Pencarian

Kelana Buana 5

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 5


hendak menarik Nyo Hoa, tidak duga belum lagi ia bicara habis, mendadak dilihatnya mata Song
Theng-siau mendelik garang seperti harimau kelaparan, alis pun bertaut, bentaknya keras: "Tidak
salah! Dia seorang penipu!?"Seiring dengan bentakannya, kedua jarinya merangkap terus
menjulur ke depan menotok ke arah lawan.
Tujuan Song Theng-siau hendak menawan orang hidup-hidup untuk dikompes keterangannya.
Maka ia hanya melancarkan ilmu totoknya, tanpa melancarkan ilmu yang ganas.
Mana dia menduga bahwa bekal kepandaian silat dan lwekang Toan Siu-si bahwasanya malah
lebih unggul dari dirinya, ilmu menutup jalan darah justru adalah keahliannya. Kalau dia gunakan
Cong-jiu-hoat melancarkan totokannya, mungkin sedikitnya bisa bikin Toan Siu-si merandek
karena kesemutan, lalu melabraknya dengan gencar, mungkin tindakannya ini menempatkan
dirinya pada posisi yang lebih menguntungkan. Tapi yang dia gunakan justru ilmu totok yang
paling umum, mana bisa dia merobohkan lawannya"
Begitu jari Song Theng-siau menotok ke depan, memang jarinya menyentuh tubuh lawan, tapi
ia seperti menotok sebuah benda yang lemas seperti kapas empuknya, sedikit pun tidak kuasa
mengerahkan tenaga. Untung Song Theng-siau pun seorang kawakan dalam bidangnya, begitu
merasa ganjil cepat sekali ia mengganti jurus melancarkan tipu lainnya sementara kakinya cepat
sekali melangkah menyingkir dengan gerakan Ih-sing-hoan-wi, menggeser kedudukan menarik
kembali tangannya. Semula Toan Siu-si hendak melaksanakan niatnya dengan akal muslihat saja, tapi rencananya
ternyata gagal, terpaksa harus menggunakan kekerasan. Gerak kedua pihak sama cepatnya, di
saat Song Theng-siau menggeser langkah menempatkan diri pada lain posisi sementara telapak
tangan Toan Siu-si yang mengandung bau amis tahu-tahu sudah menyelonong tiba.
Untunglah selama beberapa tahun berada di Siau-kim-jwan, karena sering diajak latihan oleh
Lu Su-bi mengembangkan ilmu ringan tubuh mengitari pohon menyelinap di antara taburan
kembang, dengan sendirinya Song Theng-siau pun sangat mahir akan ilmu ginkang ini, dan saat
inilah ia manfaatkan latihannya selama beberapa tahun dulu, dalam keadaan yang gawat itulah
tahu-tahu ia sudah menyelinap menyingkir meluputkan diri dari sambaran telapak tangan berbisa
Toan Siu-si. Begitu mengendus bau amis yang memualkan, keruan Song Theng-siau terperanjat, beruntun
ia menyurut mundur tiga langkah. Bicara lambat kenyataan teramat cepat, pada saat itulah
mendadak Toan Siu-si bukan mengejar ke arah dirinya malah memutar haluan menubruk ke arah
Nyo Hoa, tangannya meraih ke arah bocah cilik ini seraya bergclak tertawa: "Hahaha, anak yang
pintar, kaulah yang salah, aku tidak menipu kau. Kau jangan takut, ikut saja dengan aku!"
Mana Song Theng-siau mandah membiarkan orang merebut lari Nyo Hoa" Belum lagi raihan
tangan Toan Siu-si mengenai tubuh Nyo Hoa, tiba-tiba dirasakannya angin berkesiur menyambar
dari sebelah belakang. "Sret!" tahu-tahu Song Theng-siau sudah menusukkan pedangnya
mengarah punggungnya. Tahu orang melatih pukulan berbisa, tanpa sungkan Song Theng-siau dipaksa melolos
pedangnya menghadapi musuh. Ilmu keluarga Song mengutamakan kelincahan dan enteng, tipu
serangan ini tepat sekali datangnya, sedikit pun tidak meleset, sehingga musuh didesak untuk
menolong diri sendiri sebelum sempat melukai orang lain.
Toan Siu-si insyaf akan keliehayan tusukan pedang lawan, tanpa hiraukan cengkeraman kepada
Nyo Hoa tiba-tiba ia membalikkan telapak tangannya menyampuk. Pukulan membalik ini seperti
menutup laksana mengunci, di samping menyerang juga mengandung unsur menjaga diri,
sungguh serasi dan tepat sekali cara ia melayani serangan pedang lawan, memang kepandaian
mereka cukup setanding, apalagi Song Theng-siau juga rada jeri menghadapi ilmu pukulan lawan
yang mengandung racun, begitu tusukannya mengenai tempat kosong lekas ia mundur tidak
berani merangsak lebih lanjut, tersipu-sipu ia menggeser ke samping untuk melindungi
keselamatan Nyo Hoa. "Song-tayhiap!" ujar Toan Siu-si, "Memang aku tadi hanya membual, tapi aku tidak
mengandung maksud jahat kepada bocah ini."
"Apapun yang kau katakan, tujuanmu adalah ingin merebut bocah ini, jangan harap kau bisa
melaksanakan niatmu," demikian hardik Song Theng-siau.
"Urusan hari ini kukira kau sendiri tidak akan bisa pegang kepu-tusan!" demikian ejek Toan Siusi
tertawa besar. Suara lenyap orangnya pun sudah merangsak tiba. "Wut, wut, wut!" beruntun ia
melancarkan tiga pukulan berantai, damparan angin pukulannya laksana ombak badai sungai
Tiang-kang yang mengamuk bergulung-gulung menerpa ke depan. Kekuatan tenaga pukulan yang
dilandasi lwekang yang hebat ini, memang bukan olah-olah hebatnya, tak urung bercekat hati
Song Theng-siau. Tapi dengan nekad dan beraninya Song Theng-siau putar kencang pedangnya, sesenti pun
pantang bergeser dari kedudukan. Teriaknya: "Keponakan Hoa, sembunyi di belakangku,
sembunyi rada jauh sedikit!"
Mendadak Toan Siu-si tertawa, ujarnya: "Masa kau mampu melindungi dia?"--Belum lenyap
suaranya mendadak didengarnya Nyo Hoa menjerit keras, teriaknya:
"Paman tolong aku!"-Waktu Song Theng-siau berpaling ke belakang, tahu-tahu dilihatnya
seorang laki-laki berdagu panjang lancip- bermata sipit sudah mengempit Nyo Hoa di bawah
ketiaknya. Ternyata sebelumnya Toan Siu-si sudah mengatur rencana dengan suhengnya, dia suruh Pok
Thian-tiau bersembunyi di sekeliling gelanggang, kalau cara tipuannya gagal, Pok Thian-tiau harus
cepat turun tangan merebut bocah itu dan dibawa lari.
Dasar sejak kecil Pok Thian-tiau memang dibesarkan di hutan pegunungan, biasanya suka
bermain dan berkawan dengan orang hutan, maka ilmu ginkangnya itu boleh dikata adalah
pemberian alam tanpa latihan seperlunya, maka begitu berhasil merebut Nyo Hoa cepat sekali ia
sudah melarikan diri, sekejap saja bayangannya sudah menghilang dan tidak terlihat pula
jejaknya. Sudah tentu kejut Song Theng-siau bukan kepalang, meski ia tahu belum tentu ia mampu
mengejar Pok Thian-tiau, tapi ia masih berusaha mengejar dengan kencang. Kuatir sang suheng
kepayahan setelah terluka berat, begitu berlari jangka panjang lama kelamaan tentu kehabisan
waktu, mungkin bisa terkejar oleh Song Theng-siau. Maka, seperti bayangan mengikuti bentuknya
Toan Siu-si pun membuntuti di belakangnya. Dengan suara pongah ia berkakakan, oloknya:
"Song-tayhiap, bukankah tadi kau ajak aku berkelahi" Kenapa lari?" Ilmu ginkangnya memang
setanding dan berimbang dengan Song Theng-siau, maka setiap waktu Song Theng-siau harus
berlaku waspada kuatir lawan menyergap dan membokong secara licik dari sebelah belakang.
Lama kelamaan Song Theng-siau jadi murka, semprotnya: "Baik, aku adu jiwa saja dengan
kau!" Tiba-tiba ia putar tubuh, sementara pedangnya memancarkan cahaya terang.
"Sret!" dengan jurus Pek-hong-koan-jit, ujung pedangnya tahu-tahu sudah menyambar ke
teng-gorokan Toan Siu-si.
Toan Siu-si tertawa, ujarnya: "Kenapa kau marah begitu besar?" memiringkan tubuh ia berkelit
ke samping, sementara kedua lengannya terkembang laksana seekor burung bangau pentang
sayap, tahu-tahu sebuah telapak tangannya meluncur tiba mengarah ke bawah dagu lawan,
sementara telapak tangan yang lain membacok ke tulang pundaknya.
Tulang pundak adalah salah satu tempat terlemah di tubuh manusia, kalau sampai kena dipukul
remuk, betapapun tinggi kepandaianmu, selanjutnya bakal menjadi cacat dan punahlah ilmu
silatnya. Apalagi pukulan Toan Siu-si ini dilandasi oleh kekuatan racun, mana Song Theng-siau
mandah dirinya dijadikan sasaran empuk"
Mencelos hati Song Theng-siau, pikirnya: "Waktu ayah masih hidup, sering memberi petunjuk,
setiap kali menghadapi musuh jangan gugup dan gelisah, kenapa aku melupakan wejangan
beliau." Seiring dengan jalan pikirannya, secepat kilat menyambar, tiba-tiba ia lancarkan gaya Uikau-
jong-thian (burung jalak melambung ke udara), kontan tubuhnya melejit tinggi, "wut" pukulan
telapak tangan Toan Siu-si menyambar lewat dari bawah kakinya. Untung Song Theng-siau bisa
melejit begitu cepat, terlambat sedetik lagi, seandainya tulang pundak tidak terpukul hancur,
paling tidak kedua kakinya tidak bisa diselamatkan, pasti akan remuk redam.
Terdengar Toan Siu-si berseru memuji: "Gerakan bagus!" Song Theng-siau memang bukan
lawan lemah, belum lagi badannya hinggap di tanah, tahu-tahu pedang panjangnya sudah
menukik turun menusuk ke bawah, cepat Toan Siu-si menggunakan gaya menekuk pinggang
menancapkan dahan Liu, badannya merebah ke sebelah belakang, maka tampak sinar kemi-lauan
menyilaukan mata, beruntung sekali tusukan Song Theng-siau hanya menyelonong lewat di depan
mukanya terpaut serambut saja. Untung gaya permainannya cukup lincah dan gesit lagi, kalau
tidak tentu mukanya sudah berlubang, entah bagaimana akibatnya.
Terdengar Toan Siu-si memuji sekali lagi: "Bagus!" dua telapak tangan bergerak bersama
melancarkan Im-yang-siang-jong-ciang, sekaligus kedua telapak tangan bersama menabok ke
jalan darah Thay-yang-hiat di pelipis kepala Song Theng-siau.
Berdiri tegak alis Song Theng-siau, tiba-tiba ia merendahkan tubuh, sekaligus ia balas
menyerang dengan tipu Heng-sau-jian-kun (menyapu ribuan tentara), pedangnya beruntun
dipelintir membacok tiga kali ke bagian bawah Toan Siu-si. Tangkas sekali Toan Siu-si
menggeliatkan badan membalik ke sebelah kanan, sementara telapak tangan mengiris ke jalan
darah Hiat-hay-hiat di lambung bawah Song Theng-siau, dengan cara menyerang untuk membela
diri, sekaligus ia punahkan rangsangan pedang Song Theng-siau yang liehay.
Begitulah mereka bertempur sengit, pukulan melawan pedang serang menyerang dengan
hebatnya, yang terlihat hanya sambaran pedang dan bayangan kepalan tangan, masing-masing
membekal kepandaian yang sama liehay dan bagusjiya. Pakaian Song Theng-siau melambailambai,
permainan pedangnya pun teramat lincah seperti menari layaknya.
Diam-diam Toan Siu-si harus berpikir: "Tak heran nama bocah she Song ini waktu di Siau-kimjwan
sejajar dengan Beng Goan-cau. Meski ilmu pedang tidak seganas dan semantap permainan
ilmu golok Beng Goan-cau yang berat dan kuat, tapi cara perubahannya yang aneh sulit diraba
juga, dalam hal ini agaknya ilmu golok Beng Goan-cau tidak kuasa menandinginya juga.
Sementara Song Theng-siau sendiri juga mengeluh dalam hati, pikirnya: "Meski aku
menggunakan pedang pusaka namun aku tidak kuasa mengalahkan sepasang telapak tangan
kosongnya!" Pertempuran kira-kira berjalan sesulutan dupa wangi, menurut perhitungan Toan Siu-si
bagaimana juga Song Theng-siau tidak akan mampu mengejar suhengnya lagi, maka ia bergelak
tertawa, serunya: "Song-tayhiap! Kau hendak adu jiwa dengan aku, sebaliknya aku tiada niat
mempertaruhkan jiwaku. Maaf, aku tidak melayani lebih lanjut!"
Habis kata-katanya sebat sekali Toan Siu-si membalik tubuh. kakinya melangkah laksana angin
cepatnya, ia berlari ke arah yang berlawanan dengan arah Pok Thian-tiau, satu ke timur yang lain
ke arah barat. Ginkang Song Theng-siau tidak kalah dibanding Toan Siu-si, tapi dalam keadaan yang serba
sulit dan mengenaskan begini, kalau dia mengejar Toan Siu-si, berarti ia menuju ke arah yang
berlawanan dengan Pok Thian-tiau yang membawa lari Nyo Hoa, bukankah jaraknya semakin jauh
malah" Bagi Song Theng-siau yang terpenting segera harus merebut kembali Nyo Hoa dari
cengkeraman musuh. Dan lagi, seumpama ia berhasil menyan-dak Toan Siu-si, paling-paling
hanya berimbang tidak kuasa mengalahkan dia, apa gunanya" Demikian batin Song Theng-siau.
Di saat Song Theng-siau ragu-ragu dan sulit mengambil keputusan itulah, dalam sekejap saja
bayangan Toan Siu-si sudah jauh dan tidak kelihatan lagi.
Setelah lari rada jauh, melihat Song Theng-siau tidak mengejar, berpikirlah Toan Siu-si:
"Tampang suheng lucu dan menakutkan, jangan-jangan bocah itu bisa ketakutan." Sebelumnya ia
sudah berjanji dengan Pok Thian-tiau untuk bertemu di suatu tempat yang ditunjuk, maka segera
ia memutar haluan, cepat-cepat menyusul ke tempat yang dijanjikan.
Sambil mengempit Nyo Hoa, Pok Thian-tiau lari bagai terbang. Nyo Hoa berkaok-kaok: "Kunyuk
buruk, lepaskan aku, lepaskan!"
"Kau maki aku buruk, justru aku tidak mau lepaskan!" sahut Pok Thian-tiau.
"Baiklah aku tidak memaki kau. Kau adalah orang baik, lekas lepaskan aku," pinta Nyo Hoa.
"Tidak memaki juga tidak kulepaskan. Memangnya aku bukan orang baik-baik".
Nyo Hoa jadi nekad, makinya: "Bagus, kau ini manusia jelek memang jahat, coba kau mau
lepaskan tidak." Mendadak ia menggigit lengan Pok Thian-tiau yang penuh bulu hitam. Sudah tentu Pok Thiantiau
tidak menduga sebelumnya, sehingga lengannya kena digigit berdarah, saking kesakitan ia
menjerit keras-keras. Nyo Hoa tertawa senang.
