Kelana Buana 7
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 7
Agaknya Li Tun dapat meraba jalan pikirannya, segera ia menjelaskan: "Tamu itu datang dari
tempat yang jauh, kami sendiri pun belum kenal dia, mungkin sebentar saja dia sudah minta diri."
Lalu ia panggil seorang pelayan tua, lalu menyerahkan kartu nama Beng Goan-cau kepadanya,
menyuruhnya masuk ke dalam memberi laporan.
Maksud kata-kata Li Tun secara tidak langsung ada memberi kisik-an kepada Beng Goan-cau,
soalnya mereka tidak kenal siapa tamu itu sebenarnya, sementara Beng Goan-cau merupakan
buronan pemerintah, maka tidak enak dan kurang leluasa bertemu dengan Beng Goan-cau.
Sedang Beng Goan-cau juga berpikir: "Kabarnya Li Tun seorang yang cermat dan kawakan,
ternyata memang tidak bernama kosong. Tapi kenapa dia tidak mau beritahu nama tamu itu
kepadaku?" Bagi kaum persilatan ada banyak pantangan, persoalan yang tuan rumah tidak mau
membicarakan, sebagai tamu sudah tentu dia tidak enak mencari tahu. Tapi di saat Li Tun
menyerahkan kartu namanya kepada pelayan tua itu, secara diam-diam ia ada memperhatikan,
dilihatnya Li Tun seperti ada memberi tanda kedipan mata kepada pelayan tua itu, segera pelayan
tua itu manggut-manggut, katanya: "Ya. Setelah tamu itu pergi segera aku masuk menyampaikan
laporan." Setelah pelayan tua itu mengundurkan diri masuk ke kamar sebelah belakang, mendadak
didengarnya seseorang berkata: "Siapa tamu itu, Hu-pangcu kita sendiri yang melayaninya, tentu
dia seorang tamu agung" Hehe, tak heran sejak pagi aku ada mendengar kicauan burung di pucuk
pohon, hari ini benar-benar hari baik, dua tamu agung berkunjung tiba dalam waktu yang
bersamaan tanpa berjanji sebelumnya." Dari nada bicaranya jelas bahwa orang itu pun hanyalah
sebangsa pelayan. "Ssst! Pelan sedikit!" segera pelayan tua itu mencegah temannya bicara keras. "Coba kau terka
siapa dia" Ketahuilah tamu itu bukan lain adalah Beng Goan-cau!" kata-kata terakhir ini ia katakan
berbisik di pinggir kuping temannya. Tapi sebagai tokoh silat yang pernah berlatih mendengar
angin membedakan senjata rahasia, pendengaran Beng Goan-cau jauh lebih tajam dari orang
biasa, ia dengar percakapan itu jelas sekali.
Serta merta timbul rasa heran Beng Goan-cau, pikirnya: "Di dalam rumah Kim Tayhiap apakah
perlu berjaga-jaga terhadap mata-mata musuh" .Kenapa mereka takut namaku didengar oleh
orang lain" Mungkinkah tamu itu yang mereka kuatirkan?"
Begitulah Li Tun ajak Beng Goan-cau mengobrol, ditanyakan pula keadaan laskar gerilya di
Siau-kim-jwan, kira-kira sesulutan dupa kemudian, pelayan tua itu keluar pula serta berkata: "Liya,
Pangcu menyilakan kau masuk."-Tapi tidak mengundang Beng Goan-cau.
Sudah tentu Beng Goan-cau menjadi rikuh dan risi, diam-diam ia membatin: "Entah tamu itu
sudah pergi belum" Kabarnya Kim-hujin seorang yang berjiwa terbuka di kalangan kaum hawa,
suami istri sama simpatik dan ramah tamah terhadap para tetamunya, kenapa dia harus bertemu
dulu dengan Li Tun, baru akhirnya menemui aku?"
Agaknya sikap Li Tun juga rada kikuk, katanya: "Beng-heng, harap kau suka tunggu sebentar
lagi." Ia ulapkan tangannya kepada pelayan tua katanya: "Kenapa tidak kau undang Cin-hiangcu
kemari untuk menemani tamu."
"Jangan sungkan. Kita sesama orang dalam satu kalangan, kenapa harus terikat akan segala
tata peradatan." "Tiada jeleknya kau berkenalan dengan Cin-toako yang kusebutkan ini."
Tengah mereka bicara, orang she Cin yang dimaksud sudah tiba. Kiranya dia adalah Cin Tiong
yang berkedudukan sebagai Hu-pangcu pula dan menduduki kursi ketiga di dalam Liok-hap-pang.
Sejak lama Beng Goan-cau sudah tahu julukan Cin Tiong ini adalah Pit-lek-hwe (si berangasan),
seorang jujur polos dan suka usil mulut. Tapi di kala mereka saling memperkenalkan nama
masing-masing, Cin Tiong ada menunjukkan mimik yang aneh, bicaranya juga rada hati-hati dan
seperti kuatir pada sesuatu.
Diam-diam mendelu hati Beng Goan-cau, pikirnya: "Orang yang punya watak seperti dia ini
pasti suka diumpak dan diagulkan." Maka segera ia ajak bicara menggunakan bahan-bahan yang
didengarnya mengenai sepak terjang keperwiraan Cin Tiong dulu.
Benar juga Cin Tiong menjadi senang, katanya tertawa lebar: "Lote, jangan kau menempel
lapisan emas di kulit mukaku, kau berjuang demi keselamatan keluarga perguruan dengan matimatian
menempur lima tokoh kosen dari pasukan Bhayangkari, peristiwa itu aku pun sudah tahu.
Kaulah baru seorang angkatan muda yang harus dipuji dan dikagumi."
Pembicaraan mereka semakin getol dan cocok, tiba-tiba Cin Tiong berkata: "Beng-lote, kau ada
bergaul dan berkenalan dengan kaum gagah di seluruh dunia, adalah kau tahu di daerah Siok-ciu
ada seorang busu ternama yang bernama Nyo Bok?"
Sejenak Beng Goan-cau tertegun, katanya: "Sudah lama kudengar, cuma belum pernah
bertemu." Pertanyaan ini sesungguhnya di luar dugaan Beng Goan-cau. "Kenapa secara tiba-tiba
dia mengajukan persoalan Nyo Bok dengan diriku" Apakah dia sudah tahu rahasia hubunganku
dengan Hun Ci-lo?" demikian batin Beng Goan-cau. Tapi kejap lain ia jadi geli akan kecurigaan
hatinya yang tidak berdasar ini. "Theng-siau sedemikian dekat dan erat denganku saja tidak tahu
menahu persoalan ini, orang luar yang tiada sangkut-pautnya mana mungkin bisa tahu?"
"Satu bulan yang lalu," demikian Cin Tiong melanjutkan, "Mendadak Nyo Bok jatuh sakit dan
meninggal dunia, tentunya kau pun pernah mendengar berita ini?"
Beng Goan-cau terkejut teriaknya: "Apa" Nyo Bok sudah mati?" Maklum sebagai tokoh buronan
pemerintah, jejak Beng Goan-cau ke mana saja harus dilakukan secara rahasia, tidak gampang dia
mencari hubungan dengan kaum persilatan umumnya. Maka berita yang sudah menggemparkan
dunia persilatan beberapa lamanya ini baru pertama kali ini Beng Goan-cau mendengarnya.
"O, jadi kau belum lagi tahu," ujar Cin Tiong. "Kabarnya istri Nyo Bok adalah perempuan cantik
yang tiada bandingannya, entah benar tidak?"
Lebih terkejut pula Beng Goan-cau dibuatnya, katanya: "Cin-heng, untuk apa kau ingin tahu
seluk beluk hal ini?"
"Jangan lote menertawakan aku terlalu iseng, bukan aku ingin mencari tahu borok dan rahasia
rumah tangga orang. Cuma aku ada dengar katanya kematian Nyo Bok dicelakai oleh istrinya."
Lagi-lagi Beng Goan-cau terkejut dibuatnya, hatinya rada dongkol pula, katanya: "Pasti berita
bualan yang dibawa oleh kaum penganggur yang tidak tahu malu."
Cin Tioug menatap Beng Goan-cau, katanya: "Darimana kau tahu bahwa berita itu kabar angin
melulu?" Saking uring-uringan hampir saja Beng Goan-cau hendak membongkar hubungannya dengan
Hun Ci-Io sejak kecil kepada orang, tapi setelah dipertimbangkan akhirnya ia berpikir: "Buat apa
aku beritahu kepada seorang luar yang tiada hubungan dengan aku?" Maka dengan suara datar ia
berkata: "Aku pun ada dengar bahwa Nyo-hujin adalah seorang sekolahan yang tahu tata
peradatan, seorang perempuan yang pintar dan berbudi luhur, tidak mungkin dia sampai hati
mencelakai jiwa suaminya sendiri."
Cin Tiong bergelak tertawa, katanya: "Apakah Nyo-hujin bijaksana dan bajik aku tidak tahu.
Tapi mengenai urusan ini lote, kata-katamu justru tepat kena sasarannya."
"Lalu siapakah durjana pembunuhnya, apakah sudah diselidiki dan dibikin terang duduknya
perkara?" "Bahwasanya tiada pembunuhan segala."
Tak tertahan Beng Goan-cau melengak, tanyanya: "Jadi Nyo Bok memang mati karena
penyakitnya?" Baru sekarang Cin Tiong bicara secara terus terang: "Bahwasanya Nyo Bok tidak mati. Dia
hanya pura-pura mati, kini telah hidup kembali."
Heran Beng Goan-cau, tanyanya: "Apakah yang telah terjadi" Kenapa dia harus pura-pura
mati?" "Iyas kejadian aneh begini, setua ini baru pertama kali ini kudengar. Tapi meski aku tidak tahu
seluk beluk duduknya perkara, tapi kuduga pasti ada sangkut pautnya dengan istrinya yang cantik
itu?" Dengar kata-kata terakhir ini, isi perut Beng Goan-cau rasanya hendak berontak keluar, tak
tertahan sikapnya menjadi dingin, je-ngeknya: "Cin-hiangcu, kau sendiri kan belum pernah
bertemu dengan Nyo-hujin, darimana kau berani mengatakan obrolanmu?" Begitu dingin sikap dan
nada suaranya, kedengarannya amat menusuk kuping pendengarannya sendiri, serta merta ia
merasakan pula akan sikapnya yang kaku dan kurang wajar ini.
Cin Tiong mandah tertawa-tawa, katanya: "Aku hanya menerka-nerka menurut beberapa
persoalan yang kudengar. Pepatah kuno ada bilang, wajah cantik memang sering menimbulkan
bencana, sebenarnyalah uraian seperti itu tidak bisa tidak dikatakan sebagai kabar angin. Beng
Lote, sekali bertemu kita seperti sahabat lama saja, ada sepatah kata entah pantas tidak kuajukan
kepadamu?" "Nah mulai!" demikian batin Beng Goan-cau, alisnya lantas berkerut, katanya lantang: "Silakan
Cin-hiangcu katakan saja!"
Pelan-pelan Cin Tiong meletakkan cangkir tehnya serta berkata kalem: "Pemuda yang baru
menanjak dewasa, harus dapat membatasi diri akan permainan paras cantik. Setelah menikah
dengan seorang istri yang cantik rupawan belum tentu pasti bahagia. Peristiwa Nyo Bok yang kita
hadapi ini merupakan bukti yang nyata. Beng-heng, ucapanku ini benar atau tidak?"
Beng Goan-cau bergelak tertawa, ujarnya: "Aku punya sepatah kata entah patut tidak
kuucapkan?" "Aku paling suka berkawan dengan orang yang bersifat polos jujur dan lapang dada, silakan
Beng-heng katakan!" "Pangcu kalian semua unggul dalam segala bidang, paras cantik pengetahuan tinggi ilmu silat
hebat. Perjodohannya dengan Kim Tayhiap membawa nama harum dan bahagia, siapa saja yang
tidak menjadi iri karenanya. Jadi istilah wajah cantik sering menimbulkan bencana hanyalah isapan
jempol belaka." Debatan yang jitu ini membikin mulut Cin Tiong tertutup kencang, dalam hati ia membatin: "Dia
pura-pura pikun, perlukah aku bicara terus terang kepadanya?"
Di dalam gusarnya Beng Goan-cau sendiri pun merasa curiga, dia pun berpikir: "Jelas dia
sedang mengorek keterangan dan menyindir diriku, dia curiga bahwa aku ada berbuat sesuatu hal
yang memalukan dengan Hun Ci-lo. Aneh, kenapa dia bisa punya kecurigaan ini" Perlukah aku
bicara secara gamblang padanya?"
Di saat kedua pihak menjadi kikuk dan serba salah itu, mendadak didengarnya pintu besar
bagian luar terbuka, satu suara menyambung suara yang lain beruntun berteriak: "Antar tamu!
Antar tamu!" Itulah suatu tata kehormatan besar untuk mengantar tamu pulang.
Waktu Beng Goan-cau angkat kepala memandang keluar lewat aling-aling jendela, dilihatnya Li
Tun sedang mengantar seorang tamu, kebetulan mereka lewat dari pekarangan luar. Tamu itu
berusia tiga puluhan, ia mengenakan mantel tebal berkulit rase, kepalanya mengenakan topi kulit
biruang, topinya ditarik rendah, matanya jelilatan celingukan ke kanan kiri agaknya sedang
mencari sesuatu. Sebenarnya Cin Tiong sudah hampir membuka mulut, begitu mendengar teriakan 'mengantar
tamu', lekas-lekas ia telan kembali kata-katanya. Ia angkat cangkir tehnya terus ditenggaknya,
kelakuannya ini terang untuk menutupi gerak-gerik dan sikapnya yang serba runyam.
Tanpa merasa Beng Goan-cau menjadi heran dan curiga pula dibuatnya. "Kenapa dia seperti
takut dilihat oleh tamu itu?"
Sementara itu tamu itu sudah beranjak keluar dari pintu besar, namun terdengarlah suaranya
berkata: "Mana Cin-hiangcu tadi" Aku ingin pamitan padanya?"
"Kebetulan Cin-hiangcu ada urusan, nanti kalau kembali biar kusampaikan padanya," demikian
sahut Li Tun. Bertambah heran pula Beng Goan-cau: "Jadi Cin Tiong tadi sudah bertemu muka dengan dia,
kenapa pula sekarang dia harus menyingkir dari hadapannya?" Mana bisa dia menduga, bukan Cin
Tiong sengaja hendak menyingkir dari tamu itu, ia menyembunyikan diri supaya Beng Goan-cau
tidak sampai terlihat oleh tamu itu.
Setelah kembali dari mengantar tamunya, Li Tun seperti dibebaskan dari tugas beratnya,
katanya sambil menghela napas lega: "Maaf Beng-heng, membuat kau menunggu terlalu lama.
Pangcu kami sudah tahu akan kedatangan Beng-heng, beliau amat girang, mari silakan Beng-heng
masuk ke dalam bicara padanya."
Li Tun dan Cin Tiong segera membawa Beng Goan-cau ke balairung, seorang pelayan segera
disuruh lapor ke dalam. Tak lama kemudian terdengar suara gemericik, pandangan Beng Goan-cau
mendadak menjadi terang, tahu-tahu seorang perempuan pertengahan sudah berjalan keluar,
begitu bertemu muka, kesan pertama memberikan rasa hormat dan agung.
Diam-diam Beng Goan-cau merasa kagum, batinnya: "Ksatria perempuan yang tersohor di
seluruh jagat ini, sikap dan wibawanya memang lain daripada yang lain."
Setelah Su Ang-ing keluar, Li dan Cin segera mengundurkan diri. Menurut kebiasaan umum, Su
Ang-ing sebagai Pangcu perempuan, di waktu menghadapi tamu pria, paling tidak salah seorang
thaubak bawahannya pasti ikut hadir sebagai pengiringnya. Kini Li dan Cin berdua sama
mengundurkan diri, tidak perlu dijelaskan, bahwa waktu berada di sebelah belakang tadi pasti Su
Ang-ing sudah memberi pesan pada mereka. Serta merta bertambah pula rasa sangsi dan
ganjalan hati Beng Goan-cau. "Dia menghadapi aku seorang diri, apakah ada sesuatu urusan
pribadi yang perlu disampaikan pada aku?"
Setelah sekadar basa-basi, berkatalah Su Ang-ing tertawa: "Beng-siauhiap, kau hanya datang
seorang diri" Mana nona Lim itu" Kuminta dia ke Soh-ciu menyambut kau, kukira kalian sudah
bertemu bukan?" Jawab Beng Goan-cau: "Di waktu ia datang kebetulan aku tiada di rumah, tapi akhirnya kami
bertemu di tengah jalan!"
"O, ada kejadian yang begitu kebetulan, lalu ke mana dia sekarang, kenapa tidak pulang
bersama kau?" "Dia langsung menuju ke Thay-san."
Heran Su Ang-ing, katanya: "Dia langsung ke Thay-san" Semula kukira dia tidak mau ke sana,
sungguh di luar dugaanku malah. Cara bagaimana kalian bisa bertemu di tengah jalan?"
Karena tidak tahu seluk beluknya, Beng Goan-cau hanya merasa keheranan, sahutnya: "Kalau
dibicarakan secara kebetulan ditambah kebetulan saja, di waktu aku bertemu dengan nona Lim di
tengah jalan, aku pun bersua pula dengan Utti tayhiap yang datang dari Koan-tang."
"O, Utti Keng juga sudah tiba" Cara bagaimana dia bisa kenal kau?"
"Aku malah berkelahi dengan dia!" ujar Beng Goan-cau, lalu dia ceritakan pengalamannya hari
itu kepada Su Ang-ing secara ringkas jelas.
Su Ang-ing mendengarkan dengan cermat dan penuh perhatian, lalu katanya tertawa: "Kalau
begitu tanpa berkelahi kalian tidak akan berkenalan. Demikian juga waktu aku berkenalan dengan
Tiok-liu dulu." Semula Beng Goan-cau anggap kata-kata 'tanpa berkelahi tidak berkenalan' adalah menunjuk
dirinya dengan Utti Keng, baru akhirnya dia tahu bahwa yang dimaksud kiranya adalah Lim Busiang,
keruan merah malu selebar mukanya.
Berkata Su Ang-ing lebih lanjut: "Jadi kalian pun bentrok dengan wakil komandan Gi-lim-kun,
kapan peristiwa itu terjadi?"
Beng Goan-cau menekuk jarinya menghitung, sahutnya: "Empat hari yang lalu."
Terunjuk rasa kebingungan pada wajah Su Ang-ing, katanya heran: "Empat hari yang lalu,
kejadian agaknya rada janggal."
Beng Goan-cau pun heran, tanyanya: "Apanya yang janggal dan mengherankan?"
Kata Su Ang-ing: "Ada seorang empat hari yang lalu juga bertemu dengan Ciok Tio-ki, tapi
tempat yang dia tunjuk berlainan. Masakah Ciok Tio-ki punya ilmu membagi tubuh?"
Beng Goan-cau juga merasa heran, tanyanya: "Siapakah orang itu?"
Su Ang-ing tatap Beng Goan-cau lalu sahutnya: "Yaitu tamu yang baru saja datang itu, malah
dia pun ada menyinggung dirimu!"
Melengak heran Beng Goan-cau dibuatnya, serta merta ia bertanya: "Aku toh tidak kenal dia,
bagaimana dia bisa menyinggung aku" Siapakah dia?"
"Dia bukan lain adalah busu kenamaan dari Siok-ciu, Nyo Bok adanya."
Berdetak jantung Beng Goan-cau, batinnya: "Kiranya Nyo Bok!" baru sekarang ia paham duduk
perkara sebenarnya: "Tak heran Cin Tiong bicara begitu rupa kepadaku."
"Peristiwa Nyo Bok pura-pura mati adakah kau pernah dengar?"
"Baru saja kudengar dari penuturan Cin-hiangcu."
"Memang katanya dia menanam permusuhan dengan Ciok Tio-ki, Ciok Tio-ki tahu bahwa dia
ada menentang kebijaksanaan pemerintah kerajaan, maka hendak menangkapnya. Terpaksa
untuk menghindari penangkapan itu ia pura-pura mati, tak nyana usahanya masih sia-sia, akhirnya
empat hari yang lalu mereka toh bentrok juga, di bawah Kim-kee-nia dia kena dipukul satu kali
oleh Ciok Tio-ki, malah terluka pula. Untunglah berhasil melarikan diri."
Kim-kee-nia terletak di sebelah barat karesidenan Tang-ping. Empat hari yang lalu tempat Beng
Goan-cau melihat Ciok Tio-ki sebaliknya terletak di sebelah selatan karesidenan Tang-ping, kedua
tempat ini tidak mungkin bisa dicapai dalam perjalanan satu hari.
Ternyata kuatir ceritanya menunjukkan lubang-lubang kelemahannya, dan lagi karena rumah
Beng Goan-cau berada di Soh-ciu, kalau Nyo Bok mengatakan di luar kota Soh-ciu bersua dengan
Ciok Tio-ki, mungkin bisa menimbulkan kesangsian, maka seenaknya saja dia menyebut nama
sebuat tempat lain. Tempatnya dia ganti maka waktunya pun dia ganti pula, jarak antara Kim-keenia
ke tempat kediaman Kim Tiok-liu saja memerlukan waktu empat lima hari perjalanan, maka
menurut kelincahan lidahnya ia mengatakan empat hari yang lalu. Sungguh mimpi juga ia tidak
menyangka, kejadian justru begitu amat kebetulan sekali, bahwa tepat pada hari itu Beng Goancau
pun ada bertemu dengan Ciok Tio-ki.
"Nyo Bok. Dia, apa yang dia katakan mengenai diriku?"
"Adakah kau kenal dengan istrinya itu?"
"Tidak salah, kenal sejak masih kanak-kanak."
Tatapan Su Ang-ing semakin tajam, katanya seperti tertawa tidak tertawa: "Katanya kau
membawa lari istrinya!"
Beng Goan-cau berjingkrak bangun, teriaknya: "Dia, dia begitu menjelekkan namaku?"
"Kau jangan gugup, marilah bicara perlahan-lahan. Jadi maksudmu belakangan ini kau tidak
pernah melihat,istrinya."
Gejolak hati Beng Goan-cau tenang kembali, hatinya menerawang: "Memang kenyataan Hun
Ci-lo pernah ke Soh-ciu menjenguk aku, tidaklah heran bila suaminya menaruh salah paham
kepadaku." Melihat sikap dan mimiknya tidak tenang, Su Ang-ing menjadi sangsi dan rada curiga pula.
Setelah menenangkan pikiran, Beng Goan-cau berkata: "Bicara terus terang, aku memang
pernah melihat istrinya, meski waktu itu malam hari, apalagi dia mengenakan kedok muka, tidak
bicara lagi kepada aku. tapi aku tahu pasti dia adanya. Dia adalah sahabat kecilku sejak kanakkanak,
tapi sejak dia menikah, aku tidak pernah melihat dia lagi. Apalagi melakukan perbuatan
yang durhaka terhadap Nyo Bok."
Sebagai perempuan yang cerdik dan luas pengalaman, setelah mendengar uraiannya, Su Anging
jadi berpikir: "Persoalannya dengan Nyo-hujin, bukan mustahil mirip benar dengan keadaan
Lim Bu-siang dengan piaukonya" Cuma pihak sana yang laki-laki sudah menikah, sementara pihak
sini yang perempuan yang sudah menikah?"
Beng Goan-cau ragu-ragu sejenak, lalu melanjutkan: "Di waktu mudanya dulu, aku bersama
Nyo-hujin pernah terjadi suatu, suatu... rahasia hubungan asmara kami dulu selamanya belum
pernah kutu-turkan kepada orang lain, kini dengan setulus hati suka aku menjelaskan kepada
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hujin." Cepat Su Ang-ing menggoyangkan tangan, katanya: "Aku percaya bahwa kau seorang laki-laki
sejati yang berlapang dada dan berjiwa besar, urusan pribadimu aku tidak usah tahu. Tak perlu
kau tuturkan kepada aku!" Anggapannya analisanya tepat dan persis, di luar tahunya bahwa, likaliku
hubungan asmara Hun Ci-lo dengan Beng Goan-cau justru jauh lebih ruwet dan berbelit-belit
dibanding hubungan Lim Bu-siang dengan Boh Cong-tiu.
Beng Goan-cau tertawa getir. katanya: "Kalau begitu, jadi Nyo Bok kemari mohon kalian suami
istri suka memberi keadilan kepadanya?"
"Ya, Tiok-liu tidak di rumah, terpaksa aku mendengar pengaduannya. Sungguh tidak nyana bisa
terjadi kebetulan ini, baru saja dia mengatakan kau membawa lari istrinya, kartu namamu lantas
diantar ke hadapanku, untung dia tidak melihat, kalau tidak wah membuat aku si tuan rumah ini
menjadi serba runyam dan susah."
Beng Goan-cau menjadi kikuk, selebar mukanya merah jengah, diam-diam ia berpikir: "Meski
aku tidak melakukan perbuatan maksiat, tapi sebelum Nyo Bok berhasil menemukan Hun Ci-lo,
meski aku punya kesempatan memberi penjelasan kepadanya, mungkin dia pun tidak akan mau
percaya." Agaknya Su Ang-ing seperti tahu jalan pikirannya, ujarnya tersenyum: "Apakah Beng-siauhiap
merasa cara keputusanku tadi kurang tepat?"
Karena mengandung kekuatiran terpaksa Beng Goan-cau bicara blak-blakan: "Seharusnya aku
memberi penjelasan kepada Nyo Bok secepatnya, tapi sekarang belum tepat datang saatnya untuk
aku menampilkan pembelaanku. Terima kasih akan bantuan pangcu yang telah melindungi nama
baik dan mukaku, sehingga kami tidak bertemu dalam keadaan rikuh dan runyam. Tapi yang
kukuatirkan, dia mengadukan ke tempat ini, pasti pula mengadukan hal ini kepada para bu-lim
cianpwe lainnya, ini, ini..."
"Yang jelas bahwa perbuatan sendiri tidak mendurhakai kebajikan, kenapa harus takut
menghadapi obrolan orang lain. Urusan bakal menjadi beres pada suatu ketika, Beng-siauhiap
tidak usah kuatir. Dan lagi menurut hematku, Nyo Bok mungkin juga tidak suka urusannya itu
tersiar luas di luaran. Di hadapan beberapa bulim cianpwe itu, aku bisa memberi penjelasan bagi
kemurnian jiwamu." Sebagai suatu pimpinan yang cerdik pandai dan sigap bekerja, namun dalam menghadapi
persoalan ini, perhitungan dan tafsiran Su Ang-ing meleset sama sekali.
Meski pepatah ada bilang 'keburukan keluarga pantang tersiar keluar", tapi Nyo Bok sudah
terima menjadi antek kerajaan, bahwa Nyo Bok harus menyiarkan keburukan keluarganya seluasluasnya
adalah mengikuti petunjuk dan perintah atasan Nyo Bok yaitu wakil komandan Gi-Iim-kun
Ciok Tio-ki. Tujuannya adalah hendak menista dan mencelakai Beng Goan-cau, merusak nama
baiknya di hadapan kaum persilatan! Pertama, Nyo Bok sudah tidak kuasa lagi pada diri sendiri,
kedua, karena rasa jelus dan cemburunya terhadap Beng Goan-cau sudah menghayati
sanubarinya, terpaksa tanpa malu-malu lagi ia tanggalkan kedok mukanya melaksanakan rencana
Ciok Tio-ki. Diam-diam hati Beng Goan-cau mengeluh dan bersyukur pula mendengar kata-kata Su Ang-ing
terakhir, pikirnya: "Walau aku tidak pernah melakukan perbuatan haram yang mendurhakai Nyo
Bok dengan Hun Ci-lo, tapi rasa rinduku terhadapnya selama delapan tahun ini belum pernah
lenyap dan tersapu dari relung hatiku."
Kata Su Ang-ing: "Dalam menghadapi persoalan ini, bukan sengaja aku hendak berpihak
kepadamu, soalnya martabat dan sepak terjangmu selama ini, kami suami istri sudah lama tahu.
Nyo Bok memang punya nama dan disegani sesama kaum bulim di daerah Siok-ciu, namun
betapapun aku masih rada asing mengenai karakter dan jiwanya."
Beng Goan-cau menjadi terharu, katanya: "Sebagai generasi muda yang masih cetek
pengalaman seperti aku ini, entah bagaimana aku harus menyatakan terima kasihku terhadap Kim
Tayhiap dan hujin atas penghargaannya terhadap diriku."
Su Ang-ing tertawa-tawa, ujarnya: "Sebetulnya, aku pun sudah tahu sebelumnya bahwa
istrinya itu bukan kau bawa lari."
Beng Goan-cau tertegun, tanyanya: "Mengapa?"
Berkata pula Su Ang-ing pelan-pelan: "Karena ada orang pernah lihat Hun Ci-lo istri Nyo Bok itu
berada di Thay-ouw."
Jejak rahasia Hun Ci-lo yang selama ini sedang diraba-raba kini terbongkar dari mulut Su Anging,
benar-benar suatu berita yang selama ini menjadi keinginan Beng Goan-cau untuk mencari
sumber berita yang serba kesulitan. Keruan kejut dan girang pula hati Beng Goan-cau, katanya:
"Ada orang pernah melihat dia di Thay-ouw" Kenapa dia bisa menuju ke Thay-ouw" Siapa pula
orang itu?" Maklum keluarga Hun Ci-lo adalah kaum persilatan pula, namun dia bukan perempuan kelana
kangouw umumnya, sanak kadang atau famili keluarganya sudah sama meninggal. Kaum
persilatan umumnya tidak mungkin bisa mengenalnya. Maka Beng Goan-cau menjadi merasa
heran dan mengajukan pertanyaannya itu.
"Dia adalah seorang sahabatku dan Tiok-liu yang paling dapat dipercaya," demikian Su Ang-ing
menjelaskan. "Bahwasanya dia pun tidak tahu menahu terhadap pertikaian Nyo Bok dan istrinya,
namun dia justru mengenal Sip-hun-kiam hoat dari keluarga Hun!"
"Jadi dia pernah melihat Hun Ci-lo memainkan pedangnya?"
"Ya, di Tong-ting-san sebelah barat Thay-ouw dia pernah melihat seorang perempuan
berpakaian hitam sedang bertarung pedang dengan orang, ilmu pedang yang dilancarkan itu
adalah Sip-hun-kiam hoat. Siapa yang menjadi musuhnya, dia tidak tahu, tapi menurut katanya
kepandaian orang itu pun rada lumayan, sampai pada jurus terakhir yaitu Heng-hun-toan-hong
(awan melintaYig memotong puncak) baru perempuan baju hitam itu berhasil mengalahkan
lawannya. "Dua hari yang lalu sahabat kental ini pernah datang ke rumah kami, dia mengajak Tiok-liu
berangkat menghadiri upacara kebesaran di Thay-san, entah bagaimana dia pernah menyinggung
soal ini, waktu itu karena mereka tergesa-gesa hendak berangkat, maka aku tidak mencari tahu
lebih lanjut." Sebetulnya Beng Goan-cau ingin tahu lebih banyak, sayang apa yang Su Ang-ing ketahui dan
yang dituturkan kepadanya hanya itu-itu saja. Siapa nama sahabat itu, dia pun tidak
menyebutnya. Betapapun Beng Goan-cau baru pertama kali ini bertemu dengan tuan rumah, kalau
toh orang tidak mau menjelaskan, sudah tentu Beng Goan-cau tidak enak menanyakan.
