Pencarian

Dendam Sembilan Iblis Tua 1

Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


DENDAM SEMBILAN IBLIS TUA
Asmaraman S Kho Ping Hoo Thai-san merupakan pegunungan yang
puncak-puncaknya menjulang tinggi, bahkan ada sebagian puncaknya yang
selalu diliputi salju. Pegunungan itu luas
sekali, mempunyai banyak lembah yang
penuh dengan hutan-hutan rimba yang
liar. Hanya di kaki pegunungan itu dan di 1ereng bagian bawah
saja nampak dusun-dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa
puluh buah rumah sederhana.
Penghuni dusun-dusun itu hanya petani-petani dan sebagian pula
adalah pemburu-pemburu binatang. Hidup mereka amat
sederhana dan dusun-dusun itu nampak kecil tidak berarti di
pegunungan yang besar, tinggi dan luas itu.
Pada suatu hari, ketika matahari pagi mulai mengusiri kabut pagi
di lereng-lereng pegunungan Thai-san, cuaca yang amat cerah itu
mendatangkan suasana yang amat gembira dan bahagia. Di
dalam keadaan mereka yang diam, pohon-pohon besar
menikmati kehangatan sinar matahari pagi yang membebaskan
mereka dari kedinginan yang menyelimuti mereka sepanjang
malam, yang membuat daun-daun mereka hampir beku dan kini
embun-embun berkilauan tergantung di daun-daun mereka.
Embun itu makin menebal dan siap jatuh musnah di atas tanah di
bawah sana. Pada ranting-ranting di mana hinggap burungburung kecil yang berloncatan sambil berkicau, embun-embun itu
sudah rontok sejak tadi. 1 Tempat yang sunyi, liar, luas dan banyak hutan dan bagian yang
sukar sekali dimasuki manusia itu menjadi tempat yang amat
disuka oleh para penjahat dan buruhan pemerintah, sebagai
tempat untuk menyembunyikan diri. Ke situlah para penjahat
besar melarikan diri kalau mereka dikejar oleh pasukan
keamanan pemerintah atau oleh para pendekar yang memusuhi
mereka. Oleh karena itu, tidak ada rakyat biasa berani mencoba
untuk mendaki Pegunungan Thai-san, melewati daerah aman di
kaki-kaki gunung. Bahkan para pemburu tidak berani memasuki
hutan yang masih asing bagi mereka, takut kalau bertemu
dengan penjahat-penjahat besar yang bersembunyi.
Oleh karena itu, para penduduk dusun yang melihat seorang pria
tua berpakaian sasterawan seorang diri mendaki bukit pertama di
pegunungan itu, memandang dengan heran dan juga khawatir.
Orang itu mencari mati, bisik mereka, mati konyol! Orang dusun
yang miskin dan tidak membawa apa-apa yang berharga
sekalipun tidak akan berani lancang mendaki pegunungan itu.
Dan pria yang naik dari gunung sebelah selatan ini jelas bukan
orang dusun yang miskin. Dia seorang yang berpakaian
sasterawan, pakaian dari sutera putih yang bersih dan halus,
membawa buntalan yang cukup besar dari kain kuning yang
terbuat dari sutera pula, tangan kanan memegang sebuah kipas
besar dan di pinggangnya terselip sebatang pena yang terbuat
dari logam kuning berkilauan. Emas!
Dan dengan pakaian seperti itu, dia berani mendaki Pegunungan
Thai-san! Mencari penyakit itu namanya, demikian para penduduk
2 dusun saling berbisik. Bahkan seorang kakek dusun itu yang
merasa kasihan, tadi menghadangnya dan menasihatinya agar
jangan mendaki terlalu jauh karena pegunungan itu berbahaya.
Namun sasterawan tua yang usianya tentu sudah ada enampuluh
tahun itu, hanya mentertawakannya dan melangkah terus dengan
gaya congkak. Sasterawan itu melenggang, mendaki bukit dan diikuti pandang
mata beberapa orang dusun yang tadi berusaha untuk
memperingatkannya. Tubuhnya yang jangkung kurus itu tidak
mengesankan dan setelah dia lenyap ditelan pohon-pohon di
hutan pertama, para penduduk membicarakannya dengan hati
tegang. Tak lama lagi sasterawan itu tentu akan mati di dalam
hutan dan seluruh bawaannya, bahkan pakaiannya yang melekat
di tubuhnya, akan habis dirampok orang dan tubuhnya yang
dibiarkan telanjang di dalam hutan, tak lama lagipun akan habis
digeroti binatang hutan yang buas!
Apa yang dikhawatirkan para penduduk dusun itu memang
segera terjadi. Baru saja sasterawan tua itu tiba di tengah hutan
pertama yang berada di lereng bukit, sudah melampaui batas
yang aman, tiba-tiba saja bermunculan sebelas orang yang ratarata berusia tigapuluh sampai empatpuluh tahun, bertubuh kekar
dan bersikap bengis. Dari wajah dan gerak gerik mereka saja
mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa
mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya
kepada orang lain. Begitu berloncatan keluar dari balik pohon-pohon dan semak
belukar, sebelas orang yang semua memegang golok besar itu
3 sudah mengepungnya dengan setengah lingkaran. Pemimpin
mereka, yang dahinya dihias codet bekas luka memanjang dari
kanan ke kiri, menyeringai memperlihatkan giginya yang besarbesar, seperti seekor harimau yang mengancam calon
mangsanya. "Ha-ha-ha, kiranya seorang sasterawan sinting!" kata seorang di
antara mereka sambil terkekeh seolah melihat sesuatu yang lucu.
Sasterawan itu bersikap tenang saja dan andaikata sebelas orang
itu tidak terlalu mengagungkan diri sendiri dan selalu
meremehkan orang lain, hal ini saja sebenarnya sudah
merupakan hal yang luar biasa. Bagaimana seorang sasterawan
tua yang dihadang sebelas orang penjahat yang demikian
menyeramkan, masih dapat bersikap enak-enak saja" Tentu ada
sesuatu yang diandalkan oleh sasterawan itu. Kalau tidak,
sepantasnya dia sudah ketakutan sekali.
Sasterawan itu memandang kepada orang yang tadi mengatakan
dia sinting. "Kenapa kaubilang aku sasterawan sinting?" tanyanya, suaranya
lembut dan mulutnya tersenyum ramah.
Melihat sikap ini, sebelas orang itu bukan curiga, bahkan tertawatawa geli dan si codet yang menjadi pemimpin berkata,
"Sasterawan gila! Kalau engkau tidak sinting, tentu tidak akan
berani memasuki hutan ini seorang diri, membawa buntalan itu.
Setidaknya, tentu terisi pakaian-pakaian bagus dan uang bekal
perjalanan, ha-ha-ha!"
4 "Engkau benar, buntalan ini memang terisi pakaian bersih dan
ada belasan tail emas limapuluh tail perak. Habis, kenapa?" tanya
sasterawan itu. "Dan pena di pinggangnya itu seperti emas!" kata seorang
anggauta gerombolan itu sambil menunjuk ke arah benda yang
terselip di pinggang sasterawan itu.
Sasterawan itu menyingkap bajunya dan meraba benda itu.
Sebatang mouw-pit (pena bulu) yang gagangnya sepanjang dua
jengkal sebesar jari telunjuk dan terbuat dari pada emas murni!
"Wah, matamu sungguh jeli," katanya memuji orang itu. "Pena ini
memang terbuat dari pada emas."
Para perampok itu, saling pandang dan kini mereka benar
menduga bahwa sasterawan itu tentu gila. Membawa uang
demikian banyak, benda berharga, memasuki hutan itu dan
terang-terangan mengaku tentang uang dan pena emas.
Si codet mengelebatkan goloknya. "Sasterawan gi1a. Karena
engkau berterus-terang, kamipun tidak ingin membunuhmu,
bahkan membiarkan pakaianmu yang menempel di tubuhmu.
Berikan buntalan dan kim-pit (pena emas) itu kepada kami dan
kembalilah engkau cepat-cepat sebelum kami mengubah
keputusan kami." Sasterawan itu mengangkat muka, menyapu mereka semua
dengan pandang matanya, mengembangkan kipasnya dan
mengebut-ngebutkan kipas untuk mengusir kegerahan, kemudian
5 dia berkata, suaranya masih lembut namun kini mengandung
kesungguhan. "Nanti dulu! Sebelum aku memenuhi semua permintaanmu,
katakan dulu apakah kalian ini anak buah dari Thai-san Ngo-kwi
(Lima Iblis Thai-san)?"
Sebelas orang itu saling pandang, dan si codet segera
melangkah maju mendekat dan membentak. "Mengapa engkau
menanyakan Thai-san Ngo-kwi?"
Sastrawan itu tersenyum. "Tidak apa-apa, hanya kalau kalian ini
anak buah mereka, bawalah aku menghadap mereka karena
kami adalah kenalan lama. Akan tetapi kalau kalian bukan anak
buah mereka, hem, terpaksa aku harus membunuh kalian."
Tentu saja sebelas orang itu menjadi terkejut dan juga marah
bukan main mendengar ucapan yang sungguh tak pernah mereka
sangka itu. Sasterawan yang tadinya mereka sangka gila itu
ternyata kini malah mengancam hendak membunuh mereka
semua! Biarpun mereka juga tentu saja tunduk akan kekuasaan
Thai-san Ngo-kwi di wilayah pegunungan itu, namun mereka
merupakan gerombolan tersendiri dan bukan anak buah lima
orang kepala gerombolan itu.
"Sasterawan tua gila, berani kau main-main dengan kami"
Andaikata kami anak buah mereka sekalipun, kami tidak akan
sudi mengantar kau menghadap mereka. Dan kami bukan anak
buah mereka. Kau hendak membunuh kami" Ha-ha-ha!
Kesombonganmu ini harus kautebus dengan nyawa.......!"
6 Si codet mengangkat goloknya ke atas dan menerjang maju,
membacokkan goloknya ke arah sasterawan itu. Akan tetapi, tibatiba saja dia berteriak keras dan terjengkang, terbanting keras
dan berkelonjotan sekarat karena tenggorokannya telah dimasuki
sebatang jarum yang tadi tanpa dapat di lihat mata telah melesat
keluar dari ujung gagang kipas yang dikebut-kebutkan!
Sepuluh orang anak buahnya terkejut dan marah sekali. Mereka
semua menggerakkan golok dan mengepung, lalu menyerang
dari segala jurusan. Namun, sasterawan itu hanya menggerakkan
kipasnya beberapa kali dan sepuluh orang itupun menjerit dan
roboh satu demi satu, semuanya roboh berkelonjotan dan tewas!
Sasterawan berpakaian putih itu tersenyum mengejek, mengebutngebutkan ujung lengan baju dan menggunakan tangannya
mengebut jubah depan, yang agak kotor terkena debu, kemudian
tanpa menoleh lagi dia melanjutkan pendakiannya seolah tidak
pernah terjadi sesuatu. Siapakah sasterawan tua yang begitu lihai dan berdarah dingin
sehingga dalam sekejap mata saja dia mampu membunuh
sebelas orang penjahat seperti orang membunuh semut saja"
Kalau sebelas orang itu mengetahui siapa dia, tentu mereka tidak
akan berani berlagak hendak merampoknya.
Sasterawan itu adalah seorang datuk besar dunia persilatan,
seorang tokoh besar kaum sesat yang termasuk seorang di
antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Tak seorangpun tahu
siapa namanya, hanya mengenal julukannya saja, yaitu Kim Pit
Siu-cai (Sasterawan Pena Emas) karena dia selalu
7 mempergunakan pena emas untuk menulis dan juga untuk
membunuh lawan yang lihai.
Datuk sesat berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus
ini sebenarnya sudah lama sekali tidak pernah melakukan aksi di
dunia kang-ouw, dan agaknya dia hendak menikmati sisa hidup di
masa tua dengan ketenangan karena dia sudah kaya raya. Oleh
karena itu, kalau sekarang dia turun ke dunia ramai, tentu ada
sesuatu yang amat penting dan dapat diramalkan bahwa setelah
datuk ini turun gunung tentu akan terjadi hal-hal yang
mengerikan. Dan ini terbukti di hutan itu, di mana dia membunuh
sebelas orang seenaknya saja!
Kim Pit Siu-cai selama bertahun-tahun ini seperti bersembunyi
saja di rumahnya yang besar, di lereng sebuah bukit di pantai
timur, dan memang sekali ini, dia mendaki Thai-san membawa
kepentingan besar yang akan menggegerkan dunia kang-ouw.
"Y" Pada hari itu juga, ketika Kim Pit Siu-cai mendaki bukit dari
selatan bagian timur, dari arah selatan melalui daerah yang
terpisah sepuluh lie saja dari jalan yang ditempuh Kim Pit Siu-cai,
nampak seorang wanita yang juga mendaki bukit pertama
Pegunungan Thai-san. Pagi-pagi sekali, wanita itu memasuki dusun terakhir di lereng
bukit sebelah bawah, sebuah dusun yang hanya mempunyai
limabelas rumah, yaitu rumah keluarga para pemburu. Begitu ia
memasuki dusun itu, terdengar tangis seorang bayi dan ternyata
wanita itu memondong seorang bayi yang usianya paling banyak
8 tiga bulan. Bayi yang gemuk dan kulitnya masih tipis kemerahan,
seorang bayi perempuan yang sehat dan mungil.
"Diamlah, sayang, diamlah. Ibu sayang kepadamu, manis.
Diamlah, sayang dan jangan menangis......" katanya dengan
suara merdu dan seperti bernyanyi, dan ia mengayun-ayun bayi
itu dalam pondongannya. Kalau melihat keadaan wanita itu, tidak mungkin ia ibu anak itu.
Wanita itu sedikitnya berusia limapuluh tahun, atau tentu lebih
hanya nampak baru limapuluh tahun karena ia pesolek. Bentuk
tubuhnya masih ramping dan wajahnya masih nampak cantik
karena ia memakai bedak, pemerah bibir dan pipi, penghitam alis
dan tepi mata, rambutnya hanya sedikit terhias uban, dan di sisir
rapi, di gelung ke atas. Pakaiannyapun indah seperti pakaian wanita hartawan atau
bangsawan. Sedangkan bayi perempuan itu, walaupun sehat
gemuk dan mungil, akan tetapi mengenakan pakaian lusuh dari
kain kasar, seperti biasa anak-anak dusun dari orang tua miskin.