Keruan Pok Thian-tiau gusar, makinya: "Anak keparat, sudah menggigit berani tertawa lagi, biar
kau pun tahu keliehayanku." baru saja ia angkat tangan hendak menggablok pantatnya tiba-tiba
dilihatnya Toan Siu-si berlari kencang mendatangi dari kejauhan membentak: "Jangan kau sakiti
bocah itu!" Meski Pok Thian-tiau sebagai suheng, namun karena ilmu silat dan pengalaman kalah daripada
sutenya, selalu ia dengar dan patuh pada sutenya ini. Karena bentakan Toan Siu-si ini terpaksa ia
urungkan niatnya, tapi rasa gusarnya belum terlampias, omelnya: "Bocah ini benar-benar nakal
dan kurang ajar, kalau tidak dihajar tentu tidak kapok."
Toan Siu-si tertawa ujarnya: "Kenapa Pok suheng meladeni bocah kecil" Begitu keras watak
bocah ini, aku malah senang padanya!"
"Aku tidak peduli dan tidak sudi kalian senangi," seru Nyo Hoa. "Aku hendak kembali mencari
paman Song saja." Toan Siu-si mengelus-elus kepalanya katanya: "Kau tidak akan bisa menemukan paman Song,
anak baik, kau sudah letih, jangan takut kau tidur saja!"-
Belum selesai ia bicara, benar juga Nyo Hoa lantas menutup kedua matanya tertidur pulas.
Ternyata di saat Nyo Hoa tidak siaga mendadak Toan Siu-si menotok jalan darah Hun-swe-hiat.
Dari tangan suhengnya, Toan Siu-si menerima Nyo Hoa, serta katanya tertawa: "Untung kau
tidak menyakiti bocah ini."
Pok Thian-tiau tersentak sadar, serunya: "Benar, kita kan hendak menuntut balas kepada Beng
Goan-cau dengan menyandera bocah ini, sudah tentu tidak boleh menyakitinya. Bagus, sekarang
juga mari kita labrak Beng Goan-cau. Ha-ha-ha, suruh dia berlutut dan menyembah tiga kali
kepada kita." Mendadak Toan Siu-si berkata dingin: "Tidak, sekarang kita kembali ke Tiam-jong!"
Pok Thian-tiau melengak, serunya: "Apa, sekarang juga kita kembali ke Tiam-jong-san" Lalu
kau tidak ingin mencari Beng Goan-cau menuntut balas?"
Berkata Toan Siu-si pelan-pelan: "Aku hendak mendidik bocah ini menjadi muridku. O, ya,
bagaimana kalau kau pun menjadi salah seorang gurunya" Kita mendidiknya bersama."
Pok Thian-tiau uring-uringan, sahutnya: "Bocah ini nakal dan sulit dilayani, tadi aku hanya
menggendong sebentar lantas kena digigit olehnya, wah rasanya sakit bukan main, apa perluku
menerima dia sebagai murid" Hm, aku tidak mau menelan kesukaran belaka. Tapi jangan kau
salahkan aku terlalu cerewet, ingin aku bertanya kepadamu, sungguh aku tidak paham, untuk apa
kau berbuat demikian, apakah benar-benar kau sudah tertarik pada bocah ini?"
"Pertama memang aku sudah tertarik pada bocah ini, kedua adalah untuk menuntut balas pada
ayahnya." Pok Thian-tiau garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, katanya: "Aku jadi semakin bingung,
kau mendidik dan mengasuh anaknya Beng Goan-cau, cara bagaimana bisa dikatakan untuk
menuntut balas?" "Kau tak usah gelisah, pelan-pelan kujelaskan," dengan kalem Toan Siu-si menjelaskan. "Beng
Goan-cau adalah buronan pihak kerajaan, Tiam-lam-su-hou yang malam itu meluruk ke rumah
Beng Goan-cau sebelum kita tiba adalah kaki tangan pemerintah yang mendapat tugas untuk
membekuknya. Hal ini kukira kau sudah tahu."
"Ya, Tiam-lam-su-hou kena dilabrak kocar-kacir dan melarikan diri oleh siau-sumoay Beng
Goan-cau, hal itu aku pun melihat sendiri. Percakapan mereka pun kudengar sendiri. Lalu ada
sangkut paut apa kejadian itu dengan urusan kita?"
"Akhirnya di waktu kita melarikan diri dari taman bunga itu, kudapati pula seseorang sedang
sembunyi di sana. Kukira kau tidak memperhatikan bukan?"
Waktu itu Pok Thian-tiau lari terbirit-birit keadaannya sangat mengenaskan, mana ada
perhatian mengawasi keadaan sekelilingnya, mendengar ucapan sutenya, tak urung merah
mukanya, katanya: "Sungguh memalukan, sedikit pun aku tidak tahu. Apakah orang itu menguntit
di belakang kita?" "Bukan. Dia pun melarikan diri. Dia lari ke arah yang berlawanan dengan kita."
"Siapakah dia?"
"Ciok Tio-ki itu wakil komandan Gi-lim-kun."
Pok Thian-tiau heran, tanyanya heran: "Gembong penjahat tunggal Ciok Tio-ki yang kenamaan
di kangouw itu maksudmu?"
"Sedikit pun tidak salah, memang dia itulah. Dia adalah atasan Tiam-lam-su-hou."
"Aneh, konon kepandaian Ciok Tio-ki cukup liehay, kenapa dia berpeluk tangan menonton saja"
O, aku paham sekarang, mungkin melihat kita pun kena dikalahkan saking ketakutan ia pun
mencawat ekor melarikan diri tanpa berani tampil ke depan. Hm, kalau begitu kiranya.orang itu
hanya bernama kosong belaka, bahwasanya nyalinya kecil seperti tikus!"
"Belum tentu begitu. Tapi bagaimana perhitungan Ciok Tio-ki sebenarnya kita tidak usah peduli
padanya. Bahwa Beng Goan-cau menjadi buronan pemerintah kerajaan hidupnya tidak akan
tenang, seumpama Ciok Tio-ki sendiri tidak berani mencari perkara padanya, masih ada jago-jago
Bhayangkari pihak istana raja yang terus mengejar jejaknya."
"Kau bicara setengah harian, aku masih belum paham. Kenapa kelihatannya kau rada
menguatir-kan keselamatan Beng Goan-cau malah?"
"Benar, memang aku menguatirkan keselamatannya, tebakanmu sedikit pun tidak meleset! Bila
dia seorang diri sih masih mending, kalau membawa-bawa bocah ini, celakalah dia!"
"O, jadi kau hendak mewakili Beng Goan-cau memikul bebannya ini, supaya bocah ini selamat
dan dia pun tidak kerepotan mengurus anaknya."
"Suheng, kali ini kelihatannya kau menjadi pintar malah, tebakanmu tepat semua. Tapi bocah
ini memang mungil dan menarik sekali."
Pok Thian-tiau garuk-garuk kepala lagi, ujarnya: "Tidak kau katakan sih mending, mendengar
ucapanmu ini aku semakin bingung. Bukankah kau hendak menuntut balas kepada Beng Goancau"
Tapi tindakanmu ini, berbalik akan membuat Beng Goan-cau hormat dan berterima kasih
akan kebaikan budimu."
"Benar, memang aku hendak membuat musuh kita hutang budi dan berterima kasih pada kita."
"Kenapa?" "Membikin musuh hutang budi dan merasa haru adalah cara membalas dendam yang paling
baik. Coba kau pikir, semula dia anggap kita sebagai musuh, mendadak datang suatu ketika, kita
sudah mendidik dan mengasuh anaknya sampai besar, mengajarkan kepandaian silat tinggi lagi,
baru- setelah tamat kita bawa pulang' dan {(diserahkan kepadanya. Coba bayangkan betapa kikuk
dan risi keadaannya waktu itu" Haha, dan lagi setelah menerima hutang budi kita dia pun tidak
akan mampu membalas kebaikan ini. Cara balas dendam demikian bukankah cukup
menyenangkan?" "Sute, jalan pikiranmu sungguh aneh. Tapi kalau toh begitu rencanamu, aku pun akan menurut
saja." "Kita bisa ajarkan segala ilmu silat yang kita bekal umpamanya Ling-wan-pou-hwatmu itu, pada
jaman ini tiada orang yang dapat menandingi kau, bila bocah ini sudah mempelajari
kepandaianmu, dia bisa menyebar luaskan namamu bukan."
Dasar Pok Thian-tiau seorang dungu, pikirannya pun terlalu sederhana, mendengar umpakan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sutenya ini ia jadi berjingkrak kegirangan, pikirnya: "Memang, untuk memulihkan seluruh
kepandaianku seperti sediakala, jelas tiada harapan lagi. Bila bersama sute dapat mendidik
seorang murid yang jempolan aku pun bakal menerima pujian orang. Mendadak ia mendapat
suatu akal, tanpa merasa Pok Thian-tiau tertawa terbahak-bahak. Tawanya ini bikin Toan Siu-si
bingung dan heran, tanyanya: "Suheng, apa yang kau tertawakan?"
"Aku punya akal. Bukankah bocah ini belum tahu ayah kandungnya sendiri" Kita pun tidak perlu
beritahu kepadanya, setelah dia tamat mempelajari seluruh kepandaian kita, suruh dia pergi
menantang kepada Beng Goan-cau untuk adu kepandaian. Sute, menurut pendapatmu, setelah
bocah ini mendapat gemblengan dari seluruh kepandaian kita, mungkin bisa mengalahkan
ayahnya tidak?" "Bagus! Bagus!" puji Toan Siu-si. "Tak nyana kau pun bisa memikirkan suatu akal yang lucu
dan menyenangkan ini. Bila bocah ini dapat belajar semua kepandaian kita, tanggung pasti bisa
mengalahkan ayahnya. Tatkala itu bukan saja Beng Goan-cau akan hutang budi pada kita, dia pun
akan memuji dan kagum. Hahaha, dia kena dikalahkan oleh murid kita, berarti jauh lebih berarti
dari kita sendiri yang menuntut balas padanya."
"Tapi aku kuatir watak bocah ini yang keras kepala sulit ditundukkan, entah dia mau tidak kita
jadikan murid?" "Kupikir bocah biasanya sulit menaruh kebencian, asal sikap kita halus dan baik-baik
menghadapinya, setelah sekian lama, akhirnya dia pasti mau ajak kita bicara."
Tidur Nyo Hoa sangat pulas, Pok Thian-tiau mengelus-elus kedua pipinya yang montok merah
laksana delima, serta merta timbul rasa iba dan sayangnya. Katanya tertawa: "Aneh, sekarang aku
pun merasa tertarik dan sayang kepada bocah ini. Sute jangan tergesa-gesa kau buka totokan
jalan darahnya, biar dia tidur lebih lama, marilah sekarang kita pulang."
Apakah Nyo Hoa mau menjadi murid Tiam-jong-siang-sat, cerita ini kita teruskan di sebelah
belakang. Kini marilah kita mengikuti pengalaman Song Theng-siau selanjutnya.
Di saat Tiam-jong-siang-sat dengan riang gembira membopong Nyo Hoa pulang, adalah saat itu
Song Theng-siau mendelu bukan main, ingin menangis air mata tidak dapat keluar, hatinya
gundah dan pikiran pepat.
Dengan kedua kakinya yang terasa berat selangkah demi selangkah, ia melanjutkan ke depan
me-nyelusuri jalan pegunungan yang semalam dilalui oleh Hun Ci-lo, jalanan kecil di pegunungan
ini dulu entah sudah berapa kali pernah ia lalui.
"Anak mereka hilang di tanganku, cara bagaimana aku ada muka menemui mereka" Tapi
betapapun menantu jelek harus menghadap pada bapak mertua," demikian pikir Song Theng-siau
sambil tertawa getir, lalu terpikir pula olehnya: "Entah darimana asal-usul kedua orang aneh itu,
untuk apa mereka merebut anak Goan-cau" Goan-cau jauh lebih jelas terhadap sesama kaum
persilatan, mungkin dia bisa tahu siapa mereka adanya. Bagaimanapun juga urusan sudah terjadi,
terpaksa harus kujelaskan duduk perkaranya kepada mereka. Kita bertiga bisa berpencar untuk
mencarinya, cara ini lebih baik daripada aku luntang-lantung tanpa tujuan tertentu."
Segumpal awan menutupi bulan sabit yang memang hanya memancarkan sinar redupnya,
dengan menempuh hujan gerimis diam-diam Song Theng-siau menyelundup masuk ke taman
bunga keluarga Hun. Awan mendung dan hujan gerimis rintik-rintik, keadaan ini persis benar waktu Song Theng-siau
pamit kepada Hun Ci-lo untuk pergi ke Siau-kim-jwan bersama Beng Goan-cau.
Keadaan malam itu seperti terbayang di depan mata, mereka berdiri berendeng di bawah teras
kembang, diam tak bersuara Hun Ci-lo mendengarkan kata-katanya. Lampu lampion di pojok
emperan bergoyang gontai dihembus angin malam, sembari mendengar penjelasannya Hun Ci-lo
meremas-remas kelopak kembang, habis penjelasan tampak tanah sekitar kakinya penuh ditaburi
kelopak kembang. Masih segar dalam ingatan Song Theng-siau seluruh adegan malam itu. Waktu itu adalah
malam perpisahan, malam ini dia kembali, tapi sama-sama malam yang gerimis, perasaan yang
sama pula. Namun keadaan taman bunga itu sudah jauh berbeda, teras kembang itu sudah roboh, lampion
yang tergantung di emperan rumah pun sudah tiada, cuma di atas loteng kecil sana kelihatan sinar
pelita. "Ci-lo tentu berada di atas loteng itu bersama Goan-cau," demikian batin Song Theng-siau.
Berdiri di bawah teras kembang yang sudah roboh, badan Song Theng-siau semakin kuyup
ditimpa hujan gerimis, angin malam menghembus lalu, tiba-tiba Song Theng-siau bergidik
kedinginan. Tersentak sanubarinya, benarkah perasaanku sama seperti dulu" Tidak, seharusnya
aku berani mengakui bahwa perasaannya sekarang jauh lebih sedih dari malam perpisahan itu. Di
kala berpisah dengan Hun Ci-lo dulu, meski ia merasa sedih namun ia membawa setitik harapan.
Kini harapan itu sudah luber, malah ditambah malu menyesal dan tidak tentram lagi. Karena ia
kehilangan anak Goan-cau dari tangannya.
Tapi bagaimana juga akhirnya ia memberanikan diri beranjak maju sampai di bawah jendela
loteng kecil itu. Setelah batuk-batuk ia lalu membuka mulut memanggil: "Goan-cau, Goan-cau!"
suaranya lirih dan tertahan. Karena kuatir Hun Ci-lo pun berada di atas loteng maka ia tidak berani
main terobosan naik ke atas loteng.
Sesuatu di luar dugaan terjadi, mendadak daun jendela terbuka muncul seraut wajah gadis ayu
rupawan. Gadis ini terang bukan Hun Ci-lo, dilihat dari sebelah samping hampir mirip dengan Lu
Su-bi, tapi dia bukan Lu Su-bi.
Perempuan yang kenal sama Beng Goan-cau hanya dua orang yaitu Hun Ci-lo dan Lu Su-bi, hal
ini Song Theng-siau tahu benar. Lalu siapakah gadis rupawan ini" Kenapa dia sembunyi di kamar
loteng Beng Goan-cau"
Di kala Song Theng-siau masih tertegun kaget, gadis itu sudah menggunakan gaya burung
walet menerobos kerai gesit sekali tiba-tiba tubuhnya jumpalitan melampaui pagar meluncur ke
bawah dan hinggap di hadapannya.
Waktu Song Theng-siau menegasi memang gadis yang belum pernah dikenalnya, seperti
dirinya pula gadis ini mengunjuk rasa heran dan kaget menatap dirinya.
"Siapa kau?" hampir bersama kedua pihak mengajukan pertanyaan.
