Pencarian

Si Bayangan Iblis 1

Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


SI BAYANGAN IBLIS Asmaraman S Kho Ping Hoo Derap kaki kuda yang berlari congklang
memecah kesunyian pagi itu di luar kota
Lok-yang. Hari masih terlalu pagi dan
hawa udara dinginnya bukan main,
membuat para petani yang biasa bangun
pagi, merasa malas untuk meninggalkan
rumahnya, terutama sekali meninggalkan api unggun atau
perapian di dalam rumah yang dapat menghangatkan dan
menyamankan badan. Musim semi menjelang tiba dan hawa
dingin musim lalu masih tertinggal.
Demikian dinginnya hawa udara pagi itu sehingga para ibu rumah
tangga yang hendak memasak sesuatu dengan minyak, harus
lebih dahulu mendekatkan tempat minyak ke api karena
minyaknya telah membeku. Hawa dingin menyusup tulang, maka
banyak orang dusun di dalam rumah mereka merasa heran dan
kagum mendengar derap kaki kuda tunggal itu. Begini dingin
menunggang, kuda, pikir mereka. Alangkah akan di?nginnya bagi
si penunggang. Memang penunggang kuda itu patut dikagumi. Dia seorang pria
berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Orangnya sungguh patut
menunggang kuda yang tinggi besar dan gagah itu. Pria itu
berperawakan agak tinggi, tubuhnya tegap dengan dada yang
bidang. Dia menunggang kuda dengan tubuh tegak lurus,
pinggangnya bergerak lemas sesuai dengan larinya kuda yang
1 congklang. Dari cara dia duduk itu saja mudah diketahui bahwa
dia seorang ahli menunggang kuda.
Pakaiannya seperti pakaian orang kota, tidak pesolek, namun
pakaian itu terbuat dari kain yang kuat dan nampak bersih,
bajunya berwarna biru muda dan celananya kehijauan. Ikat
pinggangnya kuning cerah seperti kain pengikat rambut
kepalanya. Wajah pria ini sungguh mengesankan sebagai
seorang pria yang jantan dan gagah perkasa.
Wajah itu bentuknya hampir persegi karena dagunya yang siku
dengan lekuk yang dalam dan membuat dagu itu nampak keras
dan kuat, ditumbuhi jenggot yang terpelihara, hanya sedikit saja
di ujung dagu sedangkan lainnya dicukur licin. Mulutnya selalu
membayangkan senyum penuh pengertian, dan kadang giginya
nampak berkilat putih dan berjajar rapi.
Di antara hidung dan mulutnya tumbuh kumis, juga lebat akan
tetapi terawat rapi, dicukur sebagian dan yang dibiarkan tumbuh
hanya sepanjang bibir atas, dengan kedua ujungnya meruncing
agak ke atas. Hidungnya besar dengan bukit hidung yang tinggi
dan ujungnya mancung. Sepasang matanya lebar dan hampir bulat dengan sinar yang
tajam dan cerdik. Sepasang mata ini dilindungi sepasang alis
yang menarik perhatian karena amat tebal dan hitam sekali.
Rambutnya juga hitam dan lebat, digelung ke atas dan diikat
dengan kain berwarna kuning. Wajah pria ini lebih tepat disebut
jantan dan gagah dari pada tampan. Wajah yang membuat hati
2 setiap orang wanita yang mengagumi kegagahan dan kejantanan
akan menjadi terguncang dan tertarik.
Kini dia dan kudanya sudah meninggalkan dusun dan kota Lokyang yang berada di balik bukit kecil di depan yang nampak
dipenuhi pohon itu. Agaknya bukit itu subur dan berhutan. Dia lalu
menyentuh perut kudanya dengan tumit, menyuruh kuda itu uutuk
berlari cepat mendaki bukit. Ketika dimasuki hutan yang lebat itu,
kembali dia membiarkan kudanya berjalan seenaknya. Masih
terlalu pagi, pikirnya, tidak perlu tergesa-gesa.
Tiba-tiba, di bagian yang agak terbuka dari hutan itu, dia melihat
dua orang berloncatan keluar dari balik batang pohon. Dua orang
laki-laki yang memegang golok dan dari sikap mereka, dia dapat
menduga bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik. Benar saja
dugaannya. Dua orang yang kelihatan kasar dan berwajah bengis
itu, berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sudah
menghadangnya dan seorang di antara mereka membentak
nyaring. "Berhenti!!" Pria itu menahan kudanya dan memandang kepada kedua orang
yang menghadangnya dengan senyum mengejek akan tetapi
sinar matanya penuh teguran.
"Hemm, siapakah perjalananku?" kalian dan mengapa pula menahan 3 "Tak perlu banyak cakap!" bentak orang kedua yang matanya
sipit sekali. "Turun dari kudamu dan berikan kuda itu kepada
kami, barulah kau boleh melanjutkan perjalananmu!"
"Ehh" Kuda ini adalah kudaku sendiri, kenapa harus diberikan
kepada kalian?" "Cerewet benar kau! Turun, atau kami harus memaksamu"
Engkau lebih suka mampus di bawah golok kami dari pada
menyerahkan kuda?" bentak orang pertama yang bermuka hitam.
Kini sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar keras dan
sepasang alis yang hitam tebal itu berkerut. "Hemm, kiranya
kalian ini adalah dua orang perampok, ya" Tidak tahukah kalian
bahwa sejahat-jahatnya pencuri, mencuri kuda merupakan dosa
yang paling berat, dan sejahat-jahatnya perampok, merampok
kuda juga dapat dihukum berat, dihukum mati?"
Dua orang perampok itu menjadi marah. Mereka saling pandang
dan mengangguk, sebagai isyarat bahwa mereka tidak akan
bicara lagi, melainkan turun tangan saja terhadap calon korban
yang banyak cakap itu. Dengan golok terangkat tinggi, kedua
orang perampok itu menyerbu ke depan. Akan tetapi pria yang
gagah itu nampak tenang saja, lalu berseru sambil menepuk leher
kudanya. "Hek-ma (Kuda Hitam), hajar dua ekor anjing ini!"
Kuda tinggi hesar yang disebut Hek-ma itu tiba-tiba
mengeluarkan suara meringkik nyaring dan mengangkat kedua
kaki depan ke atas, dan dengan garangnya ia menubruk ke arah
4 dua orang itu! Tentu saja dua orang perampok itu terkejut bukan
main. Mereka berlompatan ke sisi untuk menghindar, akan tetapi
sebelum mereka sempat menyerang lagi, laki-laki perkasa itu
sudah memajukan kudanya dan kakinya menyambar dua kali
berturut-turut dengan kedua kakinya, dan dua orang perampok itu
terlempar dan golok mereka terpental. Mereka terlempar dan
terbanting keras, lalu bangkit kembali dan lari pontang panting
sambil terpincang-pincang!
Pria itu tertawa bergelak, suara ketawanya bebas lepas dan
nyaring. Anehnya, kuda hitam itupun mengeluarkan suara
meringkik seperti ikut tertawa bersama penunggangya. Jelas
bahwa kuda itu merupakan seekor binatang tunggangan yang
terdidik baik dan agaknya sudah biasa menghadapi pertempuran.
Memang demikianlah, pria itu adalah seorang panglima yang
amat terkenal di kota raja Dia bernama Cian Hui, akan tetapi lebih
dikenal dengan sebutan Cian Ciang-kun (Perwira Cian). Baru
setahun lebih lamanya dia bertugas sebagai seorang panglima
muda dari pasukan keamanan di kota raja yang bertugas
menjaga keamanan kota raja dan sekitarnya, memberantas
kejahatan yang terjadi di daerah kota raja. Bahkan dia sering
dikirim oleh pemerintah pusat untuk melakukan penyelidikan ke
daerah-daerah, membikin terang perkara yang gelap dan dia
lebih banyak dikenal sebagai seorang penyelidik yang ulung dari
pada seorang panglima muda pasukan keamanan di kota raja.
5 Sebelum menduduki jabatannya yang sekarang, Cian Ciang-kun
adalah seorang perwira dalam pasukan perang yang terkenal
gagah perkasa dan berani. Akan tetapi, setahun lebih yang lalu,
ketika dia sedang melaksanakan tugasnya sebagai perwira,
bersama pasukannya membasmi pemberontakan di daerah utara,
terjadilah malapetaka menimpa keluarganya.
Isteri dan anak tunggalnya yang baru berusia duabelas tahun,
ketika melakukan perjalanan ke dusun untuk menengok keluarga,
dihadang perampok dan biarpun duabelas orang pengawal
melakukan perlawanan sengit, akhirnya mereka semua tewas.
Isteri dan anak Cian Ciang-kun juga tewas!
Setelah mendengar akan malapetaka ini, Cian Hui segera
menghadap atasannya dan dia mohon agar diperbolehkan
bekerja sebagai pemberantas para penjahat dan tidak lagi
menjadi perwira pasukan perang. Kalau tidak diperkenankan, dia
akan keluar dari pekerjaannya untuk memberantas kejahatan
seorang diri saja. Permintaannya dikabulkan dan mulailah Cian
Ciang-kun dikenal sebagai seorang penyelidik dan pembasmi
kejahatan yang gigih. Setahun setelah dia menjadi seorang panglima pasukan
keamanan, dia telah melakukan pembersihan terhadap para
penjahat dengan tegas dan keras sehingga kota raja dan
sekitarnya menjadi aman. Tidak ada lagi penjahat berani beraksi
karena setiap kali terjadi kejahatan, Cian Ciang-kun tidak akan
berhenti menyelidik dan berusaha untuk menangkap penjahatnya
dan menghukum berat, kalau perlu dibunuhnya seketika! Tanpa
ampun darinya bagi para penjahat!
6 Demikianlah keadaan Cian Hui atau Cian Ciang-kun. Sampai
sekarang, setahun lebih setelah dia kehilangan isteri dan anak
tunggalnya, dia tidak mau menikah lagi, tinggal menduda. Bahkan
dia tidak mau mengambil selir. Dan kawannya yang paling setia
dalam menunai tugasnya adalah Si Hitam itu, kuda hitam yang
tinggi besar dan kuat. Para penjahat mengenal nama besar Cian Ciang-kun dan mereka
semua tahu bahwa selain gigih menentang kejahatan, memiliki
pasukan keamanan yang besar jumlahnya dan yang mentaatinya,
juga panglima ini memiliki kecerdikan dan memiliki ilmu silat yang
tinggi. Kalau sedang berpakaian seragam atau sedang dinas, dia
selalu membawa pedang sebagai tanda pangkat dan juga
sebagai senjata. Akan tetapi, kalau dia berpakaian preman, dia
tidak pernah membawa pedang dan sebagai gantinya, untuk
menjadi bekal senjatanya adalah sebatang suling baja yang
terselip di pinggang dan tersembunyi dibalik bajunya.
Cian Ciang-kun mentertawakan dua orang perampok yang lari
tunggang langgang itu. Dua orang penjahat kecil yang tidak
memiliki kemampuan apapun seperti mereka itu sudah berani
mencoba untuk merampok kuda orang! Sungguh tak tahu diri,
pikirnya. Ketika dia hendak menjalankan lagi kudanya, tiba-tiba dia melihat
serombongan orang berlari ke arahnya dari depan. Belasan orang
yang kesemuanya memegang golok. Orang-orang yang berwajah
bengis dan jahat! Dan dia melihat pula dua orang yang tadi telah
dibuatnya lari tunggang langgang.
7 Mengertilah dia kini mengapa dua orang itu tadi berani
merampok, kiranya mereka itu mempunyai banyak kawan!
Melihat ada tigabelas orang yang tentu akan mengeroyoknya,
Cian Ciang-kun khawatir kalau-kalau kudanya terluka. Maka dia
pun dengan sikap tenang namun cepat meloncat turun dari
kudanya dan membiarkan kudanya di tempat itu, sedangkan dia
sudah berlari ke depan menyambut mereka yang mengacungacungkan golok dengan sikap beringas itu.
Melihat betapa orang tinggi tegap itu kini meloncat turun dari kuda
dan menyambut mereka dengan sikap tenang dan di tangannya
tidak nampak adanya senjata, para perampok itu menjadi lebih
berani. Sambil berteriak-teriak, mereka datang menyerbu.
"Tahan......!" Bentakan menggeledek dari Cian Ciang-kun
mengejutkan mereka dan tigabelas orang itu, biarpun dengan
sikap masih beringas dan bengis mengancam, berhenti di
depannya dan memandang kepadanya. Bentakan tadi memang
berwibawa sekali dan mempengaruhi mereka.
"Aku adalah seorang yang kebetulan lewat di sini dan sedang
menuju ke Lok-yang, siapakah kalian ini dan mengapa kalian
mengganggu aku?" Seorang yang bermuka berewok dan bertubuh tinggi besar,
agaknya pemimpin mereka, berkata dengan suara parau.
"Engkau telah berani memukul dua orang kawan kami!"
"Ah, begitukah" Akan tetapi, mereka itu hendak merampas
kudaku!" Cian Ciang-kun, pura-pura tidak tahu bahwa dia
berhadapan dengan segerombolan perampok.
8 "Sekarang, bukan hanya kudamu yang harus diserahkan kepada
kami, akan tetapi juga nyawamu!" bentak si berewok, lalu dia
memberi komando kepada teman-temannya, "Keroyok dan bunuh
dia!!" Hujan senjata golok dan pedang menyambar dari segala jurusan.
Akan tetapi, begitu tangan kanan Cian Ciang-kun bergerak, dia
telah mencabut suling bajanya dan begitu dia menggerakkan
senjata aneh ini, terdengar bunyi melengking seolah-olah suling
itu ditiup dan terdengar suara nyaring, Tiga batang golok terpental
dan tiga orang pengeroyok terhuyung.
Cian Ciang-kun tidak mau dikepung di tengah. Dia membobol ke
kiri dan menangkis tiga batang golok dengan sulingnya, membuat
golok-golok itu terpental dan tiga orang pemegang golok
terhuyung, saking kerasnya tangkisannya tadi. Sebelum mereka
sempat mengepung lagi, Cian Ciang-kun sudah menerjang
bagaikan seekor garuda, dan yang diserangnya adalah si muka
berewok! Kepalanya harus ditundukkan dulu, pikirnya.
Si berewok memegang sebatang golok besar yang kelihatan
berat. Melihat betapa Cian Ciang-kun menyerangnya dengan
totokan suling, si berewok sudah menggerakkan goloknya
menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Trangg.....!" Golok itu terpental dan hampir terlepas dari
pegangan tangan perampok berewok itu. Dia terkejut setengah
mati, tubuhnya terdorong ke belakang. Akan tetapi pada saat itu,
empat orang pengeroyok telah mengayun senjata mereka
menyerang Cian Ciang-kun.
