Kisah Membunuh Naga 19
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 19
Benar saja, makin lama si nona makin repot. Dalam hal ilmu pedang, biarpun dia tidak bisa menandingi Pan Siok Ham, gadis dusun itu sebenarnya masih bisa bertahan dalam sedikitnya seratus jurus. Apa mau, ia bukan saja menggunakan pedang bunting, ia juga tidak berani berpisahan sama Bu Kie, sehingga dalam pertempuran itu, ia hanya membela diri dan tidak bisa balas menyerang. Mendadak pedang Pan Siok Ham berkelebat bagaikan kilat dan "sret!" lengan kirinaya sudah kena di gores. Nyonya itu jadi girang dan terus mengirim serangan2 berantai. Sesaat kemudian si nona mengeluarkan teriakan
"aduh!" dan sekali ini, pundaknya tertikam pendang.
"Hai! Apa kau tidak mau membantu aku lagi?" teriak si nona.
Dengan kaget Pang Sik Ham melompat mundur dan lalu mengawasi kesekitarnya. Tapi diseputar itu tidak terdapat bayangan manusia lain.
Sambil tersenyum, ia segera menyerang lagi dengan hebatnya.
Walaupun sudah terluka, gadis dusun itu terus melawan dengan nekad. Satu kali dengan kecepatan luar biasa, ia bisa mengelakkan serangan Pan Siok Ham. "Perempuan bangsat, tanganmy cepat jg," memuji nyonya itu.
"Nenek bangsat! Tanganmu pun tidak terlalu lambat," jawab si nona yang tidak mau kalah.
Diluar dugaan, jawabnya itu membawa akibat buruk. Sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, biarpun mulutnya berbicara tangan Pan Siok Ham bekerja terus seperti biasa. Dilain pihak begitu ia bicara pemusatan, perhatian si nona segera jadi terpecah dan gerakannya berubah lambat. Pan Siok Ham tentu saja sungkan menyia nyiakan kesempatan baik itu. Dengan sekali menikam, pedangnya tempat menancap di pergelangan tangannya nona itu, sehingga pedang yg sedang di cekalnya lantas saja terbang.
"Celaka!" si nona mengeluarkan seruan kaget dan hampir berbareng ujung pedang Pan Siok Ham sudah meluncur ke bawah ketiaknya.
Sesudah orang hampir roboh, tentang Bin Koe yg sedari tadi terus menonton tanpa bergerak, sekarang turun tangan. Tanpa menghunus pedang, dengan jurus Toe Chung bong Goat (mendorong jendela melihat rembulan), neduu telapak tangannya menghantam punggung gadis dusun. Bu Ceng Eng jg tidak mau ketinggalan. Ia melompat dan menendang pinggang musuhnya.
Hati si gadis dusun mencelos. Ia merasa ajalnya sudah tiba.
Mendadak mendadak saja, ia merasa sekujur badannya panas luar biasa, seolah2 dibakar. Waktu pedang Pan Siok Ham menyambar tanpa merasa ia mengangkat tangannya dan menyentil badan pedang dengan jarinya. Pada detik yg bersamaan punggungnya kena pulukan Teng Bin Kun dan pinggangnya kena tendangan Bu Ceng Eng.
"Tring".." "Aduh!....." "Aduh"."
Tiga suara itu terdengar dengan berbareng. Apa yg sudah terjadi" Pedang Pan Siok Ham patah, tubuh Teng Bin Kun dan Bu Ceng Eng jatuh terpelanting.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ternyata pada detik yg sangat berbahaya, Bu Kie telah mengempos (^0^) semangatnya dan memasukkan seantero "hawa murni" ke dalam tubuh si nona. Pada waktu itu, ia sudah berhasil mendapatkan dua bagian dari tenaga Kioe yang Sing kang dan bagian ini sudah hebat bukan main.
Sebagai akibatnya, pedang Pan Siok Ham patah, kedua tulang lengan Teng Bin Kun hancur dan tulang kaki Bu Ceng Eng pun remuk.
Ho Thay Ciong, Bu Liat dan Wie Pek mengawasi dengan mata membelak dan mulut ternganga.
Pan Siok Ham melemparkan pedang buntungnya di tanah "Hayo kita pergi!" katanya pada sang suami,
"Apa kau belum cukup mendapat malu?"
"Baiklah," jawabnya. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, mereka belalu tanpa berpamitan lagi. Sambil menuntun tangan guru dan memapah adik seperguruannya, Wie Pek pun segera meninggalkan tempat itu. Karena tulang kaki Bu Ceng Eng hancur, mereka terpaksa jalan perlahan lahan.
Hati mereka berdebar debar dan saban2 menengok kebelakang karena kuatir dikejar oleh gadis dusun itu.
Teng Bin Kun juga tidak dapat berbuat lain daripada menyingkir dengan rasa gusar dan sakit hati yang sangat besar.
Sesudah semua berlalu, si nona tertawa terbahak bahak. "Tioe Pat Koay!" teriaknya. "Kalau begitu kau?" Ia tidak dapat meneruskan perkataannya sebab kedua matanya mendadak berkunang2 dan ia segera roboh dalam keadaan pingsan.
Ternyata sesudah musuh kabur, Bu Kie segera melepaskan kedua kaki si nona dari cekalannya dan dengan berbareng, semua hawa Kioe yang keluar dari tubuhnya. Dengan demikian tubuh itu menjadi
"kosong" secara mendadak tenaganya habis dan ia tak dapat mempertahankan diri lagi.
Bu Kie lantas saja mengerti sebab musabah pingsannya si nona. Buru-buru menekan Sie Tiok Kong di ujung alis nona itu dan mengerahkan sin kang. Selang beberapa saat, si nona tersadar dan perlahan-lahan ia membuka matanya.
Melihat dirinya sedang rebah dipangkuan Bu Kie, paras mukanya lantas saja berubah merah dan cepat-cepat melompat bangun.
Sekonyong2 ia membetot kumis Bu Kie dan berteriak, "Tioe pat koay! Kau menipu aku! Kau mempunyai kepandaian yg sangat lihai, tapi kau sengaja tidak mau memberitahukan kepadaku."
"Aduh" aduh" lepas!" teriak Bu Kie.
"Siapa suruh kau mendustai aku?" kata si nona seraya tertawa.
"Lagi kapan aku mendustai kau?" Bu Kie balas menanya. "Kau tidak pernah memberitahukan kepadaku, bahwa kau mengerti ilmu silat. Akupun begitu jg."
"Baiklah, sekali aku suka mengampuni kau," kata si nona. "Biar bagaimanapun jua, tadi kau sudah bisa jalan?"
"Belum bisa," jawabnya.
Si nona menghela napas, "Benar jg kata orang siapa yg berbuat baik akan mendapat pemabalasan baik," katanya. Jika aku tidak memikiri kau dan tidak datang lagi kesini, kau tentu tidak bisa menolong jiwaku." Ia berdia sejenak dan kemudian berkata pula, "Kalau aku tahu bahwa kau berkepandaian lebih tinggi dari aku, aku tentu tidak merasa perlu untuk membinasakan perempuan she-Cu itu."
Paras muka Bu Kie lantas saja berubah gusar. "Aku sama sekali belum pernah meminta kan untuk membunuh nona Cu," katanya dengan suara mendongkol.
"Aduh! Kau ternyata belum dapat melupakan nona manis itu!" kata si nona dengan suara mengejek.
"Akulah yg bersalah. Aku sudah mencelakakan kecintaanmu."
"Nona Cu bukan kecintaanku," kata Bu Kie. "Dia dan aku tidak ada sangkut pautnya."
"Ah, heran sekali!" kata si nona. "Dia sudah mencelakakan kau dan aku membinasakannya untuk membalas sakit hatimu. Apa dengan bertidak begitu aku bersalah?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Orang yang mencelakai aku banyak jumlahnya," kata Bu Kie tawar. "Jikalau mereka satu demi satu harus dihukum mati, mereka tidak bakal terbunuh habis. Pula ada orang2 yg berniat mencelakai aku, tetapi di pandangan mataku, mereka itu harus di kasihani. Seperti nona Cu, dia setiap hari dirundung kekuatiran, hati nya terus berdenyutan, dia kuatir kakak misannya tidak mau baik dengannya, dia kuatir kaka misan itu menikahi nona Bu. Orang semacam dia, ada apakah senangnya?"
Mendengar itu si gadis desa murah wajahnya.
"Apakah kau menyindir aku?" tanyanya gusar.
Bu Kie melengak. Ia tidak menyangka lantaran menyebut2 Cu Kioe Tin, ia membangkitkan cemburunya nona di hadapannay ini.
"Bukan, bukan"," katanya cepat. Aku mau bilang sesuatu orang ada nasibnya masing2. Umpama kata ada orang berbuat tidak benar terhadapmu lantas kau bunuh dia, itulah tidak baik."
Gadis desa itu tertawa dingin.
"Jikalau kau mempelajari ilmu silat bukan untuk membunuh orang, habis untuk apakah?" dia tanya.
"Jikalau kita telah mempelajari ilmu silat," sahut Bu Kie, dalam suaranya, "Jikalau ada orang jahat terhadap kita, kita lawan dia."
"Kagum aku, kagum terhadapmu," berkata si nona. "Kiranya kau seorang, kuncu sejati, seorangyg sangat baik hatinya!"
Bu Kie tunduk, ia mengawasi nona itu. Ia merasa si nona aneh sekali, ia merasakan sikap orang yg sangat erat hubungannya dengan ia, agaknya ia mengenalnya dengan baik.
"Kau mengawasi apa?" tanya si nona matanya memain.
"Aku ingat ibuku," menyahut Bu Kie. "Ibu sering menertawakan ayahku, yg dikatakan sebagai orang yg sangat baik hatinya, yang menjadi seorang pelajar yg harus dikasihani sebab hatinya sangat lemah.
Selagi itu bicara itu, gerak gerimnya lagu suaranya, mirip dengan mu."
Mukanya si nona menjadi merah.
"Haik au menggoda aku!" tegurnya. "Kau bilang aku mirip ibumu, jadi kau mirip ayahmu"
Meski ia menegur, toh sinar matanya, sinar mata yang manis!!...
"Oh, oh"." Kata Bu Kie cepat. "Langit ada diatas jikalau aku menggoda kau, biarlah langit membunuhnya dan bumi memusnahkannya!"
Nona itu mendadak tertawa.
"Kau bicara gampang saja!" katanya. "Kenapa mesti main sumpah2?"
Tepat si nona baru habis mengatakan demikian, dari arah timur utara terdengar siutan yg nyaring dan panjang. Itulah suaranya seorang wanita. Lantas jawaban serupa, yang dtgnya dari kejauhan. Itulah jawabannya Teng Bin Kun, yang belum pergi jauh.
Air mukanya si nona lantas saja berubah.
"Kembali ada dating orang dari Go Bie Pay," katanya perlahan.
Gadis desa ini dan Bu Kie merasakan suarakan, jawaban itu membuktikan orang lebih lihai tenaga dalamnya drpd Teng Bin Kun sebab suara itu terang dan jernih sekali. Toh orang berada lebih jauh daripada sinona Teng.
Ketika ia mendengar jawaban itu Teng Bin Koe menghentikan tindakannya.
Bu Kie dan si gadis dusun memandang kearah timur utara itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cuaca sudah mulai terang, maka disana terlihat bayangan seorang dengan pakaian hijaunya. Berjalan diatas salju, orang itu bagaikan melayang laying. Dia mendekati Teng Bin Kun, untuk terus bicara satu pada lain, kemudian dia menendang kepada Bu Kie dan si nona terus dia menghampiri. Dia bertindak dengan tindakan ringan dan jarak tindakannya itupun tidak lebar. Ketika ia sudah mendatangi kira2 empat atau lima tomabk, terlihat tegas wajahnya ygn cantik sekali dan bersih, dan usianya belum lewat tujuh atau delapan belas tahun.
Dalam herannya Bu Kie berpikir, mendengar suara siulannya tadi dan menyaksikan ringannya tubuhini, dia sebenarnya lebih tua dari Teng Bia Keon, tidak tahunya dia justru lebih muda bahkan rupanya lebih muda dari ia sendiri.
Nona itu membawa pedang di pinggangnya, senjata itu, tapi tidak dihunus. Dia bertindak mendekati dengan tangan kosong.
"Ciu Su moay, hati hati!" Teng Bie Kun berkata memperingati. "Badak setan itu bekepandaian rada sesat!"
Nona itu mengangguk. "Jiwi, kamu she apa dan nama siapa?" ia menanya halus. Ia memanggil jiwi berdua nona atau tuan, kepada Bu Kie dan gadis desa. "Kenapa jiwi melukai siecuku itu?"
Selagi orang mendekat Buk Kie mengawasi terus. Ia lantas merasa bahwa ia pernah kenal nona itu.
Ketika ia mendengar suara si nona, lantas ia ingat, maka katanya di dalam hati, "Ah kiranya dia Cu Cie Jiak yang aku pernah ketemukan disungai Han Sui! Tay suhu membawa dia ke Bu Tong san, kenapa dia sekarang masuk dalam partai Gio Bie Pay!"
Karena memikir begini Bu lantas ingat juga Thio Sam Hong. Ia lantas merasakan dadanya panas.
Hanya sejenak ia lantas berpikir pula, "Thio Bu Kie telah mati!" srkarang ini akulah seorang dusun, si Can A Goe yang sangat jelek rupanya! Asal aku tidak bisa menyambarkan diri mungkin aku bakal menghadapkan malapetaka yg tak ada habisnya! Tidak, di depan siapa pun, tdk dapat aku memperlihatkan diriku yg asli, supaya ayah dan ibuku jangan berpenasaranterus didunia baka!"
Sekejap ia menjadi ingat pula ayah angkatnya berdiam diri di pulau mencil yg tak dikenal dan tentang ayah dan ibunya yang sudah binasa penasaran.
Selagi Bu Kie berpikir itu, si gadis desa menyahuti dengan suara dingin. Sembari berkata itu dia tertawa.
"Suci kau itu sudah menghajar punggungku dengan kedua tangannya dengan pukulan Toe Chung Bong Hoa," ia kata. "Dia memukul aku, lantas tangannya patah sendirinya. Apakah waktu itu aku pasti disesalkan dan dipersalahkan" Coba kau tanya suci mu apakah pernah aku membalas memukul dia sekalipun satu kali saja?"
Cio Cie Jiak berpaling kepada kakak seperguruannya itu, romannya menanya.
Teng Bin Kun tidka memberi jawaban, hanya dengan gusar dia kata: "Kau bawalah dia berdua kepada suhu, supaya suhu yang memberi hukuman kepadanya!"
Mendengar itu Cie Jiak berkata, "Jika mereka ini bertindak keliru bukan dengan sengaja, menurut pandanganku baiklah urusan dihabiskan saja. Lebih baik kita menjadi sahabat2".
Teng Bin Kun gusar. "Apa?" dia berteriak. "Apakah kau berbalik untuk membantui orang luar?"
Melihat romannya Teng Bin Kun itu, Bu Kie ingat peristiwa itu malam ketika Pheng Eng Giok Hweeshio kena dikeroyok di dalam rimba, karena mana Kie Siauw Hu menjadi bentrok sama Teng Bin Kun ini. Sekarang rupanya peristiwa ini mengulangi diri, Teng Bin Kun kembali mendesak, memaksa adik seperguruannya ini, untuk bertindak sewenang2 dan kejam.
Karena ini, ia menjadi berkuatir untuk Cie Jiak.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Agaknya nona Ciu sangant menurut kepada sucinya itu, ia sangat menghormati. Sembari menjura ia berkata, "Baiklah siaomoi menurut kata suci, tidka bernai siaomoi membantah nya."
"Bagus!" kata Bin Kun. "Sekarang kau boleh bekuk budak itu, kau patahkan kedua tangannya!"
"Baik!" menyahut adik seperguruan itu. "Tolong suci berjaga2" Ia lantas berpaling kepada gadis dusun, untuk berkata, "Maaf, siaomoi berlaku kurang aja, ingin ku menerima beberapa jurus."
Gadis desa itu tertawa dingin. "Tak usah banyak pernik!" katanya. Dengan sebat sekali, ia lantas menyerang, beruntun 3 kali. Sebab serangannya yang pertama dan kedua tidak memberikan hasil.
Cie Jiak main mundur, tangan kanannya menangkis, tangan kirinya mencoba menangkap. Itulah pembelaan diri sambil menyerang. Dia bergerak lincah sekali.
Bu Kie menonton, ia menjadi kagum. Di dalam ilmu dalam, ia sudha mencapai puncak kemahiran, tetapi di dalam hal ilmu silat, ia masih ketinggalan. Sekarang ia melihat kedua nona itu bertempur cepat dan hebat. Lihati tangan Bian Ciang dari Cie Jiak, tetapi aneh gerak gerik si gadis desa. Ia kagum berbareng berkuatir. Sebenarnya ia tidak mengharap siapa jg yang menang, ia hanya ingin dua2nya tidak sampai terluka"
Dengan lekas orang sudah bertarung lebih dari duapuluh jurus, sekarang mereka itu sama sama memasuki babak yg berbahaya. Mendadak si gadis desa berseru. "Kena!" benar saja ia dapat menghajar pundak Cie Jiak. Sebaliknya si nona Ciu dapat menjambret baju orang hingga robek. Setelah itu, keduanya sama-sama melompat mundur, muka merekapun sama-sama merah.
"Sungguh suatu ilmu menangkap yang hebat!" si gadis desa berseru. Sebenarnya ia hendak maju pula, tapi ia lantas melihat lawannya mengerutkan alis, tangannya meraba dadanya, tubuhnyapun terhuyung dua kali, hampir roboh.
Bu Kie kaget hingga ia berteriak, "Kau"kau"." Nyata sekali besar perhatiannya terhadap nona marga Ciu itu.
Cie Jiak heran melihat pria itu, yang rambut dan kumisnya panjang, menaruh perhatian sedemikian rupa terhadapnya.
"Su-moay, kau kenapa?" Bin Kun bertanya heran.
Dengan tangan kirinya, Cie Jiak memegang pundak sang Su-cie, kepalanya digeleng.
Bin Kun heran kemudian ia menjadi kaget. Tadi ia dikalahkan si gadis desa, ia penasaran ingin menuntut balas, maka senang hatinya sang Su-moay itu, adik seperguruan, sudah datang kepadanya. Ia percaya Su-moay ini bakal berhasil melampiaskan sakit hatinya itu. Ia pernah mendengar guru mereka memuji sang Su-moay sebagai murid yang cerdas, yang majunya pesat, sehingga "Ciu Cie Jiak- diharap nanti dapat mengangkat pamor rumah perguruan mereka, maka itu sekarang, ia memaksa sang Su-moay menempur si gadis desa. Ia berlega hati melihat Cie Jiak dapat berkelahi hingga dua puluh jurus lebih. Itu tanda Su-moay itu sudah lebih menang darinya, maka ia heran melihat akhir pertandingan itu, bahkan ia terkejut waktu ia merasa cekalan tangan Su-moay di pundaknya. Tangan itu seperti tidak ada tenaganya.
Itulah tanda bahwa sang Su-moay telah terluka. Dari kaget ia menjadi takut, takut si gadis desa nanti merangsak untuk menyerang pula.
"Mari kita pergi!" katanya cepat. Ia membawa Su-moay itu, untuk berlalu dengan cepat ke arah timur laut tadi.
Si gadis desa mengawasi kepergian lawannya lantas ia menoleh kepada Bu Kie. Ia tertawa dingin.
"Hai, si muka jelek tidak keruan!" katanya mengejek, "Melihat nona cantik, semangatmu terbang hingga keluar langit!"
Bu Kie berniat membantah ketika ia lantas berpikir. "Jikalau aku tidak memperlihatkan jati diriku, urusan sukar dibuat jelas. Tapi baiklah aku tetap jangan bicara!" Maka ia menjawab, "Perduli apa dia cantik atau tidak" Apa kaitannya dengan aku" Aku justru menguatirkan kau, aku takut kau nanti terluka"."
Mendengar itu, si nona menjadi girang. Perubahan sikapnya cepat.
"Omonganmu ini benar-benar atau dusta?" dia bertanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sebenarnya aku menguatirkan kalian berdua," piker Bu Kie, tapi ia menjawab, "Untuk apa aku mendustai kau" Aku hanya tidak menyangka dalam Go Bie-pay ada nona demikian muda tapi ilmu silatnya sudah mahir sekali."
"Hebat, ya hebat!" kata si gadis desa.
Bu Kie mengawasi ke arah Cie Jiak. Tadi nona itu datang dengan lincah, tapi sekarang pergi dengan langkah terseok-seok. Ia lantas ingat bagaimana dulu, di dalam perahu di sungai Han Sut, si nona menyuapi ia, meminumkan air, bagaimana ia diberikan sapu tangan untuk menyusut air matanya"Itulah budi si nona. Maka mengingat begitu, ia berdoa agar luka si nona tidak berbahaya"
Tiba-tiba gadis desa tertawa dingin.
"Tak usah kau menguatirkan dia!" katanya nyaring. "Dia tidak terluka sama sekali! Bahkan aku bilang dia hebat! Bukan ilmunya yang aku maksud, tapi kecerdikannya, selagi ia masih berusia demikian muda!"
Bu Kie heran. "Apakah dia tidak terluka?" ia tanya.
"Memang tidak! Ketika tanganku mengenai pundaknya, dari pundak itu menolak keluar aliran tenaga dalam yang membuat tanganku mental kembali. Jelaslah dia telah mempelajari ilmu Kioe Yang Kang dari Go Bie-pay. Dan membuat tanganku gemetaran dan kesemutan! Dia mana terluka?"
Bu Kie menjadi girang. Ia berkata dalam hatinya, "Kalau begitu, Biat Ciat Su-thay menghargai nona itu. Dia rela menurunkan ilmu Kioe Yang Kang dari Go Bie-pay, sedangkan ilmu itu adalah ilmu pelindung untuk partainya.
Tengah ia berpikir, Bu Kie merasa kupingnya sakit. Tanpa setahunya, telinganya itu telah ditampar si nona, pipinya juga kena, sehingga kuping dan pipinya menjadi merah dan bengap.
"Kau"kau bikin apa?" tegurnya gusar.
Nona itu mendongkol, katanya sengit. "Melihat orang demikian cantik semangatmu terbang naik keluar langit! Aku bilang dia tidak terluka, lantas kau jadi kegirangan! Kenapa?"
"Jika benar aku girang untuknya, apa kaitannya dengamu?" Bu Kie balik bertanya.
Tangan si nona melayang pula, tapi Bu Kie dapat berkelit mundur.
Nona itu menjadi gusar dan berseru.
"Kau telah bilang bahwa kau telah bakal menikahi aku! Belum setengah hari lewat, pikiranmu sudah berubah! Kau sudah kepincut nona lain!"
"Toh kau sendiri yang bilang aku tidak cocok untukmu?" balas Bu Kie. "Kau pun bilang bahwa di dalam hatimu ada seorang kekasih lainnya, kau tak dapat menikah denganku!"
"Itu benar! Tapi kau telah berjanji padaku bahwa seumur hidupmu kau akan setia padaku," kata si nona pula.
"Tentu sekali, apa yang telah aku bilang akan kupegang," kata Bu Kie pula.
"Kalau begitu?" kata si nona gusar, "Kenapa setelah melihat nona cantik kau tak ada semangat seperti ini" Melihat lagakmu ini bagaimana orang tidak mendongkol?"
Mau tidak mau, Bu Kie tertawa.
"Semangatku tidak hilang!" katanya.
Si nona masih berkata sengit, "Aku larang kau menyukai dia! Aku larang kau memikirkan dia!"
"Aku tidak bilang bahwa aku menyukai dia," kata Bu Kie. "Tapi kau, di dalam hatimu mengapa kau senantiasa mengingat seseorang lain. Kau mengingatnya hingga kau tidak melupakannya?"
"Sebab aku kenal orang itu lebih dulu daripada aku kenal kau. Coba aku mengenal kau terlebih dahulu, pasti seumur hidupku, aku selalu baik terhadap kau seorang, tidak akan mencintai orang lain lagi. Ini dia
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
yang dibilang, ikut satu orang hingga akhir hayatnya. Jikalau satu orang mempunyai dua atau tiga pikiran, Tuhan juga tidak dapat menerimanya?"
"Aku kenal nona Ciu jauh lebih lama daripada aku kenal kau," kata Bu Kie di dalam hati. Ia tidak dapat mengatakan itu, maka ia bilang, "Jikalau kau baik denganku seorang, aku juga akan baik dengan kau seorang, tetapi jikalau di dalam hatimu memikirkan orang lain, aku pun dapat memikirkan orang lain!"
Nona itu terdiam, beberapa kali ia hendak membuka mulutnya, tiba-tiba batal. Mendadak kedua matanya mengalirkan air, lantas ia berpaling ke arah lain. Tanpa sepengetahuan Bu Kie, ia menghapus air matanya itu.
Bu Kie menjadi kasihan. Ia mencekal tangannya.
"Kita bicara tidak keru-keruan begini, untuk apa?" ia bilang. "Beberapa hari lagi kakiku sembuh, kita berdua boleh pergi pesiar memandangi keindahan sang alam. Tidak baguskah itu?"
Nona itu menoleh, wajahnya berduka.
"Goe koko, aku mau minta sesuatu," katanya sabar. "Aku minta kau jangan gusar."
"Apakah itu?" balik tanya Bu Kie. "Asal yang aku sanggup, tentu aku akan melakukannya untuk kau."
"Jikalau kau berjanji tidak akan gusari aku, baru aku mau bicara."
"Baik, aku tidak akan gusar."
Nona itu ragu-ragu. Katanya sesaat kemudian. "Kau bilang di hatimu tidak gusar, kalau di mulut bilang tak gusar?"
"Baiklah, di dalam hatiku juga aku tidak gusar."
Nona itu lantas menggenggam keras.
"Goe koko!" Ia berkata sungguh-sungguh. "Aku datang dari Tionggoan yang berlaksa li sampai di wilayah Barat ini, maksudku ialah untuk mencari dia. Mulanya aku masih dapat mendengar sedikit kabar tentangnya, lalu setibanya di sini ia bagaikan sebuah batu yang tenggelam dalam lautan besar, sedikitpun tak kudengar lagi kabarnya. Maka itu, kalau nanti kakimu sudah sembuh aku minta kau membantuku mencari dia, sesudah itu baru aku menemani kau pesiar ke gunung dan sungai! Tidakkah ini bagus?"
Bu Kie tidak dapat menahan rasa tidak senangnya, hingga ia mengeluarkan suara di hidung. "Hmm"."
"Kau sudah menerima baik, kau sudah berjanji tidak akan gusar," kata si nona. "Apakah ini bukan tandanya gusar?"
"Baiklah, aku nanti membantu kau mencari dia!" kata Bu Kie.
Kembali si nona girang secara mendadak.
"Goe koko, kau baik sekali," dia berseru. Lantas ia memandang jauh ke depan, ke arah di mana langit dan bumi bertemu, hatinya bergetar. Dengan perlahan dia berkata, "Jikalau nanti kita dapat menemukan dia, dia akan berpikir bahwa aku telah mencari dia lama sekali, dia tidak akan mengusir aku. Apa yang dia bilang, aku akan melakukannya. Pendek kata, aku akan turut segala perkataannya!"
"Sebenarnya kekasihmu itu ada kebaikkan apa?" tanya Bu Kie. "Kenapa kau sampai selalu memikirkannya saja?"
Ditanya begitu, si nona tertawa.
"Apa kebaikkannya?" katanya. "Mana dapat aku menerangkan" Goe koko, aku tanya apakah kita dapat mencari dia" Umpama kata kita dapat mencari, apakah dia bakal mencaci dan memukulku?"
Tidak senang Bu Kie melihat orang demikian tergila-gila, akan tetapi ia pun tidak mau membuatnya tidak bergembira, maka ia berkata perlahan, seperti bersenandung. "Asal hati manusia keras bagaikan emas, di atas langit atau di dalam dunia pasti orang dapat saling bertemu!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mulut mungil si nona bergerak perlahan, air matanya berlinang. Ia mengulangi dengan perlahan. "Asal hati manusia keras bagaikan emas, di atas langit atau di dalam dunia pasti orang dapat saling bertemu"."
Bu Kie mendengar suara si nona, katanya di dalam hati. "Nona ini demikian tergila-gila terhadap kekasihnya, jikalau di dalam dunia ini ada seorang yang demikian memikirkan aku, biar dalam hidupku lebih menderita lagi aku rela"."
Ia memandang ke arah timur laut, di atas salju ia melihat tapk kakinya Cie Jiak dan Bin Kun, ia melamun pula. "Jikalau tapak kakinya Bin Kun itu tapak kakiku, dapat berjalan bersama nona Ciu"."
Ia terbangun dari lamunannya dengan kaget. Mendadak ia mendengar suara keras dari si nona. "Hayo!
Lekas! Mari kita pergi. Kalau terlambat, nanti tak keburu!"
"Apa?" tanya Bu Kie masih gelagapan.
"Nona muda dari Go Bie-pay itu tidak mau bertempur sama aku," kata si nona. "Ia berpura-pura terluka, tetapi lain dengan Teng Bin Kun, dia bilang dia mau menangkap kita untuk dibawa kepada gurunya. Itu berbahaya. Mestinya Biat Coat Su-thay berada di dekat sini. Pendeta wanita bangsat yang tua itu paling mau menang sendiri, mana bisa dia tidak datang kemari?"
Bu Kie terkejut, ia pun kuatir. Ia ingat kekejamannya Biat Coat Su-thay ketika ia menghajar mati Kie Siauw Hu dengan sebelah tangannya.
"Memang dia sangat hebat, kita tidak dapat melawannya," katanya.
"Apakah kau pernah bertemu dengan dia?"
"Bertemu, itulah belum, tapi dia ketua Go Bie-pay, dia bukan sembarangan orang."
Nona itu mengerutkan alis. Hanya sebentar, ia lantas bekerja. Ia mengumpuli beberapa kayu yang kuat, ia ikat itu dengan tali babakan pohon. Segera setelah selesai, membuat semacam kursi bagaikan kereta.
Tanpa bilang apa-apa ia lantas menggendong Bu Kie, untuk duduk di dalam kursi itu, yang ujungnya diikatkan tali panjang, sesudah itu ia terus tarik bawa pergi berlari-lari! Kencang larinya".
