Naga Sasra Dan Sabuk Inten 12
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 12
Mahesa Jenar jadi menduga-duga. Kemanakah mereka
pergi" Cepat ia turun dengan sangat hati-hati. Tetapi ketika
sepasang Uling itu menyusur benteng ke arahnya, ia jadi
diam, dan bersembunyi dibalik daun-daun yang agak
rimbun, apalagi ketika mereka lewat dekat di bawahnya.
Tetapi, adalah suatu keuntungan, ketika Mahesa Jenar
mendengar mereka bercakap-cakap. Terdengar Uling Putih
berkata, "Jadi kau yakin bahwa tempat itu telah disiapkan
dengan baik?" Terdengar Sri Gunting menjawab, "Sudah, Ki Lurah.
Cuma satu-dua barak yang belum siap benar."
"Bagus!" Uling Putih meneruskan, Pasingsingan dan Sima
Rodra dari Lodaya akan hadir dalam pertemuan itu.
"Tidakkah mereka akan berpihak?" sela Uling Kuning.
"Tidak, mereka pasti akan menghargai nama mereka
masing-masing," jawab Uling Putih.
Setelah itu mereka tidak berkata-kata lagi. Baru
kemudian terdengar Sri Gunting mengatakan sesuatu,
tetapi Mahesa Jenar sudah tidak dapat mendengar lagi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan mendengar percakapan mereka, Mahesa Jenar
dapat mengambil kesimpulan bahwa pertemuan tokoh-
tokoh hitam itu nanti, tidak akan dilakukan di dalam
benteng itu, tetapi di tempat lain. Hal ini mungkin atas
pertimbangan-pertimbangan keselamatan benteng itu atau
untuk tetap merahasiakan sarang gerombolan Uling Rawa
Pening. Karena itu segera Mahesa Jenar turun dan bergantungan
pada sebuah sulur. Demikian ia sampai di tanah, cepat-
cepat ia berusaha untuk dapat mengikuti kuda sepasang
Uling itu. Untuk itu Mahesa Jenar tidak banyak menemui
kesulitan. Kecuali ia sudah mengenal jalan sempit yang
menuju keluar dari benteng, juga kuda-kuda itu tidak dapat
berjalan cepat di jalan yang banyak rintangan itu.
Beberapa ratus langkah kemudian, rombongan Uling
membelok meninggalkan lorong semula dan menempuh
jalan lain yang lebih sulit. Namun bagaimanapun juga
Mahesa Jenar tetap dapat mengikutinya, meskipun kadang-
kadang ia harus berlari-lari kecil, merangkak, meloncat dan
merunduk, sehingga akhirnya Mahesa Jenar melihat di
depannya terbentang sebuah padang rumput yang luas. Di
pinggir padang itu sedang dibangun beberapa barak yang
sebagian masih dikerjakan. Itulah tempat yang akan
dipergunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan
suatu pertemuan dari tokoh-tokoh golongan hitam.
Mengingat apa yang akan terjadi di lapangan itu, hati
Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar juga.
Kemudian teringatlah ia kepada Ki Dalang Mantingan.
Apakah orang itu sudah datang di daerah Rawa Pening
ataukah belum. Dan mungkinkah Ki Dalang Mantingan
dapat menemukan tempat pertemuan itu. Mengingat hal
itu, Mahesa Jenar merasa perlu untuk berusaha menemui Ki
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalang Mantingan sebelum mereka menyaksikan pertemuan
tokoh-tokoh hitam itu. Beberapa lama kemudian, setelah sepasang Uling itu
berkeliling dan memeriksa barak-barak yang sedang
diselesaikan itu, mereka pun pergi meninggalkan padang
rumput itu kembali ke dalam benteng mereka.
Mahesa Jenar pun menganggap bahwa ia tidak perlu
terlalu lama lagi tinggal di situ. Ia masih mempunyai
beberapa waktu menjelang hari yang ditentukan, untuk
dapat melihat-lihat keadaan di sekeliling tempat itu, serta
untuk menemui Ki Dalang Mantingan.
Sementara itu, langit telah bertambah samar-samar.
Matahari telah menghilang di bawah garis pertemuan bumi
dan langit. Perlahan-lahan malam yang kelam turun
menyeluruh, sedang di langit bintang-bintang timbul
berebutan. Tetapi tidak lama kemudian, cahaya kuning
memulai perjalanannya. Seolah-olah memberi peringatan
kepada Mahesa Jenar bahwa dua hari menjelang, purnama
penuh akan menyinari padang terbuka yang akan menjadi
ajang pertemuan tokoh-tokoh dari golongan hitam.
Perlahan-lahan dan hati-hati Mahesa Jenar menyusup
menjauhi padang rumput itu. Dengan mengenal daerah di
sekitarnya, maka ia akan menjadi lebih aman. Gajah Sora
pernah memperingatkan kecerobohannya pada saat ia
memasuki sarang Harimau Gunung Tidar. Karena itu ia
tidak mau mengulangi kesalahannya lagi.
Setelah puas, Mahesa Jenar berputar-putar, dan segera
menyusur tepi Rawa Pening, untuk mencapai daerah
Banyubiru. Mungkin Mantingan masih berada di sekitar
daerah itu, atau ia juga sedang berusaha untuk
menemukan tempat yang akan dipergunakan untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengadakan pertemuan. Terhadap Mantingan, sebenarnya
Mahesa Jenar masih agak was-was. Ia memang cukup
berilmu. Tetapi berhadapan dengan Lawa Ijo, Jaka Soka
dan sebagainya, Mantingan masih kalah setingkat. Ia
pernah berkelahi dengan Mantingan, juga pernah berkelahi
dengan tokoh-tokoh hitam, sehingga ia mempunyai ukuran
dalam memperbandingkan kemampuan mereka.
Tetapi yang belum pernah dilihatnya, bagaimana
Mantingan menggerakkan trisulanya yang terkenal itu.
Mudah-mudahan keahliannya menggunakan trisula akan
dapat menandingi Lawa Ijo dengan pisau belatinya, atau
Jaka Soka dengan tongkat hitamnya. Namun Mahesa Jenar
yakin, bahwa waktu yang sedikit menjelang kepergiannya
ke Rawa Pening, Mantingan pasti telah mendapatkan
sesuatu dari gurunya, Kiai Ageng Supit. Kiai Ageng Supit
adalah tokoh sakti yang tidak begitu dikenal, karena orang
itu tidak banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang
menonjol di luar padepokannya. Tetapi muridnya,
Mantingan, dalam setiap kesempatan selalu berusaha untuk
menunjukkan jasanya kepada masyarakat di sekitarnya.
Mungkin gurunya sengaja memerintahkannya berbuat
demikian untuk mewakilinya.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar yang sedang berangan-
angan, terkejut. Di tepi rawa itu ia melihat bayangan dua
orang yang sedang berkelahi dengan dahsyatnya. Mahesa
Jenar menjadi menduga-duga, siapakah mereka itu. Karena
itu segera dengan hati-hati ia pun mendekatinya.
Semakin dekat Mahesa Jenar dengan orang yang sedang
bertempur itu, debar hatinya menjadi semakin keras pula.
Di dalam sinar bulan yang hampir purnama itu Mahesa
Jenar dapat melihat dengan jelas, bahwa kedua-duanya
adalah pasti orang-orang yang berilmu tinggi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba debar jantung Mahesa Jenar berubah menjadi
degupan yang menghentak-hentak dadanya. Di dalam
cahaya bulan yang kekuning-kuningan itu tampaklah
berkilat-kilat sinar yang memantul dari senjata orang yang
sedang bertempur itu. Senjata yang cukup dikenalnya, yaitu
trisula. Karena itu cepat Mahesa Jenar mengetahui bahwa salah
seorang dari mereka adalah Mantingan. Maka, Mahesa
Jenar segera berusaha untuk semakin mendekat lagi. Tetapi
sekali lagi detak jantungnya menyentak dan berdegupan
dengan riuhnya, ketika ia melihat lawan Mantingan itu
bersenjata bola besi yang diikat di ujung rantai. Juga
senjata itu pernah dikenalnya. Yaitu senjata andalan dari
kawan seangkatannya, seorang perwira dalam pasukan
pengawal raja, yang bertubuh gemuk pendek, yakni Gajah
Alit. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menjadi agak keheran-heranan. Apakah
kerja Gajah Alit di sini"
Melihat cara Mantingan berkelahi, Mahesa Jenar menjadi
kagum. Alangkah cepatnya ia mendapat kemajuan.
Langkahnya jauh lebih lincah dari beberapa saat yang lalu,
ketika ia harus menghadapinya sebagai lawan, serta unsur-
unsur geraknya menjadi banyak dan berbahaya. Tetapi
yang lebih mengagumkan Mahesa Jenar adalah cara
Mantingan mempergunakan trisulanya. Ketiga ujung trisula
itu seolah-olah berubah menjadi tangan-tangan besi yang
siap menangkap dan membunuh setiap tubuh apapun yang
tersinggung olehnya. Mahesa Jenar melihat bahwa
sebenarnya Mantingan, pasti sudah menerima ilmu-ilmu
baru dari gurunya. Tangannya yang satu lagi selalu
bergerak, menjulur, dan trisulanya mendesing-desing
menimbulkan sambaran-sambaran angin yang menakutkan.
Karena itu, sekarang Mahesa Jenar tidak berwas-was lagi
terhadap Mantingan. Dengan ilmunya itu Mantingan sudah
dapat disejajarkan dengan Lawa Ijo, Jaka Soka, Sima Rodra
dan sepasang Uling dari Rawa Pening. Seandainya dirinya
tidak memiliki pengalaman yang lebih banyak, serta
mendapat kesempatan untuk memiliki Aji Sasra Birawa,
maka untuk dapat mengalahkan Mantingan dengan
trisulanya adalah terlalu sulit. Tetapi lawan Mantingan itu
bukan orang kebanyakan pula. Ia adalah setingkat pula
dengan Mahesa Jenar tanpa aji Sasra Birawa. Bahkan
mungkin sepeninggal Mahesa Jenar, Gajah Alit yang
dipercaya untuk mengisi kedudukannya.
Ketika trisula Mantingan dengan dahsyat mematuk-matuk
hampir ke segenap bagian tubuh Gajah Alit, maka Gajah Alit
segera memutar senjata seperti baling-baling. Angin yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dingin meniup dengan sejuknya, diiringi dengan bunyi yang
berdesing-desing. Karena itu, karena kekuatan mereka seimbang serta
hampir mencapai tingkat tertinggi, maka pertempuran itu
menjadi dahsyat sekali. Mahesa Jenar kemudian menjadi
cemas ketika dilihatnya bahwa agaknya pertempuran itu
telah mencapai puncaknya. Masing-masing telah mengeluarkan segala kemampuan yang ada untuk
membinasakan lawannya. Melihat hal itu Mahesa Jenar
menjadi ragu. Kalau ia melerai mereka, maka Gajah Alit
pasti akan mengenalnya. Tetapi bila dibiarkan, pertempuran
itu pasti akan membawa korban.
Selagi Mahesa Jenar termangu-mangu, pertempuran itu
menjadi semakin sengit. Trisula Mantingan bergerak dengan
cepatnya seperti petir menyambar-nyambar, sedang senjata
Gajah Alit berputar semakin cepat pula sehingga yang
tampak hanyalah bayangan hitam yang bergulung-gulung
mengerikan, seperti awan gelap yang hendak melanda
dengan dahsyatnya. Beberapa kali rantai berkepala bola besi Gajah Alit
berhasil melilit senjata lawannya, tetapi ia sama sekali tak
berhasil merampasnya. Bahkan kadang-kadang mereka
sampai lama berputar-putar, tarik-menarik senjata masing-
masing, sehingga akhirnya terpaksa mereka berusaha untuk
mengurai lilitan rantai itu.
Demikian senjata mereka terurai, demikian senjata-
senjata itu kembali berputar, menyambar dan menusuk-
nusuk dengan dahsyatnya. Melihat semuanya itu akhirnya Mahesa Jenar mengambil
keputusan untuk melerai mereka. Karena itu segera ia
meloncat maju mendekati arena pertempuran itu sambil
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berteriak nyaring, "Tahan dirimu masing-masing. Hentikan
pertempuran ini." Tetapi agaknya mereka yang bertempur itu sama sekali
tak mendengarnya, sebab pendengaran mereka dikacaukan
oleh bunyi senjata mereka yang berdesing-desing dan
berdentangan saling beradu. Sedang perhatian mereka
seluruhnya tertumpah pada upaya mempertahankan jiwa
masing-masing. Karena itu sekali lagi Mahesa Jenar berteriak, lebih keras
dari semula sambil meloncat lebih dekat lagi, "Kakang
Mantingan dan Adi Gajah Alit, hentikan pertempuran."
Baru ketika mereka mendengar nama-nama mereka
disebut, mereka menjadi terkejut. Apalagi, ketika mereka
lihat seseorang mendekat, Mantingan dan Gajah Alit hampir
berbareng meloncat surut, dan dengan herannya memandang kepada Mahesa Jenar yang kemudian
meloncat diantara mereka. Tetapi untuk sesaat mereka
tidak segera mengenal siapakah yang telah melerai mereka
itu, sampai Mahesa Jenar berkata, "Kakang Mantingan dan
Adi Gajah Alit.... Adakah sesuatu yang tidak wajar, sehingga
kalian terpaksa bertempur?"
Mantingan dan Gajah Alit, segera mengenal suara itu.
Karena itu hampir berbareng mereka menyebut nama
Mahesa Jenar. "Ya," jawab Mahesa Jenar, "inilah aku".
Mendengar jawaban itu, segera mereka berloncatan
maju sambil berebutan memberi salam.
"Kemanakah kau selama ini, Kakang?" tanya Gajah Alit,
"Kau begitu saja menghilang seperti hantu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar tidak segera menjawab pertanyaan ini,
tetapi malahan ia bertanya, "Kenapa kalian bertempur?"
Mantingan dan Gajah Alit kemudian saling berpandangan. Memang sebenarnya
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka tidak mempunyai suatu alasan yang kuat, kecuali mereka
sebenarnya hanya saling curiga.
"Aku tidak tahu kakang," jawab Gajah Alit sambil
tersenyum-senyum. Wajahnya yang bulat itu masih saja
memancarkan kejenakaannya.
"Kami sebenarnya tidak mempunyai urusan," jawab
Mantingan. "Lalu apakah sebabnya?" tanya Mahesa Jenar heran.
"Sebenarnya kami belum saling mengenal," jelas
Mantingan. Mendengar kata-kata itu, barulah Mahesa Jenar sadar
bahwa sebaiknya ia memperkenalkan kedua orang yang
baru saja bertempur itu. Dengan mengenal siapakah mereka masing-masing, hati
Mantingan maupun Gajah Alit bergetaran. Bagi Mahesa
Jenar, Gajah Alit adalah seorang perwira prajurit pengawal
raja, yang pasti seorang prajurit pilihan. Sebaliknya nama
Mantingan pernah didengar oleh Gajah Alit, sebagaimana
Mahesa Jenar dahulu juga sudah mendengarnya, sebagai
seorang yang telah berhasil membinasakan tiga orang
perampok yang menamakan diri mereka Samber Nyawa.
Di dalam hati Mantingan merasa bersyukur bahwa ia
masih tetap dapat mempertahankan dirinya terhadap Gajah
Alit. Andaikata ia masih belum menerima ilmu Pacar Wutah
dari gurunya, entahlah apa yang akan terjadi atas dirinya.
Dan karena ilmu itulah maka Mantingan menjadi seorang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang perkasa. Gurunya sengaja memberikan ilmu itu
sebagai bekal perjalanannya yang akan sangat berbahaya.
Sejenak kemudian, kembali terdengar Mahesa Jenar
bertanya kepada Mantingan dan Gajah Alit, "Apakah urusan
kalian, sehingga kalian sampai mempertaruhkan nyawa
kalian?" Gajah Alit tidak menjawab pertanyaan itu. Malahan ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sebaliknya Mantingan mencoba untuk memberi penjelasan. Katanya,
"Entahlah Adi, tetapi kami tadi telah berjumpa di temat ini.
Karena barangkali kami sama-sama tidak mau mengatakan
keperluan kami, maka kami menjadi saling curiga. Aku
mengira bahwa orang itu adalah salah seorang anggota
golongan hitam, barangkali ia pun mengira aku demikian
pula, sehingga akhirnya kami berkelahi. Mula-mulai kami
tidak bersungguh-sungguh tetapi akhirnya kami jadi mata
gelap." Mendengar keterangan Ki Dalang Mantingan, Mahesa
Jenar tersenyum. Memang kadang-kadang kita harus
mengalami peristiwa-peristiwa yang aneh, seperti apa yang
pernah dialaminya di Prambanan dan Pucangan.
"Benarkah begitu, Adi Gajah Alit?" Mahesa Jenar
menegaskan. "Begitulah, Kakang," jawab Gajah Alit, "Sebab kami
belum pernah saling mengenal. Untunglah bahwa Kakang
Mahesa Jenar sempat melerai kami. Kalau tidak, barangkali
ada bangkai Gajah tanpa belalai jadi makanan Gagak."
Mahesa Jenar tertawa perlahan-lahan. Segera terdengar
Mantingan berkata, "Tuan terlalu merendahkan diri.
Bersyukurlah aku, kalau sekarang aku masih sempat
memandang bulan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku tidak dapat mengatakan," potong Mahesa Jenar,
"Siapakah yang lebih unggul diantara kalian. Karena itu
kalian akan menjadi kawan yang baik bagiku di sini, di
dekat sarang sepasang Uling Rawa Pening." Mahesa Jenar
diam sebentar, kemudian ia meneruskan, "Apakah
sebenarnya kepentingan Adi Gajah Alit kemari?"
Gajah Alit menarik nafas. Ia akan menjawab, tetapi agak
ragu-ragu sambil memandang Ki Dalang Mantingan, sampai
Mahesa Jenar mendesaknya, "Katakanlah. Kakang Mantingan adalah orang yang tahu membawa masalah."
"Kakang...." Gajah Alit memulai, "Kedatanganku adalah
atas perintah Sultan. Sebab terdengar keterangan dari
penjabat-penjabat rahasia, bahwa di sekitar rawa ini akan
terjadi suatu pertemuan dari tokoh-tokoh golongan hitam.
Karena itu aku mendapat perintah untuk mengadakan
penyelidikan atas kebenaran berita itu. Maka dikirimkannyalah aku kemari."
Mendengar keterangan Gajah Alit, Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Jadi kalangan istana sudah mendengar akan adanya pertemuan
tengah bulan ini?" "Ya," Jawab Gajah Alit, "Bahkan aku tidak seorang diri."
"Kau tidak seorang diri?" ulang Mahesa Jenar.
"Aku dikirim bersama dengan Kakang Paningron." Gajah
Alit meneruskan. Mendengar kata-kata Gajah Alit itu hati Mahesa Jenar
jadi berdebar-debar juga. Paningron adalah salah seorang
perwira dari jabatan rahasia. Ilmunya tidak kalah dengan
ilmu yang dimiliki oleh Gajah Alit.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Di manakah Adi Paningron sekarang?" tanya Mahesa
Jenar. "Sejak senja kami berpisah," jawab Gajah Alit. "Kami
berusaha untuk menemukan tempat pertemuan Golongan
Hitam itu. Tengah malam kami akan bertemu. Kalau malam
ini tempat itu belum kami temukan, besok kami masih
harus bekerja keras."
Sesaat kemudian Mahesa Jenar jadi ragu. Kalau dari
penjabat rahasia telah dapat mengetahui keberadaannya,
maka ada kemungkinan dirinya dipanggil menghadap.
Kepada Gajah Alit, ia masih mungkin untuk memintanya
tidak berkata apa-apa tentang dirinya. Tetapi bagaimana
dengan Paningron" Agaknya Gajah Alit dapat menangkap perasaan Mahesa
Jenar. Karena itu ia berkata, "Kakang Mahesa Jenar tidak
perlu khawatir tentang Kakang Paningron. Ia adalah
seorang penjabat yang baik, tetapi juga bukan jenis orang
yang suka mencari-cari kesalahan orang lain."
Mendengar keterangan Gajah Alit, Mahesa Jenar tertawa
pendek. "Kau pandai menebak perasaan orang Adi. Mudah-
mudahan demikianlah hendaknya."
"Percayakan itu padaku," tegas Gajah Alit.
"Baiklah..." kata Mahesa Jenar, "Kalau demikian aku
bersamamu menunggu kedatangannya. Juga adalah suatu
keuntungan bahwa kau tidak berjalan bersama-sama
dengan Adi Paningron. Sebab dengan demikian mungkin
kalian telah menangkap Kakang Mantingan yang pergi
seorang diri." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar percakapan itu Mantingan tertawa pula, serta
diantara tertawanya terdengar ia berkata, "Aku pun tidak
pergi seorang diri, Adi."
"He...?" Mahesa Jenar dan Gajah Alit agak terkejut
mendengar itu. "Dengan siapa Kakang pergi?" tanya Mahesa Jenar.
"Aku pergi bersama Kakang Wiraraga, kakak seperguruanku," jawab Mantingan.
Mahesa Jenar dan Gajah Alit berbareng mengangguk-
angguk. Terlintaslah dalam angan- angan mereka, bahwa
kakak seperguruan Mantingan setidak-tidaknya adalah
setingkat dengan Mantingan. Dan memang sebenarnyalah
demikian. Kakak seperguruannya itu pun baru saja
menerima ilmu Pacar Wutah berbareng dengan Mantingan,
menjelang keberangkatan mereka. Meskipun Wiraraga lebih
lama menekuni pelajaran gurunya, tetapi karena sifatnya
yang pendiam dan jarang-jarang keluar dari padepokan
seperti gurunya, maka Mantingan memiliki pengalaman dan
pengetahuan yang lebih luas. Karena itu, keperkasaan
Mantingan tidaklah kalah dengan kakak seperguruannya itu.
Dalam perjalanannya yang berbahaya itu, Ki Ageng Supit
tidak sampai hati melepaskan Mantingan pergi sendiri,
sebab ia pernah mendengar siapa saja yang tergolong
dalam lingkaran hitam. Karena itu ia minta Wiraraga
menyertainya. "Di manakah kakak seperguruan Kakang itu?" tanya
Mahesa Jenar kemudian. "Seperti juga Adi Gajah Alit, Kakang Wiraraga
memisahkan diri sejak kemarin. Malam ini kami berjanji
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan bertemu. Meskipun tempat yang kita cari itu masih
belum dapat kami temukan."
"Mudah-mudahan Kakang Paningron tidak bertemu dan
bertempur dengan kakak seperguruan Kakang Mantingan,"
sela Gajah Alit sambil tertawa lucu.
"Mudah-mudahan,"
jawab Mahesa Jenar. "Kalau demikian..." lanjut Mahesa Jenar, "Aku tunggu di sini. Kalian
cari kawan-kawan kalian itu, dan bawalah mereka kemari.
Tempat pertemuan itu tak usah kalian cari-cari lagi."
"Kenapa?" tanya Mantingan dan Gajah Alit hampir
berbareng. "Carilah kawan-kawan kalian," desak Mahesa Jenar, "dan
cegahlah kalau mereka benar-benar bertemu dan
bertempur seperti kalian tadi. Aku menunggu kalian di sini."
Kemudian terdengar Gajah Alit tertawa riuh. "Untunglah
aku bertemu Kakang di sini. Melihat gelagatnya pasti
Kakang Mahesa Jenar telah menemukan tempat itu."
"Tepat!" sambung Mantingan, "Aku juga menduga
demikian." Mahesa Jenar pun kemudian tertawa. "Mungkin kalian
benar, karena itu kalian harus cepat-cepat menemukan
kawan-kawan kalian."
"Baiklah," jawab mereka berbareng.
Ketika mereka telah tidak tampak lagi, segera Mahesa
Jenar mencari tempat untuk beristirahat. Direbahkannya
dirinya di atas sebuah batu besar, sambil memandang bulan
dan bintang-bintang yang bertebaran di langit.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Untuk beberapa lama pikirannya sempat melayang
mondar-mandir dari waktu ke waktu, dari peristiwa yang
satu ke peristiwa yang lain.
Menjelang tengah malam, Mahesa Jenar mendengar
langkah orang mendekati tempatnya berbaring. Cepat ia
bangkit dan memandang ke arah suara itu. Tetapi
kemudian ia menarik nafas panjang ketika ia melihat
bayangan dua orang mendekatinya, serta keduanya
membawa senjata ciri perguruan Ki Ageng Supit, yaitu
trisula. Jelaslah bagi Mahesa Jenar bahwa kedua orang itu
pasti Mantingan dan Wiraraga.
Maka demikian kedua orang itu sampai di hadapan
Mahesa Jenar, demikian Mantingan memperkenalkan kakak
seperguruannya kepada Mahesa Jenar dengan sebutan
Rangga Tohjaya. Mendengar nama itu segera Wiraraga membungkuk
hormat sambil berkata, "Berbesarlah hatiku dapat
berkenalan dengan seseorang yang pernah menggemparkan istana, karena berhasil menggagalkan
pencurian pusaka di gedung perbendaharaan. Juga yang
telah banyak menyelamatkan rakyat dari gangguan
kejahatan." Mendengar pujian itu Mahesa Jenar tersenyum sambil
membungkuk hormat pula. Katanya, "Terimakasih Kakang,
tetapi perguruan Kakang adalah perguruan yang terkenal
pula. Karena itu seharusnya akulah yang merasa beruntung
berkenalan dengan Kakang."
Kembali Wiraraga mengangguk. Wajahnya yang ketua-
tuaan itu tampak tersenyum-senyum. Meskipun umurnya
tidak terpaut banyak dari Mantingan, tetapi nampaknya
Wiraraga telah jauh lebih tua. Rambutnya telah mulai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ditumbuhi uban. Matanya memancar lembut, tetapi dalam.
Tubuhnya kekar meskipun tidak begitu tinggi. Wiraraga
memang benar-benar seorang pendiam. Tidak banyak ia
berkata-kata. Ia lebih senang mendengarkan Mantingan
berbicara daripada ia sendiri yang berbicara. Maka karena
sifat-sifatnya itulah maka Wiraraga nampak jauh lebih tua
dari umur yang sebenarnya.
Tidak lama kemudian, tampaklah Gajah Alit datang pula
bersama-sama dengan Paningron. Bagi
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paningron, kehadiran Mahesa Jenar di situ sangat mengejutkan.
Agaknya Gajah Alit belum memberitahukan lebih dahulu,
sehingga suasana kemudian menjadi riuh.
Setelah pertemuan itu menjadi lebih tenang, barulah
mereka berbicara tentang tokoh-tokoh hitam yang akan
mengadakan pertemuan pada purnama penuh yang akan
datang, serta tempat pertemuan mereka.
Dengan teliti Mahesa Jenar memberikan gambaran
tentang lapangan yang akan dipergunakan, serta memberitahukan bahwa dalam pertemuan itu akan hadir
Pasingsingan dan Sima Rodra. Dua orang angkatan tua
yang setingkat dengan guru-guru mereka. Karena itu
mereka harus sangat berhati-hati.
Dalam pertemuan itu mereka memutuskan untuk pada
saat itu juga pergi ke tempat yang akan dipergunakan
untuk mengadakan pertemuan itu serta seterusnya
mengatur agar setiap saat tempat itu dapat diawasi
bergiliran. Demikianlah maka segera mereka berlima pergi bersama
untuk melihat keadaan serta kemungkinan-kemungkinan
yang akan mereka lakukan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sejak saat itu, mulailah rombongan Mahesa Jenar itu
mengadakan pengawasan dengan teliti berganti-ganti.
Mereka telah berhasil menemukan tempat yang sangat
baik. Tempat itu agak menjorok ke atas, tetapi ditumbuhi
pepohonan yang agak lebat. Dari tempat itu, mereka akan
dapat melihat apa saja yang terjadi di lapangan rumput
yang terbentang di hadapannya. Meskipun pada siang hari,
tempat itu akan tetap merupakan tempat yang tersembunyi. Mereka yang sedang bertugas mengadakan
pengawasan harus memanjat sebuah pohon yang tak
begitu tinggi, namun berdaun rimbun. Sedang yang lain
dapat dengan aman beristirahat tidak lebih dari dua puluh
langkah dari tempat itu, sambil menikmati ketupat sambal,
bekal yang dibawa oleh Mantingan atau jadah jenang alot,
bekal Gajah Alit. Pada siang hari itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
melihat betapa orang-orang Uling Rawa Pening berusaha
keras menyelesaikan pekerjaan mereka, bahkan pada
malam harinya pun pekerja-pekerja itu tetap melakukan
tugas mereka sampai barak-barak itu siap dipergunakan.
Maka pada hari berikutnya, menjelang purnama penuh,
tampaklah di tempat itu kesibukan-kesibukan yang padat.
Uling Putih dan Uling Kuning sendiri datang menjelang hari
sepenggalah. Ketika matahari telah mencapai puncaknya, maka
mulailah penjagaan-penjagaan sekeliling tempat itu semakin ditertibkan. Sri Gunting sendiri yang memimpinnya.
Beberapa orang telah diperintahkan untuk meronda keliling,
serta beberapa orang lagi ditempatkan di tempat-tempat
yang dianggap perlu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
tidak berani lagi berbuat seenaknya. Sebab setiap saat ada
kemungkinan para peronda melintasi tempat mereka
bersembunyi. Karena itu, daripada mereka harus selalu
memperhatikan keadaan di sekeliling mereka, maka mereka
lebih menganggap aman apabila mereka semuanya
memanjat pohon. Dengan demikian mereka tidak perlu lagi
bersusah payah menegangkan urat syaraf mereka.
