Pencarian

Jodoh Si Naga Langit 4

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


sejak penolakan itu, sudah setahun lebih, dia selalu menolak
kalau orang tuanya hendak menjodohkannya. Bahkan, tidak
230 seperti pemuda bangsawan lainnya, dia pun menolak ketika
hendak dicarikan selir. Pada pagi hari di waktu matahari telah naik semakin tinggi,
Pangeran Cin Boan duduk di ruangan dalam bersama isteri dan
puteranya. "Ayah, aku mendengar bahwa Paman Thio Ki beberapa hari
yang lalu dirampok penjahat habis-habisan, bahkan dia terluka
dan dua orang pengawalnya tewas. Bukankah Ayah ada
menitipkan kiriman barang ke kota raja kepada Paman Thio Ki?"
"Benar, Han-ji (Anak Han), aku pun sudah mendapat laporan
dari utusan Thio Ki. Barang-barang kita ikut terampas penjahat,"
jawab Pangeran Cin Boan. "Hemm, padahal barang-barang itu amat berharga dan penting
yang dikirim ke kota raja untuk Nenekmu dan para Pamanmu.
Sekarang hilang! Thio Ki itu harus bertanggung jawab!" kata
Nyonya Cin sewot (marah-marah).
"Jangan begitu, kejadian itu kan merupakan kecelakaan" Thio Ki
sendiri sudah habis-habisan, bahkan terluka. Jangan kita
menambahkan penderitaannya dengan tergesa-gesa menuntut
barang-barang kita yang hilang agar dipertanggung-jawabkan."
"Salahnya sendiri. Dulu menolak pinangan kita, sekarang barang
kita yang berharga mahal dibikin hilang. Enak dia dan rugi kita
kalau didiamkan saja!" Agaknya isteri pangeran ini masih
merasa kecewa, penasaran dan marah karena pinangannya
setahun yang lalu ditolak oleh keluarga Thio Ki.
231 "Ibu, kiranya tidak perlu lagi membi?carakan tentang pinangan
itu. Yang penting sekarang, bagaimana caranya untuk
membantu Paman Thio mengatasi keadaannya yang terluka dan
habis-habisan itu." "Hemm, mengapa kita jadi ikut repot" Bukankah puteri mereka
yang cantik seperti dewi, bahkan julukannya juga Ang Hwa Sianli (Dewi Bunga Merah), adalah seorang pendekar wanita yang
amat lihai" Biarlah gadis itu yang merampas kembali harta yang
telah dirampok penjahat!" kata Nyonya Cin yang masih marah.
Sebelum suami dan anaknya menjawab, daun pintu ruangan itu
diketuk orang. "Siapa?" Pangeran Cin bertanya sambil mengerutkan alisnya
karena tak senang percakapannya dengan isteri dan puteranya
ada yang mengganggu. "Hamba, yang mulia. Hamba hendak melaporkan bahwa di luar
datang seorang gadis yang ingin menghadap paduka," terdengar
suara pengawal yang mereka sudah kenal.
"Siapa ia" Siapa namanya?" tanya Pangeran Cin Boan dengan
heran. Dia tak pernah ada urusan dengan seorang gadis. Belum
pernah ada gadis minta menghadap padanya.
Suara pengawal itu menjawab. "Ia tidak mau mengatakannya,
Yang Mulia. Ia hanya berkata bahwa paduka pasti akan
mengenalnya kalau ia sudah menghadap Paduka."
"Ayah, biar aku yang keluar dulu melihat siapa yang hendak
menghadap Ayah." 232 "Baiklah, Cin Han, keluarlah dan lihat siapa gadis itu."
Cin Han keluar dan diantar pengawal itu dia melangkah keluar.
Setelah di serambi depan, dia melihat seorang gadis berpakaian
serba putih dari sutera halus, kepalanya dihias burung Hong
perak, berdiri dan menyongsongnya dengan pandang mata yang
mencorong tajam. Gadis yang luar biasa cantiknya. Akan tetapi
setelah berhadapan, Cin Han berseru terkejut.
"Eh, engkau engkau Thio-siocia (Nona Thio)?""
Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu diam-diam kagum sekali
kepada pemuda yang tampan sekali dan sikapnya lemah lembut
itu. Ia menduga bahwa inilah agaknya putera Pangeran Cin
Boan itu. Rasanya dulu ia pernah bertemu dengan pemuda ini,
sekitar enam tahun lebih yang lalu. Tentu saja ketika mereka
masih remaja dan ia sudah tidak ingat lagi wajah pemuda itu.
"Engkau siapakah, Kongcu?" tanyanya.
"Aku bernama Cin Han, putera Pangeran Cin Boan." Ucapan
pemuda itu seolah mengingatkan dan dia menatap tajam wajah
yang jelita itu. "Ah, Cin-kongcu. Apakah Pangeran Cin Boan berada di rumah"
Aku ingin bertemu dengannya."
"Mari, silakan, Thio-siocia. Silakan menunggu di ruangan tamu,
aku akan memanggil Ayah ke sini."
Mereka memasuki ruangan tamu dan Pek Hong lalu duduk di
situ menunggu sedangkan Cin Han masuk ke ruangan dalam
menemui Ayah Ibunya. 233 "Ayah, gadis itu adalah Nona Thio Siang In!" kata pemuda itu
yang masih merasa tegang hatinya bertemu dengan gadis yang
pernah menundukkan hatinya itu.
Pangeran Cin Boan menaikkan alisnya dengan heran dan
isterinya mengerutkan alis dan berkata, "Hemm, mari kita temui!"
Suami isteri dan putera mereka itu lalu keluar dari ruangan
dalam, memasuki ruangan tamu. Pek Hong segera bangkit
berdiri dan ia berhadapan dengan mereka bertiga.
"Nona Thio !" kata Pangeran Cin Boan dan
memandang penuh selidik. Dia merasa kagum akan kecantikan
gadis itu. Pantas puteranya tergila-gila, pikirnya.
"Engkau yang bernama Thio Siang In?" tiba-tiba Nyonya Cin
bertanya, nada suaranya ketus. "Dulu engkau menolak pinangan
kami. Sekarang datang berkunjung ada keperluan apakah?"
Pek Hong tersenyum melihat Pangeran Cin Boan dan Cin Han
memandang Nyonya Cin dengan alis berkerut tanda tidak
senang mendengar ucapan yang ketus itu. Akan tetapi ia pun
tidak merasa marah mendengar teguran nyonya itu karena ia
maklum betapa kecewanya seorang ibu mendengar pinangan
puteranya ditolak. "Kalian bertiga keliru. Aku bukan Thio Siang In," katanya sambil
tersenyum. Tiga orang itu terbelalak. "Harap Siocia (Nona) tidak main-main.
Aku mengenalmu dengan baik dan jelas bahwa engkau adalah
234 Nona Thio Siang In!" kata Cin Han sambil tersenyum pula,
mengira gadis itu main-main.
"Aku tidak main-main. Memang aku mirip Thio Siang In, akan
tetapi aku bukan ia. Paman Pangeran, apakah Paman sudah
lupa kepadaku?" Pangeran Cin Boan memandang penuh perhatian. "Siapakah
engkau sesungguhnya, kalau engkau bukan Thio Siang In?"
"Aku sering bertemu Paman di kota raja sekitar enam tahun
yang lalu." "Enam tahun yang lalu di kota raja" Ah, aku tidak ingat
" Pek Hong Niocu lalu mengeluarkan pedang bengkok berukir
naga emas dari pinggangnya dan memperlihatkannya kepada
pangeran itu. "Paman tentu mengenal ini, bukan?"
Melihat pedang bengkok tanda kekuasaan itu, sepasang mata
Pangeran itu terbelalak. "Dan apakah Paman tidak mengenal hiasan rambutku ini?"
"Ahh engkau Hong Niocu?"" Puteri Moguhai yang dikenal sebagai Pek
Pek Hong tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya. "Nah,
Paman mengerti sekarang bahwa aku bukan Thio Siang In."
"Ah, maafkan kami kiranya keponakanku yang
235 amat terkenal yang datang berkunjung! Selamat datang, Ananda
Moguhai. Kami merasa girang sekali mendapat kesempatan
menerima kunjungan ini."
Lalu kepada isteri dan puteranya yang masih memandang
terheran-heran dia berkata. "Mengapa kalian bengong saja" Ini
adalah keponakanku sendiri, puteri Sri Baginda Kaisar yang
bernama Puteri Moguhai yang akhir-akhir ini terkenal sebagai
Pek Hong Niocu, pemilik pedang pusaka tanda kekuasaan
tertinggi mewakili Sri Baginda?"
JILID 7 07.1. Hasil Penyidikan Puteri Moguhai
Nyonya Cin Boan seketika mengubah sikapnya, ia bersikap
hormat dan ramah sekali. "Aih, harap memaafkan kami yang
tidak mengenalmu." Cin Han masih terpesona. Kiranya gadis yang wajahnya persis
Thio Siang In ini adalah puteri kaisar!
"Ah, Nona Puteri, harap maafkan aku
" katanya gagap. Pek Hong tersenyum kepada pemuda itu. "Kita adalah saudara
misan, mengapa masih memakai sebutan sungkan seperti itu"
Engkau bernama Cin Han, bukan" Tentu lebih tua daripada aku
maka akan kusebut Kanda Cin Han saja."
Wajah pemuda yang tampan dan berkulit putih itu menjadi agak
kemerahan. "Baiklah, Adinda Moguhai, dan terima kasih atas
keramahan sikapmu." 236 "Aku akan menyuruh menyiapkan minuman
" "Tidak usah, Bibi. Aku datang untuk membicarakan suatu hal
penting." "Ada urusan apakah, Moguhai" Persamaanmu dengan Thio
Siang In sungguh membuat kami terkejut dan heran."
"Memang benar, Paman Pangeran. Thio Siang In adalah
saudara seperguruanku yang akrab dengan aku. Kedatanganku
ini pun atas namanya untuk membicarakan tentang peristiwa
perampokan atas diri Paman Thio Ki, Ayah Siang In."
"Ya, kami juga sudah mendengar akan peristiwa yang
menyedihkan itu. Kabarnya Thio Ki terluka parah. Benarkah itu?"
"Benar, akan tetapi keadaannya su?dah tidak berbahaya lagi,
Paman Pangeran. Dua orang piauw-su yang membantunya
tewas dan banyak yang terluka. Semua harta benda yang
dikawal Paman Thio Ki dirampas perampok."
"Kami sudah mendengar dan mendapat pelaporan karena titipan
barang kami juga ikut dilarikan perampok."
"Banyakkah barang yang Paman titipkan itu?"
"Hemm, cukup banyak dan berharga karena kiriman kami itu
kami tujukan kepada Ibu kami dan adik-adik kami di kota raja."
"Tentu Paman Pangeran akan menuntut kepada Paman Thio Ki
agar mengganti semua kehilangan itu, bukan?"
237 "Ah, sama sekali tidak, Moguhai. Thio Ki mendapatkan
kecelakaan yang membuat harta bendanya habis dan dia sendiri
terluka. Kehilangan harta yang kami titipkan itu adalah karena
kecelakaan." "Itu benar, Adinda, Paman Thio Ki sedang menderita,
bagaimana kami tega untuk menambahi penderitaannya" Kami
malah kasihan sekali mendengar akan peristiwa itu."
Moguhai atau kita sebut saja Pek Hong, memandang tiga orang
itu bergantian. Wajah Pangeran Cin Boan dan wajah Cin Han
tampak wajar membayangkan bahwa ucapan mereka tadi
sejujurnya. Akan tetapi ia melihat betapa wajah Nyonya Cin yang
cantik itu agak muram dan sepasang alisnya berkerut.
"Paman Pangeran, aku mendengar bahwa setahun lebih yang
lalu, Paman mengajukan pinangan kepada keluarga Paman Thio
Ki, untuk menjodohkan Kan-da Cin Han ini dengan Thio Siang
In, benarkah itu?" "Ya, benar." "Dan pinangan itu ditolak?"
Pangeran Cin Boan menghela napas panjang. "Ya, ditolak
karena Nona Thio Siang In belum mau terikat perjodohan. Kami
dapat menerima alasan itu karena kami tahu bahwa gadis itu
adalah seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya dan tentu
saja soal perjodohan tidak dapat dipaksakan kepadanya."
"Hemm, tentu Paman penasaran, bukan?" sekeluarga menjadi kecewa dan 238 "Tentu saja kami kecewa, akan tetapi penasaran" Tidak!
Mengapa mesti penasaran" Pinangan hanya mempunyai dua
keputusan, diterima atau ditolak."
"Apakah keluarga Paman tidak merasa terhina oleh penolakan
pinangan itu dan mendendam sakit hati?"
"Puteri Moguhai! Mengapa engkau bertanya seperti itu" Kami
bukan orang-orang sepicik itu!" kata Pangeran Cin Boan dengan
suara mengandung kemarahan.
"Ayah, Adinda Moguhai mengajukan pertanyaan itu pasti ada
sesuatu yang dimaksudkan dan dikehendaki. Dinda Moguhai,
harap engkau suka berkata terus terang saja kepada kami.
Sebetulnya ada persoalan apakah pada keluarga kami yang
sedang kau selidiki?"
Pek Hong memandang kakak misannya yang tampan itu sambil
tersenyum. Pemuda ini cerdik juga, pikirnya kagum.
"Begini, Paman, Bibi, dan Kanda. Sesungguhnya, keluarga
Paman Thio Ki mendengar berita yang tidak baik, yang
membayangkan seolah-olah urusan penolakan pinangan itu ada
hubungannya dengan terjadinya perampokan terhadap Paman
Thio Ki itu." "Dinda Moguhai! Apakah engkau hendak mengatakan bahwa
engkau menyangka kami yang mendalangi perampokan itu
karena kami hendak membalas dendam atas ditolaknya
pinangan kami itu?" tanya Cin Han penasaran, walaupun
suaranya masih lembut. 239 Pek Hong tersenyum lebar. "Tenang, Kanda. Itu bukan
persangkaanku. Justeru aku datang ini untuk menyelidiki tentang
persangkaan itu. Sekarang, harap Paman Pangeran suka
menjawab sejujurnya. Apakah Paman mengenal seorang
bernama Bhe Liang yang berjuluk Twa-to (Si Golok Besar)?"
"Bhe Liang?" Sepasang alis pangeran itu berkerut dan sinar
matanya membayangkan kemarahan. "Tentu saja kami
mengenalnya. Dahulu, dia menjadi seorang di antara para
pengawal kami di sini. Akan tetapi kami telah menghentikan dan
mengusirnya!" "Mengusirnya

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Akan tetapi meng?apa, Paman"
Mengapa Paman mengusirnya?"
Pangeran itu bertukar pandang dengan isterinya dan dengan alis
masih berkerut dia bertanya kepada Pek Hong. "Hemm, apakah
pertanyaan itu perlu dijawab?"
"Perlu sekali, Paman! Untuk melengkapi penyelidikanku, harap
Paman suka menjawab pertanyaan itu sejujurnya. Ini demi
kebaikan keluarga Paman sendiri."
Pangeran Cin Boan memandang isteri?nya. "Bagaimana"
Apakah kita akan memberitahu kepada Puteri Moguhai?"
Isterinya termangu sejenak, lalu mengangguk. "Boleh saja kalau
itu demi kebaikan keluarga kita."
"Begini, Moguhai. Sebetulnya penyebabnya hanya urusan kecil
saja, namun cukup menjengkelkan kami. Bhe Liang
240 memperlihatkan sikap yang kurang ajar kepada isteriku.
Pandang matanya kurang ajar dan dia
berani tersenyum-senyum penuh arti
" Pangeran itu memandang kepada isterinya.
"Keparat itu memang kurang ajar sekali. Pandang matanya dan
senyumnya itu jelas menjadi tanda bahwa dia mengajak main
gila! Dikiranya wanita macam apa aku ini! Maka aku
memberitahu suamiku dan dia lalu diusir."
Mendengar keterangan suami isteri itu, Pek Hong menganggukangguk lalu ia bangkit berdiri. "Terima kasih banyak atas semua
keterangan Paman, Bibi, dan Kanda Cin Han. Sekarang aku
mohon diri, hendak kembali ke rumah Paman Thio Ki."
Pangeran Cin Boan, isterinya dan puteranya mencoba untuk
menahannya, akan tetapi Pek Hong mengucapkan terima kasih.
"Biarlah lain kali saja kita berjumpa lagi. Sekarang aku harus
kembali ke sana menemui Siang In."
