Pencarian

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 11

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 11


Pada malam hari itu juga beberapa pemimpin Banyubiru
segera mengadakan pertemuan. Mereka membicarakan
segala segi yang mungkin terjadi pada keadaan seperti itu.
Akhirnya, setelah mereka membahas beberapa masalah,
sampailah mereka pada suatu keputusan, bahwa satu-
satunya kemungkinan, apabila keadaan memaksa, mereka
akan minta bantuan kepada Ki Ageng Lembu Sora dari
Pamingit. Sebab dalam pertimbangan mereka, Ki Ageng
Lembu Sora adalah adik Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi
mereka sama sekali tidak tahu bahwa Lembu Sora sendiri
ternyata memegang peranan penting dalam kekisruhan-
kekisruhan yang terjadi. Hilangnya Mahesa Jenar, terutama bagi Arya Salaka,
terasa menekan sekali dalam dadanya. Ia telah kehilangan
ayahnya, dan kemudian orang yang dipercaya oleh ayahnya
untuk mengasuh serta menjadi gurunya dalam olah
kanuragan. Disamping itu Mahesa Jenar adalah kawan
bermain-main yang menyenangkan. Itulah sebabnya maka
kemudian ia menjadi pendiam dan selalu bermenung.
Ibunya yang tidak kalah sedihnya, namun yang selalu
berusaha untuk menghiburnya, kadang-kadang menjadi
sangat cemas melihat perkembangan Arya dari hari ke hari.
Ia lebih senang menyendiri dan pergi ke tempat-tempat
yang sepi. Kadang-kadang malahan ia sama sekali tidak
mau tidur di dalam rumah, tetapi untuk beberapa malam
Arya Salaka tidur dihalaman belakang. Wanamerta, Panjawi
dan lain-lainnya juga telah berusaha sedapat-dapatnya
untuk menggugah kegembiraan Arya, tetapi usaha mereka
sama sekali tak berhasil. Sehingga akhirnya mereka hanya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dapat menyaksikan dengan hati cemas atas sifat-sifat Arya
yang telah berubah itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Dalam pada itu, apa yang telah terjadi dengan Mahesa
Jenar" Pada saat Mahesa Jenar terpelanting ke dalam jurang, ia
menjadi tidak sadarkan diri dan tidak tahu apakah yang
telah terjadi. Tetapi pada saat ia membuka matanya, ia
telah berada di dalam sebuah pondok yang kecil, beratap
daun ilalang. Pada saat itu kepalanya rasanya telah retak,
dan perasaan nyeri telah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ketika Mahesa Jenar mencoba untuk bergerak, sendi-sendi
tulangnya terasa sakit bukan main. Akhirnya ia terpaksa
mengurungkan niatnya untuk bergerak dan bangun. Yang
dapat dilakukannya pada saat itu hanyalah menggerakkan
kepalanya untuk melihat-lihat seluruh isi rumah itu. Tetapi
di dalam rumah itu tak dilihatnya barang apapun kecuali
bale-bale tempat ia terbaring, paga bambu dengan sebuah
kendhi dan jlupak minyak di atasnya, cangkul di sudut, dan
parang pemotong kayu terselip di dinding.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah langkah perlahan-
lahan memasuki ruang itu. Dan muncullah dari pintu
samping, seorang tua yang rambutnya telah memutih,
berdahi lebar dan berhidung besar. Wajahnya tampak kasar
dan terbakar oleh panas matahari. Tetapi mata orang itu
memancarkan sinar kejujuran dan kebaikan hatinya.
Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar telah membuka
matanya, tampaklah ia tersenyum lebar. "Nah, Angger...,
rupa-rupanya Angger telah sadar," katanya.
Segera Mahesa Jenar tahu bahwa orang itulah yang telah
menemukan dan menolongnya pada saat ia pingsan.
Meskipun dengan masih agak sukar Mahesa Jenar
menjawab perlahan. "Ya bapak."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Orang itu mengangguk, lalu duduk di bale, sambungnya,
" jangan angger bergerak dahulu. Biarlah kekuatan angger
pulih." Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi ia mencoba
menganggukkan kepalanya. Dan sekali lagi orang tua itu
tersenyum lebar. Mahesa Jenar mencoba mengamati orang itu lebih
seksama. Kecuali berdahi lebar dan berhidung lebar,
memang orang itu sama sekali tidak tampan. Tetapi
tubuhnya adalah tubuh idaman bagi setiap lelaki. Mungkin
karena ia harus bekerja keras untuk mencukupi
kebutuhannya setiap hari, maka badannya masih tampak
segar dan kuat. Ototnya kokoh menjalar hampir ke seluruh
bagian tubuhnya. Orang tua itu meskipun tidak begitu
tinggi, tetapi tidak pula tergolong pendek.
Rupanya orang yang telah ditolongnya itu sedang
mengamat-mati dirinya. Kembali senyumnya yang lebar
menghiasi bibirnya yang tebal. Katanya, "Adakah sesuatu
yang aneh pada diriku"."
Mahesa Jenar terkejut mendengar pertanyaan orang itu.
Karena itu ia segera dengan perlahan-lahan menggelengkan
kepala. "Angger..," sambung orang tua itu, "usahakanlah supaya
angger dapat tidur. Jangan berfikir hal yang dapat
mengganggu ketentraman perasaan angger. Di sini angger
dapat beristirahat seenaknya, sebab tidak ada orang lain
yang tinggal di sini kecuali aku seorang diri."
Kembali Mahesa Jenar mencoba mengangguk.
"Bagus," orang tua itu melanjutkan, "tidurlah. Atau
barangkali angger mau minum."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, orang itu telah
melangkah keluar rumah menyambar kendi diatas pagar,
dan sebentar lagi ia telah masuk kembali. Dengan perlahan
dan sangat cermat ia menuangkan air kendi kedalam mulut
Mahesa Jenar. Sebenarnya memang leher Mahesa Jenar
terasa kering sekali. Seakan-akan sisi lehernya telah lekat
menjadi satu. Dengan air yang dituangkan kedalam
mulutnya, maka lehernya terasa menjadi sejuk. Bahkan
seluruh tubuhnya menjadi segar. Meskipun demikian ia
masih belum mampu untuk bangun.
"Jangan coba untuk bangun dahulu," orang tua itu
melarangnya. "Tidurlah. Aku akan mencari kayu, merebus
air, barangkali angger suka air jeruk."
Sesudah berkata demikian orangitu segera melangkah
pergi. dan tinggallah Mahesa Jenar seorang diri, berbaring
didalam ruangan kecil yang kosong itu. Otaknya yang telah
dapat bekerja dengan wajar, sedikit demi sedikit dapat
mengenal kembali apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia
merasa bersyukur bahwa ia tidak lumat terbanting kedalam
jurang. Sebab kalau tidak ia pasti sudah binasa. Sebab
bagaimanapun dahsyatnya kekuatan Sasra Birawa yang
dimilikinya, namun untuk melawan tujuh orang sekaligus,
agaknya ada diluar batas kemampuannya.
Kemudian oleh angin yang menghembus lewat pintu
disamping tempat berbaring Mahesa Jenar, serta tubuhnya
yang terasa sudah agak segar, maka Mahesa Jenar akhirnya
jatuh tertidur. Ketika ia terbangun, dilihatnya orang tua itu telah duduk
di sampingnya. Tangannya memegang seberkas lontar.
Tanpa menoleh kepada Mahesa Jenar orang tua itu mulai
membaca naskah yang tertulis di dalam lontar itu. Maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
segera menggemalah lagu bait demi bait dari kidung yang
berisikan sebuah cerita yang agaknya menarik hati.
Pada saat itu tubuh Mahesa Jenar telah mulai terasa
agak kuat. Karena itu ia telah dapat berusaha untuk duduk
dibelakang orang tua yang sedang membaca lontar itu,
yang seakan-akan tidak memperhatikannya.
Bagian pertama dari cerita itu menggambarkan tentang
dua orang sahabat yang pergi merantau untuk berguru
kepada seorang sakti. Meskipun kedua orang itu hanyalah
sahabat saja, namun mereka telah merasa dirinya lebih dari
dua orang bersaudara. Karena itu apapun yang terjadi
selalu mereka tanggung bersama.
Akhirnya sampailah mereka kesuatu lembah yang amat
sepi. Lembah yang sama sekali tak pernah disentuh oleh
kaki manusia. Disana dijumpainya seorang petapa yang
telah menjauhkan diri dari kehidupan. Ia hanya tinggal
mengabdikan sisa hidupnya untuk menyembah Yang Maha
Agung. Kedua orang sahabat itu kemudian menyerahkan hidup
matinya kepada sang petapa sakti. Petapa yang telah
menjauhkan diri dari kesibukan manusia itu semula ragu.
Tetapi karena kesadaran akan pembinaan kebajikan,
akhirnya kedua orang itu diterima menjadi muridnya.
Diajarinya mereka berdua tentang berbagai ilmu lahir dan
batin. Jaya Kawijayan dan olah kanuragan sehingga kedua
sahabat itu kemudian menjadi dua orang yang gagah
perkasa. Petapa sakti itu mengharap agar kedua pemuda itu dapat
melanjutkan dharma bhaktinya kepada tata pergaulan
manusia membina kebajikan dan memusnahkan kejahatan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Adapun petapa sakti itu, tak seorang pun yang pernah
mengenal wajahnya, serta nama yang sebenarnya. Sebab ia
selalu memakai topeng yang sangat kasar buatannya,
berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan.
Mendengar nama Pasingsingan disebutkan, Mahesa Jenar
terkejut bukan main. Tanpa disengaja ia mengulangi nama
itu sampai orang itu terkejut dan berhenti.
Perlahan-lahan ia menoleh kepada Mahesa Jenar, dan
ketika ia melihat Mahesa Jenar duduk di belakangnya, lagi-
lagi orang itu tersenyum lebar. "Rupanya Angger telah
berangsur baik, dan telah dapat duduk pula, " katanya.
"Begitulah, Bapak," jawab Mahesa Jenar.
"Tetapi agaknya, adakah yang menarik perhatian Angger
dalam ceritera ini?" tanya orangtua itu kemudian. Tetapi
ketika Mahesa Jenar akan menjawab terdengar orang itu
melanjutkan, "Aku pernah mendengar kata orang bahwa
lagu dapat dipergunakan untuk banyak tujuan. Dalam
peperangan, lagu dapat membangkitkan semangat bertempur dan berkorban. Seorang prajurit yang telah
kehilangan semangat, akan bangkit keberaniannya apabila
ia mendengar sangkakala dalam irama yang menggelora.
Sebaliknya, lagu akan sangat berguna pula dalam waktu
bercinta." Orang itu berhenti berbicara. Kemudian
terdengarlah ia tertawa berderai. "Anakmas pasti pernah
bercinta," katanya tiba-tiba. Perkataan itu mengejutkan
Mahesa Jenar. Tanpa disengaja ia menggelengkan kepala.
Melihat Mahesa Jenar menggeleng, orangtua itu mengerutkan keningnya, dan dengan nada keheranan ia
bertanya, "Angger belum pernah bercinta?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah oleh pertanyaan
itu. Tetapi sekali lagi tanpa disengaja ia menggelengkan
kepalanya pula. Orangtua itu kemudian mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Baiklah aku berkata tentang masalah yang lain."
Ia berhenti sebentar, lalu sambungnya, "Kata orang, lagu
dapat pula menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit.
Nah, tadi aku mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang
sedang Angger derita, meskipun suaraku sama sekali tak
merdu dan lagunya pun barangkali banyak yang salah."
"Terima kasih, Bapak," sahut Mahesa Jenar. "Mungkin
karena lagu itu pula aku jadi berangsur baik. Tetapi isi
ceritera yang Bapak lagukan itu pun sangat menarik
perhatianku." "Angger juga tertarik pada ceritera-cerita semacam itu?"
katanya pula. "Kalau begitu kita mempunyai persamaan
kesenangan. Tetapi, sampai sekarang aku masih belum
mengenal siapakah Angger ini sebenarnya?"
Oleh pertanyaan orangtua itu, barulah Mahesa Jenar
menyadari kekakuan hubungannya dengan orang itu. Sebab
masing-masing masih belum saling mengenal namanya.
Karena itu, ketika orangtua itu menanyakan namanya,
segera dijawabnya. "Namaku Mahesa Jenar, Bapak..., dan
siapakah Bapak ini pula?"
"Akh, aku adalah orang yang sama sekali tak berarti.
Tetapi meskipun demikian, baiklah Angger mengenal
namaku." Ia berhenti sebentar untuk menarik nafas,
kemudian melanjutkan, "Namaku adalah Ki Paniling."
Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu. Kemudian ia bertanya pula, "Ceritera
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang Bapak baca sangat menarik perhatianku. Dari
manakah ceritera itu Bapak dapatkan?"
Kening orangtua itu berkerut kembali. Agaknya ia sedang
mengingat-ingat. Tetapi kemudian sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya ia menjawab, "Aku tidak ingat lagi
Angger, di mana dan kapan aku mendapatkan naskah itu.
Tetapi aku kira itu adalah salinan dari naskah-naskah yang
ada di mana-mana. Jadi bukanlah berisikan suatu ceritera
yang sedemikian menarik hati."
Bagaimanapun, keinginan Mahesa Jenar untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang isi naskah itu,
yang telah menyebut-nyebut nama Pasingsingan, namun ia


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu berusaha untuk menguasai diri. Sebab ia masih
belum tahu benar dengan siapakah ia berhadapan.
Meskipun menilik sikap, kesederhanaan, cara berpikir serta
hal-hal lain, orang itu bukanlah orang jahat, namun ia tidak
dapat meninggalkan sikap hati-hati.
"Masih panjangkah ceritera itu?" tanya Mahesa Jenar
kemudian. "Tidak," jawab Ki Paniling, "Angger ingin membaca
sendiri?" Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya. Ki Paniling
kemudian menyerahkan lontar yang dibacanya itu kepada
Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar kemudian menjadi
kecewa ketika kelanjutan dari ceritera itu hanyalah tinggal
beberapa bait saja, yang menceriterakan tentang keperkasaan dua orang murid Pasingsingan yang seakan-
akan dapat terbang seperti burung rajawali. Adapun nama
dari kedua orang itu, yang dianggap lebih tua karena
memiliki beberapa kelebihan adalah Radite, sedang yang
muda disebut Anggara. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tidakkah Bapak mempunyai kelanjutan ceritera ini?"
tanya Mahesa Jenar dengan penuh keinginan untuk
mengetahui. Orangtua itu mengangguk-angguk sejenak, lalu berkata,
"Menurut ingatanku, aku ada mempunyai tiga jilid dari
naskah itu. Tetapi cobalah nanti Bapak cari, barangkali
sedang dipinjam orang selagi mereka punya keperluan."
Kemudian orangtua itu berdiri, sambil melangkahkan kaki
ke luar ia berkata, "Istirahatlah Angger. Bapak akan
mencari jilid kedua dan ketiga dari kitab itu." Lalu hilanglah
orangtua itu di balik pintu.