Sambil duduk di kereta salju, Bu Kie mengawasi gadis desa yang tabiatnya aneh itu. Dia lari dengan lincah. Dia lari terus menerus, tak hentinya sampai kira-kira empat puluh li. Sama sekali tidak terdengar nafasnya menghela. Ia kagum akan kemahiran ilmu ringan tubuh si nona itu. Tapi ia merasa tidak enak hati.
"Eh, berhenti dulu!" katanya, "Kau beristirahatlah!"
Nona itu tertawa, ia menyahuti, "Siapa eh, eh" Apakah aku tidak punya nama?"
"Kau tidak mau memberitahukan namamu, apa yang aku bisa" Kau menghendaki memanggilmu si nona jelek, tapi aku merasa kau bagus dilihat"."
Nona itu tertawa, lalu berhenti berlari. Dia menyingkap rambutnya.
"Baiklah, sekarang aku memberitahukan kepadamu!" katanya. "Taka pa aku bilang padamu. Aku dipanggil Cu Jie."
"Cu Jie! Cu Jie!" kata Bu Kie. "Sungguh benar satu anak mustika!"
"Fui!" nona itu meludah. "Namaku bukannya Cu dari Tin Cu yang berarti mutiara, hanya Cu dari Tin-cu, yaitu laba-laba!"
Bu Kie tercengang. "Mana ada orang yang pakai huruf Cu untuk namanya?" katanya. Ia heran nona itu memakai nama Cu itu, hingga ia menjadi Cu Jie (anak Cu atau si Cu).
"Itu justru namaku!" kata si nona. "Umpama kata kau takut, nah, tak usahlah kau memanggilnya!"
"Apakah itu nama pemberian ayahmu?" Bu Kie bertanya.
"Jikalau ayahku yang memberikannya, kau piker, apakah kau kira aku suka menerimanya?" si nona membalas, "Ibuku yang memberikannya. Ibu mengajarkan ilmu silat Cian Cu Cit-hu chu, maka ia bilang, aku baiknya memakai nama ini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Terkesiap Bu Kie mendengar disebutnya ilmu silat Cian Cu Ciat-hu chu itu.
"Aku mempelajari itu dari kecil," si nona menjelaskan tanpa diminta, "Sampai sekarang aku belum dapat menyempurnakan. Jikalau aku sudah mahir maka tak usahlah kita takut pula pada Coat Su-thay si pendeta wanita bangsat itu. Maukah kau melihatnya?"
Sembari berkata begitu, Cu Jie merogoh ke dalam sakunya, untuk menarik keluar sebuah kotak dari emas, yang ia terus buka tutupnya dan di dalam itu lantas terlihat dua ekor laba-laba, yang tubuhnya berkotak-kotak. Punggung laba-laba itu bertitik-titik belang, bertotolan seperti bunga sulaman. Yang aneh pula kalau biasanya berkaki delapan, kedua binatang ini berkaki masing-masing dua belas.
Bu Kie terkejut. Mendadak ia ingat Tok Kang, Kitab Racun karangannya Ong Lan Kouw. Di dalam kitab itu antaranya ada ditulis. "Laba-laba itu ada yang belang. Itulah yang beracun sekali. Laba-laba dengan sepuluh kaki ialah yang paling beracun tak ada bandingan, siapa kena digigit dia tak akan ketolongan lagi." Kali ini laba-laba berkaki dua belas pasti mereka lebih beracun daripada yang kakinya sepuluh. Sebab di dalam kitab tersebut tidak ada disebut-sebut.
Si nona ketawa melihat kawannya ketakutan.
"Kau ahli, kau tahu kegunaannya laba-laba mustika ini!" ia berkata, "Kau tunggu sebentar!"
Ia simpan kotaknya itu lantas ia lari menghampiri sebuah pohon besar, untuk lompat naik ke atasnya.
Di situ ia berdiam lama di cabang yang tertinggi, untuk memandang sekitarnya. Ia seperti melihat atau mencari sesuatu. Setelah itu ia lompat turun lagi.
"Mari kita pergi pula barang selintasan," ia berkata. "Perlahan-lahan saja kita bicara tentang laba-laba.
"Ia lantas menarik pula kereta saljunya bermuatan manusia. dia berlari-lari kira-kira tujuh atau delapan li, hingga mereka tiba di sebuah lembah. Di sini ia turunkan Bu Kie dari kereta istimewanya itu, sebagai gantinya, dia memuat beberapa buah batu besar. Lantas ia menarik pula, berlari-lari. Akhirnya ia lari ke tepi jurang, di situ ia berhenti dengan tiba-tiba, keretanya dilepaskan, maka kereta itu bersama batunya terjun ke dalam jurang yang dalam, terdengar suara berisik dari jatuhnya kereta.
Bu Kie heran, ia mengawasi kelakuan nona itu. Ketika ia melihat ke salju, tempat yang tadi menjadi jalanan mereka, ia mendapatkan dua baris tapak kereta salju itu. Ia cerdas dan ia lantas mengerti. Maka di dalam hatinya ia berkata.
"Nona ini sangat cerdik. Jikalau Biat Coat Su-thay menyusul kita, setibanya di sini, tentu dia bakal menyangka bahwa kita jatuh mati ke dalam jurang itu."
Cu Jie lantas kembali. "Mari naik ke atas punggungku!" ia berkata kepada kawannya, di depannya ia berjongkok.
"Kau hendak menggendong aku?" tanya Bu Kie, "Tubuhku berat, kau bakal sangat letih."
Nona itu mengawasi, matanya melotot.
"Kalau aku letih aku pasti bisa tahu?" ujarnya.
Bu Kie terdiam, ia naik ke punggung nona itu, kedua tangannya merangkul leher si nona perlahan-lahan tanpa bertenaga.
"Apa kau takut merangkul aku keras-keras hingga mati tercekik?" kata nona itu tertawa. "Kau merangkul begini pelan dan kakimu menjepit orang enteng sekali, kau membuat leherku geli saja!"
Bu Kie yang polos, melihat kepolosan si nona ia menjadi girang. Ia lantas merangkul erat-erat dan kedua kakinya menjepit keras.
Mendadak saja si nona bergerak, untuk melompat naik ke atas pohon.
Pohon itu mengarah ke arah barat, di sana terdapat barisan pohon lainnya. Bagaikan kera gesit, dengan cepat nona itu berlompatan dari pohon yang satu ke pohon yang lain, untuk jauh meninggalkan tempat di mana barusan singgah.
Bu Kie kagum bukan main. Nona itu bertubuh kecil, tapi nyata dia kuat sekali. Tubuhnya dapat dibawa berlompatan dan berlari-lari dengan ringan. Setelah melewati kira-kira delapan puluh pohon, hingga mereka sudah pergi jauh. Baru nona itu melompat turun, hingga sekarang mereka berada di pinggiran sebuah gunung. Di situ Bu Kie diturunkan dengan hati-hati.
"Di sini kita membangun gubuk kerbau!" kata nona itu tertawa, "Tempat ini baik!"
"Gubuk kerbau?" Bu Kie heran, "Untuk apakah gubuk kerbau?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si nona tertawa. "Memang gubuk kerbau!" katanya. "Gubuk untuk menempatkan seekor kerbau yang besar! Bukankah kau bernama A Goe, si kerbau?"
Bu Kie tersentak, lantas ia pun tertawa. Nona itu sedang bergurau. Memang namanya A Goe, berarti kerbau.
"Bila begitu, tak usahlah," ia berkata. "Empat atau lima hari lagi, kakiku tentu sudah sembuh banyak, aku dapat berjalan meskipun dipaksakan"."
"Hm, dipaksakan!" kata si nona, tersenyum. "Kau sudah jadi si jelek tidak karuan, kalau nanti kaki kerbaumu pincang, apa itu bagus dilihat?"
Habis berkata, si nona kembali bekerja. Dengan cabang pohon yang berdaun, ia menyapu salju di batu gunung.
Mengertilah Bu Kie bahwa si nona sangat memperhatikannya. Itulah bukti dari kata-katanya: ?"kalau nanti kaki kerbaumu pincang, apa itu bagus dilihat?" Tanpa terasa hatinya jadi tergerak. Iapun lantas mendengar nona itu berjanji perlahan, berjanji sambil bekerja. Dia tidak usah membuang waktu lama akan dapat membangun gubuk yang beratap alang-alang. Gubuk itu cukup besar untuk mereka berdua bernaung di dalamnya.
Tapi Cu Jie masih bekerja terus. Sekarang ia mengangkut salju tak hentinya. Ia menutup gubuk dari atas atap, lalu ke bawah di sekitarnya. Di lain saat, dari tempat jauh gubuk itu tidak kelihatan lagi, kecuali sebagai gundukan salju.
Kembali Bu Kie menjadi kagum.
Habis bekerja, Cu Jie mengeluarkan sapu tangan untuk menyusut keringatnya. Setelah bekerja begitu berat, tubuhnya kepanasan hingga ia mengeluarkan peluh. Namun ia tidak duduk beristirahat.
"Kau tunggu di sini!" katanya. "Aku hendak pergi mencari makanan!"
"Kau beristirahat dulu," Bu Kie berkata. "Aku belum lapar, kau boleh menunggu sebentar lagi. Kau terlalu letih."
Nona itu mengawasi. "Jikalau kau hendak memperlakukanku dengan baik kau harus sungguh-sungguh baik," dia berkata.
"Manis di mulut saja buat apa?" Lantas ia pergi berlari memasuki hutan. Bu Kie terpaksa berdiam. Ia merebahkan dirinya di batu gunung, yang terkurung gubuknya itu. Ia sekarang mempunyai kesempatan untuk memikirkan kelakuan si nona yang polos itu, yang suaranya halus, yang gerak-geriknya genit.
Saking polosnya nona itu gampang gusar. Mestinya gerak-gerik itu dipunyai seorang nona cantik, tetapi dia berwajah jelek sekali. Tapi ia lantas ingat kata-kata ibunya di saat hendak menghembuskan nafas terakhir. Kata ibu, "Wanita itu, makin cantik makin pandai dia menipu orang maka terhadap wanita cantik kau harus semakin berhati-hati menjaga diri!"
Cu Jie jelek, tapi dia baik sekali," pikirnya.
"Aku mempunyai niat mengambil dia sebagai kawan hidupku, tapi dia mempunyai pacar sendiri jadi tidak menaruh hati padaku"."
Tanpa terasa, lama juga Bu Kie berpikir, lantas ia melihat si nona kembali dengan tangannya menenteng dua ekor ayam hutan. Tanpa bicara nona itu bekerja menyalakan api, membakar ayam itu, hingga mereka mencium bau yang wangi, yang membangkitkan selera makan.
"Mari makan!" kata si nona akhirnya. Ia memberikan seekor pada kawannya.
Tanpa sungkan Bu Kie makan ayam itu. Ia pun makan dengan cepat.
"Ini masih ada," kata si nona sambil tertawa. Ia melemparkan sisa dua potong kaki ayam.
Bu Kie malu hati, hendak ia menolak. Tapi si nona gusar.
"Kalau mau makan, makanlah!" katanya ketus. "Siapa berpura-pura baik terhadapku, mulutnya lain hatinya lain, nanti kita tikam tubuhnya hingga berlubang!"
Tanpa banyak bicara Bu Kie makan ayam itu. Kemudian, untuk mencuci mulutnya, ia pakai salju tebal sebagai air. Lengan tangan bajunya menyusut kering mulutnya berikut mukanya.
Kebetulan Cu Jie berpaling ketika ia melihat muka orang, dia tersentak kemudian mengawasi, Bu Kie heran, ia menjadi curiga.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kenapa?" ia bertanya.
"Usiamu berapa?" tanya si nona tanpa menjawab.
"Baru dua puluh tahun tepat."
"Ah, kau lebih tua dua tahun daripada aku. Mengapa kumismu sudah tumbuh begitu panjang?"
Bu Kie tertawa. "Dari kecil aku hidup sendirian di gunung," sahutnya, "Belum pernah aku ketemu orang, maka itu aku tidak berpikir untuk cukur."
Cu Jie merogoh sakunya untuk mengeluarkan sebilah pisau kecil yang bergagang emas.
"Mari!" katanya. Lantas dengan memegangi muka orang, ia mulai mencukur.
Bu Kie diam saja. Ia merasa pisau yang tajam itu mencukur kumisnya. Ia merasakan juga tangan yagn halus dan lemas dari si nona. Tanpa terasa, hatinya dag dig dug"
Habis mencukur kumis dan janggut, Cu Jie mencukur terus tenggorokan. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata,
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Asal aku menggunakan sedikit saja tenaga, aku bisa memotong lehermu ini, maka terbanglah jiwamu!
Kau takut tidak?" "Mati atau hidup, aku terserah pada kau, nona," sahut Bu Kie. "Mati di tanganmu, menjadi setanpun aku senang!"
Cu Jie membalik pisaunya, dan menekan keras ke leher. Mendadak ia membentak, "Nih, jadilah kau setan yang senang!"
Bu Kie kaget, tak sempat ia melawan. Tapi ia tak merasakan sakit, maka ia tersenyum.
"Senangkah kau?" tanya si nona tertawa.
Pemuda itu tertawa, ia mengangguk. Baru ia tahu bahwa ia dipermainkan.
Habis mencukuri muka orang, Cu Jie mengawasi. Ia bengong saja. Beberapa lama, lalu terdengar helaan nafasnya.
"Eh, kau kenapa?" tanya Bu Kie heran.
Nona itu tak menyahuti, ia lantas memotong rambut orang, untuk dibikin sedikit pendek, setelah itu ia membuat konde. Sebagai tusuk kondenya, ia meraut cabang pohon.
Diriasi begitu, walaupun pakaiannya butut, Bu Kie tampak cakap dan gagah.
Lagi-lagi si nona menghela nafas.
"Goe koko," katanya perlahan, kagum. "Aku tidak sangka, kau sebenarnya berwajah begini tampan"."
Bu Kie cepat menyahut, nona itu tentu menyesali wajahnya sendiri, maka ia berkata, "Di dalam dunia ini, apa yang bagus, di dalamnya suka mengeram apa yang jelek. Burung merak begitu indah bulunya tapi nyalinya beracun. Jengger burung boo yan merahpun bagus sekali tapi racunnya bukan main. Demikian binatang lainnya, seperti ular, bagus dilihatnya tapi jahatnya berlebihan. Wajah tampan apa faedahnya"
Yang penting hatinya baik."
Mendengar itu si nona tertawa dingin.
"Hati baik apa faedahnya?" ia tanya. "Coba kau jelaskan!"
Ditanya begitu, Thio Bu Kie tidak segera dapat menjawab. Dia tersentak sejenak.
"Siapa berhati baik, dia tak dapat melukai orang," katanya kemudian.
"Tidak mencelakai orang apakah kebaikannya?" tanya Cu Jie.
"Jikalau kau tidak membunuh orang maka hatimu menjadi tenang," Bu Kie menjelaskan.
"Jika aku tidak mencelakai orang, hatiku justru tidak tenang," kata si nona. "Kalau aku mencelakai orang hingga hebatnya bukan kepalang hatiku barulah tenang dan girang."
Bu Kie menggelengkan kepala. "Itu artinya kau merampas peri keadilan!" katanya.
Si nona ketawa dingin. "Kalau bukan mencelakai orang, apa gunanya aku belajar ilmu Cian Cu Ciat-hu cu?" katanya. "Kenapa aku mesti menyiksa diri, hingga menderita tak habisnya" Apa itu untuk main-main saja!"
Habis berkata ia mengeluarkan kotak kemalanya, membuka tutupnya dan memasukkan kedua telunjuknya ke dalam kotak tersebut.
Sepasang laba-laba belang dalam kotak bergerak perlahan-lahan, lantas mereka menggigit kedua telunjuk itu. Si nona menarik nafas dalam-dalam, kedua lengannya gemetaran, tandanya ia mengerahkan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tenaga dalamnya melawan isapan laba-laba itu. Kalau si laba-laba mengisap darah si nona, maka si nona menyedot masuk racun kedua binatang itu ke dalam darahnya.
Bu Kie mengawasi saja. Ia melihat wajah si nona bersungguh-sungguh, di kedua pelipisnya muncul warna hitam, lantas nona itu mengertak gigi, tandanya ia menahan sakit. Selama sejenak, dari hidungnya keluar keringat menetes.
Sekian lama Cu Jie melatih ilmu itu. Sesudah kedua laba-laba mengisap puas darahnya, keduanya lantas melepaskan gigitannya, merebahkan dirinya untuk terus tidur pulas.
Cahaya hitam di pelipis Cu Jie lenyap dengan cepat, kulitnya menjadi segar kembali. Dia menghela nafas, Bu Kie merasakan hawa nafas itu berbau harum, hanya berbeda, ia merasa kepalanya pusing mau pingsan. Itulah tandanya hawa itu beracun hebat.
Cu Jie yang meram sejak mula, membuka kedua matanya. Ia tersenyum.
"Sampai bagaimana latihan itu baru sempurna?" tanya Bu Kie.
BU KIE Karya : Chin Yung Jilid 34 As transcribed by: Thor ================ "Setiap laba laba ini," menyahut si nona, "mestinya tubuhnya dari belang menjadi hitam, dari hitam menjadi putih. Dengan begitu habislah racunnya dan mati dengan sendirinya. Racunnya masuk dalam telunjukku. Untuk menjadi sempurna, aku mesti menghabiskan seribu laba laba. Untuk mencapai puncak kesempurnaan, aku harus menghabiskan lima ribu sampai selaksa ekor masih belum cukup." Bu Kie heran, hatinya jeri.
"Dari mana didapatkan begitu banyak laba laba belang?" tanyanya.
"Di satu pihak dia mesti dipelihara, supaya dia dapat beternak," menyahut Cu Jie, "Dilain pihak dia mesti dicari di temapt kehidupannya."
Bu Kie menghela nafas. "Dikolong langit terdapat banyak sekali ilmu kepandaian, mengapa mesti menyakinkan yang begitu beracun?" katanya.
Si nona tertawa dingin, "Memang amat banyak ilmu kepandaian di kolong langit ini, tetapi tidak ada satu yang dapat melawan Ciat hu ciu ini." katanya. "Kau jangan anggap tenaga dalammu sudah mahir, jikalau nanti aku telah berhasil melatih, tidak nanti kau dapat bertahan, untuk satu tusukan saja telunjukku ini!"
Sambil berkata, si nona menusuk batang pohon didekatnya. Sebab dia belum mahir dengan ilmunya itu, jarinya hanya masuk setengah dim.
"Kenapa ibumu mengajar ilmu ini?" Bu Kie tanya pula. Ia heran, "Apakah ibumupun mempelajarinya juga?"
Mendengar disebut ibunya, mata Cu Jie tiba2 bersorot tajam dan bengis, bagaikan seekor raja hutan hendak menerkam manusia, ia lantas berkata nyaring. "Siapa mempelajari Cian cu Ciat hu ciu ini, setelah ia menghabiskan delapan ratus ekor, hingga tubuhnya sudah penuh dengan racun, romannya berubah, dan setelah seribu ekor, romannya akan bertambah jelek. Ibuku telah menghabiskan hampir lima ratus ekor ketika ia bertemu ayahku. Ia kuatir ayah tak menyukainya karena romannya sangat jelek, ia terpaksa menghentikan latihannya. Kesudahannya ia menjadi wanita tanpa tenaga, tenaganya lenyap, umpama kata, ia tak sanggup menyembelih seekor ayam. Benar ia menjadi cantik tapi iapun lantas dihinakan madunya serta kakakku. Ia tak dapat melawan, hingga akhirnya ia membuang jiwanya. Maka hm! Apa gunanya paras elok" Ibuku seorang wanita sangat cantik dan halus, tapi sebab tak mendapat anak laki laki, ayahku menikah pula"."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sinar mata Bu Kie menyapu wajah nona itu. "Jadinya kau?"kau mempelajari ilmu"." Katanya perlahan.
"Benar!" si nona menyahut cepat. "Karena belajar ilmu ini, romanku jadi jelek begini, hingga laki laki tak berbudi itu tidak memperdulikan lagi padaku. Jikalau nanti pelajaranku selesai, akan kucari padanya.
Bila disisinya tidak ada lain wanita, ya sudah saja"."
"Kau toh belum menikah dengannya?" tanya Bu Kie. "Bukankah diantara kamupun tidak ada janji ikatan jodoh" Hanya".hanya?"
"Omonglah terus terang!" kata si nona. "Takut apa" Bukankah kau hendak membilang bahwa aku menyintai dia sepihak saja, ialah hanya pihakku sendiri" Apa salahnya" Aku telah menyintai dia, maka aku larang dia mempunyai lain pacar! Dia tak berbudi, biarlah dia nanti merasai telunjukku ini, telunjuk Cian Cu Ciat-hu ciu!"
Bu Kie tersenyum. Ia tidak mau mengadu omong pula. Di dalam hatinya, ia merasa, bahwa Cu Jie bertabiat luar biasa sekali. Baik, ia sangat baik, tapi selagi gusar ia sangat galak dan tidak mengenal aturan lagi. Ia menjadi ingat pula kata2 guru besarnya, paman gurunya yang kesatu dan kedua, bahwa di dalam Rimba Persilatan ada perbedaan antara yang sesat dan yang lurus, maka ia percaya Cian Cu Ciat hu ciu ini ialah pelajaran sesat, bahwa ibunya Cu Jie mungkin seorang sebangsa siluman. Karena ini, tanpa berasa, ia menjadi rada jeri terhadap si nona?"
Cu Jie tak mendapat tahu apa yang orang pikir, ia berlari lari keluar dan kedalam, mondar mandir, memetik berbagai macam bunga, maka dilain saat gubuk mereka telah terpajang rapih, menarik hati untuk dipandang.
"Cu Jie" kata Bu Kie, "Setelah sakit kakiku sembuh, aku nanti pergi mencari daun obat obatan untuk mengobati bengkak mukamu yang beracun itu".."
Mendengar itu, si nona nampaknya ketakutan.
"Tidak, tidak!" katanya "Aku telah menyiksa diri sekian lama, baru kuperoleh kepandaian seperti ini!
apakah kau hendak memusnahkan kepandaianku?"
"Bukan!" katanya cepat. "Mungkin kita dapat memikir semacam obat. Memakai mana kepandaianmu boleh tak usah lenyap, asal keracunan di muka saja yang hilang tak berbekas".
"Tidak dapat!" si nona berkata pula. "Bila ada semacam obat atau cara, mustahil ibuku tak mendapat tahu" Kepandaian ini adalah kepandaian turunan. Kupikir, yang bisa berbuat itu mungkin Cuma Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe yang lihay ilmu pengobatannya, hanya sayang banyak tahun dia telah meninggal dunia".
"Kau kenal Ouw Ceng Goe?" tanya Bu Kie.
Cu Jie mementang matanya, ia kelihatannya heran.
"Apa?" katanya. "Adakah aneh untuk mengetahui dia" Nama Tiap Kok Ie Sian toh memenuhi seluruh negara! Siapakah yang tidak tahu?" ia menghela nafas, dan ia berkata pula. "Taruh kata dia masih hidup, apakah gunanya itu" Dialah yang dijuluki "Melihat kematian tak menolong"!"
Bu Kie tidak membilang apa apa, akan tetapi di dalam hatinya, ia berkata "Nona ini sangat baik terhadapku, mesti aku balas kebaikkannya ini. dia tidak tahu semua kepandaiannya Tiap kok iIe sian telah diwariskan kepadaku. Baiklah, sekarang aku jangan membilang apa2 padanya, hanya dibelakang hari nanti, aku dayakan untuk mengobati mukanya ini, supaya dia kaget dan girang!".
Selama itu, langit sudah gelap, maka keduanya lantas rebah bersandar di batu gunung untuk tidur. Bu Kie dapat pulas, hanya tengah malam, ia mendusin dengan tiba tiba, telinganya mendengar tagisan isak2
tertahan. Ketika ia membuka matanya, kawannya lagi menangis sedih. Ia mengulur tangannya meraba pundak nona itu, menepuk dua kali.
"Jangan nangis, Cu Jie" ia menghibur. "Jangan bersusah hati"."
Tapi justru karena ditegur, Cu Jie tidak dapat menahan lagi kedukaannya. Dengan menyenderkan kepalanya dipundak orang ia menangis mengerung2.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kau kenapa Cu Jie?" Bu Kie tanya perlahan. "Ada apa" Apakah kau ingat ibumu" Benarkah?"
Cu Jie menggangguk perlahan.
"Ibu telah menutup mata." Katanya. "Aku jadi sebatang kara. Siapa juga tidak menyukai aku".., siapa juga tidak mau baik denganku?"
Bu Kie menggunakan tangan bajunya untuk mengelap air mata nona itu.
"Aku menyukai kau, aku dapat berlaku baik terhadapmu," sahut Cu Jie. "Orang yang kucintai tidak perdulikan aku, ia memukul aku, iapun mau menggigit aku".."
"Lupakan laki2 tidak berbudi itu," kata Bu Kie "Aku akan menikah dengan kau, seumurku nanti akan perlakukan kau dengan baik."
"Tidak! Tidak!" Cu Jie berseru. "Tidak dapat aku melupakan dia! Jikalau lagi sekali kau menganjurkan aku melupakan dia, untuk selamanya aku tidak akan peduli padamu!".
Bu Kie heran, malu dan jengah. Syukur cuaca gelap, jika tidak, akan terlihat mukanya yang merah.
Keduanya berdiam. "A Goe koko, apakah kau gusar padaku?" kemudian nona itu bertanya.
"Aku tidak gusar, aku hanya menyesalkan diriku sendiri." Jawabnya. "Tidak selayaknya aku bicara seperti barusan padamu".
"Tidak, tidak demikian. Kau bilang kau suka menikah denganku, bahwa seumurmu kau hendak perlakukan baik padaku. Senang aku mendengar kata2mu itu. Coba kau mengulangi sekali lagi."
Tapi Bu Kie menjadi tidak senang.
"Kau tidak dapat melupakan orangmu itu perlu apa aku bicara lagi?" katanya.
Cu Jie mencekal tangannya Bu Kie dan berkata dengan suara lemah lembut. "A goe koko, jangan kau gusar. Aku mengku bersalah. Kalau kau benar2 menikah denganku, kubisa membutakan kedua matamu dan mungkin juga, aku akan mengambil jiwamu".
Bu Kie kaget. "Apa kau kata?" ia menegas. "Sesudah kedua matamu buta, kau tak akan bisa melihat lagi romanku yang jelek" katanya perlahan "Kau tak akan bisa lagi memandang lagi wajah nona Ciu dari Goe Bie pay yang cantik manis. Andaikata, sesudah buta, kau masih juga belum dapat melupakan dia.
Aku akan membinasakan kau dan kemudian mengambil jiwa sendiri." Ia memberi jawaban yang hebat itu dengan suara tenang2 saja, seolah2 apa yang dikatakannya adalah hal yang wajar. Waktu mendengar
"nona Ciu dari Goe Bie pay" jantung Bu Kie memukul terlebih keras.
Mendadak, baru saja Cu Jie selesai bicara di kejauhan terdengar suara seorang tua.
"Nona Ciu dari Goe Bie pay mempunyai hubungan apakah dengan kamu berdua?"
Cu Jie melompat bangun. "Biat Coat Su thay!" bisiknya.
Tapi, biarpun ia hanya berbisik, perkataannya sudah didengar oleh orang itu yang lantas saja menjawab. "Benar, Biat Coat Su thay" Waktu orang itu berbicara pertama kali, ia masih berada jauh tapi waktu bicara kedua kali, ia sudah berada disamping gubuk.
Cu Jie mengenal bahaya. Ia sebenarnya ingin kabur dengan mendukung Bu Kie, tapi sudah tidak keburu lagi.
Sesaat kemudian, orang itu membentak dengan suara dingin. "Keluar! Apa kamu mau bersembunyi seumur hidup?"
Sambil memapah dan menyekel tangan Bu Kie, Cu Jie menyingkap tirai rumput dari gubuknya dan bertindak keluar. Dalam jarak kira2 setombak dari gubuknya, berdiri seorang pendeta tua yang rambutnya putih dan ia itu memang bukan lain daripada Ciang bun jin Goe bie pay Biat coat Suthay. Dari sebelah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
kejauhan mendatangi dua belas orang yang kemudian berdiri berjejer di kedua samping pendeta wanita itu. Mereka itu adalah murid2 Goe bie pay empat nie kouw (pendeta wanita) empat orang wanita biasa dan empat laki2 yang berdiri di barisan belakang dan diantaranya mereka terdapat Teng Bin Kun dan Ciu Cie Jiak.
Dalam kalangan Goe bie pay selama beberapa turunan, yang memegang tampuk pimpinan selalu wanita dan murid lelaki tidak pernah diberikan pelajaran ilmu silat yang paling tinggi, sehingga oleh karenanya, kedudukan murid lelaki lebih rendah daripada murid wanita.
Dengan sorot mata dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Biat Coat Suthay mengawasi Cu Jie.
Mengingat kebinasaan Kie Siauw Hu, Bu Kie sangat berkuatir. Sambil menyandarkan diri di punggung Cu Jie, diam2 dia mengambil keputusan, bahwa jika si pendeta wanita menyerang, mestipun mesti binasa, ia akan mengadu jiwa.
Beberapa saat kemudian, seraya mengeluarkan suara di hidung, Biat Coat mengenok ke arah Tian Bin Kun dan bertanya "Apa budak kecil itu?"
"Benar!" jawabnya.
Tiba2, "Krak!....krak!...." Cu Jie mengeluarkan suara kesakitan, tulang kedua pergelangan tangannya patah, dan ia rebah dalam keadaan pingsan.
Bu Kie sendiri terpaku dan ternganga. Ia hanya melihat berkelebatnya bayangan warna abu2 dan Cu Jie sudah terguling. Dengan kecepatan luar biasa ia menyerang, dan dengan kecepatan luar biasa pula, ia balik ke tempatnya yang semula, dimana ia kembali berdiri tegak bagaikan satu pohon tua di tengah malam yang sunyi itu. Gerakan yang secepat itu sudah mrengaburkan mata Bu Kie yang jadi terkesima dan hanya bisa mengawasi tanpa berdaya.
Sesudah memperlihatkan kepandaiannya, denga sorot mata bengis Biat Coat mengawasi Bu Kie.
"Pergi!" bentaknya.
Ciu Ci Jiak maju setindak dan berkata seraya membungkuk. "Suhu ia tidak dapat berjalan, mungkin kedua tulang betisnya patah."
"Buatlah dua buah soat kio untuk membawa mereka", memerintah sang guru (Soat kio semacam kereta salju tidak beroda).
