Kelana Buana 9
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 9
Dengan demikian persoalanku ini tidak akan menyangkut paut kalian."
Siau-hujin merengut, katanya kurang senang: "Meski aku kaum hawa, namun pundakku masih
kuasa memikul tugas dan tanggung jawab seringan itu."
"Bukan begitu persoalannya, mana aku berani pandang rendah toaso, aku cuma tidak suka
merembet kalian saja. Dan lagi kalau ada cara penyelesaian yang baik dan menguntungkan dua
pihak, kenapa pula kalian harus ikut terjun dalam persoalan ini" Siau-toaso, kalau kau tidak setuju,
terpaksa sekarang juga aku minta diri saja."
Siau-hujin menjadi geli, ujarnya: "Kalau begitu, kuharap orang she Lian itu tidak cepat-cepat
datang kemari malah, lebih baik dalam tempo satu setengah tahun baru akan datang, dengan
demikian kau bisa lebih lama menetap di rumahku."
"Yang kukuatirkan justru aku menunggu secara sia-sia, karena mungkin aku hanya bisa
menetap paling lama satu bulan di sini. Kalau aku sudah pergi baru mereka meluruk datang, itu
berarti membikin kesulitan bagi kalian. Maka, demi keselamatan kalian sudah kupikirkan pula
suatu akal yang baik sekali."
"Aku tahu ilmu silatmu cukup tangguh, tak nyana kau pun seorang cerdik pandai yang pintar
memutar otak." "Kuharap toaso sendiri tidak merasa direndahkan, karena akal yang kusimpulkan ini mungkin
bisa membuat kalian risi." Lalu dikeluarkannya beberapa lembar kedok muka yang tipis lembut,
katanya lebih lanjut: "Inilah kulit muka palsu yang kudapat dari Biau-kiang pada sepuluh tahun
yang lalu, buatannya amat bagus, lemas lembut dan halus bisa memuai lebih besar dan
mengkeret lebih kecil, bisa dibuka dan dipakai di muka kita, tanggung tidak akan dikenal oleh
orang lain. Waktu itu aku hanya merasa senang karena cukup menarik buat mainan, maka
kukumpulkan sepuluh buah dengan corak yang berlainan pula, ada beberapa lembar sudah
kuberikan kepada para teman, sekarang kebetulan sisa empat lembar untuk kalian berempat.
Jikalau aku tidak sempat menunggu lebih lama lagi, tiada kesempatan untuk menyelesaikan
pertikaianku dengan mereka, ada lebih baik kalian lekas-lekas meninggalkan tempat ini saja."
"Tak nyana sedemikian cermat dan seksama kau pikirkan keadaan kami," demikian ujar Siauhujin.
Maklumlah Siau-hujin, Hun Ci-lo berempat semua sudah pernah dilihat dan bertemu muka
secara langsung dengan Lian Kam-peh, terutama Siau-hujin sendiri yang cukup dikenal oleh
beberapa kalangan persilatan di kangouw, kalau toh hendak menyingkir ke tempat lain yang jauh,
ada lebih baik jangan sampai diketahui muka aslinya oleh orang.
"Jikalau kalian mengenakan kedok palsu ini, kutanggung sahabat karibmu pun tidak akan kenal
lagi pada kau," demikian ujar Miao Tiang-hong. "Cuma ada suatu hal yang kumohon maaf pada
kalian, majikan dari beberapa lembar kedok palsu ini sama adalah perempuan-perempuan buruk
yang menjijikkan." "Aku toh nenek tua yang sudah berkeriput dan berambut ubanan, masa perlu mempersoalkan
baik buruk muka orang" Cuma keponakanku yang berparas sedemikian cantik laksana bidadari ini,
kini harus berganti muka seburuk kuntilanak, sungguh harus merendahkan derajatnya saja."
Hun Ci-lo menimbrung bicara-. "Kalau mengenakan kedok palsu ini, aku kuatir aku bisa mual
dan muntah-muntah." "Kalau bisa menghindari penggunaannya sudah tentu lebih baik," demikian ujar Miao Tianghong.
"Tapi tiada jeleknya kita bersiap lebih dulu."
Terpaksa Hun Ci-lo menerima pemberian orang, ia nyatakan terima kasih akan hadiah yang
diterimanya itu. "Kenapa putrimu dan nona Cau tidak kelihatan"'" tanya Miao Tiang-hong.
"Mungkin sedang main-main di luar, biar sebentar kupanggil mereka pulang."
"Biar aku saja yang panggil mereka. Mereka sudah kenal akan Liong-ling-kangku." Lalu ia
bersuit panjang, suaranya menjulang tinggi ke angkasa seperti naga berpekik. Siau-hujin merasa
kupingnya mendengung dan tergetar. Sebaliknya Hun Ci-lo yang sudah pernah dengar Liong-lingkangnya
ini di danau tempo hari tidak merasa heran. Adalah Siau-hujin, merasa sangat kagum,
pikirnya: "Tak heran Siok-toh sering memuji akan bakatnya yang tinggi, seorang jenius dalam
bidang ilmu silat. Usianya belum mencapai empat puluh tahun, tapi mengandal hasil latihan
Lwekangnya ini, kiranya sudah berada di atasku."
Tak lama kemudian tampak Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi berlari-lari pulang. Dari kejauhan
segera Siau Gwat-sian berseru: "Aku sedang latihan pedang di belakang gunung sama Hwi-ci,
tidak tahu bila paman Miao sudah datang pula. Bu. kenapa kau tidak lekas-lekas panggil kami
pulang?" Sementara Cau Ci-hwi tidak melihat kehadiran Tan Kong-si diam-diam hatinya amat
kecewa. "Kali ini aku datang sendirian, aku kuatir kalian tidak akan mau menyambut kedatanganku," lalu
ia jelaskan, bahwa Tan Thian-ih bersama Tan Kong-si hendak pergi ke Thay-san, kepada mereka.
Kena ditebak isi hatinya, merah muka Ci-hwi, katanya: "Paman Miao suka menggoda saja, kami
sedang latihan ilmu pedang, memangnya sedang mengharap-harap petunjuk seorang ahli pedang
kau ini." "Ahli pedang memangnya sudah berada di rumah kalian, kenapa harus minta bantuan dari luar
segala?" goda Miao Tiang-hong.
"Miao-siansing terlalu sungkan, aku sendiri pun ingin mohon petunjuk beberapa jurus pedang
kepada kau," demikian pinta Hun Ci-lo.
Memang Siau-hujin sedang mengharap keakraban hubungan mereka, lekas ia ikut bicara:
"Tepat sekali. Sedikit sekali orang luar yang mengenal Sip-hun-kiamhoat warisan keluarga Ci-lo.
Sekali pandang kau lantas mampu menyebut namanya, memangnya aku sedang merasa heran.
Tidak heran banyak orang sama mengatakan bahwa pengetahuanmu mengenai ilmu silat amat
luas dan dalam, ternyata memang tidak bernama kosong. Kau tidak usah sungkan-sungkan,
pandanglah mukaku dan berilah beberapa petunjuk padanya."
"Toaso kau menempel emas di mukaku lagi. Intisari dan rahasia ajaran dari Sip-hun-kiamhoat
aku hanya tahu kulitnya saja, sebaliknya nona Hun mendapat warisan langsung, kalau mau bicara
soal minta petunjuk seharusnya istilah ini dibalik saja."
Siau Gwat-sian terkikik geli, ujarnya: "Paman Miao biasanya kau cukup toleran dan terbuka,
belum pernah kulihat kau bersikap plintat-plintut main diplomasi segala. Sudahlah tidak perlu
sungkan-sungkan, tidak perlu menggunakan istilah 'petunjuk', marilah kami sama menjajal
kepandaian masing-masing saja, kalian boleh jajal ilmu pedang masing-masing supaya kami
berdua tambah pengalaman."
Hari kedua benar juga Miao Tiang-hong bersama Hun Ci-lo bertiga pergi latihan pedang ke
hutan bunga Bwe. Kata Cau Ci-hwi: "Paman Miao, kau tidak membawa pedang, cara bagaimana
latihannya" Sementara silakan pakai saja pedangku?"
"Tidak usahlah!" sahut Miao Tiang-hong. lalu dipotesnya sebatang dahan pohon, katanya:
"Nona Hun, silakan kau kembangkan Sip-hun-kiamhoat, serang saja sekuat tenagamu, jangan
kuatir!" Hun Ci-lo tahu ilmu silat orang memang tangguh, maka dia tidak usah kuatir pedangnya bakal
melukai orang, cuma dalam hati berpikir: "Pedangku ini bukan pedang pusaka yang dapat
mengiris besi seperti lempung, namun dahan pohon itu sedikit terpapas pasti kutung, masa
mungkin dia mampu bermain sedemikian rupa sehingga senjata kayunya itu tidak sampai
terbentur dengan pedangku?" demikian ia bertanya-tanya dalam hati.
"Silakan!" ujar Miao Tiang-hong, dahan pohon di tangannya memantul kian kemari lalu pelanpelan
bergerak dengan gaya permulaan yang paling umum yaitu jurus yang mempersilakan lawan.
Kuatir sekali gebrak pedangnya berhasil mengutungi dahan pohon, jikalau hal ini sampai terjadi
tentu menjatuhkan pamor orang, maka ia bergerak dengan strategi menghindar yang berisi
menyergap yang kosong, ujung pedangnya tergetar miring menghindari pantulan dahan pohon
lawan, "sret" tahu-tahu ujung pedangnya menukik turun menusuk jalan darah Hoan-tiau-hiat di
lutut orang. Siapa nyana dahan pohon di tangan Miao Tiang-hong ternyata bisa bergerak selincah ular sakti
yang hidup, melejit dan maju mundur seperti lidah ular jang molor mengandung perubahan yang
sulit diraba, keruan tusukan pedang Hun Ci-lo mengenai tempat kosong, sementara dahan pohon
lawan mendadak sudah menusuk tiba dari arah yang tidak terduga sebelumnya. Bagi orang yang
belajar ilmu silat adalah jamak setiap kali menghadapi serangan musuh pasti bergerak cepat
secara reflek untuk melawan atau menangkis serangan musuh itu, dalam keadaan yang cukup
gawat, tanpa banyak pikir Hun Ci-lo segera menarik pedang serta memutarnya satu lingkaran,
merubah tipu balas menyerang.
"Bagus!" Miao Tiang-hong berseru memuji. Gesit sekali dalam waktu yang amat pendek ia
sudah menggeser kedudukan, dahan pohonnya sedikit pun tidak kena tersentuh oleh lawan, tahutahu
me-nyelonong tiba pula dari arah yang tidak terduga.
Hun Ci-lo tahu tipu serangan yang digunakan ini adalah jurus pedang Bu-tong-pay yang
dinamakan Sing-han-hu-cai, di sebelah atas menusuk tenggorokan serta memapas miring mengiris
kedua biji mata, jurus yang amat keji, tanpa ayal sigap sekali ia gunakan tipu serangan dari Siphun-
kiamhoat untuk memunahkan serangan lawan. Tak duga dahan pohon di tangan Miao Tianghong
mendadak mengganti gaya di tengah jalan, kelihatannya seperti Sing-han-hu-cai, namun
kenyataan bukan sama sekali, maka terdengarlah suara "Cras", lengan baju Hun Ci-lo kena
tersampuk oleh dahan pohonnya. Kontan merah Hun Ci-lo. lekas ia melompat mundur tiga
langkah, katanya: "Ilmu pedang Miao-siansing betul-betul hebat dan menakjubkan. Aku sudah
kalah sejurus." Miao Tiang-hong tertawa, katanya: "Soalnya kau sendiri masih ragu-ragu dan kuatir segala, jadi
belum kalah betul-betul. Mari diulangi sekali lagi!"
Adu pedang babak kedua ini sudah tentu Hun Ci-lo tidak berani pandang ringan senjata dahan
pohon lawan, karena rasa ragu dan kuatirnya sudah tiada, dia dapat mengembangkan Sip-hunkiamhoat
sampai puncak kesempurnaan latihannya."
Makin bertempur lama kelamaan Miao Tiang-hong merasa kagum dan memuji dalam hati:
"Agaknya Sip-hun-kiamhoat yang dimainkan ini lebih banyak perubahan variasi yang lebih
mendalam setelah berhasil diwarisi olehnya. Lika-liku intisarinya yang terpenting dulu masih
banyak yang belum bisa kuselami. Em, perempuan cerdik yang dapat mengolah dan memupuk ke
puncak kesempurnaan sua-tu ajaran murni seperti dia ini sungguh sukar didapat dan tiada
keduanya." Demikianlah pandangan Miao Tiang-hong terhadap Hun Ci-lo. Adalah lain pula pandangan Hun
Ci-lo terhadap Miao Tiang-hong, sungguh ia merasa tunduk lahir batin, terasa olehnya permainan
ilmu pedang orang terlalu sulit untuk diselami. Tampak setiap jurus ilmu pedang yang dimainkan
terdiri dari beberapa partai silai yang kenamaan, mendadak melancarkan ilmu pedang dari Siaulim-
pay, tiba-tiba pula milik Bu-tong-pay, lalu dirubah lagi dengan permainan pedang dari Ngo-bipay,
terus diganti pula dari Khong-tong-pay, ilmu pedang dari beberapa partai dan golongan itu
meski amal rumit dan campur aduk, aneh dan sukar sekali dipelajari, namun seluruhnya dapat
dimainkan secara beruntun sambung menyambung tidak kenal putus, setiap jurus setiap tipunya
seperti ajaran langsung dan murni dari perguruan masing-masing, namun di balik kesempurnaan
permainannya itu, kelihatannya jauh lebih menakjubkan dari aslinya.
Sekejap saja tiga lima puluh jurus sudah berlalu, dahan pohon di tangan Miao Tiang-hong
diputar kencang mengeluarkan deru angin kencang, lincah laksana naga hidup, meski dahan
pohon amat lemas dan dapat memantul, namun kekuatannya ternyata tidak lebih asor dari batang
pedang yang terbuat dari besi atau baja. Karena setiap serangannya membuat lawan harus
membela atau menjaga diri lebih dulu sebelum berusaha melukai lawan. Hun Ci-lo terdesak untuk
membela diri dan bertahan saja, kira-kira sesudah tiga lima puluhan jurus, pedangnya belum
berhasil memapas dahan pohon lawan.
Sekonyong-konyong Miao Tiang-hong menyodorkan dahan pohonnya menusuk datang, itulah
jurus dari Sip-hun-kiamhoat pula yang digunakan, setiap gerakan ilmu pedang perguruan sendiri
sudah amat hafal di luar kepala Hun Ci-lo, tanpa ayal dengan seenaknya secara reflek ia sudah
bergerak dengan serangan balasan yang khusus .untuk mematahkan jurus serangan lawan. Tak
nyana serangan yang dilancarkan Miao Tiang-hong ini sudah ditambah variasi perubahan yang
diciptakan sendiri olehnya, tahu-tahu sudah menusuk tiba pula dari tempat yang tak pernah
terpikirkan oleh Hun Ci-lo. Keruan kejut Hun Ci-lo bukan kepalang, dalam gugupnya lekas ia
gunakan Hong-biao-loh-hoa, gerakan tubuh yang amat cepat dan gesit, beruntung ia masih
sempat berkelit. Terdengar Miao Tiang-hong berkata: "Jurus seranganku ini aku menggunakan aturan yang
berlawanan. Kalau menurut ajaran pedang perguruan kalian, gerak pedang harus lambat dulu
baru cepat, namun kugubah menggunakan kecepatan lebih dulu baru lambat, entah akan adakah
manfaatnya kulancarkan?"
"Miao-siangsing dapat berkarya mengikuti ajaran murni dari ilmu yang asli, sungguh harus
dipuji. Tapi kalau Iwekang sendiri kurang memadai untuk melandasi gerakan yang kuat dan berisi
itu, kukira tiada manfaatnya sama sekali." Sudah tentu kata-katanya memuji kepada Miao Tianghong,
maksudnya: bilamana tokoh silat kelas rendahan yang memainkan, tiada punya landasan
Iwekang sekuat Miao Tiang-hong sekarang, adalah tidak mungkin mampu melancarkan jurus
pedang sesuai dengan hasil karya yang dikemukakan Miao Tiang-hong tadi. Sepihak ia memuji
orang, di lain pihak ia pun ajukan pendapatnya. Setelah ia selesai dengan omongannya, baru Hun
Ci-lo menyadari kelepasan omong dan merasa tidak enak hati dan rikuh, pikirnya: "Aku baru saja
berkenalan dengan dia, pengetahuan ilmu silatnya pun jauh lebih luas dan dalam dari aku, entah
tepat tidak penilaianku tadi."
Ternyata Miao Tiang-hong menjadi senang kelihatannya, ujarnya: "Ucapan nona Hun memang
tidak salah." Beberapa jurus lagi, lagi-lagi Miao Tiang-hong melancarkan tipu serangan dari
gubahan Sip-hun-kiamhoat. Kali ini Hun Ci-lo sudah siap sebelumnya, sigap sekali melancarkan
salah satu jurus dari tiga jurus pedang cepat ciptaan ayahnya, dalam hati ia membatin: "Kali ini
betapapun gerak perubahanmu, pedangku pasti bisa memapas kutung dahan pohonmu." Belum
lenyap jalan pikirannya, benar juga dahan pohon Miao Tiang-hong kena tersentuh oleh Cengkong-
kiamnya. Akan tetapi dahan pohon di tangan orang seolah-olah menjadi selembar daun kayu
yang menempel di punggung pedangnya, kontan Hun Ci-lo merasakan suatu tenaga lunak yang
punya daya lengket amat kuat, serta merta Ceng-kong-kiamnya ikut terseret ke samping, jadi
dahan pohon tidak berhasil dipapasnya kutung.
Mendadak Miao Tiang-hong melompat keluar kalangan terus membuang dahan pohon di
tangannya, katanya tertawa: "Kali ini aku betul-betul kalah. Sip-hun-kiamhoat nona Hun memang
amat menakjubkan, tak mampu aku mengatasinya."
Nona Cau dan Siau sampai menjublek dan terlongong, begitu terpesona mereka menyaksikan
pertandingan pedang yang tiada taranya ini, setelah Miao Tiang-hong membuang dahan pohonnya
baru mereka tersentak sadar.
"Paman Miao," seru Siau Gwat-sian keheranan, "jelas jurus tadi kaulah yang menang, kenapa
kau bilang dia yang menang malah?"
"Aku hanya lebih unggul dalam bidang lwekang dari piaucimu, bicara ilmu pedang sebetulnya
aku sudah kena ditundukkan, tidak bisa tidak aku harus mengaku asor."
"Miao-siansing, kukira ucapanmu ini kurang tepat," demikian ujar Hun Ci-lo. "Memang Sip-hunkiamhoat
masing-masing punya gerak perubahan variasinya sendiri-sendiri, sedapat mungkin aku
berhasil main coba dengan kau. Jelas sekali kau paham dan fasih sekali mainkan ilmu pedang dari
berbagai partai dan aliran, dalam hal ini aku betul-betul harus mengaku asor pula."
"Yang jelas permainan ilmu pedang kalian sudah membuka lebar kedua mataku, tidak sedikit
manfaat yang kuperoleh, kalian tidak perlu main sungkan segala. Darimana kau bisa memainkan
ilmu pedang dari berbagai perguruan yang luas dan banyak ragamnya itu secara keseluruhannya.
Dalam kolong langit ini mungkin sulit dicari keduanya."
Miao Tiang-hong bergelak tertawa, ujarnya: "Untung tiada orang lain hadir di sini, kalau
ucapanmu ini didengar orang lain, gigi orang bisa ompong karena geli."
"Aku tidak percaya ada tokoh mana yang lebih unggul dari kau dalam bidang ilmu pedang,"
demikian ujar Cau Ci-hwi.
"Entah berapa banyak tokoh-tokoh kosen yang mahir ilmu pedang jauh di atas kemampuanku
sendiri. Umpamannya Kini Tiok-liu, Le Lam-sing atau Boh Cong-tiu dan lain-lain. Mereka sama
adalah jagoan ahli pedang yang tersohor, jauh lebih unggul dari kepandaianku."
"Kau pernah gebrak dengan mereka?" tanya Siau Gwat-sian.
"Ketenaran nama tentu tiada kenyataan yang kosong, kenapa harus saling gebrak baru bisa
menentukan lebih ungul atau asor?"
"Siapa tahu bila nama tenar sesungguhnya tidak berisi" Apalagi seumpama benar seperti yang
kau ucapkan, tidak lebih mereka hanya seorang kenamaan dari aliran ilmu pedang ajaran
perguruan mereka masing-masing, adalah kau paham dan menyelami intisari ilmu pedang dari
berbagai partai dan golongan?"
Miao Tiang-hong tertawa: "Ucapanmu tidak benar. Pertama: terhadap ilmu pedang dari
berbagai partai itu aku hanya tahu dan menyangkok kulitnya saja, masih jauh dikatakan hafal
dengan sempurna. Kedua: puncak tertinggi dari ilmu silat adalah harus dapat meng-kombinasikan ajaran dari
ratusan cabang, lalu membuka sendiri sebuah cabang aliran yang tersendiri dengan memungut
sari-sari penting dari semua cabang-cabang itu. Untuk memperoleh dari ratusan cabang itu aku
masih belum mampu, apa lagi menciptakan aliran tersendiri dari hasil kombinasi itu, lebih tidak
mungkin lagi. Lalu mana pula bisa aku dijajarkan dengan para tokoh-tokoh pimpinan cabang?"
Dalam hati Hun Ci-lo berpikir: "Ada kalanya orang ini bersikap takabur, namun mempunyai
sikap rendah hati pula, sungguh sulit ada orang demikian." Akan tetapi, meski tahu ucapannya itu
main sungkan belaka, namun dari apa yang dikatakan soal "kombinasi dari ratusan cabang serta
menciptakan aliran tersendiri", diam-diam ia merasa sangat takjub dan tidak sedikit manfaat yang
dia peroleh secara diam-diam.
Adalah Cau Ci-hwi dan Siau Gwat-sian mempunyai jalan pikiran lain yang bersamaan pula,
kemarin mereka ada mendengar Miao Tiang-hong menyinggung pertemuan besar di Thay-san, kini
otak mereka jadi berangan-angan: "Boh Cong-tiu adalah tuan rumah dari pertemuan kali ini,
paman Miao tadi mengatakan bahwa Kim dan Le berdua orang itu adalah tamu agungnya, selain
itu entah masih berapa banyak tokoh-tokoh persilatan yang tak terhitung jumlahnya" Tan Kong-si
sudah pergi ke sana bersama ayahnya. Ai, jikalau aku pun bisa hadir dalam pertemuan besar
untuk membuka pandangan mata betapa baiknya."
Setelah Miao Tiang-hong datang, Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi sudah pindah ke rumahnya,
kamar tamu keluarga Cau mereka sediakan untuk tempat tidur Miao Tiang-hong. Sementara
mereka tidur bersama di kamar Siau Gwat-sian, sedang Hun Ci-lo tidur sekamar bersama Siauhujin.
Malam itu kuatir bibinya terlalu banyak ngobrol, dikatakan dirinya tidak mau dengar
nasehatnya, pagi-pagi Hun Ci-lo sudah berbaring dan pura-pura tidur. Kira-kira menjelang tengah
malam, mendadak sayup-sayup jauh dari arah hutan sana kumandang suara suitan panjang.
Jelas suitan datang dari arah hutan kembang Bwe, Hun Ci-lo menjadi heran, pikirnya: "Suitan
kumandang dari arah beberapa li jauhnya, namun masih terdengar jelas sekali, tentu suitan Liongling-
kang Miao Tiang-hong. Tengah malam buta rata, untuk apa dia bersuitan ke tempat yang jauh
di tengah hutan sana?"
Belum lenyap suara suitan itu, tiba-tiba didengarnya pula dua macam suara aneh yang
berkumandang saling susul, seperti lolong serigala, seperti pekik kokok beluk tidak enak didengar
kuping, ketiga suara jadi saling berkutat dan saling bentrok seperti sedang saling gasak. Seolaholah
suitan Miao Tiang-hong sedang terkepung oleh kedua macam suara buruk itu, berusaha
menjebol kurungan dan berontak dengan kekuatan maha besar, nadanya kedengaran semakin
jernih menjulang. Sekonyong-konyong suitan kumandang semakin keras seperti naga berteriak
murka, laksana pasukan terkepung yang sedang bertempur gagah mati-matian, berusaha
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membobol kepungan ketat musuh.
Sebagai seorang ahli silat, sepintas dengar saja Hun Ci-lo menjadi kaget, bergegas ia melompat
bangun, katanya: "Bibi, coba dengar! Mungkin Miao Tiang-hong menghadapi musuh tangguh!"
Sejak tadi Siau-hujin sudah bangun duduk, sahutnya: "Benar, kedua orang itu mungkin dua
orang tokoh kosen yang masing-masing melatih dua macam Iwekang yang amat liehay, tapi kau
tidak usah kuatir, kukira Miao Tiang-hong masih mampu bertahan menghadapi mereka. Ci-lo, apa
yang hendak kau lakukan?" Ternyata Hun Ci-lo sedang membuka jendela.
"Biar kutengok ke sana!"
"Apakah kau sudah lupa akan pesannya" Sultannya itu justru menganjurkan kita lekas
menyembunyikan diri. Kalau mau hanya akulah yang patut ke sana."
"Bibi, kau adalah tertua di antara kita, sepatutnya kau tetap berada di rumah melindungi
piaumoay dan nona Cau, biarlah aku saja yang menyusul ke sana."
"Aku percaya Miao Tiang-hong cukup mampu bertahan, kalau dia tidak kuat bertahan belum
terlambat kita turun tangan. Apalagi, kau, kau..." maksudnya hendak berkata "kau sedang
mengandung," namun belum sempat diucapkan Hun Ci-lo sudah melompat keluar dari jendela.
Terdengar ia menyahut dari luar: "Siapa tahu yang datang bukan hanya dua musuh saja" Meski
dia mampu menghadapi mereka, masa kita harus berpeluk tangan melihat dia berjuang matimatian
menghadapi musuh!" beberapa patah kata-katanya diucapkan sambil berlari kencang dan
melompat tinggi melewati pagar tembok, kejap lain dia sudah jauh di luar rumah.
Sebetulnya Siau-hujin hendak merintanginya, namun lantas terpikir: "Marabahaya bisa
mengikat cinta asmara, bukankah aku sedang berusaha merangkap perjodohan mereka" Biarkan
saja hubungan ini tumbuh secara wajar!" Namun di samping itu, diam-diam ia pun merasa
menyesal, batinnya: "Usiaku sudah agak lanjut, jiwa kependekaranku sudah lumpuh tiada
sebanding dengan mereka yang masih muda!"
Begitu Hun Ci-lo beranjak memasuki hutan kembang Bwe dirasakan hawa menjadi panas, angin
menderu keras, belum lagi tampak bayangan orangnya, tampak kembang Bwe beterbangan
bergulung-gulung di tengah udara.
Hun Ci-lo terus beranjak maju ke arah datangnya suara, setelah rada dekat, sekonyongkonyong
dirasakannya segulung gelombang angin panas menerjang ke arah dirinya, seperti angin
panas yang terhembus keluar dari tungku besar, kulit terasa terbakar. Baru saja ia bercekat, tibatiba
dirasakan pula segulung hawa dingin menerpa datang, seolah-olah dari depan tungku yang
sedang panas membara, tiba-tiba memasuki gua di gunung es yang dingin, meski Iwekang Hun
Ci-lo cukup ampuh, tak urung dia bergidik dibuatnya.
Waktu ia angkat kepala pandang ke depan, tampak tiga warna bayangan terdiri dari merah
hitam dan kuning saling berkutat seperti bergumul menjadi satu, tiba-tiba berloncatan pencar
menjauh lalu menubruk maju pula dengan ketat, pertempuran berjalan seru dan sengit.
Ternyata kedua orang yang mengeroyok Miao Tiang-hong, seorang adalah busu yang
mengenakan mantel kulit warna hitam, sementara seorang yang lain adalah seorang hwesio
gundul yang rrtengenakan kasa merah. Bahwa kasa si hwesio berwarna merah menyala, demikian
juga kedua telapak tangannya berwarna merah darah amat menakutkan, setiap kali tangan
bergerak menyerang, angin pukulannya terasa panas membara.
Adalah lain cara berkelahi si busu bermantel hitam, jauh tidak segarang dan sesengit si hwesio,
pukulannya dilancarkan secara ringan dan enteng, seolah-olah tidak bertenaga dan tidak
membawa kesiur angin, namun gelombang hawa dingin yang bisa membekukan darah selalu
menerpa datang mengikuti setiap gerak telapak tangannya, datang secara tiba-tiba tanpa
membawa suara sedikit pun.
Walaupun Hun Ci-lo belum latihan mencapai ilmu tingkat tinggi, namun sekali pandang ia cukup
mengerti, lika-liku keadaan gelanggang pertempuran, diam-diam ia membatin: "Ucapan bibi
memang tidak salah, kedua orang ini ternyata memang sama meyakinkan dua macam ilmu sesat
yang tunggal, busu bermantel hitam itu agaknya jauh lebih matang dan sempurna latihan ilmunya.
Kepandaianku sendiri jauh dibanding mereka, meski bersenjata pedang pusaka juga belum tentu
bisa bergerak mendekati tubuh mereka."
Di bawah keroyokan kedua musuhnya, sepasang telapak tangan Miao Tiang-hong menari-nari
dengan lincahnya, tenaga pukulannya selalu berubah-ubah, kadang-kadang keras tiba-tiba lunak,
ada kalanya menerjang bagai damparan ombak, namun bisa berubah pula seperti angin
menghembus sepoi-sepoi menyamankan tubuh. Perubahan antara keras dan lunak sulit ditentukan
dan diraba sebelumnya. Bagi orang lain yang menonton di luar gelanggang, agaknya dia terdesak
di bawah angin, bahwasanya kedua pihak sama-sama bertahan sama kuatnya, masing-masing
punya kekuatiran menghadapi ilmu lawan.
Beruntun busu mantel hitam melancarkan tujuh pukulan berantai, kekuatan lwekangnya seperti
gugur gunung dahsyatnya menerjang keluar dari telapak tangannya, merangsak secara langsung,
maka terdengarlah suara "krak, krak" berulang-ulang ganti berganti, dahan-dahan pohon di sekitar
gelanggang sejauh tiga tombak semua kena terpukul hancur berantakan oleh kekuatan pukulan
tangan yang dahsyat. Tapi setiap pukulan tangannya ditepukkan dengan cara yang enteng dan
seperti melayang, sedikit pun tidak membawa deru angin! Lambat laun di atas kepala Miao Tianghong
menguap putih yang bergulung-gulung seperti asap di atas tungku yang airnya mendidih,
semakin lama semakin bergolak dan tebal asap putih itu, agaknya ia sedang mengerahkan
Iwekang tingkat tinggi untuk menahan hawa dingin yang membekukan dari pukulan musuh,
pertahanannya kelihatan sudah amat payah. Akan tetapi si busu mantel hitam merasa pula bahwa
pertahanan Iwekang lawan ternyata begitu kokoh kuat dan liat tak terputuskan, seolah-olah ia
menghadapi pagar baja yang kokoh teguh, bagaimana kuat dan garang ia menerjang dan
menyerang, pertahanan lawan yang ketat tidak bisa ditembusnya.
