Pencarian

Jodoh Si Naga Langit 8

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


"O ya, Bibi. Coba gambarkan dulu bagaimana rupanya dua
orang murid itu." "Yang bernama Bouw Kiang itu adalah seorang pemuda berusia
sekitar duapuluh enam tahun, bertubuh tinggi besar berwajah
tampan dengan kulit yang gelap agak hitam dan dia selalu
membawa sebatang tongkat hitam yang terselip di pinggangnya.
Adapun yang bernama Bong Siu Lan adalah seorang gadis
berusia sekitar duapuluh tahun, wajahnya bulat telur, matanya
lebar, mulutnya agak lebar namun ia cantik sekali. Bia-sanya ia
membawa sepasang pedang di punggungnya."
553 Demikianlah, setelah mendapat keterangan dari pelayan itu, Pek
Hong tinggal di bekas rumah Ouw Kan selama beberapa hari
dan setiap hari ia melakukan pencarian dan penyelidikan di
sekitar daerah itu dengan bertanya-tanya. Akan tetapi tidak ada
hasilnya. Akhirnya, ia merasa yakin bahwa dua orang murid Ouw
Kan itu pasti tidak berada di daerah itu. Mengingat akan
keterangan pelayan, mungkin sekali kedua orang itu
mengadakan hubungan dengan Empat Datuk Besar. Akan tetapi
di mana" Selagi ia berjalan perlahan-lahan menuju rumah Ouw Kan
sambil termenung karena bingung ke mana harus mencari dua
orang itu, ketika ia tiba di pintu gerbang kota Ceng-goan, tibatiba ia mendengar derap kaki kuda datang dari arah belakang
dan terdengar suara nyaring.
"Pek Hong !!" Puteri Moguhai cepat membalikkan tubuhnya dan wajahnya
berseri, mulutnya tersenyum ketika ia mengenal siapa
penunggang kuda itu. "Siang In !" Thio Siang In menghentikan kudanya dan melompat turun.
Mereka saling berpegang tangan dengan gembira. "Wah,
beruntung sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini, Pek
Hong." "Engkau mencari aku" Dari manakah engkau, Siang
In?" 554 "Aku dari kota raja, mengunjungi Ibu kita." "Ah, engkau sudah
bertemu dengan Ibu?"
Siang In mengangguk. "Aku mendengar dari Ibu bahwa engkau
sedang keluar meninggalkan kota raja, katanya engkau hendak
mencari dua orang murid Suhu Ouw Kan yang membunuh Han
Si Tiong. Aku sudah mendengar semua dari Ibu! Aku lalu
mencari ke sini." "Mari kita bicara di rumah saja. Aku Sementara ini
tinggal di rumah bekas gurumu itu, Siang In."
Siang In tersenyum mendengar Pek Hong agak ragu menyebut
Ouw Kan sebagai gurunya. Ia menepuk pundak saudara
kembarnya itu dan berkata, "Mari kita bicara di sana, lebih
leluasa." Wanita setengah tua yang menjaga rumah itu, terbelalak melihat
kedatangan mereka berdua. Tadinya ia memang sudah merasa
heran melihat persamaan wajah Puteri Moguhai dengan wajah
Nona Thio, akan tetapi sekarang persamaan itu lebih menyolok
lagi walaupun tatanan rambut dan dandanan pakaian mereka
berdua itu saling berbeda. Akan tetapi ia segera mengenal Siang
In. "Ah, Thio-siocia! Sudah lama Siocia tidak datang ke
sini. Guru Siocia telah " "Cukup, Bibi Alun, aku sudah mengetahui semua. Engkau yakin
benar bahwa engkau tidak mengetahui di mana adanya suheng
(kakak seperguruan pria) Bouw Kiang dan suci (kakak
555 seperguruan wanita) Bong Siu Lan" Kalau engkau tahu,
katakanlah kepadaku."
Nenek itu mengerutkan alis sambil memandang kepada Pek
Hong. "Semua yang saya ketahui telah saya ceritakan kepada
Tuan Puteri Moguhai, Nona, akan tetapi baru tadi saya teringat
bahwa dulu sekali pernah datang seorang Hwesio yang sudah
tua, tubuhnya gemuk sekali seperti arca Ji-lai-hud, suara
tawanya menggelegar dan mengagetkan. Karena suaranya
nyaring, dari dapur saya dapat mendengar ketika dia
mengatakan bahwa Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Bongsiocia (Nona Bong) diharapkan kehadirannya di Puncak Pelangi.
Nah, hanya itulah yang saya lupa menceritakannya kepada
Sang Puteri." "Aih! Justru itu amat penting, Bibi!" teriak Pek Hong dan Siang In
berbareng. Tentu saja kedua orang gadis ini terkejut karena
yang disebut Puncak Pelangi adalah tempat pertapaan ayah
kandung mereka, Tiong Lee Cin-jin!
"Tidak salah lagi, mereka pasti pergi ke sana!" kata Pek Hong.
"Kalau begitu, kita harus kejar mereka, sekarang juga!" 'kata
Siang In. Kedua orang gadis itu lalu berangkat meninggalkan
kota Ceng-goan menuju ke barat.
Karena jalan menurun bukit itu cukup terjal dan berbatu-batu,
maka keduanya menjalankan kudanya dengan santai sambil
bercakap-cakap. "Pek Hong, dulu telah kuceritakan kepadamu bahwa biarpun aku
pernah berguru kepada Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, namun
556 aku sama sekali tidak setuju dengan wataknya. Seringkali aku
bahkan mencelanya sehingga dia merasa tidak suka kepadaku
dan aku selalu akan menentang setiap perbuatan jahat, oleh
siapa pun perbuatan itu dilakukan. Maka, engkau tidak perlu
merasa rikuh menentang dua orang murid Suhu Ouw Kan itu.
Aku akan membantumu!"
"Ah, aku senang sekali mendengar kata-katamu ini, Siang In.
Engkau tidak mengecewakan menjadi puteri Yok-sian Tiong Lee
Cin-jin dan aku bangga mempunyai saudara kembar sepertimu."
"Aku lebih bangga lagi kepadamu, Pek Hong. Biarpun engkau
sejak kecil hidup dalam istana, akan tetapi engkau tetap menjadi
puteri Yok-sian Tiong Lee Cin-jin, menjadi seorang pendekar
wanita yang gagah dan gigih menentang kejahatan. Bahkan
namamu terkenal karena engkau telah membela Kerajaan Kin
dan juga Kerajaan Sung Selatan dari para pemberontak."
"Ah, jasaku tidak banyak. Souw Thian Liong yang sungguh
berjasa dalam menantang para pemberontak di dua kerajaan itu.
Dialah yang sepatutnya menerima pahala, akan tetapi dia
seorang yang sungguh rendah hati, tidak tergoda kemilaunya
harta dan kedudukan, dan bijaksana sekali."
Siang In menghela napas panjang. Ia tahu bahwa saudara
kembarnya ini bergaul akrab dengan Souw Thian Liong. Ia
sendiri juga sudah mengenal baik pemuda itu dan diam-diam
merasa kagum juga kepadanya.
"Pek Hong, engkau cinta padanya, bukan?"
"Eh" Mengapa engkau bertanya demikian?"
557 "Pek Hong, Ibu telah menceritakan semuanya kepadaku.
Menurut cerita Beliau, engkau dimarahi Kaisar karena engkau
menolak semua pinangan dari para pangeran dan putera
bangsawan, dan Kaisar melarang engkau berjodoh dengan
Souw Thian Liong karena Beliau menghendaki engkau menikah
dengan seorang bangsa Yu-cen. Nah, katakan padaku, Pek
Hong, apakah engkau benar-benar mencinta Souw Thian
Liong?" JILID 15 15.1. Wejangan Tiong Lee Cinjin
Pek Hong Niocu menghela napas panjang. "Entahlah, Siang In.
Aku sendiri tidak tahu, aku memang kagum sekali kepadanya."
"Kagum bukan berarti cinta, Pek Hong."
"Aku tidak tahu. Bagaimana sih rasanya hati yang jatuh cinta?"
"Ah, aku sendiri pun tidak tahu, Pek Hong. Aku belum pernah
jatuh cinta." "Hemm, bagaimana hubunganmu dengan Pangeran Cin Han"
Apakah engkau tidak cinta padanya?"
"Aku juga tidak tahu, Pek Hong. Aku hanya kagum dan suka
padanya karena dia seorang pemuda yang berbudi halus dan
sopan, bijaksana sekali."
"Dan tampan !" Pek Hong melanjutkan.
558 "Ah, soal tampan atau tidak itu tergantung dari hati kita, Pek
Hong. Kalau kita menyukai seseorang dia akan tampak tampan,
kalau sebaliknya kita membenci seseorang, dia akan kelihatan
buruk seperti setan!"
Dua orang gadis itu tertawa geli.
"Eh, Siang In. Aku tahu benar bahwa Cin Han itu amat
mencintamu. Kalau tidak salah dia pernah meminangmu akan
tetapi engkau menolak pinangan itu karena ketika engkau
dipinang, engkau belum pernah bertemu dengan dia. Sekarang,
setelah engkau berkenalan dengan dia, bagaimana perasaan
hatimu?" Wajah Siang In berubah kemerahan dan ia tersenyum. "Dia
memang seorang pemuda yang baik sekali, Pek Hong. Memang
terus terang saja aku merasa
tertarik dan suka kepadanya, akan tetapi sayang
dia seorang siucai (sasterawan) yang lemah. Aku ragu apakah aku
dapat hidup bahagia dan cocok dengan dia mengingat
pendidikan antara kami yang amat berbeda. Dia ahli sastra
sedangkan aku ahli silat."
"Wah, keadaan kita sungguh senasib dan sama, Siang In. Aku
pun tertarik kepada seorang pemuda bangsawan bangsa Yucen,
akan tetapi seperti juga Cin Han, pemuda itu adalah seorang
yang mendapat pendidikan bun (sastra). Sebetulnya
keadaannya sebagai seorang putera pangeran bangsa Yucen
cocok dengan keinginan Kaisar, dan aku pun mengenal baik
559 ayahnya dan aku tahu bahwa ayahnya seorang yang gagah
perkasa, baik budi dan setia kepada Kaisar. Akan
tetapi ya itu tadi, sayang dia seorang pemuda lemah."
Dua orang gadis itu kini termenung. Siang In membayangkan
wajah Cin Han, sedangkan Pek Hong membayangkan wajah
Pangeran Kuang Lin. "Siang In, mari kita percepat perjalanan kita ke tempat pertapaan
Ayah, selain untuk menjaganya kalau?kalau dia terancam orangorang sesat, juga kita dapat minta nasihatnya tentang masalah
perjodohan kita." "Baik, Pek Hong. Aku kira hanya Ayah yang akan dapat
menunjukkan jalan terbaik bagi kita."
Dua orang gadis itu lalu membalapkan kuda mereka menuju ke
Pegunungan Go-bi. "Y" Pondok itu berdiri di puncak sebuah bukit. Dari puncak itu
tampak peman?dangan alam yang teramat indah. Terutama di
waktu matahari terbit atau di waktu matahari tenggelam,
pemandangan itu sungguh membuat orang terpesona, seolah
melihat taman sorga terbentang di depannya. Pemandangan
yang dibentuk oleh awan dan sinar matahari sukar
di?gambarkan keindahannya. Apalagi kalau tampak pelangi
yang mengandung semua warna itu melengkung di depan,
membuat orang lupa bahwa dia berada di dunia, bukan di alam
lain. Pondok kayu yang kokoh itu berada di Puncak Pelangi,
560 sebuah di antara Pegunungan Gobi. puncak-puncak banyak perbukitan di Matahari pagi sudah agak tinggi sehingga sinarnya yang hangat
terasa nyaman sekali menembus kedinginan puncak itu. Sejuk
dan segar. Kakek itu duduk bersila di atas sebuah bangku batu yang bundar
dan rata, bersih dan halus permukaannya. Dia seorang laki-laki
berusia sekitar enampuluh lima tahun. Wajahnya bersih tanpa
jenggot maupun kumis, wajah yang berbentuk bulat dengan
dagu meruncing. Sepasang matanya lembut dan bersinar-sinar
cerah seperti mata orang yang merasa lega den puas, mata
orang berbahagia. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu
diikat dengan pita kuning. Pakaiannya hanya terdiri dari kain
yang dilibat-libatkan di tubuhnya, di bagian pinggang diikat
sabuk sutera putih. Sepa?tunya dari kain tebal dengan lapisan
besi. Mata yang tajam, hidung mancung dan mulut yang
bentuknya indah itu membuat wajahnya tampak tampan.
Dia adalah Tiong Lee Cin-jin yang dikenal banyak tokoh besar
dunia persi?latan sebagai Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib
Dewa) dan nama aselinya adalah Sie Tiong Lee.
Beberapa ekor burung gereja bercicitan dan terbang turun dari
atas pohon. Tanpa takut sedikit pun mereka beterbangan dekat
tempat Tiong Lee Cin-jin duduk. Bahkan ada yang hinggap di
atas batu tepat di kakinya dan ada pula yang demikian beraninya
hinggap di atas pundaknya. Agaknya burung-burung kecil itu
sudah terbiasa berbuat seperti itu dan sudah yakin benar bahwa
mereka aman dan tidak akan diganggu. Bahkan lebih dari itu,
561 mereka seolah menagih! Tiong Lee Cin-jin tersenyum, merasa
bahwa burung-burung itu memang menagih. Dia lalu mengambil
sekepal butiran gandum dan menyebarkannya di atas tanah
depan batu yang didudukinya. Ramailah burung-burung itu
berloncatan dan mulai mematuki biji-biji gandum sambil
mengeluarkan bunyi hiruk pikuk. Tiong Lee Cin-jin tersenyum
bahagia sambil memandang ke kawanan burung gereja yang
setiap pagi pasti menemaninya di situ.
Tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin mengangkat muka memandang ke
arah bawah puncak sebelah timur. Dia melihat dua titik hitam
yang bergerak mendaki bukit dan sebentar saja dua titik hitam
itu mulai berbentuk dua tubuh manusia yang dengan
mempergunakan ilmu berlari cepat mendaki bukit menuju
puncak. Mulut kakek itu tersenyum lebar dan matanya bersinar,
wajahnya berseri. Bayangan dua orang itu semakin jelas dan mereka itu adalah
Souw Thian Liong dan Han Bi Lan yang menyamar pria dan
menggunakan nama Han. Seperti kita ketahui, pemuda dan gadis itu melakukan perjalanan
bersama dan bersepakat untuk saling membantu. Han Bi Lan
berusaha mencari dua orang murid mendiang Toat-beng Coaong Ouw Kan yang telah mem?bunuh ayahnya, sedangkan
Souw Thian Liong hendak mengunjungi gurunya, Tiong Lee Cinjin untuk mengabarkan bahwa Empat Datuk Besar mengancam
gurunya itu dan dia akan membantu gurunya. Dalam perjalanan


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka, kedua orang muda ini mendengar bahwa dua orang
murid Ouw Kan yang dicari Bi Lan itu agaknya bergabung
dengan Empat Datuk Besar dan mungkin akan membantu
562 Empat Datuk Besar menyerang Tiong Lee Cin-jin di Puncak
Pelangi. Maka, mereka berdua lalu cepat melakukan perjalanan
menuju Puncak Pelangi. Setelah tiba di depan kakek itu, mereka berdua segera berlutut
memberi hormat. "Suhu, teecu datang menghadap," kata Thian Liong.
"Lo-cianpwe, maafkan kalau saya mengganggu," kata Han Bi
Lan. Tiong Lee Cin-jin tertawa dan meng?angguk-angguk sambil
memandang kepada dua orang muda itu.
"Thian Liong, siapakah nona yang ikut datang berkunjung
bersamamu ini?" Bi Lan kagum. Kakek ini sekali pandang saja sudah mengetahui
bahwa ia seorang wanita, padahal penyamarannya itu bagus
sekali dan di sepanjang perjalanan, tidak ada orang yang
mengetahui rahasianya. Sebelum Thian Liong menjawab, Bi Lan sudah mendahuluinya.
"Maaf kalau saya terpaksa menyamar sebagai pria agar leluasa
dalam perjalanan, Lo-cianpwe. Nama saya adalah Han Bi Lan
dan saya melakukan perjalanan bersama Souw Thian Liong
untuk saling bantu menghadapi orang-orang jahat yang lihai."
"Heh-heh, menarik sekali. Seorang gadis dengan kepandaian
seperti yang kaumiliki, siapakah yang akan berani
mengganggumu, Nona" Kalian duduklah di batu depan itu agar
lebih enak kita bicara."
563 Thian Liong dan Bi Lan mengucapkan terima kasih lalu duduk di
atas batu datar, berhadapan dengan kakek itu. Bi Lan semakin
kagum. Sekali pan?dang saja kakek itu mengetahui bahwa ia
memiliki ilmu kepandaian tinggi!
"Suhu, teecu mengharap keadaan Suhu baik-baik dan sehat
saja," kata Thian Liong.
"Keadaanku baik-baik saja, Thian Liong. Terima kasih dan puji
sukur kepada Thian yang senantiasa melimpahkan berkatnya
kepada tubuh yang tua ini. Sekarang ceritakan apa yang
mendorong kalian datang ke sini."
Thian Liong lalu menceritakan tentang pertemuan antara Empat
Datuk Besar di Pulau Iblis telaga See-ouw yang telah mendidik
seorang murid sehingga lihai sekali dengan niat khusus agar
murid itu membalaskan sakit hati Empat Datuk Besar kepada
Tiong Lee Cin-jin. Tiong Lee Cin-jin mendengarkan cerita Thian Liong dengan
sikap tenang seolah tidak ada apa-apa yang perlu khawatirkan.
Bukannya dia meremehkan orang-orang yang mengancamnya,
akan tetapi bagi Tiong Lee Cin-jin, gangguan dari golongan
sesat sudah sejak dulu dia alami dan hal itu merupakan hal yang
wajar saja baginya. Kekuasaan Setan tidak akan pernah
berhenti untuk menyeret manusia ke dalam kesesatan dan
selalu golongan sesat memusuhi golongan yang hidup sebagai
pengabdi kebenaran dan keadilan.
"Kalau itu yang mereka kehendaki, biarlah, Thian Liong. Hal itu
tidak perlu dikhawatirkan. Aku akan selalu melindungi diriku ini
sedapat mungkin dan selanjutnya terserah kepada keputusan
564 Thian. Yang harus terjadi terjadilah seperti yang sudah
ditentukan oleh Thian. Tidak perlu khawatir."
"Akan tetapi, maaf, Suhu. Teecu menduga bahwa mereka itu
akan mengerahkan semua tenaga golongan sesat untuk
menyerang Suhu. Tentu saja teecu tidak dapat berdiam diri,
Suhu. Maka teecu lalu sengaja datang berkunjung dan
menghadap Suhu untuk memberitahu akan ancaman itu agar
Suhu dapat bersiap-siap, dan teecu dapat membantu Suhu
kalau mereka datang menyerbu."
"Baiklah kalau engkau mengkhawatirkan diriku, Thian Liong.
Akan tetapi, bagaimana dengan Nona ini?"
"Suhu pernah melihat Bi Lan ketika dulu teecu hendak dihukum
para pimpinan Siauw-lim dan Kun-lun karena fitnah dan Nona ini
juga membelaku menghadapi serangan mereka. Han Bi Lan ini
adalah puteri dari Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi
yang dulu bersama teecu dipenjara di istana Kerajaan Sung
karena menentang Menteri Chin Kui, Suhu."
Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk, memandang kepada Bi
Lan. "Ya, aku ingat. Bukankah ayahmu Han Si Tiong itu bersama
ibumu memim?pin Pasukan Halilintar di bawah pimpin?an
Mendiang Jenderal Gak Hui yang ga?gah perkasa itu, Bi Lan?"
"Benar sekali, Lo-cianpwe. Akan tetapi sebagai akibat dari
perang itu, Ayah saya dibunuh orang."
"Siancai ! Bagaimana ceritanya?"
565 "Dalam perang itu Ayah saya merobohkan seorang pangeran
Kerajaan Kin sehingga menimbulkan dendam dan Kaisar
kerajaan itu mengutus Toat-beng Coa-ong Ouw Kan untuk
membunuh Ayah Ibuku. Biarpun usahanya gagal dan Kaisar
Kerajaan Kin sudah mencabut perintahnya, Ouw Kan masih
penasaran dan pada suatu hari, dia mengutus dua orang
muridnya untuk membunuh Ayah dan ibu saya. Usaha itu
berhasil, Ayah saya mereka bunuh. Karena itu, saya lalu
mencari Toat?beng Coa-ong Ouw Kan dan saya berhasil
membalas dendam, saya telah membunuh Toat-beng Coa-ong
Ouw Kan itu." Kakek itu meagangguk-angguk.
"Hemm, aku tidak heran kalau engkau mampu mengalahkan
Ouw Kan. Bi Lan, siapa gurumu?"
"Guru saya adalah Jit Kong Lhama
" "Hemm, aneh sekali. Biarpun tingkat kepandaian Jit Kong Lhama
lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Toat-beng Coa-ong
Ouw Kan, namun tidak banyak selisihnya dan kalau engkau
hanya menerima ilmu dari Jit Kong Lhama, kiranya akan sukar
bagimu untuk mengalahkannya. Dan aku melihat ada tenaga
aneh dalam dirimu, Bi Lan, yang mungkin sekali bahkan lebih
kuat dari tenaga yang dimiliki Jit Kong Lhama!" Sambil berkata
demikian, Tiong Lee Cin-jin memandang wajah Bi Lan dengan
sinar mata tajam penuh selidik.
Kembali Bi Lan merasa kagum, bahkan terkejut. Penglihatan
kakek itu sungguh tajam seolah menembus dirinya sehingga
terhadap Tiong Lee Cin-jin kiranya tak mungkin ia
566 menyembunyikan sesuatu tentang dirinya. Ia memandang ke
arah Thian Liong yang kebetulan juga sedang memandang
kepadanya. Dari pandang mata Thian Liong gadis itu seolah
dapat membaca suara hatinya bahwa guru pemuda itu
mengetahui segalanya dan lebih baik berterus terang saja!
"Sesungguhnya, Lo-cianpwe, saya telah menerima gemblengan
dari seorang guru lain selama satu tahun."
"Ah, gurumu itu tentu seorang manusia luar biasa yang memiliki
kesaktian yang tinggi, Bi Lan."
"Guru saya itu berjuluk Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup
Berjalan), Lo-cianpwe."
"Siancai ! Jadi benar dia itu masih hidup" Heh-
heh, dulu aku sudah merasa sangsi mendengar kabar bahwa dia
tewas dikeroyok para datuk. Ternyata dia masih hidup! Bukan
main, hebat sekali tingkat kepandaiannya, tidak akan mungkin
dapat dikuasai sembarang orang!"
"Ada yang aneh sekali tentang datuk itu, Suhu. Menurut cerita Bi
Lan, Si Mayat Hidup itu sebelum menerimanya sebagai murid
selama setahun, Bi Lan harus berjanji bahwa setelah belajar
setahun, Bi Lan harus menguburnya hidup-hidup! Akan tetapi Bi
Lan tidak mau melakukan hal itu dan ia kabur mening?galkan
orang aneh itu. "Siancai ! Mengapa engkau mengeluarkan janji
seperti itu, Bi Lan" Berjanji harus ditepati! Baik sekali engkau
tidak melaksanakan penguburan hidup-hidup terhadap orang
567 yang telah memberimu ilmu-ilmu selama setahun. Akan tetapi,
berjanji itulah yang salah! Dan manusia seperti Si Mayat Hidup
itu pasti akan terus mencarimu untuk menuntut engkau
melaksanakan apa yang telah kau janjikan itu."
"Aduh, Lo-cianpwe, saya mohon petunjuk. Ketika itu, memang
saya sedang dalam keadaan bingung dan ingin memperdalam
ilmu sehingga mau saja disuruh berjanji seperti itu."
"Ya, aku tahu. Bahkan sekarang pun engkau masih dalam
keadaan kacau, batinmu mengalami guncangan dan tekanan
berat. Apakah sebetulnya yang menjadi ganjalan hatimu, Bi
Lan" Siapa tahu aku akan dapat memberi petunjuk untuk
membebaskanmu dari tekanan batin itu."
"Suhu sesungguhnya teecu yang membuat Bi Lan tertekan
batinnya. Karena dulu ia pernah meminjam kitab Ngo-heng Lianhoan Kun-hoat yang seharusnya teecu berikan kepada Kun-lunpai seperti yang Suhu perintahkan, maka teecu lalu
menghukumnya dengan menampar tubuh belakangnya seperti
menghajar anak kecil. Bi Lan sakit hati dan berusaha
memperdalam ilmu silatnya untuk membalas perbuatan teecu
yang ia anggap penghinaan itu. Akan tetapi ia telah
membalasnya, Suhu, dan teecu yakin ia sudah tidak
mendendam lagi sekarang."
Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar. "He-heh, kalian ini orangorang muda sungguh lucu. Terkadang melakukan perbuatan
yang berlawanan dengan perasaan hati sendiri. Benarkah
engkau tidak mendendam lagi kepada muridku ini, Bi Lan?"
568 Bi Lan menggeleng kepala sambil mengerling ke arah pemuda
itu. "Tidak Lo-cianpwe, urusan saya dengan Thian Liong sudah
beres dan tidak ada ganjalan lagi."
"Bagus! Akan tetapi aku tetap melihat betapa engkau
menyimpan keduka?an dalam hatimu, Bi Lan. Mengapa
demikian" Atau, kalau urusan itu tidak dapat kauberitahukan
orang lain, tidak perlu kauceritakan. Hanya aku ingin
memperingatkan bahwa tidak baik membiarkan hatimu
digerogoti gundah gaulana dan duka nestapa. Seperti juga
dendam kebencian, perasaan itu akan melemahkan jantung dan
meracuni darahmu kalau dibiarkan berlarut-larut.
"Maafkan saya, Lo-cianpwe. Saya tidak dapat menceritakan apa
yang saya derita, biarlah hal itu menjadi rahasia saya sendiri.
Agaknya sudah nasib saya, sudah kodratnya saya harus hidup
menderita batin seperti ini."
Ucapan Bi Lan terdengar agak gemetar sehingga Thian Liong
sendiri merasa heran dan bertanya-tanya dalam hatinya, apa
gerangan yang menyebabkan gadis itu menderita batin seperti
itu. Apakah karena kema?tian ayahnya" Akan tetapi kematian
ayahnya sudah dibalas dengan kematian Ouw Kan dan kini
mereka sedang menantikan munculnya dua orang murid Ouw
Kan yang membunuh Han Si Tiong. Jadi, kalau urusan itu,
semestinya Bi Lan tidak menderita batin.
"O-ho, anak baik. Jangan sekali-kali menyalahkan kodrat! Kodrat
adalah terjadinya rencana Thian, yang tidak dapat diubah oleh
siapapun juga. Akan tetapi, Thian tidak pernah merencanakan
569 penderitaan bagi manusia. Segala macam penderitaan adalah
akibat dari ulah manusia sendiri. Kalau kita mengalami hal-hal
yang tidak menyenangkan, misalnya kalau kita menjadi orang
yang amat miskin hidupnya, hal itu bukan kodrat semata.
