Kelana Buana 10
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 10
benar-benar bertemu dengan sang piauko"
Rasa cintanya masa kecil yang remang-remang dulu sudah menjadi bayangan gelap yang tak
dapat dilukiskan lagi, kawan bermain di waktu kecil, sekali tempo berjumpa sudah tentu sulit
menahan perasaan riang dan haru hatinya.
Dalam pada itu Boh Cong-tiu selalu menyibukkan diri bicara dengan Kim Tiok-liu mengenai
urusan upacara besar yang akan tiba besok lusa, memang dia sulit menahan perasaan senang dan
haru hatinya, namun perasaan hatinya ini dia tujukan kepada seorang pemuka muda dari
pahlawan laskar gerilya yang penting kedudukan-.nya yang sudi berkunjung pada pertemuan
besar perguruan, jadi bukan karena pertemuannya dengan Lim Bu-siang.
Tak lupa ia pun membicarakan orang aneh yang pergi datang tidak meninggalkan jejak itu,
sehingga di dalam rasa senang dan harunya itu tanpa disadari ia melimpahkan pula perdsaan
gugup dan gelisah hatinya. Rasa gugup atau gelisah itu sendiri kadang-kadang sulit dibedakan
dengan rasa kaget dan heran, tapi peduli gugup atau keheranan, bagi Lim Bu-siang sangat jelas
dan dia dapat menyelami, bahwa perasaan itu bukan ditujukan karena kehadirannya. Kecuali rasa
di luar dugaan yang sekejap di waktu melihat dirinya tadi, bahwasanya piaukonya kini seolah-olah
sudah mengabaikan kehadirannya di antara mereka.
Kenangan indah yang berkesan dalam relung hatinya masa lalu kini seperti gelembung buih
yang pecah menghilang tanpa bekas, bukanlah mustahil kalau Lim Bu-siang harus merasa hampa
dan mendelu karenanya. Adalah Kim Tiok-liu yang menyadari telah bersikap dingin kepadanya, tiba-tiba ia sadar dan
berseru tertawa: "Boh-heng, kau tidak menduga bakal bertemu dengan piaumoaymu bukan!
Bicara terus terang aku sendiri pun tidak menyangka Bu-siang bakal hadir."
Kim Tiok-liu benar-benar terkejut dan heran akan kedatangan Bu-siang, semula dia masih
kuatir, kalau kedua orang ini saling bertemu, luka-luka lubuk hati Lim Bu-siang bisa kumat lagi.
Sekarang dilihatnya Lim Bu-siang sedemikian tenangnya, hal inilah yang benar-benar membuatnya
di luar dugaan. "Maksud Ang-ing memang benar, agaknya akalnya memindah kembang menyambung dahan ini
bakal sukses, agaknya Bu-siang sudah melimpahkan cintanya ke sasaran lain," demikian pikir Kim
Tiok-liu. Dia tidak tahu bahwa Beng Goan-cau baru saja bertemu dengan Lim Bu-siang di bawah
gunung, dikiranya mereka datang bersama dari Soh-ciu. Maka di kala ia melihat Lim Bu-siang
mengintil di belakang Beng Goan-cau tanpa bersuara, ganjalan hatinya selama ini dengan sendiri
menjadi buyar, serta merta ia mengunjuk senyum manis dan senang.
Boh Cong-tiu seperti tersentak, katanya: "Bu-siang. kita sudah puluhan tahun tidak bertemu
bukan! Kini sudah tumbuh begini besar. Apakah kau sudah bertemu dengan piausomu?"
"Tadi di bawah gunung sudah ketemu. Piauko, kusampaikan selamat kepadamu!"
"Nanti kalau piausomu pulang, biar kita bicara kekeluargaan lebih lanjut. Dua hari ini aku rada
sedikit repot." Berkata Lim Bu-siang tawar: "Kita kau bukan orang luar, silakan kau urus kesibukanmu, tidak
perlu main sungkan padaku."
Di mulut ia bicara 'bukan orang luar', namun dalam hati ia merasa bahwa piaukonya ini tidak
ubahnya seperti orang luar sudah.
Setelah hujan cuaca kembali cerah. Boh Cong-tiu berjalan paling depan menuntun jalan,
beriring mereka naik ke atas. Setelah melewati Cap-pwe-ban yang paling berbahaya, tibalah
mereka pada pintu gerbang terakhir dari puncak Thay-san yaitu pintu gerbang Lam-thian-mui.
Hembusan angin barat daya dengan kencang menghembus keluar dari lubang pintu Lam-thianbun,
pakaian mereka melambai berbunyi, membuat orang seakan-akan merasa berjalan terbang di
tengah angkasa. Setelah keluar dari Lam-thian-bun, memandang ke bawah, pemandangan kelihatan lain dari
yang lain, amat mempesonakan, seluas mata memandang dataran rendah terbentang menghijau
tak berujung pangkal, jauh di ufuk timur sana tampak sesuatu keputihan, yang bergerak-gerak
pulang pergi berkilauan, itulah deburan ombak di lautan timur yang jaraknya ratusan li.
Seketika terasa lapang perasaan Lim Bu-siang, katanya tertawa: "Beng-toako, sekarang tepat
sekali kalau dikatakan dari ketinggian melongok bukit-bukit menjadi kecil!"
Kim Tiok-liu nyeletuk bicara: "Besok kalian harus bangun pagi-pagi, di puncak Thay-san melihat
matahari terbit, pemandangan'aneh jauh lebih menakjubkan!"
"Apa benar?" sahut Lim Bu-siang. "Kalau begitu biarlah besok kau panggil aku!"
"Besok mungkin aku harus turun gunung menyambut kedatangan Tan Kong-cau dan Tan Kongsi
dua bersaudara, keluarga Tan di Soh-ciu ini punya ikatan erat dengan keluargaku. Lebih baik
kau ajak Beng-toako saja!"
Lain pula Boh Cong-tiu sedang memikirkan persoalan dirinya, sesaat ia menyela bicara: "Kupikir
seluruh orang-orang gagah seluruh jagat berkumpul bersama di puncak Thay-san kalau bisa
menjagoi dan memimpin seluruh dunia persilatan, berjuang mencapai suatu cita-cita luhur, kukira
hal ini bisa dibandingkan dengan kemegahan puncak Thay-san ini."
Tiok-liu tertawa, katanya: "Kalau aku malah ingin bisa hidup bebas kelana di antara gunung,
sungai dan bumi nan subur luas ini, sedikit pun tiada punya cita-cita ambisi yang sedemikian
tingginya, hal itu kupasrahkan kepada kau saja Boh-heng!"
"Kim-heng suka berkelakar saja. Yang kukejar hanyalah menjabat ciangbunjin sesuatu aliran
belaka, dan itu sudah cukup berkelebihan bagiku."--Meski begitu ia bicara, namun Lim Bu-siang
merasakan pada nada bicaranya, betapa besar ambisinya hendak bersimaharaja sendiri.
Dari Lam-thian-bun maju lebih lanjut tibalah mereka di Giok-hong-ting, puncak tertinggi dari
Thay-san. Di puncak Giok-hong terdapat sebuah Giok-hong-koan, biara besar ini dipinjam Boh
Cong-tiu untuk melayani dan tempat tinggal para tamu-tamu agungnya, sekitarnya didirikan pula
barak-barak darurat untuk tempat tinggal para tamu-tamu yang datang dari berbagai tempat.
Boh Cong-tiu sudah mengatur tempat tinggal Lim Bu-siang, sebuah kamar mungil yang terletak
deretan kamar belakang di sebelah samping biara besar itu. Semula tempat ini disediakan untuk
istri Kang Hay-thian, terang Kang-hujin tidak akan datang, maka kebetulan malah diperuntukkan
Lim Bu-siang. Boh Cong-tiu sendiri yang membawa Lim Bu-siang ke kamar itu, mendadak Boh Cong-tiu
bertanya: "Piaumoay malam nanti apakah kau hendak tidur pagi-pagi?"
Sekilas Lim Bu-siang tercengang, sahutnya: "Ada urusan apa?"
"Tidak apa-apa, ada omongan yang perlu kusampaikan kepadamu, tapi mungkin setelah lewat
tengah malam baru aku ada kesempatan kemari!"
"Begitu pun baik. Tapi setelah kentongan kedua terpaksa aku tinggal tidur."
"Sudah tentu," ujar Boh Cong-tiu tertawa. "Kalau lewat kentongan kedua sudah tentu aku tidak
akan kemari." Setelah kentongan kedua Lim Bu-siang menunggu secara sia-sia, piaukonya tidak kunjung tiba.
Di saat Lim Bu-siang keisengan dan melayangkan pikirannya yang kacau balau, entah urusan apa
yang hendak dibicarakan piaukonya, mendadak didengarnya kicauan nyaring, tengah malam buta
rata sudah tentu Lim Bu-siang menjadi terkejut, waktu ia angkat kepala dilihatnya pada daun
jendelanya bertengger seekor burung kecil berbulu putih kehijauan mulus, sementara paruhnya
yang panjang berwarna merah seperti sebentuk jamrut delima.
Kalau dikatakan memang aneh, burung kecil ini agaknya mengerti watak manusia, tahu Lim Busiang
senang padanya, begitu dipandang dengan senyum manis, kicauannya semakin merdu,
malah manggut-manggut kepala ke arah Lim Bu-siang.
Mendadak timbul sifat kekanakan Lim Bu-siang, segera ia maju menghampiri hendak
menangkapnya, cepat burung kecil itu terbang keluar dan hinggap di atas dahan pohon serta
berkicau lagi ke arah dirinya.
Umumnya burung sekecil ini malam-malam tidak akan beterbangan, maka Lim Bu-siang
semakin keheranan, katanya tertawa: "Apakah kau sengaja hendak bermain dan menjadi teman
dengan aku?" sembari bicara segera ia mengejar keluar.
Lim Bu-siang melambatkan kakinya, begitu tiba di bawah pohon, tiba-tiba ia kembangkan
ginkangnya dengan gaya lt-ho-cong-thian (burung bangau menjulang ke langit) kontan tangannya
meraih ke arah burung kecil yang hinggap di atas dahan. Begitu dahan tergetar, tahu-tahu burung
kecil terbang lari ketakutan.
"Eh, burung kecil, tak usah gugup jangan takut, aku hanya ingin berkawan dengan kau." Aneh
seperti bisa mendengar dan tahu maksud kata-katanya, burung kecil itu terbang berputar tiga
lingkaran, pelan-pelan terus berputar-putar terbang di atas kepalanya.
Lim Bu-siang tidak berhasil memegangnya, namun ia tidak tega menyambit dengan batu,
katanya tertawa: "Kalau kau pun suka kepadaku, silakan kau turun sendiri."
Alhasil kali ini burung kecil itu tidak mau dengar kata-katanya, pelan-pelan ia terbang pergi ke
arah depan sana, tak lama kemudian ia hinggap di atas pohon di depan sana. Memang sifat
Jenaka Lim Bu-siang masih belum lepas, karena godaan yang melucu ini menarik hatinya, katanya
pula: "Biar kulihat kau hendak membawa aku ke mana?"
Tanpa sadar ia mengejar terus sampai memasuki sebelah dalam hutan yang belukar, tahu-tahu
entah ke mana pula jejak burung kecil itu, tidak kelihatan pula bayangannya.
Tiba-tiba Lim Bu-siang teringat masa kecilnya waktu bersama piaukonya memanjat pohon
menggerayangi sarang burung, tanpa merasa ia tertawa geli sendiri, pikirnya: "Tadi kalau dilihat
oleh piauko, entah dia akan mentertawakan kelakuanku" Ai, sayang dia berpikir menjadi orang
gagah yang lebih diagungkan dari kemegahan Thay-san, mana mungkin sudi mengenang kejadian
masa kecil yang nakal dulu?"
Cahaya bulan masih remang-remang, bintang kelap kelip di cakrawala, puncak-puncak Thaysan
yang tersebar luas kelihatan jauh lebih menyegarkan dan sederhana. Menghadapi keadaan
yang serba sederhana ini, pikiran muluk-muluk seketika tersapu bersih di luar kepala. Terasakan
sesuatu keindahan lain dari kelebihan yang semarak.
Berpikirlah Lim Bu-siang: "Memangnya aku tidak bisa tidur, biarlah aku jalan-jalan sebentar di
sini!" Malam gulita suasana hening lelap, duduk di bawah pohon Lim Bu-siang layangkan pikirannya,
entah berapa lama berselang, tiba-tiba didengarnya seperti ada orang sedang mendatangi ke
arahnya. Lamunan Lim Bu-siang tersentak buyar dari derap kaki orang, dengan cermat ia lalu pasang
kuping dan meningkatkan kewaspadaannya, lapat-lapat dilihatnya dua bayangan orang sedang
lewat di selat gunung sebelah sana. Meski yang dilihat hanyalah bayangan punggung orang,
namun ia masih dapat membedakan dengan jelas, salah satu di antara kedua orang itu adalah
piaukonya. Seorang yang lain mengenakan baju dan celana panjang warna hitam yang ketat, kepalanya
mengenakan topi beludru yang lebar,
Lim Bu-siang tidak tahu dan tidak kenal orang macam apakah dia ini.
Kebetulan angin pegunungan sedang menghembus ke arah dirinya, lapat-lapat Lim Bu-siang
mendengar suara piaukonya sedang berkata: "Setelah lewat selat gunung ini, ada sebuah jalan
kecil yang tembus ke bawah gunung." Segera orang itu menyahut: "Aku tahu, silahkan Boh-heng
kembali saja"-Boh Cong-tiu berkata pula: "Biar kuantar lebih lanjut." Bicara sampai di sini kedua
orang itu sudah memasuki selat gunung dan tidak kelihatan bayangannya, apa yang mereka
perbincangkan lebih lanjut, ia pun sudah tidak mendengar lagi.
Lim Bu-siang menjadi heran, pikirnya: "Apakah orang itu bukan tamu undangan piauko untuk
menghadiri pertemuan besar" Upacara kebesaran berdirinya partai besok lusa akan dibuka,
kenapa dia tidak menunggu setelah peristiwa besar ini berlangsung lantas pergi" Untuk pergi
sepantasnya di waktu siang secara terang-terangan, kenapa pula harus melalui jalan sempit di
tengah malam buta rata lagi."
Sekian lama Lim Bu-siang tidak berhasil memperoleh jawaban berbagai pertanyaan itu. Tibatiba
teringat olehnya cerita yang didengarnya dari peristiwa yang dialami Utti Keng, tanpa merasa
ia bergidik dan merinding.
"Apakah orang itu adalah kurir yang diutus mencari hubungan dengan dia dari pihak sana" Jadi
utus mengutus bolak-balik mematangkan rencana kedua pihak, bukan mustahil... bukan
mustahil..." Lim Bu-siang tidak berani memikirkan lebih lanjut.
Betapapun ia masih amat percaya kepada piaukonya, lantas terpikir pula: "'Tidak mungkin,
tidak mungkin. Piauko baru akan mendirikan partai menegakkan aliran, bersahabat dengan
seluruh orang-orang gagah seluruh jagat, mana mungkin dia berhubungan secara rahasia dengan
kurir pihak kerajaan, apakah dia tidak takut nama runtuh badan hancur" Agaknya aku hanya
mereka-reka secara membabi buta belaka."
Pikirannya timbul tenggelam, entah bagaimanaa jalan pikirannya, mendadak berubah haluan
kepada Beng Goan-cau. "Beng-toako adalah seorang yang punya pengertian mendalam, sayang
aku tidak bisa merundingkan persoalan ini padanya."'
Lalu terpikir pula olehnya: "Janji piauko hendak menemui aku mungkin sudah batal, lebih baik
aku tidur lebih pagi, supaya besok pagi tidak terlambat bangun untuk melihat matahari terbit di
Giok-hong-ting. Em, mungkin sekarang dia sudah kelelap dalam impiannya, tak nyana aku justru
berada di semak belukar menikmati panorama malam yang menyejukkan ini?"
Rekaan Lim Bu-siang ternyata meleset sama sekali, ia anggap Beng Goan-cau sudah tidur
kelelap, di luar tahunya bahwa Beng Goan-cau saat mana ternyata sedang berada di atas gunung
pula. tempatnya cuma terpaut satu selat gunung di sebelah sana dari tempat sekarang ia berada.
Malam ini seperti pula keadaan Lim Bu-siang, Beng Goan-cau merasa kurang tentram, hatinya
gundah gulana gulak-gulik tidak bisa pulas. Kira-kira mendekati kentongan ketiga, lapat-lapat
seperti didengarnya lambaian pakaian orang yang tertiup angin terbang lewat dari atas genteng
kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang punya pengalaman di kangouw. lantas ia tahu bahwa
ada seseorang berjalan malam sedang berada di sekitarnya, entah apa kerjanya. Keruan ia
terkejut dan heran pula. 'Orang-orang gagah seluruh jagat sedang berkumpul di sini, mungkinkah orang jalan malam ini
sedang main selidik dari pihak musuh" Tapi kalau dia pihak orang sendiri, untuk apa pula
berindap-indap pada tengah malam buta rata secara sembunyi?"
Sang waktu berjalan amat cepat. Beng Goan-cau tiada tempo banyak pikir, bergegas ia
melompat bangun mengenakan pakaian terus mengejar keluar menguntit orang jalan malam itu.
Cahaya bulan remang-remang, bayangan hitam tampak sedang menuju ke arah barat laut,
sekejap saja sudah menghilang masuk hutan.
Berpikir Beng Goan-cau: "Kalau orang itu adalah seorang cian-pwe kosen dari kaum pendekar,
mengetahui aku sedang menguntit dia, wah rasanya tidak enak hati." Maka dengan main
sembunyi-sembunyi di setiap benda-benda yang dapat menutupi badannya, ia berindap-indap
maju terus ke depan mengikuti jejak orang.
Tiba-tiba didengarnya seseorang bicara: "Meskipun Boh Cong-tiu tidak dapat memberikan
harapan seluruhnya sesuai pemintaan kita, tapi dia sudah berjanji tidak akan mempersulit pihak
kita. Su-hay-sin-liong si tua bangka itu besok pagi naik gunung, kau harus hati-hati dan sepintar
mungkin memainkan peranan sandiwaramu."
Kata-kata orang ini diucapkan amat lirih dan enteng bahwasanya ia mengucapkan kata-katanya
berbisik di pinggir kuping temannya. Soalnya Beng Goan-cau pernah berlatih mendekam di tanah
mendengarkan suara, maka dengan jelas ia dapat mendengar setiap patah ucapan orang.
"Aih, suara orang ini seperti amat kukenal, agaknya pernah kudengar entah di mana," Beng
Goan-cau menjadi keheranan dan bingung.
Maka didengarnya seorang yang lain juga menjawab lirih: "Ciok-tayjin, legakan hatimu. Tapak
tangan di dadaku belum lagi hilang, tua bangka itu pasti percaya padaku."
Bicara orang ini pun amat lirih, logatnya membawa nada kampung halamannya di daerah
Ciatkang utara, dalam menyebutkan kata-kata "Ciok" seolah-olah seperti membaca huruf "Yap."
Hanya lapat-lapat saja Beng Goan-cau mendengar "Ciok-tayjin", tiba-tiba tergerak hatinya, tibatiba
teringat olehnya, "Ciok-tayjin" Kiranya adalah wakil komandan Gi-lim-kun yang bernama Ciok
Tio-ki itu, tak heran suaranya Seperti amat kukenal?"
Ciok Tio-ki adalah laki-laki baju hitam yang memalsu jadi pedagang obat-obatan itu, dia putar
balik kenyataan, menuduh Utti Keng sebagai cakar alap-alap pihak kerajaan, sementara dikatakan
dirinya punya hubungan intim dengan pihak pasukan pergerakan di Siau-kim-jwan, maka dia
dikejar-kejar oleh alap-alap antek-antek kerajaan. Sehingga timbul kesalah pahaman antara Beng
Goan-cau dan Utti Keng, mereka bertempur sendiri di tengah jalan.
Bahwa wakil komandan Gi-lim-kun menyelundup di antara sekian banyak orang-orang gagah
ikut menghadiri pertemuan besar orang-orang gagah di Thay-san, malah ada hubungan dan
kontak rahasia dengan tuan rumahnya Boh Cong-tiu. Bagi Beng Goan-cau penemuannya sudah
tentu bukan kepalang mengejutkan hatinya.
Sebab meski percakapan mereka amat lirih, mengandal kepandaian mendekam di tanah
mendengarkan suara, Beng Goan-cau mencuri dengar pembicaraan mereka, tapi tidak begitu
jelas. Maka Beng Goan-cau menjadi ragu-ragu dan makin curiga sendiri, "Apakah benar Ciok Tio-ki
adanya?" Berpikir Beng Goan-cau: "Entah yang dikatakan orang itu Ciok-tayjin atau Yap-tayjin Kalau aku
yang salah dengar, tidak pantas aku main mencurigai orang!"
Cahaya bulan masih remang-remang, hutan cukup lebat lagi, suasana jadi rada redup guram,
besar hasrat Beng Goan-cau membongkar kedok orang, maka terpaksa ia harus berani menempuh
bahaya. Entah kedua orang itu sudah tahu bahwa mereka dikuntit, mendadak mereka mempercepat
langkah kakinya dan lari. Kebetulan Beng Goan-cau tiba di bagian atas dari selat gunung, dari
ketinggian ia jelas melihat ke bawah, samar-samar dilihatnya punggung orang itu, betul juga
adalah laki-laki baju hitam yang ditemuinya malam itu. Malah dandanannya juga mirip, berpakaian
serba hitam, kepalanya mengenakan topi beludru berpinggir lebar.
Bahna kejutnya tanpa hiraukan segalanya segera ia terjun ke bawah dan mengejar. Namun
begitu kakinya baru saja menginjak bumi, tiba-tiba dirasakannya segulung angin menerjang tiba,
seorang yang lain ternyata mencegat jalan dan membokong dirinya.
Lekas Beng Goan-cau membalikkan telapak tangan balas memukul sekali, agaknya tenaga
pukulan orang itu tidak ungkulan melawan dirinya, terdengar hidungnya mendengus, lalu memaki:
"Mata-mata yang bernyali besar!" Tubuhnya tiba-tiba berkisar memutar secepat kilat merangsak
maju, sekaligus ia merabu dengan tiga puluh enam jalan pukulan.
Permainan pukulan lawan berkembang amat gesitnya, melayang timbul tenggelam tidak
menentu, tenaga pukulannya kadang-kadang lunak, ada kalanya keras, sekonyong-konyong
seperti gelombang pasang mengamuk, tiba-tiba berubah seperti lambaian daun pohon yang halus
lembut. Belum pernah Beng Goan-cau melihat ilmu pukulan macam ini, sesaat ia jadi kerepotan
dicecar secara gencar oleh rangsakan aneh ini, pandangan mata serasa kabur.
Terpaksa Beng Goan-cau kerahkan tenaga pukulannya, sekali hantam ia bikin lawannya
tergentak mundur satu tombak lebih, begitu ia melihat tegas lawannya, hatinya terkejut bukan
kepalang. Ternyata lawannya ini bukan orang lain, tidak lain tidak bukan adalah Nyo Bok yang pernah
dilihat Beng Goan-cau waktu di rumah Kim Tiok-liu tempo hari.
Mimpi pun Beng Goan-cau tidak mengira di tempat ini bakal bertemu dengan suami Hun Ci-lo,
sesaat ia melenggong dan berdiri mematung.
Sebaliknya Nyo Bok merasa mendapat kesempatan menubruk maju pula dengan rangsakan
hebat, karena tidak berjaga-jaga Beng Goan-cau kena digebuknya sekali, untung ia mengandal
kekebalan lwekangnya, meski terasa sakit tapi tidak sampai terluka. Tapi pukulan orang seketika
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyadarkan lamunannya malah.
Sigap sekali Beng Goan-cau melompat menyingkir setombak, teriaknya: "Tahan, berhenti
sebentar. Apakah kau Nyo Bok dari Soh-ciu?"
Nyo Bok pun melenggong, bentaknya: "Siapa kau?"
Beng Goan-cau tersentak sadar, pikirnya: "Nyo Bok sedang menyebar kabar burukku di manamana,
dikatakan aku memelet istrinya, kalau aku menerangkan siapa diriku, mungkin urusan
berlarut-larut semakin sulit diselesaikan!"
Setelah melenggong Nyo Bok pun lantas sadar, tiba-tiba ia berpikir: "Percakapanku dengan Ciok
Tio-ki, entah dicuri dengar tidak oleh keparat ini. Peduli siapa dia, bunuh saja menutup mulutnya
habis perkara." Sementara Beng Goan-cau menjadi ragUi-ragu: "Kalau aku melukai dia, betapa tidak enak
hatiku terhadap Hun Ci-lo." Namun Nyo Bok tidak memberi kesempatan ia memberi penjelasan,
serangannya semakin gencar dan ganas. Beng Goan-cau tidak berani melukainya, terpaksa hanya
main mundur membela diri saja. Begitu gencar rangsakan lawan sehingga ia susah ganti napas,
sudah tentu tidak mungkin pula ia membuka mulut.
Seorang diri Lim Bu-siang mondar-mandir di dalam hutan, hatinya gundah dan risau, baru saja
ia putar balik hendak pulang tidur, tiba-tiba didengarnya derap langkah menginjak daun-daun
kering mendatangi, tahu-tahu muncul ah sesosok bayangan orang. Keruan Lim Bu-sia'ng terkejut,
teriaknya: "Piauko, o, kau!"
Agaknya Boh Cong-tiu juga amat terkejut, ia pun berteriak bersamaan: "Bu-siang piaumoay,
ternyata kau!" Di bawah cahaya rembulan yang remang-remang, wajah Boh Cong-tiu kelihatan berubah kaku
membeku, kedua biji matanya berkilat menatap Lim Bu-siang. Entah mengapa, mendadak nurani
Lim Bu-siang merasa sang piauko rada menakutkan.
Setelah menenangkan hati, segera Boh Cong-tiu berkata: "Bu-siang, kenapa kau belum tidur,
tengah malam buta rata mondar-mandir seorang diri di sini untuk apa?"
Sebetulnya Lim Bu-siang hendak menjawab: "Kenapa pula kau tengah malam buta rata
mengantar tamu?" Namun dalam sekejap itu seolah-olah ia merasa sang piauko ini amat asing
bagi dirinya, dan menakutkan sekali, untunglah kata-katanya itu segera ditelannya kembali.
"Bukankah tadi siang kau mengatakan hendak bicara dengan aku" Kutunggu kau tidak kunjung
tiba, tidak bisa tidur lagi terpaksa keluar jalan-jalan. Hm, lihatlah panorama Thay-san di waktu
malam, ternyata jauh lebih elok dibanding siang hari." Lim Bu-siang tidak biasa berbohong dan
bermuka-muka, tidak urung nada bicaranya rada gemetar dan ganjil kedengarannya.
Untung Boh Cong-tiu tidak menyadari hal ini, katanya tertawa: "Watakmu masih seperti kecil
dulu, suka duduk seorang diri di malam nan sunyi, entah apa saja yang sedang kau pikirkan?"
"Kejadian di waktu kecil masakah kau masih ingat?" ujar Lim Bu-siang mendelu.
Agaknya Boh Cong-tiu seperti teringat sesuatu, katanya: "Sekarang jangan kita membicarakan
urusan masa kecil dulu. Tadi kau mengatakan apa, menunggu aku tidak kunjung datang bukan?"
"Ya, kukira kau kelupaan atas janjimu kepadaku. Setelah kutunggu sampai kentongan ketiga,
bayangan pun tidak kelihatan," demikian sahut Lim Bu-siang.
Ganjalan hati Boh Cong-tiu seketika buyar sirna, pikirnya: "Biasanya Bu-siang tidak biasa
membual, menuruti wataknya bila dia melihat aku, tentu jauh-jauh sudah mengejar datang dan
memanggil aku." Maka segera ia berkata: "Mana bisa aku melupakan janjiku kepada kau. Soalnya
ada tamu ajak mengobrol, sampai sekian lama dia tidak mau mundur aku pun sungkan menyilakan
sang tamu pergi. Untunglah sekarang kau belum tidur, kebetulan malah bersua di sini."
"Ada omongan apa yang perlu kau sampaikan kepadaku?"
"Kita sudah berpisah sekian tahun, entah berapa banyak kata yang perlu kukatakan, tak tahu
aku dari soal apa mulai pembicaraan ini."
Lim Bu-siang tertawa getir dalam hati, batinnya: "Tidak tahu mulai bicara dari soal apa,
ucapanmu ini memang amat tepat." Maka dengan tawar ia pun berkata: "Piauko, kau seorang
agung yang selalu sibuk akan tugas-tugas penting, urusan yang tidak begitu penting, umpamanya
kenangan pada urusan lama, bagaimana keadaan selama berpisah ini dan lain-lain, tak perlu
disinggung lagi. Silakan kau katakan saja keperluan apa yang hendak kau katakan kepadaku."
Boh Cong-tiu tercengang sebentar, katanya: "Kukira kau sama seperti dulu, kiranya rada
berubah juga." "Dalam hal apa aku berubah?"
"Sejak kapan kau pun pintar bicara secara tajam begitu, sekali ketemu lantas main sindir dan
berolok-olok kepadaku. Orang agung terlalu sibuk akan tugas segala, betapapun aku masih
merupakan piaukomu seperti dulu itu!"
Seperti tertawa tidak tertawa berkatalah Lim Bu-siang: "Kukira agak berbeda bukan" Dulu kau
hanyalah seorang piauko, sekarang lain, kau adalah ciangbunjin. Aku memang tidak pintar bicara,
ciangbunjin boleh kuanggap orang teragung bukan?"
Berubah sungguh-sungguh sikap Boh Cong-tiu katanya: "Busiang, sudah jangan berkelakar.
Tapi, bicara persoalan ciangbunjin, baiklah aku bicara secara terbuka kepada kau!"
"Bicara terbuka dalam hal apa?" tanya Bu-siang, agaknya ia rada diluar dugaan.
"Sebetulnya- jabatan ciangbunjin ini lebih cocok diduduki ayahmu, selama beberapa tahun
terakhir ini aku selalu mencari beliau."
"Sudah lama ayah menanggalkan senjata menutup pintu, jangan kata jabatan ciangbunjin dia
emoh mendudukinya, seumpama kau mengangkatnya menjadi raja pun dia tidak akan sudi!" .
"Aku memang tahu bahwa beliau orang tua hendak menutup pintu hidup tentram mengenyam hari
tua, maka terpaksa aku menerima sokongan dan dukungan para anggauta perguruan. Namun
betapapun persoalan perguruan kita aku harus mohon petunjuk dan bantuan beliau orang tua."
"Kau sudah tahu ayah tidak turun gunung lagi, bantuan apa yang dia bisa lakukan bagi
kepentinganmu?" "Tidak perlu beliau sendiri yang turun tangan, asal, em, asal kau saja yang mewakili beliau
bicara beberapa patah kata, katakan..."
