Pencarian

Kisah Membunuh Naga 20

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 20


Ceng hie mengeluarkan suara di hidung. "Kebinasaan sudah berada di atas kepalamu, tapi kau masih bertengkar dengan kawan sendiri," katanya.
"Suci, siapa mereka?" tanya Cu Cie Jiak.
"Yang mengenakan pakaian pesuruh adalah budak-budaknya In Thian Ceng," jawabnya. "Mereka bernama In Bu Hok, In Bu Lok dan In Bu Sioe."
"Budak?" menegas nona Ciu dengan suara heran. Tapi mengapa" mengapa" "
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Mereka bukan orang biasa, dulunya mereka perampok-perampok besar", menerangkan sang kakak.
"Keenam orang yang mengenakan jubah kuning adalah anggota-anggota Houw touw kie dari Mo kauw.
Siluman kate gemuk itu mungkin sekali Gan Hoan, Ciang kie su dari Houw touw kie. Menurut katanya Suhu, kelima Ciang kie su telah kebentrok dengan Kauwcu Peh bie kauw sebab berebut kedudukan?"
Tiba-tiba terdengar suara "brett!" dan tangan baju pemuda yang terkepung robek karena bacokan In Bu Sioe.
Sambil bersiul nyaring In Lie Heng melompat pedangnya membabat golok In Bu Lok. "Trang!" golok itu melengkung. Dengan kaget In Bu Lok melompat mundur.
Mendadak, bagaikan kilat Cu Jie melompat dan dengan menunjuk tangan kanan, ia menotok punggung In Bu Lok. Hampir berbareng bagaikan kilat pula, ia melompat balik ke tempat semula.
In Bu Lok berkepandaian tinggi. Tapi sebab ia sedang kaget dan juga sebab gerakan si nona cepat luar biasa, maka totokan itu mampir tepat pada sasarannya. Di lain saat, badannya kaku dan mukanya semu hitam.
In Bu Hok dan In Bu Sioe terkesiap. Dengan serentak mereka mendekati Bu Lok. Sekonyong-konyong mereka mengawasi Cu Jie dengan mata membelalak. "Lee siocia!... teriaknya dengan suara tergugu.
"Hm! Kamu masih mengenali aku?" kata si nona.
Semua orang yang menyaksikan itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka menduga bahwa kedua orang itu akan segera menyerang Cu Jie. Tapi diluar sangkaan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka segera memondong mayat kawannya dan lari ke jurusan utara. Itulah perubahannya yang sungguh tak dinyana-nyana.
Dengan sekali mengibas, dalam tangan si kate gemuk sudah mencekal sehelai bendera besar yang berwarna kuning. Perbuatan itu diturut oleh kelima kawannya sambil memutar-mutar bendera-bendera itu, perlahan-lahan mereka mundur ke arah utara.
Semua murid Go bie mengawasi dengan perasaan heran. Mendadak dua murid lelaki melompat dan menguber dengan senjata terhunus. Tubuh In Lie Heng berkelebat dan dalam sekejap, ia sudah melewati kedua murid Go bie itu. Dengan sekali mendorong, kedua orang itu terhuyung ke belakang beberapa tindak dan muka mereka lantas saja berubah merah.
"Jiewie sutee, balik!" bentak Ceng hie. "In Liok hiap bermaksud baik, Houw touw kie tidak boleh dikejar."
"Beberapa hari berselang, bersama Boh Cit tee aku menguber Liat-hwee-kie (Bendera api hebat),"
menerangkan Lie Heng. "Hampir-hampir kami celaka. Sebagian rambut dan alis Boh Cit tee terbakar."
Seraya berkata begitu, ia menggulung tangan baju kiri dan pada lengannya terlihat bekas-bekas terbakar.
Kedua murid Go-bie itu manggut-manggutkan kepala dengan perasaan jengah.
Sementara itu, sambil menatap wajah Cu Jie dengan sorot mata dingin, Biat coat Suthay bertanya,
"Cian-cee Ciat-hu-ciu, bukan?"
"Belum sempurna," jawab si nona.
"Mengapa kau membunuh dia?" tanya pula si nenek.
"Bukan urusanmu," kata si gadis dengan sikap acuh tak acuh. "Aku ingin membunuh, aku lantas membunuh."
Biat coat menggerakkan tangannya dan hampir berbareng ia sudah menyambut pedang Ceng hie,
"Cring!", Cu Jie melompat ke belakang dengan paras muka pucat. Mengapa" Karena dengan kecepatan luar biasa, dengan Ceng hie, Biat coat membabat telunjuk kanan si nona, gerakannya adalah sedemikian cepat, sehingga tak dapat dilihat nyata oleh siapapun jua.
Di luar dugaan telunjuk si nona tertutup bida jari yang terbuat daripada baja murni dan karena pedang yang digunakan Biat coat bukan Lethian kam, maka senjata itu tidak dapat memutuskannya. Dengan mendongkol si nenek melontarkan senjata itu kepada Keng hie dan sambil mengeluarkan suara di hidung ia berkata, "Kali ini kau masih mujur, di lain kali janganlah kau jatuh lagi ke dalam tanganku." Sikap itu adalah sesuai dengan kedudukannya sebagai ciangbunjin dari sebuah partai. Sesudah gagal dalam
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
serangannya terhadap seorang yang tingkatannya lebih rendah, ia sungkan menyerang untuk kedua kalinya.
Mengingat bantuan Cu Jie kepada pihaknya dan kecintaan nona itu kepada Bu Kie, In Lie Heng jadi merasa kasihan dan segera berkata, "Sosiok, dengan tak disengaja anak itu telah mempelajari ilmu yang sesat. Kita harus memberi kesempatan supaya dia belajar pada guru yang lurus bersih. Hmm", kurasa ada baiknya jika dia berguru kepada Thie-khim sianseng". Ia menarik tangan pemuda yang tadi dikepung dan berkata pula, "Ceng Su, lekaslah memberi hormat kepada Suthay dan para paman."
Pemuda itu segera maju mendekati dan berlutut di hadapan Biat-coat, tapi pada waktu ia mau menjalankan peradatan besar di hadapan Ceng hie dan yang lain-lain, para murid Go bie itu menolak dan membalas hormat.
Pada waktu itu Thio Sam Hong sudah berusia lebih dari seratus tahun dan jika dihitung hitung tingkatannya lebih tinggi beberapa tingkat daripada Biat-coat. Karena pernah bertunangan dengan Kie Siauw Hu, maka kedudukan In Lie Heng jadi lebih rendah setingkat daripada Biat caot. Jika sebagai pendiri Bu-tong-pay, Thio Sam Hong direndengi dengan pendiri Go bie pay, Kwee Siang, maka menurut pantas Biat coat lah yang harus memanggil "Susiok" kepada In Lie Heng. Tapi sebegitu jauh Bu Tong dan Go bie tidak berani menerima panggilan dengan melihat saja usia masing-masing. Tapi meskipun begitu, murid-murid Go bie tidak berani menerima panggilan "paman" dari sasterawan muda itu.
Sesudah menyaksikan kegagahan pemuda itu sekarang dengan perasaan kagum semua orang mengawasi paras mukanya yang tampan dan angker.
"Ceng Su adalah putera tunggal dari Toasuko," In Liok-hiap memperkenalkan keponakannya.
"Aha!" seru Ceng hie. "Sejak beberapa lama aku memang sudah mendengar nama besarnya Giok bin Beng siang. Dalam kalangan Kangouw semua orang memuji Song Siauw-hiap sebagai seorang ksatria yang mulia hatinya. Aku merasa beruntung, bahwa di hari ini aku bisa bertemu dengannya". (Giok bin "
muka yang putih seperti batu pualam. Beng siang kun, seorang ksatria yang pandai pada jaman Liat kok).
Semua orang mengawasi pemuda tampan itu, dengan perasaan terlebih kagum. Memang sudah lama mereka mendengar nama cemerlang dari Giok bin Beng Siang Ceng Su.
Cu Jie yang berdiri di samping Bu Kie tiba-tiba berbisik, "A Goe dia lebih banyak tampan daripada kau".
"Tentu saja perlu apa dikatakan lagi?" kata Bu Kie.
"A Goe", kata pula si nona. "Coba kau lihat. Nona Ciu mu sedang memandang kau tak sudah-sudahnya". Perkataan itu diucapkan sangat perlahan, tapi Ciu Cie Jiak rupanya sudah mendengar, karena ia sudah melengos.
Sementara itu sesudah beromong omong beberapa saat, In Lie Heng berkata, "Su jie mari kita berangkat."
"Menurut rencana hari ini, kira-kira tengah hari rombongan Khong tong-pay akan tiba di sekitar tempat ini," kata Ceng-su. "Tapi sampai sekarang mereka belum muncul. Aku kuatir terjadi sesuatu yang tidak enak."
"Ya, akupun merasa kuatir," kata sang paman. "Kita sekarang sudah berada di daerah musuh."
"Menurut pendapatku, paling baik kita menuju ke barat bersama-sama rombongan Go bie-pay", kata pula pemuda itu. Mungkin sekali dalam jarak kira-kira lima belas li kita akan menemui musuh."
"Mengapa Song Siauw hiap bisa mengatakan begitu?" tanya Ceng hie dengan suara heran.
"Aku hanya menebak-nebak," jawabnya.
Ceng hie mengetahui, bahwa ayah pemuda itu Song Wan Kiauw, bukan saja tinggi ilmu silatnya, tapi juga paham ilmu Kie bun dan ilmu perang, sehingga sebagai putra seorang berilmu pemuda itupun tentu bukan sembarangan orang. Memikir begitu, ia tidak menanya lagi.
"Baiklah," kata In Lie Heng. "Memang paling baik jika kita jalan bersama-sama para cianpwee dari Go bie pay."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendengar perkataan In Lie Heng, Biat coat Suthay berkata dalam hatinya. "Sudah kira-kira tigapuluh tahun Thio Sam Hong tidak menghiraukan lagi segala urusan dunia dan pada hakekatnya tugas Ciangbunjin Bu tong pay sudah dipikul seanteronya oleh Song Wan Kiauw. Lihat-lihat gelagatnya, kedudukan Ciangbunjin ketika dari Bu tong pay akan diduduki oleh Song Siauw hiap. Sekarang saja sang paman sudah menuruti kemauan si keponakan!"
Tapi sebenar-benarnya hal itu sudah menjadi sebab In Lie Heng bertabiat halus dan sedapat mungkin sungkan membantah kemauan orang lain.
Demikian kedua murid Bu tong lalu berjalan bersama-sama rombongan Go bie. Sesudah melalui kurang lebih lima belas li, di depan mereka memandang sebuah bukit pasir. Melihat Ceng Su berlari-lari mendaki bukit itu, Ceng hie segera mengibas tangannya dan dua murid Go bie lantas saja menguber dari belakang, sehingga ketiga orang tiba di atas bukit hampir berbareng. Dan hampir berbareng dia mengeluarkan teriakan kaget, karena di sebelah barat itu kelihatan menggeletak belasan mayat.
Mendengar teriakan mereka, semua orang segera memburu ke atas. Mereka mendapat kenyataan, bahwa semua korban binasa sebab pukulan hebat, ada yang hancur batok kepalanya, ada yang melesak badannya dan sebagainya.
In Lie Heng yang mempunyai paling banyak pengalaman dalam dunia Kang-ouw lantas saja berkata,
"Rombongan Po yang-pang dari propinsi Kang-say termusnah seanteronya. Mereka dihancurkan oleh Kie bok kie (Bendera balok besar) dari Mo kauw".
Biat coat mengerutkan alis, "Mengapa Po yang-pang datang kesini?" tanyanya dengan suara kurang senang. "Apakah diundang oleh partaimu?" Si nenek mendongkol sebab partai lurus bersih biasanya memandang rendah kepada berbagai golongan/perkumpulan (pang hwee) dalam dunia Kang ouw dan ia segan untuk bercampur dengan "pang pang" itu.
"Tidak, kami tak mengundangnya", jawab Lie Heng. "Tapi Lauw Pangcu dari Po yang-pang telah diakui sebagai murid Khong tong pay. Mereka rupanya ingin membantu rumah perguruan."
Biat coat mengeluarkan suara di hidung dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Sesudah mayat-mayat dikuburkan, seorang murid lelaki Go bie pay, she Wie, yang merasa kagum akan jitunya tebakan Song Ceng Su, bertanya, "Saudara Song, apakah kita bakal bertemu dengan musuh?"
Pemuda itu tidak lantas menjawab, sambil mengawasi kuburan-kuburan yang berderet-deret, ia mengasah otak. Sekonyong-konyong, kuburan yang paling barat membuka dan seorang lelaki melompat keluar. Bagaikan kilat dia menawan murid Go bie she Wie itu dan lalu kabur.
Semua orang terkesiap, beberapa murid wanita mengeluarkan teriakan kaget. Di lain detik, Biat coat dan Lie Heng, Song Ceng Su dan Ceng hie sudah menguber dengan senjata terhunus. Selang beberapa saat, sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah murid-murid Go bie mendusin, bahwa orang itu ialah Ceng ek Hok ong. Dengan mengenakan pakaian anggota Po yang-pang dia menambah napas dan berlagak mati. Murid-murid Go bie yang mengubur mayat, yang tidak memeriksa dengan teliti sudah kena dikubur. Setelah menahan korbannya, si Raja kelelawar kabur, tapi dia tak kabur terus seperti orang mengejek dia lari berputaran, membuat sebuah lingkaran.
Waktu baru mengundak, Biat Coat berempat lari dengan berendeng; tapi sesudah melalui terlihatlah tinggi rendah kepandaian mereka, dengan dua orang lebih dulu dan dua orang lebih belakang. Biat Coat dan In Lie Heng di sebelah depan. Ceng Hie dan Ceng Su mengikuti dari belakang. Tapi sesudah dua putaran, Ceng Su makin mendekati Biat Coat dan In Lie Heng, sedangkan Ceng hie ketinggalan makin jauh. Dari sini dapatlah dilihat, bahwa pemuda itu benar-benar lihay dan meskipun usianya masih muda, ia sudah memiliki lweekang yang tinggi. Tapi ilmu ringan Ceng ek Hok ong tiada bandingannya dalam rimba persilatan. biarpun mendukung manusia, ia tetap belum dapat disusul.
Sesudah dua putara, tiba-tiba Ceng Su berhenti mengundak dan berteriak, "Tio Leng Cu Su siok, Oey Kio Bu Su siok, pergilah kedudukan Lee-wie dan memotong larinya musuh! Sun Liang Tin Susiok, Lie Beng Hee Susiok, cegatlah musuh dari kedudukan Cina wie!..."
Bagaikan seorang panglima, ia berteriak-teriak memberi perintah kepada belasan murid Go bie untuk mencegat musuh dengan mengambil kedudukan Pat-kwa. Orang2 Go bie yang kehilangan pimpinan, sudah menuruti semua perintah itu, yang dikeluarkan dengan suara angker.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Karena adanya pencegatan yang sangat rapat itu, Ceng ek Hok ong tidak bisa lari putaran lagi dengan leluasa. Seraya tertawa nyaring ia melemparkan tawanannya ke tengah udara dan kemudian kabur ke tempat lain. Biat coat melompat dan kedua tangannya menyangga tubuh muridnya yang melayang jatuh.
