Kisah Membunuh Naga 39
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Bagian 39
Semeatara itu, dengan tambang mereka ketiga tetua Siau lim itu sudah berhasil mengalihkan sambaran batu raksasa itu ke jurusan lain.
"Apa benar Goan tin?" tanya Touw ok. "Benar dia," jawab Touw lan.
"Ya," kata pula Touw ok, "kalau dia tak berdosa, perlu apa..."
Perkataan itu mendadak terputus sebab tiba-tiba saja beberapa bayangan manusia berkelebat. Orang yang paling dulu membentak, "Pendeta Siauw lim adalah murid Sang Budha tapi mereka telah membunuh begitu banyak orang, apa mereka tak takut dosa" Kawan-kawan, seranglah!"
Delapan orang lantas saja menerjang. Bu Kie yang segera berduduk diantara ketiga pendeta itu mendapat kenyaataan, bahwa tiga orang bersenjata pedang dan yang lain menggunakan macam-macam senjata. Mereka semua berkepandaian tinggi dan dilain detik, mereka sudah bertempur hebat dengan ketiga tetua Siauw lim. Sesudah memperhatikan sesaat, ia lihat, bahwa ketiga orang yang bersenjata pedang memiliki ilmu silat yang bersamaan dengan ilmu Cenghay Sam kiam yang sudah binasa dalam tangan pendeta Siauw lim. Ia lantas saja menarik kesimpulan, bahwa ketiga orang itu tetua dari Ceng hay pay. Mereka bertiga mengepung Touw ok. Tiga orang lain mengerubuti Touw ciat.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sisanya, dua orang, menyerang Touw lan. Meskipun hanya dikerubuti dua orang, sesudah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, Touw lan mulai jatuh dibawah angin sebab dua orang itu berkepandaian tinggi dari lain-lain kawannya. Dalam tiga rombongan, pendeta yang berada di atas angin adalah Touw ok.
Sesudah bertempur belasan jurus lagi, Touw ok mendapat kenyataan, bahwa Touw-lan terdesak. Ia mengedut tambangnya yang lantas saja menyambar lawannya Touw lan. Mereka bertubuh jangkung, berjenggot hitam dan meskipun sudah berusia lanjut, gerakannya masih sangat gesit. Yang satu bersenjata poan-koan pit (senjata yang berbentuk pena Tiong-hoa), yang lain memegang pah hiat-koat ("pacul"
untuk menotok jalan darah). Kedua senjata itu untuk menotok "hiat". Touw ok dan Touw lan tahu, bahwa mereka bukan lawan enteng. Ketika itu, mereka masih berada dalam jarak beberapa tombak, tapi sambaran angin senjata mereka sudah dapat dirasakan. Kalau mereka bisa merangsek lebih dekat, serangan kedua senjata pendek itu akan lebih berbahaya.
Sementara itu, ketiga jago Ceng hay pay mulai menyerang lagi dengan hebatnya, sekarang Touw ciat melawan tiga orang, sedang Touw ok dan Touw lan melayani lima lawan. Untuk sementara waktu, keadaan berimbang dan kedua belah pihak dapat mempertahankan diri.
Bu Kie heran. "Ilmu silat kedelapan orang itu rata-rata bisa melayani Ceng ok Hok-ong," pikirnya.
"Mereka kelihatannya lebih unggul daripada Ho Thay Ciong dan hanya setingkat lebih rendah dari Biat coat Suthay. Tapi kecuali tiga anggauta Ceng hay pay, yang lain aku tak kenal. Dari sini bisa dilihat, bahwa dalam dunia yang lebar ini, bagaikan harimau yang mendekam di rumput-rumput tinggi, bersembunyi banyak orang gagah yang namanya tidak dikenal."
Sesudah bertanding kira-kira seratus jurus, tambang ketiga pendeta itu menjadi lebih pendek. Dengan lebih pendeknya tambang itu, mereka bisa menghemat tenaga. Tapi dilain pihak kelincahan tambang dalam serangan juga agak berkurang. Sesudah lewat beberapa puluh jurus lagi, tambang-tambang itu jadi makin pendek.
Kedua kakek jenggot hitam menyerang sehehat-hebatnya dalam usaha untuk mendekati ketiga pendeta itu. Tapi sesudah menjadi pendek, garis pembelaan tambang lebih rapat dan padat. Ketiga tambang itu membuat sebuah lingkaran yang terisi dengan tenaga memukul yang sangat dahsyat. Kedua kakek berjenggot berulang-ulang menerjang, tapi mereka selalu terpukul mundur.
Sambil bertempur, ketiga pendeta itu mengeluh di dalam hati. Mereka bukan takut kena dikalahkan.
Asal mereka menarik tambang-tambang itu sampai panjangnya delapan kaki, maka akan bisa membuat garis Kim kong Hok mo co an.
Dengan garis pembelaan itu, jangankan delapan orang sekalipun, enam belas atau tiga puluh orang, mereka masih sanggup menahan. Apa yang mereka takuti ialah dalam lingkaran mereka bersembunyi seorang lawan yang hebat. Lawan itu adalah Bu Kie. Jika pemuda itu turun tangan menggencet dari dalam, habislah jiwa mereka. Mereka lihat Bu Kie bersila. Mereka itu menduga pemuda itu sedang menunggu waktu yang baik untuk menyerang. Mungkin sekali Bu Kie mau menunggu, sampai kedua belah pihak payah dan kemudian, dengan sekali pukul ia bisa merobohkan semua orang.
Waktu itu ketiga pendeta tersebut sedang menggunakan seantero tenaga dalamnya. Mereka mau berteriak meminta bantuan, tapi mereka tidak bisa berbuat begitu. Kalau mereka membuka suara, andaikata tidak mati, mereka pasti terluka berat dan akan menjadi manusia bercacad. Sekarang mereka menyesal, bahwa mereka terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Kalau tadi mereka meminta pertolongan, semua musuh tentu sudah dapat dikalahkan.
Kenyataan ini juga sudah dilihat Bu Kie, kalau ia mau mengambil jiwa ketiga pendeta itu ia dapat berbuat begitu dengan mudah sekali. Tapi ia merasa bahwa seorang laki-laki sejati tidak boleh menarik keuntungan pada waktu pihak lawan berada dalam bahaya. Apapula mereka hanya menjadi korban dari tipu busuknya Goan tin dan mereka tidak pantas menemui kebinasaan. Disamping itu andaikata ia membunuh ketiga pendeta itu ia masih harus menghadapi delapan lawan yang berat, yang belum tentu dapat dikalahkan olehnya. Ia tahu, bahwa kekuatan kedua belah pihak kira-kira berimbang dan bagaimana kesudahannya masih meminta waktu.
Sekarang ia lihat bahwa sebuah batu menutup pintu penjara dibawah tanah dan di pinggir batu hanya terbuka sebuah lubang kecil untuk bernapas dan memasukkas makanan. Batu itu yang beratnya ribuan kati, tak akan bisa digerakkan oleh seorang dua orang. Tapi sebagaimana diketahui, waktn berada dijalanan rahasia di Kong beng teng, sesudah mempelajari Kian kun Tay lo ie Sin kang, Bu Kie pernah membuka pintu batu yang tebalnya setombak lebih. Kalau dibandingkan dengan pintu itu, batu tersebut
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
agaknya tak terlalu berat. Tapi batu itu terletak diatas tanah gundul sehingga didorongnya banyak lebih sukar dari pada mendorong pintu. Tapi biar bagaimanapun juga, ia harus berdaya. Ia yakin, bahwa kalau salah satu pihak sudah memperoleh kemenangan atau dari kuil Siauw lim sie sudah datang bala bantuan ia takkan bisa menolong lagi ayah angkatnya.
Maka itu ia segera berlutut disamping batu dan mendorongnya dengan mempergunakan Kian kun Tay lo ie Sinkang. Begitu tenaganya dikerahkan dan dikirim, batu tersebut lantas bergerak dengan perlahan.
Tapi baru saja batu itu terdorong satu kaki, punggungnya sudah disambar dengan pukulan Touw lan.
Bagaikan kilat ia menggunakan ilmu "memindahkan tenaga, meminjam tenaga." "Buk" punggungnya terpukul, bajunya hancur dan keping-keping kain berterbangan diantara hujan dan angin. Tapi tenaga pukulan itu sudah dialihkan ke batu raksasa yang lantas saja terdorong kira-kira satu kaki. Walaupun tak mendapat luka di dalam, pukulan tersebut mengakibatkan rasa sakit yang hebat. Sebab waktu terpukul, Bu Kie adalah menggunakan seantero tenaga dalamnya untuk mendorong batu.
Karena Touw lan memukul Bu Kie, pada garis pembelaan tambang terbuka sebuah lowongan. Pihak lawan sungkan menyia-nyiakan kesempatan itu dan seorang kakek jenggot hitam lantas saja menerjang kedalam garisan.
Senjata tambang dari ketiga pendeta itu sangat lihay jika digunakan pada jarak jauh dan kurang kelihayannya pada jarak yang dekat. Begitu menerobos ke dalam garis pembelaan si jenggot hitam menotok bawah tetek Touw lan dengan pah hiat koat. Touw lan menangkis dengan tangan kirinya. Selagi senjata ditangkis, seperti kilat jari tangan kiri si jenggot menotok Tao-tiong hiat. "Celaka!" seru Touw lan. Ia tak duga, totokan It cie sian si jenggot lebih lihay daripada pah-hiat-koatnya. Dalam keadaan berbahaya, mau tak mau ia melepaskan tambangnya dan balas menyerang dengan jari-jari kedua tangannya. Walaupun si jenggot kena ditahan namun seutas tambang sudah jatuh di tanah, kakek yang bersenjata poan koan pit lantas saja menerjang masuk. Ketiga pendeta Siauw lim sie sekarang menghadapi bencana. Antara tiga tambang, satu sudah jatuh dan Kim kong Hok mo coan sudah jadi pecah!
Mendadak bagaikan seekor ular yang mau hidup kembali, tambang hitam yang menggeletak di tanah itu mendongak ke atas dan menyambar muka si kakek yang bersenjata poan koan-pit. Tambangnya belum sampai anginnya sudah berkesiur seperti pisau. Si-kakek buru-buru menangkis dan begitu lekas tambang kebentrok dengan poan koan pit, kedua lengannya kesemutan.sehingga poan kit yang dipegang dengan tangan kirinya hampir-hampir terpental, sedang poan koan pit yang dicekal dengan tangan kanan terlepas dan jatuh di batu gunung.
Tambang itu kemudian menyambar ketiga jago Ceng hay pay yang lantas saja terdesak mundur setombak lebih. Demikianlah Kim-kong Hok mo coan pulih kembali--bukan saja pulih kembali, bahkan sekarang lebih kuat dari pada semula.
Ketiga pendeta Siauw lim sie kaget tercampur girang. Mereka mendapat kenyataan, bahwa lain ujung tali tambang itu dipegang oleh Thio Bu Kie. Pemuda itu belum pernah berlatih dalam ilmu Kim kong Hok mo coan. Dalam kerja sama, ia tentu tidak bisa menyamai Touw-lan. Akan tetapi dalam Lweekang, ia tak kalah. Tenaga dalam yang keluar dari tambang yang dicekalnya seolah-olah tenaga robohnya gunung atau terbaliknya lautan yang menyambar-nyambar ke delapan penjuru. Dengan bantuan tambang Touw ok dan Touw ciat, tujuh lawan yang berada diluar garis pembelaan terpaksa mundur jauh-jauh.
Sekarang, dengan hati mantep Touw lan melayani si jenggot hitam itu yang berada di dalam garis pertahanan. Baik dalam ilmu silat, maupun dalam Lweekang, ia lebih unggul setingkat. Dengan tetap berduduk di dalam lubang pohon sepuluh jari tangannya menyerang dengan rupa-rupa pukulan yang dahsyat, sehingga dalam sekejap si jenggot sudah keteter. Melihat tujuh kawannya terpukul mundur, sambil membentak keras dia melompat keluar dari garis pembelaan tambang.
Sesudah si jenggot terpukul mundur, Bu-Kie segera mengembalikan tambang yang dipegangnya kepada Touw lan dan kemudian mendorong lagi batu raksasa penutup lubang. Sekarang lubang itu sudah cukup besar untuk tubuh manusia. "Gie hu!" teriak Bu Kie. "Anak terlambat dalam memberi pertolongan.
Apa Gie-hu bisa keluar sendiri?"
"Aku tak mau keluar," jawab Cia Sun. "Anak baik, kau pergilah!"
Bu Kie heran dan kaget. "Giehu apa kau ditotok orang?" tanyanya. "Atau dirantai?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tanpa menunggu jawaban, ia melompat ke lubang "Pruk," kakinya menginjak air. Ternyata lubang itu terisi air sampai sebatas pinggang.
Dengan hati tersayat pisau, pemuda itu merangkul ayah angkatnya. Ia meraba-raba tangan kaki orang itu tapi tidak dapatkan rantai atau lain alat pengikat. Kemudian ia meraba-raba beberapa"hiat," tapi jalan-jalan darah itupun tak ada yang tertotok. Tanpa menanya lagi ia memeluk sang ayah erat-erat dan melompat ke atas. Cia Sun tidak mengucapkan sepatah kata. Sesudah berada diatas, mereka berduduk di atas sebuah batu besar.
"Sekarang mereka baru bertempur dan kesempatan iai, tidak boleh disia-siakan," kata Bu Kie. "Giehu, mari kita berangkatl" Seraya berkata begitu, ia menuntun tangan ayah angkatnya.
Tapi Cie Sun tidak bergerak. Sambil menepuk lutut ia berkata. "Nak, kedosaanku yang paling besar ialah membunuh Kong Kian Taysu. Apabila Giehumu jatuh ditangan orang lain, dia tentu akan melawan mati-matian. Tapi di Siauw lim sie, aku rela binasa untuk membayar hutang kepada Kong kiansu."
"Karena kesalahan tangan Giehu telah mencelakai Kong kian Tay su," kata Bu Kie dengan suara bingung. "Tapi itu semua adalah akibat dari tipunya Seng Kun. Sedang ini sakit hati Giehu belum terbalas, mana bisa Giehu mati dalam tangan Seng Kun?"
Cia Sun menghela napas. "Selama sebulan setiap hari kudengar Sam wie Koceng menghafal kitab suci," katanya, "Saban pagi kudengar suara lonceng dan saban sore suara tambur dari kuil Siauw lim sie.
Mengingat kejadian-kejadian dahulu, aku harus mengakui bahwa kedua tanganku berlepotan terlalu banyak darah dan sebenar-benarnya, biarpun mati seratus kali, aku masih belum bisa membayar hutang.
Dalam dunia ini, siapa yang berdosa harus bertanggung jawab akan segala akibatnya. Kedosaanku banyak lebih berat daripada Seng kun. Anakku, jangan kau perdulikan aku lagi. Pergilah!"
Bu Kie jadi makin bingung. "Giehu!" teriaknya dengan suara duka. "Jika kau tidak mau berangkat juga anak akan menggunakan kekerasan." Sesudah berkata begitu, ia mencekal kedua tangan Cia Sun dan coba menggendongnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara ribut-ribut dan beberapa orang berteriak-teriak: "Siapa berani jual lagak di Siauw lim sie?" Dilain saat belasan orang mendatangi dengan menggunakan ilmu ringan badan.
Bu Kie memegang kedua paha Cia Sun erat-erat, tapi baru saja ia bertindak, mendadak Tio hiatnya tertotok dan kedua tangannya lemas sehingga mau tak mau ia melepaskan orang tua itu. Tak kepalang dukanya Bu Kie hampir-hampir ia menangis, "Giebu! ... Mengapa... mengapa... kau begitu?" teriaknya dengan suara parau.
"Nak, hal ihwal sakit hatiku, kau sudah beritahukan kepada ketiga pendeta suci itu," jawabnya. "Untuk segala kedosaanku, akulah yang harus menerima segala hukumannya. Kalau sekarang kau tidak berlalu, siapakah yang akan balas sakit hatiku?" Kata-kata yang terakhir diucapkan dengan suara keras, sehingga Bu Kie jadi kaget.
Sementara itu, belasan pendeta yang membekal rupa-rupa senjata sudah menerjang delapan orang yang sedang mengerubuti tiga tetua Siauw lim sie. Si jenggot yang bersenjata Poan koan pit tahu bahwa jika pertempuran dilangsungkan, pihaknya bakal celaka. Ia merasa sangat penasaran bahwa kemenangannya yang sudah berada di depan mata dirusak oleh seorang pemuda yang macamnya sepertinya orang kampung. Maka itu ia lantas saja berteriak, "Bolehkah kami mendapat tahu she dan nama besar dari pemuda yang berada di pohon siong" Homi dan Kathay dari Hokian ingin mengenal orang yang sudah campur urusan kami."
Sebelum Bae Kie menjawab, Touw lan mengedut tambangnya dan berkata dengan suara nyaring.
"Apakah Ho kian Siang sat-sin tak pernah mengenal Beng kauw Thio Kauwcu, ahli silat nomor satu dikolong langit?"
Homi mengeluarkan seruan kaget. Sambil mengibaskan kedua pitnya, ia melompat keluar dari gelanggang. diluar oleh tujuh kawannya. Belasan pendeta itu sebenarnya mau coba menghalangi, tapi kepandaian mereka kalah setingkat, sehingga dengan demikian kedelapan orang itu segera turun gunung tanpa rintangan.
Selain bertempur, Touw ok bertiga sudah dengar pembicaraan antara Cia Sun dan Bu Kie. Disamping itu, Bu Kie bukan saja tidak menyerang waktu mereka menghadapi bencana, tapi juga sudah dianya itu,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
memberi pertolongan. Andaikata pemuda itu berpeluk tangan, mereka tentu sudah binasa di dalam tangannya Ho kian Siang-sat.
Sekarang sesudah musuh kabur, semua ketiga pendeta itu melepaskan tambang mereka, bangun berdiri dan memberi hormat dengan merangkap tangan. "Terima kasih banyak atas pertolongan Thio Kauwcu ini," kata mereka.
Bu Kie buru-buru memberi hormat.
"Itulah hanya kewajiban sebagai sesama manusia dan tiada harganya untuk disebut-sebut," jawabnya.
"Hari ini sebenarnya loolap harus membiarkan Cia Sun berlalu bersama-sama Thio Kauw cu," kata Touw ok. "Kalau tadi Thio Kauw-cu menolong dia, kami tak akan bisa mencegah. Tapi pada waktu menerima perintah Hong-thio untuk menjaga Cia Sun. Di hadapan tangan Buddha, loolap bertiga telah bersumpah bahwa sebegitu kami masih bernyawa, kami tak akan membiarkan larinya Cia Sun. Hal ini, mengenai nama baik partai kami, dan kami memohon Thio Kauwcu suka memaafkan."
Bu Kie tidak menyahut, ia hanya mengeluarkan suara di hidung.
Sesudah berdiam sejenak, Touw-ok berkata pula. "Sekarang loolap sudah tahu, siapa gara-gara rusaknya sebelah mata loolap. Mana kala Thio Kauwcu main menolong Cia Sun, Thio Kauwcu pula datang di lain waktu asalkan bisa mengalahkan kami, Thio Kauwcu dapat membawa Say ong pergi. Thio Kauwcu dapat membawa banyak kawan, boleh menyerang kami dengan berganti atau mengerubuti kami.
Yang akan melawan hanya kami bertiga. Kami takkan minta bala bantuan. Pada sebelum Thio Kauwcu tiba, kami akan berjanji untuk melindungi Cia Sun. Kami tak akan membiarkan dia dihina atau digangggu selembar rambutnya oleh Goan tin."
Bu Kie milirik ayah angkatnya. Diantara gelapnya sang malam, Kim mo Say ong yang bertubuh tinggi besar dan rambut terurai, berdiri sambil menundukan kepala. Di hadapan ketiga pendeta suci itu, dia bersikap sebagai seorang yang berdosa yang rela menerima hukuman.
Bu Kie mengawasi ayah angkatnya dengan air mata berlinang linang. Ia insyaf, bahwa sekarang ia tidak bisa berbuat banyak. Bukan saja dengan seorang diri dia tidak dapat mengalahkan ketiga pendeta itu, tapi ayah angkatnya sendiri juga menolak untuk diajak lari. "Jalan satu-satunya ialah mengajak Gwa kong, Yo Cosu, HoanYo su dan yang lain lainnya datang kemari," pikirnya. Tapi garis pembelaan itu teguh bagaikan tembok tembaga. Kalau tadi Touw lan tidak memukul punggungku dan aku memindahkan tenaganya ke batu raksasa, Kathay pasti tak akan bisa merangsek. Masih merupakan sebuah pertanyaan, apakah kau dan kawan-kawan akan bisa memecahkan garis pertahanan mereka.
"Hai... Tapi jalan lain tidak ada lagi," memikir begitu ia lantas saja berkata: "Baiklah, beberapa hari lagi aku akan datang berkunjung pula untuk meminta pelajaran."
Sesudah itu, dengan berduka, ia memeluk Cia Sun. "Giehu, anak mau pergi ..." bisik dengan suara parau.
Cia Sun manggut-manggutkan kepalanya. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap-usap kepala Bu Kie. "Kau tak usah datang lagi, aku sudah mengambil keputusan untuk tidak berlalu dari tempat ini,"
katanya, "Nak, aku berdoa supaya kau selalu berada dalam keselamatan, supaya kau tidak menyianyiakan harapan ayah dan ibumu dan harapanku sendiri. Kau harus menelad ayahandamu. Janganlah turut ayah angkat mu."
"Thia-thia dan Giehu sama-sama eng hiong," kata Bu Kie. "Hanialah nasib ayah lebih bagus dari Giehu."
Di lain detik ia melompat keluar dari lingkaran pohon siong dan sesudah menyoja kepada ketiga pendeta itu, badannya berkelebat dan mendadak hilang dari pemandangan. Orang hanya mendengar teriakan nyaring di tempat kira-kira satu li jauhnya. Semua pendeta kaget tercampur kagum. Sudah lama mereka dengar kepandaian Kauwcu dari Beng kauw tapi mereka tak pernah menduga bahwa Bu Kie memiliki ilmu ringan badan yang begitu lihai.
Sesudah orang tahu kedatangannya, Bu Kie memang sengaja memperlihatkan kepandaiannya. Di tengah hujan lebat, teriakannya yang saling susul seperti juga pekik naga yang terbang di tengah angkasa.
Ia lari dengan ilmu ringan badan yang tertinggi makin lama makin cepat, sedang teriakan kian lama kian nyaring. Di kuil Siauw lim sie, seribu lebih pendeta tersadar dari tidurnya. Sesudah teriakannya itu tidak terdengar lagi, barulah mereka saling mengutarakan pendapat mengenai peristiwa itu. Kong bun dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kong tie segera mendapat laporan tentang kedatangan Bu Kie dan mereka jadi berkuatir.
Sesudah lari beberapa li, dari belakang sebuah pohon lioe tiba-tiba Bu Kie mendengar bentakan "hai!"
dan satu bayangan manusia melompat keluar. Orang itu bukan lain daripada Tio Beng. Bu Kie menghentikan tindakannya dan mencekal tangan si nona yang pakaiannya basah kuyup.
"Kau sudah bertempur dengan pendeta Siauw lim sie?" tanya Tio Beng.
"Benar." "Bagaimana Cia Tayhiap" Apa kau sudah bertemu dengannya?"
Sambil menuntun tangan si nona, di bawah hujin, Bu Kie segera menceriterakan segala pengalamannya yang tadi.
"Apa kau tidak tanya cara bagaimana ia tertangkap?" tanya pula Tio Beng.
"Aku hanya ingat hal soal menolong Giehu. Tapi ada waktu untuk menanyakan itu?"
Si nona menghela napas dan tidak berkata apa-apa lagi.
"Mengapa kau jengkel?"
"Bagimu soal itu soal remeh, bagiku soal besar. Sudahlah! Nanti saja, sesudah tertolong, baru kita tanyakan Cia Tayhiap. Hanya... kukuatir ..."
"Kuatir apa" Apa kau kuatir aku tak bisa meenolong Giehu ?"
"Beng kauw lebih kuat daripada Siauw lim-pay. Kalau mau, kita tentu bisa menolong Cia Tay hiap.
Aku hanya kuatir Cia Tay hiap sudah mengambil keputusan untuk mati guna membayar hutang kepada Kong kian Taysu."
Bu Kie pun mempanyai dugaan itu. "Apa kau rasa akan terjadi kejadian itu?" tanyanya.
"Harap saja tidak" jawabnya.
Ketika tiba di depan gubuk suami siteri Touw, Tio Beng tertawa dan berkata, "Rahasiamu sudah terbuka. Kau tak bisa menjustai mereka lagi." Seraya berkata begitu, ia menolak pintu bertindak masuk.
Mendadak mereka mengendus bau darah. Bu Kie kaget dan secepat kilat mendorong Tio beng keluar pintu. Hampir berbareng di tempat yang gelap itu tangan seorang coba mencengkeram dia. Cengkeraman itu dikirim seperti kilat sama sekali tak mengeluarkan suara dan tahu-tahu lima jari tangan sudah menyentuh kulit muka. Bu Kie tak keburu berkelit lagi.
Ia segera menendang dada si penyerang. Orang itu menyambut dengan menyikut Hoantiauw hiat dibetis Bu Kie. Di tempat gelap Bu Kie tak bisa lihat gerakan lawan tapi perasaan nya sangat tajam. Ia merasa bahwa jika menarik pulang tendangannya orang itu akan merengsek dan akan coba mengorek biji matanya dengan tangan kiri. Maka itu, dia meneruskan tendangannya dan tangan nya menyambut gerakan mencengkram. Dugaannya sangat jitu. Tangannya menangkap tangan lawan. Tapi pada detik itu, Hoan Tiauw hiatnya tersikut kaki kanannya lemas dan ia berlutut dengan sebuah kaki.
Sebenarnya, ia sudah mengerahkan tenaga untuk mematahkan tangan yg dicekalnya. Tapi sebab tangan itu kecil lemas dan ia berlutut dengan sebuah kaki.
Sebenarnya, ia sudah mengerahkan tenaga untuk mematahkan tangan yg dicekalnya. Tapi sebab tangan itu kecil lemas dan tak salah lagi tangan seorang wanita, ia tak tega. Ia hanya mengangkat dan melontarkan tubuh orang itu. Tiba2 ia merasa pundak kanannya merasa sakit tertusuk senjata tajam.
Sementara itu sudah dilontarkan Bu Kie penyerang tersebut kabur, tapi selagi ia melompat keluar dari gubuk itu, tangannya menghantam muka Tio Beng yg berdiri diluar pintu. Bu Kie tahu, si nona takkan kuat menangkis pukulan itu. Dengan menahan sakit, ia turut melompat dan mengayun tangannya. Kedua tangan kebentrok tanpa mengeluarkan suara. Tenaga Yang Kong (tenaga keras) dari Bu Kie telah dipunahkan seluruhnya oelh Im jioe (tenaga lembek) dari orang itu. Dia tidak berani menyerang lagi.
Dengan meminjam tenaga pukulan Bu Kie, tubuhnya melesat beberapa tombak dan kemudian menghilang di tempat gelap.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Siapa dia?" tanya Tio Beng dengan suara kaget.
Bu Kie tidak menjawab. Ia merogoh saku dan mengeluarkan bibit api, tapi tidak bisa menyalakannya karena basah. Ia tahu bahwa pundaknya tertancap pisau dan sebab kuatir pisau itu beracun, ia tidak berani lantas mencabutnya. "Lekas nyalakan lampu," katanya kepada Tio Beng.
Si nona pergi ke dapur, mengambil bibit api dan menyulut sebuah lampu minyak lalu melihat pisau yang tertancap di pundak Bu Kie, ia kaget tak kepalang. Bu Kie sendiri merasa lega sebab mendapat kenyataan, bahwa pisau itu, atau lebih benar golok pendek tidak beracun. "Tak apa, hanya diluar,"
katanya seraya mencabut pisau itu.
Tiba-tiba ia lihat Touw Pek Tong dan Ek Sam Nio duduk bersandar disatu sudut.
Tanpa memperdulikan darah yang mengucur dari lukanya, ia memburu kesitu. Ia terkejut sebab kakek dan nenek itu sudah jadi mayat.
"Waktu aku keluar, mereka masih segar bugar," kata Tio Beng.
Bu Kie manggut2kan kepalanya. Sesudah si nona membalut lukanya, ia memeriksa golok itu ternyata adalah senjatanya suami istri Touw. Ia pun mendapat kenyataan, bahwa di tiang, di meja dan di lantai tertancap golol2 semacam itu. Rupanya musuh telah bertempur dengan suami istri Touw dan kedua suami istri itu menggunakan semua senjatanya, barulah ia turun tangan.
"Orang itu berkepandaian sangat tinggi!" kata Tio Beng.
Bu Kie mengangguk, mengingat pengalamannya yang tadi ia bergidik. Biarpun ia hanya bertempur satu dua gebrakan pertempuran itu hebat luar biasa dan dapat dikatakan hanya dari lubang jarum. Kalau tadai, di dalam kegelapan ia tdiak menduga, bahwa musuh bakal coba mengorek matanya, maka sekarang ia dan Tio Beng tentu sudah menjadi mayat. Ia lalu memeriksa jenazah Touw Hok Tong Ek Sam Nio.
Beberapa puluh tulang dada kakek dan nenek hancur remuk. Bahkan tulang dibagian punggungnya juga turut patah. Itulah akibat dari pukulan yang sangat lihai.
Bu Kie sudah sering bertempur melawan musuh2 tangguh dan pernah mengalami macam2 bahaya.
Tapi sebuah pengalaman itu belum ada yang menyamai hebatnya bahaya seperti gebrakan digubuk suami istri Touw itu. Malam itu, dua kali ia bertempur. Yang pertama pertempuran dahsyat melawan tiga tokoh persilatan kelas utama. Tapi kalau dibandingkan dengan pertempuran kedua yang memakai waktu yang sangat singkat, pertempuran yang kedua lah yang lebih berbahaya.
"Siapa dia?" tanya Tio Beng.
Bu Kie tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala.
