Pencarian

Kelana Buana 25

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 25


Berlinang air mata Hun Ci-lo, katanya tegas: "Baik, aku ikut kau pergi. Tapi aku harus beritahu
kepada tuan rumah lebih dulu, harap tunggulah aku di sini sebentar." Dalam hati ia membatin:
"Biar ibu angkat dan bibi yang mengasuh orokku itu, kukira tidak perlu aku banyak kuatir."
Setelah bertemu dengan Han Wi-bu, Toan Siu-si sudah tahu bahwa Hun Ci-lo belum lama baru
melahirkan bayinya, sampai sekarang belum cukup seratus hari. Maka ia berkata: "Sebetulnya aku
hendak membawa putramu kemari, namun jalan terlalu jauh, musuhku pun amat banyak, aku
kuatir bila terjadi perkara di tengah jalan, maka terpaksa kuundang kau menjemputnya ke sana.
Entah bagaimana kondisi badanmu sekarang, tempat sejauh ini harus ditempuh melalui jalan
pegunungan dan menyeberangi sungai yang sulit dicapai dalam waktu pendek. Kalau kau
sekarang tidak leluasa berangkat, boleh ditunda lagi satu dua bulan, kukira belum tentu bakal
terjadi sesuatu di luar dugaan."
"Suhengmu sedang sakit, meski di tempat yang tersembunyi, bukan mustahil dapat dilihat
orang. Urusan tidak boleh ditunda-tunda lagi, lebih baik besok juga aku harus berangkat. Di Tayli
sekaligus aku bisa mengasuh putraku dan merawat luka-luka suhengmu, supaya kau leluasa
mencari musuhmu menuntut balas."
"Baik, begitupun baik."
Di saat Hun Ci-lo hendak ajak Toan Siu-si pulang ke rumah keluarga Lau, belum lagi keluar dari
hutan pohon Bwe, dari kejauhan lapat-lapat seperti terdengar suitan panjang yang mengalun di
tengah angkasa. Begitu mendengar suitan itu seketika Hun Ci-lo melengong, jantung seketika berdetak keras,
pikirnya: "Memangnya aku salah dengar" Masakah dia yang datang?"
Toan Siu-si pun unjuk rasa heran dan kaget, katanya: "Dari nada suitan ini lwekang orang ini
teramat tinggi, entah tokoh kosen siapakah dia?"
"Naga-naganya suara suitan Miao Tiang-hong."
"Benar, Miao Tayhiap ada meyakinkan Liong-ling-kang (pekik naga), kukira pasti dia. Aih, kau
dengar, agaknya dia kebentur musuh tangguh, mereka sedang bertempur sengit!"
Hun Ci-lo himpun semangat mendengarkan dengan seksama, memang samar-samar
didengarnya suara bentrokan senjata keras, pikirnya: "Selama aku kenal Miao-toako, belum
pernah kulihat dia menghadapi musuh menggunakan senjata. Kini dia harus menggunakan
pedang, pastilah musuh yang dia hadapi teramat tangguh!"
Toan Siu-si masih ingat akan pertolongan Miao Tiang-hong di waktu ia bentrok dengan Su-haysin-
liong Ki Kian-ya dan Nyo Bok di warung makan Tan Tek-thay dulu, maka ia berkata: "Miao
Tiang-hong ada tanam budi kepadaku, kini dia menghadapi musuh tangguh, mana boleh aku
berpeluk tangan. Hun-lihiap, mari kita tengok ke sana."
---ooo0dw0ooo--- Kembali kita ikuti perjalanan Miao Tiang-hong, hari itu ia sudah sampai di Pak-bong-san,
selayang pandang, kembang Bwe di seluruh pelosok gunung sedang mekar semerbak, teringat
akan kejadian di Tong-ting-san barat dulu, hatinya bertambah rawan dan hambar. Di tengah ia
beranjak dengan hati hampa itulah, tiba-tiba dari balik hutan sebelah sana didengarnya
percakapan dua orang. Seorang sedang berkata: "Hun Ci-lo si sundal busuk itu boleh kau bawa pulang, bini Siau Kenghi
itu kau harus serahkan kepadaku untuk menghukumnya."
Suara serak tua yang lain segera menjawab: "Lau In-long berkepandaian tinggi, kedatangan
kita kali ini sekali-kali jangan menilainya terlalu rendah!"
Orang yang bicara duluan berkata pula: "Hun Ci-lo baru melahirkan belum cukup seratus hari,
ilmu silatnya pasti sudah ketinggalan, dengan kekuatan kita berdua, masakah takut tidak kuasa
menghadapi Lau In-long dan perempuan galak itu?"
"Walau kita cukup perhitungan, namun harus hati-hati juga. Lebih baik kalau bisa seperti
katamu, tanpa bantuan si rase tua itu, kita sudah bisa membereskan tugas berat ini."
Mana Miao Tiang-hong sabar mendengar orang menghina Hun Ci-lo yang amat dia hormati itu"
Seketika ia naik pitam, segera ia unjukan dirinya sambil tertawa dingin melangkah lebar, langsung
ia songsong kedatangan kedua orang itu.
"Siapa" Berhenti di tempatmu!" Suara serak tua itu membentak. Di tengah suara bentakannya
itu tiga butir biji teratai besi tahu-tahu sudah melayang datang.
Ketiga Thi-lian-cu ini meluncur bagai bintang meteor jatuh, begitu tiba di depan Miao Tianghong
mendadak bisa berpencar ke tiga jurusan, lalu dari jurusan yang berlainan itu belok balik,
masing-masing mengarah Thay-yang-hiat di pelipis, Hian-ki-hiat di dada, dan Kiat-im-hiat di
bawah pusar, sekali sambitan tiga senjata rahasia, tiga sasaran penting sekaligus menjadi incaran
tepat. Miao Tiang-hong tahu gerakan timpukan senjata rahasia seperti ini, keruan hatinya kaget,
batinnya: "Kiranya orang dari keluarga Tong di Sujwan." Tanpa ayal segera ia kerahkan jari
saktinya Tam-cin-thong, jari-jarinya menjentik tiga kali, ketiga butir biji teratai besi itu kena
disentil jatuh. Meski ia berhasil menjatuhkan senjata rahasia musuh, namun jari sendiri pun terasa
linu pedas. Kejadian berlangsung amat cepat, kejap lain kedua orang itu sudah muncul di hadapan Miao
Tiang-hong. Seorang adalah kakek tua berjenggot panjang berlengan lebar seorang lagi adalah
laki-laki pertengahan umur yang berpakaian ketat dengan gerak-geriknya yang tangkas dan gesit,
pada kedua sisi pinggangmya tergantung sepasang Boan-koan-pit.
Pakaian yang dikenakan orang tua itu amat aneh, baju bagian atasnya masing-masing terdapat
empat buah kantong, demikian pula sebuah kantong besar pula terdapat di punggungnya, kelima
kantong tampak penuh sesak, terang berisi berbagai macam senjata rahasia
Begitu melihat Miao Tiang-hong sekilas ia melenggong, namun cepat sekali ia sudah
berkakakan, serunya: "Ternyata Miao Tayhiap, aku tua bangka ini mohon maaf !"
Sementara Miao Tiang-hong menahan amarahnya, sekadarnya ia bersoja, katanya: "Tong
losiansing, selamat bertemu, selamat bertemu!"
Tidak luput dari dugaan Miao Tiang-hong semula, orang tua ini bukan lain adalah angkatan tua
dari keluarga Tong di Sujwan yang terkenal akan ilmu senjata rahasianya.
Berkata Tong Thian-chong: "Kalian berdua belum pernah bertemu bukan, saudara ini adalah
Lian-keh-pek-bi Lian Kam-peh."
Keluarga Lian seperti pula keluarga Tong merupakan keluarga persilatan turun temurun yang
kenamaan juga, terutama Su-pit-tiam-pat-meh merupakan kepandaian tunggal dari bulim, di
antara anak murid dari keluarga Lian ini, cuma Lian Kam-peh seorang saja yang betul-betul
berhasil mewarisi kepandaian leluhurnya, oleh karena itulah dia dijuluki Lian-keh-peh-bi (si alis
putih dari keluarga Lian).
Seperti diketahui Lian Kam-peh pernah meluruk ke Tong-thing-san membuat onar, akhirnya
digebah lari lintang pukang oleh Hun Ci-lo dan Siau-hujin. Kejadian itu diketahui oleh Miao Tianghong.
Segera ia berkata dingin: "Sudah lama kagum. Kalian kemari untuk keperluan apa"'"
Seperti tertawa tidak tertawa Tong Thian-chong berkakakan, ujarnya: "Kenapa, Miao-Tayhiap,
kalau kau boleh datang memangnya kami tidak boleh?"
"Aku hendak menjenguk Siau-hujin, semasa hidup suaminya adalah teman baikku, namun
mereka jelas tiada punya hubungan persahabatan dengan keluarga Tong kalian."
"Siapa bilang aku punya hubungan dengan mereka suami istri?"
"Jadi Tong-locianpwe kenal baik dengan keluarga Lau?"
"Memangnya harus kenal dengan orang baru boleh berada di Pak-bong-san ini?"
Lian Kam-peh mendadak menimbrung: "Miao Tayhiap. kukira kau bukan mencari Siau-hujin,
kau hendak menemui Hun Ci-lo, bukan?"
"Kalau benar bagaimana" Kalau tidak kau mau apa?"
Tong Thian-chong tertawa dingin: "Waktu di Samho tempo hari aku ketemu Beng Goan-cau
yang baru keluar dari rumah keluarga Hun, hari ini di Pak-bong-san ketemu kau Miao Tayhiap.
Hehe, orang mengatakan Hun Cilo adalah si cantik laksana bidadari, usia sudah cukup tua, namun
masih tampak ayu rupawan, agaknya obrolan orang tidak bohong."
Lian Kam-peh terbahak-bahak, oloknya: "Sudah tentu benar, kalau kembang tidak harum mana
bisa memancing kupu dan kumbang?"
Sungguh amarah Miao Tiang-hong tak terkendali lagi, hardiknya gusar: "Tutup mulut!"
Tong Thian-chong menarik muka, jengeknya dingin: "Selama hidupku lohu tidak pernah
dibentak orang! Kenapa, aku mengumpat Hun Ci-lo, memangnya melukai hatimu!'
"Tong Thian-chong!" seru Miao Tiang-hong murka. "Kupandang kau sebagai bulim cianpwe,
terhadapmu aku menaruh sedikit sungkan. Sebaliknya kau ngaco belo bicara tidak karuan.
Memangnya setua ini usiamu, hidup pada badan babi atau anjing!"
Tong Thian-chong menyurut mundur dua langkah, bentaknya: "Miao Tiang-hong, berani kau
kurang ajar kepada lohu!" Sebagai ahli senjata rahasia, dengan menyurut mundur dua langkah,
terang dia sudah siap menyambitkan senjata rahasianya.
Tidak ketinggalan Lian Kam-peh pun melolos sepasang potlot-nya, katanya: "Potong ayam
masa perlu menggunakan golok kerbau. Tong-losiansing, biar aku dulu yang menghadapi Miao
Tayhiap yang mengagulkan diri sebagai laki-laki sejati ini! Miao Tiang-hong, biarlah aku aku bicara
terus terang kepadamu, kau kemari hendak menemui gendakmu, sebaliknya aku hendak
menangkap gendakmu itu."
"O, jadi kalian adalah cakar alap-alap pihak kerajaan, baik, biar aku pun bicara terus terang
kepada kalian, tipu muslihat dan intrik-intrik kalian sudah lama kudengar, memang aku ingin
menghajar antek-antek anjing alap-alap seperti kalian ini! Ayolah kalian maju bersama."
Bagi tokoh kosen persilatan paling pantang naik darah dalam pertempuran, tujuan Lian Kampeh
mengolok dan mencemooh supaya Miao Tiang-hong naik pitam, tak nyana hasilnya malah
sebaliknya, lekas sepasang potlotnya menggaris bundar satu lingkaran terus menubruk maju lebih
dulu seraya membentak gusar: "Orang she Miao, jangan kau takabur, kalau kau mampu
mengalahkan sepasang potlotku ini, boleh nanti kau belajar kenal dengan am-gi Tong-losian-sing."
Miao Tiang-hong menghimpun semangat mengerahkan hawa murni, menanti ujung potlot
lawan sudah menotok dekat, sekonyong-konyong ia gunakan tipu Kim-tan-toh-kak, dua jarinya
menjentik beruntun, "Creng, creng" seketika ia jentik miring ke kanan kiri kedua potlot musuh.
Hardiknya: "Silakan boyong keluar seluruh keahlianmu, biar aku layani dengan sepasang telapak
tanganku, coba kau dapat berbuat apa terhadapku."
Lian Kam-peh amat kaget akan kehebatan Tan-ci-sin-thong lawan, namun ia pun
mengandalkan kepandaian ilmu totoknya yang lihay tiada bandingan di seluruh kolong langit,
meski kaget, namun sedikit pun ia tidak menjadi gugup. Sebat sekali potlotnya sudah putar balik,
ujung potlotnya menukik dan menuding naik dengan gerak serangan lain yang lebih hebat. Jurus
perubahan ini dilakukan dalam waktu yang amat cepat dan aneh lagi, tampak dari berbagai
penjuru angin, bayangan ujung potlotnya berlapis-lapis, seolah-olah ada beberapa orang Lian
Kam-peh yang sekaligus menyerang bersama dari sekelilingnya.
Mau tidak mau bercekat juga hati Miao Tiang-hong, pikirnya: "Keng-sin-pit-hoat dari keluarga
Lian memang tidak bernama kosong!"
Harus diketahui bahwa Keng-sin-pit-hoat adalah ilmu warisan keluarga Lian, merupakan ilmu
totok dengan sepasang potlot baja yang tiada keduanya di seluruh dunia. Letak kelihayannya pada
totokan yang dapat melukai Kikeng-pat-meh di badan lawan, betapapun tinggi Iwekangnya tidak
akan kuasa melawannya. Jurus-jurus permainannya yang paling hebat dinamakan Su-pit-tiam-patmeh,
dua orang bergabung sekaligus menggunakan empat batang potlot, dalam satu jurus,
berbareng dapat menyerang Ki-keng-pat-meh lawan. Turun temurun keluarga Lian mengandal
ilmu totoknya yang lihay ini malang melintang dalam bulim, selama puluhan tahun, hanya ayah
Kim Tiok-liu saja yaitu Kim Si-ih seorang yang mampu memecahkan Su-pit-tiam-pat-meh dari
Keng-sin-pit-hoat ini. Untung sekarang Lian Kam-peh hanya seorang diri, tidak mungkin dia bisa melancarkan jurusjurus
dari Su-pit-tiam-pat-meh itu, terpaksa dia hanya mampu melancarkan Su-pit-tiam-pat-meh
dengan kedua potlotnya itu. Tapi meski kekuatannya jauh ketinggalan, perbawanya toh cukup
hebat juga. Di antara berkelebatnya bayangan pukulan dan ujung potlot, Lian Kam-peh melintang silangkan
sepasang potlotnya sembari mendorong ke depan. Potlot kiri menotok ke empat hiat-to yang
terletak pada Jin-toh, sementara potlot kanan menotok tiga jalan darah besar di Sau-yang dan
Bing-cang, cukup salah satu dari jalan darah itu tertotok, Miao Tiang-hong pasti terluka berat.
Tong Thian-chong menonton pertempuran seru ini di luar kalangan, melihat permainan seluruh
Keng-sin-pit-hoat Lian Kam-peh ini, diam-diam ia memuji dan bersorak dalam hati. Melihat
kehebatan totokan tujuh hiat-to yang telak ini, diam-diam Tong Thian-chong mengira Miao Tianghong
pasti bakal terluka parah pada salah satu urat nadinya.