Tiba-tiba Miao Tiang-hong merangkap kedua telapak tangan terus diputar satu lingkaran,
jengeknya dingin: "'Sebun Soh, meski kau sudah berhasil melatih Hian-im-ciang. ditambah Hweliong-
kang si gundul ini, apa pula yang kalian kuasa berbuat atas diriku" Apakah kalian ingin
diteruskan cara tempur yang begini saja, tapi kalau di sini aku jadi bosan melayani kalian."
Bentak Sebun Soh: "Katamu kau tidak takut, kenapa hendak lari?" Satu di belakang yang lain di
depan, bersama si hwesio ia cegat jalan lari Miao Tiang-hong.
Miao Tiang-hong tertawa dingin, ujarnya: "Aku cuma tidak suka bikin rusak hutan kembang
Bwe dan merusak pemandangan indah di sini, memangnya kau sangka aku takut pada
tampangmu" Kalau berani mari ikuti aku. kita mencari tempat lain yang lebih cocok, biar nanti
ditentukan siapa jantan siapa betina! Boleh kalian berlega hati, aku orang she Miao tidak akan
mencari pembantu." Hun Ci-lo menyembunyikan dirinya di belakang sebatang pohon tua yang cukup besar, dalam
hati ia berpikir: "Mungkin Miao Tiang-hong sudah tahu akan kedatanganku, kata-katanya itu
memang sengaja ditujukan kepadaku secara tidak langsung. Dia hendak memancing kedua
musuhnya ke tempat lain, supaya aku tidak terlibat di dalam pertempuran seru dan terembet
perkara. Tapi dalam keadaan demikian, untuk lari agaknya sulit juga buat dia. masa aku harus
berpeluk tangan saja."
Benar juga didengarnya Sebun Soh membentak: "Di sini amat cocok untuk menggali liang
kuburmu, kenapa harus cari tempat lain segala?"
Hwesio itu pun membentak: "Terserah mulutmu mengeluarkan kata-kata manis, untuk lari
jangan harap!" Begitulah kerja sama pengepungan mereka semakin ketat dan seru.
Miao Tiang-hong bergelak tertawa, serunya: "Betapa sih tinggi kepandaianmu berani sesumbar
begitu congkak?" Ringan saja ia tepukan sebuah telapak tangannya, sekaligus ia punahkan
kekuatan tenaga pukulan kedua lawannya. Sebun Soh sedang melancarkan ilmu Hian-im-ciang
pada tingkat ke tujuh, tiba-tiba dirasakan hembusan angin sepoi-sepoi, seperti hembusan angin
sejuk di musim semi, seketika ia rasakan badannya seperti menjadi malas dan ingin tidur. Keruan
kejut Sebun Soh bukan kepalang, batinnya: "Mungkinkah dia sudah berhasil melatih Thay-cengkhi-
kang?" Thay-ceng-khi-kang adalah ilmu lwekang tingkat tinggi dari aliran To-keh (tao) sementara
Liong-ling-kang kelahiran cabang Say-cu-hong dari Hudbun (Budhis). Sebelum Hun Ci-lo datang
tadi Miao Tiang-hong sudah menggunakan Liong-ling-kang untuk gebrak dengan kedua
musuhnya, kini ia menggunakan pula Thay-ceng-khi-'kang secara mudah dan seperti tidak
bertenaga memunahkan kedua gempuran dahsyat dari kedua lawannya. Meski Sebun Soh
berkepandaian silat tinggi, pandangan luas dan pengetahuan mendalam, tak urung bercekat pula
hatinya. Mau tidak mau Sebun Soh harus berpikir: "Ilmu silat keparat ini benar-benar campur aduk dan
amat luas sekali, tak heran sute yang biasanya jarang dan tidak suka memuji orang, kali ini suka
mengakui bahwa dia merupakan orang pertama pada jaman ini yang membekal berbagai ragam
ilmu silat, memang namanya tidak kosong- Bukan saja dia hafal dan pandai memainkan ilmu
pedang dari berbagai partai dan golongan, malah ahli pula menggunakan ilmu lwekang murni
yang lurus dari Hud-keh dan To-keh yang paling dalam ajarannya! Kelihatannya kalau hari ini aku
tidak berani menyerempet bahaya menyergapnya, bukan mustahil pihak kami sendiri yang bakal
terjungkal." Ketiga orang ini bertarung sengit mengandal ilmu tunggal bekal mereka dari golongan lurus dan
sesat. Hian-im-ciang Sebun Soh seperti musim dingin yang membekukan, sebaliknya Hwe-liongkang
si hwesio laksana sinar matahari di musim panas yang memancar membara. Adalah Thayceng-
khi-kang Miao Tiang-hong laksana hembusan angin musim semi yang sepoi-sepoi
menyamankan badan menyegarkan pikiran. Hawa dingin beku yang merangsang, dengan
damparan gelombang panas yang memuncak, semua kena dihembus sirna oleh angin musim
semi. Memang Sebun Soh hebat sekali, terkena tekanan Thay-ceng-khi-kang, ia hanya tergentak
mundur dua tindak, cepat ia kerahkan Hian-kang, sekejap saja, hawa murninya sudah berputar
menyelusur tiga puluh enam jalan darah besar di seluruh tubuhnya, menyapu habis perasaan
malas dan mengantuk yang tidak tertahankan. Kilas lain telapak tangannya terangkap dan telunjuk
jarinya terulur keluar menotok ke Hian-ki-hiat di dada Miao Tiang-hong.
Sudah tentu Miao Tiang-hong tidak begitu gampang bisa kena tertotok, di mana dadanya
berkembang kempis, serta merta badannya berkisar ke pinggir tepat sekali menghindari totokan
lawan. Akan tetapi meski tidak terkena secara telak, saat itu pula ia rasakan dadanya seperti
disambar kilat, sehingga seluruh badan menjadi panas. Terasa angin menderu hebat, si hwesio
mengerahkan kedua telapak tangannya menyerbu dengan pukulan berantai. Orang ini melatih ,
Hwe-liong-kang, angin pukulannya seperti damparan suhu panas yang teruar keluar dari tungku
yang sedang menyala besar, keruan Miao Tiang-hong merasa kepanasan dan payah, tak tertahan
beruntun ia menyurut mundur tujuh delapan langkah.
Tak urung Miao Tiang-hong pun terkejut dibuatnya, maklumlah pukulan Hian-im-ciang Sebun
Soh biasanya mengeluarkan hawa dingin yang beracun, jauh berlainan dengan tenaga totokan
yang menggunakan tenaga keras yang dilandasi Khi-kang positif. Betapapun tinggi seseorang
tokoh silat, adalah amat sulit untuk dalam waktu yang begitu singkat bisa memutar balik ganti
berganti menggunakan dua macam ilmu Iwekang yang berlawanan satu sama lain. Diam-diam
berpikir Miao Tiang-hong: "Kalah sih tidak mungkin, tapi setelah pertempuran ini berakhir, bukan
mustahil aku bakal ambruk dan sakit keras."
Di luar tahunya, Lui-sin-ci yang dipelajari Sebun Soh ini bahwasannya belum lagi berhasil
dilatihnya sempurna, secara kekerasan ia cepat mengganti Hian-im-cing dengan totokan Lui-sin-ci
yang harus dilandasi tenaga positif yang panas, hawa murni tubuhnya sendiri terkuras bukan
sedikit, maka jurus-jurus selanjutnya jelas dia tidak akan berani menggunakan lagi. Adalah setiap
tapak kakinya melangkah mundur secara langsung Miao Tiang-hong mengimpas sebagian dari
tekanan tenaga lawan, setelah tujuh delapan langkah, perpaduan rangsakan tenaga panas dingin
lawan sudah dibikin lenyap sama sekali.
Hun Ci-lo kurang paham akan intisari dan rahasia dari ilmu tingkat tinggi, sembunyi di belakang
pohon dia menunggu kesempatan untuk menerjunkan diri, melihat Miao Tiang-hong beruntun
mundur delapan langkah, dari kaget hatinya menjadi gugup. Bahna kejutnya, tanpa banyak pikir
lagi Hun Ci-lo merogoh tiga biji mata uang, terus disambitkan ke arah Sebun Soh.
Kepandaian menimpuk Kim-ci-piau dari keluarga Hun juga merupakan ilmu tunggal tersendiri
dari bulim. Ketiga biji mata uang itu masing-masing mengarah Thay-yang-hiat di pelipis Sebun
Soh, di tengah mengarah Gi-khi-hiat dan bagian bawah menyerang Kui-ciang-hiat, di malam buta
rata namun sasaran yang diarah ternyata telak dan tepat sekali.
Terdengar Sebun Soh menggerung gusar: "Siapa berani main bokong?" Sekonyong-konyong
ketiga mata uang itu tahu-tahu sudah menyambar balik pula ke arah Hun Ci-lo. Bukan saja mata
uang melesat balik, malah di belakangnya didorong segelombang angin pukulan yang dahsyat
bagai gugur gunung. Sudah tentu Hun Ci-lo tidak kuat bertahan dari terjangan kekuatan yang dahsyat ini, dalam
kejutnya lekas ia kembangkan ilmu ginkang-nya, dengan gaya menyedot dada jumpalitan di
tengah awan, tangkas sekali ia melejit tinggi, tangan meraih dahan pohon Bwe, meminjam daya
pantul dari dahan pohon itu ia jumpalitan di tengah udara ke sebelah belakang kira-kira setombak
lebih! Untung latihan lwekangnya sudah punya dasar yang kuat, mengiringi dorongan tenaga
dahsyat itu secara enteng ia melayang turun, sehingga tidak sampai terbanting jatuh.
Akan tetapi ketiga biji mata uang yang'menyambar balik itu seperti bayangan mengikuti
bentuknya mengejar tiba ke arah dirinya, baru saja kakinya menginjak tanah, ketiga mata
uangnya sudah menyambar tiba. Syukur Hun Ci-lo bisa mendengar angin membedakan senjata
rahasia, didengarnya daya luncuran ketiga mata uang ini sudah jauh lebih lambat, dia tidak kuasa
berkelit dari ketiga mata uang yang menyambar dari tiga jurusan, maka cepat ia ulur jari
menyelentik, "Creng" beruntun tiga kali ia selentik jatuh ketiga mata uangnya.
Mata uang memang berhasil diselentik jatuh, namun begitu jari Hun Ci-lo menyentuh mata
uang itu, seketika ia rasakan segulung hawa dingin meresap masuk ke dalam tubuhnya terus
menerjang ke jantung, tak tertahan ia bergidik kedinginan.
Tiba-tiba terasa sebuah tangan terulur ke depan dari sebelah belakang terus menyeretnya
dibawa lari sipat kuping. Rasa kejut Hun Ci-lo belum lagi hilang, kini dibuatnya kaget lagi. Baru
saja ia hendak meronta, dari sebelahnya terdengar suara Siau-hujin berkata: "Jangan gugup,
inilah aku!" Dengan Bik-khong-ciang-lat Sebun Soh mematahkan ketiga sambitan ketiga mata uang Hun Cilo,
peluang ini menjadikan Miao Tiang-hong mendapat kesempatan turun tangan, sebat sekali ia
me-rangsak maju, telapak tangannya memukul miring mengarah tulang pundak orang.
Di bawah ancaman maut serangan lawan tangguh, Sebun Soh tidak berani berlaku nekad untuk
gugur bersama, untunglah kepandaian silatnya sudah mencapai taraf yang bisa dikendalikan
sesuka hati, kedua telapak tangannya sedang terjulur lurus ke depan tiba-tiba ia tekuk sikutnya
dan terus menyanggah ke atas.
Terdengarlah "blang!" kedua telapak tangan Sebun Soh terangkap menggencet telapak tangan
Miao Tiang-hong. Tenaga dalam Miao Tiang-hong tergetar, sementara seluruh lengan Sebun Soh
terasa panas terbakar dan lemas, cepat-cepat ia lepas kedua tangan, sebat sekali selincah kelinci
tiba-tiba Miao Tiang-hong memutar badan, beruntun ia gerakkan kedua telapak tangannya, ke
sepuluh jarinya seperti gantolan besi, beruntun terdengarlah suara "Cras", kebetulan si hwesio
sedang menyerang ke arah dirinya, seketika bentrok dengan gempuran membalik dari tenaga
telapak tangan dan jari-jarinya.
Betapapun cepat si hwesio berusaha berkelit, tak urung kasa merah yang dipakainya itu
berlubang-lubang dan kena tercakar sobek sebagian.
Diam-diam Miao Tiang-hong merasa amat bersyukur, pikirnya: "Kalau Hun Ci-lo tidak
membantu aku secara menggelap, mungkin aku belum begitu gampang bisa meloloskan diri. Akan
tetapi bagaimana dan apapun yang terjadi aku tidak boleh lagi mempersulit dia!"
Siau-hujin menyeret Hun Ci-lo ke arah hutan yang lebih dalam, omelnya: "Ci-lo, mana boleh
kau begitu menempuh bahaya, apa kau tidak kuatir menggugurkan kandunganmu?"
Belum Hun Ci-lo sempat menjawab, mendadak didengarnya sebuah suitan panjang melengking
tinggi seperti pekik naga di tengah angkasa. Dalam sekejap mata Miao Tiang-hong sudah berlari
kencang meninggalkan hutan kembang Bwe. Sebun Soh dan si hwesio mengejar dengan kencang.
Suasana hutan Bwe kembali tenang setelah pertempuran berlalu, keadaan kembali menjadi sunyi
lengang. "Bibi," ujar Hun Ci-lo, "tak usah kau hiraukan aku, Miao-siansing mungkin..." belum selesai ia
bicara, seolah-olah ia mendengar Miao Tiang-hong sedang bicara di pinggir kupingnya: "Aku tidak
apa-apa, terima kasih akan bantuan kalian. Lekas bekerja menurut pesanku kemarin." Miao Tianghong
bicara menggunakan ilmu mengirim gelombang suara dari jauh. Bahwa orang masih begitu
fasih menggunakan ilmu tingkat tinggi dengan nyata dan jelas, hati Hun Ci-lo menjadi lega dan
bersyukur. "Nah kau sudah lega belum, sejak tadi sudah kukatakan Miao Tiang-hong akan mampu
menghadapi kedua musuhnya. Aih, kenapa kau" Telapak tanganmu kok begini dingin?"
"Tidak apa-apa, mungkin aku masuk angin!"
Dengan kencang Siau-hujin genggam telapak tangannya, dengan tenaga murni sendiri ia
salurkan ke tubuh orang untuk bantu mengusir hawa dingin di dalam badannya. Kira-kira setelah
sesulutan dupa, keringat dingin sebesar kacang berketes-ketes bercucuran dari jidat Hun Ci-lo.
Lambat laun air muka Hun Ci-lo kembali berse-mu merah seperti sedia kala.
Siau-hujin menarik napas lega, katanya: "Ternyata kau terserang hawa berbisa dari Hian-imkang,
masih main pura-pura hendak mengelabuhi aku, untung kau baru hamil dua bulan, orok
dalam kandungan belum lagi berbentuk, hawa berbisa yang meresap ke dalam tubuhmu pun tidak
terlalu banyak, kalau tidak, meski kau terhindar dari luka dalam yang parah, orok dalam
kandunganmu tentu sulit diselamatkan lagi. Ai, aku pun tidak menduga musuh ada sedemikian
liehay!" Hun Ci-lo tertunduk dan bersyukur dalam hati, ia berpikir: "Nyo Bok. sangat mengharap punya
anak darah daging sendiri, untunglah aku masih berhasil melindungi orok dalam kandunganku,
kalau tidak betapa sesal nuraniku terhadapnya."
Setelah Siau-hujin menegurnya, ingin dia mengubah suasana yang rada panas ini, lalu katanya
tertawa: "Ci-lo, katamu hatimu sudah beku seperti tonggak kayu, sebenarnya hatimu masih
membara! Setelah peristiwa malam ini, kukira Miao Tiang-hong tidak akan bisa melupakan dirimu
lagi." Merah muka Hun Ci-lo, ujarnya: "Aku hanya menitik beratkan persoalannya, kalau toh dia
cukup setimpal dijadikan kawan, seumpama orang lain, aku pun akan berbuat dengan cara yang
sama." Siau-hujin tersenyum, untuk menghindari sikap kikuk dan risi keponakannya, lekas ia bicara
pula: "Bekerja demi kawan memang amat penting, namun kau pun harus bisa menyayangi badan
dan jiwa sendiri. Peristiwa malam ini sudah berselang, selanjutnya kau harus bertindak hati-hati."
Hun Ci-lo bertunduk, ujarnya:
"Pesan bibi akan kuperhatikan baik-baik."
"Sekarang marilah kita bicarakan urusan yang serius, seruan Miao Tiang-hong tadi kau pun ada
mendengar, menurut hematku besok pagi-pagi kita harus segera meninggalkan tempat ini."
Baru saja bicara, tampak Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi berlari-lari datang dengan napas ngosngosan,
masing-masing menyo-reng sebilah pedang, begitu melihat Siau-hujin dari kejauhan
lantas berseru: "Di mana paman Miao" Mari lekas kita bantu dia berkelahi."
"Paman Miao sudah menggebah lari musuh-musuhnya, masa perlu bantuan kalian lagi. Lebih
baik lekas kalian pulang bebenah, bawa barang-barang yang perlu saja," demikian ujar Siau-hujin.
Siau Gwat-sian melongo, serunya: "Mengemasi barang, mau ke mana?"
"Tempat ini sudah tidak bisa buat tempat tinggal seterusnya, aku ingin bawa kalian pulang ke
kare-sidenan Sam-ho untuk sementara kita menyembunyikan diri di sana saja."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cau Ci-hwi segera menyeletuk bicara: "Ayah dan engkohku belum pulang, kalau kita tinggal
pergi, cara bagaimana kita bisa memberi kabar kepada mereka?"
Siau-hujin mengerut alis ujarnya: "Justru karena soal itulah aku jadi kurang lega hati, sampai
sekarang belum kuperoleh cara yang sempurna. Ai, terpaksa kita menyingkir dulu urusan
belakang." "Bu, aku punya akal malah."
"Budak segede kau hanya pintar bermain saja, masa punya akal apa" Coba kau katakan biar
kami pertimbangkan."
"Menurut paman Miao, kemungkinan besar paman Cau dan Cau-toako pergi ke Thay-san, ikut
menghadiri pertemuan berdirinya Hu-siang-pay, maka, kupikir, kupikir..."
"Kau pun ingin menyusul ke Thay-san untuk melihat keramaian bukan?"
"Bu, bagaimana kalau kau ijin-kan aku ke sana" Kupakai kedok palsu ini, tentu tiada seorang
pun yang akan kenal padaku. Kalau kau masih kurang lega, biarlah Hwi-ci pergi bersama aku."
"Kukira akal apamu yang baik" Ternyata hanyalah mencari alasan untuk pergi membuat
keributan saja. Tidak boleh!"
"Kenapa tidak boleh?" rengek Siau Gwat-sian merengut. "Aku berjanji tidak akan membuat
onar." "Pertemuan yang begitu ramai dan besar, entah berapa banyak tokoh-tokoh persilatan yang
kenamaan akan hadir di sana, memangnya kau anggap main-main" Kau sendiri tidak punya
pengalaman kelana di kangouw, bila kau tidak membuat onar, justru perkara yang akan selalu
mengejar dan melibat kalian! Sudah jangan banyak cerewet, tidak boleh ya tidak boleh!"
Siau Gwat-sian menjadi amat kecewa, namun melihat sikap ibunya yang tegas, dia tidak berani
merengek lagi. "Akalmu itu sudah pernah kupikirkan, akhirnya toh aku tidak berani berkeputusan," demikian
ujar Siau-hujin seraya berpaling dan menarik lengan Hun Ci-lo, katanya: "Kerabat Tin-wan
piaukiok dan Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya pasti juga hadir di sana, walau aku tidak perlu takut
terhadap mereka, namun keadaan macam begitu tidak cocok untuk aku mencari kesempatan
menuntut balas." "Bibi," ujar Hun Ci-lo tiba-tiba, "menurut hematku, biarlah aku saja yang ke sana."
Siau-hujin berjingkat, serunya: "Kau hendak pergi?"
"Pertama: di kalangan kangouw aku tidak punya musuh," demikian Hun Ci-lo coba
menjelaskan. "Kedua: aku mengenakan kedok palsu, meski tidak bisa mengelabui ketajaman mata
Su-hay-sin-liong, betapapun dia adalah angkatan tua dari sanak kadangku, kukira beliau tidak
akan mempersulit diriku. Ketiga: di dalam pertemuan besar macam itu, bukan mustahil aku bisa
ketemu dengan beberapa kawan karib mendiang ayahku, dari mereka aku ingin mencari berita
mengenai ibu." sembari berkata secara diam-diam ia acungkan kedua jarinya kepada Siau-hujin,
maksudnya bahwa dirinya baru mengandung dua bulan, soal ini bibi tidak perlu kuatir.
"Apa kau tidak takut bentrok dengan kambrat-kambrat Lian Kam-peh dan menunjukkan
kelemahanmu?" tanya Siau-hujin kuatir.
"Di dalam pertemuan di Thay-san itu, hadir pula pendekar-pendekar besar seperti Kim Tiok-liu,
Le Lam-sing dan lain-lain tokoh kenamaan di bulim, meski para kaki tangan anjing alap-alap ada
yang menyelundup ke sana juga mereka tidak akan berani main gegabah."
"Kabarnya pertemuan di Thay-san bakal dibuka tanggal sembilan bulan sembilan, aku kuatir
kau sudah terlambat menyusul ke sana."
"Pertemuan besar macam itu betapapun mesti berlangsung beberapa hari lamanya, kalau tidak
keburu biar aku tunggu saja di bawah gunung menanti paman Cau dan lain-lain kembali."
Memang Siau-hujin juga berhasrat menemukan kembali ayah anak keluarga Cau, melihat sikap
Hun Ci-lo tegas dan teguh keinginannya, meski rada kurang lega, akhirnya ia meluluskan juga.
Maka ia berjanji dengan Hun Ci-lo, jikalau berhasil menemukan Cau Sioktoh dan putranya, lantas
bertiga mereka langsung menyusul ke rumah leluhur keluarga Hun yang terletak di karesidenan
Sam-ho. Seperti datangnya semula terpaut jangka sepuluh hari, seorang diri Hun Ci-lo naik perahu
mengarungi Thay-ouw, pemandangan indah di tengah perairan luas itu tidak berkesan sedikit pun
di dalam sanubarinya, karena pikiran sedang gejolak. "Pertemuan besar dari orang-orang gagah di
seluruh dunia, sungguh sulit dicari kesempatan sebagus ini bukan mustahil Goan-cau dan Thengsiau
pun ikut hadir di sana?" demikian pikirnya.
Ternyata masih terdapat sebuah rahasia isi hati Hun Ci-lo yang belum pernah ia kemukakan
kepada bibinya. Bahwa dia memang ingin mencurahkan tenaganya untuk mencari ayah beranak
keluarga Cau, tapi harapan yang paling mendorong hasratnya ikut hadir di dalam pertemuan besar
itu karena dia masih ingin melihat Beng Goan-cau yang terakhir.
Luka dalam sanubarinya sudah tentu sulit disembuhkan atau dilupakan demikian saja, akan
tetapi perasaannya kali ini jauh lebih terbuka dan tidak sepedih waktu datangnya tempo hari.
Sekarang meski dia masih merasa sedih bila mengenang masa lalu, namun perasaan dadanya
sudah banyak longgar, ganjalan hati pun sudah terbuka.
Dalam perjalanan menuju ke Thay-san ini, mendadak terpikir sesuatu yang aneh: "Goan-cau
bersikap tenang mantap dan teguh, seperti pula gunung Thay-san yang berdiri dengan megah dan
perkasa. Bila berada di sampingnya tiada sedikit pun perasaan takut. Akan tetapi Miao Tiang-hong
justru seperti luasnya danau Thay-ouw ini, luas dan banyak muatannya, berada di sampingnya
perasaan bisa menjadi longgar dan terbuka tanpa terkekang. Goan-cau bisa menjadi seorang
suami yang baik, suami teladan, sayang selama hidup ini aku jelas tiada berjodoh lagi dengan dia!
Miao Tiang-hong boleh dijadikan kawan yang paling karib, seperti pula keadaanku bersama Song
Theng-siau. Dia tidak kenal sama Goan-cau, jikalau mereka pun bisa menjadi kawan kental,
betapa baik dan menyenangkan!"
Begitulah ia jadi kangen kepada Miao Tiang-hong, meski mereka baru kenal beberapa hari
lamanya. Kecuali Beng Goan-cau, dalam sanubarinya baru terisi bayangan seorang laki-laki lain
pula. Song Theng-siau adalah sahabat laki-laki yang paling lama dikenalnya, namun di dalam
pandangannya, seolah-olah tidak lebih mengenal pribadinya daripada Miao Tiang-hong mengenal
dan memahami dirinya. Beberapa patah kata-kata Miao Tiang-hong seolah-olah masih terngiang di pinggir kupingnya:
"Hidup manusia sering dihadapi aral rintang yang menyedihkan sanubari setiap insan, ada kalanya
seseorang akan berkesan pada sesuatu yang menyedihkan hati dan menghampakan perasaan.
Tapi banyak bersedih dan bermuram durja bukanlah menjadi idaman hidup bagi kaum persilatan
macam kita ini. Terutama berada di puncak Tong-ting-san barat ini, selayang pandang terbentang
luas alunan ombak Thay-ouw yang bergelombang halus dan luas, maka jiwa dan perasaan kita
pun harus semakin lapang dan terbuka bukan?"
Bahwa sekarang justru Hun Ci-lo berada di atas perahu di bawah permainan-alunan ombak
Thay-ouw yang halus lembut, maka kata-kata itu meresap semakin mendalam di relung hatinya.
Di kala ia terkenang akan ucapan Miao Tiang-hong yang berkesan itu, tiba-tiba sebuah pikiran
merasuk dalam benaknya: "Kenapa selama hidup ini aku harus pantang bertemu muka dengan
Beng Goan-cau" Memeras dan menyiksa diri sendiri! Andaikata aku tidak bisa menjadi suami istri
dengan Beng Goan-cau, aku pantang pula menjadi sahabat baiknya?"
Tiba-tiba berkelebatlah bayangan seorang gadis berpakaian serba putih. Itulah bentuk Lu Su-bi
yang pernah dilihatnya di atas loteng Beng Goan-cau. Pikirannya melayang lagi: "Kini belum tiba
saatnya aku bertemu dengan dia, aku hanya bisa berdaya mohon bantuan Song Theng-siau untuk
menyampaikan isi hatiku. Ai, bersama dengan siau-sumoaynya yang lincah dan ayu rupawan,
betapa bahagia hatinya, mana boleh aku merintangi perjodohan mereka yang setimpal" Untuk
meneruskan persahabatanku dengan Goan-cau, terpaksa aku harus menunggu setelah mereka
melangsungkan pernikahan."
"Kalau Goan-cau hadir dalam pertemuan di Thay-san ini pasti dia datang bersama siausumoaynya.
Aku sekarang sedang terkenang padanya, adakah dia pun terkenang kepadaku"
Semoga dia dapat melupakan diriku, bukankah begitu lebih baik0"
Bahwa Hun Ci-lo menyangka Beng Goan-cau pasti berada bersama siau-sumoaynya, di luar
tahunya bahwa saat mana Beng Goan-cau pun sedang menempuh perjalanan menunggang kuda
seorang diri, dia pun sedang mengejar waktu mengeprak tunggangannya untuk menghadiri
pertemuan besar di Thay-san. Sebaliknya siau-sumoaynya sedang sakit ditemani Song Theng-siau
di rumah keluarga Song. Sepanjang jalan ini hati Beng
Goan-cau pun amat risau, seperti pasang surutnya air laut yang bergelombang turun naik.
Sudah tentu yang paling dikenangnya adalah Hun Ci-lo. "Setelah urusan di Thay-san selesai aku
harus cepat-cepat mencarinya di Thay-ouw, umpama ibarat kaca bundar yang sudah pecah
betapapun aku harus melihatnya sekali lagi."
Orang kedua yang dikenangnya adalah Lu Su-bi. "Watak dan perangai Theng-siau jauh lebih
cocok padanya, semoga mereka kelak hidup bahagia."
Tapi terdapat pula bayangan seorang gadis lain yang tidak begitu mudah bisa dihapus dari
ukiran relung hatinya. Walaupun dia baru mengenalnya belum lama ini, namun tidak bisa tidak,
Beng Goan-cau pun mengenangnya juga.
Sudah tentu orang ketiga yang dikenang oleh Beng Goan-cau betapapun Hun Ci-lo tidak akan
bisa mengetahuinya. Karena dia hanya tahu adanya Lu Su-bi seorang, tidak diketahuinya bahwa
masih terdapat Lim Bu-siang.
"Nona Lim ini lincah polos dan jujur, sifatnya rada mirip dengan siau-sumoay, tapi tidak seriang
siau-sumoay, mungkin dia sekarang sudah berada di Thay-san."
Tiba-tiba teringat oleh Beng Goan-cau. "Waktu aku berhadapan dengan Kim-hujin, berulang kali
dia menyinggung Bu-siang, bukan mustahil kejadian kali ini memang menjadi rencana mereka
suami istri supaya aku berkenalan dengan nona Lim ini?" Dasar cerdik bisa berpikir dengan cermat
lagi, lapat-lapat Beng Goan-cau merasa maksud tujuan Utti Keng dan Kim Tiok-liu suami istri.
Betapapun Beng Goan-cau seorang pendekar yang sudah mengecap pahit getir kehidupan
manusia, bahwa putusnya cinta asmara, memberikan pukulan batin yang berat baginya, namun
dia adalah seorang laki-laki sejati yang bisa menjinjing dapat meletakkannya kembali. Kini dia
sedang berangan-angan betapa meriah dan semaraknya pertemuan besar di puncak Thay-san,
maka jiwa keperwiraan yang terkandung dalam sanubarinya jauh lebih melandasi semangatnya
untuk menghilangkan persoalan cinta muda-mudi. Meski kabut gelap masih menutupi lubuk
hatinya, lama kelamaan menjadi buyar pula seperti disongsong oleh cahaya matahari yang
menyala bagai bara. Kuda suri merah yang ditunggangi Beng Goan-cau ini mulanya adalah milik Pakkiong Bong,
komandan Gi-lim-kun, setelah tercuri oleh Utti Keng lalu dihadiahkan kepadanya. Setelah
meninggalkan rumah Kim Tiok-liu, takut terlambat sepanjang jalan ia bedal tunggangannya
secepat angin, tiga hari kemudian dari daerah timur ia sudah mencapai wilayah karesidenan Thayan
di sebelah barat Soatang. Sedang Thay-san terletak di sebelah utara Thay-an, dari jauh
puncaknya sudah kelihatan.