9 Terpaksa perwira yang gagah perkasa ini memutar sulingnya
menangkis dan kembali empat batang golok dan pedang
terpental. Kakinya menendang beruntun dan robohlah tiga orang
lagi. Pada saat itu, golok besar di tangan si berewok sudah
menyambarnya dari belakang. Cian Hui miringkan tubuhnya dan
golok besar lewat di sampingnya. Tangan kirinya menampar
dengan kerasnya. "Bukkk!!" Punggung si berewok terkena tamparan tangan kiri Cian


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hui dan diapun roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Pingsan!
Melihat kehebatan calon korban itu, para perampok menjadi
gentar sekali dan mereka lalu menyelamatkan si berewok,
menepang mereka yang tadi terpelanting, dan merekapun lari
cerai berai ke hutan lebat.
Cian Hui tidak mengejar, hanya berdiri tegak sambil tertawa. Dia
menyimpan kembali sulingnya, lalu duduk di atas batu, di dekat
kudanya yang sejak tadi nampak tenang- tenang saja. Memang
Kuda Hitam atau Si Hitam itu sudah biasa menghadapi
pertempuran, bahkan sering dibawa berperang ketika Cian Ciangkun masih memegang kedudukannya yang dahulu, maka
menghadapi perkelahian tadi, dia sama sekali tidak menjadi
panik. Kuda itu tenang-tenang saja, akan tetapi jangan coba
mendekatinya. Kalau dalam keadaan seperti itu ada orang asing
mendekatinya, tentu dia akan menggigit atau mempergunakan
kakinya untuk menyepak. Cian Ciang-kun menarik napas panjang. Di mana-mana terdapat
orang-orang jahat, pikirnya. Dia tadi sengaja bersikap lunak, tidak
membunuh karena merasa bahwa dia berada di luar daerah
10 pertanggungan jawabnya. Kalau peristiwa perampokan tadi
terjadi di daerah kota raja, tentu dia akan bersikap lebih keras,
mungkin dibunuhnya mereka atau setidaknya akan dilumpuhkan,
ditangkap dan dijebloskan penjara. Dia merasa heran sekali.
Bagaimana di luar kota Lok-yang terdapat gerombolan perampok
seperti itu" Bagaimana kewibawaan para pejabat Lok-yang" Dia
mencatat hal ini, dan dia akan menegur para pejabat keamanan
di Lok-yang. Biarpun dia tidak bertanggung jawab, namun dia
berhak menegur mereka, karena dia adalah seorang petugas
keamanan dari kota raja yang mengenal dan dikenal semua
pejabat pusat. "Hemm, salahkah pendengaranku tentang Hek-liong-li?" katanya
kepada dirinya sendiri. Dia mendengar bahwa Hek-liong-li adalah seorang pendekar
wanita, atau setidaknya seorang wanita yang menentang
kejahatan dan yang tinggal di Lok-yang. Kabarnya, wanita itu
ditakuti seluruh penjahat bahkan namanya terkenal luas di dunia
kang-ouw. Akan tetapi mengapa gerombolan yang hanya
merupakan penjahat-penjahat kecil tadi, yang tidak memiliki
kemampuan untuk menjadi penjahat besar, masih berani beraksi
di luar kota Lok-yang" Andaikata mereka itu berani menghadapi
para petugas keamanan, apakah mereka tidak takut kepada Hekliong-li yang kabarnya amat keras dan tidak mengenal ampun
terhadap penjahat" "Jangan-jangan Hek-liong-li hanya namanya saja yang besar,
akan tetapi sesungguhnya hanya seorang pendekar wanita biasa
11 saja. Kalau begitu sungguh sia-sia aku membuang waktu dan
tenaga datang ke sini......." berbagai dugaan timbul di dalam hati
Cian Ciang-kun yang sudah bangkit lagi untuk melanjutkan
perjalanan. Akan tetapi, kembali dia tertegun karena mendengar suara ributribut di sebelah depan dan seperti tadi, kembali dia melihat
belasan orang berlarian menuju ke tempat itu. Dia mengenal
beberapa orang di antara belasan orang penyerangnya yang tadi.
Timbul kemarahan di hatinya. Orang-orang keparat itu tidak tahu
diri, pikirnya. Sekali ini dia tidak akan bersikap lunak lagi. Dia
akan memberi hajaran keras, kalau perlu membunuh pemimpin
mereka! Maka, diapun sudah siap berdiri dengan suling di tangan!
Yang datang memang orang-orang tadi, akan tetapi di antara
mereka nampak dua orang yang berpakaian serba hitam dan
memakai kedok hitam pula! Kedok itu hanya merupakan kain
hitam yang menutupi kepala dan hanya ada dua buah lubang
untuk melihat, dan lubang hidung untuk bernapas. Tubuh dua
orang ini tinggi besar dan keduanya memegang sebatang pedang
yang berkilauan saking tajamnya.
Begitu tiba di depan Cian Ciang-kun, para perampok itu
mengepungnya, akan tetapi tidak menyerang seperti tadi hanya
mengepung dalam lingkaran lebar sehingga kudanya juga ikut
dikepung. Yang meloncat maju adalah seorang di antara dua
orang berpakaian serba hitam berkedok hitam itu, yang tubuhnya
lebih kurus. Begitu meloncat ke depan, orang sudah
menggerakkan pedangnya. 12 "Singgg......!" Nampak sinar berkelebat dan bunyi berdesing
nyaring. Cian Ciang-kun maklum bahwa orang ini lihai, terbukti
dari gerakan pedangnya yang demikian cepat dan kuat. Diapun
menggerakkan suling bajanya dan menangkis sambil
mengerahkan tenaganya untuk membuat pedang itu terpental.
"Trangggg......!!!" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan sekali
ini Cian Hui terkejut bukan main. Ketika sulingnya bertemu
dengan pedang dia merasa betapa tangan kanannya tergetar
hebat dan sulingnya terpental walaupun orang berkedok itupun
berseru kaget dan pedangnya terpental pula.
Kiranya mereka memiliki tenaga yang seimbang! Cian Hui
memeriksa sulingnya. Tidak rusak dan dia mengangkat muka
memandang. Orang itu sudah melintangkan pedang di depan dada. Sebatang
pedang yang bentuknya agak melengkung dan hanya tajam
sebelah, gagangnya panjang, tiba-tiba orang itu mengeluarkan
teriakan melengking panjang dan dia sudah menerjang secepat
kilat dengan cara penyerangan pedang yang aneh karena dia
memegang gagang pedang itu dengan kedua tangannya! Bukan
main cepatnya pedang itu menyambar dan amat kuat karena
menggunakan kedua tangan. Ketika Cian Hui cepat meloncat ke
samping untuk mengelak, pedang itu membuat gerakan
melengkung dan sudah datang lagi menyambar dari arah yang
berlawanan dibarengi teriakan lain yang mengguntur!
"Hemmm......!" Cian Ciang-kun kembali mengelak sambil
menggerakkan sulingnya menangkis dari samping. Kembali
13 terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar. Karena tidak
ingin diserang terus menerus, ketika orang itu untuk ketiga
kalinya membuat gerakan melengkung dengan pedangnya
sehingga pedang itu kembali menyambar, Cian Hui melompat ke
kanan dan tiba-tiba membalikkan, tubuhnya, membalas dengan
serangan sulingnya yang menusuk ke arah mata orang itu.
Sepasang mata yang tajam mengintai dari balik ke dua lubang.
Akan tetapi ternyata orang itupun dapat bergerak lincah sekali.
Dia sudah merendahkan tubuhnya. Namun, suling di tangan Cian
Hui sudah melanjutkan serangan dengan memukul ke bawah, ke
arah ubun-ubun kepala! Orang itu meloncat ke belakang, lalu
membalas dengan serangan pedangnya yang kadang-kadang
dipegang dengan satu tangan, kadang-kadang dengan dua
tangan itu. Terjadilah perkelahian yang bukan main seru dan dahsyatnya.
Orang itu memiliki ilmu silat yang aneh, namun harus diakui oleh
Cian Hui bahwa lawannya itu pandai sekali. Diapun segera
mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu silatnya,
juga silat pedang yang dimainkan dengan suling.
Ilmu silat yang dimainkan Cian Hui adalah ilmu silat keluarga Cian
yang turun temurun, dari aliran utara bercampur dengan aliran
pantai timur karena nenek moyangnya berasal dari Shan-tung.
Ilmu silat keluarga Cian ini mengandalkan kekuatan dan keuletan,
memiliki daya pertahanan yang amat kuat walaupun kurang
lincah dalam daya penyerangan.
14 Pertandingan itu sungguh amat seru dan setelah lewat limapuluh
jurus, tahulah Cian Hui bahwa dirinya berada dalam bahaya. Baru
menandingi seorang lawan saja, dia hanya mampu
mengimbanginya. Pada hal, lawannya ini masih mempunyai
seorang kawan yang juga berkedok, dan anak buah mereka ada
belasan orang! Akan tetapi, Cian Hui adalah seorang laki-laki
sejati yang gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar
menghadapi bahaya maut. Hanya satu yang ditakuti di dunia ini, yalah melakukan perbuatan
sesat! Selama dia berada di pihak yang benar, dia akan membela
diri sampai titik darah terakhir! Maka, diapun tidak mau
memikirkan apa-apa lagi kecuali mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk mengalahkan lawannya yang amat lihai itu.
Agaknya, lawannya juga penasaran sekali dan dari gerakannya
yang amat ganas, mudah diduga bahwa orang berkedok itu
marah bukan main. Serangannya semakin ganas dan semua
ditujukan untuk membunuhnya.
Tiba-tiba orang berkedok ke dua berkata, "Jangan bunuh dia! Kita
membutuhkan dia hidup-hidup!"
Setelah berkata demikian, orang berkedok ke dua yang lebih
besar tubuhnya itu sudah terjun ke dalam pertempuran dan diamdiam Cian Hui mengeluh. Orang itu memiliki gerakan yang lebih
gesit daripada lawan pertama! Menghadapi desakan kedua
pedang yang digerakkan secara aneh itu, Cian Hui hanya mampu
melindungi dirinya dengan ilmu silatnya yang amat kuat di segi
pertahanan. Sulingnya diputar seperti perisai yang melindungi
seluruh tubuhnya. 15 "Tempel sulingnya!" tiba-tiba orang ke dua itu berseru.
Orang pertama menggerakkan pedangnya dengan kuat, ditangkis
oleh suling Cian Hui. Perwira ini terkejut karena tiba-tiba, ketika
sulingnya bertemu pedang, kedua senjata itu saling melekat! Dia
mengerahkan tenaga untuk melepaskan suling dari pedang
lawan, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri orang ke dua sudah
menyambar tengkuknya. "Plakk!" Cian Hui roboh pingsan!
"Y" Cian Hui merasa bahwa dia menunggang kuda, akan tetapi tidak
duduk seperti biasa, melainkan rebah menelungkup dan
melintang di atas seekor kuda! Bukan Si Hitam! Kuda biasa. Dia
mencoba menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi tidak
berhasil dan tahulah dia bahwa kaki tangannya terbelenggu dan
bahwa tubuhnya menelungkup dan melintang di atas kuda, diikat
dengan perut kuda! Dia membuka matanya perlahan, melirik ke kanan kiri dan diapun
teringat. Dia telah menjadi seorang tawanan! Mereka itu kini
menunggang kuda semua, melalui hutan dan dia berada di
tengah-tengah. Nampak pula olehnya dua orang berpakaian hitam dan berkedok,
juga menunggang kuda berada di depan. Seorang di antara
mereka menuntun Si Hitam. Diam-diam Cian Hui merasa lega.
Tentu tidak ada yang dapat menunggangi Si Hitam dan mungkin
sudah ada tadi yang terbanting jatuh ketika mencoba untuk
16 menunggang Si Hitam. Dan Si hitam kini mau dituntun karena
melihat dia berada pula di situ. Dan dia merasa semakin lega. Dia
tidak, dibunuh! Berarti ada harapan. Selagi masih hidup, dia tidak
akan pernah putus asa. Kalau mereka menawannya, berarti mereka menghendaki dia
hidup dan teringatlah dia tadi akan ucapan mereka. Kata-kata
mereka terdengar asing walaupun mereka mempergunakan
bahasa daerah Lok-yang. Seorang di antara mereka, yang lebih
besar tubuhnya, melarang kawannya membunuhnya karena
mereka membutuhkan dia hidup-hidup! Untuk apa" Sukar
menduganya karena dia tidak mengenal siapa mereka.
Bersabarlah engkau, katanya kepada dirinya sendiri. Nanti
engkau tentu akan tahu. Dia mencoba tali-tali yang membelenggu
kaki tangannya. Amat kuat! Tidak ada harapan untuk meloloskan
diri sekarang. Lebih baik mengaso, menghimpun tenaga baru
karena dia merasa lelah sekali. Dia lalu membiarkan dirinya
lemas dan memejamkan kembali matanya.
Dia teringat akan tugasnya menuju ke Lok-yang. Mencari Hekliong-li! Dia belum pernah mengenal pendekar wanita itu, akan
tetapi dia sudah mencatat tentang Hek-liong-li. Menurut
keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li seorang wanita yang
cantik dan masih muda. Usianya sekitar duapuluh lima tahun.
Menurut keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li bersama
seorang rekannya yang juga amat terkenal bernama atau berjuluk
Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), sudah membuat nama
besar dengan membasmi banyak sekali penjahat terkenal. Di
17 antara para penjahat itu terdapat datuk-datuk sesat yang sakti,
yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam) dan Siauw-bin Ciukwi (Setan Arak Muka Tertawa), dua orang di antara Kiu Lo-mo
(Sembilan Iblis Tua)! Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang
wanita muda berusia duapuluh lima tahun seperti Hek-liong-li
(Nona Naga Hitam) bersama Pek-liong-eng yang usianya hanya
beberapa tahun lebih tua, telah berhasil membasmi dan
membunuh dua orang di antara Kiu Lo-mo yang kabarnya
memiliki kesaktian yang luar biasa!