Murid2 itu mengiakan dan kecuali Teng Bin Kun yang belum sembuh dari lukanya, mereka segera melakukan apa yang diperintah. Sesudah selesai, dua orang murid wanita lalu mengangkat Cu Jie dan lalu menaruhnya di kereta yang satu, sedang dua orang murid pria menaruh Bu Kie di kereta yang lain.
Sambil menyeret kedua kereta itu, mereka mengikuti Biat Coat ke arah barat.
Dengan penuh kekuatiran, Bu Kie memasang kuping untuk mendengari gerak gerik Cu Jie. Sesudah melalui belasan li, barulah ia mendengar rintihan si nona. "Cu Jie bagaimana keadaanmu?" tanyanya dengan suara nyaring. "Apakah kau mendapat luka di dalam?".
"Dia mematahkan pergelangan tanganku. Tapi aku tidak mendapat luka di dalam" jawabnya.
"Bagus" kata Bu Kie, "Gunakanlah sikut kiri untuk membentur lengan kananmu, tiga cun lima hun dibawah tekukan lengan. Sesudah itu, gunakanlah skut kananmu untuk membentur lengan kiri, tiga cun lima hun dibawah tekukan lengan. Dengan berbuat begitu, rasa sakit akan berkurang".
"Sebelum Cu Jie menjawab, Biat Coat sudah mengeluarkan suara "Ih!" dan mengawasi Bu Kie dengan mata mendelik "Bocah! Kau mengerti ilmu ketabiban." Katanya "Siapa namamu?"
"Aku she Can, namaku A Goe" jawabnya.
"Siapa gurumu?" tanya pula si nenek.
"Guruku adalah tabib kampungan" menerangkan si Bu Kie. "Biarpun kuberitahukan namanya, Suthay pasti takkan mengenal namanya".
Biat Coat mengeluarkan suara di hidung dan tidak mendesak lagi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sampai fajar menyingsing barulah rombongan itu mengaso dan makan makanan kering, Ciu Jiak membawa beberapa bakpauw dan memberikannya kepada Bu Kie serta Cu Jie. Melihat Bu Kie yang sesudah di cukur, barulah menjadi pemuda tampan, diam2 ia merasa heran dan kagum.
Sesudah mengaso kurang lebih dua jam, mereka meneruskan perjalanan ke arah barat. Sesudah berjalan tiga hari, Bu Kie menarik kesimpulan, bahwa dalam perjalanan itu, rombongan Goe Bie Pay mempnyai tugas yang sangat penting. Baik waktu berjalan, maupun waktu mengaso, kecuali sangat perlu semua orang menutup mulut rapat2. seolah2 mereka manusia gagu. Tapi tugas apakah yang mau ditunaikan mereka" Bu Kie tak dapat menjawab.
Selama beberapa hari itu tulang betis Bu Kie yang patah sudah bersambung pula seperti sedia kala dan ia sebenarnya sudah dapat berjalan lagi.
Tapi ia saja tidak memperlihatkan kesembuhannya itu, malah ia sering merintih untuk mengelabui Biat Coat. Ia ingin menunggu kesempatan baik untuk kabur bersama2 Cu Jie. Kesempatan itu belum datang, sebab mereka masih berjalan di tanah datar. Sehingga kalau kabur belum jauh ia tentu sudah dibekuk lagi.
Maka itu, ia bersabar terus. Pada waktu mengaso ia mengobati luka Cu Jie dan Biat Coatpun tidak menghalang-halanginya.
Sesudah selang dua hari lagipada suatu lohor, rombong Biat Coat tiba di gurun pasir. Selagi enak berjalan, sekonyong2 terdengar suara tindakan kuda yang mendatangi dari sebelah barat. Biat Coat segera memberi perintah dengan gerakan tangan dan semua murid lalu menyembunyikan diri di belakang bukit pasir. Dua diantaranya menghunus pedang pendek dan mengarahkan ujungnya ke arah punggung Bu Kie dan Cu Jie . sudah terang mereka mau menyerang musuh dan kalau dua tawanan berani berteriak, kedua pedang pendek itu pasti digunakan.
Tak lama kemudian, kuda2 itu sudah mendekati. Melihat tapak2 kaki, para penunggang kuda menahan tunggangannya.
Tiba2 Ceng she Suthay mengangkat hud im (kebutan yang dapat digunakan sebagai senjata) dan dengan serentak sebelas murid Goe Bie pay melompat keluar dari belakang bukit pasir.
Bu Kie mengawasi dan melihat empat penunggang kuda yang semuanya mengenakan jubah warna putih. Sambil membentak keras; keempat orang itu lalu mencabut senjata dan pertempuran lantas saja terjadi.
"Semua siluman dari Mo Kauw! Satupun tak boleh di kasih lolos!" teriak Ceng she.
Walaupun dikepung musuh yang berjumlah lebih besar, keempat orang itu melawan dengan gagahnya.
Tapi kedua belas murid Goe Bie pay yang kali ini mengikut Biat Coat ke See hek adalah murid2 pilihan.
Baru bertempur tujuh delapan jurus, tiga anggota Mo kouw sudah roboh dari tunggangannya, sedang yang keempat, sesudah melukai seorang murid Goe Bie, coba melarikan diri. Tapi baru saja kabur beberapa tombak, ia telah kena dicandak Ceng hian. "Turun kau!" bentak si nie kouw seraya mengebut betis kiri orang itudengan hudtimnya. Dia coba menangkis dengan goloknya. Bagaikan kilat Ceng hian mengubah pukulannya dan mengebut kepala musuh. Pukulan yang hebat itu hampir tepat pada sasarannya dan orang itu terguling dari kudanya.
Tapi orang itu a lot dan nekat. Dalam keadaan terluka berat, ia masih bisa balas menyerang dengan tujuan untuk mati bersama2 musuhnya. Sambil mementang kedua tangannya ia menubruk. Untung saja Ceng hian keburu berkelit dan mengebut dadanya.
Pada saat itulah, tiga ekor merpati putih terbang dari sangkarnya yang tergantung di leher kuda.
"Jangan main gila!" bentak Ceng Hian seraya mengibas lengan jubahnya dan tiga butir thie lian cu (biji teratai besi) menyambar kearah tiga burung itu. Dua diantaranya jatuh, tapi yang satu dapat terbang terus sebab si jubah putih berhasil memukul sebutir thie lian cu dengan busur besinya. Semua murid Goe bie menimpuk dengan senjata rahasia mereka, tapi burung itu sudah terbang jauh.
Ceng Hie mengibas tangan kirinya dan empat murid lelaki lalu menyeret keempat musuh yang roboh itu, tapi kemudian berdiri tegak di hadapan kakak seperguruannya.
Selama pertempuran, Biat Coat hanya mengawasi sebagai penonton, iapun tak bergerak waktu murid2nya menimpuk burung dengan senjata rahasia. "Terhadap Cu jie dia turun tangan sendiri, suatu tanda bahwa ia memandang tinggi terhadap Cu Jie", kata Bu Kie di dalam hati.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mungkin sekali karena patahnya tulang pergelangan tangan Teng Bin Kun. Kalau mau, dengan mudah ia akan bisa membinasakan merpati yang ketiga, mengapa dia diam saja?".
Mana waktu itu Ceng hie, Ceng Hian dan murid2 utama lainnya sudah mendapat nama besar dalam rimba persilatan. Satu saja sudah cukup untuk menghadapi gelombang besar. Maka itulah dalam menghadapi beberapa murid Mo kouw, Biat Coat tidak perlu turun tangan sendiri. Bahwa Ceng hie dan Ceng hien sudah turun ke dalam gelanggang, pada hakekatnya berarti memandang tinggi kepada beberapa musuh itu.
Sementara itu, seorang murid wanita sudah menjemput kedua bangkai merpati itu dan mencopot sebuah bumbung kecil yang melekat pada kaki seekor burung. Ia mengeluarkan segulung kertas dari bumbung dan menyerahkannya kepada Ceng hie yang lalu membuka dan membacanya. "Suhu", kata Ceng hie. "Mo kauw sudah tahu rencana untuk mengepung dan membasmi Kong ben teng, surat ini adalah untuk meminta bantuan dari Peh bie kauw."
Sebahis berkata begitu, ia membaca lagi surat yang satunya. "Isinya sama jua" katanya. "Sungguh sayang yang seekor dapat mloloskan diri."
"Sayang apa?" kata sang guru dengan suara dingin. "Makin banyak mereka berkumpul, makin baik lagi. Tak usah berabe mencari cari mereka di berbagai tempat".
Mendengar disebutkannya nama "Peh bie kauw" Bu Kie terkejut. "Kouw cu Peh bie kauw adalah kakek luarku." Pikirnya. "Hm!....Sombong sungguh nenek bangkotan itu belum tentu ia dapat melawan gwakong."
Semula ia menunggu2 kesempatan untuk kabur bersama2 Cu Jie. Tapi sekarang ia membatalkan niatnya itu sebab ingin menyaksikan keramaian yang bakal terjadi.
"Siapa lagi yang diundang kamu?" Ceng hie bertanya kepada keempat tawanannya dengan suara bengis.
"Mengapa kamu tahu, bahwa enam partai akan membasmi Mo Kauw?"
sekonyong2 keempat orang itu tertawa terbahak2 dengan muka menyeramkan. Sehabis tertawa, dia roboh serentak dan tidak berkutik lagi. Semua murid Goe bie terkejut, dua diantaranya membungkuk untuk menyelidiki, "Su cie!" teriak mereka. "Semua mati!".
Sambil mengawasi muka keempat mayat itu, Ceng hian berkata dengan nada gusar. "Mereka makan racun. Racun itu sangat hebat".
"Geledah badannya!" memerintah Ceng hie.
Empat murid lelaki segera membungkuk dan menggerakkan tangan untuk merogoh saku mayat.
"Hati hati!" kata Cu Cie Jiak. "Di dalam saku mungkin tersembunyi benda beracun".
Keempat lelaki itu terkejut. Mereka segera merobek saku mayat2 dengan menggunakan golok dan benar saja, dalam setiap saku terdapat seekor ular kecil yang sangat beracun. Tanpa peringatan nona Ciu, mereka tentu sudah binasa.
"Hari ini untuk pertama kali kamu berurusan dengan orang2 agama siluman" kata Biat Coat dengan suara dingin. "Mereka berempat hanialah orang2 yang tidak ternama tapi sudah begitu beracun. Kalau bertemu dengan jago-jago Mo kauw apakah kamu masih bisa pulang ke Go bie dengan masih bernafas?"
ia mengeluarkan suara di hidung dan berkata pula "Ceng hie kau sudah cukup tua, tapi kau masih tetap sembrono. Kau masih kalah dari Ciu Jiak".
Paras muka murid itu berubah merah dan ia membungkuk untuk menerima teguran sang guru.
Malam itu mereka bermalam di gurun pasir dengan menyalakan sebuah perapian yang cukup besar.
Dengan bergilir mereka membuat penjagaan karena mereka tahu, bahwa daerah itu adalah tempat keluar masuknya orang2 Mo kauw. Kira2 tengah malam dari kejauhan tiba2 terdengar keleneng unta yang mendatangi ke arah mereka. semua orang tersadar dan bersiap sedia. Suara keleneng itu semula mendatangi dari arah barat daya, tapi sesaat kemudian suaranya berpindah ke barat laut. Beberapa saat kemudian, sura itu muncul di sebelah timur laut. Semua murid Goe bie heran tak kepalang. Bagaimana
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bisa begitu" Biar bagaimanapun jua, seekor unta takkan bisa lari secepat itu, sebentar ke barat, sebentar ke timur dan sebagainya.
Suara keleneng makin nyaring, suatu tanda unta itu sudah mendekati. Mendadak suara itu terdengar gencar sekali, seperti juga binatang itu kabur dengan kecepatan luar biasa.
Orang2 Goe bie yang baru pernah menjelajah lautan pasir, jadi bingung dan berkuatir. "Sahabat!
Perlihatkan dirimu!" teriak Biat Coat. "Permainan gilamu bukan perbuatan seorang berilmu." Suara yang disertai Lweekang itu menempuh jarak beberapa li dan benar saja, sesudah si nenek berteriak suara keleneng tidak terdengar lagi.
Sampai pagi tidak terjadi sesuatu yang luar biasa. Malamnya kira2 tengah malam, suara keleneng terdengar pula, sebentar jauh sebentar dekat, sebentar disana, sebentar di sini. Biat coat berteriak lagi.
Tapi kali ini teriakannya tidak mempan lagi. Suara keleneng tidak menghiraukannya. Selang beberapa lama, sesudah puas mengganggu, suara itu menghilang dengan tiba2.
Bu Kie dan Cu Jie saling mengawasi sambil tersenyum. Biarpun tak dapat memecahkan keanehan suara itu, mereka tahu, bahwa itu semua adalah perbuatan orang pentolan Mo kauw. Bahwa orang2 Goe bie jadi kebingungan sangat menyenangkan hati mereka.
Dengan rasa mendongkol Biat Coat mengibaskan diri untuk mengaso. Tak lama kemudian suara keleneng terdengar lagi, tapi orang2 Goe bie tidak memperdulikannya. Selang beberapa lama suara itu menuju ke utara dan lalu menghilang. Si unta rupanya tahu, bahwa gangguannya tidak digubris lagi.
Pada keesokan paginya semua orang berkemas untuk berangkat. Sekonyong2 Bu Kie dan Cu Jie mengeluarkan suara tertahan sebab didekat mereka kelihatan berbaring seorang tak dikenal yang sedang menggeras. Tubuh orang itu, dari kepala sampai di kaki, tertutup dengan selimut seolah2 sesosok mayat.
Semua murid Goe bie terkesinap. Guru mereka memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Setiap desiran angin, bahkan jatuhnya selembar daun, tak akan lolos dari pendengarannya. Mana bisa seorang manusia menyatroni tanpa diketahui"
Dilain saat, dua murid Goe bie sudah menghunus pedang dan mendekati orang itu.
"Siapa kau?" bentaknya.
Tapi orang itu terus mendekur. Dengan ujung pedang, salah seorang menyontek selimut dan yang sedang tidur pulas ternyata seorang pria yang menggenakan jubah panjang.
Ceng hie mengerti, bahwa seorang yang mempunyai nyali begitu besar tentulah bukan sembarangan orang. Ia maju setindak dan bertanya "Siapa tuan" Perlu apa tuan datang kesini?"
Tapi ia tetap tak memperdulikan suara menggarosnya semakin keras.
Melihat lagak orang itu yang dianggap sangat kurang ajar, Ceng hian naik darahnya. Dengan gusar ia mengangkat hudtim dan menghantam pinggangnya.
"Hurrrrr?""
semua orang terkesinap dan mendongak ke atas.
Apa yang sudah terjadi"
Entah bagaimana, hudtim Ceng hian suthay terbang keatas, terbang lurus sampai tingginya belasan tombak.
Tiba2 terdengar teriakan Biat Coat. "Ceng hian, awas!"
Hampir berbareng dengan teriakan itu, tubuh si jubah panjang sudah melesat beberapa tombak jauhnya dan apa yang hebat, Ceng hian telah tertawan! Sambil mendukung tawanannya, lelaki itu lari bagaikan terbang.
Ceng hie dan seorang saudari seperguruannya yang bernama Souw Bong Ceng, segera menghunus senjata dan terus mengubar. Tapi gerakan orang itu cepat luar biasa dan dalam sekejap, dia sudah lari jauh. Seraya mengeluarkan siulan nyaring, Biat coat turut mengubar sambil mencekal Ie Thian Kiam.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kepandaian Ciang bunjin dari Goe bie pay tentu saja lain dari pada yang lain. Dalam beberapa saat saja, Biat coat sudah melewati kedua muridnya dan dilain detik, sinar hijau dari Ie hian kiam menyambar punggung si jubah panjang. Tapi orang itu mempunyai kegesitan yang menakjubkan. Bagaikan kilat, ia berhasil menyelamatkan diri dari tikaman yang dahsyat itu.
Biarpun sedang mendukung Ceng hian, kecepatan lari si jubah panjang ternyata tidak kalah dari pengejarnya. Bukan saja begitu, ia bahkan juga seakan2 seperti mau memperlihatkan kepandaiannya, karena sebaliknya daripada kabur terus, ia lari berputaran, memutari murid2 Go bie pay yang menonton dengan mulut ternganga. Beberpa kali Biat coat menikam, tetapi tikamannya selalu jatuh di temapt kosong.
Sesudah main udak2an, barulah hudtim Ceng hian jatuh ke tanah.
Sesaat itu, Ceng hie dan Souw Bong Ceng sudah berhenti mengubar dan bersama saudari saudara seperguruannya, mereka mengawasi ubar2an itu sambil menahan nafas.
Kedua tokoh itu berlari2 bagaikan terbang dengan menggunakan ilmu ringan badan. Betapa tinggi ilmu mereka dapat membayangkan dengan melihat kenyataan, bahwa debu dan pasir tidak beterbangan akibat injakan kaki mereka. dengan hati berdebar2 murid2 Go bie mengawasi Ceng hian yang dibawa lari tanpa berkutik.
Semua orang tahu, bahwa kakak seperguruan itu berkepandaian tinggi dan sudah mewarisi sebagian besar ilmu guru mereka. Cara bagaimana ia bisa dibekuk secara begitu mudah dan sudah ditawan, sedikitpun tidak berdaya lagi" Sebenarnya mereka ingin sekali mencegat musuh yang tengah diubar itu.
Tapi mereka tidak berani berbuat begitu, karena kuatir digusari sang guru, sebab bantuan tersebut berarti merosotnya nama besar Biat coat suthay. Maka itulah mereka hanya menonton dengan mata terbelalak.
Dalam sekejap si jubah panjang dan Biat coat sudah membuat tiga putaran.
Meskipun si nenek sudah mengeluarkan seantero kepandaiannya, ia tetap tidak dapat menyusul musuh.
Jarak antara mereka tidak berubah. Biat Coat masih ketinggalan beberapa kaki di belakang si jubah panjang. Dengan mengingat, bahwa orang itu berlari2 sambil mendukung Ceng hian yang beratnya kira2
seratus kati, maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dalam ilmu ringan badan, ia lebih unggul setingkat daripada si nenek kouw tua.
Sesudah menonton beberapa lama, Bu Kie menarik ujung baju Cio Jie seraya berbisik "Mari kita kabur".
"Tidak, keramaian ini tidak bisa tidak ditonton sampai habis" jawab si nona.
Pada waktu mereka lari pada putaran keempat, orang itu tiba2 memutar badan dan melemparkan Ceng hian kearah gurunya. Karena merasa sambaran angin yang sangat dahsyat, buru-buru Biat coat menghentikan tindakannya dan mengarahkan tenaga Cian kin (Tenaga seribu kati). Akan kemudian, sambil mengarahkan Lweekang, ia menyambuti tubuh muridnya.
Orang itu tertawa terbahak2, "Enam partai besar mau mengepung dan membasmi Kong beng teng!"
katanya "Ha..ha"ha"Mungkin tak begitu gampang!" Sehabis berkata begitu, lari ke jurusan utara. Waktu ubar2an debu dan pasir sama sekali tak bergerak. Tapi sekarang, di jalanan yang dilaluinya pasir kuning mengepul ke atas, seolah2 seekor naga kuning yang menutupi bayangnya.
Semua murid Goe bie segera menghampiri dan berdiri di sekitar guru mereka. Paras muka Biat Coat merah padam. Ia berdiri tegak sambil mendukung Ceng hian tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Ceng hian Suci!...." mendadak Souw Bong Ceng berseru.
Ternyata Ceng hian sudah tak bernyawa lagi, mukanya kuning dan pada tenggorokannya terdapat luka.
Semua murid wanita lantas saja menangis keras.
Nangis apa?" bentak sang guru. "Kubur dia!"
Semua orang segera berhenti menangis dan lalu mengubur jenasah Ceng Hian. Sesudah penguburan selesai, sambil membungkuk Ceng Hie berkata, "Suhu, siapa manusia siluman itu" Kami harus mengenal dia untuk membalas sakit hatinya Ceng Hian Sumoay."
"Kalau tak salah, dia adalah Ceng Ek Hok Ong, yaitu salah seorang raja (Ong) dari Mo Kauw," Jawabnya dengan suara dingin. "Sudah lama kudengar, bahwa ilmu ringan badan orang itu tiada bandingannya di
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dunia. Nama besarnya ternyata bukan omong kosong. Kepandaiannya banyak lebih tinggi daripada aku."
(Ceng Ek Hok Ong raja kelelawar bersayap hijau)
Semenjak menyaksikan kekejaman Hiat Coat Suthay, Bu Kie membenci nikouw tua itu. Tapi sekarang ia merasa kagum dan mengakui, bahwa ia masih kalah jauh dari si nenek. Dalam menghadapi kecelakaan, nenek itu masih bisa berlaku begitu tenang dan masih bisa memuji kepandaian musuhnya. Sikap itu adalah sesuai dengan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi dari sebuah partai persilatan yang besar.
"Hm!... dia sama sekali tak berani beradu tangan dengan Suhu dan terus lari ngiprit," kata Tang Bin Kun dengan suara marah yang dibuat-buat. "Enghiong apa dia?" (Enghiong orang gagah) Sang guru mengeluarkan suara di hidung. Mendadak tangannya melayang dan menggaplok mulut si perempuan she Teng.
"Aku tak dapat menyusul dia dan tak dapat menolong jiwa Ceng Hian," kata Biat Coat. "Dialah yang menang. Siapa menang siapa kalah semuanya orang tahu. Nama enghiong diberikan oleh orang lain.
Apakah kita bisa memberi julukan Enghiong pada diri sendiri?"
Selembar muka Teng Bun kemerah-merahan, bahana malunya. Ia membungkuk seraya berkata, "Murid salah, murid tahu kesalahan sendiri."
"Suhu, siapa itu Ceng Ek Hok Ong?" Tanya Ceng Hie. "Bolehkah Suhu memberi penjelasan kepada kami?"
Biat coat tak menjawab. Ia mengibaskan tangannya sebagai perintah supaya rombongannya meneruskan perjalanan. Sesudah toasuci mereka membentur tembok, murid-murid yang lain tentu saja tak berani banyak bicara. Mereka segera berjalan dengan hati duka.
Malam itu mereka menginap di samping sebuah bukit pasir dan membuat sebuah perapian yang besar.
Bagaikan patung, Biat Coat mengawasi tumpukan api yang berkobar-kobar. Bu Kie mengerti bahwa nenek itu bersusah hati. Go Bie Pay adalah sebuah partai persilatan yang namanya tersohor di kolong langit. Kali ini dengan membawa jago-jago partai tersebut Biat coat menjelajahi wilayah barat (See Ek).
Tapi sebelum bertempur, salah seorang muridnya yang berkepandaian tinggi sudah mesti mengorbankan jiwa. Bukankah kejadian itu menyedihkan dan memalukan"
Melihat guru mereka belum tidur, semua murid juga tidak berani tidur. Kurang lebih mereka satu jam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tiba-tiba Biat Coat mendorong dengan kedua tangannya dan " "Bttt?"
" api yang berkobar-kobar itu menjadi padam. Bu Kie terkejut. "Tenaga dalam Loo Nie itu sungguh hebat," pikirnya.
Mereka sekarang berada dalam kegelapan, tapi tak satupun berani bergerak.
Gurun pasir itu sunyi bagaikan kuburan, sedang sinar rembulan yang remang-remang memberikan pemandangan yang mendukakan hati. Melihat keadaan begitu, dalam hati Bu Kie muncul rasa kasihan.
"Apakah Go Bie Pay akan hancur namanya di wilayah barat?" tanyanya dalam hati.
"Apakah rombongan jago-jago ini akan terbasmi musnah seanteronya?"
Mendadak Biat coat membentak, "Padamlah api siluman! Musnahlah api iblis!" sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula dengan suara perlahan. "Mo Kauw (agama iblis) memandang api sebagai nabi dan memuja api sebagai malaikat sesudah Yo Po Thian, Beng Cun Kauwcu atau pemimpin agama meninggal dunia. Mo Kauw tak mempunyai lagi Kauw Cu. Kedua Kong Beng Su Cia, keempat Hu Kauw Hoat Ongdan kelima Ciang Kie Su yaitu Kin Bok Sui Hwee dan Touw semua ingin merebut kedudukan pemimpin dan mereka jadi bermusuhan saling membunuh. Oleh karena adanya kejadian itu, Mo Kauw jadi lemah. Mungkin memang sudah ditakdirkan, bahwa partai yang lurus bersih akan menjadi makmur sedang kaum siluman dan kaum sesat akan musnah. Kalau di dalam Mo Kauw tidak terjadi perpecahan tak gampang orang bisa menggempurnya.
(Beng Cun Kauwcu pemimpin agama, Kong Beng Su Cia utusan terang benderang, Hoa Kauw Hoat Ong Raja Pelindung Agama, Ciang Kie Su utusan yang memegang bendera, bendera itu berjumlah lima, yaitu Kim, Bok, Sui, Hwe, dan Touw. Nama-nama itu adalah pangkat-pangkat dalam Beng Kauw atau agama terang. Orang-orang luar "..
Semenjak Bu Kie ". Maka setiap kali ia menanyakan kedua orang tuanya selalu mengaget dan memperlihatkan rasa tidak senang. Ayah angkatnya pun tidak memberi keterangan. Maka itu sampai sekarang ia masih belum tahu apa sebenarnya Mo Kauw.
Waktu ia mengikuti Thay Suhu Thio Sam Hong, orang itu juga sangat membenci Mo Kauw. Saban-saban nama "agama" itu disebutkannya si kakek selalu memberi nasihat dan peringatan keras bahwa ia tidak boleh dekat-dekat dengan orang Mo Kauw. Belakang ia bertemu dengan Ouw Ceng Goe, Ong Lan Kouw, Siang Gie Cun, Cie Tat, Cu Goan Ciang dan yang lain dan mereka itu adalah anggota-anggota Mo Kauw.
Ia mendapat kenyataan, bahwa mereka oleh karenanya mau tidak mau ia harus menarik kesimpulan, bahwa lagak lagu orang-orang itu agak aneh dan sukar dimengerti oleh orang luar. Sekarang, demi mendengar peraturan Biat Coat semangatnya lantas saja terbangun dan dia segera memasang kuping dengan sepenuh perhatian.
Biat Coat meneruskan penuturannya. "Dari satu ke lain keturunan, seorang Beng Cun Kauwcu memegang serupa benda yang merupakan semacam tanda kekuasaan. Benda itu dinamakan Seng Hwee Leng (tanda kekuasaan Api Nabi). Tapi pada waktu Kauw Cu turun ke tigapuluh satu memegang pimpinan, entah bagaimana Seng Hwee Leng itu hilang. Maka itu Kauw Cu-Kauw Cu yang belakangan sudah tak punya tanda kekuasaan , walaupun ia memiliki kekuasaan sebagai pimpinan tertinggi. Yo Po Thian mati
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mendadak, entah diracuni, entah dibunuh orang. Tak seorangpun yang tahu jelas. Dalam kalangan Mo kauw lantas saja terjadi kekalutan. Sebab mati mendadak, Yo Po Thian tidak menunjuk ahli warisnya.
Dalam Mo Kauw terdapat banyak sekali orang pandai, sehingga yang pantas menjadi Kauw Cu, sedikitnya ada lima atau"., namanya Wi It Siauw bergelar Ceng Ek Hong Ong."
Murid-murid Go Bie saling mengawasi. Nama Ceng Ek Hok Ong Wi It Siauw belum pernah didengar mereka.
Sesudah berdiam sejenak, Biat Coat berkata pula orang itu belum pernah datang ke Tionggoan. Sepak terjang orang-orang Mo Kauw aneh dan sembunyi-sembunyi sehingga walaupun kepandaiannya sangat tinggi, namanya tidak dikenal di daerah Tionggoan. Tapi Peh Bie Eng Ong In Tian Ceng dan Kim Mo Say Ong Cia Sun sudah dikenal kamu, bukan?"
Bu Kie terkejut sedang Cu Ji mengeluarkan seruan tertahan. Biat Coat melirik mereka dengan sorot mata tajam.
"Suhu apakah kedua orang itu anggota Mo Kauw?" Tanya Ceng Hie dengan suara heran.
"Keempat raja (ong) dari Mo Kauw adalah Cie, Peh, Kim dan Ceng (Ungu, putih, kuning emas, dan hijau) menerangkan sang guru. Peh Bie seorang raja dan Ceng Ek pun seorang raja. Ceng Ek berkedudukan paling rendah, tapi kepandaiannya sudah disaksikan. Maka itu betapa tinggi kepandaian Peh Bie dan Kim Mo dapatlah ditaksir-taksir.
Karena sakit hati, Kim Mo Say Ong jadi seperti orang gila dan melakukan perbuatan-perbuatan durhaka.
Pada dua puluh tahun berselang, dengan mendadak ia membunuh orang tidak berdosa. Sekarang orang tidak tahu kemana dia pergi dan menjadi sebuah teka-teki dalam rimba persilatan. Mengenai In Thian Ceng, sesudah gagal dalam merebut pimpinan dalam Mo Kauw, dalam gusarnya ia mendirikan Peh Bie Kauw. Dia sakit penyakit ingin menjadi pemimpin agama. Semula kita menduga bahwa sesudah meninggalkan Mo Kauw, In Thian Ceng sudah putus hubungan dengan Kong Beng Teng. Tak dinyana, waktu menghadapi bahaya, Kong Beng Teng masih sudi meminta pertolongan Peh Bie Kauw."
Mendengar itu, Bu Kie jadi bingung dan berduka. Ia tahu, bahwa sepak terjang ayah angkatnya dan kakek luarnya aneh-aneh dan sesat sehingga mereka dibenci oleh orang-orang dari partai lurus bersih. Tapi ia sama sekali belum pernah menduga bahwa kedua orang tua itu adalah Hu Kauw Hoat Ongdari Mo Kauw.
Sementara itu Biat Coat Suthay sudah melanjutkan penuturannya. "Menurut perhitungan, usaha enam partai untuk membasmi Kong Beng Teng pasti akan berhasil. Biarpun semua siluman bersatu padu, kita tak usah merasa khawatir. Tapi dalam pertempuran, pihak kita tentu akan menderita juga kerusakan besar.
Maka itu aku berharap supaya kamu semua mempunyai tekad yang teguh untuk berkelahi mati-matian.
Sedikitpun kamu tidak boleh mempunyai rasa takut, sehingga waktu menghadapi musuh, kamu menurunkan keangkeran Go Bie Pay.
Semua murid Go Bie lantas saja bangun berdiri dan membungkuk, sebagai tanda bahwa mereka berjanji akan mamenuhi harapan sang guru.
