentu ia akan
dibunuhnya pula. Dan alangkah mudahnya ia akan
terbunuh kalau ia melayaninya berkasih asmara! Sungguh
berbahaya! Dan karena semua sudah diatur, maka ia yakin
bahwa musuh-musuhnya telah mengatur jebakan pula di
luar rumah itu. Ia heran ke mana perginya Ki Sentana"
Apakah yang terjadi dengan kepala dusun itu dan
keluarganya" Ia merasa khawatir sekali karena di dusun-
dusun lain banyak pula terjadi hal aneh, yaitu lenyapnya
kepala-kepala dusun tanpa meninggalkan bekas! Ada pula
yang kepala dusunnye masih ada, akan tetapi para pendeta
dan pemimpin agama yang lenyap tak meninggalkan bekas.
Apakah Ki Sentana juga telah lenyap pula"
Dengan hati khawatir Tejolaksono lalu melompat keluar
dari kamar itu dengan sikap waspada dan seluruh urat
syaraf di tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga
menghadapi segala bahaya. Ia menyambar sebuah lampu di
ruangan tengah yang sunyi, terus ia berjalan memeriksa
sampai ke belakang. Dan di ruangan belakang, dekat dapur,
ia melihat Nyi Sentana meringkuk di sudut dalam keadaan
terbelenggu! Selain terbelenggu, juga muka wanita tua ini
matang biru bekas pukulan dan cambukan, mulutnya
tersumbat kain sehingga ia tidak mampu bergerak atau
bersuara, hanya sepasang matanya saja yang sayu penuh
kedukaan memandang terbelalak ketika Tejolaksono
mendekatinya. Cepat Tejolaksono berjongkok dan membuka ikatan
tangan lalu membuang kain penyumbat mulut. Ia
membantu wanita tua itu bangun duduk. Nyi Sentana
mengeluh dan memijit-mijit kedua pilingan kepalanya, lalu
mengurut-urut kedua pergelangan tangannya.
"Bibi ............ , apakah yang terjadi, Bibi" Di mana
Paman Sentana ............ ?"
"Aduh, Kanjeng Adipati !!" Wanita itu menubruk kaki
Tejolaksono dan menangis sesenggukan. Beberapa kali ia
membuka mulut hendak bicara, akan tetapi yang keluar
hanyalah isak dan sedu sedan. Tejolaksono membimbing
wanita tua itu bangkit berdiri dan menuntunnya duduk di
atas balai-balai di dalam dapur.
Diambilnya sebuah kendi air di dalam dapur itu dan
diberinya minum. Wanita itu dengan gemetar minum air
kendi dan berulang kali menghela napas panjang.
"Tenanglah, Bibi, dan ceritakan kepadaku apa yang telah
terjadi di dusun ini, apa yang terjadi dengan keluargamu."
Wanita itu terisak-isak, akan tetapi sekarang sudah dapat
mengatasi gelora hatinya yang penuh kedukaan dan
kegelisahan. "Aduh, Gusti Adipati ............ , malapetaka
besar menimpa keluarga hamba, juga dusun ini ............ !"
"Di manakah adanya Paman Sentana, Bibi?"
"Entah ke mana dia pergi, Gusti ?"" tadipun masih
berada di sini ?"" ah, dia telah menjadi seperti gila
semenjak ............ mereka datang ............ "
"Mereka" Siapakah" Siapa pula wanita yang bernama
Sariwuni itu" Apakah benar dia keponakanmu?"
Wanita itu menggeleng-geleng kepala. "Semenjak
............ iblis betina itu datang dan kawan-kawannya
............ ah, dusun ini berubah sama sekali, rumah ini
menjadi neraka bagi saya, ahhh?".." Kembali ia
menangis. "Bibi, tenanglah dan ceritakan yang jelas dari
permulaan." Wanita itu menghentikan tangisnya, mengusap air mata,
menarik napas panjang beberapa kali lalu memandang
celingukan ke kanan kiri seperti orang ketakutan. Kemudian
ia memegang tangan Tejolaksono dan berkata,
"Dua tiga bulan sudah saya menahan kesengsaraan hati,
tak berani membuka mulut karena diancam. Sekarang,
karena paduka sudah datang, baru hamba berani bercerita"
Malapetaka besar menimpa keluarga hamba. Mula-mula
datang perempuan'itu yang diambil selir oleh Ki Sentana
dan teman-teman perempuan itu seringkali datang bertemu.
Mereka seperti iblis semua."
Jilid XII "AKAN TETAPI ............ Ki Sentana sudah gila
agaknya, tunduk di bawah kekuasaan wanita cantik seperti
iblis ?"?""
"Sariwuni?" "Benar, Gusti. Kedua putera hamba menentang ayah
mereka, akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana tak
seorangpun mengetahuinya. Ki Sentana masih menjadi
kepala dusun seperti semula, akan tetapi semua kekuasaan
berada di tangan iblis betina itu. Ki Sentana hanya
melakukan semua perintahnya. Dan hamba ............ hamba
tidak dibunuh agaknya untuk mengelabui mata rakyat.
Hamba menjadi ............ satu-satunya pelayan di rumah ini,
yang lain-lain telah dIkeluarkan. Ki Sentana seperti gila
rakyat dianjurkan untuk menyembah Sang Hyang Shiwa
dan Bathari Durga ............ yang menjadi pujaan wanita
iblis Itu. Hamba takut disiksa dan disumbat agar jangan
membuka suara, kemudian bahkan dilkat dan disumbat
mulut hamba, karena mereka tahu bahwa paduka akan
datang ............ dan ............ "
Tiba-tiba Sang Adipati Tejolaksono mendorong tubuh
Nyi Sentana sampai terguling dan ia sendiri melompat ke
samping, menggerakkan tangannya memukul sehingga
angin pukulannya menderu dan memukul runtuh belasan
batang anak panah. Akan tetapi ia mendengar jerit lemah
dan ketika ia memandang, ternyata leher Nyi Sentana telah
tertembus anak panah dan wanita tua itu berkelojotan
sebentar kemudian tak bergerak lagi. Tejolaksono maklum
bahwa wanita Itu telah tewas dan ia tak dapat menolongnya
lagi. Kemarahan memenuhi dadanya dan pada saat itu
terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh. Suara ketawa
Sariwunil "Keparat jahanam!" Tejolaksono membentak marah
sekali dan tubuhnya sudah mencelat ke atas. Demikian
hebatnya ia mengerahkan tenaga dan menggunakan Aji
Bayu Sakti sehingga terdengar suara keras ketika tubuhnya
yang mencelat ke atas dan jebollah atap rumah berikut
.gentengnya! Kini tubuhnya sudah berada di atas genteng
dan ia berdiri tegak memandang ke bawah, ke arah luar
rumah Ki Sentana. Ternyata di depan rumah itu telah penuh dengan orang-orang yang menjadi anak buah Sariwuni dan teman- temannya, maka ia memandang penuh perhatian. Inikah pasukan asing yang kabarnya tidak pernah mengganggu dusun- dusun" Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat bahwa orang-orang yang jumlahnya lima puluh lebih Itu ternyata adalah penduduk
dusun Sumber! Dan di barisan depan, berdiri Ki Sentana
sendiri dengan sebatang tombak di tanganl Di kanannya
berdiri Sariwuni, kini sudah berpakaian lengkap dan
ringkas, kelihatan cantik dan gagah, sebatang pedang di
tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
Ada pula beberapa orang laki-laki tinggl besar yang ia tidak
tahu siapa, entah penduduk dusun entah orang lain.
"Tangkap penjahat !"
"Tangkap pembunuh ............ !!"
Penduduk dusun itu berterlak-terlak dan mengacung-
acungkan senjata dan obor ketika mereka melihat
munculnya Tejolaksono di atas genteng. Mereka tadinya
mengepung rumah itu dan menanti munculnya penjahat ini
dari pintu, siapa kira tahu-tahu telah berada di atas genteng.
Tejolaksono lalu melompat ke wuwungan paling depan,
sehingga ia berada di atas sekumpulan penduduk dusun di
bawah dan mereka semua dapat melihatnya dengan
penerangan obor yang amat banyak itu.
"Heeeeeh, rakyat Sumber semua dengarlah baik-baik!
Aku bukan penjahat bukan pula pembunuh. Aku adalah
junjungan kalian, aku Adipati Tejolaksono, adipati di
Selopenangkep! Kalian telah tertipu! Kepala dusun kalian,
Ki Sentana, telah jatuh di bawah pengaruh orang-orang
jahat. Sariwuni adalah seorang wanita iblis yang amat jahat!
Insyaflah, hei rakyat dusun Sumber!" Suara Tejolaksono
amat nyaring dan mengatasi semua suara hiruk-pikuk
karena ia mengerahkan hawa sakti untuk mendorong
suaranya. Mendengar suara ini, serentak suara para penduduk
terhenti. Nama besar Adipati Tejolaksono amat mereka
kenal dan masih amat besar pengaruhnya. Mereka menjadi
bimbang dan ragu-ragu. Tadi Ki Sentana, kepala dusun
mereka yang akhir-akhir ini amat royal dalam membagi-
bagi hadiah kepada rakyatnya, mengumpulkan rakyat yang
katanya harus menangkap dan mengeroyok seorang
penjahat sakti yang membunuh isteri Ki Sentana. Akan
tetapi mengapa penjahat ltu adalah sang adipati di
Selopenangkep sendIri yang terkenal sakti mandraguna dan
adil bijaksana" "Tejolaksono! Engkau tidak patut menjadi junjungan
kami lagi! Tidak patut menjadi Adipati Selopenangkep.
Lihat saja, sebentar lagi engkau tentu akan dlhentikan
menjadi adipati. Engkau seorang penjahat besar! Siapa yang
tidak mendengar nama busuk wanita iblis Endang Patibroto
yang telah banyak membunuh banyak ponggawa Panjalu"
Dan engkau malah menjadi suaminya! Ha-ha-ha, tak perlu
kau membohongi rakyatmu. Hai, kawan-kawan, mari
kepung dan tangkap si laknat ini. Isteriku telah
dibunuhnyal" "Bohong ............ !!" Tejolaksono hanya mampu
mengeluarkan ucapan ini karena ia terlalu terheran-heran.
Jelas bahwa yang bicara itu adalah Ki Sentana, orang
bawahannya yang dikenalnya baik, yang menjadi sahabatnya, bekas perajurit Panjalu kawakan yang setia.
Benar-benarkah itu Ki Sentana" Orangnya memang itu,
juga suaranya. Akan tetapi terdapat perubahan yang amat
jauh berbeda. Apakah karena pengaruh Sariwuni"
Akan tetapi penduduk kini sebagian sudah ada yang
menerobos masuk dan tak lama kemudian mereka keluar
sambil berteriak-teriak, "Benar, dia pembunuh jahat! Nyi
Sentana telah dibunuhnyal Hayo tangkap! Kepung!"
Tejolaksono maklum bahwa dalam keributan seperti itu,
percuma saja berdebat dengan kata-kata. Paling perlu
menawan Ki Sentana untuk mengorek rahasia para
penjahat itu dan juga menawan atau membunuh Sariwuni
yang jelas merupakan biang keladi semua peristiwa ini.
Ia lalu menggerakkan tubuhnya melayang turun
bagaikan seekor burung garuda melayang. Para penduduk
dusun Sumber ternganga dan kesima menyaksikan ini. Baru
sekarang mereka menyaksikan seorang manusia dapat
melayang turun dari tempat setinggi itu seperti seekor
burung saja! Mereka menjadi gentar dan lupa untuk
menyerang! Akan tetapi ada beberapa orang yang
menerjang maju, didahului oleh dua orang laki-laki tinggi
besar yang tadi berdiri di dekat Ki Sentana. Dua orang itu
bersenjata pedang pula seperti Sariwuni dan bersama lima
orang penduduk lain, mereka menyambut turunnya tubuh
Tejolaksono. Sang adipati menggerakkan kaki tangannya dan lima
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang penduduk itu terpental mundur dan tombak mereka
terlepas dari pegangan kena gempuran hawa sakti yang
keluar dari kaki tangan sang adipati. Akan tetapi alangkah
heran dan kagetnya hati Tejolaksono ketika melihat bahwa
dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak terpengaruh
dorongannya dan terus menerjang dengan babatan pedang
mereka yang mengeluarkan angin saking kuat dan
cepatnya. "Hemm ............ !" Ia mendengus dan tubuhnya cepat
menyelinap ke kanan, kemudian begitu dua batang pedang
itu lewat, ia mendorong maju dan tubuhnya doyong pula ke
depan. Cepat sekali kedua tangannya ini bergerak, tahu-
tahu telah tiba di depan dada dua orang lawannya. Hal ini
tidak aneh karena sang adipati yang perkasa telah
menggunakan aji pukulan Kukilo Sakti sehingga gerakan
kedua tangannya seperti dua buah kepala burung yang
mematuk amat cepatnya! "Singgg ............ siuuuuttt............ !!"
Adipati Tejolaksono terpaksa harus menarik kembali
kedua tangannya sehingga pukulan Kukilo Sakti itu
hanyalah mengenai dada kedua orang lawan dengan
seperempat tenaganya saja karena dari belakangnya
menyambar sebatang pedang yang hebat gerakannya dan
tusukan sebatang tombak. Namun ia tahu bahwa
pukulannya itu sudah cukup kuat untuk merobohkan lawan
yang sakti. Maka, amatlah kagetnya ketika dua orang tinggi
besar itu hanya terhuyung mundur empat langkah saja dan
terus maju lagi! Ah, kiranya di sini banyak orang sakti,
pikirnya. Tentu dua orang ini merupakan kawan-kawan
Sariwuni! Betapapun juga, ia terpaksa membalikkah tubuh
menghadapi serangan dari belakang tadi. Pedang yang
menyambar dapat dielakkan dan kuku hitam yang
mencengkeram dapat pula ia tangkis. Tubuh Sariwuni
untuk kedua kalinya terhuyung ke belakang. Tombak di
tangan Ki Sentana yang menyambar ia biarkan lewat di
dekat perutnya dengan miringkan tubuh, kemudian secara
mendadak ia menubruk maju dan di lain saat ia telah
mengempit tubuh Ki Sentana yang tua Itu sehingga tak
dapat berkutik lagi! Dengan lengan kiri mengempit tubuh Ki Sentana,
Tejolaksono memballkkan tubuh, tangan kanannya siap
untuk memukul atau menawan Sariwuni, akan tetapi
ternyata wanita itu telah Ienyap. DemIkian pula dua orang
laki-lak1 tinggi besar tadi, dan kini para penduduk Sumber
mengeroyoknya seperti rombongan semut mengeroyok
seekor jengkerik. "Aaahhh, kalian orang-orang bodoh!" bentak Tejolaksono dengan gemas, akan tetapi tentu saja ia tidak
mau memusuhi rakyatnya sendiri, maka sekali mengenjot
kedua kakinya dengan Ayi Bayu Sakti la meloncat tinggi
melampaui kepala para pengurungnya, melesat jauh.
Tiba-tiba dari rombongan penduduk dusun itu menyambar tubuh Sariwuni menyerangnya dengan pedang
yang menusuk ke arah leher. Pada saat itu, tubuh
Tejolaksono maslh meloncat, maka cepat-cepat ia
menggunakan tangannya yang kanan menyampok dengan
jari-jari tangannya yang tepat mengenai pergeIangan tangan
wanita itu. Sariwuni menjerit, pedangnya terpental entah ke
mana dan pergelangan tangannya menjadi lumpuh. Tak
kuat ia menahan benturan jari tangan Tejolaksono yang
mengandung aji pukulan Bojro Dahono yang panas laksana
halllintar. Akan tetapi berbareng dengan jerit Sariwuni yang
terhuyung ke belakang, juga Ki Sentana memekik. Kagetlah
Tejolaksono ketika memandang dan melihat betapa pipi Ki
Sentana terdapat guratan menghitam. Kiranya wanita iblis
Itu tadi menyerangnya dengan pedang dan berbareng
menyerang Ki Sentana dengan kuku tangan kiri! Karena
ingin mendengar penjelasan Ki Sentana, apalagi melihat
betapa para penduduk Sumber terus mengepungnya, ia
tidak mau melayani lagi. Musuhnya hanyalah Sarlwuni dan
dua orang laki-laki tinggi besar itu, dan kini wanita itupun
sudah lenyap lagi, agaknya bersembunyi di antara
penduduk yang demikian banyak. Ia mengerahkan tenaga
melompat terus berlari menghilang dl dalam kegelapan
malam sambil mengempit tubuh Ki Sentana. Setelah larl
jauh meninggalkan dusun Sumber dan mendapat kenyataan
bahwa tidak ada orang mengejar lagi, barulah Tejolaksono,
berhenti dan menurunkan tubuh Ki Sentana. Akan tetapi,
alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Ki Sentana telah
menjadi mayat! Di bawah sinar bulan yang cukup terang, ia
melihat betapa muka Ki Sentana kini telah berubah hitam
yang menjalar sampai ke leher dan kulit muka dan leher itu
telah mulal rusak dan membusuk!
Tejolaksono bergidik. Alangkah jahatnya kuku iblis
betina itu. Inilah agaknya ilmu hitam yang disebut aji
pukulan Wisakenaka (Kuku Beracun). Hawa beracun
disalurkan melalui lengan sampai ke kuku tangan dan sekali
kuku itu menggurat, racun akan memasuki kulit, menjalar
sampai ke dalam jalan darah seperti gigitan ular yang paling
berbisa! . Tejolaksono termenung. la merasa kasihan kepada Ki
Sentana ini. Ia dapat menduga kini apa yang telah terjadi.
Tentu Ki Sentana ini telah dipengaruhi oleh segerombolan
penjahat yang amat sakti. Mula-mula kepala dusun yang
sudah tua ini dipikat dengan kecantikan Sariwuni dan ia
tidak menyalahkan Ki Sentana kalau sampai jatuh hatinya.
Memang wanita itu hebat dan cantik sekali. Kemudian,
melihat keadaan yang tidak wajar, tentu Ki Sentana ini
jatuh di bawah pengaruh ilmu hitam sehingga keadaannya
seperti orang yang kehilangan kesadaran atau pikiran. Dua
orang puteranya tentu diculik dan tewas, isterinyapun tewas
dan kini dia sendiri karena tertawan dan mereka tidak
menghendaki ia membuka rahasia, ditewaskan pula.
Seluruh keluarga Ki Sentana terbasmi habis! Dan semua itu
dilakukan dengan amat halus dan cerdiknya sehingga
rakyat bahkan membela mereka! Benar-benar amat luar
biasa kali ini musuh-musuh Panjalu melakukan penyerbuan
ke daerah Panjalu. Bukan dengan kekerasan merampoki
dusun-dusun seperti yang dilakuka gerombolan Gagak
Serayu, melainkan dengan halus, yaitu mempengaruhi,
menundukkan bahkan menculik para tokoh terkemuka di
setiap dusun, yang mau tunduk menjadi kaki tangan, yang
tidak tunduk diculik dan lenyap, diganti orang-orang yang
mau bersekutu, kemudian melalui tokoh-tokoh yang
menjadi kaki tangan ini, rakyat dipengaruhi dan dibelokkan
kepercayaan mereka sehingga Agama Wishnu terdesak oleh
agama baru yang memuja Shiwa, atau Bathari Durga,
tentulah perbuatan kaki tangan Kerajaan Cola dan
Sriwijaya! Terbuktilah kini ancaman yang dikeluarkan
pendeta-pendeta Agama Buddha dan Shiwa dahulu itu dan
cocok pula dengan apa yang ia dengar dalam pertemuan
antara Ki Tunggaljiwa dengan Biku Janapati dan Wasi
Bagaspati! Mengembangkan agama tidak dengan kekerasan, menaklukkan negara tidak dengan perang, akan
tetapi membersihkan tokoh-tokoh yang menentang. Dan
mengingat betapa baru kaki tangan mereka saja, seperti
Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar yang sanggup
menahan pukulan-pukulannya, Tejolaksono bergidik. Bahaya besar mengancam Kerajaan Panjalu, bahaya yang
datangnya dari barat dan utara, yang datang bagaikan air
banjir seperti yang ia lihat dalam samadhinya malam itu di
Kadipaten Selopenangkep. Teringat akan kadipaten yang ditinggalkannya, Tejolaksono tersentak kaget. Musuh amat banyak, juga
amat pandai dan sakti. Perjalanannya meninggalkan
kadipaten sudah diketahui musuh. Buktinya Sariwuni dapat
tahu siapa dia. Hal ini amatlah berbahaya. Bagaimana
kalau kadipaten diserbu selagi ia tidak ada" Seperti yang
dilakukan Lima Gagak Serayu dahulu" Tejolaksono cepat
menggali lubang dan mengubur jenazah Ki Sentana.
Kemudian malam itu juga ia melanjutkan perjalanan
dengan cepat, kini menuju ke Selopenangkep.
Ketika tiba di Selopenangkep, kota kadipaten tampak
sunyi, akan tetapi hatinya lega dan kagum menyaksikan
penjagaan yang rapi dan kuat. Benar-benar bibi Roro
Luhito boleh diandalkan, pikirnya, karena ia tahu bahwa
bibinya itulah yang mengepalai penjagaan ini. Heran,
apakah bibinya sudah tahu akan ancaman bahaya besar
sehingga Kadipaten Selopenangkep siap sedia dalam
keadaan perang. Ataukah Mundingyudo sudah kembali
dari penyelidikannya"
Malam hari itu ia memasuki Kadipaten Selopenangkep
dan kembali la girang dan kagum sekali ketika ia baru saja
meloncati tembok pintu gerbang dengan kecepatan Aji
Bayu Sakti, dari sebelah dalam muncul belasan orang
penjaga yang tadinya bersembunyi dan barisan tombak
menghadangnya, dilkutl bentakan keras,
"Berhentil" Akan tetapi para perajurit Itu terkejut dan girang
mendapat kenyataan bahwa yang bayangannya berkelebat
mencurigakan itu ternyata adalah sang adipati sendiri.
Mereka lalu memberi hormat.
"Bagus! Teruskanlah penjagaan kalian dengan waspada."
Sang adipatl memuji lalu melanjutkan perjalanan menuju ke
gedung kadipaten. Kalau para penjaga itu dapat melihat
kedatangannya, berartl bahwa kadipaten tidak akan mudah
kebobolan. Memang baris pendam penting sekali untuk
menghadapi penyerbuan diam-diam dari orang-orang sakti
yang memiliki kepandaian tinggi.
Biarpun waktu itu sudah malam, namun Roro Luhito,
Ayu Candra, dan Pusporini menyambutnya dengan pakaian
ringkas dan dalam keadaan siap siaga, senjata tidak terlepas
dari tangan. Jelas nampak terbayang pada wajah tiga orang
wanita ini, terutama wajah Ayu Candra, betapa girang dan
lega hati mereka melihat kembalinya Adipati Tejolaksono.
Dengan singkat Adipati Tejolaksono menceritakan
pengalamannya dan tiga orang wanita itu mendengarkan
dengan mata terbelalak dan muka pucat. Mereka maklum
akan besarnya bahaya yang mengancam.
"Aku sudah menaruh curiga ketika mendengar laporan
Mundingyudo," kata Roro Luhito. "Biarpun pasukan-
pasukan asing Itu tidak melakukan penyerbuan, akan tetapi
mereka amat banyak dan melakukan gerakan mengurung
Selopenangkep, karena Itu aku segera mengatur penjagaan
sekuat-kuatnya." "Memang keadaannya gawat sekali, Kanjeng Bibi," kata
Tejolaksono yang segera menyuruh panggil Mundingyudo
menghadap. Kepala pengawal Selopenangkep ini segera
datang dan menuturkan hasil penyelidikannya.
"Hamba melihat banyak sekall pasukan campuran yang
datang dari barat dan utara," demikian antara lain laporan
Mundingyudo. "Biarpun mereka itu tidak pernah menyerbu
sebuah dusun, namun mereka amat mencurigakan. Bahkan
menurut penyelidikan anak buah hamba, terdapat pula
orang-orang bekas gerombolan Gagak Serayu, para
penjahat dari Lembah Serayu, di antara pasukan. Pimpinan
mereka, yang dari utara adalah pedanda-pedanda (pendeta
Buddha) dan yang dan barat adalah pendeta-pendeta
Agama Shiwa. Pasukan-pasukan kita tidak menemui
tentangan, akan tetapi mereka itu makin mendekati
Selopenangkep dari pelbagai jurusan, agaknya hendak
mengurung. Hamba mohon keputusan paduka."
Tejolaksono mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu
mengkhawatirkan keadaan Selopenangkep, yang lebih ia
khawatirkan adalah keselamatan Kerajaan Panjalu.
"Kakang Mundingyudo, malam ini juga engkau
berangkatlah ke Kerajaan Panjalu, menghadap sang prabu
di Panjalu menghaturkan surat laporanku. Agar engkau
tahu akan maksud tugasmu ini, ketahuilah bahwa pasukan-
pasukan asing itu menurut perkiraanku dan hal ini tidak
meleset kiranya, adalah pasukan-pasukan kaki tangan
Sriwijaya dan Kerajaan Cola yang selain akan memperkembangkan agama, juga bermaksud memperluas
wilayah jajahan mereka di Jawa-dwipa. Maka itu, biarpun
mereka tidak melakukan gerakan menyerang, namun perlu
mereka itu disapu dari wilayah Panjalu karena mereka telah
melanggar perbatasan. Agar jangan sampai terlambat,
sekarang juga seyogianya Kerajaan Panjalu mengerahkan
barisan dan melakukan pembersihan. Demikian isi
laporanku, Kakang." Setelah menulis surat laporan dan menyerahkannya
kepada pembantunya itu, berangkatlah Mundingyudo
malam itu juga menuju ke Panjalu. Kemudian Adipati
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tejolaksono memasuki kamarnya untuk beristirahat, diikuti
oleh isterinya. -oo0dw0oo- "Kejar ............ !"
"Tangkap mata-mata?".!"
"Bunuh ............ !!"
"Aduhh ............ ahhh ............ aduhh ............ trang-
trang-trang ............ !!"
Suara ini memecahkan kesunyian di pagi hari depan
gedung Kadipaten Selopenangkep. Para perajurit pengawal
sibuk mengurung empat orang sambil berteriak-teriak dan
beberapa orang pengawal roboh tumpang tindih.
Seorang di antara mereka yang dikeroyok pengawal ini
diam saja, hanya melangkah maju memasuki pekarangan
kadipaten sambil tersenyum. Sikapnya tenang namun ia
congkak sekali, mengangkat muka dan membusungkan
dada yang tipis. Ia seorang laki-laki berusia lima puluhan
tahun, tubuhnya kurus tinggi, rambutnya penuh uban
panjang terurai di kedua pundak sampai ke pinggang,
pakaiannya jubah pendeta berwarna kuning, telanjang dan
memegang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti
ular kering. Wajah laki-laki tua Ini merah seakan-akan
bagian tubuhnya itu penuh dengan darah di dalamnya,
bahkan kedua matanya juga kemerahan. Hidungnya
panjang melengkung seperti paruh betet, mulutnya lebar
dan karena selalu tersenyum, tampak deretan gigi yang
ompong dan menguning. Kalau rambutnya panjang, adalah
mukanya yang merah itu sama sekali tidak berambut, tidak
ada sehelaipun kumis atau jenggot, agaknya habis dicabuti.
Adapun tiga orang yang mengikutinya adalah dua orang
laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun dan
seorang wanita cantik jerusia dua puluh lima tahun. Laki-
laki tua berjubah pendeta itu berjalan tanpa memperdulikan
pengeroyokan dan pengejaran, akan tetapi, tiga orang inilah
yang melindunginya dan setiap ada perajurit yang maju
menyerang tentu perajurit itu terlempar berikut senjata
mereka. Tiga orang ini hebat bukan main, dengan tangan
kosong mampu melempar-lemparkan para perajurit yang
berani mendekat dan menyerang. Empat orang ini pagi tadi
dengan enak dan tenangnya memasuki pintu gerbang yang
baru terbuka, tidak perduli akan larangan dan teguran para
penjaga. Mereka berjalan terus memasuki kota, menuju ke
kadipaten, terus berjalan maju dan tiga orang itu membabati
semua penghalang, namun agaknya mereka menjaga agar
mereka tidak sampai membunuh para perajurit sehingga
mereka yang dilempar-lemparkan atau dirobohkan hanya
mengalami babak-belur dan patah tulang saja.
Seorang di antara para pengawal sudah masuk ke gedung
kadipaten untuk melaporkan datangnya empat orang aneh
itu. Adipati Tejolaksono segera keluar diikuti Ayu Candra,
Roro Luhito, dan Pusporini, kesemuanya sudah siap siaga
dengan keris di pinggang. Begitu keluar dari gedung dan
melihat empat orang itu menghadapi kepungan para
pengawal dengan tenang, melihat pula betapa tiga orang itu
dengan mudahnya melemparlemparkan para perajurit yang
berani menyerang, Tejolaksono segera berseru,
"Para pengawal, tahan dan mundur semual"
Perajurit-perajurit pengawal berbesar hati melihat
munculnya Adipati Tejolaksono. Mereka maklum bahwa
empat orang yang datang ini adalah orang-orang sakti dan
untuk menghadapi mereka ini, hanyalah sang adipati dan
keluarganya yang akan mampu menanggulangi. Mereka
lalu mengundurkan diri namun masih mengurung dari jarak
jauh, siap menanti perintah sang adipati.
Tejolaksono diikuti tiga orang wanita itu melangkah
maju perlahan-lahan memasuki halaman kadipaten yang
amat luas, merupakan sebuah alun-alun kecil. Diam-dian
Tejolaksono marah sekali ketika mengenal tiga orang itu.
Wanita cantik itu bukan lain adalah Sariwuni yang pernah
dijumpainya, bahkan yang pernah menggodanya dengan
sikap yang tak tahu malu. Kini wanita itu berdiri dan
memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan bibir yang
manis itu tersenyum-senyum. Sungguh seorang wanita yang
tidak tahu malu dan mengingatkan ia akan dua orang tokoh
wanita ketika ia masih kecil, yaitu Ni Nogogini dan Ni
Durgogini (baca cerita Badai Laut Selatan). Melihat
Sariwuni, otomatis Tejolaksono melirik ke arah kedua
tangannya, tangan dengan kuku beracun yang telah
menggurat tewas Ki Sentana. Akan tetapi kedua tangan itu
indah bentuknya, jari-jarinya runcing halus dan kuku-kuku
jarinya yang diruncingkan itu putih halus kemerahan!
