Pencarian

Terbang Harum Pedang Hujan 15

Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long Bagian 15


Bayi itu sudah berhenti menangis, tenda di sebelah menjadi sangat sepi, tidak ada seorang pun
yang bicara, tiba-tiba Nona Lan teringat pada sakit laki-laki dan kondisinya, melihat dia masih
dengan keadaan bingung melihatnya.
Karena itu Nona Lan meneteskan air mata dan berkata:
"Ruan-wei! Ruan-wei! Apakah kau tidak mengenali Kakak Lan" Apakah kau tidak kenal...."
Tapi Ruan-wei masih tetap bengong melihatnya. Dia tidak ingat kejadian yang telah lalu tapi
mulutnya selalu memanggil:
"Adik Yi... AdikYi... Adik Yi...."
Semenjak ditolong oleh Nona Lan dari tumpukan salju, setiap kali terbangun dia selalu
berteriak: "AdikYi... AdikYi...."
Ternyata Nona Lan adalah Gongsun Lan yang disangka Ruan-wei berpura-pura baik tapi
tujuannya adalah mengambil buku rahasia Tian-long-shi-san-jian miliknya.
Semenjak Ruan-wei menyangka kebaikan Gongsun Lan cuma pura-pura maka Gongsun Lan
ingin menjelaskan hal sebenarnya kepada Ruan-wei. Dia terus mencari Ruan-wei ke mana-mana
hingga ke Yun Nan, nyawanya hampir melayang tapi dia tidak berhasil menemukan Ruan-wei.
Setelah mengobati racunnya di rumah 'Ba-gua-zhang' Fan Zhong-pin, dia merasa kecewa, maka
dia pun meninggalkan pedang Fei-long-jian yang sangat disayanginya dan menitipkannya kepada
Fan Zhong-pin untuk diberikan kepada Ruan-wei. Gongsun Lan pun kembali Tibet. Gongsun Lan
adalah putri tunggal Fei-long-jian-ke, yang pasti dia tidak ingin jauh dari ayahnya dan juga tidak
ingin berkelana di Zhong-yuan.
Fei-long-jian berada di sisi Ruan-wei, semenjak Gongsun Lan melihat Fei-long-jian, dia baru
tahu kalau laki-laki yang sedang pingsan itu adalah Ruan-wei yang waktu itu baru berusia 14
tahun. Ruan-wei sekarang sudah lebih tinggi dan lebih dewasa. Pertama kali saat bertemu dengan
Ruan-wei dia merasa sangat senang dan mengira, begitu dia terbangun mereka akan mengobrol
tentang semua hal semenjak mereka berpisah. Tapi sesudah Ruan-wei sadar, dia hanya bisa
berteriak memanggil 'Adik Yi', yang lainnya dia sama sekali tidak tahu.
Hal ini membuat Nona Lan sedih, dengan cara apa pun dia berusaha bercerita, tapi Ruan-wei
hanya melotot dengan mata besar dan tidak ada reaksi sedikit pun.
Air matanya mengalir. Perempuan Tibet itu berkata:
"Nona Lan, jangan menangis, pendekar perempuan nomor satu di Tibet tidak akan menangis
karena hal ini!" Gongsun Lan menghapus air matanya dan berkata kepada perempuan Tibet itu:
"Wu-mao-shao, apakah angin besarnya sudah berhenti?" bahasa yang digunakan Nona Lan
adalah bahasa Tibet. "Sudah lama berhenti, Nona Lan."
"Apakah kerbau dan biri-biri yang kita pelihara masih ada?"
Dengan senang perempuan Tibet itu berkata:
"Kita benar-benar dilindungi oleh Tuhan, kerbau kita masih utuh, biri-biri hanya hilang 2 ekor."
Nona Lan mengeluarkan uang dan memberikannya kepada perempuan Tibet itu:
"Ketika aku datang kemari, kudaku terbawa angin dijalan. Aku titipkan uang ini kepada Kakak
Wu-mao, tolong belikan aku 2 ekor kerbau Li."
"Baiklah! Aku akan berpesan kepada Wu-mao untuk menyiapkan kerbau Li."
Dengan lembut Nona Lan membantu Ruan-wei memakai mantel kulit berwarna hitam, topi kulit,
penutup telinga sampai dahi kemudian pedang dan mantel diikat dengan kencang. Jika malam
mantel besar ini bisa dijadikan selimut.
Semua sudah selesai dipersiapkan. Karena Gongsun Lan sering berada di dataran tinggi Tibet
maka makanan kering dan peralatan untuk menginap di luar disiapkan dengan baik.
Ruan-wei seperti patung, semua diatur oleh Nona Lan, dia tidak bicara juga tidak bergerak,
ditarik oleh Gongsun Lan, dia ikut keluar dari tenda.
Wu Mao di luar sudah menyiapkan 2 ekor kerbau Li. Begitu Nona Lan keluar, dia segera
membawakan barang-barang Nona Lan dan diikat dengan kencang di tubuh kerbau.
397 Perempuan Tibet itu membawa 2 kantong yang terbuat dari kulit sapi. Kulit itu berwarna putih,
itu adalah kulit kerbau Li berwarna putih yang mahal. Kulit kerbau ini jika sudah diisi dengan teh
panas walaupun udara dingin tapi teh tetap panas dalam waktu satu malam.
Dia memberikannya kepada Nona Lan dan berpesan:
"Di dalam ada teh panas yang baru dimasak!"
Gongsun Lan sangat berterima kasih tapi sifat suku bangsa Tibet tidak suka dengan sikap
sungkan. Maka Gongsun Lan hanya berkata:
"Terima kasih!"
Tapi ketika Gongsun Lan naik ke atas kerbau, dia memberikan Wu-mao uang emas dan Wu
Mao berteriak: "Dewi Lan, Dewi Lan, aku tidak mau!" Tapi Nona Lan sudah pergi sambil membawa tali kekang
kerbau yang ditunggangi Ruan-wei. Perempuan Tibet itu berkata:
"Sudahlah! Sudahlah! Nona Lan tidak pernah menerima pemberian orang lain begitu saja!"
Begitu Gongsun Lan pergi, suami istri itu dengan cepat membongkar tenda, membereskan
barang-barang mereka. Mereka berencana sebelum pagi harus tiba di tempat yang berumput.
Di dataran tinggi ini di mana-mana hanya terlihat salju. Walaupun belum hujan salju tapi hujan
angin selama beberapa hari yang lalu membuat bumi tertutup salju.
Gongsun Lan mengikat tali kerbau Ruan-wei ke belakang kerbaunya. Dengan begitu kerbau
yang ada di belakangnya tidak akan lepas dan tersesat. Hari semakin malam, mereka belum keluar
dari lingkaran salju, tapi mulai terlihat ada pohon besar. Hutan yang ada di sini ditumbuhi dengan
pohon-pohon yang tahan dingin seperti cemara dan lainnya.
Gongsun Lan tahu malam ini mereka tidak akan bisa tiba di tempat yang ada pasarnya. Dia
takut Ruan-wei tidak tahan dengan udara dingin, maka dia mencari sebuah kaki gunung untuk
memasang tenda. Ruan-wei terlihat sangat tenang dalam perjalanan setengah hari ini. Dia duduk dengan tegak di
punggung kerbau, dan tidak terlihat mengantuk, dia tetap tidak bicara, dengan mata melotot dia
terus melihat ke depan. Gongsun Lan memapahnya turun, dia pun turun. Melihat Ruan-wei seperti tidak kedinginan
malah membuat Gongsun Lan merasa aneh karena dia sendiri mulai merasa kedinginan.
Dengan aneh Gongsun Lan bertanya:
"Apakah kau tidak merasa dingin?"
Tapi Ruan-wei tidak menjawab. Gongsun Lan menarik nafas:
"Sebenarnya kau sakit apa?"
Tenda dilapisi dengan kulit yang sangat tebal. Tenda ini sangat kecil, biasanya tenda ini
digunakan untuk seorang. Gongsun Lan membuka mantel dan sepatu kulit Ruan-wei dan
membiarkannya berbaring. Tidak ada tempat untuk bergerak. Jika mereka berdua tidur di tempat
ini harus saling berpelukan baru bisa meletakkan sedikit makanan dan peralatan-peralatan lainnya.
Gongsun Lan mengeluarkan kayu bakar. Di luar tenda dia membuat api unggun. Api besar dan
terang, udara menjadi panas sudah masuk ke dalam tenda. Tenda kecil terasa hangat seperti
musim semi. Karena di belakang tenda adalah dinding gunung maka udara panas tidak menyebar
keluar. Hal ini membuat Gongsun Lan merasa panas dan dia pun membuka mantel kulitnya.
Hari berlalu lagi, sepanjang jalan Gongsun Lan berburu beberapa binatang kecil menggunakan
senjata rahasianya, dia mengupas kulit binatang dan membersihkan organ dalam binatang.
Sekarang dia memoles minyak sapi ke atas tubuh binatang itu untuk dipanggang.
Daging terbakar dan wangi. Gongsun Lan membagi daging itu menjadi dua bagian kemudian
mengeluarkan makanan kering. Teh di dalam kantong kulit masih terasa panas dan dia
menuangkan teh itu ke dalam cangkir yang terbuat dari kayu. Kemudian dia memapah Ruan-wei
dan menyuapi Ruan-wei. Sesudah makan, Gongsun Lan membantunya tidur lagi. Kali ini Ruan-wei tidak menurut, dia
ingin duduk bersila. Ketika Gongsun Lan tidak sengaja mengenai dadanya, dia baru tahu ternyata
aliran ada udara bergejolak. Ternyata Ruan-wei sedang mengatur nafas.
Ruan-wei tidak seperti biasanya, duduk bersila dan matanya dipejamkan. Dengan termenung
dengan dua mata melotot dia mengatur nafas. Kelihatannya dia belum kembali normal. Gongsun
Lan tidak percaya orang yang hilang ingatan bisa mengatur nafas seperti itu. Biasanya orang yang
398 memiliki tenaga dalam yang tinggi baru akan seperti itu, apakah tenaga dalam Ruan-wei sudah
mencapai tahap itu" Gongsun Lan tidak tahu kalau Ruan-wei telah belajar ilmu sakti yoga. Yoga tidak seperti ilmu
silat di Zhong-yuan. Jika dia tahu Ruan-wei sering duduk di punggung kerbau dan mengatur nafas,
dia akan lebih terkejut lagi.
Gongsun Lan tidak tahu keadaan Ruan-wei maka dia selalu mengkhawatirkan keadaan Ruanwei.
Dia juga tidak mau mengganggu Ruan-wei. Gongsun Lan memakan sisa makanan Ruan-wei
agar dia sendiri tidak kelaparan.
Setelah makan, rasa lelah mulai menyerang. Kayu bakar ditambah. Setelah mengatur nafas,
Ruan-wei berbaring untuk tidur. Gongsun Lan juga kelelahan dan tertidur.
Tengah malam Ruan-wei beberapa kali terbangun, dia selalu memanggil:
"AdikYi, AdikYi!"
Gongsun Lan dengan sabar merawat Ruan-wei dan mengelus-elus nadi Tai Yang agar Ruanwei
bisa tertidur nyenyak. Gongsun Lan baru bisa tertidur dini hari.
Siang hari Gongsun Lan baru terbangun, api unggun di luar sudah padam tapi dia merasa
tubuhnya hangat. Begitu membuka matanya, dia baru sadar ternyata dia sedang berpelukan
dengan Ruan-wei. Dia merasa sangat malu karena ini pertama kalinya dia berpelukan dengan lakilaki.
Untung mereka memakai baju tebal jika tidak Gongsun Lan benar-benar malu.
Dengan malu dia membangunkan Ruan-wei. Begitu mata Ruan-wei terbuka, Gongsun Lan
merasa lebih malu lagi. Dia cepat-cepat membantu Ruan-wei memakai mantel kulit dan juga
membereskan barang-barang, mengambil poci yang semalam diletakkan di sisi api unggun. Dari
poci dia menuang air hangat dan membantu Ruan-wei mencuci muka kemudian menyikat gigi.
Ruan-wei benar-benar diperlakukan seperti anak kecil, semua harus diurus oleh Gongsun Lan.
Siang hari mereka baru berangkat. Belum sampai sore, mereka sampai di sebuah kota. Kota itu
kecil, penduduknya juga sedikit. Kebanyakan mereka adalah pengembala dan pemburu.
Kebanyakan mereka mengenali Gongsun Lan. Melihatnya datang, dengan hormat mereka
memanggil: "Dewi Lan, apa kabar?" Perempuan-perempuan melihatnya, sambil tertawa mereka memanggil:
"Nona Lan, sudah lama kita tidak ber-jumpa!"
Gongsun Lan menyapa mereka satu per satu sambil tertawa tapi mereka merasa aneh
mengapa Nona Lan membawa seorang laki-laki idiot. Tapi tidak ada yang berani bertanya kepadanya.
Gongsun Lan menukar dua ekor kerbau Li dengan 2 kuda Tibet yang tinggi dan besar dan
tergesa-gesa melanjutkan perjalanan lagi. Pagi hari berjalan, malam mereka tidur. Malam hari
Gongsun Lan masih harus mengurusi Ruan-wei. Mereka tetap tidur di dalam tenda kecil itu.
Setelah beberapa hari berlalu, pada malam hari Ruan-wei jarang terbangun. Gongsun Lan sudah
terbiasa dengan Ruan-wei dan tidak malu-malu lagi seperti seorang gadis yang belum menikah.
Lama kelamaan walaupun Ruan-wei masih lupa ingatan tapi dia mulai mengenali Gongsun Lan.
Jika Gongsun Lan meninggalkannya sebentar, saat kembali Ruan-wei akan tersenyum kepadanya.
Ada suatu kali karena Gongsun Lan pergi berburu binatang dan lama tidak pulang, Ruan-wei pergi
menelusuri jalan yang dilalui Gongsun Lan. Pada waktu Gongsun Lan pulang dia tidak melihat
Ruan-wei, dia terkejut dan berteriak mencarinya ke mana-mana. Dengan susah payah baru dia
baru berhasil menemukan Ruan-wei. Semenjak itu Gongsun Lan tidak berani meninggalkannya
lagi. Sepuluh hari telah berlalu, mereka tiba di Gunung La-wa. Dari Gunung La-wa hingga Wu-ke-lun
harus berjalan 3 hari lagi baru akan terlihat Long Shan.
Gunung La-wa tidak tinggi tapi luas.
Gunung itu gersang, jarang ada salju, maka di waktu malam bisa melihat gunung yang hijau.
Siang hari mereka mulai mendaki gunung. Saat malam tiba mereka belum keluar dari gunung itu.
Terlihat Gongsun Lan sangat cemas. Dia seperti-nya sangat takut dengan tempat ini. Pegunungan
ini sangat luas, jalannya pun berliku-liku. Ternyata mereka tersesat, terpaksa harus menginap di
dalam hutan cemara. Begitu hari terang, mereka baru bisa mencari jalan keluar.
Gongsun Lan mengumpulkan kayu bakar dan di sekeliling tenda memasang beberapa api
unggun, setelah itu dia baru berani membawa Ruan-wei tidur.
399 Tengah malam, Ruan-wei terkejut dan bangun. Dia terduduk. Gongsun Lan yang tidur dalam
pelukan Ruan-wei ikut terbangun. Dia mengira Ruan-wei akan berteriak tapi kali ini Ruan-wei
hanya diam. dia hanya melotot dan melihat keluar tenda. Gongsun Lan tahu di luar tenda ada
sesuatu yang tidak beres. Begitu membuka pintu tenda, terlihat di sekeliling tenda penuh dengan
serigala. Jumlah mereka mungkin ada ribuan ekor.
Serigala biasanya takut dengan api. Jika di luar tenda tidak dipasang api unggun mungkin sejak
tadi serigala-serigala itu sudah masuk ke dalam tenda.
Serigala itu terlihat kelaparan. Begitu mencium ada bau manusia, mereka mengelilingi tenda.
Lidah mereka terjulur keluar dengan panjang dan mereka tidak mau meninggalkan tempat itu.
Wajah Gongsun Lan mulai pucat, dia tidak menyangka gerombolan serigala di Gunung La Wa
akan berkumpul di sini. Jumlah mereka semakin bertambah. Kayu bakar memang sudah disiapkan
banyak tapi hanya bisa bertahan sampai besok pagi, begitu kayu bakar habis, gerombolan serigala
itu akan menyerang mereka.
