Pencarian

Lembah Merpati 3

Lembah Merpati Karya Chung Sin Bagian 3


Ketua dari pesanggrahan Liong-sun-say ini ialah Tong Touw Hio yang mempunyai nama berendeng terkenalnya dengan si Pendekar Berbaju Ungu. Ia mendirikan pesanggrahan selama lebih dari empatpuluh tahun. Jarang sekali ia bergerak dalam kalangan Kang-ouw. Ia mempunyai adat yang sangat kukuh. Kawan-kawannya pun terdiri dari berbagai macam golongan sehingga sukar untuk orang menentukan pendiriannya. Biarpun demikian, belum pernah terdengar ia ada menanam bibit permusuhan. Karena ilmu kepandaiannya sangat tinggi, maka orang tidak sembarangan berani membenturnya.
Disebutnya nama Liong-sun-say oleh Tju Thing Thing telah membuat Hu-hay Sin-kun, menjadi mundur maju. Jika dengan membawa demikian banyak orang pergi menyerbu ke sana dan kemudian terbukti orang-orang tadi tidak berada di sana, bukankah telah menambah satu musuh tangguh pula" Tapi setelah dipikirnya kembali ada kemungkinan juga mereka berada di sana. Maka ia sudah berdiri menjublek dengan tidak dapat mengambil keputusan.
Terdengar Tiauw Tua membuka suaranya:
"Menurut pendapatku, kemungkinan besar mereka berada di sana. Lebih baik kita orang berpencar, dengan cara berterang atau menggelap, menyerap-nyerapi kebenaran dari dugaan ini."
Thian-mo Lo-lo juga turut berkata:
"Urusan sudah mendesak sampai di depan mata, tidak dapat menunggu-nunggunya pula. Demikianlah kita berpisah. Aku beserta muridku akan berangkat terlebih dahulu."
Sembari menarik Tju Thing Thing ia sudah putar tubuhnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Ia kukuh dengan pendiriannya yang tidak menyukai Tju Thing Thing bergaul terlalu rapat dengan Koo San Djie. Inilah, karena ia telah mengalami penderitaan batin yang hebat, sehingga telah menyebabkan ia tidak menyukai semua pemuda di dunia ini. Dan untuk selanjutnya ia sudah berpikir untuk mengurung Tju Thing Thing, agar tidak dapat mendekati lelaki lagi.......
Sudah tentu Tju Thing Thing seratus persen tidak setuju kepada tindakan sang guru. Tapi inilah perintah, ia tidak berani melanggarnya" Matanya melirik ke arah Koo San Djie, si pemuda sedang duduk di belakang si sastrawan Pan Pin, membantu mengatur pernapasannya sastrawan yang terluka itu, maka ia tidak berani mengganggunya. Dengan menahan jatuhnya air mata, terpaksa ia harus mengikuti di belakangnya Thian-mo Lo-lo.
Semua kejadian ini tidak dapat lolos dari matanya Tiauw Tua. Di dalam hatinya ia memaki:
"Ini nyonya tua benar tidak mempunyai perasaan sama sekali."
Ternyata, setelah para iblis dan para siluman tadi meninggalkan tempat itu. Koo San Djie sudah berjalan ke hadapannya Pan Pin dan berkata:
"Locianpwe, bagaimana dengan keadaan lukamu?"
Sastrawan Pan Pin dengan mengkerutkan keningnya masih mencoba berkata dan tertawa:
"Tidak menjadi soal. Aku masih dapat menahannya."
"Kau duduklah sebentar!" berkata Koo San Djie perlahan.
Sastrawan Pan Pin menurut kehendaknya, dengan segera ia berduduk di tanah, kemudian tangannya Koo San Djie ditempelkan di tempat jalan darah Beng-bun. Terasa oleh Pan Pin, suatu aliran hawa yang panas memasuki pembuluh Kie-hay, naik ke atas dan bergolak di dada.
Ia telah melatih tenaga dalamnya puluhan tahun, ia sudah segera mengerti keadaan ini maka segera mengerahkan hawa dalam dirinya, bersama-sama dengan aliran hawa tadi, mengelilingi seluruh tubuhnya. Dalam sekejapan mata saja, tenaganya telah menjadi pulih kembali. Bukan saja lukanya telah menjadi sembuh, bahkan tenaganya telah menjadi bertambah kuat pula.
Sebentar kemudian, hawa panas tadi telah dapat ditarik kembali, dengan perlahan-lahan, Koo San Djie mulai berdiri.
Sastrawan Pan Pin juga telah berdiri, dengan mengibas-ngibaskan debu yang menempel di baju, ia menghadapi Koo San Djie, dengan kelakuan sangat hormat, ia berkata:
"Terima kasih atas bantuan tenaga dewamu yang telah menyembuhkan luka dalamku."
Cepat-cepat Koo San Djie membalas hormatnya:
"Urusan yang sekecil ini untuk apa dikatakan pula."
Semua orang yang berada di situ tidak ada satupun yang tolol, mana mereka tidak mengetahui berapa besarnya rasa terima kasih dari Sastrawan Pan Pin, hingga berlaku begitu hormat.
Sampai di sini terdengar suara Tiauw Tua:
"Saudara kecil, mari kita segera berangkat."
Lalu, seperti lupa mengatakan sesuatu, ia menambahkan pula perkataannya:
"Tju Thing Thing beserta gurunya telah berangkat terlebih dahulu."
Mendengar ini, seperti telah kehilangan apa-apa, hati Koo San Djie menjadi kosong, tidak mempunyai pegangan. Ini bukannya ia mempunyai perasaan berkelebihan terhadap Tju Thing Thing, tapi lantaran semasa kecil, ia hanya sebatang kara, ia sangat membutuhkan cinta dari seorang kawan. Dalam beberapa hari, pergaulannya dengan Tju Thing Thing sudah menjadi semakin rapat, ia hanya menganggap si nona sebagai kakak yang lebih tua dari padanya.
Mendadak, kini ia harus berpisah dengan tidak mengetahui sama sekali, bagaimana hatinya tidak menjadi kosong"
Dengan pandangan matanya yang tajam, Tiauw Tua sudah dapat menduga isi hati Koo San Djie. Maka ia segera menghibur:
"Perpisahan dan pertemuan adalah satu jalan dari hidup manusia. Untuk apa dipikirkan" Kita harus segera mencari jejak Ong Hoe Tjoe."
Disebutnya nama Ong Hoe Tjoe, betul membuat Koo San Djie hidup kembali.
"Mari kita segera berangkat!" ia mengajak dengan penuh semangat.
Dengan tidak turut sertanya Tju Thing Thing, Koo San Djie sudah menggunakan ilmunya Awan Asap Lewat Di mata, tentu saja dengan lebih leluasa, bagaikan terbang kakinya, dia melesat dengan cepat.
Tiauw Tua juga tidak mau ketinggalan. Dengan kecepatan yang tidak mau kalah dari Koo San Djie, ia sudah mengikuti di belakang pemuda itu.
Tidak lama kemudian, puncak gunung Pit-kie yang menjulang ke atas langit sudah tertampak di hadapan mereka.
Tiauw Tua sudah memanggil Koo San Djie yang berada di depannya:
"Saudara kecil, baik kita beristirahat sebentar."
Lalu, diajaknya sang perjaka ke sebuah kuil yang terdapat di situ. Sambil makan-makanan kering yang memang dibawanya, Tiauw Tua berkata lagi:
"Pesangrahan Liong-sun-say dibangun demikian aneh, kau harus hati-hati. Gurumu memiliki aneka macam kepandaian, seperti Kiu-kiong-pat-kwa dan bermacam-macam rahasia, apa sudah diturunkan kepadamu?"
Koo San Djie, mengangguk-anggukan kepala, dia membenarkan pertanyaan itu.
Tiauw Tua melanjutkan penuturannya:
"Tong Touw Hio dengan kepandaiannya yang tinggi, memang tidak usah dikata lagi, yang harus diperhatikan ialah senjata-senjata atau pesawat-pesawat rahasia yang sukar diduga. Untuk menghadapi orang seperti Tong Touw Hio ini, jika tidak sampai terpaksa, janganlah kita menggunakan kekerasan. Mengenai tingkah laku dari Tong Touw Hio ini, aku sendiripun belum mengetahui betul. Sebelum kita mengetahui dengan jelas, janganlah sembarang mengganggu."
Koo San Djie hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Biarpun Tiauw Tua bersedia menjadi budaknya atas kemauannya sendiri, tapi dalam mata Koo San Djie, orang tua itu tidak bedanya dengan guru saja. Ia selalu menuruti segala kehendaknya.
Setelah diam sejenak Tiauw Tua berkata pula:
"Jika betul Tong Touw Hio telah bersekongkol dengan orang Lembah Merpati, sudah tentu Ong Hoe Tjoe berada padanya."
Koo San Djie tidak mengerti. Maka ia sudah menanya:
"Mengapa?" Tiauw Tua lantas memberikan penjelasan terperinci:
"Begini soalnya. Setelah mereka dapat menculik Ong Hoe Tjoe, sudah tentu mereka mengetahui, bahwa kau tentu akan menyusulnya. Jika mereka mempunyai pesanggrahan yang ini, dan agar Lembah Merpati tetap beraoa dalam keadaan yang tersembunyi, sudah tentu mereka tidak mau pergi ke Lembah Merpati yang jauh."
Koo San Djie yang melihat Tiauw Tua dapat mengupas suatu soal sedemikian jelasnya, sudah menjadi sangat girang. Dengan segera, sudah berkemas untuk berangkat.
Tiauw Tua tertawa, melihat kelakuan Koo San Djie yang seperti itu, dengan sabar ia berkata:
"Jika betul di sini, untuk apa harus tergesa-gesa" Tunggu saja sampai nanti malam jam dua, kita dapat bergerak dengan leluasa."
Sebelum berkata, ia sudah memejamkan kedua matanya. Dengan perlahan-lahan ia menjalankan latihan mengatur pernapasan.
Koo San Djie juga merasa bahwa beberapa hari ini tidak melatih diri. Maka ia juga menutup mulutnya, tidak berkata-kata. Sebentar saja, mereka berdua telah sampai ke dalam keadaan yang lupa akan segala-galanya.
Mendadak, suara desiran angin dari getaran baju lewat di atas mereka. Koo San Djie kaget, dia terbangun.
Tiauw Tua juga telah membuka kedua matanya, dengan gesit ia melompat ke atas dan berkata:
"Kejar!" Gerakan badan dari dua orang itu boleh dikatakan sudah sangat cepat, tapi begitu keluar dari pintu kuil, keadaan di sekitarnya ada sangat gelap, mana ada bayangan manusia" Hatinya Tiauw Tua menjadi kaget juga atas kecepatan dari orang tadi. Maka dengan memberi tanda, tubuhnya sudah melesat menuju ke arah pesanggrahan Liong-sun-say.
Pesanggrahan Liong-sun-say dibangun dengan megah, seperti benteng, tapi tidak untuk perang, seperti keraton, tapi tidak ada rajanya. Di sekitarnya gelap, tidak ada penerangannya. Di empat penjuru dikelilingi oleh tembok yang tinggi, di tengah-tengah atas pintu terdapat huruf besar yang berbunyi
"LIONG-SUN-SAY"
Tiauw Tua memandang Koo San Djie tangannya menunjuk ke kanan.
Koo San Djie membongkokkan badan, kakinya sudah melejit terbang, dia menuju ke atas, tepat setinggi tembok.
Kepandaian ini telah membuat Tiauw Tua memuji. Maka, ia juga menuju ke sebelah kiri.
Koo San Djie di atas wuwungan rumah, matanya memandang ke bawah rumah yang bersusun, terbenam dalam kegelapan.
Mendadak, terasa pula desiran angin dari getaran baju yang seperti di atas kuil tadi. Kedua matanya telah dibuka lebar-lebar, dilihatnya sesosok bayangan yang kecil langsung lenyap dalam kegelapan.
Maka, dengan tangan menekan tembok, badannya terbang melayang ke arah lenyapnya bayangan tadi. Tapi, kali inipun ia menubruk tempat kosong pula. Ia menjadi kesal juga, dua kali ia telah dibikin kecele. Sedari ia turun ke dalam kalangan Kang-ouw, inilah suatu kekalahan yang baru pertama kali dialaminya. Maka, dengan tidak mempedulikannya pula, ia sudah mencari kamar tahanan.
Mulai dari rumah yang pertama, satu per satu ia memeriksanya. Tapi sampai rumah yang terakhirpun tidak dilihatnya suatu apa.
Biarpun ia mempunyai kepandaian yang tinggi dan gerakan yang cepat, tapi kurang pengalaman. Maka waktu ia berlompatan dari satu rumah ke lain rumah, telah dapat diketahui oleh orang.
Baru saja ia mau mencoba lompat ke suatu wuwungan rumah yang terang benderang, atau di belakangnya telah terdengar suara tertawa berkakakan:
"Saudara kecil ini mengapa melatih diri di atas rumah orang?"
Koo San Djie menjadi merandek. Telinganya mendengar pula suara orang tadi:
"Aku adalah Tong Touw Hio, pemilik dari pesanggrahan ini. Jika kau suka memandang mukaku, marilah turun, dan kita berbicara di bawah."
Lalu, dengan hormat ia menggunakan tangannya menyilahkan Koo San Djie masuk.
Dalam hatinya San Djie memikir:
"Jika tidak memasuki goa macan, mana dapat mengambil anak macan" Aku akan menuruti kehendaknya. Apa dia dapat menelan diriku?"
Maka, dengan meluruskan badannya, ia turun dan masuk dalam ruangan pesanggrahan Liong-sun-say yang aneh itu.
Pada waktu itu telah sampai di akhir musim semi. Daun-daun telah mulai pada rontok. Di daerah pegunungan yang tandus, sewaktu-waktu masih terdengar berkicaunya burung-burung yang mengharukan. Demikianlah telah mengingatkan sang waktu yang ramai telah berlalu......
Berlalunya waktu tidak pernah dapat ditawan, dengan cepat dibawanya umur manusia ke tempat pintu akhir ajal.
Koo San Djie bersama Tju Thing Thing tidak mempunyai perasaan ini. Mereka sedang berusaha, bagaimana untuk menemukan sastrawan Pan Pin dan Thian-mo Lo-lo sekalian.
Baru saja lewat pada sebuah tikungan di pegunungan, di depan. terlihat pepohonan yang bukan main lebatnya. Mendadak, di antara sela-sela pepohonan tadi berkelebat dua bayangan dari sepasang muda mudi.
Koo San Djie mencurigai bayangan dari muda mudi tadi, ia selalu menganggap mereka tentu orang-orang yang datang dari Lembah Merpati. Maka, dengan cepat ia lalu menarik Tju Thing Thing, menyembunyikan diri di belakangnya pepohonan yang lebat.
Dua muda mudi tadi, yang laki-laki berpakaian imam, yang perempuan memakai pakaian ringkas berwarna merah. Setelah sampai di tanjakan, si laki-laki sudah memberhentikan langkahnya, dengan perasaan yang sangat menyayang ia berkata:
"Adik Shia, mari kita istirahat sebentar. Kau tentu sudah merasa lelah."
Si gadis setelah membereskan rambutnya yang kusut, dengan rupa yang sangat kolokan menjawab:
"Hee......" Kemudian dengan pandangan yang penuh arti, ia tertawa dan telah duduk numprah di tanah.