Adapun dua orang laki-laki tinggi besar di sebelah wanita
itupun dikenalnya sebagai dua orang laki-laki tangguh yang
pernah ia lihat di dusun Sumber. Akan tetapi laki-laki tua
berpakaian pendeta itu baru kali ini ia lihat dan ia sama
sekali tidak mengenalnya. Betapapun juga, melihat
sikapnya, ia dapat menduga bahwa pendeta itu tentulah
seorang yang sakti, karena buktinya tiga orang itu bertindak
sebagai pelindungnya. Maka ia bersikap waspada dan hati-
hati, terus melangkah sampai berhadapan dengan empat
orang tamu aneh itu. Kini mereka berdiri berhadapan, saling memandang
penuh perhatian. Kemudian Adipati Tejolaksono berkata,
"Kalau saya tidak salah mengira, tiga orang yang
melindungi andika ini pernah saya jumpai di dusun
Sumber." Sariwuni memperlebar senyumnya dan memandang
Tejolaksono dari atas ke bawah dengan kekaguman yang
tidak disembunyi-sembunyikan, "Aduh, Adipati Tejolaksono. Setelah kini melihatmu berpakalan adipati,
tidak menyamar sebagai seorang petani kotor, engkau
menjadi jauh lebih tampan dan gagah. Sungguh ............ !!"
Senyumnya berubah senyum mengejek ketika wanita ini
melihat pandang mata berapi penuh kemarahan dari Ayu
Candra yang berdiri di sebelah kiri suaminya. Ingin Ayu
Candra memaki dan menerjang wanita itu setelah kini ia
dapat menduga bahwa tentu inilah Sariwuni yang ,
diceritakan suaminya, akan tetapi ia menahan kemarahannya dan menyerahkan sikap menyambut empat
orang aneh ini kepada suaminya.
Tejolaksono tidak memperdulikan wanita cantik itu,
melainkan berkata lagi kepada si pendeta, "Menurut
pelaporan para penjaga, andika bermaksud menemui saya
dan menggunakan kekerasan memasuki kadipaten. Melihat
pakaian andika, tak akan keliru kiranya kalau saya
mengatakan bahwa andika seorang pendeta yang sudah
pandai menguasai nafsu diri, akan tetapi melihat sepak
terjang andika dan kawan-kawan andika, sungguh belum
pernah saya mendengar ada tamu yang datang secara paksa
dan menggunakan kekerasan, kecuali sebangsa perampok
dan penjahat!" Halus kata-kata Tejolaksono, namun langsung menusuk
perasaan dan merupakan teguran keras.
Namun empat orang tamu itu sama sekali tidak kelihatan
marah dan hanya tersenyum-senyum, yaitu Sariwuni dan si
pendeta karena dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak
pernah tersenyum, juga tidak tampak marah. Wajah
keduanya seperti wajah arca dari batu saja, sama sekali
tidak membayangkan perasaan apa-apa. Melihat ini semua,
Tejolaksono dapat menduga bahwa mereka ini benar-benar
telah memiliki kekuatan dalam yang hebat dan tidak lagi
mudah dikuasai perasaan. Maka iapun tidak mau lagi
banyak menyerang dengan kata-kata, lalu langsung saja
bertanya, "Kisanak, pendeta atau perampok adanya andika, setelah
berhadapan muka dengan aku, katakanlah siapa andika dan
apa kehendak andika mendatangi Kadipaten Selopenangkep!" "Heh-heh-heh, Adipati Tejolaksono. Andika ingin
mengenalku" Aku adalah Cekel Wisangkoro, abdi dan
murid, juga utusan Sang Wicaksono Wasi Bagaspati!
Adapun maksud kedatangan kami adalah dengan hati
terbuka, maksud baik dan membawa uluran tangan sang
wasi." Tidak heran hati Tejolaksono mendengar ini. Memang ia
sudah menduga bahwa semua peristiwa yang terjadi adalah
kelanjutan daripada munculnya Biku Janapati dan Wasi
Bagaspati di puncak Merapi empat tahun yang lalu.
Dengan hati panas Tejolaksono tersenyum pahit.
"Adakah hati terbuka dan maksud baik diawali dengan
pertempuran melawan para penjaga Selopenangkep?"
Kembali Cekel Wisangkoro tertawa. "Adipati Tejolaksono, periksalah baik-baik semua perajuritmu.
Adakah seorang saja yang tewas di tangan kami" Kami
memasuki Selopenangkep dengan hati terbuka dan maksud
baik, akan tetapl para perajuritmu menyerang kami..
Sungguhpun demikian, kami masih menaruh kasihan dan
tidak membunuh seorangpun, hanya merobohkan karena
kami harus membela diri, bukan" Hal itu saja sudah
membuktikan bahwa kami datang dengan maksud balk!"
Di dalam hatinya, Tejolaksono tak dapat membantah
kebenaran ucapan itu. Memang, empat orang ini belum
melakukan sesuatu yang jahat di Kadipaten Selopenangkep
dan semua perajurit yang roboh tidak terbunuh, hanya
babak-belur dan patah tulang saja.
"Hemmm, katakanlah terus terang, Cekel Wisangkoro,
sebagai utusan, apakah kehendakmu dan apakah yang akan
kausampaikan kepadaku?"
"Kami datang mengulurkan tangan kepadamu, Adipati
Tejolaksono, untuk bekerja sama dan menjadi sahabat. Kita
semua tahu betapa lemahnya Kerajaan Panjalu dan
Jenggala, kerajaan yang dahulunya besar kini terpecah-
belah, dikuasai oleh raja-raja lalim! Tidak hanya rajanya
yang lalim, juga para ponggawanya tidak becus dan
kepentingan rakyat tidak ada yang menghiraukan. Kami
datang untuk membebaskan rakyat daripada kesengsaraan.
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola siap untuk
mengangkat kehidupan rakyat Jawa-dwipa ke tingkat yang
lebih tinggi, mengajar rakyat ilmu-ilmu yang tinggi untuk
mencapai kesempurnaan. Karena kami tahu bahwa andika
adalah seorang adipati yang baik, maka Sang Wasi
Bagaspati berpesan kepada kami untuk menghubungimu
dan mengulurkan tangan kepadamu agar kita bersekutu
............ !!" "Menjadi kaki tangan Kerajaan Cola atau dibunuh
seperti halnya Ki Sentana, lurah dusun Sumber?" Adipati
Tejolaksono' memotong dengan suara marah. "Heh, Cekel
Wisangkoro! Kau pergilah dan sampaikan kepada Wasi
Bagaspati bahwa angkara murka Kerajaan Cola ini takkan
berhasil! Penyerbuan rahasia dan secara halus mengelabui
rakyat ini akan menghadapi tantangan rakyat dan seluruh
perajurit Panjalu dan Jenggala! Niat keji kalian takkan
tercapai! Lebih baik kalian membawa pergi semua pasukan
berandal itu sebelum diganyang hancur oleh rakyat
Panjalu!" "Hi-hi-hik, Tejolaksono. Ucapanmu itu menggelikan sekali! Justeru kami kuat
karena rakyat berada di belakang kami. Kami datang
untuk mengangkat rakyat, bagaimana kau bilang rakyat
akan menentang kami" Hi-
hik, sang adipati yang tampan
dan gagah. Pikirlah baik-baik,
bukankah jauh lebih baik kalau engkau dan aku menjadi sahabat daripada menjadi musuh" Aku percaya
bahwa kalau engkau dan aku
menjadi sahabat ............ ehemm ............ kita dapat
menciptakan surga di atas bumi ini karena engkau dan aku
cocok sekali! Hi-hi-hik!"
Tiba-tiba Pusporini, dara remaja berusia lima belas tahun
yang cantik manis dan bertubuh ramping padat dan seperti
bunga mulai mekar itu, melangkah maju dan suaranya
nyaring sekali ketika la menudingkan telunjuk tangan
kirinya ke arah muka Sariwuni yang masih terkekeh genit,
"Ihhh, bukankah kamu ini yang bernama Sariwuni"
Rakanda adipati sudah bercerita tentang kamu dan tahukah
kamu apa yang dikatakan oleh abdi pelayanku" Bahwa
Sariwuni adalah seorang perempuan rendah dan hina, tak
tahu malu, cabul dan kotor, tak mengenaI susila ............ "
"Pusporini ............ , diam ..........!" Roro Luhito
membentak puterinya.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi Sariwuni yang tadi dapat menahan perasaan
dan hanya tersenyum-senyum, kini telah menjadi merah
mukanya seperti udang direbus. Tak dapat ia menahan
kemarahannya karena dimaki-maki seperti itu di depan
orang banyak............ "Bocah ............ , kau sudah bosan hidup..........!" Tanpa
disangka-sangka, dengan gerak cepat yang dahsyat sekali,
tubuhnya sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan
yang menggunakan kuku mencakar ke arah muka
Pusporini. "Rini ............ Pethit Nogo ............ !!"
Tejolaksono berseru karena untuk bergerak menolong
sudah tak keburu lagi. Pukulan yang dilakukan oleh
Sariwuni dengan kuku mencakar itu ia tahu amat berbahaya
karena kuku itu mengandung racun yang ampuh dan hanya
Aji Pethit Nogo saja yang akan dapat menyelamatkan
adiknya, juga muridnya itu karena Aji Pethit Nogo yang
mengandalkan kepretan jari yang penuh hawa sakti dapat
melawan kuku-kuku beracun.
Biarpun Pusporini masih muda dan lincah gembira,
namun ia gesit sekali dan sudah digembleng oleh Adipati
Tejolaksono. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi
tangannya sudah bergerak, dengan jari-jari terbuka dan
lurus ia menggerakkan Aji Pethit Nogo sehingga jari-jari
tangan yang kecil mungil itu tersalur hawa sakti dan
tergetar ketika ia pergunakan untuk menangkis.
"Plakk ............ Cakaran tangan Sariwuni terpental, akan tetapi tubuh
Pusporini terdorong ke belakang. Dara remaja ini tentu
akan roboh terguling oleh hawa pukulan lawan yang jauh
lebih kuat kalau saja ia tidak meloncat dan berjungkir balik
dengan gerakan manis sekali sehingga dorongan hawa
pukulan lawan itu terpatahkan. Ia meloncat turun dan
tersenyum. "Wah, cakaran itu mengingatkan aku akan Si Belang,
kucingku yang karena makan bangkai tikus yang sudah
busuk tiba-tiba menjadi gila dan mencakar kalang-kabut
seperti itu. Kamu tidak ada bedanya seujung rambutpun
dengan kucing yang gila itu. Agaknya engkaupun terkena
racun bangkai yang kau makan!"
Sariwuni makin marah, akan tetapi tiba-tiba Cekel
Wisangkoro berkata halus kepadanya, "Sudahlah, Wuni,
untuk apa melayani seorang anak kecil?"
"Cekel Wisangkorb, andika sebagai utusan bicaralah,
jangan membiarkan sembarang orang mengacau dengan
kata-kata kosong memancing keributan." Tejolaksono
menegur. "Heh-heh-heh, maafkan, Adipati Tejolaksono. Akan
tetapi Sariwuni bukanlah orang sembarangan atau orang
lain, dia adalah adik seperguruanku pula. Dan apa yang
diucapkannya tadi benar belaka. Percuma saja kalau andika
hendak menolak, lebih baik andika mencari jalan 'yang
lebih menyenangkan kedua pihak dan menerima uluran
tangan kami. Andika tetap menjadi adipati yang dipertuan
di Selopenangkep dan membiarkan kami bergeak ke timur."
"Kalau aku menolak?"
"Kalau engkau menolak berarti engkau dan keluargamu
akan terbasmi, Selopenangkep akan mempunyai seorang
adipati baru dan kami tetap saja akan dapat bergerak ke
timur. Jangan bodoh, Tejolaksono, bukalah matamu dan
lihat baik-baik. Kadipaten ini telah terkurung oleh barisan
yang sedikitnya sepuluh kali lebih besar daripada pasukan
Selopenangkep dan ribuan orang rakyat sebagai sukarelawan datang pula dan siap membantu kami,
mengapa kau menolak?"
"Kami tidak takut! Eh, pendeta bau apek, jangan kau
banyak tingkah!" Pusporini sudah tak dapat dapat menahan
kemarahannya lalu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Cekel Wisangkoro.
"Biar barisanmu seratus kali lebih banyak, akan kami
lawan!" kata pula Ayti Candra yang juga sudah marah.
"Anaknda adipati. Menghadapl tikus-tikus macam ini
saja biar serahkan kepada kanjeng bibi! Biar sudah tua, aku
sanggup memimpin pasukan membasmi tikus-tikus ini!"
kata Roro Luhito sambil melangkah maju dan meraba
gagang kerisnya. Adipati Tejolaksono tertawa dan menghadapi Cekel
Wisangkoro. "Engkau telah menyaksikan dan mendengar
sendiri, Cekel Wisangkoro. Sedangkan bibiku, isteriku, dan
adikku saja tidak takut menghadapi ancamanmu, apalagi
aku! Pasukan-pasukanmu yang menyerbu akan kami hadapi
dan anggap sebagai musuh negara, adapun rakyat dusun
yang terbujuk olehmu dan ikut menyerbu akan kami anggap
sebagai pemberontak! Tidak perlu kau mengancam dan
banyak cakap lagi karena aku tahu bahwa kalian adalah
kaki tangan Kerajaan Cola yang mengilar melihat negara
kami dan ingin menjajah. Pendeknya, hanya ada dua
pilihan bagi kalian, yaitu pergi membawa kembali
pasukanmu ke tempat asalmu atau maju dan hancur lebur
menghadapi perlawanan rakyat Panjalu!"
Kini senyum di mulut Cekel Wisangkoro lenyap, terganti
kemarahan yang membayang di mukanya yang halus dan
merah itu. Sinar matanya berkilat-kilat, dan dadanya
dibusungkan. "Babo-babo ............ Tejolaksono! Engkau tak dapat
diajak berbaik! Engkau telah menentukan kehancuran
keluargamu sendiri, seperti pohon itu!" Cekel Wisangkoro
meloncat ke kiri, mendekati pohon sawo yang tumbuh di
halaman kadipaten itu, tangan kirinya dengan telapak
tangan terbuka menyambar ke arah batang pohon yang
besar itu dan menampar. "Blukkk ............ I" Pohon itu bergoyang-goyang akan
tetapi tidak roboh. Semua perajurit Selopenangkep yang
melihat betapa pohon itu tak dapat dipukul roboh, tertawa-
tawa mengejek , akan tetapi suara ketawa itu segera sirep
dan suasana menjadi sunyi, mata mereka terbelalak dan
mulut mereka. ternganga ketika melihat betapa daun-daun
pohon sawo itu menjadi layu dan rontok seperti hujan,
diikuti buah-buah sawo yang tadinya masih mentah kini
menjadi busuk dan berjatuhan!
Keadaan yang hening itu segera berubah menjadi berisik
ketika para perajurit menjadi marah dan mereka kini
mengurung maju dengan sikap mengancam! Juga Roro
Luhito sudah marah sekali. Wanita tua perkasa ini
mencabut kerisnya dan melangkah maju sambil menudingkan kerisnya ke arah empat orang lawan itu,
"Pendeta bajul! Apa kaukira dengan sihirmu ini kami
menjadi takut"!"
Dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di sebelah
kiri Cekel Wisangkoro meloncat maju sambil mencabut
pedang, agaknya hendak menerjang Roro Luhito. Akan
tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Tejolaksono
menyambut mereka sambil membentak,
"Keparat, kalian mau apa?"
Dua orang tinggi besar itu menggerakkan pedang
membacok, gerakan mereka cepat sekali dan amat kuat
sehingga pedang mereka mengeluarkan angin dan
menimbulkan suara berdesing. Pedang itu menyambar dari
kanan kiri ke arah leher dan lambung Sang Adipati
Tejolaksono. Demikian cepatnya pedang menyambar
sehingga para perajurit Selopenangkep menahan napas.
Agaknya takkan dapat dihindarkan lagi bahwa tubuh sang
adipati tentu akan terbabat putus menjadi tiga potong!
Hanya keluarga sang adipati itu saja yang memandang
dengan tenang dengan sikap penuh kewaspadaan karena
mereka cukup mengenaI akan kesaktian Tejolaksono dan
percaya sepenuhnya bahwa sang adipati akan dapat
menjaga dan menyelamatkan dirinya.
Harapan mereka ini tidak sia-sia. Dengan gerakan amat
tenang, Tejolaksono tidak mengelak, bahkan tidak
menggerakkan tubuh sama sekali, hanya kedua tangannya
saja menyambut. Dua orang tinggi besar itu berseru kaget
dan kesakitan karena entah bagaimana, tahu-tahu
pergelangan tangan mereka kena dicengkeram oleh
Tejolaksono dan terdengar bunyi "krek-krek!" ketika sang
adipati mengerahkan tenaga, tanda bahwa tutang lengan
kanan mereka patah! Adipati Tejolaksono menarik kedua tangannya dan
pedang lawan telah terampas olehnya, kin! kedua kakinya
bergerak cepat sekali bergantian dan mencelatlah tubuh dua
orang tinggi besar itu sampai empat meter ke belakang di
mana mereka terbanting dan meringis kesakitan sambil
memegangi tangan kanan yang sudah patah tulangnya.
Hebatnya, mereka sedikitpun tidak mengeluarkan suara
keluhan sungguhpun rasa sakit pada lengan mereka
menusuk sampal ke ulu hati.
Dengan dua batang pedang di tangan, Tejolaksono
menghadapi Cekel Wisangkoro dan berkata,
"Cekel Wisangkoro, aku yakin bahwa kalau aku
menghendaki, kalian berempat akan mati di tempat ini
sekarang juga. Akan tetapi, aku mengenal tata susila dan
mengingat bahwa kalian adalah raka (utusan) dan adalah
menjadi hak mutlak caraka untuk datang dan pergi lagi
tanpa terganggu, maka aku membiarkan kalian pergi dalam
keadaan hidup. Kalau dua orang temanmu ini terluka, hal
itu hanya karena kesalahan mereka sendiri sebagai
hukuman dariku atas kelancangan mereka. Nah, kau
pergilah dan boleh bawa sebatang pedang yang tiada
gunanya ini!" Sang Adipati Tejolaksono mengerahkan
kedua tangannya dan "krak-krak!!" Dua batang pedang itu
patah-patah lalu dilemparkannya ke kaki Cekel Wisangkoro! Para perajurit bersorak memuji menyaksikan
kesaktian junjungan mereka ini.
Cekel Wisangkoro menoleh ke arah kedua orang
temannya itu dan memaki, "Sungguh bodoh kalian!" Akan
tetapi ketika ia membalikkan tubuh menghadapi Tejolaksono lagi, ia sudah tertawa, sikapnya tenang-tenang
saja sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. "Engkau
sombong, Tejolaksono! Tahukah engkau bahwa jika
sekarang aku melontarkan tongkatku ini ke angkasa, dari
empat penjuru akan menyerbu pasukan-pasukanku dan
dalam waktu singkat Kadipaten Selopenangkep akan
menjadi karang-abang (lautan api)" Akan tetapi karena
engkau menggunakan tata susila tidak mau nyerang caraka,
akupun hendak mengimbangimu, tidak akan menyerang
sebelum menyodorkan kesempatan terakhir. Nah, kami
memberi kesempatan kepadamu sampai sehari ini. Kalau
sampai senja kala nanti engkau tidak datang kepada kami di
dalam hutan sebelah barat Selopenangkep untuk menerima
uluran tangan kami, jangan sesalkan kami kalau kami
terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Sudah cukup banyak kau mengoceh, Cekel Wisangkoro! Pergilah sebelum para perajuritku kehabisan
sabar!" Dengan lagak angkuh Cekel Wisangkoro lalu pergi dari
halaman gedung kadipaten, diikuti Sariwuni dan dua orang
laki-laki tinggi besar yang masih memegangi pergelangan
tangan kanan mereka yang patah tulangnya. Para perajurit
pengawal mengiringkan mereka dengan ejekan dan
tertawaan. Akan tetapi setelah empat orang tamu itu pergi jauh,
Adipati Tejolaksono segera memanggil semua pembantunya dan membagi-bagi tugas mengatur penjagaan
di sekeliling kadipaten. Kadipaten Selopenangkep tidak
mempunyai pasukan yang besar. Seluruh pasukan hanya
terdiri dan dua ratus empat puluh orang perajurit. Akan
tetapi biasanya, pasukan yang tergembleng ini di bawah
pimpinan Tejolaksono merupakan barisan yang amat kuat
dan boleh diandalkan untuk menjaga keselamatan
kadipaten. Kini pasukan yang kecil itu dipecah-pecah untuk
menjaga kadipaten secara bergiliran.
Sang adipati sendiri, bersama isterinya, Pusporini dan
Roro Luhito, tidak tinggal diam. Mereka berempat ini
maklum akan ancaman bahaya dari plhak lawan, maka
merekapun sibuk melakukan perondaan dalam keadaan
siap siaga. Namun tepat seperti ancaman Cekel Wisangkoro, sehari
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu sama sekali tidak terjadi penyerbuan musuh, bahkan di
luar sekeliling kadipaten tidak tampak bayangan seorangpun musuh. Malam hari itupun tidak ada penyerbuan musuh secara
terbuka. Akan tetapi banyak hal menggiriskan hati para
perajurit telah terjadi. Rombongan penjaga di sebelah utara
dan timur, terdiri masing-masing dari tiga puluh orang
perajurit, menjadi ketakutan setengah mati setelah peristiwa
yang hebat dan menyeramkan menimpa diri mereka.
Malam itu, menjelang tengah malam, mereka sedang
meronda dan memeriksa bagian tirmur dan utara. Malam
sunyi dan gelap, tak tampak bayangan seorangpun musuh,
juga tidak terdengar sesuatu. Bulan bersinar terang,
didampingi banyak bintang. Udara cerah dan pemandangan
indah yang terbentang di angkasa itu sedikit banyak
mengurangi ketegangan hati mereka. Mula-mula mereka
tidak menaruh curiga ketika ada segumpal awan hitam
menutupi sinar bulan. Barulah mereka mulai panik ketika
"awan" ini dapat melayang turun dan merupakan asap
hitam yang menyerang mereka! Keadaan makin menjadi
gelap sehingga akhirnya mereka tak dapat melihat tangan
sendiri! Dan di dalam kepanikan yang makin meningkat ini,
mereka baru tahu bahwa hal yang tidak wajar telah terjadi.
Apalagi ketika di dalam kegelapan yang hebat itu mereka
mendengar suara-suara aneh, bukan suara manusia,
gerengan-gerengan dan ketawa-ketawa seakan-akan semua
jin dan setan keluar dari neraka dan berkumpul di tempat
itu. Dan mulailah mereka melihat muka-muka yang
mengerikan, muka yang besar seperti kepala raksasa, akan
tetapi tanpa tubuh. Paniklah para perajurit. Ada pula yang
pemberani lalu menerjang ke arah bayangan-bayangan itu
hanya uptuk menghantam kawan-kawan sendiri karena di
dalam kegelapan itu mereka tidak dapat membedakan mana
kawan mana lawan! Setelah terjadi pukul-memukul dan
serang-menyerang antara kawan sendiri yang dalam
kepanikan disangka musuh sampai beberapa jam lamanya,
akhirnya "awan" hitam itu lenyap dan keadaan menjadi
terang kembali. Dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan
gelisah hati para kepala pasukan ketika menyaksikan akibat
peristiwa itu. Enam orang perajurit luka-luka oleh pukulan
kawan sendiri, dan sepuluh orang perajurit lenyap tak
meninggalkan jejak, entah melarikan diri entah bagaimana!
Para penjaga di sebelah selatan dan barat juga
mengalami hal yang amat luar biasa. Juga jumlah mereka
In! adalah dua pasukan terdiri dari tiga puluh orang
perajurit tiap pasukan. Pengalaman mereka tidaklah
mengerikan seperti apa yang dialami para penjaga di timur
dan utara, akan tetapi akibatnya malah lebih mencelakakan
lagi. Selagi mereka menjaga malam itu dekat tengah
malam, juga dalam sinar bulan yang cemerlang dan indah
romantis, dari dalam kesunyilan muncul tujuh belas orang
wanita cantik jelita yang hanya mengenakan pakaian tipis
dan rambut mereka terurai. Wanita-wanita ini dengan sikap
amat menarik hati menggoda mereka dengan bujuk rayu
dan pikatan. Kepala kedua pasukan yang tetap waspada
membentak pasukan masing-masing dan memerintahkan
pasukannya menangkapi tujuh belas orang wanita cantik
yang mencurigakan itu. Akan tetapi, mendadak tercium
ganda yang harum semerbak dan semua perajurit seperti
mabuk karenanya, bahkan dua orang kepala pasukan itu
tidaklah sebengis tadi dan hanya tertawa-tawa ketika
melihat betapa anak-anak buah mereka bersendau-gurau
dan bermesraan dengan tujuh belah orang wanita itu.
Barulah keadaan menjadi kacau-balau ketika menjelang
fajar, mereka mendapatkan diri mereka tertidur dan ketika
dicacahkan, ternyata dua puluh orang perajurit telah lenyap
bersama tujuh belas orang wanita cantik tadi!
Tidak hanya di tempat-tempat penjagaan terjadi hal
aneh. Bahkan hal-hal aneh menimpa dan terjadi di dalam
kadipaten sendiri! Malam itu setelah melakukan perondaan
sendiri sekeliling kadipaten, Adipati Tejolaksono kembali ke
gedungnya. Suasana sekeliling kadipaten seperti malam-
malam biasa, sunyi senyap, tidak ada pergerakan musuh.
Akan tetapi hal ini amat mencurigakan hatinya dan sang
adipati yang melihat betapa bibinya Roro Luhito,
Pusporini, dan Ayu Candra sendiri masing-masing
melakukan penjagaan di dalam gedung, lalu memasuki
sanggar pamujan untuk bersamadhi, mempertinggi kewaspadaan dan memohon perlindungan dari para
dewata. Belum lama sang adipati bermuja samadhi, tiba-tiba ia
merasa betapa kedua matanya diserang kantuk yang amat
hebat hampir tak tertahankan lagi. Karena tadinya ia
menyangka bahwa kantuk ini datang karena lelah dan
tegang, maka hampir saja Tejolaksono tunduk dan
menyerah, akan tidur barang sebentar. Akan tetapi ketika
cuping hidungnya bergerak mengendus ganda kembang
menyan, seketika kewaspadaannya timbul kembali. Aji
penyirepan! Tak salah lagi, ini tentulah akibat penyirepan
yang amat kuat! Sang adipati yang Sakti mandraguna ini lalu cepat
mengerahkan seluruh tenaga batinnya sehingga hawa sakti
menggetar keluar dari tubuhnya membentuk gelombang
getaran di angkasa dan menolak getaran aji penyirepan itu.
Dari perasaan tertekan dan tertindih di dadanya, sang
adipati maklum bahwa yang melepas aji penyirepan adalah
seorang yang memiliki hawa sakti yang amat kuat.
Terjadilah "perang tanding" yang aneh dan tidak tamoak
oleh mata manusia, pertandingan antara dua getaran hawa
sakti, tolak-menolak, dorong-mendorong dan tindih-
menindih. Kalau ada orang secara kebetulan melihat ke atas
atap gedung kadipaten, tentu mereka akan merasa terheran-
heran melihat adanya segumpal asap putih yang seperti
bermain-main di angkasa, kadang-kadang terdorong ke
depan kadang-kadang mundur pula ke belakang dan
akhirnya setelah lama maju mundur, asap putih yang
berbau harum kembang menyan ini hancur dan buyar lalu
lenyap! Hal ini menandakan bahwa aji penyirepan yang
tadinya menguasai sekeliling gedung kadipaten telah
dikalahkan oleh getaran hawa sakti yang membubung
keluar dari sanggar pamujan.
Pusporini dara remaja yang cantik manis dan perkasa itu
tadinya juga menjaga gedung kadipaten bersama ibunya
dan ayundanya. Dara ini telah siap siaga, pakaiannya serba
ringkas, bajunya berwarna biru muda berlengan pendek
sampai di siku. Baju lengan pendek ini amat baik dipakai
dalam menghadapi pertandingan sehingga kedua lengannya
akan dapat bergerak leluasa. Kainnya dikenakan secara
longgar dan agak tinggi, dengan ujung dikumpulkan lalu
dikaitkan ke belakang sehingga kainnya di bawah naik
sampai ke lutut dan tampaklah celana hitam sampai ke
bawah lutut. Betisnya yang masih kecil akan tetapi sudah
berbentuk padi bunting dan kulit halus itu tampak. Pakaian
kain seperti ini membuat ia akan leluasa bergerak kalau
bertempur, tidak menghalangi gerak langkah atau
tendangannya. Di pinggangnya tampak sebatang keris luk
tiga menyelempit di balik sabuk sutera. Rambutnya yang
hitam gemuk halus dan panjang sampai ke pinggul itu kini
ditekuk dan diikat menjadi satu dengan kuat sehingga
ujungnya yang berjuntai hanya sampai ke pundak, tidak
disanggul seperti biasa karena kalau dipakai bertempur
dikhawatirkan sanggul terlepas dan rambut terurai
membuat gerakan tidak leluasa lagi. Tangan kanannya
memegang sebatang golok, karena ia telah mempelajari
permainan golok indah dari sang adipati, yaitu permainan
Golok Lebah Putth. Golok yang kecil bentuknya, lebih kecil
daripada golok biasa, gagangnya kayu terukir dan memakai
ronce-ronce sutera merah.
