Pencarian

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 13

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 13


menyatakan kesanggupannya kepada Gajah Sora untuk
memelihara anak itu, serta mendidiknya dan mengajarinya
dalam olah kanuragan sehingga anak itu kelak dapat
menjadi orang yang berguna.
Ketika burung-burung menyambut fajar yang segar
dalam belaian angin pagi yang bertiup halus dari
pegunungan serta melintasi lembah-lembah, Mahesa Jenar
masih tetap berjalan cepat-cepat. Seakan-akan kesegaran
fajar itu tak terasa baginya. Namun meskipun demikian,
sinar matahari pagi yang memancar cerah, dapat
menimbulkan perasaan yang cerah pula. Karena itu Mahesa
Jenar mempercepat langkahnya. Karena perasaannya yang
kecemasan, ia sama sekali tak dipengaruhi oleh
kelelahannya. Demikianlah seharian Mahesa Jenar berjalan terus.
Hanya sekali dua ia berhenti untuk mencari sumber air,
apabila terasa lehernya disekat dahaga, serta kemudian
untuk beberapa saat ia menyegarkan tubuhnya dengan
duduk-duduk sejenak. Hanya sejenak, sebab ia tidak dapat
membiarkan perasaannya diburu oleh kegelisahan. Karena
itu, dengan tergesa-gesa segera Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanannya pula. Demikian pula ketika matahari yang lelah setelah
menempuh peredarannya sehari penuh itu menjelang garis
pertemuan langit dan bumi, serta sebentar lagi seolah-olah
tenggelam ditelan garis pemisah itu. Mahesa Jenar sama
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekali tidak peduli. Meskipun perlahan-lahan, karena
gelapnya malam kemudian mentakbiri bumi, Mahesa Jenar
tetap berjalan terus di bawah sinar bulan yang baru saja
lewat purnama penuh. Maka di pertengahan malam, Mahesa Jenar melihat
cahaya pelita yang berpancaran di sebuah dusun yang kecil.
Itulah desa dimana Arya ditinggalkannya.
Melihat nyala pelita yang seolah-olah melambai-lambai
meneriakkan nama Arya Salaka, hati Mahesa Jenar menjadi
berdebar-debar. Meskipun Salaka itu bukan sanak dan
bukan kadang, namun telah dianggapnya sebagai anak
sendiri. Apalagi mengingat segala pesan-pesan dari Gajah
Sora. Maka pertanggungjawaban anak itu seluruhnya ada
padanya. Tetapi semakin dekat Mahesa Jenar dengan desa itu,
hatinya menjadi semakin gelisah. Rasa-rasanya ada sesuatu
yang tidak menyenangkan. Ia seakan-akan mendapat suatu
firasat yang tidak baik. Demikianlah dengan gelisah dan setengah berlari Mahesa
Jenar memasuki desanya yang kecil, yang biasanya selalu
diliputi oleh suasana tenteram dan damai. Tetapi pada
malam itu, tampaklah beberapa kesibukan yang aneh. Dari
jarak yang semakin dekat, Mahesa Jenar melihat beberapa
orang berjalan cepat-cepat dengan membawa obor, dan
yang lebih mengejutkan lagi mereka menuju ke sebuah
gubuk kecil di sudut desa itu. Itulah rumah yang
dibangunnya, serta ditinggalinya bersama-sama dengan
Arya. Dengan berlari-lari kecil Mahesa Jenar melintas
pematang untuk segera dapat sampai ke rumahnya.
Demikian ia sampai ke ambang pintu, demikian semua
mata memandanginya dengan keheranan, seolah-olah tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sewajarnyalah kalau ia datang pada malam itu. Baru sesaat
kemudian seorang diantara mereka dapat menguasai
dirinya, katanya, "Anakmas Mahesa Jenar, marilah...,
marilah duduk dahulu."
Hati Mahesa Jenar sama sekali tidak enak mendengar
kata-kata itu. Kata-kata yang mengandung perasaan yang
iba. Apalagi ketika ia memandangi setiap wajah yang
berada di dalam rumah itu. Arya Salaka tidak ada.
Sekali lagi ia meneliti setiap orang yang berada di dalam
ruangan gubugnya, namun Arya Salaka tetap tidak tampak.
Tiba-tiba berdesirlah jantung di dalam dadanya. Dan,
dengan suara yang bergetar ia bertanya, "Di manakah
anakku, Arya Salaka?"
Serentak semua mata memandang kepadanya dengan
pandangan penuh iba. Salah seorang diantaranya, setelah
beberapa lama baru dapat menjawab pertanyaan itu
dengan kata yang terputus-putus. "Angger, duduklah
dahulu, nanti kami kabarkan di mana anakmu berada."
Mendengar jawaban itu, Mahesa Jenar menjadi semakin
gelisah, desaknya, "Di manakah Arya Salaka?"
"Angger..." jawab yang lain,
"Maafkanlah kami sebelumnya, bahwa kami tidak dapat memenuhi harapan
Angger untuk melindungi anak itu. Baru tadi hal itu terjadi.
Ketika beberapa orang bersenjata datang ke rumah ini
menjelang senja. Dengan kekerasan mereka membawa
Arya. Kami telah berusaha menggagalkan maksud mereka.
Tetapi kami adalah petani-petani yang tak berarti seperti
kau juga. Karena itu kami sama sekali tidak berdaya untuk
menahannya." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba darah Mahesa Jenar menggelegak hebat.
Jantungnya berdentang menggoncangkan dada. Matanya
yang sayu karena kelelahan berubah seperti bara api.
"Duduklah Ngger," kata yang lain pula. "Biarlah kita
bicarakan bagaimana caranya untuk dapat mencari anakmu
itu." Tetapi Mahesa Jenar sudah tidak dapat mendengar kata-
kata itu. Matanya yang membara itu sesaat beredar ke
wajah-wajah para petani kecil yang baik hati serta ramah
tamah. Hanya sesaat, sebab sekejap kemudian seperti
orang kehilangan akal, Mahesa Jenar meloncat berlari ke
luar halaman. Beberapa orang kemudian memburunya sambil berteriak-
teriak, "Tunggulah Angger..., tunggulah...."
Mahesa Jenar tertegun sejenak. Ia menjadi agak
bingung, ke mana arah yang harus dianut kalau ia mau
menyusul Arya. Lalu katanya hampir berteriak, "Kemanakah
anak itu dibawa?" Beberapa orang jadi ragu-ragu, namun salah seorang
menjawab pula, "Mereka pergi ke arah timur melalui jalan
di sebelah desa kami itu."
Mahesa Jenar tidak menunggu kata-kata itu berakhir.
Segera ia meloncat dan berlari kencang-kencang ke arah
yang ditunjukkan oleh tetangga-tetangganya. Lamat-lamat
ia masih mendengar orang-orang itu berteriak, "Angger,
kembalilah. Mereka adalah orang-orang perkasa dan
bersenjata. Kita cari akal untuk mengambil anak itu, tetapi
jangan dengan kekerasan."
Namun bagi Mahesa Jenar suara-suara itu tidak lebih dari
suara berdesirnya daun-daun kering yang rontok oleh angin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
malam yang kencang. Karena itu justru ia mempercepat
larinya seperti orang yang kehilangan akal, semakin lama
semakin cepat. Sesaat kemudian Mahesa Jenar sampai ke padang
rumput yang luas. Di sana-sini terdapat padas. Di bawah
cahaya bulan yang hampir penuh, Mahesa Jenar dapat
memandang ke arah yang agak jauh. Tetapi matanya yang
tajam tak dapat menangkap apapun kecuali puntuk-puntuk
yang seolah-olah gelembung-gelembung yang tumbuh dari
dalam tanah yang sedang mendidih. Karena itu, hatinya
bertambah cemas. Bagaimanakah keadaan Arya Salaka..."
Apakah ia dibawa ke padang rumput itu.., atau ke mana..."
Dalam kebimbangan itu Mahesa Jenar mencoba mengamat-
amati tanah-tanah di sekitarnya. Kalau-kalau ia menemukan
sesuatu sebagai petunjuk. Tiba-tiba ia melihat rumput-
rumput liar di padang rumput itu rebah searah. Tampaknya
jelas, bekas sesuatu yang diseret diatas rumput itu. Hati
Mahesa Jenar kemudian berdebar-debar. Apalagi ketika
kemudian ia melihat warna yang kehitam-hitaman di atas
rumput yang mewarnai jari-jarinya pula. Darah. Adakah
darah ini darah Arya Salaka" Hati Mahesa Jenar kini benar-
benar mendidih. Mahesa Jenar yakin pasti terjadi sesuatu
yang tak menyenangkan atas anak itu. Maka seperti
digerakkan oleh tenaga gaib, Mahesa Jenar berlari lebih
cepat lagi, sehingga tampaknya seperti bayangan malaikat
yang melayang-layang di atas padang rumput yang luas. Ia
tidak tahu, sudah berapa lama ia berlari.
Tetapi, tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti berlari. Dilihatnya
agak jauh di depannya sebuah bayangan yang bergerak
perlahan-lahan. Apalagi ketika dilihatnya bayangan itu
adalah seorang yang sedang mendukung sesuatu. Cepat
Mahesa Jenar menyelinap ke belakang sebuah puntuk, serta
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan hati-hati ia mendekati bayangan yang berjalan
semakin lama semakin cepat.
Ketika jarak orang itu sudah dekat serta dapat dicapainya
dengan jelas oleh matanya yang tajam, perasaan Mahesa
Jenar terlonjak hebat. Yang didukung oleh orang itu tidak
lain adalah Arya Salaka. Karena itu segera darahnya
bergelora. Ia sama sekali belum pernah mengenal orang
itu. Maka segera ia mengambil kesimpulan, bahwa orang itu
adalah salah seorang yang melarikan Arya. Perasaan
Mahesa Jenar segera menghubungkan kejadian itu dengan
Lembu Sora. Tidak mustahil bahwa kejadian-kejadian ini
adalah atas perintahnya. Melihat hal itu, Mahesa Jenar tidak dapat mengendalikan
diri lagi. Seperti kilat ia meloncat dari tempat persembunyiannya sambil berteriak, "Hai orang yang
mengandalkan kejantanan diri.... Letakkan anak itu, dan
marilah kita membuat perhitungan."
Orang itu terkejut. Dengan tangkasnya ia memutar
tubuhnya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar sudah siap untuk
menyerang, perlahan-lahan anak yang di dalam dukungannya itu diletakkan. Agaknya ia menjadi curiga
pula, karena itu segera orang itu pun mempersiapkan
dirinya. Tetapi belum lagi ia bertanya sesuatu, Mahesa
Jenar sudah tidak dapat lagi menahan diri. Seperti taufan
yang dahsyat, ia segera menyerang lawannya. Namun
agaknya lawannya pun bukanlah orang yang dapat
direndahkan. Dengan cepat ia berhasil menghindari
serangan Mahesa Jenar. Bahkan dalam saat yang tidak
lebih dari sekejap mata, ia sudah siap untuk membalas
serangan itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Segera terjadilah suatu pertempuran yang hebat.
Serangan Mahesa Jenar datang seperti mengalirnya ombak
yang digerakkan oleh taufan yang dahsyat, sedang
lawannya tidaklah kurang dari batu karang yang kokoh
kuat. Bahkan tidak jarang pula orang itu berhasil
mengadakan serangan-serangan balasan yang sangat
berbahaya. Tangannya dapat bergerak-gerak dengan cepat
serta tak terduga. Agaknya mereka berdua memiliki ilmu
yang seimbang. Setelah mereka bertempur beberapa saat, ia menjadi
keheran-heranan di dalam hati. Kalau orang ini orang
Pamingit sangatlah mustahil. Ia sudah dapat mengukur
kekuatan Lembu Sora yang dianggap orang terkuat di
daerahnya, sedang orang ini memiliki beberapa kelebihan,
daripada kepala daerah perdikan itu. Tetapi kemungkinan
yang lain adalah Lembu Sora minta bantuan kepada orang
lain dengan imbalan yang tinggi. Sebab hal yang
sedemikian tidaklah mustahil dilakukan oleh orang itu.
Mendapat pikiran yang demikian, hati Mahesa Jenar
menjadi semakin panas, karena itu serangannya menjadi
semakin dahsyat pula. Sehingga dengan demikian lawannya
harus berjuang lebih keras lagi untuk dapat menyelamatkan
dirinya. Demikianlah terjadi suatu pertempuran yang dahsyat
diantara dua orang perkasa.
Tandang Mahesa Jenar semakin lama semakin garang,
terdorong oleh suatu perasaan bertanggung jawab terhadap
Arya, yang berarti terhadap masa depan Banyubiru. Tetapi
lawannya pun menjadi semakin garang pula.
Mereka saling menghantam, saling menyerang dengan
hebatnya. Ketika Mahesa Jenar mendapat kesempatan,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan segenap kekuatannya tangannya menghantam
dada lawannya. Demikian kerasnya sehingga lawannya
terdorong beberapa langkah dan kemundian jatuh
terlentang. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan kesempatan. Cepat ia meloncati lawannya yang belum
sempat bangun. Tetapi tiba-tiba terasa perutnya muak
sekali, dan dengan kerasnya ia terlempar. Agaknya
perutnya telah terkena dengan kerasnya tendangan
lawannya. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar kehilangan
keseimbangan. Ketika ia telah berhasil berdiri tegak
kembali, sebuah pukulan yang tepat mengenai rahang
kanannya, kembali ia terdorong ke belakang sampai
punggungnya melekat pada sebuah puntuk padas.
Lawannya dengan cepat memburunya, dan sebuah pukulan
tangan kiri melayang dengan kerasnya. Mahesa Jenar tidak


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau rahang kirinya dikenai pula. Cepat ia memutar
tubuhnya sambil merendahkan dirinya. Tangan kiri
lawannya itu berdesing dengan kerasnya disertai dengan
sambaran angin yang mengejutkan. Pada saat itulah kaki
Mahesa Jenar melayang ke lambung orang itu. Terdengarlah sebuah keluhan tertahan, dan orang itu
terlempar beberapa langkah. Cepat ia melangkah maju dan
beberapa kali tangannya berhasil menghantam lawannya
sehingga lawannya itu jatuh berguling. Melihat lawannya
jatuh, Mahesa Jenar segera meloncat maju. Tetapi
langkahnya segera terhenti ketika dengan lincahnya pula
orang itu telah menyerang kembali ke arah dadanya.
Dengan tangkas Mahesa Jenar membalas ke arah
pelipisnya. Tetapi orang itu pun tidak mau dikenai pukulan
Mahesa Jenar. Cepat ia merendahkan diri, dan sebuah
hantaman yang kuat tepat mengenai perut Mahesa Jenar.