Untuk menenangkan hati dan melewatkan waktu, Cian Hui
melanjutkan lamunannya mengingat-ingat tentang Hek-liong-li
seperti yang didengarnya dari keterangan mereka yang pernah
mendengar tentang wanita perkasa itu. Keterangan itu tidak
menggambarkan wajah Hek-liong-li secara terperinci, hanya
mengatakan bahwa wanita itu cantik. Tinggalnya di dalam kota
Lok-yang di sebelah barat. Rumahnya besar dan indah, dan
pekarangannya luas. Ada kolam ikan di depan rumah itu, dengan
teratai dan di tengah kolam terdapat sebuah arca seorang puteri
cantik menunggang seekor angsa.
Hanya itulah yang dia ketahui tentang Hek-liong-li yang kabarnya
bernama Lie Kim Cu. Ada lagi berita yang dia dapat mengenai
wanita perkasa itu. Bahwa Hek-liong-li Lie Kim Cu dahulunya
adalah puteri seorang bangsawan tinggi di Lok-yang, seorang
bangsawan yang kabarnya melakukan korupsi karena gila judi
sehingga masuk penjara dan tewas di dalam penjara.
Betapa Lie Kim Cu, ketika itu masih seorang gadis berusia
enambelas tahun, menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong, seorang
18 pangeran keluarga kaisar yang berkedudukan di Lok-yang.
Kemudian, tidak jelas bagaimana beritanya karena tidak ada yang
tahu, tiba-tiba saja gadis itu sudah tidak menjadi selir Pangeran
Coan Siu Ong lagi dan tahu-tahu telah muncul sebagai seorang
wanita sakti pembasmi kejahatan!
Cian Ciang-kun, menghentikan lamunannya karena mereka telah
berhenti. Ketika dia membuka mata, dia melihat bahwa
rombongan itu berhenti di depan sebuah bangunan kuno, bekas
kuil yang sudah tidak dipergunakan lagi, yang berada di dalam
hutan. "Turunkan dia dan bawa ke kamar ruangan belakang!" kata si
kedok hitam yang kurus. Dua orang anggauta perampok segera menyeret tubuh Cian Hui
turun dari atas punggung kuda. Begitu dia diturunkan dan berdiri
dengan kaki tangan terbelenggu, terdengar ringkik kuda dan Si
Hitam sudah melepaskan diri dan lari menghampiri Cian Hui,
mencium-cium majikannya itu sambil meringkik-ringkik.
Dua orang anggauta perampok cepat menghampiri dan mereka
mencoba untuk memegang kendali kuda, akan tetapi sambil
meringkik marah, Si Hitam membalik dan menyepak mereka


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai tubuh kedua orang itu terlempar beberapa meter jauhnya,
terbanting ke atas tanah dan mengaduh-aduh karena tulang iga
mereka ada yang patah! Cian Hui tersenyum senang, akan tetapi
lebih banyak perampok datang dan mereka mencabut senjata.
"Tenangkan kuda itu, kalau tidak akan kami bunuh!" tiba-tiba si
kedok hitam yang besar berkata kepada Cian Hui.
19 Cian Ciang-kun khawatir kalau sampai kudanya dibunuh, maka
diapun mengeluarkan suara bersiul panjang yang tadinya tinggi
lalu menurun. Itulah isyarat bagi Si Hitam untuk menjadi tenang,
dan kuda itupun tidak meringkik lagi, mengibas-ngibaskan
ekornya dan tidak membantah atau meronta ketika seorang
anggauta perampok memegang kendali dan menuntunnya.
Pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu
di situ telah berdiri dua orang wanita yang usianya sekitar
tigapuluh tahun, yang seorang berpakaian serba hijau dan orang
kedua berpakaian warna kuning. Mereka itu cantik manis dan
keduanya membawa keranjang kecil yang berisi beberapa
macam daun obat. Di punggung mereka tergantung sebatang
pedang. "Heii, apa yang telah terjadi di sini?" tanya si baju hijau yang
mempunyai tahi lalat kecil di dahinya.
"Kenapa orang ini dibelenggu" Kalian ini siapa?" tanya yang
berpakaian kuning, yang hidungnya mancung.
Melihat munculnya dua orang wanita yang cantik itu, para
anggauta perampok saling pandang dan mereka menyeringai.
"Ha-ha, dua ekor kelinci datang menyerahkan diri kepada kita
yang memang sedang kelaparan!"
"Tangkap mereka dan malam ini kita berpesta!"
"Aduh manisnya! Siapa yang lebih dulu menangkapnya, dia yang
berhak mendapat bagian pertama!"
20 Bermacam-macam ucapan mereka yang nadanya menggoda,
kurang ajar dan bahkan cabul. Adapun dua orang berkedok hitam
itu hanya diam saja, memandang dari samping.
Dua orang wanita itu mengerutkan alisnya, dan mata mereka
yang jeli mengeluarkan sinar marah.
"Enci, mereka ini tentu penjahat-penjahat yang pantas dibasmi.
Mari kita hajar mereka!" bentak si baju kuning.
Akan tetapi, belasan perampok kasar itu, yang sudah terbiasa
melakukan perbuatan maksiat dan jahat, memandang kepada
kepala mereka, yaitu perampok yang berewok. Ketika kepala
perampok inipun hanya menyeringai saja, mereka menjadi berani
dan beramai-ramai belasan orang itu mengepung dua orang
wanita itu, seperti segerombolan srigala mengepung dua ekor
domba muda yang lunak dagingnya.
Akan tetapi, dua orang wanita itu sama sekali bukan dua ekor
domba muda yang lunak dagingnya, melainkan dua ekor harimau
muda yang ganas. Begitu keduanya bergerak, nampak bayangan
hijau dan kuning berkelebatan dan pada saat itu, belasan pasang
tangan dengan rakus hendak menerkam. Begitu dua orang
wanita itu menampar dan menendang, para perampok itu
mengaduh-aduh dan tubuh mereka berpelantingan!
Terkejutlah si berewok melihat betapa belasan orang anak
buahnya jatuh bangun dijadikan bulan-bulan tamparan dan
tendangan kedua orang wanita itu. Dia menggereng dan dengan
golok besarnya diapun maju menerjang. Akan tetapi, dia
disambut oleh wanita baju hijau yang sudah mencabut pedang
21 dari punggungnya, Terjadilah perkelahian yang seru antara si
berewok dan si baju hijau, sedangkan si baju kuning masih
mengamuk dikeroyok oleh para perampok.
Diam-diam Cian Hui menjadi kagum. Dua orang wanita yang
manis-manis dan kelihatan halus itu, yang tadinya membawa
keranjang memetik daun obat, ternyata dapat bergerak tangkas
dan ilmu silat mereka lihai juga!
"Nona-nona, hati-hati, si kedok hitam itu lihai sekali!" teriaknya
ketika melihat betapa dua orang berkedok itu melangkah maju.
"Kalian mundur semua!" bentak si Kedok Hitam yang bertubuh
kurus. Para perampok, juga kepala perampok berewok, berloncatan
mundur dan kini dua orang bertopeng hitam itu menerjang maju
dengan tangan kosong. Si baju kuning menangkis pukulan si kedok hitam dan ia
mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Dengan marah ia
mencabut pedangnya pula dan kini dua orang wanita itu dengan
pedang mereka menyerang dua orang berkedok hitam itu dengan
ganas. Dua orang berkedok itupun sudah mengeluarkan senjata mereka,
pedang yang agak melengkung dan bergagang panjang dan
lewat belasan jurus saja, tahulah Chin Ciang-kun bahwa dua
orang gadis itu akan kalah. Mereka sudah repot dan main
mundur, hanya mampu mengelak dan menangkis saja.
22 Melihat ini, Cian Hui merasa khawatir bukan main. Dua orang
wanita itu jelas hendak menolong dirinya, maka kalau sampai
mereka itu roboh tewas atau terluka, apa lagi kalau sampai
terjatuh ke tangan srigala-srigala buas itu yang akan menerkam
dan merobek-robek daging mereka yang lunak, dia akan selalu
merasa menyesal karena dialah yang menjadi penyebabnya.
"Heii, dua orang sobat berkedok!" teriaknya lantang. "Tidak
malukah kalian menyerang dua orang gadis yang sama sekali
tidak bersalah" Mereka tidak ada hubungan sedikitpun dengan
aku. Kalau memang kalian gagah, jangan serang mereka dan
hayo lepaskan aku, biar kita bertanding sampai seribu jurus lagi!"
Biarpun kedua tangan dan kakinya dibelenggu, namun Cian
Ciang-kun masih dapat menggenjotkan tubuhnya ke atas dan
tubuh itupun melompat tinggi ke arah dua orang berkedok dan
dari atas, tubuhnya menubruk ke arah mereka dengan kedua kaki
yang terbelenggu lebih dahulu. Diapun berseru. "Nona-nona,
larilah kalian!" Dua orang berkedok itu terkejut bukan main. Tak disangkanya
bahwa Cian Hui yang sudah terbelenggu itu masih mampu
melakukan penyerangan kepada mereka. Namun, tentu saja
serangan itu tidak ada artinya dan mereka cepat melompat ke
samping dan begitu tubuh Cian Ciang-kun turun, mereka
menendang dan Cian Hui roboh terjungkal, lalu ditangkap oleh
beberapa orang anak buah perampok yang menyeretnya ke
dalam bangunan bekas kuil itu. Akan tetapi, kesempatan itu
dipergunakan oleh dua wanita tadi untuk berloncatan dun
melarikan dini. 23 Dua orang berkedok hitam mencoba untuk melakukan
pengejaran, akan tetapi mereka merasa heran sekali melihat
betapa lincahnya dua orang gadis itu bergerak di dalam hutan itu,
seolah-olah mereka sudah hafal benar akan keadaan pohonpohon dan semak-semak di situ. Sebentar saja kedua nona itu
sudah lenyap. Dua orang berkedok hitam, tidak berani mengejar terus. Mereka
kurang begitu hafal akan keadaan di hutan itu dan mereka
maklum bahwa menncari musuh di tempat yang demikian penuh
semak belukar, amat berbahaya. Maka, merekapun kembali ke
kuil tua dan membiarkan dua orang gadis itu lolos.
"Y" Rumah di sudut barat kota Lok-yang itu masih baru. Mungil dan
indah bentuknya, memiliki pekarangan yang luas di bagian depan
dan juga taman indah di sebelah kiri dan belakang. Kolam ikan
penuh bunga teratai di pekarangan depan itupun indah sekali.
Arca puteri cantik menunggang angsa amat halus pahatannya,
dengan sikap manja puteri itu merangkul leher angsa yang
panjang seperti membelai seorang kekasih.
Di sekeliling kolam tumbuh bunga-bunga mawar beraneka warna,
sehingga keharuman semerbak, menyegarkan hawa di
pekarangan itu. Beberapa buah bangku bercat merah hijau dan
biru yang mungil berada di bawah pohon-pohon yang rindang.
Sungguh pekarangan itu membuat orang akan merasa betah
berada di tempat itu. Rumah itu agaknya baru dipugar dan
diperbaiki, catnya masih baru. Temboknya berwarna putih bersih.
24 Jendela dan pintunya dicat berwarna hijau muda dengan garisgaris merah. Manis sekali, akan tetapi juga menimbulkan kesan
anggun. Dan melihat bentuk atapnya yang nampak dari luar, rumah itu
tentu amat luas di sebelah dalamnya. Batas pekarangan rumah
itu dengan para tetangga dikelilingi pagar tembok yang tingginya
tidak kurang dari dua meter dan di atas temboknya dipasangi
ujung tombak-tombak meruncing yang dicat merah.
Semua penghuni kota Lok-yang, tua muda, laki perampuan, tahu
belaka bahwa rumah yang indah ini adalah tempat tinggal Liong-li
(Nona Naga) atau yang mereka semua sebut dengan Li-hiap
(Pendekar Wanita) saja. Semua orang menghormatinya dan
mengaguminya, juga para pejahat karena wanita perkasa itu
dikenal sebagai seorang pembasmi kejahatan yang gigih.
Pengaruh Liong-li terhadap para penjahat lebih besar dari pada
pengaruh pasukan keamanan. Tidak ada penjahat yang berani
mencoba-coba untuk mendatangkan kekacauan di Lok-yang
hanya takut kalau sampai bentrok dengan Liong-li! Dan wanita itu
tinggal di situ bersama sembilan orang wanita lain yang menjadi
anak buahnya, pelayannya, juga pembantunya.
Sembilan orang wanita itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lihai
karena mereka digembleng sendiri oleh Liong-li. Merekapun
semuanya manis-manis, berusia antara tigapuluh tahunan dan
mereka ini mudah dikenal karena mereka selalu mengenakan
baju cerah berkembang dengan warna-warna menyolok. Ada
yang merah, hijau, kuning, biru dan sebagainya, tidak ada yang
25 sama sehingga kalau gadis-gadis itu berada di pekarangan depan
rumah melaksanakan pekerjaan membersihkan arca, kolam atau
menyapu pekarangan, mereka itu seperti kembang-kembang
besar beraneka warna menambah semarak pekarangan itu.
Akan tetapi pada siang hari itu, setelah dari luar nampak masuk
dua orang di antara. mereka yang berpakaian hijau dan kuning,
terdengar bunyi kelinting nyaring dari dalam dan semua
pembantu yang sedang bekerja, baik yang sibuk di dapur, di
taman belakang atau di pekarangan, segera memasuki rumah.
Suara keleningan nyaring merdu itu adalah tanda bahwa mereka
dipanggil menghadap nona mereka karena ada urusan yang amat
penting. Mereka berada di sebelah dalam rumah, di ruangan belakang
yang luas. Ruangan ini luas sekali dan tidak terdapat banyak
perabot rumah, kecuali belasan buah bangku kecil di sudut di
mana mereka kini berkumpul. Dan di dekat bangku-bangku itu
terdapat pula sebuah rak berisi segala macam senjata.
Lantainya bersih, temboknya bersih dan hawanya cukup karena
ruangan ini mempunyai banyak jendela yang dibiarkan terbuka,
jendela yang menembus pada taman di belakang rumah. Bahkan
bau semerbak harum bunga memasuki ruangan.
Sebuah lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang amat baik. Bukan
hanya merupakan ruangan latihan silat, juga tempat ini
dipergunakan oleh nona majikan mereka untuk mengadakan
rapat dengan mereka apa bila terjadi perkara penting. Sebelum
mereka berkumpul di situ, tidak lupa mereka tadi menutup semua
26 pintu luar dan samping dan belakang sehingga tidak akan ada
orang luar yang dapat masuk mencuri dengar apa yang mereka
percakapkan di dalam ruangan berlatih silat itu.