Seperti umumnya watak orang muda Pusporini juga
haus akan petualangan hebat. Suasana kadipaten yang
mencekam perasaan dan amat menegangkan itu merupakan
pengalaman menggembirakan bagi dara remaja ini. Kini
tibalah saatnya ia akan dapat membuktikan segala aji yang
selama ini ia pelajari, pikirnya. Dan seorang muda seperti
dia sama sekali tidak mengenal takut, belum begitu yakin
akan tingginya langit dalamnya lautan! Ia menanti-nanti
datangnya musuh untuk dibabat dengan goloknya seperti
membabat rumput, dipukul remuk dengan ajinya Pethit
Nogo di tangan kini seperti menghancurkan buah-buah
mentimun. Akan tetapi setelah menanti sampai jauh malam
tidak juga muncul seorangpun musuh, hatinya menjadi
kesal dan bosan. Maka ditinggalkannya ibu dan ayundanya
untuk "mencari angin sejuk" di belakang kadipaten, di
dalam taman bunga. Angin dingin sejuk memang ia dapatkan, dan hampir
saja ia celaka oleh angin dingin sejuk ini. Tadinya ia
bermaksud menjaga di taman dan mengharapkan munculnya musuh di dalam taman. Akan tetapi begitu ia
melangkahkan kaki memasuki taman sari, angin sejuk
menyambutnya dan saking kesal hatinya, dara remaja ini
duduk di atas bangku dalam taman. Angin sejuk semilir
menggerayangi muka dan lehernya, menimbulkan rasa
nyaman. Ganda harum semerbak yang datang terbawa
angin tidak membangkitkan kewaspadaannya, tidak
menimbulkan kecurigaannya karena ia menganggap itu
adalah ganda bunga-bunga yang tumbuh di taman. Malah
cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis menyedot
ganda harum sedap itu. Maka dengan mudah saja getaran
hawa sakti aji penyirepan menguasainya, membuat dara ini
tiga empat kali menguap saking mengantuknya, tiap kali
menutup mulut dengan punggung tangan kirinya. Tak lama
kemudian Pusporini pun tertidurlah dengan pulas sambil
duduk di atas bangku. Tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan
seorang laki-laki tinggi besar yang meloncat keluar dari
balik pohon di taman itu. Dengan ,beberapa loncatan saja
orang ini telah mendekati Pusporini yang masih tidur
dengan napas panjang teratur. Ketika melihat dara remaja
itu tidak bergerak dan tidur, laki-laki itu menyergap ke
depan dan di lain saat tubuh dara remaja itu telah disambar
dan dipondongnya. Golok yang dipegang Pusporini terlepas
dan jatuh! Pusporini masih pulas dan hanya mengeluarkan
suara rintihan perlahan seperti orang ngelindur ketika
tubuhnya dipondong dan dibawa lari.
Sementara itu, Roro Luhito dan Ayu Candra yang masih
duduk menjaga di ruangan dalam, bercakap-cakap. Dua
orang wanita ini maklum akan bahaya yang mengancam
kadipaten, namun mereka itu biar tegang di hati, sikap
mereka masih tenang saja dan memang ketegangan hati
mereka bukanlah tanda hati khawatir. Mereka tidak
khawatir, juga tidak takut karena mereka percaya penuh
akan kesaktian Adipati Tejolaksono, juga percaya akan
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi musuh. Kedua
orang wanita ini, seperti juga Pusporini, berpakaian ringkas
dan di sabuk mereka terselip senjata pusaka mereka.
Sebatang tombak berada di samping mereka selalu.
Dua orang wanita ini sudah dua kali menguap dan Ayu
Candra tidak dapat menahan kantuknya lagi, mulai
melenggut. Tiba-tiba Roro Luhito memegang pundaknya,
mengguncangnya dan berbisik, "Ayu ............ Bangun
............ Awas, musuh menggunakan aji penyirep!"
Biarpun terpengaruh aji penyirepan, karena memang
Ayu Candra bukan wanita sembarangan dan sudah
memiliki kekuatan batin yang tangguh, guncangan ini
cukup menyadarkan dan bersama Roro Luhito ia cepat
duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin
untuk melawan pengaruh aji penyirepan ini. Bau kembang
menyan mengambar-nyambar semerbak memenuhi ruangan. itu membuat kepala mereka terasa pening.
Akhirnya mereka dapat menguasai diri mereka dan Roro
Luhito berbisik, "Cepat ............ kita cari Pusporini ............
!" Mereka meloncat bangun dan menggu nakan Aji
Widodo Mantera untuk memperkuat batin. Setelah
menyambar tombak masing-masing, mereka lalu meloncat
dan lari ke arah belakang. Angin sejuk menyambut mereka
ketika mereka keluar' dari pintu butulan di belakang,
memasuki taman sari. "Ah, Bibi ............ lihat ............ !!" Ayu Candra berseru
kaget dan menudingkan telunjuknya ke arah kiri. Sesosok
bayangan laki-laki tinggi besar lari memondong tubuh
Pusporini! "Keparat ............ ! Kejar ............ !!" teriak Roro Luhito
sambil meloncat ke depan, diikuti Ayu Candra.
Akan tetapi mendadak muncul empat orang laki-laki
tinggi besar. Seperti juga laki-laki yang menculik Pusporini
tadi, empat orang laki-laki inipun selain tinggi besar, juga
kepalanya gundul, ditutup ikat kepala berwarna biru tua
dan muka mereka seperti muka arca atau muka mayat.
Mereka muncul begitu saja, tidak mengeluarkan suara dan
secara tiba-tiba langsung menubruk dan menyerang Roro
Luhito dan Ayu Candra. Jari-jari tangan mereka yang
sebesar pisang itu terbuka dan lengan tangan mereka yang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penuh bulu amat besar dan kuat menyeramkan.
Roro Luhito dan Ayu Candra terkejut, cepat mengelak
sambil memutar tombak, menghadapi masing-masing dua
orang lawan yang bertubuh kuat dan bersenjata golok besar.
Terjadilah pertempuran hebat di dalam taman, dan
terdengar suara senjata berdencingan ketika bertemu
berkali-kali. Dua orang wanita perkasa itu mendapat
kenyataan bahwa empat orang lawan mereka memiliki
tenaga yang amat kuat sehingga tiap kali beradu senjata,
mereka merasa telapak tangan mereka panas dan sakit.
Roro Luhito marah sekali, mengeluarkan pekik seperti
seekor kera dan gerakannya menjadi cepat laksana halilintar menyambar-nyambar. Dalam amarahnya karena teringat akan puterinya yang terculik, wanita ini
telah mengeluarkan ajinya
Sosro Satwo yang dahulu ia pelajari dari gurunya,
yaitu Resi Telomoyo. Seketika tombaknya berubah menjadi banyak ujungnya dan dalam gebrakan selanjutnya kedua lawan yang menjadi berkunang-kunang pandang matanya itu dapat ia tusuk
dengan ujung tombak, tepat mengenai paha dan perut.
Akan tetapi betapa terkejutnya ketika kedua tusukannya itu
membalik dan ternyata ujung tombaknya hanya merobek
pakaian dan kulit sedikit saja, tidak mampu menembus
daging. Kiranya dua orang lawannya ini selain amat kuat
juga memiliki tubuh yang kebal! Ia makin marah dan kini
menujukan ujung-ujung tombaknya kepada bagian-bagian
yang lemah, terutama ke arah mata kedua orang lawan.
Ayu Candra mengalami hal yang sama. Ia menggunakan
Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari suaminya sehingga kini ia
dapat mengatasi kedua lawannya karena gerakannya jauh
lebih cepat. Beberapa kali tombaknya dapat menusuk leher
dan lambung, namun kesemuanya meleset seakan-akan
menusuk karet yang licin sekali. Seperti juga bibinya, kini ia
bergerak lebih, cepat dan mengarahkan ujung tombak ke
bagian-bagian berbahaya dari kedua orang lawan yang terus
mengamuk membabi buta tanpa mengeluarkan sepatahpun
kata. Adipati Tejolaksono setelah berhasil membuyarkan
getaran aji penyirepan, lalu bangun dari samadhinya, keluar
dari sanggar pamujan dan bergerak cepat keluar. Sanggar
pamujan ini letaknya di bagian samping gedung, dan kini
setelah keluar ia mendengar suara senjata beradu di sebelah
belakang, di taman sari. Cepat ia berkelebat memasuki
taman sari dan terkejut hatinya melihat isterinya dan
bibinya dikeroyok empat orang laki-laki tinggi besar yang
agaknya kebal karena dari jauh ia melihat betapa tombak
isterinya dan bibinya itu berkali-kali meleset jika mengenai
tubuh lawan. Ia menjadi marah sekali, bagaikan seekor
garuda melayang tubuhnya mencelat dan menyambar ke
depan. "Siuuuuttt ............ dess! dessss!" Dua kali tangannya
menghantam dengan pukulan Bojro Dahono yang
ampuhnya menggila itu. Kalau lawan lain terkena
hantaman ini tentu tubuhnya akan roboh dan hangus, atau
setidaknya tentu akan patah-patah tulang iganya. Akan
tetapi dua orang pengeroyok Ayu Candra itu terkena
pukulan ini hanya mencelat roboh tergiling-guling tanpa
mengeluh, kemudian merangkak dan bangkit kembali!
Terbelalak mata Tejolaksono memandang saking herannya.
Dua orang ini sama halnya dengan dua orang tinggi
besar anak buah Cekel Wisangkoro yang ia patahkan
pergelangan tangannya, sama pula dengan Sariwuni,
memiliki kekebalan luar biasa sehingga dapat menahan
keampuhan pukulan tangannya. Ia menjadi penasaran
sekali. Ditiupnya kedua tangannya kemudian ketika dua
orang laki-laki gundul itu menerjang maju, ia memapak
dengan loncatan dan hantaman kedua tangan ke arah
kepala mereka. Jilid XIII TERDENGAR suara seperti buah kelapa dipukul pecah
dan dua orang Itu terbanting roboh tak bergerak lagi kini
karena kepala mereka pecah oleh hantaman kedua tangan
sang adipati! Ayu Candra sudah membantu Roro Luhito menghadapi
dua orang laki-laki tinggi besar yang lain. Karena kini satu
lawan satu, dua orang laki-laki tinggi besar itu terdesak
hebat, golok mereka telah dapat dipukul runtuh dan tombak
Roro Luhito sudah berhasil menusuk mata kiri lawannya
sampai masuk ke kepala dan orang itu roboh berkelojotan
sebentar lalu diam dan tewas. Ayu Candra yang terus
mencecer baglan mata, hampir berhasil pula, akan tetapi
tiba-tlba Tejolaksono berseru,
"Jangan bunuh, aku hendak menangkapnya!" Ayu
Candra mundur dan Tejolaksono menerjang, menghantam
roboh orang itu dengan memukul dadanya. Orang iu
terbanting roboh, merangkak hendak bangun akan tetapi
kena dipiting oleh Tejolaksono sehingga tak mampu
berkutik lagi. Pada saat itu, beberapa orang pengawal yang
mendengar ribut-ribut di taman, sudah datang dan atas
perintah Tejolaksono mereka segera menelikung orang
tinggi besar itu sampai tak mampu berkutik.
"Pusporini .............. dia dilarikan penjahat .............. !"
"Lekas kau kejar, Kakangmas .............. I II
Mendengar ucapan Roro Luhito dan Ayu Candra ini,
bukan main kagetnya hati Tejolaksono. Tubuhnya
berkelebat cepat mengejar ke arah yang ditunjuk oleh dua
wanita itu. Roro Luhito dan Ayu Candra segera menyusul
dan berpencar untuk mencari Pusporini yang diculik.
Akan tetapi mereka bertiga tidak dapat menemukan jejak
Pusporini, sebaliknya mendapatkan keadaan para penjaga
yang kacau-balau! Para penjaga di utara dan timur
kehilangan sepuluh orang perajurit sedangkan enam orang
luka-luka dalam perang tanding sendiri akibat kekacauan
keadaan yang gelap-gulita dan penuh godaan iblis.
Sedangkan para penjaga di sebelah selatan dan barat lebih
celaka lagi keadaannya. Mereka semua tertidur dalam
keadaan tidak karuan, ada yang bertelanjang bulat, ada
yang tertawa-tawa seperti orang mabuk, bersikap seperti
orang kegilaan wanita, dan dua puluh orang di antara
mereka lenyap. Adipati Tejolaksono terpaksa kemball ke gedung
kadipaten dan memanggil semua pembantunya mendengar
pelaporan mereka yang aneh. Malam itu Kadipaten
Selopenangkep geger dan mengalami kerugian besar. Enam
orang luka-luka dan tiga puluh orang perajurit lenyap,
Pusporinii terculik dan sebagai gantinya hanya dapat
membunuh tiga orang laki-lakl gundul dan menawan
seorang. Roro Luhito pucat mukanya, dan hanya dengan
kekerasan hati saja wanita tua perkasa ini dapat menahan
tangisnya. "Aduh, Anaknda Adipati, bagaimana dengan
nasib Pusporini .............. ?" Ia mengeluh.
Tejolaksono dan Ayu Candra juga gelisah memikirkan
Pusporini. Tejolaksono menghibur, "Kita harus tenang,
Kanjeng Bibi. Saya rasa Cekel Wisangkoro tidak akan
begitu bodoh untuk mengganggu Pusporini, karena kalau ia
melakukan hal itu, kalau terganggu seujung rambutpun dari
Pusporini, ia tahu bahwa Tejolaksono akan mencarinya
sampai dapat dan akan menghancurkan kepalanya!"
Berkata demikian sang adipati tampak marah sekali,
kemudian ia menghela napas panjang untuk menekan
perasaannya. "Agaknya dia menangkap Pusporini dengan maksud
untuk memaksa kita menyerah, Akan tetapi, saya akan
berusaha merampas Pusporini kembali. Karena itu,
kebetulan sekali kita dapat menawan hidup-hidup seorang
di antara empat iblis gundul itu. Heh, pengawal, seret
tawanan itu ke sini!"
Tawanan laki-laki tinggi besar gundul yang sudah
ditelikung seperti ayam itu diseret ke depan Tejolaksono.
Adipati ini terhetan-heran melihat betapa tawanan ini sama
sekali tidak mengeluh, juga sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang
seperti wajah mayat. Ia berusaha mengorek rahasa dari
tawanan ini dengan janji-janji manis dan ancaman-ancaman
mengerikan, namun tawanan itu hanya memandang dengan
mata melotot dan bodoh, tidak menjawab, mengangguk
tidak menggelengpun tidak!
"Hemm, engkau jangan berpura-pura bodoh!" bentak
sang adipati. "Melihat kepandaian, kekebalan dan sepak
terjangmu, engkau bukan orang bodoh! Hayo mengakulah,
ke mana Pusporini adikku dibawa pergi. Kalau engkau
mengaku, dan mau membawaku ke sana, aku tidak akan
membunuhmu. Akan tetapi kalau tidak, hemm ..............
engkau akan kusuruh hukum picis!" Hukum picis adalah
hukuman yang amat mengerikan pada waktu itu. Tubuh
seorang tawanan akan diikat dan di situ disediakan
sebatang pisau tajam, air asam garam. Setiap orang
perajurit akan mengerat tubuh si tawanan dan menyiramkan air asam garam pada luka guratan itu. Dapat
dibayangkan betapa hebat penderitaan yang akan dialami
orang yang dihukum picis sebelum ia mati kehabisan darah.
Namun tawanan itu hanya melototkan mata makin lebar
saja, tak menyatakan sesuatu, baik dengan suara maupun
gerakan. Ia hanya mengerahkan tenaga untuk melepaskan
diri dari ikatan. Melihat ini, sang adipati menjadi curiga,
lalu menggunakan jari tangan untuk menusuk beberapa
bagian jalan darah di tubuh tawanan itu. Ia tidak
menyaksikan gerakan tubuh yang mengerahkan kekebalan
atau hawa sakti, akan tetapi jarinya yang menusuk perlahan
itu meleset! Ia mengangguk-angguk, lalu memegang kepala
orang itu dan membuka pelupuk matanya memeriksa biji
mata yang selalu dipelototkan.
"Ahhhhh .............. sungguh kasihan orang ini ..............
" Ia berkata kemudian sambil memberi isyarat kepada
pengawal untuk membawa pergi si tawanan. Kemudian ia
duduk termenung. "Apakah artinya semua itu, kakangmas?" tanya Ayu
Candra. Juga Roro Luhito tidak mengerti.
"Si keparat Cekel Wisangkoro atau siapa saja yang
melakukan perbuatan-perbuatan keji itu. Orang-orang itu
bergerak bukan atas kehendak sendiri. Mereka seperti
mayat-mayat yang telah dikuasai oleh iblis-iblis itu, tubuh
mereka kebal dan mereka amat kuat dan pandai berkelahi
hanya karena berada dalam pengaruh sihir yang amat kuat!
Tentu saja dia tidak dapat menjawab karena dalam keadaan
seperti itu, mereka tidak tahu apa-apa, tidak dapat bicara,
"hanya dapat bergerak untuk menghancurkan segala yang
merintangi mereka, sesuai dengan perintah rahasia yang
diberikan oleh iblis berupa manusia melalui getaran dalam
otak mereka. Dia itu telah mati, mati dalam hidup. Hanya
jasmaninya saja yang hidup akan tetapi perasaan dan
semangatnya telah berada dalam genggaman orang yang
menguasai mereka." "Si bedebah! Kalau begitu, anakku .............." Roro
Luhito menahan kata-katanya dan mengerutkan keningnya.
"Aduh, Kakangmas, bagaimana dengan Pusporini?"
"Harap Kanjeng Bibi dan engkau Yayi, tenang pada saat
seperti ini. Sudah menjadi kenyataan bahwa Pusporini
ditawan musuh. Akan tetapi itu hanya merupakan satu di
antara akibat perang yang kita hadapi. Perang yang aneh
melawan orang-orang yang seperti iblis. Kita belum kalah
dan kita harus mempertahankan diri di Selopenangkep.
Pada waktu ini, yang terpenting adalah menjaga agar
musuh tidak sampai dapat menguasai Selopenangkep.
Kalau aku membawa pasukan mencari Pusporini, atau
pergi mengejar, berarti keadaan Selopenangkep akan
kosong dan lemah. Agaknya memang siasat ini dipergunakan musuh untuk memancing aku keluar dari
kadipaten. Biarlah kita bersabar, menjaga kadipaten sambil
menanti datangnya Kakang Mundingyudo yang tentu akan
membawa bala bantuan dari Panjalu. Kita akan
menghancurkan musuh dan percayalah, Sang Hyang Widhi
tentu akan melindungi Pusporini. Orang yang benar pasti
akan mendapat kemenangan terakhir."
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Biarpun perasaan hati mereka hancur dan penuh
kegelisahan, namun kedua orang wanita itu harus
membenarkan pendapat sang adipati ini, maka mereka tak
dapat berbuat lain kecuali berprihatin sambil memperkuat
penjagaan dan mempertebal kewaspadaan.
-oo0dw0oo- Laki-laki tinggi besar berkepala - gundul yang menculik
Pusporini, terus lari meninggalkan kota Kadipaten
Selopenangkep. Dia keluar dari kadipaten melalui pintu
gerbang selatan di mana para penjaganya tertidur semua
setelah tergoda oleh tujuh belas orang wanita cantik. Tentu
saja dengan mudah ia dapat keluar dari pintu gerbang itu
tanpa terhalang. Larinya cepat sekali, dengan langkah lebar
dan selama itu, laki-laki ini tidak pernah mengeluarkan
kata-kata, juga mukanya yang tersinar bulan tidak
menyatakan atau membayangkan sesuatu. Keadaan laki-
laki ini tiada bedanya dengan empat orang gundul yang
menyerbu Kadipaten Selopenangkep dan yang dirobohkan
oleh Adipati Tejolaksono. Laki-laki ini hanya bergerak
menurutkan yang memerintahnya dan kini iapun lari
menuju ke arah datangnya getaran yang menguasainya,
menuju ke sebuah bukit kecil di sebelah barat.
Pusporini yang tadi tertidur pulas akibat aji penyirepan,
kini setelah agak lama dibawa lari dan mukanya tertiup
angin malam yang dingin, mulai sadar. Mula-mula ia
membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa
.kagetnya ketika ia mendapatkan dirinya dipondong oleh
seorang laki-laki tinggi besar dan dibawa lari di malam
gelap! Karena marah dan kaget, tubuhnya bergerak dan
biarpun laki-laki itu seperti boneka hidup, namun pengaruh
yang menguasainya membuatnya cerdik sekali dalam
menghadapi lawan. Ketika merasa betapa gadis dalam
pondongannya bergerak, cepat laki-laki itu menangkap
pergelangan tangan Pusporini, digenggam dalam jari-jari
tangan kirinya yang panjang dan kuat seperti jepitan besi,
sedangkan lengan kanannya merangkul kedua kaki dara
remaja itu sehingga Pusporini tak dapat berkutik lagi!
"Lepaskan aku.............. ! Bedebah .............. lepaskan
aku ............!!" Ia berteriak-teriak sambil meronta-ronta.
Namun sia-sia belaka. Laki-laki itu sama sekali tidak
menjawab, dan ia hanya dapat menggerakkan pinggangnya
meronta-ronta sedangkan kaki tangannya sama sekali tidak
dapat terlepas dari pergelangan laki-laki tinggi besar Itu.
Tentu saja, dalam hal tenaga kasar, Pusporini sama sekali
bukan tandingan laki-laki ini. Akhirnya dara remaja yang
cerdik ini sadar bahwa mengandalkan tenaga kasar, ia
takkan mungkin dapat terbebas. Ia tidak meronta lagi, juga
tidak mengeluarkan suara lagi, bahkan mengendurkan
tubuhnya bersandar pada pundak laki-laki itu, meramkan
mata mencari akal. Teringat ia akan dongeng yang pernah
diceritakan ibunya tentang Dewi Shinta yang diculik dan
dilarikan Sang Prabu Dhasamuka. Keadaannya sekarang ini
persis dengan dongeng yang diceritakan ibunya itu. Ia
dipondong dalam keadaan tidak berdaya dan dibawa lari.
Laki-laki ini tinggi besar dan mengerikan, patut pula
menjadi Prabu Dhasamuka. Dan teringat akan hal ia ingat
pula bahwa ibunya menceritakan betapa Dewi Shinta dapat
dirampas dari tangan Dhasamuka oleh burung saktt
Jentayu, akan tetapi Dewi Shinta yang merasa ngeri karena
jatuh ke cengkeraman burung raksasa, lalu mempergunakan
aji kesaktian memberatkan tubuh sehingga terlepas dari
cengkeraman burung yang tidak kuat membawanya. Aji
memberatkan tubuh itu telah ia tanyakan kepada
rakandanya sang adipati yang juga menjadi gurunya. Dan
sang adipati yang sakti mandraguna telah mengajarkan aji
seperti itu! Teringat akan ini, Pusporini lalu meramkan mata seperti
orang samadhi, mengheningkan cipta menenteramkan
batinnya, kemudian ia berkemak-kemik membaca mantera
sambil menekan dan menyalurkan hawa sakti dari dalam
pusarnya. Aji kesaktian ini oleh Tejolaksono diberi nama
Aji Argoselo dan kini tubuh Pusporini terasa berat seperti
sebongkah batu gunung. Orang tinggi besar itu tiba-tiba
mengeluarkan suara "uh-uhh .............. !" dan langkahnya
terhuyung-huyung. Hampir ia tidak kuat dan karena ini
tangan kirinya melepaskan kedua lengan Pusporini untuk
membantu memeluk kedua kaki dara ini agar tidak terlepas.
Kesempatan inilah yang dinanti-nanti Pusporini. Ia
menahan napas, membelalakkan kedua matanya dan
menyalurkan hawa sakti menjadi tenaga dahsyat kepada
kedua tangannya yang sudah ia isi dengan Aji Pethit Nogo.
Kini kedua tangannya bergerak, dari kanan kiri menghimpit
kepala orang yang memondongnya itu dalam hantaman
yang tiba-tiba, cepat dan kuat.
Orang itu terhuyung, ikat kepalanya terlepas dan
tampaklah kepalanya yang gundul, kedua tangannya yang
memeluk kaki Pusporini dilepaskan untuk memegang
kepalanya yang serasa akan pecah. Kesempatan ini
dipergunakan Pusporini untuk meloncat turun dari atas
pondongan lawan, memandang terbelalak heran melihat
kepala orang itu tidak pecah oleh pukulan Pethit Nogo yang
dilakukannya amat kuat tadi.
Tidak, sama sekali orang laki-laki tinggi besar berkepala
gundul itu tidak mati, bahkan robohpun tidak. Setelah
terhuyung-huyung, laki-laki itu dapat pulih kembali dan
kini menerjang dengan kedua lengan terpentang, hendak
menubruk dan menangkap kembali tawanannya yang
terlepasl Namun tubrukannya hanya mengenai angin belaka
karena tahu-tahu tubuh dara remaja itu sudah melejit
lenyap dan berpindah tempat di sebelah kanannya,
langsung mengirim tamparan lagi dengan Aji Pethit Nogo
yang mengenai lehernya. "Plakkkk!!" Kembali orang itu terpelanting, namun segera bangkit
lagi dan menghadapi Pusporini dengan mata melotot. Bulu
tengkuk dara ini meremang. Dua kali pukulannya tadi amat
hebat, dan dengan pukulan-pukulan itu kiranya batu
gunungpun akan terpukul pecah. Akan tetapi kenapa orang
ini mengeluhpun tidak" Ia telah mempelajari banyak
macam aji-aji yang ampuh dari Adipati Tejolaksono, akan
tetapi pukulannya yang terampuh adalah Aji Pethit Nogo.
Ketika melihat orang itu menyerangnya lagi hendak
menangkap, dengan mudahnya Pusporini mengelak.
Dengan aji keringanan tubuh Bayu Sakti, tentu saja dengan
mudah ia dapat menghindarkan setiap serangan laki-laki
tinggi besar yang baginya terlalu lamban ini, akan tetapi ia
masih penasaran kalau belum dapat memukul roboh orang
yang telah menculiknya ini. Berkali-kali ia memukul dan
mengeluarkan semua aji pukulannya, namun orang itu
hanya terhuyung, paling-paling terjungkal untuk bangkit
kembali dan menerjangnya makin hebat!
"Eh-eh, engkau ini manusia ataukah iblis" Disuruh
mampus saja kok tidak mau, keparat!" Pusporini memaki,
akan tetapi sebetulnya di dalam hatinya, ia merasa ngeri
dan serem. Sekali lagi ia mengelak sambil mengirim
pukulan keras yang membuat tubuh laki-laki tinggi besar itu
terguling-guling, dan ketika laki-laki itu seperti tadi bangkit
berdiri lagi, Pusporini telah hilang dari tempat itu karena
dara remaja ini dengan penuh kengerian telah melarikan
diri. Siapa orangnya tidak akan merasa ngeri kalau
bertanding melawan orang nekat macam itu" Sampai lelah
kedua tangannya memukul dan orang itu berkali-kali jatuh
lalu bangun lagi! Karena Pusporini mempergunakan Aji Bayu Sakti yang
membuat larinya seperti seekor kijang muda, maka laki-laki
tinggi. besar itu tertinggal jauh, bahkan laki-laki itu
mengejar ke arah yang berlainan! Akan tetapi, biarpun
semenjak kecil digembleng olah keperajuritan dan tata
kelahi, Pusporini tidak pernah keluar dari Kadipaten
Selopenangkep. Apalagi setelah Sang Adipati Tejolaksono
menghapuskan kebiasaan berburu, dara remaja ini tidak
mengenal daerah di luar Selopenangkep. Tadi ketika
diculik, ia berada dalam keadaan pulas sehingga tidak tahu
dibawa ke mana. Sekarang, barulah ia menjadi bingung
karena tidak tahu ke mana jalan pulang ke Selopenangkep.
Tanpa ia sadari, la bukannya menuju kembali ke
Selopenangkep, melainkan menyusup makin dalam ke
hutan yang lebat. Juga tidak tahu bahwa gerak-geriknya
semenjak bertanding melawan orang tinggi besar tadi telah
diperhatikan oleh banyak orang!
Tengah malam telah lewat dan bulan sepotong yang
keluarnya hampir tengah malam itu kini sudah naik tinggi,
menyinarkan cahaya yang redup namun cukup terang,
menimbulkan suasana yang amat indah menyeramkan di
dalam hutan! Pusporini mulai merasa bingung ketika hutan
yang dilaluinya makin lama makin liar dan gelap. Agak lega
hatinya ketika di tengah-tengah hutan liar itu ia
mendapatkan sebuah lapangan yang luasnya ada seratus
meter, berbentuk bundar dan lapangan terbuka ini tidak
ditumbuhi pohon sehingga sinar bulan terang memenuhi
lapangan itu. Rumput hijau tebal menutupi lapangan seperti
permadani hijau dibentangkan, amat indah dan bersihnya.
Pusporini mengambil keputusan untuk beristirahat dan
melewatkan malam itu di tempat ini. Besok kalau matahari
sudah menerangi bumi, ia akan dapat keluar dari hutan ini
dan pulang, pikirnya. Tempat ini amat enak, juga ia dapat
memandang ke sekelilingnya tanpa terhalang pohon
sehingga kalau ada musuh mendatang, jauh-jauh sudah
akan melihatnya. Sambil menghela napas lega dara remaja
ini duduk dan melenggut saking mengantuk dan lelahnya.
Kadang-kadang ia membuka mata dan memandang ke
sekelilingnya yang sunyi untuk melihat kalau-kalau si
gundul mengerikan tadi datang mengejarnya. Sebenarnya
hal ini tidak perlu ia lakukan karena kalau ada orang datang
berlari menghampirinya, tentu pendengarannya yang tajam
akan dapat menangkap langkah kakinya. Akan tetapi, bagaimana pendengarannya akan dapat
menangkap kalau benda- benda bergerak itu menghampirinya tanpa melangkahkan kaki, melainkan merayap seperti
segerombolan ular" Dan bagaimana ia dapat melihat
mereka itu kalau mereka menyusup-nyusup di antara
rumput-rumput yang tebal dan tinggi" Tidak, Pusporini sama sekali tidak tahu,
menyangkapun tidak bahwa pada saat itu, ada belasan
orang mengurungnya dari semua penjuru, menghampirinya
sambil merayap di antara rumput tanpa mengeluarkan
suara! Mereka itu adalah orang-orang wanita, masih muda-
muda. Ketika mereka ini merayap, dengan pinggang
ramping bergerak-gerak, pinggul ke kanan kiri, pakaian
setengah telanjang, mereka merupakan binatang-binatang
yang amat aneh! Pusporini sedang melenggut ketika tiba-tiba tubuhnya
ditubruk oleh empat orang wanita yang menggelut dan
memitingnya dengan gerakan seperti ular-ular membelit
leher, lengan dan kaki. Dara remaja ini menjerit saking
kaget dan ngerinya. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang
mengeroyok dan menggelutnya adalah empat orang wanita,
kemarahannya bangkit. Apalagi ketika ia melihat betapa
kini tampak belasan orang wanita lain telah mengurungnya.