Di lain saat, sayup-sayup terdengar suara si Raja kelelawar, "Hah..hah!... Di antara orang muda banyak yang lihay, dengan mempunyai murid yang lihay itu, Biat coat Loohie sungguh tidak boleh dibuat permainan." Dengan berkata begitu, ia memuji kepandaian Song Ceng Su.
Sementara itu Biat coat berdiri terpaku dengan muka pucat pasi. Sebab murid yang dipeluknya ternyata sudah binasa, dengan luka bekas gigitan di lehernya.
Dengan hati berduka, tanpa mengeluarkan sepatah kata semua orang berdiri di sekitar Biat coat.
Sesudah lewat beberapa lama, In Lie Heng berkata dengan suara perlahan. Menurut katanya orang, Ceng ek Hok ong selalu menghisap darah manusia. Cerita itu ternyata bukan omongan kosong."
Biat coat Suthay malu, marah dan sakit hatinya. Semenjak menjadi Ciangbunjin Go bie pay baru kali ini ia mendapat pukulan yang begitu hebat. Dua orang muridnya dengan beruntun telah dibinasakan musuh, tanpa bisa berbuat apapun jua. Sesudah berdiri bengong beberapa lama, ia mengawasi Ceng Su dan bertanya, "Bagaimana kau tahu nama murid-muridku itu?"
"Tadi Ceng hie Susiok telah memperkenalkan mereka kepada teecu," jawabnya.
"Hm.. mendengar dan tak lupa lagi!" kata si nenek dengan suara perlahan. "Go bie pay mana punya orang sepandai itu?"
Malam itu, waktu mengaso dengan sikap hormat Ceng Su menghampiri Biat coat dan berkata sambil membungkuk, "Cianpwee, bolehkan boanpwee memohon sesuatu yang tidak pantas?"
"Kalau kau tahu tidak pantas, tak perlu kau membuka mulut," kata si nenek dengan tawar.
"Ya," kata pemuda itu sambil bertindak mundur dan kemudian duduk di samping In Lie Heng.
Murid-murid Go bie merasa sangat heran. Mereka tak tahu apa yang mau diminta pemuda itu. Sebagai seorang yang berwatak sangat tidak sabaran, Teng Bin Kun segera mendekati dan bertanya, "Saudara Song, apakah yang mau diminta olehmu?"
"Waktu mengajar ilmu pedang, ayahku pernah mengatakan bahwa pada jaman ini orang palilng lihay kiam hoatnya di dalam dunia adalah Sucouw kami, sedang yang kedua ialah Biat coat Cianpwee.
Kiamhoat Bu-tong dan Go bie masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangan. Misalnya saja, pukulan Chioe hwie Ngo hian (Tangan menyapu lima kali tetabuhan) dari Bu tong hampir bersamaan dengan Ceng lo Siauw-san (Kudung tipis dan kipas kecil) dari Go bie pay. Tapi jika Chioe hwie Ngo hian dikirim dengan menggunakan tenaga yang besar maka kelincahannnya jadi berkurang dan tidak dapat menyamai Ceng lo Siauw san yang tetap bisa mempertahankan kecepatannya." Seraya berkata begitu, ia menghunus pedang dan menjalankan kedua jurus itu. Tapi waktu menjalankan Ceng lo Siauw san, gerakannya sangat tidak sempurna.
"Salah," kata Teng Bin Kun sambil bersenyum dan mengambil pedang yang dicekal pemuda itu.
"Pergelangan tanganmu masih sakit dan tidak bisa mengeluarkan banyak tenaga," katanya. "Tapi kau lihatlah aku memberi contoh."
Pemuda itu mengawasi dengan penuh perhatian. Sesudah Teng Bin Kun selesai dengan jurus itu, sambil menghela napas ia berkata, "Ayahku sering mengatakan bahwa ia merasa menyesal belum bisa menyaksikan ilmu pedang gurumu. Hari ini boanpwee merasa sangat beruntung bisa mendapat kesempatan untuk menyaksikan pukulan Ceng lo Siauw san dari Teng Susiok. Sebenarnya boanpwee ingin memohon petunjuk-petunjuk Suthay mengenai beberapa hal dalam kiamhoat. Tapi karena boanpwee bukan murid Go bie, maka tak dapat boanpwee membuka mulut.
Biarpun berada di tempat yang agak jauh, Biat coat sudah mendengar pembicaraan itu. Bahwa ia dianggap sebagai jago pedang nomor dua dalam dunia, sudah menggirangkan hatinya. Pada jaman itu, Thio Sam Hong dipandang sebagai gunung Thay-san atau bintang Pak tauw dalam dunia persilatan dan ia dikagumi oleh semua orang. Biat coat sendiri belum pernah mengandung maksud untuk menandingi guru besar itu, sehingga pendapat kalangan Bu-tong bahwa ia adalah ahli pedang nomor dua sudah sangat memuaskan hatinya. Melihat jurus Ceng lo Siauw san yang barusan dijalankan oleh Teng Bin Kun ia merasa mendongkol sebab jurus itu masih jauh dari sempurna. Masakah Go bie kiam hoat hanya sebegitu"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Maka itu, ia segera menghampiri dan tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mengambil pedang yang tengah dicekal Teng Bin Kun. Sesudah mengangkat pedang itu sampai merata dengan hidungnya, tangannya menggetar dan ujung pedang segera mengeluarkan suara "ung ung?" Dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan, sembilan kali ia membulang balingkan senjata itu dengan kecepatan luar biasa. Tapi biarpun cepat,gerakan pedang dilihat dengan nyata sekali.
Para murid Go bie mengawasi dengan mata membelalak.
"Sungguh indah", teriak In Lie Heng.
Song Ceng Su sendiri memperhatikan setiap gerakan sambil menahan napas. Ia kagum bercampur kaget. Tadi dengan memberi pujian, ia sebenarnya hanya ingin menyenangkan hati si nenek. Tapi dilluar dugaannya, niekouw tua itu benar-benar lihay dan ia merasa takluk. Maka itu dengan setulus hati ia segera memohon beberapa petunjuk lain.
Sekarang Biat coat berlaku loyal. Semua pertanyaan dijawab dan dijelaskan seterang-terangnya, sedang dimana perlu nenek itu bersilat untuk memberi contoh-contoh. Semua murid Go bie memperhatikan itu tanpa bersikap. Banyak diantaranya, bahkan ada yagn sudah mengikutu sang guru selama belasan tahun belum pernah melihat kiam hoat yang lihay itu dari gurunya.
Cu Jie dan Bu Kie berdiri diluar lingkaran penonton. Tiba-tiba si nona berkata, "A Goe Koko, kalau aku bisa mempunyai ilmu ringan badan setinggi Ceng-ek Hok ong biarpun mati aku merasa rela."
"Guna apa memiliki ilmu yang sesat?" kata Bu Kie. "menurut katanya In Liok-hiap, saban kali menggunakan ilmunya, Wie It Siauw harus membunuh manusia. Perlu apa mempunyai ilmu siluman?"
"Dalam pertempuran, manusia saling membunuh, kalau tidak membunuh tentu dibunuh," kata Cu Jie.
"Wie It Siauw lihay dan dia berhasil membunuh murid Go bie. Kalau dia kurang lihay, bukankan dia sendiri yang bakal dibunuh oleh si niekow tua" Dimataku, tak ada perbedaan antara partai lurus bersih dan golongan yang dikatakan sesat."
Bu Kie tidak mengatakan suatu apa lagi.
Sekonyong-konyong sebatang pedang berkeredepan di angkasa. Pedang itu adalah senjata Song Ceng yang kena dilontarkan oleh Biat coat dengan pukulan Kiauw jiak yoe liong (Gesit bagaikan naga). Semua orang mendongak dan mengawasi senjata itu. Tiba-tiba mata mereka melihat sinar api yang berwarna kuning di sudut timur laut yang jauhnya kira-kira belasan li.
Dalam usaha untuk membasmi Mo-kauw keenam buah partai telah bersepakat untuk menggunakan anak panah api dari enam macam warna sebagai tanda mereka. Anak panah yang bersinar kuning itu adalah tanda Khong tong pay.
"Khong tong pay bertemu dengan musuh," kata In Lie Heng. "Mari kita membantu."
Mereka segera memburu ke jurusan itu. Tapi sesudah melalui belasan li, apa yang ditemukan hanialah pasir kuning.
"Apa Oen Loocianpwee dari Khong tong pay?" teriak In Lie Heng. "Apa Kouw Loocianpwee?"
Teriakan itu menempuh jarak yang jauh, tapi tak mendapat jawaban.
Sekonyong-konyong di sebelah barat muncul sinar kuning.
"Ah! Mereka pindah ke barat," kata Ceng hie. Dengan tergesa-gesa mereka memburu ke jurusan barat.
Tapi sesudah berlari-lari beberapa lama, mereka tetap tidak menemui manusia. Di tempat itu mereka hanya mendapatkan potongan bambu dan kertas yang hancur terbakar, sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa anak panah api itu telah dilepaskan dari tempat tersebut.
Semua orang jadi bingung dan mencoba memecahkan teka-teki itu.
"Cian pwee, kita kena diakali," tiba-tiba Song Ceng Su berkata, "Lihatlah! Di atas pasir hanya terdapat tapak kaki seorang manusia. Kalau benar kawan-kawan Khong Tong-pay menemui musuh, yang kita lihat sedikitnya tapak empat atau lima orang."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Mendadak Song Ceng Su ingat sesuatu. "Celaka!" ia mengeluh, "Kong tong-pay benar diserang musuh. Ikutilah aku." Sehabis berkata begitu ia segera berlari-lari ke arah barat daya.
"Bagaimana kau tahu bahwa Khong Tong-pay telah bertemu dengan musuh?" tanya In Lie Heng yang lari bersama dengan keponakannya.
"Anak panah api itu bukan palsu," jawabnya.
"Anak panah api yang digunakan oleh keenam partai hanya dapat dibuat oleh tukang-tukang yang pandai dari Tiong-goan. Anak panah begitu tak bisa dibuat oleh tukang-tukang daerah See hek."
"Apakah kau ingin mengatakan bahwa seorang murid Kong tong kena tangkap dan anak panah api itu dirampas dari tangannya?" tanya sang paman pula.
"Benar," jawabnya. "Sementara itu, pihak siluman telah memancing kita ke timur laut dan kemudian ke barat untuk membuat kita lelah. Menurut pendapatku, mereka berkumpul di sebelah barat daya."
Biat Coat yang berada dalam jarak kita-kira dua langkah dari mereka, dapat menangkap pembicaraan mereka. Ia mengangguk seraya berkata, "Kurasa tebakanmu tidak meleset."
Kecuali Biat Coat, In Sie Heng, Song Ceng Su dan beberapa murid yang berkepandaian tinggi, murid-murid Go Bie yang lainnya sudah sangat letih. Setelah melalui sekian li, di atas sebuah bukit pasir yang menghadang di depan tiba-tiba kelihatan seorang yang sedang berdiri dan seorang yang rebah di pasir.
Biat Coat mempercepat langkahnya dan setelah dekat, ia mendapati kenyataan bahwa kedua orang itu tidak lain dari Bu Kie dan Cu Jie.
Ternyata dalam keadaan sibuk, orang-orang Go Bie sudah tidak memperhatikan kedua tawanan itu lagi, yang entah bagaimana bisa berada di sebelah depan.
"Mengapa kau berada di sini?" tanya Biat Coat. Di dalam hati ia merasa sangat heran. Apakah kedua setan kecil itu bisa berjalan lebih cepat"
Cu Jie menyengir. "Anak panah api itu terang-terang telah digunakan memancing musuh," jawabnya.
"Kukira, bahwa biarpun orang-orang Go Bie tak sadar, bocah she Song itu pasti akan menebak juga. Aku menduga pada akhirnya kalian semua tentu akan ke sini. A Goe Koko, bukankah benar begitu?"
Bu Kie mengangguk. "Kami sudah berada di sini lama sekali," katanya sambil tersenyum. "Kalian sangat capai bukan?"
"Setan kecil!" bentak Biat Coat. "Kalau kau sudah menduga begitu mengapa tidak cepat-cepat memberitahukan kepada kami?"
"E eh, mengapa kau marah?" kata si nona.
"Mengapa kau tak minta pendapatku" Andaikata aku memberitahukan kepada kau, kau tentu tak akan percaya. Kau tentu lebih suka berlari-lari ke sana-sini."
Biat Coat gusar, tapi ia tak bisa mengatakan apapun jua dan iapun tak bisa menghajar nona itu tanpa alasan.
Pada saat itulah, di sebelah barat daya seolah-olah terdengar suara bentrokan senjata yang sangat banyak. "Perlu apa kau bergusar terhadapku?" kata Cu Jie. "Kawan-kawanmu sedang menghadapi bahaya."
Biat Coat dan yang lain tidak lagi memperdulikan Cu Jie yang berlidah tajam dan dengan tergesa-gesa mereka menuju ke arah barat daya.
Makin dekat suara pertempuran jadi makin hebat. Di antara bentrokan senjata terdengar juga teriak dari orang-orang yang terluka. Beberapa saat kemudian mereka terkesiap karena dari jauh mereka melihat suatu pertempuran besar-besaran. Masing-masing pihak mempunyai kekuatan beberapa ratus orang dan mereka sedang bertempur mati-matian.
"Pihak musuh terdiri dari bendera-bendera Swie Kim (Emas murni), Ang Sui (Air besar) dan Lian Hwee," kata In Lie Heng. "Khong Tong-pay sudah berada di sini. Hwa San-pay dan Kun Lun-pay juga sudah tiba. Tiga bendera melawan tiga partai, Su Jie mari kita turut menyerbu." Sambil berkata begitu, ia mengibaskan pedangnya yang mengeluarkan suara mengaung.
"Tunggu dulu," kata Ceng Su. "Kita tunggu sampati datangnya para paman dari Go Bie-pay."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Seumur hidup Bu Kie belum pernah menyaksikan pertempuran yang begitu besar dan begitu hebat.
Dengan hati sedih ia mengawasi manusia yang saling membunuh itu. Di dalam hati kecilnya, ia tidak mengharapkan kemenangan pihak manapun juga, karena pihak yang satu adalah partai mendiang ayahnya sedang pihak yang lain adalah golongan mendiang ibunya.
Selagi menunggu murid-murid Go Bie yang ketinggalan di belakang, tiba-tiba Ceng Su menuding ke arah timur. "Liok siok lihat!" katanya. "Di sebelah sana terdapat sejumlah besar musuh yang sedang menunggu untuk menerjang sewaktu-waktu."
Bu Kie mengawasi ke arah yang ditunjuk Ceng Su. Benar saja, pada jarak beberapa puluh tombak dari gelanggang pertempuran, terdapat tiga pasukan berkuda, setiap pasukan terdiri dari seratus orang lebih.
Mereka semua berbaris dengan rapi, siap sedia untuk segera menerjang.
Pada saat itu kedua belah pihak tengah berperang dengan kekuatan yang hampir imbang. Kalau ketiga pasukan berkuda itu menyerbu, orang-orang Khong Tong, Hwa San dan Kun Lun pasti akan kewalahan.
Tapi mengapa mereka tidak lantas menyerang"
Biat Coat dan Lie Heng heran bercampur kuatir. "Mengapa mereka belum juga bergerak?" tanya si nenek kepada Ceng Su.
Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entahlah," jawabnya. "Aku tak dapat menebak."
Mendadak Cu Jie tertawa geli. "Mengapa kau tak dapat menebak?" tanyanya, "Bukankah hal itu terang bagaikan siang?"
