Pencarian

Lembah Nirmala 16

Lembah Nirmala Karya Khu Lung Bagian 16


"kucing malam" agak tertegun dan tak sempat berbicara, ia telah berbisik lirih:
"Jangan berisik."
Dengan langkah lebar dia berjalan menuju kebawah panggung, langkah kakinya sengaja
diperkeras hingga menimbulkan suara nyaring.
Waktu itu sipenjahat yang bertugas diatas atap rumah sudah mulai gelisah karena tak melihat
rekannya munculkan diri, begitu menjumpai Kim Thi sia muncul dibawah panggung sambil
membopong seseorang, didalam kegelapan ia mengira toakonya yang munculkan diri, segera
omelnya: "Bagaimana sih toako ini, kalau toh sudah berhasil, kenapa tidak mengucapkan sesuatu aku
masih mengira kau telah menemui sesuatu persoalan-" Dengan langkah cepat dia membantu
kesamping. Kim Thi sia menunggu sampai orang itu dekat dengan dirinya ketika secara tiba-tiba ia
membalikkan badan sambil melancarkan cengkeraman kilat.
Mimpipun orang itu tak mengira kalau "toako" nya bakal menyergapnya secara mendadak.
didalam tertegunnya, urat nadi pentingnya tahu-tahu sudah kena dicengkeram erat-erat.
Dengan perasaan terkejut bercampur ngeri dia mengawasi sekejap sang "toako" nya, sekarang
ia baru sadar bahwa toakonya ternyata hanya seorang manusia aneh berkerudung, ia makin
terkejut hingga menjerit tertahan-
Sementara itu si " kucing malam" telah melayang datang, meminjam cahaya yang ada dia
mengamati sekejap wajah penjahat itu, tiba-tiba serunya sambil tertawa dingin-
"Heeeeh.......heeeeeh......heeeeeh.......kukira siapa yang telah datang, rupanya kalian tiga
manusia cabul yang memalukan- IHmmm, bila hari ini tidak diberi sedikit pelajaran kalian pasti tak
bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat." Kim Thi sia yang mendengar perkataan
tersebut, dengan cepatnya berpikir pula: "Sialan, rupanya dia sudah mengetahui asal usul dari
ketiga orang ini." Berpikir demikian, diapun segera bertanya:
"Siapa sih ketiga orang penyamun ini?" Si "kucing malam" tertawa dingin.
"Heeeeh..... h eeeeh..... heeeeh..... menyinggung tentang ketiga orang ini, rasanya setiap
orang persilatan pasti akan mengutuknya habis-habisan- Mereka tak lain adalah "Tiga rase
bermuka hitam" yang termashur sebagai setan perempuan- Sepanjang hidup mereka entah sudah
berapa banyak anak istri orang yang telah diperkosa dan dinodai oleh mereka."
"Kurang ajar. Begitu berani mereka lakukan perbuatan terkutuk seperti ini. IHmmm, aku yakin
dibelakang layar pasti ada jago lihay yang menjadi pendukungnya" seru Kim Thi sia. si " kucing
malam" segera mendengus.
"Kalau menyinggung soalpendukung dibelakang layarnya. Hmmmm Mungkin saja orang lain
tidak tahu, tapi aku mengetahuinya dengan jelas sekali orang itu."
Meski dia tidak bermaksud untuk melanjutkan kata-katanya, namun sorot matanya segera
memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan hati. Seakan-akan dia mempunai dendam
kesumat dengan si "pendungkung dibelakang layar" tersebut.
"Siapa sih orang itu?" tanya Kim Thi sia keheranan- "Apakah kau tak berani mengutarakannya"
" " Kurang ajar, kau anggap aku sisastrawan menyendiri adalah manusia penakut yang gampang
dipermainkan orang?"
Setelah tertawa dingin berulang kali, dia melanjutkan:
"Bila dibicarakan mungkin saja orang lain tak akan percaya, tapi didalam kenyataannya
sipendukung dari tiga rase bermuka hitam tak lain adalah sipedang emas, pemimpin dari sembilan
pedang dunia persilatan-"
"Haaaah.......?" Kim Thi sia amat terperanjat segera pikirnya:
"Mungkinkah abang seperguruanku adalah manusia bengis semacam ini"Jangan-jangan kau
sengaka memutar balikkan duduknya persoalan lantaran kau memang mempunyai dendam
kesumat dengannya?" Berpikir sampai disini, sambil menarik muka diapun menegor: "Apakah kau mempunyai bukti
atas perbuatannya itu?" Dengan penuh kebencian sastrawan menyendiri berkata:
"Biarpun sembilan pedang dari dunia persilatan adalah anak murid dari Malaikat pedang
berbaju perlente, padahal mereka bukan manusia baik-baik. Dibalik sepak terjang mereka,
sesungguhnya masing-masing anggotanya seringkali melakukan penculikan perampokan maupun
perkosaan, hanya saja berhubung ilmu silat mereka sangat lihay, cara kerja merekapun sangat
lihay, cara kerja merekapun sangat rapi. Sehingga sulit bagi orang luar untuk mengetahuinya."
Kemudian setelah berhenti sejenak. dia melanjutkan kembali dengan suara dalam:
"Bila tak ingin perbuatannya diketahui orang, kecuali dia sendiri tak pernah melakukannya. Aku
sudah terlalu lama berkelana didalam dunia persilatan- Tiada peristiwa apapun yang dapat
mengelabuhi diriku. Hmmm, bahkan etrmasuk juga teka teki sekitar kematian Malaikat pedang
berbaju perlente. Aku sudah mempunyai suatu gambaran yang cukup jelas tentang peristiwa
berdarah ini." "oooh, kaupun mengetahui jelas sebab kematian Malaikat pedang berbaju perlente?" tanya Kim
Thi sia terkejut. "Apa yang menyebabkan kematiannya?"
"Apa yang menyebabkan kematiannya?" seru sastrawan menyendiri sangat marah. "Hmmmm
hmmmm.. apalagi kalau bukan mati karena dibokong secara licik dan keji oleh kesembilan orang
murid kesayangan itu."
Berbicara sampai disitu tiba-tiba ia berhenti sejenak. lalu sambil menatap Kim Thi sia tajamtajam,
ia berkata lebih lanjut: "Meskipun aku tidak menyaksikan semua peristiwa itu dengan mata kepala sendiri, meski aku
menyimpulkan kesemuanya ini berdasarkan pelbagai informasi serta data yang berhasil
kukumpulkan, namun aku berani menjamin dengan taruhan batok kepalaku bahwa sebab
kematian Malaikat pedang berbaju perlente adalah dikarenakan perbuatan kejam kesembilan
orang anak muridnya sendiri."
Kim Thi sia menghembuskan napas panjang, tiba-tiba saja dia merasakan tubuhnya bagaikan
balon yang kempes secara tiba-tiba. Seluruh kekuatan tubuhnya seperti lenyap dengan begitu
saja. Akibatnya orang itu yang berada didalamnya telah bopongannyapun ikut terjatuh keatas
tanah hingga merintih kesakitan-
Sampai detik ini dia masih belum berani mempercayai kesemuanya itu, kembali gumamnya:
"Tak mungkin sembilan pedang dari dunia persilatan adalah manusia rendah yang berhati
binatang serta melakukan kejahatan yang terkutuk." Sastrawan menyendiri tertawa dingin, tibatiba
ia bertanya: "Tahukah kau apa sebabnya sipedang emas selalu mengenakan selembar kain untuk
mengerudungi mukanya?"
"Tidak." "Sebenarnya dia merupakan seorang lelaki yang tampan sekali, tapi justru karena sewaktu
membokong suhunya dia telah kena ilmu Hud thi ciang dari gurunya yang bertenaga dalam persis
diatas wajahnya, maka sebagai akibat mukanya menjadi hancur berantakan tak karuan lagi
bentuknya. Kecuali sepasang matanya keempat indera lainnya sudah tak berbentuk lagi."
Setelah tertawa dingin kembali lanjutnya:
"Pedang emas sudah termashur karena romantis dan suka bermain perempuan, sejak wajahnya
rusak, ia menganggap tak ada harapan lagi baginya untuk merebut hati gadis cantik. Maka diapun
menitahkan anak buahnya untuk menculik dan merampas anak gadis orang untuk dijadikan
korban pelampiasan napsu birahinya. Tiga rase bermuka hitam tak lain adalah salah satu diantara
anak buahnya itu.Jika kau tak percaya, siksalah ketiga rase bermuka hitam itu, niscaya mereka
akan menceritakan keadaan yang sebenarnya......."
Kim Thi sia tertawa sedih.
"Katakan kepadaku, apa sebabnya kau membocorkan rahasia ini kepadaku.......?"
"Aku berharap bisa menjalin hubungan persahabatan denganmu, maka semua isi hatiku
kuutarakan kepadamu. HHmmm coba berhanti orang lain, aku tak perlu banyak berbicara."
"Jadi kau menganggap aku sebagai sobat karibmu....." ucap Kim Thi sia sambil tertawa getir.
"Sejak kudengar suara nyanyianmu yang gagah perkasa, akupun menjadi paham manusia
macam apakah dirimu ini. Itulah sebabnya akupun sangat berhasrat untuk menjalin persahabatan
denganmu." "Apakah kau sudah mengetahui siapakah aku?"
"Apakah menjalin persahabatanpun harus diketahui dulu statusnya" Ucapan anda sangat
mengecewakan diriku." seru sastrawan menyendiri dengan perasaan tak habis mengerti.
Dengan cepat Kim Thi sia menggelengkan kepalanya berulang kali dia berkata: "Aku bukan
bermaksud begitu, harap kau jangan salah mengartikan maksudku." setelah tertawa rawan, dia
melanjutkan: "Terus terang saja aku adalah murid terakhir dari Malaikat pedang berbaju perlente, sejak
selesai mendengar perkataanmu tadi, aku telah mengambil keputusan untuk melakukan uatu
pembalasan dendam kesumat terhadap para abang seperguruanku. Coba bayangkanlah astrawan
menyendiri, apakah peristiwa itu saling gontok-menggontok antara sesama saudara seperguruan
bukan merupakan suatu kejadian yang tragis?" metelah berhenti sejenak, kembali dia
melanjutkan: "Kau tentu bisa merasakan bukan bagaimanakah perasaanku sekarang, itulah sebabnya kulihat
soal menjalin persahabatan bisa ditunda lain waktu. Sekarang aku harus pergi. Sastrawan
menyendiri, terima kasih banyak atas keteranganmu yang berharga itu, ucapanmu telah banyak
membuka tabir rahasia yang selama ini mencekam pikiranku, suatu ketika aku pasti akan
mengucapkan terima kasih kepadamu........."
"Jadi kau adalah Kim Thi sia......." seru sastrawan menyendiri agak tertegun-
"Benar" Kim Thi sia melanjutkan langkahnya menuju kedepan, mendadak ia berpaling seraya berkata
lagi: "Selamat tinggal sobat"
Ditengah kegelapan mencekam jagad, dengan termangu-mangu sastrawan menyendiri
menghantar keberangkatan pemuda itu, dia tahu apa yang hendak dilakukan pemuda tersebut.
Tanpa terasa dia menghela napas dan bergumam:
"Aaaai, siapakah yang menyangka kalau sepatah dua patahku tadi bakal menimbulkan badai
darah didalam dunia persilatan?"
Sementara itu Kim Thi sia berjalan dengan perasaan sangat berat, disaat dia tiba didepan
rumah penginapan yang didiami saudara seperguruannya, bara api telah menyorot keluar dari
balik matanya. Sekuat tenaga dia berusaha menekan pikirannya yang teringat kembali akan kebaikan dari para
suhengnya. Sejak terjun kedalam dunia persilatan, baru pertama kali ini dia menjumpai persoalan
serumit ini. Ia berdiri kaku didepan rumah penginapan sambil berpikir:
"Bagaimana mungkin aku tega turun tangan untuk membunuh para abang seperguruanku."
Namun ia segera teringat kembali dengan pemandangan disaat gurunya hampir menemui
ajalnya. Diapun seakan-akan teringat kembali akan pesan gurunya itu.
"Nak, bila kau tak tega untuk turun tangan nyanyikanlah lagu Sembilan dendam kesumat."
"Nak. disaat kau telah berhasil, bawalah tulang belulang dari kawanan binatang itu untuk
dipersembahkan didepan kuburanku, ukirlah bait lagu sembilan dendam kesumat diatas batu
nisanku. Setiap bulan purnama pada hari Tiong ciu, ambillah segenggam bunga segar dan
nyanyikanlah lagu sembilan dendam kesumat untuk mengundang arwahku. Sampai saat ajalpun
aku tak dapat melupakan dendam berdarah ini."
"Lagu sembilan dendam kesumat.......lagu sembilan dendam kesumat........" Kim Thi sia
bergumam lirih, pelbagai ingatanpun melintas didalam benaknya.
Ditengah kegelapan malam yang mencekam, tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dan
bernyanyi dengan suara keras: " Dendam sakit hatiku, jauh melebihi samudra, Haruskah aku mati
dalam keadaan begini" Biar badan hancur, biar tubuh remuk, Akan kucuci semua sakit hati
ini........ Lidahku dipotong, mataku diculik,
Rambutku dipapas, tulangku dikunci,
Telingaku diiris, ototku dicabut,
Lenganku dikuntung dan kakiku ditebas......
Rasa dendam serasa merasuk ketulang.
Aku merasa pedih, aku merasa sedih,
Dendam kesumat ini harus kutuntut balas......."
Ketika membawakan lagu itu, Kim Thi sia seolah-olah menyaksikan kembali wajah Malaikat
pedang berbaju perlente yang sedang menatap kearahnya dan berbisik sambil menggigit bibir:
"Murid durhaka,aku pertaruhkan sisa hidupku untuk mewariskan ilmu silat kepadamu tak lain
karena kuharap kau dapat membalaskan dendam sakit hati ini. Siapa tahu, tulang belulangku
belum lagi mendingin, kau sudah berubah pikiran-......"
Paras muka pemuda itu berubah, peluh dingin jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
Mendadak ia meraung keras dan berulang-ulang membawakan lagu sembilan dendam kesumat
dalam waktu singkat darah panas dalam dadanya serasa bergolak keras, tanpa ragu-ragu dia
melanjutkan perjalanannya menuju kearah rumah penginapan-
Mungkin karena terpengaruh oleh bait-bait lagu sembilan dendam kesumat didalam waktu
singkat dia seakan-akan telah berubah menjadi seseorang yang lain, bagaikan malaikat yang
bengis dia berjalan memasuki rumah penginapan tersebut.
Cahaya lampu didalam rumah penginapan telah padam semua kecuali beberapa lampion
diberanda samping. Ia berjalan menelusuri beranda tersebut dan berhenti ditengah sebuah kebun. Disitu ia
berteriak keras-keras: "Sembilan pedang dari dunia persilatan, kalian keluar semua."
