Pencarian

Terbang Harum Pedang Hujan 10

Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long Bagian 10


lagi. Mungkin kalau orang lain tidak akan mau memperistri perempuan seperti itu. Tapi dia sangat
mencintai istrinya, bukan karena dia jelek atau karena dia bukan perawan lagi lalu tidak
mencintainya. Dia menikahinya dan memberikan marga kepada 3 orang anak yang entah siapa
ayah mereka. Sekarang dia sakit hati mendengar kata-kata Xuan-xuan yang polos. Dia tidak tahu dia tidak
berhak memukul anak ini. Ruan Da-cheng mendorong Xuan-xuan, karena terkejut, dia berhenti
menangis. Melihat wajah Xuan-xuan ada bekas jarinya, dia merasa menyesal, karena itu dia menggendong
Xuan-xuan dan membawanya kembali ke gunung.
Xuan-xuan mengira Ruan Da-cheng masih akan memukulinya lagi, maka dia pun berteriak:
"Aku tidak mau pulang! Tidak mau pulang!" Ruan Da-cheng menundukkan kepalanya yang
tidak bertelinga. Dengan sabar dia berkata:
"Anak baik, jangan berteriak lagi. Ayah sudah berbuat tidak baik, ayah sudah memukulmu.
Besok aku akan membelikan pedang kayu untukmu."
Xuan-xuan terkejut, mengapa hari ini ayahnya begitu baik kepadanya" Dengan bingung dia pun
mengangguk. Sesampainya mereka di pekarangan, dia menurunkan Xuan-xuan dan bertanya
kepada remaja berbaju putih:
"Wei-er, bagaimana kondisi ibumu?" Ruan-wei dan Ruan-yun dengan hormat memanggil
ayahnya. "Menurut Adik Yun, ibu sudah tertidur. Tadi aku ke kuil Ling-feng untuk meminta obat kepada
Paman Wu-yin. Obatnya di sana." jawab Ruan-wei
Dengan senang Ruan Da-cheng berkata:
"Berikan obat itu kepadaku. Jika bukan karena obat pemberian Paman Wu-yin, mungkin
penyakit ibumu akan bertambah parah."
Gadis berbaju hijau itu berkata:
"Ayah, sebelum tidur ibu berpesan jika ayah pulang, ayah jangan ke kamar ibu dulu."
Ruan Da-cheng menarik nafas. Obat yang baru diambil dari Ruan-wei dikembalikannya lagi.
"Berikan saja kepada ibumu, aku akan tidur di kamar baca."
Dia masuk ke pekarangan lalu berteriak: "Kerbau, kerbau, ikut ayah ke kamar." Ruan-wei
menuntun Xuan-xuan dan berkata:
"Adik kedua, jangan membuat kakak marah, ayo ikut kakak ke kamar ibu."
Ruan-xuan melepaskan pegangan Ruan-wei dan berkata:
"Siapa yang mau menengok ibu, sebentar gila, sebentar melotot, sepertinya Xuan-xuan musuh
besarnya." Ruan-yun melangkah ke depan memegangi tangan Ruan-wei dan berkata: "Kakak, Yun-yun
ikut." Tapi Xuan-xuan melepaskan pegangan Yun-yun yang memegangi kakaknya dan berkata:
"Kakak, Xuan-xuan ikut." dia pun memegang erat tangan Ruan-wei.
Ruan-wei mengedipkan bola matanya yang hitam. Dengan nakal dia berkata:
"Bukankah kau takut ke kamar ibu?"
"Ada kakak, Xuan-xuan tidak takut kepada apa pun." jawab Xuan-xuan Polos
255 Ruan-wei tertawa dan menuntun Ruan-xuan masuk ke pekarangan.
Malam menutupi bumi. Orang-orang yang sedang membaca kitab suci di kuil Ling-feng sudah
bubar. Di ruangan ada 2 kamar. Kamar paling kanan di dalamnya dihiasi sangat mewah juga indah.
Keempat dinding kamar tergantung lukisan dan tulisan kaligrafi. Semua kaligrafi itu memuji
kebaikan dan keadilan Ruan Da-cheng. Di bawahnya ada tanda tangan dan tempat pembuatan.
Kamar itu sangat luas, di dalamnya berisi perabot rumah yang terbuat dari kayu murah masih
ada barang-barang antik. Di sudut kamar ada sebuah ranjang terbuat dari kayu merah dan dihiasi
kain sutra. Hari sudah malam. Lampu yang terletak di atas rak tinggi masih menyala dan mengeluarkan
cahaya lembut, cahaya lembut itu menyinari wajah seorang perempuan yang tertidur di ranjang.
Jika dilihat sekilas perempuan ini sangat cantik tapi...
Begitu dekat, wajah perempuan ini penuh dengan bekas luka. Memang lukanya sudah lama dan
setelah sembuh terlihat agak mulus tapi tetap saja membuat siapa pun takut melihatnya.
Perempuan berwajah bopeng ini sedang tertidur pulas, wajahnya terlihat sangat tenang. Tirai
disibakkan, Ruan-wei dan adik-adiknya masuk ke kamar.
Karena ibunya sedang tertidur pulas, Ruan-wei tidak tega membangunkannya tapi jika ibunya
tidak meminum obat pemberian Paman Wu-yin maka penyakit ibunya akan kambuh.
Pelan-pelan Ruan-wei memasukkan obat itu ke dalam cawan dan setelah sedikit hangat dia
memapah ibunya duduk dan sedikit demi sedikit memasukkan obat ke mulut perempuan itu. Tidak
lama kemudian secawan obat itu sudah habis diminum.
Ruan-wei membaringkan kembali perempuan itu, sepertinya perempuan itu tidak terganggu.
Dia masih tertidur pulas.
Ruan-yun masih kecil tapi dia sangat menyayangi ibunya. Ketika Ruan-wei menyimpan cawan,
dia segera menyelimuti ibunya. Ruan-xuan berdiri agak jauh, dia tidak memperhatikan ibunya.
Setelah Ruan-wei merapikan kamar, dia melambaikan tangan kepada Ruan-yun dengan pelan
berkata: "Adik ketiga, ayo kita keluar, biar ibu tidur."
Baru saja Ruan-yun membalikan tubuh, belum ada 3 langkah, perempuan bopeng itu terbangun
dan berteriak: "Siapa?" Ruan-wei cepat mendekat ibunya: "Ibu, ini Wei-er dan Xuan-xuan juga ada Yun-yun menjenguk
ibu." Perempuan bopeng itu segera marah:
"Siapa suruh Xuan-xuan masuk" Suruh dia keluar, melihat dia, rasanya ibu ingin marah, suruh
dia keluar, keluar!"
Ruan-wei memberi tanda kepada Xuan-xuan supaya dia keluar kamar. Karena kesal Xuan-xuan
menangis. Dia membuka tirai dan pergi.
Mungkin karena perempuan bopeng itu sudah meminum obat pemberian Biksu Wu-yin, dia
agak sadar. Ruan-wei berkata pelan: "Bu, Xuan-xuan sudah keluar."
Perempuan bopeng itu mengangguk. Yun-yun segera mendekatinya. Perempuan bopeng itu
melihat wajah Yun-yun yang mirip Xuan-xuan, alisnya dikerutkan lagi. Dalam hati dia ingin marah
tapi dia berusaha menahannya. Akhirnya dia menyuruh Yun-yun mendekatinya, dia mengelus-elus
rambut Yun-yun, terpancar kasih sayang seorang ibu.
Mulut Ruan-wei beberapa kali bergerak tapi apa yang ingin diucapkan tidak keluar-keluar.
Sekarang melihat ibunya agak sadar, dia memberanikan diri bertanya:
"Bu, siapakah Nan-ren?"
Dengan bingung perempuan itu menjawab:
"Kau menanyakan apa kepada ibu" Nan-ren seperti nama seseorang, siapakah dia, ibu juga
tidak tahu." "Coba ibu pikirkan siapa orang ini" Dia tinggal di mana" Kata Paman Wu-yin di kuil Ling-feng,
asalkan ibu tahu siapa dia dan bertemu dengannya, mungkin penyakit ibu akan sembuh."
256 Perempuan bopeng itu dengan tidak sabar
berkata: "Jangan cerewet! Ibu tidak mau berpikir, jika berpikir kepala ibu sakit. Keluarlah, biarkan aku
beristirahat." Baru saja Ruan-wei akan keluar kamar, perempuan itu bertanya lagi:
"Wei-er, mana ayahmu?"
"Ayah sudah pulang, dia dan kerbau berada di kamar baca, kata ayah malam ini dia akan tidur
disana " Perempuan bopeng itu berkata sendiri: "Udara begitu dingin mengapa dia tidur di kamar baca?"
Dia tampak ragu sebentar akhirnya berkata:
"Wei-er, suruh ayahmu kemari."
Tidak lama Ruan Da-cheng membuka tirai dan berkata:
"Aku datang, istriku, ada apa?"
Perempuan bopeng itu tertawa: "Sudah tua, masih saja suka bercanda!"
Ruan Ba-cheng mendekatinya dan duduk di sisinya:
"Tadi pagi kau begitu galak kepadaku, hampir-hampir kau mau membunuhku."
"Siapa yang galak kepadamu, bukankah aku baru bangun?"
Ruan Da-cheng tahu istrinya tidak begitu waras maka dia tidak berniat untuk menjelaskan.
Ruan Da-cheng hanya berkata:
"Mengapa jika malam-malam saat kau tidur, kau selalu berteriak 'Nan-ren, Nan-ren...' Aku kira
Nan-ren sudah mati!"
Karena tidak diberi tahu, perempuan bopeng itu juga tidak bertanya lagi.
Malam semakin larut, udara semakin dingin, Ruan Da-cheng masih duduk di sisi ranjang dan
gemetar. Perempuan bopeng itu tertawa juga marah:
"Orang bodoh, mengapa tidak naik ke ranjang untuk tidur" Aku tidak pernah tidak
mengijinkanmu tidur di sini bukan?"
Pikir Ruan Da-cheng, 'Bukankah tadi sore kau menyuruh Yun-yun memberitahuku kalau aku
tidak boleh masuk kamar ini" Aku juga bukan orang bodoh, ada ranjang tapi tidak tidur malah
terus duduk di sini.' Sebenarnya perempuan ini tidak tahu kata-kata apa saja yang dia ucapkan sebelum tidur.
Perempuan ini sudah lupa sama sekali.
Ruan Da-cheng masuk ke dalam selimut untuk menghangatkan tubuh kemudian berkata:
"Besok aku akan pergi mengantar kerbau untuk belajar ilmu silat. Kerbau sudah besar sudah
waktunya untuk belajar ilmu silat. Aku akan mengantarkan dia ke kuil Shao-lin, mungkin harus I
bulan baru bisa kembali."
Perpisahan sementara membuat sepasang suami istri ini menjadi penuh cinta dan kasih sayang.
o-o-o BAB 88 13 jurus pedang naga langit
Bulan 9 musim dingin di Xi-hu sangat dingin tapi Ruan-wei masih mengenakan baju putih tipis.
Diam-diam dia membuka pintu pekarangan. Angin dingin meniup bajunya membuatnya gemetar
karena dingin. Dalam udara dingin seperti ini dia tetap berjalan ke kuil Ling-feng.
Langit masih gelap, dia berjalan seorang diri di tanah yang penuh dengan salju. Di tanah
kosong ini tampak hanya ada Ruan-wei saja.
Hanya dalam waktu singkat, Ruan-wei sudah berada di gunung kecil yang ada di utara kuil
Ling-feng. 'Wang-hai-ting' seperti tertutup oleh salju.
Ruan-wei masuk ke pondok itu, dia duduk di kursi yang terbuat dari batu yang menghadap ke
Xi-hu. Sebelumnya dia membersihkan salju yang bertumpuk di kursi itu, baru duduk bersila.
Dia duduk bersila sambil memejamkan mata. Begitu hari terang, dia baru membuka mata.
Dengan bersemangat dia meloncat turun dari kursi batu itu, dia merasa sangat bersemangat,
dalam hati dia merasa ingin terbang juga berteriak, sepertinya dengan melakukan hal ini dia baru
merasa nyaman. 257 Di tengah-tengah ada meja yang terbuat dari batu, salju yang masuk mulai mencair dan
menetes. Karena nakal dan iseng, Ruan-wei pun merabanya. Begitu tangannya mengenai meja bagian
tengah, dia merasa aneh, dia menundukkan kepala untuk melihat, ternyata di tengah meja ada
ukiran, ukiran ini sepertinya belum lama.
Dengan aneh Ruan-wei menggores setiap ukiran yang memakai rumput itu. Jarinya bisa masuk
karena ada celah. Ruan-wei diam-diam berpikir, 'Apakah ukiran rumput ini digores oleh jari orang dewasa"'
Tanpa banyak berpikir dia pun menerus-kan perjalanan ke kuil Ling-feng. Pelajaran pagi hari
sudah diselesaikannya. Begitu tiba di kuil Ling-feng, dia berpapasan dengan Biksu Wu-yin yang baru datang dari luar.
Dengan hormat Ruan-wei menyapa:
"Pagi Paman, apakah Paman baru pulang dari jalan-jalan?"
Wu-yin tertawa sambil mengangguk dan dia juga bertanya:
"Apakah pelajaran pagi sudah beres?"
"Sudah Paman. Beberapa hari ini Wei-er merasa aneh, setiap kali setelah berlatih ilmu tenaga
dalam yang Paman ajarkan, aku selalu merasa ingin meraung, entah apa sebabnya?"
"Apa" Kau sudah mencapai tahap ini?" kata
Wu-yin terkejut "Apakah ada yang salah, Paman?" tanya Ruan-wei bingung
Wu-yin tertawa terbahak-bahak: "Tidak, tidak! Itu sangat baik, aku tidak menyangka kau bisa
maju pesat seperti itu, harus kau ketahui, aku sendiri pun belum bisa mencapai tahap 'singa
mengaum'. Tapi kau baru 7 tahun berlatih silat hampir mencapai tahap ilmu 'singa meraung'.
Benar-benar diluar dugaan-ku."
Meski Ruan-wei merasa senang dipuji tapi dia tetap dengan sopan berkata:
"Aku bisa mencapai tahap ini karena ajaran paman juga."
"Tenaga dalam harus mengandalkan kemampuan sendiri, bukan mengandalkan orang yang
mengajarkannya. Pertama, harus rajin belajar. Kedua, mempunyai bakat, kalau tidak, tidak
mungkin dalam waktu 7 tahun kau bisa mencapai tahap ini."
Ruan-wei sangat berbakat. Setiap pagi belajar di 'Wang-hai-ting', pemandangan dan suarasuara
orang yang membaca kitab suci agama Budha membuatnya bisa cepat maju.
Setelah mendengar perkataan Paman Wu-yin, Ruan-wei pamit pulang dan berkata:
"Wei-er harus pulang, begitu ayah dan ibu bangun pasti banyak pekerjaan yang harus Wei-er
kerjakan." "Wei-er, aku lupa memberitahumu, kata ayahmu, dia akan membawa adikmu si 'kerbau' ke
Song-shan, Shao-lin untuk belajar ilmu silat, maka kau harus membantu ayahmu mengurus ibu
dan adik-adikmu. Sesudah ibumu minum obat dariku, biarkan dia tidur dan jangan bangunkan dia.
Bila hari sudah siang dia akan bangun sendiri itu lebih baik untuk penyembuhan penyakitnya."
"Adik pergi belajar ilmu silat ke Shao-lin, menurut Paman apakah ini baik?"
"Shao-lin-si adalah tempat di mana ilmu silat kalangan lurus berasal. Adikmu bisa belajar ilmu
silat di sana, kenapa tidak" Masa depannya pasti akan lebih cerah!"
Tiba-tiba Ruan-wei teringat hal yang dia temukan di meja batu itu, dia bertanya:
"Paman, tadi pagi Wei-er menemukan hal aneh. Kemarin pagi aku belum melihat ukiran itu, tadi
setelah aku berlatih tenaga dalam di 'Wang-hai-ting,' aku melihat di meja bagian tengah seperti
ada orang yang telah mengukir dengan rumput di tengah meja itu."
Wu-yin terkejut dan bertanya: "Apakah kau menghitung ada berapa batang rumputnya"
"13 batang." Wajah Wu-yin segera berubah: "13 batang! 13 batang!" Dia berlari seperti sebuah panah ke
Wang-hai-ting. Ruan-wei masih tercenung berdiri di sana, belum sempat berpikir apa-apa, Wu-yin sudah berlari
kembali. Dia menepuk pundak Wei-er dan dengan suara bergetar berkata: "Wei-er, ikuti aku!"