Ia meronta, mengerahkan tenaga dan menggerakkan kaki
tangan. "Plak-plak-buk-desss II": Kini empat orang wanita itu
yang menjerit dan tubuh mereka terlempar oleh pukulan
dan tendangan si dara perkasa. Akan tetapi empat orang
dirobohkan, belasan orang menyerbu dan kembali tubuh
Pusporini sudah digelut. Pusporini marah sekali dan selagi
ia hendak mengamuk, tiba-tiba mukanya disiram bubukan
putih yang mengenai mata dan hidungnya. Seketika
Pusporini gelagapan, kedua tangannya menutupi mata dan
ia terbangkis-bangkis. Kiranya orang telah menyerang
mukanya dengan bubukan merica! Bukan main pedih
matanya, sampai bercucuran air mata dan betapapun ia
menahan, tetap saja ia terbangkis-bangkis sampai terbungkuk-bungkuk. Ia sampai tidak merasa bahwa kedua
kaki tangannya sudah ditelikung seperti seekor domba
hendak disembelih dan ketika tubuhnya dipanggul oleh para
wanita itu, ia masih saja bercucuran air mata dan
terbangkis-bangkis, ditertawai oleh mereka yang menawannya. "Setan! hidungku terus mengucurkan darah, mimisen!"
"Gigiku patah dua, yang depan lagi. Sialan!"
"Perutku masih mulas terus terkena tendangannya!"
"Lihat garesku, matang biru dan aku akan terpincang
sampai beberapa hari."
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat orang wanita yang terkena hantaman dan
tendangan Pusporini tadi memaki-maki dan mengancam
hendak membunuh Pusporini. Terdengar suara seorang di
antara mereka, yang tercantik dan melihat lagaknya tentu ia
pimpinan rombongan wanita itu,
"Sudahlah, Ni Dewi menghendaki kita menangkapnya
hidup-hidup, tidak boleh diganggu, masa kalian berani
hendak membunuhnya" Kalau tidak ada pesan Ni Dewi,
apa kaukira aku suka malam-malam susah-payah menangkapnya hidup-hidup" Dia ini adik adipati di
Selopenangkep, amat dibutuhkan oleh sang wasi
Terdengar suara di sana-sini dalam rombongan wanita
yang kini berjalan pergi sambil memanggul tubuh
Pusporini, diseling ketawa cekikikan.
"Wah, agaknya dia ini terpilih oleh sang wasi?"!" kata
suara yang kecil tinggi penuh iri hati.
"Tentu saja! Sang wasi cukup waspada dalam memilih.
Bocah ini seorang dara remaja yang cantik jelita. Lihat saja
kulitnya begini halus, tertimpa sinar bulan seperti kencana
saja. Dan mata yang kini tertutup mempunyai bulu mata
begitu panjang melengkung, bukan main. Kau ingat
matanya tadi ketika terbelalak" Begitu lebar, indah dan
bening. Dia masih dara remaja, bagaikan bunga seperti
kuncup baru mekar sedang harum-harumnya, bagaikan
buah seperti buah ranum mentah tidak matang tidak sedang
lezat-lezatnya. Tidak seperti engkau!"
"Kalau aku mengapa" Jangan lancang mulut kau!"
"Hi-hik! Kalau dia itu bagaikan bunga mulai melayu dan
buah mulai membusuk!!" sambung suara lain.
"Mana pantas untuk sang wasi" Paling-paling menjadi
mangsa Ki Kalohangkoro, hi-hik!" kata suara lain lagi.
"Apa" Kalian ini benar-benar bermulut busuk, penuh bau
kotor! Kucakar muka kalian baru tahu .............. !"
"Ssttt .............! Diamlah kalian. Ribut saja! Ni Dewi
ingin agar kita cepat membawa Pusporini menghadap untuk
melengkapi upacara sesaji di malam Respati. Kalau kalian
ribut mulut saja, bagaimana perjalanan dapat dilakukan
cepat-cepat?" tegur sang pemimpin dan rombongan wanita
itu tidak berani saling maki lagi, hanya mengutarakan
kemarahan dengan pandang mata saling melotot.
Siapakah rombongan wanita ini" Mereka itu rata-rata
masih muda, bahkan ada beberapa orang di antara mereka,
terutama pemimpinnya berwajah cantik dan bertubuh
langsing menggairahkan. Gerakan mereka gesit-gesit, tanda
bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka ini
sesungguhnya masih sekawan dengan tujuh belas orang
wanita cantik yang menggoda para penjaga Kadipaten
Selopenangkep dan kemudian menculik dua puluh orang
penjaga. Mereka adalah anak buah dari pesanggrahan
Durgaloka, sebuah pesanggrahan atau perkumpulan yang
terdiri dari wanita semua, wanita-wanita muda yang
kesemuanya dilatih dalam pelbagai ilmu kesaktian,
dipimpin oleh seorang wanita cantik bernama Ni Dewi
Nilamanik. Perkumpulan ini adalah wanita-wanita penyembah Sang Hyang Bathari Durga dan pada waktu itu
mempunyai markas di puncak Gunung Mentasari.
Semenjak Sang Bhagawan Kundilomuko pemimpin para
penyembah Sang Bhatari Durga di hutan Gumuk-mas
dihancurkan oleh Endang Patibroto (baca Badai Laut
Selatan), maka perkumpulan-perkumpulan penyembah
Dewi Kejahatan itu tidak berani muncul lagi dan kalaupun
ada rombongan-rombongan kecil pemuja Sang Bhatari
Durga, maka rombongan ini tidaklah begitu menonjol dan
tidak mempengaruhi atau meluaskan pengaruhnya kepada
penduduk dusun. Akan tetapi secara tiba-tiba di puncak Gunung Mentasari
muncul perkumpulan ini yang mempunyai anggauta
sembilan puluh sembilan orang! Dan secara terang-terangan
perkumpulan ini mulai mengembangkan pengaruhnya di
sekitar Gunung Mentasari, bahkan mulai memasuki daerah
Selopenangkep. Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui
bahwa perkumpulan ini masih erat hubungannya dengan
Kerajaan Cola. Seperti ternyata dalam pertemuan antara Ki
Tunggaljiwa dengan dua orang pendeta, Wasi Bagaspati
adalah seorang pendeta pemuja Sang Bathara Shiwa yang
menjadi kaki tangan Kerajaan Cola. Dan Ni Dewi
Nilamanik, pemimpin Agama Durga itu, adalah tangan
kanan, bahkan bekas kekasih Wasi Bagaspati! Kalau Wasi
Bagaspati kadang-kadang menamakan dirinya Shiwamurti
dan mengaku sebagai titisan Sang Hyang Shiwa, adalah Ni
Dewi Nilamanik ini mengaku sebagai titisan Sang Bathari
Durga! Di samping Ni Dewi Nilamanik, bersama
rombongan Wasi Bagaspati terdapat pula seorang
pembantu yang amat diandalkan, yaitu Ki Kolohangkoro
yang mengepalai para pemuja Sang Bathara Kala! Malah
keadaan anak buah Ki Kolohangkoro ini lebih kuat
daripada anak buah Ni Dewi Nilamanik, terdiri dari orang-
orang tinggi besar yang berilmu tinggi, sebanyak seratus
orang lebih! Pada malam Respati, di puncak Gunung Mentasari
diadakan upacara pemujaan Sang Hyang Bathari Durga. Di
atas sebuah lapangan rumput yang terbuka dan mendapat
cahaya bulan yang kehiiauan, berdiri tiga macam arca yang
hesar, arca Sang Bathari Durga. Sebelah kiri berdiri arca
Sang Bathari Durga sebagai Dewi Maut, dalam bentuk yang
amat mengerikan sekali. Bertubuh seorang raksasa wanita,
rambutnya gimbal sampai ke tanah, kedua kakinya
menginjak tengkorak manusia, payudaranya (buah dadanya) panjang tergantung sampai ke perut, lidahnya
lebih panjang lagi, seperti seekor ular, sihungnya panjang
meruncing dan kuku jari tangannya panjang-panjang pula.
Yang berdiri di sebelah kanan Sang Bathari Durga Bucari,
tubuhnya mengeluarkan api menyala-nyala, tubuhnya
ramping menggairahkan, dada terbuka, akan tetapi
mukanya juga muka raksasa betina, wajahnya membayangkan kebengisan dan kekejaman. Arca ke tiga
yang berdiri di tengah, menggambarkan Sang Hyang
Bathari Durga dalam bentuk seorang wanita yang cantik
jelita, wajahnya yang cantik itu tersenyum memikat penuh
nafsu berahi, tubuhnya yang langsing setengah telanjang
memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang menggairahkan.
Di depan tiga buah arca ini penuh dengan kembang-
kembang dan barang-barang sesaji terdiri dari makanan-
makanan dan daging-daging mentah, dan asap kemenyan
dan dupa mengepul tinggi.
Di sebelah kiri lapangan itu belasan orang wanita
menabuh gamelan yang iramanya riang gembira menyelimuti suara orang-orang yang bercakap-cakap dan
bersendau-gurau. Ni Dewi Nilamanik duduk di atas sebuah
kursi yang terukir indah, melayani beberapa orang tamu
bercakap-cakap dan bersendau-gurau, tamu-tamu yang baru
saja tiba dan dipersilahkan duduk di kursi-kursi kehormatan
yang berkelompok tak jauh dari tiga buah arca itu. Ni Dewi
Nilamanik adalah seorang wanita yang usinya sudah empat
puluh tahun lebih, akan tetapi masih tampak cantik menarik
dengan gerak-gerik yang luwes. Dia termasuk di antara
wanita-wanita yang biarpun usianya sudah lanjut namun
masih belum ditinggalkan daya tarik yang khas. Bahkan
tampak kematangan lahir batin yang membuat gerak-
geriknya terkendali dan tenang, wajahnya dapat membayangkan hati dingin seperti embun pagi hari di
puncak Mahameru, di waktu panas membayangkan
kegairahan yang membakar. Pakaiannya indah sekali,
dengan warna menyolok. Baju merah tipis sekali
membayangkan kulit pundak dan lengan serta punggung
yang putih kuning, belum kisut masih padat berisi, juga
membayangkan kemben pembungkus pinggang yang
ramping dan singset. Kainnya berkembang dengan dasar
warna hijau yang membungkus ketat tubuh dari perut
sampai ke mata kaki. Sepasang kakinya tampak kecil dan
bersih halus, kaki yang terpelihara baik-baik sehingga
tumitnya halus kemerahan dan kuku jari kaki mengkilap.
Dia seorang wanita cantik yang masak, hanya sayang
bibirnya yang merah basah itu kadang-kadang membayangkan senyum yang penuh kekejaman dan dingin
menusuk jantung, sepasang matanya kadang-kadang
mengerling tajam penuh kegairahan, mata seorang wanita
pengabdi nafsu berahi. Inilah Ni Dewi Nilamanik, yang
selain cantik jelita, juga memiliki ilmu kesaktian yang
hebat. Dia seorang wanita berasal dart pesisir Banten yang
sudah amat terkenal di daerah Banten akan tetapi baru
sekarang ini terbawa oleh gerakan Kerajaan Cola bertualang
ke timur. Ni Dewi Nilamanik yang mengaku sebagai titisan
Sang Bathari Durga sendiri. Ketika bercakap-cakap dengan
para tamu, kadang-kadang bibirnya yang merah itu terbuka
dan tampaklah deretan gigi putih berkilau.
Yang mendapat kehormatan duduk di atas kursi-kursi
kehormatan mengitari sebuah meja besar bersama Ni Dewi
Nilamanik hanya beberapa orang saja. Pertama-tama, yang
mendapat kursi pertama di sebelah kanannya, adalah
seorang kakek tinggi kurus bermuka merah yang tertawa-
tawa dan suaranya keras nyaring. Dia ini bukan lain adalah
Sang Wasi Bagaspati sendiri! Hanya terhadap Wasi
Bagaspati inilah Ni Dewi Nilamanik bersikap menghormat,
agak berlebihan, bahkan tadi ketika Wasi Bagaspati dan
rombongannya tiba, Ni Dewi Nilamanik menyambutnya
dengan sembah dan mencium ujung kakinya! Tidaklah
mengherankan karena Wasi Bagaspati ketua Agama Shiwa
ini adalah junjungannya, kekasihnya, juga sebagian
daripada ilmu-ilmunya yang hebat ia pelajari dari kakek
inilah! Seperti ketika ia mengunjungi puncak Merapi
dahulu, sekarangpun kakek ini memakai jubah pendeta
yang berwarna merah darah sehingga rambutnya yang
panjang putih itu tampak seperti perak! Hanya bedanya,
kalau dahulu pakaiannya itu sederhana, kini terbuat
daripada sutera halus berkilauan dan kedua kakinya juga
memakai alas kaki jepitan. Rambut yang putih itu kini ia
gelung ke atas dan diikat dengan sehelai kain sutera merah
pula. Anak buah Wasi Bagaspati amatlah banyaknya,
merupakan sebagian daripada pasukan Kerajaan Cola yang
bergerak memasuki wilayah Panjalu. Akan tetapi yang pada
saat itu mengiringkannya untuk menghadiri upacara
pemujaan Sang Bathari Durga pada malam Respati itu
hanya beberapa orang muridnya terkasih, yaitu pertama-
tama adalah Sariwuni yang selain menjadi murid Wasi
Bagaspati,juga tentu saja menjadi kekasihnya pula. Di
samping ini, juga Sariwuni adalah seorang penyembah
Durga, maka tentu saja ia hadir dalam pesta itu untuk
membantu Ni Dewi Nilamanik. Sariwuni yang sudah kita
kenal, yang cantik molek inipun kini berpakaian indah, dan
sikapnya terhadap Wasi Bagaspati jelas amat menjilat!
Cekel Wisangkoro juga hadir sebagai abdi (cekel) sang
wasi, juga sebagai murid yang sudah tinggi tingkat ilmunya.
Rambut Cekel Wisangkoro yang panjang penuh uban
dibiarkan terurai sampai ke pinggang. Jubahnya berwarna
kuning dengan hiasan merah di pinggirnya. Tubuhnya juga
tinggi kurus seperti gurunya, akan tetapi melihat, hidungnya
yang seperti paruh burung betet, ia lebih kentara keturunan
Hindu daripada gurunya. Karena keyakinan ilmu hawa
sakti yang sama dengan gurunya, wajah sang cekel inipun
halus kemerahan. Tongkat hitam berbentuk ular tak pernah
terlepas dari tangan kanannya. Cekel Wisangkoro yang kini
hadir di antara "orang-orang tinggi", tampak sungkan-
sungkan dan tidak banyak bicara.
Masih ada dua losin pengikut Sang Wasi Bagaspati, laki-
laki yang rata-rata bertubuh kuat dan berkepala gundul,
yang wajahnya seperti arca. Mereka ini sesungguhnya anak
buah Cekel Wisangkoro, orang-orang yang semangat dan
pikirannya telah dikuasai oleh Cekel Wisangkoro dengan
cengkeraman ilmu hitam. Akan tetapi dua puluh empat
orang mayat hidup ini hanya duduk di atas tikar-tikar
pandan yang dihamparkan di atas tanah, mereka duduk
berjajar seperti arca. Di sebelah Cekel Wisangkoro duduk seorang laki-laki
berusia kurang lebih lima puluh tahun dan keadaan jasmani
laki-laki ini sungguh amat menyeramkan. Dia paling tinggi
besar di antara semua yang hadir, seorang raksasa yang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuhnya membayangkan tenaga kasar yang dahsyat.
Duduknya tegak, sikapnya agung dan matanya melotot
galak, tidak banyak cakap akan tetapi kalau sekali-kali
bicara menjawab pertanyaan Ni Dewi Nilamanik, suaranya
nyaring parau seperti suara geluduk dan sepasang anting-
anting atau gelang emas di kedua telinganya bergoyang-
goyang. Inilah Ki Kolohangkoro yang mengepalai para
pemuja Bathara Kala. Dia bersama anak buahnya yang
tidak kurang dari seratus orang merupakan bala bantuan
yang amat kuat bagi pergerakan yang dipimpin oleh Wasi
Bagaspati. Kolohangkoro ini adalah adik seperguruan Wiku
Kalawisesa, akan tetapi ia sakti mandraguna melebihi kakak
seperguruannya yang dulu tewas di tangan Endang
Patibroto itu. Bahkan ia menganggap dirinya sebagai
penjelmaan Sang Bathara Kala sendiri, maka di dunia ini
hanya dua orang yang ia hormati, yaitu pertama adalah
Wasi Bagaspati yang dianggap titisan Sang Hyang Shiwa
sendiri, dan kedua Ni Dewi Nilamanik yang dianggap
titisan Bathari Durga. Bukankah Bathara Kala adalah
putera sepasang tokoh dewa yang hebat itu"
Di antara seratus orang anak buahnya, hanya tiga puluh
orang yang ia ajak ikut menghadiri pesta perayaan untuk
memuja Bathari Durga ini. Anak buahnya ini rata-rata juga
tinggi besar dan kasar. Mereka duduk berkelompok di dekat
para penabuh gamelan, bersendau-gurau, bercakap-cakap
dan menggoda wanita-wanita penabuh gamelan dengan
sikap terbuka tanpa.............. malu-malu lagi.
Di bagian tamu kehormatan masih terdapat beberapa
orang tamu laki-laki yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh
kaum sesat di sebelah barat yang sudah terbujuk oleh Wasi
Bagaspati dan menjadi sekutunya untuk menghadapi
Panjalu dan Jenggala. Mereka ini adalah kepala-kepala
rampok dan kepala-kepala bajak, yang merajai hutan-hutan,
gunung, dan sungai-sungai. Mereka datang menghadapi
pesta bersama beberapa orang pembantu mereka yang
pilihan. Di antara para tokoh ini tampak Gagak Dwipa dan
Gagak Kroda, yaitu dua orang di antara Lima Gagak
Serayu yang masih hidup. Tiga orang Gagak lainnya telah
tewas di tangan Adipati Tejolaksono. Anak buah mereka
inipun masih banyak, akan tetapi yang mereka bawa pada
malam hari itu hanya belasan orang saja. Dengan adanya
para tamu yang jumlahnya amat banyak ini, maka ramailah
lapangan di puncak Gunung Mentasari pada malam Respati
itu. Suara gamelan mengungkung, alunan getaran paduan
suara gamelan melayang sampai jauh ke lereng-lereng
Gunung Mentasari. Suara ini mengiringi nyanyian
waranggana yang merdu merayu dan menghidangkan
bermacam-macam tembang. "Ha-ha-ha-ha, suasana dalam pesta yang sudah-sudah
tidaklah segembira malam hari ini. Entah mengapa, hatiku
senang sekali!" Demikian kata Wasi Bagaspati sambil
memandang ke arah wajah Ni Dewi Nilamanik............... "
"Kebahagiaan hati Rakanda Wasi ini menandakan
bahwa malam ini diberkahi oleh Sang Hyang Bathara
Shiwa, dan saya merasa yakin bahwa Rakanda akan
menjadi makin berbahagia kalau melihat apa yang akan
saya perlihatkan sebentar di dalam upacara pemujaan!" kata
Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum gembira.
Sepasang alis putih tebal Sang Wasi Bagaspati terangkat
dan matanya bersinar, wajahnya berseri. "Heh, Ni Dewi
.............. sudah berhasilkah engkau menangkap isteri
Adipati Tejolaksono?"
Ni Dewi Nilamanik memperlebar senyumnya, matanya
mengerling genit dan kepalanya digeleng-gelengkan. "Ayu
Candra memang ayu, akan tetapi dia isteri orang lain, saya
rasa kurang patut dihidangkan kepada Sang Hyang Bathara
Shiwa .............. "
"Eh, Ni Dewi, jangan kau beranggapan begitu. Siapapun
dia yang telah menarik minat hati, tidak perduli dia itu tua
atau muda, perawan atau janda, dia patut sudah. Pula,
mendapatkan dia berarti memukul hancur sang adipati yang
pengung (bodoh) dan keras kepala itu!"
"Semua yang paduka katakan memang tepat, Rakanda
Wasi. Akan tetapi sayang sekali, bukan Ayu Candra yang
tertawan oleh anak buahku, melainkan seorang yang
menurut perasaan saya, lebih baik lagi. Dia masih perawan,
usianya baru lima belas tahun, bertulang kuat berdarah
bersih, cantik manis dan mudabelia, juga dia adalah adik
misan, bahkan murid terkasih Adipati Tejolaksono."
"Waah-ha-ha-ha! Bagus sekali kalau begitu!"
Sang Wasi Bagaspati tertawa-tawa gembira dan
mengelus dagunya, matanya bersinar-sinar. Ki Kolohangkoro yang duduk dekat Ni Dewi Nilamanik,
menoleh kepada wanita itu dan berkata perlahan,
"Bunda Dewi .............. , apakah dalam kesempatan baik
ini Bunda Dewi lupa kepada saya?"
Memang mengherankan bagi orang lain kalau mendengar betapa kakek berusia lima puluh tahunan yang
bertubuh raksasa ini memanggil "bunda" kepada Ni Dewi
Nilamanik yang baru berusia empat puluh tahunan! Hal ini
adalah karena Ki Kolohangkoro yang menganggap diri
sebagai titisan Bathara Kala menganggap Ni Dewi
Nilamanik titisan Bathari Durga, karena itu seperti ibunya!
Dan terhadap Sang Wasi Bagaspatipun ia menyebut
"ramanda wasi"!
Ni Dewi Nilamanik menoleh kepada raksasa ini dan
tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang
putih berkilau. "Jangan khawatir, Kolohangkoro. Aku tidak
lupa akan pesananmu dan ingat bahwa saatnya tepat untuk
memberi persembahan kepada Sang Hyang Bathara Kala!?"
"Terima kasih .............. , terima kasih, Ibunda Dewi
.............. !" kata Ki Kolohangkoro dengan girang sekali.
Dengan mengangkat lengannya ke atas, Ni Dewi
Nilamanik memberi isyarat dan berubahlah kini suara
gamelan yang ditabuh oleh wanita-wanita muda itu.
Waranggana berhenti menyanyi dan suara gamelan kini
iramanya cepat dan nyaring, makin lama makin tinggi,
seperti suara orang merintih mengerang, seperti napas
terengah-engah, seperti suara ketawa ditahan-tahan. Bukan
main hebatnya suara gamelan kini, dibarengi dengan
pembakaran dupa yang amat harum. Asap dupa yang
kebiruan bergerak perlahan, makin lama makin tebal dan
dari balik asap ini sekarang bermunculan serombongan
wanita penari yang berlari-lagi sambil menari-nari,
kemudian setelah tiga puluh sembilan orang penari ini tiba
di depan arca-arca dan tamu-tamu terhormat, mereka
membentuk baris seperti bunga teratai lalu menyembah ke
arah arca Bathari Durga. Mereka menyembah sambil
merebahkan tubuh atau menelungkup ke atas tanah, kedua
kaki ditekuk di bawah paha. Sampai lama mereka rebah
seperti ini, tidak bergerak seolah-olah mati. Gamelan yang
tadinya ramai dan penuh semangat, kini menurun iramanya
sehingga terdengar perlahan dan tenang. Suasana menjadi
hening dan sunyi, angker menyeramkan. Upacara
pemujaan dan penghaturan sesaji telah dimulai.
Tiga puluh sembilan penari masih menelungkup dan
tidak bergerak. Ni Dewi Nilamanik lalu mengeluarkan
.sebuah bungkusan merah dan menaburkan isinya pada
pedupaan. Seperti tadi, asap mengebul tebal dan tinggi,
akan tetapi kalau tadi berwarna kebiruan, kini berwarna
kemerahan, amat indah tersinar cahaya bulan dan cahaya
obor yang dipasang di sekitar lapangan itu. Pembakaran
dupa yang berasap merah dan menghamburkan ganda
harum yang aneh ini merupakan isyarat bagi serombongan
penari lain yang telah siap. Dari balik tabir asap kemerahan
ini muncul tiga belas orang penari. Berbeda dengan tiga
puluh sembilan orang rombongan pertama tadi yang
berpakaian sutera beraneka warna, tiga belas penari ini
semua berpakaian putih, sutera tipis sekali sehingga sinar
obor menembus pakaian tipis itu membuat bentuk tubuh
mereka tampak nyata. Juga tiga belas orang penari ini
masih muda remaja dan semua cantik jelita. Tarian mereka
juga berbeda, gerakan mereka halus dan lemah gemulai.
Tangan kiri mereka menyangga sebuah bokor emas di atas
pundak, lengan kanan menari-nari dan kaki mereka seperti
melayang saja ketika bergerak di atas rumput lapangan,
seolah-olah mereka terbang. Ketika mereka tiba di depan
tiga buah arca Bathari Durga, mereka bersimpuh, kemudian
berjalan jongkok menghampiri arca. Dengan gerakan
berirama sesuai dengan irama gamelan, setibanya di kaki
arca, mereka kembali menyembah dan meletakkan bokor
emas masing-masing di depan tubuh mereka. Pada saat itu,
tiga puluh sembilan orang yang tadi menelungkup, kini
menggerakkan tubuh tegak sambil menembang. Paduan
suara tembang mereka mengalun dalam sebuah lagu pujaan
yang aneh dan menimbulkan serem karena suara mereka
seperti orang merintih, kadang-kadang seperti menangis dan
tiba-tiba berubah menjadi suara orang bergembira tertawa!
Tiga belas orang wanita berpakaiari putih kini
menyebarkan bunga rampai dari dalam bokor kencana ke
arah tiga buah arca sehingga tubuh arca-arca itu penuh
kembang. Bau yang amat wangi memenuhi seluruh
lapangan, bau kembang rampai bercampur harum dedes
dan dupa. Setelah semua kembang dalam bokor habis, tiga
belas orang wanita berpakaian putih itu yang masih duduk
bersimpuh, menggerak-gerakkan tubuh atas mereka,
bergoyang-goyang seperti ombak ke kanan kiri, ke depan
belakang dengan berbareng dan dari mulut mereka
terdengar suara mereka membaca mantera yang mengagung-agungkan nama Sang Bathari Durga. Ni Dewi
Nilamanik kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri arca
Bathari Durga yang berada di tengah, lalu berlutut dan
membaca mantera pula, seirama dengan tiga belas orang
muridnya. Pada saat itu, suasana di lapangan itu benar-benar amat
menyeramkan. Asap kemerahan yang mengebul dari depan
arca, membuat tiga buah arca itu seolah-olah bergerak-gerak
dan bernapasl Dua buah arca Bathari Durga yang
mengerikan di kanan kiri itu seolah-olah melotot dan
menyeringai, dan hawa busuk keluar dari tubuh dua buah
arca itu. Adapun arca yang di tengah, yang cantik dan
molek, seperti ikut pula menari dan bibirnya tersenyum-
senyum. Suara nyanyian bersama itu makin` membubung
tinggi, kadang-kadang menjadi rendah sekali dan dari
dalam nyanyian ini seperti terdengar suara-suara aneh,
pekik-pekik dahsyat, gerengan-gerengan, pendeknya seolah-
olah semua setan iblis brekasakan bangkit dari neraka
jahanam, memenuhi pangilan yang tersalur lewat kekuasaan Sang Bathari Durga yang menjadi ratu sekalian
jin setan dan iblis! Setelah pembacaan mantera habis, ketiga belas orang
dara berpakaian putih itu bangkit, menari dan dengan
langkah-langkah teratur pergi meninggalkan lapangan itu,
kemudian tak lama datang lagi membawa sesajen yang
disunggi di atas kepala. Bermacam-macam sesajen itu, dari
buah-buahan, sayur-sayuran sampai daging segala macam
hewan sembelihan, yang matang dan yang mentah. Tidak
ketinggalan kembang dan arak! Semua sesajen ini
dijajarkan, di depan ketiga buah arca. Setelah upacara ini
yang dikepalai oleh Ni Dewi Nilamanik yang mengatur
persembahan sesajen itu, maka upacara selesai dan ,kini
tinggal perayaan pestanya. Ni Devi Nilamanik lalu berkata
kepada Sang Wasi Bagaspati sambil mendekatinya,
"Rakanda wasi, bersiaplah menerima persembahan
hamba." Kemudian wanita cantik itu memberi isyarat
dengan tangan. Tiga betas orang wanita berpakaian putih
menyembah lalu bangkit lagi menari sambil meninggalkan
lapangan. Gamelan ditabuh gencar dan kini tiga puluh
sembilan penari mengikuti irama yang gencar dan cepat.
Mereka itu bergerak cepat, berputaran melenggang-lenggok,
memainkan kedua lengan yang lemas, menggerak-gerakkan
pinggang yang ramping dan leher yang indah bentuknya,
melirik-lirik dan tersenyum-senyum memikat. Akan tetapi,
bertepatan dengan perubahan bunyi gamelan, mereka
berhenti menari, lalu terpecah menjadi dua barisan dan
membuat lingkaran lalu duduk bersimpuh dan kembali
tubuh atas mereka menelungkup mencium tanah dengan
kedua lengan dilonjorkan di depan, menelungkup pula di
atas tanah. Gamelan kini berirama tenang dan amat indah, tidak lagi
aneh atau liar seperti tadi, namun teratur dan halus. Inilah
gamelan yang biasa dimainkan untuk mengiringi tari-tarian
bidadari yang seringkali ditarikan di gedung-gedung para
bangsawan. Semua mata memandang ke arah tabir asap dan
tampaklah tiga belas orang wanita yang berpakaian putih
tadi muncul lagi, berjalan sambil menari perlahan-lahan
dengan gerakan lemah gemulai. Namun mereka itu tampak
kasar ketika semua mata memandang seorang dara yang
mereka iringkan. Seorang dara remaja yang cantik manis,
Istana Kumala Putih 16 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun 19
rayuan, kini seperti suara ketawa seekor kuntilanak.
"Hi-hi-hi-hi-hik"!"
"Wuni, keluarlah engkau ............ !" Tiba-tiba dari luar
rumah itu terdengar suara laki-laki yang besar dan parau.
Mendengar ini, kembali Sariwuni terkekeh lalu tubuhnya
berkelebat, ia sudah lenyap menerobos keluar dari dalam
kamar melalui pintu. Suara ketawanya masih terdengar
sebentar, kemudian suasana menjadi sunyi kembali.