Siapa tahu terdengarlah suara "Crang, creng" yang gencar seperti senar kecapi dipetik cepat,
sehingga orang lain yang mendengar sampai napas terasa sesak. Ternyata sekonyong-konyong
Miao Tiang-hong lompat tinggi melambung ke tengah udara, kesepuluh jarinya beruntun
menjentik bersama, bukan saja ia bikin ujung potlot lawan mental balik, malah sisa kekuatan
jentikan jari-jarinya berbalik mengincar tiga hiat-to besar di badan Lian Kam-peh. Dengan
jumpalitan ke belakang Lian Kam-peh meluputkan diri, di dalam kesibukannya sebat sekali ia
menyurut mundur setombak lebih, lapisan bayangan potlotnya yang bergulung tadi seketika
dibikin kocar kacir. Keruan Tong Thian-chong kaget dan berubah air mukanya, batinya: "Ilmu Tan-ci-sin-thong
keparat ini ternyata begini lihay dan lincah sekali, mungkin senjata rahasiaku pun tidak akan
mampu melukai dia! Maka sambil menonton ia putar otak, mencari akal cara bagaimana untuk
memperoleh kemenangan secara tak terduga-duga untuk menolong posisi Lian Kam-peh yang
sudah mulai terdesak di bawah angin.
Belum lagi Lian Kam-peh berdiri tegak, terdengar Miao Tiang-hong membentak: "Diberi tidak
membalas kurang hormat, nah kau pun rasakan kepandaian ilmu totok-ku!" Seolah-olah bagai
bayangan mengikuti bentuknya, belum lenyap suaranya, kedua jarinya tahu-tahu sudah menotok
tiba di Hong-hu-hiat di punggung Lian Kam-peh.
Dalam kerepotannya lekas Lian Kam-peh gunakan Ih-sing-hoan-wi, kedua potlotnya berputar
menusuk terbalik, diganti dengan tipu Heng-hun-toan-hong, walaupun gerakan perubahan
jurusnya ini dilakukan dengan mudah dan berkelit dengan cepat, tak urung terdengar "cret"
bajunya tahu-tahu sudah tertusuk berlubang. Untung kulit dagingnya tidak terkena totokan jari
Miao Tiang-hong. Setelah bergebrak beberapa jurus, diam-diam Miao Tiang-hong pun memuji dan kagum dalam
hati, pikirnya: "Untungnya hanya dia seorang menggunakan Siang-pit-tiam-su-meh, kalau di
antara anak murid keluarga Lian yang lain ada seorang yang punya kepandaian seperti dia, terang
aku tidak akan mampu menandingi Su-pit-tiam-pat-meh ini."
Umumnya senjata peranti menotok hiat-to semakin pendek semakin berbahaya. Kedua potlot
Lian Kam-peh ini panjangnya satu kaki delapan inci, sudah termasuk senjata terpendek di antara
senjata-senjata untuk menotok hiat-to. Tapi kali ini Miao Tiang-hong menotok dengan jarinya,
jauh lebih pendek dari kedua potlotnya. Kesepuluh jari-jari tangannya dapat dikem-bang tekuk dan
kaku lemas, setiap jari-jarinya seumpama pula sebatang potlot baja. Bagi pertarungan tokoh-tokoh
kosen, hanya terpaut setengah mili pun, apalagi adu kekuatan antara potlot dan jari sudah
menyerupai perkelahian bergumul layaknya, jauh lebih berbahaya. Lian Kam-peh sudah keluarkan
segala kemampuannya, namun hanya mampu bertahan membela diri, sedikit pun tidak mampu
menyerang, diam-diam ia mengeluh dalam hati.
Mana dia tahu, kalau hatinya sedang mengeluh, sebaliknya dalam pandangan Tong Thianchong
yang menonton di pinggir, diam-diam ia merasa di luar dugaan. Karena Tong Thian-chong
memperhitungkan, paling lama dia hanya mampu bertahan sepuluh jurus, namun kini tiga puluh
jurus sudah lewat. Ternyata dasar watak Miao Tiang-hong memang suka ilmu silat, melihat Keng-sin-pit-hoat dari
keluarga Lian memang merupakan kepandaian tunggal di bulim, maka ia berpikir dalam hati:
"Sayang keturunan keluarga Lian tiada seorang ahli waris yang dapat ditonjolkan, cuma Lian Kampeh
seorang yang boleh dipandang sebagai murid yang terpandai. Intisari dari Su-pit-tiam-patmeh,
selama hidupku ini mungkin tidak berjodoh untuk menikmatinya lagi, sungguh harus
disesalkan. Kalau tidak bisa memperoleh pokoknya biarlah aku mendapat apa adanya, aku harus
memberi kesempatan kepadanya supaya mempertunjukkan seluruh kepandaian Siang-pit-tiampat-
mehnya itu, hitung-hitung aku memperoleh hasil yang lumayan juga!" Justru karena dia
berniat mencuri lihat keseluruhan dari ilmu totok keluarga Lian ini, maka Lian Kam-peh baru
mampu bertahan sedemikian lama.
Tong Thian-chong pun seorang persilatan yang berpengalaman, setelah menonton sekian
lamanya, akhirnya dia paham juga akan maksud hati Miao Tiang-hong. Sembari menggenggam
senjata rahasia yang sudah dia siapkan, diam-diam hatinya tertawa geli. Sebetulnya begitu melihat
Lian Kam-peh menghadapi bahaya, ia sudah siap hendak menolongnya dengan timpukan amginya,
kini malah tidak perlu ia turun tangan lagi.
Meski sedang bertempur tapi pandangan dan pendengaran Miao Tiang-hong tetap jeli dan
memperhatikan sekelilingnya, sedikit pun ia tidak mengendorkan kesiagaan-nya, ia amat waspada
kepada Tong Thian-chong yang sedang menonton dari luar kalangan. Karena dimabuk oleh jalan
pikirannya, tanpa merasa perasaan hatinya terunjuk pada seri wajahnya, mimik wajah orang inilah
yang selalu diperhatikan oleh Miao Tiang-hong.
Melihat sorot mata dan ujung mulut orang yang menyungging senyuman penuh arti, seketika
tersadar pikiran Miao Tiang-hong, katanya dalam hati: "Aku memang terlalu ceroboh, musuh
tangguh di depan mata, mana boleh aku seenak sendiri menikmati pertunjukan ilmu silat orang
lain" Dari sikap tua bangka ini, agaknya ia sedang menunggu kesempatan, setelah tenagaku
terkuras oleh Lian Kam-peh, baru dia akan turun tangan mengambil keuntungan." Tatkala itu ilmu
Siang-pit-tiam-pat-meh yang diyakinkan Lian Kam-peh boleh dikata sudah delapan puluh persen
dilancarkan, terpaksa Miao Tiang-hong harus batalkan niatnya untuk memperhatikan ilmu lawan,
dan seketika ia mulai menyerang gencar dan turunkan tangan keji.
Permainan Lian Kam-peh sendiri sedang sampai jurus Kim-tiau-can-ci, potlot kiri bagai terbang
miring menyerang musuh, sementara potlot kanan tertekan turun ke bawah melindungi dada,
Miao Tiang-hong sudah mengincar dengan tepat, jari tengah tangan kanan segera menjentik
ujung polot kiri lawan, kelima jari-jari tangan kiri seperti cakar garuda, cepat sekali mencengkeram
ke pundaknya. Dalam menyerang kali ini sekaligus ia gunakan kombinasi dari Kim-na-jiu-hoat dan Tan-ci-sinthong,
setelah menjentik balik sebatang potlot lawan, jalan tengah Lian Kam-peh dengan
sendirinya terbuka lebar, maka tulang pundak menjadi sasaran empuk untuk diserang!
Di saat Lian Kam-peh terancam marabahaya oleh cengkraman jari tangan pada pundaknya itu,
tiba-tiba terdengar suara "Ting" sekali, ternyata Tong Thian-chong me-nyambitkan sekeping mata
uang tembaga, yang telak sekali membentur ujung potlot Lian-Kam-peh di tangan kiri.
Jari tengah Miao Tiang-hong sedang menuding ke arah lawan, ujung potlot terjentik miring, kini
tahu-tahu ujung potlot itu terbentur mata uang pula, dan mendadak berputar arah. Keruan Miao
Tiang-hong menjentik tempat kosong, kejadian justru teramat cepat, tahu-tahu ujung potlot lawan
sudah menusuk tiba di depan tenggorokannya.
Tong Thian-chong pasti akan menimpukkan senjata rahasia untuk menolong kawannya, hal ini
sudah dalam dugaan Miao Tiang-hong. Tapi cara timpukan senjata rahasia seperti itu, betul-betul
berada di luar dugaannya.
Maklumlah kalau senjata gelap musuh mengincar salah satu tempat penting di badannya, sejak
tadi ia sudah siap siaga, betapapun lihay senjata rahasia musuh dia pasti bisa melawannya. Kini
senjata rahasia itu malah mengarah senjata musuh yang lain, itu berarti membuat senjata musuh
berubah tipu untuk menyerang kelemahannya sendiri yang tidak terjaga sebelumnya, untuk


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapinya sudah tentu jauh lebih sulit. Cara yang dilakukan ini, bukan saja perlu dilandasi
lwekang yang tinggi, malah waktu yang digunakan pun harus tepat dan persis, sepersepuluh detik
pun tidak boleh kurang. Kalau tidak, sekeping mata uang tembaga sekecil itu bagaimana bisa
membentur ujung potlot yang terjentik miring sehingga putar balik balas menyerang ke tempat
lawan yang berbahaya" Meski ajaran ilmu silat Miao Tiang-hong amat luas dan dalam, banyak
pengetahuan dan pengalaman, cara timpukan senjata rahasia selihay dan hebat yang
menakjubkan ini, selamanya belum pernah ia saksikan.
Dalam bayangan tangan dan berkelebatnya ujung potlot yang berkutat itu, terdengar salah
seorang mendadak berteriak keras, terus terlempar setombak lebih! Bukan Miao Tiang-hong,
sebaliknya adalah Lian Kam-peh yang terjungkal jatuh.
Ternyata dalam detik-detik yang amat berbahaya itu, Miao Tiang-hong masih sempat
berkeputusan dan bertindak dengan cepat, lengan bajunya dikebut menggulung ujung p.otlot,
telapak tangan kiri dari mencengkram ia rubah jadi pukulan miring, dengan sengit ia gunakan
telapak tangannya seperti golok membacok.
Nyali Lian Kam-peh memang sudah ciut seperti burung
melihat gendewa, melihat pukulan miring Miao Tiang-hong
yang dahsyat ini, mana berani dia melawan" Saking kaget
dan takut, sigap sekali dengan segala kemampuannya ia
melompat mundur jumpalitan ke belakang. Gerak
badannya memang sudah tidak terkendali
keseimbangannya, ditambah gentakan tenaga pukulan
Miao Tiang-hong lagi, kontan ia terbanting jatuh dengan
kaki tangan menghadap langit.
Waktu Miao Tiang-hong menunduk, dilihatnya ujung
lengan bajunya pun tertusuk berlubang oleh ujung potlot
lawan yang runcing, untung dia bertindak cepat, diserang balas menyerang sembari
memusnahkan serangan lawan, memang tenggorokannya terhindar dari tusukan, hiat-to penting
di dada mungkin bisa tertusuk luka parah oleh lawan. Setelah lolos dari elmaut, tak urung
berdebar keras jantung Miao Tiang-hong. Segera ia tertawa dingin: "Tong-locianpwe, tadi sudah
kusuruh kalian maju bersama saja, kenapa main timpuk dengan sembunyi-sembunyi" Memangnya
tidak takut nama besar keluarga Tong kalian yang tenar sebagai ahli senjata rahasia nomor satu di
seluruh jagat kau sapu bersih?"
Berubah air muka Tong Thian-chong, namun ia menyengir dibuat-buat, katanya: "Miao
Tayhiap, senjataku tadi, kan tidak kutimpukkan kepada kau."
"O, kau tidak mengarah aku, jadi kau membantu aku" Kalau begitu aku harus berterima kasih
kepadamu. Lian Kam-peh, kawan tuamu ini sendiri membokong kau, maka jangan kau salahkan
aku bikin kau mencium tanah, silakan kau buat perhitungan kepadanya."
Sindiran tajam ini seketika membuat muka tua Tong Thian-chong merah padam, sampai Lian
Kam-peh sendiri pun merasa kikuk dan malu. Baru saja dengan gerakan ikan gabus mencelat
bangun lantas mendengar sindiran Miao Tiang-hong, maka sepasang matanya segera menatap ke
arah Tong Thian-chong tanpa bersuara.
Dari malu Tong Thian-chong jadi gusar, bentaknya: "Miao Tiang-hong, jangan kau pentang
bacotmu yang busuk, kau ingin berkenalan dengan kepandaianku, biar lohu beri kesempatan
supaya matamu melek. Lian Kam-peh, mundurlah kau istirahat, biar aku yang menghadapi!"
"Benar, kupikir kau sebagai bulim cianpwe yang kenamaan, tidak pantas bertingkah seperti
anak-anak yang suka malu-malu dan pura-pura belaka. Lebih baik majulah bersama supaya kau
nanti tidak main curang membokong dengan senjata gelapmu."
Tong Thian-chong mendengus, bentaknya: "Jangan putar bacot melulu, asal kau mampu
menghadapi beberapa macam senjata rahasia lohu, bersama Lian Kam-peh segera kami turun
gunung!" Seiring dengan kata-katanya, tangannya segera terayun, tiga batang bor terbang
dengan formasi segi tiga meluncur ketiga sasaran atas, tengah dan bawah di badan Miao Tianghong.
Miao Tiang-hong kira orang menggunakan cara timpukan aneh menyerang dirinya, keruan ia
me-lengak heran, pikirnya: "Aneh, kenapa tidak sehebat tadi?" Kiranya cara timpukan ketiga bor
terbang Tong Thian-chong ini meski terhitung serangan ganas dan hebat, kalau dilakukan orang
lain, sudah boleh terhitung ahli senjata rahasia nomor satu.
Bagi Tong Thian-chong sebagai ahli senjata rahasia nomor satu di kolong langit, timpukan
macam itu dianggapnya yang paling sepele dan biasa.
Siapa tahu, di saat pikiran Miao Tiang-hong belum lenyap, baru saja dia berniat menghadapi
timpukan tiga buah bor terbang lawan yang sepele dan biasa itu, sekonyong-konyong pandangan
matanya seperti kabur karena taburan bintik-bintik sinar kemilau di depan matanya, Bwe-hoa-ciam
yang tidak terhitung banyaknya laksana hujan deras tahu-tahu terbang melesat ke arahnya.
Bwe-hoa-ciam merupakan senjata rahasia yang paling ringan bobotnya, dibanding dengan bor
terbang yang berat itu, sudah tentu jauh sekali bedanya, seumpama kedua macam senjata rahasia
ini disambitkan bersama, tentulah bor terbang akan melesat tiba lebih dulu. Di luar tahunya bahwa
perya-kinan ilmu senjata rahasia Tong Thian-chong mempunyai keistimewaan dan kekhususannya
sendiri, ternyata Bwe-hoa-ciam melesat datang lebih dulu meski disambitkan belakangan.
Hebat memang kepandaian Miao Tiang-hong, dalam situasi yang gawat itulah badannya tibatiba
berkisar seperti gangsingan, baju yang dipakainya laksana layar berkembang tertiup angin
kencang, maka terdengarlah suara "Crat, crit" yang ramai tak henti-hentinya, segenggam Bwehoa-
ciam yang tak terhitung jumlahnya itu, semua menancap di atas bajunya.