Biarpun diayun-ayun, bayi itu tetap menangis. "Diamlah, sayang,
apakah engkau lapar" Haus" Ibumu juga haus, sayang," katanya
dan wanita itu melihat sebuah bangku di depan pekarangan
rumah kecil. Ia memasuki pekarangan dan duduk di atas bangku
itu. Bayi itu dipondongnya, lalu diciuminya, dahinya, kedua
pipinya, lehernya dan sampai lama ia membenamkan mukanya di
leher bayi itu, yang baunya sedap. Anehnya, bayi itu segera
berhenti menangis, berhenti meronta!
9 Daun pintu rumah kecil itu terbuka dan seorang ibu petani, isteri
pemburu yang tinggal di situ, keluar sambil menggendong
anaknya. Ia menggendong sambil menyusui bayinya dan keluar
karena tertarik oleh tangis bayi tadi.
"Syukurlah anak itu sudah diam," kata ibu itu sambil mendekat
dan melihat pakaian wanita itu, ia terbelalak heran. "Eh,
nyonya...... dari manakah?" Belum pernah ia melihat wanita
memakai pakaian seindah itu, dan rambut wanita itupun di gelung
secara indah dan dihias emas permata.
Wanita itu masih membenamkan mukanya di leher anak yang kini
terdiam, dan ia hanya mengangkat mukanya sedikit sehingga
nampak hanya sepasang mata ke atas. Ketika melihat seorang
wanita muda menyusui seorang bayi yang montok, matanya


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersinar-sinar. Wanita yang masih menyembunyikan mukanya di leher bayinya
dengan sikap penuh kasih sayang itu, tanpa memperlihatkan
muka, berkata, "Engkau masih menyusui" Tolonglah kaususui
bayiku ini......" Wanita itu mencabut payudaranya dari mulut anaknya yang
sudah kenyang dan dengan lapang hati ia bersedia untuk
menyusui bayi orang lain.
"Baiklah, mari saya susui anak itu......"
Ucapanya terhenti dan ia terbelalak memandang kepada wajah
cantik yang kini sudah diangkat dari leher anak itu. Wajah yang
cantik, dengan perhiasan anting-anting dan kalung yang mewah,
10 akan tetapi wajah yang pantasnya menjadi nenek dari bayi itu.
Bukan ini yang membuat isteri pemburu itu terbelalak, akan tetapi
juga sinar mata yang tajam menusuk dan noda merah berlepotan
sedikit pada ujung bibir.
"Nah, susuilah anakku, dan mana kugendongkan dulu anakmu
itu," kata si wanita cantik.
Isteri pemburu menggeleng kepala, akan tetapi karena ia tadi
sudah menyatakan setuju, iapun tidak melawan ketika anaknya
diraih dari gendongannya dan sebagai gantinya, ia memondong
bayi dari tangan wanita cantik itu.
"Aduh montoknya......! Sayang, engkau manis sekali, hemm, tentu
belum tiga bulan anak ini. Mari ikut ibu, sayang......" Wanita cantik
itu mencumbu bayi montok itu.
Di lain pihak, isteri pemburu yang payudaranya masih menetesnetes air susu dan siap hendak menyusui bayi yang
dipondongnya, terbelalak ketika melihat keadaan bayi itu.
Seorang bayi perempuan yang badannya montok sehat, akan
tetapi ketika ia memandangnya, muka bayi itu pucat seperti
kertas, bahkan kebiruan, matanya mendelik dari lehernya yang
mulus itu berlepotan darah, napasnya tinggal satu-satu!
Ia menjerit. "Iiihhh...... anak ini......!"
Ia mengangkat muka dan melihat betapa wanita cantik itu
melenggang santai meninggalkan tempat itu, keluar dari
pekarangan rumahnya. 11 "Heiiiii...... tidak....., tidaaaaak.......! Kembalikan anakku......!" Ia
mengejar keluar. Mendadak wanita cantik itu membalikkan tubuhnya, matanya
mencorong akan tetapi mulutnya tersenyum dan ketika ia
menyeringai itu, nampak sebelah dalam bibirnya masih
berlepotan darah, juga sebagian giginya!
"Kita tukar saja, bayi ini untukku dan bayi itu untukmu."
"Tidak! Kembalikan anakku! Kembalikan...... tolooonggg......!"
Isteri pemburu yang sudah ngeri ketakutan itu menjerit minta
tolong. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap meloncat keluar dari dalam
rumah itu. Dia adalah suami wanita yang mempunyai anak tadi.
Dia heran mendengar jeritan isterinya dan ketika keluar, ia
melihat isterinya mengejar seorang wanita cantik. Wanita itu
membalik dan nampak tangannya bergerak dan tiba-tiba dia
melihat isterinya terjungkal dan roboh dengan bayi masih dalam
pondongannya. "Heiiii......!" Pemburu itu meloncat dengan kaget dan marah.
Ketika dekat dengan isterinya, ia berlutut dan dapat dibayangkan
betapa kagetnya melihat isterinya sudah rebah dengan mata
mendelik dan nyawa putus! Dan bayi dalam pondongannya yang
pucat sekali itu bukanlah anaknya. Pantas isterinya tadi berteriak
minta dikembalikan anaknya. Isterinya dibunuh wanita cantik itu
dan tentu anaknya yang kini dibawa pergi wanita itu.
12 Tangis bayi menyadarkan dan dia menoleh, memandang wanita
berpakaian serba merah yang cantik dan bertubuh ramping itu.
Wanita itu menimang-nimang bayinya sambil melangkah pergi.
"Diamlah, sayang, diamlah...... ibu sayang padamu......"
"Heiii, tunggu......!!" Pemburu itu bangkit dan lari mengejar, lalu
menghadang di depan wanita itu yang menghentikan langkahnya.
"Engkau siluman! Kenapa kaubunuh isteriku" Dan itu anakku,
kembalikan!" bentak si pemburu dengan marah sekali.
Wanita itu mengangkat muka memandang kepadanya, tersenyum
mengejek. "Minggirlah kalau engkau tidak ingin menyusul
isterimu." Tentu saja pemburu itu marah bukan main. "Siluman jahat!"
bentaknya dan diapun menerjang maju sambil mengangkat
tangan kanannya ke atas lalu menghantam ke arah kepala wanita
cantik itu. Dengan tenang saja, wajahnya masih tersenyum wanita itu
menyambut tangan si pemburu dengan tangan kirinya. Begitu
pergelangan tangan kanan pemburu itu dapat ditangkapnya, si
pemburu mengaduh kesakitan. Seluruh otot pergelangan tangan
dan tulang-tulangnya seperti putus-putus dan patah-patah. Tibatiba tangan kecil halus yang menangkap pergelangan tangan
kanan itu lepas dan sebuah tamparan tangan itu menyambar ke
arah dahi si pemburu. 13 "Plakk!" Pemburu itu
berkelojotan dan tewas! mengeluh dan terpelanting roboh, Anak bayi itu masih menangis dan wanita itu mendekapnya
sambil menimang-nimang, "Diamlah sayang...... diamlah
anakku......" dan iapun melangkah pergi dengan tenang.
Para tetangga mendengar teriakan-teriakan dan tangis bayi itu.
Lima orang pemburu menghambur keluar dari rumah masingmasing dan lari ke rumah pemburu yang tewas.
Ketika melihat pemburu dan isterinya menggeletak tak bergerak
di pekarangan rumah mereka, lima orang pemburu itu segera
dapat menduga apa yang terjadi. Mereka melihat sahabat mereka
dan isterinya tewas, dan seorang wanita cantik meninggalkan
pekarangan rumah itu sambil memondong seorang bayi yang
menangis! Tentu wanita itu telah menculik bayi mereka dan
membunuh suami isteri itu!!
"Heiii...... tunggu......!!"
"Berhenti......!!"
Sambil berteriak-teriak, lima orang pemburu itu berlari mengejar
wanita itu sambil mencabut golok mereka dan tak lama kemudian,
mereka telah dapat menyusul dan menghadangnya, mengepung
setengah lingkaran dengan sikap mengancam. Wanita itu telah
tiba di tepi hutan di luar dusun dan kini ia mengangkat mukanya,
memandang kepada lima orang pemburu yang marah itu dengan
bibir tersenyum. 14 "Kalian mau apa" Biarkan aku pergi," kata wanita itu dengan
suara lembut. "Engkau membunuh seorang kawanku dan isterinya, dan
menculik putera mereka?"
Wanita itu tersenyum dan mengangguk dengan sikap seorang
yang tidak merasa bersalah sedikit pun.
"Engkau membunuh dan menculik dan mau pergi begitu saja?"
"Habis kalian mau apa" Jangan mencampuri urusanku kalau
kalian tidak ingin menyusul dua orang itu."
Mendengar ancaman itu, lima orang pemburu itu semakin marah.
Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang
wanita iblis yang amat aneh dan kejam, seorang penculik bayi
dan pembunuh. "Serahkan bayi itu dan menyerahlah, kalau tidak ingin kami
bunuh!" bentak mereka.
"Hemm, aku tidak banyak waktu untuk melayani kalian.
Membunuh kalianpun tidak ada harganya!" kata wanita itu dan
sekali tubuhnya bergerak, ia telah meloncat jauh dan tiba di hutan
itu. Pada saat itu, dua orang pemburu lain keluar dari dalam hutan
karena mereka baru saja pulang memasang jerat. Melihat lima
orang rekan mereka mengejar seorang wanita cantik yang
memondong bayi, mereka tahu bahwa pasti ada sesuatu yang
15 tidak beres dengan wanita itu dan merekapun menghadang di
depan wanita itu sambil melintangkan tombak mereka.
"Berhenti dulu!" seru mereka.
Melihat dua orang kawan mereka, lima orang itu berteriak-teriak.
"Iblis wanita itu telah membunuh A-ciu dan isterinya dan menculik
anak mereka!" Dua orang pemburu yang memegang tombak itu terkejut bukan
main dan tentu saja mereka sudah melintangkan tombak dan
mengancam sehingga wanita itu kini berhenti lagi. Akan tetapi ia
masih tersenyum-senyum ketika akhirnya lima orang pengejarnya
tadi tiba di situ dan tujuh orang pemburu mengepungnya dengan
senjata di tangan dan sikap bengis mengancam.
"Agaknya kalian memang sudah bosan hidup," katanya santai
saja. "Engkau yang bosan hidup, iblis betina jahat!" bentak seorang
pemburu termuda yang sudah tak dapat menahan
kemarahannya. Dari belakang wanita itu, dia membacokkan
goloknya ke arah kepalanya.
Wanita itu nampaknya tidak tahu bahwa dirinya diserang dari
belakang, akan tetapi begitu golok menyambar dekat kepalanya
dari atas, tubuhnya tiba-tiba miring dan berputar, dan begitu golok
lewat menyambar di pinggir tubuhnya, tangan kanannya bergerak
menampar, jari-jari tangannya mengenai pelipis penyerang itu
dan diapun roboh terpelanting dan berkelojotan sekarat! Wanita
itu tersenyum, tangan kirinya memondong dan mendekap bayi
16 yang masih menangis, dan menghadapi enam orang pemburu
yang lain dengan tangan kanan yang kosong saja.
Enam orang pemburu sudah menyerangnya dari segala jurusan.
Namun, tubuh wanita berpakaian merah itu sungguh gesit bukan
main. Bagaikan seekor burung merah, tubuhnya berkelebatan di
antara gulungan sinar golok dan tombak, menyelinap dan tak
pernah ada senjata mampu menyentuh ujung, baju atau ujung
rambutnya. Sambil berkelebatan, tangan kanannya membagi-bagi tamparan
dan setiap kali ada pemburu yang kena ditampar, tentu
terpelanting roboh dan tidak dapat bangkit kembali karena tewas
seketika. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, tujuh orar;g
pemburu itu sudah roboh semua. Tewas!
Dan wanita itu berlenggang memasuki hutan, mendaki bukit.
Sebentar saja lenyap ditelan pohon-pohon, dan hanya tangis bayi
itu saja yang menjadi petunjuk ke arah mana ia pergi.
Tujuh orang pemburu yang lain datang mengejar dari
perkampungan mereka. Mereka itu terkejut bukan main melihat
mayat kawan-kawan mereka berserakan. Dengan hati gentar
mereka mencoba untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya
mereka menemukan bayi putera rekan mereka yang tadi diculik.
Bayi itu telah tewas dengan leher terluka bekas gigitan dan
hisapan! Gegerlah mereka dan dengan hati duka, marah dan juga takut
mereka mengurus jenazah rekan-rekan mereka. Tahulah para
pemburu itu bahwa wanita baju merah itu tentu seorang iblis
17 betina, seorang wanita yang melatih ilmu sesat dan
mengorbankan nyawa dan darah anak-anak bayi. Mereka tidak
dapat berbuat apa-apa karena maklum bahwa mereka bukanlah
lawan iblis betina itu, apa lagi iblis itu lenyap tanpa meninggalkan
bekas lagi. Para pemburu itu menduga benar. Wanita yang nampak cantik
pesolek itu memang seorang iblis betina, seorang datuk sesat
yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw di selatan.
Ia berjuluk indah sekali, yaitu Ang I Sian-li (Dewi baju merah),
seolah-olah ia seorang dewi yang selain cantik jelita juga
berwatak mulia! Pada hal, ia seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)
yang tersohor itu, dan kejamnya tidak kalah oleh rekan-rekannya.
Ia juga hidup kaya raya di pegunungan selatan, dan sudah lama
tidak pernah muncul di dunia kang-ouw. Kini, begitu muncul, ia
telah memperlihatkan kekejaman yang mendirikan bulu roma,
hanya untuk memuaskan "kehausan" akan darah bayi untuk
memperkuat ilmunya! "Y" Thai-san Ngo-kwi adalah lima orang tokoh kang-ouw yang sudah
lama berkuasa di sekitar Pegunungan Thai-san, mengepalai para
penjahat yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang!
Pekerjaan mereka adalah menguasai jalan-jalan dan dusundusun di sekitar pegunungan itu. Kalau ada orang lewat di jalan
yang mereka kuasai, maka orang lewat itu harus membayar
pajak, kalau tidak ingin disiksa atau dibunuh.
18 Dan para kepala dusun juga membayar pajak kepada mereka
kalau tidak ingin dusunnya diobrak-abrik. Dari hasil pemerasan
dan perampokan inilah mereka hidup, bahkan Thai-san Ngo-kwi
dapat hidup cukup mewah karena di beberapa kota di kaki
gunung itu, mereka juga menguasai rumah-rumah judi dan
rumah-rumah pelesir. Mereka sendiri selalu tinggal di sarang mereka, di puncak Bukit
Hitam, yaitu satu di antara puluhan buah bukit di Pegunungan
Thai-san. Di puncak Bukit Hitam itu terdapat perkampungan
mereka, dan di tengah-tengah berdiri bangunan besar yang
cukup mewah, tempat tinggal Thai-san Ngo-kwi yang tidak
pernah berkeluarga itu. Bangunan ini dikelilingi bangunan-bangunan lain yang menjadi
tempat tinggal anak buah mereka yang jumlahnya seratus orang
lebih. Juga tidak seorangpun di antara anggauta mereka itu
diperbolehkan berkeluarga. Perkampungan para penjahat itu
dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi, seperti sebuah
benteng saja, dan di pintu gerbang siang malam selalu dijaga!