Keadaan itu merupakan tantangan dan kita sebagai manusia
berkewajiban untuk berikhtiar, berusaha sekuat kemampuan kita
untuk mengubah keadaan itu! Penderitaan batin bukan timbul
karena keadaan itu sendiri, melainkan karena kita tidak mampu
menerima kenyataan seperti apa adanya. Yang terpenting dalam
kehidupan adalah ikhtiar, usaha, bekerja karena hidup ini berarti
gerak, dan gerakan yang tepat adalah bekerja, berikhtiar. Kita
berikhtiar sekuat tenaga melalui jalan yang tidak melanggar
hukum Thian, ikhtiar yang tidak melalui tindak kejahatan. Dan
sebagai landasan adalah berserah diri kepada Thian kare?na
pada akhirnya Thian yang menentukan. Memang harus diakui
bahwa ikhtiar saja belum tentu dapat mengatasi keadaan, akan
tetapi kalau kita sudah berusaha sekuat mungkin, berarti kita
sudah memenuhi tugas hidup. Kemudian selanjutnya, apa pun
yang terjadi setelah kita berusaha sekuat mungkin terserah
kepada keputusan Thian. Kehendak Thian selalu terjadi, di mana
pun dan bilamana pun. Perasaan kita dalam menerima
kenyataan ini tidak masuk hitungan. Kenyataan ini bisa saja oleh
umum disebut enak atau tidak enak, menyenangkan atau
menyusahkan Namun seorang bijaksana tidak akan menuruti
keinginannya sendiri."
"Terima kasih, Lo-cianpwe. Lalu, kalau ada sesuatu yang terasa
amat pahit dan menimbulkan perasaan kecewa, penasaran,
marah dan terutama sekali sedih, apa yang harus saya
lakukan?" 570 15.2. Puteri Kembar Pembela Ayah!
Kakek itu tersenyum. "Pertanyaan yang baik sekali, Bi Lan. Apa
yang ha-rus kita lakukan kalau ada semua perasaan yang tidak
enak itu" Nah, jangan lakukan apa-apa, Bi Lan. Yang penting,
mengertilah dengan sepenuhnya lahir batin bahwa yang
menimbulkan perasaan tidak enak itu adalah si-aku yang
berulah dalam pikiran. Aku dirugikan, apa yang terjadi tidak
cocok dengan keinginanku, aku dipermalukan, aku dibegini,
dibegitukan maka bermunculanlah semua perasaan itu. Ini
hanya permainan pikiran belaka, Bi Lan. Kalau kita tidur dan
pikiran tidak bekerja, ke mana perginya semua perasaan tidak
enak yang kausebut tadi" Semua perasaan itu tentu menghilang
bersama dengan berhentinya pikiran. Apa pun yang terjadi
adalah suatu kenyataan! Sudah terjadi dan tidak akan dapat
diubah oleh kita, bahkan kalau muncul semua perasaan itu, tidak
akan menolong keadaan bahkan membuatnya semakin parah.
Kalau terjadi sesuatu yang terasa pahit dan menyedihkan seperti
kaukatakan tadi, kewajiban kita yang utama adalah berusaha
sekuat tenaga untuk mengubah keadaan itu. Kalau semua ikhtiar
sepenuhnya dari kita tidak berhasil mengubahnya, maka
hadapilah peristiwa itu sebagai suatu kenyataan! Sebagai suatu
keadaan apa adanya dan sudah dikehendaki Thian, dengan
penyerahan lahir batin. Kalau kita menyerah sepenuhnya, maka
Kekuasaan Thian yang akan bekerja sehingga kita dapat
menghadapi semua itu tanpa penderitaan. Penyerahan ini
mendatangkan kekuatan yang ampuh, Bi Lan, karena kalau kita


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah benar?benar menyerah, kekuasaan Thian akan berkarya
dengan ajaib." 571 Bi Lan menarik napas panjang. Pikirannya menjadi terang.
Memang selama ini, semenjak ia mengetahui akan kehidupan
ibunya di masa lalu sebagai seorang pelacur, ia merasa kecewa,
penasaran, dan malu sekali. Timbul perasaan iba diri yang
berlebihan. Semua perasaan yang mengganggu itu timbul dari
bayang-bayang pemikiran. Bagaimana kalau semua orang
mengetahui bahwa ia anak seorang bekas pelacur" Ke mana
harga dirinya" Dan Thian Liong! Kalau dia
tahu ! Dapatkah ia menerima kenyataan tentang
ibunya itu, menerima dengan ikhlas" Alangkah berat rasa
hatinya! Bagaimana kalau Thian Liong mengetahui kenyataan
itu" Apakah dia tidak akan memandang rendah padanya" Ke
mana harga dirinya" Bi Lan semakin pusing.
"Lo-cianpwe, saya dapat memahami petunjuk Lo-cianpwe.
Persoalannya sekarang terserah kepada diri saya sendiri dan
saya akan mencoba untuk mengatasi gejolak hati ini."
"Siancai! Kesadaran akan mendatangkan penerangan. Semoga kekuasaan Thian Yang Maha Kasih akan
membantumu, Bi Lan. Sekarang kalian bersihkan badan dan
tukar pakaianmu yang penuh debu. Lalu kita makan bersama. Di
dapur telah tersedia makan pagi, tinggal menghangatkan saja."
"Lo-cianpwe, biarlah saya yang akan menyiapkan semua itu,"
kata Bi Lan. "Baiklah. Aku akan menanti di sini."
572 Thian Liong dan Bi Lan memasuki pondok dan Thian Liong yang
pernah tinggal di situ selama sepuluh tahun ketika dia
digembleng ilmu oleh Tiong Lee Cin-jin, memberi petunjuk
kepada Bi Lan di mana adanya tempat mandi dari sebuah mata
air di belakang pondok, di mana adanya dapur dan lain-lain.
Mereka mandi bergantian dan ketika selesai mandi, Thian Liong
melihat Bi Lan muncul dalam pakaian wanita! Alangkah cantik
jelitanya! Thian Liong sampai terpesona dan memandang gadis
itu dengan mulut melongo!
"Ih, Thian Liong! Engkau ini mengapa sih?" Bi Lan menegur dan
tersipu, karena ia dapat melihat betapa mata pemuda itu
memandang penuh kagum dan hal sekecil ini saja sudah
mendatangkan perasaan yang amat menyenangkan hatinya. Ah,
betapa ia ingin Thian Liong kagum kepadanya, kagum akan
segala-galanya dan menghargainya. Akan tetapi ibunya !
"Ah, aku aku hanya kaget karena engkau akan berganti pakaian wanita.
Engkau engkau tidak menyangka cantik sekali, Bi Lan!"
Bi Lan tersenyum, kulit kedua pipinya menjadi merah dan
matanya bersi?nar-sinar. "Sudahlah, cepat mandi dan tukar
pakaian sana! Aku mau mempersiapkan makanan untuk Locianpwe."
Thian Liong pergi ke belakang dan Bi Lan memasuki dapur.
Agaknya kakek yang hidup seorang diri itu pagi tadi telah
memasak air dan bubur, akan tetapi dibiarkan dingin. Bi Lan
573 cepat menyalakan api dan menghangatkan makanan dan
minuman air teh. Tak lama kemudian, Thian Liong yang sudah selesai mandi dan
berganti pakaian, bersama Bi Lan keluar dan mempersilakan
Tiong Lee Cin-jin untuk makan. Tiong Lee Cin-jin juga tersenyum
lebar ketika melihat Bi Lan yang kini telah berubah menjadi
seorang gadis cantik. "Aih, engkau cantik sekali, Bi Lan!" katanya.
Gadis itu tersipu dan diam-diam merasa heran mengapa pujian
yang keluar dari mulut kakek itu sama benar dengan pujian
Thian Liong tadi. Apakah Thian Liong juga mempelajari cara
memuji seorang gadis dari kakek itu pula"
"Ah, Lo-cianpwe terlalu memuji
!" katanya tersipu. Mereka lalu makan bubur yang hanya dimasak dengan lobak
dan sayur hijau, akan tetapi cukup lezat karena tubuh mereka
lelah dan perut mereka lapar.
Baru saja mereka selesai makan dan Bi Lan, dibantu Thian
Liong, menyingkirkan mangkok sumpit ke dapur, tiba-tiba Tiong
Lee Cin-jin berkata sambil menghela napas panjang.
"Wah, mereka sudah datang!"
Thian Liong dan Bi Lan terkejut. Mereka tidak mendengar apaapa. Akan tetapi Thian Liong merasa yakin akan kebenaran
ucapan gurunya, maka dia pun bergegas keluar dari pondok,
diikuti oleh Bi Lan. Setelah tiba di luar pondok, baru mereka
melihat serombongan orang berlari cepat mendaki puncak itu!
574 Orang-orang itu berlari dan berlompatan dengan cepat, tidak
menimbulkan suara gaduh. Bagaimana mungkin Tiong Lee Cinjin yang berada di dalam pondok dapat mengetahui akan
kedatangan mereka" Akan tetapi, mereka tidak memusingkan hal itu karena keduanya
yakin akan kesaktian Tiong Lee Cin-jin. Sebaliknya mereka
menanti di depan pondok sambil mencoba untuk mengenal
orang-orang yang mendaki puncak itu. Ternyata mereka semua
berjumlah sepuluh orang! Yang berada paling depan adalah seorang pemuda tampan
berkulit putih, wajahnya bulat, matanya mencorong dan
mulutnya tersenyum mengejek, sebatang pedang tergantung di
punggung. Di sebelahnya adalah seorang kakek kurus pucat
berpakaian tambal-tambalan dan di punggungnya juga
tergantung sebatang pedang.
"Hemm, itu adalah Can Kok dan Lam-kai (Pengemis Selatan)!"
kata Thian Liong. Di belakang mereka tampak seorang kakek berpakaian seperti
seorang tosu (Pendeta Agama To), tinggi kurus rambutnya
sudah putih semua dan dia memegang sebatang tongkat hitam
berkepala ular. Di sebelah kirinya berjalan seorang laki-laki
berusia empatpuluhan tahun yang tinggi kurus dan berkumis
tebal. "Dan itu tentu Pak-sian (Dewa Utara) dan muridnya, Jui To yang
dulu se-cara curang menyerangmu sehingga engkau terluka,"
kata Bi Lan. 575 Ternyata mereka berjalan sepasang-sepasang.
Urutan ketiga adalah seorang kakek berpakaian hwesio
(Pendeta Buddha) yang tubuhnya pendek gendut dan di
punggungnya terselip Sebatang hud-tim (kebutan dewa). Di
sebelahnya berjalan seorang laki-laki berusia sekitar tigapuluh
lima tahun, bertubuh tinggi besar bermuka bopeng dengan kulit
hitam. Dari pakaiannya dapat diduga bahwa dia tentu seorang
berbangsa Mongol. "Wah, itu Golam murid Goat Kong Lhama!" kata Bi Lan
menuding ke arah orang Mongol itu.
"Dan hwesio gendut itu adalah See-ong (Raja Barat)," kata Thian
Liong. "Pasangan di samping mereka itu
adalah Tung-sai (Singa Timur) dan di dekatnya itu
hemm aku tidak mengenalnya. Mungkin belum
pernah aku bertemu dengan dia atau aku lupa lagi
" Pemuda yang berjalan di dekat See-ong itu berusia sekitar
duapuluh delapan tahun, mukanya memanjang ke depan seperti
muka kuda, tubuhnya jangkung kurus dan kumisnya tebal.
"Melihat pakaiannya yang biarpun bersih dan baru namun dihias
tambal-tambalan itu, dia tentu murid Lam-kai (Pengemis
Selatan)," kata Bi Lan. "Dan pasangan
terakhir itu, lihat ! Tak dapat diragukan lagi, pemuda
576 dan gadis itu pastilah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan dua orang
murid Ouw Kan yang telah menyerang Ayah Ibuku dan
mengakibatkan Ayah tewas!"
Dugaan Bi Lan memang benar. Pemuda berpakaian tambaltambalan itu adalah Kui Tung, murid Lam-kai, sedangkan
pasangan kelima itu adalah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan!
Tiba-tiba Thian Liong berkata dengan seruan tertahan. "Lihat, Bi
Lan! Lihat jauh di belakang mereka itu!"
Bi Lan memandang dan benar saja, jauh di belakang
rombongan sepuluh orang yang mendaki puncak dengan ilmu
berlari cepat mereka tampak sekitar tigapuluh orang yang
tertinggal karena agaknya ilmu kepandaian mereka tidak setinggi
sepuluh orang itu. "Ah, jahanam-jahanam itu membawa puluhan
orang anak buah! Mari kita amuk dan gempur mereka sebelum
tiba di sini, Thian Liong!"
Sebelum Thian Liong menjawab, terdengar suara lembut Tiong
Lee Cin-jin dari dalam pondok. "Jangan turun tangan. Orang
bijaksana mempergunakan ilmunya untuk membela diri, bukan
untuk menyerang orang lain. Tunggu sampai mereka datang,
aku akan menemui mereka."
Mendengar suara kakek itu, Thian Liong dan Bi Lan berdiri
tenang saja, memandang ke arah sepuluh orang yang diikuti
sekitar tigapuluh orang mendaki puncak. Akhirnya, sepuluh
orang itu sudah tiba di pekarangan yang luas dan mereka
berhenti. 577 Bouw Kiang dan Bong Siu Lan bergabung dengan rombongan
Empat Datuk Besar ketika mereka diajak oleh Jiu To murid Paksian. Jiu To ini bersama dua orang sutenya yang terbunuh oleh
Bi Lan terkenal sebagai Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) dan
menjadi sahabat baik mendiang Ouw Kan, maka dia mengenal
pula Bouw Kiang dan Bong Siu Lan.