Si laki-laki menghela napas, juga duduk di sebelah kawannya, matanya memandang jauh ke langit. Dengan penuh rasa ngeri ia berkata:
"Aku juga mengetahui, meninggalkan perguruan berarti berkhianat, tapi dengan umur kita yang beberapa puluh tahun ini mana dapat dibuang percuma" Kepergian kita ini ke dalam Lembah Merpati, biarpun belum tentu dapat panjang umur, tapi setidak-tidaknya, kita telah dapat menikmati kehidupan manusia."
Mendengar disebutnya Lembah Merpati Koo San Djie sudah menjadi ketarik dan lebih memperhatikannya.
Dengan malas-malasan, si gadis menyenderkan kepalanya di atas dada si jejaka. Mulutnya seperti sedang mengoceh, berkata dengan perlahan:
"Ya, beruntung ada mereka yang datang, menjemput kita. Nanti, setelah kita sampai di sana, seperti mereka juga, kita akan menjadi pasangan yang tidak mengenal susah pula......"
Semakin lama, perkataannya semakin pelan sampai yang terakhir, hanya ia sendiri dapat mendengar.
Si jejaka meraihkan tangan dan memeluk pinggang yang ramping dari kawannya. Dengan bersender-senderan, mereka telah menikmati impian muluk, impian tentang Lembah Merpati yang dikatakan orang sebagai sorga dunia.
Perkataan indah yang diberitakan pada pasangan yang tak dikenal namanya telah membuat jejaka dan gadis ini telah meninggalkan perguruan mereka, cerita-cerita yang telah dilapisi oleh kembang gula telah menyebabkan dua muda mudi ini berani menempuh bahaya.
Sinar matahari yang mulai mendoyong ke barat menyinari dua bayangan ini. Dalam remang-remang, mereka seperti telah dapat merasai kesenangan seperti yang telah diceritakan tentang Lembah Merpati. Lama, lama sekali, baru mereka bermalas-malasan, mencoba berdiri lagi.
Tapi, mendadak di belakang mereka terdengar bentakan nyaring:
"Murid durhaka yang sangat kurang ajar, mengapa tidak lekas kembali?"
Dari sebelah bawah tanjakan melesat datang seorang imam tua yang berkumis panjang.
Dua orang yang melihatnya sudah ketakutan setengah mati, dengan terbirit-birit, mereka lari masuk ke dalam gerombol pepohonan.
Si imam tua berkumis panjang ketawa dingin, seiring dengan sambaran angin, ia telah mengulurkan kedua tangannya, menjambret kedua muda mudi tadi. Dalam sekejapan mata saja, jari-jari si imam tua berkumis panjang sudah mampir di leher baju kedua orang itu......
Mendadak, dari belakang sebuah pohon berkelebat bayangan yang berupa asap saja cepatnya, tangan bayangan itu dengan perlahan- lahan telah menekan pada bebokong si imam tua.
Koo San Djie dengan segera sudah dapat mengenali, itulah pukulan Wie-mo-ciang.
"Wah, celaka si imam tua!" ia berseru kaget.
Dengan cepat badannya sudah melesat ke arah bayangan tadi.
Tapi, gerakan dari bayangan tadi tidak kalah cepatnya.
Setelah melancarkan pukulan, sudah terus melesat masuk lagi ke dalam pepohonan, gerakan yang digunakannya pun "Awan dan Asap lewat di mata" juga.
Biar bagaimana, jarak Koo San Djie terlalu jauh. Ia tidak berdaya sama sekali.
Dengan telak, bebokong si imam tua telah terkena pukulan tadi. Dengan mengeluarkan jeritan ngeri, tubuhnya terpental lebih dari setumbak.
Sebenarnya, si imam tua ini bukan orang sembarangan, tapi karena perhatiannya sedang dicurahkan ke arah dua muridnya yang murtad, lagian Wie-mo-ciang dapat dilancarkan dengan tidak bersuara sama sekali, maka ia telah kena dibokong.
Koo San Djie tidak keburu untuk mengubar bayangan tadi yang telah masuk ke dalam pepohonan yang gelap. Dengan cepat ia menghampiri pada si imam tua yang luka.
Imam tua yang berkumis panjang yang sudah hampir tidak dapat bernapas, setelah di urut sebentar, membuka kedua matanya yang layu, dengan mengelah napas ia berkata pada Koo San Djie:
"Aku sudah tidak dapat berguna, urat nadiku telah putus."
Dengan memaksakan diri, ia telah mengeluarkan cap batu giok dari dalam sakunya dan menurunkan pula pedang dari bebokongnya, kemudian diserahkan kepada Koo San Djie. Dengan terputus-putus, ia berkata:
"Aku adalah Yun Yan Tjie dari Ciong-lam, aku mohon pertolonganmu, agar tanda cap batu giok dan pedang Hian-ling-kiam ini dapat disampaikan kepada saudara seperguruanku, katakanlah, aku terkena bokongan dari orang Lembah Merpati dan mati di rimba sepi ini......"
Berkata sampai di sini, mulutnya sudah beberapa kali menyemburkan darah hidup. Kasihan, satu pendekar dari Ciong-lam telah mati konyol, gara-gara muridnya yang murtad.
Dengan menahan perasaan sedihnya, Koo San Djie menggeleng-gelengkan kepala. Ia menggali lobang untuk kuburannya si imam tua. Lalu ia memilih setangkai dahan kayu, dengan pedang ia menulis
"Yun Yan Tjie dari Ciong-lam"
yang lalu ditancapkan di makamnya. Kemudian dengan muka yang masih sedih ia berkata kepada Tju Thing Thing:
"Mari kita berangkat. Pada suatu hari, akan kita perhitungkan hutang-hutang dari orang Lembah Merpati."
Dengan tidak disengaja, ia telah terima pesanan yang terakhir dari Yun Yan Tjie, yang tidak disangka bahwa urusan itu bisa menambah kesukaran di belakang hari kepadanya.
Setelah bertahan beberapa lama, Koo San Djie dan Tju Thing Thing melanjutkan pula perjalanan mereka. Setelah keluar dari mulut gunung, di depan terlihat dataran luas.
Tiba-tiba Koo San Djie berkata:
"Lagi-lagi orang dari Lembah Merpati. Kali ini akan kutangkap mereka untuk petunjuk jalan."
Dengan tidak berkedip Tju Thing Thing memandang ke depan. Dan betul, dari jauh ada dua titik bayangan kecil, dengan berliku-liku sedang mendatangi ke arahnya. Ia sudah menjadi takluk betul-betul kepada Koo San Djie yang mempunyai pandangan tajam. Biarpun dengan jarak yang demikian jauh, telah dapat membedakan dengan jelas, warna baju dari orang yang datang tadi.
Semakin lama dua bayangan hitam semakin dekat, kini dengan jelas terlihat, mereka mengenakan pakaian kotak-kotak hitam. Pemuda yang di depan, lari dengan terburu-buru sebagai yang ketakutan, dilihat dari dalamnya, ternyata ia telah terkena luka yang tidak ringan. Pemuda yang di belakang, mengubar dengan tidak kalah kencangnya. Mukanya yang bengis menjadi penasaran, karena tidak dapat menyandak orang yang telah terluka itu.
Karena kelambatan dalam sedetik saja, telah menyebabkan kematiannya si imam tua. Hal ini sudah menyebabkan Koo San Djie sangat menyesal. Kini yang berada di hadapan matanya, seorang pula yang sedang menghadapi bahaya, tidak perduli orang ini jahat atau baik, yang pertama ia harus menolong terlebih dahulu. Tidak ada waktu untuk ia memanggil Tju Thing Thing, badannya sudah melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa.
Tju Thing Thing merasa bagai ada angin topan lewat di sampingnya, lantas sudah kehilangan sang kawan. Beberapa puluh tombak di depannya, bagaikan gumpalan asap, Koo San Djie sedang menuju datangnya dua orang tadi.
Tapi, perhitungan dari manusia tidak secepat kejadian alam, hanya tinggal tigapuluh tumbak lagi, pemuda yang memang sudah sampai akan kematiannya telah tersandung jatuh.
Tangan kematian dari pemuda yang mengubar dari belakang, pada waktu itu, dengan cepat telah menempel di bebokongnya sang korban. Dan dengan kecepatan tangan yang lebih cepat dari tangannya seorang tukang copet, ia telah menjemput gulungan kertas dari tangannya sang korban.
Hati Koo San Djie menjadi tercekat. Dengan keras ia berseru:
"Hei jangan berbuat jahat!"
Bagaikan pesawat udara, ia sudah terbang mendatangi ke tempat kejadian tadi.
Orang yang tadi lari menguber dan berhasil telah membunuh mangsanya, telah menjadi kaget, tapi yang membikin ia lebih kaget lagi yalah, gulungan kertas yang ia dapat bersusah payah mendapatkannya, mendadak telah disambar, oleh sebuah tangan dari arah belakang. Orang yang belakangan ini datang lebih cepat dari padanya, sebentar saja sudah pergi meninggalkan puluhan tumbak.
Ia tidak mempunyai kesempatan buat meladeni Koo San Djie, dengan cepat ia sudah lari menguber bayangan orang yang baru datang tadi.
Semua kejadian ini telah terjadi demikian teraturnya, sangat mendadak dan sangat cepat. Jika saja, bukan Koo San Djie yang mempunyai pandangan tajam, tidak nanti dapat mengetahui akan apa yang terjadi.
Gerakan tubuhnya boleh dikatakan lebih cepat dari kecepatan kilat, tapi masih tak dapat menolongnya juga. Ia sampai di sana dan dapatkan sang korban dalam keadaan tidak bernyawa. Telah beruntun dua kali pembunuhan di hadapannya, tapi hanya kurang beberapa detik saja, ia sudah tidak dapat menahannya. Apa karena ia tidak berguna" Bukan demikian soalnya. Keadaan waktulah yang terlalu mendesak.
Dengan lesu, ia berdiri di situ sampai Tju Thing Thing datang menghampirinya. Memang menjadi sifatnya perempuan yang lebih teliti Tju Thing Thing yang melihat ke arah mayat tadi sudah berteriak:
"Adik San, kau perhatikan di tanah. Orang ini telah menulis beberapa huruf, sebelum ia menghembuskan napasnya yang terakhir."
Koo San Djie meneliti kembali. Betul saja, telunjuk orang ini masih menekan tanah, beberapa huruf yang ditulisnya yalah:
"Peta masuk ke dalam lembah......"
Tapi huruf ini sedemikian kalutnya, sehingga orang melihatnya hampir saja tidak mengerti sama sekali. Koo San Djie tidak dapat menjelaskan, apa yang diartikan sama sekali, mulutnya berkemak kemik:
"Peta masuk ke dalam lembah...... Peta masuk ke dalam lembah......" Apa bukannya......"
Tju Thing Thing sudah membuka mulut menyambung:
"Kau mengatakan kedua orang tadi mempunyai gerakan yang sama dengan orang dari Lembah Merpati. Apa bukannya gambar peta yang menunjukkan caranya masuk ke dalam Lembah Merpati?"
Koo San Djie menepok kepalanya dan berkata:
"Betul! Mungkin orang ini telah mengkhianati Lembah Merpati untuk dibuka di depan umum. Tidak disangka telah dapat dipergoki, dan telah diuber-uber disepanjang jalan. Berakhirlah sampai kejadian tadi. Tapi siapakah orangnya yang merebut peta tadi......?"
Ia mulai menduga-duga, ia sedang mengingat-ingat gambaran orang yang merebutnya peta tadi, itulah seorang tua berkupiah emas, berbaju biru. Biarpun gerakannya sangat cepat, tapi ia tidak lolos dari pandangannya Koo San Djie.
Mendadak, dari jauh terdengar siulan yang panjang tapi terang. Itulah suara dari Tiauw Tua yang telah memanggil mereka.
Maka, dengan segera Koo San Djie juga memekik, menyahutinya.
Bersama suara sahutan ini, sebuah bayangan, bagaikan sedang mengejar awan memburu kilat cepatnya, telah datang ke tempat itu. Dan betul saja, yang datang Tiauw Tua.
Setelah berhadapan, Tiauw Tua sudah berkata seperti mengandung penyesalan:
"Urusan sudah menjadi demikian mendesaknya, mengapa kau orang masih di sini saja?"
Koo San Djie mengelah napas, dan sambil menunjuk ke arah orang mati di hadapan ia berkata:
"Kau lihat!" Kemudian diceritakannya juga tentang meninggalnya Yun Yan Tjie tadi dan jalannya rebut-rebutan peta di sini.
Terdengar Tiauw Tua berkata:
"Jika demikian, bukan saja urusan sudah menjadi mendesak bahkan, semakin lama semakin rumit?"
Lalu, diceritakannya juga kabar yang telah dapat didengarnya, tentang ketua dari Lembah Merpati yang telah hampir selesai meyakinkan semacam ilmu, dan tidak berapa lama lagi, dedengkot misterius itu akan keluar di kalangan Kang-ouw, tentu dengan maksud untuk mengangkat nama. Maka, semua pengikut-pengikutnya, kini sudah tidak usah mengumpat-ngumpat lagi, tidak usah mereka menggunakan kedoknya yang palsu belaka.
Sebagaimana biasa, Koo San Djie membawakan sifatnya yang pendiam. Maka, Tiauw Tua sudah melanjutkan ceritanya:
"Sebelumnya, orang hanya menyangka bahwa Lembah Merpati adalah tempat dari orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi, dengan tidak mau mencampuri urusan dunia. Tapi, sebetulnya dia sudah mempunyai perhubungan yang gelap, karena sangat dirahasiakan, maka banyak yang tidak mengetahui benar tidaknya cerita ini."
"Toako, orang yang datang dari pulau Hay-sim berada di mana?" tanya Koo San Djie.
Tiauw Tua menjawab: "Barusan, aku telah menemukan Oey Liong si kurus yang sedang terburu-buru lari lewat di sebelah sini. Ia mengatakan, di arah barat daya telah mendatangi banyak sekali iblis-iblis dari kalangan hitam, yang menambah kecurigaannya. Maka ia telah pergi ke sana untuk mencari kabar terlebih jauh."
Berulang kali Koo San Djie memanggutkan kepalanya. Maka bertiga mereka sudah mulai pula melanjutkan perjalanan. Setelah berlari-larian sampai matahari terbenam, di depan telah terlihat puluhan lampu yang berkelak-kelik. Itulah kota Kun-beng, sebuah kota besar dari Tiongkok barat daya.
Perjalanan yang tidak mengenal waktu ini telah membuat Tju Thing Thing tersiksa. Jika tidak ada Koo San Djie yang sering menentengnya, sudah sedari tadi ia jatuh di jalan. Maka, setelah sampai di kota Kun-beng, biar matipun, ia tidak mau meneruskan perjalanannya pula, ia telah memaksa menginap di sini. Suatu hal kebetulan bagi Tiauw Tua. Ia tidak mempunyai kesukaan lain, kecuali arak yang dianggap sebagai nyawa kedua.
Jurus Terakhir Kitab Im-hoe-keng
Setelah sampai di dalam kota yang ramai, ia menarik tangannya Koo San Djie dan berkata:
"Mari kita minum dua cawan arak. Telah beberapa hari aku dibuat kehausan olehnya."