Sekali lagi perut itu terasa muak dan seolah-olah isinya
bergelut di dalamnya. Untunglah Mahesa Jenar telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengalami masa penggemblengan baik jasmaniah maupun
rohaniah, sehingga dengan memusatkan segala tenaganya
tetap tegak. Ketika lawannya sekali lagi akan mengulangi
serangannya, Mahesa Jenar berhasil mendahului dengan
sebuah tendangan yang dahsyat mengenai wajah orang itu,
sehingga orang itu terlempar beberapa langkah. Namun
demikian ia terjatuh, demikian ia berusaha untuk tegak
kembali. Dari sudut bibirnya melelehlah cairan berwarna
merah. Darah. Ketika tangannya mengusap darah itu, serta
dirasanya cairan yang hangat, maka orang itu menjadi
marah sekali. Matanya segera menyala seperti api. Bibirnya
tampak bergetar-getar namun tak sepatah kata yang
terdengar. Tiba-tiba dari wajahnya yang membara itu
memancar perasaan dendam tiada taranya. Cepat orang itu
menjulur lurus ke depan. Melihat sikap itu, Mahesa Jenar
terkejut. Ia pernah mendengar dari gurunya tentang sikap
yang demikian. Suatu sikap pemusatan pikiran dan
perasaan untuk memancarkan suatu ilmu yang dahsyat.
Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tidak sempat untuk
mengingat-ingat lebih lama lagi, sebab apabila ia terlambat
menjaga diri, maka akibatnya tidak dapat dibayangkan.
Karena itu cepat-cepat ia memusatkan segala tenaga lahir
dan batin, mengatur peredaran pernafasannya. Satu
kakinya diangkat dan ditekuk ke depan, sedang sebelah
tangan menyilang dada, dan yang satu lagi diangkatnya
tinggi-tinggi. Peristiwa seterusnya, hanya terjadi dalam
sekejap. Lawan Mahesa Jenar itu meloncat maju, dan
dengan telapak tangannya ia menghantam dahsyat sekali.
Tetapi pada saat itu Mahesa Jenar telah mengayunkan
tangannya pula, sehingga berbenturanlah sisi telapak
tangannya dengan telapak tangan lawannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terjadilah suatu benturan yang tidak terkira dahsyatnya.
Suaranya berdentam seperti sebuah ledakan. Dan akibatnya
pun hebat pula. Kedua-duanya terlempar beberapa langkah
surut, dan kemudian mereka jatuh terguling untuk
kemudian beberapa saat pandangan mereka menjadi gelap,
dan hilanglah kesadaran mereka.
Pada saat itu pecahlah fajar di langit. Warna yang
kemerah-merahan membayang di ujung timur, diantar oleh
kokok ayam hutan saling bersahutan. A ngin pagi yang segar
berhembus silir menggerakkan batang-batang ilalang yang
seolah-olah menari kegirangan menyambut datangnya pagi
yang segar. Dalam kesegaran angin pagi itu, dari arah timur
berlarilah seekor kuda tidak terlalu cepat. Penunggangnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang berwajah tampan, beberapa kali selalu mengamat-
amati jalan yang akan dilewati. A gaknya ia sedang menuruti
jejak dari seekor kuda. Dalam cahaya fajar, rupa-rupanya
penunggang kuda itu harus memperhatikan bekas-bekas itu
dengan saksama. Tetapi arahnya adalah tepat kepada dua
orang yang masih terbaring tak sadarkan diri.
telah semakin dekat, dan ketika tiba-tiba matanya yang
bercahaya itu melihat kedua orang yang terbaring tak
bergerak, maka ia menjadi sangat terkejut. Cepat ia
meloncat turun mengamat-amati lawan Mahesa Jenar.
Dengan wajah yang cemas, ia meraba-raba dada orang itu,
menggerak-gerakkan tangannya dan mengendorkan ikat
pinggang kulit yang melilit di perutnya. Setelah itu
perlahan-lahan ia mendekati Mahesa Jenar. Alangkah
terkejutnya ia, pada saat ia melihat siapakah yang terbaring
pingsan itu, sehingga terloncatlah suaranya yang lunak
halus, "Kakang Mahesa Jenar...." Setelah itu ia menjadi
kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Apalagi ketika ia sadar bahwa pasti telah terjadi
pertempuran diantara mereka berdua.
Dalam kebingungannya, penunggang kuda itu melihat
Mahesa Jenar mulai bergerak-gerak. Tanpa disengaja ia
meloncat selangkah maju. Tetapi pada saat itu pula ia
melihat orang yang lain bergerak-gerak pula. Sehingga
tanpa sadar ia mendekatinya pula. Sesaat kemudian
tampaklah mereka berdua telah dapat mengangkat kepala
masing-masing, meskipun pandangan mereka masih
berputar-putar. Tetapi demikian mereka saling memandang,
maka dengan sisa kekuatan mereka, segera mereka bangkit
dan siap untuk bertempur kembali, meskipun mereka belum
dapat berdiri tegak. Untunglah bahwa orang ketiga itu
sempat memisahnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar suara orang ketiga yang halus, Mahesa Jenar
terkejut bercampur heran. Pandangannya bergerak-gerak
berganti-ganti ke arah kedua orang yang berada di
hadapannya. Dalam cahaya matahari pagi yang sudah semakin jelas,
Mahesa Jenar dapat melihat kedua-duanya dengan terang.
Yang seorang adalah seorang laki-laki yang perkasa,
bertubuh tegap kekar, berwajah cakap, serta berpakaian
bagus. Beberapa macam perhiasan melekat pada pakaiannya yang sudah menjadi kotor.
Tetapi yang paling menggetarkan adalah orang yang
satu lagi. Meskipun orang itu berpakaian sederhana, tetapi
dari wajahnya memancar cahaya yang menyilaukan mata
Mahesa Jenar. Ketika orang itu menyapanya, darah Mahesa
Jenar serasa berdesir lebih cepat. "Kakang Mahesa Jenar,
apakah yang telah menyebabkan Kakang bertengkar
dengan Kakang Sarayuda?"
Mendengar pertanyaan itu, Mahesa Jenar menundukkan
kepalanya. Melihat wajah orang yang disebut Sarayuda itu,
tiba-tiba Mahesa Jenar meragukan tuduhannya, bahwa
orang itu telah menjadi suruhan Lembu Sora untuk
membunuh Arya. Karena Mahesa Jenar beberapa lama tidak menjawab,
maka terdengarlah suara Sarayuda, masih dengan nada
kemarahan, "Kau kenal dia, Pudak Wangi...?"
Orang yang dipanggil Pudak Wangi itu menganggukkan
kepalanya, jawabnya, "Ya, aku kenal orang itu Kakang,
seperti aku mengenal Kakang Sarayuda"
Mendengar jawaban Pudak Wangi, Sarayuda bertambah
tidak senang. Katanya, "Di mana dan kapan kau kenal
dia?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pudak Wangi tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi
kepada Mahesa Jenar ia berkata, "Kakang, marilah Kakang
Mahesa Jenar aku perkenalkan dengan Kakang Sarayuda."
Mendengar ajakan Pudak Wangi, perasaan Mahesa Jenar
menjadi bertanya-tanya. Apakah hubungan antara Pudak
Wangi dengan Sarayuda..." Sebaliknya Sarayuda yang
masih dipengaruhi oleh kemarahannya, menjadi agak
bingung. Agaknya Pudak Wangi merasakan kekakuan suasana,
maka ia menjelaskan, "Kakang Mahesa Jenar.., Kakang
Sarayuda adalah murid Eyang Pandan Alas."
Mendengar keterangan itu, hati Mahesa Jenar berdebar
tak keruan. Kalau demikian ia telah berbuat suatu
kesalahan. Mustahillah kalau murid Pandan Alas telah
berbuat suatu kejahatan. Perlahan-lahan matanya beredar
ke arah Arya terbaring, dan perlahan-lahan didekatinya
anak itu. Anak tempat menumpahkan segala harapan masa
depannya, karena ia sendiri sampai saat itu belum
mempunyai gambaran sesuatu tentang kelanjutan dari
perguruannya, maka ia telah berbuat suatu kesalahan.
Sambil meraba-raba tubuh Arya, Mahesa Jenar mengangguk hormat kepada Sarayuda, katanya, "Barangkali aku telah berbuat kesalahan. Karena itu aku
minta maaf sebesar-besarnya. Aku adalah Mahesa Jenar,
murid dari Almarhum Kyai Ageng Pengging Sepuh."
Mendengar pengakuan Mahesa Jenar, Sarayuda menjadi
terkejut pula, disamping pertanyaan-pertanyaan yang
bergelut di dalam dadanya.
Kalau orang itu murid Almarhum Kyai Ageng Pengging
Sepuh seperti yang pernah didengar dari gurunya, lalu
apakah sebabnya ia demikian saja menyerangnya tanpa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebab" Tetapi, belum lagi Sarayuda bertanya, terdengar
Mahesa Jenar melanjutkan, "Tuan... sebenarnya aku tadi
telah meraba-raba. Menilik sikap Tuan, pastilah Tuan ada
hubungannya dengan salah seorang sahabat almarhum
guruku. Tetapi aku sama sekali tidak mendapat kesempatan
untuk mengingat-ingat. Baru kemudian setelah Adi Pudak
Wangi mengatakan bahwa Tuan adalah murid Ki Ageng
Pandan Alas, aku jadi teringat kepada ceritera guruku,
bahwa sikap yang demikian tadi adalah sikap khusus
perguruan Ki Ageng Pandan Alas dengan sebutan Aji Cunda
Manik." Wajah Sarayuda kini telah mengendor, namun matanya
masih mengandung bermacam-macam pertanyaan. Katanya, "Aku pun kemudian tahu pula, bahwa Tuan telah
melawan Aji Cunda Manik dengan aji yang terkenal, Sasra
Birawa. Untunglah bahwa aku tidak lumat karenanya."
"Ah, jangan merendahkan diri Tuan," sahut Mahesa
Jenar." Cunda Manik adalah suatu kekuatan yang tiada
taranya." "Tetapi," bertanya Sarayuda kemudian, "apakah sebabnya Tuan menyerang aku tanpa sebab, sedang aku
lagi berusaha menyelamatkan jiwa anak itu?".
Tiba-tiba wajah Mahesa Jenar jadi pucat. Maka dengan
gugup ia bertanya, "Tuan sedang berusaha menyelamatkan
jiwa anak ini?" "Demikianlah," jawab Sarayuda. "Ketika aku sedang
menikmati kesejukan malam di padang ilalang ini, aku
mendengar jerit anak itu. Ketika aku mendekatinya, maka
aku melihat seorang anak sedang diseret dan disiksa oleh
tiga orang yang tak mengenal perikemanusiaan. Akhirnya
aku terpaksa membunuh ketiga orang yang tidak mau
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mendengarkan peringatanku.
Bahkan mereka telah mencoba untuk membunuh anak yang sudah pingsan itu."
Mendengar ceritera itu, Mahesa Jenar menjadi semakin
pucat. Katanya, "Kalau demikian, Tuanlah yang telah
menyelamatkan jiwa anak itu" Kalau demikian maka dengan
menyerang Tuan, aku telah berbuat kesalahan yang
berlipat-lipat. Sebab aku mengira bahwa Tuan telah
mengambil anakku itu dari rumahku."
Sarayuda mengangguk-anggukkan kepala. Sekarang ia
sedikit banyak telah dapat mengetahui duduk perkaranya,
kenapa Mahesa Jenar langsung menyerangnya pada saat ia
sedang mendukung anak yang pingsan itu.
"Agaknya Tuan telah salah sangka," katanya.
Mahesa Jenar menjawab lirih, "Benar Tuan, aku terlalu
tergesa-gesa, karena kecemasan akan nasib anakku."
"Siapakah anak itu?" tanya Pudak Wangi, yang
memperhatikan percakapan kedua orang itu dengan
saksama. "Arya Salaka," jawab Mahesa Jenar. "Ia adalah putra
Kakang Gajah Sora, kepala perdikan Banyubiru, yang juga
cucu Paman Sora Dipayana."
"Aku pernah mendengar nama itu dari Bapa Pandan
Alas," sahut Sarayuda, "dan untunglah bahwa aku telah
menjumpai orang-orang yang mencoba mengganggunya."
Kemudian Mahesa Jenar menceriterakan segala sesuatu
yang telah terjadi atas Arya, dan suatu kebetulan yang tak
disangka-sangka bahwa kemudian ia bertemu dengan murid


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Ageng Pandan Alas, Sarayuda dan Pudak Wangi
mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar itu dengan
seksama. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sampai akhirnya Mahesa Jenar berkata, "Aku minta
maaf, Tuan, bahwa aku telah menyerang Tuan. Untunglah
bahwa Tuan adalah seorang perkasa. Kalau sampai terjadi
sesuatu atas diri Tuan maka aku akan menanggung dosa
yang tiada taranya."
Sarayuda tersenyum hambar. Bagaimanapun juga ia
masih agak jengkel kepada Mahesa Jenar. Tetapi
mendengar keterangan Mahesa Jenar, ia dapat mengerti
sepenuhnya, perasaan apakah yang mendorongnya sehingga ia berbuat demikian.
Kemudian atas persetujuan mereka bersama, Arya
segera didukung oleh Pudak Wangi di atas kudanya, dan
segera dilarikan ke tempat pemondokannya, untuk segera
mendapat perawatan yang lebih baik. Sedang Sarayuda dan
Mahesa Jenar segera berjalan menyusulnya, meskipun
kemudian mereka terpaksa kembali dengan membawa alat-
alat untuk mengubur orang-orang yang terbunuh oleh
Sarayuda. Mereka pergi ke sebuah bukit, dimana Ki Ageng Pandan
Alas membangun sebuah gubug sebagai tempat peristirahatan. Di sebelahnya terbentang sebuah tanah
pategalan yang luas, milik orang-orang padepokan di bukit
itu pula. Sebagai seorang yang sedang melakukan tugas
yang diliputi oleh rahasia, maka Ki Ageng Pandan Alas pun
merahasiakan diri pula. Di padepokan itu Ki Ageng Pandan
Alas pun merahasiakan diri. Di padepokan itu Ki Ageng
Pandan Alas diterima sebagai seorang penduduk yang baik
hati beserta cucunya seorang pemuda pemalu yang tidak
pernah keluar dari gubugnya.
Hanya kadang-kadang Ki Ageng Pandan Alas yang
menamakan dirinya Ki Punjung, pergi beberapa hari untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mendapatkan keterangan tentang keris Nagasasra dan
Sabuk Inten. Namun sampai beberapa minggu kedua keris
itu masih diliputi oleh takbir kegelapan.
Sedang apabila Ki Ageng Pandan Alas berada di rumah,
maka hampir setiap saat, siang dan malam, ia membentuk
Pudak Wangi yang sebenarnya adalah Rara Wilis, untuk
menjadi seorang yang berilmu. Ia ingin merebut kembali
ayah Rara Wilis dari dunia kejahatan dengan mempergunakan keperwiraan Rara Wilis yang diharapkan
dapat menandingi ibu tirinya, anak Sima Rodra tua dari
Lodaya. Dalam pondok itulah Rara Wilis mengalami penggemblengan. Beberapa lama kemudian, datanglah seorang pemuda
dari Gunung Kidul. Sarayuda, yang pada masa kanak-
kanaknya menjadi kawan bermain Rara Wilis. Pemuda itu
adalah murid Ki Ageng Pandan Alas. Ketika masa berguru
sudah cukup, maka beberapa lama Sarayuda diajaknya
merantau untuk mendapat pengalaman. Setelah beberapa
lama kemudian, disuruhnya Sarayuda kembali ke Gunung
Kidul untuk menerima warisan orang tuanya, yaitu
kedudukan sebagai Demang di Gunung Kidul. Pada saat
Rara Wilis menjadi dewasa, Sarayuda merasa bahwa
persahabatannya dengan Rara Wilis telah mengalami
perubahan. Perasaannya sebagai pemuda kadang-kadang
tersentuh-sentuh dengan tajamnya. Tetapi belum lagi
Sarayuda mengatakan sesuatu, terjadilah malapetaka yang
menimpa Rara Wilis. Ibunya meninggal dunia. Terpaksa ia
menyabarkan diri untuk beberapa saat, sehingga masa
berkabung itu lampau. Tetapi tanpa diduganya, pada suatu
hari Rara Wilis pergi meninggalkan Gunung Kidul. Tak
seorang pun yang mengetahui ke mana arah tujuannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun Sarayuda telah memerintahkan beberapa orang
untuk mencarinya, namun selalu sia-sia saja.