Paras muka Ceng Su berubah merah tapi ia membungkam. Biat Coat sebenarnya ingin sekali meminta pendapat Cu Jie tapi ia merasa tak enak untuk membuka mulut.
Tapi In Lie Heng yang sabar dan luas pengalamannya berkata, "Aku mohon petunjuk nona."
"Ketiga pasukan itu mestinya pasukan Peh Bie-kauw," terang si nona. "Biarpun Peh Bie-kauw merupakan cabang dari Mo kauw, tapi pihak Peh Bie telah bentrok dengan Ciang Kie Su dari lima bendera Mo kauw. Maka itu, andaikata kalian dapat membasmi musuh, diam-diam In Thian Ceng pasti akan merasa girang, sebab dengan demikian, ia mempunyai kesempatan untuk menduduki kursi Kauwcu dari Mo kauw."
Biat Coat dan Ceng Su lantas saja tersadar.
"Terima kasih atas petunjuk nona," kata Bu tong Liok hiap.
Ketika murid-murid Go Bie sudah menyusul dan mereka berdiri di belakang Biat Coat.
"Song Siauw hiap," kata Ceng hie, "Dalam mengatur barisan, kami tidak menandingi kau. Sekarang kau harus memimpin kami dan kami akan menaati semua perintah. Demi kepentingan bersama, jangan kau berlaku sungkan."
"Liok siok," kata pemuda itu tergugu, "Mana siauwtit sanggup menerima kedudukan itu"."
"Sudahlah!" kata Biat Coat. "Jangan rewel dengan segala adat istiadat kosong."
Ceng Su mengangguk dan dengan mata tajam ia memperhatikan jalannya pertempuran. Ketika itu Kun Lun-pay berada di atas angin. Pertempuran antara Hwa San-pay dan Ang Sui-kie kira-kira berimbang, sedang Khong Tong-pay makin lama jadi makin terdesak. Rombongan partai itu sudah terkurung oleh orang-orang Liat Hwee-kie yang mulai membasmi sepuas hati.
"Mari kita terjang Swie kim kie dari tiga arah," kata Ceng Su. "Dengan mengepalai beberapa paman, Suthay menyerang dari tenggara. Liok siok menyerbu dari barat, sedangkan Ceng hie Su siok dan boanpwee sendiri akan menerjang dari barat daya"."
"Tapi keadaan Kun Lun pay tidak perlu ditolong," kata Ceng hie heran. "Yang sedang menghadapi bencana adalah Khong Tong-pay."
"Kun lun-pay sudah berada di atas angin dan jika kita membantu, dalam sekejap kita akan dapat membasmi seluruh Swie Kim-kie," terang Ceng Su. "Sesudah Swie kim-kie dikalahkan kedua bendera yang lain pasti akan mundur sendirinya. Sebaliknya, kalau kita menolong Khong Tong, kita harus
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
melakukan pertempuran yang hebat dan lama. Bagaimana kalau dengan kesempatan itu, Peh Bie-kauw menyerbu dan mengurung dari berbagai jurusan?"
"Song siauw hiap benar," kata Ceng hie yang lantas saja membagi murid-murid Go Bie menjadi tiga rombongan.
Sambil menarik kereta salju Bu Kie, Cu Jie berkata, "Mari kita berangkat sekarang."
Keberangkatan mereka diliaht Song Ceng Su yang lantas saja mengejar. Sambil menghadang di tengah jalan dengan melintangkan pedangnya, ia membentak, "Nona, jangan pergi dulu!"
"Mengapa kau mencegat kami?" tanya si nona.
"Asal usulmu sangat mengherankan, kau tak bisa pergi begitu saja," jawabnya.
"Ada sangkut pautkah asal usulku dengan pribadimu?" tanya Cu Jie dengan suara tawar.
Biat Coat yang ingin menerjang musuh selekas mungkin jadi sangat tidak sabaran dan dengan sekali sekelebat, ia sudah berhadapan dengan Cu Jie. Hampir berbareng ia menotok jalan darah si nona di bagian punggung, pinggang dan betis. Tanpa bisa melawan Cu Jie roboh di pasir.
Sesudah itu, seraya mengibas pedangnya si nenek berteriak, "Hari ini kita membuka larangan membunuh untuk membasmi bersih kawanan siluman!" Bersama In Lie Heng dan Ceng hie yang masing-masing memimpin rombongan murid Go Bie, ia dalam pertempuran melawan Swie Kim-ke dibawah pimpinan Ho Thay Cong dan Pan Siok Ham, rombongan Kun Lun-pay sudah berada di atas angin. Maka itu penyerbuan Go Bie dan Bu Tong sudah segera menghancurkan garis pembelaan Swie Kim-kie.
Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi, Biat Coat mengamuk bagaikan harimau gila. Tak seorangpun dapat melawan dalam tiga jurus. Ia menerjang berputar-putar, pedangnya berkelabat kian kemari dan dalam sekejap, tujuh anggota Mo kauw sudah binasa dibawah pedangnya.
Melihat kehebatan si nenek, Ciang Kie Su dari Swie Kim-kie Chung Ceng namanya, segera menghampiri sambil memutar toya Long gee pang (toya bergigi serigala). Sekarang barulah Biat Coat tertahan. Sesudah bertanding belasan jurus seraya menggertak gigi, nenek itu segera mencecar musuhnya dengna jurus-jurus Go Bie Kiam hoat yang makin lama jadi makin gencar. Tapi Chung Ceng bukan orang sembarangan. Sedikitnya sementara waktu, ia masih dapat melayani pemimpin Go Bie-pay itu.
Banyak jago yang berkepandaian tinggi, tapi dalam menghadapi In Lie Heng, Ceng Hie, Song Ceng Su, Ho Thay Ciong dan Pan Siok Hem yang ahli-ahli silat kelas utama, mereka tidak bisa berbuat banyak.
Dalam beberapa saat saja, banyak anggota Mo kauw roboh tanpa bernafas.
Melihat kerusakan pada pihaknya bagaikan orang kalap, Chung Ceng mengirim tiga pukulan berantai sehingga mau tak mau Biat Coat terpaksa mundur selangkah. Chung Ceng mendesak dan mengirim pukulan ke-empat ke arah batok kepala si nenek Biat Coat seraya menotok toya musuh dengan jurus Sun-sui Toei couw (dengan mengikuti aliran air, mendorong perahu). Diluar dugaan, pemimpin Swie Kim-kie itu memiliki Lweekang dan Gwakang yang sangat tinggi. Melihat sambaran pedang musuh, sambil membentak keras ia melawan dengan toyanya.
"Prak!" pedang Biat Coat patah jadi tiga potong.
Meskipun kaget, selangkahpun si nenek tidak mundur. Tangan kanannya meraba ke belakang dan menghunus Ie Thian Kiam dan bukan saja membabat putus Long nge pang, tapi juga membabat somplak sebagian batok kepala Chung Ceng, yang segera roboh tanpa bersuara lagi.
Bukan main kagetnya para anggota Swie Kim-kie. Tapi dilain saat, segera bertindak keras, dia mengamuk. Biat Coat dan Ceng Su semula menduga, bahwa begitu Chung Ceng dapat dirobohkan, pasukan Swie Kim-kie akan lari lintang pukang dan pasukan Ang Sui serta Liat Hwee pun akan mengundurkan diri. Tak disangka, sebaliknya daripada kabur, mereka sekarang berkelahi dengan nekat.
Dalam sekejap murid-murid Kun Lun dan Go Bie sudah menjadi korban.
Tiba-tiba terdengar teriakan pasukan Ang Sui-kie, "Chung Kie su telah berpulang ke alam baka. Swie Kim dan Liat Hwee mundur! Ang Sui-kie melindungi diri dari belakang!"
Hampir berbarengan dengan teriakan itu, pasukan Liat Hwee-kie mulai bergerak mundur ke arah barat, tapi orang-orang Swie Kim-kie masih terus bertempur.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Orang itu berteriak pula, "Ini adalah perintah dari Ang Sui-kie. Para anggota Swie Kim-kie mundurlah! Usaha membalas sakit hati Chung Kie su dapat dilaksanakan di hari nanti."
"Saudara-saudara Ang Sui-kie mundurlah!" seorang Swie Kim-kie balas berteriak. "Tolong balas sakit hati kami. Tapi kami ingin hidup dan mati bersama-sama Chung Kie su."
Mendadak dari pasukan Ang Sui-kie muncul sehelai bendera hitam dan seseorang berteriak dengan suara lantang, "Saudara-saudara Swie Kim-kie, Ang Sui-kie pasti akan membalas sakit hatimu."
Waktu itu, sisa pasukan Swie Kim-kie hanya tinggal kira-kira tujuh puluh orang saja. Dengan serentak ia berteriak, "Thung Kie su terima kasih!"
Bendera-bendera Ang Sui-kie segera bergerak dan pasukan itu mulai mundur ke arah barat, dengan dilindungi oleh kira-kira dua puluh orang yang memegang bumbung yang mengeluarkan cahaya keemasan. Melihat gerakan yang mundur rapi itu, orang-orang Hwa San dan Khong Tong tak berani mengubar dan mereka lalu bantu mengepung sisa Swie Kim-kie.
Dengan dikurung oleh rombongan lima partai Kun Lun, Go Bie, Bu Tong, Hwa San dan Khong Tong, sisa pasukan itu tinggal menunggu ajalnya saja. Tapi demi persaudaraan, sedikitpun mereka tak gentar.
Mereka terus melawan dengan tekad untuk binasa bersama-sama pemimpinnya.
Sesudah merobohkan beberapa musuh, In Lie Heng merasa sangat tidak tega. "Siluman-siluman Swie Kim-kie dengarlah!" teriaknya. "Jalan kamu hanya jalan mati. Lemparkanlah senjatamu! Kami akan mengampuni jiwamu."
"Ciang kie Hu su (wakil pemimpin) Swie Kim-kie tertawa terbahak-bahak. "Ha"ha"ha"Kau terlalu memandang rendah Beng kauw," katanya. "Sesudah Tong Chung Toako binasa, bagaimana kami bisa hidup terus?"
"Saudara-saudara Kun Lun, Go Bie, Hwa San dan Khong Tong, mundurlah sepuluh langkah!" teriak In Lie Heng lagi. "Berikan kesempatan supaya mereka bisa menyerah."
Semua orang kecuali Biat Coat, segera saja mengundurkan diri. Si nenek yang sangat benci Mo kauw tidak meladeni dan terus membasmi sepuas hati. Di mana Ie Thian Kiam berkelabat, di situ tentu ada senjata putus atau manusia roboh. Melihat guru mereka menyerang terus, murid-murid Go Bie lantas saja maju kembali, sehingga dalam gelanggang pertempuran terjadi perubahan yaitu Go Bie-pay bertempur sendirian dengan Swie Kim-kie.
Kekuatan Swie Kim-kie masih ada enam puluh orang lebih dan jago-jago yang berkepandaian tinggi, sedikitnya masih ada dua puluh orang lebih, sehingga dengan begitu, dibawah pimpinan Ciang kie Hu su, Huw Kin Cu, jumlah mereka masih lima kali lipat lebih banyak daripada belasan orang Go Bie-pay.
Seharusnya dengan lima lawan satu, pihak Swie Kim-kie berada di atas angin. Tapi Biat Coat hebat luar biasa dan Ie Thian Kiam merupakan senjata terhebat pada jaman itu, maka dalam sekejap tujuh delapan anggota Swie Kim-kie sudah roboh lagi tanpa bernyawa.
Bu Kie merasa sangat tidak tega. Sambil berpaling ke Cu Jie, ia berkata, "Ayolah kita pergi." Ia mengangsurkan tangannya untuk membuka jalan darah si nona yang ditotok Biat Coat. Tapi sesudah menotok beberapa kali, jalan darah Cu Jie masih belum juga terbuka. Ternyata Biat Coat memiliki ilmu Lweekang yang sangat tinggi, maka totokannya masuk sangat dalam sehingga meskipun usaha Bu Kie dilakukan menurut cara yang tepat, jalan darah Cu Jie tak bisa terbuka dengan segera.
Sambil menghela nafas Bu Kie mengawasi jalannya pertempuran. Ketika itu, sisa pasukan Swie Kim-kie yang berjumlah beberapa puluh orang sudah tak bersenjata lagi. Senjata mereka telah diputuskan si nenek. Tapi karena dikurung rapat oleh rombongan partai dan juga mereka tidak berniat untuk melarikan diri, maka dengan tangan kosong mereka meneruskan perlawanan terhadap murid-murid Go Bie.
Sebagai seorang yang berkedudukan sangat tinggi, Biat Coat sungkan menggunakan senjata terhadap musuh yang sudah tak bersenjata. Di lain saat, tubuhnya berkelabat dan jari tangannya menyambar-nyambar dan dalam sekejap lima puluh lebih anggota Swie Kim-kie sudah berdiri tegak seperti patung dengan jalan darah tertotok. Melihat kepandaian si nenek yang luar biasa semua orang bersorak-sorai.
Fajar menyingsing, tiba-tiba di sebelah tenggara dan barat laut terlihat bayangan-bayangan manusia yang bergerak mendekati. Mereka adalah orang-orang Peh Bie kauw. Selagi Go Bie bertempur dengan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Swie Kim-kie, dengan rasa kuatir, Song Ceng Su terus memperhatikan gerak-gerik Peh Bie kauw. Kini mereka mulai mendaekati tapi dalam jarak kira-kira dua puluh tombak, mereka berhenti lagi.
"A Goe Koko, kita harus cepat pergi," kata Cu Jie. "Celaka benar bila kita jatuh ke tangan Peh Bie kauw."
Tapi, di dalam hati pemuda itu terdapat semacam perasaan yang tak bisa dilukiskan terhadap Peh Bie kauw. Pihak itu adalah pihak mendiang ibunya, tapi ia sendiri belum pernah bertemu dengan orang Peh Bie kauw. Setiap ingat mendiang ibunya, ia selalu berkata di dalam hati, "Aku tak bisa bertemu lagi dengan ibu. Kapankah aku bisa bertemu dengan kakek dan paman?" Dan kini mereka berada begitu dekat dengan dirinya. "Ah, biar bagaimanapun juga aku harus melihat, apakah kakek dan paman berada dalam pasukan itu," katanya di dalam hati.
Sementara itu Song Ceng Su mendekati Biat Coat. "Cian pwee," katanya, "Cepatlah mengambil keputusan terhadap orang-orang Swie Kim-kie supaya kita bisa segera menghadapi Peh Bie kauw."
Si nenek mengangguk. Waktu itu matahari pagi sudah mulai memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Bayangan Biat Coat yang tinggi besar yang terpeta di pasir kuning kelihatan angker sekali, tapi dalam keangkeran itu terasa sesuatu yang menyedihkan. Dalam kebenciannya terhadap Mo kauw, si nenek ingin sekali meruntuhkan semangat orang-orang itu. Maka itu, ia lantas saja membentak, "Hei, orang-orang Mo kauw! Kamu dengarlah. Siapa yang masih ingin hidup bisa mendapatkan pengampunan asal saja meminta ampun."
Tapi pengumuman itu dijawab dengan gelak tawa.
"Tertawa apa kamu?" bentak Biat Coat dengan gusar.
"Dengan Chung Toako kami ingin hidup dan mati bersama-sama!" teriak Ciang kie Hu su, Gouw Kin Co. "Kau jangan banyak rewel, cepat ambil jiwa kami."