Setelah memasuki rumah makan, dua orang, satu tua dan satu muda ini sudah memilih kesukaannya masing-masing Yang satu menenggak minuman dengan sepuas-puasnya, yang satu sudah menggasak makanannya. Hanya Tju Thing Thing melihati mereka dengan tertawa. Ia hanya memilih sedikit dari makanan dan minuman.
Mendadak, di sebelah mereka, teraling oleh sebuah ruangan, terdengar seorang yang berlogat gunung, orang itu sedang bicara, katanya:
"Apa kau telah mendengar, di kalangan Kang-ouw telah bertambah seorang anak nelayan yang berkepandaian tinggi, sampaipun si Iblis Pencabut Roh juga telah terjatuh di bawah tangannya?"
Koo San Djie telah menjadi kaget, maka dengan penuh perhatian, ia memperhatikannya pembicaraan orang-orang itu.
Terdengar pula seorang lain yang berlogat daerah berkata:
"Orang hanya pernah mendengar, belum pernah melihatnya. Aku tidak percaya, dengan si Iblis Pencabut Roh, berpengalaman puluhan tahun dapat dikalahkan oleh seorang anak kecil."
Suara yang berlogat gunung berkata pula:
"Memang sukar dipercaya. Dalam beberapa hari ini, orang-orang dari Lembah Merpati yang kita ketemukan bukankah berumur muda" Tapi kepandaiannya...... Hm, bukan aku Ciauw Pat merendahkan diri, kita berdua tidak satu yang dapat menyaingi mereka."
Tiauw Tua yang mendengar perkataan ini sudah menegak minuman, dengan jari yang dicelup basah ia menulis beberapa huruf di meja:
"Empat orang aneh dari Kong-lu."
Koo San Djie memanggutkan kepala, tapi kupingnya masih terus mengikuti pembicaraan itu tadi.
Sayang, pembicaraan di sebelah semakin pelahan, sampai belakangan, hampir menjadi tidak kedengaran. Dengan lambat-lambat seperti terdengar disebut "Liong-sun-say" beberapa perkataan. Baru saja ia minta penjelasan dari Tiauw tua pembicaraan di sebelah sudah selesai.
Orang yang dengan berlogat daerah, dengan suara keras sudah memanggil jongos untuk membikin perhitungan.
Tiauw Tua dengan araknya sudah menulis pula di atas meja:
"Kuntit!" Setelah keluar dari rumah makan, baru dapat dilihatnya dengan tegas keadaan dari dua orang tadi. Yang satu menyoren golok, yang satu lagi membawa senjata yang sangat aneh. Pengawakan badan orang-orang tinggi besar.
Kepandaian empat orang dari Kong-lu tidak setinggi si Iblis Pencabut Roh dan Iblis Pipi Licin. Tapi mereka lebih disegani orang, karena mereka berempat telah menjadi satu, dan lagi, mereka mempunyai anak buah yang banyak yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Ini kali, mereka datang ke tempat itu tidak hanya kebetulan, maka Tiauw Tua sudah sangat memperhatikannya.
Dari jauh, Koo San Djie sudah mengikuti mereka, sampai di pinggir kota, mendadak, satu tanda yang menyolok mata telah membuat mereka bertiga menjadi kaget.
Pada tengah-tengah sebuah pohon tercetak tanda minta bantuan dari pulau Hay-sim. Dan di bawahnya masih ditambah dengan tiga buah tanda palang yang berarti sangat mendesak. Maka, dengan melepaskan penguntitan terhadap dua orang aneh dari Kong-lu, Tiauw Tua sudah berkata:
"Aku akan mendahului pergi ke sana."
Koo San Djie juga sudah menjadi gelisah, dengan menarik tangannya Tju Thing Thing, ia mengikuti jejaknya Tiauw Tua.
Sebentar saja, dengan pendengarannya yang tajam Koo San Djie sudah dapat mendengar bentakan-bentakan dan beradunya senjata. Maka, dengan tangan masih menggandeng tangannya Tju Thing Thing, ia sudah menambah kecepatannya. Biar tangannya masih membawa orang, tapi di kalangan Kang-ouw sudah jarang ada orang yang melebihi kecepatannya ini.
Sebentar saja San Djie sudah sampai di sebuah tempat di kaki gunung. Di sana telah berkumpul dengan banyak orang, mereka sedang kalang kabut, saling gempur dan saling serang menyerang. Keadaan ini menjadi tegang, karena di antara yang bertarung, terdapat banyak sekali orang-orang dari golongan kelas satu.
Hu-hay Sin-kun, dengan kumis dan berewok yang khas telah berdiri di sana, dia sedang asyik menandingi si Setan Gunung.
Thian-mo Lo-lo dengan bentakan-bentakannya menyerang ke arahnya si Kalong Wewe.
Sastrawan Pan Pin sedang terdesak oleh seorang tua tinggi besar berjubah merah.
Si Naga Penyelam dari pulau Hay-sim, Lok-sui Cian-liong sedang dikurung oleh dua orang berbaju hitam, dengan mati-matian dia mempertahankan kedudukannya. Dan di sana telah rebah beberapa tubuh dari para pengiring pulau Hay-sim.
Sepintas lalu, keadaan Hu-hay Sin-kun sekalian sudah tidak menguntungkan. Di bawah pohon masih berdiri Min Min Djie dan Si Iblis Pipi Licin berdua, mereka dengan tertawa-tawa.
Begitu badannya Tiauw Tua melesat naik dari kaki gunung, keadaan dari Sastrawan Pan Pin sudah sampai disaat yang tergenting, ia terdesak oleh si orang tua tinggi besar berjubah merah, sampai mundur-mundur beberapa tindak. Tapi si orang tua masih tidak mengasih hati, tangannya yang besar sudah menyerang pula, sebentar lagi Sastrawan Pan Pin akan menderita luka, akan mendapat cedera.
"Semua berhenti!" Tiba-tiba Tiauw Tua membentak nyaring.
Di antara angin ribut dan beterbangannya batu, Tiauw Tua sudah mengeluarkan pukulannya. Suara bentakannya belum juga lenyap, terdengar dua pukulan yang sama-sama kerasnya, mereka saling bentur. Karena ia harus membuka suara, tenaganya terbagi, maka ia telah terpukul mundur setindak, tapi si orang tua berjubah merah juga telah dibikin tergoyang-goyang.
Keadaan telah berubah dalam sekejap mata. Semua orang dari medan pertempuran tadi telah dibuat kaget oleh bentakan ini, maka dengan tidak terasa, semua telah memberhentikan serangan-serangannya. Setelah dilihatnya siapa datang, semuanya sudah menjadi terkejut.
Nama Tiauw Tua telah tersohor di kalangan Kang-ouw, karena sifatnya yang sangat jujur, maka ia disegani oleh segala orang, baik dari kalangan hitam atau putih. Demikianlah dengan gagahnya ia berdiri di tengah-tengah mereka. Setelah dipandangnya semua orang, ia berkata:
"Apa kau orang akan membunuh bersih semua orang di dunia?"
Si Setan Gunung dengan suaranya yang serak berkata:
"Tiauw Tua, jangan kau menjual di sini. Jangan menganggap dirimu lebih tua, dapat kau berbuat sesukamu?"
Tiauw Tua tertawa berkakakan.
"Binatang!" bentaknya. "Dengan tanganmu yang berlepotan darah, tentu akan mempercepat ajalmu. Apa kau kira aku tidak dapat membereskannya!"
Baru saja ia siap untuk turun tangan, Koo San Djie telah sampai di antara mereka. Min Min Djie yang melihat anak muda itu, tentu saja sudah merasa terkejut, dengan cepat ia berteriak:
"Hu-sie Tojin, inilah orangnya yang telah membunuh Iblis Pencabut Roh."
Tosu (imam) berjubah merah, dengan sinar matanya yang bercahaya sudah mengeluarkan suara tertawanya yang seram:
"Membunuh orang harus mengganti jiwa! Anjing kecil, mari sini aku cabut nyawamu!"
Dia bernama Hu-sie Tojin! Bagaikan gumpalan awan yang menutupi matahari ia sudah menubruk ke arahnya Koo San Djie.
Terdengar Tiauw Tua membentak:
"Tunggu sebentar, di antara kita berdua tadipun belum selesai."
Tadi karena urusan telah mendesak, maka ia dapat rugi. Ia mengetahui, jika dibiarkan tosu tua ini bertarung dengan Koo San Djie, maka tidak ada kesempatan pulalah baginya untuk menebus kerugian.
Tapi Koo San Djie tidak mengerti maksudnya ini. Dengan maju ke depan, setindak demi setindak ia berkata:
"Toako silahkan kau mundur. Jangan sampai dua siluman yang jahat itu dapat lolos."
Dengan cepat Tiauw Tua telah menyingkirkan diri, sambil membongkokkan badannya ia berkata:
"Silahkan, silahkan!"
Tiauw Tua lantas menghadapi si Setan Gunung.
Inilah suatu kejadian yang aneh. Semua orang dibuat bingung karenanya. Tiauw Tua dengan derajatnya yang tinggi di kalangan Kang-ouw, di antara mereka, kecuali Hu-sie Tojin yang masih dapat menandingi, yang lain, untuk menyingkir pun tidak gampang-gampang darinya. Tidak disangka terhadap seorang anak yang hanya berumur belasan tahun, ia telah berlaku demikian hormat.
Si Sastrawan Pan Pin duduk di pinggir, tentu saja harus menahan rasa sakit yang tidak terhingga, dengan mulut tidak henti-hentinya menyebut "heran...... heran......," ia yang mengenal betul tabiatnya Tiauw Tua yang berangasan. Seumur hidup Tiauw Tua, belum pernah tunduk kepada siapapun juga. Kelakuannya pada hari ini, yang telah diunjuki demikian takluknya kepada Koo San Djie, siapa yang tidak merasa heran"
Setelah menunggu sampai Tiauw Tua menyingkir, Koo San Djie menjura kepada Hu-sie Tojin, dia berkata:
"Tentang kematian dari adik seperguruan totiang, di sini boanpwee ada beberapa perkataan untuk menjelaskan......"
Tapi Hu-sie Tojin dengan marah-marah sudah membentak:
"Lekas! Supaya kau tidak mati dengan penasaran."
"Di kalangan Kang-ouw, yang penting yalah keberanian!" Koo San Djie berkata dengan nyaring. "Sebenarnya boanpwee dengan adik seperguruan totiang tidak mempunyai permusuhan. Disalah satu rumah makan, dengan tiada sebab musababnya dia telah menyerang kepadaku dan demikian juga dengan terjadinya kejadian di telaga Pook-yang. Terhadap semua ini boanpwee tidak tarik panjang. Pada pertandingan seterusnya, ia bersama-sama dengan Min Min Djie berdua menjadi satu usaha menahan seranganku......"
Ia baru berkata sampai di sini, Hu-sie Tojin sudah memotong:
"Katakanlah saja kematiannya, karena pelajarannya kurang sempurna. Ini hari, aku dengan tidak tahu diri akan meminta pelajaran darimu."
Sewaktu ia mendengar si Iblis Pencabut Roh dengan Min Min Djie berdua masih tidak dapat menahan serangannya, dalam hati kecilnya telah timbul rasa keder. Maka, bicaranya juga sudah mulai rada lunak.
Koo San Djie tidak berdaya, gagal membuat si tosu mengerti, maka terpaksa, dengan sabar ia berkata:
"Jika saja Locianpwee memaksa bertanding, silahkanlah menyerang!"
Hu-sie Tojin tidak malu-malu lagi, dia mulai serangannya. Koo San Djie yang merasa tidak enak, karena telah menyebabkan kematian adik seperguruannya, tidak balas menyerang, hanya memiringkan badannya menyingkir dari serangan.
Hu-sie Tojin telah mengeluarkan jurus yang pertama, kemudian disusul dengan jurus yang kedua. Tapi Koo San Djie sudah berkelit pula dengan menggunakan ilmu "Awan dan Asap Lewat di Mata."
Koo San Djie berbuat begini, karena ia tidak mengingini bertambahnya permusuhan. Tidak dikira, justru inilah yang dirasakan penghinaan yang besar bagi Hu-sie Tojin yang menganggap dengan derajatnya yang tinggi ia sudah kehilangan muka karena telah menyerang terlebih dulu, dan kini telah diganda mengeles saja oleh seorang anak kecil yang baru keluar kemarin. Maka dengan mengeluarkan suara dari hidung ia membentak:
"Jangan sombong!"
Mendadak, ia telah merobah cara berkelahinya, pukulan-pukulannya dengan saling menyusul telah datang bertubi-tubi. Tenaganya yang telah mendapat latihan puluhan tahun tidak berada di bawahnya Tiauw Tua, ditambah dengan keadaan marah, menyebabkan ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Semua orang yang melihat perobahan ini sudah menjadi tergetar.
Koo San Djie tidak berani memandang rendah kepada lawan tangguhnya ini, tenaganya telah dicurahkan di kedua belah tangan dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah gencarnya, ia balas menyerang.
Dua orang jago kelas satu yang bertarung kian lama kian seru, pukulan yang hebat, serangan yang aneh, jurus-jurus yang tajam dan perobahan-perobahan yang tidak disangka-sangka, telah menyebabkan orang-orang yang melihatnya mengelah napas, mereka belum pernah menonton pertarungan yang seramai ini.
Biarpun tangan Koo San Djie menyerang, otaknya telah bekerja. Menghadapi Hu-sie Tojin yang mempunyai kepandaian tidak di bawah dari Tiauw Tua, untuk dapat menentukan kalah menangnya, paling sedikit juga sampai limaratus jurus lebih. Dan jika ia sampai gunakan kepandaian yang terakhir dari ilmu yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng, sang lawan tidak dapat tidak, tentu akan menderita luka. Ia tidak mau sembarangan melukai orang, sebelum mengetahui betul tentang kejahatan dari orang ini.
Maka, setelah berpikir bolak balik, dapatlah ia suatu akal, dengan mendadak ia berteriak:
"Berhenti!" Ia segera memutarkan badannya dan telah tujukan pukulannya ke arah tebing batu yang terletak dua tumbak dari tempat ia berdiri.
Terdengar suara gemuruh yang memekakkan telinga, batu-batu yang sebesar kepala manusia beterbangan, tebing tadi telah terbongkar hampir seluruhnya. Udara menjadi gelap karena debu-debu yang mengepul naik.
Inilah jurus yang terakhir dari ilmu yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng yang diberi nama Pukulan dan Geledek Berubar-ubaran. Kekuatan dari pukulan ini telah membuat Min Min Djie dan kawan-kawannya yang melihat menjadi meleletkan lidah, bagaikan patung saja mereka terpesona.
Hu-sie Tojin mendongak ke atas dan menghela napas panjang. Kini telah menjadi jelas baginya. Kekuatan dari sang lawan masih berada di atas kepandaiannya, dengan mengalihkan serangan berarti sang lawan masih menyayangi nyawanya agar ia dapat mundur sendiri. Maka ia sudah maju ke depan memberi hormat dan berkata:
"Saudara kecil mempunyai perasaan yang welas asih, aku tidak nanti dapat melupakannya. Tapi biarpun demikian, aku tidak dapat melupakan dendam dari adik seperguruanku, maka setelah lima tahun kemudian, aku akan meminta pelajaranmu pula."