Tiba-tiba si nona mendusin. Ia menebak orang itu. Mulanya mengeluarkan sinar ketakutan dan sesudah tertegun sejenak ia menubruk memeluk Bu Kie, akan kemudian mengangis dengan badan gemetaran.
Tanpa bicara kedua2nya mengerti apabila Tio Beng tak dengar teriakan Bu Kie dan apabila si nano tidak keluar menyambut kekasihnya tanpa memperdulikan hujan, maka mayat yang akan ditemukan Bu Kie itu akan berjumlah tiga.
Dengan lemah lembut Bu Kie membujuk si nona.
"Tujuannya untuk membunuh aku, tapi yang menjadi korban suami istri Touw," kata Tio Beng.
"Ya" kata Bu Kie. "Selama beberapa hari ini tak boleh kau berpisahan dari aku." Sesudah berdiam beberapa saat, ia berkata pula. "Belum cukup setahun, cara bagaimana ilmu silatnya bisa maju begitu pesat" Pada jaman ini, di dalam dunia ini, kecuali aku mungkin tidak ada lain orang yg bisa melindungi jiwamu."
Pada keesokan paginya, Bu Kie menggali lubang dan mengubur jenazah suami istri Touw. Bersama Tio Beng, ia mengunjuk hormat yang penghabisan kepada kakek dan nenek itu.
Baru saja mereka bertindak untuk meninggalkan tempat itu, di kuil Siauw Lim Sie sekonyong2
terdengar suara lonceng yang gencar bersambung sambung. Beberapa saat kemudian diudara sebelah timur muncul sinar api yang berasap hijau, disebelah selatan sinar berasap merah, dibarat putih dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
diutara hitam. Beberap li dari empat sinar itu, kelihatan lain sinar yang berasap kuning sehingga denga demikian kelima sinar api itu mengurung kuil Siauw Lim Sie.
"Ngo heng kie datang kesini!" seru Bu Kie. "Mereka datang mungkin secara resmi dan terang2an.
Lekas!" Cepat-cepat ia dan Tio Beng menukar pakaian, mencuci muka dan berlari2 kearah kuil dengan menggunakan ilmu ringan badan. Baru beberapa li mereka sudah bertemu dengan sepasukan anggota Beng Kauw yang mengenakan baju putih dan membawa bendera2 keceil warna kuning.
"Apa Gan Kie cie berada dalam pasukanku?" tanya Bu Kie dengan suara nyaring. (Kie cie = pemimpin bendera)
Mendengar teriakan itu, Gia Hoan Ciang Kie Su Hauw Touw Kie menengok dan begitu lihat Bu Kie, ia bersorak kegirangan. Buru-buru ia menghampiri dan berlulut sambil berkata "Houw Touw Kie Gan Hoan menghadap kepada Kauw cu!" Semua anggota pasukan turut berturut dan kemudian bersorak2.
Ternyata di bawah pimpinan Kong beng Cosu Yo Siauw dan Kong beng Yo Su Hoan Yauw, tokoh2
Beng Kauw dan lima pasukan Ngo Heng Kie menyateroni Siauw Lim Sie untuk menuntut dimerdekakannya Cia Sun.
Para pemimpin Beng Kauw mengerti, bahwa kedatangan mereka di Siauw Lim Sie dapat mengakibatkan pertempuran besar2an. Menurut pantas, tindakan yang penting itu harus diputuskan dan dipimpin oleh kauwcu sendiri. Tapi karena waktu sudah mendesak, mereka tidak bisa menunggu Bu Kie lagi. Apabila mereka datang pada harian Toan Ngo, usaha menolong Cia Sun akan terlebih sukar karena pada waktu itu orang2 gagah dari berbagai golongan sudah berkumpul dikuil Siauw Lim Sie. Maka itulah sesudah berdamai masak2, mereka mengambil keputusan untuk menyateroni Siauw Lim Sie sepuluh hari sebelum Toan Ngo.
Pertemuan itu tentu saja sangat menggirangkan Bu Kie.
Sementar itu, beberapa anggota pasukan sudah meniup terompet pertanda tentang kedatangan Kauwcu tak lama kemudian, Yo Siauw, Hoan Yauw, In Thian Ceng wie It Siauw, In Ya Ong, Ciu Tian, Pheng Eng Giok, Swee Poet Tek, Tiat Koan Toojien dan yang lain2 datang dengan beruntun. Mereka memberitahukan, bahwa oleh karena harus berada pada tempatnya masing2 disekitar kuil, maka empat bendera, yaitu Swie kim, Kie bok, Ang Sui dan Tat hwee, tidak bisa menghadap kepada kauwcu. Melihat tokoh2 Beng Kauw kumpul semua tak kepalang girangnya Bu Kie.
Sesudah saling memberi hormat, Yo Siauw dan Hoa Yaow secara resmi memohon maaf untuk kelancangan mereka yang sudah bertindak tanpa persetujuan atau perintah Kauwcu.
"Kalian jangan terlalu sungkan," kata Bu Kie. "Kita semua bersatu padu dan bertekad untuk menolong Ciat Hoat Ong. Hal ini membuktikan gie khie, rasa setia kawan yang sangat kuat di dalam agama kita, untuk itu aku merasa sangat berterima kasih, mana bisa jadi aku mempersalahkan kalian?" Sesudah berkata begitu, ia segera menceritakan segala pengalamannya, hasil penyelidikannya Siauw Lim Sie dan pertempuran melawan tiga tetua Siauw Lim, mendengar bahwa semua kejadian itu merupakan akibat dari tipu busuk nya Seng Koan, semua orang jadi gusar sekali dan Ciu Tian serta Tiat koan too jin yang berangasan lantas saja mencaci.
Sesudah menuturkan pengalamannya, Bu Kie berkata pula, "Hari ini dengan pasukan besar kita datang di Siauw Lim Sie, sedapat mungkin kita harus coba mempertahankan keakuran. Apabila kita terpaksa turun tangan, maka tujuan kita yang pertama ialah menolong Cia Hoat Ong dan tujuan kedua membekuk Seng Kun. Seboleh2 jangan sampai jatuh terlalu banyak korban!" Semua orang berjanji untuk memperlihatkan pesan pemimpin mereka.
Sambil berpaling kepada Tio Beng, Bu Kie berkata lagi, "Beng-moay, sebaiknya kau menyamar supaya tak usah menimbulkan lain urusan."
Si nona tersenyum, "Gan Taoko," katanya, "Biarlah aku menyamar sebagai anggota pasukanmu."
Biarpun belum tahu hubungan antara Kauw cu dan nona itu, tapi mendengar istilah "Beng moay", Gan Hoan mengerti, bahwa antara sang pemimpin dan si nona mempunyai hubungan yang sangat erat. Ia lantas saja mengingatkan dan memerintahkan salah seorang anggota pasukannya membuka jubah luarnya dan menyerahkannya kepada Tio Beng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan membawa jubah itu, si nona berlari2 kehutan untuk menukan pakaian dan memoles mukanya dengan tanah. Tak lama kemudia dia kembali sebagai seorang anggota Houw Touw kie yang kurus dan bermuka kehitam2an.
Dengan diiringi suara terompet para pemimpin Beng Kauw segera mendaki gunung kearah kuit.
Pemimpin Siauw Lim Sie sudah menerima surat resmi dari Beng Kauw dan dengan membawa sejumlah pendeta, Kong tie Siansu menyambut dipendopo diluar kuil.
Sesudah bilagui Seng Kun, bahwa Beng kauw bersekutu dengan Jie Lam Ong, Kong Tie menyambut dengan penuh kegusaran. Ia hanya merangkap kedua tangannya tanpa mengeluarkan sepatah kata, sedang paras mukanya kelihatan menyeramkan.
"Untuk satu urusan penting, kami ingin bertemu dengan Hong thio Sengceng," kata Bu Kie sambil menyoja.
"Persilahkan!" kata Kong tie yang lalu mengantar rombongan itu. Diluar pintu kuil, rombongan Bu Kie disambut oleh Kong Bun Sian Su. Mendengar kedatangan Bu Kie sebagai Kauwcu dari Beng Kauw, Kong Bun tak mau melanggar adat istiadat Rimba Persilatan. Ia keluar menyambut dengan mengajak Sioe cu (pemimpin) Tat mo tong To kan tong dan Cong keng kok. Sesudah saling memberi hormat, ia mengajak para tamu masuk di Thay Hiong. Po thian dan beberapa pendeta kecil lantas saja menyuguhkan teh.
"Hong thio Sing Ceng," kata Bu Kie, "Tanpa urusan penting, kami tentu tidak berani datang disini.
Maksud kunjungan kami ialah untuk memohon dimerdekakannya Hu Kauw Hoat Ong cia hoat Ong kami.
Untuk budi yang sangat besar itu, kami pasti tak akan melupakan dan akan berusaha untuk membalasnya."
O mie to hud!" kata Kong bun. "Pada hakekatnya tentang beribadat harus berpokok belas kasihan dan tidak boleh membunuh. Menurut kebiasaan, kami memang tidak boleh menyukarkan Cia Sun. Tapi sebagaimana diketahui, suhenku Kong kian telah binasa di dalam tangan Cia Siesu. Sebagaimana pemimpin dalam satu agama, Thio Kauwcu tentu pahan akan peraturan di dalam rimba persilatan.
"Di dalam peristiwa yang menyedihkan itu, terselip latar belakang yang berbelit2 dan sesudah mengetahui latar belakang itu kita sebenarnya tidak dapat mempersalahkan Cia Hoat Ong," kata Bu Kie yang lalu menjelaskan jalannya peristiwa, cara bagaimana untuk menghilangkan satu permusuhan besar.
Kong kian rela menerima pukulan Cia Sun.
Baru Bu Kie memutar separuh, Kong Bun sudah berbangkit dan berdiri sambil membungkuk. Dengan sinar mata berlinang2, ia berkata: "Siancay! Siancay! Untuk menolong sesama manusia, Kongkian suhen rela membuat pengorbanan yg besar itu. Jasanya sungguh tak kecil."
Berapa pendeta lantas saja membaca doa. Para pemimpin Beng Kauw pun segera bangun berdiri sebagai tanda menghormat kepada pendeta suci itu.
"Sesudah mencelakai Kongkian seng ceng sebab kesalahan tangan, Cia Hoat ong berduka dan menyesal," kata pula Bu Kie. "Tapi seumpamanya urusan ini lalu diusut lebih jauh orang yg berdosa adalah Goan tin Taysu dari Siauw Lim sie." Melihat Seng Kun tidak berada disitu, ia berkata, "Aku memohon supaya Goan tin Taysu disuruh keluar guna dipadu di hadapan orang banyak, supaya Hong thio Seng ceng bisa membuktikan, apa aku berdusta atau tidak."
"Benar," sela Ciu Tian. "Di Kong beng teng keledai gundul itu berlagak mampus, lekas panggil dia keluar!" Si sembrono rupa2nya masih sakit hati terhadap Seng Kun yg telak mempersakitinya dalam pertempuran di Kong beng teng.
Bu Kie melirik dan menegur, "Ciu Sianseng, kau tak boleh berlaku kurang ajat di hadapan Hong thio Taysu."
"Aku bukan maki dia, aku maki penjahat Seng Kun," jawabnya, tapi ia tidak berani bicara apa2 lagi.
Mendengar perkataan Ciu Tian, Kong tie yang sudah bergusar tidak bisa menahan sabar lagi, "Tapi bagaimana dengan kebinasaan Kong seng sute?" tanyanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kong seng ceng berdarah panas, beradat polos dan memiliki sifat ksatria sejati," jawab Bu Kie. "Di Kong beng teng aku pernah menerima pelajarannya dan aku merasa sangat kagum akan kepandaiannya.
Aku turut berdukacita untuk kemalangannya. Ia mati karena diserang oleh manusia jahat dan hal itu tiada sangkut pautnya dengan agama kami."
Kongtie tertawa dingin, "Thio kouwcu mencuci tangan bersih2," ejeknya.
"Apakah persekutuan antara Kuncu dari Jie lamong dan Beng Kauw bukan sebuah kenyataan?"
Muka Bu Kie berubah merah. "Memang benar, sesudah kebentrok dengan ayah dan kakaknya, Kuncu telah masuk kedalam agama kami," sahutnya. "Perbuatannya terhadap Siauw Lim Sie memang satu kesalahan. Aku berjanji akan selalu bersedia mengajak dia datang kemari guna mengakui kedosaannya dan memohon maaf."
"Thio Kauwcu, pandai sunggu kau menggoyang lidah!" bentak Kong tie. "Apa dengan berkata begitu kau tidak akan ditertawai oleh para orang gagak dikolong langit?"
Bu Kie jadi serba salah. Sebagai seorang jujur, di dalam hati ia mengaku, bahwa perbuatan Tio Beng dalam menyerang dan menangkap pendeta2 Siauw Lim Sie memang suatu kedosaan terhadap Siauw Lim Sie. Biarpun urusan itu bukan urusan Beng Kauw, tapi setelah si nona masuk ke dalam agamanya, ia tidak bisa mencuci tangan begitu saja.
Selagi ia bersangsi, Tiat Koan Toojin yang meluap darahnya sudah mulai membentak:
"Kong tie taysu! Dengan memandang sebagai pendeta suci yang tertua, kauwcu kami sudah berlaku sangat sungguh terhadapmu. Sebaiknya kau tahu diri sebagai pemimpin Beng kauw dan sebagai seorang ksatria, mana bisa jadi kauwcu kami bicara sembarangan" Kau menghina kauwcu kami dan itu berarti kau menghina Beng Kauw yang mempunyai anggota ratusan laksa. Meskipun kauwcu sangat baik hati dan tidak mempunyai rasa gusar, hinaan itu tidak ditelan begitu saja oleh kami semua," pada waktu itu Beng Kauw sudah menguasai banyak daerah dengan tentara rakyat berjumlah besar dan istilah "ratusan laksa"
tidaklah terlalu berlebih2an.
Kong tie tertawa tawar, "Ratusan laksa?" ia mengulang. "Apa kalian mau menginjak Siauw Lim Sie sampai jadi bumi rata" Bukan baru sekarang. Mo Kauw menghina Siauw Lim. Bahkan kami sampai kena ditawan dan dikurung di Ban hoat si, kami tidak mempersalahkan siapapun juga. Kami hanya boleh merasa menyesal karena ceteknya kepandaian kami. Huh huh! " Lebih dahulu membasmi Siauw Lim, kemudian menumpas Butong, yang merajai Rimba Persilatan, hanialah Beng Kauw. Sungguh gagah!
Sungguh angker!" Bu Kie lantas saja ingat. Bahwa kata2 itu, "Lebih dahulu membasmi Siauw Lim dan sebagainya yang di "ukir" dengan coretan tangan dalam ilmu Kim Kong Tay lek cie, terdapat pada patung Tat me Couw su. Huruf2 dituli oleh salah seorang jagoan Tio Beng, sesudah para pendeta Siauw Lim Sie tertawan dan dibawa pergi. Waktu itu, Kouw Touw too Hoao Yauw masih menghamba dibawah perintah Tio Beng, tapi di dalam hati ia lelah, untuk menyingkirkan bencana yang diatur oleh Tio Beng, sesudah semua orang pergi, buru-buru ia kembali ke Tat Mo tong dan memutar patung tersebut, sehingga pulih ketempat asalnya, yaitu menghadapi tembk, belakangan waktu rombongan Bu Kie dalam kuil Siauw Lim sie dengan bantuan In Ya Ong, Yo Siauw memutar patung itu dan membaca huruf2 tersebut. Sesudah membaca, mereka memulangkan kedudukan patung itu seperti tadinya, yaitu menghadap tembok, belakangan waktu rombongan Bu Kie dalam kuil Siau Lim sie, dengan bantuan Yo Siauw emutar patung itu dan membaca huruf2 tersebut. Sesudah membaca, mereka memulangkan kedudukan patung itu seperti tadinya, yaitu menghadap ketembok, supaya jangan samapi diketahui oleh orang Siauw Lim Sie. Tapi sekarang ternyata bahwa pihak Siauw Lim sie toh mengetahui juga.
Bu kie yang jujur tidak pandai bicara. Ia mengakui bahwa penulisan huruf2 itu dimuka patung yg di papas rata adalah perbuatan Tio Beng yg paling tak pantas. Ia merasa malu dan tidak bisa menjawab sindiran Kong tie.
Melihat sang Kauwcu membungkam, Yo Siauw segera maju menolong. "Kami sungguh tidak mengerti maksud perkataan Kong tie Tay su," katanya. "Mendiang ayahanda thio Kauwcu adalah seorang murid Bu tong. Hal ini diketahui oleh semua orang. Andaikata benar2 kami, orang2 Beng Kauw, gila2an, kami pasti masih tidak berani menghina ayahanda Kauwcu kami sendiri. Disamping itu, ukiran jari tangan itu dilakukan dengan menggunakan ilmu Kim kong Tay tek cie, yaitu ilmu rahasia Siauw Lim Sie yang tak sembarangan diturunkan kepada orang. Diantara orang2 agama kami tidak satupun yang mengenal ilmu tersebut. Kong ti taysu adalah seorang ahli yang mengenal ilmu silat dalam rimba
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
persilatan, sehingga taysu tentu tahu, apa dengan bicara begini aku berdusta atau tidak," jawab Yo Siauw itu membuat Kong tie tidak bisa membuka suara lagi.
"Ketika bertengkar disini tak ada gunanya," kata Kong bun dengan suara sabar. "Menurut pendapat looiap, sebaiknya kita sekarang pergi ke Tat mo tong untuk melihat dengan mata sendiri." Kong bun seorang yang sabar dan mulia hatinya. Iapun tahu bahwa Beng kauw bertenaga besara dan kalau sampai terjadi bentrokan besar2an Siauw Lim sie mungkin menjadi hancur.
"Begitupun baik," kata Bu Kie sambil menyapi seluruh ruangan dengan menanya. Melihat Tio Beng tidak turut masuk disitu, hatinya agak lega.
Dengan Tio kek ceng (pendeta menyambut tamu) sebagai pembuka jalan; semua orang lantas saja menuju ke Tat mo tong. Tat mo tong adalah tempat istirahat dan semedhi dari pendeta2 Siauw Lim sie yang berkedudukan tinggi. Pendeta yang tingkatannya terendah tak akan berani masuk keruangan itu!
Bahkan sioe Co (kepala) Tat mo tong sendiri berlaku semabrangan terhadap pendeta2 yang berada disitu.
Begitu tiba didepan ruangan yg pintu nya tertutup. Kong tia lantas berkata, "Hong thio mengajak para sioecu (tuan) dari Beng Kauw datang di Tat mo tong untuk melihat patung Cee couw (leluhur yang pertama)."
Sesudah menunggu beberapa saat dan di dalam tidak terdengar suara apa2, sioecu dari Tat mo tong lantas saja menolak pintu. Di dalam ruangan itu terdapat sembilan pendeta tua yang bersemedhi diatas tikar sambil memejamkan mata. Cara mereka bersemedhi berbeda-beda, ada yang berlutut, yang tidur, ada yg mengangkat sebelah kiri dan sebagainya, Bu Kie tahu bahwa mereka sedang melatih diri dalam lweekang yang tertinggi dan cara bersemedi yang aneh2 itu dilakukan dengan mencontoh patung2 lima ratus lohan. Kesembilan pendeta itu tidak menghiraukan kedatangan Hong thio. Dengan mulut membungkam dan badan tidak bergerak, mereka seolah2 sembilan patung.
"Waktu aku datang di Siauw Lim Sie, dalam ruangan ini hanya terdapat sembilan tikar rombeng," kata Bu Kie di dalam hati. Diantara pendeta2 yang ditawan Beng Moay juga tidak terdapat sembilan pendeta tua. Kemana mereka pergi?"
Kong beng, Kun tie dan yang lain2 juga tidak memperdulikan sembilan pendeta itu. Mereka segera berlulut di hadapan patung tat mo couw su. "Hari ini tee cu mengganggu Cee couw dan untu kekurang ajaran ini, teecu mohon di ampuni," kata Kong bun yang lalu memerintahkan enam orang murid untuk memutar patung tersebut. Enam murid itu segera maju, menangkap kedua tangan mereka dan mulut mereka berkemak kemik membaca doa. Sesudah itu, dengan sikap hormat barulah mereka mengerahkan lweekang dan memutar patung tersebut yang beratnya dua ribu kati lebih.
Baru saja patung itu terputar separuh, semua orang mengeluarkan seruan kaget. Mengapa" Sebab muka patung lengkap, sempurna dengan mulut mata kuping dan hidung yg tak ada cacatnya!
Itulan kejadian yang sungguh2 mengejutkan. Sebagaimana diketahui, muka patung itu telah dipapas orang sehingga rata dan menyerupai papan batu dan diatas papan batu itu tertulis "Lebih dahulu membasmi Siauw Lim kemudia menumpas Butong, yang merajai Rimba Persilatan, hanialah Beng Kauw." Mengapa sekarang muka itu lengkap sempurna"
Dengan rasa penasaran Kong tie maju memeriksa. Ia mendapat kenyataan, bahwa muka patung itu dipahat sebuat batu besar. Muka patung bukan ditempelkan pada bagian muka yg dulu sudah dipapas rata.
Tegasnya dari muka sampai ke badan, patung itu terbuat dari sepotong batu raksasa.
Semua orang saling mengawasi dengan mulut ternganga. Untuk beberapa lama mereka tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Kemungkinan satu2nya ialah lebih dulu orang membuat sebuah patung baru kemudian mengeluarkan patung lama dati Tat mo tong dan akinya memasukkan patung baru itu kedalam Tat mo tong. Tapi ini tak mungkin dilakukan tanpa diketahui orang. Selama beberapa bulan yg belakangan Siauw Lim sie, dijaga keras sehingga jangankan sebuah patung raksas sedang sebuah mangkok pun takkan bisa keluar masuk di Tat mo tong tanpa diketahui.
Melihat kekagetan para pendeta Yo Siauw tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu. "Siauw Lim sie mempunyai rejeki yang besar dan pahal terhadap semsama manusia yang tiada batasnya"
,katanya dengan suara nyaring. "Tat mo Loocouw telah memperlihatkan keangkerannya dan memperbaiki sendiri patungnya yang dirusak orang. Kejadian ini benar2 kejadian yg menggirangkan dan patut diberi selamat." Sehabis berkata begitu, ia menekuk kedua lututnya dan berlutut di hadapan patung.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu kie dan lain2 tokoh Beng Kauw lantas saja mengikuti. Para pendeta Siauw Lim tak bisa berbuat lain daripada membalas hormat. Kong bun couw telah memperlihatkan keangkeran dan memperbaiki sendiri kerusakan itu, ia menduga bahwa itu semua kerjaan Beng Kauw. Tapi biar bagaimanapun juga andaikata benar kerjaan Beng Kauw dapat dikatakan sudah coba memperbaiki kesalahannya dan sudah menghaturkan maaf dengan demikian, kegusaran para pendeta lantas saja berkurang.
"Patung sudah baik kembali dan hal ini tak usah disebut2 lagi," kata Kong bun yang lalu memerintahkan keenam murid Siauw Lim untuk memutar kembali patung itu. Sesudah itu ia berkata pula,
"Semalam Kauw Tio datang berkunjung dan sudah berkenalan dengan ketiga susiok loolap, Touw ok susiok dan Thio Kauwcu telah berjanji, bahwa asl Khioe kauwcu dapat memecahkan Kim kong Hok mo coan, maka Thio Kauwcu lantas boleh membawa Ciao Siecu pergi. Apa benar ada perjanjian begitu?"
"Benar," jawab Bu Kie. "Touw ok Taysu telah mengatakan begitu. Aku merasa sangat kagum tehadap ilmu sam wie ko ceng dan kutahu bukan tandingan mereka. Semalam aku sudah dikalahkan dan sebagai pecundang mana berani aku menjual lagak lagi?"
"Omieko hoad, Thio kauwcu mengeluarkan kata2 yg terlalu berat," kata Kong Bun. "Semalam menang atau kalah belum ada keputusannya dan ketiga susiok loolap merasa sangat berterimakasih akan kemuliaan Thio Kauwcu."
Mendengar kelihaian ketiga tetua Siauw Lim itu, sebagai biasanya ahli2 silat, tokoh2 Beng Kauw lantas saja kepingin menyaksikan kepandaian mereka. "Kauwcu," kata In Thian Ceng, "Karena pihak Siauw lim sendiri yang ingin menjajal kepandaian, maka kita terpaksa harus meminta pelajaran dari mereka. Tujuan kedatangan kita adalah untuk menolong Cia Heng tee. Kita terpaksa berbuat begitu dan sama sekali bukan mau menjajal lagak di Siauw Lim sie."
Sebagi cucu Bu Kie sangat mengindahkan perkataan kakeknya. Apa pula untuk mencapai tujuan mereka, Beng Kauw tidak mempunyai pilihan lain dari pada bertempur. "Mendengar ilmu yang sangat tinggi dari ketiga tetua Siauw Lim saudara2ku ingin sekali menemui mereka dan pertemuan ini sangat menggirangkan kita semua."
"Persilahkan!" kata Kong tie yang lantas mengajak para tamunya kepuncak bukit yang terletak dibelakang kuil.
Kaki bukit itu dijaga rapat2 oleh pasukan Ang Sui Kie, tapi Kong bun dan kawan2nya tidak menghiraukan. Dengan sikap tenang mereka mendaki bukit. Begitu tiba dipuncak Kong Bun dan Kong Tie menghampiri pohon siong dan melaporkan kedatangan rombongan Beng Kauw sambil membungkuk.
"Bagus! Bagus sungguh!" kata Touw ok. "Soal sakit hati Yo po Thian sudah beres dan soal patung Cie Cauw juga sudah beres. Bagus! Thio Kauwcu beberapa orang yg mau main?"
Sesudah memikir sejenak Bu Kie menjawab "Semalam aku sudha berkenalan dengan singkang Sam wie yang sangat tinggi dan menurut pantas aku tidak boleh memperlihatkan lagi kebodohanku kehadapan Sam wie. Akan tetapi karena antara Cia hoat ong dan aku terdapat perhubungan ayan dan anak dan dengan saudara2 lain nya mempunyai perhubungan persaudaraan, maka dengan tidak mengimbangi tenaga sendiri kami terpaksa harus berusaha juga untuk menolongnya. Menurut pendapatku jalan yang paling adil ialah aku meminta bantuan dua saudara sehingga tiga melawan tiga."
"Thio Kauwcu tak usah berlaku sungkan," kata Touw ok. "Apabila di dalam kalangan Beng Kauw terdapat orang lain yang berkepandaian sama tingginya seperti Kauwcu maka dengan dua orang saja Kauwcu akan bisa membinasakan kami bertiga. Tapi menurut pendapat loolap di dalam dunia tak ada yg bisa menyamai kepandaian Kauwcu. Maka itu sebaiknya kauwcu menggunakan lebih banyak orang untuk mengurubuti kami."
Tioe Can Tiat koan Toojin dan lain2 saling mengawasi. Mereka menganggap Touw Ok sangat sombong. Tapi dalam kesombongan itu, si pendeta mengakui bahwa di dalam dunia tak ada orang bisa menandingi Bie Koe, satu pujian tinggi bagi Kauwcu mereka.
Bu Kie membungkuk dan berkata, "Biarpun agama kami tidak bisa berendeng dengan Siauw Lim pay, tapi dalam sejarah ratusan tahun kami masih memiliki juga beberapa orang pandai. Aku sendiri sebenarnya menduduki kursi kauwcu hanya untuk sementara waktu. Kalau bicara tentang kepandaian, di dalam agama kami terdapat banyak orang yg berkepandaian lebih tinggi daripada aku. Wie Hok ong serahkanlah karcis nama ini kepada Sam wie ko ceng!" Sehabis berkata begitu ia merogoh saku dan mengeluarkan selembar karcis nama yg tercantum nama2 para tokoh Beng Kauw yg berkunjung.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Wie It Siauw mengerti bahwa Bu Kie ingin supaya ida memperlihatkan ilmu ringan badannya yang tiada keduanya di dalam dunia. Ia membungkuk dan menyambuti karcis nama itu. Mendadak tanpa memutar tubuh ia melesat atau lebih benar terpental bagaikan menyambarnya sebutir peluru ketengah2
tiga pohon siong dn dalam satu gerakan yang indah, menyodorkan karcis nama itu kepada Touw Ok.
Ketiga tetua Siauw Lim itu sudah kenyang makan asam garam dunia dan mempunyai pengalaman yang sangat luas. Tapi ilmu ringan badan yg lihai itu baru pernah dilihatnya.
Tanpa terasa mereka berseru "Bagus!"
Dengan membungkuk sedikit Touw ok menyambuti karcis nama itu. Begitu lima jari tangannya menyentuh kertas, begitu Wie It siauw merasa badannya kesemutan. Ia terkejut dan segera mengerahkan lweekang untuk melawannya.
Sedetik kemudian Youw Ok sudah mengambil karcis nama itu dan giliran tenaga lweekannya yang dirasai Ceng ek Hok ong lantas saja hilang. Paras muka Wie it siauw berubah. Ia tak menduga bahwa pendeta itu memiliki lweekang yg sedemikian tinggi. Ia tidak berani berdiam lama2 disitu. Sesudah memanggutkan kepala, ia melayang diatas rumput dan kembali kepada Bu Kie. Ilmu ringan badan yg digunakannya ialah Co siang hui (Terbang diatas rumput).
Biarpun bukan ilmu luar biasa, ia melakukannya secara lain dari yang lain.
Kong bun dan Kong tie tahu dengan mendapat pelajaran dari dan latihan semata2 orang tak dapat mencapai ilmu ringan badan pada tingkat yang begitu tinggi. Disamping guru dan latihan, Wie Hok Ong mempunyai bakat yang tidak dipunyai orang lain.
"Sesudah Thio Kauwcu mengambil keputusan untuk tiga melawan tiga, bolehkan loolap mendapat tahu, disampai Wie Hok Ong siapa lagi yang memberi pelajaran kepada kami?" tanya Touw Ok.
"Wie Hok Ong sudah menerima pelajaran lweekang dari taysu," jawabnya. "Yang akan membantu aku adalah Co Yoe Kong beng Siocia."
"Sungguh lihai mata pemuda itu," Touw Ok memuji di dalam hati. Ia sudah bisa lihat pengiriman lweekang dengan melalui karcis nama.