Karena itu, untuk memenuhi tuntutan perasaannya yang
tak dapat dibendung lagi, maka pada suatu hari Sarayuda
sendirilah yang pergi untuk menemukan Rara Wilis. Karena
Sarayuda memiliki pengalaman yang cukup, maka meskipun
dengan susah payah, bertanya kesana-kemari, akhirnya ia
mendapatkan beberapa keterangan yang meskipun samar-
samar tentang seorang gadis yang berjalan seorang diri.
Tetapi untuk beberapa lama ia kehilangan jejak. Ia telah
mencoba mencari Ki Ageng Pandan Alas ke Pliridan,
Wanasaba, dan ke tempat-tempat yang pernah dikunjunginya dahulu. Namun Ki Ageng Pandan Alas tidak
dapat ditemuinya. Ia yakin bahwa Ki Ageng Pandan Alas
tidak akan membiarkan cucunya itu merantau tanpa tujuan.
Pada suatu saat pasti Rara Wilis akan berada bersama-sama
dengan Ki Ageng Pandan Alas. Pada suatu saat di lereng
Gunung Sumbing, pada saat ia sedang beristirahat di
sebuah goa yang pernah dikunjungi bersama dengan
gurunya, datanglah seorang yang juga akan berteduh di
tempat itu. Dan ternyata, orang itulah Ki Ageng Pandan
Alas. Betapa girang hati Sarayuda bertemu dengan gurunya
tanpa disangka-sangka. Seterusnya Sarayuda menyertai Ki
Ageng Pandan Alas, kembali ke pondoknya, ke tempat ia
meninggalkan Rara Wilis yang telah berubah menjadi Pudak
Wangi. Namun bagaimanapun bagi Sarayuda, baik Rara
Wilis maupun Pudak Wangi sama sekali tidak ada bedanya.
Maka untuk beberapa lama Sarayuda tinggal bersama-
sama dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Pudak Wangi,
untuk mendapat kesempatan pada suatu saat melahirkan
perasaannya kepada Rara Wilis.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pada malam itu, ketika udara malam yang sejuk
membelai gubug kecil tempat tinggal Ki Ageng Pandan Alas
bersama muridnya, Sarayuda tiba-tiba ingin melihat-lihat
keadaan sekeliling bukit kecil itu. Maka segera ia
menyiapkan kudanya, dan perlahan-lahan dinaikinya kuda
itu tanpa tujuan. Tiba-tiba ketika kudanya sampai di padang terbuka,
Sarayuda mendengar sayup-sayup jerit seseorang. Cepat-
cepat ia memacu kudanya ke arah suara itu. Dan yang
dilihatnya adalah seorang anak yang diseret oleh tiga orang
yang agaknya sama sekali tidak berperikemanusiaan.
Sarayuda mencoba untuk mencegah serta bertanya tentang
anak itu, apakah sebab-musababnya. Tetapi sama sekali ia
tidak mendapat jawaban. Malahan ketiga orang itu
menyerangnya bersama-sama. Maka tidak ada jalan lain,
kecuali melawannya. Malahan akhirnya ketiga orang itu
binasa. Ketika kemudian ia mengangkat anak itu, dan akan
dibawanya kembali, kudanya telah berlari mendahului.
Kemudian tanpa diduga-duganya datanglah Mahesa Jenar
menyerangnya, sehingga mereka harus bertempur hampir
separuh malam. Kuda yang telah beberapa hari tinggal di rumah Ki A geng
Pandan Alas itu ternyata dapat menemukan jalan. Agaknya
ia ketakutan dan terkejut ketika Sarayuda bertempur
melawan tiga orang lawannya. Pudak Wangi yang
mengetahui bahwa kuda itu pulang tanpa penumpang
menjadi agak cemas. Karena itu ia berusaha untuk
mencarinya dengan menuruti jejak kudanya. Sehingga
akhirnya dijumpainya Sarayuda dan Mahesa Jenar bersama-
sama pingsan. Untunglah bahwa Pudak Wangi tidak
terlambat, sehingga tidak terlanjur terjadi sesuatu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Di rumah Ki Ageng Pandan Alas, Arya mendapat
perawatan yang baik, sehingga dalam waktu yang singkat
tampaklah bahwa tidak terlanjur terjadi sesuatu, baik
Mahesa Jenar maupun Sarayuda.
Ternyata bahwa Ki Ageng Pandan Alas mempunyai cukup
pengetahuan pula dalam hal obat-obatan. Meskipun tidak
begitu sempurna, namun karena usianya yang telah lanjut
serta pengalaman yang luas, maka banyak pula dedaunan
dan akar-akar yang membuat kesehatannya telah hampir
pulih kembali. Atas permintaan Pandan Alas pula, maka Mahesa Jenar
untuk beberapa lama tinggal di rumah itu sambil menunggu
Arya Salaka sampai benar-benar sembuh.
Dalam waktu yang singkat itu, timbullah rasa
persahabatan yang erat antara Mahesa Jenar dengan
Sarayuda yang usianya hampir sebaya. Sarayuda mengagumi Mahesa Jenar sebagai seorang yang cerdas,
bersikap dewasa serta banyak mempunyai ceritera-ceritera
tentang kepahlawanan yang menarik. Sedang terhadap
Sarayuda, Mahesa Jenar merasa berhutang budi yang tiada
taranya. Juga karena sikap Sarayuda yang berterus terang,
yang memancar dari lubuk hati tanpa pamrih.
Tetapi disamping itu, disamping perasaan yang bahagia,
karena Arya telah terselamatkan, dan karena ia
berkesempatan bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas dan
bersahabat dengan muridnya, namun ada pula perasaan
lain yang menusuk-nusuk dada Mahesa Jenar. Pertemuannya dengan Pudak Wangi pada kesempatan yang
sama sekali tak diduganya itu, telah menimbulkan kenangan
pada segenap peristiwa-peristiwa yang lalu, pada saat
pertemuannya yang mula-mula sekali di hutan Tambak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Baya. Suatu perasaan yang berbahagia pada saat ia dapat
menyelamatkan gadis itu dari tangan Jaka Soka. Tetapi juga
suatu kenangan yang seram, pada saat gadis itu hilang.
Hampir saja ia membunuh orang yang sama sekali tak
bersalah. Mengingat hal-hal itu Mahesa Jenar tersenyum
sendiri. Beberapa saat kemudian, Ki Ageng Pandan Alas sengaja
mempertemukannya dengan seorang pemuda baru yang
bernama Pudak Wangi di Banyubiru.
Semuanya itu telah membuat Mahesa Jenar selalu
diganggu oleh kenangan yang susul-menyusul, yang setiap
kali terasa menggores jantungnya, serta meninggalkan
bekas luka yang pedih. Apalagi sekarang, pemuda yang bernama Pudak Wangi
itu selalu berada di sekitarnya. Karena itu maka hatinya
tidak pernah merasa tenteram. Bagaimanapun ia mencoba
melupakan bayangan-bayangan yang selalu mengejarnya,
serta bagaimanapun juga ia mencoba menasehati dirinya,
bahwa yang berada di rumah itu adalah seorang pemuda,
namun ia tidak dapat membohongi diri, tidak dapat
mencabut kembali pengertiannya, bahwa Pudak Wangi itu
adalah Rara Wilis. Kadang-kadang Mahesa Jenar menjadi
jengkel kepada dirinya sendiri. Kalau demikian maka untuk
mengisi waktunya, supaya tidak selalu diganggu oleh
perasaan-perasaan itu, Mahesa Jenar sering pergi berburu
seorang diri, sebab Arya masih belum kuat benar untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang agak berat. Dengan
busur yang dapat dipinjamnya dari Pudak Wangi, Mahesa
Jenar sering melakukan perburuan.
----------o)o---------- SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Demikianlah pada suatu malam yang gelap, Mahesa
Jenar telah mempersiapkan busur serta anak-panahnya.
Kali ini ia ingin mendapatkan harimau. Sengaja ia tidak
mengajak Sarayuda, supaya ia dapat berbuat sesuka hati
tanpa ada yang mengganggunya.
Setelah ia minta diri kepada Arya, serta menyanggupinya
untuk membawakan kulit harimau yang besar, maka
berangkatlah Mahesa Jenar ke padang ilalang yang diseling-
seling dengan semak-semak. Di tempat-tempat itulah
biasanya berkeliaran harimau-harimau yang sedang mencari
mangsa. Angin malam yang bertiup lewat perbukitan, mengantarkan hawa yang segar. Di langit yang biru gelap,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bintang-bintang bergantungan dengan riangnya. Beberapa
kali lembaran-lembaran mega yang putih terapung-apung
lewat, seperti rakit-rakit berkeliaran di danau yang luas.
Sekali dua kali Mahesa Jenar memandang ke arah langit
yang terbentang di atas kepalanya. Alangkah luasnya.
Dengan memandang ke arah langit serta benda-benda
angkasa yang tiada taranya itu, terasa betapa kecilnya
manusia ini. Tidak lebih dari satu titik pada sebuah bidang
seluas kerajaan Demak. Apalagi kalau kita hadapkan hati
kita kepada Sang Pencipta. Maka manusia itu benar-benar
sama sekali tak berarti. Ketika Mahesa Jenar sedang mengagumi keperkasaan
alam, tiba-tiba terdengarlah oleh telinganya yang sangat
tajam itu, langkah orang mengikutinya. Dengan hati-hati
sekali Mahesa Jenar memperhatikan langkah itu dengan
saksama. Sampai akhirnya dengan gerakan yang cepat
sekali Mahesa Jenar menghentikan langkahnya serta
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
membalikkan diri. Tetapi demikian ia menghadap orang
yang mengikutinya itu, debar dadanya berubah menjadi
suatu perasaan heran. Sebab yang berdiri di hadapannya
adalah Pudak Wangi. Untuk sesaat mereka saling berdiam diri. Pudak Wangi
menundukkan wajahnya, sedang jari-jarinya bermain-main
pada ujung bajunya. Baru beberapa lama kemudian Mahesa
Jenar dengan agak tergagap bertanya, "Akan ke manakah
Adi Pudak Wangi malam-malam begini?"
Pudak Wangi tidak segera menyahut. Kemudian ia
bertanya, "Bukankah Kakang Mahesa Jenar hendak
berburu?" Mahesa Jenar mengangguk mengiyakan.
"Kalau demikian aku akan pergi berburu pula," lanjut
Pudak Wangi. Maka terloncatlah jawaban Mahesa Jenar tanpa sadar,
"Adi... aku kira tidaklah pantas kalau kau berjalan-jalan di
malam hari, serta berburu pula bersama aku."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, kembali Pudak
Wangi menundukkan wajahnya malu. Tetapi sesaat
kemudian ia menjawab, "Kakang Mahesa Jenar..., kalau
Kakang boleh berburu pada malam hari, apa sebabnya aku
tidak..." Adakah bedanya...?"
Mahesa Jenar terdiam. Barulah ia sadar bahwa ia
berhadapan dengan seorang pemuda yang bernama Pudak
Wangi, bukan dengan seorang gadis yang bernama Rara
Wilis. Karena itu, segera ia menjawab, "Tidak ... Adi, sama
sekali tak ada bedanya."
"Kalau demikian berarti aku diperkenankan untuk pergi
berburu pula," Desak Pudak Wangi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena jawaban itu Mahesa Jenar semakin terdesak.
Meskipun demikian ia masih berusaha untuk mencegah
Pudak Wangi ikut serta. "Tetapi banyak halangannya
berjalan di malam hari, meskipun Adi pada dasarnya
diperkenankan berburu pula."
Dengan tersenyum Pudak Wangi menjawab, "Kenapa
Kakang Mahesa Jenar cemas akan bahaya. Aku sudah lebih
lama tinggal di tempat ini, sehingga aku lebih banyak
mengenalnya. Kecuali itu, andaikata bahaya datang, biarlah
aku coba untuk mengatasinya. Bukankah aku murid Ki
Ageng Pandan Alas?" Sekali lagi Mahesa Jenar terdesak, sehingga ia tidak
dapat berkata-kata lagi. Pudak Wangi memandang Mahesa
Jenar dengan tersenyum kecil. Melihat senyum Pudak
Wangi, bagaimanapun Mahesa Jenar tergetar hatinya.
Kemudian terdengar kembali Pudak Wangi berkata, "Jadi,
masih tetapkah Kakang Mahesa Jenar menolak aku ikut
serta?" Dengan tergagap Mahesa Jenar cepat-cepat menjawab,
"Silahkan Adi... silahkan."
Kembali Pudak Wangi tersenyum. Tetapi ia tidak berkata-
kata lagi. Maka kemudian berjalanlah mereka berdua
dengan busur di tangan masing-masing. Tetapi di
sepanjang jalan hampir tak terdengar kata-kata. Suasana
kekakuan masih tetap ada, membatasi pergaulan mereka.
Bintang-bintang yang gemerlapan masih bergayutan di
langit. Di selatan, bintang Gubug Penceng tepat berdiri di
atas kutub. Dan angin malam dengan segarnya membelai
hati mereka yang sedang berjalan di kegelapan malam.
Tetapi, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Di kejauhan
terdengar bunyi telapak kuda semakin lama semakin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mendekat, dan tidak lama kemudian mereka melihat
bayangan dua orang berkuda melintas di padang ilalang itu.
Ketika orang-orang itu melintas dekat Mahesa Jenar dan
Pudak Wangi berdiri, mendadak salah seorang membelokkan kudanya mengarah kepadanya. Untuk tidak
menimbulkan kesan-kesan yang kurang baik, segera
Mahesa Jenar dan Pudak Wangi meletakkan busur-busur
mereka. Beberapa langkah di hadapan Mahesa Jenar, kuda itu
berhenti, disusul dengan orang yang satu lagi, yang
agaknya mengikutinya pula.
Dengan kasar dan masih tetap di punggung kudanya,
orang itu bertanya, "He, siapakah kalian yang pada malam-
malam begini berkeliaran di sini?"
"Kami adalah petani-petani di bukit ini," jawab Mahesa
Jenar. "Hem... desis yang lain. Lalu apa kerja kalian di sini?"
"Kami sedang berburu ayam hutan," jawab Mahesa Jenar
pula. Mendengar jawaban itu agaknya mereka percaya. Maka
bertanyalah salah seorang diantaranya lebih lanjut, "Adakah
kau lihat di sekitar bukit ini kemarin atau lusa atau
beberapa hari yang lalu tiga orang asing lewat?"