Para tamu penginapan yang sudah tertidur nyenyak seketika terbangun oleh suara teriaknya
yang keras dan nyaring itu, dengan perasaan terkejut mereka memasang lentera dan melongok
keluar. Dalam waktu singkat suasana didalam rumah penginapan itu sudah dibuat terang benderang
bermandikan cahaya. Ketika para tamu mengetahui bahwa orang yang berteriak adalah seseorang yang bengis dan
buas bagaikan malaikat. Meski dihati kecilnya merasa tak senang hati, namun tak seorangpun
yang berani memberi komentar.
Sementara itu Kim Thi sia menurunkan kain kerudung mukanya, dengan suara keras kembali
bentaknya: "Hey sembilan pedang dari dunia persilatan, apakah kalian tak berani tampilkan diri" Aku
adalah Kim Thi sia."
Begitu namanya diutarakan, para tamu penginapan yang melakukan perjalanan dalam dunia
persilatan makin ketakutan lagi. Sekalipun mereka tidak mengetahui secara pasti kemampuan dari
orang tersebut, namun merekapun sadar, tidak berapa orang yang berani mencari gara-gara
dengan Kim Thi sia yang tersohor itu.
"Maknya" dihati kecil mereka menggerutu. "Rupanya simanusia yang paling susah dilayani yang
telah datang membuat gara-gara, tak heran kalau dia berani menantang sembilan pedang dari
dunia persilatan untuk berduel."
Mendadak pintu jendela ruangan sebelah timur terbuka disusuk kemudian tampak tiga sosok
bayangan hitam berkelebat lewat dengan kecepatan luar biasa.
Begitu melihat kehadiran bayangan hitam tersebut, Kim Thi sia segera melangkah maju
kedepan seraya berteriak keras:
"Apakah yang datang adalah sembilan pedang dari dunia persilatan?"
Dengan suatu gerakan yang sangat ringan ketiga sosok bayangan manusia itu berganti napas
ditengah udara lalu melayang turun kebawah dengan gerakan " burung elang bermain diair."
Ketika Kim Thi sia mencoba mengamati wajah orang-orang tersebut, dia segera mengenali
mereka sebagai sipedang perak- pedang tembaga dan pedang besi.
Rupanya sejak putri Kim huan diculik oleh permuda berwajah jelek ditengah jalan, ketiga orang
ini merasakan peristiwa tersebut amat merosotkan pamor mereka didepan mata orang persilatan-
Karenanya terdorong oleh perasaan tak puas dan terhina, mereka bertekad hendak menemukan
jejak pemuda bermuka jelek tersebut.
Ketika mencari tempat penginapan malam ini, secara kebetulan mereka melihat suara
tantangan dari pihak "Nirmala", karena itu hingga larut malam mereka belum juga tidur,
maksudnya hendak menunggu sampai kemunculan si Nirmala nomor tujuh.
Tak disangka yang datang bukan Nirmala nomor tujuh, melainkan Kim Thi sia manusia yang
paling susah dilayani. Meskipun ketiga orang itu merasakan peristiwa mana sedikit diluar dugaan, namun melihat
kedatangan Kim Thi sia yang diliputi perasaan gusar dan rasa dendam yang meluap-luap ini, hati
mereka segera terasa berat dan tercekat.
Sementara itu Kim Thi sia telah berteriak keras:
" Hey pedang perak. pedang tembaga, dan pedang besi. Dengarkan baik-baik, kedatanganku
hari ini tak lain adalah hendak menantang kalian untuk bertarung hingga titik darah yang
penghabisan. cobalah kalian pertimbangkan sendiri, apa sebetulnya hendak tiga melawan satu
ataukah satu melawan satu, terserah kalian sendiri yang memilih. Tapi aku tak bisa menunggu
terlalu lama lagi......"
Ketika mengucapkan perkataan itu, dalam hati kecilnya dia membawakan terus lagu "sembilan
dendam kesumat". Dia berusaha membayangkan kembali peristiwa berdarah itu.
Dengan suara dalam sipedang perak segera menegur: "Kim sute, apakah kau sudah edan?"
Kemudian sambil melangkah maju dengan tak senang hati, dia melanjutkan lebih jauh:
"Dibawah pandangan mata umum, apa jadinya bila sesama saudara seperguruan saling gontokgontokan
sendiri" Ayoh ikut aku masuk kedalam kamar, aku hendak menanyakan sesuatu
kepadamu." "Aku sudah melepaskan diri dari ikatan hubungan persaudaraan dengan kalian, pokoknya
kecuali berduel hingga titik darah penghabisan, tiada persoalan lagi yang bisa dibicarakan diantara
kita." Sambil tertawa dingin sipedang besi menegur:
"Suheng, sudah kau dengar perkataannya itu" Ia telah mengumumkan pemutusan hubungan
persaudaraan dengan kita."
Kemudian setelah mengerling sekejap kearah Kim Thi sia, dengan luapan rasa benci dan
dendam yang melumer dia berkata lebih jauh:
"Kalau toh begitu, kitapun tak usah terlalu menghargai dirinya lagi, menurut pendapatku lebih
baik hubungan sebagai sesama saudara seperguruan kita putuskan hingga disini saja, kita
selesaikan urusan ini dengan kekerasan-"
"Aku memang berharap demikian, nah kalian boleh mempersiapkan diri secepatnya" seru Kim
Thi sia. Tiba-tiba pedang perak berkata dengan suara dalam:
"Samte, aku lihat kesadarannya agak terganggu, coba kau tangkap orang tersebut." Pedang
tembaga mengiakan dan segera maju kedepan dengan langkah lebar.
Kim Thi sia merasa agak sedikit tegang, meski begitu, ketika teringat kembali dengan dendam
sakit hati gurunya, perasaan tegang yang semula mencekam perasaan hatinya seketika hilang
lenyap tak berbekas. "IHey, kita mau bertarung dengan pedang atau tangan kosong saja" Hari ini, kita mesti


Lembah Nirmala Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangsungkan pertarungan dengan sebaik-baiknya."
Pedang tembaga sama sekali tidak berbicara, dia berjalan hingga kejarak tiga kaki sebelum
secara tiba-tiba melancarkan sebuah serangan dengan ilmu " bukit tay san menindih kepala",
serangannya selain dilancarkan dengan kecepatan luar biasa, lagi pula mengandung hawa pukulan
yang sangat mematikan- Kim Thi sia segera membuang toya besinya sambil menyambut datangnya ancaman tersebut
dengan jurus "kelincahan menguasahi empat samudra" dan "mati hidup ditangan takdir" dari ilmu
Tay goan sinkang. Tampaknya ia sadar, bahwa kelihayan dari ilmu Tay goan sinkangnya masih belum cukup untuk
mengalahkan musuhnya, maka dari itu begitu kedua jurus serangannya dilancarkan, kakinyapun
melancarkan sebuah sapuan dengan sepenuh tenaga. Dalam satu jurus serangan, ternyata dia
selipkan tiga gerakan yang berbeda.
Agaknya sipedang tembagapun melancarkan serangan dengan sekuat tenaga. Hal ini bisa
didengar dari deruan angin serangannya yang tajam dan gencar.
Namun begitu serangannya dilontarkan kedepan, tiba-tiba saja dia rasakan bahwa tenaga
pukulannya yang kuat mengapai sasaran yang kosong seakan-akan serangan tersebut terjepit
secara diam-diam hingga sasarannya menjadi meleset sama sekali. Kejadian tersebut kontan saja
amat mengejutkan hatinya.
Masih untung dia mempunyai pengalaman yang cukup matang didalam menghadapi serangan
musuh. Kecepatan reaksinya yang sangat mengagumkan-
Baru saja angin pukulannya mengenai sasaran yang kosong, ia segera menyadari kalau situasi
tidak menguntungkan, dengan gerakan "kuda liar menarik tali" dia segera menarik kembali
serangannya sambil berusaha dimiringkan kesamping. segulung desingan angin tajam dengan
cepat menyambar lewat dari atas bahunya.
Meskipun tidak sampai termakan oleh serangan yang gencar itu, tak urung peluh dingin
bercucuran juga membasahi seluruh tubuh sipedang tembaga.
Begitu Kim Thi sia berhasil meraih keuntungan yang cukup lumayan pada jurus serangan yang
pertama, semangat tempurnya pun makin berkobar-kobar.
Berkilay sepasang mata pedang perak setelah menyaksikan peristiwa ini pikirnya kemudian-
"jurus serangannya itu kelihatan sederhana sekali tanpa sesuatu keistimewaan, perubahan
apapun tidak kelihatan kenapa begitu dan akan bersentuhan dengan lawan, segera terwujudlah
perubahan yang begitu pelik hingga susah dihadapi?"
Sementara itu sipedang tembaga tak berani bertindak gegabah lagi, setelah dalam bentrokan
yang pertama nyaris dipecundangi musuhnya. Kini dia berdiri dengan tenang sambil
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dia berusaha untuk mengamati perubahan gerakan
musuhnya. Mendadak segulung tenaga pukulan yang maha dahsyat dilontarkan kedepan, begitu Kim Thi
sia menyambut dengan kekerasan, tubuhnya segera tergetar mundur sejauh dua langkah dari
posisi semula. "Haaaah, rupanya tenaga dalam yang dimilikinya masih selisih jauh dibandingkan dengan
kemampuanku......" Sipedang tembag kegirangan setengah mati, secara beruntun dia melancarkan kembali dua
buah serangan yang amat gencar.
Kim Thi sia paling takut mengadu kekuatan dengan musuhnya, dia tidak mampu berdiri tegak
dan sekali lagi terdesak mundur sejauh tiga langkah dari posisi semula.
Sementara itu suasana didalam rumah penginapan itu hening dan tak kedengaran sedikit
suarapun, semua orang mengikuti jalannya pertarungan tanpa bersuara, karena siapapun tahu,
kedua belah pihak yang sedang bertarung sama-sama merupakan jagoan yang susah dihadapi.
Waktu itu Kim Thi sia sedang berkelit kesamping dengan kecepatan tinggi disaat musuh belum
sempat melancarkan serangannya yang keempat.
Sipedang tembaga segera mendengus dingin sekali lagi dia memutar telapak tangannya sambil
melancarkan serangan- Kali ini Kim Thi sia bukannya mundur sebaliknya malah mendesak maju kedepan, dengan
menggunakan jurus " kelembutan mengatasi air dan api" dari ilmu Tay goan sinkang ia sambut
datangnya serangan tersebut sementara tangan kirinya menyerang dengan gerakan "ketenangan
akan menimbulkan awan kabut."
Dalam dua gerakan mana, sebuah digunakan untuk membendung angin pukulan sipedang
tembaga sedang yang la in justru menyelinap ketengkuk musuh dengan gerakan lincah. Pedang
tembaga merendahkan badannya seraya membentak keras: "Lihat serangan jari." "Sreeet,
sreeeet." Dua gulung desingan angin tajam meluncur kedepan dan langsung menyergap jalan darah
penting diatas dadanya. Kim Thi sia segera mundur satu langkah belum sempat melancarkan serangan balasan,
sipedang tembaga telah manfaatkan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya, ia mendesak
lebih jauh dan secara beruntun melancarkan tiga buah pukulan dikombinasikan dua buah
tendangan kilat. Pertarungan antara jago lihay, kebanyakan menang kalah ditentukan oleh satu tindakan, begitu
pula dengan sipedang tembaga sebagai orang ketiga dari Sembilan pedang dunia persilatan, tentu
saja ilmu silat yang dimilikinya luar biasa sekali.
Begitu dia memanfaatkan kesempatan baik utuk meraih kemenangan, Kim Thi sia segera
terdesak hebat sehingga mundur berulang kali kebelakang.
Kim Thi sia yang kehilangan posisi baik sehingga terdesak sampai kalang kabut oleh pedang
tembaga, apalagi dihadapan orang banyak. dari malunya dia menjadi gusar.
Mendadak kuda-kudanya dipantekkan keatas tanah dan tidak mundur lagi kebelakang,
sementara sepasang telapak tangannya melancarkan pukulan kiri kanan dengan jurus "mengebot
baju menghilangkan debu" serta "hembusan angin mencabut pohon-" Angin serangan segera
menderu- deru dan menyelimuti seluruh angkasa.
Pedang tembaga tertawa dingin, tanpa menggeser langkah kakinya dia memutar telapak
tangannya yang telah terhimpun kekuatan besar itu.
Kedua buah serangan yang dipersiapkan kali ini merupakan himpunan dari segenap kekuatan
yang dimilikinya, dalam waktu singkat angin pukulan menderu- deru, pasir dan batu beterbangan
keudara, suasana terasa sangat mengerikan hati.
Melihat kedahsyatan tersebut, Kim Thi sia sadar bahwa dia tak sanggup lagi untuk menghadapi
ancaman tersebut, dengan wajah berubah hebat segera pikirnya: "Mungkin kebun ini akan
menjadi tempatku menemui ajalnya?"
Tiba-tiba sifat kerbaunya muncul kembali, sekalipun dia tahu kalau bukan tandingan, namun ia
justru menghimpun segenap kekuatan tubuhnya dan menyambut serangan tersebut dengan keras
melawan keras. mendadak terdengar sipedang tembaga menjerit kesakitan, disusul kemudian memuntahkan
darah segar, tanpa berbicara sepatah katapun pemuda itu membalikkan badan dan melarikan diri.
Kim Thi sia mengira dia sudah berhasil menangkan pertarungan tersebut, dengan cepat
pengejaran dilakukan- Tapi hanya sebentar saja ia sudah berhenti kembali dengan wajah termangu, diam-diam
pikirnya: "Aaaah, tidak benar, serangan kami belum saling bertemu. Bagaimana mungkin menang kalah
bisa diketahui" Rupanya bukan aku yang telah melukai dirinya"
Dalam kesibukannya dia sempatkan untuk berpaling, betul juga, dibawah sinar lentera tampak
tiga orang manusia berkerudung telah berdiri tegak disana dengan angkernya.
Entah sejak kapan ketiga orang itu munculkan diri, jangankah orang yang sedang bertarung
tidak mengetahui secara pasti, ternyata para penontonpun tak ada yang mengetahui kehadiran
mereka, jelas kejadian ini merupakan suatu peristiwa yang sangat aneh.
Pedang perak segera berkerut kening, sambil memayang tubuh pedang tembaga yang
sempoyongan, ia membentak dengan suara dalam: "Apakah yang datang adalah Nirmala nomor
tujuh?" Salah seorang diantara tiga manusia berkerudung yang bertubuh kecil dan berdiri ditengah
segera balik bertanya: "Kau termasuk urutan keberapa dari sembilan pedang dunia persilatan-.......?"
Begitu buka suara ia segera menegur pedang perak tanpa sungkan-sungkan, bahkan sama
sekali tidak mengacuhkan pertanyaan yang diajukan-Jelas hal ini menandakan bahwa orang itu
tidak memandang sebelah matapun terhadap musuhnya.