Siapa itu Co yoe kong beng Su cia" Apa mereka lebih lihat dari Wie hok ong" Sebgai orang yg sudah lama menutup diri, ia pernah mendengar Co yoe Kong beng Su cie. Sementara itu, Yo Siauw dan Hoan Yaow, lantas saja maju dan berkat sambil membungkuk, "Kami menunggu perintah Kauwcu."
"Sam wi ko ceng menggunakan senjata lemas," kata Bu Kie. "Senjata apa yang harus kita gunakan?"
Diwaktu biasa Bu Kie, Yo Siauw dan Hoan Yauw tidak pernah menggunakan senjata. Tapi dalam menghadapi lawan berat, tidak bisa mereka berlaku sombong dan bertempur dengan tangan kosong.
Sebagai ahli2 silat kelas utama mereka bisa menggunakan senjata apapun juga.
"Terserah kepada Kauwcu," jawab Yo Siauw.
Bu Kie ingat apa yang dilihat semalam, cara bagaimana dengan senjata pendek Ho kian siang sat menyerang tambang yang panjang dan telah menarik keuntungan dari senjata yang pendek itu, ia lantas saja mengeluarkan enam batang Seng hwee leng dari sakunya dan sesudah menyerahkan masing2 dua batang kepada mereka.
"Yo Siauw dan Hoan Yauw," ia berkata, "Dalam mengunjungi Siauw Lim, kami tidak berani membekal senjata. Aku hanya membawa mustika dari agama kami. Biarlah kami menggunakan saja mestika ini." Yo Siauw dan Hoan Yauw lantas saja menerima "leng" itu dengan membungkuk.
Baru saja mereka mau berdamai untuk menetapkan siasat pertempuran, tiba2 Kong tie membentak,
"Kouw Louwtoo! Di Ban hoat si kita telah menaruh ganjelan. Mana bisa disudahi begitu saja?"
"Mari, mari! Loolap ingin minta pelajaran. Hari ini loolap tidak dipengaruhi Sip Hiang Joan kin san dan biarlah hari ini kita mendapat keputusan siapa yang lebih unggul."
"Meyesal aku, tidak bisa menerima tantangan itu," jawab Hoan Yauw dengan suara tawar.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Hari ini aku sudah menerima perintah Kauw cu untuk memecahkan Kim Kong Hok mo coan. Apabila Taysu mau membalas sakit hati yang dulu, sesudah tugas selesai, aku pasti akan melayani."
Kong tie segera mengambil sebatang pedang dari salah seorang murid Siauw Lim Sie, "Secara tak tahu diri aku berani, melawan ketiga susiokku," katanya. "Kalau tak mati, sebentar kau tentu terluka berat.
Sakit hatiku akan tidak bisa dibalas lagi."
Hoan Yauw tertawa dingin. "Apa selain tuan dalam Beng Kauw tidak terdapat lain jago?" tanyanya dengan nada mengejek.
Semua orang tahu, bahwa dalam berkata begitu Kong tie ingin membikin panas hatinya orang2 Beng Kauw. Tapi kalau ejekan itu ditelan begitu saja, derajat dan keangkeran Beng Kauw akan merosot. Dalam kedudukan, sesudah Hoan Yaum adalah Peh bie Eng Ong Ing thian Ceng. Tapi mengingat usia sang kakek yang sudah lanjut Bu Kie bersangsi untuk meminta bantuannya. Selagi ia menimbang2 untuk menarik In Ya Ong, pamannya, In Thian Ceng mendadak maju beberapa tindak dan lalu berkata, "Kauw cu, In Thian Ceng memohon tugas."
"Gwakong sudah lanjut usia, sebaiknya Kuku (paman) saja yang?"
"Benar aku sudah tua, tapi usiaku tak mungkin melampaui Sam wie ko ceng. Kalau siauw lim punya jago-jago tua, apa Beng Kauw tak punya?"
Bu Kie tahu bahwa kakeknya memiliki kepandaian sangat tinggi yang sedikitnya tak kalah dari Yo Siauw dan Hoan Yauw. Maka itu sesudah memikir sejenak ia segera mengangguk dan berkata, "Baiklah Hoan Yoesu, simpanlah tenagamu untuk melayani Kong tie Seng ceng. Aku sekarang memohon bantuan Gwakong."
In Thian Ceng membungkuk dan lalu mengambil sepasang "leng" dari tangan Hoan Yauw.
"Sam wie Susiok!" kata Kong bun dengan suara nyaring. "Yang ini ialah In Loo Enghiong bergelar Peh bie kauw yang. Dahulu ia mendirikan Peh bie kauw yang berseteru dengan enam partai besar. Ia seorang enghiong yg berkepandaian tinggi. Yang itu adalah Yo sianseng. Baik lweekang maupun gwakang ia sudah mencapai tingkat tertinggi. Ia adalah seorang tokoh terutama dalam Beng Kauw. Sudah banyak jago Kun Lun dan Go Bie rubuh ditangannya."
Touw ciat tertawa, "Selamat bertemu! Selamat bertemu!" katanya. "Cobalah kita lihat, apakah murid2
Siauw Lim bisa melayani atau tidak."
Tiga lambang lantas saja bergerak dan membuat tiga buah lingkaran.
Semalam, di tempat gelap, Bu Kie bertempur dengan hanya mengandalkan perasaannya terhadap sambaran angin dari tambang2 itu. Tapi sekarang, diwaktu tengah hari, bukan saja gerakan tambang bahkan kerut muka ketiga kakek itu juga dapat dilihat tegas olehnya. Sesudah menundukkan Seng hwee leng kemuka bumi dan menyoja, ia berkata, "Maaf!" Hampir berbareng ia membabat tambang Touw lan dengan leng yg di pegang dalam tangan kanannya. Begitu kedua senjata yang aneh itu kebentrok, Touw Lan dan Bu Koie merasa lengan mereka kesemutan.
Bu Kie tahu bahwa andaikata pihaknya bisa memperoleh kemenangan, kemenangan tidak akan bisa di dapat secara mudah. Paling sedikit ia harus bertempur lima ratus jurus.
Memikir begitu ia segera mengambil keputusan untuk melelahkan ketiga pendeta itu dan kemudian barulah mencari lowongan untuk mengirim pukulan2 yang memutuskan. Demikianlah ia segera melawan keras juga. Kioe yang sin kang yang berada dalam tubuhnya makin digunakan jadi makin kuat dan pukulan2 nya kian berat. Penonton yang lweekangnya kurang kuat terpaksa mundur setindak demi setindak sebab tak tahan, disambar angin pukulan.
Sesudah bertanding kira2 semakanan nasi ketiga tambang jadi lebih pendek tambangnya, makin kuat pembelaannya.
Semula pertempuran berlangsung dalam tiga psang lawan, tapi sesudah lewat setengah jam, Yo Siauw dan In Thian Ceng tidak bisa mempertahankan diri lagi sehingga keadaan jadi berubah mereka berdua mengerubuti Touw Lan, sedang Bu Kie melayani Touw Ok dan Toyw Ciat.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pertempuran itu, In Thian Ceng menggunakan ilmu silat keras, sedang Yo Siauw mengubah2
caranya, sebentar lembek sebentar keras. Antara enam orang itu, yang silanya paling resap ditonton adalah Yo Siauw. Dalam tangannya kedua lengan itu berputar2, menyambar2 dan menari2. sebentar kedua senjata itu digunakan sebagai pedang, sebentar sebagai golok, sebentar sebagai tombak yg menikam, membabat dan memapas. Dilain detik ia mengubah cara bersilat dan kedua leng itu digunakan sebagai poan koan pit yang menyambar2 dalam usaha untuk menotok jalan darah lawan. Baru beberapan gebrakan sudah berubah lagi, sekarang leng di tangan kiri sebagai pisau, leng ditangan kanan sebagai sucek (pusut). Sesaat kemudian kedua senjata itu memegang peranan sebagai cambuk dan toya.
Demikianlah, belum cukup seratus jurus Yo Siauw sudah mengubah2 kedua leng itu menjadi dua puluh dua macam senjata.
Hoan Yaow biasanya sangat temberang sebab ia menganggap bahwa ia mengenal semua ilmu silat dikolong langit. Tapi sekarang, melihat kelihaian Yo Siauw, ia merasa takluk tercampur kagum. Sudah lama Ciu Tian bermusuhan dengan Yo Siauw dan mereka pernah bertempur beberapa kali. Makin lama ia menonton makin besar rasa malunya. "Baruku tahu si kura2 Yo Siauw sengaja mengalah terhadapku,"
pikirnya. "Tadinya kukira kepandaiannya hanya lebih setingkat daripada aku. Kuanggap ia menang sebab mujur.
Siapa nyana ilmu sikura2 sebenarnya banyak lebih tinggi daripada aku."
Tapi sesudah Yo Siauw mengubah2 silatnya, Touw Lan tetap bisa melayani kedua lawannya secara tenang. Perlahan-lahan diatas kepala In Thiang Ceng mengepul uap putih, suatu tanda bahwa si kakek sedang mengerahkan lweekang terhebat. Karena penuh dengan hawa jubahnya yang berwarna putih juga mulai melembung setiap kali ia bertindak. Diatas tanah terlihat apak kaki yang dalam sehingga sesudah bertempur hampir satu jam, tanah dalam gelanggang pertandingan penuh dengan tapak2 kaki.
Tiba2 si kakek mengoper leng ditangan kanan ketangan kiri dan menggunakan kedua senjata itu untuk menekan tambang Touw Lan. Hampir berbareng tangan kanannya yang sudah tidak bersenjata menghantam Touw Lan dengan pukulan Pek Tongciang. Bagaikan kilat Touw Lan mengangkat tangan kirinya, mementang lima jari tangan, mengepalnya dan kemudia menyambut Pek kong ciang In thian Ceng dengan tinju itu.
Kong beon dan Kong tie mengeluarkan seruan tertahan, bahwa kaget dan kagum. Pukulan Touw Lan itu adalah Siauw sie bie ciang, salah satu dari tujuhpuluh dua ilmu silat Siauw Lim sie yg tersohor. Siauw sie bie ciang bukan saja sukar dipelajari dan meminta waktu lama dalam latihan, tapi menurut kebiasaan waktu mau mengeluarkan pukulan tersebut seseorang harus lebih dahulu memasang kuda2 dan mengerahkan lweekang untuk beberapa saat. Bahwa Touw Lan bisa menggunakan pukulan tersebut dengan begitu saja adalah diluar dugaan. Sesudah memukul Touw Lan lalu mengedut tambangnya ygn lantas saja menyambar.
Karena sebelah tangannya harus mengadu tenaga dengan In Thian ceng, maka tenaga tangan Touw Lan yang memegang tambang yg melayani Yo Siauw lantas saja berkurang. Akan tetapi ia segera menambal kelemahannya itu dengan pukulan2 yg luar baisa, sehingga tambang itu seperti juga seekor ular sakti berterbangan kian kemari. Yo Siauw melawan dengan tidak kalah siasatnya dan ilmu yg dipergunakannya terus berubah2. Karena lebih sedap lagi pandangan mata, maka perhatian penonton lebih banyak ditujukan kepada pertempuran ini daripada pertandingan antara Bu Kie dan kedua tetua dari Siauw Lim.
Dilihat sekelebatan, pukulan2 Touw ok, Touw ciat dan Bu Kie biasa saja. Kehebatan pertandingan itu bukan terletak pada pukulan2nya, tapi pada lweekangnya. Pada hakekatnya, pertandingan itu sepuluh kali lebih berbahaya daripada pertempuran Touw Lan, Yo Siauw dan In Thia Ceng. Salah sedikit saja, kalau tidak mati tentu terluka berat.
Satu jam lebih mereka sudah bertempur dan matahari sudah mulai mendoyong ke barat. Ketika itu Kong Bun, Kong tia dan Hoan Yauw, Wie it Siaw dan lain2 ahli silat kelas satu sudah biasa lihat kemungkinan menang atau kalahdari kedua belah pihak. Dipihak Bu Kie, uap putih yg mengepul dari kepala In thian ceng jandi makin tebal, sedang di pihat Siauw lim daun2 dari pohon siong yg diduduki Tauw Ciat, bergoyang2 tak henti2nya. Ini berarti, bahwa sambil bersandar Tauw Ciat harus meminjam tenaga pohon itu untuk melawan sinkangnya Bu kie. Demikianlah apabila In Thian Ceng yang roboh lebih dahulu, maka BengKauwlah yang kalah dan manakala Touw ciat yg lebih dulu tak tahan, Siauw lim sie lah yang kena di jatuhkan.
Hal itu tentu saja diketahui oleh keenam orang yg sedang bertempur itu. Sesudah mengadu tangan tigapuluh kali lebih, In thian ceng tahu bahwa ia bukan tandingan Touw Lan. Ia merasa sangat menyesal
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dan berkata dalam hati, "Hari ini yang terpenting adalah menolong Cia Hengtee. Namaku kalah menangku urusan kecil. Apapula kalau aku mesti kalah dalam tangannya seorang tetua Siauw Lim, nama besar Peh bie Eng Ong tidak akan jadi merosot. Yang penting kekalahanku berarti Cia Heng tee tak bisa ditolong. Ah!... tiada jalan lain dari pada mati2an dan kalau perlu, mengorbankan jiwa yang tua ini."
Memikir begitu, ia mundur setindak dan dengan seluruh lweekang nya, ia mengirim pula belasan pukulan. Tapi Siauw sie ciang yg sudah dilatih Touw Lan selama beberapa puluh tahun, bukan main hebatnya. In Thian Ceng mundur setindak, tenaga Siauw sie bie ciang maju stindak. Dengan perkataan lain semakin jauhnya jarak sama sekali tak memperkurang tenaga pukulan itu.
Melihat kawannya sudah jauh dibawah angin Yo Siauw segera mengambil keputusan untuk menukar siasat. Ia ingin merangkap kedua Seng hwee leng untuk menjepit tambang dan mengadu tenaga dengan Touw Lan, supaya tekanan terhadap In Thian Ceng bisa berkurang. Tapi baru saja ia mau menjepit, tambang itu mendadak di kedut dan menyambar mukanya. Ia terkesiap. Bagaikan kilat ia menimpuk dada Touw Lan dengan kedua "leng" dan kedua tangannya lalu menangkap ujung tambang yang segera dibetot.
Melihat timpukan yg hebat itu, dengan sikut kiri Touw Lan mengentus "leng" yang menyambar ke dada kiri dan berbareng ia miringkan badan untuk mengegos "leng" yang satunya lagi. Diluar dugaan ditengah jalan senjata itu tiba2 terputar dan menyambar Touw ciat! Inilah kelihaian Yo Siauw hanialah timpukan "kosong" sedang timpukan kepada Touw ciat barulah serangan sungguh2 yang disertai seluruh lweekangnya.
Ketika itu Touw ciat tengah melayani Bu Kie. Ia merasa girang, bahwa meskipun dikerubuti dua orang Touw Lan sudah berada diatas angin. Ia tak pernah mimpi, bahwa ia bakal diserang secara begitu aneh dan tahu2 sebatang seng hweleng sudah tiba didepan mukanya. Tapi sebagai ahli silat kelas utama dalam kagetnya ia tak jadi bingung. Dengan dua jari tangan ia berhasil menjepit senjata itu. Tapi terpecahnya perhatian sanagt merugikan dirinya dalam pertandingan lweekang melawan Bu Kie. Pohon siong lantas saja bergoyang2 kerang dan daun2 yang seperti jarum jatuh ketanah bagaikan hujan gerimis. Tentu saja Bu Kie sungkan menyia2kan kesempatan ini. Ia segera mengempos semangat dan menambah tenaga.
Pohon siong bergoyang lebih keras dan ranting2 kecil turut jatuh kebawah.
Melihat bahaya, Touw ok bangun berdiri melompat kesamping saudara seperguruannya dan kemudian menempelkan telapak tangan kirinya dipundak Touw ciat. Sesudah mendapat bantuan, barulah Touw ciat bisa mempertahankan dirinya lagi.
Dilain bagian, pengaduan tenaga antara Touw Lan, Yo Siaw dan In Thian Ceng sudah mencapai detik2
memutuskan. Yo Siauw membetot tambang, lweekang In thian Ceng terus mengirim pukulan2 dahsyat.
Ini berarti bahwa Touw Lan diserang oleh dua tenaga yang bertentangan satu sama lain yang satu membentot, yang lain mendorong (memukul). Untuk melayani kedua itu ia harus menggunakan semua tenaga dalamnya. Tapi biarpun berat, ia kelihatannya masih bisa mempertahankan diri.
Orang2 Siauw Lim dan Beng Kauw mengerti, bahwa menang kalah akan segera mendapat keputusan.
Mungkin sekali, antara enam tokoh itu ada beberapa yang akan binasa atau terluka berat. Puncak bukit itu menjadi sunyi senyap. Banyak orang basah bajunya karena keringat yang mengucur, sebagai akibat dari rasa tegang yg sangat hebat.
Mendadak saja, diantara kesunyian terdengar suara manusia yang keluar dari bawah tanah. "Yo Cosu, In Taoko, anak Bu kie, dengarlah. Tangan Cia Sun berkelepotan darah hukuman mati tak cukup untuk menebus dosa. Hari ini kalian berusaha untuk menolong aku dan melakukan pertempuran mati hidup melawan tiga ketua Siauw Lim. Kalau karena usaha menolong aku ini ada seorang saja yang binasa, maka kedosaanku akan lebih besar lagi. Anak Bu Kie! Ajaklah semua saudara meninggalkan Siauw Lim Sie.
Jika kau membandel, aku akan segera mengambil keputusan untuk memutuskan urat2ku, supaya aku tak usah menanggung kedosaan yg lebih besar."
Biarpun perlahan, suara itu menusuk kuping setiap orang. Sebab Cia Su berbicara dengan menggunakan Say cu hauw (geram singa) yang pernah digunakan dahulu di pulau Ong poan san.
Bu Kie tahu ayah angkatnya tidak bicara main-main. iapun tahu, jika pertempuran dilangsungkan, kakeknya, Yo Siauw, Touw Ciat dan Touw Lan akan binasa atau terluka. Selagi ia bersangsi, Cia Sun sudah membentak "Bu Kie! Apa kau belum mau mundur?"
"Baik Gie Hu!" jawabnya sambil mundur setindak dan kemudian berkata dengan suara nyaring, "Hari ini kami tidak bisa memecahkan Kim kong hong mo coan. Lain hari kami akan datang pula untuk
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
meminta pelajaran. Gwa kong, Yo Cosu, berhentilah!" seraya berkata begitu ia mendorong tenaga Touw Ok dan Tauw ciat dikedua tambang dan lalu menarik pulang tenaganya sendiri.
Tapi Yo Siauw dan In thian ceng tidak berani lantas menarik pulang tenaganya. Jika berbuat begitu mereka akan dilakukan oleh tenaga lawan. Touw Lan pun sedemikian. Melihat begitu Bu kie segera berjalan kedepan kakenya dan mengibas kedua tangannya, ia menyambut tenaga Touw Lan dan In thiang Ceng yang saling menyerang dari kiri kanan. Hampir berbareng, ia menempelkan sebatang seng hwee leng di tambang Touw Lan. Tambang itu ditarik Yo Siauw dan Touw Lan sehinggak tegang bagaikan tali gendewa. Tapi begitu lekas tersentuh "leng" lantas saja berubah lemas sebab kedua tenaga dipunahkan oleh Kin kun tay lo ie sin kang. Sesudah tangannya dipunah cekalan Yo Siauw tiba2 terlepas dan tambang itu jatuh di tanah. Tapi begitu tambang jatuh, Yo Siauw membungkuk dan menjemputnya lagi.
Touw Lan terkejut. Ia menduga Yo Siauw mau menyerang pula. Tapi maksud Yo Cosu bukan begitu.
Ia maju beberapa tindak dan berkata seraya mengangsurkan ujung tambang kepada Touw Lan. "Taysu, terimalah senjatamu!"
Touw Lan dapat menebak kemauan Yo Siauw. Ia pun lantas menjemput dua "leng" yang menggeletak ditanah dan memulangkannya kepada Yo Siauw.
Sesudah mendapat pengalaman itu, hilanglah segalah rasa sombong dalam hati ketiga pendeta itu.
Mereka mengerti, bahwa jika pertempuran dilangsungkan terus, kedua belah pihak akan celaka bersama2.
"Sesudah menutup diri selama beberapa puluh tahun, loolap merasa girang bahwa hari ini, kami bisa berkenalan dengan jago-jago di ini jaman," kata Touw Ok. "Bu Kauwcu, Beng kauw mempunyai banyak orang pandai, kau sendiri seorang luar biasa. Loolap mengharap bahwa dengan tenaga itu Beng Kauw bisa menolong sesama manusia dan tidak berbuat sesuatu yang mencelakai rakyat/
Bu Kie membungkuk, "Terima Kasih atas nasehat Taysu," jawabnya.
"Baiklah," kata Touw ciat. "Kami bertiga akan menunggu kunjungan Kauwcu yang ketiga kali."
"Ya," kata Bu Kie. "Kami terpaksa berbuat begitu, terutama karena antara Cia Ho tong dan aku terdapat hubungan ayah dan anak."
Touw Ok menghela napas. Ia segera memejamkan mata dan tidak berkata apa2 lagi.
Bu Kie dan kawan2nya lantas saja meminta diri dari Kang Bun dan yang lain2. dengan dipimpin oleh Phen Eng giok, kelima pasukan Ngo beng kie turut mundur sampai jarah sepuluh li dari Kuil Siauw Lim sie. Anggota Houw ouw kie segera membuat belasan tenda2 besar dilereng gunung untuk tempat meneduh nya seluruh barisan Beng Kauw.
Bu Kie berduka dan duduk termenung. Di dalam Beng Kauw ada orang berkepandaian lebih tinggi dari Yo Siauw dan In Thian Ceng. Andaikata ia menukar mereka dengan Hoan Yauw dan Wie It Siauw hasilnya takkan berberda.
Pheng Eng giok bisa menebak apa yang dipikir oleh sang Kauwcu. "Kauwcu?" katanya. "Mengapa kau melupakan Thio cinjin?"
"Apabila thay suhu suka turun gunung bersama2 aku, kita berdua rasanya akan dapat memecahkan Kim kong hok mo coan," katanya dengan suara sangsi. "Akan tetapi, hal itu berarti rusaknya keakuran antara Siauw Lim dan Bu tong, sehingga belum tentu thay suhu sudi meluluskan dan kedua, biarpun dalam ilmu silat thay suhu sudah mencapai tingkat tinggi, tapi usianya sudah terlalu tua. Kalau sampai terjadi sesuatu" mungkin sekali Toa supeh dan yang lain2 tak dapat menyetujui?"
Mendadak In Thian Ceng bangun berdiri dan tertawa terbahak2. "Bagus! Bagus!" serunya. "Jika Thio Cinjin suka membantu, kutanggung kita berhasil." Tiba2 dia membungkam, sedang mulutnya masih ternganga. Paras mukanya berseri2, tai ia berdiri seperti patung. Semua orang merasa heran.
"In heng, apa kau rasa Thio Cinjin mau turun gunung?" tanya Yo Siauw. Tapi si kakek tidak menyahut dan badannya tak bergerak.
Bu Kie kaget dan buru-buru memegan nadinya. Astaga! Nadi sang kakek sudah berhenti mengetuk!
Sebab tadi sudah menggunakan banyak tenaga, orang tua itu meninggal dunia seperti lampu kehabisan minyak.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie memeluk jenazah kakeknya dan menangis dengan disusul oleh In Ya Ong yang menubruk mendiang ayahandanya. Semua orang yg berkumpul turut mengucurkan air mata. Warta tentang meninggalnya Peh bie Eng ong lantas saja disampaikan kepada segenap barisan Beng Kauw. Diantara anggota2 pasukan Nio heng kie terdapat banyak orang yg dulu menggabungkan diri pada Peh bie kauw dan mereka itulah yang paling bersedih hati.
Selama beberapa hari Beng Kauw sibuk mengurus urusan kematian In Thian Ceng. Selama beberapa hari itu, tokoh2 rimba persilatan yang mendapat undangan sudah mulai tiba pada Siauw Lim sie. Antara mereka, banyak yang dtg di tenda2 Beng Kauw untuk menyatakan turut berduka cita dan bersembahyang.
Disamping bersembahyang mereka mengirim delapan belas pendeta untuk membaca doa guna roh nya. In thian ceng tapi pendeta2 itu diusir oleh In Ya ong.
Selama beberapa hari Bu Kie kalut pikirannya. Perundingan dengan Yo Siauw, Phen Eng Giok, Tio Beng dan yang lain2nya tak menghasilkan sesuatu yg menyenangkan. Nona Tio menyarankan untuk menarup sip hiang Joan kien san dimakanan Touw ok bertiga dan mengusulkan untuk meminta bantuan Hian beng Jie loo guna membantu Bu Kie. Tapi Bu Kie dan Yo Siauw menolak saran2 itu.
Tanpa terasa tibalah harian Toan Ngo atau Toan yang (tanggal lima bulan lima Imlek. Yaitu perayaan peh cun). Hari itu Bu Kie mengajak tokoh2 Beng Kauw datang dikuil Siauw Lim sie. Ketika mereka tiba, semua ruangan dikuil besar itu sudah penuh dengan tamu. Semua orang tahu bahwa Eng Hiong Thay Hwee dibuka untuk menghukum Cia Sun. Antara orang2 gagah iu ada yang untuk membalas sakit hati terhadap Cia Sun ada yang ingin melihat atau merebut To Liong To dan ada pula yang hanya ingin menonton kematian. Untuk melayani tamu2 itu, Siauw Lim Sie mengerahkan seratus lebih tie kek ceng (pendeta penyambut tamu).
Dari Butong pay datang dua orang yaitu Jie Lian Cu dengan In Lie Hong, Bu Kie menemui paman gurunya dan menanyakan kesehatan sang kakek guru. "Apa kau pernah dengar harunya (") Ceng Su dan Tan Yoe Liang?" tanya Jie Lian ciu dengan suara perlahan.
Secara ringkas Bu kie lalu menceritakan segala pengalamannya. Dari sang paman ia mendapat tahu, bahwa sebegitu jauh Bu Tong san belum pernah dikacau oleh Tan Yoe Liang dan Song Ceng Su. Bahwa Song Wan Kiauw berdua dengan Thio Siong Kee tidak turut datang di Siauw Lim sie adalah untuk melindungi sang guru dari bokongan manusia2 rendah, Jie Lian ciu selanjutnya memberitahukan bahwa perbuatan Song Ceng Su telah memberi pukulan sangat hebat kepada Song Wan Kiauw yang tak enak makan dan tak enak tidur, sehingga badannya berubah sangat kurus. Iapun menerangkan bahwa peristiwa itu ditutup rapat2 dari kuping sang guru.
"Kita harap saja Song suko bisa cepat-cepat tersadar, supaya Toesupeh ayah dan anak bisa berkumpul kembali," kata Bu Kie.
"Ya kita semua berharap begitu," kata sang paman.
Selama satu jam, jumlah tamu yang datang terus bertambah, Ho Kian Siang sat dan jago pedang dari Ceng hay pay yang malam itu menyerang tiga tetua Siauw Lim, juga turut datang Hwa san pay dan koong tong pay. Kun lun pay dan lain2 partai mengirim wakit. Hanya orang Go bie pay yang tak muncul. Bu Kie mengharap2 Cie Jiak datang sendiri, supaya ia bisa memberi keterangan tentang sikapnya yang luar biasa pada hari itu. Tapi dalam mengharap2, hatikecilnya merasa tak enak untuk bertemu muka daengan nona Cie. Rombongan Beng Kauw menempati ruangan ada disebelah barat dan mereka tidak bercampur dengan orang banyak. Bu kie sengaja mengambil tindakan penjagaan, sebab Beng Kauw mempunyai banyak musuh dan kalau musuh bertemu dengan musuh akibatnya bisa mengacaukan Eng hiong tay hwee.
Menjelang Ngo sie (atau jam sebelas siang sampai lohor) para tie kek ceng mengundang para tamu supaya berkumpul disebuah lapangan luas yang terletak disebelah kanan kuil. Diatas lapangan itu semula sebbuah kebun sayur yang luasnya beberapa ratus bauw, didirikan belasan gubuk raksasa yang diatur meja2 dan kursi2 yang baru selesai dibuat. Atas undangan tie kek ceng, para tamu lantas mengambil tempat duduk.
Sesudah para tamu berduduk, sebaris demi sebaris, menurut tingkatannya, para pendeta keluar dari kuil untuk memulai pertemuan resmi dengan orang2 gagah di kolong langit. Barisan terakhir ialah Kong tie seng ceng yang diikuti oleh sembilan pendeta tua dari Tat mo tong. Mereka menuju ketengah2 lapangan dan sesudah memberi hormat, Kong tie berkata:
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Hari ini para enghiong datang berkunjung dan membikin terang muka Siauw Lim sie. Hanya menyesal Heng Thio suheng mendadak sakit dan tidak bisa menemui para tamu yg terhormat. Ia meminta loolap untuk menghaturkan maaf kepada kalian semua."
Bu Kie heran. "Hari itu ketika Kong-bun Taysu datang bersembahyang kepada Gwakong, mukanya tidak menunjukkan orang sakit," pikirnya. "Apa bias jadi orang yang mempunyai Lweekang seperti dia bisa mendadak mendapat sakit berat" Apa bukan ia terluka?"
Sesudah berdiam sejenak Kong tie berkata pula, "Kim mo Say ong Cia Sun banyak dosanya dan sekarang kami berhasil menangkap dia. Karena Siauw lim-pay tidak berani mengambil keputusan sendiri, maka kami sudah mengundang orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan untuk merundingkan cara menghukumnya." Dalam mengucapkan pidato pembukaan itu, Kong tie seperti sedang berduka, sedang memikirkan sakitnya Kong bun Taysu.
Eng hiong Tayhwee yang terakhir diadakan Keng cie kwan dan selama lebih kurang seratus tahun belum pernah diadakan lagi pertemuan orang-orang gagah yang sedemikian besar. Maka itu, kejadian ini merupakan salah satu kejadian terpenting dalam dunia persilatan. Tapi apa mau tuan rumah mendapat sakit dan mendengar pengumuman itu, kegembiraan para hadirin lantas berkurang banyak.
