Pencarian

Kelana Buana 14

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 14


sendiri amat menyesal, sayang aku tidak bisa sembahyang mohon maaf ke pusara Siau-toako.
Akan tetapi Han-lopiauthau sendiri pun sudah wafat, permusuhan di antara kalian pun tidak perlu
ditarik panjang!" Han Wi-bu segera turut bicara: "Sejak lama memang aku punya maksud demikian, secara tidak
langsung aku sudah mohon bantuan Cau-locianpwe untuk menyampaikan keinginan hatiku ini
kepada Siau-hujin, kuharap Siau-hujin dapat maklum adanya."
Siau-hujin insyaf pihak lawan teramat kuat, betapapun rasa dendam dan penderitaan selama ini
sulit terlampias, terpaksa harus tahan sabar berapa lama lagi. Maka katanya tawar: "Jadi kalian
tidak ingin mencari kesulitanku, memang untuk apa kalian meluruk kemari?"
"Harap tanya," kata Han Wi-bu, "Apakah Miao Tiang-hong dan Hun Ci-lo berada di sini?"
Ki Kian-ya cepat menambahkan: "Aku tahu Hun Ci-lo adalah keponakanmu, namun dia pun
sudah menjadi marga keluarga Nyo, dan aku pun ada ikatan dengan keluarga Nyo, maka aku
mewakili mereka untuk membuat penyelesaian dengan dia, harap suruhlah dia keluar."
Han Wi-bu menambahkan lagi: "Persoalan Miao Tiang-hong dengan Tin-wan Piaukiok kami juga
perlu segera diselesaikan, cuma soal ini tiada sangkut paut dengan Siau-Hujin, jadi kau tidak usah
salah paham. Asal kau tidak turut campur, sekali-kali kami tidak akan membuat kesulitan kepada
kau." Siau-hujin tahu bahwa urusan tidak akan dapat mengelabui mereka, tengah ia ragu-ragu cara
bagaimana harus menjawab, Hun Ci-lo dan Miao Tiang-hong justru sudah beranjak keluar.
"Paman Ki, pertikaianku dengan keluarga Nyo masakah berani membikin capai kau orang tua,
suruh saja Nyo Bok menyelesaikan hal ini dengan aku!" Tidak melihat Nyo Bok di antara mereka,
diam-diam hatinya heran. Sementara Miao Tiang-hong bergelak tertawa, serunya: "Han-congpiauthau, sungguh cepat kau
menyusul kemari! Memang benar ucapanmu persoalan kita tiada sangkut pautnya dengan Siauhujin,
aku orang she Miao berani bertindak berani bertanggung jawab, kalian membuat
perhitungan padaku saja!" Sembari bicara matanya melirik ke arah tiga orang lain dari Tin-wan
Piaukiok, melihat laki-laki bermuka kuning seperti berpenyakitan itu, diam-diam terkesiap hatinya.
Ternyata orang ini adalah seorang tokoh dari kalangan sesat yang cukup terkenal, bernama
Ouwyang Kian, ilmu Lui-sin-ciang yang dia latih teramat jahat dan ganas, soalnya sepuluh tahun
yang lalu dia pernah dikalahkan oleh Kaypang Pangcu Tiong Tiang-thong, maka jarang ia muncul
di kalangan kangouw. Siau-hujin tidak kenal padanya sebaliknya Miao Tiang-hong pernah bertemu
muka sekali dengan orang.
Mau tidak mau berpikir Miao Tiang-hang: "Dari nada Han Wi-bu yang kuat dan bersuara keras,
agaknya lwekangnya sudah pulih enam tujuh bagian, meski jumlah orang yang meluruk datang di
pihak mereka rada sedikit, namun semua rata-rata tokoh kelas satu. Hanya Ouwyang Kian seorang
saja sudah melampaui sepuluh piausu dari Tin-wan Piaukiok. Pertempuran malam ini agaknya jauh
lebih berbahaya dan sulit dapat menang."
Dasar ia berwatak tinggi hati, meski tahu pihak musuh teramat tangguh, namun sedikit pun ia
tidak menunjukkan rasa jeri, jengeknya dingin: "Han-congpiauthau sungguh terlalu tinggi menilai
aku orang she Miao, bukan saja mengundang Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya Ki-locianpwe, malah
mengundang Ouwyang Siansing ini turun gunung juga, agaknya aku orang she Miao dapat
berkenalan sekaligus dengan dua tokoh kosen kenamaan, sungguh amat beruntung dan harus
dibuat girang!" Berkerut alis Ki Kian-ya, baru saja ia hendak bicara, Ouwyang Kian sudah tertawa lebar,
katanya: "Miao-heng, sepuluh tahun sudah tidak bertemu, tidak kecil kau angkat nama di kalangan
kangouw, namun beritanya agaknya kurang tepat!"
Miao Tiang-hong melirikkan mata, tanyanya dingin: "Apa maksudmu?"
"Dari nada bicaramu, agaknya kau menyangka aku datang untuk membantu Han Wi-bu untuk
menghadapi kau?" "Memangnya kau bukan membantu dia?"
"Kau salah! Ketahuilah kedudukanku sekarang adalah wakil cong-piauthau dari Tin-wan
Piaukiok, maka urusan Tin-wan Piaukiok berarti urusanku pula!" Secara langsung ia maksudkan
bahwa secara gamblang dirinya pun wajib memikul tanggung jawab dari segala persoalan Tin-wan
Piaukiok, jadi bukan orang yang diundang untuk membantu melawan musuh belaka. Umumnya
teman yang diundang untuk bantu melawan musuh cukup hanya saling gebrak dengan tutul dan
jatuh bangun saja, kalau pejabat yang langsung ikut bertanggung jawab dalam persoalan itu,
maka dia boleh turun tangan tidak usah kenal kasihan segala.
Ketenaran dan tingkat kedudukan Ouwyang Kian dalam kalangan kangouw sebetulnya jauh
masih berada di atas Han Wi-bu, bahwa dia rela merendahkan diri menjadi wakil Han Wi-bu, hal
ini benar-benar di luar dugaan Miao Tiang-hong.
Sejenak Miao Tiang-hong tercengang, lalu katanya dingin: "Oh, jadi Ouwyang Siansing sudah
diangkat sebagai wakil cong-piauthau Tin-wan Piaukiok, selamat, selamat! Orang she Miao sudah
mengikat permusuhan dengan piaukiok kalian, entah apa saja yang kalian anggap berdosa, aku
tidak akan menyembunyikan diri untuk menghadapi pertanggungan jawab ini! He, he, kau hendak
maju sendiri atau majulah bersama dengan cong-piauthau kalian?"
"Miao Tiang-hong, jangan kau meremehkan orang, bicaralah lebih lanjut bila kau mampu
mengalahkan Lui-sin-ciangku!
"Baik sekali, memang aku ingin menjajal sampai di mana keliehay-an Lui-sin-ciangmu!"
demikian ujar Miao Tiang-hong kalem.
Di saat mereka sudah berhadapan dan siap turun tangan, mendadak Ki Kian-ya menyela:
"Tunggu dulu!" Terpaksa Ouwyang Kian mundur ke samping. Berkata Ki Kian-ya perlahan-lahan: "Dua
persoalan jangan dibicarakan jadi satu. Biarlah aku menyelesaikan urusan yang diwakilkan oleh
Nyo Bok!" Sampai di sini ia memutar badan menghadapi Hun Ci-lo, katanya: "Hari ini Nyo Bok
tidak datang, biar aku yang bicara saja. Kuharap kau suka berpikir panjang, apakah kau mau
pulang dan rujuk kembali ke rumah keluarga Nyo. Bolehlah menjawab pertanyaan ini setelah kau
pikirkan masak-masak, tidak perlu sekarang juga kau memberi jawaban."
Adalah Hun Ci-lo segera menjawab: "Tidak perlu dipertimbangkan lagi, kau ingin aku pulang ke
rumah keluarga Nyo. kecuali kau bunuh aku dan mengusung jenazahku ke sana!"
Bertaut alis Ki Kian-ya, katanya: "Pepatah ada bilang, semalam menjadi suami istri selamalamanya
akan menjadi kenangan abadi, bagaimana kau bisa bicara begitu tegas?"
"Kalau Nyo Bok anggap aku sebagai istrinya, tidak mungkin dia bersikap begitu terhadapku. Kilosiansing,
cukup sekian saja ja-wabanku, ingin bunuh atau hendak berkelahi, selalu aku suka
mengiringi kehendakmu!"
Ki Kian-ya menarik napas panjang, ujarnya: "Kalau toh kau sudah sedemikian kukuh akan
pendirianmu, tidak berguna aku membujuk kau. Baiklah, kusempurnakan keinginan hatimu!"
Istilah 'sempurna' kalau dimaksudkan secara langsung adalah bermaksud baik, namun bila
diucapkan oleh kaum persilatan, ada kalanya justru kebalikan dari maksudnya yang semula.
Sudah tentu ucapannya terakhir ini menimbulkan prasangka jelek bagi Hun Ci-lo, Miao Tianghong
dan Siau-hujin, segera Miao Tiang-hong tampil setapak ke depan menghadang ke depan Ki
Kian-ya. sementara Siau-hujin menjengek hidung, oloknya: "Aku tidak perduli kau ini Su-hay-sinliong
atau Pat-hay-yu-liong, berani kau melukai keponakanku, biar aku adu jiwa sama kau!"
Ki Kian-ya tertegun, katanya: "Siapa bilang aku hendak mencelakai jiwanya?" Sembari bicara ia
mengeluarkan sepucuk surat, lalu katanya pula kepada Hun Ci-lo: "Sebelumnya Nyo Bok juga
sudah mengira kau tentu tidak mau pulang, baiklah, kau terimalah ini. inilah surat cerai dari Nyo
Bok untukmu. Sejak hari ini kau sudah putus hubungan dengan keluarga Nyo, jangan lagi kau
menggunakan nama baik keluarga Nyo untuk membuat sensasi di luaran!"
Ternyata masih ada setitik keinsyafan dan penyesalan dalam sanubari Nyo Bok, cuma ia tidak
berani melepaskan diri dari belenggu jaringan Ciok Tio-ki, pikir punya pikir terpaksa ia berkeputusan
untuk menceraikan isteri saja, terhadap Ciok Tio-ki ia punya alasan tepat untuk
membebaskan tanggung jawab, sementara di luaran gengsinya pun tidak sampai terjungkal habishabisan.
Malam itu ia ikut Han Wi-bu pulang, kebetulan Ki Kian-ya menyusul tiba dari Kanglam. Ki
Kian-ya masih dikelabui mengenai hubungan rahasianya dengan Ciok Tio-ki, namun ia pun tidak
suka mencari keributan yang berkepanjangan, maka ia pun menasehati Nyo Bok untuk
menceraikan Hun Ci-lo saja habis perkara. Nyo Bok tahu pihak sendiri yang salah, maka ia tidak
berani berhadapan langsung dengan Hun Ci-lo, maka surat cerainya itu" ia titipkan kepada Ki Kianya
untuk menyelesaikannya. Hun Ci-lo menerima surat cerai itu sembari tertawa dingin, jengeknya: "Ki-lo-siansing, bila
sampai di rumah katakan kepada Nyo Bok supaya dia melegakan hati. Sejak hari ini boleh dia
menempuh jalan hidupnya sendiri, aku pun bisa hidup menurut arah tujuanku. Jangan kata
hendak menggunakan kebesaran nama baik keluarga Nyo mereka, menyinggung namanya saja
aku sudah tidak sudi. Cuma surat cerai ini aku tidak sudi menerimanya."
Agaknya Ki Kian-ya belum mengerti akan maksud kata-katanya ini, katanya: "Bukankah kau
menginginkan berpisah dengan Nyo Bok. Masakah..."
"Tetapi, bahwa Nyo Bok ingin hubungan kami putus, hal ini memang juga kuharapkan, cuma
kesalahan bukan pada pihakku, berpisah ya berpisah kenapa harus pakai surat cerai segala" Dia
menulis surat cerai ini jelas hendak menghina kepadaku!" Sembari menyeringai dingin, ia robek
surat cerai itu sampai berkeping-keping.
Tindakan ini benar-benar di luar dugaan Ki Kian-ya, sudah delapan tahun ia kenal kepada Hun
Ci-lo, baru hari ini betul-betul ia dapat menyelami perangai orang yang lemah di luar keras di
dalam, sebagai perempuan gagah yang harus dipuji. Meski terhadap Hun Ci-lo ia sendiri masih
punya berbagai prasangka yang belum bisa dimengerti, mau tidak mau dalam menghadapi
persoalan ini sekarang diam-diam ia merasa kagum dan memuji tindakan orang yang tegas.
"Baik, kau tidak mau menerima surat cerai itu, yang terang urusan sudah kuselesaikan dengan
baik, kini tibalah saatnya memperbincangkan persoalan Tin-wan Piaukiok dengan Miao Tianghong!"
Di luar dugaan orang banyak persoalan genting yang cukup memakan banyak perhatian ini
justru dapat diselesaikan secara gamblang. Tapi pertikaian yang lain yang lebih besar dan sengit
justru segera mendatang, perhatian semua orang dari Hun Ci-lo kini tertuju kepada Miao Tianghong.
Miao Tiang-hong bergelak tertawa: "Persoalanku dengan pihak. Tin-wan Piaukiok memang
harus kuselesaikan, baiklah aku akan mengiringi setiap kehendak kalian!"
"Urusan tidak segampang yang kau uraikan," demikian ujar Ki Kian-ya. "Bicara terus terang asal
mula pertikaian kalian adalah gara-gara Nyo Bok, kini persoalan Nyo Bok sendiri sudah damai dan
selesai, asal Miao-siansing suka mohon maaf kepada Han-congpiauthau, kukira Han-congpiauthau
tentu sudi memberi sekedar muka kepadaku, untuk menghapus persoalan ini!"
"Bagus, untuk memberi muka kepada Ki-locianpwe, aku orang she Han tidak suka menarik
panjang urusan, biar kuberi keringanan kepada kau Miao Tiang-hong. Asal kau suka menuruti
aturan umum suka berlutut dan menyembah kepadaku."
Ternyata Miao Tiang-hong berlaku kalem, ujarnya: "Han-congpiauthau, agaknya kau sudah kilaf
dan salah bicara!" "Soal apa yang salah kukatakan?"
"Yang benar persoalan seharusnya terbalik. He, he, asal kau suka berlutut dan menyembah tiga
kali kepadaku, masakah aku tidak sudi memandang muka Ki-locianpwe untuk menyudahi
persoalan ini!" , Han Wi-bu menjadi gusar, serunya: "Bedebah, agaknya kau memang hendak mempermainkan
aku ya" Tidak menjadi soal kau mempermainkan aku, kebaikan Ki-locianpwe secara langsung juga
kau kesampingkan begitu saja." Masam muka Ki Kian-ya, dengusnya: "Biar kutanya lebih tandas
kepadanya. Miao Tiang-hong, benar-benar kau tidak mau menerima arak suguhan dan minta arak
hukuman?" Miao Tiang-hong pun naik pitam, serunya bergelak tertawa: "Ki-losiansing, sedang kutunggu
arak hukumanmu. Tapi pihak kalian ada empat orang, secangkir arak hukuman kukira tidak perlu
dipikul bersama kalian. Begini saja biar ku-bedah perutku, berapa banyak arak hukuman kalian
biar kutenggak seluruhnya."
"Orang she Miao," bentak Ouwyang Kian, "Jangan kau temberang, cukup arak hukumanku saja,
kukira kau tidak akan cukup kuasa menerimanya, kenapa harus bikin capai Ki-losiansing segala."