Adipati Tejolaksono tidak mengejar. Ia seorang yang
waspada. la maklum bahwa munculnya wanita itu memang
sudah diatur terlebih dahulu. Fihak musuh, entah siapa
mereka, telah mengenalnya, telah tahu akan kedatangannya
dan sengaja menyuruh wanita iblis itu menjaga di pintu.
Agaknya tadinya mereka hendak menggunakan wanita
cantik itu menjebaknya, menggunakan kecantikannya. Ia
bergidik kalau teringat. Andaikata batinnya tidak teguh dan
ia roboh oleh, rayuan dan kecantikan wajah dan tubuh
wanita itu, tentu ia benar-benar akan mati dalam
kenikmatan seperti yang dikatakan Sariwuni tadi!
Andaikata ia meladeni rayuan Sariwuni, tentu ia akan
dibunuhnya pula. Dan alangkah mudahnya ia akan
terbunuh kalau ia melayaninya berkasih asmara! Sungguh
berbahaya! Dan karena semua sudah diatur, maka ia yakin
bahwa musuh-musuhnya telah mengatur jebakan pula di
luar rumah itu. Ia heran ke mana perginya Ki Sentana"
Apakah yang terjadi dengan kepala dusun itu dan
keluarganya" Ia merasa khawatir sekali karena di dusun-
dusun lain banyak pula terjadi hal aneh, yaitu lenyapnya
kepala-kepala dusun tanpa meninggalkan bekas! Ada pula
yang kepala dusunnye masih ada, akan tetapi para pendeta
dan pemimpin agama yang lenyap tak meninggalkan bekas.
Apakah Ki Sentana juga telah lenyap pula"
Dengan hati khawatir Tejolaksono lalu melompat keluar
dari kamar itu dengan sikap waspada dan seluruh urat
syaraf di tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga
menghadapi segala bahaya. Ia menyambar sebuah lampu di
ruangan tengah yang sunyi, terus ia berjalan memeriksa
sampai ke belakang. Dan di ruangan belakang, dekat dapur,
ia melihat Nyi Sentana meringkuk di sudut dalam keadaan
terbelenggu! Selain terbelenggu, juga muka wanita tua ini
matang biru bekas pukulan dan cambukan, mulutnya
tersumbat kain sehingga ia tidak mampu bergerak atau
bersuara, hanya sepasang matanya saja yang sayu penuh
kedukaan memandang terbelalak ketika Tejolaksono
mendekatinya. Cepat Tejolaksono berjongkok dan membuka ikatan
tangan lalu membuang kain penyumbat mulut. Ia
membantu wanita tua itu bangun duduk. Nyi Sentana
mengeluh dan memijit-mijit kedua pilingan kepalanya, lalu
mengurut-urut kedua pergelangan tangannya.
"Bibi ............ , apakah yang terjadi, Bibi" Di mana
Paman Sentana ............ ?"
"Aduh, Kanjeng Adipati !!" Wanita itu menubruk kaki
Tejolaksono dan menangis sesenggukan. Beberapa kali ia
membuka mulut hendak bicara, akan tetapi yang keluar
hanyalah isak dan sedu sedan. Tejolaksono membimbing
wanita tua itu bangkit berdiri dan menuntunnya duduk di
atas balai-balai di dalam dapur.
Diambilnya sebuah kendi air di dalam dapur itu dan
diberinya minum. Wanita itu dengan gemetar minum air
kendi dan berulang kali menghela napas panjang.
"Tenanglah, Bibi, dan ceritakan kepadaku apa yang telah
terjadi di dusun ini, apa yang terjadi dengan keluargamu."
Wanita itu terisak-isak, akan tetapi sekarang sudah dapat
mengatasi gelora hatinya yang penuh kedukaan dan
kegelisahan. "Aduh, Gusti Adipati ............ , malapetaka
besar menimpa keluarga hamba, juga dusun ini ............ !"
"Di manakah adanya Paman Sentana, Bibi?"
"Entah ke mana dia pergi, Gusti ?"" tadipun masih
berada di sini ?"" ah, dia telah menjadi seperti gila
semenjak ............ mereka datang ............ "
"Mereka" Siapakah" Siapa pula wanita yang bernama
Sariwuni itu" Apakah benar dia keponakanmu?"
Wanita itu menggeleng-geleng kepala. "Semenjak
............ iblis betina itu datang dan kawan-kawannya
............ ah, dusun ini berubah sama sekali, rumah ini
menjadi neraka bagi saya, ahhh?".." Kembali ia
menangis. "Bibi, tenanglah dan ceritakan yang jelas dari
permulaan." Wanita itu menghentikan tangisnya, mengusap air mata,
menarik napas panjang beberapa kali lalu memandang
celingukan ke kanan kiri seperti orang ketakutan. Kemudian
ia memegang tangan Tejolaksono dan berkata,
"Dua tiga bulan sudah saya menahan kesengsaraan hati,
tak berani membuka mulut karena diancam. Sekarang,
karena paduka sudah datang, baru hamba berani bercerita"
Malapetaka besar menimpa keluarga hamba. Mula-mula
datang perempuan'itu yang diambil selir oleh Ki Sentana
dan teman-teman perempuan itu seringkali datang bertemu.
Mereka seperti iblis semua."
Jilid XII "AKAN TETAPI ............ Ki Sentana sudah gila
agaknya, tunduk di bawah kekuasaan wanita cantik seperti
iblis ?"?""
"Sariwuni?" "Benar, Gusti. Kedua putera hamba menentang ayah
mereka, akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana tak
seorangpun mengetahuinya. Ki Sentana masih menjadi
kepala dusun seperti semula, akan tetapi semua kekuasaan
berada di tangan iblis betina itu. Ki Sentana hanya
melakukan semua perintahnya. Dan hamba ............ hamba
tidak dibunuh agaknya untuk mengelabui mata rakyat.
Hamba menjadi ............ satu-satunya pelayan di rumah ini,
yang lain-lain telah dIkeluarkan. Ki Sentana seperti gila
rakyat dianjurkan untuk menyembah Sang Hyang Shiwa
dan Bathari Durga ............ yang menjadi pujaan wanita
iblis Itu. Hamba takut disiksa dan disumbat agar jangan
membuka suara, kemudian bahkan dilkat dan disumbat
mulut hamba, karena mereka tahu bahwa paduka akan
datang ............ dan ............ "
Tiba-tiba Sang Adipati Tejolaksono mendorong tubuh
Nyi Sentana sampai terguling dan ia sendiri melompat ke
samping, menggerakkan tangannya memukul sehingga
angin pukulannya menderu dan memukul runtuh belasan
batang anak panah. Akan tetapi ia mendengar jerit lemah
dan ketika ia memandang, ternyata leher Nyi Sentana telah
tertembus anak panah dan wanita tua itu berkelojotan
sebentar kemudian tak bergerak lagi. Tejolaksono maklum
bahwa wanita Itu telah tewas dan ia tak dapat menolongnya
lagi. Kemarahan memenuhi dadanya dan pada saat itu
terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh. Suara ketawa
Sariwunil "Keparat jahanam!" Tejolaksono membentak marah
sekali dan tubuhnya sudah mencelat ke atas. Demikian
hebatnya ia mengerahkan tenaga dan menggunakan Aji
Bayu Sakti sehingga terdengar suara keras ketika tubuhnya
yang mencelat ke atas dan jebollah atap rumah berikut
.gentengnya! Kini tubuhnya sudah berada di atas genteng
dan ia berdiri tegak memandang ke bawah, ke arah luar
rumah Ki Sentana. Ternyata di depan rumah itu telah penuh dengan orang-orang yang menjadi anak buah Sariwuni dan teman- temannya, maka ia memandang penuh perhatian. Inikah pasukan asing yang kabarnya tidak pernah mengganggu dusun- dusun" Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat bahwa orang-orang yang jumlahnya lima puluh lebih Itu ternyata adalah penduduk
dusun Sumber! Dan di barisan depan, berdiri Ki Sentana
sendiri dengan sebatang tombak di tanganl Di kanannya
berdiri Sariwuni, kini sudah berpakaian lengkap dan
ringkas, kelihatan cantik dan gagah, sebatang pedang di
tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
Ada pula beberapa orang laki-laki tinggl besar yang ia tidak
tahu siapa, entah penduduk dusun entah orang lain.
"Tangkap penjahat !"
"Tangkap pembunuh ............ !!"
Penduduk dusun itu berterlak-terlak dan mengacung-
acungkan senjata dan obor ketika mereka melihat
munculnya Tejolaksono di atas genteng. Mereka tadinya
mengepung rumah itu dan menanti munculnya penjahat ini
dari pintu, siapa kira tahu-tahu telah berada di atas genteng.
Tejolaksono lalu melompat ke wuwungan paling depan,
sehingga ia berada di atas sekumpulan penduduk dusun di
bawah dan mereka semua dapat melihatnya dengan
penerangan obor yang amat banyak itu.
"Heeeeeh, rakyat Sumber semua dengarlah baik-baik!
Aku bukan penjahat bukan pula pembunuh. Aku adalah
junjungan kalian, aku Adipati Tejolaksono, adipati di
Selopenangkep! Kalian telah tertipu! Kepala dusun kalian,
Ki Sentana, telah jatuh di bawah pengaruh orang-orang
jahat. Sariwuni adalah seorang wanita iblis yang amat jahat!
Insyaflah, hei rakyat dusun Sumber!" Suara Tejolaksono
amat nyaring dan mengatasi semua suara hiruk-pikuk
karena ia mengerahkan hawa sakti untuk mendorong
suaranya. Mendengar suara ini, serentak suara para penduduk
terhenti. Nama besar Adipati Tejolaksono amat mereka
kenal dan masih amat besar pengaruhnya. Mereka menjadi
bimbang dan ragu-ragu. Tadi Ki Sentana, kepala dusun
mereka yang akhir-akhir ini amat royal dalam membagi-
bagi hadiah kepada rakyatnya, mengumpulkan rakyat yang
katanya harus menangkap dan mengeroyok seorang
penjahat sakti yang membunuh isteri Ki Sentana. Akan
tetapi mengapa penjahat ltu adalah sang adipati di
Selopenangkep sendIri yang terkenal sakti mandraguna dan
adil bijaksana" "Tejolaksono! Engkau tidak patut menjadi junjungan
kami lagi! Tidak patut menjadi Adipati Selopenangkep.
Lihat saja, sebentar lagi engkau tentu akan dlhentikan
menjadi adipati. Engkau seorang penjahat besar! Siapa yang
tidak mendengar nama busuk wanita iblis Endang Patibroto
yang telah banyak membunuh banyak ponggawa Panjalu"
Dan engkau malah menjadi suaminya! Ha-ha-ha, tak perlu
kau membohongi rakyatmu. Hai, kawan-kawan, mari
kepung dan tangkap si laknat ini. Isteriku telah
dibunuhnyal" "Bohong ............ !!" Tejolaksono hanya mampu
mengeluarkan ucapan ini karena ia terlalu terheran-heran.
Jelas bahwa yang bicara itu adalah Ki Sentana, orang
bawahannya yang dikenalnya baik, yang menjadi sahabatnya, bekas perajurit Panjalu kawakan yang setia.
Benar-benarkah itu Ki Sentana" Orangnya memang itu,
juga suaranya. Akan tetapi terdapat perubahan yang amat
jauh berbeda. Apakah karena pengaruh Sariwuni"
Akan tetapi penduduk kini sebagian sudah ada yang
menerobos masuk dan tak lama kemudian mereka keluar
sambil berteriak-teriak, "Benar, dia pembunuh jahat! Nyi
Sentana telah dibunuhnyal Hayo tangkap! Kepung!"
Tejolaksono maklum bahwa dalam keributan seperti itu,
percuma saja berdebat dengan kata-kata. Paling perlu
menawan Ki Sentana untuk mengorek rahasia para
penjahat itu dan juga menawan atau membunuh Sariwuni
yang jelas merupakan biang keladi semua peristiwa ini.
Ia lalu menggerakkan tubuhnya melayang turun
bagaikan seekor burung garuda melayang. Para penduduk
dusun Sumber ternganga dan kesima menyaksikan ini. Baru
sekarang mereka menyaksikan seorang manusia dapat
melayang turun dari tempat setinggi itu seperti seekor
burung saja! Mereka menjadi gentar dan lupa untuk
menyerang! Akan tetapi ada beberapa orang yang
menerjang maju, didahului oleh dua orang laki-laki tinggi
besar yang tadi berdiri di dekat Ki Sentana. Dua orang itu
bersenjata pedang pula seperti Sariwuni dan bersama lima
orang penduduk lain, mereka menyambut turunnya tubuh
Tejolaksono. Sang adipati menggerakkan kaki tangannya dan lima
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang penduduk itu terpental mundur dan tombak mereka
terlepas dari pegangan kena gempuran hawa sakti yang
keluar dari kaki tangan sang adipati. Akan tetapi alangkah
heran dan kagetnya hati Tejolaksono ketika melihat bahwa
dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak terpengaruh
dorongannya dan terus menerjang dengan babatan pedang
mereka yang mengeluarkan angin saking kuat dan
cepatnya. "Hemm ............ !" Ia mendengus dan tubuhnya cepat
menyelinap ke kanan, kemudian begitu dua batang pedang
itu lewat, ia mendorong maju dan tubuhnya doyong pula ke
depan. Cepat sekali kedua tangannya ini bergerak, tahu-
tahu telah tiba di depan dada dua orang lawannya. Hal ini
tidak aneh karena sang adipati yang perkasa telah
menggunakan aji pukulan Kukilo Sakti sehingga gerakan
kedua tangannya seperti dua buah kepala burung yang
mematuk amat cepatnya! "Singgg ............ siuuuuttt............ !!"
Adipati Tejolaksono terpaksa harus menarik kembali
kedua tangannya sehingga pukulan Kukilo Sakti itu
hanyalah mengenai dada kedua orang lawan dengan
seperempat tenaganya saja karena dari belakangnya
menyambar sebatang pedang yang hebat gerakannya dan
tusukan sebatang tombak. Namun ia tahu bahwa
pukulannya itu sudah cukup kuat untuk merobohkan lawan
yang sakti. Maka, amatlah kagetnya ketika dua orang tinggi
besar itu hanya terhuyung mundur empat langkah saja dan
terus maju lagi! Ah, kiranya di sini banyak orang sakti,
pikirnya. Tentu dua orang ini merupakan kawan-kawan
Sariwuni! Betapapun juga, ia terpaksa membalikkah tubuh
menghadapi serangan dari belakang tadi. Pedang yang
menyambar dapat dielakkan dan kuku hitam yang
mencengkeram dapat pula ia tangkis. Tubuh Sariwuni
untuk kedua kalinya terhuyung ke belakang. Tombak di
tangan Ki Sentana yang menyambar ia biarkan lewat di
dekat perutnya dengan miringkan tubuh, kemudian secara
mendadak ia menubruk maju dan di lain saat ia telah
mengempit tubuh Ki Sentana yang tua Itu sehingga tak
dapat berkutik lagi! Dengan lengan kiri mengempit tubuh Ki Sentana,
Tejolaksono memballkkan tubuh, tangan kanannya siap
untuk memukul atau menawan Sariwuni, akan tetapi
ternyata wanita itu telah Ienyap. DemIkian pula dua orang
laki-lak1 tinggi besar tadi, dan kini para penduduk Sumber
mengeroyoknya seperti rombongan semut mengeroyok
seekor jengkerik. "Aaahhh, kalian orang-orang bodoh!" bentak Tejolaksono dengan gemas, akan tetapi tentu saja ia tidak
mau memusuhi rakyatnya sendiri, maka sekali mengenjot
kedua kakinya dengan Ayi Bayu Sakti la meloncat tinggi
melampaui kepala para pengurungnya, melesat jauh.
Tiba-tiba dari rombongan penduduk dusun itu menyambar tubuh Sariwuni menyerangnya dengan pedang
yang menusuk ke arah leher. Pada saat itu, tubuh
Tejolaksono maslh meloncat, maka cepat-cepat ia
menggunakan tangannya yang kanan menyampok dengan
jari-jari tangannya yang tepat mengenai pergeIangan tangan
wanita itu. Sariwuni menjerit, pedangnya terpental entah ke
mana dan pergelangan tangannya menjadi lumpuh. Tak
kuat ia menahan benturan jari tangan Tejolaksono yang
mengandung aji pukulan Bojro Dahono yang panas laksana
halllintar. Akan tetapi berbareng dengan jerit Sariwuni yang
terhuyung ke belakang, juga Ki Sentana memekik. Kagetlah
Tejolaksono ketika memandang dan melihat betapa pipi Ki
Sentana terdapat guratan menghitam. Kiranya wanita iblis
Itu tadi menyerangnya dengan pedang dan berbareng
menyerang Ki Sentana dengan kuku tangan kiri! Karena
ingin mendengar penjelasan Ki Sentana, apalagi melihat
betapa para penduduk Sumber terus mengepungnya, ia
tidak mau melayani lagi. Musuhnya hanyalah Sarlwuni dan
dua orang laki-laki tinggi besar itu, dan kini wanita itupun
sudah lenyap lagi, agaknya bersembunyi di antara
penduduk yang demikian banyak. Ia mengerahkan tenaga
melompat terus berlari menghilang dl dalam kegelapan
malam sambil mengempit tubuh Ki Sentana. Setelah larl
jauh meninggalkan dusun Sumber dan mendapat kenyataan
bahwa tidak ada orang mengejar lagi, barulah Tejolaksono,
berhenti dan menurunkan tubuh Ki Sentana. Akan tetapi,
alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Ki Sentana telah
menjadi mayat! Di bawah sinar bulan yang cukup terang, ia
melihat betapa muka Ki Sentana kini telah berubah hitam
yang menjalar sampai ke leher dan kulit muka dan leher itu
telah mulal rusak dan membusuk!
Tejolaksono bergidik. Alangkah jahatnya kuku iblis
betina itu. Inilah agaknya ilmu hitam yang disebut aji
pukulan Wisakenaka (Kuku Beracun). Hawa beracun
disalurkan melalui lengan sampai ke kuku tangan dan sekali
kuku itu menggurat, racun akan memasuki kulit, menjalar
sampai ke dalam jalan darah seperti gigitan ular yang paling
berbisa! . Tejolaksono termenung. la merasa kasihan kepada Ki
Sentana ini. Ia dapat menduga kini apa yang telah terjadi.
Tentu Ki Sentana ini telah dipengaruhi oleh segerombolan
penjahat yang amat sakti. Mula-mula kepala dusun yang
sudah tua ini dipikat dengan kecantikan Sariwuni dan ia
tidak menyalahkan Ki Sentana kalau sampai jatuh hatinya.
Memang wanita itu hebat dan cantik sekali. Kemudian,
melihat keadaan yang tidak wajar, tentu Ki Sentana ini
jatuh di bawah pengaruh ilmu hitam sehingga keadaannya
seperti orang yang kehilangan kesadaran atau pikiran. Dua
orang puteranya tentu diculik dan tewas, isterinyapun tewas
dan kini dia sendiri karena tertawan dan mereka tidak
menghendaki ia membuka rahasia, ditewaskan pula.
Seluruh keluarga Ki Sentana terbasmi habis! Dan semua itu
dilakukan dengan amat halus dan cerdiknya sehingga
rakyat bahkan membela mereka! Benar-benar amat luar
biasa kali ini musuh-musuh Panjalu melakukan penyerbuan
ke daerah Panjalu. Bukan dengan kekerasan merampoki
dusun-dusun seperti yang dilakuka gerombolan Gagak
Serayu, melainkan dengan halus, yaitu mempengaruhi,
menundukkan bahkan menculik para tokoh terkemuka di
setiap dusun, yang mau tunduk menjadi kaki tangan, yang
tidak tunduk diculik dan lenyap, diganti orang-orang yang
mau bersekutu, kemudian melalui tokoh-tokoh yang
menjadi kaki tangan ini, rakyat dipengaruhi dan dibelokkan
kepercayaan mereka sehingga Agama Wishnu terdesak oleh
agama baru yang memuja Shiwa, atau Bathari Durga,
tentulah perbuatan kaki tangan Kerajaan Cola dan
Sriwijaya! Terbuktilah kini ancaman yang dikeluarkan
pendeta-pendeta Agama Buddha dan Shiwa dahulu itu dan
cocok pula dengan apa yang ia dengar dalam pertemuan
antara Ki Tunggaljiwa dengan Biku Janapati dan Wasi
Bagaspati! Mengembangkan agama tidak dengan kekerasan, menaklukkan negara tidak dengan perang, akan
tetapi membersihkan tokoh-tokoh yang menentang. Dan
mengingat betapa baru kaki tangan mereka saja, seperti
Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar yang sanggup
menahan pukulan-pukulannya, Tejolaksono bergidik. Bahaya besar mengancam Kerajaan Panjalu, bahaya yang
datangnya dari barat dan utara, yang datang bagaikan air
banjir seperti yang ia lihat dalam samadhinya malam itu di
Kadipaten Selopenangkep. Teringat akan kadipaten yang ditinggalkannya, Tejolaksono tersentak kaget. Musuh amat banyak, juga
amat pandai dan sakti. Perjalanannya meninggalkan
kadipaten sudah diketahui musuh. Buktinya Sariwuni dapat
tahu siapa dia. Hal ini amatlah berbahaya. Bagaimana
kalau kadipaten diserbu selagi ia tidak ada" Seperti yang
dilakukan Lima Gagak Serayu dahulu" Tejolaksono cepat
menggali lubang dan mengubur jenazah Ki Sentana.
Kemudian malam itu juga ia melanjutkan perjalanan
dengan cepat, kini menuju ke Selopenangkep.
Ketika tiba di Selopenangkep, kota kadipaten tampak
sunyi, akan tetapi hatinya lega dan kagum menyaksikan
penjagaan yang rapi dan kuat. Benar-benar bibi Roro
Luhito boleh diandalkan, pikirnya, karena ia tahu bahwa
bibinya itulah yang mengepalai penjagaan ini. Heran,
apakah bibinya sudah tahu akan ancaman bahaya besar
sehingga Kadipaten Selopenangkep siap sedia dalam
keadaan perang. Ataukah Mundingyudo sudah kembali
dari penyelidikannya"
Malam hari itu ia memasuki Kadipaten Selopenangkep
dan kembali la girang dan kagum sekali ketika ia baru saja
meloncati tembok pintu gerbang dengan kecepatan Aji
Bayu Sakti, dari sebelah dalam muncul belasan orang
penjaga yang tadinya bersembunyi dan barisan tombak
menghadangnya, dilkutl bentakan keras,
"Berhentil" Akan tetapi para perajurit Itu terkejut dan girang
mendapat kenyataan bahwa yang bayangannya berkelebat
mencurigakan itu ternyata adalah sang adipati sendiri.
Mereka lalu memberi hormat.
"Bagus! Teruskanlah penjagaan kalian dengan waspada."
Sang adipatl memuji lalu melanjutkan perjalanan menuju ke
gedung kadipaten. Kalau para penjaga itu dapat melihat
kedatangannya, berartl bahwa kadipaten tidak akan mudah
kebobolan. Memang baris pendam penting sekali untuk
menghadapi penyerbuan diam-diam dari orang-orang sakti
yang memiliki kepandaian tinggi.
Biarpun waktu itu sudah malam, namun Roro Luhito,
Ayu Candra, dan Pusporini menyambutnya dengan pakaian
ringkas dan dalam keadaan siap siaga, senjata tidak terlepas
dari tangan. Jelas nampak terbayang pada wajah tiga orang
wanita ini, terutama wajah Ayu Candra, betapa girang dan
lega hati mereka melihat kembalinya Adipati Tejolaksono.
Dengan singkat Adipati Tejolaksono menceritakan
pengalamannya dan tiga orang wanita itu mendengarkan
dengan mata terbelalak dan muka pucat. Mereka maklum
akan besarnya bahaya yang mengancam.
"Aku sudah menaruh curiga ketika mendengar laporan
Mundingyudo," kata Roro Luhito. "Biarpun pasukan-
pasukan asing Itu tidak melakukan penyerbuan, akan tetapi
mereka amat banyak dan melakukan gerakan mengurung
Selopenangkep, karena Itu aku segera mengatur penjagaan
sekuat-kuatnya." "Memang keadaannya gawat sekali, Kanjeng Bibi," kata
Tejolaksono yang segera menyuruh panggil Mundingyudo
menghadap. Kepala pengawal Selopenangkep ini segera
datang dan menuturkan hasil penyelidikannya.
"Hamba melihat banyak sekall pasukan campuran yang
datang dari barat dan utara," demikian antara lain laporan
Mundingyudo. "Biarpun mereka itu tidak pernah menyerbu
sebuah dusun, namun mereka amat mencurigakan. Bahkan
menurut penyelidikan anak buah hamba, terdapat pula
orang-orang bekas gerombolan Gagak Serayu, para
penjahat dari Lembah Serayu, di antara pasukan. Pimpinan
mereka, yang dari utara adalah pedanda-pedanda (pendeta
Buddha) dan yang dan barat adalah pendeta-pendeta
Agama Shiwa. Pasukan-pasukan kita tidak menemui
tentangan, akan tetapi mereka itu makin mendekati
Selopenangkep dari pelbagai jurusan, agaknya hendak
mengurung. Hamba mohon keputusan paduka."
Tejolaksono mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu
mengkhawatirkan keadaan Selopenangkep, yang lebih ia
khawatirkan adalah keselamatan Kerajaan Panjalu.
"Kakang Mundingyudo, malam ini juga engkau
berangkatlah ke Kerajaan Panjalu, menghadap sang prabu
di Panjalu menghaturkan surat laporanku. Agar engkau
tahu akan maksud tugasmu ini, ketahuilah bahwa pasukan-
pasukan asing itu menurut perkiraanku dan hal ini tidak
meleset kiranya, adalah pasukan-pasukan kaki tangan
Sriwijaya dan Kerajaan Cola yang selain akan memperkembangkan agama, juga bermaksud memperluas
wilayah jajahan mereka di Jawa-dwipa. Maka itu, biarpun
mereka tidak melakukan gerakan menyerang, namun perlu
mereka itu disapu dari wilayah Panjalu karena mereka telah
melanggar perbatasan. Agar jangan sampai terlambat,
sekarang juga seyogianya Kerajaan Panjalu mengerahkan
barisan dan melakukan pembersihan. Demikian isi
laporanku, Kakang." Setelah menulis surat laporan dan menyerahkannya
kepada pembantunya itu, berangkatlah Mundingyudo
malam itu juga menuju ke Panjalu. Kemudian Adipati
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tejolaksono memasuki kamarnya untuk beristirahat, diikuti
oleh isterinya. -oo0dw0oo- "Kejar ............ !"
"Tangkap mata-mata?".!"
"Bunuh ............ !!"
"Aduhh ............ ahhh ............ aduhh ............ trang-
trang-trang ............ !!"
Suara ini memecahkan kesunyian di pagi hari depan
gedung Kadipaten Selopenangkep. Para perajurit pengawal
sibuk mengurung empat orang sambil berteriak-teriak dan
beberapa orang pengawal roboh tumpang tindih.
Seorang di antara mereka yang dikeroyok pengawal ini
diam saja, hanya melangkah maju memasuki pekarangan
kadipaten sambil tersenyum. Sikapnya tenang namun ia
congkak sekali, mengangkat muka dan membusungkan
dada yang tipis. Ia seorang laki-laki berusia lima puluhan
tahun, tubuhnya kurus tinggi, rambutnya penuh uban
panjang terurai di kedua pundak sampai ke pinggang,
pakaiannya jubah pendeta berwarna kuning, telanjang dan
memegang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti
ular kering. Wajah laki-laki tua Ini merah seakan-akan
bagian tubuhnya itu penuh dengan darah di dalamnya,
bahkan kedua matanya juga kemerahan. Hidungnya
panjang melengkung seperti paruh betet, mulutnya lebar
dan karena selalu tersenyum, tampak deretan gigi yang
ompong dan menguning. Kalau rambutnya panjang, adalah
mukanya yang merah itu sama sekali tidak berambut, tidak
ada sehelaipun kumis atau jenggot, agaknya habis dicabuti.
Adapun tiga orang yang mengikutinya adalah dua orang
laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun dan
seorang wanita cantik jerusia dua puluh lima tahun. Laki-
laki tua berjubah pendeta itu berjalan tanpa memperdulikan
pengeroyokan dan pengejaran, akan tetapi, tiga orang inilah
yang melindunginya dan setiap ada perajurit yang maju
menyerang tentu perajurit itu terlempar berikut senjata
mereka. Tiga orang ini hebat bukan main, dengan tangan
kosong mampu melempar-lemparkan para perajurit yang
berani mendekat dan menyerang. Empat orang ini pagi tadi
dengan enak dan tenangnya memasuki pintu gerbang yang
baru terbuka, tidak perduli akan larangan dan teguran para
penjaga. Mereka berjalan terus memasuki kota, menuju ke
kadipaten, terus berjalan maju dan tiga orang itu membabati
semua penghalang, namun agaknya mereka menjaga agar
mereka tidak sampai membunuh para perajurit sehingga
mereka yang dilempar-lemparkan atau dirobohkan hanya
mengalami babak-belur dan patah tulang saja.
Seorang di antara para pengawal sudah masuk ke gedung
kadipaten untuk melaporkan datangnya empat orang aneh
itu. Adipati Tejolaksono segera keluar diikuti Ayu Candra,
Roro Luhito, dan Pusporini, kesemuanya sudah siap siaga
dengan keris di pinggang. Begitu keluar dari gedung dan
melihat empat orang itu menghadapi kepungan para
pengawal dengan tenang, melihat pula betapa tiga orang itu
dengan mudahnya melemparlemparkan para perajurit yang
berani menyerang, Tejolaksono segera berseru,
"Para pengawal, tahan dan mundur semual"
Perajurit-perajurit pengawal berbesar hati melihat
munculnya Adipati Tejolaksono. Mereka maklum bahwa
empat orang yang datang ini adalah orang-orang sakti dan
untuk menghadapi mereka ini, hanyalah sang adipati dan
keluarganya yang akan mampu menanggulangi. Mereka
lalu mengundurkan diri namun masih mengurung dari jarak
jauh, siap menanti perintah sang adipati.
Tejolaksono diikuti tiga orang wanita itu melangkah
maju perlahan-lahan memasuki halaman kadipaten yang
amat luas, merupakan sebuah alun-alun kecil. Diam-dian
Tejolaksono marah sekali ketika mengenal tiga orang itu.