Setelah ia bicara dengan mengibaskan lengan bajunya yang gedombrangan ia sudah melesat lari turun ke bawah tanjakan.


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berakhirlah pertarungan yang seru ini. Tapi di sana, suami istri siluman masih seru dengan lawan mereka, masing-masing Tiauw Tua dan Thian-mo Lo-lo.
Ternyata sewaktu Tiauw Tua menghalang di hadapannya si Setan Gunung, Thian-mo Lo-lo yang mendengar bahwa murid kesayangannya Tju Thing Thing hampir saja meninggalkan nyawanya, karena terkena ilmu jahat Yun-ling-pay-kuk-kang, tentu saja sangat marah. Maka, dengan cepat ia sudah mengeluarkan ilmu Hok-mo-ciang, ilmu pukulan penakluk iblis yang terkenal, dan mengurung si Kalong Wewe.
Tapi ilmu jahat dari si Setan Gunung dan Kalong wewe suami isteri Yun-ling-pay-kuk-kang tidak dapat dibuat gegabah. Setelah masing-masing mengeluarkan serangan-serangan sampai seratus jurus lebih, masih berimbang karena sama kuatnya.
Terhadap dua suami istri siluman yang jahat ini, Koo San Djie sudah menjadi demikian benci. Beberapa kali, ia sudah maju, ingin menalangi melawan mereka, tapi takut dapat menyinggung perasaan Tiauw Tua dan Thian-mo Lo-lo, maka ia membatalkan maksud tersebut.
Dalam keadaan ragu-ragu, mendadak, dari atas tebing terdengar suara tertawa dingin, disusul dengan suara congkak:
"Kawan-kawanku boleh mundur. Lihat dari mereka, siapa yang berani maju pula?"
Dua siluman yang memang sedang keadaan terdesak, mendengar perkataan ini sudah lantas loncat mundur.
Semua orang yang sedang menonton pertandingan mengarahkan pandangan ke atas tebing. Yang dua ialah dari empat orang aneh dari Kong-lu ialah yang tertua U-cit dan yang kedua Ciauw-pat.
Sebetulnya, dua orang ini tidak perlu dikuatirkan. Yang dikuatirkan ialah keselamatannya Hay-sim Kongcu yang berada dikempitannya, bahkan sebelah dari tangannya U-cit ditaruh di atas embun-embunnya Hay-sim Kongcu.
Hu-hay Sin-kun tertawa dingin, cepat bagaikan monyet, ia sudah merayap naik ke atas tebing. Yang tidak kalah cepat dengannya ialah Koo San Djie, si pemuda merendengi di sebelahnya
Liong-sun-say, Pesanggrahan yang Tidak Dikenal
Tapi, mandadak U-cit sudah membentak keras:
"Jika siapa di antara kau orang ada yang berani naik, dengan menambah sedikit tenaga saya, nyawa orang ini akan melayang."
Bentakan ini berhasil bagus. Hu-hay Sin-kun dan Koo San Djie yang telah menjadi ketakutan telah menjatuhkan dirinya kembali.
Terdengar U-cit membentak pula:
"Jika masih mengingini nyawanya, semua berdiri di tempatnya masing-masing."
Lalu menggapaikan tangannya ke arah dua jejadian dan kawan-kawannya yang sudah bersama-sama lari meninggalkan tempat itu.
Rambut yang putih dari Hu-hay Sin-kun seperti menjadi berdiri, tentu saja dia panas hati, sangat penasaran, kedua matanya seperti mau memancarkan api, tapi ia tidak berdaya sama sekali. Kedua kakinya bagaikan ditancapkan di tanah, tidak berani bergerak lagi.
Koo San Djie mengarahkan pandangannya ke tempat Tiauw Tua.
Tapi Tiauw Tua hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Inilah suatu langkah yang sangat lihay, sehingga dapat memaksa demikian banyaknya orang berkepandaian tinggi menjadi takluk tidak berdaya, karena dalam genggamannya terdapat anak kesayangan dari Hu-hay Sin-kun. Salah sedikit saja, akan mengakibatkan penyesalan seumur hidup. Siapa yang berani menempuh bahaya"
Demikianlah, sampai rombongan kawan-kawan iblis tidak terlihat bayangan mata semua orang baru terdengar elahan napas dari Hu-hay Sin-kun.
Dalam ingatannya, terbayang pula pembunuhan kepada sang istri. Penyiksaan terhadap anaknya, semua kejadian-kejadian ini telah membuat Hu-hay Sin-kun, yang telah malang melintang puluhan tahun di kalangan Kang-ouw, menjadi lesu.
Hati Tiauw Tua menjadi tidak tega, dengan menepok pundak sang kawan, ia berkata:
"Kau jangan terlalu banyak makan hati. Di sini tersedia demikian banyaknya orang pandai, masakan takut mereka akan terbang ke langit" Mari kita berpencaran, membikin pengejaran."
Hu-hay Sin-kun baru seperti bangun dari tidurnya dan berkata:
"Dengan demikian, hanya akan menyusahkan kalian saja. Entah di mana sarang mereka itu?"
Tju Thing Thing yang berdiri di sebelahnya sudah menyelak:
"Di dalam rumah makan, mereka pernah mengatakan tentang Liong-sun-say, entah di sekitar sini benar terdapat suatu tempat yang bernama Liong-sun-say?"
"Liong-sun-say......" Hu-hay Sin-kun dengan kaget berkata.
Di kalangan Kang-ouw, nama Liong-sun-say ini tidak kalah ajaibnya dari pada Lembah Merpati. Biarpun dengan megah ia berdiri di bawah kaki gunung Pit-kie, tapi jarang ada orang yang berani datang.
Ketua dari pesanggrahan Liong-sun-say ini ialah Tong Touw Hio yang mempunyai nama berendeng terkenalnya dengan si Pendekar Berbaju Ungu. Ia mendirikan pesanggrahan selama lebih dari empatpuluh tahun. Jarang sekali ia bergerak dalam kalangan Kang-ouw. Ia mempunyai adat yang sangat kukuh. Kawan-kawannya pun terdiri dari berbagai macam golongan sehingga sukar untuk orang menentukan pendiriannya. Biarpun demikian, belum pernah terdengar ia ada menanam bibit permusuhan. Karena ilmu kepandaiannya sangat tinggi, maka orang tidak sembarangan berani membenturnya.
Disebutnya nama Liong-sun-say oleh Tju Thing Thing telah membuat Hu-hay Sin-kun, menjadi mundur maju. Jika dengan membawa demikian banyak orang pergi menyerbu ke sana dan kemudian terbukti orang-orang tadi tidak berada di sana, bukankah telah menambah satu musuh tangguh pula" Tapi setelah dipikirnya kembali ada kemungkinan juga mereka berada di sana. Maka ia sudah berdiri menjublek dengan tidak dapat mengambil keputusan.
Terdengar Tiauw Tua membuka suaranya:
"Menurut pendapatku, kemungkinan besar mereka berada di sana. Lebih baik kita orang berpencar, dengan cara berterang atau menggelap, menyerap-nyerapi kebenaran dari dugaan ini."
Thian-mo Lo-lo juga turut berkata:
"Urusan sudah mendesak sampai di depan mata, tidak dapat menunggu-nunggunya pula. Demikianlah kita berpisah. Aku beserta muridku akan berangkat terlebih dahulu."
Sembari menarik Tju Thing Thing ia sudah putar tubuhnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Ia kukuh dengan pendiriannya yang tidak menyukai Tju Thing Thing bergaul terlalu rapat dengan Koo San Djie. Inilah, karena ia telah mengalami penderitaan batin yang hebat, sehingga telah menyebabkan ia tidak menyukai semua pemuda di dunia ini. Dan untuk selanjutnya ia sudah berpikir untuk mengurung Tju Thing Thing, agar tidak dapat mendekati lelaki lagi.......
Sudah tentu Tju Thing Thing seratus persen tidak setuju kepada tindakan sang guru. Tapi inilah perintah, ia tidak berani melanggarnya" Matanya melirik ke arah Koo San Djie, si pemuda sedang duduk di belakang si sastrawan Pan Pin, membantu mengatur pernapasannya sastrawan yang terluka itu, maka ia tidak berani mengganggunya. Dengan menahan jatuhnya air mata, terpaksa ia harus mengikuti di belakangnya Thian-mo Lo-lo.
Semua kejadian ini tidak dapat lolos dari matanya Tiauw Tua. Di dalam hatinya ia memaki:
"Ini nyonya tua benar tidak mempunyai perasaan sama sekali."
Ternyata, setelah para iblis dan para siluman tadi meninggalkan tempat itu. Koo San Djie sudah berjalan ke hadapannya Pan Pin dan berkata:
"Locianpwe, bagaimana dengan keadaan lukamu?"
Sastrawan Pan Pin dengan mengkerutkan keningnya masih mencoba berkata dan tertawa:
"Tidak menjadi soal. Aku masih dapat menahannya."
"Kau duduklah sebentar!" berkata Koo San Djie perlahan.
Sastrawan Pan Pin menurut kehendaknya, dengan segera ia berduduk di tanah, kemudian tangannya Koo San Djie ditempelkan di tempat jalan darah Beng-bun. Terasa oleh Pan Pin, suatu aliran hawa yang panas memasuki pembuluh Kie-hay, naik ke atas dan bergolak di dada.
Ia telah melatih tenaga dalamnya puluhan tahun, ia sudah segera mengerti keadaan ini maka segera mengerahkan hawa dalam dirinya, bersama-sama dengan aliran hawa tadi, mengelilingi seluruh tubuhnya. Dalam sekejapan mata saja, tenaganya telah menjadi pulih kembali. Bukan saja lukanya telah menjadi sembuh, bahkan tenaganya telah menjadi bertambah kuat pula.
Sebentar kemudian, hawa panas tadi telah dapat ditarik kembali, dengan perlahan-lahan, Koo San Djie mulai berdiri.
Sastrawan Pan Pin juga telah berdiri, dengan mengibas-ngibaskan debu yang menempel di baju, ia menghadapi Koo San Djie, dengan kelakuan sangat hormat, ia berkata:
"Terima kasih atas bantuan tenaga dewamu yang telah menyembuhkan luka dalamku."
Cepat-cepat Koo San Djie membalas hormatnya:
"Urusan yang sekecil ini untuk apa dikatakan pula."
Semua orang yang berada di situ tidak ada satupun yang tolol, mana mereka tidak mengetahui berapa besarnya rasa terima kasih dari Sastrawan Pan Pin, hingga berlaku begitu hormat.
Sampai di sini terdengar suara Tiauw Tua:
"Saudara kecil, mari kita segera berangkat."
Lalu, seperti lupa mengatakan sesuatu, ia menambahkan pula perkataannya:
"Tju Thing Thing beserta gurunya telah berangkat terlebih dahulu."
Mendengar ini, seperti telah kehilangan apa-apa, hati Koo San Djie menjadi kosong, tidak mempunyai pegangan. Ini bukannya ia mempunyai perasaan berkelebihan terhadap Tju Thing Thing, tapi lantaran semasa kecil, ia hanya sebatang kara, ia sangat membutuhkan cinta dari seorang kawan. Dalam beberapa hari, pergaulannya dengan Tju Thing Thing sudah menjadi semakin rapat, ia hanya menganggap si nona sebagai kakak yang lebih tua dari padanya.
Mendadak, kini ia harus berpisah dengan tidak mengetahui sama sekali, bagaimana hatinya tidak menjadi kosong"
Dengan pandangan matanya yang tajam, Tiauw Tua sudah dapat menduga isi hati Koo San Djie. Maka ia segera menghibur:
"Perpisahan dan pertemuan adalah satu jalan dari hidup manusia. Untuk apa dipikirkan" Kita harus segera mencari jejak Ong Hoe Tjoe."
Disebutnya nama Ong Hoe Tjoe, betul membuat Koo San Djie hidup kembali.
"Mari kita segera berangkat!" ia mengajak dengan penuh semangat.
Dengan tidak turut sertanya Tju Thing Thing, Koo San Djie sudah menggunakan ilmunya Awan Asap Lewat Di mata, tentu saja dengan lebih leluasa, bagaikan terbang kakinya, dia melesat dengan cepat.
Tiauw Tua juga tidak mau ketinggalan. Dengan kecepatan yang tidak mau kalah dari Koo San Djie, ia sudah mengikuti di belakang pemuda itu.
Tidak lama kemudian, puncak gunung Pit-kie yang menjulang ke atas langit sudah tertampak di hadapan mereka.
Tiauw Tua sudah memanggil Koo San Djie yang berada di depannya:
"Saudara kecil, baik kita beristirahat sebentar."
Lalu, diajaknya sang perjaka ke sebuah kuil yang terdapat di situ. Sambil makan-makanan kering yang memang dibawanya, Tiauw Tua berkata lagi:
"Pesangrahan Liong-sun-say dibangun demikian aneh, kau harus hati-hati. Gurumu memiliki aneka macam kepandaian, seperti Kiu-kiong-pat-kwa dan bermacam-macam rahasia, apa sudah diturunkan kepadamu?"
Koo San Djie, mengangguk-anggukan kepala, dia membenarkan pertanyaan itu.
Tiauw Tua melanjutkan penuturannya:
"Tong Touw Hio dengan kepandaiannya yang tinggi, memang tidak usah dikata lagi, yang harus diperhatikan ialah senjata-senjata atau pesawat-pesawat rahasia yang sukar diduga. Untuk menghadapi orang seperti Tong Touw Hio ini, jika tidak sampai terpaksa, janganlah kita menggunakan kekerasan. Mengenai tingkah laku dari Tong Touw Hio ini, aku sendiripun belum mengetahui betul. Sebelum kita mengetahui dengan jelas, janganlah sembarang mengganggu."
Koo San Djie hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Biarpun Tiauw Tua bersedia menjadi budaknya atas kemauannya sendiri, tapi dalam mata Koo San Djie, orang tua itu tidak bedanya dengan guru saja. Ia selalu menuruti segala kehendaknya.
Setelah diam sejenak Tiauw Tua berkata pula:
"Jika betul Tong Touw Hio telah bersekongkol dengan orang Lembah Merpati, sudah tentu Ong Hoe Tjoe berada padanya."
Koo San Djie tidak mengerti. Maka ia sudah menanya:
"Mengapa?" Tiauw Tua lantas memberikan penjelasan terperinci:
"Begini soalnya. Setelah mereka dapat menculik Ong Hoe Tjoe, sudah tentu mereka mengetahui, bahwa kau tentu akan menyusulnya. Jika mereka mempunyai pesanggrahan yang ini, dan agar Lembah Merpati tetap beraoa dalam keadaan yang tersembunyi, sudah tentu mereka tidak mau pergi ke Lembah Merpati yang jauh."
Koo San Djie yang melihat Tiauw Tua dapat mengupas suatu soal sedemikian jelasnya, sudah menjadi sangat girang. Dengan segera, sudah berkemas untuk berangkat.
Tiauw Tua tertawa, melihat kelakuan Koo San Djie yang seperti itu, dengan sabar ia berkata:
"Jika betul di sini, untuk apa harus tergesa-gesa" Tunggu saja sampai nanti malam jam dua, kita dapat bergerak dengan leluasa."
Sebelum berkata, ia sudah memejamkan kedua matanya. Dengan perlahan-lahan ia menjalankan latihan mengatur pernapasan.