"Tiga orang?" ulang Mahesa Jenar sambil mengingat-
ingat. Tiba-tiba ia teringat kepada keterangan Sarayuda,
bahwa Arya telah diseret oleh tiga orang yang tak
dikenalnya. Sedang menilik pakaian mereka, maka mereka
tak ubahnya dengan orang yang telah menyerang
Banyubiru untuk membunuh Arya. Karena itu segera
Mahesa Jenar menghubungkan kedua orang itu dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ketiga orang yang telah mencoba membunuh anak itu.
Maka timbullah keinginannya untuk meyakinkan pendapatnya itu. Maka katanya, "Aku memang telah melihat tiga orang
lewat di sini, Tuan. Tetapi tidak hanya tiga orang saja,
mereka telah membawa serta seorang anak laki-laki
bersama dengan mereka."
"Seorang anak laki-laki?" potong salah seorang
diantaranya. "Ya, aku tidak tahu apakah anak itu anak salah seorang
dari ketiga orang itu," lanjut Mahesa Jenar.
"Bukan, sama sekali bukan," jawab yang lain.
"Pasti demikian, sela Mahesa Jenar, Sebab anak itu
didukungnya dengan penuh kasih, sebagai seorang bapak
terhadap anaknya." Maka terdengarlah kedua orang itu tertawa riuh, dan
terdengarlah salah seorang berkata, "Umur anak itu tidak
akan lebih dari panjangnya malam pada saat kau lihat.
Kapan kau lihat mereka lewat di sini?"
Mendengar kata-kata itu, Mahesa Jenar menjadi yakin
bahwa dua orang itu adalah kawan-kawan yang sedang
mencari ketiga orang yang ternyata telah dibunuh oleh
Sarayuda. Karena itu, segera terungkaplah kemarahan
Mahesa Jenar. Karena orang-orang ini adalah pasti orang-
orang Lembu Sora. Maka, karena gelora kemarahannya,
timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menghajar kedua
orang itu. Segera Mahesa Jenar memancing mereka ke
dalam suatu perselisihan, katanya, "Tuan salah terka. Anak
itu sampai sekarang masih segar bugar. Oleh ketiga orang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu, ia mereka titipkan kepada kami, sementara mereka
pulang untuk mengambil jemputan dan kendaraan."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, wajah kedua orang
itu segera berubah hebat. Dengan gugup salah seorang
bertanya, "Ketiga orang itu berasal dari mana?"
"Dari Banyubiru," jawab Mahesa Jenar cepat-cepat.
"Mereka adalah utusan Nyi Ageng Gajah Sora."
Wajah kedua orang itu menjadi bertambah tegang,
apalagi ketika Mahesa Jenar melanjutkan, "Nama anak itu
adalah Arya Salaka."
"Berikan anak itu kepadaku!" Tiba-tiba yang seorang
berteriak. Dengan tenang Mahesa Jenar memandang wajah orang
itu. Hidungnya yang besar hampir melengkung, terletak
diantara kedua matanya yang mirip dengan mata burung
hantu. Sedang yang lain adalah gambaran dari wajah
seorang yang tidak mempunyai pikiran. Sudut-sudut
bibirnya tertarik agak ke bawah, dan matanya tidaklah
bedanya dengan mata sebuah patung. Mati dan tak bersinar
sama sekali. "Siapakah sebenarnya kalian?" tanya Mahesa Jenar.
"Aku juga suruhan Nyi Ageng Gajah Sora dari
Banyubiru," jawab mereka.
"Sayang, bahwa aku tidak berani menyerahkan anak itu
kecuali kepada yang telah menitipkan," sahut Mahesa
Jenar. Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, agaknya kedua
orang itu menjadi marah sekali, teriaknya, "Kau berikan
anak itu, atau kau aku seret di belakang kudaku?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat muka-muka yang kasar dari kedua orang itu
Mahesa Jenar menjadi muak. Tetapi masih juga ia
menjawab dengan tenang, "Aku tidak akan memberikan
anak itu. Ketahuilah bahwa ketiga orang Banyubiru yang
akan menyelamatkan Arya Salaka itu sudah aku bunuh, dan
sekarang anak itu pun akan aku bunuh pula. Aku adalah
orang Ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit."
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, kedua orang berkuda
itu tubuhnya menjadi bergetar karena marah. Mereka sadar
bahwa mereka telah dipermainkan serta telah dikenal pula
sebagai orang-orang Lembu Sora yang diperintahkan
membunuh Arya. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali
membinasakan kedua orang yang tidak dikenalnya itu.
Dengan gigi yang gemeretak mereka mencabut pedang-
pedang mereka. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bersamaan dengan itu, Mahesa Jenar pun menjadi
semakin muak pula melihat mata yang mirip dengan mata
burung hantu, serta mata yang sama sekali padam di atas
bibir yang melengkung ke bawah. Karena itu segera ia akan
bertindak melenyapkan pemandangan yang sama sekali
tidak menarik hati itu. Tetapi baru saja Mahesa Jenar akan
melangkah, terasalah Pudak Wangi menggamit pundaknya
sambil berbisik, "Kakang Mahesa Jenar, berilah aku
kesempatan untuk berlatih. Tetapi jangan lepaskan aku dari
pengawasan." Mahesa Jenar agak terkejut mendengar bisik Pudak
Wangi, tetapi kemudian ia tersenyum. Dengan berbisik pula
ia menjawab, "Silahkan murid Ki Ageng Pandan Alas."
Oleh jawaban itu, Pudak Wangi menjadi agak malu.
Namun sesaat kemudian Mahesa Jenar telah meloncat ke
samping pada saat serangan kedua orang berkuda itu
datang. Pudak Wangi pun lincah pula. Sambil memungut
busurnya ia meloncat ke samping, serta dengan tangkasnya
ia berjongkok, untuk sesaat yang sangat pendek siap
melontarkan anak panahnya.
Sengaja Pudak Wangi tidak segera mengarahkan anak
panahnya kepada orang-orang yang mengendarai kuda-
kuda itu, karena ia ingin mengetahui sampai di mana
tingkat ilmu yang pernah diterima dari kakeknya, Ki Ageng
Pandan Alas. Mengalami kejadian itu, kedua orang penunggang kuda
itu menjadi semakin marah. Meskipun demikian mereka
tidak berani tergesa-gesa menyerang, sebab mereka sadar
bahwa busur di tangan Pudak Wangi itu tak dapat
diperingan akibatnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu mereka segera meloncat turun dan lari-lari
berputaran sambil mendekati bersama-sama dari arah yang
berlawanan. Pudak Wangi, yang memang sama sekali tak ingin
membunuh mereka dengan panahnya, segera meletakkan
busurnya serta kemudian mencabut pedangnya pula.
Kedua orang lawannya menjadi keheranan kenapa orang
itu tidak mempergunakan panahnya.
Tetapi mereka sama sekali tidak mau membuang-buang
waktu lagi. Segera mereka bersama-sama mendesak maju.
Karena Mahesa Jenar kemudian menyingkir saja, maka
perhatian mereka tercurah kepada Pudak Wangi.
Ternyata Pudak Wangi yang meskipun baru menerima
pelajaran beberapa bulan saja, namun ia telah dapat
menunjukkan kelincahan serta ketangkasan bergerak.
Dengan melingkar dan kemudian meloncat mundur, ia
berhasil menghindari kedua serangan yang datang dari arah
yang berbeda itu sekaligus. Bahkan demikian kakinya
menyentuh tanah, ia segera meloncat maju menyerang
dengan pedangnya yang tipis namun tajamnya tiada terkira.
Pedang itu dibuat oleh Ki Ageng Pandan Alas, khusus


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk Pudak Wangi. Meskipun bentuknya tidak ubahnya
pedang biasa, namun pedang itu agak lebih ringan.
Kedua orang lawan Pudak Wangi itu terkejut melihat
lawannya dapat menghindarkan diri, bahkan kemudian
dengan cepatnya telah menyerang kembali. Segera mereka
berloncatan mundur. Meskipun kedua orang itu adalah dua
orang yang telah berpuluh tahun menjadi laskar Pamingit,
namun mereka belum pernah menerima latihan yang
teratur dan bersungguh-sungguh, sehingga apa yang
mereka lakukan adalah cara-cara yang kasar namun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sederhana. Mereka lebih senang mempergunakan tenaga
dari pada otak mereka. Karena itu, meskipun melawan dua
orang sekaligus, Pudak Wangi dapat melayani mereka
dengan baiknya. Meskipun setelah beberapa lama, ternyata
bahwa kedua orang Pamingit itu, bagaimanapun juga telah
memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak daripada
Pudak Wangi, sehingga akhirnya Pudak Wangi perlahan-
lahan menjadi agak terdesak.
Tetapi bagaimanapun juga Mahesa Jenar menjadi
keheranan. Agaknya darah Ki Ageng Pandan Alas yang
mengalir di dalam tubuhnya telah memberinya bekal yang
cukup untuk menjadikannya seorang yang perkasa.
Baru beberapa bulan yang lalu di hutan Tambak Baya,
seorang gadis hampir membunuh dirinya karena ia dikejar-
kejar oleh Jaka Soka, dan kemudian setelah gadis itu
ditolongnya, telah menjadikan Mahesa Jenar hampir gila
karena gadis yang ditolongnya itu lenyap. Semuanya itu
baru terjadi beberapa bulan, yang bagi Mahesa Jenar
seolah-olah baru kemarin sore. Sekarang, Mahesa Jenar
menyaksikan gadis yang mengubah dirinya menjadi seorang
pemuda bernama Pudak Wangi, telah dapat melawan dua
orang laki-laki yang tubuhnya kuat seperti orang hutan,
dengan otot-otot menjorok di permukaan kulit. Bagaimanapun tekunnya Pudak Wangi belajar, serta
bagaimanapun sakti guru yang memberinya pelajaran,
kalau di dalam tubuh Pudak Wangi tidak tersimpan bakat
yang kuat, pasti dalam waktu yang pendek itu pelajaran
yang diterimanya belumlah berarti.
Tetapi, tidak demikianlah dengan Pudak Wangi.
Tangannya yang memegang pedang itu bergerak dengan
cepatnya. Agaknya menjadi ciri dari ilmu pedang Ki Ageng
Pandan Alas, bahwa daun pedang itu tampaknya selalu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bergetar, sehingga mengaburkan arah geraknya. Untuk
melawan ilmu pedang dari Gunung Kidul itu, kedua orang
Lembu Sora harus bekerja mati-matian. Mereka mengandalkan kekuatan tenaga mereka, ditambah dengan
pengalaman-pengalaman yang mereka dapat puluhan
tahun. Meskipun demikian kadang-kadang nyawa mereka
hampir saja disambar oleh pedang Pudak Wangi.
Untunglah, bahwa Pudak Wangi sangat kurang
pengalaman. Ia belum pernah mengalami perkelahian
benar-benar yang dapat mengancam jiwanya maupun jiwa
orang lain. Sampai sedemikian jauh Pudak Wangi baru
mengalami latihan-latihan dengan gurunya serta kakak
seperguruannya, Sarayuda. Karena itu, maka dalam saat-
saat yang menentukan ia menjadi agak ragu-ragu.
Beberapa kali tampak Pudak Wangi menarik kembali
serangannya yang sangat membahayakan jiwa lawan-
lawannya. Dengan demikian maka akhirnya Pudak Wangi berada di
dalam kekuasaan lawan-lawannya yang sama sekali tidak
tahu diri. Mereka sama sekali tidak peduli bahwa lawannya
kadang-kadang tidak sampai hati melukai kulitnya. Bahkan
mereka telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-
baiknya. Meskipun kemudian Pudak Wangi sadar bahwa
seharusnya ia tidak beragu-ragu lagi, namun waktunya
telah agak terlambat. Lawan-lawan Pudak Wangi telah
berhasil menempatkan diri mereka pada kedudukan yang
menentukan. Mengalami hal yang demikian itu, Pudak
Wangi menjadi agak bingung. Ia masih belum tahu
beberapa kesempatan yang dapat dipergunakan untuk
mengatasi keadaan, karena kurangnya pengalaman.
Maka segera teringatlah Pudak Wangi kepada Mahesa
Jenar. Dengan sudut matanya, ia melihat dalam sepintas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar dengan enaknya duduk di atas rumput sambil
melihat perkelahian itu seperti sedang menikmati pertunjukan. Sama sekali tidak ada kesan bahwa Mahesa
Jenar melihat kesulitan yang sedang dialaminya. Karena itu
dengan agak terpaksa Pudak Wangi menjerit, "Kakang
Mahesa Jenar, sudah puaskah Kakang melihat permainanku?" Mendengar suara Pudak Wangi yang halus nyaring itu
Mahesa Jenar tersenyum. Ia sebenarnya melihat kesulitan
Pudak Wangi. Tetapi karena keadaannya belum terlalu
membahayakan, timbullah keinginannya untuk menggoda
gadis itu. Ia juga mengerti maksud Pudak Wangi dengan
kata-katanya, yang sebenarnya memintanya untuk membantu. Namun ia menjawab dengan tertawa pendek,
"Belum Adi, permainan Adi bagus sekali. Aku masih ingin
menyaksikan beberapa lama lagi."
Pudak Wangi mendengar jawaban Mahesa Jenar menjadi
jengkel sekali, tetapi untuk berterus terang ia pun agak
malu-malu, karena itu sekali lagi ia menjerit, "Aku sudah
cukup lama berlatih, Kakang."
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Tinggi hati juga
gadis ini, katanya dalam hati. Maka, tiba-tiba Mahesa Jenar
ingin memaksa gadis itu supaya menyatakan permintaan
untuk menolongnya. Karena itu ia menjawab, "Latihanmu
baru mulai, Adi... gerak-gerakmu baru sampai pada taraf
memanaskan badan. Aku ingin melihat kalau kau benar-
benar sudah menunjukkan kepandaianmu."
Mendengar jawaban itu hati Pudak Wangi menjadi
semakin jengkel. Akhirnya ia menjadi sadar bahwa Mahesa
Jenar sedang mengganggunya. Apalagi ketika itu, kedua
orang lawan Pudak Wangi, yang merasa dirinya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
direndahkan menjadi bertambah marah. Mereka menyerang
semakin garang dan ngetok kekuatan. Sehingga akhirnya
timbullah jiwa kemanjaan seorang gadis di dalam dada
Pudak Wangi. Sekali lagi ia menjerit hampir menangis,
"Kakang, baiklah kalau Kakang ingin melihat dadaku
terbelah." Dan berbareng dengan itu Pudak Wangi
melemparkan pedangnya ke arah salah seorang dari
lawannya. Melihat pedang itu melontar ke arahnya, orang itu
menjadi terkejut sekali, sehingga ia meloncat mundur
menghindar. Demikian pula yang seorang lagi, menjadi
tertegun beberapa saat. Tetapi tidak pula kalah terkejutnya adalah Mahesa Jenar.
Dengan melemparkan pedangnya, Pudak Wangi sama sekali
tidak bersenjata lagi. Sedangkan sesaat kemudian kedua
lawannya telah berhasil menguasai diri mereka masing-
masing, sehingga segera melakukan serangan-serangan
mereka kembali. Meskipun demikian agaknya Pudak Wangi sama sekali
sudah tidak menghiraukan lagi. Ia berdiri saja tegak dengan
tenangnya menanti ujung-ujung pedang yang mengarah ke
dadanya. Melihat peristiwa itu, Mahesa Jenar menjadi cemas. Ia
dapat mengerti bahwa Pudak Wangi marah kepadanya.