Tadinya kuil Ling-feng milik pemerintahan kota Hang-zhou, delapan tahun yang lalu dibeli oleh
biksu beralis merah, maka kuil itu menjadi milik pribadinya. Pengurusnya pun dia sendiri, 5 biksu
kecil pengikutinya bertanggung jawab membersihkan kuil. 3 biksu tua bertanggung jawab
258 membaca kitab suci. Biksu beralis merah tidak membaca kitab Budha juga tidak mengajar-kan
pekerjaan apa saja yang harus dilakukan di kuil.
Wu-yin membawa Ruan-wei masuk ke kamarnya. Dengan sedih dia berkata:
"Wei-er, sebenarnya aku sudah tidak bisa hidup lebih lama."
Dengan terkejut Ruan-wei bertanya: "Paman begitu sehat, mengapa bicara seperti itu?"
Dari baju bagian dalam, Wu-yin mengeluarkan sehelai kain putih sebesar telapak tangan. Dia
memberikannya kepada Ruan-wei dan berkata:
"Simpanlah kain ini baik-baik!"
Ruan-wei yang masih terkejut dengari teliti menyimpannya di balik dada.
Wajah Wu-yin pucat tapi dia dengan tenang tetap berkata:
"Ingat, kain ini tidak boleh diperlihatkan kepada siapa pun, termasuk ayahmu sendiri."
Ruan-wei mengangguk. Dia meraba kain yang ada di balik dadanya, seperti takut akan hilang.
Wu-yin dengan cemas berkata: "Jangan terus mengingat ada kain di balik dadamu, itu akan
membuat orang menjadi curiga. Kau juga tidak boleh mengeluarkannya untuk dilihat. Kau hanya
boleh menyimpannya di bagian dadamu dan tidak boleh hilang."
Ruan-wei benar-benar merasa aneh mengapa Paman Wu-yin mengatakan hal-hal aneh.
Melihat wajah Ruan-wei yang polos dan kedua matanya yang bersorot kebingungan, dia juga
tidak terlihat ada niat jahat. Wu-yin merasa aman bila kain ini diberikan kepada Ruan-wei, tapi
bagi Ruan-wei sendiri apakah hal ini adalah hal baik atau akan membawa bencana baginya" Diamdiam
dia menarik nafas: "Wei-er, bukannya aku tidak mengijinkanmu melihat kain itu karena di atas kain itu berisi
tulisan dalam bahasa India, kau tidak akan mengerti. Jika terlihat oleh orang lain kau akan
dibunuh." Wu-yin berpesan lagi: "Semua ini terlihat kalau kau berjodoh dengan kain ini. Setelah berhasil menguasai bahasa
India kau baru boleh melihat isi kain ini, apakah kau mengerti?"
Ruan-wei mengangguk. Wu-yin melambaikan tangannya dan berkata:
"Baiklah, sekarang kau pulang dulu. Hari ini belum pukul satu, kau jangan keluar rumah dan
jaga kedua adik perempuanmu. Jangan biarkan mereka keluar. Sebelum pukul satu apa yang
terjadi disini, kau jangan ikut campur. Sesudah pukul satu kau bisa berlaku seperti biasa lagi."
"Paman, bagaimana dengan dirimu?"
Wu-yin sangat sedih melihat Ruan-wei dan berkata:
"Kau berlatih ilmu pedang dengan baik seperti yang tercantum dalam kain itu, bila aku mati, itu
tidak apa-apa. Pergilah, jangan banyak tanya lagi!"
Ruan-wei tahu hidup atau mati Wu-yin pasti ada hubungannya dengan kain ini, maka tanpa
ragu sedikit pun dia mengeluarkan kain itu dan meletakkannya di atas meja.
"Wei-er, ada apa denganmu?" tanya Wu-yin Dengan tenang Ruan-wei menjawab: "Sejak Wei-er
kecil telah belajar ilmu silat kepada Paman, membuat tubuh Wei-er yang lemah menjadi sehat.
Paman sudah memberikan kesehatan untuk Wei-er, budi ini belum Wei-er balas. Sekarang Paman
ada kesulitan mana boleh Wei-er mengambil kain yang menyangkut nyawa Paman. Kain ini kecil
manfaatnya sedangkan nyawa Paman sangat penting bagiku."
Wu-yin tergesa-gesa berkata: "Apakah kau tahu kalau kain ini berisi catatan tentang ilmu
pedang tertinggi di dunia ini" Sisa nyawaku ditukar dengan kain ini apakah tidak pantas" Cepat
ambil, kalau tidak aku akan marah."


Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ruan-wei tetap menundukkan kepala dan menjawab:
"Walaupun ini adalah benda termahal di dunia ini tapi nyawa Paman bisa hilang karena benda
ini. Wei-er tidak akan mau!"
Kata-katanya sangat tegas, hal ini mem-buat Wu-yin meneteskan air mata, katanya:
"Walaupun aku memberikankan ini kepada mereka, aku tetap akan dibunuh, untuk apa aku
memberikannya kepada mereka?"
"Apakah musuh Paman adalah orang yang meninggalkan 13 tangkai rumput di Wang hai ting ?"
"Benar! Aku tidak mau menyalakannya kepadamu karena musuhku ini terlalu kuat jika kita
melawan mereka sama seperti telur diadu dengan batu."
259 Dengan polos Ruan-wei berkata lagi: "Kita tidak bisa mengalahkan musuh itu, mengapa Paman
tidak melarikan diri saja?" Wu-yin tertawa sedih:
"Shi-san-tai-bao (13 Tai-bao) melakukan kejahatan dan selalu meninggalkan 13 tangkai rumput
yang selalu menjadi ciri khas mereka. Orang yang mereka cari kalau tidak melarikan diri, dia akan
terbunuh. Jika kabur dia yuga akan mati, bentrok dengan 13 orang pasti mati."
"Siapakah Shi-san-tai-bao ini?" tanya Ruan wei.
"Aku akan memberitahumu tapi kau harus mengikuti kata-kataku, kalau tidak kau adalah orang
yang tidak setia kawan. Apakah kau mau menjadi orang yang tidak setia kawan?"
Dengan serius Ruan-wei menjawab: "Aku masih kecil dan tidak berpengalaman tapi aku tidak
akan menjadi orang yang tidak setia kawan!"
"Baik! Kau benar-benar anak baik! Duduklah, biar aku menceritakannya padamu...."
Wu-yin duduk bersila di atas ranjang dan Ruan wei duduk di depannya. Pelan-pelan dia
berkata: "Shi-san-tai-bao adalah 13 saudara angkat yang baru mengangkat nama di dunia persilatan.
Ilmu silat mereka di bawah ketua berbaju kuningTian-zheng-jiao dan 4 pesilat tangguh Zheng-yibang...."
"Siapa Tian-zheng-jiao dan Zheng-yi-bang itu?"
Wu-yin menggelengkan kepala: "Kau terlalu banyak bertanya! Aku hanya bisa memberitahumu
kalau Tian-zheng-jiao dan Zheng-yi-bang dalam kurun waktu 10 tahun ini mempunyai kedudukan
tinggi di dunia persilatan. Jika Zheng-yi-bang mau ikut campur dalam hal ini, aku tidak akan takut
kepada Shi-san-tai-bao. Tapi aku tidak kenal dengan mereka, mana mungkin aku meminta
bantuan kepada mereka?"
Wu-yin memejamkan mata seperti mengenang masa lalu.
Wu-yin membuka mata dan berkata lagi: "Puluhan tahun ini ada berita di dunia persilatan yang
mengatakan bahwa selama ratusan tahun ini perkembangan di Zhong-yuan sangat pesat. Setiap
perkumpulan masing-masing mempunyai ilmu andalan. Tapi dibandingkan dengan kuil Tian-long di
India, Zhong-yuan masih ketinggalan jauh."
"Kuil Tian-long berada di India. Kuil ini didirikan khusus untuk menjaga negara ini. Semua biksu
di kuil itu usianya hampir 100 tahun. Kecuali biksu-biksu tua yang paham dengan ilmu Budha,
mereka juga pesilat tangguh. Biksu-bisku yang ada di kuil itu sejak kecil sudah terpilih dan diberi
jabatan biksu penjaga negara. Karena itu hingga tua mereka berada di kuil untuk memperdalam
ilmu Budha dan ilmu silat. Yang perlu diketahui negara India adalah negara dengan agama Budha
nya sangat maju. Di negara itu buku Budha sangat banyak, buku-buku yang terbuat dari bambu
menjadi benda paling berharga bagi negara India. Tempat penyimpanan buku berharga itu adalah
di kuil Tian-long." "Karena benda berharga ini sering dicuri oleh negara tetangga maka biksu yang tinggal di kuil
Tian-long sejak kecil dipaksa untuk berlatih ilmu silat. Karena sering berdiskusi mengenai ilmu silat
maka ilmu silat biksu-biksu di kuil Tian-long sangat tinggi. Apalagi jurus 'Tian-long-shi-san-jian' (13
jurus pedang naga langit). Jurus ini digunakan untuk menjaga kuil Tian-long, jurus-jurusnya
sangat dalam, tidak ada pesilat-pesilat Zhong-yuan yang bisa menandingi mereka."
"Menurut orang-orang dunia persilatan, jurus pedang ini harus berlatih dengan 13 orang dan
digunakan oleh 13 orang juga. Satu orang berlatih satu jurus pun sangat sulit, apalagi bila satu
orang harus menguasai 13 jurus pedang, itu sangat tidak mungkin. Sekalipun bisa, orang ini pasti
orang yang sangat-sangat berbakat. Jika ketiga belas orang ini bergabung, maka dunia ini akan
menjadi milik 13 orang ini, karena tidak ada seorang pun yang bisa melawan mereka."
Wu-yin terus melihat Ruan-wei. Dia berharap setelah mendengar cerita ini, dia akan tertarik
dengan jurus-jurus pedang yang tiada tandingannya tapi Ruan-wei hanya diam dan terus
mendengar kelanjutan cerita.
Wu-yin benar-benar kecewa, selama 7 tahun mi mereka sering bertemu, dia tahu bagaimana
sifat Ruan-wei. Dia ditakdirkan tidak mempedulikan nama dan keuntungan, jika bukan karena
tubuh Ruan-wei dari kecil sangat lemah maka diajarkan ilmu silat agar badannya sehat, baru dia
tertarik dengan ilmu silat. Kalau tidak, mungkin dia masih menolak belajar ilmu silat.
Wu-yin bertanya lagi: 260 "Apakah Wei-er tahu mengapa aku adalah biksu tapi tidak membaca kitab suci juga tidak
berdoa serta bersembahyang?"
Ruan-wei menggelengkan kepala: "Memang aku merasa aneh karena begitu mendengar Paman
harus membaca kitab suci, alis Paman langsung dikerutkan dan di atas kepala Paman tidak ada
tanda biksu (di kepala biksu yang botak sering ada tanda) tapi aku tidak tahu apa alasannya."
Wu-yin diam-diam memuji ketelitian Ruan-wei. Dia merasa senang dan terhibur:
"Wei-er, aku bukan seorang biksu!"
Ruan-wei terkejut tapi dia tidak bertanya
"Kau mungkin merasa aneh aku mengenakan pakaian biksu dan belajar agama Budha, semua
ini hanya untuk menutupi identitasku. Aku terpaksa berpura-pura menjadi seorang biksu suci tapi
sejak kecil aku sangat membenci biksu maka walaupun aku menjadi biksu tapi aku tetap makan
daging." "Sebenarnya seumur hidupku, aku adalah orang yang paling dibenci agama Budha ..aku adalah
seorang perampok." Ruan-wei benar-benar terkejut dia ingin bicara tapi Wu-yin sudah menyambung
"Wei-er, jangan khawatirkan keadaanku. Memang aku adalah perampok tapi uang dan harta
yang kurampok digunakan untuk menolong fakir miskin. Orang yang kurampok adalah pejabat
yang korupsi, tuan tanah yang jahat, dan orang kaya yang jahat!"
Ruan-wei agak tenang. "Sejak kecil aku sangat benci orang yang seperti itu. Sewaktu remaja aku masuk 'Ku-lun-pai', di
sana aku belajar ilmu silat beraliran keras dan lembut. Di dunia persilatan aku termasuk lapisan
kedua. Begitu berkelana di dunia persilatan terhadap perbedaan antara si miskin dan kaya begitu
jauh, aku merasa semua ini tidak adil tapi perkumpulan Kun-lun mempunyai peraturan sangat
ketat, tapi aku tidak peduli, aku rnenjadi perampok supaya menjadi kaya. Dengan ryang pantas
melampiaskan kebencianku maka tidak lama kemudian aku pun mendapat julukan perampok 'Chimei-
da-xian' (Dewa besar alis merah)."
Wu-yin beristirahat sebentar lalu melanjutkan lagi:
"Aku lupa memberitahu kepadamu, semenjak aku mendapat julukan Chi-mei-da-xian, gerak
gerikku diketahui oleh ketua Kun lun pai. Sebenarnya dia ingin memusnahkan ilmu silatku tapi
setelah tahu tujuan muliaku, maka dosa dosaku diampuni. Tapi aku diusir dari Kun-lun-pai. Selama
7 tahun ini aku hanya mengajarimu ilmu tenaga dalam dari Kun-lun-pai aku tidak berani
mengajarimu ilmu silat Kun-lun-pai. Di satu pihak, aku takut akan mengganggumu. Di lain pihak,
aku takut jika kau menguasai ilmu silat Kun-lun sedangkan kau bukan orang Kun-lun, mereka
akan mencari masalah denganmu. Kau akan mempunyai banyak musuh!"
Ruan-wei meneteskan air mata dan berkata:
"Kelak Wei-er akan membantu Paman menjadi murid Kun-lun-pai kembali!"
Chi-mei-da-xian Zhuang Shi-yan tersenyum gembira. Dia seperti percaya kalau Ruan-wei bisa
melakukan hal ini. Dia bercerita lagi:
"Sembilan tahun yang lalu di musim panas, supaya bisa merampok seorang pejabat kerajaan
yang jahat, aku mengejarnya sampai Propinsi Xin-jiang."
"Waktu itu pertama kalinya aku pergi ke Xin-jiang. Aku tidak mengenali daerah sana. Begitu
tiba di Di-hua, aku memasuki sebuah penginapan sepi dan mencari tahu jalan yang harus
ditempuh selanjutnya."
"Begitu aku mendapatkan informasi tentang jalannya dengan jelas dan bersiap akan pergi, aku
merasa aneh mengapa di sebelah kamarku selalu ada yang merintih. Aku bertanya kepada
pelayan, ternyata di sebelah kamarku didiami oleh seorang biksu tua yang sedang sakit berat.
Semenjak aku menjadi perampok, berbagai jenis orang miskin sudah pernah kutolong, hanya
biksu yang belum pernah kutolong, karena aku benci biksu. Menurutku biksu itu hanya bisa
membuka mulut untuk makan dan mereka adalah orang yang tidak berguna."
"Suara rintihan semakin lama semakin keras sehingga membuat perasaanku tidak enak juga
sedih, maka aku menyuruh pelayan memberikan satu uang emas kepadanya."
"Ketika aku bersiap-siap akan meninggal kan penginapan, ada pelayan yang berlari dan
mengembalikan uang emas itu kepadaku dan memberitahu bahwa biksu itu menolak
pemberianku. Dalam hidupku ada pantangan yaitu aku takut bila ada orang yang tidak mau
261 menerima pemberian uangku karena orang itu curiga dengan asal usul uang ini. Mungkin karena
aku tidak peraya diri."
"Ketika itu aku sangat marah, dan membawa uang itu masuk ke kamar biksu itu dan
melemparkan uang itu ke atas ranjang. Aku berteriak, 'Apakah kau mengira uangku kotor!'
Tadinya biksu itu tidur menghadap ke dinding, setelah mendengar teriakanku, dia berusaha
duduk. Dengan suara gemetar dia berkata, "Tuan jangan salah paham, aku adalah seorang biksu,
tidak boleh sembarangan menerima pemberian orang. Sekarang Tuan langsung memberikannya
padaku maka aku tidak akan sungkan lagi menerimanya.' Begitu melihat tubuhnya hanya
berselimut tulang dan wajahnya hitam, hatiku menjadi luluh tapi begitu mendengar kata-katanya,
rasa curigaku malah muncul."