Sepuluh orang itu berhenti di pekarangan dan mereka melihat
Thian Liong dan Han Bi Lan berdiri tegak di depan pondok
dengan sikap tenang namun sama sekali tidak gentar. Empat
Datuk Besar tidak heran melihat Souw Thian Liong di situ karena
mereka sudah mendengar bahwa Souw Thian Liong adalah
murid Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi mereka heran melihat Han
Bi Lan. Akan tetapi Jiu To berkata kepada gurunya dengan
suara lantang. "Suhu, gadis itulah yang telah membunuh Sute Kai Ek dan Lee
Song!" "Keparat, kalau begitu ia yang telah membunuh Suhu pula!"
teriak Bong Siu Lan marah. Ia dan Bouw Kiang sudah
mendengar tentang gadis ini yang berpakaian serba merah dan
berjuluk Ang I Mo-li (Iblis Wanita Baju Merah) dan yang telah
membunuh guru mereka selagi mereka tidak berada di sana.
Mereka mengenal Han Bi Lan dari cerita Jiu To tentang gadis
baju merah itu. Mendengar ini, Bi Lan menahan ke?marahannya dan suara
menggetar karena marah ketika ia berbisik kepada Thian Liong
sambil mengepal tinju. "Tidak salah, Thian Liong, mereka
tentulah pembunuh Ayahku!"
578 "Tenang, Bi Lan, tunggu sampai Suhu keluar."
Bi Lan yang amat menghormati Tiong Lee Cin-jin, tidak berani
membantah dan mereka berdua hanya memandang ke arah
sepuluh orang itu yang kini melangkah mendekati pondok.
Tigapuluh orang anak buah mereka itu pun sudah tiba di luar
pekarangan, agaknya siap menanti komando.
Dalam jarak sekitar tujuh tombak di mana Thian Liong dan Bi
Lan berdiri, mereka berhenti melangkah dan Tung-sai yang
agaknya diserahi pimpinan atau wakil pembicara, mengeluarkan
gerengan seperti auman singa lalu berkata dengan suara yang
menggetarkan jantung karena mengandung tenaga sakti yang
kuat. "Tiong Lee Cin-jin! kematianmu!" Keluarlah engkau untuk menerima Dari dalam pondok terdengar suara tawa. Lembut dan lirih saja
akan tetapi anehnya, dapat terdengar jelas oleh mereka semua,
bahkan juga oleh gerombolan yang berada di luar pekarangan!
Lalu muncul Tiong Lee Cin-jin
dengan pakaian bersih, wajahnya cerah mengembangkan senyum, melangkah perlahan keluar dari
pondok lalu berdiri di depan Thian Liong dan Bi Lan,
menghadapi rombongan Empat Datuk Besar itu. Sejenak
matanya yang lembut memandang ke arah empat orang itu satu
demi satu lalu dia berkata lembut.
579 "Ah, kiranya Empat Datuk Besar yang datang bertamu! Pak-sian
Liong Su Kian, See-ong Hui Kong Hosiang, Tung-sai Kui Tong
dan Lam-kai Gui Lin! Selamat datang, semoga kalian berempat
sehat-sehat saja!" "Tiong Lee Cin-jin kami datang bukan untuk bertamu, melainkan
untuk menebus kekalahan kami dahulu! Hayo, majulah melawan
kami. Hari ini saatnya engkau menerima kematianmu!"
"Siancai-siancai-siancai
! (Damai-damai-damai)!"
kata Tiong Lee Cin-jin tenang. "Tung-sai dan Saudara sekalian.
Sejak dahulu aku siap menerima saat kematianku yang pasti
akan tiba padaku pada saat Tuhan menghendaki. Kematian
takkan dapat dihindarkan manusia, siapapun juga adanya dia!
Kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun dia
bersembunyi di lubang semut, maut pasti akan datang
menjemput! Sebaliknya kalau Tuhan tidak menghendaki
seseorang mati, biarpun iblis menyerang kalang kabut, semua
itu pasti akan luput! Aku hanya berserah diri kepada Kekuasaan
Tuhan, dan tidak akan menyerah kepada kalian, walau kalian
membawa seribu orang kawan sekalipun!"
Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke
pekarangan pondok itu dan terjadi keributan ketika para anak
buah Empat Datuk Besar hendak menghalangi, mereka dibuat
jatuh berpelantingan oleh dua orang gadis cantik yang sudah
melompat turun dari atas kuda mereka dan kini lari memasuki
pekarangan.

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayah !!" Mereka berseru dengan suara berbareng
580 dan semua orang yang datang di tempat itu, termasuk Bi Lan,
tentu saja terkecuali Tiong Lee Cin-jin dan Souw Thian Liong,
terbelalak heran memandang kepada dua gadis yang kini
dirangkul kedua tangan Tiong Lee Cin-jin itu. Mereka itu begitu
persis satu sama lain. Hanya pakaian dan bentuk rambut saja
yang berbeda. Yang seorang berpakaian serba putih dari sutera
halus, rambutnya digelung seperti kebiasaan wanita bangsawan.
Adapun gadis yang kedua, yang wajah dan tubuhnya tiada
bedanya dengan gadis baju putih, berpakaian serba hijau dan
terdapat bunga mawar merah di rambutnya yang disanggul
seperti wanita Han biasa.
"Pek Hong! Siang In! Kalian datang juga" Mengapa begini
kebetulan?" Tiong Lee Cin-jin bertanya sambil tersenyum dan
memandang ke arah mereka yang datang menyerbu itu.
"Ayah, aku dan Siang In mendengar akan adanya orang-orang
jahat yang hendak membunuh Ayah, maka kami segera pergi ke
sini," kata Pek Hong.
"Benar, Ayah. Mari kita basmi orang-orang sesat yang busuk
itu!" kata Siang In.
"Tenang dan sabarlah, anak-anakku sayang. Biarkan aku bicara
dengan mereka." dengan lembut Tiong Lee Cin-jin memberi
isyarat kepada dua orang puterinya untuk berdiri di belakangnya.
Dua orang gadis itu tersenyum kepada Souw Thian Liong yang
menyambut mereka dengan hati gembira pula. "Syukur kalian
datang!" katanya lirih.
"Kami juga gembira sekali melihatmu di sini, Thian
581 Liong. Dan ini ah, engkau Han Bi Lan, bukan" Bagus
kulihat kalian sudah berbaikan!" kata Pek Hong atau Puteri
Moguhai. Pada saat itu, kembali Tung-sai mengeluarkan suara gerengan
yang menggetarkan itu. "Wah, ada singa mengaum!" kata Siang In dengan senyum
mengejek. "Singa apa" Masa singa kakinya dua! Itu tentu sebangsa
monyet!" kata Puteri Moguhai, tentu saja dengan suara
mengejek. Melihat sikap dua orang gadis kembar itu, sejak tadi Han Bi Lan
merasa geli dan timbul rasa suka dalam hatinya terhadap
mereka. Keduanya cantik jelita, keduanya anak-anak orang
terhormat. Puteri Moguhai puteri Kaisar, Ang Hwa Sian-li Thio
Siang In puteri seorang pedagang kaya! Alangkah jauh bedanya
dengan dirinya sendiri! Ia tahu akan mereka berdua dari cerita
Thian Liong. Dan kini, ia melihat dan mendengar sendiri dua
orang gadis itu menyebut ayah kepada Tiong Lee Cin-jin!
Mereka begitu cantik, begitu anggun, begitu kaya dan terhormat,
Sedangkan ia" Ibunya saja seorang bekas pelacur! Dan mereka
tampak begitu akrab dengan Thian Liong! Di balik
kegembiraannya bertemu dua orang gadis kembar ini, ada
sesuatu yang membuat hatinya tidak enak, membuat ia rasanya
ingin menangis! "Tiong Lee Cin-jin, majulah dan lawan kami!" terdengar Tung-sai
membentak, menyambung gerengannya tadi.
582 "Tung-sai, sejak dahulu sudah kuberitahu kepadamu bahwa aku
tidak ingin bermusuhan, tidak ingin berkelahi dengan siapapun
juga." "Akan tetapi kami ingin berkelahi denganmu! Kami ingin
membunuhmu untuk menebus kekalahan-kekalahan kami
dahulu!" "Siancai ! Alangkah bodohnya. Kalian semua
renungkan baik-baik, apa gunanya semua permusuhan ini"
Kalau kalian kalah, kalian rugi apakah" Kalau kalian menang,
keuntungan apa yang kalian dapat?"
"Sudah, jangan cerewet, Tiong Lee Cin-jin! Kalau engkau tidak
berani ber?tanding melawan kami, hayo engkau berlutut dan
mohon maaf kepada kami, baru kami akan melepaskan dan
membiarkan engkau hidup!"
"Aku tidak bersalah apa pun kepada kalian, untuk apa minta
ampun. Pula, andaikata aku melakukan dosa, aku hanya minta
ampun kepada Tuhan. Tung-sai, apakah engkau akan
mengajukan puluhan orang ini untuk mengeroyok aku?"
"Hemm, kami lihat engkau pun sudah mengumpulkan orangorang yang akan membelamu. Kita boleh mengadu kesak?tian,
tidak perlu keroyokan. Kami mengajukan seorang atau dua
orang jago untuk ditandingi jagoanmu."
Lam-kai memberi isyarat kepada Kui Tung, muridnya yang
paling dibanggakan. Kui Tung mengangguk dan dia maju ke
depan. 583 "Aku, Kui Tung yang maju mewakili rombongan kami. Hayo,
siapa di antara kalian yang berani melawan aku?"
15.3. Harimau Dikeroyok Rombongan Anjing
Han Bi Lan hendak maju, akan tetapi ia didahului Ang Hwa Sianli Thio Siang In yang menyentuh lengannya dan berbisik.
"Biar aku yang menghadapinya." Lalu gadis ini memandang
kepada Tiong Lee Cin-jin untuk minta persetujuannya. Kakek itu
mengangguk dan berkata sambil tersenyum.
"Majulah akan tetapi ingat, aku tidak menghendaki pembunuhan
di sini." "Baik, Ayah," kata Siang In dan ia sudah meloncat dengan
gerakan ringan sekali ke depan Kui Tung. Ia tersenyum
mengejek. "Aih, Muka Kuda, engkau belum jera juga melakukan kejahatan"
Dahulu itu sebagai kepala perampok engkau masih dapat lolos
dari tanganku. Sekarang, mari kita teruskan perkelahian itu!"
Diam-diam Kui Tung merasa gentar karena dahulu, dia dan Can
Kok bertanding melawan Siang In dan Puteri Moguhai dan dia
terdesak oleh gadis yang kini berdiri di depannya itu. Kalau
ketika itu tidak ada Can Kok yang dapat mendesak Puteri
Moguhai, tentu dia kalah oleh gadis berbaju hijau ini. Akan
tetapi, saat ini, dia memiliki banyak kawan yang tangguh. Etnpat
Datuk Besar berada di situ, masih ada lagi Can Kok yang amat
lihai, ada lagi Jiu To murid Pak-sian, Golam orang Mongol murid
584 Gwat Kong Lhama, dan dua orang murid Ouw Kan, yaitu Bouw
Kiang dan Bong Siu Lan yang lihai. Selain itu di belakang ada
tigapuluh orang lebih anak buah Tung-sai yang sengaja dibawa
dari Pulau Udang dan rata-rata memiliki ketangguhan lebih dari
orang biasa. Hal ini membuat hatinya tabah dan berani.
"Sratt!" Dia mencabut sebatang tongkat yang terselip di
pinggangnya. "Ang Hwa Sian-li, sekarang tiba saat
pembalasanku. Engkau akan mampus di tanganku!" setelah
berkata demikian, cepat sekali tongkatnya sudah meluncur dan
menusuk ke arah dada gadis itu.
Ang Hwa Sian-li Thio Siang In sudah pernah bertanding dengan
pemuda muka kuda ini dan ia tahu bahwa tongkat di tangan
lawannya itu bukan sembarang tongkat, melainkan tongkat yang
di dalamnya tersembunyi sebatang pedang. Maka ia sudah
mencabut sepasang pedangnya dan menangkis.
"Tranggg !" Bunga api berpijar dan gadis itu lalu
mainkan ilmu pedangnya, yaitu Toat-beng Siang-kiam
(Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) yang gerakannya dahsyat.
Terjadilah perkelahian mati-matian dan kedua pihak
mengeluarkan semua kepandaian mereka. Akan tetapi ada
bedanya. Kalau Kui Tung mengerahkan seluruh tenaga dan
semua se?rangannya dimaksudkan untuk membunuh,
sebaliknya Siang In membatasi tenaganya agar serangan
sepasang pedangnya tidak sampai mematikan lawan, sesuai
dengan pesan ayahnya yang tidak berani ia langgar.
Empat Datuk Besar itu selain tinggi dan lihai ilmu silatnya, juga
amat cerdik dan curang. Melihat betapa Tiong Lee Cin-jin
585 ditemani empat orang muda, mereka hendak mempergunakan
kelebihan jumlah mereka untuk mendapatkan ke?menangan
tanpa harus main keroyokan beramai-ramai. Maka dia memberi
isyarat kepada Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang murid
mendiang Ouw Kan itu dan mereka yang sebelumnya memang
sudah mengatur rencana, maju bersama.
Bouw Kian memegang tongkat hitamnya dan Bong Siu Lan
mencabut sepasang pedangnya. Bouw Kiang berseru, "Hayo,
siapa berani menandingi kami kakak beradik seperguruan?"
Bi Lan menghadap Tiong Lee Cin-jin minta persetujuan tanpa
mengeluarkan kata-kata. Kakek itu tersenyum, meng?angguk
dan memesan pula, "Majulah akan tetapi ingat, tidak boleh
membunuh." Bi Lan mengangguk, lalu ia melangkah maju menghadapi dua
orang itu. Gadis berusia duapuluh tahun ini tampak cantik dan
gagah bukan main. Pakaiannya serba merah muda, menempel
ketat mencetak tubuhnya yang padat ramping dengan lekuk
lengkung tubuh yang indah menggairahkan. Wajahnya bulat
telur, rambutnya hitam panjang ditata menjadi kepang dua, di
dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut yang melingkarlingkar. Dahinya berkulit putih dan halus, alis matanya hitam,
kecil namun tebal dengan bentuk melengkung seperti dilukis.