Dua hari lagi baru tanggal sembilan bulan sembilan, Beng Goan-cau boleh berlcga hati,
pikirnya: "Tak nyana kuda ini dapat berlari demikian pesat, aku jadi tiba dua hari lebih pagi dari
waktu yang ditentukan. Tapi aku bisa berkesempatan berkenalan lebih banyak dengan para orangorang
gagah dari berbagai kalangan."
Begitulah semakin dekat Beng Goan-cau semakin bernafsu me-ngeprak kudanya. Di saat ia
mengaburkan tunggangannya itu, tiba-tiba dilihatnya di sebelah depan sana terdapat tiga ekor
kuda yang sedang berlari kencang laksana angin.
Kuda bagus, golok pusaka merupakan idaman setiap orang gagah. Kuda jempolan macam itu
sukar dilihat sembarangan waktu, seribu ekor belum tentu terdapat seekor seperti kuda
tunggangannya ini, kini secara berbareng dilihatnya tiga ekor di kejauhan depan sana, keruan
kejut dan girang pula hati Beng Goan-cau, pikirnya: "Ketiga orang itu tentu seperti diriku, sedang
memburu waktu menuju ke Thay-san, tiada halangannya aku berkenalan dengan mereka."
Pertama dia ingin berkenalan dengan ketiga orang itu, kedua ingin pula menjajal kekuatan lari
dan tenaga kuda tunggangannya ini dapatkah mengungkuli ketiga kuda di depan itu, maka Beng
Goan-cau mengaburkan kudanya lebih pesat lagi, laksana meteor terbang mengejar rembulan saja
layaknya. Ketiga penunggang kuda di depan itu dua di antaranya adalah perempuan seorang lagi adalah
laki-laki. Yang jalan paling depan adalah seorang nyonya muda yang mengenakan pakaian
sederhana. Dua penunggang di sebelah belakang jalan berjajar, jaraknya sangat dekat merapat,
kelihatannya amat mesra, mungkin sepasang suami istri. Yang laki-laki memelihara jenggot
kambing, sementara yang perempuan menggelung rambutnya di atas kepalanya, usia mereka di
antara empat puluhan, dandanannya tidak seperti penduduk Tionggoan umumnya.
Begitu dari kejauhan mendengar derap kaki kuda yang lari mendatangi kedua orang suami istri
ini lantas berpaling, kejap lain kuda suri merah Beng Goan-cau sudah mencongklang mendekat.
Begitu melihat jelas kedua suami-istri sama terkejut, laki-laki itu mendadak menghardik: "Kuda
suri merahmu ini kau dapat dari mana?" tanpa berjanji suami istri ini sama putar haluan, kudanya
menghadapi Beng Goan-cau yang mendatangi, mereka berpencar ke kanan kiri menjepit Beng
Goan-cau di tengah. Pertanyaan orang betul-betul di luar dugaan Beng Goan-cau, maksudnya semula begitu
menyusul dekat ia lantas hendak menyapa dan memperkenalkan diri, maka tidaklah heran sesaat
ia melenggong mendengar hardikan yang kasar ini.
Maklum Beng Goan-cau seorang buronan, dan lagi ia tahu bahwa kuda tunggangannya itu
adalah hasil curian Utti Keng, asal mulanya adalah milik komandan Gi-lim-kun Pakkiong Bong.
Maka di samping melenggong seketika timbul rasa was-was dan kewaspadaannya.
Sejenak terlongong segera Beng Goan-cau balas bertanya: "Siapa tuan ini" Untuk apa kau
tanya kudaku ini?" Laki-laki jenggot pendek itu berkata: "Peduli siapa kami, lekas bicara sejujurnya!"
Goan-cau menjadi dongkol, segera ia balas menjengek dingin: "Cara bagaimana kuperoleh kuda
ini, peduli apa pula pada kalian."
Perempuan pertengahan menjadi gusar, dengusnya: "Tak kau jelaskan pun kuketahui kudamu
ini kau peroleh dari tangan Utti Keng si bangsat tua itu bukan" Yang ingin kami ketahui, kuda ini
diberikan kepadamu" Atau kau rebut dari tangannya" Lekas katakan, supaya tidak terjadi salah
paham!" Laki-laki itu menyambung dengan jengekan: "Mengandal kepandaian bocah hijau ini, mana
mampu merebut kuda tunggangan Utti Keng" Kukira kau tidak usah banyak tanya lagi."
Begitu buka mulut kedua orang ini lantas memaki Utti Keng, jelas dapat diperkirakan bahwa
pastilah mereka dari antek-antek kerajaan, keruan ia menjadi gusar, bentaknya: "Aku tidak peduli
siapa kalian, kalian mencegat jalanku, apa sih maksudnya?"
Laki-laki itu pun balas membentak: "Tinggalkan kirda suri merah ini, kulepas kau lewat!"
Beng Goan-cau menyeringai dingin, kudanya ditepuk terus menerjang ke depan, hardiknya:
"Kalau kau mampu silakan kau menahannya!" Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong selarik
sinar hijau berkelebat, kiranya laki-laki jenggot kambing itu sudah melolos pedang dan menusuk
ke depan menyongsong terjangannya.
Lekas Beng Goan-cau lintang-kan goloknya menangkis "Trang" bunga api berpercik, kuda suri
merah tunggangannya terus menerjang ke depan.
Gebrak sejurus ini dua pihak sama kuat dan setanding, namun kuda tunggangan Beng Goancau
lebih unggul setingkat, maka kelihatannya Beng Goan-cau ada setingkat di atas angin.
"Lari ke mana!" perempuan pertengahan itu membentak, begitu ia menyapukan pedang ke
depan lalu mcnggentaknya, sarung pedangnya lantas terlolos terbang. Itulah gentakan yang
dilandasi tenaga dalam, sehingga batang pedang melesat terbang dari sarungnya jauh berlainan
dengan gaya melolos pedang umumnya.
Kelakuan yang lucu dari kebiasaan ini betul-betul membuat Beng Goan-cau merasa di luar
dugaan, sekonyong-konyong terasa cahaya putih gemerdep menyilaukan mata hawa terasa
dingin, tak urung ia jadi terkejut, batinnya: "Perempuan galak ini ternyata membeka! lwekang
yang cukup ampuh!" Seiring dengan jalan pikirannya itu, golok cepat Beng Goan-cau sudah membacok ke depan,
begitu keras pedang dan golok saling bentur, sehingga pedang itu terpental terbang balik.
Sementara jarak mereka sudah lebih dekat. Tampak ia memiringkan tubuh berkelit, di mana ia
putar pergelangan tangannya, pedang panjangnya sendiri sudah kena diraihnya, cara gerakan
yang lincah dan gesit memang bukan olah-olah liehaynya.
Mau tidak mau Beng Goan-cau harus berpikir: "Kedua suami istri ini, cukup tangguh, masih ada
pula nyonya muda itu, mungkin merupakan lawan tangguh pula. Musuh banyak jumlahnya, aku
seorang diri dikerubut, harus bertindak cepat dan meloloskan diri." Golok bergerak menurut
keinginan hati, ia kerahkan setaker tenaganya terus menyerang dengan jurus Ngo-ting-kay-san
(Ngo-ting membuka gunung).
Pedang panjang perempuan pertengahan umur itu berputar satu lingkaran, terdengarlah suara
"Trang tring!" sambung menyambung memekakkan telinga, ternyata dalam sekejap itu pedang
dan golok sudah saling bentur puluhan kali. Jurus yang digunakan perempuan pertengahan umur
adalah Hoat-lun-sam-coan, permainan pedang berantai menggubat golok Beng Goan-cau yang
cepat, secara langsung gaya putaran kencang ini berhasil memunahkan sebagian besar tenaga
dalam Beng Goan-cau yang memberondong ke arahnya melalui senjatanya.
Akan tetapi meski lwekang perempuan pertengahan umur ini cukup ampuh, betapapun tenaga
murninya masih kalah dibanding Beng Goan-cau, sekuat tenaga baru ia dipaksa untuk
memunahkan serangan musuh dengan susah payah. Telapak tangan sudah pecah. Meski bukan
luka berat, namun darah sudah merembes keluar dan mengotori lengannya sendiri. Melihat sang
istri terluka, lakilaki berjenggot kambing itu menjadi murka, bentaknya: "Bukan saja aku harus
menahan kuda suri merah ini, jiwamu pun harus kau tinggalkan."
"Apa iya?" olok Beng Goan-cau. "Silakan kau coba apa mampu kau menahan diriku!"
Sementara kuda suri merahnya sudah membedal ke arah depan, sedang di sebelah depan sana
masih terdapat nyonya muda, tanpa menoleh mendadak ia membalikkan tangan mengayun
pecutnya ke arah dirinya.
Pecut panjang orang menderu melecut ke arah lehernya, begitu mendengar deru angin lawan
lantas Beng Goan-cau tahu bahwa Iwekang nyonya muda ini lebih unggul di atas perempuan
pertengahan itu, kira-kira seimbang dan setingkat dengan laki-laki berjenggot kambing.
Kuda suri merah adalah kuda jempolan yang sudah banyak pengalaman di medan laga, begitu
mendapat serangan mendadak tanpa diberi aba-aba majikannya, tangkas sekali ia menerobos
lewat ke samping. Dalam pada itu laki-laki jenggot kambing sudah membedal kudanya memburu tiba, kontan ia
menyerang dengan jurus Tui-jiang-bong-gwat (mendorong jendela memandang rembulan),
pedang panjangnya meluncur lurus menusuk dada.
Cepat Beng Goan-cau gunakan Ting-li-jion-sim badannya miring bergelantung di tempat duduk
kudanya, sembari berkelit ia balas menyerang, golok cepatnya menahas miring ke lambung lawan.
Tajam goloknya berputar satu lingkaran, bagi orang di samping kelihatannya ia hanya balas
menyerang satu jurus, kenyataan dalam sekejap permainan sejurus itu, ia gunakan kembangan
tiga belas macam tipu-tipu yang campur aduk. soalnya permainan goloknya teramat cepat,
sehingga orang lain hanya melihat tabir sinar goloknya yang menyambar secepat kilat,
mengaburkan pandangan. Laki-laki jenggot kambing men-celos hatinya, diam-diam ia membatin: "Golok cepat bocah ini
agaknya tidak lebih asor dari permainan golok Utti Keng dulu, apakah dia murid Utti Keng" Tapi
gerak permainan dan tipu-tipu goloknya jauh berlainan." Teringat akan ilmu pedang sendiri yang
dilatihnya selama beberapa tahun terakhir ini. tujuannya adalah untuk menghadapi ilmu golok Utti
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keng, kini menghadapi anak muda ini saja dia tidak ungkulan, bila pemuda ini benar-benar adalah
murid Utti Keng, bukankah kepandaian ilmu golok Utti Keng lebih maju berlipat ganda" Terpikir
sampai di sini, mau tidak mau ia jadi putus asa dan patah semangat.
Kejadian berlangsung amat cepat, sementara perempuan pertengahan umur juga sudah keprak
kudanya memburu datang, Beng Goan-cau tahu di antara ketiga lawannya ini kepandaian
perempuan pertengahan umur ini adalah yang terlemah, maka besar tekadnya hendak membobol
kepungan ketiga lawannya dari sasaran yang lemah ini, tidak berkelit ia malah menyongsong
maju, kedua kakinya mengempit perut kuda lebih keras, kuda suri merah tahu maksud
majikannya, tiba-tiba ia melompat tinggi, kebetulan Beng Goan-cau pun melejit berdiri di atas
punggung kuda, rnembarengi dengan lompatan kuda tunggangannya, goloknya membawa
sambaran angin menderu dari posisi sebelah atas membacok secara ganas ke arah batok kepala
perempuan pertengahan. Tak nyana meski lwekang perempuan pertengahan setingkat di bawahnya, namun dia seorang
ahli dalam bidang mengatasi kekerasan dengan kelemasan, tenang mengatasi gerakan, begitu
situasi tidak menguntungkan segera ia mengubah gerak tipunya, laksana capung menutul di
permukaan air, sekali berkelebat melesat lewat, di saat badannya menyerempet lewat ujung
pedangnya tahu-tahu sudah mengarah sepasang mata kuda suri merah. Untung kuda ini sudah
pengalaman dalam medan laga, begitu cahaya menyilaukan menyambar matanya, kedua kaki
depannya lantas ditekuk berlutut sementara punggung golok Beng Goan-cau lekas mengetuk
turun, namun sigap sekali perempuan pertengahan umur sudah menarik balik pedangnya dan
berkelebat lewat dengan cepat.
Begitu kuda suri merah melompat dan berlutut, untunglah Beng Goan-cau banyak pengalaman
dan menguasai tehnik menunggang kuda, namun demikian hampir saja ia terlempar dari
punggung kuda. Akan tetapi perempuan pertengahan umur itu juga mencucurkan keringat dingin,
beruntung ia berhasil luput dari bacokan yang mematikan.
"Bagus ya, kalian main keroyok," hardik Beng Goan-cau gusar. "Memangnya kalian sangka aku
takut! Marilah kalian maju bersama sekaligus!"
Baru sekarang nyonya muda itu membalikkan kudanya, katanya dingin: "Ciok-susiok, dan bibi
Siang, silakan kalian mundur dulu, biar kujajal betapa tinggi kepandaian enghiong ini. Em, kalau
kau dapat mengalahkan pecut di tanganku boleh kau lewat sesuka hatimu!"
Suami istri pertengahan umur itu berseru bersama: "Baik, tapi untuk menjaga bocah ini tidak
melarikan diri, kami akan berjaga di luar kalangan!" Artinya bila Beng Goan-cau bermaksud
melarikan diri, terpaksa mereka akan turun tangan pula.
Nyonya muda itu membahasakan paman guru dan bibi guru kepada suami istri pertengahan
umur, namun kenyataan kepandaian ilmu silatnya jauh lebih kuat dan tinggi dari mereka, senjata
pecut lemasnya dimainkan begitu lincah dan hidup seperti ular sakti, malah di dalam permainan
pecutnya kadang-kadang diselingi gerak tipu ilmu golok dan pedang, di saat ia mengerahkan
tenaga pada batang pecut itu, pecut yang lemas menjadi kaku lurus, seakan-akan seperti sebilah
pedang yang runcing. Dalam teori persilatan biasanya paling ditakuti apa yang dinamakan tombak
takut membundar, pecut takut membujur lurus, bagi seorang tokoh yang dapat memainkan pecut
mencapai tingkat sedemikian sempurna, sudah boleh dikata mencapai taraf tertinggi.
Bila satu lawan satu jelas Beng Goan-cau tidak terkalahkan oleh nyonya muda ini, namun masih
ada dua lawan tangguh berjaga-jaga di pinggir dan merupakan tekanan pula bagi dirinya, sedikit
banyak membawa pengaruh juga.
Di kala ia terkejut akan kehebatan permainan pecut lawan, tiba-tiba dari kejauhan didengarnya
seseorang berteriak: "Lian-cici, berhenti!" Begitu mendengar suara itu, sungguh kejut dan girang
pula hati Beng Goan-cau, kiranya pendatang ini adalah Lim Bu-siang.
Nyonya muda itu segera berseru girang pula, cepat ia melompat turun dari atas kuda, teriaknya
juga: "Bu-siang, kaukah itu! Betapa susahnya aku mencari kau, kabarnya kau sudah tiba di
Tionggoan, ke mana saja kau menyembunyikan diri selama ini?"
Sahut Lim Bu-siang mengeprak kudanya mendekat: "Ayah tinggal di kampung nelayan, tapi dua
tahun terakhir tinggal di rumah Kim Tiok-liu. Entah apakah dia ada datang?"
Nyonya muda itu heran, ujarnya: "Jadi kalian tinggal di rumah Kim-tayhiap" Kenapa dia tidak
pernah beritahu kepada kami" Kim-tayhiap kemarin sudah tiba."
Lim Bu-siang tertawa getir dalam hati, pikirnya: "Setengah bulan yang lalu, aku sendiri pun
tidak menyangka berubah haluan, meluruk datang menghadiri pertemuan besar ini!" Ternyata
justru karena Kim Tiok-liu mengetahui jalan pikirannya, tahu bahwa dia tidak sudi bertemu muka
dengan piauko-nya, maka Kim Tiok-liu tidak memberitahukan berita mereka kepada Boh Cong-tiu
suami istri. Tatkala itu, perempuan pertengahan umur pun sudah maju mendekat, segera ia menyapa:
"Lim-sumoay, apakah supek baik-baik" Upacara kebesaran perguruan kita kali ini, entah beliau
orang tua apa sudi hadir?" Sembari bicara matanya melirik ke arah Beng Goan-cau.
"Ayah sudah berusia lanjut dan berbadan lemah, sejak lama sudah tidak turut campur urusan
dunia, mungkin beliau tidak akan hadir!" demikian sahut Lim Bu-siang.
Baru saja ia hendak memperkenalkan Beng Goan-cau, nyonya muda keburu berkata: "Oh, ya,
aku jadi lupa mohon tanya nama besar enghiong ini. Lim-sumoay, kalian adalah..."
Lim Bu-siang tertawa, segera ia memperkenalkan: "Beng-toako ini datang dari Siau-kim-jwan,
dia adalah sahabat karib Kim Tiok-liu, sengaja datang menjadi tamu agung kita, kau sebagai tuan
rumah kenapa ajak tamu berkelahi malah."
Nyonya muda itu menjadi risi dan kikuk, merah mukanya, katanya: "Kiranya Beng-tayhiap, aku
jadi teringat kata-kata yang tepat berada di hadapan kita sekarang, punya mata tidak tahu
tingginya gunung Thay-san."
Beng Goan-cau tersipu-sipu membalas hormat dan merendah diri, ujarnya: "Sedikit salah
paham belaka." Sementara dalam hati ia merasa heran, Lim Bu-siang membahasakan taci adik
dengan nyonya muda ini, sementara nyonya muda memanggil paman dan bibi guru kepada suami
istri pertengahan umur, sebaliknya Lim Bu-siang adalah sumoay mereka suami istri. "Entah ada
pertalian hubungan apa di antara mereka, begitu berbelit-belit," demikian batin Beng Goan-cau.
Maka berkatalah Lim Bu-siang: "Dia adalah piausoku, atau tuan rumah perempuan, dalam
pertemuan besar di Thay-san ini. Yang ini adalah Ciok-suheng, bernama tunggal Heng. Dan dia
adalah suci Siang Ceng."
Baru sekarang Beng Goan-cau tahu bahwa nyonya muda ini ternyata adalah istri Boh Cong-tiu,
Boh-hujin bernama Lian Jay-hong. Di waktu Lim Bu-siang bertemu pertama kali dengannya tempo
hari pernah menceritakan dirinya.
Ciok Heng tertawa menyengir, ujarnya: "Memang akulah yang gegabah, cuma kuda suri merah
tunggangan Beng-heng ini..."
Baru sekarang Lim Bu-siang paham, katanya: "Kiranya kalian salah paham akan asal-usul kuda
suri merah ini, sehingga terjadi salah pengertian?"
Ciok Heng tercengang, katanya: "Lim-sumoay, kau pun tahu asal-usul kuda suri merah ini?"
Sahut Lim Bu-siang: "Kuda ini adalah tunggangan pribadi Pakkiong Bong, komandan Gi-lim-kun,
akhirnya kena dicuri oleh Utti Keng, benar tidak?"
"Benar!" Siang Ceng menyela bicara. "Apakah kau pun tahu bahwa kami ada pertikaian dengan
Utti Keng?" Lim Bu-siang mengunjuk rasa heran, katanya memandang Suso-nya: "Kudengar kalian sudah
berpisah dengan Cong Sin-liong, apakah kalian masih bertugas bagi kepentingan Sat Hok-ting atau
Pakkiong Bong?" Persoalan inilah yang ingin diketahui oleh Beng Goan-cau, namun ia rada risi untuk mengajukan
pertanyaan ini, lekas ia pasang kuping mendengar dengan cermat.
Ciok Heng mendengus sekali, ujarnya: "Dulu kami suami istri terima diperintah dipermainkan
oleh Cong Sin-liong, sungguh bodoh dan gegabah sekali. Akan tetapi, meski sekarang sudah
kembali dalam keadaan bebas tidak punya ikatan, tidak mendapat tekanan dan perintah lagi dari
orang lain, tapi permusuhan kami dengan Utti Keng betapapun harus diperhitungkan! Sumoay!,
ketahuilah betapa Utti Keng bertingkah menghina dan merendahkan kami suami istri..."
Lim Bu-siang tersenyum manis, ujarnya: "Hal itu sejak lama aku sudah tahu."
"Cara bagaimana kau bisa tahu?" tanya Ciok Heng heran.
"Utti Kenglah yang bicara dengan ayah. Ada sebuah hal yang mungkin belum kalian ketahui, di
waktu ayah bersamaku kembali ke Tionggoan, orang pertama yang terikat menjadi sahabat ayah
adalah Utti Keng. Ayah pernah berpesan kepadaku, katanya bila kelak ada kesempatan bertemu
dengan kalian, supaya menyampaikan beberapa pesan beliau. Kata ayah bagi seorang yang punya
pendirian dan menghadapi persoalan dia pantang berlaku ceroboh dan membawa adatnya sendiri,
urusan kecil tidak perlu diperbesar dan diperpanjang sampai bertele-tele. Apalagi musuh gampang
di kat sulit dilerai, kenapa hanya persoalan gengsi dan nama yang kecil saja harus bermusuhan
dan saling dendam. Maka ayah mengharap pertikaian antara kalian dengan Utti Keng, bila sudi
pandang muka beliau sukalah berda-mai dan bikin habis sampai di sini saja!"
Di dalam kalangan Hu-siang-pay, kedudukan ayah Lim Bu-siang cukup tinggi, tidak bisa tidak
Ciok Heng suami istri harus memberi muka kepadanya, sesaat lamanya baru Ciok Heng bersuara:
"Bahwa Lim-supek punya harapan begitu besar, masa kami berani mengingkari kebaikan hatinya.
Baik, sejak kini anggap saja urusan ini tidak ada dan jangan disinggung lagi!"
Lahirnya memang dia berkata begitu, nada bicaranya terasa amat dipaksakan, sampai Lim Busiang
gadis polos yang tidak mengenal kelicikan hati manusia pun merasa nada bicaranya yang
kurang wajar. Beng Goan-cau sendiri memang tidak tahu mengenai seluk beluk Hu-siang-pay, hatinya
dirundung berbagai pertanyaan yang sulit mendapat jawaban, pikirnya: "Boh Cong-tiu mendirikan
partai menegakkan aliran di Tionggoan, dia undang seluruh tokoh-tokoh silat dari seluruh dunia
untuk hadir memberi restu dan sebagai saksi, dia merupakan sahabat karib Kim-tayhiap lagi, maka
tidak perlu diragukan sebagai aliran murni yang lurus (ceng-pay). Kenapa pula sebagian anggauta
perguruannya ada yang main sekongkol dan menjadi kaki tangan pihak kerajaan, terima
diperbudak menjadi anggauta Gi-lim-kun segala" Entah pertikaian apa pula yang menyebabkan
Utti Keng bermusuhan dengan laki-laki she Ciok suami istri ini." Karena baru saja berkenalan jadi
sungkan mengajukan pertanyaan, terpaksa ia telan bulat-bulat rasa curiganya.
"Bu-siang," ujar Lian Jay-hong tertawa, "beberapa hari yang lalu, piaukomu pernah
menyinggung kau, katanya amat kangen kepadamu. Marilah kita berjalan cepat-cepat."
Bu-siang tertawa dibuat-buat, sahutnya: "Benar, aku belum lagi makan minum perjamuan
kalian berdua!" "Kapan kau tahu kalau kami sudah menikah, kau tidak akan menyangka aku bakal menjadi
piau-somu bukan?" "Benar-benar tidak menyangka, namun aku benar-benar ikut girang bagi perjodohan kalian,"
dalam bicara mereka sudah cemplak tunggangan masing-masing dan jalan berjajar.
Tunggangan mereka sama kuda-kuda pilihan yang larinya amat cepat, kira-kira tengah hari
mereka berlima sudah tiba di kaki gunung Thay-san.
Untuk persiapan pendirian partai ini, Boh Cong-tiu sudah bekerja sejak beberapa tahun,
segalanya diatur sangat rapi, di bawah gunung sejak lama sudah didirikan sebuah rumah
penginapan sebagai pos pertama untuk menyambut kedatangan para tamu, di sini ia menugaskan
beberapa orang yang cekatan dan pandai bekerja. Cara pengaturannya yang cermat dan serba
sempurna ini adalah untuk memata-matai setiap tamu yang dicurigai hendak berbuat onar atau
sesuatu yang tidak menguntungkan pertemuan besar kali ini.
Setelah tiba di penginapan, Lian Jay-hong berkata: "Para tamu yang sudah datang sekarang
hanyalah para sahabat dekat piaukomu, jumlahnya belum banyak. Tapi lusa adalah hari
pembukaan, besok tentu banyak tamu yang berdatangan dari berbagai tempat. Para murid-murid
baru yang baru masuk perguruan mungkin masih asing dan belum kenal terhadap anggauta
perguruan kita, maka terpaksa aku dan Ciok-supek berdua harus tinggal di penginapan ini untuk
menyambut dan melayani para tamu. Bu-siang, kau boleh terus naik gunung saja bersama Bengtayhiap.
Mumpung piaukomu sekarang belum begitu sibuk, kalian dua saudara yang sejak kecil
berpisah bisa bertemu dan omong-omong. Dia benar-benar amat kangen kepadamu!"
Sungguh sulit dilukiskan perasaan hati Lim Bu-siang. Piauko yang sudah sekian tahun berpisah
dan sejak kecil dipuja-pujanya bakal bertemu sebentar lagi, namun tak terduga olehnya mereka
bakal bertemu dalam situasi dan keadaan demikian ini, entah manis atau getir perasaan hatinya,
mungkin kecut juga. Sedang pikirannya gundah dan risau, belum lagi sempat menjawab, Beng Goan-cau sudah
tertawa riang dan berkata lebih dulu: "Baik, katanya Kim Tayhiap sudah tiba, aku pun ingin
bertemu padanya lebih cepat." Karena kata-katanya ini sudah tentu Lim Bu-siang terpaksa
menemaninya naik gunung. Thay-san dijuluki sebagai gunung tertinggi dan terindah pemandangan di antara Ngo-gak (lima
gunung) lainnya, meski bagi pandangan orang-orang modern sekarang sudah bukan termasuk
gunung yang paling tinggi, namun pada jaman dulu di mana lalu lintas belum begitu berkembang,
Thay-san merupakan salah satu puncak gunung yang menjadi pujaan para pelancong dan
pujangga-pujangga, merupakan puncak gunung yang sangat erat dan punya ikatan yang
mendalam dengan jalannya sejarah kerajaan dari beberapa dinasti di Tiongkok.
Beng Goan-cau dan Lim Bu-siang naik dari kaki gunung sebelah selatan, melewati deretan
pohon-pohon Pek-tong yang berjajar di kedua pinggiran jalanan, langsung menanjak ke lamping
Thay-san di mana terdapat sebuah Tiong-thian-bun (pintu langit tengah). Jurang di sebelah bawah
sana dinamakan Ing-jiu-jiam, puncak-puncak mencuat tinggi di atas jurang dinamakan Liong-houphan.
Di atas Tiong-thian-bun terdapat Hek-hong-gou (mulut angin hitam), batu-batu besar
menjulang ke langit, masing-masing dinamakan Toa-thian-to-hong (tonggak besar penyanggah
langit) dan Siau-thian-to-hong, bentuknya seolah-olah sepasang lilin tersulut yang mencakar
langit, setiap kali awan mega mengembang lewat menyelimuti pohon-pohon siong tua di puncak,
laksana lilin yang terpasang di langit ini mengepulkan asapnya.
Sepanjang jalan Beng Goan-cau menikmati panorama yang elok serta mengagumi batu-batu
ukiran dari syair para pujangga dari jaman lampau, sedemikian terpesona sampai kadang-kadang
berdiri diam sekian lamanya, mengelus-elus serta memujinya tidak kepalang tanggung.
Lim Bu-siang menjadi geli, katanya tertawa: "Jalan dengan caramu ini, mungkin setelah cuaca
gelap belum lagi tiba di Giok-hong-koan di puncak sana!"
Letak Tiong-thian-bun di puncak karang yang menonjol keluar, memandang ke atas mega tebal
mengembang meliputi puncak tinggi, ada kalanya seluruh puncak Thay-san terbungkus rapat oleh
awan gelap, ada orang mengatakan keadaan semacam itu sebagai puncak Thay-san mengenakan
topi, ini pertanda bakal turunnya hujan.
Memang cuaca tiba-tiba menjadi mendung, kabut semakin tebal, selepas mata memandang
kabut melulu tidak terlihat pemandangan apa-apa. Cuma Giok-hong-koan yang tertinggi di sana
lapat-lapat kelihatan, laksana sebuah pulau yang terpencil di tengah lautan.
"Thay-san mengenakan topi, mungkin sebentar bakal turun hujan!" demikian ujar Beng-Goancau.
Memang tidak lama kemudian benar-benar turun hujan.
Untunglah hanya hujan rintik-rintik, di saat-saat hujan rintik-rintik ini, mereka terus melanjutkan
naik ke sebelah atas. Lautan mega bergulung-gulung seperti air mendidih, tiba-tiba kumpul
menebal lain saat tersebar menipis, memetakan pemandangan berbagai gambaran yang aneh dan
lucu-lucu, seolah-olah seperti harimau atau singa, seperti pula seekor rajawali yang pentang
sayap, laksana kuda liar yang pentang ke empat kakinya berlari kencang dan lain-lain
pemandangan yang sulit di kuti satu per satu.
Lim Bu-siang sampai terlo-ngong, dalam hati ia membatin: "Awan mega banyak berubah,
seperti pula kejadian di dunia ini. Tapi apakah piauko banyak perubahan seperti awan yang tidak
bisa diraba dan diduga?"
Karena pikiran kurang tenang, tiba-tiba kakinya menginjak tempat kosong, hampir saja ia
terperosok masuk ke dalam jurang, untunglah Beng Goan-cau meraihnya.