Peristiwa terjadi teramat cepat, sementara ketiga buah bor terbang yang berformasi segi tiga
itu pun terbang ke arah dirinya, lekas Miao Tiang-hong menyedot nafas, kaki pun menjejak
sekuatnya sehingga badannya melambung tinggi ke tengah udara, bor terbang yang mengarah
bagian bawahnya mengenai tempat kosang, yang di tengah hampir saja menyerempet telapak
kaki sepatunya, sementara bor terakhir di bagian atas kena dikebut jatuh oleh lengan bajunya,
maka ketiga bor terbang itu menancap di atas tanah tetap dengan formasi segi tiga pula.
Sekonyong-konyong Miao Tiang-hong bersiul panjang di saat badannya meluncur turun,
seketika jarum-jarum yang menancap di atas bajunya bagai hujan deras sama rontok berjatuhan.
Tak terasa Tong Thian-chong berseru memuji: "Miao Tayhiap, Thay-ceng-khi-kangmu memang
hebat dan tidak bernama kosong."
Kembali ia ayun tangan, sekaligus enam batang pisau terbang ia sambitkan.
Melihat lubang-lubang kecil di bajunya, tak urung mencelos hati Miao Tiang-hong. Dilihatnya
keenam batang pisau itu meski disam-bitkan bersama, namun masing-masing meluncur simpang
siur dengan kecepatan yang berlainan. Naga-naganya sasarannya miring dan luput, namun kali ini
Miao Tiang-hong sudah tidak berani ayal lagi.
Dua pisau di depan terbang lewat dari kiri kanan Miao Tiang-hong, jaraknya paling sedikit ada
tiga kaki, menurut biasanya, bagi orang yang pandai menimpukkan senjata rahasia, sasarannya
tidak mungkin miring sedemikian jauh, keruan Miao Tiang-hong menjadi bingung, namun
sekonyong-konyong dirasakannya dari arah belakang terasa deru sambaran senjata tajam,
ternyata kedua batang pisau itu terbang balik, malah luncuran terbang baliknya itu lebih kencang!
Sementara barisan kedua dari dua batang pisau terbang lainnya kebetulan sudah melesat tiba
pula. Seketika Miao Tiang-hong terserang dari depan dan belakang bersamaan.
Untunglah Miau Tiang-hong tidak pernah pandang ringan musuhnya, sejak tadi ia sudah siaga,
lekas ia lolos pedangnya terus terayun balik, sekaligus ia pukul runtuh dua batang pisau terbang
yang menyerang dari belakang. Tangkas sekali tangan kiri seperti menggapai dengan gampang ia
raih sebatang pisau terbang, sementara dengan Hong-tiam-thau ia luputkan diri dari sambaran
pisau terbang yang lain pula. Sigap sekali ia timpukkan balik pisau di tangan kirinya, "Trang,
trang" dua batang pisau terbang di barisan ketiga dan terakhir ia pukul jatuh semuanya.
Walau keenam pisau terbang Tong Thian-chong ini dapat dipunahkan oleh Miao Tiang-hong,
entah dengan cara berkelit, memukul jatuh, namun cukup membuat dia kerepotan. Miao Tianghong
jadi berpikir: "Entah masih ada cara aneh apa pula yang diyakinkan tua bangka ini?" Otak
berpikir sementara kaki tangan bertindak dengan cepat, sebelum Tong Thian-chong sempat
menimpukkan senjata rahasia susulannya, mendadak ia menubruk ke arah Lian Kam-peh,
bentaknya: "Kata-kataku selalu boleh dipercaya, ayolah kalian maju bersama."
Sudah tentu Lian Kam-peh naik pitam, bentaknya gusar: "Kau kira aku mudah kau hina" Hm,
Hm, memang kau sendiri ingin mencari kematian, jangan kau salahkan kami main keroyok
kepadamu!" "Memangnya aku sendiri yang sudah menantang supaya kalian maju bersama, tidak perlu kau
main pura-pura belaka, mari kita buktikan, pihak mana mampus lebih dulu?" Dalam bicara itu,
secepat kilat beruntun ia sudah menusuk tujuh kali dengan ujung pedangnya mencecar Lian Kampeh.
Lian Kam-peh sendiri mengandal bantuan kuat ada di samping, maka barulah dia berani
menghadapi serangan Miao Tiang-hong. Bahwasanya tadi ia sudah merasakan kelihayan Miao
Tiang-hong, meski lahirnya ia unjuk rasa gusar yang meluap-luap, seolah-olah hendak adu jiwa
sama Miao Tiang-hong, sebetulnya hatinya sudah jeri dan takut.
Dengan pedang berada di tangannya, sudah tentu Miao Tiang-hong lebih leluasa dan lebih lihay
dibanding waktu ia bertangan kosong tadi, terpaksa Lian Kam-peh harus keluarkan seluruh
peryakinan ilmu silatnya, sekuat tenaga punahkan ketujuh serangan berantai lawan, namun setiap
jurus dari tujuh tusukan hebat itu selalu mengancam jiwanya, saking takut dan kagetnya
badannya basah kuyup oleh keringat dingin. Namun rangkaian ilmu pedang Miao Tiang-hong
sambung menyambung bagaikan gelombang air sungai besar bergulung-gulung tidak putus-putus,
jalan mundur di depan belakang dan kanan kiri Lian Kam-peh sudah terbendung oleh lingkaran
sinar pedang lawan, ingin dia menerjang keluar dari kepungan lingkungan sinar pedang dan
sembunyi ke belakang Tong Thian-chong, namun sudah terlambat dan tidak mungkin lagi.
Bahwa Miao Tiang-hong sengaja menarik Lian Kam-peh dalam pertempuran seru ini, memang
supaya Tong Thian-chong serba salah jika menyerang dengan senjata rahasianya. Tak habishabisnya
cara timpukan aneh yang dikembangkan oleh Tong Thian-chong. Miao Tiang-hong tahu
bila pertempuran berlangsung lama, ia sendiri tidak begitu yakin bisa selalu meluputkan diri dari
serangan gencar musuh. Tong Thian-chong menonton sesaat lamanya, setelah jelas akan gerak langkah dan ilmu
pedang Miao Tiang-hong, dilihatnya pula Lian Kam-peh memang sudah terdesak segera ia
menyeringai dingin, serunya: "Miao Tiang-hong, kau kira dengan caramu ini kau bisa bikin aku
kerepotan untuk turun tangan" Hehe, kau belum tahu kelihayan senjata rahasia dari keluarga
Tong kami! Lihat piau!"
Gerakan serangan senjata rahasianya memang amat menakjubkan, tiga buah pisau laksana
tumbuh mata saja, semua mengarah tepat kepada Miao Tiang-hong, sampaipun ke mana posisi
Miao Tiang-hong berkelit pun sudah dalam perhitungannya. Meski Miao Tiang-hong sedang
merangsak Lian Kam-peh dengan sengit, senjata rahasianya tidak usah kuatir bakal salah melukai
Lian Kam-peh. Akan tetapi walau senjata rahasianya tidak kuatir melukai Lian Kam-peh, betapapun gerakan
timpukan simpanannya yang lebih lihay dan aneh-aneh itu tidak bisa dia kembangkan.
Umpamanya gerakan Boanrthian-hoa-ih (hujan kembang di angkasa) dengan timpukan Bwe-hoaciam,
rangkaian senjata rahasia saling bentur dan beradu menyerang tempat-tempat yang tidak
terduga oleh lawan, serta gerakan dan cara-cara lain pula. Kalau dia nekad menggunakan ilmunya
ini untuk menggasak Miao Tiang-hong, bukan mustahil Lian Kam-peh pun ikut terluka.
Tujuan Miao Tiang-hong tercapai separuh, namun dinilai dari keseluruhannya, betapapun dia
masih berada di pihak yang terdesak, lebih banyak berbahaya daripada keuntungannya.
Memang bila menghadapi serangan biasa Tong Thian-chong, ia cukup berkelebihan untuk
melayaninya. Tapi karena harus menghadapi sergapan dan serangan gelap senjata rahasia Tong
Thian-chong, mau tidak mau ia harus kerahkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Lian Kampeh.
Sudah tentu lama kelamaan Miao Tiang-hong rasakan tekanan dari rangsakan kedua tokoh
kosen yang mengerubutinya semakin berat, bukan saja Keng-sin-pit-hoat keluarga Lian
merupakan ilmu tunggal yang lihay dari bulim, ia harus selalu waspada terhadap senjata gelap
Tong Thian-chong, betapa pun tangguh dan tinggi Iwekangnya, lama kelamaan tenaga pasti
terkuras habis dan terasa semangat tempurnya semakin kendor.
---ooo0dw0ooo--- Waktu Toan Siu-si dan Hun Ci-lo lari turun gunung, belum lagi keluar dari bilangan hutan
kembang Bwe, tiba-tiba terdengar pula suitan panjang, namun suitan panjang kali ini
berkumandang dari atas gunung.
Keruan Hun Ci-lo amat kaget, teriaknya: "Celaka!"
"Apanya celaka?" tanya Toan Siu-si tidak mengerti.
"Itu bukan suitan Miao Tiang-hong."
"Benar, suara suitan ini bernada tebal seperti suara orang tua. Lekas kau pulang, mungkin
kawanan cakar alap-alap yang meluruk datang tidak serombongan. Miao Tayhiap di bawah sana,
biar aku yang membantunya!"
Apa yang terpikir oleh Toan Siusi terpikir pula oleh Hun Ci-lo, dan lagi setelah dia menenangkan
hati, masih sempat pula didengarnya dengan jelas bahwa suara suitan itu terang suara dari ayah
angkatnya Lau In-long. Ia tahu ayah angkatnya adalah seorang pendekar bulim yang mengasingkan diri, namun
sampai di mana taraf kepandaian silatnya, dia sendiri belum pernah melihatnya, begitu mendengar
suara suitan datang dari rumahnya, keruan hatinya menjadi bingung dan gugup, cepat ia berkata:
"Baik, setelah kau gebah kawanan cakar alap-alap itu, lekas naik ke atas, setelah pukul mundur
musuh, segera kita akan memapak ke bawah!"
---ooo0dw0ooo--- Tidak luput dari dugaan Toan Siu-si, kawanan cakar alap-alap yang datang ternyata memang
tidak hanya serombongan, di saat Miao Tiang-hong menghadapi kerubutan musuh-musuh
tangguhnya, saat itu pula di rumah keluarga Lau In-long sedang terjadi suatu keributan yang
hampir menewaskan anak Hun Ci-lo.
Seperti diketahui Lau In-long gemar main catur, karena terlalu iseng tinggal di rumah, maka
mereka suami istri selalu menghabiskan waktu dengan main catur.
Kepandaian main catur istrinya terpaut jauh dibanding dirinya, sebaliknya Siau-hujin merupakan
seorang ahli dalam permainan ini, maka sejak kedatangan Siau-hujin, barulah Lau In-long
terhitung ketemu lawan setanding
Pagi hari itu, ia pun ajak Siau-hujin main catur pula, baru saja menang setengah mainan, sudah
tentu ia semakin getol. Siau-hujin lantas berkata: "Loyacu, caturmu semakin lihay, aku harus
terima kalah!" "Ah, masa, aku tahu barusan sengaja kau mengalah kepadaku, belum masuk hitungan!"
Siau-hujin tertawa geli, katanya: "Dengarlah, cucumu sedang ribut, biar aku pergi
mengasuhnya sebentar, nanti sebentar kutemani kau main lagi."
"Ci-lo ke mana?" tanya Lau In-long.
"Dia sedang keluar, mungkin sedang latihan pedang di hutan Bwe, masa kau tidak tahu?"
Ternyata waktu Hun Ci-lo pamitan mau keluar tadi, Lau In-long sedang peras otak pikirkan
pemecahan biji-biji caturnya yang terdesak, maka ia tidak hiraukan kejadian lainnya. Setelah Siauhujin
menjelaskan baru ia tahu, keruan ia bergelak tertawa: "Aku ini memang sudah pikun. Baik,
keluarlah tengok bocah itu, biar kubereskan biji-biji catur ini!"
Lau Hujin sedang menggendong orok kecil itu sambil digoyangkan pergi datang, mulut pun
bernyanyi-nyanyi kecil, tapi orok itu malah menangis semakin hebat.
Siau-hujin kebetulan keluar, katanya: "Kelihatannya mestika kecil ini sudah lapar. Berapa lama
Ci-lo pergi, kenapa sampai sekarang belum juga pulang?"
"Dia pergi latihan pedang di hutan Bwe, mungkin sebentar pulang. Biar kusuapi air susu
menjangan saja. Tolong kau bopong sebentar, aku pergi mengambilnya."
Baru saja ia hendak serahkan orok kecil itu kepada.Siau-hujin, tiba-tiba terdengar langkah kaki
mendatangi, jalannya cepat dan enteng, di tengah jerit tangis sang bayi hampir tidak terdengar,
setelah orang tiba di depan pintu barulah jejaknya diketahui.
Lau Hujin berseru senang: "Ci-lo, kebetulan kau sudah pulang. Lekaslah kau susui anakmu."
Tak nyana "Biang" tiba-tiba pintu besar terdorong terbuka, orang dari luar itu menerjang
masuk, ternyata bukan Hun Ci-lo, tapi adalah seorang kakek tua yang bermulut monyong dan
berpipi tepos. Siau-hujin amat kaget, bentaknya: "Kau si rase tua ini kemari mau apa?" Kontan ia memapak
orang dengan pukulannya. Ternyata kakek tua ini bukan lain adalah Thong-thian-hou Coh Thian-hiong yang pernah
bergebrak dengan Siau-hujin dulu.
Gerak-gerik Coh Thian-hiong lebih tangkas dan cekatan dari Siau-hujin, begitu tiba di dalam,
lantas ia melihat tegas keadaan di dalam rumah, cepat ia rangkap kedua jarinya langsung
menotok ke muka Lau Hujin, sementara tangan yang lain merebut orok dalam pelukannya. Dia
perhitungkan Lau Hujin pasti harus melindungi orok itu, karena kuatir akan keselamatan orok kecil
itu, maka ia menyerang pada titik kelemahan orang lebih dulu.
Memang Lau Hujin juga bisa bersilat, namun tingkat kepandaiannya tidak tinggi, secara
mendadak dirinya disergap, betul juga dalam selintasan gebrak saja, orok dalam pelukannya tahutahu
sudah terebut oleh Coh Thian-hiong. Tapi dengan keras ia masih coba peluk orok kecil itu,
sehingga Coh Thian-hiong berkesempatan menceng-kram pergelangan tangannya dengan Taykim-
na-jiu-hoat, tanpa kuasa orok itu terpental lepas dari pelukannya, sementara Lau Hujin
tersungkur jatuh. Sayang pukulan Siau-hujin rada terlambat, orok yang terpental jatuh itu melayang ke arah lain.
Lekas Siau-hujin layangkan pukulannya, hendak merebut orok itu. Coh Thian-hiong membentak:
"Kalau kau tidak sayang jiwa orok kecil ini, ayolah maju!"
Dua pihak bergerak amat cepatnya, kalau salah satu pihak tidak mundur atau mengalah, begitu
orok itu jatuh pastilah bisa tertarik menjadi dua potong oleh mereka. Mana Siau-hujin berani dan
tega main rebut secara kekerasan dengan Coh Tay-hiong.
Untunglah kepandaian silatnya sudah mencapai taraf sesuai menurut keinginan hatinya, di
dalam detik-detik yang berbahaya, ia masih sempat menahan gerakannya sendiri. Meski ia tahu
bila orok itu terebut di tangan Coh Thian-hiong, orang pasti menggunakannya sebagai sandera,
tapi demi keselamatan orok itu sendiri, terpaksa ia mengalah saja.