"Tinggi rendahnya ilmu silat seseorang tergantung kepada bakatnya dan segala apa tidak dapat dipaksakan," kata Biat Coat. "Bahwa sebelum bertempur Ceng Hian sudah binasa dalam tangannya siluman itu, tidak boleh ditertawai oleh kamu. Apakah tujuannya belajar ilmu silat" Tujuannya adalah untuk membasmi yang jahat dan menolong yang lemah. Bukankah begitu" Sekarang enam buah partai besar, yaitu Siauw Lim, Bu Tong, Go Bie, Kun Lun, Khong Tong, dan Hwa San, berusaha untuk memupus Mo Kauw. Apa kita akan hidup atau mati, sudah tidak dihiraukan lagi oleh Go Bie Pay. Ceng Hian berangkat paling dulu. Mungkin sekali korban kedua adalah gurumu sendiri".."
Semua murid Go Bie membungkuk. Di bawah sorotan sinar rembulan yang remang-remang muka setiap orang kelihatan pucat pasi.
Biat Coat menghela napas dan kemudian berkata lagi dalam dunia ini siapakah bisa hidup abadi" Manusia mana yang bisa hidup terus menerus" Apa yang diharapkan ialah biarlah sesudah mati, kita masih mempunyai turunan, anak cucu kita masih hidup terus. Maka itu, kekuatiran kamu semua mati dan hanya aku si tua yang hidup terus, hidup sebatang kara, hidup kesepian dalam dunia ini "Huh-huh!... Tapi kalau sampai terjadi begitu akupun harus menerimanya dengan rela. Bukankah pada seratus tahun yang lalu, di dalam dunia tidak terdapat partai yang dinamakan Go Bie Pay" Asal saja kita berkelahi secara gagah, biarpun mesti terbasmi seanteronya, kita tidak usah merasa menyesal."
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar perkataan sang guru, darah semua murid Go Bie bergolak-golak. Dengan serentak mereka menghunus senjata dan berteriak, "Kami bersumpah akan berkelahi mati-matian!"
Biat Coat tertawa tawar, "Bagus! Kamu mengasolah," katanya.
Mendengar itu semua Bu Kie merasa kagum. Sebagian besar murid Go Bie Pay adalah wanita, tapi dalam menghadapi bahaya, mereka tidak menunjukkan rasa keder sedikitpun jua. Didengar dari pembicaraan Biat Coat Suthay, kekuatan Mo Kauw bukan main besarnya. Perkataan itu sebenarnya sudah harus diucapkan si Ni Kouw tua pada waktu mereka mau berangkat ke See Hek. Akan tetapi, pada waktu itu, mungkin ia tidak menduga, bahwa sesudah terbit perpecahan, dalam menghadapi musuh dari luar, Mo Kauw masih bisa bersatu padu. Munculnya Ceng Ek Hok Ong telah membuktikan adanya kerja sama dalam kalangan Mo Kauw.
Sesudah berdiam beberapa saat, Biat Coat berkata pula: "kalau Ceng Ek Hok Ong datang, Peh Bie Eng Ong, dan Kim Mo Say Ong dan mungkin akan datang juga. Cie San Liong Ong dan kelima Ciang Kie Su pun bisa turut datang. Menurut rencana semula, paling dulu keenam partai besar akan membinasakan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kong Beng Su Cia Yo Siauw dan susudah itu, barulah kita membasmi siluman-siluman lainnya. Tak dinyana, hitung-hitungan Sin Kie Sianseng dari Hwa San Pay kali ini melesat jauh. Haha!... Semua salah." (Cie San Liong Ong Rajawali baju ungu)
"Apakah Cie San Liong Ong siluman jahat?" Tanya Ceng Hie.
Sang guru menggelengkan kepala. "Entahlah, akupun hanya mengenal nama," jawabnya. "Sepanjang keterangan, sesudah gagal menduduki kursi Kauw Cu, dia pergi ke luar lautan dan memetuskannya hubungan dengan Mo Kauw. Alangkah baiknya bagi pihak kita, bila dia masih mempertahankan sikapnya itu. Diantara keempat raja dalam kalangan Mo Kauw, ia menduduki tempat yang paling tinggi, sehingga dengan sendirinya, dia merupakan musuh yang berat. Dalam Mo Kauw terdapat dua orang Kong Beng Su Cia, disamping Yo Siauw masih ada seorang Su Cia lainnya. Semenjak dahulu, ada Kong Beng Su Cia kiri dan Kong Beng Su Cia kanan dan kedudukan kedua orang lebih tinggi daripada keempat Hu Kauw Hoat Ong. Yo Siauw adalah Kong Beng Cu Su (Kong Beng Su Cia kiri) tapi she dan nama Kong Beng Yo Su (Kong Beng Su Cia kanan) tak pernah dilihat siapa jua. Kong Bun dari Siauw Lim Pay dan Song Wan Kiauw Song Tayhiap adalah orang-orang yang berpengelaman sangat luas. Tapi merekapun tak tahu siapa adanya Kong Beng Yo Su itu. Sekarang tujuan kita adalah menyerang Yo Siauw. Dalam pertempuran berhadapan, sepala apa akan diputuskan oleh kepandaian ilmu silat dari kedua belah pihak.
Yang sangat dikuatirkan olehku ialah waktu kita menghajar Yo Siauw, diam-diam Kong Beng Yo Su melepaskan anak panah gelap.
Murid-murid Go Bie mendengar penjelasan itu dengan hati berdebar-debar, bahkan beberapa diantaranya menengok ke belakang, seolah-olah mereka kuatir Cie San Liong Ong dan Kong Beng Yo Su menyerang dengan mendadak.
"Yo Siauw telah mencelakakan Ki Siauw Hu, Wi It Siauw telah membinasakan Ceng Hian," kata pula Biat Coat dengan suara menyeramkan.
"Permusuhan antara Go Bie Pay dan Mo Kauw adalah permusuhan yang sangat mendalam. Go Bie dan Mo Kauw tidak dapat berdiri bersama-sama dalam dunia ini. Murid mana yang akan menjadi ahli waris Go Bie Pay akan diputuskan dalam pertempuran yang akan datang. Andaikata ada seorang murid lelaki yang tanpa menghiraukan keselamatan jiwa sendiri, secara kebetulan bisa membinasakan salah satu Hu Kauw Hoat Ong, maka aku" aku bersedia untuk melanggar kebiasaan kita yang sudah berjalan hampir seratus tahun lamanya" "
Kedua mata Biat Coat mengawasi ke tempat jauh. "Semenjak Kwee Couwsu yang mendirikan partai kita.
Ciang Boin dari Go Bie Pay selalu dipegang oleh seorang wanita." Katanya pula dengan suara perlahan.
"Jangankan laki-laki, sedang wanita yang sudah menikahpun tidak dapat menjadi Ciang Cun Jin. Akan tetapi, pada waktu partai menghadapi bahaya besar, aku tidak dapat mengkukuhi lagi kebiasaan lama.
Sekarang siapa saja, tak perduli lelaki atau perempuan, yang berjalan besar akan menjadi ahli waris partai kita."
Semua murid Go Bie menundukkan kepala. Tak seorangpun membuka mulut. Di dalam hati mereka merasa sangat tidak enak, karena sang guru memberi pesan untuk di hari kemudian sehingga seolah-olah guru itu mendapat firasat, bahwa ia takkan kembali ke Tionggoan dengan bernyawa.
Tiba-tiba Biat Coat tertawa terbahak-bahak, suaranya yang nyaring menempuh jarak jauh di gurun pasir yang sunyi itu. Semua murid Go Bie bangun bulu romanya, mereka kaget bercampur heran.
"Tidurlah!" bentak Biat Coat seraya mengibas tangan jubahnya.
Seperti biasa, Ceng Hie segera mengatur penjaga malam.
"Tak usah," kata sang guru.
Ceng Hie terkejut, tapi ia tidak berani membantah. Mentang-mentang, juga jaga malam tiada gunanya.
Kalau Ceng Ek Hok Ong atau orang yang sepantasnya datang menyatroni, jaga malam atau tidak jaga malam tidak berdaya.
Malam itu lewat tanpa sesuatu yang luar biasa dan pada keesokan paginya, rombongan Go Bie meneruskan perjalanan. Kira-kira tengah hari mereka sudah melalui seratus li lebih. Langit cerah dan matahari memancarkan sinarnya yang gilang gemilang sehingga biarpun waktu itu sudah musim dingin, orang-orang Go Bie merasakan hawa yang hangat.
Selagi enak berjalan, di jalan barat laut tiba-tiba terdengar suara bentrokan senjata. Tanpa menunggu perintah Ceng Hie, semua orang segera mempercepat tindakan, menuju ke arah suara itu. Tak lama kemudian, lapat-lapat mereka melihat bayangan beberapa orang yang sedang bertempur. Sesudah datang lebih dekat, mereka mendapat kenyataan, bahwa tiga orang Toojin (imam) yang memegang senjata-senjata aneh tengah mengepung seorang lelaki setengah tua.
Ketiga Toojin itu mengenakan jubah panjang warna putih dan pada tangan jubah sebelah kiri terdapat sulaman obor yang berwarna merah sehingga dengan demikian, dia adalah orang Mo Kauw. Lelaki sedang dikepung bersenjatakan pedang panjang dan meskipun satu melawan tiga, dia tak jatuh di bawah angina.
Waktu itu Bu Kie sudah sembuh, tapi dia tetap berlagak belum bisa jalan dan terus duduk di kereta salju.
Dengan rasa kagum, ia mengawasi. Sambil membentak keras, orang itu memutar badan dan pedangnya menyambar tepat di dada salah seorang Toojin. Para murid Go Bie bersorak sorai. Diantara sorakan, Bu Kie pun mengeluarkan seruan tertahan, sebab ia mengenali, bahwa tikaman itu adalah Sun Siu Tiu Couw (dengan menuruti aliran sungai mendorong perahu), suatu pukulan dahsyat dari Bu Tong Kiam Hoat, dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bahwa lelaki setengah tua itu bukan lain daripada Bu Tong Liok Hiap In Lie Heng.
Rombongan Bu Kie terus menonton tanpa memberi bantuan. Melihat datangnya bantuan dan sesudah seorang kawannya roboh, kedua Toojin yang masih mengepung jadi ciut nyalinya.
Sesudah bertempur beberapa jurus lagi, sambil berteriak keras mereka lari berpencaran. Satu ke selatan dan satu ke utara. In Lie Heng menguber musuh yang lari ke selatan dan sebab ia larinya lebih cepat, dalam sekejab ia sudah bisa menyusul dan menghantam punggung Toojin itu dengan telapak tangannya.
Si Toojin memutar badan dan melawan dengan nekat. Dilihat cara berkelahinya yang tak memperdulikan keselamatan diri sendiri, ia nampaknya bertujuan binasa bersama-sama.
Sementara itu, toojin yang kabur ke jurusan utara makin lama jadi makin jauh. Untuk merobohkan musuhnya yang berkelahi bagaikan harimau edan, In Lie Heng masih memerlukan waktu, sehingga biar bagaimanapun jua, ia takkan bisa menyusul toojin yang lari ke utara itu.
Murid-murid Go Bie yang sangat membenci orang-orang Mo Kauw, mengawasi Ceng Hie dengan harapan kakak seperguruan itu akan memberi perintgah supaya mereka memberi bantuan. Beberapa murid wanita yang bersahabat dengan Ki Siauw Hu mengetahui, bahwa In Lie Heng bekas tunangan Nona Ki. Setelah Ki Siauw Hu binasa karena gara-gara perebutan Kong Beng Su Cia Yo Siauw, mereka lebih bersimpati kepada Bu Tong Liok Hiap.
Tapi Ceng Hie bersangsi. Dalam rimba persilatan Bu Tong Liok Hiap mempunyai kedudukan tinggi.
Setiap bantuan yang diberikan kepadanya tanpa diminta, berarti melanggar tata kehormatan. Maka itu, setelah memikir sejenak, ia mengambil keputusan untuk tidak membantu. Ia lebih suka siluman itu meloloskan diri daripada melakukan perbuatan tidak pantas terhadap In Liok Hiap.
Sesaat itu, sekonyong-konyong diangkasa berkelabat sehelai sinar hijau, sinar pedang yang terbang dari tangan In Lie Heng. Dengan kecepatan yang tak mungkin dilukiskan, senjata itu menyambar punggung Toojin yang sedang kabur. Si toojin sendiri bukan tidak tahu, bahwa punggungnya tengah disambar pedang, tapi sebab cepatnya senjata itu, ia tidak keburu berkelit, sehingga dilain detik, ulu hatinya sudah menjadi toblos. Tapi dia masih lari terus dan sesudah lari lagi sejauh dua tombak, barulah ia roboh binasa.
Dan pedang itu sendiri, sesudah menembus ulu hati si Toojin, masih terbang kurang lebih tiga tombak, kemudian menancap di pasir!
Demikian lihainya Bu Tong Liok Hiap In Lie Heng.
Semua murid Go Bie mengawasi kejadian itu dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Mereka tak dapat mengeluarkan suara.
Waktu semua mata ditujukan lagi ke galanggang pertempuran, Toojin yang barusan berkelahi nekat-nekatan sekarang bergoyang-goyang badannya, seperti orang mabuk. In Lie Heng tidak memperdulikannya lagi dan dengan tenang berjalan ke arah rombongan Go Bie. Baru ia berjalan beberapa tindak, Toojin bekas lawannya sudah roboh binasa. Sekarang barulah murid-murid Go Bie bersorak-sorai, bahkan BIAT COAT SUTHAY sendiri manggut-manggutkan kepalanya sebagai tanda memberi pujian. Dilain saat paras muka si nenek kelihatan berduka dan ia menghela nafas. Ia mengiri bahwa Bu Tong mempunyai murid-murid yang berkepandaian tinggi, sedang dalam Go Bie Pay, tak satupun yang memuaskan hati. Sesaat itu, ia ingat Ki Siauw Hu yang bernasib malang dan tidak bisa menikah dengan pria yang segagah Lie Heng. Mengingat murid itu, ia jadi lebih sakit hati terhadap Mo Kauw yang sudah mencelakai Noan Ki. (dalam alam pikir Biat Coat, Ki Siauw Hu dibinasakan oleh Yo Siauw dan bukan olehnya sendiri)
Bibir Bu Kie sudah bergerak untuk memanggil "Liok Susiok", tapi bibir itu rapat kembali. Diantara paman-pamannya, In Lie Heng-lah yang paling erat hubungannya dengan mendiang ayahnya dan selama ia berada di Bu Tong San, paman keenam itu selalu memperlakuinya dengan penuh kecintaan. Dengan hati berdebar-debar, ia mengawasi paman itu yang tak pernah dilihatnya selama delapan tahun. Ia mendapat kenyataan, bahwa Lie Heng sudah kelihatan banyak lebih tua, sedang rambut di kedua pelipisnya sudah dauk. Mungkin sekali kebinasaan Ki Siauw Hu sudah memberi pukulan hebat kepadanya. Di dalam hati, Bu Kie ingin sekali melompat dan memeluk orang yang dicintainya itu. Akan tetapi sebisa-bisa ia menahan hati, karena ia merasa bahwa jika ia berbuat begitu, ia bakal menghadapi banyak kejadian yang tidak enak.
Sementara itu In Lie Heng sudah menghampiri BIAT COAT SUTHAY dan seraya memberi hormat, ia berkata, "Dengan memimpin saudara-saudara seperguruan dan murid-murid turunan ketiga, yang semuanya berjumlah tiga puluh dua orang, Toa Suheng boanpwee sudah tiba di tepi It Sian Hiap. Atas titah Toasuheng Boanpwee datang kemari untuk menyambut kalian."
"Bagus!" kata Biat Coat. "Ternyata rombongan Bu Tong Pay yang datang lebih dulu. Apakah kalian sudah bertempur dengan pihak siluman?"
"Sudah tiga kali kami kebentrok dengan rombongan dua bendera. Bendera Bok dan Bendera Hwee,"
jawabnya. "Kami berhasil membinasakan beberapa siluman, tapi Citsutee Boh Seng Kok juga terluka."
Biat Coat mengangguk, ia mengerti, bahwa meskipun Lie Heng menjawab dengan tenang, ketiga pertempuran itu tentulah pertempuran sangat hebat. Ia pun mendapat kenyataan, bahwa pihak musuh lihai sekali. Lima pendekar Bu Tong yang berkepandaian tinggi ternyata masih belum bisa mengambil jiwanya Ciang Kie Su dan malah Cit Hiap Boh Seng Kok mendapat luka.
"Apakah kalian pernah menyelidiki kekuatan Kong Beng Teng?" Tanya pula Biat Coat."
"Sepanjang pendengara, Peh Bie Kauw, Kiu Tok Hwee dan lain-lain cabang Mo Kauw datang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
membantu," jawabnya. "Kata orang, Cie San Liong Ong dan Ceng Ek Hok Ong juga datang kemari."
Biat Coat terkejut, "Cie San Liong Ong juga datang?" ia menegas. Sambil bicara, mereka berjalan dengan perlahan, diikuti dari kejauhan oleh murid-murid Go Bie.
Sesudah beromong-omong kira-kira setengah jam, Lie Heng mengangkat kedua tangannya untuk berpamitan dengan mengatakan bahwa ia harus berhubungan dengan Hwa San Pay.
"In Liok Hiap," kata Ceng Hie, "Sesudah berjalan jauh, kau mestinya sudah lapar. Lebih baik makan dulu."
In Lie Heng tidak berlaku sungkan. "Terima kasih, baiklah." Katanya sambil mengangguk.
Murid-murid wanita Go Bie lantas saja mengeluarkan makanan kering. Beberapa diantaranya membuat dapur, menyalakan api, dan memasak air. Makanan mereka sendiri sangat sederhana, tetapi kepada In Lie Heng, mereka ingin menyediakan santapan yang sebaik-baiknya. Semua kecintaan itu telah diunjuk sebab mereka ingat Ki Siauw Hu yang telah tiada lagi di alam dunia. In Lie Heng pun mengerti apa yang dipikir oleh mereka. Dengan mata merah dan suara terharu, ia berkata, "Terima kasih atas kebaikan Suci dan Sumoay."
Sekonyong-konyong Cu Jie berkata, "In Liok Hiap, aku ingin mencari keterangan mengenai seseorang.
Apa boleh?" Dengan tangan memegang semangkok mie kuah, In Lie Heng menengok ke arah si nona dan berkata dengan suara manis. "Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama yang mulia dari Siauw Sumoay" Hal apa yang mau ditanyakannya" Asal saja aku tahu, aku tentu akan memberitahukan."
"Aku bukan orang Go Bie Pay," Jawabnya. "Aku malah lawan mereka dan telah ditangkap oleh mereka.
Sekarang aku menjadi tawanan Nikouw tua itu."
Mendengar jawaban itu, In Lie Heng yang semula menduga bahwa si nona adalah murid Go Bie Pay, jadi tercengang. Tapi karena nona itu sangat polos dan berterus terang, ia jadi merasa suka kepadanya. "Apa kau anggota Mo Kauw?" tanyanya.
"Juga bukan!" jawab Cu Jie. "Aku malah musuh Mo Kauw."
In Lie Heng jadi bingung, tapi ia tak punya tempo untuk bicara panjang-panjang. Sebagai penghargaan terhadap pihak tuan rumah, ia mengawasi Ceng Hie dengan sorot mata menanya.
"keterangan apa yang kau ingin dapat dari In Liok Hiap?" kata Ceng Hie.
"Pertanyaanku adalah ini: Apakah suhengmu Thio Cui San Thio NgoHiap juga datang di It Sian Hiap?"
kata Cu Jie. "Perlu apa kau menanya begitu?" menegas In Lie Heng.
Paras muka Cu Jie bersemu merah. "Aku ingin mencari tahu, apakah putera Thio Ngohiap yang bernama Bu Kie juga datang kemari," katanya dengan suara perlahan.
Bu Kie terkejut, "Apa Cu Jie sudah tahu siapa adanya aku?" tanyanya di dalam hati.
"Apa kau bicara sungguh-sungguh?" Tanya pula In Lie Heng.
"Sungguh-sungguh," jawabnya. "Aku tidak berani main-main terhadap In Liok Hiap."
"Sudah sepuluh tahun NgoKo meninggal dunia," kata Lie Heng dengan suara perlahan. "Apa benar nona tak tahu?"
Cu Jie melompat bangun. "Ah!" serunya. "Thio Ngohiap sudah meninggal dunia"! Kalau begitu, dia"dia"
sudah yatim piatu." "Apakah nona mengenal keponakanku Bu Kie?" Tanya In Lie Heng."
"Lima tahun berselang, di rumah Tiap Kok Ie Sian Ouw Ceng Goe, aku pernah bertemu dengannya,"
jawab si nona. "Tapi sekarang aku tak tahu dimana ia berada."
"Atas titah Suhu, akupun pernah datang di Ouw Tiap Kok untuk menemui Bu Kie." Kata pula In Lie Heng." Akan tetapi, suami isteri Ouw Ceng Goe telah dibinasakan orang dan Bu Kie tak ketahuan kemana perginya. Lama juga aku menyelidiki tanpa berhasil. Belakangan" hai! Tak dinyana" tak dinyana.. Ia tak dapat meneruskan perkataannya, sedang paras mukanya berubah sedih.
"Ada apa?" Tanya si nona tergesa-gesa. "Apa yang didengar olehmu?"
Dengan rasa heran, In Liok Hiap menatap wajah Cu Jie. "Nona," katanya. "Mengapa kau menaruh perhatian begitu besar?" Apakah keponakanmu sahabat atau musuhmu?"
Cu Jie mengawasi ke tempat jauh. Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata dengan suara perlahan.
"Aku telah mengajak dia pergi ke pulau Leng Coa To.."
"Leng Coa To?" memutus Lie Heng. "Pernah apa nona kepada Gin Yap Sianseng dan Kim Hoa Popo?"
Si nona tidak menjawab. Ia terus melamu dan bagaikan seorang linglun, ia berkata pula pada dirinya sendiri. "Dia bukan saja menolak, tapi juga memukul, mencaci dan bahkan menggigit tanganku, hingga darahku mengucur..." Seraya berkata begitu, telapak tangan kirinya mengusap-usap belakang tangan kanannya" tapi" tapi.. kutetap tak dapat melupakannya. Aku bukan mau mencelakai dia, aku ingin bisa mengajak dia ke Leng Coa To supaya dia bisa menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Popo. Aku ingin berusaha untuk mengusir racun dingin Hian Beng Sin Ciang yang mengeram dalam tubuhnya. Tapi dia garang luar biasa. Dia menganggap maksudku yang begini baik sebagai niatan jahat.
Kisah Pembunuh Naga Jilid 35 Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Karya Chin Yung As transcribed by: Budi Wibowo Indra
==========================
Bu Kie kaget tak kepalang. Baru sekarang ia tahu, bahwa Cu Jie adalah A-Iee yang pernah mencekal lengannya dalam pertemuan di Ouwtiap kok. Baru sekarang ia tahu bahwa kecintaan yang tidak dapat dilupakan oleh si nona adalah dirinya sendiri. Ia mengawasi muka Cu Jie. Pada roman yang jelek itu sudah tak ada bekas-bekas dari kecantikan yang dulu. Tapi waktu melihat sinar mata si nona, lapat-lapat ia ingat sinar mata A-Iee. "Kalau begitu dia murid Kim hoa Popo", kata Biat coat Suthay dengan suara dingin. "Kim hoa Popo pun bukan seorang dari partai lurus bersih. Tapi sekarang kita tak boleh menanam terlalu banyak permusuhan dan untuk sementara waktu, kita tahan saja padanya.
"Nona," kata Lie Heng. "Terhadap keponakanku, kau ternyata mempunyai maksud baik. Hanya sayang dia tipis rejeki. Beberapa hari berselang, aku telah bertemu dengan Sianseng Ho Thay Ciong, Ciang bun jin dari Kun lun pay. Dari orang tua itu, aku mendapat tahu, bahwa pada empat tahun berselang, karena terpeleset Bu Kie telah jatuh ke jurang yang dalamnya berlaksa tombak. Hai"!
Kecintaan antara aku dan mendiang ayahnya bagaikan kecintaan antara tangan dan kaki. Di luar dugaan, langit tidak melindungi orang yang baik?"
"Bruk!" Cu Jie jatuh terjengkang.
Buru-buru Cu Cie Jiak membangunkannya dan sesudah mengurut dadanya beberapa saat, barulah si nona tersadar.
Bukan main sedihnya Bu Kie. In Lie Heng dan Ciu Jie sudah begitu berduka karena mencintainya, tapi ia sendiri harus berlaku begitu tega dan tidak mau memperkenalkan dirinya. Pada saat itu, tiba-tiba beberapa tetes air mata jatuh di belakang tangannya. Ia mengangkat kepala dan mendapat kenyataan, bahwa orang yang menangis adalah Ciu Cie Jiak. Dengan hati tersayat, ia ingat kejadian di tengah sungai Han-sui. "Dia rupanya belum melupakan pertemuan di sungai itu," katanya di dalam hati.
Sementara itu sambil menggertak gigi Ciu Jie bertanya, "In Liok-hiap, apakah Bu Kie dicelakai oleh Ho Thay Ciong?"
"Bukan," jawabnya. "Sepanjang keterangan Bu Liat dari Cu-bu Lian hoan-chung telah menyaksikan dengan mata sendiri terpelesetnya dan jatuhnya keponakanku. Cu Tiang Leng, seorang ternama dalam rimba persilatan, juga turut mati bersama-sama."
Si nona menghela napas lalu berduduk.
"Nona, bolehkan aku mendapat tahu she dan namamu yang mulia?" tanya Bu-tong Liok Hiap.
Cu Jie menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia membanting diri di pasir dan menangis menggerung-gerung.
"Nona, tak usah kau begitu bersedih," membujuk Lie Heng. "Andaikata keponakanku tidak mati di dalam jurang, ia juga tidak bisa terlolos dari kebinasaan karena racun dingin itu. Hai" mati jatuh dengan badan remuk memang lebih baik daripada mati disiksa racun."
"Lebih cepat anak itu mati memang lebih baik," celah Biat-coat. "Kalau dia hidup terus, ia tak bisa menjadi lain daripada bibit penyakit."
"Bangsat tua! Jangan kau bicara sembarangan!" bentak Cu Jie.
Mendengar guru mereka dicaci, murid-murid Go-bie tentu saja merasa gusar dan empat lima orang sudah segera menghunus pedang. Tapi tanpa menghiraukan ancaman itu, Cu Jie terus mencaci. "Bangsat tua! Ayah Bu Kie adalah suheng dari In Liok hiap. Apakah ayahnya tidak cukup baik?"
Biat coat tidak menjawab, ia hanya tersenyum dingin.
"Ayahnya memang juga seorang dari partai yang lurus bersih," kata Ceng hie. "Tapi bagaimana dengan ibunya" Turunan perempuan siluman dari Mo kauw memang tidak bisa menjadi lain daripada bibit penyakit."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Perempuan siluman dari Mo kauw?" menegas Cu Jie. "Siapa ibunya Bu Kie?"
Murid-murid Go bie tertawa geli.
Bu Kie merasa dadanya mau meledak. Kalau tekadnya untuk menyembunyikan diri kurang kuat, ia tentu sudah melompat dan mencaci orang-orang itu yang menghina mendiang ibunya. Selebar mukanya merah padam, air matanya berlinang-linang, tapi dengan sekuat tenaga ia mempertahankan diri.
Sebagai manusia yang tidak kejam, mendengar pertanyaan Cu Jie, dengan suara perlahan Ceng hie menjawab, "Isteri Thio Ngohiap adalah anaknya In Thian Ceng dari Peh bie kauw. Dia bernama In So So?"
"Ah!" teriak Cu Jie. Wajahnya lantas saja berubah pucat.
"Sebab menikah dengan perempuan siluman itu, nama Thio Ngohiap menjadi hancur, hingga pada akhirnya ia membunuh diri di Bu tong san, menerangkan Ceng hie. "Kejadian itu diketahui oleh orang sedunia. Apakah nona tak tahu?"
"Tidak?" jawabnya dengan mata membelalak. "Aku berdiam di Leng coa to, kutak tahu kejadian dalam rimba persilatan di wilayah Tionggoan. Tapi, di manakah adanya In So So sekarang?"
"Dia membunuh diri bersama-sama Thio Ngohiap." jawabnya.
Cu Jie melompat bagaikan dipagut ular. "Jadi dia" dia sudah mati?" teriaknya.
"Kau mengenal In So So?" tanya Ceng hie dengan suara heran.
Sesaat itu, disebelah timur laut sekonyong-konyong terlihat sinar api yang berwarna biru.
"Celaka!" seru In Lie Heng. "Keponakan Ceng Su dikepung musuh." Ia memutar badan dan memberi hormat kepada Biat coat dan yang lain lain, dan kemudian dengan tergesa-gesa lari ke jurusan sinar api itu.
Dengan sekali mengibas tangan, murid-murid Go bie segera mengikuti dari belakang In Liok hiap.
Waktu sudah datang dekat, mereka mendapat kenyataan bahwa seorang pemuda yang mengenakan pakaian sastrawan sedang dikepung oleh tiga orang. Ketiga orang itu, yang bersenjata golok, memakai tudung dan mengenakan pakaian kacung atau pesuruh. Sesudah menyaksikan beberapa gerakan, murid-murid Go bie merasa heran, sebab biarpun seperti pesuruh, mereka ternyata berkepandaian tinggi, lebih tinggi daripada toojin-toojin yang dirobohkan oleh In Lie Heng. Pemuda itu, yang bersenjata pedang panjang, sudah jatuh dibawah angin, tapi pembelaannya sangat kuat, sehingga sedikitnya untuk sementara ia masih dapat mempertahankan diri.
Tak jauh dari gelanggang pertempuran berdiri 6 orang yang mengenakan jubah panjang warna kuning dengan sulaman obor merah di tangan jubah. Itulah tanda, bahwa mereka anggota Mo kauw.
Melihat kedatangan In Lie Heng dan rombongan Go bie, seorang kate gemuk dari antara keenam penonton itu berteriak, "In Lie Heng tee (persaudaraan), kalian gagal! Larilah! Kami akan melindungi dari belakang."
"Hau-touw kie (Bendera tarah tebal) memang paling sombong!" teriak salah seorang dari ketiga pesuruh itu. "Orang she Gan! Kau saja yang kabur lebih dulu."