Thai-san Ngo-kwi merupakan lima orang bersaudara seperguruan
dan mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang cukup
tinggi dan kuat. Usia mereka dari tigapuluh lima sampai
empatpuluh lima tahun dan mereka itu dikenal dari yang pertama
sampai yang ke lima sebagai Thai-kwi (Setan Pertama), Ji-kwi
(Setan Kedua), Sam-kwi (Setan Ketiga), Su-kwi (Setan Keempat)
dan Ngo-kwi (Setan Kelima).
19 Selain lima orang yang memiliki ilmu silat dahsyat dan kuat itu,
juga anak buah mereka yang jumlahnya banyak merupakan suatu
kekuatan yang disegani lawan. Karena itu, Thai-san Ngo-kwi
dapat merajalela tanpa ada yang berani menentang mereka.
Pada pagi hari itu, hari yang istimewa di mana terjadi hal-hal
menyeramkan di kaki pegunungan sebelah selatan karena
munculnya Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li, di sarang
gerombolan penjahat itupun terjadi hal yang aneh. Matahari telah


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naik agak tinggi, telah mengusir embun dan hawa dingin
sehingga belasan orang anak buah gerombolan yang berjaga di
pintu gerbang, tidak lagi kedinginan.
Api unggun sudah dipadamkan dan mereka duduk berjemur di
bawah sinar matahari pagi yang hangat lembut sambil bercakapcakap. Pintu gerbang sudah sejak tadi dibuka dan para anggauta
gerombolan sudah berlalu lalang keluar masuk.
Tiba-tiba para penjaga itu memandang keluar dan belasan orang
itu segera bangkit berdiri dan menghadang di pintu gerbang,
memandang kepada seorang pria yang entah dari mana
datangnya, tahu-tahu telah berada di depan pintu gerbang itu. Hal
ini sungguh merupakan suatu keanehan.
Bagaimana mungkin ada orang dapat sampai ke pintu gerbang
itu" Pada hal, di bawah bukit sana terdapat banyak anak buah
gerombolan dan orang ini pasti telah dihadang sebelum dapat
tiba di pintu gerbang! Ataukah orang ini mengambil jalan melalui
hutan-hutan dan sengaja bersembunyi, menyelundup sampai ke
situ. 20 "Heii, orang tua! Siapa engkau dan mau apa engkau datang ke
sini?" bentak seorang anggauta gerombolan yang mukanya
bopeng bekas cacar. "Hayo cepat pergi dari sini kalau tidak ingin
kupenggal batang lehermu!"
"Tidak, dia harus berlutut dan minta-minta ampun, lalu kita
tangkap dia dan seret dia menghadap pimpinan!" kata orang
kedua yang mukanya hitam.
Kakek itu berdiri di depan mereka. Seorang kakek yang usianya
enampuluh lima tahun, rambut dan kumisnya sudah putih semua,
nampak tua dan ringkih, dengan pakaian yang agak kusut. Kakek
ini memegang sebatang tongkat berbentuk ular.
Kalau tongkat itu dari kayu yang diukir, maka sungguh pandai
pengukirnya karena mirip ular benar-benar. Gagangnya menjadi
kepala ular dan ujungnya menjadi ekor ular.
Ketika dua orang anggauta gerombolan itu mengeluarkan ucapan
kasar dan menghina kepadanya, kakek itu memandang kepada
mereka dengan sinar mata mencorong, dan beberapa kali, secara
aneh sekali, lidah kakek itu menjilat bibir sendiri dengan gerakan
cepat, mengingatkan orang akan kebiasaan seekor ular yang
suka menjilat bibir dengan lidah secara cepat. Lidah itu hanya
nampak sekejap saja, menjulur ke luar dan lenyap lagi ke balik
bibir. Si bopeng dan si muka hitam kini melangkah lebar menghampiri
kakek itu. 21 "Kami tidak menyukai matamu itu! Hayo cepat berlutut dan minta
ampun sebelum kami congkel keluar kedua mata setanmu itu!"
bentak pula si bopeng, dan kedua orang itu sudah mengangkat
golok mereka mengancam dengan sikap bengis. Kawan-kawan
mereka hanya menonton saja karena mereka tidak
memperdulikan seorang kakek yang tidak mengesankan itu.
Setelah memandang kepada dua orang itu dengan mata
mencorong, kakek itu yang berdiri bersandar pada tongkatnya,
berkata lirih. "Heeemmm, Thai-san Ngo-kwi memelihara dua ekor
anjing buduk yang tidak ada gunanya ini, sungguh merugikan
saja!" Mendengar ucapan kakek itu, si bopeng dan si muka hitam tentu
saja menjadi marah bukan main. Orang ini malah berani memaki
mereka sebagai dua ekor anjing buduk!
"Tua bangka yang bosan hidup! Kucincang kau!" bentak si muka
bopeng sambil mengayun goloknya.
"Buntungi kaki tangannya, penggal lehernya!" teriak si muka
hitam yang juga sudah menyerangnya. Dua orang anak buah
gerombolan ini memang sudah terbiasa menggunakan kekerasan
atau membunuh orang tanpa alasan yang kuat.
Akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak perduli akan
serangan dua orang kasar itu. Kembali lidahnya mencuat keluar
lalu masuk kembali, dan kini mulutnya menyeringai dan
mengeluarkan suara mendesis. Uap keabuan menyambar keluar,
tersembur dari mulut yang menyeringai itu dan mengenai muka si
bopeng dan si muka hitam. Mereka itu terhuyung, golok mereka
22 terlepas, lalu terpelanting roboh, berkelojotan dan tewas dengan
muka berubah merah melepuh!
Para penjaga lainnya terkejut dan mereka berteriak-teriak marah.
Mendengar teriakan mereka, para anggauta gerombolan yang
berada di dalam dan di luar pintu gerbang, datang berlarian dan
mereka semua marah melihat betapa dua orang rekan mereka
tewas oleh seorang kakek asing. Kini puluhan orang anggauta
gerombolan itu mengepung si kakek dengan senjata di tangan,
agaknya siap untuk menghancurkan tubuh kakek itu dengan
pengeroyokan mereka. "Bunuh tua bangka ini!"
"Siapakah engkau yang lancang berani mengacau di sini?"
bentak yang lain. Akan tetapi karena semua orang sudah marah dan siap
menyerang, kakek itu tidak menjawab, melainkan mengangkat
tongkatnya dan menempelkan gagang tongkat itu ke mulutnya.
Ketika dia mengembungkan kedua pipinya, terdengarlah suara
menggetar lirih dan tinggi, hampir tidak terdengar dan yang
terdengar hanya suara desis mengerikan.
Suara ini memanjang, berhenti sebentar, mulai lagi, dan karena
semua orang tidak tahu apa artinya ini, perbuatan dan sikap
kakek itu membuat mereka sejenak tertegun dan tidak
melanjutkan serangan mereka. Akan tetapi, karena tidak terjadi
apa-apa, mereka menganggap kakek itu hanya berlagak saja.
"Bunuh dia!" 23 "Tidak, tangkap dan hadapkan pimpinan!"
"Siksa dia yang telah membunuh dua orang kawan kita!"
Kini puluhan buah senjata tajam, golok, pedang dan tombak,
menyambar-nyambar dengan mengancam di sekeliling kakek itu.
Namun dia tetap tenang saja dan tiba-tiba, sekali tubuhnya
bergerak, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu
sudah lenyap dari dalam kepungan puluhan orang itu! Tentu saja
semua orang terkejut dan ketika mereka mencari-cari, ternyata
kakek itu telah berdiri jauh di luar kepungan, di luar pintu gerbang
dalam jarak limapuluh meter!
Melihat ini, semua orang menyerbu keluar untuk mengejar dan
menyerang kakek itu. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak
melarikan diri, bahkan menghadapi para penyerbu sambil
mengangkat-angkat tongkatnya, dan kadang-kadang meniup
gagang tongkat yang berbentuk kepala ular itu.
Setelah tiba dekat pria itu, semua orang terbelalak dan serbuan
mereka terhenti tiba-tiba. Mereka memandang ke atas tanah dan
melihat betapa di depan dan kanan kiri kakek itu, nampak ratusan
ekor ular merayap di atas tanah, berlenggang-lenggok menyerbu
ke arah mereka! Kakek itu, ternyata dapat memanggil barisan ular
dan menggerakkan barisan ular itu untuk menghadapi para anak
buah gerombolan! Biarpun hati mereka merasa ngeri melihat munculnya banyak
sekali ular itu, namun anak buah gerombolan penjahat itu tentu
saja tidak takut terhadap ular, apa lagi banyak di antara ular-ular
itu kecil saja, sebesar ibu jari kaki dan yang paling besar sebetis
24 orang. Mereka menggerakkan senjata dan menyambut ular-ular
itu dengan serangan! Beberapa ekor ular terbabat senjata tajam dan mati, akan tetapi
segera terdengar teriakan-teriakan ketika beberapa orang anak
buah gerombolan terkena gigitan ular-ular yang seperti nekat itu.
Dan ternyata bahwa ular-ular itu sebagian besar adalah ular
beracun! Dalam waktu singkat saja, ada puluhan ular mati, akan tetapi juga
ada limabelas orang anak buah gerombolan bergulingan sambil
merintih-rintih kesakitan karena kaki mereka digigit ular berbisa!
Keadaan menjadi geger dan pada saat itu muncullah lima orang
yang sikapnya gagah dan berpengaruh. "Tahan senjata, semua
mundur......!" Teriakan itu berpengaruh dan semua anak buah gerombolan
segera mundur sambil menyeret limabelas orang rekan yang
terluka. Lima orang itu adalah Thai-san Ngo-kwi yang segera berlari
keluar ketika mendengar bahwa ada seorang kakek dengan
barisan ular mengamuk. Mereka kini melangkah maju dan
memberi hormat kepada kakek itu. Thai-kwi, orang pertama yang
bertubuh tinggi besar berkulit hitam, segera berseru dengan
suara girang. "Kiranya su-pek (uwa guru) yang datang!"
"Selamat datang, supek!" kata empat orang adik seperguruannya.
25 Kakek itu meniup tongkat ularnya dan semua ular kini lari keluar
menuju ke hutan dan rumpun alang-alang tak jauh dari situ.
Kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, kalian sudah mengangkat nama! Thai-san Ngo-kwi
amat terkenal, akan tetapi sayang, anak buahmu kurang teratur
sehingga akan melemahkan kedudukan kalian!"
Lima orang itu memandang ke arah dua orang anak buah mereka
yang tewas, dan limabelas orang anak buah yang lain merintihrintih karena kesakitan. Tahulah mereka bahwa kalau tidak cepat
mendapatkan obat penawar, limabelas orang anak buah itu akan
tewas pula. Maka, dipimpin oleh Thai-kwi, mereka berlima
menjatuhkan diri berlutut menghadap supek itu.
"Harap supek maafkan. Karena selamanya belum pernah
bertemu supek, maka mereka tidak mengenalmu. Bahkan kami
sendiri hampir tidak percaya supek yang datang, kalau tidak
melihat sendiri. Supek, mohon kemurahan hati supek. Berilah
obat penawar bagi mereka, dan di dalam nanti tee-cu (murid)
berlima akan menghaturkan maaf dan perjamuan selamat datang
kepada supek." Kakek itu menyeringai dan menggerakkan tongkat ularnya
dengan sikap congkak. "Hemm, kalau bukan kalian yang minta,
mereka itu tentu akan mampus dalam waktu beberapa jam lagi."
Dia mengeluarkan sebuah buntalan kain dari dalam saku
.jubahnya, mengeluarkan limabelas butir pel hitam dan
menyerahkannya kepada Thai-kwi. "Suruh mereka masing26
masing menelan pel ini, minum air paling sedikit lima mangkok
dan racun itu akan keluar dan mereka akan selamat."
"Terima kasih, supek!" kata Thai-kwi yang segera membagi-bagi
obat itu dan menyuruh anak buah yang lain mengambilkan air.
Kemudian, dia dan para sutenya dengan sikap hormat
mempersilakan supek mereka masuk ke dalam perkampungan itu
dan langsung ke bangunan tempat tinggal mereka.
Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara wanita melengking
lembut. "Heii, kamipun sudah tiba di sini!"
Semua orang menengok dan nampak dua bayangan berkelebat
ke pintu gerbang itu dan Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li telah
berdiri di situ dengan gagah dan anggunnya!
Kakek tukang ular itu adalah Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara
Kiu Lo-mo pula, dan yang tertua di antara mereka bertiga. Ketika
dia melihat dua orang itu, dia tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kalian
sudah datang pula, tepat pada waktunya! Thai-san Ngo-kwi,
cepat beri hormat. Mereka ini terhitung susiok (paman guru) dan
su-kouw (bibi guru) kalian!"
Kim Pit Siu-cai mengebutkan lengan bajunya yang panjang ketika
dia mengamati lima orang laki-laki gagah di depannya itu. "Jadi
inikah murid-murid mendiang suheng Siauw-bin Ciu-kwi" Hem,
nampaknya cukup boleh diandalkan, bukan, sumoi?" tanyanya
kepada Ang I Sian-li. Ang I Sian-li yang tadi bertemu di lereng bukit Hitam dengan
suhengnya, mengangguk. "Mereka cukup gagah."
27 Nama besar Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) terkenal di dunia
kang-ouw sebagai segerombolan datuk yang saling bantu dan
orang mengira bahwa mereka adalah saudara-saudara
seperguruan karena mereka saling sebut seperti kakak beradik
seperguruan. Pada hal, mereka itu sama sekali tidak ada
hubungan perguruan, hanya karena mereka sudah sepakat untuk
saling bantu agar memperkuat dan mempertahankan nama besar
mereka, maka merekapun menganggap yang lain seperti saudara
sendiri. Maka, tidak aneh kalau kini mereka saling menyebut
suheng, sute dan sumoi! Seperti dikatakan Kim Pit Siu-cai tadi, Thai-san Ngo-kwi adalah
murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis Arak Muka
Tertawa), seorang di antara Kiu Lo-mo, maka lima orang
pimpinan gerombolan di Thai-san ini masih terhitung murid-murid
keponakan, walau hanya dalam sebutan saja. Kiu Lo-mo atau
Sembilan Iblis Tua kini hanya tinggal tiga orang itu, Pek-bwe Coaong (Raja Ular Ekor Seratus), Kim Pit Siu-cai, dan Ang I Sian-li.