Dengan matanya yang sangat tajam Bu Kie menyapu barisan Siauw lim sie. Ia tidak lihat Goan tin dan Tan Yoe Liang. "Sesudah aku membuka topeng Goan tin di hadapan Touw ok bertiga, apa dia sudah dihukum?" tanyanya dalam hati, "Apa tak munculnya Kong bun Taysu ada sangkut pautnya dengan hal ini?"
Sesudah bicara sambil merangkap kedua tangannya Kong tie mundur beberapa langkah. Tiba-tiba disudut tenggara bangkit seseorang yang tubuhnya tinggi besar dan janggutnya yang berwarna dan melambai-lambai tertiup angin. Ia berparas angker dan tangannya memegang tiga butir "tiat tan" (peluru besi). Banyak orang segera mengenali bahwa ia bernama Hee Ciu seorang guru silat di Sucoan timur.
Begitu bangun berdiri ia segera berkata dengan suara nyaring, "Cia Sun telah melakukan banyak sekali kejahatan. Bahwa ia sudah ditangkap oleh Siauw lim-pay merupakan berkah bagi seluruh Rimba Persilatan, Kong bun dan Kong tie Seng ceng bersikap terlalu sungkan. Manusia yang begitu jahat boleh segera dibunuh saja. Untuk apa berdamai lagi" Tapi sesudah kita semua terlanjur berkumpul di sini, boleh dinamakan To say Tay hwee (pertemuan untuk membunuh singa). Untuk membalaskan sakit hatinya orang-orang yang binasa tanpa berdosa, sebaiknya kita menghukum mati dia dengan siksaan."
Hee Ciu bicara dengan bernapsu karena salah seorang saudaranya telah dibunuh Cia Sun dan selama beberapa puluh tahun ia telah berusaha membalaskan sakit hati. Usul itu segera saja disetujui oleh beberapa puluh orang.
Mendadak diantara suara ramai terdengar suara yang menyeramkan. "Cia Sun adalah Hu kauw Hoatong dari Beng kauw. Kalau Siauw lim-pay tidak merasa takut terhadap Beng kauw sudah lama mereka tentu sudah turun tangan. Apa dengan mengumpulkan kita, mereka ingin membagi tanggung jawab di atas pundak kita semua" Hee lookoesu menurut pendapatku, pikiranmu sudah gila." Semua segera mengarah ke suara itu, tapi orang yang bicara tidak kelihatan batang hidungnya. Ternyata dia seorang kate kecil dan waktu bicara dia tidak bangun berdiri.
"Apa Ciu poet sie Suma Hengtee?" teriak Hee Ciu, "Cia Sun telah membunuh adikku, seorang laki-laki bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Kuharap para pendeta Siauw lim sie suka mengeluarkan dia dan loohu akan bacok mati dia. Carilah orang she Hee di Coan tong." (Ciu poet sie "
Gelaran yang berarti "Mabuk tak mati")
Ciu poet sie Suma Cian Ciong tertawa dingin. "Hee To ko semua orang kangouw tahu bahwa To liong to yang termulia dalam Rimba Persilatan telah jatuh ditangan Cia Sun," katanya. "Kalau Siauw lim pay berhasil membekuk Cia Sun bukankah itu berarti bahwa Siauw lim-pay juga sudah berhasil merebut To liong to" Membunuh Cia Sun urusan kecil, mendapat To liong to barulah urusan besar. Kong tie Taysu, kuharap kau jangan berlagak bodoh. Keluarkanlah To liong to supaya kita semua bisa melihatnya. Selama ribuan tahun Siauw lim-pay sebagai partai utama dalam Rimba Persilatan. Dengan golok mustika itu, Siauw lim-pay tak jadi lebih agung. Tanpa golok mustika itu, Siauw lim-pay takkan jadi lebih rendah.
Dengan To liong to atau tanpa To liong to, Siauw lim-pay sudah menduduki kedudukan termulia dalam Rimba Persilatan."
Suma Cian Ciong adalah salah satu orang aneh dalam Rimba Persilatan. Dia tak punya guru dan tak punya murid. Dia bebas bagaikan burung hu liar, tidak masuk partai manapun jua dan sangat jarang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bertempur sehingga orang tak tahu sampai berapa tinggi kepandaiannya. Kalau berbicara, dia bicara seenaknya saja, tak ragu-ragu untuk mengejek atau menyindir.
Perkataan Suma Cian Ciong segera saja mendapat sambutan hangat. Beberapa orang turut bicara dan meminta supaya Siauw lim-pay segera mengeluarkan To liong to untuk diperlihatkan kepada semua tamu.
"To liong to tidak ada ditangan kami," kata Kong tie dengan suara perlahan. "Selama hidup loolap pun belum pernah melihat golok mustika itu."
Pernyataan itu diluar dugaan dan mengejutkan semua orang. Keadaan segera berubah ramai, banyak orang berebut menyatakan pendapat. Semula semua tamu menduga bahwa To liong to ada sangkut paut dengan pertemuan ini.
Dibelakang Kong tie berdiri sembilan pendeta tua yang mengenakan jubah pertapa warna merah.
Sesudah suara ramai mereda, salah seorang sembilan pendeta itu maju ke depan dan berkata dengan suara nyaring. "Bahwa To liong to berada di dalam tangan Cia Sun diketahui oleh semua orang. Hanya sayang waktu kami menangkap Cia Sun, To liong to tidak berada ditangannya. Karena hal ini hal penting dalam Rimba Persilatan, maka hong Tio kami telah berusaha untuk mencari tahu. Tapi Cia Sun orang yang keras kepala, biarpun segera dibunuh dia tidak mau membuka mulut. Maka itu pertemuan hari ini mempunyai dua tujuan. Yang pertama untuk merundingkan cara menghukum Cia Sun, yang kedua untuk menyelidiki dimana adanya To liong to. Apabila diantara kalian ada yang mendapat informasi, kami harap bisa memberitahukan secara terang-terangan."
Semua orang saling mengawasi. Semua orang membungkam.
Yang bicara lagi Suma Cian Ciong. "Selama ratusan tahun, disamping To liong to masih ada Ie thian kiam," katanya. "Menurut cerita orang pedang itu berada dalam tangan Go bie-pay. Tapi sesudah pertempuran di Kong-beng teng, Ie thian kiam juga hilang tak berbekas. Apakah karena pertemuan hari ini dinamakan Eng hiong Tay hwee (pertemuan orang-orang gagah, pria), maka jago-jago betina dari Go bie-pay lantas tidak mau datang?"
Perkataan itu diambut gelak tawa.
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang tie kek-ceng, "Kay pang Su Pangcu dengan para Tiang loo dan para murid Kay pang datang berkunjung!"
Bu Kie heran. "Su Hwee Liong Pangcu sudah binasa ditangan Goan tin," katanya dalam hati, "Dari mana muncul Su Pangcu lagi?"
"Undang mereka masuk!" teriak Kong tie.
Kay pang adalah pang hwee (perkumpulan) yang terbesar dalam dunia kangouw. Sebagai penghargaan terhadap tamu yang baru datang itu Kong tie sendiri keluar menyambut. Rombongan Kay pang terdiri dari seratus lima puluh orang lebih yang semuanya mengenakan pakaian rombeng. Biarpun dalam tahun belakang keadaan Kay pang tak seperti dulu lagi tapi hari ini dia masih merupakan organisasi yang sangat besar pengaruhnya. Mendengar kedatangannya banyak orang gagah segera bangun berdiri sebagai tanda penghormatan.
Rombongan dilalui oleh dua pengemis tua. Bu Kie mengenali bahwa mereka adalah Coan kang dan Cie hoat Tiangloo. Dibelakang mereka berjalan seorang anak perempuan yang berusia kira-kira dua belas atau tiga belas tahun. Anak itu jelek romannya, hidungnya dongak dan mulutnya terlihat dua gigi yang sangat besar. Dia bukan lain dari pada Su Hong Sek, putri Su Hwe Liong. Dia berjalan dengan memegang sebatang tongkat bamboo warna hijau yaitu tongkat Tah kauw pang (tongkat untuk memukul anjing tanda kekuasaan dari seorang pangcu). Dibelakang Su Hong Sek mengikuti Ciang pang Liong tauw, Cian poen Liong tauw murid delapan karung, tujuh karung dan enam karung. Ternyata untuk menghadiri Eng hiong Tay hwee murid Kay pang yang paling rendah tingkatannya adalah murid enam karung.
Melihat yang membawa Tah kauw pang seorang anak-anak, Kong tie ragu. Apa anak itu yang menjadi pangcu" Karena rasa ragunya ia berkata, "Siauw lim sie menyambut orang gagah dari Kay pang."
"Karena Su Hwee Liong Pangcu telah berpulang ke alam baka, maka atas persetujuan para Tiangloo, kami mengangkat putrid Su pangcu, Su Hong Sek kauwnio sebagai pangcu baru," kata Coan kang Tiangloo seraya menunjuk Su Hong Sek.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kong tie terkejut. Kauwcu dari Beng kauw sudah sangat muda tapi pangcu Kay pang lebih muda lagi bahkan seorang anak-anak. Sesuai dengan tata kehormatan ia segera menangkup kedua tangannya dan berkata, "Kong tie murid Siauw lim menghadap Su pangcu."
Nona Su membalas hormat. "Karena pangcu kami masih sangat muda maka segala urusan perkumpulan diurus olehku dan Cin hoat Tiangloo berdua," kata Coan kang. "Kong tie Seng ceng adalah cian pwee yang berkedudukan tinggi dan kami berani menerima kehormatan yang begitu besar."
Sesudah kedua pemimpin itu saling merendahkan diri, para pengemis diantar ke gubuk dan mengambil tempat duduk mereka.
Bu Kie menyadari bahwa semua pengemis mengenakan pakaian berkabung dan pada paras mereka terlihat paras berduka dan gusar. Ia lihat sejumlah karung yang dibawa mereka bergerak-gerak sebagai tanda bahwa di dalamnya berisi sesuatu. Bu Kie segera menebak bahwa kedatangan mereka mempunyai maksud tertentu. Ia girang dan berbisik kepada Yo Siauw, "Kita mendapat bantuan!"
Dengan diantar oleh Coan kang dan Cie hoat Tiangloo, Ciang pang dan Ciang poen Liong tow Su Hong Sek pergi ke tempat rombongan Beng kauw, sambil menyoja Coan kang berkata, "Thio Kauwcu, tertangkapnya Kim mo Say ong ada sangkut paut dengan rapat perkumpulan kami. Maka itu, biarpun hari ini harus melepaskan jiwa kami bertekad untuk pertama, melindungi Cia hoat ong supaya kami bisa membalas budi Thio Kauwcu dan menebus dosa dan kedua, supaya bisa membalas sakit hatinya mendiang Su pangcu, seluruh barisan Kay pang akan dengar semua perintahmu."
Cepat-cepat Bu Kie balas menghormat dan berkata, "Tidak berani aku memerintah kalian!"
Coan kang Tiangloo mengucapkan kata-kata itu dengan suara nyaring. Ia memang sengaja berbicara keras supaya didengar oleh semua orang. Pernyataan itu sangat mengejutkan. Hampir semua orang tahu bahwa Kay pang bermusuhan dengan Beng kauw dan telah ikut menyerang Kong beng teng. Pernyataan Coan kang Tiangloo bahwa Kay pang akan ikut perintah Bu Kie dan membalas sakit hati mendiang Su pangcu tidak bisa dimengerti semua orang.
Sehabis Coan kang berbicara, semua anggota Kay pang bangun serentak dan berseru, "Kami menunggu perintah Thio Kauwcu! Biarpun mesti masuk ke dalam lautan api, kami takkan menolak!"
Coan kang segera memutar tubuh dan menghadap Kong tie. "Kay pang dan Siauw li-pay belum pernah mempunyai permusuhan," katanya dengan suara keras. "Kami selalu menghormati Siauw lim-pay sebagai partai utama dalam Rimba Persilatan sehingga kalau ada ganjalan-ganjalan kecil kami selalu menahan sabar dan mengalah. Kami selamanya tidak berani berbuat salah kepada Siauw lim-pay. Dari paling rendah kami semua menaruh hormat kepada keempat Seng ceng dari Siauw lim yang pantas diteladani semua orang gagah dalam Rimba Persilatan. Sudah lama karena sakit, Su Pangcu kami mengundurkan diri dari dunia Pergaulan dan tidak berhubungan lagi dengan orang-orang Kangouw. Entah mengapa Pangcu kami tidak luput dari tangan jahat seorang pendeta Siauw lim yang berkedudukan tinggi."
Perkataan itu disambut dengan suara "ah!". Semua orang terkesiap terlebih lebih Kong tie.
Sementara itu Coan kang Tiangloo bicara terus. "Hari ini kami datang kemari bukan sebagai eng hiong yang ingin menghadari Eng hiong Tay hwee. Kami datang untuk meminta petunjuk Kong bun Hong thio.
Kami ingin bertanya dimana letak kesalahan Su Pangcu sehingga ia mesti dibinasakan oleh seorang pendeta Siauw lim bahkan Su Hujin tidak lolos dari kematian?"
Kong tie merangkap kedua tangannya. "O mie to hud," katanya. "Bahwa Su Pangcu meninggal dunia baru hari ini diketahui loolap. Tiangloo mengatakan bahwa Su Pangcu dibinasakan oleh murid Siauw limpay. Apa tak salah loolap mohon Tiangloo memberikan penjelasan yang lebih jelas."
"Kong bun dan Kong tie Seng ceng adalah pendeta-pendeta suci yang mulia hatinya," kata Coan kang.
"Kami tentu tidak berani menuduh sembarangan."
"Sekarang aku mohon Taysu sudi mengeluarkan seorang pendeta dan seorang murid Siauw lim yang bukan pendeta supaya mereka bisa dilihat di hadapan umum."
"Baiklah, siapa kedua orang itu?"
"Mereka adalah"." Mendadak suaranya terputus!
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kong tie terkejut. Ia mendekat dan memegang pergelangan tangan kanan tetua Kay pang itu dan"astaga"Nadinya sudah berhenti berdenyut! "Tiangloo Tiangloo!" panggil Kong tie. Dilain saat ia sadar bahwa diantara alis Coan kang Tiangloo terdapat satu titik hitam sebesar kepala hio. "Para enghiong, dengarlah," teriak Kong tie. "Tiangloo sudah kena senjata rahasia yang sangat beracun dan sudah meninggal dunia! Siauw lim-pay pasti takkan menggunakan senjata semacam itu."
Keadaan segera berubah kacau. Semua orang kaget tak kepalang terutama orang-orang Kay pang yang segera berteriak dan beberapa puluh diantaranya maju ke depan untuk melihat jenasah tetua mereka.
Ciang-poen Liongtauw mengeluarkan sepotong besi berani dari sakunya dan menempelkan didahi Coan kang. Dengan besi itu ia mengeluarkan sebatang jarum yang halus seperti bulu kerbau dan panjangnya kira-kira satu dim.
Pemimpin-pemimpin Kay pang percaya bahwa dengan mengatakan Siauw lim-pay tak menggunakan senjata itu, Kong tie Seng ceng tidak berdusta. Senjata rendah itu pasti takkan digunakan oleh sebuah partai utama yang terkenal lurus bersih dalam dunia persilatan. Dibawah terangnya matahari dan dibawah pengawasan begitu banyak mata, orang itu bisa menyerang tanpa diketahui oleh siapapun juga. Hal ini membuktikan bahwa si pembokong mempunyai kepandaian luar biasa. Coan kang Tiangloo berdiri menghadap ke selatan sehingga senjata rahasia itu pasti datang dari jurusan selatan. Dengan sorot mata gusar, para pemimpin Kay pang mengawasi orang-orang yang berdiri dibelakang Kong tie. Sembilan pendeta Tat mo berdiri sambil menundukkan kepala dan dibelakang mereka sebaris demi sebaris berdiri pendeta yang mengenakan jubah kuning, jubah abu-abu dan sebagainya. Siapa yang berdosa tak mungkin diketahui, biarpun sudah bisa dipastikan bahwa si pembokong adalah salah seorang dari pendeta-pendeta itu.
Dengan air mata mengucur, Cie hoat berkata, "Kong tie Taysu menganggap kami menuduh sembarangan tapi keterangan apa yang mau diberikan Siauw lim-pay dalam peristiwa ini?"
Ciang pang Liong tauw yang paling berangasan segera berteriak sambil mengibaskan toya besinya.
"Mari kita adu jiwa dengan Siauw lim-pay!" Ajakan itu disambut dengan suara terhunusnya senjata dan seratus lebih anggota Kay pang melompat masuk ke tengah-tengah lapangan.
Dengan paras pucat dan berduka, Kong tie berkata kepada para pendeta.
"Sejak Tat-mo Loocouw sampai sekarang sudah ribuan tahun kita menaati ajaran-ajaran Sang Buddha.
Walaupun kita belajar silat untuk menjaga diri dan bergaul dengan orang-orang gagah dalam dunia persilatan kita belum pernah melakukan sesuatu yang berdosa. Hong-thio Suheng dan aku sudah merasa tawar akan segala yang bersifat keduniawian"." Sehabis berkata begitu, secepat kilat mengambil sebatang sian-thung bajak dari tangan seorang murid Siauw lim dan melontarkannya. "Blas!" toya itu amblas di dalam tanah! Menancapkan sianthung di tanah adalah suatu tanda Siauw lim-pay bahwa orang yang berbuat begitu sudah bertekad untuk mengadu jiwa dan melanggar larangan membunuh.
Ketegangan memuncak dan dengan hati berdebar-debar semua orang menunggu perkembangan selanjutnya.
Sesudah memutar tubuh dengan sorot mata tajam bagaikan pisau, Kong tie menatap wajah semua pendeta, satu demi satu yang berdiri di hadapannya. "Siapa yang menimpuk dengan jarum beracun itu?"
tanyanya dengan suara parau. "Seorang laki-laki berani berbuat harus berani menanggung segala akibatnya. Keluarlah!"
Tiba-tiba Bu Kie ingat sesuatu. Ia ingat perbuatan mendiang ibunya, In So so yang dengan menyamar sebagai ayahnya telah membunuh beberapa pendeta Siauw lim dengan jarum beracun sehingga ayahnya dituduh yang tidak-tidak. Tapi bentuk jarum emas Peh bie kauw berbeda dari jarum perak yang digunakan untuk membinasakan Coan kang Tiangloo dan racunnya pun tidak sama. Menurut dugaannya, racun jarum perak itu adalah "Sim it tiauw" (jantung satu kali lompat) dari semacam serangan beracun.
"Sim it tiauw" berarti bahwa begitu racun itu bertemu dengan darah, jantung dari orang yang kena racun hanya bisa berdenyut satu kali lagi. Tak perlu diragukan lagi bahwa si pembokong adalah konco Goan tin yang coba menutup mulut Coan kang Tiangloo waktu tetua Kay pang itu mau menyebutkan nama Goan tin.
Perintah Kong tie tidak diladeni, sejumlah pendeta hanya menyambut dengan, "O mie to hud" sambil merangkapkan tangan mereka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Siapa yang membunuh Su Pangcu sudah diketahui oleh berlaksa murid Kay pang!" teriak Ciang pang Liong tauw, "Kalau kamu mau menutup mulut kami, kamu harus membunuh semua anggota Kay pang.
Hweeshio yang membunuh Pangcu kami adalah Goan tin"."
Tiba-tiba Cian poen Liong tauw melompat seraya mengibaskan mangkok. Selagi kawannya bicara, Ciang poen Liong tauw bersiaga. Begitu melihat berkelebatnya sinar putih, ia melompat. Terlambat sedikit saja kawan itu tentu mati.
Hamper bersamaan, cepat luar biasa Kong tie melompat ke arah sembilan pendeta Tat mo-tong dan menendang roboh salah seorang pendeta tua. Ia mencengkram batang leher pendeta itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kong jie, kau!" bentaknya. Ia merobek jubah pendeta itu dan melontarkannya di tanah. Dipinggang pendeta itu terdapat sebatang tabung kecil yang terbuat dari tembaga dan di dalam tabung itu dipasang per yang bisa menendang kalau alatnya dipijit sehingga dalam melepaskan jarum orang tak usah mengayunkan tangan.
Dalam gusar, duka dan kagetnya, Ciang pang Liong tauw menyapu dengan toyanya dan kepala Kong jie segera hancur. Sebagai pendeta yang sama tingkatannya (tingkatan "Kong") dengan keempat Seng ceng, Kong jie memiliki kepandaian tinggi. Tapi karena jalan darahnya sudah ditotok Kong tie, maka ia tak berdaya meloloskan diri dari toya Ciang pang Liong tauw.
Kong tie dongkol karena kekasaran tetua Kaypang itu. Dengan sorot mata gusar ia mengawasi Ciang pang Liong tauw. Keadaan berubah kalut, banyak orang berteriak-teriak.
Mendadak dari luar masuk empat orang pendeta wanita yang masing-masing memegang hudtim (kebutan). Salah seorang berteriak, "Ciu Cie Jiak, Ciang bun-jin Go bie-pay dengan mengajak murid-murid Go bie, mengunjungi Kun bun Hong thio dari Siauw lim sie!"
"Masuklah!" kata Kong tie. Dengan sikap tenang seolah-olah tidak terjadi apapun jua, ia keluar menyambut dengan diiringi oleh pendeta-pendeta Tat mo-tong yang sekarang berjumlah delapan.
Sesudah memberi hormat, keempat pendeta wanita itu memutar badan dan berjalan keluar lagi untuk menyambut pemimpin mereka.
Begitu mendengar nama "Ciu Cie Jiak", jantung Bu Kie memukul keras. Ia melirik Tio Beng yang juga sedang mengawasi dirinya.
Rombongan Go bie-pay tidak segera masuk ke lapangan. Sesudah Kong tie keluar menyambut, barulah mereka maju dalam barisan yang rapi. Barisan sebelah depan terdiri dari delapan puluh atau sembilan puluh murid Go bie-pay yang mengenakan baju warna hitam. Sebagian besar adalah pendeta wanita yang mencukur rambut. Sesudah mereka dalam jarak kira-kira setombak mengikuti seorang wanita muda yang memakai baju warna hijau. Wanita yang sangat cantik itu tidak lain adalah Ciu Cie Jiak. Dengan rasa malu Bu Kie mengawasi muka nona Ciu yang pucat dan diliputi sinar kedukaan.
Dibelakang Cie Jiak, barulah murid pria yang jumlahnya duapuluh lebih dan mengenakan jubah panjang warna hitam. Setiap murid pria membawa kotak kayu dalam berbagai ukuran, ada yang panjang, ada yang pendek. Murid Go bie-pay tidak membawa senjata terang-terangan tapi dapat diduga bahwa kotak-kotak itu berisi senjata.
Sesudah semua orang Go bie duduk, Bu Kie menghampiri Cie Jiak. Sambil menyoja ia berkata, "Ciu Ciecie, Thio Bu Kie memohon maaf."
Belasan murid wanita bangun serentak dan mengawasi Bu Kie dengan sorot mata gusar.
"Thio Kauwcu, untuk apa kau memberi hormat?" tanya si nona dengan suara tawar.
Sesudah menetapkan hatinya, Bu Kie berkata pula, "Cie Jiak, hari itu karena perlu menolong Gie hu, aku telah berbuat sesuatu yang tidak pantas dan aku merasa sangat malu dan menyesal."
Melihat diantara murid Go bie yang berdiri terdapat Cenghui yang lengannya bunting, ia maju dan menyoja. "Thio Bu Kie berdosa besar dan dia rela menerima hukuman," katanya. Ceng hui memutar badan dan menolak penghormatan itu.
"Kudengar Cia Tayhiap jatuh ke tangan Siauw lim sie," kata Cie Jiak. "Thio Kauwcu seorang gagah luar biasa, Thio Kauwcu tentu sudah berhasil menolong Cia Tayhiap."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Muka Bu Kie berubah merah. "Para pendeta Siauw lim sie berkepandaian tinggi dan Bengkauw sudah menderita kekalahan dalam satu pertempuran," jawabnya. "Karena pertempuran itu, kakekku meninggal dunia."
"Sungguh sayang! In Loo enghiong seorang gagah yang jarang tandingannya," jawabnya.
Melihat sikap dan perkataan Cie Jiak yang sangat tawar, Bu Kie merasa jengah bercampur dongkol.
Tapi mengingat perbuatannya sendiri pada hari pernikahan, ia menahan sabar. "Nanti aku ingin berusaha untuk menolong Giehu," katanya. "Dengan mengingat hubungan dulu, kuharap kau sudi memberi bantuan."
Sesudah berkata begitu, mendadak ia ingat bahwa selama kurang lebih setengah tahun, kepandaian si nona mendapat kemajuan luar biasa. Dalam ruangan upacara pernikahan bahkan orang seperti Hoan Yauw kena dipukul olehnya. Ia ingat juga bahwa Tio Beng yang mengenal berbagai ilmu silat hampir kena dibinasakan. "Kalau dia sudi membantu mungkin sekali aku akan bisa pecahkan Kim kong Hok mo coan," pikirnya. Berpikir begitu hatinya girang dan ia berkata dengan suara penuh harapan. "Cie Jiak, aku ingin minta pertolonganmu."
Paras muka Cie Jiak mendadak berubah. "Thio Kauwcu," katanya. "Kuharap kau tahu sopan sedikit, antara lelaki dan perempuan terdapat larangan tertentu."
"Apakah tak bisa kau menggunakan istilah dulu?" Ia menggapai ke belakang dan berkata pula. "Ceng Su, mari! COba kau beri penjelasan kepada Thio Kauwcu."
Seorang pria brewokan menghampiri dan berkata sambil menyoja. "Thio Kauwcu selamat bertemu!"
Bu Kie mengenali bahwa suara itu memang suara Ceng Su yang menyamar.
"Song Toako, selamat bertemu," jawabnya sambil membalas hormat.
Ceng Su tersenyum. "Sepantasnya aku harus menghaturkan terima kasih kepadamu," katanya. "Hari itu ketika Thio Kauwcu mau menjalankan upacara pernikahan dengan istriku"."
"Apa?" putus Bu Kie. Ia terkesiap ketika mendengar perkataan "istriku"
"Aku ingin mengatakan bahwa pernikahanku pada hakikatnya terjadi berkat bantuan Kauwcu,"
jawabnya. Jawaban itu bagaikan halilintar di siang bolong. Bu Kie terpaku, matanya berkunang-kunang. Selang beberapa saat lamanya ia merasa tangannya ditarik orang. "Thio Kauwcu, mari!" kata orang itu.
Bu Kie menoleh. Orang yang menarik tangannya adalah Han Lim Jie. Dengan paras muka duka bercampur gusar, Han Lim Jie berkata, "Thio Kauwcu, Kauwcu kali ini adalah seorang mulia. Hari itu sesudah terjadi salah paham tapi dia segera menikah dengan e"hu"hu" Ia ingin mencaci Song Ceng Su tapi mengurungkan niatnya sebab memandang muka Cie Jiak.
Bu Kie masih berdiri terpaku. Ia merasa sakit, lebih sakit daripada tikaman pedang Cie Jiak di atas Kong beng teng. Ia mencintai Tio Beng tapi iapun menganggap Cie Jiak sebagai istrinya.
Hari itu demi menolong ayah angkatnya ia mengikuti Tio Beng. Ia menduga bahwa nona Ciu yang beradat halus akan memaafkannya jika ia sudah menjelaskan penyebab tindakannya itu dan meminta maaf. Ia tak pernah menduga bahwa dalam gusarnya Cie Jiak segera menikah dengan Song Ceng Su.
Sementara itu Ceng Su sudah duduk disamping Cie Jiak. Sambil tersenyum ia berkata, "Waktu menikah kami tidak mengundang orang dan yang memberi selamat hanialah para murid Go bie-pay.
Dilain hari aku akan mengundang kau minum arak kegirangan."
Bu Kie ingin menghaturkan terima kasih tapi mulutnya terkancing.
Mendengar ejekan itu, Han Lim Jie menarik tangan pemimpinnya. "Kauwcu," katanya. "Jangan ladeni manusia itu!"
Ceng Su tertawa terbahak-bahak. "Han Toako, kaupun harus minum arak kegirangan," katanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Han Lim Jie meludah, "Aku lebih suka minum kencing kuda daripada arak racunmu!" bentaknya dengan mata melotot.
Bu Kie tahu bahwa pemuda she Han itu beradat polos dan berangasan. Sebagai tamu, tidak baik jika sampai terjadi bentrokan. Maka itu, sambil menghela nafas ia menarik tangan Han Lim Jie dan balik ke gubuk Bengkauw.
Waktu itu Ciang pang Liong tauw sedang bercekcok dengan seorang pendeta Siauw lim sie.
Pembicaraan antara Bu Kie, Cie Jiak dan Ceng Su dilakukan dengan suara perlahan di satu sudut gubuk Go bie-pay sehingga tidak menarik perhatian orang yang sedang memperhatikan pertengkaran antara Siauw lim-pay dan Kay pang.
"Aku sudah mengatakan bahwa Goan tin Suheng dan Tan Yoe Liang tidak berada di kuil kami," kata seorang pendeta jubah merah. "Meninggalnya Coan kang Ciang loo sudah diganti dengan Kong jie Susiok. Mau apa lagi kau?"
"Siapa percaya omonganmu!" bentak Ciang pang Liong tauw. "Kami baru percaya setelah menggeledah kuilmu."
Pendeta itu tertawa dingin. "Kau mau menggeledah Siauw lim sie?" tanyanya dengan suara memandang rendah. "Perkumpulan semacam Kay pang belum tentu bisa menggeledah kuil kami!"
"Kurang ajar!" teriak Ciang pang Liong tauw. "Kau memandang enteng kepada Kay pang ya" Baiklah, sekarang aku minta pelajaran."
Panasnya suasana memuncak tapi Kong tie masih tetap berpeluk tangan.
Tiba-tiba Suma Cian Cong berteriak, "Hei! Dari tempat jauh kami datang ke sini bukan untuk menyaksikan pertengkaran antara Siauw lim pay dan Kay pang!"