Kata Beng Goan-cau tertawa: "Mega di atas Thay-san, meski merupakan pemandangan aneh,
namun kabut tebal membungkus puncak sehingga pandangan orang sulit melihat apa-apa. Nona
Lim, hati-hatilah sedikit. Eh, apa yang sedang kau pikirkan?"
Pertanyaan yang tidak sengaja, namun bagi yang ditanya merasa adanya maksud tertentu,
sesaat Lim Bu-siang melongo, sahutnya: "Terima kasih akan peringatanmu, aku tidak pernah
pikirkan apa-apa." Untung kabut amat tebal, Beng Goan-cau tidak melihat jelas air mukanya yang
bersemu merah malu. Beng Goan-cau tertawa, ujarnya: "Kau tidak punya pikiran, aku justru sedang pikirkan sebuah
urusan!" "Urusan apa, boleh bicarakan dengan aku?" demikian tanya Lim Bu-siang, sementara dalam
hati ia berpikir: "Sepanjang jalan ia berdiam diri tidak banyak bicara, mungkinkah punya persoalan
pribadi apa?" Wataknya memang jujur dan berhati suci, punya rasa simpatik dan iba terhadap
sesama kawan, oleh karena itu meski ia tahu bahwa Utti Keng sedang berdaya hendak merangkap
perjodohannya dengan Beng Goan-cau, sedikit banyak membuat kerisauan dan keraguan dalam
sanubarinya, saat mana, sedikit pun ia tidak pernah memikirkannya lagi atau menjadi ganjalan
dalam lubuk hatinya. Agaknya Beng Goan-cau mengerti apa yang dia pikirkan, katanya: "Bukan urusan mengenai
persoalan pribadiku, yang kupikir adalah urusan partai kalian. Sepak terjang beberapa orang
anggauta partai kalian benar-benar membuat aku serba bingung dan tidak mengerti, entah
pantaskah aku mohon penjelasan kepada kau?"
Lim Bu-siang memang tidak curiga dan menaruh prasangka terhadap seseorang yang sudah
dikenalnya baik, tapi hal ini bukan berarti otaknya bodoh atau tumpul. Setelah mendengar
penjelasan ini ia baru paham dan berkata: "Utti Keng adalah sahabat kental ayah dan Kim
Tayhiap, namun menjadi musuh besar dari suheng dan susoku, apakah kau merasa persoalan ini
rada janggal?" "Entah cara bagaimana terjadinya ikatan permusuhan ini?"
"Untuk menjelaskan cukup panjang ceritanya, terpaksa harus mulai dari sejak mula Hu-siangpay
kita pulang ke daerah Tionggoan. Asal usul partai kami, kukira kau sudah cukup jelas bukan?"
"Kabarnya didirikan oleh Jan-bau-khek maha guru silat di luar lautan pada dinasti Tong dulu."
"Benar. Cikal bakal partai kami adalah Jan-bau-khek pada dinasti Tong, semula beliau punya
cita-cita hendak meluruk kembali ke Tionggoan dan berkuasa di sini, akhirnya melihat Tong Thaycong
Li Si-bin berkuasa, tahulah dia bahwa daerah Tionggoan sudah punya calon junjungan agung
yang asli, maka beliau lantas mengasingkan diri di luar lautan untuk memperdalam ilmunya, pulau
di mana beliau bersemayam diberi nama Hu-siang-to. Muridnya yang terbesar adalah maha guru
generasi kedua dari partai kami yang bernama Boh Jong-liong, beliau adalah nenek moyang
langsung dari piaukoku."
"O, ternyata begitu, tak heran partai kalian menjunjung piaukomu sebagai angkatan yang lebih
muda sebagai ciangbunjin, ini berarti sesuai dan mengikuti tradisi."
"Begitulah, maka susiokku Cong Sin-liong tidak terima dan tidak mau tunduk."
"Sejak dinasti Tong sampai sekarang, partai kami sudah didirikan ribuan tahun lamanya, kini
terpecahlah menjadi tiga cabang, semua tersebar di luar lautan, anggauta seperguruan sendiri ada
kalanya tidak saling mengenal. Piaukoku termasuk dari cabang yang asli murni, ayahku dari
cabang lain, demikian pula Cong Sin-liong dan Ciok-suko beramai dari cabang yang lain pula."
"Kami ayah beranak lebih dulu tiba di Tionggoan, rombongan kedua adalah Cong Sin-liong dan
enam orang suheng dan suci, mereka bergelar Hu-siang-cit-cu. Piausoku Lian Jay-hong semula
termasuk salah satu dari Hu-siang-cit-cu itu."
"Pertama kali tiba di Tionggoan, Hu-siang-cit-cu tidak tahu situasi dan keadaan, maka dengan
mudah mereka kena dipelet dan disogok oleh pihak kerajaan, dalam hal ini secara langsung
menguntungkan Sat Hok-ting, lama kelamaan Cong
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sin-liong menjadi tangan kanan dan pembantunya yang paling dipercaya, secara suka rela dia
terima diperbudak dan tunduk pada perintahnya."
"Utti Keng merupakan begal kuda, penjahat yang harus diringkus oleh pihak kerajaan, suatu
ketika dia bentrok dengan Hu-siang-cit-cu. Cong Sin-liong kena dikalahkan oleh permainan ilmu
golok cepat Utti Keng, Ciok-suko suami istri juga terluka oleh sambitan senjata rahasia Jian-jiukoan-
im Ki Seng-in, istri Utti Keng, sejak itulah mereka mengikat permusuhan yang mendalam.
"Namun dalam menghadapi persoalan terima menghamba dan menjual jiwa bagi pihak
kerajaan, Hu-siang-cit-cu sendiri masing-masing terbit perselisihan pendapat, tujuh orang terbagi
tiga pendapat yang berlainan, maka akhirnya ketiga kelompok orang ini terpecah dan hidup
sendiri-sendiri." "Siapa saja ketiga kelompak itu?"
"Kelompok pertama berpendapat, berhubungan erat dengan Sat Hok-ting bisa memperoleh
sedikit keuntungan dan bisa mendapat fasilitas pula, kalau toh kedua pihak bisa mendapat
keuntungan masing-masing, apa salahnya hubungan dilanjutkan lebih kental. Akan tetapi,
betapapun mereka sudah kena diperalat oleh orang, sedikit banyak menurunkan derajat sebagai
tokoh kosen persilatan. Kelompok kedua semula secara gegabah saja mengekor pada kehendak
Cong Sin-liong, akhirnya memisahkan diri. Dan yang terakhir adalah antek-antek yang patuh dan
setia menjadi ekor Cong Sin-liong. Ciok-suheng suami-istri adalah kelompok pertama, piauso Lian
Jay-hong adalah kedua dan tiga orang yang lainnya mengikuti jejak Cong Sin-liong, mereka
termasuk kelompok ketiga."
"Akhirnya Lian Jay-hong menikah dengan piauko dan tertarik ke pihaknya, sejak saat itu, Husiang-
cit-cu secara resmi terpecah dan mencari jalan hidupnya sendiri-sendiri. Cong Sin-liong dan
piauko-ku merupakan dua pihak yang bermusuhan. Semula, aku tidak tahu akan peristiwa ini, Kim
Tiok-liu toakolah yang menceritakan kepada aku."
"Piausoku waktu kecil adalah tetangga kami, akhirnya kami ayah beranak kembali ke Tionggoan
dan berpisah dengannya. Entah bagaimana akhirnya dia menjadi murid Cong Sin-liong, namun
akhirnya dia berkhianat terhadap perguruan dan menikah sama piauko. Sejak kecil kami sudah
membahasakan laci adik, maka tidak perlu mempersoalkan tingkat dan kedudukan segala."
"Bahwa Ciok-suko dan piausomu sudah paham dan sadar dari kesesatan, kenapa pula mereka
masih begitu dendam terhadap Utti Keng?"
"Selamanya mereka amat mengagulkan diri dan memang bersifat congkak, beberapa tahun
yang lalu Kim-toako pernah mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan mereka, maka
terjadilah perkelahian yang seru!"
"Dalam mendirikan partai dan menegakkan aliran perguruan kali ini, adakah piaukomu
mengundang kelompok Cong Sin-liong?"
"Hal ini aku tidak tahu!" Sejenak Lim Bu-siang berpikir lalu tambahnya: "Beng-toako, kabarnya
kau adalah pahlawan dari pasukan gerilya di Siau-kim-jwan, apa benar?"
"Mana berani aku disebut "pahlawan" segala, yang benar aku hanya sedikit menyumbangkan
tenagaku bagi kepentingan pasukan pergerakan belaka."
"Kim Tiok-liu toako dan paman Utti Keng sama punya hubungan yang erat dengan pihak laskar
gerilya, menurut apa yang pernah kudengar dari cerita Kim toako, piaukoku pun ada sedikit kontak
dengan pasukan pergerakan, namun hubungan mereka jauh berlainan pula dengan hubungan
Kim-toako dengan pihak laskar gerilya, apa kau paham akan maksudku?"
Beng Goan-cau tersentak sadar, pikirnya: "Benar. Boh Cong-tiu hanya boleh dianggap sahabat
pihak laskar gerilya, atau dikatakan saja sedikit menaruh simpatik pada pasukan pergerakan. Tidak
semestinya aku terlalu menaruh harapan besar terhadapnya. Anggauta perguruannya banyak yang
tidak cocok dengan kaum pendekar, kukira hal ini tidak perlu dibuat heran."
Sementara Lim Bu-siang sendiri pun sedang berpikir: "Sudah beberapa tahun piauko pulang ke
Tionggoan, hubungannya begitu kental dengan Kim-toako, seharusnya dia sudah dapat
membedakan mana buruk mana yang baik, betapapun dia tidak akan mengingkari diri terhadap
para sahabat dari kaum pendekar dan laskar gerilya, sebaliknya terima mengekor terhadap pihak
kerajaan." Masing-masing punya jalan pikiran yang berlainan, begitulah mereka beranjak terus naik ke
atas gunung. Jalan pegunungan di sebelah atas semakin licin dan sempit amat berbahaya,
akhirnya tibalah mereka pada daerah yang dinamakan Cap-pwe-ban (delapan belas lingkaran),
jalan di sini justru yang paling terkenal amat berbahaya, sedikit lena elmaut menanti jiwa orang.
Dinamakan Cap-pwe-ban karena jalanan di sini melingkar-lingkar dan berlika-liku naik turun di
lamping gunung yang terjal. Ada sebuah pepatah yang melukiskan betapa berbahayanya jalanan
Cappwe-ban ini: "Bila yang di depan menoleh ke belakang, yang kelihatan hanyalah kepala
manusia, sebaliknya orang yang di belakang mendongak ke atas yang kelihatan hanyalah kaki
depannya." Kabut semakin tebal, cuaca semakin pekat, meski kepandaian mereka tinggi, tak urung jantung
jadi kebat-kebit dan was-was, beberapa kejap lagi, tiba-tiba seperti mendapatkan sesuatu apa
Beng Goan-cau berseru keheranan.
Lim Bu-siang menyangka kakinya hampir terpeleset, cepat ia menarik lengannya serta katanya:
"Awas, hati-hati lumut di atas batu licin sekali."
Cepat Beng Goan-cau mendesis dan berkata lirih: "Coba kau dengar, lapat-lapat kudengar
beradunya sesuatu benda."
Di sebelah depan sana mereka bakal melewati sebidang hutan siong, angin pegunungan
menghembus deras sehingga suaranya bersuitan membisingkan telinga, seperti damparan ombak
laut yang pasang, laksana derap kaki kuda di medan laga.
Lim Bu-siang tertawa, katanya: "Mungkin pendengaranmu yang salah, bukan mustahil
hembusan angin mematahkan daun-daun pohon."
"Mari coba kita ke sana, hati-hati ringankan langkah kakimu!" Sambil berindap-indap mereka
memasuki hutan siong yang menjulang tinggi.
Berkata Lim Bu-siang: "Pohon-pohon siong di sini tinggi besar dan rimbun daunnya, dahan
sama dahan saling berdempetan sambung menyambung sehingga menutupi angkasa, tempat
yang cocok untuk berteduh."
Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari hutan, hujan sudah berhenti, maju lebih lanjut
mereka dihadang sepasang puncak menjulang yang mengapit jalan kecil yang harus mereka
lewati, dari lamping kedua puncak ini masing-masing tumbuh menjulur keluar sebatang pohon
siong yang cukup besar. Jarak antara kedua pohon ini kira-kira puluhan tombak jauhnya. Tiba-tiba
Lim Bu-siang berseru: "Lekas kau lihat dengan seksama, di atas pohon itu kelihatannya ada
bayangan orang." Tampak di antara jarak kedua pohon itu, ada beberapa dahan pohon sedang saling sambar
pergi datang berseliweran, sekonyong-konyong kilat menggeleger, betul-betul juga samar-samar
kelihatan di atas kedua pucuk pohon itu masing-masing bersembunyi seseorang di dalam semak
dedaunan yang rimbun. Beng Goan-cau berkata setengah berbisik: "Agaknya kedua orang ini sedang bertanding
pedang, jangan kita mengganggu keasyikan mereka."
Sebetulnya tidak perlu Beng Goan-cau memperingatkan, Lim Bu-siang sudah berdiri menjublek
dengan mulut melongo takjub.
Kedua orang itu duduk di puncak dahan pohon yang rada kecil, tangan masing-masing
menyekal sebatang dahan pohon, sementara di tengah udara ada empat batang pohon sedang
meluncur pergi datang bolak-balik. Setiap kali dahan pohon meluncur datang kedua orang itu
lantas menyampukkan dahan pohon di tangan mereka masing-masing, maka dahan pohon yang
melayang datang itu kena disampuk balik ke arah lawan. Setiap kali kena disampuk balik, dahan
pohon itu meluncur dengan kecepatan deras mengeluarkan deru angin keras, dari sini dapatlah
membuktikan bahwa Iwekang kedua orang ini bukan olah-olah hebatnya.
Dan yang membuat orang lebih heran, kelihatannya mereka sedang adu menyambit senjata
rahasia, namun bagi pandangan seorang ahli silat, dapatlah orang tahu bahwa kedua orang ini
sedang bertanding ilmu pedang tingkat tinggi.
Setiap menyampuk terbang dahan pohon, masing-masing melancarkan tipu yang banyak
perubahan dan mengandung variasi yang serba rumit.
Ada kalanya dahan pohon itu meluncur kencang seperti anak panah, tiba di tengah jalan
mendadak bisa membelok, yang diarah pertama adalah tenggorokan musuh, namun tahu-tahu
menukik menusuk ke perut, semula mengarah Thay-yang-hiat di pelipis lawan, tiba-tiba membelok
ke arah Hoan-tiau-hiat di lutut orang. Ke empat dahan pohon itu simpang siur meluncur cepat
namun tidak pernah saling bentur di tengah udara, kelihatannya pasti saling bertumbukan namun
tiba-tiba membelok ke arah lain terus menerjang ke arah lawan. Seolah-olah seperti dua tokoh
pedang yang menyembunyikan diri sedang bertanding pedang di tengah angkasa, bisa
mengendalikan senjata masing-masing seenak menurut nurani masing-masing, perubahannya
banyak ragam dan sulit dimengerti.
Beng Goan-cau tahu kedua tokoh yang sembunyi di atas pohon, Iwekangnya sudah mencapai
puncak tertinggi, maka mereka mampu menggunakan dahan pohon sebagai batang pedang untuk
mengendalikan dahan-dahan pohon itu meluncur ke arah lawan, tenaga yang digunakan amat
tepat dan persis sekali. Begitu terpesona ia menonton adegan adu pedang yang menakjubkan ini, hatinya lantas
berpikir: "Pertunjukan hebat yang menggunakan tenaga dalam dikombinasikan dengan permainan
pedang dan sambitan senjata rahasia dalam gebrak yang bersamaan terpaut antara dua lamping
gunung, benar-benar belum pernah saksikan atau dengar. Siapakah mereka ini?" Lalu terpikir pula
olehnya: "Di atas langit masih ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai, kata-kata ini
ternyata memang tidak meleset. Waktu di Siau-kim-jwan pernah kusaksikan permainan pedang
Siau Ci-wan dari partai Ceng-seng-pay, aku harus mengaku asor. Beberapa hari yang lalu bentrok
dengan Utti Toako, golok cepatnya membuat aku tunduk lahir batin, kini pertunjukan ilmu pedang
kedua orang ini begini hebat dan liehay, jauh di atas kemampuan Siau Ci-wan dan golok cepat Utti
Keng. Em, tusukan pedang ini menyelonong tiba dari arah yang tidak terduga oleh lawan kalau
aku sendiri yang menghadapi, sungguh tak tahu cara bagaimana harus membela diri?"
Kabut bergulung-gulung semakin tebal, jarak mereka masih puluhan tombak, kedua tokoh
kosen itu agaknya sedang mengkonsentrasikan diri menghadapi pertandingan pedang tingkat
tinggi, agaknya belum mengetahui akan kedatangan mereka yang sudah sembunyi tak jauh di
tempat pertandingan. Bahwa Beng Goan-cau sudah merasa takjub, sebaliknya Lim Bu-siang lebih keheranan dan
melongo. Kalau Beng Goan-cau amat kagum dan terpesona akan permainan adu pedang dari
tingkat tinggi, sebaliknya Lim Bu-siang melongo karena yang dia lihat adalah permainan pedang
tingkat tinggi dari perguruannya.
Dahan pohon timbul tenggelam di tengah udara laksana dua ekor naga yang sedang bergulat,
begitu mendekat lantas kena disampuk mental oleh orang yang sembunyi di atas pohon, terbang
balik ke arah lawan, lincah dan gesit, seolah-olah sedang beradu pedang sungguhan. Adalah
jurus-jurus permainan pedang ini, jauh berbeda dengan jalan tipu-tipu pedang dari aliran
Tionggoan yang ada. Beng Goan-cau tidak tahu dan tidak bisa menyelami di mana letak intisari
dari kehebatan ilmu pedang ini, sebaliknya Lim Bu-siang tumplek seluruh perhatiannya, sekali
pandang lantas ia tahu bahwa jurus tipu adu pedang ini jelas adalah ilmu pedang perguruannya.
Kedua orang itu sembunyi di semak-semak rimbunnya dedaunan pohon, kabut tebal lagi,
sehingga Lim Bu-siang tidak bisa melihat jelas, siapakah kedua orang ini. Tapi di antara sekian
banyak anggauta perguruannya, siapa yang mampu dan punya latihan yang setaraf demikian
tinggi, rasanya tiada, hal ini ia jelas mengetahui.
"Kecuali ayah, Cong Sin-liong tidak mungkin mencapai taraf begitu tinggi, mungkin piauko
adanya" Lalu siapa pula lawannya?"
Di saat pikirannya meraba-raba dan belum memperoleh pemecahannya, tiba-tiba didengarnya
suara "krak!", dua batang dahan saling bentrok di tengah udara, satu di antaranya patah menjadi
dua, sementara batang yang lain masih meluncur terus ke arah lawannya.
Orang yang sembunyi di pohon sebelah kanan segera menyampuk jatuh dahan yang meluncur
datang itu serta berseru: "Kim-heng, aku sudah menggembleng diri selama tiga tahun, betapapun
aku harus mengaku asor setingkat di bawahmu."
"O, ternyata Kim Toako adanya, bagaimana mungkin dia pun bisa memainkan ilmu pedang
perguruan kami?" demikian Lim Bu-siang bertanya-tanya dalam hati. Belum lenyap pikirannya,
sekonyong-konyong didengarnya seseorang berseru memuji: "Bagus!", suaranya seperti benturan
senjata keras yang memekakkan telinga, jelas sekali.
Ternyata kedua orang yang bertanding pedang ini adalah Kim Tiok-liu dengan Boh Cong-tiu,
Kim Tiok-liu amat berbakat dan pintar luar biasa, dari keturunan keluarga persilatan yang
membekal ilmu luas dan tinggi lagi. Ilmu pedang dari, berbagai partai dan golongan, asal dia
pernah melihatnya, tentu tidak akan dilupakannya. Bukan saja dia tidak melupakan apa yang
pernah dilihatnya, malah bisa pula diolah sendiri serta dikombinasikan dengan ilhamnya lalu
menciptakan sesuatu jurus pedang baru yang lain dari yang lain. Banyak kaum persilatan yang
berpendapat bahwa kepandaian silatnya sekarang sudah jauh melampaui Kang Hay-thian,
suhengnya, jago silat nomor satu pada jaman itu.
Sejak berkenalan dengan Boh Cong-tiu, setiap kali bersua, seperti menjadi tradisi mereka pasti
akan saling menjajal ilmu pedang masing-masing, maka terhadap inti sari ilmu pedang pihak Husiang-
pay, lambat laun ia berhasil menyelami semakin dalam. Tapi karena selamanya dia tidak
pernah menyinggung soal ini kepada Lim Bu-siang, maka walaupun Lim Bu-siang menetap di
rumahnya sekian lamanya, sedikit pun ia tidak tahu bawa Kim Tiok-liu bisa pula memainkan ilmu
pedang dari perguruannya.
Begitu keras seru pujian orang itu sehingga suaranya bergema sambung menyambung di
lembah pegunungan. Keruan Kim Tiok-liu terkejut, teriaknya: "Tokoh kosen darimanakah, silakan
keluar untuk berkenalan!"
Baru saja Beng Goan-cau kegirangan, pikirnya: "Kiranya benar Kim-tayhiap adanya." Namun
karena kebetulan terbentur peristiwa ini, yang dipersilakan keluar oleh Kim Tiok-liu adalah tokoh
kosen itu, maka ia jadi beragu diri, entah perlukah dia.segera keluar untuk bertemu dengannya.
Dalam detik yang amat pendek itulah, tiba-tiba didengarnya desiran angin senjata rahasia yang
menyambar datang, kiranya Boh Cong-tiu memetik beberapa dahan pohon, menggunakan
sambitan Lian-cu-cian menyambit ke arah Beng Goan-cau.
Bila latihan lwekang sudah mencapai puncak tertinggi, orang bisa memetik daun menerbangkan
kelopak kembang untuk melukai orang' sampai mati. Meski Boh Cong-tiu sendiri belum mencapai
tingkatan setaraf itu, kemampuannya sekarang sudah termasuk kelas wahid yang cukup hebat,
dahan pohon yang disambitkan laksana anak panah itu meluncur pesat mengeluarkan suara
mendesing keras. Keruan Beng Goan-cau terperanjat, untunglah kepandaian permainan golok
cepatnya amat sempurna, begitu goloknya terlolos dari sarungnya, beruntun ia menyampuk jatuh
dahan-dahan pohon yang menyambar tiba.
Golok cepatnya membabat dan memotong cepat luar biasa, maka terdengarlah suara
gemerincing yang nyaring bersambung, itulah goloknya berhasil memapas kutung dahan-dahan
pohon yang menyambar datang menjadi berkeping-keping. Sekaligus Beng Goan-cau berhasil
memapas tujuh batang dahan sambitan Boh Cong-tiu, namun masih dua batang yang lain
meluncur datang dari arah yang tidak terduga olehnya
Kedua batang pohon ini mengarah kedua jalan darah mematikan di tubuhnya, baru saja Beng
Goan-cau mengeluh 'celaka', tak nyana suatu keanehan yang ajaib mendadak terjadi, sungguh
berada di luar dugaannya, kedua batang dahan pohon itu mendadak membelok arah menancap di
atas batang pohon di sebelah belakangnya.
Tempat kedudukan Kim Tiok-liu dengan Boh Cong-tiu memang terpaut puncak gunung, jarak di
antara keduanya tidak lebih hanya beberapa tombak saja, sekali lompat Kim Tiok-liu bisa
mencapainya dengan mudah, sebelum Boh Cong-tiu bergerak ia sudah mendahului melompat
datang tiba di tempat persembunyian Beng Goan-cau.
Segera Boh Cong-tiu berteriak: "Kim-heng, ringkus saja hidup-hidup biar nanti kukompes
keterangannya. Hm, ingin aku melihat orang macam apa yang begitu besar nyalinya berani
mencuri lihat ilmu pedangku!"
Lekas Lim Bu-siang meloncat keluar dari belakang batu cadas, serunya: "Kim-toako, inilah Beng
Tayhiap Beng-toako yang kau suruh aku mengantar kabar kepadanya."
Kim Tiok-liu bergelak tertawa, serunya: "Boh-heng, kau salah terka. Lekas kau kemari lihatlah
siapa dia?" Boh Cong-tiu melengak, sekian saat ia mengamati Lim Bu-siang, akhirnya baru berteriak kejut:
"Kau, kau, kaukah Bu-siang?"
"Tidak salah!" sahut Lim Bu-siang, "Piauko, tak nyana kau masih kenal aku."
"Tadi apakah bukan saudara Beng ini yang berseru memuji?" tanya Boh Cong-tiu.
"Orang itu sudah pergi jauh," ujar Kim Tiok-liu.
Diam-diam Boh Cong-tiu malu diri, katanya: "Ke mana orang itu melarikan diri aku tidak tahu,
malah hampir saja melukai saudara Beng ini!"
Kim Tiok-liu menghela napas, ujarnya: "Orang itu pergi datang tanpa meninggalkan jejak,
benar-benar seorang aneh seperti naga yang kelihatan ekornya tidak tampak kepalanya. Sayang
tidak mau unjukkan diri berkenalan dengan kita."
Boh Cong-tiu seperti memikirkan apa-apa, katanya sesaat kemudian: "Di antara para tamu
undangan kecuali kau, betapapun tiada seorang kosen setinggi itu- Ya, kukira kedatangannya ini
pasti punya sesuatu tujuan tertentu, mau tidak mau aku harus berjaga-jaga dan waspada."
Tergerak hati Kim Tiok-liu, katanya: "Boh-heng, adakah kau sudah tahu siapakah orang itu?"
sementara dalam hati ia berpikir: "Kalau tidak sebagai seorang tuan rumah, begitu mendengar
suara lantas turun tangan secara keji. Masakah dia tidak kuatir salah melukai orang?"
"Dulu di waktu aku pertama kali tiba di Tionggoan, pernah bertemu dengan seorang aneh,"
demikian tutur Boh Cong-tiu. "Waktu itu entah apakah dia sengaja hendak mencoba-coba ilmu
silatku atau sengaja hendak mencelakai jiwaku, kami bertemu muka di suatu jalan pegunungan
yang licin dan berbahaya, mendengar aku dari Hu-siang-pay, mendadak mengajak aku bertanding
silat dan terus gebrak tanpa memberi aba-aba, setiap jurus permainannya amat telengas, terpaksa
aku harus adu jiwa melawannya di atas jurang. Akhirnya aku kena terpukul olehnya dan jatuh
sakit tiga bulan, namun dia pun mendapat sedikit cedera olehku. Sampai sekarang aku masih
belum tahu asal-usulnya."
Kim Tiok-liu heran, katanya:
"Ada tokoh sekosen itu yang mampu melukai kau. namun sedikit pun aku tidak tahu, sungguh
heran!" Maklum Kim Tiok-liu dan suhengnya Kang Hay-thian punya persahabatan yang amat luas
dengan orang-orang gagah dari seluruh dunia, tokoh-tokoh bulim yang kenamaan tiada yang tidak
mereka kenal, bila benar-benar ada seseorang aneh seperti yang dituturkan oleh Boh Cong-tiu ini,
dan belum diketahuinya, paling tidak suhengnya pasti tahu.
Tapi yang mengherankan Kim Tiok-liu bukan karena dia tidak tahu adanya tokoh seliehay itu,
adalah kejadian yang barusan dialami ini, kenapa baru sekarang Boh Cong-tiu mau menceriterakan
orang itu" Karena dialah pertama yang paling erat hubungannya dengan Boh Cong-tiu sejak
pertama kali dia tiba di Tionggoan, sudah sekian tahun lamanya mereka kenal satu sama lain,
sering Boh Cong-tiu minta petunjuk nama serta riwayat tokoh-tokoh kangouw yang kenamaan
padanya, tapi kenapa dia sendiri tidak pernah menyinggung orang aneh yang pernah membuatnya
jatuh sakit tiga bulan. Memangnya Kim Tiok-liu seorang yang simpatik terhadap teman, beberapa tahun terakhir ini di
bawah petunjuk dan nasehat suhengnya, dia sudah banyak maju dan tahu banyak mengenai
selukbeluk kehidupan kaum persilatan. Diam-diam ia berpikir: "Mungkin dia punya kesulitan yang
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mungkin dikemukakan kepada orang luar, tidak enak aku perlu mengetahui seluk beluk
rahasia pribadi orang." Maka ia lantas berkata: "Kalau tahu demikian, sebetulnya tidak perlu aku
merintangi kau turun tangan!"
Boh Cong-tiu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Untung dua kali kau merintangi aku turun
tangan, kalau tidak jadi berbuat salah terhadap saudara Beng ini. Beng-heng, harap kau suka
maafkan kesalahan pahamku."
Baru sekarang Beng Goan-cau tahu bahwa tadi Boh Cong-tiu sekaligus menyambitkan senjata
rahasianya kedua jurusan, sementara dahan pohon yang disambitkan ke arah dirinya secara diamdiam
telah disampuk miring dan kendor tenaga luncurannya karena rintangan tenaga dalam yang
dikebutkan oleh lengan baju Kim Tiok-liu. Namun demikian di kala ia memapas kutung dahandahan
pohon sambitan Boh Cong-tiu dengan golok cepatnya, telapak tangannya sampai tergetar
sakit kesemutan, diam-diam bercekat hatinya, pikirnya: "Kim Tayhiap dijuluki jago nomor satu di
seluruh jagat, kiranya memang tidak bernama kosong, secara diam-diam ia sudah menolong
jiwaku tanpa kusadari, ai, dulu pandanganku terlalu cupat seperti duduk dalam sumur memandang
langit, tak tahu betapa besarnya dunia ini, tak nyana di dunia ini terdapat tokoh silat yang
sedemikian liehaynya. Kepandaian Kim Tayhiap jelas jauh berada di atas diriku, meski Boh Congtiu
sendiri pun aku tidak bakal bisa mengungkulinya meski berlatih sepuluh tahun lagi."
Setelah Boh Cong-tiu ajak Kim Tiok-liu mengobrol sebentar, lalu ia bicara lagi: "Sudah lama aku
mengagumi para pahlawan dari Siau-kim-jwan, kebetulan Beng-heng sudi datang, sehingga partai
kami mendapat pandangan yang lebih cemerlang, kelak harap Beng-heng suka memberi beberapa
petunjuk!" Selama itu Lim Bu-siang tiada kesempatan ikut menimbrung bicara, hatinya jadi merasa hampa
dan mendelu. Beberapa tahun ini dia sering berpikir, entah bagaimana keadaannya bila dirinya
Kampung Setan 8 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Badai Awan Angin 7
Dengan demikian persoalanku ini tidak akan menyangkut paut kalian."