Ke mana lagi yang enam orang lainnya" Mereka sudah
meninggal dunia, dan mereka itu adalah Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua
Berhati Hitam)" Siauw-bin Ciu-kwi guru dari kelima orang kepala
gerombolan itu, Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan), Tiatthouw Kui-bo (Nenek Iblis Kepala Besi), dan dua orang kakek
kembar yang dijuluki Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Bukit
Selatan). Kini, sisa dari Kiu Lo-mo yang tinggal tiga orang mengadakan
pertemuan atas undangan Pek-bwe Coa-ong dan mereka memilih
puncak Bukit Hitam karena di situ menjadi sarang gerombolan
28 yang dipimpin Thai-san Ngo-kwi, murid-murid keponakan mereka
sendiri. Tiga orang datuk itu dijamu oleh Thai-san go-kwi dalam sebuah
pesta yang meriah. Lima orang pimpinan gerombolan itu sudah
lupa sama sekali bahwa dua orang mati konyol dan limabelas
orang nyaris tewas pula dari gerombolan mereka. Mereka
gembira bukan main mendapatkan kunjungan tiga orang datuk
itu, suatu hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.
Setelah kenyang makan minum, dan melihat betapa tiga orang
datuk itu nampak gembira dan puas, Thai-kwi yang menjadi orang
tertua dari Thai-san Ngo-kwi, mengangkat cawan arak
menghaturkan selamat datang kepada mereka bertiga, kemudian
berkata dengan suara lantang dan gembira.
"Teecu berlima merasa gembira sekali dan mendapat kehormatan
besar yang tidak kami sangka-sangka dengan kunjungan supek,
susiok dan su-kouw ke tempat kami. Teecu merasa yakin bahwa
kunjungan sam-wi (anda bertiga) tentu bukan sekedar
melancong, pasti membawa hal yang teramat penting. Kalau
boleh teecu mengetahui, angin apakah yang meniup sam-wi
datang berkunjung ini?"
Pek-bwe Coa-ong yang tadinya nampak gembira tertawa-tawa,
kini memandang serius kepada lima orang murid keponakannya.
Kemudian, menjawab pertanyaan Thai-kwi, dia berbalik bertanya.
"Apakah kalian berlima masih ingat, berapa lama sudah guru
kalian, Siauw-bin Ciu-kwi meninggal dunia?"
29

Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lima orang itu memandang heran mendengar pertanyaan tibatiba itu. "Kurang lebih sudah empat tahun, supek," kata seorang di
antara mereka. "Dan kalian masih ingat bagaimana matinya guru kalian" Siapa
pembunuh guru kalian itu?"
Kini Thai-kwi yang menjawab karena para sutenya nampak
gentar menghadapi sikap supek yang berubah galak itu. "Tentu
saja teecu masih ingat supek. Pembunuhnya adalah Pek-liongeng dan Hek-liong-li."
Tiba-tiba supek itu menggebrak meja sehingga mangkokmangkok berloncatan ke atas. "Bagus! Murid-murid macam apa
kalian ini" Tahu guru kalian dibunuh dua orang itu, dan kalian
enak-enak saja di sini membuat nama besar, menumpuk harta,
sama sekali tidak berusaha untuk membalas kematian guru!"
Lima orang kepala gerombolan itu saling pandang dan nampak
pucat, akan tetapi Thai-kwi segera menjawab. "Supek tentu
mengetahui jelas mengapa teecu berlima tidak berusaha
membalas dendam. Tentu saja kami juga menaruh dendam sakit
hati terhadap Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) dan Hekliong-li ('wanita Naga Hitam).
"Akan tetapi, kami tidak berdaya. Sedangkan mendiang suhu saja
kalah oleh mereka, bagaimana mungkin kami dapat membalas
dendam" Sebelum kami berhasil membalas dendam, tentu
mereka berdua sudah membunuh kami! Kepandaian dua orang
pendekar itu setinggi langit, teecu berlima sama sekali bukan
lawan mereka. Bahkan baru satu-dua tahun yang lalu, paman
30 guru Lam-hai Mo-ong dan bibi guru Tiat-thouw Kui-bo di istana
kerajaan juga menjadi korban kelihaian Pek-liong-eng dan Hekliong-li. Kalau mereka berdua saja tewas di tangan dua orang
pendekar itu, apa yang dapat kami lakukan?"
Pek-bwe Coa-ong mengepal tinju. "Itulah yang membuat hatiku
sakit bukan main! Pek-liong-eng dan Hek-liong-li itu agaknya
hendak memusuhi kita Kiu Lo-mo! Pertama kali, mereka
membunuh suheng Hek-sim Lo-mo, kemudian membunuh Siauwbin Ciu-kwi dan paling akhir, membunuh Lam-hai Mo-ong dan
Tiat-thouw Kui-bo. Empat orang di antara Lo-mo telah mereka
bunuh! Kalau kita tidak cepat turun tangan membalas dendam,
tunggu kapan lagi!" Ang I Sian-li mengangguk-angguk. "Suheng benar. Dua orang
muda sombong itu telah membunuh empat orang saudara kita.
Sayang bahwa dua saudara kembar kita Lam-san Siang-kwi juga
tewas di dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah di
daerah selatan. Di antara Kiu Lo-mo, tinggal kita bertiga.
Sekaranglah saatnya kita membalas dendam!"
"Aku setuju!" kata Kim Pit Siu-cai dengan suaranya yang lembut.
"Kalau kita bertiga menyatukan tenaga, ditambah dengan
bantuan Thai-san Ngo-kwi dan anak buah mereka, tentu kita akan
berhasil membalas dendam kepada Pek-liong-eng dan Hek-liongli!"
Mendengar ucapan tiga orang datuk itu dan melihat sikap
mereka, timbul keberanian dan kegembiraan dalam hati Thai-san
Ngo-kwi. Mereka bersemangat lagi untuk membalas kematian
31 para datuk itu. "Teecu sekalian siap untuk membantu sam-wi
menghancurkan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!" kata mereka
serempak. "Bagus! Kalau begitu, tidak percuma kalian menerima ilmu dari
mendiang guru kalian," kata Pek-bwe Coa-ong. "Aku memang
sengaja mengundang susiok dan su-kouw kalian, agar hari ini
kami mengadakan pertemuan di sini. Kami membutuhkan
bantuan banyak orang, dan hanya anak buah kalian yang dapat
kami percaya. "Akan tetapi, mulai sekarang, mereka harus diperintah dengan
tangan besi agar tidak sembarangan dan tidak boleh bertindak
sendiri-sendiri seperti ketika aku datang tadi. Mulai sekarang,
kalian berlima dan anak buah kalian harus mentaati semua siasat
yang akan kami rencanakan. Menghadapi dua orang macam Pekliong-eng dan Hek-liong-li tidak bisa dilawan dengan kekuatan
dan kekasaran semata. Harus menggunakan siasat yang
matang." "Supek, kami juga pernah menyelidiki keadaan mereka untuk
mencari tahu dan untuk melihat kemungkinan kami membalas
dendam. Akan tetapi apa yang kami dapatkan tentang mereka
membuat kami jerih dan tidak berani turun tangan karena hal itu
sama saja dengan membunuh diri," kata pula Thai-kwi.
"Ceritakan, apa yang kauketahui dari penyelidikanmu itu?" tanya
Kim Pit Siu-cai. "Pek-liong-eng bernama Tan Cin Hay, kini berusia tigapuluhan
tahun dan dia tinggal di dusun Pat-kwa-bun di dekat Telaga See32
ouw di Hang-kouw. Dia tinggal menyendiri di dalam rumahnya
yang besar dan kokoh kuat, bersama enam orang pelayan pria
yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh sekali. Selain Pekliong-eng sendiri sakti dan enam orang pelayannya lihai, juga
rumahnya yang kokoh kuat itu lebih sukar diserbu dari pada
sebuah benteng! Rumah itu penuh dengan jebakan-jebakan
rahasia yang amat berbahaya."
"Hemm, dan bagaimana dengan Hek-liong-li ?" tanya Ang I Sianli.
"Kami juga sudah melakukan penyelidikan terhadap wanita itu.
Hek-liong-li bernama Lie Kim Cu. Ia amat cantik dan tinggal
menyendiri pula di kota Lok-yang, di sebelah ujung barat. Seperti
juga rumah Pek-liong-eng, rumah wanita itu kokoh kuat dan sukar
ditembus, penuh alat-alat rahasia, jebakan maut, dan selain
wanita sakti itu yang sukar dikalahkan, ia masih dibantu sembilan
orang gadis pelayan yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lihai."
Pek-bwe Coa-ong mengangguk-angguk. "Bagus laporanmu itu
menunjukkan bahwa kalian memang selama ini tidak tinggal diam
dan sudah menyelidiki keadaan dua orang musuh besar itu. Kita
harus mengatur siasat dan tidak putus asa dengan kenyataan
tentang kekuatan mereka itu. Kita harus dapat menghancurkan
mereka, dan kita dapat menggunakan siasat melalui sahabatsahabat mereka.
"Sian-li, bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang
kematian Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo" Siapa saja
33 sahabat-sahabat baik Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang patut
masuk catatan kita?"
"Sudah kuselidiki, suheng. Aku tidak melibatkan para pangeran,
apa lagi keluarga kaisar. Akan tetapi, jelas bahwa dua orang
musuh besar kita itu bekerja sama dengan dua orang yang
kemudian menjadi sahabat baik mereka. Bahkan kini, dua orang
itu telah menjadi suami isteri! Mereka adalah Cian Hui atau Cian
Ciang-kun yang bekerja sebagai penyelidik, sedangkan orang
kedua yang kini menjadi isterinya bernama Cu Sui In, keponakan
Ciok Taijin." "Hemm, yang pria seorang panglima dan yang wanita keponakan
seorang pembesar kota raja?" Pek-bwe Coa-ong mengerutkan
alisnya. "Benar, akan tetapi mereka bukan kerabat istana, dan orang yang
bernama Cian Hui itu sudah banyak mencelakakan kawan-kawan
di dunia kang-ouw. Sudah kuselidiki ilmu kepandaian silat suami
isteri itu. "Suami itu ilmu silatnya tidak perlu dikhawatirkan, akan tetapi dia
cerdik bukan main. Dan sang isteri lebih lihai dari suaminya
karena ia murid Kun-lun-pai. Akan tetapi juga tidak perlu
dikhawatirkan karena tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi dari
pada tingkat seorang di antara Thai-san Ngo-kwi ini." Wanita
cantik baju merah itu mengakhiri keterangannya.
"Kalau begitu, tidak perlu dikhawatirkan benar. Hanya mereka
harus dipancing keluar, tidak perlu kita membikin kacau di istana.
Di sana banyak sekali jagoan yang pandai. Bahkan di kota raja
34 pun kita tidak boleh membikin ribut agar usaha kita membalas
dendam kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li tidak terganggu.
Dan bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang kematian
Siauw-bin Ciu-kwi, Siu-cai?"
Kim Pit Siu-cai tersenyum. "Tidak sukar menyelidiki tentang
peristiwa yang terjadi empat tahun yang lalu itu. Suheng Siauwbin Ciu-kwi memang tewas di tangan Pek-liong-eng dan Hekliong-li, dan yang membantu dua orang muda sombong itu adalah
kakak beradik she Kam. Merekalah yang menggagalkan suheng
mendapatkan harta karun, bahkan menemui kematiannya. Kam
Sun Ting dan Kam Cian Li itu kakak beradik ahli renang dan ahli
selam. Mereka bahkan kabarnya juga kekasih Pek-liong-eng dan
Hek-liong-li. Kini mereka hidup dengan makmur dan kaya raya
sebagai pedagang kain di Nam-cang."
"Bagus! Tentu kita dapat mempergunakan mereka. Bagaimana
kepandaian silat mereka?"
"Ah, biasa-biasa saja. Mereka bukan ahli silat, melainkan ahli
menyelam." "Nah, sekarang kuceritakan hasil penyelidikanku tentang
kematian suheng Hek-sim-Lo-mo enam tahun yang lalu. Dan
biarpun kematian suheng juga di tangan Pek-liong-eng dan Hekliong-li, namun dalam pertentangan itu, yang membantu Pekliong-eng dan Hek-liong-li adalah dua orang muda yang sekarang
telah menjadi suami isteri. Yang pria bernama Song Tek Hin, dan
yang wanita bernama Su Hong Ing, murid Bu-tong-pai. Akan
tetapi ilmu silat suami isteri ini tidak ada artinya, dan sudah
35 kuselidiki keadaan mereka. Merekapun merupakan orang-orang
penting yang dapat kita pergunakan untuk menjebak dua orang
musuh besar kita." Tiga orang datuk itu bersama Thai-san Ngo-kwi lalu mengadakan
perundingan, mengatur rencana siasat untuk membalas dendam
mereka terhadap Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!
"Y" Semua orang di kota Lok-yang, bahkan sampai jauh di seluruh
daerah Lok-yang, mengenal belaka siapa yang tinggal di rumah
gedung besar di sudut barat kota Lok-yang itu. Semua orang tahu
siapa adanya gadis cantik jelita gagah perkasa yang mereka
sebut Liong-lihiap (Pendekar Wanita Naga) atau Liong-li (Wanita
Naga) itu. Ia adalah Lie Kim Cu yang julukannya sebetulnya adalah Hekliong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam). Akan tetapi, orang-orang
yang melihat wajah yang cantik jelita dan manis itu, kulit yang
putih mulus, merasa sungkan menyebutnya Hek-liong-li. Kata
"Hitam" itu agaknya tidak pantas untuk seorang gadis yang
kulitnya putih mulus kemerahan seperti itu, walaupun ia selalu
mengenakan pakaian sutera hitam. Pakaian yang membuat
kulitnya makin nampak putih mulus.
Biarpun Hek-liong-li Lie Kim Cu atau lebih terkenal dengan Liongli saja usianya sudah duapuluh delapan tahun, namun ia belum
menikah. Iapun bukan seorang gadis yang perawan, karena sejak
muda sekali ia sudah terjatuh ke tangan seorang pangeran di
36 Lok-yang, diperkosa dan kemudian dijual kepada seorang
mucikari sehingga ia dipaksa menjadi seorang pelacur!