Tapi yang membuat semua terkejut bukan hal ini, melainkan nada tegurannya yang merdu
merayu. "ooooh, rupanya dia adalah seorang wanita" pikir semua orang tanpa terasa tapi setelah
diperhatikan lebih seksama dan menemukan banyak sekali kejanggalan, mereka segera berpikir
lagi: "Kalau memang wanita, kenapa tidak berdandan sebagai wanita"Jangan-jangan dia adalah
seorang banci?" Sementara itu sipedang perak telah menjawab dengan tak senang hati: "Akulah sipedang
perak, dan kau?" Perempuan berkerudung itu tertawa merdu, suaranya seperti kelentingan yang berbunyi
nyaring membuat orang merasa tertegun dan terpesona dibuatnya.
"Akulah si Dewi Nirmala" perempuan itu memperkenalkan diri.
"oooh........sebuah nama yang sangat indah Dewi Nirmala" pikirnya banyak orang tanpa terasa.
"Seperti juga nada suaranya yang merdu merayu dengan penuh mengandung kelembutan dan
kesucian-...." sebaliknya paras muka sipedang perak telah berubah hebat, alis matanya berkenyit kencang,
sampai lama kemudian ia baru berkata:
"Dewi Nirmala, berulang kali kau telah menantang sembilan pedang dari dunia persilatan,
sebetulnya apa maksud tujuanmu" Harap kau suka memberi penjelasan-...."
Dewi Nirmala tertawa getir.
"Pedang perak. apakah kau kebingungan" Lantas kenapa kau sendiri membunuhi pula anak
buahku?" "Aku hanya membela diri" kata pedang perak dengan suara dalam.
"Apakah untuk membela diri maka seseorang boleh membunuh orang semau hatinya sendiri?"
tanya Dewi Nirmala lagi sambil tertawa genit.
"IHmmm, sebuah alasan yang amat sedap didengar, membela diri" Hmmm, mengapa tidak
dibilang kau merasa ketakutan-......?"
Dalam pada itu Kim Thi sia juga lagi berpikir setelah mengetahui perempuan berkerudung itu
adalah Dewi Nirmala. "Kenapa dia mengirim orang untuk mencariku" Aku toh tidak kenal dengannya, tidak
seharusnya ia bersikap tak menguntungkan terhadapku" Setelah berhenti sejenak, kembali dia
berpikir: "Seandainya dia berniat hendak memaksamu untuk menyerahkan ilmu Tay goan sinkang
kepadanya, tak nanti akan kuserahkan kepandaian tersebut kepadanya dengan begitu saja."
Makin dipikir dia merasakan hatinya semakin mendongkol, sehingga akhirnya tanpa ragu-ragu
lagi dia membentak keras:
"Dewi Nirmala, kau telah turun tangan secara keji membunuh sipedang bintang, kedua belah
pihak telah saling berhadap sebagai musuh besar. Apalagi yang bisa dibicarakan diantara kita
berdua?" Begitu perkataan tersebut diutarakan paras muka sipedang perak segera berubah hebat,
setelah tertegun sejenak. dia segera menegur kepada si Dewi Nirmala:
"Benarkah perkataan itu?"
Dewi Nirmala tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan secara langsung, dengan sepasang
matanya yang jeli dia mengerling sekejap kearah Kim Thi sia, lalu tegurnya dengan merdu:
"Hey anak muda, siapa namamu" Dapatkah aku mengetahui namamu?" Tiba-tiba saja Kim Thi
sia merasa agak ragu-ragu pikirnya:
"Seandainya aku menyebutkan namaku bukankah tindakan ini sama artinya dengan
menghantar diri kemulut harimau?" Tapi diapun berpikir lebih jauh:
"Seandainya aku merahasiakan persoalan ini, bukankah hal tersebut berarti aku takut
kepadanya" Tidak. tidak bisa, lebih baik kepalaku putus dan darahku bercecera daripada mesti
menunjukkan rasa takut terhadap seorang wanita." Setelah mengambil keputusan dihati diapun
berseru dengan lantang: "Aku bernama Kim Thi sia mau apa kau?"
Sembari berkata diapun mendesak maju kedepan dengan gaya yang ganas seakan-akan sudah
siap mencari gara-gara. Dewi Nirmala mendengarkan pembicaraan tersebut dengan sepasang mata melotot besar. Tapi
begitu mendengar nama "Kim Thi sia" tiba-tiba saja mencorong keluar sinar tajam dari balik
matanya. "oooh, rupanya kaulah yang bernama Kim Thi sia......kaulah yang bernama Kim Thi sia....."
gumamnya lirih. Kemudian setelah tertawa merdu, dia berkata:
"Sahabat Kim, sudah lama kukagumi akan nama besarmu, aku sangat berharap bisa bersua
denganmu. Tak disangka kita bersua disini, aku benar-benar amat gembira." Berbicara sampai
disitu, tangannya yang putih bersih tiba-tiba saja digerakan pelan-
Gerakan tersebut sangat ringan dan pelan, namun bagi Kim Thi sia ibarat guntur yang
membelah bumi disiang hari bolong, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun ia roboh tak sadarkan
diri keatas tanah. seketika itu juga suasana menjadi gempar, diantara kegelapan malam terdengar suara ornag
menjerit kaget dan berseru tertahan:
"Siapapun tidak menyangka kalau seorang perempuan yang bersuara begitu merdu ternyata
sanggup membunuh orang tanpa berkedip jelas kekejaman hatinya melebihi racunnya ular
ataupun kalajengking."
Tampaknya Dewi Nirmala dapat menebak suara hati orang banyak. Dia berpaling sekejap dan
berkata sambil tertawa getir:
"Kalian tak usah panik, aku tak lebih hanya menotok jalan darahnya saja."
Lalu sambil berpaling kearah manusia berkerudung yang berada disisinya, dia berkata lagi:
"Cepat kau bawa orang ini pulang kelembah dan tunggu keputusan dariku."
Manusia berkerudung itu mengiakan dan segera membopong tubuh Kim Thi sia, lalu tapa
mengucapkan sepatah katapun dia berjalan keluar dari rumah penginapan itu dengan langkah
lebar. Menyusul kemudian tubuhnya melejit keudara seperti burung rajawali yang mementang sayap.
Dalam dua kali lemparan saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan sana.
Sementara itu, sepeninggal manusia berkerudung tadi, Dewi Nirmala berkata lagi: " Nirmala
nomor delapan, bekuk sipedang perak"
Mendengar perkataan tersebut, dengan cepat sipedang perak melangkah mundur satu tindak.
kemudian serunya pula: "Su sute, cepat mundur sambil menjaga sam sute. Biar aku yang hadapi persoalan ini."
Sipedang besi mengetahui akan bahaya maut yang mengancam, buru-buru dia membopong
sipedang tembaga dan segera mengundurkan diri dari situ.
Hanya dalam dua tiga patah kata itulah, ternyata Nirmala nomor delapan telah bergerak maju
sambil mulai melancarkan serangannya.
Dengan cekatan sipedang perak mundur selangkah kesamping sembari melepaskan serangan
balasan untuk menghalau ancaman tersebut. Lalu bentaknya dengan suara dalam:
"Dewi Nirmala, aku ingin bertanya lagi kepadamu, benarkah sipedang bintang tewas
ditanganmu?" "Siapa yang membunuh orang, dia harus membayar dengan nyawanya. Memangnya aku tak
boleh membunuhnya?" sahut Dewi Nirmala hambar.
Pedang perak gusar sekali, secara tiba-tiba dia melancarkan dua buah serangan dahsyat yang
segera langsung mengancam tubuh Dewi Nirmala serta Nirmala nomor delapan.
Dengan suatu gerakan yang ringan dan sederhana Dewi Nirmala mengebaskan ujung bajunya,
serangan dahsyat dari sipedang perak seketika hilang lenyap tak berbekas bagaikan sebutir batu
yang tenggelam ditengah samudra luas.
" Nirmala nomor delapan" seru perempuan itu kemudian, "Seandainya kau tak sanggup
membekuknya hidup,hidup, aku akan menjatuhkan hukuman membangkang perintah kepadamu.
Dengan sikap yang sangat menghormat Nirmala nomor delapan mengiakan, tiba-tiba saja dari
balik matanya memancar keluar sinar tajam yang menggidikkan hati, dalam waktu singkat dia
telah melancarkan tiga buah serangan berantai yang semuanya disertai dengan kekuatan luar
biasa. Menghadapi ancaman yang begitu dahsyat, sipedang perak merasa terkesiap. pikirnya:
JILID 31 " celaka, tenaga pukulan dari bangsat ini sangat kuat dan tangguh rasanya kekuatannya
mampu meremukkan batu gunung. ilmu silatnya sudah pasti masih berada diataS kepandaian
nirmala nomor sepuluh. Aku harus menghadapinya dengan berhati-hati."
Berpikir sampai disitu ia segera meloloskan pedang peraknya yang termashur lalu secara
beruntun diagunkan kedepan menciptakan bunga pedang yang menyelimuti seluruh angkasa,
mengancam jalan darah tay goan cho ciong ya seng dandang seng. Empat buah jalan darah
ditubuh Nirmala nomor delapan, sekali tidak menggeserkan kakinya dariposisi semula, namun
gerak serangannya secara beruntun telah diubah sebanyak empat kali. Hanya anehnya dengan
gerakan mata ternyata semua serangan dahsyat yang dilancarkan sipedang perak telah hilang
lenyap tak berbekas. Dari sini terbukti sudah bahwa kepandaian silat yang dimilikinya memang
sungguh-sungguh amat tangguh. Tiba-tiba terdengar Dewi Nirmala bergumam:
"llmu Tay goan sinkang yang dipelajari Kim Thi sia mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan ilmu silat yang kupelajari. Aku harus selekasnya pulang kedalam lembah untuk mengorek
rahasia Tay goan sinkang tersebut......."
Berpendapat begitu, dengan ilmu menyampaikan suaranya dia segera berpesan kepada Nirmala
nomor delapan. "Aku akan pulang kelembah juga, segala urusan disini kuserahkan kepadamu. Kuharap kau
dapat memberi jawaban yang memuaskan, mengerti.......?"
Begitu selesai berkata, tanpa berpaling lagi dia melesat kedepan dengan kecepatan luar biasa,
dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan
Dalam pada itu, Kim Thi sia dibopong oleh Nirmala nomor tujuh menempuh perjalanan sangat
cepat. Dia hanya merasakan deruan angin yang kencang. Seakan-akan dirinya sedang melayang
diatas awanpada hakekatnya dia tak tahu Nirmala nomor tujuh hendak menghantarnya pergi
kemana. Akhirnya dia tertidur didalam pelukan nirmala nomor tujuh, kepenatan yang dialaminya selama
berhari-hari membuat pemuda itu merasa seakan-akan menderita sakit parah, begitu tertidur
sampai lama kemudian ia baru terbangun kembali.
Ketika pemuda itu membuka matanya kembali, dia merasa tubuhnya masih merasakan
goncangan yang sangat keras, hal ini membuatnya amat terperanjat......
"Jangan-jangan Nirmala nomor tujuh sudah gila, masa ia tidak merasa penat barang sedikitpun
meski sudah menempuh perjalanan siang malam?"


Lembah Nirmala Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam-diam dia membuka matanya sambil melirik sekeliling tempat itu, ternyata saat itu masih
tengah hari. Akhirnya sorot matanya berhenti diatas bibir Nirmala nomor tujuh yang terkatup rapat menjadi
satu garis itu, dibalik mulutnya yang terkatup terselip kemurungan yang amat tebal.
Rambut dan jenggot nirmala nomor tujuh sudah memutih semua Jelas dia adalah seorang tua
yang sudah lanjut usia, tapi..... mengapa dia harus bersusah payah membawanya menempuh
perjalanan jauh" Nirmala nomor tujuh mempunyai telinga yang besar wajah empat persegi dengan jenggot yang
panjang. Sebuah tampang yang gagah dan bersih.
Tapi tak disangka dengan wajah segagah ini, ternyata dia begitu menurut dan tunduk terhadap
perintah Dewi Nirmala. Tak lama kemudian matahari pun turun gunung dan suasana senja mencekam seluruh jagad,
namun Nirmala nomor tujuh masih melanjutkan perjalanannya tanpa berhenti.
Lambat laun peluh mulai bercucuran membasahi seluruh wabahnya, dengusan napasnyapun
berubah makin pendek dan terengah-engah.
Mula-mula Kim Thi sia menaruh rasa simpatik kepadanya, tapi bila teringat nasib jelek yang
menimpanya sekarang, rasa simpatik itupun seketika hilang lenyap tak berbekas.
Diam-diam ia mencoba untuk menghimpun tenaga dalamnya, namun sayang semua jalan
darahnya serasa tersumbat.
Peristiwa itu kontan saja menimbulkan perasaan tak puas dalam hatinya, setengah menyindir
serunya: "Empek tua, apakah kau memang seorang panglima perang yang terbiasa lari jauh" Apakah
kau tak takut lelah?"
Nirmala nomor tujuh membungkam dalam seribu bahasa, dari mulutnya yang terkatup rapatrapat
dapat diketahui bahwa dia adalah seorang yang tak suka banyak berbicara. Melihat itu, Kim
Thi sia menyindir kembali:
"Empek tua, kau terlalu bersusah payah coba berganti aku. Sudah sejak tadi aku mencari
tempat untuk beristirahat." Lalu setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Aaaai, buat apa sih bersungguh-sungguh untuk pekerjaan orang lain?"
Nirmala nomor tujuh sama sekali tidak menggubris, pandangan matanya dialihkan ketempat
kejauhan sana sambil meneruskan larinya, ia seperti tidak mendengar sindiran tersebut bahkan
sama sekali tidak mengacuhkannya.
Kim Thi sia yang ketanggor batunya semakin tak senang hati lagi dibuatnya.
"Uuuuh......moga-moga saja kau mampus karena kehabisan tenaga....." gumamnya kemudian.
Sambil pejamkan matanya, dia tertidur kembali didalam gendongan Nirmala nomor tujuh.
Sampai dia mendengar suara ayam berkokok dikejauhan situ, ia baru tahu bahwa satu
malaman kembali telah lewat.
Begitulah perjalanan siang malam ditempuh hampir tiga hari lamanya. Kim Thi sia sudah
merasa kelaparan setengah mati. Akan tetapi Nirmala nomor tujuh masih terus berlari tanpa
berhenti, seakan-akan dia sama sekali tidak merasakan kepenatan. Menyaksikan keanehan itu,
kembali Kim Thi sia bertanya: "Hey empek tua, sebetulnya kau ini manusia atau setan" cepat
katakan......." "Manusia" jawab Nirmala nomor tujuh singkat.
Dengan susah payah akhirnya orang itu berbicara juga, meski hanya sepatah kata namun Kim
Thi sia merasa puas sekali.