"Biar kujelaskan lebih dulu!" sela Ki Kian-ya pula, sejenak ia merandek, sorot matanya ditujukan
ke arah Siau-hujin lalu melanjutkan: "Terus terang, memang aku diundang oleh pihak Tin-wan
Piaukiok, tapi mereka mengundang aku kemari hanya untuk menjadi saksi, jadi wasit untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, bukan meminta aku ikut terjun ke medan laga. Kini bahwa
usul penyelesaianku ditolak mentah-mentah, terpaksa mengandal kepandaian sejati kalian masingmasing
untuk menentukan saja. Tapi sebelumnya perlu juga kujelaskan, aku hanya menjadi saksi
dan tidak suka turut campur secara langsung, maka aku pun tidak suka ada orang yang turut
campur dalam persoalan ini."
Sudah tentu secara langsung ucapannya ini ia tujukan kepada "Siau-hujin, maka berkata Hun
Ci-lo lirih: "Bibi, Miao-toako sudah menolong jiwaku, aku tidak bisa berpeluk tangan menonton
saja, biarlah aku tampil ke muka!"
"Ci-lo," kata Siau-hujin dengan nada berat, "kularang kau turut campur!" Mendadak tangannya
membalik, jari tengahnya menotok Hiat-to pelemas Hun Ci-lo, sehingga orang tidak mampu
bergerak lagi. Di saat itu juga, Ouwyang Kian sudah menubruk maju "Wut" kepalannya kontan menyerang
dengan dahsyat. Hun Ci-lo tidak bisa bergerak, namun matanya masih bisa melihat, kupingnya dapat
mendengar, saking gugup ia berteriak melengking: "Bibi, kau..."
Belum lenyap teriakan Hun Ci-lo, tampak bibinya menjengek dingin terus tampil ke depan
seraya mendamprat: "Miao Tiang-hong adalah tamuku, kalian meluruk datang berani menghina
tamuku, mana aku boleh berpeluk tangan!"
Baru sekarang Hun Ci-lo insyaf bahwa orang menotok jalan darahnya, karena bibinya hendak hindarkan
dirinya terlibat dalam pertikaian ini. Maklumlah, Ki Kian-ya dan Han Wi-bu dan lain-lain adalah tokoh-tokoh
bulim yang kenamaan, asal Hun Ci-lo tidak turun tangan, sudah tentu mereka tidak akan sudi menyerang
tanpa sebab. Apalagi Ki Kian-ya sendiri sebelumnya sudah
menandaskan bahwa persoalan dengan keluarga Nyo sudah impas. Bahwa jalan darahnya tertotok
berarti pula keselamatan bagi jiwanya, berarti pula jiwanya terlindung.
Hun Ci-lo harus berterima kasih akan maksud baik bibinya ini, namun mana dia bisa berhati tentram
menghadapi persoalan yang menyangkut dirinya pula di depan mata, terpaksa ia mengerahkan tenaga
murni sendiri untuk menjebol totokan jalan darahnya. Tapi karena ia sedang mengandung, penyaluran
tenaganya jadi banyak terpengaruh dan berjalan amat lambat.
Ki Kian-ya mendengus, jengek-nya: "Jadi kau memang ingin turut campur. Apakah kau belum jelas mendengar pernyataanku, kalau kau hendak turut campur, berarti kau mendesak aku turun tangan pula
untuk menghadapi kau!"
Siau-hujin tertawa dingin, katanya ketus: "Sepuluh tahun yang lalu kau melukai suamiku, hari ini bakal
melukai aku pula, bukankah keinginanmu bakal terlaksana malah. Main pura-pura bajik segala, ayolah
turun tangan!" "Siau-hujin, jangan kau mencampur aduk dua persoalan ini. Tapi kalau kau ingin menuntut
balas dendam lama dan memperhitungkan persoalan baru, dengan senang hati aku suka
mengiringi." Siau-hujin tak pedulikan ocehan orang, pelan-pelan ia melepas ikat pinggangnya yang terbuat
dari sutra putih, katanya tawar: "Menurut aturan, sebagai tuan rumah pantas aku memberi
peluang pada tamu, tapi kalau kau tidak mau turun tangan terpaksa aku mendahului melabrak
kau!" Sembari bicara lengannya terayun naik sementara pergelangan tangannya berputar dan
menyendal, sutra putih itu segera meliuk-liuk berputar laksana rantai menggulung ke arah Ki Kianya.
Melihat orang mempertunjukkan ilmu lemas tingkat tinggi, diam-diam berpikir Ki Kian-ya:
"Kalau tidak kuberi sedikit tanda mata, mana bisa membuatnya kapok dan mundur teratur."
Segera ia melancarkan tenaga ilmu Tay-lik-eng-jiau-kang, dengan cengkeraman tangan ia hendak
menyobek sutra putih orang.
Serangan yang digunakan oleh Siau-hujin adalah ilmu lemas untuk menundukkan kekerasan, Ki
Kian-ya justru menggunakan ilmu yang paling mengutamakan kekerasan untuk menghadapinya,
ini jelas mengagulkan bahwa lwekang sendiri masih lebih unggul dari Siau-hujin, maka ia tidak
takut menghadapi lawan. Di luar tahunya meski lwekang Siau-hujin lebih asor, permainan selendang sutranya justru
dapat ditarikan laksana naga hidup, keruan cengkeraman Ki Kian-ya mengenai tempat kosong,
mendadak selarik sinar hijau berkelebat menyilaukan matanya. Ternyata Siau-hujin mencabut
sebatang pedang pendek, ujung pedangnya memancarkan titik-titik cahaya gemerlapan seperti
kunang-kunang. Menggunakan putaran selendang sutra untuk menyelubungi pedang hijaunya, secara kilat Siauhujin
merangsak maju seraya menyerang dengan gencar, selendang sutranya bergulung-gulung
melambai turun naik, laksana bunga salju beterbangan di tengah udara, sementara sinar hijau
berkilauan memetakan titik-titik terang laksana binta'hg-bintang kelap-kelip di tengah angkasa
raya. Memang ilmu pedangnya dari aliran tersendiri, setiap jurusnya mengambil makna dari inti
syair pujanggajaman Tong, dan jurus kombinasi antara selendang sutra dan pedang ini justru
adalah satu tipu andalannya yang paling liehay.
Meski ilmu pedang Siau-hujin cukup liehay dan tinggi, Su-hay-sin-liong pun bukan lawan
enteng, pertempuran berlangsung dalam adu kecepatan, terdengar ia menghardik, terlihatlah
lambaian selendang sutra menjadi tercerai berai seperti didampar angin badai, demikian juga
cahaya pedang hijau kemilau pecah berantakan.
"Siau-hujin," bentak Ki Kian-ya, "Aku tidak akan mengikat permusuhan baru dengan kau,
sebaliknya kau hendak ajak aku mengadu jiwa?"
Begitu Ki Kian-ya mengembangkan ilmu pukulannya, bergelombang bagai damparan ,hujan
badai yang susul menyusul satu lebih keras dan hebat dari lainnya. Malah sambaran angin yang
keras itu terasa menyakiti kulit seperti di ris pisau tajam. Meski Siau-hujin membekal lwekang yang
tidak lemah, tak urung ia menjadi kewalahan dan sesak napasnya.
Namun Siau-hujin kertak gigi, tiba-tiba ia kembangkan Ih-sing-hoan-wi, laksana kecapung
menu-tul air, seperti burung walet menyelinap kerai, selendang sutranya menari turun naik seperti
naga hidup, sementara cahaya pedangnya bagai kilauan bintang kejora yang bersinar terang,
dalam sekejap mata beruntun ia sudah berkisar dan berputar beberapa bundaran. Permainannya
ini dikembangkan menurut ajaran-ajaran ilmu syair pujangga kuno^merupakan semacam ilmu
bertempur secara main sergap dan selundup selicin belut, keruan Ki Kian-ya selalu tak berhasil
mencengkeram selendang sutranya serta memukul jatuh pedangnya, diam-diam hatinya pun
mencelos. Setelah menyerang pula beberapa jurus, Siau-hujin menjawab dingin: "Benar, hari ini kalau
tidak kau mampus biar aku yang binasa!"
Ki Kian-ya menghela napas, ujarnya: "Hujin mendesakku sedemikian rupa, terpaksa aku
mengiringi kehendakmu saja!" Di mulut ia bicara ketus, namun dalam hati ia beipikir: "Dengan
cara apa aku harus membuatnya mundur teratur tanpa melukainya dan tidak menurunkan derajat
dan gengsinya?" Kalau di sebelah sini pertarungan Siau-hujin masih setanding dan seru, di sebelah sana, Miao
Tiang-hong sendiri sudah terdesak di bawah angin dan berulang kali menghadapi bahaya.
Lwekang Miao Tiang-hong belum pulih seluruhnya, sehingga gerak-geriknya tidak begitu
leluasa, setelah bertempur puluhan jurus, tiba-tiba kedua telapak tangan Ouwyang Kian
membacok miring dari dua jurusan, untuk berkelit terang tidak sempat lagi, terpaksa Miao Tianghong
harus menangkis dengan mengadu kekerasan. "Blang" dua pihak sama tergentak mundur
tiga langkah.

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ouwyang Kian amat kaget, batinnya: "Kemarin Miao Tiang hong menempur Han Wi-bu dengan
sengit, katanya luka-lukanya tidak ringan, tak nyana dia masih membekal kekuatan lwekang yang
cukup ampuh juga!" Begitu kedua telapak tangan beradu dengan pukulan lawan, seketika Miao Tiang-hong rasakan
telapak tangannya seperti menyentuh papan besi yang merah membara, meski ia ada meyakinkan
Hou-te-sin-kang, tak urung selebar telapak tangannya terasa pedas dan sakit kepanasan, sudah
tentu rasa kejutnya pun bukan kepalang.
"Lui-sin-ciang Ouwyang Kian memang tidak bernama kosong, tak heran Tiong-pangcu dari
Kaypang rada jeri juga menghadapinya, kalau pertempuran ini kuteruskan mungkin jiwaku sulit
diselamatkan. Apa boleh buat, agaknya aku harus menggunakan Thay-ceng-khi-kang untuk
mengadu jiwa dengan dia!"
Thay-ceng-khi-kang terlalu banyak menguras tenaga murni, sudah tentu Miao Tiang-hong
sendiri cukup' berhati-hati dan tidak mau sembarangan menggunakan ilmu simpanannya ini,
apalagi sekarang lwekangnya belum lagi pulih, untuk melancarkan ilmu ini sudah tentu akibatnya
amat fatal dan merusak badan sendiri.
Dalam pertempuran sengit itu, tiba-tiba Miao Tiang-hong melancarkan sebuah pukulan yang
enteng dan tangkas seperti menari dengan tangan melambai, sekeliling gelanggang seketika
seperti dilingkupi hawa sejuk pada musim semi yang menghembus sepoi-sepoi sehingga membuat
orang terasa mengantuk dan ingin tidur, sulit mengempos semangat. Sebagai ahli silat sudah
tentu Ouwyang Kian merasakan gelagat jelek ini, sekuat tenaga ia mempertahankan diri. Tapi
pukulan Lui-sin-cang yang dilancarkan rasanya jadi melempem dan tidak bisa dilandasi dengan
tekad hatinya yang membara.
Han Wi-bu melihat gelagat jelek ini, segera ia berseru: "Sute, hari ini kita berjuang demi gengsi
dan nama baik perusahaan, tidak perlu mematuhi aturan kangouw segala menghadapi kurcaci ini!"
"Benar," sahut sutenya Pek Bu-cu. "Mari kita maju bersama!"
Luka-luka yang diderita Han Wi-bu kemarin tidak lebih ringan dari Miao Tiang-hong, tapi di
dalam perusahaannya ada menyimpan jinsom kwalitet terbaik, maka kesehatannya sekarang
sudah sembuh enam tujuh bagian. Sementara Pek Bu-cu seorang ahli dalam bidang Hun-kin-johkut,
kepandaiannya tidak terpaut terlalu jauh dari suhengnya. Dengan masuknya kedua orang ini
ke dalam gelanggang menjadi tiga lawan satu. Seumpama sebelum ini Miao Tiang-hong tidak
pernah terluka pun, tidak mungkin kuat melawan keroyokan ketiga musuh ini.
Dengan mendapat bantuan dua teman, Ouwyang Kian merasa tekanan dan ancaman pada
dirinya banyak menjadi ringan dan diperkecil, keruan semangat tempurnya semakin berkobar. Dari
membela diri lekas ia merabu gencar balas menyerang. Sekaligus ia lancarkan Lui-sin-ciang
sehebat dan semahir mungkin. Sementara Han Wi-bu hendak menuntut balas sakit hati kemarin,
maka tujuh puluh dua jalan Tay-kim-na-jiu yang menjadi ilmu andalannya segera dimainkan
terlebih hebat dan deras, setiap gerak-gerik kaki tangannya pasti membawa kesiur angin yang
keras. Sedang Pek Bu-cu bermain menunjukkan kelincahan gerak tubuhnya yang selalu
menyergap dan membokong setiap mendapat kesempatan. Saking sengit pertempuran mereka
yang berkutat amat serunya ini, yang terlihat hanyalah bayangan mereka yang berkelebat
simpang siur serta angin deras menderu yang terjangkit dari setiap pukulan dan tendangan
mereka yang serang menyerang. Suhu panas pukulan Lui-sin-ciang Ouwyang Kian berkembang
melebar bergulung-gulung ke empat penjuru, sementara cengkeraman dan ilmu memegang Han
Wi-bu yang hebat itu lapat-'lapat seperti mengandung suara gemuruhnya guntur.
Hun Ci-lo sedang mengerahkan hawa murni untuk menjebol jalan darahnya yang tertotok,
sebetulnya tidak boleh banyak pikiran dan harus memusatkan perhatian dan semangat, namun ia
tidak kuasa menahan keinginan hati untuk melihat ke sana di mana Miao Tiang-hong sedang
berhantam mati-matian. Melihat Miao Tiang-hong terdesak di bawah angin dan selalu menghadapi
elmaut, jantungnya menjadi berdebar keras.
Sekonyong-konyong didengarnya "bret!" suara sobeknya baju pakaian, ternyata Pek Bu-cu
berhasil dengan sergapan bokongannya, sekali cengkeram ia berhasil mencakar sobek pakaian di
depan dada Miao Tiang-hong dan meninggalkan lima goresan panjang berdarah.
Sudah tentu kejut Hun Ci-lo bukan kepalang, tanpa tertahan ia menjerit kaget dan kuatir,
celaka adalah hawa murni yang sudah dihimpunnya susah payah menjadi buyar sama sekali.
Tampak Pek Bu-cu sendiri sempoyongan beberapa langkah. Segera Han Wi-bu berseru
kepadanya: "Sute, kenapa tergesa-gesa, dia sudah seperti ikan masuk jaring, tinggal menunggu
waktu saja, masakah dia mampu lolos dari tangan kita?"
Kiranya meski sergapan Pek Bucu berhasil, tak urung ia sendiri pun mengalami kerugian yang
cukup besar. Semula ia hendak menggunakan Hun-kin-joh-kut-hoat untuk mencengkeram dan
meremas hancur tulang iga Miao Tiang-hong, tak nyana tenaganya membalik dan menerjang diri
sendiri oleh Thay-ceng-khi-kang kawan yang teramat liehay sehingga kelima jari-jarinya melepuh
dan merah seperti cabe besar, sakitnya bukan kepalang.