Ia berhasil membebaskan diri dari cengkeraman mucikari yang
menjadikannya sumber uang itu, dan setelah mempelajari ilmu
silat tinggi dari Huang-ho Kui-bo, seorang datuk sesat yang sakti,
ia membalas dendam kepada pengeran itu dan kepada sang
mucikari. Akan tetapi ia telah kehilangan seluruh keluarganya.
Mendiang ayahnya adalah seorang bangsawan, akan tetapi
karena keluarganya sudah habis, Liong-li hidup seorang diri,
menjadi pendekar wanita dan petualang yang sebentar saja
membuat nama besar bersama Pek-liong-eng yang kemudian
menjadi sahabat dan rekannya yang setia walaupun mereka
tinggal berpisah agak jauh.
Sebagai seorang pendekar wanita, Liong-li terkenal, ditakuti para
penjahat dan disegani para pendekar. Ia bukan seorang
petualang asmara, bukan pengejar cinta gairah berahi, akan
tetapi, apabila bertemu seorang pria yang berkenan di hati dan
saling menyukai, iapun tidak pantang untuk mengadakan
hubungan cinta dengan pria itu asalkan dasarnya suka sama
suka dan tidak ada ikatan apapun antara mereka. Hanya
merupakan petualangan sepintas saja.
Karena ini, banyak pria yang jatuh cinta kepadanya dan
menderita patah hati karena terpaksa mereka berpisah lagi
sesuai dengan janji yang sebelumnya dituntut oleh Liong-li, yaitu
tidak ada ikatan apapun antara mereka!
37 Tak dapat diragukan lagi, orang yang paling dicintanya, paling
disayangnya di dunia ini adalah Pek-liong-eng Tan Cin Hay,
rekannya yang sudah sering berjuang bahu-membahu, saling
bantu, saling bela dengan taruhan nyawa dalam berbagai
petualangan. Seperti juga Pek-liong-eng, Liong-li juga rela
mengurbankan nyawanya kalau perlu demi menolong rekannya
itu! Hubungan cinta kasih antara mereka melebihi cinta kasih antar
saudara bahkan antar kekasih! Anehnya, kalau Liong-li tidak
pantang menyerahkan diri dalam buaian cinta bersama seorang
pria yang berkenan di hatinya, dengan Pek-liong hubungannya
hanyalah hubungan batin! Belum pernah mereka itu bermesraan,
apa lagi berhubungan badan!
Memang aneh, dan keduanya juga merasa aneh, namun
nyatanya demikian dan mereka berdua seolah takut kalau sampai
berhubungan badan, maka hubungan itu bahkan akan
melenyapkan atau mengurangi hubungan batin mereka yang
saling menyayang dan saling membela!
Lebih aneh akan tetapi nyata pula, tiap kali ia melihat Pek-l.iong
berhubungan cinta dengan wanita lain, ia sama sekali tidak
merasa cemburu atau iri karena ia yakin sedalam-dalamnya
bahwa Pek-liong-eng hanya menaruh cinta nafsu saja kepada
wanita lain, sedangkan cinta sejati pendekar itu hanya untuk ia
seorang! Ia rasakan dan yakin benar!
Liong-li memang seorang wanita yang cantik jelita. Usianya
membuat ia menjadi seorang wanita yang masak. Wajahnya bulat
38 telur dengan dagu meruncing sehingga nampak manis sekali.
Mulutnya kecil, dengan bibir yang merah membasah selalu, tanda
bahwa ia sehat dan belahan bibir lembut itu selalu cerah
mengandung senyum, dihias lesung pipi di kanan kiri dan sebuah
tahi lalat di bawah mata kiri.
Ilmu kepandaiannya tinggi, bahkan semakin meningkat selama
ini, karena setiap hari ia berlatih diri dengan para pelayannya
yang menjadi lawan berlatihnya. Juga ia tekun sekali mempelajari
setiap jurus yang telah dikuasainya, untuk dicari perkembangannya dan selalu memperbaikinya dengan menutup
bagian-bagian yang lemah.
Seperti Pek-liong-eng yang mempunyai sebatang pedang pusaka
yang disebut Pek-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Putih),
maka Liong-li juga memiliki sebatang pedang pusaka yang
disebut Hek-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Hitam). Dan
bersama Pek-liong-eng, Long-li menciptakan ilmu pedang yang
mereka namakan Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti)
yang dapat mereka mainkan secara berpisah maupun digabung
menjadi satu. Selain ilmu pedang yang mereka ciptakan bersama itu, Liong-li
juga menguasai ilmu pedang istimewa Hek-liong-kiam-sut. Ilmu


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silatnya tangan kosong juga banyak macamnya, akan tetapi yang
membuat ia disegani adalah ilmu silatnya tangan kosong yang
disebut Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik) yang gerakannya lemah
gemulai dan cantik indah, namun menyembunyikan bahaya maut
bagi lawan! Juga ia menguasai Lie-eng-pouw (Langkah Enam
Bintang), yang disebut langkah ajaib karena dengan langkah39
langkah yang aneh itu ia mudah mengelabui lawan dan dapat
menyelamatkan diri dari hujan senjata pengeroyok.
Dalam petualangannya bersama Pek-liong-eng, Liong-li telah
mendapatkan harta karun yang membuat ia menjadi kaya raya.
Rumah gedung amat indah dan penuh dengan alat rahasia untuk
melindungi diri. Rumahnya bertembok putih bersih karena sering
dikapur, dengan jendela dan pintu dicat hijau muda, nampak
segar dan bersih menyenangkan, apa lagi dihias dengan
tanaman bunga-bunga yang membuat rumah itu dikepung daundaun hijau dan bunga-bunga beraneka warna.
Di depan rumahnya terdapat pekarangan yang luas, dan di
tengah pekarangan itu nampak sebuah kolam ikan yang luas,
yang ditumbuhi teratai merah dan putih, dan di tengah kolam
dipasangi arca yang indah sekali buatannya. Arca seorang wanita
cantik berpakaian tipis tembus pandang menunggang seekor
angsa! Keindahan bentuk tubuh wanita dan angsa itu sungguh serasi. Di
sebelah kiri dan belakang gedung itu terdapat taman bunga yang
mengumpulkan segala macam bunga yang berasal dari luar Lokyang dan yang terpelihara baik. Perumahan itu dikelilingi pagar
tembok yang dua meter tingginya, dan di atas pagar tembok
dipasangi tombak-tombak merah. Indah dan juga megah angker!
Liong-li tinggal di gedung mungil itu ditemani sembilan orang
pelayannya, semuanya wanita berusia antara duapuluh lima
sampai tigapuluh tahun. Para pelayan ini mengenakan pakaian
yang beraneka warna, dan mereka nampak cantik dan gesit,
40 karena mereka telah menerima latihan ilmu silat yang lumayan
dari majikan mereka. Mereka itu mempunyai nama dan dikenal baik oleh Liong-li akan
tetapi Liong-li lebih sering menyebut mereka dengan warna
pakaian mereka saja, seperti Ang-hwa (Bunga Merah), Pek-hwa
(Bunga Putih), atau Lan-hwa (Bunga Biru). Dan sembilan orang
wanita pelayan ini juga berwatak gagah, dan amat setia kepada
Liong-li yang mereka sayang dan mereka hormati sebagai
majikan yang royal dalam memberi hadiah, dan guru yang amat
baik. Liong-li berjiwa petualang, maka tentu saja ia tidak betah kalau
harus tinggal saja di rumah, walaupun rumahnya indah, taman
bunganya indah dan para pelayannya selain pandai silat, pandai
pula bermain musik, bernyanyi dan menari. Liong-li sendiri
merupakan seorang ahli dalam kesenian, dan seringkali ia
dibantu sembiIan orang pelayannya bersenang-senang dan
bermain musik di tamannya yang indah di waktu bulan purnama.
Kalau sedang begitu, mereka merupakan sepuluh orang bidadari
yang cantik dan ahli seni, sedikit pun tidak membayangkan
bahwa mereka adalah sepuluh orang wanita yang amat
berbahaya bagi siapa saja yang berniat jahat terhadap mereka.
Mungkin karena belum berumah tangga, tidak mempunyai suami
dan anak, maka Liong-li kadang-kadang keluar rumah dan makan
di rumah makan. Pada hal ia sendiri ahli masak, dan para
pelayannya juga pandai masak. Ia menghendaki kesegaran di
luar, melihat kehidupan di luar. Bahkan ada kalanya ia tidur di
41 sebuah rumah penginapan, meninggalkan kamarnya sendiri yang
jauh lebih indah! Pada suatu pagi yang indah, Liong-li sudah keluar dari rumahnya.
Kepada para pelayannya ia mengatakan bahwa ia hendak pergi
berjalan-jalan ke kota. Begitu keluar dari rumah, di sepanjang
jalan raya hampir setiap orang tersenyum atau mengangguk
kepadanya, ada pula yang mengangkat kedua tangan memberi
hormat. Liong-li memang merupakan seorang wanita yang populer, disuka
dan dikagumi semua orang baik-baik, disegani dan ditakuti para
penjahat. Bahkan seorang perwira keamanan yang sedang lewat
menunggang kuda, begitu melihat Liong-li berjalan seorang diri di
tepi jalan, cepat memberi hormat seperti bertemu dengan
seorang atasannya! Liong-li membalas setiap salam orang dengan senyum dan
anggukan kepala. Ia pagi itu nampak segar, bagaikan setangkai
bunga yang masih basah oleh embun bermandikan cahaya
matahari pagi. Berseri dan semerbak.
Rambutnya yang panjang hitam dan gemuk itu digelung ke atas,
dilakukan oleh seorang pelayannya yang paling ahli dalam hal
membuat sanggul, dan rambutnya yang disanggul tinggi itu dihias
jepitan dan tusuk sanggul perak dengan mainan seekor naga
kecil di atas bunga teratai. Pakaiannya dari sutera tipis sehingga
pakaian dalamnya membayang di sebelah dalam, seluruh
pakaian itu dari sutera berwarna hitam sehingga nampak betapa
kulit leher dan tangannya putih mulus. Matanya yang tajam
42 kadang mencorong itu nampak ramah berseri setiap kali bertemu
orang dan menerima salam mereka.
Sungguh aneh betapa seorang wanita seperti ini belum juga
berumah tangga, pada hal banyak sekali perjaka yang
bangsawan dan hartawan tergila-gila kepadanya. Akan tetapi,
siapa orangnya berani melamar Liong-li, kalau gadis itu tidak
mengulurkan tangannya" kalau sekali saja ia menjulurkan
tangan, tentu akan ada ratusan pasang tangan yang akan
menyambutnya penuh gairah. Liong-li memiliki segalanya.
Kecantikan, kelihaian, kekayaan, nama baik dan kepandaian
bermacam-macam. Bau sedap yang keluar dari sebuah rumah makan menarik
perhatian Liong-li dan membuat perutnya berkeruyuk lapar. Pagi
tadi ia memang menolak hidangan sarapan pagi dari pelayannya
dan memang ia bermaksud untuk makan pagi di rumah makan
yang paling dulu menarik seleranya.
Rumah makan Lok-hwa itu merupakan rumah makan besar, satu
di antara rumah makan langganannya. Ketika ia memasuki rumah
makan itu dengan langkah santai, dua orang pelayan tua yang
mengenalnya segera menyambutnya dengan ramah.
"Selamat pagi, li-hiap (pendekar wanita)!" kata seorang.
"Silakan duduk, siocia (nona)!" kata yang lain.
Pemilik rumah makan itu yang duduk di bagian dalam, begitu
melihat wanita berpakaian serba hitam itu memasuki rumah
43 makannya, segera bangkit dan tergopoh-gopoh keluar untuk
menyambut sendiri. "Selamat pagi, li-hiap! Sungguh merupakan kebahagiaan besar
dapat menyanji li-hiap di pagi hai ini." Dia lalu menoleh kepada
para pelayan dan berkata dengan nada memerintah. "Cepat
bersihkan meja terbaik untuk Liong-lihiap!"
Para pelayan tergopoh-gopoh membersihkan meja dan pemilik
rumah makan itu sendiri yang mengantar Liong-li dan
mempersilakan ia duduk, lalu bertanya, masakan apa yang
hendak dipesan Liong-li. Para tamu yang sudah lebih dulu berada di rumah makan itu, ada
yang bangkit berdiri ada pula yang mengangguk. Yang jauhpun
tersenyum ramah. Semua orang menghormati Liong-li. Semua
orang mengaguminya. Beberapa orang pemuda yang duduk jauh,
saling berbisik dan beberapa kali menelan ludah ketika mereka
semua memandang ke arah Liong-li secara sembunyi-sembunyi,
tidak berani langsung. "Duhai juwita...... betapa cantiknya......"
"Lihat tuh bibirnya..... hemm, menggemaskan......"
"Kulit lehernya begitu putih mulus......"
"Lesung di pipinya amat manis......"
Liong-li adalah seorang wanita yang sudah melatih
pancaindranya melalui samadhi dan pernapasan. Ia memiliki
44 pendengaran yang amat tajam sehingga dari jauh itu, kalau ia
mencurahkan perhatiannya, ia mampu mendengarkan suara
bisik-bisik para pemuda itu.
Akan tetapi karena mereka itu hanya memuji-mujinya dengan
kagum tanpa berniat kurang ajar, iapun hanya tersenyum. Tidak
bangga lagi. Sudah terlalu lama dan terlalu sering ia melihat sinar
mata kagum dari pria, juga kata-kata pujian. Semua itu
dianggapnya hanya rayuan kosong belaka!
Liong-li memesan beberapa masakan yang paling disukainya,
kemudian setelah pengurus rumah makan mengundurkan diri,
Liong-li duduk termenung menanti masakan yang dipesannya.
Untuk mempersiapkan masakan yang dipesan, tidak mungkin
dapat dilakukan dengan terlalu cepat.
Sayur yang segar harus dicuci dan dipotong-potong, juga daging
yang segar harus disayat-sayat, semua bumbu harus
dipersiapkan dan segalanya harus baru dan dimasak seketika
agar dapat dihidangkan panas-panas dalam keadaan segar dan
baru. Untuk melewatkan waktu, Liong-li makan kwa-ci (isi
semangka) yang dihidangkan, dan minum teh cair yang harum
dan hangat. Tak lama kemudian, dua orang pelayan datang membawakan
masakan pesanannya. Ia memesan dua macam masakan
dengan nasi tim, akan tetapi yang muncul adalah tiga macam
masakan! 45 "Ehh" Kenapa tiga macam" Aku tidak memesan sop ayam jamur
ini!" katanya menunjuk masak ke tiga. "Tentu pesanan orang lain
ini." Dua orang pelayan itu mengatur tiga masakan dan nasi di atas
meja, lalu seorang dari mereka berkata, "Tidak keliru, li-hiap.