Mahesa Jenar heran mendengar kata-kata Ki Paniling.
Kemanakah ia akan mencari kedua jilid yang lain" Adakah di
sekitar rumah ini" Atau rumah-rumah orang lain"
Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mengetahui
keadaan di sekeliling tempat itu. Perlahan-lahan Mahesa
Jenar mengingsar tubuhnya ke tepi tempat pembaringannya. Ketika dirasa bahwa tulang-tulangnya
telah tidak begitu nyeri lagi, maka dengan sangat hati-hati
ia mencoba berdiri. Ia merasa gembira sekali, bahwa
agaknya kekuatannya telah berangsur-angsur menjadi baik
dan ia sudah tidak merasakan kesulitan apa-apa untuk
berjalan. Karena itu perlahan-lahan dan hati-hati Mahesa
Jenar melangkah ke luar rumah. Ia menjadi agak bingung
ketika sampai di halaman. Ia tidak dapat lagi mengetahui
dengan pasti, di manakah utara dan di mana selatan. Ketika
memandang ke arah matahari terbit, Mahesa Jenar juga
agak keheran-heranan. Ia dapat memastikan bahwa pada
saat itu hari masih pagi. Kalau demikian maka ia telah
melampaui satu malam berada di dalam pondok Ki Paniling.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian dengan tubuh yang masih belum sehat benar,
Mahesa Jenar melangkah lebih jauh lagi. Ia semakin
bertambah heran ketika di depan halaman Ki Paniling itu
terdapat sebuah jalur desa. Maka keinginannya untuk
mengetahui keadaan di sekitarnya menjadi semakin besar.
Setapak demi setapak Mahesa Jenar melangkah menuruti
jalan kecil itu, sehingga kemudian barulah ia percaya bahwa
sebenarnya ia telah dirawat oleh seorang yang sama sekali
bukan orang yang terasing, tetapi orang biasa. Mungkin
seorang petani miskin yang tinggal di dalam sebuah
kampung kecil bersama-sama dengan orang-orang miskin
lainnya. Tetapi disamping itu, timbullah suatu masalah lain di
dalam kepalanya. Mahesa Jenar ingat betul bahwa ia telah terperosok ke
dalam jurang yang dalam. Apa yang diketahuinya, daerah
itu daerah pegunungan yang berhutan dan bersemak-
semak. Jadi tidaklah mungkin bahwa ia telah menggelinding
sampai tempat yang didiami oleh manusia. Memang
mungkin pada saat itu Ki Paniling sedang mencari kayu,
misalnya, lalu menemukannya. Tetapi membawa seseorang
sebesar dirinya di tempat yang bergunung-gunung dan
bertebing-tebing curam adalah sangat sulit. Sedang daerah
ini adalah suatu dataran yang rata, meskipun masih juga
dikitari hutan dan pegunungan. Dengan demikian maka
pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar menjadi semakin
berbelit-belit di kepalanya.
Setelah Mahesa Jenar berjalan beberapa jauh, terasa
kakinya amat penat. Kekuatannya baru sebagian kecil saja
yang dimilikinya kembali. Karena itu ia berhasrat kembali
saja ke rumah Ki Paniling.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi baru saja ia memutar tubuhnya, tiba-tiba
terdengarlah suara ramah, "Adi Darba, itulah kemanakanku
yang baru datang kemarin siang."
Segera Mahesa Jenar memandang ke arah suara itu.
Dilihatnya Ki Paniling sedang bercakap-cakap dengan
seorang petani lain, seorang yang bertubuh agak kekurus-
kurusan. Dan seperti kebiasaan para petani, wajahnya
memancarkan isi dadanya dengan terbuka.
Orang yang dipanggil Darba itu kemudian tertawa.
Tertawanya terdengar seperti suara air yang memancar dari
mata airnya. Bersih dan tanpa maksud-maksud yang tidak
wajar. "Kemenakanmu tampak begitu tampan dan gagah,
Kakang Paniling, aku jadi agak heran," katanya dengan
jujur. Ki Paniling tersenyum lebar, jawabnya, "Aku tidak tahu,
bagaimana aku dapat mempunyai kemenakan segagah dia"
Kemudian kedua orang itu sama-sama tertawa. Mau
tidak mau Mahesa Jenar berusaha untuk tertawa pula, serta
mengangguk hormat kepada mereka.
"Mahesa Jenar...," kata Paniling, yang memanggilnya
tanpa sebutan seperti lazimnya orang memanggil kemenakannya. "Inilah pamanmu Darba. Ia termasuk salah
seorang cikal bakal kampung ini sesudah aku. Sebab akulah
yang tertua yang datang di sini, kemudian beberapa orang
berturut-turut ikut serta menebas hutan dan membangun
perkampungan kita ini. Bukan begitu Darba?"
Darba tertawa kembali. Jawabnya, "Pasti aku harus
membenarkan katamu. Sebab tak seorang pun yang akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyangkal bahwa kaulah yang datang pertama kali di
daerah ini." Mendengar jawaban kawannya itu, kembali bibir-bibir
tebal di bawah hidung Ki Paniling yang besar itu bergerak-
gerak dan tersenyum lebar.
"Sekarang, singgahlah sebentar, Darba," ajak Paniling.
"Terimakasih. Masih banyak yang akan aku kerjakan pagi
ini. Mengairi sawah dan memasak gula," jawab Darba. "Aku
juga masih nderes tiga pohon lagi."
"Bagus," sahut Paniling. "Kalau masak, gulamu nanti
antarlah kami buat minum air jahe."
"Tentu, tentu..." potong Darba, yang lalu melangkah
pergi setelah mengangguk kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat keakraban pergaulan dalam hidup
sederhana itu dengan perhatian yang luar biasa. Alangkah
jauh bedanya dengan pergaulan orang-orang kota yang
banyak dibumbui oleh sikap berpura-pura.
Setelah petani yang bernama Darba itu hilang di kelokan
jalan, segera Ki Paniling melangkah mendekati Mahesa
Jenar sambil berkata gembira, "Rupanya angger telah
banyak mendapat kemajuan. Sukurlah kalau Angger telah
dapat berjalan-jalan. Maafkanlah kalau aku terpaksa
menyebut Angger sebagai kemenakanku. Hal itu hanya
untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu.
Sebab di padepokan kecil ini segala sesuatu yang tak berarti
dapat saja menjadi peristiwa yang besar."
"Tak apalah, Bapak," jawab Mahesa Jenar. "Mana saja
yang baik untuk Bapak, akan baik pula untukku."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bagus, bagus..." sahut Ki Paniling, "Sekarang marilah
kita pulang, Angger masih jangan terlalu banyak bergerak."
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi segera ia
melangkah mengikuti Ki Paniling.
Sebentar kemudian mereka telah sampai ke pondok Ki
Paniling. Mahesa Jenar langsung dipersilakan berbaring
untuk memulihkan kekuatannya, sedang Ki Paniling segera
menyalakan api serta mengupas jagung.
Kembali terasa angin yang semilir mengusap tubuh
Mahesa Jenar. Dan karena kesegaran dan kepenatan yang
bercampur-baur, akhirnya sekali lagi Mahesa Jenar jatuh
tertidur. Ia menjadi terbangun ketika didengarnya hiruk-pikuk di
halaman. Meskipun tubuhnya belum pulih sepenuhnya,
tetapi untuk menjaga diri segera ia bangkit, dan
memperhatikan keadaan dengan saksama. Di luar,
didengarnya beberapa suara orang laki-laki menyebut-
nyebut namanya. Tetapi kemudian ia menjadi tersenyum
sendiri, namun juga dihinggapi oleh perasaan gelisah.
Orang-orang itu ternyata adalah sahabat-sahabat Ki
Paniling yang telah mendengar kabar bahwa kemenakannya
datang mengunjungi kampung mereka yang kecil dan
terpencil ini. Karena itulah mereka memerlukan datang
untuk mengucapkan selamat datang serta menyampaikan
salam perkenalan. Ki Paniling sendiri agaknya menjadi kerepotan untuk
memberi penjelasan kepada sahabat-sahabatnya, tentang
kemenakannya. Tetapi rupanya ia cerdik juga. Supaya tidak
ada salah keterangan dengan Mahesa Jenar, sengaja ia
berbicara keras-keras dengan harapan bahwa dongengannya itu didengar pula oleh Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Katanya, "Adik-adik sekalian, kemenakanku ini datang dari
daerah yang jauh sekali. Ia pada saat-saat yang lampau
telah pergi merantau hampir ke seluruh sudut bumi. Yang
terakhir ia mengabdikan dirinya di pusat kerajaan. Yaitu
pada Sultan Demak. Di sana ia menjadi seorang prajurit
yang gemblengan" Kemudian terdengar suara orang-orang itu bergumam.
Agaknya mereka menyatakan perasaan kagum terhadap
salah seorang prajurit kerajaan yang sudi berkunjung ke
kampung kecil itu. Malahan seorang diantaranya berkata,
"Anehlah kau Bapak Paniling. Kenapa kau mempunyai
kemenakan yang menjabat sebagai prajurit Demak, tetapi
kau hidup miskin bersama-sama dengan kami di sini?"
Mendengar pertanyaan itu, terdengar Ki Paniling tertawa.
Jawabnya, "Yang menjadi prajurit bukanlah aku, tetapi
kemenakanku." "Kalau begitu banyaklah yang sudah dilihatnya," kata
yang lain, "Dapatkah kiranya kita mendengar ceriteranya?"
"Tentu, tentu..., apabila ia sudah bangun," jawab Ki
Paniling. "Tetapi jangan tanyakan tentang kedudukannya
sebagai prajurit, sebab ia telah mengundurkan diri."
"Mengundurkan diri?" tanya mereka hampir berbareng.
"Ya," jawab Paniling.
"Kenapa?" tanya mereka kembali.
Paniling diam sejenak. Baru kemudian ia dapat
menjawab, "Sampai hal yang sekecil-kecilnya kalian ingin
tahu?" "Itu bukan kecil soalnya," jawab salah seorang, "Tetapi
adalah masalah yang besar. Seorang prajurit bagi kami
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
adalah seorang yang luar biasa. Kalau sampai ia
mengundurkan diri, pasti ada hal-hal yang luar biasa."
Kembali terdengar Paniling tertawa. Jawabnya, "Otakmu
mengkilap seperti batu akik. Bagus, kau takut kalau
kemenakanku itu menjadi buruan, atau dipecat karena
kejahatan" Bagus, dengarlah, ia mengundurkan diri karena
perbedaan pokok mengenai kepercayaan. Ia tidak mau
menentang kawan-kawan seperjuangannya dalam satu
pertentangan jasmaniah. Karena itu lebih baik ia
mengundurkan diri, meskipun dengan demikian bukan
berarti masa kebaktiannya terhenti pula. Ia tetap berjuang
untuk kesejahteraan kawula Demak"
Kemudian terdengarlah orang-orang di luar rumah itu
bergumam puas. Tetapi tidak demikianlah perasaan Mahesa
Jenar yang justru menjadi bergolak hebat. Keterangan Ki
Paniling itu bagi Mahesa Jenar bukanlah sekadar kebetulan
semata-mata. Tetapi adalah suatu ceritera yang tepat
seperti apa yang dialaminya. Karena itu dadanya jadi
bergoncang. Bersamaan dengan itu muncullah sebuah kepala di
ambang pintu. Sedemikian tiba-tiba sehingga Mahesa Jenar
menjadi terkejut. Hampir saja ia meloncat menangkapnya,
tetapi untunglah dalam sekejap kepala itu telah lenyap
kembali disusul dengan suara seseorang, "Kakang Paniling,
kemenakanmu telah bangun."
"He...." jawab Paniling, "Bagus, kalau begitu kalian dapat
menemuinya, tetapi jangan lupa kepada pesan-pesanku."


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat kemudian beberapa orang telah melangkah
masuk. Salah satu diantaranya segera membentangkan
sebuah tikar pandan yang kasar, dan di atas tikar itulah
segera mereka duduk. Mau tidak mau Mahesa Jenar harus
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
duduk pula di atas tikar pandan itu. Meskipun demikian ia
tidak dapat meninggalkan kewaspadaan, meskipun hanya
sekejap. Ia tidak tahu jenis sarang apa pula yang sekarang
sedang dimasukinya. Maka mulailah sahabat-sahabat Paniling saling berebutan
memperkenalkan diri mereka serta bertanya-tanya. Bertanya tentang hal-hal yang kadang-kadang menggelikan
bagi Mahesa Jenar. Dengan memperhatikan pertanyaan-
pertanyaan itu, sebenarnya Mahesa Jenar dapat mengambil
kesimpulan, bahwa mereka benar-benar petani-petani
miskin yang sebagian besar masih sangat rendah
pengetahuannya. Memang ada satu dua diantaranya yang
pernah pula merantau, tetapi pengalaman yang didapatnya
pun sama sekali tak berarti. Kalau demikian, akhirnya
Mahesa Jenar mengambil kesimpulan, bahwa yang
sebenarnya kurang wajar adalah Ki Paniling sendiri.
Memang sejak semula ia telah bertanya-tanya dalam hati
tentang orang ini. Bagaimana ia dapat sampai ke
pondoknya, dan bagaimana ia sengaja menyebut-nyebut
Pasingsingan, lagi pula ia dapat menebak dengan tepat
tentang dirinya, bahkan tentang kedudukannya sebagai
bekas prajurit pun diketahuinya pula.
Karena itu ia menjadi gelisah. Untunglah bahwa
pertemuan itu tidak berlangsung terlalu lama. Setelah
matahari sampai pada titik puncaknya, segera mereka
mohon diri, pulang ke rumah masing-masing. Yang terakhir
meninggalkan ruangan itu adalah Darba. Dengan tertawa
pendek ia berkata, "Mahesa Jenar, datanglah sekali-sekali
ke pondokku meskipun tidak lebih baik dari pondok ini. Aku
juga hidup seperti pamanmu, Paniling. Berbeda dengan
orang lain di sini yang hidup berkeluarga, dengan anak-istri.
Tetapi kami, aku dan pamanmu, hidup sebatang kara."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Baiklah, Paman," jawab Mahesa Jenar mengangguk.
Tetapi, matanya yang tajam menangkap sinar yang
gemerlapan dalam mata petani yang kekurus-kurusan itu.
Sinar itu bukanlah sinar mata seorang petani miskin. Rupa-
rupanya dua orang ini harus mendapat perhatian
sepenuhnya. Tetapi Mahesa Jenar pun adalah orang yang
berotak cemerlang. Karena itu segala sesuatu diperhitungkannya dengan cermat. Juga terhadap kedua
orang ini, ia bersikap sangat hati-hati.
Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tidak mempunyai
prasangka yang jelek terhadap Paniling maupun Darba.