"Betul!" seru Pek Bu-cu sambil menahan sakit, "mari kita pelan-pelan menguras habis
tenaganya!" Sebelah lengannya jelas tidak mungkin digunakan lagi, setelah merasakan keliehayan
Miao Tiang-hong, gebrak-gebrak selanjutnya ia jadi kapok dan tidak berani terlalu temberang. Tapi
keadaan Miao Tiang-hong yang berbahaya tidak menjadi kendor karenanya, cuma sedikit rada
mending. Melihat Miao Tiang-hong terluka, namun kelihatannya tidak terlalu berat, hati Hun Ci-lo rada
sedikit lega. Pada saat itulah mendadak ia seperti mendengar seruan Miao Tiang-hong mengiang
di pinggir kupingnya: "Ci-lo, pejamkan matamu!" la menggunakan ilmu tingkat tinggi mengirim
gelombang suara, ia bikin suaranya sedemikian rupa hanya terdengar oleh Hun Ci-lo seorang.
Orang lain hanya melihat bibirnya sedikit bergerak seperti berkemak-kemik namun tidak tahu apa
yang diucapkan. Hun Ci-lo menjadi sadar, pikirnya: "Benar, aku harus membebaskan jalan darahku dulu baru
bisa membantu dia!" Segera ia pejamkan mata, seolah-olah tidak mendengar apa yang terjadi di
sekelilingnya, dengan tekun dan asyik ia pusatkan perhatiannya menghimpun tenaga murni untuk
menjebol Hiat-to yang tertotok.
"Miao Tiang-hong!" seru Han Wi-bu tertawa dingin. "Kau sedang berdoa apa terhadap kakek
moyangmu" Hm, arwah leluhurmu pun tidak akan bisa menolong kesulitanmu sekarang, kecuali
kau mau berlutut dan menyembah kepadaku!" Maksudnya hendak membuat Miao Tiang-hong
marah, dengan demikian ia akan lebih mudah mengambil kemenangan. Sebaliknya Miao Tianghong
tidak menghiraukan seruannya, dengan lebih mantap ia melayani kerubutan ketiga
musuhnya. Melihat pihak piaukiok agaknya di pihak yang unggul, mau tidak mau beipikir Ki Kian-ya:
"Permusuhan gampang di kat sulit dilerai, aku harus memberi sejurus kelonggaran kepada nenek
bawel ini." Kebetulan selendang sutra dan pedang pendek Siau-Hujin menyerang tiba, lekas Ki
Kian-ya mengebaskan lengan bajunya menggulung dan menggubat selendang lawan, sementara
dua jari tangan kanannya berhasil pula menjepit pedang pendek orang.
Cara permainannya ini betul-betul mengandung marabahaya, sedikit lena atau kurang cermat,
kelima jarinya mungkin bisa ter-papas kutung oleh pedang lawan. Tapi begitu pedang pendek
Siau-hujin kena dijepit, seketika tidak bisa bergerak seperti terjepit oleh tanggem besi.
Ternyata dalam melaksanakan tindakannya ini diam-diam Ki Kian-ya sudah memperhitungkan
cukup masak, sebelumnya ia sudah menyelami permainan ilmu pedang tunggal Siau-hujin baru
berani melaksanakan rencananya itu. Kelihatannya memang terlalu berbahaya, namun sebetulnya
ia sudah cukup matang dan punya pegangan.
Sekaligus Ki Kian-ya menggunakan Kek-buh-coan-kang (melalui benda lain menyalurkan
tenaga), sekonyong-konyong Siau-hujin bercekat hatinya, segulung tenaga yang dahsyat sambung
menyambung laksana damparan badai menerjang ke arah dirinya melalui batang pedangnya,
sehingga perge-langan tangan terasa sakit kesemutan. Tatkala itu, kalau ia hendak lepas tangan
membuang pedang pun tidak mungkin lagi, karena pihak musuh terlalu kuat sementara pihaknya
terlalu lemah kedudukan, begitu ia melempar pedang, m.ik.i sekaligus damparan tenaga raksasa
lawan bakal menerjang ke arah iln i-nya.
Sudah tentu Siau-hujin amat kaget, pikirnya: "Celaka, tua bang-ka ini hendak mengajak aku
mengadu tenaga dalam, cara bagaimana aku harus menghadapinya?" Dalam keadaan yang
terjepit, meski ia insyaf dirinya bukan tandingan, terpaksa harus melawan mati-matian juga.
Mengadu lwekang semuanya mengandal tenaga dalam yang murni dan latihan, sekali-kali
pantang menggunakan siasat atau mau bermain licik. Maka terpaksa Siau-hujin mengerahkan
setakar tenaganya, selendang di tangan kiri ia bikin kendor, sebaliknya kelima jari tangan kanan
semakin kencang memegang pedangnya, melalui batang pedang ia salurkan tenaga
perlawanannya, harapannya mengandal kekuatan pedang pusakanya berbalik dapat memukul
mundur dan sekaligus mengalahkan lawan, paling tidak harus berhasil memapas kutung kelima jari
lawan. Ki Kian-ya sendiri pun sudah kerahkan latihan lwekangnya selama puluhan tahun, mana
mungkin harapan Siau-hujin bisa terlaksana" Dalam sekejap saja seluruh telapak tangan Siauhujin
terasa kesemutan dan sakit pedas, damparan tenaga dalam musuh masih terus merembes
masuk! Lama kelamaan dingin rasa hati Siau-hujin,, pikirnya: "Bukan saja tidak berhasil menuntut
balas sakit hati suami, hari ini jiwaku sendiri ikut dikorbankan."
Kalau dikatakan memang aneh, di saat pikirannya ini sedang berkecamuk dalam benaknya,
tahu-tahu damparan tenaga dalam lawan semakin lama mulai mengendor. Meski Siau-hujin masih
belum mampu menggerakkan pedang pusakanya, namun ia tidak perlu takut dilukai oleh tenaga
dalam musuh. Diam-diam Siau-hujin uring-uringan: "Lwekang tua bangka ini jelas jauh lebih unggul dari aku,
menurut teori tidak mungkin tenaganya sudah mulai terkuras habis sehingga mendadak terasa
mengendor dan jauh lebih lemah dari semula" Apakah dia sengaja hendak menguras tenaga
dalamku baru akan turun tangan membunuhku?"
Beberapa kejap lagi, Siau-hujin tidak tahu bagaimana keadaan lawan, yang terang dia sendiri
sudah merasa lemah dan tak bertenaga lagi. Pikirnya: "Kenapa aku rela dia permainkan mentahmentah?"
Baru saja ia hendak menarik pertahanannya, tiba-tiba terasa tekanannya hilang
sementara ujung pedangnya bisa sedikit bergerak.
Bagi adu kepandaian tokoh-tokoh kosen, begitu melihat sedikit titik kelemahan musuh, boleh
dika-ta hampir secara reflek ia akan menyerang ke titik kelemahan itu. Begitu pula keadaan Siauhujin,
dalam sekejap itu, secara reflek pedang pendeknya terayun terus menusuk ke arah musuh,
"Cras" baju di depan dada Ki Kian-ya kena tergores sobek sepanjang tiga dim. Untung tidak
melukai kulitnya. Terdengar Ki Kian-ya menjerit keras, dengan gaya burung dara jumpalitan, ia jumpalitan
mundur ke belakang beberapa tombak jauhnya, serunya: "Ilmu pedang Hujin memang hebat,
losiu sungguh teramat kagum! Terima kasih akan belas kasihan Hujin. Urusan hari ini, tiada muka
Losiu ikut campur lebih lanjut." Sembari bicara tangan menutupi dada terus putar tubuh tinggal
pergi. Siau-hujin melenggong dan hampa, "Klontang" pedang pendeknya terlepas jatuh dari
pegangannya. Musuh tangguh tinggal pergi, namun dia sendiri pun sudah lemas kehabisan
tenaga, tak mampu banyak gerak lagi. Nada bicara Ki Kian-ya kedengarannya masih kuat dan
lantang, ia pura-pura terluka, bahwasanya sedikit pun ia tidak terluka. Jangan kata Siau-hujin
adalah seorang ahli dalam bidang ilmu silat, meski teramat bodoh atau pikun toh dia cukup paham
bahwa pihak lawan telah memberi kelonggaran dan menaruh belas kasihan terhadap dirinya.
Pikirnya: "Ki Kian-ya adalah rase tua, dia menggunakan caranya ini jelas memang sengaja
membuat aku kehabisan tenaga, meski ada tekad hendak membantu pun tidak mampu lagi!"
Ternyata cara adu kekuatan Ki Kian-ya mengadu lwekang cukup cerdik dan amat persis dan
menggunakan tenaga dan menghitung waktunya, kebetulan di saat Siau-hujin kehabisan tenaga
barulah dia pura-pura kena dikalahkan dan ngacir, untuk menjaga nama dan gengsinya. Dengan
cara ini meski Siau-hujin tidak sudi menerima kebaikannya, namun dia sendiri ada hati toh tidak
kuasa untuk membantu Miao Tiang-hong lagi.
Di saat Siau-hujin terlongong dan menjublek di tempatnya dengan ragu-ragu itulah, tiba-tiba
didengarnya seseorang berteriak: "Ci-lo, Ci-lo! Kenapa kau" Lekas jawab pertanyaanku!"
Hun Ci-lo mengerahkan hawa murni sedang berusaha menjebol Hiat-to yang tertotok, saat
mana kebetulan mencapai titik yang paling menegangkan, mendadak mendengar seruan
seseorang, seakan-akan ia sadar dari impian, keruan kaget dan girang pula dibuatnya, malah
hampir ia tidak percaya akan pendengaran kupingnya. Cepat ia menyahut: "Apa Song-suko itu"
Lekas... ah..." ia lupa bahwa hawa murninya sedang terhimpun, karena menuruti gejolak hati dan
berteriak, kontan hawa murni menerjang naik dan menutup tenggorokannya, karuan ia menjerit
jatuh semaput. Ternyata yang berteriak mendatangi bukan lain adalah Song Theng-siau dan Lu Su-bi.
Mendengar jeritan pendek Hun Ci-lo yang terus diam tak terdengar lagi, Song Theng-siau amat
terperanjat, serunya: "Celaka!" Segera ia kembangkan ginkangnya memburu datang dengan
cepat. Kebetulan Ki Kian-ya tinggal pergi menempuh jalan raya, jadi berpapasan di tengah jalan
dengan kedatangan Song Theng-siau. Kontan Song Theng-siau memakinya: "Pejabat jujur pun
tiada hak mengurus persoalan rumah tangga orang, Hun Ci-lo sudah berpisah dengan suaminya,
ada sangkut paut apa dengan kau tua bangka ini, selalu kau bantu Nyo Bok mencari perkara
kepadanya!" Ki Kian-ya menjengek dingin: "Aku pun ingin tanya kepada kau, apa pula sangkut paut
persoalan Hun Ci-lo dengan kau" Hm, biar kuberitahu kepada kau, Nyo Bok sudah menceraikan
bininya, memangnya aku punya tempo mencari perkara kepadanya. Kau hendak mengambil
hatinya, memang tepat saatnya. Tapi sayang sekali Hun Ci-lo sudah penujui orang lain, mungkin
tiada giliranmu!" Hijau membesi muka Song Theng-siau dampratnya: "Kuhormati kau seorang bulim cianpwe,
berani kau membual lagi, aku..."
"Kau kenapa?" tukas Ki Kian-ya dingin. "Hm, memangnya aku sudi berkelahi dengan kau?"
sekali lengan bajunya mengebas, ia bikin Song Theng-siau terdorong sempoyongan berputar
beberapa langkah terus tinggal pergi.
Saking gusar biji mata Song Theng-siau merah membara, sementara hatinya toh menjadi kecut
dan getir, pikirnya: "Meski kabar bohong pasti ada sumbernya juga. Tua bangka ini pun berkata
demikian, apakah kabar angin yang kudengar memang kenyataan?"
"Song-suko," kata Lu Su-bi. "Lihatlah orang she Miao itu sedang bergebrak melawan orangorang
piaukiok, di bawah pohon sana menggeletak pingsan seorang perempuan, mungkin dia
adalah Hun-cici yang kau cari itu. Jangan kau bersikap menuruti adat kasar tua bangka itu, ayolah
tak usah marah-marah, lekas menolong mereka!"
Song Theng-siau tersentak sadar, dengan langkah lebar segera ia memburu ke depan
menghampiri ke samping Hun Ci-lo. Lu Su-bi mengikuti di belakangnya.
"Tidak usah kuatir," ujar Lu Su-bi. "Hanya pingsan saja, biarlah kuurut dan menolongnya!" -
Ternyata cara menolong orang pingsan dengan urutan dan melancarkan pernapasan, Song
Theng-siau pun bisa melakukan, soalnya Lu Su-bi ada di sampingnya, sudah tentu ia menjadi
kikuk dan risi akan perbedaan jenis, maka ia jadi ragu-ragu untuk turun tangan. Lekas Lu Su-bi
bertindak tanpa ayal karena ia tahu akan ganjalan hati orang.
Hun Ci-lo hanya tertutup jalan pernapasan di tenggorokan oleh riak kental saja, setelah diurut
dan diberi pertolongan seperlunya lekas sekali ia sudah siuman pula, mulut menguak ia
memuntahkan riak kental serta berseru: "Song-suko, aku tidak apa-apa, harap sukalah kau bantu
Miao-toako menggebah musuh-musuhnya!"
Sekali lagi Song Theng-siau tergugah dan lamunannya, katanya: "Betul! Siau-sumoay, Miaosian-
sing itu pernah menolong kesulitan kita, sudah sepantasnya kita pun menolong kesulitannya!"
Kata-kata ini ia tujukan kepada Lu Su-bi, tujuan pertama ia memberi kisikan kepada Lu Su-bi
bahwa dia bukan hendak menarik simpatik Hun Ci-lo kepadanya, kedua perasaan hatinya memang
teramat kalut, meski ia berkeputusan hendak memberi pertolongan kepada Miao Tiang-hong,
namun ia harus mencari alasan tepat, sehingga ia sendiri merasa dirinya sudah menampilkan
kekecutan hatinya. "Hiat-to Hun-cici belum lagi dapat kubuka, ai, celaka benar, aku tidak tahu cara bagaimana
untuk membebaskannya!" demikian rengek Lu Su-bi.
Siau-hujin segera datang menghampiri, katanya: "Aku adalah bibi Hun Ci-lo." Demikian ia
memperkenalkan diri. "Biar kubantu kau membuka Hiat-tonya." Setelah istirahat tenaganya sudah
pulih satu dua bagian. Song Theng-siau melolos pedang, jengeknya dingin: "Tin-wan Piaukiok cukup terkenal di
kalangan kangouw, ternyata main keroyokan menganiaya orang yang sudah terluka lagi, apakah
tidak takut ditertawai orang-orang gagah seluruh dunia?"
Ouwyang Kian tertawa dingin, oloknya: "Kau bocah ini juga berani mengagulkan diri sebagai
orang gagah" Kau tahu apa, Miao Tiang-hong punya permusuhan mendalam yang tidak bisa
dilerai dengan piaukiok kami, kalau kau tahu diri minggirlah jangan turut campur!"
Memang rasa gusar dan penasaran Song Theng-siau belum lagi terlampias, sambil mendengus
ia berkata: "Aku justru ingin turut campur!"
"Sret" langsung ia menusuk kepada Ouwyang Kian.
Dalam pada itu Lu Su-bi juga sudah mencabut dua bilah Liu-yap-tonya yang panjang pendek,
langsung ia melabrak Pek Bu-cu. Begitu tekanan menjadi kendor berkobar semangat Miao Tianghong,
"Wut, wut, wut" beruntun tiga kali ia lontarkan serangan gencar kepada Han Wi-bu
sehingga orang dirabu-nya terdesak mundur dan cukup mampu membela diri saja.