Kemarahan seorang gadis yang manja. Mahesa Jenar
mendadak teringat pada saat Rara Wilis akan bunuh diri di
hutan Tambak Baya. Karena itu secepat kilat tangannya kiri
dan kanan, kedua-duanya meraih dua buah batu sebesar
telur ayam. Dengan sekuat tenaganya kedua batu itu
dilemparkan ke arah dua lawan Pudak Wangi berturut-turut.
Hasilnya adalah mengerikan sekali. Batu-batu itu tepat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengenai pelipis orang yang berwajah padam seperti
mayat. Suaranya gemeretak memecahkan tulang pelipisnya.
Tanpa dapat berbuat sesuatu, orang jatuh terjerembab
untuk tidak bangun lagi. Sedang yang sebuah lagi
mengenai dada orang yang bermata seperti mata burung
hantu. Terdengar ia berteriak keras-keras dan kemudian
jatuh berguling-guling kesakitan. Dari mulutnya memancar
darah segar. Tetapi beberapa saat kemudian orang itu
terdiam untuk selama-lamanya.
Melihat kedua peristiwa yang tak disangka-sangka itu,
Pudak Wangi terperanjat bukan kepalang. Apalagi ketika
dilihatnya darah yang mengalir dari luka-luka kedua
lawannya. Peristiwa itu adalah suatu peristiwa yang belum
pernah disaksikannya. Karena itu hatinya ngeri dan ketakutan. Di luar sadarnya
maka ia kemudian berlari dan seperti seorang anak kecil ia
menyembunyikan wajahnya ke dada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar adalah seorang yang sudah berpuluh kali
melihat darah mengalir. Tetapi ketika tiba-tiba Pudak Wangi
berlari ke arahnya dan kemudian menangis terisak-isak,
Mahesa Jenar kemudian seperti terpaku di atas tanah.
Jantungnya berdebaran dan darahnya seolah-olah membeku. Untuk beberapa saat mulutnya terkunci rapat-
rapat dan seolah-olah seluruh persenjataannya mati
terkunci. Baru beberapa saat kemudian Pudak Wangi sadar akan
dirinya. Karena itu dengan penuh kemalu-maluan sebagai
lazimnya seorang gadis, ia perlahan-lahan menarik dirinya
dan selangkah demi selangkah ia menjauhi Mahesa Jenar.
Tetapi untuk beberapa lama Mahesa Jenar masih diam
mematung. Ditatapnya wajah Pudak Wangi yang tunduk itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan jantung yang bergelora. Baru kemudian ketika
Pudak Wangi menjatuhkan dirinya di atas rumput-rumput
kering, Mahesa Jenar merasa seolah-olah terbangun dari
sebuah mimpi yang indah. Tetapi bagaimanapun, Mahesa Jenar hampir tidak pernah
bergaul dengan gadis-gadis. Meskipun yang duduk di
hadapannya itu menurut wujudnya adalah seorang pemuda
namun hatinya melihat, bahwa ia adalah seorang gadis.
Karena itu untuk beberapa lama kemudian Mahesa Jenar
masih diam termangu-mangu. Tetapi kemudian perlahan-
lahan Mahesa Jenar maju juga mendekati Pudak Wangi
yang masih terisak-isak menahan tangis.
Melihat Pudak Wangi menangis, Mahesa Jenar merasa
bahwa ia bersalah. Tetapi sebenarnya maksudnya adalah
bergurau saja. Maka ingin rasanya ia minta maaf kepada
gadis itu. Setelah ia dekat berdiri di belakang Pudak Wangi,
berkatalah Mahesa Jenar, "Wilis, aku minta maaf."
Mendengar namanya disebut, dada Pudak Wangi tiba-
tiba terasa sesak. Telah beberapa lama ia tidak pernah
mendengar seseorang memanggilnya dengan namanya
yang sebenarnya. Sekarang tiba-tiba ia mendengar lagi
nama itu, namanya sebagai seorang gadis disebut oleh
seorang yang dikaguminya. Karena itu timbullah rasa haru
yang menggelegak, sehingga kemudian Rara Wilis tak dapat
menahan dirinya lagi, dan menangislah ia sejadi-jadinya.
Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi semakin bingung.
Ia tidak tahu kenapa Pudak Wangi menangis semakin keras.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar sama sekali tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Dengan gemetar ia melangkah
kian kemari. Sebentar ia duduk di belakang Pudak Wangi,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tetapi sebentar kemudian kembali ia berdiri dan melangkah
pula kian-kemari. Sesaat kemudian terasalah malam menjadi semakin sepi.
Angin malam yang gemerisik di sela-sela tangis Pudak
Wangi, mengantarkan udara yang dingin. Kelelawar yang
merajai langit di malam hari, masih tampak berkeliaran di
muka tebaran bintang-bintang yang menaburkan cahayanya
yang gelisah, segelisah hati Mahesa Jenar.
Maka akhirnya Mahesa Jenar menjatuhkan dirinya di
samping Pudak Wangi, dan untuk beberapa lama mereka
saling berdiam diri. Ketika di kejauhan terdengar ayam hutan berkokok
bersahutan, Mahesa Jenar menjadi seperti tersadar, bahwa
ia harus berbuat sesuatu. Mereka tidak dapat terus-
menerus berdiam diri di tengah-tengah padang terbuka
sampai esok pagi. Kerana itu Mahesa Jenar ingin menghibur
hati Pudak Wangi, tetapi karena banyaknya kata-kata yang


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersimpan di dalam dadanya, yang keluar hanyalah, "Adi
Pudak Wangi, marilah kita teruskan perburuan kita."
Pudak Wangi memandang wajah Mahesa Jenar dengan
sinar mata yang kecewa. Tetapi ia sendiri tidak tahu kenapa
hatinya kecewa. Mungkin hatinya mengharapkan Mahesa
Jenar berkata lebih banyak lagi, meskipun ia sendiri takut
menduga-duga kata-kata apa yang dinantinya itu.
Namun semuanya itu hanya terjadi dalam sesaat, sebab
sesaat kemudian Pudak Wangi segera kembali ke dalam
keadaannya kini. Ia adalah seorang pemuda, murid Ki
Ageng Pandan Alas. Karena itu segera ia mencoba
menguasai perasaannya. Dan dengan gagahnya ia
menjawab ajakan Mahesa Jenar, "Marilah kakang, serta
dengan tegak berdiri ia meneruskan, "kita berlomba,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
siapakah yang lebih dahulu berhasil mendapatkan binatang
buruan." Mendengar jawaban Pudak Wangi itu, Mahesa Jenar
tersenyum kecil. Segera ia memungut busurnya dan
kemudian mereka bersama-sama meneruskan perburuan
mereka diantara gerumbul-gerumbul yang semakin lama
semakin hebat. Tetapi meskipun mereka telah berjalan di daerah
perburuan, hati mereka sama sekali tidak tertarik kepada
binatang-binatang hutan. Itulah sebabnya maka beberapa
ekor menjangan yang seharusnya telah mati, mendapat
kesempatan untuk masih menikmati segarnya rumput dan
akar-akaran. Akhirnya Pudak Wangi menjadi lelah. Maka katanya,
"Kakang, baiklah perlombaan kita tunda sebentar. Aku ingin
beristirahat dahulu."
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, "Baiklah,
Adi... aku pun lelah".
Setelah itu, maka segera mereka mencari tempat
peristirahatan, di atas batu-batu yang berserakan.
Maka terdengarlah segera mereka dan Pudak Wangi
bercakap-cakap tentang hal-hal yang sama sekali tidak
penting. Pembicaran itu beredar dari satu ke lain hal
sehingga akhirnya sampai pada diri Mahesa Jenar.
Terdengarlah dengan penuh keinginan tahu Pudak Wangi
bertanya, "Kakang Mahesa Jenar, tidakkah Kakang Mahesa
Jenar bermaksud untuk kembali ke Demak dan memangku
jabatan Kakang kembali?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar pertanyaan itu, Mahesa Jenar tertegun
sebentar. A pakah perlunya maka Pudak Wangi menanyakan
hal-hal yang menyangkut dengan kedudukannya"
"Adi..." jawab Mahesa Jenar, "Jabatan itu memang
menyenangkan. Sebagai seorang perwira pasukan pengawal raja aku banyak mempunyai kesempatan untuk
berbangga. Baik terhadap orang lain maupun terhadap diri
sendiri. Tetapi sayang bahwa aku tidak dapat kembali pada
saat-saat yang dekat ini. Apalagi ketika aku merasa bahwa
aku wajib untuk ikut menemukan kembali keris-keris
Nagasasra dan Sabuk Inten. Maka keinginanku untuk
kembali ke Demak menjadi semakin tipis."
"Sebagai seorang prajurit," sela Pudak Wangi, "Bukankah
Kakang akan lebih banyak kesempatan untuk menemukan
keris-keris itu?" "Mungkin demikian," jawab Mahesa Jenar. "Tetapi
mungkin juga sebaliknya. Sebab tugas seorang prajurit
adalah beraneka ragam. Kecuali itu Adi, pengabdian
seseorang bertebaran pada banyak bidang. Aku sekarang
sedang mengabdikan diriku dengan cara ini."
Pembicaraan mereka jadi terputus ketika mereka
mendengar gemersik halus di belakang mereka. Mahesa
Jenar cepat meloncat berdiri dengan busur di tangan, serta
anak panah yang siap meluncur. Sebab yang terdengar itu
sama sekali bukan harimau atau babi hutan, tetapi suara
langkah manusia. Tetapi meskipun pandangan Mahesa Jenar sangat tajam,
namun Mahesa Jenar tidak dapat melihat seseorang di
belakangnya. Karena itu ia menjadi curiga. Cepat ia
melangkah maju, meskipun dengan penuh kehati-hatian.
Sedang Pudak Wangi pun segera mempersiapkan anak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
panahnya. Namun setelah beberapa lama mereka mencari-
cari, tak seorang pun yang mereka jumpai. Maka hati
mereka menjadi gelisah. Kalau benar dugaan mereka,
bahwa yang didengarnya itu langkah seseorang, pastilah
orang itu orang yang sakti.
Baru beberapa lama kemudian, ketika mereka sudah
menjadi bertambah gelisah, terdengarlah suara tertawa
halus di kejauhan. Mendengar suara itu, tiba-tiba Pudak
Wangi menundukkan kepalanya. Wajahnya menjadi merah,
semerah jambu dersana. Suara itu sangat dikenalnya,
sebagai suara seseorang yang mengasuhnya, Ki Ageng
Pandan Alas. Mahesa Jenar yang mengenal suara itu, juga
menjadi malu. Namun segera ia berkata lantang, "Adi,
lihatlah babi hutan hampir sebesar kerbau."
Setelah berkata demikian, segera Mahesa Jenar meloncat
berlari menyusup ke dalam semak-semak. Pudak Wangi
segera tersentak pula. Ia mengira bahwa Mahesa Jenar
benar-benar telah melihat seekor binatang buruan. Karena
itu, segera ia pun meloncat menyusulnya.
Tetapi meskipun mereka telah berlari-lari beberapa lama,
namun sama sekali Pudak Wangi tak melihat seekor
binatang pun, sampai akhirnya ia melihat Mahesa Jenar
berdiri tegak menantinya.
"Manakah binatang itu Kakang?" tanya Pudak Wangi.
Dengan menarik nafas Mahesa Jenar menjawab, "Sama
sekali aku tak melihat seekor binatang pun Adi. Tetapi aku
mendengar suara tertawa Ki Ageng Pandan Alas."
Pudak Wangi menjadi tersenyum jengkel. Namun ia
membenarkan pula sikap Mahesa Jenar yang agak rikuh
terhadap kakeknya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi mereka menjadi terkejut pula ketika tiba-tiba
terdengar kembali suara tertawa itu. Suara Ki Ageng
Pandan Alas yang justru berada di tempat yang
bertentangan dengan arah semula.
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak
dapat menjauhkan dirinya dari orang tua yang sakti itu,
selama orang tua itu menghendakinya. Teringatlah Mahesa
Jenar akan sikap jenaka dari Ki Ageng Pandan Alas. Karena
itu akhirnya ia tidak akan menghindar lagi, bahkan segera ia
menjatuhkan diri dan duduk di atas rumput-rumput kering.
Agaknya Pudak Wangi memaklumi hal itu, dan segera ia
pun duduk di samping Mahesa Jenar. Namun untuk
beberapa lama mereka sama sekali tidak berkata sepatah
pun. Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar kemersik yang
disusul oleh dengus seekor binatang. Dengan mata yang
tajam, dibalik semak-semak di hadapan mereka tampaklah
sesuatu yang bergerak-gerak, dan sesaat kemudian
muncullah seekor rusa yang agaknya terbangun dari
tidurnya. Dengan isyarat tangan, Mahesa Jenar menunjuk
ke arah binatang itu. Pudak Wangi yang kemudian melihat
pula, dengan cepat sekali telah memasang anak panahnya
dan sesaat kemudian rusa itu terlonjak dan memekik tinggi.
Anak panah tepat mengenai lambungnya. Tetapi sekejap
kemudian menancaplah anak panah kedua, yang dilepaskan
oleh Mahesa Jenar pada leher binatang itu. Tanpa diulang
lagi, rusa itu jatuh dan mati seketika.
"Nah, bukankah aku yang menang?" kata Pudak Wangi
diiringi oleh suara-suara tertawanya yang segar. "Akulah
yang pertama-tama mengenainya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Akulah yang menang", bantah Mahesa Jenar, "Karena
panahkulah binatang itu mati."
"Tetapi akulah yang lebih dahulu, bantah Pudak Wangi
kembali." Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dengan tersenyum,
didekatinya rusa yang telah mati itu, kemudian setelah ia
membuka baju, dipanggulnya binatang itu, katanya,
"Marilah kita pulang, Adi. Rusa ini cukup besar untuk pesta
besok. Pesta kemenangan Adi Pudak Wangi atas dua orang
yang akan membunuh anakku Arya Salaka"
"Ah..." potong Pudak Wangi. Tetapi ia tidak melanjutkan
kata-katanya. Mahesa Jenar pun tidak berkata-kata lagi. Segera mereka
dengan seekor rusa di pundak Mahesa Jenar, berjalan
kembali pulang. Di sepanjang jalan pulang, Mahesa Jenar
sempat mengamat-amati dengan saksama Pudak Wangi
yang berjalan di depannya.
