Pencarian

Kelana Buana 8

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 8


mengucapkan terima kasih kepadanya?"
"Terima kasih apa segala?" ujar Hun Ci-lo. "Aku adalah piaucimu, Bibi! Masihkah kenal padaku'"
Siau-hujin memicingkan kedua matanya, tersenyum lebar, katanya "Kiranya Ci-lo adanya, coba
bi.u aku melihat lebih tegas, terakhir aku melihat kau sampai sekarang mungkin sudah dua puluh
tahun lamanya" Waktu itu kau masih orok kecil yang masih mengalirkan air liur, Gwat-sian belum
lagi lahir, tak nyana hari ini baru kita bisa jumpa pula. Kabarnya kau sudah menikah di utara,
siapakah suamimu, punya anak belum?"
Pertanyaan ini seolah-olah sembilu yang menusuk pecah luka-luka Hun Ci-lo yang belum
sembuh seluruhnya, sesaat ia jadi kemek-mek, tak tahu bagaimana ia harus memberi penjelasan.
Tahu orang yang menolong dirinya ternyata adalah piauci, seperti anak kecil yang mendapat
permen saja lagaknya, Siau Gwat-sian berjingkrak sambil menarik lengan Hun Ci-lo, digoyanggoyangkan
serta serunya tertawa: "Piauci, aku pernah ke Soh-ciu mencari kau, apa kau sudah
tahu" Siapakah piauci-hu, kenapa kau tidak datang bersama dia?"
"Ya, Siau-gu-ji yang membuka pintu itu sudah memberitahu kepadaku. Katanya kau bersama
pemuda she Cau itu datang bersama, apakah Cau-toako itu?"
Baru saja Siau Gwat-sian adu mulut dengan Cau Ho-lian, sikapnya menjadi kikuk, sahutnya:
"Kiranya Siau-gu-ji itu masih ingat. Em, aku jadi lupa menanyakan keadaan bibi besar, kabarnya
paman sudah meninggal, apakah bibi baik-baik saja" Apakah beliau tinggal bersama kalian suami
istri?" Siau-hujin ikut menimbrung: "Selama puluhan tahun ini aku selalu terkenang pada kalian, hari
ini kita bisa kumpul lagi, anggap saja aku sebagai ibu kandungmu. Oh ya, kenapa ibumu tidak ikut
datang" Apakah kau datang seorang diri?"
Serentetan pertanyaan ini membuat Hun Ci-lo kebingungan, entah pertanyaan mana yang
harus dia jawab lebih dulu, terpaksa ia tertawa dibuat-buat, sahutnya: "Kalau dibicarakan amat
panjang, kedatanganku kali ini sengaja memang mohon perlindungan kepada bibi, duduk
persoalannya biarlah lain kesempatan kujelaskan saja!"
"Benar," ujar Siau-hujin. "Aku setua ini memang sudah pikun, ku-lupa baru saja kau habis
bertempur sengit. Kau letih tidak, nanti di rumah kita bicara lebih lanjut."
Sanak kadang saling bertemu, sudah tentu Cau Siok-toh tidak enak menimbrung bicara, apalagi
ia prihatin akan luka-luka putranya, segera ia menghampiri ke sana memeriksa luka-luka Cau Holian,
setelah memeriksanya, ternyata hanya luka kulit yang ringan saja, baru legalah hatinya,
tanyanya: "Ho-lian, cara bagaimana kalian bisa bertempur dengan orang she Lian itu?"
"Yah, koko datang belakangan. Biar aku yang jelaskan, orang itu kemari hendak mencari
paman Miao." "Kalau toh dia kenalan paman Miao-mu, kenapa kalian ajak dia berkelahi?"
"Yah, kau belum lagi mendengar penjelasanku lebih lanjut. Didengar dari nada bicara orang itu,
naga-naganya ia bermaksud buruk terhadap paman Miao, kalau tidak salah seperti hendak
menuntut balas, jadi bukan sahabatnya!"
"Apa saja yang dia katakan?"
"Sebenarnya dia sih tidak menjelaskan permusuhannya dengan paman Miao, cuma dengan
garang dia mendesak kami mengatakan jejak paman Miao kepadanya. Karena jengkel melihat
kelakuan kasarnya itu, akhirnya kami berkelahi."
Cau Siok-toh menarik napas, ujarnya: "Setelah bermusuhan dengan keparat ini, banyak
kesulitan yang harus kita hadapi kelak."
Cau Ci-hwi memonyongkan mulut, serunya: "Yah, masa kau takut?"
"Sudah tentu tidak takut. Tapi kelak bila kalian kelana di kangouw harus hati-hati!"
"Perkara kelak, kelak kita, bicarakan lagi. Yah, mari ke sana, sudah sepantasnya kami
menghaturkan terima kasih kepada penolong kami itu."
Cau Siok-toh mengiakan, lalu ia gandeng putra putrinya datang menghampiri, katanya:
"Selamat kalian sanak famili bersua kembali. Hun-lihiap, beruntunglah atas bantuanmu sehingga
putraku tertolong jiwanya, membikin kesulitan saja bagi kau."
"Ah, paman ini mengumpak saja, yang terang ilmu pedang putramu ini yang hebat, sebetulnya
tingkat permainannya tidak di sebelah bawah orang itu, cuma tiada pengalaman menghadapi
musuh tangguh, kalau orang itu tidak bertempur dulu melawan putra putri dan piaumoayku,
mungkin aku sendiri juga tak ungkulan melawannya, bukan mustahil aku pun bakal terluka oleh
senjata potlotnya." Segera Siau-hujin memperkenalkan: "Cau-siansing adalah sahabat kental pamanmu waktu
beliau masih, hidup, mereka pun menjadi tetangga kami selama beberapa tahun terakhir ini."
Hun Ci-lo melenggong, katanya: "Jadi paman juga sudah meninggal?"
Siau-hujin menghela napas, katanya: "Kalian pindah ke Soh-ciu pada tahun Kakcu, ya bukan"
Pamanmu wafat setahun sebelum kalian datang. Oleh karena itu pula untuk beberapa tahun
lamanya kami meninggalkan rumah di sini, biarlah lain kesempatan kujelaskan juga kepadamu."
Melihat Siau Gwat-sian tidak mau hiraukan dirinya, mereka ibu beranak sedang sibuk bicara
dengan Hun Ci-lo, dirinya sulit ikut menimbfumg bicara pula, maka Cau Ho-lian pura-pura tenaga
lemah karena luka-lukanya itu, dia ketinggalan di sebelah belakang.
"Siok-toh," ujar Siau-hujin, "Apakah kau sudah tahu asal-usul orang itu?"
"Sudah tahu, laki-laki itu bermarga Lian. Menurut dugaanku, mungkin dialah yang dijuluki Liankeh-
pek-bi (si alis putih dari keluarga Lian) Lian Kam-peh."
Siau-hujim mengerut kening, katanya: "Pernahkah Miao Tiang-hong beritahu kepadamu, bahwa
dia pernah mengikat permusuhan dengan keluarga Lian?"
"Miao Tiang-hong hidupnya kelana di kangouw, kawannya banyak tersebar luas, sudah tentu
musuhnya pun tidak sedikit, mana bisa dia menjelaskan semua pengalamannya secara terperinci.
Menurut wataknya yang keras dan pandang kejahatan sebagai musuh besarnya, bukan mustahil
dia mengikat permusuhan dengan Lian Kam-peh."
"Aku sudah terlalu asing akan segala peristiwa kangouw," demikian ujar Siau-hujin, "tapi
kudengar katanya selama dua puluhan tahun ini, keluarga Lian mereka sudah tutup pintu dan
tidak mengikuti percaturan kaum persilatan lagi, jadi tidak pernah bertingkah lagi menggunakan
kekuasaan dan wibawa keluarga mereka" Entah kenapa Lian Kam-peh ini tidak mematuhi aturan
dan undang-undang keluarganya?"
"Memang menurut apa yang kutahu, begitulah kejadiannya. Kira-kira dua puluh tahun yang
lalu, ciangbunjin Lian-keh-pit mereka yaitu Lian Seng-hou pernah sudi diperbudak oleh Coh Cinyong
dorna yang berkuasa pada waktu itu, disogok harta dan pangkat ia tinggalkan kedudukan
ciangbun-jinnya, terima bertekuk lutut menjadi pengawal pribadi si dorna itu. Suatu ketika dia
disuruh Coh Cin-yong mengantarkan kado kepada Say Bing-hiong panglima besar yang berkuasa
di Se-jiang, maka para pendekar berikrar hendak memberi sedikit hukuman kepadanya, akhirnya
Le Lam-sing thocu Ang-ing-hwe sekarang turun tangan bersama Li Tun, hu-pangcu dari Liok-happang
sekarang, dia dicegat di tengah jalan, Lian Seng-hou, terkalahkan di bawah pedang Le Lamsing,
lambungnya terluka pula oleh jarum berbisa Li Tun, ilmu silatnya punah sama sekali.
Akhirnya Lian Seng-hou bersumpah untuk memperbaiki cara hidupnya, sejak saat itu menutup
pintu menanggalkan senjata, Li Tun baru mau memberikan obat pemunah.
"Setelah mengalami pengalaman pahit ini, Lian Seng-hou mematuhi janjinya itu, sejak itu
menyembunyikan diri tidak pernah muncul di kangouw. Malah dia memperingatkan kepada anak
muridnya, melarang mereka membuat onar di luaran. Maka wibawa keluarga Lian semakin
tenggelam dan pudar selama beberapa tahun belakangan ini."
Kata Siau-hujin: "Mungkin karena tertekan oleh keadaan di luar maka Lian Seng-hou sementara
terima menutup pintu menggantung senjata, sebetulnya hatinya ingin berontak, sikap diamnya itu
hanya pura-pura belaka, secara sembunyi-bunyi ia masih mengikat hubungan rahasia dengan
pihak kerajaan." "Jadi kau curiga Lian Kam-peh ini memperoleh petunjuk pamannya, secara diam-diam bekerja
bagi kepentingan kerajaan?" demikian tanya Cau Siok-toh.
"Entah apakah Miao Tiang-hong seorang tokoh dari pahlawan melawan pemerintah kerajaan
atau melanggar undang-undang apa?"
"Hubunganku dengan Miao Tiang-hong cukup kental, tapi rahasia macam itu dia tidak akan
mau bicara dengan aku.Tapi menilai wataknya yang keras amat benci terhadap kejahatan, kedua
reka-anmu tadi kemungkinan besar bisa terjadi."
Siau-hujin menghela napas, ujarnya: "Kalau rekaanku tidak meleset, hidup kita selanjutnya
pasti menghadapi banyak kesulitan."
"Beberapa hari lagi biar kuber-tamu ke rumah Tan Thian-ih, kuharap dari sana bisa mencari
berita yang kita perlukan."
Siau-hujin ibu beranak bersama Hun Ci-lo dan Cau Siok-toh berjalan di sebelah depan sambil
bicara panjang lebar mengenai peristiwa Lian Kam-peh tadi, sementara Cau Ho-lian dan adiknya
ketinggalan jauh di belakang, mereka pun sedang bicara bisik-bisik.
Karena Siau Gwat-sian tidak menghiraukan, Cau Ho-lian merasa kikuk dan serba salah, sengaja
ia berjalan lambat biar ketinggalan di belakang. Cau Ci-hwi tahu engkoh-nya ini masih ada
ganjalan hati, maka ia pun perlambat langkahnya, secara bisik-bisik ia bertanya: "Koko, kenapa
kau hari ini" Hawa sejuk udara nyaman, keadaanmu sebaliknya seperti cuaca di musim semi,
hujan angin atau terang tak menentu."
"Apa maksud kata-katamu ini?" tanya Cau Ho-lian dongkol.
"Masa ucapanku salah" Dengan nekad kau berusaha menolong jiwa adik Siau, kenapa pula kau
jadi marah kepadanya?"
"Kau sendiri sudah tahu, pura-pura tanya segala?"
"Aku tahu apa?"
"Pertengkaran kalian tadi aku mendengar semua!"
Merah muka Cau Ci-hwi, katanya: "Akulah yang harus disalahkan. Sebetulnya tujuanku demi
kebaikanmu, maka sengaja hendak kukorek isi hatinya, sayang lidahku kaku mulutku lugu tidak
pandai bicara, tahu-tahu lantas ajak dia bertengkar. Kukira kata-katanya di waktu bertengkar
dengan aku pasti diucapkan dengan rasa kemarahan, kenapa kau anggap sungguh-sungguh?" t
"Dalam berbagai bidang memang aku tidak ungkulan dibanding orang, hal ini aku tahu sendiri."
Cau Ci-hwi amat menyesal, katanya: "Koko, jadi kau sedang marah kepadaku. Akulah yang
berkata demikian. Tapi dia toh tidak ikut mengatakan begitu, juga tidak mengatakan tidak suka
kepadamu, cuma dia tidak mau mengakui berhubungan intim dengan kau, sebagai anak
perempuan adalah jamak kalau mukanya tipis, di mulut ia tidak banyak bicara, namun hatinya
amat baik terhadapmu. Tadi bukankah dia hendak membalut lukamu" Ai, kau sendirilah yang
bersikap kasar menolak maksud baiknya. Koko, cukup asal kau minta maaf kepadanya urusan kan
beres!" Cau Ho-lian mendengus ringan, katanya: "Kau tidak perlu membela boroknya, bagaimana
sikapnya terhadap aku, aku sendiri paham."
Cau Ci-hwi angkat pundak, ujarnya: "Koko, aku sudah salah karena banyak curiga terhadapnya.
Kau sendiri pun jangan terlalu banyak hati."
Di sebelah depan pembicaraan Siau-hujin kebetulan sedang berhenti, lapat-lapat ia mendengar
suara dengusan Cau Ho-lian ini, sontak ia sadar dan berkata: "Aku jadi lupa Ho-lian terluka,
apakah bisa jalan?" Lekas Cau Ho-lian menjawab: "Tidak apa-apa, hanya luka kecil saja terima kasih akan perhatian
bibi." Siau-hujin memperlambat langkah menunggu mereka kakak beradik menyusul datang, katanya
tertawa: "Anak muda seharusnya berkumpul dengan anak muda, Gwat-sian, Lian-kokomu terluka,
kenapa tidak kau temani dia?"
Siau Gwat-sian menyahut tawar: "Piauci baru datang, aku terlalu asyik bicara dengan dia, jadi
lupa!" "Aku tidak akan segera pergi, masih banyak waktu untuk bicara, lekaslah kau rawat luka-luka
Cau-toako," demikian timbrung Hun Ci-lo.
"Hun-Iihiap," kata Cau Ho-lian. "Terima kasih akan bantuan dan pertolonganmu, lukaku ini
hanya luka ringan saja, tidak banyak mengganggu kesehatanku, tidak usah dirawat segala."-Nada
bicaranya kedengaran kaku dan dingin, semua orang merasakan hal ini. Siau Gwat-sian menggigit
bibirnya, tidak banyak bicara lagi.
Rumah kediaman keluarga Siau dan Cau berderetan menjadi tetangga, sambil bicara itu tahutahu
mereka sudah tiba di ambang pintu rumah, segera Siau-hujin mengundang: "Apakah kalian
tidak mampir sebentar?"
"Tidak usahlah, keponakanmu baru datang, kami tidak banyak mengganggu lagi."
"Baiklah, anak Lian malam ini kau harus istirahat baik-baik, besok biar kuajak Sian-ji menilik
kau." "Terima kasih!" sahut Cau Ho-lian tawar. Kali ini ayahnya pun merasakan sikap kaku dan nada
bicaranya yang dingin. Cau Siok-toh lantas deliki putranya, katanya: "Lihat betapa bibi Siau amat prihatin akan
kesehatanmu, kau harus tahu banyak di untung."