Sifat Bu-siang terlalu lincah dan polos tidak kenal kesesatan, namun otaknya cukup cerdik,
sekilas ia melenggong, kejap lain ia sudah paham ke mana juntrungan maksud kata-kata
Piaukonya. Katanya: "Apakah kau ingin supaya aku mewakili ayah menjunjung kau sebagai
ciangbunjin kita?" Boh Cong-tiu rada kikuk, katanya: "Ayahmu adalah angkatan tertua dari perguruan kita, cukup
se-patah dua patah sambutan ayahmu, aku baru berani menjabat ciangbunjin ini dengan hati
lapang dan lega." Diam-diam terpikir oleh Lim Bu-siang: "Di antara sekian banyak anggauta perguruan kami,
tiada orang kedua yang cukup setimpal menjadi calon ciangbunjin kecuali piauko, pamun dia
pandang kedudukan ciangbunjin ini sedemikian berharganya, tingkah laku menjadi kurang wajar
dan aneh, jauh sekali bedanya dengan perangai dan martabatnya di masa lalu." Maka dengan
tertawa ia berkata: "Piauko, kenapa kau main sungkan segala, masakah hal yang sedemikian
gampang seperti mendorong perahu menurut arus air saja aku tidak mampu" Selamanya ayah
pun sama-sama mengagumi dan memuji kau!"
Lega terhibur dan riang pula hati Boh Cong-tiu, katanya: "Piaumoay, sudah berapa tahun kita
berpisah, betapa senang dan terima kasihku kepadamu, bahwa pertemuan kali ini seperti pula
keadaan masa lampau, kau tidak merasa asing kepadaku. Ada beberapa patah kata-kata lubuk
hatiku yang perlu kusampaikan kepada kau, kuharap kau tidak anggap aku terlalu banyak mulut."
Berdebar jantung Lim Bu-siang, katanya: "Kata-katamu ini justru anggap aku ini orang asing
saja. Silakan katakan!" Sementara dalam hati ia menerawang: "Kata-kata hati apa yang dia
hendak sampaikan kepadaku?"
"Kabarnya Utti Keng amat akrab dengan ayahmu, betulkah hal ini?"
Lim Bu-siang tidak kira yang ditanyakan adalah hal ini, secara langsung ia lantas menjawab:
"Benar, Utti Keng adalah sahabat ayah pertama waktu kami pulang ke Tionggoan dulu. Terhadap
kawan dia begitu simpatik, pernah dia membantu kesukaran kami ayah beranak."
Pelan-pelan Boh Cong-tiu berkata: "Meski demikian, kunasehat-kan kepada kau jangan bergaul
terlalu dekat kepadanya." "Memangnya kenapa?" "Apa kau tidak tahu dia buronan pemerintah
kerajaan?" Ucapan ini benar-benar di luar dugaan Lim Bu-siang, sejenak ia melenggong, lalu katanya
dingin: "Piauko kau takut kena kerembet perkara?"
"Bukan aku takut, aku bertindak demi kepentinganmu. Oh, ya, masih ada sebuah hal perlu
kutanya kau, cara bagaimana kau berkenalan dengan Beng Goan-cau yang datang dari Siaurkimjwan
itu" Kulihat hubungan kalian begitu intim, ya toh?"
Merah malu muka Lim Bu-siang, seketika timbul rasa dongkol dan alemannya, katanya: "Kim
tayhiaplah yang menyuruh aku mengirim surat kepadanya baru aku berkenalan dengan dia.
Hubungan kami biasa saja, baik atau buruk peduli apa sih?"
"Memang hal ini adalah urusan pribadimu, tidak pantas aku banyak turut campur. Tapi sebagai
calon ciangbun, demi kepentingan perguruan kita pula, mau tidak mau aku harus memberi
nasehat kepadamu, jangan terlalu sering hubungan dengannya. Pemuda gagah yang jantan tidak
kurang jumlahnya, masih banyak yang jauh melebihi Beng Goan-cau gampang kau cari, kau
paham maksudku tidak?"
Lim Bu-siang tidak tahan lagi, katanya tertawa dingin: "Ucapanmu ini terlalu aneh sekali, budak
bodoh seperti aku ini sedikit pun tidak paham! Ingin kutahu, kenapa kalau aku berhubungan
dengan Beng Goan-cau merugikan kepentingan perguruan kita?"
Boh Cong-tiu anggap dia sebagai anak kecil belaka, katanya memberi nasehat: "Beng Goan-cau
adalah tokoh penting di dalam laskar gerilya, Hu-siang-pay kita baru akan tanam akar berdiri tegak
di Tionggoan, tujuannya adalah menegakkan aliran dan mengembangkan perguruan, menjagoi di
seluruh bulim, maka menjadi pantangan bagi kita mencari gara-gara dan bermusuhan dengan
pihak kerajaan yang berkuasa. Sudah tentu di balik kata-kataku ini bukan aku mau bilang bahwa
kita harus berhadapan sebagai musuh dengan pihak laskar gerilya. Boleh kau merasa simpatik
kepada mereka, cuma jangan terlalu dekat pergaulanmu dengan mereka, supaya tidak menjadi
incaran atau dicurigai oleh pihak kerajaan. Ketahuilah, perguruan yang kita dirikan ini belum lagi
berakar dan tumbuh kuat, mana kuasa menahan tekanan dan ancaman pihak kerajaan?"
"Sebaliknya kenapa kau sendiri berhubungan begitu intim dengan Kim tayhiap" Bukankah dia
pun begitu dekat dengan pihak laskar gerilya" Kemarin bukankah kau sendiri begitu akrab
menyambut kedatangan Beng Goan-cau" Masa kau tidak takut dicurigai pihak kerajaan?"
Boh Cong-tiu jadi kikuk dan menyengir, sesaat baru ia bicara pula: "Lain kau lain aku, aliran
putih golongan hitam tiada seorang pun yang akan mencurigai diriku."
"Golongan hitam" biasanya menunjuk orang-orang dari kalangan begal atau perampok, tapi di
dalam ucapan Boh Cong-tiu artinya seratus delapan puluh derajat berubah, yang dimaksud
'golongan hitam' olehnya adalah kaum cendekia dan kaum pendekar yang berpihak dengan
pasukan pergerakan, namun Bu-siartg bisa memahami ke mana juntrungan kata-kata ini. Maka
pikirnya: "Aliran putih yang dimaksud piauko tentu cakar alap-alap atau kaki tangan pihak
pemerintah kerajaan adanya."
Teringat akan kejadian yang diceritakan oleh Utti Keng tempo hari, tak terasa timbul rasa
curiganya: "Kenapa pihak kerajaan tidak akan mencurigai piauko?"
Agaknya Boh Cong-tiu seperti dapat meraba jalan pikirannya, segera ia melanjutkan: "Bu-siang,
tidak usah kau banyak curiga. Pendek kata aku punya rencana kerja dan cita-cita luhur demi
perguruan kita, sehingga tidak terlibat di dalam persoalan ini, kedua pihak tidak akan curiga
kepadaku." Benak Lim Bu-siang jadi diganjal sesuatu pengertian lain yang belum atau tidak dapat ia selami,
kalau menurut wataknya dulu, secepat mungkin ia harus mencari jawaban, sekarang ia
berhadapan langsung dengan piauko sendiri, namun bukan lagi piauko masa kecilnya dulu, piauko
yang dihadapinya sekarang adalah seorang asing yang serba misterius dan banyak akal tipu
muslihatnya, terpaksa ia simpan berbagai pertanyaan ini di dalam hatinya.
Pada saat itulah mendadak didengarnya orang membentak-bentak dan suara bertempur di selat
gunung sebelah sana, Lim Bu-siang terkejut, teriaknya: "Itulah Beng-toako! Aih! Dengan siapa dia
berkelahi?" Boh Cong-tiu pun terkejut, batinnya: "Bagaimana Nyo Bok bisa berkelahi dengan Beng Goancau?"
Ternyata setelah mengantar Ciok Tio-ki turun gunung Boh Cong-tiu langsung balik pulang.
Sementara Nyo Bok memang sembunyi di jalanan ini menunggu kabar dari Ciok Tio-ki mengenai
hasil pembicaraannya dengan Boh Cong-tiu, Boh Cong-tiu sendiri tidak tahu menahu mengenai
kejadian ini. Kim-kong-lak-yang-jiu kepandaian Nyo Bok merupakan ilmu tunggal dari dunia persilatan, Beng
Goan-cau hanya membela diri tanpa balas menyerang, sudah tentu ia terdesak di bawah angin
oleh cecaran lawan sehingga susah bernapas, lama kelamaan ia naik pitam, serta merta ia tambah
tenaga kedua tangannya, tiba-tiba "Wut" ia balas menggempur sekali, angin pukulannya melanda,
kuping Nyo Bok sampai mendengung, kulit muka pun terasa panas terbakar, keruan kejutnya
bukan kepalang, cepat ia mundur beberapa langkah.
Dalam pada itu Boh dan Lim berdua sudah memburu datang, segera Boh Cong-tiu berteriak:
"Tahan, tahan! Beng-heng berhenti!"
Mendengar Boh Cong-tiu memanggil lawannya ini orang she 'Beng', sesaat Nyo Bok
melenggong, serunya: "Siapa orang ini?"
Boh Cong-tiu bergelak tertawa, serunya: "Ternyata kalian masih belum kenal, tak heran terjadi
salah paham. Mari, mari kuperkenalkan saudara ini adalah guru silat kenamaan dari Soh-ciu Nyo
Bok, engkoh cilik ini adalah Beng Goan-cau dari Siau-kim-jwan!"
Membalik kedua biji mata Nyo Bok, mendadak ia terloroh-loroh aneh, nada tawanya menusuk
pendengaran: "He, he, hehe! Jadi kau inilah Beng Goan-cau, sungguh amat kagum sekali, tak
nyana kita bisa bertemu di sini!"
Beng Goan-cau berkata tawar: "Aku pun tidak duga bisa melihat kau lagi di sini!" Dia
menekankan kata-kata 'lagi', secara tidak langsung ia memperingatkan kepada Nyo Bok, bahwa di
lain tempat aku pernah melihat kau.
Betapa cerdik pandai otak Nyo Bok, sudah tentu ia paham, pikirnya: "Kabarnya hubungan Kim
Tiok-liu dengan dia amat kental, waktu aku berada di rumah keluarga Kim tempo hari, Li Tun
mencegah aku menemui tamunya yang lain, bukan mustahil bocah keparat ini adanya" Waktu
belum tiba, sementara biarlah aku tidak bekerja gegabah!"
"Kiranya kalian sudah lama sama mengagumi masing-masing, sesuai dengan pepatah yang
mengatakan: kalau tidak berkelahi tidak' akan berkenalan. Entah kenapa pula kalian bisa terjadi
kesalah paham ini?" Beng Goan-cau berpikir: "Urusan ini amat penting, betapapun aku harus mencari tahu secermat
dan seksama mungkin biar urusan menjadi terang." Maka segera ia berkata: "Nyo-busu maafkan
bila aku berlaku sembrono, aku ingin mengetahui sebuah persoalan, ingin aku tanya kepada kau."
Nyo Bok tahu bahwa orang bertujuan mengorek keterangannya, keruan hatinya tergetar,
namun ia masih bersikap cukup tenang, sahutnya: "Mengenai soal apa?"
"Siapakah orang yang bersama kau tadi?"
"Kau menyelidiki asal-usul orang ini, apa tujuanmu?"
"Agaknya aku rada kenal orang itu."
Diam-diam tercekat hati Boh Cong-tiu, batinnya: "Mungkinkah kedok Cio Tio-ki sudah ketahuan
olehnya?" Cepat ia bersikap pura-pura tidak tahu menahu menyela bicara: "Hari ini berdatangan
banyak kawan-kawan baru, bukan mustahil di antara mereka yang sudah Bengheng kenal. Entah
siapakah yang kau maksudkan?"
Beng Goan-cau mengertak gigi, sahutnya pelan: "Orang ini adalah Ciok Tio-ki yang terkenal
sebagai begal tunggal di kalangan kangouw, apakah dia salah seorang tamu agung undangan
Boh-heng?" Bahwa Ciok Tio-ki sudah menjadi wakil komandan Gi-lim-kun, walaupun kaum persilatan sudah
tahu namun jumlahnya amat terbatas. Karena memandang muka Boh Cong-tiu, maka ia sungkan
dan segan membongkar kedoknya, maka ia coba main selidik saja untuk menjajaki.
Boh Cong-tiu bersikap amat tercengang dan berseru heran: "Ciok Tio-ki" Aku tidak pernah
mengundangnya. Partai kami mengadakan upacara besar pendirian partai, meski kawan-kawan
dari golongan hitam banyak yang datang, tapi karena nama pribadi Ciok Tio-ki tidak begitu baik di
kalangan kangouw, maka siaute tidak berani mengundangnya," ?" Dia pura-pura pikun tidak
mengetahui asal usul Ciok Tio-ki.
Nyo Bok segera menggeram dengan kereng, katanya: "Kalau benar Ciok Tio-ki keparat itu
berani menyelundup kemari, tidak usah Beng-heng mencapaikan diri, sejak tadi pasti sudah
kubekuk dia!" "O, apakah Nyo Busu ada permusuhan dengan dia?" tanya Boh Cong-tiu.
Kata Nyo Bok sambil kertak gigi: "Karena menghindari kejaran balas dendamnya, terpaksa
siaute pura-pura mati, soal ini kukira kalian sudah pernah mendengar. Bicara terus terang, musuh
besar yang kumaksudkan adalah Ciok Tio-ki."
Boh Cong-tiu cukup cerdik, lapat-lapat ia sudah dapat meraba bahwa di antara Ciok Tio-ki dan Nyo Bok
pasti ada sekongkol, sekali lagi ia berrpura-pura terkejut, katanya: "Karena persoalan apa Nyo-heng sampai mengikat permusuhan dengan keparat itu?"
Kata Nyo Bok pula: "Kalau dibicarakan cukup panjang, besok lusa setelah upacara besar
berdirinya partai kalian selesai diadakan, aku ingin memberi penjelasan kepada para sahabat yang hadir
secara terbuka!" Tanya jawab kedua orang yang disengaja ini, membuat Beng Goan-cau bingung dan heran, pikirnya:
"Mungkinkah penglihatanku yang keliru?"
Agaknya Nyo Bok tahu jalan pikiran Beng Goan-cau, segera ia menambahkan: "Memang tadi aku bersama seseorang, potongan badannya memang rada mirip dengan Ciok Tio-ki. Beng-heng ingin
mengetahui asal-usul orang ini, silakan tanya kepada Boh-ciangbun!" Boh Cong-tiu
melengak, katanya tertawa: "Aku belum lagi tahu siapakah yang ditanyakan?"
Nyo Bok berhadapan dengan Boh Cong-tiu, biji matanya berputar, hanya setan yang tahu ia sudah memberikan kedipan rahasia kepada Boh Cong-tiu, katanya: "Dia bukan lain adalah Yaphiangcu."
Boh Cong-tiu pura-pura menjadi paham dan mengerti, ia tertawa terbahak-bahak, katanya: "O, kiranya
dia, kalau begitu jadi Beng-heng memang salah paham. Yap-hiangcu yang dimaksud adalah murid dari
partai kita, malam ini kebetulan mendapat perintahku untuk meronda ke bawah gunung."
Pihak Hu-siang-pay memang ada seseorang seperti yang dikatakan ini, namun apa yang
dikatakan Boh Cong-tiu bukanlah kenyataan, orang itu sedang meronda di atas gunung malah
berada di sebelah Ing-jiu-ciam sana, jadi bukan di puncak sebelah sini. Bahwa Boh Cong-tiu
memutar balik kenyataan, jelas ia membantu Nyo Bok membual. Pikirnya Beng Goan-cau tidak
nanti minta orang itu diseret keluar untuk dipertemukan, seumpama dipertemukan, orang itu toh
tangan kanan kepercayaannya, betapapun tidak akan membongkar mulutnya yang bohong.
Kata Nyo Bok: "Yap-hiangcu meronda ke bawah gunung, sepanjang jalan ini aku menemaninya
sambil beromong-omong. Tak duga Beng-heng ini tiba-tiba menerobos keluar, semula kusangka
mata-mata musuh. Beng-heng, maaf akan keteledoranku."
Logat Nyo Bok dari Soh-ciu dalam menyebut kata Ciok dan Yap hampir sama, Beng Goan-cau
sendiri mau tidak mau jadi sangsi, pikirnya: "Mungkinkah aku salah dengar" Tapi jelas sekali aku
dengar dia panggil orang itu sebagai Ciok-tayjin, seumpama aku keliru dengar antara huruf "Yap"
itu, tapi seorang hiangcu mana bisa dibahasakan tayjin (panggilan kepada orang berpangkat),
masakah aku pun salah dengar akan kedua huruf berbeda ini" Dan lagi kenapa begitu aku
menerjang keluar orang itu lantas lari" Meski punya tugas maha penting untuk meronda ke bawah
gunung, tidaklah pantas di saat menemukan seseorang yang dicurigai kok lantas lari menyingkir."
Akan tetapi karena secara langsung Boh Cong-tiu si tuan rumah memberikan kesaksian kepada
Nyo Bok, meski hati Beng Goan-cau dirundung kecurigaan, demi memberi muka kepada Boh
Cong-tiu, kiranya tidak leluasa ia mengorek keterangan Nyo Bok secara langsung.
Terpaksa Beng Goan-cau menjura serta minta maaf, ujarnya: "Siaute yang salah melihat orang,
sehingga terjadilah salah paham ini. Harap Nyo-heng tidak ambil di hati."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Peristiwa kecil saja, setelah dibikin terang anggap saja tiada kejadian ini, kenapa harus merasa
ganjalan dalam hati segala?" demikian ujar Boh Cong-tiu. "'O, ya, Beng-heng, besok pagi-pagi kau
hendak menemani Bu-siang melihat matahari terbit, hari sudah larut malam, sudah saatnya kita
pulang istirahat." Ternyata meski rabaannya jitu bahwa Nyo Bok adalah komplotan Ciok Tio-ki,
namun ia masih belum begitu lega, ingin dia mengorek keterangannya lebih jelas, maka suruh
Beng dan Lim pulang lebih dulu, secara berhadapan ia hendak bicara dengan Nyo Bok.
Setelah keluar dari hutan, tiba-tiba Lim Bu-siang berkata: '"Beng-toako, sepanjang jalan ini
hatiku rada kurang tentram antarkan aku sebentar, kau mau tidak?"
Beng Goan-cau tahu orang pasti ada omongan yang perlu dibicarakan padanya, segera ia
mengiakan, begitu mereka berendeng maju ke depan, setelah cukup jauh dan kira-kira Boh Congtiu
berdua tidak mendengar pula percakapan mereka, segera Lim Bu-siang membuka suara lagi:
"Beng-toako, orang yang kau curigai tadi, bukankah ia berpakaian hitam, mengenakan topi bundar
yang lebar pinggirnya?"
Semula Beng Goan-cau melengak, sahutnya: "Benar, kau pun ketemu orang itu?"
' Aku melihatnya, sebaliknya dia tidak melihat aku. Piaukolah yang mengantarnya turun gunung,
lewat hutan sebelah samping sana."
Beng Goan-cau terkejut, katanya: "Piaukomu sendiri yang mengantarnya turun gunung" Wah
urusan menjadi semakin mengherankan, apakah kau tidak salah lihat?"
"Mana bisa aku salah lihat terhadap piauko, malah kudengar pula dia memberi petunjuk jalan
untuk turun gunung!"
"'Kalau toh dia seorang Hiangcu, mendapat tugas meronda ke bawah gunung, mana mungkin
tidak hafal akan jalanan sehingga perlu diberi petunjuk piaukomu?"
"Maka itu, aku pun merasa heran dan tidak mengerti, kukira malam-malam piauko mengantar
tamunya pulang." Beng Goan-cau berdiam diri, otaknya sedang menerawang. Bagi dirinya persoalan ini amat
aneh! Mana bisa Boh Cong-tiu mengikat hubungan dengan seorang yang menjabat wakil
komandan Gi-lim-kun" Kalau hal ini tidak ia dengar dari keterangan Lim Bu-siang, bagaimana juga
ia tidak akan mau percaya.
Pertanyaan Lim Bu-siang di pinggir kupingnya membuat ia tersentak kaget: "'Orang macam
apakah sebetulnya Ciok Tio-ki itu?"
"Dia adalah wakil komandan Gi-lim-kun." Sepatah demi sepatah Beng Goan-cau menjawab
dengan jelas dan pelan. Sebetulnya kedudukan dan asal-usul Ciok Tio-ki, Lim Bu-siang sudah tahu dari penuturan Utti
Keng tempo hari, bahwa sekali lagi ia bertanya kepada Beng Goan-cau hanyalah minta ketegasan
dan pembuktian yang lebih kongkrit.
Bukti sudah kenyataan, perasaan Lim Bu-siang menjadi hampa kosong, lama kelamaan menjadi
masgul dan risau pula. "Apa yang dikatakan paman Utti kiranya tidak salah, piauko benar-benar ada intrik dengan
pihak kerajaan, entah sepak terjangnya ini apakah demi Hu-siang-pay kita" Atau demi mencari
pangkat dan nama pribadinya?" demikian pikirnya.
Tapi lantas terpikir pula olehnya: "Tidak, tidak pantas aku mencurigai piauko, bukankah tadi ia
sudah menjelaskan, bahwa dia hanya ingin berdiri di luar kalangan, tidak terseret dalam
pertikaian?" Hati Lim Bu-siang kalut dan gelisah, semakin dipikir semakin kalut, tiba-tiba ia teringat pula
akan ucapan Su Ang-ing kepadanya: "Kita harus mengusir penjajah dan mengembalikan kejayaan
negeri kita. Bagi setiap putra putri bangsa, tidak bisa ia berdiri di luar kalangan tanpa ikut
menanggung kewajiban, tugas dan tanggung jawab atas keruntuhan negerinya!"
"Kalau toh Piauko ingin berdiri di luar garis dan tidak mau terlibat, jelas sikapnya ini sudah tidak
betul," demikian pikir Lim Bu-siang lebih lanjut.
Agaknya Beng Goan-cau tahu akan' kerisauan hatinya, katanya: "Nona Lim, kau jangan terlalu
banyak pikiran, peristiwa malam ini, jangan kau sembarangan katakan kepada orang lain. Biar aku
berunding dulu dengan Kim-toako, aku akan berusaha menyelidiki biar terang duduk perkaranya."
"Aku tahu. Baiklah, kita berpisah di sini, besok pagi-pagi jangan lupa mencari aku!"
Tatkala itu sang putri malam sudah tinggi bercokol tepat di tengah angkasa, Beng Goan-cau
memang tidak ingin dilihat orang bahwa dia sudah mengantar Lim Bu-siang pulang supaya tidak
menimbulkan omongan iseng, la memberikan janjinya, sebelum matahari terbit mereka akan
bertemu di luar Giok-hong-koan.
Setelah Beng Goan-cau pergi, seorang diri Lim Bu-siang beranjak sendirian ke depan dengan
perasaan yang tidak bisa tentram. Tiba-tiba didengarnya kicauan yang merdu, begitu angkat
kepala tampak burung kecil tadi kini muncul pula di hadapannya.
Lim Bu-siang tertawa, katanya: "Kukira kau sudah menghilang, kiranya sembunyi di sini,
apakah kau kangen padaku dan sengaja mencari diriku?"
Kalau dibicarakan memang aneh, burung kecil ini memang seperti amat berat meninggalkan
dirinya, terbang rendah berputar-putar di atas kepalanya.
Hati Lim Bu-siang sedang gundah, kini mendapat teman dan dapat menghibur hatinya, melihat
dia terbang di depannya pelan-pelan, tanpa terasa timbul sifat kanak-kanaknya, katanya tertawa:
"Tadi tidak dapat kukejar kau, kini kau terbang balik menggodaku lagi, coba ingin kulihat ke mana
kau memancing diriku?"
Burung kecil ini seperti bisa mendengar ucapan manusia, kalau Lim Bu-siang memburu cepat
maka ia pun terbang lebih pesat, kalau Lim Bu-siang memperlambat langkah ia pun terbang
lambat, Lim Bu-siang digoda dan dipermainkan, lama kelamaan ia jadi kesal dan gatal hatinya,
tanpa sadar ia kembangkan ginkang tingkat tinggi, di antara batu-batu gunung dan semak-semak
belukar ia berloncatan dengan lincah dan tangkas, ia kejar dan kuntit terus ke mana saja burung
kecil ini terbang. Entah berapa jauh dan lama kejar mengejar ini terjadi, tiba-tiba pandangan Lim Bu-siang
menjadi terang, ternyata tanah di sebelah depan menjadi lapang dan subur menghijau, bentuknya
seolah-olah sebuah lembah kecil yang dikelilingi puncak-puncak pendek, dari lamping gunung
sebelah samping sana tumpah sejalur air terjun, airnya yang berbuih tertimpa sinar bulan menjadi
berkilau putih laksana mutiara, pemandangan jernih dan nyaman.
Lim Bu-siang tertawa pula, ujarnya: "Banyak terima kasih kau bawa aku ke tempat ini, betulbetul
kehidupan di luar dunia lain.", belum lenyap suaranya, tiba-tiba suatu keanehan terjadi,
burung kecil itu tiba-tiba menerobos air terjun dan menyusup hilang ke dalam sana entah ke
mana. Keruan Lim Bu-siang tertegun heran, pikirnya: "Kiranya di belakang air terjun ini terdapat
sebuah gua" Burung ini tidak membuat sarangnya di puncak pohon, masakah membuat
penginapan di dalam gua, jarang terjadi hal macam ini." Timbul rasa ingin tahunya segera ia
kembangkan ginkangnya pula, terus ikut menerobos tirai air dan kejap lain ia sudah berada di
belakang air terjun. Ternyata benar di mana ia berdiri merupakan sebuah gua bermulut sempit
yang berbentuk seperti buli-buli. Memangnya Lim Bu-siang berhati polos tidak punya prasangka,
bahwasanya tidak pernah terpikir olehnya dirinya bakal dibokong orang, dengan langkah lebar ia
langsung melangkah masuk, katanya tertawa pula: "Ingin kulihat ke mana kau dapat terbang
lagi?" Belum habis ia bicara, tiba-tiba didengarnya suara gemuruh dan "blum!" suaranya
menggetarkan seluruh gunung, tahu-tahu sebuah batu besar menggelinding jatuh dan tepat sekali
menyumbat mulut gua, seketika pemandangan menjadi gelap.
Tidak akan terjadi sesuatu kejadian yang begitu kebetulan di dunia ini, batu sedemikian besar,
tidak sejak dulu atau besok, kenapa di saat Lim Bu-siang baru saja menginjak ke dalam lantas
menggelinding jatuh dan menyumbat mulut gua. Meski Lim Bu-siang berhati jujur, lapat-lapat ia
dapat meraba juga bahwa batu ini tentu ada seseorang yang sengaja mendorongnya jatuh
menyumbat jalan keluarnya.
Kejut dan gelisah pula hati Lim Bu-siang, dengan sekuat tenaga ia coba dorong batu itu apakah
bisa dibukanya jalan keluarnya nanti" Namun bergeming pun tidak.
Disekap di dalam gua, suara gemuruh air terjun kedengaran bergema keras di dalam gua
laksana geledek di waktu hujan lebat, jangan kata di dalam pegunungan sepi tiada orang akan
tiba di tempat itu, meski ada orang di luar pun tidak akan mendengar teriakannya di dalam gua.
Mau tidak mau mencelos hati Lim Bu-siang, pikirnya: "Tempat ini amat jauh dari Giok-hong-koan,
mana mungkin mereka bisa mencariku ke sini, berteriak minta tolong juga tidak berguna."
Burung kecil itu tidak muncul lagi, Lim Bursiang jadi naik pitam, tak terasa ia mengumpat dalam
hati: "Kuanggap dia sebagai teman, sebaliknya dia memancing aku dan menjebak diriku di sini."
Tiba-tiba ia tersentak sadar: "Eh, mana bisa burung sekecil itu mengatur jebakan" Tentu
seseorang telah memelihara dan mendidiknya sedemikian rupa, serta memberi petunjuk padanya
untuk memancingku kemari."
Karena jelas tidak mungkin bisa keluar, apa boleh buat Lim Bu-siang lantas melolos pedangnya
untuk menjaga keselamatan, meminjam cahaya kilauan batang pedangnya, ia berjalan merambat
maju ke depan, ingin dia melihat ada keanehan apa di dalam gua sebelah dalam sana.
Tak lama kemudian, tiba-tiba dilihatnya di pojokan sana ada benda yang berkilauan
memancarkan sinar, waktu ia menghampiri dan menjemputnya kiranya serenteng Ya-bing-cu yang
bundar-bundar besar. Pengetahuan Lim Bu-siang mengenai nilai-nilai benda-benda mestika amat cetek, meski
kelihatannya kotor dan tidak terlalu menyolok, namun serenteng mutiara ini sama memancarkan
cahaya kemilau yang menyilaukan mata, tahulah dia bahwa itulah benda mestika yang tak ternilai
harganya. Karena merasa bagus untuk mainan, ia tenteng rentengan mutiara itu di antara jari-jari
tangannya. Serenteng mutiara mustika ini, bila diketemukan orang lain pasti bisa kesenangan seperti putus
lotere sepuluh juta, namun berada di tangan Lim Bu-siang, dalam hati ia cuma tertawa getir saja,
pikirnya: "Aku terkurung di dalam gua yang gelap ini, mungkin tiada harapan untuk melihat
cahaya matahari lagi. Meski Ya-bing-cu ini tiada ternilai, apa pula gunanya bagi diriku?"
Di dalam gua yang begitu gelap sebenarnya tidak bisa melihat apa-apa, untunglah cahaya
kemilau dari pancaran rentengan mutiaranya itu sedikit memancarkan penerangan meski tidak
berjarak terlalu jauh dan tidak sebanding lentera umumnya, lapat-lapat dapat juga melihat
keadaan sekelilingnya dan mengenal setiap benda yang dekat di sekitarnya. Mengandal sinar
mutiara mengganti sinar lampu Lim Bu-siang meraba-raba maju terus, tak tertahan ia tertawa geli,
ujarnya: "Meski mutiara ini tidak bisa dimakan mengenyangkan perut, namun masih cukup
berguna juga." Mendadak dilihatnya dinding di kedua sampingnya halus licin seperti kaca, lapat-lapat seperti
ada ukiran di atasnya. Timbul rasa ingin tahu Lim Bu-siang, waktu ia maju mendekat dilihatnya
ukiran itu ternyata adalah gambar dua sosok tubuh manusia. Gambar sebelah kiri adalah seorang
laki-laki berewok bermata bundar seperti mata harimau, sikapnya kereng berwibawa, sedang
gambar di sebelah kanan adalah perempuan cantik bermuka bundar panjang seperti buah tho, alis
lentik bertubuh ramping, tindak-tanduknya kelihatan amat mesra terhadap laki-laki berewok,
gambar ini begitu nyata dan bagus sekali seolah-olah hidup.