Sebab cahaya mata mereka serta pancaran wajah mereka
sama sekali tidak menunjukkan sesuatu kepalsuan. Tetapi
meskipun demikian ia memperhitungkan pula kemungkinan-
kemungkinan yang sebaliknya. Malahan kadang-kadang
timbul dugaannya, apakah salah seorang diantaranya itu
adalah Pasingsingan"
Setelah semua orang, juga Darba telah meninggalkan
rumah itu, segera Paniling menyodorkan beberapa jagung
rebus beserta gula kelapa yang masih baru kepada Mahesa
Jenar. Mahesa Jenar yang memang merasa lapar segera
menerimanya dan dengan lahapnya ia menghabiskan
bagiannya. Setelah itu tidak banyak yang mereka
percakapkan. Apalagi Paniling segera pergi ke kebun untuk
menyiangi tanaman-tanamannya.
Baru ketika matahari telah hilang di balik batas antara
siang dan malam, serta Paniling telah menyalakan oncor
jarak, mereka duduk di atas satu-satunya tempat
pembaringan yang ada di dalam ruang itu.
Tiba-tiba tanpa ditanya Paniling berkata tentang
kitabnya, "Angger, ternyata kedua jilid dari kitab itu belum
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
aku ketemukan. Aku tanyakan kesana-kemari, agaknya
belum aku jumpai siapakah yang telah meminjamnya.
Apakah Anakmas tertarik sekali dengan ceritera itu?"
Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan menjawab
pertanyaan itu. Namun demikian katanya, "Aku sangat
tertarik kepada ceriteranya, Bapak."
Paniling mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambungnya, "Ceriteranya memang menarik. Tetapi
ceritera itu adalah ceritera biasa saja sebenarnya."
"Ya," jawab Mahesa Jenar tiba-tiba. Ia sedang mencoba
untuk memancing pikiran orang tua itu. "Aku juga pernah
mendengar ceritera yang hampir sama."
Orang itu tampak agak terkejut, tetapi sebentar
kemudian kesan itu telah hilang kembali. Malahan ia
tersenyum sambil menjawab, "Angger juga pernah
mendengar" Di mana...?"
"Di Banyubiru," sahut Mahesa Jenar.
"Banyubiru..." Dekat Rawa Pening?" tanya Paniling.
"Ya, kenapa?" tanya Mahesa Jenar pula.
"Akh, ceritera itu sampai tersiar demikian jauhnya,"
jawab Paniling. "Demikian jauhnya?" Mahesa Jenar yang sekarang
keheranan. Ki Paniling kembali mengernyitkan alisnya. Dan kembali
pula ia tersenyum lebar. "Bukan jauh sekali," katanya kemudian, "Tetapi buat
ceritera yang tak berharga itu, adalah suatu kehormatan
besar apabila sampai tersiar ke daerah-daerah yang agak
jauh." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terasa bagi Mahesa Jenar ada sesuatu yang dapat
ditangkapnya dari kata-kata Paniling, karena itu segera ia
menyahut, "Kalau ceritera itu sampai di sini, bukankah telah
tersebar ke tempat yang lebih jauh lagi?"
Paniling terkejut mendengar jawaban Mahesa Jenar.
Tetapi hanya sekejap, karena hanya sesaat kemudian ia
telah tertawa sambil berkata, "Mungkin, mungkin Angger
benar." Mahesa Jenar tidak mau melepaskan kesempatan itu lagi,
karena itu ia ingin mendesak lebih lanjut. "Ki Paniling, aku
juga pernah mendengar ceritera tentang Pasingsingan itu di
Banyubiru. Cobalah Ki Paniling sudi mendengarkan ceritera
yang aku dengar itu untuk diperbandingkan dengan
kelanjutan dari ceritera Ki Paniling yang tercecer, dari kitab
jilid 2 dan 3. Adakah persamaannya ataukah hanya
persamaan nama melulu."
Mahesa Jenar melihat orang tua itu menjadi agak
gelisah, tetapi ia tidak mau kehilangan kemungkinan untuk
menyentuh-nyentuh perasaan Ki Paniling yang paling
dalam. Dengan demikian ia akan segera tahu dengan siapa
ia berhadapan. Dengan kawan atau lawan. Maka segera
Mahesa Jenar melanjutkan, "Menurut ceritera yang tersebar
luas di Banyubiru, tidak saja yang tertulis di lontar-lontar,
tetapi bahkan telah menjadi ceritera rakyat yang tersebar
dari mulut kemulut, mengatakan bahwa Pasingsingan sama
sekali bukanlah seorang yang baik hati, bukan seorang yang
pasrah diri kepada Yang Maha Agung, ia sama sekali tidak
mengagungkan kebajikan, apalagi mempunyai dua orang
murid yang bernama Radite dan Anggara. Tetapi
Pasingsingan adalah orang yang sama sekali berlawanan
dengan sifat-sifat itu. Ia mempunyai murid-murid yang
sama jahatnya dengan dirinya sendiri, yang menamakan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dirinya sebagai nama pahlawan, yaitu Lawa Ijo, Wadas
Gunung dan Watu Gunung. Yang sama dengan ceritera
Bapak adalah bahwa Pasingsingan itu memang sakti,
namun ia telah mempergunakan kesaktiannya untuk
kejahatan, merampok, membunuh, merampas isteri orang,
me.... " "Bohong!" tiba-tiba Paniling berteriak keras. Wajahnya
jadi tegang dan merah. Mahesa Jenar terkejut mendengar
teriakan itu. Cepat ia hendak bangkit ketika dilihatnya
wajah Paniling menyala. Mahesa Jenar sadar bahwa hal
yang tak dikehendaki bisa terjadi. Karena itu ia cukup
waspada. Tiba-tiba tangan Ki Paniling terjulur untuk menangkap
baju Mahesa Jenar. Cepat ia mengelak, dan dengan
gerakan kuat ia menerkam Paniling. Mahesa Jenar tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mau didahului oleh orang tua yang masih belum diketahui
siapakah dia dan sampai dimanakah kekuatannya.
Dengan menangkap orang tua itu, Mahesa Jenar
bermaksud memaksanya untuk menjelaskan siapakah
sebenarnya dirinya itu. Tetapi Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang ketika ia
sama sekali tak berhasil menyentuh Ki Paniling dalam
tempat yang demikian sempitnya. Bahkan tiba-tiba terasa
tangannya terpilin dan lenyaplah segenap kekuatannya
yang memang belum pulih seluruhnya. Tetapi bagaimanapun ia merasa bahwa Paniling mempunyai
kekuatan yang jauh di atas kemampuannya. Bahkan
andaikata kekuatannya samasekali tak terganggu sekalipun.
Namun orang tua itu akan dapat dengan mudah
menangkapnya. Mengalami peristiwa itu, Mahesa Jenar segera teringat
kepada pertemuan-pertemuannya dengan Ki Ageng Pandan
Alas, Ki Ageng Sora Dipayana yang juga sama sekali tak
diduganya. Dengan demikian ia dapat mengambil suatu
kesimpulan bahwa orang ini pun pasti tergolong angkatan
itu pula. Kalau saja orang ini Pasingsingan, entahlah apa
yang akan terjadi atas dirinya.
Tetapi tiba-tiba terasa tangkapan pada tangannya itu
semakin kendor, semakin kendor, bahkan akhirnya
dilepaskan. Dan dengan keheran-keheranan Mahesa Jenar
melihat Ki Paniling itu membanting diri diatas bale-bale,
yang kemudian dengan kedua telapak tangannya menutupi
mukanya. Mahesa Jenar jadi ragu dan tidak tahu apa yang akan
dilakukannya. Tetapi suatu kelegaan telah membersit di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hatinya. Sebab jelas orangtua itu sama sekali tak
bermaksud jahat kepadanya.
Setelah beberapa saat suasana ruangan sempit itu
dicengkam oleh kesepian yang tegang, maka perlahan-
lahan Ki Paniling mengangkat mukanya. Muka yang tadi
tampak merah membara, kini menjadi pucat keputih-
putihan. Bahkan dari matanya memancar sinar duka.
Mahesa Jenar jadi merasa bahwa ia telah berbuat
sesuatu yang menyebabkan orangtua itu susah. Maka
katanya, "Maafkan aku, Bapak, barangkali aku telah berbuat
suatu kesalahan." Tiba-tiba Ki Paniling tersenyum lebar, namun senyumnya
adalah senyum yang pahit. "Tidak, Angger..., Angger tidak
berbuat suatu kesalahan. Tetapi akulah yang bodoh.
Sebagai orang tua aku telah berbuat sesuatu yang
memalukan. Tetapi itu ada sebabnya."
Mata orangtua itu semakin membayangkan kedukaan
yang dalam. Hanya kadang kadang saja ia memandang
kepada Mahesa Jenar, tetapi kemudian kembali matanya
menatap ke titik-titik, jauh tak terhingga. Lewat pintu
rumah kecil yang belum ditutup itu, terasa angin malam
menghembus halus, menggoyang-goyang nyala pelita jarak
yang melemparkan cahaya suram ke segenap arah.
Untuk beberapa lama mereka berdua masih berdiam diri.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar pun kemudian duduk kembali
di samping Ki Paniling. "Angger..." kata Ki Paniling kemudian memecah sepi,
"Maksudku hanya ingin mengatakan bahwa ceritera yang
Angger dengar itu sama sekali tidak benar. Atau barangkali
lebih baik aku katakan bahwa ceritera itu tidak sama
dengan ceritera di dalam kitab-kitabku. Mungkin benar kata
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Angger bahwa kedua ceritera itu ditulis oleh orang yang
tidak sama, hanya kebetulan nama tokoh-tokohnya sajalah
yang bersamaan." "Demikianlah Bapak," jawab Mahesa Jenar, "ceritera itu
bukanlah tidak mungkin bersamaan nama, ".
"Ceritera yang aku baca, Angger..." kata Paniling,
"Pasingsingan adalah orang yang baik hati. Menjunjung
tinggi keluhuran budi, serta pasrah diri kepada Yang Maha
Agung." "Dapatkah aku mendengar ceritera itu, Bapak" " tanya
Mahesa Jenar. Ki Paniling menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya,
"Otakmu cemerlang seperti matahari musim kemarau,"
Mahesa Jenar kurang mengerti kepada kata-kata Paniling
itu. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu, sampai akhirnya
Paniling berkata kembali, "Baiklah Angger..., aku tidak tahu
apakah ada gunanya kalau aku berceritera. Sebab kau
bukanlah anak-anak yang mudah tertidur karena dongeng-
dongeng yang menyenangkan serta mengasyikkan."
Mahesa Jenar menundukkan kepala mendengar kata-kata
Ki Paniling

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang rupa-rupanya sudah mengetahui maksudnya, memancing-mancing keterangan tentang dirinya. "Angger Mahesa Jenar...," kata Ki Paniling lebih lanjut,
"Bagian kedua dari ceritera itu mengatakan bahwa setelah
kedua murid Pasingsingan itu menjadi dua orang yang
hampir mumpuni, maka Pasingsingan ingin menyerahkan
jabatannya, meskipun jabatan itu disandangnya atas
kemauan sendiri, kepada muridnya yang tua. Tetapi pada
saat itu datanglah seorang yang mengaku murid
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pasingsingan yang tertua, yang merasa berhak untuk
mengenakan tanda-tanda kebesaran gurunya, yaitu jubah
abu-abu, topeng yang kasar dan yang terutama adalah
sebuah belati panjang berwarna kuning emas berkilau-
kilauan, yang disebut Kyai Suluh, serta cincin bermata batu
akik merah menyala yang dinamai Akik Klabang Sayuta.
Hampir tak ada orang yang dapat melawan kesaktian belati
panjang serta akik Klabang Sayuta itu."
Sampai sekian terasa punggung Mahesa Jenar meremang. Ia kenal semua benda-benda yang disebutkan
itu. Ia pernah melihat Pasingsingan memegang sebuah
pisau belati yang berwarna kuning gemerlapan pada saat
orang itu hendak bertempur melawan Ki Ageng Pandan
Alas, yang juga terpaksa menarik pusakanya Sigar Penjalin.
Sedang akik Klabang Sayuta yang beracun itu, tidak saja ia
pernah melihat, tetapi ia pernah merasakan betapa
dahsyatnya. Kalau saja di dalam darahnya tidak mengalir
bisa Ular Candrasa, entahlah apa yang terjadi atasnya.
Ki Paniling kemudian melanjutkan ceritanya, "Tetapi
agaknya Pasingsingan tidak begitu terkena hatinya kepada
bekas muridnya yang telah lama meninggalkannya. Karena
itu ia tetap pada pendiriannya, menyerahkan semua tanda-
tanda jabatannya kepada Radite. Maka pada suatu hari,
dengan tidak diketahui oleh siapapun, Pasingsingan telah
lenyap. Tetapi jubah abu-abu serta semua miliknya itu
ditinggalkannya di dalam ruang tidur Radite. Dan sejak
itulah Radite kemudian mengembara dengan nama
Pasingsingan untuk mengamalkan kebajikan demi kesejahteraan hidup umat manusia. Dalam pengembaraan
itu pula ia berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti yang lain,
yang juga berusaha untuk menegakkan kebajikan bagi
kesejahteraan umat mahusia. Diantara sahabatnya terdapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seorang yang bernama Kiai Ageng Pengging Sepuh, yang
kemudian mempunyai seorang murid yang menjadi Prajurit
Pengawal Raja bernama Rangga Tohjaya."
Kembali punggung Mahesa Jenar meremang. Bahkan kali
ini keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Ia
jadi agak bingung. Ternyata Paniling telah hampir
mengetahui keseluruhan dari perjalanan hidupnya. Ia
akhirnya malu sendiri, ketika ia merasa bahwa pancingan-
pancingannya terasa berhasil untuk memaksa Paniling
berceritera. Tetapi agaknya orangtua itu telah dapat
menebak seluruh isi hatinya.
"Adapun Anggara..." Ki Paniling meneruskan, "Telah
diserahi tugas untuk menunggui tempat pertapaan
Pasingsingan. Dan orang itu pun dengan setia melakukan
kewajibannya." "Tetapi..." sambung Ki Paniling dengan nada yang
merendah, "Peredaran roda tidak selamanya menempuh
jalan datar. Radite akhirnya bertemu dengan murid tertua
dari Pasingsingan, yang menamakan dirinya Umbaran. Dari
segi keperwiraan jasmaniah, maka Umbaran ada di bawah
kepandaian Radite." Ki Paniling berhenti sebentar. Terasa bahwa nafasnya
berangsur cepat. Wajahnya tampak semakin pucat sedang
matanya semakin sayu. Kemudian ia kembali melanjutkan
ceritanya, "Karena itu Umbaran tidak dapat memaksa
Radite untuk menyerahkan tanda-tanda kebesaran gurunya.
Namun demikian ada saja jalan yang dapat ditempuhnya.
Dan ini termuat pada bagian ketiga dari kitab ini. Bagian
yang paling menyedihkan."