Hari mulai terang, api unggun semakin mengecil. Dalam hati Gongsun Lan berpikir, kecuali
menghadapi gerombolan serigala itu, tidak ada cara lain supaya bisa keluar dari kepungan serigala
liar itu. Maka dia mulai mengumpulkan sisa kayu bakar, membereskan tenda. Ruan-wei duduk di
tengah. Gongsun Lan memasang kayu bakar di sekeliling Ruan-wei, kemudian mengikat baju dan
celana dengan kencang, pedang di tangan. Api semakin kecil. Dini hari tidak terlihat begitu terang.
Gerombolan serigala mulai bergerak, mereka sering melolong karena kelaparan. Ada beberapa
ekor serigala mendekati api.
Dengan cepat Gongsun Lan menyalakan api unggun yang mengelilingi Ruan-wei. Salah satu api
unggun yang semalam dipasang baru padam. Puluhan serigala setinggi pinggang menyerang
mereka. Untung Gongsun Lan sudah siap, segera pedangnya ditusukkan.
Setiap serangan Gongsun Lan mengenai tenggorokan serigala, maka 10 ekor lebih serigala
langsung mati. Tubuh serigala yang mati mengganggu loncatan Gongsun Lan. Kecuali membunuh
serigala, dia masih harus menendang bangkai-bangkai serigala yang mati agar berada di luar
jangkauan api unggun. Sifat serigala memang kejam, melihat ada serigala yang mati ditendang jatuh, mereka segera
memakannya. Seekor serigala mati baru beberapa detik mati sudah dimakan bersih oleh temannya
sendiri. Darah serigala mengalir ke mana-mana.
Serigala yang ada di belakang karena tidak kebagian dan mencium darah maka sifat buas
mereka pun muncul. Mereka mulai menyerang ke api unggun. Karena berdesak-desakan, ratusan
serigala sudah berada di dalam lingkaran api unggun. Api unggun diinjak-injak hingga padam.
Begitu api mati, serigala mulai menyerang, 2 ekor kuda tidak bisa lolos, hanya sekejap 2 ekor
kuda dimakan bersih. Yang tersisa hanya 2 pelana, tulangnya pun tidak tersisa. Karena membunuh
serigala terus, mata Gongsun Lan mulai menjadi merah. Pedang diletakkan di depan untuk
berjaga, begitu serigala datang, kilauan pedang segera terlihat. Kadang-kadang hanya terkena
sebelah kaki, tapi serigala yang terluka itu segera dimakan oleh teman mereka.
Ruan-wei yang duduk di tengah-tengah lingkaran api karena api semakin besar maka serigala
tidak berani mendekat. Sementara waktu dia terlihat masih aman-aman saja. Tapi Ruan-wei
seperti tahu karena kedua matanya melotot dengan besar melihat Gongsun Lan yang sedang
membunuh serigala, kadang-kadang sorot mata-nya mengeluarkan perasaan. Sorot seperti itu
belum pernah terlihat semenjak dia sakit. Karena sorot matanya selalu terlihat datar dan tidak ada
perasaan. Terakhir kaki Gongsun Lan mulai terasa lemas begitu pula dengan tangannya, cahaya pedang
Gongsun Lan terlihat semakin lambat. Kain pembungkus kepala sudah hilang entah ke mana,
rambutnya acak-acakan, tubuhnya penuh dengan darah serigala.
Seekor serigala menyerang Gongsun Lan dari belakang, tiba-tiba Ruan-wei berteriak:
"Bahaya!" Ruan-wei dengan cepat mengayun tangannya, pedang membunuh serigala seperti membelah
labu, bersih, dan cepat. Dalam jarak 5 meter serigala tidak berani mendekat.
Tapi jumlah serigala semakin banyak, sepertinya serigala yang ada di Gunung La-wa semua
datang ke sana. Ruan-wei memang belum begitu sadar, tapi ilmunya sedikit pun tidak berkurang.
Semua yang dia keluarkan adalah jurus Tian-long-shi-san-jian.
400 Yang dia pikirkan di otaknya adalah bagaimana menolong Gongsun Lan dia ingin mendekati ke
arah Gongsun Lan. Sambil membunuh serigala dia berjalan mendekati Gongsun Lan.
Sampai terakhir pedang Gongsun Lan menjadi tumpul. Karena pedang terus menggulung ke
atas, jika tidak menggunakan tenaga besar tidak akan bisa membuat serigala terluka. Lama
kelamaan tenaga Gongsun Lan habis dan ilmu silatnya semakin melambat. Keadaan sangat
membahayakan. Melihat Ruan-wei yang membunuh hampir 500 ekor serigala. Jarak dengan Gongsun Lan sekitar
5 langkah lagi. Gongsun Lan sudah kehabisan tenaga. Seekor serigala menggigit pedangnya. Dia
mencabut pedang, serigala lain menyerangnya. Karena terkejut, berteriak pun sudah tidak bisa.
Dia berpikir kali ini dia pasti akan mati, tiba-tiba merasa tubuhnya terasa sangat ringan seperti
terbang. Begitu melihat dengan benar ternyata Ruan-wei sudah menggendong dia. Karena agak
tenang dia memeluk Ruan-wei dan rasa lelah membuatnya tertidur.
Ruan-wei tahu serigala tidak akan bisa terbunuh sampai habis, satu-satunya cara adalah kabur
dari sana. Karena itu dia menggendong Gongsun Lan. Dia menginjak tubuh serigala, dia meloncat
di atas serigala. Ilmu meringankan tubuh Ruan-wei memang tinggi walaupun sedang menggendong Gongsun
Lan tapi dia terlihat ringan seperti tidak membawa apa-apa. Hanya sebentar dia sudah meloncat
meninggalkan gerombolan serigala. Setelah turun, dia segera berlari, serigala masih terus
mengejar mereka tapi setelah puluhan meter mereka sudah tertinggal jauh dari Ruan-wei.
Angin dingin terus menyerang hingga kedalam tulang. Karena kedinginan Gongsun Lan pun
terbangun. Begitu matanya dibuka, dia benar-benar merasa malu.
Ruan-wei tidak tahu Gongsun Lan sudah bangun. Begitu menaruh Gongsun Lan, baju bagian
pundaknya disobekkan. Baju ikut tersobek, terlihat tubuhnya yang mulus. Buah dadanya pun
terlihat. Tapi Ruan-wei sama sekali tidak tertarik. Dia sedang memeriksa luka Gongsun Lan di pundak
yang digigit serigala tadi. Gigi serigala masih tertinggal dan menancap di pundak Gongsun Lan.
Setelah lama Ruan-wei baru bisa mencabut semua gigi itu dan membersihkan lukanya.
Begitu gigi serigala dicabut, darah pun bercucuran. Gigi serigala mengandung racun. Jika darah
yang berwarna ungu tidak mengalir bersih, maka Gongsun Lan akan terkena racun. Tapi darah
mengalir sangat pelan, Ruan-wei tidak mengerti cara untuk membersihkan racun maka dia hanya
bisa menyedot darah yang beracun kemudian darah kotor ini dibuang. Lalu berpindah ke luka lain
dan menyedot lagi. Tangan Gongsun Lan dipegang dan disedot. Hal ini membuat wajah Gongsun


Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lan menjadi merah tapi demi Ruan-wei dia juga tidak takut kotor. Gongsun Lan merasa berterima
kasih. 10 hari lebih bersusah payah mengurus dan merawatnya, sekarang semua menjadi
perasaan yang lembut. Perasaan berputar di dada menjadi perasaan manis. Melihat darah sudah
tidak mengalir lagi, Ruan-wei berhenti menghisap. Dia dengan bengong melihat Gongsun Lan.
Ketika Gongsun Lan membunuh seigala, dia tidak menggunakan mantel kulit, hanya
menggunakan rompi. Karena jika memakai mantel dia tidak bisa bergerak dengan leluasa.
Sekarang rompinya habis tercakar oleh serigala maka dia menarik baju yang sudah sobek untuk
menutupi pundak. Tapi karena terlalu kuat, pundak sudah tertutup malah bagian dada terlihat.
Ketika dia sedang merasa malu, terdengar Ruan-wei berkata:
"Pakailah baju ini!"
Dengan malu-malu Ruan-wei melihat dan Gongsun Lan menerima mantel pemberian Ruan-wei
dan mengucapkan terima kasih.
Karena tidak ada yang bicara, maka Gongsun Lan berkata:
"Adik Wei...." "Kau memanggil siapa?" dengan bengong Ruan-wei bertanya.
"Aku memanggilmu!" teriak Gongsun Lan.
"Namaku Adik Wei?" tanya Ruan-wei.
"Bukankah namamu Ruan-wei?"
"Namaku Ruan-wei" Siapakah Ruan-wei?"
Gongsun Lan melihat Ruan-wei seperti kebingungan dan bukan pura-pura. Maka Gongsun
Lan pun bertanya: "Siapa namamu?"
401 "Aku tidak tahu."
"Apakah kau tahu siapa Adik Yi?"
Ruan-wei terpaku kemudian seperti sangat sedih berkata:
"Adik Yi... Adik Yi... Adik Yi...."
Gongsun Lan melihat dia kembali termenung. Untuk membantunya mengingat masa lalu, dia
masih terus bicara: "Siapa AdikYi?"
Ruan-wei yang sudah dewasa tiba-tiba menangis:"Dia...d ia... adalah... seorang... anak yang...
sangat baik...." "Apakah kau tahu siapa anak itu?"
Ruan-wei menggelengkan kepala:
"Aku tidak tahu."
Sambil meneteskan air mata, Gongsun Lan berkata:
"Mengapa kau tidak tahu" Ruan-wei adalah namamu. Kau adalah Ruan-wei, kau harus tahu!
Harus tahu!" Ruan-wei menghapus air mata Gongsun Lan dan pelan-pelan berkata:
"Jangan menangis! Jangan menangis! Aku akan berpikir pelan-pelan siapa aku sebenarnya.
Kau... kau... jangan menangis...."
Gongsun Lan memegang tangannya dan meletakkan di bibirnya:
"Asalkan kau bisa pulih, aku rela umurku lebih pendek 10 tahun. Aku mohon... kepada Tuhan...
bantulah dia...." Angin gunung masih berhembus, di sini adalah kaki Gunung La Wa. Setengah hari lagi mereka
akan tiba di kota Wu-ke-lun.
Sambil memapah Ruan-wei, Gongsun Lan dan Ruan-wei bersama-sama berjalan ke Wu-ke-lun.
Di bawah sinar matahari musim dingin, mereka melewati padang rumput yang luas. Di padang
rumput masih bisa melihat gunung salju. Rumput liar di dataran tinggi ini mempunyai daya tahan
terhadap cuaca dingin. Walaupun sudah musim dingin tapi rumput-rumput tidak layu dan kering.
Seorang remaja Tibet menunggang kuda sambil bernyanyi.
Ketika dia sedang bernyanyi dengan riang, terdengar ada yang memanggil:
"Ke-li-wu! Ke-li-wu!" Dia mencari sumber suara ini. Dari arah Gunung La-wa datang 2 orang
Han. Begitu mereka dekat, dia seperti orang gila berteriak:
"Bibi Lan! Bibi Lan!"
Dengan cepat dia menunggang kuda ke depan. Begitu sampai di depan Gongsun Lan, dia
menghentikan kudanya. Kuda berhenti, dengan lincah Ke-li-wu turun dan berlutut.
Di Tibet hormat yang paling tinggi adalah mencium jari kaki orang yang dihormati tapi Ke-li-wu
tidak berani mencium. Beberapa tahun ini tidak ada seorang laki-laki Tibet yang pernah
memegang Gongsun Lan. Sambil tertawa Gongsun Lan bertanya: "Apakah ibumu baik-baik saja, Ke-li-wu?"
Ke-li-wu berdiri dan merasa aneh mengapa Bibi Lan hari ini tidak seperti biasanya. Bibi Lan
jarang tertawa tapi hari ini dia tertawa begitu manis seperti bunga di gurun salju.
Dengan terpaku dia melihat Gongsun Lan, Gongsun Lan tertawa sambil marah:
"Anak kecil, kau lihat apa" Cepat carikan 2 ekor kuda untuk bibi!"
Ke-li-wu tertawa. Karena dia melihat Bibi Lan sedang berpengangan tangan dengan laki-laki di
sisinya, jika berita ini tersebar akan membuat pemuda Wu-ke-lun terkejut.
Ke-li-wu bersiul dengan kencang, segera puluhan kuda Tibet berlarian datang. Pengembala
kuda juga ikut kemari. Melihat Gongsun Lan, mereka segera turun dari kuda dan bersujud: "Dewi,
apa kabar?" Ke-li-wu sudah berpesan agar memilihkan 2 ekor kuda putih yang gagah. Sambil tawa Gongsun
Lan bertanya: "Apakah kau bisa menunggang kuda tanpa pelana?"
"Belum pernah tapi aku kira aku bisa," jawab Ruan-wei.
"Kau naik dulu, hati-hati!"
402 Ruan-wei seperti burung terbang dan meloncat ke atas punggung kuda. Kedua tangan-nya
menarik surai kuda. Kuda itu terus memberontak. Jika tidak terbanting hingga jatuh berarti kuda
itu sudah jinak. Menjinakkan kuda adalah hal yang sangat seru. Maka Ke-li-wu dan beberapa pengembala
mendekat dan berteriak untuk mendukung Ruan-wei.
Ruan-wei belum pernah menunggang kuda liar. Awalnya beberapa kali dia hampir terbanting
dia tahu kuda ini masih sangat liar maka dua kaki dengan kuat menjepit perut kuda. Kuda tidak
tahan jepitan kaki Ruan-wei maka tidak lama kemudian kuda ini pun bisa ditaklukan.
Pengembala-pengembala belum pernah melihat ada orang dengan cara seperti ini menaklukan
kuda, maka dalam hati mereka berseru:
"Sahabat Dewi Lan benar-benar luar biasa!"
Gongsun Lan sambil tertawa berkata:
"Ke-li-wu, pilihkan 2 ekor kuda terbaik, Bibi ingin pergi ke Kan-long-shan."
"Bibi Lan, besok ada rapat besar yang diadakan 1 tahun sekali untuk memilih laki-laki Wu-kelun
paling pemberani. Apakah Bibi Lan tidak ingin menontonnya?"
Gongsun Lan menggelengkan kepala:
"Besok kami akan berangkat ke Kan-long-shan, jangan lupa pilihkan 2 ekor kuda terbaik yang
bisa memanjat gunung."
Dia tertawa kepada Ruan-wei:
"Kami pergi dulu!" kedua kaki Ruan-wei dilonggarkan, kuda itu segera berlari. Gongsun Lan
mengikutinya di belakang.
Kuda berlari dengan kencang, walaupun kuda baru ditaklukkan dan berlari di padang rumput
luas tapi kuda itu tidak berani memberontak karena tekanan dua kaki yang kuat. Tidak lama
kemudian Gongsun Lan membawa Ruan-wei memasuki kota Wu-ke-lun.
Penduduk Wu-ke-lun kebanyakan adalah penggembala karena itu rumah tinggal mereka selalu
mengikuti binatang yang mereka gembalakan. Tapi ada juga yang membiayai orang lain untuk
menggembalakan sedangkan dia tinggal di kota.
Orang-orang Wu-ke-lun sepertinya kenal dengan Gongsun Lan. Melihat dia datang dengan
menunggang kuda, mereka segera ke pinggir, anak-anak berteriak:
"Bibi Lan! Bibi Lan!"
Gongsun Lan masuk ke sebuah tempat yang sudah dipagari. Di dalam pagar ada ratusan sapi,
kuda, dan kambing. Di belakang kandang adalah sebuah rumah besar. Begitu sampai di depan
rumah itu, Gongsun Lan sgera turun dan membiarkan kudanya pergi sendiri. Ruan-wei juga turun,
kudanya juga dilepaskan. Kudanya berlari mengikuti kuda betina milik Gongsun Lan.
Dari dalam rumah keluar sepasang suami istri yang sudah tua dan seorang gadis cantik. Begitu
nona itu melihat Gongsun Lan, dia mendekat dan memeluk juga memanggil:
"Bibi Lan!" Gongsun Lan dan nona itu tumbuh bersama, mereka sangat akrab. Gongsun Lan berteriak:
"Jangan mendekat, tubuhku sangat kotor dan bau!"
