Kisah Membunuh Naga 1
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 1
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Original Author: Jin Yong (Chin Yung)
Original Title: Yi Tian Tu Long Ji
(Heaven Sword and Dragon Sabre)
BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Tjan Ebook by Dewi KZ ===============================
Jilid 1 MUSIM semi gembira-ria,
Setiap peringatan Han-sit,
Bunga Lee-hoa mekar semua.
Sutera putih licin, Bau harum bertebaran, Pohon2 bagaikan giok, Tertutup salju berhamburan.
Malam yang sunyi, Sinar yang mengambang, Cahaya, yang dingin. Diantara bumi dan langit,
Sinar perak menyelimuti semesta a1am.
Ah, dia bagaikan Dewi dari gunung Kouwsia,
Bakatnya cerdas dan suci,
Wataknya agung dan murni.
Laksaan sari bunga besar kecil tak ketentuan,
Tapi siapa berani mengatakan, dia tak
berendeng dengan bunga2 kenamaan"
Jiwanya gagah, Kepintarannya berlimpah2,
Sesudah rontok, semua sama.
Maka itu, dia pulang kekeraton langit'
Guna melihat keindahan nan ABADI.
Sajak diatas sajak "Bu siok liam" (Cita2 hidup bebas dari segala keduniawian), adalah buah kalam seorang ahli silat ternama dijaman Lan-song (kerajaan Song Selatan). Orang itu she Khu bernama Cie Kie (Kee) bergelar Tiang cun cu, salah seorang dari Coan cin Cin Cit cu (Tujah Cu dari agama Coan cin kauw)
Dalam sajak itu Khu Cie Kie bicara tentang bunga Leehoa. Tapi sebenarnya, dalam melukiskan keagangan bunga Leehoa, is ingin memberi pujian kepada seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian serba putih. la membandingkan wanita itu seperti "Dewi dari gunung Kouw sia, bakatnya cerdas dan suci, wataknya agung dan murni." Ia memujinya sebagai manusia yang "jiwanya gagah kepintarannya ber-limpah2."
Siapakah wanita yang mendapat pujian sedemikian tinggi dari seorang, beribadat yang berilmu itu "
Ia adalah Siauw Liong Lie, seorang jago betina partai Kouw bok pay (partai Kuburan tua). Ia suka mengenakan pakaian serba putih, sehingga se-olah2 pohon giok yang tertutup salju Dengan sifat2nya yang bersih dingin is se-akan2 sinar rembulan yang menyelimuti semesta alam dengan sinarnya yg teduh dan dingin.
Waktu masih berdiam di Ciong Lan Sam Siauw Liong Lie pernah jadi tetangga Kho Cie Kie dan sesudah melihat gadis itu yang elok luar biasa. Cie Kie segera menulis sajak "Bu siok-liam" untuk memujinya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi sekarang Kho Cie Kie sudah lama meninggal dunia, sedang Siauw Liong Lie pun sudah menikah dengan Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Akan tetapi, pada suatu hari, dijalanan gunung Siauw sit san, di propinsi Holam, terlihat seorang gadis remaja yang sedang berjalan sambil menundukkan kepada dan menghafal sajak "Bu siokliam."
Gadis itu, yang berusia kira-kira delapan belas tahun dam mengenakan pakaian warna kuning menunggang seekor keledai kurus. Perlahan-lahan binatang itu mendaki jalanan gunung yang sempit.
Sambil termenung2 diatas tunggangannya, sinona berkata dalam hatinya. "Ya ! Memang juga, hanialah seorang seperti Liong Cie-cie yang pantas menjadi isteri dia."
"Dia" adalah Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Keledai berjalan terus, perlahan-lahan.
Si nona menghela papas dan berkata dengan suara perlahan. "Berkumpul gembira, berpisahan menderita......"
Gadis tersebut, yang berpakaian sederhana dan yang pada pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek, berjalan dengan paras muka tenang, sehingga dengan muka sekelebatan saja, orang bisa menebak, bahwa ia adalah seorang yang sadah biasa berkelana dalam dunia Kang-ouw. Ia berada dalam usia remaja, usia riang gembira. Menurut akuran biasa, dalam usia belasan, pemuda atau pemudi tak mengenal apa yang dinamakan penderitaan atau kedukaan. Akan tetapi, nona itu berada di luar dari ukuran biasa. Pada paras mukanya yang cantik bagaikan sekuntum bunga mawar, terlihat sinar yang guram. Alisnya berkerut, seolah-olah serupa pikiran berat sedang menindih hati iya.
Nona itu she Kwee bernama siang, puteri ke dua dari Tayhiap Kwee Ceng dan Liehiap Oey Yong.
Dalam dunia Rimba Persilatan, ia di juluki sebagai "Siauw-tong-sia" (si Sesat kecil dari Timur). Dengan seekor keledai dan sebatang pedang, ia berkelana untuk menghilangkan kedukaan. Tapi diluar dugaan semakin jauh ia berkelana mendaki gunung2 yang indah dan sunyi semakin besar kedukaannya.
Jalan kecil itu, dibuat atas perintah Kaizar Kocong dari kerajaan Tong, untuk memudahkan lalu lintas kekuil Siau-lim-sie.
Sesudah berjalan beberapa lama, Kwee Siang melihat lima buah air terjun di gunung seberang dan dibelakang sebuah tikungan, apat2 terlihat tembok dap genteng dari se buah kuil yang besar luar biasa.
Sambil mengawasi bangunan2 yang berderet, si nona berkata dalam hatinya. "Semenjak dulu Siauw lim sie dikenal sebagai pusat pelajaran ilmu silat. Tapi mengapa, selama dua kali diadakan pertandingan di puncak gunung Hwa-san, diantara lima jago utama tidak terdapat orang yang berkepandaian Cukup tinggi" Atau apakah, karena sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi, mereka sung kan mencampuri segala pergaulan di dalam dunia?"
Sambil berpikir, ia mendekati kuil itu.
Ia turun dari tunggangannya dan menuju ke pintu kelenteng. Ia melewati pohon2 itu yang berdiri sejumlah pay batu yang sebagian besar sudah rusak, sehingga hurup2nya tak dapat dibaca lagi.
Si nona menghela napas. "Ah ! Huruf2 yang terpahat di pay batu sudah hampir tak terbaca karena lamanya tempo, tapi mengapa, huruf2 yang terukir dalam hatiku, semakin lama jadi semakin tegas ?"
katanya di dalam hati. Dalam saat, ia berpapasan dengan sebuah pay batu yang sangat besar dengan hurufnya yang masih dapat di baca. Pay itu ternyata hadiah Kaizar Tong-thay-tong sebagai pujian untuk jasa-jasanya para pendeta Siauw-lim-Sie
Menurut catatan sejarah, pada waktu masih jadi Raja muda Cin-ong, Tong-thay-cong pernah membawa tentara untuk menghukum Ong Sie Oen. Dalam peperangan itu, bajak pendeta siauw-lim-sie memberi bantuan dan yang paling terkenal berjumlah tiga belas orang. Antara mereka itu, hanya seorang she Tham yang suka menerima pangkat jenderal sedang yang lainnya, sesudan peperangan selesai, lantas meminta diri. Tong-thay-cong tak dapat menahan mereka dan sebagai pernyataan terima kasih kepada setiap orang, ia menghadiahkan satu jubah pertapaan yang sangat indah.
"Pada jaman antara kerajaan Su dan Tong ilmu silat Siau Lim sie sudah tersohor dikolong langit," kata Kwee Siang di dalam hati.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Selama beberapa ratus tahun, ilmu silat itu tentu sudah memperoleh banyak kemajuan. tahu berapa banyak orang yang berilmu bersembunyi dalam kuil yang besar ini?"
Selagi dia melamun dibelakang pohon, tiba2 terdengar suara berkerincingnya rantai besi, disusul dengan suara seseorang yang sedang menghafal Hud keng (Kitab Suci agama Budha. ). Antara perkataan2 yang di hafal ia menangkap kata2 seperti berikut.
"... Dari cinta timbul ke jengkelan, dari cinta timbul ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan."
Jantung si nona memukul keras. Ia bengong mengulangi kata2 itu. "Dari cinta timbul ke jengkelan dan ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan."
Dilain saat, suara kerincingan rantai besi dan suara pembacaan Kitab Suci sudah jadi semakin jauh.
"Aku mesti tanya dia," kata si nona dalam hati. "Aku mesti tanya, bagaimana seseorang bisa menyingkir dari cinta, bisa terbebas dari kejengkelan dan ketakutan". Buru-buru ia mengikat tali les keledai disatu pohon dan lalu mengubar kearah suara itu.
Ternyata, dibelakang pohon2 terdapat satu jalan kecil yang menanjak keatas dari seorang pendeta yang memikul dua tahang besar sedang naik ditanjakan itu.
Dengan cepat Kwee Siang mengudak dan waktu berada dalam jarak belasan tombak dari si pendeta, tiba2 terkesiap. la mendapat kenyataan, bahwa yang dipikulnya sepasang tabang besi yang tiga kali lipat lebih besar dari tahang biasa. Yang mengejutkan ialah, dileher, di tangan dan dikaki sipendeta dilibatikan rantai besi yang besar, sehingga menimbulkan suara berkerincingan. Berat kedua tahang besi itu ratusan kati dan ditambah dengan air dapat dibayangkan betapa beratnya.
".. Toah hweeshio (pendeta besar) "teriak si nona. "Berhenti dulu ! Aku ingin bertanya."
Si pendeta menengok, mereka saling memandang. Pendeta itu ternyata Kak-wan yang pada tiga tahun berselang pernah bertemu Kwee Siang di puncak ganung Hwa-san.
Si Nona tahu, biarpun pendeta itu agak tolol, ia memiliki Lweekang yang sangat tinggi, yang tak kalah dari siapapun juga. "Ah! Kukira siapa," katanya. "Tak tahunya Kak kwan Taysu. Mengapa kau jadi begini
?" Kak kwan manggut kan kepalanya sambil tersenyum dan merangkapkan kedua tangannya, tapi ia tak menjawab pertanyaan si nona. Lalu ia memutar badan dan berjalan pula
"Kak Wan Taysu !" teriak Kwee Siang. "Apakah tidak mengenal aku " Aku Kwee Siang!"
Kak wan kembali menengok, ia tertawa dan memanggut2kan kepala, tapi kakinya bertindak terus.
"Siapa yang mengikat kau dengan rantai?" tanya sinona. "Siapa yang menghina kau?"
Sambil berjalan terus Kak wan menggoyang2 tangan kirinya dibelakang kepala, sebagai isyarat supaya sinona jangan terlalu melit.
Kwee Siang jadi semakin heran. Mana ia bisa puas dengan begitu saja" Ia segera mengudak untuk mencegat pendeta yang aneh itu, tapi diluar dugaan, sesudah mengubar beberapa lama, Kak wan yang dilibat rantai dan memikul tahang, masih tetap berada disebelah depan. sinona jadi jengkel. Ia mengempos semangat dan mengudak dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Bagaikan seekor walet tubuhnya yang langsing melesat kedepan dan satu tangannya coba menjambret sebuah tahang.
Menurut perhitungan, jambretan itu tak akan melesat. Tapi diluar dugaan, tangan Kwee Siang jatuh di tempat kosong, hanya kacek dua dim dari tahang itu.
"Toahweeshio ! Lihay benar kau !" teriaknya. "Lihatlah! Biar bagaimanapun juga aku akan menyandak kau."
Jalanan semakin menanjak,kebelakang gunung. Dengan tenang Kak Wan percepat tindakannya, sehingga berkerincingnya rantai jadi semakin ramai. Si ubar dengan sekuat tenaga, nafasnya tersengal2, tapi ia terpisah kurang lebih setombak dari pendeta ltu. Ia kagumi bukan main dan berkata dalam hatinya :
"Diatas gunung Hwa-san, ayah dan ibu pernah mengatakan, bahwa hweeshio ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Waktu itu aka masih percaya. Sekarang baru terbukti, perkataan ayah dan ibu adalah benar."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tak lama kemudian merekapun tiba didepan sebuah rumah kecil dan Kak Waa sagera pergi kebelakang dam menuang air kedua tahang itu kedalam sumur. Kwee siang jadi lebih heran. "Toa hweeshio, apa kau sudah gila" " tanyanya. "Mengapa kau menuang air kedalam sumur?"
Paras muka sipendeta tetap tenang. Ia hanya tersenyum.
Mendadak Kwee siang tertawa nyaring. " Ah! Kutahu sekarang," katanya. "Kau sedang melatih ilmu silat bukan ?"
Kak Wan kembali meng-geleng2kan kepala.
Sinona jadi mendongkol. "Kau seorang gagu, barusan aku mendengar kau menghafal Kitab Suci."
katanya. "Mengapa kau tak mau menjawab pertanyaanku ?"
Si pendeta merangkap kedua tangannya, Sedang dilihat dari paras mukanya, ia seperti ingin meminta maaf. Tapi ia tetap membungkam dan sesudah mengangkat kedua tahangnya, ia lalu turun di jalanan tadi.
Kwee siang melongok sumur itu. Ia hanya melihat air yang bening dan merasakan hawa yang dingin.
Tiada apapun yang luar biasa.
Ia berdiri bengong dan hati bimbang mengawasi bayangan Kak wan yang semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah menguber mati matian, ia merasa letih dan lalu duduk dipinggir sumur sambii memandang keadaan diseputarnya. Ia berada di tempat yang lebih tinggi dari pada kuil Siauw liem sie. Di pandang dari jauh kuil itu, angker dan indah. Ia mendongak dan memandang puncak. yang menjulang kelangit dan berderet2 bagaikan sekosol, sedang di bawah puncak2 itu terdapat awan putih yang mengambang kian kemari. Di lain saat, sayu sayu kupingnya mendengar suara lonceng di kuil yang dibawa keatas olen tiupan angin. Dalam keadaan begitu, ia merasa berada di suatu tempat suci yang jauh dari keduniawian.
"Kemana perginya murid si pendeta itu?" tanyanya di dalam hati. "Kalau dia sendiri tak mau bicara, biar kucari itu." Perlahan lahan ia turun gunung untuk mencari Thio Kun Po, murid Kak wan.
Sesudah berjalan beberapa lama, ia kembali mendengar suara berkerincingnya rantai besi dan jauh-jauh Kak wan kelihatan mendatangi sambil memikul dua tahang besinya. Kwee siang baru baru melompat dan menyembunyikan diri di belakang pohon. "Biarlah aku intip padanya." pikirnya,
"Permainan gila apa yang tengah dilakukannya?"
Tak lama kemudian, Kak wan sudah tiba di tempat bersembunyinya. Kwee Siang yg mendapat kenyataan, bahwa sambil berjalan pendeta itu membaca sejilid buku dengan penuh perhatian. Mendadak ia melompat dan berteriak. " Toah wee shio, buku apa yang di baca olehmu ?"
"Aduh ! Kaget benar aku !" teriak sipendeta tanpa merasa. "Nakal sungguh kau!"
Si nona tertawa geli. "Toa hwee shio, mengapa tadi kau berlagak gagu ?" tanyanya dengan dada mangejek,
Muka pendeta itu lantas saja berubah pucat, seperti orang ketakutan. Ia menegok ke Kiri kanan dan menggoyang-goyangkan tangannya.
"Apa yang di takuti olehmu ?" tanya pula Kwee Siang dengan perasaan heran.
Sebelum Kak wan keburu menjawab, dari dalam hutan mendadak muncul dua orang pendeta yang mengenakan jubah kuning. "Kak wan!" bentak sipendeta yang jalan didepan. "Hm! Kau berani bicara dan melanggar larangan kami " Hm! Kau berani bicara dengan seorang luar. Apa pula demang seorang wanita. Sekarang kau harus menghadap pada tetua Kayloet tong (dewan per udang-undangan dari kalangan Buddha)."
Kak wan kelihatan berduka. Ia menunduk dan mengguk, akan kemudian berjalan mengikuti dibelakang kedua pendeta itu.
Kwee Siang lantas saja naik darahnya "Hai ! Dikolong langit mama ada aturan tak boleh bicara ?"
bentaknya. "Aku bicara dengan Tay su itu, karena aku mengenalnya. Ada sangkut paut apakan dengan kau berdua ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Pendeta yang bertubuh jangkung melotot matanya. "Semenjak ribuan tahun, seorang wanita belum pernah dipermisikan masuk kedalam daerah Siauw lim sie."
katanya. "Lebih baik nona cepat-capat turun gunung supaya tidak menghadapi kesukaran."
Sinona jadi semakin gusar. "Eh, kalau wanita masuk disini, mau apa kau?" bentaknya." Apa perempuan tak sama dengan lelaki" Mengapa kamu menyusahkan Kak wan Taysu" Sesudah mengikatnya dengan rantai besi, kau mengeluarkan larangan gila-gila."
Si jangkung mengeluarkan suara dihidung "Kaizar sendiri tak pernah mencampuri urusan dalam kuil kami," katanya dengan suara tawar.
"Nona tak usah banyak bicara."
Kwee Siang berjingkrak. "Kutahu Kak wan Taysu seorang baik dan karena ia seorang baik, kau berani menghinanya," katanya. "Huh-huh! Dimana adanya Thian beng Siansu, Bu sek Hweeshio dan Bu Siang Hweeshio" Panggil mereka" Aku mau menanyakan urusan gila ini!"
Kedua pendeta itu terkejut. Harus diketahui, bahwa Thian beng Siansu adalah Hongthio atau kepala dari kuil Siauw lim sie, sedang Bu sek Siansu pemimpin Lo-han-tong Pan Bu siang Siansu pemimpin Tak mo tong dengan kedudukan yang sangat tinggi, mereke dihormat oleh segenap pendeta yang belum pernah berani menyebutkan Hoat nia (nama sesudah jadi pendeta) mereka dan biasa menggunakan panggilan "Loo hong thio" "Lo han tong Co-su" atau "Tat mo tong Cocoa. " Maka itu, tidaklah heran jika mereka kaget tercampur gusar waktu mendengar sinona menyebut nama ketiga, pemimpin dengan suara kasar.
Hoat mia pendeta yang bertubuh jangkung itu, adalah Hong bang, muria kepala Co cu (pemimpin) Kay Loet tang. Atas perintah cu cu, bersama Hong yan, adik seperguruannya ia menilik gerak-gerik Kak kwan. "Lie sie cue (nona) !" bentaknya sambil menahan amarah. "Jika kau terus berlaku kurang sopan di tempat yang suci ini, Siauwceng tak akan berlaku sangkan lagi."
"Kau kira aku takut ?" Kwee Siang balas membentak. "Lekas buka rantai yang meli- bat Kak wan Taysu. Jika tidak, aku akan cari Thian beng Loo hwaeshio untuk berurusan lebih jauh."
Bagaimana siauw tong sia Kwee Siang bisa berada di gunung Siaw sit san "
Sesudah berpisah dengan Yo Ko dan Siauw Liong Lie dipuncak Hwa san, tiga tahun lamanya ia tak pernah menerima warta tentang kedua sahabat itu. Karena berkuatir, ia segera minta permisi dari kedua orang tuanya untuk pesiar keberbagai tempat, dengan tujuan mendengar berita tentang Yo Ko. la bukan terlalu ingin bertemu muka dengan kedua suami isteri itu. Ia sudah merasa puas jika bisa mendengar warta tentang sepak terjang mereka. Tapi semenjak berpisah, Yo Ko dan Siauw Liong Lie tak pernah muncul dalam dunia Kangouw. Tiada orang tahu dimana mereka menyembunyikan diri. Sesudah berkelana disebagian besar wilayah Tiong go an, dari utara keselatan, dari timur kebarat, belum pernah Kwee Siang nendengar disebut-sebutnya, nama "Sintiauw Tayhiap Yo Ko."
"Waktu tiba dipropinsi Holam, dia ingat dulu Yo Ko pernah mengatakan bahwa ia kenal Hong thio dari, kuil Siauw Lim sie. Mengingat begitu dalam hatinya muncul harapan, kalau Thian beng SianSu mengetahui segala sesuatu mengenai Yo Ko. la lalu mendaki Siauw sit san, tapi tak dinyana, begita tiba ia bertemu dengan kejadian mengheran kan.
Melihat dipinggang Kwee Siang tergantung sebatang pedang pendek, Hong beng dan Hoang yan jadi semakin gusar. "Tinggal kan pedangmu disini dan lekas pergi dari gunung!" bentak Hoang yang dengan mata melotot.
Mendengar perintah itu, kegusaran sinona jadi bertambah2. Ia membuka ikatan tali pedang dari pinggangnya dan sambil menggusarkannya dengan kedua tangan ia berkata seraya tertawa dingin.
"Baiklah, aku menurut perintah!"
Semenjak kecil Hongyan sudah mencucikan diri dikuil Siauw Lim sie. Selama belasan tahun, ia selalu mendengar bahwa Siauw lim sie adalah pusat dari ilmu silat dan siapapun juga, biarpun ahli silat yang berkepandaian paling tinggi, tak akan berani melewati pintu kuil dengan membawa senjata. Sekarang walaupun Kwee Siang masih belum masuk dipintu, tapi ia sudah berada dalam lingkungan Siauw lim.
Dengan usianya yang masih begitu muda, apa pula ia hanya seorang wanita, dapat dimengerti jika Hong
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Yang tidak mempandang sebelah mata kepada Kwee Siang. Begitu ia mengangsurkan senjatanya, si pendata menafsirkan, bahwa nona itu sudah menyerah dengan ketakutan. Dengan paras muka ber seri2
sambil mengebas tangan-jubah yang menutupi kedua tangannya; ia segera menelonjorkan tangan untuk menjemput pedang Si nona.
Tapi baru saja lima jarinya menyentuh sarung pedang, lengannya bergetaran, seperti kena arus kilat. Ia merasakan semacam tenaga yang sangat besar menerobos keluar dari pedang itu dan mendorongnya dengan hebat, sehingga tak ampun lagi ia roboh terguling dan terus menggelinding kebawah tanjakan.
Sesudah tergelincir belasan tombak, untuk juga ia berhasil menjemput satu pohon kecil di pinggir jalanan dan dapat menolong dirinya,
Darah Hong beng mendidih; paras mukanya merah padam. "Perempuan celaka!" bentaknya,
"Kau rupanya sudah makan nyali singa, sehingga berani unjuk keganasan di Siauw Lim sie." Sambil mencaci, ia menghantam dengan kedua tangannya.
Melihat gerakan orang, Kwee Siang tahu, bahwa kepandaian pendeta itu banyak lebih tinggi daripada kawannya yang barusan terguling. Dengan capat ia mengangkat pedangnya yang masih berada di dalam sarung dan menotok pundak Hong bang bagaikan kilat, si pendeta mengegos, sambil coba menjambret sarung pedang.
"Jangan berkelahi! Jangan berkelahi!" teriak Kak wan dengan suara bingung.
Jembretan Hong beng ternyata berhasil, tapi baru saja ia mau membetot sarung pedang, lengannya mendadak kesemutan dan ia mengeluarkan teriakan tertahan.
"Celaka!" Hampir berbaring, Kwee Siang menyapu dengan kakinya dan tubuh Hong beng tergelincir ke bawah, ia menderita lebih hebat dari pada Hong yang dan baru berhenti sesudah menggelinding duapuluh tombak lebih dengan badan dan muka berlepotan darah.
Peristiwa itu membuat sinona agak menyesal.
"Ah! Aku naik ke Siauw Lim sie untuk mendengar2 warta tentang Yo Toako," pikirnya. "Siapa nyana, aku kebentrok dengan mereka."
Melihat Kak wan berdiri di pinggir jalan dengan paras muka berduga, ia segera menghunus pedang dan membacok rantai yang melibat kaki pendeta itu. Biarpun bukan pedang mustika, senjata Kwee Siang bukan senjata sembarangan. Dengan berkerincingan, tiga rantai sudah putus terbacok.
"Jangan! Jangan !" si pendeta coba mencegah.
"Mengapa jangan ?" tanyanya. Ia mengawasi Hong beng dan Hong yang yang sedang berlari-lari dan berkata pula. "Dua hweshio jahat itu tentu mau melapor. Mari kita mabur. "Mana muridmu, si orang she Thio " Kita ajak dia lari ber sama-sama."
Kak wan meng geleng2kan kepala dan mengawasi si nona dengan sorot mata berterima kasih.
Tiba-tiba Kwee Siang mendengar suara orang dibelakangnya. "Terima kasih untuk kebaikan nona.
Aku berada di sini."
Si nona menengok dan melihat di belakang nya berdiri seorang pemuda yang berusia kurang lebih tujuh belas tahun, dengan alis tebal, mata besar dan badan tinggi besar, tapi paras mukanya masih kekanak-kanakkan la segera mengenali bahwa pemuda itu bukan lain dari pada Thio Kun Po, yang pernah bertemu di puncak gunung Hwa-san. Tubuh anak itu sudah banyak lebih tinggi, tapi mukanya tidak banyak berubah.
Kwee Siang girang. "Dua hwe-shio jahat itu telah menghinakan gurumu," katanya. Mari kita kabur"
"Mereka sebenarnya tidak menghinakan Su-hu." kata Kun Po.
"Tidak menghinakan", menegas si nona. "Mereka melibatkan rantai di kaki tangan gurumu dan melarang gurumu bicara. Apa itu tidak menghina?" Kak-wan tertawa getir. Ia kembali menggelengkan kepala sambil menuding kebawah sebagai nasehat supaya Kwee Siang buru-buru kabur sendiran.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi Siauw tong-sia Kwee Siang adalah manusia yang memiliki sifat-sifat kesatria. Ia yakin bahwa di kuil Siauw Lim-sie terdapat ahli-ahli silat yang tak terhitung berapa banyaknya. Tapi melihat keganjilan, ia tak bisa berpeluk tangan. Melihat Kak wan Kun Po ayal-ayalan ia jadi bingung karena kuatir keburu di cegat. "Lekas! Kalau mau bicara, boleh bicara dibawah gunung. katanya sambil menyeret tangan pak gurunya dan murid itu. Tapi baru saja ia mengeluarkan perkataan itu dari bawah tanjakan sudah muncul tujuh delapan pendeta yang masing2 bersenjata toya Cee bie kun.
"Perempuan dari mana berani mengganas di Siauw lim sie?" teriak satu antaranya.
"Suheng jangan kurang ajar," kata Kun Po. "la adalah ..."
"Jangan menyebutkan namaku!", memotong Kwee Siang. Ia mengerti bahwa ia sudah menerbitkan keonaran yang mungkin tak bisa dibereskan lagi dengan jalan damai.
Sebagai jago betina bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya sendiri, ia sungkan meyeret2
kedua orang tuanya. Maka itu ia lalu menambahkan dengan suara perlahan: "Mari kita kabur. Tapi kau jangan se kali menyebut nama kedua orang tuaku atau lain-lain sahabat".
Se-konyong2, terdengar suara bentakan dan diatas gunung kembali muncul tujuh delapan pendeta.
Melihat jalanan didepan dan dibelakang sudah tercegat, Kwee Siang jadi mendongkol. "Semua gara2mu berdua yang seperti nenek2 sedikitpun tak punya semangat laki2. Bilang sekarang. Mau pergi atau tidak ?"
Kun Po berpaling kepada gurunya seraya berkata: "Suhu inilah kebaikan budi dari Kwee Kouwnio . . .
" Sesaat itu, dibawah tanjakan kembali muncul empat pendeta yang berjubah warna kuning, Mereka tidak bersenjata, tapi selagi mendaki tanjakan, gerakan mereka gesit dan cepat luar biasa. Diam2 Kwee Siang mengakui, bahwa mereka adalah orang2 yang berkepandaian tinggi.
Sekarang sinona mengerti, bahwa ia tak kan dapat melarikan diri lagi. Ia segera ber diri tegak dengan sikap angkuh, siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan.
Begitu datang dekat, pendeta yang berjalan paling depan segera berteriak dengan suara nyaring: "Atas perintah tetua Lo-han-Tong, kau harus meninggalkan senjatamu. Sesudah itu, kau harus pergi ke Pendopo Lip swat teng dikaki gunung untuk memberi penjelasan dan mendengar keputusan kami."
Kwee Siang tertawa dingin. "Ah! Lagak hweeshio2 Siauw Lim sie sungguh tak berbeda dengan pembesar2 negeri," katanya dengan nada mengejek. "Bolenkah aku mendapat tahu, apa para Toa hweeshio menjadi pembesar dari kerajaan Song atau menjadi pembesar dari kaizar Mongol ?"
Pada waktu itu, daerah disebelah utara sungai Hway sui sudah jatuh kedalam tangan tentara Mongol dan Siauw sit san dengan Siauw lim sienya justeru berada diwilayah kekuasaaan Mongol.
Sampai sebegitu jauh, karena bertahun-tahun repot menyerang kota Siangyang, maka bala tentara Mongol masih belum sempat memperhatikan soal2 lain, sehingga sampai sebegitu juga, Siauw lim sie masih belum diganggu.
Mendengar perkataan Kwee Siang yang sangat tajam, paras muka pendeta itu lantas saja berubah merah. Ia merasa, bahwa perkataannya memang tidak pantas, karena dengan berkata begitu, Siauw lim sie se olah-olah mau jadi hakim sendiri terhadap orang luar. Maka itu, sambil merangkap kedua tangannya, ia segera berkata pula dengan suara manis. "Ada urusan apa Lie sie cu datang berkunjung kekuil kami"
Memohon kau suka meninggalkan senjata dan pergi kependopo Lip swat teng untuk sekedar minum teh dan beromong-omong."
Kwee Siang mengeluarkan suara dihidung,
"Huh! Kau orang melarang aku masuk kekuil mu, apa dalam kuilmu terdapat mustika yang menjadi ternoda karena dilihat olehku?" katanya sambil melirik Thio Kun Po dan berkata pula dengan suara perlahan. " Kau mau ikut tidak?"
