Naga Sasra Dan Sabuk Inten 29
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 29
Tak seorang pun beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi
mereka yang sejak semula merasa terganggu oleh
kehadiran Wanamerta, menjadi semakin tersinggung oleh
kata-kata ejekan itu. Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang
Banyubiru itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan, "Kenapa kalian memandang aku seperti
memandang hantu" Adakah kalian tidak mengenal aku
lagi?" Masih belum terdengar suara dari antara mereka.
"He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah," sambung
Wanamerta. Yang disebut namanya menjadi semakin bingung.
Mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara
yang berat dan parau, "Kiai, apakah yang sebenarnya akan
Kiai lakukan di sini?"
Pandang Wanamerta segera beredar ke arah suara itu.
Suara yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh
jangkung, berkumis pendek seperti lalat yang hinggap di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bawah hidungnya, dengan bibir yang tebal dan hidung yang
melengkung seperti paruh burung.
"Ha, kau itu agaknya Sontani?" tanya Wanamerta.
"Ya, akulah," sahut orang jangkung itu. Matanya
memancarkan perasaan yang kurang senang atas kehadiran
Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat
hadiah pangkat dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban
untuk mengamankan daerahnya.
"Ah, hampir aku tak mengenalmu lagi," sambung
Wanamerta, "Kau sekarang nampak begitu gagah."
Sontani adalah seorang yang sombong. Yang merasa
dirinya mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang
lain. Karena itulah maka sudah sewajarnya kalau ia
diangkat menjadi bahu dan mengepalai pedukuhan Lemah
Abang. Juga terhadap Wanamerta, ia ingin menunjukkan
jabatannya, sebagai suatu kewajaran. "Kiai, aku berbicara
sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu jangan
Kiai merajuk seperti anak-anak."
Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran
kota Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang
tua yang saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak
mengesankan keheranannya, bahkan dengan tersenyum
Kiai Wanamerta menjawab, "Aku mengucapkan selamat
kepadamu Sontani. Tetapi lalu bagaimana dengan Kiai
Bakung?" "Huh," jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya,
"Orang tua yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik
mengeram saja di rumahnya. Tak ada yang dapat
dilakukan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia
tidak menjawab. Maka terdengarlah kembali suara Sontani, "Nah Kiai...
aku ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di
sini?" Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya, "Sudah aku
katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria."
"Bohong!" bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya
kemudian, "Telah sekian lamanya kau menghilang.
Sekarang tiba-tiba muncul seperti hantu bangkit dari
kuburnya." Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia kurang senang
mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana
tidak rusak karenanya. Maka iapun menjawab, "Sontani,
pertama, memang kedatanganku ini tertarik oleh suara
gamelan yang demikian hangatnya. Kedua, aku memang
sudah rindu kepada kampung halaman. Aku telah
memutuskan untuk pulang dan hidup diantara kalian seperti
sediakala." "Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke
Banyubiru," bantah Sontani.
"Kenapa?" sahut Wanamerta.
"Kau telah meninggalkan kampung halamanmu terlalu
lama. Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan
sepantasnya kau sekarang ditangkap dan diserahkan
kepada Ki A geng Lembu Sora," ancam Sontani.
"O...." jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan
kepalanya. "Ketahuilah Sontani, dan ketahuilah anak-
anakku rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang berhasrat
untuk kembali pulang kampung halaman, tetapi juga orang-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang lain seperti Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan
Sendang Parapat, Wiraga dan yang lain-lain. Bahkan,
dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda Arya Salaka pun akan
kembali ke Banyubiru."
Oleh karena itu, tiba-tiba terdengarlah gumam yang
merata di seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah
sedang terbang berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk
sesaat, namun yang kemudian menjadikan mereka
bertanya-tanya, kepada diri sendiri, kepada orang-orang
yang berdiri di sekitarnya, "Apakah berita itu benar...?"
Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-
katanya, "Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah
kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah pengalaman?"
Sebagian besar dari mereka yang berdiri di tanah lapang
itu, tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap
kebenaran dari berita itu. Maka kembali terdengar mereka
bergumam, "Mudah-mudahan berita itu benar."
Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar di
lapangan itu, terdengarlah suara Sontani lantang,
"Bohong...!" Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti.
Disusul dengan suara Sontani melanjutkan, "Apakah
keuntungan kita dengan kedatangan anak itu?"
"Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?" jawab
Wanamerta. "Tidak peduli anak siapa dia. Anak setan, hantu,
thethekan. Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru
mengalami bencana. Pada saat golongan hitam menyerang
daerah ini. Untunglah bahwa pada saat itu seluruh rakyat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru bangkit melawannya bersama-sama dengan
rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah tanah perdikan ini.
Sekarang anak itu akan kembali dan masih menyebut-
nyebut sebagai putra Ki A geng Gajah Sora."