Pada hal, mereka tidak pernah merasa khawatir akan ada orang
luar berani masuk tanpa ijin karena rumah itu dipasangi banyak
perangkap dan tanda-tanda yang akan memberitahu kepada
mereka apa bila ada orang asing masuk. Banyak alat rahasia
dipasang nona mereka. Salah injak lantai saja akan menimbulkan
bunyi kelenengan. Menyangkut sehelai benang halus dengan kaki
saja akan menimbulkan bunyi bel dan sebagainya. Belum lagi
perangkap yang akan membuat orang asing terjeblos ke dalam
lubang di bawah tanah dan banyak macam lagi.
Hek-liong-li Lie Kim Cu memang baru saja memugar dan
memperbaiki rumah tempat tinggalnya. Ia kini menjadi seorang
kaya raya. Setahun yang lalu, bersama Pek-liong-eng Tan Cin
Hay, rekannya, ia telah berhasil mendapatkan harta karun yang
tak dapat dinilai berapa besarnya, dan setelah membagi harta
karun itu dengan Pek-liong-eng, ia menjadi seorang yang kaya
raya. Mungkin kekayaannya tidak kalah dibandingkan dengan hartawan
atau bangsawan terkaya di Lok-yang! Ia lalu memperbaiki
rumahnya, dan kini di dalam rumah itu bagaikan istana saja,
dengan perabot rumah yang serba indah dan mahal.
Ketika para gadis pembantunya yang oleh penduduk Lok-yang
disebut sebagai Hwa I Kiu-nio (Sembilan Nona Baju kembang)
berlarian datang memasuki ruangan latihan silat itu, Hek-liong-li
27 Lie Kim Cu atau disingkat Liong-li (Nona Naga) sudah berada di
situ, duduk di atas sebuah kursi gading yang indah sedangkan
dua orang di antara para pembantunya, yaitu yang berpakaian
kuning dan hijau sudah duduk di atas bangku, di depannya.
Wajah mereka nampak serius, membuat mereka yang
berdatangan merasa tegang.
Setelah sembilan orang pembantunya berkumpul dan duduk di
depannya dengan jajaran rapi, tenang dan penuh perhatian,
Liong-li berkata dengan lirih namun jelas.
"Aku memanggil kalian untuk mendengarkan pengalaman enci
Kuning dan enci Hijau." Ia menoleh kepada dua orang pembantu
itu, "Kalian ceritakan kembali apa yang telah kaualami tadi."
Liong-li selalu menyebut enci (kakak perempuan) kepada
sembilan orang pembantunya, dengan menyebutkan warna
pakaian mereka, dan sebaliknya, para pembantu itu menyebutnya
Li-hiap (Pendekar Wanita).
Dua orang pembantu itu lalu menceritakan pengalaman mereka
ketika mereka bertugas mencari daun-daun obat yang dibutuhkan
nona mereka ke Bukit Kuil. Bukit itu disebut Bukit Kuil karena ada
kuilnya yang kuno dan sudah tidak dipergunakan lagi itu. Di bukit
itu memang terdapat banyak tumbuh-tumbuhan obat dan kedua
orang wanita ini sudah hafal akan keadaan di dalam hutan di
bukit itu karena seringnya mereka ditugaskan mencari daun dan
akar obat. Semua pembantu mendengarkan dengan asyik, dan Liong-li
sendiri, walaupun tadi telah menerima laporan, kini
28 mendengarkan lagi penuh perhatian dan ia duduk di atas kursi
gading itu sambil termenung. Bukan main cantiknya ketika ia
duduk seperti itu. Pakaiannya, yang terbuat dari sutera hitam itu
membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak putih dan
halus mulus, lebih putih dari pada warna gading kursi yang


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didudukinya. Wajahnya yang bulat telur dengan dagu meruncing
itu nampak cerah. Mulut yang kecil dangan bibir merah yang selalu basah itu tak
pernah ditinggalkan bayangan senyum. Lesung pipinya mudah
muncul, dan tahi lalat kecil di bawah mata kiri menjadi pemanis.
Seorang wanita berusia duapuluh lima tahun yang mungil, cantik
jelita dan manis. Apa lagi melihat tubuh yang padat berisi itu, dengan lekuk
lengkung yang sempurna, menggairahkan dan penuh kewanitaan
yang hangat. Sukar membayangkan betapa di bawah kulit halus,
di dalam tubuh yang menggairahkan itu tersembunyi kekuatan
dahsyat dan ilmu silat yang maut! Rambutnya digelung tinggi,
dihias tusuk konde perak berbentuk seekor naga kecil di atas
bunga teratai. Walaupun ia kaya raya, namun Liong-li tidak suka mengenakan
perhiasan emas permata yang serba mahal. Bahkan hiasan
rambutnya itu dari perak dan satu-satunya perhiasan yang
terhitung mahal hanya sebuah gelang batu kemala hijau yang
dipakai di lengan kirinya.
Setelah si baju hijau dan baju kuning selesai menceritakan
pengalaman mereka, tujuh orang pembantu lain mengerutkan
29 alis. Mereka kelihatan penasaran mendengar betapa dua orang
kawan mereka dikalahkan orang. Wanita baju ungu yang
merupakan pembantu tertua, segera berkata kepada Liong-li
dengan penuh semangat. "Li-hiap, biarkan kami beramai pergi ke Bukit Kuil dan menghajar
kawanan perampok itu!"
Kawan-kawannya mengangguk membenarkan. Ingin mereka
menebus kekalahan dua orang kawan mereka!
Akan tetapi Liong-li menggeleng kepalanya. "Aku memanggil
kalian agar kalian tahu duduknya perkara. Akan tetapi, bukan
kewajiban kalian untuk menghadapi perkara ini, melainkan akan
kuhadapi sendiri. Ada dua hal amat menarik hatiku, yaitu adanya
dua orang berkedok hitam itu, dan pria yang menjadi tawanan itu.
"Kalau dua orang itu berkedok hitam, itu berarti bahwa mereka
hendak menyembunyikan keadaan diri mereka, dan jelas bahwa
mereka bukanlah perampok-perampok biasa. Tentu ada hal lain
tersembunyi, ada rahasia di balik semua.
"Apa lagi kalau diingat betapa mereka itu dalam belasan jurus
sudah mampu mendesak Huang-ci (Enci Kuning) dan Ching-ci
(enci Hijau ). Ingin aku membuka kedok mereka dan mengetahui
siapa mereka dan apa maksudnya mereka bersikap penuh
rahasia itu. Dan kedua adalah tawanan itu. Agaknya dia seorang
pendekar yang baik budi dan gagah perkasa!"
"Bagaimana Li-hiap dapat menduga demikian?" tanya si baju
ungu, juga yang lain ingin tahu karena mereka semua sudah
30 mengenal nona mereka yang selain lihai sekali ilmu silatnya, juga
amat cerdik. "Hemm, mudah saja. Dia sudah menjadi tawanan dan dibelenggu
kaki tangannya, namun dia masih berani melawan, itu tandanya
dia gagah perkasa. Dia mencoba untuk menyelamatkan enci
Hijau dan enci Kuning dan menganjurkan mereka cepat melarikan
diri, ini menunjukkan bahwa dia seorang pendekar yang baik hati.
Tentu dia merasa bahwa kalau sampai kedua enci tertawan
musuh atau tewas, maka hal itu disebabkan karena kedua enci
berusaha menolongnya. Tentu hal itu akan mendatangkan
perasaan tidak enak di hati seorang pendekar.
Karena itu, selain ingin tahu, siapa adanya dua orang berkedok
hitam itu, akupun ingin tahu siapa adanya pria gagah perkasa itu.
Nah, kalian jagalah rumah baik-baik. Kalau ada tamu mencariku,
katakan bahwa sore nanti atau malam nanti aku tentu sudah
pulang. Nah, persiapkan air untuk mandi, beri wangi-wangian.
Aku ingin badanku sejuk dan segar dalam menghadapi
kemungkinan bahaya!"
Kurang lebih satu jam kemudian, Liong-li sudah keluar dari
rumahnya, mengenakan pakaian serba hitam dari sutera halus.
Kulit muka, leher dan tangannya nampak segar kemerahan
karena baru saja digosok dengan kuat ketika ia mandi.
Wanita ini hampir tidak pernah mempergunakan bedak atau
pemerah pipi dan bibir. Memang tidak perlu, kecuali kalau dalam
suatu peristiwa penting, misalnya kalau ia diundang ke dalam
pesta keluarga bangsawan di Lok-yang dan sebagainya.
31 Dalam keadaan biasa, ia tidak pernah menggunakan bedak dan
gincu. Kulit mukanya sudah cukup putih mulus dan segar
kemerahan. Kedua pipinya yang baru digosoknya ketika mandi
tadi nampak kemerahan seperti buah delima masak, sepasang
bibirnya juga sudah merah basah tanpa gincu.
Ia mengenakan baju yang agak longgar dan panjang sehingga
pedang Hek-liong-kiam yang tergantung tinggi di pinggangnya itu
tidak terlalu menyolok. Sepatunya juga berwarna hitam karena
pakaian yang serba hitam ditambah rambutnya yang juga amat
hitam itu, maka perhiasan rambut terbuat dari perak itu kelihatan
amat menyolok, juga kulitnya nampak putih mulus.
Begitu keluar dari rumahnya, tiada hentinya Liong-li harus
mengangguk dan tersenyum untuk membalas tegur sapa dan
penghormatan orang kepadanya yang mereka lakukan dengan
pandang mata hormat dan kagum. Ia lalu mengambil jalan kecil
yang sunyi agar jangan banyak terganggu, dan setelah berada di
luar kota Lok-yang, ia lalu cepat menuju ke Bukit Kuil yang
nampak dari situ. Tak lama kemudian ia sudah mendaki bukit itu dan ketika tiba di
tepi hutan, ia meraih ranting pohon dan mengambil sebatang
ranting sebesar lengannya dan panjangnya kurang lebih satu
meter, lalu mempergunakan ranting kayu basah ini sebagai
tongkat. Ia sudah mengenal baik bukit ini dan tahu di mana adanya kuil
tua itu. Bahkan ia melalui jalan setapak yang hanya dikenal oleh
32 orang yang sudah biasa melaluinya, jalan yang sukar akan tetapi
jauh lebih dekat dari pada kalau melalui jalan biasa yang lebar.
Sementara itu, Cian Hui atau Cian Ciang-kun dimasukkan ke
dalam sebuah ruangan di belakang kuil tua. Ruangan itu kotor
penuh debu dan sarang laba-laba. Dia duduk di atas lantai.
Kedua lengannya dibelenggu ke belakang pinggulnya, dan kedua
kakinya dibelenggu pula dengan rantai sehingga kedua kaki itu
hanya dapat direnggangkan selebar satu meter saja. Dia dapat
berjalan, akan tetapi gerakannya amat terbatas karena kedua
tangan diikat ke belakang.
Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya. Ketika dia melihat
bahwa dua orang wanita manis ini dapat lolos dari ancaman
bahaya, Cian Hui merasa girang bukan main. Dia hanya dibiarkan
duduk di dalam ruangan itu, tidak diganggu dan para perampok
itu hanya berjaga di luar ruangan, siap dengan senjata mereka.
Dua orang berkedok itu setelah melihat dia berada di ruangan itu,
lalu berkata kepada para perampok agar dia dijaga baik-baik
jangan sampai lari. "Kalau dia mengamuk lagi, kalian bunuh saja dia!" kata si kedok
hitam yang kurus, kemudian keduanya pergi dan sampai tiga jam
lamanya tidak pernah muncul. Pernah dia bertanya kepada para
perampok yang berjaga di luar dan pertanyaan itu dia tujukan
kepada si kepala perampok yang bermuka berewok.
"Hai, Berewok! Kalian sudah mengambil kudaku, kenapa aku
masih ditahan di sini" Apa yang hendak kalian lakukan dengan
aku?" 33 Dengan wajah geram Si berewok itu menjawab. "Jangan banyak
mulut kau! Atau kau ingin kami menggebukimu seperti anjing
sehingga engkau tidak mampu mengeluarkan suara lagi?"
Cian Hui tertawa bergelak, suara ketawanya menembus keluar
dari kuil itu. "Ha-ha- ha-ha! Kalian ini perampok-perampok busuk,
penjahat-penjahat kecil yang berlagak besar. Aku tahu bahwa
kalian ini adalah antek-antek saja dari dua orang berkedok hitam
tadi. Engkau tidak akan berani menggangguku tanpa si kedok
hitam, Berewok! Karena itu katakan saja, siapa mereka dan apa
yang mereka kehendaki dariku. Kalau engkau mengaku, kelak
kalau aku dapat menundukkan mereka, tentu akan
kupertimbangkan dosamu!"
"Manusia sombong! Engkau sudah seperti anjing dirantai, tinggal
kita angkat tangan bunuh saja, dan engkau masih banyak lagak"
Hayo kalau memang engkau berani, berontaklah. Cobalah
engkau mengamuk, hemm...... aku akan senang sekali mencabikcabik perutmu agar ususmu berantakan!" Si Berewok marah
sekali. Akan tetapi yang ditantangnya hanya tertawa bergelak.
Pada saat itu terdengar derap kaki kuda di luar. "Toa-ko, kenapa
harus melayani orang sombong ini" Lebih baik lagi kalau toa-ko
mencoba lagi menunggangi kuda setan hitam itu sampai berhasil.
Lihat, ia sudah mulai kelaparan dan lari memutari pohon dengan
tidak sabar." Cian Hui diam-diam merasa sedih. Kudanya akan dipaksa untuk
menjadi kuda tunggangan si berewok ini, dan untuk menjinakkan
kuda itu, mereka menggunakan cara membuat kuda itu
34 kelaparan. Hem, aku harus membuat perhitungan untuk itu,
pikirnya. Si berewok lalu keluar dari tempat penjagaan di depan ruangan
itu. Dan Cian Hui bersiul. Siulnya seperti siul iseng saja, akan
tetapi diam-diam dia memberi isyarat kepada kudanya yang
berada di luar kuil. Kuda itu peka sekali terhadap suara siulnya
dan kalau mendengar siulnya itu, kuda itu tentu akan menjadi
tenang. Dan memang perhitungannya itu tepat. Kuda hitam itu tadinya
dicancang pada sebatang pohon dan ia selalu gelisah. Bahkan
karena merasa lapar, kuda itu berlarian mengelilingi pohon dan
mencoba untuk membikin putus kendali yang mengikatnya. Akan
tetapi, begitu Si Berewok muncul dan ia mendengar suara siulan
itu. Kuda Hitam berhenti berlari dan ia menjadi tenang dan jinak.