Si nenek mengeluarkan suara di hidung, "Baikalh," katanya. "Tapi kau jangan mimpi bahwa kau bisa mampus dengan enak." Seraya berkata begitu ia membabat putus lengan orang itu.
Gouw Kin Co tertawa terbahak-bahak. "Beng kauw mewakili langit menjalankan keadilan, membereskan dunia menolong rakyat dan kami menganggap bahwa hidup atau mati tiada bedanya,"
katanya dengan suara nyaring. "Bangsat tua, jika kau mengharap takluknya kami maka seperti mimpi di siang bolong!"
Biat Coat menjadi makin gusar. Ie Thian Kiam menyambar tiga kali dan tiga orang putus lengannya.
"Bagaimana kau?" tanyanya pada orang yang kelima. "Apa kau mau minta ampun?"
"Tutup mulutmu!" bentak orang itu sambil tertawa.
Kali ini sebelum gurunya bergerak, Ceng hie sudah melompat mendahului dan memutuskan lengan kanan orang itu dengan pedangnya. "Suhu, biarlah teecu saja yang menghukum siluman-siluman itu,"
katanya. Dengan beruntun ia menanyai beberapa musuh tapi tak satupun yang sudi menyerah. Sesudah membabat putus lengan beberapa orang ia berpaling kepada gurunya seraya berkata, "Suhu, mereka sangat keras kepala"." Dengan berkata begitu, ia mengharapkan belas kasihan Biat Coat.
Tapi si nenek tidak memperdulikan suara memohon dari muridnya itu. "Putuskan lengan kanan semua siluman itu!" bentaknya. "Kalau mereka masih belum mengenal takut, putuskan lengan kirinya."
Ceng hie tak berdaya. Ia kembali mengangkat pedang dan memutuskan pula beberapa lengan.
Sampai disitu Bu Kie tak dapat menahan dirinya lagi. Ia melompat dari kereta salju dan menghadang di depan Ceng hie. "Tahan!" bentaknya.
Semua orang terkejut begitu juga Ceng hie yang langsung mundur selangkah. "Apa kau tak malu sudah menyakiti sesama manusia secara begitu kejam?" teriak Bu Kie dengan suara terengah.
Semua orang kaget tetapi sesudah melihat pakaian Bu Kie yang compang-camping mereka tertawa.
Sesudah tertawa dengan nyaring, Ceng hie berkata, "Semua orang ingin membinasakan kawanan siluman yang sesat. Dalam hal ini tak ada soal kejam atau tidak kejam."
"Para cian pwee dan toako ini adalah orang-orang yang berkepribadian luhur dan tidak takut mati,"
kata Bu Kie. "Sikap mereka sikap ksatria tulen. Bagaimana kau bisa menganggap mereka sebagai kawanan siluman yang sesat?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa kawanan Mo kauw bukan siluman?" tanya Ceng hie dengan gusar. "Dengan matamu sendiri kau telah menyaksikan bagaimana Ceng-ek Hong-ong membunuh manusia dan menghisap darahnya. Dia sudah membunuh soate dan sumayku. Kalau itu bukan siluman apa yang bisa dinamakan siluman?"
"Ceng-ek Hok-ong hanya membunuh dua orang tapi kamu sudah membinasakan sepuluh kali dua orang," kata Bu Kie. "Dia menggunakan gigi, gurumu menggunakan Ie Thian Kiam. Dia membunuh, gurumupun membunuh. Apa bedanya?"
Ceng hie emosi, "Bocah!" bentaknya. "Kau berani menyamakan guruku dengan siluman?" Seraya membentak ia memukul Bu Kie dengan telapak tangannya.
Dengan cepat pemuda itu berkelit. Tapi Ceng hie adalah murid kepala Go Bie-pay yang memiliki kepandaian yang tinggi. Pukulan yang ditujukan ke muka Bu Kie hanya pukulan gertakan dan begitu cepat pemuda itu berkelit, kaki kirinya sudah menendang dada. "Duk?" Sesosok tubuh terpental beberapa tombak jauhnya, tapi tubuh itu tubuh Ceng hie yang telah patah tulang betisnya.
Dalam ilmu silat Bu Kie memang kalah jauh dari Ceng hie. Tapi ia memiliki Kioe-yang Sin-kang yang keluar secara wajar, jika ia diserang orang. Makin berat serangan itu makin hebat tenaga menolak dari Kioe-yang Sin-kang. Untung juga, waktu menendang Ceng hie tidak berniat mengambil jiwa Bu Kie dan hanya menggunakan separuh tenaganya. Maka itu walaupun tulangnya patah ia tidak mendapat luka berat.
Semua orang termasuk Biat Coat, terkesiap. "Siapa dia?" tanya si nenek di dalam hati. "Selama beberapa hari aku tidak memperhatikan dia dan tak disangka dia seorang yang berkepandaian tinggi. Aku sendiripun belum tentu bisa melemparkan Ceng hie dengan cara begitu. Dalam dunia mungkin Thio Sam Hong yang memiliki Lweekang sedemikian dahsyat."
Biat Coat adalah manusia yang beradat aneh, keras dan kejam. Ia tidak berani memandang rendah kepada Bu Kie, tapi saat itu juga ia segera mengambil keputusan untuk mengadu jiwa dengan pemuda itu.
Dengan sorot mata tajam ia mengawasi Bu Kie dari kepala sampai kaki.
Tapi pemuda itu tidak menghiraukan karena ia sedang repot menolang orang Swie Kim-kie. Dengan cepat ia menotok jalan darah mereka dan sesudah ditotok darah yang mengalir keluar dari lengan yang putus segera berkurang. Di antara orang-orang itu terdapat banyak ahli ilmu totok, tapi tak satupun mengenal ilmunya Bu Kie yang lain dari yang lain.
"Terima kasih atas pertolongan Siauw hiap," kata Gauw Kin Co. "Bolehkah aku mengetahui she dan nama Siauw hiap yang mulia?"
"Aku she can namaku A Goe," jawabnya.
"Bocah kemari," bentak Biat Coat dengan suara dingin, "Sambutlah tiga seranganku."
"Tunggu dulu," kata Bu Kie seraya membalut luka korban yang terakhir. Sesudah selesai, barulah ia menghampiri si nenak dan berkata seraya merapatkan kedua tangannya, "Biat Coat Suthay, aku bukan tandinganmu. Aku sama sekali tak berniat untuk bertanding sama Loo jinke (panggilan menghormati untuk seorang yang tua). Aku hanya berharap supaya kedua belah pihak menghentikan pertempuran dan mengadakan perdamaian."
Ia bicara sungguh-sungguh dengan nada memohon. Dalam hatinya ia mencintai kedua belah pihak itu, karena pihak yang satu adalah pihak mendiang ayahnya sedang pihak yang lain adalah golongan mendiang ibunya.
Biat Coat tertawa dingin, "Apakah kami harus menghentikan pertempuran atas perintahmu, bocah bau?" katanya. "Apakah kau seorang Bu-lim Cie-cun?" (Bu-lim Cie-cun adalah seorang yang termulia dalam dunia persilatan)
Bu Kie terkejut, "Apa artinya perkataan Suthay!" tanyanya.
"Andaikan dalam tanganmu memegang golok To Liong To, kau masih harus melawan Ie Thian Kiam-ku untuk menentukan siapa menang siapa kalah," kata si nenek. "Sesudah kau menjadi Cie-cun dalam dunia persilatan, barulah kau boleh memerintah di kolong langit."
Mendengar ejekan sang guru semua murid Go Bie tertawa geli.
Bu Kie kaget dan ia segera berpikir, "Apakah tujuan orang-orang dunia persilatan yang mencari ayah angkatku hanialah untuk merampas To Liong To" Apakah mereka hanya bermaksud untuk menjadi yang termulia dalam dunia persilatan agar bisa memerintah di kolong langit?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Selagi berpikir begitu, murid-murid Go Bie masih belum berhenti tertawa.
Sebagai seorang muda yang tak mempunyai nama, memang juga tak pantas Bu Kie mengatakan
"mengharapkan kedua belah pihak menghentikan pertempuran". Mendengar suara tawa orang, paras mukanya lantas saja berubah merah.
Ia menengok dan di antara murid-murid Go Bie, ia melihat Ciu Cie Jiak yang tengah mengawasinya dengan sorot mata kagum dan menganjurkan, sehingga semangatnya lantas saja bangkit, "Mengapa kau mau membunuh begitu banyak orang?" katanya. "Setiap orang mempunyai ayah ibu, istri dan anak. Jika kau membunuh mereka, anak-anak mereka akan jadi yatim piatu, yang tentu akan dihina orang. Kau adalah seorang pertapa yang menyucikan diri. Dengan melakukan pembunuhan itu, apakah di dalam hati kau bisa merasa tenteram?" Waktu mengatakan kata-kata itu, suaranya bersungguh-sungguh dan mengharukan karena ia ingat akan nasibnya sendiri yang sejak kecil sudah ditinggal oleh orang tua.
Paras muka nona Ciu berubah pucat dan kedua matanya mengambang air.
Tapi muka Biat Coat sekalipun tak berubah. Ia adalah seorang manusia yang tidak pernah atau sedikitpun jarang memperlihatkan perasaan hatinya pada paras mukanya. Waktu ia membuka mulut suaranya tetap dingin bagaikan es. "Bocah, apakah aku masih perlu dinasehati olehmu" Dengan mengandalkan tenaga dalammu yang kuat, kau membacot di sini. Baiklah, jika kau bisa menerima tiga pukulanku aku akan melepaskan manusia-manusia itu."
Kisah Pembunuh Naga Jilid 36

Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karya Chin Yung ============ "Mana berani aku bertanding dengan Suthay?" kata Bu Kie, "Aku hanya mengharap supaya Suthay suka menaruh belas kasihan." "Can Siangkong, tak usah banyak bicara dengan bangsat tua itu!" teriak Gouw Kin Co. "Kami lebih suka mampus daripada menerima belas kasihannya yang diliputi kepalsuan."
Biatcoat mengawasi Bie Kie dengan sroto mata tajam. "Siapa gurumu?" tanyanya.
Goe Kie berpikir sejenak. "Ayah dan ayah angkatku pernah mengajar ilmu silat kepadaku tapi mereka bukan guruku," katanya di dalam hati. Maka itu, ia lantas saja menjawab, "Aku tidak punya guru."
Jawaban itu mengejutkan semua orang. Dalam Rimba Persilatan, seorang guru sangat dihormati.
ADalah lumarh jika seorang murid tidak mau menyebutkan nama gurunya, tapi tak mungkin terjadi bahwa seoran gyan gmempuynya guru mmengatakan tak punya guru. Makau itu kalau Bu Kie mengatakan tak punya guru, ia pasti tak punya guru.
Sekarang Biatcoat tak mau banyak omong lagi. "Sambutlah!" katanya seraya menepuk dengan tangannya.
Bu Kie tidak bisa tidak melawan. Sambil mengerahkan Lweekang, ia mendorong dengna kedua tangannya untuk menyambut pukulan si nenek. Mendadak Biatcoat menundukkan tangannya dan bagaikan seorang ikan kecil, tangan itu melejit dari sambutan Bu Koe. Akan kemudian bagaikan kilat, menyambar kedada pemuda itu. Dalam kagetnya, tenaga Kioe-yang Sin kang dalam tubung Bu Kie keluar secara wajar. Pada detik kedua tenaga hampir beradu, tenaga pukulan Biatcoat mendadak menghilang.
Dengan tercengang Bu Kie mengawasi si nenek. Pada saat itulah, mendadak ia merasa dadanya seperti dipukul martil, kakinya bergoyang dan ia berjumpalitan beberapa kali. "Uah!" ia memuntahkan darah dan roboh.
Tenaga pukulan Biatcoat yang sebentar ada dan sebentar hilang, sungguh2 merupakan ilmu yag sudah mencapai puncak kesempurnaan. Tanpa merasa, dengan serentak semua orang bersorak sorai.
Sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati Cu Jie melompat dan berlari2 menghampiri "AGoe Koko, kau" kau" " katanya seraya coba membangunkannya.
"Bu Kie merasa dadanya menyesak. Ia menggoyang2kan tangannya dan kemudian berkaa dengan suara perlahan. "Jangan kuatir, aku tak mati." Perlahan-lahan ia merangkak bangun.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Biatcoat menengok pada tiga murid perempuannya dan berkata "Putuskan lengan kanan semua siluman itu!"
"Baik," jawab mereka seraya bertindak kearah orang2 Swie Kim Kie.
"Biatcoat Suthay," kata Bu Kie tergesa2.
"Kau mengatakan, jika aku" aku bias menerima tiga pukulanmu, kau akan melepaskan mereka. Aku sduah menerima pukulan pertama" masih ada dua."
Sesudah mengirim pukulan yang barusan, si nenek mengetahui, bahwa Lweekang Bu Kie bukan saja bukan Lweekang dari golongan Mo kauw, malah hampir sama dengan Lweekangnya sendiri. Ia juga tahu, bahwa biarpun ia mencoba melindungi orang2 Mo Kauw, Bu Kie bukan anggota "Agama" itu. Maka itu, ia lantas saja berkata. "Anak muda! Jangan kau coba mengurus urusan orang lain. Lurus dan sesat harus dibedakan sejelas2nya. Barusan aku hanya menggunakan sepertiga bagian tenagaku. Apa kau tahu?"
Bu Kie yakin, bahwa sebagai Ciangbunjin Biat Coat tentu tidak berdusta. Tapi ia sudah mengambil keputusan, bahwa biarpun mesti mati, ia tak bias mengawasi penyembelihan terhadap orang2 Mo Kaouw sambil berpeluk tangan. "Dengan tidak mengimbangi tenaga sendiri, biarlah aku menerima dua pukulan lagi," katanya.
Bu Kie tidak menghiraukan dan segera berkata pula, "Biatcoat Suthay"." Tapi ia hanya dapat mengeluarkan empat perkataan itu, karena mendadak Ia memuntahkan darah lagi.
Cu Jie bingung bukan main. Tiba2 ia bangun berdiri dan coba memapah pemuda itu. Tapi dilain saat, kedua ulunya lemas kembali dan ia jatuh pula dipasir. Ternyata, walaupun "hiat" yang ditotok oleh Biatcoat sudah dibuka Bu Kie, tapi darahnya belum mengalir biasa. Sekarang melihat pemuda itu terluka, dalam kagetnya ia dapat berdiri dan bergerak. Kejadian itu bersamaan sebab musababnya dengan seorang lumpuh, yang dalam kebakaran mendadak bias lari cepat. Tapi semangat dan tenaga Cu Jie yang luar biasa hanya keluar untuk sementara waktu.
Dengan rasa mendongkol Biatcoat menghampiri si nona yang dianggapnya rewel. Ia mengimbas tangan jubahnya dan tubuh Cu Jie terapung kebelakang. Ciu Cie Jiak yang berdiri di sebelah belakang buru-buru menyangga badan si nona dengan kedua tangannya dan kemudia, perlahan-lahan menaruhnya di atas pasir.
"Ceoi cie cie," kata Cu Jie, "cobalah bujuk supaya dia jangan menerima kedua pukulan lagi. Ia akan menurut apa yang kau katakan."
"Bagaimana kau tahu dia akah menurut?"" tanyanya nona Ciu dengan heran.
"Dia suka kepadamu," jawabnya. "Apakah kau tak tau?"
Paras muka Cie Jiak lantas saja bersemu dadu.
"Mana bias jadi!" katanya, kemalu2an.