Suara orang itu sangat parau, tua dan berat mendatangkan kesan seperti menghadapi tibanya
musim gugur saja, rasa gersang, tua dan sepi mencekam perasaan tersebut.
"Hey orang tua....." teriak Kim Thi sia lebih jauh. "Setelah menempuh perjalanan selama tiga
hari tanpa berhenti, apakah kau tidak merasa kelaparan?"
"Sudah terbiasa" kembali jawaban dari Nirmala nomor tujuh teramat singkat.
"Aku tak percaya, sudah pasti kau sudah mencuri makan sewaktu aku sedang tertidur tadi,
malahan bisa jadi telah beristirahat sebentar." Kemudian setelah berhenti sejenak terusnya:
"Aku tak percaya manusia yang terdiri dari darah dan daging bisa bertahan selama tiga hari
tanpa makan, minum dan beristirahat, memangnya kau adalah malaikat?"
"Belum tentu begitu" akhirnya Nirmala nomor tujuh menanggapi juga perkataan mana. "Aku
mempunyai sejenis obat yang amat mujarab, asal menelan sebutir saja maka kau bisa bertahan
seperti sekarang ini."
Karena merasa perutnya amat lapar dengan tebalkan muka Kim Thi sia segera berseru lagi:
"Aku sudah kelaparan setengah mati, bersediakah kau memberi sebutir pil mujarab itu
kepadaku?" Tampaknya Nirmala nomor tujuh menyukai sikap polosnya itu, tanpa ragu-ragu dia
mengeluarkan sebuah botol putih dan mengambil sebutir pil yang segera diserahkan kepadanya.
Sambil mengucapkan terima kasih, Kim Thi sia menelan pil itu kedalam perut.
Tak selang berapa saat kemudian segulung hawa panas telah mengembang dalam perutnya
dan menjalar keseluruh bagian tubuhnya. Betul juga, rasa lapar yang semula mencekam
perasaannya kini hilang lenyap tak berbekas. Sesudah rasa laparnya hilang, pemuda itu baru
bertanya lagi, "Empek tua, kau hendak mengajakku pergi kemana?"
"Buat apa kau bertanya, sebentar toh akan tahu dengan sendirinya........?"
" Kenapa kau tak berani mengatakannya?"
"Soal ini....." tiba-tiba Nirmala nomor tujuh terbungkam dan tak mampu melanjutkan katakatanya
lagi. "Aaaah, tahu aku sekarang, kau adalah anak buah Dewi Nirmala, sebelum ada perintah dari
Dewi Nirmala tentu saja kau tak berani memutuskan sendiri, bukankah begitu empek tua?"
Perkataan tersebut diutarakan dengan ramah, sama sekali tidak menganggapnya sebagai
musuh, dalam hal ini Nirmala nomor tujuh merasa amat terharu. coba kalau ia tidak menjumpai
sesuatu kesulitan, niscaya segala sesuatunya sudah diterangkan-
Tak lama kemudian senja telah menjelang langkah kaki Nirmala nomor tujuhpun mulai
bergelombang seakan-akan sedang melewati jalan berbatu yang tidak rata.
Walaupun Kim Thi sia tak dapat melihat secara nyata, namun dia bisa merasakan gelagat yang
aneh itu Dengan penuh kecurigaan ia segera bertanya lagi:
" Empek tua, bukit tinggi menyelimuti sekeliling tempat ini, sebenarnya kita hendak pergi
kemana?" "coba bayangkan sendiri, kalau empat penjuru berupa bukit, seharusnya dibagian tengahnya
berupa tempat apa?" "Sebuah telaga?" tanya Kim Thi sia.
Nirmala nomor tujuh hanya menggelengkan tanpa menjawab. Kim Thi sia berpikir sejenak, tibatiba
serunya lagi: "Aaaai mengerti aku sekarang, tempat itu kalau bukan sebuah telaga bukit, pastilah sebuah
lembah." "Tebakanmu tepat sekali nak" sahut Nirmala nomor tujuh pelan-
Kini tubuhnya mulai melompat kian kemari seperti burung yang terbang diangkasa. Setiap kali
melompat lima kaki dicapai dengan gampangnya.
Selama ini Kim Thi sia hanya merasakan angin tajam mendesing disisi telinganya, tanpa terasa
dia berpekik didalam hati: "Ehmmm, ilmu meringankan tubuh yang sangat lihay."
Akhirnya malampun menjelang tiba, kegelapan malam mencekam seluruh jagad, untung
rembulan bersinar terang dan bintangpun bertebaran diangkasa.
Meminjam pantulan cahaya rembulan yang redup, diam-diam Kim Thi sia mencoba
memperhatikan sekejap keadaan disekitar situ. Tampak batuan cadas berbentuk aneh tersebut
dimana-mana. Rumput tinggi menyelimuti permukaan tanah, suasana amat menyeramkan.
"Aaaah, ternyata tempat ini benar-benar adalah sebuah lembah....." demikian dia berpikir.
Belum sempat dia mengajukan sebuah pertanyaanpun, Nirmala nomor tujuh telah berbisik:
"Nak, terus terang saja kubilang, sesungguhnya aku sangat menyukai dirimu, tapi sayang aku
bukan orang bebas sehingga tak berani mengambil keputusan secara serampangan. Apalagi
membebas merdekakan dirimu, tapi aku amat berharap kau bisa melepaskan diri dari ancaman
bahaya serta meninggalkan tempat ini dalam keadaan aman tentram."
Tiba-tiba Kim Thi sia merasakan ada sesuatu dijejalkan kedalam genggamannya, sewaktu
diperiksa ternyata benda itu berupa sebutir pil.
Sementara dia masih merasa keheranan, Nirmala nomor tujuh telah berkata lagi:
"Aku tidak mempunyai sesuat barang yang bisa membantumu, kecuali obat ini. Aa
aai......telanlah pil tersebut,segala sesuatunya biar takdir yang menentukan-"
Kim Thi sia bisa merasakan makna yang sebenarnya dari perkataan tersebut, diam-diam
pikirnya: "Apa yang kutakuti, serangan tentara datang kuhadang , air bah datang, kubendung." Meski
berpikir begitu, pil tadi ditelannya juga kedalam perut. Nirmala nomor tujuh memandang sekejap
kearahnya, kemudian dia berkata lagi: "Nak terpaksa aku harus menyiksa dirimu."
"Tak apa-apa, aku tahu empek memang terpaksa harus berbuat begini."
"Baiklah" kata nirmala nomor tujuh kemudian sambil manggut-manggut. "Pejamkaniah
matamu" Begitu Kim Thi sia memejamkan matanya dia segera menotok jalan darah tidurnya dan
membopong dia kesuatu tempat.
Kim Thi sia tertidur begitu nyenyak lebih kurang empat jam lamanya, ketika ia mendusin
kembali, terasa suasana disekelilingnya gelap gulita susah untuk melihat kelima jari tangan sendiri.
Kenyataan tersebut membuatnya amat terkejut.
Masa rembulan sudah bersembunyi dibawah awan sehingga suasana menjadi gelap gulita"
Begitu dia berpikir. Aaaaah, tak betul kenapa tiada hembusan angin disini?"
Dia mencoba untuk meraba sekeliling tempat itu, tangannya segera menyentuh dinding yang
amat kuat, hal mana kontan saja membuat hatinya sangat terkejut.
"Siapa yang telah mengurungku didalam ruangan ini?" kembali dia berpikir.
Bau lembah yang amat menusuk hidung menyelimuti tempat itu, sekali lagi dia merasakan
sesuatu yang tak beres, pikirnya lebih jauh:
"Aaaah, rupanya kau telah disekap didalam sebuah gua kecil yang terdiri dari batu cadas, tak
aneh kalau bau lembahnya begitu tebal dan menusuk penciuman-"
Ia mencoba untuk mendorong dengan sepenuh tenaga, dari atas langit gua segera berguguran
pasir dan debu yang amat deras, didalam keadaan tak siap. hancuran tanah dan debu itu seketika
mengotori seluruh tubuh dan kepalanya.
Tapi dari sini pula dia dapat menyimpulkan bahwa dirinya memang telah disekap didalam
sebuah gua kecil yang tak nampak langit.
"Maknya....." dia menyumpah kalang kabut. "Hey Dewi Nirmala, aku bersumpah tak akan hidup
berdampingan denganmu."
Untung saja dengan cepat ia dapat menyesuaikan diri dengan keadaan disekelilingnya, tak
selang berapa saat kemudian ia telah bersandar diatas dinding gua dan tertidur kembali.
Menanti dia sadar kembali dari tidurnya disisi kakinya sudah nampak secercah cahaya yang
menyorot masuk. Dengan cepat pemuda itu dapat menyimpulkan bahwa asal cahaya tersebut sudah pasti
merupakan mulut gua, dia mencoba untuk meraba sekitarnya, ternyata mulut gua telah tersumbat
oleh sebuah batu raksasa yang kerasnya bagaikan besi.
Batu raksasa itu tingginya mencapai satu kaki dengan lebar delapan depa. Sambil menghimpun
seluruh tenaganya Kim Thia sia mencoba untuk mendorong batu cadas tersebut bergerak
sedikitpun tidak. hal ini semakin membuktikan bahwa tepai batu cadas itu bisa mencapai depa
lebih. Meminjam cahaya yang menyorot masuk keruang gua, dia mencoba memperhatikan sekejap
sekeliling tempat itu, tapi apa yang terlihat seketika membuat hawa amarahnya memuncak.
Gua itu dalamnya cuma dua kaki, selain tempat yang disediakan untuk tidur, disitu hanya
terdapat rumput kering serta kotoran manusia. Dari sini terbukti juga bahwa sebelumnya
kehadirannya, sudah ada orang lain yang berdiam disitu.
Sekalipun kotoran manusia itu sudah mengering dan berubah warna karena terlalu lama berada
disana. Baunya sudah hilang, namun pemandangan semacam ini sungguh memualkan hampir saja
isi perut Kim Thia sia muntah keluar semua.
"Semuanya ini merupakan pemberian dari Dewi Nirmala, suatu saat aku harus membalasnya
berikut bunga-bunganya......." demikian ia bermaksud dalam hatinya.
Perasaan hatinya sekarang tak dapat tenang kembali, dia berusaha celingukan kian kemari
mencari peluang baik untuk meloloskan diri, sayang dia segera dibuat kecewa. Selain batu cadas
yang menyumbat mulut gua tersebut, dinding gua lainnya terbuat dari alam. Jelas tak mungkin
bisa dibongkar dengan tenaga manusia.
Dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa pemuda itu harus memutar otak berusaha
mencarijalan keluar lainnya.
Tiba-tiba saja ingatan melintas didalam benaknya, dia berpikir kembali:
"Setelah menelan pil mujarab pemberian si Nirmala nomor tujuh, kekuatan tubuhku menjadi
segar kembali aku menjadi tak lapar tidak pula merasa haus. Kenapa aku tak memanfaatkan
kesempatan yang baik ini untuk melatih ilmu Tay goan sinkangku......."
Kemudian setelah termenung sebentar dia berpikir jauh:
"Sejak terjun kedalam dunia persilatan, aku belum pernah melatih ilmu tersebut secara
bersungguh-sungguh, sekalipun dalam waktu singkat aku tak bisa lolos dari gua ini, paling tidak
dikemudian hari aku masih punya peluang untuk memberi pelajaran yang setimpal terhadap si
Dewi Nirmala itu......" Berpikir sampai disitu, keputusanpun segera diambil.
Tiba-tiba ia menarik napas panjang-panjang lalu dengan mengikuti pelajaran yang pernah
diterimanya dari Mala ikat pedang berbaju perlente, dia mulai mengatur napas dan berlatih diri.
Tatkala pikirannya mulai kosong dan seluruh kekuatan tubuhnya terhimpun menjadi satu,
dengan sekuat tenaga dia melepaskan sebuah pukulan yang dahsyat keatas batu cadas dimulut
gua. "Blaaaaaar......."
Benturan keras bergema memecahkan keheningan, sekalipun batu cadas itu sama sekali tidak
bergeser dari posisinya semula, namun ia dapat merasakan bahwa tenaga dalam yang dimilikinya
telah banyak peroleh kemajuan-
Dalam girangnya dia melepaskan kemajuan pukulan lagi, begitu seterusnya sepasang telapak
tangannya melancarkan pukulan demi pukulan secara bergantian-
Dalam waktu singkat peluh sebesar kacang buncis telah jatuh bercucuran membasahi seluruh
badannya. Dengan tubuhnya yang masih berstatus sebagai jejaka untuk berlatih tenaga dalam secara
otomatis kemajuan yang diperoleh menjadi berlipat ganda ketimbang orang lain- Tak selang
berapa saat kemudian banyak sudah kepandaian serta rahasia ilmu silat yang berhasil dipahami
olehnya. Rupanya pemuda tersebut telah mengerahkan ilmu ciat khi mi khi nya untuk menghisap
kembali tenaga pantulan yang dihasilkan dari pukulan demi pukulannya yang terarah keatas batu
cadas tersebut. Ternyata kombinasi dua macam kepandaian yang dilatih bersamaan waktunya ini membuat
tenaga dalamnya memperoleh peningkatan yang luar biasa sekali. Bukan hanya begitu, malahan
pukulan demi pukulan yang terarah keatas batu cadas tersebut.
Ternyata kombinasi dua macam kepandaian yang dilatih bersamaan waktunya ini membuat
tenaga dalamnya memperoleh peningkatan yang luar biasa sekali. Bukan hanya begitu, malahan
pukulan demi pukulan yang dilancarkanpun makin lama semakin bertambah berat dan dahsyat.
Penemuan aneh yang sama sekali tidak terduga ini tentu saja sangat menggirangkan hatinya.
Semangat berlatihnya yang semakin berkobar, latihan yang dilakukanpun dengan sendirinya makin
giat dan tekun dilaksanakan.
Sehari semalam sudah dilewatkan tanpa berhenti berlatih, ketika bajunya mulai basah oleh
keringat, dia lepaskan jubah luarnya dan melanjutkan latihannya lebih jauh.
Entah berapa lama sudah lewat, mendadak dari luar gua dia mendengar suara langkah kaki
manusia bergema mendekat.
Disusul kemudian ia mendengar suara aneh dari batu raksasa tersebut seakan-akan ada
seseorang yang sedang mendorong batu itu dari luar gua itu. Tak selang berapa saat kemudian,
terdengar seseorang menegur dengan suara pelan: " Nirmala nomor tujuh, benarkah kau telah
membebaskan totokan jalan darahnya?"
"Yaaa, aku hanya melaksanakan perintah dari sincu" jawab seseorang dengan suara berat. "Aku
rasa dengan dinding gua yang begini kokoh ikut serta persiapan barisan yang begitu banyak
disekitar sini, dia tak akan bisa meloloskan diri dari tempat ini. Kalau tidak. tak nanti sincu
memerintahkan untuk membebaskan totokan jalan darahnya."