Bahkan ketika kepala perampok itu mendekatinya dan mengelus
lehernya, ia diam saja. "Nah, kuda yang baik, engkau jinaklah dan menjadi kuda
tungganganku. Nanti kuberi rumput yang paling enak!" kata si
berewok, perlahan-lahan melepaskan ikatan kuda itu dari pohon.
Melihat betapa kuda itu tetap jinak, Si Berewok mengira bahwa
kuda itu memang betul sudah dapat ditundukkan dan dijinakkan
dengan membiarkan ia kelaparan. Maka dengan girang diapun
melompat ke atas punggung kuda. Disuruhnya kuda itu berjalan,
dan semua ini diturut dengan taat oleh kuda hitam. Si Berewok
menjadi semakin girang dan bangga.
35 "Ha-ha-ha, aku sudah berhasil menjinakkannya! Ha-ha-ha!" Dia
tertawa-tawa dan berteriak-teriak, lalu dia menarik kendali
kudanya dan Si kuda Hitam pun lari ke depan.
Akan tetapi tiba-tiba saja, telinga kuda itu bergerak-gerak dan
pendengarannya yang peka telah menerima isyarat melalui siulan
majikannya! Dia lalu tiba-tiba membalik sehingga mengejutkan Si
Berewok. "Eh" Kenapa kembali?" Dia mencoba untuk menarik kendali akan
tetapi tetap saja kuda itu tidak menurut dan berlari seperti
kemasukan setan menuju ke kuil. Akhirnya Si berewok
membiarkan saja, hanya memegang kendali dengan kuat dan
menjepit perut kuda dengan kedua pahanya agar jangan sampai
dia terpental jatuh. Kuda Hitam itu berlari terus dan setelah tiba di depan kuil, kepala
perampok mencoba untuk menarik kendali agar kuda itu berhenti
berlari. Akan tetapi, kuda itu tidak berhenti, bahkan memasuki
pekarangan kuil, terus melompat dan masuk ke dalam pintu kuil
yang lebar dan tidak berdaun pintu lagi itu.
Tentu saja Si Berewok menjadi heran dan juga mulai takut, akan
tetapi kuda itu berlari terus menuju ke arah suara siulan yang
memanggilnya! Dia berlari melalui lorong, menerjang sebuah
meja tua, melompati segala penghalang dan memasuki ruangan
belakang! Setelah tiba di depan kamar di mana Cian Hui ditawan, barulah
dia berhenti, mendengus-dengus. Cian Hui terus bersiul dan kuda
36 itu tiba-tiba meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan,
menggoyang-goyang tubuhnya.
Tentu saja Si Berewok yang berada di punggungnya terguncangguncang, akan tetapi kepala perampok ini juga seorang ahli
menunggang kuda. Dia masih dapat duduk terus di punggung
kuda, mencengkeram bulu tengkuk kuda itu dan menempel terus
seperti seekor lintah! Anak buahnya yang melihat kuda itu mengamuk, pergi menjauh
akan tetapi mereka memberi semangat kepada kepala rampok itu
untuk terus bertahan dan agar jangan sampai terlempar dan
terbanting! Kuda itu terus meloncat-loncat seperti kemasukan setan,
punggungnya dilengkungkan dan akhirnya diapun merebahkan
diri ke samping! Melihat ini, Si Berewok terkejut sekali. Kalau
kuda itu bergulingan, tentu dia akan terhimpit dan mampus!
Maka, ketika kuda itu merebahkan diri, diapun meloncat turun.
Begitu meloncat turun, kuda hitam itu menyepak dengan kaki
belakangnya. "Bukkkk!!" Pinggul dan paha Si berewok kena disepak. Tubuhnya
terlempar dan terbanting pada dinding dan diapun roboh dan
mengaduh-aduh, kepalanya pening, pinggulnya seperti remuk
rasanya, seluruh tubuh, seperti memar dan semua tulang seperti
patah-patah. "Kuda setan! Kuda terkutuk......!" Dia memaki-maki dan Cian Hui
tertawa bergelak. Setelah Cian Hui berhenti bersiul, kuda itupun
menjadi tenang dan jinak kembali!
37 Pada saat itu, di luar terdengar bunyi roda kereta. Si Berewok
yang agaknya baru tahu bahwa dia dipermainkan oleh
tawanannya dan hendak marah, menunda kemarahannya dan
diapun bangkit menyambut. Munculah dua orang berkedok hitam
itu. "Keretanya sudah siap. Bawalah dia dan lakukan seperti yang
telah kami perintahkan!" kata yang bertubuh besar kepada kepala
perampok yang mengangguk.
"Bagaimana dengan kuda iblis itu?" tanya si berewok kepada dua
orang berkedok hitam. "Tinggalkan di sini, biar kami yang urus. Nah, berangkatlah dan
hati-hati jangan sampai dia lolos!"
Si Berewok lalu masuk ke dalam kamar, memegang lengan Cian
Hui dan menariknya bangkit berdiri. Cian Hui bersikap tenang,
akan tetapi dia memandang kepada dua orang berkedok hitam
itu. "Sobat, sungguh aku tidak mengerti apa yang kaukehendaki ini!
Mengapa kalian bersikap pengecut, tidak memperkenalkan diri"


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan kalau memang aku ini musuhmu, mengapa tidak kaubunuh
saja aku" Bukalah kedok kalian dan perkenalkan dirimu
kepadaku!" Akan tetapi, dua orang berkedok hitam itu hanya memberi isyarat
kepada kepala perampok itu.
38 "Hayo berangkat, jangan banyak cerewet kau!" bentak kepala
perampok dan bersama belasan orang anak buahnya, dia
menyeret Cian Hui yang tidak berdaya itu keluar dari dalam kuil.
Ketika tiba di luar kuil, Cian Hui melihat sebuah kereta dengan
dua ekor kuda siap di situ, sebuah kereta yang tidak besar dan
yang tertutup. Matahari telah naik tinggi dan udara cerah sekali.
Cian Hui bersikap tenang. Kalau dia dibawa pergi dari tempat ini,
dengan kereta, berarti masih banyak kesempatan baginya untuk
mencoba meloloskan diri dari cengkeraman mereka.
Kalau berada di tempat sepi seperti ini, tentu saja tidak mungkin
dia lolos, walaupun dia dapat memerintahkan kuda hitam untuk
membantunya. Terdapat bahaya kuda yang disayanginya itu akan
terbunuh dan diapun tidak akan mampu meloloskan diri dengan
kaki dan tangan terbelenggu seperti itu. Akan tetapi kalau kereta
ini melewati tempat ramai, dan kemungkinan ini besar sekali, dia
tentu akan dapat melompat keluar dan memberontak. Tentu hal
ini akan menarik perhatian orang-orang dan dia mendapat
kesempatan untuk diselamatkan.
Si berewok melangkah lebar ke arah kereta sambil menarik
lengan Cian Hui, kemudian membentak. "Nah, masuklah, atau
engkau lebih suka diseret masuk seperti seekor babi?"
Dia menyingkap tirai kereta dan membuka pintunya dan...... tibatiba dia terbelalak, karena di dalam kereta itu nampak duduk
seorang wanita yang cantik sekali, seorang wanita yang
berpakaian serba hitam dan yang tersenyum.
39 "...... eh, dewi...... eh, babi...... ah, cantiknya, manisnya........ ah,
siapakah engkau dan bagaimana.......?" Kepala rampok berewok
itu menjadi gagap dan salah tingkah karena dia sudah terpesona
melihat wanita berpakaian serba hitam itu.
Memang seorang yang mempesonakan! Bukan hanya cantik jelita
dan manis sekali, wajahnya nampak putih kemerahan dan mulus
karena pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, akan tetapi
juga wajah itu demikian segar dan cerah, senyumnya memikat
dan seluruh ruangan kereta berbau harum seolah wanita itu
setangkai bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya.
Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang manis
sekali, dan sebatang ranting yang dipegangnya, ditodongkannya
ke arah hidung si berewok,
"Engkaulah babinya! Babi berewok!"
"Apa......, apa kaubilang.....?" Si berewok tergagap karena dia
masih terpesona, juga terkejut karena tidak menduga akan
melihat seorang wanita secantik bidadari di dalam kereta itu.
Suara wanita itu demikian merdunya, akan tetapi kata-katanya
sungguh tidak enak didengar!
"Aku bilang engkau babi berewok yang sekarat!" Wanita itu
berkata dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, ranting di tangannya itu
meluncur ke arah leher si berewok. Kepala rampok itu makin
terbelalak, mengeluarkan pekik kesakitan dan diapun roboh
terjengkang dan tubuhnya berkelonjotan dalam sekarat!
40 Melihat pimpinan mereka roboh dan berkelonjotan, belasan orang
anak buah perampok. itu menjadi terkejut dan marah. Mereka
semua mencabut senjata dan mengepung kereta itu. Kusir kereta,
seorang laki-laki tinggi kurus juga sudah meloncat turun dan
mengayun cambuknya sambil membentak,
"Haiiii! Bagaimana engkau bisa berada di dalam keretaku?"
Akan tetapi wanita itu berseru dengan suaranya yang merdu,
"Kalian ini tikus-tikus kecil minggir, biar aku bertemu dengan dua
ekor tikus besar berkedok itu!"
Tubuhnya meloncat dari kereta dan bagaikan seekor burung
garuda saja, tubuh itu sudah meluncur keluar dan melayang ke
arah dua orang berkedok yang tadi memandang dengan mata
terbelalak kaget. Dua pasang mata yang tajam dan yang
mengintai dari lubang kain penutup muka itu.
Begitu melihat wanita cantik berpakaian serba hitam itu meloncat
bagaikan terbang ke arah mereka, dua orang berkedok itu sudah
menyambut dengan pedang mereka. Seorang menusukkan
pedangnya ke arah perut dan seorang lagi membacokkan pedang
ke arah leher wanita cantik itu! Betapa cepat, kuat dan juga
kejamnya serangan mereka itu. Agaknya mereka tidak ingin
banyak bicara lagi dan langsung menyambut wanita itu dengan
serangan mereka. Cian Hui memandang dengan muka agak pucat dan mata penuh
kekhawatiran. Dia tahu akan kelihaian dua orang berkedok itu
dan mengkhawatirkan keselamatan wanita cantik, sedangkan dia
sendiri dalam keadaan tidak berdaya sama sekali!
41 Diapun merasa terheran-heran mengapa wanita-wanita belaka
yang datang bermunculan dan mencoba untuk menolongnya.
Yang pertama adalah dua orang gadis cantik berbaju hijau dan
kuning. Dan sekarang muncul seorang gadis lain berpakaian serba hitam
yang jauh lebih cantik lagi dari pada dua gadis cantik pertama itu!
Dia sendiri dalam keadaan terbelenggu berhasil membantu dua
orang gadis pertama dan mereka berhasil meloloskan diri dari
pedang dua orang berkedok itu, akan tetapi bagaimana dia akan
dapat menyelamatkan gadis berpakaian serba hitam ini"
"Wuuuuttt!" Pedang pertama menyambut dengan tusukan kilat ke
arah perut. "Singgg......!" Pedang kedua berdesing membacok ke arah leher.
Dan Cian Ciang-kun terbelalak! Tubuh nona berpakaian hitam itu
sedang melayang dan disambut dua serangan maut itu, akan
tetapi dengan gerakan yang lemas dan indah, tubuh itu dapat
berjungkir balik, membuat pok-sai (salto) sampai empat kali ke
atas dan dua serangan itupun luput!
Ketika tubuh meluncur ke bawah, tubuh itu didahului gulungan
sinar kehijauan, yaitu sinar yang ditimbulkan oleh ranting di
tangannya yang diputar cepat. Wanita cantik itu kini meluncur
turun dengan kepala di bawah, dan didahului ranting yang
diputar, menyerang ke arah dua orang berkedok bagaikan seekor
naga menyambar turun dari angkasa!
42 Dua orang berkedok itupun terkejut bukan main. Tak mereka
sangka bahwa gadis. berpakaian hitam itu memiliki kecepatan
gerakan yang demikian luar biasa, tanda bahwa ia telah memiliki
gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Mereka cepat memutar pedang mereka untuk menangkis.
"Takk! Takk!" Ranting itu bertemu dengan dua batang pedang,
namun ranting itu tidak patah, sebaliknya, dua orang berkedok itu
berloncatan ke belakang karena ranting yang membentur pedang
mereka itu terpental menyerong dan menotok ke arah
pergelangan tangan mereka. Nyaris totokan itu mengenai
sasaran. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan maklum
bahwa gadis berpakaian hitam itu memang lihai bukan main.
"Hek.... Liong... Li...?" Seru seorang di antara mereka yang
bertubuh lebih besar. Wanita cantik itu memang Lie Kim Cu yang berjuluk Hek-liong-li
(Wanita Naga Hitam). Namanya bukan saja terkenal di daerah
Lok-yang di mana ia tinggal, akan tetapi juga terkenal di dunia
kang-ouw sebagai seorang wanita sakti yang pernah merobohkan
dua orang di antara Kiu Lo-mo!
Liong-li tersenyum manis dan menudingkan rantingnya kepada
dua orang berkedok hitam itu. "Kalian dua ekor anjing pengecut!
Hayo buka kedok kalian dan perkenalkan diri kepadaku, ataukah
aku yang harus membuka kedok kalian itu dengan ranting di
tanganku ini?" Dua orang berkedok itu kini yakin bahwa mereka berhadapan
dengan Hek-liong-li dan biarpun mereka berkedok, namun jelas
43 mereka itu nampak jerih, nampak dari gerakan tangan mereka
yang gelisah. "Kepung dan keroyok!" tiba-tiba mereka berteriak kepada belasan
orang perampok itu. Mendengar perintah ini, belasan orang itu lalu menggerakkan
senjata mereka menyerang Liong-li. Akan tetapi, wanita cantik ini
menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw, menghindarkan diri
dan menyusup di antara hujan senjata, mengejar dua orang
berkedok itu. Dua orang berkedok itu segera menyambutnya
dengan serangan pedang, dibantu oleh para perampok.
Melihat betapa wanita cantik jelita itu ternyata adalah Hek-liong-li
seperti yang tadi juga sudah diduganya, Cian Hui kagum dan
gembira bukan main. Akan tetapi juga dia merasa khawatir. Dua
orang berkedok itu lihai sekali dan mereka berdua
mempergunakan senjata pedang, sedangkan Liong-li hanya
bersenjata sebatang ranting! Di samping itu masih ada lagi
belasan orang perampok yang mengeroyok wanita itu.