Perguruan Sejati 10 Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Kampung Setan 3
Benar saja, makin lama si nona makin repot. Dalam hal ilmu pedang, biarpun dia tidak bisa menandingi Pan Siok Ham, gadis dusun itu sebenarnya masih bisa bertahan dalam sedikitnya seratus jurus. Apa mau, ia bukan saja menggunakan pedang bunting, ia juga tidak berani berpisahan sama Bu Kie, sehingga dalam pertempuran itu, ia hanya membela diri dan tidak bisa balas menyerang. Mendadak pedang Pan Siok Ham berkelebat bagaikan kilat dan "sret!" lengan kirinaya sudah kena di gores. Nyonya itu jadi girang dan terus mengirim serangan2 berantai. Sesaat kemudian si nona mengeluarkan teriakan
"aduh!" dan sekali ini, pundaknya tertikam pendang.
"Hai! Apa kau tidak mau membantu aku lagi?" teriak si nona.
Dengan kaget Pang Sik Ham melompat mundur dan lalu mengawasi kesekitarnya. Tapi diseputar itu tidak terdapat bayangan manusia lain.
Sambil tersenyum, ia segera menyerang lagi dengan hebatnya.
Walaupun sudah terluka, gadis dusun itu terus melawan dengan nekad. Satu kali dengan kecepatan luar biasa, ia bisa mengelakkan serangan Pan Siok Ham. "Perempuan bangsat, tanganmy cepat jg," memuji nyonya itu.
"Nenek bangsat! Tanganmu pun tidak terlalu lambat," jawab si nona yang tidak mau kalah.
Diluar dugaan, jawabnya itu membawa akibat buruk. Sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, biarpun mulutnya berbicara tangan Pan Siok Ham bekerja terus seperti biasa. Dilain pihak begitu ia bicara pemusatan, perhatian si nona segera jadi terpecah dan gerakannya berubah lambat. Pan Siok Ham tentu saja sungkan menyia nyiakan kesempatan baik itu. Dengan sekali menikam, pedangnya tempat menancap di pergelangan tangannya nona itu, sehingga pedang yg sedang di cekalnya lantas saja terbang.
"Celaka!" si nona mengeluarkan seruan kaget dan hampir berbareng ujung pedang Pan Siok Ham sudah meluncur ke bawah ketiaknya.
Sesudah orang hampir roboh, tentang Bin Koe yg sedari tadi terus menonton tanpa bergerak, sekarang turun tangan. Tanpa menghunus pedang, dengan jurus Toe Chung bong Goat (mendorong jendela melihat rembulan), neduu telapak tangannya menghantam punggung gadis dusun. Bu Ceng Eng jg tidak mau ketinggalan. Ia melompat dan menendang pinggang musuhnya.
Hati si gadis dusun mencelos. Ia merasa ajalnya sudah tiba.
Mendadak mendadak saja, ia merasa sekujur badannya panas luar biasa, seolah2 dibakar. Waktu pedang Pan Siok Ham menyambar tanpa merasa ia mengangkat tangannya dan menyentil badan pedang dengan jarinya. Pada detik yg bersamaan punggungnya kena pulukan Teng Bin Kun dan pinggangnya kena tendangan Bu Ceng Eng.
"Tring".." "Aduh!....." "Aduh"."
Tiga suara itu terdengar dengan berbareng. Apa yg sudah terjadi" Pedang Pan Siok Ham patah, tubuh Teng Bin Kun dan Bu Ceng Eng jatuh terpelanting.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Ternyata pada detik yg sangat berbahaya, Bu Kie telah mengempos (^0^) semangatnya dan memasukkan seantero "hawa murni" ke dalam tubuh si nona. Pada waktu itu, ia sudah berhasil mendapatkan dua bagian dari tenaga Kioe yang Sing kang dan bagian ini sudah hebat bukan main.
Sebagai akibatnya, pedang Pan Siok Ham patah, kedua tulang lengan Teng Bin Kun hancur dan tulang kaki Bu Ceng Eng pun remuk.
Ho Thay Ciong, Bu Liat dan Wie Pek mengawasi dengan mata membelak dan mulut ternganga.
Pan Siok Ham melemparkan pedang buntungnya di tanah "Hayo kita pergi!" katanya pada sang suami,
"Apa kau belum cukup mendapat malu?"
"Baiklah," jawabnya. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, mereka belalu tanpa berpamitan lagi. Sambil menuntun tangan guru dan memapah adik seperguruannya, Wie Pek pun segera meninggalkan tempat itu. Karena tulang kaki Bu Ceng Eng hancur, mereka terpaksa jalan perlahan lahan.
Hati mereka berdebar debar dan saban2 menengok kebelakang karena kuatir dikejar oleh gadis dusun itu.
Teng Bin Kun juga tidak dapat berbuat lain daripada menyingkir dengan rasa gusar dan sakit hati yang sangat besar.
Sesudah semua berlalu, si nona tertawa terbahak bahak. "Tioe Pat Koay!" teriaknya. "Kalau begitu kau?" Ia tidak dapat meneruskan perkataannya sebab kedua matanya mendadak berkunang2 dan ia segera roboh dalam keadaan pingsan.
Ternyata sesudah musuh kabur, Bu Kie segera melepaskan kedua kaki si nona dari cekalannya dan dengan berbareng, semua hawa Kioe yang keluar dari tubuhnya. Dengan demikian tubuh itu menjadi
"kosong" secara mendadak tenaganya habis dan ia tak dapat mempertahankan diri lagi.
Bu Kie lantas saja mengerti sebab musabah pingsannya si nona. Buru-buru menekan Sie Tiok Kong di ujung alis nona itu dan mengerahkan sin kang. Selang beberapa saat, si nona tersadar dan perlahan-lahan ia membuka matanya.
Melihat dirinya sedang rebah dipangkuan Bu Kie, paras mukanya lantas saja berubah merah dan cepat-cepat melompat bangun.
Sekonyong2 ia membetot kumis Bu Kie dan berteriak, "Tioe pat koay! Kau menipu aku! Kau mempunyai kepandaian yg sangat lihai, tapi kau sengaja tidak mau memberitahukan kepadaku."
"Aduh" aduh" lepas!" teriak Bu Kie.
"Siapa suruh kau mendustai aku?" kata si nona seraya tertawa.
"Lagi kapan aku mendustai kau?" Bu Kie balas menanya. "Kau tidak pernah memberitahukan kepadaku, bahwa kau mengerti ilmu silat. Akupun begitu jg."
"Baiklah, sekali aku suka mengampuni kau," kata si nona. "Biar bagaimanapun jua, tadi kau sudah bisa jalan?"
"Belum bisa," jawabnya.
Si nona menghela napas, "Benar jg kata orang siapa yg berbuat baik akan mendapat pemabalasan baik," katanya. Jika aku tidak memikiri kau dan tidak datang lagi kesini, kau tentu tidak bisa menolong jiwaku." Ia berdia sejenak dan kemudian berkata pula, "Kalau aku tahu bahwa kau berkepandaian lebih tinggi dari aku, aku tentu tidak merasa perlu untuk membinasakan perempuan she-Cu itu."
Paras muka Bu Kie lantas saja berubah gusar. "Aku sama sekali belum pernah meminta kan untuk membunuh nona Cu," katanya dengan suara mendongkol.
"Aduh! Kau ternyata belum dapat melupakan nona manis itu!" kata si nona dengan suara mengejek.
"Akulah yg bersalah. Aku sudah mencelakakan kecintaanmu."
"Nona Cu bukan kecintaanku," kata Bu Kie. "Dia dan aku tidak ada sangkut pautnya."
"Ah, heran sekali!" kata si nona. "Dia sudah mencelakakan kau dan aku membinasakannya untuk membalas sakit hatimu. Apa dengan bertidak begitu aku bersalah?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Orang yang mencelakai aku banyak jumlahnya," kata Bu Kie tawar. "Jikalau mereka satu demi satu harus dihukum mati, mereka tidak bakal terbunuh habis. Pula ada orang2 yg berniat mencelakai aku, tetapi di pandangan mataku, mereka itu harus di kasihani. Seperti nona Cu, dia setiap hari dirundung kekuatiran, hati nya terus berdenyutan, dia kuatir kakak misannya tidak mau baik dengannya, dia kuatir kaka misan itu menikahi nona Bu. Orang semacam dia, ada apakah senangnya?"
Mendengar itu si gadis desa murah wajahnya.
"Apakah kau menyindir aku?" tanyanya gusar.
Bu Kie melengak. Ia tidak menyangka lantaran menyebut2 Cu Kioe Tin, ia membangkitkan cemburunya nona di hadapannay ini.
"Bukan, bukan"," katanya cepat. Aku mau bilang sesuatu orang ada nasibnya masing2. Umpama kata ada orang berbuat tidak benar terhadapmu lantas kau bunuh dia, itulah tidak baik."
Gadis desa itu tertawa dingin.
"Jikalau kau mempelajari ilmu silat bukan untuk membunuh orang, habis untuk apakah?" dia tanya.
"Jikalau kita telah mempelajari ilmu silat," sahut Bu Kie, dalam suaranya, "Jikalau ada orang jahat terhadap kita, kita lawan dia."
"Kagum aku, kagum terhadapmu," berkata si nona. "Kiranya kau seorang, kuncu sejati, seorangyg sangat baik hatinya!"
Bu Kie tunduk, ia mengawasi nona itu. Ia merasa si nona aneh sekali, ia merasakan sikap orang yg sangat erat hubungannya dengan ia, agaknya ia mengenalnya dengan baik.
"Kau mengawasi apa?" tanya si nona matanya memain.
"Aku ingat ibuku," menyahut Bu Kie. "Ibu sering menertawakan ayahku, yg dikatakan sebagai orang yg sangat baik hatinya, yang menjadi seorang pelajar yg harus dikasihani sebab hatinya sangat lemah.
Selagi itu bicara itu, gerak gerimnya lagu suaranya, mirip dengan mu."
Mukanya si nona menjadi merah.
"Haik au menggoda aku!" tegurnya. "Kau bilang aku mirip ibumu, jadi kau mirip ayahmu"
Meski ia menegur, toh sinar matanya, sinar mata yang manis!!...
"Oh, oh"." Kata Bu Kie cepat. "Langit ada diatas jikalau aku menggoda kau, biarlah langit membunuhnya dan bumi memusnahkannya!"
Nona itu mendadak tertawa.
"Kau bicara gampang saja!" katanya. "Kenapa mesti main sumpah2?"
Tepat si nona baru habis mengatakan demikian, dari arah timur utara terdengar siutan yg nyaring dan panjang. Itulah suaranya seorang wanita. Lantas jawaban serupa, yang dtgnya dari kejauhan. Itulah jawabannya Teng Bin Kun, yang belum pergi jauh.
Air mukanya si nona lantas saja berubah.
"Kembali ada dating orang dari Go Bie Pay," katanya perlahan.
Gadis desa ini dan Bu Kie merasakan suarakan, jawaban itu membuktikan orang lebih lihai tenaga dalamnya drpd Teng Bin Kun sebab suara itu terang dan jernih sekali. Toh orang berada lebih jauh daripada sinona Teng.
Ketika ia mendengar jawaban itu Teng Bin Koe menghentikan tindakannya.
Bu Kie dan si gadis dusun memandang kearah timur utara itu.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Cuaca sudah mulai terang, maka disana terlihat bayangan seorang dengan pakaian hijaunya. Berjalan diatas salju, orang itu bagaikan melayang laying. Dia mendekati Teng Bin Kun, untuk terus bicara satu pada lain, kemudian dia menendang kepada Bu Kie dan si nona terus dia menghampiri. Dia bertindak dengan tindakan ringan dan jarak tindakannya itupun tidak lebar. Ketika ia sudah mendatangi kira2 empat atau lima tomabk, terlihat tegas wajahnya ygn cantik sekali dan bersih, dan usianya belum lewat tujuh atau delapan belas tahun.
Dalam herannya Bu Kie berpikir, mendengar suara siulannya tadi dan menyaksikan ringannya tubuhini, dia sebenarnya lebih tua dari Teng Bia Keon, tidak tahunya dia justru lebih muda bahkan rupanya lebih muda dari ia sendiri.
Nona itu membawa pedang di pinggangnya, senjata itu, tapi tidak dihunus. Dia bertindak mendekati dengan tangan kosong.
"Ciu Su moay, hati hati!" Teng Bie Kun berkata memperingati. "Badak setan itu bekepandaian rada sesat!"
Nona itu mengangguk. "Jiwi, kamu she apa dan nama siapa?" ia menanya halus. Ia memanggil jiwi berdua nona atau tuan, kepada Bu Kie dan gadis desa. "Kenapa jiwi melukai siecuku itu?"
Selagi orang mendekat Buk Kie mengawasi terus. Ia lantas merasa bahwa ia pernah kenal nona itu.
Ketika ia mendengar suara si nona, lantas ia ingat, maka katanya di dalam hati, "Ah kiranya dia Cu Cie Jiak yang aku pernah ketemukan disungai Han Sui! Tay suhu membawa dia ke Bu Tong san, kenapa dia sekarang masuk dalam partai Gio Bie Pay!"
Karena memikir begini Bu lantas ingat juga Thio Sam Hong. Ia lantas merasakan dadanya panas.
Hanya sejenak ia lantas berpikir pula, "Thio Bu Kie telah mati!" srkarang ini akulah seorang dusun, si Can A Goe yang sangat jelek rupanya! Asal aku tidak bisa menyambarkan diri mungkin aku bakal menghadapkan malapetaka yg tak ada habisnya! Tidak, di depan siapa pun, tdk dapat aku memperlihatkan diriku yg asli, supaya ayah dan ibuku jangan berpenasaranterus didunia baka!"
Sekejap ia menjadi ingat pula ayah angkatnya berdiam diri di pulau mencil yg tak dikenal dan tentang ayah dan ibunya yang sudah binasa penasaran.
Selagi Bu Kie berpikir itu, si gadis desa menyahuti dengan suara dingin. Sembari berkata itu dia tertawa.
"Suci kau itu sudah menghajar punggungku dengan kedua tangannya dengan pukulan Toe Chung Bong Hoa," ia kata. "Dia memukul aku, lantas tangannya patah sendirinya. Apakah waktu itu aku pasti disesalkan dan dipersalahkan" Coba kau tanya suci mu apakah pernah aku membalas memukul dia sekalipun satu kali saja?"
Cio Cie Jiak berpaling kepada kakak seperguruannya itu, romannya menanya.
Teng Bin Kun tidka memberi jawaban, hanya dengan gusar dia kata: "Kau bawalah dia berdua kepada suhu, supaya suhu yang memberi hukuman kepadanya!"
Mendengar itu Cie Jiak berkata, "Jika mereka ini bertindak keliru bukan dengan sengaja, menurut pandanganku baiklah urusan dihabiskan saja. Lebih baik kita menjadi sahabat2".
Teng Bin Kun gusar. "Apa?" dia berteriak. "Apakah kau berbalik untuk membantui orang luar?"
Melihat romannya Teng Bin Kun itu, Bu Kie ingat peristiwa itu malam ketika Pheng Eng Giok Hweeshio kena dikeroyok di dalam rimba, karena mana Kie Siauw Hu menjadi bentrok sama Teng Bin Kun ini. Sekarang rupanya peristiwa ini mengulangi diri, Teng Bin Kun kembali mendesak, memaksa adik seperguruannya ini, untuk bertindak sewenang2 dan kejam.
Karena ini, ia menjadi berkuatir untuk Cie Jiak.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Agaknya nona Ciu sangant menurut kepada sucinya itu, ia sangat menghormati. Sembari menjura ia berkata, "Baiklah siaomoi menurut kata suci, tidka bernai siaomoi membantah nya."
"Bagus!" kata Bin Kun. "Sekarang kau boleh bekuk budak itu, kau patahkan kedua tangannya!"
"Baik!" menyahut adik seperguruan itu. "Tolong suci berjaga2" Ia lantas berpaling kepada gadis dusun, untuk berkata, "Maaf, siaomoi berlaku kurang aja, ingin ku menerima beberapa jurus."
Gadis desa itu tertawa dingin. "Tak usah banyak pernik!" katanya. Dengan sebat sekali, ia lantas menyerang, beruntun 3 kali. Sebab serangannya yang pertama dan kedua tidak memberikan hasil.
Cie Jiak main mundur, tangan kanannya menangkis, tangan kirinya mencoba menangkap. Itulah pembelaan diri sambil menyerang. Dia bergerak lincah sekali.
Bu Kie menonton, ia menjadi kagum. Di dalam ilmu dalam, ia sudha mencapai puncak kemahiran, tetapi di dalam hal ilmu silat, ia masih ketinggalan. Sekarang ia melihat kedua nona itu bertempur cepat dan hebat. Lihati tangan Bian Ciang dari Cie Jiak, tetapi aneh gerak gerik si gadis desa. Ia kagum berbareng berkuatir. Sebenarnya ia tidak mengharap siapa jg yang menang, ia hanya ingin dua2nya tidak sampai terluka"
Dengan lekas orang sudah bertarung lebih dari duapuluh jurus, sekarang mereka itu sama sama memasuki babak yg berbahaya. Mendadak si gadis desa berseru. "Kena!" benar saja ia dapat menghajar pundak Cie Jiak. Sebaliknya si nona Ciu dapat menjambret baju orang hingga robek. Setelah itu, keduanya sama-sama melompat mundur, muka merekapun sama-sama merah.
"Sungguh suatu ilmu menangkap yang hebat!" si gadis desa berseru. Sebenarnya ia hendak maju pula, tapi ia lantas melihat lawannya mengerutkan alis, tangannya meraba dadanya, tubuhnyapun terhuyung dua kali, hampir roboh.
Bu Kie kaget hingga ia berteriak, "Kau"kau"." Nyata sekali besar perhatiannya terhadap nona marga Ciu itu.
Cie Jiak heran melihat pria itu, yang rambut dan kumisnya panjang, menaruh perhatian sedemikian rupa terhadapnya.
"Su-moay, kau kenapa?" Bin Kun bertanya heran.
Dengan tangan kirinya, Cie Jiak memegang pundak sang Su-cie, kepalanya digeleng.
Bin Kun heran kemudian ia menjadi kaget. Tadi ia dikalahkan si gadis desa, ia penasaran ingin menuntut balas, maka senang hatinya sang Su-moay itu, adik seperguruan, sudah datang kepadanya. Ia percaya Su-moay ini bakal berhasil melampiaskan sakit hatinya itu. Ia pernah mendengar guru mereka memuji sang Su-moay sebagai murid yang cerdas, yang majunya pesat, sehingga "Ciu Cie Jiak- diharap nanti dapat mengangkat pamor rumah perguruan mereka, maka itu sekarang, ia memaksa sang Su-moay menempur si gadis desa. Ia berlega hati melihat Cie Jiak dapat berkelahi hingga dua puluh jurus lebih. Itu tanda Su-moay itu sudah lebih menang darinya, maka ia heran melihat akhir pertandingan itu, bahkan ia terkejut waktu ia merasa cekalan tangan Su-moay di pundaknya. Tangan itu seperti tidak ada tenaganya.
Itulah tanda bahwa sang Su-moay telah terluka. Dari kaget ia menjadi takut, takut si gadis desa nanti merangsak untuk menyerang pula.
"Mari kita pergi!" katanya cepat. Ia membawa Su-moay itu, untuk berlalu dengan cepat ke arah timur laut tadi.
Si gadis desa mengawasi kepergian lawannya lantas ia menoleh kepada Bu Kie. Ia tertawa dingin.
"Hai, si muka jelek tidak keruan!" katanya mengejek, "Melihat nona cantik, semangatmu terbang hingga keluar langit!"
Bu Kie berniat membantah ketika ia lantas berpikir. "Jikalau aku tidak memperlihatkan jati diriku, urusan sukar dibuat jelas. Tapi baiklah aku tetap jangan bicara!" Maka ia menjawab, "Perduli apa dia cantik atau tidak" Apa kaitannya dengan aku" Aku justru menguatirkan kau, aku takut kau nanti terluka"."
Mendengar itu, si nona menjadi girang. Perubahan sikapnya cepat.
"Omonganmu ini benar-benar atau dusta?" dia bertanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Sebenarnya aku menguatirkan kalian berdua," piker Bu Kie, tapi ia menjawab, "Untuk apa aku mendustai kau" Aku hanya tidak menyangka dalam Go Bie-pay ada nona demikian muda tapi ilmu silatnya sudah mahir sekali."
"Hebat, ya hebat!" kata si gadis desa.
Bu Kie mengawasi ke arah Cie Jiak. Tadi nona itu datang dengan lincah, tapi sekarang pergi dengan langkah terseok-seok. Ia lantas ingat bagaimana dulu, di dalam perahu di sungai Han Sut, si nona menyuapi ia, meminumkan air, bagaimana ia diberikan sapu tangan untuk menyusut air matanya"Itulah budi si nona. Maka mengingat begitu, ia berdoa agar luka si nona tidak berbahaya"
Tiba-tiba gadis desa tertawa dingin.
"Tak usah kau menguatirkan dia!" katanya nyaring. "Dia tidak terluka sama sekali! Bahkan aku bilang dia hebat! Bukan ilmunya yang aku maksud, tapi kecerdikannya, selagi ia masih berusia demikian muda!"
Bu Kie heran. "Apakah dia tidak terluka?" ia tanya.
"Memang tidak! Ketika tanganku mengenai pundaknya, dari pundak itu menolak keluar aliran tenaga dalam yang membuat tanganku mental kembali. Jelaslah dia telah mempelajari ilmu Kioe Yang Kang dari Go Bie-pay. Dan membuat tanganku gemetaran dan kesemutan! Dia mana terluka?"
Bu Kie menjadi girang. Ia berkata dalam hatinya, "Kalau begitu, Biat Ciat Su-thay menghargai nona itu. Dia rela menurunkan ilmu Kioe Yang Kang dari Go Bie-pay, sedangkan ilmu itu adalah ilmu pelindung untuk partainya.
Tengah ia berpikir, Bu Kie merasa kupingnya sakit. Tanpa setahunya, telinganya itu telah ditampar si nona, pipinya juga kena, sehingga kuping dan pipinya menjadi merah dan bengap.
"Kau"kau bikin apa?" tegurnya gusar.
Nona itu mendongkol, katanya sengit. "Melihat orang demikian cantik semangatmu terbang naik keluar langit! Aku bilang dia tidak terluka, lantas kau jadi kegirangan! Kenapa?"
"Jika benar aku girang untuknya, apa kaitannya dengamu?" Bu Kie balik bertanya.
Tangan si nona melayang pula, tapi Bu Kie dapat berkelit mundur.
Nona itu menjadi gusar dan berseru.
"Kau telah bilang bahwa kau telah bakal menikahi aku! Belum setengah hari lewat, pikiranmu sudah berubah! Kau sudah kepincut nona lain!"
"Toh kau sendiri yang bilang aku tidak cocok untukmu?" balas Bu Kie. "Kau pun bilang bahwa di dalam hatimu ada seorang kekasih lainnya, kau tak dapat menikah denganku!"
"Itu benar! Tapi kau telah berjanji padaku bahwa seumur hidupmu kau akan setia padaku," kata si nona pula.
"Tentu sekali, apa yang telah aku bilang akan kupegang," kata Bu Kie pula.
"Kalau begitu?" kata si nona gusar, "Kenapa setelah melihat nona cantik kau tak ada semangat seperti ini" Melihat lagakmu ini bagaimana orang tidak mendongkol?"
Mau tidak mau, Bu Kie tertawa.
"Semangatku tidak hilang!" katanya.
Si nona masih berkata sengit, "Aku larang kau menyukai dia! Aku larang kau memikirkan dia!"
"Aku tidak bilang bahwa aku menyukai dia," kata Bu Kie. "Tapi kau, di dalam hatimu mengapa kau senantiasa mengingat seseorang lain. Kau mengingatnya hingga kau tidak melupakannya?"
"Sebab aku kenal orang itu lebih dulu daripada aku kenal kau. Coba aku mengenal kau terlebih dahulu, pasti seumur hidupku, aku selalu baik terhadap kau seorang, tidak akan mencintai orang lain lagi. Ini dia
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
yang dibilang, ikut satu orang hingga akhir hayatnya. Jikalau satu orang mempunyai dua atau tiga pikiran, Tuhan juga tidak dapat menerimanya?"
"Aku kenal nona Ciu jauh lebih lama daripada aku kenal kau," kata Bu Kie di dalam hati. Ia tidak dapat mengatakan itu, maka ia bilang, "Jikalau kau baik denganku seorang, aku juga akan baik dengan kau seorang, tetapi jikalau di dalam hatimu memikirkan orang lain, aku pun dapat memikirkan orang lain!"
Nona itu terdiam, beberapa kali ia hendak membuka mulutnya, tiba-tiba batal. Mendadak kedua matanya mengalirkan air, lantas ia berpaling ke arah lain. Tanpa sepengetahuan Bu Kie, ia menghapus air matanya itu.
Bu Kie menjadi kasihan. Ia mencekal tangannya.
"Kita bicara tidak keru-keruan begini, untuk apa?" ia bilang. "Beberapa hari lagi kakiku sembuh, kita berdua boleh pergi pesiar memandangi keindahan sang alam. Tidak baguskah itu?"
Nona itu menoleh, wajahnya berduka.
"Goe koko, aku mau minta sesuatu," katanya sabar. "Aku minta kau jangan gusar."
"Apakah itu?" balik tanya Bu Kie. "Asal yang aku sanggup, tentu aku akan melakukannya untuk kau."
"Jikalau kau berjanji tidak akan gusari aku, baru aku mau bicara."
"Baik, aku tidak akan gusar."
Nona itu ragu-ragu. Katanya sesaat kemudian. "Kau bilang di hatimu tidak gusar, kalau di mulut bilang tak gusar?"
"Baiklah, di dalam hatiku juga aku tidak gusar."
Nona itu lantas menggenggam keras.
"Goe koko!" Ia berkata sungguh-sungguh. "Aku datang dari Tionggoan yang berlaksa li sampai di wilayah Barat ini, maksudku ialah untuk mencari dia. Mulanya aku masih dapat mendengar sedikit kabar tentangnya, lalu setibanya di sini ia bagaikan sebuah batu yang tenggelam dalam lautan besar, sedikitpun tak kudengar lagi kabarnya. Maka itu, kalau nanti kakimu sudah sembuh aku minta kau membantuku mencari dia, sesudah itu baru aku menemani kau pesiar ke gunung dan sungai! Tidakkah ini bagus?"
Bu Kie tidak dapat menahan rasa tidak senangnya, hingga ia mengeluarkan suara di hidung. "Hmm"."
"Kau sudah menerima baik, kau sudah berjanji tidak akan gusar," kata si nona. "Apakah ini bukan tandanya gusar?"
"Baiklah, aku nanti membantu kau mencari dia!" kata Bu Kie.
Kembali si nona girang secara mendadak.
"Goe koko, kau baik sekali," dia berseru. Lantas ia memandang jauh ke depan, ke arah di mana langit dan bumi bertemu, hatinya bergetar. Dengan perlahan dia berkata, "Jikalau nanti kita dapat menemukan dia, dia akan berpikir bahwa aku telah mencari dia lama sekali, dia tidak akan mengusir aku. Apa yang dia bilang, aku akan melakukannya. Pendek kata, aku akan turut segala perkataannya!"
"Sebenarnya kekasihmu itu ada kebaikkan apa?" tanya Bu Kie. "Kenapa kau sampai selalu memikirkannya saja?"
Ditanya begitu, si nona tertawa.
"Apa kebaikkannya?" katanya. "Mana dapat aku menerangkan" Goe koko, aku tanya apakah kita dapat mencari dia" Umpama kata kita dapat mencari, apakah dia bakal mencaci dan memukulku?"
Tidak senang Bu Kie melihat orang demikian tergila-gila, akan tetapi ia pun tidak mau membuatnya tidak bergembira, maka ia berkata perlahan, seperti bersenandung. "Asal hati manusia keras bagaikan emas, di atas langit atau di dalam dunia pasti orang dapat saling bertemu!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mulut mungil si nona bergerak perlahan, air matanya berlinang. Ia mengulangi dengan perlahan. "Asal hati manusia keras bagaikan emas, di atas langit atau di dalam dunia pasti orang dapat saling bertemu"."
Bu Kie mendengar suara si nona, katanya di dalam hati. "Nona ini demikian tergila-gila terhadap kekasihnya, jikalau di dalam dunia ini ada seorang yang demikian memikirkan aku, biar dalam hidupku lebih menderita lagi aku rela"."
Ia memandang ke arah timur laut, di atas salju ia melihat tapk kakinya Cie Jiak dan Bin Kun, ia melamun pula. "Jikalau tapak kakinya Bin Kun itu tapak kakiku, dapat berjalan bersama nona Ciu"."
Ia terbangun dari lamunannya dengan kaget. Mendadak ia mendengar suara keras dari si nona. "Hayo!
Lekas! Mari kita pergi. Kalau terlambat, nanti tak keburu!"
"Apa?" tanya Bu Kie masih gelagapan.
"Nona muda dari Go Bie-pay itu tidak mau bertempur sama aku," kata si nona. "Ia berpura-pura terluka, tetapi lain dengan Teng Bin Kun, dia bilang dia mau menangkap kita untuk dibawa kepada gurunya. Itu berbahaya. Mestinya Biat Coat Su-thay berada di dekat sini. Pendeta wanita bangsat yang tua itu paling mau menang sendiri, mana bisa dia tidak datang kemari?"
Bu Kie terkejut, ia pun kuatir. Ia ingat kekejamannya Biat Coat Su-thay ketika ia menghajar mati Kie Siauw Hu dengan sebelah tangannya.
"Memang dia sangat hebat, kita tidak dapat melawannya," katanya.
"Apakah kau pernah bertemu dengan dia?"
"Bertemu, itulah belum, tapi dia ketua Go Bie-pay, dia bukan sembarangan orang."
Nona itu mengerutkan alis. Hanya sebentar, ia lantas bekerja. Ia mengumpuli beberapa kayu yang kuat, ia ikat itu dengan tali babakan pohon. Segera setelah selesai, membuat semacam kursi bagaikan kereta.
Tanpa bilang apa-apa ia lantas menggendong Bu Kie, untuk duduk di dalam kursi itu, yang ujungnya diikatkan tali panjang, sesudah itu ia terus tarik bawa pergi berlari-lari! Kencang larinya".