Dengan manja nona itu berkata:
"Tidak kotor, tidak kotor dan masih wangi!"
Tiba-tiba dia melihat Ruan-wei yang terus melihatnya maka wajahnya menjadi merah. Ruan-wei
tidak mengerti apa yang mereka katakan tapi dia seperti mengenali gadis ini. Maka sejak tadi dia
terus dengan melihat dengan bingung.
Perempuan Tibet tua itu membentak:
"A-mina, turunlah, jangan tidak sopan!"
Karena dilihat oleh Ruan-wei terus, maka jantung A-mina terus berdebar-debar. Dengan malumalu
dia bersembunyi di belakang perempuan Tibet itu. Gongsun Lan tertawa:
"Kenapa A-mina malu" Ibumu hanya berkata seperti itu, kau sudah merasa malu."
Perempuan Tibet dan pak tua Tibet datang memberi hormat dan bertanya:
"Nona Lan, sudah lama Anda tidak kemari."
Sepasang suami istri Tibet, mereka mengasuh Gongsun Lan dari kecil hingga besar, karena ibu
Gengsun Lan meninggal, maka Fei-long-jian Ke membawa putrinya yang masih bayi ke perbatasan
Tibet. Di Wu-ke-lun dia membeli kambing, kuda, dan sapi yang sangat banyak dan
403 mempekerjakan suami istri ini. Perempuan Tibet ini waktu itu baru melahirkan seorang putra tapi
meninggal maka susunya masih ada. Karena itu Fei-long-jian Ke meninggalkan putrinya di sini,
kemudian seorang diri tinggal bersembunyi di Kan-long-shan.
Karena Gongsun Lan meminum susu perempuan Tibet ini maka dia memanggil perempuan ini
ibu. Kemudian perempuan ini melahirkan seorang putri dan putra lagi. Anak perempuannya lebih
kecil dari Gongsun Lan, berarti seumur dengan Ruan-wei, dia adalah A mina. Yang laki-laki adalah
remaja yang mereka temui di padang rumput tadi, dia adalah Ke-li-wu, tahun ini dia baru berusia
15 tahun. Selama 21 tahun suami istri ini dengan begitu setia mengurusi peternakan Fei-long dan
makanan juga keperluan Fei-long-jian Ke di gunung. Mereka pasti mengantar keperluan Fei-long
tepat waktunya. Tahun berganti tahun, suami istri yang tadinya setengah baya ini sekarang sudah
tua. Tapi mereka tetap menganggap Gongsun Lan adalah majikan kecil mereka.
Gongsun Lan sambil tertawa menjawab: "Betul! Hampir setahun aku tidak pulang, apakah ibu
baik-baik saja?" Perempuan tuaTibet mengenang: "Karena rejeki tuan besar, kami hidup dengan baik.
Yang ibu khawatirkan adalah A-mina." Gongsun Lan tertawa:
"Lihat! Ibu khawatir dengan perjodohan-mu."
Dengan malu-malu A-mina menjawab:
"Bibi Lan, jangan menertawakanku!"
Suami istri Tibet itu dengan tertawa tapi juga marah berkata:
"Nona Lan, orang seperti A-mina yang tidak dewasa, laki-laki mana yang berani mempersunting
dia?" Sifat perempuan Tibet ini sebaliknya dengan sifat suaminya. Orang Tibet itu setelah memberi
hormat, hanya diam terkadang tertawa, tapi istrinya berbeda. Walaupun sudah berumur tapi dia
masih senang bercanda. Di depan laki-laki asing membicarakan perjodohan, A-mina benar-benar merasa malu. Dia
menutup telinga dan berkata:
"Aku tidak mau dengar! Tidak mau dengar!"
Karena kemanjaannya membuat Ruan-wei semakin termenung. Dia merasa gadis ini mirip
seseorang, siapakah dia, dia tidak tahu. Dia juga tidak tahu apa yang sedang mereka katakan
karena mereka berbahasa Tibet.
Melihat ada seorang laki-laki, perempuan Tibet itu bertanya:
"Siapakah pemuda ini?"
Dengan sekilas Gongsun Lan berkata:
"Dia adalah tamu ayah."
Begitu tahu Ruan-wei adalah tamu tuan besar, dia dan suaminya segera mendekat,
mempersilahkan Ruan-wei masuk untuk minum teh. Ruan-wei tidak mengerti apa yang mereka
katakan tapi dia tahu yang dimaksud mereka maka dia pun pelan-pelan masuk.
A-mina di belakang menarik lengan baju Gongsun Lan. Dengan bahasa Han dia bertanya:
"Apakah betul dia adalah tamu Kan-long-shan?" Sejak kecil dia sudah pintar, maka dia sering
belajar bahasa Han kepada Gongsun Lan. Sejak kecil Gongsun Lan sering pergi ke Kan-long-shan
untuk mengunjungi ayahnya maka waktu berkumpul dengan ayahnya lebih banyak dibandingkan
saat di Wu-ke-lun, karena itu bahasa Han Gongsun Lan tetap lancar dan logatnya adalah logat Beijing.
"Betul, dia adalah tamu ayahku!"
"Aku tidak percaya, dia pasti calon Bibi Lan...." kata A-mina.
"Jangan sembarangan bicara!"
A-mina tertawa dan berlari masuk ke dalam. Penduduk Tibet paling senang minum teh. Mereka
menyuguhkan teh kepada tamu tapi teh mereka tidak sama dengan teh suku bangsa Han.
Mereka memasak teh sampai mendidih kemudian dicampur dengan susu kambing atau
mentega, lalu ditambahkan sedikit garam. Maka rasa tehnya bukan teh asli. Ruan-wei meminum
teh, dia segera meletakkan cangkirnya dan melihat A-mina lalu termenung. A-mina sangat perasa,
begitu masuk dia tahu ada orang yang terus melihatnya kemudian dia melihat sepasang mata
Ruan-wei. Karena itu pandangan mereka saling beradu, dan tidak bisa lepas lagi.
404 Tawa di wajah tetap ada. Tawa ini adalah tawa yang dikenal Ruan-wei, tapi Ruan-wei tidak
ingat di mana dia pernah melihat mata ini. Dia berusaha berpikir, air matanya pun menetes.
A-mina terkejut: "Apakah air mata ini menetes karena dirinya?"
Gongsun Lan masuk sambil tertawa bertanya:
"Kau sedang memikirkan apa, A-mina?"
A-mina terkejut dan bangun. Dia tidak bisa diam di ruangan ini lagi. Dengan wajah merah dia
memberi senyum kepada Gongsun Lan tapi dengan cepat masuk ke kamarnya.
Ketika makan malam tiba, Ke-li-wu membawa dua ekor kuda hitam dengan bulunya mengkilat.
Semua barang sudah disiapkan dengan lengkap di atas kuda. Dengan senang Gongsun Lan
mencoba kuda itu di pekarangan. Ke-li-wu sangat pandai memilih kuda, Gongsun Lan terus
memujinya. Suku bangsa Tibet jika makan selalu duduk berkeliling di bawah. Di tengah-tengah terhidang
daging dan Li-ba. Li-ba adalah makanan pokok suku bangsa Tibet. Cara dibuat dari semacam
tumbuhan yang dinamakan Qing-guo, disangrai matang kemudian dijadikan tepung lalu dicampur
teh, susu sapi, dan mentega, untuk dijadikan semacam kue.
Sesudah Ruan-wei dan Gongsun Lan duduk, suami istri Tibet itu baru duduk bersama Ke-li-wu.
Begitu duduk Ke-li-wu bertanya:
"Kenapa kakak belum keluar?"
"Kakakmu mengatakan kalau dia sakit kepala, jangan memanggilnya," kata perempuan
Tibet itu. Dengan aneh Gongsun Lan berkata:
"Tadi dia baik-baik saja, mengapa tiba-tiba sakit kepala?"
"Hari ini dia memang terlihat sangat aneh, sudahlah jangan pedulikan dia!" kata perempuan
Tibet. Orang Tibet makan tidak menggunakan sumpit, mereka menggunakan tangan. Kata orang Han:
mereka makan dengan cakar. Pertama kali Ruan-wei harus makan dengan mencakar, dia tidak
terbiasa. Sambil tertawa Gongsun Lan mengajarinya. Makan malam terjadi dalam suasana akrab.
Malam hari perempuan Tibet membereskan kamar untuk Ruan-wei. Gongsun Lan berada di
kamarnya' sendiri. Walaupun jarang digunakan tapi kamar itu tetap rapi juga bersih. Malam sudah
larut, Ruan-wei tidak bisa tidur. Dia keluar dari kamar dan berjalan di pekarangan. Pekarangan
sangat luas, Ruan-wei bersandar di sebuah pohon sambil melihat bulan. Dia ingin berpikir sesuatu
tapi dia tidak bisa mengingat apa pun.
Cahaya bulan sangat terang. Cahaya melewati dedaunan menyinari wajah Ruan-wei. Wajah
Ruan-wei yang kebingungan.
Dia menarik nafas karena tidak ada yang bisa diingatnya.
Tiba-tiba terdengar suara seperti hantu gentayangan:
"Kau... kau... kenapa menghela nafas?"
Begitu melihat sosok itu ternyata adalah gadis Tibet yang ditemuinya pagi hari. Malam begitu
dingin dia hanya mengenakan pakaian tipis. Rambutnya terurai, angin sepoi-sepoi membuat
bajunya berkibar, benar-benar seperti dewi turun dari langit, begitu suci.
Karena dia memakai baju tidur putih, maka dia mirip seorang pelajar. Ruan-wei bergetar, dan
memohon: "Apakah kau bisa tertawa untukku?" Dalam suasana yang begitu indah, A-mina tidak bisa
menolak permintaan Ruan-wei. Dia tertawa indah seperti bunga tulip.
Tawa ini menggetarkan syaraf otak Ruan-wei. Hanya tawa ini yang bisa membantu Ruan-wei
menangkap masa lalunya. Karena itu dia menjadi sedikit gila. Dia memeluk A-mina dan meminta:
"Teruslah tertawa... jangan berhenti... teruslah tertawa... jangan berhenti...."
Tubuh A-mina bergetar, dengan suara gemetar, dia berkata:
"Kau... kau... apakah kau suka kepadaku..." Ruan-wei mengangguk:
"Aku senang melihatmu tertawa. Aku tidak bisa melupakan tawa ini...."
A-mina tidak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Ruan-wei. Dia hanya tahu Ruan-wei
mengatakan, dia suka kepadanya dan tidak akan melupakan dirinya. Maka dia merasa sangat
bahagia. Pelan-pelan A-mina berkata:
405 "Dari kecil aku senang bicara dengan bahasa Han karena Bibi Lan mengajariku. Sekali belajar
aku langsung bisa maka hari ini kita bisa berkomunikasi... orang lain selalu mengatakan kalau
bahasa Hanku bagus, aku juga tidak tahu mengapa bisa seperti ini, tapi adikku tidak bisa. Aku
sering berpikir mungkin aku berjodoh dengan suku bangsa Han. Maka sekali belajar langsung
lancar...." "Apakah semua ini betul" Hari ini begitu melihatmu, aku langsung tahu aku adalah orang yang
kau maksud, seperti belajar bahasa Han, aku selalu merasa kalau aku akan menikah dengan orang
Han. Kau adalah orang Han, apakah kau benar-benar suka kepadaku?"
Ruan-wei tenggelam dalam tawa yang dikenalnya, dia tidak mendengar apa yang dikatakan Amina.
Dia hanya mengangguk.

Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angin dingin berhembus. A-mina tidak malu-malu lagi, dia memeluk pinggang Ruan-wei,
dengan suara manis dia berkata:
"Hari ini ibu berkata kepadaku, dia mengkhawatirkan perjodohanku, dia tidak tahu kalau aku
sama sekali tidak senang dengan suku Tibet. Beberapa pemuda Wu-ke-lun datang untuk
melamarku, aku mengusir mereka maka tidak ada seorang pun yang berani melamarku. Ibu
mengkhawatirkan kalau aku sampai tidak menikah, aku tidak mau menikah dengan suku Tibet.
Aku ingin menikah dengan suku Han, menikah dengan...."
Ruan-wei menutup mulutnya dan berkata:
"Jangan teruskan lagi, tertawa saja!"
A-mina berhenti bicara, dia mulai tertawa, tawa yang membuat Ruan-wei menjadi bingung.
Ruan-wei ingin menangkap tawa yang membuatnya tidak bisa melupakannya. Karena itu dia
mendekat, wajah yang penuh tawa itu tidak berhenti menciumnya.
Tubuh A-mina bergetar, dia merasa tubuhnya menjadi panas. Dengan tubuh gemetar dia
mendorong Ruan-wei dan berkata:
"Tidurlah! Aku... aku... pasti akan menjadi milikmu...."
Ruan-wei tidak rela meninggalkan A-mina. Setelah lama Ruan-wei pelan-pelan masuk ke kamar.
Dia tenggelam dalam tawa manis, tawa yang sangat diingatnya....
Ketika Ruan-wei pelan-pelan kembali ke kamar, dari balik pohon lain keluar seorang
perempuan. Dengan penuh air mata dia menangis, dia... dia adalah Gongsun Lan....
0-0-0 BAB 105 Apa itu cinta" Mengapa cinta menimbulkan benci"
Hari kedua. Ruan-wei bangun sangat siang. Di luar sangat ramai seperti ada pesta.
Begitu keluar dari kamar, Ruan-wei bertemu dengan Ke-li-wu. Dengan senang Ke-li-wu
menyapa "Paman, apakah tidak ingin pergi menonton festival orang paling pemberani di Wu-ke-lun?"
Ruan-wei tidak mengerti bahasa Tibet, maka dia hanya bisa menggelengkan kepala, dia tidak
mengerti apa yang dimaksud Ke-li-wu.
Ke-li-wu yang naif dan lucu segera menuntun Ruan-wei:
"Paman, pergilah, jika Paman pergi, Bibi Lan pasti akan ikut. Jika Bibi Lan ke sana, pemudapemuda
Wu-ke-lun akan merasa bangga."
Mendengar Ke-li-wu terus berbicara, Ruan-wei tidak mengerti, sekarang apa yang harus dia
jawab" Mengangguk atau menggelengkan kepala" Terpaksa dengan tergagap-gagap dia bertanya:
"Kau... kau... kau mengatakan apa?"
Ke-li-wu tidak mengerti apa yang Ruan-wei katakan. Dia mengira Ruan-wei menolak. Dengan
sungguh-sungguh dia meminta:
"Paman, mintalah pada Bibi Lan supaya besok baru pergi ke Kan-long-shan. Dia pasti akan
pergi ke festival Wu-ke-lun karena setiap tahun dia mengikuti festival ini."
Ruan-wei tidak mengerti apa yang dikatakan Ke-li-wu, tapi dia melihat sikap Ke-li-wu sungguhsungguh.
Dalam hati dia hanya teringat pada nona Tibet itu yang bisa bahasa Han maka dia
berkata: 406 "Panggil A-mina kemari."
Begitu mendengar kata A-mina, Ke-li-wu berkata:
"A-mina tidak enak tubuh dan tidak bisa bangun, lebih baik Paman sendiri yang mencari Amina."
A-mina keluar. Dengan bahasa Tibet dia berkata:
"Ke-li-wu, jangan merepotkan dia! Dia tidak mengerti bahasa Tibet!"
"Dia itu siapa?" tanya Ke-li-wu aneh. Wajah A-mina memerah dan berkata: "Pergilah dulu ke
festival itu, nanti aku akan menasehati Bibi Lan supaya pergi."
Dengan tidak mengerti Ke-li-wu bertanya: "Bukankah pagi tadi Kakak tidak bisa bangun?"
Kemarin malam karena kedinginan maka dia jatuh sakit. Tapi karena dia merindukan Ruan-wei
walaupun sakit, dia tetap datang. Tapi dia terlihat lemas, dia membentak:
"Jangan cerewet! Pergilah!"
Dari kecil Ke-li-wu takut kepada kakaknya karena itu dia pergi sambil berlari dan masih sempat
berteriak kepada kakaknya:
"Suruh paman mengajak Bibi Lan ke festival itu!"
"Apa yang dia katakan, aku tidak mengerti?" tanya Ruan-wei.
Dengan penuh cinta A-mina bertanya: "Apakah kau... kau.. akan pergi hari ini?"
"Aku tidak tahu."
"Baiklah, bicaralah kepada Bibi Lan supaya beberapa hari lagi baru berangkat ke Kan-long-shan,
hanya dengan cara itu kau... tidak akan... meninggalkanku."