Semula Ouwyang Kian tidak pandang sebelah mata kepada Song Theng-siau, tapi setelah saling
hantam melihat permainan ilmu pedang Song Theng-siau yang liehay dan hebat ini barulah
tercekat hatinya. Tanpa ayal ia tumplek seluruh kemahiran Lui-sin-ciangnya untuk melawan anak
muda ini, bentaknya: "Kau bocah ini tidak tahu kebaikan, baik, rasakan bogem mentahku yang
nikmat ini!" Seketika Theng-siau merasa dirinya seperti berada di dalam tungku yang bersuhu tinggi
sehingga badan basah kuyup oleh keringat, sungguh rasanya teramat menyiksa dirinya. Diamdiam
ia berpikir: "Tak heran Miao Tiang-hong tak kuasa mengalahkan mereka, dua orang yang lain
aku tidak tahu, cukup yang ini saja kepandaiannya sudah teramat aneh dan sesat lagi!"
Untung Ouwyang Kian sudah bertempur cukup lama, tenaga dalamnya sudah terkuras sebagian
besar, Lui-sin-ciang ia mainkan dengan segala kemampuannya namun lama kelamaan ia
kehabisan tenaga sendiri. Sebaliknya ilmu pedang Song Theng-siau mengutamakan kelincahan
dan kecepatan, mau tidak mau Ouwyang Kian harus hati-hati menghadapinya. Begitu saling
bertahan semakin lama, kira-kira setengah sulutan dupa kemudian, lambat laun Song Theng-siau
berhasil mendesak lawan di bawah angin, suhu panas yang mengganggu dirinya pun tidak
sepanas tadi. Lu Su-bi sedang melabrak Pek Bu-cu, keadaannya jauh lebih baik. kedua goloknya menyerang
gencar sehingga Pek Bu-cu mencak-mencak terdesak di bawah angin.
Ternyata Pek Bu-cu seorang ahli dalam ilmu Hun-kin-joh-kut-hoat, ilmu ini paling
menguntungkan dalam bergebrak jarak dekat, sekali berhasil mencengkeram lawan sekaligus ia
pasti bisa memelintir dan meremas hancur tulang atau membuat musuh salah urat, sehingga
musuh kena dibekuknya dengan mandah menyerahkan jiwa tanpa bisa melawan lagi. Akan tetapi
ia justru berhadapan dengan Lu Su-bi yang mahir mengembangkan ginkang Menyelinap Kembang
Mengitari Pohon, meski dengan mata tertutup ia bisa lari kencang menyelinap di dalam semaksemak
kembang atau dedaunan pohon yang rimbun tanpa menyentuh atau menjatuhkan daun
dan kembangnya. Meski Hun-kin-joh-kut-hoat yang diyakinkan Pek Bu-cu amat liehay pun tidak
berguna lagi, jangan kata hendak mencengkeram, menyentuh ujung bajunya saja ia tidak mampu.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti kucing mempermainkan tikus, Pek Bu-cu diajak berputar-putar sampai kepala terasa
pusing tujuh keliling, ia insyaf bila cara bertempur macam demikian pasti dirinya bakal celaka,
maka ia berhasrat menempuh bahaya mencapai kemenangan dengan segera, tiba-tiba kedua
telapak tangannya beiputar melingkar-lingkar bundar, dengan sejurus Im-yang-siang-jong-ciang ia
menubruk dengan serangannya. Lekas Lu Su-bi mengegos sembari berkisar, sebat sekali ia sudah
berada di belakang lawan, di saat Pek Bu-cu belum sempat memutar badan, kedua telapak
tangannya menekan punggung orang terus mengerahkan tenaga mendorongnya ke depan.
Sayang tenaganya rada lemah, dorongannya ini hanya membuat Pek Bu-cu tersungkur maju ke
depan, belum bisa menjatuhkannya.
Begitu tiba-tiba merasakan angin keras berkesiur di sebelah belakang, Pek Bu-cu jadi serba
sulit, hendak menerjang ke depan takut lawan menambah kekuatan dorongan dan dirinya pasti
terjungkir balik ke depan, kalau mengegos ke samping kuatir lawan justru memang menjebaknya
dengan pukulan lain yang lebih telak ke tempat kelemahannya. Di dalam waktu pendek yang
gawat ini, tanpa banyak pikir Pek Bu-cu menggunakan tipu memutar mayapada tiba-tiba
membalikkan badan, timbul nafsu jahatnya, bukan menangkis atau berusaha menyelamatkan diri,
ia malah balas menyerang dengan nekad. Kalau telapak tangan kanan menggantol dari samping
sementara kepalan kiri menusuk maju, tipu serangannya ini dinamakan Ling-yo-kui-kak (kambing
gembel menanggalkan tanduk), merupakan salah satu tipu pertempuran yang khusus untuk
mengadu jiwa bersama musuh. Begitu keji dan besar nafsunya melabrak Lu Su-bi. Ia sangka
perawakan Lu Su-bi jauh lebih rendah dari dirinya, tenaganya pun lemah, dirinya menyerang dari
tempat ketinggian tentu menempati posisi yang lebih menguntungkan, jelas Lu Su-bi tidak akan
berani main kekerasan dengan dirinya, meski berani kerugian yang dia derita tentu tidak akan
terlalu fatal. Di luar tahunya bahwa Lu Su-bi sebelumnya sudah menduga dan menjaga akan serangan
balasan lawan yang membalik ini, tubrukan baliknya ini justru masuk ke dalam perangkap dan
celakalah dia. Begitu serangan pukulan Pek Bu-cu mengenai tempat kosong, kontan terdengar
"krak!" sendi tulang lengan kanannya kena dipatahkan oleh Lu Su-bi. Keahliannya memang Hunkin-
joh-kut tak nyana hari ini ia terjungkal di tangan Lu Su-bi menggunakan keahliannya sendiri.
Masih untung Lu Su-bi menaruh belas kasihan, setelah ia memasukan kedua goloknya ke dalam
sarungnya baru ia bikin tulang orang patah, kalau menggunakan golok membacok lengannya itu,
selama hidup ini pastilah ia menjadi orang cacat dengan kedua lengan buntung.
Walau Pek Bu-cu berwatak keras, tulang lengan sudah putus, sebuah lengannya menjadi lemah
tergantung tak mampu bergerak, saking kesakitan tak tertahan ia menjerit keras seperti babi
disembelih. Mendengar jeritan kesakitannya ini, Han Wi-bu dan Ouwyang Kian menjadi terkejut.
Pertempuran tokoh kosen tingkat tinggi, mana boleh perhatian terpencar, apalagi mereka
terdesak di bawah angin" Sigap sekali dengan adanya peluang ini Song Theng-siau menusukkan
pedangnya dengan kecepatan laksana kilat. Saat mana kebetulan Ouwyang Kian sedang
meluncurkan telapak tangannya memukul, sehingga telapak tangannya tertusuk tembus.
Ouwyang Kian menggerung keras, secara reflek kelima jarinya lantas mencengkeram
memegang batang pedang. Song Theng-siau tidak kuasa menahan gempuran tenaga rontaan
yang kuat ini, sehingga pedangnya tergetar lepas dari cekalannya. Tapi telapak tangan Ouwyang
Kian sudah tertusuk tembus, maka kepandaian Lui-sin-ciangnya boleh dikata sudah punah
separuh, bahwa dia berhasil merebut pedang hanyalah karena rasa sakitnya yang menimbulkan
kekuatan meronta yang dahsyat sekejap lalu saja, kilas lain toh ia tak kuat lagi bertahan. Di
tengah gerung kesakitannya, pedang rampasannya ia sambitkan balik kepada Song Theng-siau
terus melarikan diri. Setelah tulang lengannya putus sudah tentu keadaan Pek Bu-cu semakin payah lagi, terpaksa ia
pun ikut melarikan diri. Dua di antara tiga musuh sudah melarikan diri, yang ketinggalan hanya
Han Wi-bu seorang. Miao Tiang-hong mainkan kedua telapak tangannya bagai kumbang yang sedang menari
mengelilingi kuntum kembang hendak menghisap sarinya, gerak-geriknya seperti bangau pentang
sayap menyisiri bulu, dengan ketat ia kepung Han Wi-bu dengan rangsakan pukulan yang gencar
sehingga tidak mampu banyak berkutik. Mencelos hati Han Wi-bu, ia sangka Miao Tiang-hong
berniat menghabisi nyawanya. Jelas untuk berkelit dari rabuan gencar kedua tangan lawan sudah
tidak mungkin lagi. Terpaksa ia mengeraskan kepala, dengan sejurus Heng-ka-kim-liang
(melintangkan belandar emas), kedua telapak tangan menghadap ke atas melintang di atas kepala
untuk melindungi ubun-ubunnya.
Terpaksa ia harus melancarkan jurus ini berharap mungkin bisa menyelamatkan jiwa sendiri.
Kalau pukulan gencar lawan memukul turun dengan kekerasan, luka parah terang tidak mungkin
dihindarkan lagi. Di saat Han Wi-bu merasa waswas dan kebat-kebit, tak nyana begitu keempat kepalan mereka
saling bentur, tenaga pukulan lawan ternyata tidak seberat dugaannya semula. Tapi meski tidak
keras dan berat, namun mengandung daya lengket yang amat keras, sehingga ia tidak akan
mungkin mampu membebaskan diri juga.
"Han-congpiauthau," demkian ujar Miao Tiang-hong. "Pepatah ada bilang: permusuhan
gampang di kat sukar dilerai, kali ini kau kena dihasut dan dikibuli orang, aku tidak suka menarik
panjang urusan." Habis berkata ia melepas tangannya, seketika Han Wi-bu terhuyung tiga langkah
hampir jatuh. Merah malu selebar muka Han Wi-bu, katanya: "Tidak menjadi soal kau bunuh aku, kebesaran
dan gengsi Tin-wan Piaukiok sekali-kali pantang runtuh di tanganku!"
Secara tidak langsung ia mau bilang persoalan pribadi urusan kecil, keharuman nama dan
wibawa Tin-wan Piaukiok justru lebih besar artinya. Jadi permusuhan Tin-wan Piaukiok dengan
Miao Tiang-hong terang tidak bisa dibikin habis demikian saja.
Miao Tiang-hong menghela napas, ujarnya: "Kau tidak suka dilerai dan menyudahi urusan ini
terserah pada kemauanmu. Tapi buat apa aku harus membunuhmu!"
"Baik, gunung tetap menghijau air tetap mengalir, kita jumpa lain kesempatan. Kelak bila kau
pun terjatuh di tanganku, biar aku pun mengampuni jiwamu sekali saja."
Seluruh kerabat Tin-wan Piaukiok sudah sama pergi, Miao Tiang-hong paling menguatirkan
keselamatan Hun Ci-lo, lekas ia menjura kepada Song Theng-siau, katanya tertawa: "Song-heng,
tak nyana kita bertemu lagi di sini, terima kasih akan bantuanmu. Aku dan Ci-lo adalah saudara
angkat, sebaliknya kalian adalah sahabat kental bagai saudara sendiri, hari ini kita harus sama
berkumpul dan gembira bersama!"
Berkata Song Theng-siau tawar: "Hari itu di waktu berada di warung makan Tan Tek-thay, kau
pun pernah membantu kepadaku, kita masing-masing tidak berhutang budi satu sama yang lain!"
Melihat sikap dan nada bicara orang yanc dingin darn kaku, sekilas Mi.m Tiang-hong melengak.
Setelah melontarkan kji.i katanya ini, Song Theng-siau tidak hiraukan orang lagi, langsung ia
menghampiri Hun Ci-lo, katanya "Ci-lo, ada beberapa patah kata yang perlu kubicarakan dengan
kau, marilah kita bicara di sebelah sana bagaimana?"
Sahabat kental berjumpa setelah sekian lama berpisah, seharusnya Hun Ci-lo merasa senang,
tapi melihat sikap dan tindak tanduk Song Theng-siau, betul-betul di luar dugaannya. Sesaat ia
terlongong, kejap lain baru ia mengangguk mengiakan.
"Apa yang Song Theng-siau hendak katakan kepadanya?" Miao Tiang-hong yang ditinggalkan
sedang menimbang-nimbang.
"Tiang-hong," Siau-hujin segera menghampiri dan memanggilnya. "Aku pun ada omongan yang
perlu kubicarakan dengan kau, mari kita ke sebelah sana!"
Miao Tiang-hong seperti tersadar dari lamunannya, ia angkat kepala dilihatnya muka Siau-hujin
seperti dilapisi malam, seolah-olah hatinya dibebani berbagai persoalan genting. Mendadak
tersentak jantung Miao Tiang-hong, seakan-akan ia mendapat sesuatu firasat buruk, segera ia
manggut-manggut tanpa bersuara mengintil di belakang Siau-hujin.
Sorot matahari yang sudah doyong ke sebelah barat hampir tenggelam ke dalam peraduannya
membuat pemandangan alam ber-taburkan cahaya kuning keemasan yang mempesonakan di
dalam hutan, suasana hening lelap. Empat orang masing-masing mengandung jalan pikiran
sendiri, mereka beranjak masuk ke dalam hutan yang berlawanan.
-ooo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Di sini sajalah!" Song Theng-siau menghentikan langkahnya. Menghadapi Hun Ci-lo, kenangan
lama kembali terbayang di depan mata. Sekian lama ia jadi menjublek berdiri tak tahu dari mana
ia harus mulai bicara. Akhirnya Hun Ci-lo yang membuka suara bertanya lebih dulu: "Theng-siau, tak nyana hari ini
aku bisa bertemu lagi dengan kau. Sejak berpisah mungkin sudah sepuluhan tahun bukan" Tapi
kenapa kedatanganmu hari ini secara begitu kebetulan?"
Ternyata waktu berada di dalam warung makan Tan Tek-thay tempo hari Song Theng-siau
sudah merasa curiga bahwa perempuan berkedok itu bukan lain adalah Hun Ci-lo, oleh karena
itulah maka ia ajak Lu Su-bi menyusul datang ke kampung halaman Hun Ci-lo untuk menyelidiki
kebenarannya. Ada kalanya seorang laki-laki teramat sulit mengekang berbagai perasaan kalut yang sekaligus
merangsang sanubarinya di kala ia menghadapi perempuan yang pernah menjadi pujaan hatinya.
Song Theng-siau bukan jelus atau iri dan cemburu, sekali-kali tidak pernah terkandung anganangan
kosong dan buruk terhadap Hun Ci-lo, namun di dalam relung hatinya yang paling dalam,
bahwasanya pernah terpikir dia lebih rela membiarkan sahabat kentalnya Beng Goan-cau dapat
mempersunting Hun Ci-lo, daripada Hun Ci-lo menikah dengan orang lain yang tiada sangkut
pautnya seperti Miao Tiang-hong.
Kata Song Theng-siau tertawa getir: "Kiranya kau masih ingat begitu jelas, sudah hampir genap
sepuluh tahun kita tidak bertemu. Entahlah kejadian sepuluh tahun yang lalu, apakah kau masih
ingat dengan baik?" "Kejadian yang mana maksudmu?"
"Kejadian waktu kita bersama Beng-toako bertamasya di Se-ouw dulu!" Bahwa Song Thengsiau
menyinggung persoalan lama ini, terang maksudnya hendak mengingatkan Hun Ci-lo
terhadap hubungan intimnya terhadap Beng Goan-cau.
Merah muka Hun Ci-lo, ia tertawa dibuat-buat dengan perasaan kecut, dalam batin ia berpikir:
"Theng-siau, ternyata kau masih belum paham dan mendalami pribadiku!" Katanya: "Buat apa kau
mengungkit kenangan lama" Ai, aku sudah cukup menderita mengecap pahit getirnya kehidupan
selama ini!" Song Theng-siau pun tertawa dibuat-buat: "Ci-lo, kau tahu watakku, apa yang kupikir dan
hendak kulakukan pasti segera kukerjakan, maafkan bila aku mencari tahu seseorang kepada
kau." Sudah tentu Hun Ci-lo paham siapa orang yang hendak dicari tahu itu, maka jantungnya lantas
berdebur keras, betul juga segera ia dengar Song Theng-siau berkata: "Kabarnya kau ikut hadir
dalam pertemuan besar di puncak Thay-san, apakah di sana kau ada ketemu dengan Beng Goancau?"