Koo San Djie juga merasa bahwa beberapa hari ini tidak melatih diri. Maka ia juga menutup mulutnya, tidak berkata-kata. Sebentar saja, mereka berdua telah sampai ke dalam keadaan yang lupa akan segala-galanya.
Mendadak, suara desiran angin dari getaran baju lewat di atas mereka. Koo San Djie kaget, dia terbangun.
Tiauw Tua juga telah membuka kedua matanya, dengan gesit ia melompat ke atas dan berkata:
"Kejar!" Gerakan badan dari dua orang itu boleh dikatakan sudah sangat cepat, tapi begitu keluar dari pintu kuil, keadaan di sekitarnya ada sangat gelap, mana ada bayangan manusia" Hatinya Tiauw Tua menjadi kaget juga atas kecepatan dari orang tadi. Maka dengan memberi tanda, tubuhnya sudah melesat menuju ke arah pesanggrahan Liong-sun-say.
Pesanggrahan Liong-sun-say dibangun dengan megah, seperti benteng, tapi tidak untuk perang, seperti keraton, tapi tidak ada rajanya. Di sekitarnya gelap, tidak ada penerangannya. Di empat penjuru dikelilingi oleh tembok yang tinggi, di tengah-tengah atas pintu terdapat huruf besar yang berbunyi
"LIONG-SUN-SAY"
Tiauw Tua memandang Koo San Djie tangannya menunjuk ke kanan.
Koo San Djie membongkokkan badan, kakinya sudah melejit terbang, dia menuju ke atas, tepat setinggi tembok.
Kepandaian ini telah membuat Tiauw Tua memuji. Maka, ia juga menuju ke sebelah kiri.
Koo San Djie di atas wuwungan rumah, matanya memandang ke bawah rumah yang bersusun, terbenam dalam kegelapan.
Mendadak, terasa pula desiran angin dari getaran baju yang seperti di atas kuil tadi. Kedua matanya telah dibuka lebar-lebar, dilihatnya sesosok bayangan yang kecil langsung lenyap dalam kegelapan.
Maka, dengan tangan menekan tembok, badannya terbang melayang ke arah lenyapnya bayangan tadi. Tapi, kali inipun ia menubruk tempat kosong pula. Ia menjadi kesal juga, dua kali ia telah dibikin kecele. Sedari ia turun ke dalam kalangan Kang-ouw, inilah suatu kekalahan yang baru pertama kali dialaminya. Maka, dengan tidak mempedulikannya pula, ia sudah mencari kamar tahanan.
Mulai dari rumah yang pertama, satu per satu ia memeriksanya. Tapi sampai rumah yang terakhirpun tidak dilihatnya suatu apa.
Biarpun ia mempunyai kepandaian yang tinggi dan gerakan yang cepat, tapi kurang pengalaman. Maka waktu ia berlompatan dari satu rumah ke lain rumah, telah dapat diketahui oleh orang.
Baru saja ia mau mencoba lompat ke suatu wuwungan rumah yang terang benderang, atau di belakangnya telah terdengar suara tertawa berkakakan:
"Saudara kecil ini mengapa melatih diri di atas rumah orang?"
Koo San Djie menjadi merandek. Telinganya mendengar pula suara orang tadi:
"Aku adalah Tong Touw Hio, pemilik dari pesanggrahan ini. Jika kau suka memandang mukaku, marilah turun, dan kita berbicara di bawah."
Lalu, dengan hormat ia menggunakan tangannya menyilahkan Koo San Djie masuk.
Dalam hatinya San Djie memikir:
"Jika tidak memasuki goa macan, mana dapat mengambil anak macan" Aku akan menuruti kehendaknya. Apa dia dapat menelan diriku?"
Maka, dengan meluruskan badannya, ia turun dan masuk dalam ruangan pesanggrahan Liong-sun-say yang aneh itu.
Di antara cuaca yang remang-remang, di bawah gunung Pit-kie, terlihat api merah yang menjulang tinggi ke langit. Pesanggrahan Liong-sun-say yang megah sudah menjadi lautan api.
Di antara sinar terang merah itu, Koo San Djie, Sastrawan Pan Pin dan Tiauw Tua bertiga, bagaikan bintang yang jatuh dari langit, melesat keluar dari pesanggrahan, sebentar saja, mereka sampai di jalan pegunungan yang sepi.
Koo San Djie yang ingin cepat-cepat menemui jejaknya Ong Hoe Tjoe, menganggap dengan mendapatkan wanita yang menggendong seseorang adalah suatu jalan untuk menemuinya sang kekasih.
Sastrawan Pan Pin mengusulkan pergi ke daerah Kang-lam, untuk minta bantuannya para ketua dari berbagai golongan partay. Ia menganggap untuk menghadapi Lembah Merpati harus mendapat bala bantuan yang kuat.
Tiauw Tua membiarkan sastrawan Pan Pin berkata sampai habis, baru dia meminta diri dan berkata:
"Saudara kecil, aku minta diri untuk mengurus sedikit urusanku. Setahun kemudian tentu aku akan mencarimu pula."
Koo San Djie dengan cepat menjawab:
"Toako jika ada urusan silahkan membereskannya, aku tidak akan mengekang kebebasanmu!"
Terhadap Tiauw Tua, yang dianggapnya setengah guru dan setengah kawan, dirasanya berat untuk berpisah. Tapi ia tidak ingin mengganggu urusan orang, hanya karena urusannya sendiri. Dan ia menganggap urusannya harus dapat dibereskannya sendiri. Mengandalkan bantuan orang lain adalah bukannya sifat dari seorang laki-laki. Memikir ke sini, ia lalu ambil selamat berpisah dari Pan Pin.
Betul-betul ia mengikuti arah yang ditunjuk oleh Tiauw Tua yang mengatakan tempat lenyapnya bayangan tadi, ia berlari-larian sambil memperhatikan segala sesuatu. Setelah sampai pada sebuah kota, di dekat pintu kota terlihat mendatangi seorang hweeshio beralis panjang, memakai baju gedombrongan. Begitu sampai di hadapan Koo San Djie sudah lantas menyebut:
"Sudah lama kita tidak bertemu."
Yang datang ternyata adalah hweeshio alis panjang yang tempo hari bertempur tiga hari, tiga malam dengan Tiauw Tua.
Maka dengan segera San Djie sudah maju memberi hormat dan menyapa:
"Siansu, bagaimana selama ini" Apa baik-baik saja?"
Hweeshio alis panjang dengan penuh senyuman menjawab:
"Dahulu, aku pernah memberi petangan kepadamu, tapi hari ini aku akan memberi barang kenangan untukmu."
Lalu, dengan sabar ia mengeluarkan sebuah dompet bersulam sepasang burung Merpati yang sedang bermain dan sebuah sampul surat. Dengan tertawa ia berkata pula:
"Orang di dunia selalu harus membuat kebajikan, kali ini aku akan menjadi kakek comblang."
Koo San Djie dengan tidak mengerti, menyambuti dompet dan sampul surat itu. Setelah dibukanya, terlihat banyak tulisan yang tidak rata. Setelah diperhatikan ternyata surat ini adalah buah tangannya Ong Hoe Tjoe yang selalu menjadi kenang-kenangan baginya.
Surat ini tidak panjang dan masih ada bebeberapa perkataan yang tidak lancar. Dalam suratnya ini Ong Hoe Tjoe mengatakan, bagaimana ia telah dapat ditolong oleh orang yang kini telah menjadi gurunya. Dari pesanggrahan Liong-sun-say, dia mendapat kebebasan, dikatakan juga, Koo San Djie jangan banyak memikirkan dia dan kini ia sedang giat belajar ilmu silat untuk membalas dendam kepada orang dari Lembah Merpati......
Lalu tangannya dimasukkannya ke dalam dompet, setelah meraba, ia telah mendapatkan beberapa butir biji kacang yang berwarna merah. Ia lebih banyak membaca buku dari pada Ong Hoe Tjoe, mana ia tidak dapat mengerti apa maksudnya ini"
Sulaman sepasang burung Merpati yang sedang memain, bagaikan hidup saja lelompatan di hadapannya. Biji kacang yang berwarna merah mengeluarkan sinar terang yang mengkilap. Semua ini telah mendapatkan bagaimana besar rasa cinta dari sang kekasih.
Dia lupa, dia masih berdiri di hadapan orang, dicium sampul surat tadi sampai beberapa kali. Semua tingkah lakunya menarik perhatian si Hweeshio. Dengan tidak terasa, telah mengeluarkan elahan napas panjang.
Elahan napas ini telah menyadarkan Koo San Djie dari lamunannya. Tidak seharusnya di hadapan orang ia melakukan perbuatan ini. Maka dengan muka yang merah jengah ia berkata:
"Numpang tanya, di manakah Ciecie Ong Hoe Tjoe kini berada?"
Hweeshio alis panjang dengan tersenyum menjawab:
"Tidak lama lagi, kau tentu dapat bertemu kembali. Buat apa kau gelisah tidak keruan. Dan lagi jika sekarang kau mencarinya, dia juga tidak dapat menemui kau, bahkan dapat mengganggu pelajarannya."
Hweeshio itu berhenti sejenak. Kemudian sambil menunjuk beberapa butir kacang berwarna merah di tangan Koo San Djie, ia berkata:
"Sudah mendapat sebanyak itu apakah tidak cukup juga?"
Muka Koo San Djie sudah menjadi merah.
Sebentar kemudian, hweeshio alis panjang dengan sungguh-sungguh berkata lagi:
"Kau sedang berada dalam masa jaya, sudah seharusnya bangun berdiri, memikirkan tugas yang jatuh di atas kedua pundakmu. Janganlah hanya karena soal asmara, sehingga melupakan beban yang dipikul."
Beberapa perkataan ini telah membuat Koo San Djie mengeluarkan keringat dingin. Segera ia mengucapkan terima kasih:
"Terima kasih atas peringatan Siansu yang berharga. Aku akan selalu mengingat petunjuk ini."
Hweeshio alis panjang manggut-manggutkan kepalanya. Dengan tersenyum puas ia berkata:
"Kau memang orang luar biasa, dapat segera insaf akan bahaya."
Setelah berhenti sebentar, kemudian ia melanjutkan perkataannya:
"Aku masih ada beberapa perkataan yang harus dikatakan kepadamu. Harap datang ke mari untuk mendengarkannya."
Lalu ia menarik tangan Koo San Djie dan dibawa ke suatu tempat yang sepi, setelah memilih tempat, di bawah sebatang pohon yang rindang, dia duduk di sana, dengan suara yang seperti berbisik ia berkata:
"Tahukah kau, bahwa di kalangan rimba persilatan telah timbul tanda-tanda akan terjadinya suatu pembunuhan secara besar-besaran?"
Koo San Djie melihat hweeshio alis panjang mengatakan sedemikian hati-hatinya sudah lantas menerka kepada orang Lembah Merpati. Ia hanya mengetahui Tong Touw Hio yang menjabat sebagai Duta selatan. Entah bagaimana dengan orang-orang yang memangku jabatan Duta-duta dari barat, timur dan utara"
Hanya baru empat Duta ini saja sudah membuat orang sakit kepala, apa lagi masih ada ketua mereka yang sangat rahasia. Tentu saja itu merupakan bahaya besar bagi rimba persilatan. Maka ia segera bertanya pada hweeshio alis panjang:
"Apa yang Siansu maksudkan tentang Lembah Merpati" Apa yang menjadi ketua dari lembah itu adalah Sui Yun Nio dan Phoa An berhati ular Lam Keng Liu dua orang?"
Hweeshio alis panjang menjadi tertawa mendengar pertanyaan San Djie.
"Jika hanya kedua orang ini saja," jawabnya, "Dengan kepandaianmu seorangpun sudah cukup untuk melayani mereka. Tapi dua orang ini hanya menjadi pengurus lembah saja yang belum termasuk kelas satu. Mereka hanya berhak memakai baju kuning."
Setelah merandek sebentar kemudian ia berkata lagi:
"Orang di kalangan Kang-ouw, semua menyangka demikian. Ini merupakan satu penilaian yang terlalu rendah terhadap Lembah Merpati. Meskipun dua orang ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi untuk menggetarkan rimba persilatan, tapi jika dibandingkan dengan kepandaian dari ketua Lembah Merpati, masih terdapat selisih yang sangat jauh."
Koo San Djie dengan rupa yang ingin tahu, sudah memotong:
"Jika demikian, siapakah sebenarnya yang menjadi ketua Lembah Merpati itu?"
Hweeshio alis panjang menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku sendiripun tidak tahu. Semua ini hanya kudapat dari keterangan guru Ong Hoe Tjoe. Menurut penjelasannya, orang yang berkepandaian tinggi di dalam lembah, kecuali sang ketua, dapat dibagi dalam empat golongan, dibedakan dengan warna bajunya masing-masing. Warna merah ialah yang tertinggi, kemudian kuning dan biru. Tentang pemuda berbaju kotak-kotak dan pemudi berbaju kembang yang sering dijumpai orang, hanya merupakan para pesuruh mereka saja. Dan kepandaiannya pun bukan kepandaian yang asli dari dalam lembah.
Koo San Djie baru mengerti, mengapa daerah pegunungan Hoay-giok, dua muda mudi yang ditemuinya dan pelajar baju kuning yang barusan dapat dikalahkannya mempunyai perbedaan ilmu silat yang sangat jauh sekali. Menurut pendapatnya, Lam Keng Liu dan Sui Yun Nio hanya sebagai pengurus lembah saja, dan mengurus para pesuruh ini, serta memberi pelajaran kepada mereka. Im-yang-ho-hap-ciang adalah kepandaian curian, sudah tentu tidak dapat disamai dengan kepandaian yang asli dari dalam lembah.
Hweeshio yang melihat Koo San Djie terbenam dalam pikirannya sudah lantas berkata:
"Sekarang, Ong Hoe Tjoe sudah terlepas dari bahaya. Urusan tentang Lembah Merpati dapat diatur dengan perlahan-lahan, janganlah terburu napsu, ini akan mengakibatkan gagalnya urusan. Biarpun kau mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, tapi, hanya dengan tenaga seorang diri saja, masih kurang kuat untuk dapat memecahkan rahasia Lembah Merpati."
Setelah selesai mengucapkan perkataan ini, dengan sekali mengibaskan lengan bajunya ia sudah meninggalkan tempat itu.
Koo San Djie setelah mendapat kabar tentang keselamatannya Ong Hoe Tjoe , hatinya sudah menjadi lega. Sekarang ia telah mempunyai cukup waktu untuk menyerapi kabar tentang Lembah Merpati dengan perlahan-lahan. Dan juga mencari siapa pembunuhnya orang tua Ong Hoe Tjoe. Demi kepentingan dunia Kang-ouw dan melaksanakan perintah gurunya ia harus mencari sampai dapat Lembah Merpati.
Ia telah mencoba menduga-duga, di mana letaknya Lembah Merpati itu. Dimisalkan di empat penjuru terdapat Duta selatan, Duta utara, dan Duta barat, maka letaknya lembah ini sudah tentu berada di tengah......
Mendadak pikirannya mengingat tulisan di tanah yang ditulis oleh pemuda yang mati di jalan pegunungan:
"Peta memasuki lembah......"