Coh Thian-hiong bergelak tertawa, tangannya terulur meraih orok itu, tak nyana belum lagi
mulutnya terkatup, tiba-tiba ia menjerit kesakitan dan muntah-muntah. Bersama itu terasa
pergelangan tangan terasa linu, tanpa kuasa ia tersurut mundur tiga tapak. Ternyata Lau In-long
timpukkan tiga biji caturnya, dua biji memukul masuk ke dalam mulut dan merontokkan gigi, biji
yang lain telak sekali mengenai tangannya, keruan lengan kanannya seketika lemas lunglai, dua
giginya rontok. Orok kecil itu kembali melayang jatuh dan kebetulan kena diraih oleh Siau-hujin.
Orok kecil yang baru genap seratus hari ini mana tahu bila jiwanya terenggut kembali dari pintu
akhirat, di tengah udara berulang kali ia jumpalitan dan akhirnya kembali ke pelukan Siau-hujin,
mungkin dikiranya orang tua mengajaknya bermain dan berkelakar, semula masih menangis, kini
malah tertawa riang. Cepat sekali Lau In-long sudah memburu keluar, bentaknya: "Kau rase tua ini ganggu
permainan caturku, aku harus buat perhitungan kepada kau! Lihat pukulan!"
Coh Thian-hiong ahli dalam ginkang, tak nyana tidak kuasa meluputkan diri dari serangan tiga
biji catur lawan, kena dirugikan serunyam itu pula, keruan kaget dan gusar pula. Tapi julukannya
Thong-thian-hou, pikiran licik dan licin, ia paling pintar melihat angin putar haluan, begitu dirinya
kecun-dang, ia tahu bahwa lawan adalah musuh tangguh, seorang Lau In-long belum tentu dirinya
mampu menandingi, apalagi masih ada Siau-hujin yang berkepandaian lihay pula, lari adalah cara


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang paling mudah untuk menyelamatkan diri.
Lau In-long angkat papan caturnya terus mengepruknya. Coh Thian-hiong lekas berkisar
dengan gaya naga melingkar berputar langkah, berkelit sembari melarikan diri, langsung menuju
ke arah pintu besar. Didengarnya Lau In-long menghardik di belakang: "Kau bikin permainan
caturku kocar kacir, nih gendonglah papan caturku ini!" Seketika Coh Thian-hiong rasakan angin
kencang menubruk punggung, cepat ia melompat miring ke samping, belum lagi ia berdiri tegak,
punggungnya terasa seperti tertindih batu besar ribuan kati, saking kesakitan ia menjerit sejadijadinya,
darah menyembur keluar dari mulutnya.
Ternyata Lau In-long pukulkan dulu sekali Bik-khong-ciang, sebelumnya ia sudah perhitungkan
bahwa orang pasti akan berkelit ke samping pada posisi yang tertentu, maka ia papaki dengan
lemparan papan caturnya. Lwekang Lau In-long sudah mencapai puncak kesempurnaan, pukulan
Bik-khong-ciangnya kuat dan menderu keras, namun lemparan papan caturnya sebaliknya tidak
bersuara sedikit pun. Coh Thian-hiong tidak berani berpaling ke belakang, ia hanya andalkan
ketajaman pendengaran kupingnya, ia sangka dirinya sudah meluputkan diri dari timpukan senjata
rahasia orang, tak nyana dirinya justru terjebak dalam perangkap lawan dan kecundang secara
konyol. Saat mana Hun Ci-lo sedang lari pulang bagai terbang, kebetulan ia berpapasan dengan Coh
Thianhiong yang sedang lari pontang panting dari dalam rumah dengan luka-luka yang terasa
sakit bukan buatan. Hun Ci-lo mencabut pedang, "Sret" kontan ia papaki orang dengan tusukan
pedang ke dada lawan dengan tipu Giok-li-toh-so.
Saking kesakitan Coh Thian-hiong tengah rasakan pandangan matanya berkunang-kunang,
mana bisa ia meluputkan diri dari tusukan ini" "Cret" di mana ujung pedang mengiris lewat, lengan
kiri Coh Thian-hiong tergores luka panjang yang banyak mengeluarkan darah.
Namun betapapun lwekang Coh Thian-hiong jauh lebih tinggi dari Hun Ci-lo, karena kedua
lengannya terluka, terpaksa ia lintangkan sikutnya seraya menerjang, sehingga Ceng-kong-kiam di
tangan Hun Ci-lo tergentak mencelat dari ce-kalannya, sambil menggerung keras, bagai banteng
ketaton Coh Thian-hiong lari lintang pukang, sekejap saja bayangannya sudah menggelundung ke
bawah lereng bukit dan tidak kelihatan lagi.
Kuatir Hun Ci-lo berbadan lemah sejak melahirkan, dan kena dilukai oleh musuh, maka Lau Inlong
tidak mengejar musuhr terlebih dulu ia bantu Hun Ci-lo mema-yangnya bangun, tanyanya:
"Ci-lo, kau tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa. Sayang rase tua itu lolos juga. Anakku tidak apa-apa bukan?"
Lau In-long tertawa, ujarnya: "Tengoklah ke dalam, dia sedang tertawa gembira. Rase tua itu
terkena tusukan pedangmu, terhitung sudah melampiaskan penasaran hatimu, biarlah dia ngacir
pergi!" Lekas Hun Ci-lo berlari masuk dan merebut anaknya dari bopong-an Siau-hujin, katanya
tertawa: "Kau si mungil ini masih tertawa riang, tahukah kau jiwa kecilmu barusan berhasil
direnggut kembali oleh Kongkong?"
"Sudahlah, sekarang kau sudah kembali, ayolah temani aku main catur saja. Siau-toaso, akan
kutunjukkan kepadamu sebuah problem yang dinamakan Cap-ong-gia-be, apakah kau bisa
memecahkannya?" "Ayah, sekarang jangan kau tergesa-gesa main catur, ada sebuah tugas penting mohon
bantuanmu." "Ada urusan apa?" tanya Lau In-long.
"Miao Tiang-hong kebentur musuh tangguh di lamping gunung. Toan Siu-si sudah menyusul ke
sana untuk membantunya, tapi musuh bukan hanya satu orang saja, mungkin Toan Siu-si saja
belum mampu mengatasi keadaan!"
"Kalau toh sahabat lama yang datang, aku si tua bangka ini harus menyambutnya sebagai tuan
rumah. Baik, kalau pulang nanti barulah kita pecahkan bersama Cap-ong-gia-be itu."
Seorang diri- Miao Tiang-hong harus menghadapi kerubutan dua lawan tangguh, meski
lwekangnya tinggi, lama kelamaan tenaga terkuras habis dan keringat pun membanjir keluar.
Memang tidak malu Tong Thian-chong digelari ahli senjata rahasia nomor satu di seluruh jagat,
berbagai macam senjata rahasianya diberondong keluar semua tak putus-putus, semakin
menyerang semakin ganas, setiap biji senjata rahasianya seolah-olah tumbuh mata, semua justru
meluruk ke arah Miao Tiang-hong seorang, yang di ncar pun tempat-tempat penting di badannya,
tiada satu pun yang nyasar melukai Lian Kam-peh.
Karena berada di atas angin, bangkit kembali semangat tempur Lian Kam-peh, sepasang
potlotnya ditarikan bagai naga terbang burung hong menari. Setiap kesempatan ia gunakan untuk
menyergap dan membokong, ujung potlotnya selalu mengincar hiat-to mematikan di tubuh Miao
Tiang-hong. Dalam seribu kesibukan di tengah pertempuran sengit itu, karena harus meluputkan
diri dari sambaran senjata rahasia Tong Thian-chong, sedikit ayal, ujung potlot Lian Kam-peh
berkesempatan menyelonong masuk dan menusuk berlubang pangkal lengan bajunya. Saking
kegirangan melihat serangannya berhasil, Lian Kam-peh lantas sesumbar: "Bagus, sampai kapan
kau masih berani pongah! Lekaslah menyerah dan berlutut saja kepada tuan besarmu, biar
kusuruh Tong-loyacu mengampuni jiwamu."
Miao Tiang-hong gusar, sekonyong-konyong ia lancarkan sejurus serangan yang berbahaya, di
mana sinar perak berkelebat, ujung pedangnya tahu-tahu menusuk dari arah yang tidak terduga
oleh Lian Kam-peh. Melihat gelagat yang berbahaya ini, lekas Tong Thian-chong timpukkan
senjata rahasaianya untuk menolong Lian Kam-peh.
"Cras" bukan saja ujung pedang Miao Tiang-hong melubangi pakaian Lian Kam-peh, malah kulit
dagingnya pun ikut tertusuk luka berdarah. Walau bukan luka berat, namun deritanya jauh lebih
besar dari kerugian yang dialami Miao Tiang-hong tadi.
Sebetulnya timpukan senjata rahasia Tong Thian-chong ini masih sempat ia kelit, tapi kalau ia
meluputkan diri berarti membuang kesempatan untuk melukai Lian Kam-peh. Memangnya Miao
Tiang-hong berani bertindak senekad ini lantaran dia bertekad untuk membalas tusukan ujung
potlot orang, maka dia tidak sia-siakan kesempatan ini meski seandainya diri sendiri pun terluka
pula, oleh karena itulah secara kekerasan ia menyambuti senjata rahasia Tong Thian-chong.
Itulah sebatang piau terbang yang panjang lima dim, begitu Miao Tiang-hong menangkapnya,
tiba-tiba ia rasakan telapak tangannya seketika terasa panas membara seperti terbakar, lekas ia
kibaskan tangan membuangnya. Waktu ia menunduk, dilihatnya kulit telapak tangan sudah timbul
bintik-bintik kecil yang berair. Kiranya piau terbang milik Tong Thian-chong ini dinamakan Kat-cupiau
(piau kalajengking) sebelumnya sudah direndam dalam air beracun, begitu menyentuh
tangan racunnya bekerja, rasanya seperti orang disengat kala atau binatang berbisa lainnya.
Begitu tangan keracunan, meski tidak sampai membahayakan jiwanya, namun permainan pedang
Miao Tiang-hong sudah tidak selincah tadi.
Miao Tiang-hong menjengek dingin: "Ahli senjata rahasia nomor satu di kolong langit, kiranya
juga menggunakan senjata rahasia tingkat rendah ketiga!"
Karena olok-olok ini, dari malu Tong Thian-chong jadi gusar, katanya setelah mendengus:
"Yang menang dialah yang kuat, peduli apa aku menggunakan senjata rahasia apa" Kalau kau
takut, lekas menyerah saja."
"Kentutmu busuk. Semula kuhargai kau sebagai bulim cianpwe, bukan saja kau terima jadi
antek bangsa Tartar, kau gunakan cara hina dina seperti itu. Hm, kau tidak tahu malu, akulah
yang malu bagi kau."
"Miao Tiang-hong, kematian di depan mata, masih takabur apa kau?"
Miao Tiang-hong bergelak tertawa, serunya: "Mati seringan bulu atau seberat gunung Thaysan,
seorang laki-laki sejati tidak takut menghadapi kematian! Seumpama aku orang she Miao
betul-betul mati, jauh lebih bersih dan suci daripada anjing bangkotan seperti tampangmu ini.
Baik, kau tidak takut ditertawakan orang-orang gagah di seluruh dunia, silakan kau boyong keluar
semua senjata rahasiamu! Aku kuatir besar hasratmu bunuh aku, belum tentu bisa terlaksana
keinginanmu!" Berubah merah hijau dan pucat rona muka Tong Thian-chong oleh caci maki ini, seringainya
sadis: "Meski kubunuh kau dengan senjata rahasiaku, kecuali Lian Kam-peh seorang, siapa pula
yang tahu" Takut ditertawakan orang lain apa segala" Baik, anggapmu aku tidak mampu bunuh
kau, nah lihatlah kelihayanku!" Di tengah jengek dinginnya, kedua tangan ganti berganti terayun
saling susul, Thilian-cu, Bwe-hoa-ciam, Toh-kut-ting, Pia-hong-piau, Hwi-to, panah tangan dan
berbagai senjata rahasia besar kecil yang beraneka ragamnya sama meluruk ke arah Miao Tianghong
bagai hujan derasnya, semua senjata rahasia ini berlumuran racun.
Miao Tiang-hong kembangkan ilmu pedangnya yang peranti untuk mempertahankan diri
dengan rapat dan ketat, maka terdengarlah suara berdering yang ramai, karena kuatir salah
melukai Lian Kam-peh sendiri, ilmu tunggal timpukan senjata rahasia dari perguruan keluarganya
yang aneh-aneh tidak bisa dia kembangkan, namun demikian, sebatang Toh-kut-ting dan
sebatang panah tangan berhasil juga melesat masuk ke dalam lingkungan pertahanan sinar
pedangnya, hampir saja Miao Tiang-hong kena dilukai.
Semula Lian Kam-peh bertempur dengan cara berputar mengelilingi Miau Tiang-hong dan main
sergap dan bokong, begitu Miao Tiang-hong kembangkan pertahanan ilmu pedangnya, semua
senjata rahasia sama disampuk jatuh atau terpental ke berbagai arah, kuatir terluka oleh senjata
rahasia yang nyasar, maka jarak permainan Lian Kam-peh semakin jauh dari Miao Tiang-hong,
lambat laun, kedua potlotnya sudah tidak bisa mencapai badan Miao Tiang-hong lagi. Tapi
permainan kedua potlotnya justru semakin kencang, seolah-olah ia putar menjadi dua utas
bianglala perak, bukan untuk menyerang musuh, terpaksa dia harus menjaga diri dari segala
kemungkinan. Di antara lima kantong senjata rahasia Tong Thian-chong, hanya satu kantong saja yang
khusus untuk menyimpan senjata rahasia beracun, kini ia sudah pakai sebagian besar dari senjata
rahasianya itu, namun belum mampu melukai seujung rambut Miao Tiang-hong, keruan lama
kelamaan darahnya semakin mendidih, teriaknya: "Lian Kam-peh, kau mundurlah, bukan bantu
aku kau malah mempersulit aku saja!" Dengan adanya berondongan senjata rahasia Tong Thianchong
bagai hujan derasnya itu, Miao Tiang-hong jadi tak sempat lagi berusaha merintangi Lian
Kam-peh keluar dari gelanggang pertempuran.
Walau kedudukan Lian Kam-peh dalam bulim tidak setingkat dengan Tong Thian-chong, jelekjelek
punya nama dan tingkatan dalam keluarganya, mendengar kata-kata Tong Thian-chong,
keruan malu dan panas pula mukanya. Tapi demi keselamatan jiwa sendiri, terpaksa ia turuti
kemauan Tong Thian-chong, tanpa bersuara segera ia mundur dari tengah arena.
Di saat ia berlari ke arah Tong Thian-chong itulah, mendadak dari dalam hutan menerobos
keluar sesosok bayangan, orang menerjang ke arah dirinya.
"Siapa itu?" kontan Tong Thian-chong menghardik, dua batang Kat-cu-piau tahu-tahu ia
timpukkan memapak kedatangan orang itu.
Orang itu berseru lantang: "Toan Siu-si dari Tiam-jong sengaja melu-ruk datang ingin jajal
kepandaian senjata rahasia dari keluarga Tong kalian!" Sekali ulur dengan mudah ia sambuti
kedua batang Kat-cu-piau itu.
Begitu timpukkan senjata rahasianya, Tong Thian-chong lantas tertawa dingin: "Baik, kau ingin
jajal, biar kau rasakan sendiri. Sudah tahu kelihayanku tidak" ayolah roboh, roboh!"
Tak nyana setelah menyambuti kedua batang Kat-cu-piau tadi badan Toan Siu-si hanya
kelihatan sedikit limbung, namun tidak sampai jatuh, terdengar orang malah berkakakan:
"Ternyata tokoh yang digelari sebagai ahli senjata rahasia nomor satu sejagat dari keluarga Tong
menggunakan senjata rahasia rendah yang memalukan seperti ini. He he, aku cukup kenal
sekarang!" Di tengah gelak tawanya badannya beberapa kali lompat turun naik, tahu-tahu sudah
menubruk tiba di hadapan Tong Thian-chong.