Sampai di dalam rumah, berkatalah Siau-hujin: "Sian-ji, apakah kau tadi bertengkar dengan
engkoh Lianmu?" "Tidak, dia tidak mau hiraukan aku, masa aku harus membungkuk-bungkuk terhadapnya?"
"Lha, itu kan bertengkar" Kalau tidak bertengkar masa saling purikan segala. Ai, aku jadi tidak
paham apa saja persoalan di antara kalian, hari ini baik, besok berteng-' kar, selalu ada persoalan
saja." Siau-hujin menyangka hanya purikan muda mudi umumnya saja, di luar tahunya bahwa
peristiwa hari ini justru lain dari biasanya.
Piauci-moay yang selamanya belum pernah bertemu hari ini berkumpul, seharusnya hal ini
merupakan suatu yang menggembirakan, namun karena peristiwa tadi siang, hati Siau Gwat-sian
menjadi masgul. Setelah makan malam, duduk sebentar ajak bicara dengan piaucinya, lantas dia
berkata kepada ibunya: "Bu, kepalaku pening." Lalu pergi tidur lebih dulu.
Siau-hujin geleng-geleng kepala, katanya menghela napas: "Bocah ini memang memusingkan
kepala! Di kata besar belum dewasa, dikatakan kecil sudah cukup umur, segala tingkah lakunya,
harus selalu kuawasi!"
"Putra keluarga Cau itu cukup baik," demikian ujar Hun Ci-lo. "Kenapa bibi tidak lekas-lekas
mengikat perjodohan mereka saja."
"Beberapa tahun yang lalu usia piaumoaymu masih rada kecil, semula aku hendak menunggu
setelah dia menanjak usia delapan belas baru mengikat pertunangan, siapa sangka belakangan ini
mereka kelihatannya tidak akur malah, entah mengapa selalu purikan, membuat aku kuatir saja."
"Meski sering bertengkar atau purikan biasa, jikalau mereka memang saling cinta pertunangan tetap boleh dilangsungkan. Tapi tunggu satu dua tahun lagi setelah mereka lebih dewasa baru mengikat jodoh
ini juga lebih baik," Hun Ci-lo tahu seluk beluk pertengkaran itu, cuma ia tidak bicarakan kepada bibinya,
dalam hati ia membatin: "Nanti setelah perasaan piaumoay sudah tentram, pasti dia bisa berpikir dengan
cermat siapakah yang harus menjadi pilihannya. Semoga dia tidak seperti keadaanku yang
mengesampingkan jodoh setimpal."
"Benar," ujar Siau-hujin, "kau belum lagi beritahu kepadaku, kau menikah dengan putra
keluarga siapa" Apakah kalian suami istri bisa hidup rukun, kenapa kali ini kau tidak datang bersama
suamimu, apakah ada ganjalan hati yang sulit kau jelaskan?"
Memang Hun Ci-lo punya ganjalan hati yang sulit diterangkan, kata-kata bibinya ini justru menusuk ke ulu
hatinya yang terluka, serta merta merah kedua matanya.
Kata gadis baju merah jambon: "Pertandingan beberapa hari yang lalu, aku selalu kena kau
kalahkan dalam jurus permainan itu melulu, aku sendiri merasa selama ini belum mendapat
kemajuan apa-apa, kenapa hari ini kau kena kuka-lahkan" Watakmu yang keras itu masa mandah
terima dikalahkan oleh orang lain" He he, kurasa dalam hal ini pasti ada apa-apanya yang aneh?"
"Apanya yang aneh?"
Jelilatan mata bening gadis baju merah jambon, dengan lirikan penuh arti ia berkata dengan
nada dibuat-buat: "He he, masa tiada yang aneh" Aku jadi ingin bertanya kepadamu, kenapa
mendadak kau jadi gemar mengenakan pakaian warna putih?"
"Justru pertanyaanmu ini yang aneh, aku suka mengenakan pakaian warna apa peduli amat
pada kau" Apakah ada sesuatu yang kurang benar?"
"Belum tentu demikian, mungkin karena si dia pun suka mengenakan pakaian putih, maka kau
pun ikut-ikutan, benar tidak?"
Gadis baju putih menjadi jengkel, semprotnya: "Apa-apaan maksudmu ini?"-Nadanya
kedengaran tidak wajar, air mukanya pun berubah ketus.
Gadis baju merah jambon berkata dingin: "Tan-jikongcu dijuluki Pek-bau-kiam-khek. Sebelum
dia datang, belum pernah kudengar kau mengatakan menyukai warna putih metah!"
"Kau, apa katamu" Kau sangka aku hendak mencari hati kepada Tan-kongcu itu."
"Hatimu sendiri yang paham," jengek gadis baju merah jambon. "Memangnya Tan-kongcu dari
keluarga persilatan yang kenamaan, ayahnya adalah Tan Thian-ih, engkohnya adalah Tan Kongcau,
ilmu silat dan ilmu sastra Tan-jikongcu sendiri pun boleh dibanggakan, mana bisa engkohku
dibandingkan dia, tidaklah heran bila ada orang yang suka yang baru melupakan yang lama!"
demikian sindirnya. Berpikir Hun Ci-lo: "Kiranya pemuda yang memetik harpa itu adalah putranya Tan Thian-ih,
kedua gadis ini sedang bertengkar karena jelus terhadap pemuda tampan itu. Tapi maksud
mereka agaknya menjadi kabur karena daun jatuh ada maksud, air berlalu tiada membawa cinta."
Ternyata Tan Thian-ih adalah seorang bulim cianpwe yang berkedudukan tinggi dan
terpandang serta disanjung puji oleh sesama kaum persilatan, beliau sama kedudukan dan sama
tingkat dengan ayahnya Kim Tiok-liu yaitu Kim Si-ih. Tan Thian-ih punya dua orang putra. Putra
pertama Tan Kong-cau merupakan tokoh kenamaan di kalangan kartgouw juga, usianya sudah
mendekati empat puluh tahun. Anaknya bungsu dilahirkan di waktu Tan Thian-ih sudah mencapai
umur pertengahan, tahun ini baru berusia duapuluhan tahun. Keluarga Tan tinggal di Bok-siusiang
yang terletak di pinggir Thay-ouw, termasuk warga kota Soh-ciu bersama keluarga Song dari
leluhur Song Theng-siau. Kedua keluarga sama-sama keluarga persilatan pula, di waktu ayah Song
Theng-siau masih hidup, Song Theng-siau pernah ikut ayahnya bertamu ke rumah keluarga Tan.
Maka Hun Ci-lo juga pernah dengar perihal keluarga Tan ini dari cerita Song Theng-siau.3'
Mendengar sampai di situ sedikit banyak Hun Ci-lo sudah dapat menyimpulkan sesuatu. Bahwa
gadis baju putih she Siau, tidak perlu disangsikan lagi pasti adalah piaumoaynya.
"Pemuda she Cau yang dituturkan Siau-gu-ji itu, mungkin adalah abang dari gadis baju merah
jambon ini. Engkohnya itu menyukai piaumoayku, mungkin belum ada ikatan perjodohan, kini
piaumoay ternyata jatuh hati pada Tan kongsi, sudah tentu gadis baju merah jambon merasa
penasaran dan marah bagi engkohnya," demikian batin Hun Ci-lo.
"Keduanya sama kusukai, tapi aku hanya bisa anggap mereka sebagai adik kecilku saja."
Teringat kata-kata pemuda jubah putih itu, tanpa merasa Hun Ci-lo tertawa getir bagi
pertengkaran yang lucu ini.
Menurut rencana Hun Ci-lo begitu pertandingan pedang kedua gadis ini selesai segera ia
hendak unjukkan diri, untuk berkenalan dengan piaumoaynya ini, secara tidak sengaja ia sudah
mencuri dengar rahasia relung hati mereka, ia jadi kurang enak untuk segera muncul pada waktu
itu juga. Gadis baju merah jambon mendesak demikian rupa, kata-katanya memang rada menusuk
perasaan, apa lagi kata-kata 'mendapat yang baru melupakan yang lama', keruan berganti-ganti
air muka gadis baju putih, merah- hijau dan pucat, tak tahan lagi ia sudah hampir meledak
kemarahannya. Sejak kecil kedua nona ini memang sudah biasa dimanjakan dan diumbar secara bebas, gadis
baju merah jambon merasa sirik dan dongkol tak tahan ia limpahkan perasaan hatinya secara


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gamblang, tanpa kepalang tanggung malah ia menambahkan: "Tepat mengenai borok hatimu
bukan. Huh. Kau marah pun aku tidak takut, aku harus bicara secara blak-blakan, engkoh-ku
bersikap begitu baik kepadamu, namun sekarang kau begitu cepat lantas kena penyakit rindu
terhadap orang luar yang baru saja kau kenal, apakah sikapmu ini dapat kau pertanggung
jawabkan kepada engkohku?"
Memang kemarahan gadis baju putih sudah hampir meledak, mendengar nistaan yang begitu
memalukan dan menusuk perasaan, seperti api disiram minyak, seketika berkobar besar
amarahnya, jengek-nya dingin: "Kenapa pula bila eng-kohmu memang baik dengan aku" Coba kau
tanyakan kepada dia, pernahkah aku meluluskan sesuatu kepadanya" Tapi kau pun tidak perlu
kuatir, aku tidak akan berebut kekasih dengan kau?"
"Kau, apa katamu?" damprat gadis baju merah jambon dengan muka beringas.
"Isi hatimu kau kira dapat mengelabui aku?" demikian balas sindir gadis baju putih. "Kau sendiri
yang ingin menikah dengan Tan-kongcu itu, kau kira aku tidak tahu" Hm, jauh-jauh mengundang
Miao Tiang-hong untuk menjadi comblang, sayang orang tidak suka kepadamu!"
Olok-olok ini pun cukup pedas, keruan gadis baju merah jambon naik pitam, alisnya berdiri,
semprotnya tertawa dingin: "Lalu dia penujui kau ya?"
"Kau kira aku tidak tahu malu seperti kau, menyuruh orang tuanya mengundang orang bertamu
ke rumahnya sendiri."
"Kau, kau, coba kau katakan lagi, katakan lagi..." damprat gadis baju merah jambon
berjingkrak gusar. Setelah bicara dan melihat sikap orang, baru gadis baju putih menyadari mulutnya terlalu
mengumbar adat, diam-diam ia merasa menyesal, namun melihat gadis baju merah jambon naik
pitam, dia pun tidak mau unjuk kelemahan: "Anggapmu aku tidak berani mengatakan. Apakah kau
hendak ajak berkelahi?"
"Siau Gwat-sian!" bentak gadis baju merah jambon. "Kau kira aku takut menghadapi kau! Baik,
loloskan pedangmu, mari kita lanjutkan pertandingan ini."
"Cau Ci-hwi!" gadis baju putih juga tidak kalah perbawa. "Tadi kau mengolok latihan ilmu
pedangku kurang matang, memang aku ingin mohon petunjuk dari kau, mari kita lanjutkan
pertandingan ini secara sungguh-sungguh! Nah, bertanding ya bertanding memangnya kau
anggap aku takut kepadamu?"
Begitulah damprat mendamprat, keadaan kaku ini menjadi tegang seperti anak panah yang
sudah dipentang di atas busur tidak bisa tidak harus dilepas, kedua pihak sama-sama melolos
pedang, ternyata bukan main-main mereka bertempur secara sungguh-sungguh. Maka
terdengarlah benturan senjata berulang-ulang, sekejap saja kedua pedang mereka sudah saling
bentur tujuh delapan belas kali.
Gadis baju merah jambon me-rangsak dengan sengit, pedangnya menyerang dari kiri dan
kanan, tipu-tipu pedang yang didendangkan tadi sekaligus dilancarkan dengan gencar, tapi gadis
baju putih pun bertahan dengan kokoh kuatnya, permainan pedangnya pun menggunakan tiputipu
pedang yang dimainkan mengiringi bunyi syair yang didendangkan tadi, namun di samping
membela diri ia pun balas menyerang. Masing-masing menggunakan dua jurus serangan, namun
keempat jurus serang-menyerang ini jauh berbeda dari permainan latihan tadi.
Hun Ci-lo jadi berpikir: "Tak heran Tan Kong-si anggap mereka masih berjiwa kanak-kanak,
masih belum tahu urusan. Kalau keributan ini dilanjutkan terus mereka pasti akan semakin kalap,
tidak mungkin aku berpeluk tangan saja."
Di saat Hun Ci-lo hendak keluar melerai inilah, tiba-tiba ada seorang menerobos keluar dari
hutan sebelah sana, serunya: "Wah ramai benar pertempuran ini, sungguh bagus. Ayo serang,
gasak saja! Eeh, kenapa tidak diteruskan" Apakah tamu tidak diundang aku ini mengganggu
kalian?" Hun Ci-lo sembunyi di belakang sebuah pohon mencuri lihat, tampak seorang laki-laki besar
yang mengenakan topi kulit biruang yang lancip tinggi, mengenakan mantel berbulu dari kulit
musang, punggungnya melembung besar, terang ia menyoreng senjata, yang disembunyikan di
balik mantelnya itu. Hun Ci-lo rada terkejut, batinnya: "Kapan orang ini tiba di sana, sedikit pun aku tidak tahu."
Soalnya perhatiannya terlalu ditumpahkan kepada kedua gadis yang sedang bertempur itu. Tapi
bahwa laki-laki ini bisa muncul di pinggir gelanggang baru bisa diketahui olehnya, sudah tentu
kepandaian silatnya tidak sembarangan.
Sebetulnya Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi sudah tidak ingin melanjutkan lagi, kini diganggu
pula oleh kedatangan orang asing ini, kebetulan mereka lantas menghentikan pertempuran.
Keduanya sama-sama menarik pedang dan mundur selangkah serta membentak: "Siapa kau?"
Kata laki-laki itu: "Kalian sudah cukup belum bertempur" Bagus, sekarang aku bisa tanya
kepada kalian!" "Apakah sudah tuli?" semprot Siau Gwat-sian. "Kutanya kau, siapa kau" Kau dengar tidak?"
"Sudah dengar. Tapi aku harus tanya kalian lebih dulu, setelah kalian menjawab pertanyaanku
baru kujawab pertanyaanmu!"
Siau Gwat-sian menggenggam gagang pedang dengan kencang, pedang melintang di depan
dada, matanya mendelik gusar, dengusnya: "Kau ini barang apa, berani bertingkah di tempat ini."
Cau Ci-hwi sendiri juga menjadi uring-uringan, namun ia berlaku rada kalem, katanya marah:
"Adik Siau, biar kita dengar dulu apa yang hendak dia tanyakan."
Kata laki-laki itu: "Apakah Miao Tiang-hong datang kemari bersama Tan Kong-si, pernah
bertamu dan menginap di rumah kalian bukan?"
"Kalau benar mau apa" Kalau tidak, kau mau apa pula?" tanya Cau Ci-hwi.
"Ke mana dia sekarang" Apakah pulang ke rumah keluarga Tan lagi?" tanya laki-laki itu lebih
lanjut. "Kau bertanya begitu berbelit-belit, apa tujuanmu?" jengek Cau Ci-hwi.
Laki-laki itu menyeringai, katanya dingin: "Sekarang, akulah yang bertanya kepada kalian, kalau
tahu diri kalian budak-budak kecil ini harus menjawab pertanyaanku dengan baik, kalau tidak..."
"Hwi-ci, masa kau mandah terima dihina begini. Main ancam segala, hm, kalau tidak kau mau
apa?" damprat Siau Gwat-sian.
"Kalau tidak bicara secara terang-terangan mengenai jejak Miao Tiang-hong, ayah bunda kalian
pun akan terseret di dalam persoalan ini."