Sementara itu sudah terdengar suara Biao coat yg menyeramkan. "Kau sendiri yang cari mati dan kau tak boleh menialahkan aku". Seraya berkata begitu, ia mengangkat tangan kanan nya dan menghantam dada Bu Kie.
Pemuda itu tak berani menangkis. Bagaikan kilat ia mengengos. Si nenek tiba2 menekuk sedikit sikunya dan dari sudut yang tidak diduga2, telapak tangannya menyambar punggung Bu Kie. "Plak!" dan tubuh pemuda (?"" Tidak terbaca)
Bu Kie roboh tanpa berkutik lagi, seolah2 ia sudah putus jiwa. Pukulan Biatcoat sebenarnya pukulan yang lihai luar biasa dan menurut partai kawan2nya dari lain lan partai harus bersorak sorai untuk memujinya. Tetapi semua orang berdiam seperti patung, karena di dalam hati, mereka merasa kasihan dan kagum terhadap pemuda itu yang telah mengunjuk perbuatan seorang kesatria.
"Cu ciecie," kata Cu Jie dengan suara parau, "aku memohon" memohon" lihat" lihat" lukanya!"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Jantung nona Ciu memukul keras. Permintaan itu diajukan dengan meratap dan di dalam hati, ia ingin sekali memenuhinya. Akan tetapi mana ia berani" Kalau ia menolong Bu Kie, berarti ia tidak mengindahkan guru sendiri. Kakinya sudah melangkah, tetapi di tarik lagi.
Beberapa saat kemudian, perlahan lahan tubuh pemuda itu bergerak dan kemudian, ia mencoba untuk berduduk. Tapi setelah beberapa detik mengandalkan sikutnya di pasir kuning, tenaganya habis dan ia terus roboh kembali.
Ketika itu,matahari sudah memancarkan sinarnya yang gilang gemilang dan semua orang bisa melihat bahwa Bu Kie seolah tidur dikobakan darah.
Pemuda itu berada dalam keadaan lupa ingat. Tanpa bergerak ia rebah dan ingin sekali bisa rebah disitu untuk selama lamanya. Tapi sayup2 ia ingat, bahwa untuk menolong orang2 Swie Kim Kie, ia maish haru smenerima satu pukulan lagi. Sesaat kemudian, ia menarik napas dalam2 dan dengan dorongan tenaga kemauan yg tiada taranya tiba2 ia teruduk! Tapi badannya lantas saja bergemetaran dan setiap detik, ia bisa roboh kembali.
Semua orang mengawasi dengan mata membelak.
Disekitar itu terdapat ratusan manusia. Tapi keadaan sunyi senyap bagaikan kuburan dan andaikata sebatang jarum ditanah, suaranya munkgin dapat didengar orang.
Dalam susunan itulah dalam otak Bu Kie mendadak berkelebat beberapa baris perkataan dalam Kioe yang Cing Keng yang berbunyi begini:
"Dia kuat, biarlah dia kuat,
Angin sejuk meniup bukit,
Dia ganas, biarlah dia ganas,
Bulan terang menyoroti sungai."
Sebegitu jauh, semenjak meninggalkan lembah itu ia belum pernah bisa menangkap artinya perkata2an itu. Sekarang, dalam menghadapi kekuatan dan keganasan Biat coat yang sama sekali bukan tandingannya, sekonyong2 otaknya seperti dapat menangkap arti daripada perkataan2 itu, yang seperti juga ingin mengunjuk, bahwa tak perduli bagaimana kuat dan ganasnya musuh, kita selalu dapat menganggapnya seperti angin yang meniup bukit atau rembulan yang memancarkan sinarnya diatas sungai. Angin dan rembulan itu takkan bisa mencelakai kita.
Tapi bagaimana" Bagaimana kita harus berhubungan sehingga kekuatan dan keganasan itu tidak menolakan kita"
Perkataan selanjutnya dalam Kioe yang Cia Keng adalah seperti berikut.
Biar dia ganas Biar dia jahat Bagiku cukuplah jika aku sekali menyedot hawa tulen!
Hawa tulen! Sekarang Bu Kie tersadar. Baru2 ia bersila dan sesuai dengan ajaran kitab itu, ia menjalankan pernapasan dan mengalirkan hawa "tulen" seluruh tubuhnya.
Dalam sekejap, ia merasa semacam hawa panas muncul dibagian "tian2" (pusar) dan hawa tulen mengalir terputar putar diseluruh tubuhnya, terus sampai ketangan dan kaki. Ia kagum bukan main. Baru sekarang ia tahu hebatnya ajaran Kioe yang Cin Keng. Ia mendapat luka berat, tapi tanaga dalam dan hawa "tulen" yang berada dalam tubuhnya sedikitpun tak berubah.
Hiat coat terus memperhatikan garak gerik pemuda itu dengan perasaan heran. Ia mengerti, bahwa Bu Kie benar2 kuat dan alot. Pukulannya yg pertama adalah salah satu pukulan dari Piauw soat Coan in ciang (pukulan salju melayang menembus awan). Pukulan kedua lebih liehay lagi yaitu Ciat chioe Kioe-sit dan yang telah digunakan olehnya adalah jurus ketiga. Kedua pukulan itu ialah pukulan2 terhebat dari ilmu silat Go Bie pay. Dalam pukulan pertama ia hanya menggunakan tiga barisan tenaga. Menurut perhitungannya, biarpun tidak mati, Bu Kie akan terluka berat dan patah tulang. Tapi tak dinyana, sesudah rebah beberapa saat, ia bisa duduk lagi (Ciat Chioe Kio sit).
Pukulan yang memutuskan terdiri dari sembilan jurus.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Menurut perhitungan pie bu (adu silat) dalam Rimba Persilatan, Biat coat sebenarnya boleh tidak usah menunggu sampai Bu Kie menjalankan pernapasannya untuk mengobati luka. Tapi sebagai orang tua yang berdudukan tinggi, ia merasa malu untuk turun tangan selagi lawan nya yang masih muda belia berada dalam bahaya.
Tapi Teng Bie Kun merasa tidak sabaran lantas saja berteriak, "Hie orang she Can! Jika kau tak berani menerima pukulan ketiga dari guruku, lebih baik kau lekas lekas berlalu dari sini. Apakah karat mesti menggu kau seumur hidup disini?"
"Teng Su cie, biarlah ia mengaso lebih lama sedikit," kata Ciu Cie Jiak dengan suara pelan.
Si perempuan she Tang lantas saja jadi gusar. "E!" bentaknya "Apa". Apa kau mau melindungi orang luar" Apa karena melihat bocah itu?" Ia sebenarnya ingin mengatakan "apa karena melihat bocah itu tampan mukanya kau jadi menuju padanya," tapi mendadak ia ingat, bahwa di hadapan begitu banyak orang dari berbagai partai, tidaklah pantas ia mengeluarkan kata2 sekasar itu. Maka itu, perkataannya putus di tengah jalan. Tapi tentu saja semua orang mengerti, apa yang ia mau mengatakan.
Ciu Cie Jiak malu bercampur gusar, sehingga mukanya berubah pucat, "Siaowmoay berakta begitu karena mengingat keangkeran partai dan guru kita," katanya dengan tawar. "Siauwmoay tak mau orang luar berbicara yang tidak2."
"Tidak, tidak apa?" bentak sang kakak.
"Ilmu silat partai kita tersohor dikolong langit dan guru kita seorang cian pwee yg berkedudukan sangat tinggi," jawabnya dengan bernapsu. "Maka itu, guru kita pasti tidak boleh mempunyai pandangan ygn bersamaan dengan seorang bocah. Hanialah karena dia sangat kurang ajar, maka guru kita sudah memberi ajaran kepadanya. Apa Suci menduga SuHu benar2 mau mengambil jiwa bocah itu" Selama kurang lebih seratus tahun, partai kita dikenal sebagai parai dari para ksatria. Guru kita dikagumi orang berkata kesatriaannya dan kemudian hatinya yang selamanya bersedia untuk memotong sesama manusia.
Bocah itu adalah seperti api lilin, sehingga cara bagaimana dia dapat menandingi matahari dan rembulan.
Biarpun dia berlatih seabad lagi, dia masih belum tentu bisa menandingi guru kita. Maka itu, apa jahatnya jika kita membiarkan dia mengaso terlebih lama?"
Indah sungguh pembelaan nona Ciu!
Semua orang manggut2, sedang orang yg plg bergirang adalah Biat Coat sendiri. Ia merasa, bahwa murid yg kecil itu sudah mengangkat baik nama Go bie pay di hadapan orang banyak.
Sesudah hawa "tulen" mengalir disekujur badannya, tenaga Bu Kie pulih kembali, semangatnya terbangun dan otaknya terang lagi. Setiap perkataan nona Ciu didengar jelas olehnya dan ia merasa sangat berterima kasih, karena tahu bahwa dengan berkata begitu, si nona coba menyelamatkan jiwanya.
Beberapa saat kemudian ia bangun berdiri seraya berkata, "Suthay biarlah boanpwe membuang jiwa dalam menerima pukulan terakhir."
Tak kepalang herannya si nenek. Ia sungguh tidka mengerti, cara bagaimana, dengan hanya bersila beberapa saat tenaga pemuda itu sudah pulih kembali. Apa dia mempunyai ilmu siluman" Sambil menatap wajah Bu Kie, ia berkata, "Sekarang kau boleh menyerang aku. Mengapa kau tidak mau membalas?"
Bu Kie bersenyum getir. "Dengan kepandaian yg tidak artinya, jubah Suthay saja boanpwee tak akan dapat menyentuh," jawabnya. Bagaimana boanpwee bisa menyerang?"
"Kalau kau tahu, pergilah lekas2," kata si nenek dengan suara lebih sabar. "Pemuda yang seperti kau memang suka dicari tandingannya. Biat coat Suthay sebenarnya tidak pernah mengampuni orang tpai hair ini aku melanggar kebiasaan itu."
Bu Kie membungkuk seaya berkata, "Terima kasih atas kasihan Cianpwee mengampuni juga saudara2
dari Swie Kim Kie?" Kedua alis nenek turun dan ia tertawa dingin. "Kau tahu apa Hoat Bengku?" tanyanya. (Hoat Beng nama seorang pendeta).
"Nama Ciapwee yang mulia ialah Biat dan Coat," jawabnya. (Biat berarti memusnakan sedang Coat bearti menumpas atau membinasakan).
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Bagus," kata si nenek. "Aku bertekad untuk memusnakan dan menumpas semua kawanan Mokauw.
Apa kau kira "Biat coat" suatu nama kosong?"
"Kalau begitu biarlah Cianpwee mengirim pukulan yang ketiga kata Bu Kie."
Si nenek tercengang. Seumur hidup ia belum pernah bertemu dengan manusia yang begitu nekad dan keras kepala. Ia sebenarnya seorang berhati dingin. Tapi sekarang tiba2 ia merasa sayang kalau pemuda gagah seperti Bu Kie harus mati konyol. Sesudah memikir sejenak ia segera mengambil keputusan untuk memukul saja di bagian tan tian supaya pemuda itu pingsan untuk sementara waktu dan kemudian, sesudah membinasakan orang orang Swe Kim Kie, ia dapat menolongnya lagi. Memikir begitu ia segera mengibas tangan kirinya dan bergerak untuk mengirim pukulan ketiga.
Sekonyong2 dari tempat jauh terdengar teriakan, "Biat Coat Suthay, tahan!" suara itu tahan luar biasa dan telinga semua orang merasa tak enak.
Dilain saat seraya menggoyang goyangkan kipas seorang pria sudah berdiri di hadapan sinenek. Orang itu mengenakan baju warna putih dna pada tangan baju sebelah kiri tersulam sebuah hiat-chioe (tangan berlumuran darah). Waktu berjalan tak sebutir pasirpun naik keatas dan semua orang lantas saja mengerti, bahwa ia adalah seorang yang berkedudukan tinggi dalam Peh bie Kauw.
Seragam resmi Peh Bie kauw, sama dengan seragam Mo Kauw yaitu pakaian warna putih.
Perbedaannya ialah kalau di tangan baju anggauta Mo-kaow terdapat sulaman obor, anggauta Peh bie kauw menggunakan tanda hiat chioe.
Sambil menyoja orang itu tertawa dan berkata, "Suthay selamat bertemu. Pukulan ketiga biarlah diterima olehku."
"Siapa kau?" tanya biat coat.
"Aku she In namaku yang rendah Ya Ong," jawabnya.
Mendengar nama "In Ya Ong" semua orang terkejut. Selama kira2 duapuluh tahun, nama itu menggetarkan dunia Kang ouw. Ayahnya yaitu Peh bie Eng ong In Thian Cong memusatkan seantero perhatiannya dalam pelajaran ilmu silat dan mneyerahkan semua urusan Pe bie kauw kepadanya, secara resmi. In Ya Ong hanya hiocu, Thian wie tong, tapi sebenarnya ia seorang wakil Kauw cu.
Dengan mata tajam Biat coat mengawasi jago Peh Bie Kauw itu baru berusia kira2 empatpuluh tahun.
Tapi bermata sangat tajam, seolah2 sinar kilat yang dingin. "Pernah apakah bocah itu kepadamu?"
tanyanya dengan suara dingin.
Jantung Bu Kie memukul keras. Hampir2 ia berteriak. "In Koekoe-ke!" (Koe Koe " paman, saudara lelaki dari ibu).
In Ya Ong tertawa besar, "Aku belum pernah mengenal dia," jawabnya. "Tapi karena melihat jiwanya yg luhur, yang berbeda dengan manusia2 palsu dalam Rimba persilatan, maka aku merasa sayang dan di dalam hatiku lantas saja timbul niatan untuk menjajal tenaga Suthay" Perkataannya yg paling belakang tidak sungkan2, seolah2 ia tidak memandang mata kepada si nenek.
Tapi Hiat coat tidak menjadi gusar. "Bocah," katanya kepada Bu Kie. "Kalau kau ingin hidup lebih lama, kau masih mempunyai kesempatan."
"Untuk menyelamatkan jiwa sendiri, boanpwee tidak berani melupakan budi orang", jawabnya.
Si nenek mengangguk dan lantas saja berkata kepada In Ya Ong, "Anak ini masih hutang satu pukulan. Perhitungan harus dibereskan satu persatu. Sebentar, sesudah beres yang satu, aku pasti tidak akan mengecewakan tuan."
In Ya Ong tertawa terbahak2. "Biat coat Su Thay!" bentaknya. "Kalau kau mempunyai nyali binasakanlah anak itu! Jika dia binasa, kamu semua, tak seorangpun yang bakal terluputkan mampus tanpa kubura!" seraya berkata begitu bagaikan melayang diudara, ia berlalu dari hadapan si nenek.
"Keluar semua!" teriaknya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Hampir berbareng, diseputar rombongan Biat coat dan kawan2nya, muncul sejumlah besar orang yg membekal tameng dan kedua tangannya mementang busur, dengan semua anak panah ditujukan ke arah rombongan Biat Coat.
Ternyata selagi Biat Coat berurusan dengan Bu Kie, kawanan Peh Bie Kauw telah membuat parit di pesisir dan sudah mengurung rombongan musuhnya. Perkerjaan itu dilakukan tanpa di ketahui oleh siapapun jua, karena perhatian semua orang ditujukan kepada Biat Coat dan Bu Kie.