Melihat tingkah lakunya, maka Mahesa Jenar semakin
yakin bahwa tidak lama lagi Pudak Wangi pasti akan
menjadi seorang yang perkasa seperti kakak seperguruannya, Sarayuda. Setidaknya, ia akan dapat
memenuhi keinginan kakeknya, gurunya pula, bahwa
akhirnya ia pasti akan dapat menandingi ibu tirinya, istri
Sima Rodra muda dari Gunung Tidar, anak Sima Rodra dari
Lodaya. Mahesa Jenar membayangkan bahwa persoalannya
kemudian akan menjadi bertambah melilit lagi. Persoalan
antara mereka yang sedang memperebutkan Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten, ditambah dengan persoalan
Rara Wilis dengan ibu tirinya, yang pasti akan sangkut-
menyangkut pula dengan usaha Arya untuk menemukan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kembali kedudukan ayahnya yang telah dirampas oleh
pamannya, Lembu Sora. Sampai di rumah, mereka temui Arya masih tidur
nyenyak. Maka tanpa dibangunkannya, rusa hasil buruan itu
langsung dibaringkan di samping Arya, untuk mengejutkan
anak itu besok pagi. Kemudian Pudak Wangi segera pergi ke pembaringannya
untuk beristirahat, sedang Mahesa Jenar seperti biasanya
tidur dengan alas anyaman daun kelapa yang direntangkan
di atas tumpukan jerami di samping gubug Ki Ageng
Pandan Alas. Karena kelelahan serta kantuknya yang sangat maka
segera Mahesa Jenar jatuh tertidur.
Ia terbangun ketika didengarnya suara orang bercakap-
cakap di halaman belakang rumah itu. Tanpa disengaja ia
mendengar bahwa mereka yang bercakap-cakap itu adalah
Pudak Wangi dengan Sarayuda, sebagai seorang gadis
dengan seorang pemuda. Tiba-tiba saja dengan tidak diketahuinya sendiri, darah
Mahesa Jenar bergetar membentur dinding-dinding jantung.
Maka timbullah keinginannya untuk mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut. Dengan masih berpura-
pura tidur, ia memasang telinganya untuk mencoba
menangkap setiap kata-kata mereka. Dan apa yang
didengarnya telah menambah cepat gelora hatinya.
"Wilis..." terdengar suara Sarayuda jauh di dalam
dadanya, "Sejak kecil aku telah mengenalmu. Mengenal
sebagai cucu guruku. Sejak itu aku telah merasakan suatu
perbedaan antara pergaulanku denganmu dibanding
dengan pergaulanku dengan kawan-kawan lain. Perasaan
itulah yang agaknya kemudian berkembang menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perasaan seperti yang aku alami kini, dan yang pasti sudah
aku ketahui pula. Karena itu Wilis, aku telah berusaha untuk
menemukan kau kembali setelah kau melenyapkan diri
beberapa saat yang lalu dari Gunung Kidul setelah ibumu
meninggal dunia. Dengan menyimpan harapan di dalam
hati, bahwa kau akan memiliki perasaan yang demikian
pula." Kemudian untuk beberapa lama, sama sekali tak
terdengar suara. Namun bagi Mahesa Jenar, suara detak
jantungnya seolah-olah sedemikian kerasnya sehingga jauh
melampaui bunyi bedug. Tetapi sesaat kemudian terdengar Sarayuda melanjutkan, "Wilis, kalau beberapa waktu yang lalu aku
pulang dari perantauanku, dan untuk beberapa lama aku
tak pernah mengatakan perasaan itu kepadamu dan kepada
siapapun, itu karena aku merasa bahwa aku masih belum
mempunyai syarat-syarat yang cukup. Sekarang aku telah
memiliki pekerjaan yang pantas. Yang dilintirkan dari
ayahku kepadaku, yaitu jabatan Demang, yang aku kira
akan dapat mencukupi bagi jaminan masa depan."
Kembali Sarayuda diam. Tetapi kali ini juga Rara Wilis
sama sekali tidak menjawab. Bahkan akhirnya terdengar
isak tangisnya diantara desah angin menjelang fajar, yang
bagi Mahesa Jenar seolah-olah merupakan desir suara
meluncurnya anak-anak panah yang langsung menembus
jantungnya, serta menimbulkan luka yang pedih.
"Wilis..." Sarayuda melanjutkan, "Aku tidak tahu kenapa
kau menangis. Apakah kau terharu, marah, gembira atau
kata-kataku telah menyinggung perasaanmu" Tetapi apa
yang aku lakukan adalah benar-benar terdorong oleh
perasaanku yang bersih."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masih belum terdengar Rara Wilis menjawab.
"Bukan maksudku untuk memancingmu dengan janji
Wilis," desak Sarayuda kemudian, "Tetapi meskipun hanya
setapak aku telah memiliki tanah, dan walaupun hanya
seekor kerbau kurus, aku telah berternak pula."
Meskipun kata-kata itu terluncur dari mulut Sarayuda
tanpa maksud apapun terhadap orang lain, namun bagi
Mahesa Jenar, kata-kata itu merupakan sebuah cermin
surya kantha yang dapat menimbulkan bayangan seratus
kali lipat. Tiba-tiba Mahesa Jenar melihat dirinya dalam kaca
itu sebagai seorang pengembara tak berarti. Seorang yang
tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal, tidak
mempunyai tanah yang subur untuk jaminan hidupnya,
tanpa ternak dan tanpa kedudukan. Serta dilihatnya pula
bayangan Sarayuda sebagai seorang yang memiliki syarat-
syarat yang penuh. Tanah hampir seluas tanah yang
terbentang di daerah Gunung Kidul yang ditaburi oleh 1000
puncak-puncak pegunungan yang asri. Ternak yang setiap
hari memenuhi padang-padang rumput di tebing-tebing
pegunungan dan di dataran-dataran, sawah yang subur di
lembah-lembah yang luas dipagari oleh lereng-lereng hijau.
"Mahesa Jenar..." tiba-tiba terdengar hatinya berkata,
"Apakah kau akan berusaha untuk menyaingi Demang
Sarayuda yang kaya raya serta gagah perkasa itu..."
Mungkin kau akan dapat berhasil merebut hati Rara Wilis,
tetapi dengan demikian kau akan menyiksanya sepanjang
umurnya. Wilis akan mengalami hidup yang sulit, penuh
dengan kekurangan dan penderitaan. Kalau kau melanjutkan usahamu untuk menemukan keris-keris Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten, lalu apakah yang dapat kau
lakukan terhadap Rara Wilis" Kau bawa serta untuk kau
binasakan di bawah kekejaman-kekejaman lawan-lawanmu,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
atau kau umpankan kepada orang-orang golongan hitam
sebagai barang permainan" Atau barangkali kau bermaksud
meninggalkannya di suatu tempat" Dengan demikian Rara
Wilis akan kesepian. Tiap malam ia akan menghitung setiap
desir angin yang menyentuh wajahnya dengan mata yang
mengaca, dengan penuh harapan pada setiap tarikan
nafasnya, menantimu pulang. Tetapi adakah kau akan
pulang kembali kepadanya?"
Kata-kata hatinya itu mendengung sedemikian kerasnya
di dalam kepala Mahesa Jenar. Ditambah dengan berbagai
kenangan yang susul-menyusul. Apalagi kalau diingatnya
bahwa Sarayuda adalah seorang yang telah menyelamatkan
Arya, yang telah melepaskannya dari kemarahan Gajah
Sora. Dan tiba-tiba karena semuanya itu, terasa bahwa
kepalanya seolah-olah berputar, semakin lama semakin
cepat semakin cepat. Mahesa Jenar memejamkan matanya rapat-rapat.
Dengan sekuat tenaga ia berusaha menguasai perasaannya.
Namun betapa sulitnya. Malahan kenangan-kenangan masa
lalu, yang seolah susul-menyusul, nampak semakin jelas.
Bagaimana ia telah berusaha menyelamatkan Rara Wilis
dari tangan Jaka Soka, sehingga akibatnya, hampir saja ia
dibinasakan oleh Pasingsingan.
Tetapi karena tiba-tiba sekarang dirinya merasa tidak
berhak lagi untuk mencoba mengambil hatinya, kenapa
sekarang tiba-tiba ada orang lain yang menarik garis
pemisah" Mengingat hal itu semua, darah Mahesa Jenar
bergelora. Bukankah ia seorang laki-laki" Kalau demikian
maka untuk mencapai idaman hati, taruhannya adalah
nyawa. Ia tahu bahwa Sarayuda termasuk orang yang sakti,
yang memiliki ilmu keturunan dari Ki Ageng Pandan Alas,
yaitu Cunda Manik. Namun ia yakin bahwa Sasra Birawa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak pula kalah dahsyatnya. Penyelesaian dari pertempuran
itu tidaklah penting. Kalau ia menang, maka ia pasti dapat
memiliki Rara Wilis, tetapi kalau ia kalah, adalah
kebinasaan. Ini akan lebih baik daripada hidup dengan hati
yang kosong. Karena pikiran itu, tiba-tiba darah Mahesa Jenar
menggelegak. Apalagi ketika timbul dugaannya, bahwa
Sarayuda sengaja menyatakan perasaannya terhadap Rara
Wilis untuk dapat didengarnya. Kalau demikian, maka
berarti bahwa Sarayuda dengan terang-terangan menantangnya. Maka hampir saja Mahesa Jenar meloncat
berdiri, kalau tidak tiba-tiba saja timbul pula pikirannya
yang lain. Sehingga terjadilah desak-mendesak antara
perasaan yang satu dengan yang lain, pikiran yang satu
dengan yang lain. Rara Wilis bukanlah semacam barang yang dapat
diperebutkan. Ia adalah seorang manusia yang berhak
menjatuhkan pilihan. Meskipun seandainya ia menang
dalam perang tanding dengan Sarayuda, tetapi ternyata
Rara Wilis sebenarnya tidak memilihnya. Maka yang akan
dimilikinya hanya Rara Wilis dalam bentuk wadagnya,
bukan keseluruhannya. Apakah artinya bagi Mahesa Jenar,
memiliki Rara Wilis tanpa hatinya. Karena itu maka
kemauan Mahesa Jenar jadi mengendor lagi.
Malahan kembali timbul di dalam dadanya, suatu
perasaan yang pedih, ketika ia tiba-tiba teringat kata-kata
Rara Wilis di padang ilalang pada saat mereka berburu tadi.
"Tidakkah kakang bermaksud untuk kembali ke Demak dan
memangku djabatan kakang kembali"
Bukankah pertanyaan itu jelas. Rara Wilis akan berkata
kepadanya, bahwa kenapa ia adalah seorang perantau,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal" Kenapa ia
hidup sebagai seorang yang selalu berkeliaran di hutan-
hutan, bukit-bukit dan lembah-lembah..."
Kalau demikian maka Rara Wilis pasti sedang
memperbandingkan dirinya yang tidak hidup seperti
lazimnya orang yang berkeluarga. Kenapa ia tidak menjadi
Demang seperti Sarayuda yang menguasai tanah dengan
seribu bukit, ternak di padang dan sawah yang subur di
lembah-lembah..." Kenapa ia tidak berkata kepada Rara
Wilis tentang rumah yang besar serta halaman yang
ditumbuhi pohon buah-buahan serta dipagari oleh tanam-
tanaman berbunga..." O..., semuanya itu pasti akan selalu
menggugahnya kelak, apabila Rara Wilis kelak benar-benar
menjadi istri Mahesa Jenar. Ataupun kalau tak terucapkan,
perlahan-lahan pasti akan membakar hati gadis itu. Karena
itu sebelum semuanya itu terjadi maka lebih baik Mahesa
Jenar menarik diri. Kalau ia ingin melihat Rara Wilis
berbahagia, maka ia harus melepaskan kepentingannya
sendiri yang dikendalikan oleh nafsu. Tidak! Ia tidak akan
membiarkan Wilis menderita dan terlalu banyak berkorban
untuknya. "Aku tidak akan mengganggunya," desis Mahesa Jenar.
Kemudian dengan diam-diam dan hati-hati sekali Mahesa
Jenar bangkit dari pembaringannya, anyaman daun kelapa
di atas jerami. Perlahan-lahan ia memasuki gubug Pandan
Alas dari pintu depan, dan tanpa bersuara didukungnya
Arya Salaka dari pembaringannya. Kemudian dengan hati-
hati ia meninggalkan gubug yang telah menimbulkan
peristiwa pahit itu. Arya yang kemudian terbangun, sama sekali tak
mengetahui duduk perkaranya. Ia merasa bahwa pamannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berlari kencang sekali, karena itu ia bertanya, "Paman..., ke
mana Paman akan pergi?"
Mahesa Jenar tidak menjawab pertanyaan itu, malahan ia
berlari semakin kencang dan kencang, menuju ke gubug
yang telah dibangunnya bersama Arya Salaka.
Perjalanan mereka menyusup melewati hutan-hutan kecil
yang tidak begitu lebat. Ketika fajar menyingsing, Mahesa Jenar mencoba untuk
menguasai dirinya. Ia berusaha untuk tidak menimbulkan
kesan yang asing bagi orang-orang yang dijumpainya di
jalanan. Karena itu Arya segera diturunkannya dari
dukungan. Orang-orang yang sedang ke sawah serta orang-
orang yang pergi mencari kayu di hutan, hanya
memandang Mahesa Jenar sepintas saja, meskipun kadang-
kadang ada yang heran pula, Dari manakah sepagi itu,
ayah-beranak sudah berada di perjalanan" Tetapi Mahesa
Jenar sudah sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Ia
berjalan terus dengan kecepatan yang penuh, tanpa
beristirahat. Akhirnya Arya menjadi kelelahan. Maka bertanyalah ia,
"Paman..., kemanakah kita pergi?"
Mahesa Jenar tidak menjawab pertanyaan itu. Ia masih
saja berjalan cepat-cepat. Karena itu Arya kadang-kadang
terpaksa berlari-lari untuk mengikuti langkah Mahesa Jenar.
"Paman..., tunggulah!" teriak Arya.
Mahesa Jenar yang sedang diliputi oleh berpuluh ribu
masalah itu hampir tak mendengar suara Arya. Ia masih
saja berjalan cepat tanpa menoleh.
Mendengar Arya berteriak-teriak, Mahesa Jenar berhenti
menoleh. Tetapi, Arya yang biasanya mendapat perhatian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sepenuhnya dari Mahesa Jenar, kini rasa-rasanya sangat
menjengkelkan sekali. Dengan keras pula Mahesa Jenar
berteriak, "Arya..., tidakkah kau dapat berjalan lebih
cepat?" "Aku lelah sekali Paman," jawab Arya.
"Baru beberapa langkah kau berjalan. Ayo belajarlah
menjadi seorang laki-laki. Apakah kau, yang sudah sebesar
itu masih harus selalu dimanjakan..." Didukung sampai
punggungku patah?" teriak Mahesa Jenar dengan kasarnya.
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Arya terkejut
bercampur heran. Ia belum pernah melihat Mahesa Jenar
bertindak sekasar itu terhadapnya. Padahal ia sama sekali
tidak merasa berbuat suatu kesalahan. Ia ingat jelas bahwa
pamannya kemarin berkata kepadanya agar ia tidur saja,
pamannya akan pergi berburu. Kemudian ketika ia
terbangun, ia sedang didukung oleh pamannya sambil
berlari-lari. Dan sekarang tiba-tiba saja pamannya marah
kepadanya. Sedang Arya kebingungan, terdengar kembali suara
Mahesa Jenar, "Arya..., tidakkah kau mau berjalan?"
Arya tersentak, cepat ia melangkah menyusul. Namun di
hatinya terasa ada sesuatu yang mengeram. Dan tiba-tiba
saja terasa tenggorokannya tersumbat. Alangkah asingnya
sikap pamannya. Sikap yang belum pernah dirasakannya
selama ia bertemu dengannya. Apalagi sejak ayahnya
meninggalkan Banyubiru, dan sejak beberapa orang selalu
mengejar-ngejarnya dan akan membunuhnya. Pamannya
selama itu selalu melindunginya dengan saksama. Tetapi
sekarang sikap Paman Mahesa Jenar itu tiba-tiba berubah.