Sepasang matanya begitu jeli dan bening seperti bintang, tajam
dan biarpun agak redup seperti tertutup awan tipis, namun
berwibawa. Hidungnya kecil mancung dan lucu, mulutnya
mempunyai daya tarik yang kuat dengan bibir yang merah basah
tanpa gincu dan di kanan kiri mulutnya terhias lesung pipit yang
membuat mulut itu tampak menarik dan menggairahkan.
586 Dagunya meruncing manis dan kulitnya putih mulus. Namun di
balik semua kejelitaannya itu tersembunyi sesuatu yang gagah
berwibawa. Bi Lan memandang dua orang itu dengan penuh perhatian.
Pemuda itu mukanya seperti muka kuda, walaupun dapat
dikatakan tampan. Sepasang matanya tampak lincah dan cerdik
curang, juga jelas membayangkan watak yang cabul mata
keranjang. Adapun gadis berusia sekitar duapuluh tahun itu juga
cantik, namun mulutnya agak lebar dan matanya liar.
"Kalian yang bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan?" tanya Bi
Lan. Dun orang saudara seperguruan itu mengangguk. Tadi mereka
sudah mendapat bisikan dari Kui Tung bahwa gadis baju merah
ini adalah Han Bi Lan, maka mereka memandang penuh
kebencian. "Dan engkau ini tentu Si Jahat Han Bi Lan yang telah membunuh
guru kami Ouw Kan!" teriak Bong Siu Lan marah.
"Tidak keliru! Aku membunuh Ouw Kan karena dia mengutus
kalian berdua untuk menyerang Ayah Ibuku!"
"Dan sekarang kami akan membunuhmu untuk membalaskan
kematian suhu!" bentak Bouw Kiang dan mereka berdua segera
menerjang tanpa memberi peringatan lagi. Tongkat hitam yang
mengandung racun itu digerakkan Bouw Kiang menyambar ke
arah kepala Bi Lan, sedangkan Bong Siu Lan menggerakkan
587 sepasang pedangnya membuat gerakan menggunting ke arah
leher dan pinggangnya. Bi Lan sekarang berbeda dengan Bi Lan dahulu. Ketika dahulu
ia menerima gemblengan dari gurunya yang pertama, yaitu Jit
Kong Lhama, ia sudah mendapatkan ilmu silat yang lihai.
Kemudian ia mempelajari ilmu rahasia simpanan Kun-lun-pai
dari kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang membuat
kepandaiannya bertambah hebat Akan tetapi yang membuat ia
seperti sekarang, seorang gadis yang sakti, adalah ketika ia
bertemu gurunya yang terakhir, Heng-si Ciauw-jiok (Si Mayat
Hidup Berjalan) yang hanya mengajarkan tigabelas jurus silat
Sin-ciang Tin-thian dan memperdalam serta memperkuat tenaga
sinkangnya. Biarpun dia dikeroyok dua orang murid Ouw Kan yang lihai itu,
namun Bi Lan dengan mudah saja berkelebatan menghindarkan
diri. Sejak menjadi murid Si Mayat Hidup, ia tidak lagi
memerlukan bantuan senjata karena benda apa pun dapat ia
jadikan senjata ampuh! Sambaran sepasang pedang dan
tongkat hitam itu dihindarkannya dengan cara mengelak,
menangkis dengan kedua tangan kosong, bahkan sekali-kali ia
menggerakkan kepala dan rambutnya yang dikepang dua itu
dapat ia pergunakan untuk menangkis pedang atau tongkat dan
sedikitpun tidak ada rambut yang putus, sebaliknya pedang dan
tongkat yang tertangkis tergetar hebat dan terpental!
Mereka saling serang dan seperti yang terjadi dengan
pertandingan pertama di mana Siang In membatasi tenaganya
karena tidak ingin membunuh lawan, juga Bi Lan membatasi
tenaganya. Ia memang membenci dua orang yang
588 mengakibatkan kematian ayahnya ini. Kalau saja ia tidak segan
kepada Tiong Lee Cin-jin yang ia tidak ingin bantah pesannya,
tentu dua orang itu sudah diserangnya dengan hebat dan
dibunuhnya dalam waktu singkat!
Kembali Tung-sai memberi isyarat, sekali ini kepada pasangan
ketiga, yaitu Jiu To murid Pak-sian dan Golam murid Gwat Kong
Lhama. Dia memperhitungkan bahwa dua orang ini akan dilawan
oleh. Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong sehingga di pihak
musuh tinggal Tiong Lee Cin-jin yang akan dihadapi Empat
Datuk Besar dan Can Kok sehingga dia memperhitungkan akan
dapat membunuh Tiong Lee Cin-jin yang juga dikenal sebagai
Yok-sian (Tabib Dewa atau Dewa Obat) itu.
Jiu To dan Golam, seperti juga Kui Tung, berbesar hati karena
merasa kuat dengan adanya banyak kawan, maka mereka
melangkah maju dengan sikap gagah, Jiu To sudah menghunus
pedangnya dan Golam melolos rantai baja yang tadi dililitkan di
pinggangnya. Tiong Lee Cin-jin mengangguk ketika Moguhai minta
persetujuannya untuk menghadapi dua orang ini. Sie Pek Hong
atau Puteri Moguhai yang dikenal dengan julukan Pek Hong
Niocu, melompat ke depan dua orang itu sambil mencabut
pedang bengkoknya. Tanpa banyak cakap lagi, Jiu To dan
Golam sudah menggerakkan senjata mereka menyerang
Moguhai. Puteri Tiong Lee Cin-jin itu mengelebatkan pedang
bengkoknya. "Trangg cringgg !" Bunga api berpijar dan
589 berhamburan ketika pedang bengkok itu menangkis pedang di
tangan Jiu To dan rantai baja yang digerakkan Golam
menyambar ke arah kepala gadis itu. Seperti juga Siang In,


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah mendapat gemblengan dari ayah kandung mereka,
Puteri Moguhai kini juga memperoleh kemajuan hebat. Tenaga
sakti yang mengalir di tubuhnya demikian kuat sehingga bukan
saja tenaganya mampu menandingi tenaga dua orang
pengeroyoknya, namun ia memiliki kecepatan gerakan yang
membuat dua orang pengeroyoknya bingung seolah
menghadapi lawan bayangan. Namun, dua orang ini telah
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, ditambah lagi Puteri
Moguhai tidak mengerahkan seluruh tenaga karena tidak ingin
membunuh mereka seperti yang dikehendaki Tiong Lee Cin-jin,
maka pertandingan itu juga berlangsung seru bukan main.
Setelah tiga orang gadis pendekar itu menghadapi lawannya
masing-masing, kini tinggal Tiong Lee Cin-jin dan Souw Thian
Liong yang tersisa di pihak Yok-sian. Tung-sai lalu menyuruh
Can Kok maju. Begitu Can Kok melangkah maju dengan bibir tersenyum
mengejek dan sikap congkak sekali, Thian Liong mendapat
perkenan gurunya untuk menghadapi pemuda sombong yang
sinar matanya aneh tanda ada kelainan dalam pikirannya.
Setelah melihat Thian Liong maju mengha-dapinya, Can Kok
membentak sombong. "Kamu minggirlah! Aku datang untuk membunuh Tiong Lee Cinjin, bukan bertanding melawan bocah yang tiada artinya macam
kamu!" 590 Thian Liong tidak dapat disulut kesabarannya oleh ucapan yang
sombong dan memandang remeh itu. Dia tersenyum dan
berkata dengan tenang. "Can Kok, engkau perlu belajar seratus tahun lagi untuk pantas
menjadi lawan Suhu. Suhu bukan lawanmu. Akulah lawanmu
dan engkau boleh mengeluarkan segala kemampuanmu untuk
mengalahkan aku." Can Kok marah sekali dan seperti kebiasaan anehnya kalau dia
marah, dia mengeluarkan suara mengguguk seperti orang
menangis! Suara ini sesungguhnya mengandung getaran tenaga
dalam yang amat kuat. Bahkan Thian Liong yang diserang
langsung oleh suara itu merasa betapa jantungnya tergetar!
Akan tetapi dengan pengerahan tenaga sakti dia mampu
melindungi tubuhnya sehingga getaran suara itu lewat begitu
saja tanpa mengganggunya.
Tiba-tiba tanpa memberi peringatan apa pun tubuh Can Kok
sudah membuat lompatan seperti terbang menerjang ke arah
Thian Liong seperti seekor burung rajawali menyerang kelinci!
Kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya
membentuk cakar menyerang ke arah kepala dan leher Thian
Liong! Thian Liong maklum akan kelihaian lawannya yang digembleng
secara khusus oleh Empat Datuk Besar ini. Dia mengenal
serangan dahsyat yang berbahaya, maka dia pun mengerahkan
tenaganya menyambut. Kedua tangannya memapaki serangan
Can Kok dan dua pasang tangan yang sama-sama memiliki
tenaga sakti yang kuat, bertemu di udara.
591 "Blaarrr !" Ketika dua pasang tangan bertemu,
terasa getaran mengguncang sekelilingnya sehingga mereka
yang sedang bertanding di pekarangan itu pun merasakan
getaran itu. Akibat pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat
itu, Thian Liong yang menangkis sambil berdiri di atas tanah,
tertekan dan kedua kakinya ambles ke dalam tanah sampai ke
mata kakinya. Akan tetapi tubuh Can Kok yang menyerang dari
atas tadi, terpental sampai jauh dan setelah membuat pok-sai
(salto) lima kali baru dia turun ke atas tanah dengan wajah agak
pucat. Sambil mengeluarkan teriakan melengking, Can Kok sudah
menyerbu lagi dan mengirim serangan-serangan maut. Akan
tetapi Thian Liong tetap tenang dan menyambut semua
serangan itu dengan kokoh sehingga semua rangkaian serangan
itu dapat dia hindarkan dengan elakan atau tangkisan. Mereka
lalu bertanding dengan amat serunya dan keduanya
mengeluarkan semua jurus simpanan masing-masing karena
tahu bahwa lawannya memiliki kesaktian.
Setelah melihat semua pembantunya maju menghadapi lawan
mereka masing-masing, Tung-sai dan tiga orang datuk lainnya
menghampiri Tiong Lee Cin-jin dan tertawa mengejek. "Ha-haha, Tiong Lee Cin-jin, sekarang hadapilah kami berempat!
Sudah bertahun-tahun kami mencari kesempatan ini dan sekali
ini, kami akan berhasil membunuhmu!"
"Siancai, hidup satu kali di dunia maya ini, tidak mencari
kedamaian malah menimbulkan kekacauan dan permusuhan,
membiarkan nafsu setan merajalela menguasai hati kalian.
592 Ingatlah bahwa setiap orang akan memetik dan makan buah dari
pohon yang ditanamnya sendiri. Sebelum terlambat, aku minta
kepada kalian untuk menghentikan semua permusuhan dan
perkelahian ini dan pergilah dengan damai."
Akan tetapi, ucapan Yok-sian itu bukannya menyadarkan
mereka, bahkan bagaikan minyak menyiram api, semakin
mengobarkan kemarahan mereka. Mereka berempat mengeluarkan teriakan masing-masing yang khas, lalu bergerak
cepat sekali, mengambil posisi mengepung Tiong Lee Cin-jin
dari empat jurusan. Pak-sian dan See-ong berada di kanan kiri
Yok-sian, Lam-kai di belakangnya dan Tung-sai di depannya!
Dikepung Empat Datuk Besar itu, Yok-sian Tiong Lee Cin-jin
masih bersikap tenang saja. Namun kewaspadaannya menyatu
dan tidak ada gerakan empat orang itu, sedikitpun juga, yang
tidak tertangkap panca indranya.
Pak-sian sudah memegang senjatanya yang berupa sebatang
tongkat hitam berkepala ular. Tongkat ini selain kuat sekali,
mampu beradu dengan senjata logam yang kuat dan ampuh,
juga mengandung racun yang berbahaya. Dia berdiri di sebelah
kiri Tiong Lee Cin-jin. See-ong yang berdiri di sebelah kanan pertapa itu, sambil
menyeringai lebar seperti kebiasaannya, memegang sebatang
hud-tim (kebutan dewa) yang berbulu putih panjang. Biarpun
bulu kebutan itu tampak lemas, namun See-ong dapat
membuatnya menjadi kaku seperti bulu-bulu baja.
Lam-kai yang berdiri di belakang, memegang sebatang pedang
yang mengeluarkan sinar kemerahan. Pedang ini sebetulnya
593 berwarna putih seperti perak, akan tetapi karena tangan Lam-kai
mengandung tenaga sakti dari Ang-see-ciang (Tangan Pasir
Merah), maka tenaga yang mengandung warna merah itu
menjalar ke dalam pedang sehingga pe-dangnya mengeluarkan
sinar kemerahan. Tentu saja pedang itu ampuh bukan main.
Yang paling hebat adalah Tung-sai. Orang pertama dari Empat
Datuk Besar ini memegang sebatang tombak yang terkenal
sebagai tombak maut sehingga Tung-sai juga disebut Bu-tek
Sin-jio (Tombak Sakti Tanpa Tanding).
Sebagai isyarat kepada tiga orang rekannya, Tung-sai
mengeluarkan gerengan seperti seekor singa marah, itulah Saicu Ho-kang (Auman Singa) yang dapat menggetarkan jantung
dan melumpuhkan lawan. Setelah mengeluarkan auman itu dia
langsung menyerang dengan tombaknya. Serangannya amat
dahsyat sehingga tombak itu menembus udara mengeluarkan
suara berdesing seperti melesatnya anak panah, menusuk ke
arah dada Tiong Lee Cin-jin. Pada detik?detik berikutnya, tiga
senjata di tangan para datuk yang lain juga sudah datang
menyerang. Namun, tubuh Tiong Lee Cin-jin berkelebatan di antara sinar
empat senjata yang menyambarnya itu. Serangan bertubi-tubi itu
dapat dihindarkan Tiong Lee Cin-jin dengan elakan atau
tangkisan kedua tangannya. Dengan tangan kosong pertapa ini
berani menangkis senjata-senjata ampuh para pengeroyoknya!