Siau-hujin merengut, katanya kurang senang: "Meski aku kaum hawa, namun pundakku masih
kuasa memikul tugas dan tanggung jawab seringan itu."
"Bukan begitu persoalannya, mana aku berani pandang rendah toaso, aku cuma tidak suka
merembet kalian saja. Dan lagi kalau ada cara penyelesaian yang baik dan menguntungkan dua
pihak, kenapa pula kalian harus ikut terjun dalam persoalan ini" Siau-toaso, kalau kau tidak setuju,
terpaksa sekarang juga aku minta diri saja."
Siau-hujin menjadi geli, ujarnya: "Kalau begitu, kuharap orang she Lian itu tidak cepat-cepat
datang kemari malah, lebih baik dalam tempo satu setengah tahun baru akan datang, dengan
demikian kau bisa lebih lama menetap di rumahku."
"Yang kukuatirkan justru aku menunggu secara sia-sia, karena mungkin aku hanya bisa
menetap paling lama satu bulan di sini. Kalau aku sudah pergi baru mereka meluruk datang, itu
berarti membikin kesulitan bagi kalian. Maka, demi keselamatan kalian sudah kupikirkan pula
suatu akal yang baik sekali."
"Aku tahu ilmu silatmu cukup tangguh, tak nyana kau pun seorang cerdik pandai yang pintar
memutar otak." "Kuharap toaso sendiri tidak merasa direndahkan, karena akal yang kusimpulkan ini mungkin
bisa membuat kalian risi." Lalu dikeluarkannya beberapa lembar kedok muka yang tipis lembut,
katanya lebih lanjut: "Inilah kulit muka palsu yang kudapat dari Biau-kiang pada sepuluh tahun
yang lalu, buatannya amat bagus, lemas lembut dan halus bisa memuai lebih besar dan
mengkeret lebih kecil, bisa dibuka dan dipakai di muka kita, tanggung tidak akan dikenal oleh
orang lain. Waktu itu aku hanya merasa senang karena cukup menarik buat mainan, maka
kukumpulkan sepuluh buah dengan corak yang berlainan pula, ada beberapa lembar sudah
kuberikan kepada para teman, sekarang kebetulan sisa empat lembar untuk kalian berempat.
Jikalau aku tidak sempat menunggu lebih lama lagi, tiada kesempatan untuk menyelesaikan
pertikaianku dengan mereka, ada lebih baik kalian lekas-lekas meninggalkan tempat ini saja."
"Tak nyana sedemikian cermat dan seksama kau pikirkan keadaan kami," demikian ujar Siauhujin.
Maklumlah Siau-hujin, Hun Ci-lo berempat semua sudah pernah dilihat dan bertemu muka
secara langsung dengan Lian Kam-peh, terutama Siau-hujin sendiri yang cukup dikenal oleh
beberapa kalangan persilatan di kangouw, kalau toh hendak menyingkir ke tempat lain yang jauh,
ada lebih baik jangan sampai diketahui muka aslinya oleh orang.
"Jikalau kalian mengenakan kedok palsu ini, kutanggung sahabat karibmu pun tidak akan kenal
lagi pada kau," demikian ujar Miao Tiang-hong. "Cuma ada suatu hal yang kumohon maaf pada
kalian, majikan dari beberapa lembar kedok palsu ini sama adalah perempuan-perempuan buruk
yang menjijikkan." "Aku toh nenek tua yang sudah berkeriput dan berambut ubanan, masa perlu mempersoalkan
baik buruk muka orang" Cuma keponakanku yang berparas sedemikian cantik laksana bidadari ini,
kini harus berganti muka seburuk kuntilanak, sungguh harus merendahkan derajatnya saja."
Hun Ci-lo menimbrung bicara-. "Kalau mengenakan kedok palsu ini, aku kuatir aku bisa mual
dan muntah-muntah." "Kalau bisa menghindari penggunaannya sudah tentu lebih baik," demikian ujar Miao Tianghong.
"Tapi tiada jeleknya kita bersiap lebih dulu."
Terpaksa Hun Ci-lo menerima pemberian orang, ia nyatakan terima kasih akan hadiah yang
diterimanya itu. "Kenapa putrimu dan nona Cau tidak kelihatan"'" tanya Miao Tiang-hong.
"Mungkin sedang main-main di luar, biar sebentar kupanggil mereka pulang."
"Biar aku saja yang panggil mereka. Mereka sudah kenal akan Liong-ling-kangku." Lalu ia
bersuit panjang, suaranya menjulang tinggi ke angkasa seperti naga berpekik. Siau-hujin merasa
kupingnya mendengung dan tergetar. Sebaliknya Hun Ci-lo yang sudah pernah dengar Liong-lingkangnya
ini di danau tempo hari tidak merasa heran. Adalah Siau-hujin, merasa sangat kagum,
pikirnya: "Tak heran Siok-toh sering memuji akan bakatnya yang tinggi, seorang jenius dalam
bidang ilmu silat. Usianya belum mencapai empat puluh tahun, tapi mengandal hasil latihan
Lwekangnya ini, kiranya sudah berada di atasku."
Tak lama kemudian tampak Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi berlari-lari pulang. Dari kejauhan
segera Siau Gwat-sian berseru: "Aku sedang latihan pedang di belakang gunung sama Hwi-ci,
tidak tahu bila paman Miao sudah datang pula. Bu. kenapa kau tidak lekas-lekas panggil kami
pulang?" Sementara Cau Ci-hwi tidak melihat kehadiran Tan Kong-si diam-diam hatinya amat
kecewa. "Kali ini aku datang sendirian, aku kuatir kalian tidak akan mau menyambut kedatanganku," lalu
ia jelaskan, bahwa Tan Thian-ih bersama Tan Kong-si hendak pergi ke Thay-san, kepada mereka.
Kena ditebak isi hatinya, merah muka Ci-hwi, katanya: "Paman Miao suka menggoda saja, kami
sedang latihan ilmu pedang, memangnya sedang mengharap-harap petunjuk seorang ahli pedang
kau ini." "Ahli pedang memangnya sudah berada di rumah kalian, kenapa harus minta bantuan dari luar
segala?" goda Miao Tiang-hong.
"Miao-siansing terlalu sungkan, aku sendiri pun ingin mohon petunjuk beberapa jurus pedang
kepada kau," demikian pinta Hun Ci-lo.
Memang Siau-hujin sedang mengharap keakraban hubungan mereka, lekas ia ikut bicara:
"Tepat sekali. Sedikit sekali orang luar yang mengenal Sip-hun-kiamhoat warisan keluarga Ci-lo.
Sekali pandang kau lantas mampu menyebut namanya, memangnya aku sedang merasa heran.
Tidak heran banyak orang sama mengatakan bahwa pengetahuanmu mengenai ilmu silat amat
luas dan dalam, ternyata memang tidak bernama kosong. Kau tidak usah sungkan-sungkan,
pandanglah mukaku dan berilah beberapa petunjuk padanya."
"Toaso kau menempel emas di mukaku lagi. Intisari dan rahasia ajaran dari Sip-hun-kiamhoat
aku hanya tahu kulitnya saja, sebaliknya nona Hun mendapat warisan langsung, kalau mau bicara
soal minta petunjuk seharusnya istilah ini dibalik saja."
Siau Gwat-sian terkikik geli, ujarnya: "Paman Miao biasanya kau cukup toleran dan terbuka,
belum pernah kulihat kau bersikap plintat-plintut main diplomasi segala. Sudahlah tidak perlu
sungkan-sungkan, tidak perlu menggunakan istilah 'petunjuk', marilah kami sama menjajal
kepandaian masing-masing saja, kalian boleh jajal ilmu pedang masing-masing supaya kami
berdua tambah pengalaman."
Hari kedua benar juga Miao Tiang-hong bersama Hun Ci-lo bertiga pergi latihan pedang ke
hutan bunga Bwe. Kata Cau Ci-hwi: "Paman Miao, kau tidak membawa pedang, cara bagaimana
latihannya" Sementara silakan pakai saja pedangku?"
"Tidak usahlah!" sahut Miao Tiang-hong. lalu dipotesnya sebatang dahan pohon, katanya:
"Nona Hun, silakan kau kembangkan Sip-hun-kiamhoat, serang saja sekuat tenagamu, jangan
kuatir!" Hun Ci-lo tahu ilmu silat orang memang tangguh, maka dia tidak usah kuatir pedangnya bakal
melukai orang, cuma dalam hati berpikir: "Pedangku ini bukan pedang pusaka yang dapat
mengiris besi seperti lempung, namun dahan pohon itu sedikit terpapas pasti kutung, masa
mungkin dia mampu bermain sedemikian rupa sehingga senjata kayunya itu tidak sampai
terbentur dengan pedangku?" demikian ia bertanya-tanya dalam hati.
"Silakan!" ujar Miao Tiang-hong, dahan pohon di tangannya memantul kian kemari lalu pelanpelan
bergerak dengan gaya permulaan yang paling umum yaitu jurus yang mempersilakan lawan.
Kuatir sekali gebrak pedangnya berhasil mengutungi dahan pohon, jikalau hal ini sampai terjadi
tentu menjatuhkan pamor orang, maka ia bergerak dengan strategi menghindar yang berisi
menyergap yang kosong, ujung pedangnya tergetar miring menghindari pantulan dahan pohon
lawan, "sret" tahu-tahu ujung pedangnya menukik turun menusuk jalan darah Hoan-tiau-hiat di
lutut orang. Siapa nyana dahan pohon di tangan Miao Tiang-hong ternyata bisa bergerak selincah ular sakti
yang hidup, melejit dan maju mundur seperti lidah ular jang molor mengandung perubahan yang
sulit diraba, keruan tusukan pedang Hun Ci-lo mengenai tempat kosong, sementara dahan pohon
lawan mendadak sudah menusuk tiba dari arah yang tidak terduga sebelumnya. Bagi orang yang
belajar ilmu silat adalah jamak setiap kali menghadapi serangan musuh pasti bergerak cepat
secara reflek untuk melawan atau menangkis serangan musuh itu, dalam keadaan yang cukup
gawat, tanpa banyak pikir Hun Ci-lo segera menarik pedang serta memutarnya satu lingkaran,
merubah tipu balas menyerang.
"Bagus!" Miao Tiang-hong berseru memuji. Gesit sekali dalam waktu yang amat pendek ia
sudah menggeser kedudukan, dahan pohonnya sedikit pun tidak kena tersentuh oleh lawan, tahutahu
me-nyelonong tiba pula dari arah yang tidak terduga.
Hun Ci-lo tahu tipu serangan yang digunakan ini adalah jurus pedang Bu-tong-pay yang
dinamakan Sing-han-hu-cai, di sebelah atas menusuk tenggorokan serta memapas miring mengiris
kedua biji mata, jurus yang amat keji, tanpa ayal sigap sekali ia gunakan tipu serangan dari Siphun-
kiamhoat untuk memunahkan serangan lawan. Tak duga dahan pohon di tangan Miao Tianghong
mendadak mengganti gaya di tengah jalan, kelihatannya seperti Sing-han-hu-cai, namun
kenyataan bukan sama sekali, maka terdengarlah suara "Cras", lengan baju Hun Ci-lo kena
tersampuk oleh dahan pohonnya. Kontan merah Hun Ci-lo. lekas ia melompat mundur tiga
langkah, katanya: "Ilmu pedang Miao-siansing betul-betul hebat dan menakjubkan. Aku sudah
kalah sejurus." Miao Tiang-hong tertawa, katanya: "Soalnya kau sendiri masih ragu-ragu dan kuatir segala, jadi
belum kalah betul-betul. Mari diulangi sekali lagi!"
Adu pedang babak kedua ini sudah tentu Hun Ci-lo tidak berani pandang ringan senjata dahan
pohon lawan, karena rasa ragu dan kuatirnya sudah tiada, dia dapat mengembangkan Sip-hunkiamhoat
sampai puncak kesempurnaan latihannya."
Makin bertempur lama kelamaan Miao Tiang-hong merasa kagum dan memuji dalam hati:
"Agaknya Sip-hun-kiamhoat yang dimainkan ini lebih banyak perubahan variasi yang lebih
mendalam setelah berhasil diwarisi olehnya. Lika-liku intisarinya yang terpenting dulu masih
banyak yang belum bisa kuselami. Em, perempuan cerdik yang dapat mengolah dan memupuk ke
puncak kesempurnaan sua-tu ajaran murni seperti dia ini sungguh sukar didapat dan tiada
keduanya." Demikianlah pandangan Miao Tiang-hong terhadap Hun Ci-lo. Adalah lain pula pandangan Hun
Ci-lo terhadap Miao Tiang-hong, sungguh ia merasa tunduk lahir batin, terasa olehnya permainan
ilmu pedang orang terlalu sulit untuk diselami. Tampak setiap jurus ilmu pedang yang dimainkan
terdiri dari beberapa partai silai yang kenamaan, mendadak melancarkan ilmu pedang dari Siaulim-
pay, tiba-tiba pula milik Bu-tong-pay, lalu dirubah lagi dengan permainan pedang dari Ngo-bipay,
terus diganti pula dari Khong-tong-pay, ilmu pedang dari beberapa partai dan golongan itu
meski amal rumit dan campur aduk, aneh dan sukar sekali dipelajari, namun seluruhnya dapat
dimainkan secara beruntun sambung menyambung tidak kenal putus, setiap jurus setiap tipunya
seperti ajaran langsung dan murni dari perguruan masing-masing, namun di balik kesempurnaan
permainannya itu, kelihatannya jauh lebih menakjubkan dari aslinya.
Sekejap saja tiga lima puluh jurus sudah berlalu, dahan pohon di tangan Miao Tiang-hong
diputar kencang mengeluarkan deru angin kencang, lincah laksana naga hidup, meski dahan
pohon amat lemas dan dapat memantul, namun kekuatannya ternyata tidak lebih asor dari batang
pedang yang terbuat dari besi atau baja. Karena setiap serangannya membuat lawan harus
membela atau menjaga diri lebih dulu sebelum berusaha melukai lawan. Hun Ci-lo terdesak untuk
membela diri dan bertahan saja, kira-kira sesudah tiga lima puluhan jurus, pedangnya belum
berhasil memapas dahan pohon lawan.
Sekonyong-konyong Miao Tiang-hong menyodorkan dahan pohonnya menusuk datang, itulah
jurus dari Sip-hun-kiamhoat pula yang digunakan, setiap gerakan ilmu pedang perguruan sendiri
sudah amat hafal di luar kepala Hun Ci-lo, tanpa ayal dengan seenaknya secara reflek ia sudah
bergerak dengan serangan balasan yang khusus .untuk mematahkan jurus serangan lawan. Tak
nyana serangan yang dilancarkan Miao Tiang-hong ini sudah ditambah variasi perubahan yang
diciptakan sendiri olehnya, tahu-tahu sudah menusuk tiba pula dari tempat yang tak pernah
terpikirkan oleh Hun Ci-lo. Keruan kejut Hun Ci-lo bukan kepalang, dalam gugupnya lekas ia
gunakan Hong-biao-loh-hoa, gerakan tubuh yang amat cepat dan gesit, beruntung ia masih
sempat berkelit. Terdengar Miao Tiang-hong berkata: "Jurus seranganku ini aku menggunakan aturan yang
berlawanan. Kalau menurut ajaran pedang perguruan kalian, gerak pedang harus lambat dulu
baru cepat, namun kugubah menggunakan kecepatan lebih dulu baru lambat, entah akan adakah
manfaatnya kulancarkan?"
"Miao-siangsing dapat berkarya mengikuti ajaran murni dari ilmu yang asli, sungguh harus
dipuji. Tapi kalau Iwekang sendiri kurang memadai untuk melandasi gerakan yang kuat dan berisi
itu, kukira tiada manfaatnya sama sekali." Sudah tentu kata-katanya memuji kepada Miao Tianghong,
maksudnya: bilamana tokoh silat kelas rendahan yang memainkan, tiada punya landasan
Iwekang sekuat Miao Tiang-hong sekarang, adalah tidak mungkin mampu melancarkan jurus
pedang sesuai dengan hasil karya yang dikemukakan Miao Tiang-hong tadi. Sepihak ia memuji
orang, di lain pihak ia pun ajukan pendapatnya. Setelah ia selesai dengan omongannya, baru Hun
Ci-lo menyadari kelepasan omong dan merasa tidak enak hati dan rikuh, pikirnya: "Aku baru saja
berkenalan dengan dia, pengetahuan ilmu silatnya pun jauh lebih luas dan dalam dari aku, entah
tepat tidak penilaianku tadi."
Ternyata Miao Tiang-hong menjadi senang kelihatannya, ujarnya: "Ucapan nona Hun memang
tidak salah." Beberapa jurus lagi, lagi-lagi Miao Tiang-hong melancarkan tipu serangan dari
gubahan Sip-hun-kiamhoat. Kali ini Hun Ci-lo sudah siap sebelumnya, sigap sekali melancarkan
salah satu jurus dari tiga jurus pedang cepat ciptaan ayahnya, dalam hati ia membatin: "Kali ini
betapapun gerak perubahanmu, pedangku pasti bisa memapas kutung dahan pohonmu." Belum
lenyap jalan pikirannya, benar juga dahan pohon Miao Tiang-hong kena tersentuh oleh Cengkong-
kiamnya. Akan tetapi dahan pohon di tangan orang seolah-olah menjadi selembar daun kayu
yang menempel di punggung pedangnya, kontan Hun Ci-lo merasakan suatu tenaga lunak yang
punya daya lengket amat kuat, serta merta Ceng-kong-kiamnya ikut terseret ke samping, jadi
dahan pohon tidak berhasil dipapasnya kutung.
Mendadak Miao Tiang-hong melompat keluar kalangan terus membuang dahan pohon di
tangannya, katanya tertawa: "Kali ini aku betul-betul kalah. Sip-hun-kiamhoat nona Hun memang
amat menakjubkan, tak mampu aku mengatasinya."
Nona Cau dan Siau sampai menjublek dan terlongong, begitu terpesona mereka menyaksikan
pertandingan pedang yang tiada taranya ini, setelah Miao Tiang-hong membuang dahan pohonnya
baru mereka tersentak sadar.
"Paman Miao," seru Siau Gwat-sian keheranan, "jelas jurus tadi kaulah yang menang, kenapa
kau bilang dia yang menang malah?"
"Aku hanya lebih unggul dalam bidang lwekang dari piaucimu, bicara ilmu pedang sebetulnya
aku sudah kena ditundukkan, tidak bisa tidak aku harus mengaku asor."
"Miao-siansing, kukira ucapanmu ini kurang tepat," demikian ujar Hun Ci-lo. "Memang Sip-hunkiamhoat
masing-masing punya gerak perubahan variasinya sendiri-sendiri, sedapat mungkin aku
berhasil main coba dengan kau. Jelas sekali kau paham dan fasih sekali mainkan ilmu pedang dari
berbagai partai dan aliran, dalam hal ini aku betul-betul harus mengaku asor pula."
"Yang jelas permainan ilmu pedang kalian sudah membuka lebar kedua mataku, tidak sedikit
manfaat yang kuperoleh, kalian tidak perlu main sungkan segala. Darimana kau bisa memainkan
ilmu pedang dari berbagai perguruan yang luas dan banyak ragamnya itu secara keseluruhannya.
Dalam kolong langit ini mungkin sulit dicari keduanya."
Miao Tiang-hong bergelak tertawa, ujarnya: "Untung tiada orang lain hadir di sini, kalau
ucapanmu ini didengar orang lain, gigi orang bisa ompong karena geli."
"Aku tidak percaya ada tokoh mana yang lebih unggul dari kau dalam bidang ilmu pedang,"
demikian ujar Cau Ci-hwi.
"Entah berapa banyak tokoh-tokoh kosen yang mahir ilmu pedang jauh di atas kemampuanku
sendiri. Umpamannya Kini Tiok-liu, Le Lam-sing atau Boh Cong-tiu dan lain-lain. Mereka sama
adalah jagoan ahli pedang yang tersohor, jauh lebih unggul dari kepandaianku."
"Kau pernah gebrak dengan mereka?" tanya Siau Gwat-sian.
"Ketenaran nama tentu tiada kenyataan yang kosong, kenapa harus saling gebrak baru bisa
menentukan lebih ungul atau asor?"
"Siapa tahu bila nama tenar sesungguhnya tidak berisi" Apalagi seumpama benar seperti yang
kau ucapkan, tidak lebih mereka hanya seorang kenamaan dari aliran ilmu pedang ajaran
perguruan mereka masing-masing, adalah kau paham dan menyelami intisari ilmu pedang dari
berbagai partai dan golongan?"
Miao Tiang-hong tertawa: "Ucapanmu tidak benar. Pertama: terhadap ilmu pedang dari
berbagai partai itu aku hanya tahu dan menyangkok kulitnya saja, masih jauh dikatakan hafal
dengan sempurna. Kedua: puncak tertinggi dari ilmu silat adalah harus dapat meng-kombinasikan ajaran dari
ratusan cabang, lalu membuka sendiri sebuah cabang aliran yang tersendiri dengan memungut
sari-sari penting dari semua cabang-cabang itu. Untuk memperoleh dari ratusan cabang itu aku
masih belum mampu, apa lagi menciptakan aliran tersendiri dari hasil kombinasi itu, lebih tidak
mungkin lagi. Lalu mana pula bisa aku dijajarkan dengan para tokoh-tokoh pimpinan cabang?"
Dalam hati Hun Ci-lo berpikir: "Ada kalanya orang ini bersikap takabur, namun mempunyai
sikap rendah hati pula, sungguh sulit ada orang demikian." Akan tetapi, meski tahu ucapannya itu
main sungkan belaka, namun dari apa yang dikatakan soal "kombinasi dari ratusan cabang serta
menciptakan aliran tersendiri", diam-diam ia merasa sangat takjub dan tidak sedikit manfaat yang
dia peroleh secara diam-diam.
Adalah Cau Ci-hwi dan Siau Gwat-sian mempunyai jalan pikiran lain yang bersamaan pula,
kemarin mereka ada mendengar Miao Tiang-hong menyinggung pertemuan besar di Thay-san, kini
otak mereka jadi berangan-angan: "Boh Cong-tiu adalah tuan rumah dari pertemuan kali ini,
paman Miao tadi mengatakan bahwa Kim dan Le berdua orang itu adalah tamu agungnya, selain
itu entah masih berapa banyak tokoh-tokoh persilatan yang tak terhitung jumlahnya" Tan Kong-si
sudah pergi ke sana bersama ayahnya. Ai, jikalau aku pun bisa hadir dalam pertemuan besar
untuk membuka pandangan mata betapa baiknya."
Setelah Miao Tiang-hong datang, Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi sudah pindah ke rumahnya,
kamar tamu keluarga Cau mereka sediakan untuk tempat tidur Miao Tiang-hong. Sementara
mereka tidur bersama di kamar Siau Gwat-sian, sedang Hun Ci-lo tidur sekamar bersama Siauhujin.
Malam itu kuatir bibinya terlalu banyak ngobrol, dikatakan dirinya tidak mau dengar
nasehatnya, pagi-pagi Hun Ci-lo sudah berbaring dan pura-pura tidur. Kira-kira menjelang tengah
malam, mendadak sayup-sayup jauh dari arah hutan sana kumandang suara suitan panjang.
Jelas suitan datang dari arah hutan kembang Bwe, Hun Ci-lo menjadi heran, pikirnya: "Suitan
kumandang dari arah beberapa li jauhnya, namun masih terdengar jelas sekali, tentu suitan Liongling-
kang Miao Tiang-hong. Tengah malam buta rata, untuk apa dia bersuitan ke tempat yang jauh
di tengah hutan sana?"
Belum lenyap suara suitan itu, tiba-tiba didengarnya pula dua macam suara aneh yang
berkumandang saling susul, seperti lolong serigala, seperti pekik kokok beluk tidak enak didengar
kuping, ketiga suara jadi saling berkutat dan saling bentrok seperti sedang saling gasak. Seolaholah
suitan Miao Tiang-hong sedang terkepung oleh kedua macam suara buruk itu, berusaha
menjebol kurungan dan berontak dengan kekuatan maha besar, nadanya kedengaran semakin
jernih menjulang. Sekonyong-konyong suitan kumandang semakin keras seperti naga berteriak
murka, laksana pasukan terkepung yang sedang bertempur gagah mati-matian, berusaha
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membobol kepungan ketat musuh.
Sebagai seorang ahli silat, sepintas dengar saja Hun Ci-lo menjadi kaget, bergegas ia melompat
bangun, katanya: "Bibi, coba dengar! Mungkin Miao Tiang-hong menghadapi musuh tangguh!"
Sejak tadi Siau-hujin sudah bangun duduk, sahutnya: "Benar, kedua orang itu mungkin dua
orang tokoh kosen yang masing-masing melatih dua macam Iwekang yang amat liehay, tapi kau
tidak usah kuatir, kukira Miao Tiang-hong masih mampu bertahan menghadapi mereka. Ci-lo, apa
yang hendak kau lakukan?" Ternyata Hun Ci-lo sedang membuka jendela.
"Biar kutengok ke sana!"
"Apakah kau sudah lupa akan pesannya" Sultannya itu justru menganjurkan kita lekas
menyembunyikan diri. Kalau mau hanya akulah yang patut ke sana."
"Bibi, kau adalah tertua di antara kita, sepatutnya kau tetap berada di rumah melindungi
piaumoay dan nona Cau, biarlah aku saja yang menyusul ke sana."
"Aku percaya Miao Tiang-hong cukup mampu bertahan, kalau dia tidak kuat bertahan belum
terlambat kita turun tangan. Apalagi, kau, kau..." maksudnya hendak berkata "kau sedang
mengandung," namun belum sempat diucapkan Hun Ci-lo sudah melompat keluar dari jendela.
Terdengar ia menyahut dari luar: "Siapa tahu yang datang bukan hanya dua musuh saja" Meski
dia mampu menghadapi mereka, masa kita harus berpeluk tangan melihat dia berjuang matimatian
menghadapi musuh!" beberapa patah kata-katanya diucapkan sambil berlari kencang dan
melompat tinggi melewati pagar tembok, kejap lain dia sudah jauh di luar rumah.
Sebetulnya Siau-hujin hendak merintanginya, namun lantas terpikir: "Marabahaya bisa
mengikat cinta asmara, bukankah aku sedang berusaha merangkap perjodohan mereka" Biarkan
saja hubungan ini tumbuh secara wajar!" Namun di samping itu, diam-diam ia pun merasa
menyesal, batinnya: "Usiaku sudah agak lanjut, jiwa kependekaranku sudah lumpuh tiada
sebanding dengan mereka yang masih muda!"
Begitu Hun Ci-lo beranjak memasuki hutan kembang Bwe dirasakan hawa menjadi panas, angin
menderu keras, belum lagi tampak bayangan orangnya, tampak kembang Bwe beterbangan
bergulung-gulung di tengah udara.
Hun Ci-lo terus beranjak maju ke arah datangnya suara, setelah rada dekat, sekonyongkonyong
dirasakannya segulung gelombang angin panas menerjang ke arah dirinya, seperti angin
panas yang terhembus keluar dari tungku besar, kulit terasa terbakar. Baru saja ia bercekat, tibatiba
dirasakan pula segulung hawa dingin menerpa datang, seolah-olah dari depan tungku yang
sedang panas membara, tiba-tiba memasuki gua di gunung es yang dingin, meski Iwekang Hun
Ci-lo cukup ampuh, tak urung dia bergidik dibuatnya.
Waktu ia angkat kepala pandang ke depan, tampak tiga warna bayangan terdiri dari merah
hitam dan kuning saling berkutat seperti bergumul menjadi satu, tiba-tiba berloncatan pencar
menjauh lalu menubruk maju pula dengan ketat, pertempuran berjalan seru dan sengit.
Ternyata kedua orang yang mengeroyok Miao Tiang-hong, seorang adalah busu yang
mengenakan mantel kulit warna hitam, sementara seorang yang lain adalah seorang hwesio
gundul yang rrtengenakan kasa merah. Bahwa kasa si hwesio berwarna merah menyala, demikian
juga kedua telapak tangannya berwarna merah darah amat menakutkan, setiap kali tangan
bergerak menyerang, angin pukulannya terasa panas membara.
Adalah lain cara berkelahi si busu bermantel hitam, jauh tidak segarang dan sesengit si hwesio,
pukulannya dilancarkan secara ringan dan enteng, seolah-olah tidak bertenaga dan tidak
membawa kesiur angin, namun gelombang hawa dingin yang bisa membekukan darah selalu
menerpa datang mengikuti setiap gerak telapak tangannya, datang secara tiba-tiba tanpa
membawa suara sedikit pun.
Walaupun Hun Ci-lo belum latihan mencapai ilmu tingkat tinggi, namun sekali pandang ia cukup
mengerti, lika-liku keadaan gelanggang pertempuran, diam-diam ia membatin: "Ucapan bibi
memang tidak salah, kedua orang ini ternyata memang sama meyakinkan dua macam ilmu sesat
yang tunggal, busu bermantel hitam itu agaknya jauh lebih matang dan sempurna latihan ilmunya.
Kepandaianku sendiri jauh dibanding mereka, meski bersenjata pedang pusaka juga belum tentu
bisa bergerak mendekati tubuh mereka."
Di bawah keroyokan kedua musuhnya, sepasang telapak tangan Miao Tiang-hong menari-nari
dengan lincahnya, tenaga pukulannya selalu berubah-ubah, kadang-kadang keras tiba-tiba lunak,
ada kalanya menerjang bagai damparan ombak, namun bisa berubah pula seperti angin
menghembus sepoi-sepoi menyamankan tubuh. Perubahan antara keras dan lunak sulit ditentukan
dan diraba sebelumnya. Bagi orang lain yang menonton di luar gelanggang, agaknya dia terdesak
di bawah angin, bahwasanya kedua pihak sama-sama bertahan sama kuatnya, masing-masing
punya kekuatiran menghadapi ilmu lawan.
Beruntun busu mantel hitam melancarkan tujuh pukulan berantai, kekuatan lwekangnya seperti
gugur gunung dahsyatnya menerjang keluar dari telapak tangannya, merangsak secara langsung,
maka terdengarlah suara "krak, krak" berulang-ulang ganti berganti, dahan-dahan pohon di sekitar
gelanggang sejauh tiga tombak semua kena terpukul hancur berantakan oleh kekuatan pukulan
tangan yang dahsyat. Tapi setiap pukulan tangannya ditepukkan dengan cara yang enteng dan
seperti melayang, sedikit pun tidak membawa deru angin! Lambat laun di atas kepala Miao Tianghong
menguap putih yang bergulung-gulung seperti asap di atas tungku yang airnya mendidih,
semakin lama semakin bergolak dan tebal asap putih itu, agaknya ia sedang mengerahkan
Iwekang tingkat tinggi untuk menahan hawa dingin yang membekukan dari pukulan musuh,
pertahanannya kelihatan sudah amat payah. Akan tetapi si busu mantel hitam merasa pula bahwa
pertahanan Iwekang lawan ternyata begitu kokoh kuat dan liat tak terputuskan, seolah-olah ia
menghadapi pagar baja yang kokoh teguh, bagaimana kuat dan garang ia menerjang dan
menyerang, pertahanan lawan yang ketat tidak bisa ditembusnya.