Dengan mengetok kepalanya ia berkata sendiri:
"Tidak salah. Jika aku mendapatkan peta memasuki lembah, tidak sukar untuk mengetahui letaknya lembah ini."
Dengan memusatkan seluruh pikirannya, ia sudah mengingat-ingat roman dari orang yang telah merebut peta itu. Ciri-ciri dari roman orang tua berkupiah kuning emas diingatnya betul-betul dalam hatinya. Orang ini jika pernah terjun di dunia Kang-ouw, tentu akan ada orang yang mengenalinya. Dan jika dapat mencari tahu di mana tempat tinggalnya, urusan tidak begitu sukar lagi baginya.
Hatinya sudah melayang kemana-mana, kakinya sudah menuruti langkahnya, berjalan dengan tidak bertujuan. Dengan tidak terasa ia sudah menuju ke daerah pegunungan yang tidak teratur.
Mendadak, dari kejauhan terlihat seorang tua dengan cepatnya lari mendatangi. Pertama mulai, lari orang tua ini bagaikan terbang saja, tapi semakin lama sudah menjadi semakin lambat dan kemudian sempoyongan, terjatuh di jalan.
Koo San Djie menjadi kaget, dengan cepat ia menuju ke arah orang itu.
Tidak disangka, yang datang itu adalah si kurus Oey Liong, dengan badannya penuh luka-luka yang tidak ringan, ia telah lari dengan sekuat tenaga. Sampai di sini, ia sudah tidak dapat menahannya pula dan terjatuh di tanah.
Koo San Djie mengurut-urut badan Oey Liong, memanggil-manggil namanya, baru Oey Liong dapat membuka kedua matanya yang berat. Setelah melihat orang yang berada di sampingnya adalah Koo San Djie, dengan terputus-putus, ia hanya dapat mengucapkan perkataan:
"Mer...... pati...... di depan......"
Setelah mengucapkan perkataan yang sukar dimengerti ini, ia sudah melempangkan kedua kakinya dan menarik napasnya yang penghabisan.
Dengan tidak dapat ditahan lagi, Koo San Djie telah mengeluarkan air matanya, sambil masih memanggil namanya:
"Locianpwe, locianpwe...... siapa yang berbuat jahat kepadamu?"
Sedari ia berhasil meyakinkan ilmunya, dan meninggalkan gurunya, melihat keadaan yang seperti ini sudah lebih dari empat kali.
Di telaga Pook-yang, orang tua ini telah membantu dengan tidak meminta balasan. Tapi kini ia telah mati penasaran, dengan tidak dapat memberikan keterangan suatu apa. Jika tidak, tentunya kematiannya ini tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.
Dengan gemas, ia melepaskan tubuh Oey Liong yang telah menjadi mayat, matanya memancarkan sinar kebencian yang meluap-luap. Mendadak, ia mengingat perkataan yang terakhir dari Oey Liong:
"Apakah Lembah Merpati yang dimaksudkan olehnya?" Pikir Koo San Djie dalam hatinya.
Jika dugaannya tidak salah, maka di depan tentu ada bersembunyi orang jahat. Maka dengan cepat ia mengubur mayat si penolongnya ini dan maju terus ke depan menyelidiki dengan teliti.
Matahari sore telah mendoyong ke barat, sinarnya telah membuat bayangan orang yang menjadi panjang tercetak di sela-sela gunung.
Kadang-kadang, masih terdengar suara burung gagak yang mengaok. Dengan hanya seorang diri, ia berjalan di antara pegunungan yang sepi ini, terasa sekali alam kesunyian yang luas.
Hanya api dendam kebencian yang masih membakar hatinya. Ia telah lupa akan pandangan mata, tidak perduli tebing yang tinggi mau pun tebing yang curam, dengan tabah ia masih maju ke muka, pantang mundur setapak pun.
Malam telah tiba. Angin dingin sebentar-sebentar meniup mukanya. Hatinya yang panas mulai normal kembali. Ia menengadah, memeriksa empat penjuru. Dilihatnya ia telah dikelilingi oleh suara jeritan-jeritan, di atas gunung yang merupakan bermacam-macam binatang jejadian. Tidak ada rumah tidak ada tempat untuk berteduh. Di tempat yang sunyi senyap ini tidak ada orang yang mau meninggalinya.
Pandangan matanya dapat menembus awan dan kabut. Tidak lama ia telah dapat menemukan suatu pandangan yang dapat mendebarkan jantung.
Pada sebuah mulut lembah yang dalam, terdapat bundaran-bundaran putih yang bertumpuk-tumpuk. Api biru kelap kelip memancarkan sinarnya yang seram sehingga siapa yang melihatnya seperti telah sampai di pintu neraka.
Dalam pikirannya Koo San Djie dengan cepat telah timbul kenangan lamanya.
"Apa itu sepasang siluman telah pindah ke mari?" pikirnya.
Diingatnya pada malam itu, Tju Thing Thing yang terkena racun dari dua siluman itu. Kini ia menganggap kematian Oey Liong juga mungkin ada sangkut pautnya dengan dua siluman ini. Inilah dendam lama dan dendam baru, bertumpuk menjadi satu, yang telah menambah keinginannya untuk membunuh sepasang siluman itu.
Demi kepentingan sesama manusia, ia tidak dapat membiarkan dua siluman itu terus menerus mengganggu keamanan. Maka, bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, ia telah melesat ke dalam lembah. Sebentar saja, ia sudah sampai di depan tumpukan tulang-tulang.
Pengalaman telah memberi tahu padanya, bahwa orang yang melatih kepandaian ini tentu barada di tengah-tengah dari tumpukan tulang dan menghisap racun yang berada di sekitarnya.
Gunung tulang itu begitu tinggi, jika dikira-kirakan, paling sedikit terdapat tiga ratus tengkorak manusia. Di tengah-tengahnya terdapat lobang, sebagai jendela, gumpalan asap biru mengepul keluar dari sana. Maka, dengan suara keras Koo San Djie membentak:
"Setan! Lekas keluar untuk menerima kematian!"
"Siuuuuuutt......"
Dari lobang di tengah-tengah tumpukan tengkorak tadi, keluar dua bayangan bianglala yang sudah lantas berdiri di kedua belah sisi Koo San Djie.
Tentu saja yang datang adalah si Setan Gunung dan si Kalong Wewe yang telah pindah kemari dan telah melatih ilmunya lebih sempurna lagi. Setelah mereka mengurung Koo San Djie, dengan suaranya yang seperti setan berkata:
"Kami memang sedang mencarimu, tidak disangka kau telah datang lebih dulu. Hari ini kau boleh merasakan pukulanku Yun-ling-pay-kut-kang yang lihay."
Dua tangannya dikunyal-kunyal sebentar, suatu aliran angin yang dingin dengan dibarengi oleh asap biru yang berkredepan sudah datang menyerang ke arah Koo San Djie.
Koo San Djie tidak gentar mendapat serangan, dengan hanya mengibaskan sebelah tangannya, ia sudah memunahkan serangan itu. Ia sudah bersedia untuk menyerang balik, atau mendadak di belakangnya telah terasa ada hawa dingin yang datang ke arahnya.
Ia sudah kenal akan sepasang jejadian ini, yang kerjanya hanya memainkan tengkorak saja. Untuk menjaga jangan sampai menambah korban lagi, ia sudah bertekad untuk menyingkirkan sepasang siluman itu dari dunia. Maka ia sudah malas untuk menoleh lagi, dengan melompat ke samping ia sudah membalikkan tangannya, menyerang ke belakang.
Si Kalong Wewe yang kerjanya hanya menakut-nakutkan orang saja, mana berani menangkis serangan ini, begitu menyerang, ia sudah lantas loncat ke tempat lain, maka serangan Koo San Djie telah menubruk tempat kosong.
Si Setan Gunung yang tidak mengenal gelagat telah menggunakan ketika Koo San Djie menyerang ke belakang, maju setindak, dan mengulur kedua tangannya menyerang berbareng.
Koo San Djie dengan memekik keras, dengan ilmu Ombak Menyapu Ribuan Sampah, keluar menyerang dengan tenaga penuh.
Si Setan Gunung yang lebih tepat dikatakan setan sampah juga telah tersapu oleh serangan ini. Dengan menjerit keras, badannya sudah terlempar balik ke dalam tumpukan tengkorak.
Serentak, api biru berbalik menyerang dirinya sendiri. Tidak ampun lagi, seluruh badannya si Setan Gunung telah menyala-nyala. Terbakar oleh api sendiri.
Si Kalong Wewe yang melihat suaminya menemui nasib malang, sudah tentu menjadi ketakutan setengah mati, dengan tidak memilih arah lagi ia telah mengambil langkah seribu, ngiprit pergi!
Koo San Djie tidak memberikan ia kesempatan untuk lolos lagi, tubuhnya lompat mengejar.
Hanya beberapa tindak lagi, Koo San Djie sudah dapat mengejar mangsanya, ia sudah siap dengan serangannya yang mematikan.
S Kalong Wewe lari dengan membabi buta tidak dapat memilih arah. Ia terus lari sehingga sampai akhirnya terjatuh ke dalam jurang yang dalam.
Koo San Djie yang menyaksikan sang musuh sudah terjatuh ke dalam jurang, ia berdiri diam. Ia ragu-ragu, bagaimana harus mengambil tindakan atau mendadak dari dalam bawah jurang terdengar seorang anak kecil berkata:
"Kau jangan turun, makhluk ini kukembalikan kepadamu......"
Berbareng, dengan lenyapnya suara itu, si Kalong Wewe yang kurus telah terbang kembali, sampai Koo San Djie tidak dapat mendengar perkataan selanjutnya.
Koo San Djie yang menampak si Kalong Wewe terbang naik kembali sudah memberi satu pukulan maut.
Si Kalong Wewe yang jalan darahnya sudah terkena totokan, dilempar naik oleh orang, ia tidak dapat menyingkir dari tangan ini. Hanya terdengar suara jeritan yang mengerikan dan tubuhnya kembali terjatuh ke dalam jurang.
Dari dalam lembah, terdengar pula suara anak kecil tadi:
"Kau ini orang macam apa" Barang sudah dikembalikan padamu, dilempar balik lagi?"
Seiring dengan suara desiran angin, tubuh si Kalong Wewe sudah mumbul kembali.
Ini kali Koo San Djie, dapat mendengar dengan jelas anak kecil tadi, dengan memiringkan badannya, menyilahkan mayat si Kalong Wewe lewat di atas pundaknya dan terjatuh di sela-sela gunung. Kemudian dengan tidak sabar, ia bertanya:
"Hei, adik kecil, apa di sini yang dinamakan Lembah Merpati?"
"Betul. Di sini Makam Merpati. Tapi kau jangan turun ke bawah!"
"Kenapa?" Tidak terdengar jawaban pula dari dalam lembah.
Koo San Djie yang mendengar di sinilah yang dinamakan Lembah Merpati, hatinya menjadi kaget bercampur girang. Hatinya memukul keras, ia sedang memikir perlukah ia pergi ke bawah untuk melihat keadaan dari lembah yang selalu menjadi teka teki ini?"
Koo San Djie salah kuping, Makam Merpati dianggap Lembah Merpati.
Tiba-tiba, suara anak kecil dalam lembah itu berkata pula:
"Ku lihat kau ini adalah orang baik juga, sudah membinasakan dua setan yang selalu mengganggu orang saja. Tapi, jangan sekali-kali kau coba-coba turun kemari."
Koo San Djie yang sudah salah mendengar Makam Merpati menjadi Lembah Merpati, biar orang bicara sampai mulut pecah pun, mana dapat menahan kemauan hatinya" Biarpun ia mengetahui akan bahaya, tentu diterjangnya juga.
Lalu ia segera mengatur pernapasannya sebentar, lalu mengangkat kedua kakinya, lalu....... terjun ke dalam lembah yang gelap.......
Koo San Djie yang sudah lompat turun ke dalam lembah, biarpun ia sudah menahan napas dengan sebisa-bisanya, memperlambat jatuhnya badannya, tapi perbuatan ini tetap berupa perbuatan yang sangat berbahaya.
Badannya masih di udara, matanya sudah memeriksa keadaan bawah, dalam keadaan yang gelap remang-remang, masih terpeta juga segala sesuatu yang berada di situ.
Letaknya tempat ini tidak tinggi. Dengan memusatkan semua tenaganya, bagaikan bulu ayam entengnya, ia sudah melompat ke sebuah jalanan kecil yang terbuat dari batu putih.
Ternyata, ia berdiri di atas jalan batu kecil itu. Si Kalong Wewe yang sudah diuber-uber, tidak berdaya, telah menjatuhkan diri kemari untuk meloloskan diri. Siapa tahu jalan darahnya telah ditotok orang dan dilemparkan ke atas kembali.
Koo San Djie mendongak ke atas, mengawasi tempat ia berdiri tadi. Mendadak, otaknya seperti mengingat suatu hal, sampai ia menjublek di tempatnya.
Jarak di antara jalan kecil ini dan atas tebing tadi biarpun tidak dianggap tinggi, paling sedikit juga di antara duapuluh meter lebih. Untuk melemparkan batu biasa saja ke atas sudah tidak mudah, apa lagi berat badan si Kalong Wewe yang hampir limapuluh kilo beratnya. Tapi anak kecil tadi dengan mudah telah melemparkannya sampai dua kali. Bukankah sangat janggal baginya. Lagi pula, dengan kepandaian si Kalong Wewe yang dapat menggetarkan dunia Kang-ouw, mengapa dengan semudah itu dapat ditotok jalan darahnya"
Dengan adanya bukti-bukti ini, pandangan terhadap kepandaian orang dari Lembah Merpati sudah menjadi semakin jelas. Karena ia telah menganggap sampai pada Lembah Merpati, maka ia tidak berani sembarangan menerobos ke dalam. Dengan hati-hati, diperhatikannya ke dalam tempat ini, setelah mendapat kepastian tidak ada suatu apa yang tersembunyi, baru dengan perlahan-lahan ia mengangkat langkahnya.
Tapi, mendadak suara anak kecil tadi berkumandang pula:
"Kau ini betul-betul seorang yang tidak mendengar kata. Akhirnya kau turun juga."
Dengan cepat Koo San Djie membalikkan badan, ternyata yang bicara ialah seorang perempuan yang berumur kurang lebih di antara tigabelas tahun.
Anak perempuan ini memakai baju yang berwarna dadu, dengan dua buah pita kupu-kupu di atas kepala, sepasang matanya bersinar terang dengan biji hitamnya yang tidak henti-hentinya memain. Mukanya yang berbentuk telor sangat menarik, dengan dihiasi oleh panca indranya yang serba tepat, semakin memikat hati.
Koo San Djie rada tidak percaya pada dirinya sendiri, dengan ragu-ragu ia bertanya.
"Apa kau yang melemparkan perempuan jahat tadi itu?"
Anak perempuan itu dengan heran menjawab:
"Kenapa" Ini sepasang siluman ada sangat menjemukan, setiap hari kerjanya hanya mengangkat-angkat tulang manusia saja dan membuat api setan. Bahkan sering main bunuh orang. Jika aku boleh keluar dari lembah, sudah lama aku usir mereka."
"Ha, kau mempunyai hubungan apa dengan Lembah Merpati ini?" tanya San Djie kaget.
Kali ini si gadis cilik yang dibuat kaget. Dengan tidak mengerti ia berkata:
"Apa" Lembah Merpati" di sini bukan yang dinamakan Lembah Merpati."