Berdasarkan atas pikiran itu, maka segera mereka
berlima memilih tempat mereka masing-masing. Tidak
terlalu dekat satu sama lain, tetapi juga tidak terlalu jauh.
Beberapa saat, perasaan mereka dihinggapi oleh
ketegangan yang semakin lama semakin memuncak, karena
mereka harus menunggu suatu peristiwa yang cukup
penting. Sedang di bawah mereka beberapa peronda sudah
lebih dari dua kali lewat hilir-mudik. Namun untunglah
bahwa tak seorang pun dari mereka merasa perlu untuk
menyelidiki dahan-dahan kayu di atas mereka.
----------o-dwkzOarema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 8 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Ketika matahari telah condong ke barat, mulailah
rombongan yang pertama datang ke tempat itu.
Rombongan yang datang paling awal adalah rombongan
dari Gunung Tidar. Beberapa waktu yang lampau Mahesa
Jenar pernah menyaksikan orang-orang dari golongan hitam
ini berkumpul, tetapi agaknya kali ini pertemuan mereka
lebih bersifat resmi. Suami-istri Sima Rodra itu datang bersama beberapa
pengiring, di bawah pimpinan seorang yang bertubuh
pendek dengan otot-otot yang menjorok, membuat garis-
garis di wajah kulitnya yang hitam. Dengan demikian
nampak betapa kokohnya ia, bahkan mirip seekor orang
hutan. Uling Putih dan Uling Kuning sendiri datang
menyambut rombongan itu, serta langsung dibawa ke salah
satu barak yang terbesar, yang agaknya merupakan ruang
pertemuan. Setelah mereka berbicara beberapa saat,
rombongan itu kemudian dipersilahkan memasuki salah
satu barak yang lain, yang rupa-rupanya menjadi tempat
penginapan. Demikian, datanglah berturut-turut rombongan dari
hutan Tambakbaya. Lawa Ijo bersama-sama dengan Wadas
Gunung, Carang Lampit, Cemoro Aking, Bagolan dan
beberapa orang lagi. Disusul oleh kedatangan Ki Ageng
Lembu Sora beserta para pengiringnya. Meskipun Mahesa
Jenar telah menduga sebelumnya bahwa Lembu Sora pasti
akan hadir juga dalam pertemuan itu, namun hatinya
berdebar-debar pula menyaksikan kedatangannya.
Tetapi satu hal yang Mahesa Jenar masih menunggu-
nunggu. Yaitu kehadiran Jaka Soka. Sampai matahari
rendah sekali, Ular Laut dari Nusakambangan itu belum
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menampakkan diri. Sedangkan Pasingsingan dan Sima
Rodra menurut perhitungan Mahesa Jenar pasti akan
muncul ketika pertemuan itu sudah akan dimulai.
Sesaat kemudian matahari tenggelam dengan damainya,
disusul oleh cahaya purnama penuh yang memancar dari
sebuah bola yang melayang-layang di langit.
Pada saat yang demikian, agaknya pertemuan antara
golongan hitam itu sudah akan dimulai.
Beberapa orang telah keluar dari barak-barak mereka,
dan berkumpul di pinggir lapangan rumput itu. Uling Putih
dan Uling Kuning untuk penghabisan kali memeriksa tempat
pertemuan itu. Setelah ia merasa bahwa segala sesuatunya
tidak ada kekurangan, maka segera terdengar sebuah
kentongan dipukul perlahan-lahan.
Sesaat kemudian muncullah tokoh-tokoh hitam dari
barak mereka masing-masing menuju ke lapangan. Juga Ki
Ageng Lembu Sora yang akan mengikuti pertemuan itu.
Tetapi di antara mereka masih belum nampak Jaka Soka,
Pasingsingan dan Sima Rodra.
Uling Putih sebagai tuan rumah segera mempersilahkan
tamu-tamunya di tempat yang telah direncanakan. Lembu
Sora sebagai tamu kehormatan menempati sisi sebelah
barat bersama-sama dengan Uling Rawa Pening. Bagian
selatan disediakan untuk Rombongan dari Gunung Tidar,
sedangkan Bagian timur untuk gerombolan Hutan
Tambakbaya. Bagian utara yang disediakan untuk
rombongan dari Nusakambangan masih tampak kosong.
Sedang tempat-tempat yang disediakan untuk Pasingsingan
dan Sima Rodra pun masih tampak kosong.
Tetapi belum lagi mereka selesai menempatkan diri, tiba-
tiba dari arah utara muncullah satu rombongan, yang di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
depan mereka berjalan seorang muda yang berwajah
tampan. Ialah Jaka Soka yang datang sambil tersenyum-
senyum, beserta beberapa pengiringnya. Dengan munculnya Jaka Soka, tiba-tiba suasana segera berubah
menjadi tegang, meskipun orang itu sendiri selalu
tersenyum-senyum. Apalagi Lembu Sora tiba-tiba tidak
dapat menguasai dirinya. Dengan serta merta ia berdiri
sambil mencabut pedang panjangnya. Tanpa menunggu
apapun ia langsung berlari menyerang Jaka Soka yang baru
saja datang. Jaka Soka, ketika melihat serangan itu menjadi terkejut.
Tetapi segera ia menyadari bahwa hal yang demikian
memang wajar terjadi, sebab pasti Lembu Sora masih sakit
hati kepadanya, karena ia sama sekali tidak berusaha untuk
mencegah pada saat Mahesa Jenar akan membunuhnya,
bahkan agaknya Jaka Soka pada waktu itu menunjukkan
bahwa ia bersenang hati atas peristiwa itu.
Karena itu, Jaka Soka pun segera menyambut serangan
Lembu Sora. Dengan cepatnya, ia memutar tongkatnya,
dan sesaat kemudian tangan kanannya telah memegang
sebuah pedang yang lentur, sedang tangan kiri memegang
tongkatnya yang dipergunakannya sebagai perisai.
Pada saat itu Lembu Sora telah berdiri di hadapan Jaka
Soka. Pedangnya yang besar itu terayun deras mengarah ke
leher Jaka Soka. Tetapi ternyata Jaka Soka cukup gesit,
sehingga demikian pedang itu menyambar. Jaka Soka
segera merendahkan diri sambil menjulurkan tangan
kanannya untuk menyerang lambung Lembu Sora dengan
pedangnya. Melihat serangan itu, Lembu Sora meloncat
setapak mundur. Tetapi, Jaka Soka tidak mau memberi
kesempatan lagi. Secepat Lembu Sora melangkah, iapun
cepat meloncat maju dengan tangan kanannya tetap
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terjulur ke depan dan ujung pedang lenturnya masih tetap
mengarah lambung. Melihat ujung pedang Jaka Soka itu
tetap mengejarnya, Lembu Sora segera meluruskan
tangannya pula. Dan karena pedangnya lebih panjang dari
pedang Jaka Soka, maka terpaksa Jaka Soka menarik
serangannya. Lembu Sora tidak mau melepaskan kesempatan itu.
Segera pedangnya yang besar serta panjang melampaui
ukuran biasa itu, diputarnya seperti memutar lidi, sehingga
menimbulkan bunyi berdesingan dan angin yang menyambar-nyambar menyertai putaran pedangnya.
Mendapat serangan yang dahsyat itu Jaka Soka terpaksa
menangkis dengan kedua tangannya, dengan pedang
lenturnya serta tongkat hitam yang juga merupakan rangka
dari pedangnya. Tetapi ia adalah seorang pemimpin bajak
laut yang terkenal. Karena itu ia segera dapat mencapai
keseimbangan. Bahkan serangannya menjadi semakin
berbahaya pula. Sesaat itu, orang-orang lain yang menyaksikan gerakan
Lembu Sora yang tak mereka duga, menjadi terkejut dan
tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan. Baru setelah
mereka menyaksikan perkelahian mati-matian antara
keduanya, mereka menjadi sadar atas apa yang terjadi.
Uling Kuning yang pernah bertengkar pula dengan Jaka
soka, hatinya menjadi terbakar pula. Hampir saja ia ikut
serta menyerang Jaka Soka, kalau sekali lagi kakaknya Uling
Putih tidak memperingatkan.
"Biarkanlah mereka," kata Uling Putih. "Adalah baik sekali
kalau salah seorang, atau kedua-duanya binasa."
Dengan pandangan tidak mengerti, Uling Kuning
menatap wajah kakaknya. Sehingga dengan tertawa pendek
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Uling Putih perlu menjelaskan, "Aku setuju dengan
pendapat Jaka Soka, bahwa akhirnya kita akan saling
berusaha untuk membinasakan. Kalau salah seorang atau
kedua-duanya binasa, bukankah saingan kita berkurang"
Kalau Lembu Sora binasa, Banyubiru akan dengan mudah
kita kuasai. Sedang Pamingit mungkin akan jatuh ke dalam
pengaruh Sima Rodra. Tetapi Sima Rodra itu kelak harus
kita binasakan pula, cepat atau lambat, sebelum atau
sesudah Demak sendiri binasa."
Mendengar keterangan kakaknya itu, Uling Kuning ikut
tertawa pula. Serta tak sengaja ia memandang Lawa Ijo
dan Sima Rodra berganti-ganti. Ternyata mereka sama
sekali tidak beranjak dari tempatnya. Agaknya mereka pun
mempunyai perhitungan yang sama sehingga mereka tidak
menganggap perlu untuk melerainya.
Sementara itu pertempuran antara Jaka Soka dan Lembu
Sora menjadi semakin dahsyat. Laskar Lembu Sora yang
melihat pemimpinnya bertempur serentak bergerak maju.
Tetapi segera mereka terhenti ketika mereka melihat para
pengiring Jaka Soka menyiapkan panah mereka. Agaknya
para bajak laut itu biasa mempergunakan senjata jarak jauh
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam pekerjaan mereka sehari-hari, bila mereka sedang
merompak dan membajak kapal-kapal yang berlayar di
daerah kerja mereka. Tetapi, orang-orang Lembu Sora ternyata memiliki
kelicinan seperti pemimpinnya pula. Begitu mereka tertahan
karena ancaman panah, segera mereka bubar berpencaran
ke segala penjuru. Tentu saja hal ini agak menyulitkan
orang-orang Jaka Soka. Namun para bajak laut itu pun
terdiri dari orang-orang yang berhati keras. Ketika mereka
merasa bahwa senjata panah mereka kurang berguna,
segera mereka menyiapkan golok-golok mereka. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah maka suasana menjadi bertambah tegang.
Tidak saja laskar Pamingit dan para pengiring Jaka Soka
saja yang kemudian bersiaga, tetapi juga orang-orang Lawa
Ijo, Sima Rodra dan Gerombolan Uling Rawa Pening segera
bersiaga penuh. Sebab tidak mustahil kalau salah satu pihak
akan mengambil kesempatan dalam kekisruhan yang terjadi
itu. Namun meskipun demikian, tak seorang pun dari orang-
orang Lembu Sora atau Jaka Soka yang berani memulai
sebelum mereka mendapat perintah dari pemimpin-
pemimpin mereka. Sedang Lembu Sora maupun Jaka Soka
agaknya ingin menyelesaikan masalah itu seorang diri,
tanpa bantuan orang lain. Sebab dengan demikian akan
puaslah hati mereka masing-masing yang berhasil
membinasakan lawannya karena tangan sendiri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Perkelahian antara Jaka Soka dan Lembu Sora semakin
lama makin bertambah dahsyat. Masing-masing mengeluarkan segala kepandaiannya untuk membinasakan
lawannya. Mereka sama sekali sudah tidak ragu-ragu lagi,
seandainya lawan masing-masing terpenggal lehernya atau
tersobek dadanya. Lembu Sora yang kuat dan garang seperti singa itu
menyerang semakin dahsyat dengan pedang yang terayun
kian-kemari, sedang Jaka Soka berkelahi benar-benar
seperti seekor ular yang membelit, menjalur dan mematuk-
matuk berbahaya sekali. Semua yang menyaksikan pertempuran itu terpaksa
menahan nafas. Mau tidak mau mereka harus mengagumi
keperkasaan kedua orang yang sedang bertanding. Lembu
Sora percaya akan kekuatan tubuhnya melawan Jaka Soka
yang mempunyai cara bertempur yang lemas sekali.
Sesaat kemudian pertempuran itu sampai ke taraf yang
menentukan. Baik Jaka Soka maupun Lembu Sora telah
mengerahkan segenap tenaganya secara berlebih-lebihan,
sehingga dalam waktu yang singkat mereka telah merasa
bahwa tenaga mereka seakan-akan telah terperas habis.
Karena itu sebelum mereka jatuh dan tidak bertenaga lagi,
mereka telah sedemikian bernafsu untuk membinasakan
lawannya. Maka pada saat yang demikian, pada saat semua yang
hadir lagi menahan nafas, tiba-tiba muncullah orang yang
selama ini mereka nanti-nantikan, ialah Pasingsingan dan
Sima Rodra. Melihat Lembu Sora dan Jaka Soka sedang
dengan dahsyatnya mempertaruhkan nyawanya, Pasingsingan dan Sima Rodra mengernyitkan alisnya. Tiba-
tiba hampir tak diketahui apa yang sudah dilakukan oleh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pasingsingan, Jaka Soka dan Lembu Sora terpental
bersama-sama beberapa langkah, dan kemudian mereka
jatuh bergulingan. Ketika mereka bangun, mata mereka
menunjukkan kemarahan yang luar biasa. Tetapi ketika
mereka melihat Pasingsingan telah berdiri diantara mereka,
wajah mereka yang merah itu segera menjadi pucat dan
ketakutan. "Apa yang telah kalian lakukan?" bentak Pasingsingan.
Lembu Sora dan Jaka Soka sama sekali tidak menjawab.
Dan karena mereka tidak menjawab, Pasingsingan segera
memanggil Lawa Ijo, dan bertanya kepadanya, "Kenapa
mereka berkelahi?" Dengan singkat Lawa Ijo menceriterakan apa yang telah
terjadi, pertentangan antara Jaka Soka dan Lembu Sora
pada saat mereka sedang mencegat pasukan-pasukan dari
Demak beberapa waktu berselang.
Mendengar ceritera Lawa Ijo, sekali lagi Pasingsingan
menyernyitkan alisnya, kemudian katanya, "Kenapa kalian
diam saja melihat perkelahian itu?"
Lawa Ijo, Sepasang Uling Rawa Pening, dan Sima Rodra
terkejut mendengar pertanyaan itu, sehingga tak seorang
pun yang dapat menjawabnya.
"Kalian tak usah berbohong," lanjut Pasingsingan,
"sebab kalian akan bersyukur kalau salah seorang sekutu
kalian atau kedua-duanya binasa,".
Yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu semakin
diam, sebab Pasingsingan langsung dapat menebak isi hati
mereka. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian Pasingsingan menoleh kepada Jaka Soka dan
Lembu Sora, katanya, "Kalian telah merusak suasana
malam purnama ini" Lembu Sora dan Jaka Soka tidak berkata sepatah pun.
Mereka menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
"Kembalilah ke tempat kalian masing-masing." perintah
Pasingsingan. Mendengar perintah itu segera Lembu Sora berjalan
menuju ke tempatnya semula. Sedang para pengiringnya
kemudian juga pergi ke tempat masing-masing.
Sementara itu Lawa Ijo, Sima Rodra muda telah
mengambil tempatnya pula, sedang sepadang Uling Rawa
Pening sibuk mempersilahkan Jaka Soka untuk menempatkan diri beserta para pengirinya di sisi utara.
Adapun Pasingsingan kemudian dipersilahkan duduk
bersama-sama dengan Sima Rodra tua di sisi sebelah barat,
di samping tempat duduk Uling Rawa Pening.
Setelah suasana menjadi tenang kembali, serta para
peserta pertemuan itu telah duduk di tikar pandan di sisi-
sisi yang telah ditentukan, berkatalah Pasingsingan dengan
nyaringnya, "Kalian, orang yang disebut golongan hitam,
tetapi yang sebenarnya bercita-cita luhur seperti lazimnya
manusia yang selalu ingin mencapai tingkatan tertinggi
dalam kehidupan, bersyukurlah di dalam hati kalian bahwa
pada malam hari ini kalian dapat berkumpul bersama-sama.
Tetapi kalian pasti tak akan dapat berbuat sesuatu, sebab
tidak ada diantara kalian yang pantas menjadi pemimpin
diantara kita. Terbukti bahwa tidak seorang pun diantara
kalian yang berhasil membawa keris-keris Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten itu kemari."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pasingsingan diam sebentar. Pandangannya beredar dari
setiap wajah yang berada di sekitar lapangan kecil itu.
Sejenak kemudian ia melanjutkan, "Kalau kalian ingin
mendapatkan tingkatan itu dengan mengadu kepandaian,
maka cara itu pun tidak akan menyelesaikan masalahnya.
Sebab suatu pertarungan diantara kalian dalam saat ini
pasti hanya akan memakan waktu berlarut-larut. Coba lihat
apa yang dilakukan oleh Jaka Soka dengan Ki Ageng Lembu
Sora. Andaikata mereka dibiarkan bertempur terus pasti
mereka akan mati kelelahan kedua-duanya, bersama-sama,
atau kalau mereka menghemat tenaga mereka, pertempuran semacam itu akan dapat berlangsung berhari-
hari." Kembali Pasingsingan diam sejenak, lalu ia melanjutkan,
"Yang penting sekarang kesatuan diantara kita masih kita
perlukan. Marilah kita ubah persetujuan kita, dengan
mengadakan persetujuan baru. Barang siapa yang
terdahulu menemukan Keris Nagasasra dan Sabuk Inten,
dialah yang segera diumumkan dan kita angkat menjadi
pemimpin kita, dan kita dukung perjuangannya melawan
pemerintah Demak. Suasana kemudian menjadi hening sepi. Tetapi dalam
pada itu degup jantung Mahesa Jenar serta kawan-
kawannya bertambah cepat. Apalagi Mahesa Jenar, Gajah
Alit dan Paningron yang datang sebagai prajurit-prajurit
Demak. Tetapi bagaimanapun mereka harus menahan diri,
sebab di hadapan mereka berkumpul tokoh-tokoh hitam
yang kuat, ditambah lagi dengan Pasingsingan dan Sima
Rodra yang pernah mereka dengar namanya.
Tetapi lebih terkejut lagi mereka berlima ketika
Pasingsingan kemudian melanjutkan, "Sedangkan sekarang
kalian mempunyai pekerjaan yang lebih penting. Pertemuan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ini dapat kalian lanjutkan nanti setelah pekerjaan kita
selesai. Nanti kita dapat mengatur siasat, menentukan sikap
dan sebagainya, setelah orang-orang lain yang tidak kita
undang tidak turut serta mendengarkan pembicaraan kita."
Yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu menjadi
sibuk berpikir serta menduga-duga. Demikian pula Mahesa
Jenar dan kawan-kawannya yang dengan lamat-lamat
dapat mendengarkan setiap pembicaraan mereka, menjadi
sibuk berpikir pula, sampai Pasingsingan berkata lebih
lanjut, "Kalian ternyata terlalu sibuk memikirkan bagaimana
cara kalian untuk membinasakan kawan sendiri daripada
berhati-hati menghadapi lawan."
Orang-orang golongan hitam itu menjadi bertambah
bingung, sedang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya,
jantungnya bertambah cepat bergetar. Apakah kehadiran
mereka telah diketahui oleh Pasingsingan"
Melihat kebingungan orang-orang yang berkumpul di sisi-
sisi lapangan itu, terdengar Sima Rodra tua tertawa pendek,
katanya, "Apakah yang akan kalian banggakan untuk dapat
menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang
tidak tentu di mana sekarang berada. Apakah benar-benar
telah hilang dari Banyubiru atau hanya disembunyikan saja
oleh si Gajah Sora atau si tua bangka Sora Dipayana, ayah
Lembu Sora itu. Sedangkan apa yang ada di hadapan
hidung kalian saja tidak kalian ketahui."
Perasaan mereka yang mendengarkan kata-kata itu
menjadi semakin kisruh. Melihat keadaan itu agaknya
Pasingsingan tidak sabar lagi, katanya keras-keras,
"Berdirilah kalian dan berjalanlah kalian ke arah tenggara.
Lihatlah setiap pohon yang tumbuh di sana, kalian akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menemukan orang yang telah kalian sangka mati terguling
ke dalam jurang beserta empat orang kawannya."
Tampaklah betapa terkejutnya tokoh-tokoh hitam yang
sedang berkumpul itu. Tetapi tidak kurang pula terkejutnya
Mahesa Jenar dengan kawan-kawannya. Ternyata kehadiran mereka telah diketahui oleh Pasingsingan dan
Sima Rodra. Bagaimanapun mereka terpaksa mengakui
betapa tinggi ilmu kedua orang dari angkatan tua itu. Di
samping itu, kata-kata Pasingsingan merupakan suatu
peringatan bagi Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya,
untuk tidak mempunyai pilihan selain berjuang mati-matian
untuk mempertahankan hidup masing-masing, meskipun
mereka sadar bahwa seandainya Pasingsingan dan Sima
Rodra ikut campur maka tak ada jalan untuk melepaskan
diri dari maut. Meskipun demikian, kemungkinan- kemungkinan itu memang sudah terpikirkan sejak mereka
berangkat. Karena itu, satu-satunya jalan adalah mencari
korban sebanyak-banyaknya sebelum dirinya binasa.
Karena itu sebelum mereka terkunci di atas pohon, maka
segera dengan cepat Mahesa Jenar turun diikuti oleh
kawan-kawannya. Demikian mereka sampai di atas tanah,
segera mereka menyiapkan senjata masing-masing. Gajah
Alit segera menimbang-nimbang bola besinya yang
bertangkai rantai, Paningron bersenjata sebuah tombak
yang berkait kecil, sedang Mantingan dan Wiraraga tampak
menggosok-gosok trisula masing-masing, seolah-olah sedang membesarkan hati senjata-senjata itu. Hanya
Mahesa Jenar sendirilah yang tidak bersenjata, tetapi di sisi
telapak tangannya tersimpan senjata yang dahsyat, yaitu
Aji Sasra Birawa. Sementara itu, tokoh-tokoh hitam yang terdiri dari tujuh
orang, Sima Rodra muda suami-istri, kakak-beradik Uling,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lawa Ijo, Jaka Soka dan Lembu Sora segera berloncatan
berlari-lari ke arah yang ditunjukkan oleh Pasingsingan.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika tokoh-tokoh hitam itu sedang mendekati Mahesa
Jenar dengan kawan-kawannya, terdengarlah Sima Rodra
berteriak dengan suaranya yang gemetar, "He, kalian laskar
yang mengikuti pemimpin-pemimpin kalian kemarin.
Janganlah kalian menjadi penonton saja. Kepunglah orang-
orang yang telah memberanikan diri bertindak sombong
dan merendahkan kita sekalian."
Mendengar perintah Sima Rodra tua, segera laskar-laskar
golongan hitam itu bubar berlari-larian memencar ke
segenap arah untuk mengepung Mahesa Jenar dan kawan-
kawannya. Gajah Alit yang merasa bahwa senjatanya kurang
menguntungkan bila dipergunakan di tempat yang
berpohon-pohon, segera berkata, "Kakang Mahesa Jenar,
aku kira lebih baik aku menyongsong mereka di tempat
terbuka supaya rantaiku tidak melilit-lilit pepohonan."
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, Gajah Alit telah
menghambur lari seperti sebuah batu yang menggelinding
cepat sekali. Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya yang
lain, agaknya tidak tega melepaskan Gajah Alit menyongsong seorang diri. Karena itu, ia segera
menyusulnya, menyongsong lawan-lawan mereka di tempat
yang terbuka. ----------o-dwkzOarema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Yang mula-mula sekali sampai adalah Lawa Ijo. Hatinya
yang panas melebihi bara itu tidak dapat dikendalikan lagi.
Dendamnya kepada Mahesa Jenar bertimbun-timbun
sampai menyentuh langit. Tetapi di antara gerumbul di tepi
lapangan itu yang muncul pertama-tama adalah Gajah Alit.
Tanpa menanyakan apa-apa lagi, Gajah Alit langsung
menyerangnya. Lawa Ijo terpaksa membatalkan maksudnya
untuk mencari Mahesa Jenar, karena ia harus melayani
Gajah Alit yang menilik geraknya, ternyata sangat
berbahaya. Lawa Ijo tidak berani menganggap enteng
kepada lawannya yang gemuk pendek hampir bulat itu.
Apalagi ketika Lawa Ijo mendengar desing bola besi yang
berputar-putar mengerikan melibat tubuhnya. Cepat-cepat
ia meloncat mundur dan cepat ia berdiri di atas tanah,
kedua tangannya telah memegang pisau belati panjangnya.
Dengan senjata-senjata itulah ia bertempur melawan Gajah
Alit. Yang menyusul di belakang Lawa Ijo adalah Sepasang
Uling dari Rawa Pening. Sambil memutar-mutar cemetinya,
mereka menyerang dengan ganas sekali. Tetapi segera
mereka terhenti ketika Mantingan dan Wiraraga menghadangnya. Agaknya sepasang Uling itu sudah
menjadi sedemikian marahnya sehingga langsung mereka
menghantam Wiraraga dan Mantingan, dua orang yang kini
tidak dapat direndahkan. Mereka telah dibekali dengan
sebuah ilmu yang sukar tandingannya, yaitu Pacar Wutah.
Melihat sepasang Uling itu menyerang berpasangan, segera
Wiraraga dan Mantingan pun melawannya dengan
berpasangan pula. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Paningron agaknya lebih suka melawan seorang yang
bertubuh besar dan tinggi serta berkumis dan berjanggut
lebat. Ialah Sima Rodra Muda dari Gunung Tidar.
Yang datang terakhir adalah Lembu Sora dan Jaka Soka,
yang sudah hampir kehabisan tenaga setelah mereka
bertempur sendiri, beserta isteri Sima Rodra. Karena
semuanya telah mempunyai lawannya masing-masing,
maka Mahesa Jenar mau tidak mau harus bertempur
melawan ketiga orang itu untuk mencegah bantuan mereka
kepada tokoh-tokoh yang sedang mengadu tenaga. Adalah
suatu keuntungan besar bahwa Lembu Sora dan Jaka Soka
baru saja bertempur mati-matian sehingga hampir tiga
perempat bagian tenaganya telah terperas habis. Juga
karena pertentangan diantara mereka itu pula, maka
pasangan mereka tidak begitu tertib sehingga Mahesa Jenar
tidak begitu banyak mengalami kesulitan untuk melawan
mereka bertiga. Sejenak kemudian terjadilah lingkaran-lingkaran pertempuran yang hebat di tepi lapangan itu. Lawa Ijo
dengan kedua pisau di tangannya menyerang bertubi-tubi
dengan marahnya. Ia bermaksud untuk membinasakan
Gajah Alit secepat-cepatnya supaya segera ia dapat
melawan Mahesa Jenar. Di hadapan gurunya, Lawa Ijo
menjadi bertambah garang, sebab ia tidak perlu lagi takut
terhadap aji Sasra Birawa. Karena itu gerakannya menjadi
bertambah sengit. Tetapi Gajah Alit adalah perwira dari
pasukan Nara Manggala, pasukan pengawal r aja. Karena itu
kepandaiannya hampir mumpuni, dan sama sekali tidak
berada di bawah Lawa Ijo. Apalagi tangan yang pendek-
pendek itu diperpanjang dengan rantainya yang berkepala
bola besi, yang seakan-akan bola besi itu mempunyai mata,
sehingga seolah-olah selalu mengejar kepala Lawa Ijo ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mana kepala itu disingkirkan. Dengan demikian untuk
sementara Lawa Ijo harus melupakan Mahesa Jenar, sebab
orang yang dihadapi itu pun merupakan seorang yang
perkasa. Di bagian lain, Uling Putih dan Uling Kuning bertempur
berpasangan melawan Wiraraga dan Mantingan yang
bertempur berpasangan pula. Di bawah cahaya purnama
penuh, perkelahian itu tampak betapa berbahayanya
apabila salah seorang menjadi lengah sedikit saja. Mereka
berloncatan, sambar-menyambar dengan hebatnya. Sepasang cemeti di tangan kedua Uling itu berputar-putar
dan terayun-ayun ke segenap penjuru, seolah-olah menjadi
gumpalan-gumpalan asap yang melibat isi-mengisi satu
sama lain. Tetapi sementara itu dua Trisula di tangan
Wiraraga dan Mantingan pun bergerak berkilat-kilat
memantulkan cahaya bulan. Ujungnya yang bermata
masing-masing 3 buah itu seakan-akan berubah menjadi
ratusan bahkan ribuan, yang oleh kedahsyatan ilmu Pacar
Wutah menjadi benar-benar seperti genggaman demi
genggaman bulan pacar yang ditebarkan, sehingga sangat
sulit untuk menghindarinya.
Paningron mempunyai cara sendiri dalam pertempurannya melawan Sima Rodra muda yang
bersenjatakan pusakanya, sebuah tombak pendek yang
dinamainya Kala Tadah. Ia tidak begitu banyak bergerak. Di
atas kedua kakinya, ia berdiri teguh, sedang tombak
berkaitnya tergenggam di tangannya. Ia hanya berkisar
setapak demi setapak menghadapi lawannya yang bertubuh
tinggi besar itu. Dan apabila serangan datang, tangannyalah yang bergerak tangkas sekali. Tetapi
meskipun demikian, apabila tampak padanya kesempatan,
seperti kilat ia meloncat dan menyerang dengan garangnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Sima Rodra pun adalah seorang yang cukup
berpengalaman, sehingga segera ia menyesuaikan diri
dengan lawannya. Ia tidak berani banyak membuang
tenaga yang tidak perlu, sebab dengan demikian, lawannya
akan dapat membinasakan apabila tenaganya sudah
separuh habis. Sedangkan Mahesa Jenar yang menghadapi tiga orang
sekaligus, bertempur seperti banteng terluka. Ia masih
mencoba mengalahkan lawannya tanpa Aji Sasra Birawa
yang mengerikan itu. Sebab gurunya selalu berpesan
kepadanya bahwa apabila nyawanya tidak terancam benar-
benar, sebaiknya ia tidak mempergunakan Sasra Birawa itu.