Kembali Ki Paniling berhenti sejenak, kemudian
meneruskan ceritanya lagi, "Bagaimanapun juga Radite
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
adalah manusia biasa. Meskipun ia telah mengenakan jubah
abu-abu, topeng dan pusaka-pusaka lainnya, namun ia
tidak dapat melapisi hatinya dengan baja. Hatinya masih
saja hati manusia yang lunak dan lemah. Itulah sebabnya ia
pada suatu saat jatuh cinta kepada seorang gadis. Dan
inilah sumber dari segala malapetaka. Ketika Umbaran
mengetahui, maka segera ia berusaha memikat hati gadis
itu. Memang Umbaran memiliki wajah yang tampan,
sehingga akhirnya dengan tidak banyak kesulitan ia berhasil
menguasai hati gadis itu sepenuhnya. Sedang di lain pihak,
hati Radite telah bulat-bulat berada di dalam genggaman
gadis itu." "Akhirnya..." lanjut Ki Paniling, "Terjadilah sesuatu yang
memalukan sekali. Radite dan Umbaran mengadakan suatu
perjanjian tukar-menukar. Inilah yang gila. Dan itu sudah
terjadi." Mahesa Jenar menjadi terkejut ketika nada suara
Paniling jadi meninggi. Hampir berteriak ia berkata, Itu
sudah terjadi, dan tak dapat dicabut kembali. Tetapi
kemudian seperti orang yang tersadar, Ki Paniling menarik
nafas dalam-dalam. Dan kembali dengan nada yang rendah
ia meneruskan, "Radite dan Umbaran mengadakan
perjanjian. Radite mendapat gadis itu, sedang Umbaran
mendapat tanda-tanda kebesaran dari Pasingsingan. Maka
berlangsunglah tukar-menukar itu tanpa saksi, selain
Anggara yang dengan sedih berusaha mencegahnya. Tetapi
tukar-menukar itu tetap berlangsung, dengan hati jantan
dan tanggung jawab bagi Radite. Itulah sebabnya maka ia
akan mentaati perjanjian itu untuk seterusnya."
"Tetapi kemudian, menyusullah kejadian yang semakin
menghimpit hati. Radite sebenarnya sangat menyesal atas
perjanjian itu. Namun di hadapan gadis yang kemudian
menjadi istrinya, ia selalu menyembunyikan penyesalan itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian ia harus mengalami kejadian yang dahsyat, yang
barangkali merupakan hukuman alam. Gadis yang memang
sebenarnya sama sekali tak mencintainya itu, sebab hatinya
telah terampas oleh Umbaran, akhirnya menjadi sakit-
sakitan dan meninggal dunia. Kejadian ini merupakan
pukulan yang maha dahsyat dalam kehidupan Radite yang
telah gagal itu. Gagal dalam pengabdiannya kepada umat
manusia dan gagal dalam pemanjaan nafsu pribadi.
Paniling berhenti berkata. Wajahnya menjadi semakin
pucat. Dan tiba-tiba di matanya tampak mengembang
sebutir air mata. Mahesa Jenar kini telah menjadi jelas. Jelas dengan siapa
ia sedang berbicara. Karena itu tiba-tiba ia berdiri dan
membungkuk hormat. Katanya, "Jadi tuanlah sebenarnya
yang berhak menyebut diri Pasingsingan."
Paniling mengangkat mukanya. Ia mencoba tersenyum,
meskipun betapa pedihnya. Dengan terputus-putus ia
menjawab, "Tak usah kau sebut itu. Bukankah hal itu yang
kau ingin ketahui?" "Bukankah segala sesuatu masih belum terlambat?" kata
Mahesa Jenar kemudian, "Tuan masih dapat menghentikan
perbuatan-perbuatan jahat dari Umbaran, yang kemudian
bernama Pasingsingan itu?"
Paniling atau sebenarnya bernama Radite itu menggelengkan kepalanya. "Tidak dapat. Sebab pada suatu
kali, datanglah Guru kepadaku. Meskipun aku sama sekali
tidak dapat melihatnya, tetapi aku kenal suaranya. Ia
berkata kepadaku, Radite..., nama Pasingsingan telah kau
korbankan. Kau tak perlu bersusah payah untuk
memperbaikinya kembali. Sebab sekali nama itu ternoda,
buat selamanya tak akan dapat menjadi bersih, sebersih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
semula. Karena itu biarkanlah nama itu bernoda untuk
seterusnya. Sebab setiap kali nama itu disebutkan, setiap
kali kau akan teringat kepada kesalahanmu."
"Itu adalah hukumanku yang paling berat. Hukuman
yang hampir tak tertanggungkan. Karena itu kemudian aku
menyembunyikan diri. Menjauhkan diri dari setiap
kemungkinan untuk dapat mendengar nama Pasingsingan.
Tetapi bagaimanapun juga bendungan itu akan tembus
pula. Dan aku sedang mencari saluran untuk mengatakan
seluruh gelora yang bergulung-gulung di dalam dadaku.
Sampai pada suatu kali aku temukan kau. Aku kenal kau
karena caramu bertempur melawan 7 orang di bukit
sebelah Banyubiru. Aku mendengar salah seorang
menyebutmu Rangga Tohjaya. Dan aku pernah pula
mendengar nama Rangga Tohjaya sebagai prajurit
pengawal raja." Kembali mereka berdiam diri dalam kesibukan angan-
angan masing-masing. Tiba-tiba saja Mahesa Jenar
teringat kepada orang yang berjubah abu-abu dan yang
telah berhasil mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten. Karena itu tiba-tiba ia bertanya,
"Bagaimanakah kalau ada seorang lagi yang menyatakan
dirinya sebagai Pasingsingan?"
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, Ki Paniling
terkejut bukan buatan sehingga wajahnya berubah hebat.
Dengan pandangan yang mengandung seribu macam
pertanyaan, ia berkata, "Adakah orang lain yang kau kenal
sebagai Pasingsingan pula?"
Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa yang
pernah dilihatnya pada saat hilangnya Kyai Nagasasra dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kyai Sabuk Inten. Dan tentang orang yang berjubah abu-
abu yang mengambil kedua keris itu.
Paniling mendengarkan ceritera Mahesa Jenar dengan
wajah tegang. Alisnya tampak berkerut-kerut. Akhirnya ia
bertanya, "Kau lihat orang itu bertopeng pula?"
"Itu yang tidak aku ketahui," jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah wajah Paniling semakin tegang. Pikirannya
bekerja keras namun ia pun agaknya tidak dapat menduga,
siapakah yang telah berjubah abu-abu itu.
Tiba-tiba bertanyalah Mahesa Jenar, "Tuan, bolehkah aku
mengetahui, di manakah murid yang seorang lagi dari
Pasingsingan itu?" Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajah
Paniling agak mengendor. Bahkan kemudian ia tersenyum
lebar. "Adakah kau menduga bahwa murid yang satu itu
menamakan diri Pasingsingan pula?"
Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan. Memang mula-
mula ia mempunyai dugaan bahwa hal itu mungkin sekali.
Tetapi setelah ia menerima pertanyaan itu, i a menjadi ragu,
jawabnya, "Bukan maksudku untuk berkata demikian,
Tuan." "Kalau kau mempunyai dugaan yang demikian pun
adalah wajar sekali" jawab Paniling, "tetapi sayang bahwa
dugaan itu meleset, sebab Anggara itu berada di sini pula"
Mendengar jawaban Paniling, segera Mahesa Jenar
teringat kepada sinar mata yang berkilat-kilat dari orang
yang menamakan dirinya Darba. Karena itu segera ia
menjawab pula, "Apakah yang menamakan dirinya Paman
Darba itulah orangnya?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Belum lagi Paniling menjawab, terdengarlah suara
tertawa di luar, di depan pintu, sampai Mahesa Jenar agak
terkejut. Kedatangan seseorang sampai jarak yang
demikian dekatnya tanpa diketahui adalah suatu hal yang
jarang terjadi. Ketika Mahesa Jenar menoleh ke arah pintu,
dilihatnya orang yang menamakan dirinya Darba itu telah
berdiri di sana dengan wajah bening, sebening air yang
memancar dari mataairnya. Kemudian Darba berkata lirih,
seperti kepada dirinya sendiri mengulangi kata-kata
Paniling, "Otakmu cemerlang seperti matahari musim
kemarau." Kemudian terdengar Paniling berkata, "Kepadanya tak
perlu kita menyembunyikan diri. Aku percaya bahwa orang
semacam Mahesa Jenar akan dapat memegang rahasia,
seperti ia memegang rahasia kerajaan."
"Kau akan merahasiakannya Mahesa Jenar?" tanya
Darba. "Akan aku coba, Tuan" jawab Mahesa Jenar.
"Juga kepada Kakang Pandan Alas dan Kakang Sora
Dipayana" Bukankah tadi kau berceritera tentang hilangnya
Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun kedua tokoh itu ikut
pula mempertahankannya?"
Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan. Kalau ia
bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Ki Ageng Sora
Dipayana, apakah ia harus merahasiakan pula tentang
Pasingsingan..." Melihat kebingungan Mahesa Jenar, berkatalah Darba,
"Kepada kedua orang itu, juga kepada Titis Anganten,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Gunung Slamet, kau tidak usah merahasiakan.
Kalau mereka akan melenyapkan Pasingsingan adalah
urusan mereka, bukankah begitu Kakang?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba wajah Paniling kembali menjadi tegang. Ia tidak
segera menjawab kata-kata Darba. Pandangannya jauh
lewat pintu yang masih menganga itu langsung menembus
gelapnya malam. Kemudian kembali suara Darba terdengar diantara
tertawanya, "Kakang Paniling, masihkah kau ingin
mengadakan perhitungan dengan Umbaran" Aku kiranya
hanya akan mengotori tanganmu saja dengan darah yang
telah digenangi kejahatan. Apalagi kau terikat kepadanya
dengan sebuah perjanjian aneh itu, untuk seterusnya tidak
saling mengganggu. Kenapa kau tidak memerintahkan aku
saja untuk menyelesaikan masalah ini" Bukankah aku tidak
terikat oleh suatu apapun?" Tiba-tiba wajah Darba yang
bening itu berubah, seolah-olah menjadi batu padas yang
maha keras. "Sabarlah Darba," jawab Paniling yang wajahnya masih
setegang tadi, "Aku kira akan datang saatnya."
Wajah Darba perlahan-lahan menjadi lunak kembali.
Dengan langkah yang perlahan lahan pula ia duduk di
samping Mahesa Jenar. Katanya, "Kakang Paniling kagum
melihat caramu bertempur melawan 7 orang yang termasuk
orang-orang kuat. Memang Kakang Pengging Sepuh telah
hampir tercermin seluruhnya di dalam dirimu. Kalau kau
kelak dapat mengendap ilmu Sasra Birawa sehingga
mendapat bentuk yang lebih masak lagi, aku kira kau akan
menjadi tepat seperti bayangan Kakang Pengging Sepuh
yang mengagumkan." Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepalanya
mendengar pujian itu, tetapi bersamaan dengan itu pula
segera ia teringat kepada nasib Banyubiru yang dalam
keadaan lumpuh itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Paniling
dan Darba tak berkata-kata pula. Baru beberapa lama
kemudian berkatalah Mahesa Jenar, "Dan sekarang ke-7
orang yang mengeroyokku itu sedang merencanakan
kehancuran Banyubiru."
Paniling dan Darba tampak mengerutkan kening nya.
Kemudian kata Paniling, "Perencana dari peristiwa
Banyubiru itu bukanlah orang bodoh. Karena itu kaupun
harus sangat berhati-hati untuk melawannya. Apa yang kau
lakukan beberapa hari yang lalu, melawan 7 orang
sekaligus, adalah perbuatan yang terlalu berani. Kalau kau
tewas dalam pertarungan semacam itu, maka kau sudah
tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Sedang agaknya kau
tak pernah berfikir untuk menghindar. Untunglah bahwa
aku berhasil menggugurkan tanah yang kau injak, ketika
kau berdiri terlalu ke tepi, dengan sebuah lemparan.
Sehingga kau dengan tak usah merasa melarikan diri dari
gelanggang, telah dapat terselamatkan, meskipun kau
harus menggelinding ke dalam jurang."
Dada Mahesa Jenar terasa berdesir mendengar kata-kata
Paniling. Agaknya orang tua itulah yang telah berusaha
menyelamatkan nyawanya. Dengan demikian maka tanpa
disengaja ia berkata dengan gemetar, "Terima kasih Tuan,
terima kasih atas pertolongan itu." Namun, di dalam hati Mahesa Jenar memancarlah perasaan
kagum yang tak terhingga. Dengan satu lemparan, Radite
menggugurkan tanah tempat ia berpijak.
Paniling tersenyum lebar, jawabnya, "Aku juga pernah
mengalami masa muda. Masa darah kita menggelora,
dimana kita kadang-kadang kehilangan kemampuan untuk
mengakui kekurangan diri."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terasa oleh Mahesa Jenar kebenaran kata-kata Paniling.
Memang dalam saat yang demikian terasa alangkah
kecilnya apabila seseorang menghindarkan diri dari arena.
Tetapi apabila benar-benar ia dapat ditewaskan, maka
untuk selanjutnya ia tak akan dapat berbuat sesuatu.
Karena itu, adalah suatu keuntungan bahwa ia masih hidup.
"Mahesa Jenar..." kata Paniling kemudian, "Memang
sebaiknya kau kembali ke Banyubiru. Ketahuilah bahwa kau
sekarang ini berada di hutan Pudak Pungkuran. Perjalanan
ke Banyubiru dapat kau tempuh kira-kira dalam satu hari.
Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa. Kau pulihkan dahulu
kekuatanmu. Di sini aku mempunyai beberapa jenis akar
yang dapat menolong menambah lancar aliran darah serta
menambah kesegaran tubuhmu."
Mahesa Jenar segera menyatakan terima kasihnya.
Dengan demikian ia dapat beristirahat untuk beberapa saat
di rumah Ki Paniling. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Beberapa hari kemudian setelah tubuhnya terasa pulih
kembali, serta keadaan telah memungkinkan, maka Mahesa
Jenar mohon diri kepada Paniling untuk kembali ke
Banyubiru. Paniling dan Darba yang merasa pentingnya
kehadiran Mahesa Jenar di tanah perdikan yang kehilangan
pemimpin itu, segera mengizinkannya, diiringi beberapa
pesan dari seorang tua yang telah banyak makan garam,
kepada seorang pemuda yang darahnya masih cepat
mendidih. Disamping itu, Paniling juga memesannya untuk
tidak berkata apa-apa tentang Pasingsingan apabila tidak
dianggapnya perlu sekali. Sebab sampai saat itu, belum ada
orang lain yang pernah mengenal wajah asli dari
Pasingsingan, apalagi Pasingsingan tua, guru Radite, yang
pada saat itu, baik Radite maupun Anggara tidak tahu
apakah Pasingsingan masih hidup ataukah sudah tidak ada
lagi. Maka pada suatu pagi yang cerah, diiringi oleh kicauan
burung-burung liar, Mahesa Jenar melangkah dengan
segarnya menuju ke Banyubiru.
Bagaimanapun ia merasa bahwa ia ingin segera sampai.