"Dia memakai bahasa Zhong-yuan tapi nadanya aneh. Setelah diteliti ternyata wajahnya
tampan. Aku baru tahu dan berteriak, 'Kau adalah biksu dari India!' Tadinya dia menyelimuti
tubuhnya sewaktu duduk, begitu mendengar teriakanku, selimutnya terjatuh dan tubuhnya terus
gemetar." "Tubuh yang tadinya tertutup selimut segera terlihat. Begitu aku melihatnya, yang tadi-nya
benci kepada biksu berubah menjadi kasihan. Ternyata karena sakit, baju biksu yang
dikenakannya disobek-sobek dan kulitnya merah."
"Begitu melihat luka itu, aku tahu kalau dia telah terkena pukulan telapak beracun. Dalam hati
aku berpikir orang yang memukulnya benar-benar kejam maka aku pun memanggil tabib untuk
mengobatinya dan aku selalu berada di sisi biksu India itu, mengurusnya selama 3 hari 3 malam."
"Pada hari keempat, dia mulai terlihat segar. Sambil berbaring dia menarik tanganku dan
berkata, 'Seumur hidupku belum pernah melihat ada orang seperti kau begitu baik. Di tubuhku
ada buku kecil yang berharga.'
"Tangannya gemetar mengeluarkan sebuah kain dari balik dada. Dia memberikannya kepadaku
dan berkata, 'Buku ilmu pedang ini ditulis dengan bahasa India kuno. Bawalah kuas dan tinta,
aku akan membantumu menerjemahkan ke bahasa Han. Waktu itu aku tidak menanggapinya, aku
mengira itu hanya buku ilmu pedang biasa. Tadinya aku tidak menginginkan buku itu tapi aku
takut dia akan sedih maka terpaksa aku meminjam kuas dan tinta kepada pelayan penginapan."
"Tapi pelayan tidak mempunyai kuas maupun tinta, begitu pula dengan kasir, laci terkunci,
tidak ada cara lain. Pelayan berlari ke penginapan lain untuk meminjam, tapi kuas sulit didapat,
waktu itu waktu telah berlalu setengah jam dan waktu itu aku baru akan memberikan kuas dan
tinta kepada biksu India itu. Ternyata dia sudah meninggal. Ada pepatah yang mengatakan: jika
ingin menjadi orang baik harus berbuat sampai tuntas, mengantar Budha harus sampai ke langit.
Aku mengurus upacara pemakamannya termasuk membelikannya peti mati, memanggil biksu
untuk mendoakannya, setelah dua hari, baru di kubur-kan."
"Setelah itu kain buku pemberian biksu itu kusimpan di balik dada. Pejabat korupsi itu telah
pergi jauh, pekerjaanku tidak jadi, terpaksa aku kembali ke Zhong-yuan untuk mengincar perjabat
lainnya tapi aku tidak berhasil mendapatkannya aku malah mendapat berita yang menyakitkan."
"Ternyata buku kain yang ada di tubuhku adalah buku yang dicari-cari oleh orang Zhong-yuan,
yang bernama Tian-long-shi-san-jian'."
0-0-0 BAB 89 Gongzi Shi-san-tai-bao Setelah mendengar cerita ini, Ruan-wei melihat buku kain itu. Dalam hati berpikir, 'Tidak
disangka buku ini berisi catatan tentang ilmu pedang nomor satu.'
Zhuang Shi-yan berdiri, dia memegang buku kain itu, kemudian kembali duduk dan berkata:
"Dari Xin-jiang aku kembali ke Zhong-yuan. Mendengar kabar dunia persilatan kalau di kuil
Tian-long ada seorang biksu yang meninggalkan kuil itu, dia membawa 'Tian-long-jian-jing' dan
kabur ke negara kita."
262 "Begitu kabar ini menyebar, semua pesilat pedang yang hanya mempunyai sedikit nama jadi
berniat mendapatkan buku ini. Maka orang dari golongan hitam maupun putih, beramai-ramai
mencari biksu India ini."
"Karena itu aku tahu buku yang tidak sengaja kudapatkan adalah buku Tian-long-jian-jing,
dalam pikiranku mungkin ketika biksu itu kabur dari kuil Tian-long dia terkena pukulan biksu
penjaga kuil itu. Karena dia mempunyai ilmu silat tinggi maka dia masih bisa berjalan jauh sampai
ke Xin-jiang. Karena lukanya semakin parah terpaksa dia menginap di penginapan kecil dan
bertemu denganku." "Sesudah aku mendapatkan 'Tian-long-jian-jing', aku merasa senang tapi juga takut. Yang
membuatku senang adalah jika buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Han, setelah
beberapa tahun berlatih, aku akan menjadi ahli pedang nomor satu di dunia persilatan ini. Aku
bisa mengembalikan namaku di hadapan ketua Kun-lun dan saudara-saudara di Kun-lun. Yang
kutakutkan jika ada orang lain mengetahui aku mempunyai buku ini, dengan ilmu silatku saat itu,
aku tidak akan sanggup melindungi buku ini. Ini benar-benar hal yang sangat berbahaya."
"Sesudah beberapa bulan berlalu, berita tentang biksu India itu sudah menyebar sampai ke
Zhong-yuan, karena tidak ada tanda-tanda keberadaannya, maka semakin lama kabar ini semakin
dilupakan. Aku kira di dunia ini tidak ada lagi yang tahu bahwa aku mempunyai Tian-long-jian-jing.
Aku jadi bersiap-siap menterjemahkan ke dalam bahasa Han."
"Tapi sebelum aku berhasil mendapatkan orang yang bisa menerjemahkannya, Gongzi(hok:
kongcu) Shi-san-tai-bao telah mencium gerak-gerikku. Suatu hari, ketika aku lewat Gan-su, aku
dihadang oleh 13 orang itu dengan dandanan seperti tuan muda. Salah satu dari mereka
berperawakan pendek dan gemuk memakai baju mewah, dia bertanya kepadaku, 'Chi-mei-da-xiau,
Pendekar Zhuang, kami 13 saudara telah mencari lalui dari Xin-jiang, Tuan dengan upacara besar
mengubur seorang biksu miskin. Kami 13 bersaudara berunding dan kami pun sempat membuka
peti mati itu, kami tidak menyangka ternyata biksu yang Tuan kubur adalah biksu dari India!'
"Setelah aku mendengar perkataannya, aku benar-benar menyesal telah meninggalkan jejak."
"Gongziyang berperawakan pendek dan gemuk itu tertawa, "tuan mengambil Jian Jing untuk
sendiri, itu bukan hal mudah. Lebih baik serahkan kepada kami 13 bersaudara untuk kami latih.
Bagaimana?" "Tentu saja aku tidak mau. Aku tahu aku tidak sanggup melawan salah satu dari mereka, tapi
aku tetap melawan mereka. Hanya dalam beberapa jurus, aku sudah terluka di 3 tempat. Ketika
nyawaku terancam, kebetulan ada seorang pendekar tua yang lewat. Dia menolongku, tapi aku
tidak melihat pendekar tua itu mengalahkan mereka, aku hanya melihat 13 bersaudara ini lari
terbirit-birit." "Sebelum pergi, Gongzi yang pendek dan gemuk itu meninggalkan pesan: Chi-mei-da-xian
kemana pun kau kabur, kami akan terus mengejarmu. Tapi mereka sama sekali tidak menyebutnyebut
Tian-long-jian-jing. Mungkin mereka tidak ingin orang lain tahu, karena bila bertambah
satu orang yang tahu, sama artinya bertambah satu orangyang ingin merebut buku itu."
"Sekarang setelah dipikir-pikir aku telah tinggal di sini selama 8 tahun, tidak ada orang yang
mencariku, tapi akhirnya aku tetap berhasil mereka temukan, berarti di dunia persilatan ini
sekarang hanya 13 orang ini yang tahu kalau aku memiliki Tian-long-jian-jing."
"Pendekar tua yang menolongku men-engar Gongzi yang pendek dan gemuk itu memanggilku
Chi-mei-da-xian, dengan senang dia berkata, 'Kau adalah perampok Chi-mei-da-xian yang
mempunyai hati penolong. Ha, ha, ha! Kau benar-benar seperti temanku yang telah meninggal,
dia juga seorang perampok tapi sayang ilmu silatmu terlalu rendah. Mari, aku akan mengajarimu
satu jurus. Kau harus benar-benar menguasai jurus ini. Jika bertemu dengan musuh kuat, kau bisa
menggunakan jurus ini untuk melarikan diri. Jurus ini dinamakan 'An-ying-fu-xiang'. Mari aku ajari
jurus ini!" Zhuang Shi-yan menarik nafas panjang katanya:
"Bakat setiap orang tidak sama, jurus 'An-ying-fu-xiang' sudah kulatih selama 7 tahun tapi tetap
tidak bisa menyamaimu, meski baru beberapa bulan berlatih."
Chi-mei-da-xian menaruh buku kain ini ke tangan Ruan-wei dan berkata:
"Dengar baik-baik, ambil buku ini, kalau tidak kau adalah orang yang tidak setia kawan!"
Ruan-wei menyimpan Tian-long-jian-jing ke dalam bajunya.
263 "Maksud kedatangan Gongzi Shi-san-tai-bao ke sini adalah untuk mengambil buku ini, kita
berikan saja kepada mereka, apakah mereka masih akan membunuh Paman?"
Chi-mei-da-xian menggelengkan kepala.
"Jika Gongzi Tai-bao adalah pendekar sejati, aku akan memberikan Tian-long-jian-jing kepada
mereka. Tapi walaupun berpakaian seperti pelajar, hati mereka sangat kejam dan jahat. Mereka
membunuh orang seperti mem-bunuh semut. Jika mereka berhasil menguasai Tian-long-shi-sanjian,
berapa" orang lagi yang akan mati di tangan mereka" Wei-er, apakah kau tahu maksud
Paman" Simpan baik-baik buku ini, kelak ada jika ada kesempatan latihlah ilmu ini. Kau harus
mengabdikannya pada banyak orang, jangan menyia-nyiakan harapanku padamu!"
Ruan-wei berlutut didepan Chi-mfti da-xian: "Paman tenanglah, sepanjang hidup Wei-er tidak
akan lupa apa yang Paman katakan tadi!"
Tidak terasa 2 jam telah berlalu, hari sudah siang. Chi-mei-da-xian memapah Ruan wei bangun
dan berkata: "Dengar kata-kataku, pulanglah dan uruslah keluargamu, jangan pedulikan aku.
Aturan Gongzi Shi-san-tai-bao membunuh orang tidak akan lewat dari satu jurus. Ciri-ciri yang
kau lihat, mereka meninggalkannya semalam di sana, nanti jam 12 mereka akan datang. Cepat
pulang, karena pukul 1 hampir tiba."
Ruan-wei menangis: "Paman apakah dengan ilmu silat yang kita miliki tidak bisa mengalahkan mereka?"
"Jika satu lawan satu aku percaya setelah 8 tahun terus menerus berlatih, aku sanggup
mengalahkan mereka. Tapi Gongzi Shi-san-tai-bao masing-masing mempunyai ilmu silat andalan,
seperti dengan jari mengukir rumput di meja batu. Jari orang ini sangat kuat. Kekuatan tenaga jari
mereka lebih hebat dari jurus Shao-lin 'Jin-gang-zhi' (jari emas) dan cara mereka bertarung tidak
pernah sendiri-sendiri. Mereka mempunyai formasi yang sangat kuat dan dengan ilmu andalan
masing-masing menyerang musuh."
Chi-mei-da-xian melihat Ruan-wei: "Wei-er, tanggung jawabmu sangat besar, jangan
korbankan nyawamu dengan sia-sia. Aku akan mengatur semuanya, kau cepat pulang


Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang." Setelah itu, dia duduk bersila dan tidak melihat Ruan-wei lagi.
Ruan-wei memberi hormat dan pamit pulang. Semenjak Ruan Da-cheng menikah dengan istri
yang tidak waras, dia mempekerjakan seorang pembantu dan seorang pengasuh. Beberapa tahun
ini Ruan-wei, Ruan-xuan, dan Ruan-yun diasuh oleh kedua orang ini. Baru Ruan-wei memasuki
pekarangan, Ruan-xuan berlari mendekat dan mengomel:
"Kakak, dari pagi pergi ke mana" Kedua pengasuh juga tidak mau menemani kami, benar-benar
menyedihkan!" Karena banyak yang harus dipikirkan, maka Ruan-wei menjawab apa adanya sambil
mengerutkan alisnya. Sejak kecil Ruan-xuan tidak disayangi oleh ayah atau ibunya maka dia
merasa sangat rendah diri. Sekarang dengan cemberut dia berkata:
"Apakah Kakak tidak sayang kepadaku lagi?"
"Xuan-xuan, hari ini banyak hal harus kakak pikirkan, maka kau jangan keluar untuk bermain,
diamlah di rumah." Ruan-yun yang berdiri di depan pintu, sedang cemberut. Ruan-wei sudah tahu kalau Xuan-xuan
membuat masalah lagi. Dia mendekati-nya dan bertanya:
"Yun-yun, apakah ibu sudah bangun?"
"Pagi-pagi ayah sudah membawa kerbau pergi, karena ibu masih tidur maka ayah tidak
membangunkannya. Ayah memberitahu kalau dia akan ke luar kota dan menyuruh kami menurut
kepada kedua pengasuh juga kakak. Tadi kakak kedua berteriak, karena ibu masih tidur maka
kedua pengasuh melarangnya untuk ribut tapi dia malah balik memarahi kedua pengasuh."
Ruan-xuan berteriak: "Kalian tidak berniat baik kepadaku untuk apa aku mendengar perkataan kalian. Coba lihat hari
sudah siang, mengapa tidak boleh bicara agak keras?"
Ruan-wei marah: "Xuan-xuan, kau semakin lama semakin nakal, ibu sedang sakit masa tidak boleh tidur" Kalau
kau nakal lagi, aku juga tidak akan menyayangimu lagi."
264 Sifat Ruan-xuan sangat keras, orang lain tidak boleh memarahi atau memukulnya. Dia tidak
akan marah hanya saja dia tidak sanggup menerima kemarahan Ruan-wei maka dengan
sedih dia menutup wajahnya dan berlari ke belakang rumah.
Ruan-wei yang melihat Xuan-xuan begitu dia hanya diam, dia tidak ingin tahu apakah Ruanxuan
sedih atau tidak. Dia masuk ke kamar ibunya.
Ketika Ruan-wei masuk, perempuan bopeng itu sudah bangun, dia segera bertanya:
"Bu, apa hari ini keadaanmu lebih baik?"
Dengan penuh tawa perempuan bopeng itu tertawa:
"Hari ini aku merasa lebih nyaman, mana ayahmu?"
"Tadi pagi ayah sudah membawa kerbau pergi ke Shao-lin, katanya kerbau akan belajar ilmu
silat di sana." Perempuan bopengku rada marah:
"Mengapa ayahmu tidak memberitahukannya kepadaku?"
Dalam hati Ruan-wei berpikir, 'Semalam ayah pasti sudah mengatakannya kepada ibu, hanya
saja ibu pasti sudah lupa!' Tapi dia tidak mengungkapkan pikirannya.
Pembantu masuk dan membantu perempuan bopeng ini menyisir dan mengantarkan sarapan
pagi. Ruan-wei masih berada di kamar ibunya. Melihat waktu pukul 12 hampir tiba, hati Ruan-wei
sangat cemas, dia terus melihat pedang yang tergantung di atas ranjang ibunya. Dia ingin
mengambil pedang itu kemudian berlari membantu Chi-mei-da-xian melawan musuh.
Lama Ruan-wei menunggu pukul 12, ternyata di luar tidak terjadi apa-apa. Ruan-wei agak lega
dan berpikir: "Mungkin Gongzi Shi-san-tai-bao pukul 12 malam baru tiba."
Dia melihat pedang yang tergantung di dinding dan berpikir dengan cara apa pun dia harus bisa
mengambil pedang ayahnya yang tergantung untuk bersiap-siap jika musuh datang malammalam.
Setelah menghabiskan sarapan, pelayan pun keluar, Ruan-wei ikut pamit keluar.
Sesampainya di pintu kamar, tiba-tiba perempuan bopeng itu bertanya:
"Wei-er, apa yang terjadi di luar?"