Tiba-tiba Miao Tiang-hong merangkap kedua telapak tangan terus diputar satu lingkaran,
jengeknya dingin: "'Sebun Soh, meski kau sudah berhasil melatih Hian-im-ciang. ditambah Hweliong-
kang si gundul ini, apa pula yang kalian kuasa berbuat atas diriku" Apakah kalian ingin
diteruskan cara tempur yang begini saja, tapi kalau di sini aku jadi bosan melayani kalian."
Bentak Sebun Soh: "Katamu kau tidak takut, kenapa hendak lari?" Satu di belakang yang lain di
depan, bersama si hwesio ia cegat jalan lari Miao Tiang-hong.
Miao Tiang-hong tertawa dingin, ujarnya: "Aku cuma tidak suka bikin rusak hutan kembang
Bwe dan merusak pemandangan indah di sini, memangnya kau sangka aku takut pada
tampangmu" Kalau berani mari ikuti aku. kita mencari tempat lain yang lebih cocok, biar nanti
ditentukan siapa jantan siapa betina! Boleh kalian berlega hati, aku orang she Miao tidak akan
mencari pembantu." Hun Ci-lo menyembunyikan dirinya di belakang sebatang pohon tua yang cukup besar, dalam
hati ia berpikir: "Mungkin Miao Tiang-hong sudah tahu akan kedatanganku, kata-katanya itu
memang sengaja ditujukan kepadaku secara tidak langsung. Dia hendak memancing kedua
musuhnya ke tempat lain, supaya aku tidak terlibat di dalam pertempuran seru dan terembet
perkara. Tapi dalam keadaan demikian, untuk lari agaknya sulit juga buat dia. masa aku harus
berpeluk tangan saja."
Benar juga didengarnya Sebun Soh membentak: "Di sini amat cocok untuk menggali liang
kuburmu, kenapa harus cari tempat lain segala?"
Hwesio itu pun membentak: "Terserah mulutmu mengeluarkan kata-kata manis, untuk lari
jangan harap!" Begitulah kerja sama pengepungan mereka semakin ketat dan seru.
Miao Tiang-hong bergelak tertawa, serunya: "Betapa sih tinggi kepandaianmu berani sesumbar
begitu congkak?" Ringan saja ia tepukan sebuah telapak tangannya, sekaligus ia punahkan
kekuatan tenaga pukulan kedua lawannya. Sebun Soh sedang melancarkan ilmu Hian-im-ciang
pada tingkat ke tujuh, tiba-tiba dirasakan hembusan angin sepoi-sepoi, seperti hembusan angin
sejuk di musim semi, seketika ia rasakan badannya seperti menjadi malas dan ingin tidur. Keruan
kejut Sebun Soh bukan kepalang, batinnya: "Mungkinkah dia sudah berhasil melatih Thay-cengkhi-
kang?" Thay-ceng-khi-kang adalah ilmu lwekang tingkat tinggi dari aliran To-keh (tao) sementara
Liong-ling-kang kelahiran cabang Say-cu-hong dari Hudbun (Budhis). Sebelum Hun Ci-lo datang
tadi Miao Tiang-hong sudah menggunakan Liong-ling-kang untuk gebrak dengan kedua
musuhnya, kini ia menggunakan pula Thay-ceng-khi-'kang secara mudah dan seperti tidak
bertenaga memunahkan kedua gempuran dahsyat dari kedua lawannya. Meski Sebun Soh
berkepandaian silat tinggi, pandangan luas dan pengetahuan mendalam, tak urung bercekat pula
hatinya. Mau tidak mau Sebun Soh harus berpikir: "Ilmu silat keparat ini benar-benar campur aduk dan
amat luas sekali, tak heran sute yang biasanya jarang dan tidak suka memuji orang, kali ini suka
mengakui bahwa dia merupakan orang pertama pada jaman ini yang membekal berbagai ragam
ilmu silat, memang namanya tidak kosong- Bukan saja dia hafal dan pandai memainkan ilmu
pedang dari berbagai partai dan golongan, malah ahli pula menggunakan ilmu lwekang murni
yang lurus dari Hud-keh dan To-keh yang paling dalam ajarannya! Kelihatannya kalau hari ini aku
tidak berani menyerempet bahaya menyergapnya, bukan mustahil pihak kami sendiri yang bakal
terjungkal." Ketiga orang ini bertarung sengit mengandal ilmu tunggal bekal mereka dari golongan lurus dan
sesat. Hian-im-ciang Sebun Soh seperti musim dingin yang membekukan, sebaliknya Hwe-liongkang
si hwesio laksana sinar matahari di musim panas yang memancar membara. Adalah Thayceng-
khi-kang Miao Tiang-hong laksana hembusan angin musim semi yang sepoi-sepoi
menyamankan badan menyegarkan pikiran. Hawa dingin beku yang merangsang, dengan
damparan gelombang panas yang memuncak, semua kena dihembus sirna oleh angin musim
semi. Memang Sebun Soh hebat sekali, terkena tekanan Thay-ceng-khi-kang, ia hanya tergentak
mundur dua tindak, cepat ia kerahkan Hian-kang, sekejap saja, hawa murninya sudah berputar
menyelusur tiga puluh enam jalan darah besar di seluruh tubuhnya, menyapu habis perasaan
malas dan mengantuk yang tidak tertahankan. Kilas lain telapak tangannya terangkap dan telunjuk
jarinya terulur keluar menotok ke Hian-ki-hiat di dada Miao Tiang-hong.
Sudah tentu Miao Tiang-hong tidak begitu gampang bisa kena tertotok, di mana dadanya
berkembang kempis, serta merta badannya berkisar ke pinggir tepat sekali menghindari totokan
lawan. Akan tetapi meski tidak terkena secara telak, saat itu pula ia rasakan dadanya seperti
disambar kilat, sehingga seluruh badan menjadi panas. Terasa angin menderu hebat, si hwesio
mengerahkan kedua telapak tangannya menyerbu dengan pukulan berantai. Orang ini melatih ,
Hwe-liong-kang, angin pukulannya seperti damparan suhu panas yang teruar keluar dari tungku
yang sedang menyala besar, keruan Miao Tiang-hong merasa kepanasan dan payah, tak tertahan
beruntun ia menyurut mundur tujuh delapan langkah.
Tak urung Miao Tiang-hong pun terkejut dibuatnya, maklumlah pukulan Hian-im-ciang Sebun
Soh biasanya mengeluarkan hawa dingin yang beracun, jauh berlainan dengan tenaga totokan
yang menggunakan tenaga keras yang dilandasi Khi-kang positif. Betapapun tinggi seseorang
tokoh silat, adalah amat sulit untuk dalam waktu yang begitu singkat bisa memutar balik ganti
berganti menggunakan dua macam ilmu Iwekang yang berlawanan satu sama lain. Diam-diam
berpikir Miao Tiang-hong: "Kalah sih tidak mungkin, tapi setelah pertempuran ini berakhir, bukan
mustahil aku bakal ambruk dan sakit keras."
Di luar tahunya, Lui-sin-ci yang dipelajari Sebun Soh ini bahwasannya belum lagi berhasil
dilatihnya sempurna, secara kekerasan ia cepat mengganti Hian-im-cing dengan totokan Lui-sin-ci
yang harus dilandasi tenaga positif yang panas, hawa murni tubuhnya sendiri terkuras bukan
sedikit, maka jurus-jurus selanjutnya jelas dia tidak akan berani menggunakan lagi. Adalah setiap
tapak kakinya melangkah mundur secara langsung Miao Tiang-hong mengimpas sebagian dari
tekanan tenaga lawan, setelah tujuh delapan langkah, perpaduan rangsakan tenaga panas dingin
lawan sudah dibikin lenyap sama sekali.
Hun Ci-lo kurang paham akan intisari dan rahasia dari ilmu tingkat tinggi, sembunyi di belakang
pohon dia menunggu kesempatan untuk menerjunkan diri, melihat Miao Tiang-hong beruntun
mundur delapan langkah, dari kaget hatinya menjadi gugup. Bahna kejutnya, tanpa banyak pikir
lagi Hun Ci-lo merogoh tiga biji mata uang, terus disambitkan ke arah Sebun Soh.
Kepandaian menimpuk Kim-ci-piau dari keluarga Hun juga merupakan ilmu tunggal tersendiri
dari bulim. Ketiga biji mata uang itu masing-masing mengarah Thay-yang-hiat di pelipis Sebun
Soh, di tengah mengarah Gi-khi-hiat dan bagian bawah menyerang Kui-ciang-hiat, di malam buta
rata namun sasaran yang diarah ternyata telak dan tepat sekali.
Terdengar Sebun Soh menggerung gusar: "Siapa berani main bokong?" Sekonyong-konyong
ketiga mata uang itu tahu-tahu sudah menyambar balik pula ke arah Hun Ci-lo. Bukan saja mata
uang melesat balik, malah di belakangnya didorong segelombang angin pukulan yang dahsyat
bagai gugur gunung. Sudah tentu Hun Ci-lo tidak kuat bertahan dari terjangan kekuatan yang dahsyat ini, dalam
kejutnya lekas ia kembangkan ilmu ginkang-nya, dengan gaya menyedot dada jumpalitan di
tengah awan, tangkas sekali ia melejit tinggi, tangan meraih dahan pohon Bwe, meminjam daya
pantul dari dahan pohon itu ia jumpalitan di tengah udara ke sebelah belakang kira-kira setombak
lebih! Untung latihan lwekangnya sudah punya dasar yang kuat, mengiringi dorongan tenaga
dahsyat itu secara enteng ia melayang turun, sehingga tidak sampai terbanting jatuh.
Akan tetapi ketiga biji mata uang yang'menyambar balik itu seperti bayangan mengikuti
bentuknya mengejar tiba ke arah dirinya, baru saja kakinya menginjak tanah, ketiga mata
uangnya sudah menyambar tiba. Syukur Hun Ci-lo bisa mendengar angin membedakan senjata
rahasia, didengarnya daya luncuran ketiga mata uang ini sudah jauh lebih lambat, dia tidak kuasa
berkelit dari ketiga mata uang yang menyambar dari tiga jurusan, maka cepat ia ulur jari
menyelentik, "Creng" beruntun tiga kali ia selentik jatuh ketiga mata uangnya.
Mata uang memang berhasil diselentik jatuh, namun begitu jari Hun Ci-lo menyentuh mata
uang itu, seketika ia rasakan segulung hawa dingin meresap masuk ke dalam tubuhnya terus
menerjang ke jantung, tak tertahan ia bergidik kedinginan.
Tiba-tiba terasa sebuah tangan terulur ke depan dari sebelah belakang terus menyeretnya
dibawa lari sipat kuping. Rasa kejut Hun Ci-lo belum lagi hilang, kini dibuatnya kaget lagi. Baru
saja ia hendak meronta, dari sebelahnya terdengar suara Siau-hujin berkata: "Jangan gugup,
inilah aku!" Dengan Bik-khong-ciang-lat Sebun Soh mematahkan ketiga sambitan ketiga mata uang Hun Cilo,
peluang ini menjadikan Miao Tiang-hong mendapat kesempatan turun tangan, sebat sekali ia
me-rangsak maju, telapak tangannya memukul miring mengarah tulang pundak orang.
Di bawah ancaman maut serangan lawan tangguh, Sebun Soh tidak berani berlaku nekad untuk
gugur bersama, untunglah kepandaian silatnya sudah mencapai taraf yang bisa dikendalikan
sesuka hati, kedua telapak tangannya sedang terjulur lurus ke depan tiba-tiba ia tekuk sikutnya
dan terus menyanggah ke atas.
Terdengarlah "blang!" kedua telapak tangan Sebun Soh terangkap menggencet telapak tangan
Miao Tiang-hong. Tenaga dalam Miao Tiang-hong tergetar, sementara seluruh lengan Sebun Soh
terasa panas terbakar dan lemas, cepat-cepat ia lepas kedua tangan, sebat sekali selincah kelinci
tiba-tiba Miao Tiang-hong memutar badan, beruntun ia gerakkan kedua telapak tangannya, ke
sepuluh jarinya seperti gantolan besi, beruntun terdengarlah suara "Cras", kebetulan si hwesio
sedang menyerang ke arah dirinya, seketika bentrok dengan gempuran membalik dari tenaga
telapak tangan dan jari-jarinya.
Betapapun cepat si hwesio berusaha berkelit, tak urung kasa merah yang dipakainya itu
berlubang-lubang dan kena tercakar sobek sebagian.
Diam-diam Miao Tiang-hong merasa amat bersyukur, pikirnya: "Kalau Hun Ci-lo tidak
membantu aku secara menggelap, mungkin aku belum begitu gampang bisa meloloskan diri. Akan
tetapi bagaimana dan apapun yang terjadi aku tidak boleh lagi mempersulit dia!"
Siau-hujin menyeret Hun Ci-lo ke arah hutan yang lebih dalam, omelnya: "Ci-lo, mana boleh
kau begitu menempuh bahaya, apa kau tidak kuatir menggugurkan kandunganmu?"
Belum Hun Ci-lo sempat menjawab, mendadak didengarnya sebuah suitan panjang melengking
tinggi seperti pekik naga di tengah angkasa. Dalam sekejap mata Miao Tiang-hong sudah berlari
kencang meninggalkan hutan kembang Bwe. Sebun Soh dan si hwesio mengejar dengan kencang.
Suasana hutan Bwe kembali tenang setelah pertempuran berlalu, keadaan kembali menjadi sunyi
lengang. "Bibi," ujar Hun Ci-lo, "tak usah kau hiraukan aku, Miao-siansing mungkin..." belum selesai ia
bicara, seolah-olah ia mendengar Miao Tiang-hong sedang bicara di pinggir kupingnya: "Aku tidak
apa-apa, terima kasih akan bantuan kalian. Lekas bekerja menurut pesanku kemarin." Miao Tianghong
bicara menggunakan ilmu mengirim gelombang suara dari jauh. Bahwa orang masih begitu
fasih menggunakan ilmu tingkat tinggi dengan nyata dan jelas, hati Hun Ci-lo menjadi lega dan
bersyukur. "Nah kau sudah lega belum, sejak tadi sudah kukatakan Miao Tiang-hong akan mampu
menghadapi kedua musuhnya. Aih, kenapa kau" Telapak tanganmu kok begini dingin?"
"Tidak apa-apa, mungkin aku masuk angin!"
Dengan kencang Siau-hujin genggam telapak tangannya, dengan tenaga murni sendiri ia
salurkan ke tubuh orang untuk bantu mengusir hawa dingin di dalam badannya. Kira-kira setelah
sesulutan dupa, keringat dingin sebesar kacang berketes-ketes bercucuran dari jidat Hun Ci-lo.
Lambat laun air muka Hun Ci-lo kembali berse-mu merah seperti sedia kala.
Siau-hujin menarik napas lega, katanya: "Ternyata kau terserang hawa berbisa dari Hian-imkang,
masih main pura-pura hendak mengelabuhi aku, untung kau baru hamil dua bulan, orok
dalam kandungan belum lagi berbentuk, hawa berbisa yang meresap ke dalam tubuhmu pun tidak
terlalu banyak, kalau tidak, meski kau terhindar dari luka dalam yang parah, orok dalam
kandunganmu tentu sulit diselamatkan lagi. Ai, aku pun tidak menduga musuh ada sedemikian
liehay!" Hun Ci-lo tertunduk dan bersyukur dalam hati, ia berpikir: "Nyo Bok. sangat mengharap punya
anak darah daging sendiri, untunglah aku masih berhasil melindungi orok dalam kandunganku,
kalau tidak betapa sesal nuraniku terhadapnya."
Setelah Siau-hujin menegurnya, ingin dia mengubah suasana yang rada panas ini, lalu katanya
tertawa: "Ci-lo, katamu hatimu sudah beku seperti tonggak kayu, sebenarnya hatimu masih
membara! Setelah peristiwa malam ini, kukira Miao Tiang-hong tidak akan bisa melupakan dirimu
lagi." Merah muka Hun Ci-lo, ujarnya: "Aku hanya menitik beratkan persoalannya, kalau toh dia
cukup setimpal dijadikan kawan, seumpama orang lain, aku pun akan berbuat dengan cara yang
sama." Siau-hujin tersenyum, untuk menghindari sikap kikuk dan risi keponakannya, lekas ia bicara
pula: "Bekerja demi kawan memang amat penting, namun kau pun harus bisa menyayangi badan
dan jiwa sendiri. Peristiwa malam ini sudah berselang, selanjutnya kau harus bertindak hati-hati."
Hun Ci-lo bertunduk, ujarnya:
"Pesan bibi akan kuperhatikan baik-baik."
"Sekarang marilah kita bicarakan urusan yang serius, seruan Miao Tiang-hong tadi kau pun ada
mendengar, menurut hematku besok pagi-pagi kita harus segera meninggalkan tempat ini."
Baru saja bicara, tampak Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi berlari-lari datang dengan napas ngosngosan,
masing-masing menyo-reng sebilah pedang, begitu melihat Siau-hujin dari kejauhan
lantas berseru: "Di mana paman Miao" Mari lekas kita bantu dia berkelahi."
"Paman Miao sudah menggebah lari musuh-musuhnya, masa perlu bantuan kalian lagi. Lebih
baik lekas kalian pulang bebenah, bawa barang-barang yang perlu saja," demikian ujar Siau-hujin.
Siau Gwat-sian melongo, serunya: "Mengemasi barang, mau ke mana?"
"Tempat ini sudah tidak bisa buat tempat tinggal seterusnya, aku ingin bawa kalian pulang ke
kare-sidenan Sam-ho untuk sementara kita menyembunyikan diri di sana saja."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cau Ci-hwi segera menyeletuk bicara: "Ayah dan engkohku belum pulang, kalau kita tinggal
pergi, cara bagaimana kita bisa memberi kabar kepada mereka?"
Siau-hujin mengerut alis ujarnya: "Justru karena soal itulah aku jadi kurang lega hati, sampai
sekarang belum kuperoleh cara yang sempurna. Ai, terpaksa kita menyingkir dulu urusan
belakang." "Bu, aku punya akal malah."
"Budak segede kau hanya pintar bermain saja, masa punya akal apa" Coba kau katakan biar
kami pertimbangkan."
"Menurut paman Miao, kemungkinan besar paman Cau dan Cau-toako pergi ke Thay-san, ikut
menghadiri pertemuan berdirinya Hu-siang-pay, maka, kupikir, kupikir..."
"Kau pun ingin menyusul ke Thay-san untuk melihat keramaian bukan?"
"Bu, bagaimana kalau kau ijin-kan aku ke sana" Kupakai kedok palsu ini, tentu tiada seorang
pun yang akan kenal padaku. Kalau kau masih kurang lega, biarlah Hwi-ci pergi bersama aku."
"Kukira akal apamu yang baik" Ternyata hanyalah mencari alasan untuk pergi membuat
keributan saja. Tidak boleh!"
"Kenapa tidak boleh?" rengek Siau Gwat-sian merengut. "Aku berjanji tidak akan membuat
onar." "Pertemuan yang begitu ramai dan besar, entah berapa banyak tokoh-tokoh persilatan yang
kenamaan akan hadir di sana, memangnya kau anggap main-main" Kau sendiri tidak punya
pengalaman kelana di kangouw, bila kau tidak membuat onar, justru perkara yang akan selalu
mengejar dan melibat kalian! Sudah jangan banyak cerewet, tidak boleh ya tidak boleh!"
Siau Gwat-sian menjadi amat kecewa, namun melihat sikap ibunya yang tegas, dia tidak berani
merengek lagi. "Akalmu itu sudah pernah kupikirkan, akhirnya toh aku tidak berani berkeputusan," demikian
ujar Siau-hujin seraya berpaling dan menarik lengan Hun Ci-lo, katanya: "Kerabat Tin-wan
piaukiok dan Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya pasti juga hadir di sana, walau aku tidak perlu takut
terhadap mereka, namun keadaan macam begitu tidak cocok untuk aku mencari kesempatan
menuntut balas." "Bibi," ujar Hun Ci-lo tiba-tiba, "menurut hematku, biarlah aku saja yang ke sana."
Siau-hujin berjingkat, serunya: "Kau hendak pergi?"
"Pertama: di kalangan kangouw aku tidak punya musuh," demikian Hun Ci-lo coba
menjelaskan. "Kedua: aku mengenakan kedok palsu, meski tidak bisa mengelabui ketajaman mata
Su-hay-sin-liong, betapapun dia adalah angkatan tua dari sanak kadangku, kukira beliau tidak
akan mempersulit diriku. Ketiga: di dalam pertemuan besar macam itu, bukan mustahil aku bisa
ketemu dengan beberapa kawan karib mendiang ayahku, dari mereka aku ingin mencari berita
mengenai ibu." sembari berkata secara diam-diam ia acungkan kedua jarinya kepada Siau-hujin,
maksudnya bahwa dirinya baru mengandung dua bulan, soal ini bibi tidak perlu kuatir.
"Apa kau tidak takut bentrok dengan kambrat-kambrat Lian Kam-peh dan menunjukkan
kelemahanmu?" tanya Siau-hujin kuatir.
"Di dalam pertemuan di Thay-san itu, hadir pula pendekar-pendekar besar seperti Kim Tiok-liu,
Le Lam-sing dan lain-lain tokoh kenamaan di bulim, meski para kaki tangan anjing alap-alap ada
yang menyelundup ke sana juga mereka tidak akan berani main gegabah."
"Kabarnya pertemuan di Thay-san bakal dibuka tanggal sembilan bulan sembilan, aku kuatir
kau sudah terlambat menyusul ke sana."
"Pertemuan besar macam itu betapapun mesti berlangsung beberapa hari lamanya, kalau tidak
keburu biar aku tunggu saja di bawah gunung menanti paman Cau dan lain-lain kembali."
Memang Siau-hujin juga berhasrat menemukan kembali ayah anak keluarga Cau, melihat sikap
Hun Ci-lo tegas dan teguh keinginannya, meski rada kurang lega, akhirnya ia meluluskan juga.
Maka ia berjanji dengan Hun Ci-lo, jikalau berhasil menemukan Cau Sioktoh dan putranya, lantas
bertiga mereka langsung menyusul ke rumah leluhur keluarga Hun yang terletak di karesidenan
Sam-ho. Seperti datangnya semula terpaut jangka sepuluh hari, seorang diri Hun Ci-lo naik perahu
mengarungi Thay-ouw, pemandangan indah di tengah perairan luas itu tidak berkesan sedikit pun
di dalam sanubarinya, karena pikiran sedang gejolak. "Pertemuan besar dari orang-orang gagah di
seluruh dunia, sungguh sulit dicari kesempatan sebagus ini bukan mustahil Goan-cau dan Thengsiau
pun ikut hadir di sana?" demikian pikirnya.
Ternyata masih terdapat sebuah rahasia isi hati Hun Ci-lo yang belum pernah ia kemukakan
kepada bibinya. Bahwa dia memang ingin mencurahkan tenaganya untuk mencari ayah beranak
keluarga Cau, tapi harapan yang paling mendorong hasratnya ikut hadir di dalam pertemuan besar
itu karena dia masih ingin melihat Beng Goan-cau yang terakhir.
Luka dalam sanubarinya sudah tentu sulit disembuhkan atau dilupakan demikian saja, akan
tetapi perasaannya kali ini jauh lebih terbuka dan tidak sepedih waktu datangnya tempo hari.
Sekarang meski dia masih merasa sedih bila mengenang masa lalu, namun perasaan dadanya
sudah banyak longgar, ganjalan hati pun sudah terbuka.
Dalam perjalanan menuju ke Thay-san ini, mendadak terpikir sesuatu yang aneh: "Goan-cau
bersikap tenang mantap dan teguh, seperti pula gunung Thay-san yang berdiri dengan megah dan
perkasa. Bila berada di sampingnya tiada sedikit pun perasaan takut. Akan tetapi Miao Tiang-hong
justru seperti luasnya danau Thay-ouw ini, luas dan banyak muatannya, berada di sampingnya
perasaan bisa menjadi longgar dan terbuka tanpa terkekang. Goan-cau bisa menjadi seorang
suami yang baik, suami teladan, sayang selama hidup ini aku jelas tiada berjodoh lagi dengan dia!
Miao Tiang-hong boleh dijadikan kawan yang paling karib, seperti pula keadaanku bersama Song
Theng-siau. Dia tidak kenal sama Goan-cau, jikalau mereka pun bisa menjadi kawan kental,
betapa baik dan menyenangkan!"
Begitulah ia jadi kangen kepada Miao Tiang-hong, meski mereka baru kenal beberapa hari
lamanya. Kecuali Beng Goan-cau, dalam sanubarinya baru terisi bayangan seorang laki-laki lain
pula. Song Theng-siau adalah sahabat laki-laki yang paling lama dikenalnya, namun di dalam
pandangannya, seolah-olah tidak lebih mengenal pribadinya daripada Miao Tiang-hong mengenal
dan memahami dirinya. Beberapa patah kata-kata Miao Tiang-hong seolah-olah masih terngiang di pinggir kupingnya:
"Hidup manusia sering dihadapi aral rintang yang menyedihkan sanubari setiap insan, ada kalanya
seseorang akan berkesan pada sesuatu yang menyedihkan hati dan menghampakan perasaan.
Tapi banyak bersedih dan bermuram durja bukanlah menjadi idaman hidup bagi kaum persilatan
macam kita ini. Terutama berada di puncak Tong-ting-san barat ini, selayang pandang terbentang
luas alunan ombak Thay-ouw yang bergelombang halus dan luas, maka jiwa dan perasaan kita
pun harus semakin lapang dan terbuka bukan?"
Bahwa sekarang justru Hun Ci-lo berada di atas perahu di bawah permainan-alunan ombak
Thay-ouw yang halus lembut, maka kata-kata itu meresap semakin mendalam di relung hatinya.
Di kala ia terkenang akan ucapan Miao Tiang-hong yang berkesan itu, tiba-tiba sebuah pikiran
merasuk dalam benaknya: "Kenapa selama hidup ini aku harus pantang bertemu muka dengan
Beng Goan-cau" Memeras dan menyiksa diri sendiri! Andaikata aku tidak bisa menjadi suami istri
dengan Beng Goan-cau, aku pantang pula menjadi sahabat baiknya?"
Tiba-tiba berkelebatlah bayangan seorang gadis berpakaian serba putih. Itulah bentuk Lu Su-bi
yang pernah dilihatnya di atas loteng Beng Goan-cau. Pikirannya melayang lagi: "Kini belum tiba
saatnya aku bertemu dengan dia, aku hanya bisa berdaya mohon bantuan Song Theng-siau untuk
menyampaikan isi hatiku. Ai, bersama dengan siau-sumoaynya yang lincah dan ayu rupawan,
betapa bahagia hatinya, mana boleh aku merintangi perjodohan mereka yang setimpal" Untuk
meneruskan persahabatanku dengan Goan-cau, terpaksa aku harus menunggu setelah mereka
melangsungkan pernikahan."
"Kalau Goan-cau hadir dalam pertemuan di Thay-san ini pasti dia datang bersama siausumoaynya.
Aku sekarang sedang terkenang padanya, adakah dia pun terkenang kepadaku"
Semoga dia dapat melupakan diriku, bukankah begitu lebih baik0"
Bahwa Hun Ci-lo menyangka Beng Goan-cau pasti berada bersama siau-sumoaynya, di luar
tahunya bahwa saat mana Beng Goan-cau pun sedang menempuh perjalanan menunggang kuda
seorang diri, dia pun sedang mengejar waktu mengeprak tunggangannya untuk menghadiri
pertemuan besar di Thay-san. Sebaliknya siau-sumoaynya sedang sakit ditemani Song Theng-siau
di rumah keluarga Song. Sepanjang jalan ini hati Beng
Goan-cau pun amat risau, seperti pasang surutnya air laut yang bergelombang turun naik.
Sudah tentu yang paling dikenangnya adalah Hun Ci-lo. "Setelah urusan di Thay-san selesai aku
harus cepat-cepat mencarinya di Thay-ouw, umpama ibarat kaca bundar yang sudah pecah
betapapun aku harus melihatnya sekali lagi."
Orang kedua yang dikenangnya adalah Lu Su-bi. "Watak dan perangai Theng-siau jauh lebih
cocok padanya, semoga mereka kelak hidup bahagia."
Tapi terdapat pula bayangan seorang gadis lain yang tidak begitu mudah bisa dihapus dari
ukiran relung hatinya. Walaupun dia baru mengenalnya belum lama ini, namun tidak bisa tidak,
Beng Goan-cau pun mengenangnya juga.
Sudah tentu orang ketiga yang dikenang oleh Beng Goan-cau betapapun Hun Ci-lo tidak akan
bisa mengetahuinya. Karena dia hanya tahu adanya Lu Su-bi seorang, tidak diketahuinya bahwa
masih terdapat Lim Bu-siang.
"Nona Lim ini lincah polos dan jujur, sifatnya rada mirip dengan siau-sumoay, tapi tidak seriang
siau-sumoay, mungkin dia sekarang sudah berada di Thay-san."
Tiba-tiba teringat oleh Beng Goan-cau. "Waktu aku berhadapan dengan Kim-hujin, berulang kali
dia menyinggung Bu-siang, bukan mustahil kejadian kali ini memang menjadi rencana mereka
suami istri supaya aku berkenalan dengan nona Lim ini?" Dasar cerdik bisa berpikir dengan cermat
lagi, lapat-lapat Beng Goan-cau merasa maksud tujuan Utti Keng dan Kim Tiok-liu suami istri.
Betapapun Beng Goan-cau seorang pendekar yang sudah mengecap pahit getir kehidupan
manusia, bahwa putusnya cinta asmara, memberikan pukulan batin yang berat baginya, namun
dia adalah seorang laki-laki sejati yang bisa menjinjing dapat meletakkannya kembali. Kini dia
sedang berangan-angan betapa meriah dan semaraknya pertemuan besar di puncak Thay-san,
maka jiwa keperwiraan yang terkandung dalam sanubarinya jauh lebih melandasi semangatnya
untuk menghilangkan persoalan cinta muda-mudi. Meski kabut gelap masih menutupi lubuk
hatinya, lama kelamaan menjadi buyar pula seperti disongsong oleh cahaya matahari yang
menyala bagai bara. Kuda suri merah yang ditunggangi Beng Goan-cau ini mulanya adalah milik Pakkiong Bong,
komandan Gi-lim-kun, setelah tercuri oleh Utti Keng lalu dihadiahkan kepadanya. Setelah
meninggalkan rumah Kim Tiok-liu, takut terlambat sepanjang jalan ia bedal tunggangannya
secepat angin, tiga hari kemudian dari daerah timur ia sudah mencapai wilayah karesidenan Thayan
di sebelah barat Soatang. Sedang Thay-san terletak di sebelah utara Thay-an, dari jauh
puncaknya sudah kelihatan.