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa nama yang sebenarnya dari tempat ini?"
"Mari kau lihat!"
Setelah berkata begitu, si gadis cilik sudah membalikkan badannya, lenyap di belakang pepohonan. Membuat Koo San Djie yang melihatnya menjadi berdiri seperti terpaku.
Dari mulut lembah terdengar si gadis cilik meneriakinya:
"Bagaimana sih kau ini" Mengapa tidak mau datang melihat?"
Semacam perasaan yang selalu mau menang sendiri, dari sifat kanak-anak telah membuat Koo San Djie tidak mau kalah dengannya. Dengan menggunakan ilmu Awan dan Asap lewat di mata, Koo San Djie sudah menguber gadis cilik tadi.
Jika kepandaian Koo San Djie ini dipertontonkan di kalangan Kang-ouw, barang kali masih dapat membuat orang meleletkan lidah. Tapi, si gadis cilik yang melihat ini tidak menjadi heran, bahkan masih menganggap kurang cepat baginya. Setelah menunggu sampai Koo San Djie berada di hadapannya, dengan jari-jari yang kecil, ia menunjukkan tangannya ke arah sebuah batu nama dan berkata:
"Kau lihat!" Dengan bantuan sinar bintang, masih terlihat tulisan yang berbunyi:
"Makam Merpati."
Dan di bawah tulisan ini masih terdapat huruf-huruf kecil yang berbunyi:
"Kematian bagi yang berani bertindak masuk."
Koo San Djie melihat ini sangat terkejut. Bulu romanya telah menjadi berdiri, badannya menggigil sebentar dan semangatnya seperti tersedot oleh suatu hawa yang keluar dari batu makam tadi.
Tapi Koo San Djie bukannya seorang anak penakut, ia tidak percaya yang di dalam dunia ini ada terdapat setan. Matanya memandang ke arah si gadis cilik, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas pula. Ia tidak percaya, gadis cilik yang lincah ini setan adanya.
Si gadis cilik melihat Koo San Djie menjublek di tempatnya dengan mata memandang ke arahnya dengan tidak berkesip, tentu saja dia kurang senang, ia berkata:
"Kau ini mengapa hanya memandang saja" Tidak salah ayah mengatakan semua anak laki di dunia tidak ada yang baik."
Koo San Djie merasa heran juga mendengar ucapan gadis itu.
"Baik atau jahatkah ayahmu itu?" ia bertanya.
"Ayahku tentu orang baik. Ia juga sudah tua."
Koo San Djie masih tidak mau mengerti, tapi keburu didesak oleh si gadis cilik tadi:
"Lekaslah kau meninggalkan tempat ini. Aku tidak jadi membunuhmu."
Ucapan ini sudah menambah Koo San Djie jadi bingung.
"Di antara kita berdua tokh tidak ada permusuhan apa-apa mengapa kau hendak membunuh?" tanyanya.
Si gadis cilik menjadi tertawa lucu, tertawa sangat manis sekali, tidak mengandung kegenitan atau lagak yang dibuat-buat. Dengan jari telunjuknya ia menunjuk sampai mengenai jidatnya Koo San Djie dan berkata:
"Kau ini memang orang tolol sekali. Di atas batu nama, bukankah telah tertulis dengan terang, siapa yang berani memasuki lembah ini tentu akan menemui ajalnya, seorang yang segar bugar mana bisa mati dengan tidak ada sebab-sebabnya" Tentu kami yang membunuh."
Si gadis cilik mengatakan tentang pembunuhan, seperti perbuatan itu merupakan suatu hal yang biasa saja baginya. Hal ini telah membuat hati Koo San Djie yang tidak dapat menerima ketidak-adilan menjadi panas. Dengan mengeluarkan suaranya yang keras ia berkata:
"Meskipun lembah ini telah menjadi milik keluargamu, tidak seharusnya kau berbuat sedemikian kejam, aku tidak mau pergi dari tempat ini, aku mau lihat ayahmu yang tidak kenal aturan dapat berbuat apa atas diriku?"
Entah bagaimana, si gadis cilik bergerak, tangannya yang mungil telah menampar pipi Koo San Djie, keras sekali, hingga si pemuda mengusap-usap pipinya, ia bingung sendirinya.
Si gadis cilik dengan muka cemberut karena marahnya sudah berkata:
"Kau berani memaki ayahku?"
Suaranya seperti orang mau menangis.
Koo San Djie masih mengusap-usap pipinya yang ditampar, ia berdiri membisu. Ia tidak tahu, bagaimana harus menghadapi persoalan seperti ini. Tamparan tadi tidak membuat Koo San Djie marah, bahkan menjadi hangat karenanya.
Sebenarnya, Koo San Djie yang penuh dengan ilmu kepandaian tidak mudah dapat terkena pukulan orang. Tadi, karena ia tidak memperhatikan dan lagi kecepatan tangan si gadis cilik sangat luar biasa, maka ia telah terkena tamparan. Semenjak kecil, ia sudah mengembala kambing dibawa panasnya matahari dan dinginnya hujan salju, pulang menerima perlakuan yang kejam dari majikannya. Penghidupan ini telah melatih dirinya menjadi tabah dan pantang mundur. Ia berani memasang badannya untuk menahan sakit tapi tidak tega untuk menghadapi si gadis cilik yang manis dan lemah, demikian menurut anggapan dalam hatinya.
Si gadis cilik telah menggunakan tangannya menampar orang, hatinya yang panas sudah menjadi dingin kembali. Sambil menarik tangan Koo San Djie ia berkata:
"Kau marah padaku?"
Koo San Djie hanya menggelengkan kepalanya.
Si gadis cilik seperti bicara sendiri, ia mengoceh:
"Akulah yang salah. Tidak seharusnya barusan menggunakan tangan......"
Lalu, ditariknya lagi tangan Koo San Djie, setelah digoyang-goyangkannya beberapa kali ia sudah berkata pula:
"Kau iui orang baik. Jika tidak khawatir akan ayahku, ingin sekali menahanmu untuk tinggal di sini, menemani aku bermain."
Setelah berkata begitu, ia melepaskan tangannya, seraya membalikkan badannya dan berkata seorang diri:
"Hingga saat ini, aku berdiam seorang diri di dalam lembah ini. Ayahku juga telah melarang aku pergi keluar lembah......"
Keluhan pendek dari si gadis cilik ini telah menambah rasa simpatiknya Koo San Djie, ia sudah menjadi suka kepada si gadis, dalam hatinya berkata:
"Memang, tidak seharusnya memaksa seorang gadis kecil yang masih memerlukan kegembiraan, tinggal dalam lembah yang sepi ini. Yang jadi ayah betul-betul amat keterlaluan."
Biarpun hatinya memikir demikian, tapi mulutnya tidak berani berkata seperti itu. Dengan perlahan-lahan, ia menghampiri dan mengelus-elus pundak si gadis cilik, seperti seorang yang menghiburi adik kecilnya ia berkata:
"Kau jangan menjadi kesal. Mungkin ayahmu sedang meyakinkan semacam ilmu, setelah selesai dengan pelajarannya, tentu ia akan mengajakmu keluar dari lembah ini."
Jika didiamkan saja, barangkali tidak apa, tapi begitu dihiburi, si gadis cilik sudah menjadi menangis sesegukan. Seperti seorang adik yang kolokan, mendapat pegangan ia sudah menjatuhkan kepalanya di atas dada Koo San Djie. Dengan masih menangis ia berkata:
"Tidak! Ayah tidak nanti mengizinkan aku keluar lembah. Ia telah memaksa aku bersama-sama menemani ibuku yang telah meninggal."
Koo San Djie kewalahan, ia tidak dapat melanjutkau perkataannya. Tidak pantas di depan si gadis, mengucapkan kata-kata yang membusukan nama ayahnya, dan lagi, ini adalah urusan rumah tangga orang. Maka, dengan setengah membujuk ia berkata:
"Lekaslah kembali ke rumah. Mungkin ayah sedang mencari-cari."
Koo San Djie merasa, ia lebih besar dari pada si gadis. Sejak kecil ia sudah biasa untuk merawat dirinya sendiri. Setelah beberapa bulan ia mendapat pengalaman dalam dunia Kang-ouw, pikirannya telah masak, meningkat seperti orang dewasa. Ia menganggap, tidak dapat ia tinggal diam di sini terus, ayah si gadis tentu seorang yang berhati kejam, orang yang tidak mempunyai perasaan. Maka, dengan menepok bahunya si gadis ia berkata:
"Lekaslah kembali ke rumah. Aku pun akan segera pulang. Sebentar, jika ayahmu melihat keadaan kita, tentu ia akan menjadi marah."
Tapi si gadis cilik sudah menarik bajuuya dan berkata:
"Tidak. Kau tidak boleh pergi...... Ayahku tidak menjadi soal. Tidak usah kau takut kepadanya, ia sangat sayang kepadaku, dan lagi selalu menuruti segala kehendakku."
Koo San Djie menahan langkahnya. Dengan mengerutkan alis, ia berkata:
"Terus terang kukatakan kepadamu, siapapun tidak ada yang kutakuti. Jika saja ia bukan ayahmu, aku akan mencarinya untuk minta keterangan."
Mendadak, dari belakang terdengar satu suara yang dingin:
"Kecil-kecil sudah berani omong besar. Apa kau tahu peraturan dari Makam Merpati ini?"
Seorang pelajar setengah umur dengan muka yang putih bersih, entah sejak kapan datangnya, telah berdiri di belakang Koo San Djie. Meskipun Koo San Djie memiliki kuping yang lihay, masih tidak dapat mengetahui datangnya orang ini. Maka dengan cepat ia sudah lompat ke samping, siap menghadapi segala kemungkinan.
Si gadis cilik yang melihat datangnya orang tadi sudah maju menubruk.
"Ayah, dia datang loncat dari atas tebing, dia tidak dapat melihat batu pemberitahuan itu."
Orang setengah umur sudah lantas mendorong pergi tubuh anaknya dan berkata:
"Minggirlah! Kau minggir! Aku akan menanyakan sendiri!"
Lalu, ia menghadapi Koo San Djie dan berkata:
"Siapa namamu" Dan mengapa kau datang kemari?"
Meskipun Koo San Djie mendongkol karena mendapat perlakuan demikian, tapi, mengingat ia adalah ayah dari si gadis cilik yang menarik ini, maka dengan hormatnya ia telah membongkokkan badan dan berkata:
"Boanpwe bernama Koo San Djie, karena mengejar dua orang jahat telah sampai di sini. Harap locianpwe dapat memaafkannya."
Si gadis cilik takut ayahnya, tokh, dia tidak puas dengan jawaban ini, segera sudah turut bicara:
"Dia sudah mewakili kita membunuh dua siluman itu."
Tapi bantuan ini telah membawa hasil yang sebaliknya. Orang tua setengah umur itu tidak senang mendengar anak perempuannya demikian membela si pemuda. Mukanya sudah menjadi semakin cemberut saja, seperti dompet tanggung bulan.
Gadis cilik yang lebih mengenal akan adat ayahnya, melihat keadaan seperti ini, sudah mengetahui inilah tanda bahwa ayahnya. Segera akan membunuh orang. Saking takutnya, hampir saja ia menangis, tiba-tiba tangannya dengan cepat sudah menarik-narik lengan baju ayahnya. Dengan setengah meratap ia memohon kepada ayahnya:
"Dia seorang yang baik, ayah jangan membunuh."
Wajah orang setengah umur itu yang tadinya mengandung hawa pembunuhan, perlahan-lahan telah kembali ke asalnya. Dengan perlahan-lahan telah mengibaskan tangan anaknya dan berkata:
"Anak baik, janganlah kau percaya pada ucapannya. Bukankah telah berkali-kali ku katakan padamu, bahwa laki-laki di dunia ini tidak ada satu yang mempunyai hati yang baik."
Si gadis cilik yang terlalu banyak membantu Koo San Djie, akibatnya membuat orang setengah umur itu menjadi iri hati. Pandangan matanya yang tajam telah dapat mengetahui, bahwa Koo San Djie mempunyai bakat yang sangat bagus untuk belajar ilmu silat. Tapi, keserakahan yang berlebih-lebihan telah membuat hatinya menjadi kejam, tambahan kuatir akan kehilangan anak tunggalnya yang dianggapnya sebagai nyawa yang kedua, setelah istrinya meninggal.
Sepasang Pendekar Merpati
Telah sepuluh tahun lamanya orang setengah umur ini menemani raga istrinya yang telah mati dan memelihara anak perempuannya yang menjadi wakil jiwanya. Ia telah menganggap ibu dan anak ini menjadi satu. Wajah dan senyumnya sang istri almarhum telah hidup kembali pada putrinya ini. Ia selalu menganggap anak perempuannya ini menjadi jiwa raga dari istrinya yang seakan-akan hidup kembali. Demikianlah ia tidak dapat membiarkan ada orang ketiga yang menyelak mereka.
Demikianlah, orang setengah umur itu telah mengambil keputusan untuk menyingkirkan bibit keonaran. Setelah melepaskan cekalan anaknya, sebelum sang anak dapat mengatakan sesuatu apa, ia sudah menubruk ke arah Koo San Djie.
Dari beberapa tanda-tanda, Koo San Djie telah dapat melihat orang setengah umur ini mempunyai sifat yang kejam, sewaktu-waktu dapat menyerang dengan tidak mengenal kasihan. Maka, ia sudah bersiap sedia untuk menjaga segala serangan.
Sebelum orang itu menubruk kepadanya, ia sudah membikin pertahanan. Bertempurlah dua jago yang jarang mendapat tandingan ini
Pertama-tama, Koo San Djie sudah melepaskan serangannya yang lihay, dengan tipu pukulan Langit dan Bumi Pandang Memandang, disusul dengan Hujan dan Angin Menderu-deru......
Orang setengah umur itu tidak menyangka si pemuda demikian lihaynya, tapi ia masih tidak pandang mata, dengan kepandaian Koo San Djie, ia mau mencoba, sampai di mana kekuatan dan kepandaian dari lawan kecilnya ini.
Terlihat dua lengan baju dari orang setengah umur itu yang gedombrongan mengibas beberapa kali, orangnya pun telah memasuki daerah bayangan telapak tangan. Badannya yang enteng sudah mengikuti gerakan dari bayangan telapak tangan Koo San Djie, bagaikan menari-nari, sangat indah sekali.
Si gadis cilik tahu benar, sejak ayahnya telah dapat meyakinkan ilmu Sari Pepatah Raja Woo, sudah bertambah tinggi kepandaiannya, bahkan telah melatih dirinya menjadi kebal akan senjata. Di dalam kalangan rimba persilatan, tidak dapat mencari orang yang keduanya. Mungkin karena menganggap pukulan Koo San Djie agak aneh, maka ayahnya membiarkan menyerang terus. Setelah menunggu sampai mengenal semua ilmu pukulannya saat itulah akan tiba kematiannya. Maka ia telah mendapat suatu akal yang baik untuk menolong si anak muda dari tangan jahat ayahnya.
Koo San Djie telah menggunakan seluruh kepandaiannya, sampai mengulangi dua kali. Dari jurus yang pertama sampai jurus yang terakhir, kemudian kembali ke jurus yang pertama pula dan seterusnya.