Wanita cantik itu bukan lain adalah Sariwuni yang pernah
dijumpainya, bahkan yang pernah menggodanya dengan
sikap yang tak tahu malu. Kini wanita itu berdiri dan
memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan bibir yang
manis itu tersenyum-senyum. Sungguh seorang wanita yang
tidak tahu malu dan mengingatkan ia akan dua orang tokoh
wanita ketika ia masih kecil, yaitu Ni Nogogini dan Ni
Durgogini (baca cerita Badai Laut Selatan). Melihat
Sariwuni, otomatis Tejolaksono melirik ke arah kedua
tangannya, tangan dengan kuku beracun yang telah
menggurat tewas Ki Sentana. Akan tetapi kedua tangan itu
indah bentuknya, jari-jarinya runcing halus dan kuku-kuku
jarinya yang diruncingkan itu putih halus kemerahan!
Adapun dua orang laki-laki tinggi besar di sebelah wanita
itupun dikenalnya sebagai dua orang laki-laki tangguh yang
pernah ia lihat di dusun Sumber. Akan tetapi laki-laki tua
berpakaian pendeta itu baru kali ini ia lihat dan ia sama
sekali tidak mengenalnya. Betapapun juga, melihat
sikapnya, ia dapat menduga bahwa pendeta itu tentulah
seorang yang sakti, karena buktinya tiga orang itu bertindak
sebagai pelindungnya. Maka ia bersikap waspada dan hati-
hati, terus melangkah sampai berhadapan dengan empat
orang tamu aneh itu. Kini mereka berdiri berhadapan, saling memandang
penuh perhatian. Kemudian Adipati Tejolaksono berkata,
"Kalau saya tidak salah mengira, tiga orang yang
melindungi andika ini pernah saya jumpai di dusun
Sumber." Sariwuni memperlebar senyumnya dan memandang
Tejolaksono dari atas ke bawah dengan kekaguman yang
tidak disembunyi-sembunyikan, "Aduh, Adipati Tejolaksono. Setelah kini melihatmu berpakalan adipati,
tidak menyamar sebagai seorang petani kotor, engkau
menjadi jauh lebih tampan dan gagah. Sungguh ............ !!"
Senyumnya berubah senyum mengejek ketika wanita ini
melihat pandang mata berapi penuh kemarahan dari Ayu
Candra yang berdiri di sebelah kiri suaminya. Ingin Ayu
Candra memaki dan menerjang wanita itu setelah kini ia
dapat menduga bahwa tentu inilah Sariwuni yang ,
diceritakan suaminya, akan tetapi ia menahan kemarahannya dan menyerahkan sikap menyambut empat
orang aneh ini kepada suaminya.
Tejolaksono tidak memperdulikan wanita cantik itu,
melainkan berkata lagi kepada si pendeta, "Menurut
pelaporan para penjaga, andika bermaksud menemui saya
dan menggunakan kekerasan memasuki kadipaten. Melihat
pakaian andika, tak akan keliru kiranya kalau saya
mengatakan bahwa andika seorang pendeta yang sudah
pandai menguasai nafsu diri, akan tetapi melihat sepak
terjang andika dan kawan-kawan andika, sungguh belum
pernah saya mendengar ada tamu yang datang secara paksa
dan menggunakan kekerasan, kecuali sebangsa perampok
dan penjahat!" Halus kata-kata Tejolaksono, namun langsung menusuk
perasaan dan merupakan teguran keras.
Namun empat orang tamu itu sama sekali tidak kelihatan
marah dan hanya tersenyum-senyum, yaitu Sariwuni dan si
pendeta karena dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak
pernah tersenyum, juga tidak tampak marah. Wajah
keduanya seperti wajah arca dari batu saja, sama sekali
tidak membayangkan perasaan apa-apa. Melihat ini semua,
Tejolaksono dapat menduga bahwa mereka ini benar-benar
telah memiliki kekuatan dalam yang hebat dan tidak lagi
mudah dikuasai perasaan. Maka iapun tidak mau lagi
banyak menyerang dengan kata-kata, lalu langsung saja
bertanya, "Kisanak, pendeta atau perampok adanya andika, setelah
berhadapan muka dengan aku, katakanlah siapa andika dan
apa kehendak andika mendatangi Kadipaten Selopenangkep!" "Heh-heh-heh, Adipati Tejolaksono. Andika ingin
mengenalku" Aku adalah Cekel Wisangkoro, abdi dan
murid, juga utusan Sang Wicaksono Wasi Bagaspati!
Adapun maksud kedatangan kami adalah dengan hati
terbuka, maksud baik dan membawa uluran tangan sang
wasi." Tidak heran hati Tejolaksono mendengar ini. Memang ia
sudah menduga bahwa semua peristiwa yang terjadi adalah
kelanjutan daripada munculnya Biku Janapati dan Wasi
Bagaspati di puncak Merapi empat tahun yang lalu.
Dengan hati panas Tejolaksono tersenyum pahit.
"Adakah hati terbuka dan maksud baik diawali dengan
pertempuran melawan para penjaga Selopenangkep?"
Kembali Cekel Wisangkoro tertawa. "Adipati Tejolaksono, periksalah baik-baik semua perajuritmu.
Adakah seorang saja yang tewas di tangan kami" Kami
memasuki Selopenangkep dengan hati terbuka dan maksud
baik, akan tetapl para perajuritmu menyerang kami..
Sungguhpun demikian, kami masih menaruh kasihan dan
tidak membunuh seorangpun, hanya merobohkan karena
kami harus membela diri, bukan" Hal itu saja sudah
membuktikan bahwa kami datang dengan maksud balk!"
Di dalam hatinya, Tejolaksono tak dapat membantah
kebenaran ucapan itu. Memang, empat orang ini belum
melakukan sesuatu yang jahat di Kadipaten Selopenangkep
dan semua perajurit yang roboh tidak terbunuh, hanya
babak-belur dan patah tulang saja.
"Hemmm, katakanlah terus terang, Cekel Wisangkoro,
sebagai utusan, apakah kehendakmu dan apakah yang akan
kausampaikan kepadaku?"
"Kami datang mengulurkan tangan kepadamu, Adipati
Tejolaksono, untuk bekerja sama dan menjadi sahabat. Kita
semua tahu betapa lemahnya Kerajaan Panjalu dan
Jenggala, kerajaan yang dahulunya besar kini terpecah-
belah, dikuasai oleh raja-raja lalim! Tidak hanya rajanya
yang lalim, juga para ponggawanya tidak becus dan
kepentingan rakyat tidak ada yang menghiraukan. Kami
datang untuk membebaskan rakyat daripada kesengsaraan.
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola siap untuk
mengangkat kehidupan rakyat Jawa-dwipa ke tingkat yang
lebih tinggi, mengajar rakyat ilmu-ilmu yang tinggi untuk
mencapai kesempurnaan. Karena kami tahu bahwa andika
adalah seorang adipati yang baik, maka Sang Wasi
Bagaspati berpesan kepada kami untuk menghubungimu
dan mengulurkan tangan kepadamu agar kita bersekutu
............ !!" "Menjadi kaki tangan Kerajaan Cola atau dibunuh
seperti halnya Ki Sentana, lurah dusun Sumber?" Adipati
Tejolaksono' memotong dengan suara marah. "Heh, Cekel
Wisangkoro! Kau pergilah dan sampaikan kepada Wasi
Bagaspati bahwa angkara murka Kerajaan Cola ini takkan
berhasil! Penyerbuan rahasia dan secara halus mengelabui
rakyat ini akan menghadapi tantangan rakyat dan seluruh
perajurit Panjalu dan Jenggala! Niat keji kalian takkan
tercapai! Lebih baik kalian membawa pergi semua pasukan
berandal itu sebelum diganyang hancur oleh rakyat
Panjalu!" "Hi-hi-hik, Tejolaksono. Ucapanmu itu menggelikan sekali! Justeru kami kuat
karena rakyat berada di belakang kami. Kami datang
untuk mengangkat rakyat, bagaimana kau bilang rakyat
akan menentang kami" Hi-
hik, sang adipati yang tampan
dan gagah. Pikirlah baik-baik,
bukankah jauh lebih baik kalau engkau dan aku menjadi sahabat daripada menjadi musuh" Aku percaya
bahwa kalau engkau dan aku
menjadi sahabat ............ ehemm ............ kita dapat
menciptakan surga di atas bumi ini karena engkau dan aku
cocok sekali! Hi-hi-hik!"
Tiba-tiba Pusporini, dara remaja berusia lima belas tahun
yang cantik manis dan bertubuh ramping padat dan seperti
bunga mulai mekar itu, melangkah maju dan suaranya
nyaring sekali ketika la menudingkan telunjuk tangan
kirinya ke arah muka Sariwuni yang masih terkekeh genit,
"Ihhh, bukankah kamu ini yang bernama Sariwuni"
Rakanda adipati sudah bercerita tentang kamu dan tahukah
kamu apa yang dikatakan oleh abdi pelayanku" Bahwa
Sariwuni adalah seorang perempuan rendah dan hina, tak
tahu malu, cabul dan kotor, tak mengenaI susila ............ "
"Pusporini ............ , diam ..........!" Roro Luhito
membentak puterinya.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi Sariwuni yang tadi dapat menahan perasaan
dan hanya tersenyum-senyum, kini telah menjadi merah
mukanya seperti udang direbus. Tak dapat ia menahan
kemarahannya karena dimaki-maki seperti itu di depan
orang banyak............ "Bocah ............ , kau sudah bosan hidup..........!" Tanpa
disangka-sangka, dengan gerak cepat yang dahsyat sekali,
tubuhnya sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan
yang menggunakan kuku mencakar ke arah muka
Pusporini. "Rini ............ Pethit Nogo ............ !!"
Tejolaksono berseru karena untuk bergerak menolong
sudah tak keburu lagi. Pukulan yang dilakukan oleh
Sariwuni dengan kuku mencakar itu ia tahu amat berbahaya
karena kuku itu mengandung racun yang ampuh dan hanya
Aji Pethit Nogo saja yang akan dapat menyelamatkan
adiknya, juga muridnya itu karena Aji Pethit Nogo yang
mengandalkan kepretan jari yang penuh hawa sakti dapat
melawan kuku-kuku beracun.
Biarpun Pusporini masih muda dan lincah gembira,
namun ia gesit sekali dan sudah digembleng oleh Adipati
Tejolaksono. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi
tangannya sudah bergerak, dengan jari-jari terbuka dan
lurus ia menggerakkan Aji Pethit Nogo sehingga jari-jari
tangan yang kecil mungil itu tersalur hawa sakti dan
tergetar ketika ia pergunakan untuk menangkis.
"Plakk ............ Cakaran tangan Sariwuni terpental, akan tetapi tubuh
Pusporini terdorong ke belakang. Dara remaja ini tentu
akan roboh terguling oleh hawa pukulan lawan yang jauh
lebih kuat kalau saja ia tidak meloncat dan berjungkir balik
dengan gerakan manis sekali sehingga dorongan hawa
pukulan lawan itu terpatahkan. Ia meloncat turun dan
tersenyum. "Wah, cakaran itu mengingatkan aku akan Si Belang,
kucingku yang karena makan bangkai tikus yang sudah
busuk tiba-tiba menjadi gila dan mencakar kalang-kabut
seperti itu. Kamu tidak ada bedanya seujung rambutpun
dengan kucing yang gila itu. Agaknya engkaupun terkena
racun bangkai yang kau makan!"
Sariwuni makin marah, akan tetapi tiba-tiba Cekel
Wisangkoro berkata halus kepadanya, "Sudahlah, Wuni,
untuk apa melayani seorang anak kecil?"
"Cekel Wisangkorb, andika sebagai utusan bicaralah,
jangan membiarkan sembarang orang mengacau dengan
kata-kata kosong memancing keributan." Tejolaksono
menegur. "Heh-heh-heh, maafkan, Adipati Tejolaksono. Akan
tetapi Sariwuni bukanlah orang sembarangan atau orang
lain, dia adalah adik seperguruanku pula. Dan apa yang
diucapkannya tadi benar belaka. Percuma saja kalau andika
hendak menolak, lebih baik andika mencari jalan 'yang
lebih menyenangkan kedua pihak dan menerima uluran
tangan kami. Andika tetap menjadi adipati yang dipertuan
di Selopenangkep dan membiarkan kami bergeak ke timur."
"Kalau aku menolak?"
"Kalau engkau menolak berarti engkau dan keluargamu
akan terbasmi, Selopenangkep akan mempunyai seorang
adipati baru dan kami tetap saja akan dapat bergerak ke
timur. Jangan bodoh, Tejolaksono, bukalah matamu dan
lihat baik-baik. Kadipaten ini telah terkurung oleh barisan
yang sedikitnya sepuluh kali lebih besar daripada pasukan
Selopenangkep dan ribuan orang rakyat sebagai sukarelawan datang pula dan siap membantu kami,
mengapa kau menolak?"
"Kami tidak takut! Eh, pendeta bau apek, jangan kau
banyak tingkah!" Pusporini sudah tak dapat dapat menahan
kemarahannya lalu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Cekel Wisangkoro.
"Biar barisanmu seratus kali lebih banyak, akan kami
lawan!" kata pula Ayti Candra yang juga sudah marah.
"Anaknda adipati. Menghadapl tikus-tikus macam ini
saja biar serahkan kepada kanjeng bibi! Biar sudah tua, aku
sanggup memimpin pasukan membasmi tikus-tikus ini!"
kata Roro Luhito sambil melangkah maju dan meraba
gagang kerisnya. Adipati Tejolaksono tertawa dan menghadapi Cekel
Wisangkoro. "Engkau telah menyaksikan dan mendengar
sendiri, Cekel Wisangkoro. Sedangkan bibiku, isteriku, dan
adikku saja tidak takut menghadapi ancamanmu, apalagi
aku! Pasukan-pasukanmu yang menyerbu akan kami hadapi
dan anggap sebagai musuh negara, adapun rakyat dusun
yang terbujuk olehmu dan ikut menyerbu akan kami anggap
sebagai pemberontak! Tidak perlu kau mengancam dan
banyak cakap lagi karena aku tahu bahwa kalian adalah
kaki tangan Kerajaan Cola yang mengilar melihat negara
kami dan ingin menjajah. Pendeknya, hanya ada dua
pilihan bagi kalian, yaitu pergi membawa kembali
pasukanmu ke tempat asalmu atau maju dan hancur lebur
menghadapi perlawanan rakyat Panjalu!"
Kini senyum di mulut Cekel Wisangkoro lenyap, terganti
kemarahan yang membayang di mukanya yang halus dan
merah itu. Sinar matanya berkilat-kilat, dan dadanya
dibusungkan. "Babo-babo ............ Tejolaksono! Engkau tak dapat
diajak berbaik! Engkau telah menentukan kehancuran
keluargamu sendiri, seperti pohon itu!" Cekel Wisangkoro
meloncat ke kiri, mendekati pohon sawo yang tumbuh di
halaman kadipaten itu, tangan kirinya dengan telapak
tangan terbuka menyambar ke arah batang pohon yang
besar itu dan menampar. "Blukkk ............ I" Pohon itu bergoyang-goyang akan
tetapi tidak roboh. Semua perajurit Selopenangkep yang
melihat betapa pohon itu tak dapat dipukul roboh, tertawa-
tawa mengejek , akan tetapi suara ketawa itu segera sirep
dan suasana menjadi sunyi, mata mereka terbelalak dan
mulut mereka. ternganga ketika melihat betapa daun-daun
pohon sawo itu menjadi layu dan rontok seperti hujan,
diikuti buah-buah sawo yang tadinya masih mentah kini
menjadi busuk dan berjatuhan!
Keadaan yang hening itu segera berubah menjadi berisik
ketika para perajurit menjadi marah dan mereka kini
mengurung maju dengan sikap mengancam! Juga Roro
Luhito sudah marah sekali. Wanita tua perkasa ini
mencabut kerisnya dan melangkah maju sambil menudingkan kerisnya ke arah empat orang lawan itu,
"Pendeta bajul! Apa kaukira dengan sihirmu ini kami
menjadi takut"!"
Dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di sebelah
kiri Cekel Wisangkoro meloncat maju sambil mencabut
pedang, agaknya hendak menerjang Roro Luhito. Akan
tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Tejolaksono
menyambut mereka sambil membentak,
"Keparat, kalian mau apa?"
Dua orang tinggi besar itu menggerakkan pedang
membacok, gerakan mereka cepat sekali dan amat kuat
sehingga pedang mereka mengeluarkan angin dan
menimbulkan suara berdesing. Pedang itu menyambar dari
kanan kiri ke arah leher dan lambung Sang Adipati
Tejolaksono. Demikian cepatnya pedang menyambar
sehingga para perajurit Selopenangkep menahan napas.
Agaknya takkan dapat dihindarkan lagi bahwa tubuh sang
adipati tentu akan terbabat putus menjadi tiga potong!
Hanya keluarga sang adipati itu saja yang memandang
dengan tenang dengan sikap penuh kewaspadaan karena
mereka cukup mengenaI akan kesaktian Tejolaksono dan
percaya sepenuhnya bahwa sang adipati akan dapat
menjaga dan menyelamatkan dirinya.
Harapan mereka ini tidak sia-sia. Dengan gerakan amat
tenang, Tejolaksono tidak mengelak, bahkan tidak
menggerakkan tubuh sama sekali, hanya kedua tangannya
saja menyambut. Dua orang tinggi besar itu berseru kaget
dan kesakitan karena entah bagaimana, tahu-tahu
pergelangan tangan mereka kena dicengkeram oleh
Tejolaksono dan terdengar bunyi "krek-krek!" ketika sang
adipati mengerahkan tenaga, tanda bahwa tutang lengan
kanan mereka patah! Adipati Tejolaksono menarik kedua tangannya dan
pedang lawan telah terampas olehnya, kin! kedua kakinya
bergerak cepat sekali bergantian dan mencelatlah tubuh dua
orang tinggi besar itu sampai empat meter ke belakang di
mana mereka terbanting dan meringis kesakitan sambil
memegangi tangan kanan yang sudah patah tulangnya.
Hebatnya, mereka sedikitpun tidak mengeluarkan suara
keluhan sungguhpun rasa sakit pada lengan mereka
menusuk sampal ke ulu hati.
Dengan dua batang pedang di tangan, Tejolaksono
menghadapi Cekel Wisangkoro dan berkata,
"Cekel Wisangkoro, aku yakin bahwa kalau aku
menghendaki, kalian berempat akan mati di tempat ini
sekarang juga. Akan tetapi, aku mengenal tata susila dan
mengingat bahwa kalian adalah raka (utusan) dan adalah
menjadi hak mutlak caraka untuk datang dan pergi lagi
tanpa terganggu, maka aku membiarkan kalian pergi dalam
keadaan hidup. Kalau dua orang temanmu ini terluka, hal
itu hanya karena kesalahan mereka sendiri sebagai
hukuman dariku atas kelancangan mereka. Nah, kau
pergilah dan boleh bawa sebatang pedang yang tiada
gunanya ini!" Sang Adipati Tejolaksono mengerahkan
kedua tangannya dan "krak-krak!!" Dua batang pedang itu
patah-patah lalu dilemparkannya ke kaki Cekel Wisangkoro! Para perajurit bersorak memuji menyaksikan
kesaktian junjungan mereka ini.
Cekel Wisangkoro menoleh ke arah kedua orang
temannya itu dan memaki, "Sungguh bodoh kalian!" Akan
tetapi ketika ia membalikkan tubuh menghadapi Tejolaksono lagi, ia sudah tertawa, sikapnya tenang-tenang
saja sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. "Engkau
sombong, Tejolaksono! Tahukah engkau bahwa jika
sekarang aku melontarkan tongkatku ini ke angkasa, dari
empat penjuru akan menyerbu pasukan-pasukanku dan
dalam waktu singkat Kadipaten Selopenangkep akan
menjadi karang-abang (lautan api)" Akan tetapi karena
engkau menggunakan tata susila tidak mau nyerang caraka,
akupun hendak mengimbangimu, tidak akan menyerang
sebelum menyodorkan kesempatan terakhir. Nah, kami
memberi kesempatan kepadamu sampai sehari ini. Kalau
sampai senja kala nanti engkau tidak datang kepada kami di
dalam hutan sebelah barat Selopenangkep untuk menerima
uluran tangan kami, jangan sesalkan kami kalau kami
terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Sudah cukup banyak kau mengoceh, Cekel Wisangkoro! Pergilah sebelum para perajuritku kehabisan
sabar!" Dengan lagak angkuh Cekel Wisangkoro lalu pergi dari
halaman gedung kadipaten, diikuti Sariwuni dan dua orang
laki-laki tinggi besar yang masih memegangi pergelangan
tangan kanan mereka yang patah tulangnya. Para perajurit
pengawal mengiringkan mereka dengan ejekan dan
tertawaan. Akan tetapi setelah empat orang tamu itu pergi jauh,
Adipati Tejolaksono segera memanggil semua pembantunya dan membagi-bagi tugas mengatur penjagaan
di sekeliling kadipaten. Kadipaten Selopenangkep tidak
mempunyai pasukan yang besar. Seluruh pasukan hanya
terdiri dan dua ratus empat puluh orang perajurit. Akan
tetapi biasanya, pasukan yang tergembleng ini di bawah
pimpinan Tejolaksono merupakan barisan yang amat kuat
dan boleh diandalkan untuk menjaga keselamatan
kadipaten. Kini pasukan yang kecil itu dipecah-pecah untuk
menjaga kadipaten secara bergiliran.
Sang adipati sendiri, bersama isterinya, Pusporini dan
Roro Luhito, tidak tinggal diam. Mereka berempat ini
maklum akan ancaman bahaya dari plhak lawan, maka
merekapun sibuk melakukan perondaan dalam keadaan
siap siaga. Namun tepat seperti ancaman Cekel Wisangkoro, sehari
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu sama sekali tidak terjadi penyerbuan musuh, bahkan di
luar sekeliling kadipaten tidak tampak bayangan seorangpun musuh. Malam hari itupun tidak ada penyerbuan musuh secara
terbuka. Akan tetapi banyak hal menggiriskan hati para
perajurit telah terjadi. Rombongan penjaga di sebelah utara
dan timur, terdiri masing-masing dari tiga puluh orang
perajurit, menjadi ketakutan setengah mati setelah peristiwa
yang hebat dan menyeramkan menimpa diri mereka.
Malam itu, menjelang tengah malam, mereka sedang
meronda dan memeriksa bagian tirmur dan utara. Malam
sunyi dan gelap, tak tampak bayangan seorangpun musuh,
juga tidak terdengar sesuatu. Bulan bersinar terang,
didampingi banyak bintang. Udara cerah dan pemandangan
indah yang terbentang di angkasa itu sedikit banyak
mengurangi ketegangan hati mereka. Mula-mula mereka
tidak menaruh curiga ketika ada segumpal awan hitam
menutupi sinar bulan. Barulah mereka mulai panik ketika
"awan" ini dapat melayang turun dan merupakan asap
hitam yang menyerang mereka! Keadaan makin menjadi
gelap sehingga akhirnya mereka tak dapat melihat tangan
sendiri! Dan di dalam kepanikan yang makin meningkat ini,
mereka baru tahu bahwa hal yang tidak wajar telah terjadi.
Apalagi ketika di dalam kegelapan yang hebat itu mereka
mendengar suara-suara aneh, bukan suara manusia,
gerengan-gerengan dan ketawa-ketawa seakan-akan semua
jin dan setan keluar dari neraka dan berkumpul di tempat
itu. Dan mulailah mereka melihat muka-muka yang
mengerikan, muka yang besar seperti kepala raksasa, akan
tetapi tanpa tubuh. Paniklah para perajurit. Ada pula yang
pemberani lalu menerjang ke arah bayangan-bayangan itu
hanya uptuk menghantam kawan-kawan sendiri karena di
dalam kegelapan itu mereka tidak dapat membedakan mana
kawan mana lawan! Setelah terjadi pukul-memukul dan
serang-menyerang antara kawan sendiri yang dalam
kepanikan disangka musuh sampai beberapa jam lamanya,
akhirnya "awan" hitam itu lenyap dan keadaan menjadi
terang kembali. Dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan
gelisah hati para kepala pasukan ketika menyaksikan akibat
peristiwa itu. Enam orang perajurit luka-luka oleh pukulan
kawan sendiri, dan sepuluh orang perajurit lenyap tak
meninggalkan jejak, entah melarikan diri entah bagaimana!
Para penjaga di sebelah selatan dan barat juga
mengalami hal yang amat luar biasa. Juga jumlah mereka
In! adalah dua pasukan terdiri dari tiga puluh orang
perajurit tiap pasukan. Pengalaman mereka tidaklah
mengerikan seperti apa yang dialami para penjaga di timur
dan utara, akan tetapi akibatnya malah lebih mencelakakan
lagi. Selagi mereka menjaga malam itu dekat tengah
malam, juga dalam sinar bulan yang cemerlang dan indah
romantis, dari dalam kesunyilan muncul tujuh belas orang
wanita cantik jelita yang hanya mengenakan pakaian tipis
dan rambut mereka terurai. Wanita-wanita ini dengan sikap
amat menarik hati menggoda mereka dengan bujuk rayu
dan pikatan. Kepala kedua pasukan yang tetap waspada
membentak pasukan masing-masing dan memerintahkan
pasukannya menangkapi tujuh belas orang wanita cantik
yang mencurigakan itu. Akan tetapi, mendadak tercium
ganda yang harum semerbak dan semua perajurit seperti
mabuk karenanya, bahkan dua orang kepala pasukan itu
tidaklah sebengis tadi dan hanya tertawa-tawa ketika
melihat betapa anak-anak buah mereka bersendau-gurau
dan bermesraan dengan tujuh belah orang wanita itu.
Barulah keadaan menjadi kacau-balau ketika menjelang
fajar, mereka mendapatkan diri mereka tertidur dan ketika
dicacahkan, ternyata dua puluh orang perajurit telah lenyap
bersama tujuh belas orang wanita cantik tadi!
Tidak hanya di tempat-tempat penjagaan terjadi hal
aneh. Bahkan hal-hal aneh menimpa dan terjadi di dalam
kadipaten sendiri! Malam itu setelah melakukan perondaan
sendiri sekeliling kadipaten, Adipati Tejolaksono kembali ke
gedungnya. Suasana sekeliling kadipaten seperti malam-
malam biasa, sunyi senyap, tidak ada pergerakan musuh.
Akan tetapi hal ini amat mencurigakan hatinya dan sang
adipati yang melihat betapa bibinya Roro Luhito,
Pusporini, dan Ayu Candra sendiri masing-masing
melakukan penjagaan di dalam gedung, lalu memasuki
sanggar pamujan untuk bersamadhi, mempertinggi kewaspadaan dan memohon perlindungan dari para
dewata. Belum lama sang adipati bermuja samadhi, tiba-tiba ia
merasa betapa kedua matanya diserang kantuk yang amat
hebat hampir tak tertahankan lagi. Karena tadinya ia
menyangka bahwa kantuk ini datang karena lelah dan
tegang, maka hampir saja Tejolaksono tunduk dan
menyerah, akan tidur barang sebentar. Akan tetapi ketika
cuping hidungnya bergerak mengendus ganda kembang
menyan, seketika kewaspadaannya timbul kembali. Aji
penyirepan! Tak salah lagi, ini tentulah akibat penyirepan
yang amat kuat! Sang adipati yang Sakti mandraguna ini lalu cepat
mengerahkan seluruh tenaga batinnya sehingga hawa sakti
menggetar keluar dari tubuhnya membentuk gelombang
getaran di angkasa dan menolak getaran aji penyirepan itu.
Dari perasaan tertekan dan tertindih di dadanya, sang
adipati maklum bahwa yang melepas aji penyirepan adalah
seorang yang memiliki hawa sakti yang amat kuat.
Terjadilah "perang tanding" yang aneh dan tidak tamoak
oleh mata manusia, pertandingan antara dua getaran hawa
sakti, tolak-menolak, dorong-mendorong dan tindih-
menindih. Kalau ada orang secara kebetulan melihat ke atas
atap gedung kadipaten, tentu mereka akan merasa terheran-
heran melihat adanya segumpal asap putih yang seperti
bermain-main di angkasa, kadang-kadang terdorong ke
depan kadang-kadang mundur pula ke belakang dan
akhirnya setelah lama maju mundur, asap putih yang
berbau harum kembang menyan ini hancur dan buyar lalu
lenyap! Hal ini menandakan bahwa aji penyirepan yang
tadinya menguasai sekeliling gedung kadipaten telah
dikalahkan oleh getaran hawa sakti yang membubung
keluar dari sanggar pamujan.
Pusporini dara remaja yang cantik manis dan perkasa itu
tadinya juga menjaga gedung kadipaten bersama ibunya
dan ayundanya. Dara ini telah siap siaga, pakaiannya serba
ringkas, bajunya berwarna biru muda berlengan pendek
sampai di siku. Baju lengan pendek ini amat baik dipakai
dalam menghadapi pertandingan sehingga kedua lengannya
akan dapat bergerak leluasa. Kainnya dikenakan secara
longgar dan agak tinggi, dengan ujung dikumpulkan lalu
dikaitkan ke belakang sehingga kainnya di bawah naik
sampai ke lutut dan tampaklah celana hitam sampai ke
bawah lutut. Betisnya yang masih kecil akan tetapi sudah
berbentuk padi bunting dan kulit halus itu tampak. Pakaian
kain seperti ini membuat ia akan leluasa bergerak kalau
bertempur, tidak menghalangi gerak langkah atau
tendangannya. Di pinggangnya tampak sebatang keris luk
tiga menyelempit di balik sabuk sutera. Rambutnya yang
hitam gemuk halus dan panjang sampai ke pinggul itu kini
ditekuk dan diikat menjadi satu dengan kuat sehingga
ujungnya yang berjuntai hanya sampai ke pundak, tidak
disanggul seperti biasa karena kalau dipakai bertempur
dikhawatirkan sanggul terlepas dan rambut terurai
membuat gerakan tidak leluasa lagi. Tangan kanannya
memegang sebatang golok, karena ia telah mempelajari
permainan golok indah dari sang adipati, yaitu permainan
Golok Lebah Putth. Golok yang kecil bentuknya, lebih kecil
daripada golok biasa, gagangnya kayu terukir dan memakai
ronce-ronce sutera merah.