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan
menjawab, Sontani sudah berteriak pula, "Ia masih merasa
berhak pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku
yakin bahwa kedatangannya hanya akan menambah
bencana saja. Setiap masa peralihan sama sekali tidak akan
menguntungkan. Kiai, katakan kepada anak itu, supaya ia
mengurungkan niatnya sebelum ia menyesal!"
Kata-kata Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa
orang, lebih-lebih yang sejak semula memandang kehadiran
Wanamerta itu sebagai bencana. Maka terdengarlah
seseorang berteriak, "Jangan tambah kesulitan kami dan
hal-hal yang tetek bengek. Biarlah kami hidup seperti apa
yang kami alami sekarang ini."
Mendengar teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi
menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri untuk
memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak
sepuas-puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak
itu terhalang, maka semakin bernafsulah mereka. Sehingga
suaranya sendiri tidak akan dapat didengar orang. Agaknya
kesempatan itupun dipergunakan sebaik-baiknya oleh
orang-orang yang tidak menghendaki kehadirannya. Maka
terdengarlah bersautan, "He, Wanamerta. Jangan bikin
ribut di tanah yang kau anggap tanah kelahiranmu ini."
Disusul oleh yang lain, "Kami tidak perlukan anak itu. Juga
tidak kami perlukan kau, Wanamerta."
Orang-orang yang semula mengharap kebenaran berita
tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pula. Apakah untungnya" Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya akan menambah keributan. Satu demi
satu merekapun terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang
semakin ribut. Bahkan akhirnya seorang berteriak, "Pergilah
kau Wanamerta, keledai tua yang tak tahu diri. Pergi....
Pergi...." Disaut oleh suara gemuruh, "Pergi.... Pergi....
Biarlah kami menikmati malam-malam yang indah ini tanpa
gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar Kiai
Wanamerta tergila-gila kepadamu." Terdengarlah kemudian
suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah
lapang itu. Sendang Papat dan Sendang Parapat yang berdiri di
bawah bayang-bayang yang gelap, hampir-hampir tak
dapat menguasai diri mereka. Peluh dingin mengalir di
segenap bagian tubuhnya. Tangan mereka sudah bergetar
di hulu keris mereka. Namun ketika mereka masih melihat
Kiai Wanamerta berdiri dengan tenangnya, merekapun
menahan diri mereka sekuat-kuatnya. Memang pada saat
itu Wanamerta masih berdiri tegak di tempatnya tanpa
bergerak. Ia memandang setiap wajah orang-orang
Banyubiru yang seakan-akan telah kehilangan akal itu.
Dibiarkannya mereka berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan. Teriakan-teriakan itupun semakin lama menjadi semakin
keras dan ribut. Tetapi mereka tak berbuat lain daripada
berteriak-teriak. Ketika mereka masih melihat Wanamerta
berdiri saja seperti patung, mereka menjadi heran. Dengan
demikian teriakan-teriakan itupun menjadi semakin berkurang. A palagi ketika mereka melihat ketenangan yang
membayang di wajah orang tua itu, seolah-oleh teriakan-
teriakan mereka itu seperti suara angin yang berdesir,
menyegarkan tubuhnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta mengamati keadaan secermat-cermatnya. Ia
berusaha untuk memperhitungkan waktu sebaik-baiknya.
Ketika suara teriakan-teriakan itu sudah susut, berkatalah ia
dengan lantangnya, "He, Nyi Gadung Sari kenapa kau
belum juga menari" Marilah kita menari bersama-sama.
Bukankah Wanamerta juga seorang penari yang baik" Lebih
baik dari kalian yang berada di tanah lapang ini?"
Suara Wanamerta itu benar-benar mengejutkan. Apalagi
Nyi Gadung Sari sendiri. Tetapi yang lebih terkejut adalah
mereka yang mengharapkan Wanamerta menjadi marah.
Dengan demikian mereka punya alasan untuk mengusirnya.
Tetapi ternyata orang tua itu sama sekali tidak marah.
"Saudara-saudaraku serta anak-anakku, bukankah aku
sudah berkata bahwa aku akan kembali ke kampung
halaman" Bukankah dengan demikian aku harus menyesuaikan diri dengan cara hidup kalian?"
Teriakan-teriakan dari orang-orang yang berdiri di tanah
lapang itu telah benar-benar berhenti. Ada diantaranya
yang sudah puas, ada yang karena suaranya telah menjadi
serak parau. Tetapi ada juga yang karena terkejut
mendengar kata-kata Wanamerta yang sama sekali tak
mereka duga sebelumnya. "Bukankah kalian menghendaki agar aku tidak mengganggu kalian?" tanya Wanamerta.
Sementara suasana menjadi hening. Namun sesaat
kemudian terdengar beberapa orang menjawab, "Ia benar,
jangan ganggu kami."