Tetapi kemudian ternyata bahwa ketiga lawannya meskipun
sudah tidak mempunyai tenaga penuh, namun akhirnya,
karena mereka bersama-sama harus mempertahankan jiwa
mereka, gerak mereka pun menjadi garang. Agaknya
Lembu Sora dan Jaka Soka untuk sesaat dapat melupakan
pertentangan mereka, ditambah dengan istri Sima Rodra
yang bertempur dengan jari-jarinya yang mengembang dan
di ujung-ujung jari itu tampak kuku-kukunya yang panjang
dan bersalutkan logam yang pasti beracun. Itulah
senjatanya yang ditakuti lawan-lawannya.
Lembu Sora dengan pedang panjangnya dan Jaka Soka
dengan pedang lenturnya merupakan bahaya-bahaya yang
setiap saat dapat mencabut jiwa Mahesa Jenar.
Sementara itu laskar golongan hitam dari tingkat yang
paling bawah sampai pada orang-orang seperti Wadas
Gunung, Sri Gunting, Sakayon, Carang Lampit dan
sebagainya menyaksikan pertempuran itu dengan mata
tanpa berkedip. 12 Orang yang perkasa sedang bergulat
mati-matian antara hidup dan mati. Diantara kilatan senjata
serta sambaran-sambaran angin yang ditimbulkan oleh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pertempuran itu, berkali kali terdengar dentangan senjata
serta teriakan-teriakan nyaring, yang bahkan kadang
menimbulkan percikan bunga api memancar-mancar.
Pasingsingan dan Sima Rodra pun mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Tetapi sampai sekian
jauh ia masih belum memerintahkan kepada laskar-laskar
golongan hitam itu untuk turut serta dalam pertempuran
itu, sebab hal itu belum pasti akan menguntungkan,
malahan mungkin akan merepotkan saja.
Dalam ketegangan yang semakin lama semakin
memuncak itu, seolah-olah waktu berjalan lambat sekali.
Agaknya bulan pun ingin menyaksikan pertempuran yang
hebat itu sehingga perjalanannya agak terganggu.
Tetapi, sesaat kemudian Sima Rodra dan Pasingsingan
menjadi agak cemas melihat jalannya pertempuran. Sudah
sampai sekian lama, namun orang-orangnya masih belum
ada tanda-tanda dapat menguasai lawannya. Apalagi ketika
tiba-tiba mereka menyaksikan Mahesa Jenar, yang ternyata
akhirnya merasa terdesak, telah mengambil sikap. Kakinya
diangkat dan ditekuk kedepan, satu tangannya menyilang
dada sedang tangannya yang lain diangkat tinggi-tinggi.
Segera pula ia mengatur pernafasannya dan memusatkan
tenaganya pada sisi telapak tangannya. Itu adalah pertanda
bahwa Mahesa Jenar telah memutuskan untuk mempergunakan senjatanya yang tersimpan di dalam sisi
telapak tangannya, Sasra Birawa.
Lembu Sora, Jaka Soka dan Istri Sima Rodra, yang
menyaksikan sikap Mahesa Jenar itu segera berloncatan
mundur dan berpencaran. Mereka sadar bahwa apabila
salah seorang dari mereka sampai tersentuh tubuhnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
maka mereka tidak dapat mengharapkan untuk dapat
menyaksikan terbitnya matahari fajar besok.
Karena itu mereka menjadi semakin hati-hati, dan tidak
berani menyerang sekenanya, meskipun mereka masing-
masing bersenjata. Melihat keadaan itu, Sima Rodra ternyata tidak mau
membiarkan tokoh-tokoh hitam itu kehilangan hati. Maka
segera terdengar ia mengaum hebat. Akibatnya pun hebat
sekali. Suara itu rasanya seperti mengguncang isi dada.
Pasingsingan yang melihat Sima Rodra tua itu sudah akan
bertindak, ia pun tidak tinggal diam. Meskipun bukanlah
sewajarnya kalau orang-orang angkatan tua itu harus
melawan Mahesa Jenar, namun bagi mereka tidak akan ada
banyak bedanya, apakah Lawa Ijo dan kawan-kawannya,
apakah Pasingsingan dan Sima Rodra yang membinasakan,
meskipun mula-mula ia mengharap bahwa anak muridnya
beserta kawan-kawannya dapat menyelesaikan masalah
mereka sendiri untuk tidak membawa-bawa namanya.
Tetapi sekarang, terpaksa ia terjun ke dalam pertempuran
itu. Tetapi baru saja ia meloncat, terdengarlah Sima Rodra
berkata, "Pasingsingan, kau jangan memperkecil perananku
dalam pembunuhan yang akan aku lakukan. Kau tinggal
pilih, aku atau kau yang membunuh kelima ekor kelinci
yang sombong itu." Mendengar teriakan Sima Rodra itu Pasingsingan
tertawa,
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawabnya, "Apakah bedanya" Kau yang membunuh kelima-limanya, atau aku, atau kita berdua?".
Terdengarlah Sima Rodra menggeram. Kemudian
katanya, "Baiklah.... Marilah kita berlomba. Siapakah
diantara kita orang tua-tua ini yang masih cukup kuat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bergerak. Kau atau aku yang terbanyak dapat membunuh
kelima orang yang sudah jemu memandang purnama
malam ini." Kembali terdengar Pasingsingan tertawa. Suara tertawanya seolah-olah menyusup ke dalam tulang dan
daging, sehingga menimbulkan perasaan nyeri dan pedih.
Ketika suara tertawanya itu lenyap, terdengarlah suara
suitan nyaring diikuti oleh suatu auman dahsyat. Dan
seperti kilat berloncatanlah Pasingsingan dan Sima Rodra
memasuki arena. Mahesa Jenar yang masih menunggu kesempatan
beserta keempat kawannya mendengar seluruh percakapan
itu. Mau tidak mau hati mereka tergetar hebat. Ternyata
sekarang Pasingsingan dan Sima Rodra akan ikut serta
dalam pertempuran itu. Mereka sama sekali bukanlah
orang-orang yang takut mati, tetapi sebentar lagi mereka
harus binasa sebelum dapat berbuat sesuatu atas tokoh-
tokoh hitam itu. Itulah yang menggelisahkan hati mereka.
Tetapi kenyataan itu sama sekali tak dapat diingkari lagi.
Segera darah mereka bergolak ketika mereka mendengar
suitan Pasingsingan yang disusul dengan auman dahsyat
Sima Rodra. Apalagi ketika dengan aba-aba itu, tokoh-tokoh
hitam yang sedang bertempur itu segera berloncatan
menjauhkan diri dari lawan masing-masing, agar tidak
mengganggu kedua tokoh angkatan tua yang akan terjun
dalam pertempuran. Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya sadar bahwa
saat terakhir telah hampir tiba. Ketika lawan-lawan mereka
berloncatan pergi, untuk sesaat mereka tertegun, tetapi
sesaat kemudian tanpa sesuatu tanda apapun, agaknya
mereka mempunyai persamaan perhitungan, sehingga
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seolah-olah digerakkan oleh satu tenaga, mereka berloncatan saling mendekat, untuk dapat bersama-sama
melawan kedua orang tokoh dari angkatan tua itu.
Melihat mereka berkumpul dalam satu lingkaran,
terdengarlah Pasingsingan dan Sima Rodra tertawa hampir
berbareng, kata Pasingsingan, "Suatu kesetia-kawanan
yang mengagumkan. Meskipun kalian berdatangan dari
perguruan yang berbeda-beda, tetapi karena nasib kalian
telah akan kami tentukan, maka kalian dapat bekerja sama
dengan rapi sekali. Nah sekarang, lawanlah kami berdua
yang tak bersenjata ini dengan segenap kemampuan kalian,
sebelum kalian tak sempat menikmati lezatnya madu."
Kata-kata itu hebat akibatnya. Bunyinya terdengar lebih
dahsyat dari seribu guruh yang meledak bersama-sama.
Tetapi justru karena itu maka setiap hati dari kelima orang
itu menjadi pasrah pada garis hidupnya masing-masing.
Dengan demikian maka lenyaplah segala perasaan gentar
dan cemas. Yang ada dalam dada mereka hanyalah satu
kepercayaan bahwa pintu sorga akan terbuka bagi mereka
yang gugur dalam menunaikan tugas mereka untuk
membela kebenaran dan kebajikan. Karena itu mereka
menjadi lebih mantap menggenggam senjata masing-
masing yang siap diayunkan.
Sesaat kemudian, tampillah Pasingsingan dan Sima
Rodra bersama-sama, berbareng dengan bergeraknya
setiap senjata kawan-kawan Mahesa Jenar. Segera
berkobarlah suatu pertempuran yang dahsyat. Kedua orang
dari angkatan tua itu memang ternyata memiliki ketinggian
ilmu yang luar biasa, sehingga dengan tertawa-tawa saja
Pasingsingan dan Sima Rodra dengan senangnya mempermainkan korbannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
telah bertempur mati-matian untuk mempertahankan diri.
Mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk
menyerang. Pasingsingan dan Sima Rodra yang hanya dua
orang itu seolah-olah seperti angin ribut yang melanda dari
segenap penjuru, sedang suara tertawa mereka mengumandang dari segala arah.
Semakin lama, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
menjadi semakin bingung. Mereka sudah tidak tahu lagi di
mana lawan-lawan mereka berada. Tetapi tahu-tahu tubuh
mereka telah tersentuh oleh tangan-tangan yang panasnya
melampaui panas api. Mereka sadar bahwa Pasingsingan
dan Sima Rodra sampai saat itu baru sampai pada taraf
menggoda saja, serta menimbulkan kebingungan dan
kesakitan yang semakin lama semakin merata di segenap
tubuh Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Sehingga
akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-kawannya itu bertempur
seperti orang gila yang mengayun-ayunkan senjata tanpa
tujuan, bahkan hampir-hampir saja mereka telah mengenai
satu sama lain. Sementara itu suara tertawa Pasingsingan dan Sima
Rodra semakin lama menjadi semakin mengerikan dan
menggoncang-goncang dada. Mahesa Jenar dan kawan-
kawannya semakin lama menjadi semakin tak terkendalikan. Mereka bergerak berputaran tanpa tujuan
dan hampir diluar kesadaran mereka masing-masing.
Sesaat kemudian agaknya Pasingsingan dan Sima Rodra
telah jemu dengan permainan mereka. Karena itu segera
terdengar Pasingsingan berkata, "Sima Rodra, agaknya
kelinci-kelinci itu sudah hampir gila. Apakah kita perlu
membunuhnya ataukah kita buat saja mereka benar-benar
gila?" " SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Buat apa kita menonton orang-orang gila berkeliaran di
daerah ini?" jawab Sima Rodra, "Baiklah, kita bunuh saja
mereka dengan senjata mereka sendiri,".
Mendengar percakapan Pasingsingan dengan Sima Rodra
itu, Mahesa Jenar dengan keempat kawannya meremang
seluruh tubuhnya. Tetapi juga karena itu darah mereka
meluap-luap karena marah. Dengan sisa-sisa kesadaran
yang masih ada, mereka pasrahkan jiwa dan raga kepada
kekuasaan yang Tinggi. Dan sesudah itu mereka bersiap
untuk menghadapi saat-saat terakhir.
Mahesa Jenar serta keempat kawannya itu masih sempat
menyaksikan di bawah remang-remang cahaya purnama
yang disaput mega, bayangan Pasingsingan dan Sima Rodra
menyambar ke arah mereka, dan sejenak kemudian mereka
melihat kedua orang itu berdiri sambil tertawa nyaring
beberapa langkah di hadapan mereka dengan sebuah
tombak berkait di tangan Pasingsingan serta sebuah trisula
di tangan Sima Rodra. "Nah..." kata Pasingsingan, "Jangan salahkan aku kalau
kalian mati karena senjata kawan sendiri. Yang mula-mula
harus membuat perhitungan adalah Mahesa Jenar. Kau
telah membunuh Watu Gunung, melukai Lawa Ijo, dan
dengan Gajah Sora kalian menyerang aku di Banyubiru.
Kaulah orang yang pertama-tama harus binasa. Setelah itu
sebenarnya bagiku sudah tidak ada soal lagi, apakah aku
atau Sima Rodra yang akan membelah perut kalian."
Mahesa Jenar mendengarkan kata-kata itu dengan dada
yang bergetar. Bukan oleh ketakutan bahwa maut akan
melibatnya, tetapi karena ia harus meninggalkan tugas-
tugas sucinya sebelum seujung kuku dapat diselesaikan.
Namun bagaimanapun ia adalah seorang jantan, karena itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ia tidak akan ada artinya. Maka segera ia pun
mempersiapkan dirinya dengan apa yang ada padanya.
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, agaknya keempat
kawan Mahesa Jenar tidak akan membiarkan Mahesa Jenar
menjadi korban yang pertama-tama. Karena itu seperti
orang yang berebutan, mereka tiba-tiba berloncatan
mengelilinginya. Mahesa Jenar menjadi terharu melihat
kesetiakawanan yang sedemikian tinggi. Meskipun Paningron dan Wiraraga kini sudah tidak bersenjata lagi,
tetapi mereka sama sekali tidak gentar menghadapi
kemungkinan yang mendatang.
Melihat kejadian itu Pasingsingan menjadi marah,
katanya, "Ke tepilah kalian yang tidak berkepentingan. Atau
kalian semuanya akan bersama-sama binasa."
Tak seorang pun menjawab, tetapi tak seorang pun
beranjak dari tempatnya. Hal itu menjadikan Pasingsingan
semakin marah. Tetapi belum lagi ia berkata sesuatu, Sima
Rodra yang agaknya tidak sabar lagi, menggeram. "Mereka
ternyata benar-benar telah gila dan tidak mampu berkata-
kata. Karena itu buat apa kita memilih korban. Marilah
bersama-sama kita binasakan mereka sekaligus."
Pasingsingan tidak menjawab. Tetapi segera mereka
berdua bergerak dan seperti petir mereka menyambar
bersama-sama. Tetapi sementara itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
tidak berdiam diri saja sambil menunggu dada mereka
tertembus senjata. Mereka pun segera berusaha untuk
melawan sekuat-kuat tenaga mereka. Maka segera
terjadilah sekali lagi pertempuran yang maha dahsyat.
Tetapi adalah di luar dugaan mereka semuanya, bahwa
tiba-tiba saja Mahesa Jenar dapat memberikan perlawanan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang mengerikan. Dengan sebatang dahan kayu ia
menyambar, melompat, menangkis dan menyerang dengan
dahsyatnya hampir di luar kemampuan manusia. Ia seolah-
olah berada di segala tempat dan dapat menggagalkan
segala serangan Pasingsingan dan Sima Rodra, walaupun
tidak diarahkan kepadanya. Sehingga baik kawan-kawan
Mahesa Jenar sendiri maupun Pasingsingan dan Sima Rodra
menjadi terheran-heran. Mantingan, Gajah Alit, Wiraraga
dan Paningron sampai-sampai terpaksa berhenti bertempur
karena Mahesa Jenar selalu bergerak dan seolah-olah
melayang-layang di hadapan mereka, pada setiap waktu
nyawa mereka terancam, sehingga di dalam lingkaran
pertempuran itu seakan-akan ada beribu-ribu Mahesa Jenar
yang bertempur bersama-sama. Karena itu dada mereka
sekarang tergoncang hebat, tidak karena Pasingsingan dan
Sima Rodra, tetapi justru karena Mahesa Jenar yang
berubah menjadi ribuan Mahesa Jenar dengan kesaktiannya
yang dapat menandingi Pasingsingan dan Sima Rodra.
Sebaliknya Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi
terheran-heran tak keruan. Menghadapi lima orang yang
sebenarnya bagi mereka sama sekali tak berarti itu, tiba-
tiba saja menjadi agak kerepotan.
Serangan-serangan mereka yang seharusnya sudah tidak
mungkin dielakkan oleh orang-orang yang setingkat dengan
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya itu, tiba-tiba dapat
dimusnahkan hanya oleh sepotong dahan kayu. Karena itu
mereka menjadi semakin marah. Apalagi ketika mereka
melihat kelima orang yang melawannya itu bergerak
berputaran melingkar dan melibat satu sama lain dengan
gerak yang tak terduga-duga dan membingungkan.
Sebenarnya kawan-kawan Mahesa Jenar itu sama sekali
tidak mampu mengadakan gerakan-gerakan yang SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sedemikian rumitnya, tetapi Mahesa Jenar lah yang
mendorong mendesak dan kadang-kadang menarik mereka
untuk membuat gerakan-gerakan yang aneh-aneh.
Akhirnya Pasingsingan menjadi tidak sabar lagi, demikian
juga Sima Rodra. Segera mereka melemparkan senjata-
senjata rampasan itu, dan tiba-tiba di tangan Pasingsingan
telah tergenggam sebilah pisau belati panjang yang
berwarna kuning gemerlapan, sedang di jari-jari Sima Rodra
seolah-olah tumbuhlah kuku-kukunya yang panjang dan
bersalut logam. Agaknya kedua orang itu telah sedemikian
marahnya sehingga mereka merasa perlu mempergunakan
senjata-senjata simpanan mereka.
Dalam pada itu, segenap tokoh-tokoh hitam yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi cemas dan
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebingungan. Berkali-kali mereka menggosok-gosok mata
mereka, sebab di dalam keremangan cahaya bulan yang
tidak seterang siang hari, mereka telah menyaksikan suatu
pertempuran yang tak dapat diikuti oleh pikiran-pikiran
mereka. Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua tokoh
yang berada dalam tingkatan guru Mahesa Jenar, bahkan
mungkin berada diatas guru-guru orang-orang lain kawan-
kawan Mahesa Jenar. Tetapi ternyata untuk melawan
mereka berlima, kedua orang sakti itu telah terpaksa
mempergunakan senjata-senjata mereka yang hampir sama
sekali tak pernah mereka perlihatkan. Apalagi di dalam
lingkaran pertempuran itu, mereka melihat bayangan
Mahesa Jenar berubah, seakan-akan lebih dari satu Mahesa
Jenar yang berdiri di sana sambil bergerak menyambar-
nyambar tak terikuti oleh pandangan mereka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sementara itu pisau belati panjang Pasingsingan telah
mulai bergerak menyambar-nyambar, sedang jari-jari Sima
Rodra yang berkuku panjang-panjang mengembang
mengerikan. Namun Mahesa Jenar dapat dengan tangkasnya melawan setiap serangan kedua tokoh itu.
Malahan sekali-sekali potongan dahan kayu di tangannya
berhasil mengenai tubuh Pasingsingan dan Sima Rodra.
Dengan demikian sekarang bergantilah bahwa Pasingsingan
dan Sima Rodra yang menjadi kebingungan dan bertempur
dengan gelisah. Barulah teka-teki itu terpecahkan ketika Pasingsingan
dan Sima Rodra yang sudah kebingungan meloncat
beberapa langkah surut untuk mengambil jarak dengan
kelima lawannya yang aneh itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua orang
yang sudah kenyang makan asin pahit kehidupan, maka
mereka segera menaruh curiga bahwa pasti ada sesuatu
yang tidak wajar. Ketika mereka telah berdiri dengan jarak dua tiga
langkah, tahulah mereka bahwa mata mereka telah
terkelabui. Karena itu segera Pasingsingan berteriak nyaring
dibarengi oleh suara auman dahsyat dari Sima Rodra untuk
menyatakan kemarahan hati mereka.
Ternyata yang berdiri di hadapan mereka itu, yang
semula adalah lima orang, tiba-tiba tanpa setahu orang
setingkat Pasingsingan dan Sima Rodra telah berubah
menjadi tujuh orang. Sedang kedua orang yang melibatkan
diri kedalam pertempuran itu berpakaian kumal dan
berwarna gelap mirip sekali dengan pakaian Mahesa Jenar.
Apalagi gerak mereka pun sedemikian dekat dengan gerak
anak perguruan Pengging itu. Mereka berdualah yang
memegang tongkat potongan dahan kayu. Sedang Mahesa
Jenar yang sebenarnya tanpa diketahuinya sendiri telah
memegang sepotong dahan kayu yang mirip dengan kedua
dahan yang lain. Itulah sebabnya bahwa dalam keributan
pertempuran itu Mahesa Jenar seolah-olah berubah menjadi
beribu-ribu Mahesa Jenar yang berada di segala tempat.
Mengalami peristiwa itu Pasingsingan dan Sima Rodra
untuk sejenak tertegun heran. Ini adalah suatu kejadian
yang luar biasa. Meskipun Pasingsingan dan Sima Rodra
sadar bahwa mereka adalah manusia-manusia biasa,
namun peristiwa itu adalah peristiwa yang hampir tak
mungkin dapat dimengerti. Hal ini adalah suatu pertanda
bahwa kedua orang yang memasuki arena itu adalah orang
yang mumpuni. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Apalagi Mahesa Jenar sendiri beserta keempat kawannya. Mereka jadi ragu-ragu sendiri apakah otak
mereka telah benar-benar tidak bekerja dengan baik.
Baru kemudian sadarlah mereka bahwa ada orang lain
yang sengaja akan menolong jiwa mereka. Karena ternyata
ketika mereka sempat memperhatikan setiap wajah
diantara mereka, dapatlah mereka ketahui bahwa kedua
orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar, kumal
dan gelap itu, sama sekali bukan Mahesa Jenar. Wajah-
wajah mereka tampak merah kehitam-hitaman. Di bawah
cahaya bulan yang remang-remang, memang sangat sulit
untuk mengenali siapakah mereka itu. Apalagi agaknya
kedua orang itu dengan sengaja telah mewarnai wajah-
wajah mereka dengan warna-warna hitam dan merah.
Sedemikian hebatnya peristiwa itu mempengaruhi perasaan
mereka sehingga kelima orang itu tubuhnya menjadi
gemetar. Sementara itu darah Pasingsingan dan Sima Rodra
serasa mendidih, membakar rongga dada mereka. Mereka
merasa bahwa perbuatan kedua orang itu telah dilakukan
dengan sengaja untuk menghinanya. Karena itu mereka
menjadi marah sekali. Maka terdengarlah suara Pasingsingan yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam
perut itu, "Hai orang-orang yang telah berbuat seolah-olah
jantan tanpa tandingan, kalian telah menghinakan kami.
Apakah kalian tidak sadar bahwa perbuatan kalian itu dapat
mengancam keselamatan jiwa kalian?"
Maka terdengarlah salah seorang menjawab dengan
nada yang tajam tinggi dibuat-buat, sehingga semua orang
yang mendengarnya mengetahui bahwa suara itu bukanlah
suara aslinya untuk menyembunyikan diri, "Aku hanya ingin
bermain-main saja Pasingsingan, seperti kau ingin bermain-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
main dengan kelima kelinci-kelinci ini. Bukankah permainanku tidak kalah baiknya dengan permainanmu?"
Mendengar jawaban itu Sima Rodra menyahut dengan
suaranya yang menggeletar, "Apa hubungan kalian dengan
orang-orang yang akan aku binasakan itu?"
Kembali terdengar jawaban, "Hubungannya adalah, aku
tidak senang melihat kau membinasakan orang-orang yang
tak bersalah." Oleh jawaban itu, darah Sima Rodra dan Pasingsingan
semakin menggelegak, "Aku beri kesempatan kau minta
ampun kepadaku," kata Sima Rodra, "atau, aku akan
membinasakan kalian juga?"
Terdengarlah suara tertawa tinggi nyaring. Kemudian
orang itu menjawab pula, "Aku tidak senang melihat kau
membinasakan kelima orang yang tak bersalah itu, apalagi
kau akan membinasakan kami berdua. Pastilah, bahwa kami
menjadi semakin tidak senang lagi."
"Janganlah kalian berbicara seenaknya," bentak Pasingsingan, "Kau anggap bahwa orang-orang itu tak
bersalah" Aku mempunyai sebuah ceritera yang tak akan
habis aku ceriterakan semalam suntuk untuk membuktikan
kesalahan mereka." "Aku sudah tahu apa yang akan kau ceriterakan."
Terdengar kembali sebuah jawaban, "Dan aku mengerti
pula apa yang kau anggap kesalahan orang-orang itu,
bahwa mereka telah berusaha mencegah kejahatan-
kejahatan yang kalian atau murid-murid kalian lakukan."
Karena jawaban itu Pasingsingan hampir tak dapat
menguasai dirinya, namun ia masih bertanya pula,
"Siapakah sebenarnya kalian?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jawab orang itu, "Orang yang selalu menyembunyikan
wajahnya di belakang topeng yang jelek itu, tak perlu
berusaha mengetahui siapakah orang-orang yang berdiri di
hadapannya." Sekarang Pasingsingan benar-benar tak dapat menguasai
dirinya. Dengan satu gerakan yang hampir tak dapat
ditangkap oleh kecepatan pandangan mata, Pasingsingan
meloncat maju. Belati panjangnya berkilau gemerlapan oleh sinar bulan
yang remang-remang. Sedang Sima Rodra yang melihat
kawannya mulai bertindak, segera pula mengaum
menggetarkan sambil menerkam, tak ubahnya seekor
harimau lapar. Yang menyaksikan kedua serangan tokoh-tokoh hitam
dari angkatan tua itu, dadanya berdesir. Seakan-akan tak
ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari
serangan yang demikian dahsyatnya.
Tetapi ternyata dugaan mereka meleset. Dua orang yang
berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu, yang masing-
masing menerima serangan dari Pasingsingan dan Sima
Rodra, masih sempat berteriak nyaring, "Mahesa Jenar,
mundurlah beserta kawan-kawanmu. Biarlah mereka
selesaikan urusan ini dengan orang-orang yang sebaya."
Setelah itu mereka segera berloncatan menghindari
serangan-serangan lawannya yang hampir saja telah
mengenainya. Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, setelah
mendengar kata-kata orang yang tak dikenalnya itu, segera
berlari menjauhi sampai lebih dari 10 langkah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah itu maka terjadi suatu pertarungan yang maha
dahsyat. Pertarungan yang jarang terjadi. Pasingsingan
yang telah terkenal sebagai seorang yang paling ditakuti itu
bertempur mati-matian dengan seorang yang tak dikenal,
yang memiliki ilmu sempurna.
Demikian pula Sima Rodra. Ternyata lawannya memiliki
ilmu yang tinggi pula sehingga pertempuran diantara
mereka tidak kalah hebatnya.
Sejenak kemudian pertempuran itu sudah tidak dapat
disaksikan dengan jelas. Yang tampak hanyalah asap yang
bergulung-gulung libat melibat, serta kilatan cahaya yang
menyambar-nyambar, disertai dengan angin yang melingkar-lingkar diantara mereka yang sedang bertempur
itu. Selain suara derap mereka yang sedang berjuang itu tak
ada lagi yang bergerak, bahkan tak seorangpun yang
sempat mengedipkan mata. Suasana di lapangan kecil di
tepi hutan itu benar-benar dicekam oleh suasana tegang
yang mengerikan. Angin yang bertiup semilir seakan-akan
menyebarkan udara maut ke segenap penjuru, sedang
bunga-bunga liar menaburkan bebauan yang menjadikan
udara bersuasana mati namun harum.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama
semakin dahsyat. Orang-orang yang tak dikenal itu ternyata
benar-benar dapat menandingi Pasingsingan dan Sima
Rodra. Bahkan semakin lama semakin nampak bahwa
Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi agak terdesak. Hal
ini adalah suatu kejadian yang sangat menggoncangkan
dada mereka yang menyaksikan. Mereka jadi sibuk
menduga-duga siapakah kedua orang itu. Wajahnya yang
sengaja disaput dengan warna-warna hitam dan merah itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjadi sangat susah untuk dikenali di dalam keremangan
cahaya bulan. Akhirnya, ketika Pasingsingan dan Sima Rodra semakin
terdesak, maka tak ada pilihan lain dari mereka kecuali
mempergunakan ilmu-ilmu terakhir yang menjadi andalan
mereka. Segera Sima Rodra meloncat beberapa langkah
mundur. Dengan sebuah auman yang hebat ia menggetarkan tubuhnya. Itulah suatu pertanda bahwa
Harimau Liar dari Rojaya itu telah mempergunakan ajinya
yang dahsyat, Macan Liwung. Sedang di lain pihak,
Pasingsingan segera mengenakan cincinnya yang bermata
merah menyala, Kelabang Sayuta, dibarengi dengan
ilmunya Alas Kobar. Akik Klabang Sayuta adalah semacam
batu akik beracun yang sangat tajam dan pernah
dipergunakan oleh Lawa Ijo untuk menghantam Mahesa
Jenar. Untunglah Mahesa Jenar memiliki daya penawarnya.
Sedang aji Alas Kobar sebenarnya adalah suatu ilmu yang
maha dahsyat, yang apabila dipergunakan untuk menyerang lawan, akibatnya seperti api yang maha besar,
yang seolah-olah sanggup memusnahkan hutan yang lebat.
Melihat kedua lawannya telah mempergunakan ilmu-ilmu
yang paling akhir dimiliki, serta mempunyai daya hancur
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang luar biasa, maka kedua orang yang berpakaian mirip
dengan Mahesa Jenar itu segera berloncatan mundur.