Yang mengherankan bahwa tangan mereka masing-masing menyekal sebatang pedang, meski
sikap si perempuan begitu mesra penuh rasa cinta, namun gaya keduanya jelas sedang bertanding
pedang, malah ujung pedang perempuan itu menuding tepat di atas jalan darah penting di tubuh
si laki-laki. Walau Lim Bu-siang bukan seorang ahli silat tingkat tinggi, namun sekali pandang
cukup diketahui bahwa jurus permainan pedang ini adalah tipu serangan yang amat liehay dan
keji. Lim Bu-siang merasa wajah laki-laki berewok ini seolah-olah sudah pernah dilihatnya entah di
mana, dalam hati ia berpikir: "Aneh, entah di mana aku pernah melihat orang ini?"
Sekonyong-konyong ia teringat bahwa gambar laki-laki berewok di dinding ini bukan lain adalah
maha guru silat atau cikal bakal dari perguruannya yaitu Jan-bau-khek adanya. Ayah Lim Bu-siang
ada menyimpan sebuah lukisan suconya ini sebagai barang antik yang amat berharga, tidak
gampang-gampang ia mau mengeluarkan dipertontonkan kepada orang luar, Lim Bu-siang sendiri
pun hanya pernah melihatnya sekali. "Tak heran aku seperti sudah kenal dan pernah melihat
beliau, ternyata cosu adanya." Tersipu-sipu Lim Bu-siang berlutut terus menyembah tiga kali.
"Siapa pula perempuan cantik ini," demikian dalam hati ia bertanya-tanya. "Dari penuturan
ayah, sejak jaman dahulu sampai sekarang perguruan kita mengisahkan bahwa cosu hanya hidup
sebatang kara sampai hari tua tidak pernah menikah. Em, peduli siapa dia, coba kulihat cara
bagaimana ia melawan dan bertanding pedang dengan cosu?"
Kedua dinding di kiri kanan itu terdapat tiga belas lukisan, setiap gambar terdapat dua orang
yang masing-masing sedang bergaya bertanding ilmu pedang.
Dari gambar pertama Lim Bu-siang mulai memeriksa dengan cermat dan penuh perhatian,
sekejap saja tanpa disadari ia sudah tenggelam seperti orang kehilangan kesadaran dalam
menikmati ajaran-ajaran ilmu pedang maha tinggi. Terasa olehnya gaya permainan ilmu pedang
keduanya betapa tinggi, hebat, dan sulit dijajaki, sampai pun gerak badan dan langkah kakinya
pun bukan olah-olah menakjubkan, seolah-olah ajaran khayal yang masuk di akal.
Ternyata ketiga belas gambar yang berderet-deret itu merupakan gambar bersambung yang
berurutan dari satu kedua dan seterusnya, gaya dan gerak-geriknya pun merupakan suatu
rangkaian gerak pedang yang lengkap, semula Lim Bu-siang tidak menyadari hal ini, namun
lambat laun baru ia sadar dan paham, dari tingginya intisari ilmu pedang ia maju lebih lanjut
mendalami intisari gerak badan dan langkah kakinya yang merupakan perpaduan yang bertalian
erat satu sama lainnya. Sudah tentu penemuannya ini menjadikan Lim Bu-siang kegirangan setengah mati seperti putus
lotre dua puluh juta, seolah-olah rejaki nomplok berjatuhan di atas dirinya. Maka terasa rentengan
mutiara yang bersinar di tangannya ini menjadi benda yang kecil dan tidak berharga sepeser pun
bila dibanding penemuan ilmu silat perguruan yang paling tinggi ini.
Meski kegirangan, pikiran Lim Bu-siang tetap jernih, mendadak tergerak hatinya, pikirnya:
"Bukan mustahil orang itu sengaja menggunakan burungnya memancing aku kemari?"
Begitulah dengan segala perhatian dan semangatnya Lim Bu-siang terus mempelajari ilmu
pedang yang berada di ukiran dinding, lupa waktu lupa makan, seperti orang mabok, seperti orang
linglung pula, sayang cahaya yang terpancar dari rentengan mutiara itu betapapun tidak seterang
sinar lampu biasanya, ia jadi merasa amat berat dan harus mengerahkan seluruh kekuatan tajam
matanya, namun yang dilihatnya toh hanya samar-samar belaka.
Entah berapa lama berselang, tiba-tiba terasa pandangannya menjadi terang. Ternyata sudah
tiba hari kedua, cuaca di luar sudah terang tanah. Dalam gua itu memang terdapat celah-celah
batu gunung yang berlubang dan menembus selarik sinar matahari yang menyinari seluruh gua.
Teringat oleh Lim Bu-siang akan janjinya dengan Beng Goan-cau, dalam hati ia membatin:
"Tentu dia sedang mencari aku ke mana-mana, sayang aku tidak bisa menemaninya melihat
matahari terbit di puncak Giok-hong-ting. Ai, hari ini aku berhasil mempelajari intisari ilmu pedang
perguruan kami yang paling murni dan lengkap, meski mati kelaparan di dalam gua ini pun apa
halangannya?" Dari celah batu di pojokan sana terdapat tetesan air, Lim Bu-siang membuka mulutnya di
sebelah bawah sehingga tetesan air masuk ke dalam mulutnya, setelah minum seteguk air gunung
yang dingin, hilanglah rasa dahaga dan gelisah hatinya selama ini, namun perut sedikit pun belum
terasa lapar. Lambat laun cahaya matahari sudah menyinari seluruh gua, pandangannya menjadi terang,
gambar-gambar lukisan di atas dinding kini dapat dinikmatinya lebih jelas.
Lim Bu-siang menyimpan rentengan mutiara itu, lalu mulai lagi ia periksa dari gambar
permulaan sampai akhir, berturut-turut dua kali, sekarang setelah cahaya terang baru didapatinya
bahwa di setiap gambar-gambar itu di bawahnya ada diberi keterangan beberapa huruf-huruf
kecil-kecil sebesar beras. Pada gambar pertama di bawah kaki laki-laki itu ada tertulis:
'lewat Kan-bun masuk Le-wi',
sedang di bawah kaki perempuan tertulis:
'Memutar ke Tam-bun mundur ke Tln-wi'.
Lim Bu-siang berpikir: "Ternyata gerak langkah mereka mengikuti posisi Ngo-heng-pat-kwa,
untung ayah pernah mengajarkan kepada aku!"
Setelah berhasil menyelami gerak langkah dan gerak-gerik permainan jurus dan tipu-tipu
pedang di atas ukiran dinding, maka lebih mendalam pula pengetahuannya terhadap ketiga
rangkaian gerak ilmu pedang yang tercantum di sana.
Kiranya gerak pedang si wanita cantik justru berlawanan dan merupakan lawan tertangguh
terhadap ilmu pedang Hu-siang-pay mereka, sementara ilmu pedang Jan-bau-khek merupakan
jurus-jurus pedang pemunah dan peranti balas menyerang yang hebat pula, semakin berubah
dengan berbagai ragam aneh dan liehay. Akhirnya keduanya sama kuat dan setanding.
Diam-diam Lim Bu-siang membatin: "Ternyata yang kupelajari dulu hanyalah kulitnya saja dari
ajaran asli dan murni dari ilmu pedang perguruan kita, kalau digunakan untuk menghadapi wanita
ini, mungkin setengah gebrak saja tidak akan mampu bertahan."
Begitulah dengan cermat dan seksama Lim Bu-siang mengulangi dari depan pula, sampai
beberapa kali, sehingga akhirnya sudah hafal di luar kepala benar-benar, lalu ia duduk bersimpuh
seperti orang samadi serta mengulanginya pula teori ajaran murni perguruannya di .dalam
benaknya, meraba dan menyelaminya lebih mendalam.
Sekonyong-konyong didengarnya suara gemuruh seperti bom meledak, seketika ia melonjak
bangun saking kaget, waktu ia angkat kepala, tampak batu besar yang menyumbat mulut gua
ternyata sudah terserok minggir ke samping, maka air terjun yang mencurah dari atas
berhamburan muncrat masuk ke dalam gua, seketika mukanya basah oleh cipratan air dingin.
Segera Lim Bu-siang bersoja ke tengah udara serta berseru: "Terima kasih akan petunjuk
cianpwe yang mulia, sehingga aku dapat mempelajari rahasia pelajaran inti silat perguruan kami."
" Belum lenyap suaranya, mendadak dirasakannya seperti ada orang berbisik di pinggir kupingnya:
"Jangan sampai diketahui oleh piaukomu."
Cepat Lim Bu-siang menerobos keluar gua dan menerjang keluar pula dari tabir air terjun.
Begitu berada di luar, tampak alam sekelilingnya hening tenang hanya terdengar hembusan angin
pegunungan yang mengejutkan burung-burung keluar beterbangan dari sarangnya, mana ada
tampak bayangan manusia seorang pun" Lim Bu-siang tahu bahwa tokoh kosen yang
membantunya itu tidak sudi mengunjukkan dirinya, diminta pun tiada gunanya.
Terpikir oleh Lim Bu-siang: "Tentu mereka sedang mencariku ke mana-mana, biarlah segera
aku kembali saja, kesempatan lain biar aku putar balik lagi." Belum habis ia berpikir maka
didengarnya seorang berteriak nyaring di kejauhan sana: "Bu-siang, Bu-siang ?", itulah suara istri
Boh Cong-tiu, Lian Jay-hong adanya.
Cepat Lim Bu-siang mengiakan dengan suara melengking: "Aku ada di sini!"
Di kejauhan sana terdengar pula Lian Jay-hong berteriak: "Nah itu, sudah ketemu!", disusul ia
menyambitkan sebatang panah berasap ke tengah angkasa.
Kejap lain Lim Bu-siang sudah memapak maju, serunya tertawa: "Piauso, kau sudah pulang.
Kenapa begitu tegang kelihatannya?"
"Pagi tadi baru aku pulang, kudengar katanya kau semalam menghilang, sungguh aku ikut
kuatir. Mereka sedang mencarimu ke segala pelosok gunung. Kau malah enak-enak jalan-jalan di
sini." Lim Bu-siang menjadi menyesal, ujarnya: "Wah membikin repot kalian saja, sungguh membuat
hatiku kurang enak."
"Semalam kau sembunyi di mana" Piaukomu mengira semalam kau menikmati panorama
padang rembulan dengan Beng Goan-cau sampai lupa pulang. Tadi pagi waktu Beng Goan-cau
mencari kau tidak ketemu, baru dia menjadi gugup dan kebingungan."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Merah muka Lim Bu-siang, katanya: "Waktu semalam aku pulang, di tengah jalan kulihat seekor
burung kecil mungil yang elok sekali, aku ingin menangkapnya, tanpa sadar tahu-tahu kukejar
sampai di sini." Lian Jay-hong menjadi geli, ujarnya: "Setan kecil seperti kau ini masih kekanak-kanakan seperti
dulu saja." Tengah mereka bicara, tampak Boh Cong-tiu dan Beng Goan-cau sedang berlari mendatangi,
berkata Lian Jay-hong tertawa: "Coba lihat, bukan aku saja yang ikut menjadi gugup!"
Setelah dekat berkatalah Boh Cong-tiu menghela napas: "Untunglah akhirnya ketemu. Pagi-pagi
benar Beng-toako sudah mencari kau, sungguh membuatnya gelisah setengah mati! Ya,
kelihatannya kalian berkelakar begitu senang, soal apa yang kalian bicarakan?"
Segera Lian Jay-hong menceritakan apa yang dia dengar dari Lim Bu-siang kepada suaminya.
Dengan heran Boh Cong-tiu berkata: "Sudah beberapa bulan aku menetap di sini, selamanya
belum pernah kulihat burung seperti itu. Tapi bila kau tidak bisa menangkap burung itu
seharusnya lekas kembali, kenapa sampai menginap semalam di sini, dan sampai sudah lohor baru
mau pulang?" Teringat oleh Lim Bu-siang akan pesan orang itu, namun ia sendiri orang yang polos dan tidak
pernah bohong, sesaat ia sangsi, terpaksa menyahut: "Di belakang air terjun terdapat sebuah gua,
kulihat burung itu menembus air terjun dan menghilang kesana, maka kukejar masuk ke sana
pula." Boh Cong-tiu kelihatan terkejut, serunya: "Apa yang kau temukan di dalam gua?"
"Keadaan gua itu amat gelap, di tengah malam buta rata lagi, mana dapat melihat apa-apa?"
Begitu terang tanah aku lantas berlari keluar, karena bingung dan gelisah tanpa sadar aku lantas
kesasar jalan." Demi menepati pesan orang itu terpaksa ia berbohong, sementara jari-jarinya
menyentuh rentengan mutiara yang ia simpan di dalam kantong bajunya serta merta panas kulit
mukanya. Bertambah heran dan tertarik Boh Cong-tiu dibuatnya, sejenak ia termenung lalu tiba-tiba
bertanya: "O, di sekitar sini terdapat sebuah gua seperti itu, ingin aku masuk ke sana untuk
memeriksanya. Di mana letak air terjun itu, tentu kau masih ingat bukan. Marilah sekarang juga
kau bawa kami ke sana untuk memeriksanya."
Lian Jay-hong mengerut kening, katanya: "Piaumoay sudah kelaparan satu malam dan
setengah harian ini, biarlah dia pulang dulu mengisi perutnya baru datang kemari lagi toh belum
terlambat." "Kau tahu apa," sentak Boh Cong-tiu, "soal ini amat penting, mana boleh dibuat lambatlambat."
"Terima kasih akan perhatian piauso, perutku memang belum terasa lapar," terpaksa Lim Busiang
angkat bicara supaya piausonya tidak bertengkar dengan piaukonya, sementara dalam hati
ia membatin: "Agaknya piauko sudah tahu rahasia di dalam gua itu, maka kelihatannya dia begitu
tegang" Tapi ukiran dinding itu tidak akan bisa lari sendiri, kenapa pula dia begitu gugup" Ai,
betapapun piauko yang kuhadapi sekarang sudah bukan lagi piauko di masa kecilku dulu."
Begitulah sembari membatin Lim Bu-siang mengembangkan ginkangnya berlari kencang tanpa
banyak bersuara lagi langsung membawa Boh Cong-tiu beramai ke tempat air terjun itu, katanya:
"Gua itu berada di belakang air terjun ini!"
Boh Cong-tiu segera unjuk seri tawa lebar, ujarnya: "Piaumoay, untunglah ada kau, kalau tidak
secara kebetulan kau main terobosan dan menemukan gua ini, mungkin aku harus banyak
memeras keringat untuk mencarinya pun belum tentu bisa ketemu."
Tak tahan lagi, bertanyalah Lian Jay-hong: "Sebetulnya apakah yang sedang kau cari?"
"Setelah berada di dalam kau tahu sendiri. Sekarang aku sendiri juga belum tahu apakah
barang yang kucari benar ada di dalam gua?", maka ia mendahului menerobos tabir air terjun
menyusup ke dalam gua. Dengan merasa tertarik dan keheranan Beng Goan-cau mengintil di belakang Lim Bu-siang ikut
masuk ke dalam gua. Tiba-tiba Boh Cong-tiu berseru terkejut, katanya: "Beng-heng, kau juga ikut
kemari." Baru sekarang Beng Goan-cau tersentak sadar, "Mungkinkah di dalam gua terdapat sesuatu
rahasia, dia hendak merahasiakan terhadap diriku?"
Di saat ia serba salah dan kikuk, mendadak didengarnya Boh Cong-tiu berteriak kaget:
"Celaka!" Lim Bu-siang juga amat terkejut, waktu ia menegasi baru didapatinya bahwa gambar ukiran di
atas dinding kini sudah menjadi lenyap licin.
Tampak di tanah bertumpukan debu bekas kerukan batu-batu dinding, tak perlu disangsikan
lagi bahwa ukiran di atas dinding sudah dikerik rata licin oleh seseorang.
Lim Bu-siang menjadi paham, pikirnya: "Tentu perbuatan tokoh kosen aneh itu. Baru setengah
jam yang lalu aku meninggalkan tempat ini, secepat itu pula dia sudah mengerik licin dinding
bergambar ini, diam-diam ia merasa bersyukur dan menyesal pula, pikirnya: "Ternyata tokoh
kosen itu tidak menghendaki piauko menemukan dan mempelajari rahasia intisari ilmu silat
perguruan kami, untunglah aku tadi tidak terlanjur memberitahukan kepadanya."
Sementara Lian Jay-hong yang menjadi keheranan dan bingung: "Apanya yang celaka?"
Boh Cong-tiu menarik napas, katanya: "Tiada halangannya sekarang kuberitahukan kepada
kalian. Kalian tahu kakek moyang leluhurku yaitu Boh Jong-liong adalah murid terbesar dari cosu
kita, Jan-bau-khek. Beliau secara rahasia ada mewariskan kepada kita sebuah rahasia yang hanya
diketahui marga Boh kita. Katanya cosuya ada meninggalkan pelajaran silat perguruan kita di
dalam sebuah gua di gunung Thay-san. Tapi beliau sendiri pun belum pernah menyaksikan
sendiri." "Dari mana kau bisa tahu bahwa gua inilah yang dimaksud?" demikian Lian Jay-hong menegas.
"Bukan mustahil inti ajaran silat itu tersembunyi di dalam gua yang lain?"
Sementara diam-diam Boh Cong-tiu sedang mereka-reka: "Bu-siang tidak akan membual
terhadapku. Dia tidak membawa senjata tajam lagi, mengandal kekuatan telapak tangannya tidak
mungkin bisa mengikis dinding batu ini sedemikian licinnya, perbuatan siapakah ini" Mungkinkah
perbuatan orang yang bersuit dan memuji semalam itu" Yang jelas di atas dinding ini sebelumnya
pasti ada apa-apanya, entah apakah intisari pelajaran silat perguruan kita?" Demikian hatinya
menjadi kurang tenteram dan was-was, segera ia menjawab pertanyaan istrinya: "Semoga seperti
apa yang kau katakan. Sekarang sudah jelas di "sini tiada apa-apa yang dapat kita temukan,
marilah kita pulang. Jangan kau lupa..."
"Benar, besok sudah tiba hari yang ditentukan, masih ada beberapa tamu agung yang belum
tiba, kukira hari ini pasti mereka bisa tiba, marilah kita lekas pulang menyambut kedatangan
mereka," demikian ujar Boh Cong-tiu. Tanpa hiraukan sikap istri dan yang lain-lain ia mendahului
menerobos keluar. Belum jauh mereka menempuh perjalanan, benar juga dilihatnya seorang murid Hu-siang-pay
berlari-lari mendatangi, serunya: "Boh-ciangbun, silakan cepat pulang, ada tamu agung datang."
"Tamu agung siapa?" tanya Boh Cong-tiu.
"Ada beberapa orang. Di antaranya terdapat Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya. Ada lagi Tan Tayhiap
bertiga ayah beranak kini sudah tiba semua," demikian lapor murid itu.
Boh Cong-tiu kegirangan, katanya: "Tan Tayhiap adalah pemimpin bulim daerah Kanglam,
kukira sulit dapat mengundang beliau untuk hadir, tak nyana beliau orang tua bukan saja datang,
malah membawa kedua puteranya sekalian. Demikian juga Ki-loenghiong, biasanya ia suka
mengembara tanpa menentu jejaknya, kukira undangan yang kukirim belum bisa sampai di
tangannya, kiranya beliau pun sudah tiba, sungguh amat menggirangkan."
Boh Cong-tiu sudah hafal jalan pegunungan, segera ia kembangkan ginkang memimpin di
sebelah depan menunjukkan jalan. Tak lama kemudian mereka tiba di hutan pohon siong,
kebetulan bersua sama Ciok Heng yang membawa keempat tamu agung menuju ke atas gunung.
Setelah mengadakan basa-basi sekadarnya berturut-turut Boh Cong-tiu memperkenalkan para
tamu kepada Beng Goan-cau beramai. Waktu mendengar nama Beng Goan-cau, Su-hay-sin-liong
Ki Kian-ya terdengar mendengus dan membuang muka.
Beng Goan-cau tidak tahu bahwa kakek tua ini masih ada ikatan famili jauh dengan Nyo Bok,
kini baru pertama kali berkenalan, sikapnya kok kelihatan kurang senang terhadap dirinya, keruan
ia melengak heran. Setelah menjengek, Ki Kian-ya melirik serta tertawa dingin kepada Beng Goan-cau. "Ternyata
kau inilah Beng Goan-cau, beberapa tahun terakhir ini cukup besar juga namamu menggetarkan
kangouw!" Beng Goan-cau keheranan, terpaksa ia melayani dengan sikap rada sungkan, sahutnya: "Tidak
berani. Para sahabat kangouw memang suka menempel emas di mukaku, terlalu mengagulkan
dari kenyataan. Harap lo-cianpwe suka memberi petunjuk."
Ki Kian-ya menyahut tawar: "Aku sudah tua tidak berguna. Mana berani mengagulkan diri
sebagai lo-cianpwe segala di hadapan eng-hiong muda yang perwira" Soal petunjuk jangan
diharapkan lagi!", sementara dalam hati ia membatin: "Nanti setelah kuselidiki jelas duduk
perkaranya kepada Nyo Bok, betapapan harus kuberi hajaran setimpal kepada arak muda kurang
ajar ini!" Untunglah di saat Beng Goan-cau merasa kikuk dan risi, kebetulan Kim Tiok-liu pun sedang
mendatangi. Kim Tiok-liu punya hubungan akrab dan kental secara kekeluargaan dengan Tan
Thian-ih ayah beranak, sudah tentu ia pun kenal baik pada Ki Kian-ya.
Setelah memberi hormat dan saling sapa lantas berkatalah Kim Tiok-liu: "Saudara Beng ini
datang dari Siau-kim-jwan, laskar gerilya mereka beberapa tahun ini berjuang menggempur
penjajah secara gemilang, pahalanya saudara Beng ini tidaklah kecil."
"Ya, Siau Ci-wan dan Leng Thiat-jiau dan pemimpin laskar gerilya lainnya selamanya amat
kukagumi," demikian ujar Ki Kian-ya, "cuma sayang kedua orang ini sama punya cacat dan
kelemahan, yaitu tidak begitu keras dan berdisiplin memimpin anak buahnya, sehingga di antara
naga-naga itu tercampur beberapa ekor ular, baik dan buruk tercampur aduk. Memang tidak
sedikit orang-orang gagah atau para enghiong dalam laskar gerilya, namun bukan mustahil
terdapat beberapa bajingan tengik suka mencatut nama."
Sindiran pedasnya ini jelas ditujukan secara gamblang, sudah tentu Beng Goan-cau amat
terperanjat. Kim Tiok-liu pun tidak kurang herannya, entah dari mana juntrungan kata-kata orang.
Tak tahan lagi berkatalah Beng Goan-cau: "Anggauta laskar gerilya ada laksaan banyaknya, ada
buruk dan ada yang baik campur aduk adalah tidak mungkin dihindari lagi. Entah Ki-locianpwe ada
mendengar dari mana tentang siapa pula yang berkelakuan kurang senonoh sehingga memalukan
gengsi dan nama baik laskar gerilya, harap sukalah bicara gamblang. Kelak pasti akan kulaporkan
kepada Leng-toako supaya dijatuhkan hukuman yang setimpal."
Ki Kian-ya menjengek dingin, "Tunggulah saatnya setelah aku mendapatkan bukti-bukti yang
nyata, tentu akan kulaporkan kepada Leng-toako kalian."
Kim Tiok-liu tahu dalam persoalan ini tentu terselip sesuatu keganjilan yang perlu diselidiki
secara cermat, namun karena ia tidak begitu kenal pada pribadi Ki Kian-ya tak enak ia banyak
bertanya, pikirnya: "Tay-pi Siansu dari Siau-lim-pay adalah sahabat karib tua bangka ini, biar kelak
kuminta bantuannya, tentu persoalan dapat dibikin terang." Sementara ia kesampingkan persoalan
ini." Segera ia menyapa kepada Tan Thian-ih, katanya: "Paman Tan, saudara Beng ini meski bukan
kelahiran Soh-ciu asli, namun sejak kecil dibesarkan di Soh-ciu. Boleh kalian terhitung setengah
sanak dalam kampung halaman yang sama."
Mendadak Tan Thian-ih pun berkata: "Diluar kota Soh-ciu, ada seorang lo-enghiong bernama
Hun Ciong-san, apakah saudara Beng kenal pada beliau?"
Hun Ciong-san adalah ayah Hun Ci-lo, mendengar Tan Thian-ih menyinggung beliau tak terasa
kecut rasa hati Beng Goan-cau, sahutnya: "Sayang Hun-loeng-hiong sudah lama wafat."
"Aku tahu, aku pun merasa menyesal di saat Hun-loenghiong masih sehat dulu tidak sempat
bertemu dengan beliau. Soalnya belakangan ini aku ketemu seorang sahabat lama, baru teringat
kepada Hun-loenghiong ini. Kim-siheng, bicara soal sahabat kental ini dia amat ingin berkenalan
dengan kau." "Sahabat kental paman Tan tentu seorang kaum persilatan yang cukup ternama juga, entah
cianpwe siapakah dia?"
"Hubungan kami memang cukup rapat sejak lama, usianya baru menanjak empat puluh.
Namanya Miao Tiang-hong, apakah kau pernah dengar namanya?"
"Apakah Miao Tayhiap yang pernah membantu pihak Thian-li-hwe di Poting dan membunuh
tujuh jagoan Bhayangkari itu?"
"Benar, dialah adanya. Tahun itu kebetulan ia bertamu di Thian-li-hwe, di Poting, kebetulan
kebentur jago-jago Bhayangkari yang diutus kerajaan menggerebek markas besar Thian-li-hwe.
Untunglah mendapat bantuannya sehingga banyak anggauta Thian-li-hwe yang diselamatkan
jiwanya." Kim Tiok-liu menghela napas, ujarnya: "Kabarnya orang ini gagah perwira, seorang jejaka
kangouw yang berjiwa pendekar. Sayang aku hanya kenal namanya belum ada jodoh berkenalan
padanya." "Dalam pertemuan besar kali ini sebetulnya dia pun ingin ikut datang bersama kami, namun
mendadak ia terhalang oleh suatu urusan lain hendak ke Tong-thing-san di Se-ouw."
Boh Cong-tiu ikut menyela bicara: "Kabarnya ada seorang lo-enghiong yang bernama Siau
King-hi bertempat di Tong-thing-san sebelah barat juga?"
"Siau King-hi sudah lama wafat," demikian Tan Thian-ih menjelaskan, "istrinya adalah kakak
istri Hun Ciong-san. Siau King-hi hanya punya seorang putri tunggal. Ibu beranak keluarga Siau
memang masih menetap di Tong-thing-san sebelah barat. Miao Tiang-hong adalah kenalan lama
dengan keluarga Siau itu." Sampai di sini ia berseri tawa lalu menunjuk Tan Kong-si dan
melanjutkan: "Kim-siheng, bicara terus terang, semula Miao Tiang-hong ingin menjadi comblang
melamarkan putraku ini, yang dimaksud adalah putri keluarga Siau itulah."
"Oh, selamat,selamat!" ujar Kim Tiok-liu tertawa senang.
Merah malu selebar muka Tan Kong-si, katanya: "Aku belum lagi ingin kawin. Hal ini sudah
kubicarakan dengan paman Miao."
"O, jadi kau tidak menyukai putri keluarga Siau itu," Tan Thian-ih menegas. "Apakah kau
menyukai putri keluarga Cau?"
"Usia paman Miao sudah sedemikian lanjut toh belum menikah. Yah, kenapa kau begitu gelisah
memikirkan diriku" Kedua nona itu baru saja kukenal, masa lantas mempersoalkan suka atau cinta
segala?" "Soal pernikahan adalah urusan maha besar, biarlah mereka mencari jodohnya sendiri saja,"
demikian timbrung Kim Tiok-liu. "Orang-orang tua tidak perlu bercapek lelah mencarikan jodoh
putra putrinya. Entah siapa pula keluarga Cau itu?"
"Dia adalah sahabat karib Siau King-hi semasa hidupnya yang bernama Cau Siok-toh. Kedua
keluarga adalah bertetangga, kedua nona keluarga mereka berusia sebaya."
Percakapan Tan Thian-ih dan Kim Tiok-liu begitu asyik, hingga Beng Goan-cau tidak sempat
menyela bicara, namun pikirannya justru sudah melayang mengenang Hun Ci-lo. "Ternyata Ci-lo
punya bibi yang menetap di Tong-thing-san, tak heran Kim-hujin bilang ada orang pernah melihat
dia di sana. Ai, jejaknya boleh dikata sudah kuketahui, entah kapan baru aku bisa menyusul ke
sana menemui dia?" demikian renung Beng Goan-cau, tanpa terasa langkah kakinya menjadi
lambat dan ketinggalan di belakang, Lim Bu-siang juga mengendorkan langkahnya, di saat Boh
Cong-tiu bicara dengan Tan Thian-ih secara diam-diam ia berbisik kepada Beng Goan-cau: "Besok
pagi-pagi, kuharap kau menunggu aku di hutan Bwe!"
Beng Goan-cau tersentak sadar dari renungannya, bayangan Hun Ci-lo seketika sirna, kini
berganti bentuk Lim Bu-siang yang terpancang di depan matanya. Serta merta raut wajahnya
mengunjuk senyum getir. "Kau dengar tidak?" tanya Lim Bu-siang menegas. "Ingat besok pagi-pagi tunggulah aku di
hutan kembang Bwe!" Sudah tentu Beng Goan-cau menjadi keheranan, ia berpikir: "Upacara besar berdirinya Husiang-
pay diadakan besok pagi sebelum matahari terbit, jelas tidak mungkin dia ajak aku melihat
matahari terbit di Giok-hong-ting. Masa dia masih ada waktu senggang dan rasa isengnya untuk
bertemu dengan aku walau hanya sekejap sebelum upacara besar itu dibuka" Em, mungkin ada
sesuatu urusan maha penting yang perlu dia katakan kepadaku?"
Mendadak dari arah depan sana dilihatnya ada seorang murid Hu-siang-pay berlari mendatangi
dengan langkah tergesa-gesa.
Kata Kim Tiok-liu tertawa: "Tamu agung siapa lagi yang datang?"
Murid itu segera melapor kepada Boh Cong-tiu: "Ada seorang yang bernama Cau Siok-toh,
katanya dia tidak punya kartu undangan namun ingin menghadiri upacara berdirinya perguruan
kita. Tapi beliau bilang ada kenal baik dengan Tan Tayhiap."
"Tan Tayhiap!" ujar Boh Congtiu tertawa. "Sungguh amat kebetulan sekali. Cau-locianpwe yang
baru saja kau singgung kini kebetulan sudah tiba." Lalu ia berpaling memberi pesan kepada murid
itu: "Hayo lekas kau undang Cau-locianpwe itu naik ke atas gunung."
Hari ini para orang-orang gagah dari seluruh jagat mulai berdatangan memenuhi seluruh
puncak Thay-san. Beng Goan-cau diminta membantu menyambut dan melayani para tamu, ia ikut
repot satu hari penuh. Mungkin karena kelelahan satu hari tadi, Beng Goan-cau gulak-gulik di atas
ranjang tidak bisa tidur.