"Aku she Song. Aku adalah sahabat Beng Goan-cau, sengaja aku menyusul kemari
mencarinya!" "Aku pun sedang mencari Beng Goan-cau. O, kau she Song" Jadi kaulah Song Tayhiap Song
Theng-siau yang dulu bersama Beng Goan-cau berada di laskar gerilya di Siau-kim-jwan?"
Semakin heran Song Theng-siau dibuatnya, katanya: "Agaknya aku belum pernah melihat kau,
apakah nona juga dari Siau-kim-jwan?" " " Pikirnya: "Mungkin dia salah seorang thaubak
perempuan yang terjun ke dalam laskar gerilya setelah aku meninggalkan Siau-kim-jwan, kini
mendapat perintah dari Ling Tiat-jiau dan Siau Ci-wan untuk menemui Beng Goan-cau?" demikian
ia menduga-duga dalam hati.
Gadis itu tersenyum, ujarnya: "Aku belum pernah ke Siau-kim-jwan, sudah tentu kau tidak bisa
melihat aku." "Kalau begitu maaf akan kece-robohanku, entah siapa nama harum nona" Kapan pula kau
berkenalan dengan Beng Goan-cau?"
"Aku she Lim, bernama Bu-siang. Dengan Beng Goan-cau aku juga belum kenal."
Terbelalak mata Song Theng-siau, serunya tergagap: "Jadi kau, kau..."
"Mungkin kau heran kenapa aku mencari Beng Goan-cau bukan" Aku diminta bantuan seorang
sahabat untuk menyampaikan sepucuk surat kepadanya."
"Siapa orang itu?"
"Sahabat itu pun tidak kenal kalian, tapi mungkin kalian pernah dengar namanya."
Benar-benar suatu kejadian di luar dugaan umumnya, seorang yang tidak kenal sama Beng
Goan-cau minta bantuan seorang gadis yang belum pernah ketemu Beng Goan-cau mengantar
surat. Bahna heran bertanyalah Song Theng-siau: "Dari penuturan nona Lim ini, kukira orang itu tentu
seorang tokoh yang cukup kenamaan dan punya kedudukan serta wibawa di bulim, entah
siapakah dia?" "Tepat dugaanmu, orang itu tak bukan tak lain adalah Kini Tayhiap Kim Tiok-liu yang kenamaan
itu." Tak urung terkejut pula Song Theng-siau dibuatnya, ternyata Kim Tiok-liu adalah putra tunggal
Kim Si-ih maha guru dari salah satu aliran tersendiri, suhengnya Kang Hay-thian kini sudah diakui
sebagai tokoh silat nomor satu di seluruh bulim. Tapi belakangan ini ada orang pernah bilang
bahwa kepandaian silat Kim Tiok-liu sudah lebih unggul dari suhengnya. Pendek kata Kim Tiok-liu
dan Kang Hay-thian adalah dua tokoh silat kenamaan yang paling dikagumi oleh Song Theng-siau.'
Bahwa gadis belia ini ternyata adalah sahabat Kim Tiok-liu, tanpa sadar Song Theng-siau
menaruh hormat dan bersikap lembut kepadanya.
Akan tetapi dalam benak Song Theng-siau masih dirundung rasa curiga, pergaulan Kim Tiok-liu
dan Kang Hay-thian teramat luas sekali, kenapa dia minta bantuan seorang gadis muda untuk
mengantarkan suratnya" Meski bagi kaum persilatan paling tidak mengindahkan adat istiadat yang
serba kaku, tapi bila menyuruh salah seorang lelaki yang punya sedikit hubungan dengan pasukan
gerilya dari Siam-kim-jwan bukankah jauh lebih tepat"
Sudah tentu tidak enak ia kemukakan perasaan hatinya ini, setelah berpikir sejenak Song
Theng-siau berkata pula: "Kim Tayhiap mengutus nona mengantar surat, tentu ini menyangkut
suatu persoalan amat penting?"
Kata Lim Bu-siang: "Istri Kim Tiok-liu adalah Pangcu Liok-hap-pang yang bernama Su Ang-ing,
aku menjadi sahabat kental dengan mereka suami istri. Sebelum aku kemari beberapa bulan
terakhir ini, aku menetap di rumah mereka.
"Kukira Song Tayhiap juga tahu bahwa Liok-hap-pang merupakan Pang (sindikat) yang paling
terbesar di kangouw, banyak mata kupingnya yang tersebar luas di mana-mana, beritanya cukup
cekatan dan cepat. Mereka mendapat sebuah berita yang dapat dipercaya, bahwa jagoan kosen
yang diutus oleh pihak kerajaan punya maksud-maksud tertentu terhadap Beng Goan-cau,
jelasnya maksud itu amat merugikan bagi dia."
"Menurut berita, jagoan kosen yang diutus keluar kali ini bukan satu dua orang saja, mereka
terdiri dari dua rombongan. Salah satu di antara mereka mungkin merupakan lawan tangguh yang
sulit dihadapi oleh Beng Goan-cau sendiri. Aku terlalu senggang tinggal di rumah mereka, maka
Kim-hujin lantas berunding dengan aku, toh aku memang tidak punya kerjaan, maka dia mohon
bantuanku untuk mencapaikan diri menyampaikan berita buruk ini kemari. Bilamana benar-benar
kebentur dengan orang itu. aku dapat mewakili dia menghadapinya."
Lim Bu-siang sama seperti Lu Su-bi gadis remaja yang polos dan sederhana, meski usianya
mungkin rada lebih besar dari Lu Su-bi, tapi jauh lebih kurang pengalaman dalam pergaulan. Maka
apa yang pernah dibicarakan oleh Kim Tiok-liu suami istri tanpa tedeng aling-aling lagi ia
sampaikan begitu saja. Sudah tentu beberapa patah kata yang diucapkannya itu bagi pendengaran
Song Theng-siau cukup menusuk perasaannya.
Berpikirlah Song Theng-siau: "Musuh yang Beng-toako tidak mampu menghadapi, masakah kau
lantas mampu menghadapinya?" -Kepandaian silat Beng Goan-cau yang tinggi dan hebat itu Song
Theng-siau sudah tahu benar. Paling banyak usia Lim Bu-siang baru menanjak dua puluh dua. dua
puluh tigaan, sudah tentu ia tidak mau percaya bahwa kepandaian silat
Lim Bu-siang ini jauh lebih tinggi dari kemampuan Beng Goan-cau.
Sudah tentu Song Theng-siau merasa, uring-uringan, tanyanya: "'Orang macam apa saja.
jagoan kosen yang diutus pihak kerajaan, di antara mereka, siapa pula yang paling liehay" Kukira
Liok-hap-pang tentu sudah menyirapi dengan jelas, apakah nona Lim boleh beri-tahu kepada
aku?" 'Rombongan pertama adalah wakil komandan Gi-lim-kun Ciok Tio-ki yang memimpin Tiam-lamsu-
hou." Song Theng-siau tertawa lebar, ujarnya: "Tiam-lam-su-hou, julukannya Su-hou (empat
harimau), dalam pandangan kami tidak lebih hanya empat ekor kucing pilek. Kabarnya kepandaian
Ciok Tio-ki memang cukup hebat, tapi belum tentu Beng-toako tidak mampu menghadapi dia."
Dasar Song Theng-siau punya sifat-sifat congkak, setiap ucapannya tidak memberi angin
kepada orang, kata-katanya cukup tajam mengandung sindiran. Tapi dasar berhati polos, sedikit
pun Lim Bu-siang tidak merasakan bahwa sindiran tajam itu ditujukan kepada dirinya. Sebagai
gadis yang kurang pergaulan dan tidak punya pamrih apa-apa, mendengar sanggahan Song
Theng-siau, dia malah kagum dan manggut-manggut. Katanya: "Kisah kepahlawanan kalian waktu
berada di Siau-kim-jwan, Kim Tayhiap suami istri ada menceritakan kepadaku, dalam pandangan
kalian Tiam-lam-su-hou sudah tentu hanya empat ekor kucing yang sakit-sakitan belaka."
Song Theng-siau maklum bahwa orang memang merasa kagum dan takjub benar-benar,
setelah mendengar pujiannya ini, ia jadi rikuh dan kikuk sendiri, cepat ia menambahkan: "Kalau
Kim Tayhiap dibanding kami berdua, wah, betul-betul membuat kami malu diri. Entah orang kosen
macam apa pula rombongan kedua yang diutus pihak kerajaan?"
"Rombongan kedua ini hanya terdiri satu orang, sebetulnya tidak terhitung rombongan, soalnya
aku hanya mengiring kata saja dan salah menggunakan istilah."
"O, hanya seorang?"
"Benar, tapi orang ini justru tokoh yang teramat liehay, jauh lebih liehay berlipat ganda dari
Ciok Tio-ki." "Siapakah dia?" Lim Bu-siang rada sangsi, batinnya: "Menurut berita yang disampaikan dari Su
Ang-ing, lapat-lapat bahwa orang itu adalah sukong dari Boh-piauso, tapi belum dapat dipastikan,
piauso dan piauko paling pantang urusan kita diketahui orang luar, tak enak bila aku salah
mengatakan orang " "Apakah nona Lim tidak tahu?" tanya Song Theng-siau lebih lanjut.
"Su Ang-ing cici hanya mengatakan demikian, ia tidak menjelaskan nama orang itu kepadaku."
Tambah heran dan curiga pula Song Theng-siau dibuatnya, pikirnya: "Entah bagaimana asalusul
nona Lim ini, agaknya berhubungan kental dengan Pangcu Liok-hap-pang atau istri Kim
Tayhiap" Dari lagak lagunya dia memang seorang gadis polos yang jujur, tak mungkin dia tahan
harga, sengaja hendak main sembunyi?"
Maka ia lantas berkata: "Nona, harap maaf bila aku agak sembrono. Kalau toh orang itu amat liehay, apakah Kim-hujin
begitu lega hati menyerahkan tugas ini kepadamu untuk menghadapi orang itu?"
Lim Bu-siang mengunjuk rasa malu-malu gadis remaja umumnya, katanya tertawa: "Aku tahu
kepan-daianku kurang becus, tapi Ang-ing cici menganjurkan dan memberi dorongan kepadaku,
supaya aku tidak usah takut, katanya seharusnya aku bisa menghadapi orang itu. Aku sendiri pun
tidak tahu apakah ucapannya itu benar atau umpakan belaka, tapi selama aku menetap di
rumahnya, banyak kulihat orang-orang gagah dalam pangnya itu, siapa saja yang tidak berani
mati" Kupikir kalau toh Ang-ing cici menyerahkan tugas penting ini kepadaku, kalau aku takuttakut
segala, masa ada muka aku menjadi tamu pihak Liok-hap-pang. Maka aku memberanikan
diri meluruk kemari."
Bahwasanya ada persoalan tersembunyi yang tidak diketahui oleh Lim Bu-siang, bahwa Kim
Tiok-liu suami istri menganjurkan dia datang bukan saja memang untuk menghadapi orang yang
dimaksud itu, di balik persoalan, mereka punya tujuan tertentu. Pikir mereka biarlah dengan
kesempatan ini supaya Lim Bu-siang bisa berkenalan dengan Beng Goan-cau. Seluk beluk
mengenai persoalan ini baiklah kami tuturkan di sebelah belakang.
Mendengar uraiannya itu, diam-diam Song Theng-siau merasa kagum, batinnya: "Kelihatannya
dia seorang gadis yang tidak tahu urusan, bahwasanya ternyata seorang perempuan gagah dan
pemberani yang lemah di luar, keras di dalam."
Berkatalah Lim Bu-siang lebih lanjut: "Dan lagi kedatanganku ini hanya memberi kabar saja,
belum tentu bakal bentrok langsung dengan orang itu," di balik kata-katanya ia mau berkata,
meski Kim-hujin ada bilang ia mampu menghadapi orang itu, sebenarnyalah dalam hati ia sendiri
tidak punya pegangan yang mantap.
Kini Song Theng-siau maklum bahwa gadis remaja ini bukan ngelantur kepadanya, cuma belum
pengalaman dan tidak tahu seluk beluk sesuatu perkara, lambat laun kesannya cukup mendalam
dalam sanubarinya, maka ia lantas tanya: "Berapa lama kau tiba di sini?"
"Kira-kira baru setengah jam!"
"Kau tidak ketemu Beng Goan-cau?"
"Tidak! Entah dia sudah tinggal pergi atau kebetulan sedang keluar. Aku sedang menulis
sepucuk surat untuk kutinggalkan di sini, tahu-tahu kau pun sudah tiba.*' "
Song Theng-siau berpikir: "Goan-cau hendak menunggu kabar berita yang dibawa Kwi-hwethio,
kecuali ia sudah bertemu dengan Hun Ci-lo, kalau tidak, tidak mungkin meninggalkan rumah
begitu saja." "--Tanyanya:
"Adakah kau ketemu dengan seorang perempuan?"
"Perempuan macam apa?"
"Perempuan itu bernama Hun Ci-lo, kira-kira berusia dua puluh tujuh, dua puluh delapan,
mengenakan pakaian berkabung."
"Waktu aku beranjak memasuki perkampungan ini, memang aku ada bertemu dua gadis
pemetik teh yang pulang terlambat, tapi perempuan yang seperti kau lukiskan, aku tidak pernah
melihatnya." Song Theng-siau jadi putus asa, perasaan hatinya yang tegang pun menjadi kendor seketika,
karena dia tidak perlu segera menghadapi perasaan kikuk yang mengenaskan.
Begitu bayangan Cong Sin-liong muncul dan hinggap di tanah, ia lantas membentak: "Beng
Goan-cau, kalau nyalimu besar, mari keluar bertanding pedang dengan aku!"
Diam-diam Song Theng-siau membatin dalam hati: "Mungkinkah mereka sudah minggat ke
tempat yang jauh?" Lim Bu-siang seperti dapat meraba jalan pikirannya, katanya: "Maksud kedatanganku hanya
hendak memberi tahu bahwa bencana bakal menimpa dirinya, dan akan kubujuk supaya dia lekas
menyingkir ke tempat yang jauh. Jikalau benar dia sudah pergi, malah lebih baik dan melegakan
hatiku. Kua-tirnya kalau dia hanya kebetulan keluar saja, dan belum mendapat berita akan bahaya
ini, sebentar tentu dia akan pulang kembali."
Song Theng-siau tertawa besar, ujarnya: "Beng Goan-cau adalah laki-laki yang tidak mengenal
rasa takut, dia tidak akan gentar menghadapi segala bencana. Tapi aku yakin bahwa dia memang
sudah meninggalkan tempat ini."
Lim Bu-siang jadi heran, tanyanya: "Kenapa dia meninggalkan rumahnya?"
Song Theng-siau membatin: "Liku-liku persoalan ini tidak enak aku menjelaskan kepadamu."
Baru saja ia hendak mencari alasan sebagai jawaban, tiba-tiba sayup-sayup didengarnya dari
kejauhan ada suitan panjang. Kontan Lim Bu-siang berubah air mukanya, katanya: "Celaka, orang
itu sudah datang! Song Tayhiap, kau, lekas kau sembunyi saja!"
Bertaut alis Song Theng-siau, katanya: "Nona Lim, demi seorang yang tidak kau kenal, kau
berani tampilkan diri menanggulangi kesukaran orang, hubunganku dengan Goan-cau laksana
saudara sekandung sendiri, mana bisa aku diam saja tinggal berpeluk tangan" Bila Goan-cau
berada di sini, dia tentu tidak akan menyembunyikan diri, aku pun tidak bisa bikin malu dan
menurunkan pamornya, meski aku bukan tandingan musuh betapapun aku harus mewakili Goancau
menghadapinya. Nona Lim, kebaikanmu ini kuterima setulus hati, kalau aku memang tidak
ungkulan, silakan kau maju membantu!"