"Tidak ada, bu!" Dia pergi menuju kamarnya. Rumah mereka sangat besar. Ruan-wei
mempunyai kamar besar, di dalam kamar ada sebuah ranjang, sebuah meja, dan sebuah kursi,
yang lain hanya ada buku-buku. Ternyata sejak kecil tubuh Ruan-wei sangat lemah, dia tidak bisa
belajar ilmu silat ayahnya yang beraliran keras. Ruan Da-cheng juga malas mengajarinya. Dia
hanya berharap Ruan-wei bisa sukses dalam bidang sastra maka dia pun membelikan banyak buku
dan meletakkannya di kamar Ruan-wei.
Ruan Da-cheng tidak peduli apakah Ruan-wei mengerti atau tidak. Jika ada buku, dia akan
segera membelinya. Tapi Ruan-wei sangat pintar, di masa kecil dia hanya belajar pada seorang
guru tua yang dipanggil ayahnya, 2 tahun kemudian dia sudah bisa membaca dan menulis. Maka
buku yang dibelikan ayahnya semua habis dibaca 5-6 tahun tinggal di tempat yang tenang dengan
pemandangan yang indah, dia mendapatkan banyak pengetahuan dalam bidang sastra. Ruan-wei
duduk di sebuah kursi, dia juga malas membaca buku dia sangat mengkhawatirkan pada masalah
yang, akan terjadi malam nanti.
Ruan-yun masuk dan bei lei lak "Kakak, ayo makan siangi"
"Aku tidak lapar. Katakan kepada peng asuh aku tidak ingin makan!"
"Kalau Kakak tidak makan, kakak kedua juga tidak makan, aku juga tidak akan makan."
"Jangan urusi aku. Beritahu Xuan-xuan jika dia tidak makan, aku tidak akan bicara lagi
dengannya." Dengan kesal Yun-yun mencari Xuan-xuan. Ruan-wei dengan cemas duduk di kamar. Makan
malam pun tidak disentuhnya. Ruan-wei berpikir ibunya pasti sudah tidur, diam-diam ke dapur
untuk makan nasi dingin kemudian pelan-pelan berjalan ke depan kamar ibunya.
Lampu di kamar ibu belum dipadamkan, perempuan bopeng itu sedang batuk.
Terpaksa Ruan-wei menunggu dengan cemas. Begitu ibunya tertidur, dia akan mencuri pedang
itu. Setengah jam sudah berlalu, perempuan bopeng itu belum tidur juga, Ruan-wei merasa cemas
seperti semutyang berada di atas kuali panas. Dia berputar-putar terus.
265 Tiba-tiba dari dalam kegelapan muncul bayangan hitam yang membuat Ruan-wei terkejut.
Bayangan itu bersuara: "Kakak belum tidur?"
Hati Ruan-wei baru merasa tenang, dia segera menjawab:
"Apakah Yun-yun belum tidur juga?" Dengan suara gemetar Yun-yun menjawab: "Setelah
makan malam Kakak Xuan pergi, sampai sekarang belum kembali."
"Apa?" "Tadi sewaktu makan malam, Kakak Xuan melihat Kakak tidak makan, dia berkata bahwa Kakak
Wei marah kepadanya, di rumah ini tidak ada yang menyayanginya lagi. Nasi belum habis, dia
sudah berlari dan sampai sekarang belum kembali."
Ruan-wei berteriak dengan cemas: "Mengapa baru sekarang memberitahuku?"
Yun-yun menangis: "Kakak tidak makan, wajah Kakak pun seram, Yun-yun tidak berani mengatakannya. Sekarang,
sekarang... aku ingin memberitahu pada ibu."
"Yun-yun, jangan menangis, ibu sudah mendengar semuanya."
Dengan terkejut Ruan-wei berkata:
"Ibu!" Tapi dia sudah melihat perempuan bopeng itu memakai baju ketat hitam dan memegang
pedang berkilau. Segera Ruan-wei berkata: "Bu, ibu tidak sehat, kembalilah tidur. Aku dan Yun-yun akan mencari Xuan-xuan."
Perempuan bopeng itu tertawa dingin:
"Kau kira ibu adalah orang bodoh tidak tahu kalau kau menginginkan pedang ini" Dari siang ibu
sudah melihatmu terus memandangi pedang ini. Apa yang terjadi sehingga kau begitu
menginginkan pedang ini?"
Ruan-wei segera menjawab:
"Tidak ada apa-apa, ibu kembali tidur saja!"
Pedang diayunkan, tirai terjatuh, perempuan bopeng itu berkata:
"Apakah kau menganggap ibu adalah orang yang tidak berguna?"
Ruan-wei sama sekali tidak menyangka kalau ibunya ternyata seorang pendekar wanita yang
berilmu hebat. Perempuan bopeng itu berjalan ke pekarangan. Ruan-wei mengejarnya dari
belakang dan berteriak: "Ibu, ibu, lawan berjumlah 13 orang dan ilmu silat mereka tinggi. Ibu tidak boleh ke sana kata
Paman Wu-yin." Mungkin perempuan bopeng ini tiba-tiba teringat sesuatu dan berkata:
"Apakah Wu-yin adalah biksu Ling-feng yang sering memberikan obat untuk ibu?"
Ruan-wei mengangguk. Perempuan itu berlari keluar. Ruan-wei tidak tenang melihat ibunya,
dia segera berlari keluar. Yun-yun ikut keluar.
Baru saja keluar dari pekarangan, mereka melihat 3 pemuda yang berpenampilan seperti tuan
muda. Yang terdepan adalah Gongzi pendek dan gemuk.
Gongzi yang gemuk dan pendek ini adalah kakak tertua dalam Shi-san-tai-bao, bernama Shenlong-
shou Li Ming-zheng. Ilmu silatnya sangat tinggi.
Dia menuntun seorang gadis kecil. Gadis kecil itu sedang mengobrol dan bercanda dengannya.
Mereka sepertinya sudah lama saling mengenal.
Gadis kecil itu tidak lain adalah Ruan-xuan.
Begitu melihat Xuan-xuan, perempuan bopeng itu berkata:
"Xuan-xuan kemarilah, ibu di sini."
Tadinya begitu Xuan-xuan melihat kakaknya, dia ingin berlari ke sana tapi begitu mendengar
ibunya memanggil, dia malah tidak berani ke sana.
'Shen-long-shou' Li Ming-zheng menuntun tangan kecil Xuan-xuan. Dia mendekat sekitar 3
meter dari perempuan bopeng itu dan bertanya:
"Nyonya, apakah ini putrimu?"
Perempuan bopeng itu mengangguk dengan dingin.
Li Ming-zheng tertawa terbahak-bahak: "Sangat baik, biar gadis kecil ini menjadi muridku!..."
Ruan-wei berteriak: 266 "Xuan-xuan, jangan, cepat kembali!"
Ruan-xuan sengaja membuat kakaknya marah. Dia sengaja tidak mau kesana malah
mencengkram erat tangan gemuk Li Ming-zheng.
Dengan senang Li Ming-zheng tertawa:
"Lihat! Anak ini sangat berjodoh denganku, aku akan menerima dia menjadi muridku!"
Seorang Gongzi yang tinggi dan agak bungkuk tiba-tiba berkata:
"Kakak, kau lihat anak ini sangat mirip dengan Xiao-wu, apakah...."
"Jangan banyak bicara! Di dunia ini orang yang sangat mirip banyak!"
Tapi begitu perempuan bopeng mendengar nama Xiao-wu, dia segera gemetar, pedang
diangkat dan ditusukkan ke Gongzi bungkukitu.
Dia adalah Lao-san (nomor 3) dari Gongzi Shi-san-tai-bao, namanya adalah Hua Li-ji. Dengan
jurus pentung dia telah mengalahkan 22 orang pesilat.
Melihat dirinya diserang dari lengan baju kanannya keluar sebuah pentungan emas yang
berkilau. Pentungan segera dilayangkan.
Perempuan bopeng yang menusuk tidak mengenai Hua Li-ji, langsung menepis pentungan
emas itu. tapi karena sudah lama tidak berlatih ilmu silat, tenaga pergelangan tangannya sudah
berkurang dan pedangnya hampir terbang karena digetarkan oleh Hua Li-ji.
Perempuan bopeng itu menganggap Hua Li-ji adalah Xiao-wu, begitu serangannya tidak
mengenai sasaran, dia tidak mundur malah menyerang lebih gencar lagi. Gongzi Shi san-taibao
tidak pernah bertarung masing-masing. Satu musuh dihadapi 13 orang secara bersamaan
bertarung. Meski bertarung dengan 100 musuh.
Tadinya Li Ming-zheng tidak ingin bertarung dengan ibu anak ini karena dia ingin menjadikan
anak ini sebagai muridnya. Tapi melihat perempuan itu menyerang mereka seperti macan, dia
takut kalau adik ketiganya akan kalah, maka dia pun ikut bertarung dengan menggunakan tangan
kosong. Setiap jurus Hua Li-ji tidak jauh dari nadi penting perempuan bopeng itu, tapi perempuan itu
tidak takut dan tidak peduli pada ancaman berbahaya ini. Pedang seperti pelangi berkilau
menusuk ke arah tenggorokan Hua Li-ji.
Di sebelahnya ada seorang Gongzi yang tampan. Dia melihat di belakang Ruan-wei ada seorang
gadis kecil yang cantik, lebih cantik dari yang dituntun kakaknya. Maka dalam sekelebat dia
menggendong Ruan-yun dan berlari turun gunung. Ruan-wei terkejut dan berteriak: "Lepaskan
Yun-yun, jangan bawa Yun-yun!" Dari kuil Ling-feng, keluar seorang biksu. Dia berteriak:
"Ma-xin-jian, letakkan anak itu, Zhuang Shi-yan berada di sini!"
Ma-xin-jian adalah Lao-wu (nomor 5) dalam Gongzi Shi-san-tai-bao. Ilmunya yang paling
menonjol adalah ilmu meringankan tubuh maka dalam sekelebat dia sudah menghilang.
Tapi Zhuang Shi-yan terus mengejar, Ruan-wei ikut mengejar tapi dia mendengar teriakan
memilukan yang keluar dari mulut ibunya.
Ternyata demi menolong adik ketiganya ketika melihat pedang datang Li Ming-zheng benarbenar
sangat lihai, dia tidak mau tahu lagi bahwa perempuan ini adalah ibu dari muridnya. Dengan
tangan kirinya dia memukul nadi penting perempuan bopeng itu.
Ruan-wei melihat ibunya bersimbah darah dan terbaring di bawah, dia berteriak dan mendekati
ibunya. Perempuan bopeng itu dipapah oleh Ruan-wei. Dia masih terus muntah darah.
Ruan-wei terus menangis tapi Li Ming-zheng dengan dingin dan kejam hanya melihatnya. Dia
menggendong Xuan-xuan. Hua Li-ji yang tadinya ingin membunuh Ruan-wei supaya Ruan-wei
tidak bisa membalas dendam kepada mereka.
Perempuan bopeng itu dalam situasi seperti itu tiba-tiba dia sangat sadar. Dia melihat Ruanwei,
dan berkata: "Kau... kau., bukan bermarga Ruan... melainkan... tapi bermarga... bermarga... Lu."
Setelah bicara seperti itu, dia menghembuskan nafas terakhirnya.
"Aku... aku,..." kata Ruan-wei gemetar
Ma-xin-jian berlari dari bawah gunung dan berteriak:
"Kakak tertua, Tangan Terampil Xu-bai datang!"
Wajah Ma-xin-jian pucat, tangannya kosong, di manakah Ruan-yun"
267 Dalam situasi kacau seperti itu, Hua Li-ji masih ingin membunuh Ruan wei. Ketika
penuangannya sudah diangkat dan siap memukul, terdengar di bawah gunung ada suara raungan.
Rumput dan pohon tidak ada angin tapi bergerak terus.
Shen-long-shou Li Ming zheng tangan kirinya menggendong Ruan-xuan, sedangkan tangan
kanannya mencengkram Hua Li ji dan berteriak:
"Adik ketiga, cepat lari!"
Mereka bertiga seperti anjing yang terkena pukulan terus berlari ke jalan lain.
Ruan-wei meloncat, dengan ilmu 'An-ying-fu-xiang' dia seperti panah yang dilepaskan,
terdengar teriakannya: "Kembalikan nyawa ibuku!"
Dari bawah gunung datang seorang pak tua berpakaian putih, cambangnya saling terikat, dia
menggendong seorang gadis kecil, dialah Ruan-yun.
Melihat mayat ibunya tergeletak di bawah, dia memberontak turun dan menangis sekeraskerasnya.
Angin terus bertiup dengan kencang, di sekeliling sepi dan menakutkan.
Pendekar tua berpakaian putih menarik nafas panjang:
"Anak, jangan menangis! Ikutlah denganku, aku tidak akan membiarkanmu terlantar!"
Angin kencang bertiup, daun terus berguguran, bumi terlihat lebih sedih lagi.
Cahaya bulan begitu terang dan bersih, bumi seperti sebuah lukisan.
Ruan-wei sangat sedih. Dendam karena ibunya terbunuh, membuatnya dia menggunakan
seluruh tenaga mengejar Shen-long-shou Li Ming-zheng. Ma-xin-jian berada di depan, Hua Li-ji di
belakang. Li Ming-zheng menggendong Ruan-xuan. Mereka takut kepada Xu-bai maka mereka
kabur dengan cepat. Ruan-wei hanya bisa satu jurus 'An-ying-fu-xiang', jurus ini cocok jika berhadapan dengan
musuh. Sambil berlari dia menggunakan ilmu 'An-ying-fu-xiang', Ruan-wei berlari lumayan cepat
tapi dibandingkan dengan Gongzi Shi-san-tai-bao tampak masih jauh.
Tidak lama kemudian Ruan-wei berada di jalan Hang-zhou dan kehilangan jejak mereka bertiga
tapi Ruan-wei terus mencari-cari di jalan yang agak sepi itu.
Tiba-tiba dia melihat di ujung jalan ada sebuah rumah besar, lampu masih menyala terang.
Walaupun malam sudah larut tapi lampu masih menyala dalam hati dia berpikir, 'Apakah mereka
tinggal di sini?" Api dendam membakar dada Ruan-wei membuatnya kehilangan akal sehat, dia sudah tidak
berpikir jauh apakah dia bisa melawan Gongzi Shi-san-tai-bao atau tidak. Begitu melihat tempat
yang mencurigakan, tanpa ragu dia memanjat dinding dan masuk ke pekarangan.
Cahaya lampu keluar dari ruang utara. Suara angin berhembus mengantarkan suara orang yang
sedang berbicara. Diam-diam dia mendekati sebuah jendela, suara daun berguguran yang tertiup
angin menutup suara langkah kakinya.
Da melubangi kertas jendela. Begitu melihat ke dalam, di ruangan itu duduk berkeliling 12
pemuda berpenampilan seperti tuan muda. Wajah mereka tidak ada yang mirip dan sebagian
malah terlihat aneh. Ma-xin-jian duduk berhadapan dengan jendela dan dia berkata:
"Semenjak kita menghadang 'Chi-mei-da-xian' untuk mendapatkan 'Tian-long-jian-jing' tiba-tiba
Pencuri Selatan muncul membuat Chi-mei-da-xian bisa bersembunyi selama 8 tahun. Sekarang
dalam waktu 8 tahun kita baru bisa menemukan persembunyiannya tapi tidak di-sangka Pencuri
Selatan itu datang lagi untuk menolongnya."
Yang duduk di sebelah Mai tian-jian adalah Hua Li-ji. Dengan marah dia berkata"
"Pencuri tua ini benar-benar musuh kita. Kita 13 bersaudara harus berkumpul untuk
melawannya." Salah seorang yang duduk memunggungi jendela berkata:
"Bukannya aku meremehkan kemampuan kita, 8 tahun yang lalu kita menyalahkan diri kita
sendiri karena tidak mempunyai ilmu tinggi, sehingga kita tidak bisa melawan Xu-bai. Setelah 8
tahun ini kita menganggap ilmu kita sudah maju pesat tapi tadi kita 10 saudara telah kalah
bertarung dengannya. Kita tetap tidak bisa mengalahkannya. Jika kita tidak kabur lebih cepat
mungkin kali ini beberapa orang di antara kita akan mati."