Mendadak Cau Ci-hwi tertawa dingin, "sret" pedangnya lantas menusuk kepada orang, serunya:
"Aku sih ingin menjawab, cuma pedangku ini tidak kenal siapa kau, boleh kau tanya kepadanya
lebih dulu."-Ternyata Cau Ci-hwi berwatak lebih berangasan, ia tidak tahan lagi mengendalikan
amarahnya. Pertama ia merasa tertarik, kedua ia pun ingin mempermainkan laki-laki ini, maka dia
suka dengar pertanyaan yang bertumpuk-tumpuk itu.
Cau Ci-hwi seumpama kuda pingitan yang belum pernah kelana jauh dari rumahnya, biasanya
kalau latihan pedang bersama engkoh-nya, engkohnya selalu mengalah kepadanya, para tamu
yang sering datang hilir mudik pun suka memuji kepandaiannya cukup hebat, dikatakan tunas
muda yang berkecimpung di dunia persilatan jarang yang setanding dengan kepandaiannya
sekarang, dia percaya semua obrolan-obrolan dan puji-pujian orang-orang itu, di saat melancarkan
serangan, dalam hati masih takut-takut, kuatir cara turun tangannya tidak mengenal batas, sekali
tusuk ia bikin mampus laki-laki ini. Maka ia membatin: "Lebih baik membikinnya terluka sedikit
saja, mengampuni jiwanya untuk ditanyai keterangannya."
Di luar tahunya bahwa laki-laki besar ini ternyata adalah seorang ahli silat dalam kalangan
bulim, meski latihan ilmu pedang Cau Ci-hwi tingkat tinggi yang liehay, sayang lwekangnya masih
terlalu rendah, kalau dibanding lawannya, terpautnya amat jauh sekali.
Begitu Cau Ci-hwi menusuk dengan pedangnya, laki-laki besar itu bergelak tertawa, serunya:
"Budak cilik yang belum tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, biar kau tahu keliehayanku."
Menanti ujung pedang sudah dekat hampir mengenai badannya, tiba-tiba ia selentik-kan jari
tengahnya, "creng" pedang Cau Ci-hwi kena diselentik dan terpental miring, seketika ia rasakan
telapak tangannya pedas dan sakit bukan main, hampir saja ia tidak kuasa memegangi pedangnya
lagi. "Hwi-ci jangan gugup!" segera Siau Gwat-sian berseru sambil menubruk maju. "Biar kubantu
kau!" Tusukan pedangnya menyambar deras mengeluarkan deru angin.
Dalam hati diam-diam Hun Ci-lo memuji: "Meski usia piaumoay lebih muda, namun ilmu
pedangnya ternyata lebih matang dan mahir dari nona Cau!"
Laki-laki itu pun tercekat hatinya, pikirnya: "Nona cilik ini ternyata tidak boleh dipandang
rendah." Mundur selangkah tiba-tiba ia membalik badan, mendadak ia lancarkan pukulan tangan
terobosan, kepalannya menjurus ke atas menghantam ke muka orang. Jurus pukulan ini punya
nama khusus yaitu Jong-thian-bau (bom menembus langit), cara pukulannya keras menggunakan
tenaga kasar lagi, maka dapatlah diperkirakan perba-wanya. Meski ilmu pedang Siau Gwat-sian
tidak lemah, sedikit pun tidak punya pengalaman menghadapi musuh tangguh, kapan ia pernah
melihat atau menghadapi cara pertempuran yang garang dan ganas macam ini, keruan hatinya
menjadi gugup. Cepat Cau Ci-hwi berteriak: "Gunakan jurus Sebuah Kota Terpencil! Adik Siau, mari kita
menyerang dan menjaga bergantian, gempur dia dari dua jurusan tidak usah takut!"-Memang
kematangan ilmu pedangnya tidak sebanding Siau Gwat-sian, tapi hatinya lebih tabah dan besar
nyalinya, meski tadi hampir saja kena dikerjai lawan, namun sikapnya amat tenang, setelah
mundur segera ia merangsek maju lagi lebih gencar. "Cras!" ujung pedangnya menusuk tiba pula
dengan gaya rada miring, ujung pedangnya langsung menusuk ke depan dengan cara serangan
yang ganas dan keji, yang digunakan adalah jurus permulaan dari ilmu pedang yang dilatihnya
tadi. Karena peringatan itu lekas Siau Gwat-sian mengempos semangat, sebat sekali ia gunakan
Hong-tiam-thau, berkelit seraya mengubah jurus permainannya, tahu-tahu Ceng-kong-kiam
bergerak mem-bundar satu lingkaran, seketika berpetalah sinar pedang berkeredep membawa
sambaran hawa dingin, penjagaan yang rapat diselingi serangan yang cepat pula, begitu rapat
pertahanannya, tidak tertem-buskan oleh hujan badai pun.
Diam-diam Hun Ci-lo memuji dalam hati: "Bagus! Jurus pedang piaumoay ini dilancarkan jauh
lebih bagus dari latihannya tadi. Kalau begitu, di waktu latihan tadi memang pikirannya tidak
tenang. Jadi tuduhan nona Cau itu ternyata tidak semena-mena."
Laki-laki itu pun seorang ahli silat, melihat Siau Gwat-sian lancarkan jurus pedang yang
mengandung pertahanan kokoh kuat ini, jotosannya itu jadi tidak berani diteruskan. Cepat ia
merubahnya dengan gaya Jiu-hwi-bi-ba (jari-jari memetik senar harpa), sekaligus ia sampuk
pergelangan tangan Cau Ci-hwi, berbareng badannya berputar, mengebaskan lengan bajunya,
sekaligus ia menyampuk miring ujung pedang Siau Gwat-sian.
Kepandaian silat orang ini cukup tinggi, namun di bawah rang-sakan gencar Siau dan Cau
berdua dari dua jurusan, melawan dengan bertangan kosong lagi, lama kelamaan ia merasa
kewalahan juga. Semula Hun Ci-lo sudah siap menerjunkan diri, setelah melihat mereka di pihak
yang unggul, ia menghela napas lega, dengan segala perhatian ia menyaksikan dengan cermat.
Tadi Cau Ci-hwi diolok-olok orang, begitu ia berada di atas angin ia jadi takabur, jengeknya
dingin: "Mulut bicara besar, ternyata hanya begini saja kemampuanmu! Hm, hm, ingin aku lihat
siapakah yang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi!"-Tidak tahu tingginya langit dan tebalnya
bumi adalah kata olok-olok yang digunakan laki-laki tadi, kini ia membalas olok-olok menggunakan
istilah yang sama. Mulut bicara sementara gerak permainan pedangnya sedikit pun tidak menjadi kendor
karenanya, dalam kejap bicara itu, beruntun Cau Ci-hwi sudah melancarkan tujuh serangan
berantai. Sebaliknya sambil menjaga diri permainan pedang Siau Gwat-sian mengandung tipu-tipu
penyerangan pula, beruntun dia pun sudah lancarkan empat jurus sembilan tipu rang-sakan. Pada
jurus terakhir mereka menemukan titik keserasian kerja sama yang amat ketat, begitu hebat dan
indah sekali perpaduan jurus-jurus ilmu pedang yang dilancarkan bersama ini, maka terdengarlah
suara "Brett" yang panjang, lengan baju orang itu kena terpapas sobek sebagian besar, di mana
sinar pedang berkelebatan amat cepatnya cuilan kain itu seketika kena terpapas hancur
beterbangan seperti kupu-kupu melayang di tengah udara.
Mendadak laki-laki itu mencelat keluar dari gencetan perpaduan rangsakan pedang yang liehay
itu, bentaknya marah: "Biar budak-budak cilik seperti kalian ini rasakan keliehayanku!"
Baru saja Cau Ci-hwi hendak mengejar, tampak olehnya orang itu sudah keburu mengeluarkan
sepasang boan-koan-pit, dengan tangan bersenjata, seperti harimau kelaparan laki-laki itu segera
menyerbu dengan garangnya.
Begitu membagi sepasang senjatanya, yang kiri langsung meno-tok ke Hiat-to Ki-bun-hiat Cau
Ci-hwi, sementara senjatanya yang kanan menotok Hiat-hay-hiat Siau Gwat-sian. Terdengarlah
"trang, trang" dua kali, dua batang Ceng-kong-kiam berhasil disampuknya terpental ke samping.
Begitu laki-laki ini melancarkan ilmu potlofnya, posisi pertempuran seketika berubah sama
sekali, cukup sejurus saja, bukan saja ia berhasil memunahkan rangsakan pedang kedua
lawannya, beruntun ujung potlotnya malah mengancam dua jalan darah di tubuh mereka. Caranya
yang tepat dan ganas sungguh amat mengejutkan, Hun Ci-lo yang menonton dari tempatnya
sembunyi jadi terkejut. Beruntun terdengarlah benturan senjata yang nyaring berulang-ulang, begitu keras sampai
memekakkan telinga. Memang jurus permainan pedang Siau Gwat-sian amat rapat
pertahanannya, tapi toh kena dijebol berantakan, suara benturan keras itu berbunyi di saat potlot
lawan berhasil membobol pertahanannya, di mana pedang dan potlot saling beradu dengan keras,
seketika kedua senjata itu sudah saling bentur tujuh belasan kali.
Orang itu tertawa dingin, jengeknya: "Hah! Kukatakan kalian tidak tahu tingginya langit
tebalnya bumi, tidak salah bukan penilaianku" Tapi aku jadi bingung sendiri entah siapa di antara
kalian yang harus kugondol pergi, sulit aku ambil pilihan!"
Tiba-tiba Cau Ci-hwi berteriak: "Ayah, ada orang menganiaya putrimu, lekaslah datang!"
Siau Gwat-sian pun ikut berteriak: "Ibu, lekas bantu aku!"
Orang itu tertawa dingin, ejeknya: "Kaok-kaok kau panggil ayah bunda pun tidak berguna,
kecuali kalian menjelaskan jejak Miao Tiang-hong kepadaku, kalau tidak salah satu di antara kalian
harus kubawa pergi, dengan kalian sebagai sandera, masa aku tidak bisa menemukan jejak Miao
Tiang-hong. Nona cilik, kau mau menjelaskan tidak" Nona cilik kau mau menerangkan tidak?"
Batang potlotnya mendadak menuding ke arah Cau Ci-hwi, tiba-tiba potlotnya yang lain menusuk
kepada Siau Gwat-sian, beruntun ia menggerakkan senjatanya sambil mengajukan pertanyaannya.
Cau Ci-hwi mengertak gigi, dia melawan dengan tabah, adalah Siau Gwat-sian yang naik pitam,
makinya: "Kentutmu busuk, kau kira kami sudi menjual kawan minta ampun kepadamu, jangan
kau mimpi di siang hari bolong!"
"Bagus!" seru orang itu. "Budak kau ini bermulut lebih tajam, aku justeru ingin bicara
kepadamu, mari kau saja yang ikut aku!"-Tiba-tiba ia pukulkan kedua potlotnya sendiri, sekaligus
ia berhasil menangkis jatuh pedang Siau Gwat-sian. Begitu senjata Siau Gwat-sian kena dilucuti
segera ia, putar tubuh hendak lari. Laki-laki itu segera membentak: "Lari ke mana kau?" Seperti
elang kelaparan menubruk kelinci, tubuhnya tiba-tiba berkelebat ke depan mengejar di belakang
Siau Gwat-sian, kedua senjatanya dipindahkan ke tangan kanan, cepat tangan kiri diulurkan
meraih ke depan mencengkeraan ke tulang pundak Siau Gwat-sian. Cepat-cepat Cau Ci-hwi
memburu maju, dia sudah terlambat setindak.
Hun Ci-lo mengeluh dalam hati, baru saja ia hendak menyambitkan sebuah uang tembaga yang
sudah digenggamnya sejak tadi, tiba-tiba didengarnya seorang membentak: "Menganiaya anak
perempuan terhitung orang gagah macam apa kau!"--Lenyap suaranya orangnya pun sudah tiba,
laksana anak panah melesat datang langsung menerjang ke arah laki-laki.
"Toako!" teriak Cau Ci-hwi. "Syukurlah kau datang, hati-hati! Awas ilmu totoknya liehay!"
Ternyata pendatang ini adalah engkohnya yang bernama Cau Ho-lian.
Senjata yang digunakan Cau Ho-lian adalah sebatang pedang yang berpunggung tebal dan
berat, mengayun pedangnya digunakan membacok seperti golok umumnya, langsung ia
menyerang ke batok kepala orang itu. Melihat serangan yang keras dan ganas ini, tak sempat lagi
orang itu mencengkeram kepala Siau Gwat-sian, lekas ia membagi kedua senjatanya di kedua
tangannya, dengan jurus Ki-hwe-liau-thian (angkat obor menerangi langit), ia menyongsong ke
arah bacokan pedang lawan.
Berpikir Hun Ci-lo: "Pemuda ini menerjang kalap tanpa hiraukan keselamatan sendiri, sepak
terjangnya memang gagah dan berani, cuma sayang tidak punya akal, mungkin dia pun bukan
tandingan orang itu."
Belum lenyap jalan pikirannya, didengarnya suara "trang!" yang keras, bunga api beterbangan.
Pedang panjang tebal Cau Ho-lian tergumpil sedikit, kena disampuk keluar oleh tangkisan
sepasang potlot lawan. "Bagus," seru orang itu. "Kau meluruk datang mau unjuk gagah-gagahan, ingin aku lihat
betapa, tinggi kepandaianmu?" Kedua potlotnya bergerak cepat ke kiri ke kanan seperti orang
sedang bercocok tanam di ladang, begitu berhasil menyampuk miring pedang lawan, tanpa ampun
segera ia melancarkan serangan ganas yang mematikan.
Mau tidak mau Hun Ci-lo terkejut pula dibuatnya, batinnya: "Agaknya permainannya itu adalah
Keng-sin-pit-hoat yang pernah dituturkan ayah kepada aku itu!" Ternyata Keng-sin-pit-hoat adalah
i}mu potlot tunggal dari keluarga Lian di Hopak, merupakan ilmu potlot peranti menotok jalan
darah yang tiada taranya dan tiada bandingannya di dunia persilatan. Ayah Hun Ci-lo hanya
pernah dengar cerita orang lain, paling-paling hanya tahu sedikit kelie-hayannya, beliau sendiri
pun belum pernah melihat secara langsung.
Letak keliehayan Keng-sin-pit-hoat ini pada setiap kali totok sekaligus ia dapat melukai urat
nadi dan jalan darah lawan, betapapun tinggi lwekang orang tidak akan mampu bertahan dari
totokan ini. Tipu permainan dari rangkaian ilmu totok potlot ini terletak pada Su-pit-tiam-pat-meh
(empat potlot menotok delapan urat nadi), jurus ini harus dilancarkan dengan gabungan dua
orang, kerja sama dari empat potlot dalam satu jurus sekaligus dapat menotok dan melukai urat
nadi lawannya dalam waktu yang bersamaan. Keluarga Lian mengandal kemahirannya ini malang
melintang dan meninggalkan nama harum di bulim, selama malang melintang itu hanya ayah Kim
Tiok-liu yaitu Kim Si-ih seorang saja yang dulu mampu memecahkan Su-pit-tiam-pat-meh dari
Keng-sin-pit-hoat itu. Untunglah Su-pit-tiam-pat-meh ini harus dilancarkan bersama oleh dua orang, seorang saja
tidak akan mampu digunakan. Namun demikian, jurus permainan Su-pit-tiam-pat-meh orang ini
cukup membuat Cau Ho-lian, pemuda hijau yang belum cukup pengalaman ini tidak mampu
menandinginya. Kedua potlot orang itu menusuk ke depan dengan bersilang, kini mendadak ditarik balik terus
berkembang kedua samping, yang kiri menotok lima jalan darah di urat nadi Jin-tok, sementara
yang kanan menotok empat jalan darah dari dua urat nadi Siau-yan dan Yang-bin, asal satu di
antara sekian jalan darah yang di ncar terkena totokan ujung senjatanya, kalau tidak mati paling
tidak Cau Ho-lian pasti terluka parah. Karena urat nadi yang dijadikan sasaran itu adalah urat
penting yang langsung menembus ke hati dan jantung, sekali terluka dalam maka dapatlah
dibayangkan akibatnya pasti sangat fatal.