Keluarga pangeran itu mengantar Pek Hong sampai ke pintu
depan. "Y" Thio Ki, Miyana dan Siang In menyambut kedatangan Pek Hong
dan Siang In segera menggandeng tangan Pek Hong, diajak
masuk. 241 "Pek Hong bagaimana hasilnya" Benarkah mereka yang
mendalangi semua itu?" Siang In bertanya ketika mereka
berempat sudah berada di ruangan dalam.
Pek Hong tersenyum. "Sabar dulu, Siang In. Penyelidikanku
belum tuntas. Sekarang, aku harap Paman Thio Ki dun Bibi
Miyana suka berterus terang kepadaku karena jawaban yang
jujur dari Paman berdua mungkin akan dapat membawa kita
kepada dalang perampokan ini."
"Aih, Pek Hong. Kenapa malah kami yang harus menjawab
dengan jujur?" tanya Miyana heran.
"Ya, Pek Hong. Seolah kami yang akan kau selidiki?" kata pula
Thio Ki penasaran. "Tenanglah, Paman dan Bibi. Percayalah padaku dan harap
suka jawab sejujurnya pertanyaanku ini. Paman, pengawalmu
yang bernama Bhe Liang itu, apakah pekerjaannya di sini baikbaik saja?"
Thio Ki memandang heran dan mengangguk. "Ya, pekerjaannya
cukup baik. Beberapa kali dia mengawal kiriman barang dan
tidak pernah gagal. Juga dia memiliki ilmu silat yang cukup
tangguh. Julukannya sebagai Twa?to agaknya cukup dikenal
oleh golongan sesat sehingga pengawalannya tidak pernah
diganggu. "Apakah dia tidak pernah melakukan sesuatu yang tercela?"
"Kurasa tidak."
242 "Dan Paman tidak pernah memarahinya karena suatu tindakan
yang tercela?" Thio Ki menggeleng kepala. "Seingatku tidak. Akan tetapi apa
maksudmu dengan semua pertanyaan itu?"
"Nanti kujelaskan, Paman. Sekarang aku ingin mengajukan
pertanyaan kepada Bibi Miyana dan kuharap Bibi akan
menjawab sejujurnya dan jangan menyembunyikan sesuatu."
Miyana mengerutkan alisnya dan wajahnya yang masih cantik itu
tampak tegang. "Tanyalah, Pek Hong!"
"Begini, Bibi. Apakah Bhe Liang itu pernah berbuat atau bersikap
yang tidak wajar terhadap Bibi?"
Miyana membelalakkan matanya. "Tidak wajar"
Apa apa maksudmu?" "Hemm, misalnya dia melakukan sesuatu atau bersikap yang
tidak sopan atau kurang ajar terhadap Bibi."
Miyana menundukkan mukanya yang berubah merah dan
sejenak ia diam saja. "Ibu, jawablah pertanyaan Pek Hong sejujurnya. Percayalah, ia
bermaksud baik, Ibu."
Miyana kembali memandang kepada suaminya dan Thio Ki yang
kini menduga tentu ada apa-apa yang hendak dikatakan
isterinya, ia berkata, "Benar, Miyana. Ceritakan saja apa yang
telah terjadi dengan sejujurnya."
243 Setelah Miyana menghela napas panjang beberapa kali, ia
berkata. "Memang pernah beberapa kali dia bersikap kurang ajar
kepadaku, merayuku. Mula-mula aku tidak perduli, akan tetapi
ketika dia semakin berani, malah pernah memegang tanganku,
aku menjadi marah dan memaki-makinya."
"Keparat!" bentak Siang In. "Kuhajar jahanam itu!"
"Nanti dulu Siang In. Bersabarlah," kata Pek Hong, lalu ia
menoleh kepada Miyana yang kini menundukkan mukanya.
"Bibi, mengapa Bibi tidak melaporkan kekurang-ajaran itu
kepada Paman Thio Ki?"
Miyana memandang suaminya yang juga memandang
kepadanya dengan alis berkerut. "Ketika peristiwa itu terjadi,
engkau belum pulang Siang In. Kalau ada engkau, pasti
langsung kuberitahukan kepadamu. Akan tetapi engkau tidak
ada dan aku takut memberitahukan hal itu kepada Ayahmu. Bhe
Liang itu orangnya menyeramkan dan kabarnya dia lihai sekali.
Aku takut kalau kuberitahukan Ayahmu, mereka
berkelahi dan Ayahmu akan celaka di tangannya
" "Terima kasih, Bibi. Sekarang jelaslah sudah. Paman dan Bibi,
dan Siang In, ketahuilah. Aku telah melakukan penyelidikan
kepada Paman Pangeran Cin Boan sekeluarga, akan tetapi tidak
ada tanda-tandanya mereka mendalangi perampokan itu.
Pangeran Cin Boan terlalu baik hati untuk melakukan kekejaman
itu. Bahkan dia tidak ingin menuntut Paman Thio untuk
membayar barang-barangnya yang dirampok. Akan tetapi aku
244 mendapatkan keterangan penting. Ketika Bhe Liang menjadi
pengawal mereka, jahanam itu pun pernah bersikap kurang ajar
kepada isteri Paman Pangeran sehingga dia dipecat dan diusir.
Dan sekarang dia pula yang memberi kabar yang mendalangi
perampokan adalah Pangeran Cin Boan! Jelas bahwa dia
hendak membalas dendam kepada Pangeran Cin Boan karena
pernah memecat dan mengusirnya, dan juga membalas dendam
kepada keluarga ini karena Bibi Miyana pernah memakinya dan
menolak rayuannya. Jadi, mudah diduga siapa kira-kira yang
mendalangi perampokan ini, bukan?"
Siang In bangkit berdiri. "Jahanam, kuhajar dia!"
Pek Hong juga bangkit dan memegang lengan Siang In. "Siang
In, tenanglah, jangan menuruti nafsu amarah. Kalau engkau
emosi lalu membunuhnya, akan sukarlah bagi kita untuk
menemukan kem?bali barang-barang yang dirampok itu. Mari
kita cari dia dan kita paksa dia mengakui perbuatannya dan
memberitahu di mana adanya barang-barang rampokan itu.
Paman, di manakah kami dapat menemukan jahanam itu?"
"Rumahnya tak jauh dari sini. Dia tidak mau tinggal di sini dan
menyewa rumah sendiri, rumah kecil di sebelah kiri dari rumah
ini. Biar pelayan mengantar kalian ke sana."
Dua orang gadis itu lalu pergi menuju rumah sewaan Bhe Liang,
diantarkan seorang pelayan. Setelah tiba di luar rumah itu, Siang
In menyuruh pelayan itu pulang. Lalu mereka berdua
menghampiri pintu depan rumah itu dan mengetuknya.
Daun pintu dibuka dari dalam dan Bhe Liang yang tinggi besar
dan bermata lebar melotot itu muncul di ambang pintu. Dia
245 membelalakkan kedua matanya yang lebar ketika melihat dua
orang gadis cantik jelita berdiri di depannya. Karena pada
dasarnya dia seorang mata keranjang dan dia mengandalkan
ketangguhannya sehingga membuat dia berani, melihat
sepasang gadis cantik jelita itu dia menyeringai lebar sehingga
tampak giginya yang besar-besar menguning.
"Heh-heh, nona-nona manis, kalian mencari aku?" tiba-tiba dari
dalam muncul pula seorang wanita muda yang wajahnya menor,
seperti topeng dibedak dan digincu tebal, dengan lagak genit
berkata. "Orang she Bhe, dengan aku pun engkau belum membayar
sekarang sudah mendatangkan dua orang pelacur lain?"
"Plak-plakk!" Bhe Liang terhuyung ke dalam dan wanita itu
menjerit dan terpelanting roboh. Ia menangis memegangi pipinya
yang bengkak, lalu ia berlari keluar dari pintu sambil menangis.
Sementara itu, Bhe Liang marah bukan main, memandang Siang
In yang tadi menampar dia dan pelacur langganannya. Darah
mengalir dari ujung bibirnya dan sepasang matanya yang lebar
itu kini melotot. Hampir dia tidak percaya ada seorang gadis
berani menamparnya! "Keparat! Berani engkau memukul aku?" bentaknya dan sambil
mengeluarkan gerengan menyeramkan dia mengembangkan
kedua lengannya yang panjang, lalu menerjang Siang In dengan
terkaman karena dia hendak mendekap gadis cantik yang berani
menamparnya itu. "Wirrrr plakk!" Tangan Siang In sudah
246 menyambar dengan cepat sekali, menampar pundak Bhe Liang.
Seperti disambar petir tubuh Bhe Liang terpental dan terputar,
lalu dia jatuh terpelanting.
Bhe Liang merangkak bangkit. Hampir dia tidak dapat percaya.
Dia tadi menyerang akan tetapi tahu-tahu pundaknya seperti
dihantam palu godam yang amat kuat. Rasanya nyeri menyusup
tulang! Bagaimana mungkin ini" Dia adalah seorang laki-laki
perkasa yang sukar dicari tandingannya di kota Kang-cun. Akan
tetapi kini menghadapi seorang gadis muda dia seperti menjadi
seorang anak kecil yang tidak berdaya!
Tentu saja dia menjadi penasaran dan menganggap kejadian
tadi hanya kebetulan saja. Bagaimanapun juga, dia menyadari
bahwa gadis cantik ini bukan seorang yang lemah. Maka setelah
dapat bangkit berdiri, Bhe Liang lalu mencabut golok besarnya,
senjatanya yang amat diandalkan dan yang selama ini
mengangkat namanya sebagai jagoan dengan julukan Si Golok
Besar. Begitu dicabut, dia memutar-mutar golok yang besar,
berat dan mengkilap tajam itu di depan tubuhnya dengan wajah
bengis mengancam. "Perempuan jahanam, kini mampuslah!" Dia membentak dan
tiba-tiba dia menerjang maju, goloknya menyambar ke arah
leher Siang In dengan cepat dan kuat.
Akan tetapi bagi Siang In yang kini telah memiliki ilmu
kepandaian tinggi setelah selama setahun digembleng ayah
kandungnya, gerakan hebat itu tampak lamban dan hanya
merupakan serangan ringan saja. Ia miringkan tubuh ke kiri.
Ketika golok menyambar lehernya ia merendahkan tubuhnya
247 dan golok itu menyambar lewat atas kepalanya. Pada saat itu
kakinya mencuat dan menendang perut Bhe Liang. Tentu saja ia
membatasi tenaganya karena ia tidak ingin membunuh orang itu.
"Wuuuttt ngekk!!" Tubuh Bhe Liang terjengkang
dan sebuah tendangan menyusul, mengenai pergelangan
tangan kanan dan goloknya terlepas dan terlempar.
07.2. Terjebak Tipu daya Perampok
Sekali ini Bhe Liang tidak dapat menahan rasa nyeri dalam
perutnya. Agaknya usus buntunya terkena tendangan, rasanya
mulas dan nyeri bukan main. Dia pun tidak tahan sehingga
mengaduh-aduh sambil memegangi dan menekan-nekan
dengan kedua tangan. Dia bangkit berjongkok dan kini dia
menjadi ketakutan. Sadar sepenuhnya bahwa dia berhadapan
dengan seorang lawan yang sakti dan amat tangguh!
"Aduh aduh Nona, mengapa Nona
menyerangku" Apa kesalahanku kepadamu?" Dia mengeluh.
"Manusia busuk Bhe Liang! Apa yang kauketahui tentang
perampokan terhadap barang-barang Ayahku" Hayo jawab!"
Siang In membentak. Bhe Liang terkejut dan terheran. Ketika dia bekerja pada
perusahaan Thio Ki, Siang In tidak berada di rumah. Dia sudah
mendengar bahwa Thio Ki mempunyai seorang anak perempuan
yang lihai, akan tetapi dia tidak percaya dan menertawakan.
Selihai-lihainya, apa sih yang dapat dilakukan seorang gadis"
Dan kini gadis yang amat tangguh ini, yang dapat merobohkan
248 dia yang memegang goloknya hanya dalam satu gebrakan, tadi
menyebut Thio Ki sebagai Ayah!
"Nona Nona siapakah?"
Kini Pek Hong Niocu yang menjawab setelah tertawa mengejek.
"He-he-he, cacing lumpur! Buka matamu lebar-lebar, juga
telingamu! Gadis ini adalah puteri Paman Thio Ki yang bernama
Thio Siang In dan berjuluk Ang Hwa Sian-li. Nah, cepat
menjawab pertanyaannya tadi. Apa yang kau ketahui tentang
perampokan terhadap barang-barang Paman Thio Ki?"
"Saya saya tidak tahu apa-apa " Bhe Liang yang sekarang
mati kutu dan kehilangan kegarangannya itu berkata dengan
muka masih menyeringai menahan rasa mulas di perutnya.
"Dengar, Cacing!" bentak Pek Hong Niocu. "Engkau mendendam
kepada Pangeran Cin Boan karena dipecat dan diusir! Kemudian
engkau mendendam kepada Paman Thio Ki karena engkau
menggoda isterinya akan tetapi engkau ditolak dan dimaki-maki!
Maka, lalu mengatur perampokan itu, bukan?"
"Tidak ! Tidak !" kata, Bhe Liang, akan tetapi
mukanya menjadi pucat dan tubuhnya yang tinggi besar itu
menggigil. "Hayo mengaku, di mana barang-barang rampokan itu?" Pek
Hong membentak. Bhe Liang menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Saya saya tidak

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu saya tidak tahu " 249 "Pek Hong, bangsat seperti ini sebaiknya dicokel kedua matanya
agar jangan berbohong!" Siang In berkata, sengaja untuk
mengancam pengawal Ayahnya itu.
Tentu saja Bhe Liang menjadi ketakutan mendengar ancaman
ini. "Ampun, Nona ampun, saya tidak bersalah
saya tidak tahu !" Pek Hong Niocu menggerakkan jari tangan kanannya dua kali,
cepat sekali. "Tuk! Tuk!" Jari tangan itu telah menotok kedua pundak Bhe
Liang, di kanan kiri leher.
"Aduhh ! Ahhh, ampun aduuuhhh !" Tubuh Bhe Liang bergulingan di atas lantai. Kedua tangannya menekan
seluruh tubuhnya yang terasa nyeri semua, seperti ditusuk-tusuk
jarum. Kakinya, lengannya, perutnya, dadanya, bahkan
kepalanya. Dia mengaduh-aduh, bergulingan, bangkit dan rebah
kembali, mulutnya minta-minta ampun, seluruh tubuh menggigil
saking nyerinya, kiut-miut rasanya seluruh tubuh, terutama
kepalanya yang rasanya hendak pecah. Keringat dingin sebesar
kedele memenuhi muka dan lehernya dan wajahnya menjadi
pucat sekali. Dia menggigit bibirnya yang sudah berdarah sambil
mendengus-dengus dan merintih-rintih, napasnya terengahengah.
"Kalau engkau tidak mau mengaku, kami akan membiarkan
engkau tersiksa begini sampai mampus!"
250 "Aduh ampun, Nona lagi ampun, saya tidak berani !" Siang In melihat sebuah arca singa di sudut ruangan itu, arca
sebesar kepala orang. Diambilnya arca itu dan dibawanya ke
depan Bhe Liang. "Lihat, engkau masih belum mau mengaku?" Gadis itu lalu
menampar arca yang berada di atas telapak
tangan kirinya "Pyarrr !" Arca itu pecah dan kedua tangannya
mengambil beberapa pecahan arca lalu sekali meremas,
pecahlah batu itu hancur menjadi tepung! Bhe Liang terbelalak
melihat ini. Wajahnya pucat sekali.
"Jawab, mau tidak engkau mengaku!" bentak Siang In.
"Mau mau......ampunkansaya
" Pek Hong menepuk kedua pundaknya dan rasa nyeri itu pun tak
terasa lagi oleh Bhe Liang. Dia jatuh terduduk dan menggunakan
kedua tangannya untuk mengelus pundaknya. Kedua matanya
masih basah karena tadi tanpa terasa dia menangis saking
nyerinya. Dia menghela napas berulang-ulang.
"Duduk dan ceritakan semua!" bentak Siang In.
Bhe Liang benar-benar mati kutu karena kini dia tahu bahwa dua
orang gadis yang wajahnya serupa ini keduanya ternyata
memiliki kesaktian hebat. Dia bangkit dan duduk di atas sebuah
251 kursi, dihadapi dua orang gadis yang berdiri dengan sinar mata
mencorong. "Saya saya memang merasa sakit hati kepada
Pangeran Cin Boan karena saya dipecat dan diusir. Juga
saya merasa sakit hati kepada Thio-twako karena karena
" "Hayo bicara terus terang!" Siang In membentak lagi.