Gongzi yang duduk di sisi bertubuh kurus berkata:
268 "Kata-kata Lao-jiu (nomor 9) tidak salah. Menurut kakak ketiga bila kita 13 orang bertarung
dengan pencuri tua itu belum tentu kita bisa menang."
Gongzi yang memunggungi jendela berkata lagi:
"Jurus pencuri itu seperti ada 10 bayangan lebih yang menyerang. Walaupun kita mempunyai
formasi bagus dan ilmu silat yang lumayan, untuk orang lain kita masih bisa hadapi tapi untuk


Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pencuri tua itu percuma saja."
"Tangan Terampil selalu melindungi Chi-mei-da-xian, apakah selamanya kita tidak bisa
mendapatkan 'Tian-long-jian-jing'?" kata Hua Li-ji
Gongzi yang kurus berkata:
"Kalau begitu lebih baik kita jangan berhadapan langsung dengan Xu-bai. Kata orang-orang
persilatan Xu-bai adalah tetua Zheng-yi-bang, jika kita bermusuhan dengan Zheng-yi-bang,
kita tidak akan bisa berdiri di dunia persilatan lagi."
Seorang Gongzi berwajah bulat dan seram tiba-tiba berkata:
"Setelah 'Chi-mei-da-xian' mati, kita baru periksa mayatnya."
Yang satu yang berwajah hitam seperti monyet berkata:
"Dengan pukulan kakak kedua paling telat satu bulan kemudian Chi-mei-da-xian baru akan
mati!" Sesudah mendengar Paman Zhang akan mati karena terluka parah, Ruan-wei benar-benar
sedih. Dia ingin masuk ke dalam dan memukul Gongzi yang berwajah bulat itu tapi dia belum
melihat Li Ming-zheng, terpaksa dia harus sabar menunggu agar bisa membalaskan dendam
ibunya. "Mengapa Da-ge (kakak tertua) belum muncul?" tanya Gongzi yang kurus
"Jurus Fen-jing-huan-gu bukan jurus mudah. Kalau tidak berhati-hati gadis kecil itu akan mati!"
(mengurai nadi mengganti tulang). Jawab Ma-xin-jian
Gongzi yang duduk membelakangi jendela sepertinya senang bicara, dia berkata lagi:
"Kakak tidak sabaran, baru menerima murid, dia sudah berharap muridnya mempunyai ilmu
silat kuat seperti dia!"
"Da-ge membunuh ibunya kemudian menerima anaknya menjadi murid, sepertinya hal ini
kurang baik!" kata Hua Li-ji
"Tapi gadis kecil ini tidak menganggap perempuan itu adalah ibunya. Jika betul ibunya,
wajahnya pasti terlihat sedih!" kata Ma-xin-jian
"Gadis kecil ini benar-benar berpikiran sesat!" kata Hua Li-ji.
Tiba-tiba ada yang tertawa serak, masuk seorang Gongzi gemuk. Dia menuntun Ruan-xuan dan
tertawa: "Kalian jangan bingung, aku benar-benar menyayangi gadis kecil ini. Dia sangat berbakat, kelak
kalian harus mengajarkan ilmu silat kepadanya!"
"Kita akan mengajarinya jurus andalan kita masing-masing, setelah 5 tahun berlalu dunia
persilatan akan bertambah seorang pendekar berilmu tinggi dan masih muda!"
Melihat Li Ming-zheng muncul, melihat wajah adik keduanya sama sekali tidak terlihat sedih,
malah menganggap penjahat adalah ayah-nya, Ruan-wei benar-benar marah. Dia bersiap-siap
memecahkan jendela untuk masuk dan melawan Li Ming-zheng.
Kedua tangannya siap mendorong jendela. Sesudah 7 tahun berlatih ilmu tenaga dalam,
tenaganya sangat besar, terdengar KRAK...!
Suara ini mengejutkan Gongzi Shi-san-tai-bao karena jendela hancur digetarkan oleh Ruan-wei
dan kayu pun berhamburan. Begitu Gongzi Shi-san-tai-bao melihat, di luar sama sekali tidak ada
siapa pun. Ma-xin-jian keluar melalui jendela, yang lain juga ikut keluar tapi di luar tidak ada siapa pun
juga tidak ada yang dicurigai.
"Lao-wu (nomor 5), apa yang kau temukan?" tanya Li Ming-zheng
Ilmu meringankan tubuh Ma-xin-jian berada di atas Gongzi Shi-san-tai-bao, di dunia persilatan
dia termasuk pesilat yang bisa dihitung jari kehebatannya. Terlihat dengan serius dia menjawab:
"Apakah Da-ge percaya kepada ilmu meringankan tubuhku?"
Dengan aneh Li Ming-zheng berkata:
269 "Aku percaya, ilmu meringankan tubuh adik kelima juga tenaga telapak adik kedua dan ilmu
pentung adik ketiga, ilmu jari adik keempat, jurus kalian tidak ada yang sanggup melawan!"
Ma-xin-jian menarik nafas:
"Hanya saja 8 tahun yang lalu, aku dikalahkan oleh Tangan Terampil Xu-bai tapi hari ini aku
melihat ada seorang yang ilmu meringankan tubuhnya berada di atasku."
Gongzi yang berdiri membelakangi jendela, berbadan pendek, giginya bertaring, matanya sipit,
dia adalah Lao-jiu (nomor 9) dari Gongzi Shi-san-tai-bao, namanya adalah Tu Tao, senjatanya
adalah sempoa besi. Dia bisa menyerang dan menahan semua senjata rahasia musuh. Dia
bertanya: "Apakah orang itu Tangan Terampil Xu-bai?"
"Ketika aku keluar, hanya melihat bayangan nya saja. Walaupun tidak melihat dengan jelas,
tapi aku berani mengatakan kalau itu bukan Tangan Terampil Xu-bai."
"Siapa pun dia berarti tempat ini sudah ada yang tahu, kita harus bersiap-siap pindah!" seru Li
Ming-zheng. Di luar kota Hang-zhou, di sebuah kuburan berdiri 2 bayangan orang, yang satu dengan suara
marah berkata: "Kau membawaku kemari, apa maksudmu?"
Di bawah sinar bulan terlihat ada seseorang memakai baju hitam, kepalanya dibungkus oleh
kain berwarna tua. Dia adalah seorang gadis cantik berumur 16-17 tahun.
Gadis itu mengerutkan alisnya yang tipis dan berkata:
"Dengan baik hati aku menolong nyawamu, apakah itu salah?"
Orang yang pertama bicara adalah Ruan-wei. Karena jawaban gadis itu masuk akal maka Ruanwei
tidak membantahnya lagi, dia malah membalikkan tubuh bersiap-siap pergi.
Gadis itu dengan suara cemas bertanya:
"Kau mau ke mana?"
"Dari mana aku datang, aku akan kembali kesana," jawab Ruan-wei.
"Apakah setelah orang menolongmu, kau sama sekali tidak mengucapkan terima kasih?"
"Mengapa Nona tahu sudah menolong Ruan-wei?"
"Oh, ternyata namamu adalah Ruan-wei!"
Ruan-wei teringat sebelum ibunya meninggal ibunya mengatakan kalau dia bukan bermarga
Ruan tapi bermarga Lu. Karena itu siapa ayah kandungnya dia tidak tahu, maka dia pun merasa
sedih. Pelan-pelan gadis itu berkata:
"Ayahku bermarga Gongsun."
Dia malu menyebut marganya sendiri, tadinya dia ingin memberitahukan namanya tapi karena
melihat Ruan-wei begitu acuh dan tidak mendengar perkataannya maka dia berteriak:
"Hai!" Ruan-wei terkejut dan seperti baru tersadar, dia segera berkata:
"Nona Gongsun!"
"Ternyata kau mendengar kata-kataku juga. Aku membantu ayah melakukan satu hal yaitu
mengikuti jejak Gongzi Shi-san-tai-bao. Semalam aku melihatmu berjalan mengelilingi Hang-zhou,
aku merasa aneh kemudian aku melihatmu berjalan ke arah tempat tinggal Gongzi Shi-san-taibao.
Aku mulai mengerti. Tapi ilmu silatmu terlalu rendah, apakah kau tidak tahu kelihaian Gongzi
Shi-san-tai-bao?" "Aku tahu, Nona tidak perlu merasa cemas."
Semua orang mempunyai gengsi. Nona Gongsun mengatakan ilmu silat Ruan-wei rendah maka
Ruan-wei tidak sungkan menjawabnya.
Tapi Nona Gongsun tidak merasakannya, dia tetap bicara:
"Kau mengintip di jendela, aku mendengarkan dari atas atap. Tiba-tiba kau memecahkan
jendela dan tidak memikirkan akibatnya, benar-benar membuatku tidak mengerti. Maka tanpa
perlu pikir panjang aku mencengkram pinggangmu dan membawamu kemari!"
"Apakah Nona mengira perbuatan Nona ini benar?"
"Kalau aku tidak menolongmu, mereka 13 orang, apakah kau masih bisa hidup sekarang?"
270 "Memang aku tidak ingin hidup lagi, aku harus membunuh orang yang telah membunuh ibuku
tapi kau sudah ikut campur sehingga aku tidak bisa balas dendam."
0-0-0 BAB 90 Anak yatim luntang-lantung
"Orang sepertimu tidak akan bisa membalas dendam, malah hanya mengorbankan nyawamu
sendiri!" seru Nona Gongsun.
Setelah dihina begitu perasaan tidak suka kepada Nona Gongsun jadi bertambah tapi Ruan-wei
tetap berusaha menahan diri dan berkata:
"Ruan-wei bisa mengurus diri sendiri, silah-kan Nona jalan sendiri."
Setelah berkata seperti itu dia berlari kembali ke tempat Gongzi Shi-san-tai-bao.
Lampu sudah dipadamkan, bayangan Gongzi Shi-san-tai-bao sudah tidak terlihat, yang ada
hanya rumah kosong. Ruan-wei mengeluh karena musuhnya sudah pergi tapi dia juga tidak bisa menyalahkan Nona
Gongsun karena Ruan-wei adalah orang yang tahu aturan. Ketika itu hatinya penuh api dendam
maka sikapnya menjadi tidak sopan kepada Nona Gongsun.
Di bagian timur mulai terang, Ruan-wei teringat pada lukanya Paman Zhang juga mayat ibunya
yang belum dikubur, dia segera berlari kembali ke kuil Ling-feng.
Sesampainya di kuil Ling-feng, hari sudah terang. Angin bulan 9 mulai terasa dingin tapi di pagi
begitu sepi malah menambah keindahan bumi ini.
Dengan berat hati Ruan-wei naik ke gunung. Di benaknya selalu teringat sewaktu ibunya
terluka dan meninggal maka dia pun mempercepat langkah kakinya.
Sesampainya di kuil Ling-feng disana tidak ada siapa pun, mayat seorang perempuan bopeng
pun tidak ada, tanah yang penuh dengan darah juga telah dibersihkan.
TANG...! Lonceng kuil berbunyi. Sekarang adalah waktu membaca kitab suci untuk orang-orang
kuil. Di depan ada seorang biksu kecil, kedua tangannya terrangkap menjadi satu. Dia berkata:
"Guru ada di kamarnya, beliau sedang beristirahat!"
Ruan-wei mengangguk, dia segera pergi ke kamar Paman Zhuang. Chi-mei-da-xian perlahan
membuka matanya, dengan suara serak berkata:
"Kau sudah datang Wei-er, mayat ibumu sudah dimasukkan ke dalam peti, sekarang berada di
belakang kuil!" "Paman, Anda... luka Anda.." kata Ruan-wei
Chi-mei-da-xian tersenyum:
"Tidak apa, pukulan Shen Long Zhang tidak mengenai nadi pentingku jadi aku masih bisa
bertahan. Untuk kedua kalinya Tetua Xu menolongku, jika bukan karena beliau ada di bawah
gunung aku pasti sudah dicincang oleh Gongzi Shi-san-tai-bao."
"Dimana Yun-yun?" tanya Ruan-wei.
Chi-mei-da-xian tertawa: "Nasib Yun-yun sangat bagus, pendekar tua membawanya pergi. Dari surat yang ditulis
pendekar tua itu, aku tahu kalau dia akan mene-rima Yun-yun menjadi muridnya dan 5 tahun
kemudian Yun-yun akan bisa membalaskan dendam ibunya."
"Wei-er ingin berkelana di dunia persilatan untuk mencari orang yang membunuh ibu dan...
Wei-er ingin mencari ayah kandungku."
Chi-mei-da-xian terkejut, berkata:
"Apakah Ruan Da-cheng bukan ayah kandungmu?"
"Kata ibu aku sebenarnya bermarga Lu, tapi ibu tidak memberitahuku siapa ayahku!" Chi-meida-
xian menarik nafas: "Dunia begitu luas, kau akan mencari kemana?"
Pelan-pelan Ruan-wei berkata:
"Aku tidak bisa menjaga peti mati ibu, biarlah menunggu ayah pulang baru membereskan
jenasah ibu." 271 "Tenanglah, aku akan menyuruh orang untuk mengurusnya. Tapi kau seorang diri berkelana di
dunia persilatan, aku khawatir padamu."
"Wei-er percaya asalkan kita mempunyai niat, di dunia ini tidak ada yang tidak bisa dilakukan.
Aku pasti akan berhati-hati, kecuali mencari ayah kandung dan membalaskan dendam ibu, aku
tidak akan membuat masalah dengan siapa pun. Hanya saja tubuh Paman...."
"Kau tidak perlu khawatir padaku!" Dari balik baju dadanya dia mengeluarkan sebuah plakat,
terbuat dari perak, di atas plakat terukir 8 huruf: yang memaksa pasti gagal, yang adil pasti
sukses! Di sekelilingnya terukir Mei-hua. Chi-mei-da-xian dengan senang berkata: "Aku tidak
sangka ternyata Tetua Xu-bai masuk menjadi anggota Zheng-yi-bang. Pendekar tua itu
meninggalkan surat berikut plakat, berarti Zheng-yi-bang sudah ikut campur untuk masalah ini.
Walaupun Gongzi Shi-san-tai-bao sangat berani tapi mereka akan berpikir untuk melawan Zhengyi
bang." "Apakah Zheng-yi-bang begitu hebat?" tanya Ruan-wei.
Dengan senang Chi-mei-da-xian menjawab:
"Di dunia persilatan ini, di timur ada Wan-sheng-dao, Huang Zheng-guo, dia seorang pelatih
silat, dia mempunyai banyak murid. Di selatan ada Ba-gua-zhang Fan Chong-pin, masih ada Meihua-
jian, Du Chang-qin dan Huo-shen-ye Yao Qing-yu, dan banyak lagi yang lainnya."
Setelah menyebutkan beberapa nama orang terkenal, dia seperti kelelahan dan berhenti
sejenak lalu dia menyambung lagi:
"Mereka semua adalah pendekar terkenal tapi dibandingkan dengan Zheng-yi-bang, mereka
berbeda." "Bagaimana pengaruh Zheng-yi-bang terhadap dunia persilatan?" tanya Ruan-wei.
"Semenjak Zheng-yi-bang berdiri 10 tahun lalu, mereka telah melakukan banyak hal untuk
dunia persilatan. Tapi ada Zheng-yi-bang juga ada Tian-zheng-jiao, mereka berseberangan maka
banyak pendekar Zheng-yi-bang yang mati di tangan Tian-zheng-jiao."
Dia berhenti sebentar lalu berpesan:
"Wei-er, jika kau berkelana di dunia persilatan, kau harus menghormati orang-orang Zheng-yibang
dan jangan membuat masalah dengan orang-orang Tian-zheng-jiao, kau harus ingat
pesanku!" Lalu Ruan-wei pamit pada Paman Zhang dan membawa barang bawaan yang sangat ringan.
Dia tetap berpakaian tipis berwarna putih lalu meninggalkan daerah Xi-hu.
Hari ini dia tiba di Kabupaten Jia-xing. Di jalan di kota Jia-xing, di bawah langit yang gelap,
seperti akan hujan tapi tidak hujan, udara seperti ini siapa pun tidak merasa tenang.
Ruan-wei membawa uang cukup. Semua uang itu adalah pemberian Chi-mci d.i-xian. Dia
menginap di sebuah penginapan besar.
Walaupun Ruan-wei baru berusia 14 taun, tapi tubuhnya sangat tinggi dan besar, tampak
seperti sudah berusia 16-17 tahun. Pelayan penginapan menganggapnya sebagai orang dewasa
dan mengira kalau dia seorang pelajar.