Su Ang-ing menenggak air tehnya, lalu menyambung: "Ayah mertua Nyo Bok adalah Hun
Ciong-san, Hun Ciong-san adalah ahli waris langsung dari Sip-hun-kiam hoat, dia cuma punya
seorang anak putri, hal-hal ini sejak lama sudah kuketahui. Maka di kala Nyo Bok mengatakan
hendak mencari istrinya, maka aku lantas berani berkepastian bahwa perempuan baju hitam yang
dilihat oleh sahabat kami di Tong-ting-san di sebelah barat Thay-ouw itu tentu istri Nyo Bok yaitu
Hun Ci-lo adanya." "Adakah hujin memberitahu berita ini kepada Nyo Bok?" Beng Goan-cau bertanya dengan
perasaan gundah. "Sejak mula aku sudah merasa bahwa di belakang layar peristiwa Nyo Bok dengan istrinya ini
pasti ada apa-apanya, apalagi aku tidak mengenal benar karakter dan sepak terjangnya selama
ini, maka untuk sementara waktu aku tidak ingin memberitahukan kepadanya. Nanti setelah duduk
perkaranya sudah jelas, baru aku bisa berkeputusan perlukah aku menyampaikan hal ini
kepadanya!" demikian sahut Su Ang-ing.
Beng Goan-cau menghela napas lega, seolah-olah batu besar yang menindih jantungnya sudah
dicopot turun. Sesaat ia jadi merasa menyesal dan terketuk sanubarinya. "Kenapa aku tidak suka
Nyo Bok mengetahui jejak Ci-lo?"
Berkatalah S u Ang-ing lebih lanjut: "Tapi kalau dikatakan sekarang menjadi tidak begitu
penting mempersoalkan sebab musabab pertikaian Nyo Bok suami istri. Yang penting aku ingin
tahu akan kebenaran pengaduan Nyo Bok bahwa dia benar ada dikejar dan hendak ditangkap oleh
pihak kerajaan. Kenapa dia harus menipu aku dikatakan dia terkena pukulan oleh Ciok Tio-ki"
Beng-siauhiap, coba katakan benar tidak?"
Pikiran Beng Goan-cau sendiri lagi gundah, ia jadi gelagapan, sahutnya: "Ini, ini, aku jadi tidak
leluasa ikut bicara dalam persoalan ini. Cuma aku percaya kalau toh Hun Ci-lo rela menikah
dengan dia, pastilah dia bukan orang jahat."
Mendengar orang membela Nyo Bok, Su Ang-ing tertawa geli, katanya: "Agaknya kau amat
yakin dan percaya benar terhadap Nyo-hujin. Tapi urusan di dunia sulit diduga, apalagi hati
manusia sukar diraba lagi, banyak kejadian yang justru terjadi di luar kesadaran pikiran manusia.
Ada lebih baik kita berlaku hati-hati dan waspada."
Merah muka Beng Goan-cau, ia tidak berani banyak kata lagi, terpaksa ia mengiakan saja.
Su Ang-ing tertawa,, ujarnya mengawasi Beng Goan-cau: "Urusan ini kurasa amat penting bagi
kau. Karena peristiwa Nyo Bok kehilangan istri secara langsung ada menyangkut dirimu."
Beng Goan-cau segan membual, sahutnya: "Benar, aku memang ingin selekasnya
membereskan pertikaian ini."
"Konon kau menjadi wakil bagi Siau-kim-jwan untuk mencari hubungan dengan para enghiong
di berbagai tempat, apa benar?"
Beng Goan-cau seperti tersentak sadar, cepat ia mengiakan dengarn hormat. '
"Lalu hendak ke mana kau lebih lanjut" Pergi ke Thay-san atau menuju ke Thay-ouw?"
"I... ini, aku..." pertanyaan Su Ang-ing amat mendadak diajukan, sesaat Beng Goan-cau jadi
sulit berkeputusan untuk memberi jawaban.
"Dalam waktu dekat sulit kau mengambil keputusan, maka tidak perlu kau segera menjawab
pertanyaanku ini. Setelah kau pikirkan secara cermat baru ambil ah keputusan kukira waktunya
masih belum terlambat."-Bicara sampai di sini Su Ang-ing seperti ingat apa-apa, berhenti sebentar
ia mengganti sebuah cangkir air teh panas untuk Beng Goan-cau, lalu ia melanjutkan: "Pertemuan
besar di Thay-san bakal dihadiri oleh para enghiong dari seluruh jagat, bahwa kau sebagai kurir
dari laskar gerilya hendak mencari hubungan dengan mereka, inilah saatnya paling tepat. Tapi aku
pun bisa membayangkan, sehari sebelum pertikaian ini belum dibikin jelas, sehari kau tidak akan
hidup tenteram. Maka bila kau mencari tahu lebih dulu ke Thay-ouw kurasa juga lebih baik."
"Juga baik" yang dia maksud tanpa dijelaskan sudah gamblang bahwa dia mengharap supaya
Beng Goan-cau menghadiri pertemuan besar di Thay-san itu lebih dulu.
Beng Goan-cau menjadi bingung dan hambar, sesaat baru ia berkata: "Terima kasih akan
perhatian pangcu memberitahu banyak urusan kepadaku. Waktu amat mendesak, aku mohon diri
saja." "Tidak salah, tak peduli menuju ke Thay-san atau pergi ke Thay-ouw, kau perlu buru-buru
menempuh perjalanan. Baiklah, aku pun tidak menahan kau lebih lama lagi."
Setelah berada di luar rumah keluarga Kim, Beng Goan-cau beranjak seorang diri, bolak-balik
sebuah pikiran sedang bergejolak dalam sanubarinya: "Ke mana aku harus pergi lebih dulu?"
Penyakit rindu selama delapan tahun, kesempatan dibuang demikian saja, kini betapa sulit
memperoleh berita jejak Hun Ci-lo berada, bisakah aku membuang-buang kesempatan baik ini"
Tapi kalau dia mengabaikan kesempatan pertemuan di Thay-san, kelak dia harus bertandang
satu persatu ke rumah para enghiong dari berbagai tempat yang tersebar luas itu malah belum
tentu bisa ketemu di rumahnya, bukankah lebih banyak memakan waktu dan tenaga-
Selamanya Beng Goan-cau bisa berlaku tegas dalam setiap keputusan, tapi kini dia di libat oleh
pertanyaannya itu, jadi merasa sangsi dan ragu-ragu, tujuan utama menjadi kabur oleh kerisauan
hatinya. -ooo0dw0ooo- "Ke manakah aku harus menuju?" Persoalan yang membikin Beng Goan-cau gundah pikiran
juga sedang bergolak dalam benak Hun Ci-lo.
Pagi hari itu setelah dia menghindari pertemuan dengan Beng Goan-cau, melangkah di tanah
kelahiran kampung halamannya dia beranjak ke depan, seperti pula keadaan Beng Goan-cau
sekarang, pulang pergi ia sedang memikirkan pertanyaannya itu, tidak berani berpaling, namun
rasa hati sudah remuk redam.
Rumah suami tidak mungkin dia pulang ke sana, putra kandung pun direbut orang lain, jejak
ibunya pun tidak keruan paran, kekasih pun tidak berani ditemui lagi. "Meski besar dunia ini, ke
mana aku harus menempatkan diriku?" Teringat akan hal-hal yang menyedihkan tak tertahan lagi
air mata mencucur deras dari kelopak mata Hun Ci-lo, kedua kaki seperti diganduli beban berat
tak tahu ke mana harus melangkah"
Di saat Hun Ci-lo menempuh perjalanan dengan hati risau dan perasaan remuk redam melalui
jalan kampung itulah, di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pemuda desa yang sedang
mengejar waktu menuju pasar memikul dagangan sayur putih untuk dijual. Begitu melihat Hun Cilo,
tiba-tiba ia bersuara heran dan berhenti di hadapan Hun Ci-lo.
Hun Ci-lo tersentak sadar oleh seruan kaget orang, waktu ia angkat kepala, dilihatnya seorang
pemuda yang berotot kekar berkulit hitam, seolah-olah sudah amat dikenalnya wajah si pemuda
ini cuma dalam waktu yang dekat ia lupa dan tidak teringat siapakah dia adanya.
Setelah melenggong sebentar, pemuda itu meletakkan pikulan sayurnya serta berkata:
"Bukankah kau Hun-kokoh, kau sudah pulang" Aku adalah Siau-gu-ji, masa kau tidak ingat lagi?"
"Ternyata kau adalah Siau-gu-ji," ujar Hun Ci-lo tertawa. "Pada waktu aku meninggalkan rumah
kuingat kau masih bocah kecil yang masih ingusan, sekarang sudah begini besar, apakah ibumu
baik?" Ternyata Siau-gu-ji ini adalah putra Ong-toama tetangganya itu, waktu mereka ibu beranak
meninggalkan rumah, pernah berpesan kepada Ong-toama untuk mengurus kebun dan rumah
mereka, waktu itu Siau-gu-ji ini masih berusia tujuh delapan tahun.
Siau-gu-ji mengunjuk rasa kikuk malu-malu, katanya tertawa: "Hun-kokoh, kabarnya kau sudah
menikah dengan seorang yang kenamaan di daerah utara, kukira kau sudah melupakan kami,
sudah sekian tahun lamanya kau tidak pernah pulang menjenguk kami. Em, coba biar kuhitung,
waktu itu aku berusia hampir delapan, sampai sekarang jadi sudah delapan tahun berselang."
Walaupun Hun Ci-lo sedang dirundung kesedihan serta melihat anak tetangga, secara tidak
terduga ia merasa senang dan terhibur, katanya tertawa: "Mana bisa aku melupakan kau" Oh ya,
memang aku sedang mencari ibumu, tapi sekarang mungkin dia belum bangun, maka tidak berani
aku mengganggunya sepagi ini, kini kebetulan bertemu kau beberapa uang perak yang tidak
berarti ini, kuharap kau suka terima dan bawa pulang berikan kepada ibumu sebagai oleh-olehku
dari tempat jauh, jangan lupa sampaikan terima kasihku akan jerih payahnya atas bantuannya
merawat rumahku." Siau-gu-ji merah malu, katanya: "Terima kasih apa" Beberapa tahun ini, kami ibu beranak
terlalu sibuk pada pekerjaan kampung, kebun dalam rumahmu kami jadi tiada kesempatan untuk
merawatnya. Uang ini aku pun tidak berani terima."
"Kau harus menerimanya, karena kedatanganku terlalu tergesa-gesa, maka tidak kubawakan
barang oleh-oleh, anggaplah uang ini untuk beli barang keperluan untuk ibumu."
Karena tidak bisa menolak, terpaksa Siau-gu-ji menerima, katanya: "Kau sudah pulang ke
rumah belum, kenapa sepagi ini sudah keluar pula" Beng-toako sudah pulang, kau tahu tidak?"
Pedih hati Hun Ci-lo, katanya: "Tahu, aku sudah bertemu dengan dia. Kali ini aku hanya
menjenguk sebentar saja, aku masih punya urusan penting lainnya, maka tidak bisa tinggal di
rumah terlalu lama."
Siau-gu-ji berkata heran: "Mana boleh terus berangkat begitu tergesa-gesa?" tiba-tiba teringat
olehnya penuturan ibunya dulu, katanya Beng-toako dengan Song-toako yang tinggal di kota itu
dulu sama menyukai Hun-kokoh ini. Pemuda berusia lima enam belasan memang saatnya akil balik
dan mekar kembang asmaranya, dia berpikir: "O, paham aku, dia sudah menikah dengan orang
lain, sudah tentu tidak leluasa tinggal bersama dalam satu rumah dengan Beng-toako. Tapi
kenapa dia tidak pulang bersama suami?" Siau-gu-ji ingin mengajukan pertanyaan ini, tapi tidak
tahu apakah patut ia bertanya, kedua matanya membelalak besar mengawasi Hun Ci-lo.
Hun Ci-lo menahan kepedihan hatinya, katanya: "Siau-gu-ji, kau tidak akan paham. Aku harus
segera berangkat." Siau-gu-ji pura-pura bersikap amat paham, katanya: "Aku mengerti. Guru dalam kampung
pernah mengatakan, perempuan seperti kau yang bisa membaca dan mengenal huruf adalah
pantas mematuhi segala adat dan tata krama keluarga segala, setelah menikah harus patuh
terhadap suami, benar tidak" Kau sudah punya rumah dan keluarga dengan suami, maka tidak
bisa tingal lagi di rumah ibumu?"
Hun Ci-lo menjadi jengkel dan geli pula akan obrolan bocah kampung ini, katanya: "Siau-gu-ji,
kau harus lekas menjual dagangan di pasar, aku pun hendak melanjutkan perjalanan, lain
kesempatan biar aku pulang menjenguk kalian. Ingat sampaikan salamku kepada ibumu."
Baru saja Hun Ci-lo hendak berangkat, tiba-tiba Siau-gu-ji berkata: "Hun-kokoh, tunggu
sebentar. Ada sebuah hal belum lagi kusampaikan kepadamu!"
"Ada urusan apa?"
"Adalah seorang perempuan she Siau, kira-kira berusia tujuh delapan belas, dia datang
bersama seorang pemuda she Cau. Pemuda itu tidak bicara, hanya dia saja yang mengajukan
beberapa pertanyaan."
Tergerak hati Hun Ci-lo, tanyanya: "Seorang perempuan she Siau" Apa yang dia tanyakan?"
"Katanya dia adalah famili keluargamu, sengaja kemari hendak mencari kau. Kuberitahu
kepadanya bahwa kalian ibu beranak sudah beberapa tahun yang lalu pergi meninggalkan rumah,
kelihatannya dia amat kecewa."
"Adakah dia memberitahu di mana dia tinggal?"
Siau-gu-ji menggaruk-garuk kepala, katanya: "Katanya dia tinggal di daerah di sebuah gunung
entah apa namanya di daerah Thay-ouw, nama gunung itu ada huruf "barat"nya, Waktu itu aku
masih ingat benar, kini mendadak sudah lupa."
"Apakah Tong-ting-san bagian barat?"
"Ya, ya benar. Tong-ting-san barat, ha, kini aku ingat kembali, agaknya waktu itu dia menduga
aku bakal terlupa akan nama gunung itu, katanya bila sesaat kau terlupa, cukup asal kau katakan
kepadanya, bahwa aku sudah pulang ke rumah ayah, dia pasti sudah tahu dan paham. Tatkala itu
aku merasa heran, putra-putrinya kembali, sudah tentu pulang ke rumah ayahnya, masakah perlu
dijelaskan lagi?" "Aku tahu sekarang. Siau-gu-ji, terima kasih akan keteranganmu ini. Begitu tiba di rumah ingat
sampaikan salamku kepada ibumu."
Berita tak terduga ini memberikan rasa riang dan senang Hun Ci-lo. Setelah berpisah dengan
Siau-gu-ji ia beranjak menempuh jalan menyongsong terbitnya matahari, kabut yang membalut
hatinya juga seperti buyar tersorot sinar matahari. Dalam hati ia berpikir: "Ini benar-benar seperti
sebuah pepatah kuno yang berkata: Gunung buntu air terbentang tiada jalan lagi, pohon liu gelap
kembang mekar cemerlang kembali pada sebuah pedesaan. Perempuan she Siau itu jelas adalah
piaumoayku, yang belum pernah kulihat itu. Aku sedang risau dan gundah ke mana aku harus
berteduh, kini terpaksa aku harus minta perlindungan pada bibi sementara waktu."
Ternyata ibu Hun Ci-lo punya seorang adik sepupu yang menikah pada sebuah keluarga she
Siau di Tong-ting-san barat, suaminya bernama Siau King-hi, seorang tokoh persilatan yang punya
nama pula di kalangan kangouw.
Kedua saudara sepupu ini masing-masing menikah di dua tempat berjauhan tempatnya satu di
selatan yang lain di sebelah utara. Apalagi karena ayah Hun Ci-lo yaitu Hun Ciong-san secara
rahasia sudah menjadi anggauta laskar gerilya, maka sejak menikah kedua saudara sepupu ini jadi
putus hubungan. Akhirnya Hun Ciong-san tidak bisa bercokol lagi di daerah utara, terpaksa
membawa keluarga pindah ke Soh-ciu, sepihak karena ada seorang teman karibnya Song Sip-lun
tinggal di Soh-ciu ini, pihak lain karena jarak Thay-ouw ke Soh-ciu rada berdekatan, setelah
tinggal di Soh-ciu, saudara sepupu yang sudah sekian lama berpisah gampang bertemu atau
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkumpul setiap waktu bila dikehendaki.
Tak nyana di kala mereka datang ke Tong-ting-san barat mencari sanaknya itu, baru mereka
tahu bahwa keluarga Siau sudah lama pindah ke tempat lain, entah pindah ke mana.
Di waktu Hun Ci-lo pindah ke Soh-ciu, usianya baru delapan tahun, waktu itu hanya ayah dan
ibunya saja yang berangkat mencari familinya, dia tidak ikut serta. Dalam relung hatinya, sedikit
pun tidak meninggalkan kesan macam apa sebenarnya bentuk wajah bibinya itu, hal itu pun ia
dengar dari cerita ibunya, sedikit pun tidak pernah ia perhatikan dalam pikirannya. Maka setelah
ayahnya meninggal, Beng Goan-cau datang lagi, dia pun tidak pernah bicarakan hal ini kepada
Beng Goan-cau. Sebelum bertemu dengan Siau-gu-ji, bahwasanya Hun Ci-lo belum tahu bahwa dia punya
seorang adik misan, tapi kalau toh perempuan remaja yang mencari dirinya itu she Siau, mengaku
sebagai familinya lagi, rumahnya tinggal di Tong-ting-san barat lagi, maka tidak perlu disangsikan
bahwa dia pasti adalah piaumoaynya.
"Sungguh suatu kejadian yang amat aneh, menurut Siau-gu-ji piaumoayku itu baru berusia
tujuh belasan, jadi di kala aku pindah ke Soh-ciu berarti dia belum lagi lahir. Kukira di waktu dia
kemari mencari aku, dalam benaknya tentu terkandung rasa kangen dan ingin tahunya. Kini
tibalah giliranku mencari dia. Entah dia sudah menikah belum" Kalau bibi merelakan dia datang
bersama pemuda she Cau itu, pastilah pemuda itu adalah calon suaminya?" demikian Hun Ci-lo
menerka-nerka dalam hati.
Karena ingin benar bertemu dengan bibi dan piaumoaynya, hari itu juga habis lohor ia kembali
ke Soh-ciu dari dermaga Ban-lian-kiau ia menyewa perahu terus menuju ke Thay-ouw.
Luas Thay-ouw ada tiga puluh enam ribu hektar, luasnya menjangkau dua propinsi di wilayah
sebelah timur, teringat pada waktu pesiar di See-ouw dulu, pemandangan di sini berlainan pula
corak dan bentuknya. Begitu perahu berlaju di lepas pantai memasuki alunan ombak di tengah danau, tampak
puncak-puncak tinggi yang berjumlah tujuh puluh dua saling berlomba menjulang tinggi
menembus awan, panorama di sini sulit dibandingkan dengan pemandangan alam yang pernah
dilihatnya di See-ouw dulu, indahnya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Serta merta terasa lapang
dada Hun Ci-lo, kerisauan hati beberapa hari ini, seketika sirna tanpa bekas, pikirnya: "Ikan bisa
berenang berloncatan di lautan nan luas, burung bisa terbang di udara nan sejuk, itulah dunia
bebas yang sedang dikejar kehidupan manusia. Beberapa tahun belakangan ini, aku selalu
mengunci diri di dalam rumah, seperti burung di dalam sangkar, jiwa dan pandanganku pun
hampir saja menjadi sempit"
Sekonyong-konyong sepoi-sepoi didengarnya suara harpa berdencing dari kejauhan, seiring
dengan nada lagu petikan harpa didengarnya pula orang bersenandung dengan suara lantang dan
tinggi. Cepat Hun Ci-lo jelajahkan pandangan matanya, tampak sebuah perahu lain sedang berlaju
mendekat mengikuti hembusan angin, di atas perahu terdapat dua orang, seorang adalah laki-laki
yang berjubah kuning, sedang seorang lain adalah pemuda yang mengenakan mantel berbulu rase
putih. Yang memetik harpa dan bersenandung adalah pemuda itu.
Hun Ci-lo pernah bersekolah, pandai sastra dan mengenal teori musik lagi, mendengar petikan
harpa dan senandung pemuda itu, tanpa merasa hatinya terbawa ke alam kehampaan, lapat-lapat
ia merasa makna dari syair yang disenandungkan si pemuda juga mengandung perasaan seperti
keadaan dirinya sekarang.
Terbayang olehnya kenangan waktu dia bersama Beng Goan-cau dan Song Theng-siau tamasya
di See-ouw dulu, demikian juga keadaan waktu itu seperti si pemuda, cuma suasana lebih riang
gembira tanpa mengenal kerisauan hati.
Terpikir oleh Hun Ci-lo: "Entah di mana sekarang Beng Goan-cau berada" Tapi dia ada siausumoaynya
sebagai teman bicara, kiranya tidak akan kesepian. Mungkinkah dia bisa memikirkan
diriku yang tiada punya tempat meneduh ini?"-Hun Ci-lo anggap Beng Goan-cau sekarang
ditemani sumoaynya Lu Su-bi, di luar tahunya yang sedang menemani siau-sumoaynya Lu Su-bi
justru adalah Song Theng-siau teman baik Beng Goan-cau.
Apalagi ia tidak tahu di mana Beng Goan-cau sekarang berada, sebaliknya kini Beng Goan-cau
sudah tahu jejak dirinya.
Sedang pikirannya melayang-layang, senandung lagu pemuda itu pun sudah berakhir,
terdengar laki-laki jubah kuning itu segera bertepuk seraya memuji: "Nadanya tinggi dan jernih,
berisi lagi, sayang di tempat ini sulit dicari seorang ahli musik, terpaksa biarlah aku orang tidak
mengenal seni ini memberi penilaian kepadamu. Entah siapakah orang yang kau rindukan itu
lote?"" Merah muka si pemuda, katanya: "Paman Miao menggoda saja. siautit hanya kebetulan
berdendang lagu itu secara sambil lalu saja, bukan menunjukkan sesuatu yang kenyataan.'"
Laki-laki jubah kuning tertawa besar, katanya: "Aku tidak percaya, putri-putri dari keluarga Siau
dan Cau keduanya sama cantik rupawan, masa kau tidak tertarik pada mereka" He he, hubungan
kita sudah puluhan tahun, di hadapan ayahmu, kau panggil aku paman dan aku pun anggap kau
sebagai keponakan. Tapi kini hanya tinggal kita berduaan, tak perlu kau main sungkan, anggap
saja aku sebagai toakomu yang tua bagaimana" Tidak usah kuatir, bicara saja, kau lebih suka
yang mana, aku bisa menjadi comblang bagi kau."
Pemuda baju putih tertawa, katanya: "Paman Miao seorang perkasa yang tidak terikat oleh adat
istiadat, mana siautit berani menjajarkan diri."
Laki-laki jubah kuning menggeleng kepala, katanya tertawa: "Tak kira pemuda perlente serba
romantis seperti kau ini, wataknya ternyata malu-malu dan pura-pura segala. Baiklah, kau suka
atau tidak panggil aku paman, atau toako, terserah. Tapi kau belum lagi menjawab pertanyaanku,
putri keluarga Siau atau putri keluarga Cau. yang mana yang kau sukai" Sudah jangan pura-pura
kikuk dan malu-malu, katakan saja."'
Perahu yang dinaiki kedua orang ini laju ke depan terbawa arus, kebetulan lewat sejajar
dengan perahu yang ditumpangi Hun Ci-lo, jarak antara kedua perahu kira-kira puluhan tombak,
pembicaraan mereka dapat didengar semua oleh Hun Ci-lo dengan jelas, demikian juga raut wajah
kedua orang itu sudah dilihatnya, tampak pemuda baju putih itu berwajah putih halus lemah
lembut seperti pohon terhembus angin, ditambah pakaiannya yang mewah seperti tokoh
pewayangan di atas panggung saja lagaknya. Sedang laki-laki jubah kuning beralis tebal bermata
besar, berjenggot pendek bermulut lebar bibir tebal seperti mulut singa, sikapnya gagah dan
kereng. Sebagai seorang ahli silat, sekilas pandang Hun Ci-lo tahu bahwa kedua orang ini sama
mem-bekal kepandaian silat, dapatlah diperkirakan bahwa laki-laki jubah kuning itu tentu seorang
kawakan kangouw yang sudah biasa luntang-lantung di Bulim.
Hun Ci-lo sembunyi di dalam perahu, dia mencuri lihat dari belakang kerai yang disingkap
sedikit, sudah tentu kedua orang itu tidak melihat dirinya. Lebih tidak tahu lagi bahwa Hun Ci-lo
sedang mencuri dengar pembicaraan mereka, tapi setelah mendengar pembicaraan mereka, mau
tidak mau tergetar pikirannya.
"Bibiku menikah dengan keluarga Siau, laki-laki jubah kuning mengatakan putri keluarga Siau,
bukan mustahil piaumoayku yang dimaksud. Entah siapa pula putri keluarga Cau itu, didengar dari
pembicaraan mereka mungkin menetap di sekitar Thay-ouw pula," demikian Hun Ci-lo berpikir
dalam hati. Pemuda baju putih sulit membuka kata, laki-laki jubah kuning mengerut kening katanya:
"Sebenarnya kau suka yang mana" Kedua nona itu sama pintar dalam segala bidang, apakah satu
di antara mereka tiada yang mencocoki seleramu?"
"Paman Miao, bukan begitu persoalannya..." sahut si pemuda tertawa.
"Baik, coba katakan. Ingin aku dengar cara bagaimana aku harus bicara?"
"Memang kedua nona itu sama cantik pintar dan berkepandaian silat lagi, mana berani aku
mengatakan tidak menyukai mereka?"
"Ya, itu sudah cukup. Tapi kan harus ada salah satu di antaranya yang lebih kau sukai?"
Usianya jauh lebih tua dari pemuda baju putih puluhan tahun, tapi wataknya ternyata jauh lebih
keras dan tergesa-gesa, belum sempat orang bicara habis ia sudah menukas dengan
pertanyaannya. Perlahan-lahan si pemuda meneruskan: "Kedua nona aku sama suka, tapi aku pun hanya bisa
anggap mereka sebagai adik kecilku saja."
Laki-laki baju kuning bergelak tertawa, sekian lama baru berhenti, katanya: "Untung sekarang
aku tidak sedang mengunyah makanan, kalau tidak makanan dalam mulutku bisa menyemprot
keluar mengotori mukamu. Berapa sih umurmu, paling-paling lebih besar berapa tahun dari
mereka, bicaramu sudah anggap dirimu sudah seorang kawakan" Cara bicara demikian lebih cocok
bagi seleraku. Kau tidak suka nona kecil, masa kau lebih suka nyonya tua setengah umur?"
Merah raut wajah si pemuda, katanya: "Paman Miao selalu berkelakar. Yang benar, aku lebih
suka nona yang bisa tahu urusan."
Laki-laki jubah kuning menggeleng, katanya: "Di kolong langit ini mana ada perempuan yang
serba sempurna, harus cantik, harus pintar, harus bisa bekerja lagi, wah aku si comblang ini jadi
sulit melaksanakan."
"Paman Miao," tiba-tiba si pemuda tertawa geli, "Kau hanya pintar mentertawakan orang lain,
kenapa tidak kau bicarakan dirimu sendiri. Kalau lirikan matamu tidak terlalu tinggi kenapa sampai
sekarang kau belum juga memper-sunting teman hidup" Paman, biarlah aku minta ayah menjadi
perantara bagi perkawinanmu, baik tidak?"
"Wah adikku yang bagus, tak kira lidahmu pun cukup tajam juga, berbalik kau menggoda aku
malah," demikian ujar laki-laki jubah kuning.
"Aku bicara serius. Usiamu lebih tua dari aku, kalau dikatakan aku sudah patut menikah,
bukankah kau lebih harus cepat-cepat pula mencari jodoh?"
Si jubah kuning tertawa besar, ujarnya: "Justru karena paman Miaomu ini sudah terlalu tua,
putri keluarga siapa yang sudi menikah dengan aku?"
"Aku pernah dengar cerita ayah, katanya ayah Kim Tayhiap Kim Tiok-liu yaitu Kim Si-ih baru
empat puluhan lebih menikah, beliau sudah bertunangan dengan ciang-bunjin Bin-san-pay Kok Cihoa
selama dua puluh tahun, baru melangsungkan upacara nikah. Paman Miao, kau sendiri
sekarang belum lagi genap empat puluh, dibanding Kim-locianpwe waktu menikah dulu masih jauh
lebih muda." "Mana bisa aku dibanding dengan Kim-locianpwe. Em, kita tidak usah bicara soal itulah, coba
kau melagukan sebuah nyanyian lain saja."
"Paman Miao," ujar si pemuda, "Liong-ling-kangmu merupakan ilmu tunggal dalam bu-Iim yang
tiada keduanya, silakan kau bernyanyi keras, biar aku mengiringi dengan petikan harpa."
"Aku hanya bisa berkaok dan gembar-gembor sekadarnya, mana bisa nyanyi dan tahu musik
segala. Air tinta dalam perutku pun amat terbatas, mana bisa dibanding kau yang bisa ingat begitu
banyak syair." "Paman Miao biasanya kau bersikap periang dan terbuka, kenapa hari ini bersikap sungkan
terhadapku" Siapa tidak tahu bahwa paman Miao ini seorang cerdik pandai serba bisa dalam
bidang sastra dan ilmu silat!"
"Jangan kau menempel emas di mukaku, biar kupikir sebentar lagu apa yang hendak
kunyanyikan. Kalau aku nyanyi sembarangan jangan kau salahkan bila iringan harpamu tidak
karuan." "Kau sembarangan nyanyi aku pun bisa sembarangan memetik harpaku. Sudah ingat belum
lagu apa yang kau nyanyikan?"
"Tadi kau menyanyikan Kenangan Kekasih, maka biarlah sekarang aku nyanyikan sebuah lagi
'Pujaan Hatiku'." "Baik marilah dimulai, cobalah kau ambil suara dulu." Lalu coba-coba ia petik suara harpanya
untuk mencari nada lagunya.
Tiba-tiba si jubah kuning membuka mulut batuk-batuk beberapa kali, lalu bersuit panjang,
suaranya melengking tinggi menjulang ke langit bergema di tengah angkasa, seolah-olah
gerungan harimau seperti gemboran naga, tiba titik ketinggian lalu menukik turun lagi, semakin
jauh semakin tinggi, laksana derap langkah ribuan kuda, seperti laksaan tentara berderap ke
medan laga, lapat-lapat seperti damparan ombak mengamuk menerpa tepian karang.
Waktu itu perahu mereka sudah lewat jauh mengikuti arus, jaraknya sudah cukup jauh, namun
suara suitan itu masih terasa mendengung di pinggir telinga Hun Ci-lo, kalau toh Hun Ci-lo yang
membekal ilmu silat saja merasakan kehebatan suitan itu, apalagi si tukang perahu, cepat ia
menghentikan mendayung, kedua tangan jarinya menyumpal kedua kupingnya, serunya: "Suitan
orang itu sungguh buruk dan jelek didengar" Hm, mungkin dia sudah gila!"