Hal ini saja sudah merupakan kenyataan yang amat hebat, apa
lagi ketika setiap tangkisan itu membuat para datuk itu merasa
tangan mereka yang memegang senjata tergetar.
594 Pertempuran yang terjadi di pekarangan luas itu amat serunya.
Akan te-tapi setelah berlangsung puluhan jurus, ternyata pihak
Tiong Lee Cin-jin dapat mendesak lawan-lawannya, Ang Hwa
Sian-Li Thio Siang In dapat membuat Kui Tung kewalahan dan
main mundur. Juga Pek Hong Niocu, Puteri Moguhai yang
dikeroyok Jiu To dan Golam membuat dua orang itu terus
mundur dan repot menghindarkan diri dari sambaran pedang
bengkok puteri itu. Bi Lan juga membuat Bouw Kiang dan Bong
Siu Lan bingung dan kewalahan dengan gerakannya yang aneh
ketika gadis ini mainkan ilmu silat Sin-ciang Tin-thian yang ia
pelajari dari Si Mayat Hidup!
Pertandingan antara Thian Liong dan Can Kok juga amat seru.
Sekali ini dua orang muda itu dapat bertanding dengan bebas
dan masing-masing mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Karena Thian Liong tidak ingin membunuh lawan, maka tentu
saja daya serangannya kurang kuat dan tidak sepenuhnya. Hal
ini membuat keadaan mereka seimbang dan per-tandingan itu
menjadi seru bukan main. Tiong Lee Cin-jin maklum bahwa kalau pertempuran itu tidak
segera diakhiri, dia khawatir empat orang muda yang
membantunya itu tidak akan dapat menahan diri lagi dan
melakukan pembunuhan. Maka, dia mengeluarkan bentakan
halus dan tiba-tiba empat orang pengeroyoknya itu berteriak
kaget karena ada kekuatan dahsyat yang tak dapat mereka
tahan sehingga senjata mereka itu terpental dan terlepas dari
pegangan mereka! Ketika mereka terbelalak memandang,
mereka melihat Tiong Lee Cin-jin berdiri tegak di tengah antara
mereka, dengan kedua lengan bersedakap (bersilang) dan
kedua matanya terpejam! 595 Tung-sai memberi isyarat kepada tiga orang kawannya, lalu
mereka berempat menggerak-gerakkan tangan menghimpun
tenaga sakti dalam kedua lengan mereka. Suara mengiuk dan
mendesis ketika empat orang itu menghimpun tenaga sakti
dapat ditangkap oleh Tiong Lee Cin-jin. Kakek ini lalu
mengangkat kedua tangannya dalam bentuk sembah ke atas
kepala. Dengan begini, maka tubuhnya menjadi terbuka dan
tidak terlindung. Empat Datuk Besar itu menerjang ke depan dengan lompatan
dan dalam saat yang bersamaan, mereka sudah melancarkan
pukulan. Kedua tangan Tung-sai dengan jari terbuka
menghantam dada Tiong Lee Cin-jin sehingga kedua tela?pak
tangannya menempel pada dada pertapa itu. Pada saat yang
hampir bersamaan, tiga orang datuk lainnya juga me-mukul
dengan pengerahan sin-kang. Lam-kai memukulkan kedua
telapak tangannya ke punggung, Pak-sian dan See-ong
memukulkan telapak tangannya ke lambung kiri dan kanan.
Empat pasang telapak tangan itu memukul dengan kuat sekali.
"Plak-Plak-plak-Plak!"
Tangan-tangan yang mengandung tenaga sin-kang itu menempel pada tubuh Tiong
Lee Cin-jin dan melekat di situ! Wajah Tiong Lee Cin-jin agak
menyeringai seperti menahan sakit. Sejenak lima orang itu diam
tak bergerak, akan tetapi empat orang Datuk Besar itu
mengerahkan tenaga saktinya untuk menembus hawa yang
melindungi tubuh Tiong Lee Cin-jin. Terja?di adu tenaga sinkang yang hebat sekali. Kalau dilihat dari luar, mereka itu seperti
telah berubah menjadi arca, diam tak bergerak, akan tetapi dari
ubun-ubun kepala mereka mengepul uap tebal!
596 Tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin mengembangkan kedua tangannya
yang tadinya dirangkap menyembah ke atas itu.
"Blaarrr !" Tubuh Empat Datuk Besar itu terlempar ke
belakang dan terbanting roboh tak bergerak lagi!
Tiong Lee Cin-jin membelalakkan kedua matanya, wajahnya
berubah pucat lalu dia pun duduk terkulai lemas, bersila di atas
tanah. Robohnya empat orang pemimpin itu seolah menjadi isyarat
karena tigapuluh orang lebih anak buah Pulau Udang itu
berteriak-teriak dan mereka menyerbu masuk sambil
mengamangkan senjata, lalu mengeroyok empat oraug muda
yang masih bertanding dan mulai mendesak lawan-lawannya itu!
Terjadilah pertempuran kacau balau karena Thian Liong, Bi Lan,
Moguhai dan Siang In kini dikeroyok sekitar empatpuluh orang!
Sungguh sulit bagi empat orang itu. Sesungguhnya kalau
mereka mau mengamuk, dengan kesaktian mereka, masih ada
kemungkinan mereka mengalahkan mereka semua. Akan tetapi,
untuk dapat mengalahkan mereka yang banyak itu, empat orang
ini harus mengamuk dan membu-nuh. Padahal, mereka tidak
berani melanggar larangan Tiong Lee Cin-jin yang tidak
menghendaki terjadinya pembunuhan di situ. Hal ini membuat
mereka berempat kini dikeroyok ketat seperti empat ekor
harimau dikeroyok serombongan anjing yang banyak jumlahnya.
597 JILID 16 16.1. Han-ko, Apakah aku tidak bermimpi"
Pada saat yang gawat itu, terdengar sorak sorai dan limapuluh
lebih orang perajurit Kin menyerbu masuk pekarangan itu,
dipimpin dua orang pemuda tampan, yang menggerakkan
pedang mereka. Menghadapi penyerbuan perajurit yang lebih
banyak jumlahnya, pihak anak buah Empat Datuk Besar terkejut
dan kewalahan. Banyak di antara mereka roboh dan pekarangan
itu mulai banjir darah mereka yang terluka dan tewas.
Siang In tiba-tiba terbelalak ketika melihat seorang pemuda
berpakaian seperti seorang siucai (sastrawan) datang
membantunya. Pemuda itu menggerakan pedangnya dan
ternyata ilmu silat pedangnya juga cukup hebat. Yang membuat
Siang In terbelalak adalah ketika ia mengenal siapa pemuda itu.
"Han-ko (Kakak Han) !" serunya ketika mengenal
bahwa pemuda itu adalah Cin Han putera Pangeran Cin Boan
yang tinggal di kota Kang-cun yang tadinya ia kenal sebagai
seorang sastrawan yang dianggapnya seorang kutu buku yang
lemah! "In-moi, mari kita basmi penjahat-penjahat ini!" kata Cin Han
sambil membabat roboh seorang anak buah gerombolan itu.
"Han-ko, jangan bunuh orang......!" Siang In berseru, gembira,
heran dan juga terharu. Sementara itu, Moguhai juga terkejut bukan main ketika Kuang
Lin, saudara sepupunya muncul membantunya dan mengamuk


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

598 dengan pedangnya. Hampir ia tidak percaya bahwa itu adalah
benar-benar Pangeran Kuang Lin. Ia baru yakin ketika pemuda
itu berseru. "Dinda Moguhai, mari kita hancurkan gerombolan, jahat ini!"
Seperti juga Siang In, Moguhai berseru. "Kanda Kuang Lin,
benar engkaukah ini?" Ketika melihat betapa pangeran itu
mengamuk dan merobohkan dua orang pengeroyok, Moguhai
berseru, "Kanda, jangan bunuh orang!"
Keadaan kini menjadi terbalik sama sekali. Pasukan perajurit itu
tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa mereka dilarang
membunuh, maka anak buah Empat Datuk Besar itu
berpelantingan. Melihat keadaan pihaknya terancam bahaya,
Can Kok memberi aba-aba nyaring. "Hayo kita lari!"
Can Kok dan kawan-kawannya segera melarikan diri menuruni
puncak itu, diikuti sisa anak buah mereka yang belum roboh,
meninggalkan kawan-kawan yang tewas dan terluka parah.
Mereka semakin gentar ketika mendapat kenyataan bahwa
Empat Datuk Besar juga telah tewas!
Para perajurit hendak melakukan pengejaran, akan tetapi tibatiba terdengar suara lembut penuh wibawa.
"Berhenti semua! Jangan mengejar!" Semua orang terkejut dan
berhenti. "Suhu !" Teriakan ini keluar dari mulut Thian Liong
yang sudah lari menghampiri Tiong Lee Cin-jin. Puteri Moguhai
dan Siang In juga lari menghampiri. Mereka melihat Tiong Lee
599 Cin-jin bangkit berdiri dengan wajah pucat sekali dan kedua
matanya basah, bahkan ada beberapa titik air mata keluar dari
sepasang matanya. Dua orang gadis itu merangkul dari kanan kiri, tidak berani
memanggil ayah, karena di situ terdapat banyak orang. Ayah
kandungnya ini sudah pesan wanti-wanti (dengan sungguhsungguh) agar mereka berdua tidak membuka rahasia mereka di
depan umum karena hal itu akan mendatangkan akibat yang
yang hebat dalam kehidupan mereka berdua. Kini, dua orang
gadis itu hanya merasa khawatir sekali.
Thian Liong berlutut di depan kaki gurunya.
"Suhu , apakah yang menyebabkan Suhu berduka" Suhu
tidak terluka bukan?"
Tiong Lee Cin-jin memandang ke sekeliling, ke arah orang-orang
yang tewas dan terluka, terutama kepada jenazah Empat Datuk
Besar. Kemudian dia berkata lirih.
"Aku telah menyebabkan kematian mereka. Tempat ini telah
menjadi tempat terkutuk di mana terjadi pembunuhanpembunuhan antara manusia." Suaranya terdengar menggetar
sedih. "Akan tetapi, teecu (murid) tadi melihatnya. Empat Datuk Besar
itu tewas bukan Suhu bunuh, melainkan salah mereka sendiri.
Mereka terpukul tenaga serangan mereka sendiri yang
membalik," bantah Thian Liong yang membela gurunya.
600 "Sama saja, aku yang menjadi penyebab kematian mereka. Dan
semua pertempuran ini, bunuh-membunuh ini, terjadi karena aku
pula. Ah, Thian, hamba telah
menanam karma yang tidak baik hamba siap
memetik buahnya " "Suhu !" Thian Liong berseru dan dua orang gadis
itu mulai menangis di kedua pundak ayah kandungnya.
Thian Liong memandang wajah gurunya yang tampak berduka
dan dia menjadi terharu sekali. Tiong Lee Cin-jin tersenyum
mengelus kepala dua orang gadis itu, meletakkan telapak kedua
tangannya di atas kepala mereka dan berkata lembut.
"Pek Hong , Siang In , pulanglah kalian dan jadilah manusia yang baik seutuhnya, menjadi anak yang baik,
isteri yang baik, ibu yang baik, warga negara yang baik, manusia
yang baik sesuai dengan kehendak Tuhan. Kelak, kalau kalian
menikah, aku akan usahakan agar aku dapat menghadirinya."
Dua orang gadis itu hanya dapat merangkul dan menangis.
"Thian Liong, bersihkan tempat ini dari semua bekas perkelahian
dan pembunuhan ini. Kemudian, turun dari sini laksanakan
kewajibanmu sebagai seorang pembela kebenaran dan
keadilan. Jangan lagi mencari aku di sini karena aku tidak akan
berada di tempat terkutuk ini."
601 Kemudian dia menoleh kepada Bi Lan. "Han Bi Lan, engkau
anak baik, kupujikan semoga engkau hidup berbahagia, akan
tetapi berhati-hatilah terhadap Si Mayat Hidup karena dia pasti
akan menagih janji."
Pada saat itu, kedua orang putera pangeran itu, Cin Han dan
Kuang Lin, yang sejak tadi hanya berdiri mendengarkan,
menghampiri Tiong Lee Cin-jin.
"Lo-cianpwe, saya Cin Han, murid Kui Sim Tosu, menghaturkan
hormat. Saya telah banyak mendengar akan nama besar Locianpwe dari Suhu."
Tiong Lee Cin-jin memandang Cin Han dan menganggukangguk.
"Bagus, Kui Sim Tosu adalah seorang yang bijaksana dan
engkau muridnya yang baik."
"Lo-cianpwe, saya Kuang Lin, sute (adik seperguruan) dari
Suheng Cin Han. Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kami kalau
kedatangan kami membawa pasukan ini tidak berkenan di hati
Lo-cianpwe." Kembali Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk. "Sungguh baik
nasib Kui Sim Tosu, memiliki dua orang murid yang baik budi
bahasanya, juga lumayan ilmu silatnya. Melihat kalian dua orang
pemuda yang bersikap lemah lembut dan berpakaian sebagai
siucai (sastrawan), aku dapat mengatakan bahwa kalian berdua,
Cin Han dan Kuang Lin, tentulah bun-bu-coan-jai (ahli sastra dan
silat)." 602 Dua orang pemuda bangsawan Kin itu memberi hormat. "Kami
masih mengharapkan banyak petunjuk Lo?cianpwe yang mulia."