Ketika kedua orang itu selesai berbicara suara gemerincingan aneh tadi berkumandang lagi, lalu
terlihat batu raksasa yang menyumbat gua itu nampak bergerak sebentar. Menyaksikan hal ini,
Kim Thia sia segera berpikir:
"Paling tidak. batu raksasa ini beratnya mencapai berapa ribu kati, sudah setengah harian
lamanya aku menghantam batu tersebut tanpa bergerak sedikitpun jua, nyatanya orang itu
sanggup menggoncangkannya kekiri kanan, waaaah......tenaga dalam yang dimiliki orang itu
sudah tentu luar biasa sempurnanya."
Tak selang berapa saat kemudian, batu cadas itu bergeser kesamping dengan menimbulkan
gemuruh suara yang keras, cahaya terang yang amat menusuk matapun mencorong masuk
kedalam gua, membuat Kim Thia sia tak sanggup melihat apapun. Dalam keadaan seperti ini,
tanpa terasa pemuda itu mundur setengah depa kebelakang.
Mendadak ia merasa lengannya dicengkeram seseorang dengan kekuatan yang sangat besar.
Disusul kemudian terdengar seseoran berseru keheranan:
"Aaaaah, tak disangka kondisi tubuh bocah muda ini masih kelihatan segar dan kuat sekalipun
sudah terkurung selama berapa hari disini. coba lihat, ia tak nampak kelaparan ataupun kelelahan-
" Sesungguhnya didalam hati kecil Kim Thia sia telah timbul niat untuk memberi perlawanan-
Tatkala lengan kirinya kena dicengkeram, telapak tangan kanannya yang masih bebas telah
terhimpun kekuatan penuh dan siap melancarkan pukulan dahsyat. Tapi sebelum hal itu dilakukan,
mendadak terdengar suara Nirmala nomor tujuh berkata: "Aaaai, sesungguhnya bocah ini tidak
bersalah." Mendengar suara itu, tiba-tiba saja Kim Thia sia mengurungkan niatnya untuk melancarkan
serangan, pikirnya: " Nirmala nomor tujuh bersikap sangat baik kepadaku, mengapa aku harus menyusahkan
dirinya?" Ia mengerti Nirmala nomor tujuh terpaksa harus berpihak kepada Dewi Nirmala karena dipaksa
oleh keadaan, oleh karena itulah tenaga dalam yang telah terhimpun pelan-pelan dibuyarkan
kembali. Waktu itu, ia sudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan disekelilingnya, ia melihat orang
yang sedang mencengkeram lengannya adalah seorang kakek berwajah dingin. Dibelakang kakek
berwajah dingin itulah berdiri Nirmala nomor tujuh. Terdengar kakek bermuka dingin itu berkata:
"Anak kecil, sebetulnya kami tiada hubungan sakit hati ataupun dendam kesumat denganmu
sehingga tidak seharusnya menganiaya dirimu. Tapi sekarang, kami terpaksa harus melaksanakan


Lembah Nirmala Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perintah atasan kami, untuk itu harap kau sudi memakluminya." Kim Thia sia segera tersenyum.
"Empek tak usah berkata begitu, aku tak akan menaruh rasa benci atau dendam kepadamu."
Baru selesai perkataan itu diutarakan mendadak dari kejauhan sana terdengar suara nyanyian
seorang wanita suara yang merdu merayu bergema dan mengalun diangkasa......
Mendengar suara nyanyian merdu itu Nirmala nomor tujuh segera berpaling kearah kakek
bermuka dingin itu seraya berkata:
"Sincu telah melakukan sembahyang paginya, kita tak bisa menunda-nunda lebih lama ayoh
selekasnya membawanya pergi kesitu" Kakek bermuka dingin itu manggut-manggut.
"Anak kecil, kesulitan kami telah kami utarakan sebelumnya, karena itu kuharap kau suka
mengikuti kami. Janganlah mempunyai ingatan untuk melarikan diri?"
"Bagi seorang lelaki sejati, berani berbuat berani pula bertanggung jawab, kalian tak usah
kuatir" jawab Kim Thia sia gagah.
Dengan perasaan kagum kakek bermuka dingin itu tertawa dan manggut-manggut. Dia tak
berbicara lagi, digandengnya pemuda itu dan beranjak pergi dari sana.
Kim Thia sia merasa tegang sekali menghadapi keadaan seperti ini, namun diluarnya dia
berusaha menunjukkan sikap yang tenang.
Sepanjang jalan dia mencoba untuk memperhatikan lembah tersebut dengan seksama tampak
olehnya hutan yang hijau tumbuh disekitar situ batu aneh berserakan disana sini secara tak
beraturan- Namun jelas terlihat batu-batu itu sudah diatur menurut kedudukan sebuah barisan-
Tak jauh didepan sana terlihat air terjun yang sangat indah pemandangan alam diseputar situ
memang indah menawan- Akhirnya dengan menelusuri sebuah jalan setapak sampailah mereka sebuah tanah lapang yang
luas, sejauh mata memandang hanya tulang belulang manusia yang berserakan ditanah lapang
itu. Kim Thia sia mencoba untuk memperhatikan tempat itu dengan lebih seksama, tulang belulang
itu hampir berada dalam keadaan utuh. Hanya anehnya dalam tangan kerangka manusia itu
terlihat jelas menggenggam sebuah batu bata. ketika dihitung jumlahnya mencapai dua ratusan
lebih, atau dengan perkataan lain, kerangka manusia yang terkapar disitupun berjumlah dua
ratusan lebih. Dengan perasaan terkesiap ia segera berpikir:
"Jangan-jangan tempat ini merupakan bekas arena pertempuran dijaman kuno dulu......"
Tapi....aaai, keliru, nampaknya mereka tertarik karena bongkahan emas itu."
Tanpa terasa diapun berpikir lebih jauh. "Aaaai, andaikata si unta yang mengetahui bongkahan
emas tersebut, entah betapa gembiranya dia."
Tak lama kemudian tibalah mereka ditepi kolam dengan teratai yang tumbuh sangat indah,
pepohonan yang rindang dan bunga-bunga yang harum baunya, mendatangkan suasana nyaman
bagi siapapun jua. Untuk berapa saat lamanya Kim Thia sia berdiri terpesona disitu, dia merasakan seakan-akan
sedang berada dibawah nirwana saja. Mendadak kakek bermuka dingin itu berseru:
"Nak, kau tak usah banyak melihat lagi, meskipun keindahan alam disini menawan hati namun
tak bisa memberitahukan keindahan kepada sanak keluargamu lagi."
Kim Thia sia tidak memahami maksud perkataan itu, tapi diapun tidak menikmati lebih jauh,
dengan mulut membungkam ia meneruskan perjalanannya kedepan. Sementara itu dalam hati
kecil dia berpikir: "Kemanakah aku hendak dibawa?"
Mendadak timbul perasaan tak senang didalam hati kecilnya, dia merasa setiap orang yang
berada disitu seperti diliputi kemisteriusan semua, pikirnya lebih jauh:
" Kecuali pergi menjumpai Dewi Nirmala yang pernah kujumpai, rasanya tak seorangpun yang
kukenal ditempat ini......."
Belum habis ingatan tersebut melintas lewat, mendadak terdengar kakek bermuka dingin itu
membentak dengan suara dalam: "Kita telah sampai ditempat tujuan"
Dengan perasaan terkejut Kim Thia sia mendongakkan kepalanya, ia merasa matanya menjadi
silau, apa yang terlihat membuat matanya terbelalak lebar dan mulutnya melongo.
Rupanya mereka telah sampai didepan sebuah gedung istana yang amat besar dan mentereng,
disekeliling aneka bunga dan pepohonan yang amat indah, isi perabot dalam gedung tersebut
rata-rata terbuat dari bahan kayu kelas satu.
Yang jelas segala sesuatu yang terlihat disana merupakan barang indah, dan mewah yang
rasanya hanya akan ditemui diistana raja.
Mendadak sikap Nirmala nomor tujuh berubah menjadi menghormat sekali, dengan suara
rendah dia berkata: "Nak. jangan berbicara lagi, nanti bila sincu memakimu atau menegurmu, kau tidak boleh
perlihatkan kemarahanmu diatas wajah. Kalau tidak. kau bisa dibunuh secara keji. Ingat nak. aku
hanya bisa membekali berapa nasehat ini kepadamu, apa yang bakal terjadi hanya nasibmu yang
akan menentukan dirimu."
Kakek berwajah dingin itu menggerakkan pula bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu,
namun akhirnya niat tersebut dlurungkan.
Ia berhenti sejenak disitu, tapi akhirnya sambil menjatuhkan diri berlutut menghadap kedalam
gedung mewah itu, katanya dengan hormat: "Tecu ing Goan san menanti dengan hormat
kehadiran Sin li." "Huuuh, Sin li (perempuan suci)" Memangnya ia benar-benar Dewi dari khayangan?" pikir Kim
Thia sia. Tanpa terasa ia mendengus dingin, wajahnya nampak sinis sekali.
Kakek bermuka dingin itu melotot sekejap kearahnya, seperti bermaksud menegur sikapnya itu.
Kim Thia sia sama sekali tak menggubris tiba-tiba ia speerti teringat akan sesuatu, sambil
berseru tertahan pikirnya lagi:
"Yaa, aku teringat sekarang, bukankah tempat ini adalah lembah Nirmala, lembah yang pernah
diceritakan oleh ayahku dulu." Kemudian gumamnya lebih jauh:
"Yaa, semua bukit, air, batu, bunga, air terjun, dan kolam yang berada disini. Hampir semuanya
mirip dengan lembah Nirmala seperti apa yang pernah ayah ceritakan-Ditambah pula dengan
gedung dan hiolo kemala itu. Bukankah semuanya ini makin membuktikan kalau tempat ini benarbenar
adalah lembah Nirmala?" Bagaikan mendapat impian buruk, pemuda itu berpikir lagi:
"Ia bernama Nirmala nomor tujuh, bukankah kata Nirmala didepan nomor urutnya
menunjukkan tempat dimana ia berdiam" Bukankah hal ini semakin membuktikan kalau yang
kuduga memang benar?"
Sambil memukul kening sendiri, dia berpikir lebih jauh:
"Aku benar-benar sangat bodoh, seharusnya aku bisa menyadari persoalan ini sedari tadi,
kenapa sampai sekarang baru kupahami" Bukankah sesaat itu menjelang ajalnya, ayahpun pernah
menyinggung soal Dewi Nirmala" kenapa aku telah melupakannya."
Sementara dia masih diliputi pelbagai perasaan yang kalut dan tak menentu. Tiba-tiba dari
dalam ruangan bergema suara tertawa merdu disusuk seseorang berseru dengan lembut:
"Masuklah, tak usah banyak adat."
Kim Thia sia tak sempat berpikir lebih lajut, tahu-tahu tubuhnya telah digotong oleh kakek
bermuka dingin itu dan dibawa masuk kedalam gedung.
Mendadak kakek bermuka dingin itu menghentikan langkahnya sambil menurunkan tubuh
kebawah, kemudian bentaknya dengan suara dalam: "Hayo berlutut"
Kim Thia sia merasakan pikirannya sangat kalut, ketika mendengar perkataan itu tanpa raguragu
dia segera menjatuhkan diri berlutut.
Namun secara tiba-tiba dia melompat bangun kembali, gumamnya cepat:
"Maknya seorang lelaki sejati tak akan berlutut dihadapan sembarangan orang, atas dasar apa
aku mesti berlutut dihadapan orang ini?"
Apalagi setelah melihat keadaan disekitar situ, hawa amarahnya makin memuncak.
Ternyata dihadapannya berdiri empat orang gadis cantik berbaju hijau yang mendampingi
seorang gadis cantik jelita. Waktu itu sinona cantik tersebut sedang duduk bersandar dijendela.
Ia mengenakan baju berwarna putih bersih bagaikan saiju, sepasang matanyaamat jeli dengan
hidung mancung dan bibir yang kecil mungil. Terutama sepasang lengkung pipinya sewaktu
tertawa, menambah kecantikan wajah gadis tersebut.
Usianya paling banter baru dua puluh tiga, empat tahunan- Namun memancarkan kematangan
yang penuh daya pesona. Entah mengapa, tahu-tahu saja hawa amarah yang semula berkobar didalam dada Kim Thia sia
hilang lenyap dengan begitu saja setelah bertemu dengan gadis cantik itu.
"Gadis ini benar-benar memiliki kecantikan wajah yang tak kalah dari kecantikan putri Kim
huan." Sementara itu Nirmala nomor tujuh dan kakek bermuka dingin itu telah mengundurkan diri dari
situ. Kim Thia sia sgeera memusatkan kembali pikirannya dan menegur:
"Kaukah yang bernama Dewi Nirmala" Ada urusan apa kau menculik ku datang kemari?" Gadis
cantik berbaju putih itu menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya: "Itu sih urusan ibuku.
Aku kurang begitu tahu, sebentar tanyakan sendiri kepadanya."
Dalam benak Kim Thia sia segera terlintas kembali pesan terakhir ayahnya, iapun berpikir:
"Kata ayah, putri Dewi Nirmala naik sekali orangnya, dia pernah menyelamatkan jiwa ayah. Aku
harus mengucapkan banyak terima kasih." Berpikir demikian, dengan nada menyelidik bertanya:
"Hey, apakah kau tidak takut aku melarikan diri?"
Tiba-tiba sekulum senyuman manis tersungging diujung bibir gadis cantik berbaju putih itu,
sahutnya pelan- "Ruangan gedung ini dijaga sangat ketat, kau tak akan berhasil untuk meloloskan diri dari sini."
Lalu setelah melirik sekejap kearah empat orang gadis berbaju hijau yang berdiri disisinya, dia
melanjutkan: "Lagipula keempat orang ini memiliki ilmu silat yang sangat hebat, aku tak percaya kau mampu
meloloskan diri." Tanpa terasa Kim Thia sia berpaling dan memperhatikan sekejap wajah keempat orang dayang
berbaju hijau itu, tampak sorot mata mereka amat tajam dengan gerak gerik yang mantap. sudah
jelas kepandaian silat yang mereka miliki lihay sekali. Tanpa terasa pemuda itu berpikir
"Hmmm, belum tentu aku akan melarikan diri. Dewi Nirmala sudah terlalu banyak memberi
penderitaan kepadaku, tak nanti aku akan pergi dari sini dengan begitu saja. Hmmm"
Maka tanyanya lagi kepada gadis berbaju putih itu: "Sampai kapan ibumu baru akan kembali?"
"Sebentar lagi, begitu ia selesai dengan latihan paginya, dia akan datang kemari."
Kim Thia sia tak berniat mengusik atau mencelakai gadis tersebut, mendengar jawaban
tersebut diapun jatuhkan diri duduk bersila diatas tanah sambil katanya dengan suara dalam:
"Biarlah, aku akan menunggu sampai dia kembali."