Hun Ci-lo menjadi geli, pikirnya: "Lwekang orang ini benar-benar sudah cukup mengejutkan.
Konon aliran Hud-bun ada semacam Say-cu-hong-kang, dapat menggunakan suara menyedot
sukma lawannya, Liong-ling-kang orang ini agaknya sejenis dengan Say-cu-hong itu Semula
kuanggap hanya dongeng orang-orang kangouw belaka, tidak nyana hari ini aku melihat dan
mendengar sendiri." Meski sudah menyumpal kupingnya, namun tukang perahu masih sangat menderita, untunglah
suitan itu segera berhenti. Begitu lenyap suara suitan, laki-laki jubah kuning segera mulai dengan
lagunya. Suaranya lantang berisi dan penuh perasaan.
Sambil mendengar, diam-diam Hun Ci-lo memuji dalam hati: "Bukan saja lwekang orang ini
sudah amat tinggi, agaknya dia pun seorang yang punya cita-cita besar." Lalu terpikir pula
olehnya: "Selama delapan tahun ini aku lepas dari pergaulan kangouw, tak kira banyak
bermunculan tokoh-tokoh aneh dan liehay dalam bulim, sungguh pandangan menjadi cupat
pengetahuan pun menjadi cetek."
Habis lagu orang itu, perahunya pun sudah amat jauh dan tidak terdengar pula suara
percakapan mereka. Tukang perahu yang ditumpangi Hun Ci-lo seperti terbebas dari sebuah belenggu, katanya
sambil menarik napas: "Gembar-gembor seperti setan penasaran membuat hatiku gundah, kalau
dia berkaok-kaok lebih lama lagi mungkin aku tidak kuasa lagi mengendalikan perahu."
Hun Ci-lo tersenyum, katanya: "Membuat kau letih saja, untunglah segera sudah sampai ke
tempat tujuan, nanti kupersen lebih banyak kepadamu."
Tak lama kemudian perahu sudah menepi, Hun Ci-lo memberi ongkos sewa lipat ganda kepada
tukang perahu, dengan langkah enteng ia naik ke atas darat. Di saat sinar surya hampir terbenam
di ufuk barat, dia beranjak naik ke Tong-ting-san barat.
Tong-ting-san barat memang tidak setinggi lima gunung lainnya yang kenamaan di Tiongkok,
namun keadaannya yang curam, lembahnya yang subur dan batu-batu cadas di sini amat aneh
bentuknya, memberi kesan dan perasaan lain di dalam sanubari orang. Selepas mata memandang
dari puncak gunung ke alam sekitarnya, permukaan Thay-ouw laksana kaca bening dan tenang,
cahaya surya berkilauan memantul dari pantulan alunan air danau, suasana hening lelap,
pemandangan indah permai. Hun Ci-lo terpesona akan panorama yang menakjubkan ini, terasa
betapa besar lingkungan alam semesta ini.
Pohon buah-buahan tumbuh subur dan penuh sesak saling berjejal meliputi seluruh
pegunungan Tong-ting-san barat ini, bau harum kembang pun menjulang ke angkasa terbawa
angin pegunungan yang sepoi-sepoi, sungguh suatu tempat sejuk yang segar dan nyaman.
Sebetulnya ingin Hun Ci-lo mencari orang untuk tanya jalan, tapi karena hari sudah menjelang
magrib, para petani di atas pegunungan siang-siang sudah pulang ke rumah masing-masing,
sampai nona-nona gunung yang pekerjaannya memetik daun-daun teh pun sudah tidak tampak
lagi, dalam waktu dekat ini ia jadi sulit menemukan seorang pun jua.
Tengah ia beranjak dalam sebuah hutan tiba-tiba didengarnya suara seorang gadis tengah
berseru di dalam hutan: "Di antara mega putih di atas sungai kuning nan jauh," lalu terdengar
pula suara gadis lain menyambuti: "Sebuah kota terpencil di puncak Ban-kiat-san!" lalu disusul
terdengar berdencingnya dua senjata tajam yang saling beradu.
Hun Ci-Jo jadi heran, batinnya: "Nona-nona itu sembari bersenandung sedang beradu pedang,
sungguh luar biasa. Kebetulan malah aku sedang mencari orang untuk tanya jalan kenapa tidak ke
sana menengok mereka."
Karena tidak ingin mengganggu keasyikan orang, diam-diam Hun Ci-lo hendak tanya jalan
kepada mereka setelah pertandingan pedang mereka berakhir baru akan keluar mohon petunjuk
jalan. Maka dengan mengembangkan ginkang tingkat tinggi menginjak salju tanpa bekas, secara
diam-diam ia merunduk-runduk menyelinap masuk ke dalam hutan untuk mencuri lihat
pertandingan pedang mereka. Tapi sekilas pandang kontan ia menjadi terkejut.
Yang sedang bertanding pedang ternyata adalah dua gadis remaja yang sebaya, yang seorang
mengenakan pakaian warna merah jam-bon, sedang yang lain mengenakan serba putih mulus.
Kedua gadis itu sama-sama cantik rupawan, berdiri berhadapan dan sedang saling serang dengan
jurus-jurus pedang yang mereka senandungkan. Yang mengejutkan hati Hun Ci-lo bukan karena
kecantikan mereka atau keserasian pakaian yang mereka kenakan, adalah permainan ilmu pedang
mereka yang benar-benar amat menakjubkan.
Tampak setelah gadis pakaian putih mendendang 'sebuah kota terpencil di Ban-kiat-san' ujung
pedangnya mendadak bergetar, berpentalan kuntum kembang dari sinar pedangnya, beterbangan
di tengah udara, mengurung rapat seluruh badannya, begitu rapat pertahanannya seumpama
hujan angin pun tidak akan dapat menembus masuk, sungguh pertahanan sekokoh tembok baja.
Dan lagi gaya gerak pedangnya pun amat mantap dan kuat, lapat-lapat ada mengandung tipu-tipu
tersembunyi yang bisa balas menyerang dengan dahsyat dalam jangka waktu yang tidak tertentu.
Gerak-gerik tipu permainannya sungguh serasi dengan syair yang didendangkannya.
Gadis baju merah jambon memuji: "Bagus!" disusul ia berdendang lagi di ringi dengan dua
gerak jurus pedang, "Sret, sret" dua tusukan pedang menggunakan gaya Membagi Kembang
Menyampuk Dahan, tipu serangan yang mengandung jurus perubahan yang amat liehay,
kelihatannya lemah gemulai namun mengandung kekuatan yang keras, kelihatannya hanya
merupakan jurus serangan yang amat sederhana, namun kenyataan adalah rangsakan pedang
yang mengandung banyak perubahan yang amat rumit dan sulit dijajaki.
Begitu melancarkan serangan, permainan pedang gadis baju merah jambon tidak putus-putus.
Baru saja Hun Ci-lo merasa kuatir bagi gadis baju putih, terdengar gadis itu pun balas
berdendang, mulut bicara, sementara Ccng-kong-kiam di tangannya itu tiba-tiba bergerak
memutar setengah lingkaran terus melintang, dan "Trang" tepat sekali pedangnya berhasil
menangkis jurus serangan lawannya. Tapi tak urung badannya tergeliat mundur menunjukkan
lubang kelemahannya. Melihat kedua gadis yang bertanding pedang ini sambil bersenandung, diam-diam Hun Ci-lo
membatin dalam hati: "Kiranya jurus pedang mereka digerakkan menurut syair yang mereka
dendangkan, makna dari syair itu mereka kombinasikan dalam gerakan pedang yang indah seperti
menari saja layaknya. Ilmu pedang tingkat tinggi macam ini betul-betul merupakan aliran pedang
tersendiri yang lain dari yang lain dan belum pernah dilihatnya selama ini. Sayang kelihatannya
latihan mereka belum cukup matang, sehingga tidak bisa lancar dan wajar dalam cara
penggunaannya." Mendadak tergerak sanubarinya, pikirnya: "Darimana datangnya dua gadis
rupawan yang berilmu pedang tingkat tinggi berada di Tong-ting-san barat ini" Satu di antara
mereka pasti adalah piaumoayku dari keluarga Siau itu!"
Belum lenyap jalan pikirannya, maka didengarnya gadis merah jambon itu berkata: "Siautoamoay-
cu, kenapakah kau hari ini" Kulihat kau seperti punya pikiran hati apa?" Mimik bicaranya
seperti tertawa tidak tertawa, sepasang matanya yang jeli dengan nanar menatap gadis baju
putih. Merah malu wajah gadis baju putih bersih, sahutnya: "Jangan kau main tebak segala, siapa
bilang aku punya pikiran hati?"
"Lalu kenapa jurusmu yang ketiga tadi kelihatan titik lubang kelemahan yang amat menyolok
sekali?" "Memang aku tidak sepintar otakmu yang cerdik, iatihanku belum lagi matang, hari ini biarlah
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku mengaku kalah kepadamu, kau cukup puas tidak?"
Kata gadis baju merah jambon: "Pertandingan beberapa hari yang lalu, aku selalu kena kau
kalahkan dalam jurus permainan itu melulu, aku sendiri merasa selama ini belum mendapat
kemajuan apa-apa, kenapa hari ini kau kena kuka-lahkan" Watakmu yang keras itu masa mandah
terima dikalahkan oleh orang lain" He he, kurasa dalam hal ini pasti ada apa-apanya yang aneh?"
"Apanya yang aneh?"
Jelilatan mata bening gadis baju merah jambon, dengan lirikan penuh arti ia berkata dengan
nada dibuat-buat: "He he, masa tiada yang aneh" Aku jadi ingin bertanya kepadamu, kenapa
mendadak kau jadi gemar mengenakan pakaian warna putih?"
"Justru pertanyaanmu ini yang aneh, aku suka mengenakan pakaian warna apa peduli amat
pada kau" Apakah ada sesuatu yang kurang benar?"
"Belum tentu demikian, mungkin karena si dia pun suka mengenakan pakaian putih, maka kau
pun ikut-ikutan, benar tidak?"
Gadis baju putih menjadi jengkel, semprotnya: "Apa-apaan maksudmu ini?"-Nadanya
kedengaran tidak wajar, air mukanya pun berubah ketus.
Gadis baju merah jambon berkata dingin: "Tan-jikongcu dijuluki Pek-bau-kiam-khek. Sebelum
dia datang, belum pernah kudengar kau mengatakan menyukai warna putih metah!"
"Kau, apa katamu" Kau sangka aku hendak mencari hati kepada Tan-kongcu itu."
"Hatimu sendiri yang paham," jengek gadis baju merah jambon. "Memangnya Tan-kongcu dari
keluarga persilatan yang kenamaan, ayahnya adalah Tan Thian-ih, engkohnya adalah Tan Kongcau,
ilmu silat dan ilmu sastra Tan-jikongcu sendiri pun boleh dibanggakan, mana bisa engkohku
dibandingkan dia, tidaklah heran bila ada orang yang suka yang baru melupakan yang lama!"
demikian sindirnya. Berpikir Hun Ci-lo: "Kiranya pemuda yang memetik harpa itu adalah putranya Tan Thian-ih,
kedua gadis ini sedang bertengkar karena jelus terhadap pemuda tampan itu. Tapi maksud
mereka agaknya menjadi kabur karena daun jatuh ada maksud, air berlalu tiada membawa cinta."
Ternyata Tan Thian-ih adalah seorang bulim cianpwe yang berkedudukan tinggi dan
terpandang serta disanjung puji oleh sesama kaum persilatan, beliau sama kedudukan dan sama
tingkat dengan ayahnya Kim Tiok-liu yaitu Kim Si-ih. Tan Thian-ih punya dua orang putra. Putra
pertama Tan Kong-cau merupakan tokoh kenamaan di kalangan kartgouw juga, usianya sudah
mendekati empat puluh tahun. Anaknya bungsu dilahirkan di waktu Tan Thian-ih sudah mencapai
umur pertengahan, tahun ini baru berusia duapuluhan tahun. Keluarga Tan tinggal di Bok-siusiang
yang terletak di pinggir Thay-ouw, termasuk warga kota Soh-ciu bersama keluarga Song dari
leluhur Song Theng-siau. Kedua keluarga sama-sama keluarga persilatan pula, di waktu ayah Song
Theng-siau masih hidup, Song Theng-siau pernah ikut ayahnya bertamu ke rumah keluarga Tan.
Maka Hun Ci-lo juga pernah dengar perihal keluarga Tan ini dari cerita Song Theng-siau.3'
Mendengar sampai di situ sedikit banyak Hun Ci-lo sudah dapat menyimpulkan sesuatu. Bahwa
gadis baju putih she Siau, tidak perlu disangsikan lagi pasti adalah piaumoaynya.
"Pemuda she Cau yang dituturkan Siau-gu-ji itu, mungkin adalah abang dari gadis baju merah
jambon ini. Engkohnya itu menyukai piaumoayku, mungkin belum ada ikatan perjodohan, kini
piaumoay ternyata jatuh hati pada Tan kongsi, sudah tentu gadis baju merah jambon merasa
penasaran dan marah bagi engkohnya," demikian batin Hun Ci-lo.
"Keduanya sama kusukai, tapi aku hanya bisa anggap mereka sebagai adik kecilku saja."
Teringat kata-kata pemuda jubah putih itu, tanpa merasa Hun Ci-lo tertawa getir bagi
pertengkaran yang lucu ini.
Menurut rencana Hun Ci-lo begitu pertandingan pedang kedua gadis ini selesai segera ia
hendak unjukkan diri, untuk berkenalan dengan piaumoaynya ini, secara tidak sengaja ia sudah
mencuri dengar rahasia relung hati mereka, ia jadi kurang enak untuk segera muncul pada waktu
itu juga. Gadis baju merah jambon mendesak demikian rupa, kata-katanya memang rada menusuk
perasaan, apa lagi kata-kata 'mendapat yang baru melupakan yang lama', keruan berganti-ganti
air muka gadis baju putih, merah- hijau dan pucat, tak tahan lagi ia sudah hampir meledak
kemarahannya. Sejak kecil kedua nona ini memang sudah biasa dimanjakan dan diumbar secara bebas, gadis
baju merah jambon merasa sirik dan dongkol tak tahan ia limpahkan perasaan hatinya secara
gamblang, tanpa kepalang tanggung malah ia menambahkan: "Tepat mengenai borok hatimu
bukan. Huh. Kau marah pun aku tidak takut, aku harus bicara secara blak-blakan, engkoh-ku
bersikap begitu baik kepadamu, namun sekarang kau begitu cepat lantas kena penyakit rindu
terhadap orang luar yang baru saja kau kenal, apakah sikapmu ini dapat kau pertanggung
jawabkan kepada engkohku?"
Memang kemarahan gadis baju putih sudah hampir meledak, mendengar nistaan yang begitu
memalukan dan menusuk perasaan, seperti api disiram minyak, seketika berkobar besar
amarahnya, jengek-nya dingin: "Kenapa pula bila eng-kohmu memang baik dengan aku" Coba kau
tanyakan kepada dia, pernahkah aku meluluskan sesuatu kepadanya" Tapi kau pun tidak perlu
kuatir, aku tidak akan berebut kekasih dengan kau?"
"Kau, apa katamu?" damprat gadis baju merah jambon dengan muka beringas.
"Isi hatimu kau kira dapat mengelabui aku?" demikian balas sindir gadis baju putih. "Kau sendiri
yang ingin menikah dengan Tan-kongcu itu, kau kira aku tidak tahu" Hm, jauh-jauh mengundang
Miao Tiang-hong untuk menjadi comblang, sayang orang tidak suka kepadamu!"
Olok-olok ini pun cukup pedas, keruan gadis baju merah jambon naik pitam, alisnya berdiri,
semprotnya tertawa dingin: "Lalu dia penujui kau ya?"
"Kau kira aku tidak tahu malu seperti kau, menyuruh orang tuanya mengundang orang bertamu
ke rumahnya sendiri."
"Kau, kau, coba kau katakan lagi, katakan lagi..." damprat gadis baju merah jambon
berjingkrak gusar. Setelah bicara dan melihat sikap orang, baru gadis baju putih menyadari mulutnya terlalu
mengumbar adat, diam-diam ia merasa menyesal, namun melihat gadis baju merah jambon naik
pitam, dia pun tidak mau unjuk kelemahan: "Anggapmu aku tidak berani mengatakan. Apakah kau
hendak ajak berkelahi?"
"Siau Gwat-sian!" bentak gadis baju merah jambon. "Kau kira aku takut menghadapi kau! Baik,
loloskan pedangmu, mari kita lanjutkan pertandingan ini."
"Cau Ci-hwi!" gadis baju putih juga tidak kalah perbawa. "Tadi kau mengolok latihan ilmu
pedangku kurang matang, memang aku ingin mohon petunjuk dari kau, mari kita lanjutkan
pertandingan ini secara sungguh-sungguh! Nah, bertanding ya bertanding memangnya kau
anggap aku takut kepadamu?"
Begitulah damprat mendamprat, keadaan kaku ini menjadi tegang seperti anak panah yang
sudah dipentang di atas busur tidak bisa tidak harus dilepas, kedua pihak sama-sama melolos
pedang, ternyata bukan main-main mereka bertempur secara sungguh-sungguh. Maka
terdengarlah benturan senjata berulang-ulang, sekejap saja kedua pedang mereka sudah saling
bentur tujuh delapan belas kali.
Gadis baju merah jambon me-rangsak dengan sengit, pedangnya menyerang dari kiri dan
kanan, tipu-tipu pedang yang didendangkan tadi sekaligus dilancarkan dengan gencar, tapi gadis
baju putih pun bertahan dengan kokoh kuatnya, permainan pedangnya pun menggunakan tiputipu
pedang yang dimainkan mengiringi bunyi syair yang didendangkan tadi, namun di samping
membela diri ia pun balas menyerang. Masing-masing menggunakan dua jurus serangan, namun
keempat jurus serang-menyerang ini jauh berbeda dari permainan latihan tadi.
Hun Ci-lo jadi berpikir: "Tak heran Tan Kong-si anggap mereka masih berjiwa kanak-kanak,
masih belum tahu urusan. Kalau keributan ini dilanjutkan terus mereka pasti akan semakin kalap,
tidak mungkin aku berpeluk tangan saja."
Di saat Hun Ci-lo hendak keluar melerai inilah, tiba-tiba ada seorang menerobos keluar dari
hutan sebelah sana, serunya: "Wah ramai benar pertempuran ini, sungguh bagus. Ayo serang,
gasak saja! Eeh, kenapa tidak diteruskan" Apakah tamu tidak diundang aku ini mengganggu
kalian?" Hun Ci-lo sembunyi di belakang sebuah pohon mencuri lihat, tampak seorang laki-laki besar
yang mengenakan topi kulit biruang yang lancip tinggi, mengenakan mantel berbulu dari kulit
musang, punggungnya melembung besar, terang ia menyoreng senjata, yang disembunyikan di
balik mantelnya itu. Hun Ci-lo rada terkejut, batinnya: "Kapan orang ini tiba di sana, sedikit pun aku tidak tahu."
Soalnya perhatiannya terlalu ditumpahkan kepada kedua gadis yang sedang bertempur itu. Tapi
bahwa laki-laki ini bisa muncul di pinggir gelanggang baru bisa diketahui olehnya, sudah tentu
kepandaian silatnya tidak sembarangan.
Sebetulnya Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi sudah tidak ingin melanjutkan lagi, kini diganggu
pula oleh kedatangan orang asing ini, kebetulan mereka lantas menghentikan pertempuran.
Keduanya sama-sama menarik pedang dan mundur selangkah serta membentak: "Siapa kau?"
Kata laki-laki itu: "Kalian sudah cukup belum bertempur" Bagus, sekarang aku bisa tanya
kepada kalian!" "Apakah sudah tuli?" semprot Siau Gwat-sian. "Kutanya kau, siapa kau" Kau dengar tidak?"
"Sudah dengar. Tapi aku harus tanya kalian lebih dulu, setelah kalian menjawab pertanyaanku
baru kujawab pertanyaanmu!"
Siau Gwat-sian menggenggam gagang pedang dengan kencang, pedang melintang di depan
dada, matanya mendelik gusar, dengusnya: "Kau ini barang apa, berani bertingkah di tempat ini."
Cau Ci-hwi sendiri juga menjadi uring-uringan, namun ia berlaku rada kalem, katanya marah:
"Adik Siau, biar kita dengar dulu apa yang hendak dia tanyakan."
Kata laki-laki itu: "Apakah Miao Tiang-hong datang kemari bersama Tan Kong-si, pernah
bertamu dan menginap di rumah kalian bukan?"
"Kalau benar mau apa" Kalau tidak, kau mau apa pula?" tanya Cau Ci-hwi.
"Ke mana dia sekarang" Apakah pulang ke rumah keluarga Tan lagi?" tanya laki-laki itu lebih
lanjut. "Kau bertanya begitu berbelit-belit, apa tujuanmu?" jengek Cau Ci-hwi.
Laki-laki itu menyeringai, katanya dingin: "Sekarang, akulah yang bertanya kepada kalian, kalau
tahu diri kalian budak-budak kecil ini harus menjawab pertanyaanku dengan baik, kalau tidak..."
"Hwi-ci, masa kau mandah terima dihina begini. Main ancam segala, hm, kalau tidak kau mau
apa?" damprat Siau Gwat-sian.
"Kalau tidak bicara secara terang-terangan mengenai jejak Miao Tiang-hong, ayah bunda kalian
pun akan terseret di dalam persoalan ini."
Mendadak Cau Ci-hwi tertawa dingin, "sret" pedangnya lantas menusuk kepada orang, serunya:
"Aku sih ingin menjawab, cuma pedangku ini tidak kenal siapa kau, boleh kau tanya kepadanya
lebih dulu."-Ternyata Cau Ci-hwi berwatak lebih berangasan, ia tidak tahan lagi mengendalikan
amarahnya. Pertama ia merasa tertarik, kedua ia pun ingin mempermainkan laki-laki ini, maka dia
suka dengar pertanyaan yang bertumpuk-tumpuk itu.
Cau Ci-hwi seumpama kuda pingitan yang belum pernah kelana jauh dari rumahnya, biasanya
kalau latihan pedang bersama engkoh-nya, engkohnya selalu mengalah kepadanya, para tamu
yang sering datang hilir mudik pun suka memuji kepandaiannya cukup hebat, dikatakan tunas
muda yang berkecimpung di dunia persilatan jarang yang setanding dengan kepandaiannya
sekarang, dia percaya semua obrolan-obrolan dan puji-pujian orang-orang itu, di saat melancarkan
serangan, dalam hati masih takut-takut, kuatir cara turun tangannya tidak mengenal batas, sekali
tusuk ia bikin mampus laki-laki ini. Maka ia membatin: "Lebih baik membikinnya terluka sedikit
saja, mengampuni jiwanya untuk ditanyai keterangannya."
Di luar tahunya bahwa laki-laki besar ini ternyata adalah seorang ahli silat dalam kalangan
bulim, meski latihan ilmu pedang Cau Ci-hwi tingkat tinggi yang liehay, sayang lwekangnya masih
terlalu rendah, kalau dibanding lawannya, terpautnya amat jauh sekali.
Begitu Cau Ci-hwi menusuk dengan pedangnya, laki-laki besar itu bergelak tertawa, serunya:
"Budak cilik yang belum tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, biar kau tahu keliehayanku."
Menanti ujung pedang sudah dekat hampir mengenai badannya, tiba-tiba ia selentik-kan jari
tengahnya, "creng" pedang Cau Ci-hwi kena diselentik dan terpental miring, seketika ia rasakan
telapak tangannya pedas dan sakit bukan main, hampir saja ia tidak kuasa memegangi pedangnya
lagi. "Hwi-ci jangan gugup!" segera Siau Gwat-sian berseru sambil menubruk maju. "Biar kubantu
kau!" Tusukan pedangnya menyambar deras mengeluarkan deru angin.
Dalam hati diam-diam Hun Ci-lo memuji: "Meski usia piaumoay lebih muda, namun ilmu
pedangnya ternyata lebih matang dan mahir dari nona Cau!"
Laki-laki itu pun tercekat hatinya, pikirnya: "Nona cilik ini ternyata tidak boleh dipandang
rendah." Mundur selangkah tiba-tiba ia membalik badan, mendadak ia lancarkan pukulan tangan
terobosan, kepalannya menjurus ke atas menghantam ke muka orang. Jurus pukulan ini punya
nama khusus yaitu Jong-thian-bau (bom menembus langit), cara pukulannya keras menggunakan
tenaga kasar lagi, maka dapatlah diperkirakan perba-wanya. Meski ilmu pedang Siau Gwat-sian
tidak lemah, sedikit pun tidak punya pengalaman menghadapi musuh tangguh, kapan ia pernah
melihat atau menghadapi cara pertempuran yang garang dan ganas macam ini, keruan hatinya
menjadi gugup. Cepat Cau Ci-hwi berteriak: "Gunakan jurus Sebuah Kota Terpencil! Adik Siau, mari kita
menyerang dan menjaga bergantian, gempur dia dari dua jurusan tidak usah takut!"-Memang
kematangan ilmu pedangnya tidak sebanding Siau Gwat-sian, tapi hatinya lebih tabah dan besar
nyalinya, meski tadi hampir saja kena dikerjai lawan, namun sikapnya amat tenang, setelah
mundur segera ia merangsek maju lagi lebih gencar. "Cras!" ujung pedangnya menusuk tiba pula
dengan gaya rada miring, ujung pedangnya langsung menusuk ke depan dengan cara serangan
yang ganas dan keji, yang digunakan adalah jurus permulaan dari ilmu pedang yang dilatihnya
tadi. Karena peringatan itu lekas Siau Gwat-sian mengempos semangat, sebat sekali ia gunakan
Hong-tiam-thau, berkelit seraya mengubah jurus permainannya, tahu-tahu Ceng-kong-kiam
bergerak mem-bundar satu lingkaran, seketika berpetalah sinar pedang berkeredep membawa
sambaran hawa dingin, penjagaan yang rapat diselingi serangan yang cepat pula, begitu rapat
pertahanannya, tidak tertem-buskan oleh hujan badai pun.
Diam-diam Hun Ci-lo memuji dalam hati: "Bagus! Jurus pedang piaumoay ini dilancarkan jauh
lebih bagus dari latihannya tadi. Kalau begitu, di waktu latihan tadi memang pikirannya tidak
tenang. Jadi tuduhan nona Cau itu ternyata tidak semena-mena."
Laki-laki itu pun seorang ahli silat, melihat Siau Gwat-sian lancarkan jurus pedang yang
mengandung pertahanan kokoh kuat ini, jotosannya itu jadi tidak berani diteruskan. Cepat ia
merubahnya dengan gaya Jiu-hwi-bi-ba (jari-jari memetik senar harpa), sekaligus ia sampuk
pergelangan tangan Cau Ci-hwi, berbareng badannya berputar, mengebaskan lengan bajunya,
sekaligus ia menyampuk miring ujung pedang Siau Gwat-sian.
Kepandaian silat orang ini cukup tinggi, namun di bawah rang-sakan gencar Siau dan Cau
berdua dari dua jurusan, melawan dengan bertangan kosong lagi, lama kelamaan ia merasa
kewalahan juga. Semula Hun Ci-lo sudah siap menerjunkan diri, setelah melihat mereka di pihak
yang unggul, ia menghela napas lega, dengan segala perhatian ia menyaksikan dengan cermat.
Tadi Cau Ci-hwi diolok-olok orang, begitu ia berada di atas angin ia jadi takabur, jengeknya
dingin: "Mulut bicara besar, ternyata hanya begini saja kemampuanmu! Hm, hm, ingin aku lihat
siapakah yang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi!"-Tidak tahu tingginya langit dan tebalnya
bumi adalah kata olok-olok yang digunakan laki-laki tadi, kini ia membalas olok-olok menggunakan
istilah yang sama. Mulut bicara sementara gerak permainan pedangnya sedikit pun tidak menjadi kendor
karenanya, dalam kejap bicara itu, beruntun Cau Ci-hwi sudah melancarkan tujuh serangan
berantai. Sebaliknya sambil menjaga diri permainan pedang Siau Gwat-sian mengandung tipu-tipu
penyerangan pula, beruntun dia pun sudah lancarkan empat jurus sembilan tipu rang-sakan. Pada
jurus terakhir mereka menemukan titik keserasian kerja sama yang amat ketat, begitu hebat dan
indah sekali perpaduan jurus-jurus ilmu pedang yang dilancarkan bersama ini, maka terdengarlah
suara "Brett" yang panjang, lengan baju orang itu kena terpapas sobek sebagian besar, di mana
sinar pedang berkelebatan amat cepatnya cuilan kain itu seketika kena terpapas hancur
beterbangan seperti kupu-kupu melayang di tengah udara.
Mendadak laki-laki itu mencelat keluar dari gencetan perpaduan rangsakan pedang yang liehay
itu, bentaknya marah: "Biar budak-budak cilik seperti kalian ini rasakan keliehayanku!"
Baru saja Cau Ci-hwi hendak mengejar, tampak olehnya orang itu sudah keburu mengeluarkan
sepasang boan-koan-pit, dengan tangan bersenjata, seperti harimau kelaparan laki-laki itu segera
menyerbu dengan garangnya.
Begitu membagi sepasang senjatanya, yang kiri langsung meno-tok ke Hiat-to Ki-bun-hiat Cau
Ci-hwi, sementara senjatanya yang kanan menotok Hiat-hay-hiat Siau Gwat-sian. Terdengarlah
"trang, trang" dua kali, dua batang Ceng-kong-kiam berhasil disampuknya terpental ke samping.
Begitu laki-laki ini melancarkan ilmu potlofnya, posisi pertempuran seketika berubah sama
sekali, cukup sejurus saja, bukan saja ia berhasil memunahkan rangsakan pedang kedua
lawannya, beruntun ujung potlotnya malah mengancam dua jalan darah di tubuh mereka. Caranya
yang tepat dan ganas sungguh amat mengejutkan, Hun Ci-lo yang menonton dari tempatnya
sembunyi jadi terkejut. Beruntun terdengarlah benturan senjata yang nyaring berulang-ulang, begitu keras sampai
memekakkan telinga. Memang jurus permainan pedang Siau Gwat-sian amat rapat
pertahanannya, tapi toh kena dijebol berantakan, suara benturan keras itu berbunyi di saat potlot
lawan berhasil membobol pertahanannya, di mana pedang dan potlot saling beradu dengan keras,
seketika kedua senjata itu sudah saling bentur tujuh belasan kali.
Orang itu tertawa dingin, jengeknya: "Hah! Kukatakan kalian tidak tahu tingginya langit
tebalnya bumi, tidak salah bukan penilaianku" Tapi aku jadi bingung sendiri entah siapa di antara
kalian yang harus kugondol pergi, sulit aku ambil pilihan!"
Tiba-tiba Cau Ci-hwi berteriak: "Ayah, ada orang menganiaya putrimu, lekaslah datang!"
Siau Gwat-sian pun ikut berteriak: "Ibu, lekas bantu aku!"