Lim Bu-siang tercengang, batinnya: "Kalau aku berebutan dengan dia, mungkin dia salah
paham anggap aku pandang rendah dirinya. Didengar dari suara suitannya itu, yang datang jelas
memang Cong Sin-liong adanya. Biarlah aku bekerja melihat gelagat."
Suitan panjang itu laksana auman singa seperti jeritan naga, dari jauh semakin dekat, semula
kedengaran masih berada di puluhan li jauhnya, dalam sekejap mata seorang laki-laki tinggi
berjenggot cabang tiga tahu-tahu sudah muncul di dalam taman bunga. Setelah dekat suara


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suitan terasa mendengung memekakkan telinga, benar-benar suaranya tiba orangnya pun datang,
wibawanya memang mengejutkan orang.
Lim Bu-siang sembunyi di belakang batu gunung-gunungan palsu, waktu mengintip keluar
diam-diam bercekat hatinya, pikirnya: "Kiranya benar Cong Sin-liong adanya."
Ternyata dia sealiran tapi lain cabang dengan Cong Sin-liong, dinilai dari tingkatan Cong Sinliong
ini adalah sukong (bapak guru) dari piausonya, berarti pula paman gurunya.
Begitu badan Cong Sin-liong muncul dan melayang tiba, segera ia membentak: "Beng Goancau,
kalau kau berani mari layani adu pedang dengan aku!"
Tanpa keder Song Theng-siau melesat terbang memapak ke depan, hardiknya: "Siapa kau,
berani menantang adu pedang dengan Beng Tayhiap?"
Cong Sin-liong menyeringai dingin, jengeknya: "Membahasakan diri sebagai Tayhiap segala,
sungguh tebal mukamu! He, he, kabarnya kau pernah ke Tay-liang-san, bila kau belum pernah
melihat aku paling tidak tentu sudah pernah dengar perihal diriku! Lohu adalah Cong Sin-liong dari
Hu-siang-pay, Tiok Siang-hu si kakek tua itu tentu pernah bercerita kepadamu bukan" Hm, kucari
kau mengadu pedang terhitung sudah mengangkat namamu."
Memang Song Theng-siau meninggalkan Siau-kim-jwan lebih dulu. Di saat ia meninggalkan
Siau-kim-jwan itulah kebetulan Beng Goan-cau mendapat tugas sebagai kurir ke Tay-liang-san
untuk mencari hubungan dengan sebuah laskar gerilya di sana. Maka apa yang dikatakan Cong
Sin-liong ini hakikatnya Song Theng-siau tidak tahu menahu.
Kiranya pimpinan laskar gerilya yang berada di Tay-liang-san bernama Tiok Siang-hu, ilmu
silatnya amat tinggi dan pernah menggetarkan bulim, kaum persilatan umumnya sama mengakui
beliau sebagai salah satu dari sepuluh tokoh kosen pada jaman itu. Tapi waktu Cong Sin-liong
bertanding pedang dengan dia, ia menang sejurus. Kejadian ini terjadi setelah Beng Goan-cau
tidak lama tiba di Tay-liang-san.
Tapi walaupun Song Theng-siau tidak tahu orang macam apa sebenarnya Cong Sin-liong ini,
namun ia pernah juga mendengar perihal ilmu pedang dari Hu-siang-pay. Dia cuma tahu bahwa
pihak Hu-siang-pay punya seorang ciangbunjin yang bernama Boh Cong-tiu, bersahabat kental
dengan Kim Tiok-liu. Malah kabarnya kepandaian ilmu pedang Boh Cong-tiu tidak di sebelah
bawah Kim Tiok-liu yang diagungkan sebagai tokoh silat maha sakti.
Memang begitu mendengar orang menyebut 'Hu-siang-pay' bercekat hati Song Theng-siau,
diam-diam ia berpikir: Usia Boh Cong-tiu konon baru tiga puluhan, usia orang ini jauh lebih tua
dari Boh Cong-tiu, mungkinkah salah seorang angkatan tua pihak mereka" Kabarnya ilmu pedang
Hu-siang-pay sangat liehay dan aneh, sulit diselami, aku harus hati-hati * dan waspada."
Dasar watak Song Theng-siau tinggi hati, meski ia sudah waspada dan berlaku hati-hati,
anggap musuh sebagai musuh besar yang tangguh, namun air mukanya tetap mengunjuk rasa
sombong dan pongah, jengeknya dingin: "Aku hanya tahu di kalangan kangouw ada Su-hay-sinliong
Ki Kian-ya, kau ini barang apa, berani mencatut nama gelaran beliau" Hm, selamanya belum
pernah kudengar orang macam tampangmu ini! Seekor belut juga berani menimbulkan
gelombang!" Julukan 'Sin-liong' (naga sakti) dari Su-hay-sin-liong Ki Kian-ya merupakan gelar kebesarannya,
sementara 'Sin-liong' dari Cong Sin-liong adalah nama aslinya. Tapi sekarang Song Theng-siau
sengaja melibatkan kedua nama dan julukan yang sama ini, dikatakan bahwa tidaklah setimpal dia
menjajarkan namanya itu dengan kebesaran tingkat Ki Kian-ya. Keruan olokolok yang menghina
ini membuat Cong Sin-liong gusar mencak-mencak seperti kebakaran jenggot.
"Baik," teriak Cong Sin-liong murka. "Bocah keparat tak bernama seperti kau biar merasakan
keliehayanku."---Baru saja ia hendak melolos pedang, mendadak ia berseru heran, bentaknya
pula: "Siapa kau" Hm. ternyata bocah keparat kau ini adalah Beng Goan-cau tiruan!"
Ternyata walau Cong Sin-liong belum pernah melihat Beng Goan-cau, namun ia pernah melihat
gambar pada maklumat kerajaan. Soalnya cahaya bulan pada saat itu pudar, baru sekarang ia
melihat tegas pemuda yang menantang dirinya ini ternyata jauh berlainan dengan gambar yang
pernah dilihatnya. Song Theng-siau terloroh-loroh, ujarnya: "Kapan aku pernah mengatakan aku ini Beng Goancau"
Seorang laki-laki berjalan tidak mengubah nama, duduk tidak berganti she, Song Theng-siau
adalah aku, aku adalah Song Theng-siau!"
"Tak!" pedang Cong Sin-liong yang sudah terlolos separuh disarungkan kembali, katanya
tertawa dingin: "Cokak sebotol tidak bergoyang, setengah botol cokak bergoyang. Ternyata kau
bukan Beng Goan-cau, dalam hal ini tidak bisa salahkan kau bernyali begitu besar tidak tahu
tingginya langit tebalnya bumi. Baik, karena kau bukan Beng Goan-cau biar dengan tangan kosong
kuberi kesempatan tiga jurus kepadamu."
Nama Beng Goan-cau dan Song Theng-siau selama di Siau-kim-jwan sama diagulkan, kini Cong
Sin-liong sengaja mengagulkan Beng Goan-cau dan merendahkan Song Theng-siau, begitulah ia
gunakan cara orang menghina dirinya tadi membalas dengan tidak kalah tajamnya.
Song Theng-siau berkata tawar: "Memotong ayam masa perlu menggunakan golok kerbau,
untuk menghadapi kau memang tidak perlu Beng Goan-cau sendiri tampil." Lahirnya ia bicara
begitu, namun dalam hatinya merasa terbakar dan malu.
"Jangan cerewet lagi, silakan turun tangan," demikian bentak Cong Sin-liong.
"Cabut pedangmu, siapa suruh kau mengalah?"
Cong Sin-liong memicingkan mata memiringkan kepala memandang ke arah dirinya, tiba-tiba ia
kibaskan lengan bajunya ke arah muka Song Theng-siau, jengeknya: "Bocah she Song, kau tidak
mau turun tangan, awas aku tidak kenal sungkan lagi kepadamu."
Kibasan lengan baju ini sebenarnya mengandung jurus-jurus ilmu pedang, begitu angin
kibasannya menyampuk muka rasanya sakit seperti di ris senjata tajaim, keruan Song Theng-siau
terkejut, tak sabar lagi "sret" tiba-tiba pedangnya menusuk ke depan, sembari menyerang ia
membarengi membentak: "Baik, akan kulihat cara bagaimana kau bertangan kosong melawan tiga
jurus pedangku?" Song Theng-siau didesak untuk menggunakan pedang melawan Cong Sin-liong, sudah tentu ia
merasa direndahkan dan menurunkan gengsi. Di luar tahunya bahwa Cong Sin-liong sendiri juga
mengeluh dalam hati. Ilmu pedang Song Theng-siau mengutamakan kelincahan dan gerak ringan yang amat cepat,
tusukan pedang ini cepat laksana kilat menyambar, tampaknya sejurus namun di dalam jurus
tersembunyi tipu-tipu liehay yang dapat dirubah secepat kilat tanpa bisa diselami sebelumnya,
cukup sejurus serangan tipu pedangnya, tujuh tempat jalan darah di tubuh Cong Sin-liong sudah
terancam oleh ujung pedangnya.
Lekas-lekas Cong Sin-liong me-ngebutkan lengan bajunya, gelombang angin deras segera
menerpa ke depan sehingga ujung pedang Song Theng-siau menceng sedikit, sekilas kesempatan
ini, sebat sekali ia berhasil menerjang keluar dari libatan sinar pedang Song Theng-siau. Song
Theng-siau sendiri tidak berani pandang ringan musuh dan tidak sembarangan merangsak lebih
lanjut, ia hentikan kakinya seraya membentak: "Keluarkan pedangmu!"
Hampir saja badan Cong Sin-liong berlubang, keruan ia berkeringat dingin batinnya: "Tak
nyana, ilmu pedang bocah ini juga begitu liehay, untung aku hanya membatasi mengalah tiga
jurus padanya." -Tapi dapatkah ia menyambut atau melayani dua jurus ilmu pedang Song Thengsiau
yang lain, setelah merasakan jurus pertama ini keyakinannya menjadi goyah. Tapi tadi ia
sudah mengagulkan diri sebagai salah seorang Bulim Cianpwe yang sudah bermulut besar, sudah
tentu ia harus mengeraskan kepala, maka bentaknya dengan suara berat: "Masih dua jurus, lekas
turun tangan!" Lenyap suaranya mendadak Cong Sin-liong melejit ke atas udara, dengan tipu Liong-jiau-jiu
dari jurus Yu-Iiong-tam-jiau, ia lancarkan serangan aneh seperti pukulan bukan pukulan, seperti
pedang bukan pedang, namun tangannya mencengkeram datang cepat sekali mengarah batok
kepala Song Theng-siau. Sebetulnya ia mendesak Song Theng-siau lekas turun tangan, kenyataan
ia turun tangan lebih dulu, ini cara menyerang sebagai pembelaan diri, kalau dibicarakan secara
aturan, sudah tentu tindakannya ini cukup memalukan sebagai seorang angkatan tua. namun ia
sudah tidak hiraukan gengsi tingkatan segala.
"Bagus sekali!" Song Theng-siau pun membentak, dengan jurus awan melintang memotong
puncak, menyongsong ke arah lengan lawan pedangnya membabat ke atas.
Gebrak kedua ini karena Cong Sin-liong menyerang lebih dulu, jadi ia menempatkan diri pada
posisi yang lebih menguntungkan, begitu pedang Song Theng-siau mengiris miring ke atas. cepat
sekali ia mengiringi gaya serangan pedang lawan, menekuk lutut memutar langkah, tahu-tahu
tubuhnya membalik sementara sikutnya menerjang ke depan seperti martil mengarah lambung
Song Theng-siau. Lekas Song Theng-siau mengembangkan gerakan tubuh Menyelinap Kembang Memutari Pohon,
sementara kakinya melangkah menurut kedudukan Ngo-heng-pat-kwa, tubuhnya berkelit miring,
sementara pedang panjangnya ikut berputar selingkaran menusuk ke pundak kanan lawan.
"Biar matamu terbuka!" Cong Sin-liong membentak gusar, berbareng ia ayunkan kedua lengan
bajunya, sekonyong-konyong laksana dua ekor ular besar melegot mematuk ke muka Song Thengsiau,
jurus ini dinamakan Tok-coa-to-sin (ular berbisa menjulurkan lidah), itulah jurus-jurus
permainan dari Siang-koh-kiam.
Di antara sambaran sinar pedang yang terlibat dalam bayangan lengan baju itu, terdengarlah
suara "Cras" yang cukup nyaring, dua bayangan mereka tiba-tiba mencelat mundur bersama,
masing-masing tersurut pula tiga langkah.
Lengan baju Cong Sin-liong yang panjang ternyata sudah terpapas sebagian, mukanya kaku
membesi hijau. Waktu Song Theng-siau menunduk, kancing di depan dadanya ternyata sudah kena dicomot
hilang oleh cengkeraman lawan, keruan jantungnya berdebur keras.
Sesaat lamanya kedua pihak sama melotot pandang seperti dua jago aduan tanpa bersuara, tak
lama kemudian, dua-duanya sama mengeluarkan jengek dan tawa dingin.
Dalam hati Cong Sin-liong mengucapkan 'syukur', ejeknya: "Bagaimana, bukankah aku sudah
beri kesempatan tiga jurus padamu dengan bertangan kosong!"
Sementara dalam hati Song Theng-siau pun merasa gegetun, tapi mulutnya pun tidak kalah
dinginnya: "Kepandaian Khong-jiu-jip-pek-tomu aku sudah belajar kenal, setiap jurusnya tadi tentu
kau menyerang lebih dulu, tapi toh kau tidak bisa mengambil keuntungan dari aku."
Ajaran ilmu silat sebenarnya mempunyai keunggulan masing-masing, semua tidak terdapat
dalam satu aliran yang sama, ada orang yang mahir menggunakan golok atau pedang, ada pula
yang ahli dalam ilmu pukulan atau tendangan, ilmu Khong-jiu-jip-pek-to dalam pertempuran
antara tokoh-tokoh kosen adalah kejadian yang sudah biasa, tidak perlu diagulkan. Dalam hati
Song Theng-siau mengakui bahwa kepandaian silat lawan lebih tinggi dari kemampuan sendiri,
namun wataknya memang sangat keras dan sombong lagi, bagaimana juga dan apapun yang
bakal terjadi, sekali-kali ia pantang mengakui kekalahan di hadapan musuh, oleh karena itu meski
dalam hati ia mengeluh, lahirnya toh bersikap ketus dan sengaja ia bicara kasar.
Memang apa yang diucapkan tidak salah, ketiga jurus serang menyerang tadi, antar pedang
lawan pukulan, memang sedikit pun Cong Sin-liong tidak memperoleh keuntungan apa-apa. Tapi
harus dimaklumi pula bahwa keahlian Cong Sin-liong memang bukan dalam ilmu Khong-jiu-jippek-
to, meski dia sendiri merupakan seorang tokoh pedang yang cukup ahli dalam bidangnya ini.
Tapi sebelumnya Cong Sin-liong sudah mengagulkan diri sebagai seorang angkatan tua yang
sudah membuka mulut besar hendak beri kesempatan tiga jurus kepada lawan mudanya,
kenyataan lengan bajunya kena terpapas sebagian oleh pedang lawan, jelas ia sudah dibikin malu
habis-habisan. Dari malu Cong Sin-liong menjadi gusar, seringainya dingin: "Aku tidak akan adu mulut dengan
kau, tiga jurus bertangan kosong aku sudah menjajalnya. Sekarang tiba saatnya kau belajar kenal
dengan ilmu pedangku."
"Memang sejak tadi sudah kusuruh kau mencabut pedangmu.?"
Cong Sin-liong mendengus, sekali pedang digentakkan, ujung pedangnya bergetar
mengeluarkan suara mendengung; bentaknya: "Seranglah!"
Song Theng-siau tidak berani ayal, sembari memuji, pedangnya bergerak miring melancarkan
sejurus tipu pedang yang mengandung perubahan rumit dan sulit diselami.