Berapa saat sudah lewat, namun Dewi Nirmala belum juga menampakkan diri, karena iseng
maka Kim Thia sia berkata lagi:
"Pernahkah kau belajar silat?"
Rupanya gerak gerik sinona yang begitu lemah gemulai seakan-akan terhadap hembusan
anginpun tak tahan, ia menjadi keheranan hingga mengajukan pertanyaan itu. Nona cantik
berbaju putih itu segera tertawa ringanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
"Bila belajar silat, berarti kemungkinan bentrok dengan orang lain menjadi bertambah besar,
karena itu aku tak ingin mempelajarinya."
"Yaa, perkataanmu memang benar" Kim Thia sia segera menimpal. "Padahal aku sendiripun
tidak berminat untuk mempelajarinya, tapi berhubung pelbagai tekanan dan keadaan yang
memaksa, mau tak mau akhirnya aku mesti mempelajarinya juga, ada kalanya aku merasa iri
dengan kehidupan tenteram dari orang-orang awam"
"Mengapa ada kalanya?"
"Tentu saja" ucap Kim Thia sia sambil tertawa nyaring. "Disaat musuh menyerangku secara
garang dan buas, ingatan semacam itu seketika hilang tak berbekas. Dalam keadaan begini aku
selalu bersyukur karena jerih payahku selama banyak tahun ternyata tidak sia-sia belaka........"
Sementara berbicara, tiba-tiba dia menyaksikan gadis cantik berbaju putih itu berkerut kening,
dengan amat perasaan dia berseru:
"oooh maaf, sudah cukup lama aku tidak pernah tukar pakaian- Apakah kau menganggap
tubuhku sangat bau?"
Gadis cantik berbaju putih itu segera tertawa.
"Harap kau jangan berkata begitu, aku paling tak suka membicarakan soal kekurangan orang
lain-......." Ketika mengucapkan perkataan tersebut, terlintas perasaan minta maaf diatas wajahnya.
Kembali Kim Thia sia teringat dengan pesan terakhir ayahnya, dia tahu gadis ini sangat baik
hati, karenanya diapun tidak menyinggung persoalan itu lagi.
"Aku memang seorang manusia liar yang baru turun dari gunung" demikian ia berkata
kemudian- " Karenanya apa yang ingin kukatakan segera kuutarakan keluar, untuk itu harap kau
jangan menjadi marah."
Sekali lagi gadis berbaju putih itu tertawa ringan-
"Aku tak punya alasan untuk marah kepadamu, mengapa sih kau melukiskan dirimu sebagai
orang liar?" "Terus terang, aku menyebut diriku sebagai orang liar bukanlah suatu kejadian yang
keterlaluan- Dalam kenyataan aku memang tak tahu urusan, tak heran semua orang memanggilku
begitu" Selama berada dihadapan gadis cantik ini, dia merasa tak sanggup untuk mendongakkan
kepalanya, karena dia mempunyai perasaan rendah diri yang sangat tebal.
"Aaaaah, kau terlalu merendah, padahal aku menganggapmu pintar sekali" kata sinona sambil
tertawa. Kemudian setelah mengamati dengan seksama raut wajahnya, dia melanjutkan:
"Bahkan aku dapat menilai bahwa kau adalah seorang yang sangat jujur. Biasanya orang jujur
paling mudah ditipu dan dianiaya orang itulah sebabnya orang lain memanggilmu begitu."
Ketika selesai mend engar perkataan tersebut, tiba-tiba saja timbul perasaan percaya pada diri
sendiri dihati Kim Thia sia, katanya cepat:
"Terima kasih banyak atas pujianmu, bila aku bertekad untuk mempelajarinya secara
bersungguh-sungguh, dalam setahun mendatang aku yakin pukulanku pasti akan berubah."
"Itulah sebabnya aku menganggapmu sangat pintar. disinilah alasannya mengapa aku berkata
begitu" kata sinona tertawa.
Pada saat itulah mendadak terendus bau harum yang sangat aneh berhembus masuk kedalam
ruangan- Tampak olehnya seorang gadis berbaju hitam telah berdiri dibelakang tubuhnya.
Ia tak tahu sejak kapan perempuan tersebut munculkan diri, Kim Thia sia hanya menganggap
perempuan itu sebagai saudara kandung sigadis cantik berbaju putih itu. Sebab wajahnya mirip
sekali dengan wajah gadis tersebut, sudah pasti dia akan mengiranya sebagai saudara kembar
gadis cantik berbaju putih itu.
Dibilang lebih tuaan, perempuan itu sesungguhnya berusia tiga puluh tahunan-Wajahnya yang
nampak begitu menawan hati membuat Kim Thia sia secara terbuai dan terpesona dibuatnya.
"Perempuan ini tentu si Dewi Nirmala......" pikir Kim Thia sia kemudian-
Maka sambil menghimpun kembali semangatnya, dia menegur: "Kaukah yang bernama Dewi
Nirmala?" Perempuan cantik itu tidak menggubris pertanyaan anak muda itu, sebaliknya malah bertanya:
"Kau sudah lama menunggu?" Kim Thia sia berkerut kening.
"Kau harus mnejawab pertanyaanku dulu sebelum kujawab pertanyaanmu tadi."
Memang begitulah watak keras kepalanya, sepanjang hidup dia tak sudi tunduk kepada
siapapun, apalagi dari sikap perempuan cantik tersebut, timbul perasaan tak senang dihati
kecilnya. Tampaknya perempuan cantik itu tidak menyangka kalau sang pemuda yang berada dalam
sarang harimau pun berani bersikap sekasar itu terhadapnya, tanpa terasa ia dibikin tertegun-
Sementara itu nona berbaju putih tadi telah memanggil "ibu" dan berlarian menubruk kedalam
pelukan perempuan cantik tadi.
Dengan penuh kasih sayang perempuan cantik itu membelai rambut putrinya sambil bisiknya:
"Anak Jin, kau sudah cukup dewasa. Janganlah selalu bersikap seperti anak kecil."
Dalam pada itu Kim Thia sia telah mengetahui secara pasti siapa gerangan perempuan licik itu,
dengan suara lantang dia segera berseru:
"Sudahlah, kaupun tak perlu menjawab pertanyaanku lagi, aku sudah tahu kau adalah Dewi
Nirmala." "Bagus sekali" seru Dewi Nirmala sambil mendorong putrinya dari pelukan- "Aku rasa, kaupun
tak perlu banyak berbicara lagi. Kim Thia sia, cepat kau utarakan asal usul ilmu Tay goan sinkang
yang kau miliki itu."
"Dewi Nirmala, aku tahu ilmu silat yang kumiliki luar biasa sekalil. Bicara juga mati tak
berbicarapun sama saja mati. Tapiaku justru enggan berbicara apa-apa, mau apa kau" Hmmm,
bila ingin menghukum mati aku, silahkan saja dilaksanakan segera?" Dewi Nirmala tertawa dingin.
"Heeeeh......heeeeeh......heeeeeh.......kau tak usah congkak dulu. Aku bisa menggunakan
siksaan yang terkejut untuk memaksamu mengutarakan semua persoalan ya ingin kuketahui.
Ketahuilah, didalam lembah kami terdapat berpuluh-puluh ekor ular berbisa, mereka khusus
disiapkan untuk menghadapi orang-orang yang enggan tunduk."
Kim Thia sia segera menarik muka sehabis mendengar perkataan itu, mencorong sinar tajam
dari balik matanya, ditatapnya perempuan itu lekat-lekat kemudian jengeknya: "Hmmm, silahkan
saja dicoba." Dewi Nirmala berkerut kening lalu tertawa dingin.
"Bagus, kalau toh kau berkeras kepala terus, jangan salahkan bila aku tak berperasaan lagi."
Ia bertepuk tangan dua kali, kemudian serunya: "Mana pengawal?"
Dari luar gedung segera muncul dua orang kakek berambut putih yang menyahut dengan
lantang: "sincu ada perintah apa?"
"Ikat dia kencang-kencang danpaksa dia untuk buka mulut dengan siksaan ular."
Dengan langkah lebar, Nirmala nomor tujuh tampil kedepan, tangan yang satu digunakan unutk
mencengkram bahu pemuda itu sementara tangan yang lain merogoh kedalam sakunya
mengeluarkan tali dan diikatnya pada tengkuknya.
Sebenarnya Kim Thia sia berniat menghajar roboh orang itu, tapi setelah melihat bahwa orang
itu adalah Nirmala nomor tujuh, hatinya menjadi lembek sendiri, pikirnya cepat:
"Aku harus memberi maaf kepadanya, ia terpaksa harus berbuat demikian....."
Sementara itu, Nirmala nomor tujuh telah berbisik lirih menggunakan kesempatan sewaktu
mengikat tubuh pemuda tersebut katanya:
"Nak. tak ada gunanya kau berkeras kepala disini, dalam keadaan seperti ini, kau harus
menahan rasa aib dan malu untuk menuruti saja segala kemauan hatinya."
Kim Thia sia berlagak tidak mendengar, diawasinya Dewi Nirmala dengan pandangan gusar,
kalau bisa dia ingin menghajar mati perempuan keji itu dalam sekali pukulan-
"Aku adalah seorang lelaki sejati, kenapa aku harus tunduk dibawah perintah dan ancamannya"
IHmmm, biarpun harus mati, memangnya aku takut untuk menghadapinya"
Terbayang kembali pesan-pesan terakhir ayahnya, sambil tertawa dingin dia segera
memejamkan matanya rapat-rapat. Sekalipun ancaman siksaan berada didepan mata, tak
setitikpun rasa takut yang melintas diwajahnya.


Lembah Nirmala Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyaksikan hal ini Nirmala nomor tujuh menghela napas panjang dan tidak banyak berbicara
lagi, sementara dihati kecilnya dia berpikir. "Anak muda, kematianmu ini sama sekali tak
berarti........." Tak selang berapa saat kemudian seluruh badan Kim Thia sia telah diikat dengan tali yang
berlapis-lapis, sekujur badannya terasa linu dan kesemutan, dalam keadaan begini diam-diam ia
berpikir sambil tertawa getir.
" Untuk kedua kalinya aku dibelenggu, pertama kali karena ulah putri Kim huan dan kedua
kalinya oleh Dewi Nirmala, sungguh tak disangka aku Kim Thia sia, seorang lelaki sejati, ternyata
harus jatuh pecundang ditangan kaum wanita." Sementara dia masih termenung, Dewi Nirmala
telah berkata lagi: "Kim Thia sia, kau harus tahu didalam lembah nirmala tidak berlaku hukum negara, yang ada
adalah peraturan lembahku sendiri, ini berarti mati hidupmu sudah berada ditanganku, mengingat
kau masih muda dan tak tahu urusan, sekali lagi kuberi kesempatan padamu untuk
mempertimbangkan persoalan ini dengan sebaik-baiknya."
"Sekali aku bilang tidak. selamanya tetap tidak" tukas Kim Thia sia teramat gusar. "sekalipun
kau bertanya sepuluh kali lagi, jawabku akan tetap sama."
Tiba-tiba dia membuka matanya kembali dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi sekejap
perempuan cantik itu, kemudian ujarnya lebih jauh:
"Bila kau anggap Kim Thia sia adalah manusia yang takut mati, maka anggapanmu itu keliru
besar, bahkan bisa kubilang merupakan suatu lelucon yang amat besar."
"Kau tak perlu berkeras kepala aku tahu ilmu Tay goan sinkang merupakan ilmu sakti andalan
Malaikat pedang berbaju perlente. Ilmu tersebut tidak akan diwariskan kepada sembarangan
orang, tapi kenyataannya dia telah mewariskan ilmu kesayangannya itu kepadamu, hal ini
membuktikan bahwa kau telah dianggap sebagai murid kesayangannya. Kalau dibilang sebetulnya,
akupun masih terhitung paman gurumu, apakah engkau tidak menganggap bahwa tindakan
kurang ajarmu ini sebagai suatu tindakan yang berani menentang angkatan tua perguruan
sendiri?" Kim Thia sia memang sudah tahu kalau Dewi Nirmala adalah paman gurunya, tapi dia segera
berseru: "Kau berbuat semena-mena dalam dunia persilatan, aneka kejahatan telah kau perbuat. Sudah
sejak dulu aku tidak mengakui dirimu sebagai paman guruku lagi." Dewi Nirmala segera tertawa
dingin. "Heeeeh......heeeeh.......heeeeh.......bocah keparat, kau benar-benar manusia tak tahu diri. Baik
aku akan menghukummu karena berani menentang angkatan tua dari perguruan sendiri,
kemudian baru menghukum tindakanmu yang telah membangkang perintah. Hmmm, akan kulihat
apakah kau mampu menanggulangi dua macam hukuman yang ditimpakan kepadamu sekaligus."
"Huuuh, jangan lagi baru dua macam, biar langit ambruk pun aku tak akan ambil perduli" sahut
Kim Thia sia mendongkol. Sementara itu Nirmala nomor tujuh yang mengikuti tanya jawab tersebut cuma bisa
menggelengkan kepalanya berulang kali pikirnya:
"Aaaai, anak muda, anak muda, kenapa kau tidak mengumbar napsumu kepada orang lain
saja" Kenapa kau justru bersikap seperti itu disini" Aaaai, delapan puluh persen kau bakal
mampus........" Betul- juga, sambil menarik wajahnya mendadak Dewi Nirmala berseru kepada Nirmala nomor
tujuh: "Angkat dia dan laksanakan siksaan"
Dari kerutan dahinya yang kencang dan wajahnya yang menyeringai seram, sadarlah Nirmala
nomor tujuh bahwa atasannya benar-benar sudah dibuat sangat marah. Tanpa terasa ia berpikir:
"Habis sudah riwayatnya kali ini, kasihan benar bocah ini........"
Sementara gerak geriknya agak sangsi, Dewi Nirmala menegur lagi dengan suara ketus: "Hey
Nirmala nomor tujuh, bagaimana sih kamu ini?"
cepat-cepat Nirmala nomor tujuh membopong tubuh Kim Thia sia, kemudian bersama kakek
bermuka dingin itu berjalan menuju keluar gedung. Tiba-tiba gadis berbaju putih itu berseru:
"Eeeeh, tunggu dulu, aku hendak berbicara sesuatu."
Mendengar seruan tersebut, Nirmala nomor tujuh menjadi kegirangan setengah mati. cepatcepat
dia membalikkan badan dan sambil berjalan segera bisiknya kepada Kim Thia sia:
"Nak. rupanya nasibmu masih mujur. Asal dia bersedia menuruti semua perkataan gadis ini
mungkin dari keadaan berbahaya kau telah beruntung." Lalu sambil menurunkan pemuda itu
keatas tanah, kembali bisiknya: "Ingat, kau harus dapat menahan diri"
Kim Thia sia berdiri kaku ditempat, namun wajahnya nampak jauh lebih lembut. Hal ini
dikarenakan gadis berbaju putih dihadapannya adalah gadis yang baik dan pernah menyelamatkan
ayahnya. Dengan langkah yang lemah gemulai gadis berbaju putih itu berjalan mendekatinya kemudian
bertanya lirih: "Mengapa sih kau harus menentang maksud hati ibuku?"