Tampaklah mereka mengerutkan kening dan menarik nafas
panjang. Tetapi mereka sudah tidak memiliki waktu banyak
untuk berfikir, sebab sesaat kemudian Pasingsingan dan
Sima Rodra telah siap untuk menghancur lumatkan lawan-
lawan mereka. Mahesa Jenar beserta keempat kawannya yang
menyaksikan gerak Pasingsingan dan Sima Rodra yang
berubah menjadi buas dan mengerikan itu, menahan nafas.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dada mereka berdegupan. Apakah kira-kira yang akan
terjadi apabila kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa
Jenar itu sampai terjamah oleh tangan-tangan yang siap
menyebar maut itu" Sebaliknya adalah Lawa Ijo, Sima Rodra beserta kawan-
kawannya. Seolah-olah mereka sudah melihat bahwa
perkelahian itu sudah sampai pada akhir. Kedua orang itu
pasti segera akan lebur menjadi tepung, dan sesudah itu
mereka akan menyaksikan lawan-lawannya yang paling
dibencinya, yaitu Mahesa Jenar akan lumat pula beserta
keempat kawan-kawannya. Tetapi apa yang mereka saksikan adalah sama sekali
tidak seperti yang mereka bayangkan. Kedua orang yang
berpakaian mirip Mahesa Jenar itu kemudian tampak berdiri
tegak di atas kedua kaki yang renggang, sedang kedua
tangan mereka bersilang dengan telapak tangan masing-
masing di atas pundak seperti orang yang sedang
bersemedi. Tetapi apa yang mereka lakukan itu hanya
sesaat, tidak lebih dari sekeredipan mata. Setelah itu,
segera mereka berloncatan dan bergerak, mirip dua ekor
rajawali yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya, bahwa kedua
orang itu telah mempergunakan ilmu yang mereka
namakan Naga Angkasa. Ilmu yang telah mereka ciptakan
bersama setelah mereka bertahun-tahun menekuni dan
mempelajari gerak dari binatang-binatang di udara.
Sehingga akhirnya mereka menemukan suatu kedahsyatan
dari gerak burung rajawali yang mereka gabungkan dengan
kelembutan gerak seekor ular yang sanggup membelit,
melingkar dengan lemasnya. Dilambari dengan kekuatan
batin yang sempurna dari kedua orang yang tak dikenal itu,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
maka Naga Angkasa merupakan suatu ilmu yang sukar
untuk diperbandingkan. Karena itu, beradunya ilmu-ilmu yang dahsyat itu
kemudian menimbulkan suasana yang hampir tak dapat
digambarkan. Macan Liwung, Alas Kobar dan Naga
Angkasa. Di dalam lingkaran pertempuran itu terjadilah
benturan-benturan yang mengerikan. Meskipun mereka
tidak bersenjata, sentuhan tubuh-tubuh mereka dengan
ilmu mereka masing-masing telah melebihi berdentangnya
senjata. Ketika pertempuran itu kemudian bergeser semakin
mendekati hutan, maka tampaklah pepohonan menjadi
bergoyang-goyang oleh angin yang timbul karena gerakan-
gerakan mereka yang sedang bertempur. Daun-daun kering
berterbangan melebihi tiupan angin kemarau. Kemudian
disusul dengan kengerian yang memuncak. Tangan-tangan
mereka yang tak dapat menyentuh lawan-lawan mereka,
yang dengan gerak yang tak dapat dicapai oleh mata biasa
berhasil menghindar, dan kemudian mengenai pepohonan,
menjadi roboh berantakan. Suaranya berderak-derak
menggetarkan seluruh hutan di tepi Rawa Pening itu, di sela
oleh teriakan nyaring dan auman dahsyat Sima Rodra tua.
Baik Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, maupun Lawa
Ijo beserta seluruh golongan hitam, ketika menyaksikan
kedahsyatan pertempuran itu, kemudian seperti orang-
orang yang melihat pertunjukan yang menakutkan.
Sedang pertempuran itu sendiri semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Sementara itu bulan yang berjalan menyusur garis
edarnya, semakin lama menjadi semakin tinggi tergantung
di langit yang bersih. Hanya sekali-kali mega putih seperti
kapas berterbangan di muka wajahnya yang kuning pucat,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seperti wajah gadis yang ketakutan melihat pahlawannya
sedang berjuang diantara hidup dan mati.
Demikianlah, ketika bulan itu sudah melampaui titik
puncak langit, terjadilah perubahan dalam keseimbangan
pertempuran di hutan Rawa Pening. Kedua orang yang
berpakaian mirip Mahesa Jenar serta wajahnya disaput
dengan warna merah dan hitam itu kemudian berpendapat
bahwa apabila keringatnya semakin banyak mengalir, akan
hanyutlah warna-warna hitam dan merah di wajahnya.
Maka dengan demikian pasti mereka akan dikenal oleh
lawan-lawannya. Apalagi kalau pertempuran itu sampai
menjelang fajar. Karena itu, segera mereka mengeluarkan
segenap ilmunya, kekuatan lahir dan batinnya. Naga
Angkasa itu semakin lama menjadi semakin garang setelah
mendapatkan saluran yang lapang.
Pasingsingan yang percaya kepada ilmunya Alas Kobar
menjadi keheran-heranan dan gelisah. Ilmu yang dapat
menghindarkan diri dari panasnya ilmu Alas Kobar yang
melebihi bara api. Bahkan kadang-kadang ia terlibat dalam
satu keadaan yang sangat berbahaya. Udara yang dingin
seolah-olah meniup-niup dari segala arah dan melilit-lilit
tubuhnya seperti ular. Sementara ia sedang berusaha
menguraikan lilitan hawa dingin itu, tiba-tiba melayanglah
lawannya dari udara dengan tangan yang mengembang
siap menerkam lehernya. Untuk melawan serangan yang
demikian, terpaksa ia mempergunakan pisaunya di tangan
kiri dan akik Klabang Sejuta di tangan kanan dilambari
dengan ilmunya Alas Kobar. Beruntunglah Pasingsingan
bahwa agaknya lawannya mengenal betapa saktinya kedua
senjatanya itu sehingga beberapa kali ia berhasil
membebaskan diri dari serangan-serangan maut yang
mengerikan itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sima Rodrapun diam-diam mengumpat dalam hati.
Lawannya benar-benar seperti hantu yang menakutkan.
Gerakan-gerakannya cepat tak terduga, sedang aji Macan
Liwung ternyata sampai sekian lama tak dapat menjatuhkannya. Karena itu ia menjadi semakin ganas dan
beberapa kali mengaum keras. Namun bagaimanapun juga
lawannya benar-benar seorang yang luar biasa, yang
menyerangnya seolah terbang di udara, tetapi sekali-kali
berguling dan tangannya mematuk seperti kepala ular
mengarah ke bagian-bagian tubuhnya yang lemah.
Benturan-benturan yang terjadi di dalam pertempuran itu,
meyakinkan Sima Rodra bahwa lawannya pun memiliki
kekuatan yang dapat menandingi kekuatan Macan Liwung.
Karena itu ia menjadi gelisah sebab sesudah Macan Liwung
tidak ada lagi yang dapat dibanggakan.
Sesaat lagi semakin jelaslah bahwa kedua orang yang
berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu mempunyai
beberapa kelebihan dari lawannya. Lawan Pasingsingan
hampir dalam setiap geraknya dapat memotong gerakan-
gerakan Pasingsingan, bahkan mendahuluinya. Karena itu
Pasingsingan menjadi semakin heran dan kebingungan.
Tetapi sama sekali ia tak dapat meraba-raba, dari
perguruan manakah ilmu yang diwarisi oleh lawan-
lawannya yang aneh itu. Sebab menilik beberapa geraknya,
ia mengenal sumber-sumber yang bermacam-macam.
Bahkan ada beberapa kemiripan dengan gerakan-gerakan
dari perguruannya sendiri, tetapi ia juga melihat beberapa
gerakan yang sesuai dengan dasar-dasar gerak peninggalan
dari almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh yang bersumber
dari Ranggalawe yang dahsyat itu. Malahan ia melihat juga
gerakan-gerakan hebat yang berasal dari almarhum Raden
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gadjah yang pernah dengan susah payah dipelajarinya
namun sama sekali belum sempurna.
Karena kegelisahan serta kebingungan itulah maka
Pasingsingan bertempur semakin lama semakin kehilangan
keseimbangan. Meskipun kemarahannya menggelegak
sampai kepala, namun tenaganya tidak dapat mengimbangi
perasaannya. Sehingga semakin bernafsu ia mengalahkan
lawannya semakin hilanglah keseimbangan gerakannya.
Agaknya sedemikian pula dengan Sima Rodra. Bagaimanapun ia berusaha dengan sekuat tenaganya yang
diandalkan itu, namun ilmunya Macan Liwung memang
berada di bawah kedahsyatan Naga Angkasa. Karena itu
semakin lama Sima Rodra tua itu menjadi semakin terdesak
mundur. Beberapa kali ia mencoba untuk mengadakan
serangan-serangan yang membahayakan, tetapi usahanya
selalu tidak berhasil. Ia menganggap bahwa selama ini tak
seorang pun yang mampu mengatasi ilmunya yang
mengerikan itu. Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Anganten
yang mewarisi sebagian ilmunya Menak Jingga dari
Blambangan dan sahabatnya sendiri Bugel Kaliki yang
terkenal itupun setinggi-tingginya baru dapat menyamainya.
Namun tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan seorang
yang tak dikenal yang dapat melebihi ketinggian ilmunya.
Meskipun wajah orang-orang itu tak jelas baginya namun
pasti bahwa mereka bukan orang dari Pandan Alas beserta
sahabat-sahabatnya.Karena itu hatinya lambat laun menjadi
kecil pula. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan yang
harus diselesaikan. Apabila ia sampai dilibat oleh lawannya
sehingga ia benar-benar dibinasakan maka segala
rencananya akan pudar. Bagaimanapun, seperti juga
Pasingsingan, ia berkeinginan melihat muridnya, bahkan
anaknya sendiri menjadi orang yang berkekuasaan besar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Itulah sebabnya ia bekerja mati-matian untuk mendapatkan
keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dengan
sekutunya Pasingsingan, meskipun ia sadar bahwa
kemudian Pasingsingan pasti akan mengusahakan agar
keris itu dapat dimiliki oleh murid kesayangannya, Lawa Ijo.
Karena itu, baik Sima Rodra maupun Pasingsingan
merasa bahwa bagaimanapun mereka tak akan mampu
untuk mengalahkan lawannya. Ia tidak berani memerintahkan kepada Lawa Ijo dan kawan-kawannya
untuk ikut serta dalam pertempuran itu, sebab bahayanya
akan besar sekali apabila mereka sampai tersentuh
kesaktian ilmu lawannya. Apalagi dengan demikian Mahesa
Jenar dan kawan-kawannya pasti tidak akan tinggal diam.
Karena itu jalan yang sebaik-baiknya selagi masih
berkesempatan adalah menarik diri.
Mendapat keputusan itu, maka segera terdengarlah
suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan. Suara itu
bergetar di antara gerak-geraknya yang semakin terdesak
itu. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya terkejut mendengar suara Pasingsingan, yang seolah-olah mendapat
suatu kemenangan yang gemilang. Tetapi sebenarnya suara
itu adalah suatu pertanda kepada Lawa Ijo dan anak
buahnya untuk segera menghindarkan diri. Karena itu,
betapa kecut hati Lawa Ijo beserta anak buahnya melihat
suatu kenyataan bahwa Pasingsingan yang diagung-
agungkan itu tidak dapat mengatasi lawan-lawannya.
Maka, tidak perlu diulangi lagi, Lawa Ijo segera meloncat
dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi lawan-lawan
Pasingsingan, disusul oleh Wadas Gunung, Carang Lampit,
Cemara Aking dan kawan-kawannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat Lawa Ijo dan para pengiringnya melarikan diri,
tokoh-tokoh golongan hitam itu terkejut. Segera mereka
sadar bahwa keadaan menjadi sangat genting. Apalagi
ketika kemudian terdengar geram Sima Rodra seperti
merintih-rintih, dan kemudian disusul dengan lenyapnya
Suami Isteri Sima Rodra muda menyusup kedalam hutan,
maka pemimpin-pemimpin gerombolan hitam itu tidak
menunggu lebih lama lagi, segera mereka dengan
pengiring-pengiring mereka berlari-lari menyelamatkan diri
mereka masing-masing. Melihat peristiwa itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
menjadi keheran-heranan. Mereka sama sekali tidak dapat
mengetahui apakah yang terjadi. Sesaat kemudian
terdengarlah orang-orang yang berpakaian seperti Mahesa
Jenar itu tertawa nyaring. Sedang solah mereka menjadi
semakin lincah dan berbahaya.
Akhirnya Sima Rodra merasa bahwa tidak ada gunanya ia
bertahan lebih lama lagi. Mungkin ia masih dapat bertempur
sampai sehari, namun kesudahannya akan sudah pasti,
yaitu lawannya akan dapat membinasakannya. Karena itu,
dengan mengaum hebat, ia meloncat undur dan setelah itu
dengan kecepatan yang mungkin dicapainya, ia berusaha
untuk menyelamatkan diri. Melihat Sima Rodra itu berlari
seperti terbang meninggalkannya, lawan Sima Rodra itu
tertawa kembali. Tetapi sama sekali ia tidak berusaha untuk
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengejarnya. Berbeda dengan lawan Pasingsingan. Ketika Pasingsingan
tinggal seorang diri, ia pun segera berusaha untuk
melepaskan diri dari pertempuran itu, namun lawannya
sama sekali tidak memberi kesempatan. Bahkan akhirnya
dengan mengerahkan segenap tenaganya lahir dan batin,
dilambari dengan ilmu Naga Angkasa, lawan Pasingsingan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu berhasil melibat tubuh Pasingsingan dengan gerak-
geraknya yang mirip dengan gerak Ular, tetapi yang
kadang-kadang seperti seekor burung Rajawali yang
meniup menyambar-nyambar. Mengalami peristiwa itu
Pasingsingan menjadi bingung. Keringat dinginnya mengalir
membasahi jubah abu-abunya. Dengan segenap kekuatannya ia mencoba bertahan, dan melindungi dirinya
dengan Belati Panjangnya yang bernama Kiai Suluh, serta
akik Kelabang Sayuta dibarengi dengan ilmunya Alas Kobar
dan Gelap Ngampar. Namun Naga Angkasa itu seperti
hantu saja yang berada disegala tempat dan menyerang
dari segala penjuru. Pasingsingan mengeluh didalam hati. Karena itulah maka
pemusatan pikirannya sedikit demi sedikit menjadi terurai,
sehingga dengan demikian daya kekuatan Alas Kobar serta
Gelap Ngampar pun menjadi berkurang. Dalam keadaan
yang demikian, tiba-tiba terasalah udara dingin sedingin air
embun, membelit diseluruh bagian tubuhnya, dibarengi
dengan suatu teriakan dahsyat seperti teriakan burung
rajawali yang sedang marah, terasalah pundaknya
dicengkam oleh tangan yang kuat seperti baja. Dengan
cepat ia menggerakkan pisau panjangnya, tetapi sama
sekali tak mengenai sesuatu. Cepat ia mengulangi berkali-
kali, tetapi yang ada dihadapannya bagaikan hantu yang
dapat berkisar-kisar dengan cepatnya tanpa mengadakan
gerakan sesuatu. Bahkan akhirnya tangan yang sekuat baja
itu berhasil menangkap tangannya dan dipilinnya kebelakang. Pasingsingan merasakan suatu keanehan
membersit didalam dadanya. Bahwa didunia ini ada
kekuatan seperti itu, yang sama sekali tak diduganya
semula. Sebenarnya ia sendiri merasakan bahwa ilmunya
tidak usah terlalu jauh kalah dari ilmu lawannya. Hanya
kekuatan orang itu agaknya yang luar biasa.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan mengerahkan segenap kekuatannya yang
terakhir Pasingsingan mencoba untuk melepaskan diri,
namun orang itu agaknya mengerahkan segenap kesaktiannya pula untuk dapat tetap menguasai Pasingsingan. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya melihat kejadian itu
dengan jantung yang berdegupan hebat. Meskipun mereka
agak terguncang perasaan, namun timbul pula kebanggaan
serta ketenteraman diri. Mereka menyaksikan bahwa
akhirnya Pasingsingan dapat dikalahkan.
Tiba-tiba dalam keremangan cahaya bulan mereka
melihat tangan orang yang menangkap Pasingsingan itu
bergerak cepat sekali sehingga dalam sekejap ditangan itu
telah berkilat-kilat cahaya sebuah keris yang agaknya tidak
kalah hebatnya dari pisau belati panjang Pasingsingan.
Dengan penuh bernafsu orang yang berpakaian mirip
Mahesa Jenar itu mengayunkan kerisnya untuk menembus
dada Pasingsingan. Tetapi kembali Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
dikejutkan oleh bayangan yang melontar kearah mereka
yang sedang bertempur itu. Ia adalah orang yang satu lagi,
yang berpakaian mirip Mahesa Jenar, yang tadi bertempur
dengan Sima Rodra. Dengan cekatan ia menangkap tangan
kawannya yang memegang keris yang hampir saja
memusnahkan orang yang memakai kedok jelek berjubah
abu-abu dan menamakan diri Pasingsingan.
Orang itu agaknya terkejut, sehingga pegangannya
mengendor. Kesempatan ini agaknya dapat dipergunakan
Pasingsingan dengan baik. Cepat ia berusaha membebaskan diri, dan dalam sekejap tampaklah ia seperti
terbang berlari menyusup kedalam hutan. Jubahnya yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
abu-abu melambai-lambai ditiup angin malam, namun
hanya sesaat, karena sesaat kemudian ia telah lenyap
ditelan lebatnya hutan. Orang yang memegang keris, yang hampir saja
menyobek dada Pasingsingan itu memandang kawannya
dengan mata yang bertanya-tanya. Rupa-rupanya ia
menjadi sangat kecewa. Katanya Kakang, "kenapa kakang
menahan aku pada saat Pasingsingan sudah diambang
maut?" Kawan orang itu menarik nafas panjang. Perlahan-lahan
ia melangkah menjauh. Matanya yang sayu dilemparkan ke
arah purnama yang dengan tenangnya mengambang di
langit yang bersih. Hanya kadang-kadang saja tampak
beterbangan kelelawar-kelelawar yang sedang mencari
mangsanya. "Adi..". terdengarlah orang itu berkata, "Entahlah apa
sebabnya, aku tidak dapat membiarkan Pasingsingan itu
terbunuh. Mungkin masanya memang belum sampai."
"Masihkah Kakang ingin melihat kejahatan-kejahatan
berikutnya yang akan dilakukan oleh Pasingsingan?" desak
yang lain. "Tentu tidak, Adi," jawabnya. "Tetapi apakah kata bapa
guru nanti atas kematian Pasingsingan. Sebab bagaimanapun juga ia adalah muridnya pula. Apalagi
sebenarnya letak kesalahan yang menyebabkan segala
kejadian ini, adalah aku sendiri. Kalau terjadi kejahatan-
kejahatan, maka sebenarnya semuanya itu bersumber pada
diriku. Bersumber pada pemuasan nafsu yang tiada
mengenal batas. Karena itulah maka hukuman yang
sepantasnya adalah dibebankan kepadaku."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kau terlalu perasa, Kakang. Kalau suatu kota tenggelam
dilanda banjir, bukanlah mata air yang harus memikul
beban kesalahannya" Sebab dari mata air itulah sawah-
sawah mendapat air, serta kepentingan-kepentingan lain
yang berguna. Meskipun karena mata air itu dapat timbul
banjir. Tetapi perkembangannya telah melampaui beberapa
tingkatan yang tidak ada hubungannya. Air yang mengalir
ke lautan menjadi mendung dan kemudian hujan lebat.
Barulah terjadi banjir. Untuk mencegah banjir itu haruskah
orang-orang menutup segenap mata air" Seperti Kakang
merasa bersalah kalau Pasingsingan berbuat kejahatan-
kejahatan?" Orang yang lain itu sama sekali tak menjawab. Perlahan-
lahan tampak orang itu mengangguk-anggukkan kepala.
Tetapi pandangannya masih melekat pada bulan di langit.
"Kakang..". orang yang satu melanjutkan, "Aku
persilahkan Kakang melenyapkan perasaan itu. Perasaan
yang menyalahkan diri tanpa batas. Suatu pengakuan yang
demikian tidak akan menguntungkan. Bagi Kakang, bagi
orang lain dan bagi bebrayan agung."
"Sudahlah Adi," potong yang lain. Nada suaranya jauh
dan dalam. "Aku tahu akan perasaanmu. Suatu rasa
kesetiaan dan kecintaanmu kepada saudara tua. Namun
barangkali aku masih menunggu sampai guru memberikan
ijinnya." Mahesa Jenar mendengarkan percakapan itu dengan
saksama. Kecuali dirinya tak seorang pun yang mengerti
siapakah kedua orang itu. Tetapi bagi Mahesa Jenar,
percakapan mereka cukup memberi penjelasan, siapakah
mereka berdua. Karena itu segera ia berlari dan berjongkok
di hadapan mereka. Keempat kawan-kawannya, meskipun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak dapat mengerti siapakah mereka itu, namun sebagai
ucapan terima kasih, mereka segera menirukan perbuatan
Mahesa Jenar. "Paman...," kata Mahesa Jenar, "Perkenankanlah aku
mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas pertolongan
Paman Paniling dan Paman Darba."
Kedua orang itu, yang memang sebenarnya adalah
Paniling dan Darba, menjadi agak terkejut mendengar
nama-nama mereka disebut oleh Mahesa Jenar. Maka
terdengarlah Darba tertawa pendek. "Dari mana kau tahu
tentang kami" Adakah warna-warna yang tersaput di wajah
kami telah terhapus?"
"Aku telah mengenal paman berdua," jawab Mahesa
Jenar, "baik suara Paman yang sebenarnya itu, maupun
persoalan-persoalan yang Paman perbincangkan"
"Memang otakmu cemerlang seperti matahari musim
kemarau" sahut Darba sambil tertawa kembali. "Bukankah
begitu kakang?" Paniling mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku sudah mengira kalau kau akan berbuat itu. Mengintip
musyawarah orang-orang dari golongan hitam. Sadar atau
tidak sadar, kau telah bermain-main api kembali. Karena
itulah kami datang kemari. Beberapa waktu yang lampau
aku telah memperingatkan agar kau berhati-hati menghadapi orang-orang dari golongan hitam itu. Hampir
saja kau binasa pada saat kau dikerubut oleh tokoh-tokoh
hitam itu. Sekarang kau masuk ke dalam bahaya yang lebih
besar lagi, dimana hadir Sima Rodra tua dan Pasingsingan."
Mahesa Jenar sama sekali tidak menjawab. Ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Pamanmu Paniling terlalu hati-hati, Mahesa Jenar,"
sahut Darba. "Mungkin karena umurnya yang telah lanjut. Tetapi kira-
kira pada saat mudanya melebihimu."
"Mungkin," potong Paniling sambil tersenyum, "Memang
anak-anak muda senang menyerempet-menyerempet
bahaya." "Dan karena itulah mereka mencapai kemajuan-
kemajuan," sambung Darba, "Karena dengan pengalaman-
pengalaman mereka, masa depan seakan-akan telah
diratakan. Sedang bagi mereka yang tidak berani
menempuh bahaya, tak sesuatu apapun yang akan bisa
dicapainya." "Meskipun demikian..." jawab Paniling, "Segala sesuatu
wajib diperhitungkan. Kalau kita berani menempuh bahaya,
bukan berarti kita harus bunuh diri. Mahesa Jenar, kami
datang kemari karena kami mencemaskan kau. Tetapi Adi
Darba mengusulkan supaya kami membuat permainan ini
dengan berpakaian mirip pakaianmu. Sebab kami tahu
bahwa kau tidak pernah berganti pakaian kecuali kalau
pakaianmu satu-satunya itu sedang kau cuci."
Semua yang mendengar kata-kata Paniling itu tersenyum. Mahesa Jenar menjadi agak malu. Memang, ia
sama sekali tidak mempunyai pakaian lain selain yang
dipakainya. Kalau pakaian itu dicuci, terpaksa ia menunggu
sampai kering. "Maksudku..." sahut Darba, "Salah seorang diantara kami
yang mungkin dapat berbuat sesuatu mewakilimu. Dengan
demikian tak seorang pun berani merendahkan kau lagi.
Tetapi ternyata kau datang berlima, sehingga kami agak
menemui kesulitan. Untunglah bahwa kami menemukan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
suatu cara untuk bermain-main dengan Pasingsingan.
Sayang, Kakang Paniling menahan kerisku yang sudah
melekat di dada Pasingsingan itu."
"Sudahlah Adi Darba" potong Paniling, "aku minta maaf
kalau aku membuat kau kecewa. Sekarang yang penting
adalah usaha untuk menemukan kembali keris yang hilang
itu." "Mahesa Jenar..." sambung Paniling, "Apakah kau tidak
memperkenalkan sahabat-sahabatmu itu kepadaku?"
Mendengar pertanyaan Paniling, Mahesa Jenar seakan-
akan disadarkan dari kekhilafannya. Segera ia mulai
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperkenalkan satu persatu sahabat-sahabatnya yang
telah bersama-sama melakukan suatu pekerjaan yang
berbahaya. Dan kepada sahabat-sahabatnya, Mahesa Jenar
memperkenalkan Paniling dan Darba sebagai dua orang
petani yang sakti, yang telah menolong jiwanya untuk
kedua kalinya. Namun sama sekali tidak disinggung-
singgungnya bahwa Paniling itulah yang dahulu pernah
mengenakan jubah abu-abu dan kedok yang kasar, dan
yang menamakan diri Pasingsingan.
Setelah mereka saling memperkenalkan diri, maka
berkatalah Paniling, "Mahesa Jenar, aku kira kerjaku untuk
kali ini sudah selesai. Aku dan pamanmu Darba akan segera
kembali. Tetapi pesanku, janganlah terlalu lama anak
pungutmu kau tinggalkan. Sebab bagaimanapun juga,
banyaklah bahaya yang mengancam anak itu."
Kembali Mahesa Jenar seperti orang yang tersadar dari
mimpi. Segera ia ingat kepada Arya, anak yang sampai
sekarang masih menjadi buruan pamannya sendiri. Karena
itu tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenteram. Meskipun Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kini telah berada di tempat yang jauh, namun mungkin saja
orang-orang Lembu Sora akan sampai ke sana.
Maka setelah Paniling dan Darba pergi meninggalkan
mereka, segera mereka mengadakan pembicaraan tentang
pekerjaan-pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh mereka
masing-masing. Gajah Alit dan Paningron harus segera kembali ke Demak
untuk melaporkan segala kejadian di tepi Rawa Pening itu.
Melaporkan tentang kebenaran laporan mengenai adanya
golongan hitam yang kuat dan berbahaya bagi ketenteraman negara. Dengan manyaksikan serta mengalami sendiri, Paningron serta Gajah Alit harus
percaya, bahwa orang yang bernama Pasingsingan dan
Sima Rodra, tetua dari golongan hitam, termasuk orang
yang tak dapat diabaikan, meskipun jumlah orang-orang
yang demikian itu tidak banyak.
Demikianlah maka segera Paningron dan Gajah Alit
mohon diri. Mahesa Jenar melepaskan mereka berdua
dengan pesan agar untuk sementara dirinya jangan
tersinggung-singgung pula dalam laporan mereka, sebab ia
masih belum mempunyai keinginan untuk kembali ke
Demak sebelum Nagasasra dan Sabuk Inten diketemukan.
Juga Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan itu untuk
menitipkan bukti-bukti tentang kebenaran alasan-alasan
Gajah Sora, bahwa ia tidak mampu mempertahankan kedua
keris itu dari usaha-usaha golongan lain untuk memilikinya.
Bagaimanapun hebatnya Gajah Sora, yang pernah
menerima hadiah pusaka sebuah tombak yang bernama
Kyai Bancak, namun menghadapi orang-orang seperti
Pasingsingan dan Sima Rodra, maka Gajah Sora tidak lebih
dari seorang anak-anak yang baru saja dapat berjalan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam pada itu Wiraraga pun minta diri untuk kembali ke
Wanakerta bersama-sama dengan Ki Dalang Mantingan.
Tetapi sebelum mereka berangkat, Mahesa Jenar minta
kepada Ki Dalang Mantingan untuk membantu mengawasi
tanah perdikan Banyubiru. Dalam kedudukannya sebagai
seorang dalang maka ia akan lebih leluasa bergerak di
mana saja. Maka setelah segala pembicaraan selesai, berpisahanlah
mereka. Masing-masing ke arah tujuan masing-masing.
Gajah Alit dan Paningron kembali ke Demak, Wiraraga dan
Mantingan ke Wanakerta lewat Banyubiru.
Sedangkan Mahesa Jenar harus segera kembali kepada
Arya Salaka yang telah beberapa hari ditinggalkan seorang
diri, dan hanya dititipkan kepada para tetangga yang baik
hati. Mengingat kata-kata Ki Paniling, hati Mahesa Jenar tiba-
tiba menjadi berdebar-debar. Memang sebenarnyalah pasti
Lembu Sora tetap akan berusaha untuk membunuh Arya.
Sebab sepeninggal Gajah Sora, Arya lah yang paling berhak
atas tanah perdikan Banyubiru. Sedang apabila Arya ini
dilenyapkan, maka keturunan Sora Dipayana tidak ada lain
tinggal Lembu Sora seorang diri. Dengan demikian maka
Banyubiru dengan sendirinya akan jatuh ke tangan orang
itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Mengingat hal itu semuanya, maka segera Mahesa Jenar
mempercepat langkahnya untuk dapat segera sampai ke
rumah, dimana Arya ditinggalkan. Di perjalanan pulang itu
hati Mahesa Jenar menjadi tidak tenteram. Ia telah
Istana Kumala Putih 14 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pedang Golok Yang Menggetarkan 23
Mahesa Jenar jadi menduga-duga. Kemanakah mereka
pergi" Cepat ia turun dengan sangat hati-hati. Tetapi ketika
sepasang Uling itu menyusur benteng ke arahnya, ia jadi
diam, dan bersembunyi dibalik daun-daun yang agak
rimbun, apalagi ketika mereka lewat dekat di bawahnya.