Menurut kepala dapur, masakan sop ayam jamur ini sengaja
dibuat untuk dihaturkan kepada nona disertai salam seluruh
pekerja di dapur!" Liong-li tersenyum. Tidak aneh baginya. Memang terlalu banyak
orang bersikap terlalu baik kepadanya dan karena sudah
terbiasa, dengan senang hati diterimanya sikap itu tanpa
prasangka dan tidak canggung lagi.
"Sampaikan terima kasihku kepada mereka," katanya ramah.
"Ingat saja mereka itu akan kesukaanku."
"Kehadiran li-hiap merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi
kami, tentu saja kami semua ingat apa masakan kegemaran lihiap," kata pelayan itu sambil memberi hormat lalu
mengundurkan diri. Liong-li tersenyum senang. Memang sop ayam jamur merupakan
satu di antara masakan kegemarannya, akan tetapi pagi itu ia
memang tidak memesan masakan itu, melainkan memesan
masakan kegemaran yang lain. Karena sop pemberian para
tukang masak itu nampak lezat, dengan daging kulit ayam yang
gemuk menonjol dan kekuningan, dan jamurnya juga masih baru,
iapun menggunakan sumpit untuk mengambil sepotong jamur
kecil untuk mencobanya. 46 Akan tetapi, begitu jamur itu masuk ke mulutnya, ia cepat
memuntahkannya kembali ke atas sebuah mangkok kosong, lalu
menggunakan saputangan untuk menerima ludahnya, kemudian
ia berkumur satu kali dengan air teh dan membuang kumuran itu
ke atas mangkok tadi. Semua ini dilakukannya dengan tenang
sehingga tidak ada orang yang mengetahuinya.
Kemudian, dengan sikap masih tenang, namun kini setiap urat
syarafnya waspada, pendengarannya tajam, penglihatannya juga
mencorong, ia mencabut tusuk konde peraknya. Setelah
menyapu ruangan itu dan melihat bahwa tidak ada tamu lain yang
berani nonton ia makan karena hal itu kurang sopan, ia lalu
mencelupkan ujung tusuk sanggul ke dalam sop ayam jamur,
mendiamkannya sejenak dan ketika ia mengangkatnya kembali,
ternyata ujung tusuk sanggul itu nampak kebiruan!
Yakinlah ia bahwa sop ayam jamur itu mengandung racun yang
amat keras, yang kalau dimakannya tentu akan cukup kuat untuk
membunuhnya. Bukan baru sekali ini nyawa Liong-li terancam
maut. Oleh karena itu, sikapnya masih tetap tenang saja. Bahkan
ia melanjutkan makan dua masakan yang dipesannya tadi
bersama nasi, setelah dengan teliti memeriksa semua masakan
itu, bahkan ia memeriksa pula arak yang disuguhkan.
Hanya sop ayam jamur itu saja yang mengandung racun, justeru
masakan hadiah dari tukang masak atau kepala dapur! Sungguh
aneh. Liong-li memutar otaknya sambil makan sehingga ia tidak
dapat menikmati makan pagi itu sepenuhnya Perhatiannya
tercurah kepada peristiwa itu, masakan yang dihadiahkan
kepadanya, masakan yang mengandung racun!
47 Rasanya tidak masuk diakal kalau kepala dapur menghidangkan
masakan beracun kepadanya! Tidak ada alasannya sama sekali.
Pertama, ia tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga di
rumah makan itu, dan kedua, kalau memang ada yang hendak
membunuhnya dengan racun, mengapa caranya demikian kasar"
Apakah orang itu tidak memperhitungkan bahayanya kalau
sampai ketahuan" Tidak, kiranya tidak mungkin ada musuh
setolol itu, dan jelas bukan kepala dapur.
Kecuali tentu saja kalau ada penjahat yang menyelundup dan kini
bekerja di dapur rumah makan itu. Kemungkinan ini tentu saja
ada, dan bukan mustahil kalau penjahat yang menyelundup
menjadi tukang masak itu hendak membalas dendam kepadanya
dengan menaruh racun ke dalam masakan yang dihadiahkan!
Tiba-tiba ia teringat dan jantungnya berdebar. Kenapa tidak dari
tadi ia teringat akan hal ini" Bagaimana mungkin ada kepala
dapur begitu lancang menghadiahkan masakan kepada seorang
tamu" Kalau mau memberi hadiah masakan, tentu bukan dari
kepala dapur datangnya, melainkan dari pemilik rumah makan!
Kepala dapur menghadiahkan masakan semahal itu, atas
namanya, tentu akan membuat pemilik rumah makan menjadi
marah. Melihat gadis itu sudah tidak makan lagi, pelayan tua datang
menghampiri mejanya untuk membersihkan meja itu. "Sudah
selesaikah, li-hiap?" tanyanya ramah.
Liong-li mengangguk tanpa bicara, diam-diam ia mengerling dan
memperhatikan sikap pelayan itu. Dalam keadaan seperti itu,
48 kewaspadaan membuat ia menaruh curiga terhadap apa saja dan
siapa saja! "Ehh?" Pelayan tua itu nampak kaget dan heran yang tidak
dibuat-buat ketika dia melihat mangkok besar sop ayam jamur itu
masih utuh. "Kenapa li-hiap tidak makan sop ayam jamur ini?"
Liong Li masih memancing sambil menatap tajam wajah orang.
"Paman, maukah engkau memakannya, kalau kuberikan ini
kepadamu?" Sepasang mata itu terbelalak, bukan terkejut atau ketakutan,
melainkan keheranan. "Tentu saja, li-hiap, akan tetapi...... mana


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya berani" Dan kenapa li-hiap tidak memakannya?"
Liong-li lega. Pelayan tua ini tidak tahu menahu. "Paman,
siapakah yang menghadiahkan sup ayam jamur ini kepadaku?"
"Sudah saya katakan tadi, kepala dapur yang menghadiahkan
kepada li-hiap, dengan salam hormat seluruh pekerja di dapur.
Kenapakah, li-hiap?"
Pelayan itu mulai memperlihatkan sikap tidak enak karena tentu
saja dia merasa tidak enak hati melihat betapa hidangan yang
dihadiahkan itu sama sekali tidak dimakan oleh Liong-li.
Liong-li tersenyum, "Tidak apa-apa, paman, hanya aku
kekenyangan. Oya, aku ingin bertemu dengan kepala dapur untuk
mengucapkan terima kasih. Maukah engkau mengundangnya
keluar ke sini sebentar agar aku dapat bicara dengan dia?"
49 Wajah pelayan itu kembali berseri. "Tentu li-hiap! Aih, Tio-toako
tentu akan gembira sekali mendengar undangan li-hiap ini!"
Sambil membawa mangkok kosong dan sisa makanan, kecuali
sup ayam jamur yang masih ditahan Liong-li, pelayan itu
bergegas masuk ke bagian belakang untuk menyampaikan
undangan Liong-li kepada kepala dapur.
Biarpun sedang menghadapi keadaan yang menegangkan,
Liong-li masih tidak mampu menahan geli hatinya ketika ia
melihat koki atau kepala dapur itu "menggelundung" keluar dari
dapurnya! Sungguh seorang laki-laki yang lucu bentuk tubuhnya.
Dari kepalanya sampai ke tubuhnya, orang berusia empatpuluh
lebih ini benar-benar bundar seperti bola!
Kedua kakinya nampak pendek sehingga ketika dia datang
dengan langkah cepat, dia seperti sebuah bola yang
digelundungkan. Dan muka yang bulat penuh itu bermata sipit,
hampir terpejam ketika mulutnya menyeringai lebar dalam
senyum ramah dan girang! Tidak, pikir Liong-li. Orang macam ini mana mungkin mempunyai
niat jahat untuk meracuninya" Pula, kalau benar dia berniat jahat,
dia tidak akan keluar dengan wajah begitu gembiranya!
Begitu bertemu, koki itu lalu merangkap kedua tangan depan
dada dan membungkuk begitu dalamnya sehingga Liong-li
khawatir kalau dia terjungkal!
"Li-hiap mengundang saya?" tanya orang itu, ragu-ragu karena
diundang oleh pendekar wanita ini sungguh merupakan hal yang
50 amat terhormat. Bahkan semua rekannya nampak mengintai dari
pintu dapur dengan wajah berseri.
Liong-li belum pernah melihat koki ini, akan tetapi dari sikapnya ia
yakin bahwa koki ini bukan orang baru di situ. Bahkan pemilik
rumah makan yang duduk di belakang meja itu tersenyum melihat
kokinya keluar menghadap Liong-li.
Akan tetapi, kepala dapur itu mengerutkan alisnya dan sepasang
mata yang tadi menjadi sipit karena tersenyum, kini dilebarlebarkan seolah dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Masakan sup ayam jamur di atas meja depan gadis itu masih
utuh! "Engkaukah Tio-toako?" tanya Liong-li, dengan sinar mata tajam
penuh selidik ia menatap wajah bulat itu.
"Benar, li-hiap. Ada apakah li-hiap mengundang saya?"
"Tio-toako, sudah lama engkau menjadi kepala dapur di rumah
makan ini?" "Sudah ada sepuluh tahun, li-hiap."
"Hemm, apakah engkau yang mengirim hadiah masakan ini dan
engkau sendiri yang memasaknya?"
"Benar, li-hiap. Apakah tidak enak maka........"
"Engkau agaknya lupa menaruh garam pada masakan ini, toako.
Sama sekali tidak asin dan hambar!"
51 "Ahhhh?"" Sepasang mata itu makin dibelalakkan. "Bagaimana
mungkin" Saya masak dengan hati-hati sekali, sudah saya taruh
garam dan bumbu secukupnya."
"Hemm, kau tidak percaya. Engkau rasakanlah sendiri, coba
kauminum kuahnya sesendok saja," kata Liong-li sambil menatap
tajam wajah itu. Wajah itu sama sekali tidak kelihatan gugup atau
takut. "Aneh! Baik, akan saya coba sendiri. Maafkan, li-hiap," kata si
gendut itu sambil menghampiri meja dan menyendok kuah dari
mangkok sup itu, lalu dibawa sendok itu ke mulutnya.
"Tidak usah!" Liong-li berkata dan sekali tangannya bergerak,
sendok terisi kuah itu telah dirampasnya tanpa setetespun kuah
tumpah. Si gendut terkejut bukan main.
"Ehhh" Ada apakah, li-hiap?" tanyanya heran.
"Tio-toako, ketika engkau masak sup ini, apakah ada yang
membantumu?" Si gendut mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Memang selalu
saya dibantu oleh para pembantu koki. Kalau masakan penting,
saya sendiri yang masak dan mereka itu hanya memotongmotong bahan masakan dan menyediakan bumbunya saja. Untuk
masakan sup ini, ada seorang pembantu yang menemani saya."
52 "Katakan terus terang, engkaukah yang menghadiahkan sup ini
untukku" Sup ini mahal, bagaimana engkau dapat
menghadiahkan begitu saja" Apakah engkau tidak dimarahi
pemilik rumah makan?"
Wajah itu menjadi kemerahan dan senyumnya malu-malu,
sepasang matanya kembali menyipit. "Maafkan, li-hiap, terus
terang saja, masakan mahal ini dibeli......"
"Apa" Engkau membelinya untukku?"
"Eh, bukan...... bukan uang saya, li-hiap. Biarlah saya mengaku
terus terang saja. Seorang pembantu tukang masak yang merasa
amat kagum kepada li-hiap, telah mengorbankan gajinya sehari
untuk membeli masakan ini, untuk li-hiap. Karena dia pemalu,
maka dia minta agar saya yang mengaku mengirim hidangan ini
kepada li-hiap disertai salam semua rekan di dapur."
Liong-li mengerutkan alisnya, jelaslah kini baginya, seperti
melihat sebuah gambaran. "Dan pembantu itu yang tadi
membantumu menyiapkan masakan sup ini?"
"Benar, li-hiap."
"Dan dia tentu orang baru di sini?"
"Eh" Bagaimana li-hiap dapat mengetahuinya" Memang baru
seminggu dia bekerja di sini, orangnya rajin dan pendiam,
pekerjaannya baik dan.... ehhh......"
53 Liong-li sudah bangkit dan menyambar pergelangan tangan si
gendut itu, ditariknya orang itu memasuki dapur. "Tunjukkan
mana orang itu!" katanya.
Si gendut tersaruk-saruk dan menjadi terkejut, heran dan takut.
Ketika mereka memasuki dapur, semua pekerja di dapur
memandang dengan heran pula. Si gendut memandang ke
sekeliling, dan Liong-li siap untuk turun tangan.
Akan tetapi si gendut nampak ragu-ragu."Eh" Di mana A-hok"
Cepat panggil dia ke sini! A-hok...... A-hooookkk.....!!"
Dia memanggil-manggil. Akan tetapi, yang dipanggil tidak muncul,
tidak nampak pula batang hidungnya dan Liong-li tidak merasa
heran. Tentu saja penjahat yang hendak meracuninya itu telah
melarikan diri begitu melihat usahanya.gagal.
Pemilik rumah makan segera datang ketika melihat ribut-ribut dan
dengan hormat dia bertanya kepada Liong-li akan apa yang telah
terjadi. Dengan tenang Liong-li berkata kepadanya. "Pembantu tukang
masak yang mengaku bernama A-hok itu adalah seorang
penjahat yang menyelundup dan tadi dia berusaha meracuni aku
melalui masakan yang dihidangkan. Hati-hati, masakan sup ayam
jamur itu beracun jahat sekali, dan kalau kalian melihat A-hok itu
di mana saja, cepat beri kabar kepadaku."
Liong-li segera membayar harga makanan yang dipesannya dan
meninggalkan tempat itu dengan tenang.
54 Semua gambaran itu kini jelas. Ada musuh bersembunyi yang
menghendaki kematiannya. Hal ini sebenarnya tidak aneh. Ia
tahu bahwa banyak penjahat sakit hati kepadanya, mendendam
dan hendak membunuhnya. Dan karena itu maka selama ini ia tidak pernah lengah. Bahkan
rumahnya pun dilindungi alat-alat rahasia. Akan tetapi, sudah
satu dua tahun ini tidak ada penjahat berani mencoba untuk
membunuhnya secara, terang-terangan seperti yang dilakukan
penjahat yang menyelundup menjadi pembantu tukang masak
tadi. Ia memang tidak mencari keterangan tentang penjahat itu. Tidak
ada gunanya. Penjahat kecil itu tentu hanya menjadi anak buah
atau alat dari dalang yang mengaturnya, dan dalang itulah
musuhnya yang berbahaya. Ia harus lebih waspada karena ada
bayangan ancaman maut dari musuh-musuh yang tidak diketahui
siapa. Sementara itu, pemilik rumah makan yang merasa penasaran,
lalu mengambil sedikit daging sup ayam jamur dan
memberikannya kepada seekor kucing liar yang suka berkeliaran
di situ mencari tulang-tulang sisa. Begitu kucing itu menjilat
daging ayam, binatang itu terus meraung dan kejang-kejang,
tewas seketika! Baru dia percaya dan bergidik. Untung pendekar wanita yang
dihormati itu tidak sampai mati keracunan di restorannya! Dia
menyumpah-nyumpah dan mencoba untuk mencari tukang
masak baru itu. Namun tentu saja usahanya sia-sia dan sejak itu,
55 dia tidak berani menerima pekerja baru tanpa mengenal dulu
dengan baik siapa orang itu!