Paras muka semua orang lantas saja berubah pucat. Dengan melihat mata anak panah yang berwarna biru, mereka tahu, bahwa senjata itu mengandung racun. Sekali In Ya Ong memberi perintah, kecuali beberapa orang yang berkepandaian tinggi, mereka semua akan binasa.
Diantara orang2 lima partai yg berada disitu, Biat Coatlah yang berkedudukan paling tinggi. Maka itu semua oran gmengawasinya dan menunggu keputusannya.
Si nenek adalah manusia keras kepala. Biarpun ia menarik, bahwa pihaknya telah menghadapi bencana, sikapnya tetap tidak berobah. "Bocah kau tidak boleh menialahkan orang lain untuk nasibmu,"
katanya kepada Bu Kie. "Dilain saat tulang2 dlm tubuhmu berkerotokan seperci kacang di goreng," dan kemudian dengan telapak tangan menepuk dada Bu Kie.
Pukulan itu pukulan terlihat Go Bie Pay dan dikenal sebagai Hudkong Po-tiaw (Sinar Budha menyorot diselebar dunia). Menurut kebiasaan ilmu silat, setiap pukulan berisi sejumlah jurus yg saling susul seperti mata2 rantai dan saban jurus mengandung pula perubahan2 yang tidak sedikit jumlahnya. Tapi Hudkong Po-tiauw hanya sejurus dan jurus itu tidak ada perubahannya. Biarpun begitu jurus tunggal itu lihai bukan main. Tak nanti ada manusia yang dapat mengelakkannya. Tenaga dahsyat terdapat di dalamnya adalah Go Bie Kioe yang kang. Pada jaman itu dalam kalangan Go Bie Pay hanya Biat Coat surang yg dapat menggunakan pukulan tersebut.
Semula si nenek hanya ingin memukul tantian Bu Kie, supaya ia pingsan untuk sementara waktu. Tapi sesudah munculnya In Ya Ong, ia mengambil keputusan untuk tidak malu kasihan lagi. Menurut anggapannya, jika ia menaruh belas kasihan kepada Bu Kie it artinya takut menghadapi In Ya Ong.
Demikianlah ia mengirim Hudkon Po Tiauw dengan seantero tenaga Go Bie Kioe yang kang.
Mendengar suara berkerotoknya tulang2 si nenek, Bu Kie mengerti, bahwa ia akan di serang dengan pukulan membinasakan. Ia tahu jiwanya tergantung atas selembar rambut. Pada detik itu untuk menolong jiwa, ia hanya mempunyai satu pegangan, yaitu perkataan yg terdapat dalam Kioe yang cie keng. "Biar dia jahat, biar dia ganas, bagiku, cukuplah jika aku sekali menyedot hawa tulen."
Maka itulah tanpa menghiraukan segala apa ia segera mengerahkan pernapasannya dan mengumpulkan hawa tulen didadanya.
"Plak!" telapak tangan Biat coat mampir tepat di dada Bu Kie!
Semua orang terkesikap, beberapa antaranya mengeluarkan seruan tertahan. Mereka menduga tulang2
pemuda itu akan hancur. Tapi muka Bu Kie kelihatan seperti orang kaget. Tapi ia tetap berdiri tegak diatas pasir, sedang paras Biat Coat pucat pasi bagaikan mayat, tanggannya yang barusan memukul bergetar.
Apa yang sudah terjadi"
Tenaga pukulan Hud kong Po tiauw adalah Go bie Kioe yang kang. Yang digunakan Bu Kie tenaga Kioe yang sin kang, Go Bie Kioe yang kang digubah Kwee Siang sesudah mendengari Kak Wan Tay Su menghafal Kioe yan Cin Keng. Karena hanya mendengar satu kali, maka dapatlah di mengerti, jika Kwee Siang tidak dapat menangkap isi kitab itu. Maka itu, Go Bie Kioe yang kang tidak dapat dibandingkan dengan Kioe yang Sin kang dari Bu Jie yang mendapatkannya dengan membaca kitabnya sendiri. Dengan lain perkataan Kioe yang Sin kang Bu Kie yang lebih tulen dan lebih murni terlebih kuat daripada Go Bie Kioe yang kang yg di miliki Biat Coat. Sebagai akibatnya, begitu lekas kedua tenaga kebentrok, Go Bie Kioe yang kang hilang bagaikan batu jatuh di laut.
Untuk sedetik Bu Kie merasa dadanya tergetar, tapi dilain saat, seluruh tubunya berubah nyaman dan semangatnya bertambah besar.
Mengapa" Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Karena Go Bie Kioe yang kang dihisap Kioe yang sin kang dan tenaga Go Bie Kioe yang kang berbalik menambah tenaga Bu Kie. Pemuda itu tak sengaja menghisap tenaga si nenek. Itu semua sudah terjadi secara wajar, sebab kedua rupa tenaga bersamaan sifatnya, sehingga yang lebih kuat menyedot yang lebih lemah.
Dalam pukulan pertama kedua Biat coat tak menggunakan Go Bie yang kang dan Bu Kie sudah terluka.
Sebab musabab dair ini semua tak di ketahui oleh siapapun jua. Semua orang Rimba persilatan sudah mendengar bahwa di dalam dunia terdapat Kioe Im Cin Keng. Tapi semenjak kerajaan Lam Song, Kioe Im menghilang dari Rimba persilatan. Disamping Kioe Im ada Kioe Yang cin kang. Tapi kecuali kak wan tay su, belum pernah ada manusia yang dapat melihatnya,s ehingga secara aneh dan kebetulan, Bu Kie mendapatkannya dari perut seekor kera. Maka itu kenyataan Go Bie Kioe yang sin kang tidak di ketahui oleh siapapun jua, bahkan tak diketahui pula oleh Biat Ciat sendiri yang hanya menggangap bahwa pemuda itu memiliki Lweekang yang sungguh2 luar biasa.
Sebab mempunyai Lweekwang yg sangat tinggi biarpun dalam bentrokan itu tenaga Go Bie Kie yang kang telah terhisap, lweekang Biat Coat tidak menjadi rusak dan ia sama sekali tak mengunjuk tanda ygn jelek. Maka itu, ratusan orang yang menyaksikan peristiwa itu memberi tafsiran yg beraneka warna. Ada yg menduga si nenek menaruh belas kasihan, ada yg menduga dia tak mau mencelakai jiwa ratusan lawan dan ada juga yg menduga berayali kecil dan takut akan ancaman In Ya Ong.
Sementara itu Bu Kie menyoja sambil membungkuk. "Terima kasih atas belas kasihan Su thay,"
katanya. Biat Coat mengeluarkan suara dihidung. Ia malu bercampur gusar. Ia sekarang serba salah, kalau memukul lagi, sebagai seorang cianpwee ia tak menepati janji. Kalau menyudahi saja, ia seperti jug mukuek lutut dibawah ancaman Peh Bie Kauw.
In Ya Ong tertawa terbahak2. "Orang yang bisa melihat selatan adalah seorang gagah katanya." "Tak mau Biat Coat menjadi sorang yg berkedudukan tinggi pada jaman ?""." Ia mengibas tangannya dan membentak "Mundur semua!"
Dengan serentak dan rapi, pasukan anak panah Peh Bie Kauw menghilang dalam parit.
Biat Coat malu besar, tapi orang tentu tidak mau percaya, jika ia mengatakan, bahwa barusan ia memukul sungguh2. orang tentu menggangap, bahwa ia takut akan ancaman In Ya Ong. Maka itu ia hanya mengawasi Bu Kie dengan sorot mata gusar. Sesaat kemudian, ia berseru, "In Ya Ong! Jika kau ingin menjadi pukulanku, marilah!"
"Sesudah hari ini menerima budi Suthay, aku tak berani membuat kdeosaan lagi," jawabnya. "Di hari kemudia masih ada kesempatan untuk bertemu pula."
Si nenek mengibas tangannya dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengajak murid2nya pergi ke arah barat. Rombongan Kun Lun Hwasan dan Kongtong bersama In lie Heng dan Song Ceng Su lantas berangkat.
Cu Jie yang masih belum bisa jalan lantas saja berteriak "A Go koko! Bawalah aku pergi dari sini!"
"Tunggu sebentar," kata Bu Kie yang inign bicara dengan In Ya Ong. Ia mendekati dan berkata.
"Terima kasih atas budi cianpwee, Boanpwee takkan dapat melupakannya."
Sambil mencekal tangan pemuda itu dan mengawasi mukanya dengan mata tajam. In Ya Ong bertanya. "Apa benar kau she Can?"
Di dalam hati Bu Kie ingin sekali menubruk dan memeluk pamannya, tapi sebisa bisa ia mempertahankan diri. Bahwa terharu, kedua matanya mengembang air.
Kata orang, "Melihat paman seperti melihat ibu sendiri." Sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia, selama belasan tahun, baru sekarang Bu Kie berjumpa dengan keluarga sendiri sehingga dapatlah di mengerti, jika ia merasa sangat terharu. Di lain pihak, In Ya Ong hanya menafsirkan menangisnya pemuda itu sebgai suatu tanda berterima kasih. Tiba2 ia melihat Cu Jie yg rebah di tanah dan ia terus saja tertawa dingin. "A lee," tegurnya. "Apa kamu sudah tidak mengenal aku?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Paras si nona lantas saja berubah. "Thi!" katanya dengan suara bergemetar.
Bu Kie terkejut dan berbareng ia melihat segala apa yg semula gelap baginya. "Ah! Kalau begitu ia putrinya Koekoe dan saudari sepupuku," pikirnya. "Ia telah membunuh ibu tirinya, menyebabkan meninggalnya ibu kandungnya sendiri dan ia mengatakan, bila bertemu ayahnya, akan membunuh dirinya.... Ah! Ia membinasakan In Bu Lok dengan Cian cu Ciat hu ciu. Mungkin sekali ketiga orang itu pernah menyakiti hatinya. Biarpun membenci In Bu Hok dan In Bu Sioe tidak berani melawan dia dan lari dengan membawa mayat Bu Lok...." Ia mengawasi si nona dan berkata pula dalam hatinya. "Tak heran ia agak mirip dengan ibu. Tak dinyana, ibuku adalah bibinya sendiri."
Sementara itu, seraya tertawa dingin In Ya Ong berkata. "Hm!... kau masih memanggil aku 'thi'.
Kukira sesudah mengikuti Kim hoa Popo, kau tak memandang sebelah mata lagi kepada Peh Bie kauw.
Kau tiada bedanya denagn ibumu. Hm!... mempelajari Ciaon cu ciat hu ciu. Ambillah kaca pandang mukamu yg tak keruan macam. Apakah didlm keluarga In ada manusia yg beroman seperti memedi?"
Cu Jie ketakutan dan menggigil. Tiba2 ia mendongak dan menatap wajah ayahnya. "Thia" katanya dengan nyaring. "Jika kau tak menyebutkan kejadian dahulu hari, akupun takkan menggusik usiknya.
Tapi sesudah kau menyebutkan itu, kini aku ingin menanya. Ibu telah menikah denganmu dan telah merawat engkau sebagai mana mesti. Tapi kenapa kau mengambil istri kedua?"
"Kurang ajar kau!" bentak sang ayah. "Orang lelaki manakah yang tak mempunyai beberapa istri dan gundik" Kau berdosa besar... tak guna kau coba membela diri dengan pertanyaan2 kurang ajar... hm...
Kim hoa Popo... Gin hip Sian Seng... sedikit pun kau tak memandang mata kepada Peh bie kauw". Sambil menengok kepada In Bu Hok dan In Bu Sioe, ia berkata, "Bawa budak ini!"
"Tahan!" kata Bu Kie. "In... Cian pwee, perlu apa kau membawa dia?"
"Budak ini adalah anakku sendiri," jawabnya dengan mendongkol. "Dia meracuni ibu tirinya sehingga mati dan diapun menyebabkan matinya ibu kandungnya sendiri. Perlu apa manusia binatang itu dibiarkan hidup di dalam dunia?"
"Waktu itu In Kouwnio masih sangat muda dan sebab jengkel melihat ibunya dihina orang. Ia sudah melakukan perbuatan yg tak pantas," kata pula Bu Kie. Dengan mengingat kecintaan antara ayah dan anak, aku mengharap Cianpwee suka mengampuninya."
In ya Ong tertawa terbahak2. "Bocah! Siapa sebenarnya kau, sehingga kau berani campur2 urusan rumah tanggaku" Apakah kau seorang Bu Lim Cie Cun?"
Di dalam hati Bu Kie ingin menjawab, "Aku bukan orang luar, aku keponakanmu," tapi perkataan itu yang sudah hampir keluar ditelan lagi.
Sesudah berdiam sejenak, In Ya Ong berkata pula, "Bocah secara mujur, hari ini jiwamu ketolongan.
Tapi jika kau tidak mengubah adat, jika kau terus coba2 campur urusan orang, biarpun kau mempunyai sepuluh jiwa juga tak cukup." Ia mengibas tangannya dan In Bu Hok serta In Bu Siong segera mengangkat Cu Jie dan menaruhnya dibelakang In Ya Ong.
Bu Kie mengerti, bahwa begitu lekas si nona dibawa oleh ayahnya, jiwanya pasti akan melayang.
Dalam bingungnya, ia melompat merampasnya. Alis In Ya Ong berkerut. Bagaikan kilat tangannya menyambar dan mencengkram dada Bu Kie yang lalu dilontarkan. "Bruk!" ia ambruk di pasir kuning.
Dengan Kie yang Sin Kang melindungi dirinya. Ia tidak dapat mendapat luka; tapi muka dan pakaiannya gelepotan pasir. Dengan cepat ia merangkak bangun dan lekas mengulangi usaha untuk merampas Cu Jie.
"Bocah!" bentak In Ya Ong. "Barusan aku menaruh belas kasihan. Tapi sekali lagi aku tak akan menaruh sungkan."
"In... cian pwee," meratap Bu Kie. "Dia adalah anak kandungmu sendiri. Dahulu kau sedang mendukung ida... kau pernah menyintainya... Dengan mengingat kecintaan itu, ampunilah dia..."
Mendengar ratapan itu, hati In Ya Ong tergerak jg. Ia mengawasi puterinya, tapi begitu melihat muka Cu Jie yg tak keruan macamnya, darahnya meluap lagi. "Minggir!" bentaknya.
Sebaliknya daripada menyingkir, Bu Kie melompat pula merebut si nona.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"A Goe Koko," kat Cu Jie. "Kau tak usah mempedulikan aku!" Aku takkan melupakan budimu.
Pergilah! Kau bukan tandingan ayahku."
Pada saat itulah mendadak muncul seorang pria yang mengenakan jubah berwarna hijau. Dengan kedua tangan ia mencekal belakang leher In Bu Hok dan In Bu Sioe dan lalu membentrokkan kepala kedua orang itu yang lantas saja menjadi pingsan. Hampir berbareng, dengan kecepatan kilat, ia mendukung tubuh Cu Jie dan segera kabur.
"Ceng ek Hong ong!" bentak In Ya Ong dengan gusar. "Kau juga mau campur2 urusanku!"
Ceng ek Hok ong Wie It Siauw tertawa dan terus lari dengan secepat-cepatnya. Sesuai dengan namanya "It Siauw" (Sekali tertawa), tertawa2nya nyaring dan panjang luar biasa.
In Ya Ong dan Bu Kie lantas saja mengubar. Kali ini Ceng ek Hok ong tak lari berputaran tapi terus menuju kejurusan tenggara. Dia sungguh lihai. In Ya Ong adalah seorang ahli silat kelas utama yg mempunyai lweekang sangat tinggi, sedang Bu Kie memiliki Kioe yang sin kang. Tapi makin lama mereka mengejar, Wie It Siauw yang mendukung orang, mereka ketinggalan makin jauh, sehingga si Raja Kelelawar tidak kelihatan bayang2nya lagi.