"Besok setelah pertemuan di sini bubar aku bisa cepat-cepat menyusul ke Thay-ouw mencari
Ci-lo. Tapi entah Nyo Bok hendak mencari kesulitan padaku" Dia sedang mencari istrinya, perlukah
aku memberitahu berita ini kepadanya?"
Lalu terpikir pula olehnya: "Tugas yang diberikan Leng-toako padaku untuk mencari hubungan
dengan orang-orang gagah seluruh jagat sudah kulaksanakan hampir seluruhnya, hari ini tidak
leluasa aku bicara dengan mereka, setelah pertemuan bubar terpaksa aku harus minta bantuan
Kim-tayhiap untuk menemani aku mencari mereka, apa boleh buat, demi tugas aku harus
menunda perjalanan ke Se-ouw beberapa hari lagi."
Lain kejap ia berpikir pula: "Belum lama aku berkenalan dengan Bu-siang, namun begitu intim
dan besar kepercayaannya kepada aku. Ai, dia memang seorang nona jelita yang lincah dan
menyenangkan, sayang hatiku sudah kuserahkan kepada Ci-lo, walau tiada berjodoh menjadi
suami istri dengan Ci-lo, namun hatiku ini tidak mungkin kuberikan lagi kepada orang lain. A i, Cilo,
Ci-lo, entah kapan baru bisa jumpa lagi dengan kau?" Begitulah pikirannya melayang-layang
sehingga hati gundah pikiran tidak tenang, semalam suntuk ia tidak bisa tidur, tahu-tahu cuaca
sudah mulai terang. Sebetulnya seumpama Beng Goan-cau bisa tidur pulas dan bermimpi, meski mimpi ia pun tidak
akan menduga bahwa Hun Ci-lo ternyata sudah tiba di Thay-san juga.
Hari itu setelah Hun Ci-lo berpisah dengan bibinya, di sebuah kota kecil yang terletak di sebelah
utara Thay-ouw ia membeli seekor kuda, di kota kecil macam itu sudah tentu tidak bisa
memperoleh kuda bagus, namun di siang hari bolong Hun Ci-lo tidak leluasa mengembangkan
ginkangnya berlari pesat, terpaksa ia menunggang kuda kurus yang dibelinya dengan harga cukup
mahal. Untunglah menurut rencana semula Hun Ci-lo tidak ingin menghadiri pertemuan besar ini,
maksudnya cuma hendak menunggu di bawah gunung saja, harapannya di sana ia bisa ketemu
dengan Cau Siok-toh dan memberitahu keadaan bibinya. Sudah tentu ia pun mengharap bisa
melihat Beng Goan-cau, cuma tidak bersedia bertemu secara berhadapan. Kudanya kurus larinya
lambat jadi tidak menjadi soal baginya.
Dia mengenakan kedok muka pemberian Miao Tiang-hong, hari itu ia sudah memasuki wilayah
Cou-yang yang termasuk propinsi Soatang, kira-kira masih dua ratusan li dari puncak Thay-san.
Saat mana ia sedang melewati jalan padang rumput liar yang tiada kelihatan ujung pangkalnya. Di
saat ia mencongklang kudanya lambat-lambat, mendadak didengarnya sebuah suitan,
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekonyongkonyong dari rumput-rumput liar di sekelilingnya serempak beterbangan senjata rahasia yang
tidak terhitung banyaknya, seluruhnya meluruk ke arah dirinya.
Untunglah Hun Ci-lo bisa berlaku sigap dan cekatan menghadapi kejadian yang tidak terduga
ini, meski dibokong secara mendadak, hatinya kaget namun tidak menjadi gugup karenanya,
secepat kilat ia melolos pedangnya bergerak dengan sejurus Ya-can-pat-hong, terdengarlah suara
trang tring yang riuh dan ramai, tiga batang piau terbang dan dua batang pisau terbang sekaligus
kena disampuk-nya jatuh. Tapi sambaran senjata rahasia cukup banyak dan deras seperti kunangkunang
beterbangan, sulit diraba dan diduga sasarannya, kalau bisa menyelamatkan diri
sebaliknya kuda tunggangannya pasti celaka, betul juga kudanya terkena sebatang panah beracun
yang jahat seketika jatuh tersungkur dan melayang jiwanya.
Hun Ci-lo ikut terguling jatuh dari punggung kuda. Orang-orang yang membokongnya itu
menyangka dia pun terkena sambitan am-gi, beramai-ramai mereka menerjang keluar dari semaksemak
rumput liar, bertepuk tangan seraya bersorak: "Roboh roboh!" ?"" "Haha, perempuan
galak macammu ini berani berjuluk Jian-jiu-koan-im segala, hari ini kau menerima ganjaranmu
yang setimpal." Tiba-tiba dengan gaya ikan mas meletik Hun Ci-lo melejit berdiri, berbareng ia menyampuk
jatuh pula dua batang anak panah. Masih ada pula beberapa macam senjata rahasia yang
bobotnya jauh lebih ringan dan kecil sudah berjatuhan lebih dulu sebelum mengenai sasarannya
karena jarak terlalu jauh.
Tiba-tiba di antara mereka ada seorang berteriak: "Wah, salah, salah. Jangan kalian sembrono,
bukan perempuan ini yang kita incar!" -Tampak tiga ekor kuda mencongklang datang, salah satu
di antaranya pernah bentrok secara langsung dengan Jian-jiu-koan-im, maka dia mengenal raut
muka orang, orang ini pula yang menjadi pimpinan gerombolan orang-orang jahat ini.
Maka terdengar pula salah seorang berteriak: "Hai, benar, memang salah orang!"
Tapi seorang lain pun berseru: "Kalau sudah salah biar salah, hayo ganyang saja jangan
kepalang tanggung, perempuan ini belum mampus jangan kita biarkan dia hidup, bikin mampus
saja!" Si pemimpin tadi lantas menunjang: "Benar, kita harus bikin tamat jiwanya! He, he, jangan kau
sesalkan tindakan kami yang tidak kenal kasihan, anggap saja nasibmu yang sial kebentur di
tangan kami." Senjata rahasia berbondong-bondong meluruk pula menghujani tubuh Hun Ci-lo, terutama
sambitan senjata rahasia ketiga penunggang kuda itu jauh lebih keras dan telak mengincar
tempat-tempat mematikan. Hun Ci-lo harus mengembangkan ginkangnya berloncatan selincah
kupu segesit kera berusaha berkelit dari berondongan senjata rahasia musuh, tapi ke mana pun ia
berkelit tak mungkin ia dapat keluar dari berondongan senjata rahasia yang begitu banyak. Lama
kelamaan telapak tangannya menjadi pegal kesemutan menangkis setiap senjata rahasia sambitan
ketiga penunggang kuda yang kuat itu. Mau tidak mau mencelos hati Hun Ci-lo, batinnya: "Tak
nyana jiwaku bakal mampus di tangan kawanan berandal ini."
Di saat-saat yang amat kritis ini, Hun Ci-lo sudah pasrah nasib dan jelas jiwanya tidak akan
dapat tertolong lagi, mendadak didengarnya suara kelintingan yang nyaring mendatangi dari
kejauhan, dari semak-semak rumput padang lalang di depan sana muncul pula seekor kuda putih
yang dibedal kencang, di atas punggungnya menunggang seorang perempuan pertengahan umur,
belum lagi orangnya tiba, dari kejauhan suaranya sudah terdengar lantang: "Jian-jiu-koan-im di
sini, para kunyuk yang tidak tahu malu berani kurang ajar dan bertingkah!"
Si pemimpin itu segera mengayun tangan dan memberi aba-aba: "Lekas, sambut dia dengan
berondongan senjata rahasia! Hati-hati jangan tergesa-gesa dan gentar!" Maka sasaran hujan
senjata rahasia beralih arah, semua disambitkan ke arah perempuan pertengahan timur yang
mendatangi. Saking banyak senjata rahasia yang disambitkan seolah-olah perempuan itu
disongsong kembang-kembang salju yang bertaburan di tengah angkasa.
Jian-jiu-koan-im tertawa dingin, ejeknya: "Kepandaian badut bermain di gelanggang murahan
juga berani diunjukkan di depan seorang ahli?" Tampak sebelah tangannya mengayunkan pecut
sementara tangan yang lain bergerak selincah kupu menari menyambut dan menangkap senjata
rahasia yang berterbangan mendatang, begitu tertangkap lantas disambitkan balik, maka dalam
sekejap saja terdengarlah jerit dan pekik kesakitan dari berbagai penjuru saling bersahutan. Ada
beberapa orang di antara musuh roboh kena senjata rahasia sambitan sendiri, keruan mereka
menjadi ketakutan dan bergelundungan masuk semak-semak rumput, sambil menahan rasa sakit
ngacir pergi. Demikian pula yang tidak terluka menjadi ciut nyalinya, beramai-ramai mereka lari
tunggang langgang mencawat ekor.
Hun Ci-lo bukan seorang ahli penyambit senjata rahasia, namun dia pun cukup liehay dalam
bidang ini. Melihat kepandaian perempuan pertengahan umur yang begitu hebat sesaat ia jadi
terlongong, diam-diam ia kagum dan memuji dalam hati: "Tak heran diberi nama julukan Jian-jiukoan-
im, ternyata tidak bernama kosong!"
Melihat para bawahannya yang terluka sama berkelejetan, yang lari pontang-panting, si
pemimpin menjadi gopoh juga, terpaksa ia membalikkan kuda tunggangannya hendak melarikan
diri pula. Jian-jiu-koan-im segera tertawa dingin: "Kukira siapa, ternyata adalah kunyuk-kunyuk
yang terima menjual jiwa bagi kepentingan Cong Sin-liong. Hm, Cong Sin-liong sendiri tidak berani
muncul, kini kalian yang disuruh mengantarkan jiwa. Masa begitu gampang kau hendak melarikan
diri" Marilah berikan tanda mata!"
Seiring dengan kata-katanya, beruntun tangannya terayun menyambitkan tiga batang senjata
rahasia. Kepandaian dan gerak-gerik orang itu ternyata cukup tangkas juga, dengan gaya Teng-lijang-
sin (sembunyi ke bawah perut kuda), ia berkelit dari sambaran anak panah yang mengincar
Thay-yang-hiat bagian atas, berbareng dengan itu goloknya dilintangkan menyampuk jatuh Tohkut-
ting yang menyerang bagian tengah, akan tetapi toh tidak kuasa meluputkan diri dari
sambitan pisau terbang yang menyerang bagian bawah, di mana pisau terbang menyambar lewat
daging pahanya kena terkupas sebagian besar. Saking kesakitan kontan orang itu terjungkal jatuh
dari punggung kudanya. Untunglah kudanya itu berlari jajar dengan seorang temannya yang lain,
dengan sigap temannya itu meraih dan menjinjingnya, sementara tangan yang lain
menghunjamkan belati di tangannya ke pantat kuda. Tusukannya menggunakan tenaga yang pas
dan persis, sehingga tidak melukai tulang pantatnya, namun karena kesakitan kuda itu berlari
membe-dal seperti dikejar setan.
Cepat Jian-jiu-koam-im maju menyapa: "Cici ini, harap tunggu sebentar." Segera ia keprak
kudanya menyusul kuda musuh yang ditinggalkan dan sedang berlari-lari di tengah padang lalang.
Begitu dekat Jian-jiu-koan-im lantas melompat ke atas punggungnya. Semula kuda itu seperti
marah dan membedal-bedal dan melompat-lompat setinggi satu tombak. Jian-jiu-koan-im
memegang erat bulu surinya serta menepuk-nepuk lehernya, kejap lain kuda itu menjadi tenang,
setelah entah dibisiki apa-apa kini membelok balik ke arah sini dan menjadi jinak.
Hun Ci-lo amat tertarik, pikirnya: "Ternyata bukan saja Jian-jiu-koan-im ahli dalam kepandaian
senjata rahasia, dia pun seorang ahli juga menjinakkan kuda." Memangnya dia tidak tahu bahwa
Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in adalah istri Utti Keng, Utti Keng adalah begal kuda yang terkenal di
Kwantang, kepandaian menjinakkan kuda Ki Seng-in ini ia pelajari dari suaminya.
Setelah berhadapan Ki Seng-in segera memperkenalkan diri: "Aku bernama Ki Seng-in.
Kawanan penjahat itu semula hendak menyergap aku. hampir saja kau yang menjadi korban,
sungguh aku menjadi kurang enak hati. Kau kehilangan kuda, biarlah kuganti dengan kuda ini.
Sekarang dia sudah kujinakkan, bolehlah berlega hati kau menunggang kuda ini." Habis berkata ia
melompat turun terus berikan kuda itu kepada Hun Ci-lo.
"Terima kasih akan pertolongan Ki-lihiap sehingga jiwaku diselamatkan, betapa terima kasihku,
mana pula berani menerima pemberian ini"'"
"Yang terang aku toh merampas milik orang lain pula, kenapa kau main sungkan" Watakku
suka terus terang, kau ketimpa bencana karena diriku, toh aku belum lagi mengucapkan banyak
terima kasih kepada kau! Cici, siapakah nama harummu" Ke mana kau hendak pergi"'" Segera
Hun Ci-lo mengarang sebuah nama palsu, katanya: "Aku bernama Beng Hoa-nio, tujuanku ke
Thay-an!?" "Kepandaianmu cukup hebat juga. Maaf akan keteledoranku, harap tanya bukankah kau
hendak menonton keramaian di Thay-san?"
"Boh Cong-tiu mendirikan partai menegakkan alirannya di Thay-san, peristiwa ini pernah
kudengar dari orang lain. Tapi aku sendiri belum setimpal menjadi tamu undangannya. Aku punya
seorang teman yang mungkin akan hadir di sana, maka aku hendak pergi ke
Thay-san untuk menunggunya di sana setelah dia pulang."
"Kenapa begitu mempersulit diri, marilah kau ikut aku saja. Aku sendiri pun tidak punya surat
undangan, tapi kutanggung kau pasti dapat dan leluasa tiba di atas gunung."
Melihat orang cukup supel dan polos, Hun Ci-lo jadi tertarik untuk mengikat persahabatan,
diam-diam ia membatin: "Aku mengenakan kedok mukaku ini, kukira Beng Goan-cau tidak akan
bisa mengenali diriku."'-Maka ia berkata:
"'Kalau lihiap sudi membawa aku untuk membuka pandanganku, sungguh amat kebetulan
sekali." Begitulah mereka segera cemplak kuda masing-masing terus berangkat berjajar.
Di tengah jalan bertanyalah Hun Ci-lo: ?"Siapakah kawanan penjahat itu?"
"Pemimpin mereka bernama Cong Sin-liong, tapi tadi belum muncul. Orang she Cong itu adalah
cakar alap-alap utama dari Sat Hok-ting, itu komandan pasukan Bha-yangkari di istana raja, cuma
belum banyak para sahabat kangouw yang mengetahui hal ini. Dia merupakan susiok dari Boh
Cong-tiu, ciangbunjin Hu-siang-pay sekarang. Bahwa kali ini Boh Cong-tiu mendirikan partai kukira
pasti dia akan datang, maka cepat-cepat kususul tiba ke Thay-san."
Hun Ci-lo bertanya heran dan tidak mengerti: "Bukankah Boh Cong-tiu termasuk kaum pejuang
yang berjiwa pendekar" Kenapa susioknya..."
"Sudah lama Boh Cong-tiu bertengkar dan bentrok dengan susioknya ini, tapi..."
"Tapi apa?" Sebenarnya Ki Seng-in hendak bilang: "Tapi Boh Cong-tiu bukanlah seorang yang benar-benar
berjiwa pendekar seperti yang kau bayangkan." Meski wataknya polos dan supel betapapun ia
baru berkenalan dengan Hun Ci-lo maka ia urungkan ucapannya itu, dan menjelaskan: "Tapi tahu
orangnya melihat mukanya tidak tahu hatinya. Boh Cong-tiu seorang ciangbunjin yang baru saja
pulang dari luar lautan, seluk beluknya aku pun tidak begitu jelas." Sudah tentu penjelasan ini
tidak menarik bagi Hun Ci-lo karena yang diperhatikan hanyalah Beng Goan-cau. Maka dia pun
tidak bertanya lebih lanjut mengenai pribadi Boh Cong-tiu.
Untunglah Hun Ci-lo mendapat ganti tunggangan kuda jempolan, larinya jauh lebih pesat dari
kuda , yang dibelinya. Begitulah mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, hari ketiga pagipagi
mereka sudah tiba di bawah Thay-san.
Tatkala itu kebetulan tiba Boh Cong-tiu mengadakan pembukaan berdirinya partai Hu-siangpay,
upacara besar yang hidmat dan besar-besaran sedang berlangsung.
Di puncak Giok-hong-ting di Thay-san pagi hari itu penuh sesak berjubel-jubel orang-orang
gagah dari berbagai penjuru dunia yang memenuhi seluruh pelosok. Sudah tentu Beng Goan-cau
dan Lim Bu-siang ada di antara mereka.
Gumpalan awan putih melayang di tengah angkasa, puncak Giok-hong-ting seperti dibungkus
selendang putih, cuaca masih gelap, keadaan hening lelap. Tapi menembus celah-celah awan yang
mengembang enteng di angkasa, jauh di ufuk timur sana mencorong setabir cahaya merah
kegelapan. Cuma sang surya belum lagi muncul keluar dari peraduannya.
Upacara kebesaran berdirinya partai Hu-siang-pay ditentukan di saat matahari terbit. Maka
banyak tamu-tamu yang sekaligus hendak melihat panorama terbitnya matahari pagi, sejak cuaca
masih amat gelap sudah berdatangan dan duduk berjubel di atas rumput. Di mana saja yang
terdapat tempat luang di situ sudah penuh diduduki orang.
Seperti pula keadaan Beng Goan-cau, semalam, Lim Bu-siang pun tidak pernah terpejam
matanya. Hubungan rahasia piaukonya dengan Ciok Tio-ki sudah menjadi kenyataan dan diketahuinya
dengan pasti, meski ia belum berani memastikan bahwa piaukonya benar ada intrik dengan pihak
kerajaan, akan tetapi bagaimana juga sudah menimbulkan rasa curiganya.
Teringat olehnya janji yang dia berikan kepada Utti Keng, tanpa merasa hatinya menjadi
gundah dan gelisah. "Betulkah aku harus bermusuhan langsung dengan piauko?" Hal ini
selamanya belum pernah dan berani ia pikirkan. "Ai, semoga kecurigaanku ini tidak menjadi
kenyataan." Terpaksa Lim Bu-siang menyimpulkan ke arah yang baik.
Sebelum dia tiba di tanah lapang berumput, dia sudah bertemu di dalam hutan kembang Bwe
dengan Beng Goan-cau, sesuai apa yang pernah ia janjikan semalam. Dalam pertemuan rahasia
inilah Lim Bu-siang menceritakan apa yang dia ketemukan di dalam gua secara aneh itu serta
mengutarakan isi hatinya kepada Beng Goan-cau.
Beng Goan-cau sendiri juga tidak berani menuduh bahwa Boh Cong-tiu adalah orang jahat,
namun rasa curiganya jauh lebih tebal dan banyak dibanding Lim Bu-siang. Demi menjaga segala
kemungkinan dan bencana, dia mengajukan suatu saran kepada Lim Bu-siang.
Sarannya itu ialah: Jangan membiarkan Boh Cong-tiu menjabat ciangbunjin Hu-siang-pay
mereka. "Kalau bukan dia yang menjabat ciangbunjin, lalu siapa?"
"Kau!" "Aku?" mimpi juga Lim Bu-siang tidak pernah memikirkan Beng Goan-cau bakal menyuruh
dirinya menjabat sebagai ciangbun, itu berarti secara langsung ia harus berdiri di tempat yang
berlawanan dengan piaukonya, sudah tentu hal ini merupakan peristiwa yang tidak berani
dipikirkan olehnya, apalagi untuk merebut tempat kedudukan ciangbun"
"Benar, kau. Pikir punya pikir, aku jadi berpikir untuk mencari calon lain untuk menjabat
ciangbunjin, jangan sekali-kali membiarkan Boh Cong-tiu menjadi ciangbun kalian, dan calon ini
hanya kaulah yang cocok dan setimpal. Ayahmu merupakan cianpwe tertinggi dari Hu-siang-pay
kalian, kedudukan tinggi, namanya tenar dan diagungkan oleh seluruh anggauta partai kalian.
Kalau kau yang tampil untuk merebutkan kedudukan ciangbun ini dengan dia, anak murid
perguruan kalian meski banyak yang menjunjung dan mengagulkan Boh Cong-tiu, , mau tidak
mau mereka harus memberi muka pula kepada ayahmu, betapapun mereka tidak akan berani
melawan secara terang-terangan. Kalau jabatan harus ditentukan mengandal kepandaian silat,
kebetulan kau sudah mempelajari intisari ilmu pedang perguruanmu dari peninggalan cosu kalian,
mustahil kau tidak mampu menundukkan dia."
"Akan tetapi..."
"Tapi apa?" "Bukan mustahil dia punya " tujuan lain yang tidak kita ketahui sehingga dia mengikat
hubungan rahasia dengan Ciok Tio-ki. Bahwasanya martabatnya masih tidak sejelek seperti yang
dikatakan oleh paman Utti."
"Ai, toh sudah kujelaskan, yang terang kita harus berjaga akan segala kemungkinan. Daripada
meninggalkan bencana di kelak kemudian hari, lebih baik sekarang kita tidak bekerja kepalang
tanggung." "Aku, apapun aku tidak tahu, mana bisa menjadi ciangbun?"
"Kami semua akan membantu kau menyelesaikan segala kesulitan."
"Baru kemarin aku dapat menyelami intisari pelajaran silat peninggalan cosu di atas dinding itu,
masih jauh dikatakan 'sempurna', belum tentu dalam bidang ilmu pedang aku bisa mengalahkan
dia." "Aku percaya kau pasti dapat mengalahkan dia. Meski tidak mungkin, apa halangannya kau
coba-coba, toh tidak merugikan!"
"Ai, aku..." "Soal ini amat penting, kau harus bisa berpikir secara obyektif dan demi kepentingan orang
banyak, jangan kau sekali-kali dilibat oleh perasaan pribadimu. Bu-siang, sudahlah jangan kau
ragu-ragu." Dalam percakapan di hutan Bwe itu Beng Goan-cau sudah memberi bekal keberanian serta
membentangkan untung ruginya kepada Lim Bu-siang. Tapi Lim Bu-siang masih sangsi dan belum
berani ambil keputusan. Tatkala itu ia duduk berendeng bersama Beng Goan-cau di atas rumput di tengah-tengah
sekian banyak orang yang berkerumun, keadaan menyebabkan Beng Goan-cau tidak leluasa bicara
dengan dia. "Hai, lihat, matahari terbit!" entah siapa di antara sekian banyak orang telah bersorak
kegirangan. Pandangan seluruh hadirin serempak tertuju ke ufuk timur.
Pembukaan upacara besar berdirinya partai sudah ditentukan oleh Boh Cong-tiu pada saat
matahari terbit, maka segera upacara akan dimulai. Mendadak Beng Goan-cau menggenggam erat
tangan- Lim Bu-siang, serta berbisik di pinggir kupingnya: "Bu-siang gairahkan semangat dan
bangkitkan keberani-anmu!"
Melihat matahari terbit di puncak Thay-san sungguh merupakan suatu panorama aneh yang
menakjubkan, lambat laun di ufuk timur terpancar cahaya merah keemasan semakin menyala
terang, dari celah-celah mega pelan-pelan muncul keluar bola bundar sedikit demi sedikit, semakin
lama naik ke atas meninggalkan garis pertemuan langit dan bumi.
Seluruh alam semesta ditaburi cahaya merah keemasan yang bertebaran seperti menari legatlegot
di tengah angkasa, sebentar ke timur, mendadak ke arah barat mengikuti bergeraknya
awan, semakin lama gumpalan mega berkumpul semakin tebal, seolah-olah membentuk sebuah
istana megah di tengah angkasa yang keemasan. Dunia menjadi terang benderang dan puncak
Thay-san pun seperti terbangun dari kepulasan semalam suntuk, hawa segar dan menyamankan
badan. Betapa indah dan semaraknya pemandangan matahari terbit ini sulitlah dilukiskan dengan katakata.
Pendek kata begitu bola api sebesar gantang mencelat keluar dari peraduannya, murid Husiang-
pay yang mengatur upacara sembahyangan segera berseru seperti senandirhg:
"Hu-siang terbit laksana matahari, menyinari seluruh dataran besar, di puncak tinggi Thay-san.
kita menegakkan aliran mendirikan partai!"
Dimulailah pembukaan upacara besar berdirinya partai Hu-siang-pay di Tionggoan.
Para hadirin terdengar sama berbisik: "Sepak terjang Boh Cong-tiu sungguh amat takabur dan
keterlaluan dengan pameo tengik segala!", tapi ada pula orang yang berkata: "Meski nadanya
takabur, namun Hu-siang baru pulang dari luar lautan, betapapun merupakan suatu hal yang
harus dicanangkan bagi perkembangan kaum persilatan khususnya."
Di tengah tembang sanjung murid pemimpin upacara, pelan-pelan Boh Cong-tiu melangkah
naik ke atas panggung batu yang didirikan di tengah-tengah lapangan rumput. Pertama-tama ia
menju-ra ke empat penjuru, lalu mulailah ia membuka kata-kata sambutan.
Kata sambutannya kedengaran amat sungkan dan prihatin, pertama-tama ia mengucapkan
banyak terima kasih kepada para cianpwe dari berbagai partai, para ciangbun dan orang-orang
gagah yang hadir dari berbagai penjuru dunia, akan kesudiannya meluangkan waktu menghadiri
pembukaan berdirinya partai Hu-siang-pay mereka.
Selanjutnya ia ceritakan sejarah berdirinya Hu-siang-pay di bawah pimpinan cikal bakal mereka
yaitu Jan-bau-khek sejak dinasti Tong pada seribu tahun yang lalu, tak lupa, ia jelaskan juga
perkembangan selama ini di luar lautan, dan bersyukurlah bahwa hari ini akhirnya bisa kembali ke
tanah leluhur dan berdiri dengan disaksikan seluruh kaum persilatan seluruh dunia.
Sejarah Hu-siang-pay sudah banyak orang mengetahui, maka ceritanya yang panjang lebar
membuat banyak hadirin menggerutu dan . tidak sabar. Sudah tentu bagi yang belum
mengetahui, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Bahwa banyak hadirin yang sudah tidak sabar dan merasa sebal, sudah tentu keadaan tidak
bisa tahan tenang dan hening hikmat lagi. Yang hadir dalam pertemuan besar ini terdiri dari kaum
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
persilatan yang tersebar dari mana-mana, biasanya amat sulit bisa ketemu satu sama lain. Kini
secara serempak mendadak bisa bertemu dan jumpa, maka banyak di antaranya yang berjubelan
di antara mereka untuk mencari sahabat atau kenalan lama untuk ajak bicara.
Beng Goan-cau menggenggam tangan Lim Bu-siang semakin kencang, bisiknya lagi: "Bu-siang,
tekadmu sudah teguh belum?"
Lim Bu-siang mandah tertawa getir. Pertanyaan ini sudah kedua kalinya diajukan oleh Beng
Goan-cau, namun tekadnya belum lagi bulat.
Di saat hatinya gundah gulana itulah, ada seseorang mendesak maju ke dekatnya dan
menepuknya pelan-pelan katanya tertawa: "Bu-siang, betapa sulit aku mencari kau!"
Sungguh terkejut dan girang pula Lim Bu-siang, "Bibi, kiranya kau. Mana paman Utti?" Ternyata
orang yang mendesak maju di sampingnya ini adalah seorang nyonya pertengahan umur, dia
bukan lain adalah Ki Seng-in, istri Utti Keng.
Jawab Ki Seng-in: "Pamanmu tidak datang, aku datang dengan seorang teman lain. Apakah dia
Beng Goan-cau, Beng Tayhiap" Em, persoalan kalian, suamiku sudah membicarakan dengan aku.
Katanya dia menguatirkan Beng Tayhiap tidak keburu menyusul kemari untuk bertemu dengan kau
nona Lim!" Setelah Beng Goan-cau menjura memberi hormat kepada Ki Seng-in, ia berkata: "Terima kasih
atas pemberian kuda jempol oleh suamimu, baru kemarin aku tiba."
"Soal kecil saja kenapa dibuat sungkan. Kau tidak tahu, mencuri atau membegal kuda orang
lain adalah keahlian kami suami istri. Kalau dibicarakan sungguh amat kebetulan, di tengah jalan
aku berkenalan dengan seorang kawan, kuda tunggangannya adalah pemberianku hasil
rampasanku dari seorang alap-alap kerajaan."
"O, ya, di mana kawan bibi itu, kenapa tidak diundang kemari saja?"
"Dia berada di sana. Soalnya dia tidak punya undangan jadi ikut aku kemari, maka tidak ingin
banyak bergerak supaya tidak menimbulkan perhatian orang lain. Kami baru saja berkenalan,
banyak kata-kata yang perlu dibicarakan tidak leluasa diperbincangkan di hadapannya, maka
kebetulan kalau dia tidak mau kemari, aku pun tidak enak memaksanya."
Lim Bu-siang dan Beng Goan-cau berbareng berpaling ke arah yang ditunjuk Ki Seng-in,
tampak seorang nyonya muda yang berpakaian hitam seorang diri duduk di pojokan sana,
kepalanya tertunduk entah sedang merenungkan apa. Mungkin karena dia mengenakan pakaian
berkabung, maka tiada seorang pun yang ajak bicara padanya.
Tergerak hati Beng Goan-cau, pikirnya: "Eh, perempuan ini seperti pernah kulihat entah di
mana?" Karena Hun Ci-lo mengenakan kedok muka palsu, sehingga mengelabuhi mata orang akan
muka aslinya, di tengah kelompok sekian banyak orang, Beng Goan-cau menemukan dirinya,
namun ia belum dapat mengenalnya secara pasti.
"Bibi, siapakah nama temanmu itu" Kulihat dia duduk seorang diri pasti kesepian, sungguh
amat kasihan," demikian ujar Lim Bu-siang.
"Dia she Beng bernama Hoa-nio. Katanya dia kemari hendak mencari seorang teman, mungkin
belum ketemu, Bu-siang, sudahlah jangan mencampuri urusan tetek bengek, aku ada sebuah
urusan maha penting yang perlu kurunding-kan dengan kau. Mari dekatkan kupingmu!"
"Bibi ada urusan apa kelihatannya begitu tegang?" Melihat sikap orang yang serius diam-diam
bercekat hatinya, lapat-lapat ia sudah dapat menduga sebagian. Maka segera ia menggeser
tempat duduknya lebih dekat ke arah Ki Seng-in dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ki Seng-in mengerahkan lwekangnya, dia himpun suaranya menjadi satu garis dan suaranya
menjadi amat lirih dan kuat. Setiap patah katanya masuk ke telinga Lim Bu-siang. Ilmu tingkat
Neraka Hitam 1 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Kampung Setan 8
benar-benar bertemu dengan sang piauko"
Rasa cintanya masa kecil yang remang-remang dulu sudah menjadi bayangan gelap yang tak
dapat dilukiskan lagi, kawan bermain di waktu kecil, sekali tempo berjumpa sudah tentu sulit
menahan perasaan riang dan haru hatinya.