"Y" Seperti yang diduga oleh Liong-li, percobaan membunuhnya
dengan racun itu merupakan awal serangkaian serangan dan
usaha untuk membunuhnya, atau setidaknya merupakan
serangan-serangan dan usaha gelap segerombolan musuh yang
tidak diketahuinya siapa. Tiga hari kemudian, pada suatu malam
terdengar suara ledakan nyaring di depan rumah gedungnya.
Dalam beberapa detik saja, ia dan sembilan orang pelayannya
sudah berhamburan keluar dalam keadaan siap menghadapi
musuh. Akan tetapi, tidak nampak bayangan seorangpun
manusia di pekarangan itu, hanya bekas ledakan yang membuat
Liong-li mengepal tinju. Arca wanita menunggang angsa yang menjadi kesayangannya, di
tengah kolam ikan dan bunga teratai, telah hancur! Melihat
bekas-bekasnya, arca itu dihancurkan dengan bahan peledak
yang kuat sekali. Agaknya, pihak musuh yang tidak berani memasuki rumah yang
dipasangi alat-alat rahasia, melampiaskan dendam mereka
kepada arca wanita dan angsa itu, atau sengaja mereka
melakukan pengrusakan itu untuk mengganggu ketenteraman
hatinya dan usaha itu memang berhasil. Ketenteraman hati Liongli terusik dan sambil mengepal tinju ia berkata kepada sembilan
orang pembantunya. 56 "Mulai detik ini kita harus waspada dan menyatakan perang
terhadap para pengganggu yang curang dan pengecut ini. Buka
mata dan telinga kalian setiap saat dan di manapun kalian
berada. Musuh berada di sekeliling kita."
Sembilan orang pelayan itu menyatakan sanggup dan merekapun
merasa kesal sekali akan perbuatan yang curang dari musuhmusuh majikan mereka. Dan seperti yang dikatakan Liong-li,
perang memang mulai dinyalakan oleh segerombolan orang yang
bekerja secara curang dan menggelap. Hal ini terjadi tiga hari
kemudian. Pada hari itu, Bunga Biru dan Bunga Kuning, dua orang pelayan
Liong-li, pergi berbelanja ke pasar. Seperti biasa, mereka
berbelanja daging dan sayur mayur untuk masak hari itu. Juga
Bunga Kuning hendak membeli kain sutera kuning untuk dibuat
pakaian. Dua orang wanita muda berusia duapuluh tujuh tahun itu
bersikap gembira, namun keduanya tetap waspada sesuai
dengan pesan majikan mereka.
Walaupun sudah tiga hari tidak pernah terjadi sesuatu semenjak
arca itu diledakkan orang, namun keduanya maklum bahwa
mungkin saja pada saat itu ada mata yang mengikuti gerak gerik
mereka. Maka, kegembiraan mereka itu bercampur siasat agar
pihak musuh menganggap mereka lengah, agar pihak musuh
mau bergerak melakukan serangan.
Menurut majikan mereka, sukar mencari musuh yang tidak mau
memperkenalkan diri. Satu-satunya cara adalah memancing agar
mereka turun tangan melakukan serangan dan hal ini dapat
57 terjadi kalau mereka memperlihatkan sikap lengah! Memang
permainan yang berbahaya, namun kesembilan orang pelayan
Liong-li adalah gadis-gadis yang terlatih dan sudah terbiasa
menghadapi bahaya seperti majikan mereka.
Setelah dua-tiga jam dua orang pelayan itu terlambat pulang,
mulailah Liong-li mengerutkan alisnya. Ia mendapat laporan dari
para pelayan lain bahwa Bunga Biru dan Bunga Kuning yang
pergi berbelanja, sudah hampir tiga jam terlambat pulang dari
pada waktu biasanya. "Tunggu sejam lagi. Kalau mereka belum pulang, Bunga Merah
dan Bunga Ungu agar pergi menyusul ke pasar dan ke toko," kata
Liong-li dengan sikap masih tenang.
Setengah jam kemudian, Bunga Biru pulang dengan wajah penuh
ketegangan, dan ia tidak mau menjawab hujan pertanyaan para
rekannya melainkan langsung saja ia lari menghadap Liong-li
yang duduk di ruangan tengah. Tentu saja tujuh orang rekannya
yang merasa khawatir, mengikutinya dari belakang dan kini
delapan orang pelayan itu sudah duduk bersimpuh di atas lantai,
menghadap Liong-li yang duduk di atas bangku rendah dengan
santai. "Lan Hwa, apakah yang terjadi dan di mana Ui Hwa?" tanya
Liong-li dengan tegas dan suaranya mengandung teguran karena
pelayan itu telah membuat mereka semua merasa khawatir.
"Maaf, li-hiap...... Bunga Kuning diculik orang......"
58 Tentu saja semua pelayan terkejut walaupun mereka menekan
perasaan dan tidak berani memperlihatkan kekagetan mereka.
Hek-liong-li sendiri terkejut, akan tetapi dengan tenang ia berkata,
"Coba ceritakan dari awal apa yang telah terjadi."
"Kami berbelanja ke pasar dan ketika pulang kami singgah di toko
kain untuk membeli kain sutera kuning. Setelah membeli kain,
ketika kami keluar dari toko, tiba-tiba seorang laki-laki setengah
tua, sekitar limapuluh tahun usianya, bertubuh tinggi kurus,
menghampiri kami dan dia bertanya lirih apakah kami bekerja
kepada li-hiap. Ketika kami membenarkan, dia berbisik bahwa dia
melihat pembantu tukang masak yang pernah mencoba untuk
meracuni li-hiap." Tentu saja perhatian Liong-li segera tertarik. "Lalu bagaimana"
Cepat ceritakan yang jelas, jangan lewatkan hal-hal yang kecil
sekalipun!"

Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bunga biru melanjutkan ceritanya. Ketika ia dan Bunga Kuning
mendengar bisikan laki-laki itu, tentu saja mereka berdua tertarik
sekali, akan tetapi merekapun tidak mau percaya begitu saja.
Mereka sudah terlatih dan terdidik oleh Liong-li dan mereka
adalah gadis-gadis yang cerdik di samping tabah dan lihai.
Mereka saling pandang dan keduanya melalui pandang mata
bersepakat untuk cepat melapor kepada Liong-li. Akan tetapi
agaknya laki-laki kurus itupun dapat menduga, karena dia segera
berkata bahwa kalau tidak cepat-cepat mereka mengejar, dia
khawatir bekas pembantu tukang masak itu akan sempat
menghilang. 59 "Di mana dia?" tanya Bunga Kuning.
"Tadi kulihat dia di dekat pintu gerbang sebelah barat. Mari cepat
nona, kalau dia sudah pergi, aku takut kalian menganggap aku
berbohong!" kata laki-laki itu yang berjalan tergesa-gesa menuju
ke pintu gerbang barat. Sambil mengikuti orang itu, Bunga Biru bertanya. "Siapakah
engkau, paman" Dan mengapa engkau melaporkan hal ini
kepada kami?" Sambil berjalan cepat setengah berlari, orang itu menjawab. "Aku
juga hadir sebagai tamu ketika peristiwa racun dalam sup ayam
jamur itu terjadi. Aku pengagum Hek-liong-li, maka aku bertanyatanya siapa orangnya yang begitu berani hendak meracuni li-hiap.
Aku pernah melihat pembantu tukang masak itu dan tadi
kebetulan aku melihatnya. Aku hendak melapor kepada li-hiap,
akan tetapi ketika melihat kalian, aku teringat bahwa para pelayan
Hek-liong-lihiap mengenakan pakaian yang beraneka warna.
Marilah, jangan sampai dia menghilang!"
Mereka tiba di pintu gerbang, akan tetapi orang yang dicarinya
sudah tidak ada. Dengan menyesal laki-laki itu menyatakan
bahwa tentu orang itu melakukan perjalanan ke luar pintu
gerbang. "Mari kita kejar dia, pasti belum jauh dia pergi!" katanya dan
melihat sikapnya yang sungguh-sungguh, mulai berkurang
kecurigaan Bunga Biru dan Bunga Kuning. Mereka mengikuti lakilaki melakukan pengejaran dan ketika mereka tiba di tempat sunyi
60 dekat hutan, tiba-tiba saja bermunculan belasan orang dan si
kurus itu segera menyerang Bunga Kuning!
Tentu saja dua orang gadis pelayan itu terkejut dan marah.
Kecurigaan mereka tadi ternyata benar. Orang ini adalah orang
jahat yang sengaja memancing mereka keluar dari kota dan di
tempat sunyi itu mereka dikepung oleh empatbelas orang!
Akan tetapi, keduanya adalah gadis-gadis yang terlatih dan
gagah perkasa. Mereka mengamuk dan dan tidak mau menyerah
begitu saja. Karena para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu
kepandaian yang cukup dan tenaga merekapun besar,
sedangkan dua orang gadis pelayan itu tidak memegang senjata,
akhirnya Bunga Kuning tertendang roboh dan tertawan.
"Demikianlah, li-hiap. Saya berusaha melawan dan berusaha
menolong Ui hwa, akan tetapi jumlah mereka terlalu banyak dan
juga mereka itu lihai sehingga saya tidak berhasil menyelamatkan
Bunga Kuning," kata Bunga Biru dengan muka pucat dan mata
sayu mengaku salah. Liong-li mengerutkan alisnya. "Dan engkau melarikan diri?"
"Ah, bagaimana mungkin saya melarikan diri melihat rekan
ditangkap, li-hiap" Dan inilah yang aneh. Mereka itu melarikan
Bunga Kuning, meninggalkan saya begitu saja. Pada hal kalau
mereka terus mengeroyok, sudah pasti mereka akan dapat
menangkap atau merobohkan saya. Mereka pergi melarikan
Bunga Kuning ke dalam hutan. Karena merasa tidak mungkin
dapat membebaskan rekan itu, terpaksa saya bergegas pulang
untuk memberi laporan kepada li-hiap."
61 Liong-li mengangguk-angguk dan ia duduk bertopang dagu, jarijari tangannya, terutama ibu jari dan telunjuk tangan kiri,
menggosok-gosok hidungnya. Itulah ciri khas dari pendekar
wanita ini bahwa ia sedang berpikir keras! Kalau ia sedang
menggunakan akal pikirannya, tanpa disadarinya ia membuat
gerakan ini. "Apanya yang aneh" Mereka menangkap Ui Hwa dan sengaja
membebaskanmu agar engkau dapat melapor kepadaku,"
katanya. Mendengar ini, delapan orang pelayan itu mengerutkan alisnya.
Bunga Biru memberanikan hatinya. "Akan tetapi, li-hiap, mengapa
mereka melakukan hal itu" Apa maksud yang tersembunyi di
balik penculikan itu?"
"Lan Hwa, begitu bodohkah engkau sehingga tidak dapat
menduga apa maksud dari mereka?" Liong-li balas bertanya dan
memandang tajam. Bunga Biru menyadari kesalahannya dan cepat-cepat ia berkata,
"Mereka menculik Bunga Kuning dan tidak membunuhnya, ini
berarti bahwa mereka membutuhkan Bunga Kuning. Mereka
melepas saya untuk melapor li-hiap, tentu bermaksud untuk
memancing li-hiap keluar dari rumah ini dan menuju ke hutan
sana. Bunga Kuning ditangkap sebagai umpan. Aih, kalau li-hiap
ke sana, berarti mereka sudah memasang jebakan! Itu berbahaya
sekali!" "Bagus, pendapatmu benar, akan tetapi kurang lengkap. Kalau
mereka menculik Bunga Kuning tentu berarti mereka
62 membutuhkan ia dalam keadaan hidup. Dan ada dua
kemungkinan di balik penculikan itu. Pertama, seperti yang
kauduga, mereka hendak memancing aku pergi ke sana dan
akan menjebakku. Kedua, dan ini lebih besar kemungkinannya,
mereka hendak memaksa Ui Hwa untuk membuka rahasia alatalat rahasia di rumah ini agar mereka dapat menyerbu!"
"Maaf, li-hiap," kata Bunga Putih. "Akan tetapi saya tidak melihat
alasan untuk maksud yang kedua itu."
"Alasannya jelas sekali. Mereka telah meledakkan arca di
pekarangan, selain sebagai tantangan dan awal perang, juga
mungkin untuk melihat apakah arca itu mengandung rahasia.
Jelas mereka tidak berani memasuki rumah ini, dan mereka pikir
kalau dapat menangkap seorang di antara kalian, mereka akan
dapat memaksa yang ditangkap untuk membuka rahasia alat-alat
yang berbahaya bagi mereka di sini."
"Akan tetapi, sampai matipun kami yakin Bunga Kuning tidak
akan sudi membuka rahasia itu," kata seorang gadis berpakaian
ungu. Liong-li tersenyum. Terbayang dalam benaknya akal para
penjahat untuk memaksa seseorang gadis mentaati kehendak
mereka. Bermacam siksaan pernah ia alami dan ia sangsi apakah
Bunga Kuning akan kuat bertahan kalau menghadapi siksaan
iblis-iblis berupa manusia itu.
"Kuharap ia tidak keras kepala dan mati konyol," katanya tenang.
"Bagaimanapun juga, aku sudah siap menghadapi gerombolan
penjahat itu dan pasti akan dapat kubasmi mereka!"
63 "Kami semua menanti perintah li-hiap dan siap membantu!" kata
Bunga Biru yang masih perihatin mengenang nasib rekannya
yang tertawan musuh. "Siasat mereka itu kasar sekali dan kita balas pancingan mereka
dengan pancingan pula. Aku tidak akan mencari Ui Hwa di hutan
itu, akan tetapi siang ini kita pura-pura mencari di sekitar sana,
tidak perlu memasuki hutan. Aku hanya ingin agar mereka
melihat kita sibuk mencari Ui Hwa, seolah kita lengah dan tidak
mengira mereka akan mempelajari rahasia alat-alat jebakan dan
menyerbu ke dalam. Akan tetapi, pada malam harinya, diam-diam
kita berjaga-jaga kalau sampai mereka berani muncul dan
memaksa Ui Hwa membuka rahasia, kita hantam mereka dan kita
basmi mereka sampai ke akarnya!"