"Untuk apa pergi ke Kan-long-shan" Aku tidak mau ke sana, aku ingin melihatmu tertawa."
"Aku tidak akan tertawa. Kau selalu menyuruhku tertawa, jika aku mati karena tertawa,
bagaimana?" Tawa A-mina terlihat lebih manis lagi. Karena syaraf otak Ruan-wei tergetar, kedua tangannya
memegang pundak A-mina dan ingin mencium pipinya.
A-mina tertawa: "Aku tidak mau dicium. Semalam kau menciumku, hampir membuatku sesak nafas...."
Ruan-wei sama sekali tidak mendengar apa yang dikatakan A-mina, dia hanya ingin mencium
bibir yang membuatnya tidak bisa lupa pada seseorang.
A-mina takut ciuman Ruan-wei terlalu panas, takut membuatnya meleleh. Pelan-pelan dia
masuk kamar untuk menghindar tapi Ruan-wei kehilangan akal sehat. Dia berlari mengejar.
Kemarin malam karena masuk angin tubuh A-mina masih sakit. Karena terus bergerak juga terlalu
senang, dia merasa pusing dan tidak sanggup berdiri.
A-mina tidak tertawa, Ruan-wei segera kembali pada sikap biasa. Dia memapah A-mina yang
hampir jatuh dan bertanya cemas:
"Kenapa wajahmu begitu pucat" Ada apa?"
A-mina mengerutkan dahi: "Kepalaku sakit... tolong papah aku ke Keng...."
Orang Tiongkok utara menamakan tempat tidur adalah Keng. A-mina belajar bahasa Han
dengan logat Bei-jing maka dia menyebut tempat tidur Tibet yang empuk adalah Keng. Sebetulnya
Keng terbuat dari bata dan semen seperti ranjang. Ruan-wei memapah A-mina ke tempat tidur
yang empuk yang dilapisi dengan kulit binatang. Ruan-wei pelan-pelan melepaskan mantel tebal
A-mina. Dalam hati A-mina salah tafsir, dia mengira Ruan-wei ingin....
Dia memegang sepasang tangan Ruan-wei kemudian diletakkan di depan dadanya tidak
membiarkan Ruan-wei terus membuka bajunya. Ruan-wei pelan-pelan melepaskan tangan itu.
Jantung A-mina mulai berdebar-debar....
Tapi sebenarnya gerakan Ruan-wei bukan seperti yang diperkirakan A-mina, dia hanyai
meletakkan sepasang tangannya di atas perut A mina kemudian menggosok-gosok perut itu.
A-mina mulai merasa perutnya menjadi hangat, ada aliran hangat masuk ke dalam tubuhnya,
membuat tubuhnya merasa nyaman, hanya 20 menit, angin yang ada di dalam perut bisa
dikeluarkan oleh Ruan-wei dengan tenaga dalamnya.
Kepala A-mina merasa tidak pusing lagi, malah lebih nyaman dari sebelumnya, tapi dia tetap
memejamkan mata untuk merasakan aliran hangat yang terus bergerak-gerak.
407 A-mina tidak tahu bahwa pengobatan dengan tenaga dalam akan membuat Ruan-wei
kehilangan banyak tenaga dalam. Melihat matanya masih terpejam, Ruan-wei mengira A-mina
masih belum sembuh maka Ruan-wei bertambah cepat menggosoknya.
Sepuluh menit berlalu, A-mina merasa lemas. Hatinya juga mulai bergetar, dia tertawa:
"Kakak, jangan gosok lagi...."
Panggilan kakak dan wajah penuh tawa segera menyerang otak Ruan-wei, dia mulai melupakan
rasa lelah karena mengobati A-mina.
Begitu matanya dibuka, A-mina melihat wajah Ruan-wei penuh dengan keringat. Dia terkejut,
dan bertanya: "Kau... kenapa... kau...."
A-mina mengeluarkan sapu tangannya yang harum, dengan penuh kasih sayang dia membantu
Ruan-wei menyeka keringat.
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa, panggil aku sekali lagi."
Dua tangan menutupi wajah, dengan malu-malu A-mina memanggil lagi:
"Kakak...." Suara panggilan kakak ini terdengar oleh Ruan-wei, dia sangat kenal, dia seperti teringat kalau
dulu ada seseorang yang selalu di sisinya dan selalu memanggilnya kakak.
Karena itu dia mulai menangkap kenangan akan orang itu. Dia menyingkirkan tangan A-mina,
seperti mimpi dia berkata:
"Coba kau tertawa untuk kakak... tertawa untuk kakak...."
Wajah A-mina semakin merah. Dia tertawa malu-malu manis dan penuh godaan.
Tawa ini membuat Ruan-wei menjadi gila lagi karena itu dia mulai mencium A-mina dengan
panas. A-mina mulai terengah-engah. Darah mulai bergejolak. A-mina tidak puas dengan ciuman
Ruan-wei pada pipinya saja yang terus tertawa.
Dengan gemetar bibir yang merah perlahan mulai mendekat....
Pelan... pelan... mendekat.... Jantung A-mina hampir meloncat keluar. Darah hampir keluar dari
nadinya... akhirnya bibir bersatu". Dua bibir melekat menjadi satu....
Ruan-wei tenggelam dalam kenangannya tapi rasa panas yang ditakdirkan bagi seorang
perempuan keluar dari tubuh A-mina. Kedua tangannya seperti 2 ekor ular melilit pinggang Ruanwei...
Dia menikmati ciuman pertamanya dengan Ruan-wei.
Mereka berdua tenggelam dalam ciuman panas dan mereka lupa pintu kamar tidak ditutup.
Ketika Gongsun Lan datang memberitahu Ruan-wei kalau dia ingin segera berangkat ke Kanlong-
shan agar ayahnya bisa mengobati Ruan-wei, dia sudah berdiri lama maka semua dilihatnya
dengan jelas.... Dia tidak tahan melihat lagi, air matanya mengalir seperti air....
Gongsun Lan mundur dengan terburu-buru juga pelan-pelan menutup pintu, tidak ada suara
yang keluar maka mereka berdua sama sekali tidak tahu.
Begitu keluar dari kamar, Gongsun Lan bertemu dengan Ke-li-wu. Karena tidak bisa menutup
kesedihan hatinya, dia kembali ke kamarnya sambil menutup wajahnya. Ke-li-wu berteriak:
"Bibi Lan! Bibi Lan!"
Dia tidak tahu bahwa Bibi Lan tidak bisa berhenti untuk bicara dengannya.
Ke-li-wu kemari karena festival memilih orang pemberani sudah dimulai, tapi dia belum melihat
Bibi Lan maka dia datang untuk bertanya kepada kakaknya, dia berteriak:
"Kakak... Kakak...."
Mendengar teriakan adiknya, A-mina terkejut. Dia bukan tipe wanita cabul, maka dia
mendorong Ruan-wei. Semenjak hilang ingatan, peraturan ketat hilang dari ingatannya. Demi
menyalurkan rasa birahinya, dia melakukan apa yang dia inginkan.
A-mina mendorong Ruan-wei, wajahnya masih merah. Dia tidak berani melihat Ruan-wei.
Dengan suara kecil dia berkata:
"Adikku memanggilku, aku akan keluar untuk melihat."
Ruan-wei hanya diam. A-mina merapikan pakaiannya dan memakai kembali mantelnya, dia
langsung keluar. Ke-li-wu berteriak sambil berjalan, dia berada di depan kamar A-mina. A-mina
bertanya: 408 "Ada apa memanggilku?"
Sebenarnya Ke-li-wu ingin marah tapi begitu melihat kakaknya, dia takut dan tertawa:
"Kak, apakah penyakitmu sudah sembuh?"
A-mina ingat sebenarnya Ruan-wei datang untuk mengobatinya tapi dia mengira Ruan-wei
ingin... maka dia tertawa dengan malu.
Ke-li-wu belum pernah melihat kakaknya seperti itu, maka dia pun bingung dan berpesan:
"Kakak cepat berbaring, aku lihat penyakitmu belum sembuh."
"Aku tidak sakit, cepat katakan ada apa?"
"Festival pemilihan orang pemberani sudah dimulai. Kata Kakak, Bibi Lan pasti ke sana, tapi aku
belum melihatnya. Banyak orang Wu-ke-lun bertanya kepadaku, aku menjawab dia akan segera
datang, tapi...." Karena sudah sembuh maka A-mina ingin melihat festival ini, dia berpesan kepada Ke-li-wu:
"Pergilah dulu, aku akan segera memanggil Bibi Lan."
"Aku akan menunggumu, aku akan pergi bersama dengan Kakak!" Ke-li-wu takut A-mina
berbohong kepadanya. Jika benar Bibi Lan tidak pergi, dia akan merasa malu.
A-mina dengan cepat kembali ke kamar Ruan-wei. Melihat Ruan-wei masih duduk di ranjang,
posisinya masih seperti tadi. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu. A-mina tertawa:
"Kakak bodoh, apa yang sedang kau pikirkan?"
A-mina tidak boleh tertawa, jika dia tertawa Ruan-wei akan bingung lagi:
"Apakah kau sedang memikirkan aku?"
Ruan-wei mengangguk. Dalam hati berpikir:
"Betul, aku sedang memikirkan tawamu. Apakah kau mau tertawa kepadaku?"
Dengan malu-malu A-mina berkata:
"Adikku ingin aku datang menonton festival pemilihan orang pemberani. Ajaklah Bibi Lan, biar
dia akan ikut menonton. Orang-orang Wu-ke-lun ingin bertemu dengan perempuan paling pemberani
di Tibet. Aku akan menunggumu di sana, kau harus membawa Bibi Lan ke sana!"
A-mina tertawa lagi dan Ruan-wei ingin memeluknya lagi. Tapi A-mina cepat-cepat pergi
meninggalkan Ruan-wei yang masih tenggelam dalam tawa yang membuatnya selalu bingung.
Setelah lama Ruan-wei baru kembali normal. Kemudian dia berjalan ke tengah ruangan.
Perempuan Tibet tua membawanya ke belakang untuk mencuci muka dan juga makan pagi.
Dengan bahasa tubuh Ruan-wei bertanya di mana kamar Gongsun Lan dan dia pun berjalan ke
sana. Kamar Gongsun Lan dihias seperti kamar nona Han lainnya. Selimut, sarung bantal disulam,
diberi tirai dan penuh wewangian. Di sudut kamar sudah disiapkan barang yang akan mereka
bawa. Ada dua pelana kuda. mungkin Gongsun Lan bersiap-siap akan berangkat ke Kan-longshan.
Ruan-wei masuk ke kamar tapi tidak menemukan Gongsun Lan. Ketika dia akan pergi dia
melihat di balik kelambu ada seorang perempuan sedang tertidur. Pelan-pelan Ruan-wei berjalan
mendekati ranjang dan memanggil: "Kakak Lan! Kakak Lan!"
Gongsun Lan dengan cepat menghapus air matanya yang masih mengalir, dia menyibak
kelambu dan turun dari ranjang, sambil tertawa bertanya:
"Ada apa?" Ruan-wei dengan pelan mengelus mata Gongsun Lan yang bengkak dan dengan kaget
bertanya: "Kau menangis?"
"Aku... aku tidak menangis...."
"Jangan bohongi aku, kau menangis begitu sedih, matamu pun bengkak karena terus
menangis, kau... kau... jangan menangis...."
Gongsun Lan tidak tahan lagi, dia menangis sejadi-jadinya di dada Ruan-wei. Dada yang
memeluknya selama 10 hari lebih di malam hari...dada yang sangat dikenalnya. Hingga bau tubuh
Ruan-wei pun bisa dibedakannya.
Wajahnya menempel di leher Ruan-wei, matanya masih penuh dengan air mata, tapi dia tetap
berkata: "Aku tidak menangis... aku tidak menangis"
409 Ruan-wei membiarkan Gongsun Lan bersandar di dadanya, dia mulai menaruh perasaan kepada
Gongsun Lan, hanya saja perasaan ini dalam otaknya tidak berani menerimanya karena dia akan
bersalah pada seseorang. Setelah semua kesedihannya terlampiaskan, Gongsun Lan kembali ceria seperti dulu, dia
berkata: "Ayo, kita pergi!"
"Ke mana?" "Kita teruskan perjalanan kita, kita akan berangkat ke Kan-long-shan."
"Untuk apa pergi ke Kan-long-shan?"
Gongsun Lan tidak ingin memberitahu Ruan-wei kalau ayahnya akan mengobati otak dan
ingatannya, karena dia takut Ruan-wei akan marah.
"Kita akan pergi menemui ayahku, ayahku pasti akan menyukaimu."
"Beberapa hari lagi kita baru pergi, bagaimana?"
Gongsun Lan tidak mau lama-lama berada di tempat ini, lebih cepat mengobati luka di otak
Ruan-wei itu akan lebih baik. Tapi dia tidak mau membantah perkataan Ruan-wei, maka dengan
lembut dia berkata: "Baik... baik...."
"Kalau begitu sekarang kita pergi ke festival pemilihan orang pemberani, bagaimana?"
Sejak kecil setiap tahunnya Gongsun Lan pasti akan melihat festival ini, tahun ini supaya Ruanwei
bisa cepat berada di Kan-long-shan, dia tidak ikut, sekarang Ruan-wei ingin melihat festival
itu. Belum sempat menjawab, Ruan-wei telah menuntunnya, dengan senang dia berkata:
"Aku akan membawamu ke sana."
Mereka sampai di jalan besar, tapi di jalan sangat sepi tidak terdengar satu suara pun, ternyata
penduduk Wu-ke-lun semua pergi melihat festival itu.
Ruan-wei tidak tahu di mana festival diadakan, maka tiba di jalan besar dia berhenti melangkah
dan tampak ragu, melihatnya seperti itu Gongsun Lan tertawa dan mendesak:
"Bukankah kau yang akan membawaku ke sana?"
Dengan tergagap dia menjawab:
"Aku., aku... tidak tahu dimana festival itu."
"Kalau begitu, lebih baik kau yang mengikutiku," dia menuntun Ruan-wei dengan lari dengan
cepat. Festival pemilihan orang pemberani artinya setelah memasuki musim dingin, diadakan
pertarungan ilmu silat untuk mengusir rasa malas karena cuaca dingin.
Tiap tahun festival ini diadakan di sebuah lapangan yang letaknya di luar kota, pesertanya
adalah para penggembala peternakan yang masih muda, tapi kadang-kadang ada juga orang tua
yang ikut, mereka ingin mengenang masa lalu.
Maka sampai hari ini, laki-laki, perempuan, tua, muda, semua ikut serta.
Suara nyanyian, bunyi genderang, dan suara teriakan terdengar dari arah padang rumput,
semua suara seperti suara gemuruh guntur, suara ini bisa menyapu rasa dingin di musim dingin.
Begitu Ruan-wei dan Gongsun Lan tiba di sana, para penggembala sedang mengadakan
pertandingan olah raga. Melihat Dewi Lan datang, para penggembala muda segera menyapanya, semua peserta festival
karena melihat Gongsun Lan datang mereka berhenti sementara.
Gongsun Lan tiba di tempat pertandingan, orang yang ikut pertandingan berlutut, bersujud,


Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga berteriak: "Kita sambut orang paling pemberani, Dewi Lan!"
Gongsun Lan mendapat julukan ini yang diberikan oleh Da Lai, semua orang Tibet tahu,
penduduk Wu-ke-lun merasa bangga karenanya, mereka sering berkata:
"Lihatlah! Perempuan pemberani di Tibet berada di Wu-ke-lun!" Itu terjadi setahun lalu, di kota
La Sha setiap tahunnya harus diadakan pemilihan satu orang yang paling pemberani. Selama
puluhan tahun penduduk Wu-ke-lun belum pernah kebagian gelar ini, maka mereka dijadikan
bahan tertawaan dari daerah lain.