"Karena isterinya menghina dan memaki saya
" "Engkau berani menggoda Ibuku" Kamu anjing babi, wajahmu
buruk seperti monyet hatimu seperti iblis begini berani
menggoda Ibuku" Kau layak mampus!" Siang In yang marah
sekali mengayun tangan memukul kepala Bhe Liang, akan tetapi
Pek Hong cepat menangkap lengannya.
"Siang In, ingat, kita masih membutuhkan monyet ini."
Siang In teringat, lalu membentak Bhe Liang yang sudah begitu
ketakutan sehingga tubuhnya menggigil lagi seperti kedinginan.
"Hayo lanjutkan keteranganmu. Awas, kalau berani berbohong,
kucokel keluar matamu!"
"Baik, Nona. Ampunkan saya. Ketika Thio-twako sendiri
mengawal barang-barang berharga, apalagi di situ terdapat
titipan barang Pangeran Cin Boan, saya lalu
menghubungi teman-teman saya dan
dan mereka melakukan pengha?dangan dan perampokan itu
" 252 "Hemm, siapa pemimpin perampokan itu?"
"Seorang pemuda yang baru saya kenal melalui teman-teman,
namanya Kui Tung." "Di mana barang-barang itu?" tanya Siang In.
"Sekarang disembunyikan di kuil tua yang kosong, di kaki bukit
di luar kota ini. Sengaja dibawa ke dekat kota ini agar jangan
ada yang menduga." "Kuil tua di kaki bukit sebelah utara kota itu?" tanya Siang In.
"Betul, Nona." "Hayo antar kami ke sana! Sekarang juga!" bentak Pek Hong.
Bhe Liang yang sudah ketakutan itu tidak berani membantah.
Dia bangkit berdiri dan diikuti oleh dua orang dara perkasa itu,
dia berjalan keluar kota melalui pintu gerbang utara. Mereka
bertiga berjalan cepat ke arah bukit kecil yang tak jauh dari situ.
Bukit ini sunyi karena tidak berada di tepi jalan raya. Setelah
dekat, sudah tampak sebuah bangunan kuil yang sudah tua dan
tak terpakai lagi. Setelah mereka tiba di depan kuil, tiba-tiba, pada saat dua orang
tadi mencurahkan perhatian pada kuil tua, Bhe Liang melompat
ke depan dan berlari ke arah kuil sambil
berteriak, "Kawan-kawan, awas! Musuh datang !"
"Tikus busuk!" Siang In memaki dan sekali tangan kirinya
bergerak mendorong ke arah orang yang melarikan diri itu, tubuh
253 Bhe Liang terguling dan dia tidak mampu bergerak lagi. Tewas!
Pukulan jarak jauh Siang In itu memang dahsyat bukan main
dan ini membuktikan betapa kini Siang In telah memiliki tenaga
sakti yang amat kuat. Dua orang gadis itu lalu melompat dengan ringan memasuki kuil
yang bagian depannya terbuka itu. Kuil itu sudah tua dan
dindingnya sudah banyak yang runtuh. Akan tetapi masih bersih
dan pintunya yang menuju ke bagian dalam masih berkosen
kokoh walaupun tidak berdaun lagi. Dari bagian depan yang
dulunya menjadi ruangan sembahyang, tampak bagian dalam
melalui lubang pintu menganga itu. Bagian dalam itu pun tampak
bersih namun sunyi, tidak tam-pak seorang pun manusia!
"Hemm, tidak ada orangnya. Mungkin tikus itu telah
membohongi kita dan barang-barangnya tidak disimpan di sini."
"Hemm, kukira dia tidak akan berani. Pasti di sini bersembunyi
teman-temannya maka dia berani membawa kita ke sini dan
teriakannya tadi merupakan peringatan bagi teman-temannya
agar membantunya dan menyerang kita. Akan tetapi heran,
mengapa mereka tidak muncul?"
"Mari kita periksa ke dalam, Pek Hong."
"Mari, akan tetapi kita harus waspada dan hati-hati terhadap
serangan gelap. Tempat ini terpencil, memang pantas untuk
dijadikan tempat persembunyian para penjahat."
Dengan tenang namun waspada, dua orang gadis itu memasuki
ruangan dalam melalui lubang pintu tanpa daun itu. Ruangan
254 sebelah dalam itu luas dan bersih dan di sudut sana barulah
tampak tumpukan peti yang cukup banyak.
"Hemm, benar juga. Barang-barang itu disembunyikan di sini!"
kata Siang In girang. Mereka cepat menghampiri tumpukan peti itu dan mulai
memeriksa dengan membuka tutup peti. Ketika mereka
membuka tutup dua buah peti dan melihat bahwa peti itu
memang berisi barang-barang dagangan berupa kain-kain, tibatiba terdengar suara hiruk pikuk di belakang mereka. Mereka
cepat membalikkan tubuh dan tampak debu mengepul dan suara
tadi adalah turunnya sehelai daun pintu baja dari atas, menutup
lubang pintu yang menyambung ruangan itu dengan ruangan
depan tadi! Mereka terjebak!
Kiranya kuil tua kosong itu kini dijadikan sarang penjahat yang
memasang pintu rahasia. Akan tetapi tentu saja dua orang dara
perkasa itu tidak merasa gentar dan mereka menutupkan
kembali dua peti itu dan bersikap menanti dengan waspada.
Tiba-tiba dua benda melayang masuk ke dalam ruangan itu.
Terdengar ledakan dan asap putih tebal mengepul memenuhi
ruangan itu! Bau yang keras menyengat memenuhi ruangan
yang penuh asap itu. Perlahan-lahan asap membubung dan
keluar dari ruangan melalui atap. Saking tebalnya asap, orang
tak dapat melihat keadaan ruangan itu dan kalau ada orang di
luar kuil melihat asap tebal membubung keluar dari atas kuil,
tentu akan mengira bahwa di situ terjadi kebakaran.
Banyak orang berkumpul di ruangan depan dan ruangan
belakang, dan mereka itu siap dengan senjata di tangan,
255 menghadang kalau-kalau dua orang gadis itu dapat lolos melalui
ruang belakang atau depan. Akan tetapi tidak ada gerakan apa
pun di dalam ruangan tengah yang dilempari bahan peledak
yang mengandung pembius kuat yang membuat orang pingsan
itu. Mereka adalah gerombolan perampok yang diceritakan Bhe
Liang sebagai teman-temannya kepada dua orang gadis itu.
Setelah asap meninggalkan ruangan itu melalui atap, mereka
mengintai ke dalam dan bersorak melihat betapa dua orang
gadis itu telah roboh, menelungkup di atas lantai ruangan itu,
pingsan! "Dua ekor ikan itu sudah terjaring!" "Mereka sudah roboh
pingsan!" "Aduh, cantik-cantik bukan main!"
Ketika mereka membuka pintu yang menembus ruangan depan
dan ruangan belakang lalu memasuki ruangan itu, menghampiri
dua orang gadis yang menggeletak pingsan, tiba-tiba terdengar
suara nyaring penuh wibawa yang menggetarkan.
"Kalian mundur semua! Siapa berani menyentuh tubuh dua
orang gadis itu, akan kusiksa sampai mati. Mereka itu milikku!
Hayo kalian keluar semua dan jaga di luar kuil. Jangan ada yang
berani masuk kalau tidak kupanggil!"
Suara orang itu sungguh memiliki wibawa yang amat kuat.
Gerombolan itu sedikitnya ada tigapuluh orang dan mereka itu
rata-rata bertubuh kekar dan berwajah bengis dengan sinar mata
kejam. Akan tetapi begitu mendengar suara itu, mereka tiba-tiba
berhenti bergerak dan wajah mereka dicekam ketakutan, lalu
mereka keluar dari ruangan itu sambil menundukkan muka,
seperti gerombolan anak-anak yang takut kepada ayah atau
256 guru yang galak dan yang menegur mereka karena perbuatan
mereka yang salah. Sebentar saja ruangan itu telah ditinggalkan semua anggauta
gerombolan yang kini tinggal di luar kuil. Ada yang duduk-duduk
di depan kuil, ada pula yang melakukan penjagaan di belakang
kuil di mana terdapat sebuah kereta kosong dan beberapa ekor
kuda, dan ada pula yang berjaga di kanan kiri kuil. Kuil itu telah
dikepung penjagaan mereka. Ruangan di mana dua orang gadis
itu rebah menelungkup kini sudah bersih dari asap putih.
Seorang laki-laki memasuki ruangan itu dari pintu yang
menembus ruangan belakang. Dia seorang pemuda yang
usianya sekitar duapuluh tujuh tahun. Tu-buhnya jangkung
kurus, langkahnya dibuat gagah dengan dada dibusungkan.
Akan tetapi karena tubuhnya memang kerempeng maka lagak
gagah itu malah tampak lucu. Wajahnya sebetulnya tampan
juga, akan tetapi karena bentuk muka?nya agak panjang ke
depan seperti muka seekor kuda, maka ketampanannya juga
lucu. Sepasang matanya sipit dengan sinar mata mencorong,
bola matanya bergerak liar ke kanan kiri. Hidungnya mancung
dihias kumis tipis. Mulutnya cemberut seperti orang marah. Yang
aneh adalah pakaiannya. Pakaian itu ringkas dan bentuknya seperti pakaian yang biasa
dipakai pendekar silat, akan tetapi pakaian itu terbuat dari kain
yang ditambal-tambal, padahal kainnya bersih dan tampak baru!
Jelas bahwa tambal-tambal itu bukan dilakukan karena
pakaiannya sudah robek, melainkan pakaian baru yang sengaja,
ditambal-tambal dengan kain yang kembang dan warnanya
berlainan sehingga tampak ramai dan aneh.
257 Di punggungnya terselip sebatang tongkat hitam. Biarpun
pakaiannya bermodel pakaian pengemis, namun orang ini
pesolek sekali. Rambutnya mengkilat karena diminyaki, digelung
ke atas dan diikat dengan pita sutera merah. Seuntai kalung
emas tergantung di lehernya. Sepatu botnya dari kulit hitam
mengkilat dan baru. Pendeknya, dia tampak seperti seorang
pengemis aneh yang pesolek dan sama sekali tidak
mencerminkan kemiskinan. Pemuda aneh ini memasuki ruangan lalu berdiri memandang
kepada dua orang gadis yang rebah menelungkup. Lalu dia
bicara lirih seperti berbisik.
"Bukan main! Tubuh dua orang gadis yang denok, ramping dan
padat, seperti dua kuntum bunga yang sedang mekar!" Dia
memandang kagum kepada tubuh belakang dua orang gadis itu
yang memang denok dan indah. Tubuh dua orang gadis yang
sedang dewasa dan karena sejak kecil selalu berlatih olah raga
silat, maka tentu saja bentuk tubuh itu indah dan padat.
Akan tetapi agaknya pemuda ini hendak memperlihatkan bahwa
dia bukan orang yang mudah terpikat tubuh wanita indah, maka
dia menghampiri dan membungkuk lalu mendorong tubuh Pek
Hong dan Siang In sehingga kini tubuh mereka telentang dan
tampak jelas tubuh bagian depan yang lebih indah lagi, dan
wajah mereka yang cantik jelita dan sama. Kini sepasang mata
yang sipit itu dibelalakkan, walaupun tetap saja sipit.
"Amboi ! Mimpi apa aku semalam" Belum pernah


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selama hidupku melihat dua orang gadis yang begini
258 cantik jelita dan sama pula! Kui Tung
, sekali ini engkau memang beruntung bukan main!"
Akan tetapi sebelum dia melakukan sesuatu yang sudah pasti
amat keji, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu
di situ sudah berdiri seorang pemuda! Masuknya pemuda ke
dalam ruangan itu sungguh mengejutkan hati pe-muda muka
kuda bernama Kui Tung itu dan dia cepat melompat ke
belakang. Mereka saling berhadapan, saling pandang dengan
sinar mata mencorong dan penuh selidik.
Pemuda yang baru muncul ini berusia duapuluh tiga tahun,
bertubuh sedang dan tegap. Wajahnya bulat dengan kulit putih.
Alis matanya hitam tebal berbentuk golok, hidungnya mancung
dan mulutnya selalu tersenyum sinis. Matanya mencorong aneh.
Rambutnya dikucir dan pakaiannya mewah.
Kui Tung merasa heran sekali. Dia tahu bahwa kuil itu sudah
dikepung dengan ketat dan dijaga anak buahnya yang
jumlahnya lebih dari tigapuluh orang. Akan tetapi bagaimana
mungkin orang ini masuk ke ruangan itu tanpa diketahui anak
buahnya" Akan tetapi kemarahannya lebih besar dari
keheranannya. Dia marah karena merasa terganggu sekali.
Maka, menurutkan wataknya yang selalu mengagulkan diri
sendiri dan memandang rendah orang lain, tanpa bertanya lagi
dia lalu menerjang maju dengan pukulan kuat yang mengandung
sin-kang (tenaga sakti) yang dahsyat.
Namun dengan tidak kalah cepatnya pemuda tampan itu
bergerak, mengelak dan cepat membalas dengan serangan
tamparan ke arah kepala Kui Tung. Si Muka Kuda ini terkejut
259 bukan main karena gerakan lawan sungguh aneh dan hebat. Dia
dapat merasakan sambaran angin pukulan dahsyat itu, maka
cepat dia melompat ke samping sambil mencabut tongkat hitam
yang terselip di pungungnya! Kemudian dia mainkan tongkat itu
seperti orang bermain pedang dan tongkat itu sudah berubah
menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dahsyat!
Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat lawan itu dapat
menghindarkan diri dari semua serangannya. Tongkatnya itu
sebetulnya merupakan pedang yang disembunyikan dalam
tongkat bambu agar lebih tepat dibawa seorang berpakaian
pengemis. Dia memainkan ilmu pedang simpanannya, namun
hebatnya, pemuda itu seolah mengenal baik semua gerakannya
sehingga dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Kui
Tung mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu silatnya. Ilmu
silatnya adalah ciptaan gurunya sendiri, bukan merupakan ilmu
dari aliran yang mungkin dipelajari banyak orang. Akan tetapi
alangkah herannya ketika lawannya itu mampu menghindarkan
diri dan bahkan ketika lawannya itu membalas dengan
serangan?serangan yang dahsyat, dia mengenal bahwa
lawannya juga menggunakan ilmu yang sama!
"Hei ! Ini ini ilmuku !" Kui Tung berseru.
Pada saat itu, sebuah tendangan dari lawannya menyambar.
Sebetulnya Kui Tung mengenal jurus tendangan ini karena sama
dengan ilmu yang selama puluhan tahun dia pelajari, akan tetapi
datangnya tendangan itu demikian cepatnya sehingga perutnya
terkena tendangan. Cepat dia melindungi perutnya dengan
tenaga saktinya. 260 "Wuuutt bukkk!!" Biarpun perutnya sudah
terlindung tenaga sakti dan tidak terluka, namun tenaga
tendangan yang kuat itu membuat tubuhnya terlempar menabrak
dinding ruangan itu sehingga jebol. Biarpun tidak terluka, namun
tetap saja Kui Tung merasa kepalanya agak pening. Cepat dia
bangkit dan memandang pemuda tampan itu dengan terheranheran.
"Siapakah engkau" Mengapa engkau mengenal ilmu silatku?"
Pemuda itu tersenyum lebar dan pandang matanya mengejek.
"Hemm, engkau tentu murid Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui
Lin, betulkah?" "Engkau mengenal Suhu" Memang benar, aku murid Suhu Lamkai Gui Lin, namaku Kui Tung. Engkau siapakah?"
"Namaku Can Kok."
07.3. Kelihayan Murid Empat Datuk Besar
"Ah, aku pernah mendengar tentang dirimu! Bukankah engkau
yang menjadi murid Empat Datuk Besar. Lam-kai Gui Lin adalah
seorang di antara Empat Datuk Besar. Pantas engkau
menguasai ilmu yang kupelajari darinya! Kalau begitu, di antara
kita masih ada hubungan seperguruan! Biarpun ilmu
kepandaianmu lebih tinggi daripada aku, namun karena aku
lebih dulu menjadi murid Lam-kai, dan usiaku juga lebih tua
daripada usiamu, maka aku adalah suhengmu dan engkau
adalah Suteku." 261 "Huh, engkau bukan Suhengku (Kakak seperguruanku)! Kalau
aku tadi tidak mengenal ilmu silatmu, tentu sekarang engkau
telah menjadi mayat! Kui Tung, kalau engkau ingin berteman
dengan aku, engkau harus menyebut aku Tai-hiap (Pendekar
Besar), karena aku adalah Bu-tek Tai-hiap Can Kok (Pendekar
Besar Tanpa Tanding Can Kok)! Kalau engkau tidak mau, pergi
dari sini sebelum kubunuh!"