Di saat gawat yang hampir menentukan jiwa Cau Ho-lian itulah, keadaan yang amat berbahaya
itu, mendadak terdengar suara "Ting", sebuah uang tembaga menyambar datang tepat sekali
membentur potlotnya yang hendak menotok jalan darah Bing-bun-hiat di tubuh Cau Ho-lian
tersampuk miring, dalam waktu yang bersamaan Ceng-kong-kiam Cau Ci-hwi pun sudah menusuk
tiba mengarah punggungnya.
Bercekat hati orang itu. bentaknya: "Budak busuk kau ini juga main timpuk senjata rahasia,
memangnya kau sudah bosan hidup ya!" "
" Dia menyangka senjata rahasia itu adalah timpukan Cau Ci-hwi, keruan ia jadi keheranan,


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikirnya: "Budak ini berkepandaian silat rendah, mungkinkah tadi dia sengaja tidak mau pamer
kepandaian simpanannya?""Tusukan pedang Cau Ci-hwi menggunakan tipu Giok-li-to-soh, ujung
pedangnya sudah mengancam Hong-hu-hiat di punggungnya, lekas ia putar balik sebatang
potlotnya menangkis, "trang", Ceng-kong-kiam di tangan Cau Ci-hwi tidak kuasa lagi dipegangnya,
terbang lepas ke tengah udara.
Baru sekarang Hun Ci-lo unjukkan diri, jengeknya: "Akulah yang lepas senjata rahasia!"
Kedatangan Hun Ci-lo yang tak terduga-duga ini membikin dua pihak yang bertempur melengak
heran. Sambil melirikkan matanya orang itu berkata kepada Hun Ci-lo: "Siapa kau turut campur
urusan kami" He, he, perempuan ayu seperti bidadari macam kau, aku jadi segan melukai kau!"
Berdiri alis Hun Ci-lo, katanya tawar: "Nona Cau, sementara kuharap kau mundur ke samping,
rawatlah luka-luka engkohmu." " " Mendadak ia membentak: "Keng-sin-pit-hoat yang kenamaan
di kolong langit itu kenapa buat menggertak nona-nona cilik, apakah tidak membikin pamor
keluarga Lian kalian disapu bersih oleh perbuatan rendahmu ini " Mari biar aku mohon petunjuk
ilmu leluhurmu yang liehay, silakan kau keluarkan semua kemampuanmu bila mampu melukai
aku!" Orang itu tertawa, katanya: "Perempuan bawel seperti kau ini ternyata besar mulut, baik, biar
aku pun berkenalan dengan kepandaianmu."
Belum suaranya hilang, Hun Ci-lo sudah mengayun pedangnya ke tengah udara,
berkembanglah titik-titik sinar pedang menyerupai kuntum bunga, tahu-tahu selarik sinar putih
menukik turun terus menusuk ke arah orang itu.
Jurus Liu-sing-cui-goat ini kelihatannya dimainkan secara sederhana dan biasa saja, namun di
situlah letak intisari keampuhan Sip-hun-kiamhoat dari keluarga Hun, secara tidak terduga dalam
tipu permainan yang sederhana itu tersembunyi tipu sergapan yang amat liehay, jauh berlainan
dengan jalan permainan ilmu pedang golongan atau aliran partai pedang lainnya. Tampak ujung
pedangnya tergetar memetakan tiga kuntum sinar kembang, ke sebelah kiri menusuk Pek-hayhiat,
kanan menusuk Ih-gi-hiat, yang yang menjurus ke tengah menusuk ke Sian-ki-hiat. Meski
belum membandingi Siang-pit-tiam-su-meh orang itu, namun dalam sejurus saja sekaligus dapat
mengancam sembilan jalan darah pada dua urat nadi yang mematikan, sekali tusukannya,
mengambang sulit diraba sasaran yang diarahnya, kelihatannya ke kiri tahu-tahu ke kanan,
demikian bolak-balik membuat orang bingung, gerak perubahannya yang aneh ini, jelas bahwa
kiamhoatnya ini terang lebih unggul dari Pit-hoat permainan lawannya.
Ujung potlotnya tadi kena ditimpuk oleh uang tembaga Hun Ci-lo, diam-diam orang itu sudah
menginsyafi bahwa kepandaiannya pasti jauh di atas ketiga lawan ciliknya tadi, namun ia masih
belum tahu bahwa ilmu pedangnya ternyata sedemikian liehay dan menakjubkan, sekilas
dilihatnya cahaya putih menyilaukan mata, keruan bercekat hatinya, pikirnya: "Mungkinkah Siphun-
kiamhoat dari keluarga Hun" Sungguh hebat dan liehay benar." Tersipu-sipu ia lintangkan
kedua potlotnya untuk menangkis, terdengarlah suara nyaring sambung menyambung, kedua
pihak sama merasakan tenaga dalam lawan yang menggetar telapak tangan masing-masing.
Potlot orang itu kena tergores memanjang oleh pedang pusaka, pergelangan tangannya terasa
sakit, lekas ia kerahkan tenaga dalamnya, menggunakan tenaga sentakan, ia sam-puk terlepas
pedang pusaka Hun Ci-lo. Sementara tergetar oleh tenaga perlawanan lawan, Hun Cilo sendiri pun
merasa pemapasannya rada sesak, dalam hati ia membatin: "Aku harus menggunakan pedang
kilat menyerangnya!"
Bicara lambat kenyataan amat cepat sekali, pedang pusaka Hun Ci-lo melayang membundar,
menghilangkan tenaga sentakan lawan, dengan sejurus Surya Membundar Tenggelam di Ujung
Sungai Panjang, sinar pedangnya seperti gelang-gelang besar kecil berputar, tahu-tahu menyapu
keluar terus menggulung ke pinggang lawan. Kedua potlot orang itu terpental bersilang, yang
kanan ke arah kiri sementara yang kiri tertuju ke arah kanan, dengan sejurus Coh-yu-kay-kong
(kanan kiri mementang busur), balas menyerang untuk membela diri, beruntun ia berhasil
mematahkan tiga rangkaian serangan pedang Hun Ci-lo yang amat liehay.
Cau Ci-hwi insyaf bahwa kepandaian sendiri terlalu tidak becus, apalagi senjata sudah terlepas,
untuk membantu Hun Ci-lo tidak mungkin bisa dan tidak perlu, dilihatnya pula Hun Ci-lo mampu
menandingi laki-laki itu, maka dengan berlega hati ia mundur melihat keadaan engkohnya.
Cau Ho-lian menggayut membelakangi sebatang pohon besar, mukanya pucat, lengan bajunya
berlepotan darah. Sekali pandang jelas diketahui bahwa dia sudah terluka.
Ternyata timpukan mata uang Hun Ci-lo meski tepat menyampuk miring ujung potlot orang itu,
namun karena lwekang mereka setanding, betapapun kekuatannya belum mampu menahan daya
serangan orang itu, maka lengan kanan Cau Ho-lian tidak urung tergores luka juga oleh ujung
potlot yang runcing itu sepanjang tiga dim. Tapi untung juga potlot musuh tersampuk menceng oleh
timpukan mata uang Hun Ci-lo, sehingga Cau Ho-lian terhindar dari kena jalan darahnya yang mematikan,
lukanya pun hanya luka kulit yang amat ringan.
Cau Ci-hwi amat prihatin akan keselamatan engkohnya, keruan ia menjadi kaget melihat darah yang
membanjir keluar itu, tanyanya : "Koko, bagaimana keadaanmu?"
Cau Ho-lian tertawa getir, sahutnya: "Tidak apa-apa, kalian tidak kurang suatu apa, aku menjadi lega
hati." "Adik Siau, dia terluka karena kau, ayo lekas membalut lukanya!" demikian teriak'Cau Ci-hwi.
Sikap Siau Gwat-sian serba kikuk dan malu-malu karena perang mulutnya tadi, nada bicara Cau Ci-hwi
seolah-olah menyalahkan dirinya pula, ia jadi lebih tidak enak. Tapi melihat Cau Ho-lian terluka karena
dirinya, hatinya menjadi gugup dan menyesal, meski rasa kikuk, terpaksa ia datang
menghampiri serta mengeluarkan obat hendak membalut luka-lukanya itu.
Tiba-tiba Cau Ho-lian menje-ngek dingin, katanya: "Tak usah merepotkan kau, kau punya obat, biarlah
aku balut sendiri!" Cau Ci-hwi tertegun, katanya: "Koko, kau ini... ai, kau..."
"Tidak apa-apa," sentak Cau Ho-lian dengan suara sumbang. "Lukaku toh tidak berat, mana berani aku
membikin capai nona Siau besar ini untuk merawat luka-lukaku. Dan lagi masakah aku.
punya keberuntungan sedemikian besar." Dia sudah berusaha untuk bicara rada kalem dan enak didengar, namun nada suaranya toh mengandung rasa jelus dan kemarahan hatinya. Panggilan yang
biasanya manis mesra kini ganti jengekan yang menusuk perasaan.
Siau Gwat-sian jadi melongo di tempatnya, air mata sudah berlinang di kelopak matanya, tak tahan lagi
akhirnya ia memutar tubuh, serunya: "Kau marah apa, aku kan bukan budak keluarga kalian, kenapa aku
harus mengambil hatimu. Huh, tidak tahu kebaikan hati orang. Kau tidak mau
dibalut masa aku sudi hiraukan kau!"
Biasanya Cau Ho-lian amat penurut padanya, kini karena rasa jelus dan marah, kata-kata pun sudah
terlanjur dilontarkan, menyesal pun sudah terlambat. Serta mendengar kata-kata Siau Gwatsian, ia
membatin: "Kiranya dia masih prihatin terhadapku." Tapi kata-kata Siau Gwat-sian itu lebih ketus, meski
melimpahkan rasa perhatiannya, namun kata-katanya mengandung duri runcing yang menusuk ulu
hatinya. Karena Siau Gwat-sian membalik tubuh, keadaan menjadi kaku. Ingin Cau Ho-lian minta maaf, namun
mulut tak sampai mengucapkannya.
Cau Ci-hwi yang menjadi kerepotan, sembari membubuhi obat, ia mengomel panjang pendek.
Untuk menghibur dan merujukkan kembali sesaat ia jadi kehilangan akal dan kata-kata. Entah apa yang
harus dia ucapkan. Tiba-tiba didengarnya benturan senjata yang nyaring memekakkan telinga. Ternyata,
pertempuran Hun Ci-lo melawan laki-laki itu sudah mencapai titik yang menentukan, dengan sejurus Tay-
mo-hou-yan, pedangnya menusuk lurus laksana anak panah lurus ke depan, namun laki-laki itu sempat
mengatupkan sepasang potlotnya, di tengah berdentangnya suara keras, bunga api terpercik diselubungi
cahaya pedang yang berhamburan. Pedang pusaka Hun Ci-lo kena tertangkis miring, sementara batang
potlot laki-laki itu bertambah sebuah goresan panjang lagi.
Cahaya pedang memutih yang panjang seperti seuntai kain sutra lemas membungkus gerakan ketat
sepasang potlot lawan yang berkilau kehitaman, seperti naga laut muncul di permukaan air memainkan
gelombang, bergulung-gulung di antara damparan ombak yang membuih putih.
Pertempuran sengit yang menegangkan hati ini, seketika menarik perhatian ketiga remaja yang sedang
diamuk perasaan ini. Ilmu pedang Sip-hun-kiamhoat Hun Ci-lo mengutamakan kelincahan dan kecepatan, kini di ujung
pedangnya seakan-akan tergantung benda yang amat berat, tunjuk ke timur membabat ke barat, gerak-
geriknya jauh lebih lambat dari permulaan pertempuran tadi. Meski jauh lebih lambat, namun permainan
pedangnya justru lebih aneh hampir dikata setiap jurusnya dilancarkan dengan serangan dari jurusan
yang sulit diduga sebelumnya.
Ternyata maksud Hun Ci-lo semula hendak menggunakan pedang cepat untuk mencecar musuhnya,
secepat mungkin menyelesaikan pertempuran ini dengan kemenangan gemilang, tapi karena lwe-kang
sendiri kalah kuat, setelah .menyerang gencar malah sering ia sendiri
menghadapi mara bahaya, terpaksa ia ambil cara bertempur dengan strategi yang lebih mantap, dengan
keanehan pelajaran ilmu pedangnya ia yakin pasti dapat mengalahkan lawan.
Laki-laki ini adalah seorang tokoh dalam bidang ilmu totok, tak mengira kepandaian Siang-pittiam-su-meh
(sepasang potlot menotok empat urat nadi) yang biasanya sangat diagulkan itu kini sedikit pun tidak
mampu menjebol pertahanan tabir cahaya pedang Hun Ci-lo, lambat laun hatinya menjadi gelisah,
sepasang potlotnya itu lantas dimainkan seperti dua naga keluar laut yang sedang dirundung kemarahan,
merangsak dengan seluruh kekuatannya, sinar potlotnya yang
berkilauan sambung menyambung berlapis-lapis seperti ribuan banyaknya. Dalahi waktu dekat keduanya
sama kuat dan saling serang dengan hebatnya, sulit dibedakan siapa lebih unggul atau asor.
Hun Ci-lo tahu bahwa lwekang sendiri kalah dibanding lawan, maka ia kerahkan tenaga
murninya ke ujung pedang. Sip-hun-kiam-hoat segera dikembangkan, dengan bekal ilmu pedangnya ini
keyakinan Hun Ci-lo bertambah mantap, kelihatannya gerak pedangnya memang jauh lebih lambat,
namun gaya serangannya justru jauh lebih ganas dan berbahaya, di saat-saat ia menjaga diri dengan
ketat ia pun balas menyerang dengan tipu-tipu yang liehay mematikan, namun sekali ia berkesempatan
balas menyerang, kilatan pedangnya sulit diukur kecepatannya.
Terdengarlah angin menderu berpadu dengan hembusan angin pegunungan, kilat menyambar
menyongsong cahaya matahari yang hampir terbenam, sinar pedang dan bayangan potlot berkutat
kencang timbul tenggelam saling libat, daun-daun pohon sekitar gelanggang berhamburan rontok,
kelopak kembang bertaburan membundar di sekeliling gelanggang. Lambat laun pohon-pohon di sekitar
gelanggang menjadi gundul pelontos tinggal dahan-dahannya saja.
Pertempuran pedang lawan sepasang potlot ini betul-betul amat sengit dan jarang terjadi selama ini, Cau
Ho-lian, Siau Gwat-sian dan Cau Ci-hwi menjublek dan terbelalak di tempatnya.
Lenyap perasaan dongkol Cau Ho-lian, tanpa sadar ia bicara kepada Siau Gwat-sian: "Di waktu ayah dan
bibi mengajarkan ilmu pedang kepada kita, pernah menerangkan ilmu pedang tingkat tinggi setiap kali
bergerak harus dapat selincah kelinci, setenang permukaan kaca. Waktu itu, ibarat yang dikatakan ini
bagiku terlalu dibumbu-bumbui dan kurang cocok dengan kenyataan, hanya khayalan belaka, tak tahu
aku cara bagaimana manusia harus bergerak selincah kelinci, tenang seperti permukaan air" Kini setelah
melihat ilmu pedang perempuan ini, baru aku sadar dan paham, kiranya begitulah jadinya."
Siau Gwat-sian pun sudah melupakan rasa marahnya tadi, sahutnya: "Aneh, entah siapa perempuan ini,
darimana pula" Kenapa dia meluruk datang membantu kesulitan kita?"