Kemelut Blambangan 1 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Harimau Mendekam Naga Sembunyi 8
Semeatara itu, dengan tambang mereka ketiga tetua Siau lim itu sudah berhasil mengalihkan sambaran batu raksasa itu ke jurusan lain.
"Apa benar Goan tin?" tanya Touw ok. "Benar dia," jawab Touw lan.
"Ya," kata pula Touw ok, "kalau dia tak berdosa, perlu apa..."
Perkataan itu mendadak terputus sebab tiba-tiba saja beberapa bayangan manusia berkelebat. Orang yang paling dulu membentak, "Pendeta Siauw lim adalah murid Sang Budha tapi mereka telah membunuh begitu banyak orang, apa mereka tak takut dosa" Kawan-kawan, seranglah!"
Delapan orang lantas saja menerjang. Bu Kie yang segera berduduk diantara ketiga pendeta itu mendapat kenyaataan, bahwa tiga orang bersenjata pedang dan yang lain menggunakan macam-macam senjata. Mereka semua berkepandaian tinggi dan dilain detik, mereka sudah bertempur hebat dengan ketiga tetua Siauw lim. Sesudah memperhatikan sesaat, ia lihat, bahwa ketiga orang yang bersenjata pedang memiliki ilmu silat yang bersamaan dengan ilmu Cenghay Sam kiam yang sudah binasa dalam tangan pendeta Siauw lim. Ia lantas saja menarik kesimpulan, bahwa ketiga orang itu tetua dari Ceng hay pay. Mereka bertiga mengepung Touw ok. Tiga orang lain mengerubuti Touw ciat.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Sisanya, dua orang, menyerang Touw lan. Meskipun hanya dikerubuti dua orang, sesudah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, Touw lan mulai jatuh dibawah angin sebab dua orang itu berkepandaian tinggi dari lain-lain kawannya. Dalam tiga rombongan, pendeta yang berada di atas angin adalah Touw ok.
Sesudah bertempur belasan jurus lagi, Touw ok mendapat kenyataan, bahwa Touw-lan terdesak. Ia mengedut tambangnya yang lantas saja menyambar lawannya Touw lan. Mereka bertubuh jangkung, berjenggot hitam dan meskipun sudah berusia lanjut, gerakannya masih sangat gesit. Yang satu bersenjata poan-koan pit (senjata yang berbentuk pena Tiong-hoa), yang lain memegang pah hiat-koat ("pacul"
untuk menotok jalan darah). Kedua senjata itu untuk menotok "hiat". Touw ok dan Touw lan tahu, bahwa mereka bukan lawan enteng. Ketika itu, mereka masih berada dalam jarak beberapa tombak, tapi sambaran angin senjata mereka sudah dapat dirasakan. Kalau mereka bisa merangsek lebih dekat, serangan kedua senjata pendek itu akan lebih berbahaya.
Sementara itu, ketiga jago Ceng hay pay mulai menyerang lagi dengan hebatnya, sekarang Touw ciat melawan tiga orang, sedang Touw ok dan Touw lan melayani lima lawan. Untuk sementara waktu, keadaan berimbang dan kedua belah pihak dapat mempertahankan diri.
Bu Kie heran. "Ilmu silat kedelapan orang itu rata-rata bisa melayani Ceng ok Hok-ong," pikirnya.
"Mereka kelihatannya lebih unggul daripada Ho Thay Ciong dan hanya setingkat lebih rendah dari Biat coat Suthay. Tapi kecuali tiga anggauta Ceng hay pay, yang lain aku tak kenal. Dari sini bisa dilihat, bahwa dalam dunia yang lebar ini, bagaikan harimau yang mendekam di rumput-rumput tinggi, bersembunyi banyak orang gagah yang namanya tidak dikenal."
Sesudah bertanding kira-kira seratus jurus, tambang ketiga pendeta itu menjadi lebih pendek. Dengan lebih pendeknya tambang itu, mereka bisa menghemat tenaga. Tapi dilain pihak kelincahan tambang dalam serangan juga agak berkurang. Sesudah lewat beberapa puluh jurus lagi, tambang-tambang itu jadi makin pendek.
Kedua kakek jenggot hitam menyerang sehehat-hebatnya dalam usaha untuk mendekati ketiga pendeta itu. Tapi sesudah menjadi pendek, garis pembelaan tambang lebih rapat dan padat. Ketiga tambang itu membuat sebuah lingkaran yang terisi dengan tenaga memukul yang sangat dahsyat. Kedua kakek berjenggot berulang-ulang menerjang, tapi mereka selalu terpukul mundur.
Sambil bertempur, ketiga pendeta itu mengeluh di dalam hati. Mereka bukan takut kena dikalahkan.
Asal mereka menarik tambang-tambang itu sampai panjangnya delapan kaki, maka akan bisa membuat garis Kim kong Hok mo co an.
Dengan garis pembelaan itu, jangankan delapan orang sekalipun, enam belas atau tiga puluh orang, mereka masih sanggup menahan. Apa yang mereka takuti ialah dalam lingkaran mereka bersembunyi seorang lawan yang hebat. Lawan itu adalah Bu Kie. Jika pemuda itu turun tangan menggencet dari dalam, habislah jiwa mereka. Mereka lihat Bu Kie bersila. Mereka itu menduga pemuda itu sedang menunggu waktu yang baik untuk menyerang. Mungkin sekali Bu Kie mau menunggu, sampai kedua belah pihak payah dan kemudian, dengan sekali pukul ia bisa merobohkan semua orang.
Waktu itu ketiga pendeta tersebut sedang menggunakan seantero tenaga dalamnya. Mereka mau berteriak meminta bantuan, tapi mereka tidak bisa berbuat begitu. Kalau mereka membuka suara, andaikata tidak mati, mereka pasti terluka berat dan akan menjadi manusia bercacad. Sekarang mereka menyesal, bahwa mereka terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Kalau tadi mereka meminta pertolongan, semua musuh tentu sudah dapat dikalahkan.
Kenyataan ini juga sudah dilihat Bu Kie, kalau ia mau mengambil jiwa ketiga pendeta itu ia dapat berbuat begitu dengan mudah sekali. Tapi ia merasa bahwa seorang laki-laki sejati tidak boleh menarik keuntungan pada waktu pihak lawan berada dalam bahaya. Apapula mereka hanya menjadi korban dari tipu busuknya Goan tin dan mereka tidak pantas menemui kebinasaan. Disamping itu andaikata ia membunuh ketiga pendeta itu ia masih harus menghadapi delapan lawan yang berat, yang belum tentu dapat dikalahkan olehnya. Ia tahu, bahwa kekuatan kedua belah pihak kira-kira berimbang dan bagaimana kesudahannya masih meminta waktu.
Sekarang ia lihat bahwa sebuah batu menutup pintu penjara dibawah tanah dan di pinggir batu hanya terbuka sebuah lubang kecil untuk bernapas dan memasukkas makanan. Batu itu yang beratnya ribuan kati, tak akan bisa digerakkan oleh seorang dua orang. Tapi sebagaimana diketahui, waktn berada dijalanan rahasia di Kong beng teng, sesudah mempelajari Kian kun Tay lo ie Sin kang, Bu Kie pernah membuka pintu batu yang tebalnya setombak lebih. Kalau dibandingkan dengan pintu itu, batu tersebut
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
agaknya tak terlalu berat. Tapi batu itu terletak diatas tanah gundul sehingga didorongnya banyak lebih sukar dari pada mendorong pintu. Tapi biar bagaimanapun juga, ia harus berdaya. Ia yakin, bahwa kalau salah satu pihak sudah memperoleh kemenangan atau dari kuil Siauw lim sie sudah datang bala bantuan ia takkan bisa menolong lagi ayah angkatnya.
Maka itu ia segera berlutut disamping batu dan mendorongnya dengan mempergunakan Kian kun Tay lo ie Sinkang. Begitu tenaganya dikerahkan dan dikirim, batu tersebut lantas bergerak dengan perlahan.
Tapi baru saja batu itu terdorong satu kaki, punggungnya sudah disambar dengan pukulan Touw lan.
Bagaikan kilat ia menggunakan ilmu "memindahkan tenaga, meminjam tenaga." "Buk" punggungnya terpukul, bajunya hancur dan keping-keping kain berterbangan diantara hujan dan angin. Tapi tenaga pukulan itu sudah dialihkan ke batu raksasa yang lantas saja terdorong kira-kira satu kaki. Walaupun tak mendapat luka di dalam, pukulan tersebut mengakibatkan rasa sakit yang hebat. Sebab waktu terpukul, Bu Kie adalah menggunakan seantero tenaga dalamnya untuk mendorong batu.
Karena Touw lan memukul Bu Kie, pada garis pembelaan tambang terbuka sebuah lowongan. Pihak lawan sungkan menyia-nyiakan kesempatan itu dan seorang kakek jenggot hitam lantas saja menerjang kedalam garisan.
Senjata tambang dari ketiga pendeta itu sangat lihay jika digunakan pada jarak jauh dan kurang kelihayannya pada jarak yang dekat. Begitu menerobos ke dalam garis pembelaan si jenggot hitam menotok bawah tetek Touw lan dengan pah hiat koat. Touw lan menangkis dengan tangan kirinya. Selagi senjata ditangkis, seperti kilat jari tangan kiri si jenggot menotok Tao-tiong hiat. "Celaka!" seru Touw lan. Ia tak duga, totokan It cie sian si jenggot lebih lihay daripada pah-hiat-koatnya. Dalam keadaan berbahaya, mau tak mau ia melepaskan tambangnya dan balas menyerang dengan jari-jari kedua tangannya. Walaupun si jenggot kena ditahan namun seutas tambang sudah jatuh di tanah, kakek yang bersenjata poan koan pit lantas saja menerjang masuk. Ketiga pendeta Siauw lim sie sekarang menghadapi bencana. Antara tiga tambang, satu sudah jatuh dan Kim kong Hok mo coan sudah jadi pecah!
Mendadak bagaikan seekor ular yang mau hidup kembali, tambang hitam yang menggeletak di tanah itu mendongak ke atas dan menyambar muka si kakek yang bersenjata poan koan-pit. Tambangnya belum sampai anginnya sudah berkesiur seperti pisau. Si-kakek buru-buru menangkis dan begitu lekas tambang kebentrok dengan poan koan pit, kedua lengannya kesemutan.sehingga poan kit yang dipegang dengan tangan kirinya hampir-hampir terpental, sedang poan koan pit yang dicekal dengan tangan kanan terlepas dan jatuh di batu gunung.
Tambang itu kemudian menyambar ketiga jago Ceng hay pay yang lantas saja terdesak mundur setombak lebih. Demikianlah Kim-kong Hok mo coan pulih kembali--bukan saja pulih kembali, bahkan sekarang lebih kuat dari pada semula.
Ketiga pendeta Siauw lim sie kaget tercampur girang. Mereka mendapat kenyataan, bahwa lain ujung tali tambang itu dipegang oleh Thio Bu Kie. Pemuda itu belum pernah berlatih dalam ilmu Kim kong Hok mo coan. Dalam kerja sama, ia tentu tidak bisa menyamai Touw-lan. Akan tetapi dalam Lweekang, ia tak kalah. Tenaga dalam yang keluar dari tambang yang dicekalnya seolah-olah tenaga robohnya gunung atau terbaliknya lautan yang menyambar-nyambar ke delapan penjuru. Dengan bantuan tambang Touw ok dan Touw ciat, tujuh lawan yang berada diluar garis pembelaan terpaksa mundur jauh-jauh.
Sekarang, dengan hati mantep Touw lan melayani si jenggot hitam itu yang berada di dalam garis pertahanan. Baik dalam ilmu silat, maupun dalam Lweekang, ia lebih unggul setingkat. Dengan tetap berduduk di dalam lubang pohon sepuluh jari tangannya menyerang dengan rupa-rupa pukulan yang dahsyat, sehingga dalam sekejap si jenggot sudah keteter. Melihat tujuh kawannya terpukul mundur, sambil membentak keras dia melompat keluar dari garis pembelaan tambang.
Sesudah si jenggot terpukul mundur, Bu-Kie segera mengembalikan tambang yang dipegangnya kepada Touw lan dan kemudian mendorong lagi batu raksasa penutup lubang. Sekarang lubang itu sudah cukup besar untuk tubuh manusia. "Gie hu!" teriak Bu Kie. "Anak terlambat dalam memberi pertolongan.
Apa Gie-hu bisa keluar sendiri?"
"Aku tak mau keluar," jawab Cia Sun. "Anak baik, kau pergilah!"
Bu Kie heran dan kaget. "Giehu apa kau ditotok orang?" tanyanya. "Atau dirantai?"
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Tanpa menunggu jawaban, ia melompat ke lubang "Pruk," kakinya menginjak air. Ternyata lubang itu terisi air sampai sebatas pinggang.
Dengan hati tersayat pisau, pemuda itu merangkul ayah angkatnya. Ia meraba-raba tangan kaki orang itu tapi tidak dapatkan rantai atau lain alat pengikat. Kemudian ia meraba-raba beberapa"hiat," tapi jalan-jalan darah itupun tak ada yang tertotok. Tanpa menanya lagi ia memeluk sang ayah erat-erat dan melompat ke atas. Cia Sun tidak mengucapkan sepatah kata. Sesudah berada diatas, mereka berduduk di atas sebuah batu besar.
"Sekarang mereka baru bertempur dan kesempatan iai, tidak boleh disia-siakan," kata Bu Kie. "Giehu, mari kita berangkatl" Seraya berkata begitu, ia menuntun tangan ayah angkatnya.
Tapi Cie Sun tidak bergerak. Sambil menepuk lutut ia berkata. "Nak, kedosaanku yang paling besar ialah membunuh Kong Kian Taysu. Apabila Giehumu jatuh ditangan orang lain, dia tentu akan melawan mati-matian. Tapi di Siauw lim sie, aku rela binasa untuk membayar hutang kepada Kong kiansu."
"Karena kesalahan tangan Giehu telah mencelakai Kong kian Tay su," kata Bu Kie dengan suara bingung. "Tapi itu semua adalah akibat dari tipunya Seng Kun. Sedang ini sakit hati Giehu belum terbalas, mana bisa Giehu mati dalam tangan Seng Kun?"
Cia Sun menghela napas. "Selama sebulan setiap hari kudengar Sam wie Koceng menghafal kitab suci," katanya, "Saban pagi kudengar suara lonceng dan saban sore suara tambur dari kuil Siauw lim sie.
Mengingat kejadian-kejadian dahulu, aku harus mengakui bahwa kedua tanganku berlepotan terlalu banyak darah dan sebenar-benarnya, biarpun mati seratus kali, aku masih belum bisa membayar hutang.
Dalam dunia ini, siapa yang berdosa harus bertanggung jawab akan segala akibatnya. Kedosaanku banyak lebih berat daripada Seng kun. Anakku, jangan kau perdulikan aku lagi. Pergilah!"
Bu Kie jadi makin bingung. "Giehu!" teriaknya dengan suara duka. "Jika kau tidak mau berangkat juga anak akan menggunakan kekerasan." Sesudah berkata begitu, ia mencekal kedua tangan Cia Sun dan coba menggendongnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara ribut-ribut dan beberapa orang berteriak-teriak: "Siapa berani jual lagak di Siauw lim sie?" Dilain saat belasan orang mendatangi dengan menggunakan ilmu ringan badan.
Bu Kie memegang kedua paha Cia Sun erat-erat, tapi baru saja ia bertindak, mendadak Tio hiatnya tertotok dan kedua tangannya lemas sehingga mau tak mau ia melepaskan orang tua itu. Tak kepalang dukanya Bu Kie hampir-hampir ia menangis, "Giebu! ... Mengapa... mengapa... kau begitu?" teriaknya dengan suara parau.
"Nak, hal ihwal sakit hatiku, kau sudah beritahukan kepada ketiga pendeta suci itu," jawabnya. "Untuk segala kedosaanku, akulah yang harus menerima segala hukumannya. Kalau sekarang kau tidak berlalu, siapakah yang akan balas sakit hatiku?" Kata-kata yang terakhir diucapkan dengan suara keras, sehingga Bu Kie jadi kaget.
Sementara itu, belasan pendeta yang membekal rupa-rupa senjata sudah menerjang delapan orang yang sedang mengerubuti tiga tetua Siauw lim sie. Si jenggot yang bersenjata Poan koan pit tahu bahwa jika pertempuran dilangsungkan, pihaknya bakal celaka. Ia merasa sangat penasaran bahwa kemenangannya yang sudah berada di depan mata dirusak oleh seorang pemuda yang macamnya sepertinya orang kampung. Maka itu ia lantas saja berteriak, "Bolehkah kami mendapat tahu she dan nama besar dari pemuda yang berada di pohon siong" Homi dan Kathay dari Hokian ingin mengenal orang yang sudah campur urusan kami."
Sebelum Bae Kie menjawab, Touw lan mengedut tambangnya dan berkata dengan suara nyaring.
"Apakah Ho kian Siang sat-sin tak pernah mengenal Beng kauw Thio Kauwcu, ahli silat nomor satu dikolong langit?"
Homi mengeluarkan seruan kaget. Sambil mengibaskan kedua pitnya, ia melompat keluar dari gelanggang. diluar oleh tujuh kawannya. Belasan pendeta itu sebenarnya mau coba menghalangi, tapi kepandaian mereka kalah setingkat, sehingga dengan demikian kedelapan orang itu segera turun gunung tanpa rintangan.
Selain bertempur, Touw ok bertiga sudah dengar pembicaraan antara Cia Sun dan Bu Kie. Disamping itu, Bu Kie bukan saja tidak menyerang waktu mereka menghadapi bencana, tapi juga sudah dianya itu,
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
memberi pertolongan. Andaikata pemuda itu berpeluk tangan, mereka tentu sudah binasa di dalam tangannya Ho kian Siang-sat.
Sekarang sesudah musuh kabur, semua ketiga pendeta itu melepaskan tambang mereka, bangun berdiri dan memberi hormat dengan merangkap tangan. "Terima kasih banyak atas pertolongan Thio Kauwcu ini," kata mereka.
Bu Kie buru-buru memberi hormat.
"Itulah hanya kewajiban sebagai sesama manusia dan tiada harganya untuk disebut-sebut," jawabnya.
"Hari ini sebenarnya loolap harus membiarkan Cia Sun berlalu bersama-sama Thio Kauw cu," kata Touw ok. "Kalau tadi Thio Kauw-cu menolong dia, kami tak akan bisa mencegah. Tapi pada waktu menerima perintah Hong-thio untuk menjaga Cia Sun. Di hadapan tangan Buddha, loolap bertiga telah bersumpah bahwa sebegitu kami masih bernyawa, kami tak akan membiarkan larinya Cia Sun. Hal ini, mengenai nama baik partai kami, dan kami memohon Thio Kauwcu suka memaafkan."
Bu Kie tidak menyahut, ia hanya mengeluarkan suara di hidung.
Sesudah berdiam sejenak, Touw-ok berkata pula. "Sekarang loolap sudah tahu, siapa gara-gara rusaknya sebelah mata loolap. Mana kala Thio Kauwcu main menolong Cia Sun, Thio Kauwcu pula datang di lain waktu asalkan bisa mengalahkan kami, Thio Kauwcu dapat membawa Say ong pergi. Thio Kauwcu dapat membawa banyak kawan, boleh menyerang kami dengan berganti atau mengerubuti kami.
Yang akan melawan hanya kami bertiga. Kami takkan minta bala bantuan. Pada sebelum Thio Kauwcu tiba, kami akan berjanji untuk melindungi Cia Sun. Kami tak akan membiarkan dia dihina atau digangggu selembar rambutnya oleh Goan tin."
Bu Kie milirik ayah angkatnya. Diantara gelapnya sang malam, Kim mo Say ong yang bertubuh tinggi besar dan rambut terurai, berdiri sambil menundukan kepala. Di hadapan ketiga pendeta suci itu, dia bersikap sebagai seorang yang berdosa yang rela menerima hukuman.
Bu Kie mengawasi ayah angkatnya dengan air mata berlinang linang. Ia insyaf, bahwa sekarang ia tidak bisa berbuat banyak. Bukan saja dengan seorang diri dia tidak dapat mengalahkan ketiga pendeta itu, tapi ayah angkatnya sendiri juga menolak untuk diajak lari. "Jalan satu-satunya ialah mengajak Gwa kong, Yo Cosu, HoanYo su dan yang lain lainnya datang kemari," pikirnya. Tapi garis pembelaan itu teguh bagaikan tembok tembaga. Kalau tadi Touw lan tidak memukul punggungku dan aku memindahkan tenaganya ke batu raksasa, Kathay pasti tak akan bisa merangsek. Masih merupakan sebuah pertanyaan, apakah kau dan kawan-kawan akan bisa memecahkan garis pertahanan mereka.
"Hai... Tapi jalan lain tidak ada lagi," memikir begitu ia lantas saja berkata: "Baiklah, beberapa hari lagi aku akan datang berkunjung pula untuk meminta pelajaran."
Sesudah itu, dengan berduka, ia memeluk Cia Sun. "Giehu, anak mau pergi ..." bisik dengan suara parau.
Cia Sun manggut-manggutkan kepalanya. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap-usap kepala Bu Kie. "Kau tak usah datang lagi, aku sudah mengambil keputusan untuk tidak berlalu dari tempat ini,"
katanya, "Nak, aku berdoa supaya kau selalu berada dalam keselamatan, supaya kau tidak menyianyiakan harapan ayah dan ibumu dan harapanku sendiri. Kau harus menelad ayahandamu. Janganlah turut ayah angkat mu."
"Thia-thia dan Giehu sama-sama eng hiong," kata Bu Kie. "Hanialah nasib ayah lebih bagus dari Giehu."
Di lain detik ia melompat keluar dari lingkaran pohon siong dan sesudah menyoja kepada ketiga pendeta itu, badannya berkelebat dan mendadak hilang dari pemandangan. Orang hanya mendengar teriakan nyaring di tempat kira-kira satu li jauhnya. Semua pendeta kaget tercampur kagum. Sudah lama mereka dengar kepandaian Kauwcu dari Beng kauw tapi mereka tak pernah menduga bahwa Bu Kie memiliki ilmu ringan badan yang begitu lihai.
Sesudah orang tahu kedatangannya, Bu Kie memang sengaja memperlihatkan kepandaiannya. Di tengah hujan lebat, teriakannya yang saling susul seperti juga pekik naga yang terbang di tengah angkasa.
Ia lari dengan ilmu ringan badan yang tertinggi makin lama makin cepat, sedang teriakan kian lama kian nyaring. Di kuil Siauw lim sie, seribu lebih pendeta tersadar dari tidurnya. Sesudah teriakannya itu tidak terdengar lagi, barulah mereka saling mengutarakan pendapat mengenai peristiwa itu. Kong bun dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kong tie segera mendapat laporan tentang kedatangan Bu Kie dan mereka jadi berkuatir.
Sesudah lari beberapa li, dari belakang sebuah pohon lioe tiba-tiba Bu Kie mendengar bentakan "hai!"
dan satu bayangan manusia melompat keluar. Orang itu bukan lain daripada Tio Beng. Bu Kie menghentikan tindakannya dan mencekal tangan si nona yang pakaiannya basah kuyup.
"Kau sudah bertempur dengan pendeta Siauw lim sie?" tanya Tio Beng.
"Benar." "Bagaimana Cia Tayhiap" Apa kau sudah bertemu dengannya?"
Sambil menuntun tangan si nona, di bawah hujin, Bu Kie segera menceriterakan segala pengalamannya yang tadi.
"Apa kau tidak tanya cara bagaimana ia tertangkap?" tanya pula Tio Beng.
"Aku hanya ingat hal soal menolong Giehu. Tapi ada waktu untuk menanyakan itu?"
Si nona menghela napas dan tidak berkata apa-apa lagi.
"Mengapa kau jengkel?"
"Bagimu soal itu soal remeh, bagiku soal besar. Sudahlah! Nanti saja, sesudah tertolong, baru kita tanyakan Cia Tayhiap. Hanya... kukuatir ..."
"Kuatir apa" Apa kau kuatir aku tak bisa meenolong Giehu ?"
"Beng kauw lebih kuat daripada Siauw lim-pay. Kalau mau, kita tentu bisa menolong Cia Tay hiap.
Aku hanya kuatir Cia Tay hiap sudah mengambil keputusan untuk mati guna membayar hutang kepada Kong kian Taysu."
Bu Kie pun mempanyai dugaan itu. "Apa kau rasa akan terjadi kejadian itu?" tanyanya.
"Harap saja tidak" jawabnya.
Ketika tiba di depan gubuk suami siteri Touw, Tio Beng tertawa dan berkata, "Rahasiamu sudah terbuka. Kau tak bisa menjustai mereka lagi." Seraya berkata begitu, ia menolak pintu bertindak masuk.
Mendadak mereka mengendus bau darah. Bu Kie kaget dan secepat kilat mendorong Tio beng keluar pintu. Hampir berbareng di tempat yang gelap itu tangan seorang coba mencengkeram dia. Cengkeraman itu dikirim seperti kilat sama sekali tak mengeluarkan suara dan tahu-tahu lima jari tangan sudah menyentuh kulit muka. Bu Kie tak keburu berkelit lagi.
Ia segera menendang dada si penyerang. Orang itu menyambut dengan menyikut Hoantiauw hiat dibetis Bu Kie. Di tempat gelap Bu Kie tak bisa lihat gerakan lawan tapi perasaan nya sangat tajam. Ia merasa bahwa jika menarik pulang tendangannya orang itu akan merengsek dan akan coba mengorek biji matanya dengan tangan kiri. Maka itu, dia meneruskan tendangannya dan tangan nya menyambut gerakan mencengkram. Dugaannya sangat jitu. Tangannya menangkap tangan lawan. Tapi pada detik itu, Hoan Tiauw hiatnya tersikut kaki kanannya lemas dan ia berlutut dengan sebuah kaki.
Sebenarnya, ia sudah mengerahkan tenaga untuk mematahkan tangan yg dicekalnya. Tapi sebab tangan itu kecil lemas dan ia berlutut dengan sebuah kaki.
Sebenarnya, ia sudah mengerahkan tenaga untuk mematahkan tangan yg dicekalnya. Tapi sebab tangan itu kecil lemas dan tak salah lagi tangan seorang wanita, ia tak tega. Ia hanya mengangkat dan melontarkan tubuh orang itu. Tiba2 ia merasa pundak kanannya merasa sakit tertusuk senjata tajam.
Sementara itu sudah dilontarkan Bu Kie penyerang tersebut kabur, tapi selagi ia melompat keluar dari gubuk itu, tangannya menghantam muka Tio Beng yg berdiri diluar pintu. Bu Kie tahu, si nona takkan kuat menangkis pukulan itu. Dengan menahan sakit, ia turut melompat dan mengayun tangannya. Kedua tangan kebentrok tanpa mengeluarkan suara. Tenaga Yang Kong (tenaga keras) dari Bu Kie telah dipunahkan seluruhnya oelh Im jioe (tenaga lembek) dari orang itu. Dia tidak berani menyerang lagi.
Dengan meminjam tenaga pukulan Bu Kie, tubuhnya melesat beberapa tombak dan kemudian menghilang di tempat gelap.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Siapa dia?" tanya Tio Beng dengan suara kaget.
Bu Kie tidak menjawab. Ia merogoh saku dan mengeluarkan bibit api, tapi tidak bisa menyalakannya karena basah. Ia tahu bahwa pundaknya tertancap pisau dan sebab kuatir pisau itu beracun, ia tidak berani lantas mencabutnya. "Lekas nyalakan lampu," katanya kepada Tio Beng.
Si nona pergi ke dapur, mengambil bibit api dan menyulut sebuah lampu minyak lalu melihat pisau yang tertancap di pundak Bu Kie, ia kaget tak kepalang. Bu Kie sendiri merasa lega sebab mendapat kenyataan, bahwa pisau itu, atau lebih benar golok pendek tidak beracun. "Tak apa, hanya diluar,"
katanya seraya mencabut pisau itu.
Tiba-tiba ia lihat Touw Pek Tong dan Ek Sam Nio duduk bersandar disatu sudut.
Tanpa memperdulikan darah yang mengucur dari lukanya, ia memburu kesitu. Ia terkejut sebab kakek dan nenek itu sudah jadi mayat.
"Waktu aku keluar, mereka masih segar bugar," kata Tio Beng.
Bu Kie manggut2kan kepalanya. Sesudah si nona membalut lukanya, ia memeriksa golok itu ternyata adalah senjatanya suami istri Touw. Ia pun mendapat kenyataan, bahwa di tiang, di meja dan di lantai tertancap golol2 semacam itu. Rupanya musuh telah bertempur dengan suami istri Touw dan kedua suami istri itu menggunakan semua senjatanya, barulah ia turun tangan.
"Orang itu berkepandaian sangat tinggi!" kata Tio Beng.
Bu Kie mengangguk, mengingat pengalamannya yang tadi ia bergidik. Biarpun ia hanya bertempur satu dua gebrakan pertempuran itu hebat luar biasa dan dapat dikatakan hanya dari lubang jarum. Kalau tadai, di dalam kegelapan ia tdiak menduga, bahwa musuh bakal coba mengorek matanya, maka sekarang ia dan Tio Beng tentu sudah menjadi mayat. Ia lalu memeriksa jenazah Touw Hok Tong Ek Sam Nio.
Beberapa puluh tulang dada kakek dan nenek hancur remuk. Bahkan tulang dibagian punggungnya juga turut patah. Itulah akibat dari pukulan yang sangat lihai.
Bu Kie sudah sering bertempur melawan musuh2 tangguh dan pernah mengalami macam2 bahaya.
Tapi sebuah pengalaman itu belum ada yang menyamai hebatnya bahaya seperti gebrakan digubuk suami istri Touw itu. Malam itu, dua kali ia bertempur. Yang pertama pertempuran dahsyat melawan tiga tokoh persilatan kelas utama. Tapi kalau dibandingkan dengan pertempuran kedua yang memakai waktu yang sangat singkat, pertempuran yang kedua lah yang lebih berbahaya.
"Siapa dia?" tanya Tio Beng.
Bu Kie tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala.
Tiba-tiba si nona mendusin. Ia menebak orang itu. Mulanya mengeluarkan sinar ketakutan dan sesudah tertegun sejenak ia menubruk memeluk Bu Kie, akan kemudian mengangis dengan badan gemetaran.