Sebenarnya daerah Banyubiru, yang paling menarik bagi
Mahesa Jenar adalah Arya Salaka. Kepada anak ini Mahesa
Jenar menaruh perhatian sepenuhnya. Apalagi sejak
ayahnya Ki Ageng Gajah Sora, menyerahkan Arya
kepadanya dalam olah kanuragan. Maka seolah-olah ia
telah dibebani suatu tanggungjawab. Apabila kelak pada
waktunya Arya dewasa, dengan tidak memiliki sesuatu yang
pantas dipakai sebagai pegangan bagi seorang kepala
daerah perdikan, maka ialah yang paling dapat disalahkan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mengenangkan hal itu, tiba-tiba saja Mahesa Jenar ingin
segera sampai ke Banyubiru. Karena itu segera ia
mempercepat langkahnya. Tetapi karena ia menempuh
suatu perjalanan yang belum pernah dilalui sebelumnya,
dan hanya dikenalnya dari ancar-ancar yang diberikan oleh
Ki Paniling, maka perjalanannya tidak dapat terlalu cepat.
Beberapa kali ia harus berhenti untuk mengenali jalan-jalan
dan tempat-tempat seperti yang disebut oleh Paniling.
Dengan demikian maka ia tidak dapat mencapai
Banyubiru dalam sehari. Meskipun matahari telah tenggelam di langit, Mahesa Jenar dengan perlahan-lahan
tetap melanjutkan perjalanannya. Apalagi ketika dari jarak
yang agak jauh, remang-remang di hadapannya hanya
taburan bintang-bintang. Mahesa Jenar melihat bayangan
hitam yang membujur seperti seorang raksasa yang baru
berbaring. Itulah pegunungan Telamaya. Karena itu maka
Mahesa Jenar seakan-akan merasa terhisap oleh pegunungan itu, serta rasa rindunya kepada Arya Salaka
semakin menjadi-jadi. Segera ia pun mempercepat
langkahnya. Rasanya Mahesa Jenar sudah tidak sabar lagi
terhadap kakinya yang sudah mulai lelah.
Tetapi ketika ia sudah semakin dekat, tiba-tiba dadanya
berdentam keras sehingga tubuhnya menjadi gemetar. Dari
kota Banyubiru Mahesa Jenar melihat nyala api yang
semakin lama semakin besar.
Sekarang Mahesa Jenar menjadi benar-benar tidak sabar
lagi. Seperti seekor kijang yang sedang diburu, Mahesa
Jenar meloncat dan kemudian berlari sekencang kencang ke
arah api yang menyala-nyala. Apalagi sebentar kemudian
didengarnya suara tanda bahaya menggema memenuhi
seluruh daerah pegunungan Telamaya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan nafas yang terengah-engah akhirnya Mahesa
Jenar berhasil memasuki kota. Ia berjalan hati-hati sekali.
Beberapa kali ia melihat orang-orang berkuda berlari hilir-
mudik. Beberapa orang sudah dikenalnya sebagai laskar
Banyubiru. Tetapi beberapa yang lain sama sekali belum
pernah dilihatnya. Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang
tidak diingini, Mahesa Jenar selalu berusaha menyembunyikan dirinya di balik bayang-bayang pepohonan atau di samping rumah-rumah. Sekali-sekali ia
berlari dari satu tempat kelain tempat sambil mendekati
tempat kebakaran. Ketika Mahesa Jenar berhasil mendekati
tempat itu, dilihatnya laskar Banyubiru terlibat dalam satu
pertempuran dengan laskar yang sama sekali belum
dikenalnya. Pertempuran itu berlangsung dengan serunya,
sehingga kedua belah pihak telah kehilangan ikatan
kesatuannya. Mereka seolah-olah bertempur tanpa pimpinan. Dari jarak yang agak dekat akhirnya Mahesa
Jenar dapat melihat bahwa pasukan Banyubiru berada di
bawah pimpinan Bantaran, yang agaknya merasa terdesak.
Bantaran sendiri bertempur seperti harimau luka, tetapi
musuhnya terlampau banyak.
Sebentar kemudian terdengar derap pasukan yang berlari
dari arah barat. Dan muncullah laskar bantuan yang
dipimpin oleh Sawungrana. Pasukan ini pun segera
melibatkan diri dalam pertempuran yang sengit itu.
Dengan datangnya bantuan yang dipimpin oleh
Sawungrana, tampak laskar Banyubiru dapat mencapai
keseimbangan kembali. Bahkan agaknya sebentar kemudian
mereka akan segera dapat menguasai keadaan.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat pikiran lain.
Sehilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, apakah
kira-kira yang masih mereka cari di Banyubiru" Teringatlah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar kepada kedudukan Arya Salaka. Ayahnya
yang dibawa ke Demak untuk waktu yang tak ditentukan,
bahkan karena serangan laskar Lembu Sora atas pasukan
Demak, mempunyai kemungkinan yang lebih tak menyenangkan bagi Gajah Sora. Ia menyerahkan
kekuasaan Banyubiru kepada Arya. Ini berarti suatu
rintangan langsung bagi Lembu Sora untuk dapat
menguasai Banyubiru. Karena itu, Mahesa Jenar segera memperhitungkan
setiap kemungkinan. Ia memang agak heran bahwa daerah
yang tak berarti di pinggiran kota ini menjadi tujuan
serangan lawan. Rumah yang sama sekali tidak penting
kedudukannya, kecuali banjar-banjar desa, juga bangunan-
bangunan lain yang juga tidak begitu berarti.
Mengingat hal itu, maka segera Mahesa Jenar mengambil
kesimpulan, bahwa serangan ini hanyalah suatu usaha
untuk menarik perhatian semata-mata. Sedang tujuan yang
sebenarnya adalah tempat lain. Mendapat pikiran yang
demikian, Mahesa Jenar menjadi bertambah gemetar. Ia
menjadi cemas atas keselamatan Arya. Karena itu segera ia
meloncat dan berlari dari satu tempat yang terlindung ke
tempat yang lain menuju ke rumah Gajah Sora, sehingga
beberapa saat kemudian ia telah dapat mendekati rumah
itu. Sebenarnyalah bahwa apa yang dicemaskan itu benar-
benar terjadi. Mahesa Jenar mendengar keributan di
halaman rumah itu. Agaknya telah terjadi suatu
pertempuran pula. Perlahan-lahan ia menyusur regol
samping, dan dilihatnya Wanamerta dan Pandan Kuning
serta beberapa orang sedang bertempur menghadapi lawan
yang jumlahnya berlipat dua. Apalagi diantara para
penyerang itu terdapat pula beberapa orang yang termasuk
berilmu cukup tinggi. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat pertempuran itu, Mahesa Jenar menjadi agak
bimbang. Apakah ia harus melibatkan diri, ataukah masih
harus ditunggunya perkembangan seterusnya.
Tetapi segera Mahesa Jenar dikejutkan oleh sebuah


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayangan yang melontar keluar lewat pintu belakang.
Bayangan dari seorang anak yang masih belum dewasa.
Cepat Mahesa Jenar mengenal, itulah Arya.
Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, dilihatnya
Arya merapatkan dirinya pada dinding di sebelah pintu.
Sesaat kemudian muncullah bayangan lain meloncat keluar
dari pintu itu pula. Tetapi demikian bayangan itu
melangkahkan kakinya keluar ambang, demikian Arya
dengan tangkasnya menusuk lambungnya, sehingga
dengan tidak dapat berbuat sesuatu orang itu terlempar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dan roboh mati. Sedang tangan Arya dengan eratnya
menggenggam tombak Kyai Bancak.
Tetapi kemudian dari pintu itu muncullah beberapa orang
bersama-sama. Agaknya mereka melihat seorang kawan
mereka yang dapat dibunuh oleh Arya, sehingga mereka
meloncat keluar dengan kesiagaan penuh. Karena itu,
ketika Arya menusuk orang yang pertama, segera
tampaklah orang itu menangkis serangan Arya dengan
sebuah pedang pendek, sehingga Arya terputar setengah
lingkaran. Tetapi agaknya Arya bukan anak yang bodoh. Maka
demikian serangannya gagal, segera ia meloncat untuk
melarikan diri. Sayang bahwa orang yang mengejarnya
cukup banyak segera mengepungnya.
Tampaklah Arya Salaka yang sama sekali belum cukup
dewasa itu menjadi bingung.
Tetapi belum lagi orang-orang yang mengepungnya
sempat bertindak, melayanglah sebuah bayangan lain, yang
langsung menyerang orang-orang itu. Tubuhnya tampak
ringan tetapi kuat dan tangkas. Orang itu adalah Panjawi,
seorang yang masih muda, tetapi telah memiliki
ketangkasan yang cukup. Dengan pedang di tangan,
Panjawi bergerak menyambar-nyambar seperti burung
layang. Dalam waktu yang singkat, beberapa orang telah
menjadi korbannya. Orang-orang yang mengepung Arya itu segera mengalihkan perhatiannya. Mereka bersama-sama segera
menyerang Panjawi. Tetapi Panjawi adalah orang yang
cukup tangkas, sehingga beberapa orang itu sama sekali
tak berhasil mendesaknya. Apalagi beberapa saat kemudian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berdatanganlah beberapa orang laskar Banyubiru yang
segera membantu Panjawi. Melihat pertempuran itu, Mahesa Jenar menarik nafas
lega. Ia juga merasa kagum kepada Panjawi. Meskipun
anak itu masih harus banyak berlatih, namun ia memiliki
dasar-dasar yang baik dan kuat.
Tetapi sejenak kemudian, Mahesa Jenar terkejut
mendengar sebuah siulan nyaring. Ia pernah mendengar
bunyi yang demikian itu. Bunyi siulan dari gerombolan Lawa
Ijo. Dan apa yang sedang dipikirkan itu adalah benar.
Sebab sesaat kemudian ia melihat bayangan yang melayang
dari sebuah pohon langsung menyerang Panjawi. Untunglah
bahwa Panjawi cukup tangkas untuk menghindari serangan
itu, sehingga bayangan itu tidak berhasil mengenainya.
Bahkan demikian Panjawi meloncat menghindar, demikian
kembali ia meloncat menyerang bayangan itu dengan
pedangnya. Serangan Panjawi ternyata cukup cepat,
sehingga bayangan itu tidak sempat menghindar. Dengan
sebuah pisau belati panjang, ia menangkis pedang yang
mengarah ke dadanya. Terdengarlah suatu dentangan
nyaring. Dan ternyata kekuatan mereka seimbang. Dalam
pada itu, Mahesa Jenar segera mengenal bahwa bayangan
yang meloncat dari atas pohon itu adalah Wadas Gunung.
Segera terjadilah pertempuran yang sengit antara Wadas
Gunung dan Panjawi, sedang di lain pihak terjadi pula
pertempuran yang hiruk-pikuk antara laskar Banyubiru
melawan laskar-laskar penyerang. Pada saat itu, pada saat
mereka sedang sibuk mempertahankan hidup masing-
masing, tiba-tiba mata Mahesa Jenar yang tajam dapat
melihat bayangan lain yang datang mengendap-endap ke
arah Arya Salaka yang masih saja mengawasi pertempuran
itu dengan mata yang menyala-nyala. Ia sama sekali tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berusaha untuk melarikan diri, sebab ia yakin bahwa
Panjawi serta laskarnya akan dapat memenangkan
pertempuran itu. Bahkan dengan girangnya ia melihat
pertempuran itu seperti melihat tontonan yang sangat
menarik. Dengan berdebar-debar Mahesa Jenar mengikuti gerak
gerik orang itu. Melihat caranya bergerak, Mahesa Jenar
dapat meyakini bahwa ia pasti memiliki ilmu yang cukup
tinggi. Karena itu Mahesa Jenar tidak mau menonton saja.
Ia pun kemudian dengan mengendap-endap pula mendekati Arya Salaka dari arah lain. Untunglah bahwa ia
lebih dahulu dapat melihat bayangan itu sehingga dengan
demikian ia dapat lebih berhati-hati. Ternyata sampai
sedemikian jauh bayangan itu belum mengetahui bahwa
dari arah lain pula seseorang yang sedang mendekati Arya
Salaka. Setelah jarak mereka tidak lagi begitu jauh, terasa di
dalam dada Mahesa Jenar jantungnya berdesir keras. Ia
mengenal dengan pasti siapakah orang itu. Dan ia tahu
pasti pula apakah yang akan dilakukannya terhadap Arya.
Pedang yang terlalu besar dan panjang di tangan orang itu
telah menambah pula keyakinan Mahesa Jenar. Orang itu
tidak lain adalah Ki Ageng Lembu Sora.
Pada kesempatan yang pendek itu, berputarlah otak
Mahesa Jenar. Sebenarnya, pada saat itu ia mendapat
kesempatan untuk membuat perhitungan dengan Lembu
Sora, dengan alasan yang tepat. Tetapi mengingat pesan
Paniling, apakah pada saat itu, orang-orang lain, seperti
Uling Rawa pening, Sima Rodra, Lawa Ijo dan sebagainya
tidak berada pula di tempat itu" Karena itu seharusnya ia
tidak melawan mereka bersama-sama. Mengingat hadirnya
Wadas Gunung, maka kemungkinan hadirnya Lawa Ijo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
adalah besar sekali. Karena itu terjadi suatu pertentangan
di dalam diri Mahesa Jenar. Perasaannya ingin membawanya ke dalam suatu perhitungan jasmaniah yang
menentukan. Tetapi pikirannya yang telah dipengaruhi oleh
pertimbangan dan nasehat Paniling mengajaknya untuk
berbuat lain. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dapat berpikir secara
wajar, sehingga ditemukannya suatu pemecahan yang tidak
terlalu berbahaya. Pada saat itu, Lembu Sora telah dekat benar dengan
Arya Salaka yang dengan tombak di tangan masih saja
perhatiannya terikat pada pertempuran yang sengit antara
Panjawi dan Wadas Gunung, serta laskar Banyubiru
melawan laskar-laskar yang menyerangnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ternyata Lembu Sora sudah tidak mau membuang waktu
lagi. Meskipun mula-mula ia tampak ragu-ragu, tetapi
akhirnya dengan suatu gerakan yang dahsyat ia meloncat
sambil mengayunkan pedangnya. Meskipun demikian,
karena anak yang berdiri di hadapannya itu, bagaimanapun
juga adalah kemenakannya, maka pada saat pedangnya
terayun deras, Lembu Sora memejamkan matanya.
Tetapi ia menjadi terkejut sekali ketika pedangnya sama
sekali tak menyentuh apapun. Bahkan ia sendiri telah
tertarik oleh kekuatannya serta ayunan pedangnya
sehingga hampir saja ia tertelungkup. Pada saat Lembu
Sora berusaha untuk menguasai dirinya, dilihatnya sebuah
bayangan yang melayang menyusup regol samping dan
hilang di dalam gelap malam. Cepat Lembu Sora meloncat
menyusulnya, tetapi ia sama sekali tidak dapat lagi melihat
bayangan yang telah hilang bersama-sama dengan
hilangnya Arya Salaka, beserta tombak tanda kebesaran
Banyubiru, Kyai Bancak. Pada saat yang tepat, ternyata
Mahesa Jenar telah berhasil menarik Arya dan langsung
dibawanya lari. Ia masih mempunyai kelebihan waktu
beberapa saat dari Lembu Sora yang sedang memperbaiki
keseimbangannya pada saat ia terbawa oleh pedangnya
yang terayun deras. Karena itu Lembu Sora sudah tidak
berhasil untuk dapat mengejarnya.