"Aku merasa muak dengan sikap memerintahnya."
"ooooh, aku dapat mengerti. Setiap anak muda memang selalu begitu, paling tak tahan kalau
diperintah orang, benar bukan perkataanku ini?"
"Yaa benar" Kim Thia sia mengangguk.
"Apakah kau bisa merasakan bahwa pembicaraan kita saling cocok satu sama lainnya?"
"Benar." "Kalau begitu, andaikata kuajukan pertanyaan yang sama kepadamu, bersediakah kau
memberitahukan kepadaku?" tanyanya polos.
Sewaktu berbicara, sekulum senyuman manis tersungging diujung bibirnya seakan-akan dia
merasa yakin kalau Kim Thia sia akan menjawab pertanyaan tersebut.
Dalam kenyataannya, Kim Thia sia memang dibuat serba salah, dia tak ingin mengecewakan
gadis tersebut dengan pertanyaannya, tapi apakah dia harus mengatakan apa yang sebenarnya"
Menyaksikan kesangsian pemuda itu, mendadak gadis berbaju putih itu seperti menyadari akan
sesuatu, kepada Nirmala nomor tujuh segera serunya:
"Empek tolong bebaskanlah ikatan tali dari tubuhnya, dia tentu amat bersedih hati bila
tubuhnya berada dalam keadaan terbelenggu."
Nirmala nomor tujuh mengiakan dan cepat-cepat melepaskan ikatan tali dari tubuhnya.
Dalam waktu singkat Kim Thia sia telah dalam kebebasan kembali, bila menurut adatnya, begitu
lolos dari belenggu niscaya dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk beradu jiwa dengan
Dewi Nirmala. Tapi keadaannya saat ini berbeda, kehadiran gadis cantik berbaju putih itu membuatnya tak
sanggup mengambil keputusan apapun-
Sementara dia masih termenung, gadis cantik berbaju putih itu telah memohon lagi kepada
Dewi Nirmala dengan suara lembut:
"Ibu, bolehkah aku berbicara empat mata dengannya" Aku cukup memahami tabiatnya, aku
pasti tak akan membuatmu merasa kecewa." Dengan perasaan apa boleh buat, Dewi Nirmala
mengangguk. "Anak manis, aku tak akan mengecewakan hatimu."
meski hanya jawaban yang singkat, namun tercermin perasaan sayangnya yang begitu besar
terhadap putri kandungnya itu.
"Ibu" kembali gadis berbaju putih itu meminta. "Aku hendak mengajaknya berbincang-bincang
didalam kebun, kau tak usah ikut kami." Kemudian setelah tertawa manis dia berpaling kearah Kim
Thia sia dan katanya: "Mari kita berangkat"
Angin berhembus sepoi-sepoi dengan termangu Kim Thia sia mengawasi gadis tersebut, dia
menaruh simpatik kepadanya, karena itu diapun enggan mengecewakan hatinya. Tanpa banyak
berbicara pemuda itu segera berjalan mengikuti dibelakang tubuhnya.
Melihat hal ini, dengan gemas Dewi Nirmala menghentak-hentakkan kakinya seraya berseru:
"Aaaai, putriku, tidakkah kau merasa bahaya berbicara empat mata dengan musuh merupakan
suatu tindakan yang berbahaya sekali?"
"Kautak usah kuatir,anak Jin percaya dia tak akan mencelakai aku" sahut gadis cantik berbaju
putih itu sambil berpaling dan tertawa, tak setitik rasa takut pun yang melintas diwajahnya.
Dengan perasaan cemas Dewi Nirmala berseru lagi: "Aaaai.......bagaimana mungkin musuh
boleh dipercayai....."
Sembari berkata, dia segera menggerakkan tangannya seolah-olah sedang membetulkan letak
rambutnya, namun Kim Thia sia yang berada lima kaki dihadapannya segera merasakan jalan
darah dipunggungnya menjadi linu dan kesemutan-
Sadarlah pemuda kita bahwa jalan darahnya telah dibokong oleh Dewi Nirmala, sambil
berpaling dia mendengus kemudian melanjutkan langkahnya:
Gadis cantik berbaju putih itu belum mengetahui apa yang terjadi, dia sempat berpaling sambil
bertanya: "Mungkin kau akan mencelakai aku?"
Saat ini Kim Thia sia bisa berbicara dan bergerak secara normal selain hawa murninya tak
mampu dihimpun kembali, mendengar perkataan tersebut, sahutnya sambil tertawa getir: "oooh,
tentu saja tak mungkin?"
Dia tak ingin mengemukakan keadaan yang sebenarnya telah menimpa dirinya, diam-diam
pikirnya: "Sebagai seorang lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Sudah sepantasnya
persoalan ini kuhadapi sendiri, apa artinya menceritakan keadaan yang sesungguhnya kepadanya"
Sekalipun akhirnya dia mintakan pengampunan dari ibunya, kemana aku mesti taruh raut mukaku
ini?" Kepadanya dia berkata lagi:
"Kau adalah seorang gadis yang baik hati, tak nanti ada seorang manusiapUn yang ingin
mencelakai dirimu." Sambil tersenyum manis, gadis berbaju putih itu segera berkata kepada Dewi Nirmala:
"Nah ibu, apakah kau sudah mendengar perkataannya?"
"Anak manis, aku lega sekarang, pergilah berbincang dengannya."
Gadis berbaju putih itu mengajak Kim Thia sia menuju kesebuah gardu kecil ditengah kebun
yang sangat indah, kepada pemuda tersebut katanya kemudian-
"Duduklah disini tak perlu sungkan-sungkan lagi. Bila ada yang ingin dibicarakan utarakan saja
secara blak-blakan."
"Didalam gardu ini hanya tersedia sebuah tempat duduk. silahkan kau saja yang duduk."
"Mengapa kau tidak duduk?" tanya sinona sambil mengerdikan matanya, sikap sungkan
pemuda itu sangat mencengangkan hatinya.
"Sebab kau adalah wanita" sahut Kim Thia sia sambil duduk bersandar diatas tiang.
"Apakah hanya wanita yang boleh menikmati keistimewaan ini?" tanya sinona lagi tak habis
mengerti. Kim Thia sia sendiripun tidak tahu tentang soal ini, segera jawabnya singkat:
"Mungkin saja kecil kau belum pernah meninggalkan lembah ini, jadi kau tidak memahami tata
cara ini. Tapi menurut apa yang kuketahui, didaratan Tionggoan memang berlaku tata cara
begini." "Sebetulnya aku sangat ingin keluar dari lembah ini, akan tetapi.........."
Pelan-pelan dia memejamkan matanya dan melanjutkan dengan sedih:
"ibu tak pernah menyanggupi permintaanku itu, dia selalu bilang persoalan ini dibicarakan lagi
setelah aku meningkat dewasa nanti. Hey, coba katakanlah, bukankah sekarang aku telah
dewasa?" "Yaa, kau memang sudah dewasa" jawab Kim Thia sia dengan suara berat dan dalam.
Dia memang seorang lelaki kasar yang berbicara apa adanya, sudah barang tentu tak bisa
memahami perasaan seorang wanita. Terdengar dia berkata lebih jauh:
"Aku merasa sayang dengan masa remajamu sesungguhnya masa remaja merupakan masa
yang paling indah, tapi kau telah menyia-nyiakannya dengan begitu saja."
"Akupun menyadari bahwa keadaanku sekarang jauh berbeda dengan keadaan masa kecilku,
tapi aku selalu menuruti setiap perkataan dari ibuku......." kata nona berbaju putih itu
sambil menghela napas sedih, wabahnya nampak semakin sayu. "Aku tak ingin meninggalkan
desa kelahiranku. Aku bersedia hidup sampai tua disini."
Menyaksikan kepedihan yang menyelimuti perasaannya, tiba-tiba saja Kim Thia sia merasakan
hatinya menjadi kacut, tak tahan lagi ia berseru dengan perasaan menyesal:
JILID 32 "oooh, maaf kalau perkataanku membangkitkan kepedihan hatimu, aku sangat menyesal."
Gadis berbaju putih itu melirik sekejap kearahnya, kemudian berkata lagi: "Tampaknya kita tidak
seharusnya memperbincangkan persoalan ini bukan?" Kemudian setelah tertawa lembut,
lanjutnya: "Mari kita kembali kemasalah pokok yang harus dibicarakan, mengapa sih kau menampik untuk
mengungkap rahasia dari Tay goan sinkang?"
"suhuku pernah berpesan begitu kepadaku, karenanya aku tak dapat melanggar pesannya."
"Andaikata kau memberitahukan soal itu kepadaku, dan akupun tak akan menyebar luaskan
keluar, siapa yang akan mengetahui akan kejadian tersebut?"
"Tidak bisa, ibumu adalah seorang perempuan kejam yang berhati hitam dan buas. Seandainya
kuberikan rahasia ilmu Tay goan sinkang kepadanya, maka tindakanku ini sama artinya dengan
mencelakai seluruh umat persilatan-"
"Begitu jelekkah nama ibuku didaratan Tionggoan?" tanya sinona sambil mengbelalakkan
matanya lebar-lebar dan mengawasi pemuda tersebut dengan perasaan ingin tahu.
"Yaa, bagaimana pun juga, dia pantas dikatakan sebagai seorang gembong iblis wanita."
Mendengar perkataan tersebut, nona berbaju putih itu menghela napas panjang katanya
kemudian: "Aku benar-benar tak mengerti, mengapa sih ibu suka melakukan perbuatan jahat?"
Dengan wajah pedih dia mengeluh, kemudian terusnya:
"Banyak penghuni lembah ini yang secara diam-diam memberitahukan persoalan tersebut
kepadaku. Kalau satu dua orang yang bilang, mungkin aku tak akan mempercayainya, tapi setelah
semua orang berkata begitu, mau tak mau aku harus mempercayainya juga. Hey, lanjutkan katakatamu
tadi, aku tak akan marah kepadamu."
"Aku tahu, kau adalah seorang wanita yang sangat mengerti keadaan. Aku merasa amat
bangga bisa berbincang-bincang denganmu" kata Kim Thi sia dengan suara dalam. "Sekarang aku
akun membeberkan dahulu semua dosa-dosa ibumu. Aku harap kau mendengarkan dengan
seksama. Sebab apa yang kukatakan semuanya merupakan kenyataan-" setelah berhenti sebentar
untuk menarik napas, dia berkata lebih lanjut:
"Kesatu, dia telah berani menentang guru sendiri gurunya adalah Kiam Sianseng, seorang tokoh
silat yang amat termashur namanya pada puluhan tahun berselang, semasa dia belajar silat dulu.
ibumu telah mempergunakan kecantikan wajahnya untuk memikat kiam Sianseng serta menipunya
untuk mengajarkan ilmu Tay yu sinkang kepadanya."
Setelah mengenang kembali apa yang pernah diucapkan malaikat pedang berbaju perlente, dia
melanjutkan kembali kata-katanya:
"Kedua, baru berapa bulan dia turun gunung, banyak sudah jago-jago dari golongan lurus yang
menjadi korban keganasannya."
"Ketiga untuk kepentingan pribadi ternyata dia telah menjaring banyak sekali jago lihay dari
dunia persilatan untuk berkumpul di Lembah Nirmala dan membantunya untuk memulihkan
kembali kekuatan ilmu Tay yu sinkangnya, dalam hal ini aku percaya sudah banyak yang kau
saksikan, kawanan kakek yang amat memedihkan hati itulah merupakan bukti yang paling
jelas......." Berbicara sampai disitu, Kim Thi sia berhenti sejenak sambil menengok kearahnya, kebetulan
gadis itupun sedang memperhatikan kearahnya, ketika empat mata bertemu tiba-tiba saja dua titik
air mata jatuh berlinang membasahi pipinya. Dengan perasaan iba, pemuda itu segera berkata:
"Seandainya kau enggan untuk mendengarkan lebih lanjut, biarlah kuakhiri pembicaraan soal
itu sampai disini saja."
"Tidak. kau harus melanjutkan kata-katamu......" pinta sinona dengan suara sesenggukan-
Kim Thi sia merasa sangat iba, namun dia tak ingin menyia-nyiakan harapan gadis tersebut,
dengan suara yang parau segera sambungnya:
" Keempat, dia telah mendesak anak buahnya untuk mencari balas terhadap kesembilan orang
murid Malaikat pedang berbaju perlente. Berapa hari berselang bahkan dia telah turun tangan
sendiri membinasakan sipedang bintang, satu diantara kesembilan jago pedang tersebut."
" Kelima, antara aku dengan dia sama sekali tak terjalin rasa sakit hati apapun atau tegasnya
tidak saling mengenal, namun dia toh sudah menotok jalan darahku dan menangkapku kemari,
kemudian memaksaku untuk menyerahkan rahasia ilmu Tay goan sinkang kepadanya."
Mungkin karena dorongan api kegusaran yang meluap-luap. pemuda itu berbicara dengan
lancar sekali tanpa berhenti, terdengar dia meneruskan:
"Adegan yang kualami tadi, tentunya kau telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bukan" Tadi dia berniat menyiksaku dengan siksaan ular, apakah pikiran dan perbuatan kejam
seperti ini pantas dilakukan oleh wanita yang seharusnya berhati lembut dan halus?"
"Kalau begitu aku......aku telah menjadi seorang pembantu pembunuh.....^." keluh nona
berbaju putih itu dengan wajah memucat dan mengeluh lirih, hampir saja ia jatuh pingsan-
"Selain apa yang kukatakan tadi, sesungguhnya masih terdapat pula masalah-masalah lain yang
lebih kecil, pokoknya aku tidak mengetahui secara pasti berapa banyak kejahatan yang juga
pernah dilakukan olehnya. Aku........."
Tiba-tiba dia tutup mulutnya sambil mengawasi gadis tersebut dengan tertegun, lalu serunya:
"Hey, apakah kau merasa tak enak badan?"
Nona berbaju putih itu memegangi dadanya dengan sepasang tangan, dengan bersusah payah
dia bergumam lirih: "ooooh Thian.....tidak kusangka ibu yang kucintai ternyata adalah manusia seperti ini."
Melihat hal itu, Kim Thi sia segera memukul jidat sendiri seraya berseru:
"Nona, manusia kasar seperti aku ini paling gampang naik darah, tak kusangka aku berbuat
begitu bodoh dengan membeberkan semua kejahatan ibumu kepadamu. Aaaai......tindakanku ini
keliru besar, sudahlah....kau jangan bersikap begitu lagi.......aku merasa amat sedih........."