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu melihat lagi ke arah mayat
dan yang terluka bergelimpangan, menghela napas panjang dan
berkata. "Sudah, aku tidak tahan berada di sini lebih lama lagi.
Pek Hong, Siang In, Thian Liong, aku pergi!" Setelah berkata
demikian Tiong Lee Cin-jin berkelebat sedemikian cepatnya
sehingga dia seolah menghilang dari situ. Pek Hong atau
Moguhai dan Siang In saling rangkul dan menangis.
Thian Liong berkata kepada Cin Han dan Kuang Lin, "Kami
mengucapkan terima kasih atas bantuan ji-wi (kalian berdua)."
Cin Han dan Kuang Lin membalas penghormatan Thian Liong
dan Cin Han berkata, "Saudara Souw Thian Liong, biarpun baru
sekali ini aku berjumpa denganmu, namun nama besarmu sudah
lama kudengar. Kerajaan Kin menganggap engkau sebagai
pendekar dan jasamu besar sekali terhadap Kerajaan Kin.
Perkenalkan, aku bernama Cin Han, putera Pangeran Cin Boan
dan tinggal di kota Kang-cun. Ini suteku bernama Kuang Lin,
putera Pangeran Kuang dan tinggal di kota raja."
"Senang sekali aku dapat berkenalan dengan putera-putera
pangeran. Sekarang, menaati perintah Suhu tadi, aku ingin
membersihkan tempat ini," kata Thian Liong.
"Jangan khawatir, kami akan memerintahkan pasukan untuk
membersihkan tempat ini, mengubur yang tewas dan mengurus
yang terluka. Mereka merupakan tawanan pasukan kami," kata
Cin Han. 603 "Terima kasih, Pangeran."
"Jangan sebut aku Pangeran, cukup Cin Han saja," kata Cin Han
dan dia lalu menghampiri Thio Siang In yang sudah
menghentikan tangisnya karena sepasang saudara kembar ini
merasa malu kalau membiarkan tangis menguasai dirinya, tidak
pantas bagi orang-orang gagah perkasa seperti mereka.
"Han-ko, sungguh aku tidak pernah bermimpi bahwa engkau
ternyata bukan hanya merupakan seorang siu-cai (satrawan)
akan tetapi juga seorang bu-hiap (pendekar silat)!"
"Ah, tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan ilmu silatmu,
In-moi!" "Bagaimana engkau dapat datang ke sini membawa pasukan?"
tanya Siang In, jantungnya berdebar karena kagum dan juga
girang karena ternyata pemuda yang mencintanya ini bukan
seorang pemuda lemah, melainkan seorang gagah pula.
"Nanti saja kita bicara, In-moi. Sekarang aku hendak mengatur
pembersihan tempat ini." Cin Han tersenyum dan meninggalkan
Siang In. Pangeran Kuang Lin juga menghampiri Moguhai dan keduanya
saling pandang. "Kanda Kuang Lin, selama ini engkau
membodohi aku!" kata Moguhai cemberut.
"Eh" membodohi bagaimana, Dinda Moguhai?"
"Habis, engkau berlagak seorang siucai yang lemah, kiranya
engkau murid Kui Sim Tosu yang sudah kudengar namanya
sebagai seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya."
604 "Ah, aku tidak sengaja berbohong, Dinda. Aku hanya malu untuk
mengaku bahwa aku pernah belajar silat, malu kepadamu
karena aku tahu bahwa engkau seorang pendekar wanita yang
amat lihai." "Akan tetapi bagaimana engkau dan Pangeran Cin Han dapat
tiba-tiba muncul membawa pasukan?"
"Nanti saja, Dinda Moguhai. Aku harus membantu Suheng Cin
Han mengatur pembersihan tempat ini." Setelah berkata
demikian, Kuang Lin pergi menyusul Cin Han yang mulai
membagi-bagi tugas kepada pasukan kerajaan.
Thian Liong diam-diam girang sekali melihat betapa Siang In
mengenal baik Pangeran Cin Han dan Moguhai mengenal baik
Pangeran Kuang Lin. Biarpun baru satu kali bertemu, dia merasa
kagum dan suka kepada dua orang pangeran itu. Mereka
tampan, gagah dan ramah, tidak angkuh seperti para muda
bangsawan kebanyakan. Diam-diam dia mengharapkan dua
orang pangeran itu akan dapat menjadi jodoh gadis kembar itu.
Thian Liong menghampiri dua orang gadis kembar itu yang kini
sudah tampak gembira lagi.
"Wah, kita masih beruntung dua orang pangeran itu datang
membawa pasukan sehingga pertempuran dapat segera
dihentikan. Akan tetapi, tadi aku melihat bahwa kalian sudah
akrab dengan mereka!"
Moguhai tersenyum. "Ketahuilah, Thian Liong. Pangeran Cin
Han itu adalah calon suami Siang In!"
605 "Ih, jangan ngawur!" kata Siang In sambil mencubit lengan
Moguhai. "Liong-ko, jangan percaya obrolannya!"
"Wih, siapa yang membuat obrolan kosong" Thian Liong, ia
bahkan sudah dilamar oleh Pangeran Cin Han!" kata Moguhai
dan terkekeh-kekeh ketika Siang In hendak mencubitnya.
"Liong-ko, engkau tahu" Pangeran Kuang Lin itu adalah pilihan
hati Pek Hong! Hayo, mau sangkal" Engkau sendiri yang
menceritakan kepadaku bahwa engkau tertarik dan kagum
kepada Pangeran Kuang Lin, hanya engkau sayangkan dia
lemah seperti persangkaanmu. Dan sekarang ternyata dia gagah
perkasa. Hemm kemana lagi?" Kini Moguhai yang pura-pura marah.
"Sudahlah, kalian harus bersikap jujur dan terbuka," kata Thian
Liong. "Kalau memang kalian saling mencinta dengan dua orang
pangeran itu, apa salahnya" Aku pun suka dan kagum kepada
mereka, dan aku ikut bahagia kalau kalian dapat menjadi isteri
mereka yang hidup bahagia, ha-ha-ha!" Sekarang Thian Liong
tertawa-tawa, menertawakan kedua orang gadis yang tersipusipu malu dengan muka kemerahan.
"Eh, Thian Liong! Itu Han Bi Lan, ia lari dari sini!" Moguhai tibatiba ber-seru.
Thian Liong terkejut, menengok dan benar saja, dia melihat Bi
Lan pergi menuruni puncak itu.
"Lan-moi !!" Thian Liong memanggil dan dia pun
606 mengejar gadis baju merah itu.
Kini Moguhai dan Siang In yang tertawa-tawa menertawakan
Thian Liong yang berlari-larian, mengejar Bi Lan sambil
memanggil nama gadis itu. Tawa mereka semakin geli ketika
mereka melihat Bi Lan menoleh lalu gadis itu berlari cepat. Thian Liong tetap
mengejarnya dan sebentar saja dua bayangan mereka sudah
tidak tampak lagi. Dua orang gadis kembar itu masih tertawa-tawa ketika Cin Han
dan Kuang Lin menghampiri mereka. "Eh, ada apa sih kalian
tertawa-tawa?" tanya Cin Han.
"Dinda Moguhai, apa sih yang lucu?" tanya pula Kuang Lin
kepada Moguhai. "Tidak ada apa-apa," jawab Moguhai. "Hanya kami geli melihat
Thian Liong dan Bi Lan berkejar-kejaran menuruni puncak."
Dua orang pemuda itu menengok ke bawah, akan tetapi mereka
tidak melihat lagi Thian Liong dan Bi Lan. "Biar aku cari dia,
untuk berpamit," kata Cin Han.
"Tidak perlu, Han-ko, biarkan mereka berdua," kata Siang In.
Jawaban ini sudah cukup membuat dua orang pemuda itu
mengerti. "Kalau begitu, mari kita meninggalkan puncak ini. Para perajurit
sudah kami perintahkan untuk mengurus semua mayat dan yang
luka, membersihkan tempat ini seperti yang dipesan Lo-cianpwe
Tiong Lee Cin-jin tadi!' kata Cin Han.
607 16.2. Mari Kita Mencari Ibu, Lan-moi!
"Benar, mari kita tinggalkan puncak ini. Kami sudah
mempersiapkan kuda untuk kita berempat," kata pula Kuang Lin.
Dua orang gadis itu tidak membantah dan tak lama kemudan
mereka berempat sudah menunggang kuda, sepasangsepasang. Kuda mereka menuruni puncak perlahan-lahan dan
Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan Pangeran Kuang Lin,
sedangkan di depan mereka Thio Siang In berjejer dengan Cin
Han juga asyik bercakap-cakap perlahan. Wajah mereka
berempat berseri-seri penuh senyum. Mereka melakukan
perjalanan satu jurusan, yaitu ke kota raja, walaupun Siang In
dan Cin Han akan berhenti di kota Kang-cun yang tidak jauh
letaknya dari kota raja. "Y" "Bi Lan tunggu !!" Souw Thian Liong berseru
memanggil gadis yang berlari cepat sekali di depannya itu. Jarak
di antara mereka cukup jauh, akan tetapi seruan Thian Liong
yang didorong tenaga sin-kang itu dapat terdengar oleh Bi Lan.
Gadis itu sama sekali tidak berhenti, bahkan menoleh pun tidak,
melainkan berlari semakin cepat! Semenjak menerima
gemblengan Si Mayat Hidup, kepandaian Bi Lan meningkat


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesat sehingga kini larinya seperti terbang cepatnya.
Thian Liong merasa heran dan penasaran sekali. Selama
melakukan perjalanan bersama, ketika Bi Lan menyamar
sebagai seorang pemuda bernama Han, sikap gadis itu amat
baik kepadanya. Amat ramah dan terkadang sinar mata gadis itu
608 jelas membayangkan bahwa hatinya senang sekali. Malah dia
mulai merasa yakin bahwa Bi Lan juga suka atau cinta
kepadanya seperti juga dia yang telah lama jatuh cinta kepada
gadis itu. Akan tetapi mengapa kini Bi Lan berlari demikian cepat
seolah tidak mau lagi bertemu dan bicara dengannya"
Timbul bermacam dugaan dalam hatinya dan dia teringat bahwa
tadi, dua orang murid Ouw Kan yang dimusuhi gadis itu karena
mereka menyebabkan kematian ayahnya, dapat meloloskan diri
dan tidak terbunuh. Dan hal itu terjadi karena Tiong Lee Cin-jin
melarang dilakukannya pembunuhan di situ. Apakah Bi Lan
marah karena kecewa tidak diberi kesempatan membunuh dua
orang musuhnya itu" "Bi Lan tunggu! Aku mau bicara!" teriaknya lagi.
Akan tetapi gadis itu malah berlari semakin cepat. Kalau dia
kehendaki, tentu saja Thian Liong sejak tadi mampu menyusul Bi
Lan. Betapa pun lihainya gadis itu, dalam hal tenaga sakti ia
masih belum mampu menandingi Thian Liong. Akan tetapi Thian
Liong tidak mau melakukan hal itu, khawatir kalau-kalau akan
menyinggung hati Bi Lan. Kini, karena gadis itu tidak mau
berhenti dan tidak mau menjawab, dia berteriak lagi.
"Bi Lan! Berhentilah atau jawablah mengapa engkau melarikan
diri dariku! Kalau engkau diam saja dan tetap berlari, aku akan
menyusulmu!" Bi Lan tetap tidak menjawab dan tidak berhenti, maka Thian
Liong lalu berlari cepat sekali untuk mengejar gadis itu. Setelah
tiba dekat, dengan kaget dan heran dia mendengar gadis itu
berlari sambil menangis! 609 Dia melompat jauh ke depan dan turun di depan Bi Lan sehingga
terpaksa gadis itu berhenti.
"Pergi! Pergilah engkau beramah tamah akrab dengan dua
orang gadis cantik itu! Aku memang orang
yang tidak berharga ! Tinggalkan aku
!" Bi Lan menangis tersedu-sedu, tubuhnya lemas sehingga ia jatuh
berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
Tubuhnya terguncang ketika ia menangis sampai mengguguk.
Dengan bingung dan khawatir, Thian Liong berlutut dekat Bi Lan
dan berkata dengan lembut dan hati-hati.
"Lan-moi (Adik Lan) , engkau marah kepadaku"
Apakah kesalahanku padamu, Lan-moi" Kalau aku bersalah,
hukumlah aku, aku akan rela menerimanya. Akan tetapi kalau
penyebab kemarahanmu karena Siang In dan Moguhai, engkau
salah sangka. Mereka itu adalah saudara-saudara seperguruanku, murid Suhu Tiong Lee Cin-jin. Tidak ada
hubungan apa pun antara kami bertiga selain saudara
seperguruan." Gadis itu masih menangis, tangisnya membayangkan betapa ia
berada dalam keadaan yang berduka sekali. Thian Liong merasa
iba dan juga khawatir. "Aih, Bi Lan, bicaralah padaku, aku mohon padamu, jangan
membuat aku bingung. Katakanlah, mengapa
engkau menangis begini sedih" Apakah apakah
610 engkau merasa kecewa kepada Suhu Tiong Lee Cin-jin karena
engkau tidak boleh membunuh dua orang murid Ouw Kan itu?"
Bi Lan tak dapat menjawab karena terisak-isak, akan tetapi
mendengar pertanyaan itu, dia menggeleng-geleng kepalanya.
Thian Liong merasa lega, dan dia maklum bahwa dalam
keadaan seperti itu, Bi Lan tidak akan mampu bicara. Maka dia
pun lalu mendiamkan saja, memberi kesempatan kepada gadis
itu untuk menumpahkan segala ganjalan hati dan pikirannya
melalui tangisnya. Akhirnya, gadis itu dapat menguasai dirinya dan tangisnya
mereda, lalu berhenti, hanya terisak-isak sesekali. Thian Liong
lalu berkata lagi dengan lembut.