Orang itu tertawa dingin, ejeknya: "Kaok-kaok kau panggil ayah bunda pun tidak berguna,
kecuali kalian menjelaskan jejak Miao Tiang-hong kepadaku, kalau tidak salah satu di antara kalian
harus kubawa pergi, dengan kalian sebagai sandera, masa aku tidak bisa menemukan jejak Miao
Tiang-hong. Nona cilik, kau mau menjelaskan tidak" Nona cilik kau mau menerangkan tidak?"
Batang potlotnya mendadak menuding ke arah Cau Ci-hwi, tiba-tiba potlotnya yang lain menusuk
kepada Siau Gwat-sian, beruntun ia menggerakkan senjatanya sambil mengajukan pertanyaannya.
Cau Ci-hwi mengertak gigi, dia melawan dengan tabah, adalah Siau Gwat-sian yang naik pitam,
makinya: "Kentutmu busuk, kau kira kami sudi menjual kawan minta ampun kepadamu, jangan
kau mimpi di siang hari bolong!"
"Bagus!" seru orang itu. "Budak kau ini bermulut lebih tajam, aku justeru ingin bicara
kepadamu, mari kau saja yang ikut aku!"-Tiba-tiba ia pukulkan kedua potlotnya sendiri, sekaligus
ia berhasil menangkis jatuh pedang Siau Gwat-sian. Begitu senjata Siau Gwat-sian kena dilucuti
segera ia, putar tubuh hendak lari. Laki-laki itu segera membentak: "Lari ke mana kau?" Seperti
elang kelaparan menubruk kelinci, tubuhnya tiba-tiba berkelebat ke depan mengejar di belakang
Siau Gwat-sian, kedua senjatanya dipindahkan ke tangan kanan, cepat tangan kiri diulurkan
meraih ke depan mencengkeraan ke tulang pundak Siau Gwat-sian. Cepat-cepat Cau Ci-hwi
memburu maju, dia sudah terlambat setindak.
Hun Ci-lo mengeluh dalam hati, baru saja ia hendak menyambitkan sebuah uang tembaga yang
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah digenggamnya sejak tadi, tiba-tiba didengarnya seorang membentak: "Menganiaya anak
perempuan terhitung orang gagah macam apa kau!"--Lenyap suaranya orangnya pun sudah tiba,
laksana anak panah melesat datang langsung menerjang ke arah laki-laki.
"Toako!" teriak Cau Ci-hwi. "Syukurlah kau datang, hati-hati! Awas ilmu totoknya liehay!"
Ternyata pendatang ini adalah engkohnya yang bernama Cau Ho-lian.
Senjata yang digunakan Cau Ho-lian adalah sebatang pedang yang berpunggung tebal dan
berat, mengayun pedangnya digunakan membacok seperti golok umumnya, langsung ia
menyerang ke batok kepala orang itu. Melihat serangan yang keras dan ganas ini, tak sempat lagi
orang itu mencengkeram kepala Siau Gwat-sian, lekas ia membagi kedua senjatanya di kedua
tangannya, dengan jurus Ki-hwe-liau-thian (angkat obor menerangi langit), ia menyongsong ke
arah bacokan pedang lawan.
Berpikir Hun Ci-lo: "Pemuda ini menerjang kalap tanpa hiraukan keselamatan sendiri, sepak
terjangnya memang gagah dan berani, cuma sayang tidak punya akal, mungkin dia pun bukan
tandingan orang itu."
Belum lenyap jalan pikirannya, didengarnya suara "trang!" yang keras, bunga api beterbangan.
Pedang panjang tebal Cau Ho-lian tergumpil sedikit, kena disampuk keluar oleh tangkisan
sepasang potlot lawan. "Bagus," seru orang itu. "Kau meluruk datang mau unjuk gagah-gagahan, ingin aku lihat
betapa, tinggi kepandaianmu?" Kedua potlotnya bergerak cepat ke kiri ke kanan seperti orang
sedang bercocok tanam di ladang, begitu berhasil menyampuk miring pedang lawan, tanpa ampun
segera ia melancarkan serangan ganas yang mematikan.
Mau tidak mau Hun Ci-lo terkejut pula dibuatnya, batinnya: "Agaknya permainannya itu adalah
Keng-sin-pit-hoat yang pernah dituturkan ayah kepada aku itu!" Ternyata Keng-sin-pit-hoat adalah
i}mu potlot tunggal dari keluarga Lian di Hopak, merupakan ilmu potlot peranti menotok jalan
darah yang tiada taranya dan tiada bandingannya di dunia persilatan. Ayah Hun Ci-lo hanya
pernah dengar cerita orang lain, paling-paling hanya tahu sedikit kelie-hayannya, beliau sendiri
pun belum pernah melihat secara langsung.
Letak keliehayan Keng-sin-pit-hoat ini pada setiap kali totok sekaligus ia dapat melukai urat
nadi dan jalan darah lawan, betapapun tinggi lwekang orang tidak akan mampu bertahan dari
totokan ini. Tipu permainan dari rangkaian ilmu totok potlot ini terletak pada Su-pit-tiam-pat-meh
(empat potlot menotok delapan urat nadi), jurus ini harus dilancarkan dengan gabungan dua
orang, kerja sama dari empat potlot dalam satu jurus sekaligus dapat menotok dan melukai urat
nadi lawannya dalam waktu yang bersamaan. Keluarga Lian mengandal kemahirannya ini malang
melintang dan meninggalkan nama harum di bulim, selama malang melintang itu hanya ayah Kim
Tiok-liu yaitu Kim Si-ih seorang saja yang dulu mampu memecahkan Su-pit-tiam-pat-meh dari
Keng-sin-pit-hoat itu. Untunglah Su-pit-tiam-pat-meh ini harus dilancarkan bersama oleh dua orang, seorang saja
tidak akan mampu digunakan. Namun demikian, jurus permainan Su-pit-tiam-pat-meh orang ini
cukup membuat Cau Ho-lian, pemuda hijau yang belum cukup pengalaman ini tidak mampu
menandinginya. Kedua potlot orang itu menusuk ke depan dengan bersilang, kini mendadak ditarik balik terus
berkembang kedua samping, yang kiri menotok lima jalan darah di urat nadi Jin-tok, sementara
yang kanan menotok empat jalan darah dari dua urat nadi Siau-yan dan Yang-bin, asal satu di
antara sekian jalan darah yang di ncar terkena totokan ujung senjatanya, kalau tidak mati paling
tidak Cau Ho-lian pasti terluka parah. Karena urat nadi yang dijadikan sasaran itu adalah urat
penting yang langsung menembus ke hati dan jantung, sekali terluka dalam maka dapatlah
dibayangkan akibatnya pasti sangat fatal.
Di saat gawat yang hampir menentukan jiwa Cau Ho-lian itulah, keadaan yang amat berbahaya
itu, mendadak terdengar suara "Ting", sebuah uang tembaga menyambar datang tepat sekali
membentur potlotnya yang hendak menotok jalan darah Bing-bun-hiat di tubuh Cau Ho-lian
tersampuk miring, dalam waktu yang bersamaan Ceng-kong-kiam Cau Ci-hwi pun sudah menusuk
tiba mengarah punggungnya.
Bercekat hati orang itu. bentaknya: "Budak busuk kau ini juga main timpuk senjata rahasia,
memangnya kau sudah bosan hidup ya!" "
" Dia menyangka senjata rahasia itu adalah timpukan Cau Ci-hwi, keruan ia jadi keheranan,
pikirnya: "Budak ini berkepandaian silat rendah, mungkinkah tadi dia sengaja tidak mau pamer
kepandaian simpanannya?""Tusukan pedang Cau Ci-hwi menggunakan tipu Giok-li-to-soh, ujung
pedangnya sudah mengancam Hong-hu-hiat di punggungnya, lekas ia putar balik sebatang
potlotnya menangkis, "trang", Ceng-kong-kiam di tangan Cau Ci-hwi tidak kuasa lagi dipegangnya,
terbang lepas ke tengah udara.
Baru sekarang Hun Ci-lo unjukkan diri, jengeknya: "Akulah yang lepas senjata rahasia!"
Kedatangan Hun Ci-lo yang tak terduga-duga ini membikin dua pihak yang bertempur melengak
heran. Sambil melirikkan matanya orang itu berkata kepada Hun Ci-lo: "Siapa kau turut campur
urusan kami" He, he, perempuan ayu seperti bidadari macam kau, aku jadi segan melukai kau!"
Berdiri alis Hun Ci-lo, katanya tawar: "Nona Cau, sementara kuharap kau mundur ke samping,
rawatlah luka-luka engkohmu." " " Mendadak ia membentak: "Keng-sin-pit-hoat yang kenamaan
di kolong langit itu kenapa buat menggertak nona-nona cilik, apakah tidak membikin pamor
keluarga Lian kalian disapu bersih oleh perbuatan rendahmu ini " Mari biar aku mohon petunjuk
ilmu leluhurmu yang liehay, silakan kau keluarkan semua kemampuanmu bila mampu melukai
aku!" Orang itu tertawa, katanya: "Perempuan bawel seperti kau ini ternyata besar mulut, baik, biar
aku pun berkenalan dengan kepandaianmu."
Belum suaranya hilang, Hun Ci-lo sudah mengayun pedangnya ke tengah udara,
berkembanglah titik-titik sinar pedang menyerupai kuntum bunga, tahu-tahu selarik sinar putih
menukik turun terus menusuk ke arah orang itu.
Jurus Liu-sing-cui-goat ini kelihatannya dimainkan secara sederhana dan biasa saja, namun di
situlah letak intisari keampuhan Sip-hun-kiamhoat dari keluarga Hun, secara tidak terduga dalam
tipu permainan yang sederhana itu tersembunyi tipu sergapan yang amat liehay, jauh berlainan
dengan jalan permainan ilmu pedang golongan atau aliran partai pedang lainnya. Tampak ujung
pedangnya tergetar memetakan tiga kuntum sinar kembang, ke sebelah kiri menusuk Pek-hayhiat,
kanan menusuk Ih-gi-hiat, yang yang menjurus ke tengah menusuk ke Sian-ki-hiat. Meski
belum membandingi Siang-pit-tiam-su-meh orang itu, namun dalam sejurus saja sekaligus dapat
mengancam sembilan jalan darah pada dua urat nadi yang mematikan, sekali tusukannya,
mengambang sulit diraba sasaran yang diarahnya, kelihatannya ke kiri tahu-tahu ke kanan,
demikian bolak-balik membuat orang bingung, gerak perubahannya yang aneh ini, jelas bahwa
kiamhoatnya ini terang lebih unggul dari Pit-hoat permainan lawannya.
Ujung potlotnya tadi kena ditimpuk oleh uang tembaga Hun Ci-lo, diam-diam orang itu sudah
menginsyafi bahwa kepandaiannya pasti jauh di atas ketiga lawan ciliknya tadi, namun ia masih
belum tahu bahwa ilmu pedangnya ternyata sedemikian liehay dan menakjubkan, sekilas
dilihatnya cahaya putih menyilaukan mata, keruan bercekat hatinya, pikirnya: "Mungkinkah Siphun-
kiamhoat dari keluarga Hun" Sungguh hebat dan liehay benar." Tersipu-sipu ia lintangkan
kedua potlotnya untuk menangkis, terdengarlah suara nyaring sambung menyambung, kedua
pihak sama merasakan tenaga dalam lawan yang menggetar telapak tangan masing-masing.
Potlot orang itu kena tergores memanjang oleh pedang pusaka, pergelangan tangannya terasa
sakit, lekas ia kerahkan tenaga dalamnya, menggunakan tenaga sentakan, ia sam-puk terlepas
pedang pusaka Hun Ci-lo. Sementara tergetar oleh tenaga perlawanan lawan, Hun Cilo sendiri pun
merasa pemapasannya rada sesak, dalam hati ia membatin: "Aku harus menggunakan pedang
kilat menyerangnya!"
Bicara lambat kenyataan amat cepat sekali, pedang pusaka Hun Ci-lo melayang membundar,
menghilangkan tenaga sentakan lawan, dengan sejurus Surya Membundar Tenggelam di Ujung
Sungai Panjang, sinar pedangnya seperti gelang-gelang besar kecil berputar, tahu-tahu menyapu
keluar terus menggulung ke pinggang lawan. Kedua potlot orang itu terpental bersilang, yang
kanan ke arah kiri sementara yang kiri tertuju ke arah kanan, dengan sejurus Coh-yu-kay-kong
(kanan kiri mementang busur), balas menyerang untuk membela diri, beruntun ia berhasil
mematahkan tiga rangkaian serangan pedang Hun Ci-lo yang amat liehay.
Cau Ci-hwi insyaf bahwa kepandaian sendiri terlalu tidak becus, apalagi senjata sudah terlepas,
untuk membantu Hun Ci-lo tidak mungkin bisa dan tidak perlu, dilihatnya pula Hun Ci-lo mampu
menandingi laki-laki itu, maka dengan berlega hati ia mundur melihat keadaan engkohnya.
Cau Ho-lian menggayut membelakangi sebatang pohon besar, mukanya pucat, lengan bajunya
berlepotan darah. Sekali pandang jelas diketahui bahwa dia sudah terluka.
Ternyata timpukan mata uang Hun Ci-lo meski tepat menyampuk miring ujung potlot orang itu,
namun karena lwekang mereka setanding, betapapun kekuatannya belum mampu menahan daya
serangan orang itu, maka lengan kanan Cau Ho-lian tidak urung tergores luka juga oleh ujung
potlot yang runcing itu sepanjang tiga dim. Tapi untung juga potlot musuh tersampuk menceng
oleh timpukan mata uang Hun Ci-lo, sehingga Cau Ho-lian terhindar dari kena jalan darahnya yang
mematikan, lukanya pun hanya luka kulit yang amat ringan.
Cau Ci-hwi amat prihatin akan keselamatan engkohnya, keruan ia menjadi kaget melihat darah
yang membanjir keluar itu, tanyanya : "Koko, bagaimana keadaanmu?"
Cau Ho-lian tertawa getir, sahutnya: "Tidak apa-apa, kalian tidak kurang suatu apa, aku
menjadi lega hati." "Adik Siau, dia terluka karena kau, ayo lekas membalut lukanya!" demikian teriak'Cau Ci-hwi.
Sikap Siau Gwat-sian serba kikuk dan malu-malu karena perang mulutnya tadi, nada bicara Cau
Ci-hwi seolah-olah menyalahkan dirinya pula, ia jadi lebih tidak enak. Tapi melihat Cau Ho-lian
terluka karena dirinya, hatinya menjadi gugup dan menyesal, meski rasa kikuk, terpaksa ia datang
menghampiri serta mengeluarkan obat hendak membalut luka-lukanya itu.
Tiba-tiba Cau Ho-lian menje-ngek dingin, katanya: "Tak usah merepotkan kau, kau punya obat,
biarlah aku balut sendiri!"
Cau Ci-hwi tertegun, katanya: "Koko, kau ini... ai, kau..."
"Tidak apa-apa," sentak Cau Ho-lian dengan suara sumbang. "Lukaku toh tidak berat, mana
berani aku membikin capai nona Siau besar ini untuk merawat luka-lukaku. Dan lagi masakah aku.
punya keberuntungan sedemikian besar." Dia sudah berusaha untuk bicara rada kalem dan enak
didengar, namun nada suaranya toh mengandung rasa jelus dan kemarahan hatinya. Panggilan
yang biasanya manis mesra kini ganti jengekan yang menusuk perasaan.
Siau Gwat-sian jadi melongo di tempatnya, air mata sudah berlinang di kelopak matanya, tak
tahan lagi akhirnya ia memutar tubuh, serunya: "Kau marah apa, aku kan bukan budak keluarga
kalian, kenapa aku harus mengambil hatimu. Huh, tidak tahu kebaikan hati orang. Kau tidak mau
dibalut masa aku sudi hiraukan kau!"
Biasanya Cau Ho-lian amat penurut padanya, kini karena rasa jelus dan marah, kata-kata pun
sudah terlanjur dilontarkan, menyesal pun sudah terlambat. Serta mendengar kata-kata Siau
Gwatsian, ia membatin: "Kiranya dia masih prihatin terhadapku." Tapi kata-kata Siau Gwat-sian itu
lebih ketus, meski melimpahkan rasa perhatiannya, namun kata-katanya mengandung duri runcing
yang menusuk ulu hatinya.
Karena Siau Gwat-sian membalik tubuh, keadaan menjadi kaku. Ingin Cau Ho-lian minta maaf,
namun mulut tak sampai mengucapkannya.
Cau Ci-hwi yang menjadi kerepotan, sembari membubuhi obat, ia mengomel panjang pendek.
Untuk menghibur dan merujukkan kembali sesaat ia jadi kehilangan akal dan kata-kata. Entah apa
yang harus dia ucapkan. Tiba-tiba didengarnya benturan senjata yang nyaring memekakkan telinga. Ternyata,
pertempuran Hun Ci-lo melawan laki-laki itu sudah mencapai titik yang menentukan, dengan
sejurus Tay-mo-hou-yan, pedangnya menusuk lurus laksana anak panah lurus ke depan, namun
laki-laki itu sempat mengatupkan sepasang potlotnya, di tengah berdentangnya suara keras,
bunga api terpercik diselubungi cahaya pedang yang berhamburan. Pedang pusaka Hun Ci-lo kena
tertangkis miring, sementara batang potlot laki-laki itu bertambah sebuah goresan panjang lagi.
Cahaya pedang memutih yang panjang seperti seuntai kain sutra lemas membungkus gerakan
ketat sepasang potlot lawan yang berkilau kehitaman, seperti naga laut muncul di permukaan air
memainkan gelombang, bergulung-gulung di antara damparan ombak yang membuih putih.
Pertempuran sengit yang menegangkan hati ini, seketika menarik perhatian ketiga remaja yang
sedang diamuk perasaan ini.
Ilmu pedang Sip-hun-kiamhoat Hun Ci-lo mengutamakan kelincahan dan kecepatan, kini di
ujung pedangnya seakan-akan tergantung benda yang amat berat, tunjuk ke timur membabat ke
barat, gerak-geriknya jauh lebih lambat dari permulaan pertempuran tadi. Meski jauh lebih lambat,
namun permainan pedangnya justru lebih aneh hampir dikata setiap jurusnya dilancarkan dengan
serangan dari jurusan yang sulit diduga sebelumnya.
Ternyata maksud Hun Ci-lo semula hendak menggunakan pedang cepat untuk mencecar
musuhnya, secepat mungkin menyelesaikan pertempuran ini dengan kemenangan gemilang, tapi
karena lwe-kang sendiri kalah kuat, setelah .menyerang gencar malah sering ia sendiri
menghadapi mara bahaya, terpaksa ia ambil cara bertempur dengan strategi yang lebih mantap,
dengan keanehan pelajaran ilmu pedangnya ia yakin pasti dapat mengalahkan lawan.
Laki-laki ini adalah seorang tokoh dalam bidang ilmu totok, tak mengira kepandaian Siang-pittiam-
su-meh (sepasang potlot menotok empat urat nadi) yang biasanya sangat diagulkan itu kini
sedikit pun tidak mampu menjebol pertahanan tabir cahaya pedang Hun Ci-lo, lambat laun hatinya
menjadi gelisah, sepasang potlotnya itu lantas dimainkan seperti dua naga keluar laut yang
sedang dirundung kemarahan, merangsak dengan seluruh kekuatannya, sinar potlotnya yang
berkilauan sambung menyambung berlapis-lapis seperti ribuan banyaknya. Dalahi waktu dekat
keduanya sama kuat dan saling serang dengan hebatnya, sulit dibedakan siapa lebih unggul atau
asor. Hun Ci-lo tahu bahwa lwekang sendiri kalah dibanding lawan, maka ia kerahkan tenaga
murninya ke ujung pedang. Sip-hun-kiam-hoat segera dikembangkan, dengan bekal ilmu
pedangnya ini keyakinan Hun Ci-lo bertambah mantap, kelihatannya gerak pedangnya memang
jauh lebih lambat, namun gaya serangannya justru jauh lebih ganas dan berbahaya, di saat-saat ia
menjaga diri dengan ketat ia pun balas menyerang dengan tipu-tipu yang liehay mematikan,
namun sekali ia berkesempatan balas menyerang, kilatan pedangnya sulit diukur kecepatannya.
Terdengarlah angin menderu berpadu dengan hembusan angin pegunungan, kilat menyambar
menyongsong cahaya matahari yang hampir terbenam, sinar pedang dan bayangan potlot
berkutat kencang timbul tenggelam saling libat, daun-daun pohon sekitar gelanggang
berhamburan rontok, kelopak kembang bertaburan membundar di sekeliling gelanggang. Lambat
laun pohon-pohon di sekitar gelanggang menjadi gundul pelontos tinggal dahan-dahannya saja.
Pertempuran pedang lawan sepasang potlot ini betul-betul amat sengit dan jarang terjadi
selama ini, Cau Ho-lian, Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi menjublek dan terbelalak di tempatnya.
Lenyap perasaan dongkol Cau Ho-lian, tanpa sadar ia bicara kepada Siau Gwat-sian: "Di waktu
ayah dan bibi mengajarkan ilmu pedang kepada kita, pernah menerangkan ilmu pedang tingkat
tinggi setiap kali bergerak harus dapat selincah kelinci, setenang permukaan kaca. Waktu itu,
ibarat yang dikatakan ini bagiku terlalu dibumbu-bumbui dan kurang cocok dengan kenyataan,
hanya khayalan belaka, tak tahu aku cara bagaimana manusia harus bergerak selincah kelinci,
tenang seperti permukaan air" Kini setelah melihat ilmu pedang perempuan ini, baru aku sadar
dan paham, kiranya begitulah jadinya."
Siau Gwat-sian pun sudah melupakan rasa marahnya tadi, sahutnya: "Aneh, entah siapa
perempuan ini, darimana pula" Kenapa dia meluruk datang membantu kesulitan kita?"
Sebaliknya Cau Ci-hwi jadi rada kuatir, katanya: "Meski ilmu pedang perempuan ini amat ketat
aneh dan kokoh, namun musuh pun terlalu kuat, belum tentu dia dapat menghalau lawannya.
Apakah perlu kita maju membantunya?"
"Mungkin kita tidak kuasa mencampuri pertempuran mereka ini. Kenapa ibu belum lagi
datang?" "Seharusnya ayah sudah mendengar teriakanku, kenapa belum kunjung tiba juga" Hm, kalau
mereka terlambat datang, meski bukan lawannya, kita harus melabraknya juga."
Belum habis ia bicara, tiba-tiba didengarnya sebuah suara serak berkata: "Siapa berani
bertingkah di tempat kediamanku ini?"-
Lalu disusul suara perempuan tua menyambung: "Siapa berani menganiaya putriku?"
Belum lagi bayangan mereka kelihatan, suaranya sudah berkumandang dari jauh, sedemikian
keras seperti guntur suara itu sehingga kuping mereka seperti mendengung. Ketiga muda mudi itu
menjadi berjingkrak girang, sebaliknya laki-laki itu menjadi kaget.
Sebagai seorang ahli silat sekali dengar orang menggunakan ilmu gelombang suara jarak jauh,
ia cukup mampu untuk menilai betapa tinggi kepandaian silat orang itu. Mau tidak mau ia harus
berpikir: "Konon Cau Siok-toh adalah seorang ahli lwekang, suara laki-laki itu terang dia adanya,
sungguh tidak bernama kosong. Entah siapa pula perempuan itu, namun dari nada gelombang
suaranya tadi, ilmu silatnya agaknya tidak lebih rendah dari kemampuanku sendiri." Belum habis ia
berpikir, tampak dari pinggir hutan sana berbareng muncul seorang laki-laki tua berjenggot putih
panjang dengan seorang perempuan pertengahan yang berpakaian perlente.
Laki-laki tua ini memang ayah Cau Ho-lian dan Cau Ci-Kwi yaitu Cau Siok-toh, sedang
perempuan pertengahan itu adalah ibu Siau Gwat-sian yang bernama Gui Kok-ing.
"Ibu lekas kemari!" segera Siau Gwat-sian berteriak.
"Ayah lekas!" Cau Ci-hwi pun tidak mau kalah suara, "Koko terluka!"
Sedemikian lama bertempur tidak mampu mengalahkan Hun Ci-lo, hati laki-laki ini sudah
gelisah, kini mendadak melihat pihak sana kedatangan bala bantuan dua orang kosen, keruan
hatinya semakin gugup. Mendadak Hun Ci-lo membentak: "Kena!" Sinar pedangnya membelit
bundar seperti gelang secepat kilat memapas miring, kontan laki-laki itu menggerung keras,
seraya jumpalitan mundur setombak lebih, lengan bajunya berlepotan darah juga, kiranya lengan
kirinya sudah tertabas luka oleh pedang Hun Ci-lo.
Diam-diam Hun Ci-lo bersorak akan serangannya yang berhasil baik, ternyata dia sudah selesai
melancarkan jurus-jurus ilmu Sip-hun-kiamhoat yang terakhir yaitu Heng-hun-toan-hong, jurus
terakhir inilah yang berhasil melukai musuh.
Melihat Hun Ci-lo melancarkan ilmu pedang ini, sesaat Siau-hujin jadi melongo keheranan,
dalam hati ia membatin: "Bukankah itu jurus Sip-hun-kiamhoat" Apakah dia Ci-lo adanya" Ai,
sayang, sayang!" Ternyata jikalau jurus Heng-hun-toan-hong (awan melintang memutus gunung)
dilatih sampai puncak yang sempurna, serangannya tadi pasti bisa menabas kutung lengan lakilaki
itu. Karena melongo ini Siau-hujin jadi lupa mencegat jalan lari laki-laki itu, tapi Cau Siok-toh sudah
lari mengejarnya. Bagaikan angin lesus laki-laki itu merebut jalan berlari lintang pukang seraya
membentak: "Siapa berani merintangi aku, biar aku adu jiwa padanya!"
"Jago yang sudah keok juga berani berkaok-kaok segala?" dengus Cau Siok-toh, bicara lambat
kejadian amat cepat, laki-laki itu sudah menyerang dengan Sing-cay-hu-cay, menggunakan lengan
kanannya yang tidak terluka, "Serr," potlotnya menusuk ke tenggorokan Cau Siok-toh.
Cau Siok-toh tidak membekal senjata, di saat serangan laki-laki itu hampir mengenai dirinya,
tangkas sekali ia memotes sebatang dahan pohon sebesar jari kelingking terus digunakan sebagai
pedang, kebetulan ia songsong kedatangan potlot musuh.
"Krak!" dahan pohon itu putus menjadi dua potong, namun potlot laki-laki itu pun terbang
terpental ke tengah udara, seperti meteor jatuh ke dalam lembah.
Sungguh kejut orang itu bukan kepalang, batinnya: "Kakek tua she Cau ini benar-benar
memiliki lwekang yang hebat di atas kemampuanku."
Sementara Cau Siok-toh sendiri juga terkejut, pikirnya: "Tak heran putraku bisa terluka oleh
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senjata potlotnya, kiranya orang dari keluarga Lian."
Keluarga Lian adalah keluarga persilatan yang sulit diajak berembuk, suka ugal-ugalan lagi,
maka Cau Siok-toh tidak ingin mengikat permusuhan dengan mereka. setelah berhasil memukul
lepas sebatang potlotnya, ia pun tidak mengejar lebih lanjut.
Namun Siau-hujin belum lagi mengetahui asal usulnya, segera ia membentak: "Lari ke mana?"
Badannya melesat mengejar seperti anak panah, sekejap saja dengan ilmu ginkangnya yang hebat
tahu-tahu ia sudah berputar menghadang di depan orang itu.
Senjata orang itu tinggal sebatang potlot, dalam keadaan yang mendesak tak sempat
memindahkan senjata, terpaksa ia gunakan tangan kirinya yang terluka melancarkan Keng-sin-pithoat
dengan jurus Hian-niau-hoat-sa (burung menggaruk pasir), ujung potlotnya seperti menutul
seperti menusuk, menusuk ke urat nadi Siau-hujin.
"Serangan bagus!" puji Siau-hujin, dia tidak membawa senjata, cepat sekali ia melolos ikat
pinggangnya, dengan gerak tangan yang luar biasa cepat ia kebutkan ikat pinggangnya
menggulung ke depan. Maka terdengarlah suara robekan yang keras, ikat pinggang dari kain sutra itu tertusuk
berlubang dan sobek panjang dari batas tengah-tengahnya, tapi potlot di tangan laki-laki itu pun
kena tergulung lepas dari cekalannya.
Cukup sedikit sendai saja potlot rampasan itu ditimpuk balik oleh Siau-hujin, lekas laki-laki itu
menggunakan Hong-tiam-thau menghindar, senjata potlot sendiri melesat terbang lewat di atas
kepalanya terpaut beberapa mili saja, terus terbang jatuh ke dalam jurang.
Setelah menang dalam gebrakan ini diam-diam Siau-hujin bercekat pula hatinya, pikirnya: "Tak
heran jurus Heng-hun-toan-hong Ci-lo tadi belum berhasil membuat orang ini terlalu parah, dia
sudah terluka, namun masih mampu menusuk ikat pinggang sutraku."
Keruan kaget laki-laki itu seperti arwah sudah copot dari badan kasarnya, tanpa hiraukan babak
belur, kontan ia menggelundung dari ketinggian batu karang sana terus meluncur ke lereng bukit
di bawah sana. Untunglah tidak kebentur batu-batu runcing, dan lagi ia ada berlatih Hou-teh-sinkang
yang sudah punya dasar yang lumayan, paling-paling hanya luka-luka kulit bagian luar saja
yang tidak berarti. Sudah tentu Siau-hujin tidak sudi mengejar ke bawah meniru perbuatannya itu, tengah ia bersangsi
dilihatnya Cau Siok-toh memberi kedipan mata kepadanya: "Musuh gampang di kat sulit
dilerai, biarkan dia pergi!"
Bahwa Cau Siok-toh tidak mau memperpanjang urusan, laki-laki itu tidak mau terima
kebaikannya ini, setelah bergelundungan sampai di lereng bukit, untung luka-luka kecil saja,
setelah menenangkan hati rasa marahnya membesarkan nyalinya pula maka dari kejauhan di
bawah bukit, ia berseru lantang: "Tua bangka she Cau, aku orang she Lian tidak sudi kau beri
muka, hari ini aku mengaku kalah karena kalian keroyok, akan tiba suatu ketika, aku akan meluruk
kemari bertanding dengan kau."
Kesabaran Cau Siok-toh sebenarnya amat baik, namun orang ini begitu tidak kenal aturan dan
kebaikan, seketika membuat ia naik pitam, menggunakan ilmu mengirim gelombang suara jarak
jauh ia menyahut: "Baik, sewaktu-waktu kutunggu kedatanganmu, kau panggil teman untuk
membantu juga boleh, seorang diri datang juga kulayani, aku hanya melawan kau seorang, biar
ditentukan siapa unggul siapa asor."
Setelah pertempuran sengit berakhir, perasaan semua orang menjadi longgar, segera Siau
Gwat-sian maju menghaturkan terima kasih kepada Hun Ci-lo katanya: "Bu, sebelum kau datang
tadi, sungguh keadaan kami amat berbahaya, untunglah cici ini lantas muncul membantu kami.