Maka tanpa dirasanya matanya jadi membasah. Dengan
susah payah Arya berusaha untuk mencegah air mata yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hampir pecah. Namun akhirnya Arya Salaka tidak tahan
lagi. Apalagi ketika didengarnya Mahesa Jenar membentaknya, "Arya, kau anak laki-laki yang sudah
sebesar itu masih juga menangis" Ayo, berlarilah kalau kau
masih mau beserta aku. Kalau tidak, terserahlah
kepadamu." Setelah berkata demikian, Mahesa Jenar
melangkah melanjutkan perjalanannya. Meskipun kemudian
terdengar suara Arya memanggil-manggilnya, "Paman...,
Paman...!" Tiba-tiba saja langkah Mahesa Jenar terhenti. Dilihatnya
di pinggir jalan sempit di tepi hutan itu seseorang berdiri
seperti menantinya. Ketika Mahesa Jenar berhenti,
tampaklah orang itu melambaikan tangannya memanggil.
Hati Mahesa Jenar jadi berdebar-debar, apalagi kemudian
ketika dikenalnya orang itu adalah Ki Ageng Pandan Alas.
Kakek dan guru Rara Wilis, yang telah memecahkan
hatinya. Tetapi ketika Mahesa Jenar sadar bahwa ia tidak
dapat bermain-main dengan orang tua itu, maka dengan
langkah yang berat ia pergi mendekatinya.
"Mahesa Jenar..." kata orang tua itu setelah Mahesa
Jenar berdiri di hadapannya, "Aku menangkap suatu sikap
yang aneh padamu." Mahesa Jenar menundukkan kepalanya tanpa menjawab.
"Kenapa kau pergi tanpa pamit kepadaku?" lanjut Ki
Ageng Pandan Alas. Juga kali ini Mahesa Jenar tidak menjawab.
Terdengarlah orang tua itu tertawa lirih, namun
wajahnya tidak secerah biasanya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika beberapa saat kemudian Mahesa Jenar masih
berdiam diri, Pandan Alas meneruskan, "Adakah sesuatu
yang telah tak menyenangkan hatimu Mahesa Jenar?"
Perlahan-lahan Mahesa Jenar mengangkat wajahnya.
Tetapi ketika pandangannya membentur mata orang tua
itu, kembali ia menundukkan mukanya. Dengan suara yang
berat ia menjawab, "Ki Ageng..., aku adalah orang yang tak
berarti, yang tidak sepantasnya tinggal bersama-sama
dengan Ki Ageng, Adi Pudak Wangi dan Demang Sarayuda
yang kaya raya." Sekali lagi Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Katanya,
"Mahesa Jenar..., aku telah mendengar seluruhnya
percakapanmu dengan Rara Wilis di padang perburuan. Aku
juga melihat bagaimana kau menyaksikan Rara Wilis


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelahi melawan dua orang yang kemudian kau bunuh
dengan lemparan batu. Tetapi seterusnya, menurut
gagapanku, kau menjadi tersinggung karenanya. Maka
segera aku menyusulmu untuk mendapat penjelasan.
Tetapi mendengar kata-katamu tadi, aku dapat mengambil
kesimpulan bahwa kau merasa disisihkan, karena kau bukan
seorang yang kaya seperti Sarayuda"
Mahesa Jenar mengangguk perlahan-lahan. Katanya
melanjutkan, "Ki Ageng..., bukankah Ki Ageng mendengar
sendiri, bagaimana Rara Wilis menanyakan kepadaku"
Kenapa aku tidak menjabat kedudukanku kembali"
Bukankah itu sudah jelas, bahwa Rara Wilis sama sekali
tidak senang melihat seseorang yang merantau memperjuangkan keyakinannya?"
"Bukan tidak senang, Mahesa Jenar..." jawab Ki Ageng
Pandan Alas, "Tetapi sebagai seorang gadis, pastilah ia
berangan-angan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Angan-angan itu akan dapat dipenuhi oleh Ki Demang
Sarayuda, yang memiliki tanah, ternak dan pangkat. Apalagi
ia adalah seorang yang sakti pula, yang akan dapat
melindungi keselamatan Rara Wilis" sela Mahesa Jenar.
Mendengar kata Mahesa Jenar itu, wajah Ki Ageng
Pandan Alas nampak berkerut. Alisnya bergerak-gerak,
sedang matanya memancarkan perasaannya yang kecewa.
Katanya, "Mahesa Jenar..., meskipun Sarayuda itu muridku,
namun aku melihat beberapa kelebihan ada padamu. Tetapi
ternyata bahwa kau juga mempunyai kekurangan yang
besar. Hatimu keras seperti baja, tetapi getas seperti baja
pula. Kalau demikian... baiklah, aku akan berusaha untuk
membentuk Sarayuda lebih lanjut, untuk melenyapkan
kekurangan-kekurangannya agar dapat menyamaimu."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, dalam sekejap saja Ki
Ageng Pandan Alas telah melangkah jauh. Ketika Mahesa
Jenar akan menjawab, orang tua itu telah hilang masuk ke
dalam hutan. Maka, tiba-tiba timbullah penyesalan di hati Mahesa
Jenar. Mungkin ia sudah menyakitkan hati orang tua itu.
Sehingga dengan demikian kemungkinan untuk dapat
kembali kepada Rara Wilis menjadi semakin tipis. Karena itu
tiba-tiba menggeloralah kembali kejengkelan di dalam
dadanya. Dunia ini menjadi seolah-olah gelap dan tanpa
masa depan. Hidupnya menjadi tak berarti sama sekali.
Kalau demikian buat apa ia mesti berjuang untuk masa
depan. Masa yang akan dipenuhi oleh kepahitan hidup..."
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Ki Paniling yang
sebenarnya bernama Radite, yang menjauhkan diri dari
pergaulan ramai. Yang kemudian lebih senang hidup
diantara para petani miskin tanpa berpikir tentang masa
depan. Tentang negara, tentang bangsa.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
O..., adakah demikian balas jasa yang diterimanya atas
perjuangan yang dilakukan selama ini" Kalau demikian
maka alangkah tenteramnya hidup Paniling.
"Paman..." tiba-tiba terdengar suara Arya dekat di
belakang Mahesa Jenar. Mahesa Jenar agak terkejut mendengar suara itu. Tetapi
ketika ia menoleh dan nampak wajah Arya yang kuyu,
kembali terungkitlah kejengkelannya. Anak itu adalah isi
dari masa depan yang gelap, yang pahit, yang akan
menyiksanya. Buat apa ia harus ikut serta membinanya.
Anak itu bukanlah anaknya. Biarlah Gajah Sora sendiri
bertanggung jawab atasnya. Kalau kelak ia marah
kepadanya, biarlah Gajah Sora mencoba mengukur lebar
dadanya. Karena pengaruh pikirannya yang kelam itu berteriaklah
Mahesa Jenar membentak, "Pergi..., pergi kau kelinci
cengeng. Buat apa kau ikuti aku?"
Mendengar suara kasar itu, dada Arya Salaka rasa-
rasanya seperti tersambar petir, sehingga tubuhnya
menggigil ketakutan. Belum lagi ia dapat bersuara, Mahesa
Jenar telah melompat berlari. Berlari kencang-kencang
seperti orang yang kehilangan ingatan. Meskipun kemudian
terdengar jerit Arya Salaka, "Paman..., Paman..." namun
suara itu semakin lama semakin jauh semakin jauh di
belakangnya. Suara Arya Salaka itu akhirnya lenyap menghantam
batas-batas hutan. Sedang Mahesa Jenar masih saja berlari
menyusup semak-semak seperti orang gila. Dengan napas
yang terengah-engah, ia mendaki bukit kecil sambil masih
terus berlari, menjauhi manusia. Ia akan pergi ke suatu
tempat dimana hidupnya tak tersentuh oleh apapun.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Di puncak sebuah bukit, atau di pusat hutan yang lebat,
ia akan bertapa. Menghadapkan hidupnya melulu buat
masa langgeng. Akan ditinggalkannya dunia yang penuh
dengan bayangan dan angan-angan seperti mimpi yang
nikmat, tetapi kemudian yang membantingnya ke dalam
jurang kekecewaan yang maha dalam.
Tetapi, tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut melihat sebuah
bayangan menghadang perjalanannya di tempat yang
temaram oleh bayangan pepohonan. Karena itu segera ia
memperlambat langkahnya. Ia menjadi semakin terkejut
lagi ketika dari kejauhan dilihatnya bayangan itu
mengenakan jubah abu-abu.
"Pasingsingan..." desisnya. Hatinya kemudian agak
gelisah. Tetapi tiba-tiba ia tersenyum sendiri.
"Bagus," desisnya. "Kalau Pasingsingan mau membunuh
aku pula, aku akan mengucapkan terima kasih kepadanya."
Mendapat pikiran itu, kembali Mahesa Jenar berlari, ke
arah orang yang berjubah abu-abu yang disangkanya
Pasingsingan itu. Tetapi kembali ia terkejut bukan kepalang,
ketika ternyata orang yang berjubah abu-abu itu tidak
mengenakan topeng kasar seperti yang biasa dipergunakan
oleh Pasingsingan. Apalagi ketika Mahesa Jenar sempat memandang wajah
orang itu. Kurus dan janggutnya yang sudah putih tumbuh
lebat pepat, menutup sebagian dari mukanya, sedang
rambutnya yang sudah putih dibiarkannya terurai menjuntai
dari bawah ikat kepalanya. Menilik garis-garis umur yang
tergores di keningnya, nyatalah bahwa umur orang itu
sudah sangat tua, namun tubuhnya masih nampak segar
dan kuat. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang yang telah
mengambil keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten di
Banyubiru. Orang itu berpakaian mirip dengan jubah
Pasingsingan, namun bukan Pasingsingan. Sedang rambutnya yang putih itu, dapat saja pada waktu ia
mengambil keris di Banyubiru digelungnya di bawah ikat
kepalanya. Adapun wajahnya, tak seorangpun yang
mengetahuinya. Karena itu tiba-tiba timbul dugaannya
bahwa orang inilah yang telah mengambil pusaka-pusaka
Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Maka dengan tiba-tiba pula Mahesa Jenar berteriak, "He
Kyai..., adakah kau yang mengambil pusaka-pusaka Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten?"
Orang itu sama sekali tidak menjawab dan tidak
bergerak. Hanya matanya saja yang tajam bersinar
memandang ke arah Mahesa Jenar tanpa berkedip.
----------o-dwkzOarema-o----------
Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 9 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Karena pandangan mata itu, hati Mahesa Jenar jadi
gelisah. Seolah-olah ada suatu pengaruh yang aneh pada
dirinya. Maka untuk mengatasi kegelisahannya, kembali ia
berteriak, "He, siapakah kau, yang telah berani mengambil
pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari Banyu
Biru...?" Orang itu masih belum menjawab. Tetapi pandangan
matanya semakin dalam menembus dada Mahesa Jenar
yang menjadi semakin gelisah. Dan seperti orang yang
bingung, Mahesa Jenar membentak-bentak, "Kau yang
mengambil, he.." Ayo bilang, tak usah kau ingkari. Kalau
demikian, kembalikan keris itu kepadaku. Kembalikan...!"
Karena orang itu masih saja tidak menjawab, perasaan
Mahesa Jenar menjadi semakin melonjak-lonjak. Timbullah
suatu perasaan kecut dan ngeri di dalam dirinya. Seolah-
olah orang yang berdiri di hadapannya itu memancarkan
suatu perbawa yang aneh. Sehingga kemudian Mahesa
Jenar tidak dapat mengendalikan kecemasannya, bercampur-baur dengan perasaan bingung dan pepat.
Mahesa Jenar mundur beberapa langkah, disilangkan satu
tangannya di depan dada, satu lagi diangkat tinggi-tinggi.
Sambil memusatkan segala tenaganya, Mahesa Jenar
mengangkat satu kakinya dan ditekuknya ke depan. Sambil
berteriak nyaring Mahesa Jenar meloncat maju, "Kembalikan keris-keris itu atau kau binasa." Setelah itu,
tangannya terayun deras dengan aji Sasra Birawa tersimpan
di dalamnya. Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang sama
sekali tak terkirakan. Dengan cekatan, tangan orang tua itu
bergerak dan dalam sekejap tangan Mahesa Jenar yang
sedang mengayunkan Sasra Birawa itu dengan tenang
ditangkapnya. Dengan demikian maka Mahesa Jenar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tersentak oleh kekuatannya yang tidak tersalur itu,
sehingga seolah-olah suatu pukulan yang dahsyat telah
menghantam dadanya. Tetapi hanya sebentar. Sebab
sesaat kemudian terasalah seolah-olah udara yang sejuk
mengalir ke seluruh tubuhnya, sehingga dengan demikian
tubuhnya sama sekali tidak merasakan suatu gangguan
apapun. Mengalami peristiwa itu, jantung Mahesa Jenar berdesir
hebat sekali. Sadarlah ia bahwa yang berdiri di hadapannya
itu adalah seorang yang maha sakti. Yang memiliki
kedahsyatan ilmu lahir dan batin. Karena itu, ketika
tangannya telah dilepaskan, Mahesa Jenar segera mundur
beberapa langkah dan kemudian seperti orang yang tak
berdaya, Mahesa Jenar menjatuhkan dirinya duduk bersila
menghadap kepada orang yang tak dikenalnya itu. Maka,
dengan gemetar Mahesa Jenar berkata, "Maafkanlah
kelancanganku Kyai, dan perkenankanlah aku mengetahui
siapakah sebenarnya Tuan?"
Terdengarlah orang tua berjubah abu-abu itu tersenyum,
jawabnya, "Sudahlah Mahesa Jenar, kau tak perlu terlalu
merasa bersalah. Bahkan aku menjadi gembira ketika kau
masih ingat kepada kewajibanmu untuk menemukan
kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sehingga kau
berani bertindak terhadap apapun dan siapapun. Dengan
demikian maka masa depanmu tidaklah akan gelap sama
sekali". Mendengar kata-kata orang tua yang sama sekali tidak
menjawab pertanyaannya itu, Mahesa Jenar menjadi
tertegun heran. "Apakah gerangan maksudnya?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian terdengarlah orang tua itu melanjutkan,
"Mahesa Jenar..., apakah sebenarnya yang kau cari,
sehingga kau sampai ke tempat ini?"
Perasaan Mahesa Jenar terasa seperti disentakkan
mendengar pertanyaan itu. Yah, apakah sebetulnya yang
dikehendaki sehingga sampai ke tempat ini..."
Teringatlah kemudian apa yang pernah dialami akhir-
akhir ini, yang masalahnya berkisar di sekitar Rara Wilis.
Namun untuk menguraikan kepada orang tua itu, Mahesa
Jenar masih merasa kurang enak. Karena itu ia jadi
bimbang sehingga beberapa lama ia tidak menjawab.
Karena Mahesa Jenar masih berdiam diri, terdengarlah
orang tua itu meneruskan, "Aku kira, aku dapat menduga-
duga apa yang sebenarnya telah kau alami Mahesa Jenar.