Hun Ci-lo menahan kepiluan dan kegetiran hati, katanya: "Ya, ada kulihat. Tapi cuma aku yang
lihat dia, sebaliknya dia.tidak melihat aku!"
Tak tertahan berkata Song Theng-siau: "Ci-lo, kenapa kau tidak sudi bertemu muka dengan
dia" Tahukah kau betapa ia amat kangen dan merindukan kau selama sepuluh tahun ini?"
"Beng-toako memang tidak secara langsung memberitahu kepadaku, tapi aku tahu isi hatinya.
Waktu berada di Siau-kim-jwan, ingin rasanya setiap hari ia selalu berkecimpung di medan
peperangan. Aku bisa memahami perasaannya, karena di dalam medan laga yang bertanding adu
jiwa hakikatnya tiada tempo buat dia mengenang dan merindukan masa silam, sehingga
terhindarlah banyak siksaan batin yang selalu membayangi sanubarinya."
"Di waktu-waktu senggang sering dia menyendiri dan melamun. Betapa indah kehidupan musim
rontok dan musim semi di Siau-kim-jwan, sungguh bisa memabukkan setiap insan manusia yang
mengenal seni keindahan alam. Di waktu musim semi mendatang, di mana-mana seluruh gunung
ditaburi mekarnya kembang liar harum semerbak. Waktu musim rontok hutan flamboyan
bertaburkan warna merah menyala ditaburi sinar matahari yang cerah cemerlang sehingga
pemandangan amat menyo-lok mata. Keindahan alam pada masa itu mempunyai ciri keindahan
yang lain pula bentuknya. Apalagi di saat udara cerah merupakan saat-saat berburu yang paling
tepat. Tapi setiap kali aku bersama Siau-sumoay memetik kembang dan mengajaknya berburu,
selalu ia menggunakan alasan dan tidak pernah mau ikut bergembira ria bersama kami. Kenapa"
Kukira kau cukup paham untuk menyelami perasaan hatinya ini. Dia kuatir keadaan bakal melukai
perasaan dan menimbulkan kenangan lama yang bakal semakin menyiksa batinnya. Kalau di sini
dulu kita bertiga, tapi di sana ada aku dan dia tanpa kau hadir!"
Kelihatannya Song Theng-siau sedang melampiaskan perasaan hati sahabat lamanya yang
selama ini tersimpan di relung hatinya. Apa yang dia kisahkan mengenai keadaan Beng Goan-cau,
bukan mustahil pula pernah ia kecap pula. Maka dalam menutur itu kata-katanya penuh diliputi
perasaan, begitu menarik dan mengesankan sehingga tanpa disadari Hun Ci-lo berlinang airmata
karena terharu. Hun Ci-lo menghapus airmata-nya, berselang sejenak barulah ia berkata: "Tiada sesuatu yang
abadi di dalam dunia ini, apalagi kejadian berselang sepuluh tahun yang lalu, baru sekarang kau
menjelaskan semua ini kepadaku, segalanya sudah terlambat!"
"Sekarang belum lagi terlambat!" demikian ujar Song Theng-siau. "Ci-lo, kuharap kau tidak
marah akan kecerobohanku, ingin aku melimpahkan semua isi hatiku. Kenyataan memang sudah
terjadi, setelah kau berpisah dengan Beng-toako, kau lantas menikah dan punya suami, malah
sudah melahirkan anak, agaknya memang sudah terlambat, tapi sekarang lain pula keadaannya,
meski Nyo Bok masih hidup, namun kau sudah menerima surat cerainya!"
"Ada sebuah hal mungkin masih belum kau ketahui!"
"Hal apa?" "Pada pertemuan Thay-san bukan saja aku ada melihat Goan-cau, aku pun melihat pejabat
ciangbunjin Hu-siang-pay yang baru, Lim Bu-siang. Mereka berdua bergaul dengan sikap dan
kelakuan yang amat intim!"
Song Theng-siau setengah percaya setengah tidak, katanya: "Mungkin hanya rekaanmu
belaka?" "Bagaimana kau bisa berkata demikian?" Hun Ci-lo menarik napas. "Memangnya aku ini orang
yang terlalu banyak curiga" Adalah setulus dan seikhlas-ikhlasnya aku mengharap Goan-cau bisa
terang-kap jodohnya dengan nona Lim itu! Mereka berdualah baru merupakan sepasang jodoh
yang amat setimpal!"
Song Theng-shiau terlongong, mendadak ia mengawasi Hun Ci-lo dengan nanar, katanya: "Kau
mengharap mereka bisa terangkap menjadi jodoh, lalu kau, dengan Miao-siansing itu..."
Pedih dan duka pula hati Hun . Ci-lo mendapat pertanyaan ini, katanya: "Theng-siau, apa
maksudmu mengajukan pertanyaan ini" Aku bersama Tiang-hong adalah saudara angkat saja.
Seperti pula hubungan kita masa lalu." Secara tidak langsung Hun Ci-lo mau maksudkan bahwa
tidak mungkin dirinya menikah dengan Miao Tiang-hong.
Tapi lain pula jalan pikiran Song Theng-siau, sebetulnya ia segan mengemukakan jalan
pikirannya ini, tapi sekarang ia didorong untuk mengatakannya. "Ci-lo, maaf kalau aku bicara terus
terang, kukira dalam hal ini jauh berlainan."
"Apanya yang berlainan?"
"Kita dulu berhubungan begitu erat laksana saudara sekandung sendiri, setiap hari ke manamana
bersama, karena sama-sama masih anak-anak besar yang belum menanjak dewasa, tidak
perlu kita takut menghadapi obrolan iseng orang lain!"
"O, jadi maksudmu bahwa sekarang aku sering bersama Miao Tiang-hong, pasti akan
menimbulkan banyak obrolan iseng yang memalukan?"
Song Theng-siau menjadi rikuh, katanya: "Ci-lo, aku tahu kau adalah perempuan baja yang
berani berbuat berani bertanggung jawab, tidak usah takut mendengar kabar bohong orang lain.
Tapi Beng-toako adalah orang yang paling prihatin akan segala sesuatu yang menyangkut dirimu,
kukira dia tidak akan suka dibuat bahan obrolan orang lain."
Betapa Hun Ci-lo takkan pedih dan luluh hatinya karena sahabat baiknya tidak mau memahami
keadaannya, timbul juga rasa jengkelnya, katanya tawar: "Theng-siau! Bagaimana pula dengan
kau" Bicaralah kepadaku terus terang!"
Song Theng-siau rasakan desakan orang mengandung rasa penasaran, katanya tertawa getir:
"Aku sendiri tentu tidak senang kau dibuat bahan tertawaan dan cemoohan orang banyak. Tapi ini
urusanmu sendiri, aku hanya bisa mengharap saja supaya kau bisa membawa dirimu baik-baik."
Sedapat mungkin Hun Ci-lo menahan kepiluan hatinya, katanya: "Theng-siau, terima kasih akan
perhatianmu, aku masih kuasa membereskan urusan pribadiku sendiri, aku, aku dengannya... ah,
pendek kata, yang sudah lalu biarlah pergi, dan tidak akan kembali lagi. Aku adalah orang yang
bernasib jelek, untunglah aku sudah punya anak, hidup selanjutnya, anak kandungku adalah darah
dagingku yang paling dekat, siapa-pun tidak akan bisa menggantikan kedudukannya di sampingku.
Theng-siau, cukup sampai di sini saja ucapanku, kau paham tidak?"
Sudah tentu Song Theng-siau paham akan pengertian yang dimaksudkan, bahwa selanjutnya
mereka hanya akan hidup berduaan ibu beranak, selama hidup tidak akan menikah lagi.
Mendengar pernyataan ini, mau tidak mau Theng-siau ikut merasakan kepedihan dan kepiluan hati
Hun Ci-lo sedalam-dalamnya.
"Ci-lo, kenapa kau harus mere-ras dirimu" Tapi apa yang perlu kita bicarakan memang sudah
kukatakan, sudah saatnya aku harus cepat-cepat berangkat!"
Waktu Song Theng-siau keluar dari dalam hutan, Lu Su-bi lantas bertanya dengan suara lirih:
"Kenapa begitu cepat lantas pergi" Sudah sepuluhan tahun kalian tidak pernah ketemu, kenapa
tidak mengobrol dan berkumpul beberapa lamanya" Em, Song-suko aku tidak akan menaruh
banyak hati!" Kata-katanya terakhir diucapkan seperti senar harpa yang dipetik pelan-pelan
mendengungkan suara rendah yang amat lirih, setelah mengutarakan isi hatinya, tidak urung
merah jengah selebar muka Lu Su-bi.
Dalam kegetiran hati Theng-siau terasakan rasa kemesraan dan kemanisan pula, sahutnya lirih
di pinggir kupingnya: "Siau-sumoay, kau sungguh baik hati. Dulu aku selalu ingin pulang, sekarang
sebaliknya ingin aku ajak kau kembali ke Siau-kim-jwan."
Terunjuk senyuman mekar pada wajah Lu Su-bi, tapi ia masih rada kuatir, tanyanya: "Apa saja
yang dikatakan Hun-cici kepada kau" Kulihat kau agak kurang senang dan masgul."
"Tiada apa-apa, lekaslah jalan, di tengah jalan akan kuberitahu kepada kau."
Dengan mendelong, Hun Ci-lo mengantar punggung mereka semakin jauh dan akhirnya tidak
kelihatan lagi, hatinya sendu dan rawan. Ia insyaf percintaannya dengan Beng Goan-cau
bagaimana juga tidak akan bisa dipulihkan atau rujuk kembali, sampai pun persahabatannya
dengan Song Theng-siau pun rasanya tidak bisa dipulihkan pula. Sungguh tidak nyana, sahabat
kental sejak kanak-kanak ternyata tidak bisa pula memahami dirinya, sedemikian pilu hati Hun Cilo
sehingga ia berpikir: "Aku masih mengharap mereka bertiga menjadi sahabat kental, ai, jikalau
Goan-cau sendiri pun tidak memahami diriku, masakah aku punya keberanian tetap hidup dalam
dunia fana?" -ooo0dw0ooo- Kalau Hun Ci-lo sedang merasakan kepiluan hati yang mendalam, adalah Miao Tiang-hong
sendiri yang menghadapi "nasehat" yang dilontarkan Siau-hujin pun sedang merasa serba salah
dan kikuk. Kata Siau-hujin: "Semula aku mengharap kalian bisa merangkap jodoh ini, tapi baru sekarang
kuketahui bahwa suaminya belum mati, terpaksa kau harus berpikir demi kepentingannya.
Memang Nyo Bok sudah memberi surat cerai kepadanya, bagaimana juga mereka sudah bersuami
istri sekian lamanya, beberapa lama kemudian setelah rasa marah dan kejengkelan kedua pihak
sama mereda, bukan mustahil mereka bakal rujuk kembali."


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Miao Tiang-hong menyeringai getir, ujarnya: "Kau tidak usah kuatir, hubunganku sama Ci-lo
hanyalah saudara angkat lain jenis belaka, aku tidak perlu menyesal dapat mengikat persahabatan
dengan seseorang yang dapat mengenal watak dan pribadiku, aku amat menghargai sikap
persahabatannya ini, sekali-kali aku tidak akan pernah beipikir yang tidak senonoh terhadapnya."
Kata Siau-hujin: "Kau tahu aku bukan orang yang terlalu kukuh dan kolot, kalau kami bisa tidak
usah pedulikan ikatan adat. belum tentu orang lain sependapat dan punya pengertian yang sama.
Kalau pergaulanmu dengan Ci-lo terlalu intim, tentu akan menimbulkan bahan bicara dan
tertawaan orang lain."
"Kukira Ci-lo belum pernah membicarakan karakter dan martabat asli dari Nyo Bok kepadamu
bukan, kau masih mengharap mereka rujuk kembali, sebaliknya aku berpendapat hal itu tidak
akan mungkin. Tapi janganlah kau salah paham, bukan aku hendak mengail di dalam air keruh
atau bersyukur malah, mengharap dia berpisah dan menikah dengan orang lain saja!"
"Dari uraian ini, jadi maksudmu Nyo Bok itu adalah orang jahat yang tidak bisa ditolong lagi?"
"Aku tidak suka membicarakan keburukan orang di belakangnya, akan datang suatu ketika Ci-lo
pasti akan menuturkan segala kepahitan hidup dan penderitaannya kepada kau!"
"Kalau begitu bertambah selapis lagi kekuatiranku. Kalau benar Nyo Bok begitu buruk, dia
menulis surat cerai, pastilah hatinya masih tidak terima. Kalau Ci-lo tidak punya kesalahan yang
digenggam di tangannya sih mending, apalagi kalian sering bergaul, paling sedikit ia bisa
menyebarluaskan kabar bohong yang menjelekkan nama baik kalian!"
"Memangnya dia hendak membunuh aku, masakah hanya membuat kabar bohong dan
menjelekkan nama baikku saja! He,he, mulut anjing tidak akan tumbuh gading, terserah apa yang
dia senang katakan mengenai diriku boleh sesuka hatinya ia mengobrol!"
"Ci-lo sedang mengandung, aku kuatir dia tidak akan tahan menerima pukulan batin ini! Kalau
peristiwa seperti hari ini terulang kembali, tidak bisa aku harus mengua-tirkan keadaannya. Dan
lagi pertikaian pihak Tin-wan Piaukiok dengan kau pun belum bisa diselesaikan!"
Miao Tiang-hong tersentak sadar, pikirnya : "Benar, jelas Han Wi-bu pasti masih ingin mencari
kesulitanku, tidak seharusnya aku membuat mereka ikut terembet dalam persoalanku. Mengandal
kedudukan Ki Kian-ya dan Han Wi-bu bila aku meninggalkan tempat ini, pastilah mereka tidak
akan meluruk kemari membuat perkara kepada Ci-lo. Kini tinggal Nyo Bok seorang, meski ia suka
menimbulkan riak gelombang, terpaksa dia harus mencari sandaran kuat untuk menghadapi aku.
Seorang diri jangan harap dia mampu menghadapi atau mau mencelakai Hun Ci-lo dan
Siau-hujin!" , Karena pikirannya ini, segera ia berkeputusan tegas, katanya: "Siau-toaso kuantar
Ci-lo kemari, sedikitnya aku sudah bercapek lelah dalam pertanggungan jawabku, maka
selanjutnya kuharap kau suka banyak memperhatikan dirinya."
"Dia adalah keponakanku, sudah tentu aku akan merawat dan mengasuhnya baik-baik. Tapi
kemana kau hendak pergi?"
"Aku sudah biasa dengan kehidupan kelana, ke mana sekarang aku harus menuju, belum bisa
kupastikan. Betapa luas dunia ini, sedikitnya masih banyak tempat untukku berteduh!"
"Entah apa saja yang hendak dibicarakan pemuda she Song itu kepada Ci-lo, kukira ia pun
sedang membujuk dan menghiburnya. Mari kita ke sana, apakah mereka sudah keluar?"
Hun Ci-lo sedang mondar-mandir di luar hutan, sikapnya hampa dan seperti linglung, pipinya
masih basah air mata. Tanpa dijelaskan Miao Tiang-hong sudah dapat menduga apa yang
dibicarakan Song Theng-siau kepadanya.
"Eh, Ci-lo, kenapa kau " Apakah Song-sukomu itu sudah pergi" Apakah dia mengutarakan
omongan yang menyakiti hatimu?"
"Tidak apa-apa, apa yang dia ucapkan adalah demi kebaikanku, tapi aku sendiri yang teramat
sedih. Ah, kalian pun sudah selesai bicara."