Aih! Bu, kenapa kau! Kenapa kau tatap orang begitu rupa, kenapa kau tidak wakili aku
Kemelut Di Majapahit 21 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pedang Ular Merah 9
Agaknya Li Tun dapat meraba jalan pikirannya, segera ia menjelaskan: "Tamu itu datang dari
tempat yang jauh, kami sendiri pun belum kenal dia, mungkin sebentar saja dia sudah minta diri."
Lalu ia panggil seorang pelayan tua, lalu menyerahkan kartu nama Beng Goan-cau kepadanya,
menyuruhnya masuk ke dalam memberi laporan.
Maksud kata-kata Li Tun secara tidak langsung ada memberi kisik-an kepada Beng Goan-cau,
soalnya mereka tidak kenal siapa tamu itu sebenarnya, sementara Beng Goan-cau merupakan
buronan pemerintah, maka tidak enak dan kurang leluasa bertemu dengan Beng Goan-cau.
Sedang Beng Goan-cau juga berpikir: "Kabarnya Li Tun seorang yang cermat dan kawakan,
ternyata memang tidak bernama kosong. Tapi kenapa dia tidak mau beritahu nama tamu itu
kepadaku?" Bagi kaum persilatan ada banyak pantangan, persoalan yang tuan rumah tidak mau
membicarakan, sebagai tamu sudah tentu dia tidak enak mencari tahu. Tapi di saat Li Tun
menyerahkan kartu namanya kepada pelayan tua itu, secara diam-diam ia ada memperhatikan,
dilihatnya Li Tun seperti ada memberi tanda kedipan mata kepada pelayan tua itu, segera pelayan
tua itu manggut-manggut, katanya: "Ya. Setelah tamu itu pergi segera aku masuk menyampaikan
laporan." Setelah pelayan tua itu mengundurkan diri masuk ke kamar sebelah belakang, mendadak
didengarnya seseorang berkata: "Siapa tamu itu, Hu-pangcu kita sendiri yang melayaninya, tentu
dia seorang tamu agung" Hehe, tak heran sejak pagi aku ada mendengar kicauan burung di pucuk
pohon, hari ini benar-benar hari baik, dua tamu agung berkunjung tiba dalam waktu yang
bersamaan tanpa berjanji sebelumnya." Dari nada bicaranya jelas bahwa orang itu pun hanyalah
sebangsa pelayan. "Ssst! Pelan sedikit!" segera pelayan tua itu mencegah temannya bicara keras. "Coba kau terka
siapa dia" Ketahuilah tamu itu bukan lain adalah Beng Goan-cau!" kata-kata terakhir ini ia katakan
berbisik di pinggir kuping temannya. Tapi sebagai tokoh silat yang pernah berlatih mendengar
angin membedakan senjata rahasia, pendengaran Beng Goan-cau jauh lebih tajam dari orang
biasa, ia dengar percakapan itu jelas sekali.
Serta merta timbul rasa heran Beng Goan-cau, pikirnya: "Di dalam rumah Kim Tayhiap apakah
perlu berjaga-jaga terhadap mata-mata musuh" .Kenapa mereka takut namaku didengar oleh
orang lain" Mungkinkah tamu itu yang mereka kuatirkan?"
Begitulah Li Tun ajak Beng Goan-cau mengobrol, ditanyakan pula keadaan laskar gerilya di
Siau-kim-jwan, kira-kira sesulutan dupa kemudian, pelayan tua itu keluar pula serta berkata: "Liya,
Pangcu menyilakan kau masuk."-Tapi tidak mengundang Beng Goan-cau.
Sudah tentu Beng Goan-cau menjadi rikuh dan risi, diam-diam ia membatin: "Entah tamu itu
sudah pergi belum" Kabarnya Kim-hujin seorang yang berjiwa terbuka di kalangan kaum hawa,
suami istri sama simpatik dan ramah tamah terhadap para tetamunya, kenapa dia harus bertemu
dulu dengan Li Tun, baru akhirnya menemui aku?"
Agaknya sikap Li Tun juga rada kikuk, katanya: "Beng-heng, harap kau suka tunggu sebentar
lagi." Ia ulapkan tangannya kepada pelayan tua katanya: "Kenapa tidak kau undang Cin-hiangcu
kemari untuk menemani tamu."
"Jangan sungkan. Kita sesama orang dalam satu kalangan, kenapa harus terikat akan segala
tata peradatan." "Tiada jeleknya kau berkenalan dengan Cin-toako yang kusebutkan ini."
Tengah mereka bicara, orang she Cin yang dimaksud sudah tiba. Kiranya dia adalah Cin Tiong
yang berkedudukan sebagai Hu-pangcu pula dan menduduki kursi ketiga di dalam Liok-hap-pang.
Sejak lama Beng Goan-cau sudah tahu julukan Cin Tiong ini adalah Pit-lek-hwe (si berangasan),
seorang jujur polos dan suka usil mulut. Tapi di kala mereka saling memperkenalkan nama
masing-masing, Cin Tiong ada menunjukkan mimik yang aneh, bicaranya juga rada hati-hati dan
seperti kuatir pada sesuatu.
Diam-diam mendelu hati Beng Goan-cau, pikirnya: "Orang yang punya watak seperti dia ini
pasti suka diumpak dan diagulkan." Maka segera ia ajak bicara menggunakan bahan-bahan yang
didengarnya mengenai sepak terjang keperwiraan Cin Tiong dulu.
Benar juga Cin Tiong menjadi senang, katanya tertawa lebar: "Lote, jangan kau menempel
lapisan emas di kulit mukaku, kau berjuang demi keselamatan keluarga perguruan dengan matimatian
menempur lima tokoh kosen dari pasukan Bhayangkari, peristiwa itu aku pun sudah tahu.
Kaulah baru seorang angkatan muda yang harus dipuji dan dikagumi."
Pembicaraan mereka semakin getol dan cocok, tiba-tiba Cin Tiong berkata: "Beng-lote, kau ada
bergaul dan berkenalan dengan kaum gagah di seluruh dunia, adalah kau tahu di daerah Siok-ciu
ada seorang busu ternama yang bernama Nyo Bok?"
Sejenak Beng Goan-cau tertegun, katanya: "Sudah lama kudengar, cuma belum pernah
bertemu." Pertanyaan ini sesungguhnya di luar dugaan Beng Goan-cau. "Kenapa secara tiba-tiba
dia mengajukan persoalan Nyo Bok dengan diriku" Apakah dia sudah tahu rahasia hubunganku
dengan Hun Ci-lo?" demikian batin Beng Goan-cau. Tapi kejap lain ia jadi geli akan kecurigaan
hatinya yang tidak berdasar ini. "Theng-siau sedemikian dekat dan erat denganku saja tidak tahu
menahu persoalan ini, orang luar yang tiada sangkut-pautnya mana mungkin bisa tahu?"
"Satu bulan yang lalu," demikian Cin Tiong melanjutkan, "Mendadak Nyo Bok jatuh sakit dan
meninggal dunia, tentunya kau pun pernah mendengar berita ini?"
Beng Goan-cau terkejut teriaknya: "Apa" Nyo Bok sudah mati?" Maklum sebagai tokoh buronan
pemerintah, jejak Beng Goan-cau ke mana saja harus dilakukan secara rahasia, tidak gampang dia
mencari hubungan dengan kaum persilatan umumnya. Maka berita yang sudah menggemparkan
dunia persilatan beberapa lamanya ini baru pertama kali ini Beng Goan-cau mendengarnya.
"O, jadi kau belum lagi tahu," ujar Cin Tiong. "Kabarnya istri Nyo Bok adalah perempuan cantik
yang tiada bandingannya, entah benar tidak?"
Lebih terkejut pula Beng Goan-cau dibuatnya, katanya: "Cin-heng, untuk apa kau ingin tahu
seluk beluk hal ini?"
"Jangan lote menertawakan aku terlalu iseng, bukan aku ingin mencari tahu borok dan rahasia
rumah tangga orang. Cuma aku ada dengar katanya kematian Nyo Bok dicelakai oleh istrinya."
Lagi-lagi Beng Goan-cau terkejut dibuatnya, hatinya rada dongkol pula, katanya: "Pasti berita
bualan yang dibawa oleh kaum penganggur yang tidak tahu malu."
Cin Tioug menatap Beng Goan-cau, katanya: "Darimana kau tahu bahwa berita itu kabar angin
melulu?" Saking uring-uringan hampir saja Beng Goan-cau hendak membongkar hubungannya dengan
Hun Ci-Io sejak kecil kepada orang, tapi setelah dipertimbangkan akhirnya ia berpikir: "Buat apa
aku beritahu kepada seorang luar yang tiada hubungan dengan aku?" Maka dengan suara datar ia
berkata: "Aku pun ada dengar bahwa Nyo-hujin adalah seorang sekolahan yang tahu tata
peradatan, seorang perempuan yang pintar dan berbudi luhur, tidak mungkin dia sampai hati
mencelakai jiwa suaminya sendiri."
Cin Tiong bergelak tertawa, katanya: "Apakah Nyo-hujin bijaksana dan bajik aku tidak tahu.
Tapi mengenai urusan ini lote, kata-katamu justru tepat kena sasarannya."
"Lalu siapakah durjana pembunuhnya, apakah sudah diselidiki dan dibikin terang duduknya
perkara?" "Bahwasanya tiada pembunuhan segala."
Tak tertahan Beng Goan-cau melengak, tanyanya: "Jadi Nyo Bok memang mati karena
penyakitnya?" Baru sekarang Cin Tiong bicara secara terus terang: "Bahwasanya Nyo Bok tidak mati. Dia
hanya pura-pura mati, kini telah hidup kembali."
Heran Beng Goan-cau, tanyanya: "Apakah yang telah terjadi" Kenapa dia harus pura-pura
mati?" "Iyas kejadian aneh begini, setua ini baru pertama kali ini kudengar. Tapi meski aku tidak tahu
seluk beluk duduknya perkara, tapi kuduga pasti ada sangkut pautnya dengan istrinya yang cantik
itu?" Dengar kata-kata terakhir ini, isi perut Beng Goan-cau rasanya hendak berontak keluar, tak
tertahan sikapnya menjadi dingin, je-ngeknya: "Cin-hiangcu, kau sendiri kan belum pernah
bertemu dengan Nyo-hujin, darimana kau berani mengatakan obrolanmu?" Begitu dingin sikap dan
nada suaranya, kedengarannya amat menusuk kuping pendengarannya sendiri, serta merta ia
merasakan pula akan sikapnya yang kaku dan kurang wajar ini.
Cin Tiong mandah tertawa-tawa, katanya: "Aku hanya menerka-nerka menurut beberapa
persoalan yang kudengar. Pepatah kuno ada bilang, wajah cantik memang sering menimbulkan
bencana, sebenarnyalah uraian seperti itu tidak bisa tidak dikatakan sebagai kabar angin. Beng
Lote, sekali bertemu kita seperti sahabat lama saja, ada sepatah kata entah pantas tidak kuajukan
kepadamu?" "Nah mulai!" demikian batin Beng Goan-cau, alisnya lantas berkerut, katanya lantang: "Silakan
Cin-hiangcu katakan saja!"
Pelan-pelan Cin Tiong meletakkan cangkir tehnya serta berkata kalem: "Pemuda yang baru
menanjak dewasa, harus dapat membatasi diri akan permainan paras cantik. Setelah menikah
dengan seorang istri yang cantik rupawan belum tentu pasti bahagia. Peristiwa Nyo Bok yang kita
hadapi ini merupakan bukti yang nyata. Beng-heng, ucapanku ini benar atau tidak?"
Beng Goan-cau bergelak tertawa, ujarnya: "Aku punya sepatah kata entah patut tidak
kuucapkan?" "Aku paling suka berkawan dengan orang yang bersifat polos jujur dan lapang dada, silakan
Beng-heng katakan!" "Pangcu kalian semua unggul dalam segala bidang, paras cantik pengetahuan tinggi ilmu silat
hebat. Perjodohannya dengan Kim Tayhiap membawa nama harum dan bahagia, siapa saja yang
tidak menjadi iri karenanya. Jadi istilah wajah cantik sering menimbulkan bencana hanyalah isapan
jempol belaka." Debatan yang jitu ini membikin mulut Cin Tiong tertutup kencang, dalam hati ia membatin: "Dia
pura-pura pikun, perlukah aku bicara terus terang kepadanya?"
Di dalam gusarnya Beng Goan-cau sendiri pun merasa curiga, dia pun berpikir: "Jelas dia
sedang mengorek keterangan dan menyindir diriku, dia curiga bahwa aku ada berbuat sesuatu hal
yang memalukan dengan Hun Ci-lo. Aneh, kenapa dia bisa punya kecurigaan ini" Perlukah aku
bicara secara gamblang padanya?"
Di saat kedua pihak menjadi kikuk dan serba salah itu, mendadak didengarnya pintu besar
bagian luar terbuka, satu suara menyambung suara yang lain beruntun berteriak: "Antar tamu!
Antar tamu!" Itulah suatu tata kehormatan besar untuk mengantar tamu pulang.
Waktu Beng Goan-cau angkat kepala memandang keluar lewat aling-aling jendela, dilihatnya Li
Tun sedang mengantar seorang tamu, kebetulan mereka lewat dari pekarangan luar. Tamu itu
berusia tiga puluhan, ia mengenakan mantel tebal berkulit rase, kepalanya mengenakan topi kulit
biruang, topinya ditarik rendah, matanya jelilatan celingukan ke kanan kiri agaknya sedang
mencari sesuatu. Sebenarnya Cin Tiong sudah hampir membuka mulut, begitu mendengar teriakan 'mengantar
tamu', lekas-lekas ia telan kembali kata-katanya. Ia angkat cangkir tehnya terus ditenggaknya,
kelakuannya ini terang untuk menutupi gerak-gerik dan sikapnya yang serba runyam.
Tanpa merasa Beng Goan-cau menjadi heran dan curiga pula dibuatnya. "Kenapa dia seperti
takut dilihat oleh tamu itu?"
Sementara itu tamu itu sudah beranjak keluar dari pintu besar, namun terdengarlah suaranya
berkata: "Mana Cin-hiangcu tadi" Aku ingin pamitan padanya?"
"Kebetulan Cin-hiangcu ada urusan, nanti kalau kembali biar kusampaikan padanya," demikian
sahut Li Tun. Bertambah heran pula Beng Goan-cau: "Jadi Cin Tiong tadi sudah bertemu muka dengan dia,
kenapa pula sekarang dia harus menyingkir dari hadapannya?" Mana bisa dia menduga, bukan Cin
Tiong sengaja hendak menyingkir dari tamu itu, ia menyembunyikan diri supaya Beng Goan-cau
tidak sampai terlihat oleh tamu itu.
Setelah kembali dari mengantar tamunya, Li Tun seperti dibebaskan dari tugas beratnya,
katanya sambil menghela napas lega: "Maaf Beng-heng, membuat kau menunggu terlalu lama.
Pangcu kami sudah tahu akan kedatangan Beng-heng, beliau amat girang, mari silakan Beng-heng
masuk ke dalam bicara padanya."
Li Tun dan Cin Tiong segera membawa Beng Goan-cau ke balairung, seorang pelayan segera
disuruh lapor ke dalam. Tak lama kemudian terdengar suara gemericik, pandangan Beng Goan-cau
mendadak menjadi terang, tahu-tahu seorang perempuan pertengahan sudah berjalan keluar,
begitu bertemu muka, kesan pertama memberikan rasa hormat dan agung.
Diam-diam Beng Goan-cau merasa kagum, batinnya: "Ksatria perempuan yang tersohor di
seluruh jagat ini, sikap dan wibawanya memang lain daripada yang lain."
Setelah Su Ang-ing keluar, Li dan Cin segera mengundurkan diri. Menurut kebiasaan umum, Su
Ang-ing sebagai Pangcu perempuan, di waktu menghadapi tamu pria, paling tidak salah seorang
thaubak bawahannya pasti ikut hadir sebagai pengiringnya. Kini Li dan Cin berdua sama
mengundurkan diri, tidak perlu dijelaskan, bahwa waktu berada di sebelah belakang tadi pasti Su
Ang-ing sudah memberi pesan pada mereka. Serta merta bertambah pula rasa sangsi dan
ganjalan hati Beng Goan-cau. "Dia menghadapi aku seorang diri, apakah ada sesuatu urusan
pribadi yang perlu disampaikan pada aku?"
Setelah sekadar basa-basi, berkatalah Su Ang-ing tertawa: "Beng-siauhiap, kau hanya datang
seorang diri" Mana nona Lim itu" Kuminta dia ke Soh-ciu menyambut kau, kukira kalian sudah
bertemu bukan?" Jawab Beng Goan-cau: "Di waktu ia datang kebetulan aku tiada di rumah, tapi akhirnya kami
bertemu di tengah jalan!"
"O, ada kejadian yang begitu kebetulan, lalu ke mana dia sekarang, kenapa tidak pulang
bersama kau?" "Dia langsung menuju ke Thay-san."
Heran Su Ang-ing, katanya: "Dia langsung ke Thay-san" Semula kukira dia tidak mau ke sana,
sungguh di luar dugaanku malah. Cara bagaimana kalian bisa bertemu di tengah jalan?"
Karena tidak tahu seluk beluknya, Beng Goan-cau hanya merasa keheranan, sahutnya: "Kalau
dibicarakan secara kebetulan ditambah kebetulan saja, di waktu aku bertemu dengan nona Lim di
tengah jalan, aku pun bersua pula dengan Utti tayhiap yang datang dari Koan-tang."
"O, Utti Keng juga sudah tiba" Cara bagaimana dia bisa kenal kau?"
"Aku malah berkelahi dengan dia!" ujar Beng Goan-cau, lalu dia ceritakan pengalamannya hari
itu kepada Su Ang-ing secara ringkas jelas.
Su Ang-ing mendengarkan dengan cermat dan penuh perhatian, lalu katanya tertawa: "Kalau
begitu tanpa berkelahi kalian tidak akan berkenalan. Demikian juga waktu aku berkenalan dengan
Tiok-liu dulu." Semula Beng Goan-cau anggap kata-kata 'tanpa berkelahi tidak berkenalan' adalah menunjuk
dirinya dengan Utti Keng, baru akhirnya dia tahu bahwa yang dimaksud kiranya adalah Lim Busiang,
keruan merah malu selebar mukanya.
Berkata Su Ang-ing lebih lanjut: "Jadi kalian pun bentrok dengan wakil komandan Gi-lim-kun,
kapan peristiwa itu terjadi?"
Beng Goan-cau menekuk jarinya menghitung, sahutnya: "Empat hari yang lalu."
Terunjuk rasa kebingungan pada wajah Su Ang-ing, katanya heran: "Empat hari yang lalu,
kejadian agaknya rada janggal."
Beng Goan-cau pun heran, tanyanya: "Apanya yang janggal dan mengherankan?"
Kata Su Ang-ing: "Ada seorang empat hari yang lalu juga bertemu dengan Ciok Tio-ki, tapi
tempat yang dia tunjuk berlainan. Masakah Ciok Tio-ki punya ilmu membagi tubuh?"
Beng Goan-cau juga merasa heran, tanyanya: "Siapakah orang itu?"
Su Ang-ing tatap Beng Goan-cau lalu sahutnya: "Yaitu tamu yang baru saja datang itu, malah
dia pun ada menyinggung dirimu!"
Melengak heran Beng Goan-cau dibuatnya, serta merta ia bertanya: "Aku toh tidak kenal dia,
bagaimana dia bisa menyinggung aku" Siapakah dia?"
"Dia bukan lain adalah busu kenamaan dari Siok-ciu, Nyo Bok adanya."
Berdetak jantung Beng Goan-cau, batinnya: "Kiranya Nyo Bok!" baru sekarang ia paham duduk
perkara sebenarnya: "Tak heran Cin Tiong bicara begitu rupa kepadaku."
"Peristiwa Nyo Bok pura-pura mati adakah kau pernah dengar?"
"Baru saja kudengar dari penuturan Cin-hiangcu."
"Memang katanya dia menanam permusuhan dengan Ciok Tio-ki, Ciok Tio-ki tahu bahwa dia
ada menentang kebijaksanaan pemerintah kerajaan, maka hendak menangkapnya. Terpaksa
untuk menghindari penangkapan itu ia pura-pura mati, tak nyana usahanya masih sia-sia, akhirnya
empat hari yang lalu mereka toh bentrok juga, di bawah Kim-kee-nia dia kena dipukul satu kali
oleh Ciok Tio-ki, malah terluka pula. Untunglah berhasil melarikan diri."
Kim-kee-nia terletak di sebelah barat karesidenan Tang-ping. Empat hari yang lalu tempat Beng
Goan-cau melihat Ciok Tio-ki sebaliknya terletak di sebelah selatan karesidenan Tang-ping, kedua
tempat ini tidak mungkin bisa dicapai dalam perjalanan satu hari.
Ternyata kuatir ceritanya menunjukkan lubang-lubang kelemahannya, dan lagi karena rumah
Beng Goan-cau berada di Soh-ciu, kalau Nyo Bok mengatakan di luar kota Soh-ciu bersua dengan
Ciok Tio-ki, mungkin bisa menimbulkan kesangsian, maka seenaknya saja dia menyebut nama
sebuat tempat lain. Tempatnya dia ganti maka waktunya pun dia ganti pula, jarak antara Kim-keenia
ke tempat kediaman Kim Tiok-liu saja memerlukan waktu empat lima hari perjalanan, maka
menurut kelincahan lidahnya ia mengatakan empat hari yang lalu. Sungguh mimpi juga ia tidak
menyangka, kejadian justru begitu amat kebetulan sekali, bahwa tepat pada hari itu Beng Goancau
pun ada bertemu dengan Ciok Tio-ki.
"Nyo Bok. Dia, apa yang dia katakan mengenai diriku?"
"Adakah kau kenal dengan istrinya itu?"
"Tidak salah, kenal sejak masih kanak-kanak."
Tatapan Su Ang-ing semakin tajam, katanya seperti tertawa tidak tertawa: "Katanya kau
membawa lari istrinya!"
Beng Goan-cau berjingkrak bangun, teriaknya: "Dia, dia begitu menjelekkan namaku?"
"Kau jangan gugup, marilah bicara perlahan-lahan. Jadi maksudmu belakangan ini kau tidak
pernah melihat,istrinya."
Gejolak hati Beng Goan-cau tenang kembali, hatinya menerawang: "Memang kenyataan Hun
Ci-lo pernah ke Soh-ciu menjenguk aku, tidaklah heran bila suaminya menaruh salah paham
kepadaku." Melihat sikap dan mimiknya tidak tenang, Su Ang-ing menjadi sangsi dan rada curiga pula.
Setelah menenangkan pikiran, Beng Goan-cau berkata: "Bicara terus terang, aku memang
pernah melihat istrinya, meski waktu itu malam hari, apalagi dia mengenakan kedok muka, tidak
bicara lagi kepada aku. tapi aku tahu pasti dia adanya. Dia adalah sahabat kecilku sejak kanakkanak,
tapi sejak dia menikah, aku tidak pernah melihat dia lagi. Apalagi melakukan perbuatan
yang durhaka terhadap Nyo Bok."
Sebagai perempuan yang cerdik dan luas pengalaman, setelah mendengar uraiannya, Su Anging
jadi berpikir: "Persoalannya dengan Nyo-hujin, bukan mustahil mirip benar dengan keadaan
Lim Bu-siang dengan piaukonya" Cuma pihak sana yang laki-laki sudah menikah, sementara pihak
sini yang perempuan yang sudah menikah?"
Beng Goan-cau ragu-ragu sejenak, lalu melanjutkan: "Di waktu mudanya dulu, aku bersama
Nyo-hujin pernah terjadi suatu, suatu... rahasia hubungan asmara kami dulu selamanya belum
pernah kutu-turkan kepada orang lain, kini dengan setulus hati suka aku menjelaskan kepada
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hujin." Cepat Su Ang-ing menggoyangkan tangan, katanya: "Aku percaya bahwa kau seorang laki-laki
sejati yang berlapang dada dan berjiwa besar, urusan pribadimu aku tidak usah tahu. Tak perlu
kau tuturkan kepada aku!" Anggapannya analisanya tepat dan persis, di luar tahunya bahwa, likaliku
hubungan asmara Hun Ci-lo dengan Beng Goan-cau justru jauh lebih ruwet dan berbelit-belit
dibanding hubungan Lim Bu-siang dengan Boh Cong-tiu.
Beng Goan-cau tertawa getir. katanya: "Kalau begitu, jadi Nyo Bok kemari mohon kalian suami
istri suka memberi keadilan kepadanya?"
"Ya, Tiok-liu tidak di rumah, terpaksa aku mendengar pengaduannya. Sungguh tidak nyana bisa
terjadi kebetulan ini, baru saja dia mengatakan kau membawa lari istrinya, kartu namamu lantas
diantar ke hadapanku, untung dia tidak melihat, kalau tidak wah membuat aku si tuan rumah ini
menjadi serba runyam dan susah."
Beng Goan-cau menjadi kikuk, selebar mukanya merah jengah, diam-diam ia berpikir: "Meski
aku tidak melakukan perbuatan maksiat, tapi sebelum Nyo Bok berhasil menemukan Hun Ci-lo,
meski aku punya kesempatan memberi penjelasan kepadanya, mungkin dia pun tidak akan mau
percaya." Agaknya Su Ang-ing seperti tahu jalan pikirannya, ujarnya tersenyum: "Apakah Beng-siauhiap
merasa cara keputusanku tadi kurang tepat?"
Karena mengandung kekuatiran terpaksa Beng Goan-cau bicara blak-blakan: "Seharusnya aku
memberi penjelasan kepada Nyo Bok secepatnya, tapi sekarang belum tepat datang saatnya untuk
aku menampilkan pembelaanku. Terima kasih akan bantuan pangcu yang telah melindungi nama
baik dan mukaku, sehingga kami tidak bertemu dalam keadaan rikuh dan runyam. Tapi yang
kukuatirkan, dia mengadukan ke tempat ini, pasti pula mengadukan hal ini kepada para bu-lim
cianpwe lainnya, ini, ini..."
"Yang jelas bahwa perbuatan sendiri tidak mendurhakai kebajikan, kenapa harus takut
menghadapi obrolan orang lain. Urusan bakal menjadi beres pada suatu ketika, Beng-siauhiap
tidak usah kuatir. Dan lagi menurut hematku, Nyo Bok mungkin juga tidak suka urusannya itu
tersiar luas di luaran. Di hadapan beberapa bulim cianpwe itu, aku bisa memberi penjelasan bagi
kemurnian jiwamu." Sebagai suatu pimpinan yang cerdik pandai dan sigap bekerja, namun dalam menghadapi
persoalan ini, perhitungan dan tafsiran Su Ang-ing meleset sama sekali.
Meski pepatah ada bilang 'keburukan keluarga pantang tersiar keluar", tapi Nyo Bok sudah
terima menjadi antek kerajaan, bahwa Nyo Bok harus menyiarkan keburukan keluarganya seluasluasnya
adalah mengikuti petunjuk dan perintah atasan Nyo Bok yaitu wakil komandan Gi-Iim-kun
Ciok Tio-ki. Tujuannya adalah hendak menista dan mencelakai Beng Goan-cau, merusak nama
baiknya di hadapan kaum persilatan! Pertama, Nyo Bok sudah tidak kuasa lagi pada diri sendiri,
kedua, karena rasa jelus dan cemburunya terhadap Beng Goan-cau sudah menghayati
sanubarinya, terpaksa tanpa malu-malu lagi ia tanggalkan kedok mukanya melaksanakan rencana
Ciok Tio-ki. Diam-diam hati Beng Goan-cau mengeluh dan bersyukur pula mendengar kata-kata Su Ang-ing
terakhir, pikirnya: "Walau aku tidak pernah melakukan perbuatan haram yang mendurhakai Nyo
Bok dengan Hun Ci-lo, tapi rasa rinduku terhadapnya selama delapan tahun ini belum pernah
lenyap dan tersapu dari relung hatiku."
Kata Su Ang-ing: "Dalam menghadapi persoalan ini, bukan sengaja aku hendak berpihak
kepadamu, soalnya martabat dan sepak terjangmu selama ini, kami suami istri sudah lama tahu.
Nyo Bok memang punya nama dan disegani sesama kaum bulim di daerah Siok-ciu, namun
betapapun aku masih rada asing mengenai karakter dan jiwanya."
Beng Goan-cau menjadi terharu, katanya: "Sebagai generasi muda yang masih cetek
pengalaman seperti aku ini, entah bagaimana aku harus menyatakan terima kasihku terhadap Kim
Tayhiap dan hujin atas penghargaannya terhadap diriku."
Su Ang-ing tertawa-tawa, ujarnya: "Sebetulnya, aku pun sudah tahu sebelumnya bahwa
istrinya itu bukan kau bawa lari."
Beng Goan-cau tertegun, tanyanya: "Mengapa?"
Berkata pula Su Ang-ing pelan-pelan: "Karena ada orang pernah lihat Hun Ci-lo istri Nyo Bok itu
berada di Thay-ouw."
Jejak rahasia Hun Ci-lo yang selama ini sedang diraba-raba kini terbongkar dari mulut Su Anging,
benar-benar suatu berita yang selama ini menjadi keinginan Beng Goan-cau untuk mencari
sumber berita yang serba kesulitan. Keruan kejut dan girang pula hati Beng Goan-cau, katanya:
"Ada orang pernah melihat dia di Thay-ouw" Kenapa dia bisa menuju ke Thay-ouw" Siapa pula
orang itu?" Maklum keluarga Hun Ci-lo adalah kaum persilatan pula, namun dia bukan perempuan kelana
kangouw umumnya, sanak kadang atau famili keluarganya sudah sama meninggal. Kaum
persilatan umumnya tidak mungkin bisa mengenalnya. Maka Beng Goan-cau menjadi merasa
heran dan mengajukan pertanyaannya itu.
"Dia adalah seorang sahabatku dan Tiok-liu yang paling dapat dipercaya," demikian Su Ang-ing
menjelaskan. "Bahwasanya dia pun tidak tahu menahu terhadap pertikaian Nyo Bok dan istrinya,
namun dia justru mengenal Sip-hun-kiam hoat dari keluarga Hun!"
"Jadi dia pernah melihat Hun Ci-lo memainkan pedangnya?"
"Ya, di Tong-ting-san sebelah barat Thay-ouw dia pernah melihat seorang perempuan
berpakaian hitam sedang bertarung pedang dengan orang, ilmu pedang yang dilancarkan itu
adalah Sip-hun-kiam hoat. Siapa yang menjadi musuhnya, dia tidak tahu, tapi menurut katanya
kepandaian orang itu pun rada lumayan, sampai pada jurus terakhir yaitu Heng-hun-toan-hong
(awan melintaYig memotong puncak) baru perempuan baju hitam itu berhasil mengalahkan
lawannya. "Dua hari yang lalu sahabat kental ini pernah datang ke rumah kami, dia mengajak Tiok-liu
berangkat menghadiri upacara kebesaran di Thay-san, entah bagaimana dia pernah menyinggung
soal ini, waktu itu karena mereka tergesa-gesa hendak berangkat, maka aku tidak mencari tahu
lebih lanjut." Sebetulnya Beng Goan-cau ingin tahu lebih banyak, sayang apa yang Su Ang-ing ketahui dan
yang dituturkan kepadanya hanya itu-itu saja. Siapa nama sahabat itu, dia pun tidak
menyebutnya. Betapapun Beng Goan-cau baru pertama kali ini bertemu dengan tuan rumah, kalau
toh orang tidak mau menjelaskan, sudah tentu Beng Goan-cau tidak enak menanyakan.