Pemuda itu menggelengkan kepala dan moyongkan mulut kearah Kak wan, sebagai tanda, bahwa ia mau menetap disamping gurunya.
"Baiklah," kata sinona dengan suara nyaring
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku tak campur lagi." Ia mengangkat kaki dan turun ditanjakan itu.
Sijubah kuning yang pertama lantas minggir kesamping, tapi yang kedua dan yang ketiga merintang sambil mengangkat tangan mereka.
"Tunggu dulu," kata salah seorang. "Tinggalkan dulu senjatamu."
"Kami tak akan menahan senjata Lie sie cu dalam tempo lama," kati si jubah kuning yang pertama.
"Begitu lekas Lie cu sudah turun gunung, kami akan segera mengembalikannya. peraturan ini adalah peraturan Siauw lim sie sudah dipertahankan selama ribuan tahun, sehingga kami meminta Lie sie cu suka memaaf kannya."
Mendengar permintaan yang sopan itu, sinona bimbang. " Jika membantah, aku tentu mesti bertempur dan seorang diri, bagaimana bisa melawan jumlah mereka yang begitu besar?" Pikirnya. "Tapi, kalau aku meninggalkan senjata, aku seperti juga menghilangkan muka ayah, ibu, kakek ciecie, Toako dan Liong Cie cie."
Sebelum ia mengambil keputusan, tiba2 satu bayangan kuning berkelebat, disusul dengan bentakan.
"Kau bukan saja membawa senjata, tapi juga sudah melakukan orang. Semenjak dulu, belum pernah ada manusia yang berani berbuat begitu." Hampir berbareng, lima jeriji menyambar sarung pedang Kwee Siang.
Jika dia tidak diserang, sesudah memikir masak-masak, mungkin sekali si nona akan menyerahkan senjatanya. Harus diketahui, bahwa sifat gadis itu berbeda dengan Kwee Hu, kakaknya. Walaupun gagah, ia tidak sembrono. Melihat keadaan yang merugikan dirinya, ia bisa menahan sabar untuk kembali lagi dikemudian hari dengan membawa, bala-bantuan.
Tapi usaha si pendeta untuk merebut pedangnya, sudah meniadakan segala mungkinan perdamaian. Mana bisa ia menyerahkan senjatanya dengan begitu saja"
Ilmu Kin na Chioe hoat (ilmu menangkap menyengkeram) pendeta itu memang sangat lihay. Sekali menjambret, ia berhasil menyengkeram sarung pedang. Dalam keadaan terdesak, Kwee Siang mencekal gagang pedang dan membetotnya. "Sret!", pedang tercabut dan mengeluarkan sinar menyilau, kan mata.
Hampir berbareng si pendeta berteriak, karena lima jarinya terpapas putus. Dalam kesakitan, ia menotok muka si nona dengan sarung pedang yang dicekal dalam tangan kanannya. Kwee Siang memapaki dan "trang!", sarung pedang itu jadi dua potong. Pendeta itu tidak bisa menyerang lagi dan dengan paras muka pucat ia lalu melompat mundur. Kawan2nya jadi gusar bukan main, dengan serentak mereka memutar toya dan maju mengepung.
"Ah, hari ini aku pasti tak bisa meloloskan diri tanpa melukakan banyak orang," kata Kwee Siang dalam hatinya. Sambil mencekal pedangnya erat2, ia segera menerjang dengan Lok-eng Kiam-hoat.
Lok-eng Kiam-hoat yang digubah Oey Yok Su dari ilmu pukulan Lok-eng Cianghwat, merupakan salah satu kepandaian istimewa dari pulau Tho hoa dan tidak kalah lihapnya dari pada Giok siauw Kiam hoat. Begitu menerjang, pedang si nona menyambar2 bagaikan kilat dan dalam sekejap dua orang pendeta sudah terluka. Akan tetapi, ia berada diatas angin hanya untuk sementara waktu dan tidak lama kemudian, keadaannya mulai terjepit, karena semakin lama jumlah pengepung jadi semakin besar.
Sesudah bertempur beberapa puluh jurus, Kwee Siang hanya bisa membela diri, tanpa mampu menyerang pula. Sebenarnya dalam keadaannya yang terdesak, seperti itu para pendeta sebenarnya bisa segera merobohkannya. Akan tetapi, sebab Siauw lim sie mengutamakan belas kasihan, mereka merasa tak tega untuk melakukannya. Tujuhan mereka hanialah untuk merebut senjata sinona dan kemudian mengusirnya dari sit san.
Tapi merebut pedang bukan pekerjaan mudah dan sesudah lewat lagi puluhan jurus, Kwee Siang masih dapat mempertahankan senjatanya. Semakin lama para pendeta itu jadi semakin heran. Mereka merasa pasti, bahwa gadis kecil ita adalah puteri atau murid seorang ahli silat kenamaan dan oleh karena nya, mereka lebih2 tidak berani melukakan nya, sebab hal itu bisa berbuntut panjang.
Maka itu, sambil mengepung, salah seorang buru-buru pergi kekuil dan melaporkan kepada Bu sek Siansu, pemimpin Loo han tong.
Tak lama kemudian, seorang pendeta tua yang bertubuh jangkung kurus mendekati gelanggang pertempuran dan lalu menonton sambil tersenyum. Dua orang pendeta segera melompat keluar dari gelanggang dan bicara bisik-bisik dengan pendeta tua itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sementara itu, Kiam hoat sinona sudah kulihat.
"Hai! Kau semua benar-benar tak mangenal malu !" teriaknya. "Kau orang mengugulkan Siauw lim sie sebagai pusat pelajaran ilmu silat, tapi tak tahunya, puluhan Toa hweeshio menarik keuntungan dengan jalan mengerubuti."
"Berhenti!" membentak sipendeta tua bukan lain dari pada Bu sek Siansu, sambil bersenyum.
Mendengar perintah itu dengan serentak semua pendeta melompat keluar dari gelanggang dan berdiri dipinggiran.
"Nona," menegur Bu sek dengan suara sabar.
"Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama nona yang mulia. Siapa nama orang tuamu dan siapa gurumu " Ada urusan apa nona datang berkunjung ke kuil kami ?"
"Hari ini aku sudah mengacau hebat dan jika diketahui ayah ibu dan Toakoko, mereka tentu akan mengomel," kata Kwee Siang dalam hatinya. Memikir begitu, ia lantas saja mengeluarkan suara dihidung.
"Tak mung kin aku memberitahukan namaku," jawabnya. "Aku mendaki gunungmu karena ketarik dengan pemandangannya yang sangat indah dan sama sekali tidak mengandung maksud apapun juga.
Tapi siapa nyana, Siauw lan-sie lebih angker dari pada keraton kaizar. Tak keruan-ruan, kau ingin merampas senjataku. Taysu, aka ingin tanya. Apakah aku pernah menginjak pintu kuilmu"' Ia berdiam sejenak sambil mengawasi Bu sek dan kemudian berkata pula. "Dulu, pada wakta Tat-Mo Couw su menurunkan ilmu silat, kurasa tujuannya yang terutama adalah supaya para pendata memiliki tubuh yang kuat supaya dapat menjalankan tugas2 keagamaan se-baik2nya. Tapi ternyata semakin lama nama Sauw lim sie semakin terkenal, ilmu silatnya jadi semakin tinggi dan kebiasaan mengeroyoknyapun jadi semakin kesohor! Baiklah, Toa hweeshio, jika kau mau merebut juga senjataku, ambillah! Tapi, kecuali kau membinasakan aku, kejadian ini pasti akan diketahui oleh semua orang dalam Rimba persilatan."
Mendengar perkataan sinona yang sangat tajam itu. Bu Sek tergugu. Untuk sejenak ia mengawasi si nona dengan mulut ternganga dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata.
"Aku sendiri takut kejadian ini diketahui orang, tapi dia rupanya lebih takut lagi." kata Kwee Siang dalam hatinya. Memang juga puluhan pendeta mengerubuti seorang wanita bukan kejadian yang boleh dibuat bangga." Ia segera melontarkan pedangnya dan bertindak untuk turun gunung.
Bu sek maju setindak sambil mengebas dengan lengan dan pedang itu lantas saja tergulung lengan jubah. Seraya mencekal senjata itu yang bernoda darah dengan kedua tangannya ia berkata: "Jika nona enggan menjawab pertanyaanku, biarlah aku mengembalikan saja senjata ini dan dengan segala kehormatan aku mengantar nona turun dari gunung ini."
Kwee Siang tertawa. "Toa-hweeshio adalah seorang yang mengerti urusan dan boleh di buat contoh oleh pendeta2 disini." ia memuji sambil mengulur tangan untuk menyambuti. Tapi begitu lekas jerijinya menyentuh gagang pedang, ia terkesiap.
Ternyata, dari telapakan tangan Bu-sek keluar semacam tenaga menyedot sehingga pedang itu tak dapat diangkat. Tiga kali Kwee Siang mengempos semangat dan mengerahkan Lwekang, tapi ia belum juga bisa berhasil.
"Eh. Toahweesio, kau sengaja memperlihatkan kepandaianmu, ha?" tanyanya dengan mendongkol.
Mendadak, bagaikan kilat tangannya menyambar dan mengebut jalanan darah Thian-teng-hiat dan Kie-koet-hiat di leher Bu-sek, yang jadi kaget bukan main dan buru-buru melompat kebelakang.
Pada detik ia terkejut dan Lweekangnya jadi agak kendor, si nona membetot dan berhasil merebut pulang senjatanya.
"Sungguh indah Lan hoa Hud hiat Chioe (Ilmu Bunga anggrek mengebut jalanan darah )!" memuji Bu sek. "Nona, masih pernah apakah kau dengan majikan pulau Tho hoa?"
"Majikan pulau Tho hoa?" ia menegas seraya tertawa "Dia dikenal sebagai Loo-tong sia ( si Sesat Tua dari Timur )."
Tong sia Oey Yok Su, pemilik Tho hoa, adalah kakek Kwee Siang. Orang tua yang adat nya aneh sering memanggil cucu perempuan nya sebagai "Siauw-tong-sia" yang lalu membalas dengan menggunakan istilah "Loo-tong-sia". Sebaliknya dari jengkel, sang kakek jadi girang dan menerima baik panggilan si cucu nakal. begitu mendengar jawaban Kwee Siang, Bu-sek sendiri segera menarik ke
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
simpulan bahwa sinona tak punya hubungan rapat dengan orang tua itu. Jika masih tersangkut keluarga, ia tentu tak akan mengeluarkan kata-kata yang agak kurang ajar.
Memikir begitu, hati Bu-sek jadi lebih lega.
Diwaktu masih muda, Bu-sek Siang-su pernah menjagoi di kalangan Rimba Hijau. Maka itu, biarpun ia sudah menjadi orang beribadat puluhan tahun lamanya, sifat-sifat Jagoannya masih belum hilang.
Semakin Kwee Siang menolak untuk memberitahukan nama gurunya dan asal-usulnya, semakin besar hasratnya untuk menyelidiki. la tertawa ter bahak-bahak seraya berkata. "Nona kecil mari kita main-main sedikit untuk menjajal mata si pendeta tua. Coba kita lihat, apakah dalam sepuluh jurus, aku bisa atau tidak menerka asal usul ilmu silatmu ?"
"Bagaimana jika kau tak mampu ?" tanya si nona.
Bu-sek kembali tertawa terbahak-bahak. "Jika kau bisa melayani aku dalam sepuluh jurus dan aku masih belum bisa menebak asal-usul ilmu silatmu, aku akan turut segala kemauanmu." jawabnya.
"Dengan Tay-su itu dulu aku pernah bertemu muka dan sekarang aku ingin meminta apa-apa untuknya," kata Kwee siang sambil menunjuk Kak wan. "Kalau dalam sepuluh jurus kau masih belum bisa menebak siapa guruku aku minta kau suka meluluskan permohonanku untuk tidak menyukarkan Tay-su itu lagi.
Bu-sek merasa sangat heran. Sepanjang pengetahuannya, selama sepuluh tahun mengurus kitab-kitab di Cong-keng-kok ( perpustakaan.) Kak wan belum pernah berhubungan dengan orang luar. Bagaimana ia bisa mangenal sinona" Maka itu, sambil mengawasi Kwee Siang dengan sorot mata tajam, ia berkata.
"Kami belum pernah berniat untuk sengaja menyakitinya. Jika melanggar, setiap pendeta dalam kuil ini, tak perduli siapapun juga, diharuskan mendapat hukuman. Maka dari itu, adalah kurang tepat jika nona menggunakan istilah menyusahkan."
"Hm!" kata Kwee Siang seraya tertawa dingin. "Biar apapun yang dikatakan olehmu, kau tetap seorang yang pandai putar putar omongan."
Bu sek mengangkat kedua tangannya seraya berkata. "Baiklah. Aku luluskan permintaanmu ! Jika loohap kalah, biarlah aku mewakili Kak wan Sutee memikul tiga ribu seratus delapan pikul air. Nona kecil, hati2 aku akan segera menyerang."
Diam2 Kwee Siang menentukan siasat.
"Pendeta ini pasti memiliki kepandaian tinggi dan jika dibiarkan ia menyerang lebih dulu, aku mesti mengeluarkan ilmu silat ayah dan ibu untuk membela diri." pikirnya. "Paling benar aku mendului dan mengirim sepuluh serangan aneh beruntun-runtun."
Bu sek habis mengucapkan perkataannya Kwee Siang segera menikam dengan pukulan Ban-cie cian-hong dari Lok eng Kiam hoat. Dengan pukulan itu, ujung pedang menggetar tak hentinya, sehingga musuh sukar menebak arah serangannya. Bu sek yang tahu lihaynya pukulan tersebut, tidak berani menyambut secara berhadapan dan buru-buru melompat.
"Awas,sekarang kedua!" teriak si nona seraya memutar senjatanya dan lalu menikam dari bawah keatas dengan tipu Thin sin to hian (Malaikat langit jungkir balik) dari Coan cia Kiam boat.
"Thin sin to hian!" seru Bee sek.
"Belum tentu benar," kata si nona sambil me nyengir.
Begitu mengegos, Bu sek membalik tangan kanannya dan lima jerijinya yang dipentang menyambar kearah muka Kwee Siang. Sinona terkejut karena ia sama sekali tak menduga, bahwa pendeta itu bisa mengirim serangan membalas secara begitu cepat. Dalam keadaan terdesak, ia menggonyangkan pedangnya berapa kali dan menyambut dengan Ok kian lum Louw (Anjing jahat mencepat jalan) dari Tah kauw Pang hoat (ilmu tongkat memukul anjing).
Harus diketahui, bahwa diwaktu kecil, nona Kwee bersahabat rapat dengan mendiang Louw Yoe Kak, Pangca dari Kaypang (Partai pengamis). Mereka sering makan minum ber sama2, bersenda gurau dan tempo2 atas desakan sinona , mereka berlatih. Meskipun dalam Kaypang terdapat peraturan, bahwa Tah kauw Pang hoat hanya boleh diturunkan kepada seorang pangcu, tapi lama2 berkat pergaulannya dengan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
orangtua itu maka Kwee Siaug bisa berhasil untuk mencari beberapa pukulan dari ilmu silat tongkat yang luar biasa itu. Jika diingat, bahwa bekas pangcu Oey Yong sekarang Yek lu Chi, adalah suami kakak perempuannya, maka sinona sebe narnya mempunyai kesempatan luas untuk melihat latihan-latihan Tah kauw Pang hoat. Maka itu walaupun tak mengerti intisari dari pada ilmu silat tersebut, dalam keadaan terjepit, ia masih bisa menggunakannya untuk menolong diri.
Bu sek kaget bukan main sebab pada saat lima jarinya hampir menyeatuh pergelangan tangan sinona, mendadak sehelai sinar putih berkelebat dan pedang menyambar dari arah yang sebenarnya tak mungkia dilakukan, sehingga hampir-hampir jerijinya terbabat putus. Untung juga, pada detik terakhir ia masih keburu melompat kebelakang. Tapi meskipun begitu, tak urung lengan jubahya tergores ujung pedang dan menjadi robek. Paras muka Bu sek lantas saja berubah pucat dan keringat dingin mengucur dari dahinya.
Kwee Siang berbunga hatinya. "Taysu apa kau tahu ilmu pedang apa itu?" tanyanya sambil menyengir.
Dalam dunia memang tidak terdapat Kim-boat yang serupa itu. Sesudah mencuri Tah kauw Pang hoat, dengan otaknya yang sangat cerdas, sinona megubah pukulan Kiam hoat berdasarkan ilmu tongkat itu, sehingga dengan demikian, ia telah membuat seorang pendeta Siauw limsie yang berilmu tinggi, tak bisa menjawab pertanyaannya. "Ha! Jika aku bisa menyerang lagi dengan beberapapu kulan Tah kauw Pang hoat, pendeta tua ini pasti akan dapat dirobohkan katanya di dalam hati. "Sungguh sayang, aku hanya memiliki satu pukulan yang semengga-mengganya ini."
Sebelum sang lawan sempat bergerak, Kwee siang sudah mendului lagi dan menotol baberapa kali bagian bawah Bu sek dengan ujung pedang. Kali ini ia menyerang Leng po wie po (Leng po bertindak dengan ayunya), yaitu salah satu pukulan dari Giok lie Kiam hoat yang didapat dari Siauw Liong lie.
Sebagaimana diketahui, Giok lie Kiam hoat ilmu pedang gubahan Lim Tiauw Eng dan setiap pukulannya mempunyai gerakan Leng po wie go jadi lebih menyolok karena dilakukan oleh nona Kwee yang cantik dan ayu. Dengan perasaan kagum, para pendeta mengawasi serangan itu sambil menahan napas.
Harus dike tahui, bahwa Tat mo Kiam boat, Lo han Kiam boat dan lain2 ilmu pedang dari Siauw lim sie mengutarakan "kekerasan", sedang Giok lie Kiam boat, yang jarang terlihat dalam Rimba Persilatan justru berbeda dengan silat Siauw lim pay. Begitu sinona meyerang dengan Leng-po we-po, seperti pendeta lainnya Bu sek pun mengawasi dengan rasa kagum dan heran. Seumur hidup, belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang yang seindah itu dan cepat-cepat ia meloncat ke samping dengan harapan sinona akan mengulangi serangannya.
Dalam saat, Kwae Siang kembali mengubah cara bersilatnya. la sekarang berlari ketimur dan kebarat sambil membabat berulang dengan pedangnya. Thio Kun Po yang menonton dipinggir jalan mengawasi serangansi nona dengan mata membelalak dan tiba2 ia mengeluarkan teriakan : "Ah!" Ternyata, yang digunakan Kwee Siang adalah pukulan Su tong Pat ta (Empat menembus Delapan meyampaikan), yaitu ilmu silat yang pada tiga tahun berselang telah diturunkan oleh Yo Ko kepada Kun Po. Waktu itu Kwee Siang kebetulan dapat melihatnya dan sekarang lalu menggunakan untuk menghadapi Bu sek.
Su thong Pat-ta yang dulu diajar Yo Ko ialah Canghoat ilmu silat tangan kosong. Dengan mengubahnya menjadi Kiam hoat (ilmu pedang), pengaruh ilmu itu jadi banyak berkurang, sehingga jika dulu Thio Kun Po berhasil mengalahkan In Kek See, sekarang Kwee Siang tidak bisa berbuat banyak terhadap Bu sek.
Dengan be-runtun2 KWee Siang sudah menyerang lima kali, tapi Bu sek masih juga belum bisa meraba asal usul ilmu silat sinona. Diwaktu muda ia malang melintang dalam dunia Kangouw dan, mempunyai pengalaman yang sangat luas. Semenjak mengetuai Lo-han tong pada belasen tahun berselang, ia telah menggunakan seluruh temponya untuk menyelidiki ilmu silat barbagai partai dau membandingkannya dengan ilmu Siauw lim-sie. Ia menggodok semua pengalamannya dan pendapatnya itu untuk menyempurnakan ilmu partainya. Maka itu, ia selalu percaya penuh bahwa dengan sekali melihat, ia sudah bisa tahu asal usul ilmu silat setiap ahli. Tapi di luar dugaan, hari ini ia "ketemu batunya". Kakek, ayah-ibu paman2, kakak2 Kwee Siang rata2 adalah ahli2 silat nomor satu pada jaman itu. Dalam menghadapi serangan yang bermacam2 coraknya, kapandaian Bu-sek masih lebih dari cukup untuk membela diri. Tapi untuk mengetahui siapa guru sinona, ia masih belum bisa me-raba2.
"Jika aku membiarkan ia menyerang lebih dulu, jangankan dalam sepuluh jurus, sedangkan se ratus jurus sekalipun, belum tentu aku bisa menebak asal usul ilmu silatnya," pikir Boa sek.
"'Jalan satu2 nya adalah menyerang dengan hebat, supaya ia terpaksa mengeluarkan imu silatnya yang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
asli guna monolong diri" Memikir begitu cepat bagaikan kilat , ia mengepos kekiri dan menghantam dengan pukulan Song Koan kun, dengan merapatKan kedua tangannya dan sepulun jarinya ditekuk bagai kan ceker. Melihat sambaran yang sangat dahsyat, Kwee Siang tidak berani menyambut kekerasan, dengan kekerasan. Dengan membungkuk sedikit dan dengan saatu gerakan yang sangat indah dan lincah, ia berhasil meloloskan diri dari bawah kedua tangan lawan. Tipu itu adalah tipu yang pernah digunakan Eng Kouw waktu bertempur dengan Yo Ko di Ban Hoa Kok (lembah laksaan bunga).
"Bagus, sungguh bagus gerakanmu!" memuji Bu sek "sambutlah lagi satu seranganku." Ia membuat sebuah lingkaran dengan tangan kirinya, sedang sikut kanan ditaruh didada dengan telapakan tangan menghadap keatas. Itu lah pukulan Oei eng loh kee (Burung kuning hinggap dicagak) dari Siauw lim kun.
Sebagai seorang tetua Siauw lim sie, biarpun paham dengan ilmu silat berbagai partai, tapi dalam setiap pertempuran, ia selalu harus menggunakan ilmu partai sendiri yang paling asli.
Kwee Siang kaget sebab begitu lekas Bu sek membuat lingkaran ditengah udara ia lantas saja merasakan tindihan semacam tenaga yang sangat kuat. Buru-buru membalik pedang dan dengan gagang pedang, ia menotok jalanan darah Wan-koet-hiat, Yang kok hiat dan Yang loo hiat di pergelangan tangan si pendeta. Ilmu molok itu adalah It yang cie yang ia belajar dari Bu Sioe Bun. Sebenarnya pelajarannya masih sangat cetek dan belum bisa digunakan untuk melukakan musuh. Tapi gerakan menotok tiga jalanan darah itu adalah salah satu pukulan yang paling lihay dari It yang cie. Maka itu, begitu melihat gerakan tangan si nona, Bu sek kaget tak kepalang dan cepat-cepat ia menarik pulang serangannya.
Andaikata ia menyerang terus dan tertotok pergelangan tangannya, ia pasti tak akan terluka, sebab totokan itu tidak di sertai dengan Lwekang It yang cie yg disegani orang. Tapi sebagai orang yang berpengalaman, Bu sek sungkan mempertaruhkan nama besarnya dalam satu pukulan itu.
Kwee Siang tertawa nyaring. "Toahweeshie kau ternyata mengenal ilmuku yang sangat lihay," katanya seraya menyengir.
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bu sek tidak menyambut, ia hanya mangeluarkan suara "Hm" dan lalu menyerang dengan pukulan Tan-hong-tiauw-yang (Angin dan matahari). Dengan pukulan itu, kedua tangannya terpentang lebar dan terangkat tinggi, sehingga si nona sukar menggunakan It-yang cie lagi. Tapi Kwee Siang tak kehabisan modal. Dengan cepat ia menyilangkan kedua telapak tangannya dan balas menyerang deugan Biauw-chioe-kong-kong (Tangan yang lihay ke lihatan kosong), yaitu jurus ketujuh puluh dua dari Kong beng kun, gubahan Loo hoan tong. Ciu Pek Tong Kong beng kun adalah ilmu yang belum pernah tersiar didunia maka untuk sekian kalinya, Bu sek ter-heran2. Dengan cepat ia berkelit kesamping dan hampir berbareng mengirim pukulan Pi na hoa cit seng (Tujuh bintang). Bagaikan arus kilat, tahu2 tangannya sudah menyentuh telapakan tangan si nona, yang jika tidak melawan dengan menggerakkan Lwekang, tulang tangannya pasti akan patah.
Kwee Siang mengerti, bahwa tangannya sudah ada dibawah kekuasaan lawan, tapi hati nya masih penasaran. Jangan kegirangan dulu kau! Belum tentu bisa mematah tulang tanganku," katanya di dalam hati. Ia segera mengempos semangat melawan tenaga si pendeta dengan Cat-po-san-chioe ( Kipas-besi ) .
llmu ini yang merupakan ilmu simpanan dari Tiat-Ciang-kang (ilmu tangan besi) adalah satu ilmu "keras"
yang paling ditakuti dalam Rimba Persilatan.
Sebagai seorang ahli, Bu sek tentu saja mangenal ilmu itu dan jantungnya memukul keras. Ia jadi serba salah. Jika ia menggunakan kekerasaan sinona bisa terluka berat dan ia sama sekali tidak bermaksud until mencelakai gadis itu. Disamping itu untuk berterus terang, ia memang merasa agak segan terhadap Tiat-ciang-kang. Sesudah memikir sejenak, ia segera menarik pulang tangannya.
Sekali lagi, si nakal tertawa nyaring. " Awas! Pukulan yang ke sepuluh. Apa kau masih belum bisa menebak partaiku ?" teriaknya. Sambil berteriak begitu, ia mengebas keatas dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menyambar kejanggut Bu-sek. Tanpa merasa, semua pendeta mengeluarkan seruan tertahan, sebab pukulan itu, yang diberi nama Kouw hay hui tauw ( Memutar kepala di laut kesengsaraan ) adalah salah situ pukulan Kin na chioe hoat ( Ilmu menangkap dan menyengkeram), dari Siauw lin pay sendiri.
Tapi Kouw hay hui tauw agak berlainan dengan Kim na chioe hoat lain cabang, karena biasanya hanya di gunakan pada saat berbahaya untuk menolong jiwa. Dengan pukulan itu, tangan kiri sipenyerang menolak kepala musuh, sedang tangan kanan menyambar leher, sehingga jika berhasil, leher musuh bisa patah, setidaknya terluka berat.
Melihat sinakal berani menggunakan pukulan tersebut di hadapannya, seolah seorang sasterawan mengugulkan diri di hadapan Nabi Khong Cu. Bu sek jadi geli dalam hatinya. Selama puluhan tahun, ia sudah melatih pukulan tersebut sehingga setiap gerakanya sudah terjadi secara wajar. Secepat kilat, ia
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
miringkan badan dan menggeser maju kakinya, sedang tangan kirinya menyambar kebawah ketiak si nona dan tangan kanannya mencekal belakang lutut Kwee Siang.
Pukulan itu yang diberi nama Sia can tiauw hay (Mengempit gunung melompati lautan) merupakan pukulan tunggal untuk memunahkan Kouw hay hui-tauw.
Si nona kaget tak kepalang dan tahu2 ke dua kakinya sudah terangkat naik dari muka bumi.
Sebenarnya dengan menggunakan sikut, ia masih bisa menyikut lawan. Tapi sebab gerakan Bu sek cepat luar biasa, sebelum sempat bergerak, ia sudah tak berdaya.Dengan demikian, putri Kwee Ceng telah dikalahkan.
Selagi kedua tangannya mencekal sinona, mendadak Bu sek terkesiap. "Celaka !" ia mengeluh. "Aku hanya memperoleh kemenangan dalam pertempuran, tapi masih belum tahu siapa gurunya dan apa nama partainya."
Kwee Siang memberontak sekuat tenaga. "Lepaskan aku!" teriaknya. "Cring!" serupa benda jatuh dari saku sinona.
"Toahweeshio, apa benar2 kau tak mau melepaskan diriku ?" serunya dengan suara ke takutan.
Bu sek Siansu adalah seorang berlibat yang berilmu tinggi dan yang mencintai segenap makhluk Tuhan. Maka itu, mendengar suara sinona cilik, is lantas saja tertawa ter bahak2.
"Nona kecil, loolap sudah berusia lanjut dan pantas menjadi kakekmu," katanya seraya tersenyum.
"Apa kau masih perlu merasa takut ?" Sehabis berkata begitu, dengan menggunakan tenaga yang diperhitungkan, ia melontarkan tubuh sinona kira2 dua tombak jauhnya dan kedua kaki Kwee Siang hinggap dimuka bumi tanpa kurang suatu apa.
Sebagai ksatria yang tak akan menjilat ludah sendiri. Bu sek segera manggutkan kepalanya untuk mengaku kalah. Selagi kepalanya mengangguk, tiba-tiba ia melihat serupa benda hitam diatas tanah dan benda itu adalah sepasang Lohan (pendeta yang berilmu tinggi) yang terbuat daripada besi.
"Toahweeshio, apa kau mengaku kalah ?" tanya Kwee Siang.
Bu sek mengangkat mukanya yang berseri-seri dan seraya tertawa girang, ia menjawab.
"Bagaimana aku bisa kalah dari seorang bocah cilik" Aka tahu, ayahmu adalah Tay hiap Kwee Ceng, ibumu Liehiap Oey Yong dan majikan pulau Thoa hoa adalah kakekmu. Ayahandamu memiliki kepandaian yang beraneka ragam, karena ia pernah berguru dengan Kanglam Citkoay, dengan Kioe-cie sin-kay, tokoh-tokoh Coancien pay dan lain lain partai lagi. Kwee Jie kaouwnio, kau adalah putrinya pendekar kelas satu pada jaman ini sehingga tidaklah heran, jika kau memiliki kepandaian luar biasa."