Perlu di ngat bahwa Toan Siu-si sendiri pun melatih pukulan beracun, kalau Tong Thian-chong
gunakan senjata rahasia berbisa menyerang dia, menggunakan cara timpukan yang aneh dan
lihay lagi, mungkin Toan Siu-si tidak akan selamat. Kini dia gunakan Kat-cu-piau, racun menyerang
racun, begitu ia tangkap di tangannya, sedikit pun tidak menimbulkan reaksi apa-apa.
Tong Thian-chong tidak duga gerak-gerik orang sedemikian cepat dan tangkasnya, ia kira
begitu Toan Siu-si menangkap Kat-cu-piaunya dalam waktu singkat pasti roboh semaput, maka
timpukan senjata rahasia selanjutnya ia tidak tujukan kepada Toan Siu-si, tapi ia arahkan kepada
Miao Tiang-hong. Gerakan cepat Toan Siu-si memang di luar perhitungan Tong Thian-chong, senjata rahasianya
khusus untuk menyerang dari jauh tidak mungkin disambitkan dari jarak dekat, di saat ia hendak
putar badan untuk melayani Toan Siu-si sudah tidak keburu lagi.
Sembari menghardik, kedua telapak tangan Toan Siu-si ditarikan bersama. "Biar kau pun
berkenalan dengan kepandaianku! Hehe, kau hadapi aku dengan senjata rahasia beracun, jangan
kau salahkan bila aku menghajarmu dengan pukulan berbisa!"
Tong Thian-chong lintangkan tangan di depan dada, dengan sejurus Hud-hun-jiu ia tangkis
kedua pukulan tangan Toan Siu-si ke samping, "Aduh!" tahu-tahu mulutnya menjerit dar^
terpental jatuh setombak lebih.
Toan Siu-si terbahak-bahak, ia menubruk maju lagi hendak membekuknya, tiba-tiba ia dengar
Miao Tiang-hong berseru: "Toan-heng, awas!"
"Blum!" saat itu juga tahu-tahu sebuah senjata rahasia meledak di hadapan Toan Siu-si.
Ternyata itulah salah satu senjata rahasia Tong Thian-chong yang paling jahat dan ganas,
dinamakan Tok-hu-kim-ciam-liat-yan-tam, di dalamnya di si bahan peledak, begitu meledak
seketika menyemburkan asap tebal beracun, di antara kabut beracun yang bergulung-gulung itu
menyambar pula jarum-jarum kecil selembut bulu kerbau. Tadi karena kuatir melukai teman
sendiri, maka sampai sekarang baru dia gunakan.
Untung Miao Tiang-hong berseru memperingatkan tepat pada waktunya, di saat-saat segenting
itu, Toan Siu-si kembangkan ilmu gin-kangnya yang paling hebat, tiba-tiba badannya melambung
tinggi seperti burung dara jumpalitan di tengah udara, badannya melesat terbang ke samping,
terhindarlah dia dari semburan api. Namun demikian hidungnya sudah menyedot sedikit kabut
berbisa, dan terkena dua batang Bwe-hoa-ciam lembut itu.
Dua batang Bwe-hoa-ciam tidak mengenai hiat-to, tidak menjadi soal, namun sedotan kabut
berbisa itu, seketika membuat kepala Toan Siu-si pening dan mata berkunang-kunang.
Insyaf waktu amat berharga, di saat antara mati dan hidup ini, sedikit ayal saja senjata rahasia
Tong Thian-chong lainnya yang beracun segera bakal menyusul tiba pula, jiwanya tentu sukar
diselamatkan. Maka tanpa hiraukan dirinya sudah keracunan, lekas ia kerahkan hawa murni,
sementara ia tahan napas, secepat kilat menyambar, kembali ia menubruk balik, sehingga Tong
Thian-chong kerepotan dan tidak sempat timpukkan senjata rahasianya pula.
Tong Thian-chong sendiri pun takut menyedot kabut berbisanya sendiri, begitu ia timpukkan
senjata rahasianya, lekas ia menggelundung setombak lebih. Di saat baru saja ia melompat
bangun, Toan Siu-si sudah menyerang tiba pula, begitu kedua telapak tangan masing-masing
saling gempur, kedua pihak sama tergentak mundur satu langkah.
Ternyata Tong Thian-chong tadi hanya pura-pura terbanting jatuh, supaya lebih leluasa ia
gunakan senjata rahasianya. Dinilai dari peryakinan Iwekangnya, meski tidak lebih unggul dari
Miao Tiang-hong, namun tidak lebih asor dari Toan Siu-si.
Melihat orang beruntun dua kali terkena pukulan berbisanya tanpa kurang suatu apa, diamdiam
Toan Siu-si amat heran. Setelah ia awasi dengan seksama, barulah dia lihat bahwa Tong
Thian-chong mengenakan sarung tangan yang terbuat dari kulit menjangan. Maklumlah sebagai
ahli senjata rahasia nomor satu, kalau dia bisa melukai orang dengan senjata rahasia berbisa,
sudah tentu ia pun paham cara bagaimana menjaga diri. Sarung tangan dari kulit menjangan itu
memang khusus untuk menyam-buti senjata rahasia yang beracun, maka untuk menghadapi
pukulan berbisa Toan Siu-si, manfaatnya sama saja.
Lwekang keduanya setanding, Toan Siu-si menyedot sedikit kabut beracun, sedikit banyak
Iwekang-nya terpengaruh. Sebaliknya Tong Thian-chong tidak perlu kuatir menghadapi
serangannya, oleh karena itu tentu Tong Thian-chong berada di atas angin.
Tong Thian-chong terbahak-bahak, ejeknya: "Pukulan berbisa-mu tidak berguna, mengaku
kalah saja. Kau kan tiada hubungan kental dengan Miao Tiang-hong, kenapa kau sudi jual jiwa
bagi dia?" Toan Siu-si menghembuskan hawa kotor, kipasnya dikembangkan, tanpa banyak bicara ia cecar
lawan dengan sengit. Di sebelah sana, Miao Tianghong berhasil mengejar Lian Kam-peh, kembali mereka berhantam
dengan sengit untuk ketiga kalinya.
Lian Kam-peh cukup licin dan cerdik, melihat Tong Thian-chong unggul di atas angin, segera ia
berkeputusan mempertahankan diri saja tanpa balas menyerang, setelah Tong Thian-chong
mengalahkan Toan Siu-si pasti akan membantu dirinya. Keng-sin-pit-hoatnya memang cukup
tinggi dan ilmu tunggal dari bulim, walau Miao Tiang-hong setingkat lebih tinggi, untuk
mengalahkan orang dalam waktu pendek juga tidak mungkin.
Tong Thian-chong lancarkan ilmu Bian-ciang untuk layani musuhnya, di antara kekerasan
pukulannya mengandung kelunakan yang kuat dan dahsyat, bisa bertahan dapat balas
menyerang. Karena menyedot hawa beracun sehingga semangat Toan Siu-si semakin luluh,
keruan keadaannya semakin payah. Di tengah pertempuran seru itu, tiba-tiba Tong Thian-chong
lancarkan sejurus Yu-khong-hoan-jiau. "Cret" kipas Toan Siu-si tercakar sobek, serunya bergelak
tertawa: "Tanpa menggunakan am-gi, aku pun bisa kalahkan kau, kau tidak mau tunduk?" Ia tahu
Toan Siu-si berwatak keras dan suka menang, sengaja ia mengolok hendak bikin orang gusar.
Hakikatnya bila tadi ia tidak gunakan peluru beracunnya, paling-paling ia hanya setanding dengan
Toan Siu-si, kini sisa am-ginya tidak banyak lagi, babak selanjutnya ia harus menghadapi Miao
Tiang-hong pula, kalau sekarang pihaknya sudah unggul di atas angin, untuk menghemat, maka ia
mengumbar obrolan untuk membakar kemarahan musuh.
Ternyata Toan Siu-si kena dipancing, seketika naik darah dan memaki gusar: "Bangsat tidak
tahu malu!" Di mana ia gentakkan tangan, kipasnya yang robek tadi seketika mengunjukan tulangtulang
kipasnya yang terbuat dari besi kemilau, seperti anak panah menusuk ke arah Tong Thianchong.
Meski kipas itu sudah rusak, namun berada di tangannya merupakan senjata tajam yang
aneh dan luar biasa juga.
"Lho, mau adu jiwa ya?" jengek Tong Thian-chong dingin, kedua tangannya ditarikan dengan
gencar balas menyerang kepada Toan Siu-si sehingga lawan tidak berkesempatan balas
menyerang. Cara tempur Toan Siu-si terlalu membuang tenaga, memang semangatnya sudah
mulai luluh, karena rang-sakannya tidak berhasil lagi, lambat laun keadaannya semakin payah.
Tong Thian-chong mendapat peluang mengincar titik kelemahannya, mendadak ia menghardik
keras, serta menurunkan tangannya secara keji.
Dalam waktu Toan Siu-si berkutet dengan Tong Thian-chong ini, Miao Tiang-hong pun
mempergen-car serangannya kepada musuh. Agaknya ia sudah meraba jalan pikiran Lian Kampeh,
puluhan jurus kemudian, ilmu pedangnya berubah, semuanya kini dilancarkan dengan jurus
berbahaya dengan tipu-tipu yang ganas dan lihay, di mana ujung pedangnya tiba, yang di ncar
adalah hiat-to-hiat-to penting di tubuh Lian Kam-peh. Lian Kam-peh sendiri bergelar ahli totok
nomor satu di kolong langit, namun karena lwekang sendiri bukan tandingan lawan, kini malah
selalu dikunci dan di ncar oleh ujung pedang Miao Tiang-hong, hiat-to di badan sendiri selalu
terancam tusukan. Saking gencar rangsakan lawan, Lian Kam-peh sampai susah ganti napas, diam-diam hatinya
mengeluh. Mungkin belum sempat Tong Thian-chong memburu datang menolong tiba, dirinya
sudah terluka oleh pedang Miao Tiang-hong. Dalam pertempuran sengit itu, tiba-tiba pedang Miao
Tiang-hong menusuk datang, lekas Lian Kam-peh lintangkan kedua potlotnya di depan dada,
dengan sekuat tenaga ia menangkis dan punahkan serangan musuh, terdengar "Trang" kembang
api berpercik, potlot Lian Kam-peh tergores gumpil sedikit, saking kaget serasa jantungnya pecah,
ia kira jiwanya bakal celaka, tiba-tiba terasa angin kencang berkesiur, tahu-tahu Miao Tiang-hong


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melesat terbang dari samping badannya.
Karena harus menyelamatkan jiwa sahabatnya, maka Miao Tiang-hong tidak sempat melukai
musuh lagi. Dengan sejurus ilmu pedang yang teramat ganas dan lihay, ia desak mundur Lian
Kam-peh, lalu ia kembangkan ginkang tingkat tinggi Pat-pau-kan-sian (delapan langkah mengejar
tonggeret) secepat terbang menubruk maju ke depan. Kedatangannya sungguh amat tepai sekali,
saat itulah Tong Thian-chong sedang melancarkan serangan keji kepada Toan Siu-si yang
kepayahan. Sembari menghardik bagai guntur, dengan sejurus Beng-pok-kiu-siau, belum lagi kaki
menyentuh bumi, pedangnya sudah menusuk turun dari tengah udara.
Di tengah berkelebatnya bayangan pukulan dan sinar pedang yang berkutat itu, terdengar
suara "Krak", lengan kanan Toan Siu-si kena dipuntir copot tulangnya. Sementara Tong Thianchong
pun terluka oleh tusukan rangka kipas di bawah lambungnya. Luka-lukanya memang tidak
berat, namun darah bercucuran juga. Untung Tong Thian-chong sendiri tahu gelagat, meski
terluka ringan, ia masih sempat mengegos diri dari tusukan pedang Miao Tiang-hong yang
mengincar jiwanya. Dengan gaya Burung Dara Jumpalitan Tong Thian-chong jejakkan kaki melompat mundur
beberapa tombak jauhnya, belum lagi berdiri tegak senjata rahasianya sudah memberondong
pula. Kini ia tidak perlu kuatir melukai teman sendiri, maka gerakan timpukan senjata rahasianya
sungguh amat aneh dan menakjubkan. Memang Miao Tiang-hong berhasil menolong sahabatnya
dari marabahaya, namun sekilas ini dia sendiri jadi terkurung dalam serbuan senjata rahasia
musuh yang gencar dan tak terhitung banyaknya.
Tulang lengan kanan Toan Siu-si keseleo, tak mungkin ia bantu Miao Tiang-hong. Terpaksa ia
menyingkir ke samping, sambil menahan sakit, ia berusaha menyambung tulang lengan sendiri
serba diobati sekadarnya.
Kalau Tong Thian-chong kehilangan pertimbangan, sebaliknya Miao Tiang-hong amat menguatirkan
keadaan Toan Siu-si. Maklum luka Lian Kam-peh tidak berat, kalau orang meluruk kepada
Toan Siu-si, mana dia kuat melawan" Untung rasa kejut dan takut Lian Kam-peh belum hilang,
dalam waktu dekat ia masih belum berani menubruk maju. Setelah dia melihat situasi yang
menguntungkan pihaknya, belum lagi ia bertindak, bantuan pihak lawan sudah keburu tiba.
Bantuan atau bintang penolong itu adalah Lau In-long yang memburu datang dari rumahnya, di
tengah sambaran senjata rahasia yang seliweran memenuhi udara itu, ia angkat papan caturnya,
sambil berlenggang menghampiri Tong Thian-chong.
Maka terdengarlah suara ramai nyaring tak henti-hentinya. Kalau dikata memang aneh dan lucu
sekali, senjata rahasia yang beterbangan di tengah udara itu, ternyata beramai-ramai sama rontok
berjatuhan di atas papan caturnya itu. Kiranya papan catur itu terbuat dari besi semberani, maka
senjata gelap yang terbuat dari besi, semua tersedot lengket oleh papan caturnya itu. Betapapun
hebat dan aneh cara timpukannya, tak berguna lagi.
Lau In-long terbahak-bahak, serunya: "Besi-besi rongsokan ini cukup untuk aku membuka toko
besi. Miao Tayhiap silakan kau istirahat, biar aku berkenalan sampai di mana tingkat kepandaian
senjata rahasia nomor satu dari keluarga Tong!" Maklum dengan tingkat kedudukannya dengan
Miao Tiang-hong, sudah tentu tidak akan sudi melawan musuh secara keroyokan.
Tong Thian-chong tak bersuara, di saat orang bergelak tertawa kembali ia ayunkan tangannya,
menimpukkan dua batang senjata rahasia. Kedua batang senjata rahasia ini menyambar
membawa sinar kehijauan, kembali Lau In-long angkat papan caturnya hendak menangkis, tak
nyana senjata rahasia kali ini ternyata tidak tersedot oleh papan caturnya. Seketika Lau In-long
berteriak: "Aduh celaka tua bangka kali ini!"
Ternyata kedua senjata rahasia ini terbuat dari batu jade, tidak mungkin tersedot oleh besi
semberani. Agaknya Tong Thian-chong sudah perhitungkan ke mana posisi Lau In-long hendak
mengegos, begitu kedua batang senjata rahasia itu menyambar tiba di depan dadanya, tiba-tiba
berputar dengan satu lingkaran sama meluncur ke arah badannya.
Bangga dan senang akan buah tangannya Tong Thian-chong terbahak-bahak: "Bagaimana
kepandaian senjata rahasia dari keluarga Tong" Tidak bikin kau kecewa bukan?" Belum lenyap
tawanya, tiba-tiba biji matanya melotot terbelalak seperti melihat keanehan.