Su Ang-ing menenggak air tehnya, lalu menyambung: "Ayah mertua Nyo Bok adalah Hun
Ciong-san, Hun Ciong-san adalah ahli waris langsung dari Sip-hun-kiam hoat, dia cuma punya
seorang anak putri, hal-hal ini sejak lama sudah kuketahui. Maka di kala Nyo Bok mengatakan
hendak mencari istrinya, maka aku lantas berani berkepastian bahwa perempuan baju hitam yang
dilihat oleh sahabat kami di Tong-ting-san di sebelah barat Thay-ouw itu tentu istri Nyo Bok yaitu
Hun Ci-lo adanya." "Adakah hujin memberitahu berita ini kepada Nyo Bok?" Beng Goan-cau bertanya dengan
perasaan gundah. "Sejak mula aku sudah merasa bahwa di belakang layar peristiwa Nyo Bok dengan istrinya ini
pasti ada apa-apanya, apalagi aku tidak mengenal benar karakter dan sepak terjangnya selama
ini, maka untuk sementara waktu aku tidak ingin memberitahukan kepadanya. Nanti setelah duduk
perkaranya sudah jelas, baru aku bisa berkeputusan perlukah aku menyampaikan hal ini
kepadanya!" demikian sahut Su Ang-ing.
Beng Goan-cau menghela napas lega, seolah-olah batu besar yang menindih jantungnya sudah
dicopot turun. Sesaat ia jadi merasa menyesal dan terketuk sanubarinya. "Kenapa aku tidak suka
Nyo Bok mengetahui jejak Ci-lo?"
Berkatalah S u Ang-ing lebih lanjut: "Tapi kalau dikatakan sekarang menjadi tidak begitu
penting mempersoalkan sebab musabab pertikaian Nyo Bok suami istri. Yang penting aku ingin
tahu akan kebenaran pengaduan Nyo Bok bahwa dia benar ada dikejar dan hendak ditangkap oleh
pihak kerajaan. Kenapa dia harus menipu aku dikatakan dia terkena pukulan oleh Ciok Tio-ki"
Beng-siauhiap, coba katakan benar tidak?"
Pikiran Beng Goan-cau sendiri lagi gundah, ia jadi gelagapan, sahutnya: "Ini, ini, aku jadi tidak
leluasa ikut bicara dalam persoalan ini. Cuma aku percaya kalau toh Hun Ci-lo rela menikah
dengan dia, pastilah dia bukan orang jahat."
Mendengar orang membela Nyo Bok, Su Ang-ing tertawa geli, katanya: "Agaknya kau amat
yakin dan percaya benar terhadap Nyo-hujin. Tapi urusan di dunia sulit diduga, apalagi hati
manusia sukar diraba lagi, banyak kejadian yang justru terjadi di luar kesadaran pikiran manusia.
Ada lebih baik kita berlaku hati-hati dan waspada."
Merah muka Beng Goan-cau, ia tidak berani banyak kata lagi, terpaksa ia mengiakan saja.
Su Ang-ing tertawa,, ujarnya mengawasi Beng Goan-cau: "Urusan ini kurasa amat penting bagi
kau. Karena peristiwa Nyo Bok kehilangan istri secara langsung ada menyangkut dirimu."
Beng Goan-cau segan membual, sahutnya: "Benar, aku memang ingin selekasnya
membereskan pertikaian ini."
"Konon kau menjadi wakil bagi Siau-kim-jwan untuk mencari hubungan dengan para enghiong
di berbagai tempat, apa benar?"
Beng Goan-cau seperti tersentak sadar, cepat ia mengiakan dengarn hormat. '
"Lalu hendak ke mana kau lebih lanjut" Pergi ke Thay-san atau menuju ke Thay-ouw?"
"I... ini, aku..." pertanyaan Su Ang-ing amat mendadak diajukan, sesaat Beng Goan-cau jadi
sulit berkeputusan untuk memberi jawaban.
"Dalam waktu dekat sulit kau mengambil keputusan, maka tidak perlu kau segera menjawab
pertanyaanku ini. Setelah kau pikirkan secara cermat baru ambil ah keputusan kukira waktunya
masih belum terlambat."-Bicara sampai di sini Su Ang-ing seperti ingat apa-apa, berhenti sebentar
ia mengganti sebuah cangkir air teh panas untuk Beng Goan-cau, lalu ia melanjutkan: "Pertemuan
besar di Thay-san bakal dihadiri oleh para enghiong dari seluruh jagat, bahwa kau sebagai kurir
dari laskar gerilya hendak mencari hubungan dengan mereka, inilah saatnya paling tepat. Tapi aku
pun bisa membayangkan, sehari sebelum pertikaian ini belum dibikin jelas, sehari kau tidak akan
hidup tenteram. Maka bila kau mencari tahu lebih dulu ke Thay-ouw kurasa juga lebih baik."
"Juga baik" yang dia maksud tanpa dijelaskan sudah gamblang bahwa dia mengharap supaya
Beng Goan-cau menghadiri pertemuan besar di Thay-san itu lebih dulu.
Beng Goan-cau menjadi bingung dan hambar, sesaat baru ia berkata: "Terima kasih akan
perhatian pangcu memberitahu banyak urusan kepadaku. Waktu amat mendesak, aku mohon diri
saja." "Tidak salah, tak peduli menuju ke Thay-san atau pergi ke Thay-ouw, kau perlu buru-buru
menempuh perjalanan. Baiklah, aku pun tidak menahan kau lebih lama lagi."
Setelah berada di luar rumah keluarga Kim, Beng Goan-cau beranjak seorang diri, bolak-balik
sebuah pikiran sedang bergejolak dalam sanubarinya: "Ke mana aku harus pergi lebih dulu?"
Penyakit rindu selama delapan tahun, kesempatan dibuang demikian saja, kini betapa sulit
memperoleh berita jejak Hun Ci-lo berada, bisakah aku membuang-buang kesempatan baik ini"
Tapi kalau dia mengabaikan kesempatan pertemuan di Thay-san, kelak dia harus bertandang
satu persatu ke rumah para enghiong dari berbagai tempat yang tersebar luas itu malah belum
tentu bisa ketemu di rumahnya, bukankah lebih banyak memakan waktu dan tenaga-
Selamanya Beng Goan-cau bisa berlaku tegas dalam setiap keputusan, tapi kini dia di libat oleh
pertanyaannya itu, jadi merasa sangsi dan ragu-ragu, tujuan utama menjadi kabur oleh kerisauan
hatinya. -ooo0dw0ooo- "Ke manakah aku harus menuju?" Persoalan yang membikin Beng Goan-cau gundah pikiran
juga sedang bergolak dalam benak Hun Ci-lo.
Pagi hari itu setelah dia menghindari pertemuan dengan Beng Goan-cau, melangkah di tanah
kelahiran kampung halamannya dia beranjak ke depan, seperti pula keadaan Beng Goan-cau
sekarang, pulang pergi ia sedang memikirkan pertanyaannya itu, tidak berani berpaling, namun
rasa hati sudah remuk redam.
Rumah suami tidak mungkin dia pulang ke sana, putra kandung pun direbut orang lain, jejak
ibunya pun tidak keruan paran, kekasih pun tidak berani ditemui lagi. "Meski besar dunia ini, ke
mana aku harus menempatkan diriku?" Teringat akan hal-hal yang menyedihkan tak tertahan lagi
air mata mencucur deras dari kelopak mata Hun Ci-lo, kedua kaki seperti diganduli beban berat
tak tahu ke mana harus melangkah"
Di saat Hun Ci-lo menempuh perjalanan dengan hati risau dan perasaan remuk redam melalui
jalan kampung itulah, di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pemuda desa yang sedang
mengejar waktu menuju pasar memikul dagangan sayur putih untuk dijual. Begitu melihat Hun Cilo,
tiba-tiba ia bersuara heran dan berhenti di hadapan Hun Ci-lo.
Hun Ci-lo tersentak sadar oleh seruan kaget orang, waktu ia angkat kepala, dilihatnya seorang
pemuda yang berotot kekar berkulit hitam, seolah-olah sudah amat dikenalnya wajah si pemuda
ini cuma dalam waktu yang dekat ia lupa dan tidak teringat siapakah dia adanya.
Setelah melenggong sebentar, pemuda itu meletakkan pikulan sayurnya serta berkata:
"Bukankah kau Hun-kokoh, kau sudah pulang" Aku adalah Siau-gu-ji, masa kau tidak ingat lagi?"
"Ternyata kau adalah Siau-gu-ji," ujar Hun Ci-lo tertawa. "Pada waktu aku meninggalkan rumah
kuingat kau masih bocah kecil yang masih ingusan, sekarang sudah begini besar, apakah ibumu
baik?" Ternyata Siau-gu-ji ini adalah putra Ong-toama tetangganya itu, waktu mereka ibu beranak
meninggalkan rumah, pernah berpesan kepada Ong-toama untuk mengurus kebun dan rumah
mereka, waktu itu Siau-gu-ji ini masih berusia tujuh delapan tahun.
Siau-gu-ji mengunjuk rasa kikuk malu-malu, katanya tertawa: "Hun-kokoh, kabarnya kau sudah
menikah dengan seorang yang kenamaan di daerah utara, kukira kau sudah melupakan kami,
sudah sekian tahun lamanya kau tidak pernah pulang menjenguk kami. Em, coba biar kuhitung,
waktu itu aku berusia hampir delapan, sampai sekarang jadi sudah delapan tahun berselang."
Walaupun Hun Ci-lo sedang dirundung kesedihan serta melihat anak tetangga, secara tidak
terduga ia merasa senang dan terhibur, katanya tertawa: "Mana bisa aku melupakan kau" Oh ya,
memang aku sedang mencari ibumu, tapi sekarang mungkin dia belum bangun, maka tidak berani
aku mengganggunya sepagi ini, kini kebetulan bertemu kau beberapa uang perak yang tidak
berarti ini, kuharap kau suka terima dan bawa pulang berikan kepada ibumu sebagai oleh-olehku
dari tempat jauh, jangan lupa sampaikan terima kasihku akan jerih payahnya atas bantuannya
merawat rumahku." Siau-gu-ji merah malu, katanya: "Terima kasih apa" Beberapa tahun ini, kami ibu beranak
terlalu sibuk pada pekerjaan kampung, kebun dalam rumahmu kami jadi tiada kesempatan untuk
merawatnya. Uang ini aku pun tidak berani terima."
"Kau harus menerimanya, karena kedatanganku terlalu tergesa-gesa, maka tidak kubawakan
barang oleh-oleh, anggaplah uang ini untuk beli barang keperluan untuk ibumu."
Karena tidak bisa menolak, terpaksa Siau-gu-ji menerima, katanya: "Kau sudah pulang ke
rumah belum, kenapa sepagi ini sudah keluar pula" Beng-toako sudah pulang, kau tahu tidak?"
Pedih hati Hun Ci-lo, katanya: "Tahu, aku sudah bertemu dengan dia. Kali ini aku hanya
menjenguk sebentar saja, aku masih punya urusan penting lainnya, maka tidak bisa tinggal di
rumah terlalu lama."
Siau-gu-ji berkata heran: "Mana boleh terus berangkat begitu tergesa-gesa?" tiba-tiba teringat
olehnya penuturan ibunya dulu, katanya Beng-toako dengan Song-toako yang tinggal di kota itu
dulu sama menyukai Hun-kokoh ini. Pemuda berusia lima enam belasan memang saatnya akil balik
dan mekar kembang asmaranya, dia berpikir: "O, paham aku, dia sudah menikah dengan orang
lain, sudah tentu tidak leluasa tinggal bersama dalam satu rumah dengan Beng-toako. Tapi
kenapa dia tidak pulang bersama suami?" Siau-gu-ji ingin mengajukan pertanyaan ini, tapi tidak
tahu apakah patut ia bertanya, kedua matanya membelalak besar mengawasi Hun Ci-lo.
Hun Ci-lo menahan kepedihan hatinya, katanya: "Siau-gu-ji, kau tidak akan paham. Aku harus
segera berangkat." Siau-gu-ji pura-pura bersikap amat paham, katanya: "Aku mengerti. Guru dalam kampung
pernah mengatakan, perempuan seperti kau yang bisa membaca dan mengenal huruf adalah
pantas mematuhi segala adat dan tata krama keluarga segala, setelah menikah harus patuh
terhadap suami, benar tidak" Kau sudah punya rumah dan keluarga dengan suami, maka tidak
bisa tingal lagi di rumah ibumu?"
Hun Ci-lo menjadi jengkel dan geli pula akan obrolan bocah kampung ini, katanya: "Siau-gu-ji,
kau harus lekas menjual dagangan di pasar, aku pun hendak melanjutkan perjalanan, lain
kesempatan biar aku pulang menjenguk kalian. Ingat sampaikan salamku kepada ibumu."
Baru saja Hun Ci-lo hendak berangkat, tiba-tiba Siau-gu-ji berkata: "Hun-kokoh, tunggu
sebentar. Ada sebuah hal belum lagi kusampaikan kepadamu!"
"Ada urusan apa?"
"Adalah seorang perempuan she Siau, kira-kira berusia tujuh delapan belas, dia datang
bersama seorang pemuda she Cau. Pemuda itu tidak bicara, hanya dia saja yang mengajukan
beberapa pertanyaan."
Tergerak hati Hun Ci-lo, tanyanya: "Seorang perempuan she Siau" Apa yang dia tanyakan?"
"Katanya dia adalah famili keluargamu, sengaja kemari hendak mencari kau. Kuberitahu
kepadanya bahwa kalian ibu beranak sudah beberapa tahun yang lalu pergi meninggalkan rumah,
kelihatannya dia amat kecewa."
"Adakah dia memberitahu di mana dia tinggal?"
Siau-gu-ji menggaruk-garuk kepala, katanya: "Katanya dia tinggal di daerah di sebuah gunung
entah apa namanya di daerah Thay-ouw, nama gunung itu ada huruf "barat"nya, Waktu itu aku
masih ingat benar, kini mendadak sudah lupa."
"Apakah Tong-ting-san bagian barat?"
"Ya, ya benar. Tong-ting-san barat, ha, kini aku ingat kembali, agaknya waktu itu dia menduga
aku bakal terlupa akan nama gunung itu, katanya bila sesaat kau terlupa, cukup asal kau katakan
kepadanya, bahwa aku sudah pulang ke rumah ayah, dia pasti sudah tahu dan paham. Tatkala itu
aku merasa heran, putra-putrinya kembali, sudah tentu pulang ke rumah ayahnya, masakah perlu
dijelaskan lagi?" "Aku tahu sekarang. Siau-gu-ji, terima kasih akan keteranganmu ini. Begitu tiba di rumah ingat
sampaikan salamku kepada ibumu."
Berita tak terduga ini memberikan rasa riang dan senang Hun Ci-lo. Setelah berpisah dengan
Siau-gu-ji ia beranjak menempuh jalan menyongsong terbitnya matahari, kabut yang membalut
hatinya juga seperti buyar tersorot sinar matahari. Dalam hati ia berpikir: "Ini benar-benar seperti
sebuah pepatah kuno yang berkata: Gunung buntu air terbentang tiada jalan lagi, pohon liu gelap
kembang mekar cemerlang kembali pada sebuah pedesaan. Perempuan she Siau itu jelas adalah
piaumoayku, yang belum pernah kulihat itu. Aku sedang risau dan gundah ke mana aku harus
berteduh, kini terpaksa aku harus minta perlindungan pada bibi sementara waktu."
Ternyata ibu Hun Ci-lo punya seorang adik sepupu yang menikah pada sebuah keluarga she
Siau di Tong-ting-san barat, suaminya bernama Siau King-hi, seorang tokoh persilatan yang punya
nama pula di kalangan kangouw.
Kedua saudara sepupu ini masing-masing menikah di dua tempat berjauhan tempatnya satu di
selatan yang lain di sebelah utara. Apalagi karena ayah Hun Ci-lo yaitu Hun Ciong-san secara
rahasia sudah menjadi anggauta laskar gerilya, maka sejak menikah kedua saudara sepupu ini jadi
putus hubungan. Akhirnya Hun Ciong-san tidak bisa bercokol lagi di daerah utara, terpaksa
membawa keluarga pindah ke Soh-ciu, sepihak karena ada seorang teman karibnya Song Sip-lun
tinggal di Soh-ciu ini, pihak lain karena jarak Thay-ouw ke Soh-ciu rada berdekatan, setelah
tinggal di Soh-ciu, saudara sepupu yang sudah sekian lama berpisah gampang bertemu atau
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkumpul setiap waktu bila dikehendaki.
Tak nyana di kala mereka datang ke Tong-ting-san barat mencari sanaknya itu, baru mereka
tahu bahwa keluarga Siau sudah lama pindah ke tempat lain, entah pindah ke mana.
Di waktu Hun Ci-lo pindah ke Soh-ciu, usianya baru delapan tahun, waktu itu hanya ayah dan
ibunya saja yang berangkat mencari familinya, dia tidak ikut serta. Dalam relung hatinya, sedikit
pun tidak meninggalkan kesan macam apa sebenarnya bentuk wajah bibinya itu, hal itu pun ia
dengar dari cerita ibunya, sedikit pun tidak pernah ia perhatikan dalam pikirannya. Maka setelah
ayahnya meninggal, Beng Goan-cau datang lagi, dia pun tidak pernah bicarakan hal ini kepada
Beng Goan-cau. Sebelum bertemu dengan Siau-gu-ji, bahwasanya Hun Ci-lo belum tahu bahwa dia punya
seorang adik misan, tapi kalau toh perempuan remaja yang mencari dirinya itu she Siau, mengaku
sebagai familinya lagi, rumahnya tinggal di Tong-ting-san barat lagi, maka tidak perlu disangsikan
bahwa dia pasti adalah piaumoaynya.
"Sungguh suatu kejadian yang amat aneh, menurut Siau-gu-ji piaumoayku itu baru berusia
tujuh belasan, jadi di kala aku pindah ke Soh-ciu berarti dia belum lagi lahir. Kukira di waktu dia
kemari mencari aku, dalam benaknya tentu terkandung rasa kangen dan ingin tahunya. Kini
tibalah giliranku mencari dia. Entah dia sudah menikah belum" Kalau bibi merelakan dia datang
bersama pemuda she Cau itu, pastilah pemuda itu adalah calon suaminya?" demikian Hun Ci-lo
menerka-nerka dalam hati.
Karena ingin benar bertemu dengan bibi dan piaumoaynya, hari itu juga habis lohor ia kembali
ke Soh-ciu dari dermaga Ban-lian-kiau ia menyewa perahu terus menuju ke Thay-ouw.
Luas Thay-ouw ada tiga puluh enam ribu hektar, luasnya menjangkau dua propinsi di wilayah
sebelah timur, teringat pada waktu pesiar di See-ouw dulu, pemandangan di sini berlainan pula
corak dan bentuknya. Begitu perahu berlaju di lepas pantai memasuki alunan ombak di tengah danau, tampak
puncak-puncak tinggi yang berjumlah tujuh puluh dua saling berlomba menjulang tinggi
menembus awan, panorama di sini sulit dibandingkan dengan pemandangan alam yang pernah
dilihatnya di See-ouw dulu, indahnya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Serta merta terasa lapang
dada Hun Ci-lo, kerisauan hati beberapa hari ini, seketika sirna tanpa bekas, pikirnya: "Ikan bisa
berenang berloncatan di lautan nan luas, burung bisa terbang di udara nan sejuk, itulah dunia
bebas yang sedang dikejar kehidupan manusia. Beberapa tahun belakangan ini, aku selalu
mengunci diri di dalam rumah, seperti burung di dalam sangkar, jiwa dan pandanganku pun
hampir saja menjadi sempit"
Sekonyong-konyong sepoi-sepoi didengarnya suara harpa berdencing dari kejauhan, seiring
dengan nada lagu petikan harpa didengarnya pula orang bersenandung dengan suara lantang dan
tinggi. Cepat Hun Ci-lo jelajahkan pandangan matanya, tampak sebuah perahu lain sedang berlaju
mendekat mengikuti hembusan angin, di atas perahu terdapat dua orang, seorang adalah laki-laki
yang berjubah kuning, sedang seorang lain adalah pemuda yang mengenakan mantel berbulu rase
putih. Yang memetik harpa dan bersenandung adalah pemuda itu.
Hun Ci-lo pernah bersekolah, pandai sastra dan mengenal teori musik lagi, mendengar petikan
harpa dan senandung pemuda itu, tanpa merasa hatinya terbawa ke alam kehampaan, lapat-lapat
ia merasa makna dari syair yang disenandungkan si pemuda juga mengandung perasaan seperti
keadaan dirinya sekarang.
Terbayang olehnya kenangan waktu dia bersama Beng Goan-cau dan Song Theng-siau tamasya
di See-ouw dulu, demikian juga keadaan waktu itu seperti si pemuda, cuma suasana lebih riang
gembira tanpa mengenal kerisauan hati.
Terpikir oleh Hun Ci-lo: "Entah di mana sekarang Beng Goan-cau berada" Tapi dia ada siausumoaynya
sebagai teman bicara, kiranya tidak akan kesepian. Mungkinkah dia bisa memikirkan
diriku yang tiada punya tempat meneduh ini?"-Hun Ci-lo anggap Beng Goan-cau sekarang
ditemani sumoaynya Lu Su-bi, di luar tahunya yang sedang menemani siau-sumoaynya Lu Su-bi
justru adalah Song Theng-siau teman baik Beng Goan-cau.
Apalagi ia tidak tahu di mana Beng Goan-cau sekarang berada, sebaliknya kini Beng Goan-cau
sudah tahu jejak dirinya.
Sedang pikirannya melayang-layang, senandung lagu pemuda itu pun sudah berakhir,
terdengar laki-laki jubah kuning itu segera bertepuk seraya memuji: "Nadanya tinggi dan jernih,
berisi lagi, sayang di tempat ini sulit dicari seorang ahli musik, terpaksa biarlah aku orang tidak
mengenal seni ini memberi penilaian kepadamu. Entah siapakah orang yang kau rindukan itu
lote?"" Merah muka si pemuda, katanya: "Paman Miao menggoda saja. siautit hanya kebetulan
berdendang lagu itu secara sambil lalu saja, bukan menunjukkan sesuatu yang kenyataan.'"
Laki-laki jubah kuning tertawa besar, katanya: "Aku tidak percaya, putri-putri dari keluarga Siau
dan Cau keduanya sama cantik rupawan, masa kau tidak tertarik pada mereka" He he, hubungan
kita sudah puluhan tahun, di hadapan ayahmu, kau panggil aku paman dan aku pun anggap kau
sebagai keponakan. Tapi kini hanya tinggal kita berduaan, tak perlu kau main sungkan, anggap
saja aku sebagai toakomu yang tua bagaimana" Tidak usah kuatir, bicara saja, kau lebih suka
yang mana, aku bisa menjadi comblang bagi kau."
Pemuda baju putih tertawa, katanya: "Paman Miao seorang perkasa yang tidak terikat oleh adat
istiadat, mana siautit berani menjajarkan diri."
Laki-laki jubah kuning menggeleng kepala, katanya tertawa: "Tak kira pemuda perlente serba
romantis seperti kau ini, wataknya ternyata malu-malu dan pura-pura segala. Baiklah, kau suka
atau tidak panggil aku paman, atau toako, terserah. Tapi kau belum lagi menjawab pertanyaanku,
putri keluarga Siau atau putri keluarga Cau. yang mana yang kau sukai" Sudah jangan pura-pura
kikuk dan malu-malu, katakan saja."'
Perahu yang dinaiki kedua orang ini laju ke depan terbawa arus, kebetulan lewat sejajar
dengan perahu yang ditumpangi Hun Ci-lo, jarak antara kedua perahu kira-kira puluhan tombak,
pembicaraan mereka dapat didengar semua oleh Hun Ci-lo dengan jelas, demikian juga raut wajah
kedua orang itu sudah dilihatnya, tampak pemuda baju putih itu berwajah putih halus lemah
lembut seperti pohon terhembus angin, ditambah pakaiannya yang mewah seperti tokoh
pewayangan di atas panggung saja lagaknya. Sedang laki-laki jubah kuning beralis tebal bermata
besar, berjenggot pendek bermulut lebar bibir tebal seperti mulut singa, sikapnya gagah dan
kereng. Sebagai seorang ahli silat, sekilas pandang Hun Ci-lo tahu bahwa kedua orang ini sama
mem-bekal kepandaian silat, dapatlah diperkirakan bahwa laki-laki jubah kuning itu tentu seorang
kawakan kangouw yang sudah biasa luntang-lantung di Bulim.
Hun Ci-lo sembunyi di dalam perahu, dia mencuri lihat dari belakang kerai yang disingkap
sedikit, sudah tentu kedua orang itu tidak melihat dirinya. Lebih tidak tahu lagi bahwa Hun Ci-lo
sedang mencuri dengar pembicaraan mereka, tapi setelah mendengar pembicaraan mereka, mau
tidak mau tergetar pikirannya.
"Bibiku menikah dengan keluarga Siau, laki-laki jubah kuning mengatakan putri keluarga Siau,
bukan mustahil piaumoayku yang dimaksud. Entah siapa pula putri keluarga Cau itu, didengar dari
pembicaraan mereka mungkin menetap di sekitar Thay-ouw pula," demikian Hun Ci-lo berpikir
dalam hati. Pemuda baju putih sulit membuka kata, laki-laki jubah kuning mengerut kening katanya:
"Sebenarnya kau suka yang mana" Kedua nona itu sama pintar dalam segala bidang, apakah satu
di antara mereka tiada yang mencocoki seleramu?"
"Paman Miao, bukan begitu persoalannya..." sahut si pemuda tertawa.
"Baik, coba katakan. Ingin aku dengar cara bagaimana aku harus bicara?"
"Memang kedua nona itu sama cantik pintar dan berkepandaian silat lagi, mana berani aku
mengatakan tidak menyukai mereka?"
"Ya, itu sudah cukup. Tapi kan harus ada salah satu di antaranya yang lebih kau sukai?"
Usianya jauh lebih tua dari pemuda baju putih puluhan tahun, tapi wataknya ternyata jauh lebih
keras dan tergesa-gesa, belum sempat orang bicara habis ia sudah menukas dengan
pertanyaannya. Perlahan-lahan si pemuda meneruskan: "Kedua nona aku sama suka, tapi aku pun hanya bisa
anggap mereka sebagai adik kecilku saja."
Laki-laki baju kuning bergelak tertawa, sekian lama baru berhenti, katanya: "Untung sekarang
aku tidak sedang mengunyah makanan, kalau tidak makanan dalam mulutku bisa menyemprot
keluar mengotori mukamu. Berapa sih umurmu, paling-paling lebih besar berapa tahun dari
mereka, bicaramu sudah anggap dirimu sudah seorang kawakan" Cara bicara demikian lebih cocok
bagi seleraku. Kau tidak suka nona kecil, masa kau lebih suka nyonya tua setengah umur?"
Merah raut wajah si pemuda, katanya: "Paman Miao selalu berkelakar. Yang benar, aku lebih
suka nona yang bisa tahu urusan."
Laki-laki jubah kuning menggeleng, katanya: "Di kolong langit ini mana ada perempuan yang
serba sempurna, harus cantik, harus pintar, harus bisa bekerja lagi, wah aku si comblang ini jadi
sulit melaksanakan."
"Paman Miao," tiba-tiba si pemuda tertawa geli, "Kau hanya pintar mentertawakan orang lain,
kenapa tidak kau bicarakan dirimu sendiri. Kalau lirikan matamu tidak terlalu tinggi kenapa sampai
sekarang kau belum juga memper-sunting teman hidup" Paman, biarlah aku minta ayah menjadi
perantara bagi perkawinanmu, baik tidak?"
"Wah adikku yang bagus, tak kira lidahmu pun cukup tajam juga, berbalik kau menggoda aku
malah," demikian ujar laki-laki jubah kuning.
"Aku bicara serius. Usiamu lebih tua dari aku, kalau dikatakan aku sudah patut menikah,
bukankah kau lebih harus cepat-cepat pula mencari jodoh?"
Si jubah kuning tertawa besar, ujarnya: "Justru karena paman Miaomu ini sudah terlalu tua,
putri keluarga siapa yang sudi menikah dengan aku?"
"Aku pernah dengar cerita ayah, katanya ayah Kim Tayhiap Kim Tiok-liu yaitu Kim Si-ih baru
empat puluhan lebih menikah, beliau sudah bertunangan dengan ciang-bunjin Bin-san-pay Kok Cihoa
selama dua puluh tahun, baru melangsungkan upacara nikah. Paman Miao, kau sendiri
sekarang belum lagi genap empat puluh, dibanding Kim-locianpwe waktu menikah dulu masih jauh
lebih muda." "Mana bisa aku dibanding dengan Kim-locianpwe. Em, kita tidak usah bicara soal itulah, coba
kau melagukan sebuah nyanyian lain saja."
"Paman Miao," ujar si pemuda, "Liong-ling-kangmu merupakan ilmu tunggal dalam bu-Iim yang
tiada keduanya, silakan kau bernyanyi keras, biar aku mengiringi dengan petikan harpa."
"Aku hanya bisa berkaok dan gembar-gembor sekadarnya, mana bisa nyanyi dan tahu musik
segala. Air tinta dalam perutku pun amat terbatas, mana bisa dibanding kau yang bisa ingat begitu
banyak syair." "Paman Miao biasanya kau bersikap periang dan terbuka, kenapa hari ini bersikap sungkan
terhadapku" Siapa tidak tahu bahwa paman Miao ini seorang cerdik pandai serba bisa dalam
bidang sastra dan ilmu silat!"
"Jangan kau menempel emas di mukaku, biar kupikir sebentar lagu apa yang hendak
kunyanyikan. Kalau aku nyanyi sembarangan jangan kau salahkan bila iringan harpamu tidak
karuan." "Kau sembarangan nyanyi aku pun bisa sembarangan memetik harpaku. Sudah ingat belum
lagu apa yang kau nyanyikan?"
"Tadi kau menyanyikan Kenangan Kekasih, maka biarlah sekarang aku nyanyikan sebuah lagi
'Pujaan Hatiku'." "Baik marilah dimulai, cobalah kau ambil suara dulu." Lalu coba-coba ia petik suara harpanya
untuk mencari nada lagunya.
Tiba-tiba si jubah kuning membuka mulut batuk-batuk beberapa kali, lalu bersuit panjang,
suaranya melengking tinggi menjulang ke langit bergema di tengah angkasa, seolah-olah
gerungan harimau seperti gemboran naga, tiba titik ketinggian lalu menukik turun lagi, semakin
jauh semakin tinggi, laksana derap langkah ribuan kuda, seperti laksaan tentara berderap ke
medan laga, lapat-lapat seperti damparan ombak mengamuk menerpa tepian karang.
Waktu itu perahu mereka sudah lewat jauh mengikuti arus, jaraknya sudah cukup jauh, namun
suara suitan itu masih terasa mendengung di pinggir telinga Hun Ci-lo, kalau toh Hun Ci-lo yang
membekal ilmu silat saja merasakan kehebatan suitan itu, apalagi si tukang perahu, cepat ia
menghentikan mendayung, kedua tangan jarinya menyumpal kedua kupingnya, serunya: "Suitan
orang itu sungguh buruk dan jelek didengar" Hm, mungkin dia sudah gila!"