Tetapi, adalah suatu keuntungan, ketika Mahesa Jenar
mendengar mereka bercakap-cakap. Terdengar Uling Putih
berkata, "Jadi kau yakin bahwa tempat itu telah disiapkan
dengan baik?" Terdengar Sri Gunting menjawab, "Sudah, Ki Lurah.
Cuma satu-dua barak yang belum siap benar."
"Bagus!" Uling Putih meneruskan, Pasingsingan dan Sima
Rodra dari Lodaya akan hadir dalam pertemuan itu.
"Tidakkah mereka akan berpihak?" sela Uling Kuning.
"Tidak, mereka pasti akan menghargai nama mereka
masing-masing," jawab Uling Putih.
Setelah itu mereka tidak berkata-kata lagi. Baru
kemudian terdengar Sri Gunting mengatakan sesuatu,
tetapi Mahesa Jenar sudah tidak dapat mendengar lagi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan mendengar percakapan mereka, Mahesa Jenar
dapat mengambil kesimpulan bahwa pertemuan tokoh-
tokoh hitam itu nanti, tidak akan dilakukan di dalam
benteng itu, tetapi di tempat lain. Hal ini mungkin atas
pertimbangan-pertimbangan keselamatan benteng itu atau
untuk tetap merahasiakan sarang gerombolan Uling Rawa
Pening. Karena itu segera Mahesa Jenar turun dan bergantungan
pada sebuah sulur. Demikian ia sampai di tanah, cepat-
cepat ia berusaha untuk dapat mengikuti kuda sepasang
Uling itu. Untuk itu Mahesa Jenar tidak banyak menemui
kesulitan. Kecuali ia sudah mengenal jalan sempit yang
menuju keluar dari benteng, juga kuda-kuda itu tidak dapat
berjalan cepat di jalan yang banyak rintangan itu.
Beberapa ratus langkah kemudian, rombongan Uling
membelok meninggalkan lorong semula dan menempuh
jalan lain yang lebih sulit. Namun bagaimanapun juga
Mahesa Jenar tetap dapat mengikutinya, meskipun kadang-
kadang ia harus berlari-lari kecil, merangkak, meloncat dan
merunduk, sehingga akhirnya Mahesa Jenar melihat di
depannya terbentang sebuah padang rumput yang luas. Di
pinggir padang itu sedang dibangun beberapa barak yang
sebagian masih dikerjakan. Itulah tempat yang akan
dipergunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan
suatu pertemuan dari tokoh-tokoh golongan hitam.
Mengingat apa yang akan terjadi di lapangan itu, hati
Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar juga.
Kemudian teringatlah ia kepada Ki Dalang Mantingan.
Apakah orang itu sudah datang di daerah Rawa Pening
ataukah belum. Dan mungkinkah Ki Dalang Mantingan
dapat menemukan tempat pertemuan itu. Mengingat hal
itu, Mahesa Jenar merasa perlu untuk berusaha menemui Ki
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalang Mantingan sebelum mereka menyaksikan pertemuan
tokoh-tokoh hitam itu. Beberapa lama kemudian, setelah sepasang Uling itu
berkeliling dan memeriksa barak-barak yang sedang
diselesaikan itu, mereka pun pergi meninggalkan padang
rumput itu kembali ke dalam benteng mereka.
Mahesa Jenar pun menganggap bahwa ia tidak perlu
terlalu lama lagi tinggal di situ. Ia masih mempunyai
beberapa waktu menjelang hari yang ditentukan, untuk
dapat melihat-lihat keadaan di sekeliling tempat itu, serta
untuk menemui Ki Dalang Mantingan.
Sementara itu, langit telah bertambah samar-samar.
Matahari telah menghilang di bawah garis pertemuan bumi
dan langit. Perlahan-lahan malam yang kelam turun
menyeluruh, sedang di langit bintang-bintang timbul
berebutan. Tetapi tidak lama kemudian, cahaya kuning
memulai perjalanannya. Seolah-olah memberi peringatan
kepada Mahesa Jenar bahwa dua hari menjelang, purnama
penuh akan menyinari padang terbuka yang akan menjadi
ajang pertemuan tokoh-tokoh dari golongan hitam.
Perlahan-lahan dan hati-hati Mahesa Jenar menyusup
menjauhi padang rumput itu. Dengan mengenal daerah di
sekitarnya, maka ia akan menjadi lebih aman. Gajah Sora
pernah memperingatkan kecerobohannya pada saat ia
memasuki sarang Harimau Gunung Tidar. Karena itu ia
tidak mau mengulangi kesalahannya lagi.
Setelah puas, Mahesa Jenar berputar-putar, dan segera
menyusur tepi Rawa Pening, untuk mencapai daerah
Banyubiru. Mungkin Mantingan masih berada di sekitar
daerah itu, atau ia juga sedang berusaha untuk
menemukan tempat yang akan dipergunakan untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengadakan pertemuan. Terhadap Mantingan, sebenarnya
Mahesa Jenar masih agak was-was. Ia memang cukup
berilmu. Tetapi berhadapan dengan Lawa Ijo, Jaka Soka
dan sebagainya, Mantingan masih kalah setingkat. Ia
pernah berkelahi dengan Mantingan, juga pernah berkelahi
dengan tokoh-tokoh hitam, sehingga ia mempunyai ukuran
dalam memperbandingkan kemampuan mereka.
Tetapi yang belum pernah dilihatnya, bagaimana
Mantingan menggerakkan trisulanya yang terkenal itu.
Mudah-mudahan keahliannya menggunakan trisula akan
dapat menandingi Lawa Ijo dengan pisau belatinya, atau
Jaka Soka dengan tongkat hitamnya. Namun Mahesa Jenar
yakin, bahwa waktu yang sedikit menjelang kepergiannya
ke Rawa Pening, Mantingan pasti telah mendapatkan
sesuatu dari gurunya, Kiai Ageng Supit. Kiai Ageng Supit
adalah tokoh sakti yang tidak begitu dikenal, karena orang
itu tidak banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang
menonjol di luar padepokannya. Tetapi muridnya,
Mantingan, dalam setiap kesempatan selalu berusaha untuk
menunjukkan jasanya kepada masyarakat di sekitarnya.
Mungkin gurunya sengaja memerintahkannya berbuat
demikian untuk mewakilinya.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar yang sedang berangan-
angan, terkejut. Di tepi rawa itu ia melihat bayangan dua
orang yang sedang berkelahi dengan dahsyatnya. Mahesa
Jenar menjadi menduga-duga, siapakah mereka itu. Karena
itu segera dengan hati-hati ia pun mendekatinya.
Semakin dekat Mahesa Jenar dengan orang yang sedang
bertempur itu, debar hatinya menjadi semakin keras pula.
Di dalam sinar bulan yang hampir purnama itu Mahesa
Jenar dapat melihat dengan jelas, bahwa kedua-duanya
adalah pasti orang-orang yang berilmu tinggi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba debar jantung Mahesa Jenar berubah menjadi
degupan yang menghentak-hentak dadanya. Di dalam
cahaya bulan yang kekuning-kuningan itu tampaklah
berkilat-kilat sinar yang memantul dari senjata orang yang
sedang bertempur itu. Senjata yang cukup dikenalnya, yaitu
trisula. Karena itu cepat Mahesa Jenar mengetahui bahwa salah
seorang dari mereka adalah Mantingan. Maka, Mahesa
Jenar segera berusaha untuk semakin mendekat lagi. Tetapi
sekali lagi detak jantungnya menyentak dan berdegupan
dengan riuhnya, ketika ia melihat lawan Mantingan itu
bersenjata bola besi yang diikat di ujung rantai. Juga
senjata itu pernah dikenalnya. Yaitu senjata andalan dari
kawan seangkatannya, seorang perwira dalam pasukan
pengawal raja, yang bertubuh gemuk pendek, yakni Gajah
Alit. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menjadi agak keheran-heranan. Apakah
kerja Gajah Alit di sini"
Melihat cara Mantingan berkelahi, Mahesa Jenar menjadi
kagum. Alangkah cepatnya ia mendapat kemajuan.
Langkahnya jauh lebih lincah dari beberapa saat yang lalu,
ketika ia harus menghadapinya sebagai lawan, serta unsur-
unsur geraknya menjadi banyak dan berbahaya. Tetapi
yang lebih mengagumkan Mahesa Jenar adalah cara
Mantingan mempergunakan trisulanya. Ketiga ujung trisula
itu seolah-olah berubah menjadi tangan-tangan besi yang
siap menangkap dan membunuh setiap tubuh apapun yang
tersinggung olehnya. Mahesa Jenar melihat bahwa
sebenarnya Mantingan, pasti sudah menerima ilmu-ilmu
baru dari gurunya. Tangannya yang satu lagi selalu
bergerak, menjulur, dan trisulanya mendesing-desing
menimbulkan sambaran-sambaran angin yang menakutkan.
Karena itu, sekarang Mahesa Jenar tidak berwas-was lagi
terhadap Mantingan. Dengan ilmunya itu Mantingan sudah
dapat disejajarkan dengan Lawa Ijo, Jaka Soka, Sima Rodra
dan sepasang Uling dari Rawa Pening. Seandainya dirinya
tidak memiliki pengalaman yang lebih banyak, serta
mendapat kesempatan untuk memiliki Aji Sasra Birawa,
maka untuk dapat mengalahkan Mantingan dengan
trisulanya adalah terlalu sulit. Tetapi lawan Mantingan itu
bukan orang kebanyakan pula. Ia adalah setingkat pula
dengan Mahesa Jenar tanpa aji Sasra Birawa. Bahkan
mungkin sepeninggal Mahesa Jenar, Gajah Alit yang
dipercaya untuk mengisi kedudukannya.
Ketika trisula Mantingan dengan dahsyat mematuk-matuk
hampir ke segenap bagian tubuh Gajah Alit, maka Gajah Alit
segera memutar senjata seperti baling-baling. Angin yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dingin meniup dengan sejuknya, diiringi dengan bunyi yang
berdesing-desing. Karena itu, karena kekuatan mereka seimbang serta
hampir mencapai tingkat tertinggi, maka pertempuran itu
menjadi dahsyat sekali. Mahesa Jenar kemudian menjadi
cemas ketika dilihatnya bahwa agaknya pertempuran itu
telah mencapai puncaknya. Masing-masing telah mengeluarkan segala kemampuan yang ada untuk
membinasakan lawannya. Melihat hal itu Mahesa Jenar
menjadi ragu. Kalau ia melerai mereka, maka Gajah Alit
pasti akan mengenalnya. Tetapi bila dibiarkan, pertempuran
itu pasti akan membawa korban.
Selagi Mahesa Jenar termangu-mangu, pertempuran itu
menjadi semakin sengit. Trisula Mantingan bergerak dengan
cepatnya seperti petir menyambar-nyambar, sedang senjata
Gajah Alit berputar semakin cepat pula sehingga yang
tampak hanyalah bayangan hitam yang bergulung-gulung
mengerikan, seperti awan gelap yang hendak melanda
dengan dahsyatnya. Beberapa kali rantai berkepala bola besi Gajah Alit
berhasil melilit senjata lawannya, tetapi ia sama sekali tak
berhasil merampasnya. Bahkan kadang-kadang mereka
sampai lama berputar-putar, tarik-menarik senjata masing-
masing, sehingga akhirnya terpaksa mereka berusaha untuk
mengurai lilitan rantai itu.
Demikian senjata mereka terurai, demikian senjata-
senjata itu kembali berputar, menyambar dan menusuk-
nusuk dengan dahsyatnya. Melihat semuanya itu akhirnya Mahesa Jenar mengambil
keputusan untuk melerai mereka. Karena itu segera ia
meloncat maju mendekati arena pertempuran itu sambil
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berteriak nyaring, "Tahan dirimu masing-masing. Hentikan
pertempuran ini." Tetapi agaknya mereka yang bertempur itu sama sekali
tak mendengarnya, sebab pendengaran mereka dikacaukan
oleh bunyi senjata mereka yang berdesing-desing dan
berdentangan saling beradu. Sedang perhatian mereka
seluruhnya tertumpah pada upaya mempertahankan jiwa
masing-masing. Karena itu sekali lagi Mahesa Jenar berteriak, lebih keras
dari semula sambil meloncat lebih dekat lagi, "Kakang
Mantingan dan Adi Gajah Alit, hentikan pertempuran."
Baru ketika mereka mendengar nama-nama mereka
disebut, mereka menjadi terkejut. Apalagi, ketika mereka
lihat seseorang mendekat, Mantingan dan Gajah Alit hampir
berbareng meloncat surut, dan dengan herannya memandang kepada Mahesa Jenar yang kemudian
meloncat diantara mereka. Tetapi untuk sesaat mereka
tidak segera mengenal siapakah yang telah melerai mereka
itu, sampai Mahesa Jenar berkata, "Kakang Mantingan dan
Adi Gajah Alit.... Adakah sesuatu yang tidak wajar, sehingga
kalian terpaksa bertempur?"
Mantingan dan Gajah Alit, segera mengenal suara itu.
Karena itu hampir berbareng mereka menyebut nama
Mahesa Jenar. "Ya," jawab Mahesa Jenar, "inilah aku".
Mendengar jawaban itu, segera mereka berloncatan
maju sambil berebutan memberi salam.
"Kemanakah kau selama ini, Kakang?" tanya Gajah Alit,
"Kau begitu saja menghilang seperti hantu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar tidak segera menjawab pertanyaan ini,
tetapi malahan ia bertanya, "Kenapa kalian bertempur?"
Mantingan dan Gajah Alit kemudian saling berpandangan. Memang sebenarnya
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka tidak mempunyai suatu alasan yang kuat, kecuali mereka
sebenarnya hanya saling curiga.
"Aku tidak tahu kakang," jawab Gajah Alit sambil
tersenyum-senyum. Wajahnya yang bulat itu masih saja
memancarkan kejenakaannya.
"Kami sebenarnya tidak mempunyai urusan," jawab
Mantingan. "Lalu apakah sebabnya?" tanya Mahesa Jenar heran.
"Sebenarnya kami belum saling mengenal," jelas
Mantingan. Mendengar kata-kata itu, barulah Mahesa Jenar sadar
bahwa sebaiknya ia memperkenalkan kedua orang yang
baru saja bertempur itu. Dengan mengenal siapakah mereka masing-masing, hati
Mantingan maupun Gajah Alit bergetaran. Bagi Mahesa
Jenar, Gajah Alit adalah seorang perwira prajurit pengawal
raja, yang pasti seorang prajurit pilihan. Sebaliknya nama
Mantingan pernah didengar oleh Gajah Alit, sebagaimana
Mahesa Jenar dahulu juga sudah mendengarnya, sebagai
seorang yang telah berhasil membinasakan tiga orang
perampok yang menamakan diri mereka Samber Nyawa.
Di dalam hati Mantingan merasa bersyukur bahwa ia
masih tetap dapat mempertahankan dirinya terhadap Gajah
Alit. Andaikata ia masih belum menerima ilmu Pacar Wutah
dari gurunya, entahlah apa yang akan terjadi atas dirinya.
Dan karena ilmu itulah maka Mantingan menjadi seorang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang perkasa. Gurunya sengaja memberikan ilmu itu
sebagai bekal perjalanannya yang akan sangat berbahaya.
Sejenak kemudian, kembali terdengar Mahesa Jenar
bertanya kepada Mantingan dan Gajah Alit, "Apakah urusan
kalian, sehingga kalian sampai mempertaruhkan nyawa
kalian?" Gajah Alit tidak menjawab pertanyaan itu. Malahan ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sebaliknya Mantingan mencoba untuk memberi penjelasan. Katanya,
"Entahlah Adi, tetapi kami tadi telah berjumpa di temat ini.
Karena barangkali kami sama-sama tidak mau mengatakan
keperluan kami, maka kami menjadi saling curiga. Aku
mengira bahwa orang itu adalah salah seorang anggota
golongan hitam, barangkali ia pun mengira aku demikian
pula, sehingga akhirnya kami berkelahi. Mula-mulai kami
tidak bersungguh-sungguh tetapi akhirnya kami jadi mata
gelap." Mendengar keterangan Ki Dalang Mantingan, Mahesa
Jenar tersenyum. Memang kadang-kadang kita harus
mengalami peristiwa-peristiwa yang aneh, seperti apa yang
pernah dialaminya di Prambanan dan Pucangan.
"Benarkah begitu, Adi Gajah Alit?" Mahesa Jenar
menegaskan. "Begitulah, Kakang," jawab Gajah Alit, "Sebab kami
belum pernah saling mengenal. Untunglah bahwa Kakang
Mahesa Jenar sempat melerai kami. Kalau tidak, barangkali
ada bangkai Gajah tanpa belalai jadi makanan Gagak."
Mahesa Jenar tertawa perlahan-lahan. Segera terdengar
Mantingan berkata, "Tuan terlalu merendahkan diri.
Bersyukurlah aku, kalau sekarang aku masih sempat
memandang bulan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku tidak dapat mengatakan," potong Mahesa Jenar,
"Siapakah yang lebih unggul diantara kalian. Karena itu
kalian akan menjadi kawan yang baik bagiku di sini, di
dekat sarang sepasang Uling Rawa Pening." Mahesa Jenar
diam sebentar, kemudian ia meneruskan, "Apakah
sebenarnya kepentingan Adi Gajah Alit kemari?"
Gajah Alit menarik nafas. Ia akan menjawab, tetapi agak
ragu-ragu sambil memandang Ki Dalang Mantingan, sampai
Mahesa Jenar mendesaknya, "Katakanlah. Kakang Mantingan adalah orang yang tahu membawa masalah."
"Kakang...." Gajah Alit memulai, "Kedatanganku adalah
atas perintah Sultan. Sebab terdengar keterangan dari
penjabat-penjabat rahasia, bahwa di sekitar rawa ini akan
terjadi suatu pertemuan dari tokoh-tokoh golongan hitam.
Karena itu aku mendapat perintah untuk mengadakan
penyelidikan atas kebenaran berita itu. Maka dikirimkannyalah aku kemari."
Mendengar keterangan Gajah Alit, Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Jadi kalangan istana sudah mendengar akan adanya pertemuan
tengah bulan ini?" "Ya," Jawab Gajah Alit, "Bahkan aku tidak seorang diri."
"Kau tidak seorang diri?" ulang Mahesa Jenar.
"Aku dikirim bersama dengan Kakang Paningron." Gajah
Alit meneruskan. Mendengar kata-kata Gajah Alit itu hati Mahesa Jenar
jadi berdebar-debar juga. Paningron adalah salah seorang
perwira dari jabatan rahasia. Ilmunya tidak kalah dengan
ilmu yang dimiliki oleh Gajah Alit.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Di manakah Adi Paningron sekarang?" tanya Mahesa
Jenar. "Sejak senja kami berpisah," jawab Gajah Alit. "Kami
berusaha untuk menemukan tempat pertemuan Golongan
Hitam itu. Tengah malam kami akan bertemu. Kalau malam
ini tempat itu belum kami temukan, besok kami masih
harus bekerja keras."
Sesaat kemudian Mahesa Jenar jadi ragu. Kalau dari
penjabat rahasia telah dapat mengetahui keberadaannya,
maka ada kemungkinan dirinya dipanggil menghadap.
Kepada Gajah Alit, ia masih mungkin untuk memintanya
tidak berkata apa-apa tentang dirinya. Tetapi bagaimana
dengan Paningron" Agaknya Gajah Alit dapat menangkap perasaan Mahesa
Jenar. Karena itu ia berkata, "Kakang Mahesa Jenar tidak
perlu khawatir tentang Kakang Paningron. Ia adalah
seorang penjabat yang baik, tetapi juga bukan jenis orang
yang suka mencari-cari kesalahan orang lain."
Mendengar keterangan Gajah Alit, Mahesa Jenar tertawa
pendek. "Kau pandai menebak perasaan orang Adi. Mudah-
mudahan demikianlah hendaknya."
"Percayakan itu padaku," tegas Gajah Alit.
"Baiklah..." kata Mahesa Jenar, "Kalau demikian aku
bersamamu menunggu kedatangannya. Juga adalah suatu
keuntungan bahwa kau tidak berjalan bersama-sama
dengan Adi Paningron. Sebab dengan demikian mungkin
kalian telah menangkap Kakang Mantingan yang pergi
seorang diri." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar percakapan itu Mantingan tertawa pula, serta
diantara tertawanya terdengar ia berkata, "Aku pun tidak
pergi seorang diri, Adi."
"He...?" Mahesa Jenar dan Gajah Alit agak terkejut
mendengar itu. "Dengan siapa Kakang pergi?" tanya Mahesa Jenar.
"Aku pergi bersama Kakang Wiraraga, kakak seperguruanku," jawab Mantingan.
Mahesa Jenar dan Gajah Alit berbareng mengangguk-
angguk. Terlintaslah dalam angan- angan mereka, bahwa
kakak seperguruan Mantingan setidak-tidaknya adalah
setingkat dengan Mantingan. Dan memang sebenarnyalah
demikian. Kakak seperguruannya itu pun baru saja
menerima ilmu Pacar Wutah berbareng dengan Mantingan,
menjelang keberangkatan mereka. Meskipun Wiraraga lebih
lama menekuni pelajaran gurunya, tetapi karena sifatnya
yang pendiam dan jarang-jarang keluar dari padepokan
seperti gurunya, maka Mantingan memiliki pengalaman dan
pengetahuan yang lebih luas. Karena itu, keperkasaan
Mantingan tidaklah kalah dengan kakak seperguruannya itu.
Dalam perjalanannya yang berbahaya itu, Ki Ageng Supit
tidak sampai hati melepaskan Mantingan pergi sendiri,
sebab ia pernah mendengar siapa saja yang tergolong
dalam lingkaran hitam. Karena itu ia minta Wiraraga
menyertainya. "Di manakah kakak seperguruan Kakang itu?" tanya
Mahesa Jenar kemudian. "Seperti juga Adi Gajah Alit, Kakang Wiraraga
memisahkan diri sejak kemarin. Malam ini kami berjanji
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan bertemu. Meskipun tempat yang kita cari itu masih
belum dapat kami temukan."
"Mudah-mudahan Kakang Paningron tidak bertemu dan
bertempur dengan kakak seperguruan Kakang Mantingan,"
sela Gajah Alit sambil tertawa lucu.
"Mudah-mudahan,"
jawab Mahesa Jenar. "Kalau demikian..." lanjut Mahesa Jenar, "Aku tunggu di sini. Kalian
cari kawan-kawan kalian itu, dan bawalah mereka kemari.
Tempat pertemuan itu tak usah kalian cari-cari lagi."
"Kenapa?" tanya Mantingan dan Gajah Alit hampir
berbareng. "Carilah kawan-kawan kalian," desak Mahesa Jenar, "dan
cegahlah kalau mereka benar-benar bertemu dan
bertempur seperti kalian tadi. Aku menunggu kalian di sini."
Kemudian terdengar Gajah Alit tertawa riuh. "Untunglah
aku bertemu Kakang di sini. Melihat gelagatnya pasti
Kakang Mahesa Jenar telah menemukan tempat itu."
"Tepat!" sambung Mantingan, "Aku juga menduga
demikian." Mahesa Jenar pun kemudian tertawa. "Mungkin kalian
benar, karena itu kalian harus cepat-cepat menemukan
kawan-kawan kalian."
"Baiklah," jawab mereka berbareng.
Ketika mereka telah tidak tampak lagi, segera Mahesa
Jenar mencari tempat untuk beristirahat. Direbahkannya
dirinya di atas sebuah batu besar, sambil memandang bulan
dan bintang-bintang yang bertebaran di langit.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Untuk beberapa lama pikirannya sempat melayang
mondar-mandir dari waktu ke waktu, dari peristiwa yang
satu ke peristiwa yang lain.
Menjelang tengah malam, Mahesa Jenar mendengar
langkah orang mendekati tempatnya berbaring. Cepat ia
bangkit dan memandang ke arah suara itu. Tetapi
kemudian ia menarik nafas panjang ketika ia melihat
bayangan dua orang mendekatinya, serta keduanya
membawa senjata ciri perguruan Ki Ageng Supit, yaitu
trisula. Jelaslah bagi Mahesa Jenar bahwa kedua orang itu
pasti Mantingan dan Wiraraga.
Maka demikian kedua orang itu sampai di hadapan
Mahesa Jenar, demikian Mantingan memperkenalkan kakak
seperguruannya kepada Mahesa Jenar dengan sebutan
Rangga Tohjaya. Mendengar nama itu segera Wiraraga membungkuk
hormat sambil berkata, "Berbesarlah hatiku dapat
berkenalan dengan seseorang yang pernah menggemparkan istana, karena berhasil menggagalkan
pencurian pusaka di gedung perbendaharaan. Juga yang
telah banyak menyelamatkan rakyat dari gangguan
kejahatan." Mendengar pujian itu Mahesa Jenar tersenyum sambil
membungkuk hormat pula. Katanya, "Terimakasih Kakang,
tetapi perguruan Kakang adalah perguruan yang terkenal
pula. Karena itu seharusnya akulah yang merasa beruntung
berkenalan dengan Kakang."
Kembali Wiraraga mengangguk. Wajahnya yang ketua-
tuaan itu tampak tersenyum-senyum. Meskipun umurnya
tidak terpaut banyak dari Mantingan, tetapi nampaknya
Wiraraga telah jauh lebih tua. Rambutnya telah mulai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ditumbuhi uban. Matanya memancar lembut, tetapi dalam.
Tubuhnya kekar meskipun tidak begitu tinggi. Wiraraga
memang benar-benar seorang pendiam. Tidak banyak ia
berkata-kata. Ia lebih senang mendengarkan Mantingan
berbicara daripada ia sendiri yang berbicara. Maka karena
sifat-sifatnya itulah maka Wiraraga nampak jauh lebih tua
dari umur yang sebenarnya.
Tidak lama kemudian, tampaklah Gajah Alit datang pula
bersama-sama dengan Paningron. Bagi
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paningron, kehadiran Mahesa Jenar di situ sangat mengejutkan.
Agaknya Gajah Alit belum memberitahukan lebih dahulu,
sehingga suasana kemudian menjadi riuh.
Setelah pertemuan itu menjadi lebih tenang, barulah
mereka berbicara tentang tokoh-tokoh hitam yang akan
mengadakan pertemuan pada purnama penuh yang akan
datang, serta tempat pertemuan mereka.
Dengan teliti Mahesa Jenar memberikan gambaran
tentang lapangan yang akan dipergunakan, serta memberitahukan bahwa dalam pertemuan itu akan hadir
Pasingsingan dan Sima Rodra. Dua orang angkatan tua
yang setingkat dengan guru-guru mereka. Karena itu
mereka harus sangat berhati-hati.
Dalam pertemuan itu mereka memutuskan untuk pada
saat itu juga pergi ke tempat yang akan dipergunakan
untuk mengadakan pertemuan itu serta seterusnya
mengatur agar setiap saat tempat itu dapat diawasi
bergiliran. Demikianlah maka segera mereka berlima pergi bersama
untuk melihat keadaan serta kemungkinan-kemungkinan
yang akan mereka lakukan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sejak saat itu, mulailah rombongan Mahesa Jenar itu
mengadakan pengawasan dengan teliti berganti-ganti.
Mereka telah berhasil menemukan tempat yang sangat
baik. Tempat itu agak menjorok ke atas, tetapi ditumbuhi
pepohonan yang agak lebat. Dari tempat itu, mereka akan
dapat melihat apa saja yang terjadi di lapangan rumput
yang terbentang di hadapannya. Meskipun pada siang hari,
tempat itu akan tetap merupakan tempat yang tersembunyi. Mereka yang sedang bertugas mengadakan
pengawasan harus memanjat sebuah pohon yang tak
begitu tinggi, namun berdaun rimbun. Sedang yang lain
dapat dengan aman beristirahat tidak lebih dari dua puluh
langkah dari tempat itu, sambil menikmati ketupat sambal,
bekal yang dibawa oleh Mantingan atau jadah jenang alot,
bekal Gajah Alit. Pada siang hari itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
melihat betapa orang-orang Uling Rawa Pening berusaha
keras menyelesaikan pekerjaan mereka, bahkan pada
malam harinya pun pekerja-pekerja itu tetap melakukan
tugas mereka sampai barak-barak itu siap dipergunakan.
Maka pada hari berikutnya, menjelang purnama penuh,
tampaklah di tempat itu kesibukan-kesibukan yang padat.
Uling Putih dan Uling Kuning sendiri datang menjelang hari
sepenggalah. Ketika matahari telah mencapai puncaknya, maka
mulailah penjagaan-penjagaan sekeliling tempat itu semakin ditertibkan. Sri Gunting sendiri yang memimpinnya.
Beberapa orang telah diperintahkan untuk meronda keliling,
serta beberapa orang lagi ditempatkan di tempat-tempat
yang dianggap perlu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
tidak berani lagi berbuat seenaknya. Sebab setiap saat ada
kemungkinan para peronda melintasi tempat mereka
bersembunyi. Karena itu, daripada mereka harus selalu
memperhatikan keadaan di sekeliling mereka, maka mereka
lebih menganggap aman apabila mereka semuanya
memanjat pohon. Dengan demikian mereka tidak perlu lagi
bersusah payah menegangkan urat syaraf mereka.
Berdasarkan atas pikiran itu, maka segera mereka
berlima memilih tempat mereka masing-masing. Tidak
terlalu dekat satu sama lain, tetapi juga tidak terlalu jauh.