Ternyata kedua senjata rahasianya itu kebetulan mengenai tulang pundak Lau In-long dengan
telak, betapapun tinggi ilmu silat seseorang, bila tulang pundak kena dibikin remuk, maka ia akan
menjadi orang cacat seumur hidup. Tong Thian-chong gunakan Jiong-jiu-hoat dalam melancarkan
serangan senjata rahasianya, maka ia yakin pasti dapat meremukkan tulang pundak Lau In-long.
Siapa nyana, sasarannya memang kena dengan telak, namun tahu-tahu kedua batang senjata
rahasianya itu meluncur jatuh dari atas pundaknya, badan Lau In-long sedikit pun tidak
bergeming, lengan tidak terangkat, dia cuma membuka telapak tangannya.
Selintas pandang seolah-olah sedang bermain sulap saja layaknya, bahwasanya itulah ilmu
tingkat tinggi yang lihay dengan cara meminjam tenaga memunahkan tenaga, begitu senjata
menyentuh pundaknya, ia cuma sedikit menekan pundak ke bawah, seluruh kekuatan dari
timpukan senjata rahasia itu lantas dipunahkan seluruhnya. Ilmu seperti ini mempunyai nama
yang khusus yaitu Tiam-ih-cap-pwe-thiat (menyentuh baju, kontan pasti terpelanting jatuh)
Latihan yang mencapai tingkat tertinggi, serangan yang betapapun dahsyatnya mengenai badan,
tidak perlu dirinya kerahkan tenaga untuk balas atau melawan, begitu lawan menyentuh
pakaiannya, kontan pasti terbanting jatuh. Latihan Tiam-ih-cap-pwe-thiat Lau In-long memang
belum diyakinkan sampai tingkat yang paling sempurna, namun jaraknya tidak terlalu jauh lagi
untuk mencapai tingkatan itu.
Waktu Lau In-long menimangnimang kedua senjata rahasia itu dan melihat tegas, seketika ia
tertawa riang: "Memang tidak bikin kecewa aku, mungkin semua perhiasan binimu akan kau
berikan kepadaku, kalau begitu aku jadi dapat rejeki. Terima kasih, terima kasih!"
Bagaimana juga Tong Thian-chong seorang ahli silat yang kenamaan, melihat orang
mendemonstrasikan ilmunya yang hebat itu, hatinya jauh lebih kaget dibanding tadi waktu melihat
semua senjata rahasianya kena tersedot oleh papan catur orang, mana berani adu mulut lagi,
lekas ia timpukkan sebutir Tok-hu-kim-ciam-liat-yan-tam, meminjam tebalnya kabut berbisa itu,
lekas ia melarikan diri sipat kuping. .
Lian Kam-peh jauh lebih cerdik dan licik, begitu melihat Lau In-long datang, ia tahu gelagat
jelek, maka ia melarikan diri lebih dulu. Setelah kabut terhembus angin dan hilang, keadaan
menjadi terang, bayangan mereka berdua pun sudah tak tampak pula.
Sebelum Lau In-long mengasingkan diri dulu Miao Tiang-hong pernah bertemu sekali, sedang
Toan Siu-si baru kali ini jumpa. Waktu itu tulang lengannya yang keseleo sudah ia sambung
sendiri, lantas bersama Miao Tiang-hong maju memberi hormat menyatakan terima kasih.
"Kenapa sungkan, Miao-heng, kalau kau punya tempo temani aku main catur, aku sudah amat
girang!" "Main catur aku tidak begitu pandai, tapi saudara Toan ini justru seorang ahli."
"Miao-heng," ujar Toan Siu-si. "agaknya aku pernah membicarakan teori ilmu silat dengan kau,
bagaimana permainan caturku dari mana kau bisa tahu?"
"Dari asal-usulmu cukup sebagai bukti, meski aku belum pernah lihat kau main catur, namun
aku pernah dengar cerita orang lain." Maklumlah sebagai seorang pangeran pada suatu kerajaan
kecil^di Tayli, adalah jamak kalau Toan Siu-si pandai main catur dan mengenal musik, segala seni
gambar dan tulis pun dipahami. Untuk ilmu kesusastraan nama Toan Siu-si kira-kira sejajar
dengan ketenaran Song Theng-siau dalam bulim.
Lau In-long kegirangan, serunya: "Bagus sekali, naga-naganya memang hanya kau Toan-heng
seorang yang dapat kuajak main sampai sepuluhan hari!"
"Mungkin Pakkiong Bong tidak akan memberi kesempatan kita begitu iseng dalam sepuluh hari
mendatang ini!" demikian kata Toan Siu-si.
"Kau kuatir mereka bakal meluruk datang pula?" tanya Lau In-long.
"Walau hari ini mereka gagal total, pastilah tidak akan terima kalah begitu saja, betapa pun kita
harus tetap waspada."
Lau In-long kurang senang, katanya: "Tidak bisa sepuluh hari, tiga hari juga bolehlah. Mereka
harus pulang ke Pakkhia memberi laporan, pulang pergi paling cepat tiga hari lebih!"
"Kiranya lo-cianpwe punya minat sedemikian besar, meski nanti malam aku tidak tidur, baiklah
kutemani kau main catur semalam suntuk," demikian ujar Toan Siu si.
"Aku ini memang ceroboh," Lau In-long sadar, "hari ini kalian bisa berada di gunung sepi
belukar ini, pastilah kalian punya tujuan penting bukan?"
"Aku kemari untuk menyambangi kau Loyacu, di samping hendak menyampaikan kabar kepada
Siau-hujin," demikian Miao Tiang-hong menerangkan.
"Aku sendiri sih ada urusan dengan Hun-lihiap, persoalannya ini cukup panjang bila
dibicarakan..." "Kalau urusan panjang tak perlu kau tergesa-gesa," demikian sela Lau In-long. "Dia sudah tahu
urusan apa yang hendak kau bicarakan dengan dia?"
"Barusan aku bertemu dia, maksud kedatanganku dia sudah tahu!" sahut Toan Siu-si.
Mereka bicara sembari jalan, tak terasa sudah sampai di depan rumah. Kata Lau In-long: "Baik,
kalau dia sudah tahu, sekarang juga kita mulai main catur!"
Kebetulan Hun Ci-lo berjalan keluar sambil menggendong anaknya, berhadapan dengan Miao
Tiang-hong, sesaat lamanya mereka sama kesengsem, entah bagaimana rasa hati masing-masing.
Sambil menenteng papan caturnya, Lau In-long seret tangan Toan Siu-si terus diajak masuk ke
dalam rumah. "Miao-toako," sapa Siau-hujin, "kukira kau kemari sengaja hendak menengok Ci-lo?"
"Toaso, hendak kusampaikan sebuah berita yang amat menggirangkan. Cau Ho-lian sudah
ketemu. Kejadian malah amat kebetulan, di saat aku bertemu dengan Ho-lian aku pun bertemu
pula dengan dua orang lain, coba kau terka siapa mereka?"
"Bagaimana aku bisa menerka?"
"Mereka adalah adik Ho-lian dan putrimu."
"Hah, jadi kedua budak itu pun bertemu dengan kau, di mana kalian bertemu?" ;
"Markas pusat Ngo-liong-pang di Bo-seng." Lalu Miao Tiang-hong menuturkan sejelasnya
kepada Siau-hujin. "Kalau demikian Gwat-sian piaumoay sudah rujuk kembali dengan Ho-lian!" demikian tim-brung
Hun Ci-lo. "Ci-lo," kata Mao Tiang-hong, "kudengar Toan Siu-si ada urusan penting hendak mencari kau,
ada urusan apakah?" Merah mata Hun Ci-lo, katanya: "Hidupku memang sengsara, sampai anakku pun ikut
menderita." Lalu ia pun tuturkan cerita yang didengar dari Toan Siu-si.
"Kalau demikian," kata Miao Tiang-hong setelah mendengar kejadian itu, "putramu memang
perlu selekasnya dijemput."
"Justru aku sedang kuatir, bila kuurus yang besar, lalu bagaimana dengan yang kecil ini."
"Anakmu ini serahkan kepadaku dan ibu angkatmu. Tak lama lagi kita memang harus
meninggalkan tempat ini, pindah ke tempat lain, biar kita mencari ibu inang untuk mengasuhnya."
Lau Hujin ikut bicara: "Seumpama tak menemukan bu inang juga tidak menjadi soal, aku bisa
menyusukan susu menjangan. Susu menjangan malah lebih bermanfaat dari susu manusia, kau
tidak tahu bahwa ayah angkatmu pun dibesarkan oleh susu menjangan."
"Begitu baik ibu kepadaku, entah cara bagaimana aku harus membalas kebaikan kalian!"
demikian ujar Hun Ci-lo hampir terisak.
"Soal anak ini kau tidak usah kuatir. Aku sebaliknya kuatir akan kesehatanmu," kata Siau-hujin.
Hun Ci-lo melengak, katanya: "Dalam hal apa bibi menguatirkan diriku?"
"Perjalanan ke perbatasan ini betapa jauhnya, di tengah jalan bukan mustahil kau dikuntit oleh
cakar alap-alap, baru seratus hari kau melahirkan, ilmu silatmu belum pulih seluruhnya, seorang
diri menempuh perjalanan ribuan Ii, bagaimana aku bisa lega hati melepasmu pergi."
Miao Tiang-hong merasa tidak boleh dirinya berpeluk tangan, maka segera ia berkata dengan
penuh tekad: "Aku dan Ci-lo sudah sebagai saudara angkat, kini dia menghadapi kesulitan, kukira
tidak bisa aku menghindari tugas mulia ini, biar aku yang menemaninya dalam perjalanan ke
perbatasan kali ini!"
Siau-hujin memang sedang menunggu kata-kata Miao Tiang-hong, seketika ia tertawa riang:
"Kalau Miao toako yang mengantar keponakanku, sudah tentu seratus persen aku lega hati."
Lau Hujin menimbrung: "Mari kita masuk tengok permainan catur ayahmu sudah selesai belum.
Urusan penting ini aku harus memberi tahu kepadanya."
Waktu Lau Hujin beramai mendorong pintu masuk ke ruang buku, kebetulan Lau In-long
sedang berjingkrak kegirangan karena berhasil memecahkan problem Cap-ong-gia-be atas
bantuan Toan Siu-si. "Kau tua bangka ini seharian kerjanya cuma main catur melulu, urusan penting tidak mau kau
ikut memikirkannya. Ci-lo lekas kau bicara sendiri dengan ayahmu!"
"Ayah, beberapa bulan ini putrimu berkat perawatan dan asuhan-mu dapat hidup senang dan
ten-tram, besok terpaksa aku harus mohon diri, sementara waktu berpisah dengan ayah dan ibu."
Lau Hujin ikut menyela: "Tua bangka, rumah kita ini kukira juga harus segera ditinggalkan."
Setelah mendengar penjelasan, Lau In-long menghela napas, ujarnya: "Tiada perjamuan yang
tak bubar dalam dunia ini, kalau toh terpaksa kita harus mengosongkan rumah tua ini, tapi putri
kita ini toh bakal kembali pula bukan?"
"Aku pun amat berat berpisah dengan ayah bunda, kalian begitu sayang kepadaku, aku pasti
kembali mendampingi kalian."
"Nah, kita sendiri pun perlu memikirkan tempat berteduh, kau sudah pikirkan ke mana kita
harus pergi belum?" tanya Lau Hujin.
"Sejak lama sudah kupikirkan, kalau mau pergi ya berangkat ke tempat yang jauh saja. Kita
bisa pergi ke Thiansan!"
"Apa, Thiansan" Begitu jauh?" Lau Hujin kaget dibuatnya.
"Meski tempat itu teramat jauh, namun di sana aku punya sahabat karib!"
"Maksudmu Tong Keng-thian ciangbunjin Thian-san-pay?"
"Benar, aku kenal dia sebelum kawin dengan kau. Cakar alap-alap pasti tidak mampu meluruk
ke tempat itu, boleh dikata kita hidup di dunia luar. Setelah tiba di sana, bocah ini pun akan
selamat dan bisa diasuh dengan tentram."
Pertama-tama Siau-hujin menyatakan persetujuannya, katanya: "Kabarnya istri Tong Kengthian
yang bernama Ping-jwan-thian-li adalah perempuan ksatria aneh, aku pun sudah lama
kagum terhadapnya, sungguh kebetulan kali ini aku bisa berkenalan sama dia."
Setelah segalanya diputuskan, besoknya pagi-pagi, mereka lantas berpisah menuju ke tempat
tujuan masing-masing. Semula Toan Siu-si hendak ajak Hun Ci-lo pulang, kini orang sudah ditemani Miao Tiang-hong,
maka ia menggambarkan sebuah peta yang menunjukkan tempat rahasia di mana suhengnya
tengah menyembunyikan diri. Seorang diri ia pun berpisah menempuh perjalanannya sendiri
mencari Thian-lam-su-hou untuk menuntut balas.
Untuk kedua kalinya Miao Tiang-hong seperjalanan dengan Hun Ci-lo, sudah tentu hubungan
kali ini sudah jauh berlainan dengan perjalanan pertama dulu waktu ia mengantar Hun Ci-lo
pulang ke rumah. Keadaan berlainan sudah tentu perasaan pun berbeda. Kini tiada pikiran mulukmuluk
dalam benaknya, sikapnya menganggap Hun Ci-lo sebagai adik kandungnya sendiri, oleh
karena itu sepanjang jalan ini hubungan mereka menjadi wajar dan intim.
Banyak persoalan yang mereka bicarakan sepanjang jalan ini. Akhirnya mereka membicarakan
urusan negara dan bangsa, membicarakan laskar rakyat di Siau-kim-jwan, mau tidak mau akhirnya
mereka membicarakan Beng Goan-cau pula.
Senang dan menyesal pula Hun Ci-lo, katanya: "Demi menentang penjajahan, Goan-cau
berjuang mati-matian, dibanding dia aku ketinggalan jauh sekali."
"Sifat Goan-cau mantap dan tegas, berjiwa ksatria patriot bangsa. Kalau dia berdiri di
hadapanmu, seolah-olah sebentuk gunung yang kukuh tinggi, membuat orang merasa mantap dan
kokoh tak tergoyahkan."
Hun Ci-lo tertawa, ujarnya: "Miao-toako, kau tidak tahu, waktu aku bersama dia dan Song
Theng-siau main bersama, sering kami mengibaratkan dirinya sebagai Thay-san. Aku memang
menyenangi wataknya itu."
"Aku tahu. Aku sendiri pun kagum dan simpatik akan wataknya yang tidak kenal putus asa
serta ulet itu!" "Bicara soal Thay-san, aku malah teringat seseorang. Lahirnya orang itu jauh berbeda dengan
Beng Goan-cau, tapi mereka sama-sama punya watak yang tidak takut dan tidak mau tunduk
menghadapi segala marabahaya."
"O, maksudmu adalah Lim Bu-siang?"
"Ya, entah di mana nona Lim itu sekarang?"
Miao Tiang-hong menerangkan: "Dari pihak Kaypang Lim Bu-siang mendapat kabar, katanya
Boh Cong-tiu sekongkol dengan pihak kerajaan, mereka berintrik berusaha merebut kekuasaan
Hu-siang-pay. Oleh karena itu terpaksa dia membatalkan maksudnya hendak pergi ke Siau-kimjwan
bersama Beng Goan-cau. Bersama suheng dan susonya kini ia kembali ke Thay-san."
"Usia nona Lim masih amat muda, tindak tanduknya lemah lembut, namun setiap kali
menghadapi urusan penting, tak pernah dia takut menampilkan diri, memikul semua tanggung
jawab di atas pundaknya. Bicara terus terang, aku amat senang dan mengaguminya."