410 Sejak dilahirkan Gongsun Lan tinggal di Wu-ke-lun, berarti dia adalah orang Wu-ke-lun. Tahun
lalu Gongsun Lan pura-pura menjadi penggembala dari Wu-ke-lun mewakili daerahnya untuk
bertarung. Dalam pertarungan itu Gongsun Lan mengalahkan 48 orang dari masing-masing daerah, begitu
Da Lai memberikan penghargaan kepadanya, mereka baru tahu kalau Gongsun Lan adalah
seorang perempuan, maka mereka segera memberi julukan kepadanya: Perempuan paling
pemberani di Tibet. Julukan perempuan paling kuat lebih mulia dan lebih tinggi dibandingkan julukan laki-laki paling
kuat, karena di Tibet hanya dia satu-satunya perempuan yang paling kuat, maka penduduk Wuke-
lun merasa bangga. Penduduk se-Tibet pun merasa bangga, karena di Tibet muncul satusatunya
perempuan terkuat. Maka laki-laki Tibet memanggil Gongsun Lan 'Dewi Lan', sedangkan perempuan Tibet
memanggilnya 'Nona Lan', karena dia menjadi cahaya bagi perempuan Tibet, dan lebih akrab
dipanggil Nona Lan. Begitu melihat Gongsun Lan. para perempuan itu berteriak:
"Kita sambut baik Nona Lan... Nona Lan...." A-mina juga berada di antara kerumunan para
perempuan, dia ikut berteriak:
"Bibi Dewi Lan!" dia gembira, karena dia bangga kepada Bibi Lan.
Waktu itu beberapa penggembala menggotong sebuah kurungan yang terbuat dari balok kayu
besar. Di dalam kurungan terkurung seekor kuda hitam secara keseluruhan, hanya kuku kakinya
berwarna putih, orang Tibet menyebut jenis kuda ini adalah 'Bai-ti-ma' (kuda kaki putih). Setiap
tahun Wu-ke-lun selalu memilih seekor kuda terbaik. Bai-ti-ma ini secara tidak sengaja di tangkap
oleh seorang penggembala. Kuda ini adalah kuda liar, dia mempersembahkan kuda ini untuk
festival ini, maka festival ini menjadi ramai dan meriah.
Di kepala Bai-ti-ma terikat sebuah mahkota yang terbuat dari emas murni. Bila Bai-ti-ma
dilepaskan dan bila ada seseorang bisa menangkap kuda ini maka kuda ini akan menjadi miliknya
begitu pula dengan mahkota emasnya. Dan mahkota ini boleh dia persembahkan kepada
perempuan yang paling dicintainya atau paling dihormatinya. Perempuan tersebut dalam waktu
satu tahun akan menjadi orang yang dihormati dan disayangi oleh orang-orang Tibet.
Dalam jarak lima kilometer, ratusan penduduk Tibet tua sambil menunggang kuda, mereka
memegang tali dan mengelilingi lapangan supaya Bai-ti-ma tidak keluar dari tempat yang telah
ditentukan. Semua laki-laki yang ikut festival menunggangi kuda yang paling mereka sayangi. Bila Bai-ti-ma
dilepaskan mereka akan segera mengejar dan menangkap kuda yang bisa membuat mereka
bangga. Jumlah mereka yang ikut ada 12 orang, mereka menunggang kuda dengan cepat, kemudian
berbisik-bisik setelah itu mereka ber-teriak:
"Tahun ini, siapa pun yang mendapat mahkota emas, dia akan mempersembahkan kepada
orang yang bisa membawa rasa bangga Wu-ke-lun, dia adalah Dewi Lan!"
Segera semua penduduk bersorak dan berteriak:
"Persembahkan mahkota emas kepada perempuan terkuat di Tibet, Dewi Lan...."
Ruan-wei tidak mengerti apa yang mereka teriakkan. Tapi dia tahu kalau seruan itu dituju-kan
kepada Gongsun Lan, karena itu dia ikut merasa senang untuk Gongsun Lan, dan tertawa:
"Kau... kau... benar-benar membanggakan!"
Setiap diadakan festival Gongsun Lan pasti akan disambut dengan baik, semenjak dia
mendapat julukan perempuan terkuat Tibet mereka lebih tergila-gila lagi kepadanya. Gongsun Lan
terharu dengan sikap hangat penduduk Wu-ke-lun, maka dia memegang erat tangan Ruan-wei
tanpa sengaja. Perempuan Tibet muda meliha itu dan berbisik:
"Lihat, lihat, Nona Lan sudah mempunyai kekasih!"
Kata-kata ini terdengar oleh A-mina, dia merasa sedih, air matanya pun menetes, Ke-li-wu yang
berada di sisinya bertanya:
"Kak, mengapa kau menangis?"
"Aku tidak menangis, aku terharu melihat Bibi Lan."
411 Tiba-tiba suara tepuk tangan terdengar seperti gemuruh badai, ternyata Bai-ti-ma sudah
dilepaskan dari kurungan. 12 orang terus mengejarnya. Para penonton masing-masing memberi
dukungan kepada saudara mereka yang ikut mengejar kuda.
Bai-ti-ma benar-benar kuat, keempat kakinya berlari seperti terbang, kakinya seperti tidak
menapak tanah. Tidak ada seorang penunggang kuda pun yang bisa mengejarnya.
Kalau di sekeliling lapangan itu tidak dibatasi dengan pagar manusia, mungkin kuda Bai-ti-ma
sudah lari entah ke mana. Karena kedua belas orang ini tidak bisa menangkap kuda itu, mereka
menggunakan teknik mengepung.
Sebenarnya kedua belas orang itu mengepung dengan cara mereka masing-masing, dan kuda
tidak bisa lari lagi, kuda meloncat ke timur, meloncat ke barat, dia terlepas lagi dari celah
lapangan. Kedua belas orang itu tetap tidak sanggup menangkap Bai-ti-ma dengan cara ini.
Bai-ti-ma mulai lari ke arah kurumunan orang, pagar yang dibentuk dari orang-orang tua Tibet
mulai berteriak karena mereka tidak menyangka kalau Bai-ti-ma berani menyerang manusia. Dan
Bai-ti-ma lari dari tempat yang sudah ditentukan.
Orang-orang di sana berteriak karena mengira mahkota emas akan terlepas dan tidak bisa
didapatkan, dan ini adalah pertanda tidak baik, karena itu mereka merasa takut dan kaget, tapi
apa boleh buat Bai-ti-ma lari terlalu cepat.
Waktu itu juga, Ruan-wei mengambil keputusan dengan ilmu 'Bai-bian-gui-ying' dia mengejar
kuda itu. Ilmu 'Bai-bian-gui-ying' sangat jarang diketahui orang, begitu melihat Ruan-wei hanya
meloncat 3 kali, begitu mendarat dia tepat duduk di atas punggung Bai-ti-ma.
Padang rumput tergetar oleh suara sorakan penduduk Tibet, semua berteriak mendukung
Ruan-wei. Bai-ti-ma tidak seperti seekor kuda lagi, melainkan seperti seekor naga, benar-benar
menakutkan. Ruan-wei sangat menyukai kuda ini, maka dia tidak tega menendangnya, hanya memeluk leher
panjangnya kemudian mengatur nafas, tubuh Ruan-wei ringan seperti seekor burung walet,
dengan cara apa pun kuda ini membantingnya, Ruan-wei tidak merasa terganggu.
Hampir setengah jam berlalu, Bai-ti-ma sadar dia telah mempunyai seorang tuan yang
menyayanginya, maka dia pun berhenti berlari dan berdiri tidak bergerak, juga tidak meringkik,
bahkan terlihat seperti tidak pernah berlari.
Penduduk Tibet berteriak:
"Dia mengaku kalah, mengaku kalah...."
Mahkota emas diambil kemudian tangan kiri Ruan-wei menarik surai Bai-ti-ma, dengan menurut
Bai-ti-ma kembali ke tempat.
Melihat mahkota emas berhasil diambil, semua orang berteriak:
"Persembahkan kepada perempuan pertama yang menjadi orang terkuat se-Tibet...."
Tapi Ruan-wei tidak mengerti apa yang mereka teriakkan, dia dengan perlahan kembali, dia
melihat tawa yang tidak bisa dia lupakan....
Tawa yang membuat syaraf otaknya bergetar....
Tawa ini berasal dari A-mina yang ada di kerumunan perempuan Tibet, dia merasa senang, dia
tertawa karena bangga karena Ruan-wei....
Tawa itu membuat Ruan-wei menghentikan kudanya, juga membuat dia turun dari kuda.
Karena itu para perempuan Tibet terkejut, mereka tidak tahu kepada siapa mahkota itu akan
dipersembahkan. Jantung A-mina berdebar-debar, kakinya lemas dan gemetar, tangannya terkepal dengan
erat.... Akhirnya mahkota itu dipasang di atas kepalanya, dia kebingungan, juga meneteskan air
mata.... Para perempuan Tibet bernyanyi: Bunga darah yang sombong! Tumbuh di gunung yang penuh
salju. Kapankah baru bisa dipetik" Perempuan-perempuan yang ada di sebelah sana ikut bernyanyi
: A-mina yang cantik Seperti bunga darah di gunung salju
Sekarang sudah dipetik Sekarang baru ada orang yang dia cintai
412 0-0-0 BAB 106 Seperti punya perasaan tapi seperti tidak
A-mina memakai mahkota emas, wajahnya penuh kegembiraan, dia sangat bahagia saat pulang
bersama Ruan-wei dan Ke-li-wu.
Sewaktu semua orang memuji-muji A-mina, tidak ada yang memperhatikan Gongsun Lan.
Begitu semua teringat kembali pada Gongsun Lan, sosok Gongsun Lan tidak terlihat, dia sudah
pergi sambil menutup wajahnya....
Ketika semua orang bernyanyi dan menari untuk A-mina, Ke-li-wu terus melihat dari pinggir.
Dia tidak mengerti, Ruan-wei sebenarnya adalah pacar Bibi Lan, mengapa dia mempersembahkan
mahkota itu untuk kakaknya bukan untuk Bibi Lan"
Sepanjang jalan Ke-li-wu tidak besuara, dia sangat senang karena kakaknya ternyata telah
mempunyai pacar tapi dia tidak berharap Ruan-wei adalah pacar kakaknya.
Karena melihat A-mina terus tertawa, Ruan-wei menjadi lupa diri, dia terus mengenang tawa
yang seperti dikenalnya. A-mina tenggelam dalam kebahagiaan, dia tidak ingin bicara sepatah kata pun, dia juga tidak
malu menuntun tangan Ruan-wei, dia benar-benar menganggap Ruan-wei adalah pacarnya. Ketika
mereka bertiga masuk ke rumah, perempuan Tibet itu ternyata sudah menunggu mereka. Dengan
senang A-mina memanggil ibunya, hanya Ke-li-wu yang tidak bicara.
Dengan sikap berbeda perempuan Tibet itu mengangguk dan menyuruh mereka kembali ke
kamar untuk beristirahat tapi sorot matanya terus melihat mahkota yang berada di atas kepala Amina.
Sesudah A-mina mengantar Ruan-wei ke kamarnya, dengan sepenuh hati dia mengantarkan
teh dan membawakan pakaian tidur ayahnya untuk Ruan-wei. Dia benar-benar melayani Ruan-wei
seperti layaknya kepada seorang suami, karena dia mengira Ruan-wei akan lama tinggal di sana.
Melihat Ruan-wei merasa nyaman, A-mina sambil tersenyum kembali ke kamarnya untuk
membersihkan tubuh. Ketika dia kembali ke kamar, ibunya sedang duduk di tempat tidur menunggu kedatangannya.
Wajahnya terlihat sedih. Dengan senang dia mendekati ibunya dan berkata:
"Ibu, lihatlah mahkota tahun ini ada di kepala A-mina yang selama ini ibu selalu khawatir Amina
tidak mendapatkan jodoh."
"Apa kau benar-benar menyukai pemuda Han itu?"
Orang Tibet bersifat sangat terbuka dan tidak suka berpura-pura, maka A-mina menjawab
dengan tegas: "Aku suka kepadanya. Pada pandangan pertama aku sudah jatuh cinta kepadanya. Ibu, dia
juga mencintaiku, di depan banyak gadis Tibet dia hanya memberikan mahkota ini kepadaku. Bu,
berarti dia juga mencintai A-mina!"
Perempuan Tibet itu berkata dengan pelan: "Di kepala siapa pun mahkota itu berada, dia
adalah pacar orang pemberani di Tibet...." A-mina tertawa bahagia. Tapi perempuan Tibet itu
berkata lagi: "Nak, apakah kau tahu dia adalah pacar Bibi Lan?"
Wajah A-mina tiba-tiba menjadi pucat, dia sangat menghormati dan menyayangi Bibi Lan,
mereka sudah seperti kakak beradik, dia tidak tega merebut pacar Bibi Lan, maka dengan tegas
dia menggelengkan kepala:
"Bukan, dia hanya tamu Kakek Gongsun di Kan-long-shan, dia bukan... bukan... pacar Bibi Lan."
Perempuan Tibet itu merasa serba salah. Kesedihan membuatnya meneteskan air mata:
"Ayah Bibi Lan sangat baik kepada kita, budi beliau seberat Gunung Tai. Sejak kecil sampai
Nona Lan dewasa, belum pernah ibu melihat Nona Lan begitu sedih dan menangis. Hari ini ibu
melihatnya bersedih, perempuan terkuat di Tibet menangis. Nak...."
A-mina terkejut. Mengapa Bibi Lan menangis" Dia adalah perempuan terkuat di Tibet, tidak
mungkin dia menangis... 413 "Tapi dia benar-benar menangis karena itu ibu merasa tidak tenang. Jika Nona Lan merasa
tertekan, kita sekeluarga akan bersalah kepada Tuan Gongsun. Waktu itu ibu masuk ke kamarnya
dan bertanya mengapa dia menangis, tapi dia malah menjawab: aku tidak menangis, tidak
menangis! Dia ingin menutupi kesedihannya tapi air matanya terus mengalir seperti air sungai!"
"Mengapa Bibi Lan begitu sedih?" A-mina bertanya dengan sedih.
"Ibu terus bertanya padanya tapi dia tidak mau menjawab. Begitu ibu keluar, dia menangis lagi,
dia... mengapa begitu sedih?"
"Begitu kalian pulang, ibu tahu dari Ke-li-wu semuanya! Apakah kau tahu Non Lan tidak pernah
mau dipegang oleh seorang laki-laki, tapi Ke-li-wu melihat mereka berdua ketika datang dari
Gunung La Wa dengan berpegangan tangan dan tubuh mereka saling berdekatan. Ke-li-wu
mengatakan ketika di gunung Bibi Lan bertemu dengan segerombolan serigala, orang Han itu
yang menyelamatkannya, apakah kau tahu...."
A-mina baru ingat dan mengerti, ketika Bibi Lan pulang, dia bercanda, laki-laki itu adalah calon
Bibi Lan... Belum menyebut suami saja wajah Bibi Lan sudah menjadi merah. Jika bibi tidak
mencintainya, bibi tidak akan bertingkah seperti itu. Bibi biasanya mengatakan jangan biarkan lakilaki
yang tidak dikenal memegangnya. Hari ini di padang rumput, bibi berpegangan tangan
dengannya. Perempuan-perempuan di padang rumput saja merasa terkejut, ini... ini berarti dia
telah menganggap pemuda itu adalah kekasihnya....
A-mina sekarang baru mengerti maka bibirnya pun gemetar:
"Aku harus bagaimana" Bagaimana...."
Perempuan Tibet itu meneteskan air mata:
"Ibu juga tidak tahu harus bagaimana, yang satu adalah Nona Lan yang tidak bisa kita lupakan
budinya. Yang satu lagi adalah putri kesayangan, A-mina. Laki-laki Han itu adalah pacar mereka,
ini sulit bagiku... aku harus membela siapa?"
Tiba-tiba Ke-li-wu datang dengan terengah-engah:
"Bibi Lan sudah pergi! Dia mengatakan akan kembali ke Zhong-yuan untuk menyelesaikan
sesuatu...." A-mina terlihat cemas: "Untuk apa Bibi Lan kembali ke Zhong-yuan, bukankah dia akan pergi ke Kan-long-shan?"
"Dulu setiap bulan Nona Lan pergi ke Kan-long-shan, kali ini dia telah meninggalkan rumah
hampir 1 tahun tapi dia belum kembali ke Kan-long-shan, sekarang malah pergi lagi ke Zhongyuan."
Kata Ke-li-wu: "Bibi Lan tidak pergi ke Kan-long-shan, dia memberitahuku ketika dia akan berangkat agar
kekasih kakak segera diantarkan ke Kan-long-shan, karena kepalanya terantuk dan terluka
sehingga dia lupa masa lalunya. Jika terlambat tidak akan bisa diobati lagi. Ketika Bibi Lan bicara
denganku, dia masih meneteskan air mata, aku tidak berani bertanya ada apa dengannya.