Hun Ci-lo menjadi geli, pikirnya: "Lwekang orang ini benar-benar sudah cukup mengejutkan.
Konon aliran Hud-bun ada semacam Say-cu-hong-kang, dapat menggunakan suara menyedot
sukma lawannya, Liong-ling-kang orang ini agaknya sejenis dengan Say-cu-hong itu Semula
kuanggap hanya dongeng orang-orang kangouw belaka, tidak nyana hari ini aku melihat dan
mendengar sendiri." Meski sudah menyumpal kupingnya, namun tukang perahu masih sangat menderita, untunglah
suitan itu segera berhenti. Begitu lenyap suara suitan, laki-laki jubah kuning segera mulai dengan
lagunya. Suaranya lantang berisi dan penuh perasaan.
Sambil mendengar, diam-diam Hun Ci-lo memuji dalam hati: "Bukan saja lwekang orang ini
sudah amat tinggi, agaknya dia pun seorang yang punya cita-cita besar." Lalu terpikir pula
olehnya: "Selama delapan tahun ini aku lepas dari pergaulan kangouw, tak kira banyak
bermunculan tokoh-tokoh aneh dan liehay dalam bulim, sungguh pandangan menjadi cupat
pengetahuan pun menjadi cetek."
Habis lagu orang itu, perahunya pun sudah amat jauh dan tidak terdengar pula suara
percakapan mereka. Tukang perahu yang ditumpangi Hun Ci-lo seperti terbebas dari sebuah belenggu, katanya
sambil menarik napas: "Gembar-gembor seperti setan penasaran membuat hatiku gundah, kalau
dia berkaok-kaok lebih lama lagi mungkin aku tidak kuasa lagi mengendalikan perahu."
Hun Ci-lo tersenyum, katanya: "Membuat kau letih saja, untunglah segera sudah sampai ke
tempat tujuan, nanti kupersen lebih banyak kepadamu."
Tak lama kemudian perahu sudah menepi, Hun Ci-lo memberi ongkos sewa lipat ganda kepada
tukang perahu, dengan langkah enteng ia naik ke atas darat. Di saat sinar surya hampir terbenam
di ufuk barat, dia beranjak naik ke Tong-ting-san barat.
Tong-ting-san barat memang tidak setinggi lima gunung lainnya yang kenamaan di Tiongkok,
namun keadaannya yang curam, lembahnya yang subur dan batu-batu cadas di sini amat aneh
bentuknya, memberi kesan dan perasaan lain di dalam sanubari orang. Selepas mata memandang
dari puncak gunung ke alam sekitarnya, permukaan Thay-ouw laksana kaca bening dan tenang,
cahaya surya berkilauan memantul dari pantulan alunan air danau, suasana hening lelap,
pemandangan indah permai. Hun Ci-lo terpesona akan panorama yang menakjubkan ini, terasa
betapa besar lingkungan alam semesta ini.
Pohon buah-buahan tumbuh subur dan penuh sesak saling berjejal meliputi seluruh
pegunungan Tong-ting-san barat ini, bau harum kembang pun menjulang ke angkasa terbawa
angin pegunungan yang sepoi-sepoi, sungguh suatu tempat sejuk yang segar dan nyaman.
Sebetulnya ingin Hun Ci-lo mencari orang untuk tanya jalan, tapi karena hari sudah menjelang
magrib, para petani di atas pegunungan siang-siang sudah pulang ke rumah masing-masing,
sampai nona-nona gunung yang pekerjaannya memetik daun-daun teh pun sudah tidak tampak
lagi, dalam waktu dekat ini ia jadi sulit menemukan seorang pun jua.
Tengah ia beranjak dalam sebuah hutan tiba-tiba didengarnya suara seorang gadis tengah
berseru di dalam hutan: "Di antara mega putih di atas sungai kuning nan jauh," lalu terdengar
pula suara gadis lain menyambuti: "Sebuah kota terpencil di puncak Ban-kiat-san!" lalu disusul
terdengar berdencingnya dua senjata tajam yang saling beradu.
Hun Ci-Jo jadi heran, batinnya: "Nona-nona itu sembari bersenandung sedang beradu pedang,
sungguh luar biasa. Kebetulan malah aku sedang mencari orang untuk tanya jalan kenapa tidak ke
sana menengok mereka."
Karena tidak ingin mengganggu keasyikan orang, diam-diam Hun Ci-lo hendak tanya jalan
kepada mereka setelah pertandingan pedang mereka berakhir baru akan keluar mohon petunjuk
jalan. Maka dengan mengembangkan ginkang tingkat tinggi menginjak salju tanpa bekas, secara
diam-diam ia merunduk-runduk menyelinap masuk ke dalam hutan untuk mencuri lihat
pertandingan pedang mereka. Tapi sekilas pandang kontan ia menjadi terkejut.
Yang sedang bertanding pedang ternyata adalah dua gadis remaja yang sebaya, yang seorang
mengenakan pakaian warna merah jam-bon, sedang yang lain mengenakan serba putih mulus.
Kedua gadis itu sama-sama cantik rupawan, berdiri berhadapan dan sedang saling serang dengan
jurus-jurus pedang yang mereka senandungkan. Yang mengejutkan hati Hun Ci-lo bukan karena
kecantikan mereka atau keserasian pakaian yang mereka kenakan, adalah permainan ilmu pedang
mereka yang benar-benar amat menakjubkan.
Tampak setelah gadis pakaian putih mendendang 'sebuah kota terpencil di Ban-kiat-san' ujung
pedangnya mendadak bergetar, berpentalan kuntum kembang dari sinar pedangnya, beterbangan
di tengah udara, mengurung rapat seluruh badannya, begitu rapat pertahanannya seumpama
hujan angin pun tidak akan dapat menembus masuk, sungguh pertahanan sekokoh tembok baja.
Dan lagi gaya gerak pedangnya pun amat mantap dan kuat, lapat-lapat ada mengandung tipu-tipu
tersembunyi yang bisa balas menyerang dengan dahsyat dalam jangka waktu yang tidak tertentu.
Gerak-gerik tipu permainannya sungguh serasi dengan syair yang didendangkannya.
Gadis baju merah jambon memuji: "Bagus!" disusul ia berdendang lagi di ringi dengan dua
gerak jurus pedang, "Sret, sret" dua tusukan pedang menggunakan gaya Membagi Kembang
Menyampuk Dahan, tipu serangan yang mengandung jurus perubahan yang amat liehay,
kelihatannya lemah gemulai namun mengandung kekuatan yang keras, kelihatannya hanya
merupakan jurus serangan yang amat sederhana, namun kenyataan adalah rangsakan pedang
yang mengandung banyak perubahan yang amat rumit dan sulit dijajaki.
Begitu melancarkan serangan, permainan pedang gadis baju merah jambon tidak putus-putus.
Baru saja Hun Ci-lo merasa kuatir bagi gadis baju putih, terdengar gadis itu pun balas
berdendang, mulut bicara, sementara Ccng-kong-kiam di tangannya itu tiba-tiba bergerak
memutar setengah lingkaran terus melintang, dan "Trang" tepat sekali pedangnya berhasil
menangkis jurus serangan lawannya. Tapi tak urung badannya tergeliat mundur menunjukkan
lubang kelemahannya. Melihat kedua gadis yang bertanding pedang ini sambil bersenandung, diam-diam Hun Ci-lo
membatin dalam hati: "Kiranya jurus pedang mereka digerakkan menurut syair yang mereka
dendangkan, makna dari syair itu mereka kombinasikan dalam gerakan pedang yang indah seperti
menari saja layaknya. Ilmu pedang tingkat tinggi macam ini betul-betul merupakan aliran pedang
tersendiri yang lain dari yang lain dan belum pernah dilihatnya selama ini. Sayang kelihatannya
latihan mereka belum cukup matang, sehingga tidak bisa lancar dan wajar dalam cara
penggunaannya." Mendadak tergerak sanubarinya, pikirnya: "Darimana datangnya dua gadis
rupawan yang berilmu pedang tingkat tinggi berada di Tong-ting-san barat ini" Satu di antara
mereka pasti adalah piaumoayku dari keluarga Siau itu!"
Belum lenyap jalan pikirannya, maka didengarnya gadis merah jambon itu berkata: "Siautoamoay-
cu, kenapakah kau hari ini" Kulihat kau seperti punya pikiran hati apa?" Mimik bicaranya
seperti tertawa tidak tertawa, sepasang matanya yang jeli dengan nanar menatap gadis baju
putih. Merah malu wajah gadis baju putih bersih, sahutnya: "Jangan kau main tebak segala, siapa
bilang aku punya pikiran hati?"
"Lalu kenapa jurusmu yang ketiga tadi kelihatan titik lubang kelemahan yang amat menyolok
sekali?" "Memang aku tidak sepintar otakmu yang cerdik, iatihanku belum lagi matang, hari ini biarlah
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku mengaku kalah kepadamu, kau cukup puas tidak?"
Kata gadis baju merah jambon: "Pertandingan beberapa hari yang lalu, aku selalu kena kau
kalahkan dalam jurus permainan itu melulu, aku sendiri merasa selama ini belum mendapat
kemajuan apa-apa, kenapa hari ini kau kena kuka-lahkan" Watakmu yang keras itu masa mandah
terima dikalahkan oleh orang lain" He he, kurasa dalam hal ini pasti ada apa-apanya yang aneh?"
"Apanya yang aneh?"
Jelilatan mata bening gadis baju merah jambon, dengan lirikan penuh arti ia berkata dengan
nada dibuat-buat: "He he, masa tiada yang aneh" Aku jadi ingin bertanya kepadamu, kenapa
mendadak kau jadi gemar mengenakan pakaian warna putih?"
"Justru pertanyaanmu ini yang aneh, aku suka mengenakan pakaian warna apa peduli amat
pada kau" Apakah ada sesuatu yang kurang benar?"
"Belum tentu demikian, mungkin karena si dia pun suka mengenakan pakaian putih, maka kau
pun ikut-ikutan, benar tidak?"
Gadis baju putih menjadi jengkel, semprotnya: "Apa-apaan maksudmu ini?"-Nadanya
kedengaran tidak wajar, air mukanya pun berubah ketus.
Gadis baju merah jambon berkata dingin: "Tan-jikongcu dijuluki Pek-bau-kiam-khek. Sebelum
dia datang, belum pernah kudengar kau mengatakan menyukai warna putih metah!"
"Kau, apa katamu" Kau sangka aku hendak mencari hati kepada Tan-kongcu itu."
"Hatimu sendiri yang paham," jengek gadis baju merah jambon. "Memangnya Tan-kongcu dari
keluarga persilatan yang kenamaan, ayahnya adalah Tan Thian-ih, engkohnya adalah Tan Kongcau,
ilmu silat dan ilmu sastra Tan-jikongcu sendiri pun boleh dibanggakan, mana bisa engkohku
dibandingkan dia, tidaklah heran bila ada orang yang suka yang baru melupakan yang lama!"
demikian sindirnya. Berpikir Hun Ci-lo: "Kiranya pemuda yang memetik harpa itu adalah putranya Tan Thian-ih,
kedua gadis ini sedang bertengkar karena jelus terhadap pemuda tampan itu. Tapi maksud
mereka agaknya menjadi kabur karena daun jatuh ada maksud, air berlalu tiada membawa cinta."
Ternyata Tan Thian-ih adalah seorang bulim cianpwe yang berkedudukan tinggi dan
terpandang serta disanjung puji oleh sesama kaum persilatan, beliau sama kedudukan dan sama
tingkat dengan ayahnya Kim Tiok-liu yaitu Kim Si-ih. Tan Thian-ih punya dua orang putra. Putra
pertama Tan Kong-cau merupakan tokoh kenamaan di kalangan kartgouw juga, usianya sudah
mendekati empat puluh tahun. Anaknya bungsu dilahirkan di waktu Tan Thian-ih sudah mencapai
umur pertengahan, tahun ini baru berusia duapuluhan tahun. Keluarga Tan tinggal di Bok-siusiang
yang terletak di pinggir Thay-ouw, termasuk warga kota Soh-ciu bersama keluarga Song dari
leluhur Song Theng-siau. Kedua keluarga sama-sama keluarga persilatan pula, di waktu ayah Song
Theng-siau masih hidup, Song Theng-siau pernah ikut ayahnya bertamu ke rumah keluarga Tan.
Maka Hun Ci-lo juga pernah dengar perihal keluarga Tan ini dari cerita Song Theng-siau.3'
Mendengar sampai di situ sedikit banyak Hun Ci-lo sudah dapat menyimpulkan sesuatu. Bahwa
gadis baju putih she Siau, tidak perlu disangsikan lagi pasti adalah piaumoaynya.
"Pemuda she Cau yang dituturkan Siau-gu-ji itu, mungkin adalah abang dari gadis baju merah
jambon ini. Engkohnya itu menyukai piaumoayku, mungkin belum ada ikatan perjodohan, kini
piaumoay ternyata jatuh hati pada Tan kongsi, sudah tentu gadis baju merah jambon merasa
penasaran dan marah bagi engkohnya," demikian batin Hun Ci-lo.
"Keduanya sama kusukai, tapi aku hanya bisa anggap mereka sebagai adik kecilku saja."
Teringat kata-kata pemuda jubah putih itu, tanpa merasa Hun Ci-lo tertawa getir bagi
pertengkaran yang lucu ini.
Menurut rencana Hun Ci-lo begitu pertandingan pedang kedua gadis ini selesai segera ia
hendak unjukkan diri, untuk berkenalan dengan piaumoaynya ini, secara tidak sengaja ia sudah
mencuri dengar rahasia relung hati mereka, ia jadi kurang enak untuk segera muncul pada waktu
itu juga. Gadis baju merah jambon mendesak demikian rupa, kata-katanya memang rada menusuk
perasaan, apa lagi kata-kata 'mendapat yang baru melupakan yang lama', keruan berganti-ganti
air muka gadis baju putih, merah- hijau dan pucat, tak tahan lagi ia sudah hampir meledak
kemarahannya. Sejak kecil kedua nona ini memang sudah biasa dimanjakan dan diumbar secara bebas, gadis
baju merah jambon merasa sirik dan dongkol tak tahan ia limpahkan perasaan hatinya secara
gamblang, tanpa kepalang tanggung malah ia menambahkan: "Tepat mengenai borok hatimu
bukan. Huh. Kau marah pun aku tidak takut, aku harus bicara secara blak-blakan, engkoh-ku
bersikap begitu baik kepadamu, namun sekarang kau begitu cepat lantas kena penyakit rindu
terhadap orang luar yang baru saja kau kenal, apakah sikapmu ini dapat kau pertanggung
jawabkan kepada engkohku?"
Memang kemarahan gadis baju putih sudah hampir meledak, mendengar nistaan yang begitu
memalukan dan menusuk perasaan, seperti api disiram minyak, seketika berkobar besar
amarahnya, jengek-nya dingin: "Kenapa pula bila eng-kohmu memang baik dengan aku" Coba kau
tanyakan kepada dia, pernahkah aku meluluskan sesuatu kepadanya" Tapi kau pun tidak perlu
kuatir, aku tidak akan berebut kekasih dengan kau?"
"Kau, apa katamu?" damprat gadis baju merah jambon dengan muka beringas.
"Isi hatimu kau kira dapat mengelabui aku?" demikian balas sindir gadis baju putih. "Kau sendiri
yang ingin menikah dengan Tan-kongcu itu, kau kira aku tidak tahu" Hm, jauh-jauh mengundang
Miao Tiang-hong untuk menjadi comblang, sayang orang tidak suka kepadamu!"
Olok-olok ini pun cukup pedas, keruan gadis baju merah jambon naik pitam, alisnya berdiri,
semprotnya tertawa dingin: "Lalu dia penujui kau ya?"
"Kau kira aku tidak tahu malu seperti kau, menyuruh orang tuanya mengundang orang bertamu
ke rumahnya sendiri."
"Kau, kau, coba kau katakan lagi, katakan lagi..." damprat gadis baju merah jambon
berjingkrak gusar. Setelah bicara dan melihat sikap orang, baru gadis baju putih menyadari mulutnya terlalu
mengumbar adat, diam-diam ia merasa menyesal, namun melihat gadis baju merah jambon naik
pitam, dia pun tidak mau unjuk kelemahan: "Anggapmu aku tidak berani mengatakan. Apakah kau
hendak ajak berkelahi?"
"Siau Gwat-sian!" bentak gadis baju merah jambon. "Kau kira aku takut menghadapi kau! Baik,
loloskan pedangmu, mari kita lanjutkan pertandingan ini."
"Cau Ci-hwi!" gadis baju putih juga tidak kalah perbawa. "Tadi kau mengolok latihan ilmu
pedangku kurang matang, memang aku ingin mohon petunjuk dari kau, mari kita lanjutkan
pertandingan ini secara sungguh-sungguh! Nah, bertanding ya bertanding memangnya kau
anggap aku takut kepadamu?"
Begitulah damprat mendamprat, keadaan kaku ini menjadi tegang seperti anak panah yang
sudah dipentang di atas busur tidak bisa tidak harus dilepas, kedua pihak sama-sama melolos
pedang, ternyata bukan main-main mereka bertempur secara sungguh-sungguh. Maka
terdengarlah benturan senjata berulang-ulang, sekejap saja kedua pedang mereka sudah saling
bentur tujuh delapan belas kali.
Gadis baju merah jambon me-rangsak dengan sengit, pedangnya menyerang dari kiri dan
kanan, tipu-tipu pedang yang didendangkan tadi sekaligus dilancarkan dengan gencar, tapi gadis
baju putih pun bertahan dengan kokoh kuatnya, permainan pedangnya pun menggunakan tiputipu
pedang yang dimainkan mengiringi bunyi syair yang didendangkan tadi, namun di samping
membela diri ia pun balas menyerang. Masing-masing menggunakan dua jurus serangan, namun
keempat jurus serang-menyerang ini jauh berbeda dari permainan latihan tadi.
Hun Ci-lo jadi berpikir: "Tak heran Tan Kong-si anggap mereka masih berjiwa kanak-kanak,
masih belum tahu urusan. Kalau keributan ini dilanjutkan terus mereka pasti akan semakin kalap,
tidak mungkin aku berpeluk tangan saja."
Di saat Hun Ci-lo hendak keluar melerai inilah, tiba-tiba ada seorang menerobos keluar dari
hutan sebelah sana, serunya: "Wah ramai benar pertempuran ini, sungguh bagus. Ayo serang,
gasak saja! Eeh, kenapa tidak diteruskan" Apakah tamu tidak diundang aku ini mengganggu
kalian?" Hun Ci-lo sembunyi di belakang sebuah pohon mencuri lihat, tampak seorang laki-laki besar
yang mengenakan topi kulit biruang yang lancip tinggi, mengenakan mantel berbulu dari kulit
musang, punggungnya melembung besar, terang ia menyoreng senjata, yang disembunyikan di
balik mantelnya itu. Hun Ci-lo rada terkejut, batinnya: "Kapan orang ini tiba di sana, sedikit pun aku tidak tahu."
Soalnya perhatiannya terlalu ditumpahkan kepada kedua gadis yang sedang bertempur itu. Tapi
bahwa laki-laki ini bisa muncul di pinggir gelanggang baru bisa diketahui olehnya, sudah tentu
kepandaian silatnya tidak sembarangan.
Sebetulnya Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi sudah tidak ingin melanjutkan lagi, kini diganggu
pula oleh kedatangan orang asing ini, kebetulan mereka lantas menghentikan pertempuran.
Keduanya sama-sama menarik pedang dan mundur selangkah serta membentak: "Siapa kau?"
Kata laki-laki itu: "Kalian sudah cukup belum bertempur" Bagus, sekarang aku bisa tanya
kepada kalian!" "Apakah sudah tuli?" semprot Siau Gwat-sian. "Kutanya kau, siapa kau" Kau dengar tidak?"
"Sudah dengar. Tapi aku harus tanya kalian lebih dulu, setelah kalian menjawab pertanyaanku
baru kujawab pertanyaanmu!"
Siau Gwat-sian menggenggam gagang pedang dengan kencang, pedang melintang di depan
dada, matanya mendelik gusar, dengusnya: "Kau ini barang apa, berani bertingkah di tempat ini."
Cau Ci-hwi sendiri juga menjadi uring-uringan, namun ia berlaku rada kalem, katanya marah:
"Adik Siau, biar kita dengar dulu apa yang hendak dia tanyakan."
Kata laki-laki itu: "Apakah Miao Tiang-hong datang kemari bersama Tan Kong-si, pernah
bertamu dan menginap di rumah kalian bukan?"
"Kalau benar mau apa" Kalau tidak, kau mau apa pula?" tanya Cau Ci-hwi.
"Ke mana dia sekarang" Apakah pulang ke rumah keluarga Tan lagi?" tanya laki-laki itu lebih
lanjut. "Kau bertanya begitu berbelit-belit, apa tujuanmu?" jengek Cau Ci-hwi.
Laki-laki itu menyeringai, katanya dingin: "Sekarang, akulah yang bertanya kepada kalian, kalau
tahu diri kalian budak-budak kecil ini harus menjawab pertanyaanku dengan baik, kalau tidak..."
"Hwi-ci, masa kau mandah terima dihina begini. Main ancam segala, hm, kalau tidak kau mau
apa?" damprat Siau Gwat-sian.
"Kalau tidak bicara secara terang-terangan mengenai jejak Miao Tiang-hong, ayah bunda kalian
pun akan terseret di dalam persoalan ini."
Mendadak Cau Ci-hwi tertawa dingin, "sret" pedangnya lantas menusuk kepada orang, serunya:
"Aku sih ingin menjawab, cuma pedangku ini tidak kenal siapa kau, boleh kau tanya kepadanya
lebih dulu."-Ternyata Cau Ci-hwi berwatak lebih berangasan, ia tidak tahan lagi mengendalikan
amarahnya. Pertama ia merasa tertarik, kedua ia pun ingin mempermainkan laki-laki ini, maka dia
suka dengar pertanyaan yang bertumpuk-tumpuk itu.
Cau Ci-hwi seumpama kuda pingitan yang belum pernah kelana jauh dari rumahnya, biasanya
kalau latihan pedang bersama engkoh-nya, engkohnya selalu mengalah kepadanya, para tamu
yang sering datang hilir mudik pun suka memuji kepandaiannya cukup hebat, dikatakan tunas
muda yang berkecimpung di dunia persilatan jarang yang setanding dengan kepandaiannya
sekarang, dia percaya semua obrolan-obrolan dan puji-pujian orang-orang itu, di saat melancarkan
serangan, dalam hati masih takut-takut, kuatir cara turun tangannya tidak mengenal batas, sekali
tusuk ia bikin mampus laki-laki ini. Maka ia membatin: "Lebih baik membikinnya terluka sedikit
saja, mengampuni jiwanya untuk ditanyai keterangannya."
Di luar tahunya bahwa laki-laki besar ini ternyata adalah seorang ahli silat dalam kalangan
bulim, meski latihan ilmu pedang Cau Ci-hwi tingkat tinggi yang liehay, sayang lwekangnya masih
terlalu rendah, kalau dibanding lawannya, terpautnya amat jauh sekali.
Begitu Cau Ci-hwi menusuk dengan pedangnya, laki-laki besar itu bergelak tertawa, serunya:
"Budak cilik yang belum tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, biar kau tahu keliehayanku."
Menanti ujung pedang sudah dekat hampir mengenai badannya, tiba-tiba ia selentik-kan jari
tengahnya, "creng" pedang Cau Ci-hwi kena diselentik dan terpental miring, seketika ia rasakan
telapak tangannya pedas dan sakit bukan main, hampir saja ia tidak kuasa memegangi pedangnya
lagi. "Hwi-ci jangan gugup!" segera Siau Gwat-sian berseru sambil menubruk maju. "Biar kubantu
kau!" Tusukan pedangnya menyambar deras mengeluarkan deru angin.
Dalam hati diam-diam Hun Ci-lo memuji: "Meski usia piaumoay lebih muda, namun ilmu
pedangnya ternyata lebih matang dan mahir dari nona Cau!"
Laki-laki itu pun tercekat hatinya, pikirnya: "Nona cilik ini ternyata tidak boleh dipandang
rendah." Mundur selangkah tiba-tiba ia membalik badan, mendadak ia lancarkan pukulan tangan
terobosan, kepalannya menjurus ke atas menghantam ke muka orang. Jurus pukulan ini punya
nama khusus yaitu Jong-thian-bau (bom menembus langit), cara pukulannya keras menggunakan
tenaga kasar lagi, maka dapatlah diperkirakan perba-wanya. Meski ilmu pedang Siau Gwat-sian
tidak lemah, sedikit pun tidak punya pengalaman menghadapi musuh tangguh, kapan ia pernah
melihat atau menghadapi cara pertempuran yang garang dan ganas macam ini, keruan hatinya
menjadi gugup. Cepat Cau Ci-hwi berteriak: "Gunakan jurus Sebuah Kota Terpencil! Adik Siau, mari kita
menyerang dan menjaga bergantian, gempur dia dari dua jurusan tidak usah takut!"-Memang
kematangan ilmu pedangnya tidak sebanding Siau Gwat-sian, tapi hatinya lebih tabah dan besar
nyalinya, meski tadi hampir saja kena dikerjai lawan, namun sikapnya amat tenang, setelah
mundur segera ia merangsek maju lagi lebih gencar. "Cras!" ujung pedangnya menusuk tiba pula
dengan gaya rada miring, ujung pedangnya langsung menusuk ke depan dengan cara serangan
yang ganas dan keji, yang digunakan adalah jurus permulaan dari ilmu pedang yang dilatihnya
tadi. Karena peringatan itu lekas Siau Gwat-sian mengempos semangat, sebat sekali ia gunakan
Hong-tiam-thau, berkelit seraya mengubah jurus permainannya, tahu-tahu Ceng-kong-kiam
bergerak mem-bundar satu lingkaran, seketika berpetalah sinar pedang berkeredep membawa
sambaran hawa dingin, penjagaan yang rapat diselingi serangan yang cepat pula, begitu rapat
pertahanannya, tidak tertem-buskan oleh hujan badai pun.
Diam-diam Hun Ci-lo memuji dalam hati: "Bagus! Jurus pedang piaumoay ini dilancarkan jauh
lebih bagus dari latihannya tadi. Kalau begitu, di waktu latihan tadi memang pikirannya tidak
tenang. Jadi tuduhan nona Cau itu ternyata tidak semena-mena."
Laki-laki itu pun seorang ahli silat, melihat Siau Gwat-sian lancarkan jurus pedang yang
mengandung pertahanan kokoh kuat ini, jotosannya itu jadi tidak berani diteruskan. Cepat ia
merubahnya dengan gaya Jiu-hwi-bi-ba (jari-jari memetik senar harpa), sekaligus ia sampuk
pergelangan tangan Cau Ci-hwi, berbareng badannya berputar, mengebaskan lengan bajunya,
sekaligus ia menyampuk miring ujung pedang Siau Gwat-sian.
Kepandaian silat orang ini cukup tinggi, namun di bawah rang-sakan gencar Siau dan Cau
berdua dari dua jurusan, melawan dengan bertangan kosong lagi, lama kelamaan ia merasa
kewalahan juga. Semula Hun Ci-lo sudah siap menerjunkan diri, setelah melihat mereka di pihak
yang unggul, ia menghela napas lega, dengan segala perhatian ia menyaksikan dengan cermat.
Tadi Cau Ci-hwi diolok-olok orang, begitu ia berada di atas angin ia jadi takabur, jengeknya
dingin: "Mulut bicara besar, ternyata hanya begini saja kemampuanmu! Hm, hm, ingin aku lihat
siapakah yang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi!"-Tidak tahu tingginya langit dan tebalnya
bumi adalah kata olok-olok yang digunakan laki-laki tadi, kini ia membalas olok-olok menggunakan
istilah yang sama. Mulut bicara sementara gerak permainan pedangnya sedikit pun tidak menjadi kendor
karenanya, dalam kejap bicara itu, beruntun Cau Ci-hwi sudah melancarkan tujuh serangan
berantai. Sebaliknya sambil menjaga diri permainan pedang Siau Gwat-sian mengandung tipu-tipu
penyerangan pula, beruntun dia pun sudah lancarkan empat jurus sembilan tipu rang-sakan. Pada
jurus terakhir mereka menemukan titik keserasian kerja sama yang amat ketat, begitu hebat dan
indah sekali perpaduan jurus-jurus ilmu pedang yang dilancarkan bersama ini, maka terdengarlah
suara "Brett" yang panjang, lengan baju orang itu kena terpapas sobek sebagian besar, di mana
sinar pedang berkelebatan amat cepatnya cuilan kain itu seketika kena terpapas hancur
beterbangan seperti kupu-kupu melayang di tengah udara.
Mendadak laki-laki itu mencelat keluar dari gencetan perpaduan rangsakan pedang yang liehay
itu, bentaknya marah: "Biar budak-budak cilik seperti kalian ini rasakan keliehayanku!"
Baru saja Cau Ci-hwi hendak mengejar, tampak olehnya orang itu sudah keburu mengeluarkan
sepasang boan-koan-pit, dengan tangan bersenjata, seperti harimau kelaparan laki-laki itu segera
menyerbu dengan garangnya.
Begitu membagi sepasang senjatanya, yang kiri langsung meno-tok ke Hiat-to Ki-bun-hiat Cau
Ci-hwi, sementara senjatanya yang kanan menotok Hiat-hay-hiat Siau Gwat-sian. Terdengarlah
"trang, trang" dua kali, dua batang Ceng-kong-kiam berhasil disampuknya terpental ke samping.
Begitu laki-laki ini melancarkan ilmu potlofnya, posisi pertempuran seketika berubah sama
sekali, cukup sejurus saja, bukan saja ia berhasil memunahkan rangsakan pedang kedua
lawannya, beruntun ujung potlotnya malah mengancam dua jalan darah di tubuh mereka. Caranya
yang tepat dan ganas sungguh amat mengejutkan, Hun Ci-lo yang menonton dari tempatnya
sembunyi jadi terkejut. Beruntun terdengarlah benturan senjata yang nyaring berulang-ulang, begitu keras sampai
memekakkan telinga. Memang jurus permainan pedang Siau Gwat-sian amat rapat
pertahanannya, tapi toh kena dijebol berantakan, suara benturan keras itu berbunyi di saat potlot
lawan berhasil membobol pertahanannya, di mana pedang dan potlot saling beradu dengan keras,
seketika kedua senjata itu sudah saling bentur tujuh belasan kali.
Orang itu tertawa dingin, jengeknya: "Hah! Kukatakan kalian tidak tahu tingginya langit
tebalnya bumi, tidak salah bukan penilaianku" Tapi aku jadi bingung sendiri entah siapa di antara
kalian yang harus kugondol pergi, sulit aku ambil pilihan!"
Tiba-tiba Cau Ci-hwi berteriak: "Ayah, ada orang menganiaya putrimu, lekaslah datang!"
Siau Gwat-sian pun ikut berteriak: "Ibu, lekas bantu aku!"