Menyaksikan gadis cantik itu dirundung kesedihan yang luar biasa, tiba-tiba saja sikap pemuda
itupun mengalami perubahan sangat besar, dengan suara yang parau dan rendah dia berkata lagi:
"Nona, belum pernah aku merasa menyesal seperti ini. Aku tak lebih hanya seorang manusia
kasar. Perkataan dari seorang manusia kasar tak lebih hanya kata-kata yang tak berguna, kau
jangan percaya dengan perkataanku tadi."
Gadis berbaju putih itu benar-benar memberikan daya pikat yang luar biasa, tatkala dia sedang
tertawa, maka bagaikan bunga sedang mekar, segala sesuatunya nampak sedang tertawa dan
gembira. Tapi setelah ia bersedih hati, maka segala sesuatunya nampak menyedihkan dan memilukan
hati. Akhirnya karena rasa sedih yang tak terhingga, gadis itu menjatuhkan diri diatas meja dan
tertidur nyenyak. Entah berapa saat sudah lewat ketika gadis itu sadar kembali dari tidurnya, dia seperti sudah
mengambil suatu keputusan yang bulat kepada Kim Thi sia segera serunya:
"Aku sudah mengambil keputusan untuk meninggaikan ibuku, beranikah kau mengajak ku
keluar dari lembah ini?"
Kim Thi sia menjadi tertegun dan setengah harian lamanya tak mampu mengucapkan Sepatah


Lembah Nirmala Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katapun sehabis mendengar perkataan tersebut.
Mendadak segulung angin berhembus lewat, pemuda itu segera menggenggam tangan sinona
dan bersumpah: "Asal kau masih bisa hidup akan kuusahakan dengan segala kemampuan yang ada untuk
membuatmu meninggalkan lembah ini."
Ia menatap gadis tersebut lekat-lekat dibalik sorot matanya terpancar rasa keyakinan yang
besar. Kim Thi sia kembali disekap dalam gua, karena pemuda itu bersikeras menampik untuk
mengungkap rahasia ilmu Tay goan sinkang.
Masih untung sinona berbaju putih itu menaruh simpatik terhadap pemuda kita atas bujuk dan
permohonannya yang berulang-ulang, akhirnya Dewi Nirmala mengubah keputusannya dari
siksaan ular menjadi siksaan lapar.
Dia menganggap tabiat Kim Thi sia tak lebih hanya tabiat orang kasar, maka dia bermaksud
membuat pemuda tersebut menjadi lapar kemudian baru memaksanya untuk mengungkap rahasia
ilmu Tay goan sinkang. Tapi sayang, mimpipun dia tak menyangka kalau Nirmala nomor tujuh telah menaruh kesan
baik terhadap pemuda ini sehingga dengan menyerempet bahaya ia telah membantu pemuda
tersebut secara diam-diam.
Bukan saja dia telah membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan Dewi Nirmala diapun
menyerahkan pil mustika kepada Kim Thi sia untuk menghilangkan rasa lapar yang mencekamnya
. Suasana remang-remang telah menyelimuti seluruh ruang gua, Kim Thi sia tak dapat melihat
sinar sang surya, namun dia tak kuatir akan kelaparan yang menggerogoti perasaannya sekarang
adalah keselamatan dari nona berbaju putih itu. Pikirnya didalam hati:
"Sekarang dia telah mengetahui segala kejahatan yang pernah diperbuat Dewi Nirmala, diapun
telah memutuskan untuk meninggalkan tempat ini, sayang aku tak becus. Aaaaai.......sekalipun
aku seorang lelaki sejatinya hanya aku tak mampu membantunya untuk meninggalkan lembah
ini." Tak selang berapa saat kemudian, kembali dia berpikir:
" Kenapa aku mesti membuang waktu dengan melamun" Kenapa aku tidak mempergunakan
kekuatanku sendiri untuk menciptakan suatu peristiwa yang luar biasa?"
Berpikir demikian, dia segera duduk bersila dan mengatur pernapasan, kemudian latihanpun
segera dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Hingga senja menjelang tiba, ia baru selesai dengan latihannya, meski tubuhnya dijumpai
basah kuyup oleh keringat, namun pemuda tersebut dapat merasakan bahwa tenaga dalamnya
telah peroleh kemajuan setingkat lagi.
Untuk menahan lapar, kembali dia menelan sebutir pil mestika itu, lalu mengayunkan kembali
telapak tangannya melepaskan pukulan demi pukulan kearah batu besar dimulut gua.
Berapa pukulan yang dilancarkan secara beruntun segera menggumpikkan batu cadas itu
hingga berguguran keatas tanah, sekalipun batu itu belum mampu digerakkan, namun hancura
batu yang dihasilkan jelas memperlihatkan kemajuan yang dicapainya.
"Sekarang aku telah berhasil meretakkan batu cadas itu, berarti tenaga dalamku telah
memperoleh kemajuan satu tingkat. Ya asal aku mau berlatih lebih tekun, niscaya aku bisa lolos
dari tempat ini" demikian ia berpikir dalam hatinya.
Akhirnya dia berlatih hingga tubuhnya lelah dan tertidur tanpa terasa dengan menempel diatas
dinding. Keesokkan harinya........
Ketika sinar sang surya sudah mencorong masuk kedalam gua, pemuda itu baru mendusin
kembali dari tidurnya. Kembali dia menelan sebutir pil untuk menghilangkan rasa laparnya, kemudian melanjutkan
latihannya dengan tekun. Siapa tahu saat itulah dia melihat didepan dinding gua tertempel
sleembar kertas putih. Kertas putih itu jelas disusupkan masuk kedalam gua melalui celah gua. Andaikata ia tidak
memperhatikan dengan seksama, rasanya sulit untuk menemukannya.
Dengan cepat Kim Thi sia mengambil kertas tadi dan dibuka, terlihatlah surat itu berbunyi
begini. "Thi sia."
"Pembicaraan kita semalam membuat aku harus berpikir semalam suntuk, hingga kini aku
belum juga dapat memejamkan mata. Dari balik cermin kusaksikan sepasang mataku telah merah
membengkak, mengapa bisa begini?"
"Sejak kecil aku hidup didiam kegembiraan, awan putih dan burung adalah sahabatku dipagi
hari, rembulan dan bintang adalah pelayan dalam impianku. Selama ini aku tak pernah merisaukan
ada apa, tapi akhirnya aku paham, rupanya kebahagiaanku dibangun dari kesengsaraan dan
penderitaan orang lain- Aaaaai.....ditengah malam yang panjang, aku seakan-akan melihat banyak
tangan yang dijulurkan kepadaku dengan penasaran-"
"Aku harus berterima kasih kepadamu meski akibat dari keteranganmu itu membuat
kebahagian hidupku selanjutnya ibarat bunga yang layu disiang hari, namun kuhormati dirimu
sebagai abangku. Aku malu dan menyesal karena apa yang diberikan ternyata hanya keaiban dan
ketidak tentraman. Aku tidak menyatakan apa-apa, bagaimanapun juga, dia toh masih tetap
merupakan ibu kandungku."
"Aku gembira karena kau lolos dari perlakuan yang buruk dan keji, tapi aku merasa tak
tenteram karena kau disekap dalam gua yang gelap dan pengap. Aku hanya bisa berharap dengan
perjuanganmu yang teguh maka nasibmu akan berubah sama sekali, aku percaya masa depanku
sudah berada ditanganku. Disaat kau berhasil dengan sukses dikemudian hari, aku pasti akan
turut berbangga hati."
"Hanya sampai disini suratku kali ini, pikiranku amat kalut. Moga- moga keberhasilanmu dapat
cepat diraih." "Salam selalu dari, Hay jin-"
Selesai membaca tulisan itu, Kim Thi sia merasakan gejolak hawa panas bergelora didalam
dadanya, dengan terharu sekali dia bergumam:
"Ehmmm.......bila ditinjau dari isi suratnya ini, jelas dia sangat mengharapkan keberhasilan dan
kesuksesanku, dia terlalu yakin dengan kemampuanku, padahal aku......"
Dengan sedih dia menundukkan kepalanya rendah-rendah, perasaan rendah diri kembali
menyelimuti seluruh perasaan hatinya.
Pelan-pelan dia mengalihkan kembali sorot matanya keatas kertas itu, tiba-tiba saja
perasaannya menjadi kecut, sedih sekali.
"Aaaaai.....bekas air mata diatas surat ini belum mengering, sewaktu menulis surat ini perasaan
hatinya pasti sedih sekali. Dia adalah seorang gadis yang suci bersih dan berhati lembut, mengapa
justru memiliki seorang ibu yang begitu kejam, buas dan tak berperikemanusian" Mengapa ibunya
justru seorang gembong iblis yang membunuh orang tanpa berkedip" Aaaa i...... mengapa pula
dia menulis "masa depannya ibarat bunga layu disiang
hari?" Apakah dia merasa terpukul batinnya oleh kenyataan yang ada....^.?"
Makin dipikir pemuda itu merasa makin pening dan kalut pikirannya. Mendadak pikirnya
kembali: "Aaaah, aku tak boleh terbawa oleh perasaan, sekarang aku harus berupaya untuk
mengendalikan perasaan sendiri dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk melatih
diri......bukankah gadis itu sedang menunggu saat keberhasilanku?"
Sebagai seorang lelaki kasar, apa yang terpikir segera pula dilaksanakan, dengan membuang
segala pikiran dan kekalutan, dia mulai duduk bersila serta melatih diri.
Dalam suasana senja yang hening, mendadak dia mendengar ada suara orang sedang merintih
kesakitan- Ketika diamati dengan lebih seksama, ternyata suara rintihan itu bukan berasal dari
seorang saja. Dengan perasaan terkejut dia segera berdiri
"Mungkinkah ditempat ini masih ada orang lain yang mengalami nasib setragis diriku?" Tanpa
terasa dia terbayang kembali cerita ayahnya dulu.
"Lambat laun, ayah mendengar banyak sekali suara rintihan yang memilukan hati. Suara
rintihan itu tidak terlalu jelas tapi mengandung tenaga yang penuh, rasanya suasana seperti sukar
untuk dijumpai dalam dunia persilatan, tak heran rasa ingin tahu ku segera timbul."
"Akhirnya aku berhasil menemukan, rupanya suara rintihan yang bersahut-sahutan itu berasal
dri sekawanan kakek yang berada didalam beberapa gua gelap diam-diam akupun mengintip dari
balik gua tersebut, tapi apa yang teriihat membuat hatiku terperanjat."
"Ternyata dari balik gua yang gelap gulita itu memencar keluar sepasang mata yang tajam
bagaikan bidikan anak panah, buru-buru aku menarik kembali kepalaku dengan perasaan
terkesiap. Tapi sejak itu juga aku mengetahui bahwa gua kecil yang gelap itu berdiam seorang
kakek yang berilmu silat amat tinggi. Sekalipun ayah pernah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, namun dari ketajaman mata mereka, aku salah satu seorang diantara mereka sudah
mampu mengobrak abrik dunia persilatan- Andaikata mereka sampai berkelana dalam dunia
kangouw." Terbayang kembali kesemuanya itu, Kim Thi sia segera merasakan hatinya berdebar keras,
pikirnya: "Tak disangka lagi suara rintihan tersebut tentu berasal dari orang-orang yang dibelenggu Dewi
Nirmala. HHmmm, bila aku dapat lolos dari gua ini, pasti akan kubantu orang-orang tersebut.
Paling tidak Dewi Nirmala akan menghadapi musuh tangguh yang lebih banyak."
Begitulah, selesai melatih diri dengan tekun, kembali pemuda itu tertidur nyenyak.
Keesokkan harinya, kembali ia menemukan secarik surat, dengan perasaan tegang pemuda itu
segera mengambil surat tersebut dan dibaca isinya. "Thi sia."
"Pertama-tama aku hendak menerangkan lebih dulu bahwa suratku kemarin dan hari ini bisa
sampai ditanganmu berkat bantuan Nirmala nomor tujuh, kasih sayangnya menimbulkan
kehangatan dalam hatiku. Aku rasa budi kebaikan semacam ini pasti akan kubalas dikemudian
hari." "Seharian belakangan ini hatiku selalu murung dan masgul, rupanya kemurungan dan
kesedihanku diketahui juga oleh ibu, dengan garang dan galak dia menegur serta mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepadaku. oooh.......sepasang matanya begitu dingin, aku takut sekali."
"Aku tahu, dia telah menugaskan empat orang dayang untuk mengawasi gerak gerikku. Kini
keadaanku menjadi bertambah runyam dan bahaya, aku tidak tahu apa yang mesti kuperbuat."
"Keempat orang dayang itu mengawasiku sangat ketat, sampai-sampai kesempatan untuk
menulis suratpun tak ada."
Selesai membaca tulisan ini, Kim Thi sia berkerut kening, pikirnya dengan risau:
"Seandainya Dewi Nirmala sampai mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, dengan
kekejaman, kebuasan dan kekejiannya sudah pasti gadis itu akan dicelakai. oooh.......aku harus
berusaha meninggalkan gua ini lebih cepat lagi."
Berpikir demikian ia segera berusaha untuk mendorong batu raksasa tersebut, namun
betapapun dia mengerahkan tenaganya, ternyata benda tersebut sama sekali tak bergeming.
Akhirnya Kim Thi sia menjadi mendongkol sekali hingga menjatuhkan diri duduk dilantai dan
bermuram durja. Sampai lama sekali, dia baru menghentikan rasa mendongkolnya dan melanjutkan latihannya
lebih jauh. Pada hari ketiga, kembali pemuda itu menemukan secarik surat, kali ini surat tersebut berbunyi
demikian: "Thi sia."
"Ketika ibu gagal mengetahui latar belakang masalah yang kuhadapi, akhirnya dia mengurung
ku didalam kamar, sekarang gerak gerikku tak bebas lagi. Meski jauh lebih baik daripada
keadaanmu, namun keadaan kita sekarang boleh dbilang senasib sependeritaan-"
"Ketika Nirmala nomor tujuh datang membawa makanan bagiku, dia telah berbisik kepadaku. ia
berniat mengurungmu selama tujuh hari. Sebab biasanya seseorang tak akan tahan menderita
kelaparan selama ini. Aaaa i......aku merasa kuatir sekali, apakah kau sanggup untuk menahan
diri?" "Kemarin perasaanku sangat kalut, tak setetes airpun yang kuminum tak sebutir nasipun yang
kutelan, aku merasa amat kalut, pikiranku sangat kacau."
"Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa menyesal karena tak pernah belajar silat. orang
bilang kehidupan orang yang tak mengerti silat tenang dan tenteram, tetapi kenyataannya hidupku
bergelombang." "Salam, Hay jin-"
Kim Thi sia amat terharu, perasaannya dicekam emosi, tiba-tiba saja ia menggigit robek jari
tangannya, lalu menulis berapa patah kata dibalik kertas surat tadi. Ia menulis begini:
Pendekar Panji Sakti 1 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Ikat Pinggang Kemala 8
^