Seperti umumnya watak orang muda Pusporini juga
haus akan petualangan hebat. Suasana kadipaten yang
mencekam perasaan dan amat menegangkan itu merupakan
pengalaman menggembirakan bagi dara remaja ini. Kini
tibalah saatnya ia akan dapat membuktikan segala aji yang
selama ini ia pelajari, pikirnya. Dan seorang muda seperti
dia sama sekali tidak mengenal takut, belum begitu yakin
akan tingginya langit dalamnya lautan! Ia menanti-nanti
datangnya musuh untuk dibabat dengan goloknya seperti
membabat rumput, dipukul remuk dengan ajinya Pethit
Nogo di tangan kini seperti menghancurkan buah-buah
mentimun. Akan tetapi setelah menanti sampai jauh malam
tidak juga muncul seorangpun musuh, hatinya menjadi
kesal dan bosan. Maka ditinggalkannya ibu dan ayundanya
untuk "mencari angin sejuk" di belakang kadipaten, di
dalam taman bunga. Angin dingin sejuk memang ia dapatkan, dan hampir
saja ia celaka oleh angin dingin sejuk ini. Tadinya ia
bermaksud menjaga di taman dan mengharapkan munculnya musuh di dalam taman. Akan tetapi begitu ia
melangkahkan kaki memasuki taman sari, angin sejuk
menyambutnya dan saking kesal hatinya, dara remaja ini
duduk di atas bangku dalam taman. Angin sejuk semilir
menggerayangi muka dan lehernya, menimbulkan rasa
nyaman. Ganda harum semerbak yang datang terbawa
angin tidak membangkitkan kewaspadaannya, tidak
menimbulkan kecurigaannya karena ia menganggap itu
adalah ganda bunga-bunga yang tumbuh di taman. Malah
cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis menyedot
ganda harum sedap itu. Maka dengan mudah saja getaran
hawa sakti aji penyirepan menguasainya, membuat dara ini
tiga empat kali menguap saking mengantuknya, tiap kali
menutup mulut dengan punggung tangan kirinya. Tak lama
kemudian Pusporini pun tertidurlah dengan pulas sambil
duduk di atas bangku. Tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan
seorang laki-laki tinggi besar yang meloncat keluar dari
balik pohon di taman itu. Dengan ,beberapa loncatan saja
orang ini telah mendekati Pusporini yang masih tidur
dengan napas panjang teratur. Ketika melihat dara remaja
itu tidak bergerak dan tidur, laki-laki itu menyergap ke
depan dan di lain saat tubuh dara remaja itu telah disambar
dan dipondongnya. Golok yang dipegang Pusporini terlepas
dan jatuh! Pusporini masih pulas dan hanya mengeluarkan
suara rintihan perlahan seperti orang ngelindur ketika
tubuhnya dipondong dan dibawa lari.
Sementara itu, Roro Luhito dan Ayu Candra yang masih
duduk menjaga di ruangan dalam, bercakap-cakap. Dua
orang wanita ini maklum akan bahaya yang mengancam
kadipaten, namun mereka itu biar tegang di hati, sikap
mereka masih tenang saja dan memang ketegangan hati
mereka bukanlah tanda hati khawatir. Mereka tidak
khawatir, juga tidak takut karena mereka percaya penuh
akan kesaktian Adipati Tejolaksono, juga percaya akan
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi musuh. Kedua
orang wanita ini, seperti juga Pusporini, berpakaian ringkas
dan di sabuk mereka terselip senjata pusaka mereka.
Sebatang tombak berada di samping mereka selalu.
Dua orang wanita ini sudah dua kali menguap dan Ayu
Candra tidak dapat menahan kantuknya lagi, mulai
melenggut. Tiba-tiba Roro Luhito memegang pundaknya,
mengguncangnya dan berbisik, "Ayu ............ Bangun
............ Awas, musuh menggunakan aji penyirep!"
Biarpun terpengaruh aji penyirepan, karena memang
Ayu Candra bukan wanita sembarangan dan sudah
memiliki kekuatan batin yang tangguh, guncangan ini
cukup menyadarkan dan bersama Roro Luhito ia cepat
duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin
untuk melawan pengaruh aji penyirepan ini. Bau kembang
menyan mengambar-nyambar semerbak memenuhi ruangan. itu membuat kepala mereka terasa pening.
Akhirnya mereka dapat menguasai diri mereka dan Roro
Luhito berbisik, "Cepat ............ kita cari Pusporini ............
!" Mereka meloncat bangun dan menggu nakan Aji
Widodo Mantera untuk memperkuat batin. Setelah
menyambar tombak masing-masing, mereka lalu meloncat
dan lari ke arah belakang. Angin sejuk menyambut mereka
ketika mereka keluar' dari pintu butulan di belakang,
memasuki taman sari. "Ah, Bibi ............ lihat ............ !!" Ayu Candra berseru
kaget dan menudingkan telunjuknya ke arah kiri. Sesosok
bayangan laki-laki tinggi besar lari memondong tubuh
Pusporini! "Keparat ............ ! Kejar ............ !!" teriak Roro Luhito
sambil meloncat ke depan, diikuti Ayu Candra.
Akan tetapi mendadak muncul empat orang laki-laki
tinggi besar. Seperti juga laki-laki yang menculik Pusporini
tadi, empat orang laki-laki inipun selain tinggi besar, juga
kepalanya gundul, ditutup ikat kepala berwarna biru tua
dan muka mereka seperti muka arca atau muka mayat.
Mereka muncul begitu saja, tidak mengeluarkan suara dan
secara tiba-tiba langsung menubruk dan menyerang Roro
Luhito dan Ayu Candra. Jari-jari tangan mereka yang
sebesar pisang itu terbuka dan lengan tangan mereka yang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penuh bulu amat besar dan kuat menyeramkan.
Roro Luhito dan Ayu Candra terkejut, cepat mengelak
sambil memutar tombak, menghadapi masing-masing dua
orang lawan yang bertubuh kuat dan bersenjata golok besar.
Terjadilah pertempuran hebat di dalam taman, dan
terdengar suara senjata berdencingan ketika bertemu
berkali-kali. Dua orang wanita perkasa itu mendapat
kenyataan bahwa empat orang lawan mereka memiliki
tenaga yang amat kuat sehingga tiap kali beradu senjata,
mereka merasa telapak tangan mereka panas dan sakit.
Roro Luhito marah sekali, mengeluarkan pekik seperti
seekor kera dan gerakannya menjadi cepat laksana halilintar menyambar-nyambar. Dalam amarahnya karena teringat akan puterinya yang terculik, wanita ini
telah mengeluarkan ajinya
Sosro Satwo yang dahulu ia pelajari dari gurunya,
yaitu Resi Telomoyo. Seketika tombaknya berubah menjadi banyak ujungnya dan dalam gebrakan selanjutnya kedua lawan yang menjadi berkunang-kunang pandang matanya itu dapat ia tusuk
dengan ujung tombak, tepat mengenai paha dan perut.
Akan tetapi betapa terkejutnya ketika kedua tusukannya itu
membalik dan ternyata ujung tombaknya hanya merobek
pakaian dan kulit sedikit saja, tidak mampu menembus
daging. Kiranya dua orang lawannya ini selain amat kuat
juga memiliki tubuh yang kebal! Ia makin marah dan kini
menujukan ujung-ujung tombaknya kepada bagian-bagian
yang lemah, terutama ke arah mata kedua orang lawan.
Ayu Candra mengalami hal yang sama. Ia menggunakan
Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari suaminya sehingga kini ia
dapat mengatasi kedua lawannya karena gerakannya jauh
lebih cepat. Beberapa kali tombaknya dapat menusuk leher
dan lambung, namun kesemuanya meleset seakan-akan
menusuk karet yang licin sekali. Seperti juga bibinya, kini ia
bergerak lebih, cepat dan mengarahkan ujung tombak ke
bagian-bagian berbahaya dari kedua orang lawan yang terus
mengamuk membabi buta tanpa mengeluarkan sepatahpun
kata. Adipati Tejolaksono setelah berhasil membuyarkan
getaran aji penyirepan, lalu bangun dari samadhinya, keluar
dari sanggar pamujan dan bergerak cepat keluar. Sanggar
pamujan ini letaknya di bagian samping gedung, dan kini
setelah keluar ia mendengar suara senjata beradu di sebelah
belakang, di taman sari. Cepat ia berkelebat memasuki
taman sari dan terkejut hatinya melihat isterinya dan
bibinya dikeroyok empat orang laki-laki tinggi besar yang
agaknya kebal karena dari jauh ia melihat betapa tombak
isterinya dan bibinya itu berkali-kali meleset jika mengenai
tubuh lawan. Ia menjadi marah sekali, bagaikan seekor
garuda melayang tubuhnya mencelat dan menyambar ke
depan. "Siuuuuttt ............ dess! dessss!" Dua kali tangannya
menghantam dengan pukulan Bojro Dahono yang
ampuhnya menggila itu. Kalau lawan lain terkena
hantaman ini tentu tubuhnya akan roboh dan hangus, atau
setidaknya tentu akan patah-patah tulang iganya. Akan
tetapi dua orang pengeroyok Ayu Candra itu terkena
pukulan ini hanya mencelat roboh tergiling-guling tanpa
mengeluh, kemudian merangkak dan bangkit kembali!
Terbelalak mata Tejolaksono memandang saking herannya.
Dua orang ini sama halnya dengan dua orang tinggi
besar anak buah Cekel Wisangkoro yang ia patahkan
pergelangan tangannya, sama pula dengan Sariwuni,
memiliki kekebalan luar biasa sehingga dapat menahan
keampuhan pukulan tangannya. Ia menjadi penasaran
sekali. Ditiupnya kedua tangannya kemudian ketika dua
orang laki-laki gundul itu menerjang maju, ia memapak
dengan loncatan dan hantaman kedua tangan ke arah
kepala mereka. Jilid XIII TERDENGAR suara seperti buah kelapa dipukul pecah
dan dua orang Itu terbanting roboh tak bergerak lagi kini
karena kepala mereka pecah oleh hantaman kedua tangan
sang adipati! Ayu Candra sudah membantu Roro Luhito menghadapi
dua orang laki-laki tinggi besar yang lain. Karena kini satu
lawan satu, dua orang laki-laki tinggi besar itu terdesak
hebat, golok mereka telah dapat dipukul runtuh dan tombak
Roro Luhito sudah berhasil menusuk mata kiri lawannya
sampai masuk ke kepala dan orang itu roboh berkelojotan
sebentar lalu diam dan tewas. Ayu Candra yang terus
mencecer baglan mata, hampir berhasil pula, akan tetapi
tiba-tlba Tejolaksono berseru,
"Jangan bunuh, aku hendak menangkapnya!" Ayu
Candra mundur dan Tejolaksono menerjang, menghantam
roboh orang itu dengan memukul dadanya. Orang iu
terbanting roboh, merangkak hendak bangun akan tetapi
kena dipiting oleh Tejolaksono sehingga tak mampu
berkutik lagi. Pada saat itu, beberapa orang pengawal yang
mendengar ribut-ribut di taman, sudah datang dan atas
perintah Tejolaksono mereka segera menelikung orang
tinggi besar itu sampai tak mampu berkutik.
"Pusporini .............. dia dilarikan penjahat .............. !"
"Lekas kau kejar, Kakangmas .............. I II
Mendengar ucapan Roro Luhito dan Ayu Candra ini,
bukan main kagetnya hati Tejolaksono. Tubuhnya
berkelebat cepat mengejar ke arah yang ditunjuk oleh dua
wanita itu. Roro Luhito dan Ayu Candra segera menyusul
dan berpencar untuk mencari Pusporini yang diculik.
Akan tetapi mereka bertiga tidak dapat menemukan jejak
Pusporini, sebaliknya mendapatkan keadaan para penjaga
yang kacau-balau! Para penjaga di utara dan timur
kehilangan sepuluh orang perajurit sedangkan enam orang
luka-luka dalam perang tanding sendiri akibat kekacauan
keadaan yang gelap-gulita dan penuh godaan iblis.
Sedangkan para penjaga di sebelah selatan dan barat lebih
celaka lagi keadaannya. Mereka semua tertidur dalam
keadaan tidak karuan, ada yang bertelanjang bulat, ada
yang tertawa-tawa seperti orang mabuk, bersikap seperti
orang kegilaan wanita, dan dua puluh orang di antara
mereka lenyap. Adipati Tejolaksono terpaksa kemball ke gedung
kadipaten dan memanggil semua pembantunya mendengar
pelaporan mereka yang aneh. Malam itu Kadipaten
Selopenangkep geger dan mengalami kerugian besar. Enam
orang luka-luka dan tiga puluh orang perajurit lenyap,
Pusporinii terculik dan sebagai gantinya hanya dapat
membunuh tiga orang laki-lakl gundul dan menawan
seorang. Roro Luhito pucat mukanya, dan hanya dengan
kekerasan hati saja wanita tua perkasa ini dapat menahan
tangisnya. "Aduh, Anaknda Adipati, bagaimana dengan
nasib Pusporini .............. ?" Ia mengeluh.
Tejolaksono dan Ayu Candra juga gelisah memikirkan
Pusporini. Tejolaksono menghibur, "Kita harus tenang,
Kanjeng Bibi. Saya rasa Cekel Wisangkoro tidak akan
begitu bodoh untuk mengganggu Pusporini, karena kalau ia
melakukan hal itu, kalau terganggu seujung rambutpun dari
Pusporini, ia tahu bahwa Tejolaksono akan mencarinya
sampai dapat dan akan menghancurkan kepalanya!"
Berkata demikian sang adipati tampak marah sekali,
kemudian ia menghela napas panjang untuk menekan
perasaannya. "Agaknya dia menangkap Pusporini dengan maksud
untuk memaksa kita menyerah, Akan tetapi, saya akan
berusaha merampas Pusporini kembali. Karena itu,
kebetulan sekali kita dapat menawan hidup-hidup seorang
di antara empat iblis gundul itu. Heh, pengawal, seret
tawanan itu ke sini!"
Tawanan laki-laki tinggi besar gundul yang sudah
ditelikung seperti ayam itu diseret ke depan Tejolaksono.
Adipati ini terhetan-heran melihat betapa tawanan ini sama
sekali tidak mengeluh, juga sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang
seperti wajah mayat. Ia berusaha mengorek rahasa dari
tawanan ini dengan janji-janji manis dan ancaman-ancaman
mengerikan, namun tawanan itu hanya memandang dengan
mata melotot dan bodoh, tidak menjawab, mengangguk
tidak menggelengpun tidak!
"Hemm, engkau jangan berpura-pura bodoh!" bentak
sang adipati. "Melihat kepandaian, kekebalan dan sepak
terjangmu, engkau bukan orang bodoh! Hayo mengakulah,
ke mana Pusporini adikku dibawa pergi. Kalau engkau
mengaku, dan mau membawaku ke sana, aku tidak akan
membunuhmu. Akan tetapi kalau tidak, hemm ..............
engkau akan kusuruh hukum picis!" Hukum picis adalah
hukuman yang amat mengerikan pada waktu itu. Tubuh
seorang tawanan akan diikat dan di situ disediakan
sebatang pisau tajam, air asam garam. Setiap orang
perajurit akan mengerat tubuh si tawanan dan menyiramkan air asam garam pada luka guratan itu. Dapat
dibayangkan betapa hebat penderitaan yang akan dialami
orang yang dihukum picis sebelum ia mati kehabisan darah.
Namun tawanan itu hanya melototkan mata makin lebar
saja, tak menyatakan sesuatu, baik dengan suara maupun
gerakan. Ia hanya mengerahkan tenaga untuk melepaskan
diri dari ikatan. Melihat ini, sang adipati menjadi curiga,
lalu menggunakan jari tangan untuk menusuk beberapa
bagian jalan darah di tubuh tawanan itu. Ia tidak
menyaksikan gerakan tubuh yang mengerahkan kekebalan
atau hawa sakti, akan tetapi jarinya yang menusuk perlahan
itu meleset! Ia mengangguk-angguk, lalu memegang kepala
orang itu dan membuka pelupuk matanya memeriksa biji
mata yang selalu dipelototkan.
"Ahhhhh .............. sungguh kasihan orang ini ..............
" Ia berkata kemudian sambil memberi isyarat kepada
pengawal untuk membawa pergi si tawanan. Kemudian ia
duduk termenung. "Apakah artinya semua itu, kakangmas?" tanya Ayu
Candra. Juga Roro Luhito tidak mengerti.
"Si keparat Cekel Wisangkoro atau siapa saja yang
melakukan perbuatan-perbuatan keji itu. Orang-orang itu
bergerak bukan atas kehendak sendiri. Mereka seperti
mayat-mayat yang telah dikuasai oleh iblis-iblis itu, tubuh
mereka kebal dan mereka amat kuat dan pandai berkelahi
hanya karena berada dalam pengaruh sihir yang amat kuat!
Tentu saja dia tidak dapat menjawab karena dalam keadaan
seperti itu, mereka tidak tahu apa-apa, tidak dapat bicara,
"hanya dapat bergerak untuk menghancurkan segala yang
merintangi mereka, sesuai dengan perintah rahasia yang
diberikan oleh iblis berupa manusia melalui getaran dalam
otak mereka. Dia itu telah mati, mati dalam hidup. Hanya
jasmaninya saja yang hidup akan tetapi perasaan dan
semangatnya telah berada dalam genggaman orang yang
menguasai mereka." "Si bedebah! Kalau begitu, anakku .............." Roro
Luhito menahan kata-katanya dan mengerutkan keningnya.
"Aduh, Kakangmas, bagaimana dengan Pusporini?"
"Harap Kanjeng Bibi dan engkau Yayi, tenang pada saat
seperti ini. Sudah menjadi kenyataan bahwa Pusporini
ditawan musuh. Akan tetapi itu hanya merupakan satu di
antara akibat perang yang kita hadapi. Perang yang aneh
melawan orang-orang yang seperti iblis. Kita belum kalah
dan kita harus mempertahankan diri di Selopenangkep.
Pada waktu ini, yang terpenting adalah menjaga agar
musuh tidak sampai dapat menguasai Selopenangkep.
Kalau aku membawa pasukan mencari Pusporini, atau
pergi mengejar, berarti keadaan Selopenangkep akan
kosong dan lemah. Agaknya memang siasat ini dipergunakan musuh untuk memancing aku keluar dari
kadipaten. Biarlah kita bersabar, menjaga kadipaten sambil
menanti datangnya Kakang Mundingyudo yang tentu akan
membawa bala bantuan dari Panjalu. Kita akan
menghancurkan musuh dan percayalah, Sang Hyang Widhi
tentu akan melindungi Pusporini. Orang yang benar pasti
akan mendapat kemenangan terakhir."
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Biarpun perasaan hati mereka hancur dan penuh
kegelisahan, namun kedua orang wanita itu harus
membenarkan pendapat sang adipati ini, maka mereka tak
dapat berbuat lain kecuali berprihatin sambil memperkuat
penjagaan dan mempertebal kewaspadaan.
-oo0dw0oo- Laki-laki tinggi besar berkepala - gundul yang menculik
Pusporini, terus lari meninggalkan kota Kadipaten
Selopenangkep. Dia keluar dari kadipaten melalui pintu
gerbang selatan di mana para penjaganya tertidur semua
setelah tergoda oleh tujuh belas orang wanita cantik. Tentu
saja dengan mudah ia dapat keluar dari pintu gerbang itu
tanpa terhalang. Larinya cepat sekali, dengan langkah lebar
dan selama itu, laki-laki ini tidak pernah mengeluarkan
kata-kata, juga mukanya yang tersinar bulan tidak
menyatakan atau membayangkan sesuatu. Keadaan laki-
laki ini tiada bedanya dengan empat orang gundul yang
menyerbu Kadipaten Selopenangkep dan yang dirobohkan
oleh Adipati Tejolaksono. Laki-laki ini hanya bergerak
menurutkan yang memerintahnya dan kini iapun lari
menuju ke arah datangnya getaran yang menguasainya,
menuju ke sebuah bukit kecil di sebelah barat.
Pusporini yang tadi tertidur pulas akibat aji penyirepan,
kini setelah agak lama dibawa lari dan mukanya tertiup
angin malam yang dingin, mulai sadar. Mula-mula ia
membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa
.kagetnya ketika ia mendapatkan dirinya dipondong oleh
seorang laki-laki tinggi besar dan dibawa lari di malam
gelap! Karena marah dan kaget, tubuhnya bergerak dan
biarpun laki-laki itu seperti boneka hidup, namun pengaruh
yang menguasainya membuatnya cerdik sekali dalam
menghadapi lawan. Ketika merasa betapa gadis dalam
pondongannya bergerak, cepat laki-laki itu menangkap
pergelangan tangan Pusporini, digenggam dalam jari-jari
tangan kirinya yang panjang dan kuat seperti jepitan besi,
sedangkan lengan kanannya merangkul kedua kaki dara
remaja itu sehingga Pusporini tak dapat berkutik lagi!
"Lepaskan aku.............. ! Bedebah .............. lepaskan
aku ............!!" Ia berteriak-teriak sambil meronta-ronta.
Namun sia-sia belaka. Laki-laki itu sama sekali tidak
menjawab, dan ia hanya dapat menggerakkan pinggangnya
meronta-ronta sedangkan kaki tangannya sama sekali tidak
dapat terlepas dari pergelangan laki-laki tinggi besar Itu.
Tentu saja, dalam hal tenaga kasar, Pusporini sama sekali
bukan tandingan laki-laki ini. Akhirnya dara remaja yang
cerdik ini sadar bahwa mengandalkan tenaga kasar, ia
takkan mungkin dapat terbebas. Ia tidak meronta lagi, juga
tidak mengeluarkan suara lagi, bahkan mengendurkan
tubuhnya bersandar pada pundak laki-laki itu, meramkan
mata mencari akal. Teringat ia akan dongeng yang pernah
diceritakan ibunya tentang Dewi Shinta yang diculik dan
dilarikan Sang Prabu Dhasamuka. Keadaannya sekarang ini
persis dengan dongeng yang diceritakan ibunya itu. Ia
dipondong dalam keadaan tidak berdaya dan dibawa lari.
Laki-laki ini tinggi besar dan mengerikan, patut pula
menjadi Prabu Dhasamuka. Dan teringat akan hal ia ingat
pula bahwa ibunya menceritakan betapa Dewi Shinta dapat
dirampas dari tangan Dhasamuka oleh burung saktt
Jentayu, akan tetapi Dewi Shinta yang merasa ngeri karena
jatuh ke cengkeraman burung raksasa, lalu mempergunakan
aji kesaktian memberatkan tubuh sehingga terlepas dari
cengkeraman burung yang tidak kuat membawanya. Aji
memberatkan tubuh itu telah ia tanyakan kepada
rakandanya sang adipati yang juga menjadi gurunya. Dan
sang adipati yang sakti mandraguna telah mengajarkan aji
seperti itu! Teringat akan ini, Pusporini lalu meramkan mata seperti
orang samadhi, mengheningkan cipta menenteramkan
batinnya, kemudian ia berkemak-kemik membaca mantera
sambil menekan dan menyalurkan hawa sakti dari dalam
pusarnya. Aji kesaktian ini oleh Tejolaksono diberi nama
Aji Argoselo dan kini tubuh Pusporini terasa berat seperti
sebongkah batu gunung. Orang tinggi besar itu tiba-tiba
mengeluarkan suara "uh-uhh .............. !" dan langkahnya
terhuyung-huyung. Hampir ia tidak kuat dan karena ini
tangan kirinya melepaskan kedua lengan Pusporini untuk
membantu memeluk kedua kaki dara ini agar tidak terlepas.
Kesempatan inilah yang dinanti-nanti Pusporini. Ia
menahan napas, membelalakkan kedua matanya dan
menyalurkan hawa sakti menjadi tenaga dahsyat kepada
kedua tangannya yang sudah ia isi dengan Aji Pethit Nogo.
Kini kedua tangannya bergerak, dari kanan kiri menghimpit
kepala orang yang memondongnya itu dalam hantaman
yang tiba-tiba, cepat dan kuat.
Orang itu terhuyung, ikat kepalanya terlepas dan
tampaklah kepalanya yang gundul, kedua tangannya yang
memeluk kaki Pusporini dilepaskan untuk memegang
kepalanya yang serasa akan pecah. Kesempatan ini
dipergunakan Pusporini untuk meloncat turun dari atas
pondongan lawan, memandang terbelalak heran melihat
kepala orang itu tidak pecah oleh pukulan Pethit Nogo yang
dilakukannya amat kuat tadi.
Tidak, sama sekali orang laki-laki tinggi besar berkepala
gundul itu tidak mati, bahkan robohpun tidak. Setelah
terhuyung-huyung, laki-laki itu dapat pulih kembali dan
kini menerjang dengan kedua lengan terpentang, hendak
menubruk dan menangkap kembali tawanannya yang
terlepasl Namun tubrukannya hanya mengenai angin belaka
karena tahu-tahu tubuh dara remaja itu sudah melejit
lenyap dan berpindah tempat di sebelah kanannya,
langsung mengirim tamparan lagi dengan Aji Pethit Nogo
yang mengenai lehernya. "Plakkkk!!" Kembali orang itu terpelanting, namun segera bangkit
lagi dan menghadapi Pusporini dengan mata melotot. Bulu
tengkuk dara ini meremang. Dua kali pukulannya tadi amat
hebat, dan dengan pukulan-pukulan itu kiranya batu
gunungpun akan terpukul pecah. Akan tetapi kenapa orang
ini mengeluhpun tidak" Ia telah mempelajari banyak
macam aji-aji yang ampuh dari Adipati Tejolaksono, akan
tetapi pukulannya yang terampuh adalah Aji Pethit Nogo.
Ketika melihat orang itu menyerangnya lagi hendak
menangkap, dengan mudahnya Pusporini mengelak.
Dengan aji keringanan tubuh Bayu Sakti, tentu saja dengan
mudah ia dapat menghindarkan setiap serangan laki-laki
tinggi besar yang baginya terlalu lamban ini, akan tetapi ia
masih penasaran kalau belum dapat memukul roboh orang
yang telah menculiknya ini. Berkali-kali ia memukul dan
mengeluarkan semua aji pukulannya, namun orang itu
hanya terhuyung, paling-paling terjungkal untuk bangkit
kembali dan menerjangnya makin hebat!
"Eh-eh, engkau ini manusia ataukah iblis" Disuruh
mampus saja kok tidak mau, keparat!" Pusporini memaki,
akan tetapi sebetulnya di dalam hatinya, ia merasa ngeri
dan serem. Sekali lagi ia mengelak sambil mengirim
pukulan keras yang membuat tubuh laki-laki tinggi besar itu
terguling-guling, dan ketika laki-laki itu seperti tadi bangkit
berdiri lagi, Pusporini telah hilang dari tempat itu karena
dara remaja ini dengan penuh kengerian telah melarikan
diri. Siapa orangnya tidak akan merasa ngeri kalau
bertanding melawan orang nekat macam itu" Sampai lelah
kedua tangannya memukul dan orang itu berkali-kali jatuh
lalu bangun lagi! Karena Pusporini mempergunakan Aji Bayu Sakti yang
membuat larinya seperti seekor kijang muda, maka laki-laki
tinggi. besar itu tertinggal jauh, bahkan laki-laki itu
mengejar ke arah yang berlainan! Akan tetapi, biarpun
semenjak kecil digembleng olah keperajuritan dan tata
kelahi, Pusporini tidak pernah keluar dari Kadipaten
Selopenangkep. Apalagi setelah Sang Adipati Tejolaksono
menghapuskan kebiasaan berburu, dara remaja ini tidak
mengenal daerah di luar Selopenangkep. Tadi ketika
diculik, ia berada dalam keadaan pulas sehingga tidak tahu
dibawa ke mana. Sekarang, barulah ia menjadi bingung
karena tidak tahu ke mana jalan pulang ke Selopenangkep.
Tanpa ia sadari, la bukannya menuju kembali ke
Selopenangkep, melainkan menyusup makin dalam ke
hutan yang lebat. Juga tidak tahu bahwa gerak-geriknya
semenjak bertanding melawan orang tinggi besar tadi telah
diperhatikan oleh banyak orang!
Tengah malam telah lewat dan bulan sepotong yang
keluarnya hampir tengah malam itu kini sudah naik tinggi,
menyinarkan cahaya yang redup namun cukup terang,
menimbulkan suasana yang amat indah menyeramkan di
dalam hutan! Pusporini mulai merasa bingung ketika hutan
yang dilaluinya makin lama makin liar dan gelap. Agak lega
hatinya ketika di tengah-tengah hutan liar itu ia
mendapatkan sebuah lapangan yang luasnya ada seratus
meter, berbentuk bundar dan lapangan terbuka ini tidak
ditumbuhi pohon sehingga sinar bulan terang memenuhi
lapangan itu. Rumput hijau tebal menutupi lapangan seperti
permadani hijau dibentangkan, amat indah dan bersihnya.
Pusporini mengambil keputusan untuk beristirahat dan
melewatkan malam itu di tempat ini. Besok kalau matahari
sudah menerangi bumi, ia akan dapat keluar dari hutan ini
dan pulang, pikirnya. Tempat ini amat enak, juga ia dapat
memandang ke sekelilingnya tanpa terhalang pohon
sehingga kalau ada musuh mendatang, jauh-jauh sudah
akan melihatnya. Sambil menghela napas lega dara remaja
ini duduk dan melenggut saking mengantuk dan lelahnya.
Kadang-kadang ia membuka mata dan memandang ke
sekelilingnya yang sunyi untuk melihat kalau-kalau si
gundul mengerikan tadi datang mengejarnya. Sebenarnya
hal ini tidak perlu ia lakukan karena kalau ada orang datang
berlari menghampirinya, tentu pendengarannya yang tajam
akan dapat menangkap langkah kakinya. Akan tetapi, bagaimana pendengarannya akan dapat
menangkap kalau benda- benda bergerak itu menghampirinya tanpa melangkahkan kaki, melainkan merayap seperti
segerombolan ular" Dan bagaimana ia dapat melihat
mereka itu kalau mereka menyusup-nyusup di antara
rumput-rumput yang tebal dan tinggi" Tidak, Pusporini sama sekali tidak tahu,
menyangkapun tidak bahwa pada saat itu, ada belasan
orang mengurungnya dari semua penjuru, menghampirinya
sambil merayap di antara rumput tanpa mengeluarkan
suara! Mereka itu adalah orang-orang wanita, masih muda-
muda. Ketika mereka ini merayap, dengan pinggang
ramping bergerak-gerak, pinggul ke kanan kiri, pakaian
setengah telanjang, mereka merupakan binatang-binatang
yang amat aneh! Pusporini sedang melenggut ketika tiba-tiba tubuhnya
ditubruk oleh empat orang wanita yang menggelut dan
memitingnya dengan gerakan seperti ular-ular membelit
leher, lengan dan kaki. Dara remaja ini menjerit saking
kaget dan ngerinya. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang
mengeroyok dan menggelutnya adalah empat orang wanita,
kemarahannya bangkit. Apalagi ketika ia melihat betapa
kini tampak belasan orang wanita lain telah mengurungnya.