Ruan-wei senang membaca buku maka dalam barang bawaannya berisi banyak buku. Begitu
dia berada di dalam kamarnya, dia mulai membaca.
Di luar sedang hujan gerimis, Ruan-wei tidak mau keluar dari kamarnya, maka dia bersiap-siap
memikirkan tempat yang akan dituju esok hari.
Pelayan mengantarkan makan malam. Melihat Ruan-wei sedang membaca, dia bertanya:
"Apakah Tuan akan pergi ke ibukota untuk mengikuti ujian?"
"Oh, tidak! Tidak!" jawab Ruan-wei.
Dengan aneh pelayan itu bertanya lagi:
"Tuan begitu tampan mengapa tidak mengikuti ujian musim gugur di ibukota?"
Ruan-wei menggelengkan kepala, bertanya:
"Apakah di kota Jia-xing ini ada orang dunia persilatan yang terkenal?"
Pelayan itu bertambah aneh mengapa seorang pelajar malah menanyakan orang dunia
persilatan, maka dengan sungkan dia menjawab:
"Di kota Jia-xing yang ilmu silatnya terkenal adalah Pendekar Huang Zhen-guo. Murid-nya di
kota Jia-xing sangat banyak. Jika Tuan ingin belajar ilmu silat untuk menjaga diri sangat cocok
menjadikan Huang Zhen-guo sebagai guru!"
272 'Paman juga pernah menceritakan orang ini, dia banyak murid berarti dia sangat mengenal
dunia persilatan. Lebih baik besok aku pergi ke tempatnya untuk mencari tahu,' pikir Ruan-wei.
Ruan-wei memberikan tip kepada pelayan, karena senang pelayan jadi menawarkan diri:
"Apakah Tuan ingin diantar" Aku bisa mengatarkan Tuan!"
Melihat Ruan-wei begitu murah hati, dia jadi ingin mendapatkan uang lebih banyak tapi Ruanwei
menolak dan menjawab: "Aku akan mencarinya sendiri."
Hari kedua pagi, setelah berlatih, Ruan-wei segera mencari tempat latihan guru Huang Zhenguo.
Meskipun Huang Zhen-guo hanya seorang pelatih silat tapi hidupnya sangat mewah. Di depan
pintu utama yang berwarna hitam tampak ada dua orang berdandan pelayan sedang berjaga.
Setelah mendekati mereka, Ruan-wei dengan suara kecil bertanya:
"Apakah pahlawan tua Huang Zhen-guo tinggal di sini."
Dengan sorot mata tidak bersahabat, pelayan yang pendek menjawab:
"Betul, ini tempat tinggal Pendekar Huang!"
Dengan rendah hati Ruan-wei bertanya lagi:
"Apakah aku bisa bertemu dengan Pendekar Huang?"
Pelayan pendek itu dengan nada tidak sabar menjawab:
"Jika ingin mengunjungi Pendekar Huang mengapa kau begitu tidak tahu aturan?"
"Aturan apa?" Tanya Ruan-wei terkejut.
"Kalau ingin menjadi murid Pendekar Huang masa pada kunjungan pertama tidak membawa
hadiah atau lainnya, kalau tidak membawa apa-apa, boleh... asalkan kau bisa mengangkat
gembok batu sebelah sana, kau boleh bertemu dengan Pendekar Huang!"
Ruan-wei melihat di sisi pintu masing-masing ada gembok setinggi 1.50 meter terbuat dari
batu. Gembok itu penuh dengan lumut, kelihatannya sudah lama tidak dibersihkan atau digeser.
Ruan-wei tertawa: "Maksud kedatanganku kemari bukan untuk menjadi murid Pendekar Huang tapi aku ingin
bertanya sesuatu pada beliau."
Pelayan yang pendek tampak lebih marah lagi:
"Apalagi kalau ingin minta tolong pada Pendekar Huang, lebih-lebih diharuskan membawa
hadiah." Karena Ruan-wei datang tergesa-gesa, dia tidak tahu ada aturan seperti itu, maka dia hanya
bisa menjawab: "Ini... ini...."
Pelayan yang pendek itu melihat gembok bat u dan tertawa dingin:
"Jika kau tidak sanggup menggeser gembok itu, belilah dulu hadiah untuk Pendekar Huang,
baru kembali ke sini."
Pelayan melihat Ruan-wei masih muda, apalagi seperti pelajar, dia merasa yakin Ruan wei tidak
akan bisa menggeser gembok batu itu. Apalagi udara begini dingin, dia hanya mengenakan baju
tipis, pasti dia hanya pelajar miskin dan dat.inj-, kesana hanya untuk meminta uang kepada
majikannya maka nada bicaranya sangat sombong.


Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ruan-wei tidak menyangka pendekar yajij begitu terkenal hanya seorang kerdil yang begitu
licik. Tapi Ruan-wei juga berpikir mungkin ini hany. i kesombongan penjaga pintu maka dia tetap
tersenyum dan berkata: "Aku hanya ingin menanyakan satu hal kepada Pendekar Huang, aku lupa membawa hadiah,
apakah aku boleh kembali nanti?"
Pelayan pendek itu tertawa terbahak-bahak. Dengan nada menghina dia berkata:
"Jika semua orang seperti Tuan, apakah tuanku akan memberitahukan begitu saja?"
Sejak kecil Ruan-wei memang banyak membaca buku tapi dia seorang pemuda, tentu saja
lama-lama dia tidak bisa menahan diri. Dalam hati dia berpikir, 'Dari mana datangnya aturan
meminta hadiah seperti ini"' Maka dia pun marah. Dengan tenang dia lalu berjalan ke gembok
batu itu, sedikit membungkukkan tubuh, dia berhasil mengangkat gembok batu itu.
Ratusan kilogram gembok berhasil diangkat Ruan-wei kemudian pelan-pelan diletakkan kembali
ke tempatnya lalu dia berjalan ke arah penjaga pintu:
273 "Apakah aku sudah boleh bertemu dengan Pendekar Huang?"
Penjaga itu segera menjawab:
"Boleh, boleh, silakan, silakan!"
Ruan-wei tidak suka dengan orang kerdil sepertiitu maka tanpa sungkan lagi dia pun masuk.
Kedua penjaga itu saling berpandangan dan tidak bisa mengatakan apa-apa.
Ternyata setiap tamu yang ingin bertemu dengan Huang Zhen-guo, tahu kalau Huang Zhenguo
orang yang rakus dengan hadiah maka semua orang selalu membawakan hadiah untuk minta
bertemu dengannya dan tidak ada seorang pun yang bisa dan berani mengangkat gembok batu
itu. Sesudah berjalan di jalan yang terbuat dari batu lalu berbelok. Terlihat ada sebuah tanah
lapang seluas 100 meter persegi. Cuma tampaknya akan hujan tapi masih banyak laki-laki yang
sedang berlatih silat, tubuh atasnya tidak memakai baju.
Di sisi lapang ada sebuah rumah besar. Ruan-wei berjalan menuju ke sana. Orang-orang yang
berlatih silat di lapangan melihatnya masuk, tapi tidak ada seorang pun yang menyapanya. Mereka
mengira Ruan-wei datang untuk berlatih silat.
Begitu memasuki rumah itu ada sebuah ruangan besar, ruangan itu dilapisi dengan permadani
tebal. Di sekelilingnya ditempeli kertas putih berhuruf hitam. Ternyata kertas itu berisi tulisan
tentang jurus-jurus ilmu silat. Di sana ada beberapa pasang pemuda sedang berlatih silat dengan
senjata golok. Di ruangan hanya ada satu jalan masuk mungkin di sana tempat tinggal Wan-sheng-dao Huang
Zhen-guo. Ruan-wei berdiri di depan, segera seorang pemuda yang membawa golok datang
menghampirinya dengan nada galak bertanya:
"Kau mencari siapa?"
Sebenarnya ketika Ruan-wei datang dia berniat akan bersikap sopan tapi karena tadi di depan
pintu dia telah dicegat dengan tidak sopan maka dia pun menaruh sikap tidak hormat. Apalagi
orang yang bicara dengannya sekarang, wajahnya penuh dengan hawa membunuh maka dia pun
mulai marah, jawabnya: "Aku ingin bertemu Huang Zhen-guo!"
Tiba-tiba ada yang melintas di dekat Ruan-wei, dia berbisik kepada orang itu. Ternyata orang
ini adalah salah satu penjaga yang tubuhnya agak tinggi.
Sesudah mendengar bisikan orang itu, wajahnya segera berubah. Sambil tertawa dia bertanya:
"Umur Tuan masih begitu muda, tapi sudah mempunyai tenaga begitu besar, ada keperluan
apa mencari guruku?"
Mendengar dia jadi bertanya dengan sopan, Ruan-wei dengan senyum menjawab:
"Aku mencari Pendekar Huang, ada sedikit hal yang ingin kutanyakan pada beliau."
Dari dalam keluar seorang pak tua yang tinggi dan besar, dia tertawa terbahak-bahak:
"Siapa yang mencariku?"
Nada bicaranya sangat sombong.
Pemuda ini segera mendekatinya lalu berbisik kepada pak tua ini.
Mata pak tua itu melihat Ruan-wei kemudian tertawa lagi:
"Masih muda tapi sudah mempunyai ilmu tinggi, benar-benar hebat. Teman kecil, ada apa
mencariku?" Ruan-wei sudah tidak suka kepada Wan-sheng-dao, tapi dia tetap dengan sopan menjawab:
"Sudah lama aku mendengar nama besar pahlawan tua dan mengetahui tuan memiliki banyak
murid, aku bisa bertemu dengan Tuan benar-benar sangat beruntung."
"Apakah betul sahabat kecil ini mempunyai dendam dengan Gongzi Shi-san-tai-bao?"
Ruan-wei tidak menaruh curiga, dia segera menjawab:
"Betul! Memang aku mempunyai dendam yang dalam pada Gongzi Shi-san-tai-bao!"
"Apakah hanya karena bisa mengangkat gembok batu jadi bisa mengalahkan Gongzi Shi-santai-
bao, hmm...kemampuanmu masih jauh."
"Apakah kau tahu ilmu golok Sun-xiao-tian" Dia belajar padaku."
Sun xiao-tian adalah salah dari Gongzi Shi-san-tai-bao.
274 Sebenarnya ilmu golok Sun-xiao-tian, orang yang paling kecil dari Gongzi Shi-san-tai-bao,
bukan belajar dari Huang Zhen-guo. Hanya saja ketika Sun-xiao-tian masih remaja dia pernah
belajar di tempat Huang Zhen-guo. Dia bisa terkenal di dunia persilatan karena dia belajar kepada
seorang pesilat aneh. Huang Zhen-guo dengan muka tebal mengaku-ngaku bahwa dia adalah guru
Sun-xiao-tian, sebenarnya ini hanya untuk memasang namanya saja.
Sebenarnya Huang Zhen-guo bisa terkenal, alasan pertamanya karena kulit mukanya tebal.
Kedua, muridnya sangat banyak, padahal ilmu silatnya tidak seberapa.
Begitu Ruan-wei tahu, salah seorang Gongzi Shi-san-tai-bao adalah murid Huang Zhen-guo,
maka dia segera membalikkan tubuh dan pergi dari sana.
Huang Zhen-guo dengan dingin berkata: "Apakah sahabat kecil akan pergi begitu saja?"
Ruan-wei masih terus berjalan, begitu keluar dari ruangan, dia merasa di belakangnya ada
angin kencang menyerang. Maka dengan jurus An-ying-fu-xiang' dia menghindari serangan dari
belakang itu. Pemuda yang menyerang itu tidak melihat cara Ruan-wei menghindar, lalu dia menusuk lagi
dari samping. Perlu diketahui, serangan golok biasanya menyabet dulu lalu menusuk tapi pemuda
ini melakukannya dengan cara menusuk dulu kemudian diubah menjadi menyabet agar Ruan-wei
tidak bisa kabur. Ruan-wei tidak menyukai pemuda ini, karena dia diam-diam menyerang Ruan-wei dari
belakang. Melihat lawan menusuk dengan tenaga lemah, walaupun dia tidak bisa ilmu silat tapi dia
mengambil kesempatan ini bersiap-siap memukul wajahnya.
Golok yang ditusukkan lalu ditarik kembali, terdengar BUG..., wajahnya terkena pukulan Ruanwei.
Tenaga yang dikeluarkan Ruan-wei tidak terlalu besar tapi membuat wajah pemuda itu
berlumuran darah. Dia jatuh terduduk, goloknya pun terjatuh di samping tubuhnya.
Huang Zhen-guo tidak menyangka muridnya begitu tidak berguna, hanya satu jurus saja sudah
dikalahkan oleh orang lain. Jurus-jurus yang digunakan Ruan-wei tampak sangat aneh. Dia sendiri
merasa dia belum tentu bisa mengalahkan anak muda ini. Murid-muridnya memang banyak tapi
mereka tetap seperti gentong nasi, belajar ilmu silat hanya 1-2 juru s umum. Maka tidak ada
seorang pun yang berani mende-kati dan menyerang Ruan-wei.
Wajah Huang Zhen-guo menjadi merah, dia ingin menutupi kekalahan ini.
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat, di sisi Huang Zhen-guo berdiri seorang gadis berusia sekitar
15 tahun memakai baju dan celana berwarna kuning.
Gadis itu menarik tangan Huang Zhen-guo dan bertanya:
"Kakek, apa yang terjadi?"
Melihat cucunya datang, Huang Zhen-guo sangat senang karena sejak berusia 6 tahun, dia
sudah dikirim oleh ayahnya ke guru Lei yin di E-mei-shan, untuk menjadi muridnya. Setiap tahun
hanya pulang satu kali, sekarang sudah tahun kesembilan. Huang Zhen-guo yang tidak enak harus
bertarung dengan Ruan-wei, begitu cucunya datang, dia ingin cucunya yang bertarung untuk
merebut kembali gengsinya yang sudah hilang. Sengaja Huang Zhen-guo berkata: "Bocah ini telah
melukai paman gurumu." Sejak kecil Huang Xiao-ying belajar ilmu silat di gunung, sifatnya sangat
keras. Dia membentak kepada Ruan-wei:
"Hei, kenapa kau melukai paman guruku?"
Melihat lawannya adalah seorang anak perempuan, Ruan-wei malas meladeninya maka dia
pun segera membalikkan tubuh dan berniat pergi. Huang Xiao-ying kembali membentak:
"Berhenti!" Kemudian dia melempar sesuatu ke arah Ruan-wei.
Ruan-wei melihat ada benda yang dilempar ke arahnya, dia mengira itu adalah senjata rahasia.
Maka Jurus 'An-ying-fu-xiang' segera dikeluarkan menghindar. Senjata rahasia itu pun terjatuh,
begitu dilihat ternyata hanya sebuah gelang tangan.
Dalam hati Huang Xiao-ying berpikir, 'Jurus apa tadi"' Dia segera menyerang mengikuti gelang
tangan yang dilemparnya. Ruan-wei tetap menghindar dengan cara tadi.
Tapi Huang Xiao-ying gadis yang pintar, serangan tangan segera diganti dengan tendangan.
Ruan-wei yang sedang berusaha menghindar terkena tendangan kaki Huang Xiao-ying.
Ruan-wei tidak bisa ilmu silat, dia tidak bisa lolos dari tendangan Huang Xiao-ying. Pinggang
yang tertendang terasa sakit dan dia jatuh terguling-guling. Ruan-wei tertendang dan jatuh
terduduk di bawah. 275 Huang Zhen-guo tertawa terbahak-bahak: "Teman kecil, cucuku saja tidak sanggup kau lawan,
masih ingin membalas dendam. Sekalipun kau mempunyai 10 nyawa, itu pun tidak akan cukup."
Terdengar suara petir berbunyi, kemudian turun hujan sangat besar. Huang Zhen-guo dan lainlain
sudah masuk ke ruangan, hanya tinggal Ruan-wei duduk seperti patung di bawah siraman air
hujan. Tubuh Ruan-wei sudah basah kuyup, rambutnya juga basah. Dia terus berkata:
"Dengan cara apa aku bisa membalas dendam, dengan cara apa aku bisa membalas
dendam...." Huang Zhen-guo sudah berpesan kepada pemuda yang telah dipukul Ruan-wei tadi:
"Usir bocah tengik itu!"
Karena merasa dendam, pemuda itu segera memanggil kedua temannya, mereka siap mengusir
Ruan-wei. Ruan-wei seperti tidak melihat kedatangan mereka. Dia hanya membuka kedua matanya yang
besar. Dari pandangan matanya tampak dia sedang kecewa juga sedih.