Kwee Siang kemekmek, ia tak pernah mimpi akan mendengar jawaban begitu.
Melihat paras bingung dimuka sinakal, sambil tertawa geli Bu sek membungkuk dan menjemput dua Lo han besi itu.
"Kwee Jie kouwnio, aku si pendeta tua tak boleh mendustai seorang bocah cilik," katanya. "Aku bernasil menebak asal usulmu karena melihat sepasang Lo Han besi ini. Apa Yo Tayhiap baik ?"
"Apa kau pernah berjumpa dengan Toako dan Liong cici?" ia balas menanya. "Aku datang kemari justru untuk mendengar-dengar tentang mereka. Kau mungkin belum tahu, bahwa toakoku dan Liong sudah merangkap menjadi suami istri."
Bu sek mengangguk beberapa kali, "Pada beberapa tahn yang lalu, Yo Tayhiap pernah datang berkunjung kekuil kami untuk beberapa hari dan aku merasa sangat cocok dengannya," menerangkan si tua. "Belakangan kami mendengar, bahwa ia membinasakan kaizar Mongol diluar kota Siangyang, sehingga namanya menggetarkan seluruh dunia. Waktu menerima warta itu, kami semua merasa girang bukan main. Tapi sekarang kami tak tahu, dimana ia berada. Ah. Kalau begitu ia sudah menikah. Aku berani memastikan, bahwa istrinya adalah seorang wanita yang bun bu song coan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang)."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kwee Siang berdiri bengong dan mengawasi ketempat jauh. Ia menghela napas seraya berkata dengan suara perlahan. "Kalau begitu, kalian pun tak tahu dimana mereka berada. Siapa yang bisa memberi keterangan?"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula, "Sekarang baru kutahu, kau adalah Bu sek Siansu. Tak heran. Jika kau memiliki memiliki begitu tinggi. Hmm! Aku belum menghaturkan terima kasih untuk hadiah ulang tahunku. Sekarang belum terlambat. Biarlah hari ini saja aku menghaturkan banyak terima kasin kepadamu."
Sipendeta tertawa. "Orang sering mengata kan, bahwa tanpa berkelahi tidak bisa menjadi sahabat,"
katanya. "Bagi kita berdua, Kata-kata itu sungguh tepat sekali. Eh, kalau kau bertemu dengan Yo Tayhiap, kuharap kau jangan memberitahukan bahwa aku si tua telan menghina seorang wanita muda,"
Kedua mata sinona memandang puncak2 gunung yang tertutup awan, "Sampai kapan. ... sampai kapan baru akan bisa bertemu dengannya" katanya.
Sebagaimana diketahui, pada waktu Kwee Siang merayakan hari ulang tahunnya yang keenam belas, Yo Ko telah mengundang jago jago Rimba persilatan untuk berkumpul di kota Siang yang, guna memberi selamat panjang umur. Pada hari itu, dengan memandang muka Yo Ko, ahli-ahli silat dari "jalanan hitam"
dan "jalanan putih" telah berkumpul di Siangyang. Bu sek yang kebetulan sedang repot tak bisa datang berkunjung dan hanya mengirim seorang wakil untuk memberi selamat dan menyampaikan barang antaran, Dan barang antaran yang dikirimnya bukan lain sepasang Lo han besi itu dipasang alat alat dan jika alat2 tersebut diputar, anak2an itu segera menjalankan satu pukulan Lo han kun. Yang membuatnya adalah seorang pendeta aneh yang pada satu abad berselang pernah bertempat tinggal dikuil Siauw lim sie. Kwee Siang yang masih ke kanak2an merasa sangat ketarik dengan mainan yang selalu di bawa2nya di dalam saku. Pukulan Kauw hay hui tauw yang barusan digunakannya, sebenarnya telah didapat oleh si nona dari kedua Lo han besi itu. Tak dinyana, karena gara2 itu juga hari ini asal usulnya telah ditebak jitu oleh Bu sek Siansu.
"Berhubung dengan peraturan yang turun tumurun, aku merasa menyesal tak bisa mengundang Kwee Jie-kouwnio datang berkunjung kekuil kami," kata Bu sek. "Aku percaya kau tak akan jadi kecil hati."
"Tak apa2," kata sinona dengan masgul. "Ada yang aku hendak tanyakan."
Sambil menunjuk Kak wan, pendeta tua itu berkata pula. "Tentang Suteeku itu, aku akan menerangkan kepadamu perlahan-lahan. Begini saja. "Si tua akan menemani kau turun gunung dan kita cari sebuah rumah makan, supaya aku bisa menjadi tuan rumah untuk minum beberapa cawan arak. Bagaimana pikiranmu?"
Mendengar kata2 itu, semua pendeta kaget tercampur heran. Bu sek Siansu adalah seorang yang mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim sie. Bahwa ia sudah berlaku begitu hormat terhadap seorang gadis remaja, adalah suatu kejadian luar biasa.
"Taysu, janganlah kau berlaku begitu sungkan," kata sinona de ngan perasaan jengah." Aku menyesal bahwa barusan dengan semberono aku sudah melakukan perbuatan sangat tak pantas terhadap beberapa Sueheng. Aku memohon Taysu sudi menyampaikan maafku kepada mereka.
Biarlah kita berpisahan disini saja dan dilain hari, kita pasti akan bertemu pula." Sehabis berkata begitu, ia segera memberi hormat, lalu memutar dapan dan mulai bertindak turun dari tanjakan itu.
"Nona kecil, mengapa kau menolak tawaranku yang diajukan dengan setulus hati?" kata Bu sek sambil tertawa. "Beberapa tahun berselang, karena sedang repot, aku tak bisa menghadiri pesta hari ulang tahunmu, sehingga sampai sekarang hatiku masih merasa tak enak. Kalau hari ini aku tidak mengatarkan kau sampai 30 li, aku seperti juga tidak mengenal peraturan untuk melayani tamu terhormat."
Mendengar kata2 itu yang tulus iklas dan juga karena merasa senang dengan cara2 si tua yang polos, Kwee Siang segera berpaling dan berkata sambil bersenyum."Marilah."
Dengan berendeng pundak mereka turun dari tanjakan itu dan tak lama kemudian, tibalah mereka dipendopo Lip swat teng. Tiba2 mereka mendengar suara tindakan kaki dan waktu menengok, mereka melihat, bahwa orang yang membuntuti adalah Thio Koan Po. " Saudara Thio," menegur Kwee Siang."
Apakah kau juga ingin mengatarkan tamu?"
Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. "Benar!" jawabnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Pada saat itulah, se-konyong2 dari jauh mereka melihat seorang pendeta bertindak keluar dari pintu kuil dan kemudian lari turun sekeras kerasnya dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Alis Bu sek berkerut. "Ada apa begitu ter-buru-buru ?" tanyanya.
Begitu berhadapan dengan Bu sek, pendeta itu memberi hormat dan lalu bicara bisik2. Paras muka si tua laatas saja berubah. "Apa benar ada kejadian begitu?" teriaknya.
"Loo hong-thio (pemimpin kuil) mengudang Sioe-co (kepala bagian) untuk berdamai." jawabnya.
Melihat paras muka Bu-sek. Kwee Siang mengerti, bahwa Siauw-lim-sie sedang menghadapi urusan sulit. Maka itu, ia lantas saja berkata: "Loo-sian-su, dalam persahabatan yang paling penting adalah kecintaan hati. Segala adat istiadat tiada sangkut pautnya dengan persahabatan. Jika Loo-sian-su mempunyai urusan, uruslah saja. Di lain hari, kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk makan minum sepuas hati."
"Tak heran Yo Tay hiap begitu menghormatimu," memuji Bu sek. "Kau benar2 seorang gagah, seorang jago betina. Aku merasa girang bisa bersahabatan dengan seorang seperti kau."
Kwee Siang bersenyum deagan paras muka ke-merah2 an dan sesudah mereka saling memberi hormat, si pendeta tua segera kembali kekuil Siauw-lim-sie.
Sinona lalu meneruskan perjalanannya dengan dibuntuti Thio Kun Po dari belakang. Pemuda itu tak berani berjalan berendeng, ia mengikuti dalam jarak lima-enam tindak.
"Saudara Thio, mengapa mereka menghinakan gurumu ?" tanya nona Kwee sambil menengok kebelakang. "Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi, gurumu sebenarnya boleh tak usah takuti mareka."
Kun Po mempercepat tindakannya. "Mereka bukan sengaja menghina Suhu," jawabnya. "Peraturan di dalam kuil selalu dipegang keras sehingga siapapun juga membuat pelanggaran, tak akan terluput dari hukuman."
Kwee Siang jadi heran. "Gurumu adalah seorang kesatria dan dalam dunia jarang terdapat manusia yang hatinya begitu mulia," katanya. "Kedosaan apakah yang telah di perbuatnya ?"
Pemuda itu menghela napas panjang. "Latar belakang kejadian ini sebetulnya sudah di ketahui nona,"
jawabnya. "Yang menjadi gara-gara adalah kitab Leng-keh-keng."
"Ah ! Kitab yang dicuri Siauw Siang Cu dan In Kek See ?" menegas si nona.
"Benar," jawabnya. "Hari itu, waktu berada di puncak Hwa-san, atas petunjuk Yo Tay hiap, aku telah menggeledah badan kedua orang. Sesudah turun gunung, mereka tak kelihatan mata hidungnya lagi.
Dengan apa boleh buat, Susu dan aku segera kembali kekuil dan melaporkan kepada Sioe co dari Kayloet-ton. Leng keh keng adalah kitab yg di tulis oleh Tatmo Couwsu sendiri dan merupakan salah sebuah barang berharga dalam Siauw-lim-sie. Maka itu dapatlah dimengerti, jika Suhu tak bisa terlolos dari hukuman.
"Gurumu dihukum tak boleh bicara ?" tanya pula si nona.
"Ya, menurut peraturan yang sudah turun temurun," sahutnya. Menurut peraturan itu, seorang yang dihukum harus memikul air dengan kaki tangan dilibat rantai dan tak boleh bicara".
"Menurut katanya para tetua hukuman memikul air malahan ada baiknya untuk yang terhukum.
Dengan membungkam, ia mendapat kemajuan dalam latihan rokhani dan dengan memikul air tangannya akan bertambah besar."
Si nona tertawa geli. "Kalau begitu, gurumu sebetulnya bukan menjalani hukuman, tapi sedang melatih badan." katanya. "Ah ! Memang aku yang terlalu rewel dan suka mencampuri urusan orang lain."
"Bukan, bukan begitu," kata Kun Po dengan cepat, "Untuk kebaikan nona, Suhu merasa sangat berterima kasih dan tak akan melupakannya."
Kwee Siang menghela nafas. "Lain orang sudah melupakan aku sama sekali," katanya di dalam hati.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesaat itu, tiba2 terdengar suara bunyi keledai yang sedang makan rumput di dalam hutan. "Saudara Thio, tak usah kaum engantar lebih jauh lagi." katanya sambil bersiul dan tunggangannya segera menghampiri.
Kun Po mengawasi dengan sorot mata duka. Ia kelihatannya merasa berat untuk berpisahan, tapi ia tak mengeluarkan sepatah kata,
Kwee Siang yang dapat membaca jalan pikiraannya, segera merogoh saku dan mengeluarkan sepasang Lo han besi. "Kau ambilah ini" katanya seraya mengangsurkannya.
Kun Po terkejut, ia tak berani menyambutinya. "Ini . ini . ." katanya terputus-putus.
"Aku berikan ini kepadamu," kata si nona , "Kau ambil lah."
Pemuda itn tergugu: "Aku . . aku .."
SiNona segera memasukkan sepasang han besi itu kedalam saku Kun Po dan kemudian melompat naik keatas punggung keledai.
Tapi, sebelum ia berangkat, diatas tanjakan se konyong2 terdengar teriak: "Kwee Jie-bouwnio! Tahan!" Si nona menengok dan melihat Bu Sek Siansu sedang mendatangi dengan berlari2.
"Pendeta tua itu ternyata kukuh sekali," pikirnya. "Perlu apa ia mengatarkan aku?"
Begitu berhadapan dengan sinona, Bu Sek segera berkata pada Kun Po: "Lekas kau kembali kekuil.
Kau tak boleh berkeliaran lagi di gunung ini."
Pemuda itu mengangguk sambil melirik sinona, ia segera mendaki tanjakan.
Sesudah Kun Po berada jauh. Bu sek segera mengeluarkan selembar kertas dari dalam lengan jubahnya dan berkata: "Kwee Jie-kauw nio, apa kau kenal tulisan siapa ini ?"
Sinona menyambuti dan membaca dua baris huruf yang tertulis diatasnya. "Sepuluh hari kemudian, Kun-leon Sam seng (Tiga nabi gunung Kun-lun san) akan datang berkunjung ke Siauw lim-sie untuk meminta pelajaran,"
"Siapa Kun lun Sam seng ?" tanya sinona "Suaranya sombong sekali!"
"Kalau begitu nona pun tak mengenal mereka katanya." Situa berdiri bengong. "Urusan ini benar benar mengherankan," katanya dengan suara perlahan.
"Mengapa mengherankan ?" tanya Kwee Siang.
"Biarpun baru pernah bertemu, aku menganggap nona sebagai seorang sahabat lama dan aku bersedia untuk menerangkan se-jelas2nya kata Bu-sek. "Apa nona tahu dari mana datangnya kertas ini ?"
"Diantarkan oleh suruhan Koe-lun Sam-seng." Jawabnya.
"Jika disampaikan oleh seorang suruhan, kami tentu tak menjadi heran." kata siPendeta.
"Orang sering mengatakan, bahwa pohon yang tinggi selalu mengundang serangan angin. Dan sudah sejak lama, selama beberapa ratus tahun, Siauw lim sie dikenal sebagai sumber pelajaran ilmu silat dan oleh karena demikian, banyak sekali ahli silat datang berkunjung untuk menjajal kepandaian kami. Hal ini adalah hal yang lumrah. Dipihak kami, setiap kali orang menantang, kami selalu coba membujuknya, supaya ia membatalkan niatan itu. Sedapat mungkin, kami coba mengelakkan pertandingan. Kami sungkan merebut kemenangan. Orang2 yang masih suka berkelahi, mana boleh jadi murid Budha
"Benar, perkataan Taysu benar sekali," ka ta sinona sambil mengangguk.
Akan tetapi, pada umumnya, seorang ahli silat yang datang berkunjung, masih penasaran jika belum memperlihatkan kepandaiannya," kata pula Bu sek. "Maka itu, dalam kuil kami dibentuk bagian Lo han tong yang bertugas untuk melayani para tamu itu."
Sinona tertawa-tawa geli. "Aha ! Kalau begitu Taysu bertugas sebagai tukang berkelahi," katanya.
Situa tertawa getir. "Sebagian besar ahli ahli silat yang datang kemari dapat dilayani oleh para murid dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
aku tak usah turun tangan sendiri," katanya. "Tapi hari ini karena melihat gerakan2 nona yang luar biasa, aku terpaksa turun tangan sendiri."
"Terima kasih banyak2 atas pujian Toahweeshio," kata sinona sambil membungkuk dan tertawa manis.
"Ah, aku sudah melantur kelain tempat," kata Bu sek. "Sekarang kita kembali pada surat tantangan itu.
Untuk bicara sejujurnya kertas ini diambil dari dalam tangan patung Hang-liong Lo-han yang terdapat di dalam kamar Lo-han-tong."
"E eh! Siapa yang menaruhnya?" tanya si nona.
Sipendeta meng garuk2 kepala. "Kami tak tahu, inilah justru yang mengherankan," jawabnya. "Dalam Siauw lim-sie terdapat ratusan pendeta, sehingga seorang luar tak mungkin menyelinap masuk, tanpa diketahui. Apa pula kamar Lo han tong siang malam dijaga oleh delapan murid dengan bergantian.
Barusan, mendadak saja seorang murid melihat kertas itu di dalam tangan Hang liong Lo han dan ia segera melaporkan kepada Loo-hong-thio. Semua orang jadi heran tak habisnya dan mereka lalu memanggil aku untuk diajak berdamai."
Mendengar sampai disitu, Kwee Siang lantas saja dapat menebak jalan pikiran sipendeta. "Bukankah kau merasa curiga terhadapku?" tanyanya. "Kalian menganggap, bahwa aku mempunyai hubungan dengan manusia2 yang menamakan dirinya sebagal Kun-lun Sam-seng. Aku mengacau diluar dal mereka diam2 masuk ke Lo han-tong untuk menaruh surat itu. Bukankah begitu dugaanmu?"
"Aku sendiri tidak, hatiku bebas dari segala prasangka," sahutnya. "Tapi nona tentu bisa mengerti, jika Loo-hong-thio dan Bu siang Su-heng agak curiga. Secara kebetulan, surat itu muncul pada waktu nona mau berangkat."
"Sekali lagi aku memastikan, bahwa aku tidak mengenal tiga manusia itu," kata Kwee Siang.
"Toa-hweeshio, apa yang mesti ditakuti" Jika mereka benar2 berani menyateroni, iringlah segala kemauannya."
"Takut kami tentu tak takut," kata situa. "Jika nona tidak bersangkut paut dengan mereka, aku boleh tak usah berkuatir lagi."
Kwee Siang mengerti, bahwa maksud si pendeta tua adalah baik sekali. Bu sek rupanya menyangka tiga orang itu ada berhubungan dengan dirinya, sehingga jika sampai bergerak ketiga orang itu sampai terluka, si pendeta akan merasa tak enak hati terhadapnya. Maka itu, ia lantas saja berkata. "Toa hweesio, jika mereka datang baik2 dan bicara baik2, kau boleh menyambutnya secara baik2 pula. Tapi kalau mereka kurang ajar, hajarlah, supaya mereka tahu lihaynya Siauw lim-sie. Dilihat dari suratnya, mereka kelihatannya sombong luar biasa."
Bicara sampai di situ, dalam otaknya mendadak berkelebat serupa pikiran dan ia lalu berkata pula:
"Toa, hweeshio, apa tak mungkin di dalam kuil terdapat konconya yang diam2 sudah menaruh kertas itu ditangan Hang liong Lo han?"
"Kemungkinan ini sudah direnungkan oleh kami," sahutnya. "Tapi rasanya tak mungkin terjadi. Tinggi tangan Hang liong Lo han da ri lantai ada tiga tombak lebih dan murid yang membersihkannya, selalu harus menggunakan tangga. Orang yang memiliki ilmu mengentengkan badan sangat tinggi, belum tentu bisa mencapainya. Andaikata benar ada pengkhianat, dia pasti tak mempunyai ilmu yang begitu tinggi."
Penuturan yang sangat manarik itu sudah nembangkitkan rasa kepengin tahu dalam hati Kwee Siang.
Ia kepingin tahu, bagaimana macamnya Kun lun Sam Seng dan kepingin tahu pula bagaimana kesudahan pertemuan itu. Hanya sayang, tak mungkin ia menyaksikan itu semua dengan mata sendiri, karena Siauw lim-sie tak bisa menerima tamu wanita.
Melihat sinona ter-menung2. Bu sek menduga, bahwa nona itu sedang memikiri daya upaya untuk mengelakkan ancaman bahaya. Maka dari itu, sambil tersenyum ia berkata. "Kwee Jie kouwnio, selama ribuan tahun Siauw-lim-sie telah mengalami banyak gelombang dan taufan, tapi begitu jauh, belum pernah dirusak orang. Jika Kun lun Sam sang sungkan di ajak berunding, kamipun tak akan mengorbankan keangkeran Siauw lim sie dengan begitu saja. Kwee Jie kouwnio, setengah bulan kemudian, kau boleh men-dengar2, apa Kun lun Sam seng sudah berhasil menghancurkan kuil kami"
Waktu mengucapkan kata2 yang paling akhir, muncullah kembali keangkeran Bu sek di jaman muda, suaranya nyaring dan berpengaruh, sedang kedua matanya ber-kilat2.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Toa hweeshio, jangan kau gampang2 naik darah," kata sinona sambil tertawa geli. "Cara2 yang berangasan tak sesuai dengan kedudukanmu sebagai murid Sang Buddha. Baiklah setengah bulan lagi, aku menunggu warta menggirangkan." Sehabis berkata begitu, ia mengedut les keledai dan lalu mulai turun gunung. Diam2 ia mengambil keputusan, bahwa sepuluh hari kemudian ia akan kembali untuk menonton keramaian.
Sambil jalankan keledai perlahan-lahan, rupa2 pikiran ber-kelebat2 dalam otak si nona. "Mungkin sekali Kun lun Sam seng tak mem punyai kepandaian berarti, sehingga aku tak bakal menyaksikan keramaian, yang menarik nati," pikirnya. "Ah jika di antara mereka terdapat orang2 yang memiliki kepandaian kira2 seperti kakek, ayah, ibu atau Yo Toa koo, peritiwa Sam seng mengacau Siauw lim sie barulah sedap ditonton."
Mengingat Yo Ko, hatinya lantas saji berduka. Selama tiga tanun, ia telah menjelajahi berbagai tempat, tapi selalu menubruk angin. Ciong lim -san Kuburan Mayat Hidup sunyi-senyap, dilembah Ban hoa kok hanya terdapat rontokan laksaan bunga, Coat ceng kok hanya penuh dengan tampukan puing, sedang di Hong leng touw pun, ia tidak bisa menemukan tapak2 Yo Ko dan Siauw Long Lie. Ia menghela napas ber-ulang2 dan berkata dalam hatinya. "Andaikata, kubisa bertemu dengan dia nya, apa artinya pertemuan itu " Bukan kah akan hanya menambah luka yang pedas perih " Bukankah hanya menyingkirnya dia ke tempat jauh banyak baiknya untuk diriku " Hai ! Terang2an kutahu, bahwa apa yang kupikir adalah bayangan bunga di kaca atau bayangan rembulan di muka air. Tapi. . . aku tak berkuasa untuk menindas dorongan hati . .untuk menindih keinginan mencari dia."
Sambil melamun, la membiarkan keledainya jalan sejalan-jalannya. Diwaktu lohor ia sudah terpisah agak jauh dari Siau sit san, Disepanjang jalan, ia menikmati pemandangan yang sangat indah dan dari jauh ia memandang puncak timur dari Siauw sit san yang menjulang kelangit. Mendadak, dari antara pohon-pohon siong yang sudah ribuan tahun tuanya, lapat-lapat terdengar suara khim. "Si apa yang menaruh khim ditengah gunung yang sunyi ini ?" tanyanya di dalam hati. Karena kepingin tahu, ia melompat turun dari keledainya dan berjalan kearah suara tetabuhan itu, ( Bersambung jilid II )
BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 2 ===========================================
Sesudah datang lebih dekat, ia mendapat kenyataan, bahwa suara khim itu diiringi dengan suara lain, seperti semacam nyanyian. Semenjak kecil, di bawah pimpinan ibunya Kwee Siang telah mempelajari berbagai ilmu sehingga, walaupun tidak terlalu mendalam, ia mengenali baik ilmu menabuh khim, ilmu main tiokie ( catur Tioaghoa ) , Unit surat dan melukis yang umumnya di miliki oleh orang2 terpelajar pada jaman itu, di tambah dengan otaknya yang sangat cerdas, ia tak usah kalah dari orang2 biasa dan malahan ia masih sanggup menimpali kakeknya dalam ilmu musik dan melayani Cu Cu Lioe dalam ilmu surat. Sekarang mendengar suara tabuh tabuhan yang agak aneh itu, ia segera mendekati dengan indap-indap.
Dalam jarak belasan tombak, barulah terang baginya, bahwa suara khim itu diiringi oleh suara ratusan burung. Dengan rasa heran, ia lalu mengintip dari belakang satu pohon besar dan terlihat seorang lelaki yang mengenakan baju putih sedang duduk di bawah tiga pohon siong sambil menabuh khim. Di dahan2
ketiga pohon itu terdapat ratusan ekor burung besar dan kecil yang menyanyi menurut irama tabuh2an itu.
Suara khim dan bunyi burung adalah sedemikian akur sehingga didengar dari jauh, sukar sekali orang dapat membedakan, yang mana suara khim, yang mana suara burung.
Kwee Siang terpesona dan dengan hati ber debar2, ia mendengari musik luar biasa itu, yang semakin lama jadi semakin keras. Tiba2 di sebuah kejauhan terdengar ramai suara gerakan sayap burung yang mendatangi dengan cepat sekali dan di lain saat ratusan burung gereja tiba di situ, sebagaian segera hinggap di cabang2, sebagian pula terbang ber-putar2. Tiba-tiba Kwee Siang ingat suatu hal. "Ah"
katanya di dalam hati. "Apakah lagu ini bukan lagu Pek niauw hong (
Ratusan burung menghadap kepada burung Hong) yang sudah tak dikenal lagi dalam dunia " Menurut katanya kakek, dalam lagu tersebut suara khim menyerupai bunyi burung Hong yang bisa menyebabkan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
kedatangan ratusan burung. Tapi, apa benar dalam dunia terdapat ilmu memetik khim yang begitu tinggi?"
Berapa lama kemudian, suara itu berubahlah perlahan, kawanan burung mulai meninggalkan dahan2
dan lalu terbang berputaran diatas pohon. Mendadak terdengar suara "ting" dan orang ita berhenti memetik alat musiknya. Setelah terbang memutar beberapa kali lagi, ratusan burung itupun turut bubar.
Orang itu dongak dan sesudah menghela napas, dari mulutnya terdengar nyanyian seperti berikut.
Mengapa siang hari begitu cepat saatnya
Ratusan tahun lewat dalam sekejap mata
Langit yang luas tiada batasnya.
Takdir mendurita tak bisa dibantah.
Lihatlah rambut si Niekauw suci.
Sebagian sudah seperti salju yang putih.
Thian kong bertemu dengan Gioklie
Tertawa ter-bahak2 laksana kali.
Aku ingin mengeluarkan kereta.
Dan mendorongnya pulang kekampung halaman.
Pak tauw menuang air kata2.
Dan mengajak semua orang minum secawan.
Kekayaan dan, kemewahan tak jadi idam-idaman.
Yang diharapkan ialah awet muda sepanjang jaman.
Suara orang itu sedih sekali, seperti juga ia merasakan, bahwa penghidupan manusia dalam dunia ini diliputi dengan kesengsaraan yang tidak habis2nya. Kwee Siang jadi turut merasa terharu, tanpa merasa dua butir air mata mengalir turun kedua pipinya. Ia mendongak seraya berkata.
"Memutar pedang! Mengangkat alis! Air bening, batu putih, mengapa bersimpang siur"
Manusia hidup tanpa sahabat sejati.
Hidup ribuan tahun, tiada berarti."
Tiba2 dari bawah khim, orang itu menghunus sebatang pedang bersinar hijau. "Aha Kalau begitu, dia seorang Bu bu coan cay (pandai ilmu surat dan ilmu perang)" pikir si nona. "Coba kulihat ilmu silatnya.
Perlahan-lahan orang itu berjalan kesebidang tanah lapang. Tapi sebaliknya dia bersiasat, ia menggores tanah dengan pedangnya, segaris demi segaris.
"E eh" Kiam hoat apa itu?" tanya sinona dalam hatinya. "Benar2 dia manusia aneh."
Orang itu terus memcuat garisan2 melintang, sesudah menggores sembilan belas kali ia berhenti dan lain mulai membuat garisan2 membujur, yang jaraknya
bersamaan satu sama lain, yaitu kurang lebih satu kaki. Seperti juga garisan melintang, ia membuat sembilanbelas garisan membujur.
Dengan menuruti caranya orang itu, Kwee Siang meng-garis2 tanah dengan telunjuknya. "Wah!
Kurang ajar!" katanya di dalam hati, "Papan Wie-kie !" ( Wie kie semacam catur yang menggunakan biji putih dan biji hitam).
Sesudah selesai, dengan ujung pedang ia membuat bundaran disudut kiri atas dan sudut kanan papan catur itu. Kemudian ia membuat tanda silang, juga disudut kiri atas dan sudut kanan bawah.
Kwee Siang yang mengintip dari sebelah kejauhan, mengerti, bahwa orang itu sedang mengatur biji Wie kie, tanda bundar mewakili biji putih, tanda silang merupakan biji hitam.
Orang itu lalu mulai jalankan biji2nya. Sesudah jalan enambelas biji, ia kelihatan bersangsi. Apakah biji putih harus bergulat terus atau mengambil sikap membela diri disepanjang pinggiran papan" la menancap pedangnya ditanah dan mengawasi papan dengan berpikir keras.
"Dilihat begini, dia seorang yang hidup kesepian," pikir sinona: "Ia memetik khim sendirian dan berkawan dengan burung." Ia tak punya kawan untuk main Wie
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
kie dan harus main seorang diri"
Sesudah memikir beberapa saat, orang itu lalu mulai jalankan lagi biji2 Wie kie. Ternyata, biji putih sungkan mengalah dan sa tu pertempuran hebat lantas saja terjadi disudut kiri atas. Putih dan hitam lantas ber gerak2 dan saling makan dengan serunya sama2 coba merebut kedudukan Tionggoan (tengah2). Tapi, biar bagaimanapun, karena memang sudah kalah setingkat, biji putih terus berada dibawah angin.
Sesudah jalan 93 kali, biji putih sudah terjepit, tapi masih ber gulat terus sedapat mungkin.
Si nona menonton pertempuran itu dengan hati berdebar. Tiba2 tanpa merasa ia berteriak. "Mengapa tak mau meninggalkan Tiong goan dan mundur ke See ek (sebelah barat)"
Orang itu terkejut. Ia melihat bahwa bagian barat papan catur itu memang terdapat sebidang tanah yang kosong, dan jika biji putih menerjang kesitu, masih bisa dipertahankan keadaan seri."