Segera Miao Tiang-hong menimbrung: "Ci-lo, aku hendak segera pergi. Kuharap kau tidak perlu
tanya alasan atau sebab-sebabnya. Kuharap kau bisa menjaga dirimu baik-baik!"
Hun Ci-lo terlongong, walaupun kejadian ini sebelumnya sudah dalam rekaannya, "tiada
perjamuan yang, tidak bubar," demikian pikir Ci-lo, ' cuma perasaan hatinya terhadapku selama
hidupku ini agaknya sulit aku memberikan balasan!"
"Aku paham!" demikian sahut Hun Ci-lo. "Hubungan sesama manusia memang ada kalanya sulit
dimengerti atau dipahami, kita pun hanya mengharap akan tindakan atau kelakuan yang lurus dan
benar saja. Ai, baik juga kalau kau pergi!"
"Aku pun tidak akan tinggal lagi di sini," demikian sela Siau-hujin. "Gwat-sian punya bu inang di
desa lain, mungkin sementara waktu aku akan ajak Ci-lo menetap di sana, baiklah kita bicara lebih
lanjut setelah Ci-lo melahirkan. Tiang-hong, sementara ini kalian berpisah saja, setahun kemudian,
boleh kau datang menjenguknya!"
"Entah di mana setahun lagi aku akan berada. Ci-lo jagalah dirimu baik-baik, aku mohon diri!"
Miao Tiang-hong beranjak semakin jauh dan tinggal setitik hitam saja, namun dari kejauhan
masih terdengar ia bersenandung membawakan syair-syair pujangga kuno yang kedengarannya
merawankan hati. -ooo0dw0ooo- Di jalan raya yang menembus ke Pak-bong-san, seperti pula keadaan Miao Tiang-hong, Song
Theng-siau sedang beranjak ke depan sambil menunduk tidak bersuara. Cuma yang satu menuju
ke selatan sedang yang lain ke utara, kalau yang ke selatan seorang diri, sebaliknya yang ke utara
ada seorang lain menjadi teman jalannya.
Sekian lama Song Theng-siau beranjak tanpa buka suara, baru sekarang ia menarik napas
panjang. Lu Su-bi menjadi kuatir, sambil memeluk lengan orang ia bertanya lirih: "Song-suko,
kenapa kau begitu bersedih hati?"
"Aku menyedihkan watak orang gampang berubah, kejadian justru sering di luar penilaian!" Tak
tertahan Song Theng-siau mengutarakan penasaran hatinya.
"O, maksudmu persoalan yang menyangkut Hun-cici?"
"Jangan kau salah paham, maksudku adalah Beng-toako dengan Hun Ci-lo. Entah berapa kali
mereka pernah bersumpah setia terhadap langit dan bumi, kepada gunung dan sungai, betapa
pahit getir dan penderitaan yang mereka kecap bersama, kukira setelah mengalami segala aral
rintang, mereka bisa rujuk kembali, siapa nyana kini mereka masing-masing sudah mempunyai
pujaan hati masing-masing."
"Maksudmu pujaan hati Hun-cici adalah Miao-siansing itu, lalu siapa pula pujaan hati Bengtoako?"
Seperti sengaja seperti tidak, Song Theng-siau melirik kepada Lu Su-bi, katanya pelan-pelan:
"Kabarnya dia berhubungan erat dengan ciangbunjin baru Hu-siang-pay yang bernama Lim Busiang,
kukira hubungan mereka bukan lagi menjadi kenalan biasa, hal ini Hun Ci-lo sendiri yang
memberi-tahu kepadaku. Siau-sumoay, setelah mendengar berita ini, kau ikut senang tidak?"
"Hah! Benar-benar berita yang menggembirakan!" Lu Su-bi berjingkrak riang. "Sudah tentu aku
ikut girang bagi mereka, memangnya kau tidak ikut senang?"
"Aku mengharap dia bisa rujuk kembali dengan Hun Ci-lo, tapi sekarang kejadian sudah
berlarut sedemikian rupa, kalau benar Beng-toako sudah punya pujaan hati lainnya, sudah tentu
aku pun ikut girang baginya." Ia tertawa geli lalu sambungnya: "Kenapa kau merasa berita ini
cukup menyenangkan?"
Merah muka Lu Su-bi, semprotnya: "Cis, Song-toako, kau memang tidak genah, aku tidak mau
bicara lagi." "Kau tidak mau bicara, aku pun sudah paham!" demikian goda Song Theng-siau tertawa.
Seperti diketahui ayah bunda Lu Su-bi semula hendak menjodohkan putrinya ini kepada Beng
Goan-cau, kini Beng Goan-cau sudah punya pujaan hati lain orang, sudah tentu
Lu Su-bi seakan-akan terlepas dari belenggu yang mengekang dirinya.
"Siau-sumoay, apakah kau ingin bertemu dengan Beng-toako?"
"Pertemuan besar di Thay-san sudah bubar, jejaknya sulit diketahui lagi, ke mana pula kita
harus menemui dia?" "Mari kita mencarinya di Pakkhia!"
"Dari mana kau bisa tahu bila dia berada di Pakkhia?"
"Kali ini Beng-toako meninggalkan Siau-kim-jwan dengan mengemban tugas untuk mencari
hubungan dengan para enghiong dari seluruh dunia, kau tahu tidak?"
"Memang dia pernah menjelaskan hal ini kepadaku. Bahwa dia ikut hadir dalam pertemuan
besar di Thay-san kali ini adalah demi kepentingan tugasnya itu."
"Pakkhia adalah seumpama sarang naga dan gua harimau. Meski Beng-toako dapat mengikat
hubungan dengan berbagai enghiong dari berbagai penjuru, kuduga pasti akan menuju ke Pakkhia
juga!" "Ya, seumpama tidak menemukan Beng-toako, kita bisa berkesempatan tamasya ke kota raja.
Toh kita sudah terlanjur sampai di sini, perjalanan ke Pakkhia cuma makan waktu dua hari saja!"
"Tapi kota raja merupakan pusat pemerintahan yang terjaga kuat, kita harus jauh lebih hatihati
dan waspada!" "Betul, kalau kita menginap di hotel, kebentur ada pemeriksaan, tentu serba menyulitkan!
Bagaimana baiknya?" "Sejak tadi sudah kuingat satu orang, orang itu bisa menjadi tuan rumah tempat kita menginap
di sana!" "Siapa yang kau maksudkan?"
"Cay Kin, putra Cay Moh, congpiauthau terdahulu dari Tin-wan Piaukiok. Mereka adalah sahabat
Siau Ci-wan toako, punya hubungan gelap dengan pihak laskar rakyat!"
Berkerut alis Lu Su-bi, katanya: "Lagi-lagi orang yang ada sangkut pautnya dengan Tin-wan
Piaukiok, baru saja kita mengikat permusuhan dengan Han Wi-bu bukan!"
"Kau tidak perlu kuatir, dulu Cay Moh meninggalkan Tin-wan Piaukiok karena ia didesak oleh
ayah Han Wi-bu. Sekarang Cay Moh dan ayah Han Wi-bu sudah sama mati, Han Wi-bu mewarisi
jabatan cong-piauthau, sementara putra Cay Moh yaitu Cay Kin sudah tidak punya hubungan
dengan Tin-wan Piaukiok. Cuma, sebelumnya tidak pernah terpikir olehku akan datang ke Pakkhia,
waktu berada di Siau-kim-jwan, Siau-toako pernah menyinggung Cay Kin itu kepadaku, sayang
aku tidak menanyakan alamat tinggalnya. Setelah tiba di kota raja kita harus mencari tahu lebih
dulu kepada orang-orang di sana!"
"Apa kau tidak kuatir kebentur dengan orang-orang Tin-wan Piaukiok?"
"Sudah tentu tindak tanduk kita harus hati-hati dan bekerja menggunakan otak. Kita bekerja
melihat gelagat saja, tidak perlu kuatir!"
Dua hari kemudian mereka sudah tiba di Pakkhia. Tampak suasana dan keadaan di kota raja
memang serba baru dan lain dari yang lain, jalan raya yang lebar, kendaraan berlalu lalang tidak
putus-putusnya, bangunan gedung-gedung istana yang megah dan mentereng. Letak istana raja
terletak di pusat keramaian kota, seluruh bangunan istana didirikan dengan serba kaca, dari
kejauhan kelihatannya seperti sisik-sisik ikan yang berkilauan disorot sinar matahari, betapa indah
dan semaraknya sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Di depan gedung istana raja terdapat sebuah lapangan luas yang terletak di sebelah utara,
sebelah luar dari istana ini dibangun sederetan bangunan tembok besar yang menjulang megah
dengan warna merahnya yang menyolok, itulah bangunan yang sudah terkenal di seluruh jagat
yang dinamakan Thian-an-bun. Tanpa sadar mereka tertarik dan terpesona oleh kemolekan
bangunan di depan lapangan luas Thian-an-bun.
Istana raja cuma dapat dilihat dari kejauhan dan tidak mungkin disentuh, dulu orang-orang
yang mondar mandir di depan lapangan Thian-an-bun pun hanya bisa mengawasi saja dari
kejauhan. Demikian juga penduduk Pakkhia sendiri setiap kali lewat di lapangan Thian-an-bun tak
disadari pasti tertarik dan menoleh dengan pandangan yang kesima. Apalagi Song Theng-siau dan
Lu Su-bi yang baru pertama kali ini berada di kota raja, mereka lebih kesima dan terpaku oleh
segala sesuatu yang dilihatnya di depan mata.
Tengah mereka terbelalak dan terpesona bagai mabuk kesenangan, tiba-tiba didengarnya suara
serempak dari perpaduan serombongan kuli-kuli yang berholopis kuntul baris, ternyata puluhan
kuli-kuli memanggul arang sedang mendatangi dengan beban di punggung yang amat berat,
mereka berjalan berbaris seperti burung kuntul dengan terbungkuk-bungkuk saking keberatan, di
antara sekian banyak orang yang berlalu lalang di depan Thian-an-bun, mungkin hanya
rombongan mereka ini yang tidak sempat atau tiada perhatian lagi untuk menyaksikan keindahan
bangunan istana raja yang megah.
"Siau-sumoay," segera Song Theng-siau berkata. "Hati-hati, jangan sampai kau tersentuh
kotoran arang sehingga bajumu hitam!"
Belum habis ia bicara, kebetulan seorang kuli memanggul arang lewat di samping Lu Su-bi,
mungkin karena keberatan dan jalannya terbungkuk-bungkuk sehingga keranjang arang di
punggungnya ikut tergoyang-goyang dan kebetulan menyerempet pakaian Lu Su-bi sehingga
menjadi kotor hitam. Song Theng-siau menjadi gusar, dampratnya: "Kau orang ini kenapa berjalan tidak hati-hati?"
"Suko!" lekas Lu Su-bi menahannya. "Mereka berjalan dengan terbungkuk-bungkuk, tidak bisa
kau salahkan mereka. Kenapa harus mencari ribut dengan kuli-kuli yang sengsara ini?"
Lu Su-bi kuatir Song Theng-siau marah-marah dan mencari perkara kepada kuli arang itu maka
ia menumpahkan kesalahan pada diri sendiri. Tapi di dalam relung hatinya, diam-diam ia sedang
merasa keheranan, ternyata di waktu mendengar gerungan napas berat para kuli-kuli arang itu,
siang-siang ia sudah menyingkir ke samping namun toh masih tersentuh juga, sebagai orang yang
pernah melatih ginkang tingkat tinggi ternyata tidak luput dari sentuhan orang, jelas bahwa orang
itu memang sengaja hendak menyerempetkan keranjang arangnya, dan lagi pasti pernah berlatih
ilmu silat pula sehingga ia pun memiliki gerak langkah yang begitu lincah dan tangkas. Cuma ia
takut Song Theng-siau menimbulkan keributan, maka ia tidak berani mengutarakan rasa curiganya
ini. Tak lama kemudian setelah rombongan kuli-kuli itu pergi, mendadak Song Theng-siau seperti
merasakan kekurangan sesuatu, waktu ia meraba-raba tiba-tiba ia menjerit kaget.
"Suko, kenapa kau?"
"Kuli arang itu adalah pencopet!"
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Pedang yang kubawa sudah hilang." Ternyata pedangnya ia simpan di dalam jubahnya dan
tergantung di pinggir pinggang, kini yang tergantung tinggal sarungnya.
"Masakah mungkin ada pencopet yang sedemikian liehay?"
"Kenyataan pedangku sudah hilang, marilah lekas kejar! Aih, mana tusuk kundaimu" Juga
hilang!" Waktu Lu Su-bi meraba sanggulnya, benar tusuk kundainya yang terbuat dari batu jade sudah
tidak berbekas, keruan ia kaget dan berteriak: "Masakah benar dalam dunia ini bisa kedapatan
pencopet yang sedemikian liehaynya!"
Jalan raya yang penuh sesak sudah tentu sulit mengembangkan ilmu ringan tubuh, untunglah
kuli-kuli arang itu sama memanggul arang yang berat sehingga jalannya tidak cepat, meski
berselang agak lama kemudian baru mereka menyadari kehilangan barang, setelah melakukan
pengejaran yang cukup jauh akhirnya mereka berhasil mengejar rombongan kuli-kuli arang itu.
Setelah melewati sebuah jembatan emas di bagian luar lapangan, rombongan kuli-kuli arang itu
sama berpencar ketiga jurusan yang berlawanan. Segera Theng-siau bertanya: "Siau-sumoay, apa
kau masih bisa mengenal kuli arang yang menyenggol kau?" Muka kuli-kuli arang itu sama
berlepotan arang hitam yang legam, sehingga rupa mereka hampir serupa, jalannya sama
terbungkuk-bungkuk pula, sehingga tinggi rendah badan mereka sulit dibedakan kalau tidak terlalu
diperhatikan. Tengah Lu Su-bi berdiri bingung dan was-was, tiba-tiba dilihatnya salah seorang dari
rombongan yang menuju ke arah timur sana, sedang berpaling ke arah mereka sambil
melontarkan mimik wajah yang lucu, seperti tertawa bukan tertawa. Tergerak hati Lu Su-bi, lekas
ia berseru: "Betul pasti orang itu adanya. Agaknya memang dia sengaja hendak menggoda kita!"
Song Theng-siau pun sudah teringat akan seseorang, katanya: "Tidak usah bikin ribut, kita
kuntit saja pelan-pelan."
Orang yang mereka kuntit itu saat mana kebetulan tiba di pinggir ungai, lalu menurunkan
keranjang rang yang dipanggulnya, serta lengeluarkan kain handuk terus libasahi air sungai untuk
mencuci nuka. Tatkala itu, yang menguntit li belakangnya kecuali Song Theng-siau berdua tiada
orang lain nila. Setelah mencuci kotoran arang i mukanya orang itu berdiri serta jerseru tertawa: "Kalian
mengejar cemari apa minta aku mengganti pakaian" Aku kuli arang yang rudin ini masakah
mampu menggantinya?"
Kaget dan girang pula Song Theng-siau dibuatnya, serunya tertawa lebar: "Kwi-hwe-thio,
ternyata kau adanya, sebetulnya sejak tadi aku sudah teringat akan kau, di kolong langit ini
kecuali kau Kwi-hwe-thio ini, siapa pula yang punya kepandaian mencopet sedemikian liehay?"
Kwi-hwe-thio tertawa, ujarnya: "Terima kasih akan pujian Song-toaya, toaya tidak marah lagi
kepadaku bukan?" Ternyata kuli arang ini bukan lain adalah samaran pencopet nomor satu di seluruh dunia Thio
Siau-yau yang dijuluki Kwi-hwe-thio. Tempo hari Song Theng-siau pernah bertemu padanya di
Siok-ciu, sejak berpisah satu tahun sudah berselang, tak nyana kini bisa jumpa pula di kota raja.