Dalam pada itu Boh Cong-tiu selalu menyibukkan diri bicara dengan Kim Tiok-liu mengenai
urusan upacara besar yang akan tiba besok lusa, memang dia sulit menahan perasaan senang dan
haru hatinya, namun perasaan hatinya ini dia tujukan kepada seorang pemuka muda dari
pahlawan laskar gerilya yang penting kedudukan-.nya yang sudi berkunjung pada pertemuan
besar perguruan, jadi bukan karena pertemuannya dengan Lim Bu-siang.
Tak lupa ia pun membicarakan orang aneh yang pergi datang tidak meninggalkan jejak itu,
sehingga di dalam rasa senang dan harunya itu tanpa disadari ia melimpahkan pula perdsaan
gugup dan gelisah hatinya. Rasa gugup atau gelisah itu sendiri kadang-kadang sulit dibedakan
dengan rasa kaget dan heran, tapi peduli gugup atau keheranan, bagi Lim Bu-siang sangat jelas
dan dia dapat menyelami, bahwa perasaan itu bukan ditujukan karena kehadirannya. Kecuali rasa
di luar dugaan yang sekejap di waktu melihat dirinya tadi, bahwasanya piaukonya kini seolah-olah
sudah mengabaikan kehadirannya di antara mereka.
Kenangan indah yang berkesan dalam relung hatinya masa lalu kini seperti gelembung buih
yang pecah menghilang tanpa bekas, bukanlah mustahil kalau Lim Bu-siang harus merasa hampa
dan mendelu karenanya. Adalah Kim Tiok-liu yang menyadari telah bersikap dingin kepadanya, tiba-tiba ia sadar dan
berseru tertawa: "Boh-heng, kau tidak menduga bakal bertemu dengan piaumoaymu bukan!
Bicara terus terang aku sendiri pun tidak menyangka Bu-siang bakal hadir."
Kim Tiok-liu benar-benar terkejut dan heran akan kedatangan Bu-siang, semula dia masih
kuatir, kalau kedua orang ini saling bertemu, luka-luka lubuk hati Lim Bu-siang bisa kumat lagi.
Sekarang dilihatnya Lim Bu-siang sedemikian tenangnya, hal inilah yang benar-benar membuatnya
di luar dugaan. "Maksud Ang-ing memang benar, agaknya akalnya memindah kembang menyambung dahan ini
bakal sukses, agaknya Bu-siang sudah melimpahkan cintanya ke sasaran lain," demikian pikir Kim
Tiok-liu. Dia tidak tahu bahwa Beng Goan-cau baru saja bertemu dengan Lim Bu-siang di bawah
gunung, dikiranya mereka datang bersama dari Soh-ciu. Maka di kala ia melihat Lim Bu-siang
mengintil di belakang Beng Goan-cau tanpa bersuara, ganjalan hatinya selama ini dengan sendiri
menjadi buyar, serta merta ia mengunjuk senyum manis dan senang.
Boh Cong-tiu seperti tersentak, katanya: "Bu-siang. kita sudah puluhan tahun tidak bertemu
bukan! Kini sudah tumbuh begini besar. Apakah kau sudah bertemu dengan piausomu?"
"Tadi di bawah gunung sudah ketemu. Piauko, kusampaikan selamat kepadamu!"
"Nanti kalau piausomu pulang, biar kita bicara kekeluargaan lebih lanjut. Dua hari ini aku rada
sedikit repot." Berkata Lim Bu-siang tawar: "Kita kau bukan orang luar, silakan kau urus kesibukanmu, tidak
perlu main sungkan padaku."
Di mulut ia bicara 'bukan orang luar', namun dalam hati ia merasa bahwa piaukonya ini tidak
ubahnya seperti orang luar sudah.
Setelah hujan cuaca kembali cerah. Boh Cong-tiu berjalan paling depan menuntun jalan,
beriring mereka naik ke atas. Setelah melewati Cap-pwe-ban yang paling berbahaya, tibalah
mereka pada pintu gerbang terakhir dari puncak Thay-san yaitu pintu gerbang Lam-thian-mui.
Hembusan angin barat daya dengan kencang menghembus keluar dari lubang pintu Lam-thianbun,
pakaian mereka melambai berbunyi, membuat orang seakan-akan merasa berjalan terbang di
tengah angkasa. Setelah keluar dari Lam-thian-bun, memandang ke bawah, pemandangan kelihatan lain dari
yang lain, amat mempesonakan, seluas mata memandang dataran rendah terbentang menghijau
tak berujung pangkal, jauh di ufuk timur sana tampak sesuatu keputihan, yang bergerak-gerak
pulang pergi berkilauan, itulah deburan ombak di lautan timur yang jaraknya ratusan li.
Seketika terasa lapang perasaan Lim Bu-siang, katanya tertawa: "Beng-toako, sekarang tepat
sekali kalau dikatakan dari ketinggian melongok bukit-bukit menjadi kecil!"
Kim Tiok-liu nyeletuk bicara: "Besok kalian harus bangun pagi-pagi, di puncak Thay-san melihat
matahari terbit, pemandangan'aneh jauh lebih menakjubkan!"
"Apa benar?" sahut Lim Bu-siang. "Kalau begitu biarlah besok kau panggil aku!"
"Besok mungkin aku harus turun gunung menyambut kedatangan Tan Kong-cau dan Tan Kongsi
dua bersaudara, keluarga Tan di Soh-ciu ini punya ikatan erat dengan keluargaku. Lebih baik
kau ajak Beng-toako saja!"
Lain pula Boh Cong-tiu sedang memikirkan persoalan dirinya, sesaat ia menyela bicara: "Kupikir
seluruh orang-orang gagah seluruh jagat berkumpul bersama di puncak Thay-san kalau bisa
menjagoi dan memimpin seluruh dunia persilatan, berjuang mencapai suatu cita-cita luhur, kukira
hal ini bisa dibandingkan dengan kemegahan puncak Thay-san ini."
Tiok-liu tertawa, katanya: "Kalau aku malah ingin bisa hidup bebas kelana di antara gunung,
sungai dan bumi nan subur luas ini, sedikit pun tiada punya cita-cita ambisi yang sedemikian
tingginya, hal itu kupasrahkan kepada kau saja Boh-heng!"
"Kim-heng suka berkelakar saja. Yang kukejar hanyalah menjabat ciangbunjin sesuatu aliran
belaka, dan itu sudah cukup berkelebihan bagiku."--Meski begitu ia bicara, namun Lim Bu-siang
merasakan pada nada bicaranya, betapa besar ambisinya hendak bersimaharaja sendiri.
Dari Lam-thian-bun maju lebih lanjut tibalah mereka di Giok-hong-ting, puncak tertinggi dari
Thay-san. Di puncak Giok-hong terdapat sebuah Giok-hong-koan, biara besar ini dipinjam Boh
Cong-tiu untuk melayani dan tempat tinggal para tamu-tamu agungnya, sekitarnya didirikan pula
barak-barak darurat untuk tempat tinggal para tamu-tamu yang datang dari berbagai tempat.
Boh Cong-tiu sudah mengatur tempat tinggal Lim Bu-siang, sebuah kamar mungil yang terletak
deretan kamar belakang di sebelah samping biara besar itu. Semula tempat ini disediakan untuk
istri Kang Hay-thian, terang Kang-hujin tidak akan datang, maka kebetulan malah diperuntukkan
Lim Bu-siang. Boh Cong-tiu sendiri yang membawa Lim Bu-siang ke kamar itu, mendadak Boh Cong-tiu
bertanya: "Piaumoay malam nanti apakah kau hendak tidur pagi-pagi?"
Sekilas Lim Bu-siang tercengang, sahutnya: "Ada urusan apa?"
"Tidak apa-apa, ada omongan yang perlu kusampaikan kepadamu, tapi mungkin setelah lewat
tengah malam baru aku ada kesempatan kemari!"
"Begitu pun baik. Tapi setelah kentongan kedua terpaksa aku tinggal tidur."
"Sudah tentu," ujar Boh Cong-tiu tertawa. "Kalau lewat kentongan kedua sudah tentu aku tidak
akan kemari." Setelah kentongan kedua Lim Bu-siang menunggu secara sia-sia, piaukonya tidak kunjung tiba.
Di saat Lim Bu-siang keisengan dan melayangkan pikirannya yang kacau balau, entah urusan apa
yang hendak dibicarakan piaukonya, mendadak didengarnya kicauan nyaring, tengah malam buta
rata sudah tentu Lim Bu-siang menjadi terkejut, waktu ia angkat kepala dilihatnya pada daun
jendelanya bertengger seekor burung kecil berbulu putih kehijauan mulus, sementara paruhnya
yang panjang berwarna merah seperti sebentuk jamrut delima.
Kalau dikatakan memang aneh, burung kecil ini agaknya mengerti watak manusia, tahu Lim Busiang
senang padanya, begitu dipandang dengan senyum manis, kicauannya semakin merdu,
malah manggut-manggut kepala ke arah Lim Bu-siang.
Mendadak timbul sifat kekanakan Lim Bu-siang, segera ia maju menghampiri hendak
menangkapnya, cepat burung kecil itu terbang keluar dan hinggap di atas dahan pohon serta
berkicau lagi ke arah dirinya.
Umumnya burung sekecil ini malam-malam tidak akan beterbangan, maka Lim Bu-siang
semakin keheranan, katanya tertawa: "Apakah kau sengaja hendak bermain dan menjadi teman
dengan aku?" sembari bicara segera ia mengejar keluar.
Lim Bu-siang melambatkan kakinya, begitu tiba di bawah pohon, tiba-tiba ia kembangkan
ginkangnya dengan gaya lt-ho-cong-thian (burung bangau menjulang ke langit) kontan tangannya
meraih ke arah burung kecil yang hinggap di atas dahan. Begitu dahan tergetar, tahu-tahu burung
kecil terbang lari ketakutan.
"Eh, burung kecil, tak usah gugup jangan takut, aku hanya ingin berkawan dengan kau." Aneh
seperti bisa mendengar dan tahu maksud kata-katanya, burung kecil itu terbang berputar tiga
lingkaran, pelan-pelan terus berputar-putar terbang di atas kepalanya.
Lim Bu-siang tidak berhasil memegangnya, namun ia tidak tega menyambit dengan batu,
katanya tertawa: "Kalau kau pun suka kepadaku, silakan kau turun sendiri."
Alhasil kali ini burung kecil itu tidak mau dengar kata-katanya, pelan-pelan ia terbang pergi ke
arah depan sana, tak lama kemudian ia hinggap di atas pohon di depan sana. Memang sifat
Jenaka Lim Bu-siang masih belum lepas, karena godaan yang melucu ini menarik hatinya, katanya
pula: "Biar kulihat kau hendak membawa aku ke mana?"
Tanpa sadar ia mengejar terus sampai memasuki sebelah dalam hutan yang belukar, tahu-tahu
entah ke mana pula jejak burung kecil itu, tidak kelihatan pula bayangannya.
Tiba-tiba Lim Bu-siang teringat masa kecilnya waktu bersama piaukonya memanjat pohon
menggerayangi sarang burung, tanpa merasa ia tertawa geli sendiri, pikirnya: "Tadi kalau dilihat
oleh piauko, entah dia akan mentertawakan kelakuanku" Ai, sayang dia berpikir menjadi orang
gagah yang lebih diagungkan dari kemegahan Thay-san, mana mungkin sudi mengenang kejadian
masa kecil yang nakal dulu?"
Cahaya bulan masih remang-remang, bintang kelap kelip di cakrawala, puncak-puncak Thaysan
yang tersebar luas kelihatan jauh lebih menyegarkan dan sederhana. Menghadapi keadaan
yang serba sederhana ini, pikiran muluk-muluk seketika tersapu bersih di luar kepala. Terasakan
sesuatu keindahan lain dari kelebihan yang semarak.
Berpikirlah Lim Bu-siang: "Memangnya aku tidak bisa tidur, biarlah aku jalan-jalan sebentar di
sini!" Malam gulita suasana hening lelap, duduk di bawah pohon Lim Bu-siang layangkan pikirannya,
entah berapa lama berselang, tiba-tiba didengarnya seperti ada orang sedang mendatangi ke
arahnya. Lamunan Lim Bu-siang tersentak buyar dari derap kaki orang, dengan cermat ia lalu pasang
kuping dan meningkatkan kewaspadaannya, lapat-lapat dilihatnya dua bayangan orang sedang
lewat di selat gunung sebelah sana. Meski yang dilihat hanyalah bayangan punggung orang,
namun ia masih dapat membedakan dengan jelas, salah satu di antara kedua orang itu adalah
piaukonya. Seorang yang lain mengenakan baju dan celana panjang warna hitam yang ketat, kepalanya
mengenakan topi beludru yang lebar,
Lim Bu-siang tidak tahu dan tidak kenal orang macam apakah dia ini.
Kebetulan angin pegunungan sedang menghembus ke arah dirinya, lapat-lapat Lim Bu-siang
mendengar suara piaukonya sedang berkata: "Setelah lewat selat gunung ini, ada sebuah jalan
kecil yang tembus ke bawah gunung." Segera orang itu menyahut: "Aku tahu, silahkan Boh-heng
kembali saja"-Boh Cong-tiu berkata pula: "Biar kuantar lebih lanjut." Bicara sampai di sini kedua
orang itu sudah memasuki selat gunung dan tidak kelihatan bayangannya, apa yang mereka
perbincangkan lebih lanjut, ia pun sudah tidak mendengar lagi.
Lim Bu-siang menjadi heran, pikirnya: "Apakah orang itu bukan tamu undangan piauko untuk
menghadiri pertemuan besar" Upacara kebesaran berdirinya partai besok lusa akan dibuka,
kenapa dia tidak menunggu setelah peristiwa besar ini berlangsung lantas pergi" Untuk pergi
sepantasnya di waktu siang secara terang-terangan, kenapa pula harus melalui jalan sempit di
tengah malam buta rata lagi."
Sekian lama Lim Bu-siang tidak berhasil memperoleh jawaban berbagai pertanyaan itu. Tibatiba
teringat olehnya cerita yang didengarnya dari peristiwa yang dialami Utti Keng, tanpa merasa
ia bergidik dan merinding.
"Apakah orang itu adalah kurir yang diutus mencari hubungan dengan dia dari pihak sana" Jadi
utus mengutus bolak-balik mematangkan rencana kedua pihak, bukan mustahil... bukan
mustahil..." Lim Bu-siang tidak berani memikirkan lebih lanjut.
Betapapun ia masih amat percaya kepada piaukonya, lantas terpikir pula: "'Tidak mungkin,
tidak mungkin. Piauko baru akan mendirikan partai menegakkan aliran, bersahabat dengan
seluruh orang-orang gagah seluruh jagat, mana mungkin dia berhubungan secara rahasia dengan
kurir pihak kerajaan, apakah dia tidak takut nama runtuh badan hancur" Agaknya aku hanya
mereka-reka secara membabi buta belaka."
Pikirannya timbul tenggelam, entah bagaimanaa jalan pikirannya, mendadak berubah haluan
kepada Beng Goan-cau. "Beng-toako adalah seorang yang punya pengertian mendalam, sayang
aku tidak bisa merundingkan persoalan ini padanya."'
Lalu terpikir pula olehnya: "Janji piauko hendak menemui aku mungkin sudah batal, lebih baik
aku tidur lebih pagi, supaya besok pagi tidak terlambat bangun untuk melihat matahari terbit di
Giok-hong-ting. Em, mungkin sekarang dia sudah kelelap dalam impiannya, tak nyana aku justru
berada di semak belukar menikmati panorama malam yang menyejukkan ini?"
Rekaan Lim Bu-siang ternyata meleset sama sekali, ia anggap Beng Goan-cau sudah tidur
kelelap, di luar tahunya bahwa Beng Goan-cau saat mana ternyata sedang berada di atas gunung
pula. tempatnya cuma terpaut satu selat gunung di sebelah sana dari tempat sekarang ia berada.
Malam ini seperti pula keadaan Lim Bu-siang, Beng Goan-cau merasa kurang tentram, hatinya
gundah gulana gulak-gulik tidak bisa pulas. Kira-kira mendekati kentongan ketiga, lapat-lapat
seperti didengarnya lambaian pakaian orang yang tertiup angin terbang lewat dari atas genteng
kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang punya pengalaman di kangouw. lantas ia tahu bahwa
ada seseorang berjalan malam sedang berada di sekitarnya, entah apa kerjanya. Keruan ia
terkejut dan heran pula. 'Orang-orang gagah seluruh jagat sedang berkumpul di sini, mungkinkah orang jalan malam ini
sedang main selidik dari pihak musuh" Tapi kalau dia pihak orang sendiri, untuk apa pula
berindap-indap pada tengah malam buta rata secara sembunyi?"
Sang waktu berjalan amat cepat. Beng Goan-cau tiada tempo banyak pikir, bergegas ia
melompat bangun mengenakan pakaian terus mengejar keluar menguntit orang jalan malam itu.
Cahaya bulan remang-remang, bayangan hitam tampak sedang menuju ke arah barat laut,
sekejap saja sudah menghilang masuk hutan.
Berpikir Beng Goan-cau: "Kalau orang itu adalah seorang cian-pwe kosen dari kaum pendekar,
mengetahui aku sedang menguntit dia, wah rasanya tidak enak hati." Maka dengan main
sembunyi-sembunyi di setiap benda-benda yang dapat menutupi badannya, ia berindap-indap
maju terus ke depan mengikuti jejak orang.
Tiba-tiba didengarnya seseorang bicara: "Meskipun Boh Cong-tiu tidak dapat memberikan
harapan seluruhnya sesuai pemintaan kita, tapi dia sudah berjanji tidak akan mempersulit pihak
kita. Su-hay-sin-liong si tua bangka itu besok pagi naik gunung, kau harus hati-hati dan sepintar
mungkin memainkan peranan sandiwaramu."
Kata-kata orang ini diucapkan amat lirih dan enteng bahwasanya ia mengucapkan kata-katanya
berbisik di pinggir kuping temannya. Soalnya Beng Goan-cau pernah berlatih mendekam di tanah
mendengarkan suara, maka dengan jelas ia dapat mendengar setiap patah ucapan orang.
"Aih, suara orang ini seperti amat kukenal, agaknya pernah kudengar entah di mana," Beng
Goan-cau menjadi keheranan dan bingung.
Maka didengarnya seorang yang lain juga menjawab lirih: "Ciok-tayjin, legakan hatimu. Tapak
tangan di dadaku belum lagi hilang, tua bangka itu pasti percaya padaku."
Bicara orang ini pun amat lirih, logatnya membawa nada kampung halamannya di daerah
Ciatkang utara, dalam menyebutkan kata-kata "Ciok" seolah-olah seperti membaca huruf "Yap."
Hanya lapat-lapat saja Beng Goan-cau mendengar "Ciok-tayjin", tiba-tiba tergerak hatinya, tibatiba
teringat olehnya, "Ciok-tayjin" Kiranya adalah wakil komandan Gi-lim-kun yang bernama Ciok
Tio-ki itu, tak heran suaranya Seperti amat kukenal?"
Ciok Tio-ki adalah laki-laki baju hitam yang memalsu jadi pedagang obat-obatan itu, dia putar
balik kenyataan, menuduh Utti Keng sebagai cakar alap-alap pihak kerajaan, sementara dikatakan
dirinya punya hubungan intim dengan pihak pasukan pergerakan di Siau-kim-jwan, maka dia
dikejar-kejar oleh alap-alap antek-antek kerajaan. Sehingga timbul kesalah pahaman antara Beng
Goan-cau dan Utti Keng, mereka bertempur sendiri di tengah jalan.
Bahwa wakil komandan Gi-lim-kun menyelundup di antara sekian banyak orang-orang gagah
ikut menghadiri pertemuan besar orang-orang gagah di Thay-san, malah ada hubungan dan
kontak rahasia dengan tuan rumahnya Boh Cong-tiu. Bagi Beng Goan-cau penemuannya sudah
tentu bukan kepalang mengejutkan hatinya.
Sebab meski percakapan mereka amat lirih, mengandal kepandaian mendekam di tanah
mendengarkan suara, Beng Goan-cau mencuri dengar pembicaraan mereka, tapi tidak begitu
jelas. Maka Beng Goan-cau menjadi ragu-ragu dan makin curiga sendiri, "Apakah benar Ciok Tio-ki
adanya?" Berpikir Beng Goan-cau: "Entah yang dikatakan orang itu Ciok-tayjin atau Yap-tayjin Kalau aku
yang salah dengar, tidak pantas aku main mencurigai orang!"
Cahaya bulan masih remang-remang, hutan cukup lebat lagi, suasana jadi rada redup guram,
besar hasrat Beng Goan-cau membongkar kedok orang, maka terpaksa ia harus berani menempuh
bahaya. Entah kedua orang itu sudah tahu bahwa mereka dikuntit, mendadak mereka mempercepat
langkah kakinya dan lari. Kebetulan Beng Goan-cau tiba di bagian atas dari selat gunung, dari
ketinggian ia jelas melihat ke bawah, samar-samar dilihatnya punggung orang itu, betul juga
adalah laki-laki baju hitam yang ditemuinya malam itu. Malah dandanannya juga mirip, berpakaian
serba hitam, kepalanya mengenakan topi beludru berpinggir lebar.
Bahna kejutnya tanpa hiraukan segalanya segera ia terjun ke bawah dan mengejar. Namun
begitu kakinya baru saja menginjak bumi, tiba-tiba dirasakannya segulung angin menerjang tiba,
seorang yang lain ternyata mencegat jalan dan membokong dirinya.
Lekas Beng Goan-cau membalikkan telapak tangan balas memukul sekali, agaknya tenaga
pukulan orang itu tidak ungkulan melawan dirinya, terdengar hidungnya mendengus, lalu memaki:
"Mata-mata yang bernyali besar!" Tubuhnya tiba-tiba berkisar memutar secepat kilat merangsak
maju, sekaligus ia merabu dengan tiga puluh enam jalan pukulan.
Permainan pukulan lawan berkembang amat gesitnya, melayang timbul tenggelam tidak
menentu, tenaga pukulannya kadang-kadang lunak, ada kalanya keras, sekonyong-konyong
seperti gelombang pasang mengamuk, tiba-tiba berubah seperti lambaian daun pohon yang halus
lembut. Belum pernah Beng Goan-cau melihat ilmu pukulan macam ini, sesaat ia jadi kerepotan
dicecar secara gencar oleh rangsakan aneh ini, pandangan mata serasa kabur.
Terpaksa Beng Goan-cau kerahkan tenaga pukulannya, sekali hantam ia bikin lawannya
tergentak mundur satu tombak lebih, begitu ia melihat tegas lawannya, hatinya terkejut bukan
kepalang. Ternyata lawannya ini bukan orang lain, tidak lain tidak bukan adalah Nyo Bok yang pernah
dilihat Beng Goan-cau waktu di rumah Kim Tiok-liu tempo hari.
Mimpi pun Beng Goan-cau tidak mengira di tempat ini bakal bertemu dengan suami Hun Ci-lo,
sesaat ia melenggong dan berdiri mematung.
Sebaliknya Nyo Bok merasa mendapat kesempatan menubruk maju pula dengan rangsakan
hebat, karena tidak berjaga-jaga Beng Goan-cau kena digebuknya sekali, untung ia mengandal
kekebalan lwekangnya, meski terasa sakit tapi tidak sampai terluka. Tapi pukulan orang seketika
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyadarkan lamunannya malah.
Sigap sekali Beng Goan-cau melompat menyingkir setombak, teriaknya: "Tahan, berhenti
sebentar. Apakah kau Nyo Bok dari Soh-ciu?"
Nyo Bok pun melenggong, bentaknya: "Siapa kau?"
Beng Goan-cau tersentak sadar, pikirnya: "Nyo Bok sedang menyebar kabar burukku di manamana,
dikatakan aku memelet istrinya, kalau aku menerangkan siapa diriku, mungkin urusan
berlarut-larut semakin sulit diselesaikan!"
Setelah melenggong Nyo Bok pun lantas sadar, tiba-tiba ia berpikir: "Percakapanku dengan Ciok
Tio-ki, entah dicuri dengar tidak oleh keparat ini. Peduli siapa dia, bunuh saja menutup mulutnya
habis perkara." Sementara Beng Goan-cau menjadi ragUi-ragu: "Kalau aku melukai dia, betapa tidak enak
hatiku terhadap Hun Ci-lo." Namun Nyo Bok tidak memberi kesempatan ia memberi penjelasan,
serangannya semakin gencar dan ganas. Beng Goan-cau tidak berani melukainya, terpaksa hanya
main mundur membela diri saja. Begitu gencar rangsakan lawan sehingga ia susah ganti napas,
sudah tentu tidak mungkin pula ia membuka mulut.
Seorang diri Lim Bu-siang mondar-mandir di dalam hutan, hatinya gundah dan risau, baru saja
ia putar balik hendak pulang tidur, tiba-tiba didengarnya derap langkah menginjak daun-daun
kering mendatangi, tahu-tahu muncul ah sesosok bayangan orang. Keruan Lim Bu-sia'ng terkejut,
teriaknya: "Piauko, o, kau!"
Agaknya Boh Cong-tiu juga amat terkejut, ia pun berteriak bersamaan: "Bu-siang piaumoay,
ternyata kau!" Di bawah cahaya rembulan yang remang-remang, wajah Boh Cong-tiu kelihatan berubah kaku
membeku, kedua biji matanya berkilat menatap Lim Bu-siang. Entah mengapa, mendadak nurani
Lim Bu-siang merasa sang piauko rada menakutkan.
Setelah menenangkan hati, segera Boh Cong-tiu berkata: "Bu-siang, kenapa kau belum tidur,
tengah malam buta rata mondar-mandir seorang diri di sini untuk apa?"
Sebetulnya Lim Bu-siang hendak menjawab: "Kenapa pula kau tengah malam buta rata
mengantar tamu?" Namun dalam sekejap itu seolah-olah ia merasa sang piauko ini amat asing
bagi dirinya, dan menakutkan sekali, untunglah kata-katanya itu segera ditelannya kembali.
"Bukankah tadi siang kau mengatakan hendak bicara dengan aku" Kutunggu kau tidak kunjung
tiba, tidak bisa tidur lagi terpaksa keluar jalan-jalan. Hm, lihatlah panorama Thay-san di waktu
malam, ternyata jauh lebih elok dibanding siang hari." Lim Bu-siang tidak biasa berbohong dan
bermuka-muka, tidak urung nada bicaranya rada gemetar dan ganjil kedengarannya.
Untung Boh Cong-tiu tidak menyadari hal ini, katanya tertawa: "Watakmu masih seperti kecil
dulu, suka duduk seorang diri di malam nan sunyi, entah apa saja yang sedang kau pikirkan?"
"Kejadian di waktu kecil masakah kau masih ingat?" ujar Lim Bu-siang mendelu.
Agaknya Boh Cong-tiu seperti teringat sesuatu, katanya: "Sekarang jangan kita membicarakan
urusan masa kecil dulu. Tadi kau mengatakan apa, menunggu aku tidak kunjung datang bukan?"
"Ya, kukira kau kelupaan atas janjimu kepadaku. Setelah kutunggu sampai kentongan ketiga,
bayangan pun tidak kelihatan," demikian sahut Lim Bu-siang.
Ganjalan hati Boh Cong-tiu seketika buyar sirna, pikirnya: "Biasanya Bu-siang tidak biasa
membual, menuruti wataknya bila dia melihat aku, tentu jauh-jauh sudah mengejar datang dan
memanggil aku." Maka segera ia berkata: "Mana bisa aku melupakan janjiku kepada kau. Soalnya
ada tamu ajak mengobrol, sampai sekian lama dia tidak mau mundur aku pun sungkan menyilakan
sang tamu pergi. Untunglah sekarang kau belum tidur, kebetulan malah bersua di sini."
"Ada omongan apa yang perlu kau sampaikan kepadaku?"
"Kita sudah berpisah sekian tahun, entah berapa banyak kata yang perlu kukatakan, tak tahu
aku dari soal apa mulai pembicaraan ini."
Lim Bu-siang tertawa getir dalam hati, batinnya: "Tidak tahu mulai bicara dari soal apa,
ucapanmu ini memang amat tepat." Maka dengan tawar ia pun berkata: "Piauko, kau seorang
agung yang selalu sibuk akan tugas-tugas penting, urusan yang tidak begitu penting, umpamanya
kenangan pada urusan lama, bagaimana keadaan selama berpisah ini dan lain-lain, tak perlu
disinggung lagi. Silakan kau katakan saja keperluan apa yang hendak kau katakan kepadaku."
Boh Cong-tiu tercengang sebentar, katanya: "Kukira kau sama seperti dulu, kiranya rada
berubah juga." "Dalam hal apa aku berubah?"
"Sejak kapan kau pun pintar bicara secara tajam begitu, sekali ketemu lantas main sindir dan
berolok-olok kepadaku. Orang agung terlalu sibuk akan tugas segala, betapapun aku masih
merupakan piaukomu seperti dulu itu!"
Seperti tertawa tidak tertawa berkatalah Lim Bu-siang: "Kukira agak berbeda bukan" Dulu kau
hanyalah seorang piauko, sekarang lain, kau adalah ciangbunjin. Aku memang tidak pintar bicara,
ciangbunjin boleh kuanggap orang teragung bukan?"
Berubah sungguh-sungguh sikap Boh Cong-tiu katanya: "Busiang, sudah jangan berkelakar.
Tapi, bicara persoalan ciangbunjin, baiklah aku bicara secara terbuka kepada kau!"
"Bicara terbuka dalam hal apa?" tanya Bu-siang, agaknya ia rada diluar dugaan.
"Sebetulnya- jabatan ciangbunjin ini lebih cocok diduduki ayahmu, selama beberapa tahun
terakhir ini aku selalu mencari beliau."
"Sudah lama ayah menanggalkan senjata menutup pintu, jangan kata jabatan ciangbunjin dia
emoh mendudukinya, seumpama kau mengangkatnya menjadi raja pun dia tidak akan sudi!" .
"Aku memang tahu bahwa beliau orang tua hendak menutup pintu hidup tentram mengenyam hari
tua, maka terpaksa aku menerima sokongan dan dukungan para anggauta perguruan. Namun
betapapun persoalan perguruan kita aku harus mohon petunjuk dan bantuan beliau orang tua."
"Kau sudah tahu ayah tidak turun gunung lagi, bantuan apa yang dia bisa lakukan bagi
kepentinganmu?" "Tidak perlu beliau sendiri yang turun tangan, asal, em, asal kau saja yang mewakili beliau
bicara beberapa patah kata, katakan..."