Ia meronta, mengerahkan tenaga dan menggerakkan kaki
tangan. "Plak-plak-buk-desss II": Kini empat orang wanita itu
yang menjerit dan tubuh mereka terlempar oleh pukulan
dan tendangan si dara perkasa. Akan tetapi empat orang
dirobohkan, belasan orang menyerbu dan kembali tubuh
Pusporini sudah digelut. Pusporini marah sekali dan selagi
ia hendak mengamuk, tiba-tiba mukanya disiram bubukan
putih yang mengenai mata dan hidungnya. Seketika
Pusporini gelagapan, kedua tangannya menutupi mata dan
ia terbangkis-bangkis. Kiranya orang telah menyerang
mukanya dengan bubukan merica! Bukan main pedih
matanya, sampai bercucuran air mata dan betapapun ia
menahan, tetap saja ia terbangkis-bangkis sampai terbungkuk-bungkuk. Ia sampai tidak merasa bahwa kedua
kaki tangannya sudah ditelikung seperti seekor domba
hendak disembelih dan ketika tubuhnya dipanggul oleh para
wanita itu, ia masih saja bercucuran air mata dan
terbangkis-bangkis, ditertawai oleh mereka yang menawannya. "Setan! hidungku terus mengucurkan darah, mimisen!"
"Gigiku patah dua, yang depan lagi. Sialan!"
"Perutku masih mulas terus terkena tendangannya!"
"Lihat garesku, matang biru dan aku akan terpincang
sampai beberapa hari."
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat orang wanita yang terkena hantaman dan
tendangan Pusporini tadi memaki-maki dan mengancam
hendak membunuh Pusporini. Terdengar suara seorang di
antara mereka, yang tercantik dan melihat lagaknya tentu ia
pimpinan rombongan wanita itu,
"Sudahlah, Ni Dewi menghendaki kita menangkapnya
hidup-hidup, tidak boleh diganggu, masa kalian berani
hendak membunuhnya" Kalau tidak ada pesan Ni Dewi,
apa kaukira aku suka malam-malam susah-payah menangkapnya hidup-hidup" Dia ini adik adipati di
Selopenangkep, amat dibutuhkan oleh sang wasi
Terdengar suara di sana-sini dalam rombongan wanita
yang kini berjalan pergi sambil memanggul tubuh
Pusporini, diseling ketawa cekikikan.
"Wah, agaknya dia ini terpilih oleh sang wasi?"!" kata
suara yang kecil tinggi penuh iri hati.
"Tentu saja! Sang wasi cukup waspada dalam memilih.
Bocah ini seorang dara remaja yang cantik jelita. Lihat saja
kulitnya begini halus, tertimpa sinar bulan seperti kencana
saja. Dan mata yang kini tertutup mempunyai bulu mata
begitu panjang melengkung, bukan main. Kau ingat
matanya tadi ketika terbelalak" Begitu lebar, indah dan
bening. Dia masih dara remaja, bagaikan bunga seperti
kuncup baru mekar sedang harum-harumnya, bagaikan
buah seperti buah ranum mentah tidak matang tidak sedang
lezat-lezatnya. Tidak seperti engkau!"
"Kalau aku mengapa" Jangan lancang mulut kau!"
"Hi-hik! Kalau dia itu bagaikan bunga mulai melayu dan
buah mulai membusuk!!" sambung suara lain.
"Mana pantas untuk sang wasi" Paling-paling menjadi
mangsa Ki Kalohangkoro, hi-hik!" kata suara lain lagi.
"Apa" Kalian ini benar-benar bermulut busuk, penuh bau
kotor! Kucakar muka kalian baru tahu .............. !"
"Ssttt .............! Diamlah kalian. Ribut saja! Ni Dewi
ingin agar kita cepat membawa Pusporini menghadap untuk
melengkapi upacara sesaji di malam Respati. Kalau kalian
ribut mulut saja, bagaimana perjalanan dapat dilakukan
cepat-cepat?" tegur sang pemimpin dan rombongan wanita
itu tidak berani saling maki lagi, hanya mengutarakan
kemarahan dengan pandang mata saling melotot.
Siapakah rombongan wanita ini" Mereka itu rata-rata
masih muda, bahkan ada beberapa orang di antara mereka,
terutama pemimpinnya berwajah cantik dan bertubuh
langsing menggairahkan. Gerakan mereka gesit-gesit, tanda
bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka ini
sesungguhnya masih sekawan dengan tujuh belas orang
wanita cantik yang menggoda para penjaga Kadipaten
Selopenangkep dan kemudian menculik dua puluh orang
penjaga. Mereka adalah anak buah dari pesanggrahan
Durgaloka, sebuah pesanggrahan atau perkumpulan yang
terdiri dari wanita semua, wanita-wanita muda yang
kesemuanya dilatih dalam pelbagai ilmu kesaktian,
dipimpin oleh seorang wanita cantik bernama Ni Dewi
Nilamanik. Perkumpulan ini adalah wanita-wanita penyembah Sang Hyang Bathari Durga dan pada waktu itu
mempunyai markas di puncak Gunung Mentasari.
Semenjak Sang Bhagawan Kundilomuko pemimpin para
penyembah Sang Bhatari Durga di hutan Gumuk-mas
dihancurkan oleh Endang Patibroto (baca Badai Laut
Selatan), maka perkumpulan-perkumpulan penyembah
Dewi Kejahatan itu tidak berani muncul lagi dan kalaupun
ada rombongan-rombongan kecil pemuja Sang Bhatari
Durga, maka rombongan ini tidaklah begitu menonjol dan
tidak mempengaruhi atau meluaskan pengaruhnya kepada
penduduk dusun. Akan tetapi secara tiba-tiba di puncak Gunung Mentasari
muncul perkumpulan ini yang mempunyai anggauta
sembilan puluh sembilan orang! Dan secara terang-terangan
perkumpulan ini mulai mengembangkan pengaruhnya di
sekitar Gunung Mentasari, bahkan mulai memasuki daerah
Selopenangkep. Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui
bahwa perkumpulan ini masih erat hubungannya dengan
Kerajaan Cola. Seperti ternyata dalam pertemuan antara Ki
Tunggaljiwa dengan dua orang pendeta, Wasi Bagaspati
adalah seorang pendeta pemuja Sang Bathara Shiwa yang
menjadi kaki tangan Kerajaan Cola. Dan Ni Dewi
Nilamanik, pemimpin Agama Durga itu, adalah tangan
kanan, bahkan bekas kekasih Wasi Bagaspati! Kalau Wasi
Bagaspati kadang-kadang menamakan dirinya Shiwamurti
dan mengaku sebagai titisan Sang Hyang Shiwa, adalah Ni
Dewi Nilamanik ini mengaku sebagai titisan Sang Bathari
Durga! Di samping Ni Dewi Nilamanik, bersama
rombongan Wasi Bagaspati terdapat pula seorang
pembantu yang amat diandalkan, yaitu Ki Kolohangkoro
yang mengepalai para pemuja Sang Bathara Kala! Malah
keadaan anak buah Ki Kolohangkoro ini lebih kuat
daripada anak buah Ni Dewi Nilamanik, terdiri dari orang-
orang tinggi besar yang berilmu tinggi, sebanyak seratus
orang lebih! Pada malam Respati, di puncak Gunung Mentasari
diadakan upacara pemujaan Sang Hyang Bathari Durga. Di
atas sebuah lapangan rumput yang terbuka dan mendapat
cahaya bulan yang kehiiauan, berdiri tiga macam arca yang
hesar, arca Sang Bathari Durga. Sebelah kiri berdiri arca
Sang Bathari Durga sebagai Dewi Maut, dalam bentuk yang
amat mengerikan sekali. Bertubuh seorang raksasa wanita,
rambutnya gimbal sampai ke tanah, kedua kakinya
menginjak tengkorak manusia, payudaranya (buah dadanya) panjang tergantung sampai ke perut, lidahnya
lebih panjang lagi, seperti seekor ular, sihungnya panjang
meruncing dan kuku jari tangannya panjang-panjang pula.
Yang berdiri di sebelah kanan Sang Bathari Durga Bucari,
tubuhnya mengeluarkan api menyala-nyala, tubuhnya
ramping menggairahkan, dada terbuka, akan tetapi
mukanya juga muka raksasa betina, wajahnya membayangkan kebengisan dan kekejaman. Arca ke tiga
yang berdiri di tengah, menggambarkan Sang Hyang
Bathari Durga dalam bentuk seorang wanita yang cantik
jelita, wajahnya yang cantik itu tersenyum memikat penuh
nafsu berahi, tubuhnya yang langsing setengah telanjang
memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang menggairahkan.
Di depan tiga buah arca ini penuh dengan kembang-
kembang dan barang-barang sesaji terdiri dari makanan-
makanan dan daging-daging mentah, dan asap kemenyan
dan dupa mengepul tinggi.
Di sebelah kiri lapangan itu belasan orang wanita
menabuh gamelan yang iramanya riang gembira menyelimuti suara orang-orang yang bercakap-cakap dan
bersendau-gurau. Ni Dewi Nilamanik duduk di atas sebuah
kursi yang terukir indah, melayani beberapa orang tamu
bercakap-cakap dan bersendau-gurau, tamu-tamu yang baru
saja tiba dan dipersilahkan duduk di kursi-kursi kehormatan
yang berkelompok tak jauh dari tiga buah arca itu. Ni Dewi
Nilamanik adalah seorang wanita yang usinya sudah empat
puluh tahun lebih, akan tetapi masih tampak cantik menarik
dengan gerak-gerik yang luwes. Dia termasuk di antara
wanita-wanita yang biarpun usianya sudah lanjut namun
masih belum ditinggalkan daya tarik yang khas. Bahkan
tampak kematangan lahir batin yang membuat gerak-
geriknya terkendali dan tenang, wajahnya dapat membayangkan hati dingin seperti embun pagi hari di
puncak Mahameru, di waktu panas membayangkan
kegairahan yang membakar. Pakaiannya indah sekali,
dengan warna menyolok. Baju merah tipis sekali
membayangkan kulit pundak dan lengan serta punggung
yang putih kuning, belum kisut masih padat berisi, juga
membayangkan kemben pembungkus pinggang yang
ramping dan singset. Kainnya berkembang dengan dasar
warna hijau yang membungkus ketat tubuh dari perut
sampai ke mata kaki. Sepasang kakinya tampak kecil dan
bersih halus, kaki yang terpelihara baik-baik sehingga
tumitnya halus kemerahan dan kuku jari kaki mengkilap.
Dia seorang wanita cantik yang masak, hanya sayang
bibirnya yang merah basah itu kadang-kadang membayangkan senyum yang penuh kekejaman dan dingin
menusuk jantung, sepasang matanya kadang-kadang
mengerling tajam penuh kegairahan, mata seorang wanita
pengabdi nafsu berahi. Inilah Ni Dewi Nilamanik, yang
selain cantik jelita, juga memiliki ilmu kesaktian yang
hebat. Dia seorang wanita berasal dart pesisir Banten yang
sudah amat terkenal di daerah Banten akan tetapi baru
sekarang ini terbawa oleh gerakan Kerajaan Cola bertualang
ke timur. Ni Dewi Nilamanik yang mengaku sebagai titisan
Sang Bathari Durga sendiri. Ketika bercakap-cakap dengan
para tamu, kadang-kadang bibirnya yang merah itu terbuka
dan tampaklah deretan gigi putih berkilau.
Yang mendapat kehormatan duduk di atas kursi-kursi
kehormatan mengitari sebuah meja besar bersama Ni Dewi
Nilamanik hanya beberapa orang saja. Pertama-tama, yang
mendapat kursi pertama di sebelah kanannya, adalah
seorang kakek tinggi kurus bermuka merah yang tertawa-
tawa dan suaranya keras nyaring. Dia ini bukan lain adalah
Sang Wasi Bagaspati sendiri! Hanya terhadap Wasi
Bagaspati inilah Ni Dewi Nilamanik bersikap menghormat,
agak berlebihan, bahkan tadi ketika Wasi Bagaspati dan
rombongannya tiba, Ni Dewi Nilamanik menyambutnya
dengan sembah dan mencium ujung kakinya! Tidaklah
mengherankan karena Wasi Bagaspati ketua Agama Shiwa
ini adalah junjungannya, kekasihnya, juga sebagian
daripada ilmu-ilmunya yang hebat ia pelajari dari kakek
inilah! Seperti ketika ia mengunjungi puncak Merapi
dahulu, sekarangpun kakek ini memakai jubah pendeta
yang berwarna merah darah sehingga rambutnya yang
panjang putih itu tampak seperti perak! Hanya bedanya,
kalau dahulu pakaiannya itu sederhana, kini terbuat
daripada sutera halus berkilauan dan kedua kakinya juga
memakai alas kaki jepitan. Rambut yang putih itu kini ia
gelung ke atas dan diikat dengan sehelai kain sutera merah
pula. Anak buah Wasi Bagaspati amatlah banyaknya,
merupakan sebagian daripada pasukan Kerajaan Cola yang
bergerak memasuki wilayah Panjalu. Akan tetapi yang pada
saat itu mengiringkannya untuk menghadiri upacara
pemujaan Sang Bathari Durga pada malam Respati itu
hanya beberapa orang muridnya terkasih, yaitu pertama-
tama adalah Sariwuni yang selain menjadi murid Wasi
Bagaspati,juga tentu saja menjadi kekasihnya pula. Di
samping ini, juga Sariwuni adalah seorang penyembah
Durga, maka tentu saja ia hadir dalam pesta itu untuk
membantu Ni Dewi Nilamanik. Sariwuni yang sudah kita
kenal, yang cantik molek inipun kini berpakaian indah, dan
sikapnya terhadap Wasi Bagaspati jelas amat menjilat!
Cekel Wisangkoro juga hadir sebagai abdi (cekel) sang
wasi, juga sebagai murid yang sudah tinggi tingkat ilmunya.
Rambut Cekel Wisangkoro yang panjang penuh uban
dibiarkan terurai sampai ke pinggang. Jubahnya berwarna
kuning dengan hiasan merah di pinggirnya. Tubuhnya juga
tinggi kurus seperti gurunya, akan tetapi melihat, hidungnya
yang seperti paruh burung betet, ia lebih kentara keturunan
Hindu daripada gurunya. Karena keyakinan ilmu hawa
sakti yang sama dengan gurunya, wajah sang cekel inipun
halus kemerahan. Tongkat hitam berbentuk ular tak pernah
terlepas dari tangan kanannya. Cekel Wisangkoro yang kini
hadir di antara "orang-orang tinggi", tampak sungkan-
sungkan dan tidak banyak bicara.
Masih ada dua losin pengikut Sang Wasi Bagaspati, laki-
laki yang rata-rata bertubuh kuat dan berkepala gundul,
yang wajahnya seperti arca. Mereka ini sesungguhnya anak
buah Cekel Wisangkoro, orang-orang yang semangat dan
pikirannya telah dikuasai oleh Cekel Wisangkoro dengan
cengkeraman ilmu hitam. Akan tetapi dua puluh empat
orang mayat hidup ini hanya duduk di atas tikar-tikar
pandan yang dihamparkan di atas tanah, mereka duduk
berjajar seperti arca. Di sebelah Cekel Wisangkoro duduk seorang laki-laki
berusia kurang lebih lima puluh tahun dan keadaan jasmani
laki-laki ini sungguh amat menyeramkan. Dia paling tinggi
besar di antara semua yang hadir, seorang raksasa yang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuhnya membayangkan tenaga kasar yang dahsyat.
Duduknya tegak, sikapnya agung dan matanya melotot
galak, tidak banyak cakap akan tetapi kalau sekali-kali
bicara menjawab pertanyaan Ni Dewi Nilamanik, suaranya
nyaring parau seperti suara geluduk dan sepasang anting-
anting atau gelang emas di kedua telinganya bergoyang-
goyang. Inilah Ki Kolohangkoro yang mengepalai para
pemuja Bathara Kala. Dia bersama anak buahnya yang
tidak kurang dari seratus orang merupakan bala bantuan
yang amat kuat bagi pergerakan yang dipimpin oleh Wasi
Bagaspati. Kolohangkoro ini adalah adik seperguruan Wiku
Kalawisesa, akan tetapi ia sakti mandraguna melebihi kakak
seperguruannya yang dulu tewas di tangan Endang
Patibroto itu. Bahkan ia menganggap dirinya sebagai
penjelmaan Sang Bathara Kala sendiri, maka di dunia ini
hanya dua orang yang ia hormati, yaitu pertama adalah
Wasi Bagaspati yang dianggap titisan Sang Hyang Shiwa
sendiri, dan kedua Ni Dewi Nilamanik yang dianggap
titisan Bathari Durga. Bukankah Bathara Kala adalah
putera sepasang tokoh dewa yang hebat itu"
Di antara seratus orang anak buahnya, hanya tiga puluh
orang yang ia ajak ikut menghadiri pesta perayaan untuk
memuja Bathari Durga ini. Anak buahnya ini rata-rata juga
tinggi besar dan kasar. Mereka duduk berkelompok di dekat
para penabuh gamelan, bersendau-gurau, bercakap-cakap
dan menggoda wanita-wanita penabuh gamelan dengan
sikap terbuka tanpa.............. malu-malu lagi.
Di bagian tamu kehormatan masih terdapat beberapa
orang tamu laki-laki yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh
kaum sesat di sebelah barat yang sudah terbujuk oleh Wasi
Bagaspati dan menjadi sekutunya untuk menghadapi
Panjalu dan Jenggala. Mereka ini adalah kepala-kepala
rampok dan kepala-kepala bajak, yang merajai hutan-hutan,
gunung, dan sungai-sungai. Mereka datang menghadapi
pesta bersama beberapa orang pembantu mereka yang
pilihan. Di antara para tokoh ini tampak Gagak Dwipa dan
Gagak Kroda, yaitu dua orang di antara Lima Gagak
Serayu yang masih hidup. Tiga orang Gagak lainnya telah
tewas di tangan Adipati Tejolaksono. Anak buah mereka
inipun masih banyak, akan tetapi yang mereka bawa pada
malam hari itu hanya belasan orang saja. Dengan adanya
para tamu yang jumlahnya amat banyak ini, maka ramailah
lapangan di puncak Gunung Mentasari pada malam Respati
itu. Suara gamelan mengungkung, alunan getaran paduan
suara gamelan melayang sampai jauh ke lereng-lereng
Gunung Mentasari. Suara ini mengiringi nyanyian
waranggana yang merdu merayu dan menghidangkan
bermacam-macam tembang. "Ha-ha-ha-ha, suasana dalam pesta yang sudah-sudah
tidaklah segembira malam hari ini. Entah mengapa, hatiku
senang sekali!" Demikian kata Wasi Bagaspati sambil
memandang ke arah wajah Ni Dewi Nilamanik............... "
"Kebahagiaan hati Rakanda Wasi ini menandakan
bahwa malam ini diberkahi oleh Sang Hyang Bathara
Shiwa, dan saya merasa yakin bahwa Rakanda akan
menjadi makin berbahagia kalau melihat apa yang akan
saya perlihatkan sebentar di dalam upacara pemujaan!" kata
Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum gembira.
Sepasang alis putih tebal Sang Wasi Bagaspati terangkat
dan matanya bersinar, wajahnya berseri. "Heh, Ni Dewi
.............. sudah berhasilkah engkau menangkap isteri
Adipati Tejolaksono?"
Ni Dewi Nilamanik memperlebar senyumnya, matanya
mengerling genit dan kepalanya digeleng-gelengkan. "Ayu
Candra memang ayu, akan tetapi dia isteri orang lain, saya
rasa kurang patut dihidangkan kepada Sang Hyang Bathara
Shiwa .............. "
"Eh, Ni Dewi, jangan kau beranggapan begitu. Siapapun
dia yang telah menarik minat hati, tidak perduli dia itu tua
atau muda, perawan atau janda, dia patut sudah. Pula,
mendapatkan dia berarti memukul hancur sang adipati yang
pengung (bodoh) dan keras kepala itu!"
"Semua yang paduka katakan memang tepat, Rakanda
Wasi. Akan tetapi sayang sekali, bukan Ayu Candra yang
tertawan oleh anak buahku, melainkan seorang yang
menurut perasaan saya, lebih baik lagi. Dia masih perawan,
usianya baru lima belas tahun, bertulang kuat berdarah
bersih, cantik manis dan mudabelia, juga dia adalah adik
misan, bahkan murid terkasih Adipati Tejolaksono."
"Waah-ha-ha-ha! Bagus sekali kalau begitu!"
Sang Wasi Bagaspati tertawa-tawa gembira dan
mengelus dagunya, matanya bersinar-sinar. Ki Kolohangkoro yang duduk dekat Ni Dewi Nilamanik,
menoleh kepada wanita itu dan berkata perlahan,
"Bunda Dewi .............. , apakah dalam kesempatan baik
ini Bunda Dewi lupa kepada saya?"
Memang mengherankan bagi orang lain kalau mendengar betapa kakek berusia lima puluh tahunan yang
bertubuh raksasa ini memanggil "bunda" kepada Ni Dewi
Nilamanik yang baru berusia empat puluh tahunan! Hal ini
adalah karena Ki Kolohangkoro yang menganggap diri
sebagai titisan Bathara Kala menganggap Ni Dewi
Nilamanik titisan Bathari Durga, karena itu seperti ibunya!
Dan terhadap Sang Wasi Bagaspatipun ia menyebut
"ramanda wasi"!
Ni Dewi Nilamanik menoleh kepada raksasa ini dan
tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang
putih berkilau. "Jangan khawatir, Kolohangkoro. Aku tidak
lupa akan pesananmu dan ingat bahwa saatnya tepat untuk
memberi persembahan kepada Sang Hyang Bathara Kala!?"
"Terima kasih .............. , terima kasih, Ibunda Dewi
.............. !" kata Ki Kolohangkoro dengan girang sekali.
Dengan mengangkat lengannya ke atas, Ni Dewi
Nilamanik memberi isyarat dan berubahlah kini suara
gamelan yang ditabuh oleh wanita-wanita muda itu.
Waranggana berhenti menyanyi dan suara gamelan kini
iramanya cepat dan nyaring, makin lama makin tinggi,
seperti suara orang merintih mengerang, seperti napas
terengah-engah, seperti suara ketawa ditahan-tahan. Bukan
main hebatnya suara gamelan kini, dibarengi dengan
pembakaran dupa yang amat harum. Asap dupa yang
kebiruan bergerak perlahan, makin lama makin tebal dan
dari balik asap ini sekarang bermunculan serombongan
wanita penari yang berlari-lagi sambil menari-nari,
kemudian setelah tiga puluh sembilan orang penari ini tiba
di depan arca-arca dan tamu-tamu terhormat, mereka
membentuk baris seperti bunga teratai lalu menyembah ke
arah arca Bathari Durga. Mereka menyembah sambil
merebahkan tubuh atau menelungkup ke atas tanah, kedua
kaki ditekuk di bawah paha. Sampai lama mereka rebah
seperti ini, tidak bergerak seolah-olah mati. Gamelan yang
tadinya ramai dan penuh semangat, kini menurun iramanya
sehingga terdengar perlahan dan tenang. Suasana menjadi
hening dan sunyi, angker menyeramkan. Upacara
pemujaan dan penghaturan sesaji telah dimulai.
Tiga puluh sembilan penari masih menelungkup dan
tidak bergerak. Ni Dewi Nilamanik lalu mengeluarkan
.sebuah bungkusan merah dan menaburkan isinya pada
pedupaan. Seperti tadi, asap mengebul tebal dan tinggi,
akan tetapi kalau tadi berwarna kebiruan, kini berwarna
kemerahan, amat indah tersinar cahaya bulan dan cahaya
obor yang dipasang di sekitar lapangan itu. Pembakaran
dupa yang berasap merah dan menghamburkan ganda
harum yang aneh ini merupakan isyarat bagi serombongan
penari lain yang telah siap. Dari balik tabir asap kemerahan
ini muncul tiga belas orang penari. Berbeda dengan tiga
puluh sembilan orang rombongan pertama tadi yang
berpakaian sutera beraneka warna, tiga belas penari ini
semua berpakaian putih, sutera tipis sekali sehingga sinar
obor menembus pakaian tipis itu membuat bentuk tubuh
mereka tampak nyata. Juga tiga belas orang penari ini
masih muda remaja dan semua cantik jelita. Tarian mereka
juga berbeda, gerakan mereka halus dan lemah gemulai.
Tangan kiri mereka menyangga sebuah bokor emas di atas
pundak, lengan kanan menari-nari dan kaki mereka seperti
melayang saja ketika bergerak di atas rumput lapangan,
seolah-olah mereka terbang. Ketika mereka tiba di depan
tiga buah arca Bathari Durga, mereka bersimpuh, kemudian
berjalan jongkok menghampiri arca. Dengan gerakan
berirama sesuai dengan irama gamelan, setibanya di kaki
arca, mereka kembali menyembah dan meletakkan bokor
emas masing-masing di depan tubuh mereka. Pada saat itu,
tiga puluh sembilan orang yang tadi menelungkup, kini
menggerakkan tubuh tegak sambil menembang. Paduan
suara tembang mereka mengalun dalam sebuah lagu pujaan
yang aneh dan menimbulkan serem karena suara mereka
seperti orang merintih, kadang-kadang seperti menangis dan
tiba-tiba berubah menjadi suara orang bergembira tertawa!
Tiga belas orang wanita berpakaiari putih kini
menyebarkan bunga rampai dari dalam bokor kencana ke
arah tiga buah arca sehingga tubuh arca-arca itu penuh
kembang. Bau yang amat wangi memenuhi seluruh
lapangan, bau kembang rampai bercampur harum dedes
dan dupa. Setelah semua kembang dalam bokor habis, tiga
belas orang wanita berpakaian putih itu yang masih duduk
bersimpuh, menggerak-gerakkan tubuh atas mereka,
bergoyang-goyang seperti ombak ke kanan kiri, ke depan
belakang dengan berbareng dan dari mulut mereka
terdengar suara mereka membaca mantera yang mengagung-agungkan nama Sang Bathari Durga. Ni Dewi
Nilamanik kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri arca
Bathari Durga yang berada di tengah, lalu berlutut dan
membaca mantera pula, seirama dengan tiga belas orang
muridnya. Pada saat itu, suasana di lapangan itu benar-benar amat
menyeramkan. Asap kemerahan yang mengebul dari depan
arca, membuat tiga buah arca itu seolah-olah bergerak-gerak
dan bernapasl Dua buah arca Bathari Durga yang
mengerikan di kanan kiri itu seolah-olah melotot dan
menyeringai, dan hawa busuk keluar dari tubuh dua buah
arca itu. Adapun arca yang di tengah, yang cantik dan
molek, seperti ikut pula menari dan bibirnya tersenyum-
senyum. Suara nyanyian bersama itu makin` membubung
tinggi, kadang-kadang menjadi rendah sekali dan dari
dalam nyanyian ini seperti terdengar suara-suara aneh,
pekik-pekik dahsyat, gerengan-gerengan, pendeknya seolah-
olah semua setan iblis brekasakan bangkit dari neraka
jahanam, memenuhi pangilan yang tersalur lewat kekuasaan Sang Bathari Durga yang menjadi ratu sekalian
jin setan dan iblis! Setelah pembacaan mantera habis, ketiga belas orang
dara berpakaian putih itu bangkit, menari dan dengan
langkah-langkah teratur pergi meninggalkan lapangan itu,
kemudian tak lama datang lagi membawa sesajen yang
disunggi di atas kepala. Bermacam-macam sesajen itu, dari
buah-buahan, sayur-sayuran sampai daging segala macam
hewan sembelihan, yang matang dan yang mentah. Tidak
ketinggalan kembang dan arak! Semua sesajen ini
dijajarkan, di depan ketiga buah arca. Setelah upacara ini
yang dikepalai oleh Ni Dewi Nilamanik yang mengatur
persembahan sesajen itu, maka upacara selesai dan ,kini
tinggal perayaan pestanya. Ni Devi Nilamanik lalu berkata
kepada Sang Wasi Bagaspati sambil mendekatinya,
"Rakanda wasi, bersiaplah menerima persembahan
hamba." Kemudian wanita cantik itu memberi isyarat
dengan tangan. Tiga betas orang wanita berpakaian putih
menyembah lalu bangkit lagi menari sambil meninggalkan
lapangan. Gamelan ditabuh gencar dan kini tiga puluh
sembilan penari mengikuti irama yang gencar dan cepat.
Mereka itu bergerak cepat, berputaran melenggang-lenggok,
memainkan kedua lengan yang lemas, menggerak-gerakkan
pinggang yang ramping dan leher yang indah bentuknya,
melirik-lirik dan tersenyum-senyum memikat. Akan tetapi,
bertepatan dengan perubahan bunyi gamelan, mereka
berhenti menari, lalu terpecah menjadi dua barisan dan
membuat lingkaran lalu duduk bersimpuh dan kembali
tubuh atas mereka menelungkup mencium tanah dengan
kedua lengan dilonjorkan di depan, menelungkup pula di
atas tanah. Gamelan kini berirama tenang dan amat indah, tidak lagi
aneh atau liar seperti tadi, namun teratur dan halus. Inilah
gamelan yang biasa dimainkan untuk mengiringi tari-tarian
bidadari yang seringkali ditarikan di gedung-gedung para
bangsawan. Semua mata memandang ke arah tabir asap dan
tampaklah tiga belas orang wanita yang berpakaian putih
tadi muncul lagi, berjalan sambil menari perlahan-lahan
dengan gerakan lemah gemulai. Namun mereka itu tampak
kasar ketika semua mata memandang seorang dara yang
mereka iringkan. Seorang dara remaja yang cantik manis,
Istana Kumala Putih 16 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun 19