"Bagus ! Bagus!" serunya dan lalu menjalankan biji putih kejurusan barat. Sesudah jalan beberapa kali, barulah ia ingat kepa da orang yang memberi tunjuk. Ia melemparkan pedangnya diatas tanah dan memutar tubuh. "Orang yang berilmu siapakah yang memberi pelajaran ?" teriaknya. "Aku sungguh merasa berterima kasih."
Sehabis berkata begitu ia mengoya kearah Kwee Siang.
Si nona mendapat kenyataan, bahwa orang itu, yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bermuka lonjong panjang dan bermata dalam, sedang badannya jangkung kurus. Sebagai seorang jago betina yang tak menghiraukan perbedaan antara lelaki dan perempuan, perlahan-lahan Kwee Siang berjalan keluar dari tempat sembunyinya dan berkata seraya tertawa. "Barusan aku merasa kagun waktu mendengar Sianseng memetik khim dengan diiring nyanyian dari ratusan burung. Sesudah itu, dengan tak kurang rasa kagumku, kumelihat Sianseng membuat papan Wie kia dengan menggaris tanah dan main Wie xie dengan menggunakan pedang, Karena itu, aku jadi banyak mulut dan aku harap Sianseng sudi memaafkan."
Mendengar perkataan sinona, orang itu kelihatan girang sekali. "Dari kata2mu. nona ternyata mahir dalam ilmu memetik khim," katanya sambil bersenyum. "Jika sudi, aku memohon nona suka perdengarkan satu dua lagu."
"Memang benar aku pernah belajar menabuh dari ibuku, tapi jika dibandingkan dengan kepandaianmu, aku masih kalah jauh sekali," kata sinona. "Tapi jika menolak terlalu keras, aku merasa tak enak hati.
Biarlah aku akan mendengarkan sebuah lagu. Tapi jangan tertawa."
"Bagaimana aku berani ?" kata orang itu sambil mengangsurkan khimnya dengan kedua tangan.
Khim itu sudah berusia tua dan enteng se kali. Sesudah mengakurkan tali2nya. Kwee Siang segera memetik lagu Kho phoa. Kepandaian sinona memang tidak seberapa tinggi dan lagu yang didengarnya tidak luar biasa. Tapi walaupun begitu, pada paras muka orang itu terlukis rasa kaget tercampur girang.
Mengapa" Karena lagu Kho phoa mengenakan jitu pada apa yang dipikirnya, sehingga ia merasa amat girang dan berterima kasih ter hadap sinona. Sesudah selesai Kwee Siang menabuh, untuk beberapa saat ia masih bengong dengan mata mengawasi ketempat jauh.
Syair lagu Ko phoa diambil dari Sie keng (Kitab Syair). Itulah sebuah nyanyian dari seorang Tay soa, seorang yang mengasingkan diri dari pergaulan umum.
Dalam syair itu dikatakan bahwa cita2 yang luhur dari seorang laki2 sejati yang berkelana sebatangkara didaerah pegunungan tidak akan berubah, biarpun pada mukanya terlihat sinar kedukaan dan di dalam hatinya terdapat rasa kesepihan.
Perlahan-lahan si nona menaruh khim diatas tanah dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lalu barjalan pergi, akan kemudian melompat keatas punggung keledai dan meneruskan perjaanan yang tak tentu rimbanya.
Siang dan malam lewat dengan cepatnya dan dalam sekecap tibalah hari kesepuluh, yaitu hari yang dijanjikan Kun lun Sam seng untuk menyataroni Siauw lim sie. Sudah berapa hari Kwee Siang mengasah otak untuk mencari daya guna masuk kekuil Siauw lim sie, tapi ia belum juga berhasil." Sungguh malu aku menjadi anak ibuku", pikirnya dengan mendongkol.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Ibuku begitu pintar, anaknya sedemikian tolol. Biarlah aku datang saja diluar kuil dan menunggu kesempatan. Mungkin sekali, selagi repot berkelahi, mereka tak sempat merintangi aku."
Pagi itu sudah menangsal perut dengan makanan kering, ia tujukan keledainya ke Siauw lim sie.
Waktu berada dalam jarak kurang lebih sepuluh li dari kuil, tiba2 ia mendengar suara kaki kuda dan dari jalanan gunung di sebelah kaki kelihatan mandatangi tiga penunggang kuda. Ketiga ekor kuda itu satu bulu dauk, satu kuning dan satu lagi putih bertubuh tinggi besar dan cepat sekali larinya. Dalam sekejap, mereka sudah melewati sinona dan menuju kearah kuil. Ketiga penunggang kuda itu rata2 berusia kira2
limapuluh tahun. Mereka mengenakan baju pendek warna hijau dan diatas pelana masing2 tergantung kantong kain yang berisi alat senjata. " Ah! Mereka tentulah Kun lun Sam seng, " pikir Kwee Siang. "Jika terlambat, bisa2 aku ketinggalan nonton."
Ia segera menjepit perut keledai dengan lututnya dan menepuk leher binatang itu. Sambil berbunyi kerena, keledai itu lantas saja lari congklang. Biarpun kurus kecil, dia ternyata kuat sekali dan cepat larinya. Tak lama kemudian, dia sudah bisa menyusul dan membuntuti ketiga penunggang kuda itu.
Sekarang si nona bisa melihat lebih tegas. Penunggang kuda dauk bertubuh kate kecil, Penungggang kuda kuning berpotongan badan sedang dan penungggang kuda putih seorang jangkung kurus.
Selanjutaya ia pun mendapat kenyataan, bahwa ketiga binatang itu berbulu sangat panjang sampai dikakinya sehingga berbeda sekali dengan kuda di wilayah Tiong goan.
Begitu tahu ada yang membututi, ketiga orang itu segera menggeprak tunggannya yg lantas saja kabur sekeras-kerasnya sehingga Kwee Siang lantas saja ketinggalan jauh sekali.
Sesudah me]alui dua-tiga-li, si nona belum juga melihat bayangan2 ketiga penunggang kuda itu.
Biarpun kuat, tenaga keledai kecil kurus itu, sangat terbatas.
Napasnya sudah tersengal-sengal dan dia kelihatannya sudah lelah sekali. "Binatang tak punya guna!"
bentak sinona. "Biasanya kau banyak lagak dan selalu mau lari cepat cepat. Tapi waktu aku justeru memerlukan tenagamu kau lantas saja keok." Melihat tak gunanya coba menyusul lagi, ia lalu melompat turun dari punggung si kurus dan duduk mengaso di sebuah pendopo batu dipinggir jalan dan membiarkan keledai makan rumput.
Belum lama ia duduk mengaso sekonyong konyong terdengar pula suara kaki kuda dan ketiga penunggang kuda yg tadi sesudah male wati satu lembah, kelihatan mendatangi.
"Eh, mengapa mereka kembali begitu cepat?" tanyanya di dalam hati.
Setibanya dipendopo satu itu, mereka segera melomat turun dari tunggangan mereka dan lalu duduk mengaso bersama-sama si nona. Orang yang bertubuh kate kecil, bermuka merah dan yang paling menyolok adalah hidungnya yang merah mengkilap seolah olah bara.
Ia mempunyai paras yang selalu tersungging senyuman. Si tua yang bertubuh jangkung kurus, pucat sekali mukanya, di antara warna putih pias terdapat sinar biru, seolah olah ia tak pernah kena sorotan matahari. Dengan demikian, warna kedua orang itu bertentangan satu sama lain: yang satu merah membara, yang lain pucat pias. Orang ketiga, yang badannya sedang sedang saja, tidak mempunyai ciri ciri luan biasa, kecuali mukanya yang berwarna kuning seperti orang sakitan.
Sesudah menyapu ketiga orang itu dengan matanya yang bening tajam, Kwee Siang ber senyum seraya menanya: "Samwe Loosian seng (ketiga tuan) apakah kalian barusan mengunjungi Siauw lim sie"
Mengapa, baru naik kalian sudah turun kembali?"
Si muka pucat melirik seperti orang kekhi tapi si muka merah tertawa dan balas menanya dengan suara manis. "Bagaimana nona tahu, kami pergi ke Siauw lim-sie
?" "Kalau bukan ke kuil kemana lagi?" kata Kwee Siang.
Si muka merah mengangguk. "Benar," katanya. "Kemana nona sendiri mau pergi?"
"Kalian pergi ke Siauw Lim sie, akupun mau kesitu," jawabnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba2 simuka pucat menyelak:" Siauw lim sie tak pernah mempermisikan orang perempuan masuk kedalam kuil dan juga tak pernah mempermisikan masuknya orang yang membawa senjata."
Ia bicara dengan suara sombong, tanpa melirik kepada si nona.
Kwee Siang jadi mendongkol. "Tapi mengapa kalian sendiri membawa senjata?" tanyanya. "Bukankah dalam kantong dicelana, berisi senjata ?"
"Bagaimana kau bisa dibandingkan dengan kami," kata simuka pucat dengan suara tawar.
"Sombong sungguh! Siapa sebenarnya kalian?" tanya sinona dengan suara yang sama tawarnya. "Apa Kun lun Sam seng sudah bertempur dengan pendeta2 Siauw 1im sie?" "Bagaimana kesudahannya ?"
Mendengar kata2 Kun lun Sam sang," ketiga Orang itu jadi kaget bukan main dan paras muka mereka lantas saja berubah.
"Nona kecil," kata simuka merah.'"Bagaimana kau tahu hal Kun lun Sam seng "'
"Tentu saja kutahu," jawabnya.
Mendadak simuka pucat maju setindak dan membentak: "She apa kau " Siapa gurumu Ada urusan apa kau datang kesini "'
"Bukan urusanmu," sinona balas membentak.
Simuka pucat yang sangat berangasan dan yang selama puluhan tahun selalu dihormati orang, lantas saja meluap darahnya. la segera mengangkat tangan untuk menggaplok si jelita yang dianggap sangat kurang ajar. Tapi sebelum tangannya melayang, tiba2 ia ingat kedudukannya yang sangat tinggi. la insyaf bahwa adalah sangat tidak pantas, jika sebagai seorang tua, ia menghina seorang muda, lebih2 seorang wanita. Mengingat begitu, ia mengurungkan niatnya untuk menggampar muka, tapi tangannya menyambar terus kepinggang sinona dan tiba2 pedang Kwee Siang bersama sarungnya sudah pindah tangan! Kecepatan orang tua itu, sungguh sukar dilukiskan.
Selama berkelana dalam dunia Kangouw kejadian getir itu belum pernah dialami oleh nona.
Kepandaian yang dimilikinya memang belum cukup untuk malang melintang dengan leluasa. Akan tetapi, jago-jago Rimba Persilatan sebagian besar tahu, bahwa ia adalah puteri Kwee Ceng, sedang pentolan2
dalam kalangan tersesat juga banyak sekali mengenalnya karena atas undangan Yo Ko, mereka pernah datang di Siang yang untuk memberi selamat panjang umur kepadanya. Maka itu semua orang berlaku sungkan terhadap si nona, jika tidak memandang muka Kwee Ceng, memandang Yo Ko. Di samping itu si nona mempunyai paras yang cantik dan adat yang polos terbuka. Ia tidak pernah bersikap sombong dan memandang siapapun juga sebagai sesama manusia. Bukan jarang ia mengajak buaya2 kecil minum arak ber-sama2. Dengan demikian, biarpun dunia Kang ouw penuh dengan duri dan bahaya, sebegitu jauh ia berkelana dengan tak kurang suatu apa. Belumm pernah ada
orang yang berani mengnina padanya.
Ia kemekmek waktu mendapat kenyataan bahwa pedangnya telah dirampas si tua. Ia angin coba merebut kembali, tapi ia tahu ke pandaiannya masih kalah terlalu jauh. Tapi kalau menyudahi saja, hatinya sangat penasaran.
Sementara itu, sambil megang pedang orang dalam tangan kirinya, si muka pucat berkata dengan suara dingin: "Aku akan menyimpan pedangmu ini untuk sementara waktu. Bahwa kau sudah berani berlaku begitu karang ajar terhadapku, adakah karena seorang tua dan gurumu kurang mengajarmu.
Beritahukanlah, supaya mereka datang kepadaku untuk meminta pulang pedangmu ini. Dengan baik2 aku akan menasehati ayah ibu dan gurumu, supaya mereka lebih memperhatikan kau."
Paras muka si nona lantas saja berubah merah. Si tua seolah2 memandangnya sebagai bocah nakal yang kurang ajar. Dengan gusar, ia berkata dalam hatinya.
"Bagus! Kau mencaci aku seperti juga mencaci kakek, ayah dan ibuku. Apa benar kau punya kepandaian begitu tinggi sehingga kau begitu sombong?" Sesudah dapat menenteramkan hatinya yang bergoncang keras, sambil menahan amarah ia menanya, "siapa namamu ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si muka pucat mengeluarkan suara di hidung. "Apa" Kau berani menanya siapa nama ku?" bentaknya.
"Kau sungguh-sungguh tak tahu adat. Kau harus mengatakan begini, Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama Loo cianpwee yang mulia ?" Mengerti ?"
"Jangan rewel!" bentaknya. "Aku merdeka untuk menggunakan kata apapun juga. Berapa harganya pedang itu" Kau seorang tua, tapi tidak menghargai usiamu yang tua. Tak malu mencuri pedang orang!
Sudahlah ! Aku tak mau pedang itu" Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dari pendopo.
Se-konyong2 satu bayangan berkelebat dan simuka merah menghadang didepannya. "Seorang gadis remaja tak boleh gampang marah," katanya saraya ber-senyum2.
"Kalau sudah menikah, apa kau boleh marah2 seperti anak kecil di hadapan mertua" Baiklah, sekarang aku memberitahukan kau. Dalam beberapa hari sesudah melalui perjalanan berlaksa kami bertiga saudara seperguruan baru saja tiba di Tionggoan dari daerah See ek (daerah sebelum barat) . ..."
"Aku sudah tahu," memotong sinona sambil monyongkan mulutnya. Didaerah Tiong-goan memang tidak terdapat namamu bertiga.
Ketiga orang itu saling meagawasi.
"Nona, bolehkah aku mendapat tahu siapa gurumu ?" tanya si muka merah.
Sebenarnya Kwee Siang tak suka memberi tahu nama ayah dan ibunya, tapi sekarang, karena sudah jengkel, ia lantas saja menjawab: "Ayah she Kwee bernama Ceng. Sedang ibuku she Oey bernama Yong.
Aku tak punya garu, hanya kedua orang tuaku yang menurun kan sedikit ilmu silat."
Ketiga kakek itu saling mengawasi. Saaat kemudian barulah simuka pucat berkata. "Kwee Ceng" Oey Yong" Dari partai mana mereka " Murid siapa ?"
Dengan pertanyaan itu sinona jadi gusar. Nama kedua orang tuanya tersohor dikolong langit, jangankan orang2 dari Rimba Persilatan, sedangkan rakyat jelatapun mengenal Kwee Tay hiap, seorang pendekar yang telah bantu membela kota Siang-yang.
Tapi, melihat paras sungguh2 dari ketiga orang itu, Kwee Siang segera mendapat lain ingatan. "Kunlun-san terletak didaerah barat dan terpisah jauh dari wilayah Tionggoan" pikirnya. "Ketiga orang lihai memiliki ilmu ilmu silat yang sangat tinggi, tapi ayah dan ibu belum pernah me-nyebut2 nama mereka.
Maka itu, memang mungkin sekali, mereka belum pernah mendengar nama kedua orang tuaku."
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mengingat begitu darahnya yang barusan sudah meluap, mereda kembali. "Aku sendiri she Kwee bernama Siang," katanya pula. "Siang adalah Siang dari Siang yang. Nah sesudah memperkenalkan diri, bolehkah menanya she dan nama kalian yang mulia ?"
Si muka merah tertawa hahahihi. "Bocah perkataanmu tepat sekaii, " katanya. "Dengan jawabanmu itu, kau menghormati orang yang lebih tua," Sambil menunjuk si muka kuning, ia berkata pula: "Itulah Tosuko (kakak seperguruan yang paling tua) kami. Ia she Phoa bernama Thian Keng. Aku sendiri adalah Jie su heng (kakak kedua),aku she Phu, namaku Thian Loo" la menuding pada si muka pucat dan melanjutkan perkataannya. "Yang itu adalaa Sam sutee( adik ketiga), she Wie, bernama Thian Bong. Kau lihat! Kami bertiga saudara seperguruan masing2 mengambil huruf "Thian (Langit) untuk nama kami."
"Hm!" Kwee Sing mengeluarkan suara dihidung dan berdiam sejenak mengingat2 tiga nama itu. "Tapi apakah kalian sudah bertanding dengan pendeta2 Siauw lim se"
Kalau sudah, siapa yang lebih unggul?" tanyanya kemudian.
Si muka pucat Wie Thian Bong lantas saja menjadi gusar dan membentak dengan suara keras. "Eh, bagaimana kau tahu" Bahwa kami ingin menjajal ilmu dengan Siauwlim sie hanya diketahui oleh beberapa orang saja. Bagaimana kau bisa tahu" Lekas bilang! " Seraya berteriak ia mendekati Kwee Siang dan menatap wajah si-nona dengan mata melotot.
Tentu saja Kwee Siang jadi dongkol. Jika mereka menanya baik2 mungkin sekali ia akan memberitahukan dengan segala senang hati. Tapi dengan cara yang kasar itu, ia lantas saja mengambil putusan untak menutup rahasia. "namamu bertiga sebenarnya kurang tepat. " katanya dengan suara tawar
"Mengapa tak dirubah menjadi Thian Ok (Ok berarti jahat)?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa kau kata?" bentak Thian Bong.
"Kwee Siang menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku sungguh jarang lihat manusia yang begitu galak seperti kau" katanya dengan adem.
"Sesudah merampas barangku, kau masih bersikap begitu ganas. Bukankah kau seperti juga penitisan dari binatang jahat dilangit?"
Tiba2 tenggorokan Wie Thian Bong mengeluarkan suara aneh, se olah2 menggaungnya binatang buas dan dadanya lantas saja melembung keatas, sedang rambut dan alisnya bangun serentak.
"Samtee!" kata Phui Thian Loo simuka merah dengan cepat. "Jangan kau naik darah."
Sanbil berkata begitu, ia menyeret tangan Kwee Siang kebelakangnya, sehingga badannya sendiri berada diantara kedau orang itu, Melihat hebatnya gerak gerik Wie Thian Bong sehingga jika ia turun tangan, pukulannya tentu hebat luarbiasa, hati si nona jadi keder juga.
Sementara itu, dengan tangannya Wie Thian Bong mencabut pedang Kwee Siang, sedang jariji tangan kirinya mementil badan pedang. "Cring!" pedang itu patah dua.
Kemudian ia memasukkan pedang buntung itu ke dalam sarungnya seraya berkata dengan suara mengejek: "Siapa yang kepingin senjata yang tak gunanya ini ?"
Bukan main kagetnya si nona. Biarpun kepandaian itu belum bisa menandingi Ian cia San thong (ilmu mementil) dari kakeknya tapi tenaga Lwee kang yang begitu dahsyat sungguh jarang terlihat dalam Rimba persilatan
Melihat perubahan pada paras muka si nona, Wie Thian Bong jadi bungah hatinya. Ia dongak dan tertawa ter-bahak2. Suara tertawa itu, yang disertai Lwee kang sangat menusuk kuping dan malahan menggoncangkan juga genteng2 di atas pendopo batu itu.
Se-konyong2, berbareng dengan suara gedbrakan, atap pendopo berlubang besar dan dari lubang itu jatuh serupa benda yang sangat besar.
Semua orang terkejut, terhitung Wie Thian Bong sendiri. Ia sama sekali tak pernah menduga, bahwa suara tertawanya biarpun di sertai Lwee kang bisa merusakkan atap pendopo batu.
Waktu orang tahu, benda apa yaag jatuh itu, rasa kaget jadi semakin besar. Ternyata yang rebah di lantai adalah seorang lelaki yang mengenakan baju putih dan kedua tangannya memeluk khim. Ia rebah disitu sambil meramkan kedua matanya, se-olah2 sedang tidur pulas.
Mendadak terdengar teriakan Kwee Siang "Aha ! Kau berada di sini ?"
Orang itu bukan lain dari pada si pria yg pandai memetik khim dan yaag telah di temui si nona pada beberapa hari berselangi.
Per-lahan-lahan orang ita membuka matanya. Begitu melihat Kwee Siang, ia melompat bangun seraya berkata. "Nona, aku cari kau kesegala tempat. Tak tahunya kau berada disini."
"Perlu apa kau cari aku?" tanyanya. "Aku lupa menanya she nona yang mulia dan nama yang besar,"
jawabnya. "Apa itu she mulia nama besar?" kata Kwee Siang seraya mencebikan bibir. Aku paling sebal dengan kata2 yang banyak kembangnya."
Orang itu kelihatan kaget, tapi di lain saat ia tertawa besar. "Benar, nona," katanya "Memang, semakin manusia berlagak pintar semakin kosong otaknya."
Sambil berkata begitu, ia mengawasi Wie Thian Bong dengan mata melotot dan kemudian tertawa dingin.
Kwee Siang jadi girang sekali. Ia tak nyana si baju putih seorang yang menarik.
Paras muka Wie Thian Bong yang pucat jadi lebih pucat lagi. "Siapa tuan?" tanyanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia tidak menggubris dan sambil berpaling kepada Kwee Siang, ia menanya: "Nona, siapa namamu ?"
"Aku she Kwee bernama Siang." jawabnya
Orang itu menepuk kedua tangannya dan berseru dengan suara girang. "Ah ! Mataku benar2 kotokan tak mengenali gunung Thay san yang besar. Kalau begitu kau Kwee Toakouwnio yang namanya kesohor diseluruh jagat! Kecauli manusia-manusia tolok, siapapun juga mengenal ayahmu Kwee Ceng Kwee Tayhiap, dan ibumu, Oey Yong Oey Liehiap Dalam dunia Kangoaw, siapakah yang tidak mengenal mereka" Mereka adalah orang2 yang bun-bu-song-coan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang ), mahir menggunakan macam senjata dan sudah menyelami dasarnya berbagai ilmu silat paham dalam ilmu penabuh khim, tio kie, menulis huruf-huruf indah, melukis, bersyair, dan bersajak. Dari dulu sampai sekarang, kepandaian mereka jarang tandingan di dalam dunia. Ha ha ha ! Tapi masih juga terdapat manusia-manusia yang tidak mengenal mereka!"
Kwee Siang jadi girang sekali. "Kalau begitu sudah lama dia bersembunyi diatas atap pendopo dan sudah mendengari pembicaraanku dengan ketiga orang itu."
katanya di dalam hati, "Didengar dari perkataannya, ia pun belum mengenal kedua orang tuaku. Kalau sudah mengenal, ia tentu tak akan memanggil aku sebagai Kwee Toakouwnio (nona Kwee yang paling besar). Sungguh lucu ia mengatakan ayahku mahir dalam ilmu menabuh khim, main tio kie, menulis huruf indah dan sebagainya. Memikir begitu, seraya bersenyum ia menanya. "Siapa namamu?"
"Aku she Ho, namaku Ciok Too." jawab nya, (Ho Ciok Too berarti Tidak cukup berharga untuk dibicarakan).
"Ho Ciok Too?" menegas si nona. "sungguh satu nama yang merendahkan diri."
"Benar." jawabnya. "Tapi namaku banyak lebih baik dari pada nama yang menggunakan perkataan2
sombong seperti "Langit dan bumi". Sedikitnya namaku tidak memuakkan orang yang mendengarnya."
Siapapun mengerti, ia sedang mengejek ketiga Suhengtee itu (saudara seperguruan yang menggunakan huruf "Thian" langit itu), maka sesudah manyaksikan cara Ho Ciok Too menjatuhkan diri dari lubang atap mereka tahu bahwa orang itu bukan sembarangan orang dan oleh karenanya, se-bisa2 mereka menahan sabar. Tapi mendengar ejekan yang paling belakang, Wie Thian Bong meluap darahnya.
Dengan sekali membalik tangan la menggapelok dagu orang. Ho Ciok Too menundukkan kepalanya dan molos dari bawah bahu. Mendadak Wie Thian Bong merasa tangan kirinya kesemutan dan tahu2 pedang, Kwee-Siang yang sedang dicekalnya sudah berpindah tangan. Sebagaimana diketahui, waktu merampas pedang itu dari tangan nona Kwee, gerakannya cepat luar biasa, Dari sini dapatlah dibayangkan, bagaimana cepat gerakan Ho Ciok Too yang dengan begitu mudah sudah berhasil merampas senjata itu.
Wie Thian Bong terkesiap. Dilain detik, dengan gusar ia menerjang dan lima jerijinya yang dipentang bagaikan gaetan, menyambar pundak Ho Ciok Too. Dengan sekali mengegos Ho Ciok Too sudah berhasil menyelamatkan diri. Sementara itu, hampir berbareng Phoa Thian Keng dan Phui Thian Loo melompat keluar dari pendopo. Dengan gergetan, Wie Thian Bong mengirim serangan2 berantai dengan kedua tangannya dan dalam sekejap, ia sudah menyerang tujuh delapan kali. Tapi lawannya tetap bersikap tenang. Kemudian diserang bagaikan hujan dan angin sedikitpun ia tidak membalas. Dengan mengengos kekiri kanan, kedepan dan kebelakang, ia kelit pukulan2 hebat itu.
Biarpun masih bersia muda dan kepandaiannya tidak seberapa tinggi, nona Kwee Siang adalah puterinya ahli2 silat nomor satu pada jaman itu dan dengan sendirinya, ia mempunyai mata yang sangat tajam. Melihat gerakan Ho Ciok Too yang begitu gesit dan lincah, ia yakin bahwa orang itu adalah barbeda dengan berbagai ilmu silat yang terdapat diwilayah Tionggoan.
Sementara itu, sesudah menyerang dua puluh jurus lebih tanpa berhasil, tiba2 Wie Thian Bong menggeram dan mengubah silatnya. Jika tadi serangan2 dikirim bagaikan kilat, sekarang gerakan-gerakannya banyak lebih perlahan, tapi disertai dengan tenaga yang sangat hebat. Sesudah ia menyerang beberapa jurus, Kwee Siang yang berada di dalam pendopo, turut merasakan sambaran-sambaran pukulannya, sehingga buru-buru ia melompat keluar.
Ho Ciok Too pun lantas saja mengubah sikap. Kini ia tak berani memandang enteng lagi musuhnya.
Setelah menyelipkan pedang Kwee Siang dipinggangnya, berdiri tegak dan badannya seolah-olah sebuah gunung yang kokoh teguh. "Kau menggunakan ilmu keras?" tanya Ho Ciok Too, lalu "Apa kau rasa diriku tidak mampu ?" Pada saat kedua tangan Wie Thian Bong menyambar, sambil mengerahkan Lweekang, ia memapaki dengan tangan kirinya. Karena melawan keras! "Tak!" kedua tangan beradu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dengan dahsyatnya. Badan Wie Thian Bong ber-goyang2 terhuyung kebelakang dua tiga tindak, sedang kedua kaki Ho Ciok Too tetap berdiri tegak.
Wie Thian Bong yang selala menganggap bahwa Gwakangnya (ilmu luar, yaitu ilmu yang menggunakan teanga kekerasan) jarang tandingan, jadi penasaran sekali.
Sesudah menarik napas panjang, sambil membentak keras sekali lagi is menghantam dengan kedua tangannya. Ho Ciok Too pun mengeluarkan teriakan nyaring, dan satu tangannya kembali memapaki pukulan lawan. "Dak !", kedua bau tangan beradu pula, kali ini hebat luar biasa, sehingga debu dan pasir meluruk turun dari lubang diatap pendopo. Hampir berbareng dengan bentrokan itu, tubuh Wie Thian Bong terhuyung lagi dan sesudah sempoyongan empat lima tindak, barulah ia bisa berdiri tegak.
Sesudah dikalhkan dua kali, Wie Thian Bong jadi mata merah. Rambutnya terurai, kedua matanya melotot, sehingga macamnya menakuti sekali. Dengan kedua tangan memegang perut, dia menarik napas panjang. Dilain saat, dadanya melesak kedalam, perut melembung keluar, se-akan2 sebuah tambur dan tulang2nya berkerotokan.
Dalam keadaan yang menyeramkan itu, setindak demi setindak ia mendekati lawannya.
Melihat begitu, Ho Ciok Too mengerti, bahwa lawannya akan segera menyerang dengan menggunakan seantero kepandaian dan tenaga Lwekang. Ia tak berani berayal lagi dan buru-buru monyedot nafas untuk mengerahkan Lweekang.
Menurut kebiasaan, sesudah mengerahkan Lweekang yang hebat itu, dari jarak empat lima tindak, Wie Thian Bong sudah mengirim pukulan. Tapi sekarang ia tak berbuat begitu. Dengan perlahan, ia terus maju hingga berhadapan dengan lawan. Sesudah itu, barulah kedua tangannya bergerak, yang satu memukul muka, yang lain menyambar kepunggung. Tujuan kedua pukulan, itu adalah untak membuyarkan seantero Lwekang Ho Ciok Too.
Ho Ciok Too pun lantas saja menyambar dengan kedua tangannya. Tangan kiri menempel dengan tangan kiri, tangan kanan dengan tangan kanan. Tetapi di dalam tangan itu, dia mengeluarkan dua tenaga yang berbeda, satu "keras" dan yang satu "lembek". Dengan begitu tangan Wie Thian Bong yang memukul keras kepunggung seperti juga menghantam kapas, sedang tangan kanan yang menyambar kemuka se-akan2 menyentuh tembok tembaga. "Celaka !" Wie Thian Bong mongeluh. Hampir berbareng, ia merasakan dorongan tenaga yang sangat hebat dan tanpa ampun lagi badannya didorong keluar dari pendopo.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 29 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Pangeran Perkasa 9
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Original Author: Jin Yong (Chin Yung)
Original Title: Yi Tian Tu Long Ji
(Heaven Sword and Dragon Sabre)
BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Tjan Ebook by Dewi KZ ===============================
Jilid 1 MUSIM semi gembira-ria,
Setiap peringatan Han-sit,
Bunga Lee-hoa mekar semua.