Dua hari lagi baru tanggal sembilan bulan sembilan, Beng Goan-cau boleh berlcga hati,
pikirnya: "Tak nyana kuda ini dapat berlari demikian pesat, aku jadi tiba dua hari lebih pagi dari
waktu yang ditentukan. Tapi aku bisa berkesempatan berkenalan lebih banyak dengan para orangorang
gagah dari berbagai kalangan."
Begitulah semakin dekat Beng Goan-cau semakin bernafsu me-ngeprak kudanya. Di saat ia
mengaburkan tunggangannya itu, tiba-tiba dilihatnya di sebelah depan sana terdapat tiga ekor
kuda yang sedang berlari kencang laksana angin.
Kuda bagus, golok pusaka merupakan idaman setiap orang gagah. Kuda jempolan macam itu
sukar dilihat sembarangan waktu, seribu ekor belum tentu terdapat seekor seperti kuda
tunggangannya ini, kini secara berbareng dilihatnya tiga ekor di kejauhan depan sana, keruan
kejut dan girang pula hati Beng Goan-cau, pikirnya: "Ketiga orang itu tentu seperti diriku, sedang
memburu waktu menuju ke Thay-san, tiada halangannya aku berkenalan dengan mereka."
Pertama dia ingin berkenalan dengan ketiga orang itu, kedua ingin pula menjajal kekuatan lari
dan tenaga kuda tunggangannya ini dapatkah mengungkuli ketiga kuda di depan itu, maka Beng
Goan-cau mengaburkan kudanya lebih pesat lagi, laksana meteor terbang mengejar rembulan saja
layaknya. Ketiga penunggang kuda di depan itu dua di antaranya adalah perempuan seorang lagi adalah
laki-laki. Yang jalan paling depan adalah seorang nyonya muda yang mengenakan pakaian
sederhana. Dua penunggang di sebelah belakang jalan berjajar, jaraknya sangat dekat merapat,
kelihatannya amat mesra, mungkin sepasang suami istri. Yang laki-laki memelihara jenggot
kambing, sementara yang perempuan menggelung rambutnya di atas kepalanya, usia mereka di
antara empat puluhan, dandanannya tidak seperti penduduk Tionggoan umumnya.
Begitu dari kejauhan mendengar derap kaki kuda yang lari mendatangi kedua orang suami istri
ini lantas berpaling, kejap lain kuda suri merah Beng Goan-cau sudah mencongklang mendekat.
Begitu melihat jelas kedua suami-istri sama terkejut, laki-laki itu mendadak menghardik: "Kuda
suri merahmu ini kau dapat dari mana?" tanpa berjanji suami istri ini sama putar haluan, kudanya
menghadapi Beng Goan-cau yang mendatangi, mereka berpencar ke kanan kiri menjepit Beng
Goan-cau di tengah. Pertanyaan orang betul-betul di luar dugaan Beng Goan-cau, maksudnya semula begitu
menyusul dekat ia lantas hendak menyapa dan memperkenalkan diri, maka tidaklah heran sesaat
ia melenggong mendengar hardikan yang kasar ini.
Maklum Beng Goan-cau seorang buronan, dan lagi ia tahu bahwa kuda tunggangannya itu
adalah hasil curian Utti Keng, asal mulanya adalah milik komandan Gi-lim-kun Pakkiong Bong.
Maka di samping melenggong seketika timbul rasa was-was dan kewaspadaannya.
Sejenak terlongong segera Beng Goan-cau balas bertanya: "Siapa tuan ini" Untuk apa kau
tanya kudaku ini?" Laki-laki jenggot pendek itu berkata: "Peduli siapa kami, lekas bicara sejujurnya!"
Goan-cau menjadi dongkol, segera ia balas menjengek dingin: "Cara bagaimana kuperoleh kuda
ini, peduli apa pula pada kalian."
Perempuan pertengahan menjadi gusar, dengusnya: "Tak kau jelaskan pun kuketahui kudamu
ini kau peroleh dari tangan Utti Keng si bangsat tua itu bukan" Yang ingin kami ketahui, kuda ini
diberikan kepadamu" Atau kau rebut dari tangannya" Lekas katakan, supaya tidak terjadi salah
paham!" Laki-laki itu menyambung dengan jengekan: "Mengandal kepandaian bocah hijau ini, mana
mampu merebut kuda tunggangan Utti Keng" Kukira kau tidak usah banyak tanya lagi."
Begitu buka mulut kedua orang ini lantas memaki Utti Keng, jelas dapat diperkirakan bahwa
pastilah mereka dari antek-antek kerajaan, keruan ia menjadi gusar, bentaknya: "Aku tidak peduli
siapa kalian, kalian mencegat jalanku, apa sih maksudnya?"
Laki-laki itu pun balas membentak: "Tinggalkan kirda suri merah ini, kulepas kau lewat!"
Beng Goan-cau menyeringai dingin, kudanya ditepuk terus menerjang ke depan, hardiknya:
"Kalau kau mampu silakan kau menahannya!" Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong selarik
sinar hijau berkelebat, kiranya laki-laki jenggot kambing itu sudah melolos pedang dan menusuk
ke depan menyongsong terjangannya.
Lekas Beng Goan-cau lintang-kan goloknya menangkis "Trang" bunga api berpercik, kuda suri
merah tunggangannya terus menerjang ke depan.
Gebrak sejurus ini dua pihak sama kuat dan setanding, namun kuda tunggangan Beng Goancau
lebih unggul setingkat, maka kelihatannya Beng Goan-cau ada setingkat di atas angin.
"Lari ke mana!" perempuan pertengahan itu membentak, begitu ia menyapukan pedang ke
depan lalu mcnggentaknya, sarung pedangnya lantas terlolos terbang. Itulah gentakan yang
dilandasi tenaga dalam, sehingga batang pedang melesat terbang dari sarungnya jauh berlainan
dengan gaya melolos pedang umumnya.
Kelakuan yang lucu dari kebiasaan ini betul-betul membuat Beng Goan-cau merasa di luar
dugaan, sekonyong-konyong terasa cahaya putih gemerdep menyilaukan mata hawa terasa
dingin, tak urung ia jadi terkejut, batinnya: "Perempuan galak ini ternyata membeka! lwekang
yang cukup ampuh!" Seiring dengan jalan pikirannya itu, golok cepat Beng Goan-cau sudah membacok ke depan,
begitu keras pedang dan golok saling bentur, sehingga pedang itu terpental terbang balik.
Sementara jarak mereka sudah lebih dekat. Tampak ia memiringkan tubuh berkelit, di mana ia
putar pergelangan tangannya, pedang panjangnya sendiri sudah kena diraihnya, cara gerakan
yang lincah dan gesit memang bukan olah-olah liehaynya.
Mau tidak mau Beng Goan-cau harus berpikir: "Kedua suami istri ini, cukup tangguh, masih ada
pula nyonya muda itu, mungkin merupakan lawan tangguh pula. Musuh banyak jumlahnya, aku
seorang diri dikerubut, harus bertindak cepat dan meloloskan diri." Golok bergerak menurut
keinginan hati, ia kerahkan setaker tenaganya terus menyerang dengan jurus Ngo-ting-kay-san
(Ngo-ting membuka gunung).
Pedang panjang perempuan pertengahan umur itu berputar satu lingkaran, terdengarlah suara
"Trang tring!" sambung menyambung memekakkan telinga, ternyata dalam sekejap itu pedang
dan golok sudah saling bentur puluhan kali. Jurus yang digunakan perempuan pertengahan umur
adalah Hoat-lun-sam-coan, permainan pedang berantai menggubat golok Beng Goan-cau yang
cepat, secara langsung gaya putaran kencang ini berhasil memunahkan sebagian besar tenaga
dalam Beng Goan-cau yang memberondong ke arahnya melalui senjatanya.
Akan tetapi meski lwekang perempuan pertengahan umur ini cukup ampuh, betapapun tenaga
murninya masih kalah dibanding Beng Goan-cau, sekuat tenaga baru ia dipaksa untuk
memunahkan serangan musuh dengan susah payah. Telapak tangan sudah pecah. Meski bukan
luka berat, namun darah sudah merembes keluar dan mengotori lengannya sendiri. Melihat sang
istri terluka, lakilaki berjenggot kambing itu menjadi murka, bentaknya: "Bukan saja aku harus
menahan kuda suri merah ini, jiwamu pun harus kau tinggalkan."
"Apa iya?" olok Beng Goan-cau. "Silakan kau coba apa mampu kau menahan diriku!"
Sementara kuda suri merahnya sudah membedal ke arah depan, sedang di sebelah depan sana
masih terdapat nyonya muda, tanpa menoleh mendadak ia membalikkan tangan mengayun
pecutnya ke arah dirinya.
Pecut panjang orang menderu melecut ke arah lehernya, begitu mendengar deru angin lawan
lantas Beng Goan-cau tahu bahwa Iwekang nyonya muda ini lebih unggul di atas perempuan
pertengahan itu, kira-kira seimbang dan setingkat dengan laki-laki berjenggot kambing.
Kuda suri merah adalah kuda jempolan yang sudah banyak pengalaman di medan laga, begitu
mendapat serangan mendadak tanpa diberi aba-aba majikannya, tangkas sekali ia menerobos
lewat ke samping. Dalam pada itu laki-laki jenggot kambing sudah membedal kudanya memburu tiba, kontan ia
menyerang dengan jurus Tui-jiang-bong-gwat (mendorong jendela memandang rembulan),
pedang panjangnya meluncur lurus menusuk dada.
Cepat Beng Goan-cau gunakan Ting-li-jion-sim badannya miring bergelantung di tempat duduk
kudanya, sembari berkelit ia balas menyerang, golok cepatnya menahas miring ke lambung lawan.
Tajam goloknya berputar satu lingkaran, bagi orang di samping kelihatannya ia hanya balas
menyerang satu jurus, kenyataan dalam sekejap permainan sejurus itu, ia gunakan kembangan
tiga belas macam tipu-tipu yang campur aduk. soalnya permainan goloknya teramat cepat,
sehingga orang lain hanya melihat tabir sinar goloknya yang menyambar secepat kilat,
mengaburkan pandangan. Laki-laki jenggot kambing men-celos hatinya, diam-diam ia membatin: "Golok cepat bocah ini
agaknya tidak lebih asor dari permainan golok Utti Keng dulu, apakah dia murid Utti Keng" Tapi
gerak permainan dan tipu-tipu goloknya jauh berlainan." Teringat akan ilmu pedang sendiri yang
dilatihnya selama beberapa tahun terakhir ini. tujuannya adalah untuk menghadapi ilmu golok Utti
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keng, kini menghadapi anak muda ini saja dia tidak ungkulan, bila pemuda ini benar-benar adalah
murid Utti Keng, bukankah kepandaian ilmu golok Utti Keng lebih maju berlipat ganda" Terpikir
sampai di sini, mau tidak mau ia jadi putus asa dan patah semangat.
Kejadian berlangsung amat cepat, sementara perempuan pertengahan umur juga sudah keprak
kudanya memburu datang, Beng Goan-cau tahu di antara ketiga lawannya ini kepandaian
perempuan pertengahan umur ini adalah yang terlemah, maka besar tekadnya hendak membobol
kepungan ketiga lawannya dari sasaran yang lemah ini, tidak berkelit ia malah menyongsong
maju, kedua kakinya mengempit perut kuda lebih keras, kuda suri merah tahu maksud
majikannya, tiba-tiba ia melompat tinggi, kebetulan Beng Goan-cau pun melejit berdiri di atas
punggung kuda, rnembarengi dengan lompatan kuda tunggangannya, goloknya membawa
sambaran angin menderu dari posisi sebelah atas membacok secara ganas ke arah batok kepala
perempuan pertengahan. Tak nyana meski lwekang perempuan pertengahan setingkat di bawahnya, namun dia seorang
ahli dalam bidang mengatasi kekerasan dengan kelemasan, tenang mengatasi gerakan, begitu
situasi tidak menguntungkan segera ia mengubah gerak tipunya, laksana capung menutul di
permukaan air, sekali berkelebat melesat lewat, di saat badannya menyerempet lewat ujung
pedangnya tahu-tahu sudah mengarah sepasang mata kuda suri merah. Untung kuda ini sudah
pengalaman dalam medan laga, begitu cahaya menyilaukan menyambar matanya, kedua kaki
depannya lantas ditekuk berlutut sementara punggung golok Beng Goan-cau lekas mengetuk
turun, namun sigap sekali perempuan pertengahan umur sudah menarik balik pedangnya dan
berkelebat lewat dengan cepat.
Begitu kuda suri merah melompat dan berlutut, untunglah Beng Goan-cau banyak pengalaman
dan menguasai tehnik menunggang kuda, namun demikian hampir saja ia terlempar dari
punggung kuda. Akan tetapi perempuan pertengahan umur itu juga mencucurkan keringat dingin,
beruntung ia berhasil luput dari bacokan yang mematikan.
"Bagus ya, kalian main keroyok," hardik Beng Goan-cau gusar. "Memangnya kalian sangka aku
takut! Marilah kalian maju bersama sekaligus!"
Baru sekarang nyonya muda itu membalikkan kudanya, katanya dingin: "Ciok-susiok, dan bibi
Siang, silakan kalian mundur dulu, biar kujajal betapa tinggi kepandaian enghiong ini. Em, kalau
kau dapat mengalahkan pecut di tanganku boleh kau lewat sesuka hatimu!"
Suami istri pertengahan umur itu berseru bersama: "Baik, tapi untuk menjaga bocah ini tidak
melarikan diri, kami akan berjaga di luar kalangan!" Artinya bila Beng Goan-cau bermaksud
melarikan diri, terpaksa mereka akan turun tangan pula.
Nyonya muda itu membahasakan paman guru dan bibi guru kepada suami istri pertengahan
umur, namun kenyataan kepandaian ilmu silatnya jauh lebih kuat dan tinggi dari mereka, senjata
pecut lemasnya dimainkan begitu lincah dan hidup seperti ular sakti, malah di dalam permainan
pecutnya kadang-kadang diselingi gerak tipu ilmu golok dan pedang, di saat ia mengerahkan
tenaga pada batang pecut itu, pecut yang lemas menjadi kaku lurus, seakan-akan seperti sebilah
pedang yang runcing. Dalam teori persilatan biasanya paling ditakuti apa yang dinamakan tombak
takut membundar, pecut takut membujur lurus, bagi seorang tokoh yang dapat memainkan pecut
mencapai tingkat sedemikian sempurna, sudah boleh dikata mencapai taraf tertinggi.
Bila satu lawan satu jelas Beng Goan-cau tidak terkalahkan oleh nyonya muda ini, namun masih
ada dua lawan tangguh berjaga-jaga di pinggir dan merupakan tekanan pula bagi dirinya, sedikit
banyak membawa pengaruh juga.
Di kala ia terkejut akan kehebatan permainan pecut lawan, tiba-tiba dari kejauhan didengarnya
seseorang berteriak: "Lian-cici, berhenti!" Begitu mendengar suara itu, sungguh kejut dan girang
pula hati Beng Goan-cau, kiranya pendatang ini adalah Lim Bu-siang.
Nyonya muda itu segera berseru girang pula, cepat ia melompat turun dari atas kuda, teriaknya
juga: "Bu-siang, kaukah itu! Betapa susahnya aku mencari kau, kabarnya kau sudah tiba di
Tionggoan, ke mana saja kau menyembunyikan diri selama ini?"
Sahut Lim Bu-siang mengeprak kudanya mendekat: "Ayah tinggal di kampung nelayan, tapi dua
tahun terakhir tinggal di rumah Kim Tiok-liu. Entah apakah dia ada datang?"
Nyonya muda itu heran, ujarnya: "Jadi kalian tinggal di rumah Kim-tayhiap" Kenapa dia tidak
pernah beritahu kepada kami" Kim-tayhiap kemarin sudah tiba."
Lim Bu-siang tertawa getir dalam hati, pikirnya: "Setengah bulan yang lalu, aku sendiri pun
tidak menyangka berubah haluan, meluruk datang menghadiri pertemuan besar ini!" Ternyata
justru karena Kim Tiok-liu mengetahui jalan pikirannya, tahu bahwa dia tidak sudi bertemu muka
dengan piauko-nya, maka Kim Tiok-liu tidak memberitahukan berita mereka kepada Boh Cong-tiu
suami istri. Tatkala itu, perempuan pertengahan umur pun sudah maju mendekat, segera ia menyapa:
"Lim-sumoay, apakah supek baik-baik" Upacara kebesaran perguruan kita kali ini, entah beliau
orang tua apa sudi hadir?" Sembari bicara matanya melirik ke arah Beng Goan-cau.
"Ayah sudah berusia lanjut dan berbadan lemah, sejak lama sudah tidak turut campur urusan
dunia, mungkin beliau tidak akan hadir!" demikian sahut Lim Bu-siang.
Baru saja ia hendak memperkenalkan Beng Goan-cau, nyonya muda keburu berkata: "Oh, ya,
aku jadi lupa mohon tanya nama besar enghiong ini. Lim-sumoay, kalian adalah..."
Lim Bu-siang tertawa, segera ia memperkenalkan: "Beng-toako ini datang dari Siau-kim-jwan,
dia adalah sahabat karib Kim Tiok-liu, sengaja datang menjadi tamu agung kita, kau sebagai tuan
rumah kenapa ajak tamu berkelahi malah."
Nyonya muda itu menjadi risi dan kikuk, merah mukanya, katanya: "Kiranya Beng-tayhiap, aku
jadi teringat kata-kata yang tepat berada di hadapan kita sekarang, punya mata tidak tahu
tingginya gunung Thay-san."
Beng Goan-cau tersipu-sipu membalas hormat dan merendah diri, ujarnya: "Sedikit salah
paham belaka." Sementara dalam hati ia merasa heran, Lim Bu-siang membahasakan taci adik
dengan nyonya muda ini, sementara nyonya muda memanggil paman dan bibi guru kepada suami
istri pertengahan umur, sebaliknya Lim Bu-siang adalah sumoay mereka suami istri. "Entah ada
pertalian hubungan apa di antara mereka, begitu berbelit-belit," demikian batin Beng Goan-cau.
Maka berkatalah Lim Bu-siang: "Dia adalah piausoku, atau tuan rumah perempuan, dalam
pertemuan besar di Thay-san ini. Yang ini adalah Ciok-suheng, bernama tunggal Heng. Dan dia
adalah suci Siang Ceng."
Baru sekarang Beng Goan-cau tahu bahwa nyonya muda ini ternyata adalah istri Boh Cong-tiu,
Boh-hujin bernama Lian Jay-hong. Di waktu Lim Bu-siang bertemu pertama kali dengannya tempo
hari pernah menceritakan dirinya.
Ciok Heng tertawa menyengir, ujarnya: "Memang akulah yang gegabah, cuma kuda suri merah
tunggangan Beng-heng ini..."
Baru sekarang Lim Bu-siang paham, katanya: "Kiranya kalian salah paham akan asal-usul kuda
suri merah ini, sehingga terjadi salah pengertian?"
Ciok Heng tercengang, katanya: "Lim-sumoay, kau pun tahu asal-usul kuda suri merah ini?"
Sahut Lim Bu-siang: "Kuda ini adalah tunggangan pribadi Pakkiong Bong, komandan Gi-lim-kun,
akhirnya kena dicuri oleh Utti Keng, benar tidak?"
"Benar!" Siang Ceng menyela bicara. "Apakah kau pun tahu bahwa kami ada pertikaian dengan
Utti Keng?" Lim Bu-siang mengunjuk rasa heran, katanya memandang Suso-nya: "Kudengar kalian sudah
berpisah dengan Cong Sin-liong, apakah kalian masih bertugas bagi kepentingan Sat Hok-ting atau
Pakkiong Bong?" Persoalan inilah yang ingin diketahui oleh Beng Goan-cau, namun ia rada risi untuk mengajukan
pertanyaan ini, lekas ia pasang kuping mendengar dengan cermat.
Ciok Heng mendengus sekali, ujarnya: "Dulu kami suami istri terima diperintah dipermainkan
oleh Cong Sin-liong, sungguh bodoh dan gegabah sekali. Akan tetapi, meski sekarang sudah
kembali dalam keadaan bebas tidak punya ikatan, tidak mendapat tekanan dan perintah lagi dari
orang lain, tapi permusuhan kami dengan Utti Keng betapapun harus diperhitungkan! Sumoay!,
ketahuilah betapa Utti Keng bertingkah menghina dan merendahkan kami suami istri..."
Lim Bu-siang tersenyum manis, ujarnya: "Hal itu sejak lama aku sudah tahu."
"Cara bagaimana kau bisa tahu?" tanya Ciok Heng heran.
"Utti Kenglah yang bicara dengan ayah. Ada sebuah hal yang mungkin belum kalian ketahui, di
waktu ayah bersamaku kembali ke Tionggoan, orang pertama yang terikat menjadi sahabat ayah
adalah Utti Keng. Ayah pernah berpesan kepadaku, katanya bila kelak ada kesempatan bertemu
dengan kalian, supaya menyampaikan beberapa pesan beliau. Kata ayah bagi seorang yang punya
pendirian dan menghadapi persoalan dia pantang berlaku ceroboh dan membawa adatnya sendiri,
urusan kecil tidak perlu diperbesar dan diperpanjang sampai bertele-tele. Apalagi musuh gampang
di kat sulit dilerai, kenapa hanya persoalan gengsi dan nama yang kecil saja harus bermusuhan
dan saling dendam. Maka ayah mengharap pertikaian antara kalian dengan Utti Keng, bila sudi
pandang muka beliau sukalah berda-mai dan bikin habis sampai di sini saja!"
Di dalam kalangan Hu-siang-pay, kedudukan ayah Lim Bu-siang cukup tinggi, tidak bisa tidak
Ciok Heng suami istri harus memberi muka kepadanya, sesaat lamanya baru Ciok Heng bersuara:
"Bahwa Lim-supek punya harapan begitu besar, masa kami berani mengingkari kebaikan hatinya.
Baik, sejak kini anggap saja urusan ini tidak ada dan jangan disinggung lagi!"
Lahirnya memang dia berkata begitu, nada bicaranya terasa amat dipaksakan, sampai Lim Busiang
gadis polos yang tidak mengenal kelicikan hati manusia pun merasa nada bicaranya yang
kurang wajar. Beng Goan-cau sendiri memang tidak tahu mengenai seluk beluk Hu-siang-pay, hatinya
dirundung berbagai pertanyaan yang sulit mendapat jawaban, pikirnya: "Boh Cong-tiu mendirikan
partai menegakkan aliran di Tionggoan, dia undang seluruh tokoh-tokoh silat dari seluruh dunia
untuk hadir memberi restu dan sebagai saksi, dia merupakan sahabat karib Kim-tayhiap lagi, maka
tidak perlu diragukan sebagai aliran murni yang lurus (ceng-pay). Kenapa pula sebagian anggauta
perguruannya ada yang main sekongkol dan menjadi kaki tangan pihak kerajaan, terima
diperbudak menjadi anggauta Gi-lim-kun segala" Entah pertikaian apa pula yang menyebabkan
Utti Keng bermusuhan dengan laki-laki she Ciok suami istri ini." Karena baru saja berkenalan jadi
sungkan mengajukan pertanyaan, terpaksa ia telan bulat-bulat rasa curiganya.
"Bu-siang," ujar Lian Jay-hong tertawa, "beberapa hari yang lalu, piaukomu pernah
menyinggung kau, katanya amat kangen kepadamu. Marilah kita berjalan cepat-cepat."
Bu-siang tertawa dibuat-buat, sahutnya: "Benar, aku belum lagi makan minum perjamuan
kalian berdua!" "Kapan kau tahu kalau kami sudah menikah, kau tidak akan menyangka aku bakal menjadi
piau-somu bukan?" "Benar-benar tidak menyangka, namun aku benar-benar ikut girang bagi perjodohan kalian,"
dalam bicara mereka sudah cemplak tunggangan masing-masing dan jalan berjajar.
Tunggangan mereka sama kuda-kuda pilihan yang larinya amat cepat, kira-kira tengah hari
mereka berlima sudah tiba di kaki gunung Thay-san.
Untuk persiapan pendirian partai ini, Boh Cong-tiu sudah bekerja sejak beberapa tahun,
segalanya diatur sangat rapi, di bawah gunung sejak lama sudah didirikan sebuah rumah
penginapan sebagai pos pertama untuk menyambut kedatangan para tamu, di sini ia menugaskan
beberapa orang yang cekatan dan pandai bekerja. Cara pengaturannya yang cermat dan serba
sempurna ini adalah untuk memata-matai setiap tamu yang dicurigai hendak berbuat onar atau
sesuatu yang tidak menguntungkan pertemuan besar kali ini.
Setelah tiba di penginapan, Lian Jay-hong berkata: "Para tamu yang sudah datang sekarang
hanyalah para sahabat dekat piaukomu, jumlahnya belum banyak. Tapi lusa adalah hari
pembukaan, besok tentu banyak tamu yang berdatangan dari berbagai tempat. Para murid-murid
baru yang baru masuk perguruan mungkin masih asing dan belum kenal terhadap anggauta
perguruan kita, maka terpaksa aku dan Ciok-supek berdua harus tinggal di penginapan ini untuk
menyambut dan melayani para tamu. Bu-siang, kau boleh terus naik gunung saja bersama Bengtayhiap.
Mumpung piaukomu sekarang belum begitu sibuk, kalian dua saudara yang sejak kecil
berpisah bisa bertemu dan omong-omong. Dia benar-benar amat kangen kepadamu!"
Sungguh sulit dilukiskan perasaan hati Lim Bu-siang. Piauko yang sudah sekian tahun berpisah
dan sejak kecil dipuja-pujanya bakal bertemu sebentar lagi, namun tak terduga olehnya mereka
bakal bertemu dalam situasi dan keadaan demikian ini, entah manis atau getir perasaan hatinya,
mungkin kecut juga. Sedang pikirannya gundah dan risau, belum lagi sempat menjawab, Beng Goan-cau sudah
tertawa riang dan berkata lebih dulu: "Baik, katanya Kim Tayhiap sudah tiba, aku pun ingin
bertemu padanya lebih cepat." Karena kata-katanya ini sudah tentu Lim Bu-siang terpaksa
menemaninya naik gunung. Thay-san dijuluki sebagai gunung tertinggi dan terindah pemandangan di antara Ngo-gak (lima
gunung) lainnya, meski bagi pandangan orang-orang modern sekarang sudah bukan termasuk
gunung yang paling tinggi, namun pada jaman dulu di mana lalu lintas belum begitu berkembang,
Thay-san merupakan salah satu puncak gunung yang menjadi pujaan para pelancong dan
pujangga-pujangga, merupakan puncak gunung yang sangat erat dan punya ikatan yang
mendalam dengan jalannya sejarah kerajaan dari beberapa dinasti di Tiongkok.
Beng Goan-cau dan Lim Bu-siang naik dari kaki gunung sebelah selatan, melewati deretan
pohon-pohon Pek-tong yang berjajar di kedua pinggiran jalanan, langsung menanjak ke lamping
Thay-san di mana terdapat sebuah Tiong-thian-bun (pintu langit tengah). Jurang di sebelah bawah
sana dinamakan Ing-jiu-jiam, puncak-puncak mencuat tinggi di atas jurang dinamakan Liong-houphan.
Di atas Tiong-thian-bun terdapat Hek-hong-gou (mulut angin hitam), batu-batu besar
menjulang ke langit, masing-masing dinamakan Toa-thian-to-hong (tonggak besar penyanggah
langit) dan Siau-thian-to-hong, bentuknya seolah-olah sepasang lilin tersulut yang mencakar
langit, setiap kali awan mega mengembang lewat menyelimuti pohon-pohon siong tua di puncak,
laksana lilin yang terpasang di langit ini mengepulkan asapnya.
Sepanjang jalan Beng Goan-cau menikmati panorama yang elok serta mengagumi batu-batu
ukiran dari syair para pujangga dari jaman lampau, sedemikian terpesona sampai kadang-kadang
berdiri diam sekian lamanya, mengelus-elus serta memujinya tidak kepalang tanggung.
Lim Bu-siang menjadi geli, katanya tertawa: "Jalan dengan caramu ini, mungkin setelah cuaca
gelap belum lagi tiba di Giok-hong-koan di puncak sana!"
Letak Tiong-thian-bun di puncak karang yang menonjol keluar, memandang ke atas mega tebal
mengembang meliputi puncak tinggi, ada kalanya seluruh puncak Thay-san terbungkus rapat oleh
awan gelap, ada orang mengatakan keadaan semacam itu sebagai puncak Thay-san mengenakan
topi, ini pertanda bakal turunnya hujan.
Memang cuaca tiba-tiba menjadi mendung, kabut semakin tebal, selepas mata memandang
kabut melulu tidak terlihat pemandangan apa-apa. Cuma Giok-hong-koan yang tertinggi di sana
lapat-lapat kelihatan, laksana sebuah pulau yang terpencil di tengah lautan.
"Thay-san mengenakan topi, mungkin sebentar bakal turun hujan!" demikian ujar Beng-Goancau.
Memang tidak lama kemudian benar-benar turun hujan.
Untunglah hanya hujan rintik-rintik, di saat-saat hujan rintik-rintik ini, mereka terus melanjutkan
naik ke sebelah atas. Lautan mega bergulung-gulung seperti air mendidih, tiba-tiba kumpul
menebal lain saat tersebar menipis, memetakan pemandangan berbagai gambaran yang aneh dan
lucu-lucu, seolah-olah seperti harimau atau singa, seperti pula seekor rajawali yang pentang
sayap, laksana kuda liar yang pentang ke empat kakinya berlari kencang dan lain-lain
pemandangan yang sulit di kuti satu per satu.
Lim Bu-siang sampai terlo-ngong, dalam hati ia membatin: "Awan mega banyak berubah,
seperti pula kejadian di dunia ini. Tapi apakah piauko banyak perubahan seperti awan yang tidak
bisa diraba dan diduga?"
Karena pikiran kurang tenang, tiba-tiba kakinya menginjak tempat kosong, hampir saja ia
terperosok masuk ke dalam jurang, untunglah Beng Goan-cau meraihnya.