Sebaliknya Cau Ci-hwi jadi rada kuatir, katanya: "Meski ilmu pedang perempuan ini amat ketat aneh dan
kokoh, namun musuh pun terlalu kuat, belum tentu dia dapat menghalau lawannya.
Apakah perlu kita maju membantunya?"
"Mungkin kita tidak kuasa mencampuri pertempuran mereka ini. Kenapa ibu belum lagi datang?"
"Seharusnya ayah sudah mendengar teriakanku, kenapa belum kunjung tiba juga" Hm, kalau mereka
terlambat datang, meski bukan lawannya, kita harus melabraknya juga."
Belum habis ia bicara, tiba-tiba didengarnya sebuah suara serak berkata: "Siapa berani
bertingkah di tempat kediamanku ini?"-
Lalu disusul suara perempuan tua menyambung: "Siapa berani menganiaya putriku?"
Belum lagi bayangan mereka kelihatan, suaranya sudah berkumandang dari jauh, sedemikian keras
seperti guntur suara itu sehingga kuping mereka seperti mendengung. Ketiga muda mudi itu menjadi
berjingkrak girang, sebaliknya laki-laki itu menjadi kaget.
Sebagai seorang ahli silat sekali dengar orang menggunakan ilmu gelombang suara jarak jauh, ia cukup
mampu untuk menilai betapa tinggi kepandaian silat orang itu. Mau tidak mau ia harus berpikir: "Konon
Cau Siok-toh adalah seorang ahli lwekang, suara laki-laki itu terang dia adanya, sungguh tidak bernama
kosong. Entah siapa pula perempuan itu, namun dari nada gelombang suaranya tadi, ilmu silatnya agaknya tidak lebih rendah dari kemampuanku sendiri." Belum habis ia berpikir, tampak dari pinggir hutan
sana berbareng muncul seorang laki-laki tua berjenggot putih panjang dengan seorang perempuan
pertengahan yang berpakaian perlente.
Laki-laki tua ini memang ayah Cau Ho-lian dan Cau Ci-Kwi yaitu Cau Siok-toh, sedang
perempuan pertengahan itu adalah ibu Siau Gwat-sian yang bernama Gui Kok-ing.
"Ibu lekas kemari!" segera Siau Gwat-sian berteriak.
"Ayah lekas!" Cau Ci-hwi pun tidak mau kalah suara, "Koko terluka!"
Sedemikian lama bertempur tidak mampu mengalahkan Hun Ci-lo, hati laki-laki ini sudah gelisah, kini
mendadak melihat pihak sana kedatangan bala bantuan dua orang kosen, keruan hatinya semakin gugup.
Mendadak Hun Ci-lo membentak: "Kena!" Sinar pedangnya membelit bundar seperti gelang secepat kilat
memapas miring, kontan laki-laki itu menggerung keras, seraya jumpalitan mundur setombak lebih,
lengan bajunya berlepotan darah juga, kiranya lengan kirinya sudah tertabas luka oleh pedang Hun Ci-lo.
Diam-diam Hun Ci-lo bersorak akan serangannya yang berhasil baik, ternyata dia sudah selesai
melancarkan jurus-jurus ilmu Sip-hun-kiamhoat yang terakhir yaitu Heng-hun-toan-hong, jurus terakhir
inilah yang berhasil melukai musuh.
Melihat Hun Ci-lo melancarkan ilmu pedang ini, sesaat Siau-hujin jadi melongo keheranan, dalam hati ia
membatin: "Bukankah itu jurus Sip-hun-kiamhoat" Apakah dia Ci-lo adanya" Ai, sayang, sayang!"
Ternyata jikalau jurus Heng-hun-toan-hong (awan melintang memutus gunung) dilatih sampai puncak
yang sempurna, serangannya tadi pasti bisa menabas kutung lengan lakilaki itu.
Karena melongo ini Siau-hujin jadi lupa mencegat jalan lari laki-laki itu, tapi Cau Siok-toh sudah lari mengejarnya. Bagaikan angin lesus laki-laki itu merebut jalan berlari lintang pukang seraya membentak:
"Siapa berani merintangi aku, biar aku adu jiwa padanya!"
"Jago yang sudah keok juga berani berkaok-kaok segala?" dengus Cau Siok-toh, bicara lambat kejadian
amat cepat, laki-laki itu sudah menyerang dengan Sing-cay-hu-cay, menggunakan lengan
kanannya yang tidak terluka, "Serr," potlotnya menusuk ke tenggorokan Cau Siok-toh.
Cau Siok-toh tidak membekal senjata, di saat serangan laki-laki itu hampir mengenai dirinya, tangkas
sekali ia memotes sebatang dahan pohon sebesar jari kelingking terus digunakan sebagai pedang, kebetulan ia songsong kedatangan potlot musuh.
"Krak!" dahan pohon itu putus menjadi dua potong, namun potlot laki-laki itu pun terbang terpental ke
tengah udara, seperti meteor jatuh ke dalam lembah.
Sungguh kejut orang itu bukan kepalang, batinnya: "Kakek tua she Cau ini benar-benar memiliki lwekang
yang hebat di atas kemampuanku."
Sementara Cau Siok-toh sendiri juga terkejut, pikirnya: "Tak heran putraku bisa terluka oleh senjata potlotnya, kiranya orang dari keluarga Lian."
Keluarga Lian adalah keluarga persilatan yang sulit diajak berembuk, suka ugal-ugalan lagi, maka Cau
Siok-toh tidak ingin mengikat permusuhan dengan mereka. setelah berhasil memukul lepas sebatang
potlotnya, ia pun tidak mengejar lebih lanjut.
Namun Siau-hujin belum lagi mengetahui asal usulnya, segera ia membentak: "Lari ke mana?"
Badannya melesat mengejar seperti anak panah, sekejap saja dengan ilmu ginkangnya yang hebat tahu-
tahu ia sudah berputar menghadang di depan orang itu.
Senjata orang itu tinggal sebatang potlot, dalam keadaan yang mendesak tak sempat
memindahkan senjata, terpaksa ia gunakan tangan kirinya yang terluka melancarkan Keng-sin-pithoat
dengan jurus Hian-niau-hoat-sa (burung menggaruk pasir), ujung potlotnya seperti menutul seperti
menusuk, menusuk ke urat nadi Siau-hujin.
"Serangan bagus!" puji Siau-hujin, dia tidak membawa senjata, cepat sekali ia melolos ikat pinggangnya,
dengan gerak tangan yang luar biasa cepat ia kebutkan ikat pinggangnya menggulung ke depan.
Maka terdengarlah suara robekan yang keras, ikat pinggang dari kain sutra itu tertusuk
berlubang dan sobek panjang dari batas tengah-tengahnya, tapi potlot di tangan laki-laki itu pun kena
tergulung lepas dari cekalannya.
Cukup sedikit sendai saja potlot rampasan itu ditimpuk balik oleh Siau-hujin, lekas laki-laki itu menggunakan Hong-tiam-thau menghindar, senjata potlot sendiri melesat terbang lewat di atas kepalanya
terpaut beberapa mili saja, terus terbang jatuh ke dalam jurang.
Setelah menang dalam gebrakan ini diam-diam Siau-hujin bercekat pula hatinya, pikirnya: "Tak heran
jurus Heng-hun-toan-hong Ci-lo tadi belum berhasil membuat orang ini terlalu parah, dia sudah terluka,
namun masih mampu menusuk ikat pinggang sutraku."
Keruan kaget laki-laki itu seperti arwah sudah copot dari badan kasarnya, tanpa hiraukan babak belur,
kontan ia menggelundung dari ketinggian batu karang sana terus meluncur ke lereng bukit di bawah sana.
Untunglah tidak kebentur batu-batu runcing, dan lagi ia ada berlatih Hou-teh-sinkang yang sudah punya
dasar yang lumayan, paling-paling hanya luka-luka kulit bagian luar saja yang tidak berarti.
Sudah tentu Siau-hujin tidak sudi mengejar ke bawah meniru perbuatannya itu, tengah ia bersangsi dilihatnya Cau Siok-toh memberi kedipan mata kepadanya: "Musuh gampang di kat sulit dilerai, biarkan
dia pergi!" Bahwa Cau Siok-toh tidak mau memperpanjang urusan, laki-laki itu tidak mau terima
kebaikannya ini, setelah bergelundungan sampai di lereng bukit, untung luka-luka kecil saja, setelah menenangkan hati rasa marahnya membesarkan nyalinya pula maka dari kejauhan di bawah bukit, ia
berseru lantang: "Tua bangka she Cau, aku orang she Lian tidak sudi kau beri muka, hari ini aku mengaku kalah karena kalian keroyok, akan tiba suatu ketika, aku akan meluruk kemari bertanding dengan kau."
Kesabaran Cau Siok-toh sebenarnya amat baik, namun orang ini begitu tidak kenal aturan dan kebaikan,
seketika membuat ia naik pitam, menggunakan ilmu mengirim gelombang suara jarak jauh ia menyahut:
"Baik, sewaktu-waktu kutunggu kedatanganmu, kau panggil teman untuk membantu juga boleh, seorang
diri datang juga kulayani, aku hanya melawan kau seorang, biar ditentukan siapa unggul siapa asor."
Setelah pertempuran sengit berakhir, perasaan semua orang menjadi longgar, segera Siau Gwat-sian
maju menghaturkan terima kasih kepada Hun Ci-lo katanya: "Bu, sebelum kau datang tadi, sungguh
keadaan kami amat berbahaya, untunglah cici ini lantas muncul membantu kami.
Aih! Bu, kenapa kau! Kenapa kau tatap orang begitu rupa, kenapa kau tidak wakili aku
mengucapkan terima kasih kepadanya?"
"Terima kasih apa segala?" ujar Hun Ci-lo. "Aku adalah piaucimu, Bibi! Masihkah kenal padaku'"
Siau-hujin memicingkan kedua matanya, tersenyum lebar, katanya "Kiranya Ci-lo adanya, coba bi.u aku
melihat lebih tegas, terakhir aku melihat kau sampai sekarang mungkin sudah dua puluh tahun lamanya"
Waktu itu kau masih orok kecil yang masih mengalirkan air liur, Gwat-sian belum lagi lahir, tak nyana hari
ini baru kita bisa jumpa pula. Kabarnya kau sudah menikah di utara, siapakah suamimu, punya anak
belum?" Pertanyaan ini seolah-olah sembilu yang menusuk pecah luka-luka Hun Ci-lo yang belum sembuh
seluruhnya, sesaat ia jadi kemek-mek, tak tahu bagaimana ia harus memberi penjelasan.
Tahu orang yang menolong dirinya ternyata adalah piauci, seperti anak kecil yang mendapat permen saja
lagaknya, Siau Gwat-sian berjingkrak sambil menarik lengan Hun Ci-lo, digoyanggoyangkan serta
serunya tertawa: "Piauci, aku pernah ke Soh-ciu mencari kau, apa kau sudah
tahu" Siapakah piauci-hu, kenapa kau tidak datang bersama dia?"
"Ya, Siau-gu-ji yang membuka pintu itu sudah memberitahu kepadaku. Katanya kau bersama pemuda
she Cau itu datang bersama, apakah Cau-toako itu?"
Baru saja Siau Gwat-sian adu mulut dengan Cau Ho-lian, sikapnya menjadi kikuk, sahutnya:
"Kiranya Siau-gu-ji itu masih ingat. Em, aku jadi lupa menanyakan keadaan bibi besar, kabarnya paman
sudah meninggal, apakah bibi baik-baik saja" Apakah beliau tinggal bersama kalian suami istri?"
Siau-hujin ikut menimbrung: "Selama puluhan tahun ini aku selalu terkenang pada kalian, hari ini kita bisa
kumpul lagi, anggap saja aku sebagai ibu kandungmu. Oh ya, kenapa ibumu tidak ikut datang" Apakah
kau datang seorang diri?"
Serentetan pertanyaan ini membuat Hun Ci-lo kebingungan, entah pertanyaan mana yang harus dia
jawab lebih dulu, terpaksa ia tertawa dibuat-buat, sahutnya: "Kalau dibicarakan amat panjang, kedatanganku kali ini sengaja memang mohon perlindungan kepada bibi, duduk persoalannya biarlah lain
kesempatan kujelaskan saja!"
"Benar," ujar Siau-hujin. "Aku setua ini memang sudah pikun, ku-lupa baru saja kau habis bertempur
sengit. Kau letih tidak, nanti di rumah kita bicara lebih lanjut."
Sanak kadang saling bertemu, sudah tentu Cau Siok-toh tidak enak menimbrung bicara, apalagi ia prihatin akan luka-luka putranya, segera ia menghampiri ke sana memeriksa luka-luka Cau Holian, setelah memeriksanya, ternyata hanya luka kulit yang ringan saja, baru legalah hatinya,


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanyanya: "Ho-lian, cara bagaimana kalian bisa bertempur dengan orang she Lian itu?"
"Yah, koko datang belakangan. Biar aku yang jelaskan, orang itu kemari hendak mencari paman Miao."
"Kalau toh dia kenalan paman Miao-mu, kenapa kalian ajak dia berkelahi?"
"Yah, kau belum lagi mendengar penjelasanku lebih lanjut. Didengar dari nada bicara orang itu, naga-
naganya ia bermaksud buruk terhadap paman Miao, kalau tidak salah seperti hendak menuntut balas, jadi
bukan sahabatnya!" "Apa saja yang dia katakan?"
"Sebenarnya dia sih tidak menjelaskan permusuhannya dengan paman Miao, cuma dengan garang dia
mendesak kami mengatakan jejak paman Miao kepadanya. Karena jengkel melihat kelakuan kasarnya itu,
akhirnya kami berkelahi."
Cau Siok-toh menarik napas, ujarnya: "Setelah bermusuhan dengan keparat ini, banyak
kesulitan yang harus kita hadapi kelak."
Cau Ci-hwi memonyongkan mulut, serunya: "Yah, masa kau takut?"
"Sudah tentu tidak takut. Tapi kelak bila kalian kelana di kangouw harus hati-hati!"
"Perkara kelak, kelak kita, bicarakan lagi. Yah, mari ke sana, sudah sepantasnya kami
menghaturkan terima kasih kepada penolong kami itu."
Cau Siok-toh mengiakan, lalu ia gandeng putra putrinya datang menghampiri, katanya:
"Selamat kalian sanak famili bersua kembali. Hun-lihiap, beruntunglah atas bantuanmu sehingga putraku
tertolong jiwanya, membikin kesulitan saja bagi kau."
"Ah, paman ini mengumpak saja, yang terang ilmu pedang putramu ini yang hebat, sebetulnya
tingkat permainannya tidak di sebelah bawah orang itu, cuma tiada pengalaman menghadapi musuh
tangguh, kalau orang itu tidak bertempur dulu melawan putra putri dan piaumoayku, mungkin aku sendiri
juga tak ungkulan melawannya, bukan mustahil aku pun bakal terluka oleh senjata potlotnya."
Segera Siau-hujin memperkenalkan: "Cau-siansing adalah sahabat kental pamanmu waktu beliau masih,
hidup, mereka pun menjadi tetangga kami selama beberapa tahun terakhir ini."
Hun Ci-lo melenggong, katanya: "Jadi paman juga sudah meninggal?"
Siau-hujin menghela napas, katanya: "Kalian pindah ke Soh-ciu pada tahun Kakcu, ya bukan"
Pamanmu wafat setahun sebelum kalian datang. Oleh karena itu pula untuk beberapa tahun lamanya
kami meninggalkan rumah di sini, biarlah lain kesempatan kujelaskan juga kepadamu."
Melihat Siau Gwat-sian tidak mau hiraukan dirinya, mereka ibu beranak sedang sibuk bicara dengan Hun
Ci-lo, dirinya sulit ikut menimbfumg bicara pula, maka Cau Ho-lian pura-pura tenaga lemah karena luka-
lukanya itu, dia ketinggalan di sebelah belakang.