Sambil duduk di kereta salju, Bu Kie mengawasi gadis desa yang tabiatnya aneh itu. Dia lari dengan lincah. Dia lari terus menerus, tak hentinya sampai kira-kira empat puluh li. Sama sekali tidak terdengar nafasnya menghela. Ia kagum akan kemahiran ilmu ringan tubuh si nona itu. Tapi ia merasa tidak enak hati.
"Eh, berhenti dulu!" katanya, "Kau beristirahatlah!"
Nona itu tertawa, ia menyahuti, "Siapa eh, eh" Apakah aku tidak punya nama?"
"Kau tidak mau memberitahukan namamu, apa yang aku bisa" Kau menghendaki memanggilmu si nona jelek, tapi aku merasa kau bagus dilihat"."
Nona itu tertawa, lalu berhenti berlari. Dia menyingkap rambutnya.
"Baiklah, sekarang aku memberitahukan kepadamu!" katanya. "Taka pa aku bilang padamu. Aku dipanggil Cu Jie."
"Cu Jie! Cu Jie!" kata Bu Kie. "Sungguh benar satu anak mustika!"
"Fui!" nona itu meludah. "Namaku bukannya Cu dari Tin Cu yang berarti mutiara, hanya Cu dari Tin-cu, yaitu laba-laba!"
Bu Kie tercengang. "Mana ada orang yang pakai huruf Cu untuk namanya?" katanya. Ia heran nona itu memakai nama Cu itu, hingga ia menjadi Cu Jie (anak Cu atau si Cu).
"Itu justru namaku!" kata si nona. "Umpama kata kau takut, nah, tak usahlah kau memanggilnya!"
"Apakah itu nama pemberian ayahmu?" Bu Kie bertanya.
"Jikalau ayahku yang memberikannya, kau piker, apakah kau kira aku suka menerimanya?" si nona membalas, "Ibuku yang memberikannya. Ibu mengajarkan ilmu silat Cian Cu Cit-hu chu, maka ia bilang, aku baiknya memakai nama ini."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Terkesiap Bu Kie mendengar disebutnya ilmu silat Cian Cu Ciat-hu chu itu.
"Aku mempelajari itu dari kecil," si nona menjelaskan tanpa diminta, "Sampai sekarang aku belum dapat menyempurnakan. Jikalau aku sudah mahir maka tak usahlah kita takut pula pada Coat Su-thay si pendeta wanita bangsat itu. Maukah kau melihatnya?"
Sembari berkata begitu, Cu Jie merogoh ke dalam sakunya, untuk menarik keluar sebuah kotak dari emas, yang ia terus buka tutupnya dan di dalam itu lantas terlihat dua ekor laba-laba, yang tubuhnya berkotak-kotak. Punggung laba-laba itu bertitik-titik belang, bertotolan seperti bunga sulaman. Yang aneh pula kalau biasanya berkaki delapan, kedua binatang ini berkaki masing-masing dua belas.
Bu Kie terkejut. Mendadak ia ingat Tok Kang, Kitab Racun karangannya Ong Lan Kouw. Di dalam kitab itu antaranya ada ditulis. "Laba-laba itu ada yang belang. Itulah yang beracun sekali. Laba-laba dengan sepuluh kaki ialah yang paling beracun tak ada bandingan, siapa kena digigit dia tak akan ketolongan lagi." Kali ini laba-laba berkaki dua belas pasti mereka lebih beracun daripada yang kakinya sepuluh. Sebab di dalam kitab tersebut tidak ada disebut-sebut.
Si nona ketawa melihat kawannya ketakutan.
"Kau ahli, kau tahu kegunaannya laba-laba mustika ini!" ia berkata, "Kau tunggu sebentar!"
Ia simpan kotaknya itu lantas ia lari menghampiri sebuah pohon besar, untuk lompat naik ke atasnya.
Di situ ia berdiam lama di cabang yang tertinggi, untuk memandang sekitarnya. Ia seperti melihat atau mencari sesuatu. Setelah itu ia lompat turun lagi.
"Mari kita pergi pula barang selintasan," ia berkata. "Perlahan-lahan saja kita bicara tentang laba-laba.
"Ia lantas menarik pula kereta saljunya bermuatan manusia. dia berlari-lari kira-kira tujuh atau delapan li, hingga mereka tiba di sebuah lembah. Di sini ia turunkan Bu Kie dari kereta istimewanya itu, sebagai gantinya, dia memuat beberapa buah batu besar. Lantas ia menarik pula, berlari-lari. Akhirnya ia lari ke tepi jurang, di situ ia berhenti dengan tiba-tiba, keretanya dilepaskan, maka kereta itu bersama batunya terjun ke dalam jurang yang dalam, terdengar suara berisik dari jatuhnya kereta.
Bu Kie heran, ia mengawasi kelakuan nona itu. Ketika ia melihat ke salju, tempat yang tadi menjadi jalanan mereka, ia mendapatkan dua baris tapak kereta salju itu. Ia cerdas dan ia lantas mengerti. Maka di dalam hatinya ia berkata.
"Nona ini sangat cerdik. Jikalau Biat Coat Su-thay menyusul kita, setibanya di sini, tentu dia bakal menyangka bahwa kita jatuh mati ke dalam jurang itu."
Cu Jie lantas kembali. "Mari naik ke atas punggungku!" ia berkata kepada kawannya, di depannya ia berjongkok.
"Kau hendak menggendong aku?" tanya Bu Kie, "Tubuhku berat, kau bakal sangat letih."
Nona itu mengawasi, matanya melotot.
"Kalau aku letih aku pasti bisa tahu?" ujarnya.
Bu Kie terdiam, ia naik ke punggung nona itu, kedua tangannya merangkul leher si nona perlahan-lahan tanpa bertenaga.
"Apa kau takut merangkul aku keras-keras hingga mati tercekik?" kata nona itu tertawa. "Kau merangkul begini pelan dan kakimu menjepit orang enteng sekali, kau membuat leherku geli saja!"
Bu Kie yang polos, melihat kepolosan si nona ia menjadi girang. Ia lantas merangkul erat-erat dan kedua kakinya menjepit keras.
Mendadak saja si nona bergerak, untuk melompat naik ke atas pohon.
Pohon itu mengarah ke arah barat, di sana terdapat barisan pohon lainnya. Bagaikan kera gesit, dengan cepat nona itu berlompatan dari pohon yang satu ke pohon yang lain, untuk jauh meninggalkan tempat di mana barusan singgah.
Bu Kie kagum bukan main. Nona itu bertubuh kecil, tapi nyata dia kuat sekali. Tubuhnya dapat dibawa berlompatan dan berlari-lari dengan ringan. Setelah melewati kira-kira delapan puluh pohon, hingga mereka sudah pergi jauh. Baru nona itu melompat turun, hingga sekarang mereka berada di pinggiran sebuah gunung. Di situ Bu Kie diturunkan dengan hati-hati.
"Di sini kita membangun gubuk kerbau!" kata nona itu tertawa, "Tempat ini baik!"
"Gubuk kerbau?" Bu Kie heran, "Untuk apakah gubuk kerbau?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Si nona tertawa. "Memang gubuk kerbau!" katanya. "Gubuk untuk menempatkan seekor kerbau yang besar! Bukankah kau bernama A Goe, si kerbau?"
Bu Kie tersentak, lantas ia pun tertawa. Nona itu sedang bergurau. Memang namanya A Goe, berarti kerbau.
"Bila begitu, tak usahlah," ia berkata. "Empat atau lima hari lagi, kakiku tentu sudah sembuh banyak, aku dapat berjalan meskipun dipaksakan"."
"Hm, dipaksakan!" kata si nona, tersenyum. "Kau sudah jadi si jelek tidak karuan, kalau nanti kaki kerbaumu pincang, apa itu bagus dilihat?"
Habis berkata, si nona kembali bekerja. Dengan cabang pohon yang berdaun, ia menyapu salju di batu gunung.
Mengertilah Bu Kie bahwa si nona sangat memperhatikannya. Itulah bukti dari kata-katanya: ?"kalau nanti kaki kerbaumu pincang, apa itu bagus dilihat?" Tanpa terasa hatinya jadi tergerak. Iapun lantas mendengar nona itu berjanji perlahan, berjanji sambil bekerja. Dia tidak usah membuang waktu lama akan dapat membangun gubuk yang beratap alang-alang. Gubuk itu cukup besar untuk mereka berdua bernaung di dalamnya.
Tapi Cu Jie masih bekerja terus. Sekarang ia mengangkut salju tak hentinya. Ia menutup gubuk dari atas atap, lalu ke bawah di sekitarnya. Di lain saat, dari tempat jauh gubuk itu tidak kelihatan lagi, kecuali sebagai gundukan salju.
Kembali Bu Kie menjadi kagum.
Habis bekerja, Cu Jie mengeluarkan sapu tangan untuk menyusut keringatnya. Setelah bekerja begitu berat, tubuhnya kepanasan hingga ia mengeluarkan peluh. Namun ia tidak duduk beristirahat.
"Kau tunggu di sini!" katanya. "Aku hendak pergi mencari makanan!"
"Kau beristirahat dulu," Bu Kie berkata. "Aku belum lapar, kau boleh menunggu sebentar lagi. Kau terlalu letih."
Nona itu mengawasi. "Jikalau kau hendak memperlakukanku dengan baik kau harus sungguh-sungguh baik," dia berkata.
"Manis di mulut saja buat apa?" Lantas ia pergi berlari memasuki hutan. Bu Kie terpaksa berdiam. Ia merebahkan dirinya di batu gunung, yang terkurung gubuknya itu. Ia sekarang mempunyai kesempatan untuk memikirkan kelakuan si nona yang polos itu, yang suaranya halus, yang gerak-geriknya genit.
Saking polosnya nona itu gampang gusar. Mestinya gerak-gerik itu dipunyai seorang nona cantik, tetapi dia berwajah jelek sekali. Tapi ia lantas ingat kata-kata ibunya di saat hendak menghembuskan nafas terakhir. Kata ibu, "Wanita itu, makin cantik makin pandai dia menipu orang maka terhadap wanita cantik kau harus semakin berhati-hati menjaga diri!"
Cu Jie jelek, tapi dia baik sekali," pikirnya.
"Aku mempunyai niat mengambil dia sebagai kawan hidupku, tapi dia mempunyai pacar sendiri jadi tidak menaruh hati padaku"."
Tanpa terasa, lama juga Bu Kie berpikir, lantas ia melihat si nona kembali dengan tangannya menenteng dua ekor ayam hutan. Tanpa bicara nona itu bekerja menyalakan api, membakar ayam itu, hingga mereka mencium bau yang wangi, yang membangkitkan selera makan.
"Mari makan!" kata si nona akhirnya. Ia memberikan seekor pada kawannya.
Tanpa sungkan Bu Kie makan ayam itu. Ia pun makan dengan cepat.
"Ini masih ada," kata si nona sambil tertawa. Ia melemparkan sisa dua potong kaki ayam.
Bu Kie malu hati, hendak ia menolak. Tapi si nona gusar.
"Kalau mau makan, makanlah!" katanya ketus. "Siapa berpura-pura baik terhadapku, mulutnya lain hatinya lain, nanti kita tikam tubuhnya hingga berlubang!"
Tanpa banyak bicara Bu Kie makan ayam itu. Kemudian, untuk mencuci mulutnya, ia pakai salju tebal sebagai air. Lengan tangan bajunya menyusut kering mulutnya berikut mukanya.
Kebetulan Cu Jie berpaling ketika ia melihat muka orang, dia tersentak kemudian mengawasi, Bu Kie heran, ia menjadi curiga.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kenapa?" ia bertanya.
"Usiamu berapa?" tanya si nona tanpa menjawab.
"Baru dua puluh tahun tepat."
"Ah, kau lebih tua dua tahun daripada aku. Mengapa kumismu sudah tumbuh begitu panjang?"
Bu Kie tertawa. "Dari kecil aku hidup sendirian di gunung," sahutnya, "Belum pernah aku ketemu orang, maka itu aku tidak berpikir untuk cukur."
Cu Jie merogoh sakunya untuk mengeluarkan sebilah pisau kecil yang bergagang emas.
"Mari!" katanya. Lantas dengan memegangi muka orang, ia mulai mencukur.
Bu Kie diam saja. Ia merasa pisau yang tajam itu mencukur kumisnya. Ia merasakan juga tangan yagn halus dan lemas dari si nona. Tanpa terasa, hatinya dag dig dug"
Habis mencukur kumis dan janggut, Cu Jie mencukur terus tenggorokan. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata,
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Asal aku menggunakan sedikit saja tenaga, aku bisa memotong lehermu ini, maka terbanglah jiwamu!
Kau takut tidak?" "Mati atau hidup, aku terserah pada kau, nona," sahut Bu Kie. "Mati di tanganmu, menjadi setanpun aku senang!"
Cu Jie membalik pisaunya, dan menekan keras ke leher. Mendadak ia membentak, "Nih, jadilah kau setan yang senang!"
Bu Kie kaget, tak sempat ia melawan. Tapi ia tak merasakan sakit, maka ia tersenyum.
"Senangkah kau?" tanya si nona tertawa.
Pemuda itu tertawa, ia mengangguk. Baru ia tahu bahwa ia dipermainkan.
Habis mencukuri muka orang, Cu Jie mengawasi. Ia bengong saja. Beberapa lama, lalu terdengar helaan nafasnya.
"Eh, kau kenapa?" tanya Bu Kie heran.
Nona itu tak menyahuti, ia lantas memotong rambut orang, untuk dibikin sedikit pendek, setelah itu ia membuat konde. Sebagai tusuk kondenya, ia meraut cabang pohon.
Diriasi begitu, walaupun pakaiannya butut, Bu Kie tampak cakap dan gagah.
Lagi-lagi si nona menghela nafas.
"Goe koko," katanya perlahan, kagum. "Aku tidak sangka, kau sebenarnya berwajah begini tampan"."
Bu Kie cepat menyahut, nona itu tentu menyesali wajahnya sendiri, maka ia berkata, "Di dalam dunia ini, apa yang bagus, di dalamnya suka mengeram apa yang jelek. Burung merak begitu indah bulunya tapi nyalinya beracun. Jengger burung boo yan merahpun bagus sekali tapi racunnya bukan main. Demikian binatang lainnya, seperti ular, bagus dilihatnya tapi jahatnya berlebihan. Wajah tampan apa faedahnya"
Yang penting hatinya baik."
Mendengar itu si nona tertawa dingin.
"Hati baik apa faedahnya?" ia tanya. "Coba kau jelaskan!"
Ditanya begitu, Thio Bu Kie tidak segera dapat menjawab. Dia tersentak sejenak.
"Siapa berhati baik, dia tak dapat melukai orang," katanya kemudian.
"Tidak mencelakai orang apakah kebaikannya?" tanya Cu Jie.
"Jikalau kau tidak membunuh orang maka hatimu menjadi tenang," Bu Kie menjelaskan.
"Jika aku tidak mencelakai orang, hatiku justru tidak tenang," kata si nona. "Kalau aku mencelakai orang hingga hebatnya bukan kepalang hatiku barulah tenang dan girang."
Bu Kie menggelengkan kepala. "Itu artinya kau merampas peri keadilan!" katanya.
Si nona ketawa dingin. "Kalau bukan mencelakai orang, apa gunanya aku belajar ilmu Cian Cu Ciat-hu cu?" katanya. "Kenapa aku mesti menyiksa diri, hingga menderita tak habisnya" Apa itu untuk main-main saja!"
Habis berkata ia mengeluarkan kotak kemalanya, membuka tutupnya dan memasukkan kedua telunjuknya ke dalam kotak tersebut.
Sepasang laba-laba belang dalam kotak bergerak perlahan-lahan, lantas mereka menggigit kedua telunjuk itu. Si nona menarik nafas dalam-dalam, kedua lengannya gemetaran, tandanya ia mengerahkan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
tenaga dalamnya melawan isapan laba-laba itu. Kalau si laba-laba mengisap darah si nona, maka si nona menyedot masuk racun kedua binatang itu ke dalam darahnya.
Bu Kie mengawasi saja. Ia melihat wajah si nona bersungguh-sungguh, di kedua pelipisnya muncul warna hitam, lantas nona itu mengertak gigi, tandanya ia menahan sakit. Selama sejenak, dari hidungnya keluar keringat menetes.
Sekian lama Cu Jie melatih ilmu itu. Sesudah kedua laba-laba mengisap puas darahnya, keduanya lantas melepaskan gigitannya, merebahkan dirinya untuk terus tidur pulas.
Cahaya hitam di pelipis Cu Jie lenyap dengan cepat, kulitnya menjadi segar kembali. Dia menghela nafas, Bu Kie merasakan hawa nafas itu berbau harum, hanya berbeda, ia merasa kepalanya pusing mau pingsan. Itulah tandanya hawa itu beracun hebat.
Cu Jie yang meram sejak mula, membuka kedua matanya. Ia tersenyum.
"Sampai bagaimana latihan itu baru sempurna?" tanya Bu Kie.
BU KIE Karya : Chin Yung Jilid 34 As transcribed by: Thor ================ "Setiap laba laba ini," menyahut si nona, "mestinya tubuhnya dari belang menjadi hitam, dari hitam menjadi putih. Dengan begitu habislah racunnya dan mati dengan sendirinya. Racunnya masuk dalam telunjukku. Untuk menjadi sempurna, aku mesti menghabiskan seribu laba laba. Untuk mencapai puncak kesempurnaan, aku harus menghabiskan lima ribu sampai selaksa ekor masih belum cukup." Bu Kie heran, hatinya jeri.
"Dari mana didapatkan begitu banyak laba laba belang?" tanyanya.
"Di satu pihak dia mesti dipelihara, supaya dia dapat beternak," menyahut Cu Jie, "Dilain pihak dia mesti dicari di temapt kehidupannya."
Bu Kie menghela nafas. "Dikolong langit terdapat banyak sekali ilmu kepandaian, mengapa mesti menyakinkan yang begitu beracun?" katanya.
Si nona tertawa dingin, "Memang amat banyak ilmu kepandaian di kolong langit ini, tetapi tidak ada satu yang dapat melawan Ciat hu ciu ini." katanya. "Kau jangan anggap tenaga dalammu sudah mahir, jikalau nanti aku telah berhasil melatih, tidak nanti kau dapat bertahan, untuk satu tusukan saja telunjukku ini!"
Sambil berkata, si nona menusuk batang pohon didekatnya. Sebab dia belum mahir dengan ilmunya itu, jarinya hanya masuk setengah dim.
"Kenapa ibumu mengajar ilmu ini?" Bu Kie tanya pula. Ia heran, "Apakah ibumupun mempelajarinya juga?"
Mendengar disebut ibunya, mata Cu Jie tiba2 bersorot tajam dan bengis, bagaikan seekor raja hutan hendak menerkam manusia, ia lantas berkata nyaring. "Siapa mempelajari Cian cu Ciat hu ciu ini, setelah ia menghabiskan delapan ratus ekor, hingga tubuhnya sudah penuh dengan racun, romannya berubah, dan setelah seribu ekor, romannya akan bertambah jelek. Ibuku telah menghabiskan hampir lima ratus ekor ketika ia bertemu ayahku. Ia kuatir ayah tak menyukainya karena romannya sangat jelek, ia terpaksa menghentikan latihannya. Kesudahannya ia menjadi wanita tanpa tenaga, tenaganya lenyap, umpama kata, ia tak sanggup menyembelih seekor ayam. Benar ia menjadi cantik tapi iapun lantas dihinakan madunya serta kakakku. Ia tak dapat melawan, hingga akhirnya ia membuang jiwanya. Maka hm! Apa gunanya paras elok" Ibuku seorang wanita sangat cantik dan halus, tapi sebab tak mendapat anak laki laki, ayahku menikah pula"."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sinar mata Bu Kie menyapu wajah nona itu. "Jadinya kau?"kau mempelajari ilmu"." Katanya perlahan.
"Benar!" si nona menyahut cepat. "Karena belajar ilmu ini, romanku jadi jelek begini, hingga laki laki tak berbudi itu tidak memperdulikan lagi padaku. Jikalau nanti pelajaranku selesai, akan kucari padanya.
Bila disisinya tidak ada lain wanita, ya sudah saja"."
"Kau toh belum menikah dengannya?" tanya Bu Kie. "Bukankah diantara kamupun tidak ada janji ikatan jodoh" Hanya".hanya?"
"Omonglah terus terang!" kata si nona. "Takut apa" Bukankah kau hendak membilang bahwa aku menyintai dia sepihak saja, ialah hanya pihakku sendiri" Apa salahnya" Aku telah menyintai dia, maka aku larang dia mempunyai lain pacar! Dia tak berbudi, biarlah dia nanti merasai telunjukku ini, telunjuk Cian Cu Ciat-hu ciu!"
Bu Kie tersenyum. Ia tidak mau mengadu omong pula. Di dalam hatinya, ia merasa, bahwa Cu Jie bertabiat luar biasa sekali. Baik, ia sangat baik, tapi selagi gusar ia sangat galak dan tidak mengenal aturan lagi. Ia menjadi ingat pula kata2 guru besarnya, paman gurunya yang kesatu dan kedua, bahwa di dalam Rimba Persilatan ada perbedaan antara yang sesat dan yang lurus, maka ia percaya Cian Cu Ciat hu ciu ini ialah pelajaran sesat, bahwa ibunya Cu Jie mungkin seorang sebangsa siluman. Karena ini, tanpa berasa, ia menjadi rada jeri terhadap si nona?"
Cu Jie tak mendapat tahu apa yang orang pikir, ia berlari lari keluar dan kedalam, mondar mandir, memetik berbagai macam bunga, maka dilain saat gubuk mereka telah terpajang rapih, menarik hati untuk dipandang.
"Cu Jie" kata Bu Kie, "Setelah sakit kakiku sembuh, aku nanti pergi mencari daun obat obatan untuk mengobati bengkak mukamu yang beracun itu".."
Mendengar itu, si nona nampaknya ketakutan.
"Tidak, tidak!" katanya "Aku telah menyiksa diri sekian lama, baru kuperoleh kepandaian seperti ini!
apakah kau hendak memusnahkan kepandaianku?"
"Bukan!" katanya cepat. "Mungkin kita dapat memikir semacam obat. Memakai mana kepandaianmu boleh tak usah lenyap, asal keracunan di muka saja yang hilang tak berbekas".
"Tidak dapat!" si nona berkata pula. "Bila ada semacam obat atau cara, mustahil ibuku tak mendapat tahu" Kepandaian ini adalah kepandaian turunan. Kupikir, yang bisa berbuat itu mungkin Cuma Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe yang lihay ilmu pengobatannya, hanya sayang banyak tahun dia telah meninggal dunia".
"Kau kenal Ouw Ceng Goe?" tanya Bu Kie.
Cu Jie mementang matanya, ia kelihatannya heran.
"Apa?" katanya. "Adakah aneh untuk mengetahui dia" Nama Tiap Kok Ie Sian toh memenuhi seluruh negara! Siapakah yang tidak tahu?" ia menghela nafas, dan ia berkata pula. "Taruh kata dia masih hidup, apakah gunanya itu" Dialah yang dijuluki "Melihat kematian tak menolong"!"
Bu Kie tidak membilang apa apa, akan tetapi di dalam hatinya, ia berkata "Nona ini sangat baik terhadapku, mesti aku balas kebaikkannya ini. dia tidak tahu semua kepandaiannya Tiap kok iIe sian telah diwariskan kepadaku. Baiklah, sekarang aku jangan membilang apa2 padanya, hanya dibelakang hari nanti, aku dayakan untuk mengobati mukanya ini, supaya dia kaget dan girang!".
Selama itu, langit sudah gelap, maka keduanya lantas rebah bersandar di batu gunung untuk tidur. Bu Kie dapat pulas, hanya tengah malam, ia mendusin dengan tiba tiba, telinganya mendengar tagisan isak2
tertahan. Ketika ia membuka matanya, kawannya lagi menangis sedih. Ia mengulur tangannya meraba pundak nona itu, menepuk dua kali.
"Jangan nangis, Cu Jie" ia menghibur. "Jangan bersusah hati"."
Tapi justru karena ditegur, Cu Jie tidak dapat menahan lagi kedukaannya. Dengan menyenderkan kepalanya dipundak orang ia menangis mengerung2.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kau kenapa Cu Jie?" Bu Kie tanya perlahan. "Ada apa" Apakah kau ingat ibumu" Benarkah?"
Cu Jie menggangguk perlahan.
"Ibu telah menutup mata." Katanya. "Aku jadi sebatang kara. Siapa juga tidak menyukai aku".., siapa juga tidak mau baik denganku?"
Bu Kie menggunakan tangan bajunya untuk mengelap air mata nona itu.
"Aku menyukai kau, aku dapat berlaku baik terhadapmu," sahut Cu Jie. "Orang yang kucintai tidak perdulikan aku, ia memukul aku, iapun mau menggigit aku".."
"Lupakan laki2 tidak berbudi itu," kata Bu Kie "Aku akan menikah dengan kau, seumurku nanti akan perlakukan kau dengan baik."
"Tidak! Tidak!" Cu Jie berseru. "Tidak dapat aku melupakan dia! Jikalau lagi sekali kau menganjurkan aku melupakan dia, untuk selamanya aku tidak akan peduli padamu!".
Bu Kie heran, malu dan jengah. Syukur cuaca gelap, jika tidak, akan terlihat mukanya yang merah.
Keduanya berdiam. "A Goe koko, apakah kau gusar padaku?" kemudian nona itu bertanya.
"Aku tidak gusar, aku hanya menyesalkan diriku sendiri." Jawabnya. "Tidak selayaknya aku bicara seperti barusan padamu".
"Tidak, tidak demikian. Kau bilang kau suka menikah denganku, bahwa seumurmu kau hendak perlakukan baik padaku. Senang aku mendengar kata2mu itu. Coba kau mengulangi sekali lagi."
Tapi Bu Kie menjadi tidak senang.
"Kau tidak dapat melupakan orangmu itu perlu apa aku bicara lagi?" katanya.
Cu Jie mencekal tangannya Bu Kie dan berkata dengan suara lemah lembut. "A goe koko, jangan kau gusar. Aku mengku bersalah. Kalau kau benar2 menikah denganku, kubisa membutakan kedua matamu dan mungkin juga, aku akan mengambil jiwamu".
Bu Kie kaget. "Apa kau kata?" ia menegas. "Sesudah kedua matamu buta, kau tak akan bisa melihat lagi romanku yang jelek" katanya perlahan "Kau tak akan bisa lagi memandang lagi wajah nona Ciu dari Goe Bie pay yang cantik manis. Andaikata, sesudah buta, kau masih juga belum dapat melupakan dia.
Aku akan membinasakan kau dan kemudian mengambil jiwa sendiri." Ia memberi jawaban yang hebat itu dengan suara tenang2 saja, seolah2 apa yang dikatakannya adalah hal yang wajar. Waktu mendengar
"nona Ciu dari Goe Bie pay" jantung Bu Kie memukul terlebih keras.
Mendadak, baru saja Cu Jie selesai bicara di kejauhan terdengar suara seorang tua.
"Nona Ciu dari Goe Bie pay mempunyai hubungan apakah dengan kamu berdua?"
Cu Jie melompat bangun. "Biat Coat Su thay!" bisiknya.
Tapi, biarpun ia hanya berbisik, perkataannya sudah didengar oleh orang itu yang lantas saja menjawab. "Benar, Biat Coat Su thay" Waktu orang itu berbicara pertama kali, ia masih berada jauh tapi waktu bicara kedua kali, ia sudah berada disamping gubuk.
Cu Jie mengenal bahaya. Ia sebenarnya ingin kabur dengan mendukung Bu Kie, tapi sudah tidak keburu lagi.
Sesaat kemudian, orang itu membentak dengan suara dingin. "Keluar! Apa kamu mau bersembunyi seumur hidup?"
Sambil memapah dan menyekel tangan Bu Kie, Cu Jie menyingkap tirai rumput dari gubuknya dan bertindak keluar. Dalam jarak kira2 setombak dari gubuknya, berdiri seorang pendeta tua yang rambutnya putih dan ia itu memang bukan lain daripada Ciang bun jin Goe bie pay Biat coat Suthay. Dari sebelah
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
kejauhan mendatangi dua belas orang yang kemudian berdiri berjejer di kedua samping pendeta wanita itu. Mereka itu adalah murid2 Goe bie pay empat nie kouw (pendeta wanita) empat orang wanita biasa dan empat laki2 yang berdiri di barisan belakang dan diantaranya mereka terdapat Teng Bin Kun dan Ciu Cie Jiak.
Dalam kalangan Goe bie pay selama beberapa turunan, yang memegang tampuk pimpinan selalu wanita dan murid lelaki tidak pernah diberikan pelajaran ilmu silat yang paling tinggi, sehingga oleh karenanya, kedudukan murid lelaki lebih rendah daripada murid wanita.
Dengan sorot mata dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Biat Coat Suthay mengawasi Cu Jie.
Mengingat kebinasaan Kie Siauw Hu, Bu Kie sangat berkuatir. Sambil menyandarkan diri di punggung Cu Jie, diam2 dia mengambil keputusan, bahwa jika si pendeta wanita menyerang, mestipun mesti binasa, ia akan mengadu jiwa.
Beberapa saat kemudian, seraya mengeluarkan suara di hidung, Biat Coat mengenok ke arah Tian Bin Kun dan bertanya "Apa budak kecil itu?"
"Benar!" jawabnya.
Tiba2, "Krak!....krak!...." Cu Jie mengeluarkan suara kesakitan, tulang kedua pergelangan tangannya patah, dan ia rebah dalam keadaan pingsan.
Bu Kie sendiri terpaku dan ternganga. Ia hanya melihat berkelebatnya bayangan warna abu2 dan Cu Jie sudah terguling. Dengan kecepatan luar biasa ia menyerang, dan dengan kecepatan luar biasa pula, ia balik ke tempatnya yang semula, dimana ia kembali berdiri tegak bagaikan satu pohon tua di tengah malam yang sunyi itu. Gerakan yang secepat itu sudah mrengaburkan mata Bu Kie yang jadi terkesima dan hanya bisa mengawasi tanpa berdaya.
Sesudah memperlihatkan kepandaiannya, denga sorot mata bengis Biat Coat mengawasi Bu Kie.
"Pergi!" bentaknya.
Ciu Ci Jiak maju setindak dan berkata seraya membungkuk. "Suhu ia tidak dapat berjalan, mungkin kedua tulang betisnya patah."
"Buatlah dua buah soat kio untuk membawa mereka", memerintah sang guru (Soat kio semacam kereta salju tidak beroda).