Beberapa saat, perasaan mereka dihinggapi oleh
ketegangan yang semakin lama semakin memuncak, karena
mereka harus menunggu suatu peristiwa yang cukup
penting. Sedang di bawah mereka beberapa peronda sudah
lebih dari dua kali lewat hilir-mudik. Namun untunglah
bahwa tak seorang pun dari mereka merasa perlu untuk
menyelidiki dahan-dahan kayu di atas mereka.
----------o-dwkzOarema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 8 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Ketika matahari telah condong ke barat, mulailah
rombongan yang pertama datang ke tempat itu.
Rombongan yang datang paling awal adalah rombongan
dari Gunung Tidar. Beberapa waktu yang lampau Mahesa
Jenar pernah menyaksikan orang-orang dari golongan hitam
ini berkumpul, tetapi agaknya kali ini pertemuan mereka
lebih bersifat resmi. Suami-istri Sima Rodra itu datang bersama beberapa
pengiring, di bawah pimpinan seorang yang bertubuh
pendek dengan otot-otot yang menjorok, membuat garis-
garis di wajah kulitnya yang hitam. Dengan demikian
nampak betapa kokohnya ia, bahkan mirip seekor orang
hutan. Uling Putih dan Uling Kuning sendiri datang
menyambut rombongan itu, serta langsung dibawa ke salah
satu barak yang terbesar, yang agaknya merupakan ruang
pertemuan. Setelah mereka berbicara beberapa saat,
rombongan itu kemudian dipersilahkan memasuki salah
satu barak yang lain, yang rupa-rupanya menjadi tempat
penginapan. Demikian, datanglah berturut-turut rombongan dari
hutan Tambakbaya. Lawa Ijo bersama-sama dengan Wadas
Gunung, Carang Lampit, Cemoro Aking, Bagolan dan
beberapa orang lagi. Disusul oleh kedatangan Ki Ageng
Lembu Sora beserta para pengiringnya. Meskipun Mahesa
Jenar telah menduga sebelumnya bahwa Lembu Sora pasti
akan hadir juga dalam pertemuan itu, namun hatinya
berdebar-debar pula menyaksikan kedatangannya.
Tetapi satu hal yang Mahesa Jenar masih menunggu-
nunggu. Yaitu kehadiran Jaka Soka. Sampai matahari
rendah sekali, Ular Laut dari Nusakambangan itu belum
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menampakkan diri. Sedangkan Pasingsingan dan Sima
Rodra menurut perhitungan Mahesa Jenar pasti akan
muncul ketika pertemuan itu sudah akan dimulai.
Sesaat kemudian matahari tenggelam dengan damainya,
disusul oleh cahaya purnama penuh yang memancar dari
sebuah bola yang melayang-layang di langit.
Pada saat yang demikian, agaknya pertemuan antara
golongan hitam itu sudah akan dimulai.
Beberapa orang telah keluar dari barak-barak mereka,
dan berkumpul di pinggir lapangan rumput itu. Uling Putih
dan Uling Kuning untuk penghabisan kali memeriksa tempat
pertemuan itu. Setelah ia merasa bahwa segala sesuatunya
tidak ada kekurangan, maka segera terdengar sebuah
kentongan dipukul perlahan-lahan.
Sesaat kemudian muncullah tokoh-tokoh hitam dari
barak mereka masing-masing menuju ke lapangan. Juga Ki
Ageng Lembu Sora yang akan mengikuti pertemuan itu.
Tetapi di antara mereka masih belum nampak Jaka Soka,
Pasingsingan dan Sima Rodra.
Uling Putih sebagai tuan rumah segera mempersilahkan
tamu-tamunya di tempat yang telah direncanakan. Lembu
Sora sebagai tamu kehormatan menempati sisi sebelah
barat bersama-sama dengan Uling Rawa Pening. Bagian
selatan disediakan untuk Rombongan dari Gunung Tidar,
sedangkan Bagian timur untuk gerombolan Hutan
Tambakbaya. Bagian utara yang disediakan untuk
rombongan dari Nusakambangan masih tampak kosong.
Sedang tempat-tempat yang disediakan untuk Pasingsingan
dan Sima Rodra pun masih tampak kosong.
Tetapi belum lagi mereka selesai menempatkan diri, tiba-
tiba dari arah utara muncullah satu rombongan, yang di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
depan mereka berjalan seorang muda yang berwajah
tampan. Ialah Jaka Soka yang datang sambil tersenyum-
senyum, beserta beberapa pengiringnya. Dengan munculnya Jaka Soka, tiba-tiba suasana segera berubah
menjadi tegang, meskipun orang itu sendiri selalu
tersenyum-senyum. Apalagi Lembu Sora tiba-tiba tidak
dapat menguasai dirinya. Dengan serta merta ia berdiri
sambil mencabut pedang panjangnya. Tanpa menunggu
apapun ia langsung berlari menyerang Jaka Soka yang baru
saja datang. Jaka Soka, ketika melihat serangan itu menjadi terkejut.
Tetapi segera ia menyadari bahwa hal yang demikian
memang wajar terjadi, sebab pasti Lembu Sora masih sakit
hati kepadanya, karena ia sama sekali tidak berusaha untuk
mencegah pada saat Mahesa Jenar akan membunuhnya,
bahkan agaknya Jaka Soka pada waktu itu menunjukkan
bahwa ia bersenang hati atas peristiwa itu.
Karena itu, Jaka Soka pun segera menyambut serangan
Lembu Sora. Dengan cepatnya, ia memutar tongkatnya,
dan sesaat kemudian tangan kanannya telah memegang
sebuah pedang yang lentur, sedang tangan kiri memegang
tongkatnya yang dipergunakannya sebagai perisai.
Pada saat itu Lembu Sora telah berdiri di hadapan Jaka
Soka. Pedangnya yang besar itu terayun deras mengarah ke
leher Jaka Soka. Tetapi ternyata Jaka Soka cukup gesit,
sehingga demikian pedang itu menyambar. Jaka Soka
segera merendahkan diri sambil menjulurkan tangan
kanannya untuk menyerang lambung Lembu Sora dengan
pedangnya. Melihat serangan itu, Lembu Sora meloncat
setapak mundur. Tetapi, Jaka Soka tidak mau memberi
kesempatan lagi. Secepat Lembu Sora melangkah, iapun
cepat meloncat maju dengan tangan kanannya tetap
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terjulur ke depan dan ujung pedang lenturnya masih tetap
mengarah lambung. Melihat ujung pedang Jaka Soka itu
tetap mengejarnya, Lembu Sora segera meluruskan
tangannya pula. Dan karena pedangnya lebih panjang dari
pedang Jaka Soka, maka terpaksa Jaka Soka menarik
serangannya. Lembu Sora tidak mau melepaskan kesempatan itu.
Segera pedangnya yang besar serta panjang melampaui
ukuran biasa itu, diputarnya seperti memutar lidi, sehingga
menimbulkan bunyi berdesingan dan angin yang menyambar-nyambar menyertai putaran pedangnya.
Mendapat serangan yang dahsyat itu Jaka Soka terpaksa
menangkis dengan kedua tangannya, dengan pedang
lenturnya serta tongkat hitam yang juga merupakan rangka
dari pedangnya. Tetapi ia adalah seorang pemimpin bajak
laut yang terkenal. Karena itu ia segera dapat mencapai
keseimbangan. Bahkan serangannya menjadi semakin
berbahaya pula. Sesaat itu, orang-orang lain yang menyaksikan gerakan
Lembu Sora yang tak mereka duga, menjadi terkejut dan
tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan. Baru setelah
mereka menyaksikan perkelahian mati-matian antara
keduanya, mereka menjadi sadar atas apa yang terjadi.
Uling Kuning yang pernah bertengkar pula dengan Jaka
soka, hatinya menjadi terbakar pula. Hampir saja ia ikut
serta menyerang Jaka Soka, kalau sekali lagi kakaknya Uling
Putih tidak memperingatkan.
"Biarkanlah mereka," kata Uling Putih. "Adalah baik sekali
kalau salah seorang, atau kedua-duanya binasa."
Dengan pandangan tidak mengerti, Uling Kuning
menatap wajah kakaknya. Sehingga dengan tertawa pendek
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Uling Putih perlu menjelaskan, "Aku setuju dengan
pendapat Jaka Soka, bahwa akhirnya kita akan saling
berusaha untuk membinasakan. Kalau salah seorang atau
kedua-duanya binasa, bukankah saingan kita berkurang"
Kalau Lembu Sora binasa, Banyubiru akan dengan mudah
kita kuasai. Sedang Pamingit mungkin akan jatuh ke dalam
pengaruh Sima Rodra. Tetapi Sima Rodra itu kelak harus
kita binasakan pula, cepat atau lambat, sebelum atau
sesudah Demak sendiri binasa."
Mendengar keterangan kakaknya itu, Uling Kuning ikut
tertawa pula. Serta tak sengaja ia memandang Lawa Ijo
dan Sima Rodra berganti-ganti. Ternyata mereka sama
sekali tidak beranjak dari tempatnya. Agaknya mereka pun
mempunyai perhitungan yang sama sehingga mereka tidak
menganggap perlu untuk melerainya.
Sementara itu pertempuran antara Jaka Soka dan Lembu
Sora menjadi semakin dahsyat. Laskar Lembu Sora yang
melihat pemimpinnya bertempur serentak bergerak maju.
Tetapi segera mereka terhenti ketika mereka melihat para
pengiring Jaka Soka menyiapkan panah mereka. Agaknya
para bajak laut itu biasa mempergunakan senjata jarak jauh
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam pekerjaan mereka sehari-hari, bila mereka sedang
merompak dan membajak kapal-kapal yang berlayar di
daerah kerja mereka. Tetapi, orang-orang Lembu Sora ternyata memiliki
kelicinan seperti pemimpinnya pula. Begitu mereka tertahan
karena ancaman panah, segera mereka bubar berpencaran
ke segala penjuru. Tentu saja hal ini agak menyulitkan
orang-orang Jaka Soka. Namun para bajak laut itu pun
terdiri dari orang-orang yang berhati keras. Ketika mereka
merasa bahwa senjata panah mereka kurang berguna,
segera mereka menyiapkan golok-golok mereka. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah maka suasana menjadi bertambah tegang.
Tidak saja laskar Pamingit dan para pengiring Jaka Soka
saja yang kemudian bersiaga, tetapi juga orang-orang Lawa
Ijo, Sima Rodra dan Gerombolan Uling Rawa Pening segera
bersiaga penuh. Sebab tidak mustahil kalau salah satu pihak
akan mengambil kesempatan dalam kekisruhan yang terjadi
itu. Namun meskipun demikian, tak seorang pun dari orang-
orang Lembu Sora atau Jaka Soka yang berani memulai
sebelum mereka mendapat perintah dari pemimpin-
pemimpin mereka. Sedang Lembu Sora maupun Jaka Soka
agaknya ingin menyelesaikan masalah itu seorang diri,
tanpa bantuan orang lain. Sebab dengan demikian akan
puaslah hati mereka masing-masing yang berhasil
membinasakan lawannya karena tangan sendiri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Perkelahian antara Jaka Soka dan Lembu Sora semakin
lama makin bertambah dahsyat. Masing-masing mengeluarkan segala kepandaiannya untuk membinasakan
lawannya. Mereka sama sekali sudah tidak ragu-ragu lagi,
seandainya lawan masing-masing terpenggal lehernya atau
tersobek dadanya. Lembu Sora yang kuat dan garang seperti singa itu
menyerang semakin dahsyat dengan pedang yang terayun
kian-kemari, sedang Jaka Soka berkelahi benar-benar
seperti seekor ular yang membelit, menjalur dan mematuk-
matuk berbahaya sekali. Semua yang menyaksikan pertempuran itu terpaksa
menahan nafas. Mau tidak mau mereka harus mengagumi
keperkasaan kedua orang yang sedang bertanding. Lembu
Sora percaya akan kekuatan tubuhnya melawan Jaka Soka
yang mempunyai cara bertempur yang lemas sekali.
Sesaat kemudian pertempuran itu sampai ke taraf yang
menentukan. Baik Jaka Soka maupun Lembu Sora telah
mengerahkan segenap tenaganya secara berlebih-lebihan,
sehingga dalam waktu yang singkat mereka telah merasa
bahwa tenaga mereka seakan-akan telah terperas habis.
Karena itu sebelum mereka jatuh dan tidak bertenaga lagi,
mereka telah sedemikian bernafsu untuk membinasakan
lawannya. Maka pada saat yang demikian, pada saat semua yang
hadir lagi menahan nafas, tiba-tiba muncullah orang yang
selama ini mereka nanti-nantikan, ialah Pasingsingan dan
Sima Rodra. Melihat Lembu Sora dan Jaka Soka sedang
dengan dahsyatnya mempertaruhkan nyawanya, Pasingsingan dan Sima Rodra mengernyitkan alisnya. Tiba-
tiba hampir tak diketahui apa yang sudah dilakukan oleh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pasingsingan, Jaka Soka dan Lembu Sora terpental
bersama-sama beberapa langkah, dan kemudian mereka
jatuh bergulingan. Ketika mereka bangun, mata mereka
menunjukkan kemarahan yang luar biasa. Tetapi ketika
mereka melihat Pasingsingan telah berdiri diantara mereka,
wajah mereka yang merah itu segera menjadi pucat dan
ketakutan. "Apa yang telah kalian lakukan?" bentak Pasingsingan.
Lembu Sora dan Jaka Soka sama sekali tidak menjawab.
Dan karena mereka tidak menjawab, Pasingsingan segera
memanggil Lawa Ijo, dan bertanya kepadanya, "Kenapa
mereka berkelahi?" Dengan singkat Lawa Ijo menceriterakan apa yang telah
terjadi, pertentangan antara Jaka Soka dan Lembu Sora
pada saat mereka sedang mencegat pasukan-pasukan dari
Demak beberapa waktu berselang.
Mendengar ceritera Lawa Ijo, sekali lagi Pasingsingan
menyernyitkan alisnya, kemudian katanya, "Kenapa kalian
diam saja melihat perkelahian itu?"
Lawa Ijo, Sepasang Uling Rawa Pening, dan Sima Rodra
terkejut mendengar pertanyaan itu, sehingga tak seorang
pun yang dapat menjawabnya.
"Kalian tak usah berbohong," lanjut Pasingsingan,
"sebab kalian akan bersyukur kalau salah seorang sekutu
kalian atau kedua-duanya binasa,".
Yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu semakin
diam, sebab Pasingsingan langsung dapat menebak isi hati
mereka. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian Pasingsingan menoleh kepada Jaka Soka dan
Lembu Sora, katanya, "Kalian telah merusak suasana
malam purnama ini" Lembu Sora dan Jaka Soka tidak berkata sepatah pun.
Mereka menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
"Kembalilah ke tempat kalian masing-masing." perintah
Pasingsingan. Mendengar perintah itu segera Lembu Sora berjalan
menuju ke tempatnya semula. Sedang para pengiringnya
kemudian juga pergi ke tempat masing-masing.
Sementara itu Lawa Ijo, Sima Rodra muda telah
mengambil tempatnya pula, sedang sepadang Uling Rawa
Pening sibuk mempersilahkan Jaka Soka untuk menempatkan diri beserta para pengirinya di sisi utara.
Adapun Pasingsingan kemudian dipersilahkan duduk
bersama-sama dengan Sima Rodra tua di sisi sebelah barat,
di samping tempat duduk Uling Rawa Pening.
Setelah suasana menjadi tenang kembali, serta para
peserta pertemuan itu telah duduk di tikar pandan di sisi-
sisi yang telah ditentukan, berkatalah Pasingsingan dengan
nyaringnya, "Kalian, orang yang disebut golongan hitam,
tetapi yang sebenarnya bercita-cita luhur seperti lazimnya
manusia yang selalu ingin mencapai tingkatan tertinggi
dalam kehidupan, bersyukurlah di dalam hati kalian bahwa
pada malam hari ini kalian dapat berkumpul bersama-sama.
Tetapi kalian pasti tak akan dapat berbuat sesuatu, sebab
tidak ada diantara kalian yang pantas menjadi pemimpin
diantara kita. Terbukti bahwa tidak seorang pun diantara
kalian yang berhasil membawa keris-keris Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten itu kemari."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pasingsingan diam sebentar. Pandangannya beredar dari
setiap wajah yang berada di sekitar lapangan kecil itu.
Sejenak kemudian ia melanjutkan, "Kalau kalian ingin
mendapatkan tingkatan itu dengan mengadu kepandaian,
maka cara itu pun tidak akan menyelesaikan masalahnya.
Sebab suatu pertarungan diantara kalian dalam saat ini
pasti hanya akan memakan waktu berlarut-larut. Coba lihat
apa yang dilakukan oleh Jaka Soka dengan Ki Ageng Lembu
Sora. Andaikata mereka dibiarkan bertempur terus pasti
mereka akan mati kelelahan kedua-duanya, bersama-sama,
atau kalau mereka menghemat tenaga mereka, pertempuran semacam itu akan dapat berlangsung berhari-
hari." Kembali Pasingsingan diam sejenak, lalu ia melanjutkan,
"Yang penting sekarang kesatuan diantara kita masih kita
perlukan. Marilah kita ubah persetujuan kita, dengan
mengadakan persetujuan baru. Barang siapa yang
terdahulu menemukan Keris Nagasasra dan Sabuk Inten,
dialah yang segera diumumkan dan kita angkat menjadi
pemimpin kita, dan kita dukung perjuangannya melawan
pemerintah Demak. Suasana kemudian menjadi hening sepi. Tetapi dalam
pada itu degup jantung Mahesa Jenar serta kawan-
kawannya bertambah cepat. Apalagi Mahesa Jenar, Gajah
Alit dan Paningron yang datang sebagai prajurit-prajurit
Demak. Tetapi bagaimanapun mereka harus menahan diri,
sebab di hadapan mereka berkumpul tokoh-tokoh hitam
yang kuat, ditambah lagi dengan Pasingsingan dan Sima
Rodra yang pernah mereka dengar namanya.
Tetapi lebih terkejut lagi mereka berlima ketika
Pasingsingan kemudian melanjutkan, "Sedangkan sekarang
kalian mempunyai pekerjaan yang lebih penting. Pertemuan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ini dapat kalian lanjutkan nanti setelah pekerjaan kita
selesai. Nanti kita dapat mengatur siasat, menentukan sikap
dan sebagainya, setelah orang-orang lain yang tidak kita
undang tidak turut serta mendengarkan pembicaraan kita."
Yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu menjadi
sibuk berpikir serta menduga-duga. Demikian pula Mahesa
Jenar dan kawan-kawannya yang dengan lamat-lamat
dapat mendengarkan setiap pembicaraan mereka, menjadi
sibuk berpikir pula, sampai Pasingsingan berkata lebih
lanjut, "Kalian ternyata terlalu sibuk memikirkan bagaimana
cara kalian untuk membinasakan kawan sendiri daripada
berhati-hati menghadapi lawan."
Orang-orang golongan hitam itu menjadi bertambah
bingung, sedang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya,
jantungnya bertambah cepat bergetar. Apakah kehadiran
mereka telah diketahui oleh Pasingsingan"
Melihat kebingungan orang-orang yang berkumpul di sisi-
sisi lapangan itu, terdengar Sima Rodra tua tertawa pendek,
katanya, "Apakah yang akan kalian banggakan untuk dapat
menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang
tidak tentu di mana sekarang berada. Apakah benar-benar
telah hilang dari Banyubiru atau hanya disembunyikan saja
oleh si Gajah Sora atau si tua bangka Sora Dipayana, ayah
Lembu Sora itu. Sedangkan apa yang ada di hadapan
hidung kalian saja tidak kalian ketahui."
Perasaan mereka yang mendengarkan kata-kata itu
menjadi semakin kisruh. Melihat keadaan itu agaknya
Pasingsingan tidak sabar lagi, katanya keras-keras,
"Berdirilah kalian dan berjalanlah kalian ke arah tenggara.
Lihatlah setiap pohon yang tumbuh di sana, kalian akan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menemukan orang yang telah kalian sangka mati terguling
ke dalam jurang beserta empat orang kawannya."
Tampaklah betapa terkejutnya tokoh-tokoh hitam yang
sedang berkumpul itu. Tetapi tidak kurang pula terkejutnya
Mahesa Jenar dengan kawan-kawannya. Ternyata kehadiran mereka telah diketahui oleh Pasingsingan dan
Sima Rodra. Bagaimanapun mereka terpaksa mengakui
betapa tinggi ilmu kedua orang dari angkatan tua itu. Di
samping itu, kata-kata Pasingsingan merupakan suatu
peringatan bagi Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya,
untuk tidak mempunyai pilihan selain berjuang mati-matian
untuk mempertahankan hidup masing-masing, meskipun
mereka sadar bahwa seandainya Pasingsingan dan Sima
Rodra ikut campur maka tak ada jalan untuk melepaskan
diri dari maut. Meskipun demikian, kemungkinan- kemungkinan itu memang sudah terpikirkan sejak mereka
berangkat. Karena itu, satu-satunya jalan adalah mencari
korban sebanyak-banyaknya sebelum dirinya binasa.
Karena itu sebelum mereka terkunci di atas pohon, maka
segera dengan cepat Mahesa Jenar turun diikuti oleh
kawan-kawannya. Demikian mereka sampai di atas tanah,
segera mereka menyiapkan senjata masing-masing. Gajah
Alit segera menimbang-nimbang bola besinya yang
bertangkai rantai, Paningron bersenjata sebuah tombak
yang berkait kecil, sedang Mantingan dan Wiraraga tampak
menggosok-gosok trisula masing-masing, seolah-olah sedang membesarkan hati senjata-senjata itu. Hanya
Mahesa Jenar sendirilah yang tidak bersenjata, tetapi di sisi
telapak tangannya tersimpan senjata yang dahsyat, yaitu
Aji Sasra Birawa. Sementara itu, tokoh-tokoh hitam yang terdiri dari tujuh
orang, Sima Rodra muda suami-istri, kakak-beradik Uling,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lawa Ijo, Jaka Soka dan Lembu Sora segera berloncatan
berlari-lari ke arah yang ditunjukkan oleh Pasingsingan.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika tokoh-tokoh hitam itu sedang mendekati Mahesa
Jenar dengan kawan-kawannya, terdengarlah Sima Rodra
berteriak dengan suaranya yang gemetar, "He, kalian laskar
yang mengikuti pemimpin-pemimpin kalian kemarin.
Janganlah kalian menjadi penonton saja. Kepunglah orang-
orang yang telah memberanikan diri bertindak sombong
dan merendahkan kita sekalian."
Mendengar perintah Sima Rodra tua, segera laskar-laskar
golongan hitam itu bubar berlari-larian memencar ke
segenap arah untuk mengepung Mahesa Jenar dan kawan-
kawannya. Gajah Alit yang merasa bahwa senjatanya kurang
menguntungkan bila dipergunakan di tempat yang
berpohon-pohon, segera berkata, "Kakang Mahesa Jenar,
aku kira lebih baik aku menyongsong mereka di tempat
terbuka supaya rantaiku tidak melilit-lilit pepohonan."
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, Gajah Alit telah
menghambur lari seperti sebuah batu yang menggelinding
cepat sekali. Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya yang
lain, agaknya tidak tega melepaskan Gajah Alit menyongsong seorang diri. Karena itu, ia segera
menyusulnya, menyongsong lawan-lawan mereka di tempat
yang terbuka. ----------o-dwkzOarema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Yang mula-mula sekali sampai adalah Lawa Ijo. Hatinya
yang panas melebihi bara itu tidak dapat dikendalikan lagi.
Dendamnya kepada Mahesa Jenar bertimbun-timbun
sampai menyentuh langit. Tetapi di antara gerumbul di tepi
lapangan itu yang muncul pertama-tama adalah Gajah Alit.
Tanpa menanyakan apa-apa lagi, Gajah Alit langsung
menyerangnya. Lawa Ijo terpaksa membatalkan maksudnya
untuk mencari Mahesa Jenar, karena ia harus melayani
Gajah Alit yang menilik geraknya, ternyata sangat
berbahaya. Lawa Ijo tidak berani menganggap enteng
kepada lawannya yang gemuk pendek hampir bulat itu.
Apalagi ketika Lawa Ijo mendengar desing bola besi yang
berputar-putar mengerikan melibat tubuhnya. Cepat-cepat
ia meloncat mundur dan cepat ia berdiri di atas tanah,
kedua tangannya telah memegang pisau belati panjangnya.
Dengan senjata-senjata itulah ia bertempur melawan Gajah
Alit. Yang menyusul di belakang Lawa Ijo adalah Sepasang
Uling dari Rawa Pening. Sambil memutar-mutar cemetinya,
mereka menyerang dengan ganas sekali. Tetapi segera
mereka terhenti ketika Mantingan dan Wiraraga menghadangnya. Agaknya sepasang Uling itu sudah
menjadi sedemikian marahnya sehingga langsung mereka
menghantam Wiraraga dan Mantingan, dua orang yang kini
tidak dapat direndahkan. Mereka telah dibekali dengan
sebuah ilmu yang sukar tandingannya, yaitu Pacar Wutah.
Melihat sepasang Uling itu menyerang berpasangan, segera
Wiraraga dan Mantingan pun melawannya dengan
berpasangan pula. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Paningron agaknya lebih suka melawan seorang yang
bertubuh besar dan tinggi serta berkumis dan berjanggut
lebat. Ialah Sima Rodra Muda dari Gunung Tidar.
Yang datang terakhir adalah Lembu Sora dan Jaka Soka,
yang sudah hampir kehabisan tenaga setelah mereka
bertempur sendiri, beserta isteri Sima Rodra. Karena
semuanya telah mempunyai lawannya masing-masing,
maka Mahesa Jenar mau tidak mau harus bertempur
melawan ketiga orang itu untuk mencegah bantuan mereka
kepada tokoh-tokoh yang sedang mengadu tenaga. Adalah
suatu keuntungan besar bahwa Lembu Sora dan Jaka Soka
baru saja bertempur mati-matian sehingga hampir tiga
perempat bagian tenaganya telah terperas habis. Juga
karena pertentangan diantara mereka itu pula, maka
pasangan mereka tidak begitu tertib sehingga Mahesa Jenar
tidak begitu banyak mengalami kesulitan untuk melawan
mereka bertiga. Sejenak kemudian terjadilah lingkaran-lingkaran pertempuran yang hebat di tepi lapangan itu. Lawa Ijo
dengan kedua pisau di tangannya menyerang bertubi-tubi
dengan marahnya. Ia bermaksud untuk membinasakan
Gajah Alit secepat-cepatnya supaya segera ia dapat
melawan Mahesa Jenar. Di hadapan gurunya, Lawa Ijo
menjadi bertambah garang, sebab ia tidak perlu lagi takut
terhadap aji Sasra Birawa. Karena itu gerakannya menjadi
bertambah sengit. Tetapi Gajah Alit adalah perwira dari
pasukan Nara Manggala, pasukan pengawal r aja. Karena itu
kepandaiannya hampir mumpuni, dan sama sekali tidak
berada di bawah Lawa Ijo. Apalagi tangan yang pendek-
pendek itu diperpanjang dengan rantainya yang berkepala
bola besi, yang seakan-akan bola besi itu mempunyai mata,
sehingga seolah-olah selalu mengejar kepala Lawa Ijo ke
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mana kepala itu disingkirkan. Dengan demikian untuk
sementara Lawa Ijo harus melupakan Mahesa Jenar, sebab
orang yang dihadapi itu pun merupakan seorang yang
perkasa. Di bagian lain, Uling Putih dan Uling Kuning bertempur
berpasangan melawan Wiraraga dan Mantingan yang
bertempur berpasangan pula. Di bawah cahaya purnama
penuh, perkelahian itu tampak betapa berbahayanya
apabila salah seorang menjadi lengah sedikit saja. Mereka
berloncatan, sambar-menyambar dengan hebatnya. Sepasang cemeti di tangan kedua Uling itu berputar-putar
dan terayun-ayun ke segenap penjuru, seolah-olah menjadi
gumpalan-gumpalan asap yang melibat isi-mengisi satu
sama lain. Tetapi sementara itu dua Trisula di tangan
Wiraraga dan Mantingan pun bergerak berkilat-kilat
memantulkan cahaya bulan. Ujungnya yang bermata
masing-masing 3 buah itu seakan-akan berubah menjadi
ratusan bahkan ribuan, yang oleh kedahsyatan ilmu Pacar
Wutah menjadi benar-benar seperti genggaman demi
genggaman bulan pacar yang ditebarkan, sehingga sangat
sulit untuk menghindarinya.
Paningron mempunyai cara sendiri dalam pertempurannya melawan Sima Rodra muda yang
bersenjatakan pusakanya, sebuah tombak pendek yang
dinamainya Kala Tadah. Ia tidak begitu banyak bergerak. Di
atas kedua kakinya, ia berdiri teguh, sedang tombak
berkaitnya tergenggam di tangannya. Ia hanya berkisar
setapak demi setapak menghadapi lawannya yang bertubuh
tinggi besar itu. Dan apabila serangan datang, tangannyalah yang bergerak tangkas sekali. Tetapi
meskipun demikian, apabila tampak padanya kesempatan,
seperti kilat ia meloncat dan menyerang dengan garangnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Sima Rodra pun adalah seorang yang cukup
berpengalaman, sehingga segera ia menyesuaikan diri
dengan lawannya. Ia tidak berani banyak membuang
tenaga yang tidak perlu, sebab dengan demikian, lawannya
akan dapat membinasakan apabila tenaganya sudah
separuh habis. Sedangkan Mahesa Jenar yang menghadapi tiga orang
sekaligus, bertempur seperti banteng terluka. Ia masih
mencoba mengalahkan lawannya tanpa Aji Sasra Birawa
yang mengerikan itu. Sebab gurunya selalu berpesan
kepadanya bahwa apabila nyawanya tidak terancam benar-
benar, sebaiknya ia tidak mempergunakan Sasra Birawa itu.