Sutera putih licin, Bau harum bertebaran, Pohon2 bagaikan giok, Tertutup salju berhamburan.
Malam yang sunyi, Sinar yang mengambang, Cahaya, yang dingin. Diantara bumi dan langit,
Sinar perak menyelimuti semesta a1am.
Ah, dia bagaikan Dewi dari gunung Kouwsia,
Bakatnya cerdas dan suci,
Wataknya agung dan murni.
Laksaan sari bunga besar kecil tak ketentuan,
Tapi siapa berani mengatakan, dia tak
berendeng dengan bunga2 kenamaan"
Jiwanya gagah, Kepintarannya berlimpah2,
Sesudah rontok, semua sama.
Maka itu, dia pulang kekeraton langit'
Guna melihat keindahan nan ABADI.
Sajak diatas sajak "Bu siok liam" (Cita2 hidup bebas dari segala keduniawian), adalah buah kalam seorang ahli silat ternama dijaman Lan-song (kerajaan Song Selatan). Orang itu she Khu bernama Cie Kie (Kee) bergelar Tiang cun cu, salah seorang dari Coan cin Cin Cit cu (Tujah Cu dari agama Coan cin kauw)
Dalam sajak itu Khu Cie Kie bicara tentang bunga Leehoa. Tapi sebenarnya, dalam melukiskan keagangan bunga Leehoa, is ingin memberi pujian kepada seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian serba putih. la membandingkan wanita itu seperti "Dewi dari gunung Kouw sia, bakatnya cerdas dan suci, wataknya agung dan murni." Ia memujinya sebagai manusia yang "jiwanya gagah kepintarannya ber-limpah2."
Siapakah wanita yang mendapat pujian sedemikian tinggi dari seorang, beribadat yang berilmu itu "
Ia adalah Siauw Liong Lie, seorang jago betina partai Kouw bok pay (partai Kuburan tua). Ia suka mengenakan pakaian serba putih, sehingga se-olah2 pohon giok yang tertutup salju Dengan sifat2nya yang bersih dingin is se-akan2 sinar rembulan yang menyelimuti semesta alam dengan sinarnya yg teduh dan dingin.
Waktu masih berdiam di Ciong Lan Sam Siauw Liong Lie pernah jadi tetangga Kho Cie Kie dan sesudah melihat gadis itu yang elok luar biasa. Cie Kie segera menulis sajak "Bu siok-liam" untuk memujinya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi sekarang Kho Cie Kie sudah lama meninggal dunia, sedang Siauw Liong Lie pun sudah menikah dengan Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Akan tetapi, pada suatu hari, dijalanan gunung Siauw sit san, di propinsi Holam, terlihat seorang gadis remaja yang sedang berjalan sambil menundukkan kepada dan menghafal sajak "Bu siokliam."
Gadis itu, yang berusia kira-kira delapan belas tahun dam mengenakan pakaian warna kuning menunggang seekor keledai kurus. Perlahan-lahan binatang itu mendaki jalanan gunung yang sempit.
Sambil termenung2 diatas tunggangannya, sinona berkata dalam hatinya. "Ya ! Memang juga, hanialah seorang seperti Liong Cie-cie yang pantas menjadi isteri dia."
"Dia" adalah Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Keledai berjalan terus, perlahan-lahan.
Si nona menghela papas dan berkata dengan suara perlahan. "Berkumpul gembira, berpisahan menderita......"
Gadis tersebut, yang berpakaian sederhana dan yang pada pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek, berjalan dengan paras muka tenang, sehingga dengan muka sekelebatan saja, orang bisa menebak, bahwa ia adalah seorang yang sadah biasa berkelana dalam dunia Kang-ouw. Ia berada dalam usia remaja, usia riang gembira. Menurut akuran biasa, dalam usia belasan, pemuda atau pemudi tak mengenal apa yang dinamakan penderitaan atau kedukaan. Akan tetapi, nona itu berada di luar dari ukuran biasa. Pada paras mukanya yang cantik bagaikan sekuntum bunga mawar, terlihat sinar yang guram. Alisnya berkerut, seolah-olah serupa pikiran berat sedang menindih hati iya.
Nona itu she Kwee bernama siang, puteri ke dua dari Tayhiap Kwee Ceng dan Liehiap Oey Yong.
Dalam dunia Rimba Persilatan, ia di juluki sebagai "Siauw-tong-sia" (si Sesat kecil dari Timur). Dengan seekor keledai dan sebatang pedang, ia berkelana untuk menghilangkan kedukaan. Tapi diluar dugaan semakin jauh ia berkelana mendaki gunung2 yang indah dan sunyi semakin besar kedukaannya.
Jalan kecil itu, dibuat atas perintah Kaizar Kocong dari kerajaan Tong, untuk memudahkan lalu lintas kekuil Siau-lim-sie.
Sesudah berjalan beberapa lama, Kwee Siang melihat lima buah air terjun di gunung seberang dan dibelakang sebuah tikungan, apat2 terlihat tembok dap genteng dari se buah kuil yang besar luar biasa.
Sambil mengawasi bangunan2 yang berderet, si nona berkata dalam hatinya. "Semenjak dulu Siauw lim sie dikenal sebagai pusat pelajaran ilmu silat. Tapi mengapa, selama dua kali diadakan pertandingan di puncak gunung Hwa-san, diantara lima jago utama tidak terdapat orang yang berkepandaian Cukup tinggi" Atau apakah, karena sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi, mereka sung kan mencampuri segala pergaulan di dalam dunia?"
Sambil berpikir, ia mendekati kuil itu.
Ia turun dari tunggangannya dan menuju ke pintu kelenteng. Ia melewati pohon2 itu yang berdiri sejumlah pay batu yang sebagian besar sudah rusak, sehingga hurup2nya tak dapat dibaca lagi.
Si nona menghela napas. "Ah ! Huruf2 yang terpahat di pay batu sudah hampir tak terbaca karena lamanya tempo, tapi mengapa, huruf2 yang terukir dalam hatiku, semakin lama jadi semakin tegas ?"
katanya di dalam hati. Dalam saat, ia berpapasan dengan sebuah pay batu yang sangat besar dengan hurufnya yang masih dapat di baca. Pay itu ternyata hadiah Kaizar Tong-thay-tong sebagai pujian untuk jasa-jasanya para pendeta Siauw-lim-Sie
Menurut catatan sejarah, pada waktu masih jadi Raja muda Cin-ong, Tong-thay-cong pernah membawa tentara untuk menghukum Ong Sie Oen. Dalam peperangan itu, bajak pendeta siauw-lim-sie memberi bantuan dan yang paling terkenal berjumlah tiga belas orang. Antara mereka itu, hanya seorang she Tham yang suka menerima pangkat jenderal sedang yang lainnya, sesudan peperangan selesai, lantas meminta diri. Tong-thay-cong tak dapat menahan mereka dan sebagai pernyataan terima kasih kepada setiap orang, ia menghadiahkan satu jubah pertapaan yang sangat indah.
"Pada jaman antara kerajaan Su dan Tong ilmu silat Siau Lim sie sudah tersohor dikolong langit," kata Kwee Siang di dalam hati.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Selama beberapa ratus tahun, ilmu silat itu tentu sudah memperoleh banyak kemajuan. tahu berapa banyak orang yang berilmu bersembunyi dalam kuil yang besar ini?"
Selagi dia melamun dibelakang pohon, tiba2 terdengar suara berkerincingnya rantai besi, disusul dengan suara seseorang yang sedang menghafal Hud keng (Kitab Suci agama Budha. ). Antara perkataan2 yang di hafal ia menangkap kata2 seperti berikut.
"... Dari cinta timbul ke jengkelan, dari cinta timbul ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan."
Jantung si nona memukul keras. Ia bengong mengulangi kata2 itu. "Dari cinta timbul ke jengkelan dan ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan."
Dilain saat, suara kerincingan rantai besi dan suara pembacaan Kitab Suci sudah jadi semakin jauh.
"Aku mesti tanya dia," kata si nona dalam hati. "Aku mesti tanya, bagaimana seseorang bisa menyingkir dari cinta, bisa terbebas dari kejengkelan dan ketakutan". Buru-buru ia mengikat tali les keledai disatu pohon dan lalu mengubar kearah suara itu.
Ternyata, dibelakang pohon2 terdapat satu jalan kecil yang menanjak keatas dari seorang pendeta yang memikul dua tahang besar sedang naik ditanjakan itu.
Dengan cepat Kwee Siang mengudak dan waktu berada dalam jarak belasan tombak dari si pendeta, tiba2 terkesiap. la mendapat kenyataan, bahwa yang dipikulnya sepasang tabang besi yang tiga kali lipat lebih besar dari tahang biasa. Yang mengejutkan ialah, dileher, di tangan dan dikaki sipendeta dilibatikan rantai besi yang besar, sehingga menimbulkan suara berkerincingan. Berat kedua tahang besi itu ratusan kati dan ditambah dengan air dapat dibayangkan betapa beratnya.
".. Toah hweeshio (pendeta besar) "teriak si nona. "Berhenti dulu ! Aku ingin bertanya."
Si pendeta menengok, mereka saling memandang. Pendeta itu ternyata Kak-wan yang pada tiga tahun berselang pernah bertemu Kwee Siang di puncak ganung Hwa-san.
Si Nona tahu, biarpun pendeta itu agak tolol, ia memiliki Lweekang yang sangat tinggi, yang tak kalah dari siapapun juga. "Ah! Kukira siapa," katanya. "Tak tahunya Kak kwan Taysu. Mengapa kau jadi begini
?" Kak kwan manggut kan kepalanya sambil tersenyum dan merangkapkan kedua tangannya, tapi ia tak menjawab pertanyaan si nona. Lalu ia memutar badan dan berjalan pula
"Kak Wan Taysu !" teriak Kwee Siang. "Apakah tidak mengenal aku " Aku Kwee Siang!"
Kak wan kembali menengok, ia tertawa dan memanggut2kan kepala, tapi kakinya bertindak terus.
"Siapa yang mengikat kau dengan rantai?" tanya sinona. "Siapa yang menghina kau?"
Sambil berjalan terus Kak wan menggoyang2 tangan kirinya dibelakang kepala, sebagai isyarat supaya sinona jangan terlalu melit.
Kwee Siang jadi semakin heran. Mana ia bisa puas dengan begitu saja" Ia segera mengudak untuk mencegat pendeta yang aneh itu, tapi diluar dugaan, sesudah mengubar beberapa lama, Kak wan yang dilibat rantai dan memikul tahang, masih tetap berada disebelah depan. sinona jadi jengkel. Ia mengempos semangat dan mengudak dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Bagaikan seekor walet tubuhnya yang langsing melesat kedepan dan satu tangannya coba menjambret sebuah tahang.
Menurut perhitungan, jambretan itu tak akan melesat. Tapi diluar dugaan, tangan Kwee Siang jatuh di tempat kosong, hanya kacek dua dim dari tahang itu.
"Toahweeshio ! Lihay benar kau !" teriaknya. "Lihatlah! Biar bagaimanapun juga aku akan menyandak kau."
Jalanan semakin menanjak,kebelakang gunung. Dengan tenang Kak Wan percepat tindakannya, sehingga berkerincingnya rantai jadi semakin ramai. Si ubar dengan sekuat tenaga, nafasnya tersengal2, tapi ia terpisah kurang lebih setombak dari pendeta ltu. Ia kagumi bukan main dan berkata dalam hatinya :
"Diatas gunung Hwa-san, ayah dan ibu pernah mengatakan, bahwa hweeshio ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Waktu itu aka masih percaya. Sekarang baru terbukti, perkataan ayah dan ibu adalah benar."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tak lama kemudian merekapun tiba didepan sebuah rumah kecil dan Kak Waa sagera pergi kebelakang dam menuang air kedua tahang itu kedalam sumur. Kwee siang jadi lebih heran. "Toa hweeshio, apa kau sudah gila" " tanyanya. "Mengapa kau menuang air kedalam sumur?"
Paras muka sipendeta tetap tenang. Ia hanya tersenyum.
Mendadak Kwee siang tertawa nyaring. " Ah! Kutahu sekarang," katanya. "Kau sedang melatih ilmu silat bukan ?"
Kak Wan kembali meng-geleng2kan kepala.
Sinona jadi mendongkol. "Kau seorang gagu, barusan aku mendengar kau menghafal Kitab Suci."
katanya. "Mengapa kau tak mau menjawab pertanyaanku ?"
Si pendeta merangkap kedua tangannya, Sedang dilihat dari paras mukanya, ia seperti ingin meminta maaf. Tapi ia tetap membungkam dan sesudah mengangkat kedua tahangnya, ia lalu turun di jalanan tadi.
Kwee siang melongok sumur itu. Ia hanya melihat air yang bening dan merasakan hawa yang dingin.
Tiada apapun yang luar biasa.
Ia berdiri bengong dan hati bimbang mengawasi bayangan Kak wan yang semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah menguber mati matian, ia merasa letih dan lalu duduk dipinggir sumur sambii memandang keadaan diseputarnya. Ia berada di tempat yang lebih tinggi dari pada kuil Siauw liem sie. Di pandang dari jauh kuil itu, angker dan indah. Ia mendongak dan memandang puncak. yang menjulang kelangit dan berderet2 bagaikan sekosol, sedang di bawah puncak2 itu terdapat awan putih yang mengambang kian kemari. Di lain saat, sayu sayu kupingnya mendengar suara lonceng di kuil yang dibawa keatas olen tiupan angin. Dalam keadaan begitu, ia merasa berada di suatu tempat suci yang jauh dari keduniawian.
"Kemana perginya murid si pendeta itu?" tanyanya di dalam hati. "Kalau dia sendiri tak mau bicara, biar kucari itu." Perlahan lahan ia turun gunung untuk mencari Thio Kun Po, murid Kak wan.
Sesudah berjalan beberapa lama, ia kembali mendengar suara berkerincingnya rantai besi dan jauh-jauh Kak wan kelihatan mendatangi sambil memikul dua tahang besinya. Kwee siang baru baru melompat dan menyembunyikan diri di belakang pohon. "Biarlah aku intip padanya." pikirnya,
"Permainan gila apa yang tengah dilakukannya?"
Tak lama kemudian, Kak wan sudah tiba di tempat bersembunyinya. Kwee Siang yg mendapat kenyataan, bahwa sambil berjalan pendeta itu membaca sejilid buku dengan penuh perhatian. Mendadak ia melompat dan berteriak. " Toah wee shio, buku apa yang di baca olehmu ?"
"Aduh ! Kaget benar aku !" teriak sipendeta tanpa merasa. "Nakal sungguh kau!"
Si nona tertawa geli. "Toa hwee shio, mengapa tadi kau berlagak gagu ?" tanyanya dengan dada mangejek,
Muka pendeta itu lantas saja berubah pucat, seperti orang ketakutan. Ia menegok ke Kiri kanan dan menggoyang-goyangkan tangannya.
"Apa yang di takuti olehmu ?" tanya pula Kwee Siang dengan perasaan heran.
Sebelum Kak wan keburu menjawab, dari dalam hutan mendadak muncul dua orang pendeta yang mengenakan jubah kuning. "Kak wan!" bentak sipendeta yang jalan didepan. "Hm! Kau berani bicara dan melanggar larangan kami " Hm! Kau berani bicara dengan seorang luar. Apa pula demang seorang wanita. Sekarang kau harus menghadap pada tetua Kayloet tong (dewan per udang-undangan dari kalangan Buddha)."
Kak wan kelihatan berduka. Ia menunduk dan mengguk, akan kemudian berjalan mengikuti dibelakang kedua pendeta itu.
Kwee Siang lantas saja naik darahnya "Hai ! Dikolong langit mama ada aturan tak boleh bicara ?"
bentaknya. "Aku bicara dengan Tay su itu, karena aku mengenalnya. Ada sangkut paut apakan dengan kau berdua ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Pendeta yang bertubuh jangkung melotot matanya. "Semenjak ribuan tahun, seorang wanita belum pernah dipermisikan masuk kedalam daerah Siauw lim sie."
katanya. "Lebih baik nona cepat-capat turun gunung supaya tidak menghadapi kesukaran."
Sinona jadi semakin gusar. "Eh, kalau wanita masuk disini, mau apa kau?" bentaknya." Apa perempuan tak sama dengan lelaki" Mengapa kamu menyusahkan Kak wan Taysu" Sesudah mengikatnya dengan rantai besi, kau mengeluarkan larangan gila-gila."
Si jangkung mengeluarkan suara dihidung "Kaizar sendiri tak pernah mencampuri urusan dalam kuil kami," katanya dengan suara tawar.
"Nona tak usah banyak bicara."
Kwee Siang berjingkrak. "Kutahu Kak wan Taysu seorang baik dan karena ia seorang baik, kau berani menghinanya," katanya. "Huh-huh! Dimana adanya Thian beng Siansu, Bu sek Hweeshio dan Bu Siang Hweeshio" Panggil mereka" Aku mau menanyakan urusan gila ini!"
Kedua pendeta itu terkejut. Harus diketahui, bahwa Thian beng Siansu adalah Hongthio atau kepala dari kuil Siauw lim sie, sedang Bu sek Siansu pemimpin Lo-han-tong Pan Bu siang Siansu pemimpin Tak mo tong dengan kedudukan yang sangat tinggi, mereke dihormat oleh segenap pendeta yang belum pernah berani menyebutkan Hoat nia (nama sesudah jadi pendeta) mereka dan biasa menggunakan panggilan "Loo hong thio" "Lo han tong Co-su" atau "Tat mo tong Cocoa. " Maka itu, tidaklah heran jika mereka kaget tercampur gusar waktu mendengar sinona menyebut nama ketiga, pemimpin dengan suara kasar.
Hoat mia pendeta yang bertubuh jangkung itu, adalah Hong bang, muria kepala Co cu (pemimpin) Kay Loet tang. Atas perintah cu cu, bersama Hong yan, adik seperguruannya ia menilik gerak-gerik Kak kwan. "Lie sie cue (nona) !" bentaknya sambil menahan amarah. "Jika kau terus berlaku kurang sopan di tempat yang suci ini, Siauwceng tak akan berlaku sangkan lagi."
"Kau kira aku takut ?" Kwee Siang balas membentak. "Lekas buka rantai yang meli- bat Kak wan Taysu. Jika tidak, aku akan cari Thian beng Loo hwaeshio untuk berurusan lebih jauh."
Bagaimana siauw tong sia Kwee Siang bisa berada di gunung Siaw sit san "
Sesudah berpisah dengan Yo Ko dan Siauw Liong Lie dipuncak Hwa san, tiga tahun lamanya ia tak pernah menerima warta tentang kedua sahabat itu. Karena berkuatir, ia segera minta permisi dari kedua orang tuanya untuk pesiar keberbagai tempat, dengan tujuan mendengar berita tentang Yo Ko. la bukan terlalu ingin bertemu muka dengan kedua suami isteri itu. Ia sudah merasa puas jika bisa mendengar warta tentang sepak terjang mereka. Tapi semenjak berpisah, Yo Ko dan Siauw Liong Lie tak pernah muncul dalam dunia Kangouw. Tiada orang tahu dimana mereka menyembunyikan diri. Sesudah berkelana disebagian besar wilayah Tiong go an, dari utara keselatan, dari timur kebarat, belum pernah Kwee Siang nendengar disebut-sebutnya, nama "Sintiauw Tayhiap Yo Ko."
"Waktu tiba dipropinsi Holam, dia ingat dulu Yo Ko pernah mengatakan bahwa ia kenal Hong thio dari, kuil Siauw Lim sie. Mengingat begitu dalam hatinya muncul harapan, kalau Thian beng SianSu mengetahui segala sesuatu mengenai Yo Ko. la lalu mendaki Siauw sit san, tapi tak dinyana, begita tiba ia bertemu dengan kejadian mengheran kan.
Melihat dipinggang Kwee Siang tergantung sebatang pedang pendek, Hong beng dan Hoang yan jadi semakin gusar. "Tinggal kan pedangmu disini dan lekas pergi dari gunung!" bentak Hoang yang dengan mata melotot.
Mendengar perintah itu, kegusaran sinona jadi bertambah2. Ia membuka ikatan tali pedang dari pinggangnya dan sambil menggusarkannya dengan kedua tangan ia berkata seraya tertawa dingin.
"Baiklah, aku menurut perintah!"
Semenjak kecil Hongyan sudah mencucikan diri dikuil Siauw Lim sie. Selama belasan tahun, ia selalu mendengar bahwa Siauw lim sie adalah pusat dari ilmu silat dan siapapun juga, biarpun ahli silat yang berkepandaian paling tinggi, tak akan berani melewati pintu kuil dengan membawa senjata. Sekarang walaupun Kwee Siang masih belum masuk dipintu, tapi ia sudah berada dalam lingkungan Siauw lim.
Dengan usianya yang masih begitu muda, apa pula ia hanya seorang wanita, dapat dimengerti jika Hong
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Yang tidak mempandang sebelah mata kepada Kwee Siang. Begitu ia mengangsurkan senjatanya, si pendata menafsirkan, bahwa nona itu sudah menyerah dengan ketakutan. Dengan paras muka ber seri2
sambil mengebas tangan-jubah yang menutupi kedua tangannya; ia segera menelonjorkan tangan untuk menjemput pedang Si nona.
Tapi baru saja lima jarinya menyentuh sarung pedang, lengannya bergetaran, seperti kena arus kilat. Ia merasakan semacam tenaga yang sangat besar menerobos keluar dari pedang itu dan mendorongnya dengan hebat, sehingga tak ampun lagi ia roboh terguling dan terus menggelinding kebawah tanjakan.
Sesudah tergelincir belasan tombak, untuk juga ia berhasil menjemput satu pohon kecil di pinggir jalanan dan dapat menolong dirinya,
Darah Hong beng mendidih; paras mukanya merah padam. "Perempuan celaka!" bentaknya,
"Kau rupanya sudah makan nyali singa, sehingga berani unjuk keganasan di Siauw Lim sie." Sambil mencaci, ia menghantam dengan kedua tangannya.
Melihat gerakan orang, Kwee Siang tahu, bahwa kepandaian pendeta itu banyak lebih tinggi daripada kawannya yang barusan terguling. Dengan capat ia mengangkat pedangnya yang masih berada di dalam sarung dan menotok pundak Hong bang bagaikan kilat, si pendeta mengegos, sambil coba menjambret sarung pedang.
"Jangan berkelahi! Jangan berkelahi!" teriak Kak wan dengan suara bingung.
Jembretan Hong beng ternyata berhasil, tapi baru saja ia mau membetot sarung pedang, lengannya mendadak kesemutan dan ia mengeluarkan teriakan tertahan.
"Celaka!" Hampir berbaring, Kwee Siang menyapu dengan kakinya dan tubuh Hong beng tergelincir ke bawah, ia menderita lebih hebat dari pada Hong yang dan baru berhenti sesudah menggelinding duapuluh tombak lebih dengan badan dan muka berlepotan darah.
Peristiwa itu membuat sinona agak menyesal.
"Ah! Aku naik ke Siauw Lim sie untuk mendengar2 warta tentang Yo Toako," pikirnya. "Siapa nyana, aku kebentrok dengan mereka."
Melihat Kak wan berdiri di pinggir jalan dengan paras muka berduga, ia segera menghunus pedang dan membacok rantai yang melibat kaki pendeta itu. Biarpun bukan pedang mustika, senjata Kwee Siang bukan senjata sembarangan. Dengan berkerincingan, tiga rantai sudah putus terbacok.
"Jangan! Jangan !" si pendeta coba mencegah.
"Mengapa jangan ?" tanyanya. Ia mengawasi Hong beng dan Hong yang yang sedang berlari-lari dan berkata pula. "Dua hweshio jahat itu tentu mau melapor. Mari kita mabur. "Mana muridmu, si orang she Thio " Kita ajak dia lari ber sama-sama."
Kak wan meng geleng2kan kepala dan mengawasi si nona dengan sorot mata berterima kasih.
Tiba-tiba Kwee Siang mendengar suara orang dibelakangnya. "Terima kasih untuk kebaikan nona.
Aku berada di sini."
Si nona menengok dan melihat di belakang nya berdiri seorang pemuda yang berusia kurang lebih tujuh belas tahun, dengan alis tebal, mata besar dan badan tinggi besar, tapi paras mukanya masih kekanak-kanakkan la segera mengenali bahwa pemuda itu bukan lain dari pada Thio Kun Po, yang pernah bertemu di puncak gunung Hwa-san. Tubuh anak itu sudah banyak lebih tinggi, tapi mukanya tidak banyak berubah.
Kwee Siang girang. "Dua hwe-shio jahat itu telah menghinakan gurumu," katanya. Mari kita kabur"
"Mereka sebenarnya tidak menghinakan Su-hu." kata Kun Po.
"Tidak menghinakan", menegas si nona. "Mereka melibatkan rantai di kaki tangan gurumu dan melarang gurumu bicara. Apa itu tidak menghina?" Kak-wan tertawa getir. Ia kembali menggelengkan kepala sambil menuding kebawah sebagai nasehat supaya Kwee Siang buru-buru kabur sendiran.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tapi Siauw tong-sia Kwee Siang adalah manusia yang memiliki sifat-sifat kesatria. Ia yakin bahwa di kuil Siauw Lim-sie terdapat ahli-ahli silat yang tak terhitung berapa banyaknya. Tapi melihat keganjilan, ia tak bisa berpeluk tangan. Melihat Kak wan Kun Po ayal-ayalan ia jadi bingung karena kuatir keburu di cegat. "Lekas! Kalau mau bicara, boleh bicara dibawah gunung. katanya sambil menyeret tangan pak gurunya dan murid itu. Tapi baru saja ia mengeluarkan perkataan itu dari bawah tanjakan sudah muncul tujuh delapan pendeta yang masing2 bersenjata toya Cee bie kun.
"Perempuan dari mana berani mengganas di Siauw lim sie?" teriak satu antaranya.
"Suheng jangan kurang ajar," kata Kun Po. "la adalah ..."
"Jangan menyebutkan namaku!", memotong Kwee Siang. Ia mengerti bahwa ia sudah menerbitkan keonaran yang mungkin tak bisa dibereskan lagi dengan jalan damai.
Sebagai jago betina bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya sendiri, ia sungkan meyeret2
kedua orang tuanya. Maka itu ia lalu menambahkan dengan suara perlahan: "Mari kita kabur. Tapi kau jangan se kali menyebut nama kedua orang tuaku atau lain-lain sahabat".
Se-konyong2, terdengar suara bentakan dan diatas gunung kembali muncul tujuh delapan pendeta.
Melihat jalanan didepan dan dibelakang sudah tercegat, Kwee Siang jadi mendongkol. "Semua gara2mu berdua yang seperti nenek2 sedikitpun tak punya semangat laki2. Bilang sekarang. Mau pergi atau tidak ?"
Kun Po berpaling kepada gurunya seraya berkata: "Suhu inilah kebaikan budi dari Kwee Kouwnio . . .
" Sesaat itu, dibawah tanjakan kembali muncul empat pendeta yang berjubah warna kuning, Mereka tidak bersenjata, tapi selagi mendaki tanjakan, gerakan mereka gesit dan cepat luar biasa. Diam2 Kwee Siang mengakui, bahwa mereka adalah orang2 yang berkepandaian tinggi.
Sekarang sinona mengerti, bahwa ia tak kan dapat melarikan diri lagi. Ia segera ber diri tegak dengan sikap angkuh, siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan.
Begitu datang dekat, pendeta yang berjalan paling depan segera berteriak dengan suara nyaring: "Atas perintah tetua Lo-han-Tong, kau harus meninggalkan senjatamu. Sesudah itu, kau harus pergi ke Pendopo Lip swat teng dikaki gunung untuk memberi penjelasan dan mendengar keputusan kami."
Kwee Siang tertawa dingin. "Ah! Lagak hweeshio2 Siauw Lim sie sungguh tak berbeda dengan pembesar2 negeri," katanya dengan nada mengejek. "Bolenkah aku mendapat tahu, apa para Toa hweeshio menjadi pembesar dari kerajaan Song atau menjadi pembesar dari kaizar Mongol ?"
Pada waktu itu, daerah disebelah utara sungai Hway sui sudah jatuh kedalam tangan tentara Mongol dan Siauw sit san dengan Siauw lim sienya justeru berada diwilayah kekuasaaan Mongol.
Sampai sebegitu jauh, karena bertahun-tahun repot menyerang kota Siangyang, maka bala tentara Mongol masih belum sempat memperhatikan soal2 lain, sehingga sampai sebegitu juga, Siauw lim sie masih belum diganggu.
Mendengar perkataan Kwee Siang yang sangat tajam, paras muka pendeta itu lantas saja berubah merah. Ia merasa, bahwa perkataannya memang tidak pantas, karena dengan berkata begitu, Siauw lim sie se olah-olah mau jadi hakim sendiri terhadap orang luar. Maka itu, sambil merangkap kedua tangannya, ia segera berkata pula dengan suara manis. "Ada urusan apa Lie sie cu datang berkunjung kekuil kami"
Memohon kau suka meninggalkan senjata dan pergi kependopo Lip swat teng untuk sekedar minum teh dan beromong-omong."
Kwee Siang mengeluarkan suara dihidung,
"Huh! Kau orang melarang aku masuk kekuil mu, apa dalam kuilmu terdapat mustika yang menjadi ternoda karena dilihat olehku?" katanya sambil melirik Thio Kun Po dan berkata pula dengan suara perlahan. " Kau mau ikut tidak?"