Sifat Bu-siang terlalu lincah dan polos tidak kenal kesesatan, namun otaknya cukup cerdik,
sekilas ia melenggong, kejap lain ia sudah paham ke mana juntrungan maksud kata-kata
Piaukonya. Katanya: "Apakah kau ingin supaya aku mewakili ayah menjunjung kau sebagai
ciangbunjin kita?" Boh Cong-tiu rada kikuk, katanya: "Ayahmu adalah angkatan tertua dari perguruan kita, cukup
se-patah dua patah sambutan ayahmu, aku baru berani menjabat ciangbunjin ini dengan hati
lapang dan lega." Diam-diam terpikir oleh Lim Bu-siang: "Di antara sekian banyak anggauta perguruan kami,
tiada orang kedua yang cukup setimpal menjadi calon ciangbunjin kecuali piauko, pamun dia
pandang kedudukan ciangbunjin ini sedemikian berharganya, tingkah laku menjadi kurang wajar
dan aneh, jauh sekali bedanya dengan perangai dan martabatnya di masa lalu." Maka dengan
tertawa ia berkata: "Piauko, kenapa kau main sungkan segala, masakah hal yang sedemikian
gampang seperti mendorong perahu menurut arus air saja aku tidak mampu" Selamanya ayah
pun sama-sama mengagumi dan memuji kau!"
Lega terhibur dan riang pula hati Boh Cong-tiu, katanya: "Piaumoay, sudah berapa tahun kita
berpisah, betapa senang dan terima kasihku kepadamu, bahwa pertemuan kali ini seperti pula
keadaan masa lampau, kau tidak merasa asing kepadaku. Ada beberapa patah kata-kata lubuk
hatiku yang perlu kusampaikan kepada kau, kuharap kau tidak anggap aku terlalu banyak mulut."
Berdebar jantung Lim Bu-siang, katanya: "Kata-katamu ini justru anggap aku ini orang asing
saja. Silakan katakan!" Sementara dalam hati ia menerawang: "Kata-kata hati apa yang dia
hendak sampaikan kepadaku?"
"Kabarnya Utti Keng amat akrab dengan ayahmu, betulkah hal ini?"
Lim Bu-siang tidak kira yang ditanyakan adalah hal ini, secara langsung ia lantas menjawab:
"Benar, Utti Keng adalah sahabat ayah pertama waktu kami pulang ke Tionggoan dulu. Terhadap
kawan dia begitu simpatik, pernah dia membantu kesukaran kami ayah beranak."
Pelan-pelan Boh Cong-tiu berkata: "Meski demikian, kunasehat-kan kepada kau jangan bergaul
terlalu dekat kepadanya." "Memangnya kenapa?" "Apa kau tidak tahu dia buronan pemerintah
kerajaan?" Ucapan ini benar-benar di luar dugaan Lim Bu-siang, sejenak ia melenggong, lalu katanya
dingin: "Piauko kau takut kena kerembet perkara?"
"Bukan aku takut, aku bertindak demi kepentinganmu. Oh, ya, masih ada sebuah hal perlu
kutanya kau, cara bagaimana kau berkenalan dengan Beng Goan-cau yang datang dari Siaurkimjwan
itu" Kulihat hubungan kalian begitu intim, ya toh?"
Merah malu muka Lim Bu-siang, seketika timbul rasa dongkol dan alemannya, katanya: "Kim
tayhiaplah yang menyuruh aku mengirim surat kepadanya baru aku berkenalan dengan dia.
Hubungan kami biasa saja, baik atau buruk peduli apa sih?"
"Memang hal ini adalah urusan pribadimu, tidak pantas aku banyak turut campur. Tapi sebagai
calon ciangbun, demi kepentingan perguruan kita pula, mau tidak mau aku harus memberi
nasehat kepadamu, jangan terlalu sering hubungan dengannya. Pemuda gagah yang jantan tidak
kurang jumlahnya, masih banyak yang jauh melebihi Beng Goan-cau gampang kau cari, kau
paham maksudku tidak?"
Lim Bu-siang tidak tahan lagi, katanya tertawa dingin: "Ucapanmu ini terlalu aneh sekali, budak
bodoh seperti aku ini sedikit pun tidak paham! Ingin kutahu, kenapa kalau aku berhubungan
dengan Beng Goan-cau merugikan kepentingan perguruan kita?"
Boh Cong-tiu anggap dia sebagai anak kecil belaka, katanya memberi nasehat: "Beng Goan-cau
adalah tokoh penting di dalam laskar gerilya, Hu-siang-pay kita baru akan tanam akar berdiri tegak
di Tionggoan, tujuannya adalah menegakkan aliran dan mengembangkan perguruan, menjagoi di
seluruh bulim, maka menjadi pantangan bagi kita mencari gara-gara dan bermusuhan dengan
pihak kerajaan yang berkuasa. Sudah tentu di balik kata-kataku ini bukan aku mau bilang bahwa
kita harus berhadapan sebagai musuh dengan pihak laskar gerilya. Boleh kau merasa simpatik
kepada mereka, cuma jangan terlalu dekat pergaulanmu dengan mereka, supaya tidak menjadi
incaran atau dicurigai oleh pihak kerajaan. Ketahuilah, perguruan yang kita dirikan ini belum lagi
berakar dan tumbuh kuat, mana kuasa menahan tekanan dan ancaman pihak kerajaan?"
"Sebaliknya kenapa kau sendiri berhubungan begitu intim dengan Kim tayhiap" Bukankah dia
pun begitu dekat dengan pihak laskar gerilya" Kemarin bukankah kau sendiri begitu akrab
menyambut kedatangan Beng Goan-cau" Masa kau tidak takut dicurigai pihak kerajaan?"
Boh Cong-tiu jadi kikuk dan menyengir, sesaat baru ia bicara pula: "Lain kau lain aku, aliran
putih golongan hitam tiada seorang pun yang akan mencurigai diriku."
"Golongan hitam" biasanya menunjuk orang-orang dari kalangan begal atau perampok, tapi di
dalam ucapan Boh Cong-tiu artinya seratus delapan puluh derajat berubah, yang dimaksud
'golongan hitam' olehnya adalah kaum cendekia dan kaum pendekar yang berpihak dengan
pasukan pergerakan, namun Bu-siartg bisa memahami ke mana juntrungan kata-kata ini. Maka
pikirnya: "Aliran putih yang dimaksud piauko tentu cakar alap-alap atau kaki tangan pihak
pemerintah kerajaan adanya."
Teringat akan kejadian yang diceritakan oleh Utti Keng tempo hari, tak terasa timbul rasa
curiganya: "Kenapa pihak kerajaan tidak akan mencurigai piauko?"
Agaknya Boh Cong-tiu seperti dapat meraba jalan pikirannya, segera ia melanjutkan: "Bu-siang,
tidak usah kau banyak curiga. Pendek kata aku punya rencana kerja dan cita-cita luhur demi
perguruan kita, sehingga tidak terlibat di dalam persoalan ini, kedua pihak tidak akan curiga
kepadaku." Benak Lim Bu-siang jadi diganjal sesuatu pengertian lain yang belum atau tidak dapat ia selami,
kalau menurut wataknya dulu, secepat mungkin ia harus mencari jawaban, sekarang ia
berhadapan langsung dengan piauko sendiri, namun bukan lagi piauko masa kecilnya dulu, piauko
yang dihadapinya sekarang adalah seorang asing yang serba misterius dan banyak akal tipu
muslihatnya, terpaksa ia simpan berbagai pertanyaan ini di dalam hatinya.
Pada saat itulah mendadak didengarnya orang membentak-bentak dan suara bertempur di selat
gunung sebelah sana, Lim Bu-siang terkejut, teriaknya: "Itulah Beng-toako! Aih! Dengan siapa dia
berkelahi?" Boh Cong-tiu pun terkejut, batinnya: "Bagaimana Nyo Bok bisa berkelahi dengan Beng Goancau?"
Ternyata setelah mengantar Ciok Tio-ki turun gunung Boh Cong-tiu langsung balik pulang.
Sementara Nyo Bok memang sembunyi di jalanan ini menunggu kabar dari Ciok Tio-ki mengenai
hasil pembicaraannya dengan Boh Cong-tiu, Boh Cong-tiu sendiri tidak tahu menahu mengenai
kejadian ini. Kim-kong-lak-yang-jiu kepandaian Nyo Bok merupakan ilmu tunggal dari dunia persilatan, Beng
Goan-cau hanya membela diri tanpa balas menyerang, sudah tentu ia terdesak di bawah angin
oleh cecaran lawan sehingga susah bernapas, lama kelamaan ia naik pitam, serta merta ia tambah
tenaga kedua tangannya, tiba-tiba "Wut" ia balas menggempur sekali, angin pukulannya melanda,
kuping Nyo Bok sampai mendengung, kulit muka pun terasa panas terbakar, keruan kejutnya
bukan kepalang, cepat ia mundur beberapa langkah.
Dalam pada itu Boh dan Lim berdua sudah memburu datang, segera Boh Cong-tiu berteriak:
"Tahan, tahan! Beng-heng berhenti!"
Mendengar Boh Cong-tiu memanggil lawannya ini orang she 'Beng', sesaat Nyo Bok
melenggong, serunya: "Siapa orang ini?"
Boh Cong-tiu bergelak tertawa, serunya: "Ternyata kalian masih belum kenal, tak heran terjadi
salah paham. Mari, mari kuperkenalkan saudara ini adalah guru silat kenamaan dari Soh-ciu Nyo
Bok, engkoh cilik ini adalah Beng Goan-cau dari Siau-kim-jwan!"
Membalik kedua biji mata Nyo Bok, mendadak ia terloroh-loroh aneh, nada tawanya menusuk
pendengaran: "He, he, hehe! Jadi kau inilah Beng Goan-cau, sungguh amat kagum sekali, tak
nyana kita bisa bertemu di sini!"
Beng Goan-cau berkata tawar: "Aku pun tidak duga bisa melihat kau lagi di sini!" Dia
menekankan kata-kata 'lagi', secara tidak langsung ia memperingatkan kepada Nyo Bok, bahwa di
lain tempat aku pernah melihat kau.
Betapa cerdik pandai otak Nyo Bok, sudah tentu ia paham, pikirnya: "Kabarnya hubungan Kim
Tiok-liu dengan dia amat kental, waktu aku berada di rumah keluarga Kim tempo hari, Li Tun
mencegah aku menemui tamunya yang lain, bukan mustahil bocah keparat ini adanya" Waktu
belum tiba, sementara biarlah aku tidak bekerja gegabah!"
"Kiranya kalian sudah lama sama mengagumi masing-masing, sesuai dengan pepatah yang
mengatakan: kalau tidak berkelahi tidak' akan berkenalan. Entah kenapa pula kalian bisa terjadi
kesalah paham ini?" Beng Goan-cau berpikir: "Urusan ini amat penting, betapapun aku harus mencari tahu secermat
dan seksama mungkin biar urusan menjadi terang." Maka segera ia berkata: "Nyo-busu maafkan
bila aku berlaku sembrono, aku ingin mengetahui sebuah persoalan, ingin aku tanya kepada kau."
Nyo Bok tahu bahwa orang bertujuan mengorek keterangannya, keruan hatinya tergetar,
namun ia masih bersikap cukup tenang, sahutnya: "Mengenai soal apa?"
"Siapakah orang yang bersama kau tadi?"
"Kau menyelidiki asal-usul orang ini, apa tujuanmu?"
"Agaknya aku rada kenal orang itu."
Diam-diam tercekat hati Boh Cong-tiu, batinnya: "Mungkinkah kedok Cio Tio-ki sudah ketahuan
olehnya?" Cepat ia bersikap pura-pura tidak tahu menahu menyela bicara: "Hari ini berdatangan
banyak kawan-kawan baru, bukan mustahil di antara mereka yang sudah Bengheng kenal. Entah
siapakah yang kau maksudkan?"
Beng Goan-cau mengertak gigi, sahutnya pelan: "Orang ini adalah Ciok Tio-ki yang terkenal
sebagai begal tunggal di kalangan kangouw, apakah dia salah seorang tamu agung undangan
Boh-heng?" Bahwa Ciok Tio-ki sudah menjadi wakil komandan Gi-lim-kun, walaupun kaum persilatan sudah
tahu namun jumlahnya amat terbatas. Karena memandang muka Boh Cong-tiu, maka ia sungkan
dan segan membongkar kedoknya, maka ia coba main selidik saja untuk menjajaki.
Boh Cong-tiu bersikap amat tercengang dan berseru heran: "Ciok Tio-ki" Aku tidak pernah
mengundangnya. Partai kami mengadakan upacara besar pendirian partai, meski kawan-kawan
dari golongan hitam banyak yang datang, tapi karena nama pribadi Ciok Tio-ki tidak begitu baik di
kalangan kangouw, maka siaute tidak berani mengundangnya," ?" Dia pura-pura pikun tidak
mengetahui asal usul Ciok Tio-ki.
Nyo Bok segera menggeram dengan kereng, katanya: "Kalau benar Ciok Tio-ki keparat itu
berani menyelundup kemari, tidak usah Beng-heng mencapaikan diri, sejak tadi pasti sudah
kubekuk dia!" "O, apakah Nyo Busu ada permusuhan dengan dia?" tanya Boh Cong-tiu.
Kata Nyo Bok sambil kertak gigi: "Karena menghindari kejaran balas dendamnya, terpaksa
siaute pura-pura mati, soal ini kukira kalian sudah pernah mendengar. Bicara terus terang, musuh
besar yang kumaksudkan adalah Ciok Tio-ki."
Boh Cong-tiu cukup cerdik, lapat-lapat ia sudah dapat meraba bahwa di antara Ciok Tio-ki dan Nyo Bok
pasti ada sekongkol, sekali lagi ia berrpura-pura terkejut, katanya: "Karena persoalan apa Nyo-heng sampai mengikat permusuhan dengan keparat itu?"
Kata Nyo Bok pula: "Kalau dibicarakan cukup panjang, besok lusa setelah upacara besar
berdirinya partai kalian selesai diadakan, aku ingin memberi penjelasan kepada para sahabat yang hadir
secara terbuka!" Tanya jawab kedua orang yang disengaja ini, membuat Beng Goan-cau bingung dan heran, pikirnya:
"Mungkinkah penglihatanku yang keliru?"
Agaknya Nyo Bok tahu jalan pikiran Beng Goan-cau, segera ia menambahkan: "Memang tadi aku bersama seseorang, potongan badannya memang rada mirip dengan Ciok Tio-ki. Beng-heng ingin
mengetahui asal-usul orang ini, silakan tanya kepada Boh-ciangbun!" Boh Cong-tiu
melengak, katanya tertawa: "Aku belum lagi tahu siapakah yang ditanyakan?"
Nyo Bok berhadapan dengan Boh Cong-tiu, biji matanya berputar, hanya setan yang tahu ia sudah memberikan kedipan rahasia kepada Boh Cong-tiu, katanya: "Dia bukan lain adalah Yaphiangcu."
Boh Cong-tiu pura-pura menjadi paham dan mengerti, ia tertawa terbahak-bahak, katanya: "O, kiranya
dia, kalau begitu jadi Beng-heng memang salah paham. Yap-hiangcu yang dimaksud adalah murid dari
partai kita, malam ini kebetulan mendapat perintahku untuk meronda ke bawah gunung."
Pihak Hu-siang-pay memang ada seseorang seperti yang dikatakan ini, namun apa yang
dikatakan Boh Cong-tiu bukanlah kenyataan, orang itu sedang meronda di atas gunung malah
berada di sebelah Ing-jiu-ciam sana, jadi bukan di puncak sebelah sini. Bahwa Boh Cong-tiu
memutar balik kenyataan, jelas ia membantu Nyo Bok membual. Pikirnya Beng Goan-cau tidak
nanti minta orang itu diseret keluar untuk dipertemukan, seumpama dipertemukan, orang itu toh
tangan kanan kepercayaannya, betapapun tidak akan membongkar mulutnya yang bohong.
Kata Nyo Bok: "Yap-hiangcu meronda ke bawah gunung, sepanjang jalan ini aku menemaninya
sambil beromong-omong. Tak duga Beng-heng ini tiba-tiba menerobos keluar, semula kusangka
mata-mata musuh. Beng-heng, maaf akan keteledoranku."
Logat Nyo Bok dari Soh-ciu dalam menyebut kata Ciok dan Yap hampir sama, Beng Goan-cau
sendiri mau tidak mau jadi sangsi, pikirnya: "Mungkinkah aku salah dengar" Tapi jelas sekali aku
dengar dia panggil orang itu sebagai Ciok-tayjin, seumpama aku keliru dengar antara huruf "Yap"
itu, tapi seorang hiangcu mana bisa dibahasakan tayjin (panggilan kepada orang berpangkat),
masakah aku pun salah dengar akan kedua huruf berbeda ini" Dan lagi kenapa begitu aku
menerjang keluar orang itu lantas lari" Meski punya tugas maha penting untuk meronda ke bawah
gunung, tidaklah pantas di saat menemukan seseorang yang dicurigai kok lantas lari menyingkir."
Akan tetapi karena secara langsung Boh Cong-tiu si tuan rumah memberikan kesaksian kepada
Nyo Bok, meski hati Beng Goan-cau dirundung kecurigaan, demi memberi muka kepada Boh
Cong-tiu, kiranya tidak leluasa ia mengorek keterangan Nyo Bok secara langsung.
Terpaksa Beng Goan-cau menjura serta minta maaf, ujarnya: "Siaute yang salah melihat orang,
sehingga terjadilah salah paham ini. Harap Nyo-heng tidak ambil di hati."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Peristiwa kecil saja, setelah dibikin terang anggap saja tiada kejadian ini, kenapa harus merasa
ganjalan dalam hati segala?" demikian ujar Boh Cong-tiu. "'O, ya, Beng-heng, besok pagi-pagi kau
hendak menemani Bu-siang melihat matahari terbit, hari sudah larut malam, sudah saatnya kita
pulang istirahat." Ternyata meski rabaannya jitu bahwa Nyo Bok adalah komplotan Ciok Tio-ki,
namun ia masih belum begitu lega, ingin dia mengorek keterangannya lebih jelas, maka suruh
Beng dan Lim pulang lebih dulu, secara berhadapan ia hendak bicara dengan Nyo Bok.
Setelah keluar dari hutan, tiba-tiba Lim Bu-siang berkata: '"Beng-toako, sepanjang jalan ini
hatiku rada kurang tentram antarkan aku sebentar, kau mau tidak?"
Beng Goan-cau tahu orang pasti ada omongan yang perlu dibicarakan padanya, segera ia
mengiakan, begitu mereka berendeng maju ke depan, setelah cukup jauh dan kira-kira Boh Congtiu
berdua tidak mendengar pula percakapan mereka, segera Lim Bu-siang membuka suara lagi:
"Beng-toako, orang yang kau curigai tadi, bukankah ia berpakaian hitam, mengenakan topi bundar
yang lebar pinggirnya?"
Semula Beng Goan-cau melengak, sahutnya: "Benar, kau pun ketemu orang itu?"
' Aku melihatnya, sebaliknya dia tidak melihat aku. Piaukolah yang mengantarnya turun gunung,
lewat hutan sebelah samping sana."
Beng Goan-cau terkejut, katanya: "Piaukomu sendiri yang mengantarnya turun gunung" Wah
urusan menjadi semakin mengherankan, apakah kau tidak salah lihat?"
"Mana bisa aku salah lihat terhadap piauko, malah kudengar pula dia memberi petunjuk jalan
untuk turun gunung!"
"'Kalau toh dia seorang Hiangcu, mendapat tugas meronda ke bawah gunung, mana mungkin
tidak hafal akan jalanan sehingga perlu diberi petunjuk piaukomu?"
"Maka itu, aku pun merasa heran dan tidak mengerti, kukira malam-malam piauko mengantar
tamunya pulang." Beng Goan-cau berdiam diri, otaknya sedang menerawang. Bagi dirinya persoalan ini amat
aneh! Mana bisa Boh Cong-tiu mengikat hubungan dengan seorang yang menjabat wakil
komandan Gi-lim-kun" Kalau hal ini tidak ia dengar dari keterangan Lim Bu-siang, bagaimana juga
ia tidak akan mau percaya.
Pertanyaan Lim Bu-siang di pinggir kupingnya membuat ia tersentak kaget: "'Orang macam
apakah sebetulnya Ciok Tio-ki itu?"
"Dia adalah wakil komandan Gi-lim-kun." Sepatah demi sepatah Beng Goan-cau menjawab
dengan jelas dan pelan. Sebetulnya kedudukan dan asal-usul Ciok Tio-ki, Lim Bu-siang sudah tahu dari penuturan Utti
Keng tempo hari, bahwa sekali lagi ia bertanya kepada Beng Goan-cau hanyalah minta ketegasan
dan pembuktian yang lebih kongkrit.
Bukti sudah kenyataan, perasaan Lim Bu-siang menjadi hampa kosong, lama kelamaan menjadi
masgul dan risau pula. "Apa yang dikatakan paman Utti kiranya tidak salah, piauko benar-benar ada intrik dengan
pihak kerajaan, entah sepak terjangnya ini apakah demi Hu-siang-pay kita" Atau demi mencari
pangkat dan nama pribadinya?" demikian pikirnya.
Tapi lantas terpikir pula olehnya: "Tidak, tidak pantas aku mencurigai piauko, bukankah tadi ia
sudah menjelaskan, bahwa dia hanya ingin berdiri di luar kalangan, tidak terseret dalam
pertikaian?" Hati Lim Bu-siang kalut dan gelisah, semakin dipikir semakin kalut, tiba-tiba ia teringat pula
akan ucapan Su Ang-ing kepadanya: "Kita harus mengusir penjajah dan mengembalikan kejayaan
negeri kita. Bagi setiap putra putri bangsa, tidak bisa ia berdiri di luar kalangan tanpa ikut
menanggung kewajiban, tugas dan tanggung jawab atas keruntuhan negerinya!"
"Kalau toh Piauko ingin berdiri di luar garis dan tidak mau terlibat, jelas sikapnya ini sudah tidak
betul," demikian pikir Lim Bu-siang lebih lanjut.
Agaknya Beng Goan-cau tahu akan' kerisauan hatinya, katanya: "Nona Lim, kau jangan terlalu
banyak pikiran, peristiwa malam ini, jangan kau sembarangan katakan kepada orang lain. Biar aku
berunding dulu dengan Kim-toako, aku akan berusaha menyelidiki biar terang duduk perkaranya."
"Aku tahu. Baiklah, kita berpisah di sini, besok pagi-pagi jangan lupa mencari aku!"
Tatkala itu sang putri malam sudah tinggi bercokol tepat di tengah angkasa, Beng Goan-cau
memang tidak ingin dilihat orang bahwa dia sudah mengantar Lim Bu-siang pulang supaya tidak
menimbulkan omongan iseng, la memberikan janjinya, sebelum matahari terbit mereka akan
bertemu di luar Giok-hong-koan.
Setelah Beng Goan-cau pergi, seorang diri Lim Bu-siang beranjak sendirian ke depan dengan
perasaan yang tidak bisa tentram. Tiba-tiba didengarnya kicauan yang merdu, begitu angkat
kepala tampak burung kecil tadi kini muncul pula di hadapannya.
Lim Bu-siang tertawa, katanya: "Kukira kau sudah menghilang, kiranya sembunyi di sini,
apakah kau kangen padaku dan sengaja mencari diriku?"
Kalau dibicarakan memang aneh, burung kecil ini memang seperti amat berat meninggalkan
dirinya, terbang rendah berputar-putar di atas kepalanya.
Hati Lim Bu-siang sedang gundah, kini mendapat teman dan dapat menghibur hatinya, melihat
dia terbang di depannya pelan-pelan, tanpa terasa timbul sifat kanak-kanaknya, katanya tertawa:
"Tadi tidak dapat kukejar kau, kini kau terbang balik menggodaku lagi, coba ingin kulihat ke mana
kau memancing diriku?"
Burung kecil ini seperti bisa mendengar ucapan manusia, kalau Lim Bu-siang memburu cepat
maka ia pun terbang lebih pesat, kalau Lim Bu-siang memperlambat langkah ia pun terbang
lambat, Lim Bu-siang digoda dan dipermainkan, lama kelamaan ia jadi kesal dan gatal hatinya,
tanpa sadar ia kembangkan ginkang tingkat tinggi, di antara batu-batu gunung dan semak-semak
belukar ia berloncatan dengan lincah dan tangkas, ia kejar dan kuntit terus ke mana saja burung
kecil ini terbang. Entah berapa jauh dan lama kejar mengejar ini terjadi, tiba-tiba pandangan Lim Bu-siang
menjadi terang, ternyata tanah di sebelah depan menjadi lapang dan subur menghijau, bentuknya
seolah-olah sebuah lembah kecil yang dikelilingi puncak-puncak pendek, dari lamping gunung
sebelah samping sana tumpah sejalur air terjun, airnya yang berbuih tertimpa sinar bulan menjadi
berkilau putih laksana mutiara, pemandangan jernih dan nyaman.
Lim Bu-siang tertawa pula, ujarnya: "Banyak terima kasih kau bawa aku ke tempat ini, betulbetul
kehidupan di luar dunia lain.", belum lenyap suaranya, tiba-tiba suatu keanehan terjadi,
burung kecil itu tiba-tiba menerobos air terjun dan menyusup hilang ke dalam sana entah ke
mana. Keruan Lim Bu-siang tertegun heran, pikirnya: "Kiranya di belakang air terjun ini terdapat
sebuah gua" Burung ini tidak membuat sarangnya di puncak pohon, masakah membuat
penginapan di dalam gua, jarang terjadi hal macam ini." Timbul rasa ingin tahunya segera ia
kembangkan ginkangnya pula, terus ikut menerobos tirai air dan kejap lain ia sudah berada di
belakang air terjun. Ternyata benar di mana ia berdiri merupakan sebuah gua bermulut sempit
yang berbentuk seperti buli-buli. Memangnya Lim Bu-siang berhati polos tidak punya prasangka,
bahwasanya tidak pernah terpikir olehnya dirinya bakal dibokong orang, dengan langkah lebar ia
langsung melangkah masuk, katanya tertawa pula: "Ingin kulihat ke mana kau dapat terbang
lagi?" Belum habis ia bicara, tiba-tiba didengarnya suara gemuruh dan "blum!" suaranya
menggetarkan seluruh gunung, tahu-tahu sebuah batu besar menggelinding jatuh dan tepat sekali
menyumbat mulut gua, seketika pemandangan menjadi gelap.
Tidak akan terjadi sesuatu kejadian yang begitu kebetulan di dunia ini, batu sedemikian besar,
tidak sejak dulu atau besok, kenapa di saat Lim Bu-siang baru saja menginjak ke dalam lantas
menggelinding jatuh dan menyumbat mulut gua. Meski Lim Bu-siang berhati jujur, lapat-lapat ia
dapat meraba juga bahwa batu ini tentu ada seseorang yang sengaja mendorongnya jatuh
menyumbat jalan keluarnya.
Kejut dan gelisah pula hati Lim Bu-siang, dengan sekuat tenaga ia coba dorong batu itu apakah
bisa dibukanya jalan keluarnya nanti" Namun bergeming pun tidak.
Disekap di dalam gua, suara gemuruh air terjun kedengaran bergema keras di dalam gua
laksana geledek di waktu hujan lebat, jangan kata di dalam pegunungan sepi tiada orang akan
tiba di tempat itu, meski ada orang di luar pun tidak akan mendengar teriakannya di dalam gua.
Mau tidak mau mencelos hati Lim Bu-siang, pikirnya: "Tempat ini amat jauh dari Giok-hong-koan,
mana mungkin mereka bisa mencariku ke sini, berteriak minta tolong juga tidak berguna."
Burung kecil itu tidak muncul lagi, Lim Bursiang jadi naik pitam, tak terasa ia mengumpat dalam
hati: "Kuanggap dia sebagai teman, sebaliknya dia memancing aku dan menjebak diriku di sini."
Tiba-tiba ia tersentak sadar: "Eh, mana bisa burung sekecil itu mengatur jebakan" Tentu
seseorang telah memelihara dan mendidiknya sedemikian rupa, serta memberi petunjuk padanya
untuk memancingku kemari."
Karena jelas tidak mungkin bisa keluar, apa boleh buat Lim Bu-siang lantas melolos pedangnya
untuk menjaga keselamatan, meminjam cahaya kilauan batang pedangnya, ia berjalan merambat
maju ke depan, ingin dia melihat ada keanehan apa di dalam gua sebelah dalam sana.
Tak lama kemudian, tiba-tiba dilihatnya di pojokan sana ada benda yang berkilauan
memancarkan sinar, waktu ia menghampiri dan menjemputnya kiranya serenteng Ya-bing-cu yang
bundar-bundar besar. Pengetahuan Lim Bu-siang mengenai nilai-nilai benda-benda mestika amat cetek, meski
kelihatannya kotor dan tidak terlalu menyolok, namun serenteng mutiara ini sama memancarkan
cahaya kemilau yang menyilaukan mata, tahulah dia bahwa itulah benda mestika yang tak ternilai
harganya. Karena merasa bagus untuk mainan, ia tenteng rentengan mutiara itu di antara jari-jari
tangannya. Serenteng mutiara mustika ini, bila diketemukan orang lain pasti bisa kesenangan seperti putus
lotere sepuluh juta, namun berada di tangan Lim Bu-siang, dalam hati ia cuma tertawa getir saja,
pikirnya: "Aku terkurung di dalam gua yang gelap ini, mungkin tiada harapan untuk melihat
cahaya matahari lagi. Meski Ya-bing-cu ini tiada ternilai, apa pula gunanya bagi diriku?"
Di dalam gua yang begitu gelap sebenarnya tidak bisa melihat apa-apa, untunglah cahaya
kemilau dari pancaran rentengan mutiaranya itu sedikit memancarkan penerangan meski tidak
berjarak terlalu jauh dan tidak sebanding lentera umumnya, lapat-lapat dapat juga melihat
keadaan sekelilingnya dan mengenal setiap benda yang dekat di sekitarnya. Mengandal sinar
mutiara mengganti sinar lampu Lim Bu-siang meraba-raba maju terus, tak tertahan ia tertawa geli,
ujarnya: "Meski mutiara ini tidak bisa dimakan mengenyangkan perut, namun masih cukup
berguna juga." Mendadak dilihatnya dinding di kedua sampingnya halus licin seperti kaca, lapat-lapat seperti
ada ukiran di atasnya. Timbul rasa ingin tahu Lim Bu-siang, waktu ia maju mendekat dilihatnya
ukiran itu ternyata adalah gambar dua sosok tubuh manusia. Gambar sebelah kiri adalah seorang
laki-laki berewok bermata bundar seperti mata harimau, sikapnya kereng berwibawa, sedang
gambar di sebelah kanan adalah perempuan cantik bermuka bundar panjang seperti buah tho, alis
lentik bertubuh ramping, tindak-tanduknya kelihatan amat mesra terhadap laki-laki berewok,
gambar ini begitu nyata dan bagus sekali seolah-olah hidup.