Bagaikan kalap, In Ya Ong mengubar terus. Diam2 dia merasa heran karena Bu Kie bisa terus merendenginya. Sesudah tak punya harapan menyusul musuh ia sekarang ingin menjajal kepandaian pemuda itu. Ia segera menggunakan seantero tenaga dalamnya dan lari bagaikan anak panah yg baru terlepas dari busurnya. Tapi pundak Bu Kie tetep berendeng dengan pundaknya. Tiba2 pemuda itu berkata, "In cianpwee, meskipun Ceng ek Hong bisa lari sangat cepat, lweekang nya belum tentu seberapa tinggi. Cobalah kita mengubar terus untuk mencoba kekuatannya.
In Ya Ong kaget bukan main. "Dengan lari secepat ini, aku telah menggunakan seantero tenaga dalamku," pikirnya. "Jangankan berbicara, bernapas salahpun sudah tak boleh. Tapi anak ini bisa berbicara dengan kecepatan lari yg tidak berubah. Apa dia mempunyai ilmu siluman?" Mendadak ia menghentikan tindakan dan dalam sedetik itu, tubuh Bu Kie sudah melesat belasan tomak jauhnya. Buruburu pemuda itu berhenti dan menghampiri In Ya Ong.
"Saudara Can," kata In Ya Ong, "Siapakah gurumu?"
"Tidak" tidak"." Kata Bu Kie tergugu. "In Cianpwee, janganlah kau memanggil aku dengan istilah
"saudara". Panggil saja namaku A Goe. Aku tak punya guru."
Mendengar jawaban itu, serupa ingatan tidak baik mendadak muncul dalam hati In Ya Ong. "Bocah ini memiliki kepandaian yang sangat aneh," pikirnya. "Kalau dia hidup terus, dia bisa jadi bibit penyakit.
Sebaiknya sekarang saja aku mangambil jiwanya."
Sekonyong-konyong di tempat jauh terdengar suara terompet yang terbuat daripada keong raksasa.
Itulah tanda bahaya dari Peh bie kauw.
Alis In Ya Ong berkerut. "Tak salah lagi Ang sui dan Liat Hwee yang cari lantaran," pikirnya. "mereka rupanya marah sebab aku tidak membantu Swie kim kie. Kalau sekarang aku menyerang dan tidak membinasakan bocah itu dengan satu kali pukul, aku mesti bertempur lama, sedang aku tak banyak waktunya. Aah". Lebih baik aku meminjam tenaga orang, biarlah dia mampus dalam tangan Wie It Siauw." Memikir begitu, ia lantas saja berkata. "Peh bie kauwsedang menghadapi musuh, dan aku harus segera kembali. Kau saja yang pergi mencari Wie It Siauw. Manusia itu sangat lihay dan jahat. Kalau bertemu, kau mesti turun tangan lebih dulu."
"Kepandaianku sangat cetek, bagaimana aku bisa melawan dia?" kata Bu Kie "Musuh dari manakah yang menyerang pihakmu?"
Sesaat itu terdengar suara terompet keong.
"Benar2 Ang sui, Liat Hwee dan Houw touw yang menyerang." Kata In Ya Ong.
"kalian semua adalah dari satu golongan Mo kauw, tapi mengapa kalian saling bunuh?" tanya Bu Kie.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Paras muka In Ya Ong berubah, "Tahu apa Kau!" bentaknya seraya memutar tubuh dan lalu berlari lari ke arah datangnya suara terompet.
Sesudah berada sendirian, Bu Kie segera teringat keselamatan Cu Jie. "Kalau lehernya digigit dan darahnya dihisap, dia tentu lantas mati" pikirnya. Mengingat begitu, ia bingung dan segera mengerahkan Lweekang, ia mengubar pula.
Untung juga, walaupun Wie It Siauw memiliki ilmu ringan badan yang sangat tinggi, tapi sebab mendukung orang, ia tidak bisa menghilangkan tapak kakinya di atas pasir. Dengan demikian, walaupun manusianya sudah tidak kelihatan, Bu Kie masih dapat mengikutinya. Ia mengambil keputusan untuk mengjar terus tanpa mengaso dan ia percaya dalam beberapa hari ia akan dapat menyusulnya.
Tapi mengubar orang berhari2 dibawah teriknya matahari bukan pekerjaan mudah. Sesudah mengubar samapi magrib, mulutnya kering dan keringat membasahi pakaiannya. Tapi sungguh heran, ia bukan saja tidak merasa lelah bahkan kekuatan kakinya tidak berubah. Tenaga Kioe Yang Sin Kang yang telah dilatihnya selama beberapa tahun, sekarang memperlihatkan manfaatnya yang tiada batasnya. Makin banyak tenaga digunakan. Semangatnya makin berkobar2. kalau haus, ia hanya meminum air dari kobakan yang terdapat di pinggir jalan dan sesudah minum ia mengejar lagi.
Waktu mengubar sampai tengah malam, dengan hati berdebar2 ia mengawasi rembulan. Ia sangat berkuatir. Ia kuatir Cu Jie keburu dibinasakan.
Sekonyong2 ia mendengar suara tindakan di belakangnya, tapi waktu menengok, tak terlihat siapapun jua. Ia lari terus. Sesaat kemudian suara tindakan terdengar pula. Ia heran bukan main dan segera memutar tubuh. Tapi ia tetap tidak melihat bayangan manusia. Dengan matanya yang sangat tajam, ia mengawasi pasir. Diatas pasir terdapat tiga renteng tapak kaki, yang satu tapak Wie It Siauw, yang lain tapak kakinya sendiri, sedang yang ketiga tapak orang itu. Tapi siapakah dia" Ia memutar badan dan mengawasi ke sebelah depan. Didepan hanya terdapat serentetan tapak yaitu tapak kaki Wie It Siauw.
Dengan lain perkataan, orang itu hanya mengikuti dari belakang. Siapa dia" Apa siluman" Apa dia seorang berilmu yang bisa menghilang"
Dengan rasa heran dan sangsi, ia mengubar lagi. Lagi lagi di sebelah belakang terdengar suara tindakan!
"Siapa?" teriak Bu Kie.
"Siapa?" kata orang di belakangnya.
Bu Kie terkesiap. "Apa kau manusia atau setan?" tanya pemuda itu.
"Apa kau manusia atau setan?" mengulangi suara itu.
Bagaikan kilat Bu Kie memutar badan. Kali ini ia melihat berkelebatnya bayangan manusia. Sekarang ia tahu, bahwa seseorang yang gerakannya cepat luar biasa sedng mempermainkan dirinya.
"Perlu apa kau mengikuti aku?" teriaknya.
"Perlu apa kau mengikuti aku?" tanya orang itu.
Bu Kie tertawa. "Bagaimana kutahu," katanya. "Aku justru mau menanya kau,"
"Bagaimana kutahu" Aku justru mau menanya kau," mengulangi orang itu.
Bu Kie tahu orang itu tidak mengandung maksud jahat. Kalau mau dengan mudah dia bisa mengambil jiwanya. "Siapa namamu?" tanyanya pula.
"Tak bisa diberitahukan," jawabnya.
"Mengapa tidak bisa diberitahukan?" mendesak pemuda itu.
"Tidak bisa diberitahukan, tidak bisa diberitahukan." Jawabnya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Keterangan apa lagi yang bisa diberikan kepadamu" Eh siapa namamu?"
"Aku"..aku Can A Goe," jawab Bu Kie.
"Justa!" bentak orang itu.
"Justa ya Justa" jawabnya. "Eh sekarang aku yang mau menanya kau. Perlu apa kau berlari2 seperti orang edan di tengah malam buta?"
Bu Kie mengerti, bahwa ia sedang manghadapi sesorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Maka itu, ia lantas saja menjawab. "Salah seorang sahabatku telah ditawan oleh Ceng ek Hok ong dan aku mau coba menolongnya"
"Kau takkan mampu menolong sahabatmu" kata orang itu.
"Mengapa?" tanya Bu Kie.
"Ilmu silat Ceng ek Hok ong banyak lebih tinggi dari pada kepandaianmu. Kau takkan dapat menandinginya"
"Biarpun kalah aku mesti tetap melawan dia".
"Bagus! Semangatmu harus dipuji. Sahabatmu seorang wanita, bukan?"
"Benar. Bagaimana kau tahu?"
"Kalau bukan wanita, tak mungkin seorang pemuda rela mengorbankan jiwa untuk menolongnya. Apa dia cantik?"
"Sangat jelek."
"Kau sendiri" Apa mukamu bagus?"
"Mari. Datanglah di hadapanku. Kau bisa lihat sendiri"
"Tak perlu kulihat mukamu. Apa nona itu mengerti ilmu silat."
"Cukup pandai. Dia adalah putrinya In Ya Ong Cianpwee dari Peh Bie Kauw. Dia pernah berguru pada Kim Hoa popo dari Leng coa to."
"Tak guna kau mengubar. Wie It Siauw pasti tak akan melepaskan dia."
"Mengapa?" Orang itu mengeluarkan suara dihidung. "Kau sungguh tolol," katanya.
"Pernah apa In Ya Ong kepada In Thian Ceng?"
"Mereka adalah Ayah dan anak."
"Antara Peh bie Eng ong dan Ceng ek Hok ong, siapa yang lebih tinggi ilmu silatnya?"
"Tak tahu. Bagaimana pendapat Cianpwee."
"Akupun tak tahu. Antara mereka berdua pengaruh siapakah yang lebih besar?"
"Eng ong adalah Kauwcu dari Peh bie kauw. Kurasa ia lebih berpengaruh"
"Benar. Itulah sebabnya, mengapa Wie It Siauw sudah menawan cucu perempuannya In Thian Ceng. Ia ingin menggunakan nona itu sebagai semacam barang tanggungan untuk mendesak In Thian Ceng guna kepentingannya sendiri. Itulah sebabnya, mengapa menurut pendapatku Wie It Siauw tak akan melepaskan tawanannya."
"Bu Kie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maksud itu tak akan tercapai." Katanya. "Ian Ya Ong Cianpwee ingin sekali mebunuh putrinya itu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Apa?" menegas orang itu dengan suara heran.
Bu Kie lantas saja menceritakan riwayatnya Cu Jie, cara bagaimana nona itu telah meracuni ibu tirinya, sehingga belakangan ibu kandungnya sendiri turut binasa.
"Tak dinyana! Tak dinyana! Sunguh2 bakat yang baik!" memuji orang itu.
"Mengapa bakat yang baik?" tanya Bu Kie.
"Dia masih begitu muda, tapi dia sudah bisa meracuni ibu tirinya dan ibu kandungnya sendiri sampai turut binasa,"jawabnya "Disamping itu dia telah mendapat pelajaran dari Kim hoa popo. Aku sungguh menyanyang nona yang jempolan itu. Sekarang kutahu, Wie It Siauw mau mengambilnya sebagai murid."
Bu Kie kaget. "Bagaimana kau tahu?" tanyanya.
"Wie It Siauw adalah sahabatku," jawabnya. "Aku mengenal adatnya"
Pemuda itu terkesinap. "Celaka!" teriaknya dan lari sekeras-kerasnya.
Orang itu tertawa dan mengikuti dari belakang.
Sambil berlari2 Bu Kie bertanya. "Mengapa kau terus menguntit aku?"
"Aku ingin menonton keramaian," jawabnya "Perlu apa kau mengubar Wie It Siauw?"
"Cu Jie sudah berhawa sesat, aku tak akan mengijinkan dia berguru kepada Wie It Siauw." Jawabnya dengan suara gusar. "Celaka sungguh kalau dia menjadi siluman yang menghisap darah manusia!"
"Apa kau menyukai dia?"


Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak".Hanya".hanya dia mirip dengan ibuku."
"Kalau begitu, ibumu seorang wanita yang bermuka jelek."
"Jangan ngaco! Ibuku sangat cantik."
Orang itu tertawa. Sesaat kemudian, ia berkata sambil menghela nafas. "Sayang! Sayang sungguh!"
"Sayang apa?" "Semangatmu cukup baik, nyalimu cukup besar. Hanya sayang, dalam sekejap kau akan menjadi mayat yang tidak ada darahnya lagi."
Bu Kie kaget. Di dalam hati, ia membenarkan apa yang dikatakan orang itu. Andaikata Wie It Siauw dapat disusul, ia tetap tak akan dapat menolong Cu Jie. Bukan saja begitu, ia malah akan membuang jiwa secara Cuma2. maka ia lantas memohon. "Cianpwee apa bisa kau bantu aku?"
"Tak bisa," jawabnya. "Pertama. Wie It Siauw adalah sahabatku dan kedua, belum tentu aku bisa menandingi dia."
"Wie It Siauw adalah manusia siluman yang suka menghisap darah manusia," kata Bu Kie"Kalau dia sahabatmu, mengapa kau tidak coba membujuknya, supaya dia tidak melakukan perbuatan yang terkutuk itu?"
Orang itu menghela nafas. "Tak guna aku membujuk dia," katanya dengan suara duka. "Dia bukan kepingin menghisap darah secara suka2. Dia berbuat itu karena terpaksa. Kutahu, ia sendiri sangat menderita."
"Karena terpaksa" menegas Bu Kie dengan heran. "Apa i-ia?"
"Dahulu waktu berlatih Lweekang, ia telah berbuat kesalahan besar," menerangkan orang.
?"Belakangan, setiap kali menggunakan Lweekang ia harus minum darah manusia, sebab, jika tidak, sekujur badannya kedinginan dan jika tidak tertolong, ia akan mati beku."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie berpikir sejenak dan kemudian berkata "Bukankah penyakit itu sudah terjadi karena ketidakberesan pada pembuluh darah Sam-in?"
"Ih! Bagaimana kau tahu?" tanya orang itu dengan heran.
"Aku hanya menebak2," jawabnya.
"Tiga kalo aku mendaki gunung Tiang pek san untuk menangkap kodok api guna mengobati penyakitnya," kata orang itu. Ia menghela nafas dan berkata pula. "Ketiga2 kalinya tidak berhasil. Dalam usaha yang pertama, aku bertemu seekor kodok api, tapi tidak berhasil menangkapnya. Dalam usaha yang kedua dan ketiga, kodok itu tidak terlihat bayangannya. Sesudah kesulitan yang serasa dapat diatasi, aku ingin pergi ke Tiang pek san lagi."
"Apa boleh aku mengikuti?" tanya Bu Kie.
"Hm"Lwekangmu sudah boleh juga, tapi ilmu ringan badan masih belum cukup," jawabnya "Nanti saja, kalau waktunya tiba, kita bicara lagi. Eh! Perlu apa kau mau membantuku?"
"Kalau berhasil, kita bukan saja akan bisa menolong Wie It Siauw, tapi juga bisa membantu lain2
orang yang dihinggapi penyakit yang sama." Jawabnya. "Cianpwee, dia sudah pergi begitu lama dan sudah menggunakan banyak tenaga dalam. Apakah mungkin, sebab terpaksa, ia menghisap darah Cu Jie?"
"Mungkin?".memang sangat mungkin," jawabnya.
Bu Kie sangat kuatir dan ia lari makin keras. Tiba2 orang itu berteriak. "Hei! Coba lihat, ada apa dibelakangmu?"