Pemuda itu menggelengkan kepala dan moyongkan mulut kearah Kak wan, sebagai tanda, bahwa ia mau menetap disamping gurunya.
"Baiklah," kata sinona dengan suara nyaring
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku tak campur lagi." Ia mengangkat kaki dan turun ditanjakan itu.
Sijubah kuning yang pertama lantas minggir kesamping, tapi yang kedua dan yang ketiga merintang sambil mengangkat tangan mereka.
"Tunggu dulu," kata salah seorang. "Tinggalkan dulu senjatamu."
"Kami tak akan menahan senjata Lie sie cu dalam tempo lama," kati si jubah kuning yang pertama.
"Begitu lekas Lie cu sudah turun gunung, kami akan segera mengembalikannya. peraturan ini adalah peraturan Siauw lim sie sudah dipertahankan selama ribuan tahun, sehingga kami meminta Lie sie cu suka memaaf kannya."
Mendengar permintaan yang sopan itu, sinona bimbang. " Jika membantah, aku tentu mesti bertempur dan seorang diri, bagaimana bisa melawan jumlah mereka yang begitu besar?" Pikirnya. "Tapi, kalau aku meninggalkan senjata, aku seperti juga menghilangkan muka ayah, ibu, kakek ciecie, Toako dan Liong Cie cie."
Sebelum ia mengambil keputusan, tiba2 satu bayangan kuning berkelebat, disusul dengan bentakan.
"Kau bukan saja membawa senjata, tapi juga sudah melakukan orang. Semenjak dulu, belum pernah ada manusia yang berani berbuat begitu." Hampir berbareng, lima jeriji menyambar sarung pedang Kwee Siang.
Jika dia tidak diserang, sesudah memikir masak-masak, mungkin sekali si nona akan menyerahkan senjatanya. Harus diketahui, bahwa sifat gadis itu berbeda dengan Kwee Hu, kakaknya. Walaupun gagah, ia tidak sembrono. Melihat keadaan yang merugikan dirinya, ia bisa menahan sabar untuk kembali lagi dikemudian hari dengan membawa, bala-bantuan.
Tapi usaha si pendeta untuk merebut pedangnya, sudah meniadakan segala mungkinan perdamaian. Mana bisa ia menyerahkan senjatanya dengan begitu saja"
Ilmu Kin na Chioe hoat (ilmu menangkap menyengkeram) pendeta itu memang sangat lihay. Sekali menjambret, ia berhasil menyengkeram sarung pedang. Dalam keadaan terdesak, Kwee Siang mencekal gagang pedang dan membetotnya. "Sret!", pedang tercabut dan mengeluarkan sinar menyilau, kan mata.
Hampir berbareng si pendeta berteriak, karena lima jarinya terpapas putus. Dalam kesakitan, ia menotok muka si nona dengan sarung pedang yang dicekal dalam tangan kanannya. Kwee Siang memapaki dan "trang!", sarung pedang itu jadi dua potong. Pendeta itu tidak bisa menyerang lagi dan dengan paras muka pucat ia lalu melompat mundur. Kawan2nya jadi gusar bukan main, dengan serentak mereka memutar toya dan maju mengepung.
"Ah, hari ini aku pasti tak bisa meloloskan diri tanpa melukakan banyak orang," kata Kwee Siang dalam hatinya. Sambil mencekal pedangnya erat2, ia segera menerjang dengan Lok-eng Kiam-hoat.
Lok-eng Kiam-hoat yang digubah Oey Yok Su dari ilmu pukulan Lok-eng Cianghwat, merupakan salah satu kepandaian istimewa dari pulau Tho hoa dan tidak kalah lihapnya dari pada Giok siauw Kiam hoat. Begitu menerjang, pedang si nona menyambar2 bagaikan kilat dan dalam sekejap dua orang pendeta sudah terluka. Akan tetapi, ia berada diatas angin hanya untuk sementara waktu dan tidak lama kemudian, keadaannya mulai terjepit, karena semakin lama jumlah pengepung jadi semakin besar.
Sesudah bertempur beberapa puluh jurus, Kwee Siang hanya bisa membela diri, tanpa mampu menyerang pula. Sebenarnya dalam keadaannya yang terdesak, seperti itu para pendeta sebenarnya bisa segera merobohkannya. Akan tetapi, sebab Siauw lim sie mengutamakan belas kasihan, mereka merasa tak tega untuk melakukannya. Tujuhan mereka hanialah untuk merebut senjata sinona dan kemudian mengusirnya dari sit san.
Tapi merebut pedang bukan pekerjaan mudah dan sesudah lewat lagi puluhan jurus, Kwee Siang masih dapat mempertahankan senjatanya. Semakin lama para pendeta itu jadi semakin heran. Mereka merasa pasti, bahwa gadis kecil ita adalah puteri atau murid seorang ahli silat kenamaan dan oleh karena nya, mereka lebih2 tidak berani melukakan nya, sebab hal itu bisa berbuntut panjang.
Maka itu, sambil mengepung, salah seorang buru-buru pergi kekuil dan melaporkan kepada Bu sek Siansu, pemimpin Loo han tong.
Tak lama kemudian, seorang pendeta tua yang bertubuh jangkung kurus mendekati gelanggang pertempuran dan lalu menonton sambil tersenyum. Dua orang pendeta segera melompat keluar dari gelanggang dan bicara bisik-bisik dengan pendeta tua itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sementara itu, Kiam hoat sinona sudah kulihat.
"Hai! Kau semua benar-benar tak mangenal malu !" teriaknya. "Kau orang mengugulkan Siauw lim sie sebagai pusat pelajaran ilmu silat, tapi tak tahunya, puluhan Toa hweeshio menarik keuntungan dengan jalan mengerubuti."
"Berhenti!" membentak sipendeta tua bukan lain dari pada Bu sek Siansu, sambil bersenyum.
Mendengar perintah itu dengan serentak semua pendeta melompat keluar dari gelanggang dan berdiri dipinggiran.
"Nona," menegur Bu sek dengan suara sabar.
"Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama nona yang mulia. Siapa nama orang tuamu dan siapa gurumu " Ada urusan apa nona datang berkunjung ke kuil kami ?"
"Hari ini aku sudah mengacau hebat dan jika diketahui ayah ibu dan Toakoko, mereka tentu akan mengomel," kata Kwee Siang dalam hatinya. Memikir begitu, ia lantas saja mengeluarkan suara dihidung.
"Tak mung kin aku memberitahukan namaku," jawabnya. "Aku mendaki gunungmu karena ketarik dengan pemandangannya yang sangat indah dan sama sekali tidak mengandung maksud apapun juga.
Tapi siapa nyana, Siauw lan-sie lebih angker dari pada keraton kaizar. Tak keruan-ruan, kau ingin merampas senjataku. Taysu, aka ingin tanya. Apakah aku pernah menginjak pintu kuilmu"' Ia berdiam sejenak sambil mengawasi Bu sek dan kemudian berkata pula. "Dulu, pada wakta Tat-Mo Couw su menurunkan ilmu silat, kurasa tujuannya yang terutama adalah supaya para pendata memiliki tubuh yang kuat supaya dapat menjalankan tugas2 keagamaan se-baik2nya. Tapi ternyata semakin lama nama Sauw lim sie semakin terkenal, ilmu silatnya jadi semakin tinggi dan kebiasaan mengeroyoknyapun jadi semakin kesohor! Baiklah, Toa hweeshio, jika kau mau merebut juga senjataku, ambillah! Tapi, kecuali kau membinasakan aku, kejadian ini pasti akan diketahui oleh semua orang dalam Rimba persilatan."
Mendengar perkataan sinona yang sangat tajam itu. Bu Sek tergugu. Untuk sejenak ia mengawasi si nona dengan mulut ternganga dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata.
"Aku sendiri takut kejadian ini diketahui orang, tapi dia rupanya lebih takut lagi." kata Kwee Siang dalam hatinya. Memang juga puluhan pendeta mengerubuti seorang wanita bukan kejadian yang boleh dibuat bangga." Ia segera melontarkan pedangnya dan bertindak untuk turun gunung.
Bu sek maju setindak sambil mengebas dengan lengan dan pedang itu lantas saja tergulung lengan jubah. Seraya mencekal senjata itu yang bernoda darah dengan kedua tangannya ia berkata: "Jika nona enggan menjawab pertanyaanku, biarlah aku mengembalikan saja senjata ini dan dengan segala kehormatan aku mengantar nona turun dari gunung ini."
Kwee Siang tertawa. "Toa-hweeshio adalah seorang yang mengerti urusan dan boleh di buat contoh oleh pendeta2 disini." ia memuji sambil mengulur tangan untuk menyambuti. Tapi begitu lekas jerijinya menyentuh gagang pedang, ia terkesiap.
Ternyata, dari telapakan tangan Bu-sek keluar semacam tenaga menyedot sehingga pedang itu tak dapat diangkat. Tiga kali Kwee Siang mengempos semangat dan mengerahkan Lwekang, tapi ia belum juga bisa berhasil.
"Eh. Toahweesio, kau sengaja memperlihatkan kepandaianmu, ha?" tanyanya dengan mendongkol.
Mendadak, bagaikan kilat tangannya menyambar dan mengebut jalanan darah Thian-teng-hiat dan Kie-koet-hiat di leher Bu-sek, yang jadi kaget bukan main dan buru-buru melompat kebelakang.
Pada detik ia terkejut dan Lweekangnya jadi agak kendor, si nona membetot dan berhasil merebut pulang senjatanya.
"Sungguh indah Lan hoa Hud hiat Chioe (Ilmu Bunga anggrek mengebut jalanan darah )!" memuji Bu sek. "Nona, masih pernah apakah kau dengan majikan pulau Tho hoa?"
"Majikan pulau Tho hoa?" ia menegas seraya tertawa "Dia dikenal sebagai Loo-tong sia ( si Sesat Tua dari Timur )."
Tong sia Oey Yok Su, pemilik Tho hoa, adalah kakek Kwee Siang. Orang tua yang adat nya aneh sering memanggil cucu perempuan nya sebagai "Siauw-tong-sia" yang lalu membalas dengan menggunakan istilah "Loo-tong-sia". Sebaliknya dari jengkel, sang kakek jadi girang dan menerima baik panggilan si cucu nakal. begitu mendengar jawaban Kwee Siang, Bu-sek sendiri segera menarik ke
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
simpulan bahwa sinona tak punya hubungan rapat dengan orang tua itu. Jika masih tersangkut keluarga, ia tentu tak akan mengeluarkan kata-kata yang agak kurang ajar.
Memikir begitu, hati Bu-sek jadi lebih lega.
Diwaktu masih muda, Bu-sek Siang-su pernah menjagoi di kalangan Rimba Hijau. Maka itu, biarpun ia sudah menjadi orang beribadat puluhan tahun lamanya, sifat-sifat Jagoannya masih belum hilang.
Semakin Kwee Siang menolak untuk memberitahukan nama gurunya dan asal-usulnya, semakin besar hasratnya untuk menyelidiki. la tertawa ter bahak-bahak seraya berkata. "Nona kecil mari kita main-main sedikit untuk menjajal mata si pendeta tua. Coba kita lihat, apakah dalam sepuluh jurus, aku bisa atau tidak menerka asal usul ilmu silatmu ?"
"Bagaimana jika kau tak mampu ?" tanya si nona.
Bu-sek kembali tertawa terbahak-bahak. "Jika kau bisa melayani aku dalam sepuluh jurus dan aku masih belum bisa menebak asal-usul ilmu silatmu, aku akan turut segala kemauanmu." jawabnya.
"Dengan Tay-su itu dulu aku pernah bertemu muka dan sekarang aku ingin meminta apa-apa untuknya," kata Kwee siang sambil menunjuk Kak wan. "Kalau dalam sepuluh jurus kau masih belum bisa menebak siapa guruku aku minta kau suka meluluskan permohonanku untuk tidak menyukarkan Tay-su itu lagi.
Bu-sek merasa sangat heran. Sepanjang pengetahuannya, selama sepuluh tahun mengurus kitab-kitab di Cong-keng-kok ( perpustakaan.) Kak wan belum pernah berhubungan dengan orang luar. Bagaimana ia bisa mangenal sinona" Maka itu, sambil mengawasi Kwee Siang dengan sorot mata tajam, ia berkata.
"Kami belum pernah berniat untuk sengaja menyakitinya. Jika melanggar, setiap pendeta dalam kuil ini, tak perduli siapapun juga, diharuskan mendapat hukuman. Maka dari itu, adalah kurang tepat jika nona menggunakan istilah menyusahkan."
"Hm!" kata Kwee Siang seraya tertawa dingin. "Biar apapun yang dikatakan olehmu, kau tetap seorang yang pandai putar putar omongan."
Bu sek mengangkat kedua tangannya seraya berkata. "Baiklah. Aku luluskan permintaanmu ! Jika loohap kalah, biarlah aku mewakili Kak wan Sutee memikul tiga ribu seratus delapan pikul air. Nona kecil, hati2 aku akan segera menyerang."
Diam2 Kwee Siang menentukan siasat.
"Pendeta ini pasti memiliki kepandaian tinggi dan jika dibiarkan ia menyerang lebih dulu, aku mesti mengeluarkan ilmu silat ayah dan ibu untuk membela diri." pikirnya. "Paling benar aku mendului dan mengirim sepuluh serangan aneh beruntun-runtun."
Bu sek habis mengucapkan perkataannya Kwee Siang segera menikam dengan pukulan Ban-cie cian-hong dari Lok eng Kiam hoat. Dengan pukulan itu, ujung pedang menggetar tak hentinya, sehingga musuh sukar menebak arah serangannya. Bu sek yang tahu lihaynya pukulan tersebut, tidak berani menyambut secara berhadapan dan buru-buru melompat.
"Awas,sekarang kedua!" teriak si nona seraya memutar senjatanya dan lalu menikam dari bawah keatas dengan tipu Thin sin to hian (Malaikat langit jungkir balik) dari Coan cia Kiam boat.
"Thin sin to hian!" seru Bee sek.
"Belum tentu benar," kata si nona sambil me nyengir.
Begitu mengegos, Bu sek membalik tangan kanannya dan lima jerijinya yang dipentang menyambar kearah muka Kwee Siang. Sinona terkejut karena ia sama sekali tak menduga, bahwa pendeta itu bisa mengirim serangan membalas secara begitu cepat. Dalam keadaan terdesak, ia menggonyangkan pedangnya berapa kali dan menyambut dengan Ok kian lum Louw (Anjing jahat mencepat jalan) dari Tah kauw Pang hoat (ilmu tongkat memukul anjing).
Harus diketahui, bahwa diwaktu kecil, nona Kwee bersahabat rapat dengan mendiang Louw Yoe Kak, Pangca dari Kaypang (Partai pengamis). Mereka sering makan minum ber sama2, bersenda gurau dan tempo2 atas desakan sinona , mereka berlatih. Meskipun dalam Kaypang terdapat peraturan, bahwa Tah kauw Pang hoat hanya boleh diturunkan kepada seorang pangcu, tapi lama2 berkat pergaulannya dengan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
orangtua itu maka Kwee Siaug bisa berhasil untuk mencari beberapa pukulan dari ilmu silat tongkat yang luar biasa itu. Jika diingat, bahwa bekas pangcu Oey Yong sekarang Yek lu Chi, adalah suami kakak perempuannya, maka sinona sebe narnya mempunyai kesempatan luas untuk melihat latihan-latihan Tah kauw Pang hoat. Maka itu walaupun tak mengerti intisari dari pada ilmu silat tersebut, dalam keadaan terjepit, ia masih bisa menggunakannya untuk menolong diri.
Bu sek kaget bukan main sebab pada saat lima jarinya hampir menyeatuh pergelangan tangan sinona, mendadak sehelai sinar putih berkelebat dan pedang menyambar dari arah yang sebenarnya tak mungkia dilakukan, sehingga hampir-hampir jerijinya terbabat putus. Untung juga, pada detik terakhir ia masih keburu melompat kebelakang. Tapi meskipun begitu, tak urung lengan jubahya tergores ujung pedang dan menjadi robek. Paras muka Bu sek lantas saja berubah pucat dan keringat dingin mengucur dari dahinya.
Kwee Siang berbunga hatinya. "Taysu apa kau tahu ilmu pedang apa itu?" tanyanya sambil menyengir.
Dalam dunia memang tidak terdapat Kim-boat yang serupa itu. Sesudah mencuri Tah kauw Pang hoat, dengan otaknya yang sangat cerdas, sinona megubah pukulan Kiam hoat berdasarkan ilmu tongkat itu, sehingga dengan demikian, ia telah membuat seorang pendeta Siauw limsie yang berilmu tinggi, tak bisa menjawab pertanyaannya. "Ha! Jika aku bisa menyerang lagi dengan beberapapu kulan Tah kauw Pang hoat, pendeta tua ini pasti akan dapat dirobohkan katanya di dalam hati. "Sungguh sayang, aku hanya memiliki satu pukulan yang semengga-mengganya ini."
Sebelum sang lawan sempat bergerak, Kwee siang sudah mendului lagi dan menotol baberapa kali bagian bawah Bu sek dengan ujung pedang. Kali ini ia menyerang Leng po wie po (Leng po bertindak dengan ayunya), yaitu salah satu pukulan dari Giok lie Kiam hoat yang didapat dari Siauw Liong lie.
Sebagaimana diketahui, Giok lie Kiam hoat ilmu pedang gubahan Lim Tiauw Eng dan setiap pukulannya mempunyai gerakan Leng po wie go jadi lebih menyolok karena dilakukan oleh nona Kwee yang cantik dan ayu. Dengan perasaan kagum, para pendeta mengawasi serangan itu sambil menahan napas.
Harus dike tahui, bahwa Tat mo Kiam boat, Lo han Kiam boat dan lain2 ilmu pedang dari Siauw lim sie mengutarakan "kekerasan", sedang Giok lie Kiam boat, yang jarang terlihat dalam Rimba Persilatan justru berbeda dengan silat Siauw lim pay. Begitu sinona meyerang dengan Leng-po we-po, seperti pendeta lainnya Bu sek pun mengawasi dengan rasa kagum dan heran. Seumur hidup, belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang yang seindah itu dan cepat-cepat ia meloncat ke samping dengan harapan sinona akan mengulangi serangannya.
Dalam saat, Kwae Siang kembali mengubah cara bersilatnya. la sekarang berlari ketimur dan kebarat sambil membabat berulang dengan pedangnya. Thio Kun Po yang menonton dipinggir jalan mengawasi serangansi nona dengan mata membelalak dan tiba2 ia mengeluarkan teriakan : "Ah!" Ternyata, yang digunakan Kwee Siang adalah pukulan Su tong Pat ta (Empat menembus Delapan meyampaikan), yaitu ilmu silat yang pada tiga tahun berselang telah diturunkan oleh Yo Ko kepada Kun Po. Waktu itu Kwee Siang kebetulan dapat melihatnya dan sekarang lalu menggunakan untuk menghadapi Bu sek.
Su thong Pat-ta yang dulu diajar Yo Ko ialah Canghoat ilmu silat tangan kosong. Dengan mengubahnya menjadi Kiam hoat (ilmu pedang), pengaruh ilmu itu jadi banyak berkurang, sehingga jika dulu Thio Kun Po berhasil mengalahkan In Kek See, sekarang Kwee Siang tidak bisa berbuat banyak terhadap Bu sek.
Dengan be-runtun2 KWee Siang sudah menyerang lima kali, tapi Bu sek masih juga belum bisa meraba asal usul ilmu silat sinona. Diwaktu muda ia malang melintang dalam dunia Kangouw dan, mempunyai pengalaman yang sangat luas. Semenjak mengetuai Lo-han tong pada belasen tahun berselang, ia telah menggunakan seluruh temponya untuk menyelidiki ilmu silat barbagai partai dau membandingkannya dengan ilmu Siauw lim-sie. Ia menggodok semua pengalamannya dan pendapatnya itu untuk menyempurnakan ilmu partainya. Maka itu, ia selalu percaya penuh bahwa dengan sekali melihat, ia sudah bisa tahu asal usul ilmu silat setiap ahli. Tapi di luar dugaan, hari ini ia "ketemu batunya". Kakek, ayah-ibu paman2, kakak2 Kwee Siang rata2 adalah ahli2 silat nomor satu pada jaman itu. Dalam menghadapi serangan yang bermacam2 coraknya, kapandaian Bu-sek masih lebih dari cukup untuk membela diri. Tapi untuk mengetahui siapa guru sinona, ia masih belum bisa me-raba2.
"Jika aku membiarkan ia menyerang lebih dulu, jangankan dalam sepuluh jurus, sedangkan se ratus jurus sekalipun, belum tentu aku bisa menebak asal usul ilmu silatnya," pikir Boa sek.
"'Jalan satu2 nya adalah menyerang dengan hebat, supaya ia terpaksa mengeluarkan imu silatnya yang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
asli guna monolong diri" Memikir begitu cepat bagaikan kilat , ia mengepos kekiri dan menghantam dengan pukulan Song Koan kun, dengan merapatKan kedua tangannya dan sepulun jarinya ditekuk bagai kan ceker. Melihat sambaran yang sangat dahsyat, Kwee Siang tidak berani menyambut kekerasan, dengan kekerasan. Dengan membungkuk sedikit dan dengan saatu gerakan yang sangat indah dan lincah, ia berhasil meloloskan diri dari bawah kedua tangan lawan. Tipu itu adalah tipu yang pernah digunakan Eng Kouw waktu bertempur dengan Yo Ko di Ban Hoa Kok (lembah laksaan bunga).
"Bagus, sungguh bagus gerakanmu!" memuji Bu sek "sambutlah lagi satu seranganku." Ia membuat sebuah lingkaran dengan tangan kirinya, sedang sikut kanan ditaruh didada dengan telapakan tangan menghadap keatas. Itu lah pukulan Oei eng loh kee (Burung kuning hinggap dicagak) dari Siauw lim kun.
Sebagai seorang tetua Siauw lim sie, biarpun paham dengan ilmu silat berbagai partai, tapi dalam setiap pertempuran, ia selalu harus menggunakan ilmu partai sendiri yang paling asli.
Kwee Siang kaget sebab begitu lekas Bu sek membuat lingkaran ditengah udara ia lantas saja merasakan tindihan semacam tenaga yang sangat kuat. Buru-buru membalik pedang dan dengan gagang pedang, ia menotok jalanan darah Wan-koet-hiat, Yang kok hiat dan Yang loo hiat di pergelangan tangan si pendeta. Ilmu molok itu adalah It yang cie yang ia belajar dari Bu Sioe Bun. Sebenarnya pelajarannya masih sangat cetek dan belum bisa digunakan untuk melukakan musuh. Tapi gerakan menotok tiga jalanan darah itu adalah salah satu pukulan yang paling lihay dari It yang cie. Maka itu, begitu melihat gerakan tangan si nona, Bu sek kaget tak kepalang dan cepat-cepat ia menarik pulang serangannya.
Andaikata ia menyerang terus dan tertotok pergelangan tangannya, ia pasti tak akan terluka, sebab totokan itu tidak di sertai dengan Lwekang It yang cie yg disegani orang. Tapi sebagai orang yang berpengalaman, Bu sek sungkan mempertaruhkan nama besarnya dalam satu pukulan itu.
Kwee Siang tertawa nyaring. "Toahweeshie kau ternyata mengenal ilmuku yang sangat lihay," katanya seraya menyengir.
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bu sek tidak menyambut, ia hanya mangeluarkan suara "Hm" dan lalu menyerang dengan pukulan Tan-hong-tiauw-yang (Angin dan matahari). Dengan pukulan itu, kedua tangannya terpentang lebar dan terangkat tinggi, sehingga si nona sukar menggunakan It-yang cie lagi. Tapi Kwee Siang tak kehabisan modal. Dengan cepat ia menyilangkan kedua telapak tangannya dan balas menyerang deugan Biauw-chioe-kong-kong (Tangan yang lihay ke lihatan kosong), yaitu jurus ketujuh puluh dua dari Kong beng kun, gubahan Loo hoan tong. Ciu Pek Tong Kong beng kun adalah ilmu yang belum pernah tersiar didunia maka untuk sekian kalinya, Bu sek ter-heran2. Dengan cepat ia berkelit kesamping dan hampir berbareng mengirim pukulan Pi na hoa cit seng (Tujuh bintang). Bagaikan arus kilat, tahu2 tangannya sudah menyentuh telapakan tangan si nona, yang jika tidak melawan dengan menggerakkan Lwekang, tulang tangannya pasti akan patah.
Kwee Siang mengerti, bahwa tangannya sudah ada dibawah kekuasaan lawan, tapi hati nya masih penasaran. Jangan kegirangan dulu kau! Belum tentu bisa mematah tulang tanganku," katanya di dalam hati. Ia segera mengempos semangat melawan tenaga si pendeta dengan Cat-po-san-chioe ( Kipas-besi ) .
llmu ini yang merupakan ilmu simpanan dari Tiat-Ciang-kang (ilmu tangan besi) adalah satu ilmu "keras"
yang paling ditakuti dalam Rimba Persilatan.
Sebagai seorang ahli, Bu sek tentu saja mangenal ilmu itu dan jantungnya memukul keras. Ia jadi serba salah. Jika ia menggunakan kekerasaan sinona bisa terluka berat dan ia sama sekali tidak bermaksud until mencelakai gadis itu. Disamping itu untuk berterus terang, ia memang merasa agak segan terhadap Tiat-ciang-kang. Sesudah memikir sejenak, ia segera menarik pulang tangannya.
Sekali lagi, si nakal tertawa nyaring. " Awas! Pukulan yang ke sepuluh. Apa kau masih belum bisa menebak partaiku ?" teriaknya. Sambil berteriak begitu, ia mengebas keatas dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menyambar kejanggut Bu-sek. Tanpa merasa, semua pendeta mengeluarkan seruan tertahan, sebab pukulan itu, yang diberi nama Kouw hay hui tauw ( Memutar kepala di laut kesengsaraan ) adalah salah situ pukulan Kin na chioe hoat ( Ilmu menangkap dan menyengkeram), dari Siauw lin pay sendiri.
Tapi Kouw hay hui tauw agak berlainan dengan Kim na chioe hoat lain cabang, karena biasanya hanya di gunakan pada saat berbahaya untuk menolong jiwa. Dengan pukulan itu, tangan kiri sipenyerang menolak kepala musuh, sedang tangan kanan menyambar leher, sehingga jika berhasil, leher musuh bisa patah, setidaknya terluka berat.
Melihat sinakal berani menggunakan pukulan tersebut di hadapannya, seolah seorang sasterawan mengugulkan diri di hadapan Nabi Khong Cu. Bu sek jadi geli dalam hatinya. Selama puluhan tahun, ia sudah melatih pukulan tersebut sehingga setiap gerakanya sudah terjadi secara wajar. Secepat kilat, ia
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
miringkan badan dan menggeser maju kakinya, sedang tangan kirinya menyambar kebawah ketiak si nona dan tangan kanannya mencekal belakang lutut Kwee Siang.
Pukulan itu yang diberi nama Sia can tiauw hay (Mengempit gunung melompati lautan) merupakan pukulan tunggal untuk memunahkan Kouw hay hui-tauw.
Si nona kaget tak kepalang dan tahu2 ke dua kakinya sudah terangkat naik dari muka bumi.
Sebenarnya dengan menggunakan sikut, ia masih bisa menyikut lawan. Tapi sebab gerakan Bu sek cepat luar biasa, sebelum sempat bergerak, ia sudah tak berdaya.Dengan demikian, putri Kwee Ceng telah dikalahkan.
Selagi kedua tangannya mencekal sinona, mendadak Bu sek terkesiap. "Celaka !" ia mengeluh. "Aku hanya memperoleh kemenangan dalam pertempuran, tapi masih belum tahu siapa gurunya dan apa nama partainya."
Kwee Siang memberontak sekuat tenaga. "Lepaskan aku!" teriaknya. "Cring!" serupa benda jatuh dari saku sinona.
"Toahweeshio, apa benar2 kau tak mau melepaskan diriku ?" serunya dengan suara ke takutan.
Bu sek Siansu adalah seorang berlibat yang berilmu tinggi dan yang mencintai segenap makhluk Tuhan. Maka itu, mendengar suara sinona cilik, is lantas saja tertawa ter bahak2.
"Nona kecil, loolap sudah berusia lanjut dan pantas menjadi kakekmu," katanya seraya tersenyum.
"Apa kau masih perlu merasa takut ?" Sehabis berkata begitu, dengan menggunakan tenaga yang diperhitungkan, ia melontarkan tubuh sinona kira2 dua tombak jauhnya dan kedua kaki Kwee Siang hinggap dimuka bumi tanpa kurang suatu apa.
Sebagai ksatria yang tak akan menjilat ludah sendiri. Bu sek segera manggutkan kepalanya untuk mengaku kalah. Selagi kepalanya mengangguk, tiba-tiba ia melihat serupa benda hitam diatas tanah dan benda itu adalah sepasang Lohan (pendeta yang berilmu tinggi) yang terbuat daripada besi.
"Toahweeshio, apa kau mengaku kalah ?" tanya Kwee Siang.
Bu sek mengangkat mukanya yang berseri-seri dan seraya tertawa girang, ia menjawab.
"Bagaimana aku bisa kalah dari seorang bocah cilik" Aka tahu, ayahmu adalah Tay hiap Kwee Ceng, ibumu Liehiap Oey Yong dan majikan pulau Thoa hoa adalah kakekmu. Ayahandamu memiliki kepandaian yang beraneka ragam, karena ia pernah berguru dengan Kanglam Citkoay, dengan Kioe-cie sin-kay, tokoh-tokoh Coancien pay dan lain lain partai lagi. Kwee Jie kaouwnio, kau adalah putrinya pendekar kelas satu pada jaman ini sehingga tidaklah heran, jika kau memiliki kepandaian luar biasa."