Delapan orang pelayan itu menyatakan kegembiraan mereka,
dan sesuai dengan siasat yang diatur Liong-li, mereka delapan
orang mengikuti Liong-li, pura-pura mencari Ui Hwa dengan Lan
Hwa menjadi penunjuk jalan. Mereka mencari di sekitar tempat di
mana Bunga Kuning ditawan tadi, akan tetapi tidak memasuki
hutan. Setelah hari mulai gelap, Liong-li mengajak delapan orang
pelayannya pulang dan malam itu, mereka mengatur penjagaan
secara diam-diam, dan membiarkan keadaan rumah itu seperti
malam-malam biasanya. Memang tepat dugaan Liong-li. Bunga Kuning dibawa ke dalam
hutan oleh belasan orang itu dan dihawa menghadap lima orang
yang bukan lain adalah Thai-san Ngo-kwi! Ui Hwa atau Bunga
Kuning, gadis pelayan yang mengenakan pakaian serba kuning
ini, adalah seorang di antara para pelayan Liong-li yang paling
64 cerdik. Begitu ia diringkus dan dilarikan oleh gerombolan itu,
iapun mengerti bahwa gerombolan itu menculiknya dengan tujuan
tertentu. Buktinya, mereka membiarkan Bunga Biru lobos, pada hal kalau
mereka kehendaki, mereka dapat pula menawan Bunga biru.
Jelas bahwa penangkapan atas dirinya itu mempunyai maksud
tertentu, bukan karena tertarik oleh kecantikannya. Bunga Biru
lebih cantik dan lebih muda darinya. Tidak salah lagi pikirnya, ini
tentu ada hubungannya dengan majikannya dan iapun teringat
akan pengrusakan arca di pekarangan rumah Liong-li.
Ketika ia dihadapkan kepada lima orang pria yang kasar dan
nampak bertampang seram itu, Bunga Kuning bersikap tenang
walaupun kedua lengannya terikat di belakang punggung dan
empat orang anak buah gerombolan menodongkan golok di
tubuhnya. Ia tidak boleh bersikap lemah. Tidak percuma ia
menjadi pelayan Hek-liong-li! Ia akan menghadapi maut dengan
gagah. Ketika lima orang pimpinan gerombolan itu melihat Ui Hwa yang
berdiri tegak di depan mereka dalam keadaan terbelenggu,
mereka saling pandang dan tersenyum lebar.
"Aha, seorang pelayan wanita yang cantik dan gagah," kata Thaikwi yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. "Engkau ini
hanya seorang pelayan, akan tetapi lagakmu seperti seorang
pendekar wanita yang kenamaan saja, ha-ha!"
Dengan sinar mata berani dan suara lantang Bunga Kuning
menjawab, "Jiwa pendekar bukan hanya dimiliki para majikan,
65 bangsawan, hartawan atau laki-laki yang bertubuh tinggi besar
dan kuat saja! Bahkan banyak laki-laki yang kelihatannya kuat,
berjiwa kerdil sebagai penjahat yang curang dan pengecut!
Contohnya kalian ini yang mengeroyok dan menangkap seorang
wanita!" Lima orang pemimpin gerombolan itu adalah tokoh-tokoh kangouw yang sudah berpengalaman, maka kata-kata yang
mengandung hinaan ini tidak dapat membuat mereka marah.
Mereka hanya menyeringai saja dan tahu bahwa gadis
berpakaian kuning itu hanya menjaga "gengsi" sebagai pelayan
seorang pendekar wanita yang terkenal seperti Hek-liong-li.
"Hebat, gadis yang manis. Engkau memang gagah berani dan
cantik pula. Sayang hanya seorang pelayan! Tentu engkau cerdik
pula dan tahu mengapa kami menawanmu, bukan?"
Gadis itu tahu bahwa ia berhadapan dengan penjahat-penjahat
besar, maka tidak ada gunanya berpura-pura. Bahkan ia harus
bersikap terbuka agar ia dapat menjenguk isi hati mereka dan
mengetahui rahasia mereka agar ada manfaatnya apabila ia
dapat lagi bertemu dengan nona majikannya sebagai bahan
laporan. "Selama hidupku, aku belum pernah bertemu dengan kalian, dan
tidak mempunyai urusan apapun dengan kalian. Oleh karena itu,
kalian menawanku tentu bukan karena aku, melainkan karena
nona majikanku, Hek-liong-lihiap!"
"Heh-heh-heh, boleh juga nona ini!" kata Ji-kwi yang berperut
gendut. 66 "Kalau tidak cerdik, mana bisa menjadi pelayan Hek-liong-li?"
kata Thai-kwi, sengaja memuji karena dia ingin gadis itu bersikap
terbuka karena bangga sehingga keterangan gadis itu akan
menguntungkan mereka. "Hei, nona yang manis dan cerdik,
bagaimana engkau bisa menduga bahwa kami menangkapmu
karena Hek-liong-li?"
"Hem, orang bodoh sekalipun akan dapat menduganya. Pertama,
nona majikanku terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang
selalu menentang para penjahat seperti kalian. Kedua, kalian
tentu yang menghancurkan arca wanita dengan angsa di
pekarangan rumah nona majikanku. Kalian tak berani menyerbu
ke dalam rumah, maka kini kalian menangkap aku. Begitu,
bukan?" "Bukan main!" Thai-kwi memuji lagi. "Hebat memang dan kami
kagum sekali, nona. Akan tetapi engkau tentu tidak tahu untuk
apa engkau kami tangkap."
"Huh, apa sukarnya menduga cara kerja kalian" Tentu kalian
menawan aku untuk memancing nona majikanku ke sini agar
kalian dapat mengepung dan mengeroyoknya, atau memasang
jebakan secara curang. Jangan kalian mimpi! Nona majikanku
tidaklah begitu bodoh untuk masuk ke dalam perangkap yang
kalian pasang. Apa artinya seorang pelayan seperti aku" Tidak
cukup berharga bagi majikanku untuk membahayakan dirinya.
Perangkap kalian takkan berhasil!"
67 Lima orang pemimpin gerombolan itu saling pandang dan sekali
ini benar-benar mereka kelihatan kecewa dan terkejut. Apa yang
dikatakan Ui-wa memang tepat sekali!
Sam-kwi .yang tinggi kurus adalah orang paling cerdik di antara
lima kepala gerombolan itu. "Nona, kalau majikanmu merasa diri
terlalu tinggi dan engkau dianggap hanya sebagai pelayan yang
rendah saja dan yang tidak pantas dibela dengan taruhan nyawa,
kenapa engkau kini hendak membela majikanmu mati-matian"
Alangkah bodohnya bagi seorang gadis cantik dan cerdik
sepertimu ini!" Bunga Kuning memutar otaknya. Mereka ini menghendaki
sesuatu, pikirnya. Ia harus bersikap cerdik dan sebaiknya kalau ia
memberi sedikit, mengalah dan berlagak seolah ia condong
menerima "nasihat" itu.
"Lalu, apa kehendakmu?" tanyanya memancing.
Sam-kwi tersenyum dan memberi kedipan mata kepada saudarasaudaranya. "Nona yang baik, siapakah namamu?"
"Aku disebut Ui Hwa."
"Hem, Bunga Kuning" Begini maksud kami. Engkau sudah
menjadi tawanan kami karena Hek-liong-li. Memang tadinya kami
hendak memancing datang ke sini mencarimu. Akan tetapi
setelah, mendengar ucapanmu tadi, kami mengerti bahwa siasat
kami itu tidak ada gunanya. Ketahuilah bahwa kami menaruh
dendam yang mendalam terhadap Hek-liong-li. Ia telah
membunuh guru kami dan kini kami harus membalas dendam.
68 Kalau engkau dapat membantu kami, maka kami tentu tidak akan
membunuhmu. Sebaliknya, kalau engkau berkeras hendak
membela majikanmu dengan taruhan nyawa, hemm....., ini bukan
saja akan membunuhmu, bahkan kami akan menyiksamu dengan
menyerahkan engkau kepada anak buah kami. Ingat, ada


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puluhan orang anak buah kami dan mereka itu semua sudah
berbulan-bulan tidak berdekatan dengan wanita! Kami akan
menyerahkan engkau kepada mereka sampai engkau mati!"
Jelas ini bukan ancaman kosong belaka. Orang-orang seperti iblis
itu tentu dapat melakukan kekejian yang bagaimanapun juga! Ui
Hwa tidak takut mati, sebagai pelayan Hek-liong-li ia tahu bahwa
setiap saat nyawanya terancam maut. Akan tetapi tidak pernah ia
membayangkan siksaan seperti itu dan iapun tidak mau
menyembunyikan kengeriannya. Wajahnya menjadi pucat, tarikan
mukanya menunjukkan ketakutan yang amat sangat, dan kedua
pundaknya menggigil karena ngeri.
"Tidak...... jangan......, jangan lakukan itu......" ia berbisik seperti
meratap. Mudah saja ia melakukan ini, tidak perlu bersandiwara
karena memang saat itu ia merasa takut dan, ngeri.
"Tentu saja kami tidak akan melakukan hal itu kepadamu kalau
engkau suka membantu kami agar kami berhasil membalas
dendam kepada Hek-liong-li," kata Thai-kwi dengan nada
mengancam, girang melihat hasil gertakan sutenya.
"Tapi kalian mimpi yang bukan-bukan! Bagaimana aku akan
dapat membantu kalian mengalahkan nona majikanku"
69 Kepandaiannya amat tinggi dan biar ada duapuluh orang macam
aku ini, tidak akan mampu menandinginya."
"Urusan menyerang dan membunuhnya adalah urusan kami.
Engkau hanya membantu kami agar kami dapat menyelundup
masuk ke dalam rumah Hek-liong-li dengan aman, melalui
jebakan-jebakan rahasia yang tentu kaukenal baik. Nah, engkau
menjadi penunjuk jalan masuk ke dalam rumah sampai ke kamar
Hek-Liong-li dan kami akan mengampuni nyawamu. Bagaimana?"
Bunga Kuning mengerutkan alisnya, berpikir-pikir dan
mempertimbangkan tawaran itu, ia nampak ragu dan sangsi,
"Tapi...... tapi...... kalau li-hiap mengetahui hal itu, mengenal aku
yang berkhianat, tentu ia tidak akan mau mengampuni aku!
Kalian membebaskan aku, akan tetapi li-hiap lalu menghukumku,
apa bedanya?" "Ha-ha, jangan khawatir, nona. Engkau akan kami beri pakaian
lain, bukan serba kuning, dan wajahmu kami beri penyamaran
agar kelihatan hitam dan sukar dikenal orang," kata Thai-kwi.
"Nanti dulu, toa-suheng," kata Sam-kwi yang cerdik. "Kurasa cara
itu kurang baik. Lebih baik nona ini membuatkan peta dari rumah
Liong-li, menggambarkan keadaan semua tempat yang
mengandung rahasia alat jebakan itu, iapun tidak perlu ikut
masuk. Kalau gambarannya benar dan kita berhasil, ia kita
bebaskan dengan hadiah. Kalau gambarannya palsu dan kita
terjebak, kita masih belum terlambat untuk menyerahkan ia
kepada anak buah kita yang kelaparan!"
70 "Jangan......!" Ui Hwa meratap ketakutan. "Kalau kubuatkan peta,
kalian tentu akan tetap terjebak. Lika-liku rahasia jebakan di sana
amat sulit dan selalu berubah. Hanya dengan melihat
keadaannya, aku dapat melihat perubahan itu dan bertindak
sesuai dengan perubahannya. Kalau hanya menurut peta, kalian
pasti akan gagal dan terjebak. Kenapa kalian masih ragu dan
tidak percaya kepadaku" Kalian takut kalau aku menipu kalian,
bukan" Nah, kita pergi bersama, kalau aku menipu, setiap saat
kalian dapat menangkap atau membunuhku!"
Lima orang itu saling pandang. "Baiklah, malam ini kita bergerak.
Sementara ini engkau boleh beristirahat, Bunga Kuning," kata
Thai-kwi. Gadis itu dimasukkan ke dalam sebuah kamar, kaki tangannya
dipasangi rantai panjang sehingga biarpun ia mampu bergerak,
namun sulit untuk melarikan diri. Ia disuguhi makan minum dan
bunga Kuning mempergunakan kesempatan ini untuk
memperkuat dirinya. Ia makan dan minum, lalu merebahkan diri
dan memulihkan tenaganya.
Sementara itu, Thai-san Ngo-kwi dan para anak buahnya
melakukan pengintaian ketika melihat Hek-liong-li dan delapan
orang gadis pelayannya melakukan pencarian di sekitar tempat
diculiknya Bunga Kuning tadi. Melihat betapa mereka tidak berani
memasuki hutan, di mana sudah dipasang barisan pendam dan
jebakan, Thai-san Ngo-kwi mengintai sambil berunding.
"Mereka semua meninggalkan rumah, hal itu berarti bahwa
mereka terlalu percaya kepada rahasia di rumah mereka. Mereka
71 tentu lengah kalau berada di rumah itu dan sekali orang kita
dapat menyelinap masuk, tentu tidak sukar untuk membunuhnya,"
kata Thai-kwi girang. Setelah cuaca mulai gelap dan rombongan Hek-liong-li yang tidak
berhasil menemukan Bunga Kuning yang diculik orang itu pergi,
Thai-san Ngo-kwi membuat persiapan. Mereka memberikan
pakaian serba hitam yang menutupi pakaian kuning Ui Hwa, juga
mereka menggunakan arang untuk menghitamkan muka gadis itu
sehingga akan sukarlah mengenal gadis itu, apa lagi di waktu
malam. Semua peristiwa yang terjadi pada Liong-li merupakan hasil atau
langkah-langkah pertama dari pertemuan antara tiga orang tiga
tokoh Kiu Lo-mo di Bukit Hitam bersama Thai-san Ngo-kwi dalam
usaha mereka membalas dendam kepada Hek-liong-li dan Pekliong-eng. Mereka akan menggunakan segala macam cara untuk
melampiaskan dendam mereka, yaitu membunuh sepasang
pendekar itu. Dan Thai-san Ngo-kwi bertugas untuk mengadakan gangguan
terhadap Hek-liong-li, serangan-serangan kecil sebelum serangan
Pendekar Bunga Merah 3 Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Badai Awan Angin 12
^