Kata Beng Goan-cau tertawa: "Mega di atas Thay-san, meski merupakan pemandangan aneh,
namun kabut tebal membungkus puncak sehingga pandangan orang sulit melihat apa-apa. Nona
Lim, hati-hatilah sedikit. Eh, apa yang sedang kau pikirkan?"
Pertanyaan yang tidak sengaja, namun bagi yang ditanya merasa adanya maksud tertentu,
sesaat Lim Bu-siang melongo, sahutnya: "Terima kasih akan peringatanmu, aku tidak pernah
pikirkan apa-apa." Untung kabut amat tebal, Beng Goan-cau tidak melihat jelas air mukanya yang
bersemu merah malu. Beng Goan-cau tertawa, ujarnya: "Kau tidak punya pikiran, aku justru sedang pikirkan sebuah
urusan!" "Urusan apa, boleh bicarakan dengan aku?" demikian tanya Lim Bu-siang, sementara dalam
hati ia berpikir: "Sepanjang jalan ia berdiam diri tidak banyak bicara, mungkinkah punya persoalan
pribadi apa?" Wataknya memang jujur dan berhati suci, punya rasa simpatik dan iba terhadap
sesama kawan, oleh karena itu meski ia tahu bahwa Utti Keng sedang berdaya hendak merangkap
perjodohannya dengan Beng Goan-cau, sedikit banyak membuat kerisauan dan keraguan dalam
sanubarinya, saat mana, sedikit pun ia tidak pernah memikirkannya lagi atau menjadi ganjalan
dalam lubuk hatinya. Agaknya Beng Goan-cau mengerti apa yang dia pikirkan, katanya: "Bukan urusan mengenai
persoalan pribadiku, yang kupikir adalah urusan partai kalian. Sepak terjang beberapa orang
anggauta partai kalian benar-benar membuat aku serba bingung dan tidak mengerti, entah
pantaskah aku mohon penjelasan kepada kau?"
Lim Bu-siang memang tidak curiga dan menaruh prasangka terhadap seseorang yang sudah
dikenalnya baik, tapi hal ini bukan berarti otaknya bodoh atau tumpul. Setelah mendengar
penjelasan ini ia baru paham dan berkata: "Utti Keng adalah sahabat kental ayah dan Kim
Tayhiap, namun menjadi musuh besar dari suheng dan susoku, apakah kau merasa persoalan ini
rada janggal?" "Entah cara bagaimana terjadinya ikatan permusuhan ini?"
"Untuk menjelaskan cukup panjang ceritanya, terpaksa harus mulai dari sejak mula Hu-siangpay
kita pulang ke daerah Tionggoan. Asal usul partai kami, kukira kau sudah cukup jelas bukan?"
"Kabarnya didirikan oleh Jan-bau-khek maha guru silat di luar lautan pada dinasti Tong dulu."
"Benar. Cikal bakal partai kami adalah Jan-bau-khek pada dinasti Tong, semula beliau punya
cita-cita hendak meluruk kembali ke Tionggoan dan berkuasa di sini, akhirnya melihat Tong Thaycong
Li Si-bin berkuasa, tahulah dia bahwa daerah Tionggoan sudah punya calon junjungan agung
yang asli, maka beliau lantas mengasingkan diri di luar lautan untuk memperdalam ilmunya, pulau
di mana beliau bersemayam diberi nama Hu-siang-to. Muridnya yang terbesar adalah maha guru
generasi kedua dari partai kami yang bernama Boh Jong-liong, beliau adalah nenek moyang
langsung dari piaukoku."
"O, ternyata begitu, tak heran partai kalian menjunjung piaukomu sebagai angkatan yang lebih
muda sebagai ciangbunjin, ini berarti sesuai dan mengikuti tradisi."
"Begitulah, maka susiokku Cong Sin-liong tidak terima dan tidak mau tunduk."
"Sejak dinasti Tong sampai sekarang, partai kami sudah didirikan ribuan tahun lamanya, kini
terpecahlah menjadi tiga cabang, semua tersebar di luar lautan, anggauta seperguruan sendiri ada
kalanya tidak saling mengenal. Piaukoku termasuk dari cabang yang asli murni, ayahku dari
cabang lain, demikian pula Cong Sin-liong dan Ciok-suko beramai dari cabang yang lain pula."
"Kami ayah beranak lebih dulu tiba di Tionggoan, rombongan kedua adalah Cong Sin-liong dan
enam orang suheng dan suci, mereka bergelar Hu-siang-cit-cu. Piausoku Lian Jay-hong semula
termasuk salah satu dari Hu-siang-cit-cu itu."
"Pertama kali tiba di Tionggoan, Hu-siang-cit-cu tidak tahu situasi dan keadaan, maka dengan
mudah mereka kena dipelet dan disogok oleh pihak kerajaan, dalam hal ini secara langsung
menguntungkan Sat Hok-ting, lama kelamaan Cong
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sin-liong menjadi tangan kanan dan pembantunya yang paling dipercaya, secara suka rela dia
terima diperbudak dan tunduk pada perintahnya."
"Utti Keng merupakan begal kuda, penjahat yang harus diringkus oleh pihak kerajaan, suatu
ketika dia bentrok dengan Hu-siang-cit-cu. Cong Sin-liong kena dikalahkan oleh permainan ilmu
golok cepat Utti Keng, Ciok-suko suami istri juga terluka oleh sambitan senjata rahasia Jian-jiukoan-
im Ki Seng-in, istri Utti Keng, sejak itulah mereka mengikat permusuhan yang mendalam.
"Namun dalam menghadapi persoalan terima menghamba dan menjual jiwa bagi pihak
kerajaan, Hu-siang-cit-cu sendiri masing-masing terbit perselisihan pendapat, tujuh orang terbagi
tiga pendapat yang berlainan, maka akhirnya ketiga kelompok orang ini terpecah dan hidup
sendiri-sendiri." "Siapa saja ketiga kelompak itu?"
"Kelompok pertama berpendapat, berhubungan erat dengan Sat Hok-ting bisa memperoleh
sedikit keuntungan dan bisa mendapat fasilitas pula, kalau toh kedua pihak bisa mendapat
keuntungan masing-masing, apa salahnya hubungan dilanjutkan lebih kental. Akan tetapi,
betapapun mereka sudah kena diperalat oleh orang, sedikit banyak menurunkan derajat sebagai
tokoh kosen persilatan. Kelompok kedua semula secara gegabah saja mengekor pada kehendak
Cong Sin-liong, akhirnya memisahkan diri. Dan yang terakhir adalah antek-antek yang patuh dan
setia menjadi ekor Cong Sin-liong. Ciok-suheng suami-istri adalah kelompok pertama, piauso Lian
Jay-hong adalah kedua dan tiga orang yang lainnya mengikuti jejak Cong Sin-liong, mereka
termasuk kelompok ketiga."
"Akhirnya Lian Jay-hong menikah dengan piauko dan tertarik ke pihaknya, sejak saat itu, Husiang-
cit-cu secara resmi terpecah dan mencari jalan hidupnya sendiri-sendiri. Cong Sin-liong dan
piauko-ku merupakan dua pihak yang bermusuhan. Semula, aku tidak tahu akan peristiwa ini, Kim
Tiok-liu toakolah yang menceritakan kepada aku."
"Piausoku waktu kecil adalah tetangga kami, akhirnya kami ayah beranak kembali ke Tionggoan
dan berpisah dengannya. Entah bagaimana akhirnya dia menjadi murid Cong Sin-liong, namun
akhirnya dia berkhianat terhadap perguruan dan menikah sama piauko. Sejak kecil kami sudah
membahasakan laci adik, maka tidak perlu mempersoalkan tingkat dan kedudukan segala."
"Bahwa Ciok-suko dan piausomu sudah paham dan sadar dari kesesatan, kenapa pula mereka
masih begitu dendam terhadap Utti Keng?"
"Selamanya mereka amat mengagulkan diri dan memang bersifat congkak, beberapa tahun
yang lalu Kim-toako pernah mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan mereka, maka
terjadilah perkelahian yang seru!"
"Dalam mendirikan partai dan menegakkan aliran perguruan kali ini, adakah piaukomu
mengundang kelompok Cong Sin-liong?"
"Hal ini aku tidak tahu!" Sejenak Lim Bu-siang berpikir lalu tambahnya: "Beng-toako, kabarnya
kau adalah pahlawan dari pasukan gerilya di Siau-kim-jwan, apa benar?"
"Mana berani aku disebut "pahlawan" segala, yang benar aku hanya sedikit menyumbangkan
tenagaku bagi kepentingan pasukan pergerakan belaka."
"Kim Tiok-liu toako dan paman Utti Keng sama punya hubungan yang erat dengan pihak laskar
gerilya, menurut apa yang pernah kudengar dari cerita Kim toako, piaukoku pun ada sedikit kontak
dengan pasukan pergerakan, namun hubungan mereka jauh berlainan pula dengan hubungan
Kim-toako dengan pihak laskar gerilya, apa kau paham akan maksudku?"
Beng Goan-cau tersentak sadar, pikirnya: "Benar. Boh Cong-tiu hanya boleh dianggap sahabat
pihak laskar gerilya, atau dikatakan saja sedikit menaruh simpatik pada pasukan pergerakan. Tidak
semestinya aku terlalu menaruh harapan besar terhadapnya. Anggauta perguruannya banyak yang
tidak cocok dengan kaum pendekar, kukira hal ini tidak perlu dibuat heran."
Sementara Lim Bu-siang sendiri pun sedang berpikir: "Sudah beberapa tahun piauko pulang ke
Tionggoan, hubungannya begitu kental dengan Kim-toako, seharusnya dia sudah dapat
membedakan mana buruk mana yang baik, betapapun dia tidak akan mengingkari diri terhadap
para sahabat dari kaum pendekar dan laskar gerilya, sebaliknya terima mengekor terhadap pihak
kerajaan." Masing-masing punya jalan pikiran yang berlainan, begitulah mereka beranjak terus naik ke
atas gunung. Jalan pegunungan di sebelah atas semakin licin dan sempit amat berbahaya,
akhirnya tibalah mereka pada daerah yang dinamakan Cap-pwe-ban (delapan belas lingkaran),
jalan di sini justru yang paling terkenal amat berbahaya, sedikit lena elmaut menanti jiwa orang.
Dinamakan Cap-pwe-ban karena jalanan di sini melingkar-lingkar dan berlika-liku naik turun di
lamping gunung yang terjal. Ada sebuah pepatah yang melukiskan betapa berbahayanya jalanan
Cappwe-ban ini: "Bila yang di depan menoleh ke belakang, yang kelihatan hanyalah kepala
manusia, sebaliknya orang yang di belakang mendongak ke atas yang kelihatan hanyalah kaki
depannya." Kabut semakin tebal, cuaca semakin pekat, meski kepandaian mereka tinggi, tak urung jantung
jadi kebat-kebit dan was-was, beberapa kejap lagi, tiba-tiba seperti mendapatkan sesuatu apa
Beng Goan-cau berseru keheranan.
Lim Bu-siang menyangka kakinya hampir terpeleset, cepat ia menarik lengannya serta katanya:
"Awas, hati-hati lumut di atas batu licin sekali."
Cepat Beng Goan-cau mendesis dan berkata lirih: "Coba kau dengar, lapat-lapat kudengar
beradunya sesuatu benda."
Di sebelah depan sana mereka bakal melewati sebidang hutan siong, angin pegunungan
menghembus deras sehingga suaranya bersuitan membisingkan telinga, seperti damparan ombak
laut yang pasang, laksana derap kaki kuda di medan laga.
Lim Bu-siang tertawa, katanya: "Mungkin pendengaranmu yang salah, bukan mustahil
hembusan angin mematahkan daun-daun pohon."
"Mari coba kita ke sana, hati-hati ringankan langkah kakimu!" Sambil berindap-indap mereka
memasuki hutan siong yang menjulang tinggi.
Berkata Lim Bu-siang: "Pohon-pohon siong di sini tinggi besar dan rimbun daunnya, dahan
sama dahan saling berdempetan sambung menyambung sehingga menutupi angkasa, tempat
yang cocok untuk berteduh."
Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari hutan, hujan sudah berhenti, maju lebih lanjut
mereka dihadang sepasang puncak menjulang yang mengapit jalan kecil yang harus mereka
lewati, dari lamping kedua puncak ini masing-masing tumbuh menjulur keluar sebatang pohon
siong yang cukup besar. Jarak antara kedua pohon ini kira-kira puluhan tombak jauhnya. Tiba-tiba
Lim Bu-siang berseru: "Lekas kau lihat dengan seksama, di atas pohon itu kelihatannya ada
bayangan orang." Tampak di antara jarak kedua pohon itu, ada beberapa dahan pohon sedang saling sambar
pergi datang berseliweran, sekonyong-konyong kilat menggeleger, betul-betul juga samar-samar
kelihatan di atas kedua pucuk pohon itu masing-masing bersembunyi seseorang di dalam semak
dedaunan yang rimbun. Beng Goan-cau berkata setengah berbisik: "Agaknya kedua orang ini sedang bertanding
pedang, jangan kita mengganggu keasyikan mereka."
Sebetulnya tidak perlu Beng Goan-cau memperingatkan, Lim Bu-siang sudah berdiri menjublek
dengan mulut melongo takjub.
Kedua orang itu duduk di puncak dahan pohon yang rada kecil, tangan masing-masing
menyekal sebatang dahan pohon, sementara di tengah udara ada empat batang pohon sedang
meluncur pergi datang bolak-balik. Setiap kali dahan pohon meluncur datang kedua orang itu
lantas menyampukkan dahan pohon di tangan mereka masing-masing, maka dahan pohon yang
melayang datang itu kena disampuk balik ke arah lawan. Setiap kali kena disampuk balik, dahan
pohon itu meluncur dengan kecepatan deras mengeluarkan deru angin keras, dari sini dapatlah
membuktikan bahwa Iwekang kedua orang ini bukan olah-olah hebatnya.
Dan yang membuat orang lebih heran, kelihatannya mereka sedang adu menyambit senjata
rahasia, namun bagi pandangan seorang ahli silat, dapatlah orang tahu bahwa kedua orang ini
sedang bertanding ilmu pedang tingkat tinggi.
Setiap menyampuk terbang dahan pohon, masing-masing melancarkan tipu yang banyak
perubahan dan mengandung variasi yang serba rumit.
Ada kalanya dahan pohon itu meluncur kencang seperti anak panah, tiba di tengah jalan
mendadak bisa membelok, yang diarah pertama adalah tenggorokan musuh, namun tahu-tahu
menukik menusuk ke perut, semula mengarah Thay-yang-hiat di pelipis lawan, tiba-tiba membelok
ke arah Hoan-tiau-hiat di lutut orang. Ke empat dahan pohon itu simpang siur meluncur cepat
namun tidak pernah saling bentur di tengah udara, kelihatannya pasti saling bertumbukan namun
tiba-tiba membelok ke arah lain terus menerjang ke arah lawan. Seolah-olah seperti dua tokoh
pedang yang menyembunyikan diri sedang bertanding pedang di tengah angkasa, bisa
mengendalikan senjata masing-masing seenak menurut nurani masing-masing, perubahannya
banyak ragam dan sulit dimengerti.
Beng Goan-cau tahu kedua tokoh yang sembunyi di atas pohon, Iwekangnya sudah mencapai
puncak tertinggi, maka mereka mampu menggunakan dahan pohon sebagai batang pedang untuk
mengendalikan dahan-dahan pohon itu meluncur ke arah lawan, tenaga yang digunakan amat
tepat dan persis sekali. Begitu terpesona ia menonton adegan adu pedang yang menakjubkan ini, hatinya lantas
berpikir: "Pertunjukan hebat yang menggunakan tenaga dalam dikombinasikan dengan permainan
pedang dan sambitan senjata rahasia dalam gebrak yang bersamaan terpaut antara dua lamping
gunung, benar-benar belum pernah saksikan atau dengar. Siapakah mereka ini?" Lalu terpikir pula
olehnya: "Di atas langit masih ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai, kata-kata ini
ternyata memang tidak meleset. Waktu di Siau-kim-jwan pernah kusaksikan permainan pedang
Siau Ci-wan dari partai Ceng-seng-pay, aku harus mengaku asor. Beberapa hari yang lalu bentrok
dengan Utti Toako, golok cepatnya membuat aku tunduk lahir batin, kini pertunjukan ilmu pedang
kedua orang ini begini hebat dan liehay, jauh di atas kemampuan Siau Ci-wan dan golok cepat Utti
Keng. Em, tusukan pedang ini menyelonong tiba dari arah yang tidak terduga oleh lawan kalau
aku sendiri yang menghadapi, sungguh tak tahu cara bagaimana harus membela diri?"
Kabut bergulung-gulung semakin tebal, jarak mereka masih puluhan tombak, kedua tokoh
kosen itu agaknya sedang mengkonsentrasikan diri menghadapi pertandingan pedang tingkat
tinggi, agaknya belum mengetahui akan kedatangan mereka yang sudah sembunyi tak jauh di
tempat pertandingan. Bahwa Beng Goan-cau sudah merasa takjub, sebaliknya Lim Bu-siang lebih keheranan dan
melongo. Kalau Beng Goan-cau amat kagum dan terpesona akan permainan adu pedang dari
tingkat tinggi, sebaliknya Lim Bu-siang melongo karena yang dia lihat adalah permainan pedang
tingkat tinggi dari perguruannya.
Dahan pohon timbul tenggelam di tengah udara laksana dua ekor naga yang sedang bergulat,
begitu mendekat lantas kena disampuk mental oleh orang yang sembunyi di atas pohon, terbang
balik ke arah lawan, lincah dan gesit, seolah-olah sedang beradu pedang sungguhan. Adalah
jurus-jurus permainan pedang ini, jauh berbeda dengan jalan tipu-tipu pedang dari aliran
Tionggoan yang ada. Beng Goan-cau tidak tahu dan tidak bisa menyelami di mana letak intisari
dari kehebatan ilmu pedang ini, sebaliknya Lim Bu-siang tumplek seluruh perhatiannya, sekali
pandang lantas ia tahu bahwa jurus tipu adu pedang ini jelas adalah ilmu pedang perguruannya.
Kedua orang itu sembunyi di semak-semak rimbunnya dedaunan pohon, kabut tebal lagi,
sehingga Lim Bu-siang tidak bisa melihat jelas, siapakah kedua orang ini. Tapi di antara sekian
banyak anggauta perguruannya, siapa yang mampu dan punya latihan yang setaraf demikian
tinggi, rasanya tiada, hal ini ia jelas mengetahui.
"Kecuali ayah, Cong Sin-liong tidak mungkin mencapai taraf begitu tinggi, mungkin piauko
adanya" Lalu siapa pula lawannya?"
Di saat pikirannya meraba-raba dan belum memperoleh pemecahannya, tiba-tiba didengarnya
suara "krak!", dua batang dahan saling bentrok di tengah udara, satu di antaranya patah menjadi
dua, sementara batang yang lain masih meluncur terus ke arah lawannya.
Orang yang sembunyi di pohon sebelah kanan segera menyampuk jatuh dahan yang meluncur
datang itu serta berseru: "Kim-heng, aku sudah menggembleng diri selama tiga tahun, betapapun
aku harus mengaku asor setingkat di bawahmu."
"O, ternyata Kim Toako adanya, bagaimana mungkin dia pun bisa memainkan ilmu pedang
perguruan kami?" demikian Lim Bu-siang bertanya-tanya dalam hati. Belum lenyap pikirannya,
sekonyong-konyong didengarnya seseorang berseru memuji: "Bagus!", suaranya seperti benturan
senjata keras yang memekakkan telinga, jelas sekali.
Ternyata kedua orang yang bertanding pedang ini adalah Kim Tiok-liu dengan Boh Cong-tiu,
Kim Tiok-liu amat berbakat dan pintar luar biasa, dari keturunan keluarga persilatan yang
membekal ilmu luas dan tinggi lagi. Ilmu pedang dari, berbagai partai dan golongan, asal dia
pernah melihatnya, tentu tidak akan dilupakannya. Bukan saja dia tidak melupakan apa yang
pernah dilihatnya, malah bisa pula diolah sendiri serta dikombinasikan dengan ilhamnya lalu
menciptakan sesuatu jurus pedang baru yang lain dari yang lain. Banyak kaum persilatan yang
berpendapat bahwa kepandaian silatnya sekarang sudah jauh melampaui Kang Hay-thian,
suhengnya, jago silat nomor satu pada jaman itu.
Sejak berkenalan dengan Boh Cong-tiu, setiap kali bersua, seperti menjadi tradisi mereka pasti
akan saling menjajal ilmu pedang masing-masing, maka terhadap inti sari ilmu pedang pihak Husiang-
pay, lambat laun ia berhasil menyelami semakin dalam. Tapi karena selamanya dia tidak
pernah menyinggung soal ini kepada Lim Bu-siang, maka walaupun Lim Bu-siang menetap di
rumahnya sekian lamanya, sedikit pun ia tidak tahu bawa Kim Tiok-liu bisa pula memainkan ilmu
pedang dari perguruannya.
Begitu keras seru pujian orang itu sehingga suaranya bergema sambung menyambung di
lembah pegunungan. Keruan Kim Tiok-liu terkejut, teriaknya: "Tokoh kosen darimanakah, silakan
keluar untuk berkenalan!"
Baru saja Beng Goan-cau kegirangan, pikirnya: "Kiranya benar Kim-tayhiap adanya." Namun
karena kebetulan terbentur peristiwa ini, yang dipersilakan keluar oleh Kim Tiok-liu adalah tokoh
kosen itu, maka ia jadi beragu diri, entah perlukah dia.segera keluar untuk bertemu dengannya.
Dalam detik yang amat pendek itulah, tiba-tiba didengarnya desiran angin senjata rahasia yang
menyambar datang, kiranya Boh Cong-tiu memetik beberapa dahan pohon, menggunakan
sambitan Lian-cu-cian menyambit ke arah Beng Goan-cau.
Bila latihan lwekang sudah mencapai puncak tertinggi, orang bisa memetik daun menerbangkan
kelopak kembang untuk melukai orang' sampai mati. Meski Boh Cong-tiu sendiri belum mencapai
tingkatan setaraf itu, kemampuannya sekarang sudah termasuk kelas wahid yang cukup hebat,
dahan pohon yang disambitkan laksana anak panah itu meluncur pesat mengeluarkan suara
mendesing keras. Keruan Beng Goan-cau terperanjat, untunglah kepandaian permainan golok
cepatnya amat sempurna, begitu goloknya terlolos dari sarungnya, beruntun ia menyampuk jatuh
dahan-dahan pohon yang menyambar tiba.
Golok cepatnya membabat dan memotong cepat luar biasa, maka terdengarlah suara
gemerincing yang nyaring bersambung, itulah goloknya berhasil memapas kutung dahan-dahan
pohon yang menyambar datang menjadi berkeping-keping. Sekaligus Beng Goan-cau berhasil
memapas tujuh batang dahan sambitan Boh Cong-tiu, namun masih dua batang yang lain
meluncur datang dari arah yang tidak terduga olehnya
Kedua batang pohon ini mengarah kedua jalan darah mematikan di tubuhnya, baru saja Beng
Goan-cau mengeluh 'celaka', tak nyana suatu keanehan yang ajaib mendadak terjadi, sungguh
berada di luar dugaannya, kedua batang dahan pohon itu mendadak membelok arah menancap di
atas batang pohon di sebelah belakangnya.
Tempat kedudukan Kim Tiok-liu dengan Boh Cong-tiu memang terpaut puncak gunung, jarak di
antara keduanya tidak lebih hanya beberapa tombak saja, sekali lompat Kim Tiok-liu bisa
mencapainya dengan mudah, sebelum Boh Cong-tiu bergerak ia sudah mendahului melompat
datang tiba di tempat persembunyian Beng Goan-cau.
Segera Boh Cong-tiu berteriak: "Kim-heng, ringkus saja hidup-hidup biar nanti kukompes
keterangannya. Hm, ingin aku melihat orang macam apa yang begitu besar nyalinya berani
mencuri lihat ilmu pedangku!"
Lekas Lim Bu-siang meloncat keluar dari belakang batu cadas, serunya: "Kim-toako, inilah Beng
Tayhiap Beng-toako yang kau suruh aku mengantar kabar kepadanya."
Kim Tiok-liu bergelak tertawa, serunya: "Boh-heng, kau salah terka. Lekas kau kemari lihatlah
siapa dia?" Boh Cong-tiu melengak, sekian saat ia mengamati Lim Bu-siang, akhirnya baru berteriak kejut:
"Kau, kau, kaukah Bu-siang?"
"Tidak salah!" sahut Lim Bu-siang, "Piauko, tak nyana kau masih kenal aku."
"Tadi apakah bukan saudara Beng ini yang berseru memuji?" tanya Boh Cong-tiu.
"Orang itu sudah pergi jauh," ujar Kim Tiok-liu.
Diam-diam Boh Cong-tiu malu diri, katanya: "Ke mana orang itu melarikan diri aku tidak tahu,
malah hampir saja melukai saudara Beng ini!"
Kim Tiok-liu menghela napas, ujarnya: "Orang itu pergi datang tanpa meninggalkan jejak,
benar-benar seorang aneh seperti naga yang kelihatan ekornya tidak tampak kepalanya. Sayang
tidak mau unjukkan diri berkenalan dengan kita."
Boh Cong-tiu seperti memikirkan apa-apa, katanya sesaat kemudian: "Di antara para tamu
undangan kecuali kau, betapapun tiada seorang kosen setinggi itu- Ya, kukira kedatangannya ini
pasti punya sesuatu tujuan tertentu, mau tidak mau aku harus berjaga-jaga dan waspada."
Tergerak hati Kim Tiok-liu, katanya: "Boh-heng, adakah kau sudah tahu siapakah orang itu?"
sementara dalam hati ia berpikir: "Kalau tidak sebagai seorang tuan rumah, begitu mendengar
suara lantas turun tangan secara keji. Masakah dia tidak kuatir salah melukai orang?"
"Dulu di waktu aku pertama kali tiba di Tionggoan, pernah bertemu dengan seorang aneh,"
demikian tutur Boh Cong-tiu. "Waktu itu entah apakah dia sengaja hendak mencoba-coba ilmu
silatku atau sengaja hendak mencelakai jiwaku, kami bertemu muka di suatu jalan pegunungan
yang licin dan berbahaya, mendengar aku dari Hu-siang-pay, mendadak mengajak aku bertanding
silat dan terus gebrak tanpa memberi aba-aba, setiap jurus permainannya amat telengas, terpaksa
aku harus adu jiwa melawannya di atas jurang. Akhirnya aku kena terpukul olehnya dan jatuh
sakit tiga bulan, namun dia pun mendapat sedikit cedera olehku. Sampai sekarang aku masih
belum tahu asal-usulnya."
Kim Tiok-liu heran, katanya:
"Ada tokoh sekosen itu yang mampu melukai kau. namun sedikit pun aku tidak tahu, sungguh
heran!" Maklum Kim Tiok-liu dan suhengnya Kang Hay-thian punya persahabatan yang amat luas
dengan orang-orang gagah dari seluruh dunia, tokoh-tokoh bulim yang kenamaan tiada yang tidak
mereka kenal, bila benar-benar ada seseorang aneh seperti yang dituturkan oleh Boh Cong-tiu ini,
dan belum diketahuinya, paling tidak suhengnya pasti tahu.
Tapi yang mengherankan Kim Tiok-liu bukan karena dia tidak tahu adanya tokoh seliehay itu,
adalah kejadian yang barusan dialami ini, kenapa baru sekarang Boh Cong-tiu mau menceriterakan
orang itu" Karena dialah pertama yang paling erat hubungannya dengan Boh Cong-tiu sejak
pertama kali dia tiba di Tionggoan, sudah sekian tahun lamanya mereka kenal satu sama lain,
sering Boh Cong-tiu minta petunjuk nama serta riwayat tokoh-tokoh kangouw yang kenamaan
padanya, tapi kenapa dia sendiri tidak pernah menyinggung orang aneh yang pernah membuatnya
jatuh sakit tiga bulan. Memangnya Kim Tiok-liu seorang yang simpatik terhadap teman, beberapa tahun terakhir ini di
bawah petunjuk dan nasehat suhengnya, dia sudah banyak maju dan tahu banyak mengenai
selukbeluk kehidupan kaum persilatan. Diam-diam ia berpikir: "Mungkin dia punya kesulitan yang
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mungkin dikemukakan kepada orang luar, tidak enak aku perlu mengetahui seluk beluk
rahasia pribadi orang." Maka ia lantas berkata: "Kalau tahu demikian, sebetulnya tidak perlu aku
merintangi kau turun tangan!"
Boh Cong-tiu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Untung dua kali kau merintangi aku turun
tangan, kalau tidak jadi berbuat salah terhadap saudara Beng ini. Beng-heng, harap kau suka
maafkan kesalahan pahamku."
Baru sekarang Beng Goan-cau tahu bahwa tadi Boh Cong-tiu sekaligus menyambitkan senjata
rahasianya kedua jurusan, sementara dahan pohon yang disambitkan ke arah dirinya secara diamdiam
telah disampuk miring dan kendor tenaga luncurannya karena rintangan tenaga dalam yang
dikebutkan oleh lengan baju Kim Tiok-liu. Namun demikian di kala ia memapas kutung dahandahan
pohon sambitan Boh Cong-tiu dengan golok cepatnya, telapak tangannya sampai tergetar
sakit kesemutan, diam-diam bercekat hatinya, pikirnya: "Kim Tayhiap dijuluki jago nomor satu di
seluruh jagat, kiranya memang tidak bernama kosong, secara diam-diam ia sudah menolong
jiwaku tanpa kusadari, ai, dulu pandanganku terlalu cupat seperti duduk dalam sumur memandang
langit, tak tahu betapa besarnya dunia ini, tak nyana di dunia ini terdapat tokoh silat yang
sedemikian liehaynya. Kepandaian Kim Tayhiap jelas jauh berada di atas diriku, meski Boh Congtiu
sendiri pun aku tidak bakal bisa mengungkulinya meski berlatih sepuluh tahun lagi."
Setelah Boh Cong-tiu ajak Kim Tiok-liu mengobrol sebentar, lalu ia bicara lagi: "Sudah lama aku
mengagumi para pahlawan dari Siau-kim-jwan, kebetulan Beng-heng sudi datang, sehingga partai
kami mendapat pandangan yang lebih cemerlang, kelak harap Beng-heng suka memberi beberapa
petunjuk!" Selama itu Lim Bu-siang tiada kesempatan ikut menimbrung bicara, hatinya jadi merasa hampa
dan mendelu. Beberapa tahun ini dia sering berpikir, entah bagaimana keadaannya bila dirinya
Kampung Setan 8 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Badai Awan Angin 7