Pada saat itu, dada Lembu Sora terguncang luar biasa.
Kegagalannya pada saat yang menentukan itu sangat
menyakitkan hatinya. Hampir saja ia menjadi mata gelap
dan menghancurkan Banyubiru serta seluruh isinya. Tetapi
otaknya yang licin telah menyelamatkannya. Cepat ia
menyelinap, dan dengan kudanya yang tangkas ia berlari
kencang-kencang kembali ke Pamingit. Setelah dengan
rahasia ia memberikan aba-aba kepada laskar gabungan itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
untuk segera meninggalkan Banyubiru, diikuti pula oleh
sekutu-sekutunya, tokoh-tokoh golongan hitam, untuk
kemudian dengan laskar murni dari Pamingit. Lembu Sora
akan datang kembali, dengan dalih untuk memberi
perlindungan kepada daerah perdikan, yang dikuasai oleh
kakaknya, yang terpaksa tidak dapat menjalankan
kewajibannya. Arya Salaka yang merasa dirinya ditangkap oleh
seseorang tanpa diketahui dari mana arahnya, menjadi
terkejut sekali. Dengan gerak diluar kesadarannya ia
menusuk orang yang menangkapnya dengan tombaknya,
tetapi orang itu sangat tangkasnya, sehingga tombaknya
malahan telah dirampasnya.
Dengan demikian Arya menjadi marah dan cemas.
Segera ia meronta untuk melepaskan diri. Tetapi ketika ia
hampir saja berteriak-teriak, didengarnya orang itu berkata,
"Jangan ribut Arya, kita bersembunyi untuk beberapa saat."
Arya terperanjat mendengar suara itu, suara yang telah
dikenalnya. "Paman Mahesa Jenar?" desisnya.
"Ya," jawab Mahesa Jenar singkat.
Mendengar jawaban itu, hati Arya Salaka segera menjadi
sejuk seperti disiram embun. Ketakutan, kecemasan dan
kebingungan yang menusuk-nusuk dadanya seketika itu
lenyap seperti asap ditiup angin.
Beberapa saat kemudian, setelah Mahesa Jenar merasa
aman dari kemungkinan dapat diketemukan oleh Lembu
Sora dan laskarnya, segera memberhentikan langkahnya.
Nafasnya berjalan cepat, serta jantungnya berdetakan
karena perasaan-perasaan yang bercampur-baur di dalam
kepalanya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah mereka berdua agak tenang, berkatalah Mahesa
Jenar, "Arya, tahukan kau siapakah yang telah menyerang
Banyubiru?" "Tidak Paman," jawab Arya.
"Kapankah serangan itu mulai?" tanya Mahesa Jenar
pula. "Sejak matahari terbenam. Tiba-tiba saja terjadi
kerusuhan-kerusuhan di dalam kota. Untunglah bahwa
Kakek Wanamerta segera bertindak untuk mengatasi
keributan. Meskipun demikian ternyata para penyerang itu
berkekuatan besar sekali, sehingga untuk keselamatan
selanjutnya, Kakek Wanamerta merasa perlu atas
persetujuan beberapa pemimpin yang lain serta atas
persetujuan Ibu untuk mengirimkan permintaan bantuan ke
Pamingit, kepada Paman Lembu Sora, sebab kalau
kerusuhan itu berlarut-larut tidak dapat teratasi, maka
Banyubiru akan semakin rusak."
Mendengar keterangan Arya Salaka itu, bergolaklah hati
Mahesa Jenar. Ternyata para pemimpin Banyubiru sama
sekali masih belum mengetahui bahwa sumber dari segala
bencana itu justru Lembu Sora sendiri. Puncak dari
kejahatannya adalah suatu usaha untuk membinasakan
Arya Salaka. Padahal saat itu, para pemimpin Banyubiru
datang minta perlindungan kepadanya.
"Arya...," kata Mahesa Jenar kemudian, "Ketahuilah
bahwa jiwamu terancam. Karena itu sebaiknya kau
bersembunyi untuk sementara waktu." Mahesa Jenar tidak
meneruskan kata-katanya. Ia menjadi ragu, apakah
sebaiknya ia harus mengatakan terus terang tentang apa
yang terjadi sebenarnya, ataukah ia harus berkata lain.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka menjadi keheran-heranan mendengar kata-
kata Mahesa Jenar. Apakah kepentingan orang-orang kita
itu membunuhnya" Tetapi baru saja, apa yang telah terjadi,
agaknya memang benar. Beberapa orang telah mengejar-
ngejar Arya Salaka, dengan senjata terhunus.
Arya menarik nafas panjang. Otaknya yang masih belum
cukup masak itu belum dapat menangkap masalah-masalah
yang terlalu sulit. Karena itu ia tidak berpikir lebih lanjut.
Apalagi sekarang ia sudah merasa bahwa dirinya telah
mendapat perlindungan. Ketika melihat wajah Arya yang seolah-olah masih bersih
dari segala macam prasangka, Mahesa Jenar tidak sampai
hati untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi atas
dirinya, oleh karena kekhianatan pamannya.
Dengan melihat kenyataan itu, ada kemungkinan timbul
suatu luka yang berbahaya pada jiwa kanak-kanaknya.
Mungkin ia akan kehilangan seluruh kepercayaan pada
seseorang. Apalagi orang lain, sedang pamannya sendiri
telah melakukan kejahatan terhadap dirinya.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, Mahesa Jenar harus berkata lain kepada Arya
Salaka, meskipun maksudnya adalah sama. Mengajak Arya
Salaka untuk sementara bersembunyi. Katanya, "Arya...,
mungkin orang-orang jahat sedang berusaha untuk
menangkapmu. Sebab kau sekarang adalah penjabat kepala
daerah perdikan Banyubiru. Dengan menangkap kau,
orang-orang itu akan mengharapkan keuntungan. Mungkin
kau akan dijadikan tanggungan atas suatu pemerasan
terhadap Banyubiru. Tetapi juga ada kemungkinan yang
lebih berbahaya lagi bagi dirimu, yaitu menghendaki
jiwamu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya Salaka mengangguk-angguk, tetapi jawabannya
sangat memusingkan Mahesa Jenar, katanya, "Aku tidak
perlu takut, Paman, sebab sebentar lagi Paman Lembu Sora
pasti akan datang. Dengan adanya Paman Lembu Sora
beserta laskarnya serta hadirnya Paman Mahesa Jenar di
Banyubiru, maka aku kira tak akan ada seorang pun lagi
yang berani mengganggu tanah kami."
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia mendapat
kesulitan untuk memberi penjelasan lebih lanjut. Justru
adanya Lembu Sora di Banyubiru itulah maka bahaya dapat
datang setiap saat bagi Arya Salaka. Setelah berpikir
beberapa saat berkatalah Mahesa Jenar, "Arya, kalau
mereka menyerang dengan terang-terangan maka laskar
Banyubiru dan Pamingit pasti akan dapat menghalaunya,
tetapi untuk menangkap atau berbuat hal-hal jahat lainnya
terhadapmu, adalah seribu satu cara yang dapat ditempuh.
Karena itu menurut pertimbanganku, sebaiknya kau
bersembunyi untuk sementara. Selama itu, selama keadaan
belum memungkinkan, kau tidak perlu menampakkan diri
terhadap siapapun. Aku akan berusaha untuk menghubungi
pemimpin-pemimpin Banyubiru, selama kau di dalam
persembunyian. Selama itu, kau sempat belajar beberapa
hal yang perlu bagi keselamatanmu. Bukankah ayahmu
minta kepadaku untuk melatihmu dalam olah kanuragan?"
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, serta kesempatan baginya untuk memperdalam pengetahuannya
dalam berbagai ilmu, Arya menjadi gembira. Maka
jawabnya, "Baiklah Paman..., kalau Paman mempertimbangkan demikian. Tetapi Ibu pasti akan selalu
mencari aku dan mencemaskan keselamatanku."
"Bagus Arya, pada suatu saat kau akan kembali ke tanah
ini, dan kau akan memelihara tanah ini sebagai tanah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pusaka. Kau harus menjadikan tanah ini tanah harapan bagi
masa depan. Bukankah ayahmu selalu mengharap kau
menjadi seorang pahlawan?"
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya menjadi cerah seperti bintang pagi yang berkilau-kilau,
karena kebesaran hatinya.
"Kepada ibumu," Mahesa Jenar melanjutkan, "aku akan
selalu berusaha menyampaikan setiap berita tentang
dirimu." Sekali lagi Arya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sesaat kemudian keadaan menjadi sepi. Dengan
pancainderanya yang tajam, Mahesa Jenar sedang
mengamati keadaan. Maka setelah menurut pertimbangan Mahesa Jenar,
sudah tidak ada lagi bahaya yang mengancam, serta hiruk-
pikuk pertempuran sudah tidak terdengar lagi, berkatalah ia
kepada Arya, "Arya..., agaknya keadaan telah bertambah
baik. Meskipun demikian, kau harus berusaha untuk tidak
menampakkan diri. Baik kepada para pemimpin Banyubiru
maupun kepada ibu serta rakyatmu. Siapa tahu bahwa
masih ada musuh-musuh yang bersembunyi, yang akan
dapat menjebak atau menyerang kau dari jarak jauh.
Karena itu marilah untuk sementara kita tinggalkan tanah
ini dengan suatu keyakinan bahwa kau pasti akan kembali
dalam keadaan aman dan sentosa."
Arya Salaka tidak menjawab kata-kata Mahesa Jenar.
Wajahnya jadi tampak suram. Bagaimanapun juga, untuk
meninggalkan tanah kelahiran, kampung halaman, dimana
setiap hari ia bermain-main, dimana setiap hari ia meneguk
airnya, serta segala-galanya yang ia cintai, adalah berat
sekali bagi seorang anak seumur Arya Salaka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Agaknya Mahesa Jenar dapat menebak perasaan Arya,
maka sambungnya, "Lupakanlah semuanya, Arya. Kau
hanya pergi untuk sementara, dengan suatu kepastian
bahwa kau akan kembali."
Kembali Arya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun wajahnya menjadi bertambah suram. Katanya,
"Mudah-mudahan Ibu selamat. Serta mudah-mudahan Ibu
segera mengetahui bahwa akupun selamat."
"Aku akan segera berusaha untuk memberitahukan itu,
Arya," potong Mahesa Jenar.
"Tetapi pohon jeruk yang aku pelihara dan aku siram
setiap hari itu kini sudah mulai berbunga," jawab Arya.
Mahesa Jenar menjadi terharu mendengar kata-kata Arya
yang memancar dari hatinya yang tulus. Tetapi yang lebih
merisaukan hati Mahesa Jenar adalah, bahwa besok Lembu
Sora akan datang untuk melindungi Banyubiru serta
berusaha menelan tanah serta segala isinya.
Tetapi bagaimanapun, menyelamatkan Arya adalah tugas
yang pertama-tama harus dilakukan. Sebab Arya adalah
satu-satunya pewaris tanah perdikan Banyubiru, yang justru
karena itulah maka jiwanya selalu terancam. Karena itu,
Mahesa Jenar menganggap perlu untuk segera meninggalkan daerah ini sebelum Lembu Sora datang dan
memerintahkan untuk mengaduk seluruh sudut Banyubiru.
Pasti Lembu Sora akan berbuat demikian, dengan alasan
untuk keselamatan Arya Salaka. Tetapi tidak mustahil
bahwa kepada laskar Pamingit ia memerintahkan untuk
menemukan Arya dalam keadaan mati. Bukankah dengan
demikian Ki Ageng Lembu Sora bebas dari segala
prasangka" Sedang apabila yang menemukan laskar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru serta membawa Arya kembali, umurnya pasti
tidak akan panjang pula. Mendapat pertimbangan itu maka segera Mahesa Jenar
mengajak Arya untuk berangkat. "Arya, kita jangan
menunggu terlampau lama. Marilah kita berangkat selagi
kesempatan ada. Siapa tahu bahwa keadaan akan
berkembang ke arah yang tidak kita harapkan."
"Marilah Paman," jawab Arya dengan wajah sayu.
Mahesa Jenar menjadi tambah terharu ketika didengarnya Arya mengatupkan giginya rapat-rapat.
Ternyata anak itu sedang berusaha untuk membendung
perasaan harunya meninggalkan kampung halaman. Namun
bagaimanapun juga tampaklah bahwa matanya menjadi
basah oleh air mata. Mata seorang anak yang masih
seharusnya mendapat kasih sayang ayah-ibunya. Tetapi
karena keadaan, ia harus berpisah dengan ayah-ibu yang ia
cintai. Pada saat itu bulan yang tinggal seperempat bagian telah
muncul di langit sebelah timur. Cahayanya yang merah
tembaga tersebar meremangi seluruh pegunungan Telamaya yang sepi, namun mengerikan. Sebab setiap hati
dari penduduk Banyubiru diselubungi oleh kecemasan dan
ketakutan. Hilangnya Gajah Sora dari daerah ini, ternyata
sangat mempengaruhi semangat mereka.
Dalam keremangan bulan yang samar-samar itu, Mahesa
Jenar menggandeng Arya berjalan dengan sangat hati-hati
menyusup semak-semak untuk menjauhi kota.
"Kita pergi ke mana Paman?" tanya Arya tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan itu, Mahesa Jenar menjadi agak
bingung. Ia sendiri belum pernah berpikir ke mana Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan diajak pergi. Tiba-tiba ia teringat kepada suatu daerah
terpencil yang dicikal-bakali oleh Ki Paniling dan Darba.
Yaitu daerah di hutan Pudak Pungkuran. Ia mengharapkan
Ki Paniling akan mengizinkan ia tinggal untuk sementara
bersama Arya di sana. Maka kemudian jawabnya, "Kita
pergi ke Pudak Pungkuran, Arya."
"Pudak Pungkuran?" ulang Arya. Ia belum pernah
mendengar sama sekali daerah itu. Tetapi ia tidak bertanya
lebih lanjut. Sebenarnya Mahesa Jenar ingin membawa Arya untuk
pergi sejauh-jauhnya. Sebab menurut perhitungan Arya,
semakin jauh dari Banyubiru, jiwa Arya pasti akan semakin
aman. Tetapi untuk sementara ia tetap terikat kepada
Banyubiru, kepada Rawa Pening. Sebab meskipun agaknya
sudah semakin hambar, namun pertemuan akhir tahun dari
golongan hitam akan tetap dilaksanakan.