Murid2 itu mengiakan dan kecuali Teng Bin Kun yang belum sembuh dari lukanya, mereka segera melakukan apa yang diperintah. Sesudah selesai, dua orang murid wanita lalu mengangkat Cu Jie dan lalu menaruhnya di kereta yang satu, sedang dua orang murid pria menaruh Bu Kie di kereta yang lain.
Sambil menyeret kedua kereta itu, mereka mengikuti Biat Coat ke arah barat.
Dengan penuh kekuatiran, Bu Kie memasang kuping untuk mendengari gerak gerik Cu Jie. Sesudah melalui belasan li, barulah ia mendengar rintihan si nona. "Cu Jie bagaimana keadaanmu?" tanyanya dengan suara nyaring. "Apakah kau mendapat luka di dalam?".
"Dia mematahkan pergelangan tanganku. Tapi aku tidak mendapat luka di dalam" jawabnya.
"Bagus" kata Bu Kie, "Gunakanlah sikut kiri untuk membentur lengan kananmu, tiga cun lima hun dibawah tekukan lengan. Sesudah itu, gunakanlah skut kananmu untuk membentur lengan kiri, tiga cun lima hun dibawah tekukan lengan. Dengan berbuat begitu, rasa sakit akan berkurang".
"Sebelum Cu Jie menjawab, Biat Coat sudah mengeluarkan suara "Ih!" dan mengawasi Bu Kie dengan mata mendelik "Bocah! Kau mengerti ilmu ketabiban." Katanya "Siapa namamu?"
"Aku she Can, namaku A Goe" jawabnya.
"Siapa gurumu?" tanya pula si nenek.
"Guruku adalah tabib kampungan" menerangkan si Bu Kie. "Biarpun kuberitahukan namanya, Suthay pasti takkan mengenal namanya".
Biat Coat mengeluarkan suara di hidung dan tidak mendesak lagi.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sampai fajar menyingsing barulah rombongan itu mengaso dan makan makanan kering, Ciu Jiak membawa beberapa bakpauw dan memberikannya kepada Bu Kie serta Cu Jie. Melihat Bu Kie yang sesudah di cukur, barulah menjadi pemuda tampan, diam2 ia merasa heran dan kagum.
Sesudah mengaso kurang lebih dua jam, mereka meneruskan perjalanan ke arah barat. Sesudah berjalan tiga hari, Bu Kie menarik kesimpulan, bahwa dalam perjalanan itu, rombongan Goe Bie Pay mempnyai tugas yang sangat penting. Baik waktu berjalan, maupun waktu mengaso, kecuali sangat perlu semua orang menutup mulut rapat2. seolah2 mereka manusia gagu. Tapi tugas apakah yang mau ditunaikan mereka" Bu Kie tak dapat menjawab.
Selama beberapa hari itu tulang betis Bu Kie yang patah sudah bersambung pula seperti sedia kala dan ia sebenarnya sudah dapat berjalan lagi.
Tapi ia saja tidak memperlihatkan kesembuhannya itu, malah ia sering merintih untuk mengelabui Biat Coat. Ia ingin menunggu kesempatan baik untuk kabur bersama2 Cu Jie. Kesempatan itu belum datang, sebab mereka masih berjalan di tanah datar. Sehingga kalau kabur belum jauh ia tentu sudah dibekuk lagi.
Maka itu, ia bersabar terus. Pada waktu mengaso ia mengobati luka Cu Jie dan Biat Coatpun tidak menghalang-halanginya.
Sesudah selang dua hari lagipada suatu lohor, rombong Biat Coat tiba di gurun pasir. Selagi enak berjalan, sekonyong2 terdengar suara tindakan kuda yang mendatangi dari sebelah barat. Biat Coat segera memberi perintah dengan gerakan tangan dan semua murid lalu menyembunyikan diri di belakang bukit pasir. Dua diantaranya menghunus pedang pendek dan mengarahkan ujungnya ke arah punggung Bu Kie dan Cu Jie . sudah terang mereka mau menyerang musuh dan kalau dua tawanan berani berteriak, kedua pedang pendek itu pasti digunakan.
Tak lama kemudian, kuda2 itu sudah mendekati. Melihat tapak2 kaki, para penunggang kuda menahan tunggangannya.
Tiba2 Ceng she Suthay mengangkat hud im (kebutan yang dapat digunakan sebagai senjata) dan dengan serentak sebelas murid Goe Bie pay melompat keluar dari belakang bukit pasir.
Bu Kie mengawasi dan melihat empat penunggang kuda yang semuanya mengenakan jubah warna putih. Sambil membentak keras; keempat orang itu lalu mencabut senjata dan pertempuran lantas saja terjadi.
"Semua siluman dari Mo Kauw! Satupun tak boleh di kasih lolos!" teriak Ceng she.
Walaupun dikepung musuh yang berjumlah lebih besar, keempat orang itu melawan dengan gagahnya.
Tapi kedua belas murid Goe Bie pay yang kali ini mengikut Biat Coat ke See hek adalah murid2 pilihan.
Baru bertempur tujuh delapan jurus, tiga anggota Mo kouw sudah roboh dari tunggangannya, sedang yang keempat, sesudah melukai seorang murid Goe Bie, coba melarikan diri. Tapi baru saja kabur beberapa tombak, ia telah kena dicandak Ceng hian. "Turun kau!" bentak si nie kouw seraya mengebut betis kiri orang itudengan hudtimnya. Dia coba menangkis dengan goloknya. Bagaikan kilat Ceng hian mengubah pukulannya dan mengebut kepala musuh. Pukulan yang hebat itu hampir tepat pada sasarannya dan orang itu terguling dari kudanya.
Tapi orang itu a lot dan nekat. Dalam keadaan terluka berat, ia masih bisa balas menyerang dengan tujuan untuk mati bersama2 musuhnya. Sambil mementang kedua tangannya ia menubruk. Untung saja Ceng hian keburu berkelit dan mengebut dadanya.
Pada saat itulah, tiga ekor merpati putih terbang dari sangkarnya yang tergantung di leher kuda.
"Jangan main gila!" bentak Ceng Hian seraya mengibas lengan jubahnya dan tiga butir thie lian cu (biji teratai besi) menyambar kearah tiga burung itu. Dua diantaranya jatuh, tapi yang satu dapat terbang terus sebab si jubah putih berhasil memukul sebutir thie lian cu dengan busur besinya. Semua murid Goe bie menimpuk dengan senjata rahasia mereka, tapi burung itu sudah terbang jauh.
Ceng Hie mengibas tangan kirinya dan empat murid lelaki lalu menyeret keempat musuh yang roboh itu, tapi kemudian berdiri tegak di hadapan kakak seperguruannya.
Selama pertempuran, Biat Coat hanya mengawasi sebagai penonton, iapun tak bergerak waktu murid2nya menimpuk burung dengan senjata rahasia. "Terhadap Cu jie dia turun tangan sendiri, suatu tanda bahwa ia memandang tinggi terhadap Cu Jie", kata Bu Kie di dalam hati.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mungkin sekali karena patahnya tulang pergelangan tangan Teng Bin Kun. Kalau mau, dengan mudah ia akan bisa membinasakan merpati yang ketiga, mengapa dia diam saja?".
Mana waktu itu Ceng hie, Ceng Hian dan murid2 utama lainnya sudah mendapat nama besar dalam rimba persilatan. Satu saja sudah cukup untuk menghadapi gelombang besar. Maka itulah dalam menghadapi beberapa murid Mo kouw, Biat Coat tidak perlu turun tangan sendiri. Bahwa Ceng hie dan Ceng hien sudah turun ke dalam gelanggang, pada hakekatnya berarti memandang tinggi kepada beberapa musuh itu.
Sementara itu, seorang murid wanita sudah menjemput kedua bangkai merpati itu dan mencopot sebuah bumbung kecil yang melekat pada kaki seekor burung. Ia mengeluarkan segulung kertas dari bumbung dan menyerahkannya kepada Ceng hie yang lalu membuka dan membacanya. "Suhu", kata Ceng hie. "Mo kauw sudah tahu rencana untuk mengepung dan membasmi Kong ben teng, surat ini adalah untuk meminta bantuan dari Peh bie kauw."
Sebahis berkata begitu, ia membaca lagi surat yang satunya. "Isinya sama jua" katanya. "Sungguh sayang yang seekor dapat mloloskan diri."
"Sayang apa?" kata sang guru dengan suara dingin. "Makin banyak mereka berkumpul, makin baik lagi. Tak usah berabe mencari cari mereka di berbagai tempat".
Mendengar disebutkannya nama "Peh bie kauw" Bu Kie terkejut. "Kouw cu Peh bie kauw adalah kakek luarku." Pikirnya. "Hm!....Sombong sungguh nenek bangkotan itu belum tentu ia dapat melawan gwakong."
Semula ia menunggu2 kesempatan untuk kabur bersama2 Cu Jie. Tapi sekarang ia membatalkan niatnya itu sebab ingin menyaksikan keramaian yang bakal terjadi.
"Siapa lagi yang diundang kamu?" Ceng hie bertanya kepada keempat tawanannya dengan suara bengis.
"Mengapa kamu tahu, bahwa enam partai akan membasmi Mo Kauw?"
sekonyong2 keempat orang itu tertawa terbahak2 dengan muka menyeramkan. Sehabis tertawa, dia roboh serentak dan tidak berkutik lagi. Semua murid Goe bie terkejut, dua diantaranya membungkuk untuk menyelidiki, "Su cie!" teriak mereka. "Semua mati!".
Sambil mengawasi muka keempat mayat itu, Ceng hian berkata dengan nada gusar. "Mereka makan racun. Racun itu sangat hebat".
"Geledah badannya!" memerintah Ceng hie.
Empat murid lelaki segera membungkuk dan menggerakkan tangan untuk merogoh saku mayat.
"Hati hati!" kata Cu Cie Jiak. "Di dalam saku mungkin tersembunyi benda beracun".
Keempat lelaki itu terkejut. Mereka segera merobek saku mayat2 dengan menggunakan golok dan benar saja, dalam setiap saku terdapat seekor ular kecil yang sangat beracun. Tanpa peringatan nona Ciu, mereka tentu sudah binasa.
"Hari ini untuk pertama kali kamu berurusan dengan orang2 agama siluman" kata Biat Coat dengan suara dingin. "Mereka berempat hanialah orang2 yang tidak ternama tapi sudah begitu beracun. Kalau bertemu dengan jago-jago Mo kauw apakah kamu masih bisa pulang ke Go bie dengan masih bernafas?"
ia mengeluarkan suara di hidung dan berkata pula "Ceng hie kau sudah cukup tua, tapi kau masih tetap sembrono. Kau masih kalah dari Ciu Jiak".
Paras muka murid itu berubah merah dan ia membungkuk untuk menerima teguran sang guru.
Malam itu mereka bermalam di gurun pasir dengan menyalakan sebuah perapian yang cukup besar.
Dengan bergilir mereka membuat penjagaan karena mereka tahu, bahwa daerah itu adalah tempat keluar masuknya orang2 Mo kauw. Kira2 tengah malam dari kejauhan tiba2 terdengar keleneng unta yang mendatangi ke arah mereka. semua orang tersadar dan bersiap sedia. Suara keleneng itu semula mendatangi dari arah barat daya, tapi sesaat kemudian suaranya berpindah ke barat laut. Beberapa saat kemudian, sura itu muncul di sebelah timur laut. Semua murid Goe bie heran tak kepalang. Bagaimana
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bisa begitu" Biar bagaimanapun jua, seekor unta takkan bisa lari secepat itu, sebentar ke barat, sebentar ke timur dan sebagainya.
Suara keleneng makin nyaring, suatu tanda unta itu sudah mendekati. Mendadak suara itu terdengar gencar sekali, seperti juga binatang itu kabur dengan kecepatan luar biasa.
Orang2 Goe bie yang baru pernah menjelajah lautan pasir, jadi bingung dan berkuatir. "Sahabat!
Perlihatkan dirimu!" teriak Biat Coat. "Permainan gilamu bukan perbuatan seorang berilmu." Suara yang disertai Lweekang itu menempuh jarak beberapa li dan benar saja, sesudah si nenek berteriak suara keleneng tidak terdengar lagi.
Sampai pagi tidak terjadi sesuatu yang luar biasa. Malamnya kira2 tengah malam, suara keleneng terdengar pula, sebentar jauh sebentar dekat, sebentar disana, sebentar di sini. Biat coat berteriak lagi.
Tapi kali ini teriakannya tidak mempan lagi. Suara keleneng tidak menghiraukannya. Selang beberapa lama, sesudah puas mengganggu, suara itu menghilang dengan tiba2.
Bu Kie dan Cu Jie saling mengawasi sambil tersenyum. Biarpun tak dapat memecahkan keanehan suara itu, mereka tahu, bahwa itu semua adalah perbuatan orang pentolan Mo kauw. Bahwa orang2 Goe bie jadi kebingungan sangat menyenangkan hati mereka.
Dengan rasa mendongkol Biat Coat mengibaskan diri untuk mengaso. Tak lama kemudian suara keleneng terdengar lagi, tapi orang2 Goe bie tidak memperdulikannya. Selang beberapa lama suara itu menuju ke utara dan lalu menghilang. Si unta rupanya tahu, bahwa gangguannya tidak digubris lagi.
Pada keesokan paginya semua orang berkemas untuk berangkat. Sekonyong2 Bu Kie dan Cu Jie mengeluarkan suara tertahan sebab didekat mereka kelihatan berbaring seorang tak dikenal yang sedang menggeras. Tubuh orang itu, dari kepala sampai di kaki, tertutup dengan selimut seolah2 sesosok mayat.
Semua murid Goe bie terkesinap. Guru mereka memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Setiap desiran angin, bahkan jatuhnya selembar daun, tak akan lolos dari pendengarannya. Mana bisa seorang manusia menyatroni tanpa diketahui"
Dilain saat, dua murid Goe bie sudah menghunus pedang dan mendekati orang itu.
"Siapa kau?" bentaknya.
Tapi orang itu terus mendekur. Dengan ujung pedang, salah seorang menyontek selimut dan yang sedang tidur pulas ternyata seorang pria yang menggenakan jubah panjang.
Ceng hie mengerti, bahwa seorang yang mempunyai nyali begitu besar tentulah bukan sembarangan orang. Ia maju setindak dan bertanya "Siapa tuan" Perlu apa tuan datang kesini?"
Tapi ia tetap tak memperdulikan suara menggarosnya semakin keras.
Melihat lagak orang itu yang dianggap sangat kurang ajar, Ceng hian naik darahnya. Dengan gusar ia mengangkat hudtim dan menghantam pinggangnya.
"Hurrrrr?""
semua orang terkesinap dan mendongak ke atas.
Apa yang sudah terjadi"
Entah bagaimana, hudtim Ceng hian suthay terbang keatas, terbang lurus sampai tingginya belasan tombak.
Tiba2 terdengar teriakan Biat Coat. "Ceng hian, awas!"
Hampir berbareng dengan teriakan itu, tubuh si jubah panjang sudah melesat beberapa tombak jauhnya dan apa yang hebat, Ceng hian telah tertawan! Sambil mendukung tawanannya, lelaki itu lari bagaikan terbang.
Ceng hie dan seorang saudari seperguruannya yang bernama Souw Bong Ceng, segera menghunus senjata dan terus mengubar. Tapi gerakan orang itu cepat luar biasa dan dalam sekejap, dia sudah lari jauh. Seraya mengeluarkan siulan nyaring, Biat coat turut mengubar sambil mencekal Ie Thian Kiam.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kepandaian Ciang bunjin dari Goe bie pay tentu saja lain dari pada yang lain. Dalam beberapa saat saja, Biat coat sudah melewati kedua muridnya dan dilain detik, sinar hijau dari Ie hian kiam menyambar punggung si jubah panjang. Tapi orang itu mempunyai kegesitan yang menakjubkan. Bagaikan kilat, ia berhasil menyelamatkan diri dari tikaman yang dahsyat itu.
Biarpun sedang mendukung Ceng hian, kecepatan lari si jubah panjang ternyata tidak kalah dari pengejarnya. Bukan saja begitu, ia bahkan juga seakan2 seperti mau memperlihatkan kepandaiannya, karena sebaliknya daripada kabur terus, ia lari berputaran, memutari murid2 Go bie pay yang menonton dengan mulut ternganga. Beberpa kali Biat coat menikam, tetapi tikamannya selalu jatuh di temapt kosong.
Sesudah main udak2an, barulah hudtim Ceng hian jatuh ke tanah.
Sesaat itu, Ceng hie dan Souw Bong Ceng sudah berhenti mengubar dan bersama saudari saudara seperguruannya, mereka mengawasi ubar2an itu sambil menahan nafas.
Kedua tokoh itu berlari2 bagaikan terbang dengan menggunakan ilmu ringan badan. Betapa tinggi ilmu mereka dapat membayangkan dengan melihat kenyataan, bahwa debu dan pasir tidak beterbangan akibat injakan kaki mereka. dengan hati berdebar2 murid2 Go bie mengawasi Ceng hian yang dibawa lari tanpa berkutik.
Semua orang tahu, bahwa kakak seperguruan itu berkepandaian tinggi dan sudah mewarisi sebagian besar ilmu guru mereka. Cara bagaimana ia bisa dibekuk secara begitu mudah dan sudah ditawan, sedikitpun tidak berdaya lagi" Sebenarnya mereka ingin sekali mencegat musuh yang tengah diubar itu.
Tapi mereka tidak berani berbuat begitu, karena kuatir digusari sang guru, sebab bantuan tersebut berarti merosotnya nama besar Biat coat suthay. Maka itulah mereka hanya menonton dengan mata terbelalak.
Dalam sekejap si jubah panjang dan Biat coat sudah membuat tiga putaran.
Meskipun si nenek sudah mengeluarkan seantero kepandaiannya, ia tetap tidak dapat menyusul musuh.
Jarak antara mereka tidak berubah. Biat Coat masih ketinggalan beberapa kaki di belakang si jubah panjang. Dengan mengingat, bahwa orang itu berlari2 sambil mendukung Ceng hian yang beratnya kira2
seratus kati, maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dalam ilmu ringan badan, ia lebih unggul setingkat daripada si nenek kouw tua.
Sesudah menonton beberapa lama, Bu Kie menarik ujung baju Cio Jie seraya berbisik "Mari kita kabur".
"Tidak, keramaian ini tidak bisa tidak ditonton sampai habis" jawab si nona.
Pada waktu mereka lari pada putaran keempat, orang itu tiba2 memutar badan dan melemparkan Ceng hian kearah gurunya. Karena merasa sambaran angin yang sangat dahsyat, buru-buru Biat coat menghentikan tindakannya dan mengarahkan tenaga Cian kin (Tenaga seribu kati). Akan kemudian, sambil mengarahkan Lweekang, ia menyambuti tubuh muridnya.
Orang itu tertawa terbahak2, "Enam partai besar mau mengepung dan membasmi Kong beng teng!"
katanya "Ha..ha"ha"Mungkin tak begitu gampang!" Sehabis berkata begitu, lari ke jurusan utara. Waktu ubar2an debu dan pasir sama sekali tak bergerak. Tapi sekarang, di jalanan yang dilaluinya pasir kuning mengepul ke atas, seolah2 seekor naga kuning yang menutupi bayangnya.
Semua murid Goe bie segera menghampiri dan berdiri di sekitar guru mereka. Paras muka Biat Coat merah padam. Ia berdiri tegak sambil mendukung Ceng hian tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Ceng hian Suci!...." mendadak Souw Bong Ceng berseru.
Ternyata Ceng hian sudah tak bernyawa lagi, mukanya kuning dan pada tenggorokannya terdapat luka.
Semua murid wanita lantas saja menangis keras.
Nangis apa?" bentak sang guru. "Kubur dia!"
Semua orang segera berhenti menangis dan lalu mengubur jenasah Ceng Hian. Sesudah penguburan selesai, sambil membungkuk Ceng Hie berkata, "Suhu, siapa manusia siluman itu" Kami harus mengenal dia untuk membalas sakit hatinya Ceng Hian Sumoay."
"Kalau tak salah, dia adalah Ceng Ek Hok Ong, yaitu salah seorang raja (Ong) dari Mo Kauw," Jawabnya dengan suara dingin. "Sudah lama kudengar, bahwa ilmu ringan badan orang itu tiada bandingannya di
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dunia. Nama besarnya ternyata bukan omong kosong. Kepandaiannya banyak lebih tinggi daripada aku."
(Ceng Ek Hok Ong raja kelelawar bersayap hijau)
Semenjak menyaksikan kekejaman Hiat Coat Suthay, Bu Kie membenci nikouw tua itu. Tapi sekarang ia merasa kagum dan mengakui, bahwa ia masih kalah jauh dari si nenek. Dalam menghadapi kecelakaan, nenek itu masih bisa berlaku begitu tenang dan masih bisa memuji kepandaian musuhnya. Sikap itu adalah sesuai dengan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi dari sebuah partai persilatan yang besar.
"Hm!... dia sama sekali tak berani beradu tangan dengan Suhu dan terus lari ngiprit," kata Tang Bin Kun dengan suara marah yang dibuat-buat. "Enghiong apa dia?" (Enghiong orang gagah) Sang guru mengeluarkan suara di hidung. Mendadak tangannya melayang dan menggaplok mulut si perempuan she Teng.
"Aku tak dapat menyusul dia dan tak dapat menolong jiwa Ceng Hian," kata Biat Coat. "Dialah yang menang. Siapa menang siapa kalah semuanya orang tahu. Nama enghiong diberikan oleh orang lain.
Apakah kita bisa memberi julukan Enghiong pada diri sendiri?"
Selembar muka Teng Bun kemerah-merahan, bahana malunya. Ia membungkuk seraya berkata, "Murid salah, murid tahu kesalahan sendiri."
"Suhu, siapa itu Ceng Ek Hok Ong?" Tanya Ceng Hie. "Bolehkah Suhu memberi penjelasan kepada kami?"
Biat coat tak menjawab. Ia mengibaskan tangannya sebagai perintah supaya rombongannya meneruskan perjalanan. Sesudah toasuci mereka membentur tembok, murid-murid yang lain tentu saja tak berani banyak bicara. Mereka segera berjalan dengan hati duka.
Malam itu mereka menginap di samping sebuah bukit pasir dan membuat sebuah perapian yang besar.
Bagaikan patung, Biat Coat mengawasi tumpukan api yang berkobar-kobar. Bu Kie mengerti bahwa nenek itu bersusah hati. Go Bie Pay adalah sebuah partai persilatan yang namanya tersohor di kolong langit. Kali ini dengan membawa jago-jago partai tersebut Biat coat menjelajahi wilayah barat (See Ek).
Tapi sebelum bertempur, salah seorang muridnya yang berkepandaian tinggi sudah mesti mengorbankan jiwa. Bukankah kejadian itu menyedihkan dan memalukan"
Melihat guru mereka belum tidur, semua murid juga tidak berani tidur. Kurang lebih mereka satu jam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tiba-tiba Biat Coat mendorong dengan kedua tangannya dan " "Bttt?"
" api yang berkobar-kobar itu menjadi padam. Bu Kie terkejut. "Tenaga dalam Loo Nie itu sungguh hebat," pikirnya.
Mereka sekarang berada dalam kegelapan, tapi tak satupun berani bergerak.
Gurun pasir itu sunyi bagaikan kuburan, sedang sinar rembulan yang remang-remang memberikan pemandangan yang mendukakan hati. Melihat keadaan begitu, dalam hati Bu Kie muncul rasa kasihan.
"Apakah Go Bie Pay akan hancur namanya di wilayah barat?" tanyanya dalam hati.
"Apakah rombongan jago-jago ini akan terbasmi musnah seanteronya?"
Mendadak Biat coat membentak, "Padamlah api siluman! Musnahlah api iblis!" sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula dengan suara perlahan. "Mo Kauw (agama iblis) memandang api sebagai nabi dan memuja api sebagai malaikat sesudah Yo Po Thian, Beng Cun Kauwcu atau pemimpin agama meninggal dunia. Mo Kauw tak mempunyai lagi Kauw Cu. Kedua Kong Beng Su Cia, keempat Hu Kauw Hoat Ongdan kelima Ciang Kie Su yaitu Kin Bok Sui Hwee dan Touw semua ingin merebut kedudukan pemimpin dan mereka jadi bermusuhan saling membunuh. Oleh karena adanya kejadian itu, Mo Kauw jadi lemah. Mungkin memang sudah ditakdirkan, bahwa partai yang lurus bersih akan menjadi makmur sedang kaum siluman dan kaum sesat akan musnah. Kalau di dalam Mo Kauw tidak terjadi perpecahan tak gampang orang bisa menggempurnya.
(Beng Cun Kauwcu pemimpin agama, Kong Beng Su Cia utusan terang benderang, Hoa Kauw Hoat Ong Raja Pelindung Agama, Ciang Kie Su utusan yang memegang bendera, bendera itu berjumlah lima, yaitu Kim, Bok, Sui, Hwe, dan Touw. Nama-nama itu adalah pangkat-pangkat dalam Beng Kauw atau agama terang. Orang-orang luar "..
Semenjak Bu Kie ". Maka setiap kali ia menanyakan kedua orang tuanya selalu mengaget dan memperlihatkan rasa tidak senang. Ayah angkatnya pun tidak memberi keterangan. Maka itu sampai sekarang ia masih belum tahu apa sebenarnya Mo Kauw.
Waktu ia mengikuti Thay Suhu Thio Sam Hong, orang itu juga sangat membenci Mo Kauw. Saban-saban nama "agama" itu disebutkannya si kakek selalu memberi nasihat dan peringatan keras bahwa ia tidak boleh dekat-dekat dengan orang Mo Kauw. Belakang ia bertemu dengan Ouw Ceng Goe, Ong Lan Kouw, Siang Gie Cun, Cie Tat, Cu Goan Ciang dan yang lain dan mereka itu adalah anggota-anggota Mo Kauw.
Ia mendapat kenyataan, bahwa mereka oleh karenanya mau tidak mau ia harus menarik kesimpulan, bahwa lagak lagu orang-orang itu agak aneh dan sukar dimengerti oleh orang luar. Sekarang, demi mendengar peraturan Biat Coat semangatnya lantas saja terbangun dan dia segera memasang kuping dengan sepenuh perhatian.
Biat Coat meneruskan penuturannya. "Dari satu ke lain keturunan, seorang Beng Cun Kauwcu memegang serupa benda yang merupakan semacam tanda kekuasaan. Benda itu dinamakan Seng Hwee Leng (tanda kekuasaan Api Nabi). Tapi pada waktu Kauw Cu turun ke tigapuluh satu memegang pimpinan, entah bagaimana Seng Hwee Leng itu hilang. Maka itu Kauw Cu-Kauw Cu yang belakangan sudah tak punya tanda kekuasaan , walaupun ia memiliki kekuasaan sebagai pimpinan tertinggi. Yo Po Thian mati
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
mendadak, entah diracuni, entah dibunuh orang. Tak seorangpun yang tahu jelas. Dalam kalangan Mo kauw lantas saja terjadi kekalutan. Sebab mati mendadak, Yo Po Thian tidak menunjuk ahli warisnya.
Dalam Mo Kauw terdapat banyak sekali orang pandai, sehingga yang pantas menjadi Kauw Cu, sedikitnya ada lima atau"., namanya Wi It Siauw bergelar Ceng Ek Hong Ong."
Murid-murid Go Bie saling mengawasi. Nama Ceng Ek Hok Ong Wi It Siauw belum pernah didengar mereka.
Sesudah berdiam sejenak, Biat Coat berkata pula orang itu belum pernah datang ke Tionggoan. Sepak terjang orang-orang Mo Kauw aneh dan sembunyi-sembunyi sehingga walaupun kepandaiannya sangat tinggi, namanya tidak dikenal di daerah Tionggoan. Tapi Peh Bie Eng Ong In Tian Ceng dan Kim Mo Say Ong Cia Sun sudah dikenal kamu, bukan?"
Bu Kie terkejut sedang Cu Ji mengeluarkan seruan tertahan. Biat Coat melirik mereka dengan sorot mata tajam.
"Suhu apakah kedua orang itu anggota Mo Kauw?" Tanya Ceng Hie dengan suara heran.
"Keempat raja (ong) dari Mo Kauw adalah Cie, Peh, Kim dan Ceng (Ungu, putih, kuning emas, dan hijau) menerangkan sang guru. Peh Bie seorang raja dan Ceng Ek pun seorang raja. Ceng Ek berkedudukan paling rendah, tapi kepandaiannya sudah disaksikan. Maka itu betapa tinggi kepandaian Peh Bie dan Kim Mo dapatlah ditaksir-taksir.
Karena sakit hati, Kim Mo Say Ong jadi seperti orang gila dan melakukan perbuatan-perbuatan durhaka.
Pada dua puluh tahun berselang, dengan mendadak ia membunuh orang tidak berdosa. Sekarang orang tidak tahu kemana dia pergi dan menjadi sebuah teka-teki dalam rimba persilatan. Mengenai In Thian Ceng, sesudah gagal dalam merebut pimpinan dalam Mo Kauw, dalam gusarnya ia mendirikan Peh Bie Kauw. Dia sakit penyakit ingin menjadi pemimpin agama. Semula kita menduga bahwa sesudah meninggalkan Mo Kauw, In Thian Ceng sudah putus hubungan dengan Kong Beng Teng. Tak dinyana, waktu menghadapi bahaya, Kong Beng Teng masih sudi meminta pertolongan Peh Bie Kauw."
Mendengar itu, Bu Kie jadi bingung dan berduka. Ia tahu, bahwa sepak terjang ayah angkatnya dan kakek luarnya aneh-aneh dan sesat sehingga mereka dibenci oleh orang-orang dari partai lurus bersih. Tapi ia sama sekali belum pernah menduga bahwa kedua orang tua itu adalah Hu Kauw Hoat Ongdari Mo Kauw.
Sementara itu Biat Coat Suthay sudah melanjutkan penuturannya. "Menurut perhitungan, usaha enam partai untuk membasmi Kong Beng Teng pasti akan berhasil. Biarpun semua siluman bersatu padu, kita tak usah merasa khawatir. Tapi dalam pertempuran, pihak kita tentu akan menderita juga kerusakan besar.
Maka itu aku berharap supaya kamu semua mempunyai tekad yang teguh untuk berkelahi mati-matian.
Sedikitpun kamu tidak boleh mempunyai rasa takut, sehingga waktu menghadapi musuh, kamu menurunkan keangkeran Go Bie Pay.
Semua murid Go Bie lantas saja bangun berdiri dan membungkuk, sebagai tanda bahwa mereka berjanji akan mamenuhi harapan sang guru.