"Siok-toh," ujar Siau-hujin, "Apakah kau sudah tahu asal-usul orang itu?"
"Sudah tahu, laki-laki itu bermarga Lian. Menurut dugaanku, mungkin dialah yang dijuluki Liankeh-pek-bi
(si alis putih dari keluarga Lian) Lian Kam-peh."
Siau-hujim mengerut kening, katanya: "Pernahkah Miao Tiang-hong beritahu kepadamu, bahwa dia
pernah mengikat permusuhan dengan keluarga Lian?"
"Miao Tiang-hong hidupnya kelana di kangouw, kawannya banyak tersebar luas, sudah tentu musuhnya
pun tidak sedikit, mana bisa dia menjelaskan semua pengalamannya secara terperinci.
Menurut wataknya yang keras dan pandang kejahatan sebagai musuh besarnya, bukan mustahil dia
mengikat permusuhan dengan Lian Kam-peh."
"Aku sudah terlalu asing akan segala peristiwa kangouw," demikian ujar Siau-hujin, "tapi
kudengar katanya selama dua puluhan tahun ini, keluarga Lian mereka sudah tutup pintu dan tidak mengikuti percaturan kaum persilatan lagi, jadi tidak pernah bertingkah lagi menggunakan kekuasaan dan
wibawa keluarga mereka" Entah kenapa Lian Kam-peh ini tidak mematuhi aturan dan undang-undang
keluarganya?" "Memang menurut apa yang kutahu, begitulah kejadiannya. Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, ciangbunjin Lian-keh-pit mereka yaitu Lian Seng-hou pernah sudi diperbudak oleh Coh Cinyong dorna
yang berkuasa pada waktu itu, disogok harta dan pangkat ia tinggalkan kedudukan ciangbun-jinnya, terima bertekuk lutut menjadi pengawal pribadi si dorna itu. Suatu ketika dia disuruh Coh Cin-yong mengantarkan kado kepada Say Bing-hiong panglima besar yang berkuasa di Se-jiang, maka para
pendekar berikrar hendak memberi sedikit hukuman kepadanya, akhirnya Le Lam-sing thocu Ang-ing-hwe
sekarang turun tangan bersama Li Tun, hu-pangcu dari Liok-happang sekarang, dia dicegat di tengah
jalan, Lian Seng-hou, terkalahkan di bawah pedang Le Lamsing, lambungnya terluka pula oleh jarum
berbisa Li Tun, ilmu silatnya punah sama sekali.
Akhirnya Lian Seng-hou bersumpah untuk memperbaiki cara hidupnya, sejak saat itu menutup pintu menanggalkan senjata, Li Tun baru mau memberikan obat pemunah.
"Setelah mengalami pengalaman pahit ini, Lian Seng-hou mematuhi janjinya itu, sejak itu
menyembunyikan diri tidak pernah muncul di kangouw. Malah dia memperingatkan kepada anak
muridnya, melarang mereka membuat onar di luaran. Maka wibawa keluarga Lian semakin tenggelam
dan pudar selama beberapa tahun belakangan ini."
Kata Siau-hujin: "Mungkin karena tertekan oleh keadaan di luar maka Lian Seng-hou sementara terima
menutup pintu menggantung senjata, sebetulnya hatinya ingin berontak, sikap diamnya itu hanya pura-
pura belaka, secara sembunyi-bunyi ia masih mengikat hubungan rahasia dengan pihak kerajaan."
"Jadi kau curiga Lian Kam-peh ini memperoleh petunjuk pamannya, secara diam-diam bekerja bagi kepentingan kerajaan?" demikian tanya Cau Siok-toh.
"Entah apakah Miao Tiang-hong seorang tokoh dari pahlawan melawan pemerintah kerajaan atau
melanggar undang-undang apa?"
"Hubunganku dengan Miao Tiang-hong cukup kental, tapi rahasia macam itu dia tidak akan mau bicara
dengan aku.Tapi menilai wataknya yang keras amat benci terhadap kejahatan, kedua reka-anmu tadi
kemungkinan besar bisa terjadi."
Siau-hujin menghela napas, ujarnya: "Kalau rekaanku tidak meleset, hidup kita selanjutnya pasti menghadapi banyak kesulitan."
"Beberapa hari lagi biar kuber-tamu ke rumah Tan Thian-ih, kuharap dari sana bisa mencari berita yang
kita perlukan." Siau-hujin ibu beranak bersama Hun Ci-lo dan Cau Siok-toh berjalan di sebelah depan sambil bicara
panjang lebar mengenai peristiwa Lian Kam-peh tadi, sementara Cau Ho-lian dan adiknya ketinggalan
jauh di belakang, mereka pun sedang bicara bisik-bisik.
Karena Siau Gwat-sian tidak menghiraukan, Cau Ho-lian merasa kikuk dan serba salah, sengaja ia berjalan lambat biar ketinggalan di belakang. Cau Ci-hwi tahu engkoh-nya ini masih ada ganjalan hati,
maka ia pun perlambat langkahnya, secara bisik-bisik ia bertanya: "Koko, kenapa kau hari ini" Hawa
sejuk udara nyaman, keadaanmu sebaliknya seperti cuaca di musim semi, hujan angin atau terang tak
menentu." "Apa maksud kata-katamu ini?" tanya Cau Ho-lian dongkol.
"Masa ucapanku salah" Dengan nekad kau berusaha menolong jiwa adik Siau, kenapa pula kau jadi
marah kepadanya?" "Kau sendiri sudah tahu, pura-pura tanya segala?"
"Aku tahu apa?"
"Pertengkaran kalian tadi aku mendengar semua!"
Merah muka Cau Ci-hwi, katanya: "Akulah yang harus disalahkan. Sebetulnya tujuanku demi
kebaikanmu, maka sengaja hendak kukorek isi hatinya, sayang lidahku kaku mulutku lugu tidak pandai
bicara, tahu-tahu lantas ajak dia bertengkar. Kukira kata-katanya di waktu bertengkar dengan aku pasti
diucapkan dengan rasa kemarahan, kenapa kau anggap sungguh-sungguh?" t
"Dalam berbagai bidang memang aku tidak ungkulan dibanding orang, hal ini aku tahu sendiri."
Cau Ci-hwi amat menyesal, katanya: "Koko, jadi kau sedang marah kepadaku. Akulah yang berkata
demikian. Tapi dia toh tidak ikut mengatakan begitu, juga tidak mengatakan tidak suka kepadamu, cuma
dia tidak mau mengakui berhubungan intim dengan kau, sebagai anak
perempuan adalah jamak kalau mukanya tipis, di mulut ia tidak banyak bicara, namun hatinya
amat baik terhadapmu. Tadi bukankah dia hendak membalut lukamu" Ai, kau sendirilah yang bersikap
kasar menolak maksud baiknya. Koko, cukup asal kau minta maaf kepadanya urusan kan beres!"
Cau Ho-lian mendengus ringan, katanya: "Kau tidak perlu membela boroknya, bagaimana sikapnya terhadap aku, aku sendiri paham."
Cau Ci-hwi angkat pundak, ujarnya: "Koko, aku sudah salah karena banyak curiga terhadapnya.
Kau sendiri pun jangan terlalu banyak hati."
Di sebelah depan pembicaraan Siau-hujin kebetulan sedang berhenti, lapat-lapat ia mendengar suara
dengusan Cau Ho-lian ini, sontak ia sadar dan berkata: "Aku jadi lupa Ho-lian terluka, apakah bisa jalan?"
Lekas Cau Ho-lian menjawab: "Tidak apa-apa, hanya luka kecil saja terima kasih akan perhatian bibi."
Siau-hujin memperlambat langkah menunggu mereka kakak beradik menyusul datang, katanya tertawa:
"Anak muda seharusnya berkumpul dengan anak muda, Gwat-sian, Lian-kokomu terluka,
kenapa tidak kau temani dia?"
Siau Gwat-sian menyahut tawar: "Piauci baru datang, aku terlalu asyik bicara dengan dia, jadi lupa!"
"Aku tidak akan segera pergi, masih banyak waktu untuk bicara, lekaslah kau rawat luka-luka Cau-toako,"
demikian timbrung Hun Ci-lo.
"Hun-Iihiap," kata Cau Ho-lian. "Terima kasih akan bantuan dan pertolonganmu, lukaku ini hanya luka
ringan saja, tidak banyak mengganggu kesehatanku, tidak usah dirawat segala."-Nada bicaranya
kedengaran kaku dan dingin, semua orang merasakan hal ini. Siau Gwat-sian menggigit bibirnya, tidak
banyak bicara lagi. Rumah kediaman keluarga Siau dan Cau berderetan menjadi tetangga, sambil bicara itu tahutahu mereka
sudah tiba di ambang pintu rumah, segera Siau-hujin mengundang: "Apakah kalian tidak mampir sebentar?"
"Tidak usahlah, keponakanmu baru datang, kami tidak banyak mengganggu lagi."
"Baiklah, anak Lian malam ini kau harus istirahat baik-baik, besok biar kuajak Sian-ji menilik kau."
"Terima kasih!" sahut Cau Ho-lian tawar. Kali ini ayahnya pun merasakan sikap kaku dan nada bicaranya
yang dingin. Cau Siok-toh lantas deliki putranya, katanya: "Lihat betapa bibi Siau amat prihatin akan
kesehatanmu, kau harus tahu banyak di untung."
Sampai di dalam rumah, berkatalah Siau-hujin: "Sian-ji, apakah kau tadi bertengkar dengan engkoh Lianmu?"
"Tidak, dia tidak mau hiraukan aku, masa aku harus membungkuk-bungkuk terhadapnya?"
"Lha, itu kan bertengkar" Kalau tidak bertengkar masa saling purikan segala. Ai, aku jadi tidak paham apa
saja persoalan di antara kalian, hari ini baik, besok berteng-' kar, selalu ada persoalan saja."
Siau-hujin menyangka hanya purikan muda mudi umumnya saja, di luar tahunya bahwa peristiwa hari ini
justru lain dari biasanya.
Piauci-moay yang selamanya belum pernah bertemu hari ini berkumpul, seharusnya hal ini merupakan
suatu yang menggembirakan, namun karena peristiwa tadi siang, hati Siau Gwat-sian menjadi masgul.
Setelah makan malam, duduk sebentar ajak bicara dengan piaucinya, lantas dia berkata kepada ibunya:
"Bu, kepalaku pening." Lalu pergi tidur lebih dulu.
Siau-hujin geleng-geleng kepala, katanya menghela napas: "Bocah ini memang memusingkan kepala! Di
kata besar belum dewasa, dikatakan kecil sudah cukup umur, segala tingkah lakunya, harus selalu kuawasi!"
"Putra keluarga Cau itu cukup baik," demikian ujar Hun Ci-lo. "Kenapa bibi tidak lekas-lekas mengikat
perjodohan mereka saja."
"Beberapa tahun yang lalu usia piaumoaymu masih rada kecil, semula aku hendak menunggu setelah dia
menanjak usia delapan belas baru mengikat pertunangan, siapa sangka belakangan ini mereka
kelihatannya tidak akur malah, entah mengapa selalu purikan, membuat aku kuatir saja."
"Meski sering bertengkar atau purikan biasa, jikalau mereka memang saling cinta pertunangan tetap boleh dilangsungkan. Tapi tunggu satu dua tahun lagi setelah mereka lebih dewasa baru mengikat jodoh
ini juga lebih baik," Hun Ci-lo tahu seluk beluk pertengkaran itu, cuma ia tidak bicarakan kepada bibinya,
dalam hati ia membatin: "Nanti setelah perasaan piaumoay sudah tentram, pasti dia bisa berpikir dengan
cermat siapakah yang harus menjadi pilihannya. Semoga dia tidak seperti keadaanku yang
mengesampingkan jodoh setimpal."
"Benar," ujar Siau-hujin, "kau belum lagi beritahu kepadaku, kau menikah dengan putra
keluarga siapa" Apakah kalian suami istri bisa hidup rukun, kenapa kali ini kau tidak datang bersama
suamimu, apakah ada ganjalan hati yang sulit kau jelaskan?"
Memang Hun Ci-lo punya ganjalan hati yang sulit diterangkan, kata-kata bibinya ini justru menusuk ke ulu
hatinya yang terluka, serta merta merah kedua matanya.
(Bersambung ke Jilid 2) Jilid 2 Siau-hujin menghela napas lalu melanjutkan: "Yang kukuatirkan bahwa budak itu jatuh cinta terhadap
pemuda yang tidak patut dia cintai, tak perlu kita persoalkan dia melukai hati Ho-lian, hubungan kami dua
keluarga juga bakal dia bikin berantakan."
Hun Ci-lo termenung sebentar, lalu katanya: "Hubungan antara muda mudi memang sulit diselami, istilah
jodoh memang sudah ditakdirkan, dulu aku tidak mau percaya, kini aku dipaksa untuk mempercayainya.
Menurut penda-patku, perjodohan putra putri biarlah mereka berkembang dengan sewajarnya. Persoalan
seperti ini sulit dapat diatasi dengan kekuatan manusia."
"Benar sekali ucapanmu, memang aku pun membiarkan saja perkembangan hubungan mereka." Bicara
sampai di sini tiba-tiba Siau-hujin pandang Hun Ci-lo sambil tersenyum aneh, katanya lebih lanjut: "Tapi
bicara mengenai jodoh, Ci-lo, jangan kau marah ya, aku ingin melimpahkan isi hatiku malah."
Hun Ci-lo melenggong, sahutnya: "Aku sudah menjadi janda, masa bisa bicara tentang jodoh segala?"
"Lain kau lain aku, usiamu masih muda belia lantas jadi janda, dalam keadaan seperti kau sekarang,
menurut pendapatku, jikalau kau memperoleh seseorang yang mencocoki hatimu lebih baik menikah lagi
saja." Merah muka Hun Ci-lo, katanya: "Bibi, kau mana boleh bicara demikian" Perutku lagi
mengandung darah daging keluarga Nyo mereka."
Kata Siau-hujin sungguh-sungguh: "Menurut aturan memang tidak pantas aku bicara demikian, namun
aturan dan kesusilaan dalam ajaran-ajaran agama kita jauh bedanya, jangan kau terikat pula oleh undang-undang bobrok yang tidak laku itu. Kau sebagai putri kaum persilatan tidak perlu terkekang oleh
aturan itu." Hun Ci-lo menjadi geli mendengar uraian panjang lebar yang tengik itu, katanya: "Wah bikin bibi mengeluarkan teori-teori dalam buku saja. Tapi, tapi..." Sebetulnya alasan Hun Ci-lo tidak mau menikah
lagi bukan karena terikat oleh aturan-aturan tengik itu.
Sudah tentu Siau-hujin tidak akan mengerti alasannya, melihat orang tergagap segera ia
menukas, sambungnya: "Tapi apa" Aku tahu kau sedang mengandung darah daging keluarga Nyo, justru
karena orok yang bakal lahir itulah maka kuanjurkan kau menikah lagi."
"Usiamu sekarang baru dua puluhan tahun, orok dalam kandunganmu itu harus kau asuh selama sepuluh
dua puluh tahun baru dewasa. Kau sekarang tidak punya tempat meneduh tiada punya sandaran, hanya
aku seorang familimu. Usiaku sudah lima puluh lebih, entah berapa tahun
lagi dapat hidup bersama kau" Apalagi bila kau sudah mendapat sandaran kan jauh lebih baik, setelah
lanjut usia kau punya teman hidup untuk mengecap hari tua bersama."
"Terima kasih akan perhatian bibi, namun hatiku sudah beku seperti tonggak kayu, hakikatnya tidak pernah timbul angan-angan untuk menikah lagi dalam sanubariku."