Kwee Siang kemekmek, ia tak pernah mimpi akan mendengar jawaban begitu.
Melihat paras bingung dimuka sinakal, sambil tertawa geli Bu sek membungkuk dan menjemput dua Lo han besi itu.
"Kwee Jie kouwnio, aku si pendeta tua tak boleh mendustai seorang bocah cilik," katanya. "Aku bernasil menebak asal usulmu karena melihat sepasang Lo Han besi ini. Apa Yo Tayhiap baik ?"
"Apa kau pernah berjumpa dengan Toako dan Liong cici?" ia balas menanya. "Aku datang kemari justru untuk mendengar-dengar tentang mereka. Kau mungkin belum tahu, bahwa toakoku dan Liong sudah merangkap menjadi suami istri."
Bu sek mengangguk beberapa kali, "Pada beberapa tahn yang lalu, Yo Tayhiap pernah datang berkunjung kekuil kami untuk beberapa hari dan aku merasa sangat cocok dengannya," menerangkan si tua. "Belakangan kami mendengar, bahwa ia membinasakan kaizar Mongol diluar kota Siangyang, sehingga namanya menggetarkan seluruh dunia. Waktu menerima warta itu, kami semua merasa girang bukan main. Tapi sekarang kami tak tahu, dimana ia berada. Ah. Kalau begitu ia sudah menikah. Aku berani memastikan, bahwa istrinya adalah seorang wanita yang bun bu song coan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang)."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kwee Siang berdiri bengong dan mengawasi ketempat jauh. Ia menghela napas seraya berkata dengan suara perlahan. "Kalau begitu, kalian pun tak tahu dimana mereka berada. Siapa yang bisa memberi keterangan?"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula, "Sekarang baru kutahu, kau adalah Bu sek Siansu. Tak heran. Jika kau memiliki memiliki begitu tinggi. Hmm! Aku belum menghaturkan terima kasih untuk hadiah ulang tahunku. Sekarang belum terlambat. Biarlah hari ini saja aku menghaturkan banyak terima kasin kepadamu."
Sipendeta tertawa. "Orang sering mengata kan, bahwa tanpa berkelahi tidak bisa menjadi sahabat,"
katanya. "Bagi kita berdua, Kata-kata itu sungguh tepat sekali. Eh, kalau kau bertemu dengan Yo Tayhiap, kuharap kau jangan memberitahukan bahwa aku si tua telan menghina seorang wanita muda,"
Kedua mata sinona memandang puncak2 gunung yang tertutup awan, "Sampai kapan. ... sampai kapan baru akan bisa bertemu dengannya" katanya.
Sebagaimana diketahui, pada waktu Kwee Siang merayakan hari ulang tahunnya yang keenam belas, Yo Ko telah mengundang jago jago Rimba persilatan untuk berkumpul di kota Siang yang, guna memberi selamat panjang umur. Pada hari itu, dengan memandang muka Yo Ko, ahli-ahli silat dari "jalanan hitam"
dan "jalanan putih" telah berkumpul di Siangyang. Bu sek yang kebetulan sedang repot tak bisa datang berkunjung dan hanya mengirim seorang wakil untuk memberi selamat dan menyampaikan barang antaran, Dan barang antaran yang dikirimnya bukan lain sepasang Lo han besi itu dipasang alat alat dan jika alat2 tersebut diputar, anak2an itu segera menjalankan satu pukulan Lo han kun. Yang membuatnya adalah seorang pendeta aneh yang pada satu abad berselang pernah bertempat tinggal dikuil Siauw lim sie. Kwee Siang yang masih ke kanak2an merasa sangat ketarik dengan mainan yang selalu di bawa2nya di dalam saku. Pukulan Kauw hay hui tauw yang barusan digunakannya, sebenarnya telah didapat oleh si nona dari kedua Lo han besi itu. Tak dinyana, karena gara2 itu juga hari ini asal usulnya telah ditebak jitu oleh Bu sek Siansu.
"Berhubung dengan peraturan yang turun tumurun, aku merasa menyesal tak bisa mengundang Kwee Jie-kouwnio datang berkunjung kekuil kami," kata Bu sek. "Aku percaya kau tak akan jadi kecil hati."
"Tak apa2," kata sinona dengan masgul. "Ada yang aku hendak tanyakan."
Sambil menunjuk Kak wan, pendeta tua itu berkata pula. "Tentang Suteeku itu, aku akan menerangkan kepadamu perlahan-lahan. Begini saja. "Si tua akan menemani kau turun gunung dan kita cari sebuah rumah makan, supaya aku bisa menjadi tuan rumah untuk minum beberapa cawan arak. Bagaimana pikiranmu?"
Mendengar kata2 itu, semua pendeta kaget tercampur heran. Bu sek Siansu adalah seorang yang mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim sie. Bahwa ia sudah berlaku begitu hormat terhadap seorang gadis remaja, adalah suatu kejadian luar biasa.
"Taysu, janganlah kau berlaku begitu sungkan," kata sinona de ngan perasaan jengah." Aku menyesal bahwa barusan dengan semberono aku sudah melakukan perbuatan sangat tak pantas terhadap beberapa Sueheng. Aku memohon Taysu sudi menyampaikan maafku kepada mereka.
Biarlah kita berpisahan disini saja dan dilain hari, kita pasti akan bertemu pula." Sehabis berkata begitu, ia segera memberi hormat, lalu memutar dapan dan mulai bertindak turun dari tanjakan itu.
"Nona kecil, mengapa kau menolak tawaranku yang diajukan dengan setulus hati?" kata Bu sek sambil tertawa. "Beberapa tahun berselang, karena sedang repot, aku tak bisa menghadiri pesta hari ulang tahunmu, sehingga sampai sekarang hatiku masih merasa tak enak. Kalau hari ini aku tidak mengatarkan kau sampai 30 li, aku seperti juga tidak mengenal peraturan untuk melayani tamu terhormat."
Mendengar kata2 itu yang tulus iklas dan juga karena merasa senang dengan cara2 si tua yang polos, Kwee Siang segera berpaling dan berkata sambil bersenyum."Marilah."
Dengan berendeng pundak mereka turun dari tanjakan itu dan tak lama kemudian, tibalah mereka dipendopo Lip swat teng. Tiba2 mereka mendengar suara tindakan kaki dan waktu menengok, mereka melihat, bahwa orang yang membuntuti adalah Thio Koan Po. " Saudara Thio," menegur Kwee Siang."
Apakah kau juga ingin mengatarkan tamu?"
Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. "Benar!" jawabnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Pada saat itulah, se-konyong2 dari jauh mereka melihat seorang pendeta bertindak keluar dari pintu kuil dan kemudian lari turun sekeras kerasnya dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Alis Bu sek berkerut. "Ada apa begitu ter-buru-buru ?" tanyanya.
Begitu berhadapan dengan Bu sek, pendeta itu memberi hormat dan lalu bicara bisik2. Paras muka si tua laatas saja berubah. "Apa benar ada kejadian begitu?" teriaknya.
"Loo hong-thio (pemimpin kuil) mengudang Sioe-co (kepala bagian) untuk berdamai." jawabnya.
Melihat paras muka Bu-sek. Kwee Siang mengerti, bahwa Siauw-lim-sie sedang menghadapi urusan sulit. Maka itu, ia lantas saja berkata: "Loo-sian-su, dalam persahabatan yang paling penting adalah kecintaan hati. Segala adat istiadat tiada sangkut pautnya dengan persahabatan. Jika Loo-sian-su mempunyai urusan, uruslah saja. Di lain hari, kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk makan minum sepuas hati."
"Tak heran Yo Tay hiap begitu menghormatimu," memuji Bu sek. "Kau benar2 seorang gagah, seorang jago betina. Aku merasa girang bisa bersahabatan dengan seorang seperti kau."
Kwee Siang bersenyum deagan paras muka ke-merah2 an dan sesudah mereka saling memberi hormat, si pendeta tua segera kembali kekuil Siauw-lim-sie.
Sinona lalu meneruskan perjalanannya dengan dibuntuti Thio Kun Po dari belakang. Pemuda itu tak berani berjalan berendeng, ia mengikuti dalam jarak lima-enam tindak.
"Saudara Thio, mengapa mereka menghinakan gurumu ?" tanya nona Kwee sambil menengok kebelakang. "Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi, gurumu sebenarnya boleh tak usah takuti mareka."
Kun Po mempercepat tindakannya. "Mereka bukan sengaja menghina Suhu," jawabnya. "Peraturan di dalam kuil selalu dipegang keras sehingga siapapun juga membuat pelanggaran, tak akan terluput dari hukuman."
Kwee Siang jadi heran. "Gurumu adalah seorang kesatria dan dalam dunia jarang terdapat manusia yang hatinya begitu mulia," katanya. "Kedosaan apakah yang telah di perbuatnya ?"
Pemuda itu menghela napas panjang. "Latar belakang kejadian ini sebetulnya sudah di ketahui nona,"
jawabnya. "Yang menjadi gara-gara adalah kitab Leng-keh-keng."
"Ah ! Kitab yang dicuri Siauw Siang Cu dan In Kek See ?" menegas si nona.
"Benar," jawabnya. "Hari itu, waktu berada di puncak Hwa-san, atas petunjuk Yo Tay hiap, aku telah menggeledah badan kedua orang. Sesudah turun gunung, mereka tak kelihatan mata hidungnya lagi.
Dengan apa boleh buat, Susu dan aku segera kembali kekuil dan melaporkan kepada Sioe co dari Kayloet-ton. Leng keh keng adalah kitab yg di tulis oleh Tatmo Couwsu sendiri dan merupakan salah sebuah barang berharga dalam Siauw-lim-sie. Maka itu dapatlah dimengerti, jika Suhu tak bisa terlolos dari hukuman.
"Gurumu dihukum tak boleh bicara ?" tanya pula si nona.
"Ya, menurut peraturan yang sudah turun temurun," sahutnya. Menurut peraturan itu, seorang yang dihukum harus memikul air dengan kaki tangan dilibat rantai dan tak boleh bicara".
"Menurut katanya para tetua hukuman memikul air malahan ada baiknya untuk yang terhukum.
Dengan membungkam, ia mendapat kemajuan dalam latihan rokhani dan dengan memikul air tangannya akan bertambah besar."
Si nona tertawa geli. "Kalau begitu, gurumu sebetulnya bukan menjalani hukuman, tapi sedang melatih badan." katanya. "Ah ! Memang aku yang terlalu rewel dan suka mencampuri urusan orang lain."
"Bukan, bukan begitu," kata Kun Po dengan cepat, "Untuk kebaikan nona, Suhu merasa sangat berterima kasih dan tak akan melupakannya."
Kwee Siang menghela nafas. "Lain orang sudah melupakan aku sama sekali," katanya di dalam hati.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sesaat itu, tiba2 terdengar suara bunyi keledai yang sedang makan rumput di dalam hutan. "Saudara Thio, tak usah kaum engantar lebih jauh lagi." katanya sambil bersiul dan tunggangannya segera menghampiri.
Kun Po mengawasi dengan sorot mata duka. Ia kelihatannya merasa berat untuk berpisahan, tapi ia tak mengeluarkan sepatah kata,
Kwee Siang yang dapat membaca jalan pikiraannya, segera merogoh saku dan mengeluarkan sepasang Lo han besi. "Kau ambilah ini" katanya seraya mengangsurkannya.
Kun Po terkejut, ia tak berani menyambutinya. "Ini . ini . ." katanya terputus-putus.
"Aku berikan ini kepadamu," kata si nona , "Kau ambil lah."
Pemuda itn tergugu: "Aku . . aku .."
SiNona segera memasukkan sepasang han besi itu kedalam saku Kun Po dan kemudian melompat naik keatas punggung keledai.
Tapi, sebelum ia berangkat, diatas tanjakan se konyong2 terdengar teriak: "Kwee Jie-bouwnio! Tahan!" Si nona menengok dan melihat Bu Sek Siansu sedang mendatangi dengan berlari2.
"Pendeta tua itu ternyata kukuh sekali," pikirnya. "Perlu apa ia mengatarkan aku?"
Begitu berhadapan dengan sinona, Bu Sek segera berkata pada Kun Po: "Lekas kau kembali kekuil.
Kau tak boleh berkeliaran lagi di gunung ini."
Pemuda itu mengangguk sambil melirik sinona, ia segera mendaki tanjakan.
Sesudah Kun Po berada jauh. Bu sek segera mengeluarkan selembar kertas dari dalam lengan jubahnya dan berkata: "Kwee Jie-kauw nio, apa kau kenal tulisan siapa ini ?"
Sinona menyambuti dan membaca dua baris huruf yang tertulis diatasnya. "Sepuluh hari kemudian, Kun-leon Sam seng (Tiga nabi gunung Kun-lun san) akan datang berkunjung ke Siauw lim-sie untuk meminta pelajaran,"
"Siapa Kun lun Sam seng ?" tanya sinona "Suaranya sombong sekali!"
"Kalau begitu nona pun tak mengenal mereka katanya." Situa berdiri bengong. "Urusan ini benar benar mengherankan," katanya dengan suara perlahan.
"Mengapa mengherankan ?" tanya Kwee Siang.
"Biarpun baru pernah bertemu, aku menganggap nona sebagai seorang sahabat lama dan aku bersedia untuk menerangkan se-jelas2nya kata Bu-sek. "Apa nona tahu dari mana datangnya kertas ini ?"
"Diantarkan oleh suruhan Koe-lun Sam-seng." Jawabnya.
"Jika disampaikan oleh seorang suruhan, kami tentu tak menjadi heran." kata siPendeta.
"Orang sering mengatakan, bahwa pohon yang tinggi selalu mengundang serangan angin. Dan sudah sejak lama, selama beberapa ratus tahun, Siauw lim sie dikenal sebagai sumber pelajaran ilmu silat dan oleh karena demikian, banyak sekali ahli silat datang berkunjung untuk menjajal kepandaian kami. Hal ini adalah hal yang lumrah. Dipihak kami, setiap kali orang menantang, kami selalu coba membujuknya, supaya ia membatalkan niatan itu. Sedapat mungkin, kami coba mengelakkan pertandingan. Kami sungkan merebut kemenangan. Orang2 yang masih suka berkelahi, mana boleh jadi murid Budha
"Benar, perkataan Taysu benar sekali," ka ta sinona sambil mengangguk.
Akan tetapi, pada umumnya, seorang ahli silat yang datang berkunjung, masih penasaran jika belum memperlihatkan kepandaiannya," kata pula Bu sek. "Maka itu, dalam kuil kami dibentuk bagian Lo han tong yang bertugas untuk melayani para tamu itu."
Sinona tertawa-tawa geli. "Aha ! Kalau begitu Taysu bertugas sebagai tukang berkelahi," katanya.
Situa tertawa getir. "Sebagian besar ahli ahli silat yang datang kemari dapat dilayani oleh para murid dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
aku tak usah turun tangan sendiri," katanya. "Tapi hari ini karena melihat gerakan2 nona yang luar biasa, aku terpaksa turun tangan sendiri."
"Terima kasih banyak2 atas pujian Toahweeshio," kata sinona sambil membungkuk dan tertawa manis.
"Ah, aku sudah melantur kelain tempat," kata Bu sek. "Sekarang kita kembali pada surat tantangan itu.
Untuk bicara sejujurnya kertas ini diambil dari dalam tangan patung Hang-liong Lo-han yang terdapat di dalam kamar Lo-han-tong."
"E eh! Siapa yang menaruhnya?" tanya si nona.
Sipendeta meng garuk2 kepala. "Kami tak tahu, inilah justru yang mengherankan," jawabnya. "Dalam Siauw lim-sie terdapat ratusan pendeta, sehingga seorang luar tak mungkin menyelinap masuk, tanpa diketahui. Apa pula kamar Lo han tong siang malam dijaga oleh delapan murid dengan bergantian.
Barusan, mendadak saja seorang murid melihat kertas itu di dalam tangan Hang liong Lo han dan ia segera melaporkan kepada Loo-hong-thio. Semua orang jadi heran tak habisnya dan mereka lalu memanggil aku untuk diajak berdamai."
Mendengar sampai disitu, Kwee Siang lantas saja dapat menebak jalan pikiran sipendeta. "Bukankah kau merasa curiga terhadapku?" tanyanya. "Kalian menganggap, bahwa aku mempunyai hubungan dengan manusia2 yang menamakan dirinya sebagal Kun-lun Sam-seng. Aku mengacau diluar dal mereka diam2 masuk ke Lo han-tong untuk menaruh surat itu. Bukankah begitu dugaanmu?"
"Aku sendiri tidak, hatiku bebas dari segala prasangka," sahutnya. "Tapi nona tentu bisa mengerti, jika Loo-hong-thio dan Bu siang Su-heng agak curiga. Secara kebetulan, surat itu muncul pada waktu nona mau berangkat."
"Sekali lagi aku memastikan, bahwa aku tidak mengenal tiga manusia itu," kata Kwee Siang.
"Toa-hweeshio, apa yang mesti ditakuti" Jika mereka benar2 berani menyateroni, iringlah segala kemauannya."
"Takut kami tentu tak takut," kata situa. "Jika nona tidak bersangkut paut dengan mereka, aku boleh tak usah berkuatir lagi."
Kwee Siang mengerti, bahwa maksud si pendeta tua adalah baik sekali. Bu sek rupanya menyangka tiga orang itu ada berhubungan dengan dirinya, sehingga jika sampai bergerak ketiga orang itu sampai terluka, si pendeta akan merasa tak enak hati terhadapnya. Maka itu, ia lantas saja berkata. "Toa hweesio, jika mereka datang baik2 dan bicara baik2, kau boleh menyambutnya secara baik2 pula. Tapi kalau mereka kurang ajar, hajarlah, supaya mereka tahu lihaynya Siauw lim-sie. Dilihat dari suratnya, mereka kelihatannya sombong luar biasa."
Bicara sampai di situ, dalam otaknya mendadak berkelebat serupa pikiran dan ia lalu berkata pula:
"Toa, hweeshio, apa tak mungkin di dalam kuil terdapat konconya yang diam2 sudah menaruh kertas itu ditangan Hang liong Lo han?"
"Kemungkinan ini sudah direnungkan oleh kami," sahutnya. "Tapi rasanya tak mungkin terjadi. Tinggi tangan Hang liong Lo han da ri lantai ada tiga tombak lebih dan murid yang membersihkannya, selalu harus menggunakan tangga. Orang yang memiliki ilmu mengentengkan badan sangat tinggi, belum tentu bisa mencapainya. Andaikata benar ada pengkhianat, dia pasti tak mempunyai ilmu yang begitu tinggi."
Penuturan yang sangat manarik itu sudah nembangkitkan rasa kepengin tahu dalam hati Kwee Siang.
Ia kepingin tahu, bagaimana macamnya Kun lun Sam Seng dan kepingin tahu pula bagaimana kesudahan pertemuan itu. Hanya sayang, tak mungkin ia menyaksikan itu semua dengan mata sendiri, karena Siauw lim-sie tak bisa menerima tamu wanita.
Melihat sinona ter-menung2. Bu sek menduga, bahwa nona itu sedang memikiri daya upaya untuk mengelakkan ancaman bahaya. Maka dari itu, sambil tersenyum ia berkata. "Kwee Jie kouwnio, selama ribuan tahun Siauw-lim-sie telah mengalami banyak gelombang dan taufan, tapi begitu jauh, belum pernah dirusak orang. Jika Kun lun Sam sang sungkan di ajak berunding, kamipun tak akan mengorbankan keangkeran Siauw lim sie dengan begitu saja. Kwee Jie kouwnio, setengah bulan kemudian, kau boleh men-dengar2, apa Kun lun Sam seng sudah berhasil menghancurkan kuil kami"
Waktu mengucapkan kata2 yang paling akhir, muncullah kembali keangkeran Bu sek di jaman muda, suaranya nyaring dan berpengaruh, sedang kedua matanya ber-kilat2.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Toa hweeshio, jangan kau gampang2 naik darah," kata sinona sambil tertawa geli. "Cara2 yang berangasan tak sesuai dengan kedudukanmu sebagai murid Sang Buddha. Baiklah setengah bulan lagi, aku menunggu warta menggirangkan." Sehabis berkata begitu, ia mengedut les keledai dan lalu mulai turun gunung. Diam2 ia mengambil keputusan, bahwa sepuluh hari kemudian ia akan kembali untuk menonton keramaian.
Sambil jalankan keledai perlahan-lahan, rupa2 pikiran ber-kelebat2 dalam otak si nona. "Mungkin sekali Kun lun Sam seng tak mem punyai kepandaian berarti, sehingga aku tak bakal menyaksikan keramaian, yang menarik nati," pikirnya. "Ah jika di antara mereka terdapat orang2 yang memiliki kepandaian kira2 seperti kakek, ayah, ibu atau Yo Toa koo, peritiwa Sam seng mengacau Siauw lim sie barulah sedap ditonton."
Mengingat Yo Ko, hatinya lantas saji berduka. Selama tiga tanun, ia telah menjelajahi berbagai tempat, tapi selalu menubruk angin. Ciong lim -san Kuburan Mayat Hidup sunyi-senyap, dilembah Ban hoa kok hanya terdapat rontokan laksaan bunga, Coat ceng kok hanya penuh dengan tampukan puing, sedang di Hong leng touw pun, ia tidak bisa menemukan tapak2 Yo Ko dan Siauw Long Lie. Ia menghela napas ber-ulang2 dan berkata dalam hatinya. "Andaikata, kubisa bertemu dengan dia nya, apa artinya pertemuan itu " Bukan kah akan hanya menambah luka yang pedas perih " Bukankah hanya menyingkirnya dia ke tempat jauh banyak baiknya untuk diriku " Hai ! Terang2an kutahu, bahwa apa yang kupikir adalah bayangan bunga di kaca atau bayangan rembulan di muka air. Tapi. . . aku tak berkuasa untuk menindas dorongan hati . .untuk menindih keinginan mencari dia."
Sambil melamun, la membiarkan keledainya jalan sejalan-jalannya. Diwaktu lohor ia sudah terpisah agak jauh dari Siau sit san, Disepanjang jalan, ia menikmati pemandangan yang sangat indah dan dari jauh ia memandang puncak timur dari Siauw sit san yang menjulang kelangit. Mendadak, dari antara pohon-pohon siong yang sudah ribuan tahun tuanya, lapat-lapat terdengar suara khim. "Si apa yang menaruh khim ditengah gunung yang sunyi ini ?" tanyanya di dalam hati. Karena kepingin tahu, ia melompat turun dari keledainya dan berjalan kearah suara tetabuhan itu, ( Bersambung jilid II )
BU KIE Karya : CHING YUNG Terjemahan: Bu Beng Tjoe Jilid 2 ===========================================
Sesudah datang lebih dekat, ia mendapat kenyataan, bahwa suara khim itu diiringi dengan suara lain, seperti semacam nyanyian. Semenjak kecil, di bawah pimpinan ibunya Kwee Siang telah mempelajari berbagai ilmu sehingga, walaupun tidak terlalu mendalam, ia mengenali baik ilmu menabuh khim, ilmu main tiokie ( catur Tioaghoa ) , Unit surat dan melukis yang umumnya di miliki oleh orang2 terpelajar pada jaman itu, di tambah dengan otaknya yang sangat cerdas, ia tak usah kalah dari orang2 biasa dan malahan ia masih sanggup menimpali kakeknya dalam ilmu musik dan melayani Cu Cu Lioe dalam ilmu surat. Sekarang mendengar suara tabuh tabuhan yang agak aneh itu, ia segera mendekati dengan indap-indap.
Dalam jarak belasan tombak, barulah terang baginya, bahwa suara khim itu diiringi oleh suara ratusan burung. Dengan rasa heran, ia lalu mengintip dari belakang satu pohon besar dan terlihat seorang lelaki yang mengenakan baju putih sedang duduk di bawah tiga pohon siong sambil menabuh khim. Di dahan2
ketiga pohon itu terdapat ratusan ekor burung besar dan kecil yang menyanyi menurut irama tabuh2an itu.
Suara khim dan bunyi burung adalah sedemikian akur sehingga didengar dari jauh, sukar sekali orang dapat membedakan, yang mana suara khim, yang mana suara burung.
Kwee Siang terpesona dan dengan hati ber debar2, ia mendengari musik luar biasa itu, yang semakin lama jadi semakin keras. Tiba2 di sebuah kejauhan terdengar ramai suara gerakan sayap burung yang mendatangi dengan cepat sekali dan di lain saat ratusan burung gereja tiba di situ, sebagaian segera hinggap di cabang2, sebagian pula terbang ber-putar2. Tiba-tiba Kwee Siang ingat suatu hal. "Ah"
katanya di dalam hati. "Apakah lagu ini bukan lagu Pek niauw hong (
Ratusan burung menghadap kepada burung Hong) yang sudah tak dikenal lagi dalam dunia " Menurut katanya kakek, dalam lagu tersebut suara khim menyerupai bunyi burung Hong yang bisa menyebabkan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
kedatangan ratusan burung. Tapi, apa benar dalam dunia terdapat ilmu memetik khim yang begitu tinggi?"
Berapa lama kemudian, suara itu berubahlah perlahan, kawanan burung mulai meninggalkan dahan2
dan lalu terbang berputaran diatas pohon. Mendadak terdengar suara "ting" dan orang ita berhenti memetik alat musiknya. Setelah terbang memutar beberapa kali lagi, ratusan burung itupun turut bubar.
Orang itu dongak dan sesudah menghela napas, dari mulutnya terdengar nyanyian seperti berikut.
Mengapa siang hari begitu cepat saatnya
Ratusan tahun lewat dalam sekejap mata
Langit yang luas tiada batasnya.
Takdir mendurita tak bisa dibantah.
Lihatlah rambut si Niekauw suci.
Sebagian sudah seperti salju yang putih.
Thian kong bertemu dengan Gioklie
Tertawa ter-bahak2 laksana kali.
Aku ingin mengeluarkan kereta.
Dan mendorongnya pulang kekampung halaman.
Pak tauw menuang air kata2.
Dan mengajak semua orang minum secawan.
Kekayaan dan, kemewahan tak jadi idam-idaman.
Yang diharapkan ialah awet muda sepanjang jaman.
Suara orang itu sedih sekali, seperti juga ia merasakan, bahwa penghidupan manusia dalam dunia ini diliputi dengan kesengsaraan yang tidak habis2nya. Kwee Siang jadi turut merasa terharu, tanpa merasa dua butir air mata mengalir turun kedua pipinya. Ia mendongak seraya berkata.
"Memutar pedang! Mengangkat alis! Air bening, batu putih, mengapa bersimpang siur"
Manusia hidup tanpa sahabat sejati.
Hidup ribuan tahun, tiada berarti."
Tiba2 dari bawah khim, orang itu menghunus sebatang pedang bersinar hijau. "Aha Kalau begitu, dia seorang Bu bu coan cay (pandai ilmu surat dan ilmu perang)" pikir si nona. "Coba kulihat ilmu silatnya.
Perlahan-lahan orang itu berjalan kesebidang tanah lapang. Tapi sebaliknya dia bersiasat, ia menggores tanah dengan pedangnya, segaris demi segaris.
"E eh" Kiam hoat apa itu?" tanya sinona dalam hatinya. "Benar2 dia manusia aneh."
Orang itu terus memcuat garisan2 melintang, sesudah menggores sembilan belas kali ia berhenti dan lain mulai membuat garisan2 membujur, yang jaraknya
bersamaan satu sama lain, yaitu kurang lebih satu kaki. Seperti juga garisan melintang, ia membuat sembilanbelas garisan membujur.
Dengan menuruti caranya orang itu, Kwee Siang meng-garis2 tanah dengan telunjuknya. "Wah!
Kurang ajar!" katanya di dalam hati, "Papan Wie-kie !" ( Wie kie semacam catur yang menggunakan biji putih dan biji hitam).
Sesudah selesai, dengan ujung pedang ia membuat bundaran disudut kiri atas dan sudut kanan papan catur itu. Kemudian ia membuat tanda silang, juga disudut kiri atas dan sudut kanan bawah.
Kwee Siang yang mengintip dari sebelah kejauhan, mengerti, bahwa orang itu sedang mengatur biji Wie kie, tanda bundar mewakili biji putih, tanda silang merupakan biji hitam.
Orang itu lalu mulai jalankan biji2nya. Sesudah jalan enambelas biji, ia kelihatan bersangsi. Apakah biji putih harus bergulat terus atau mengambil sikap membela diri disepanjang pinggiran papan" la menancap pedangnya ditanah dan mengawasi papan dengan berpikir keras.
"Dilihat begini, dia seorang yang hidup kesepian," pikir sinona: "Ia memetik khim sendirian dan berkawan dengan burung." Ia tak punya kawan untuk main Wie
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
kie dan harus main seorang diri"
Sesudah memikir beberapa saat, orang itu lalu mulai jalankan lagi biji2 Wie kie. Ternyata, biji putih sungkan mengalah dan sa tu pertempuran hebat lantas saja terjadi disudut kiri atas. Putih dan hitam lantas ber gerak2 dan saling makan dengan serunya sama2 coba merebut kedudukan Tionggoan (tengah2). Tapi, biar bagaimanapun, karena memang sudah kalah setingkat, biji putih terus berada dibawah angin.
Sesudah jalan 93 kali, biji putih sudah terjepit, tapi masih ber gulat terus sedapat mungkin.
Si nona menonton pertempuran itu dengan hati berdebar. Tiba2 tanpa merasa ia berteriak. "Mengapa tak mau meninggalkan Tiong goan dan mundur ke See ek (sebelah barat)"
Orang itu terkejut. Ia melihat bahwa bagian barat papan catur itu memang terdapat sebidang tanah yang kosong, dan jika biji putih menerjang kesitu, masih bisa dipertahankan keadaan seri."