"Kwei-hwe-thio, kenapa kau mengganti obyek kerjamu terima menjadi kuli arang?"
"Aku tidak mengganti obyek kerja lho, bagi orang yang berpredikat seperti aku ini harus bisa
muncul di dalam posisi kedudukan yang beraneka ragamnya. Bukankah Song-toaya mengejarku
kemari karena kau kehilangan barang?"
"Betul, aku memang hendak memaki kau, kenapa kau berkelakar macam ini terhadapku" Soal
guyon-guyon dengan aku sih tidak apalah, kau pun bikin siau-sumoay-ku kaget dan ketakutan."
"Kalau tidak kugunakan cara guyon-guyon ini mana bisa aku memancing kalian kemari" Di
depan Thian-an-bun yang ramai itu, masakah enak untuk bicara?" Lalu ia keluarkan pedang dan
tusuk kundai Song Theng-siau dan Lu Su-bi serta mengembalikan kepada mereka.
"Kapan kau berada di Pakkhia ini, Beng Goan-cau berada di Pakkhia tidak, apa kau tahu?"
"Di sini aku sudah menetap tiga bulan, selama ini belum pernah kudengar berita mengenai
Beng-toaya. Kalian menetap di mana?"
"Baru saja kami tiba di sini, ingin mencari Cay Kin putra cong-piauthau Tin-wan Piaukiok yang
terdahulu, namun belum sempat kucari tahu alamat mereka."
"Keluarga Cay menetap di lorong Inang, dari Thian-an-bun menuju ke barat, setelah sampai di
ujung jalan lalu membelok ke utara serta membelok lagi ke arah timur, di sana terdapat sebuah
jalan melintang, di situlah gang Inang yang dimaksudkan."
"Aneh juga nama jalan rumahnya itu," demikian sela Lu Su-bi.
"Kau merasa namanya itu tidak enak didengar bukan, ketahuilah asal-usul nama lorong itu
mempunyai sejarahnya tersendiri. Di tempat itu pernah menetap ibu inang dari salah satu raja
dinasti beng, maka nama lorong itu dinamakan gang Inang. Nama ini sudah bertahan selama dua
ratusan tahun sampai sekarang."
"Kwi-hwe-thio, kau kenal baik dengan Cay Kin, kenapa tidak kau bawa kami ke rumahnya?"
"Tugas kerjaku hari ini belum lagi selesai, maaf aku tidak bisa mengantar kalian kesana!"
"Aku bicara betul-betul, memangnya kau anggap aku berkelakar?"
"Ai, Song-toaya, kau sendiri sih tidak perlu bekerja, namun bicaramu amat iseng sekali.
Memangnya kau tidak tahu bahwa tugas yang kukerjakan ini tidak penting?"
Berkerut alis Song Theng-siau, katanya: "Apa kau benar-benar ingin menjadi kuli arang"
Bukankah tadi kau mengatakan tugas kerjamu sekarang ini hanyalah untuk samaran supaya dapat
menutupi asal-usulmu yang sebenarnya?"
"Palsu tulen, tulen palsu, yang terang tugas yang kukerjakan tidak boleh sembarangan
dibocorkan. Dan lagi aku tahu siapa itu Cay Kin, namun Cay Kin tidak kenal siapa aku!"
"Bagaimana bisa begitu?"


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagi pencopet seperti aku ini, setiap tiba di suatu tempat, menurut kebiasaan, harus
menyelidiki tokoh-tokoh ternama siapa saja yang punya harta besar, sebaliknya para tokoh-tokoh
kosen itu belum tentu bisa mengenal pencuri kecil macamku ini."
"Kau adalah maling sakti nomor satu sejagat, masih kau katakan tidak punya nama segala?"
demikian olok Lu Su-bi tertawa.
"Mungkin Cay Kin memang pernah dengar namaku, tapi selamanya ia belum pernah bertemu
muka dengan aku, beliau pun belum tentu tahu bahwa aku sudah berada di Pakkhia. Kalau kalian
sudah bertemu dengan dia, kuharap kalian jangan katakan bahwa akulah yang memberi tahu
alamat rumahnya kepada kalian."
Mau tidak mau Song Theng-siau berpikir: "Dia menyamar sebagai kuli arang, pasti punya sebab
dan latar belakang yang rahasia dan segan diketahui orang lain."
Maka ia pun tidak bertanya lebih lanjut, katanya: "Kalau begitu di mana kau tinggal, lain waktu
biar kumampir di tempat kediamanmu."
Cepat Kwi-hwe-thio menggoyangkan tangan, katanya tertawa: "Kediaman kuli-kuli arang tak
usah kuberitahu pasti kau sudah tahu, di sana hanyalah tempat bobrok yang kotor, pakaianmu
serba perlente kalau mendatangi tempat jorok begitu, kau sendiri tidak merasa jijik sebaliknya
teman-temanku bakal curiga. Kalau kau ingin bertemu dengan aku, biar aku sendiri yang mencari
kau, kutanggung kau akan merasa diluar dugaan."
Mendengar penjelasannya ini, terpaksa Song Theng-siau tidak bicara lebih jauh, segera ia
mohon diri berpisah, langsung menuju ke rumah Cay Kin.
Hubungan Cay Kin dengan Siau Ci-wan, pemimpin laskar gerilya di Siau-kim-jwan amat kental,
ia pun sudah lama mendengar ketenaran Song Theng-siau, sudah tentu keda-tangananya
disambut dengan girang. Sementara baiklah kita kesampingkan Song Theng-siau dan Lu Su-bi yang menetap di rumah
Cay Kin. Sementara itu, setelah Kwi-hwe-thio bertemu dengan Song Theng-siau berdua, selesai
mengirim keranjang arang itu langsung ia pulang ke rumah, tatkala itu cuaca sudah petang, di
mana-mana mulai menyulut dian.
Majikan arang kelihatan sedang duduk berhadapan minum arak dengan seorang laki-laki
berjambang bauk lebat, begitu melihat Kwi-hwe-thio pulang, segera ia berseru sambil tertawa
riang: "Kwi-hwe-thio, ke mana saja kau ngela-yap bersuka ria" Untung kedatanganmu masih
sempat, sebentar lagi segentong arak Cu-yap-ceng yang bermutu paling enak ini, sudah ditenggak
habis oleh Utti Tayhiap!"
"Juragan Cui," ujar Kwi-hwe-thio, "jangan kau membuatku penasaran, sebagai kuli yang paling
setia masakah aku malas dan ngeloyor dolan?"
Ternyata juragan arang ini she Cui, juragan arang yang paling terkenal di pintu timur kota raja.
Sedang laki-laki jambang bauk itu adalah Utti Keng yang amat terkenal di kalangan kangouw
sebagai begal kuda dari Kwantang.
"Kwi-hwe-thio," Utti Keng ikut menimbrung. "Tugas yang kami serahkan kepadamu memang
rada merendahkan derajatmu, kau disuruh memanggul arang setiap hari, mana bisa kelayapan
dengan bersuka ria" Tadi aku sedang berkuatir bagi dirimu, kau pulang sampai malam begini,
apakah kau kebentur oleh Pakkiong Bong?"
"Seumpama Pakkiong Bong bertemu muka dengan aku juga tidak akan kenal siapa aku ini. Tapi
hari ini memang aku bertemu dengan seorang kenalan lama."
"Siapa?" tanya Utti Reng.
"Song Theng-siau!"
"Song Theng-siau yang sejajar dengan Beng Goan-cau itu?"
"Benar, malah dia mencari tahu jejak Beng Goan-cau kepadaku, Tapi aku tidak berani
membocorkan urusan kita kepadanya."
"Benar, lain Beng Goan-cau lain pula Song Theng-siau, kabarnya dia kelahiran putra hartawan,
sepak terjang dan wataknya mungkin tidak setegas dan setenang Beng Goan-cau, lebih baik kau
berlaku rada hati-hati terhadapnya. Cuma bicara tentang Beng Goan-cau, aku jadi kangen
kepadanya. Apakah kau masih ingat, tempo hari kubantu kau, kuda suri merah yang berhasil
kucuri itu akhirnya kuberikan kepada Beng Goan-cau. Kalau Beng Goan-cau benar-benar sudah
memasuki kota raja, maka kita bisa bekerja secara besar-besaran dengan blak-blakan pada
mereka." Juragan she Cui itu segera menyela: "Tenaga kita terlalu sedikit, namun kukira dari markas
pusat Thian-te-hwe bisa mengutus beberapa orang kemari. Oh, Kwi-hwe-thio, kabar apa saja yang
berhasil kau selidiki hari ini?"
"Aku belum mendapat kabar yang pasti. Tapi rumah Pakkiong Bong dan Sat Hok-ting samasama sudah
pernah kugerayangi, tidak perlu petunjuk jalan lebih lanjut.
Suatu malam bila cuaca gelap dan angin kencang, aku bisa menyelundup masuk seorang diri untuk
menyelidiki lebih jelas lagi."
"Menurut hematku, kita tunggu setelah bantuan dari markas pusat tiba baru dibicarakan lebih lanjut,"
demikian usul juragan she Cui.
"Kang Tayhiap menyerahkan persoalan muridnya ini kepadaku, kalau aku tidak bisa cepat-cepat menyelidiki jejak dan berita Li Kong-he, hatiku sulit tentram. Kepandaian pergi datang Kwi-hwethio tiada
bandingannya di kolong langit, juragan Cui tidak perlu kuatir, biar dia pergi bersama aku, kukira asal kami
bekerja cermat dan hati-hati pasti tidak akan timbul sesuatu di luar dugaan."
"Bicarakan lebih lanjut dekat waktunya!" demikian ujar Kwi-hwe-thio.
Ternyata Thian-te-hwe adalah kumpulan rahasia dari orang-orang gagah penentang kerajaan Ceng.
Thocunya bernama Lim To-kan, wakilnya bemama Li Kong-he, keduanya adalah muridmurid Kang Hay-
thian. Di berbagai sektor kota-kota besar Thian-te-hwe ada mendirikan berbagai cabang yang
tersebar luas, cabang terbesar, yaitu cabang yang didirikan di kota Poting yang letaknya tidak jauh dari
kota raja. Cabang di kota Poting ini tiga tahun yang lalu pernah digrebek oleh pihak kerajaan, mengalami
kerugian yang amat besar. Hu-thocu Li Kong-he terpaksa harus turun tangan sendiri meluruk ke
Poting untuk menyelidiki situasi serta mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang dapat dibangun
kembali. Untuk menghilangkan perhatian dan incaran pihak kerajaan, Li Kong-he berangkat
seorang diri tanpa membawa pembantu.
Sebelumnya Li Kong-he sudah berjanji sama Lim To-kan, paling lambat tiga bulan pasti ia
sudah kembali, tak nyana begitu berangkat setengah tahun sudah berselang, namun tidak pernah
mendengar kabar beritanya. Lim To-kan pernah menyebar anak buahnya untuk membuat
penyelidikan dan menyirapi ke mana-mana, para anggauta yang masih menyembunyikan diri di
kota Poting pun belum pernah ada yang melihat kedatangannya. Tapi dari kabar berita yang
didapat secara tidak langsung, serta dihitung waktunya ternyata bertepatan dengan kedatangan Li
Kong-he di Poting, dari Pakkhia kabarnya kerajaan Ceng pun ada mengutus beberapa jagojagonya
untuk menyapu bersih sisa-sisa anggauta Thian-te-hwe yang masih tersembunyi di kota
Poting, kabarnya tiada seorang pun anggauta Thian-te-hwe yang tertangkap, sebaliknya mereka
berhasil meringkus seorang "buronan", buronan yang dimaksud ini adalah sutenya, Li Kong-he.
Penjagaan di kota raja amat keras dan ketat, di kota raja Thian-te-hwe tidak mendirikan
cabang, cuma ada beberapa anggauta rahasia yang menyembunyikan diri, mereka sama bekerja
di dalam berbagai bidang atau usaha dagang yang berlainan. Juragan she Cui yang berdagang
arang ini adalah salah satu di antaranya. Dia pulalah yang memimpin usaha menolong Li Kong-he.
Dari Soh-ciu, Kwi-hwe-thio langsung menuju ke Pakkhia, setelah melakukan beberapa kali
kerjaan besar, tangannya memiliki uang perak yang tidak akan habis untuk berfoya-foya beberapa
tahun, saking kesenangan hidup berfoya-foya ia lalu menetap di Pakkhia. Utti Keng menemukan
dia dan mengharapkan bantuannya yang memang amat diperlukan. Kwi-hwe-thio tidak enak
menampik permitaan orang, terpaksa ia terima permintaan orang dan terima merendahkan dirinya
bekerja di perusahaan dagang juragan Cui menjadi kuli tukang panggul arang.
Bagi setiap penduduk Pakkhia menjelang musim dingin datang, setiap keluarga pasti membakar
arang untuk menghangatkan badan. Menyamar sebagai kuli panggul arang yang mengirim ke
segala pelosok rumah, kesempatan lebih banyak main terobosan di rumah orang, terutama
gedung-gedung orang kaya dan pejabat tertentu yang biasanya jarang di njak orang awam.
Juragan Cui sudah mencari tahu bahwa penjara istana tiada pesakitan baru, maka para
buronan baru yang tertangkap hanya kemungkinan disekap pada dua tempat lainnya, pertama
pada tempat kediaman Pakkiong Bong atau di markas besar Gi-lim-kun, tempat yang lain adalah di
vil a milik Sat Hok-ting, biasanya buronan macam demikian tidak pernah disekap di dalam istana.
Kwi-hwe-thio sudah pernah memasuki tempat-tempat ini, waktu itu ia menyamar sebagai kuli
pengantar arang, sudah tentu waktu itu sulit ia mencari berita, cuma seluk beluk keadaan rumahrumah
itu sudah diselidikinya dengan hafal. Bagi pencuri umumnya sebelum melaksanakan
hajatnya, persiapan pertama yang harus dia lakukan adalah menyelidiki keadaan jalan dan situasi
dalam rumah yang bakal dijadikan sasaran operasinya. Di dalam bidang kerja pencopetan
umumnya tidak perlu menggunakan istilah petunjuk jalan segala. Dan persiapan macam itu bagi
Kwi-hwe-thio sudah cukup matang tinggal melaksanakannya saja!
Kalau dibicarakan memang amat kebetulan. Malam kedua ternyata cuaca amat gelap dan angin
timur laut meniup amat kencang. Utti Keng lantas mendesak Kwi-hwe-thio, mengajaknya pergi
menyelidiki ke markas Gi-lim-kun di mana Pakkiong Bong menetap.
"Utti Tayhiap," ujar Kwi-hwe-thio tertawa. "Bicara soal kepandaian silat aku bukan apa-apamu,
kalau menjadi maling sebaliknya kau pun bukan tandinganku, menurut hematku biar aku pergi
seorang diri saja!" "Aku tahu kepandaianmu tinggi dan liehay bagai setan gentayangan, jejakmu pergi datang
tidak menentu, tapi markas Gi-lim-kun jangan kau anggap toko kelontong atau toko perhiasan,
paling tidak kau perlu hati-hati. Seumpama terjadi sesuatu dan perlu saling hantam, dengan
kehadiranku sedikitnya bisa saling membantu. Kau takut aku mengganggu kerjamu, baiklah aku
menunggumu di luar saja, tidak ikut masuk ke dalam."