Aku melihatnya membawa barang bawaan dan pergi dengan menunggang kuda hitam." A-mina
berteriak: "Tidak! Tidak! Dia adalah kekasih Bibi Lan, A-mina telah merebutnya! Seharusnya yang
mengantarkan dia ke Kan-long-shan adalah Bibi Lan!" Dia berlari ke kamar Ruan-wei.
Ruan-wei sedang bersiap-siap keluar untuk melihat Gongsun Lan, dia bertabrakan dengan A
mina yang ingin masuk ke kamarnya.
"Ada apa, A-mina" Mengapa tergesa-gesa?"
"Bibi Lan sudah pergi?"
"Dia pergi ke mana?"
"Jangan tanya lagi! Cepat kejar dia!"
Ruan-wei tidak tahu mengapa Gongsun Lan tidak memberitahu padanya kalau dia pergi, maka
dia segera menjawab: "Aku akan mengejarnya agar dia kembali!"
A-mina memegang tangan Ruan-wei:
"Pergilah ke Kan-long-shan bersama Bibi Lan."
"Mengapa?" "Tidak apa-apa, dengarkan saja kata-kataku!"
414 Ruan-wei mengangguk tapi ketika dia berpikir jika dia pergi ke Kan-long-shan, dia tidak akan
bisa melihat tawa yang dikenalnya ini. Maka dia memohon:
"Tertawalah dulu untukku, baru aku akan pergi."
Dalam suasana seperti ini, mana bisa A-mina tertawa. Tapi dia menghapus air matanya, dan
memaksakan diri untuk tertawa.
A-mina ingin tertawa untuknya. Karena A-mina tahu ini adalah terakhir kalinya dia bisa tertawa
kepada orang yang dia cintai, sesudah itu Ruan-wei bukan kekasihnya lagi. Begitu melihat
tawanya, Ruan-wei mulai terlihat kebingungan dan tidak bisa beranjak.
Pelan-pelan A-mina mendorong Ruan-wei. Begitu Ruan-wei pergi, air matanya segera
bercucuran. Dengan suara gemetar dia berkata:
"Kita berpisah... berpisah selamanya... selamanya...."
Di pekarang, Ke-li-wu telah menyiapkan kuda berwarna hitam. Ketika Ruan-wei akan naik ke
punggung kuda, di luar ada beberapa penggembala. Ada yang menarik dan ada yang mendorong
Bai-ti-ma masuk ke pekarangan.
Mereka bersama-sama berteriak: "Bai-ti-ma milik orang yang memenangkan festival itu!"
Ke-li-wu benar-benar merasa senang. Ada Bai-ti-ma pasti masih bisa mengejar Bibi Lan. Maka
pelana yang ada di punggung kuda hitam segera dipindahkan ke punggung Bai-ti-ma. Ruan-wei
berteriak: "Terima kasih, Adik!" Dia terbang ke punggung kuda kemudian berlari seperti angin.
Ke-li-wu tidak tahu apa yang Ruan-wei teriakkan, tapi dia tahu Ruan-wei berpamitan
kepadanya, dia melambaikan tangannya. Dalam hati berdoa:
"Semoga kau bisa cepat bertemu dengan Bibi Lan lagi!"
Gongsun Lan yang masih penuh dengan kesedihan, memacu kudanya dengan cepat di padang
rumput. Dia berlari ke Gunung La-wa. Dia ingin belari secepat mungkin untuk melupakan
kesedihannya. Dia meninggalkan Ruan-wei tapi sebenar-nya juga tidak ingin meninggalkan Ruan-wei.


Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejak pagi dia belum makan, di punggung kuda terlihat banyak bekas pecu tan. Sesampainya di
tempat yang sangat dikenalnya, hari sudah sore.
Di dalam hutan cemara, di tanah yang luas, terlihat banyak tulang belulang putih. Tulang
belulang ini adalah tulang serigala yang dibunuh oleh Ruan-wei dan dia sendiri. Mungkin setelah
meninggalkan tempat ini, bangkai-bangkai serigala tersebut dimakan oleh teman-temannya sendiri
hingga tandas. Melihat keadaan ini, Gongsun Lan teringat ketika dia membunuh serigala demi melindungi
Ruan-wei. Terakhir Ruan-wei ikut melawan. Ketika itu dia merasa sangat senang bisa mati
bersama dengan Ruan-wei dan dia tidak merasa menyesal karenanya. Dia juga teringat, setelah
Ruan-wei menolongnya, di kaki Gunung La-wa, karena terhika Ruan-wei menyedot darah kotor
dari lukanya. Ketika itu Ruan-wei tampak penuh perasaan kepadanya.
Sekarang baru satu hari berlalu, Ruan-wei telah melupakan dirinya. Dia lebih suka kepada Amina,
dia tidak mempunyai perasaan kepadanya lagi. Mengapa begitu cepat Ruan-wei melupakan
dirinya" 10 hari lebih mereka bersama masih jauh dibandingkan dengan A-mina yang baru dikenalnya
sehari. Setiap hari mereka berciuman dengan mesra, ini adalah bukti yang kuat. Karena sedih, dia
berlari ke sebuah padang rumput dan menangis sekeras-kerasnya.
'Dia benar-benar tidak mempunyai perasaan... apakah dia mempunyai perasaan... dia tidak
mempunyai perasaan....' Sore hari, dia berbaring di padang rumput yang basah. Walaupun merasa dingin tapi dia tidak
ingin bangun, dan berpikir, 'Biar saja aku membeku di sini, biar aku mati! Untuk apa hidup hanya
sendiri yang tidak mempunyai arti?"
Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara lembut:
"Bangunlah... nanti kau akan kedinginan."
Gongsun Lan merasa sangat senang, karena dia tahu suara itu adalah milik Ruan-wei. Dia
benar-benar ingin membalikkan tubuh untuk memeluk Ruan-wei dengan erat tapi dia tidak
melakukannya. Mengingat Ruan-wei berciuman dengan A-mina, dia kecewa dan tetap berbaring
tanpa bergerak. 415 Ruan-wei ingin memapah Gongsun Lan bangun dan menggendong Gongsun Lan bangun. Tapi
dia malah mendorong tangan Ruan-wei.
Karena tidak melihat wajah Gongsun Lan yang sedang tengkurap maka Ruan-wei tidak tahu
mengapa Gongsun Lan menolaknya. Karena tidak mengerti, dia hanya duduk termenung di sisi
Gongsun Lan dan melihat punggungnya.
Karena Gongsun Lan marah, dia tidak peduli udara dingin sudah menyerang hingga ke tulang,
dia tetap tidak bergerak. Suhu di Gunung La Wa, pagi dan malam hari sangat berbeda jauh.
Sekarang udara dingin. Ruan-wei yang duduk di rumput mulai merasa kedinginan, maka dia memohon:
"Cepat bangun! Bangun...."
Gongsun Lan sekarang ini tidak bisa bangun karena rasa dingin membuat tubuhnya membeku
tapi dia belum tahu kalau tubuhnya sudah membeku dan tidak bisa bergerak. Dia bertahan terus
berbaring di bawah. Di gunung terdengar suara lolongan serigala dan suara itu semakin dekat,
sepertinya serigala-serigala itu sedang berlari ke arah mereka.
Ruan-wei melihat Gongsun Lan tidak bangun, dia tidak berani memaksa, maka dia hanya duduk
di pinggir untuk menemani Gongsun Lan. Dia juga tidak peduli pada gerombolan serigala yang
akan menyerang mereka. Gongsun Lan mulai takut, seperti kata pepatah: sekali digigit ular, melihat tali pun menjadi
takut. Luka di pundak karena gigitan serigala masih terasa nyeri. Dia benar-benar terkejut dan
tidak marah lagi, dan berkata:
"Mengapa kau masih di sini, cepat kabur! Kabur!"
Dengan mata terpejam Ruan-wei menjawab: "Jika kau tidak bangun, aku juga tidak akan
berdiri!" Dia benar-benar tidak bergerak, dia benar-benar ingin menemani Gongsun Lan.
Serigala mulai mencium bau mereka dan datang dengan cepat. Sekarang serigala berjarak
ratusan meter dengan mereka.
Kuda yang Gongsun Lan tunggangi mulai gelisah tapi Bai-ti-ma milik Ruan-wei tetap tenang
tidak bergerak. Kuda yang benar-benar bagus, benar-benar luar biasa.
"Aku bangun, kau cepat pergi!"
Begitu mendengar Gongsun Lan akan bangun, maka dengan tenang Ruan-wei berkata:
"Kau bangun, kita pergi bersama."
Gerombolan serigala berjarak 30 meter lagi dengan mereka. Gigi serigala yang putih mulai
terlihat jelas. Gongsun Lan mulai cemas dan menangis:
"Aku... aku... aku tidak bisa bangun! Kau cepat pergi dari sini!"
"Mengapa kau tidak mengatakannya sejak tadi" Di mana kau terluka?"
Dengan cepat dia menggendong Gongsun Lan dan berlari ke arah Bai-ti-ma. Kuda itu masih
tenang seperti biasanya tapi kuda hitam karena merasa takut kakinya menjadi lemas dan jongkok.
Dengan cepat Ruan-wei mengambil barang bawaan Gongsun Lan dan saat itu serigala sudah
datang dan segera menyerang kuda hitam. Begitu Ruan-wei meloncat ke atas Bai-ti-ma, dia
segera memacu kudanya dan berlari dengan kencang, gerombolan serigala segera tertinggal jauh.
Setengah jam kemudian, mereka turun dari Gunung La Wa. Ruan-wei teringat pada tubuh
Gongsun Lan, maka dia turun dari kudanya, kemudian menurunkan barang bawaan Gongsun Lan,
mengeluarkan selimut tebal. Dia membaringkan Gongsun Lan di sana.
Dengan ramah Ruan-wei bertanya:
"Kau terluka di bagian mana?"
Kepala Gongsun Lan miring ke pinggir dan tidak mau bicara. Ruan-wei mengeluh:
"Mengapa kau marah kepadaku" Mengapa kau marah kepadaku...."
Suaranya semakin kecil, terlihat Ruan-wei benar-benar sedih. Karena terpengaruh oleh suara
Ruan-wei, Gongsun Lan dengan pelan berkata:
"Tulangku masuk angin dingin maka aku tidak bisa bergerak."
Ruan-wei terkejut, dengan cepat dia duduk dan mulai melakukan gerakan ilmu yoganya. Kedua
telapaknya mulai panas seperti api. Kedua telapaknya dimasukkan ke dalam tubuh dan mulai
menggosok-gosok tubuh Gongsun Lan.
416 Dengan ilmu yoga Ruan-wei mengobati luka dalam Gongsun Lan khasiatnya sangat hebat,
puluhan menit kemudian wajah pucat Gongsun Lan mulai menjadi merah. Tapi ingin mengeluarkan
udara dingin di dalam tubuh bukan hal yang mudah. Setengah jam kemudian hari mulai gelap.
Di bawah sinar bulan mereka berdua bisa melihat wajah mereka masing-masing.
Ruan-wei mulai merasa lelah. Gongsun Lan merasa kasihan melihatnya, apalagi tubuhnya mulai
bisa digerakkan. Jika berhenti, semuanya akan gagal, maka perasaan berterima kasih disimpan di
dalam hati. Ketika Ruan-wei menggosok tubuhnya, keringat menetes di wajah Gongsun Lan. Tubuh
Gongsun Lan mulai panas. Sekarang tetesan keringat dan tangan Ruan-wei membuat Gongsun
Lan mulai tidak tenang dan jantungnya berdebar-debar.
Pada saat yang penting ini, jika Gongsun Lan menuruti nafsu birahinya, hal ini akan sangat
berbahaya. Tiba-tiba Gongsun Lan duduk, kedua tangannya memegang erat Ruan-wei.
Ruan-wei membentak: "Diam!" Pada kesempatan ketika Gongsun Lan terkejut dan berhenti bergerak, Ruan-wei mempercepat
tenaga dalamnya masuk ke dalam tubuh Gongsun Lan.
Sepuluh menit sudah berlalu. Ruan-wei duduk dengan lemas tidak lama kemudian dia roboh
dan menyandar di dada Gongsun Lan.
Pelan-pelan Gongsun Lan memapah Ruan-wei duduk, air matanya terus menetes. Dia sudah
sembuh tapi Ruan-wei malah lemas dan tidak bertenaga.
Dia memeluk Ruan-wei dengan erat. Dengan suara gemetar dia berkata:
"Benar-benar membuatmu repot...."
Ruan-wei mulai mencium wangi seorang perawan. Karena lemas dia hanya bisa memanggil:
"Kakak... Kakak... Kakak...."
Gongsun Lan menutup mulutnya dan berkata dengan lepas:
"Aku tidak mau menjadi kakakmu, aku ingin memanggilmu kakak...
Dia teringat tadi pagi A-mina memanggil Ruan-wei dengan sebutan kakak. Karena dia sangat
mencintai Ruan-wei, dia lupa kalau dia adalah seorang gadis. Dengan penuh perasaan dia
mencium Ruan-wei. Berapa kali mencium dia sendiri sendiri tidak tahu.
Karena terlalu lelah Ruan-wei tertidur dengan nyenyak.
Pelan-pelan Gongsun Lan menaruh Ruan-wei ke bawah kemudian dengan cepat memasang
tenda dan menyalakan api unggun. Gongsun Lan tidur di sisinya dan melihat Ruan-wei. Dalam hati
Gongsun Lan berpikir, 'Dia tidak seperti orang yang tidak berperasaan! Perasaannya seperti bulan
dan seperti matahari, aku tidak akan marah lagi. Besok aku akan membawamu ke Kan-long-shan
dan bertemu dengan ayah. Ayah pasti bisa mengobati lukamu....'
Malam begitu sepi tanpa suara. Fajar sebentar lagi akan tiba....
0-0-0 Bersambung jilid 5 417 JILID KE LIMA BAB 107 Mencari ilmu tanpa menggunakan pedang
Hari kedua. Ruan-wei dan Gongsun Lan bersama-sama menunggang Bai-ti-ma terus menuju
Kan-long-shan. Seharusnya perjalanan mereka harus memakan waktu 3 hari tapi pada hari kedua
siang mereka telah tiba di pegunungan Kan-long.
Tadinya Gongsun Lan ingin cepat-cepat bertemu dengan ayahnya supaya ayahnya bisa
membantu Ruan-wei pulih seperti semula, maka dia memacu kudanya lebih cepat. Tapi begitu tiba
di pegunungan Kan-long-shan, Ruan-wei ternyata sudah bisa mengatur nafas dan bisa
mengembalikan semua tenaga dan ilmu silatnya.
Kan-long-shan merupakan tempat yang tidak terlalu tinggi. Walaupun musim dingin tapi udara
di sana tidak begitu dingin. Tapi karena jalan berliku-liku dan sangat banyak danau di sana maka
perjalanan sangat sulit. Para penggembala pun jarang yang lewat tempat ini.
Karena takut Bai-ti-ma kelelahan maka mereka berdua turun dan berjalan. Gongsun Lan sangat
mengenali jalan gunung di daerah ini. Awalnya terlihat seperti tidak ada jalan tapi saat dia
berbelok ke timur, lalu berputar ke barat dan muncul lah sebuah jalan kecil.
Sepanjang jalan mereka mengobrol, bercanda, dan di sebuah jalan kecil yang sepi yang hanya
bisa dilewati oleh seekor kuda, Gongsun Lan berjalan dulu di depan dan Ruan-wei di belakang
sambil menuntun kuda. Baru berjalan sebentar, di depan tikungan ada sebuah batu yang menonjol
dan terlihatlah lapangan dengan lebar 5 meter. Di sana berdiri 5 pendeta dengam rambut masih
hitam. Dalam hati Gongsun Lan berpikir, 'Apakah mereka adalah tamu ayah"'
Ketika mereka mendekati para pendeta itu, kelima pendeta itu hanya melihat mereka tapi tidak
bicara sepatah kata pun. Mereka berdiri di tengah-tengah jalan, menghalangi mereka naik gunung.
"Permisi Paman-Paman, kalian datang ke Kan-long-shan ada keperluan apa?" tanya Gongsun
Lan sambil tertawa. "Kalian sendiri datang bagaimana?" seorang pendeta putih balik bertanya.