Cong Sin-liong menjengek dingin: "Mutiara sebesar beras juga berani bersinar!"--Sekonyongkonyong
tampak sinar perak berputar-putar laksana kilat menyambar di tengah udara, sebilah
pedangnya itu sekaligus melancarkan berlapis-lapis bayangan pedang, meski Song Theng-siau pun
termasuk seorang ahli kosen dalam bidang ilmu pedang, namun dalam sekejap itu, ia sendiri
menjadi bingung tak tahu dari jurusan mana pedang lawan menusuk ke arah dirinya.
Untung Song Theng-siau mahir mengembangkan ginkang Menyelinap Kembang Mengitari
Pohon, dan lagi kemahiran ilmu pedangnya sendiri pun cukup hebat pula, meski ia tidak tahu jalan
permainan ilmu pedang lawan, namun tidak begitu gampang dirinya kena dilukai oleh pedang
lawan. Melejit berloncatan berkelebat selincah kera. menggeser kedudukan merubah jurus serangan,
beberapa gerakan ini sekaligus dilakukan dalam satu gebrakan, gerak perubahan permainan Song
Theng-siau sendiri boleh dikata juga cukup cekatan dan lincah sekali, dari perubahan rumit untuk
menyerang musuh dalam kejap lain berubah jurus-jurus sederhana cukup untuk membela diri,
memang tipu permainan ilmu pedangnya ini kelihatannya sangat sepele dan gampang tapi di
dalam penjagaan boleh dikata amat rapat dan tidak terbobolkan.
Melihat serang menyerang yang amat ramai ini, diam-diam Lim Bu-siang yang mengintip dari
belakang gunung-gunungan palsu memuji di dalam hati. pikirnya: "Masih kuingat waktu Ang-ing
cici bilang kepadaku bahwa di waktu pertama kali Kim-toako bentrok dengan piauko, hampir saja
dia pun kena dirugikan, akhirnya mereka berimbang. Song-toako ini belum pernah melihat ilmu
pedang Hu-siang-pay kami, namun dia mampu bertahan beberapa jurus, meski Cong Sin-liong
sendiri tidak setanding piaukoku, tapi ilmu pedang Song-toako boleh terhitung cukup liehay pula."
Teringat pada sang piauko, perasaan Lim Bu-siang jadi mendelu dan hambar, pikirnya pula:
"Piauko menikah sudah tiga empat tahun, namun sekian lamanya aku belum pernah ketemu
mereka. Entah apakah mereka sudah tahu bahwa aku pun sudah tiba di Tionggoan" Kabar
mengenai piauko kudengar dari Kim toako, apakah Kim-toako akan memberi kabar piauko
mengenai keadaanku" Semoga dia tidak menyinggung diriku di hadapan piauko."
Mendadak Lim Bu-siang teringat akan isi hatinya, serta merta perhatiannya pada pertempuran
di tengah taman itu menjadi kendor.
Song Theng-siau hanya menjaga diri tanpa balas menyerang, tenaga yang dikeluarkan tidak
begitu besar, namun demikian, setelah tiga puluh jurus kemudian lama kelamaan ia merasa
tenaga tidak memadai dengan tekad tempurnya.
Ternyata ilmu pedang Hu-siang-pay ini, sudah semenjak dinasti Tong terbawa keluar lautan
oleh maha guru besar Giu-jan-khek, di daerah Tionggoan sudah lama putus turunan. Maka jalan
permainannya jauh berlainan dengan ilmu pedang dari berbagai aliran di Tionggoan, namun ada
beberapa petilan ilmu pedangnya ini ada mencakup beberapa inti dari ilmu pedang yang paling
umum di kalangan persilatan di Tionggoan. Song Theng-siau belum pernah melihat ilmu pedang
Hu-siang-pay, terasa betapa hebat perubahannya yang aneh, dalam sekejap saja mampu
menggunakan ratusan perubahan gaya yang berlainan satu sama lain, terutama beberapa petilan
gerak pedangnya yang hampir mirip dengan ilmu pedang dari aliran Tionggoan yang paling umum
jauh lebih membingungkan dan sulit dijajaki oleh Song Theng-siau.
Gempuran Cong Sin-liong yang hebat sekian banyak jurus tidak mampu menjebol pertahanan
lawan, mendadak pedangnya lurus ke depan terus menusuk datang waktu itu Song Theng-siau
sendiri sedang kerepotan menghadapi serbuan yang gencar itu, melihat tusukan lurus dari depan
ini termasuk gaya ilmu pedang dari aliran Thian-san-pay yang bernama Tay-bok-hou-yam, maka
tanpa banyak pikir, sebat sekali pedang panjangnya ia gerakkan memutar pula. membalas dengan
serangan Tiang-ho-loh-jit.
Gaya putaran pedang dari Tiang-ho-loh-jit dari serangan Song Theng-siau ini memang jurus
untuk memunahkan serangan kurus dari Tay-bok-hou-yam yang dilancarkan Cong Sin-liong, di
dalam ilmu pedang benar-benar merupakan jurus mengatasi jurus yang paling setimpal, tak nyana
ujung pedang Cong Sin-liong mendadak berubah di tengah jalan, dari serangan lurus berubah
menjadi rangsakan berputar membundar, sehingga gaya pelintiran dari perubahan gerak
membundar kedua pihak saling gubat dan bentrok dengan dahsyatnya. Lwekang Cong Sin-liong
lebih tinggi maka ia mengambil keuntungan.
Terdengar Cong Sin-liong membentak: "Lepas pedang!" dalam sekejap pedang kedua lawan
saling gubat dan beruntun sudah berbenturan sebanyak tujuh delapan belasan, Song Theng-siau
tidak kuasa menahan diri dari gempuran tenaga dalam lawan, terasa telapak tangan pedas,
pedang hampir saja terlepas, lekas-lekas ia jejakkan kaki jumpalitan ke belakang dengan gaya
Burung Dara Membalik Badan, sejauh tiga tombak. Seketika itu juga ia merasa pundaknya silir
dingin, entah apakah sudah terluka"
Cong Sin-liong membentak pula: "Lari ke mana?"- Bicara lambat kenyataan teramat cepat,
bagaikan bayangan mengikuti bentuknya ia sudah menubruk maju pula.
Begitu tiba, segera Cong Sin-liong membentak pula: "Biar bocah keparat ini tahu betapa liehay
ilmu pedang dari Hu siang-pay kami!"
--Sejurus Pek-hong-koan-jit, pedangnya terjulur ke depan bergerak laksana lembayung
langsung menusuk ke uluhati dari sebelah punggung Song Theng-siau.
Kepandaian Song Theng-siau pun tidak lemah, gesit sekali ia melompat, kebetulan ia dapat
menangkap pedang panjangnya yang meluncur turun dari udara, begitu kaki menyentuh tanah,
dengan kaki kanan sebagai poros badannya berputar setengah lingkaran, langsung pedangnya
membalik terus membabat miring, mulutnya pun menghardik: "Biar aku mengadu jiwa dengan
kau." Itulah cara tempur yang menginginkan gugur bersama, Song Theng-siau tahu bahwa dia bukan
tandingan lawan, namun bagaimana juga, ia sendiri tidak sudi dilukai musuh tanpa dia sendiri pun
mampu membuat musuhnya cedera.
Dalam keadaan gawat yang hampir menentukan seperti anak panah yang sudah dipentang
pada busurnya tinggal melepaskan saja. dan yang jelas bentrokan secara kekerasan ini terang
bakal mengakibatkan Song Theng-siau menderita luka parah, sementara Cong Sin-liong sendiri
juga sulit terhindar dari cedera, seandainya tidak luka berat paling tidak pasti terluka ringan.
Karena mendengar bentakan Cong Sin-liong itulah maka Lim Bu-siang tersentak sadar dari
lamunannya, begitu terkejut secepat kilat ia melompat keluar.
Di saat ujung pedang Cong Sin-liong sudah hampir mengenai punggung Song Theng-siau,
sementara Song Theng-siau juga sudah memasang kuda-kuda membalikkan pedang seperti orang
bergaya hendak memanah itulah, mendadak dilihatnya selarik sinar putih laksana rantai perak,
tahu-tahu Lim Bu-siang sudah tiba laksana seekor burung besar mendesak di tengah-tengah
kedua orang. Badan Lim Bu-siang bergerak mengikuti pedangnya, belum lagi Cong Sin-liong melihat tegas
siapa pendatang ini, "sret!" laksana kilat tahu-tahu ujung pedang itu sudah mengancam jalan
darah Jian-kin-hiat di pundak Cong Sin-liong. Serangan ini memang khusus melabrak musuh
supaya dia menyelamatkan diri lebih dulu daripada berusaha melukai lawan.
Cong Sin-liong adalah seorang ahli silat yang sangat liehay, meski belum melihat tegas siapa
pendatang ini. namun ia cukup memahami bahwa jurus yang dilancarkan pendatang ini amat
hebat, bercekat hatinya, terpaksa ia batalkan niatnya melukai Song Theng-siau, telapak kiri
menepuk sementara pedang di tangan kanan ditarik ke samping, di mana ia pelintir tajam
pedangnya, ia punahkan lebih dulu rangsakan pedang Lim Bu-siang yang ganas.
Dalam pada itu Song Theng-siau sedang berputar dengan kaki kanan sebagai poros, tubuhnya
baru saja berputar setengah lingkaran, belum lagi ia sempat berdiri tegak, badannya kena tergetar
oleh pukulan Bik-khong-ciang Cong Sin-liong, tak tertahan, ia sempoyongan mundur tiga tindak.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di saat ia terhuyung'tiga langkah, dalam waktu yang begitu singkat itu, sementara Lim Bu siang
dan Cong Sin-liong masing-masing sudah serang menyerang tiga jurus.
Ketiga jurus ini dilaksanakan dalam waktu yang amat singkat dan cepat sekali, Lim Bu-siang
menyerang untuk menjaga diri, menghindari yang isi menggempur yang kosong, beruntun ia
meluputkan diri, dua jurus serangan pedang Cong Sin-liong, namun jurus ketiga Cong Sin-liong
adalah Liong-bun-sam-tiap-long (tiga gelombang menggempur pintu naga), tipu pedang
kebanggaannya. Lim Bu-siang sulit berkelit terpaksa harus menyambut secara kekerasan, maka
terdengarlah suara "tring", Lim Bu-siang tersuruk miring tiga langkah, sementara badan Cong Sinliong
tergeliat, tak urung akhirnya ia pun terpental mundur satu tombak.
Song Theng-siau melihat pertarungan sengit ini dengan jelas sekali, keruan kejut dan girang
pula hatinya, diam-diam ia malu dan gegetun, pikirnya: "Ilmu pedang nona Lim ini benar-benar
jauh lebih liehay dari aku!", teringat akan sikap sombongnya tadi tanpa terasa mukanya panas
membara. Di luar tahunya bahwa Lim Bu-siang pun sebenarnya mengeluh dalam hati, pikirnya: "Untung
Song Tayhiap sudah menempurnya sekian lama sehingga banyak menguras tenaga muminya,
kalau tidak, jurus ketiga itu walaupun aku mampu mematahkannya, tak usah diragukan aku pasti
kena dikalahkan olehnya."
Setelah melihat lawannya hanya seorang gadis remaja, hati Cong Sin-liong lebih terkejut,
batinnya: "Bagaimana mungkin gadis kecil yang masih pupuk bawang, ilmu pedangnya jauh
berada di atas kemampuanku!"--Timbul rasa takutnya, tak berani ia menyerang lebih lanjut,
sambil melintangkan pedangnya segera ia membentak: "Siapa kau" Mengandal budak kecil
ingusan ini juga berani turut campur urusan orang lain!"
Sekali melompat dengan gaya burung dara jumpalitan, Lim Bu-siang melayang ke hadapan
Cong Sin-liong, katanya tawar: "Apakah paman Cong tidak kenal tit-li lagi?"
--Tit-li berarti keponakan perempuan.
Di saat Lim Bu-siang melayang tiba tadi, pakaiannya melambai dan tersingkap di ujung bajunya
tersulam seekor ikan terbang yang mencelat keluar dari gelombang' lautan, gambar sulaman ini
terlihat jelas oleh Cong Sin-liong.
Keruan Cong Sin-liong kaget, baru sekarang ia paham, pikirnya: "Sungguh aku amat ceroboh,
kenapa aku tidak teringat akan putri Hwi-hu-tocu?"
Ternyata Hu-siang-pay didirikan oleh Giu-jan-khek di luar lautan sejak dinasti Tong, usianya
sampai sekarang sudah ribuan tahun, sudah tentu bukan kecil segala perubahan dan kejadian
dalam dunia selama seribu tahun ini, bukan saja buku pelajaran pukulan dan buku ilmu pedang
peninggalan cikal bakal mereka Giu-jan-khek tinggal beberapa lembaran petilan yang tidak
lengkap lagi, para muridnya pun sudah tersebar luas di luar lautan, dan terjadilah satu aliran tiga
cabang, masing-masing berdiri sendiri. Maka seringlah terjadi di antara sesama perguruan sendiri
yang tidak saling kenal meski mereka saling bertemu.
Tapi Cong Sin-liong dengan ayah Lim Bu-siang yaitu Hwi-hu Tocu merupakan kenalan lama.
Leluhur keluarga Lim adalah cosu Boh Jong-liong generasi kedua dari Hu-siang-pay, mereka
ada menyimpan tiga jilid buku pelajaran pukulan tangan dan ilmu pedang yang petil-petil tidak
lengkap, secara tradisi buku pelajaran ini turun temurun sampai pada generasi terakhir yaitu ayah
Lim Bu-siang yang bernama Lim Pak-bing. Karena di pulau Hu-siang sendiri mereka sulit menetap,
terpaksa mereka sekeluarga pindah ke sebuah pulau gersang yang tidak berpenghuni, selama
beberapa tahun bekerja giat tidak mengenal lelah, lambat laun mereka mengumpulkan beberapa
keluarga nelayan, bersama-sama membuka dan membangun pulau kosong itu, ada yang bertani
ada yang menjadi nelayan, "selama lima tahun mereka berjerih payah, akhirnya pulau kosong itu
sudah merupakan tempat subur dan perkampungan nelayan yang serba berkecukupan, hari ke
hari mereka hidup dengan tentram dan sejahtera. Lim Pak-bing menamakan pulau ini Hwi-hu-to
(pulau ikan terbang), karena berhasil memukul beberapa kali bajak laut, lama kelamaan nama
Hwi-hu tocu Lim Pak-bing mulai terkenal dan tersiar luas di luar lautan.
Waktu itu Cong Sin-liong sedang mengagulkan diri sebagai salah seorang maha guru dari
alirannya, malang melintang di lautan luar, belum pernah mendapatkan musuh yang benar-benar
tangguh, maka namanya amat tenar. Terjadilah seorang bajak laut yang pernah dikalahkan oleh
Lim Pak-bing datang minta bantuan kepadanya, disogok dengan harta benda yang cukup bernilai,
ia minta orang suka membalaskan dendam sakit hatinya. Dasar Cong Sin-liong kemaruk harta dan
suka mengagulkan gengsi, kuatir orang usil mulut mengatakan dirinya tidak" berani menghadapi
Hwi-hu Tocu, akhirnya ia kena dibujuk oleh kepala bajak laut itu, serta merta meluluskan
.permohonan orang. Tapi Cong Sin-liong ini pun seorang licik dan licin, waktu tiba di Hwi-hu-to ia hanya mengatakan
rasa kagumnya untuk berkenalan, ingin mohon petunjuk tiga jurus atau dua gebrakan kepada
Hwi-hu Tocu untuk menjajal ilmu silat masing-masing. Sekecap pun tidak menyinggung soal
membantu teman mewakili orang menuntut balas segala. Dengan cara ini, bila ia menang bisa
minta tambahan hadiah dari kepala bajak itu, sebaliknya kalau kalah, nama dan gengsinya tidak
sampai runtuh total. Begitu mereka mulai saling gebrak, masing-masing lantas tahu bahwa mereka sama
menghadapi anggauta satu aliran lain cabang, akhirnya sebelum menanjak jurus ke tiga puluh,
Cong Sin-liong sudah kena dikalahkan. Tergerak akal licik Cong Sin-liong, setelah kalah segera
membahasakan "suheng" kepada Hwi-hu Tocu, dikarangnya pula sebuah cerita obrolan, dikatakan
bahwa sejak lama ia sudah sangsi bahwa Hwi-hu Tocu Lim Pak-bing adalah saudara
seperguruannya dari cabang lain, maka sengaja ia berkunjung untuk membuktikan dengan
menjajal kepandaian masing-masing. Hwi-hu Tocu percaya akan obrolannya, ia tertawa tergelakgelak,
begitulah mereka lantas mengikat hubungan dengan kedudukan setingkat, Cong Sin-liong
merendah diri sebagai sute. Malah tanpa merasa sayang Lim Pak-bing ada memberi petunjukpetunjuk
seperlunya mengenai ajaran perguruan yang dapat diselaminya kepada sutenya ini,
sudah tentu Cong Sin-liong mendapat manfaat yang tidak kecil artinya.