Yang mengherankan bahwa tangan mereka masing-masing menyekal sebatang pedang, meski
sikap si perempuan begitu mesra penuh rasa cinta, namun gaya keduanya jelas sedang bertanding
pedang, malah ujung pedang perempuan itu menuding tepat di atas jalan darah penting di tubuh
si laki-laki. Walau Lim Bu-siang bukan seorang ahli silat tingkat tinggi, namun sekali pandang
cukup diketahui bahwa jurus permainan pedang ini adalah tipu serangan yang amat liehay dan
keji. Lim Bu-siang merasa wajah laki-laki berewok ini seolah-olah sudah pernah dilihatnya entah di
mana, dalam hati ia berpikir: "Aneh, entah di mana aku pernah melihat orang ini?"
Sekonyong-konyong ia teringat bahwa gambar laki-laki berewok di dinding ini bukan lain adalah
maha guru silat atau cikal bakal dari perguruannya yaitu Jan-bau-khek adanya. Ayah Lim Bu-siang
ada menyimpan sebuah lukisan suconya ini sebagai barang antik yang amat berharga, tidak
gampang-gampang ia mau mengeluarkan dipertontonkan kepada orang luar, Lim Bu-siang sendiri
pun hanya pernah melihatnya sekali. "Tak heran aku seperti sudah kenal dan pernah melihat
beliau, ternyata cosu adanya." Tersipu-sipu Lim Bu-siang berlutut terus menyembah tiga kali.
"Siapa pula perempuan cantik ini," demikian dalam hati ia bertanya-tanya. "Dari penuturan
ayah, sejak jaman dahulu sampai sekarang perguruan kita mengisahkan bahwa cosu hanya hidup
sebatang kara sampai hari tua tidak pernah menikah. Em, peduli siapa dia, coba kulihat cara
bagaimana ia melawan dan bertanding pedang dengan cosu?"
Kedua dinding di kiri kanan itu terdapat tiga belas lukisan, setiap gambar terdapat dua orang
yang masing-masing sedang bergaya bertanding ilmu pedang.
Dari gambar pertama Lim Bu-siang mulai memeriksa dengan cermat dan penuh perhatian,
sekejap saja tanpa disadari ia sudah tenggelam seperti orang kehilangan kesadaran dalam
menikmati ajaran-ajaran ilmu pedang maha tinggi. Terasa olehnya gaya permainan ilmu pedang
keduanya betapa tinggi, hebat, dan sulit dijajaki, sampai pun gerak badan dan langkah kakinya
pun bukan olah-olah menakjubkan, seolah-olah ajaran khayal yang masuk di akal.
Ternyata ketiga belas gambar yang berderet-deret itu merupakan gambar bersambung yang
berurutan dari satu kedua dan seterusnya, gaya dan gerak-geriknya pun merupakan suatu
rangkaian gerak pedang yang lengkap, semula Lim Bu-siang tidak menyadari hal ini, namun
lambat laun baru ia sadar dan paham, dari tingginya intisari ilmu pedang ia maju lebih lanjut
mendalami intisari gerak badan dan langkah kakinya yang merupakan perpaduan yang bertalian
erat satu sama lainnya. Sudah tentu penemuannya ini menjadikan Lim Bu-siang kegirangan setengah mati seperti putus
lotre dua puluh juta, seolah-olah rejaki nomplok berjatuhan di atas dirinya. Maka terasa rentengan
mutiara yang bersinar di tangannya ini menjadi benda yang kecil dan tidak berharga sepeser pun
bila dibanding penemuan ilmu silat perguruan yang paling tinggi ini.
Meski kegirangan, pikiran Lim Bu-siang tetap jernih, mendadak tergerak hatinya, pikirnya:
"Bukan mustahil orang itu sengaja menggunakan burungnya memancing aku kemari?"
Begitulah dengan segala perhatian dan semangatnya Lim Bu-siang terus mempelajari ilmu
pedang yang berada di ukiran dinding, lupa waktu lupa makan, seperti orang mabok, seperti orang
linglung pula, sayang cahaya yang terpancar dari rentengan mutiara itu betapapun tidak seterang
sinar lampu biasanya, ia jadi merasa amat berat dan harus mengerahkan seluruh kekuatan tajam
matanya, namun yang dilihatnya toh hanya samar-samar belaka.
Entah berapa lama berselang, tiba-tiba terasa pandangannya menjadi terang. Ternyata sudah
tiba hari kedua, cuaca di luar sudah terang tanah. Dalam gua itu memang terdapat celah-celah
batu gunung yang berlubang dan menembus selarik sinar matahari yang menyinari seluruh gua.
Teringat oleh Lim Bu-siang akan janjinya dengan Beng Goan-cau, dalam hati ia membatin:
"Tentu dia sedang mencari aku ke mana-mana, sayang aku tidak bisa menemaninya melihat
matahari terbit di puncak Giok-hong-ting. Ai, hari ini aku berhasil mempelajari intisari ilmu pedang
perguruan kami yang paling murni dan lengkap, meski mati kelaparan di dalam gua ini pun apa
halangannya?" Dari celah batu di pojokan sana terdapat tetesan air, Lim Bu-siang membuka mulutnya di
sebelah bawah sehingga tetesan air masuk ke dalam mulutnya, setelah minum seteguk air gunung
yang dingin, hilanglah rasa dahaga dan gelisah hatinya selama ini, namun perut sedikit pun belum
terasa lapar. Lambat laun cahaya matahari sudah menyinari seluruh gua, pandangannya menjadi terang,
gambar-gambar lukisan di atas dinding kini dapat dinikmatinya lebih jelas.
Lim Bu-siang menyimpan rentengan mutiara itu, lalu mulai lagi ia periksa dari gambar
permulaan sampai akhir, berturut-turut dua kali, sekarang setelah cahaya terang baru didapatinya
bahwa di setiap gambar-gambar itu di bawahnya ada diberi keterangan beberapa huruf-huruf
kecil-kecil sebesar beras. Pada gambar pertama di bawah kaki laki-laki itu ada tertulis:
'lewat Kan-bun masuk Le-wi',
sedang di bawah kaki perempuan tertulis:
'Memutar ke Tam-bun mundur ke Tln-wi'.
Lim Bu-siang berpikir: "Ternyata gerak langkah mereka mengikuti posisi Ngo-heng-pat-kwa,
untung ayah pernah mengajarkan kepada aku!"
Setelah berhasil menyelami gerak langkah dan gerak-gerik permainan jurus dan tipu-tipu
pedang di atas ukiran dinding, maka lebih mendalam pula pengetahuannya terhadap ketiga
rangkaian gerak ilmu pedang yang tercantum di sana.
Kiranya gerak pedang si wanita cantik justru berlawanan dan merupakan lawan tertangguh
terhadap ilmu pedang Hu-siang-pay mereka, sementara ilmu pedang Jan-bau-khek merupakan
jurus-jurus pedang pemunah dan peranti balas menyerang yang hebat pula, semakin berubah
dengan berbagai ragam aneh dan liehay. Akhirnya keduanya sama kuat dan setanding.
Diam-diam Lim Bu-siang membatin: "Ternyata yang kupelajari dulu hanyalah kulitnya saja dari
ajaran asli dan murni dari ilmu pedang perguruan kita, kalau digunakan untuk menghadapi wanita
ini, mungkin setengah gebrak saja tidak akan mampu bertahan."
Begitulah dengan cermat dan seksama Lim Bu-siang mengulangi dari depan pula, sampai
beberapa kali, sehingga akhirnya sudah hafal di luar kepala benar-benar, lalu ia duduk bersimpuh
seperti orang samadi serta mengulanginya pula teori ajaran murni perguruannya di .dalam
benaknya, meraba dan menyelaminya lebih mendalam.
Sekonyong-konyong didengarnya suara gemuruh seperti bom meledak, seketika ia melonjak
bangun saking kaget, waktu ia angkat kepala, tampak batu besar yang menyumbat mulut gua
ternyata sudah terserok minggir ke samping, maka air terjun yang mencurah dari atas
berhamburan muncrat masuk ke dalam gua, seketika mukanya basah oleh cipratan air dingin.
Segera Lim Bu-siang bersoja ke tengah udara serta berseru: "Terima kasih akan petunjuk
cianpwe yang mulia, sehingga aku dapat mempelajari rahasia pelajaran inti silat perguruan kami."
" Belum lenyap suaranya, mendadak dirasakannya seperti ada orang berbisik di pinggir kupingnya:
"Jangan sampai diketahui oleh piaukomu."
Cepat Lim Bu-siang menerobos keluar gua dan menerjang keluar pula dari tabir air terjun.
Begitu berada di luar, tampak alam sekelilingnya hening tenang hanya terdengar hembusan angin
pegunungan yang mengejutkan burung-burung keluar beterbangan dari sarangnya, mana ada
tampak bayangan manusia seorang pun" Lim Bu-siang tahu bahwa tokoh kosen yang
membantunya itu tidak sudi mengunjukkan dirinya, diminta pun tiada gunanya.
Terpikir oleh Lim Bu-siang: "Tentu mereka sedang mencariku ke mana-mana, biarlah segera
aku kembali saja, kesempatan lain biar aku putar balik lagi." Belum habis ia berpikir maka
didengarnya seorang berteriak nyaring di kejauhan sana: "Bu-siang, Bu-siang ?", itulah suara istri
Boh Cong-tiu, Lian Jay-hong adanya.
Cepat Lim Bu-siang mengiakan dengan suara melengking: "Aku ada di sini!"
Di kejauhan sana terdengar pula Lian Jay-hong berteriak: "Nah itu, sudah ketemu!", disusul ia
menyambitkan sebatang panah berasap ke tengah angkasa.
Kejap lain Lim Bu-siang sudah memapak maju, serunya tertawa: "Piauso, kau sudah pulang.
Kenapa begitu tegang kelihatannya?"
"Pagi tadi baru aku pulang, kudengar katanya kau semalam menghilang, sungguh aku ikut
kuatir. Mereka sedang mencarimu ke segala pelosok gunung. Kau malah enak-enak jalan-jalan di
sini." Lim Bu-siang menjadi menyesal, ujarnya: "Wah membikin repot kalian saja, sungguh membuat
hatiku kurang enak."
"Semalam kau sembunyi di mana" Piaukomu mengira semalam kau menikmati panorama
padang rembulan dengan Beng Goan-cau sampai lupa pulang. Tadi pagi waktu Beng Goan-cau
mencari kau tidak ketemu, baru dia menjadi gugup dan kebingungan."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Merah muka Lim Bu-siang, katanya: "Waktu semalam aku pulang, di tengah jalan kulihat seekor
burung kecil mungil yang elok sekali, aku ingin menangkapnya, tanpa sadar tahu-tahu kukejar
sampai di sini." Lian Jay-hong menjadi geli, ujarnya: "Setan kecil seperti kau ini masih kekanak-kanakan seperti
dulu saja." Tengah mereka bicara, tampak Boh Cong-tiu dan Beng Goan-cau sedang berlari mendatangi,
berkata Lian Jay-hong tertawa: "Coba lihat, bukan aku saja yang ikut menjadi gugup!"
Setelah dekat berkatalah Boh Cong-tiu menghela napas: "Untunglah akhirnya ketemu. Pagi-pagi
benar Beng-toako sudah mencari kau, sungguh membuatnya gelisah setengah mati! Ya,
kelihatannya kalian berkelakar begitu senang, soal apa yang kalian bicarakan?"
Segera Lian Jay-hong menceritakan apa yang dia dengar dari Lim Bu-siang kepada suaminya.
Dengan heran Boh Cong-tiu berkata: "Sudah beberapa bulan aku menetap di sini, selamanya
belum pernah kulihat burung seperti itu. Tapi bila kau tidak bisa menangkap burung itu
seharusnya lekas kembali, kenapa sampai menginap semalam di sini, dan sampai sudah lohor baru
mau pulang?" Teringat oleh Lim Bu-siang akan pesan orang itu, namun ia sendiri orang yang polos dan tidak
pernah bohong, sesaat ia sangsi, terpaksa menyahut: "Di belakang air terjun terdapat sebuah gua,
kulihat burung itu menembus air terjun dan menghilang kesana, maka kukejar masuk ke sana
pula." Boh Cong-tiu kelihatan terkejut, serunya: "Apa yang kau temukan di dalam gua?"
"Keadaan gua itu amat gelap, di tengah malam buta rata lagi, mana dapat melihat apa-apa?"
Begitu terang tanah aku lantas berlari keluar, karena bingung dan gelisah tanpa sadar aku lantas
kesasar jalan." Demi menepati pesan orang itu terpaksa ia berbohong, sementara jari-jarinya
menyentuh rentengan mutiara yang ia simpan di dalam kantong bajunya serta merta panas kulit
mukanya. Bertambah heran dan tertarik Boh Cong-tiu dibuatnya, sejenak ia termenung lalu tiba-tiba
bertanya: "O, di sekitar sini terdapat sebuah gua seperti itu, ingin aku masuk ke sana untuk
memeriksanya. Di mana letak air terjun itu, tentu kau masih ingat bukan. Marilah sekarang juga
kau bawa kami ke sana untuk memeriksanya."
Lian Jay-hong mengerut kening, katanya: "Piaumoay sudah kelaparan satu malam dan
setengah harian ini, biarlah dia pulang dulu mengisi perutnya baru datang kemari lagi toh belum
terlambat." "Kau tahu apa," sentak Boh Cong-tiu, "soal ini amat penting, mana boleh dibuat lambatlambat."
"Terima kasih akan perhatian piauso, perutku memang belum terasa lapar," terpaksa Lim Busiang
angkat bicara supaya piausonya tidak bertengkar dengan piaukonya, sementara dalam hati
ia membatin: "Agaknya piauko sudah tahu rahasia di dalam gua itu, maka kelihatannya dia begitu
tegang" Tapi ukiran dinding itu tidak akan bisa lari sendiri, kenapa pula dia begitu gugup" Ai,
betapapun piauko yang kuhadapi sekarang sudah bukan lagi piauko di masa kecilku dulu."
Begitulah sembari membatin Lim Bu-siang mengembangkan ginkangnya berlari kencang tanpa
banyak bersuara lagi langsung membawa Boh Cong-tiu beramai ke tempat air terjun itu, katanya:
"Gua itu berada di belakang air terjun ini!"
Boh Cong-tiu segera unjuk seri tawa lebar, ujarnya: "Piaumoay, untunglah ada kau, kalau tidak
secara kebetulan kau main terobosan dan menemukan gua ini, mungkin aku harus banyak
memeras keringat untuk mencarinya pun belum tentu bisa ketemu."
Tak tahan lagi, bertanyalah Lian Jay-hong: "Sebetulnya apakah yang sedang kau cari?"
"Setelah berada di dalam kau tahu sendiri. Sekarang aku sendiri juga belum tahu apakah
barang yang kucari benar ada di dalam gua?", maka ia mendahului menerobos tabir air terjun
menyusup ke dalam gua. Dengan merasa tertarik dan keheranan Beng Goan-cau mengintil di belakang Lim Bu-siang ikut
masuk ke dalam gua. Tiba-tiba Boh Cong-tiu berseru terkejut, katanya: "Beng-heng, kau juga ikut
kemari." Baru sekarang Beng Goan-cau tersentak sadar, "Mungkinkah di dalam gua terdapat sesuatu
rahasia, dia hendak merahasiakan terhadap diriku?"
Di saat ia serba salah dan kikuk, mendadak didengarnya Boh Cong-tiu berteriak kaget:
"Celaka!" Lim Bu-siang juga amat terkejut, waktu ia menegasi baru didapatinya bahwa gambar ukiran di
atas dinding kini sudah menjadi lenyap licin.
Tampak di tanah bertumpukan debu bekas kerukan batu-batu dinding, tak perlu disangsikan
lagi bahwa ukiran di atas dinding sudah dikerik rata licin oleh seseorang.
Lim Bu-siang menjadi paham, pikirnya: "Tentu perbuatan tokoh kosen aneh itu. Baru setengah
jam yang lalu aku meninggalkan tempat ini, secepat itu pula dia sudah mengerik licin dinding
bergambar ini, diam-diam ia merasa bersyukur dan menyesal pula, pikirnya: "Ternyata tokoh
kosen itu tidak menghendaki piauko menemukan dan mempelajari rahasia intisari ilmu silat
perguruan kami, untunglah aku tadi tidak terlanjur memberitahukan kepadanya."
Sementara Lian Jay-hong yang menjadi keheranan dan bingung: "Apanya yang celaka?"
Boh Cong-tiu menarik napas, katanya: "Tiada halangannya sekarang kuberitahukan kepada
kalian. Kalian tahu kakek moyang leluhurku yaitu Boh Jong-liong adalah murid terbesar dari cosu
kita, Jan-bau-khek. Beliau secara rahasia ada mewariskan kepada kita sebuah rahasia yang hanya
diketahui marga Boh kita. Katanya cosuya ada meninggalkan pelajaran silat perguruan kita di
dalam sebuah gua di gunung Thay-san. Tapi beliau sendiri pun belum pernah menyaksikan
sendiri." "Dari mana kau bisa tahu bahwa gua inilah yang dimaksud?" demikian Lian Jay-hong menegas.
"Bukan mustahil inti ajaran silat itu tersembunyi di dalam gua yang lain?"
Sementara diam-diam Boh Cong-tiu sedang mereka-reka: "Bu-siang tidak akan membual
terhadapku. Dia tidak membawa senjata tajam lagi, mengandal kekuatan telapak tangannya tidak
mungkin bisa mengikis dinding batu ini sedemikian licinnya, perbuatan siapakah ini" Mungkinkah
perbuatan orang yang bersuit dan memuji semalam itu" Yang jelas di atas dinding ini sebelumnya
pasti ada apa-apanya, entah apakah intisari pelajaran silat perguruan kita?" Demikian hatinya
menjadi kurang tenteram dan was-was, segera ia menjawab pertanyaan istrinya: "Semoga seperti
apa yang kau katakan. Sekarang sudah jelas di "sini tiada apa-apa yang dapat kita temukan,
marilah kita pulang. Jangan kau lupa..."
"Benar, besok sudah tiba hari yang ditentukan, masih ada beberapa tamu agung yang belum
tiba, kukira hari ini pasti mereka bisa tiba, marilah kita lekas pulang menyambut kedatangan
mereka," demikian ujar Boh Cong-tiu. Tanpa hiraukan sikap istri dan yang lain-lain ia mendahului
menerobos keluar. Belum jauh mereka menempuh perjalanan, benar juga dilihatnya seorang murid Hu-siang-pay
berlari-lari mendatangi, serunya: "Boh-ciangbun, silakan cepat pulang, ada tamu agung datang."
"Tamu agung siapa?" tanya Boh Cong-tiu.
"Ada beberapa orang. Di antaranya terdapat Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya. Ada lagi Tan Tayhiap
bertiga ayah beranak kini sudah tiba semua," demikian lapor murid itu.
Boh Cong-tiu kegirangan, katanya: "Tan Tayhiap adalah pemimpin bulim daerah Kanglam,
kukira sulit dapat mengundang beliau untuk hadir, tak nyana beliau orang tua bukan saja datang,
malah membawa kedua puteranya sekalian. Demikian juga Ki-loenghiong, biasanya ia suka
mengembara tanpa menentu jejaknya, kukira undangan yang kukirim belum bisa sampai di
tangannya, kiranya beliau pun sudah tiba, sungguh amat menggirangkan."
Boh Cong-tiu sudah hafal jalan pegunungan, segera ia kembangkan ginkang memimpin di
sebelah depan menunjukkan jalan. Tak lama kemudian mereka tiba di hutan pohon siong,
kebetulan bersua sama Ciok Heng yang membawa keempat tamu agung menuju ke atas gunung.
Setelah mengadakan basa-basi sekadarnya berturut-turut Boh Cong-tiu memperkenalkan para
tamu kepada Beng Goan-cau beramai. Waktu mendengar nama Beng Goan-cau, Su-hay-sin-liong
Ki Kian-ya terdengar mendengus dan membuang muka.
Beng Goan-cau tidak tahu bahwa kakek tua ini masih ada ikatan famili jauh dengan Nyo Bok,
kini baru pertama kali berkenalan, sikapnya kok kelihatan kurang senang terhadap dirinya, keruan
ia melengak heran. Setelah menjengek, Ki Kian-ya melirik serta tertawa dingin kepada Beng Goan-cau. "Ternyata
kau inilah Beng Goan-cau, beberapa tahun terakhir ini cukup besar juga namamu menggetarkan
kangouw!" Beng Goan-cau keheranan, terpaksa ia melayani dengan sikap rada sungkan, sahutnya: "Tidak
berani. Para sahabat kangouw memang suka menempel emas di mukaku, terlalu mengagulkan
dari kenyataan. Harap lo-cianpwe suka memberi petunjuk."
Ki Kian-ya menyahut tawar: "Aku sudah tua tidak berguna. Mana berani mengagulkan diri
sebagai lo-cianpwe segala di hadapan eng-hiong muda yang perwira" Soal petunjuk jangan
diharapkan lagi!", sementara dalam hati ia membatin: "Nanti setelah kuselidiki jelas duduk
perkaranya kepada Nyo Bok, betapapan harus kuberi hajaran setimpal kepada arak muda kurang
ajar ini!" Untunglah di saat Beng Goan-cau merasa kikuk dan risi, kebetulan Kim Tiok-liu pun sedang
mendatangi. Kim Tiok-liu punya hubungan akrab dan kental secara kekeluargaan dengan Tan
Thian-ih ayah beranak, sudah tentu ia pun kenal baik pada Ki Kian-ya.
Setelah memberi hormat dan saling sapa lantas berkatalah Kim Tiok-liu: "Saudara Beng ini
datang dari Siau-kim-jwan, laskar gerilya mereka beberapa tahun ini berjuang menggempur
penjajah secara gemilang, pahalanya saudara Beng ini tidaklah kecil."
"Ya, Siau Ci-wan dan Leng Thiat-jiau dan pemimpin laskar gerilya lainnya selamanya amat
kukagumi," demikian ujar Ki Kian-ya, "cuma sayang kedua orang ini sama punya cacat dan
kelemahan, yaitu tidak begitu keras dan berdisiplin memimpin anak buahnya, sehingga di antara
naga-naga itu tercampur beberapa ekor ular, baik dan buruk tercampur aduk. Memang tidak
sedikit orang-orang gagah atau para enghiong dalam laskar gerilya, namun bukan mustahil
terdapat beberapa bajingan tengik suka mencatut nama."
Sindiran pedasnya ini jelas ditujukan secara gamblang, sudah tentu Beng Goan-cau amat
terperanjat. Kim Tiok-liu pun tidak kurang herannya, entah dari mana juntrungan kata-kata orang.
Tak tahan lagi berkatalah Beng Goan-cau: "Anggauta laskar gerilya ada laksaan banyaknya, ada
buruk dan ada yang baik campur aduk adalah tidak mungkin dihindari lagi. Entah Ki-locianpwe ada
mendengar dari mana tentang siapa pula yang berkelakuan kurang senonoh sehingga memalukan
gengsi dan nama baik laskar gerilya, harap sukalah bicara gamblang. Kelak pasti akan kulaporkan
kepada Leng-toako supaya dijatuhkan hukuman yang setimpal."
Ki Kian-ya menjengek dingin, "Tunggulah saatnya setelah aku mendapatkan bukti-bukti yang
nyata, tentu akan kulaporkan kepada Leng-toako kalian."
Kim Tiok-liu tahu dalam persoalan ini tentu terselip sesuatu keganjilan yang perlu diselidiki
secara cermat, namun karena ia tidak begitu kenal pada pribadi Ki Kian-ya tak enak ia banyak
bertanya, pikirnya: "Tay-pi Siansu dari Siau-lim-pay adalah sahabat karib tua bangka ini, biar kelak
kuminta bantuannya, tentu persoalan dapat dibikin terang." Sementara ia kesampingkan persoalan
ini." Segera ia menyapa kepada Tan Thian-ih, katanya: "Paman Tan, saudara Beng ini meski bukan
kelahiran Soh-ciu asli, namun sejak kecil dibesarkan di Soh-ciu. Boleh kalian terhitung setengah
sanak dalam kampung halaman yang sama."
Mendadak Tan Thian-ih pun berkata: "Diluar kota Soh-ciu, ada seorang lo-enghiong bernama
Hun Ciong-san, apakah saudara Beng kenal pada beliau?"
Hun Ciong-san adalah ayah Hun Ci-lo, mendengar Tan Thian-ih menyinggung beliau tak terasa
kecut rasa hati Beng Goan-cau, sahutnya: "Sayang Hun-loeng-hiong sudah lama wafat."
"Aku tahu, aku pun merasa menyesal di saat Hun-loenghiong masih sehat dulu tidak sempat
bertemu dengan beliau. Soalnya belakangan ini aku ketemu seorang sahabat lama, baru teringat
kepada Hun-loenghiong ini. Kim-siheng, bicara soal sahabat kental ini dia amat ingin berkenalan
dengan kau." "Sahabat kental paman Tan tentu seorang kaum persilatan yang cukup ternama juga, entah
cianpwe siapakah dia?"
"Hubungan kami memang cukup rapat sejak lama, usianya baru menanjak empat puluh.
Namanya Miao Tiang-hong, apakah kau pernah dengar namanya?"
"Apakah Miao Tayhiap yang pernah membantu pihak Thian-li-hwe di Poting dan membunuh
tujuh jagoan Bhayangkari itu?"
"Benar, dialah adanya. Tahun itu kebetulan ia bertamu di Thian-li-hwe, di Poting, kebetulan
kebentur jago-jago Bhayangkari yang diutus kerajaan menggerebek markas besar Thian-li-hwe.
Untunglah mendapat bantuannya sehingga banyak anggauta Thian-li-hwe yang diselamatkan
jiwanya." Kim Tiok-liu menghela napas, ujarnya: "Kabarnya orang ini gagah perwira, seorang jejaka
kangouw yang berjiwa pendekar. Sayang aku hanya kenal namanya belum ada jodoh berkenalan
padanya." "Dalam pertemuan besar kali ini sebetulnya dia pun ingin ikut datang bersama kami, namun
mendadak ia terhalang oleh suatu urusan lain hendak ke Tong-thing-san di Se-ouw."
Boh Cong-tiu ikut menyela bicara: "Kabarnya ada seorang lo-enghiong yang bernama Siau
King-hi bertempat di Tong-thing-san sebelah barat juga?"
"Siau King-hi sudah lama wafat," demikian Tan Thian-ih menjelaskan, "istrinya adalah kakak
istri Hun Ciong-san. Siau King-hi hanya punya seorang putri tunggal. Ibu beranak keluarga Siau
memang masih menetap di Tong-thing-san sebelah barat. Miao Tiang-hong adalah kenalan lama
dengan keluarga Siau itu." Sampai di sini ia berseri tawa lalu menunjuk Tan Kong-si dan
melanjutkan: "Kim-siheng, bicara terus terang, semula Miao Tiang-hong ingin menjadi comblang
melamarkan putraku ini, yang dimaksud adalah putri keluarga Siau itulah."
"Oh, selamat,selamat!" ujar Kim Tiok-liu tertawa senang.
Merah malu selebar muka Tan Kong-si, katanya: "Aku belum lagi ingin kawin. Hal ini sudah
kubicarakan dengan paman Miao."
"O, jadi kau tidak menyukai putri keluarga Siau itu," Tan Thian-ih menegas. "Apakah kau
menyukai putri keluarga Cau?"
"Usia paman Miao sudah sedemikian lanjut toh belum menikah. Yah, kenapa kau begitu gelisah
memikirkan diriku" Kedua nona itu baru saja kukenal, masa lantas mempersoalkan suka atau cinta
segala?" "Soal pernikahan adalah urusan maha besar, biarlah mereka mencari jodohnya sendiri saja,"
demikian timbrung Kim Tiok-liu. "Orang-orang tua tidak perlu bercapek lelah mencarikan jodoh
putra putrinya. Entah siapa pula keluarga Cau itu?"
"Dia adalah sahabat karib Siau King-hi semasa hidupnya yang bernama Cau Siok-toh. Kedua
keluarga adalah bertetangga, kedua nona keluarga mereka berusia sebaya."
Percakapan Tan Thian-ih dan Kim Tiok-liu begitu asyik, hingga Beng Goan-cau tidak sempat
menyela bicara, namun pikirannya justru sudah melayang mengenang Hun Ci-lo. "Ternyata Ci-lo
punya bibi yang menetap di Tong-thing-san, tak heran Kim-hujin bilang ada orang pernah melihat
dia di sana. Ai, jejaknya boleh dikata sudah kuketahui, entah kapan baru aku bisa menyusul ke
sana menemui dia?" demikian renung Beng Goan-cau, tanpa terasa langkah kakinya menjadi
lambat dan ketinggalan di belakang, Lim Bu-siang juga mengendorkan langkahnya, di saat Boh
Cong-tiu bicara dengan Tan Thian-ih secara diam-diam ia berbisik kepada Beng Goan-cau: "Besok
pagi-pagi, kuharap kau menunggu aku di hutan Bwe!"
Beng Goan-cau tersentak sadar dari renungannya, bayangan Hun Ci-lo seketika sirna, kini
berganti bentuk Lim Bu-siang yang terpancang di depan matanya. Serta merta raut wajahnya
mengunjuk senyum getir. "Kau dengar tidak?" tanya Lim Bu-siang menegas. "Ingat besok pagi-pagi tunggulah aku di
hutan kembang Bwe!" Sudah tentu Beng Goan-cau menjadi keheranan, ia berpikir: "Upacara besar berdirinya Husiang-
pay diadakan besok pagi sebelum matahari terbit, jelas tidak mungkin dia ajak aku melihat
matahari terbit di Giok-hong-ting. Masa dia masih ada waktu senggang dan rasa isengnya untuk
bertemu dengan aku walau hanya sekejap sebelum upacara besar itu dibuka" Em, mungkin ada
sesuatu urusan maha penting yang perlu dia katakan kepadaku?"
Mendadak dari arah depan sana dilihatnya ada seorang murid Hu-siang-pay berlari mendatangi
dengan langkah tergesa-gesa.
Kata Kim Tiok-liu tertawa: "Tamu agung siapa lagi yang datang?"
Murid itu segera melapor kepada Boh Cong-tiu: "Ada seorang yang bernama Cau Siok-toh,
katanya dia tidak punya kartu undangan namun ingin menghadiri upacara berdirinya perguruan
kita. Tapi beliau bilang ada kenal baik dengan Tan Tayhiap."
"Tan Tayhiap!" ujar Boh Congtiu tertawa. "Sungguh amat kebetulan sekali. Cau-locianpwe yang
baru saja kau singgung kini kebetulan sudah tiba." Lalu ia berpaling memberi pesan kepada murid
itu: "Hayo lekas kau undang Cau-locianpwe itu naik ke atas gunung."
Hari ini para orang-orang gagah dari seluruh jagat mulai berdatangan memenuhi seluruh
puncak Thay-san. Beng Goan-cau diminta membantu menyambut dan melayani para tamu, ia ikut
repot satu hari penuh. Mungkin karena kelelahan satu hari tadi, Beng Goan-cau gulak-gulik di atas
ranjang tidak bisa tidur.