Tanpa bicara kedua2nya mengerti apabila Tio Beng tak dengar teriakan Bu Kie dan apabila si nano tidak keluar menyambut kekasihnya tanpa memperdulikan hujan, maka mayat yang akan ditemukan Bu Kie itu akan berjumlah tiga.
Dengan lemah lembut Bu Kie membujuk si nona.
"Tujuannya untuk membunuh aku, tapi yang menjadi korban suami istri Touw," kata Tio Beng.
"Ya" kata Bu Kie. "Selama beberapa hari ini tak boleh kau berpisahan dari aku." Sesudah berdiam beberapa saat, ia berkata pula. "Belum cukup setahun, cara bagaimana ilmu silatnya bisa maju begitu pesat" Pada jaman ini, di dalam dunia ini, kecuali aku mungkin tidak ada lain orang yg bisa melindungi jiwamu."
Pada keesokan paginya, Bu Kie menggali lubang dan mengubur jenazah suami istri Touw. Bersama Tio Beng, ia mengunjuk hormat yang penghabisan kepada kakek dan nenek itu.
Baru saja mereka bertindak untuk meninggalkan tempat itu, di kuil Siauw Lim Sie sekonyong2
terdengar suara lonceng yang gencar bersambung sambung. Beberapa saat kemudian diudara sebelah timur muncul sinar api yang berasap hijau, disebelah selatan sinar berasap merah, dibarat putih dan
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
diutara hitam. Beberap li dari empat sinar itu, kelihatan lain sinar yang berasap kuning sehingga denga demikian kelima sinar api itu mengurung kuil Siauw Lim Sie.
"Ngo heng kie datang kesini!" seru Bu Kie. "Mereka datang mungkin secara resmi dan terang2an.
Lekas!" Cepat-cepat ia dan Tio Beng menukar pakaian, mencuci muka dan berlari2 kearah kuil dengan menggunakan ilmu ringan badan. Baru beberapa li mereka sudah bertemu dengan sepasukan anggota Beng Kauw yang mengenakan baju putih dan membawa bendera2 keceil warna kuning.
"Apa Gan Kie cie berada dalam pasukanku?" tanya Bu Kie dengan suara nyaring. (Kie cie = pemimpin bendera)
Mendengar teriakan itu, Gia Hoan Ciang Kie Su Hauw Touw Kie menengok dan begitu lihat Bu Kie, ia bersorak kegirangan. Buru-buru ia menghampiri dan berlulut sambil berkata "Houw Touw Kie Gan Hoan menghadap kepada Kauw cu!" Semua anggota pasukan turut berturut dan kemudian bersorak2.
Ternyata di bawah pimpinan Kong beng Cosu Yo Siauw dan Kong beng Yo Su Hoan Yauw, tokoh2
Beng Kauw dan lima pasukan Ngo Heng Kie menyateroni Siauw Lim Sie untuk menuntut dimerdekakannya Cia Sun.
Para pemimpin Beng Kauw mengerti, bahwa kedatangan mereka di Siauw Lim Sie dapat mengakibatkan pertempuran besar2an. Menurut pantas, tindakan yang penting itu harus diputuskan dan dipimpin oleh kauwcu sendiri. Tapi karena waktu sudah mendesak, mereka tidak bisa menunggu Bu Kie lagi. Apabila mereka datang pada harian Toan Ngo, usaha menolong Cia Sun akan terlebih sukar karena pada waktu itu orang2 gagah dari berbagai golongan sudah berkumpul dikuil Siauw Lim Sie. Maka itulah sesudah berdamai masak2, mereka mengambil keputusan untuk menyateroni Siauw Lim Sie sepuluh hari sebelum Toan Ngo.
Pertemuan itu tentu saja sangat menggirangkan Bu Kie.
Sementar itu, beberapa anggota pasukan sudah meniup terompet pertanda tentang kedatangan Kauwcu tak lama kemudian, Yo Siauw, Hoan Yauw, In Thian Ceng wie It Siauw, In Ya Ong, Ciu Tian, Pheng Eng Giok, Swee Poet Tek, Tiat Koan Toojien dan yang lain2 datang dengan beruntun. Mereka memberitahukan, bahwa oleh karena harus berada pada tempatnya masing2 disekitar kuil, maka empat bendera, yaitu Swie kim, Kie bok, Ang Sui dan Tat hwee, tidak bisa menghadap kepada kauwcu. Melihat tokoh2 Beng Kauw kumpul semua tak kepalang girangnya Bu Kie.
Sesudah saling memberi hormat, Yo Siauw dan Hoa Yaow secara resmi memohon maaf untuk kelancangan mereka yang sudah bertindak tanpa persetujuan atau perintah Kauwcu.
"Kalian jangan terlalu sungkan," kata Bu Kie. "Kita semua bersatu padu dan bertekad untuk menolong Ciat Hoat Ong. Hal ini membuktikan gie khie, rasa setia kawan yang sangat kuat di dalam agama kita, untuk itu aku merasa sangat berterima kasih, mana bisa jadi aku mempersalahkan kalian?" Sesudah berkata begitu, ia segera menceritakan segala pengalamannya, hasil penyelidikannya Siauw Lim Sie dan pertempuran melawan tiga tetua Siauw Lim, mendengar bahwa semua kejadian itu merupakan akibat dari tipu busuk nya Seng Koan, semua orang jadi gusar sekali dan Ciu Tian serta Tiat koan too jin yang berangasan lantas saja mencaci.
Sesudah menuturkan pengalamannya, Bu Kie berkata pula, "Hari ini dengan pasukan besar kita datang di Siauw Lim Sie, sedapat mungkin kita harus coba mempertahankan keakuran. Apabila kita terpaksa turun tangan, maka tujuan kita yang pertama ialah menolong Cia Hoat Ong dan tujuan kedua membekuk Seng Kun. Seboleh2 jangan sampai jatuh terlalu banyak korban!" Semua orang berjanji untuk memperlihatkan pesan pemimpin mereka.
Sambil berpaling kepada Tio Beng, Bu Kie berkata lagi, "Beng-moay, sebaiknya kau menyamar supaya tak usah menimbulkan lain urusan."
Si nona tersenyum, "Gan Taoko," katanya, "Biarlah aku menyamar sebagai anggota pasukanmu."
Biarpun belum tahu hubungan antara Kauw cu dan nona itu, tapi mendengar istilah "Beng moay", Gan Hoan mengerti, bahwa antara sang pemimpin dan si nona mempunyai hubungan yang sangat erat. Ia lantas saja mengingatkan dan memerintahkan salah seorang anggota pasukannya membuka jubah luarnya dan menyerahkannya kepada Tio Beng.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Dengan membawa jubah itu, si nona berlari2 kehutan untuk menukan pakaian dan memoles mukanya dengan tanah. Tak lama kemudia dia kembali sebagai seorang anggota Houw Touw kie yang kurus dan bermuka kehitam2an.
Dengan diiringi suara terompet para pemimpin Beng Kauw segera mendaki gunung kearah kuit.
Pemimpin Siauw Lim Sie sudah menerima surat resmi dari Beng Kauw dan dengan membawa sejumlah pendeta, Kong tie Siansu menyambut dipendopo diluar kuil.
Sesudah bilagui Seng Kun, bahwa Beng kauw bersekutu dengan Jie Lam Ong, Kong Tie menyambut dengan penuh kegusaran. Ia hanya merangkap kedua tangannya tanpa mengeluarkan sepatah kata, sedang paras mukanya kelihatan menyeramkan.
"Untuk satu urusan penting, kami ingin bertemu dengan Hong thio Sengceng," kata Bu Kie sambil menyoja.
"Persilahkan!" kata Kong tie yang lalu mengantar rombongan itu. Diluar pintu kuil, rombongan Bu Kie disambut oleh Kong Bun Sian Su. Mendengar kedatangan Bu Kie sebagai Kauwcu dari Beng Kauw, Kong Bun tak mau melanggar adat istiadat Rimba Persilatan. Ia keluar menyambut dengan mengajak Sioe cu (pemimpin) Tat mo tong To kan tong dan Cong keng kok. Sesudah saling memberi hormat, ia mengajak para tamu masuk di Thay Hiong. Po thian dan beberapa pendeta kecil lantas saja menyuguhkan teh.
"Hong thio Sing Ceng," kata Bu Kie, "Tanpa urusan penting, kami tentu tidak berani datang disini.
Maksud kunjungan kami ialah untuk memohon dimerdekakannya Hu Kauw Hoat Ong cia hoat Ong kami.
Untuk budi yang sangat besar itu, kami pasti tak akan melupakan dan akan berusaha untuk membalasnya."
O mie to hud!" kata Kong bun. "Pada hakekatnya tentang beribadat harus berpokok belas kasihan dan tidak boleh membunuh. Menurut kebiasaan, kami memang tidak boleh menyukarkan Cia Sun. Tapi sebagaimana diketahui, suhenku Kong kian telah binasa di dalam tangan Cia Siesu. Sebagaimana pemimpin dalam satu agama, Thio Kauwcu tentu pahan akan peraturan di dalam rimba persilatan.
"Di dalam peristiwa yang menyedihkan itu, terselip latar belakang yang berbelit2 dan sesudah mengetahui latar belakang itu kita sebenarnya tidak dapat mempersalahkan Cia Hoat Ong," kata Bu Kie yang lalu menjelaskan jalannya peristiwa, cara bagaimana untuk menghilangkan satu permusuhan besar.
Kong kian rela menerima pukulan Cia Sun.
Baru Bu Kie memutar separuh, Kong Bun sudah berbangkit dan berdiri sambil membungkuk. Dengan sinar mata berlinang2, ia berkata: "Siancay! Siancay! Untuk menolong sesama manusia, Kongkian suhen rela membuat pengorbanan yg besar itu. Jasanya sungguh tak kecil."
Berapa pendeta lantas saja membaca doa. Para pemimpin Beng Kauw pun segera bangun berdiri sebagai tanda menghormat kepada pendeta suci itu.
"Sesudah mencelakai Kongkian seng ceng sebab kesalahan tangan, Cia Hoat ong berduka dan menyesal," kata pula Bu Kie. "Tapi seumpamanya urusan ini lalu diusut lebih jauh orang yg berdosa adalah Goan tin Taysu dari Siauw Lim sie." Melihat Seng Kun tidak berada disitu, ia berkata, "Aku memohon supaya Goan tin Taysu disuruh keluar guna dipadu di hadapan orang banyak, supaya Hong thio Seng ceng bisa membuktikan, apa aku berdusta atau tidak."
"Benar," sela Ciu Tian. "Di Kong beng teng keledai gundul itu berlagak mampus, lekas panggil dia keluar!" Si sembrono rupa2nya masih sakit hati terhadap Seng Kun yg telak mempersakitinya dalam pertempuran di Kong beng teng.
Bu Kie melirik dan menegur, "Ciu Sianseng, kau tak boleh berlaku kurang ajat di hadapan Hong thio Taysu."
"Aku bukan maki dia, aku maki penjahat Seng Kun," jawabnya, tapi ia tidak berani bicara apa2 lagi.
Mendengar perkataan Ciu Tian, Kong tie yang sudah bergusar tidak bisa menahan sabar lagi, "Tapi bagaimana dengan kebinasaan Kong seng sute?" tanyanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Kong seng ceng berdarah panas, beradat polos dan memiliki sifat ksatria sejati," jawab Bu Kie. "Di Kong beng teng aku pernah menerima pelajarannya dan aku merasa sangat kagum akan kepandaiannya.
Aku turut berdukacita untuk kemalangannya. Ia mati karena diserang oleh manusia jahat dan hal itu tiada sangkut pautnya dengan agama kami."
Kongtie tertawa dingin, "Thio kouwcu mencuci tangan bersih2," ejeknya.
"Apakah persekutuan antara Kuncu dari Jie lamong dan Beng Kauw bukan sebuah kenyataan?"
Muka Bu Kie berubah merah. "Memang benar, sesudah kebentrok dengan ayah dan kakaknya, Kuncu telah masuk kedalam agama kami," sahutnya. "Perbuatannya terhadap Siauw Lim Sie memang satu kesalahan. Aku berjanji akan selalu bersedia mengajak dia datang kemari guna mengakui kedosaannya dan memohon maaf."
"Thio Kauwcu, pandai sunggu kau menggoyang lidah!" bentak Kong tie. "Apa dengan berkata begitu kau tidak akan ditertawai oleh para orang gagak dikolong langit?"
Bu Kie jadi serba salah. Sebagai seorang jujur, di dalam hati ia mengaku, bahwa perbuatan Tio Beng dalam menyerang dan menangkap pendeta2 Siauw Lim Sie memang suatu kedosaan terhadap Siauw Lim Sie. Biarpun urusan itu bukan urusan Beng Kauw, tapi setelah si nona masuk ke dalam agamanya, ia tidak bisa mencuci tangan begitu saja.
Selagi ia bersangsi, Tiat Koan Toojin yang meluap darahnya sudah mulai membentak:
"Kong tie taysu! Dengan memandang sebagai pendeta suci yang tertua, kauwcu kami sudah berlaku sangat sungguh terhadapmu. Sebaiknya kau tahu diri sebagai pemimpin Beng kauw dan sebagai seorang ksatria, mana bisa jadi kauwcu kami bicara sembarangan" Kau menghina kauwcu kami dan itu berarti kau menghina Beng Kauw yang mempunyai anggota ratusan laksa. Meskipun kauwcu sangat baik hati dan tidak mempunyai rasa gusar, hinaan itu tidak ditelan begitu saja oleh kami semua," pada waktu itu Beng Kauw sudah menguasai banyak daerah dengan tentara rakyat berjumlah besar dan istilah "ratusan laksa"
tidaklah terlalu berlebih2an.
Kong tie tertawa tawar, "Ratusan laksa?" ia mengulang. "Apa kalian mau menginjak Siauw Lim Sie sampai jadi bumi rata" Bukan baru sekarang. Mo Kauw menghina Siauw Lim. Bahkan kami sampai kena ditawan dan dikurung di Ban hoat si, kami tidak mempersalahkan siapapun juga. Kami hanya boleh merasa menyesal karena ceteknya kepandaian kami. Huh huh! " Lebih dahulu membasmi Siauw Lim, kemudian menumpas Butong, yang merajai Rimba Persilatan, hanialah Beng Kauw. Sungguh gagah!
Sungguh angker!" Bu Kie lantas saja ingat. Bahwa kata2 itu, "Lebih dahulu membasmi Siauw Lim dan sebagainya yang di "ukir" dengan coretan tangan dalam ilmu Kim Kong Tay lek cie, terdapat pada patung Tat me Couw su. Huruf2 dituli oleh salah seorang jagoan Tio Beng, sesudah para pendeta Siauw Lim Sie tertawan dan dibawa pergi. Waktu itu, Kouw Touw too Hoao Yauw masih menghamba dibawah perintah Tio Beng, tapi di dalam hati ia lelah, untuk menyingkirkan bencana yang diatur oleh Tio Beng, sesudah semua orang pergi, buru-buru ia kembali ke Tat Mo tong dan memutar patung tersebut, sehingga pulih ketempat asalnya, yaitu menghadapi tembk, belakangan waktu rombongan Bu Kie dalam kuil Siauw Lim sie dengan bantuan In Ya Ong, Yo Siauw memutar patung itu dan membaca huruf2 tersebut. Sesudah membaca, mereka memulangkan kedudukan patung itu seperti tadinya, yaitu menghadap tembok, belakangan waktu rombongan Bu Kie dalam kuil Siau Lim sie, dengan bantuan Yo Siauw emutar patung itu dan membaca huruf2 tersebut. Sesudah membaca, mereka memulangkan kedudukan patung itu seperti tadinya, yaitu menghadap ketembok, supaya jangan samapi diketahui oleh orang Siauw Lim Sie. Tapi sekarang ternyata bahwa pihak Siauw Lim sie toh mengetahui juga.
Bu kie yang jujur tidak pandai bicara. Ia mengakui bahwa penulisan huruf2 itu dimuka patung yg di papas rata adalah perbuatan Tio Beng yg paling tak pantas. Ia merasa malu dan tidak bisa menjawab sindiran Kong tie.
Melihat sang Kauwcu membungkam, Yo Siauw segera maju menolong. "Kami sungguh tidak mengerti maksud perkataan Kong tie Tay su," katanya. "Mendiang ayahanda thio Kauwcu adalah seorang murid Bu tong. Hal ini diketahui oleh semua orang. Andaikata benar2 kami, orang2 Beng Kauw, gila2an, kami pasti masih tidak berani menghina ayahanda Kauwcu kami sendiri. Disamping itu, ukiran jari tangan itu dilakukan dengan menggunakan ilmu Kim kong Tay tek cie, yaitu ilmu rahasia Siauw Lim Sie yang tak sembarangan diturunkan kepada orang. Diantara orang2 agama kami tidak satupun yang mengenal ilmu tersebut. Kong ti taysu adalah seorang ahli yang mengenal ilmu silat dalam rimba
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
persilatan, sehingga taysu tentu tahu, apa dengan bicara begini aku berdusta atau tidak," jawab Yo Siauw itu membuat Kong tie tidak bisa membuka suara lagi.
"Ketika bertengkar disini tak ada gunanya," kata Kong bun dengan suara sabar. "Menurut pendapat looiap, sebaiknya kita sekarang pergi ke Tat mo tong untuk melihat dengan mata sendiri." Kong bun seorang yang sabar dan mulia hatinya. Iapun tahu bahwa Beng kauw bertenaga besara dan kalau sampai terjadi bentrokan besar2an Siauw Lim sie mungkin menjadi hancur.
"Begitupun baik," kata Bu Kie sambil menyapi seluruh ruangan dengan menanya. Melihat Tio Beng tidak turut masuk disitu, hatinya agak lega.
Dengan Tio kek ceng (pendeta menyambut tamu) sebagai pembuka jalan; semua orang lantas saja menuju ke Tat mo tong. Tat mo tong adalah tempat istirahat dan semedhi dari pendeta2 Siauw Lim sie yang berkedudukan tinggi. Pendeta yang tingkatannya terendah tak akan berani masuk keruangan itu!
Bahkan sioe Co (kepala) Tat mo tong sendiri berlaku semabrangan terhadap pendeta2 yang berada disitu.
Begitu tiba didepan ruangan yg pintu nya tertutup. Kong tia lantas berkata, "Hong thio mengajak para sioecu (tuan) dari Beng Kauw datang di Tat mo tong untuk melihat patung Cee couw (leluhur yang pertama)."
Sesudah menunggu beberapa saat dan di dalam tidak terdengar suara apa2, sioecu dari Tat mo tong lantas saja menolak pintu. Di dalam ruangan itu terdapat sembilan pendeta tua yang bersemedhi diatas tikar sambil memejamkan mata. Cara mereka bersemedhi berbeda-beda, ada yang berlutut, yang tidur, ada yg mengangkat sebelah kiri dan sebagainya, Bu Kie tahu bahwa mereka sedang melatih diri dalam lweekang yang tertinggi dan cara bersemedi yang aneh2 itu dilakukan dengan mencontoh patung2 lima ratus lohan. Kesembilan pendeta itu tidak menghiraukan kedatangan Hong thio. Dengan mulut membungkam dan badan tidak bergerak, mereka seolah2 sembilan patung.
"Waktu aku datang di Siauw Lim Sie, dalam ruangan ini hanya terdapat sembilan tikar rombeng," kata Bu Kie di dalam hati. Diantara pendeta2 yang ditawan Beng Moay juga tidak terdapat sembilan pendeta tua. Kemana mereka pergi?"
Kong beng, Kun tie dan yang lain2 juga tidak memperdulikan sembilan pendeta itu. Mereka segera berlulut di hadapan patung tat mo couw su. "Hari ini tee cu mengganggu Cee couw dan untu kekurang ajaran ini, teecu mohon di ampuni," kata Kong bun yang lalu memerintahkan enam orang murid untuk memutar patung tersebut. Enam murid itu segera maju, menangkap kedua tangan mereka dan mulut mereka berkemak kemik membaca doa. Sesudah itu, dengan sikap hormat barulah mereka mengerahkan lweekang dan memutar patung tersebut yang beratnya dua ribu kati lebih.
Baru saja patung itu terputar separuh, semua orang mengeluarkan seruan kaget. Mengapa" Sebab muka patung lengkap, sempurna dengan mulut mata kuping dan hidung yg tak ada cacatnya!
Itulan kejadian yang sungguh2 mengejutkan. Sebagaimana diketahui, muka patung itu telah dipapas orang sehingga rata dan menyerupai papan batu dan diatas papan batu itu tertulis "Lebih dahulu membasmi Siauw Lim kemudia menumpas Butong, yang merajai Rimba Persilatan, hanialah Beng Kauw." Mengapa sekarang muka itu lengkap sempurna"
Dengan rasa penasaran Kong tie maju memeriksa. Ia mendapat kenyataan, bahwa muka patung itu dipahat sebuat batu besar. Muka patung bukan ditempelkan pada bagian muka yg dulu sudah dipapas rata.
Tegasnya dari muka sampai ke badan, patung itu terbuat dari sepotong batu raksasa.
Semua orang saling mengawasi dengan mulut ternganga. Untuk beberapa lama mereka tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Kemungkinan satu2nya ialah lebih dulu orang membuat sebuah patung baru kemudian mengeluarkan patung lama dati Tat mo tong dan akinya memasukkan patung baru itu kedalam Tat mo tong. Tapi ini tak mungkin dilakukan tanpa diketahui orang. Selama beberapa bulan yg belakangan Siauw Lim sie, dijaga keras sehingga jangankan sebuah patung raksas sedang sebuah mangkok pun takkan bisa keluar masuk di Tat mo tong tanpa diketahui.
Melihat kekagetan para pendeta Yo Siauw tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu. "Siauw Lim sie mempunyai rejeki yang besar dan pahal terhadap semsama manusia yang tiada batasnya"
,katanya dengan suara nyaring. "Tat mo Loocouw telah memperlihatkan keangkerannya dan memperbaiki sendiri patungnya yang dirusak orang. Kejadian ini benar2 kejadian yg menggirangkan dan patut diberi selamat." Sehabis berkata begitu, ia menekuk kedua lututnya dan berlutut di hadapan patung.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu kie dan lain2 tokoh Beng Kauw lantas saja mengikuti. Para pendeta Siauw Lim tak bisa berbuat lain daripada membalas hormat. Kong bun couw telah memperlihatkan keangkeran dan memperbaiki sendiri kerusakan itu, ia menduga bahwa itu semua kerjaan Beng Kauw. Tapi biar bagaimanapun juga andaikata benar kerjaan Beng Kauw dapat dikatakan sudah coba memperbaiki kesalahannya dan sudah menghaturkan maaf dengan demikian, kegusaran para pendeta lantas saja berkurang.
"Patung sudah baik kembali dan hal ini tak usah disebut2 lagi," kata Kong bun yang lalu memerintahkan keenam murid Siauw Lim untuk memutar kembali patung itu. Sesudah itu ia berkata pula,
"Semalam Kauw Tio datang berkunjung dan sudah berkenalan dengan ketiga susiok loolap, Touw ok susiok dan Thio Kauwcu telah berjanji, bahwa asl Khioe kauwcu dapat memecahkan Kim kong Hok mo coan, maka Thio Kauwcu lantas boleh membawa Ciao Siecu pergi. Apa benar ada perjanjian begitu?"
"Benar," jawab Bu Kie. "Touw ok Taysu telah mengatakan begitu. Aku merasa sangat kagum tehadap ilmu sam wie ko ceng dan kutahu bukan tandingan mereka. Semalam aku sudah dikalahkan dan sebagai pecundang mana berani aku menjual lagak lagi?"
"Omieko hoad, Thio kauwcu mengeluarkan kata2 yg terlalu berat," kata Kong Bun. "Semalam menang atau kalah belum ada keputusannya dan ketiga susiok loolap merasa sangat berterimakasih akan kemuliaan Thio Kauwcu."
Mendengar kelihaian ketiga tetua Siauw Lim itu, sebagai biasanya ahli2 silat, tokoh2 Beng Kauw lantas saja kepingin menyaksikan kepandaian mereka. "Kauwcu," kata In Thian Ceng, "Karena pihak Siauw lim sendiri yang ingin menjajal kepandaian, maka kita terpaksa harus meminta pelajaran dari mereka. Tujuan kedatangan kita adalah untuk menolong Cia Heng tee. Kita terpaksa berbuat begitu dan sama sekali bukan mau menjajal lagak di Siauw Lim sie."
Sebagi cucu Bu Kie sangat mengindahkan perkataan kakeknya. Apa pula untuk mencapai tujuan mereka, Beng Kauw tidak mempunyai pilihan lain dari pada bertempur. "Mendengar ilmu yang sangat tinggi dari ketiga tetua Siauw Lim saudara2ku ingin sekali menemui mereka dan pertemuan ini sangat menggirangkan kita semua."
"Persilahkan!" kata Kong tie yang lantas mengajak para tamunya kepuncak bukit yang terletak dibelakang kuil.
Kaki bukit itu dijaga rapat2 oleh pasukan Ang Sui Kie, tapi Kong bun dan kawan2nya tidak menghiraukan. Dengan sikap tenang mereka mendaki bukit. Begitu tiba dipuncak Kong Bun dan Kong Tie menghampiri pohon siong dan melaporkan kedatangan rombongan Beng Kauw sambil membungkuk.
"Bagus! Bagus sungguh!" kata Touw ok. "Soal sakit hati Yo po Thian sudah beres dan soal patung Cie Cauw juga sudah beres. Bagus! Thio Kauwcu beberapa orang yg mau main?"
Sesudah memikir sejenak Bu Kie menjawab "Semalam aku sudha berkenalan dengan singkang Sam wie yang sangat tinggi dan menurut pantas aku tidak boleh memperlihatkan lagi kebodohanku kehadapan Sam wie. Akan tetapi karena antara Cia hoat ong dan aku terdapat perhubungan ayan dan anak dan dengan saudara2 lain nya mempunyai perhubungan persaudaraan, maka dengan tidak mengimbangi tenaga sendiri kami terpaksa harus berusaha juga untuk menolongnya. Menurut pendapatku jalan yang paling adil ialah aku meminta bantuan dua saudara sehingga tiga melawan tiga."
"Thio Kauwcu tak usah berlaku sungkan," kata Touw ok. "Apabila di dalam kalangan Beng Kauw terdapat orang lain yang berkepandaian sama tingginya seperti Kauwcu maka dengan dua orang saja Kauwcu akan bisa membinasakan kami bertiga. Tapi menurut pendapat loolap di dalam dunia tak ada yg bisa menyamai kepandaian Kauwcu. Maka itu sebaiknya kauwcu menggunakan lebih banyak orang untuk mengurubuti kami."
Tioe Can Tiat koan Toojin dan lain2 saling mengawasi. Mereka menganggap Touw Ok sangat sombong. Tapi dalam kesombongan itu, si pendeta mengakui bahwa di dalam dunia tak ada orang bisa menandingi Bie Koe, satu pujian tinggi bagi Kauwcu mereka.
Bu Kie membungkuk dan berkata, "Biarpun agama kami tidak bisa berendeng dengan Siauw Lim pay, tapi dalam sejarah ratusan tahun kami masih memiliki juga beberapa orang pandai. Aku sendiri sebenarnya menduduki kursi kauwcu hanya untuk sementara waktu. Kalau bicara tentang kepandaian, di dalam agama kami terdapat banyak orang yg berkepandaian lebih tinggi daripada aku. Wie Hok ong serahkanlah karcis nama ini kepada Sam wie ko ceng!" Sehabis berkata begitu ia merogoh saku dan mengeluarkan selembar karcis nama yg tercantum nama2 para tokoh Beng Kauw yg berkunjung.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Wie It Siauw mengerti bahwa Bu Kie ingin supaya ida memperlihatkan ilmu ringan badannya yang tiada keduanya di dalam dunia. Ia membungkuk dan menyambuti karcis nama itu. Mendadak tanpa memutar tubuh ia melesat atau lebih benar terpental bagaikan menyambarnya sebutir peluru ketengah2
tiga pohon siong dn dalam satu gerakan yang indah, menyodorkan karcis nama itu kepada Touw Ok.
Ketiga tetua Siauw Lim itu sudah kenyang makan asam garam dunia dan mempunyai pengalaman yang sangat luas. Tapi ilmu ringan badan yg lihai itu baru pernah dilihatnya.
Tanpa terasa mereka berseru "Bagus!"
Dengan membungkuk sedikit Touw ok menyambuti karcis nama itu. Begitu lima jari tangannya menyentuh kertas, begitu Wie It siauw merasa badannya kesemutan. Ia terkejut dan segera mengerahkan lweekang untuk melawannya.
Sedetik kemudian Youw Ok sudah mengambil karcis nama itu dan giliran tenaga lweekannya yang dirasai Ceng ek Hok ong lantas saja hilang. Paras muka Wie it siauw berubah. Ia tak menduga bahwa pendeta itu memiliki lweekang yg sedemikian tinggi. Ia tidak berani berdiam lama2 disitu. Sesudah memanggutkan kepala, ia melayang diatas rumput dan kembali kepada Bu Kie. Ilmu ringan badan yg digunakannya ialah Co siang hui (Terbang diatas rumput).
Biarpun bukan ilmu luar biasa, ia melakukannya secara lain dari yang lain.
Kong bun dan Kong tie tahu dengan mendapat pelajaran dari dan latihan semata2 orang tak dapat mencapai ilmu ringan badan pada tingkat yang begitu tinggi. Disamping guru dan latihan, Wie Hok Ong mempunyai bakat yang tidak dipunyai orang lain.
"Sesudah Thio Kauwcu mengambil keputusan untuk tiga melawan tiga, bolehkan loolap mendapat tahu, disampai Wie Hok Ong siapa lagi yang memberi pelajaran kepada kami?" tanya Touw Ok.
"Wie Hok Ong sudah menerima pelajaran lweekang dari taysu," jawabnya. "Yang akan membantu aku adalah Co Yoe Kong beng Siocia."
"Sungguh lihai mata pemuda itu," Touw Ok memuji di dalam hati. Ia sudah bisa lihat pengiriman lweekang dengan melalui karcis nama.