Tiba-tiba Huang Xiao-ying berteriak:
"Sudahlah, biarkan dia pergi sendiri." kemudian balik berkata kepada Huang Zhen-guo, "kakek,
biarkan dia pergi sendiri, dia sudah kutendang sampai terluka."
Huang Zhen-guo sangat menyayangi cucunya ini apalagi dalam satu tahun baru bisa berkumpul
sekali. Dia tidak ingin mengecewakan cucunya maka dia membentak Ruan-wei:
"Pergi, cepat! Apakah kau masih ingin dipukul lagi?"
Ruan-wei melihat HuangXiao ying kemudian berusaha bangun. Dengan terhuyung huyung dia
meninggalkan lapangan itu.
Sampai sosok Ruan-wei menghilang, Huang Xiao-ying tetap tenggelam dalam lamunannya.
Ruan-wei meninggalkan tempat itu, apakah itu dia harus berterima kasih atau membenci, mungkin
semuanya telah bercampur menjadi satu.
Salju baru turun, tidak begitu lebat. Pejalan kaki tidak sebanyak musim kemarau. Orang yang
berjalan mulai memakai baju tebal dan berat.
Ruan-wei menunggang kuda, di dalam hatinya seperti ada ribuan kuda yang sedang berlari,
'Aku harus belajar ilmu silat tinggi tapi di mana aku bisa mencari guru untuk belajar silat"'
Setelah keluar dari rumah Huang Zhen-guo, dia membeli seekor kuda dan membiarkan kuda
membawa berlari entah kemana. Tujuannya hanya satu yaitu bertemu dengan seorang pesilat
hebat untuk dijadikan guru.
"Permisi, permisi!" Di belakang terdengar ada yang berteriak, kemudian seekor kuda melintas di
depannya. Ruan-wei menghindar ke pinggir kemudian tetap dengan tidak bersemangat dia menghela
kudanya, kuda yang berlari cepat itu kembali lagi ke sisi Ruan-wei, kemudian berhenti, nafas
kudanya terengah-engah. Tapi orang yang ada di atas kuda dengan tenang bertanya:
"Saudara kecil, kau mau ke mana?" Ruan-wei melihat orang yang menunggang kuda itu adalah
seorang laki-laki sekitar 30 tahun lebih, wajahnya tampan dan sikapnya kuat, dia berpakaian sutra
berwarna abu, punggungnya tegak lurus, dia tampak sangat tenang. Ruan-wei merasa aneh
dengan kedatangan orang ini. Dia menggelengkan kepala, berarti entah mau ke mana, dia sendiri
pun tidak jelas. Penunggang kuda ini pelan-pelan berjalan beriringan dengan Ruan-wei dan bertanya:
"Saudara kecil, kau bermarga apa?"
"Aku bermarga Ruan."
Penunggang kuda itu seperti sangat kecewa terhadap sikap pemuda yang begitu acuh
kepadanya. Dia merasa aneh karena orang yang di depannya lebih acuh dibandingkan dirinya
sendiri. Sebenarnya Ruan-wei sedang berpikir harus pergi ke mana untuk mencari guru belajar
ilmu silat, dia tidak merasa aneh jika adaorangyang menanya-kan marganya.
Penunggang kuda ini bicara sendiri: "Aku lihat kau seperti temanku!" Tapi dia juga
menertawakan dia sendiri, "di dunia ini orang yang mirip sangat banyak, kenapa aku harus merasa
aneh?" Dia tersenyum dan berkata lagi:
"Saudara kecil, aku lihat wajahmu penuh dengan rasa khawatir, apayang telah kau alami?"
276 Karena Ruan-wei sedang berpikir untuk mencari guru silat, maka dia segera menjawab:
"Aku ingin mencari guru silat tapi ke mana aku harus mencarinya?"
Karena masalah ini sudah dipikirkan sejak lama maka dia mengungkapkannya dengan sangat
alami. Dia seperti mengungkapkan masalah yang sulit dipecahkan.
"Di depan ada seorang guru terkenal, mengapa kau tidak meminta menjadi gurumu?"
"Siapa dia dan tinggal di mana?"
Penunggang kuda itu tertawa:
"Orang ini Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin!"
"Fan Zhong-pin! Fan Zhong pin!" Tiba-tiba Ruan-wei teringat nama ini karena Paman Zhuang
pernah bercerita tentang orang ini.
"Apakah dia seperti Huang Zhen-guo" Jika benar lebih baik aku tidak usah pergi ke sana."
Kata penunggang kuda itu:
"Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin sangat terkenal di dunia persilatan. Saudara kecil, kalau kau
mencarinya pasti tidak salah!"
Setelah bicara seperti itu, dia melarikan lagi kudanya. Lengan baju bagian kanannya
beterbangan. Ruan-wei tidak menyangka, orang yang begitu sehat ternyata hanya mempunyai
sebelah tangan. Ruan-wei berpikir, 'Kelihatannya orang itu pun seorang pesilat. Guru yang dikaguminya pasti
bukan orang sembarangan.'
Karena itu Ruan-wei sudah menentukan pilihannya, dia berangkat ke kota Qi-men. Di sebelah
selatan kota Qi-men ada sebuah rumah besar, karena semalam hujan salju maka sekarang
pekarangan tertutup oleh salju putih.
Pintu rumah terbuka, keluarlah seorang pelayan tua, rambutnya putih seperti salju. Dia melihat
ke sekeliling, di bawah pohon cemara duduk seorang pemuda berbaju putih.
Pak tua itu bicara sendiri, 'Anak muda yang tidak bisa menjaga tubuh, mengapa hari masih
begitu pagi kau sudah ada di sini"'
Begitu mendengar suara pintu dibuka, pemuda itu membuka matanya, dia berdiri untuk
melemaskan kakinya yang kaku juga membersihkan salju yang menempel di bajunya. Pelan-pelan
dia berjalan ke arah pelayan tua yang sedang menyapu salju.
Sambil membungkukkan tubuh dia memberi hormat dan bertanya:
"Paman, apakah Tetua Fan sudah pulang?" Pak tua itu menggelengkan kepala dan dia
menyapu lagi. Remaja berpakaian putih itu tidak banyak berbicara, dia kembali lagi ke tempatnya.
Karena tidak tega pelayan itu bertanya:
"Tuan kecil, setiap hari kau datang ke sini menanyakan Pendekar Fan, dan sudah berlangsung
selama setengah bulan, apakah kau tidak merasa bosan?"
Remaja berpakaian putih itu sambil tersenyum menggelengkan kepala.
Pelayan tua itu menarik nafas dan berkata: "Entah kapan tuan besar baru pulang, besok jangan
datang lagi, udara begitu dingin nanti kau akan sakit."
Dengan penuh berterima kasih remaja ini berulang kali mengucapkan, "Terima kasih." dan dia
pun meninggalkan tempat itu.
Pelayan tua itu sungguh tidak mengerti mengapa remaja ini begitu bersikukuh harus berguru
kepada tuan besarnya. Sesudah mendapatkan ilmu silat lalu apa gunanya"
Hari kedua pagi, salju turun lebih lebat. Pintu pekarangan rumah dibuka lebih awal setengah
jam dari hari biasa. Begitu pelayan itu menoleh, remaja berpakaian putih sudah duduk bersila
menunggu di bawah pohon. Tampak pak tua itu sedikit tidak tenang, tapi dia pura-pura seperti tidak terjadi sesuatu. Dia
masih menyapu salju. Dengan hormat remaja itu mendekatinya dan bertanya:
"Paman, apakah Tetua Fan sudah pulang?"
Pak tua itu akhirnya tertawa:
"Kemarin malam beliau sudah puking."
Dengan senang Ruan-wei berkata:
"Apakah Paman bisa memberi tahu kepada beliau kalau Ruan-wei ingin bertemu dengannya?"
Pelayan tua itu menggelengkan kepala:
"Tuan besar kemarin malam hai u pulang, tapi segera pergi lagi."
277 Ruan-wei terlihat kecewa.
Pelayan tua itu tertawa: "Tapi aku sudah menceritakan kepada beliau kalau setiap pagi kau datang ke sini untuk
mencarinya. Sepertinya tuan besar terpengaruh dengan ceritaku, beliau mengatakan akan
menerimamu menjadi muridnya."
Rvian-wei benar-benar merasa senang, dia ingin memeluk pelayan tua ini.
Kemudian dari balik pintu keluar pelayan itu mengeluarkan setumpuk hadiah yang terikat rapi
dan berkata: "Kata tuan besar beliau akan menerimamu menjadi murid, tapi dia tidak mau menerima hadiahhadiah
ini, kau harus membawa kembali."
Dengan malu-malu Ruan-wei menerima kembali hadiah-hadiah itu tapi dalam hati dia memuji,
'Ini baru benar-benar sikap seorang pendekar, dia tidak mau menerima hadiahku sedikit pun!'
Pelayan tua itu berpesan lagi:
"Tuan besar setuju menjadikanmu sebagai muridnya tapi ada satu hal yang harus kau lakukan."
Dengan serius Ruan-wei bertanya: "Tetua berpesan apa, aku yang muda akan sekuat tenaga
melakukannya." Pelayan tua itu tampak agak khawatir: "Aku rasa hal ini bukan hal yang mudah!" Dia


Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa Ruan-wei masuk ke pekarangan, di depan rumah sekitar 3 meter dari sana ada sebuah
tiang setinggi satu orang dewasa dan lebarnya satu pelukan orang dewasa.
Pelayan tua itu menunjuk tiang batu itu dan berkata:
"Kata tuan besar jika kau ingin belajar ilmu silat darinya, pertama-tama kau harus sanggup
mencabut tiang batu ini, kalau tidak beliau tidak mau menerimamu menjadi muridnya."
Dengan diam Ruan-wei mencoba-coba memeluk tiang batu itu dan mencabutnya.
Tapi tiang batu itu seperti berakar, sedikit pun tidak bergeming.
Dia mundur dan jatuh terduduk di bawah kemudian dia pun duduk bersila untuk mengatur
nafas, setelah merasa tubuhnya kembali segar, dia maju lagi mencoba mencabut tiang batu itu.
Kali ini dia tidak mencabut tiang batu melainkan menggoyang-goyangkannya.
Salju di atas tiang batu sudah meleleh menjadi air dan salju yang turun menempel memenuhi
tubuhnya, kemudian meleleh menjadi air membasahi bajunya. Tapi tiang batu itu tetap berdiri
dengan kokoh seperti semula.
Melihat Ruan-wei begitu lelah, pelayan tua itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Tidak lama kemudian Ruan-wei duduk di bawah karena dia merasa terlalu lelah.
Begitu jatuh dia segera duduk bersila untuk mengatur nafas. Sesudah tubuhnya kembali segar,
dia berdiri untuk memeluk tiang batu itu, berusaha menggoyangkan tiang batu itu agar bisa
dicabut. Dengan cara seperti itu dia terus melakukannya sampai tiga kali tapi tetap tidak berhasil.
Dengan penuh air mata Ruan-wei menurunkan lengan bajunya dan pelan-pelan berjalan keluar.
Ketika pelayan tua itu datang membawakan teh panas dan kue-kue, tapi Ruan-wei sudah pergi
entah ke mana. Setengah bulan sudah berlalu, udara semakin dingin. Ruan-wei hanya
mengenakan baju tipis. Setiap pagi dia datang untuk mencabut tiang batu sampai lelah kemu dian
baru meninggalkan tempat itu.
Setiap hari Ruan-wei hanya menemukan pelayan tua itu. Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin belum
pernah terlihat. Dia juga malas menanyakan apakah Ba-gua-zhang sudah pulang atau belum, dia
tetap berusaha mencabut tiang batu itu.
Hari ini, pagi-pagi Ruan-wei sudah berada di pekarangan. Dia merasa kelelahan selama 10 hari
lebih ini berusaha mencabut tiang itu, hal ini membuat jantungnya seperti tertekan dan merasa
tidak nyaman. Dia juga tidak mengatur nafas lagi. Begitu tiba di depan tiang batu, dia membuka baju dan
memeluk tiang itu menggunakan tenaga dalam yang sudah dilatihnya selama 7 tahun. Dia
membentak: "Lepas!" Tiba-tiba dia merasa tenggorokannya gatal dan tidak tahan, baru saja dia membuka mulutnya
darah sudah menyembur keluar membuat tiang batu penuh dengan darah. Tubuh Ruan-wei jadi
278 lemas, dia jatuh terduduk dan air mata terus mengalir. Dia benar-benar sedih, darah masih terus
keluar dari mulutnya. Dalam hati dia berpikir, seumur hidupnya, dia tidak akan bisa mencabut tiang ini maka dia
mengambil bajunya kembali, berusaha berdiri dan melangkah keluar.
Tiba-tiba dari samping terdengar suara lembut:
"Jangan banyak bergerak!" Dia merasa ada telapak tangan yang menekan punggungnya.
Tangan itu keluar hawa panas. Ruan-wei segera duduk dan mengatur nafas agar aliran panas ini
bisa menyatu dengan nafasnya.
Kira-kira 20 menit kemudian, Ruan-wei mulai bisa mengambil nafas dengan lancar.
Telapak di punggungnya sudah diangkat. Ruan-wei bersujud:
"Terima kasih, Tetua sudah menolongku, membuat Ruan-wei tidak kehilangan tenaga dalam
yang sudah dilatih selama 7 tahun."
Di depan Ruan-wei duduk seorang pendekar tua, alis dan janggutnya sudah memutih, dahinya
berkeringat. Sambil tertawa dia berkata:
"Bangun! Bangunlah!"
Ruan-wei menuruti perintahnya dan berdiri. Pendekar tua itu menunjuk tiang batu:
"Benda itu terkubur 3 meter lebih, jika tidak mempunyai tenaga dalam 30 tahun, jangan harap
bisa mengangkatnya. Setiap hari kau berusaha mencabutnya, hari ini tiang batu itu bergoyang.
Umurmu masih muda tapi tenaga dalammu sudah tinggi, itu sangat sulit didapat."
Ruan-wei merasa senang sekali tapi pendekar tua itu berkata:
"Tapi aku tetap tidak bisa menerimamu menjadi muridku."
Pelan-pelan pendekar tua itu berdiri. Ketika bicara tadi, tenaganya sudah pulih. Dengan senang
dia berkata: "Kau punya semangat pantang menyerah, aku sungguh kagum. 11 tahun yang lalu di Zhongnan-
shan, aku pernah menyadari satu hal. Hal ini membuatku merasa kalau ilmu silatku biasabiasa
saja walaupun aku mempunyai nama tersohor."
Dia melihat Ruan-wei dan berkata:
"Walaupun aku mengajarimu apa yang aku bisa kuajarkan tapi ilmuku hanya begitu-begitu saja.
Jika bertemu dengan pemuda yang 11 tahun lalu, tidak perlu 10 jurus kau pasti akan kalah, untuk
apa aku mengajarimu ilmu silat?"
Dia menarik nafas, "Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin sangat terkenal di dunia persilatan, tapi 11
tahun yang lalu dia sudah kecewa pada dirinya dan bersumpah tidak akan membanggakan diri
dengan ilmu silatnya. Jika ada orang yang ingin belajar ilmu silat kepadanya, kecuali kalau orang
itu sanggup mengangkat tiang batu yang 11 tahun lalu dikubur di depan rumah. Jika tidak
walaupun dia sangat berbakat, aku tetap tidak akan menerima menjadi muridku."
Hatinya bergejolak karena orang yang sanggup mencabut tiang batu ini mana mungkin akan
menjadikan dia sebagai guru. Maksudnya tidak lain adalah menolak permintaan orang-orang yang
ingin menjadi muridnya, karena dia menganggap ilmu silatnya tidak pantas untuk diajarkan.
Ruan-wei merasa sangat berterima kasih kepada Fan Zhong-pin karena telah menolongnya, dia
juga tidak akan memaksa Fan Zhong-pin menerimanya menjadi murid. Dengan penuh sikap
hormat dia berkata: "Aku sangat kagum dengan sikap Tetua. Sebelum kemari, aku tidak tahu apa kesulitan Tetua,
aku mohon maaf. Tapi Tetua telah menolongku, budi ini tidak akan kulupakan."