"Sudah tentu orang yang kumaksudkan harus mencocoki seleramu. Aku tidak akan paksa kau, namun
cobalah dengar penjelasanku, tiada halangannya bukan?"
Terpaksa Hun Ci-lo diam saja, Siau-hujin lantas bicara lagi: "Orang ini bukan saja Bun-bu-coancai (serba
pintar dalam bidang ilmu silat dan sastra), cita-citanya besar berjiwa luhur dan pikiran terbuka, cukup
berwibaw a lagi, boleh dikata merupakan seorang suami idaman setiap perempuan, dialah seorang laki-
laki sejati, seorang gagah perwira."
"Begitu keliwat 'serba' bibi memuji orang itu, aku percaya tidak akan salah. Tapi sayang aku..."
"Kau ingin tahu siapa dia bukan" Dia tak lain tak bukan adalah Miao Tiang-hong yang pernah kau lihat di
atas perahu itu!" Tak urung tertawa getir sanubari Hun Ci-lo, pikirnya: "Ternyata yang dimaksudkan adalah Miao Tiang-
hong. Memang orang itu sesuai apa yang dipujikan tadi. Tapi betapapun dia baik, aku tidak mungkin bisa
menikah padanya. Jangan kata suamiku masih hidup, meski Nyo Bok benar-benar mati, hatiku ini toh
sudah menjadi milik orang lain." Sudah tentu jalan pikirannya ini tidak mungkin ia kemukakan kepada
bibinya. Melihat orang tertunduk diam seperti hatinya sudah tergerak, Siau-hujin mendapat angin, katanya lebih
lanjut: "Tadi kau mengatakan aku mengobral teori, sebetulnya itu hanya pendapat yang pernah kudengar
dari Miao Tiang-hong. Ci-lo, tadi kau ada menyinggung persoalan Ho-lian dengan Gwat-sian, kau pernah
mengatakan biarlah hubungan mereka berkembang sesuai dengan jodoh yang ditakdirkan, maka aku
lantas merasa pendapatmu ini amat cocok dengan teori yang pernah dia ke mukakan, seperti yang dia
jelaskan orang macam kau inilah justru yang sedang dia cari."
"Kalau orang lain tak berani aku menjadi comblang, namun lain pula halnya pada Miao Tianghong ini,
perbuatannya sesuai dengan kata-katanya, apapun yang pernah dia ucapkan pasti
ditepati dan aku berani tanggung dia pasti menyukai kau, untuk itu tak usah kau kuatir dia bakal merendahkan kau sebagai seorang ibu yang sudah mengandung."
"Terima kasih akan maksud baik bibi, apa boleh buat hatiku ini laksana permukaan air yang sudah tenang, air sumur yang tidak akan bergelombang lagi."
Melihat sikapnya kaku dan dingin, Siau-hujin menghela napas, ujarnya: "Baiklah, kalau begitu anggap
saja aku tidak pernah menyinggung persoalan ini."
Memang, sejak itu bibinya tidak pernah menyinggung persoalan Miao Tiang-hong kepada Hun Ci-lo.
Tanpa terasa tujuh hari sudah berselang, Cau Siok-toh belum juga kembali.
Pagi hari itu Hun Ci-lo bangun pagi-pagi benar, karena terlalu iseng seorang diri ia jalan-jalan memasuki
hutan bunga Bwe. Bunga sedang mekar, berwarna merah harum semerbak, selayang pandang warna
merah bertaburan di mana-mana, perasaan kesal Hun Ci-lo seketika tersapu oleh kesegaran hawa sejuk
dan pemandangan yang melapangkan dada.
Berpikir Hun Ci-lo: "Sudah beberapa hari aku tidak pernah berlatih pedang, tiga jurus pedang cepat ajaran
ayah itu, sejak mengalahkan Tiam-jong-siang-sat, agak dapat kuselami intisarinya yang utama serta gerak variasinya, selama ini belum sempat kucoba-coba lagi, cuaca pagi ini sedemikian baiknya biarlah
kucoba-coba tipu-tipu baru yang kupahami itu." Begitukah dalam
hutan bunga Bwe itu ia mulai mengembangkan ilmu pedangnya,, saking bernafsu akhirnya kakinya
mencelat naik, pedangnya berkilat memapas sekuntum bunga Bwe.
Namun dahan pohon rada tergetar sedikit, kecuali kuntum kembang yang terpapas itu,
melayang jatuh pula dua lembar daun pohon. Hun Ci-lo menggeleng kepala, batinnya: "Ilmu pedangku
ternyata belum matang dan sempurna betul."
Ternyata ilmu pedang warisan keluarganya yaitu Sip-hun-kiam-hoat paling mengutamakan kelincahan.
Banyak aliran pedang besar kecil di Tionggoan masing-masing punya kebaikan dan keunggulan masing-
masing, namun bila bicara soal kelincahan dan kecepatan, Sip-hun-kiamhoat dari keluarga Hun ini justru
tiada bandingannya. Terutama tiga jurus pedang cepat cip-taan ayahnya itu, meski perubahannya sangat
banyak dan rumit, namun dapat dilancarkan sekaligus dalam serentetan tipu-tipu yang amat cepat dan
lincah. Ketiga jurus ilmu pedang itu kalau dilatih secara sempurna, dapat seenaknya menurut
keinginan hati memapas sekuntum kembang di atas dahan pohon yang bertaburan bunga itu, dahan tidak
bergeming, daun tidak rontok. Kelopak kembang lain dalam kuntum bunga yang terpapas itu pun tidak
sampai rusak. Sekarang Hun Ci-lo bisa memapas sekuntum kembang, namun dua daun pohon ikut
rontok, ini pertanda bahwa latihan ilmu pedangnya masih jauh dikatakan sempurna.
Hun Ci-lo memusatkan pikiran dan menghimpun semangat, setelah hati kosong dan konsentrasi penuh,
maksud hati berpadu dengan semangat, sementara semangat berpadu pula dengan batang pedangnya,
pelan-pelan mulai lagi ia mengembangkan tipu-tipu pedang baru yang diselami belum lama ini, sampai
babak terakhir, sesuai dengan keinginan hatinya ia berhasil memapas tiga kuntum kembang, tanpa merontokkan daun-daun pohon.
Tiba-tiba didengarnya seorang memuji: "Ilmu pedang bagus!"
Hun Ci-lo berjingkrak kaget, waktu ia angkat kepala, dilihatnya seorang laki-laki berjambang bauk pendek
mengenakan jubah kuning tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya.
Laki-laki jubah kuning berjambang bauk ini bukan lain adalah Miao Tiang-hong.
Tak tertahan jengah muka Hun Ci-lo, seakan isi hatinya kena dikorek oleh orang, ia menunduk malu.
Miao Tiang-hong segera menjura, ujarnya: "Sebetulnya tidak pantas aku mencuri lihat latihan pedang
nona, cuma ilmu pedang permainan nona tadi memang amat menakjubkan, tak tertahan lagi aku jadi
terpesona dan menonton lebih lanjut."
Lekas Hun Ci-lo balas menghormat, katanya: "Miao-siansing terlalu memuji, ilmu pedang ajaran-ku ini
sebenarnya jauh dikatakan sempurna, apalagi dikembangkan di hadapan Miaosiansing sungguh aku malu
diri." Miao Tiang-hong terlongong, katanya: "Maaf akan kecerobohanku, kuberanikan diri bertanya nama nona
yang harum. Agaknya sebelum ini kita belum pernah bertemu?" Hatinya heran, entah dari mana Hun Ci-lo
bisa tahu namanya. "Aku yang rendah she Hun bernama Ci-lo. Siau-hujin adalah bibiku, baru beberapa hari ini aku tiba di
sini." "Kiranya begitu, tak heran beberapa hari yang lalu aku pernah datang, namun belum kulihat
nona!" "Dari penuturan bibi aku pernah dengar, katanya Miao-siansing datang bersama Tan-jikongcu."
"Tidak salah, namun kali ini aku datang karena urusanku sendiri. Tan-kongcu punya urusan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain, kali ini tak bisa dia menemani aku bertamu ke rumah keluarga Cau."
"Kebetulan paman Cau juga sedang pergi setelah kedatanganku hari kedua, katanya hendak
bertandang ke rumah Tan Tayhiap, apakah kalian tidak bertemu?"
"O, begitu, kalau begitu aku jadi kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Cau Siok-toh!"
Lalu ia melanjutkan: "Cau Siok-toh tidak di rumah, biarlah aku bertemu dengan bibimu juga sama
saja. Entah apakah nona Hun masih hendak latihan pedang?"
"Mari kuantar Miao-siansing menemui bibiku."
Begitulah mereka berdua beranjak keluar dari hutan Bwe. Tiba-tiba Miao Tiang-hong berkata:
"Baru pertama kali ini aku bertemu dengan nona, ada sebuah kata-kata entah patut tidak
kutanyakan kepada nona?"
Hati Hun Ci-lo sedang risau, batinnya: "Entah soal apa yang hendak dia tanyakan?" Sebetulnya
dia seorang pendekar perempuan yang berjiwa lapang dan terbuka, bukan nona pinggitan yang
suka mengagulkan diri dan jual mahal, maka dengan sikap wajar dan tenang ia berkata: "Silakan
Miao-siansing katakan!"
"Ilmu pedang Sip-hun-kiam-hoat nona tadi mengutamakan kelincahan dan kecepatan, laksana
kuda terbang mengarungi angkasa, tidak bisa terkendali. Agaknya jauh berbeda dengan sikap dan
tindak tanduk nona di waktu melancarkan jurus-jurus tadi." Maksudnya ia ingin bertanya, kenapa
dalam berlatih ilmu pedang yang hebat lincah itu bersikap murung dan masgul.
Dengan tawar Hun Ci-lo menjawab: "Tidak apa-apa, soalnya aku jadi tidak tega telah
merontokkan dan mengobrak-abrik banyak kelopak-kelopak kembang Bwe yang berserakan di
tanah itu, maka terbayanglah akan kata-kata yang menyedihkan."
"Selamanya aku suka ngelantur bicara, harap nona tidak merasa janggal. Maklumlah hidup
manusia tidak selalu diliputi kesenangan, tiba saatnya dia harus dirundung kepedihan, namun
banyak bersedih lalu mereras diri bukanlah menjadi idaman hidup kaum persilatan macam kita ini,
terutama di atas bukit Tong-ping-san nan indah permai ini, panorama yang elok ini seharusnya
membikin hati kita terbuka lebar. Ah, aku banyak membual saja, nona jangan salahkan
pengetahuanku yang sempit."
Laki-laki yang baru saja dikenal berani bicara secara terbuka dan gamblang, benar-benar
membuat Hun Ci-lo harus berpikir: "Tidak jelek orang macam demikian dijadikan kawan." maka
katanya tertawa: "Aku percaya aku bukan perempuan macam begitu, namun nasehat emas Miaosiansing
betapapun akan selalu kuingat dan banyak terima kasih."
Miao Tiang-hong bergelak tertawa, ujarnya: "Mungkin aku terlalu biasa kelana di kangouw.
Meski ada kerisauan hati setinggi gunung, dalam sekejap saja dapat kulupakan!"
Begitulah sambil bercakap-cakap mereka beranjak, tanpa sadar pembicaraan satu sama lain
teramat cocok, tahu-tahu Hun Ci-lo sudah tiba di depan rumah bibinya.
Melihat Hun Ci-lo kembali bersama Miao Tiang-hong, semula Siau-hujin merasa melengak,
namun kilas lain ia unjuk seri tawa lebar, katanya: "Angin apa yang menghembus kau kembali
lagi" Em, kau sudah kenal keponakan perempuanku, jadi tidak perlu kuperkenalkan lagi padamu."
Setelah masing-masing duduk, berkatalah Miao Tiang-hong: "Aku datang pula untuk menyirapi
sebuah persoalan." Siau-hujin adalah seorang yang bersifat gugup, selanya: "Nanti dulu, aku juga ingin mencari
tahu kepada kau. Kau datang dari rumah keluarga Tan?"
Miao Tiang-hong mengiakan, lalu katanya: "Tan Thian-ih dan Tan Kong-si katanya hendak pergi
ke Thay-san menghadiri berdirinya partai Hu-siang-pay di daerah Tionggoan maka Tan kongcu
tidak bisa ikut aku pula."
"Yang kutanyakan bukan Tan-kongcu, yang ingin kutanyakan, apakah Cau Siok-toh pernah
datang ke rumah keluarga Tan?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah melihatnya."
"Kapan kau meninggalkan rumah keluarga Tan?"
"Tiga hari yang lalu."
Siau-hujin jadi rada kuatir, ujarnya: "Cau Siok-toh sudah tujuh hari meninggalkan rumah,
menurut perhitungan dalam dua hari dia sudah bisa sampai di rumah Tan Thian-ih, namun kau
tidak melihatnya, lalu ke mana saja dia?"
"Ilmu silat Cau Siok-toh cukup tinggi, pengalaman kangouwnya pun cukup matang, masa kau
takut dia bakal hilang" Kupikir mungkin dia langsung menuju ke Thay-san juga. Konon ciangbunjin
Hu-siang-pay Boh Cong-tiu, kali ini hendak mendirikan partai dan menegakkan aliran kakek
moyangnya untuk mengembangkan perguruan, dia mengundang banyak tokoh-tokoh persilatan
umumnya. Meski Cau Siok-toh tidak menerima undangan, adalah karena Boh Cong-tiu tidak tahu
alamatnya. Kukira saudara Cau ada mendengar berita ini, pula ingin ke sana untuk menemui para
kawan yang biasanya sulit ditemukan, kukira dia tidak perlu kuatir Boh Cong-tiu bakal menolak
kedatangannya yang tidak diundang."
Siau-hujin berpikir: "Ya. untuk menyirapi jejak putranya adalah lebih baik Siok-toh langsung
pergi ke Thay-san daripada mencari ke rumah keluarga Tan." Maka segera ia tertawa, katanya:
"Lalu kenapa kau sendiri tidak meluruk ke sana?"
"Sudah tentu aku ingin ke sana, namun aku harus kembali kemari dulu untuk mencari tahu
sesuatu hal, maka tidak mungkin aku menyaksikan keramaian itu."
Dalam hati Siau-hujin sudah paham. "Mungkin dia hendak mencari tahu tentang Lian Kampeh."
Betul juga, Miao Tiang-hong berkata lebih lanjut: "Siau-toaso. setelah aku pergi, adakah
seorang laki-laki she Lian yang mencari aku kemari?"
"Benar, ada seorang laki-laki she Lian yang datang kemari bertingkah kasar. Orang ini tidak
tahu diri, berani dia main paksa dan kekerasan minta orang kepada kami. Mungkin dia adalah
musuhmu bukan?" "Bagaimana akhirnya?"
"Kau harus berterima kasih kepada keponakanku ini. Ci-Iolah yang bantu menggebah lari orang
she Lian itu. He, he, orang itu berani mencari perkara kepadamu, kukira kepandaian silatnya tentu
amat liehay, siapa nyana cukup Ci-lo yang turun tangan terpaksa dia harus melarikan diri
mcncawat ekor. Bahwasanya kepandaian silat orang itu memang cukup tinggi. Untunglah Ci-lo
mengembangkan Sip-hun-kiamhoat, kalau tidak, mungkin tidak mudah menggebah-nya lari."
Hun Ci-lo menjadi kikuk, katanya: "Kepandaian Siang-pit-tiam-su-meh orang-itu memang cukup
hebat, betapa sulitnya, sampai babak terakhir baru aku berhasil menang sejurus, akhirnya paman
Cau dan bibilah yang mengusirnya pergi."
"Tak nyana membikin kesulitan saja bagi kalian," demikian ujar Miao Tiang-hong. "Adalah
kalian tahu asal usul orang she Lian ini?"