"Goan-cau pernah bercerita, katanya Lim Bu-siang pernah membicarakan kau dengan dia, dia
pun amat kagum terhadap kau. Agaknya meski kalian belum berkenalan, bolehlah dianggap
seperti kawan sejati."
Hun Ci-lo seperti sedang memikirkan apa-apa, katanya sesaat kemudian: "Perjalanan ke selatan
kali ini, apakah kita lewat Thay-san?"
"Itu tergantung jalan mana yang akan kita tempuh. Sudah tentu kita bisa juga lewat dari kaki
Thay-san. Cuma kalau lewat jalan lain, jaraknya lebih pendek dua hari perjalanan."
"Dari sini sampai ke Tiam-jong, paling cepat memakan waktu satu bulan bukan?"
"Ya, kira-kira tiga puluhan hari!"
"Kalau begitu tiada halangan terlambat satu dua hari."
"Apa kau ingin menemui Lim Bu-siang?"
"Memang. Waktu aku melahirkan di rumah bu inang tempo hari, kabarnya dia pernah datang,
sayang aku tidak melihatnya. Waktu di pertemuan besar di Thay-san dulu, dia bersama Goan-cau,
aku ada melihatnya, cuma dia belum mengenal aku."
"Maka kau ingin berkenalan secara langsung dengan dia?"
"Kalau dikata memang aneh, dalam lubuk hatiku selalu aku merasa, bahwa dia adalah temanku
yang paling akrab, malah seperti adikku sendiri. Sudah tentu aku pun ingin secepatnya menjemput
putraku, tapi untuk menemui dia, biarlah terlambat dua hari tidak menjadi soal."
"Aku maklum akan perasaanmu. Untuk mencapai cita-citamu, biarlah kutemani kau ke Thaysan!"
"Bagus, Miao-toako, kau terlalu baik kepadaku."
"Sebenarnya aku pun ingin ke Thay-san untuk menyirapi kabar. Menurut kabar yang didengar
oleh pihak Kaypang, katanya Boh Cong-tiu dan Cong Sin-liong hendak membuat onar di Thay-san
pada tanggal lima belas bulan yang lalu, entah bagaimana akhirnya, aku pun ingin mengetahui!"
Kalau di jalanan Hun Ci-lo sedang kangen kepada Lim Bu-siang, di atas Thay-san Lim Bu-siang
pun sedang memikirkan Hun Ci-lo yang belum pernah dikenalnya itu.
Hari-hari yang ditentukan oleh Boh Cong-tiu hendak membuat onar menurut kabar sudah
berselang, keadaan masih tetap tenang, tidak pernah terjadi sesuatu apa. Lim Bu-siang amat
heran, namun ia berprasangka bahwa Boh Cong-tiu dan Cong Sin-liong sudah jera kepada orang
misterius berpakaian serba hitam itu.
Urusan sehari-hari dalam partai dikerjakan oleh Ciok Heng, Lim Bu-siang tidak perlu ikut


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

campur dan memeras keringat. Hari itu pagi-pagi benar, seorang diri ia berada di Siau-thian-tohong
latihan silat dan bersamadi seperti biasanya. Ia memperdalam ilmu pedang dan lwekang
yang ia pelajari dari gua itu.
Berbeda dengan hari-hari biasanya, entah mengapa hari ini Lim Bu-siang tidak bisa tenang
dalam latihan. Setelah latihan selesai ia berdiri termangu mengawasi mega yang sedang
bergulung-gulung, menggambarkan berbagai bentuk yang aneh-aneh, demikian pula perasaan
hatinya seperti gumpalan awan yang berubah-ubah, timbul tenggelam sulit dibikin tenang.
Awan yang berubah-ubah itu tiba-tiba menggambarkan bayangan Beng Goan-cau. "Entah
bagaimana hasil perjuangan di Siau-kim-jwan, saat ini mungkin Beng toako tiada waktu senggang
untuk mengenang diriku!"
Orang yang paling dikenangnya adalah Beng Goan-cau, dia sedang menguatirkan Beng Goancau,
namun dia pun amat bangga dengan Beng Goan-cau.
Sering di saat ia teringat kepada Beng Goan-cau, serta merta teringat pula olehnya Hun Ci-lo.
Terpikir olehnya: "Entah dia tahu tidak, di dalam lubuk hatiku, aku sudah anggap dia sebagai
kakakku sendiri. Sayang hari itu aku tidak sempat bertemu dengannya." Dalam pada itu, sang
surya mulai menongolkan cahayanya yang cerlang cemerlang dari peraduannya, hati Lim Bu-siang
yang gundah dan penuh diliputi kabut gelap itu, seketika menjadi lapang dan sirna tertingkah sinar
matahari. Sekonyong-konyong telinganya yang tajam menangkap sesuatu suara keresekan ganjil di dalam
hutan. Hati Lim Bu-siang kaget, lekas ia berpaling seraya meng-hadik: "Siapa?"
Tampak di antara lima batang pohon siong tua yang menjulang tinggi ke angkasa itu, muncul
seorang nyonya muda, sapanya sambil tersenyum: "Bu-siang, masih kenal aku tidak?" Roman
muka nyonya muda ini mengulum senyum manis, namun di antara kedua alisnya lapat-lapat
seperti dirundung tekanan batin yang tidak terlampiaskan.
Kejut dan senang dan heran pula Lim Bu-siang, katanya: "Piauso, kau datang sendirian?"
Kiranya nyonya muda ini bukan lain adalah istri Boh Cong-tiu, Lian Jay-hong adanya.
"Ya, aku sendirian, sengaja aku kemari untuk menengokmu."
"Bukankah piauko yang suruh kau kemari?"
Lian Jay-hong rrtenghela napas, ujarnya: "Bu-siang, bisakah kau mempercayai aku seperti
dulu?" "Piauso, kau minta aku percaya kepadamu, kuharap kau suka bicara terus terang lebih dulu,
apa sebetulnya maksud kedatanganmu?"
"Aku kemari di luar tahu Piaukomu, maksudku hendak bicara dari hati ke hati denganmu!"
"Baik silakan kau berkata!"
"Pendidikanku cetek, namun mana baik siapa jahat, sedikit banyak masih bisa kubedakan. Dulu
aku mengkhianati perguruan, karena aku tidak sudi sekomplotan dengan Cong Sin-liong yang
sesat itu." "Bagus, tindakanmu itu amat tepat, tapi apa kau tahu bagaimana tindak-tanduk Boh Cong-tiu
sekarang?" Seketika pucat muka Lian Jay-hong, katanya sambil menunduk: "Aku tahu, aku tahu sekarang
dia sudah berubah seperti keadaan .Cong Sin-liong semula."
"Kalau kau sudah tahu, memangnya apa yang hendak kau lakukan?"
"Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan, Bu-siang, bagaimana menurut
pendapatmu?" "Betapapun kau sendiri harus punya keputusan dan pendirian, barulah orang lain enak menilai
dirimu." "Lain dengan Cong Sin-liong, bagaimana juga dia adalah suamiku. Gampang untuk menghianati
perguruan, sebagai suami istri selama beberapa tahun, kalau harus berpisah begitu saja, itulah
yang sulit dan berat kulakukan."
"Jadi kau berkeputusan bantu dia menjurus ke jalan sesat?"
Bercucuran air mata Lian Jay-hong, ujarnya: "Kalau aku berkeputusan bantu dia melakukan
kejahatan, hari ini aku tidak akan kemari mencarimu. Bu-siang, aku tahu dalam lubuk hatimu, aku
adalah orang yang tidak terpandang lagi. Maaf, aku mengganggu latihanmu, aku minta diri."
Melihat keadaan orang yang harus dikasihani, segera Lim Bu-siang menariknya, katanya minta
maaf: "Lian-cici, kata-kataku tadi memang terlalu berat, jangan kau ambil dalam hati. Tapi aku
bertujuan demi kebaikanmu."
Lian Jay-hong menyeka air mata, ujarnya: "Bu-siang, aku tahu kau, demi kebaikanku aku suka
mendengar nasehatmu!"
"Tidak, kau harus punya pendirian dan berkeputusan tegas, tidak boleh melulu dengar katakataku.
Baiklah kuceritakan persoalan seseorang lain kepadamu, kau tahu Hun Ci-lo tidak?"
"Aku tahu dia adalah istri Nyo Bok, itu busu dari Siok-ciu, kabarnya dia bertengkar dan berpisah
dengan suaminya." "Bukan bertengkar saja, malah dia sudah terima surat talak Nyo Bok, sekarang dia sudah
berpisah secara resmi dengan suaminya. Karena ia sudah tahu bahwa Nyo Bok adalah cakar alapalap
pihak kera-jaan, meskipun rahasia ini belum tersebar luas di kalangan kangouw."
"Hah, kau membujuk aku supaya meniru tindakan Hun Ci-lo?"
"Semoga kau bisa menasehati piauko untuk berpaling ke jalan lurus sebelum terlambat, kalau
toh kau tidak sudi menjadi kaki tangannya, kukira kalian masing-masing harus menuju ke jalan
tujuan masing-masing."
"Kau kan tahu piaukomu tidak gampang sudi mendengar nasehat orang lain, tapi membanding
piaukomu dengan Nyo Bok, kukira..."
"Kau kira keterlaluan bukan?"
"Tidak salah, Cong-tiu memang ada kontak rahasia dengan Pakkiong Bong, tapi betapapun dia
tidak boleh disamakan dengan Nyo Bok."
"Apanya yang berbeda?"
"Secara suka rela Nyo Bok mau menjadi antek kerajaan, Pakkiong Bong memandangnya
sebagai budak saja. Sebaliknya piaukomu tidak melakukan sesuatu bagi kepentingan Pakkiong
Bong, mereka anggap sebagai sesama sahabat yang setingkat."
"Dia terpandang oleh musuh, memangnya kau anggap patut dibanggakan?"
"Bukan begitu maksudku. Aku cuma mau bilang bahwa kedudukannya bukan sebagai cakar
alap-alap kerajaan. Dia sendiri pun tidak pernah berjanji kepada Pakkiong Bong untuk bantu
melakukan sesuatu." "O, harap tanya untuk apa Pakkiong Bong sudi bersahabat dengan dia?"
"Bu-siang, aku bicara terus terang, kuharap kau jangan marah. Piaukomu hanya ingin menjadi
ciangbun perguruan kita, dia segan berbuat sesuatu kesalahan terhadap kerajaan. Sementara
Pakkiong Bong mengharap supaya dia tidak sependirian dengan kau, berdiri di pihak para patriot
bangsa melawan kerajaan. Oleh karena itu dia berjanji secara diam-diam memberi bantuan
seperlunya kepada piaukomu."
"Bukankah itu syarat imbalannya" Mana boleh tadi kau katakan dia tidak akan melakukan
sesuatu apa demi kepentingan Pakkiong Bong?"
Lian Jay-hong tidak mampu menjawab, sesaat lamanya baru ia menghela napas, ujarnya:
"Semula piaukomu sebetulnya tidak begitu rusak, cuma wataknya saja yang cacad suka
menangnya sendiri dan tinggi hati, tidak sudi tunduk kepada orang lain. Pakkiong Bong justru bisa
mengambil kelemahan hatinya, menggunakan kedudukan, gengsi dan keuntungan untuk
memikatnya, sehingga ia kena terpancing."
"Ucapanmu tidak salah, tapi menurut maksudmu, apakah aku harus menyerahkan jabatan
ciangbun, sesuai dengan cita-citanya, baru dia akan menjadi manusia baik-baik?"
"Mana aku bisa bujuk kau demikian" Bicara terus terang aku sendiri tidak mengharap di antara
kalian piau-heng-moay terjadi pertikaian dan menjadi musuh."
"Aku sendiri tiada maksud mengangkangi jabatan ciangbun ini," demikian kata Lim Bu-siang
serius. "Tapi yang pasti aku tidak akan menyerahkan kepada piauko. Aku sudah berkeputusan
kelak biar Ciok-suko yang mewarisi jabatan ini. Tahukah kau apa tujuanku?"
"Cong-tiu sebetulnya memang tidak setimpal menjadi ciangbun perguruan kita."
"Bukan dia tidak setimpal, bicara soal kepintaran, dia jauh lebih tinggi dari aku, tapi sesuai
dengan apa yang kau katakan, dia terlalu pandang berat soal gengsi dan kedudukan, seseorang
yang terlalu memandang gengsi, gila hormat, berbahaya sekali bila dia sampai dibeli oleh musuh.
Seumpama sekarang dia bukan cakar alap-alap, kelak pasti dia akan menjadi antek kerajaan juga.
Apalagi sekarang dia sudah terpancing oleh Pakkkiong Bong!"
Lian Jay-hong menggigit bibir, ia diam saja mendengar kata-kata Bu-siang, roman mukanya
semakin pucat pias, jelas sekali bahwa lubuk hatinya sedang gundah dan risau.
Betapapun Lim Bu-siang ikut bersedih, katanya: "Lian-cici, masih segar dalam ingatanku,
pertama kali kau ajak aku berlayar di tengah samudra, hari itu semula udara cerah, tiada angin
tiada ombak, maka kau baru berani ajak aku berlayar. Tak nyana hujan badai datang teramat
cepat dan mendadak, laut yang semula tenang mendadak bergelombang tinggi sehingga perahu
terombang-ambing di tengah samudra raya. Saking ketakutan aku sampai menangis. Kau bujuk
aku supaya jangan takut, seorang nelayan harus berani menghadapi hujan badai, harus berani
menghadapi kenyataan di depan mata, pasti kita akan bisa selamat tiba di rumah. Dengan tenang
dan mantap kau kendalikan kemudi, akhirnya perahu kecil kita betul-betul menepi dengan
selamat. Lian-cici, sekarang tiba saatnya untuk kau mengulangi keberanian-mu seperti dulu."
Berlinang mata Lian Jay-hong, lama sekali baru ia berkata hambar: "Mungkin aku sudah tiada
keberanian seperti dulu. Bu-siang, sekarang aku mohon kepadamu, berilah semangat kepadaku."
"Piauso, hanya kau sendiri yang bisa unjukan keberanianmu. Kali ini apakah piauko tahu akan
kedatanganmu?" "Tadi bukankah kau sudah panggil aku Lian-cici" Kenapa memanggil piauso pula" Memang kau
tidak salah, kau anggap aku sudah memahami piaukomu, namun belum sejauh itu bisa menilai
jiwanya seperti kau, aku salah menikah sama dia. Tapi aku kemari betul-betul di luar tahunya, kau
tidak usah kuatir." "Baik, kau berani kemari menengok aku tanpa setahunya, itu sudah pertanda bahwa kau masih
punya keberanian. Tapi bila pulang kau tidak takut diketahui oleh dia?"
"Aku tidak ingin pulang lagi."
Lim Bu-siang girang, katanya: "Bagus, kalau begitu dengan tangan terbuka aku menyambut
kau kembali ke dalam peguruan, marilah kita bersama menemui Ciok-suko dan Su-so."
"Tidak, aku pun tidak ingin tinggal di sini."
Lim Bu-siang rada kecewa, katanya: "Ke mana kau hendak pergi?"
"Bu-siang, kumohon sesuatu kepada kau!"
"Katakan, bila aku mampu pasti kuberikan kepada kau!"
"Apa ayahmu baik-baik saja" Sudah setahun bukan kau meninggalkan rumah?"
Dalam waktu dekat Lim Bu-siang belum paham ke mana juntrungan kata-kata orang, ujarnya:
"Terima kasih bahwa kau masih teringat kepada beliau. Beliau sudah berusia lanjut, tapi masih
berbadan sehat dan segar bugar!"
"Bu-siang, aku tiada tujuan lagi, marilah kau bawa aku ke rumahmu, mau tidak?"