"Bagus ! Bagus!" serunya dan lalu menjalankan biji putih kejurusan barat. Sesudah jalan beberapa kali, barulah ia ingat kepa da orang yang memberi tunjuk. Ia melemparkan pedangnya diatas tanah dan memutar tubuh. "Orang yang berilmu siapakah yang memberi pelajaran ?" teriaknya. "Aku sungguh merasa berterima kasih."
Sehabis berkata begitu ia mengoya kearah Kwee Siang.
Si nona mendapat kenyataan, bahwa orang itu, yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bermuka lonjong panjang dan bermata dalam, sedang badannya jangkung kurus. Sebagai seorang jago betina yang tak menghiraukan perbedaan antara lelaki dan perempuan, perlahan-lahan Kwee Siang berjalan keluar dari tempat sembunyinya dan berkata seraya tertawa. "Barusan aku merasa kagun waktu mendengar Sianseng memetik khim dengan diiring nyanyian dari ratusan burung. Sesudah itu, dengan tak kurang rasa kagumku, kumelihat Sianseng membuat papan Wie kia dengan menggaris tanah dan main Wie xie dengan menggunakan pedang, Karena itu, aku jadi banyak mulut dan aku harap Sianseng sudi memaafkan."
Mendengar perkataan sinona, orang itu kelihatan girang sekali. "Dari kata2mu. nona ternyata mahir dalam ilmu memetik khim," katanya sambil bersenyum. "Jika sudi, aku memohon nona suka perdengarkan satu dua lagu."
"Memang benar aku pernah belajar menabuh dari ibuku, tapi jika dibandingkan dengan kepandaianmu, aku masih kalah jauh sekali," kata sinona. "Tapi jika menolak terlalu keras, aku merasa tak enak hati.
Biarlah aku akan mendengarkan sebuah lagu. Tapi jangan tertawa."
"Bagaimana aku berani ?" kata orang itu sambil mengangsurkan khimnya dengan kedua tangan.
Khim itu sudah berusia tua dan enteng se kali. Sesudah mengakurkan tali2nya. Kwee Siang segera memetik lagu Kho phoa. Kepandaian sinona memang tidak seberapa tinggi dan lagu yang didengarnya tidak luar biasa. Tapi walaupun begitu, pada paras muka orang itu terlukis rasa kaget tercampur girang.
Mengapa" Karena lagu Kho phoa mengenakan jitu pada apa yang dipikirnya, sehingga ia merasa amat girang dan berterima kasih ter hadap sinona. Sesudah selesai Kwee Siang menabuh, untuk beberapa saat ia masih bengong dengan mata mengawasi ketempat jauh.
Syair lagu Ko phoa diambil dari Sie keng (Kitab Syair). Itulah sebuah nyanyian dari seorang Tay soa, seorang yang mengasingkan diri dari pergaulan umum.
Dalam syair itu dikatakan bahwa cita2 yang luhur dari seorang laki2 sejati yang berkelana sebatangkara didaerah pegunungan tidak akan berubah, biarpun pada mukanya terlihat sinar kedukaan dan di dalam hatinya terdapat rasa kesepihan.
Perlahan-lahan si nona menaruh khim diatas tanah dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lalu barjalan pergi, akan kemudian melompat keatas punggung keledai dan meneruskan perjaanan yang tak tentu rimbanya.
Siang dan malam lewat dengan cepatnya dan dalam sekecap tibalah hari kesepuluh, yaitu hari yang dijanjikan Kun lun Sam seng untuk menyataroni Siauw lim sie. Sudah berapa hari Kwee Siang mengasah otak untuk mencari daya guna masuk kekuil Siauw lim sie, tapi ia belum juga berhasil." Sungguh malu aku menjadi anak ibuku", pikirnya dengan mendongkol.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Ibuku begitu pintar, anaknya sedemikian tolol. Biarlah aku datang saja diluar kuil dan menunggu kesempatan. Mungkin sekali, selagi repot berkelahi, mereka tak sempat merintangi aku."
Pagi itu sudah menangsal perut dengan makanan kering, ia tujukan keledainya ke Siauw lim sie.
Waktu berada dalam jarak kurang lebih sepuluh li dari kuil, tiba2 ia mendengar suara kaki kuda dan dari jalanan gunung di sebelah kaki kelihatan mandatangi tiga penunggang kuda. Ketiga ekor kuda itu satu bulu dauk, satu kuning dan satu lagi putih bertubuh tinggi besar dan cepat sekali larinya. Dalam sekejap, mereka sudah melewati sinona dan menuju kearah kuil. Ketiga penunggang kuda itu rata2 berusia kira2
limapuluh tahun. Mereka mengenakan baju pendek warna hijau dan diatas pelana masing2 tergantung kantong kain yang berisi alat senjata. " Ah! Mereka tentulah Kun lun Sam seng, " pikir Kwee Siang. "Jika terlambat, bisa2 aku ketinggalan nonton."
Ia segera menjepit perut keledai dengan lututnya dan menepuk leher binatang itu. Sambil berbunyi kerena, keledai itu lantas saja lari congklang. Biarpun kurus kecil, dia ternyata kuat sekali dan cepat larinya. Tak lama kemudian, dia sudah bisa menyusul dan membuntuti ketiga penunggang kuda itu.
Sekarang si nona bisa melihat lebih tegas. Penunggang kuda dauk bertubuh kate kecil, Penungggang kuda kuning berpotongan badan sedang dan penungggang kuda putih seorang jangkung kurus.
Selanjutaya ia pun mendapat kenyataan, bahwa ketiga binatang itu berbulu sangat panjang sampai dikakinya sehingga berbeda sekali dengan kuda di wilayah Tiong goan.
Begitu tahu ada yang membututi, ketiga orang itu segera menggeprak tunggannya yg lantas saja kabur sekeras-kerasnya sehingga Kwee Siang lantas saja ketinggalan jauh sekali.
Sesudah me]alui dua-tiga-li, si nona belum juga melihat bayangan2 ketiga penunggang kuda itu.
Biarpun kuat, tenaga keledai kecil kurus itu, sangat terbatas.
Napasnya sudah tersengal-sengal dan dia kelihatannya sudah lelah sekali. "Binatang tak punya guna!"
bentak sinona. "Biasanya kau banyak lagak dan selalu mau lari cepat cepat. Tapi waktu aku justeru memerlukan tenagamu kau lantas saja keok." Melihat tak gunanya coba menyusul lagi, ia lalu melompat turun dari punggung si kurus dan duduk mengaso di sebuah pendopo batu dipinggir jalan dan membiarkan keledai makan rumput.
Belum lama ia duduk mengaso sekonyong konyong terdengar pula suara kaki kuda dan ketiga penunggang kuda yg tadi sesudah male wati satu lembah, kelihatan mendatangi.
"Eh, mengapa mereka kembali begitu cepat?" tanyanya di dalam hati.
Setibanya dipendopo satu itu, mereka segera melomat turun dari tunggangan mereka dan lalu duduk mengaso bersama-sama si nona. Orang yang bertubuh kate kecil, bermuka merah dan yang paling menyolok adalah hidungnya yang merah mengkilap seolah olah bara.
Ia mempunyai paras yang selalu tersungging senyuman. Si tua yang bertubuh jangkung kurus, pucat sekali mukanya, di antara warna putih pias terdapat sinar biru, seolah olah ia tak pernah kena sorotan matahari. Dengan demikian, warna kedua orang itu bertentangan satu sama lain: yang satu merah membara, yang lain pucat pias. Orang ketiga, yang badannya sedang sedang saja, tidak mempunyai ciri ciri luan biasa, kecuali mukanya yang berwarna kuning seperti orang sakitan.
Sesudah menyapu ketiga orang itu dengan matanya yang bening tajam, Kwee Siang ber senyum seraya menanya: "Samwe Loosian seng (ketiga tuan) apakah kalian barusan mengunjungi Siauw lim sie"
Mengapa, baru naik kalian sudah turun kembali?"
Si muka pucat melirik seperti orang kekhi tapi si muka merah tertawa dan balas menanya dengan suara manis. "Bagaimana nona tahu, kami pergi ke Siauw lim-sie
?" "Kalau bukan ke kuil kemana lagi?" kata Kwee Siang.
Si muka merah mengangguk. "Benar," katanya. "Kemana nona sendiri mau pergi?"
"Kalian pergi ke Siauw Lim sie, akupun mau kesitu," jawabnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tiba2 simuka pucat menyelak:" Siauw lim sie tak pernah mempermisikan orang perempuan masuk kedalam kuil dan juga tak pernah mempermisikan masuknya orang yang membawa senjata."
Ia bicara dengan suara sombong, tanpa melirik kepada si nona.
Kwee Siang jadi mendongkol. "Tapi mengapa kalian sendiri membawa senjata?" tanyanya. "Bukankah dalam kantong dicelana, berisi senjata ?"
"Bagaimana kau bisa dibandingkan dengan kami," kata simuka pucat dengan suara tawar.
"Sombong sungguh! Siapa sebenarnya kalian?" tanya sinona dengan suara yang sama tawarnya. "Apa Kun lun Sam seng sudah bertempur dengan pendeta2 Siauw 1im sie?" "Bagaimana kesudahannya ?"
Mendengar kata2 Kun lun Sam sang," ketiga Orang itu jadi kaget bukan main dan paras muka mereka lantas saja berubah.
"Nona kecil," kata simuka merah.'"Bagaimana kau tahu hal Kun lun Sam seng "'
"Tentu saja kutahu," jawabnya.
Mendadak simuka pucat maju setindak dan membentak: "She apa kau " Siapa gurumu Ada urusan apa kau datang kesini "'
"Bukan urusanmu," sinona balas membentak.
Simuka pucat yang sangat berangasan dan yang selama puluhan tahun selalu dihormati orang, lantas saja meluap darahnya. la segera mengangkat tangan untuk menggaplok si jelita yang dianggap sangat kurang ajar. Tapi sebelum tangannya melayang, tiba2 ia ingat kedudukannya yang sangat tinggi. la insyaf bahwa adalah sangat tidak pantas, jika sebagai seorang tua, ia menghina seorang muda, lebih2 seorang wanita. Mengingat begitu, ia mengurungkan niatnya untuk menggampar muka, tapi tangannya menyambar terus kepinggang sinona dan tiba2 pedang Kwee Siang bersama sarungnya sudah pindah tangan! Kecepatan orang tua itu, sungguh sukar dilukiskan.
Selama berkelana dalam dunia Kangouw kejadian getir itu belum pernah dialami oleh nona.
Kepandaian yang dimilikinya memang belum cukup untuk malang melintang dengan leluasa. Akan tetapi, jago-jago Rimba Persilatan sebagian besar tahu, bahwa ia adalah puteri Kwee Ceng, sedang pentolan2
dalam kalangan tersesat juga banyak sekali mengenalnya karena atas undangan Yo Ko, mereka pernah datang di Siang yang untuk memberi selamat panjang umur kepadanya. Maka itu semua orang berlaku sungkan terhadap si nona, jika tidak memandang muka Kwee Ceng, memandang Yo Ko. Di samping itu si nona mempunyai paras yang cantik dan adat yang polos terbuka. Ia tidak pernah bersikap sombong dan memandang siapapun juga sebagai sesama manusia. Bukan jarang ia mengajak buaya2 kecil minum arak ber-sama2. Dengan demikian, biarpun dunia Kang ouw penuh dengan duri dan bahaya, sebegitu jauh ia berkelana dengan tak kurang suatu apa. Belumm pernah ada
orang yang berani mengnina padanya.
Ia kemekmek waktu mendapat kenyataan bahwa pedangnya telah dirampas si tua. Ia angin coba merebut kembali, tapi ia tahu ke pandaiannya masih kalah terlalu jauh. Tapi kalau menyudahi saja, hatinya sangat penasaran.
Sementara itu, sambil megang pedang orang dalam tangan kirinya, si muka pucat berkata dengan suara dingin: "Aku akan menyimpan pedangmu ini untuk sementara waktu. Bahwa kau sudah berani berlaku begitu karang ajar terhadapku, adakah karena seorang tua dan gurumu kurang mengajarmu.
Beritahukanlah, supaya mereka datang kepadaku untuk meminta pulang pedangmu ini. Dengan baik2 aku akan menasehati ayah ibu dan gurumu, supaya mereka lebih memperhatikan kau."
Paras muka si nona lantas saja berubah merah. Si tua seolah2 memandangnya sebagai bocah nakal yang kurang ajar. Dengan gusar, ia berkata dalam hatinya.
"Bagus! Kau mencaci aku seperti juga mencaci kakek, ayah dan ibuku. Apa benar kau punya kepandaian begitu tinggi sehingga kau begitu sombong?" Sesudah dapat menenteramkan hatinya yang bergoncang keras, sambil menahan amarah ia menanya, "siapa namamu ?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si muka pucat mengeluarkan suara di hidung. "Apa" Kau berani menanya siapa nama ku?" bentaknya.
"Kau sungguh-sungguh tak tahu adat. Kau harus mengatakan begini, Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama Loo cianpwee yang mulia ?" Mengerti ?"
"Jangan rewel!" bentaknya. "Aku merdeka untuk menggunakan kata apapun juga. Berapa harganya pedang itu" Kau seorang tua, tapi tidak menghargai usiamu yang tua. Tak malu mencuri pedang orang!
Sudahlah ! Aku tak mau pedang itu" Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dari pendopo.
Se-konyong2 satu bayangan berkelebat dan simuka merah menghadang didepannya. "Seorang gadis remaja tak boleh gampang marah," katanya saraya ber-senyum2.
"Kalau sudah menikah, apa kau boleh marah2 seperti anak kecil di hadapan mertua" Baiklah, sekarang aku memberitahukan kau. Dalam beberapa hari sesudah melalui perjalanan berlaksa kami bertiga saudara seperguruan baru saja tiba di Tionggoan dari daerah See ek (daerah sebelum barat) . ..."
"Aku sudah tahu," memotong sinona sambil monyongkan mulutnya. Didaerah Tiong-goan memang tidak terdapat namamu bertiga.
Ketiga orang itu saling meagawasi.
"Nona, bolehkah aku mendapat tahu siapa gurumu ?" tanya si muka merah.
Sebenarnya Kwee Siang tak suka memberi tahu nama ayah dan ibunya, tapi sekarang, karena sudah jengkel, ia lantas saja menjawab: "Ayah she Kwee bernama Ceng. Sedang ibuku she Oey bernama Yong.
Aku tak punya garu, hanya kedua orang tuaku yang menurun kan sedikit ilmu silat."
Ketiga kakek itu saling mengawasi. Saaat kemudian barulah simuka pucat berkata. "Kwee Ceng" Oey Yong" Dari partai mana mereka " Murid siapa ?"
Dengan pertanyaan itu sinona jadi gusar. Nama kedua orang tuanya tersohor dikolong langit, jangankan orang2 dari Rimba Persilatan, sedangkan rakyat jelatapun mengenal Kwee Tay hiap, seorang pendekar yang telah bantu membela kota Siang-yang.
Tapi, melihat paras sungguh2 dari ketiga orang itu, Kwee Siang segera mendapat lain ingatan. "Kunlun-san terletak didaerah barat dan terpisah jauh dari wilayah Tionggoan" pikirnya. "Ketiga orang lihai memiliki ilmu ilmu silat yang sangat tinggi, tapi ayah dan ibu belum pernah me-nyebut2 nama mereka.
Maka itu, memang mungkin sekali, mereka belum pernah mendengar nama kedua orang tuaku."
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mengingat begitu darahnya yang barusan sudah meluap, mereda kembali. "Aku sendiri she Kwee bernama Siang," katanya pula. "Siang adalah Siang dari Siang yang. Nah sesudah memperkenalkan diri, bolehkah menanya she dan nama kalian yang mulia ?"
Si muka merah tertawa hahahihi. "Bocah perkataanmu tepat sekaii, " katanya. "Dengan jawabanmu itu, kau menghormati orang yang lebih tua," Sambil menunjuk si muka kuning, ia berkata pula: "Itulah Tosuko (kakak seperguruan yang paling tua) kami. Ia she Phoa bernama Thian Keng. Aku sendiri adalah Jie su heng (kakak kedua),aku she Phu, namaku Thian Loo" la menuding pada si muka pucat dan melanjutkan perkataannya. "Yang itu adalaa Sam sutee( adik ketiga), she Wie, bernama Thian Bong. Kau lihat! Kami bertiga saudara seperguruan masing2 mengambil huruf "Thian (Langit) untuk nama kami."
"Hm!" Kwee Sing mengeluarkan suara dihidung dan berdiam sejenak mengingat2 tiga nama itu. "Tapi apakah kalian sudah bertanding dengan pendeta2 Siauw lim se"
Kalau sudah, siapa yang lebih unggul?" tanyanya kemudian.
Si muka pucat Wie Thian Bong lantas saja menjadi gusar dan membentak dengan suara keras. "Eh, bagaimana kau tahu" Bahwa kami ingin menjajal ilmu dengan Siauwlim sie hanya diketahui oleh beberapa orang saja. Bagaimana kau bisa tahu" Lekas bilang! " Seraya berteriak ia mendekati Kwee Siang dan menatap wajah si-nona dengan mata melotot.
Tentu saja Kwee Siang jadi dongkol. Jika mereka menanya baik2 mungkin sekali ia akan memberitahukan dengan segala senang hati. Tapi dengan cara yang kasar itu, ia lantas saja mengambil putusan untak menutup rahasia. "namamu bertiga sebenarnya kurang tepat. " katanya dengan suara tawar
"Mengapa tak dirubah menjadi Thian Ok (Ok berarti jahat)?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa kau kata?" bentak Thian Bong.
"Kwee Siang menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku sungguh jarang lihat manusia yang begitu galak seperti kau" katanya dengan adem.
"Sesudah merampas barangku, kau masih bersikap begitu ganas. Bukankah kau seperti juga penitisan dari binatang jahat dilangit?"
Tiba2 tenggorokan Wie Thian Bong mengeluarkan suara aneh, se olah2 menggaungnya binatang buas dan dadanya lantas saja melembung keatas, sedang rambut dan alisnya bangun serentak.
"Samtee!" kata Phui Thian Loo simuka merah dengan cepat. "Jangan kau naik darah."
Sanbil berkata begitu, ia menyeret tangan Kwee Siang kebelakangnya, sehingga badannya sendiri berada diantara kedau orang itu, Melihat hebatnya gerak gerik Wie Thian Bong sehingga jika ia turun tangan, pukulannya tentu hebat luarbiasa, hati si nona jadi keder juga.
Sementara itu, dengan tangannya Wie Thian Bong mencabut pedang Kwee Siang, sedang jariji tangan kirinya mementil badan pedang. "Cring!" pedang itu patah dua.
Kemudian ia memasukkan pedang buntung itu ke dalam sarungnya seraya berkata dengan suara mengejek: "Siapa yang kepingin senjata yang tak gunanya ini ?"
Bukan main kagetnya si nona. Biarpun kepandaian itu belum bisa menandingi Ian cia San thong (ilmu mementil) dari kakeknya tapi tenaga Lwee kang yang begitu dahsyat sungguh jarang terlihat dalam Rimba persilatan
Melihat perubahan pada paras muka si nona, Wie Thian Bong jadi bungah hatinya. Ia dongak dan tertawa ter-bahak2. Suara tertawa itu, yang disertai Lwee kang sangat menusuk kuping dan malahan menggoncangkan juga genteng2 di atas pendopo batu itu.
Se-konyong2, berbareng dengan suara gedbrakan, atap pendopo berlubang besar dan dari lubang itu jatuh serupa benda yang sangat besar.
Semua orang terkejut, terhitung Wie Thian Bong sendiri. Ia sama sekali tak pernah menduga, bahwa suara tertawanya biarpun di sertai Lwee kang bisa merusakkan atap pendopo batu.
Waktu orang tahu, benda apa yaag jatuh itu, rasa kaget jadi semakin besar. Ternyata yang rebah di lantai adalah seorang lelaki yang mengenakan baju putih dan kedua tangannya memeluk khim. Ia rebah disitu sambil meramkan kedua matanya, se-olah2 sedang tidur pulas.
Mendadak terdengar teriakan Kwee Siang "Aha ! Kau berada di sini ?"
Orang itu bukan lain dari pada si pria yg pandai memetik khim dan yaag telah di temui si nona pada beberapa hari berselangi.
Per-lahan-lahan orang ita membuka matanya. Begitu melihat Kwee Siang, ia melompat bangun seraya berkata. "Nona, aku cari kau kesegala tempat. Tak tahunya kau berada disini."
"Perlu apa kau cari aku?" tanyanya. "Aku lupa menanya she nona yang mulia dan nama yang besar,"
jawabnya. "Apa itu she mulia nama besar?" kata Kwee Siang seraya mencebikan bibir. Aku paling sebal dengan kata2 yang banyak kembangnya."
Orang itu kelihatan kaget, tapi di lain saat ia tertawa besar. "Benar, nona," katanya "Memang, semakin manusia berlagak pintar semakin kosong otaknya."
Sambil berkata begitu, ia mengawasi Wie Thian Bong dengan mata melotot dan kemudian tertawa dingin.
Kwee Siang jadi girang sekali. Ia tak nyana si baju putih seorang yang menarik.
Paras muka Wie Thian Bong yang pucat jadi lebih pucat lagi. "Siapa tuan?" tanyanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ia tidak menggubris dan sambil berpaling kepada Kwee Siang, ia menanya: "Nona, siapa namamu ?"
"Aku she Kwee bernama Siang." jawabnya
Orang itu menepuk kedua tangannya dan berseru dengan suara girang. "Ah ! Mataku benar2 kotokan tak mengenali gunung Thay san yang besar. Kalau begitu kau Kwee Toakouwnio yang namanya kesohor diseluruh jagat! Kecauli manusia-manusia tolok, siapapun juga mengenal ayahmu Kwee Ceng Kwee Tayhiap, dan ibumu, Oey Yong Oey Liehiap Dalam dunia Kangoaw, siapakah yang tidak mengenal mereka" Mereka adalah orang2 yang bun-bu-song-coan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang ), mahir menggunakan macam senjata dan sudah menyelami dasarnya berbagai ilmu silat paham dalam ilmu penabuh khim, tio kie, menulis huruf-huruf indah, melukis, bersyair, dan bersajak. Dari dulu sampai sekarang, kepandaian mereka jarang tandingan di dalam dunia. Ha ha ha ! Tapi masih juga terdapat manusia-manusia yang tidak mengenal mereka!"
Kwee Siang jadi girang sekali. "Kalau begitu sudah lama dia bersembunyi diatas atap pendopo dan sudah mendengari pembicaraanku dengan ketiga orang itu."
katanya di dalam hati, "Didengar dari perkataannya, ia pun belum mengenal kedua orang tuaku. Kalau sudah mengenal, ia tentu tak akan memanggil aku sebagai Kwee Toakouwnio (nona Kwee yang paling besar). Sungguh lucu ia mengatakan ayahku mahir dalam ilmu menabuh khim, main tio kie, menulis huruf indah dan sebagainya. Memikir begitu, seraya bersenyum ia menanya. "Siapa namamu?"
"Aku she Ho, namaku Ciok Too." jawab nya, (Ho Ciok Too berarti Tidak cukup berharga untuk dibicarakan).
"Ho Ciok Too?" menegas si nona. "sungguh satu nama yang merendahkan diri."
"Benar." jawabnya. "Tapi namaku banyak lebih baik dari pada nama yang menggunakan perkataan2
sombong seperti "Langit dan bumi". Sedikitnya namaku tidak memuakkan orang yang mendengarnya."
Siapapun mengerti, ia sedang mengejek ketiga Suhengtee itu (saudara seperguruan yang menggunakan huruf "Thian" langit itu), maka sesudah manyaksikan cara Ho Ciok Too menjatuhkan diri dari lubang atap mereka tahu bahwa orang itu bukan sembarangan orang dan oleh karenanya, se-bisa2 mereka menahan sabar. Tapi mendengar ejekan yang paling belakang, Wie Thian Bong meluap darahnya.
Dengan sekali membalik tangan la menggapelok dagu orang. Ho Ciok Too menundukkan kepalanya dan molos dari bawah bahu. Mendadak Wie Thian Bong merasa tangan kirinya kesemutan dan tahu2 pedang, Kwee-Siang yang sedang dicekalnya sudah berpindah tangan. Sebagaimana diketahui, waktu merampas pedang itu dari tangan nona Kwee, gerakannya cepat luar biasa, Dari sini dapatlah dibayangkan, bagaimana cepat gerakan Ho Ciok Too yang dengan begitu mudah sudah berhasil merampas senjata itu.
Wie Thian Bong terkesiap. Dilain detik, dengan gusar ia menerjang dan lima jerijinya yang dipentang bagaikan gaetan, menyambar pundak Ho Ciok Too. Dengan sekali mengegos Ho Ciok Too sudah berhasil menyelamatkan diri. Sementara itu, hampir berbareng Phoa Thian Keng dan Phui Thian Loo melompat keluar dari pendopo. Dengan gergetan, Wie Thian Bong mengirim serangan2 berantai dengan kedua tangannya dan dalam sekejap, ia sudah menyerang tujuh delapan kali. Tapi lawannya tetap bersikap tenang. Kemudian diserang bagaikan hujan dan angin sedikitpun ia tidak membalas. Dengan mengengos kekiri kanan, kedepan dan kebelakang, ia kelit pukulan2 hebat itu.
Biarpun masih bersia muda dan kepandaiannya tidak seberapa tinggi, nona Kwee Siang adalah puterinya ahli2 silat nomor satu pada jaman itu dan dengan sendirinya, ia mempunyai mata yang sangat tajam. Melihat gerakan Ho Ciok Too yang begitu gesit dan lincah, ia yakin bahwa orang itu adalah barbeda dengan berbagai ilmu silat yang terdapat diwilayah Tionggoan.
Sementara itu, sesudah menyerang dua puluh jurus lebih tanpa berhasil, tiba2 Wie Thian Bong menggeram dan mengubah silatnya. Jika tadi serangan2 dikirim bagaikan kilat, sekarang gerakan-gerakannya banyak lebih perlahan, tapi disertai dengan tenaga yang sangat hebat. Sesudah ia menyerang beberapa jurus, Kwee Siang yang berada di dalam pendopo, turut merasakan sambaran-sambaran pukulannya, sehingga buru-buru ia melompat keluar.
Ho Ciok Too pun lantas saja mengubah sikap. Kini ia tak berani memandang enteng lagi musuhnya.
Setelah menyelipkan pedang Kwee Siang dipinggangnya, berdiri tegak dan badannya seolah-olah sebuah gunung yang kokoh teguh. "Kau menggunakan ilmu keras?" tanya Ho Ciok Too, lalu "Apa kau rasa diriku tidak mampu ?" Pada saat kedua tangan Wie Thian Bong menyambar, sambil mengerahkan Lweekang, ia memapaki dengan tangan kirinya. Karena melawan keras! "Tak!" kedua tangan beradu
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dengan dahsyatnya. Badan Wie Thian Bong ber-goyang2 terhuyung kebelakang dua tiga tindak, sedang kedua kaki Ho Ciok Too tetap berdiri tegak.
Wie Thian Bong yang selala menganggap bahwa Gwakangnya (ilmu luar, yaitu ilmu yang menggunakan teanga kekerasan) jarang tandingan, jadi penasaran sekali.
Sesudah menarik napas panjang, sambil membentak keras sekali lagi is menghantam dengan kedua tangannya. Ho Ciok Too pun mengeluarkan teriakan nyaring, dan satu tangannya kembali memapaki pukulan lawan. "Dak !", kedua bau tangan beradu pula, kali ini hebat luar biasa, sehingga debu dan pasir meluruk turun dari lubang diatap pendopo. Hampir berbareng dengan bentrokan itu, tubuh Wie Thian Bong terhuyung lagi dan sesudah sempoyongan empat lima tindak, barulah ia bisa berdiri tegak.
Sesudah dikalhkan dua kali, Wie Thian Bong jadi mata merah. Rambutnya terurai, kedua matanya melotot, sehingga macamnya menakuti sekali. Dengan kedua tangan memegang perut, dia menarik napas panjang. Dilain saat, dadanya melesak kedalam, perut melembung keluar, se-akan2 sebuah tambur dan tulang2nya berkerotokan.
Dalam keadaan yang menyeramkan itu, setindak demi setindak ia mendekati lawannya.
Melihat begitu, Ho Ciok Too mengerti, bahwa lawannya akan segera menyerang dengan menggunakan seantero kepandaian dan tenaga Lwekang. Ia tak berani berayal lagi dan buru-buru monyedot nafas untuk mengerahkan Lweekang.
Menurut kebiasaan, sesudah mengerahkan Lweekang yang hebat itu, dari jarak empat lima tindak, Wie Thian Bong sudah mengirim pukulan. Tapi sekarang ia tak berbuat begitu. Dengan perlahan, ia terus maju hingga berhadapan dengan lawan. Sesudah itu, barulah kedua tangannya bergerak, yang satu memukul muka, yang lain menyambar kepunggung. Tujuan kedua pukulan, itu adalah untak membuyarkan seantero Lwekang Ho Ciok Too.
Ho Ciok Too pun lantas saja menyambar dengan kedua tangannya. Tangan kiri menempel dengan tangan kiri, tangan kanan dengan tangan kanan. Tetapi di dalam tangan itu, dia mengeluarkan dua tenaga yang berbeda, satu "keras" dan yang satu "lembek". Dengan begitu tangan Wie Thian Bong yang memukul keras kepunggung seperti juga menghantam kapas, sedang tangan kanan yang menyambar kemuka se-akan2 menyentuh tembok tembaga. "Celaka !" Wie Thian Bong mongeluh. Hampir berbareng, ia merasakan dorongan tenaga yang sangat hebat dan tanpa ampun lagi badannya didorong keluar dari pendopo.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 29 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Pangeran Perkasa 9