Timbul kekhawatiran di dalam hati Cian Hui. Bagaimanapun juga,
kehebatan ilmu kepandaian wanita yang dijuluki Hek-liong-li itu
baru didengarnya saja dan biarpun tadi dia kagum melihat betapa
wanita itu membuat dua orang berkedok nampak gentar, namun
ia masih meragukan apakah dengan hanya senjata ranting di
tangan itu Hek-liong-li akan mampu mengalahkan dua orang
berkedok yang dibantu belasan orang anak buah perampok.
"Suiiiittt......suiitt......
suiiiitttt!" Tiba-tiba Cian mengeluarkan suara siulan nyaring melengking.
Ciang-kun 44 Itu merupakan siulan perintah dari kuda hitamnya. Kuda hitam itu
masih dicancang di belakang kuil, akan tetapi begitu mendengar
suara siulan ini, dia meronta dan tali pengikatnya putus, lalu dia
lari congklang mengitari kuil menuju ke depan di mana terjadi
perkelahian. Cian Hui sendiri telah meloncat ke depan, kedua lengannya
dibelenggu di belakang tubuh sehingga dia tidak dapat
mempergunakan kedua tangan. Akan tetapi, kedua kakinya diikat
dengan rantai yang panjangnya sekira satu meter antara kedua
kakinya. Biarpun hal ini tidak memungkinkan dia untuk melakukan
tendangan dengan sebelah kaki, namun dia dapat bergerak
leluasa dengan kedua kakinya dan diapun kini meloncat dan
kedua kakinya mendarat di dada seorang anggauta perampok.
"Desss......!" Anggauta perampok itu terjengkang dan tak mampu
bangkit kembali karena selain dadanya dihantam dua buah kaki
itu, juga ketika dia terjengkang, tubuh Cian Hui yang tegap tinggi
itupun menimpa perutnya! Cian Hui bangkit lagi dan dengan cara
yang sama, yaitu menendang dengan kedua kaki sambil
meloncat ke depan, dia mengamuk!
Di dekatnya, Hek-ma (Kuda Hitam) juga meringkik-ringkik,
mengangkat kedua kaki depan ke atas dan menyerang perampok
terdekat! Atau kalau kedua kaki depannya turun, kedua kaki
belakang menyepak ke belakang dengan kekuatan yang dapat
membuat orang yang disepak terlempar sampai beberapa meter
jauhnya! 45 Sejenak Liong-li melirik ke arah pria tinggi tegap yang mengamuk
bersama kudanya itu dan sinar kagum memancar dari sepasang
mata yang indah dan jeli itu. Akan tetapi segera Liong-li
mencurahkan perhatiannya kepada dua orang lawannya. Ia harus
dapat membuka kedok mereka dan membuka rahasia mereka.
Siapa mereka itu dan apa maksudnya menangkap dan menawan
pria yang gagah itu, dan iapun ingin tahu siapa pria gagah
perkasa itu. Melihat betapa Hek-liong-li hanya memegang sebatang ranting,
tidak mempergunakan pedangnya yang amat terkenal sebagai
pusaka ampuh, yaitu yang disebut Hek-liong-kiam. (Pedang Naga
Hitam), hati kedua orang berkedok itu menjadi besar. Mereka
baru dapat merobohkan Liong-li selagi wanita itu mempergunakan rantingnya, dan belum sempat mempergunakan
pedang pusakanya. Oleh karena itu, mereka berdua segera
menubruk ke depan dan menyerang dengan pedang mereka
secara dahsyat sekali. Akan tetapi, dengan menggunakan ilmu langkah ajaib Liu-sengpouw, Liong-li seperti menari-nari saja dan selalu lolos dari
sambaran sinar pedang. Bahkan beberapa kali ujung rantingnya
yang menghadang, nyaris berhasil menotok pergelangan atau
siku lengan lawan sehingga dua orang berkedok itu menjadi
terkejut bukan main dan semakin lama mereka menjadi semakin
jerih. Liong-li mempergunakan kesempatan selagi dua orang menjadi
gentar itu untuk mendesak. Ranting di tangannya berubah
46 menjadi gulungan sinar kehijauan dan dari gulungan itu kadangkadang menyambar sinar ujung ranting.
"Lepaskan kedok itu!" Tiba-tiba Liong-li membentak dan ujung
rantingnya menusuk ke arah muka orang itu dengan getaran yang
membuat ujung ranting seperti berubah menjadi dua dan
menyambar ke arah sepasang mata orang yang lebih besar
tubuhnya. Orang itu terkejut sekali. Matanya terancam dan kalau sampai
terkena tusukan ujung ranting, tentu kedua mata atau satu
diantaranya akan menjadi buta! Dia menarik kepala ke belakang
untuk mengelak, akan tetapi ujung ranting itu menusuk dan
mengait kedok hitam sehingga terlepas dan nampak wajah orang
itu. Saat itu, tangan kiri Liong-li bergerak menyambar ke depan
dan robohlah orang itu dengan tubuh terkulai lemas!
Melihat ini, orang kedua yang tubuhnya juga tinggi besar, akan
tetapi tidak sebesar orang pertama, menjadi terkejut dan
ketakutan. Dia lalu melompat hendak melarikan diri.
"Hemm, hendak lari ke mana engkau?" I.iong-li membentak
dengan suara halus, tangan kanannya bergerak dan ranting
itupun meluncur bagaikan anak panah.
"Cappp!" punggung belakang pundak kanan si tinggi besar
berkedok itu tertusuk ranting dan diapun roboh.
Melihat dua orang lawannya sudah roboh., Liong-li lalu
memperhatikan pria gagah yang dalam keadaan terbelenggu kaki
47 tangannya masih mampu mengamuk itu. Dan iapun disuguh
pemandangan yang amat menarik, mengagumkan hatinya.


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pria itu mengamuk, meloncat dan menendang dengan kedua
kakinya, tentu saja setiap kali menendang, kena atau tidak,
tubuhnya terbanting ke atas tanah. Juga kuda hitam itu
mengamuk membantu majikannya, menyepak, menubruk,
menggigit! Belasan orang perampok itu benar-benar menghadapi
kuda dan pemilik kuda yang nekat. Namun, pria itu juga
menderita luka dan tubuhnya berdarah bekas bacokan golok.
Melihat hal itu, Liong-li lalu meloncat dan dua kali tangannya
menampar, dua orang perampok terpelanting roboh. Beberapa
kali kakinya terayun dan beberapa orang roboh pula dan
akhirnya, semua perampok yang berjumlah belasan orang itupun
roboh semua! Cian Hui sudah bersiul panjang menenangkan kuda hitamnya
yang kini mendekatinya dan mendengus-dengus, dan setelah
perampok terakhir roboh oleh Liong-li. Kini dia dan wanita itu
berhadapan dan, saling pandang. Sejenak keduanya seperti
terpesona, saling pandang penuh kagum, kemudian Cian Hui
berkata dengan senyum cerah.
"Hek-liong-li, alangkah senangnya mendapat kesempatan
menjadi saksi akan kehebatanmu! Aku memang sedang
mencarimu menuju ke Lok-yang, dan siapa sangka, engkau pula
malah yang telah menyelamatkan aku dari ancaman maut!"
"Siapakah engkau dan ada kepentingan apakah mencariku?"
tanya Hek-liong-li dan segala penyelidikan pandang matanya
48 terhadap diri pria itu mendatangkan kepuasan. Seorang pria yang
jantan dan perkasa, bisiknya dalam hati.
"Namaku Cian Hui dan aku datang dari kota raja. Ada urusan
penting sekali yang mendorongku ke Lok-yang untuk mencarimu,
li-hiap (pendekar wanita). Akan tetapi sampai di sini, aku
dihadang dan ditawan oleh dua orang berkedok itu."
"Siapakan mereka itu?"
"Aku sendiripun ingin sekali mengetahui..... heiiii...! Tahan
dia......!" Tiba-tiba Cian Hui berseru sambil memandang ke depan
karena kaki tangannya masih terbelenggu.
Mendengar ini, Liong-li cepat membalikkan tubuhnya dan ia
melihat bayangan berkelebat meninggalkan tempat di mana dua
orang berkedok tadi roboh. Liong-li adalah seorang wanita yang
teramat cerdas. Sekilas saja ia sudah menduga bahwa tentu Cian
Hui tadi terkejut melihat bayangan itu melakukan sesuatu, entah
apa. Akan tetapi hal itu cukup membuat ia meloncat seperti
terbang cepatnya melakukan pengejaran.
Akan tetapi, bayangan itu sudah lenyap di balik pohon-pohon dan
biarpun Liong-li mengerahkan gin-kang sehingga tubuhnya berlari
bagaikan terbang, tetap saja ia tidak dapat menemukan lagi
bayangan itu yang menghilang seperti iblis saja! Terpaksa ia
kembali ke tempat tadi dan ketika ia membungkuk untuk
memeriksa tubuh dua orang berkedok itu, ternyata mereka telah
tewas dan muka mereka hancur dan tidak dapat dikenal lagi!
49 "Keparat!" Liong-li memaki sambil mengepal tinju dan menoleh ke
arah lenyapnya bayangan tadi.
Cian Hui meloncat-loncat seperti katak menghampiri dan melihat
keadaan pria jantan itu, Liong-li lalu memungut sebatang golok
milik perampok dan membabat putus belenggu kaki tangan Cian
Hui. Cian Hui tidak memperdulikan luka yang dideritanya di
pinggul dan pundak, dan dia cepat berlutut memeriksa mayat dua
orang berkedok itu. "Aih, sayang." Dia menarik napas panjang. "Sungguh iblis itu lihai
sekali. Tentu ada rahasia yang amat gawat sehingga dia datang
dan selain membunuh dua orang berkedok ini, juga merusak
mukanya sehingga tidak akan dapat dikenal lagi! Ini saja
menunjukkan bahwa tentu ada hubungannya dengan rahasia
yang meliputi pembunuhan di kota raja!"
"Pembunuhan di kota raja" Apa maksudmu?" Liong-li bertanya
dan menatap wajah pria itu dengan tajam penuh selidik.
Cian Hui mengangguk dan kembali menghela napas panjang.
"Untuk itulah sebenarnya aku pergi ke Lok-yang untuk
mencarimu, Li-hiap. Kami amat mengharapkan bantuanmu untuk
membongkar rahasia banyak pembunuhan yang terjadi secara
aneh di kota raja. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perwira
pasukan keamanan yang bertugas membasmi kejahatan yang
terjadi di kota raja."
"Cian Ciang-kun, tidakkah lebih baik kalau kita bicara di rumahku
saja" Sekarang, yang terpenting adalah menyelidiki siapa
sesungguhnya dua orang berkedok ini."
50 "8ayang mereka sudah tewas dan muka mereka tak dapat
dikenal......" "Kita bisa bertanya kepada anggauta penjahat yang masih hidup,"
kata Liong-li dan iapun bangkit dan meneliti para penjahat yang
rebah malang melintang itu. Ada beberapa orang di antara
mereka yang belum tewas dan seorang yang perutya gendut
hanya terluka pada kakinya sehingga tidak membahayakan
keselamatan nyawanya. Akan tetapi, si gendut itu mengaduhaduh dan terbelalak ketakutan ketika Liong-li dan Cian Hui
menghampirinya. "AMPUN...... ampun..... jangan........!" dia meratap.
"Hemm, dia inilah yang agaknya amat berguna bagi kita, Li-hiap,"
kata Cian Hui dan Liong-li mengangguk. Dengan cekatan Cian
Ciang-kun mencengkeram rambut kepala si gendut itu dan
menariknya bangun. Penjahat itu terduduk dan semakin
ketakutan. "Apa engkau tidak ingin mampus?"
"Ampunkan saya...... ampun....."
"Kami takkan membunuhmu, akan tetapi katakan siapa adanya
dua orang berkedok itu!" bentak Cian Hui dan kini jari-jari
tangannya mencengkeram ke arah pelipis kepala orang itu.
Orang itu merasakan kenyerian luar biasa, lebih nyeri dari pada
luka di kakinya. Dia menjerit-jerit seperti babi disembelih.
51 "Ampun...... aduh, ampun...... saya tidak tahu... mereka itu......
mereka muncul dan menaklukkan pemimpin kami, dan mereka
menjanjikan hadiah besar. Kami belum pernah melihat mereka
tanpa kedok......" Cian Hui agaknya mempercaya keterangan ini, "Hayo katakan, ke
mana kalian tadi diperintahkan membawaku dalam kereta itu!
Awas sekali kau berbohong, kepalamu ini akan kubikin remuk!"
Kembali dia mencengkeram agak kuat sehingga si gendut itu
kembali menjerit kesakitan.
"Aduh, ampun...., kami.... kami diharuskan membawa....... Ciangkun ke kota raja dan......"
Tiba-tiba terdengar bunyi desing yang kuat. Cian Hui dan Liong-li
meloncat ke samping dan dua batang benda kecil panjang
meluncur lewat. Dan terdengarlah teriakan, teriakan mengerikan.
Liong-li dan Cian Hui terkejut bukan main melihat si gendut yang
tadi diperiksa dan juga para penjahat yang tadi masih belum
tewas, setelah mengeluarkan teriakan mengerikan lalu diam tak
bergerak dan tewas. Tubuh mereka tertembus anak-anak panah,
seperti yang tadi meluncur dan menyerang mereka.
"Keparat!" Liong-li membentak dan iapun meloncat ke arah dari
mana datangnya anak?anak panah tadi. Akan tetapi ia hanya
melihat semak-semak bergoyang, orangnya yang tadi
bersembunyi di situ tidak nampak lagi bayangannya. Terpaksa ia
kembali ke tempat tadi di mana ia melihat Cian Hui termenung.
52 "Sungguh penuh rahasia," kata perwira itu. "Aku hendak dibawa
ke kota raja" Dan mereka semua tewas! Orang atau orang-orang
yang berdiri di belakang semua ini sungguh amat berbahaya, dan
juga lihai sekali!" Liong-li tidak menjawab mrelainkan diam-diam ia menghampiri
mereka yang tadi terluka lalu terbunuh oleh anak panah. Melihat
macam anak panah, ia berkesimpulan, bahwa setidaknya tentu
ada dua orang yang tadi menjadi penyerang gelap. Ada enam
orang anak buah penjahat yang tadinya terluka, kini tewas.