Kwi-hwe-thio berpikir sebentar lalu berkata: "Begini saja, di belokan jalan di ujung sana ada
sebuah rumah arak, di mana menjadi sarang perjudian pula. Warung arak lain begitu cuaca gelap
lantas tutup pintu, sebaliknya rumah arak di sana dibuka sehari semalam. Boleh kau menunggu
aku di sana, dalam tempo satu jam kalau aku belum juga keluar, boleh kau menyelundup masuk
mencari tahu." "Akal licikmu memang banyak, tapi sejalan dengan markas Gi-lim-kun diperbolehkan membuka
sarang judi yang khusus, sungguh mengherankan."
"Kalau kuterangkan tentu tidak mengherankan. Bahwa di jalan yang sama sebenarnya terdapat
dua sarang judi yang menutup sebelah pintunya, kedua tempat perjudian ini, masing-masing
dilindungi oleh pejabat. Aku sendiri pernah berjudi di tempat itu pernah pula minum arak di sana.
Kau bisa pura-pura menjadi penjudi minum arak di sana, kutanggung tidak ada orang mencari
perkara atau menanyai asal usulmu."
"Begitu pun baik. Biar kuberi kau sebatang Coa-yan-cian (panah ular berasap), kalau terjadi
sesuatu atas dirimu boleh kau sambitkan panah ini ke tengah angkasa, segera aku akan menyusul
tiba." Setelah segala sesuatunya diatur sempurna, kira-kira kentongan ketiga, mereka lantas
bertindak menurut rencana.
Malam itu tiada bintang tiada rembulan, Kwi-hwe-thio sendiri sudah menyelidiki sasarannya
dengan baik, ia punya pegangan yang cukup matang, betul juga secara diam-diam seumpama
malaikat tidak tahu dan setan tidak merasa ia sudah menyelundup masuk ke markas besar Gi-limkun.
Begitu ia berada di dalam, situasi yang ia lihat menunjukkan gejala-gejala yang tidak benar. Dia
masuk dari belakang taman, begitu kakinya menginjak tanah di dalam taman, matanya yang jeli
dapat melihat di belakang gunung-gunungan palsu, di semak-semak rumput kembang, tampak
bayangan hitam bergerak, jelas mereka adalah peronda yang bertugas hilir mudik, jumlahnya
tidak sedikit. Dalam hari-hari biasa meski di dalam markas Gi-lim-kun ada petugas ronda tertentu,
namun itu hanyalah tugas piket umum yang harus dilaksanakan. Mereka menyangka pencuri
biasa" masakah berani main gerayang di markas besar Gi-lim-kun, bagi tokoh kangouw biasanya
juga tidak akan berani main kayu di atas kepala harimau.
"Mungkinkah terjadi sesuatu kejadian luar biasa malam ini?" demikian Kwi-hwe-thio bertanyatanya.
Sedang ia celingukan mendadak didengarnya suara gonggongan anjing yang menyalak
ramai. Kwi-hwe-thio ada meyakinkan mata malam, sembunyi di belakang sebuah gunungan palsu
mencuri lihat ke depan sana, terlihat olehnya tak jauh di depan sana ada dua orang berjalan
sambil menuntun dua ekor anjing. Kwi-hwe-thio mengenal salah satu di antaranya adalah sute
Pakkiong Bong yang bernama Sebun Soh.
Terperanjat Kwi-hwe-thio, pikirnya: "Sebun Soh adalah tokoh kedua dalam gedung ini, kenapa
dia pun terima menjadi peronda, aku harus berhati-hati. Kedua ekor anjing itu kelihatannya amat
galak dan liar, mungkin teramat buas. Di tempat lain belum pernah aku melihat anjing galak
macam demikian." Terdengar busu yang berjalan bersama Sebun Soh itu bicara: "Malam ini marilah kita coba
ketajaman dan kepandaian kedua binatang cerdik dari Se-ek ini, kabarnya dia bisa mencium jejak
bau orang asing, entah benar tidak. Kuatirnya di sini tiada orang asing berani kemari." Belum
lenyap ia bicara kedua anjing dari Se-ek itu ternyata menggonggong semakin keras dan gencar.
"Anjing ini menyalak sedemikian liehaynya," demikian ujar Sebun Soh. "Bukan mustahil
memang ada orang asing datang." Segera ia melepas tali yang membelenggu leher kedua anjing
itu, secepat anak panah kedua anjing itu terus menerjang ke arah tempat persembunyian Kwihwe-
thio. Sejak mula Kwi-hwe-thio sudah siap, pikirnya: "Sedapat mungkin aku harus mengulur waktu
dan mencari daya upaya meloloskan diri." Lekas ia ayun tangannya melempar dua buah bakpau
berdaging. Kedua bakpaunya ada dibubuhi semacam ramuan makanan khusus yang menjadi amat wangi
dan enak, terutama anjing-anjing paling suka mencium bau wangi makanan macam itu, tapi kedua
buah bakpau itu telah dibubuhi racun juga.
Kedua anjing galak ini terlatih sekali, kalau hanya bakpau biasanya agaknya tidak akan bisa
membuat mereka mengilar. Kini terpancing oleh bau wangi yang sedap itu, begitu bakpau Kwihwe-
thio dilempar ke arah kiri sana, segera mereka mengubah arah memburu ke arah itu juga.
Waktu Sebun Soh dan Busu itu memburu datang, kedua ekor anjing sudah melalap habis kedua
bakpau itu. Kata Sebun Soh: "Aneh, di sini tiada orang, kenapa pula kedua anjing ini menyalak
sedemikian hebat?" Untunglah malam itu gelap gulita tiada bintang dan rembulan, Kwi-hwe-thio sembunyi di
belakang gunung-gunungan palsu melemparkan bakpaunya itu, maka jejaknya belum sampai
ketahuan. Kwi-hwe-thio insyaf bila racun dalam bakpau bekerja dan kedua anjing itu mampus betapapun
jejaknya pasti ketahuan oleh musuh. Tapi di dalam keadaan yang gawat dan kepepet ini, terpaksa
dia hanya bisa main ulur waktu saja. Tak duga meski kedua anjing itu sudah keracunan namun
tidak segera mampus. Kiranya bakpau beracun Kwi-hwe-thio kalau hanya menghadapi anjing
biasa, memang lebih berkecukupan, namun kedua anjing dari Se-ek ini bertubuh kekar dan kuat,
jauh berlainan dibanding anjing-anjing biasa.
Tepat di saat Sebun Soh memburu datang, racun dalam badan kedua anjing itu pun mulai
bekerja, setelah mereka bergulingan dua kali di tanah, mendadak menyalak lagi, sembari
menerjang ke arah tempat persembunyian Kwi-hwe-thio.
Mimpi juga Kwi-hwe-thio tidak menduga bahwa kedua anjing ini tidak segera mampus, malah
menubruk ke arah dirinya begitu cepat, baru saja ia hendak menggeser tempat persembunyian
dan belum keburu bergerak. Terdengarlah Sebun Soh berteriak: "Celaka, kelihatannya anjinganjing
itu sudah kena racun, lekas gigit mati musuhmu!"
"Celaka! Semoga Thian memberi perlindungan, menyelamatkan keadaanku yang terjepit ini,"
diam-diam Kwi-hwe-thio berdoa di dalam hati. Saking tegang hampir saja jantungnya mencelat
keluar dari rongga dadanya. Tatkala itu Sebun Soh dan busu itu sudah ikut mengejar datang,
sedikit ia bergerak, tentu jejaknya ketahuan oleh Sebun Soh, terpaksa ia hanya bisa berdoa
mohon perlindungan Thian saja.
Ternyata manjur benar doa Kwi-hwe-thio, sekonyong-konyong sebuah keanehan terjadi pula,
waktu kedua anjing itu memburu dekat ke tempat gunung-gunungan palsu di mana Kwi-hwe-thio
sembunyi, mendadak mereka mengubah arah menubruk ke dalam rumpun kembang.
Sambil memburu Sebun Soh melontarkan pukulan Bik-khong-ciang ke empat penjuru, kini
melihat kedua anjing itu menerjang ke dalam semak kembang ia pun ikut mengejar ke sana,
teriaknya: "Si maling sembunyi di atas gunung-gunungan palsu di dalam hutan Bwe, kalian lekas
periksa kemari!" Belum lagi Sebun Soh tiba di depan gunung-gunungan palsu lantas memutar tubuh, tapi
pukulan jarak jauh yang dia lontarkan, angin pukulannya sudah menyambar lewat ke sebelah
belakang gunung-gunungan palsu, tak urung Kwi-hwe-thio bergidik dibuatnya, untung tidak
sampai mengeluarkan suara. Ternyata Sebun Soh meyakinkan ilmu Hian-im-ciang, angin
pukulannya teramat dingin membekukan sumsum dalam tulang, untung Kwi-hwe-thio sembunyi di
balik gunung-gunungan palsu, meski kena tersambar, ia masih kuat bertahan.
Kaget dan girang pula Kwi-hwe-thio, batinnya: "Aneh, apa betul Thian benar-benar memberikan
berkah akan doaku tadi?"
Begitu memasuki rumpun kembang, racun dalam badan kedua anjing itu betul-betul sudah
kumat, terdengar mereka terkuing-kuing seperti gila bergulingan di tanah, tiba-tiba mencelat
tinggi terus terbanting mampus tak bergerak lagi.
Tiba-tiba terdengar seorang busu berteriak di sebelah sana: "Tuh malingnya lari ke sebelah
sana!" Sebun Soh segera membentak: "Kenapa kalian tidak lekas kejar!"
Dengan membongkok-bongkok Kwi-hwe-thio tongolkan kepalanya dari belakang gununggunungan
palsu, karena dia ada meyakinkan mata malam lapat-lapat dilihatnya sesosok bayangan
sedang melompat tinggi melampaui tembok yang memagari taman kembang ini.
Baru sekarang Kwi-hwe-thio paham duduknya perkara, ternyata di dalam taman kembang ini
terdapat orang asing lainnya pula, entah dengan cara apa ia berhasil memancing kedua anjing itu
ke sebelah sana, atau mungkin di saat mereka sudah keracunan dan daya pikiran sudah mulai
kabur, mendadak mengendus bau, orang asing lainnya pula, maka mereka segera mengejar ke
arah sana. "Entah siapa orang itu, agaknya memang sengaja hendak menolong aku" Tapi mengandal
ginkangnya itu, orang ini pasti bukan Utti Keng." Kwi-hwe-thio sudah tiada tempo memikirkan hal
ini lebih lanjut, di saat Sebun Soh dan para busu itu mengejar ke sana, cepat-cepat ia mengeloyor
keluar terus menyelinap masuk ke dalam rumah.
Tahu tidak akan berhasil mengejar orang itu, ternyata Sebun Soh lekas kembali, teriaknya:
"Hayolah kalian periksa sekali lagi sekeliling tempat ini, waspadalah bila maling itu ada membawa
kaki tangan!" Pernah dua kali Kwi-hwe-thio mengantar arang ke gedung markas Gi-lim-kun, yang paling
dihafalkan letaknya adalah dapur, tanpa terasa ia langsung menuju ke dapur. Di dalam dapur sang
koki dengan seorang pembantunya sedang masak, sekali berkelebat Kwi-hwe-thio menyelinap ke
belakang tumpukan keranjang arang yang diletakan di pojokan dapur sebelah samping, ternyata
kedua orang sedikit pun tidak tahu!
Kwi-hwe-thio menjadi rada heran, batinnya: "Tengah malam buta rata, meski Pakkiong Bong
ingin makan juga tidak perlu koki besar turun ke dapur sendiri!"
Tengah ia merasa keheranan, tampak seorang pelayan kecil melangkah masuk sembari


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata: "Hidangan sudah siap seluruhnya belum?"
Koki besar segera menjawab: "Panggang bebek belum lagi masak, paha kambing pun belum
sempat kuberi bumbu. Kenapa tergesa-gesa?"
"Tidak perlu tergesa-gesa," ujar pelayan kecil itu, "Tayjin suruh kau bekerja lebih tekun,
terlambat sedikit tidak menjadi soal asal hidangan serba lezat. Beliau hanya menyuruhku kemari
melihat keadaan sembari memberitahu kepada kau supaya menyiapkan pula seguci arak
simpanan!" "Aku tahu. Tamu agung siapa yang datang?" tanya sang koki.
"Siapa tamu Ciong-ling, masakah aku berani mencuri lihat ke atas loteng?"
"Pendek kata setiap kedatangan tamu kita sendiri yang harus banting tulang. Tengah malam
buta rata harus bangun bekerja berat lagi, menyebalkan!" demikian gerutu sang koki.
Ternyata koki besar ini diundang Pakkiong Bong dengan bayaran yang cukup besar, para koki
ternama di Pakkhia memang mempunyai aturan tradisi yang turun temurun, tuan rumah
menganggapnya dan melayaninya sejajar dengan tamu-tamu umumnya. Terutama koki paling
mengutamakan gengsi dan harga diri, biasanya bahwasanya ia jarang turun ke dapur sendiri,
apalagi tengah malam buta rata disuruh turun dapur memasak, selamanya belum pernah terjadi,
maka ia menggerutu menyatakan rasa tidak senangnya.
Pelayan kecil itu tidak berani banyak bacot, cepat ia mengundurkan diri. Berpikir Kwi-hwe-thio:
"Tempat tinggal Pakkiong Bong di sebelah mana aku masih belum tahu, kebetulan aku bisa
menguntit pelayan ini yang hendak pulang memberi laporan, bukan mustahil di sana aku bisa
mendapatkan sesuatu berita!" Baru saja ia hendak mengeloyor keluar, mendadak didengarnya di
luar pintu ada suara orang.
Koki besar mengerutkan alis, omelnya: "Ada urusan apa ribut-ribut di luar, di waktu aku bekerja
paling pantang ada keributan. Coba kau keluar melihatnya!"
Busu yang hendak memeriksa ke dalam berwatak kasar dan berangasan, begitu memasuki
pintu dapur lantas berteriak: "Tempat kalian ini adakah orang asing yang masuk kemari?"
Pembantu koki itu terkejut, jawabnya: "Dalam dapur hanya toa-suhu dengan aku, orang asing
masakah bisa masuk kemari?"
"Soalnya di luar taman sana ada kemasukan maling, Sebun Tayjin kuatir masih ada kaki tangan
maling yang menyelundup masuk sembunyi ke dalam rumah."
Koki besar memangnya sedang uring-uringan, segera ia memapak ke depan dan bertanya:
"Kapan terjadinya?"
"Baru saja berlangsung, kira-kira setengah jam ini."
"Satu jam yang lalu aku sudah berada di dapur ini, belum pernah meninggalkan tempat kerjaku
ini, kecuali mataku sudah buta, masakah si maling bisa bersembunyi di belakang kelopak mataku"
Tiada halangan kalian masuk kemari memeriksa, kalau sampai menumpahkan segala apa yang
tersedia di sini dan membuat bingung aku sehingga racikan tidak merata dan membuat hidangan
tidak enak rasanya, aku tidak akan bertanggung jawab!"
Di saat mereka sedang berdebat di ambang pintu secara diam-diam Kwi-hwe-thio merunduk
keluar dari tempat persembunyiannya, tanpa sungkan-sungkan ia meraih sepotong daging
kambing terus dijejalkan ke dalam mulut, tidak lupa ia tenggak pula setengah botol arak simpanan
yang paling baik mutunya, baru dengan rasa puas ia menyelundup keluar dari sebelah belakang.
Baru sekarang busu itu insyaf bahwa koki ini berwatak buruk, setelah memeriksa sekadarnya,
terus ia minta diri dan mengeloyor pergi.
Koki besar sedang tertawa dingin mengantar punggung si busu, mendadak pembantunya
bersemu heran, katanya: "Sebotol arak ini kenapa tinggal separuh?" Ternyata waktu ia angkat
botol arak itu, rasanya kok lebih enteng, baru sekarang ia tahu botol arak yang masih baru itu
Senopati Pamungkas 10 Kucing Suruhan Karya S B Chandra Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 8
^