Kemudian setelah itu Mahesa Jenar dan Arya Salaka tidak
bercakap-cakap lagi. Mereka sedang disibukkan oleh pikiran
masing-masing. Pikiran tentang keadaan kini serta masa
datang. Sedangkan pikiran Mahesa Jenar diganggu oleh
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Bagaimanakah kira-
kira yang akan terjadi andaikata kedua keris itu untuk
seterusnya tidak dapat diketemukan" Tidakkah ada
seseorang yang kelak dapat melangsungkan kejayaan
Demak" Sebab menurut kepercayaan, siapa yang kuat
memiliki kedua keris itulah, yang kuat pula menerima
wahyu kraton. Pikiran-pikiran Mahesa Jenar dirisaukan pula oleh
kenyataan adanya dua garis keturunan yang sama-sama
berhak atas tahta. Yaitu putra-putra Sultan Demak
sekarang, sedangkan yang lain adalah putra almarhum
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekar Seda Lepen yang dalam keadaan belum dewasa telah
mewarisi Kadipaten Jipang, bernama Penangsang. Penangsang sebenarnya memiliki kesempatan yang besar
untuk menduduki tahta, seandainya ayahnya tak terbunuh.
Meskipun demikian tidak mustahil kalau pada suatu saat ia
akan menuntut pula haknya serta mengadakan perhitungan
dengan pembunuh ayahnya. Pada saat yang demikianlah
akan terjadi suatu perjuangan yang hebat. Kalau mereka
sama-sama percaya bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten
adalah sumber kekuatan untuk menerima wahyu kraton,
maka perjuangan untuk mendapatkan kedua pusaka itu pun
akan menjadi bertambah ramai.
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersadar dari angan-angannya
oleh suara derap kuda yang mendatanginya. Segera ia
menghentikan langkahnya dan dengan saksama memperhatikan suara itu. Ternyata suara itu semakin lama
semakin dekat tepat ke arahnya, sepanjang jalan hutan
yang sempit. Karena itu, segera ia menarik Arya untuk
segera bersembunyi, sebab ia masih belum tahu siapakah
para penunggangnya. Beberapa saat kemudian terdengar derap itu menjadi
tidak secepat tadi. Agaknya jalan kuda itu diperlambat
ketika menyusup jalan sempit serta banyak rintangan sulur-
sulur pepohonan liar. Ternyata penunggang kuda itu lebih
dari 3 atau 4 orang. Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang bersembunyi di
dalam semak, segera menahan nafas ketika kuda-kuda itu
hampir lewat di depannya. Tiba-tiba terdengar salah
seorang berkata, "Kakang, ke mana kita akan mencari?"
"Entahlah," jawab yang lain. "Mencari seseorang di
daerah yang seluas ini adalah sulit sekali."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tidak mungkinkah anak itu dilarikan ke Demak untuk
melaporkan segala sesuatu yang terjadi kepada Sultan?"
kata yang lain pula. "Telah diperintahkan untuk memotong jalan."
"Dan itu tak mungkin dilakukan," sahut yang lain lagi.
"Kalau orang yang melarikan anak itu bukan orang yang
bodoh, ia pasti tidak akan pergi ke Demak. Sebab tidak
akan ada gunanya. Kecuali kalau dapat ditunjukkan bukti-
buktinya, atau yang berkepentingan tertangkap pada saat
itu. Apalagi Sultan sedang murka kepada Gajah Sora."


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah itu, tak terdengar lagi suara mereka. Sedang
derap kuda itu semakin lama terdengar semakin jauh dan
kemudian menghilang. Ketika sudah tidak ada tanda-tanda yang membahayakan
lagi, segera Mahesa Jenar bangkit dan menggandeng Arya
untuk berjalan kembali. Mahesa Jenar agak terkejut ketika
dirasanya tangan Arya gemetar. Segera ia dapat menduga
perasaan anak itu. Meskipun ada juga perasaan takut,
tetapi pasti Arya menjadi marah sekali mendengar
percakapan orang-orang itu. Ketika baru tiga-empat
langkah mereka berjalan, mendadak Mahesa Jenar
menghentikan langkahnya. Ia mendapat suatu pikiran
bahwa jalan ini pasti merupakan jalan yang berbahaya.
Orang-orang tadi dapat dengan segera kembali dan
mungkin ada orang lain yang mencari lewat jalan ini pula.
Karena itu segera ia mempertimbangkan untuk mengambil
jalan lain. Ia tidak mau menanggung akibat tertangkapnya
Arya, apabila ia tidak dapat melawan orang-orang yang
mencarinya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Arya..." kata Mahesa Jenar kemudian, "Ternyata jalan
ini adalah jalan yang berbahaya. Karena itu marilah kita
ambil jalan lain." Arya tidak menjawab, tetapi ia hanya menganggukkan
kepalanya. Maka, karena pertimbangan itu, segera Mahesa Jenar
dan Arya Salaka membelok menyusup hutan untuk
mengambil jalan lain. Mereka berjalan dengan agak tergesa-gesa. Mahesa
Jenar mengharap untuk dapat segera sampai ke Pudak
Pungkuran dan menitipkan Arya di sana. Setelah itu ia akan
berusaha dengan bersembunyi menemui Wanamerta dan
ibu Arya, untuk membeberkan peranan Lembu Sora yang
sebenarnya. Ternyata Arya pun adalah anak yang betah berjalan.
Meskipun tampaknya ia agak lelah, ketika Mahesa Jenar
mengajaknya beristirahat anak itu menolak. Maka mereka
pun berjalan terus di dalam gelapnya malam.
Mahesa Jenar memang pernah pergi ke Pudak
Pungkuran. Dan ia telah pula mengenal jalan dari tempat
itu ke Banyubiru. Tetapi sekarang untuk menghindari
bahaya, ia menempuh jalan lain. Jalan yang belum pernah
dilewatinya. Karena itu ia menjadi agak bingung dan
kesulitan untuk menemukan arah yang tepat di dalam gelap
serta di dalam hutan yang belum pernah dijamahnya.
Maka kemudian ketika fajar menyingsing, serta
melemparkan warna kemerahan ke segenap penjuru,
insyaflah Mahesa Jenar bahwa jalan yang ditempuh adalah
jalan yang sama sekali tidak mengarah ke Pudak
Pungkuran. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu dengan hati berdebar-debar ia berkata,
"Arya.., agaknya aku telah kehilangan jurusan untuk
mencapai Pudak Pungkuran."
Arya memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang
tidak mengerti. "Lalu ke mana kita pergi, Paman?"
Mahesa Jenar menarik nafas. Dengan hilangnya arah
Pudak Pungkuran, ia tidak lagi mempunyai suatu tujuan
tertentu lagi. Karena itu ia menjawab, "Arya, tujuan
bukanlah hal yang penting bagi kita. Kemanapun kita akan
pergi, adalah sama saja. Sebab akhirnya kita akan kembali
lagi ke Banyubiru. Karena itu, jangan dirisaukan tujuan
kita." Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi badannya sudah bertambah letih. Meskipun demikian Arya
masih belum mau untuk beristirahat. Karena itu kembali
mereka berjalan menyusur hutan yang tidak begitu lebat.
Meskipun perlahan-lahan, namun mereka setapak demi
setapak tetap maju. Ketika matahari sudah mencapai ujung pepohonan,
hutan yang ditempuh itu sudah semakin menipis. Sejenak
kemudian tuntaslah hutan itu. Mahesa Jenar dan Arya
Salaka segera menempuh padang rumput yang tidak begitu
luas untuk segera sampai ke daerah yang didiami orang.
Di sinilah mereka beristirahat. Orang-orang yang
membangun daerah itu menjadi pedesaan, ternyata adalah
orang-orang yang ramah dan baik hati. Yang menerima
Mahesa Jenar dan Arya Salaka sebagai seorang perantau
beserta anaknya, dengan senang hati.
Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak dapat untuk
seterusnya menetap di tempat itu, sebab menurut
pertimbangannya, tempat itu masih terlalu dekat dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru. Karena itu ketika ia beserta Arya telah
beristirahat satu malam, mereka minta izin kepada
penduduk desa itu untuk segera meneruskan perjalanan.
Terpaksa Mahesa Jenar membohongi orang-orang desa itu,
dengan mengatakan arah yang bertentangan dengan arah
yang sebenarnya hendak ditempuh, untuk menghindari
orang-orang yang mencari mereka, kalau-kalau menanyakan kepada penduduk, apabila mereka sampai di
tempat itu. Pada hari berikutnya Mahesa Jenar sampai pula pada
sebuah desa yang lain. Penduduk desa ini terdiri dari orang-
orang yang baik hati dan ramah pula. Mereka menerima
Mahesa Jenar dengan senang hati, serta dengan gembira
mereka menerima Mahesa Jenar sebagai warga baru di
desa itu. Di daerah ini Mahesa Jenar merasa, bahwa
keamanan Arya telah dapat dipertanggungjawabkan.
Karena itu ia pun menyatakan diri sebagai keluarga baru
serta dengan bekerja keras ia pun segera membangun
perumahan serta menebas hutan untuk tanah pertanian,
sebagaimana dilakukan oleh setiap pendatang. Di tempat
kediamannya yang baru itu Mahesa Jenar dianggap tidak
lebih dari seorang petani biasa. Seorang yang seperti
kebanyakan penduduk di desa itu, yang datang untuk
sekadar dapat memperbaiki nasibnya dengan mengolah
tanah yang sedikit lebih subur dibanding daerah mereka
semula. Demikianlah Mahesa Jenar dan Arya Salaka telah
memulai dengan suatu penghidupan baru, sebagai seorang
petani yang bekerja untuk mempertahankan hidupnya.
Setiap pagi mereka pergi ke ladang, menggarap tanah
seperti yang dikerjakan oleh orang lain pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi disamping itu, yang tak seorang pun mengetahuinya adalah, di dalam setiap kesempatan,
terutama apabila matahari telah terbenam, Mahesa Jenar
dengan tekunnya menuntun Arya dalam berbagai ilmu.
Tidak saja olah kanuragan, tetapi juga tata pergaulan,
kesusasteraan dan sebagainya. Lebih dari itu, Mahesa Jenar
juga selalu memberi petunjuk-petunjuk tentang keluhuran
budi dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, juga
sedikit mengenai ilmu keprajuritan dan siasat. Sedikit demi
sedikit, namun pasti, Arya setiap saat tumbuh menjadi
seorang pemuda yang perkasa serta memiliki berbagai
macam pengetahuan. ----------o-dwkzOarema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Sementara itu terjadilah berbagai perubahan di
Banyubiru. Pada malam Arya dilarikan oleh Mahesa Jenar,
Wanamerta telah mengutus beberapa orang untuk minta
perlindungan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Ketika utusan
Wanamerta sampai di Pamingit, Lembu Sora justru baru
berada di Banyubiru, sehingga utusan itu terpaksa
menunggu untuk beberapa lama. Baru beberapa saat
kemudian Ki Ageng Lembu Sora dengan tergesa-gesa
datang kembali. Tentu saja ia sama sekali tidak
mengatakan bahwa ia baru datang dari Banyubiru.
Mendengar permintaan utusan Wanamerta itu, hati
Lembu Sora menjadi gembira sekali. Tanpa berpikir lagi
segera ia menyanggupinya. Pada saat itu pula Ki Ageng
Lembu Sora segera mengumpulkan pasukannya, pasukan
murni dari Pamingit, yang dianggapnya pilihan serta dapat
dipercaya. Ia sendiri kemudian berangkat memimpin orang-
orangnya untuk melindungi perdikan Banyubiru. Tetapi
ketika pasukan itu sampai, keadaan telah reda. Para
penyerang telah menarik diri.
Meskipun demikian, dalam pertemuan yang diadakan
oleh Lembu Sora dengan para pemimpin Banyubiru, karena
kelincahan Lembu Sora, maka dicapai suatu persetujuan
bahwa selama Gajah Sora belum kembali, serta Arya Salaka
belum diketemukan, Banyubiru langsung berada di bawah
pemerintahan Lembu Sora di Pamingit. Tetapi untuk
kelancaran tata pemerintahan, Lembu Sora diberi wewenang untuk menempatkan beberapa orangnya di
Banyubiru. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Inilah titik permulaan dari kemunduran secara menyeluruh bagi Banyubiru. Sebenarnya perjanjian perlindungan itu tidak menyenangkan hati beberapa orang
diantara para pemimpin Banyubiru. Wanamerta sendiri
akhirnya menyesal pula. Apalagi pemuda-pemuda yang
mempunyai cita-cita buat masa depannya, yaitu Bantaran
dan Panjawi. Untuk sementara mereka tidak berbuat apa-
apa. Sebab mereka tahu bahwa bagaimanapun Lembu Sora
adalah seorang yang perkasa. Yang memiliki ilmu seperti
yang dimiliki oleh kakaknya, meskipun dalam tingkatan
yang lebih rendah. Dalam pada itu, diam-diam Lembu Sora selalu berusaha
untuk menemukan Arya. Kepada orang-orang Banyubiru, ia
memerintahkan mencari anak itu sebagai pewaris tanah
perdikan, sedang kepada orang-orangnya yang dipercaya,
diperintahkannya untuk menemukan Arya dan membunuhnya. Sebab selama anak itu masih hidup, rasa-
rasanya masih saja ada duri di dalam dagingnya. Karena
apabila tiba-tiba Arya muncul, maka akan terjadilah suatu
perjuangan yang lebih berat lagi. Apalagi Arya membawa
tanda kebesaran Banyubiru, yaitu tombak pendek yang
bernama Kyai Bancak, sebuah pusaka yang menjadi
kebanggaan Gajah Sora. Itulah sebabnya ia bekerja mati-
matian untuk membinasakannya.
Disamping Arya Salaka, masih ada pula hal-hal yang
sangat merisaukan Ki Ageng Lembu Sora, yaitu pusaka-
pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Ia sadar
sepenuhnya, apabila pada suatu saat ada kemungkinan ia
berhadapan dengan sekutu-sekutunya, tokoh-tokoh golongan hitam, sebagai lawan yang akan saling
membinasakan. Pertolongan ayahnya, Ki Ageng Sora
Dipayana, belum tentu dapat diharapkan. Apalagi kalau
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ayahnya itu mengetahui bagaimana ia telah menyingkirkan
kakaknya, Ki A geng Gajah Sora.
Karena itu, usahanya yang pertama adalah memperkuat
diri. Ia selalu berusaha memperbesar pasukannya dengan
biaya yang besar, tanpa mempedulikan tata penghidupan
rakyat yang menjadi semakin sempit. Cita-citanya tidak
hanya menguasai seluruh daerah perdikan yang dulu
berada di bawah pemerintahan ayahnya, tetapi kelak bila ia
berhasil mendapat Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten,
maka kekuatan itu sangat diperlukan. Dengan kedua
pusaka itu ia akan mempunyai kemungkinan terbesar
menerima wahyu kraton. Dengan demikian ia akan dengan
mudahnya dapat menghancurkan kekuatan Demak.
Tetapi meskipun demikian ia masih selalu berusaha
bahwa tokoh-tokoh golongan hitam akan dapat dijadikan
landasan kekuatan pula, sesuai dengan kepercayaan
mereka, bahwa barang siapa yang telah memiliki kedua
keris pusaka itu akan dianggap sebagai pemimpin mereka.