Tetapi kemudian ternyata bahwa ketiga lawannya meskipun
sudah tidak mempunyai tenaga penuh, namun akhirnya,
karena mereka bersama-sama harus mempertahankan jiwa
mereka, gerak mereka pun menjadi garang. Agaknya
Lembu Sora dan Jaka Soka untuk sesaat dapat melupakan
pertentangan mereka, ditambah dengan istri Sima Rodra
yang bertempur dengan jari-jarinya yang mengembang dan
di ujung-ujung jari itu tampak kuku-kukunya yang panjang
dan bersalutkan logam yang pasti beracun. Itulah
senjatanya yang ditakuti lawan-lawannya.
Lembu Sora dengan pedang panjangnya dan Jaka Soka
dengan pedang lenturnya merupakan bahaya-bahaya yang
setiap saat dapat mencabut jiwa Mahesa Jenar.
Sementara itu laskar golongan hitam dari tingkat yang
paling bawah sampai pada orang-orang seperti Wadas
Gunung, Sri Gunting, Sakayon, Carang Lampit dan
sebagainya menyaksikan pertempuran itu dengan mata
tanpa berkedip. 12 Orang yang perkasa sedang bergulat
mati-matian antara hidup dan mati. Diantara kilatan senjata
serta sambaran-sambaran angin yang ditimbulkan oleh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pertempuran itu, berkali kali terdengar dentangan senjata
serta teriakan-teriakan nyaring, yang bahkan kadang
menimbulkan percikan bunga api memancar-mancar.
Pasingsingan dan Sima Rodra pun mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Tetapi sampai sekian
jauh ia masih belum memerintahkan kepada laskar-laskar
golongan hitam itu untuk turut serta dalam pertempuran
itu, sebab hal itu belum pasti akan menguntungkan,
malahan mungkin akan merepotkan saja.
Dalam ketegangan yang semakin lama semakin
memuncak itu, seolah-olah waktu berjalan lambat sekali.
Agaknya bulan pun ingin menyaksikan pertempuran yang
hebat itu sehingga perjalanannya agak terganggu.
Tetapi, sesaat kemudian Sima Rodra dan Pasingsingan
menjadi agak cemas melihat jalannya pertempuran. Sudah
sampai sekian lama, namun orang-orangnya masih belum
ada tanda-tanda dapat menguasai lawannya. Apalagi ketika
tiba-tiba mereka menyaksikan Mahesa Jenar, yang ternyata
akhirnya merasa terdesak, telah mengambil sikap. Kakinya
diangkat dan ditekuk kedepan, satu tangannya menyilang
dada sedang tangannya yang lain diangkat tinggi-tinggi.
Segera pula ia mengatur pernafasannya dan memusatkan
tenaganya pada sisi telapak tangannya. Itu adalah pertanda
bahwa Mahesa Jenar telah memutuskan untuk mempergunakan senjatanya yang tersimpan di dalam sisi
telapak tangannya, Sasra Birawa.
Lembu Sora, Jaka Soka dan Istri Sima Rodra, yang
menyaksikan sikap Mahesa Jenar itu segera berloncatan
mundur dan berpencaran. Mereka sadar bahwa apabila
salah seorang dari mereka sampai tersentuh tubuhnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
maka mereka tidak dapat mengharapkan untuk dapat
menyaksikan terbitnya matahari fajar besok.
Karena itu mereka menjadi semakin hati-hati, dan tidak
berani menyerang sekenanya, meskipun mereka masing-
masing bersenjata. Melihat keadaan itu, Sima Rodra ternyata tidak mau
membiarkan tokoh-tokoh hitam itu kehilangan hati. Maka
segera terdengar ia mengaum hebat. Akibatnya pun hebat
sekali. Suara itu rasanya seperti mengguncang isi dada.
Pasingsingan yang melihat Sima Rodra tua itu sudah akan
bertindak, ia pun tidak tinggal diam. Meskipun bukanlah
sewajarnya kalau orang-orang angkatan tua itu harus
melawan Mahesa Jenar, namun bagi mereka tidak akan ada
banyak bedanya, apakah Lawa Ijo dan kawan-kawannya,
apakah Pasingsingan dan Sima Rodra yang membinasakan,
meskipun mula-mula ia mengharap bahwa anak muridnya
beserta kawan-kawannya dapat menyelesaikan masalah
mereka sendiri untuk tidak membawa-bawa namanya.
Tetapi sekarang, terpaksa ia terjun ke dalam pertempuran
itu. Tetapi baru saja ia meloncat, terdengarlah Sima Rodra
berkata, "Pasingsingan, kau jangan memperkecil perananku
dalam pembunuhan yang akan aku lakukan. Kau tinggal
pilih, aku atau kau yang membunuh kelima ekor kelinci
yang sombong itu." Mendengar teriakan Sima Rodra itu Pasingsingan
tertawa,
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawabnya, "Apakah bedanya" Kau yang membunuh kelima-limanya, atau aku, atau kita berdua?".
Terdengarlah Sima Rodra menggeram. Kemudian
katanya, "Baiklah.... Marilah kita berlomba. Siapakah
diantara kita orang tua-tua ini yang masih cukup kuat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bergerak. Kau atau aku yang terbanyak dapat membunuh
kelima orang yang sudah jemu memandang purnama
malam ini." Kembali terdengar Pasingsingan tertawa. Suara tertawanya seolah-olah menyusup ke dalam tulang dan
daging, sehingga menimbulkan perasaan nyeri dan pedih.
Ketika suara tertawanya itu lenyap, terdengarlah suara
suitan nyaring diikuti oleh suatu auman dahsyat. Dan
seperti kilat berloncatanlah Pasingsingan dan Sima Rodra
memasuki arena. Mahesa Jenar yang masih menunggu kesempatan
beserta keempat kawannya mendengar seluruh percakapan
itu. Mau tidak mau hati mereka tergetar hebat. Ternyata
sekarang Pasingsingan dan Sima Rodra akan ikut serta
dalam pertempuran itu. Mereka sama sekali bukanlah
orang-orang yang takut mati, tetapi sebentar lagi mereka
harus binasa sebelum dapat berbuat sesuatu atas tokoh-
tokoh hitam itu. Itulah yang menggelisahkan hati mereka.
Tetapi kenyataan itu sama sekali tak dapat diingkari lagi.
Segera darah mereka bergolak ketika mereka mendengar
suitan Pasingsingan yang disusul dengan auman dahsyat
Sima Rodra. Apalagi ketika dengan aba-aba itu, tokoh-tokoh
hitam yang sedang bertempur itu segera berloncatan
menjauhkan diri dari lawan masing-masing, agar tidak
mengganggu kedua tokoh angkatan tua yang akan terjun
dalam pertempuran. Mahesa Jenar beserta kawan-kawannya sadar bahwa
saat terakhir telah hampir tiba. Ketika lawan-lawan mereka
berloncatan pergi, untuk sesaat mereka tertegun, tetapi
sesaat kemudian tanpa sesuatu tanda apapun, agaknya
mereka mempunyai persamaan perhitungan, sehingga
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seolah-olah digerakkan oleh satu tenaga, mereka berloncatan saling mendekat, untuk dapat bersama-sama
melawan kedua orang tokoh dari angkatan tua itu.
Melihat mereka berkumpul dalam satu lingkaran,
terdengarlah Pasingsingan dan Sima Rodra tertawa hampir
berbareng, kata Pasingsingan, "Suatu kesetia-kawanan
yang mengagumkan. Meskipun kalian berdatangan dari
perguruan yang berbeda-beda, tetapi karena nasib kalian
telah akan kami tentukan, maka kalian dapat bekerja sama
dengan rapi sekali. Nah sekarang, lawanlah kami berdua
yang tak bersenjata ini dengan segenap kemampuan kalian,
sebelum kalian tak sempat menikmati lezatnya madu."
Kata-kata itu hebat akibatnya. Bunyinya terdengar lebih
dahsyat dari seribu guruh yang meledak bersama-sama.
Tetapi justru karena itu maka setiap hati dari kelima orang
itu menjadi pasrah pada garis hidupnya masing-masing.
Dengan demikian maka lenyaplah segala perasaan gentar
dan cemas. Yang ada dalam dada mereka hanyalah satu
kepercayaan bahwa pintu sorga akan terbuka bagi mereka
yang gugur dalam menunaikan tugas mereka untuk
membela kebenaran dan kebajikan. Karena itu mereka
menjadi lebih mantap menggenggam senjata masing-
masing yang siap diayunkan.
Sesaat kemudian, tampillah Pasingsingan dan Sima
Rodra bersama-sama, berbareng dengan bergeraknya
setiap senjata kawan-kawan Mahesa Jenar. Segera
berkobarlah suatu pertempuran yang dahsyat. Kedua orang
dari angkatan tua itu memang ternyata memiliki ketinggian
ilmu yang luar biasa, sehingga dengan tertawa-tawa saja
Pasingsingan dan Sima Rodra dengan senangnya mempermainkan korbannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
telah bertempur mati-matian untuk mempertahankan diri.
Mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk
menyerang. Pasingsingan dan Sima Rodra yang hanya dua
orang itu seolah-olah seperti angin ribut yang melanda dari
segenap penjuru, sedang suara tertawa mereka mengumandang dari segala arah.
Semakin lama, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
menjadi semakin bingung. Mereka sudah tidak tahu lagi di
mana lawan-lawan mereka berada. Tetapi tahu-tahu tubuh
mereka telah tersentuh oleh tangan-tangan yang panasnya
melampaui panas api. Mereka sadar bahwa Pasingsingan
dan Sima Rodra sampai saat itu baru sampai pada taraf
menggoda saja, serta menimbulkan kebingungan dan
kesakitan yang semakin lama semakin merata di segenap
tubuh Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Sehingga
akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-kawannya itu bertempur
seperti orang gila yang mengayun-ayunkan senjata tanpa
tujuan, bahkan hampir-hampir saja mereka telah mengenai
satu sama lain. Sementara itu suara tertawa Pasingsingan dan Sima
Rodra semakin lama menjadi semakin mengerikan dan
menggoncang-goncang dada. Mahesa Jenar dan kawan-
kawannya semakin lama menjadi semakin tak terkendalikan. Mereka bergerak berputaran tanpa tujuan
dan hampir diluar kesadaran mereka masing-masing.
Sesaat kemudian agaknya Pasingsingan dan Sima Rodra
telah jemu dengan permainan mereka. Karena itu segera
terdengar Pasingsingan berkata, "Sima Rodra, agaknya
kelinci-kelinci itu sudah hampir gila. Apakah kita perlu
membunuhnya ataukah kita buat saja mereka benar-benar
gila?" " SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Buat apa kita menonton orang-orang gila berkeliaran di
daerah ini?" jawab Sima Rodra, "Baiklah, kita bunuh saja
mereka dengan senjata mereka sendiri,".
Mendengar percakapan Pasingsingan dengan Sima Rodra
itu, Mahesa Jenar dengan keempat kawannya meremang
seluruh tubuhnya. Tetapi juga karena itu darah mereka
meluap-luap karena marah. Dengan sisa-sisa kesadaran
yang masih ada, mereka pasrahkan jiwa dan raga kepada
kekuasaan yang Tinggi. Dan sesudah itu mereka bersiap
untuk menghadapi saat-saat terakhir.
Mahesa Jenar serta keempat kawannya itu masih sempat
menyaksikan di bawah remang-remang cahaya purnama
yang disaput mega, bayangan Pasingsingan dan Sima Rodra
menyambar ke arah mereka, dan sejenak kemudian mereka
melihat kedua orang itu berdiri sambil tertawa nyaring
beberapa langkah di hadapan mereka dengan sebuah
tombak berkait di tangan Pasingsingan serta sebuah trisula
di tangan Sima Rodra. "Nah..." kata Pasingsingan, "Jangan salahkan aku kalau
kalian mati karena senjata kawan sendiri. Yang mula-mula
harus membuat perhitungan adalah Mahesa Jenar. Kau
telah membunuh Watu Gunung, melukai Lawa Ijo, dan
dengan Gajah Sora kalian menyerang aku di Banyubiru.
Kaulah orang yang pertama-tama harus binasa. Setelah itu
sebenarnya bagiku sudah tidak ada soal lagi, apakah aku
atau Sima Rodra yang akan membelah perut kalian."
Mahesa Jenar mendengarkan kata-kata itu dengan dada
yang bergetar. Bukan oleh ketakutan bahwa maut akan
melibatnya, tetapi karena ia harus meninggalkan tugas-
tugas sucinya sebelum seujung kuku dapat diselesaikan.
Namun bagaimanapun ia adalah seorang jantan, karena itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ia tidak akan ada artinya. Maka segera ia pun
mempersiapkan dirinya dengan apa yang ada padanya.
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, agaknya keempat
kawan Mahesa Jenar tidak akan membiarkan Mahesa Jenar
menjadi korban yang pertama-tama. Karena itu seperti
orang yang berebutan, mereka tiba-tiba berloncatan
mengelilinginya. Mahesa Jenar menjadi terharu melihat
kesetiakawanan yang sedemikian tinggi. Meskipun Paningron dan Wiraraga kini sudah tidak bersenjata lagi,
tetapi mereka sama sekali tidak gentar menghadapi
kemungkinan yang mendatang.
Melihat kejadian itu Pasingsingan menjadi marah,
katanya, "Ke tepilah kalian yang tidak berkepentingan. Atau
kalian semuanya akan bersama-sama binasa."
Tak seorang pun menjawab, tetapi tak seorang pun
beranjak dari tempatnya. Hal itu menjadikan Pasingsingan
semakin marah. Tetapi belum lagi ia berkata sesuatu, Sima
Rodra yang agaknya tidak sabar lagi, menggeram. "Mereka
ternyata benar-benar telah gila dan tidak mampu berkata-
kata. Karena itu buat apa kita memilih korban. Marilah
bersama-sama kita binasakan mereka sekaligus."
Pasingsingan tidak menjawab. Tetapi segera mereka
berdua bergerak dan seperti petir mereka menyambar
bersama-sama. Tetapi sementara itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
tidak berdiam diri saja sambil menunggu dada mereka
tertembus senjata. Mereka pun segera berusaha untuk
melawan sekuat-kuat tenaga mereka. Maka segera
terjadilah sekali lagi pertempuran yang maha dahsyat.
Tetapi adalah di luar dugaan mereka semuanya, bahwa
tiba-tiba saja Mahesa Jenar dapat memberikan perlawanan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang mengerikan. Dengan sebatang dahan kayu ia
menyambar, melompat, menangkis dan menyerang dengan
dahsyatnya hampir di luar kemampuan manusia. Ia seolah-
olah berada di segala tempat dan dapat menggagalkan
segala serangan Pasingsingan dan Sima Rodra, walaupun
tidak diarahkan kepadanya. Sehingga baik kawan-kawan
Mahesa Jenar sendiri maupun Pasingsingan dan Sima Rodra
menjadi terheran-heran. Mantingan, Gajah Alit, Wiraraga
dan Paningron sampai-sampai terpaksa berhenti bertempur
karena Mahesa Jenar selalu bergerak dan seolah-olah
melayang-layang di hadapan mereka, pada setiap waktu
nyawa mereka terancam, sehingga di dalam lingkaran
pertempuran itu seakan-akan ada beribu-ribu Mahesa Jenar
yang bertempur bersama-sama. Karena itu dada mereka
sekarang tergoncang hebat, tidak karena Pasingsingan dan
Sima Rodra, tetapi justru karena Mahesa Jenar yang
berubah menjadi ribuan Mahesa Jenar dengan kesaktiannya
yang dapat menandingi Pasingsingan dan Sima Rodra.
Sebaliknya Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi
terheran-heran tak keruan. Menghadapi lima orang yang
sebenarnya bagi mereka sama sekali tak berarti itu, tiba-
tiba saja menjadi agak kerepotan.
Serangan-serangan mereka yang seharusnya sudah tidak
mungkin dielakkan oleh orang-orang yang setingkat dengan
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya itu, tiba-tiba dapat
dimusnahkan hanya oleh sepotong dahan kayu. Karena itu
mereka menjadi semakin marah. Apalagi ketika mereka
melihat kelima orang yang melawannya itu bergerak
berputaran melingkar dan melibat satu sama lain dengan
gerak yang tak terduga-duga dan membingungkan.
Sebenarnya kawan-kawan Mahesa Jenar itu sama sekali
tidak mampu mengadakan gerakan-gerakan yang SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sedemikian rumitnya, tetapi Mahesa Jenar lah yang
mendorong mendesak dan kadang-kadang menarik mereka
untuk membuat gerakan-gerakan yang aneh-aneh.
Akhirnya Pasingsingan menjadi tidak sabar lagi, demikian
juga Sima Rodra. Segera mereka melemparkan senjata-
senjata rampasan itu, dan tiba-tiba di tangan Pasingsingan
telah tergenggam sebilah pisau belati panjang yang
berwarna kuning gemerlapan, sedang di jari-jari Sima Rodra
seolah-olah tumbuhlah kuku-kukunya yang panjang dan
bersalut logam. Agaknya kedua orang itu telah sedemikian
marahnya sehingga mereka merasa perlu mempergunakan
senjata-senjata simpanan mereka.
Dalam pada itu, segenap tokoh-tokoh hitam yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi cemas dan
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebingungan. Berkali-kali mereka menggosok-gosok mata
mereka, sebab di dalam keremangan cahaya bulan yang
tidak seterang siang hari, mereka telah menyaksikan suatu
pertempuran yang tak dapat diikuti oleh pikiran-pikiran
mereka. Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua tokoh
yang berada dalam tingkatan guru Mahesa Jenar, bahkan
mungkin berada diatas guru-guru orang-orang lain kawan-
kawan Mahesa Jenar. Tetapi ternyata untuk melawan
mereka berlima, kedua orang sakti itu telah terpaksa
mempergunakan senjata-senjata mereka yang hampir sama
sekali tak pernah mereka perlihatkan. Apalagi di dalam
lingkaran pertempuran itu, mereka melihat bayangan
Mahesa Jenar berubah, seakan-akan lebih dari satu Mahesa
Jenar yang berdiri di sana sambil bergerak menyambar-
nyambar tak terikuti oleh pandangan mereka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sementara itu pisau belati panjang Pasingsingan telah
mulai bergerak menyambar-nyambar, sedang jari-jari Sima
Rodra yang berkuku panjang-panjang mengembang
mengerikan. Namun Mahesa Jenar dapat dengan tangkasnya melawan setiap serangan kedua tokoh itu.
Malahan sekali-sekali potongan dahan kayu di tangannya
berhasil mengenai tubuh Pasingsingan dan Sima Rodra.
Dengan demikian sekarang bergantilah bahwa Pasingsingan
dan Sima Rodra yang menjadi kebingungan dan bertempur
dengan gelisah. Barulah teka-teki itu terpecahkan ketika Pasingsingan
dan Sima Rodra yang sudah kebingungan meloncat
beberapa langkah surut untuk mengambil jarak dengan
kelima lawannya yang aneh itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua orang
yang sudah kenyang makan asin pahit kehidupan, maka
mereka segera menaruh curiga bahwa pasti ada sesuatu
yang tidak wajar. Ketika mereka telah berdiri dengan jarak dua tiga
langkah, tahulah mereka bahwa mata mereka telah
terkelabui. Karena itu segera Pasingsingan berteriak nyaring
dibarengi oleh suara auman dahsyat dari Sima Rodra untuk
menyatakan kemarahan hati mereka.
Ternyata yang berdiri di hadapan mereka itu, yang
semula adalah lima orang, tiba-tiba tanpa setahu orang
setingkat Pasingsingan dan Sima Rodra telah berubah
menjadi tujuh orang. Sedang kedua orang yang melibatkan
diri kedalam pertempuran itu berpakaian kumal dan
berwarna gelap mirip sekali dengan pakaian Mahesa Jenar.
Apalagi gerak mereka pun sedemikian dekat dengan gerak
anak perguruan Pengging itu. Mereka berdualah yang
memegang tongkat potongan dahan kayu. Sedang Mahesa
Jenar yang sebenarnya tanpa diketahuinya sendiri telah
memegang sepotong dahan kayu yang mirip dengan kedua
dahan yang lain. Itulah sebabnya bahwa dalam keributan
pertempuran itu Mahesa Jenar seolah-olah berubah menjadi
beribu-ribu Mahesa Jenar yang berada di segala tempat.
Mengalami peristiwa itu Pasingsingan dan Sima Rodra
untuk sejenak tertegun heran. Ini adalah suatu kejadian
yang luar biasa. Meskipun Pasingsingan dan Sima Rodra
sadar bahwa mereka adalah manusia-manusia biasa,
namun peristiwa itu adalah peristiwa yang hampir tak
mungkin dapat dimengerti. Hal ini adalah suatu pertanda
bahwa kedua orang yang memasuki arena itu adalah orang
yang mumpuni. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Apalagi Mahesa Jenar sendiri beserta keempat kawannya. Mereka jadi ragu-ragu sendiri apakah otak
mereka telah benar-benar tidak bekerja dengan baik.
Baru kemudian sadarlah mereka bahwa ada orang lain
yang sengaja akan menolong jiwa mereka. Karena ternyata
ketika mereka sempat memperhatikan setiap wajah
diantara mereka, dapatlah mereka ketahui bahwa kedua
orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar, kumal
dan gelap itu, sama sekali bukan Mahesa Jenar. Wajah-
wajah mereka tampak merah kehitam-hitaman. Di bawah
cahaya bulan yang remang-remang, memang sangat sulit
untuk mengenali siapakah mereka itu. Apalagi agaknya
kedua orang itu dengan sengaja telah mewarnai wajah-
wajah mereka dengan warna-warna hitam dan merah.
Sedemikian hebatnya peristiwa itu mempengaruhi perasaan
mereka sehingga kelima orang itu tubuhnya menjadi
gemetar. Sementara itu darah Pasingsingan dan Sima Rodra
serasa mendidih, membakar rongga dada mereka. Mereka
merasa bahwa perbuatan kedua orang itu telah dilakukan
dengan sengaja untuk menghinanya. Karena itu mereka
menjadi marah sekali. Maka terdengarlah suara Pasingsingan yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam
perut itu, "Hai orang-orang yang telah berbuat seolah-olah
jantan tanpa tandingan, kalian telah menghinakan kami.
Apakah kalian tidak sadar bahwa perbuatan kalian itu dapat
mengancam keselamatan jiwa kalian?"
Maka terdengarlah salah seorang menjawab dengan
nada yang tajam tinggi dibuat-buat, sehingga semua orang
yang mendengarnya mengetahui bahwa suara itu bukanlah
suara aslinya untuk menyembunyikan diri, "Aku hanya ingin
bermain-main saja Pasingsingan, seperti kau ingin bermain-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
main dengan kelima kelinci-kelinci ini. Bukankah permainanku tidak kalah baiknya dengan permainanmu?"
Mendengar jawaban itu Sima Rodra menyahut dengan
suaranya yang menggeletar, "Apa hubungan kalian dengan
orang-orang yang akan aku binasakan itu?"
Kembali terdengar jawaban, "Hubungannya adalah, aku
tidak senang melihat kau membinasakan orang-orang yang
tak bersalah." Oleh jawaban itu, darah Sima Rodra dan Pasingsingan
semakin menggelegak, "Aku beri kesempatan kau minta
ampun kepadaku," kata Sima Rodra, "atau, aku akan
membinasakan kalian juga?"
Terdengarlah suara tertawa tinggi nyaring. Kemudian
orang itu menjawab pula, "Aku tidak senang melihat kau
membinasakan kelima orang yang tak bersalah itu, apalagi
kau akan membinasakan kami berdua. Pastilah, bahwa kami
menjadi semakin tidak senang lagi."
"Janganlah kalian berbicara seenaknya," bentak Pasingsingan, "Kau anggap bahwa orang-orang itu tak
bersalah" Aku mempunyai sebuah ceritera yang tak akan
habis aku ceriterakan semalam suntuk untuk membuktikan
kesalahan mereka." "Aku sudah tahu apa yang akan kau ceriterakan."
Terdengar kembali sebuah jawaban, "Dan aku mengerti
pula apa yang kau anggap kesalahan orang-orang itu,
bahwa mereka telah berusaha mencegah kejahatan-
kejahatan yang kalian atau murid-murid kalian lakukan."
Karena jawaban itu Pasingsingan hampir tak dapat
menguasai dirinya, namun ia masih bertanya pula,
"Siapakah sebenarnya kalian?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jawab orang itu, "Orang yang selalu menyembunyikan
wajahnya di belakang topeng yang jelek itu, tak perlu
berusaha mengetahui siapakah orang-orang yang berdiri di
hadapannya." Sekarang Pasingsingan benar-benar tak dapat menguasai
dirinya. Dengan satu gerakan yang hampir tak dapat
ditangkap oleh kecepatan pandangan mata, Pasingsingan
meloncat maju. Belati panjangnya berkilau gemerlapan oleh sinar bulan
yang remang-remang. Sedang Sima Rodra yang melihat
kawannya mulai bertindak, segera pula mengaum
menggetarkan sambil menerkam, tak ubahnya seekor
harimau lapar. Yang menyaksikan kedua serangan tokoh-tokoh hitam
dari angkatan tua itu, dadanya berdesir. Seakan-akan tak
ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari
serangan yang demikian dahsyatnya.
Tetapi ternyata dugaan mereka meleset. Dua orang yang
berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu, yang masing-
masing menerima serangan dari Pasingsingan dan Sima
Rodra, masih sempat berteriak nyaring, "Mahesa Jenar,
mundurlah beserta kawan-kawanmu. Biarlah mereka
selesaikan urusan ini dengan orang-orang yang sebaya."
Setelah itu mereka segera berloncatan menghindari
serangan-serangan lawannya yang hampir saja telah
mengenainya. Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, setelah
mendengar kata-kata orang yang tak dikenalnya itu, segera
berlari menjauhi sampai lebih dari 10 langkah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah itu maka terjadi suatu pertarungan yang maha
dahsyat. Pertarungan yang jarang terjadi. Pasingsingan
yang telah terkenal sebagai seorang yang paling ditakuti itu
bertempur mati-matian dengan seorang yang tak dikenal,
yang memiliki ilmu sempurna.
Demikian pula Sima Rodra. Ternyata lawannya memiliki
ilmu yang tinggi pula sehingga pertempuran diantara
mereka tidak kalah hebatnya.
Sejenak kemudian pertempuran itu sudah tidak dapat
disaksikan dengan jelas. Yang tampak hanyalah asap yang
bergulung-gulung libat melibat, serta kilatan cahaya yang
menyambar-nyambar, disertai dengan angin yang melingkar-lingkar diantara mereka yang sedang bertempur
itu. Selain suara derap mereka yang sedang berjuang itu tak
ada lagi yang bergerak, bahkan tak seorangpun yang
sempat mengedipkan mata. Suasana di lapangan kecil di
tepi hutan itu benar-benar dicekam oleh suasana tegang
yang mengerikan. Angin yang bertiup semilir seakan-akan
menyebarkan udara maut ke segenap penjuru, sedang
bunga-bunga liar menaburkan bebauan yang menjadikan
udara bersuasana mati namun harum.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama
semakin dahsyat. Orang-orang yang tak dikenal itu ternyata
benar-benar dapat menandingi Pasingsingan dan Sima
Rodra. Bahkan semakin lama semakin nampak bahwa
Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi agak terdesak. Hal
ini adalah suatu kejadian yang sangat menggoncangkan
dada mereka yang menyaksikan. Mereka jadi sibuk
menduga-duga siapakah kedua orang itu. Wajahnya yang
sengaja disaput dengan warna-warna hitam dan merah itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjadi sangat susah untuk dikenali di dalam keremangan
cahaya bulan. Akhirnya, ketika Pasingsingan dan Sima Rodra semakin
terdesak, maka tak ada pilihan lain dari mereka kecuali
mempergunakan ilmu-ilmu terakhir yang menjadi andalan
mereka. Segera Sima Rodra meloncat beberapa langkah
mundur. Dengan sebuah auman yang hebat ia menggetarkan tubuhnya. Itulah suatu pertanda bahwa
Harimau Liar dari Rojaya itu telah mempergunakan ajinya
yang dahsyat, Macan Liwung. Sedang di lain pihak,
Pasingsingan segera mengenakan cincinnya yang bermata
merah menyala, Kelabang Sayuta, dibarengi dengan
ilmunya Alas Kobar. Akik Klabang Sayuta adalah semacam
batu akik beracun yang sangat tajam dan pernah
dipergunakan oleh Lawa Ijo untuk menghantam Mahesa
Jenar. Untunglah Mahesa Jenar memiliki daya penawarnya.
Sedang aji Alas Kobar sebenarnya adalah suatu ilmu yang
maha dahsyat, yang apabila dipergunakan untuk menyerang lawan, akibatnya seperti api yang maha besar,
yang seolah-olah sanggup memusnahkan hutan yang lebat.
Melihat kedua lawannya telah mempergunakan ilmu-ilmu
yang paling akhir dimiliki, serta mempunyai daya hancur
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang luar biasa, maka kedua orang yang berpakaian mirip
dengan Mahesa Jenar itu segera berloncatan mundur.