Di waktu Cong Sin-liong menjajal kepandaian silat bersama Lim Pak-bing, Lim Bu-siang juga
hadir menonton, tapi tatkala itu Lim Bu-siang masih seorang anak perempuan kecil yang belum
genap berusia sepuluh tahun, maka begitu ketemu lantas ia kenal pada Cong Sin-liong, sebaliknya
Cong Sin-liong tidak mengenalnya lagi.
Kini Lim Bu-siang menunjukkan gambar sulaman tanda kebesaran dari ikan terbang di ujung
bajunya, maka Cong Sin-liong baru tahu siapa dia adanya.
Setelah Cong Sin-liong tahu siapa adanya Lim Bu-siang, tak terasa bercekat hatinya, dengan
tertawa dibuat-buat ia maju berkata: "Ternyata kau adalah Bu-siang titli, sekarang tumbuh
sedemikian besarnya, paman sudah pangling kepadamu. Em, konon ayahmu juga sudah sampai di
Tionggoan, sayang aku tidak tahu di mana kalian tinggal, tak sempat aku bertandang ke rumah
kalian!" Lim Bu-siang berkata tawar: "Sudah lama ayah menutup pintu menggantungkan, pedang,
menyibukkan paman saja untuk datang ke rumah kami!"
Mendengar jawaban ini diam-diam Cong Sin-liong bersorak dalam hati, pikirnya: "Asal Lim Pakbing
si kakek tua itu tidak datang, masa perlu aku takut menghadapi budak cilik ini?"-Ternyata ia
pura-pura menanyakan ayah Lim Bu-siang hanya hendak mengorek keterangannya saja. Kalau toh
ayahnya sudah menutup pintu menggantungkan golok, sudah tentu tidak akan keluar ikut
mengurus segala tetek bengek lagi.
Tapi ia hanya sebagian saja merasa lega, rasa kuatirnya masih belum bisa hilang begitu saja.
Kalau Lim Bu-siang dan Song Theng-siau bergabung mengeroyok dirinya, belum tentu dia punya
keyakinan untuk mengalahkan mereka berdua.
Karena adanya rasa kuatir ini, Cong Sin-liong tidak berani bertingkah lagi, katanya sambil
tertawa besar: "Ini benar-benar umpama air bah melanda kelenteng naga, orang sendiri tidak
kenal dengan orang sendiri. Bu-siang titli, maafkan bila aku bertanya secara sembrono, bocah she
Song ini apamu, kenapa kau bantu dia untuk bermusuhan dengan aku?"
"Baru saja aku berkenalan dengan Song Tayhiap!" sahut Lim Bu-siang.
"'Kalau begitu kenapa sikutmu kau tekuk keluar" Tidak melihat muka hwesio harus pandang
muka Budha, jelek-jelek aku ini adalah angkatan tua dari perguruan kita!'"
"Paman Cong, ucapanmu ini hanya benar separuh saja!"
Cong Sin-liong melengak, tanyanya: "Apa maksud ucapanmu ini"'"
"Memang kau kenalan ayahku, usiamu jauh lebih tua dari aku, cukup pantas kalau aku
menghormatimu sebagai orang yang lebih tua. Tapi kau bukan angkatan tua dari perguruan kita!"
Berubah air muka Cong Sinliong. dampratnya: '"Apa berani kau. punya mata tidak pandang
orang, angkatan tua dari perguruan sendiri tidak diakui lagi" Ayahmu sendiri pernah berhubungan
kental sebagai saudara seperguruan sama tingkat, pernah memanggil aku sute lagi! Berani kau
katakan bahwa aku bukan dari Hu-siang-pay"'"
"Dulu memang, tapi sekarang bukan lagi. Paman Cong, tadi kau menyalahkan aku
bertentangan dengan kau, baiklah aku bicara terus terang kepadamu. Sedikit pun aku tiada niat
bermusuhan denganmu, cuma tidak suka aku melihat orang luar mencatut nama kebesaran Husiang-
pay kita!" Keruan Cong Sin-liong berjingkrak gusar, bentaknya: ?"Kau, besar nyalimu! Angkatan tertua
dari Hu-siang-pay termasuk aku dan ayahmu saja, berani kau menuduh aku mencatut nama
kebesaran Hu-siang-pay segala?"
Lim Bu-siang berlaku tenang, katanya: "Betapapun tinggi kedudukanmu, kau pun harus patuh
pada keputusan Ciangbunjin. Bukankah Boh-ciangbun sudah mengumumkan mengusir kau dari
ikatan perguruan kita" Berita ini aku diberitahu oleh Kim Tayhiap. masa harus disangsikan?"
Ternyata sejak tiga tahun yang lalu. karena kemaruk harta dan kedudukan, Cong Sin-liong
terima diperbudak oleh pihak kerajaan. maka atas nama Ciangbunjin Hu-siang-pay, Cong Sin-liong
sudah diusir dari perguruan. Waktu itu Cong Sin-liong harus berjuang me-nempur Boh Cong-tiu
mati-matian, namun akhirnya ia kena dikalahkan, maka ia harus menerima hukumannya ini. Kim
Tiok-liu adalah salah satu saksi yang hadir pada waktu itu.
Cong Sin-liong tertawa dingin, jengeknya: "Sejak mula Hu-siang-pay memang tidak punya
Ciangbunjin, Boh Cong-tiu hanya mengangkat dirinya sendiri sebagai Ciangbunjin, kau tahu tidak?"
"Yang kutahu seluruh anak murid Hu-siang-pay semua sudah mengakui dia sebagai
Ciangbunjin. Meski ada anak murid yang kurang ajar dan berlaku serampangan hendak
membangkang main kekerasan, masa kuat dia menumbangkan keadilan sesama perguruan."
Cong Sin-liong mendengus, ejeknya: "Belum tentu! Tapi aku pun segan main debat dengan
kau..." sampai di sini, mendadak ia terkekeh-kekeh tiga kali. lalu katanya lebih lanjut:
"Keponakanku yang baik, begitu kukuh kau membela Boh-toaciangbunmu, sayang Bohtoaciangbun
mengabaikan kebaikan hatimu ini!"
Seketika berubah pucat selebar muka Lim Bu-siang, desisnya: "Paman Cong, apa-apaan
maksudmu ini?" "Masa kau belum tahu bahwa Boh Cong-tiu sudah menikah dengan orang lain, orang itu bukan
lain adalah teman baikmu Lian Jay-hong"'"
Kata-kata ini laksana sebatang panah menghunjam ke ulu hati Lim Bu-siang. Ternyata sejak
lama secara diam-diam memang Lim Bu-siang sudah jatuh cinta kepada piaukonya itu, dan
perasaan hati ini sejak lama sudah terpendam di dalam lubuk hatinya, bahwa akhirnya dia meluruk ke
Tionggoan bersama ayahnya, adalah karena untuk mencari Boh Cong-tiu. Selintas kenangan yang pahit
kembali terbayang di dalam sanubari Lim Bu-siang, masih teringat olehnya, waktu itu ia mendengar berita
pernikahan piaukonya di dalam perjamuan pernikahan Kim Tiok-liu dengan Su Ang-ing.
Selama tiba di Tionggoan Lim Bu-siang belum pernah bertemu dengan sang piauko, namun
dalam suatu kesempatan yang kebetulan ia berkenalan dengan Kim Tiok-liu suami istri, setelah
saling bicara dan memperkenalkan diri masing-masing, baru ia tahu bahwa Kim Tiok-liu adalah
sahabat piaukonya. Maka ia mohon bantuan Kim Tiok-liu untuk ikut menyirapi berita dan jejak
piaukonya. Hari itu ia menghadiri perjamuan pernikahan Kim Tiok-liu, sekaligus pun untuk menyirapi berita.
Kim Tiok-liu kelihatan rikuh dan serba kesulitan untuk menjelaskan, akhirnya ia mendengar berita
ini dari seorang tamu lain yang tidak mengetahui seluk beluk mengenai lika-liku kedatangannya ke
Tionggoan ini. Bahwa orang lain sedang berpesta pora dengan riang gembira, justru ia mendengar berita yang
mengetuk sanubari dan membuat hatinya pedih. Betapa rikuh dan rawan hati Lim Bu-siang pada
waktu itu, tidak perlulah kami lukiskan di sini.
Masih segar pula dalam ingatan Lim Bu-siang, waktu itu ia berusaha membendung air matanya
meleleh keluar, sehingga ia tidak memperoleh malu dalam perjamuan itu. Dia pun ingat, mempelai
perempuan Su Ang-ing demi menghibur dirinya, dia rela mencapaikan diri semalam suntuk
mengajak dia bicara serta membujuknya sehingga kenikmatan dari kedua pengantin ini terbuang
demikian saja. Sungguh tidak gampang untuk menyembuhkan penyakit hatinya ini selama beberapa lama ini,
kini penyakit yang hampir sembuh kena ditusuk pula oleh kata-kata Sin-liong yang tajam seperti
anak panah yang mengandung racun pula.
Bu-siang mengertak gigi, katanya gemetar: "Paman Cong, kau, kau membual apa, kau
mengadu biru!" Cong Sin-liong terbahak-bahak, serunya: "Keponakan baik, isi hatimu jangan harap bisa
mengelabui mataku. Tentunya kau pun tahu bahwa piausomu memanggil su-kong (bapak guru)
kepadaku, maka aku bisa membuat dia tidak bisa menikah dengan Boh Congtiu sesuai dengan
keinginan dan cita-citamu, asal kau mau kerja sama dengan aku, akan kurebut seorang suami
untuk kau!" Saking gusar badan Lim Bu-siang sampai gemetar, makinya sambil menuding Cong Sin-liong:
"Kau, kau, kuhormati kau sebagai paman, bila berani kau membuka mulutmu yang kotor, jangan
kau salahkan aku tidak sungkan lagi kepadamu!"
Cong Sin-liong menyangka kata-katanya bakal mengetuk sanubari Lim Bu-siang, tak duga
hasilnya malah sebaliknya, sejenak ia terlongong, katanya tertawa dingin: "Wah, air susu dibalas
dengan air tuba, kau tidak tahu kebaikan orang, Bu-siang, coba kau pikir-pikir dulu, bukankah kita
saling kait mengait, bisa saling memanfaatkan satu sama lain!"
Tak tertahan lagi air mata menetes dari kelopak mata Lim Bu-siang. "Sret" segera ia menusuk
dan menyerang dengan kalap serta bentaknya: "Kau! Menggelindinglah kau pergi!"
Lim Bu-siang menjengek dingin, katanya: "Paman Cong, sedikit pun aku tiada maksud
bermusuhan dengan kau, cuma aku tidak suka melihat orang luar mencatut nama kebesaran Husiang-
pay kita." Song Theng-siau yang mendengar perdebatan mereka dengan melongo, tiba-tiba tersentak
sadar, tak tahan ia pun membentak: "Mulut anjing tidak akan tumbuh gading, nona Lim jangan
kau percaya akan obrolannya!"
Cong Sin-liong tertawa dingin, ejeknya: "O, ternyata kau sudah punya..." belum lenyap
suaranya pedang Lim Bu-siang sudah menyelonong tiba pula menusuk ke jantungnya, sementara
Song Theng-siau pun sudah menubruk tiba menyerang dengan jurus Che-han-hu-jak, dua batang
pedang sekaligus hampir dalam waktu yang bersamaan menyerang tempat mematikan di tubuh
Cong Sin-liong. Cong Sin-liong insyaf bahwa dirinya tidak punya keyakinan dapat menang, di saat hati Lim Busiang
belum lagi tenang, sebat sekali ia melompat jumpalitan setombak lebih ke belakang,
jengeknya: "Baik, aku pergi, aku pergi. Kau tidak mau dengar nasehatku, jangan kelak kau
menyesal!" lenyap suaranya menghilang pula bayangannya.
"Nona Lim, beruntunglah malam ini aku mendapat bantuanmu!" demikian ujar Song Theng-siau
kemudian. Lim Bu-siang menyeka air mata, sahutnya: "Song Tayhiap, aku pun harus segera berangkat!"
Sebetulnya Song Theng-siau ingin menahannya, tapi mengingat kata-kata terakhir Cong Sinliong
tidak enak ia membuka mulut, sesaat baru ia berkata: "Nona Lim, kau hendak ke mana?"
"Aku hendak pulang ke rumah Kim Tayhiap. Oh ya, bila kau ada bertemu dengan.Beng Tayhiap
harap tolong sampaikan salam dan maksud baik Kim Tayhiap kepadanya!"
"Tidak usah nona berpesan lagi, kalau aku ketemu Beng-toako, segera kami akan datang ke
rumah Kim Tayhiap untuk menyatakan terima kasih kami. Di hadapan Kim Tayhiap harap kau pun
menyampaikan salam dan pernyataan hormat kami!"
Lim Bu-siang tiada hasrat banyak bicara dengan Song Theng-siau, setelah berpesan beberapa
patah kata, segera ia menjura terus buru-buru tinggal pergi. Saat mana rembulan sudah doyong
ke sebelah barat, tak lama lagi, sang surya bakal muncul di ufuk timur.
Tanpa merasa diam-diam Song Theng-siau menghela napas dan membatin dalam hati: "Segala
kejadian di dunia ini memang sukar diraba dan diketahui sebelumnya, tak nyana nona Lim ini
punya penyakit yang sama dengan diriku!"
Seorang diri Song Theng-siau berdiri terlongong di taman kembang belukar keluarga Hun,
entah berapa lama sudah berselang. waktu ia angkat kepala, langit sana sudah menyorotkan
setabir cahaya terang. "Hari ini cuaca ternyata sangat baik, aku pun harus segera pulang ke
rumah," demikian pikir Song Theng-siau.
Entah karena dia mendapat kawan yang punya penyakit yang sama dengan keadaan dirinya, di
waktu Song Theng-siau beranjak keluar dari rumah gedung keluarga Hun, perasaannya tidak
seberat dan segundah waktu datangnya tadi.
-ooo0dw0ooo- Song Theng-siau mendadak pulang ke rumah, badannya yang kotor serta parasnya yang kurus
dan tidak terurus itu membuat ibunya kaget berjingkrak.
"Bu, semalam aku sudah tiba. Aku mencari Beng-toako lebih dulu, tidak ketemu, hujan turun
rintik-rintik, sehingga bajuku kena kotoran di kebun keluarga Hun.'"
"O, jadi kau mencari Beng Goan-cau. Kenapa tidak pulang rumah lebih dulu!"
"Bu, kau tidak marah bukan. Aku punya urusan amat penting harus bertemu dengan Bengtoako,
tunggulah sebentar aku ganti pakaian dulu, nanti kujelaskan perlahan-lahan."