"Di samping ingin aku berbakti kepada ayahmu, dalam beberapa waktu ini kita pun bisa
berkumpul bersama. Biarlah aku terhindar dari recokan piaukomu, supaya aku berkesempatan
hidup tenang dan berpikir-pikir. Soal sepele ini pasti dapat kau lakukan dengan mudah" Hayolah,
kau antar aku, Bu-siang!"
"Jadi kau ingin supaya aku meninggalkan tempat ini?" tanya Bu-siang dengan tatapan tajam
seolah-olah hendak mengorek isi hati orang.
Lian Jay-hong bergidik, katanya tersendat: "Bu-siang, kenapa kau pandang aku sedemikian
rupa?" Tegak alis Lim Bu-siang, sahutnya dengan tegas dan lantang: "Tidak mungkin!"
"Aku tahu permintaanku ini tidak masuk akal, tapi aku, aku sudah kewalahan!"
"Bukan aku tidak sudi bantu kau, kau tahu aku tidak boleh sem-barangan meninggalkan tempat
ini!" "Bukankah Ciok-suko bisa mewakili kau menjabat kedudukan ciangbun perguruan kita?"
"Lian-cici, memangnya kau tidak tahu bahwa suamimu sedang bersekongkol dengan orangorang
persilatan dari golongan sesat, hendak membuat onar di sini?"
Lian Jay-hong kaget, katanya: "Aku tahu dia hendak merebut jabatan ciangbun, tapi beberapa
bulan belakangan ini, dia selalu mondar-mandir di luaran, aku sendiri jarang bertemu dengan dia,
apa yang dia rencanakan, sedikit pun aku tidak tahu!"
"Semula mereka sudah berjanji antara sesama kambrat-kambratnya pada sesuatu tanggal
bulan yang lalu hendak mempersulit diriku, entah karena apa pada hari yang dijanjikan itu mereka
tidak muncul. Tapi, cahaya tetap belum berlalu, aku harus senantiasa berada di pangkalan. Liancici,
untunglah aku, aku boleh percaya kepadamu, kalau Ciok-suko, kau bicara begitu rupa,
mungkin, mungkin..."
Lian Jay-hong tertawa getir, selanya: "Mungkin dia curiga bahwa aku punya tujuan lain, betul
tidak?" "Bahwasanya kau hanya ingin menyingkir saja, tidak mungkin kau bisa menyembunyikan diri
selamanya. Tapi ada baiknya juga kau menemui ayahku, aku bisa memb.eritahu alamatnya
kepada kau." "Tidak usahlah. Bu-siang, aku hanya bisa mengutarakan isi hatiku kepadamu, terima kasih hari
ini kau memberi banyak nasehat kepadaku, biarlah aku pulang sendirian dan memikirkannya pula.
Aku minta diri saja!"
"Begitupun baik, semoga kau dapat berkeputusan selekasnya. Mari kuantar kau!"
"Hari ini kau masih sudi percaya kepadaku, aku sudah berhutang budi kepada kau. Silakan
kembali." Sembari bicara ia berpamitan sambil jabatan tangan dengan Lim Bu-siang. Baru saja
mulutnya berkata sampai "percaya", mendadak jari tengahnya menusuk, ia totok Leng-gan-hiat
yang terletak di Siau-yang-keng-meh, seketika Lim Bu-siang lemas lunglai.
Lim Bu-siang mempercayainya, malah kena dibokong dan dikibuli!
Lian Jay-hong memayangnya ke belakang tonggak batu yang menyerupai lilin itu, lalu pelanpelan
diletakkan di atas tanah, katanya lirih: "Bu-siang, jangan kau salahkan aku, dengarkan
penjelasanku." "Bu-siang, aku tahu pasti kau sedang mengira bahwa aku menipumu dengan kata-kata manis,
aku pun tidak akan mohon maaf dan pengampunanmu, tapi apa yang akan kukatakan kepada kau
adalah sejujurnya." Semula hati Bu-siang amat marah sehingga sorot matanya menyala-nyala, namun setelah
mendengar tutur kata orang sedemikian tulus dan sungguh-sungguh, seperti tidak pura-pura,
hatinya tergerak, sorot matanya lambat laun menjadi lembut.
Didengarnya Lian Jay-hong berkata: "Memang aku menipumu. Kukatakan aku tidak tahu
rencana keji Cong-tiu, sebetulnya itu tidak benar."
"Kabar yang kau dengar tidaklah bohong belaka, memang dia ada sekongkol dengan tokohtokoh
silat dari berbagai aliran, mungkin juga ada kaki tangan Pakkiong Bong yang membantu dia.
Waktunya tepat hari ini, mereka hendak meluruk ke Thay-san mempersulit dirimu. Bukan mustahil
sekarang mereka sudah berada di Giok-hong-koan!"
Kaget dan gusar Lim Bu-siang dibuatnya, Lian Jay-hong berkata lebih lanjut: "Aku tahu kau
sedang maki aku dalam hati, tapi aku pun tahu, demi kebaikanmu! Biarlah kuuraikan jalan
pikiranku kepada kau."
"Orang-orang yang dia undang banyak tokoh-tokoh silat kosen, kau dan Ciok-suko jelas bukan
tandingan mereka. Kalau terjadi perkelahian, mungkin anak murid perguruan kita bakal jatuh
banyak korban. Terutama kau, mereka tidak akan melepasmu demikian saja. Kalau kau adu jiwa
dengan mereka, sia-sia saja kau menyerahkan jiwa."
"Bukan maksudku hendak bantu piaukomu untuk merebut jabatan ciangbun ini, tapi aku harus
menolong jiwamu! Aku pun akan berjuang sesuai dengan kekuatanku sendiri untuk
menghindarkan banjir darah dalam perguruan kita. Ai, aku betul-betul sudah kehabisan akal,
terpaksa aku lakukan caraku ini."
Dongkol dan gugup pula hati Lim Bu-siang akan pikiran orang yang cupat dan tindakannya
yang ceroboh. Sayang dia tidak mampu bergerak, tak bisa bersuara, ingin rasanya ia lompat
bangun dan memberi peringatan, sementara dalam hati ia berteriak-teriak: "Lekas bebaskan
totokan hiat-toku!" Sayang Lian Jay-hong tidak mendengar jeritan hatinya. Sementara hiat-tonya
yang tertotok dalam waktu dekat tidak mungkin bisa dia bebaskan sendiri.
"Tang, tang, tiang..." Gema lonceng yang nyaring dan gencar berkumandang di alam
pegunungan, jelas suara lonceng bertalu-talu dari Giok-hong-koan.
Seperti diketahui, Hu-siang-pay baru setengah tahun lebih mendirikan perguruan di Tionggoan,
markas pusatnya sedang dalam pembangunan. Tosu tua dari pimpinan Giok-hong-koan adalah
teman baik Kim Tiok-Iiu, atas usaha Kim Tiok-Iiu pula, sebelum markas pusat Hu-siang-pay selesai
pembangunannya, mereka menempati Giok-hong-koan sebagai markas sementara. Dalam Giokhong-
koan terdapat sebuah genta besar dan kuno, setiap ada urusan genting barulah genta itu
dibunyikan sebagai pertanda bahaya, maka seluruh anak murid Hu-siang-pay harus segera
berkumpul. Itulah tata tertib yang ditegakkan oleh Lim Bu-siang sendiri, selama setengah tahun
ini, belum pernah genta kuno itu dimanfaatkan.
Baru pertama kali ini genta kuno itu dibunyikan, tapi Lim Bu-siang yang menjadi ciangbun, tidak
mungkin pulang ke Giok-hong-koan untuk kumpul dengan seluruh murid-murid Hu-siang-pay,
mendengar gema lonceng itu, seketika berubah air mukanya.
Memang seluruh murid Hu-siang-pay di Giok-hong-koan sedang ribut dan kacau balau.
Terutama Ciok Heng sebagai tokoh tertinggi nomor dua dalam perguruannya, gugup dan gelisah
setengah mati. Boh Cong-tiu pimpin komplotannya, kira-kira ada dua tiga puluhan, pagi-pagi sekali sudah
menerjang masuk ke Giok-hong-koan. Tatkala itu kebetulan Lim Bu-siang sudah tertotok hiattonya
oleh Lian Jay-hong menggunakan Jiong-jiu-hoat.
Semula Boh Cong-tiu diangkat sebagai Jan-bau-tong Tongcu, meskipun tidak punya kekuasaan,
bicara soal kedudukan ia masih lebih tinggi dari Ciok Heng. Sampai detik itu ia belum secara resmi
diusir dari perguruan oleh Ciang-bun-jin, maka ia kali ini kembali sebagai Jan-bau-tong Tongcu
dari Hu-siang-pay. Jelas Ciok Heng tidak bisa merintanginya! Justru pada saat-saat yang genting
itu, Lim Bu-siang tidak kelihatan batang hidungnya.
Ciok Heng cukup kenal keli-hayan Boh Cong-tiu, sebelum Lim Bu-siang kembali, terpaksa ia
suruh orang memukul lonceng mengumpulkan anak murid Hu-siang-pay, di samping menghadapi
Boh Cong-tiu ia berusaha mengulur waktu.
Mendengar suara lonceng, seketika Boh Cong-tiu menarik muka, katanya: "Kau pukul lonceng
mengumpulkan orang, apa maksudnya" Anggap aku sebagai musuh ya?"
"Tidak berani. Boh-tongcu datang dari tempat jauh, adalah pantas semua murid-murid kita
kumpul bersama untuk menyambut kedatangan Tongcu."
"Ciok-suheng," ujar Boh Cong-tiu gelak tertawa, "kau hanya pura-pura menjunjung aku belaka,
tapi aku ini bukan orang bodoh, aku orang she Boh tidak lebih hanya sebagai Tongcu, memangnya
patut disambut secara besar-besaran" Tapi aku memang punya urusan yang hendak mohon
putusan terbuka dari para murid perguruan kita. Peduli kau bermaksud baik atau jahat kepadaku,
yang terang pertanda kumpul ini kebetulan juga bagi aku!"
Murid-murid Hu-siang-pay yang tinggal di atas Thay-san ada seratusan orang, sebentar saja
mereka sudah kumpul semua. Seratusan orang ini terbagi dua golongan. Bagi mereka yang tidak
tahu seluk beluk persoalan, sama bisik-bisik dan ribut, sementara orang-orang yang tahu apa yang
bakal terjadi adalah orang-orang Boh Cong-tiu, begitu masuk mereka lantas memberi hormat
kepada Boh Cong-tiu. Di mulut mereka memanggil Boh-tongcu, namun mereka menghormat


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti menghadapi ciangbunjin. Tapi golongan ini jumlahnya benar-benar di luar perhitungan Boh
Cong-tiu sendiri, tidak lebih hanya dua tiga puluh orang.
Setelah semua orang kumpul, Boh Cong-tiu jelajahkan pandangannya ke sekelilingnya, lalu
katanya lantang: "Mana Lim Bu-siang" Kenapa dia tidak datang?"
Mimpi pun Ciok Heng tidak akan menduga bahwa Lim Bu-siang sudah dikibuli orang, hatinya
gugup seperti semut dalam kuali yang terbakar, terpaksa ia menjawab: "Siaute sudah suruh orang
mencarinya, harap Tongcu menunggunya sebentar!"
Tanpa terasa setengah sulutan dupa telah berselang, Lim Bu-siang tetap tidak kelihatan
bayangannya. Boh Cong-tiu mendengus, jengek-nya: "Kukira Lim Bu-siang budak kecil itu pasti
tidak berani berhadapan dengan aku, hm, tanpa alasan dia menyingkir, memangnya kita tidak
mampu menyelesaikan urusan besar?"--Kambrat-kambratnya segera bersorak dan memberi suara:
"Benar, siapa tahu sampai kapan kita harus menunggu, lekaslah kita selesaikan perundingan
urusan besar ini!" "Boh Cong-tiu," seru Siang Jing istri Ciok Heng, "meski kau sebagai piauko dari ciangbun kita,
tidak pantas kau bermulut kurang ajar terhadap ciangbun kita!"
"Kurang ajar apa, aku bekerja demi keadilan tidak persaudaraan, Lim Bu-siang si budak kecil itu
sudah melakukan tindakan salah yang hampir saja meruntuhkan perguruan kita, kalau dia berada
di sini, malah aku hendak memakinya berhadapan!"
"Kesalahan besar apa yang telah dia lakukan?" desak Siang Jing gusar.
"Memang aku hendak minta putusan terbuka dari para saudara seperguruan, kau tidak usah
mentang-mentang, nanti pasti akan kubeberkan di hadapan umum!"
Tiba-tiba Ciok Heng tampil ke depan, serunya lantang: "Nanti dulu!"
"O, Ciok-suheng, apa pula yang hendak kau katakan?" Boh Cong-tiu melirik dengan sikap
menghina dan pandang rendah.
"Harap tanya kepada Tongcu," kata Ciok Heng kalem, "kau katakan hendak merundingkan
urusan besar perguruan kita, kalau begitu jadi harus murid-murid perguruan kita baru ada hak ikut
merundingkannya bukan?"
"Sudah tentu!" "Baik, sebelum kita mulai perundingan ini, silakan kau suruh orang-orang luar itu
mengundurkan diri!" "Siapa orang-orang luar yang kau tunjuk?"
"Boh-tongcu, para sahabat yang kau bawa kemari ini, mereka bukan murid-murid Hu-siang-pay
bukan?" "Mereka justru murid-murid Hu-siang-pay, aku sendirilah yang menerima mereka sebagai
murid!" Dengan melotot bundar kedua mata Ciok Heng menyapu pandang kepada orang-orang itu, lalu
katanya dingin sambil menuding dua di antaranya: "Teman-teman yang lain aku tidak kenal, dua
orang ini kukenal dengan baik. Tuan ini adalah Hwe-hun-thong-cu yang berkuasa di Hay-lam-to,
dan dia adalah Kiau Hay-beng Thocu yang malang melintang di lautan timur. Benar tidak?"
Ternyata Hwe-hun-thongcu adalah kepala suku Le di Hay-lam-to, dia berkuasa penuh di sana
mengandal kepandaian sesatnya yang berbisa. Sementara Kiau Hay-beng adalah kepala gabungan
perampok di laut timur, kedudukan mereka di kalangan kangouw cukup tinggi.
Hwe-hun-thong-cu tertawa sambil mengelus jenggotnya, katanya: "Benar, aku ingat kau
pernah berkunjung ke Ngo-ci-san, terima kasih kau menempel lapisan emas di mukaku."
Sebaliknya Kiau Hay-beng berdiri di muka, katanya dengsn sikap hormat: "Ciok-susiok ada
pesan apa silakan katakan saja kepada siautit, tidak usah sungkan!" Badannya tinggi besar dan
kekar, usianya pun lebih tua dari Ciok Heng, sebagai laki-laki laksana menara besi membungkuk
badan serta membahasakan diri sebagai keponakan, tingkah lakunya sungguh amat lucu dan
menggelikan. Tapi semua orang tahu orang adalah gembong iblis yang membunuh orang tanpa
berkesip, ingin tertawa pun tidak berani.
"Apa salahnya akan kedua orang ini?" tanya Boh Cong-tiu.
"Semula mereka adalah tokoh-tokoh yang kenamaan, mendadak berubah jadi murid Hu-siangpay,
jangan kata aku tidak berani menjadi susiok mereka, mungkin orang tidak akan percaya pula,
Boh-tongcu, terlalu besar kelakarmu ini."
"Siapa berkelakar dengan kau, justru mereka punya nama yang sudah tenar, setelah menjadi
murid perguruan kita, bukankah bakhil menambah cemerlang nama perguruan kita, oleh karena
Kemelut Di Majapahit 4 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Senja Jatuh Di Pajajaran 5
^