"Paling-paling dia anak murid dari Keng-sin-pit keluarga Lian, meski aku kaum perempuan,
kepandaian cetek lagi, masa aku gentar menghadapi keluarga Lian mereka."
"Siau-toaso, kau adalah pendekar perempuan, andai kata paman Lian Kam-peh sendiri dulu
belum dibuat cacat oleh Kim Tiok-liu dan Le Lam-sing, Lian Seng-hou itu pun belum tentu menjadi
tanding-anmu. Tapi yang ditakuti bukan keluarga Lian."
"Lalu siapa dia?"
"Menurut apa yang kutahu, Lian Kam-peh sudah terima menghamba di bawah pimpinan
Pakkiong Bong, itu Komandan Gi-lim-kun!"
Siau-hujin terkejut, katanya: "Maksudmu bahwa dia sudah menjadi anjing alap-alap pihak
keraja-an?" Sementara dalam hati ia membatin: "Ternyata rekaan Cau Siok-toh tepat dan menjadi
kenyataan." "Benar, dia bekerja secara gelap bagi kepentingan kerajaan, sesama kawan kangouw belum
banyak yang tahu. Masih banyak lagi sampah persilatan seperti dia itu. Ciok Tio-ki yang mendadak
menghilang dan tak terdengar pula namanya di kangouw pun merupakan salah satu tokoh macam
mereka itu." Meski Siau-hujin simpatik terhadap tokoh-tokoh pahlawan melawan pemerintah kerajaan,
namun dia sendiri segan terlibat di dalam pertikaian itu secara langsung. Diam-diam ia berpikir:
"Dendam sakit hati suamiku belum lagi kutuntut balas, jikalau menjadi buronan pemerintah, bakal
menambah kesulitan saja bagi kami."
"Siau-toaso, aku jadi tidak enak hati, merembet dan bikin susah kalian saja. Ai, tempat ini
mungkin kalian tidak bisa tinggal lebih lama lagi."
Betapapun Siau-hujin seorang perempuan yang berjiwa patriot, meski rada kuatir, namun ia
bisa berpikir: "Urusan sudah terlanjur, apa gunanya main takut-takut?" Karena pikirannya ini,
timbul keberaniannya, katanya tertawa: "Yang terang kami sudah biasa luntang-lantung, anggap
empat lautan sebagai tempat berteduh kami. Tapi, Miao-toako, sebelum ini aku masih belum tahu,
bahwa kau adalah seorang tokoh dari pasukan pergerakan malah."
"Tokoh-tokoh dari pasukan pergerakan ada beberapa orang yang kukenal, bicara masuk
pasukan pergerakan menjadi seorang thaubak umpamanya, rasanya aku masih belum setimpal!"
"Ah, Miao-siansing terlalu sungkan," timbrung Hun Ci-lo.
"Bukan sungkan, aku seumpama kuda liar yang tidak sudi dipingit, seumpama aku ada
keinginan masuk menjadi anggauta pasukan pergerakan, belum tentu mereka sudi menerima
diriku." Habis berkata ia bergelak tertawa.
"Lalu untuk apa pula I^ian Kam-peh itu kemari hendak menangkap kau, adakah perselisihan
pribadi saja?" tanya Siau-hujin.
"Perselisihan pribadi memang ada, namun bukan perkara besar. Kira-kira lima tahun yang lalu,
pada suatu hari aku lewat di Lian-keh-cheng, kebetulan kusaksikan dia sedang bentrok berebutan
jalan dengan seorang petani. Waktu itu, mungkin Keng-sin-pit-hoatnya belum lagi berhasil
dilatihnya, belum lagi terima menghamba di bawah perintah Pakkiong Bong."
"Bersama petani itu mereka mendatangi dari dua jurusan yang berlawanan, akhirnya bertemu
di atas sebuah jembatan tunggal yang terbuat dari dahan pohon. Petani itu memikul dua tahang
berisi kotoran manusia, sudah tentu dia tidak leluasa berputar atau mundur kembali. Sementara
dia sendiri pun tidak mau mengalah."
"Karena dua pihak sama-sama kukuh lalu bertengkar, adalah lazim kalau bertengkar pasti
kelepasan mulut memaki dengan kata-kata kotor, demikianlah petani itu telah memakinya. Keruan
Lian Kam-peh naik pitam, jengeknya dingin: 'Baik, kau tidak mau mengalah, silakan kau berdiri di
sini saja!" Ringan-ringan saja kipas lipatnya bergerak menotok jalan darah petani itu, lalu dengan
sikap yang dibuat-buatnya dia mengolok-olok: 'Baiklah, terserah berapa lama kau suka berdiri di
sini, kecuali kau minta ampun kepadaku, mohon aku membebaskan dirimu, kalau tidak jangan
harap kau bisa jalan pulang, tiada orang yang mampu menolong kau pula.' Habis berkata lalu ia
mengencangkan celana dan melipat jubahnya melompat terbang melampaui atas kepala si
petani." "Aku jadi dongkol melihat kelakuannya yang gila-gilaan dan takabur menghina dan menganiaya
petani yang tidak bisa apa-apa. maka sengaja aku ingin mempermainkannya. Di saat ia
melambung tinggi melampaui atas kepala si petaju menggunakan gaya Ui-kiau-jong-thian (burung
kuntul melambung ke langit), kusambitkan dua butir batu ke dalam gantang besar yang berisi
kotoran manusa itu, sehingga kotorannya menciprat keluar dan mengotori jubahnya yang putih."
"Sudah tentu dia menjadi murka dan mencak-mencak seperti kebakaran jenggot, dengan muka
merah padam meluruk ke arah diriku, namun akhirnya toh dia tidak berani mengumbar adatnya."
Hun Ci-lo menjadi tertarik dan merasa lucu, katanya tertawa: "Laki-laki kasar yang tidak aturan
dan main kekerasan seperti dia itu memang pantas dihajar adat, cara itu memang tepat sekali.
Kenapa dia tidak berani mengumbar adatnya?"
"Di lain kejap kusambitkan pula sebutir kerikil membebaskan totokan jalan darah si petani.
Bahwa mendadak bisa bergerak dan jalan lagi sudah tentu si petani amat keheranan, disangkanya
dia telah disihir dan dipermainkan dengan ilmu hitam, ilmu hitamnya itu kebetulan dibebaskan oleh
malaikat yang kebetulan lewat dan menolong dirinya. Maka sambil menggerutu dan mengumpat
caci, dia pikul kedua gantang kotoran manusia itu pulang ke rumahnya."
"Melihat aku bisa, membebaskan ilmu toloknya Lian Kam-peh tidak berani segera mengumbar
amarahnya, dia tanya namaku. Baru sekarang berkesempatan kujelaskan kepadanya, bukan
sengaja aku hendak mencari permusuhan dengan dia, soalnya tadi kau mengatakan ilmu totokmu
tiada orang yang mampu membebaskannya, maka baru aku memberanikan diri mencoba-coba.
Mungkin Lian Kam-peh sudah tahu di kalangan kangouw adanya orang macam tampangku ini,
setelah mendengar namaku, tanpa banyak bicara ia tinggal mengeloyor pergi."
"Bagi seorang rendah yang merasa dihina, dan kena malu selalu mesti menuntut balas,"
demikian ujar Siau-hujin. "Tapi konon ilmu totok keluarga Lian mereka merupakan ilmu tunggal
yang tiada bandingannya di bulim yang tidak diturunkan kepada orang luar, cara bagaimana pula
kau membebaskan totokannya itu?"
"Keng-sin-pit-hoat dari keluarga Lian memang tidak bernama kosong, namun ilmu ini harus
dilancarkan bersama dua orang, melancarkan ilmu Su-pit-tiam-pat-hiat, baru bisa
mengembangkan perba-wanya yang tulen. Lian Kam-peh sendiri belum lagi sempurna mempelajari
Keng-sin-pit-hoat, dia ' hanya seorang saja, tempat yang dia totok pun bukan jalan darah yang
tersembunyi, maka dapatlah aku membebaskannya. Kalau bertempur sungguhan, bentrok dengan
Su-pit-tiam-pat-meh, mungkin aku hanya bisa berjaga melindungi diri supaya tidak sampai
tertotok oleh mereka."
"Meski begitu, kau mampu memecahkan ilmu totok keluarga Lian yang tunggal itu,
pengetahuan ilmu silatmu ini sudah boleh dikata cukup dalam dan luas, sungguh harus dipuji,"
demikian ujar Siau-hujin.
"Siau-toaso," ujar Miao Tiang-hong, "terima kasih akan tempelan emas ke kulit mukaku,
untunglah kulit mukaku cukup tebal, kalau tidak selebar mukaku ini bisa merah padam saking
malu." Di luar tahunya bahwa Siau-hujin memang sengaja hendak memujinya di hadapan Hun Cilo.
Berkatalah Hun Ci-lo: "Hari itu dengan garang dia meluruk datang, jikalau hanya karena
persoalan sekecil ini kukira urusan tidak bakal terjadi begitu menegangkan."
"Memang sudah tentu bukan hanya perkara kecil saja lantas dia meluruk kemari, sekarang dia
adalah pembantu Pakkiong Bong, di dalam Gi-lim-kun dia punya tugas-tugas khusus yang tidak
terdaftar. Boleh dikata dia bekerja hanya demi kepentingan pribadinya pula, meminjam tugas dia
hendak menuntut balas sakit hatinya dulu. Soalnya meski aku tidak masuk pasukan pergerakan,
beruntunglah karena aku terpandang oleh Pakkiong Bong, di dalam daftar buku hitamnya aku pun
dicantumkan sebagai buronan pemerintah kerajaan yang utama pula."
Siau-hujin terkejut, tanyanya: "Cara bagaimana kau bisa menjadi buronan pemerintah?"
"Beginilah duduk perkaranya. Di kalangan kangouw terdapat sebuah Thian-li-hwe, apakah
kalian tahu mengenai perkumpulan ini?"
"Kabarnya Thian-li-hwe merupakan sebuah kumpulan orang-orang gagah melawan pemerintah
kerajaan, pejabat thocu yang sekarang bernama Lim To-kan, usianya belum mencapai tiga puluh
tahun, dia adalah murid Kang Hay-thian tokoh nomor satu di seluruh dunia persilatan. Apakah
benar apa yang kuketahui ini?" demikian tutur Siau-hujin.
"Benar. Kang Hay-thian punya empat murid. Murid terbesar Yap Boh-hoa menjadi wakil
pimpinan gerilya di Tay-liang-san, murid kedua Ibun Hiong adalah pendekar kelana di kangouw,
Lim To-kan berkedudukan nomor tiga, dia masih punya seorang sute bernama Li Kong-he,
menjabat wakil thocu dari Thian-li-hwe pula. Dengan Kang Hay-thian atau murid-muridnya aku
tidak kenal, namun di dalam Thian-li-hwe aku punya seorang kawan lama, orang ini benama Cai
Moh. Ayahnya adalah Cai Kin pernah menjabat congpiauthau dari Tin-wan Piaukiok yang
berkedudukan di kota raja."
Siau-hujin kembali terkejut, serunya: "Bukankah pejabat congpiauthau Tin-wan Piaukiok yang
terdahulu bernama Han Ki-gwan?"
"Justru Cai Kin ini kena disikut oleh Han Ki-gwan, jabatan cong-piauthaunya jauh lebih dulu dari
Han Ki-gwan. Sudah tentu mengapa dia meninggalkan usahanya mempunyai sebab-sebab
tertentu, di sini tidak perlu kujelaskan secara terperinci."
Siau-hujin berlega hati, batinnya: "Kiranya begitu, jadi dia pun punya pertikaian dengan musuh
besarku. Kalau tidak, bila bicara dengan Miao Tiang-hong paling tidak ada ganjalan yang perlu
kuperhatikan juga." Miao Tiang-hong melanjutkan: "Tahun yang lalu pernah aku ke Poting, ke markas besar Thianli-
hwe menyambangi Cai Moh, maksudku semula ingin sekali berkenalan dengan Lim dan Li kedua
thocunya. Tak nyana kebetulan Lim To-kan dan Li Kong-he kebetulan tiada di rumah, di dalam
Thian-li-hwe aku bertamu beberapa hari menunggu mereka pulang, siapa tahu, malam ketiga
mendadak kami kena disergap dan diserang."
Bercekat hati Siau-hujin, tanyanya: "Siapa yang bernyali begitu besar, berani menyerang ke
markas besar Thian-li-hwe?"
"Mereka adalah tokoh-tokoh kuat dari pasukan Gi-lim-kun yang diutus datang oleh Pakkiong
Bong, seluruhnya berjumlah delapan belas orang, yang menjadi pimpinan adalah suheng Pakkiong
Bong yang bernama Sebun Soh, ilmu silat orang ini katanya lebih rendah dari sutenya, namun
Hian-im-ciang yang dia latih sungguh amat ganas dan berbisa. Lim dan Li kedua cocu tiada di
rumah, musuh terlalu tangguh, Cai Moh dan aku berjuang mati-matian di garis depan melindungi
para saudara Thian-li-hwe melarikan diri. Dalam pertempuran yang sengit itu Cai Moh terluka
parah dan akhirnya meninggal. Aku berhasil memukul mati tujuh jagoan kosen, namun terkena
pula sekali pukulan Sebun Soh, untung aku masih sempat melarikan diri. Namun sejak saat itu
menjadi buronan .pemerintah juga." Lalu dia membuka baju sebelah atas, tampak di tengah
dadanya bercap sebuah telapak tangan seperti dicap dengan besi panas.
Miao Tiang-hong tertawa getir, katanya: "Inilah tanda yang diberikan oleh Sebun Soh pada
malam itu. Untung baru saja aku berhasil melatih Hou-teh-sin-kang, kalau tidak sungguh aku tidak
berani membayangkan akibatnya."
Melihat bekas pukulan telapak tangan itu, tak urung Siau-hujin dan Hun Ci-lo sama kaget dan
merinding. Kata Miao Tiang-hong: "Tahun yang lalu Lian Kam-peh ini mencantumkan namanya di dalam
Gi-lim-kun dengan pangkat tituler (preman), jadi dia menjadi anjing alap-alap secara sembunyi
yang bertugas dengan cara menggelap pula. Malam itu dia tidak meluruk datang bersama Sebun
Soh." "Pakkiong Bong dan Sebun Soh tidak tahu asal-usul serta nama dan riwayat hidupku, menurut
rekaanku, mungkin Lian Kam-peh yang mengagulkan diri suka bekerja bagi pemerintah kerajaan
hendak meringkus aku. Hanya ia seoranglah yang kenal aku di antara bawahan Pakkiong Bong
yang sekian banyaknya. Secara langsung tugas ini menjadi tanggung jawabnya pula."
Beberapa hari yang lalu kebetulan dia kena kita gebah lari, malah sedikit kena luka, kukira tidak
mungkin bisa begitu cepat mengundang bantuan tokoh kosen meluruk balik pula. Maka lebih baik
kau tinggal saja beberapa hari di sini, setelah Cau Siok-toh pulang, biar kita merancang cara
menghadapi mereka lebih lanjut."
"Kalau paman Cau langsung pergi ke Thay-san, entah berapa lama lagi baru akan kembali,"
demikian timbrung Hun Ci-lo.
Miao Tiang-hong tahu bahwa Siau-hujin berat meninggalkan rumahnya, katanya: "Waktu
datang aku sudah mendapat sebuah akal. Tidak perlu aku takut mereka datang, yang kukuatirkan
justeru mereka tidak datang."
"Rencana apa yang akan kau lakukan?" tanya Siau-hujin heran.
"Kalau mereka berani meluruk datang biar aku yang menyelesaikan persoalan ini dengan
mereka. Bagaimanapun dan apa saja yang terjadi jangan sekali-sekali kalian ikut turun tangan.
Kampung Setan 7 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Anak Pendekar 19
^