"Sudah tentu ibu tidak menyalahkan kau, sayang kau tidak tahu..."
"Tahu apa?" "Kau tidak usah tergesa-gesa ganti pakaian, ibu pun ada sebuah urusan penting yang perlu
kubicarakan dengan kau."
"Urusan apa?" tanya Song Theng-siau. Mendengar kata-kata ibunya yang tidak juntrungan ini,
Song Theng-siau jadi heran.
Kata Song-hujin: "Rumah kita kedatangan seorang tamu, coba kau terka siapa dia?"
"Mana aku bisa menebak, tapi pasti bukan Beng-toako?"
"Darimana kau bisa berpendapatan demikian?"
"Jikalau Beng-toako, begitu mendengar suaraku, tentu bergegas memburu keluar."
Song-hujin tersenyum, ujarnya: "Ucapanmu memang tidak salah, tamu ini adalah seorang yang
tidak akan terpikir dalam benakmu!"
"Siapakah tamu itu" Bu, beritahukan kepadaku, masa perlu aku main tebak segala."
Song-hujin tertawa geli, katanya: "Orang itu..." kata-katanya sudah sampai di ujung mulut tibatiba
ditelannya kembali, katanya: "Sementara tidak kuberitahu, mari kau ikut aku!"
Song Theng-siau jadi melongo, katanya: "Masa aku harus bertemu dengan tamu dengan
pakaian sekotor ini?"
"Kukira tidak menjadi soal, tamu itu pun sedang menunggu-nunggu kau, ia ingin bertemu
langsung dengan kau!"
Song-hujin adalah keturunan dari keluarga besar yang paling mematuhi aturan tradisi
keluarganya, sejak menikah ke keluarga Hun, adat istiadat kekeluargaan dipegang amat teguh.
Pendidikan terhadap anaknya biasanya sangat keras dan sangat mementingkan tata krama. Maka
Song Theng-siau sangat heran mendengar ibunya menyuruh dia tidak usah ganti pakaian untuk


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemui tamu. "Bu, urusan penting yang kau maksudkan tadi ada hubungannya dengan tamu kita itu?"
"Boleh dikatakan demikian!"
"Bu, aku tidak paham akan maksudmu. Sebetulnya ada urusan apa?"
"Kenapa begitu gugup" Setelah kau bertemu dengan orang itu, segala urusan kau akan paham
sendiri!" Melihat sikap ibunya yang lucu dan main sembunyi-sembunyi ini, Song Theng-siau rada heran,
namun ia pun cukup lega, maka pikirnya: "Meski urusan ini cukup penting, tapi bukan urusan
mendesak yang harus segera diselesaikan, kenapa ibu mendesak aku untuk lekas-lekas menemui
tamu itu?" Lalu terpikir pula olehnya: "Kalau dugaanku tidak meleset, urusan ini tidak begitu
penting atau mendesak, dari sini dapatlah direka bahwa tamu ini bukan tamu luar atau tamu
agung yang harus dihormati dengan segala tata krama sekadarnya. Kalau bukan Beng-toako lalu
siapakah dia?" Selama percakapan itu mereka sudah berhenti di muka sebuah kamar yang dauri pintunya
cuma dirapatkan dari luar, perlahan-lahan ibu mengetuk pintu, maka terdengarlah sebuah suara
nyaring dari mulut seorang orang gadis bertanya: "Apakah bibi Song?"
Sahut Song-hujin: "Su-bi, lihatlah siapa yang datang" Anak Theng, kenapa melongo, lekaslah
masuk!" Song Theng-siau melongo, tanpa sadar ia mendorong pintu dan menerobos masuk.
Maka terdengarlah teriakan bersama dari kedua mulut mereka.
"Siau-sumoay!" "Song-suko!" Ternyata gadis ini bukan lain adalah siau-sumoay Lu Su-bi yang setiap hari luntang-lantung
antara mereka bertiga dengan Beng Goan-cau sewaktu berada di Siau-kim-jwan dulu.
Tampak muka Lu Su-bi yang pucat pasi seperti kertas itu bersemu kemerah-merahan, keruan
Song Theng-siau amat terkejut, teriaknya: "Siau-sumoay, kenapa kau" Jatuh sakit?"
Melihat Song Theng-siau yang kurus dan baju penuh debu berle-potan lumpur lagi, Lu Su-bi
juga terkejut, teriaknya: "Song-suko, kenapa kau" Kau berkelahi dengan siapa?"
Kedua orang sama mengajukan pertanyaan yang sama, setelah suara mereka hilang mereka
saling berpandangan, tanpa terasa akhirnya mereka bergelak tertawa geli.
Melihat adegan yang lucu dan menyenangkan ini, Song-hujin merasa riang dan gembira dalam
hati, ujarnya: "Theng-ji, ucapan ibu tidak salah bukan, tamu yang tidak kau duga bukan?"
"Benar-benar tidak duga. Siau-sumoay, kau dulu bercerita, angin apa yang meniup kau kemari"
Eh, agaknya kau memang terluka?" " " Baru sekarang ia melihat tegas bahwa di tengah-tengah
alis Lu Su-bi ada sejalur hawa hitam.
"Beng-suko yang mengantar aku kemari. Kemarin malam aku kurang berhati-hati, kena dilukai
oleh pukulan berbisa Toan Siu-si, salah satu dari Tiam-jong-siang-sat, luka ringan saja tidak
menjadi soal." Kejut dan heran pula Song Theng-siau, katanya: "Beng-toako yang antar kau kemari! Lalu ke
mana Beng-toako sekarang?"
Segera Song-hujin menyeletuk bicara: "Goan-cau tidak mau tinggal, dia sudah pergi. Katanya
ada urusan penting yang harus dia kerjakan maka harus buru-buru berangkat. Aku sudah
menahannya, namun ia bertekad harus pergi."
Baru sekarang Song Theng-siau paham, batinnya: "Tak heran ibu menyalahkan aku kenapa
tidak pulang lebih dulu, kalau sehari lebih pagi aku sampai di rumah, pasti aku dapat bertemu
mereka berdua." "Song-suko kenapa keadaanmu sedemikian rupa?" tanya Lu Su-bi.
"Siau-sumoay, apakah kau datang dari rumah keluarga Hun sana bersama Beng-toako?"
"Benar!" "Tak heran semalam aku tidak bisa menemukan dia."
"Jadi kau pun sudah meluruk ke sana?"
"Ya, aku pun berkelahi di kebun keluarga Hun, untunglah tidak sampai terluka."
"Siapa saja yang bentrok dengan kau?"
Song Theng-siau tertawa, katanya: "Aku sangat ingin mengetahui kejadian yang kalian alami
lebih dulu, coba kau dulu yang bercerita."
Dengan ringkas dan jelas Lu Su-bi menuturkan kisahnya waktu berada di rumah keluarga Hun
kepada Song Theng-siau, lalu menambahkan: "Aku sudah menelan Siau-hoan-tan pemberian
Beng-suko, luka-luka ringan ini kukira tidak menjadi soal lagi. Tapi kemungkinan harus istirahat
sepuluh hari baru bisa sembuh. Beng-suko mendapat tugas sebagai kurir untuk mencari hubungan
dengan para enghiong dan para ksatria bangsa, aku kuatir aku menjadi beban saja baginya
sehingga menelantarkan urusan besar. Akhirnya Beng-suko teringat bisa membawa aku kerumahmu
untuk merawat luka-luka ini, maka tanpa sungkan-sungkan lagi aku ikut kemari,
membuat repot Song-pekboh saja."
"Keponakan yang baik, jangan kau bicara begitu sungkan, umpama kumohon kau kemari belum
tentu kau sudi datang ke rumah kami. Kukira kau pun sudah tahu hubungan keluarga Lu, Hun dan
Beng bertiga, di waktu aku bersama ayah Theng-siau berhubungan kental dengan ayah ibumu,
kau sendiri belum lagi lagi lahir. Terutama ibumu seperti kakak adik sekandung saja dengan aku,
sejak berpisah, dua puluh tahun tak pernah lagi berjumpa sampai sekarang, sungguh aku rindu
dan kangen. Sekarang melihat kau sama juga melihat ibumu. Em, kau cantik dan sudah besar
seperti ibumu di waktu muda, malah rasanya lebih ayu dan rupawan dari kecantikan ibumu dulu."
Merah muka Lu Su-bi, katanya: "Bibi baru saja aku datang kau lantas menggoda aku, aku tidak
akan menurut lagi kepadamu!"
Song-hujin tertawa, ujarnya: "Sedikit pun aku tidak membual, di muka ibumu aku juga berani
berkata demikian. Tapi kemarin waktu kau baru saja tiba, aku rada ber-kuatir bagi kau!"
"Oh, ya bu, aku belum lagi tanya kepadamu. Apakah kau sudah mengundang tabib untuk
memeriksa luka-luka siau-sumoay" Apa benar tidak menguatirkan?"
"Masa perlu kau tegur lagi padaku, kemarin sudah kupanggil Han-tayhu kemari memeriksa
keadaannya. Han-tayhu tidak tahu racun apa yang mengeram dalam tubuhnya, tapi cuma
dikatakan bahwa dari rabaan denyut nadinya bahwa kadar racun sudah mulai lemah dalam
tubuhnya, asal istirahat dan tidak banyak pikiran, satu bulan pasti akan sembuh seluruhnya.
Dikatakan pula bahwa badan nona Lu sangat kekar dan sehat, selamanya belum pernah dilihatnya
ada perempuan yang punya badan begitu baik. Kalau tidak untuk menyembuhkan penyakitnya ini,
paling sedikit harus memakan tempo setengah tahun!"
"Lwekang siau-sumoay sudah lebih tinggi dari aku, meski Han-tayhu seorang tabib kenamaan,
mungkin dia tidak tahu akan hal ini. Tidak heran dia merasa heran akan badan siau-sumoay yang
kuat itu." Lu Su-bi menghela napas, katanya: "Aku berdoa, supaya lekas sembuh dalam setengah bulan,
satu bulan terlalu lama bagi aku! Song-suko kau hanya menempel emas di mukaku saja."
"Kau sendiri harus cukup puas akan keadaanmu sekarang. Kemarin waktu Goan-cau
memayangmu masuk, mukamu sedikit pun tidak kelihatan warna darah, waktu itu aku betul-betul
amat kuatir akan keadaanmu. Sekarang, coba kau berkaca, tanpa mengenakan pupur mukamu
sudah kelihatan semu merah."--Lalu sambungnya pula: "Seharusnya Goan-cau sejak lama sudah
mengantar kau kemari, seumpama dia sendiri tidak punya tugas apa-apa, di sana dia pun tiada
seorang pembantu untuk merawat penyakitmu ini!"
Beng Goan-cau membawa Lu Su-bi ke rumah keluarga Song, memang tujuannya supaya ada
orang yang menjaga dan merawat penyakitnya. Tapi kecuali maksud-maksud ini, Beng Goan-cau
memang ada maksud merangkap perjodohan Song Theng-siau dengan siau-sumoaynya cuma ia
tidak menjelaskan secara langsung kepada Song-hujin. Namun maksud Goan-cau ini secara
kebetulan justru sama dengan isi hati Song-hujin.
Song-hujin celingak-celinguk mengamati Lu Su-bi dan Song Theng-siau yang duduk di
sampingnya ini, semakin senang hatinya, batinnya: "Sejak kecil Theng-siau menyukai Hun Ci-lo,
hal itu aku tahu, Ci-lo cukup baik, sayang dia sudah menikah. Aku sedang kuatir akan perjodohan
Theng-ji, kebetulan bila tabiat dan perangainya bisa cocok dengan nona Lu, kelihatannya malah
lebih cocok daripada Hun Ci-lo, kalau aku bisa memperoleh mantu macam ini, aku puas dan
senang." Sudah tentu Lu Su-bi tidak tahu, jalan pikiran Song-hujin, tapi melihat orang selalu mengawasi
dirinya sambil tersenyum-senyum, ia jadi malu dibuatnya, katanya: "Song-suko, kini giliranmu
yang bercerita, dengan siapa kau berkelahi?"
"Tiam-jong-siang-sat yang kau maksud, apakah di antaranya ada seorang yang berbentuk
seperti monyet..." "Ya, benar!" "Tiga hari yang lalu aku sudah berkelahi dua kali, yang pertama aku melawan Tiam-jong-siangsat
itulah!" "Tiam jong-siang-sat yang kau sebut tadi, apakah mereka tahu siapa kau adanya" Cara
bagaimana bisa berkelahi?"
Song Theng-siau jadi melengak, pikirnya: "Apakah aku harus bicara terus terang perihal mereka
merebut putra Goan-cau dari tanganku?" Setelah dipertimbangkan, akhirnya ia berkeputusan
sementara waktu tidak beritahu kepada siau-sumoay, katanya: "Aku pun tidak tahu apa sebabnya, begitu tiba
mereka lantas menyerang aku. Mungkin mereka sudah tahu bahwa aku adalah sahabat kental
Beng-toako?" ? . "Song-suko kepandaian silatmu sungguh maju pesat. Malam itu bila tidak
ditolong oleh seorang perempuan berkedok yang tidak diketahui asal-usulnya, aku bersama Bengsuko
mungkin bisa terjungkal di tangan Tiam-jong-siang-sat."
Diam-diam Song Theng-siau merasa malu diri, katanya: "Sebetulnya aku hanya mengandal
ginkang yang kita latih bersama dulu waktu di Siau-kim-jwan, beruntung tidak sampai terluka."
Song-hujin sudah dengar penuturan Beng Goan-cau akan kejadian malam itu, tak tahan lekas ia
menyela bertanya: "Oh, ya, kemarin aku terlupa tanya kepada Beng-sukomu, meski asal-usul
perempuan berkedok itu tidak diketahui, paling tidak mesti pernah dilihatnya sebelum ini?"
"Aku pun berpikir demikian. Kalau tidak kenal kenapa perempuan itu tanpa sebab mau
mengulurkan tangan mencabut pedang membantu kesulitan kami" Tapi Beng-suko berkata bahwa
dia tidak pernah kenal dan melihat perempuan itu. Mungkin dia sendiri sudah lupa."
"Adakah dia mengatakan ada mencurigai seseorang?" tanya Song-hujin.
"Dia tidak mengatakan." "Kalau begitu kejadiannya, sungguh amat mengherankan!"
Sebaliknya Song Theng-siau maklum dalam hati, pikirnya: "Perempuan hitam berkedok itu,
siapa lagi kecuali Hun Ci-lo?"-Tapi demi menutupi sikap Beng Goan-cau terpaksa ia tertawa dibuatbuat,
katanya: "Banyak kejadian yang sulit dimengerti oleh kita di dalam dunia ini. Semalam waktu
di rumah Beng-toako, aku ada bertemu dengan seorang gadis remaja yang belum pernah kenal
Beng-toako datang untuk mencari dia!"
Timbul rasa heran Lu Su-bi, katanya tertarik: "Sungguh mirip kejadian ini, apakah dia pun
seperti perempuan berkedok hitam yang membantu Beng-suko, tanpa bicara sepatah kata lantas
tinggal pergi begitu saja?"
"Kalau begitu tidak sama. Bukan saja dia bicara dengan aku, malah dia bantu aku berkelahi!"
"Perempuan berkedok hitam itu pun bantu Beng-suko mengalahkan musuh kami."
"Perempuan yang kutemui ini ada menjelaskan kenapa dia harus menemui Beng-toako
kepadaku." "Siapakah namanya, kenapa tidak kenal Beng-suko kok mencarinya, bolehkah kau beritahu
kepadaku?" "Sudah tentu boleh, dia bernama Lim Bu-siang, sahabat karib Kim Tayhiap Kim Tiok-liu suami
istri." Maka Song Theng-siau lantas menceritakan kejadian semalam, cara bagaimana ia melihat Lim
Bu-siang membantu dia menggebah lari Cong Sin-liong, serta ucapan Lim Bu-siang mengenai
tujuannya mencari Beng Goan-cau atas petunjuk Kim Tiok-liu. Begitulah ia ceritakan apa yang
pernah dilihat dan dialaminya."