Kui Tung merasa penasaran sekali. Pemuda ini begitu
sombongnya! Akan tetapi Kui Tung adalah seorang yang cerdik.
Dia tahu betul bahwa Can Kok adalah seorang yang Iihai bukan
main, bahkan menurut cerita gurunya yang baru-baru ini dia
jumpai, murid Empat Datuk Besar ini tingkat kepandaiannya
bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Empat Datuk
Besar! Juga gurunya bercerita bahwa Can Kok kini menjadi
orang sakti yang jalan pikirannya aneh karena otaknya guncang
akibat penyatuan empat macam aliran tenaga dalam yang
digabungkan. Orang begini lihai sebaiknya kalau dijadikan
kawan, bukan lawan! "Ah, baiklah, Can-taihiap (Pendekar Besar Can)! Lihat, aku telah
dapat menangkap dua orang bidadari yang cantik molek.
Engkau boleh memiliki seorang dari mereka!" Untuk mengambil
hati kawan baru ini, Kui Tung menunjuk ke arah tubuh dua orang
gadis yang masih menggeletak telentang di atas lantai ruangan
itu. Can Kok menyapu kedua tubuh gadis itu dengan pandang
matanya yang aneh. "Mereka ini mengapa?"
262 "Mereka adalah dua orang gadis yang lihai sekali dan mereka
datang untuk merampas kembali barang-barang yang kami rebut
dari tangan Pedagang Thio Ki dari kota Kang-cun, dan sebagian
adalah barang-barang berharga milik Pangeran Cin Boan yang
menjadi pembesar tinggi di kota itu. Dan selain engkau boleh
memilih seorang di antara mereka berdua, engkau juga boleh
memilih di antara barang rampasan ini, mana yang kau sukai,
ambillah." Can Kok tersenyum mengejek. "Kui Tung, engkau memang tolol!
Kalau aku menghendaki sesuatu, wanita atau benda apa saja,
tidak perlu ditawarkan akan kuambil sendiri. Siapa yang berani
melarang aku berbuat sesukaku" Dan ketololanmu yang kedua,
Kui Tung, engkau menganggap dua orang gadis ini sudah tidak
berdaya. Begitukah" Heh-heh-heh!"
"Apa maksudmu, Can-taihiap" Dua orang gadis ini memang
sudah tidak berdaya, sedikitnya selama seperempat hari mereka
akan tinggal pingsan karena mereka telah terbius oleh asap
pembius kami yang amat manjur," kata Kui Tung.
"Inilah yang membuktikan ketololanmu! Aku sama sekali tidak
melihat mereka berdua itu terbius atau pingsan! Sejak tadipun
mereka itu tidak apa-apa. Engkau telah terkena tipu mereka, Kui
Tung!" "Ah, benarkah itu, Taihiap?" Kui Tung membelalakkan kedua
matanya. "Tidak percaya, perhatikan ini!" Can Kok menendang sebuah
kursi dan benda itu melayang cepat ke arah tubuh dua orang
gadis yang rebah telentang itu.
263 "Wuuttt krekkk!" Kursi itu hancur berkeping-keping
ketika Siang In, yang rebah terdekat, tiba-tiba melompat bangkit
dan sekali tangan kirinya bergerak menghantam, kursi itu pun
hancur berantakan! Pek Hong juga sudah melompat bangkit dan
berdiri di samping Siang In. Mereka berdua tersenyum
mengejek. Kedua orang dara perkasa ini memang sama sekali tidak
pingsan! Ketika terjadi ledakan dan asap putih tebal memenuhi
ruangan, mereka berdua cepat bertiarap. Kedua gadis ini adalah
gadis-gadis yang sudah banyak pengalaman menghadapi
penjahat-penjahat dan mereka berdua tahu akan bahayanya
asap beracun itu. Mereka tahu bagaimana cara mengatasinya.
Bisa saja mereka menerjang keluar untuk menghindarkan diri
dari serangan asap pembius itu. Akan tetapi mereka ingin
melihat kemunculan para penjahat yang telah merampok harta
benda Thio Ki dan Pangeran Cin Boan, ingin tahu siapa yang
menjadi pemimpin. Kalau menerjang keluar, besar kemungkinan pimpinan
gerombolan akan melarikan diri. Maka mereka cepat
merebahkan diri menelungkup. Mereka tahu bahwa asap pasti
akan membubung ke atas sehingga tidak akan tersedot oleh
mereka karena mereka menelungkup dan hidung mereka berada
di bawah menempel pada lantai. Biarpun begitu, mereka
menahan napas dan meniup dari mulut mereka untuk mengusir
kalau-kalau ada asap mendekat. Sebagai seorang yang sudah
mahir olah pernapasan, tentu saja dua orarg gadis ini mampu
menahan napas jauh lebih lama daripada orang biasa. Setelah
asap menghilang dan ketika gerombolan itu menyerbu masuk,
264 mereka sudah hendak bergerak menyambut. Akan tetapi tibatiba terdengar suara Kui Tung melarang dan para anak buah
gerombolan itu keluar dari ruangan. Mereka menanti, hendak
melihat siapa pemimpin mereka.
Ketika Kui Tung masuk dan membalikkan tubuh mereka
sehingga telentang, mereka masih pura-pura pingsan, walaupun
tangan mereka sudah gatal-gatal untuk turun tangan membekuk
pimpinan gerombolan itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul pemuda
tampan bernama Can Kok itu. Mereka berdua menonton
perkelahian itu dan diam-diam terkejut. Orang yang bernama Kui
Tung dengan tongkatnya itu sudah hebat sekali kepandaiannya,
namun yang datang belakangan, yang mengaku bernama Can
Kok, ternyata lebih lihai lagi!
Tahulah mereka bahwa mereka menghadapi orang orang yang
tangguh. Apalagi ketika mereka melihat kedua orang pemuda itu
kini berteman, berarti mereka harus menghadapi dua orang
pemuda lihai itu. Mereka juga terkejut ketika mereka menyebut
nama Lam-kai dan Empat Datuk Besar. Lebih kaget lagi ketika
ternyata Can Kok mengetahui bahwa mereka hanya pura-pura
pingsan dan menendang kursi untuk memaksa mereka bangkit!
Kini Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li berdiri tegak
berhadapan dengan dua orang pemuda itu. Mereka berempat
saling beradu pandang mata, seolah hendak mengukur kekuatan
lawan melalui pandang mata mereka. Dua orang dara perkasa
itu melihat betapa pandang mata pemuda yang bernama Can
Kok itu luar biasa sekali. Mencorong seperti mata kucing dalam
kegelapan, namun bergerak-gerak aneh dan menyeramkan,
tidak wajar dan seperti mata orang yang miring otaknya.
265 Sementara itu, Can Kok juga memperhatikan mereka berdua
dan dia merasa heran dan kagum. "Bukan main!" katanya sambil
tersenyum sehingga wajah yang tampan itu, kalau saja sinar
matanya tidak begitu aneh menyeramkan, tampak menarik.
"Bagaimana mungkin ada dua orang wanita yang begini sama
kecuali kalau mereka kembar! Hei, Nona berdua, kalian tadi
sudah mendengar nama kami. Kui Tung ini adalah murid Lamkai Gui Lin, datuk besar selatan. Dan aku Can Kok adalah
seorang yang telah menguasai semua ilmu dari Empat Datuk
Besar! Nah, sekarang katakan, siapa nama kalian?"
Biarpun wataknya aneh dan dia pun terpesona oleh kecantikan
dua orang gadis itu, namun dia tetap bersikap "sopan" dan
lembut, tidak memuji kecantikan secara kasar seperti para pria
yang ugal-ugalan. Pek Hong Niocu yang tahu bahwa dua orang calon lawannya ini
memang lihai, ingin pula menggertak mereka yang sudah
memamerkan nama guru-guru mereka yang terkenal di dunia
kang-ouw. Ia tersenyum mengejek dan pandang matanya
berkilat. "Hemm, kalian murid-murid datuk sesat. Pantas kalian sebagai
murid mereka juga menjadi penjahat-penjahat busuk! Kalian
ingin tahu nama kami" Terlalu bersih nama kami untuk
diperkenalkan ke?pada manusia-manusia busuk macam kalian.
Ketahuilah saja bahwa aku dikenal sebagai Pek Hong Niocu dan
ini adalah Ang Hwa Sian-li. Kami berdua adalah murid-murid
Yok-sian Tiong Lee Cin-jin!"
266 Kui Tung yang sudah mendengar ju?lukan dua orang gadis itu
yang memang amat terkenal, terkejut bukan main. Apalagi
mendengar mereka murid Tiong Lee Cin?jin. Mukanya menjadi
pucat dan jantungnya berdebar tegang.
"Tai-hiap, Pek Hong Niocu ini adalah puteri Kaisar Kin!" bisiknya
gentar kepada Can Kok. Akan tetapi ketika Can Kok mendengar bahwa yang berdiri di
depannya ini adalah dua orang murid Tiong Lee Cin-jin, tiba-tiba
dia tertawa bergelak. Dia digembleng oleh Empat Datuk Besar
untuk mewakili mereka membunuh Tiong Lee Cin-jin dan kini,
dua orang murid musuh besar itu berada di depannya! Dia
tertawa, akan tetapi bukan sembarang tawa karena dia
mengerahkan sin-kang dalam tawanya itu dan dia menyerang
dengan suara seperti yang diajarkan oleh See-ong Hui Kong
Hosiang. Dalam suara tawa itu terkandung hawa sakti
bercampur kekuatan sihir yang memaksa orang yang
mendengarnya tak dapat bertahan untuk tidak ikut terbawa,
terseret pula ke dalam tawa. Getaran yang terkandung dalam
tawa Can Kok itu datang bergelombang, atau seperti angin
topan yang amat kuat! Yang segera terpengaruh adalah Kui Tung. Walaupun murid
Lam-kai ini juga seorang yang lihai dan dia memiliki sin-kang
kuat yang sudah cepat dia kerahkan, namun tetap saja dia tidak
mampu bertahan. Pertahanannya seolah bobol dan dia pun
segera

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa?tawa, bahkan lebih terbahak-bahak dibandingkan tawa Can Kok. Dia tertawa sampai terbongkokbongkok menekan perutnya dan air matanya bercucuran!
267 Pek Hong dan Siang In, sebagai murid Tiong Lee Cin-jin yang
dikenal sebagai manusia setengah dewa, tidak menjadi gentar
atau gugup menghadapi serangan suara tawa yang dahsyat
kekuatannya itu. Mereka berdua segera menggunakan ilmu yang
disebut Tho-hun (Sukma Tanah), yang sifatnya membiarkan diri
menerima tanpa melawan seperti tanah, namun yang
melarutkan segala yang menerjangnya. Mereka berdua
menghadapi angin topan seolah bersikap seperti rumput, lentur,
lemas dan rendah sehingga biarpun tergoyang namun sama
sekali tidak dapat dirusak. Tubuh mereka bergoyang?goyang
perlahan seperti menari, mata terpejam dan getaran dahsyat
suara tawa itu lewat begitu saja.
Dalam puncak pertahanannya, Pek Hong bahkan dapat
berkelakar dengan Siang In dan berkata, "Lihat, dia tertawa-tawa
seperti orang gila!"
Siang In menjawab. "Memang otaknya miring!"
Mendengar ejekan ini, Can Kok menjadi marah sekali. Mukanya
berubah merah dan dia menghentikan tawanya. Untung dia
menghentikannya karena keadaan Kui Tung sudah payah.
Tubuhnya lemas karena tertawa terbahak-bahak tak dapat
ditahan, air matanya bercucuran dan napasnya mulai memburu.
Kalau dibiarkan terus, tentu dari lubang telinga, hidung, mata
dan mulutnya akan keluar darah dan kalau sudah terlalu parah,
nyawanya tidak akan tertolong lagi! Dia lalu duduk bersila untuk
memulihkan tenaga dalamnya yang tadi dia kerahkan untuk
melawan pengaruh suara dahsyat itu.
268 "Hei, orang she Can yang berotak miring. Engkau dapat tertawa,
mengapa engkau sekarang tidak menangis?" Siang In
mengejek. "Hemm, gadis-gadis sombong. Sebelum mati, berdoalah dulu
kepada arwah nenek moyangmu karena kalian akan mati di
tanganku!" Mendadak Kui Tung berkata, "Can-taihiap, sayang kalau
dibunuh langsung. Bunga-bunga harum seperti ini, sebaiknya
dinikmati dulu baru dibunuh!"
"Hemm, otakmu hanya penuh gairah yang membuat engkau
lemah, Kui Tung. Akan tetapi akan kupertimbangkan usulmu itu!"
Siang In sudah marah sekali, akan tetapi Pek Hong menahan
kesabarannya dan ia ingin sekali mengetahui mengapa muridmurid Lam-kai dan Empat Datuk Besar memusuhi dan bahkan
hendak membunuh ia dan Siang In.
"Heh, monyet babi tikus kecoa cacing busuk!" ia memaki untuk
memanaskan hati orang agar merasa terhina dan mau mengaku
apa yang menyebabkan Can Kok memusuhinya. "Dalam mimpi
pun belum pernah aku dan Saudaraku ini bertemu dengan
kamu. Mengapa kamu gila-gilaan ingin membunuh kami?"
Sepasang mata Can Kok seperti memancarkan kilat saking
panas hatinya mendengar penghinaan itu. "Mau tahu mengapa"
Baik, akan kuberi tahu agar kalian tidak mati penasaran. Aku
mewakili Empat Datuk Besar untuk membunuh Tiong Lee Cinjin. Dia sudah kuanggap sebagai musuh besarku satu-satunya di
269 dunia dan karena kalian adalah murid-muridnya, maka tentu saja
kalian juga hendak kubunuh!"
Siang In tertawa, diikuti Pek Hong. Mereka tertawa bebas seperti
kebiasaan para wanita dalam dunia persilatan, bebas dan tidak
malu-malu, namun mereka masih mengingat akan kesopanan
maka mereka menggunakan tangan untuk menutupi mulut
mereka yang tertawa. Mereka merasa geli seolah mendengar
lawakan badut. "Heh-he-he-heh! Kunyuk (monyet) kecil macam kau ini hendak
membunuh Yok-sian Tiong Lee Cin-jin" He-he-he! Melawan
kami pun kamu tidak akan menang, bahkan kami yang akan
membasmi dan mengirim kembali ke neraka jahanam dari mana
kamu berasal!" "Perempuan sombong!" Can Kok berteriak, matanya liar dan
menyeramkan, seperti mata singa marah. Dia mengerahkan
tenaga gabungan Empat Datuk Besar dan menekuk kedua lutut
lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah dua orang
gadis itu. "Mampuslah kalian! Hyaaaaattt
!!!" Pek Hong dan Siang In maklum akan kedahsyatan tenaga
lawan. Mereka sudah saling mengerti, seolah ada suatu
hubungan batin yang amat erat sehingga secara otomatis
tangan kiri Pek Hong bertemu dengan tangan kanan Siang In,
lima buah jari tangan mereka saling cengkeram sehingga dua
tenaga sakti mereka bertemu dan bergabung, lalu tangan kanan
Pek Hong dan tangan kiri Siang In didorongkan dengan telapak
270 tangan terbuka ke depan, menyambut pukulan jarak jauh yang
dilontarkan dengan marah.
"Syuuuuttt blaarr !" Pek Hong dan Siang In
terpaksa mundur tiga langkah saking hebatnya tenaga serangan
Can Kok. Akan tetapi Can Kok juga terhuyung ke belakang.
Bukan main dahsyatnya tenaga Can Kok
249 sehingga tenaga dua orang gadis gemblengan Tiong Lee Cin-jin
yang digabungkan itu hanya lebih kuat sedikit.
Can Kok mengeluarkan suara tawa menyeramkan yang
terdengar seperti suara tangis mengguguk. Ini merupakan tanda
bahwa Can Kok sedang dilanda kemarahan hebat! Dia meraba
punggungnya dan tampak sinar berkelebat menyilaukan mata
ketika pedang Giam?ong-kiam (Pedang Raja Maut) yang
sinarnya kemerahan telah tercabut.