Gongsun Lan tidak menjawab, dia terpaku. Ruan-wei segera menjawab:
"Kami datang untuk melancong." Sebenarnya Ruan-wei sendiri tidak tahu maksud
kedatangannya ke Kan-long-shan, dia hanya membantu Gongsun Lan menjawab saja.
"Di gunung ini tidak ada tempat melancong. Menurutku lebih baik kalian cepat turun gunung!"
"Mengapa Paman tahu di gunung ini tidak ada tempat melancong?" tanya Gongsun Lan.
Kata-kata ini membuat mereka tidak bisa balik menjawab. Setelah lama mereka baru
menjawab: "Karena gunung ini sangat sepi, jalan sangat sulit ditempuh, jika banyak tempat melancong
pasti ada pengunjung yang datang. Tidak ada pengunjung berarti tempat ini tidak ada tempat
melancong." "Apakah Paman pernah datang ke gunung ini?" tanya Gongsun Lan.
Karena dia seorang pendeta, maka dia menjawab dengan jujur:
"Tidak pernah."
"Paman salah! Di gunung ini banyak tempat melancong, jika Paman mengatakan tidak ada
pelancong yang datang bukankah kelima paman pelancong juga?" tanya Gongsun Lan.
"Mengapa Nona tahu di sini banyak tempat melancong?"
"Karena aku pernah tinggal di gunung ini, maka aku sangat apal daerah ini. Jika kelima paman
tidak tahu jalannya, aku bisa membawa kelima paman pergi melancong," Gongsun Lan tertawa.
Seorang pendeta hitam berteriak sambil bertanya:
"Apa hubungan Nona dengan Gongsun Qiu-jian?"
Dengan serius Gongsun Lan menjawab: "Dia ayahku!"
Wajah kelima pendeta itu segera berubah. Salah satu dari pendeta putih berkata:
"Ternyata Nona Gongsun, maaf! Maafkan kami!"
"Apakah Paman ingin melancong ke atas?"
Pendeta putih dengan gugup menjawab: "Guruku... menyuruh kami berjaga di sini...kalau tidak
ada perintah, kami tidak berani naik gunung."
418 "Apakah gurumu berada di atas?" tanya Gongsun Lan.
"Betul!" "Kalau begitu, maaf!" dia menuntun Ruan-wei melewati pendeta putih itu.
Karena terus dipanggil paman maka pendeta putih tidak menghalangi mereka dan membiarkan
mereka lewat. Seorang pendeta agak hitam menghadang Gongsun Lan, dia membentak:
"Harap Nona Gongsun turun gunung sekarang juga!"
"Mengapa?"dengan nada tidak suka Gongsun Lan bertanya.
"Tidak apa-apa, kami hanya ingin kalian berdua turun gunung!" jawab pendeta yang hitam.
Wajah Ruan-wei berubah, dengan marah dia berkata:
"Dari mana ada aturan seperti itu" Apakah gunung ini milik kalian?" Suaranya sangat kuat
membuat gendang telinga mereka bergetar.
Kelima pendeta mendengar suara Ruan-wei mengandung tenaga dalam yang hebat, mereka
terkejut dan bersama-sama mengeluarkan pedang yang terselip di punggung.
Kelima pedang itu memiliki warna tidak sama, masing-masing berwarna putih, hitam, kuning,
hijau, dan merah. Seorang pendeta berwajah merah meme-gang pedang berwarna merah mendekati:
"Walaupun tidak ada aturan seperti ini, Tuan tetap harus menuruti perintah kami!"
Semenjak Ruan-wei hilang ingatan, sifatnya menjadi sangat keras dan tidak bisa menguasai
diri. Dia mendekati mereka, ingin memukul dengan kepalan. Tapi Gongsun Lan dengan cepat
memegang tangan Ruan-wei, dengan ramah berkata:
"Kapan kami baru diijinkan naik gunung?"
Pendeta putih merasa bersalah dan berkata:
"Jika guru sudah menurunkan perintah, kami akan mengijinkan nona naik gunung."
"Jika gurumu dalam waktu satu bulan tidak menurunkan perintah, bagaimana?"
Sejak tadi pendeta berwajah hijau terlihat sangat menakutkan dan berkata:
"Maka satu bulan kalian tidak boleh naik!"
"Jika satu tahun gurumu tidak menurunkan perintah?" teriak Ruan-wei
Pendeta berwajah merah tertawa:
"Kalian tidak boleh naik gunung dalam satu tahun."
Ruan-wei marah, dua tangannya mulai menyerang tapi Gongsun Lan dengan lembut tetap
menahan: "Jangan marah."
Tangan Ruan-wei diturunkan, dia menahan kemarahannya dan diam tidak bersuara.
Gongsun Lan dengan tegas berkata: "Semua orang tahu aturan Wu-dang sangat keras. Muridmurid
Wu-dang berkelana di dunia persilatan sangat menjunjung kebenaran dan keadilan."
Wajah kelima pendeta yang tadinya terlihat tegas karena dipuji maka menjadi agak tenang.
Pendeta putih yang terlihat keras juga jadi merasa bersalah maka wajahnya pun menjadi merah.
Gongsun Lan berkata lagi: "Apalagi pendeta 5 warna dan ilmu pedang 5 warna sangat
dihormati dan juga terpuji di dunia persilatan."
Pendeta putih mulai merasa malu, wajahnya merah seperti tomat, lalu berkata dengan pelan:
"Jangan teruskan lagi, nona. Hari ini walaupun pendeta 5 warna adalah orang-orang pemberani
tapi kami tetap tidak akan mengijinkan kalian naik ke gunung. Kalian turun saja!"
"Apa alasannya kami tidak boleh naik gunung?" tanya Gongsun Lan dengan cemas.
"Kami juga tidak tahu, guru hanya memerintahkan orang luar tidak boleh naik ke gunung!"
jawab pendeta wajah hitam.
"Bagaimana jika kami memaksa naik?"
"Coba saja apakah kalian mampu?" pendeta berwajah merah mulai marah.
"Maksud kalian, harus dengan ilmu silat melawan kalian?" tanya Gongsun Lan.
"Betul!" Pendeta wajah kuning, merah, dan hijau bersama-sama menjawab.
Gongsun Lan menuntun Ruan-wei kembali ke jalan yang mereka datangi tadi, kira-kira jarak
sekitar 30 meter, lalu dengan lembut dia berkata:
"Tinggalkan aku di sini, dengarkan kata-kataku...."
Gongsun Lan mengira Ruan-wei belum boleh bertarung karena masih harus mengobati lukanya,
maka dia tidak mau Ruan-wei bertarung. Ruan-wei mengangguk, dia menuruti apa yang dikatakan
419 Gongsun Lan. Dari pelana Gongsun Lan mencabut pedang yang baru dibelinya kemudian berlari ke
depan 5 pendeta berwarna itu.
Lima pendeta berwarna tahu kalau Gongsun Qiu-jian berilmu tinggi dan juga berpikir pasti putri
Gongsun Qiu-jian juga bukan orang sembarangan. Maka mereka tidak berani bertindak ceroboh.
Dengan formasi kuat mereka menunggu serangan Gongsun Lan.
Dengan sungguh-sungguh Gongsun Lan berkata:
"Beri kami jalan, biarkan kami lewat!"
Lima pendeta berwarna itu tidak berani menjawab, mereka takut jika menjawab mereka pecah
konsentrasinya dan Gongsun Lan akan mengambil kesempatan ini untuk lewat.
Di Zhong-yuan, Gongsun Lan pernah mendengar Wu-dang-pai secara tidak sengaja
mendapatkan 5 pedang berwarna: putih, hitam, kuning, hijau, dan merah dan juga mendapatkan
buku pedang 5 warna. Maka ketua Wu-dang memilih 5 muridnya untuk dilatih ilmu pedang 5
warna pedang. Sebetulnya wajah mereka awalnya biasa saja, karena sering berlatih ilmu pedang berwarna,
maka wajah mereka jadi terpantul oleh sinar dari warna pedang, sehingga wajahnya ikut berubah,
murid tertua wajahnya berubah menjadi pucat. Murid kedua berwajah hitam. Murid ketiga
berwajah kuning. Murid keempat berwajah hijau dan murid kelima berwajah merah, entah
mengapa mereka bisa menjadi seperti itu. Tapi orang-orang dunia persilatan mengatakan karena 5
murid Wu-dang ini siang malam berlatih pedang, maka sinar pedangnya menempel di wajah
mereka.

Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena ada hal begitu misterius, maka dunia persilatan menjuluki 5 saudara seperguruan itu
menjadi pendeta 5 warna. Orang-orang dunia persilatan sangat takut dengan ilmu pedang
mereka. Wajah mereka memang aneh tapi mereka berpandangan lurus, banyak orang jahat mati di
bawah pedang mereka. Karena 5 pedang mereka terlalu lihai, para penjahat jarang ada yang bisa
lolos dari pedang mereka yang misterius. Yang bermasalah dengan mereka, pasti akan mati.
Dalam hati, Gongsun Lan juga takut dengan ilmu pedang 5 warna ini, maka dia tampak ragu
dan tidak berani menyerang. Tiba-tiba di atas gunung terdengar siulan panjang. Siulan ini seperti
naga berteriak tanpa henti. Suara ini seperti memanggil seseorang.
Tidak lama kemudian terdengar lagi siulan dari tempat jauh. Suara ini menyahut siulan yang
pertama. Gongsun Lan tahu siulan yang terakhir dari ayahnya, dia menjadi sangat cemas,
pedangnya mulai bergerak menyerang. Memang hanya satu jurus tapi serangannya menuju 5
arah. Pendeta 5 warna dengan mudah menghindar. Gongsun Lan ingin mengetahui apa yang terjadi
di atas gunung maka dia ingin cepat menyelesaikan pertarungan ini. Pedang tidak ditarik kembali
tapi pergelangannya mengikuti tenaga pinggang menyerang pendeta 5 warna, maksudnya ingin
segera menjatuhkan lima pendeta dengan pedang berwarna itu.
Gongsun Lan belum tahu kalau 5 pendeta berwarna ini sangat kuat. Walaupun pedang tidak
ditarik kembali tapi ilmu Gongsun Lan belum berhasil menjatuhkan pedang 5 pendeta malah
pedangnya hampir ditarik hingga jatuh oleh lawan karena kalah tenaga.
Gongsun Lan benar-benar terkejut. Dengan jurus andalannya, dia bisa keluar dari lingkaran
pedang 5 warna. Gongsun Lan menyerang formasi 5 pendeta berwarna, 5 pedang berwarna
menutupi Gongsun Lan. Jika dia tidak berhati-hati, dia bisa terbunuh.
Tenaga dalam Gongsun Lan tidak sekuat pendeta 5 warna maka dia tidak berani melawan
secara keras, perlahan dia berusaha mencairkan serangan.
Setelah puluhan jurus, Gongsun Lan mulai bisa memahami gerakan ilmu pedang 5 pendeta
berwarna. Dalam hati dia berpikir, 'ilmu pedang mereka ternyata hanya begitu-begitu saja!' Maka
dari jurus bertahan dia merobah menjadi jurus menyerang. Cahaya pedang seperti seuntai rantai
putih dengan cepat melilit 5 pendeta berwarna. Formasi pedang 5 pendeta berwarna tidak
berubah. Mereka seperti tidak menghiraukan serangan Gongsun Lan.
Seratus jurus lebih telah lewat. Dengan bermacam-macam jurus Gongsun Lan menyerang, tapi
tetap tidak bisa keluar dari formasi pedang 5 pendeta berwarna. Sekarang Gongsun Lan baru tahu
kelihaian 5 pendeta berwarna, ternyata formasi mereka sangat sempurna. Asalkan musuh telah
masuk ke dalam formasi pedang maka serangan 5 orang ini tidak berhenti, musuh tidak akan bisa
420 keluar dari formasi ini. Mereka akan membuat musuh kehabisan tenaga dan mati di bawah pedang
mereka. Tapi ilmu pedang Gongsun Lan juga bukan ilmu sembarangan. Jika satu lawan satu, 5 pendeta
berwarna tidak akan sanggup melawan dirinya. Sekarang Gongsun Lan tahu dengan cara terburuburu
dia tidak akan bisa keluar dari formasi pedang mereka, lebih baik dia melawan dengan
tenang. Begitu keputusan sudah diambil maka ilmu pedangnya menjadi sangat teratur dan tidak
menghabiskan banyak tenaga. Bila 5 pendeta berwarna sekarang ingin mengalahkan dia, sudah
tidak mudah. Lima pendeta berwarna bertarung sambil memperhatikan Ruan-wei yang berada sekitar 30
meter dari sana. Dalam pandangan mereka terlihat Ruan-wei memiliki tenaga dalam sangat kuat.
Mereka takut Ruan-wei mendekat dan mereka tidak akan sanggup mencegahnya. Ruan-wei bisa
keluar dan naik ke gunung.
Ketika sampai jurus ke-200, 5 pendeta melihat Ruan-wei datang sambil menuntun kuda.
Mereka merasa cemas dan saling bersiul rendah kemudian pedang dipegang lebih kuat, mereka
dengan cepat memutarnya. Begitu 5 pendeta berwarna berputar, ilmu pedang 5 warna mulai tampak kelihaiannya.
Gongsun Lan yang berada dalam formasi jadi merasa pusing karena warna-warni pedang terus
berputar-putar di kepalanya.
Lima pedang berwarna itu masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda. Ternyata 5
pedang dengan 5 warna bila bergabung digerakan akan mengeluarkan warna yang sangat aneh,
membuat musuh merasa pusing dan kebingungan. Gongsun Lan mulai tidak bisa menentukan
posisi musuh. Kadang-kadang musuh juga tidak terlihat. 5 pendeta seperti berubah menjadi
berpuluh-puluh orang. Karena itu walaupun ilrrai pedang Gongsun Lan hebat sudah pasti dia bukan lawan mereka. 200
jurus berlalu, Gongsun Lan sudah berada dalam bahaya. Jika pendeta 5 warna ingin membunuh
Gongsun Lan, itu akan sangat mudah dilakukan.
Lima pendeta terus memusatkan pikiran menyerang Gongsun Lan mereka lupa memperhatikan
Ruan-wei yang berada di pinggir.
Tiba-tiba terdengar suara kuda berlari, suara ini membuat 5 pendeta berwarna terkejut,
sehingga ilmu pedang mereka sedikit melambat, Ruan-wei datang dengan menunggang Bai-ti-ma
seperti angin topan. Fei-long-jian nya menyerang, 5 pendeta berwarna merasa angin pedang
sangat kuat menerjang. Karena mereka adalah pesilat pedang maka mereka tahu serangan ini
adalah serangan yang berbahaya. Jika terkena sabetan pedang ini, pergelangan mereka akan
tertebas hingga putus. Karena terkejut, 5 pedang bersama-sama diangkat untuk menahan. Segera terdengar suara
TANG... TANG... beberapa kali terdengar. Mereka merasa tangan mereka kaku dan pedang yang
mereka pegang hampir terlepas.
Bai-ti-ma dengan cepat berlari. Ruan-wei yang berada di atas kuda dengan cepat menarik
tangan Gongsun Lan. Begitu 5 pendeta berwarna tahu pedang mereka rusak, mereka terpaku dan
sedih melihatnya. Sedangkan Bai-ti-ma sudah berlari 30 meter lebih dari sana.
Lima pendeta itu sudah dipesan oleh guru mereka tidak boleh meninggalkan tempat maka
mereka tidak berani mengejar Ruan-wei dan Gongsun Lan, mereka hanya melihat tangan kiri
Ruan-wei memegang pedang, tangan kanan memegang Gongsun Lan. pedang di bawah pantulan
sinar matahari mengeluarkan cahaya berkilau. Lima pendeta itu bersamaan berteriak: "Fei-longjian!"
Bai-ti-ma benar-benar kuda luar biasa, walaupun berlari di jalan gunung yang sempit dia tetap
bisa berlari seperti terbang dan tidak merasa takut sedikit pun. Hanya sebentar mereka berada di
pundak Kan-long-shan. Ruan-wei mendudukan Gongsun Lan.
Gongsun Lan tertawa manis mewakili tanda rasa terima kasih dan cintanya yang dalam. Ruanwei
tidak tahu arah, dia membiarkan Gongsun Lan membawa kuda.
Puncak Kan-long-shan sangat luas dan seperti tidak ada puncaknya. Di puncak gunung
pemandangan sangat indah. Di mana-mana terlihat danau. Bai-ti-ma lalu masuk ke sebuah hutan.