"Besok setelah pertemuan di sini bubar aku bisa cepat-cepat menyusul ke Thay-ouw mencari
Ci-lo. Tapi entah Nyo Bok hendak mencari kesulitan padaku" Dia sedang mencari istrinya, perlukah
aku memberitahu berita ini kepadanya?"
Lalu terpikir pula olehnya: "Tugas yang diberikan Leng-toako padaku untuk mencari hubungan
dengan orang-orang gagah seluruh jagat sudah kulaksanakan hampir seluruhnya, hari ini tidak
leluasa aku bicara dengan mereka, setelah pertemuan bubar terpaksa aku harus minta bantuan
Kim-tayhiap untuk menemani aku mencari mereka, apa boleh buat, demi tugas aku harus
menunda perjalanan ke Se-ouw beberapa hari lagi."
Lain kejap ia berpikir pula: "Belum lama aku berkenalan dengan Bu-siang, namun begitu intim
dan besar kepercayaannya kepada aku. Ai, dia memang seorang nona jelita yang lincah dan
menyenangkan, sayang hatiku sudah kuserahkan kepada Ci-lo, walau tiada berjodoh menjadi
suami istri dengan Ci-lo, namun hatiku ini tidak mungkin kuberikan lagi kepada orang lain. A i, Cilo,
Ci-lo, entah kapan baru bisa jumpa lagi dengan kau?" Begitulah pikirannya melayang-layang
sehingga hati gundah pikiran tidak tenang, semalam suntuk ia tidak bisa tidur, tahu-tahu cuaca
sudah mulai terang. Sebetulnya seumpama Beng Goan-cau bisa tidur pulas dan bermimpi, meski mimpi ia pun tidak
akan menduga bahwa Hun Ci-lo ternyata sudah tiba di Thay-san juga.
Hari itu setelah Hun Ci-lo berpisah dengan bibinya, di sebuah kota kecil yang terletak di sebelah
utara Thay-ouw ia membeli seekor kuda, di kota kecil macam itu sudah tentu tidak bisa
memperoleh kuda bagus, namun di siang hari bolong Hun Ci-lo tidak leluasa mengembangkan
ginkangnya berlari pesat, terpaksa ia menunggang kuda kurus yang dibelinya dengan harga cukup
mahal. Untunglah menurut rencana semula Hun Ci-lo tidak ingin menghadiri pertemuan besar ini,
maksudnya cuma hendak menunggu di bawah gunung saja, harapannya di sana ia bisa ketemu
dengan Cau Siok-toh dan memberitahu keadaan bibinya. Sudah tentu ia pun mengharap bisa
melihat Beng Goan-cau, cuma tidak bersedia bertemu secara berhadapan. Kudanya kurus larinya
lambat jadi tidak menjadi soal baginya.
Dia mengenakan kedok muka pemberian Miao Tiang-hong, hari itu ia sudah memasuki wilayah
Cou-yang yang termasuk propinsi Soatang, kira-kira masih dua ratusan li dari puncak Thay-san.
Saat mana ia sedang melewati jalan padang rumput liar yang tiada kelihatan ujung pangkalnya. Di
saat ia mencongklang kudanya lambat-lambat, mendadak didengarnya sebuah suitan,
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekonyongkonyong dari rumput-rumput liar di sekelilingnya serempak beterbangan senjata rahasia yang
tidak terhitung banyaknya, seluruhnya meluruk ke arah dirinya.
Untunglah Hun Ci-lo bisa berlaku sigap dan cekatan menghadapi kejadian yang tidak terduga
ini, meski dibokong secara mendadak, hatinya kaget namun tidak menjadi gugup karenanya,
secepat kilat ia melolos pedangnya bergerak dengan sejurus Ya-can-pat-hong, terdengarlah suara
trang tring yang riuh dan ramai, tiga batang piau terbang dan dua batang pisau terbang sekaligus
kena disampuk-nya jatuh. Tapi sambaran senjata rahasia cukup banyak dan deras seperti kunangkunang
beterbangan, sulit diraba dan diduga sasarannya, kalau bisa menyelamatkan diri
sebaliknya kuda tunggangannya pasti celaka, betul juga kudanya terkena sebatang panah beracun
yang jahat seketika jatuh tersungkur dan melayang jiwanya.
Hun Ci-lo ikut terguling jatuh dari punggung kuda. Orang-orang yang membokongnya itu
menyangka dia pun terkena sambitan am-gi, beramai-ramai mereka menerjang keluar dari semaksemak
rumput liar, bertepuk tangan seraya bersorak: "Roboh roboh!" ?"" "Haha, perempuan
galak macammu ini berani berjuluk Jian-jiu-koan-im segala, hari ini kau menerima ganjaranmu
yang setimpal." Tiba-tiba dengan gaya ikan mas meletik Hun Ci-lo melejit berdiri, berbareng ia menyampuk
jatuh pula dua batang anak panah. Masih ada pula beberapa macam senjata rahasia yang
bobotnya jauh lebih ringan dan kecil sudah berjatuhan lebih dulu sebelum mengenai sasarannya
karena jarak terlalu jauh.
Tiba-tiba di antara mereka ada seorang berteriak: "Wah, salah, salah. Jangan kalian sembrono,
bukan perempuan ini yang kita incar!" -Tampak tiga ekor kuda mencongklang datang, salah satu
di antaranya pernah bentrok secara langsung dengan Jian-jiu-koan-im, maka dia mengenal raut
muka orang, orang ini pula yang menjadi pimpinan gerombolan orang-orang jahat ini.
Maka terdengar pula salah seorang berteriak: "Hai, benar, memang salah orang!"
Tapi seorang lain pun berseru: "Kalau sudah salah biar salah, hayo ganyang saja jangan
kepalang tanggung, perempuan ini belum mampus jangan kita biarkan dia hidup, bikin mampus
saja!" Si pemimpin tadi lantas menunjang: "Benar, kita harus bikin tamat jiwanya! He, he, jangan kau
sesalkan tindakan kami yang tidak kenal kasihan, anggap saja nasibmu yang sial kebentur di
tangan kami." Senjata rahasia berbondong-bondong meluruk pula menghujani tubuh Hun Ci-lo, terutama
sambitan senjata rahasia ketiga penunggang kuda itu jauh lebih keras dan telak mengincar
tempat-tempat mematikan. Hun Ci-lo harus mengembangkan ginkangnya berloncatan selincah
kupu segesit kera berusaha berkelit dari berondongan senjata rahasia musuh, tapi ke mana pun ia
berkelit tak mungkin ia dapat keluar dari berondongan senjata rahasia yang begitu banyak. Lama
kelamaan telapak tangannya menjadi pegal kesemutan menangkis setiap senjata rahasia sambitan
ketiga penunggang kuda yang kuat itu. Mau tidak mau mencelos hati Hun Ci-lo, batinnya: "Tak
nyana jiwaku bakal mampus di tangan kawanan berandal ini."
Di saat-saat yang amat kritis ini, Hun Ci-lo sudah pasrah nasib dan jelas jiwanya tidak akan
dapat tertolong lagi, mendadak didengarnya suara kelintingan yang nyaring mendatangi dari
kejauhan, dari semak-semak rumput padang lalang di depan sana muncul pula seekor kuda putih
yang dibedal kencang, di atas punggungnya menunggang seorang perempuan pertengahan umur,
belum lagi orangnya tiba, dari kejauhan suaranya sudah terdengar lantang: "Jian-jiu-koan-im di
sini, para kunyuk yang tidak tahu malu berani kurang ajar dan bertingkah!"
Si pemimpin itu segera mengayun tangan dan memberi aba-aba: "Lekas, sambut dia dengan
berondongan senjata rahasia! Hati-hati jangan tergesa-gesa dan gentar!" Maka sasaran hujan
senjata rahasia beralih arah, semua disambitkan ke arah perempuan pertengahan timur yang
mendatangi. Saking banyak senjata rahasia yang disambitkan seolah-olah perempuan itu
disongsong kembang-kembang salju yang bertaburan di tengah angkasa.
Jian-jiu-koan-im tertawa dingin, ejeknya: "Kepandaian badut bermain di gelanggang murahan
juga berani diunjukkan di depan seorang ahli?" Tampak sebelah tangannya mengayunkan pecut
sementara tangan yang lain bergerak selincah kupu menari menyambut dan menangkap senjata
rahasia yang berterbangan mendatang, begitu tertangkap lantas disambitkan balik, maka dalam
sekejap saja terdengarlah jerit dan pekik kesakitan dari berbagai penjuru saling bersahutan. Ada
beberapa orang di antara musuh roboh kena senjata rahasia sambitan sendiri, keruan mereka
menjadi ketakutan dan bergelundungan masuk semak-semak rumput, sambil menahan rasa sakit
ngacir pergi. Demikian pula yang tidak terluka menjadi ciut nyalinya, beramai-ramai mereka lari
tunggang langgang mencawat ekor.
Hun Ci-lo bukan seorang ahli penyambit senjata rahasia, namun dia pun cukup liehay dalam
bidang ini. Melihat kepandaian perempuan pertengahan umur yang begitu hebat sesaat ia jadi
terlongong, diam-diam ia kagum dan memuji dalam hati: "Tak heran diberi nama julukan Jian-jiukoan-
im, ternyata tidak bernama kosong!"
Melihat para bawahannya yang terluka sama berkelejetan, yang lari pontang-panting, si
pemimpin menjadi gopoh juga, terpaksa ia membalikkan kuda tunggangannya hendak melarikan
diri pula. Jian-jiu-koan-im segera tertawa dingin: "Kukira siapa, ternyata adalah kunyuk-kunyuk
yang terima menjual jiwa bagi kepentingan Cong Sin-liong. Hm, Cong Sin-liong sendiri tidak berani
muncul, kini kalian yang disuruh mengantarkan jiwa. Masa begitu gampang kau hendak melarikan
diri" Marilah berikan tanda mata!"
Seiring dengan kata-katanya, beruntun tangannya terayun menyambitkan tiga batang senjata
rahasia. Kepandaian dan gerak-gerik orang itu ternyata cukup tangkas juga, dengan gaya Teng-lijang-
sin (sembunyi ke bawah perut kuda), ia berkelit dari sambaran anak panah yang mengincar
Thay-yang-hiat bagian atas, berbareng dengan itu goloknya dilintangkan menyampuk jatuh Tohkut-
ting yang menyerang bagian tengah, akan tetapi toh tidak kuasa meluputkan diri dari
sambitan pisau terbang yang menyerang bagian bawah, di mana pisau terbang menyambar lewat
daging pahanya kena terkupas sebagian besar. Saking kesakitan kontan orang itu terjungkal jatuh
dari punggung kudanya. Untunglah kudanya itu berlari jajar dengan seorang temannya yang lain,
dengan sigap temannya itu meraih dan menjinjingnya, sementara tangan yang lain
menghunjamkan belati di tangannya ke pantat kuda. Tusukannya menggunakan tenaga yang pas
dan persis, sehingga tidak melukai tulang pantatnya, namun karena kesakitan kuda itu berlari
membe-dal seperti dikejar setan.
Cepat Jian-jiu-koam-im maju menyapa: "Cici ini, harap tunggu sebentar." Segera ia keprak
kudanya menyusul kuda musuh yang ditinggalkan dan sedang berlari-lari di tengah padang lalang.
Begitu dekat Jian-jiu-koan-im lantas melompat ke atas punggungnya. Semula kuda itu seperti
marah dan membedal-bedal dan melompat-lompat setinggi satu tombak. Jian-jiu-koan-im
memegang erat bulu surinya serta menepuk-nepuk lehernya, kejap lain kuda itu menjadi tenang,
setelah entah dibisiki apa-apa kini membelok balik ke arah sini dan menjadi jinak.
Hun Ci-lo amat tertarik, pikirnya: "Ternyata bukan saja Jian-jiu-koan-im ahli dalam kepandaian
senjata rahasia, dia pun seorang ahli juga menjinakkan kuda." Memangnya dia tidak tahu bahwa
Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in adalah istri Utti Keng, Utti Keng adalah begal kuda yang terkenal di
Kwantang, kepandaian menjinakkan kuda Ki Seng-in ini ia pelajari dari suaminya.
Setelah berhadapan Ki Seng-in segera memperkenalkan diri: "Aku bernama Ki Seng-in.
Kawanan penjahat itu semula hendak menyergap aku. hampir saja kau yang menjadi korban,
sungguh aku menjadi kurang enak hati. Kau kehilangan kuda, biarlah kuganti dengan kuda ini.
Sekarang dia sudah kujinakkan, bolehlah berlega hati kau menunggang kuda ini." Habis berkata ia
melompat turun terus berikan kuda itu kepada Hun Ci-lo.
"Terima kasih akan pertolongan Ki-lihiap sehingga jiwaku diselamatkan, betapa terima kasihku,
mana pula berani menerima pemberian ini"'"
"Yang terang aku toh merampas milik orang lain pula, kenapa kau main sungkan" Watakku
suka terus terang, kau ketimpa bencana karena diriku, toh aku belum lagi mengucapkan banyak
terima kasih kepada kau! Cici, siapakah nama harummu" Ke mana kau hendak pergi"'" Segera
Hun Ci-lo mengarang sebuah nama palsu, katanya: "Aku bernama Beng Hoa-nio, tujuanku ke
Thay-an!?" "Kepandaianmu cukup hebat juga. Maaf akan keteledoranku, harap tanya bukankah kau
hendak menonton keramaian di Thay-san?"
"Boh Cong-tiu mendirikan partai menegakkan alirannya di Thay-san, peristiwa ini pernah
kudengar dari orang lain. Tapi aku sendiri belum setimpal menjadi tamu undangannya. Aku punya
seorang teman yang mungkin akan hadir di sana, maka aku hendak pergi ke
Thay-san untuk menunggunya di sana setelah dia pulang."
"Kenapa begitu mempersulit diri, marilah kau ikut aku saja. Aku sendiri pun tidak punya surat
undangan, tapi kutanggung kau pasti dapat dan leluasa tiba di atas gunung."
Melihat orang cukup supel dan polos, Hun Ci-lo jadi tertarik untuk mengikat persahabatan,
diam-diam ia membatin: "Aku mengenakan kedok mukaku ini, kukira Beng Goan-cau tidak akan
bisa mengenali diriku."'-Maka ia berkata:
"'Kalau lihiap sudi membawa aku untuk membuka pandanganku, sungguh amat kebetulan
sekali." Begitulah mereka segera cemplak kuda masing-masing terus berangkat berjajar.
Di tengah jalan bertanyalah Hun Ci-lo: ?"Siapakah kawanan penjahat itu?"
"Pemimpin mereka bernama Cong Sin-liong, tapi tadi belum muncul. Orang she Cong itu adalah
cakar alap-alap utama dari Sat Hok-ting, itu komandan pasukan Bha-yangkari di istana raja, cuma
belum banyak para sahabat kangouw yang mengetahui hal ini. Dia merupakan susiok dari Boh
Cong-tiu, ciangbunjin Hu-siang-pay sekarang. Bahwa kali ini Boh Cong-tiu mendirikan partai kukira
pasti dia akan datang, maka cepat-cepat kususul tiba ke Thay-san."
Hun Ci-lo bertanya heran dan tidak mengerti: "Bukankah Boh Cong-tiu termasuk kaum pejuang
yang berjiwa pendekar" Kenapa susioknya..."
"Sudah lama Boh Cong-tiu bertengkar dan bentrok dengan susioknya ini, tapi..."
"Tapi apa?" Sebenarnya Ki Seng-in hendak bilang: "Tapi Boh Cong-tiu bukanlah seorang yang benar-benar
berjiwa pendekar seperti yang kau bayangkan." Meski wataknya polos dan supel betapapun ia
baru berkenalan dengan Hun Ci-lo maka ia urungkan ucapannya itu, dan menjelaskan: "Tapi tahu
orangnya melihat mukanya tidak tahu hatinya. Boh Cong-tiu seorang ciangbunjin yang baru saja
pulang dari luar lautan, seluk beluknya aku pun tidak begitu jelas." Sudah tentu penjelasan ini
tidak menarik bagi Hun Ci-lo karena yang diperhatikan hanyalah Beng Goan-cau. Maka dia pun
tidak bertanya lebih lanjut mengenai pribadi Boh Cong-tiu.
Untunglah Hun Ci-lo mendapat ganti tunggangan kuda jempolan, larinya jauh lebih pesat dari
kuda , yang dibelinya. Begitulah mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, hari ketiga pagipagi
mereka sudah tiba di bawah Thay-san.
Tatkala itu kebetulan tiba Boh Cong-tiu mengadakan pembukaan berdirinya partai Hu-siangpay,
upacara besar yang hidmat dan besar-besaran sedang berlangsung.
Di puncak Giok-hong-ting di Thay-san pagi hari itu penuh sesak berjubel-jubel orang-orang
gagah dari berbagai penjuru dunia yang memenuhi seluruh pelosok. Sudah tentu Beng Goan-cau
dan Lim Bu-siang ada di antara mereka.
Gumpalan awan putih melayang di tengah angkasa, puncak Giok-hong-ting seperti dibungkus
selendang putih, cuaca masih gelap, keadaan hening lelap. Tapi menembus celah-celah awan yang
mengembang enteng di angkasa, jauh di ufuk timur sana mencorong setabir cahaya merah
kegelapan. Cuma sang surya belum lagi muncul keluar dari peraduannya.
Upacara kebesaran berdirinya partai Hu-siang-pay ditentukan di saat matahari terbit. Maka
banyak tamu-tamu yang sekaligus hendak melihat panorama terbitnya matahari pagi, sejak cuaca
masih amat gelap sudah berdatangan dan duduk berjubel di atas rumput. Di mana saja yang
terdapat tempat luang di situ sudah penuh diduduki orang.
Seperti pula keadaan Beng Goan-cau, semalam, Lim Bu-siang pun tidak pernah terpejam
matanya. Hubungan rahasia piaukonya dengan Ciok Tio-ki sudah menjadi kenyataan dan diketahuinya
dengan pasti, meski ia belum berani memastikan bahwa piaukonya benar ada intrik dengan pihak
kerajaan, akan tetapi bagaimana juga sudah menimbulkan rasa curiganya.
Teringat olehnya janji yang dia berikan kepada Utti Keng, tanpa merasa hatinya menjadi
gundah dan gelisah. "Betulkah aku harus bermusuhan langsung dengan piauko?" Hal ini
selamanya belum pernah dan berani ia pikirkan. "Ai, semoga kecurigaanku ini tidak menjadi
kenyataan." Terpaksa Lim Bu-siang menyimpulkan ke arah yang baik.
Sebelum dia tiba di tanah lapang berumput, dia sudah bertemu di dalam hutan kembang Bwe
dengan Beng Goan-cau, sesuai apa yang pernah ia janjikan semalam. Dalam pertemuan rahasia
inilah Lim Bu-siang menceritakan apa yang dia ketemukan di dalam gua secara aneh itu serta
mengutarakan isi hatinya kepada Beng Goan-cau.
Beng Goan-cau sendiri juga tidak berani menuduh bahwa Boh Cong-tiu adalah orang jahat,
namun rasa curiganya jauh lebih tebal dan banyak dibanding Lim Bu-siang. Demi menjaga segala
kemungkinan dan bencana, dia mengajukan suatu saran kepada Lim Bu-siang.
Sarannya itu ialah: Jangan membiarkan Boh Cong-tiu menjabat ciangbunjin Hu-siang-pay
mereka. "Kalau bukan dia yang menjabat ciangbunjin, lalu siapa?"
"Kau!" "Aku?" mimpi juga Lim Bu-siang tidak pernah memikirkan Beng Goan-cau bakal menyuruh
dirinya menjabat sebagai ciangbun, itu berarti secara langsung ia harus berdiri di tempat yang
berlawanan dengan piaukonya, sudah tentu hal ini merupakan peristiwa yang tidak berani
dipikirkan olehnya, apalagi untuk merebut tempat kedudukan ciangbun"
"Benar, kau. Pikir punya pikir, aku jadi berpikir untuk mencari calon lain untuk menjabat
ciangbunjin, jangan sekali-kali membiarkan Boh Cong-tiu menjadi ciangbun kalian, dan calon ini
hanya kaulah yang cocok dan setimpal. Ayahmu merupakan cianpwe tertinggi dari Hu-siang-pay
kalian, kedudukan tinggi, namanya tenar dan diagungkan oleh seluruh anggauta partai kalian.
Kalau kau yang tampil untuk merebutkan kedudukan ciangbun ini dengan dia, anak murid
perguruan kalian meski banyak yang menjunjung dan mengagulkan Boh Cong-tiu, , mau tidak
mau mereka harus memberi muka pula kepada ayahmu, betapapun mereka tidak akan berani
melawan secara terang-terangan. Kalau jabatan harus ditentukan mengandal kepandaian silat,
kebetulan kau sudah mempelajari intisari ilmu pedang perguruanmu dari peninggalan cosu kalian,
mustahil kau tidak mampu menundukkan dia."
"Akan tetapi..."
"Tapi apa?" "Bukan mustahil dia punya " tujuan lain yang tidak kita ketahui sehingga dia mengikat
hubungan rahasia dengan Ciok Tio-ki. Bahwasanya martabatnya masih tidak sejelek seperti yang
dikatakan oleh paman Utti."
"Ai, toh sudah kujelaskan, yang terang kita harus berjaga akan segala kemungkinan. Daripada
meninggalkan bencana di kelak kemudian hari, lebih baik sekarang kita tidak bekerja kepalang
tanggung." "Aku, apapun aku tidak tahu, mana bisa menjadi ciangbun?"
"Kami semua akan membantu kau menyelesaikan segala kesulitan."
"Baru kemarin aku dapat menyelami intisari pelajaran silat peninggalan cosu di atas dinding itu,
masih jauh dikatakan 'sempurna', belum tentu dalam bidang ilmu pedang aku bisa mengalahkan
dia." "Aku percaya kau pasti dapat mengalahkan dia. Meski tidak mungkin, apa halangannya kau
coba-coba, toh tidak merugikan!"
"Ai, aku..." "Soal ini amat penting, kau harus bisa berpikir secara obyektif dan demi kepentingan orang
banyak, jangan kau sekali-kali dilibat oleh perasaan pribadimu. Bu-siang, sudahlah jangan kau
ragu-ragu." Dalam percakapan di hutan Bwe itu Beng Goan-cau sudah memberi bekal keberanian serta
membentangkan untung ruginya kepada Lim Bu-siang. Tapi Lim Bu-siang masih sangsi dan belum
berani ambil keputusan. Tatkala itu ia duduk berendeng bersama Beng Goan-cau di atas rumput di tengah-tengah
sekian banyak orang yang berkerumun, keadaan menyebabkan Beng Goan-cau tidak leluasa bicara
dengan dia. "Hai, lihat, matahari terbit!" entah siapa di antara sekian banyak orang telah bersorak
kegirangan. Pandangan seluruh hadirin serempak tertuju ke ufuk timur.
Pembukaan upacara besar berdirinya partai sudah ditentukan oleh Boh Cong-tiu pada saat
matahari terbit, maka segera upacara akan dimulai. Mendadak Beng Goan-cau menggenggam erat
tangan- Lim Bu-siang, serta berbisik di pinggir kupingnya: "Bu-siang gairahkan semangat dan
bangkitkan keberani-anmu!"
Melihat matahari terbit di puncak Thay-san sungguh merupakan suatu panorama aneh yang
menakjubkan, lambat laun di ufuk timur terpancar cahaya merah keemasan semakin menyala
terang, dari celah-celah mega pelan-pelan muncul keluar bola bundar sedikit demi sedikit, semakin
lama naik ke atas meninggalkan garis pertemuan langit dan bumi.
Seluruh alam semesta ditaburi cahaya merah keemasan yang bertebaran seperti menari legatlegot
di tengah angkasa, sebentar ke timur, mendadak ke arah barat mengikuti bergeraknya
awan, semakin lama gumpalan mega berkumpul semakin tebal, seolah-olah membentuk sebuah
istana megah di tengah angkasa yang keemasan. Dunia menjadi terang benderang dan puncak
Thay-san pun seperti terbangun dari kepulasan semalam suntuk, hawa segar dan menyamankan
badan. Betapa indah dan semaraknya pemandangan matahari terbit ini sulitlah dilukiskan dengan katakata.
Pendek kata begitu bola api sebesar gantang mencelat keluar dari peraduannya, murid Husiang-
pay yang mengatur upacara sembahyangan segera berseru seperti senandirhg:
"Hu-siang terbit laksana matahari, menyinari seluruh dataran besar, di puncak tinggi Thay-san.
kita menegakkan aliran mendirikan partai!"
Dimulailah pembukaan upacara besar berdirinya partai Hu-siang-pay di Tionggoan.
Para hadirin terdengar sama berbisik: "Sepak terjang Boh Cong-tiu sungguh amat takabur dan
keterlaluan dengan pameo tengik segala!", tapi ada pula orang yang berkata: "Meski nadanya
takabur, namun Hu-siang baru pulang dari luar lautan, betapapun merupakan suatu hal yang
harus dicanangkan bagi perkembangan kaum persilatan khususnya."
Di tengah tembang sanjung murid pemimpin upacara, pelan-pelan Boh Cong-tiu melangkah
naik ke atas panggung batu yang didirikan di tengah-tengah lapangan rumput. Pertama-tama ia
menju-ra ke empat penjuru, lalu mulailah ia membuka kata-kata sambutan.
Kata sambutannya kedengaran amat sungkan dan prihatin, pertama-tama ia mengucapkan
banyak terima kasih kepada para cianpwe dari berbagai partai, para ciangbun dan orang-orang
gagah yang hadir dari berbagai penjuru dunia, akan kesudiannya meluangkan waktu menghadiri
pembukaan berdirinya partai Hu-siang-pay mereka.
Selanjutnya ia ceritakan sejarah berdirinya Hu-siang-pay di bawah pimpinan cikal bakal mereka
yaitu Jan-bau-khek sejak dinasti Tong pada seribu tahun yang lalu, tak lupa, ia jelaskan juga
perkembangan selama ini di luar lautan, dan bersyukurlah bahwa hari ini akhirnya bisa kembali ke
tanah leluhur dan berdiri dengan disaksikan seluruh kaum persilatan seluruh dunia.
Sejarah Hu-siang-pay sudah banyak orang mengetahui, maka ceritanya yang panjang lebar
membuat banyak hadirin menggerutu dan . tidak sabar. Sudah tentu bagi yang belum
mengetahui, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Bahwa banyak hadirin yang sudah tidak sabar dan merasa sebal, sudah tentu keadaan tidak
bisa tahan tenang dan hening hikmat lagi. Yang hadir dalam pertemuan besar ini terdiri dari kaum
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
persilatan yang tersebar dari mana-mana, biasanya amat sulit bisa ketemu satu sama lain. Kini
secara serempak mendadak bisa bertemu dan jumpa, maka banyak di antaranya yang berjubelan
di antara mereka untuk mencari sahabat atau kenalan lama untuk ajak bicara.
Beng Goan-cau menggenggam tangan Lim Bu-siang semakin kencang, bisiknya lagi: "Bu-siang,
tekadmu sudah teguh belum?"
Lim Bu-siang mandah tertawa getir. Pertanyaan ini sudah kedua kalinya diajukan oleh Beng
Goan-cau, namun tekadnya belum lagi bulat.
Di saat hatinya gundah gulana itulah, ada seseorang mendesak maju ke dekatnya dan
menepuknya pelan-pelan katanya tertawa: "Bu-siang, betapa sulit aku mencari kau!"
Sungguh terkejut dan girang pula Lim Bu-siang, "Bibi, kiranya kau. Mana paman Utti?" Ternyata
orang yang mendesak maju di sampingnya ini adalah seorang nyonya pertengahan umur, dia
bukan lain adalah Ki Seng-in, istri Utti Keng.
Jawab Ki Seng-in: "Pamanmu tidak datang, aku datang dengan seorang teman lain. Apakah dia
Beng Goan-cau, Beng Tayhiap" Em, persoalan kalian, suamiku sudah membicarakan dengan aku.
Katanya dia menguatirkan Beng Tayhiap tidak keburu menyusul kemari untuk bertemu dengan kau
nona Lim!" Setelah Beng Goan-cau menjura memberi hormat kepada Ki Seng-in, ia berkata: "Terima kasih
atas pemberian kuda jempol oleh suamimu, baru kemarin aku tiba."
"Soal kecil saja kenapa dibuat sungkan. Kau tidak tahu, mencuri atau membegal kuda orang
lain adalah keahlian kami suami istri. Kalau dibicarakan sungguh amat kebetulan, di tengah jalan
aku berkenalan dengan seorang kawan, kuda tunggangannya adalah pemberianku hasil
rampasanku dari seorang alap-alap kerajaan."
"O, ya, di mana kawan bibi itu, kenapa tidak diundang kemari saja?"
"Dia berada di sana. Soalnya dia tidak punya undangan jadi ikut aku kemari, maka tidak ingin
banyak bergerak supaya tidak menimbulkan perhatian orang lain. Kami baru saja berkenalan,
banyak kata-kata yang perlu dibicarakan tidak leluasa diperbincangkan di hadapannya, maka
kebetulan kalau dia tidak mau kemari, aku pun tidak enak memaksanya."
Lim Bu-siang dan Beng Goan-cau berbareng berpaling ke arah yang ditunjuk Ki Seng-in,
tampak seorang nyonya muda yang berpakaian hitam seorang diri duduk di pojokan sana,
kepalanya tertunduk entah sedang merenungkan apa. Mungkin karena dia mengenakan pakaian
berkabung, maka tiada seorang pun yang ajak bicara padanya.
Tergerak hati Beng Goan-cau, pikirnya: "Eh, perempuan ini seperti pernah kulihat entah di
mana?" Karena Hun Ci-lo mengenakan kedok muka palsu, sehingga mengelabuhi mata orang akan
muka aslinya, di tengah kelompok sekian banyak orang, Beng Goan-cau menemukan dirinya,
namun ia belum dapat mengenalnya secara pasti.
"Bibi, siapakah nama temanmu itu" Kulihat dia duduk seorang diri pasti kesepian, sungguh
amat kasihan," demikian ujar Lim Bu-siang.
"Dia she Beng bernama Hoa-nio. Katanya dia kemari hendak mencari seorang teman, mungkin
belum ketemu, Bu-siang, sudahlah jangan mencampuri urusan tetek bengek, aku ada sebuah
urusan maha penting yang perlu kurunding-kan dengan kau. Mari dekatkan kupingmu!"
"Bibi ada urusan apa kelihatannya begitu tegang?" Melihat sikap orang yang serius diam-diam
bercekat hatinya, lapat-lapat ia sudah dapat menduga sebagian. Maka segera ia menggeser
tempat duduknya lebih dekat ke arah Ki Seng-in dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ki Seng-in mengerahkan lwekangnya, dia himpun suaranya menjadi satu garis dan suaranya
menjadi amat lirih dan kuat. Setiap patah katanya masuk ke telinga Lim Bu-siang. Ilmu tingkat
Neraka Hitam 1 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Kampung Setan 8