Siapa itu Co yoe kong beng Su cia" Apa mereka lebih lihat dari Wie hok ong" Sebgai orang yg sudah lama menutup diri, ia pernah mendengar Co yoe Kong beng Su cie. Sementara itu, Yo Siauw dan Hoan Yaow, lantas saja maju dan berkat sambil membungkuk, "Kami menunggu perintah Kauwcu."
"Sam wi ko ceng menggunakan senjata lemas," kata Bu Kie. "Senjata apa yang harus kita gunakan?"
Diwaktu biasa Bu Kie, Yo Siauw dan Hoan Yauw tidak pernah menggunakan senjata. Tapi dalam menghadapi lawan berat, tidak bisa mereka berlaku sombong dan bertempur dengan tangan kosong.
Sebagai ahli2 silat kelas utama mereka bisa menggunakan senjata apapun juga.
"Terserah kepada Kauwcu," jawab Yo Siauw.
Bu Kie ingat apa yang dilihat semalam, cara bagaimana dengan senjata pendek Ho kian siang sat menyerang tambang yang panjang dan telah menarik keuntungan dari senjata yang pendek itu, ia lantas saja mengeluarkan enam batang Seng hwee leng dari sakunya dan sesudah menyerahkan masing2 dua batang kepada mereka.
"Yo Siauw dan Hoan Yauw," ia berkata, "Dalam mengunjungi Siauw Lim, kami tidak berani membekal senjata. Aku hanya membawa mustika dari agama kami. Biarlah kami menggunakan saja mestika ini." Yo Siauw dan Hoan Yauw lantas saja menerima "leng" itu dengan membungkuk.
Baru saja mereka mau berdamai untuk menetapkan siasat pertempuran, tiba2 Kong tie membentak,
"Kouw Louwtoo! Di Ban hoat si kita telah menaruh ganjelan. Mana bisa disudahi begitu saja?"
"Mari, mari! Loolap ingin minta pelajaran. Hari ini loolap tidak dipengaruhi Sip Hiang Joan kin san dan biarlah hari ini kita mendapat keputusan siapa yang lebih unggul."
"Meyesal aku, tidak bisa menerima tantangan itu," jawab Hoan Yauw dengan suara tawar.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Hari ini aku sudah menerima perintah Kauw cu untuk memecahkan Kim Kong Hok mo coan. Apabila Taysu mau membalas sakit hati yang dulu, sesudah tugas selesai, aku pasti akan melayani."
Kong tie segera mengambil sebatang pedang dari salah seorang murid Siauw Lim Sie, "Secara tak tahu diri aku berani, melawan ketiga susiokku," katanya. "Kalau tak mati, sebentar kau tentu terluka berat.
Sakit hatiku akan tidak bisa dibalas lagi."
Hoan Yauw tertawa dingin. "Apa selain tuan dalam Beng Kauw tidak terdapat lain jago?" tanyanya dengan nada mengejek.
Semua orang tahu, bahwa dalam berkata begitu Kong tie ingin membikin panas hatinya orang2 Beng Kauw. Tapi kalau ejekan itu ditelan begitu saja, derajat dan keangkeran Beng Kauw akan merosot. Dalam kedudukan, sesudah Hoan Yaum adalah Peh bie Eng Ong Ing thian Ceng. Tapi mengingat usia sang kakek yang sudah lanjut Bu Kie bersangsi untuk meminta bantuannya. Selagi ia menimbang2 untuk menarik In Ya Ong, pamannya, In Thian Ceng mendadak maju beberapa tindak dan lalu berkata, "Kauw cu, In Thian Ceng memohon tugas."
"Gwakong sudah lanjut usia, sebaiknya Kuku (paman) saja yang?"
"Benar aku sudah tua, tapi usiaku tak mungkin melampaui Sam wie ko ceng. Kalau siauw lim punya jago-jago tua, apa Beng Kauw tak punya?"
Bu Kie tahu bahwa kakeknya memiliki kepandaian sangat tinggi yang sedikitnya tak kalah dari Yo Siauw dan Hoan Yauw. Maka itu sesudah memikir sejenak ia segera mengangguk dan berkata, "Baiklah Hoan Yoesu, simpanlah tenagamu untuk melayani Kong tie Seng ceng. Aku sekarang memohon bantuan Gwakong."
In Thian Ceng membungkuk dan lalu mengambil sepasang "leng" dari tangan Hoan Yauw.
"Sam wie Susiok!" kata Kong bun dengan suara nyaring. "Yang ini ialah In Loo Enghiong bergelar Peh bie kauw yang. Dahulu ia mendirikan Peh bie kauw yang berseteru dengan enam partai besar. Ia seorang enghiong yg berkepandaian tinggi. Yang itu adalah Yo sianseng. Baik lweekang maupun gwakang ia sudah mencapai tingkat tertinggi. Ia adalah seorang tokoh terutama dalam Beng Kauw. Sudah banyak jago Kun Lun dan Go Bie rubuh ditangannya."
Touw ciat tertawa, "Selamat bertemu! Selamat bertemu!" katanya. "Cobalah kita lihat, apakah murid2
Siauw Lim bisa melayani atau tidak."
Tiga lambang lantas saja bergerak dan membuat tiga buah lingkaran.
Semalam, di tempat gelap, Bu Kie bertempur dengan hanya mengandalkan perasaannya terhadap sambaran angin dari tambang2 itu. Tapi sekarang, diwaktu tengah hari, bukan saja gerakan tambang bahkan kerut muka ketiga kakek itu juga dapat dilihat tegas olehnya. Sesudah menundukkan Seng hwee leng kemuka bumi dan menyoja, ia berkata, "Maaf!" Hampir berbareng ia membabat tambang Touw lan dengan leng yg di pegang dalam tangan kanannya. Begitu kedua senjata yang aneh itu kebentrok, Touw Lan dan Bu Koie merasa lengan mereka kesemutan.
Bu Kie tahu bahwa andaikata pihaknya bisa memperoleh kemenangan, kemenangan tidak akan bisa di dapat secara mudah. Paling sedikit ia harus bertempur lima ratus jurus.
Memikir begitu ia segera mengambil keputusan untuk melelahkan ketiga pendeta itu dan kemudian barulah mencari lowongan untuk mengirim pukulan2 yang memutuskan. Demikianlah ia segera melawan keras juga. Kioe yang sin kang yang berada dalam tubuhnya makin digunakan jadi makin kuat dan pukulan2 nya kian berat. Penonton yang lweekangnya kurang kuat terpaksa mundur setindak demi setindak sebab tak tahan, disambar angin pukulan.
Sesudah bertanding kira2 semakanan nasi ketiga tambang jadi lebih pendek tambangnya, makin kuat pembelaannya.
Semula pertempuran berlangsung dalam tiga psang lawan, tapi sesudah lewat setengah jam, Yo Siauw dan In Thian Ceng tidak bisa mempertahankan diri lagi sehingga keadaan jadi berubah mereka berdua mengerubuti Touw Lan, sedang Bu Kie melayani Touw Ok dan Toyw Ciat.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pertempuran itu, In Thian Ceng menggunakan ilmu silat keras, sedang Yo Siauw mengubah2
caranya, sebentar lembek sebentar keras. Antara enam orang itu, yang silanya paling resap ditonton adalah Yo Siauw. Dalam tangannya kedua lengan itu berputar2, menyambar2 dan menari2. sebentar kedua senjata itu digunakan sebagai pedang, sebentar sebagai golok, sebentar sebagai tombak yg menikam, membabat dan memapas. Dilain detik ia mengubah cara bersilat dan kedua leng itu digunakan sebagai poan koan pit yang menyambar2 dalam usaha untuk menotok jalan darah lawan. Baru beberapan gebrakan sudah berubah lagi, sekarang leng di tangan kiri sebagai pisau, leng ditangan kanan sebagai sucek (pusut). Sesaat kemudian kedua senjata itu memegang peranan sebagai cambuk dan toya.
Demikianlah, belum cukup seratus jurus Yo Siauw sudah mengubah2 kedua leng itu menjadi dua puluh dua macam senjata.
Hoan Yaow biasanya sangat temberang sebab ia menganggap bahwa ia mengenal semua ilmu silat dikolong langit. Tapi sekarang, melihat kelihaian Yo Siauw, ia merasa takluk tercampur kagum. Sudah lama Ciu Tian bermusuhan dengan Yo Siauw dan mereka pernah bertempur beberapa kali. Makin lama ia menonton makin besar rasa malunya. "Baruku tahu si kura2 Yo Siauw sengaja mengalah terhadapku,"
pikirnya. "Tadinya kukira kepandaiannya hanya lebih setingkat daripada aku. Kuanggap ia menang sebab mujur.
Siapa nyana ilmu sikura2 sebenarnya banyak lebih tinggi daripada aku."
Tapi sesudah Yo Siauw mengubah2 silatnya, Touw Lan tetap bisa melayani kedua lawannya secara tenang. Perlahan-lahan diatas kepala In Thiang Ceng mengepul uap putih, suatu tanda bahwa si kakek sedang mengerahkan lweekang terhebat. Karena penuh dengan hawa jubahnya yang berwarna putih juga mulai melembung setiap kali ia bertindak. Diatas tanah terlihat apak kaki yang dalam sehingga sesudah bertempur hampir satu jam, tanah dalam gelanggang pertandingan penuh dengan tapak2 kaki.
Tiba2 si kakek mengoper leng ditangan kanan ketangan kiri dan menggunakan kedua senjata itu untuk menekan tambang Touw Lan. Hampir berbareng tangan kanannya yang sudah tidak bersenjata menghantam Touw Lan dengan pukulan Pek Tongciang. Bagaikan kilat Touw Lan mengangkat tangan kirinya, mementang lima jari tangan, mengepalnya dan kemudia menyambut Pek kong ciang In thian Ceng dengan tinju itu.
Kong beon dan Kong tie mengeluarkan seruan tertahan, bahwa kaget dan kagum. Pukulan Touw Lan itu adalah Siauw sie bie ciang, salah satu dari tujuhpuluh dua ilmu silat Siauw Lim sie yg tersohor. Siauw sie bie ciang bukan saja sukar dipelajari dan meminta waktu lama dalam latihan, tapi menurut kebiasaan waktu mau mengeluarkan pukulan tersebut seseorang harus lebih dahulu memasang kuda2 dan mengerahkan lweekang untuk beberapa saat. Bahwa Touw Lan bisa menggunakan pukulan tersebut dengan begitu saja adalah diluar dugaan. Sesudah memukul Touw Lan lalu mengedut tambangnya ygn lantas saja menyambar.
Karena sebelah tangannya harus mengadu tenaga dengan In Thian ceng, maka tenaga tangan Touw Lan yang memegang tambang yg melayani Yo Siauw lantas saja berkurang. Akan tetapi ia segera menambal kelemahannya itu dengan pukulan2 yg luar baisa, sehingga tambang itu seperti juga seekor ular sakti berterbangan kian kemari. Yo Siauw melawan dengan tidak kalah siasatnya dan ilmu yg dipergunakannya terus berubah2. Karena lebih sedap lagi pandangan mata, maka perhatian penonton lebih banyak ditujukan kepada pertempuran ini daripada pertandingan antara Bu Kie dan kedua tetua dari Siauw Lim.
Dilihat sekelebatan, pukulan2 Touw ok, Touw ciat dan Bu Kie biasa saja. Kehebatan pertandingan itu bukan terletak pada pukulan2nya, tapi pada lweekangnya. Pada hakekatnya, pertandingan itu sepuluh kali lebih berbahaya daripada pertempuran Touw Lan, Yo Siauw dan In Thia Ceng. Salah sedikit saja, kalau tidak mati tentu terluka berat.
Satu jam lebih mereka sudah bertempur dan matahari sudah mulai mendoyong ke barat. Ketika itu Kong Bun, Kong tia dan Hoan Yauw, Wie it Siaw dan lain2 ahli silat kelas satu sudah biasa lihat kemungkinan menang atau kalahdari kedua belah pihak. Dipihak Bu Kie, uap putih yg mengepul dari kepala In thian ceng jandi makin tebal, sedang di pihat Siauw lim daun2 dari pohon siong yg diduduki Tauw Ciat, bergoyang2 tak henti2nya. Ini berarti, bahwa sambil bersandar Tauw Ciat harus meminjam tenaga pohon itu untuk melawan sinkangnya Bu kie. Demikianlah apabila In Thian Ceng yang roboh lebih dahulu, maka BengKauwlah yang kalah dan manakala Touw ciat yg lebih dulu tak tahan, Siauw lim sie lah yang kena di jatuhkan.
Hal itu tentu saja diketahui oleh keenam orang yg sedang bertempur itu. Sesudah mengadu tangan tigapuluh kali lebih, In thian ceng tahu bahwa ia bukan tandingan Touw Lan. Ia merasa sangat menyesal
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
dan berkata dalam hati, "Hari ini yang terpenting adalah menolong Cia Hengtee. Namaku kalah menangku urusan kecil. Apapula kalau aku mesti kalah dalam tangannya seorang tetua Siauw Lim, nama besar Peh bie Eng Ong tidak akan jadi merosot. Yang penting kekalahanku berarti Cia Heng tee tak bisa ditolong. Ah!... tiada jalan lain dari pada mati2an dan kalau perlu, mengorbankan jiwa yang tua ini."
Memikir begitu, ia mundur setindak dan dengan seluruh lweekang nya, ia mengirim pula belasan pukulan. Tapi Siauw sie ciang yg sudah dilatih Touw Lan selama beberapa puluh tahun, bukan main hebatnya. In Thian Ceng mundur setindak, tenaga Siauw sie bie ciang maju stindak. Dengan perkataan lain semakin jauhnya jarak sama sekali tak memperkurang tenaga pukulan itu.
Melihat kawannya sudah jauh dibawah angin Yo Siauw segera mengambil keputusan untuk menukar siasat. Ia ingin merangkap kedua Seng hwee leng untuk menjepit tambang dan mengadu tenaga dengan Touw Lan, supaya tekanan terhadap In Thian Ceng bisa berkurang. Tapi baru saja ia mau menjepit, tambang itu mendadak di kedut dan menyambar mukanya. Ia terkesiap. Bagaikan kilat ia menimpuk dada Touw Lan dengan kedua "leng" dan kedua tangannya lalu menangkap ujung tambang yang segera dibetot.
Melihat timpukan yg hebat itu, dengan sikut kiri Touw Lan mengentus "leng" yang menyambar ke dada kiri dan berbareng ia miringkan badan untuk mengegos "leng" yang satunya lagi. Diluar dugaan ditengah jalan senjata itu tiba2 terputar dan menyambar Touw ciat! Inilah kelihaian Yo Siauw hanialah timpukan "kosong" sedang timpukan kepada Touw ciat barulah serangan sungguh2 yang disertai seluruh lweekangnya.
Ketika itu Touw ciat tengah melayani Bu Kie. Ia merasa girang, bahwa meskipun dikerubuti dua orang Touw Lan sudah berada diatas angin. Ia tak pernah mimpi, bahwa ia bakal diserang secara begitu aneh dan tahu2 sebatang seng hweleng sudah tiba didepan mukanya. Tapi sebagai ahli silat kelas utama dalam kagetnya ia tak jadi bingung. Dengan dua jari tangan ia berhasil menjepit senjata itu. Tapi terpecahnya perhatian sanagt merugikan dirinya dalam pertandingan lweekang melawan Bu Kie. Pohon siong lantas saja bergoyang2 kerang dan daun2 yang seperti jarum jatuh ketanah bagaikan hujan gerimis. Tentu saja Bu Kie sungkan menyia2kan kesempatan ini. Ia segera mengempos semangat dan menambah tenaga.
Pohon siong bergoyang lebih keras dan ranting2 kecil turut jatuh kebawah.
Melihat bahaya, Touw ok bangun berdiri melompat kesamping saudara seperguruannya dan kemudian menempelkan telapak tangan kirinya dipundak Touw ciat. Sesudah mendapat bantuan, barulah Touw ciat bisa mempertahankan dirinya lagi.
Dilain bagian, pengaduan tenaga antara Touw Lan, Yo Siaw dan In Thian Ceng sudah mencapai detik2
memutuskan. Yo Siauw membetot tambang, lweekang In thian Ceng terus mengirim pukulan2 dahsyat.
Ini berarti bahwa Touw Lan diserang oleh dua tenaga yang bertentangan satu sama lain yang satu membentot, yang lain mendorong (memukul). Untuk melayani kedua itu ia harus menggunakan semua tenaga dalamnya. Tapi biarpun berat, ia kelihatannya masih bisa mempertahankan diri.
Orang2 Siauw Lim dan Beng Kauw mengerti, bahwa menang kalah akan segera mendapat keputusan.
Mungkin sekali, antara enam tokoh itu ada beberapa yang akan binasa atau terluka berat. Puncak bukit itu menjadi sunyi senyap. Banyak orang basah bajunya karena keringat yang mengucur, sebagai akibat dari rasa tegang yg sangat hebat.
Mendadak saja, diantara kesunyian terdengar suara manusia yang keluar dari bawah tanah. "Yo Cosu, In Taoko, anak Bu kie, dengarlah. Tangan Cia Sun berkelepotan darah hukuman mati tak cukup untuk menebus dosa. Hari ini kalian berusaha untuk menolong aku dan melakukan pertempuran mati hidup melawan tiga ketua Siauw Lim. Kalau karena usaha menolong aku ini ada seorang saja yang binasa, maka kedosaanku akan lebih besar lagi. Anak Bu Kie! Ajaklah semua saudara meninggalkan Siauw Lim Sie.
Jika kau membandel, aku akan segera mengambil keputusan untuk memutuskan urat2ku, supaya aku tak usah menanggung kedosaan yg lebih besar."
Biarpun perlahan, suara itu menusuk kuping setiap orang. Sebab Cia Su berbicara dengan menggunakan Say cu hauw (geram singa) yang pernah digunakan dahulu di pulau Ong poan san.
Bu Kie tahu ayah angkatnya tidak bicara main-main. iapun tahu, jika pertempuran dilangsungkan, kakeknya, Yo Siauw, Touw Ciat dan Touw Lan akan binasa atau terluka. Selagi ia bersangsi, Cia Sun sudah membentak "Bu Kie! Apa kau belum mau mundur?"
"Baik Gie Hu!" jawabnya sambil mundur setindak dan kemudian berkata dengan suara nyaring, "Hari ini kami tidak bisa memecahkan Kim kong hong mo coan. Lain hari kami akan datang pula untuk
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
meminta pelajaran. Gwa kong, Yo Cosu, berhentilah!" seraya berkata begitu ia mendorong tenaga Touw Ok dan Tauw ciat dikedua tambang dan lalu menarik pulang tenaganya sendiri.
Tapi Yo Siauw dan In thian ceng tidak berani lantas menarik pulang tenaganya. Jika berbuat begitu mereka akan dilakukan oleh tenaga lawan. Touw Lan pun sedemikian. Melihat begitu Bu kie segera berjalan kedepan kakenya dan mengibas kedua tangannya, ia menyambut tenaga Touw Lan dan In thiang Ceng yang saling menyerang dari kiri kanan. Hampir berbareng, ia menempelkan sebatang seng hwee leng di tambang Touw Lan. Tambang itu ditarik Yo Siauw dan Touw Lan sehinggak tegang bagaikan tali gendewa. Tapi begitu lekas tersentuh "leng" lantas saja berubah lemas sebab kedua tenaga dipunahkan oleh Kin kun tay lo ie sin kang. Sesudah tangannya dipunah cekalan Yo Siauw tiba2 terlepas dan tambang itu jatuh di tanah. Tapi begitu tambang jatuh, Yo Siauw membungkuk dan menjemputnya lagi.
Touw Lan terkejut. Ia menduga Yo Siauw mau menyerang pula. Tapi maksud Yo Cosu bukan begitu.
Ia maju beberapa tindak dan berkata seraya mengangsurkan ujung tambang kepada Touw Lan. "Taysu, terimalah senjatamu!"
Touw Lan dapat menebak kemauan Yo Siauw. Ia pun lantas menjemput dua "leng" yang menggeletak ditanah dan memulangkannya kepada Yo Siauw.
Sesudah mendapat pengalaman itu, hilanglah segalah rasa sombong dalam hati ketiga pendeta itu.
Mereka mengerti, bahwa jika pertempuran dilangsungkan terus, kedua belah pihak akan celaka bersama2.
"Sesudah menutup diri selama beberapa puluh tahun, loolap merasa girang bahwa hari ini, kami bisa berkenalan dengan jago-jago di ini jaman," kata Touw Ok. "Bu Kauwcu, Beng kauw mempunyai banyak orang pandai, kau sendiri seorang luar biasa. Loolap mengharap bahwa dengan tenaga itu Beng Kauw bisa menolong sesama manusia dan tidak berbuat sesuatu yang mencelakai rakyat/
Bu Kie membungkuk, "Terima Kasih atas nasehat Taysu," jawabnya.
"Baiklah," kata Touw ciat. "Kami bertiga akan menunggu kunjungan Kauwcu yang ketiga kali."
"Ya," kata Bu Kie. "Kami terpaksa berbuat begitu, terutama karena antara Cia Ho tong dan aku terdapat hubungan ayah dan anak."
Touw Ok menghela napas. Ia segera memejamkan mata dan tidak berkata apa2 lagi.
Bu Kie dan kawan2nya lantas saja meminta diri dari Kang Bun dan yang lain2. dengan dipimpin oleh Phen Eng giok, kelima pasukan Ngo beng kie turut mundur sampai jarah sepuluh li dari Kuil Siauw Lim sie. Anggota Houw ouw kie segera membuat belasan tenda2 besar dilereng gunung untuk tempat meneduh nya seluruh barisan Beng Kauw.
Bu Kie berduka dan duduk termenung. Di dalam Beng Kauw ada orang berkepandaian lebih tinggi dari Yo Siauw dan In Thian Ceng. Andaikata ia menukar mereka dengan Hoan Yauw dan Wie It Siauw hasilnya takkan berberda.
Pheng Eng giok bisa menebak apa yang dipikir oleh sang Kauwcu. "Kauwcu?" katanya. "Mengapa kau melupakan Thio cinjin?"
"Apabila thay suhu suka turun gunung bersama2 aku, kita berdua rasanya akan dapat memecahkan Kim kong hok mo coan," katanya dengan suara sangsi. "Akan tetapi, hal itu berarti rusaknya keakuran antara Siauw Lim dan Bu tong, sehingga belum tentu thay suhu sudi meluluskan dan kedua, biarpun dalam ilmu silat thay suhu sudah mencapai tingkat tinggi, tapi usianya sudah terlalu tua. Kalau sampai terjadi sesuatu" mungkin sekali Toa supeh dan yang lain2 tak dapat menyetujui?"
Mendadak In Thian Ceng bangun berdiri dan tertawa terbahak2. "Bagus! Bagus!" serunya. "Jika Thio Cinjin suka membantu, kutanggung kita berhasil." Tiba2 dia membungkam, sedang mulutnya masih ternganga. Paras mukanya berseri2, tai ia berdiri seperti patung. Semua orang merasa heran.
"In heng, apa kau rasa Thio Cinjin mau turun gunung?" tanya Yo Siauw. Tapi si kakek tidak menyahut dan badannya tak bergerak.
Bu Kie kaget dan buru-buru memegan nadinya. Astaga! Nadi sang kakek sudah berhenti mengetuk!
Sebab tadi sudah menggunakan banyak tenaga, orang tua itu meninggal dunia seperti lampu kehabisan minyak.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Bu Kie memeluk jenazah kakeknya dan menangis dengan disusul oleh In Ya Ong yang menubruk mendiang ayahandanya. Semua orang yg berkumpul turut mengucurkan air mata. Warta tentang meninggalnya Peh bie Eng ong lantas saja disampaikan kepada segenap barisan Beng Kauw. Diantara anggota2 pasukan Nio heng kie terdapat banyak orang yg dulu menggabungkan diri pada Peh bie kauw dan mereka itulah yang paling bersedih hati.
Selama beberapa hari Beng Kauw sibuk mengurus urusan kematian In Thian Ceng. Selama beberapa hari itu, tokoh2 rimba persilatan yang mendapat undangan sudah mulai tiba pada Siauw Lim sie. Antara mereka, banyak yang dtg di tenda2 Beng Kauw untuk menyatakan turut berduka cita dan bersembahyang.
Disamping bersembahyang mereka mengirim delapan belas pendeta untuk membaca doa guna roh nya. In thian ceng tapi pendeta2 itu diusir oleh In Ya ong.
Selama beberapa hari Bu Kie kalut pikirannya. Perundingan dengan Yo Siauw, Phen Eng Giok, Tio Beng dan yang lain2nya tak menghasilkan sesuatu yg menyenangkan. Nona Tio menyarankan untuk menarup sip hiang Joan kien san dimakanan Touw ok bertiga dan mengusulkan untuk meminta bantuan Hian beng Jie loo guna membantu Bu Kie. Tapi Bu Kie dan Yo Siauw menolak saran2 itu.
Tanpa terasa tibalah harian Toan Ngo atau Toan yang (tanggal lima bulan lima Imlek. Yaitu perayaan peh cun). Hari itu Bu Kie mengajak tokoh2 Beng Kauw datang dikuil Siauw Lim sie. Ketika mereka tiba, semua ruangan dikuil besar itu sudah penuh dengan tamu. Semua orang tahu bahwa Eng Hiong Thay Hwee dibuka untuk menghukum Cia Sun. Antara orang2 gagah iu ada yang untuk membalas sakit hati terhadap Cia Sun ada yang ingin melihat atau merebut To Liong To dan ada pula yang hanya ingin menonton kematian. Untuk melayani tamu2 itu, Siauw Lim Sie mengerahkan seratus lebih tie kek ceng (pendeta penyambut tamu).
Dari Butong pay datang dua orang yaitu Jie Lian Cu dengan In Lie Hong, Bu Kie menemui paman gurunya dan menanyakan kesehatan sang kakek guru. "Apa kau pernah dengar harunya (") Ceng Su dan Tan Yoe Liang?" tanya Jie Lian ciu dengan suara perlahan.
Secara ringkas Bu kie lalu menceritakan segala pengalamannya. Dari sang paman ia mendapat tahu, bahwa sebegitu jauh Bu Tong san belum pernah dikacau oleh Tan Yoe Liang dan Song Ceng Su. Bahwa Song Wan Kiauw berdua dengan Thio Siong Kee tidak turut datang di Siauw Lim sie adalah untuk melindungi sang guru dari bokongan manusia2 rendah, Jie Lian ciu selanjutnya memberitahukan bahwa perbuatan Song Ceng Su telah memberi pukulan sangat hebat kepada Song Wan Kiauw yang tak enak makan dan tak enak tidur, sehingga badannya berubah sangat kurus. Iapun menerangkan bahwa peristiwa itu ditutup rapat2 dari kuping sang guru.
"Kita harap saja Song suko bisa cepat-cepat tersadar, supaya Toesupeh ayah dan anak bisa berkumpul kembali," kata Bu Kie.
"Ya kita semua berharap begitu," kata sang paman.
Selama satu jam, jumlah tamu yang datang terus bertambah, Ho Kian Siang sat dan jago pedang dari Ceng hay pay yang malam itu menyerang tiga tetua Siauw Lim, juga turut datang Hwa san pay dan koong tong pay. Kun lun pay dan lain2 partai mengirim wakit. Hanya orang Go bie pay yang tak muncul. Bu Kie mengharap2 Cie Jiak datang sendiri, supaya ia bisa memberi keterangan tentang sikapnya yang luar biasa pada hari itu. Tapi dalam mengharap2, hatikecilnya merasa tak enak untuk bertemu muka daengan nona Cie. Rombongan Beng Kauw menempati ruangan ada disebelah barat dan mereka tidak bercampur dengan orang banyak. Bu kie sengaja mengambil tindakan penjagaan, sebab Beng Kauw mempunyai banyak musuh dan kalau musuh bertemu dengan musuh akibatnya bisa mengacaukan Eng hiong tay hwee.
Menjelang Ngo sie (atau jam sebelas siang sampai lohor) para tie kek ceng mengundang para tamu supaya berkumpul disebuah lapangan luas yang terletak disebelah kanan kuil. Diatas lapangan itu semula sebbuah kebun sayur yang luasnya beberapa ratus bauw, didirikan belasan gubuk raksasa yang diatur meja2 dan kursi2 yang baru selesai dibuat. Atas undangan tie kek ceng, para tamu lantas mengambil tempat duduk.
Sesudah para tamu berduduk, sebaris demi sebaris, menurut tingkatannya, para pendeta keluar dari kuil untuk memulai pertemuan resmi dengan orang2 gagah di kolong langit. Barisan terakhir ialah Kong tie seng ceng yang diikuti oleh sembilan pendeta tua dari Tat mo tong. Mereka menuju ketengah2 lapangan dan sesudah memberi hormat, Kong tie berkata:
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Hari ini para enghiong datang berkunjung dan membikin terang muka Siauw Lim sie. Hanya menyesal Heng Thio suheng mendadak sakit dan tidak bisa menemui para tamu yg terhormat. Ia meminta loolap untuk menghaturkan maaf kepada kalian semua."
Bu Kie heran. "Hari itu ketika Kong-bun Taysu datang bersembahyang kepada Gwakong, mukanya tidak menunjukkan orang sakit," pikirnya. "Apa bias jadi orang yang mempunyai Lweekang seperti dia bisa mendadak mendapat sakit berat" Apa bukan ia terluka?"
Sesudah berdiam sejenak Kong tie berkata pula, "Kim mo Say ong Cia Sun banyak dosanya dan sekarang kami berhasil menangkap dia. Karena Siauw lim-pay tidak berani mengambil keputusan sendiri, maka kami sudah mengundang orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan untuk merundingkan cara menghukumnya." Dalam mengucapkan pidato pembukaan itu, Kong tie seperti sedang berduka, sedang memikirkan sakitnya Kong bun Taysu.
Eng hiong Tayhwee yang terakhir diadakan Keng cie kwan dan selama lebih kurang seratus tahun belum pernah diadakan lagi pertemuan orang-orang gagah yang sedemikian besar. Maka itu, kejadian ini merupakan salah satu kejadian terpenting dalam dunia persilatan. Tapi apa mau tuan rumah mendapat sakit dan mendengar pengumuman itu, kegembiraan para hadirin lantas berkurang banyak.