Orang itu tertawa dingin, ejeknya: "Kaok-kaok kau panggil ayah bunda pun tidak berguna,
kecuali kalian menjelaskan jejak Miao Tiang-hong kepadaku, kalau tidak salah satu di antara kalian
harus kubawa pergi, dengan kalian sebagai sandera, masa aku tidak bisa menemukan jejak Miao
Tiang-hong. Nona cilik, kau mau menjelaskan tidak" Nona cilik kau mau menerangkan tidak?"
Batang potlotnya mendadak menuding ke arah Cau Ci-hwi, tiba-tiba potlotnya yang lain menusuk
kepada Siau Gwat-sian, beruntun ia menggerakkan senjatanya sambil mengajukan pertanyaannya.
Cau Ci-hwi mengertak gigi, dia melawan dengan tabah, adalah Siau Gwat-sian yang naik pitam,
makinya: "Kentutmu busuk, kau kira kami sudi menjual kawan minta ampun kepadamu, jangan
kau mimpi di siang hari bolong!"
"Bagus!" seru orang itu. "Budak kau ini bermulut lebih tajam, aku justeru ingin bicara
kepadamu, mari kau saja yang ikut aku!"-Tiba-tiba ia pukulkan kedua potlotnya sendiri, sekaligus
ia berhasil menangkis jatuh pedang Siau Gwat-sian. Begitu senjata Siau Gwat-sian kena dilucuti
segera ia, putar tubuh hendak lari. Laki-laki itu segera membentak: "Lari ke mana kau?" Seperti
elang kelaparan menubruk kelinci, tubuhnya tiba-tiba berkelebat ke depan mengejar di belakang
Siau Gwat-sian, kedua senjatanya dipindahkan ke tangan kanan, cepat tangan kiri diulurkan
meraih ke depan mencengkeraan ke tulang pundak Siau Gwat-sian. Cepat-cepat Cau Ci-hwi
memburu maju, dia sudah terlambat setindak.
Hun Ci-lo mengeluh dalam hati, baru saja ia hendak menyambitkan sebuah uang tembaga yang
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah digenggamnya sejak tadi, tiba-tiba didengarnya seorang membentak: "Menganiaya anak
perempuan terhitung orang gagah macam apa kau!"--Lenyap suaranya orangnya pun sudah tiba,
laksana anak panah melesat datang langsung menerjang ke arah laki-laki.
"Toako!" teriak Cau Ci-hwi. "Syukurlah kau datang, hati-hati! Awas ilmu totoknya liehay!"
Ternyata pendatang ini adalah engkohnya yang bernama Cau Ho-lian.
Senjata yang digunakan Cau Ho-lian adalah sebatang pedang yang berpunggung tebal dan
berat, mengayun pedangnya digunakan membacok seperti golok umumnya, langsung ia
menyerang ke batok kepala orang itu. Melihat serangan yang keras dan ganas ini, tak sempat lagi
orang itu mencengkeram kepala Siau Gwat-sian, lekas ia membagi kedua senjatanya di kedua
tangannya, dengan jurus Ki-hwe-liau-thian (angkat obor menerangi langit), ia menyongsong ke
arah bacokan pedang lawan.
Berpikir Hun Ci-lo: "Pemuda ini menerjang kalap tanpa hiraukan keselamatan sendiri, sepak
terjangnya memang gagah dan berani, cuma sayang tidak punya akal, mungkin dia pun bukan
tandingan orang itu."
Belum lenyap jalan pikirannya, didengarnya suara "trang!" yang keras, bunga api beterbangan.
Pedang panjang tebal Cau Ho-lian tergumpil sedikit, kena disampuk keluar oleh tangkisan
sepasang potlot lawan. "Bagus," seru orang itu. "Kau meluruk datang mau unjuk gagah-gagahan, ingin aku lihat
betapa, tinggi kepandaianmu?" Kedua potlotnya bergerak cepat ke kiri ke kanan seperti orang
sedang bercocok tanam di ladang, begitu berhasil menyampuk miring pedang lawan, tanpa ampun
segera ia melancarkan serangan ganas yang mematikan.
Mau tidak mau Hun Ci-lo terkejut pula dibuatnya, batinnya: "Agaknya permainannya itu adalah
Keng-sin-pit-hoat yang pernah dituturkan ayah kepada aku itu!" Ternyata Keng-sin-pit-hoat adalah
i}mu potlot tunggal dari keluarga Lian di Hopak, merupakan ilmu potlot peranti menotok jalan
darah yang tiada taranya dan tiada bandingannya di dunia persilatan. Ayah Hun Ci-lo hanya
pernah dengar cerita orang lain, paling-paling hanya tahu sedikit kelie-hayannya, beliau sendiri
pun belum pernah melihat secara langsung.
Letak keliehayan Keng-sin-pit-hoat ini pada setiap kali totok sekaligus ia dapat melukai urat
nadi dan jalan darah lawan, betapapun tinggi lwekang orang tidak akan mampu bertahan dari
totokan ini. Tipu permainan dari rangkaian ilmu totok potlot ini terletak pada Su-pit-tiam-pat-meh
(empat potlot menotok delapan urat nadi), jurus ini harus dilancarkan dengan gabungan dua
orang, kerja sama dari empat potlot dalam satu jurus sekaligus dapat menotok dan melukai urat
nadi lawannya dalam waktu yang bersamaan. Keluarga Lian mengandal kemahirannya ini malang
melintang dan meninggalkan nama harum di bulim, selama malang melintang itu hanya ayah Kim
Tiok-liu yaitu Kim Si-ih seorang saja yang dulu mampu memecahkan Su-pit-tiam-pat-meh dari
Keng-sin-pit-hoat itu. Untunglah Su-pit-tiam-pat-meh ini harus dilancarkan bersama oleh dua orang, seorang saja
tidak akan mampu digunakan. Namun demikian, jurus permainan Su-pit-tiam-pat-meh orang ini
cukup membuat Cau Ho-lian, pemuda hijau yang belum cukup pengalaman ini tidak mampu
menandinginya. Kedua potlot orang itu menusuk ke depan dengan bersilang, kini mendadak ditarik balik terus
berkembang kedua samping, yang kiri menotok lima jalan darah di urat nadi Jin-tok, sementara
yang kanan menotok empat jalan darah dari dua urat nadi Siau-yan dan Yang-bin, asal satu di
antara sekian jalan darah yang di ncar terkena totokan ujung senjatanya, kalau tidak mati paling
tidak Cau Ho-lian pasti terluka parah. Karena urat nadi yang dijadikan sasaran itu adalah urat
penting yang langsung menembus ke hati dan jantung, sekali terluka dalam maka dapatlah
dibayangkan akibatnya pasti sangat fatal.
Di saat gawat yang hampir menentukan jiwa Cau Ho-lian itulah, keadaan yang amat berbahaya
itu, mendadak terdengar suara "Ting", sebuah uang tembaga menyambar datang tepat sekali
membentur potlotnya yang hendak menotok jalan darah Bing-bun-hiat di tubuh Cau Ho-lian
tersampuk miring, dalam waktu yang bersamaan Ceng-kong-kiam Cau Ci-hwi pun sudah menusuk
tiba mengarah punggungnya.
Bercekat hati orang itu. bentaknya: "Budak busuk kau ini juga main timpuk senjata rahasia,
memangnya kau sudah bosan hidup ya!" "
" Dia menyangka senjata rahasia itu adalah timpukan Cau Ci-hwi, keruan ia jadi keheranan,
pikirnya: "Budak ini berkepandaian silat rendah, mungkinkah tadi dia sengaja tidak mau pamer
kepandaian simpanannya?""Tusukan pedang Cau Ci-hwi menggunakan tipu Giok-li-to-soh, ujung
pedangnya sudah mengancam Hong-hu-hiat di punggungnya, lekas ia putar balik sebatang
potlotnya menangkis, "trang", Ceng-kong-kiam di tangan Cau Ci-hwi tidak kuasa lagi dipegangnya,
terbang lepas ke tengah udara.
Baru sekarang Hun Ci-lo unjukkan diri, jengeknya: "Akulah yang lepas senjata rahasia!"
Kedatangan Hun Ci-lo yang tak terduga-duga ini membikin dua pihak yang bertempur melengak
heran. Sambil melirikkan matanya orang itu berkata kepada Hun Ci-lo: "Siapa kau turut campur
urusan kami" He, he, perempuan ayu seperti bidadari macam kau, aku jadi segan melukai kau!"
Berdiri alis Hun Ci-lo, katanya tawar: "Nona Cau, sementara kuharap kau mundur ke samping,
rawatlah luka-luka engkohmu." " " Mendadak ia membentak: "Keng-sin-pit-hoat yang kenamaan
di kolong langit itu kenapa buat menggertak nona-nona cilik, apakah tidak membikin pamor
keluarga Lian kalian disapu bersih oleh perbuatan rendahmu ini " Mari biar aku mohon petunjuk
ilmu leluhurmu yang liehay, silakan kau keluarkan semua kemampuanmu bila mampu melukai
aku!" Orang itu tertawa, katanya: "Perempuan bawel seperti kau ini ternyata besar mulut, baik, biar
aku pun berkenalan dengan kepandaianmu."
Belum suaranya hilang, Hun Ci-lo sudah mengayun pedangnya ke tengah udara,
berkembanglah titik-titik sinar pedang menyerupai kuntum bunga, tahu-tahu selarik sinar putih
menukik turun terus menusuk ke arah orang itu.
Jurus Liu-sing-cui-goat ini kelihatannya dimainkan secara sederhana dan biasa saja, namun di
situlah letak intisari keampuhan Sip-hun-kiamhoat dari keluarga Hun, secara tidak terduga dalam
tipu permainan yang sederhana itu tersembunyi tipu sergapan yang amat liehay, jauh berlainan
dengan jalan permainan ilmu pedang golongan atau aliran partai pedang lainnya. Tampak ujung
pedangnya tergetar memetakan tiga kuntum sinar kembang, ke sebelah kiri menusuk Pek-hayhiat,
kanan menusuk Ih-gi-hiat, yang yang menjurus ke tengah menusuk ke Sian-ki-hiat. Meski
belum membandingi Siang-pit-tiam-su-meh orang itu, namun dalam sejurus saja sekaligus dapat
mengancam sembilan jalan darah pada dua urat nadi yang mematikan, sekali tusukannya,
mengambang sulit diraba sasaran yang diarahnya, kelihatannya ke kiri tahu-tahu ke kanan,
demikian bolak-balik membuat orang bingung, gerak perubahannya yang aneh ini, jelas bahwa
kiamhoatnya ini terang lebih unggul dari Pit-hoat permainan lawannya.
Ujung potlotnya tadi kena ditimpuk oleh uang tembaga Hun Ci-lo, diam-diam orang itu sudah
menginsyafi bahwa kepandaiannya pasti jauh di atas ketiga lawan ciliknya tadi, namun ia masih
belum tahu bahwa ilmu pedangnya ternyata sedemikian liehay dan menakjubkan, sekilas
dilihatnya cahaya putih menyilaukan mata, keruan bercekat hatinya, pikirnya: "Mungkinkah Siphun-
kiamhoat dari keluarga Hun" Sungguh hebat dan liehay benar." Tersipu-sipu ia lintangkan
kedua potlotnya untuk menangkis, terdengarlah suara nyaring sambung menyambung, kedua
pihak sama merasakan tenaga dalam lawan yang menggetar telapak tangan masing-masing.
Potlot orang itu kena tergores memanjang oleh pedang pusaka, pergelangan tangannya terasa
sakit, lekas ia kerahkan tenaga dalamnya, menggunakan tenaga sentakan, ia sam-puk terlepas
pedang pusaka Hun Ci-lo. Sementara tergetar oleh tenaga perlawanan lawan, Hun Cilo sendiri pun
merasa pemapasannya rada sesak, dalam hati ia membatin: "Aku harus menggunakan pedang
kilat menyerangnya!"
Bicara lambat kenyataan amat cepat sekali, pedang pusaka Hun Ci-lo melayang membundar,
menghilangkan tenaga sentakan lawan, dengan sejurus Surya Membundar Tenggelam di Ujung
Sungai Panjang, sinar pedangnya seperti gelang-gelang besar kecil berputar, tahu-tahu menyapu
keluar terus menggulung ke pinggang lawan. Kedua potlot orang itu terpental bersilang, yang
kanan ke arah kiri sementara yang kiri tertuju ke arah kanan, dengan sejurus Coh-yu-kay-kong
(kanan kiri mementang busur), balas menyerang untuk membela diri, beruntun ia berhasil
mematahkan tiga rangkaian serangan pedang Hun Ci-lo yang amat liehay.
Cau Ci-hwi insyaf bahwa kepandaian sendiri terlalu tidak becus, apalagi senjata sudah terlepas,
untuk membantu Hun Ci-lo tidak mungkin bisa dan tidak perlu, dilihatnya pula Hun Ci-lo mampu
menandingi laki-laki itu, maka dengan berlega hati ia mundur melihat keadaan engkohnya.
Cau Ho-lian menggayut membelakangi sebatang pohon besar, mukanya pucat, lengan bajunya
berlepotan darah. Sekali pandang jelas diketahui bahwa dia sudah terluka.
Ternyata timpukan mata uang Hun Ci-lo meski tepat menyampuk miring ujung potlot orang itu,
namun karena lwekang mereka setanding, betapapun kekuatannya belum mampu menahan daya
serangan orang itu, maka lengan kanan Cau Ho-lian tidak urung tergores luka juga oleh ujung
potlot yang runcing itu sepanjang tiga dim. Tapi untung juga potlot musuh tersampuk menceng
oleh timpukan mata uang Hun Ci-lo, sehingga Cau Ho-lian terhindar dari kena jalan darahnya yang
mematikan, lukanya pun hanya luka kulit yang amat ringan.
Cau Ci-hwi amat prihatin akan keselamatan engkohnya, keruan ia menjadi kaget melihat darah
yang membanjir keluar itu, tanyanya : "Koko, bagaimana keadaanmu?"
Cau Ho-lian tertawa getir, sahutnya: "Tidak apa-apa, kalian tidak kurang suatu apa, aku
menjadi lega hati." "Adik Siau, dia terluka karena kau, ayo lekas membalut lukanya!" demikian teriak'Cau Ci-hwi.
Sikap Siau Gwat-sian serba kikuk dan malu-malu karena perang mulutnya tadi, nada bicara Cau
Ci-hwi seolah-olah menyalahkan dirinya pula, ia jadi lebih tidak enak. Tapi melihat Cau Ho-lian
terluka karena dirinya, hatinya menjadi gugup dan menyesal, meski rasa kikuk, terpaksa ia datang
menghampiri serta mengeluarkan obat hendak membalut luka-lukanya itu.
Tiba-tiba Cau Ho-lian menje-ngek dingin, katanya: "Tak usah merepotkan kau, kau punya obat,
biarlah aku balut sendiri!"
Cau Ci-hwi tertegun, katanya: "Koko, kau ini... ai, kau..."
"Tidak apa-apa," sentak Cau Ho-lian dengan suara sumbang. "Lukaku toh tidak berat, mana
berani aku membikin capai nona Siau besar ini untuk merawat luka-lukaku. Dan lagi masakah aku.
punya keberuntungan sedemikian besar." Dia sudah berusaha untuk bicara rada kalem dan enak
didengar, namun nada suaranya toh mengandung rasa jelus dan kemarahan hatinya. Panggilan
yang biasanya manis mesra kini ganti jengekan yang menusuk perasaan.
Siau Gwat-sian jadi melongo di tempatnya, air mata sudah berlinang di kelopak matanya, tak
tahan lagi akhirnya ia memutar tubuh, serunya: "Kau marah apa, aku kan bukan budak keluarga
kalian, kenapa aku harus mengambil hatimu. Huh, tidak tahu kebaikan hati orang. Kau tidak mau
dibalut masa aku sudi hiraukan kau!"
Biasanya Cau Ho-lian amat penurut padanya, kini karena rasa jelus dan marah, kata-kata pun
sudah terlanjur dilontarkan, menyesal pun sudah terlambat. Serta mendengar kata-kata Siau
Gwatsian, ia membatin: "Kiranya dia masih prihatin terhadapku." Tapi kata-kata Siau Gwat-sian itu
lebih ketus, meski melimpahkan rasa perhatiannya, namun kata-katanya mengandung duri runcing
yang menusuk ulu hatinya.
Karena Siau Gwat-sian membalik tubuh, keadaan menjadi kaku. Ingin Cau Ho-lian minta maaf,
namun mulut tak sampai mengucapkannya.
Cau Ci-hwi yang menjadi kerepotan, sembari membubuhi obat, ia mengomel panjang pendek.
Untuk menghibur dan merujukkan kembali sesaat ia jadi kehilangan akal dan kata-kata. Entah apa
yang harus dia ucapkan. Tiba-tiba didengarnya benturan senjata yang nyaring memekakkan telinga. Ternyata,
pertempuran Hun Ci-lo melawan laki-laki itu sudah mencapai titik yang menentukan, dengan
sejurus Tay-mo-hou-yan, pedangnya menusuk lurus laksana anak panah lurus ke depan, namun
laki-laki itu sempat mengatupkan sepasang potlotnya, di tengah berdentangnya suara keras,
bunga api terpercik diselubungi cahaya pedang yang berhamburan. Pedang pusaka Hun Ci-lo kena
tertangkis miring, sementara batang potlot laki-laki itu bertambah sebuah goresan panjang lagi.
Cahaya pedang memutih yang panjang seperti seuntai kain sutra lemas membungkus gerakan
ketat sepasang potlot lawan yang berkilau kehitaman, seperti naga laut muncul di permukaan air
memainkan gelombang, bergulung-gulung di antara damparan ombak yang membuih putih.
Pertempuran sengit yang menegangkan hati ini, seketika menarik perhatian ketiga remaja yang
sedang diamuk perasaan ini.
Ilmu pedang Sip-hun-kiamhoat Hun Ci-lo mengutamakan kelincahan dan kecepatan, kini di
ujung pedangnya seakan-akan tergantung benda yang amat berat, tunjuk ke timur membabat ke
barat, gerak-geriknya jauh lebih lambat dari permulaan pertempuran tadi. Meski jauh lebih lambat,
namun permainan pedangnya justru lebih aneh hampir dikata setiap jurusnya dilancarkan dengan
serangan dari jurusan yang sulit diduga sebelumnya.
Ternyata maksud Hun Ci-lo semula hendak menggunakan pedang cepat untuk mencecar
musuhnya, secepat mungkin menyelesaikan pertempuran ini dengan kemenangan gemilang, tapi
karena lwe-kang sendiri kalah kuat, setelah .menyerang gencar malah sering ia sendiri
menghadapi mara bahaya, terpaksa ia ambil cara bertempur dengan strategi yang lebih mantap,
dengan keanehan pelajaran ilmu pedangnya ia yakin pasti dapat mengalahkan lawan.
Laki-laki ini adalah seorang tokoh dalam bidang ilmu totok, tak mengira kepandaian Siang-pittiam-
su-meh (sepasang potlot menotok empat urat nadi) yang biasanya sangat diagulkan itu kini
sedikit pun tidak mampu menjebol pertahanan tabir cahaya pedang Hun Ci-lo, lambat laun hatinya
menjadi gelisah, sepasang potlotnya itu lantas dimainkan seperti dua naga keluar laut yang
sedang dirundung kemarahan, merangsak dengan seluruh kekuatannya, sinar potlotnya yang
berkilauan sambung menyambung berlapis-lapis seperti ribuan banyaknya. Dalahi waktu dekat
keduanya sama kuat dan saling serang dengan hebatnya, sulit dibedakan siapa lebih unggul atau
asor. Hun Ci-lo tahu bahwa lwekang sendiri kalah dibanding lawan, maka ia kerahkan tenaga
murninya ke ujung pedang. Sip-hun-kiam-hoat segera dikembangkan, dengan bekal ilmu
pedangnya ini keyakinan Hun Ci-lo bertambah mantap, kelihatannya gerak pedangnya memang
jauh lebih lambat, namun gaya serangannya justru jauh lebih ganas dan berbahaya, di saat-saat ia
menjaga diri dengan ketat ia pun balas menyerang dengan tipu-tipu yang liehay mematikan,
namun sekali ia berkesempatan balas menyerang, kilatan pedangnya sulit diukur kecepatannya.
Terdengarlah angin menderu berpadu dengan hembusan angin pegunungan, kilat menyambar
menyongsong cahaya matahari yang hampir terbenam, sinar pedang dan bayangan potlot
berkutat kencang timbul tenggelam saling libat, daun-daun pohon sekitar gelanggang
berhamburan rontok, kelopak kembang bertaburan membundar di sekeliling gelanggang. Lambat
laun pohon-pohon di sekitar gelanggang menjadi gundul pelontos tinggal dahan-dahannya saja.
Pertempuran pedang lawan sepasang potlot ini betul-betul amat sengit dan jarang terjadi
selama ini, Cau Ho-lian, Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi menjublek dan terbelalak di tempatnya.
Lenyap perasaan dongkol Cau Ho-lian, tanpa sadar ia bicara kepada Siau Gwat-sian: "Di waktu
ayah dan bibi mengajarkan ilmu pedang kepada kita, pernah menerangkan ilmu pedang tingkat
tinggi setiap kali bergerak harus dapat selincah kelinci, setenang permukaan kaca. Waktu itu,
ibarat yang dikatakan ini bagiku terlalu dibumbu-bumbui dan kurang cocok dengan kenyataan,
hanya khayalan belaka, tak tahu aku cara bagaimana manusia harus bergerak selincah kelinci,
tenang seperti permukaan air" Kini setelah melihat ilmu pedang perempuan ini, baru aku sadar
dan paham, kiranya begitulah jadinya."
Siau Gwat-sian pun sudah melupakan rasa marahnya tadi, sahutnya: "Aneh, entah siapa
perempuan ini, darimana pula" Kenapa dia meluruk datang membantu kesulitan kita?"
Sebaliknya Cau Ci-hwi jadi rada kuatir, katanya: "Meski ilmu pedang perempuan ini amat ketat
aneh dan kokoh, namun musuh pun terlalu kuat, belum tentu dia dapat menghalau lawannya.
Apakah perlu kita maju membantunya?"
"Mungkin kita tidak kuasa mencampuri pertempuran mereka ini. Kenapa ibu belum lagi
datang?" "Seharusnya ayah sudah mendengar teriakanku, kenapa belum kunjung tiba juga" Hm, kalau
mereka terlambat datang, meski bukan lawannya, kita harus melabraknya juga."
Belum habis ia bicara, tiba-tiba didengarnya sebuah suara serak berkata: "Siapa berani
bertingkah di tempat kediamanku ini?"-
Lalu disusul suara perempuan tua menyambung: "Siapa berani menganiaya putriku?"
Belum lagi bayangan mereka kelihatan, suaranya sudah berkumandang dari jauh, sedemikian
keras seperti guntur suara itu sehingga kuping mereka seperti mendengung. Ketiga muda mudi itu
menjadi berjingkrak girang, sebaliknya laki-laki itu menjadi kaget.
Sebagai seorang ahli silat sekali dengar orang menggunakan ilmu gelombang suara jarak jauh,
ia cukup mampu untuk menilai betapa tinggi kepandaian silat orang itu. Mau tidak mau ia harus
berpikir: "Konon Cau Siok-toh adalah seorang ahli lwekang, suara laki-laki itu terang dia adanya,
sungguh tidak bernama kosong. Entah siapa pula perempuan itu, namun dari nada gelombang
suaranya tadi, ilmu silatnya agaknya tidak lebih rendah dari kemampuanku sendiri." Belum habis ia
berpikir, tampak dari pinggir hutan sana berbareng muncul seorang laki-laki tua berjenggot putih
panjang dengan seorang perempuan pertengahan yang berpakaian perlente.
Laki-laki tua ini memang ayah Cau Ho-lian dan Cau Ci-Kwi yaitu Cau Siok-toh, sedang
perempuan pertengahan itu adalah ibu Siau Gwat-sian yang bernama Gui Kok-ing.
"Ibu lekas kemari!" segera Siau Gwat-sian berteriak.
"Ayah lekas!" Cau Ci-hwi pun tidak mau kalah suara, "Koko terluka!"
Sedemikian lama bertempur tidak mampu mengalahkan Hun Ci-lo, hati laki-laki ini sudah
gelisah, kini mendadak melihat pihak sana kedatangan bala bantuan dua orang kosen, keruan
hatinya semakin gugup. Mendadak Hun Ci-lo membentak: "Kena!" Sinar pedangnya membelit
bundar seperti gelang secepat kilat memapas miring, kontan laki-laki itu menggerung keras,
seraya jumpalitan mundur setombak lebih, lengan bajunya berlepotan darah juga, kiranya lengan
kirinya sudah tertabas luka oleh pedang Hun Ci-lo.
Diam-diam Hun Ci-lo bersorak akan serangannya yang berhasil baik, ternyata dia sudah selesai
melancarkan jurus-jurus ilmu Sip-hun-kiamhoat yang terakhir yaitu Heng-hun-toan-hong, jurus
terakhir inilah yang berhasil melukai musuh.
Melihat Hun Ci-lo melancarkan ilmu pedang ini, sesaat Siau-hujin jadi melongo keheranan,
dalam hati ia membatin: "Bukankah itu jurus Sip-hun-kiamhoat" Apakah dia Ci-lo adanya" Ai,
sayang, sayang!" Ternyata jikalau jurus Heng-hun-toan-hong (awan melintang memutus gunung)
dilatih sampai puncak yang sempurna, serangannya tadi pasti bisa menabas kutung lengan lakilaki
itu. Karena melongo ini Siau-hujin jadi lupa mencegat jalan lari laki-laki itu, tapi Cau Siok-toh sudah
lari mengejarnya. Bagaikan angin lesus laki-laki itu merebut jalan berlari lintang pukang seraya
membentak: "Siapa berani merintangi aku, biar aku adu jiwa padanya!"
"Jago yang sudah keok juga berani berkaok-kaok segala?" dengus Cau Siok-toh, bicara lambat
kejadian amat cepat, laki-laki itu sudah menyerang dengan Sing-cay-hu-cay, menggunakan lengan
kanannya yang tidak terluka, "Serr," potlotnya menusuk ke tenggorokan Cau Siok-toh.
Cau Siok-toh tidak membekal senjata, di saat serangan laki-laki itu hampir mengenai dirinya,
tangkas sekali ia memotes sebatang dahan pohon sebesar jari kelingking terus digunakan sebagai
pedang, kebetulan ia songsong kedatangan potlot musuh.
"Krak!" dahan pohon itu putus menjadi dua potong, namun potlot laki-laki itu pun terbang
terpental ke tengah udara, seperti meteor jatuh ke dalam lembah.
Sungguh kejut orang itu bukan kepalang, batinnya: "Kakek tua she Cau ini benar-benar
memiliki lwekang yang hebat di atas kemampuanku."
Sementara Cau Siok-toh sendiri juga terkejut, pikirnya: "Tak heran putraku bisa terluka oleh
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senjata potlotnya, kiranya orang dari keluarga Lian."
Keluarga Lian adalah keluarga persilatan yang sulit diajak berembuk, suka ugal-ugalan lagi,
maka Cau Siok-toh tidak ingin mengikat permusuhan dengan mereka. setelah berhasil memukul
lepas sebatang potlotnya, ia pun tidak mengejar lebih lanjut.
Namun Siau-hujin belum lagi mengetahui asal usulnya, segera ia membentak: "Lari ke mana?"
Badannya melesat mengejar seperti anak panah, sekejap saja dengan ilmu ginkangnya yang hebat
tahu-tahu ia sudah berputar menghadang di depan orang itu.
Senjata orang itu tinggal sebatang potlot, dalam keadaan yang mendesak tak sempat
memindahkan senjata, terpaksa ia gunakan tangan kirinya yang terluka melancarkan Keng-sin-pithoat
dengan jurus Hian-niau-hoat-sa (burung menggaruk pasir), ujung potlotnya seperti menutul
seperti menusuk, menusuk ke urat nadi Siau-hujin.
"Serangan bagus!" puji Siau-hujin, dia tidak membawa senjata, cepat sekali ia melolos ikat
pinggangnya, dengan gerak tangan yang luar biasa cepat ia kebutkan ikat pinggangnya
menggulung ke depan. Maka terdengarlah suara robekan yang keras, ikat pinggang dari kain sutra itu tertusuk
berlubang dan sobek panjang dari batas tengah-tengahnya, tapi potlot di tangan laki-laki itu pun
kena tergulung lepas dari cekalannya.
Cukup sedikit sendai saja potlot rampasan itu ditimpuk balik oleh Siau-hujin, lekas laki-laki itu
menggunakan Hong-tiam-thau menghindar, senjata potlot sendiri melesat terbang lewat di atas
kepalanya terpaut beberapa mili saja, terus terbang jatuh ke dalam jurang.
Setelah menang dalam gebrakan ini diam-diam Siau-hujin bercekat pula hatinya, pikirnya: "Tak
heran jurus Heng-hun-toan-hong Ci-lo tadi belum berhasil membuat orang ini terlalu parah, dia
sudah terluka, namun masih mampu menusuk ikat pinggang sutraku."
Keruan kaget laki-laki itu seperti arwah sudah copot dari badan kasarnya, tanpa hiraukan babak
belur, kontan ia menggelundung dari ketinggian batu karang sana terus meluncur ke lereng bukit
di bawah sana. Untunglah tidak kebentur batu-batu runcing, dan lagi ia ada berlatih Hou-teh-sinkang
yang sudah punya dasar yang lumayan, paling-paling hanya luka-luka kulit bagian luar saja
yang tidak berarti. Sudah tentu Siau-hujin tidak sudi mengejar ke bawah meniru perbuatannya itu, tengah ia bersangsi
dilihatnya Cau Siok-toh memberi kedipan mata kepadanya: "Musuh gampang di kat sulit
dilerai, biarkan dia pergi!"
Bahwa Cau Siok-toh tidak mau memperpanjang urusan, laki-laki itu tidak mau terima
kebaikannya ini, setelah bergelundungan sampai di lereng bukit, untung luka-luka kecil saja,
setelah menenangkan hati rasa marahnya membesarkan nyalinya pula maka dari kejauhan di
bawah bukit, ia berseru lantang: "Tua bangka she Cau, aku orang she Lian tidak sudi kau beri
muka, hari ini aku mengaku kalah karena kalian keroyok, akan tiba suatu ketika, aku akan meluruk
kemari bertanding dengan kau."
Kesabaran Cau Siok-toh sebenarnya amat baik, namun orang ini begitu tidak kenal aturan dan
kebaikan, seketika membuat ia naik pitam, menggunakan ilmu mengirim gelombang suara jarak
jauh ia menyahut: "Baik, sewaktu-waktu kutunggu kedatanganmu, kau panggil teman untuk
membantu juga boleh, seorang diri datang juga kulayani, aku hanya melawan kau seorang, biar
ditentukan siapa unggul siapa asor."
Setelah pertempuran sengit berakhir, perasaan semua orang menjadi longgar, segera Siau
Gwat-sian maju menghaturkan terima kasih kepada Hun Ci-lo katanya: "Bu, sebelum kau datang
tadi, sungguh keadaan kami amat berbahaya, untunglah cici ini lantas muncul membantu kami.
Aih! Bu, kenapa kau! Kenapa kau tatap orang begitu rupa, kenapa kau tidak wakili aku
Kemelut Di Majapahit 21 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pedang Ular Merah 9