Hutan ini luas dan padat, sinar matahari pun sulit masuk, setelah berlari kira-kita 10 menit,
421 mereka semakin masuk ke dalam hutan. Di dalam sulit membedakan mana barat, timur, selatan,
atau utara. Setelah berjalan sekitar 15 menit, mereka hanya melihat pohon yang tumbuh di pinggir danau.
Di danau banyak pohon yang tumbuh tapi tidak terlihat adajalanan.
Gongsun Lan menyuruh Ruan-wei turun dari kuda dan membiarkan kudanya mencari makan
sendiri. Sambil mengelus-elus Bai-ti-ma, Ruan-wei berpesan, "Bai-ti-ma! Bai-ti-ma! Jangan
kemana-mana, tunggulah aku kembali!"
Bai-ti-ma seperti mengerti apa yang diucapkan oleh Ruan-wei. Leher panjangnya terus
mendorong Ruan-wei, seperti berkata, 'Tuan, aku sudah mengerti!'
Gongsun Lan membawa Ruan-wei berjalan di pinggir air, ternyata di dalam air terendam kayukayu.
Orang yang tidak tahu mengira mereka bisa mengambang di air dan berjalan di atasnya.
Karena kayunya terpaku berbelok-belok, orang yang tidak bisa ilmu silat jika ingin lewat di sana
harus berhati-hati sekali, baru bisa berjalan di atas kayu-kayu itu. Tapi bagi Ruan-wei dan
Gongsun Lan berdua, mereka seperti berjalan di atas permukaan tanah yang datar saja. Tidak
lama kemudian mereka tiba di daratan. Semakin berjalan semakin tinggi berarti mereka sedang
memanjat gunung yang terjal.
Semakin lama matahari bersinar semakin terang, mereka keluar dari hutan. Tapi begitu keluar
dari hutan mereka baru tahu ternyata mereka baru sampai di lapang yang berada di tengahtengah
hutan. Lapangan itu sangat luas, ada danau kecil, ada bunga, rumput, pohon, dan bangunan. Gongsun
Lan dengan cepat berlari ke tempat tinggal ayahnya. Setelah diperiksa, tidak terlihat ada Fei-longjian-
ke. Ruan-wei terus mengikuti Gongsun Lan. sambil berjalan dia terkejut melihat tempat yang
berada di tengah-tengah hutan ini, dalam hati dia terus memuji.
Dia melihat ada sebuah rumah kayu. Ruan-wei sangat iri dengan tuan rumah yang begitu
pandai menikmati hidup, tapi Gongsun Lan tidak menemukan ayahnya, dengan cemas dia berkata:
"Kita ke sana mencari ayah!" Sesudah melewati beberapa baris pohon, bisa terlihat di depan sana
ada sebuah tempat yang agak tinggi. Tempat itu seperti sebuah panggung, di sisinya ada sebuah
pondok. Di dalam pondok duduk 4 orang pak tua. 2 orang pak tua adalah pendeta berambut
putih, yang satu adalah pengemis setengah baya berpakaian compang camping. Yang satu lagi
adalah seorang pak tua, wajahnya sangat mirip dengan Gongsun Lan. sekali melihat pasti bisa
tahu, dia tentu ayah Gongsun Lan.
Begitu melihat ayahnya, Gongsun Lan tadinya ingin memanggil, tapi ketika melihat ayahnya
menggelengkan kepala. Gongsun Lan tahu bahwa ayahnya tidak ingin dia mengganggu-nya. Maka
Gongsun Lan menarik Ruan-wei duduk di padang rumput dekat gunung.
Tiba-tiba dari atas ada orang yang bicara. Seorang pendeta berambut putih yang duduk lebih
tinggi dari mereka bertiga, dengan suara berat bertanya-:
"Tuan Gongsun, hutang darah 21 tahun yang lalu, bagaimana cara perhitungannya?"
"Ketua Wu-dang jauh-jauh datang kemari, aku Gongsun Qiu-jian tentu akan menjadi tuan
rumah yang baik. Silakan minum tehnya dulu, mengenai dendam, kita bicarakan nanti,
bagaimana?" Seorang pendeta tua dengan wajah merah membentak:
"Pak Tua Gongsun, kakak seperguruanku sudah meninggal 21 tahun yang lalu, kami tidak ada
waktu bersenang-senang denganmu. Yuan-zhi ingin segera mencabut nyawamu, membalaskan
dendam kakak seperguruan!"
Gongsun Qiu-jian tertawa:
"Aku pernah mendengar di Wu-dang, generasi Yuan yang memiliki sifat paling berangasan
adalah Yuan-zhi. Mendengar lebih baik dari pada bertemu, hari ini aku melihat sendiri ternyata
kata-kata orang tidak salah."
"Apakah kau menertawakan aku" Tidak tahu aturan, huh!" kata Yuan-zhi marah
"Qiu Jian tidak berani!"
"Kalau Aku tidak tahu aturan pun tidak apa-apa, sebab aku lebih baik dibandingkan orang yang
telah mencuri pedang kemudian membunuh!"
Wajah Gongsun Qiu-jian berubah:
"Tuan berkata ini pada siapa?"
422 Tiba-tiba Yuan-zhi berdiri:
"Orang yang aku katakan adalah kau!"
Sikap Yuan-zhi tampak sangat tidak sabaran, sepertinya dia siap bertarung. Ketua Wu-dang
segera berdiri, tingginya lebih satu kepala dibandingkan Yuan-zhi. Dia menahan Yuan-zhi dan
menyuruhnya duduk kembali, dengan sabar dia berkata:
"Adik seperguruan, duduklah kembali!"
Yuan-zhi tidak berani membantah kata-kata ketuanya, sambil menahan emosinya dia duduk
kembali. Ketua Wu-dang berjalan ke arah pengemis setengah baya, dia memberi hormat. Pengemis itu
berdiri dengan tergesa-gesa. Karena Gongsun Lan tidak kenal dengan pengemis itu, maka dia
merasa aneh mengapa ketua Wu-dang bisa begitu hormat kepadanya"
Terdengar ketua Wu-dang berkata-:
"Hari ini kami telah merepotkan ketua Gai-bang untuk meluruskan siapa yang salah dan siapa
yang benar." "Pendeta Yuan-qing silakan duduk dulu," kata pengemis setengah baya itu.
Kemudian pengemis setengah baya itu memberi hormat kepada Gongsun Qiu-jian.
"Aku adalah ketua Gai-bang angkatan ke-21, namaku adalah Gao Shou-pu. Sudah lama aku
mendengar nama besar Pendekar Gongsun, hari ini aku bisa bertemu secara langsung benarbenar
sangat beruntung." Gongsun Qiu-jian segera berdiri dan balas memberi hormat:
"Ternyata pendekar pembela keadilan bisa mengundang ketua Gai-bang menjadi penengah.
Qiu Jian akan menuruti apa yang dikatakan oleh ketua Gai-bang."
Gao Shou-pu tertawa: "Shou-pu bisa dipercaya oleh kedua belah pihak, aku merasa berterima kasih karenanya. Aku
akan mendengar dengan teliti, aku berharap kedua belah pihak jangan curiga kalau aku akan
berbuat tidak enak."
Yuan-qing lebih awal bercerita,
"21 tahun yang lalu, Tuan Gongsun beserta nyonya datang ke Wu-dang. Mereka melukai ketua
Wu-dang, yaitu kakak seperguruan Yuan-ming, apakah Tuan mengakuinya?"
"Qiu Jian tidak sengaja melukai orang, sampai sekarang aku masih menyesali perbuatanku!"
Yuan-zhi mulai marah lagi:
"Kau pasti merasa malu karena kau mencuri kesempatan, ketika di Wu-dang sedang tidak ada
orang, kalian berdua membunuh kakak tertua kami. Aku kira kalau kau mati pun tetap tidak akan
merasa tenang...." Yuan-qing melambaikan tangan melarang Yuan-zhi berbicara terus:
"Apakah Tuan tahu setelah kakak tertua terkena tusukan pedangmu, hari kedua karena terluka
terlalu parah akhirnya beliau meninggal!"
Teringat masa lalu, dengan penuh linangan air mata Gongsun Qiu-jian mengangguk.
Yuan-qing mengangguk: "Kalau begitu, pembunuh harus mati, apakah Ketua Gao menyetujuinya?"
"Bagaimana penjelasan dari Tuan Gongsun mengenai hal ini?" tanya Gao Shou-pu.
Dengan lengan bajunya, Gongsun Qiu-jian menghapus air mata yang mengalir, lama baru dia
bicara: "Memang seharusnya ketika itu aku tidak membunuh Pendeta Yuan-ming."
Yuan-zhi tiba-tiba menangis:
"Kau harus mengganti nyawa kakakku. Pak tua Gongsun, jika kau adalah laki-laki sejati, kau
harus menebus semua kesalahan ini dengan membunuh dirimu sendiri."
Gongsun Qiu-jian tertawa kecut: "Kalau aku mengganti nyawa Pendeta Yuan-ming, siapa yang
mengganti nyawa istriku?"
Dari kalimat tersebut, suara Gongsun Qiu-jian terdengar berubah, terdengar dia sangat sedih.
Dengan terkejut Yuan-qing bertanya: "Benarkan Nyonya Gongsun telah meninggal?"
Gongsun Qiu-jian menarik nafas panjang: "Meninggal, sudah meninggal hampir 21 tahun lalu!"
423 "Aku dengar Nyonya Gongsun adalah 'Zui-ming-nu-xia' (Pendekar wanita pengejar nyawa) Rui
Jing-hua yang berilmu tinggi. Zui-ming-dao nya sangat terkenal di dunia persilatan, apakah
sebabnya sehingga dia bisa meninggal?"
Gongsun Qiu-jian meneteskan air mata dan menjawab:
"Penyebab kematian istriku sama dengan Pendeta Yuan-ming. Dia mati karena satu kali
tusukan pedang itu...."
Yuan-zhi dan Yuan-qing terkejut: "Apakah benar kakak seperguruan juga telah melukai 'Zuiming-
nu-xia'?" Dengan sedih Gongsun Qiu-jian menjawab: "Kenapa tidak" Apakah aku, Gongsun Qiu-jian
adalah orang yang suka membuat peryataan palsu" Dulu jika bukan karena pendeta melukai Rui
Jing-hua, Qiu Jian mana mungkin berani menyerang Yuan-ming dengan pedang?"
Yuan-qing tidak terima: "Demi membela keadilan, maka kakak seperguruan berbuat seperti itu. Karena
kecerobohannya, maka dia telah melukai 'Zui-ming-nu-xia'. Ini bukan salah kakak seperguruan!"
Karena mengenang kematian istrinya, Gongsun Qiu-jian merasa sedih dan marah besar:
"Kenapa bukan salah dia" Selama 21 tahun ini Gongsun Qiu-jian tidak mencari Wu-dang untuk
membalas dendam, kalian seharusnya bersyukur. Tidak disangka, hari ini kalian malah datang
sendiri mencariku!" Yuan-qing agak tenang dan bertanya: "Mengapa Tuan Gongsun Qiu-jian tidak datang saja ke
Wu-dang?" Yuan-zhi berteriak: "Jika kau ke Wu-dang dengan terang-terangan, kakak seperguruanku mana mungkin akan
melukai 'Zui-ming-nu-xia'?"
Gongsun Qiu-jian menjawab dengan sedih: "Kalau begitu apakah istriku pantas mati?"
Yuan-zhi tertawa dingin: "Pendekar yang begitu terkenal tapi mempunyai niat tidak baik!"
Kata-kata ini membuat Gongsun Qiu-jian marah, tiba-tiba dia berdiri, Yuan-zhi juga tidak mau
kalah, dia ikut berdiri. Mereka saling berhadapan seperti siap bertarung.
Tiba-tiba Gao Shou-pu memerintahkan mereka untuk duduk kembali. Melihat sang penengah
mengeluarkan perintah, mereka dengan patuh duduk kembali.
Dengan serius Gao Shou-pu berkata: "Apakah pendekar Gongsun bisa menceritakan kejadian
21 tahun yang lalu dengan jelas agar aku bisa mengerti."
Gongsun Qiu-jian mengangguk, sambil menarik nafas dia berkata:
"21 tahun yang lalu, aku memang mempunyai niat tidak baik, aku datang ke Wu-dang waktu
malam hari... "Ternyata kau mengakuinya juga!" Yuan-zhi tertawa sinis
"Apakah tanganmu sudah gatal dan harus dengan bertarung, baru bisa diam!" kata Gongsun
Qiu-jian Yuan-qing memerintahkan adik seperguruannya jangan mencela dan mendengarkan cerita
Gongsun Qiu-jian: "Masalah dulu, kita tidak ada di sana, siapa yang benar dan siapa yang salah, biar Ketua Gao
yang memutuskannya."
Kata-kata ini menunjukkan sikap seorang pendekar terkenal. Gao Shou-pu diam-diam memuji.
Yuan-zhi tidak takut apa pun tapi dia tetap tunduk pada perintah ketuanya, maka dia diam tidak
bicara lagi. Gongsun Qiu-jian melanjutkan lagi:
"Qiu Jian seumur hidup menyukai pedang seperti nyawanya sendiri. Semua pedang terkenal
sudah kulihat. Ketika itu aku mendengar di Wu-dang ada satu set 5 pedang berwarna dan
ditemukan di sebuah pedang induk. Aku tidak tertarik pada 5 pedang berwarna itu tapi tertarik
pada pedang induk itu. Aku ingin melihat hanya sekedar untuk memenuhi kegemaranku yang
menyukai pedang." "Tapi aku mendengar kata-kata orang luar bahwa Wu-dang-pai selalu menolak orang yang
ingin melihat 5 pedang berwarna ini. Maka diam-diam Qiu Jian berpikir jika 5 pedang berwarna itu


Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilarang untuk dipertontonkan, apalagi pedang induknya."
424 "21 tahun yang lalu, di suatu pagi, aku dan istriku meminta ijin kepada ketua Wu-dang hanya
ingin melihat pedang induk tapi permintaan kami ditolak oleh Wu-dang-pai. Karena satu set
pedang itu bukan benda sakti turun temurun dari Wudang. Mereka hanya secara tidak sengaja
mendapatkannya. Mengapa tidak mengijinkan orang lain melihatnya?"
Yuan-qing menarik nafas panjang: "Di 5 pedang berwarna itu terdapat ukiran 5 jurus pedang.
Karena kakak ketua takut diketahui orang dunia persilatan yang serakah, maka satu set pedang itu
tidak diijinkan untuk diperlihatkan kepada umum. Karena itu kakak seperguruan telah
mendapatkan banyak musuh!" Yuan-zhi ikut bicara:
"Harus diketahui, satu set pedang itu bukan secara sengaja kami dapatkan. 200 tahun yang
lalu, pedang itu telah menjadi benda sakti Wu-dang, hanya saja tetua-tetua kami terdahulu telah
menguburnya. 22 tahun yang lalu baru secara tidak sengaja ditemukan."
Sesudah Yuan-qing dan Yuan-zhi habis bicara, Gongsun Qiu-jian meneruskan ceritanya:
"Aku salah karena seumur hidup terlalu menyukai pedang. Waktu itu setiap hari aku merasa
hidupku tidak tenang, istriku melihat aku begitu tersiksa, maka dia memberi ide untuk mencuri
dan menikmati pedang itu selama 3 hari 3 malam baru dikembalikan lagi kepada Wu-dang-pai."
"Aku pikir memang Wu-dang-pai terlalu sekali, hanya dengan cara seperti ini baru bisa melihat
pedang itu. Aku menyetujui ide istriku. Malam itu juga kami naik ke Gunung Wu-dang. Tapi karena
kegemaranku ini malah membuat istriku mati. Selama 20 tahun ini setiap hari aku selalu menyesali
perbuatanku." "Malam itu di Wu-dang-shan penjagaan sangat ketat tapi kami berdua dengan mudah masuk ke
tempat penyimpanan pedang. Tempat itu sangat luas maka kami berdua berpencar harus
............ ==== halaman 1144-1145 hilang karena salah cetak ====
........baru sekarang dia mengetahui penyebab kematian ibunya.
Sesudah puas menangis, Gongsun Qiu-jian bercerita lagi:
"Setelah itu aku pun tahu, pada hari kedua Pendeta Yuan-ming juga meninggal. Dalam
Pendekar Binal 2 Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Kuda Putih 1
^