Tampaklah mereka mengerutkan kening dan menarik nafas
panjang. Tetapi mereka sudah tidak memiliki waktu banyak
untuk berfikir, sebab sesaat kemudian Pasingsingan dan
Sima Rodra telah siap untuk menghancur lumatkan lawan-
lawan mereka. Mahesa Jenar beserta keempat kawannya yang
menyaksikan gerak Pasingsingan dan Sima Rodra yang
berubah menjadi buas dan mengerikan itu, menahan nafas.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dada mereka berdegupan. Apakah kira-kira yang akan
terjadi apabila kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa
Jenar itu sampai terjamah oleh tangan-tangan yang siap
menyebar maut itu" Sebaliknya adalah Lawa Ijo, Sima Rodra beserta kawan-
kawannya. Seolah-olah mereka sudah melihat bahwa
perkelahian itu sudah sampai pada akhir. Kedua orang itu
pasti segera akan lebur menjadi tepung, dan sesudah itu
mereka akan menyaksikan lawan-lawannya yang paling
dibencinya, yaitu Mahesa Jenar akan lumat pula beserta
keempat kawan-kawannya. Tetapi apa yang mereka saksikan adalah sama sekali
tidak seperti yang mereka bayangkan. Kedua orang yang
berpakaian mirip Mahesa Jenar itu kemudian tampak berdiri
tegak di atas kedua kaki yang renggang, sedang kedua
tangan mereka bersilang dengan telapak tangan masing-
masing di atas pundak seperti orang yang sedang
bersemedi. Tetapi apa yang mereka lakukan itu hanya
sesaat, tidak lebih dari sekeredipan mata. Setelah itu,
segera mereka berloncatan dan bergerak, mirip dua ekor
rajawali yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya, bahwa kedua
orang itu telah mempergunakan ilmu yang mereka
namakan Naga Angkasa. Ilmu yang telah mereka ciptakan
bersama setelah mereka bertahun-tahun menekuni dan
mempelajari gerak dari binatang-binatang di udara.
Sehingga akhirnya mereka menemukan suatu kedahsyatan
dari gerak burung rajawali yang mereka gabungkan dengan
kelembutan gerak seekor ular yang sanggup membelit,
melingkar dengan lemasnya. Dilambari dengan kekuatan
batin yang sempurna dari kedua orang yang tak dikenal itu,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
maka Naga Angkasa merupakan suatu ilmu yang sukar
untuk diperbandingkan. Karena itu, beradunya ilmu-ilmu yang dahsyat itu
kemudian menimbulkan suasana yang hampir tak dapat
digambarkan. Macan Liwung, Alas Kobar dan Naga
Angkasa. Di dalam lingkaran pertempuran itu terjadilah
benturan-benturan yang mengerikan. Meskipun mereka
tidak bersenjata, sentuhan tubuh-tubuh mereka dengan
ilmu mereka masing-masing telah melebihi berdentangnya
senjata. Ketika pertempuran itu kemudian bergeser semakin
mendekati hutan, maka tampaklah pepohonan menjadi
bergoyang-goyang oleh angin yang timbul karena gerakan-
gerakan mereka yang sedang bertempur. Daun-daun kering
berterbangan melebihi tiupan angin kemarau. Kemudian
disusul dengan kengerian yang memuncak. Tangan-tangan
mereka yang tak dapat menyentuh lawan-lawan mereka,
yang dengan gerak yang tak dapat dicapai oleh mata biasa
berhasil menghindar, dan kemudian mengenai pepohonan,
menjadi roboh berantakan. Suaranya berderak-derak
menggetarkan seluruh hutan di tepi Rawa Pening itu, di sela
oleh teriakan nyaring dan auman dahsyat Sima Rodra tua.
Baik Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, maupun Lawa
Ijo beserta seluruh golongan hitam, ketika menyaksikan
kedahsyatan pertempuran itu, kemudian seperti orang-
orang yang melihat pertunjukan yang menakutkan.
Sedang pertempuran itu sendiri semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Sementara itu bulan yang berjalan menyusur garis
edarnya, semakin lama menjadi semakin tinggi tergantung
di langit yang bersih. Hanya sekali-kali mega putih seperti
kapas berterbangan di muka wajahnya yang kuning pucat,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seperti wajah gadis yang ketakutan melihat pahlawannya
sedang berjuang diantara hidup dan mati.
Demikianlah, ketika bulan itu sudah melampaui titik
puncak langit, terjadilah perubahan dalam keseimbangan
pertempuran di hutan Rawa Pening. Kedua orang yang
berpakaian mirip Mahesa Jenar serta wajahnya disaput
dengan warna merah dan hitam itu kemudian berpendapat
bahwa apabila keringatnya semakin banyak mengalir, akan
hanyutlah warna-warna hitam dan merah di wajahnya.
Maka dengan demikian pasti mereka akan dikenal oleh
lawan-lawannya. Apalagi kalau pertempuran itu sampai
menjelang fajar. Karena itu, segera mereka mengeluarkan
segenap ilmunya, kekuatan lahir dan batinnya. Naga
Angkasa itu semakin lama menjadi semakin garang setelah
mendapatkan saluran yang lapang.
Pasingsingan yang percaya kepada ilmunya Alas Kobar
menjadi keheran-heranan dan gelisah. Ilmu yang dapat
menghindarkan diri dari panasnya ilmu Alas Kobar yang
melebihi bara api. Bahkan kadang-kadang ia terlibat dalam
satu keadaan yang sangat berbahaya. Udara yang dingin
seolah-olah meniup-niup dari segala arah dan melilit-lilit
tubuhnya seperti ular. Sementara ia sedang berusaha
menguraikan lilitan hawa dingin itu, tiba-tiba melayanglah
lawannya dari udara dengan tangan yang mengembang
siap menerkam lehernya. Untuk melawan serangan yang
demikian, terpaksa ia mempergunakan pisaunya di tangan
kiri dan akik Klabang Sejuta di tangan kanan dilambari
dengan ilmunya Alas Kobar. Beruntunglah Pasingsingan
bahwa agaknya lawannya mengenal betapa saktinya kedua
senjatanya itu sehingga beberapa kali ia berhasil
membebaskan diri dari serangan-serangan maut yang
mengerikan itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sima Rodrapun diam-diam mengumpat dalam hati.
Lawannya benar-benar seperti hantu yang menakutkan.
Gerakan-gerakannya cepat tak terduga, sedang aji Macan
Liwung ternyata sampai sekian lama tak dapat menjatuhkannya. Karena itu ia menjadi semakin ganas dan
beberapa kali mengaum keras. Namun bagaimanapun juga
lawannya benar-benar seorang yang luar biasa, yang
menyerangnya seolah terbang di udara, tetapi sekali-kali
berguling dan tangannya mematuk seperti kepala ular
mengarah ke bagian-bagian tubuhnya yang lemah.
Benturan-benturan yang terjadi di dalam pertempuran itu,
meyakinkan Sima Rodra bahwa lawannya pun memiliki
kekuatan yang dapat menandingi kekuatan Macan Liwung.
Karena itu ia menjadi gelisah sebab sesudah Macan Liwung
tidak ada lagi yang dapat dibanggakan.
Sesaat lagi semakin jelaslah bahwa kedua orang yang
berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu mempunyai
beberapa kelebihan dari lawannya. Lawan Pasingsingan
hampir dalam setiap geraknya dapat memotong gerakan-
gerakan Pasingsingan, bahkan mendahuluinya. Karena itu
Pasingsingan menjadi semakin heran dan kebingungan.
Tetapi sama sekali ia tak dapat meraba-raba, dari
perguruan manakah ilmu yang diwarisi oleh lawan-
lawannya yang aneh itu. Sebab menilik beberapa geraknya,
ia mengenal sumber-sumber yang bermacam-macam.
Bahkan ada beberapa kemiripan dengan gerakan-gerakan
dari perguruannya sendiri, tetapi ia juga melihat beberapa
gerakan yang sesuai dengan dasar-dasar gerak peninggalan
dari almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh yang bersumber
dari Ranggalawe yang dahsyat itu. Malahan ia melihat juga
gerakan-gerakan hebat yang berasal dari almarhum Raden
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gadjah yang pernah dengan susah payah dipelajarinya
namun sama sekali belum sempurna.
Karena kegelisahan serta kebingungan itulah maka
Pasingsingan bertempur semakin lama semakin kehilangan
keseimbangan. Meskipun kemarahannya menggelegak
sampai kepala, namun tenaganya tidak dapat mengimbangi
perasaannya. Sehingga semakin bernafsu ia mengalahkan
lawannya semakin hilanglah keseimbangan gerakannya.
Agaknya sedemikian pula dengan Sima Rodra. Bagaimanapun ia berusaha dengan sekuat tenaganya yang
diandalkan itu, namun ilmunya Macan Liwung memang
berada di bawah kedahsyatan Naga Angkasa. Karena itu
semakin lama Sima Rodra tua itu menjadi semakin terdesak
mundur. Beberapa kali ia mencoba untuk mengadakan
serangan-serangan yang membahayakan, tetapi usahanya
selalu tidak berhasil. Ia menganggap bahwa selama ini tak
seorang pun yang mampu mengatasi ilmunya yang
mengerikan itu. Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Anganten
yang mewarisi sebagian ilmunya Menak Jingga dari
Blambangan dan sahabatnya sendiri Bugel Kaliki yang
terkenal itupun setinggi-tingginya baru dapat menyamainya.
Namun tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan seorang
yang tak dikenal yang dapat melebihi ketinggian ilmunya.
Meskipun wajah orang-orang itu tak jelas baginya namun
pasti bahwa mereka bukan orang dari Pandan Alas beserta
sahabat-sahabatnya.Karena itu hatinya lambat laun menjadi
kecil pula. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan yang
harus diselesaikan. Apabila ia sampai dilibat oleh lawannya
sehingga ia benar-benar dibinasakan maka segala
rencananya akan pudar. Bagaimanapun, seperti juga
Pasingsingan, ia berkeinginan melihat muridnya, bahkan
anaknya sendiri menjadi orang yang berkekuasaan besar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Itulah sebabnya ia bekerja mati-matian untuk mendapatkan
keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dengan
sekutunya Pasingsingan, meskipun ia sadar bahwa
kemudian Pasingsingan pasti akan mengusahakan agar
keris itu dapat dimiliki oleh murid kesayangannya, Lawa Ijo.
Karena itu, baik Sima Rodra maupun Pasingsingan
merasa bahwa bagaimanapun mereka tak akan mampu
untuk mengalahkan lawannya. Ia tidak berani memerintahkan kepada Lawa Ijo dan kawan-kawannya
untuk ikut serta dalam pertempuran itu, sebab bahayanya
akan besar sekali apabila mereka sampai tersentuh
kesaktian ilmu lawannya. Apalagi dengan demikian Mahesa
Jenar dan kawan-kawannya pasti tidak akan tinggal diam.
Karena itu jalan yang sebaik-baiknya selagi masih
berkesempatan adalah menarik diri.
Mendapat keputusan itu, maka segera terdengarlah
suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan. Suara itu
bergetar di antara gerak-geraknya yang semakin terdesak
itu. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya terkejut mendengar suara Pasingsingan, yang seolah-olah mendapat
suatu kemenangan yang gemilang. Tetapi sebenarnya suara
itu adalah suatu pertanda kepada Lawa Ijo dan anak
buahnya untuk segera menghindarkan diri. Karena itu,
betapa kecut hati Lawa Ijo beserta anak buahnya melihat
suatu kenyataan bahwa Pasingsingan yang diagung-
agungkan itu tidak dapat mengatasi lawan-lawannya.
Maka, tidak perlu diulangi lagi, Lawa Ijo segera meloncat
dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi lawan-lawan
Pasingsingan, disusul oleh Wadas Gunung, Carang Lampit,
Cemara Aking dan kawan-kawannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat Lawa Ijo dan para pengiringnya melarikan diri,
tokoh-tokoh golongan hitam itu terkejut. Segera mereka
sadar bahwa keadaan menjadi sangat genting. Apalagi
ketika kemudian terdengar geram Sima Rodra seperti
merintih-rintih, dan kemudian disusul dengan lenyapnya
Suami Isteri Sima Rodra muda menyusup kedalam hutan,
maka pemimpin-pemimpin gerombolan hitam itu tidak
menunggu lebih lama lagi, segera mereka dengan
pengiring-pengiring mereka berlari-lari menyelamatkan diri
mereka masing-masing. Melihat peristiwa itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
menjadi keheran-heranan. Mereka sama sekali tidak dapat
mengetahui apakah yang terjadi. Sesaat kemudian
terdengarlah orang-orang yang berpakaian seperti Mahesa
Jenar itu tertawa nyaring. Sedang solah mereka menjadi
semakin lincah dan berbahaya.
Akhirnya Sima Rodra merasa bahwa tidak ada gunanya ia
bertahan lebih lama lagi. Mungkin ia masih dapat bertempur
sampai sehari, namun kesudahannya akan sudah pasti,
yaitu lawannya akan dapat membinasakannya. Karena itu,
dengan mengaum hebat, ia meloncat undur dan setelah itu
dengan kecepatan yang mungkin dicapainya, ia berusaha
untuk menyelamatkan diri. Melihat Sima Rodra itu berlari
seperti terbang meninggalkannya, lawan Sima Rodra itu
tertawa kembali. Tetapi sama sekali ia tidak berusaha untuk
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengejarnya. Berbeda dengan lawan Pasingsingan. Ketika Pasingsingan
tinggal seorang diri, ia pun segera berusaha untuk
melepaskan diri dari pertempuran itu, namun lawannya
sama sekali tidak memberi kesempatan. Bahkan akhirnya
dengan mengerahkan segenap tenaganya lahir dan batin,
dilambari dengan ilmu Naga Angkasa, lawan Pasingsingan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu berhasil melibat tubuh Pasingsingan dengan gerak-
geraknya yang mirip dengan gerak Ular, tetapi yang
kadang-kadang seperti seekor burung Rajawali yang
meniup menyambar-nyambar. Mengalami peristiwa itu
Pasingsingan menjadi bingung. Keringat dinginnya mengalir
membasahi jubah abu-abunya. Dengan segenap kekuatannya ia mencoba bertahan, dan melindungi dirinya
dengan Belati Panjangnya yang bernama Kiai Suluh, serta
akik Kelabang Sayuta dibarengi dengan ilmunya Alas Kobar
dan Gelap Ngampar. Namun Naga Angkasa itu seperti
hantu saja yang berada disegala tempat dan menyerang
dari segala penjuru. Pasingsingan mengeluh didalam hati. Karena itulah maka
pemusatan pikirannya sedikit demi sedikit menjadi terurai,
sehingga dengan demikian daya kekuatan Alas Kobar serta
Gelap Ngampar pun menjadi berkurang. Dalam keadaan
yang demikian, tiba-tiba terasalah udara dingin sedingin air
embun, membelit diseluruh bagian tubuhnya, dibarengi
dengan suatu teriakan dahsyat seperti teriakan burung
rajawali yang sedang marah, terasalah pundaknya
dicengkam oleh tangan yang kuat seperti baja. Dengan
cepat ia menggerakkan pisau panjangnya, tetapi sama
sekali tak mengenai sesuatu. Cepat ia mengulangi berkali-
kali, tetapi yang ada dihadapannya bagaikan hantu yang
dapat berkisar-kisar dengan cepatnya tanpa mengadakan
gerakan sesuatu. Bahkan akhirnya tangan yang sekuat baja
itu berhasil menangkap tangannya dan dipilinnya kebelakang. Pasingsingan merasakan suatu keanehan
membersit didalam dadanya. Bahwa didunia ini ada
kekuatan seperti itu, yang sama sekali tak diduganya
semula. Sebenarnya ia sendiri merasakan bahwa ilmunya
tidak usah terlalu jauh kalah dari ilmu lawannya. Hanya
kekuatan orang itu agaknya yang luar biasa.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan mengerahkan segenap kekuatannya yang
terakhir Pasingsingan mencoba untuk melepaskan diri,
namun orang itu agaknya mengerahkan segenap kesaktiannya pula untuk dapat tetap menguasai Pasingsingan. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya melihat kejadian itu
dengan jantung yang berdegupan hebat. Meskipun mereka
agak terguncang perasaan, namun timbul pula kebanggaan
serta ketenteraman diri. Mereka menyaksikan bahwa
akhirnya Pasingsingan dapat dikalahkan.
Tiba-tiba dalam keremangan cahaya bulan mereka
melihat tangan orang yang menangkap Pasingsingan itu
bergerak cepat sekali sehingga dalam sekejap ditangan itu
telah berkilat-kilat cahaya sebuah keris yang agaknya tidak
kalah hebatnya dari pisau belati panjang Pasingsingan.
Dengan penuh bernafsu orang yang berpakaian mirip
Mahesa Jenar itu mengayunkan kerisnya untuk menembus
dada Pasingsingan. Tetapi kembali Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
dikejutkan oleh bayangan yang melontar kearah mereka
yang sedang bertempur itu. Ia adalah orang yang satu lagi,
yang berpakaian mirip Mahesa Jenar, yang tadi bertempur
dengan Sima Rodra. Dengan cekatan ia menangkap tangan
kawannya yang memegang keris yang hampir saja
memusnahkan orang yang memakai kedok jelek berjubah
abu-abu dan menamakan diri Pasingsingan.
Orang itu agaknya terkejut, sehingga pegangannya
mengendor. Kesempatan ini agaknya dapat dipergunakan
Pasingsingan dengan baik. Cepat ia berusaha membebaskan diri, dan dalam sekejap tampaklah ia seperti
terbang berlari menyusup kedalam hutan. Jubahnya yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
abu-abu melambai-lambai ditiup angin malam, namun
hanya sesaat, karena sesaat kemudian ia telah lenyap
ditelan lebatnya hutan. Orang yang memegang keris, yang hampir saja
menyobek dada Pasingsingan itu memandang kawannya
dengan mata yang bertanya-tanya. Rupa-rupanya ia
menjadi sangat kecewa. Katanya Kakang, "kenapa kakang
menahan aku pada saat Pasingsingan sudah diambang
maut?" Kawan orang itu menarik nafas panjang. Perlahan-lahan
ia melangkah menjauh. Matanya yang sayu dilemparkan ke
arah purnama yang dengan tenangnya mengambang di
langit yang bersih. Hanya kadang-kadang saja tampak
beterbangan kelelawar-kelelawar yang sedang mencari
mangsanya. "Adi..". terdengarlah orang itu berkata, "Entahlah apa
sebabnya, aku tidak dapat membiarkan Pasingsingan itu
terbunuh. Mungkin masanya memang belum sampai."
"Masihkah Kakang ingin melihat kejahatan-kejahatan
berikutnya yang akan dilakukan oleh Pasingsingan?" desak
yang lain. "Tentu tidak, Adi," jawabnya. "Tetapi apakah kata bapa
guru nanti atas kematian Pasingsingan. Sebab bagaimanapun juga ia adalah muridnya pula. Apalagi
sebenarnya letak kesalahan yang menyebabkan segala
kejadian ini, adalah aku sendiri. Kalau terjadi kejahatan-
kejahatan, maka sebenarnya semuanya itu bersumber pada
diriku. Bersumber pada pemuasan nafsu yang tiada
mengenal batas. Karena itulah maka hukuman yang
sepantasnya adalah dibebankan kepadaku."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kau terlalu perasa, Kakang. Kalau suatu kota tenggelam
dilanda banjir, bukanlah mata air yang harus memikul
beban kesalahannya" Sebab dari mata air itulah sawah-
sawah mendapat air, serta kepentingan-kepentingan lain
yang berguna. Meskipun karena mata air itu dapat timbul
banjir. Tetapi perkembangannya telah melampaui beberapa
tingkatan yang tidak ada hubungannya. Air yang mengalir
ke lautan menjadi mendung dan kemudian hujan lebat.
Barulah terjadi banjir. Untuk mencegah banjir itu haruskah
orang-orang menutup segenap mata air" Seperti Kakang
merasa bersalah kalau Pasingsingan berbuat kejahatan-
kejahatan?" Orang yang lain itu sama sekali tak menjawab. Perlahan-
lahan tampak orang itu mengangguk-anggukkan kepala.
Tetapi pandangannya masih melekat pada bulan di langit.
"Kakang..". orang yang satu melanjutkan, "Aku
persilahkan Kakang melenyapkan perasaan itu. Perasaan
yang menyalahkan diri tanpa batas. Suatu pengakuan yang
demikian tidak akan menguntungkan. Bagi Kakang, bagi
orang lain dan bagi bebrayan agung."
"Sudahlah Adi," potong yang lain. Nada suaranya jauh
dan dalam. "Aku tahu akan perasaanmu. Suatu rasa
kesetiaan dan kecintaanmu kepada saudara tua. Namun
barangkali aku masih menunggu sampai guru memberikan
ijinnya." Mahesa Jenar mendengarkan percakapan itu dengan
saksama. Kecuali dirinya tak seorang pun yang mengerti
siapakah kedua orang itu. Tetapi bagi Mahesa Jenar,
percakapan mereka cukup memberi penjelasan, siapakah
mereka berdua. Karena itu segera ia berlari dan berjongkok
di hadapan mereka. Keempat kawan-kawannya, meskipun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak dapat mengerti siapakah mereka itu, namun sebagai
ucapan terima kasih, mereka segera menirukan perbuatan
Mahesa Jenar. "Paman...," kata Mahesa Jenar, "Perkenankanlah aku
mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas pertolongan
Paman Paniling dan Paman Darba."
Kedua orang itu, yang memang sebenarnya adalah
Paniling dan Darba, menjadi agak terkejut mendengar
nama-nama mereka disebut oleh Mahesa Jenar. Maka
terdengarlah Darba tertawa pendek. "Dari mana kau tahu
tentang kami" Adakah warna-warna yang tersaput di wajah
kami telah terhapus?"
"Aku telah mengenal paman berdua," jawab Mahesa
Jenar, "baik suara Paman yang sebenarnya itu, maupun
persoalan-persoalan yang Paman perbincangkan"
"Memang otakmu cemerlang seperti matahari musim
kemarau" sahut Darba sambil tertawa kembali. "Bukankah
begitu kakang?" Paniling mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku sudah mengira kalau kau akan berbuat itu. Mengintip
musyawarah orang-orang dari golongan hitam. Sadar atau
tidak sadar, kau telah bermain-main api kembali. Karena
itulah kami datang kemari. Beberapa waktu yang lampau
aku telah memperingatkan agar kau berhati-hati menghadapi orang-orang dari golongan hitam itu. Hampir
saja kau binasa pada saat kau dikerubut oleh tokoh-tokoh
hitam itu. Sekarang kau masuk ke dalam bahaya yang lebih
besar lagi, dimana hadir Sima Rodra tua dan Pasingsingan."
Mahesa Jenar sama sekali tidak menjawab. Ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Pamanmu Paniling terlalu hati-hati, Mahesa Jenar,"
sahut Darba. "Mungkin karena umurnya yang telah lanjut. Tetapi kira-
kira pada saat mudanya melebihimu."
"Mungkin," potong Paniling sambil tersenyum, "Memang
anak-anak muda senang menyerempet-menyerempet
bahaya." "Dan karena itulah mereka mencapai kemajuan-
kemajuan," sambung Darba, "Karena dengan pengalaman-
pengalaman mereka, masa depan seakan-akan telah
diratakan. Sedang bagi mereka yang tidak berani
menempuh bahaya, tak sesuatu apapun yang akan bisa
dicapainya." "Meskipun demikian..." jawab Paniling, "Segala sesuatu
wajib diperhitungkan. Kalau kita berani menempuh bahaya,
bukan berarti kita harus bunuh diri. Mahesa Jenar, kami
datang kemari karena kami mencemaskan kau. Tetapi Adi
Darba mengusulkan supaya kami membuat permainan ini
dengan berpakaian mirip pakaianmu. Sebab kami tahu
bahwa kau tidak pernah berganti pakaian kecuali kalau
pakaianmu satu-satunya itu sedang kau cuci."
Semua yang mendengar kata-kata Paniling itu tersenyum. Mahesa Jenar menjadi agak malu. Memang, ia
sama sekali tidak mempunyai pakaian lain selain yang
dipakainya. Kalau pakaian itu dicuci, terpaksa ia menunggu
sampai kering. "Maksudku..." sahut Darba, "Salah seorang diantara kami
yang mungkin dapat berbuat sesuatu mewakilimu. Dengan
demikian tak seorang pun berani merendahkan kau lagi.
Tetapi ternyata kau datang berlima, sehingga kami agak
menemui kesulitan. Untunglah bahwa kami menemukan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
suatu cara untuk bermain-main dengan Pasingsingan.
Sayang, Kakang Paniling menahan kerisku yang sudah
melekat di dada Pasingsingan itu."
"Sudahlah Adi Darba" potong Paniling, "aku minta maaf
kalau aku membuat kau kecewa. Sekarang yang penting
adalah usaha untuk menemukan kembali keris yang hilang
itu." "Mahesa Jenar..." sambung Paniling, "Apakah kau tidak
memperkenalkan sahabat-sahabatmu itu kepadaku?"
Mendengar pertanyaan Paniling, Mahesa Jenar seakan-
akan disadarkan dari kekhilafannya. Segera ia mulai
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperkenalkan satu persatu sahabat-sahabatnya yang
telah bersama-sama melakukan suatu pekerjaan yang
berbahaya. Dan kepada sahabat-sahabatnya, Mahesa Jenar
memperkenalkan Paniling dan Darba sebagai dua orang
petani yang sakti, yang telah menolong jiwanya untuk
kedua kalinya. Namun sama sekali tidak disinggung-
singgungnya bahwa Paniling itulah yang dahulu pernah
mengenakan jubah abu-abu dan kedok yang kasar, dan
yang menamakan diri Pasingsingan.
Setelah mereka saling memperkenalkan diri, maka
berkatalah Paniling, "Mahesa Jenar, aku kira kerjaku untuk
kali ini sudah selesai. Aku dan pamanmu Darba akan segera
kembali. Tetapi pesanku, janganlah terlalu lama anak
pungutmu kau tinggalkan. Sebab bagaimanapun juga,
banyaklah bahaya yang mengancam anak itu."
Kembali Mahesa Jenar seperti orang yang tersadar dari
mimpi. Segera ia ingat kepada Arya, anak yang sampai
sekarang masih menjadi buruan pamannya sendiri. Karena
itu tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenteram. Meskipun Arya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kini telah berada di tempat yang jauh, namun mungkin saja
orang-orang Lembu Sora akan sampai ke sana.
Maka setelah Paniling dan Darba pergi meninggalkan
mereka, segera mereka mengadakan pembicaraan tentang
pekerjaan-pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh mereka
masing-masing. Gajah Alit dan Paningron harus segera kembali ke Demak
untuk melaporkan segala kejadian di tepi Rawa Pening itu.
Melaporkan tentang kebenaran laporan mengenai adanya
golongan hitam yang kuat dan berbahaya bagi ketenteraman negara. Dengan manyaksikan serta mengalami sendiri, Paningron serta Gajah Alit harus
percaya, bahwa orang yang bernama Pasingsingan dan
Sima Rodra, tetua dari golongan hitam, termasuk orang
yang tak dapat diabaikan, meskipun jumlah orang-orang
yang demikian itu tidak banyak.
Demikianlah maka segera Paningron dan Gajah Alit
mohon diri. Mahesa Jenar melepaskan mereka berdua
dengan pesan agar untuk sementara dirinya jangan
tersinggung-singgung pula dalam laporan mereka, sebab ia
masih belum mempunyai keinginan untuk kembali ke
Demak sebelum Nagasasra dan Sabuk Inten diketemukan.
Juga Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan itu untuk
menitipkan bukti-bukti tentang kebenaran alasan-alasan
Gajah Sora, bahwa ia tidak mampu mempertahankan kedua
keris itu dari usaha-usaha golongan lain untuk memilikinya.
Bagaimanapun hebatnya Gajah Sora, yang pernah
menerima hadiah pusaka sebuah tombak yang bernama
Kyai Bancak, namun menghadapi orang-orang seperti
Pasingsingan dan Sima Rodra, maka Gajah Sora tidak lebih
dari seorang anak-anak yang baru saja dapat berjalan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam pada itu Wiraraga pun minta diri untuk kembali ke
Wanakerta bersama-sama dengan Ki Dalang Mantingan.
Tetapi sebelum mereka berangkat, Mahesa Jenar minta
kepada Ki Dalang Mantingan untuk membantu mengawasi
tanah perdikan Banyubiru. Dalam kedudukannya sebagai
seorang dalang maka ia akan lebih leluasa bergerak di
mana saja. Maka setelah segala pembicaraan selesai, berpisahanlah
mereka. Masing-masing ke arah tujuan masing-masing.
Gajah Alit dan Paningron kembali ke Demak, Wiraraga dan
Mantingan ke Wanakerta lewat Banyubiru.
Sedangkan Mahesa Jenar harus segera kembali kepada
Arya Salaka yang telah beberapa hari ditinggalkan seorang
diri, dan hanya dititipkan kepada para tetangga yang baik
hati. Mengingat kata-kata Ki Paniling, hati Mahesa Jenar tiba-
tiba menjadi berdebar-debar. Memang sebenarnyalah pasti
Lembu Sora tetap akan berusaha untuk membunuh Arya.
Sebab sepeninggal Gajah Sora, Arya lah yang paling berhak
atas tanah perdikan Banyubiru. Sedang apabila Arya ini
dilenyapkan, maka keturunan Sora Dipayana tidak ada lain
tinggal Lembu Sora seorang diri. Dengan demikian maka
Banyubiru dengan sendirinya akan jatuh ke tangan orang
itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Mengingat hal itu semuanya, maka segera Mahesa Jenar
mempercepat langkahnya untuk dapat segera sampai ke
rumah, dimana Arya ditinggalkan. Di perjalanan pulang itu
hati Mahesa Jenar menjadi tidak tenteram. Ia telah
Istana Kumala Putih 14 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pedang Golok Yang Menggetarkan 23