Jelas bahwa mereka yang berada di belakang layar hendak
menyimpan rahasia, maka dibunuhnya dua orang yang berkedok
yang ternyata juga hanya anak buah, dan dibunuhnya pula
semua anak buah perampok agar mereka tidak dapat memberi
keterangan apapun. Juga mereka tadi berusaha menyerang
Liong-li dan dia! "Mari kita ke Lok-yang, Li-hiap. Akan kulaporkan kepada mereka
yang berwajib di sana, kemudian kita bicara di rumahmu," kata
Cian Hui. Liong-li yang mulai tertarik sekali dengan peristiwa itu,
mengangguk dan mereka mempergunakan kereta yang tadi
didatangkan oleh dua orang berkedok, meninggalkan tempat itu
menuju ke Lok- yang. "Y" Cian Hui memandang kagum ketika dia tiba di depan rumah yang
mungil itu. Liong-li dan dia baru saja pergi ke markas pasukan
53 keamanan di Lok-yang menemui komandannya. Dan tentu saja
komandan ini terkejut sekali mengenal Cian Ciang-kun dari kota
raja yang amat terkenal itu datang berkunjung bersama Hekliong-li. Apa lagi ketika dia mendengar betapa Cian Ciang-kun
hampir saja celaka di tangan segerombolan penjahat di Bukit Kuil.
Mendengar bahwa di sana ada belasan orang penjahat yang
telah menjadi mayat, komandan itu segera mengirim pasukan
untuk mengurus mayat-mayat itu dan memerintahkan
pasukannya untuk mengadakan pembersihan kalau-kalau masih
ada sisa anak buah perampok di sekitar tempat itu. Cian Ciangkun menitipkan kuda hitam yang tadi mengikuti kereta dari hutan
kepada komandan itu, memesan agar kuda itu diberi makan dan
dirawat baik-baik. Kemudian, dengan naik kereta yang tadinya
dibawa para penjahat itu mereka berdua pergi ke rumah Hekliong-li.
Rumah itu mungil, tidak terlalu besar namun indah sekali.
Pekarangannya luas, penuh dengan tanaman bunga beraneka
warna. Di tengah pekarangan yang penuh bunga itu terdapat
sebuah kolam ikan, penuh dengan ikan-ikan emas dan di tengah
kolam yang juga dihias bunga teratai merah putih itu terdapat
sebuah arca yang ukirannya amat halus. Arca serang puteri yang
cantik, menunggang seekor angsa.
Baru melihat keadaan rumah mungil itu saja mudah diduga
bahwa Hek-liong-li, wanita perkasa yang amat terkenal itu, tentu
kaya raya! Dan dugaannya itu memang benar. Hek-liong-li
menjadi kaya raya tanpa diketahui orang ketika setahun yang lalu
54 ia bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay mendapatkan harta karun
yang tak dapat dinilai harganya saking banyaknya.
Ketika Cian Hui masih mengagumi keadaan rumah dan
pekarangannya itu, dari dalam bermunculan sembilan orang
wanita yang memakai pakaian beraneka warna dan cerah,
dengan wajah mereka manis itu tersenyum gembira dan mereka
menyongsong Hek-liong-li dengan gembira dan juga penuh
hormat. "Li-hiap sudah pulang......!" terdengar mereka berseru gembira
dan Cian Hui terbelalak ketika dia mengenal dua orang di antara
mereka, yaitu nona baju hijau dan nona baju kuning yang pernah
mencoba untuk menolongnya ketika dia menjadi tawanan dua
orang berkedok. Kini mengertilah dia mengapa Hek-liong-li dapat muncul secara
tiba-tiba dan membebaskannya dari tangan para penjahat itu.
Tentu nona baju hijau dan nona baju kuning itu yang melapor
kepadanya dan wanita perkasa itu lalu turun tangan sendiri
menolongnya! "Aih, kiranya dua orang nona yang gagah perkasa berada pula di
sini......" katanya sambil memberi hormat kepada dua orang gadis
berpakaian hijau dan kuning itu. Dua orang wanita itu dengan
tergopoh membalas penghormatan Cian Hui dan si baju hijau
menjawab dengan tersipu. "Harap jangan membikin malu kepada kami. Kami telah gagal
membantumu dan masih baik bahwa nona kami tidak marah
kepada kami!" 55 Liong-li tersenyum memandang kepada tamunya. "Cian Ciangkun, maafkan para pembantuku yang tidak mampu
membebaskanmu. Marilah kita bicara di dalam. Kalian kenalilah
baik-baik. Tamu kita ini adalah Cian Ciang-kun, seorang perwira
tinggi komandan pasukan keamanan dari kotaraja yang
berkedudukan tinggi!"
"Cian Ciang-kun.......!" sembilan orang wanita cantik itu memberi
hormat dan suara mereka seperti sekumpulan burung yang
berkicau merdu. "Ah, nona-nona yang cantik dan gagah, harap jangan sungkan,"
Perwira itu membalas penghormatan mereka.
Ketika dibawa memasuki rumah itu, diam-diam Cian Hui menjadi
semakin kagum dan juga semakin yakin bahwa nona rumah tentu
kaya raya. Perabot rumah yang terdapat di situ semuanya indah
dan mahal. Dindingnya dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan
indah yang dibuat oleh para seniman yang terkenal, tentu amat
mahal. Lantainya ditilami permadani yang tebal. Sutera-sutera
halus beraneka warna bergantungan menambah cerah dan
indahnya keadaan dalam ruangan-ruangan di situ.
Liong-li mempersilakan tamunya memasuki ruangan yang luas,
yang letaknya di bagian belakang. Ruangan ini luas dan kosong
dan di sudut ruangan terdapat sebuah rak senjata yang penuh
dengan segala macam senjata yang kelihatan bermutu tinggi,
beberapa buah kursi dan sebuah meja panjang berada di sudut
pula sehingga ruangan itu nampak luas dan mudah diketahui
bahwa ruangan ini tentulah semacam lian-bu-thia (ruangan
56 berlatih silat) yang indah. Banyak terdapat jendela di situ
sehingga hawanya sejuk dan nyaman karena jendela-jendela itu
menembus ke sebuah taman bunga di belakang.
Ternyata bahwa rumah mungil itu dikelilingi taman bunga!
Pekarangan di depan sudah merupakan taman, di belakang,
kanan dan kiri juga merupakan taman yang penuh bunga
beraneka warna! Bahkan di taman belakang yang luas itu
terdapat pula pondok-pondok kecil mungil tempat peristirahatan.
Tempat yang indah ini dikelilingi dinding yang tinggi dan di atas
dinding dipasangi tombak-tombak runcing sehingga sukar bagi
orang luar untuk masuk melalui dinding pagar itu.
"Silakan duduk, Cian Ciang-kun. Di sini kita dapat bicara dengan
leluasa dan tidak akan terdengar orang lain," kata Liong-li setelah
memerintahkan anak buahnya untuk melakukan tugas mereka.
Tanpa dijelaskan, sembilan orang gadis cantik itu sudah tahu apa
yang harus mereka lakukan. Ada yang berjaga di sekitar luar
ruangan itu, ada yang sibuk di dapur untuk mempersiapkan
hidangan untuk nona majikan mereka dan tamunya.
Cian Hui menarik napas panjang. "Sudah lama aku mendengar
nama besar Hek-liong-li, dan sekarang aku merasa kagum bukan
main. Keadaan Li-hiap sungguh jauh melebihi apa yang pernah
kudengar." "Hemm, jangan terlalu memuji, ciang-kun. Melebihi dalam hal


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa?" "Segala-galanya. Kelihaian, kecantikan, kekayaan Li-hiap!"
57 Liong-li tersenyum dan kedua pipinya menjadi kemerahan, tanda
bahwa pujian itu mengena di hatinya. Diam-diam ia juga kagum
dan girang sekali mendapat pujian seorang pria seperti yang
duduk di depannya itu. Ia tahu benar bahwa pujian itu bukan
sekedar rayuan, melainkan keluar dari hati yang jujur dan tulus.
"Sudahlah, Ciang-kun. Yang terpenting sekarang sebelum kita
bicara, aku harus mengobati luka-lukamu lebih dulu."
"Ah, luka-luka ini tidak seberapa, Li-hiap. Aku dahulu pernah
menjadi seorang perwira perang sehingga luka-luka bagiku sudah
biasa......" "Akan tetapi luka-lukamu itu harus cepat diobati, kalau tidak,
berbahaya dan dapat menjadi semakin parah. Apa lagi diingat
bahwa yang melukaimu adalah penjahat-penjahat yang mungkin
mempergunakan senjata kotor atau beracun. Mari, kau rebahlah
di atas lantai, akan kuperiksa, ciangkun!" kata Liong-li dan di
dalam suaranya terkandung perintah yang berwibawa.
Diam-diam Cian Hui merasa heran sekali mengapa dia merasa
seperti mendengar perintah atasannya yang tidak mungkin dapat
dibantah lagi! Dia lalu bangkit dan melangkah ke sudut ruangan,
merebahkan diri di atas lantai seperti yang diperintahkan Liong-li.
Liong-li bertepuk tangan dua kali. Seorang gadis berpakaian
merah muncul. "Ang-cici (enci Merah), cepat ambilkan perabot dan obat untuk
mengobati luka di tubuh Cian Ciang-kun!"
58 Gadis berpakaian merah itu mengangguk dan pergi. Liong-li lalu
berlutut dekat Cian Hui dan dengan jari-jari tangan yang cekatan
dan tidak ragu-ragu, ia merobek baju di bagian pundak,
memeriksa luka di pundak perwira itu. Kemudian iapun merobek
celana di bagian pinggul dan memeriksa luka di situ. Sementara
itu, Enci Merah datang membawa sebuah panci terisi air panas
dan perabot yang berupa gunting, pisau kecil, juga kain putih
bersih dan obat bubuk beberapa macam dalam bungkusan.
"Sekarang pergi dan suruh enci Biru mengambilkan satu stel
pakaian luar dalam yang cocok untuk Cian Ciangkun!" kata Liongli dan kembali gadis berpakaian merah itu mengangguk lalu
keluar dari situ tanpa bicara. Nampaknya ia amat patuh dan
menghormati Liong-li. Kini Liong-li bekerja. Kedua tangannya amat cekatan, lembut
namun juga tidak ragu- ragu, mencuci luka-luka itu dengan air
panas, kemudian menaruhkan obat bubuk putih lalu menutupi
luka itu dengan semacam obat tempel yang sudah dipanaskan.
Selama pengobatan ini, Cian Hui tidak pernah mengeluarkan
keluhan sedikitpun, padahal ketika dicuci terasa panas dan ketika
dibersihkan terasa perih. Setelah diberi obat dan ditutup koyo,
baru terasa nyaman. Ketika merawat luka-luka itu, sepasang mata Liong-li hanya
ditujukan dan dipusatkan kepada luka itu. Akan tetapi setelah ia
selesai memberi pengobatan, barulah nampak olehnya betapa
pundak dan dada perwira itu bidang dan kokoh kuat, sedangkan
pinggulnya juga penuh otot melingkar dan menunjukkan
kejantanan yang mengagumkan hatinya.
59 "Nah, bahayanya sudah lewat, Ciang-kun. Untung engkau
memiliki tubuh yang sehat kuat dan darah yang bersih sehingga
luka-luka itu akan cepat sembuh dan kering."
Pada saat itu, seorang gadis berpakaian serba biru memasuki
ruangan dan menyerahkan setumpuk pakaian kepada Liong-li,
kemudian ia keluar lagi. "Ini pakaian bersih, harap engkau suka berganti pakaian dulu,
baru kita bicara, ciang-kun," kata pula Liong-li dan wanita ini lalu
bangkit dan berjalan menuju ke sebuah jendela yang terbuka, lalu
berdiri di situ dan memandang keluar.
Cian Hui memandang kagum. Bukan main wanita ini, pikirnya dan
di dalam hatinya timbul suatu kemesraan yang belum pernah
dialaminya selama hidupnya. Rasa kagum dan haru
menyelubungi hatinya. Seorang wanita yang matang, memiliki
kecantikan yang hampir sempurna, ilmu kepandaian tinggi, sikap
yang anggun dan berwibawa, kaya raya, cerdik jujur terbuka,
tidak berpura-pura atau bersembunyi di balik kesopanan seperti
para wanita pada umumnya.
Wanita hebat! Diapun mengusir semua perasaan sungkan,
membuka pakaiannya dan berganti pakaian dalam dan luar.
Pakaiannya yang kotor dan robek-robek itu dia gulung dan
letakkan di sudut ruangan.
Pakaian yang dipakainya itu bersih dan baru, terbuat dari sutera
berwarna biru, cocok sekali dengan bentuk tubuhnya sehingga
dia merasa heran. Bahkan dia menjadi semakin heran ketika
merasakan betapa ada sesuatu yang tidak nyaman terasa di
60 hatinya ketika dia membayangkan bahwa mungkin ada seorang
pria kawan dekat wanita hebat ini, pemilik pakaian yang kini
dipakainya itu. Tanpa menengokpun Liong-li maklum bahwa Cian Ciang-kun
telah selesai berpakaian. Ia memiliki pendengaran yang amat
tajam sehingga ia dapat menangkap gerakan pria itu ketika
berpakaian dan selesai. Maka iapun membalikkan tubuhnya
memandang dan ada pancaran kagum dalam sinar matanya
memandang kepada Cian Hui yang memang nampak ganteng
dan gagah dalam pakaian barunya itu.
"Engkau pantas sekali memakai pakaian itu, Ciang-kun!" ia
memuji jujur sambil tersenyum.
Cian Hui mengangkat kedua tangan depan dada, memberi
hormat, "Li-hiap, terima kasih atas segala kebaikanmu. Sungguh
membuat aku merasa sungkan, telah mengganggumu,
menganggu pemilik pakaian ini. Aku harus menghaturkan terima
kasih kepada pemilik pakaian yang kupinjam ini."
"Itu pakaianku!"
"Tapi, ini pakaian pria dan ukurannya besar."
Liong-li tersenyum manis sekali. "Ciang-kun, di sini aku memiliki
segala macam pakaian. Memang kusediakan kalau-kalau aku
membutuhkannya. Ada pakaian kanak-kanak segala umur, laki
dan perempuan, ada pakaian pria dan wanita segala umur dan
segala ukuran. Enci biru yang mengurus tentang pakaian itu.
Maka, jangan khawatir, dan pakaian itu bukan kupinjamkan, biar
61 kaupakai saja, Ciang-kun. Nah, mari kita bicara. Aku ingin
mendengar tentang keributan dan pembunuhan di kota raja itu."
Cian Hui menghela napas dan semakin kagum. Wanita yang
hebat! Diapun mulai bercerita tentang peristiwa yang terjadi di
kota raja, khususnya di antara para pejabat tinggi dan di istana.