"Huh, belum lecet kulitnya sudah mengeluarkan senjata!" Pek
Hong mengejek dan ketika dua tangannya bergerak, tangan
kirinya sudah melolos sabuk sutera merah dan tangan kanannya
memegang sebatang pedang bengkok bersinar emas.
"Siapa bilang dia orang gagah dan bukan pengecut?" kata pula
Siang In me-ngejek dan ia pun sudah mencabut sepasang
pedangnya yang bersinar kehitaman karena siang-kiam
(sepasang pedang) ini beracun dan bernama Toat-beng Siangkiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa)!
271 Melihat dua orang gadis itu sudah mencabut senjata mereka,
Can Kok lalu mengeluarkan suara mengaum seperti singa. Itulah
ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dia pelajari dari Tungsai (Singa Timur) Kui Tong. Auman atau gerengan yang amat
kuat itu dapat menggetarkan jantung lawan sehingga kaki
tangan lawan akan terasa lumpuh dan ketakutan. Singa juga
mempunyai wibawa seperti itu. Kalau dia hendak menyerang
calon korbannya, dengan mengaum seekor kelinci ataupun
domba calon mangsanya menjadi lumpuh ketakutan sehingga
akan mudah diterkamnya. Auman yang dikeluarkan Can Kok ini
pun hebat sekali, akan tetapi sama sekali tidak mampu
menggoyahkan ketabahan hati Pek Hong dan Siang In. Getaran
auman itu lewat begitu saja tanpa mendatangkan akibat apa
pun. Selagi gema auman itu masih terpantul di empat penjuru dinding
ruangan, Can Kok sudah menerjang ke depan dan sinar
pedangnya menyambar ke arah dua orang gadis itu
"Cringg ! Trangg !!" Bunga api berpijar terang ketika pedang Giam-ong-kiam di
tangan Can Kok itu bertemu dengan pedang bengkok naga
emas di tangan Pek Hong dan sepasang Toat-beng Siang-kiam
di kedua tangan Siang In. Setelah mereka tidak menggabungkan
tenaga sin-kang mereka, dua orang gadis itu baru merasakan
betapa kuatnya tenaga pemuda itu. Senjata mereka terpental
ketika bertemu pedang Can Kok dan tangan mereka tergetar.
Akan tetapi dua orang puteri Tiong Lee Cin-jin itu mendapat
gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi selama setahun dari ayah
272 mereka sehingga kini tingkat kepandaian mereka menjadi jauh
lebih tinggi daripada sebelumnya. Pek Hong memang masih
memainkan Sin-coa Kiam?sut (Ilmu Pedang Ular Sakti) dibantu
gerakan sabuk merahnya yang melecut-lecut ganas. Juga Siang
In masih memainkan ilmu pedang yang dulu, yaitu Toat-beng
Siang-kiam-sut (Ilmu Pedang Pasangan Pencabut Nyawa).
Namun ilmu-ilmu mereka telah diperdalam dan disempurnakan
di bawah bimbingan Tiong Lee Cin-jin sehingga menjadi lihai
bukan main. Kedua gadis ini mengamuk, bagaikan sepasang naga terbang
menyambar-nyambar. Senjata mereka berubah menjadi
gulungan sinar. Dua gulungan sinar kehitaman dari Toat-beng
Sin-kiam berpadu dengan gulungan sinar merah sabuk sutera
dan gulungan sinar emas pedang bengkok, mengepung dan
menyerang Can Kok dari segala jurusan!
Can Kok yang berwatak tinggi hati dan menganggap diri sendiri
sebagai seorang yang tanpa tanding itu, diam?diam menjadi
terkejut bukan main. Dia memutar pedangnya dan melakukan
perlawanan mati-matian, mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Namun, sinar pedangnya yang bergulung-gulung dan amat kuat
itu menjadi terdesak juga oleh pengeroyokan empat sinar
senjata lawan, yaitu sepasang pedang, sabuk dan pedang
bengkok. Gerakan dua orang gadis itu cepat bukan main
sehingga Can Kok harus menjaga diri dengan sepenuh tenaga.
Setelah bertanding dengan seru selama kurang lebih limapuluh
jurus, mulailah dia merasa bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak
akan dapat mengalahkan pengeroyokan dua orang gadis yang
dapat bekerja sama amat baiknya. Senjata mereka itu saling
273 menunjang, saling memperkuat serangan, juga saling membantu
meng gagalkan serangannya.
"Kui Tung, engkau masih enak-enak saja" Kawan macam apa
engkau ini?" Can Kok berseru marah.
Kui Tung sejak tadi hanya berdiri di sudut dan menjadi penonton.
Dia telah menghentikan latihan pernapasan dan tenaganya
sudah pulih kembali. Kalau dia hanya menonton, karena dia
merasa yakin akan kelihaian Can Kok, dan bagaimanapun juga
dia tidak jerih melihat kecepatan gerakan empat senjata dua
orang gadis itu menyambar-nyambar. Akan tetapi mendengar
ucapan Can Kok, Kui Tung menyadari bahwa kalau dia tidak
membantu dan Can Kok roboh oleh dua orang gadis itu, dia
sendiri pasti tidak akan mendapat ampun karena dialah yang
memimpin perampokan. Maka dia lalu memutar tongkatnya dan
terjun ke medan pertempuran sambil mengeluarkan suara
bentakan nyaring. Melihat Kui Tung maju, Siang In segera menyambut dengan
sepasang pedangnya. Ia membenci laki-laki ini yang dulu
memimpin perampokan dan yang melukai ayahnya. Sepasang
pedangnya menyambar-nyambar ganas. Akan tetapi Kui Tung
bukan seorang lawan yang lemah. Dia adalah murid Lam-kai,
seorang di antara Empat Datuk Besar yang sejak dia kecil
menggemblengnya sehingga ilmu kepandaiannya juga sudah
mencapai tingkat tinggi. Kui Tung cepat memutar tongkat yang
berisi pedang menyambut sambaran sepasang pedang Siang In.
"Trang--tranggg !" Bunga api berpijar dan Kui
274 Tung terhuyung ke belakang. Ternyata dibandingkan Siang In,
tenaga saktinya masih kalah kuat! Akan tetapi cepat dia
memutar tongkat pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari
serangan lawan. Benar saja, Siang In yang melihat lawannya
terhuyung, cepat menerjang dengan dahsyatnya. Kembali
terdengar suara nyaring dan tampak bunga api berpijar ketika
Kui Tung menangkis. Mereka lalu saling serang dengan matimatian, dan betapapun lihainya Kui Tung, sekali ini dia bertemu
lawan yang benar-benar lihai bukan main. Perlahan-lahan dia
mulai terdesak dan hanya mampu menangkis dan berloncatan
ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran sepasang
pedang. Dia terdesak hebat dan berada dalam bahaya.
Akan tetapi setelah ditinggalkan Siang In, Pek Hong yang harus
menghadapi Can Kok seorang diri, merasa berat sekali. Pemuda
itu benar-benar amat lihai. Kalau tadi berdua dengan Siang In
dia mampu mendesak Can Kok, kini setelah Siang In
menghadapi Kui Tung, Pek Hong menjadi kewalahan
menghadapi desakan lawan.
Siang In yang menghadapi lawan lebih ringan, mendapat
kesempatan untuk memperhatikan keadaan Pek Hong dan
melihat Pek Hong terkadang terancam pedang Can Kok, ia pun
melompat ke samping dan membantu. Kalau dua orang gadis itu
mendesak Can Kok, Kui Tung yang cepat membantu Can Kok.
Dengan demikian, terjadilah perkelahian empat orang dan
ternyata kekuatan mereka seimbang sehingga terjadilah
perkelahian yang seru dan mati-matian.
Anak buah gerombolan perampok yang berjumlah tigapuluh
orang lebih itu hanya mendengar suara perkelahian dari luar,
275 akan tetapi mereka tidak berani masuk karena mereka amat
takut kepada Kui Tung yang galak. Mereka tidak akan masuk
tanpa dipanggil. Selagi mereka bergerombol di sekeliling kuil, tiba-tiba terdengar
suara gaduh dan muncullah banyak sekali perajurit yang
dipimpin oleh tiga orang perwira dan di antara mereka terdapat
Cin Han yang menunggang seekor kuda!
JILID 8 08.1. Bantuan Seorang Sastrawan Lemah
Melihat pasukan ini, yang jumlahnya tidak kurang dari seratus
orang, anak buah gerombolan menjadi terkejut dan panik. Tanpa
komando, mereka terpaksa mempertahankan diri melawan
ketika pasukan itu sambil bersorak menyerbu. Terjadi
pertempuran yang berat sebelah di luar kuil.
Mendengar suara pertempuran, teriakan dan sorakan yang
hiruk-pikuk itu, empat orang yang sedang berkelahi di ruangan
dalam kuil, menjadi terkejut bukan main. Kedua pihak tidak tahu
apa yang terjadi, tidak tahu apakah kejadian yang riuh di luar itu
menguntungkan atau merugikan mereka.
"Kui Tung, kita keluar!" seru Can Kok.
Kui Tung tak dapat menandingi Can Kok dalam kecepatan
sehingga Can Kok sudah melompat lebih dulu keluar ruangan.
Can Kok cepat menggerakkan tangan kirinya yang berubah
merah. Itulah Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) yang
mengandung hawa pukulan beracun, menyambar ke arah Siang


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

276 In. Namun Siang In dapat mengelak ke samping dan
kesempatan itu dipergunakan Kui Tung untuk melompat keluar
dan menyusul temannya. Pek Hong dan Siang In yang tidak tahu apa yang terjadi di luar,
tidak berani mengejar dan mereka pun cepat keluar dari situ
untuk melihat apa yang terjadi.
Ketika Can Kok dan Kui Tung tiba di luar, mereka terkejut bukan
main melihat betapa anak buah Kui Tung yang berjumlah hanya
tigapuluh orang lebih itu, dihimpit pasukan pemerintah yang
jumlahnya tidak kurang dari seratus orang! Sudah banyak anak
buah yang bergelimpangan dan sisanya hanya mati-matian
mempertahankan diri. Melihat keadaan berbahaya dan tidak menguntungkan ini, tanpa
banyak cakap lagi Can Kok dan Kui Tung segera berlompatan
melarikan diri dari tempat itu. Ketika ada perajurit yang berani
menghalangi, mereka berdua merobohkan para penghalang dan
terus melarikan diri secepatnya tanpa memperdulikan nasib para
anak buah yang sudah terhimpit dan tidak ada kesempatan
untuk melarikan diri. Pek Hong dan Siang In juga tiba di luar dan mereka berdua
girang bukan main melihat pasukan pemerintah yang menghajar
anak buah gerombolan. Melihat betapa pasukan jauh lebih
banyak jumlahnya dan para anggauta gerombolan banyak yang
roboh, mereka pun tidak membantu dan hanya berdiri di ruangan
depan kuil. Tak lama kemudian, sembilan orang anak buah gerombolan
yang masih belum roboh membuang senjata mereka dan
277 menjatuhkan diri berlutut, menaluk. Mereka lalu diringkus dan
bersama-sama mereka yang terluka, menjadi tawanan.
Cin Han yang tadi hanya ikut menonton karena dia sendiri
adalah seorang sasterawan yang tidak pandai dan tidak suka
bertempur, kini melangkah dan menghampiri dua orang gadis
itu. Setelah berhadapan dia menjadi bingung karena dua orang
gadis itu wajahnya serupa. Akan tetapi dia mengenal Pek Hong
yang pernah datang ke rumah orang tuanya, mengenalnya dari
pakaian puteri itu yang serba putih. Dia lalu memandang kepada
Siang In dan hatinya merasa sedih, teringat betapa pinangannya
terhadap gadis itu ditolak. Akan tetapi dia tidak memperlihatkan
perasaan apa pun dan segera mengangkat, kedua tangan depan
dada sebagai penghormatan.
"Dinda Moguhai! Bahagia sekali melihat engkau dalam keadaan
selamat!" Dia memandang kepada Siang In dan meragu, tidak
tahu apa yang harus dia katakan kepada gadis yang wajahnya
serupa dengan wajah Puteri Moguhai itu.
Melihat ini, Pek Hong menoleh kepada Siang In dan melihat
betapa Siang In juga memandang kepada Cin Han dengan
pandang mata kagum dan bimbang. Pek Hong tersenyum.
"Siang In, perkenalkan. Ini adalah Kakak misanku bernama Cin
Han, putera tunggal Paman Pangeran Cin Boan!"
Mendengar ini, wajah Siang In seketika berubah merah.
Jantungnya berdebar tegang dan ia merasa serba salah. Jadi
inikah orangnya yang dulu pernah meminangnya" Sama sekali
tidak pernah ia menduga bahwa putera Pangeran Cin Boan yang
278 melamarnya ini merupakan seorang pemuda yang luar biasa
tampan! Ia menjadi gagap gugup.
"Eh ohh dengan senang sekali dapat berkenalan
Cin-kongcu (Tuan Muda Cin)
" Cin Han tersenyum. Wajahnya yang berkulit putih kemerahan itu
berseri. Sebagai seorang siu-cai (sastrawan) tentu saja dia
pandai membawa diri, sikapnya lembut dan sopan dan katakatanya juga teratur indah.
"Thio-siocia (Nona Thio), sayalah yang merasa berbahagia
sekali. Merupakan kehormatan besar sekali bagi saya dapat
berkenalan dengan Nona yang namanya sudah lama saya
kenal." "Eh, Kanda, bagaimana engkau dapat muncul di tempat ini
bersama pasukan" Apakah engkau yang mengerahkan pasukan
ini?" "Nanti akan kuceritakan padamu, Dinda. Yang terpenting
sekarang, apakah engkau telah dapat menemukan barangbarang Paman Thio yang dirampok itu?"
"Barang-barang itu lengkap berada di ruangan dalam kuil tua ini,
Kanda. Juga barang-barang milik Paman Pangeran Cin Boan
berada di dalam." "Syukurlah kalau begitu," kata Cin Han dan dia memandang
kepada tiga orang perwira setengah tua yang datang
279 menghampirinya. Seorarig di antara mereka berkata dengan
sikap hormat. "Cin-kongcu, semua anggauta gerombolan telah dilumpuhkan.
Sebagian tewas. Kami menangkap yang terluka dan yang
menyerah. Kami menanti perintah Kongcu."
"Bagaimana dengan kerugian di pihak kita?"
"Tidak ada yang tewas, Kongcu hanya ada enam orang yang
terluka." "Bagus, Lu-ciangkun (Perwira Lu). Obati perajurit kita yang
terluka dan angkutlah semua barang milik Paman Thio Ki dan
Ayah yang berada di dalam. Bawa semua barang itu bersama
semua tawanan ke kota Kang-cun sekarang juga. Jangan lupa
tinggalkan perajurit secukupnya untuk mengubur semua mayat,
kemudian suruh bakar kuil tua ini!"
Pek Hong tersenyum kagum melihat betapa kakak misannya
yang sasterawan lemah itu dapat memberi perintah sedemikian
tegasnya, seperti seorang jenderal saja.
"Siap laksanakan perintah, Kongcu!" kata perwira itu dan mereka
bertiga lalu memimpin anak buah untuk mengangkat barangbarang, lalu siap untuk berangkat ke kota Kang-cun. Limapuluh
orang perajurit ditinggalkan untuk melaksanakan tugas
mengubur semua mayat dan membakar kuil tua yang dijadikan
sarang perampok itu. 280 Cin Han, Pek Hong, dan Siang In menunggang kuda
berdampingan. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan dan
bercakap-cakap. Siang In masih merasa sungkan dan malu,
maka ia lebih banyak mendengarkan saja percakapan mereka.
"Nah, sekarang ceritakanlah, Kanda, bagaimana engkau dapat
muncul dengan pasukan untuk membantu kami. "
"Begini, Dinda Moguhai. Setelah engkau pergi, aku pun mulai
curiga terhadap diri Bhe Liang. Siapa tahu dia mempunyai
hubungan dengan perampokan itu atau setidaknya dia tahu
siapa yang melakukan. Maka setelah berunding dengan Ayah,
kami menyuruh Lu-ciangkun untuk mengutus seorang perajurit
yang pandai untuk cepat pergi melakukan penyelidikan ke rumah
Bhe Liang. Perajurit itu ketika tiba di sana melihat engkau dan
Thio?siocia keluar dari rumah bersama Bhe Liang yang agaknya
kalian paksa menunjukkan tempat perampok. Perajurit itu diamdiam mengikuti dari kejauhan dan setelah tahu bahwa sarang
para perampok berada di kuil tua yang tidak jauh dari kota Kangcun, dia cepat memberi laporan. Maka aku lalu minta bantuan
Lu?ciangkun dan dua orang perwira lain, membawa pasukan
dan mengejar ke tempat itu."