Fan Zhong-pin tertawa: "Itu masalah kecil, tidak perlu diingat-ingat, sahabat kecil, karena kau terluka maka aku harus
membantumu." "Budi ini tidak bisa diungkapkan dengan ucapan terima kasih. Aku pamit dulu."
Fan Zhong-pin mengatar Ruan-wei hingga ke depan pintu, dengan bangga dia berkata:
"Dengan bakat begitu besar, sahabat kecil, kau pasti akan mendapatkan ilmu silat yang sangat
tinggi." 0-0-0 BAB 91 Tawa Gongsun Lan 279 Setelah pamit pada Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin, Ruan-wei berlari ke penginapan di mana dia
menginap. Luka beratnya baru sembuh. Setelah tiba di penginapan, wajahnya masih pucat seperti
kertas. Tiba-tiba di belakangnya ada yang memanggil:
"Saudara Ruan! Saudara Ruan!"
Seorang laki-laki memakai kemeja, tangan kirinya menuntun kuda, lengan baju kanannya
kosong dan berkibar tertiup angin. Di atas kuda terikat dua bungkusan. Dia adalah orang yang
sebulan lalu bertemu dengannya dan memberi tahu Ruan-wei untuk mencari Fan Zhong-pin.
Orang yang tangannya tinggal satu itu tersenyum mendekatinya. Ruan-wei dengan hormat
berkata: "Ternyata Paman, apa kabar?"
Orang yang tangannya tinggal satu itu tertawa:
"Aku datang mencari seorang tetua, tapi aku tidak menemukannya. Untung aku bertemu
dengan teman lama. Sebulan ini aku bermain hingga puas dan aku membawa pulang teh yang
terkenal dari sana, benar-benar perjalanan yang menyenangkan."
Sambil berkata seperti itu dia menunjuk bungkusan yang terikat di punggung kuda, dengan
bersemangat dia berkata: "Istriku paling senang minimi teh jenis ini, kali ini aku membawa begitu banyak, dia pasti
merasa senang!" Mengingat istrinya, dia tertawa. Dari sini dapat diketahui kalau dia sangat sayang pada istrinya.
Ruan-wei melihat orang begitu gembira. Ruan-wei merasa iri:
"Paman, hatimu benar-benar baik!"
Sekarang orang yang tangannya tinggal satu itu baru melihat wajah Ruan-wei yang pucat.
Dengan aneh dia bertanya:
"Saudara kecil, ada apa, kenapa wajahmu...."
Mengingat masa depannya yang suram, Ruan-wei menundukkan kepalanya.
Orang yang tangannya tinggal satu itu bertanya lagi:
"Saudara kecil, apakah kau sudah menemui Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin?"
Melihat dia begitu ramah seperti perlakukan keluarga sendiri, Ruan-wei menarik nafas dan
berkata: "Aku bodoh maka aku tidak diterima oleh Tetua Fan!"
Dengan pandangan tidak percaya orang yang tangannya tinggal satu itu berkata:
"Orang yang begitu berbakat sepertimu ditolak oleh Pak Tua Fan, apakah ini tidak salah?"
Kemudian dia berkata lagi:
"Mari kita bicara di rumah makan dulu."
Mereka pun pergi ke rumah makan yang berada paling dekat, setelah memilih tempat khusus,
sambil sarapan mereka mengobrol dan Ruan-wei menceritakan apa alasannya sehingga dia ditolak
oleh Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin.
Sesudah mendengar itu orang yang tangannya tinggal satu itu berkata:
"Pantas Fan Zhong-pin tidak mau menerima murid lagi. Sebenarnya ilmu silatnya sangat tinggi
tapi jika dibandingkan dengan murid-murid yang diajar oleh orang aneh itu, diajauh tertinggal!"
Kemudian dia memejamkan mata, sepertinya dia sedang mengenang masa lalu kemudian dia
berkata: "Ketika itu tepatnya 11 tahun yang lalu, aku juga pernah mendengar kalau pemuda itu adalah
murid pak tua tanpa nama dari Qing-hai. Ilmu silatnya tinggi dan sombong. Mungkin hal ini telah
melukai hati Fan Zhong-pin tapi Fan Zhong-pin sendiri terlalu meremehkan ilmu silatnya."
Dengan aneh Ruan-wei bertanya:
"Siapa pak tua tanpa nama itu" Dia bisa mengajarkan ilmu silat yang membuat Tetua Fan
menjadi gentar!" Mata orang yang tangannya tinggal satu itu bersorot bingung. Dia berkata:
"Pak tua tanpa nama ini masih mengajar seorang murid yang mempunyai ilmu silat tinggi,
pintar, juga lincah tapi sayang... hhhh! Mana boleh aku menjelekkan orang lain di belakang
mereka...." 280 Tapi dengan cepat dia sudah kembali tenang dan berkata pada Ruan-wei:
"Pak tua tanpa nama ini di dunia persilatan termasuk orang yang sangat aneh. Hanya beberapa
orang saja yang pernah bertemu dengannya, yang lain hanya tahu kalau di Qing-hai ada seorang
pak tua tanpa nama yang sifatnya aneh."
Ruan-wei tiba-tiba teringat sesuatu, dia tertawa dan bertanya:
"Xiao Wei belum mengetahui nama Paman?"
Orang yang tangannya tinggal satu itu tertawa:
"Aku menanyakan namamu tapi Aku sendiri lupa memperkenalkan diri. Namaku adalah Zhongjing,
aku tinggal di Jin-ling, aku mempunyai istri dan seorang putri. Mertua perempuanku tinggal
bersama kami." "Paman Zhong, kau datang jauh dari Jin-ling, benar-benar bukan hal mudah."
"Ketika di Jin-ling, aku mendengar ada seorang tetua yang selama 10 tahun tidak pernah
bertemu, muncul di sini maka istriku menyuruhku ke sini untuk melihat. Jika tetua ini muncul di
tempat lebih jauh pun, aku tetap akan datang untuk melihatnya. Jika bukan karena tetua ini
mengobatiku, seumur hidup aku hanya tinggal di ranjang dan menjadi orang cacat."
Zhong-jing mengganti topik pembicaraan:
"Adik kecil, mengapa kau meninggalkan keluargamu dan berkelana di dunia persilatan, dan
mencari guru untuk belajar ilmu silat?"
Wajah Ruan-wei terlihat sedih:
"Aku sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Ibuku dibunuh, adik laki-laki dan adik perempuan
sudah terpencar entah ke mana, dan... dan... siapa ayah kandungku pun, aku tidak tahu...."
"Apakah ayah kandungmu bukan bermarga Ruan?"
Ruan-wei menggelengkan kepala: "Aku meninggalkan kampung halaman karena ingin belajar
ilmu silat demi membalaskan dendam ibuku. Alasan satu lagi adalah mencari ayah kandungku.
Ketika ibu meninggal, dia memberitahuku kalau ayah kandungku bermarga Lu...."
Degan terkejut Zhong-jing berdiri. Dengan suara gemetar dia bertanya:
"Apakah kau benar-benar bermarga Lu?"
Karena Zhong-jing berdiri, dari loteng dia bisa melihat jelas pejalan kaki yang lalu lalang. Tibatiba
di antara pejalan kaki itu terlihat sosok tinggi besar memakai baju pelajar juga berwajah
tampan. Dia adalah tetua yang dicarinya setengah mati.
Dengan terburu-buru dia keluar tapi tidak lupa berpesan kepada Ruan-wei:
"Jangan pergi dulu, ada hal sangat penting yang ingin kubicarakan denganmu. Sekarang aku
ada urusan penting, sebentaraku akan kembali...."
Dia berlari turun dari loteng. Dari atas loteng Ruan-wei melihat Zhong-jing berlari ke arah orang
yang dicarinya. Kuda yang ditungganginya pun lupa dibawa.
Dengan penuh tanda tanya Ruan-wei duduk kembali, 'Ada apa sehingga dia harus pergi dengan
tergesa-gesa" Apakah telah terjadi sesuatu" Apa yang membuatnya terkejut" Sepertinya dia telah
melihat tetua yang dicarinya! Tapi begitu mendengar aku bermarga Lu, kenapa dia begitu
terkejut" Ada hal penting apa yang ingin dibicara-kan denganku?"
Matahari sudah terbenam, malam sudah tiba. Ruan-wei masih terus menunggu di rumah makan
itu tapi Zhong-jing belum kembali. Rumah makan akan tutup, terpaksa Ruan-wei meninggalkan
rumah makan ini. Sambil menuntun kuda Zhong-jing, dia kembali ke penginapan.
Malam sudah tiba. Pejalan kaki masih berlalu lalang.
Dengan susah payah Ruan-wei baru tiba di penginapan tapi dari tidak jauh dari sana ter-dengar
ada suara perempuan yang memanggil.
"Ruan-wei! Ruan-wei!..."
Ruan-wei menoleh. Jalan masih ramai, siapakah yang memanggilnya" Karena Ruan-wei tidak
kenal dengan seorang gadis pun, mungkin Ruan-wei telah salah dengar.
Dia masuk ke penginapan dan berpesan agar pelayan mengurusi kuda yang dibawanya. Barang
yang terikat di punggung kuda diturunkan dan dibawanya masuk ke dalam.
Begitu masuk kamarnya, dia mulai merasa tidak enak badan, kepalanya sakit. Setelah duduk,
dia mulai batuk kemudian dari mulutnya mengeluarkan darah lagi. Ternyata luka dalamnya masih
belum sembuh total walaupun sudah diobati oleh Ba-gua-zhang Fan Zhong-pin dadanya tetap
sakit. Setelah melewati satu hari penuh, lukanya kambuh lagi.
281 Baru saja dia mengeluarkan satu tangannya untuk menyeka darah di bibirnya, pintu kamarnya
diketuk. Karena mengira yang datang adalah pelayan maka dia berseru:
"Masuklah!" Pintu kamar terbuka, muncul seorang gadis cantik yang kepalanya dibungkus oleh kain dan
berbaju ungu ketat. Di balik punggungnya terselip pedang. Ruan-wei segera mengenali gadis ini.
Gadis ini adalah penolongnya dan yang membawa meninggalkan tempat tinggal Gongzi Shi-santai-
bao, nona Gongsun. Dia juga yang mengatakan kalau ilmu silat Ruan-wei sangat rendah.
Ruan-wei segera menyembunyikan sapu tangan kebelakang tubuhnya, kalau tidak, nona itu
pasti akan menertawakannya lagi.
Karena terburu-buru membersihkan darah, di bibirnya masih tersisa darah. Sorot mata gadis ini
tajam dan dia sudah melihatnya. Dia ingin tertawa dan berkata:
"Jangan terlalu tegang, aku tahu kau terluka di tempat Paman Fan!"
Di luarnya Ruan-wei tampak sangat ramah, sebenarnya di dalam hati dia sangat tinggi hati.
Dari kata-kata nona Gongsun tadi, sepertinya nona ini sudah tahu asal usul luka dalam Ruanwei.
Karena malu, dia pun muntah darah lagi.
Gadis berpakaian ungu itu tampak sangat cemas juga terkejut. Dia berteriak:
"Tahan nafas dulu!" Kemudian dari balik baju dadanya, dia mengeluarkan sepasang botol kecil
berwarna putih kemudian dia mengeluarkan pil merah sebesar kelengkeng. Dia berkata, "Cepat
minum obat ini!" Pil ini mengeluarkan wewangian yang sedap, membuat orang yang telah mencium wangi ini
merasa segar. Ruan-wei tahu itu adalah obat untuk luka dalam. Tapi karena dia membenci gadis
ini, maka mulutnya, tetap terkatup rapat sambil menggelengkan kepala menolak memakan obat
ini. Gadis berpakaian ungu ini jadi cemas, maka dia segera menotok nadi dada Ruan-wei kemudian
tangan kirinya mendorong dahi Ruan-wei, lalu obat itu dimasukkan ke mulut Ruan-wei.
Karena Ruan-wei tidak bisa bergerak, begitu obat itu masuk ke mulutnya, dia segera
menelannya. Gadis berpakaian ungu seperti tidak tahu aturan bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh
terlalu dekat. Dia menggendong Ruan-wei dan diletakkan di atas ranjang kemudian membuka baju
luar Ruan-wei dan mencopot sepatunya. Dari kecil Ruan-wei banyak membaca buku maka dia
sangat tahu aturan yang berlaku di masyarakat. Sekarang dia diperlakukan seperti ini oleh gadis
berpakaian ungu, dia benar-benar malu dan wajahnya pun menjadi merah.
Melihat Ruan-wei begitu malu, gadis berpakaian ungu itu tertawa terbahak-bahak. Dia seorang
gadis yang teliti, setelah membuka baju dan sepatu Ruan-wei, dia pun menyelimuti Ruanwei,
benar-benar sangat telaten. Melihat gadis ini begitu baik kepadanya, Ruan-wei meiasa berterima
kasih dan diam-diam berpikir, 'Umur gadis ini lebih tua beberapa tahun dengan dariku, jika dia
mengurus aku seperti seorang kakak, mengapa kami tidak boleh dekat-dekat?" Karena berpikir
seperti ini, sikapnya tidak kaku lagi.
Gadis berpakaian ungu itu berpesan: "Tidurlah! Besok pagi kau akan sembuh, aku akan
berpesan kepada pelayan supaya jangan mengganggumu."
Gadis itu lalu keluar kamar. Begitu terbangun hari sudah siang. Ruan-wei tertidur selama 5-6
jam. Saat duduk tubuhnya terasa lebih segar, lalu dia pun duduk bersila untuk mengatur nafas.
Tubuhnya benar-benar terasa segar. Diam-diam dia merasa terkejut dan berpikir, 'Benar-benar
aneh, mengapa aku bisa mengatur nafas lebih cepat dari biasanya beberapa kali lipat"'
Sebetulnya obat yang diminum semalam adalah obat 'Long-hu-wan' (pil naga dan harimau)
yang dibuat oleh 'Fei-long-jian ke' Pendekar Gongsun yang bersembunyi selama beberapa puluh
tahun di perbatasan Xi-zhang (Tibet).
Setelah dia minum 'Long-hu-wan' kecuali tenaga dalamnya bertambah kuat 3 tahun, obat ini
melancarkan darah di sekujur tubuhnya.
Pintu kamar lalu dibuka, nona Gongsun sudah mengganti bajunya dengan baju panjang


Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna ungu, pundaknya tertutup oleh syal kulit berwarna ungu. Dia membawa makanan yang
masih mengepul dan berjalan ke arahnya.
Sarapan pagi yang panas. Gadis itu tertawa: "Apakah kau merasa lebih baik" Makanlah, kau
akan merasa lebih baik dan nyaman."
282 Karena sangat berterima kasih, Ruan-wei memanggil:
"Kakak...." Nona Gongsun malah dengan malu-malu berkata:
"Jangan panggil aku kakak. Ayahku memanggilku Lan-er, kau juga bisa memanggilku Lan-er."
Sejak kecil Gongsun Lan ikut ayahnya tinggal di perbatasan Tibet, sifatnya sudah seperti
perempuan Tibet, sangat terbuka dan ramah.
Ruan-wei memanggilnya lagi:
"Lan... Kakak Lan...."
Dia tetap tidak terbiasa memanggil Lan-er maka nona Gongsun pun mulai marah.
"Kakak Lan, sama dengan memanggil kakak juga!"
"Kakak Lan, terima kasih...." katanya lagi
Dia hanya bisa mengucapkan terima kasih, perkataan lainnya tidak bisa terucap.
Gongsun Lan jadi tertawa:
"Sudahlah, jangan terus memanggilku kakak, ayo cepat makan!"
Ruan-wei menurut, dia pun duduk dan mulai makan. Karena dari sore kemarin dia belum
makan maka dia merasa sangat lapar, makanan nya terasa wangi dan manis. Gongsun Lan yang
berdiri di sisinya ingin tertawa melihat cara Ruan-wei makan.
Ruan-wei telah menghabiskan makanan yang ada di dalam piring, tapi, dia masih merasa lapar.
Dengan malu-malu dia berkata:
"Kakak Lan, mengapa bisa mengenal Tetua Fan?"
Sambil tertawa Gongsun Lan menjawab: "Sebenarnya aku tidak sengaja tahu kalau kau terluka.
7 tahun yang lalu, Paman Fan pernah datang ke Tibet, ke rumahku. Setiap hari beliau selalu
mengobrol dengan ayahku. Saat itu usiaku baru 10 tahun, setiap hari aku selalu berada di
Senopati Pamungkas 29 Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Pendekar Binal 4
^