Dan ketika aku melihat kau berlari-lari ke arah yang sama
sekali tak kau ketahui, aku pun dapat mengira-ngira pula,
apa yang akan kau lakukan. Sebab sebagian besar dari
percakapanmu dengan Kyai Ageng Pandan Alas, serta
kemarahanmu kepada Arya Salaka dapat aku dengar.
Ditambah lagi dengan beberapa kejadian akhir-akhir ini
yang dapat aku lihat pula. Hubunganmu dengan cucu Ki
Ageng Pandan Alas serta murid Ki Ageng Pandan Alas yang
bernama Sarayuda." Mendengar uraian orang tua itu, Mahesa Jenar seperti
orang yang dihadapkan pada suatu peristiwa yang diluar
kemampuan jalan pikirannya. Demikian banyaknya masalah
yang dapat diketahui oleh orang tua itu. Kalau demikian
maka orang tua itu pasti telah beberapa hari mengikutinya.
Karena itu, pasti orang itu adalah orang yang sama sekali
tidak bermaksud jahat kepadanya. Dengan demikian ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjadi agak berani pula. Maka katanya, "Apa yang Tuan
katakan adalah benar."
Maka terdengarlah orang tua itu tertawa. "Bagus...


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya. Kau sadari semua itu, dan sekarang kau akan
pergi kemana?" Oleh pertanyaan itu kembali, Mahesa Jenar kebingungan.
Apakah sebaiknya ia bekata terus terang" Sebab andaikata
ia berbohong maka orang tua itupun agaknya dapat
mengetahui pula. Karena itu jawabnya, "Aku akan pergi
bertapa, Kyai. Menjauhi kesibukan kesibukan duniawi yang
menjemukan." Sekali lagi orang tua itu tertawa. Katanya, "Apakah
dengan bertapa serta menjauhkan diri dari persoalan
manusia itu, kemudian keris Kyai Nagasasra dan Sabuk
Inten akan datang kepadamu dengan sendirinya?"
Sedikit-sedikit arah pembicaraan orang tua itu sudah
dapat ditangkap oleh Mahesa Jenar. Ia menjadi bertanya
pula pada diri sendiri, apakah sebenarnya yang dicarinya
selama ini" "Mahesa Jenar..." lanjut orang tua itu, "Kau adalah
seorang kesatria, bukan seorang brahmana atau pertapa.
Kewajiban kesatria adalah membina kesejahteraan umat
manusia, kesejahteraan bangsanya dan tanah airnya.
Apakah yang dapat kau lakukan apabila kau mengasingkan
dirimu di puncak gunung atau di tengah-tengah hutan yang
lebat" Di dalam goa-goa atau di bawah pohon beringin tua"
Mahesa Jenar, aku sudah tua. Aku adalah gambaran dari
orang-orang yang tak berarti. Tinggal di dalam goa yang
jauh dari masalah-masalah bangsa dan tanah air, dimana
aku meneguk air jika aku haus serta mencari ketenteraman
diri. Tetapi dengan demikian masalah keluarga besar kita
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tak akan dapat diselesaikan. Sekarang adakah kau mau
memperbanyak jumlah dari orang-orang yang demikian
itu?" Kata-kata orang tua itu memancar ke hati Mahesa Jenar
seperti sinar matahari yang memecahkan gelapnya malam.
Meskipun ia masih duduk tepekur, namun dadanya telah
menyala kembali dengan api kekesatriaannya.
"Masihkah kau akan melanjutkan mencari pusaka-pusaka
yang hilang itu?" tanya orang tua itu.
Karena pertanyaan itu Mahesa Jenar tersentak.
Jawabnya tergagap, "Ya... Tuan, aku tetap mencarinya. Dan
adakah Tuan mengetahui di manakah kedua keris itu
sekarang?" Orangtua itu tersenyum, lalu jawabnya, "Aku tahu. Kedua
keris itu berada di dalam kekerasan hatimu serta usahamu."
Kembali Mahesa Jenar tertunduk. Tepat benar jawaban
orang tua itu. "Mahesa Jenar..." lanjut orang itu, "hati-hatilah kelak
akan memilih. Ada dua keturunan yang merasa berhak
memiliki keris itu. Keturunan Trenggana dan keturunan
Sekar Seda Lepen. Pilihlah siapa di antara mereka yang
mengutamakan kepentingan rakyat serta kesejahteraan
negerinya. Kepadanyalah keris itu kau serahkan. Seterusnya
kau masih mempunyai satu kewajiban lagi. Membina masa
depan. Dan sekarang kau sia-siakan satu tugas kekuatan
masa depan itu." Orang tua itu diam sesaat, lalu bertanya
kepada Mahesa Jenar, "Dengarlah siapakah yang menyebut-nyebut namamu?"
Lamat-lamat ketajaman pendengaran Mahesa Jenar
mendengar suara memanggil-manggilnya, "Paman..., SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Paman Mahesa Jenar..., di manakah kau Paman...?"
Mendengar suara itu, terbantinglah hati Mahesa Jenar
seperti kaca yang menimpa batu. Itu adalah suara Arya
Salaka, putra Gajah Sora.
"Apa salah anak itu kepadamu Mahesa Jenar?" tanya
orang tua itu sambil tersenyum.
Karena pertanyaan itu hati Mahesa Jenar merasa
semakin pecah-pecah. Teringatlah ia, bagaimana ia
membentak-bentak anak itu, meninggalkannya dalam
kebingungan dan kekalutan pikiran.
"Mahesa Jenar..." terdengarlah kembali kata-kata orang
tua itu, "Masa depan tidaklah kalah pentingnya dengan
masa kini. Justru apa yang kau lakukan adalah buat
kepentingan masa depan. Karena itu peliharalah tunas-
tunas buat masa depan itu dengan baik-baik. Kali ini kau
telah mendapatkan pengalaman untuk dapat kau
pergunakan sebagai cermin pada masa-masa yang akan
datang. Setiap usaha pasti mengalami rintangan-rintangan.
Apabila kau terperosok pada kepatahan hati maka tak akan
ada usahamu yang berhasil. Aku setuju dengan kata-kata
Pandan Alas, hatimu sekeras baja, tetapi getas seperti baja
pula. Nah sekarang hayatilah tugasmu kembali. Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten serta anak Gajah Sora
yang dititipkan kepadamu itu."
Mahesa Jenar membungkuk hormat, namun masih juga
ia mencoba bertanya, Siapakah sebenarnya Tuan"
Orang tua itu tersenyum. Jawabnya, "Tak banyak
gunanya kau mengetahui siapakah aku ini. Sebab aku
adalah orang yang tak berarti. Salah satu dari gambaran
orang-orang yang tidak bertanggungjawab buat membina
bebrayan agung. Namun aku masih ingin menitipkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sumbangsihku atas tanah ini kepadamu, dengan mencegah
kehendakmu untuk menambah barisan orang-orang yang
tak berarti seperti aku ini. Nah selamat bekerja Mahesa
Jenar. Seharusnya kau memiliki keagungan seperti gurumu,
Pangeran Handayaningrat." Setelah mengucapkan kata-kata
itu, orang tua yang berkumis dan berjanggut lebat itu
melangkah pergi. Mahesa Jenar yang masih belum puas itu segera akan
mengikutinya, tetapi tiba-tiba kembali didengarnya suara
sayup-sayup menyusup dedaunan, "Paman..., Paman
Mahesa Jenar.... Kenapa aku kau tinggalkan sendiri,
Paman...?" Suara yang timbul-tenggelam diantara desir angin di
hutan itu telah menyentuh-nyentuh perasaan Mahesa Jenar
seperti panasnya bara api. Cepat ia menyadari kesalahannya telah meninggalkan anak yang tak bersalah
itu. Karena itu ia berteriak pula, "Arya..., tunggulah Paman
segera datang." Setelah itu segera ia meloncat berlari sekencang-
kencangnya menuju ke arah suara Arya Salaka, yang ketika
mendengar suara Mahesa Jenar, berteriak lebih keras lagi,
"Paman..., Paman...."
Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar yang tiba-tiba
muncul dari rimbunnya hutan, segera ia berlari menyongsongnya. Tetapi karena tubuhnya sudah sangat
lelah, maka ia pun terjatuh lemas. Melihat kadaan Arya,
Mahesa Jenar jadi terharu. Cepat ia menangkap tubuh Arya
yang sudah hampir terjerembab, dan dengan hati-hati anak
itu didudukkan di atas rumput-rumputan.
"Arya...." bisik Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya tidak menjawab, karena kerongkongannya terasa
buntu. Namun air matanya mengalir seperti tanggul yang
pecah. Arya Salaka yang sebenarnya bukanlah anak cengeng,
pada saat itu tangisnya tak tertahankan lagi, seperti
berdesak-desakan berebut jalan.
"Arya..." kata Mahesa Jenar, "Anak laki-laki tidak
sepantasnya menangis. Diamlah."
Meskipun nada suara Mahesa Jenar sudah menjadi lunak,
namun Arya masih ketakutan kalau-kalau pamannya akan
marah kembali. Karena itu ditahannya tangisnya kuat-kuat.
Tetapi karena itu pula maka dadanya menjadi sesak karena
isaknya yang tersekat, sehingga tubuhnya berguncang-
guncang. "Sudahlah Arya..." sambung Mahesa Jenar, "Kalau kau
terlalu lama menangis kau dapat kemasukan angin."
"Aku takut paman" kata Arya di sela-sela sedu sedannya.
"Takut...?" tanya Mahesa Jenar. "Apa yang kau
takutkan?" "Aku takut kalau Paman meninggalkan aku sendiri,"
jawab Arya. Mendengar jawaban itu hati Mahesa Jenar tergetar.
Adalah wajar kalau seorang anak sebesar Arya Salaka
menjadi ketakutan ditinggalkan seorang diri di padang
ilalang di pinggir hutan yang sama sekali tak dikenalnya,
bagaimanapun beraninya anak itu.
"Tidak Arya..., Paman tak akan meninggalkan kau
sendiri," kata Mahesa Jenar membesarkan hati anak itu.
"Tetapi tadi Paman berlari kencang sekali," potong Arya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar kata-kata Arya itu, Mahesa Jenar tersenyum.
Senyuman yang pahit bagi dirinya sendiri. Namun
jawabnya, "Tadi Paman tidak akan meninggalkan kau, A rya.
Tetapi karena ada sesuatu yang harus aku kerjakan, dan
tidak boleh orang lain tahu, apalagi anak-anak. Karena hal
itu adalah rahasia besar, maka aku pergi mendahuluimu
untuk beberapa lama."
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan pandangan yang penuh keragu-raguan. Apa yang dilakukan
oleh Mahesa Jenar tadi menurut anggapannya bukanlah
sekadar mendahului, tetapi benar-benar telah berusaha
untuk meninggalkannya. Karena itu ia bertanya, "Tetapi tadi
Paman marah kepadaku."
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Namun hatinya
mengeluh. "Sudahlah Arya, sekarang dan seterusnya Paman
tak akan meninggalkan kau lagi."
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun
hatinya masih tetap ragu, katanya, "Kemana Paman pergi,
aku ikut Paman." "Bagus Arya, bagus," jawab Mahesa Jenar. "Nah,
sekarang kemana?" "Terserahlah kepada Paman," jawab Arya.
"Kau lelah?" tanya Mahesa Jenar.
"Tidak, kalau berjalan dengan Paman aku masih kuat,"
jawab Arya dengan mantapnya, meskipun sebenarnya
kakinya sudah terlalu letih. Agaknya Mahesa Jenar
mengetahui pula kelelahan Arya, karena itu katanya, "Kita
beristirahat sebentar Arya, nanti kalau kau sudah tidak
begitu letih, kita berjalan kembali."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Arya menjadi gembira mendengar ajakan pamannya.
Memang sebenarnya ia lelah sekali setelah beberapa lama
berlari-lari mengejar Mahesa Jenar. Maka jawabnya,
"Baiklah Paman. A ku akan beristirahat dahulu."
Kemudian mereka mencari tempat yang teduh di bawah
pepohonan, di tepi hutan. Arya Salaka dengan segera
merebahkan dirinya berbaring diatas rumput-rumput kering.
Dan, karena lelahnya maka segera ia pun tertidur.
Mahesa Jenar memandang Arya yang sedang tidur itu
dengan perasaan belas kasih. Apalagi kalau diingatnya,
bahwa hampir saja anak itu ditinggalkannya seorang diri.
Dari wajah anak itu tampaklah memancar ketulusan serta
keberanian yang diwarisinya dari ayahnya, Gajah Sora.
Karena itu, apabila Arya Salaka menerima pendidikan serta
latihan yang baik, pastilah kelak ia akan menjadi seorang
pemuda yang perkasa. Sementara itu matahari telah menempuh lebih dari
tigaperempat bagian dari jalan peredarannya, karena itu
panasnya tidak begitu tajam lagi. Di langit yang biru bersih,
hanya kadang-kadang saja tampak awan tipis mengalir
perlahan-lahan. Bersama dengan awan yang tipis itu kenangan Mahesa
Jenar membubung tinggi. Diingatnya segenap masa
lampaunya yang penuh dengan bermacam-macam kejadian
silih berganti. Ketenaran dua keagungan sebagai seorang
perwira pasukan Naramanggala, kepahitan dan kekecewaan, kecemasan dan bermacam-macam lagi
peristiwa yang datang silih berganti di masa perantauannya.
Namun akhirnya, ketika awan di langit itu pecah
berpencaran ditiup angin, maka hilang pulalah semua
kenangan yang mengganggu pikiran Mahesa Jenar. Yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tampak sekarang adalah masa yang menghadang di
hadapannya. Masa yang akan penuh dengan tantangan-
tantangan yang harus dijawab dengan tindakan-tindakan
yang tepat. Tetapi kemudian tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada
orang tua yang telah membawanya kembali ke jalan yang
lurus. Siapakah kira-kira orang itu" Benarkah orang itu yang


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten" Ketika pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan kepadanya maka ia sama sekali tidak menyangkalnya
meskipun tidak pula membenarkan. Ditilik dari pakaiannya
maka Mahesa Jenar hampir pasti bahwa orang itulah yang
mengambil kedua pusaka itu dari Banyubiru, sebab jarang
orang yang berpakaian jubah berwarna abu-abu, kecuali
Pasingsingan dan orang itu. Meskipun Mahesa Jenar belum
pernah melihat wajah asli Pasingsingan yang nama
sebenarnya adalah Umbaran, namun pastilah bahwa orang
tua itu bukannya Umbaran.
Kalau demikian sampailah Mahesa Jenar pada suatu
dugaan bahwa orang tua itu adalah Pasingsingan tua, guru
dari Paniling, atau yang sebenarnya bernama Radite,
Anggara dan Umbaran. Namun ia sendiri tidak yakin,
apakah dugaannya itu benar.
Tetapi bagaimanapun Mahesa Jenar mendapat kesimpulan bahwa usaha untuk menemukan keris-keris
Nagasasra dan Sabuk Inten akan merupakan suatu usaha
yang berjangka panjang. Sebab sampai saat itu segala
sesuatunya masih gelap. Gelap sama sekali. Tak ada satu
Pahlawan Dan Kaisar 12 Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 12
^