"Wah, tidak kusangka engkau ternyata begitu pandai, Kanda!"
"Ah, aku tidak bisa apa-apa. Engkau dan Thio-siocia inilah yang
hebat. Bagaimana hasilnya buruanmu" Siapa yang memimpin
perampokan itu, Adinda Moguhai?"
"Kanda Cin Han, memang benar dugaanku. Setelah kami
melakukan penyelidikan, ternyata memang Bhe Liang itu yang
mendalangi perampokan. Kami memaksa dia mengaku dan
281 dialah yang memberitahu kepada segerombolan perampok
tentang pengiriman barang-barang berharga itu dipimpin
seorang pemuda bernama Kui Tung yang lihai, kemudian
muncul temannya seorang pemuda lain bernama Can Kok yang
bahkan lebih lihai lagi. Mereka berdua itu pasti bukan orangorang sembarangan, bukan sebangsa kepala perampok biasa.
Kami berdua bertanding melawan mereka. Lalu pasukan datang
dan kedua orang muda lihai itu melarikan diri."
Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai sengaja tidak
menceritakan secara rinci mengenai pertandingan seru antara
mereka itu karena Cin Han yang tidak pernah belajar ilmu silat
itu tentu tidak akan mengerti.
"Aih, sayang sekali kedua orang penjahat itu tidak dapat
ditangkap," kata Cin Han.
"Mereka itu lihai bukan main, Kanda Cin Han." "Bagaimana
dengan si jahat Bhe Liang?" "Ah, dia telah tewas di tangan Siang
In!" Cin Han memandang kagum kepada Ang Hwa Sian-li Thio Siang
In. "Bagus, terima kasih, Thio-siocia (Nona Thio), jasamu besar.
Orang itu jahat sekali, mengadu domba, melakukan fitnah,
bahkan mengundang penjahat-penjahat yang lihai untuk
mengacau." "Ah, Pek Hong inilah yang lebih berjasa, Cin-kongcu (Tuan Muda
Cin), bahkan kalau tidak ada ia, mungkin saya sudah celaka di
tangan penjahat yang amat lihai itu."
282 Melihat pandang mata penuh kagum dari pemuda itu kepada
Siang In, dan melihat pula betapa sepasang pipi Siang In
kemerahan dan matanya hanya mengerling. Tidak berani
memandang langsung kepada pemuda itu dengan senyum
malu-malu, Puteri Moguhai tertawa senang. Ia akan ikut merasa
bahagia kalau saudara kembarnya itu dapat berjodoh dengan
Cin Han, pemuda bangsawan yang dia tahu amat bijaksana, ahli
sastra, tampan dan berpemandangan luas itu.
Mereka kembali ke kota Kang-cun. Tentu saja kembalinya dua
orang gadis bersama Cin Han yang telah berhasil menumpas
gerombolan penjahat dan membawa kembali barang-barang
yang dirampok, membahagiakan Thio Ki dan Miyana, juga
menyenangkan hati Pangeran Cin Boan dan isterinya. Yang
lebih membahagiakan hati keluarga pangeran ini adalah bahwa
nama baik mereka yang difitnah oleh Bhe Liang telah dapat
dibersihkan dan penjahat itu telah terbu?nuh. Kini tentu keluarga
Thio Ki tidak lagi menyangka bahwa dia yang mendalangi
perampokan itu. Setelah tinggal selama tiga hari di rumah keluarga Thio Ki dan
melihat Thio Ki sudah sembuh kembali dari lukanya, Puteri
Moguhai lalu berpamit meninggalkan kota Kang-cun untuk
kembali ke kota raja. Siang In berjanji akan mengunjungi puteri
itu dalam waktu dekat. Sebelum meninggalkan Kang-cun, Puteri
Moguhai berkunjung ke rumah keluarga Pangeran Cin Boan dan
dia disambut dengan gembira oleh Pangeran Cin Boan,
isterinya, dan Cin Han. 283 "Dinda Moguhai, bagaimana kesehatan Paman Thio Ki" Apakah
luka-lukanya telah sembuh kembali?" Cin Han menyambut
kedatangan puteri itu dengan pertanyaan ini.
Moguhai tersenyum. "Eh, Kanda Cin Han, yang kautanya?kan itu sesungguhnya
keadaan Paman Thio ataukah keadaan Siang In?"
Mendengar ini, Cin Han tersipu dan ayah ibunya tertawa.
"Aih, Moguhai, engkau tega sekali menggoda Kakakmu, padahal
engkau sudah mengetahui bahwa pinangan kami atas diri Siang
In ditolak, Cin Han tidak mempunyai harapan lagi."
"Eh, mengapa Bibi berkata demikian" Dahulu Siang In
menolaknya karena ia belum mengenal Kanda Cin Han, bahkan
melihat pun belum. Akan tetapi
sekarang " "Sekarang bagaimana" Wah, Moguhai, jangan bermain tekateki. Katakan saja, bagaimana sekarang" Apakah ada harapan?"
"Paman Pangeran, saya belum dapat mengatakan apa-apa.
Akan tetapi sebaiknya dekati saja keluarga Thio. Ada ba?iknya
kalau Kanda Cin Han datang
menengok keadaan , eh, Paman Thio Ki,
menanyakan kesehatannya. Nanti Paman, Bibi, dan Kanda
dapat melihat sendiri bagaimana sikap Siang In dan orang
284 tuanya, dan akhirnya terserah Paman dan Bibi apakah ada
baiknya kalau pinangan itu diulang."
"Eh, jangan main-main, Adinda! Mana kami berani mengajukan
pinangan lagi setelah ditolak satu kali" Kalau untuk kedua
kalinya ditolak, akan kutaruh di mana mukaku?"
Puteri Moguhai tertawa, tertawa bebas, tidak seperti para puteri
istana yang kalau tertawa diatur agar tampak sopan, tertawa
kecil hampir tanpa suara dan menutupi mulut dengan ujung
lengan baju dan memiringkan mukanya. Akan tetapi tawa Puteri
Moguhai adalah tawa lepas, tanpa ragu membuka mulut
memperlihatkan giginya sehingga tampak deretan gigi putih rapi
seperti mutiara dan rongga mulut yang merah, ujung lidah yang
merah muda. Sama sekali tidak mendatangkan penglihatan yang tidak sopan
atau menjijikan, bahkan sebaliknya, tawa itu membuat wajahnya
tampak manis sekali dan tawa itu menyengat dan menular
karena orang yang mendengar dan melihatnya, tidak dapat
mencegah dorongan dari dalam untuk ikut tertawa! Begitu
mendengar mereka tertawa dan melihat isteri Pangeran Cin
Boan tertawa sambil menutupi mulut dengan ujung bajunya,
Moguhai teringat akan tata susila yang pernah ditanamkan
kepadanya ketika kecil dahulu dan cepat ia pun menutupi
mulutnya dengan ujung lengan bajunya. Akan tetapi gerakan ini
malah tampak lucu dan tiga orang itu tertawa semakin geli.
"Eh, Kanda Cin Han, ke mana lagi engkau akan menaruh
mukamu kalau tidak di bagian depan kepalamu" Kalau kau
285 simpan dalam almari, lalu bagaimana kalau engkau hendak
mencuci muka?" Ucapan Moguhai ini membuat mereka semakin geli dan mereka
tertawa terpingkal-pingkal. Suasana ini terbawa kegembiraan
hati mereka, bukan saja karena barang-barang kembali dan
nama mereka tercuci, akan tetapi juga mendengar akan harapan
baru bagi keinginan mereka meminang Siang In. Pangeran Cin
Boan dan isterinya saling pandang setelah mereka berhenti
tertawa dan pangeran itu bertanya dengan suara
sungguh?sungguh. "Moguhai apakah engkau benar-benar dan tidak main-main
mengenai kemungkinan perjodohan antara Cin Han dan Thio
Siang In?" "Kami masih ragu dan khawatir kalau kalau pinangan kami
ditolak lagi, Moguhai," kata pula isteri pangeran itu.
"Harap Paman dan Bibi tidak khawatir. Saya mengenal benar
watak sahabatku Siang In itu. Biarpun ia tidak berkata apa-apa,


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun sikapnya terhadap Kakanda Cin Han dapat saya lihat
dengan jelas bahwa ia juga tertarik. Akan tetapi Siang In adalah
seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa, tentu saja ia tidak
mau kalau dalam soal perjodohan ia dipaksa. Karena itu,
sebaiknya Paman dan Bibi tidak mengajukan pinangan lebih
dulu, akan tetapi memberi kesempatan kepada Kanda Cin Han
untuk bergaul dengan Siang In. Dekatilah ia, Kanda, dan kalau
nanti sudah ada persetujuan kedua pihak, kalau Siang In sudah
dapat menerima perasaan cinta Kakanda, barulah diajukan
pinangan sehingga tidak mungkin gagal lagi."
286 Selagi mereka bercakap-cakap, seorang pengawal memberitahu
Pangeran Cin Boan bahwa di luar ada seorang tamu mohon
bertemu Pangeran Cin Boan. Ketika mendengar bahwa tamu itu
adalah Thio Ki, Pangeran Cin Boan segera menyuruh pengawal
untuk membawa tamu itu ke ruangan tamu dan dia mengajak
isterinya, Cin Han, dan Moguhai untuk menemaninya menerima
kunjungan Thio Ki. Thio Ki memasuki ruangan tamu dan melihat pangeran
menyambut bersama isteri dan puteranya, juga melihat Puteri
Moguhai berada di situ, wajah Thio Ki menjadi kemerahan dan
dia tampak gugup. "Ah, maafkan saya, Pangeran. Kalau saya
mengganggu Paduka sekeluarga "
"Tenanglah, Saudara Thio Ki, silakan duduk," kata Pangeran Cin
Boan. Setelah semua orang mengambil tempat duduk, dia
berkata, "Saudara Thio, engkau sama sekali tidak mengganggu
kami, sama sekali tidak. Bahkan kami merasa ikut gembira
melihat bahwa engkau sekarang telah sembuh dan sehat
kembali. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan selamat atas
kembalinya semua barang yang dirampok itu."
Melihat sikap dan mendengar ucapan yang ramah dari pangeran
itu, Thio Ki merasa semakin terpukul dan dia berkata dengan
suara gemetar. "Pangeran, saya memberanikan diri menghadap Paduka
sekeluarga ini, betul-betul untuk mohon maaf, bukan hanya
karena mengganggu Paduka dengan kedatangan ini, melainkan
287 untuk hal lain yang membuat saya merasa tidak enak hati dan
malu." Puteri Moguhai berkata, "Karena Paman Thio Ki hendak bicara
dengan Paman Pangeran sekeluarga, maka lebih baik aku
keluar dari ruangan ini."
"Ah, Moguhai, engkau termasuk keluarga kami, tentu saja
engkau boleh ikut mendengarkan. Bukankah begitu, Saudara
Thio Ki?" Thio Ki mengangguk. "Saya akan merasa senang kalau Puteri
Moguhai sudi menjadi saksi dan ikut mendengarkan. Pangeran,
sesungguhnya ketika Bhe Liang melaporkan kepada saya
sekeluarga bahwa Paduka yang mendalangi perampokan itu,
saya pernah bimbang dan percaya akan keterangan itu yang
ternyata hanya merupakan fitnah belaka. Karena itu, saya
mohon maaf sebesar-besarnya, apalagi setelah mendengar
bahwa Cin-kongcu yang membawa pasukan dan menyelamatkan puteri saya dan semua barang dapat direbut
kembali. Sungguh kami merasa menyesal sekali pernah
meragukan kebijaksanaan dan kebaikan hati Paduka."
08.2. Mak Jomblang Amatiran
Pangeran Cin Boan tersenyum dan dengan ramah berkata,
"Saudara Thio engkau sekeluarga tidak perlu merasa bersalah
dan minta maaf. Kalian sama sekali tidak bersalah. Puteri
Moguhai telah menceritakan semuanya kepada kami dan
keluargamu sama sekali tidak mempunyai prasangka buruk
terhadap kami. Hanya Si Jahat Bhe Liang yang menjatuhkan
fitnah kepada kami. Bagaimana mungkin kami akan meragukan
288 ketulusan hatimu, Saudara Thio Ki" Engkau melindungi barangbarang kami dengan taruhan nyawa, sehingga terluka. Juga,
dalam usaha penumpasan gerombolan perampok sehingga
menghasilkan direbutnya kembali barang-barang, puterimu juga
memegang peran penting. Tidak, engkau sekeluarga tidak
mempunyai kesalahan apa pun. Bahkan kami yang membuat
engkau mengalami kesusahan dengan penitipan barang-barang
kiriman itu sehingga memancing munculnya perampok."
Lega hati Thio Ki mendengar jawaban itu. Keluarga pangeran itu
lalu bercakap-cakap dengan Thio Ki dalam suasana yang ramah
dan akrab seperti dua orang sahabat lama. Melihat ini Puteri
Moguhai menjadi senang sekali. Maka, ketika Thio Ki berpamit
hendak pulang, ia berkata kepada Cin Han.
"Kanda Cin Han, sebaiknya Kanda mengantar Paman Thio Ki
pulang untuk membuktikan bahwa keluarga Paman Pangeran
Cin Boan tidak mempunyai perasaan buruk terhadap keluarga
Paman Thio." Thio Ki terkejut dan cepat berkata, "Ah, mana saya berani
menerima kehormatan seperti itu" Saya tidak berani merepotkan
Cin-kongcu !" Cin Han yang sudah menangkap apa yang tersirat dalam
ucapan Puteri Moguhai tadi, sudah bangkit dan berkata, "Paman
Thio Ki, sama sekali Paman tidak merepotkan dan ucapan Dinda
Moguhai tadi memang sudah tepat sekali. Sewajarnyalah kalau
saya mewakili Ayah mengantar Paman pulang sebagai bukti
bahwa tidak ada perasaan buruk sedikit pun di antara keluarga
kami dan keluarga Paman."
289 Mendengar ucapan itu, tentu saja Thio Ki tidak berani
membantah lagi dan pergilah mereka berdua menuju rumah Thio
Ki. Setelah mereka pergi, Puteri Moguhai berkata kepada
Pangeran Cin Boan dan isterinya sambil tersenyum senang.
"Nah, dugaanku tadi benar, bukan" Percayalah, Paman dan
Bibi, kalau Kanda Cin Han sudah berkenalan langsung dengan
Siang In, maka perjodohan antara mereka itu bukan merupakan
persoalan yang sulit lagi."
Suami isteri itu tertawa dan isteri Pangeran Cin Boan bertanya.
"Eh, Moguhai engkau tampaknya bersungguh-sungguh ingin
melihat Kakakmu berjodoh dengan Siang In!"
"Dan betapa sama benar wajahmu dengan Thio Siang In!" kata
pula Pangeran Cin Boan. Moguhai tertawa. "Paman dan Bibi, Siang In adalah seorang
sahabatku yang paling baik, juga saudara seperguruanku. Selain
itu, juga kami berdua amat mirip satu sama lain. Kami saling
menyayangi dan saya ingin melihat Siang In hidup, berbahagia.
Saya merasa yakin bahwa kalau ia menjadi isteri Kanda Cin
Han, ia pasti akan menjadi seorang isteri yang baik dan
berbahagia." Pangeran Cin Boan mendesak. "Dan engkau sendiri, Moguhai"
Engkau pun sudah dewasa, sudah sepantasnya kalau engkau
juga menjadi seorang ibu rumah tangga."
Moguhai tertawa. "Wah, kalau saya
hemm, saya 290 belum menemukan seorang jodoh yang cocok, Paman." Berkata
demikian, wajah Souw Thian Liong terbayang dalam ingatannya.
"Kalau tidak ada yang cocok, saya tidak akan menikah."
Suami isteri itu saling pandang dan isteri pangeran itu berkata,
"Hemm, anak sekarang memang aneh-aneh jalan pikirannya.
Selain tidak sejalan dengan pikiran orang tua dan suka mencari
jalan sendiri, juga terkadang bersikap aneh-aneh."
Moguhai tersenyum. "Tidak semua, Bibi. Bukankah Kanda Cin
Han seorang anak yang penurut, taat, berbakti dan baik?"