"Aku menerima tugas istimewa dari Sri baginda Kaisar sendiri
untuk menyelidiki dan membongkar rahasia pembunuhan ini, Lihiap. Akan tetapi aku menemui jalan buntu dan tidak berhasil,
maka aku teringat kepadamu yang sudah kudengar sebagai
seorang pendekar wanita yang sakti. Aku mohon bantuanmu,
karena kiranya hanya engkaulah yang akan mampu menandingi
mereka yang berdiri di belakang layar dan yang mengatur
pembunuhan-pembunuhan itu."
Cian Hui lalu menceritakan betapa selama dua bulan ini, di kota
raja terjadi geger karena terjadinya pembunuhan-pembunuhan
yang penuh rahasia. Yang menjadi korban pembunuhan adalah
para pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan tinggi dan
penting dalam pemerintahan. Juga beberapa orang pangeran
yang dekat dengan kaisar telah menjadi korban pembunuhan
pula. Cara pembunuhan itu dilakukan penuh rahasia, para korban
adalah pejabat tinggi yang selalu dikawal pasukan pengawal.
Rumah mereka siang malam dijaga pasukan pengawal. Akan
tetapi tetap saja pada suatu pagi mereka ditemukan sudah tewas
dengan leher putus dalam kamar mereka, bersama siapa saja
yang kebetulan sekamar dengan mereka malam itu.
62 "Yang paling hebat terjadi dua minggu yang lalu, li-hiap. Seorang
panglima telah terbunuh dalam kamarnya, pada hal kamar itu
berada di dalam benteng! Bayangkan saja, pembunuh itu dapat
memasuki benteng dan dapat membunuh Panglima Cu di
kamarnya, pada hal panglima itu adalah seorang yang memiliki
ilmu silat tinggi! Dan dua orang selirnya yang tidur bersamanya
juga wanita-wanita yang lihai, akan tetapi mereka bertiga tewas
dengan leher putus dalam kamar itu!" Perwira itu kembali menarik
napas panjang. "Sungguh merupakan tugas berat bagiku, maka
aku berusaha untuk mohon bantuanmu."
Liong-li mendengarkan dengan tekun dan sabar, tak pernah
mengganggu dan setelah perwira itu berhenti bercerita, baru ia
membuat gerakan, tangan kirinya diangkat ke arah kepalanya
dan iapun memegangi dahinya dengan alis berkerut. Ini
menandakan bahwa wanita cantik itu sedang memutar otaknya!
Kedua matanya terpejam dan Cian Hui hanya memandang, tidak
berani mengganggu dan dia hanya memandang dengan hati
tertarik. Dia seolah-olah dapat melihat betapa isi dari kepala yang
bagus bentuknya, yang dihias rambut hitam lebat itu, sedang
bekerja dengan ajaib. Tiba-tiba sepasang mata itu terbuka dan menatap kepadanya,
membuat Cian Hui seperti silau karena sepasang mata itu kini
mencorong! "Cian Ciang-kun, apa yang kauperoleh dari hasil penyelidikanmu"
Apakah semua pembunuhan itu terjadi tanpa adanya seorang
pun saksi yang melihat sesuatu yang mencurigakan?"
63 "Setiap terjadi pembunuhan, aku segera menyelidiki sendiri dan
sudah kucari keterangan. Akan tetapi tidak pernah ada orang lain
melihat pembunuh itu, hanya ada dua orang, di tempat yang
berlainan melihat bayangan iblis......," perwira itu berhenti dan
kelihatan ragu-ragu. "Bayangan Iblis" Apa maksudmu, Ciang-kun?"
"Ketika Pangeran Cun dibunuh sebulan yang lalu, dan seorang
pejabat tinggi, Menteri Pajak dibunuh seminggu kemudian, ada
orang yang melihat bayangan iblis. Bayangan itu bentuknya
seperti tubuh orang yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya.
Akan tetapi hanya bayangannya saja yang nampak di atas
dinding putih, itupun hanya sebentar karena bayangan itu segera
lenyap. Mungkin hanya khayal orang yang ketakutan dan tahyul,
Li-hiap. Betapapun juga, berita itu membuat orang ramai
menyebut pembunuh itu Si Bayangan Iblis! Akan tetapi, belum
pernah ada yang melihatnya, dan semua penyelidikanku
menemui kegagalan dan jalan buntu. Aku tidak pernah dapat
menemukan jejak, bahkan aku tidak tahu apa yang menjadi
sebab dari semua pembunuhan itu."
"Dan engkau lalu mencariku dari kota raja ke sini, dan di tengah
perjalanan engkau di- hadang perampok" Coba ceritakan tentang
peristiwa perampokan terhadap dirimu, ciang-kun. Mungkin kita
dapat menemukan jejak dari situ."
"Aku juga merasa yakin bahwa ada hubungan yang erat antara
semua peristiwa di kota raja itu dengan usaha penculikan yang
64 dilakukan terhadap diriku. Namun sayang, jejak itu terhapus
dengan kematian semua penjahat itu."
Cian Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya, betapa
tadinya belasan orang penjahat itu hendak merampok kudanya,
kemudian muncul dua orang berkedok yang lihai itu sehingga dia
tertawan. Betapa kemudian muncul nona baju hijau dan nona
baju kuning yang berusaha menolongnya, namun mereka
berduapun kewalahan menandingi dua orang berkedok hitam
sehingga mereka melarikan diri.
"Kemudian, ketika aku hendak diculik dan dibawa pergi dengan
kereta, engkau muncul, Li-hiap."
"Itulah yang kusayangkan!" seru Liong-li. "Kalau saja aku tahu
bahwa engkau seorang penyelidik, bahwa semua itu ada
hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan di kota raja,
tentu aku tidak tergesa-gesa turun tangan dan membiarkan
engkau mereka bawa pergi. Dengan demikian, setidaknya ada
harapan untuk dapat menemukan jejak mereka."
Cian Hui mengangguk-angguk. "Engkau benar. Akupun berpikiran
demikian, akan tetapi bukan berarti bahwa aku tidak berterima
kasih telah kautolong dan kaubebaskan."
"Semua sudah terlanjur. Kita harus mulai dari pertama, yaitu
tanpa adanya jejak."
"Kita" Apakah ini berarti bahwa engkau sudi untuk membantuku
dan hendak menyelidiki peristiwa ini" Ah, kalau begitu terima
kasih banyak Li-hiap, sungguh aku merasa gembira sekali dan
65 bersyukur!" Perwira itu lalu memberi hormat untuk menyatakan
terima kasihnya. "Tidak perlu berterima kasih, ciang-kun. Aku sudah terlibat di
dalamnya, tanpa kauminta sekalipun aku harus membongkar
rahasia ini. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah ada persamaan
antara mereka yang telah menjadi korban pembunuhanpembunuhan di kota raja itu?"
"Persamaan bagaimana maksudmu, Li-hiap?"
"Persamaan di antara para kurban itu, ciri khas atau sikap yang
sama atau mungkin ada pertalian atau hubungan di antara
mereka......." "Ah, benar juga......! Kenapa aku tidak ingat akan hal itu
sebelumnya" Para korban itu kesemuanya dekat dengan
Sribaginda Kaisar! Pangeran-pangeran yang terbunuh adalah
kesayangan kaisar, dan para menteri yang menjadi kurban juga
merupakan menteri-menteri yang setia. Itulah persamaan antara
mereka." "Hemm, itu yang kucari, Ciang-kun. Kalau begitu, tentu ada
komplotan yang diam-diam memusuhi kaisar, atau setidaknya
ingin melihat kaisar menjadi lemah, maka mereka yang dekat
dengan kaisar dan dianggap penghalang, disingkirkan satu demi
satu. Dan jelas ada hubungannya antara semua pembunuhan itu
dengan usaha penculikan terhadap dirimu. Karena engkau
merupakan petugas dari kaisar untuk menyelidiki rahasia ini,
maka engkau akan diculik."
66 "Akan tetapi mengapa tidak mereka bunuh saja" Mengapa
mereka harus menculikku" Dan dibawa ke kota raja pula?"
Liong-li menatap wajah perwira itu dengan tajam dan mulutnya
tersenyum manis. "Ciang-kun, harap engkau jangan berlagak
bodoh. Aku yakin bahwa engkau yang sudah dipercaya oleh
Sribaginda untuk melakukan penyelidikan dan membongkar
rahasia ini, tentu memiliki kecerdikan tinggi. Mustahil engkau tidak
dapat menduga apa sebabnya mereka tidak membunuhmu."
Cian Ciang-kun juga tersenyum. Memang dia tadi berpura-pura,
untuk menguji kecerdikan wanita cantik jelita itu, akan tetapi,
ternyata permainan sandiwaranya ketahuan!
"Baiklah, memang aku sudah mempunyai dugaan. Akan tetapi


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku ingin sekali mendengar pendapatmu, li-hiap. Bagaimana
menurut pendapatmu?"
"Alasannya mudah diduga, hanya yang sukar adalah menemukan
siapa sesungguhnya yang berdiri di belakang semua ini. Mereka
tidak membunuhmu, melainkan hendak menculikmu, tentu
mereka itu, pemimpin mereka, ingin lebih dahulu mengorek
pengakuanmu sampai sejauh mana hasil penyelidikanmu, Ciangkun. Mereka khawatir kalau-kalau penyelidikanmu sudah
sedemikian jauhnya sehingga rahasia mereka terancam. Dan
mereka hendak membawamu kota raja seperti pengakuan
anggauta perampok itu. Hal ini menunjukkan bahwa pimpinan
komplotan itu tentu berada di kota raja!"
67 Cian Ciang-kun mengangguk-angguk kagum. "Engkau hebat, Lihiap! Memang tepat sekali, demikianlah pula pendapatku. Dan
tentu di kota raja itu telah menanti Si Bayangan Iblis!"
Liong-li mengangguk. "Besar kemungkinannya demikian. Yang
disebut Si Bayangan Iblis itu tak mungkin seorang di antara dua
orang berkedok itu. Tentu lebih lihai. Akan tetapi, aku mempunyai
perhitungan bahwa Si Bayangan Iblis itupun hanya alat saja,
masih ada yang berdiri di belakang layar, yang mengemudikan
semua ini." Perwira itu nampak termangu-mangu, dan dia meraba-raba
dagunya yang halus karena dia mencukur rambut pada dagu dan
mukanya, tidak berkumis atau berjenggot.
"Hal itulah yang aneh, Li-hiap. Aku memiliki jaringan penyelidik
yang banyak, kuat dan terampil. Aku mengenal dan mengetahui
benar keadaan di kota raja, mengenal hampir semua pejabat dan
mengetahui keadaan mereka, bahkan rahasia dan keadaan
rumah tangga mereka. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan di
antara mereka, tentu aku mengetahuinya! Agaknya mustahil
kalau yang mengemudikan semua komplotan itu tinggal di kota
raja dan lolos dari pengamatan orang-orangku."
"Bagaimana kalau mereka bersembunyi di dalam istana" Apakah
pengamatanmu juga sampai menembus dinding istana, Cian
Ciang-kun?" Pertanyaan ini membuat perwira itu terbelalak, terkejut dan heran.
Dia menggeleng kepala. 68 "Memang tidak sampai ke sana, akan tetapi...... ah, bagaimana
mungkin..... musuh berbahaya itu bersembunyi di dalam istana"
Wah, kalau begitu, keselamatan Sribaginda dalam bahaya!"
Liong-li menggeleng kepala. "Belum tentu demikian, Ciang-kun.
Menurut pendapatku, komplotan itu mempunyai sasaran yang
lebih luas dari pada sekedar membunuh Sribaginda Kaisar. Kalau
memang itu sasarannya, tentu telah terjadi serangan atas diri
beliau. Melihat betapa yang dibunuh adalah pejabat-pejabat dan
bangsawan-bangsawan yang dekat dengan Sribaginda, aku lebih
condong menduga bahwa pelakunya atau pimpinannya
menghendaki kelemahan kedudukan Sribaginda Kaisar dan
melenyapkan mereka yang memiliki kekuasaan. Ini membuat aku
menduga bahwa tentu dia bermaksud menonjolkan diri atau
memperbesar kekuasaannya sendiri."
Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya dan dia menganggukangguk. Dia dapat melihat kemungkinan-kemungkinan terjadinya
semua yang dikemukakan wanita itu dan hatinya merasa gelisah
sekali. "Ah, kalau benar demikian, Li-hiap, maka itu adalah permainan
tingkat tinggi dan aku sama sekali tidak berdaya dan tidak
memiliki kekuasaan untuk dapat mencampuri urusan yang
menyangkut pribadi atau kekuasaan Sribaginda Kaisar."
"Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau tidak mungkin
dapat melakukan penyelidikan ke dalam istana?"
"Benar, Li-hiap. Aku adalah seorang panglima pasukan
keamanan yang bertugas menumpas para penjahat di luar istana,
69 mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi kekuasaanku
terbatas dan aku tidak mungkin dapat memasuki istana tanpa ijin
dari Sribaginda Kaisar. "Di istana terdapat pasukan pengawal yang terbagi pula sebagai
pasukan luar istana, pasukan pengawal Sribaginda, dan pasukan
pengawal Thai-kam yang bertugas menjaga keamanan di bagian
paling dalam di istana, sampai ke bagian puteri. Aku hanya
bertugas memimpin pasukan keamanan yang bertugas
mengamankan kota raja dan sekitarnya. Tugasku yang kuterima
dari Sribaginda adalah mencegah terjadinya pembunuhanpembunuhan terhadap para pejabat tinggi itu, yang terjadi di luar
istana. "Dan selama ini memang tidak pernah terjadi pembunuhan
terhadap seorang penghuni istana maka tidak ada alasan bagiku
untuk minta ijin Sribaginda memasuki istana! Tentu saja ada
kecualinya, yaitu kalau memang sudah terdapat bukti bahwa
komplotan pembunuh itu berada, di dalam istana."
Liong-li masih mengerutkan alisnya dan sampai lama mereka
berdua berdiam diri. Wanita itu memejamkan mata dan melihat
keadaannya, Cian Ciang-kun tidak berani mengganggu. Dia
sendiri memikirkan kemungkinan terjadinya hal seperti yang
dikemukakan wanita perkasa ini dan diapun merasa ngeri. Kalau
benar ada komplotan yang bersembunyi di dalam istana, sungguh
berbahaya sekali! Tentu saja dia dapat bicara dengan para panglima pasukan yang
bertugas di luar dan dalam istana, namun paling banyak dia
70 hanya minta agar mereka itu berhati-hati dan melakukan
Pendekar Asmara Tangan Iblis 4 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Pedang Keadilan 33
^