"Lan-moi, selama melakukan perjalanan bersama, hatiku
gembira sekali karena kita bergaul dengan akrab. Akan tetapi
mengapa kini tiba-tiba engkau menjauhkan diri dan menangis"
Apa yang menjadi sebabnya kalau tadi engkau menyangkal
bahwa engkau kecewa kepada Suhu?"
Bi Lan menyusut mata dan hidungnya dengan saputangan dan
kini ia sudah tenang kembali. Akan tetapi suaranya masih
gemetar ketika ia berkata.
"Mengapa engkau mengejarku" Mengapa engkau meninggalkan
Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Niocu" Mereka tentu menantimu.
Kembalilah kepada mereka dan jangan hiraukan aku yang
bodoh dan hina-dina ini."
Thian Liong menyangka bahwa Bi Lan ini agaknya merasa
cemburu kepada dua orang gadis itu, maka dia cepat berkata,
611 "Mereka tidak akan menanti aku, Lan-moi. Mereka berdua sudah
mempunyai teman yang dekat sekali, mungkin menjadi calon
suami-suami mereka, yaitu Pangeran Cin Han dan Pangeran
Kuang Lin." Keterangan ini semakin menenangkan hati Bi Lan. Harus ia akui
bahwa tadi, melihat Thian Liong tertawa-tawa ketika bicara
dengan dua orang gadis itu, ia merasa iri. Bukan cemburu,
melainkan iri karena ia teringat akan keadaan dirinya yang anak
bekas pelacur, sedangkan dua orang gadis itu adalah anak-anak
orang yang terhormat dan makmur, terutama sekali Puteri
Moguhai. Hal ini membuat ia merasa rendah diri dan sedih
sekali. Jelas dan tidak aneh kalau Thian Liong lebih tertarik kepada
mereka. Akan tetapi setelah mendengar keterangan Thian Liong
bahwa dua orang gadis itu telah memiliki calon suami, ia menjadi
lebih tenang, sungguhpun ingatan akan keadaan dirinya masih
membuat ia sedih dan batinnya tertekan sekali.
"Mengapa engkau mengejarku?" Ia bertanya dan sepasang
matanya yang kemerahan dan agak membengkak karena
tangisnya tadi kini menatap tajam wajah Thian Liong.
Pemuda itu meragu. Apakah dia harus berterus terang
menyatakan isi hatinya" Bagaimana kalau pernyataannya itu
salah alamat dan membuat Bi Lan semakin marah dan benci
kepadanya" Sejak pertemuan mereka yang pertama kali, terjadi
ketegangan di antara mereka dan gadis ini pernah sakit hati dan
mendendam kepadanya. Akan tetapi teringat kepada Siang In
612 dan Moguhai yang agaknya juga telah mendapatkan pilihan hati
masing-masing, dia nekat memberanikan diri.
"Aku mengejarmu karena aku tidak mau kautinggalkan begitu
saja, karena aku ikut susah melihat
engkau bersedih dan karena aku cinta padamu, Bi Lan!" Pernyataan cinta Thian Liong itu tidak mengejutkan hati Bi Lan
karena su?dah lama perasaan wanitanya dapat menangkap
cinta kasih pemuda itu kepadanya melalui sinar mata dan sikap
serta ucapannya. Mendengar pernyataan ini, ia tidak menjadi
marah seperti yang di khawatirkan Thian Liong, sebaliknya ia
malah mulai menangis lagi!
"Tidak tidak , aku !" aku tidak berharga aku seorang hina dina
Thian Liong memegang kedua pundak gadis itu dan
mengguncangnya perlahan. "Bi Lan, mengapa engkau berkata
begitu" Dalam pandanganku, engkau adalah gadis yang paling
mulia di dunia ini! Siapa yang berani mengatakan bahwa engkau
seorang yang tidak berharga dan hina" Akan kuhajar mulut kotor
orang yang mengatakan itu!"
"Liong-ko, aku tidak berharga menjadi
menjadi " "Siapa bilang tidak berharga, Lan-moi" Sekarang juga, kalau
engkau sudi, aku meminangmu untuk menjadi isteriku!"
613 "Tidak Liong-ko, tidak! Engkau akan diejek dan dicemooh semua
orang. Aku tidak pantas menjadi isterimu
, namamu akan ikut tercemar " "Lan-moi, apa sih maksud ucapanmu itu" Engkau adalah
seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan baik budi,
penegak kebenaran dan keadilan. Lebih dari itu, engkau puteri
mendiang Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, suami
isteri yang terhormat dan dikagumi, dihormati banyak orang!
Engkau adalah gadis paling mulia yang pernah kujumpai! Kalau
mau bicara tentang tidak berharga, sesungguhnya akulah yang
tidak berharga menjadi pendamping hidupmu. Kalau memang itu
masalahnya, katakan saja, Lan-moi. Aku memang hanya
seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan papa "
"Cukup! Liong-ko! Jangan merendahkan diri seperti itu. Aku
amat menghormatimu, amat mengagumimu. Akan tetapi
sungguh, aku sama sekali tidak berbohong kalau aku
mengatakan bahwa aku tidak berharga untuk
menjadi isterimu! Ah, engkau tidak tahu !"
menundukkan mukanya yang menjadi pucat.
Gadis itu Thian Liong kembali menangkap kedua pundak Bi Lan dan
berkata dengan suara tegas. "Bi Lan, di mana kegagahanmu"
Tidak pantas puteri mendiang Paman Han Si Tiong dan Bibi
Liang Hong Yi, suami isteri pemimpin Pasukan Halilintar yang
gagah perkasa kalau engkau menjadi begini penakut untuk
bicara terus terang! Katakanlah kepadaku apa yang mengganjal
di hatimu. Percayalah, aku akan menerima hal yang paling buruk
sekalipun dengan tabah!"
614 "Benarkah itu" Apakah engkau masih dapat mencintaku kalau
engkau mengetahui bahwa namaku tercemar, kotor dan hina?"
"Moi-moi, aku cinta padamu! Bukan pada namamu! Ceritakanlah
dan bersikaplah jujur, terbuka dan tabah sebagai mana layaknya
seorang pendekar!" Mendengar ini, timbul semangat Bi Lan dan muncul
keberaniannya. Ia bangkit dan duduk di atas sebuah batu dan
Thian Liong segera duduk di atas batu lain di depannya.
"Baiklah Liong-ko, aku akan bercerita sejujurnya. Terserah
kepadamu nanti bagaimana tanggapanmu. Dengarlah baik-baik.
Liong-ko, aku adalah anak seorang pelacur! Ibu kandungku,
Liang Hong Yi, adalah seorang bekas pelacur!"
Sepasang mata Thian Liong terbelalak, mukanya berubah merah
sekali, alisnya berkerut dan dia menatap wajah Bi Lan dengan
tajam. Suaranya mengandung penuh teguran ketika dia berkata,
"Bi Lan! Jangan menjadi anak durhaka! Bibi Liang Hong Yi
adalah seorang pendekar wanita, mengapa engkau begitu tega
untuk memberi keterangan seperti itu" Siapa pun tidak akan
percaya!" "Liong-ko, apa kaukira aku senang mendapatkan kenyataan ini"
Hatiku hancur lebur, dunia seperti kiamat bagiku, hidup seolah
tidak ada gunanya lagi. Aku malu, Liong-ko, terutama malu
kepadamu! Akan tetapi yang kuceritakan adalah sesungguhnya.
Tadinya aku juga tidak percaya, akan tetapi setelah kutanyakan
langsung 615 kepada Ibuku ia ia mengaku terus terang bahwa
memang benar dahulu sebelum menikah dengan Ayah, ia
adalah seorang pelacur!" Kembali gadis itu terisak, akan tetapi
dengan air mata menuruni kedua pipinya, ia menatap wajah
Thian Liong. "Nah, sekarang kalau engkau hendak memaki,
menghina aku, lakukanlah!"
Kini tiba giliran Thian Liong yang bungkam. Dia berdiam diri
seperti orang linglung, hanya memandang gadis itu dengan mata
tidak percaya, terkejut, dan terheran. Bagaimana mungkin
wanita setengah tua yang gagah perkasa itu, dahulu pernah
menjadi seorang pelacur" Bagaimana seorang pendekar gagah
perkasa seperti mendiang Han Si Tiong dapat menikah dengan
seorang pelacur" Melihat pemuda itu hanya bengong, Bi Lan menyusut air
matanya dan suaranya tergetar dan terputus-putus
ketika ia bertanya, "Kau
sekarang kau jijik dan benci padaku
?" Setelah berkata demikian, gadis itu
melompat jauh dan lari sekuatnya.
"Bi Lan !" Thian Liong juga melompat dan
mengejar. Setelah dapat menyusul, dari belakang dia menubruk
dan memeluk tubuh gadis itu sehingga mereka berdua jatuh
bergulingan di atas rumput. Bi Lan bangkit berdiri, akan tetapi
sebelum ia sempat lari, Thian Liong telah merangkulnya.
616 "Lepaskan aku! Engkau nanti ikut kotor kalau berdekatan
dengan aku!" "Bi Lan jangan bersikap begitu. Aku cinta padamu, Lan-moi."
"Hemm, bagaimana engkau dapat mencinta aku setelah engkau
tahu bahwa aku ini anak pelacur?"
Tanpa melepaskan gadis itu dari rangkulannya Thian Liong
berkata, "Bi Lan, dengarlah. Aku mencinta engkau! Mengerti"
Aku cinta engkau, siapapun juga namamu! Aku cinta engkau,
anak siapa pun engkau, baik raja maupun anak pengemis, anak
pendeta maupun anak penjahat! Aku cinta engkau, Bi Lan, tidak
cukupkah itu?" "Tapi tapi Ibuku " "Hushh, jangan lanjutkan. Ibumu tetap Ibumu, apa pun dan
bagaimana pun keadaannya. Engkau wajib menghormatinya,
menyayangnya, berbakti kepadanya! Ibumu seorang pendekar
wanita, seorang isteri setia, seorang ibu yang baik, seorang


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanita terhormat. Setiap orang manusia sudah pasti pernah
melakukan dosa, pernah sesat jalan. Tidak ada manusia
sempurna di dunia ini. Akan tetapi, kalau manusia yang
melakukan dosa mohon pengampunan kepada Thian dan
bertaubat, tidak mengulang lagi dosa yang telah dilakukan, maka
Tuhan itu Maha Murah, Maha Kasih, dan Maha Adil! Mungkin di
waktu mudanya ibumu pernah sesat jalan, akan tetapi setelah
menjadi isteri Paman Han Si Tiong, ia telah bertaubat dan
meninggalkan kesesatannya."
617 Bi Lan memandang wajah Thian Liong dan kini dia tidak meronta
lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan wajahnya pucat, agaknya ia
telah mengalami guncangan-guncangan batin yang hebat.
"Benarkah semua omonganmu, Liong-ko" Engkau
menganggap rendah, kotor dan hina kepada Ibuku?"
tidak Thian Liong menggeleng kepalanya dan tersenyum. "Tidak, Lanmoi. Pekerjaan melacur memang tidak baik dan. merendahkan
martabat kaum wanita. Akan tetapi pelacur bukan penjahat. Lakilaki yang datang melacur lebih rendah, kotor dan hina, jahat
pula. Terutama para pria yang sudah mempunyai pacar,
tunangan atau isteri karena perbuatannya itu berarti
mengkhianati pacar, tunangan, atau isterinya. Walaupun pelacur
itu tidak baik dan patut dicegah, namun pelacur bukan penjahat
dan tidak mengkhianati siapa-siapa. Dalam pandanganku, Bibi
Liang Hong Yi tetap sebagai wanita terhormat dan mulia."
Kini Bi Lan menangis sambil merapatkan mukanya di dada Thian
Liong sehingga air matanya menembus baju Thian Liong
membasahi dadanya. Thian Liong merasa seolah-olah air mata
itu menembus kulit dagingnya dan menyiram jantungnya,
mendatangkan perasaan nyaman dan bahagia.
"Liong-ko , tadinya aku takut sekali takut
membenciku, meninggalkan aku padahal,
engkau hanya engkaulah satu-satunya manusia di dunia ini yang
kupandang, kuhormati dan kukagumi, satu-satunya orang
yang kucinta " 618 Thian Liong mendekap kepala itu dan mengelus rambut Bi Lan.
"Lan-moi sayang, di sana masih ada seorang yang kaucinta,
yang juga kucinta dan kuhormati, yaitu Ibumu! Mari kita
menghadap Ibumu untuk minta doa restunya."
"Ibu entah di mana, Liong-ko!"
"Ehh ?" Mengapa begitu?"
Tanpa melepaskan diri dari pelukan Thian Liong, Bi Lan
menceritakan semua yang ia alami bersama ibunya sejak
ayahnya tewas. Bagaimana ia lalu meninggalkan ibunya karena
menyesal, kecewa, malu dan berduka mendengar pengakuan
ibunya bahwa ibunya dahulu adalah se-orang pelacur.
"Aku pergi meninggalkannya dan aku tidak tahu ia sekarang
berada di mana, Liong-ko."
"Mari kita mencarinya, Lan-moi. Kita pergi ke kota raja dan
mencarinya sampai dapat kita temukan."
Bi Lan hanya mengangguk dan terisak. Sampai lama mereka
saling berpelukan sampai akhirnya Bi Lan berhenti menangis.
Kemudian, kedua orang itu menuruni bukit itu sambil
bergandengan tangan, dengan sinar mata penuh gairah hidup,
dengan semangat baru, menyongsong kehidupan yang cerah,
penuh kasih sayang, penuh harapan.
Sampai di sini berakhirlah Kisah Si Naga Langit ini, harapan
pengarang mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para
pembacanya. 619 Pendekar Penyebar Maut 1 Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Kisah Pedang Di Sungai Es 5
^