"Tinggi rendahnya ilmu silat seseorang tergantung kepada bakatnya dan segala apa tidak dapat dipaksakan," kata Biat Coat. "Bahwa sebelum bertempur Ceng Hian sudah binasa dalam tangannya siluman itu, tidak boleh ditertawai oleh kamu. Apakah tujuannya belajar ilmu silat" Tujuannya adalah untuk membasmi yang jahat dan menolong yang lemah. Bukankah begitu" Sekarang enam buah partai besar, yaitu Siauw Lim, Bu Tong, Go Bie, Kun Lun, Khong Tong, dan Hwa San, berusaha untuk memupus Mo Kauw. Apa kita akan hidup atau mati, sudah tidak dihiraukan lagi oleh Go Bie Pay. Ceng Hian berangkat paling dulu. Mungkin sekali korban kedua adalah gurumu sendiri".."
Semua murid Go Bie membungkuk. Di bawah sorotan sinar rembulan yang remang-remang muka setiap orang kelihatan pucat pasi.
Biat Coat menghela napas dan kemudian berkata lagi dalam dunia ini siapakah bisa hidup abadi" Manusia mana yang bisa hidup terus menerus" Apa yang diharapkan ialah biarlah sesudah mati, kita masih mempunyai turunan, anak cucu kita masih hidup terus. Maka itu, kekuatiran kamu semua mati dan hanya aku si tua yang hidup terus, hidup sebatang kara, hidup kesepian dalam dunia ini "Huh-huh!... Tapi kalau sampai terjadi begitu akupun harus menerimanya dengan rela. Bukankah pada seratus tahun yang lalu, di dalam dunia tidak terdapat partai yang dinamakan Go Bie Pay" Asal saja kita berkelahi secara gagah, biarpun mesti terbasmi seanteronya, kita tidak usah merasa menyesal."
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar perkataan sang guru, darah semua murid Go Bie bergolak-golak. Dengan serentak mereka menghunus senjata dan berteriak, "Kami bersumpah akan berkelahi mati-matian!"
Biat Coat tertawa tawar, "Bagus! Kamu mengasolah," katanya.
Mendengar itu semua Bu Kie merasa kagum. Sebagian besar murid Go Bie Pay adalah wanita, tapi dalam menghadapi bahaya, mereka tidak menunjukkan rasa keder sedikitpun jua. Didengar dari pembicaraan Biat Coat Suthay, kekuatan Mo Kauw bukan main besarnya. Perkataan itu sebenarnya sudah harus diucapkan si Ni Kouw tua pada waktu mereka mau berangkat ke See Hek. Akan tetapi, pada waktu itu, mungkin ia tidak menduga, bahwa sesudah terbit perpecahan, dalam menghadapi musuh dari luar, Mo Kauw masih bisa bersatu padu. Munculnya Ceng Ek Hok Ong telah membuktikan adanya kerja sama dalam kalangan Mo Kauw.
Sesudah berdiam beberapa saat, Biat Coat berkata pula: "kalau Ceng Ek Hok Ong datang, Peh Bie Eng Ong, dan Kim Mo Say Ong dan mungkin akan datang juga. Cie San Liong Ong dan kelima Ciang Kie Su pun bisa turut datang. Menurut rencana semula, paling dulu keenam partai besar akan membinasakan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kong Beng Su Cia Yo Siauw dan susudah itu, barulah kita membasmi siluman-siluman lainnya. Tak dinyana, hitung-hitungan Sin Kie Sianseng dari Hwa San Pay kali ini melesat jauh. Haha!... Semua salah." (Cie San Liong Ong Rajawali baju ungu)
"Apakah Cie San Liong Ong siluman jahat?" Tanya Ceng Hie.
Sang guru menggelengkan kepala. "Entahlah, akupun hanya mengenal nama," jawabnya. "Sepanjang keterangan, sesudah gagal menduduki kursi Kauw Cu, dia pergi ke luar lautan dan memetuskannya hubungan dengan Mo Kauw. Alangkah baiknya bagi pihak kita, bila dia masih mempertahankan sikapnya itu. Diantara keempat raja dalam kalangan Mo Kauw, ia menduduki tempat yang paling tinggi, sehingga dengan sendirinya, dia merupakan musuh yang berat. Dalam Mo Kauw terdapat dua orang Kong Beng Su Cia, disamping Yo Siauw masih ada seorang Su Cia lainnya. Semenjak dahulu, ada Kong Beng Su Cia kiri dan Kong Beng Su Cia kanan dan kedudukan kedua orang lebih tinggi daripada keempat Hu Kauw Hoat Ong. Yo Siauw adalah Kong Beng Cu Su (Kong Beng Su Cia kiri) tapi she dan nama Kong Beng Yo Su (Kong Beng Su Cia kanan) tak pernah dilihat siapa jua. Kong Bun dari Siauw Lim Pay dan Song Wan Kiauw Song Tayhiap adalah orang-orang yang berpengelaman sangat luas. Tapi merekapun tak tahu siapa adanya Kong Beng Yo Su itu. Sekarang tujuan kita adalah menyerang Yo Siauw. Dalam pertempuran berhadapan, sepala apa akan diputuskan oleh kepandaian ilmu silat dari kedua belah pihak.
Yang sangat dikuatirkan olehku ialah waktu kita menghajar Yo Siauw, diam-diam Kong Beng Yo Su melepaskan anak panah gelap.
Murid-murid Go Bie mendengar penjelasan itu dengan hati berdebar-debar, bahkan beberapa diantaranya menengok ke belakang, seolah-olah mereka kuatir Cie San Liong Ong dan Kong Beng Yo Su menyerang dengan mendadak.
"Yo Siauw telah mencelakakan Ki Siauw Hu, Wi It Siauw telah membinasakan Ceng Hian," kata pula Biat Coat dengan suara menyeramkan.
"Permusuhan antara Go Bie Pay dan Mo Kauw adalah permusuhan yang sangat mendalam. Go Bie dan Mo Kauw tidak dapat berdiri bersama-sama dalam dunia ini. Murid mana yang akan menjadi ahli waris Go Bie Pay akan diputuskan dalam pertempuran yang akan datang. Andaikata ada seorang murid lelaki yang tanpa menghiraukan keselamatan jiwa sendiri, secara kebetulan bisa membinasakan salah satu Hu Kauw Hoat Ong, maka aku" aku bersedia untuk melanggar kebiasaan kita yang sudah berjalan hampir seratus tahun lamanya" "
Kedua mata Biat Coat mengawasi ke tempat jauh. "Semenjak Kwee Couwsu yang mendirikan partai kita.
Ciang Boin dari Go Bie Pay selalu dipegang oleh seorang wanita." Katanya pula dengan suara perlahan.
"Jangankan laki-laki, sedang wanita yang sudah menikahpun tidak dapat menjadi Ciang Cun Jin. Akan tetapi, pada waktu partai menghadapi bahaya besar, aku tidak dapat mengkukuhi lagi kebiasaan lama.
Sekarang siapa saja, tak perduli lelaki atau perempuan, yang berjalan besar akan menjadi ahli waris partai kita."
Semua murid Go Bie menundukkan kepala. Tak seorangpun membuka mulut. Di dalam hati mereka merasa sangat tidak enak, karena sang guru memberi pesan untuk di hari kemudian sehingga seolah-olah guru itu mendapat firasat, bahwa ia takkan kembali ke Tionggoan dengan bernyawa.
Tiba-tiba Biat Coat tertawa terbahak-bahak, suaranya yang nyaring menempuh jarak jauh di gurun pasir yang sunyi itu. Semua murid Go Bie bangun bulu romanya, mereka kaget bercampur heran.
"Tidurlah!" bentak Biat Coat seraya mengibas tangan jubahnya.
Seperti biasa, Ceng Hie segera mengatur penjaga malam.
"Tak usah," kata sang guru.
Ceng Hie terkejut, tapi ia tidak berani membantah. Mentang-mentang, juga jaga malam tiada gunanya.
Kalau Ceng Ek Hok Ong atau orang yang sepantasnya datang menyatroni, jaga malam atau tidak jaga malam tidak berdaya.
Malam itu lewat tanpa sesuatu yang luar biasa dan pada keesokan paginya, rombongan Go Bie meneruskan perjalanan. Kira-kira tengah hari mereka sudah melalui seratus li lebih. Langit cerah dan matahari memancarkan sinarnya yang gilang gemilang sehingga biarpun waktu itu sudah musim dingin, orang-orang Go Bie merasakan hawa yang hangat.
Selagi enak berjalan, di jalan barat laut tiba-tiba terdengar suara bentrokan senjata. Tanpa menunggu perintah Ceng Hie, semua orang segera mempercepat tindakan, menuju ke arah suara itu. Tak lama kemudian, lapat-lapat mereka melihat bayangan beberapa orang yang sedang bertempur. Sesudah datang lebih dekat, mereka mendapat kenyataan, bahwa tiga orang Toojin (imam) yang memegang senjata-senjata aneh tengah mengepung seorang lelaki setengah tua.
Ketiga Toojin itu mengenakan jubah panjang warna putih dan pada tangan jubah sebelah kiri terdapat sulaman obor yang berwarna merah sehingga dengan demikian, dia adalah orang Mo Kauw. Lelaki sedang dikepung bersenjatakan pedang panjang dan meskipun satu melawan tiga, dia tak jatuh di bawah angina.
Waktu itu Bu Kie sudah sembuh, tapi dia tetap berlagak belum bisa jalan dan terus duduk di kereta salju.
Dengan rasa kagum, ia mengawasi. Sambil membentak keras, orang itu memutar badan dan pedangnya menyambar tepat di dada salah seorang Toojin. Para murid Go Bie bersorak sorai. Diantara sorakan, Bu Kie pun mengeluarkan seruan tertahan, sebab ia mengenali, bahwa tikaman itu adalah Sun Siu Tiu Couw (dengan menuruti aliran sungai mendorong perahu), suatu pukulan dahsyat dari Bu Tong Kiam Hoat, dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bahwa lelaki setengah tua itu bukan lain daripada Bu Tong Liok Hiap In Lie Heng.
Rombongan Bu Kie terus menonton tanpa memberi bantuan. Melihat datangnya bantuan dan sesudah seorang kawannya roboh, kedua Toojin yang masih mengepung jadi ciut nyalinya.
Sesudah bertempur beberapa jurus lagi, sambil berteriak keras mereka lari berpencaran. Satu ke selatan dan satu ke utara. In Lie Heng menguber musuh yang lari ke selatan dan sebab ia larinya lebih cepat, dalam sekejab ia sudah bisa menyusul dan menghantam punggung Toojin itu dengan telapak tangannya.
Si Toojin memutar badan dan melawan dengan nekat. Dilihat cara berkelahinya yang tak memperdulikan keselamatan diri sendiri, ia nampaknya bertujuan binasa bersama-sama.
Sementara itu, toojin yang kabur ke jurusan utara makin lama jadi makin jauh. Untuk merobohkan musuhnya yang berkelahi bagaikan harimau edan, In Lie Heng masih memerlukan waktu, sehingga biar bagaimanapun jua, ia takkan bisa menyusul toojin yang lari ke utara itu.
Murid-murid Go Bie yang sangat membenci orang-orang Mo Kauw, mengawasi Ceng Hie dengan harapan kakak seperguruan itu akan memberi perintgah supaya mereka memberi bantuan. Beberapa murid wanita yang bersahabat dengan Ki Siauw Hu mengetahui, bahwa In Lie Heng bekas tunangan Nona Ki. Setelah Ki Siauw Hu binasa karena gara-gara perebutan Kong Beng Su Cia Yo Siauw, mereka lebih bersimpati kepada Bu Tong Liok Hiap.
Tapi Ceng Hie bersangsi. Dalam rimba persilatan Bu Tong Liok Hiap mempunyai kedudukan tinggi.
Setiap bantuan yang diberikan kepadanya tanpa diminta, berarti melanggar tata kehormatan. Maka itu, setelah memikir sejenak, ia mengambil keputusan untuk tidak membantu. Ia lebih suka siluman itu meloloskan diri daripada melakukan perbuatan tidak pantas terhadap In Liok Hiap.
Sesaat itu, sekonyong-konyong diangkasa berkelabat sehelai sinar hijau, sinar pedang yang terbang dari tangan In Lie Heng. Dengan kecepatan yang tak mungkin dilukiskan, senjata itu menyambar punggung Toojin yang sedang kabur. Si toojin sendiri bukan tidak tahu, bahwa punggungnya tengah disambar pedang, tapi sebab cepatnya senjata itu, ia tidak keburu berkelit, sehingga dilain detik, ulu hatinya sudah menjadi toblos. Tapi dia masih lari terus dan sesudah lari lagi sejauh dua tombak, barulah ia roboh binasa.
Dan pedang itu sendiri, sesudah menembus ulu hati si Toojin, masih terbang kurang lebih tiga tombak, kemudian menancap di pasir!
Demikian lihainya Bu Tong Liok Hiap In Lie Heng.
Semua murid Go Bie mengawasi kejadian itu dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Mereka tak dapat mengeluarkan suara.
Waktu semua mata ditujukan lagi ke galanggang pertempuran, Toojin yang barusan berkelahi nekat-nekatan sekarang bergoyang-goyang badannya, seperti orang mabuk. In Lie Heng tidak memperdulikannya lagi dan dengan tenang berjalan ke arah rombongan Go Bie. Baru ia berjalan beberapa tindak, Toojin bekas lawannya sudah roboh binasa. Sekarang barulah murid-murid Go Bie bersorak-sorai, bahkan BIAT COAT SUTHAY sendiri manggut-manggutkan kepalanya sebagai tanda memberi pujian. Dilain saat paras muka si nenek kelihatan berduka dan ia menghela nafas. Ia mengiri bahwa Bu Tong mempunyai murid-murid yang berkepandaian tinggi, sedang dalam Go Bie Pay, tak satupun yang memuaskan hati. Sesaat itu, ia ingat Ki Siauw Hu yang bernasib malang dan tidak bisa menikah dengan pria yang segagah Lie Heng. Mengingat murid itu, ia jadi lebih sakit hati terhadap Mo Kauw yang sudah mencelakai Noan Ki. (dalam alam pikir Biat Coat, Ki Siauw Hu dibinasakan oleh Yo Siauw dan bukan olehnya sendiri)
Bibir Bu Kie sudah bergerak untuk memanggil "Liok Susiok", tapi bibir itu rapat kembali. Diantara paman-pamannya, In Lie Heng-lah yang paling erat hubungannya dengan mendiang ayahnya dan selama ia berada di Bu Tong San, paman keenam itu selalu memperlakuinya dengan penuh kecintaan. Dengan hati berdebar-debar, ia mengawasi paman itu yang tak pernah dilihatnya selama delapan tahun. Ia mendapat kenyataan, bahwa Lie Heng sudah kelihatan banyak lebih tua, sedang rambut di kedua pelipisnya sudah dauk. Mungkin sekali kebinasaan Ki Siauw Hu sudah memberi pukulan hebat kepadanya. Di dalam hati, Bu Kie ingin sekali melompat dan memeluk orang yang dicintainya itu. Akan tetapi sebisa-bisa ia menahan hati, karena ia merasa bahwa jika ia berbuat begitu, ia bakal menghadapi banyak kejadian yang tidak enak.
Sementara itu In Lie Heng sudah menghampiri BIAT COAT SUTHAY dan seraya memberi hormat, ia berkata, "Dengan memimpin saudara-saudara seperguruan dan murid-murid turunan ketiga, yang semuanya berjumlah tiga puluh dua orang, Toa Suheng boanpwee sudah tiba di tepi It Sian Hiap. Atas titah Toasuheng Boanpwee datang kemari untuk menyambut kalian."
"Bagus!" kata Biat Coat. "Ternyata rombongan Bu Tong Pay yang datang lebih dulu. Apakah kalian sudah bertempur dengan pihak siluman?"
"Sudah tiga kali kami kebentrok dengan rombongan dua bendera. Bendera Bok dan Bendera Hwee,"
jawabnya. "Kami berhasil membinasakan beberapa siluman, tapi Citsutee Boh Seng Kok juga terluka."
Biat Coat mengangguk, ia mengerti, bahwa meskipun Lie Heng menjawab dengan tenang, ketiga pertempuran itu tentulah pertempuran sangat hebat. Ia pun mendapat kenyataan, bahwa pihak musuh lihai sekali. Lima pendekar Bu Tong yang berkepandaian tinggi ternyata masih belum bisa mengambil jiwanya Ciang Kie Su dan malah Cit Hiap Boh Seng Kok mendapat luka.
"Apakah kalian pernah menyelidiki kekuatan Kong Beng Teng?" Tanya pula Biat Coat."
"Sepanjang pendengara, Peh Bie Kauw, Kiu Tok Hwee dan lain-lain cabang Mo Kauw datang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
membantu," jawabnya. "Kata orang, Cie San Liong Ong dan Ceng Ek Hok Ong juga datang kemari."
Biat Coat terkejut, "Cie San Liong Ong juga datang?" ia menegas. Sambil bicara, mereka berjalan dengan perlahan, diikuti dari kejauhan oleh murid-murid Go Bie.
Sesudah beromong-omong kira-kira setengah jam, Lie Heng mengangkat kedua tangannya untuk berpamitan dengan mengatakan bahwa ia harus berhubungan dengan Hwa San Pay.
"In Liok Hiap," kata Ceng Hie, "Sesudah berjalan jauh, kau mestinya sudah lapar. Lebih baik makan dulu."
In Lie Heng tidak berlaku sungkan. "Terima kasih, baiklah." Katanya sambil mengangguk.
Murid-murid wanita Go Bie lantas saja mengeluarkan makanan kering. Beberapa diantaranya membuat dapur, menyalakan api, dan memasak air. Makanan mereka sendiri sangat sederhana, tetapi kepada In Lie Heng, mereka ingin menyediakan santapan yang sebaik-baiknya. Semua kecintaan itu telah diunjuk sebab mereka ingat Ki Siauw Hu yang telah tiada lagi di alam dunia. In Lie Heng pun mengerti apa yang dipikir oleh mereka. Dengan mata merah dan suara terharu, ia berkata, "Terima kasih atas kebaikan Suci dan Sumoay."
Sekonyong-konyong Cu Jie berkata, "In Liok Hiap, aku ingin mencari keterangan mengenai seseorang.
Apa boleh?" Dengan tangan memegang semangkok mie kuah, In Lie Heng menengok ke arah si nona dan berkata dengan suara manis. "Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama yang mulia dari Siauw Sumoay" Hal apa yang mau ditanyakannya" Asal saja aku tahu, aku tentu akan memberitahukan."
"Aku bukan orang Go Bie Pay," Jawabnya. "Aku malah lawan mereka dan telah ditangkap oleh mereka.
Sekarang aku menjadi tawanan Nikouw tua itu."
Mendengar jawaban itu, In Lie Heng yang semula menduga bahwa si nona adalah murid Go Bie Pay, jadi tercengang. Tapi karena nona itu sangat polos dan berterus terang, ia jadi merasa suka kepadanya. "Apa kau anggota Mo Kauw?" tanyanya.
"Juga bukan!" jawab Cu Jie. "Aku malah musuh Mo Kauw."
In Lie Heng jadi bingung, tapi ia tak punya tempo untuk bicara panjang-panjang. Sebagai penghargaan terhadap pihak tuan rumah, ia mengawasi Ceng Hie dengan sorot mata menanya.
"keterangan apa yang kau ingin dapat dari In Liok Hiap?" kata Ceng Hie.
"Pertanyaanku adalah ini: Apakah suhengmu Thio Cui San Thio NgoHiap juga datang di It Sian Hiap?"
kata Cu Jie. "Perlu apa kau menanya begitu?" menegas In Lie Heng.
Paras muka Cu Jie bersemu merah. "Aku ingin mencari tahu, apakah putera Thio Ngohiap yang bernama Bu Kie juga datang kemari," katanya dengan suara perlahan.
Bu Kie terkejut, "Apa Cu Jie sudah tahu siapa adanya aku?" tanyanya di dalam hati.
"Apa kau bicara sungguh-sungguh?" Tanya pula In Lie Heng.
"Sungguh-sungguh," jawabnya. "Aku tidak berani main-main terhadap In Liok Hiap."
"Sudah sepuluh tahun NgoKo meninggal dunia," kata Lie Heng dengan suara perlahan. "Apa benar nona tak tahu?"
Cu Jie melompat bangun. "Ah!" serunya. "Thio Ngohiap sudah meninggal dunia"! Kalau begitu, dia"dia"
sudah yatim piatu." "Apakah nona mengenal keponakanku Bu Kie?" Tanya In Lie Heng."
"Lima tahun berselang, di rumah Tiap Kok Ie Sian Ouw Ceng Goe, aku pernah bertemu dengannya,"
jawab si nona. "Tapi sekarang aku tak tahu dimana ia berada."
"Atas titah Suhu, akupun pernah datang di Ouw Tiap Kok untuk menemui Bu Kie." Kata pula In Lie Heng." Akan tetapi, suami isteri Ouw Ceng Goe telah dibinasakan orang dan Bu Kie tak ketahuan kemana perginya. Lama juga aku menyelidiki tanpa berhasil. Belakangan" hai! Tak dinyana" tak dinyana.. Ia tak dapat meneruskan perkataannya, sedang paras mukanya berubah sedih.
"Ada apa?" Tanya si nona tergesa-gesa. "Apa yang didengar olehmu?"
Dengan rasa heran, In Liok Hiap menatap wajah Cu Jie. "Nona," katanya. "Mengapa kau menaruh perhatian begitu besar?" Apakah keponakanmu sahabat atau musuhmu?"
Cu Jie mengawasi ke tempat jauh. Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata dengan suara perlahan.
"Aku telah mengajak dia pergi ke pulau Leng Coa To.."
"Leng Coa To?" memutus Lie Heng. "Pernah apa nona kepada Gin Yap Sianseng dan Kim Hoa Popo?"
Si nona tidak menjawab. Ia terus melamu dan bagaikan seorang linglun, ia berkata pula pada dirinya sendiri. "Dia bukan saja menolak, tapi juga memukul, mencaci dan bahkan menggigit tanganku, hingga darahku mengucur..." Seraya berkata begitu, telapak tangan kirinya mengusap-usap belakang tangan kanannya" tapi" tapi.. kutetap tak dapat melupakannya. Aku bukan mau mencelakai dia, aku ingin bisa mengajak dia ke Leng Coa To supaya dia bisa menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Popo. Aku ingin berusaha untuk mengusir racun dingin Hian Beng Sin Ciang yang mengeram dalam tubuhnya. Tapi dia garang luar biasa. Dia menganggap maksudku yang begini baik sebagai niatan jahat.
Kisah Pembunuh Naga Jilid 35 Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Karya Chin Yung As transcribed by: Budi Wibowo Indra
==========================
Bu Kie kaget tak kepalang. Baru sekarang ia tahu, bahwa Cu Jie adalah A-Iee yang pernah mencekal lengannya dalam pertemuan di Ouwtiap kok. Baru sekarang ia tahu bahwa kecintaan yang tidak dapat dilupakan oleh si nona adalah dirinya sendiri. Ia mengawasi muka Cu Jie. Pada roman yang jelek itu sudah tak ada bekas-bekas dari kecantikan yang dulu. Tapi waktu melihat sinar mata si nona, lapat-lapat ia ingat sinar mata A-Iee. "Kalau begitu dia murid Kim hoa Popo", kata Biat coat Suthay dengan suara dingin. "Kim hoa Popo pun bukan seorang dari partai lurus bersih. Tapi sekarang kita tak boleh menanam terlalu banyak permusuhan dan untuk sementara waktu, kita tahan saja padanya.
"Nona," kata Lie Heng. "Terhadap keponakanku, kau ternyata mempunyai maksud baik. Hanya sayang dia tipis rejeki. Beberapa hari berselang, aku telah bertemu dengan Sianseng Ho Thay Ciong, Ciang bun jin dari Kun lun pay. Dari orang tua itu, aku mendapat tahu, bahwa pada empat tahun berselang, karena terpeleset Bu Kie telah jatuh ke jurang yang dalamnya berlaksa tombak. Hai"!
Kecintaan antara aku dan mendiang ayahnya bagaikan kecintaan antara tangan dan kaki. Di luar dugaan, langit tidak melindungi orang yang baik?"
"Bruk!" Cu Jie jatuh terjengkang.
Buru-buru Cu Cie Jiak membangunkannya dan sesudah mengurut dadanya beberapa saat, barulah si nona tersadar.
Bukan main sedihnya Bu Kie. In Lie Heng dan Ciu Jie sudah begitu berduka karena mencintainya, tapi ia sendiri harus berlaku begitu tega dan tidak mau memperkenalkan dirinya. Pada saat itu, tiba-tiba beberapa tetes air mata jatuh di belakang tangannya. Ia mengangkat kepala dan mendapat kenyataan, bahwa orang yang menangis adalah Ciu Cie Jiak. Dengan hati tersayat, ia ingat kejadian di tengah sungai Han-sui. "Dia rupanya belum melupakan pertemuan di sungai itu," katanya di dalam hati.
Sementara itu sambil menggertak gigi Ciu Jie bertanya, "In Liok-hiap, apakah Bu Kie dicelakai oleh Ho Thay Ciong?"
"Bukan," jawabnya. "Sepanjang keterangan Bu Liat dari Cu-bu Lian hoan-chung telah menyaksikan dengan mata sendiri terpelesetnya dan jatuhnya keponakanku. Cu Tiang Leng, seorang ternama dalam rimba persilatan, juga turut mati bersama-sama."
Si nona menghela napas lalu berduduk.
"Nona, bolehkan aku mendapat tahu she dan namamu yang mulia?" tanya Bu-tong Liok Hiap.
Cu Jie menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia membanting diri di pasir dan menangis menggerung-gerung.
"Nona, tak usah kau begitu bersedih," membujuk Lie Heng. "Andaikata keponakanku tidak mati di dalam jurang, ia juga tidak bisa terlolos dari kebinasaan karena racun dingin itu. Hai" mati jatuh dengan badan remuk memang lebih baik daripada mati disiksa racun."
"Lebih cepat anak itu mati memang lebih baik," celah Biat-coat. "Kalau dia hidup terus, ia tak bisa menjadi lain daripada bibit penyakit."
"Bangsat tua! Jangan kau bicara sembarangan!" bentak Cu Jie.
Mendengar guru mereka dicaci, murid-murid Go-bie tentu saja merasa gusar dan empat lima orang sudah segera menghunus pedang. Tapi tanpa menghiraukan ancaman itu, Cu Jie terus mencaci. "Bangsat tua! Ayah Bu Kie adalah suheng dari In Liok hiap. Apakah ayahnya tidak cukup baik?"
Biat coat tidak menjawab, ia hanya tersenyum dingin.
"Ayahnya memang juga seorang dari partai yang lurus bersih," kata Ceng hie. "Tapi bagaimana dengan ibunya" Turunan perempuan siluman dari Mo kauw memang tidak bisa menjadi lain daripada bibit penyakit."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Perempuan siluman dari Mo kauw?" menegas Cu Jie. "Siapa ibunya Bu Kie?"
Murid-murid Go bie tertawa geli.
Bu Kie merasa dadanya mau meledak. Kalau tekadnya untuk menyembunyikan diri kurang kuat, ia tentu sudah melompat dan mencaci orang-orang itu yang menghina mendiang ibunya. Selebar mukanya merah padam, air matanya berlinang-linang, tapi dengan sekuat tenaga ia mempertahankan diri.
Sebagai manusia yang tidak kejam, mendengar pertanyaan Cu Jie, dengan suara perlahan Ceng hie menjawab, "Isteri Thio Ngohiap adalah anaknya In Thian Ceng dari Peh bie kauw. Dia bernama In So So?"
"Ah!" teriak Cu Jie. Wajahnya lantas saja berubah pucat.
"Sebab menikah dengan perempuan siluman itu, nama Thio Ngohiap menjadi hancur, hingga pada akhirnya ia membunuh diri di Bu tong san, menerangkan Ceng hie. "Kejadian itu diketahui oleh orang sedunia. Apakah nona tak tahu?"
"Tidak?" jawabnya dengan mata membelalak. "Aku berdiam di Leng coa to, kutak tahu kejadian dalam rimba persilatan di wilayah Tionggoan. Tapi, di manakah adanya In So So sekarang?"
"Dia membunuh diri bersama-sama Thio Ngohiap." jawabnya.
Cu Jie melompat bagaikan dipagut ular. "Jadi dia" dia sudah mati?" teriaknya.
"Kau mengenal In So So?" tanya Ceng hie dengan suara heran.
Sesaat itu, disebelah timur laut sekonyong-konyong terlihat sinar api yang berwarna biru.
"Celaka!" seru In Lie Heng. "Keponakan Ceng Su dikepung musuh." Ia memutar badan dan memberi hormat kepada Biat coat dan yang lain lain, dan kemudian dengan tergesa-gesa lari ke jurusan sinar api itu.
Dengan sekali mengibas tangan, murid-murid Go bie segera mengikuti dari belakang In Liok hiap.
Waktu sudah datang dekat, mereka mendapat kenyataan bahwa seorang pemuda yang mengenakan pakaian sastrawan sedang dikepung oleh tiga orang. Ketiga orang itu, yang bersenjata golok, memakai tudung dan mengenakan pakaian kacung atau pesuruh. Sesudah menyaksikan beberapa gerakan, murid-murid Go bie merasa heran, sebab biarpun seperti pesuruh, mereka ternyata berkepandaian tinggi, lebih tinggi daripada toojin-toojin yang dirobohkan oleh In Lie Heng. Pemuda itu, yang bersenjata pedang panjang, sudah jatuh dibawah angin, tapi pembelaannya sangat kuat, sehingga sedikitnya untuk sementara ia masih dapat mempertahankan diri.
Tak jauh dari gelanggang pertempuran berdiri 6 orang yang mengenakan jubah panjang warna kuning dengan sulaman obor merah di tangan jubah. Itulah tanda, bahwa mereka anggota Mo kauw.
Melihat kedatangan In Lie Heng dan rombongan Go bie, seorang kate gemuk dari antara keenam penonton itu berteriak, "In Lie Heng tee (persaudaraan), kalian gagal! Larilah! Kami akan melindungi dari belakang."
"Hau-touw kie (Bendera tarah tebal) memang paling sombong!" teriak salah seorang dari ketiga pesuruh itu. "Orang she Gan! Kau saja yang kabur lebih dulu."
Perguruan Sejati 10 Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Kampung Setan 3