Pemuda itu menengok ke belakang. Mendadak matanya gelap dan tubuhnya terangkat dari bumi. Ia merasa badannya masuk ke dalam karung yang kemudian diangkat dan digendong di punggung orang itu.
Dengan hati mendongkol ia mencoba merobeknya. Ia kaget sebab tak berhasil. Karung itu terbuat dari semacam kain yang a lot dan kuat luar biasa.
"Plak!" orang itu memukul pantat Bu Kie. Ia tertawa lantas berkata. "Bocah, jangan kau banyak lagak dalam karungku. Ku akan bawa kau ke suatu tempat yang menyenangkan. Kalau kau bersuara dan diketahui oleh lain orang, aku takkan bisa menolong jiwamu lagi".
"Kemana kau akan membawaku?" tanya Bu Kie.
Orang itu tertawa. "Setelah kau masuk ke dalam karung Kian kun tay apa kau rasa bisa lari jika aku benar2 maui jiwamu?" tanyanya. "Asal kau dengar kata, tidak bergerak dan tidak bersuara, kau akan mendapat keuntungan".
Bu Kie merasa, bahwa orang itu bicara sebenarnya dan tidak bergerak lagi.
Sekonyong2 orang itu melontarkan karungnya ditanah dan tertawa terbahak2.
"Bocah! Kalau kau bisa keluar, kau benar2 lihay," katanya.
Pemuda itu segera mengerahkan Lweekang dan kedua tangannya mendorong ke depan sekeras2nya.
Tapi karung dan a lot tu tetap utuh. Ia menendang dan memukul kalang kabutan. Karung itu tetap tak bergeming.
Selang beberapa lama. Orang itu tertawa dan bertanya "Kau menterah?"
"menyerah." Jawabnya.
"Bahwa kau bisa masuk ke dalam karungku adalah rejekimu yang besar," kata orang itu seraya mengangkat tangannya, menggendong di punggung dan lalu berlari2.
"Bagaimana dengan Cu Jie?" tanya Bu Kie.
"mana aku tahu?" jawabnya. "Bila rewel aku akan melemparkan kau keluar dari karungku".
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie ingin sekali orang itu membuktikan ancamannya, tapi ia tak berani membuka mulut lagi.
Orang itu berlari-lari dengan kecepatan luar biasa. Selang beberapa jam, pemuda itu merasakan hawa yang hangat. Ia tahu matahari sudah keluar. Ia juga dapat merasakan, bahwa ia sedang dibawa ke atas gunung. Sesudah lewat kira2 2 jam lagi, hawa udara berubah dingin.
"Hm?""sudah tiba di puncak yang tertutup salju," pikirnya. Mendadak, ia merasa kurang begitu mengapung keatas dan tubuhnya seolah2 terbang di angkasa. Ia terkesiap dan berteriak. Dilain detik, orang itu sudah hinggap di tanah. Ia mengetahui, bahwa orang itu sedang melalui puncak yang berbahaya dan harus melompat kian kemari. Sekali meleset, habislah! Baru saja memikir begitu, karung sudah mengapung lagi keatas.
Ia memeramkan matanya dan menyerahkan segala apa kepada nasib.
Tiba2 di sebelah kejauhan terdengar teriakan orang. "Swee Poet Tek! Hey! Mengapa kau baru datang?"
"ditengah jalan aku menemui sedikit urusan" jawab orang yang menggendong Bu Kie. "apa Wie It Siauw sudah datang?"
"Belum" jawab suara yang jauh itu. "Heran sungguh. Swee Poet Tek, apa kau bertemu dengan dia?"
seraya menjawab orang itu datang.
Bu Kie tersadar. Sekarang ia tahu, orang itu bernama "Swee Poet Tek. "Tak heran, pada waktu ia menanyakan namanya, orang itu menjawab "Swee Poet Tek," yang berarti "Tidak dapat diberitahukan".
Mengapa namanya begitu aneh"
"Tian koan Suheng," kata Swee Poet Tek.
"Mari kita cari saudara Wie. Kukuatir terjadi sesuatu yang hebat?" kata Tiat koan Toojin, "Ceng ek Hok ong seorang pintar dan berkepandaian tinggi,"
"Tapi aku tetap merasa tak enak" kata Poet Tek.
Sekonyong2 dari sebuah lembah di bawah puncak terdengar teriakan "Hweesio bau Swee Poet Tek!
Tua bangka Tiat koan! Lekas kemari! Bantulah aku. Aduh celaka benar!"
"Ciu Tian!" teriak kedua orang itu, hampir berbareng.
"Dia seperti mendapat luka," kata Swee Poet Tek. "Mengapa suaranya begitu lemah?" tanpa menunggu jawaban, ia segera melompat lompat ke bawah sambil menggendong karung.
"Ah!" Kata Tiat koan yang mengikuti di belakang, "Lihat! Siapa yang digendong Ciu Tian" Apa Wie It Siauw?"
"Ciu Tian jangan bingung!" teriak Swee Poet Tek. "Kami akan membantu kau"
Ciu Tian tertawa, "Kurang ajar" bentaknya "Bingung apa" Yang hampir mampus ialah si kelelawar penghisap darah!"
"Saudara Wie?" menegas Swee Poet Tek dengan kaget. "Mengapa dia?" Seraya bertanya, ia mempercepat tindakannya.
Bu Kie merasa dirinya seperti terbang ke angkasa jadi ketakutan dan berbisik. "Cianpwee lepaskan aku untuk sementara waktu. Yang penting adalah menolong orang"
Swee Poet Tek tak menyambut. Tiba2 ia mengikat karungnya yang lalu diputar2 beberapa kali. Bukan main kagetnya Bu Kie. Kalau terlepas jiwanya bisa melayang. "Bocah! Aku bicara terang2an kepadamu.
Aku adalah Poet thay Hweesio Swee Poet Tek. Yang dibelakangku Tiat Koan Toojin Thio Thiong. Orang yang berada di lembah itu bernama Ciu Tian. Kami bertiga dengan Leng bian Sianseng Leng Kiam dan Pheng Eng Giok Pheng Hweesio dikenal sebagai Bgo sian jin dari Mo Kouw. Apa kau tahu apa yang dinamakan Mo Kauw?"
"Tahu." Jawabnya "Kalau begitu taysu adalah anggota Mo kauw."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Aku dan Ciu Tian tidak suka membunuh orang." Kata pula Swee Poet Tek. "Tapi Tit koan Toojin, Leng bian Sianseng dan Pheng Hweesio bisa mebunuh manusia tanpa berkedip. Kalau mereka tahu kau berada dalam karungku, sekali hajar saja, tubuh bisa hancur luluh,"
kata Bu Kie. "Aku tak berdosa, mengapa?"
"Apa kau anggap Tiat koat Toojin membunuh orang dengan lebih dulu menanyakan kedosaannya?"
memutus Swee Poet Tek. "Aah! Kalau kau masih ingin hidup, mulai dari sekarang tak dapat kau mengeluarkan sepatah katapun. Mengerti?"
di dalam karung Bu Kie manggut2kan kepala.
"Eh! Mangapa kau tak menjawab?" tanya Swee Poet Tek.
"Bukankah kau melarang aku bicara?" Bu Kie balas menannya.
Swee Poet Tek tersenyum. "Bagus kalau kau tahu." Katanya. "Hei! Bagaimana keadaan Wie?"
perkataan yang belakangan itu ditujukan kepada Ciu Tian.
"Dia".dia".celaka besar!....celaka besar!" jawab Ciu Tian dengan suara terputus2.
"Hm?"?".saudara Wie masih bernafas, yang menolongnya?"
sebelum Ciu Tian keburu menjawab, Tiat Koan Toojin mendahului "Ciu Tian, apa kau luka" Mengapa mukamu pucat?"
"Tadi aku ketemu si kelelawar yang menggeletak seperti mayat, nafasnya sudah hampir putus, menerangkan Ciu Tian. "Aku segera mengerahkan Lweekang untuk menolongnya. Diluar dugaan, racun dingun dalam tubuh si kelelawar benar2 lihay. Begitulah duduk persoalannnya."
"Ciu Tian kali ini kau telah melekukan auatu perbuatan mulia," kata Swee Poet Tek.
Ciu Tian mengeluarkan suara di hidung. "peduli apa mulia, atau jahat," katanya "Si kelelawar sangat beracun dan aneh dari biasanya aku sangat membenci dia. Tapi kali ini dia melakukan perbuatan yang cocok dengan hatiku. Maka itu, aku coba menolongnya. Aku tak nyana, bukan saja aku tak berhasil, malah racun itu berbalik masuk ke dalam badanku. Celaka sungguh! Mungkin sekali jiwaku akan turut melayang." Ia berdiam sejenak dan berkata pula. "Penghabisan!......ini namanya pembalasan?"si kelelawar dan Ciu Tian seumur hidup belum pernah melakukan perbuatan baik. Sekali berbuat baik, bencana datang."
Kisah Pembunuh Naga Jilid 37 Karya Chin Yung ================== "Perbuatan baik apakah yang dilakukan saudara Wie?" tanya Swee Poet Tek. "Sesudah menggunakan Lweekang, racun dingin dalam tubuhnya mengamuk hebat dan menurut kebiasaan, dia bisa menolong diri sendiri dengan mengisap darah manusia," terang Ciu Tian. "Ketika itu di sampingnya terdapat seorang gadis. Tapi dia lebih suka mati daripada menghisap darah nona itu.
Melihat itu aku berkata, si Kelelawar berlaku aneh, akupun mau berlaku aneh. Baiklah, Ciu Tian coba tolong dia. Aku lantas saja bekerja dan beginilah hasilnya."
Bu Kie kegirangan, tanpa merasa tubuhnya bergerak.
"Siapa wanita itu?" tanya Swee Poet Tek sambil menepuk karungnya. "Ke mana dia sekarang?"
"Akupun bertanya begitu kepada si Kelelawar," sahutnya. "Ia mengatakan bahwa nona itu bernama In Lee, cucu perempuannya si tua bangka Peh Bie. Karena sudah menerima si nona sebagai muridnya, maka si Kelelawar tidak bisa lagi menghisap darahnya."
Swee Poet Tek dan Tiat Koan Toojin menepuk tangan. "Perbuatan Wie heng (saudara Wie) yang mulia itu mungkin akan merupakan titik kebangkitan kembali dari agama kita," kata Swee Poet Tek.
"Kelelawar hijau dan Eng (burung Eng) putih bisa bergandengan tangan, kekuatan Beng-kauw akan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bertambah banyak," seraya berkata begitu, ia menyambut tubuh Wie It Siauw dari tangan Ciu Tian.
"Badannya sudah dingin seperti es," katanya dengan suara kaget. "Bagaimana baiknya?"
"Itu sebabnya mengapa aku minta kau datang lebih cepat," kata Ciu Tian. "Dalam sepuluh bagian, si Kelelawar sudah mati sembilan bagian. Kalau bangkai Kelelawar bergandengan tangan dengan Peh Bie Eng-ong, bagi Beng-kauw tak ada kebaikannya sedikitpun juga."
"Kalian tunggulah di sini," kata Tiat Koan. "Aku akan turun gunung untuk membekuk seorang manusia hidup guna dijadikan minuman bagi Wie heng," seraya berkata begitu, ia mengayunkan tubuh untuk melompat ke bawah.
"Tahan!" teriak Ciu Tian. "Tua bangka, kau sungguh tak punya otak! Gunung ini sangat sepi, hampir tak ada manusianya. Kalau mesti menunggu kau, Wie It Siauw (Wie sekali tertawa) sudah menjadi Wie Poet Siauw (Wie tidak tertawa). Swee Poet Tek, paling baik kau keluarkan bocah yang berada dalam karungmu untuk menolong saudara Wie."
Mendengar itu, Bu Kie ketakutan setengah mati.
"Tak bisa," kata Swee Poet Tek. "Dia telah berbudi sangat besar kepada agama kita. Jika Wie heng membinasakan dia, Ngo Beng-kie (Lima Bendera) sudah pasti tak mau." Sehabis berkata begitu, dengan cepat ia segera menuturkan bagaimana pemuda itu sudah menolong jiwa berpuluh-puluh anggota dari pasukan Swie Kim-kie. "Waktu itu aku menyusup di dalam pasukan Peh Bie-kauw dan dengan mataku sendiri, aku menyaksikan semuanya," katanya. "Dengan berhutang budi yang begitu besar, Ngo Beng-kie pasti akan membela dia mati-matian."
"Apakah kau ingin menggunakan bocah itu untuk menaklukkan Ngo Beng-kie?" tanya Tiat Koan.
"Tidak bisa diberitahukan! Tidak bisa diberitahukan!" jawabnya. "Bagaimanapun juga, ini kenyataaan bahwa sekarang di dalam Beng-kauw sudah terjadi keretakan hebat. Pada saat menghadapi bencana, Peh Bie-kauw telah bentrok dengan Ngo Beng-kie. Untuk menyelamatkan diri dari kemusnahan, jalan satu-satunya adalah bersatu padu. Bocah yang berada dalam karungku mempunyai arti penting dalam usaha mendamaikan orang-orang kita."
Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangan kanannya dan menempelkan Leng Tay-hiat di punggung Wie It Siauw. Kemudian ia mengerahkan hawa murni untuk membantu menindih racun dingin yang sedang mengamuk dalam tubuh Wie It Siauw.
Ciu Tian menghela nafas, "Swee Poet Tek, aku tentu tidak bisa mengatakan apapun juga, jika kau rela menjual jiwa demi kepentingan seorang sahabat," katanya.
"Biar kubantu kau," kata Tiat Koan Toojin sambil menempelkan telapak tangan kanannya pada telapak tangan kiri Swee Poet Tek. Disaat itu, bagaikan gelombang, dua hawa murni menerjang masuk ke dalam tubuh Wie It Siauw.
Kira-kira semakanan nasi, Wie It Siauw merintih dengan perlahan dan sesaat kemudian ia tersadar, tapi giginya masih gemeletukan. Ia membuka kedua matanya dan berkata, "Ciu Tian, Tiat Koan Tooheng terima kasih atas pertolongan kalian." Ia tidak menghaturkan terima kasih kepada Swee Poet Tek sebab mereka berdua mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga pernyataan terima kasih memang tidak perlu. Tiat Koan dan Swee Poet Tek yang sedang mengeluarkan tenaga untuk melawan racun dingin tidak bisa lantas memberi jawaban.
Tiba-tiba di puncak gunung sebelah timur sayup-sayup terdengar suara Khim.
"Leng Bian Sianseng dan Pheng Hweeshio sudah tiba," kata Ciu Tian yang lalu mendongak dan berteriak sekeras-kerasnya. "Leng Bian Sianseng! Pheng Hweeshio! Ada seorang terluka. Kemari!"
Suara Khim berhenti dengan mendadak, suatu tanda teriakan itu sudah didengar.
"Siapa"yang"terluka"," demikian terdengar teriak Pheng Hweeshio.
"Setan tak sabaran!" caci Ciu Tian dengan suara perlahan. "Sedikitpun ia tidak bisa menunggu."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sementara itu Pheng Hweeshio terus memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan yang saling susul.
"Siapa yang terluka"...Apa Swee Poet Tek" Apa Tiat Kun heng"...." Hampir berbareng dengan selesainya pertanyaan-pertanyaan itu ia tiba di hadapan rombongan Ciu Tian.
Rajawali Hitam 7 Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Seruling Sakti 26
^