Dengan matanya yang sangat tajam Bu Kie menyapu barisan Siauw lim sie. Ia tidak lihat Goan tin dan Tan Yoe Liang. "Sesudah aku membuka topeng Goan tin di hadapan Touw ok bertiga, apa dia sudah dihukum?" tanyanya dalam hati, "Apa tak munculnya Kong bun Taysu ada sangkut pautnya dengan hal ini?"
Sesudah bicara sambil merangkap kedua tangannya Kong tie mundur beberapa langkah. Tiba-tiba disudut tenggara bangkit seseorang yang tubuhnya tinggi besar dan janggutnya yang berwarna dan melambai-lambai tertiup angin. Ia berparas angker dan tangannya memegang tiga butir "tiat tan" (peluru besi). Banyak orang segera mengenali bahwa ia bernama Hee Ciu seorang guru silat di Sucoan timur.
Begitu bangun berdiri ia segera berkata dengan suara nyaring, "Cia Sun telah melakukan banyak sekali kejahatan. Bahwa ia sudah ditangkap oleh Siauw lim-pay merupakan berkah bagi seluruh Rimba Persilatan, Kong bun dan Kong tie Seng ceng bersikap terlalu sungkan. Manusia yang begitu jahat boleh segera dibunuh saja. Untuk apa berdamai lagi" Tapi sesudah kita semua terlanjur berkumpul di sini, boleh dinamakan To say Tay hwee (pertemuan untuk membunuh singa). Untuk membalaskan sakit hatinya orang-orang yang binasa tanpa berdosa, sebaiknya kita menghukum mati dia dengan siksaan."
Hee Ciu bicara dengan bernapsu karena salah seorang saudaranya telah dibunuh Cia Sun dan selama beberapa puluh tahun ia telah berusaha membalaskan sakit hati. Usul itu segera saja disetujui oleh beberapa puluh orang.
Mendadak diantara suara ramai terdengar suara yang menyeramkan. "Cia Sun adalah Hu kauw Hoatong dari Beng kauw. Kalau Siauw lim-pay tidak merasa takut terhadap Beng kauw sudah lama mereka tentu sudah turun tangan. Apa dengan mengumpulkan kita, mereka ingin membagi tanggung jawab di atas pundak kita semua" Hee lookoesu menurut pendapatku, pikiranmu sudah gila." Semua segera mengarah ke suara itu, tapi orang yang bicara tidak kelihatan batang hidungnya. Ternyata dia seorang kate kecil dan waktu bicara dia tidak bangun berdiri.
"Apa Ciu poet sie Suma Hengtee?" teriak Hee Ciu, "Cia Sun telah membunuh adikku, seorang laki-laki bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Kuharap para pendeta Siauw lim sie suka mengeluarkan dia dan loohu akan bacok mati dia. Carilah orang she Hee di Coan tong." (Ciu poet sie "
Gelaran yang berarti "Mabuk tak mati")
Ciu poet sie Suma Cian Ciong tertawa dingin. "Hee To ko semua orang kangouw tahu bahwa To liong to yang termulia dalam Rimba Persilatan telah jatuh ditangan Cia Sun," katanya. "Kalau Siauw lim pay berhasil membekuk Cia Sun bukankah itu berarti bahwa Siauw lim-pay juga sudah berhasil merebut To liong to" Membunuh Cia Sun urusan kecil, mendapat To liong to barulah urusan besar. Kong tie Taysu, kuharap kau jangan berlagak bodoh. Keluarkanlah To liong to supaya kita semua bisa melihatnya. Selama ribuan tahun Siauw lim-pay sebagai partai utama dalam Rimba Persilatan. Dengan golok mustika itu, Siauw lim-pay tak jadi lebih agung. Tanpa golok mustika itu, Siauw lim-pay takkan jadi lebih rendah.
Dengan To liong to atau tanpa To liong to, Siauw lim-pay sudah menduduki kedudukan termulia dalam Rimba Persilatan."
Suma Cian Ciong adalah salah satu orang aneh dalam Rimba Persilatan. Dia tak punya guru dan tak punya murid. Dia bebas bagaikan burung hu liar, tidak masuk partai manapun jua dan sangat jarang
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
bertempur sehingga orang tak tahu sampai berapa tinggi kepandaiannya. Kalau berbicara, dia bicara seenaknya saja, tak ragu-ragu untuk mengejek atau menyindir.
Perkataan Suma Cian Ciong segera saja mendapat sambutan hangat. Beberapa orang turut bicara dan meminta supaya Siauw lim-pay segera mengeluarkan To liong to untuk diperlihatkan kepada semua tamu.
"To liong to tidak ada ditangan kami," kata Kong tie dengan suara perlahan. "Selama hidup loolap pun belum pernah melihat golok mustika itu."
Pernyataan itu diluar dugaan dan mengejutkan semua orang. Keadaan segera berubah ramai, banyak orang berebut menyatakan pendapat. Semula semua tamu menduga bahwa To liong to ada sangkut paut dengan pertemuan ini.
Dibelakang Kong tie berdiri sembilan pendeta tua yang mengenakan jubah pertapa warna merah.
Sesudah suara ramai mereda, salah seorang sembilan pendeta itu maju ke depan dan berkata dengan suara nyaring. "Bahwa To liong to berada di dalam tangan Cia Sun diketahui oleh semua orang. Hanya sayang waktu kami menangkap Cia Sun, To liong to tidak berada ditangannya. Karena hal ini hal penting dalam Rimba Persilatan, maka hong Tio kami telah berusaha untuk mencari tahu. Tapi Cia Sun orang yang keras kepala, biarpun segera dibunuh dia tidak mau membuka mulut. Maka itu pertemuan hari ini mempunyai dua tujuan. Yang pertama untuk merundingkan cara menghukum Cia Sun, yang kedua untuk menyelidiki dimana adanya To liong to. Apabila diantara kalian ada yang mendapat informasi, kami harap bisa memberitahukan secara terang-terangan."
Semua orang saling mengawasi. Semua orang membungkam.
Yang bicara lagi Suma Cian Ciong. "Selama ratusan tahun, disamping To liong to masih ada Ie thian kiam," katanya. "Menurut cerita orang pedang itu berada dalam tangan Go bie-pay. Tapi sesudah pertempuran di Kong-beng teng, Ie thian kiam juga hilang tak berbekas. Apakah karena pertemuan hari ini dinamakan Eng hiong Tay hwee (pertemuan orang-orang gagah, pria), maka jago-jago betina dari Go bie-pay lantas tidak mau datang?"
Perkataan itu diambut gelak tawa.
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang tie kek-ceng, "Kay pang Su Pangcu dengan para Tiang loo dan para murid Kay pang datang berkunjung!"
Bu Kie heran. "Su Hwee Liong Pangcu sudah binasa ditangan Goan tin," katanya dalam hati, "Dari mana muncul Su Pangcu lagi?"
"Undang mereka masuk!" teriak Kong tie.
Kay pang adalah pang hwee (perkumpulan) yang terbesar dalam dunia kangouw. Sebagai penghargaan terhadap tamu yang baru datang itu Kong tie sendiri keluar menyambut. Rombongan Kay pang terdiri dari seratus lima puluh orang lebih yang semuanya mengenakan pakaian rombeng. Biarpun dalam tahun belakang keadaan Kay pang tak seperti dulu lagi tapi hari ini dia masih merupakan organisasi yang sangat besar pengaruhnya. Mendengar kedatangannya banyak orang gagah segera bangun berdiri sebagai tanda penghormatan.
Rombongan dilalui oleh dua pengemis tua. Bu Kie mengenali bahwa mereka adalah Coan kang dan Cie hoat Tiangloo. Dibelakang mereka berjalan seorang anak perempuan yang berusia kira-kira dua belas atau tiga belas tahun. Anak itu jelek romannya, hidungnya dongak dan mulutnya terlihat dua gigi yang sangat besar. Dia bukan lain dari pada Su Hong Sek, putri Su Hwe Liong. Dia berjalan dengan memegang sebatang tongkat bamboo warna hijau yaitu tongkat Tah kauw pang (tongkat untuk memukul anjing tanda kekuasaan dari seorang pangcu). Dibelakang Su Hong Sek mengikuti Ciang pang Liong tauw, Cian poen Liong tauw murid delapan karung, tujuh karung dan enam karung. Ternyata untuk menghadiri Eng hiong Tay hwee murid Kay pang yang paling rendah tingkatannya adalah murid enam karung.
Melihat yang membawa Tah kauw pang seorang anak-anak, Kong tie ragu. Apa anak itu yang menjadi pangcu" Karena rasa ragunya ia berkata, "Siauw lim sie menyambut orang gagah dari Kay pang."
"Karena Su Hwee Liong Pangcu telah berpulang ke alam baka, maka atas persetujuan para Tiangloo, kami mengangkat putrid Su pangcu, Su Hong Sek kauwnio sebagai pangcu baru," kata Coan kang Tiangloo seraya menunjuk Su Hong Sek.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kong tie terkejut. Kauwcu dari Beng kauw sudah sangat muda tapi pangcu Kay pang lebih muda lagi bahkan seorang anak-anak. Sesuai dengan tata kehormatan ia segera menangkup kedua tangannya dan berkata, "Kong tie murid Siauw lim menghadap Su pangcu."
Nona Su membalas hormat. "Karena pangcu kami masih sangat muda maka segala urusan perkumpulan diurus olehku dan Cin hoat Tiangloo berdua," kata Coan kang. "Kong tie Seng ceng adalah cian pwee yang berkedudukan tinggi dan kami berani menerima kehormatan yang begitu besar."
Sesudah kedua pemimpin itu saling merendahkan diri, para pengemis diantar ke gubuk dan mengambil tempat duduk mereka.
Bu Kie menyadari bahwa semua pengemis mengenakan pakaian berkabung dan pada paras mereka terlihat paras berduka dan gusar. Ia lihat sejumlah karung yang dibawa mereka bergerak-gerak sebagai tanda bahwa di dalamnya berisi sesuatu. Bu Kie segera menebak bahwa kedatangan mereka mempunyai maksud tertentu. Ia girang dan berbisik kepada Yo Siauw, "Kita mendapat bantuan!"
Dengan diantar oleh Coan kang dan Cie hoat Tiangloo, Ciang pang dan Ciang poen Liong tow Su Hong Sek pergi ke tempat rombongan Beng kauw, sambil menyoja Coan kang berkata, "Thio Kauwcu, tertangkapnya Kim mo Say ong ada sangkut paut dengan rapat perkumpulan kami. Maka itu, biarpun hari ini harus melepaskan jiwa kami bertekad untuk pertama, melindungi Cia hoat ong supaya kami bisa membalas budi Thio Kauwcu dan menebus dosa dan kedua, supaya bisa membalas sakit hatinya mendiang Su pangcu, seluruh barisan Kay pang akan dengar semua perintahmu."
Cepat-cepat Bu Kie balas menghormat dan berkata, "Tidak berani aku memerintah kalian!"
Coan kang Tiangloo mengucapkan kata-kata itu dengan suara nyaring. Ia memang sengaja berbicara keras supaya didengar oleh semua orang. Pernyataan itu sangat mengejutkan. Hampir semua orang tahu bahwa Kay pang bermusuhan dengan Beng kauw dan telah ikut menyerang Kong beng teng. Pernyataan Coan kang Tiangloo bahwa Kay pang akan ikut perintah Bu Kie dan membalas sakit hati mendiang Su pangcu tidak bisa dimengerti semua orang.
Sehabis Coan kang berbicara, semua anggota Kay pang bangun serentak dan berseru, "Kami menunggu perintah Thio Kauwcu! Biarpun mesti masuk ke dalam lautan api, kami takkan menolak!"
Coan kang segera memutar tubuh dan menghadap Kong tie. "Kay pang dan Siauw li-pay belum pernah mempunyai permusuhan," katanya dengan suara keras. "Kami selalu menghormati Siauw lim-pay sebagai partai utama dalam Rimba Persilatan sehingga kalau ada ganjalan-ganjalan kecil kami selalu menahan sabar dan mengalah. Kami selamanya tidak berani berbuat salah kepada Siauw lim-pay. Dari paling rendah kami semua menaruh hormat kepada keempat Seng ceng dari Siauw lim yang pantas diteladani semua orang gagah dalam Rimba Persilatan. Sudah lama karena sakit, Su Pangcu kami mengundurkan diri dari dunia Pergaulan dan tidak berhubungan lagi dengan orang-orang Kangouw. Entah mengapa Pangcu kami tidak luput dari tangan jahat seorang pendeta Siauw lim yang berkedudukan tinggi."
Perkataan itu disambut dengan suara "ah!". Semua orang terkesiap terlebih lebih Kong tie.
Sementara itu Coan kang Tiangloo bicara terus. "Hari ini kami datang kemari bukan sebagai eng hiong yang ingin menghadari Eng hiong Tay hwee. Kami datang untuk meminta petunjuk Kong bun Hong thio.
Kami ingin bertanya dimana letak kesalahan Su Pangcu sehingga ia mesti dibinasakan oleh seorang pendeta Siauw lim bahkan Su Hujin tidak lolos dari kematian?"
Kong tie merangkap kedua tangannya. "O mie to hud," katanya. "Bahwa Su Pangcu meninggal dunia baru hari ini diketahui loolap. Tiangloo mengatakan bahwa Su Pangcu dibinasakan oleh murid Siauw limpay. Apa tak salah loolap mohon Tiangloo memberikan penjelasan yang lebih jelas."
"Kong bun dan Kong tie Seng ceng adalah pendeta-pendeta suci yang mulia hatinya," kata Coan kang.
"Kami tentu tidak berani menuduh sembarangan."
"Sekarang aku mohon Taysu sudi mengeluarkan seorang pendeta dan seorang murid Siauw lim yang bukan pendeta supaya mereka bisa dilihat di hadapan umum."
"Baiklah, siapa kedua orang itu?"
"Mereka adalah"." Mendadak suaranya terputus!
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Kong tie terkejut. Ia mendekat dan memegang pergelangan tangan kanan tetua Kay pang itu dan"astaga"Nadinya sudah berhenti berdenyut! "Tiangloo Tiangloo!" panggil Kong tie. Dilain saat ia sadar bahwa diantara alis Coan kang Tiangloo terdapat satu titik hitam sebesar kepala hio. "Para enghiong, dengarlah," teriak Kong tie. "Tiangloo sudah kena senjata rahasia yang sangat beracun dan sudah meninggal dunia! Siauw lim-pay pasti takkan menggunakan senjata semacam itu."
Keadaan segera berubah kacau. Semua orang kaget tak kepalang terutama orang-orang Kay pang yang segera berteriak dan beberapa puluh diantaranya maju ke depan untuk melihat jenasah tetua mereka.
Ciang-poen Liongtauw mengeluarkan sepotong besi berani dari sakunya dan menempelkan didahi Coan kang. Dengan besi itu ia mengeluarkan sebatang jarum yang halus seperti bulu kerbau dan panjangnya kira-kira satu dim.
Pemimpin-pemimpin Kay pang percaya bahwa dengan mengatakan Siauw lim-pay tak menggunakan senjata itu, Kong tie Seng ceng tidak berdusta. Senjata rendah itu pasti takkan digunakan oleh sebuah partai utama yang terkenal lurus bersih dalam dunia persilatan. Dibawah terangnya matahari dan dibawah pengawasan begitu banyak mata, orang itu bisa menyerang tanpa diketahui oleh siapapun juga. Hal ini membuktikan bahwa si pembokong mempunyai kepandaian luar biasa. Coan kang Tiangloo berdiri menghadap ke selatan sehingga senjata rahasia itu pasti datang dari jurusan selatan. Dengan sorot mata gusar, para pemimpin Kay pang mengawasi orang-orang yang berdiri dibelakang Kong tie. Sembilan pendeta Tat mo berdiri sambil menundukkan kepala dan dibelakang mereka sebaris demi sebaris berdiri pendeta yang mengenakan jubah kuning, jubah abu-abu dan sebagainya. Siapa yang berdosa tak mungkin diketahui, biarpun sudah bisa dipastikan bahwa si pembokong adalah salah seorang dari pendeta-pendeta itu.
Dengan air mata mengucur, Cie hoat berkata, "Kong tie Taysu menganggap kami menuduh sembarangan tapi keterangan apa yang mau diberikan Siauw lim-pay dalam peristiwa ini?"
Ciang pang Liong tauw yang paling berangasan segera berteriak sambil mengibaskan toya besinya.
"Mari kita adu jiwa dengan Siauw lim-pay!" Ajakan itu disambut dengan suara terhunusnya senjata dan seratus lebih anggota Kay pang melompat masuk ke tengah-tengah lapangan.
Dengan paras pucat dan berduka, Kong tie berkata kepada para pendeta.
"Sejak Tat-mo Loocouw sampai sekarang sudah ribuan tahun kita menaati ajaran-ajaran Sang Buddha.
Walaupun kita belajar silat untuk menjaga diri dan bergaul dengan orang-orang gagah dalam dunia persilatan kita belum pernah melakukan sesuatu yang berdosa. Hong-thio Suheng dan aku sudah merasa tawar akan segala yang bersifat keduniawian"." Sehabis berkata begitu, secepat kilat mengambil sebatang sian-thung bajak dari tangan seorang murid Siauw lim dan melontarkannya. "Blas!" toya itu amblas di dalam tanah! Menancapkan sianthung di tanah adalah suatu tanda Siauw lim-pay bahwa orang yang berbuat begitu sudah bertekad untuk mengadu jiwa dan melanggar larangan membunuh.
Ketegangan memuncak dan dengan hati berdebar-debar semua orang menunggu perkembangan selanjutnya.
Sesudah memutar tubuh dengan sorot mata tajam bagaikan pisau, Kong tie menatap wajah semua pendeta, satu demi satu yang berdiri di hadapannya. "Siapa yang menimpuk dengan jarum beracun itu?"
tanyanya dengan suara parau. "Seorang laki-laki berani berbuat harus berani menanggung segala akibatnya. Keluarlah!"
Tiba-tiba Bu Kie ingat sesuatu. Ia ingat perbuatan mendiang ibunya, In So so yang dengan menyamar sebagai ayahnya telah membunuh beberapa pendeta Siauw lim dengan jarum beracun sehingga ayahnya dituduh yang tidak-tidak. Tapi bentuk jarum emas Peh bie kauw berbeda dari jarum perak yang digunakan untuk membinasakan Coan kang Tiangloo dan racunnya pun tidak sama. Menurut dugaannya, racun jarum perak itu adalah "Sim it tiauw" (jantung satu kali lompat) dari semacam serangan beracun.
"Sim it tiauw" berarti bahwa begitu racun itu bertemu dengan darah, jantung dari orang yang kena racun hanya bisa berdenyut satu kali lagi. Tak perlu diragukan lagi bahwa si pembokong adalah konco Goan tin yang coba menutup mulut Coan kang Tiangloo waktu tetua Kay pang itu mau menyebutkan nama Goan tin.
Perintah Kong tie tidak diladeni, sejumlah pendeta hanya menyambut dengan, "O mie to hud" sambil merangkapkan tangan mereka.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
"Siapa yang membunuh Su Pangcu sudah diketahui oleh berlaksa murid Kay pang!" teriak Ciang pang Liong tauw, "Kalau kamu mau menutup mulut kami, kamu harus membunuh semua anggota Kay pang.
Hweeshio yang membunuh Pangcu kami adalah Goan tin"."
Tiba-tiba Cian poen Liong tauw melompat seraya mengibaskan mangkok. Selagi kawannya bicara, Ciang poen Liong tauw bersiaga. Begitu melihat berkelebatnya sinar putih, ia melompat. Terlambat sedikit saja kawan itu tentu mati.
Hamper bersamaan, cepat luar biasa Kong tie melompat ke arah sembilan pendeta Tat mo-tong dan menendang roboh salah seorang pendeta tua. Ia mencengkram batang leher pendeta itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kong jie, kau!" bentaknya. Ia merobek jubah pendeta itu dan melontarkannya di tanah. Dipinggang pendeta itu terdapat sebatang tabung kecil yang terbuat dari tembaga dan di dalam tabung itu dipasang per yang bisa menendang kalau alatnya dipijit sehingga dalam melepaskan jarum orang tak usah mengayunkan tangan.
Dalam gusar, duka dan kagetnya, Ciang pang Liong tauw menyapu dengan toyanya dan kepala Kong jie segera hancur. Sebagai pendeta yang sama tingkatannya (tingkatan "Kong") dengan keempat Seng ceng, Kong jie memiliki kepandaian tinggi. Tapi karena jalan darahnya sudah ditotok Kong tie, maka ia tak berdaya meloloskan diri dari toya Ciang pang Liong tauw.
Kong tie dongkol karena kekasaran tetua Kaypang itu. Dengan sorot mata gusar ia mengawasi Ciang pang Liong tauw. Keadaan berubah kalut, banyak orang berteriak-teriak.
Mendadak dari luar masuk empat orang pendeta wanita yang masing-masing memegang hudtim (kebutan). Salah seorang berteriak, "Ciu Cie Jiak, Ciang bun-jin Go bie-pay dengan mengajak murid-murid Go bie, mengunjungi Kun bun Hong thio dari Siauw lim sie!"
"Masuklah!" kata Kong tie. Dengan sikap tenang seolah-olah tidak terjadi apapun jua, ia keluar menyambut dengan diiringi oleh pendeta-pendeta Tat mo-tong yang sekarang berjumlah delapan.
Sesudah memberi hormat, keempat pendeta wanita itu memutar badan dan berjalan keluar lagi untuk menyambut pemimpin mereka.
Begitu mendengar nama "Ciu Cie Jiak", jantung Bu Kie memukul keras. Ia melirik Tio Beng yang juga sedang mengawasi dirinya.
Rombongan Go bie-pay tidak segera masuk ke lapangan. Sesudah Kong tie keluar menyambut, barulah mereka maju dalam barisan yang rapi. Barisan sebelah depan terdiri dari delapan puluh atau sembilan puluh murid Go bie-pay yang mengenakan baju warna hitam. Sebagian besar adalah pendeta wanita yang mencukur rambut. Sesudah mereka dalam jarak kira-kira setombak mengikuti seorang wanita muda yang memakai baju warna hijau. Wanita yang sangat cantik itu tidak lain adalah Ciu Cie Jiak. Dengan rasa malu Bu Kie mengawasi muka nona Ciu yang pucat dan diliputi sinar kedukaan.
Dibelakang Cie Jiak, barulah murid pria yang jumlahnya duapuluh lebih dan mengenakan jubah panjang warna hitam. Setiap murid pria membawa kotak kayu dalam berbagai ukuran, ada yang panjang, ada yang pendek. Murid Go bie-pay tidak membawa senjata terang-terangan tapi dapat diduga bahwa kotak-kotak itu berisi senjata.
Sesudah semua orang Go bie duduk, Bu Kie menghampiri Cie Jiak. Sambil menyoja ia berkata, "Ciu Ciecie, Thio Bu Kie memohon maaf."
Belasan murid wanita bangun serentak dan mengawasi Bu Kie dengan sorot mata gusar.
"Thio Kauwcu, untuk apa kau memberi hormat?" tanya si nona dengan suara tawar.
Sesudah menetapkan hatinya, Bu Kie berkata pula, "Cie Jiak, hari itu karena perlu menolong Gie hu, aku telah berbuat sesuatu yang tidak pantas dan aku merasa sangat malu dan menyesal."
Melihat diantara murid Go bie yang berdiri terdapat Cenghui yang lengannya bunting, ia maju dan menyoja. "Thio Bu Kie berdosa besar dan dia rela menerima hukuman," katanya. Ceng hui memutar badan dan menolak penghormatan itu.
"Kudengar Cia Tayhiap jatuh ke tangan Siauw lim sie," kata Cie Jiak. "Thio Kauwcu seorang gagah luar biasa, Thio Kauwcu tentu sudah berhasil menolong Cia Tayhiap."
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Muka Bu Kie berubah merah. "Para pendeta Siauw lim sie berkepandaian tinggi dan Bengkauw sudah menderita kekalahan dalam satu pertempuran," jawabnya. "Karena pertempuran itu, kakekku meninggal dunia."
"Sungguh sayang! In Loo enghiong seorang gagah yang jarang tandingannya," jawabnya.
Melihat sikap dan perkataan Cie Jiak yang sangat tawar, Bu Kie merasa jengah bercampur dongkol.
Tapi mengingat perbuatannya sendiri pada hari pernikahan, ia menahan sabar. "Nanti aku ingin berusaha untuk menolong Giehu," katanya. "Dengan mengingat hubungan dulu, kuharap kau sudi memberi bantuan."
Sesudah berkata begitu, mendadak ia ingat bahwa selama kurang lebih setengah tahun, kepandaian si nona mendapat kemajuan luar biasa. Dalam ruangan upacara pernikahan bahkan orang seperti Hoan Yauw kena dipukul olehnya. Ia ingat juga bahwa Tio Beng yang mengenal berbagai ilmu silat hampir kena dibinasakan. "Kalau dia sudi membantu mungkin sekali aku akan bisa pecahkan Kim kong Hok mo coan," pikirnya. Berpikir begitu hatinya girang dan ia berkata dengan suara penuh harapan. "Cie Jiak, aku ingin minta pertolonganmu."
Paras muka Cie Jiak mendadak berubah. "Thio Kauwcu," katanya. "Kuharap kau tahu sopan sedikit, antara lelaki dan perempuan terdapat larangan tertentu."
"Apakah tak bisa kau menggunakan istilah dulu?" Ia menggapai ke belakang dan berkata pula. "Ceng Su, mari! COba kau beri penjelasan kepada Thio Kauwcu."
Seorang pria brewokan menghampiri dan berkata sambil menyoja. "Thio Kauwcu selamat bertemu!"
Bu Kie mengenali bahwa suara itu memang suara Ceng Su yang menyamar.
"Song Toako, selamat bertemu," jawabnya sambil membalas hormat.
Ceng Su tersenyum. "Sepantasnya aku harus menghaturkan terima kasih kepadamu," katanya. "Hari itu ketika Thio Kauwcu mau menjalankan upacara pernikahan dengan istriku"."
"Apa?" putus Bu Kie. Ia terkesiap ketika mendengar perkataan "istriku"
"Aku ingin mengatakan bahwa pernikahanku pada hakikatnya terjadi berkat bantuan Kauwcu,"
jawabnya. Jawaban itu bagaikan halilintar di siang bolong. Bu Kie terpaku, matanya berkunang-kunang. Selang beberapa saat lamanya ia merasa tangannya ditarik orang. "Thio Kauwcu, mari!" kata orang itu.
Bu Kie menoleh. Orang yang menarik tangannya adalah Han Lim Jie. Dengan paras muka duka bercampur gusar, Han Lim Jie berkata, "Thio Kauwcu, Kauwcu kali ini adalah seorang mulia. Hari itu sesudah terjadi salah paham tapi dia segera menikah dengan e"hu"hu" Ia ingin mencaci Song Ceng Su tapi mengurungkan niatnya sebab memandang muka Cie Jiak.
Bu Kie masih berdiri terpaku. Ia merasa sakit, lebih sakit daripada tikaman pedang Cie Jiak di atas Kong beng teng. Ia mencintai Tio Beng tapi iapun menganggap Cie Jiak sebagai istrinya.
Hari itu demi menolong ayah angkatnya ia mengikuti Tio Beng. Ia menduga bahwa nona Ciu yang beradat halus akan memaafkannya jika ia sudah menjelaskan penyebab tindakannya itu dan meminta maaf. Ia tak pernah menduga bahwa dalam gusarnya Cie Jiak segera menikah dengan Song Ceng Su.
Sementara itu Ceng Su sudah duduk disamping Cie Jiak. Sambil tersenyum ia berkata, "Waktu menikah kami tidak mengundang orang dan yang memberi selamat hanialah para murid Go bie-pay.
Dilain hari aku akan mengundang kau minum arak kegirangan."
Bu Kie ingin menghaturkan terima kasih tapi mulutnya terkancing.
Mendengar ejekan itu, Han Lim Jie menarik tangan pemimpinnya. "Kauwcu," katanya. "Jangan ladeni manusia itu!"
Ceng Su tertawa terbahak-bahak. "Han Toako, kaupun harus minum arak kegirangan," katanya.
Koleksi KANG ZUSI http://kangzusi.com/
Han Lim Jie meludah, "Aku lebih suka minum kencing kuda daripada arak racunmu!" bentaknya dengan mata melotot.
Bu Kie tahu bahwa pemuda she Han itu beradat polos dan berangasan. Sebagai tamu, tidak baik jika sampai terjadi bentrokan. Maka itu, sambil menghela nafas ia menarik tangan Han Lim Jie dan balik ke gubuk Bengkauw.
Waktu itu Ciang pang Liong tauw sedang bercekcok dengan seorang pendeta Siauw lim sie.
Pembicaraan antara Bu Kie, Cie Jiak dan Ceng Su dilakukan dengan suara perlahan di satu sudut gubuk Go bie-pay sehingga tidak menarik perhatian orang yang sedang memperhatikan pertengkaran antara Siauw lim-pay dan Kay pang.
"Aku sudah mengatakan bahwa Goan tin Suheng dan Tan Yoe Liang tidak berada di kuil kami," kata seorang pendeta jubah merah. "Meninggalnya Coan kang Ciang loo sudah diganti dengan Kong jie Susiok. Mau apa lagi kau?"
"Siapa percaya omonganmu!" bentak Ciang pang Liong tauw. "Kami baru percaya setelah menggeledah kuilmu."
Pendeta itu tertawa dingin. "Kau mau menggeledah Siauw lim sie?" tanyanya dengan suara memandang rendah. "Perkumpulan semacam Kay pang belum tentu bisa menggeledah kuil kami!"
"Kurang ajar!" teriak Ciang pang Liong tauw. "Kau memandang enteng kepada Kay pang ya" Baiklah, sekarang aku minta pelajaran."
Panasnya suasana memuncak tapi Kong tie masih tetap berpeluk tangan.
Tiba-tiba Suma Cian Cong berteriak, "Hei! Dari tempat jauh kami datang ke sini bukan untuk menyaksikan pertengkaran antara Siauw lim pay dan Kay pang!"
Kemelut Blambangan 1 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Harimau Mendekam Naga Sembunyi 8