Inilah saatnya untuk ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Sejurus demi sejurus kepandaiannya bertambah lancar, pukulannya satu demi satu bertambah keras......
Pengaruh tenaga dari Kodok Mas dan Capung Kumala yang masih sebagian terpendam di dalam tubuhnya, sedikit demi sedikit telah dapat keluar untuk digunakannya. Dalam waktu yang sangat pendek inilah kepandaian Koo San Djie telah maju setingkat pula.
Orang setengah umur yang melihat kejadian itu, semakin lama menjadi semakin heran. Ilmu pukulan yang aneh dari si anak muda ini sebenarnya sudah jarang terdapat. Mengapa tenaganya semakin lama dapat bertambah menjadi semakin kuat"
Sebentar saja, ia telah mengerti sebab-sebabnya. Ia mempunyai pengalaman yang luas, kepandaian yang tinggi dan kepintaran yang berlipat ganda. Ia sudah dapat menduga, anak muda ini tentu telah makan sesuatu benda yang ajaib dan sampai saat ini baru menunjukkan pengaruhnya.
Dengan umurnya yang sekecil ini telah mempunyai tenaga yang harus dilatih puluhan tahun, bukankah ada suatu keanehan dunia"
Siapakah yang mendapat bahan bagus tidak akan menyukainya" Demikian pula dengan orang setengah umur ini, setelah menemukan Koo San Djie mempunyai dasar yang bagus, biarpun kejahatan telah menutupi hatinya, tapi sifat kesatria yang masih dimilikinya membuat ia tidak tega untuk membunuh Koo San Djie.
Setelah ragu-ragu sekian lamanya, ia masih tidak dapat mengambil keputusan.
Tiba-tiba, batu berterbangan, debu mangepul, angin menderu-deru membawa segala sesuatu yang menghadang di hadapannya. Tiga buah pukulan geledeknya Koo San Djie beruntun telah keluar.
Orang itu sedang dalam keadaan memikir. Tidak menyangka Koo San Djie masih mempunyai pukulan simpanan ini, maka tidak ampun lagi tubuhnya telah terbawa angin puyuh buatan jago muda kita.
Tidak percuma jago ini mempelajari ilmu Sari Pepatah Raja Woo, dengan tubuhnya masih terbawa angin puyuh terbang di udara, tidak menunggu sampai menginjak tanah, lengan bajunya yang besar sudah dikibaskan ke belakang, bagaikan kecepatan lelatu api saja, tubuhnya sudah menerjang batu dan debu, langsung maju ke depan.
Tapi, tidak disangka, pukulan yang kedua dan ketiga dari jago kecil kita telah saling susul datang menyerangnya pula.
Sebelum orang itu pergi, datang lagi dua arus pukulan, akhirnya pukulan ketiga dari lawannya telah memaksa ia harus mundur juga ke belakang.
Wajah orang itu berubah, ia mengeluarkan suara di hidung dan tertawa dingin. Kegusarannya telah meluap dari takaran.
Suara dingin yang keluar dari hidungnya begitu sampai di telinga si gadis cilik, sudah membuat mukanya yang kecil mungil menjadi pucat seperti kertas, tubuhnya menggigil, seperti terserang penyakit malaria. Dengan suara menangis ia berteriak:
"Ayah lekas berhenti! Jika kau membunuhnya, maka akupun tidak akan hidup lagi!"
Tangannya yang kecil halus ditaruh di atas kepalanya
Inilah jalan satu-satunya untuk mencegah sang ayah membunuh orang.
Si ayah jadi kewalahan, dengan tidak berdaya ia menjadi menghela napas panjang, mukanya kembali menjadi sabar. Ia cukup tahu bahwa adat anak perempuannya yang hanya satu-satunya ini sangat kukuh dan keras, apa yang dikatakan, betul-betul dapat diperbuatnya. Jika ia tidak mengindahkan perkataan sang anak dan membawa adatnya sendiri, mungkin juga ia akan menyesal dalam seumur hidupnya.
Si anak perempuan juga telah mengetahui adat ayahnya. Setelah melihat perobahan muka dari sang ayah, dengan seketika, kedukaannya telah lenyap sama sekali, mukanya yang kecil tertawa riang, dengan berlompatan ia sudah datang menubruk ke dalam pelukan ayahnya. Dengan manja ia berkata:
"Ayah tentu akan melulusi, bukan?"
Sang ayah tidak menjawab, ia hanya mengelus-elus rambut anaknya.
Dalam keadaan bertempur, Koo San Djie tidak dapat memikirkan soal lainnya, yang dipikirkannya hanyalah dengan cara bagaimana ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah tiga buah pukulan geledeknya meluncur keluar, dalam hatinya menjadi menyesal juga. Ia tidak berniat melukai lawan, ia sudah pusing juga menghadapi lawan yang selalu menari dengan mengikuti bayangan telapak tangannya.
Setelah berhenti bertempur, dilihatnya sang lawan terlempar jauh juga. Ia menyangka tentu lawannya telah mendapat luka, dalam hatinya menyesal. Maka dengan cepat ia segera datang menghampiri, sambil memberi hormat ia berkata:
"Di waktu tadi, boanpwe telah terlepasan tangan, harap locianpwee tidak menyimpan di hati."
Ayah si gadis cilik tertawa adem:
"Jangan kau kuatir," katanya. "Dengan ilmu kepandaianmu, meskipun dapat dikatakan lumayan, tapi jika mau menundukkan tanganku kau masih belum waktunya."
Ini bukan ia berkata terkebur, perkataannya tidak salah sama sekali. Jangan dilihat dari wajahnya yang baru seperti orang setengah umur, sebenarnya, umurnya telah lebih dari seratus tahun. Dan anak perempuannya adalah anak satu-satunya yang didapatkannya pada hari tuanya.
Nama dari orang ini ialah Liu Djin Liong, bersama dengan istrinya almarhum Su Tjiat Kin, mereka mendapat julukan di kalangan Kang-ouw sebagai Sepasang Pendekar Merpati.
Pada suatu hari suami istri ini telah beruntung dapat menemukan sejilid kitab pelajaran silat kelas satu yang bernama Sari Pepatah Raja Woo. Maka, dengan hanya membawa dua pelayan laki dan perempuan, mereka pindah dan mengasingkan diri ke dalam lembah ini.
Lembah ini mengambil nama dari julukannya sepasang suami istri ialah Lembah Merpati.
Suami istri ini setelah meyakinkan pelajaran Sari Pepatah Raja Woo, sampai enampuluh tahun lamanya, dengan beruntung mereka berhasil juga meyakinkanya. Tapi tidak disangka, pada waktu berumur seratus tahun, Su Tjiat Kin setelah melahirkan Tjeng Tjeng, anak perempuannya ini, dengan tanpa mendapat sesuatu penyakit telah mati tua.
Liu Djin Liong yang sangat cinta kepada istrinya sudah membuat satu kuburan yang besar, dan membuatnya pula sebuah peti mati yang terbikin dari gelas. Dia sendiri, setiap malam telah menemani tidur di dalam peti mati gelas ini. Dalam khayalnya ia ingin menghidupkan kembali sang istri dengan meminjam hawa panas dirinya yang dicurahkan masuk ke dalam raga sang istri.
Biarpun ini adalah suatu usaha yang mustahil, tapi perbuatannya ini bukan tidak membawa hasil, setelah istrinya tidak bernafas selama belasan tahun, tapi tubuh raganya masih hangat dan tidak menjadi busuk.
Liu Djin Liong pernah bersumpah ia tidak akan keluar dari dalam lembah ini lagi dan akan membunuh setiap manusia yang berani memasuki lembahnya.
Nama Lembah Merpati telah digantinya menjadi Makam Merpati. Tidak terkecuali juga dengan anak perempuannya, Tjeng Tjeng, dan kedua pesuruhnya, mereka tidak diijinkan meninggalkan lembah.
Tjeng Tjeng dengan umurnya yang masih muda tidak merasa akan beratnya larangan ini. Tapi si pelayan tidak tahan akan penghidupan sepi yang terkekang. Mereka telah mendapat warisan kepandaian dari Liu Djin Liong, ingin sekali mengembara di kalangan Kang-ouw untuk mendapat nama. Tapi mereka juga mengetahui sifat dari majikannya yang telah melarang mereka keluar tentu, tidak dapat membiarkan mereka pergi. Maka, dengan menggunakan kesempatan sewaktu Liu Djin Liong menemani mayat istrinya, mereka telah lari keluar dari dalam lembah.
Telah beberapa tahun Liu Djin Liong menyimpan urusan ini, ia belum dapat mencari sesuatu daya untuk membereskannya.
Demikian singkatnya riwayat hidup Liu Djin Liong.
?Y? Kini kita balik kepada Tjeng Tjeng yang sedang berada dalam pelukan ayahnya, dengan mendongakkan kepala, menanti jawaban dari permintaannya. Tapi ayahnya hanya termenung-menung saja, lama...... lama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.
Tangan Tjeng Tjeng yang kecil mendorong tubuh ayahnya dan berkata pula:
"Ayah, mengapa tidak menjawab?"
Baru kali ini Liu Djin Liong tersadar, setelah mengelus-elus rambut anaknya sekian lama baru ia berkata:
"Ayahmu sedang memikirkan suatu urusan......"
Setelah terdiam sebentar, Liu Djin Liong sudah mengangkat kepalanya dan dengan mata ditujukan kepada Koo San Djie berkata:
"Peraturan lembah ialah membunuh pada siapa yang berani memasukinya. Jika kau bersedia menjadi muridku, sudah tentu akan menjadi orang sendiri dan tidak terkena peraturan ini......"
Koo San Djie dengan sungguh-sungguh berkata:
"Dengan kepandaian locianpwee yang telah menjagoi di kolong langit ini, boanpwe juga turut menjagoinya. Sudah tentu boanpwe sangat beruntung, jika dapat menjadi murid locianpwe, tapi boanpwe telah mempunyai guru, dan tidak dapat berpindah masuk ke dalam golongan lain. Harap Locianpwe dapat memaafkannya."
"Siapakah yang telah menjadi gurumu?" Liu Djin Liong bertanya.
"Pendekar Berbaju Ungu."
Mendengar disebutnya nama Pendekar Berbaju Ungu, Liu Djin Liong tertawa berkakakan. Kemudian ia berkata pula pada Koo San Djie:
"Oh, dia" Jika demikian, kau harus memanggil aku Supek."
Koo San Djie menganggap hal itu tidak ada salahnya. Dia ternyata adalah sahabat kental gurunya, sudah tentu memanggil susiok atau supek. Maka ia sudah menganggukkan kepalanya menyetujui.
Liu Djin Liong setelah berdiam sejenak kemudian berkata pula:
"Dengan kepandaianmu sekarang ini, hanya memerlukan waktu setahun saja dapat mempelajari semua ilmu yang akan kuturunkau kepadamu. Aku mengijinkan kau tinggal di sini dalam waktu setahun. Tapi aku mempunyai dua syarat yang harus kau perhatikan."
Koo San Djie hanya memanggutkan kepalanya dan mendengarkan terus pembicaraan si orang tua.
Liu Djin Liong berkata lagi:
"Yang pertama, ialah setelah kau keluar dari dalam lembah, harus mewakili mengerjakan sesuatu untukku. Dan yang kedua, dalam waktu setahun ini kau tidak diperbolehkan mengucapkan suatu perkataan juga kepada Tjeng Tjeng."
Koo San Djie berpikir, permintaan ini tidak sukar baginya. Demi kepentingan mengerjakan suatu urusan besar, ini tidaklah menjadi soal. Tentang tidak dapat bicara dangan Tjeng Tjeng, lebih mudah lagi, ia boleh anggap saja seperti tidak ada Tjeng Tjeng. Jika Tjeng Tjeng dapat menahannya, mengapa ia tidak dapat menahan sabar! Lalu, ia meluluskan segala permintaan si orang tua.
Liu Djin Liong juga tidak mengatakan suatu apa-apa lagi. Mereka lalu meninggalkan tempat itu masuk ke dalam lembah......
?Y? Matahari pagi baru mulai memancarkan sinarnya. Di atas daun-daun yang hijau, masih terlihat beberapa tetes embun pagi yang bening. Beberapa kali siliran angin gunung yang sejuk telah membuat orang merasa lebih segar lagi.
Tjeng Tjeng bukan main girangnya, ia sangat gembira sekali yang telah berhasil mendapatkan kawan barunya. Pagi-pagi sekali, ia telah bangun untuk melihat sang tetamu, itulah pemuda Koo San Djie.
Setelah sampai di kamar tamu, ia telah menubruk tempat kosong. Ternyata tamunya telah pergi keluar.
Sambil berlompatan, ia telah lari keluar kamar mencari tamunya. Betul saja, di bawah sebuah pohon yang besar, ia telah mendapatkan Koo San Djie yang sedang duduk bersemedi.
Tjeng Tjeng tidak berani mengganggunya, dengan sabar ia memperhatikan gerak geriknya. Dengan tangan memegang tangkai bunga Hay-thang berdiri tidak jauh dari tempat Koo San Djie melatih diri.
Setelah sekian lama, selesailah Koo San Djie melatih, dia sedang menyelesaikan serangkaian ilmu pukulan. Ia mengangkat kepalanya dan melihat Tjeng Tjeng berdiri di sana. Baru saja ia membuka mulut untuk memanggil......
Dengan tertawa manis, Tjeng Tjeng sudah menggerakkan jarinya, dipasang dan dilintangkan ke mulut. Seluruh badannya tergerak semua karena ia tertawa terpingkal-pingkal.
Kelakuan ini sangat lucu sekali, sehingga membuat Koo San Djie yang melihatnya menjadi kememek, hampir dia hilang ingatannya. Dalam hatinya memikir:
"Ia sedang menyaingi mekarnya bunga Hay-thang."
Tjeng Tjeng tertawa, kemudian menurunkan tangannya, kemudian memetik setangkai bunga Hay-thang lantas diciumnya.
Lalu, berjalan maju menghampiri Koo San Djie, menarik tangan si pemuda dan mengajak pergi ke sebuah sungai kecil yang terdapat di situ.
Mereka berdua terduduk di sana, dengan berpandangan mereka sama-sama tertawa.
Tjeng Tjeng mengulur tangannya ke tanah dan mengambil sebuah batu, dengan kecepatan yang luar biasa ia telah menulis di tanah:
"Apa kau masih mempunyai orang tua?"
Koo San Djie juga menulis dengan jari telunjuknya:
"Sudah tidak ada. Aku hanya sebatang kara."
"Juga tidak mempunyai saudara?"
"Betul." "Akupun hanya seorang diri, dan merasa kesepian. Maukah kau menjadi saudaraku?"
"Jika kau tidak memandang rendah, aku akan memanggilmu adik Ceng saja."
"Tentu! Aku akan senang memanggilmu engko San."
"Mari kita segera pulang. Ayahmu tentu telah mencari kemana-mana."
Demikianlah, terjadi percakapan mereka yang pertama, tanpa melanggar peraturan Liu Djin Liong.
Tjeng Tjeng telah membuang perasaan lamanya yang kesepian dan kesal, dengan riangnya ia menarik tangan Koo San Djie, dan diajaknya menuju ke arah Makam Merpati yang tinggi besar dan megah.
Suling Emas 6 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Misteri Kapal Layar Pancawarna 12
^