Itulah sebabnya maka Lembu Sora selalu banyak memberi
keleluasaan bergerak kepada sekutu-sekutunya, di

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daerahnya sendiri serta daerah perlindungannya.
Disamping itu, Lembu Sora juga selalu berusaha mencari
Arya Salaka, sekaligus memerintahkan untuk mendapatkan
keterangan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Sementara itu waktu berjalan terus tanpa henti-hentinya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Maka semakin
dekatlah waktu yang akan diselenggarakan tokoh-tokoh
hitam untuk mendapatkan seseorang yang dapat menjadi
pemimpin mereka. Tetapi rasanya nafsu mereka sudah jauh
berkurang sejak mereka mengetahui dengan pasti bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keris-keris pusaka yang mereka harapkan telah lenyap serta
jatuh ke tangan seseorang yang tak dikenal.
Demikianlah akhirnya bulan terakhir itu datang juga.
Pada saat itu Mahesa Jenar kemudian bersedia pula untuk
menyaksikan pertemuan itu, meskipun ia sadar bahwa
untuk melihatnya pasti akan sangat sulit. Karena itu ia
harus berangkat beberapa hari sebelum purnama naik,
untuk mendapatkan keterangan di mana pertemuan itu
berlangsung. Menurut keterangan yang pernah didengar
Mahesa Jenar, dalam pertemuan itu Uling Putih serta Uling
Kuning akan bertindak sebagai tuan rumah. Karena itu
menurut perkiraan Mahesa Jenar, pertemuan itu akan
dilangsungkan di sekitar daerah Rawa Pening. Mahesa
Jenar juga pernah mendapat petunjuk tentang sarang Uling
itu, yaitu di dalam rimba di ujung rawa yang menjorok ke
utara. Mahesa Jenar semula mengharap bahwa menyaksikan
pertemuan itu ia akan dapat mengukur kekuatan tokoh-
tokoh golongan hitam. Tetapi sebenarnya sekarang tanpa
menyaksikan pun ia sudah mendapat gambaran jelas
tentang kekuatan mereka, bahkan tentang orang-orang
angkatan tua yang berdiri di belakang mereka.
Tetapi bagaimanapun, Mahesa Jenar tetap berkeinginan
menyaksikan pertemuan itu.
Maka, setelah mendekati waktu yang ditentukan, Mahesa
Jenar pun segera mempersiapkan diri. Sebenarnya yang
agak memusingkan kepalanya, adalah Arya Salaka. Ia
sebenarnya agak keberatan untuk meninggalkan anak itu.
Tetapi sebaliknya, membawa A rya adalah sangat berbahaya
pula. Tetapi akhirnya Mahesa Jenar menganggap bahwa
lebih aman bagi Arya, serta lebih ringan pula tanggung-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jawabnya apabila Arya ditinggal saja di rumah, dengan
pesan agar anak itu tidak membahayakan dirinya sendiri.
Sebaiknya selama Mahesa Jenar pergi, ia tidak usah pergi
keluar rumah untuk menghindarkan hal-hal yang tidak
diinginkan. Demikianlah maka pada suatu hari, sepekan sebelum
purnama naik, Mahesa Jenar berangkat untuk melakukan
suatu pekerjaan yang berbahaya, setelah ia menitipkan
Arya kepada penduduk, serta pamit kepada mereka itu,
bahwa ia akan mengunjungi orang tuanya di daerahnya
yang lama. Dengan memakai pakaiannya yang kumal, Mahesa Jenar
mengharap bahwa dirinya tidak segera dapat dikenali.
Karena itu pula ia selalu menghindari setiap pertemuan
dengan orang-orang Banyubiru. Apabila kehadirannya
sampai diketahui orang, maka usahanya akan menjadi
terhalang. Apalagi kalau hal itu sampai terdengar Ki Ageng
Lembu Sora, yang pasti menduganya telah lenyap, ketika ia
tergelincir ke dalam jurang.
Tetapi sebelum itu Mahesa Jenar masih harus berusaha
untuk bertemu dengan seseorang yang telah berjanji
kepadanya untuk bersama-sama ke Rawa Pening, yaitu Ki
Dalang Mantingan. Usahanya mula-mula adalah mencari tempat yang kira-
kira akan dipergunakan untuk mengadakan pertemuan itu.
Hampir setiap saat ia bersembunyi di semak-semak di
sekitar daerah Rawa Pening yang menjorok ke utara.
Meskipun di daerah itu nampaknya tidak ada jalan, tetapi
Mahesa Jenar dapat mengenal bahwa ada sebuah lorong
rahasia yang sengaja dikaburkan dengan semak-semak dan
pepohonan kecil lainnya. Tetapi ia sama sekali belum berani
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
untuk memasuki lorong itu, sebelum mendapat beberapa
kenyataan yang tidak terlalu membahayakan.
Pada hari kedua, Mahesa Jenar melihat seseorang
berkuda memasuki lorong itu. Orang itu bertubuh tegap
kekar. Matanya bersinar-sinar. Hidungnya melengkung,
serta dagunya jauh menggantung di bawah mulutnya.
Menilik wajahnya, Mahesa Jenar menduga bahwa orang
yang demikian itu, dapat berbuat sesuatu tanpa tanggung-
tanggung. Ia dapat menjadi kejam seperti iblis. Melihat
orang itu lewat, Mahesa Jenar menahan nafas. Ia masih
belum pernah mengenalnya. Di pinggang orang itu
tergantung sebuah pedang. Meskipun demikian, Mahesa
Jenar dapat mengenal bahwa orang itu pasti anggota
gerombolan Uling Rawa Pening, karena orang itu
mengenakan ikat pinggang kulit lebar, bergambar sepasang
Uling yang saling membelit.
Hal itu bagi Mahesa Jenar adalah sangat menguntungkan. Ketika suara derap kudanya sudah tak
terdengar lagi, dengan hati-hati sekali Mahesa Jenar keluar
dari persembunyiannya, untuk kemudian menyusuri lorong
itu, mengikuti bekas telapak kaki kuda yang baru saja
lewat. Ia mengharap dengan demikian akan dapat mendekati,
setidaknya mendekati sarang gerombolan Uling Rawa
Pening. Ternyata bahwa lorong itu sengaja dibuat berkelok-kelok.
Beberapa kali Mahesa Jenar menganggap bahwa seterusnya
daerah itu sangat sulit dilewati, namun dengan menerobos
semak yang tipis saja, ia sampai pada tempat yang tidak
lagi ada kesukaran-kesukaran untuk dilaluinya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati dan penuh
kewaspadaan selalu mengikuti jejak kuda yang dinaiki oleh
orang yang belum dikenalnya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar tidak jauh di
hadapannya lamat-lamat suara orang tertawa. Cepat ia
menghentikan langkahnya, dan segera menyelinap ke
semak-semak. Sesaat kemudian suara tertawa itu berhenti,
tetapi kemudian terdengar orang bercakap-cakap perlahan-
lahan. Karena itu Mahesa Jenar tidak dapat menangkap isi
percakapan mereka. Dengan sangat hati-hati, Mahesa Jenar berusaha untuk
mendekati orang yang sedang bercakap-cakap itu. Tetapi
ketika ia telah menjadi bertambah dekat, suara percakapan
itu telah berhenti. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih
mendengar salah seorang berkata, "Silahkan Kakang Sri
Gunting..., kudamu telah lelah sekali."
Dengan demikian tahulah Mahesa Jenar, bahwa orang
yang berkuda itu adalah Sri Gunting. Orang pertama di
dalam gerombolan Uling Rawa Pening sesudah sepasang
Uling itu sendiri. Sejenak kemudian, terdengar kembali suara langkah
kuda Sri Gunting disusul dengan langkah kuda lain ke arah
yang berlawanan. Sesaat kemudian Mahesa Jenar melihat
orang lain lewat di depannya. Orang itu pernah dikenalnya
beberapa waktu yang lalu. Ia adalah Yuyu Rumpung, yang
bersama-sama dengan Gemak Paron berusaha untuk
mencuri kedua pusaka kraton di Bukit Tidar.
Mahesa Jenar sama sekali tidak mempedulikan orang itu
lewat. Tetapi dengan demikian ia harus semakin hati-hati.
Ternyata lorong itu memang merupakan pintu masuk ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sarang Uling Rawa Pening. Pantaslah kalau jalan itu selalu
dirondai dengan cermat. Beberapa langkah kemudian, kembali Mahesa Jenar
mendengar suara orang bercakap-cakap. Juga perlahan-
lahan. Tetapi agaknya lebih dari dua orang. Ketika Mahesa
Jenar berhasil mengintip dari jarak yang agak jauh,
dilihatnya Sri Gunting sedang bercakap-cakap dengan dua-
tiga orang yang bersenjatakan tombak. Tetapi juga kali ini
ia tidak mendengar isi percakapan mereka, sampai akhirnya
Sri Gunting meneruskan perjalanannya.
Sampai sekian, Mahesa Jenar tidak berani lagi menuruti
jejak kuda itu secara langsung. Sebab kemungkinan untuk
bertemu orang-orang gerombolan Uling akan bertambah
besar. Meskipun andaikata ia dapat memenangkan
perkelahian melawan tiga-empat orang, namun dengan
demikian kedatangannya sudah diketahui lebih dahulu.
Karena itu Mahesa Jenar berusaha untuk mengikuti kuda
Sri Gunting dari semak-semak di sekitar lorong itu,
meskipun kadang-kadang ia harus merangkak-rangkak
menerobos pohon-pohon liar serta sulur-sulur dan tumbuh-
tumbuhan merambat lainnya. Dugaan Mahesa Jenar bahwa
penjagaan semakin lama semakin rapat ternyata benar.
Beberapa langkah kemudian kembali terdapat beberapa
orang penjaga. Dengan demikian, Mahesa Jenar mengharap
bahwa tidak lama lagi ia akan sampai ke sarang sepasang
Uling Rawa Pening. Ketika Mahesa Jenar maju lagi, tiba-tiba sampailah ia
pada daerah tumbuh-tumbuhan yang rapat sekali. Pohon-
pohon berduri tumbuh rapat diseling dengan tanaman-
tanaman menjalar dan beberapa tanaman yang sangat
gatal apabila menyinggung tubuh, misalnya pohon rawe,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
serta pohon-pohon yang mengandung lugut dari jenis
bambu. Melihat kerapatan pepohonan itu, Mahesa Jenar tertegun
sebentar. Ketika ia memandang ke arah Sri Gunting, yang
juga maju dengan perlahan-lahan di atas kudanya,
dilihatnya ia membelok menyusur tanaman-tanaman berduri
itu ke arah timur. Perlahan-lahan dan sangat hati-hati
Mahesa Jenar berusaha untuk mengikutinya. Beberapa
langkah kemudian tampaklah sebuah pohon yang tidak
terlalu tinggi, tetapi daunnya sangat lebat. Dibalik pohon
itulah Mahesa Jenar melihat Sri Gunting menghilang.
Tahulah kini Mahesa Jenar bahwa pohon-pohon yang
tumbuh rapat sekali itu, memang sengaja diatur demikian,
sehingga merupakan benteng hidup yang mengelilingi pusat
sarang Uling Rawa Pening. Gerombolan yang mempunyai
nama tidak kalah menggetarkan daripada nama Lawa Ijo,
yang ditakuti di daerah pantai utara.
Sampai di situ, Mahesa Jenar terpaksa tidak dapat
mengikuti Sri Gunting untuk seterusnya. Ia tidak mau
tergesa-gesa menyusup pohon yang rimbun itu, sebab ia
masih belum mengetahui apakah kira-kira yang berada di
belakangnya. Mungkin setelah menyusup pohon itu,
langsung akan memasuki sebuah gardu perondan, atau
malah sampai ke barak Uling sendiri.
Karena itu, Mahesa Jenar terpaksa berhenti di semak-
semak sambil beristirahat. Ia mencoba memutar otak,
bagaimana dapat memasuki, setidak-tidaknya mengetahui
keadaan di dalam sarang itu.
Akhirnya Mahesa Jenar menemukan cara juga. Meskipun
ia tidak pasti akan dapat masuk, tetapi ia akan mendapat
gambaran tentang keadaan dibalik benteng tanaman itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebagai seorang prajurit, ia pernah mendapat latihan
panjat-memanjat, menggantung, dan berayun dengan tali
yang cukup tinggi. Dengan hati-hati, Mahesa Jenar pun
segera memanjat. Dari pohon yang tidak terlalu besar,
menjalar ke pohon lain, sehingga akhirnya Mahesa Jenar
berada di atas dahan sebuah pohon yang memungkinkan ia
dapat melihat keadaan di dalam, keadaan pusat sarang
sepasang Uling. Ternyata di dalam benteng itu ada sebuah lapangan
yang tidak begitu luas. Di pinggir-pinggir lapangan
tampaklah beberapa rumah. Menurut dugaan Mahesa
Jenar, rumah-rumah itu terlalu sedikit untuk dapat didiami
oleh anak buah Uling yang banyak jumlahnya. Karena itu, di
tempat lain pasti masih ada tempat-tempat tinggal serupa
itu. Di lapangan itu Mahesa Jenar melihat Sri Gunting
berkuda melintas. Kemudian ia berhenti di depan salah satu
dari rumah-rumah yang berjajar di pinggir lapangan.
Seorang telah menerima kudanya, lalu mengikatnya pada
sebuah pohon, sedang Sri Gunting sendiri langsung
memasuki rumah itu. Beberapa saat kemudian dilihatnya Sri
Gunting keluar lagi. Dipanggilnya dua orang laskarnya,
kemudian berjalan melintas lapangan dan menyusup ke
balik sebuah pohon. Pohon itulah rupanya pintu keluar-
masuk benteng yang tadi juga dilewati Sri Gunting.
Ternyata dibalik pohon itu sama sekali tidak terdapat
sebuah gardu. Memang beberapa orang tampak mengawalnya, sebagai pengawal pintu gerbang. Ketika
Mahesa Jenar sedang sibuk menduga-duga, di manakah
pertemuan akan dilangsungkan, tiba-tiba dilihatnya keluar
dari salah satu diantara rumah-rumah itu, dua orang yang
bertubuh tinggi, tetapi tidak begitu besar. Berwajah runcing
dan berhidung tajam. Itulah sepasang Uling Rawa Pening,
yang di tangan mereka selalu tergenggam sebuah cemeti
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
besar. Di belakang mereka berjalan Sri Gunting dan dua
orang lainnya. Melihat mereka, mau tidak mau Mahesa
Jenar terpaksa menahan nafas. Bagaimanapun kedua orang
itu termasuk dalam tingkatan yang cukup tinggi, sehingga


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pancaindera mereka pun tajam pula.
Beberapa saat kemudian Mahesa Jenar melihat orang-
orang mereka menyediakan kuda, lalu dengan kuda-kuda
itu Uling Rawa Pening beserta tiga orang yang
mengiringinya, pergi melintasi lapangan dan menyusup
pohon yang merupakan pintu gerbang benteng itu, untuk
kemudian muncul di luar benteng.
Kitab Mudjidjad 11 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Pendekar Pengejar Nyawa 21
^