"Sungguh sangat kebetulan," demikian kata Lu Su-bi. "Keberangkatan Beng-suko kali ini
memang menuju ke Tang-ping untuk mencari Kim Tiok-liu, tak kira Kim Tiok-liu sudah mengutus
orangnya untuk mencari dia."
"Kalau begitu mereka bisa jumpa di tengah jalan, karena Lim Bu-siang juga akan pulang ke
rumah Kim Tiok-liu. Seandainya tidak ketemu di jalan, pasti bisa jumpa di rumah Kim Tayhiap!"
"Nona Lim itu cantik tidak?" tanya Lu Su-bi.
Song Theng-siau tertawa, sahutnya: "Nona Lim ini rada-rada mirip dengan kau!"
"Apa benar" Jangan kau nge-lantur dan membual belaka?"
"Sedikit pun aku tidak menipu kau, semalam waktu berada di teras kembang aku melihat
mukanya muncul dari jendela, hampir saja aku berteriak memanggil kau. Tapi usianya lebih tua
dari kau, sikap dan tindak-tanduknya kelihatan murung dan lesu, dalam hal ini ia jauh berlainan
dengan kau." Lu Su-bi merengut, katanya: "Song-suko, kau tertawakan aku tidak besar-besar lagi. Tapi aku
ini memang tidak kenal murung atau duka segala. Mungkin derita dan sengsara yang kualami
sudah cukup banyak, urusan sebesar langit pun bisa kuanggap sepele saja." " " Tanpa disadari
di waktu mengucapkan kata-katanya ini, ia sudah membawa nada sebagai seorang besar, anak
gadis yang sudah menanjak dewasa. Bagi pendengaran Song Theng-siau, diam-diam hatinya jadi
mendelu dan hambar. Ucapan Lu Su-bi ini seolah-olah mengibaratkan sebuah pepatah yang berbunyi: "Cinta ini bisa
ditunda untuk mengejar kenangan, cuma waktu itu keadaan sudah hambar."-Tanpa sengaja Lu
Su-bi mengucapkan kata-katanya, namun hal ini menimbulkan perasaan lama Song Theng-siau
kambuh kembali, pikirnya: "Semoga aku bisa seperti keadaan siau-sumoay, segala urusan dapat
berpandangan jauh dan lapang dada. Tidak baik bila selalu terkenang pada Hun Ci-lo!"
"Benar harus demikian baru bisa bahagia dan membawa rejeki," demikian ujar Song-hujin
tertawa, waktu bicara entah sengaja atau tidak matanya melirik ke arah putranya.
Maka tertawalah Lu Su-bi, katanya: "Ini benar-benar hanya ada satu kejadian tunggal!"
"Kejadian tunggal apa maksudmu?" tanya Song Theng-siau keheranan.
"Maksudku perangai Beng-suko. Di waktu berada di Siau-kim-jwan, Beng-suko selalu, murung
dan bermuram durja, entah pikiran apa yang selalu mengganggu benaknya" Kini mendengar
penjelasanmu ini, pasti nona Lim ini sama keadaannya dengan Beng-toako, entah dia pernah
mengalami kejadian apa yang menyebabkan hatinya berduka dan sedih?"
Dalam hati berpikirlah Song Theng-siau: "Sebetulnya waktu masih di Siau-kim-jwan, aku pun
membekal perasaan hati yang sama, cuma aku tidak terlalu memperlihatkan di muka."
"Kalau demikian," ujar Song Hujin, "Tabiat dan perangaimu justru mirip sekali dengan Thengsiau,
apakah ini tidak boleh dikatakan satu kejadian tunggal?"
--Ucapan Song-hujin cukup gamblang ke mana juntrungnya, keruan muka Song Theng-siau dan
Lu Su-bi merah malu. -ooo0dw0oooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejak Lim Bu-siang berpisah dengan Song Theng-siau, ia tinggalkan rumah keluarga Hun terus
melanjutkan perjalanan ke arah datangnya semula seorang diri, perasaannya pun sama, murung
dan mendelu. Terbayang olehnya di masa, kecil di mana ia bersama Boh Cong-tiu bermain-main begitu mesra
dan intim sekali, waktu itu mereka bertetangga Mungkin terlalu berkelebihan kalau dikata,
pasangan asmara sejak kecil, karena usia Boh Cong-tiu jauh lebih tua tujuh delapan tahun, dia
sering mengajak piaukonya bermain, terpaksa Boh Cong-tiu harus menerima ajakannya bermain
apa saja. "Ai, piauko selalu anggap aku masih bocah kecil saja, apakah dia sedikit pun tidak mengetahui
isi hatiku terhadapnya?" demikian Lim Bu-siang berpikir dalam hati.
Angin pagi menghembus lewat, Lim Bu-siang merasa rada kedinginan, mendadak terpikir
olehnya persoalan yang belum pernah dia pikirkan: "Apakah aku betul-betul mencintai piauko?"
Kalau setengah bulan yang lalu ada orang mengajukan pertanyaan ini, seumpama dia tidak sudi
menjawab, mau tidak mau ia harus berkata demikian dalam hati: "Apa perlu ditanyakan lagi! Sejak
aku tahu urusan, dalam sanubariku tidak terdapat bayangan laki-laki kedua, hanya piauko saja.
Sudah tentu aku menyintainya."
Tapi sekarang bila dipikir-pikir, jawaban ini rasanya sulit diketengahkan.
Kenapa pula sekarang harus disangsikan" Karena ia teringat akan beberapa patah kata ucapan
Su Ang-ing kepadanya, waktu itu belum sempat ia berpikir secara cermat, sekarang mau tidak
mau ia harus menyelusuri kembali kejadian beberapa waktu yang lalu.
Pada suatu malam kira-kira setengah bulan yang lalu, di waktu ia mengobrol dengan Kim Tiokliu
suami istri, masuklah seorang murid dari Kaypang memberi sebuah laporan kepada Kim Tiokliu,
laporan itu adalah sebuah berita yang tidak menguntungkan bagi Beng Goan-cau, yaitu perihal
penangkapan dari pihak kerajaan atas dirinya.
Setelah murid Kaypang itu berlalu, Kim Tiok-liu suami istri lantas berunding untuk mengutus
seseorang memberi kabar ini kepada Beng Goan-cau, pikir punya pikir, belum mendapat pilihan
yang tepat, mendadak pandangan mereka suami isteri sama tertuju ke arah Lim Bu-siang.
"Ada sudah!" ujar Su Ang-ing.
"Benar!" timbrung Kim Tiok-liu, "maksud yang baik sekali."
Tatkala itu Lim Bu-siang jadi -keheranan, tanyanya: "Kim-toako, kau tahu apa yang dimaksud
oleh Ang-ing cici?" "Sudah tentu aku tahu. Ang-ing, jangan kau jelaskan dulu, mari kita tulis nama orang itu di
telapak tangan masing-masing dan diperlihatkan bersama kepada Bu-siang, apakah maksud kita
sama!"- Lalu mereka beradu punggung, setelah menulis, mereka membuka telapak tangan masingmasing
di hadapan Lim Bu-siang, tampak di telapak tangan kedua orang sama tertulis "Lim Busiang"
tiga huruf. Di lain kesempatan, akhirnya Lim Bu-siang tanya sendiri kepada Su Ang-ing, kenapa mereka
bisa sama tahu apa yang terkandung di dalam pikiran masing-masing.
Makna dari jawaban Su Ang-ing benar-benar meresap dalam sanubarinya, katanya: "Jangan
kau tertawakan mukaku tebal, kata-kata 'hati bertaut' kukira kau sudah pernah dengar bukan"
Kalau aku tidak tahu apa yang dia pikirkan dalam benaknya, masa mungkin aku mau menikah
dengan dia" Adikku yang baik, jikalau kau benar-benar mencintai seorang laki-laki, maka kau
wajib mengetahui segala-galanya mengenai dirinya, seperti kau mengenal dirimu sendiri."
Sekarang mendadak teringat oleh Lim Bu-siang akan kata-kata ini, hatinya menjadi hampa.
"Apakah aku sudah mengenal piauko betul-betul" Sewaktu-waktu aku merasa dia adalah sanak
famili yang terdekat denganku, namun ada kalanya pula aku merasa dia seorang asing yang belum
pernah kukenal sebelumnya. Dia sekarang memikir apa, tahukah aku" Ai" jangan kata sekarang,
waktu kecil aku bermain sama dia, apa yang dia pikir, masakah aku pernah menyelaminya?"
Maka terpikir pula oleh Lim Bu-siang suatu kejadian sebelum percakapan ini. Suatu hari, dia
bersama Su Ang-ing berjalan-jalan di taman belakang, sang surya baru saja terbit, kabut pagi
belum lagi sirna, di keremangan kabut memandang kelopak-kelopak kembang di dalam kebun,
kelihatan begitu indah mempesona. Dia limpahkan perasaan hatinya ini kepada Su Ang-ing.
Berkatalah Su Ang-ing tertawa: "Begitulah hidup manusia, ada kalanya sesuatu barang yang tidak
jelas dipandang, kau bisa merasa dia begitu cantik rupawan. Mungkin memang dia betul-betul
cantik, tapi dalam waktu yang lebih panjang terasa adanya khayal. Tapi bila kau dekati, setelah
kau melihatnya jelas, kemungkinan dia tidak secantik seperti apa yang kau barusan bayangkan!"
"Apakah cintaku terhadap piauko hanya cinta remang-remang seperti itu" Bayangan piauko


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang timbul dalam lubuk hatiku, cuma seperti bayangan bulan di dalam permukaan air, laksana
kembang di dalam kabut?"
Lim Bu-siang gundah dan seperti kehilangan akal, begitulah ia bertanya kepada hati sendiri,
namun ia toh tidak kuasa menjawabnya. Akan tetapi, Su Ang-ing pernah memberikan jawaban ini.
Letak rumah Kim Tiok-liu di pesisir danau Tang-ping, pagi hari itu, timbul hasrat Su Ang-ing
jalan-jalan, ia ajak Lim Bu-siang putar kayun pelan-pelan, dari ujung taman ke ujung yang lain,
seolah-olah mereka tidak mengenal lelah, dan akhirnya ia seret Lim Bu-siang pergi jalan-jalan di
pinggir danau Tang-ping. Kabut di permukaan danau sedang mulai buyar, laksana asap enteng mengepul tinggi
menghilang dihembus angin lalu, sehingga lama kelamaan pandangan gunung serta permukaan
air yang indah semakin jelas kelihatan. Burung mandarin di tengah danau sedang berlaju saling
kejar, di pinggir danau pohon Liu meliuk lemah gemulai. Menghadapi panorama pagi nan indah ini
tak terasa Lim Bu-siang bersorak memuji.
Agaknya Su Ang-ing ingat apa-apa, mendadak ia pandang Lim Bu-siang, katanya: "Pernahkah
timbul perasaan macam itu di dalam lubuk hatimu" Panorama di seberang sana selalu kelihatan
lebih bagus, tapi setelah kau berada di seberang sana, kau akan merasa sebelah sini jauh lebih
bagus?" Lim Bu-siang berpikir sebentar lalu sahutnya tertawa: "Iya, sering aku merasa heran,
bahwasanya panorama kedua pihak semestinya sama-sama bagus, sama-sama indahnya!"
"Itulah karena terpaut oleh permukaan danau yang luas ini. Pohon Liu di sebelah sana tidak
dapat kau sentuh, kelopak kembang di sana, kau tidak akan bisa memetiknya. Maka kau akan
merasa panorama sebelah sana jauh lebih baik dari sebelah sini."
"Uraianmu ini sungguh menyegarkan perasaan!"
"Sebetulnya tidak segar, bukankah ada sebuah kata-kata kuno yang bilang, barang yang tak
dapat kau peroleh ada kalanya lebih bagus bukan" Tapi ini pun hanya satu pihak saja."
Lim Bu-siang seperti sadar dan mengerti, katanya: "Ya, pihak yang lain karena berada di
seberang terpaut sebuah danau ini!"
"Tidak salah," ujar Su Ang-ing. "Kau merasa panorama sebelah sana lebih elok, ada beberapa
bagian karena kau tambahi dengan pikiran khayalmu sendiri. Aku masih punya sebuah
perumpamaan, ini hampir mirip sebuah kenangan terhadap kejadian yang sudah lalu.?"'
Melonjak hati Lim Bu-siang, katanya: "Kenangan terhadap kejadian yang sudah lalu?"-Diamdiam
ia membatin dalam hati: "Mungkinkah dia hanya mencari judul untuk bercerita dan mengorek
isi hatiku?" "Benar!" demikian sahut Ang-ing. "Kenangan selalu indah dan madu selalu manis, bukan?"
Berpikir Lim Bu-siang: "Benar, waktu kecil aku sering bertengkar dengan piauko, kalau
dipikirkan sekarang rasanya amat mesra dan menggelikan, semoga sang waktu bisa putar balik
kembali, ingin rasanya bertengkar lagi seperti dulu kala waktu masih kecil, rasanya memang cukup
menggairahkan." -Memang sulit bagi Bu-siang untuk menutupi perasaan hati sendiri, terpikir akan hal ini, tanpa
sadar kepalanya manggut-mang-gut.
Berkata Su Ang-ing lebih lanjut: "Kau merasa panorama di seberang lebih cantik, karena kau
dipisahkan oleh sebuah danau, kau merasa kenangan lama madu mesra, karena sudah terpaut
sekian lamanya. "Mesra" yang kau rasakan ini ada beberapa bagian justru mengandalkan khayalan
yang kau limpahkan bersama dalam perasaanmu itu."
Kini dengan hampa dan mende-lu Lim Bu-siang beranjak di jalanan seorang diri, teringat
olehnya kata-kata yang pernah diucapkan oleh
Su Ang-ing itu, diam-diam ia lantas menerawang: "Sejak berpisah dengan piauko sampai
sekarang sudah sepuluh tahun berselang, piauko yang sekarang masihkah sama seperti piauko
yang dulu" Mungkin piauko yang kusukai itu, hanyalah bayangan dalam kalbuku" Ditambah oleh
khayalanku sendiri, kenangan terhadap seseorang yang tidak menjadi kenyataan."
Sinar surya tinggi menyilaukan pandangan mata, relung hati Lim Bu-siang yang dirundung
kegelapan menjadi terbuka lebar terang benderang seperti disinari cahaya matahari yang mulai
cemerlang. "Kenapa aku tidak pergi menemuinya" Setelah jumpa dengan dia, bukankah dapat
menjawab pertanyaan lubuk hatiku ini?"
Ternyata dia punya suatu kesempatan untuk bisa bertemu dengan Boh Cong-tiu, persoalan ini,
kini sedang bergejolak di dalam sanubarinya.
Kesempatan itu adalah bahwa Boh Cong-tiu hendak mendirikan partai atau aliran tersendiri di
Tionggoan, yaitu bahwa dia hendak membangun kembali Hu-siang-pay di tanah leluhur nan luas
dan besar ini. Waktunya sudah ditentukan yaitu pada bulan sembilan tanggal sembilan. Jarak waktu masih
satu bulan. Tempatnya ditentukan di puncak Thay-san.
Membuka aliran mendirikan partai adalah sebuah peristiwa besar, maka sejak beberapa waktu
yang lalu Boh Cong-tiu sudah menyebar luaskan undangan kepada para ciangbunjin dari golongan
dan aliran besar, para Pangcu atau ketua dari berbagai Pang dan Hwe besar dan kecil, tidak lupa
para tokoh-tokoh kenamaan di bulim. Sudah tentu Kim Tiok-liu suami istri merupakan orang-orang
Raja Pedang 5 Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya S H Mintardja Bara Naga 13
^