"Memang, dia baik sekali," ibu itu mengangguk-angguk. "Akan
tetapi dia juga mempunyai kebiasaan yang aneh. Sering kali dia
mengunci diri dalam kamarnya dan tidak mau bertemu dengan
siapapun juga. Kalau dia sedang dalam kamarnya, bahkan
Ayahnya dan aku pun tidak dapat mengganggunya."
"Itu tidak aneh, Bibi, bukankah Kanda Cin Han seorang pemuda
yang amat tekun belajar sastra sehingga dia lulus ujian dan
menjadi siu-cai (satrawan)?"
"Memang dia aneh kalau sudah me?ngeram diri di dalam
kamarnya, Moguhai," kata Pangeran Cin Boan. "Dari luar kamar,
kami sering mendengar dia bicara seorang diri."
"Ah, tentu dia sedang membuat dan membaca sajak, Paman!"
"Kami juga berpendapat begitu maka kami tidak mau
mengganggunya. Akan tetapi hal itu dia lakukan bertahun-tahun
dan tentu saja kami beranggapan bahwa dia pun mempunyai
keanehan seperti orang muda lainnya!"
291 "Jangan khawatir, Paman dan Bibi. Kalau dia sudah menikah,
maka dia tidak akan seorang diri lagi kalau mengunci kamarnya!"
kata Moguhai sambi1 tertawa.
Suami isteri itu saling pandang, keheranan mendengar kelakar
seperti itu keluar dari mulut Sang Puteri. Akan, tetapi Moguhai
hanya tertawa dan ia lalu berpamit untuk pergi ke kota raja
karena sudah setahun lebih ia meninggalkan istana.
"Y" Limabelas orang laki-laki berusia antara tigapuluh sampai
empatpuluh tahun itu bergerak menyusup-nyusup di antara
semak belukar dan pohon-pohonan dalam hutan di tepi jalan
raya itu. Pakaian mereka ringkas dan di punggung mereka
tergantung golok telanjang yang mengkilap saking tajamnya.
Wajah mereka bengis dan sikap mereka kasar. Mereka adalah
segerombolan perampok yang tidak segan melakukan segala
macam perbuatan jahat. Mencuri, merampok, menganiaya,
membunuh merupakan pekerjaan mereka sehari-hari.
Di antara limabelas orang itu terdapat seorang yang berusia
empatpuluh tahun dan mukanya penuh brewok, tubuhnya tinggi
besar dan matanya lebar dan liar. Dialah yang menjadi
pemimpin gerombolan berjuluk Hek-kwi (Setan Hitam) yang
terkenal kejam, ganas, namun juga tangguh sekali karena
memiliki ilmu silat tinggi. Hek-kwi ini yang paling buas di antara
mereka. Dia suka memperkosa wanita, menganiaya dan
membunuh sambil tertawa-tawa karena semua perbuatan kejam
dan jahat itu merupakan kesenangan baginya. Entah sudah
292 berapa banyaknya wanita dia permainkan dan orang-orang dia
bunuh. Untuk sekitar daerah Kam-tin, namanya sudah terkenal dan
ditakuti. Bahkan pasukan keamanan Kam-tin juga tidak berdaya
karena gerombolan ini pandai menyembunyikan diri. Kalau
disergap oleh pasukan yang kuat, mereka sudah menghilang
dan kalau pihak penyerbu kurang kuat, tentu akan dibasmi habis
oleh gerombolan yang ganas ini.
Para saudagar banyak yang mengalihkan daerah perdagangan
mereka ke lain tempat sehingga jalan menuju ke Kam-tin
menjadi sunyi. Karena tidak banyak yang dapat dirampok di
jalan yang melalui hutan itu, Hek?kwi terkadang membawa anak
buahnya untuk merampok dusun-dusun di daerah itu.
Gerombolan kejam ini tidak segan untuk mengganggu dan
merampok penduduk yang sudah melarat hidupnya.
Pada pagi hari itu, limabelas orang ini menyelinap di antara
pohon-pohon, mengikuti dan mengintai seorang pejalan kaki
yang mereka anggap aneh. Orang itu bertubuh kecil saja, dari
belakang tampak seperti seorang pemuda remaja. Kepalanya
tertutup sebuah caping lebar sehingga mukanya tidak dapat
tampak jelas karena, tertutup bayangan capingnya. Dari
belakang orang itu tampak kecil tidak mengesankan, pakaiannya
serba merah muda dan dari warna pakaiannya ini saja
gerombolan itu dapat menduga bahwa orang itu tentulah
seorang wanita! Wanita yang melihat bentuk tubuhnya yang kecil
langsing tentu masih seorang gadis muda atau mungkin juga
seorang nenek yang sudah tua. Akan tetapi kalau ia nenek, tentu
tidak memakai pakaian berwarna merah muda seperti itu.
293 Hek-kwi memberi isyarat kepada anak buahnya dan limabelas
orang itu lalu berloncatan sambil mengeluarkan pekikan seperti
segerombolan binatang buas, menghadang pejalan kaki itu.
Mereka memandang penuh perhatian kepada orang bercaping
itu dan terpesona. Hek-kwi sendiri yang berdiri paling depan,
terbelalak dan berdecak kagum, lalu menyeringai gembira.
Orang itu ternyata seorang gadis yang usianya sekitar duapuluh
tahun. Kepalanya tertutup caping, namun dapat dilihat bahwa
rambutnya hitam dan panjang, digelung ke atas dan ditutupi
caping. Pakaiannya dari sutera merah muda, bentuknya
sederhana saja namun bersih dan rapi. Wajah gadis itu bulat
telur, sinom (anak rambut) di dahi dan pelipisnya membuat
wajah itu tampak manis, dahinya halus, alis hitam tebal namun
kecil panjang, matanya bersinar-sinar seperti bintang, bersinar
tajam namun tampak sayu seperti merenung, hidungnya kecil
mancung, mulutnya indah dengan bibir merah basah dan lesung
pipit di kanan kiri mulutnya menambah kejelitaannya. Dagunya
agak runcing. Kulitnya putih mulus dan tubuhnya ranum, padat
dengan pinggang ramping. Tubuhnya bagian atas tertutup
sebuah jubah yang lebar berwarna biru. Gadis ini bukan lain
adalah Han Bi Lan! Seperti kita ketahui, Han Bi Lan yang remuk perasaan hatinya
mendapat kenyataan bahwa setelah ditinggal mati ayahnya ia
mendapat keterangan bahwa ibunya seorang bekas pelacur,
menjadi liar karena malu, marah dan sakit hati. Ia mengamuk di
rumah-rumah pelacuran, menghajar dan melukai para laki-laki
yang mengunjungi rumah pelesir, terutama para bangsawan dan
hartawan, mengobrak-abrik rumah-rumah pelesir sehingga
namanya terkenal dan ditakuti, bahkan dijuluki Ang I Moli (Iblis
294 Betina Baju Merah)! Namun semua itu belum dapat
menenteramkan hatinya. Ia menjadi gelisah oleh rasa malu dan
duka sehingga ia tidak mengurus dirinya lagi.
Akhirnya ia bertemu dengan seorang yang aneh luar biasa, yang
mengaku berjuluk Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan)
dan akhirnya Bi Lan menjadi murid manusia aneh seperti setan
ini selama kurang lebih setahun. Biarpun ia sudah berjanji
bahwa setelah ia dianggap selesai belajar, ia harus mengubur
gurunya itu hidup-hidup, namun setelah saatnya tiba, diam-diam
Bi Lan minggat, meninggalkan gurunya itu karena
bagaimanapun juga, tidak mungkin ia tega mengubur gurunya
hidup-hidup! Demikianlah, kini Bi Lan merantau lagi dengan hanya ada dua
tujuan dalam hatinya. Pertama, ia akan mencari Ouw Kan dan


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua orang murid Ouw Kan yang telah membunuh ayahnya.
Kedua, ia akan mencari Souw Thian Liong untuk membalas
penghinaan yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Pemuda itu
telah menampar bukit pinggulnya sebanyak sepuluh kali. Ia akan
membalas kekalahannya dan membalas penghinaan itu. Ia
harus menampar Thian Liong sebanyak dua kali lipat!
Kini setelah mendapatkan gemblengan selama setahun dari Si
Mayat Hidup Berjalan, tingkat kepandaian Bi Lan menjadi
berlipat ganda tingginya. Padahal, ia hanya digembleng untuk
memperkuat tenaga saktinya dan mempelajari ilmu silat aneh
sebanyak tigabelas jurus yang disebut Sin-ciang Tin-thian
(Tangan Sakti Menjagoi Kolong Langit).
295 Pada pagi hari itu, ia berjalan melenggang seenaknya di jalan
raya dalam hutan di daerah Kam-tin. Tentu saja
pendengarannya yang amat peka itu telah dapat menangkap
gerakan limabelas orang yang membayangi dan mengintainya,
akan tetapi ia diam saja dan tetap melenggang dengari tenang.
Setelah melihat bahwa orang yang mereka intai itu hanya
seorang gadis yang wajahnya tersembunyi di bawah bayangan
caping lebar, Hek-kwi lalu memberi isyarat kepada empatbelas
orang anak buahnya dan mereka berlompatan keluar dari tempat
pengintaian mereka sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa
bahkan ada yang menari-nari berjingkrakan di depan Bi Lan
karena melihat bahwa yang mereka hadang itu hanya seorang
wanita muda! Bi Lan menahan langkahnya dan mengangkat mukanya
menengadah. Gerakan yang disentakan ini membuat capingnya
terlepas dari kepalanya dan tergantung di punggungnya dan
wajahnya kini tampak seluruhnya.
Mereka yang sedang berteriak-teriak, tertawa dan menari tibatiba menghentikan suara dan gerakan mereka. Juga Hek-kwi
tertegun dan terpesona memandang gadis yang berada di
depannya itu. "Bidadari ! Dewi dari sorga !" kata Hek-kwi. Limabelas orang laki-laki kasar dan buas itu memandang Bi Lan
dengan mata yang seolah hendak menelan hidup-hidup gadis
yang cantik jelita itu. Pandang mata Hek-kwi seolah
menggerayangi dari kepala sampai ke kaki Bi Lan.
296 Setelah menjadi murid Si Mayat Berjalan selama setahun, watak
yang lincah jenaka dari Bi Lan seolah menghilang. Atau lebih
tepat lagi, semenjak ia mendapat kenyataan bahwa ibu
kandungnya seorang bekas pelacur, gairah dan kegembirahn
hidupnya seolah melayang pergi. Kini wajahnya yang cantik itu
tampak muram seolah matahari tertutup mendung hitam tebal.
Bibir yang bentuknya indah dan merah membasah itu kini
terkatup dan tidak pernah tersenyum. Sepasang matanya yang
biasanya kocak dan lembut gembira, kini tajam menusuk dan
sering kali mencorong menyeramkan.
Akan tetapi sikap keren Bi Lan ini tidak terlihat oleh Hek-kwi dan
anak buahnya yang mata keranjang dan selalu memandang
rendah orang lain. Hek-kwi tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Kawan-kawan, yang ini untuk aku sendiri! Siapa
berani mengganggunya akan kuhajar sampai mati!"
Dia memandang ke arah anak buahnya. Semua anak buahnya
tertawa dan mengangguk menyetujui. Hek-kwi lalu menghadapi
Bi Lan yang masih berdiri tegak dan tenang, lalu bertanya
dengan suara nyaring dan sikap dibuat-buat agar tampak gagah
menarik. "Wahai bidadari yang cantik jelita. Siapakah namamu, datang
dari mana dan hendak pergi ke mana" Ketahuilah, aku adalah
yang terkenal di seluruh dunia dengan julukan Hek-kwi, akan
tetapi aku tidak kasar seperti setan, melainkan lembut seperti
dewa kalau berhadapan dengan bidadari seperti engkau. Betul
tidak, kawan-kawan?"
"Betul !!" Anak buahnya menjawab sambil tertawa
297 ramai. Bi Lan diam saja. Tidak bergerak dan tidak menjawab, bahkan
pandang mata?nya tidak acuh seolah-olah belasan orang tidak
tampak olehnya. Melihat gadis itu diam saja, sama sekali tidak memandangnya
dan tidak bergerak, apalagi menjawab, Hek-kwi mengerutkan
alisnya. "Hei, Nona manis. Mengapa engkau diam saja" Aih, janganjangan engkau tuli dan gagu! Wah, sayang kalau begitu, begini
cantik tidak dapat mendengar dan tidak dapat bicara."
"Ha-ha, Twako, (Kakak), kebetulan kalau begitu. Kelak setelah
menjadi isterimu tidak banyak rewel dan tidak dapat mengomel!"
Anak buah gerombolan itu berkata dan semua kawannya
tertawa riuh rendah. Hek-kwi tersenyum dan mengangguk-angguk. "Wah, benar juga
katamu itu! Kalau sudah menjadi isteriku lalu cerewet dan tukang
mengomel, minta ampun! Eh, Nona manis calon biniku, mari ikut
bersamaku pulang!" Hek-kwi lalu maju dan hendak merangkul.
Bagaikan baru menyadari bahwa di depannya terdapat banyak
orang laki-laki hendak menyentuh dan merangkul?nya, Bi Lan
menggerakkan tangan kirinya dan mulutnya berkata lantang.
"Mampuslah!" Hek-kwi adalah seorang yang tangguh, maka melihat
berkelebatnya tangan Bi Lan, dia cepat mengangkat lengan
kanan ke atas untuk menangkis.
298 "Krekkk !" Hek-kwi menjerit dan tubuhnya terpental
sampai tiga meter ketika lengannya bertemu dengan tangan kiri
Bi Lan! Dia cepat melompat bangun sambil menyeringai
kesakitan karena tulang lengan kanannya telah patah! Dia bukan
hanya terkejut, akan tetapi marah bukan main.
"Perempuan keparat!" Dia memaki dan tangan kirinya mencabut
golok yang tergantung di punggungnya. Hek-kwi terkenal
dengan permainan goloknya dan walaupun kini lengan kanannya
tak dapat dipergunakan karena tulangnya patah, namun dengan
tangan kirinya dia dapat memainkan golok itu sama mahirnya
dengan tangan kanan. Setelah mencabut golok besarnya, sambil
mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau
terluka, dia lari menerjang ke arah Bi Lan lalu menyerang dan
sabetan goloknya ke arah leher gadis itu. Kini semua gairah
berahinya lenyap, terganti gairah untuk membalas dendam dan
membunuh! Sepasang mata indah itu mencorong dan seolah Bi Lan tidak
tahu akan bahaya maut yang mengancamnya. Golok itu
menyambar cepat sekali dan gadis itu masih diam saja. Akan
tetapi ketika golok sudah dekat, ia merendahkan kepalanya dan
tangan kanannya bergerak dari bawah ke atas. Tahu-tahu golok
itu sudah ditangkap jari-jari tangan kanannya dan sekali renggut,
golok itu terlepas dari pegangan Hek-kwi. Setelah golok
terampas, Bi Lan menggerakkan tangan kanan ke depan.
"Cappp !" Golok itu menancap di dada Hek-kwi.
Mata Hek-kwi terbelalak memandang ke arah dadanya, seolah
tidak percaya akan apa yang terjadi, kemudian tubuhnya
299 terpental ke belakang karena ditendang kaki Bi Lan. Dia
terbanting roboh dan tewas seketika karena goloknya sendiri
menembus jantungnya! Empatbelas orang anak buah gerombolan terbelalak kaget, akan
tetapi mereka juga marah sekali. Orang?orang kasar ini selalu
merasa diri sendiri paling kuat, apalagi mereka berjumlah
banyak. Mereka tidak menyadari bahwa dari kenyataan tadi
betapa dalam segebrakan saja Hek-kwi tewas telah
membuktikan bahwa gadis yang mereka hadapi itu lihai bukan
main. Orang-orang bodoh itu lalu mencabut golok mereka dan
serentak menyerbu dan mengeroyok Bi Lan!
Orang akan terheran-heran kalau menyaksikan apa yang
selanjutnya terjadi di atas jalan dalam hutan itu. Bi Lan sama
sekali tidak bergeser dari tempat ia berdiri. Ia menyambut semua
serangan yang datang dari depan, belakang, ka-nan, dan kiri itu
dengan menggerakkan kaki tangannya dan tubuh-tubuh para
pengeroyok berpelantingan, terlempar ke belakang sejauh tiga
meter lebih dan begitu jatuh mereka langsung tewas!
Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas orang anak buah
gerombolan terlempar roboh dan tewas. Dua orang sisanya yang
belum sempat menyerang dan belum tewas, menjadi pucat
ketakutan dan mereka segera memutar tubuh melarikan diri. Bi
Lan menendang dua kali ke arah golok-golok yang berserakan di
depan kakinya. Dua batang golok meluncur seperti anak panah
dan dua orang yang melarikan diri itu menjerit dan roboh dengan
punggung tertembus golok dan tewas seketika. Limabelas orang
300 gerombolan itu dalam waktu singkat tewas semua tanpa Bi Lan
bergeser selangkah pun dari tempat ia berdiri!
Bi Lan memandang ke sekelilingnya, ke arah mayat-mayat yang
berserakan di sekelilingnya, wajahnya masih muram tanpa
membayangkan perasaan apa pun, lalu hidungnya mendengus
seperti orang yang mencium bau tidak enak, lalu kakinya
melangkah pergi dari tempat itu, melangkahi mayat-mayat
sambil meletakkan kembali capingnya di atas kepalanya.
Dalam usahanya mencari Ouw Kan yang ia anggap sebagai
musuh besarnya, datuk bangsa Uigur yang dulu pernah
menculiknya ketika ia masih kecil, juga datuk yang memusuhi
orang tuanya, bahkan dua orang murid datuk itu telah
menyebabkan kematian ayahnya, Bi Lan menuju ke kota raja
Kin. Gadis yang sakit hati ini juga menganggap bahwa Raja Kin
juga bersalah dan harus dibalasnya karena tentu raja itu yang
mengutus Ouw Kan untuk membalas dendam atas kematian
Pangeran Cu Si yang tewas di tangan ayahnya dalam perang.
Apalagi ibunya menceritakan betapa dua orang murid Ouw Kan
itu tidak jadi membunuh ibunya, setelah mereka melihat surat
yang ditinggalkan Puteri Moguhai kepada orang tuanya. Ini
hanya berarti bahwa dua orang murid Ouw Kan itu takut kepada
puteri raja dan tentu Raja Kin ada hubungannya dengan
pembunuhan terhadap ayahnya. Karena inilah maka Bi Lan
menujukan perjalanannya ke kota raja Kin.
Ketika Bi Lan memasuki kota raja Kerajaan Kin di Peking, Bi Lan
melihat bahwa biarpun kota raja ini lebih luas daripada Lin-an
(Hang-chouw) kota raja Sung di selatan dan memiliki banyak
bangunan besar dan kuno, namun kota raja Sung lebih indah.
301 Akan tetapi kehadiran seorang gadis cantik bercaping lebar di
kota itu tidak terlalu menarik perhatian orang karena memang
banyak macam orang kang-ouw yang berdatangan di Peking.
Juga banyak suku-suku bangsa utara dengan beraneka macam
pakaian dan model topi atau caping.
Akan tetapi, di luar pengetahuan Bi Lan, semenjak ia memasuki
pintu gerbang kota raja bagian selatan, beberapa pasang mata
telah membayangi gerak-geriknya. Mereka yang membayanginya itu adalah para penyelidik dari pasukan
keamanan kota raja. Mereka itu selalu mencurigai pendatang
baru bangsa Han yang pribumi dari selatan karena
bagaimanapun juga, masih ada kecurigaan terhadap Kerajaan
Sung di selatan dan setiap pendatang baru dari selatan mungkin
saja menjadi mata-mata Kerajaan Sung.
Bi Lan memilih sebuah rumah penginapan besar yang
merangkap rumah makan di bagian depannya. Rumah makan
Lok-koan merupakan sebuah di antara rumah-rumah makan
terbesar, dengan ba?nyak kamar penginapan yang bersih, dari
kota raja itu. Begitu ia memasuki rumah makan, seorang pelayan
tua segera menyambutnya dengan ramah. Pelayan ini tidak
merasa heran menyambut seorang gadis cantik jelita berpakaian
merah muda yang berwajah dingin. Sudah banyak tokoh aneh
dia jumpai dan dia pun dapat menduga bahwa gadis ini tentu
seorang gadis kang-ouw (sungai-telaga, persilatan) yang sedang
merantau. "Selamat sore, Nona. Silakan duduk, Nona hendak memesan
makanan apakah?" 302 Bi Lan menjawab dengan suara datar. "Aku ingin menyewa
kamar dulu dan mandi, setelah itu baru makan."
08.3. Pangeran Bergajul Putera Pemberontak
"Ah, baik. Tentu saja, Nona. Mari, silakan bertemu pengurus
kami untuk mendapatkan sebuah kamar." Pelayan itu lalu
mengajak Bi Lan pergi ke sudut ruangan dalam di mana terdapat
meja panjang dan di belakang meja itu duduk dua orang laki-laki.
"Nona ini ingin melaporkan. menyewa sebuah kamar," pegawai itu "Baik, Nona. Kebetulan masih ada beberapa buah kamar yang
belum terisi," kata seorang di antara mereka sambil membuka
buku tamu dan siap dengan mouw-pit (pena bulu) untuk
mencatat. "Harap Nona menyebutkan nama dan tempat tinggal
untuk kami catat, dan berapa hari Nona akan tinggal di rumah
penginapan kami." Bi Lan adalah seorang gadis yang sudah banyak melakukan
perantauan dan ia tahu betul bahwa apabila menyewa kamar di
rumah penginapan, tamu harus mencatatkan nama dan
alamatnya karena pihak penginapan akan dapat menca?ri dan
menagihnya kalau Si Penyewa pergi diam-diam tanpa
membayar sewa kamarnya. Maka ia lalu mengambil kantung
uangnya, mengeluarkan dua potong perak dan menaruhnya di
atas me]a. "Apakah ini cukup untuk menyewa sebuah kamar selama lima
hari?" 303 Dua orang pengurus itu tersenyum dan penanya tadi cepat
berkata. "Wah, biarpun dengan makan minumnya selama lima
hari, uang Nona mungkin masih ada kelebihannya."
"Kalau begitu, terima uang ini untuk membayar lebih dulu sewa
kamar dan bayar makanan selama lima hari. Kelebihannya boleh
ambil. Tentang namaku, kiranya tidak perlu dicatat lagi karena


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sewanya sudah kubayar lunas di muka."
Dua orang itu saling pandang lalu mengangguk. Tidak biasa
seorang tamu membayar di muka berikut makanannya. Akan
tetapi karena gadis itu sudah membayar selama lima hari,
mereka pun tidak merasa perlu lagi untuk mencatat nama dan
alamat gadis itu walaupun di dalam hati mereka ingin ]uga
mengetahui siapa nama gadis yang cantik ]elita namun yang
berwa]ah dan bersinar mata dingin itu.
"Ah, baiklah kalau Nona menghendaki demikian. Ini kunci kamar
Nona." "Aku menghendaki sebuah kamar yang tenang di sudut."
"Baik, Nona. Di sudut bagian belakang ada kamar kosong. Ini
kuncinya. A-sam, antarkan Nona ini ke kamarnya," kata
pengurus itu kepada seorang pelayan yang bertugas di rumah
penginapan. Pelayan itu mengantarkan Bi Lan ke kamarnya.
Bi Lan cukup senang dengan kamar itu karena cukup bersih
terawat baik. Kain alas pembaringan dan sarung bantalnya
semua bersih dan habis dicuci. Kamar itu mempunyai sebuah
jendela yang menghadap ke taman yang sederhana. Karena
304 letaknya di ujung maka lebih sunyi dan tenang dibandingkan
dengan kamar-kamar yang berada di depan dan tengah.
Setelah mandi dan bertukar pakaian bersih, Bi Lan menyerahkan
semua pakaian kotor kepada pelayan untuk dicuci, kemudian ia
meninggalkan buntalan pakaiannya, keluar dari kamar,
mengunci pintunya dan pergi ke depan, ke rumah makan. Ia
merasa segar sehabis mandi air dingin. Hawa udara pada waktu
itu tidak dingin, bahkan agak panas karena musim panas sedang
kuat-kuatnya. Ia memakai mantelnya, bukan karena dingin,
melainkan untuk menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ia tahu
hanya akan menarik pandang mata yang kurang ajar dari para
pria, hal yang terkadang membuatnya marah sekali.
Semenjak menjadi murid Si Mayat Hidup Berjalan, Bi Lan
merasa tidak perlu lagi membawa senjata tajam walaupun ia
memiliki keahlian bermain silat pedang. Sekarang, segala
macam benda dapat saja ia pergunakan sebagai senjata yang
ampuh. Bahkan dua pasang kaki tangannya juga sudah
merupakan senjata yang amat ampuh.
Pelayan rumah makan yang setengah tua tadi menyambut Bi
Lan yang datang dari rumah penginapan dengan senyum ramah.
Kini Bi Lan tidak memakai ca-pingnya dan wajahnya tampak
cantik sekali. Pakaiannya berwarna merah muda dan biarpun
potongannya sederhana dan ia tidak mengenakan perhiasan
apa pun, namun pakaian itu bersih dan ia dalam kepolosannya
bahkan tampak lebih segar dan kecantikannya aseli tanpa bedak
atau gincu. Sayang bahwa wajah yang cantik itu muram dan
mendatangkan kesan dingin karena sinar mata itu layu dan
mulut itu pun tidak membayangkan perasaan apa pun.
305 "Selamat sore, Nona. Sayang tempatnya agak penuh, akan
tetapi masih ada meja kosong di sudut sana. Mari, silakan,
Nona," kata pelayan itu, sambil mendahului menuju ke sebuah
meja kosong di sudut kanan bagian depan. Rumah makan itu
kini penuh tamu yang hendak makan malam.
Bi Lan memesan nasi dan tiga macam masakan, juga minuman
yang tidak begitu kuat seperti arak. Ada tersedia semacam
minuman anggur atau sari apel yang tidak sekuat arak biasa.
Bi Lan menanti datangnya pesanan?nya sambil duduk diam di
atas kursinya, menghadapi meja. Pada saat itu, ruangan penuh
tamu yang sebagian besar adalah laki-laki. Lima meja yang
berada tidak begitu jauh dari meja Bi Lan diduduki rombongan
laki-laki dan mereka semua, tidak kurang dari duapuluh orang
banyaknya, mengarahkan pandang mata mereka kepada Bi Lan.
Bahkan yang duduk di meja yang berada di belakang gadis, itu,
masih juga melayangkan pandang mata mereka ke arah Bi Lan
walaupun yang mereka lihat hanya bagian belakang tubuh gadis
itu. Di sana-sini terdengar suara tawa dan jelas bahwa mereka
itu menujukan kelakar mereka kepada Bi Lan yang membuat
mereka semua merasa kagum.
Tiba-tiba banyak tamu bangkit berdiri, mulai dari yang duduk di
bagian terdepan. Mereka bangkit berdiri untuk menghormati
rombongan yang baru masuk. Karena Bi Lan duduk menghadap
ke arah pintu depan, maka tanpa disengaja ia pun melihat
rombongan itu. Rombongan terdiri dari empat orang, akan tetapi
semua orang itu menghormati orang yang berjalan paling depan.
Dia seorang pria berusia sekitar tigapuluh tahun, bertubuh tinggi
kurus dan wajahnya cukup tampan walaupun pandang mata dan
306 senyum mengejek di bibirnya memberi kesan angkuh sekali.
Melihat orang-orang memberi hormat kepadanya, dia
mengangkat tangan kanan ke atas seperti seorang raja yang
menerima penghormatan rakyatnya! Dari pakaian orang ini
dapat diduga bahwa dia tentu seorang pemuda bangsawan
tinggi yang kaya raya. Pakaian serba mewah gemerlapan,
dengan mantel bulu indah dan topinya juga dari bulu biruang
berwarna putih. Tiga orang yang berjalan di belakangnya dapat diduga adalah
para pengawalnya. Pakaian mereka juga indah, akan tetapi tidak
semewah pakaian pemuda yang mereka kawal. Tiga orang lakilaki ini berusia antara tigapuluh sam?pai empatpuluh tahun,
ketiganya bertubuh tinggi besar dan tampak kokoh kuat. Di
punggung masing-masing tergantung sebatang pedang yang
besar panjang. Biarpun orang-orang di rumah makan itu
menghormati pemuda yang mereka kawal, namun tiga orang ini
berjalan dengan dada dibusungkan dan langkah mereka tegap,
sambil tersenyum bangga seolah-olah merekalah yang diberi
hormat banyak orang itu. Bi Lan melihat betapa dua orang pengurus rumah makan dan
rumah penginapan itu bangkit sendiri untuk menyambut empat
orang tamu itu. Sambil membungkuk-bungkuk mereka
menyambut dan seorang di antara mereka berkata dengan
suara merendah dan ramah.
"Selamat datang, Hiu-kongcu (Tuan Muda Hiu)! Sungguh
merupakan kehormatan besar bagi kami untuk menyambut
kunjungan Kongcu. Silakan mengambil tempat duduk di sebelah
dalam, Kongcu!" 307 Akan tetapi pemuda yang disebut Hiu-kongcu itu kebetulan
memandang kepada Bi Lan. Wajahnya berseri dan senyumnya
melebar, pandang matanya seolah melekat pada tubuh Bi Lan
yang dijelajahinya dengan penuh perhatian. Dia lalu berkata
kepada dua orang pengurus rumah makan itu.
"Aku ingin duduk di meja itu!" Dia menuding ke arah meja tepat
di depan Bi Lan yang sudah diduduki empat orang laki-laki.
"Akan tetapi meja itu
" "Suruh mereka pindah ke meja lain!" bentak seorang di antara
tiga pengawal itu, yang berkumis tebal sambil memandang dua
orang pengurus itu dengan mata melotot.
Dua orang pengurus itu saling pandang, lalu keduanya bergegas
menghampiri meja yang diminta itu dan dengan suara berbisikbisik mereka berdua membujuk kepada empat orang laki-laki
untuk pindah meja. Empat orang laki-laki itu adalah tamu dari
luar kota dan mereka tidak mengenal rombongan tamu yang
baru masuk, maka mereka tentu saja merasa tidak senang harus
pindah meja dan memberikan meja mereka kepada orang lain.
Akan tetapi dua orang pengurus itu membujuk akan memberi
potongan setengah harga dari harga makanan yang mereka
pesan dan ketika mereka memandang ke arah tiga orang tinggi
besar yang melotot kepada mereka, akhirnya mereka tidak
berani membantah lagi. Mereka terpaksa pindah ke meja lain
dan masakan di meja mereka diangkut dan dipindahkan
pelayan. Meja itu lalu dibersihkan dan pemuda bersama tiga orang
pengawalnya dipersilakan duduk. Pemuda itu mengambil tempat
308 duduk yang menghadap ke arah Bi Lan sehingga dia dapat
saling pandang dengan gadis itu. Dia tersenyum-senyum kepada
Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan sudah menundukkan pandang
matanya dan tidak mengacuhkan mereka lagi. Ia melihat betapa
rombongan baru ini dengan semena-mena memaksa tamu untuk
pindah, akan tetapi karena hal itu bukan urusannya, maka ia pun
tidak perduli sama sekali.
Semenjak pengalaman pahit menimpa dirinya, apalagi setelah
mempelajari ilmu dari Si Mayat Berjalan, Bi Lan tidak perduli
apapun juga yang tidak menyangkut dirinya. Kalau dulu, melihat
kejadian ini ia tentu akan merasa penasaran sekali dan sudah
menghajar rombongan yang sewenang-wenang ini! Akan tetapi
sekarang ia sama sekali tidak memperdulikannya. Juga pandang
mata yang penuh gairah dari pemuda berpakaian mewah itu
dianggapnya seperti angin lalu saja, sama sekali tidak
ditanggapinya. Biarpun ia tidak mengacuhkan mereka, namun tetap saja ia
merasa dongkol juga ketika beberapa orang pelayan datang
menghidangkan belasan macam masakan di meja rombongan
itu, padahal ia yang lebih dulu datang dan memesan belum juga
dilayani! Mengertilah ia bahwa tentu pemuda. itu merupakan
seorang tokoh yang berpengaruh di kota raja sehingga pengurus
rumah makan itu menghormatinya secara berlebihan. Bi Lan
mulai mengerutkan alisnya, merasa disepelekan. Ketika ia
melihat pelayan tua tadi, ia menggapai dan pelayan itu cepat
menghampirinya. "Bagaimana ini" Aku yang memesan sejak tadi belum dilayani,
orang lain baru datang sudah didahulukan pelayanannya!"
309 "Aih, maafkan kami, Nona. Baiklah, akan saya ambilkan
pesanan Nona sekarang juga! Pelayan itu bergegas pergi ke
Tangan Berbisa 1 Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Anak Harimau 17
^