"Aku berjanji untuk tidak mengganggu kalian." Wanamerta meneruskan, "Bahkan aku ingin menyesuaikan
diri dengan kalian. Bukankah apa yang kalian lakukan itu
sangat menarik" Menari-nari menyanyi dan bergembira
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sepanjang hari. Bukankah dengan demikian kalian akan
awet muda?" Wanamerta diam sesaat. Maka kembali tanah
lapang itu ditelan kesepian. Yang terdengar hanyalah
tarikan nafas yang saling memburu. Ketika tak seorang pun
yang memotong kata-kata itu, Wanamerta meneruskan,
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inilah kelebihan kalian dari masa-masa lampau. Dari jaman
nenek moyang nenek moyang kita. Apa yang kalian lakukan
sekarang belum pernah terjadi di tanah perdikan ini sejak
masa tanah ini masih bernama Pangrantunan. Kita sekarang
tidak perlu bekerja keras, tidak perlu membanting tulang
untuk tanah kita yang sudah melimpah ruah ini. Sawah
ladang, parit-parit dan jalan-jalan. Begitu?"
Tanah lapang itu menjadi semakin sunyi. Namun dada
orang-orang Banyubiru menjadi semakin riuh. Benarkah
mereka sekarang tidak perlu lagi bekerja keras" Benarkah
sawah ladang mereka telah melimpah ruah" Pertanyaan-
pertanyaan itu bergelora di setiap dada. Dan perlahan-lahan
mereka menggelengkan kepala mereka.
"Nah..." sambung Wanamerta, "Sekarang kita tidak usah
bersusah payah, berpikir tentang tetek bengek. Kita
sekarang tidak usah bersusah payah berpikir tentang
kesejahteraan kampung halaman lahir maupun batin.
Begitu?" Tak satu suara pun yang terdengar, sehingga
Wanamerta berkata terus, "Jadi bagaimana" Atau kita
memang menghendaki hal-hal seperti ini berlangsung
terus" Kita biarkan masjid-masjid, banjar-banjar desa dan
balai-balai kita menjadi sarang labah-labah dan runtuh
sedikit demi sedikit seperti keruntuhan akal kita..." Bagus-
bagus. Demikian agaknya yang kalian kehendaki. Mari, mari
anak-anakku. Marilah kita berpikir tentang diri kita sendiri.
Tidak perlu tentang tanah pusaka kita yang tercinta. Karena
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itulah maka aku sependapat dengan kalian. Menyabung
ayam di siang hari, judi, tuak dan tayub di malam hari
seperti sekarang ini. Hem...."
Wanamerta berhenti untuk menelan ludahnya. Wajahnya
telah basah oleh peluh yang mengalir dari keningnya. Kata-
katanya seakan-akan menghunjam ke dalam dada orang-
orang Banyu Biru yang berdiri tegak berhimpit-himpitan di
sekitarnya. Ketika tak seorang pun menjawab ia
meneruskan lagi, "Dan sekarang semua itu ada pada kita.
Menyabung ayam, judi, perempuan, dan apalagi...?"
Kata-kata itu tajamnya seperti sembilu. Mereka yang
semula terseret oleh arus kebencian kepada orang tua itu,
sekali lagi menundukkan wajah mereka. Mereka menjadi
sangat malu kepada diri sendiri. Seterusnya Wanamerta
berkata, "Nah, sekarang kalian boleh memilih. Tenggelam
dalam lumpur kemaksiatan atau tegak kembali lewat jalan
kebenaran. Atau kita menunggu masanya kita menjadi
hancur dengan sendirinya, kemudian orang-orang dari
kalangan hitam akan menari-nari di atas bangkai kita
bersama. Sadar atau tidak sadar apa yang kalian lakukan
adalah sangat menguntungkan dan mempercepat keruntuhan kita. Lahir dan batin. Sekarang kita dapat
tertawa, menari dan menyanyi. Tetapi besok kita akan mati
dengan bau tuak menghambur dari mulut kita. Dan kita
telah kehilangan jalan untuk menghadap kembali kepada
Tuhan kita." Tanah lapang itu benar-benar seperti padang luas yang
kosong. Sepi hening. Yang terdengar kemudian adalah
Wanamerta kembali, "Sekarang kalian tinggal memilih. Aku
berada di pihak kalian. Dan apakah kalian pernah melihat
wayang" Apakah kalian pernah mendengar ceritera
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Baratayuda" Pada saat Pendawa menuntut haknya kembali
dari para Kurawa...?"
Juga tidak seorangpun yang memotong kata-kata
Wanamerta, sehingga ia dapat meneruskan, "Dalam ceritera
pewayangan, wayang beber atau wayang kulit, diceriterakan bahwa akhir dari Baratayuda itu, yang sayang
tidak memuaskan kita semua. Kenapa akhir dari Baratayuda
itu menunjukkan kemenangan pihak Pendawa" Tidak
Kurawa?" Wanamerta melihat kegelisahan rakyat Banyubiru
yang berdiri mengelilinginya. Pada wajah-wajah mereka
tampak ketegangan yang mencekam. Tetapi masih belum
seorang yang berkata sepatah katapun. Yang terdengar
kemudian adalah suara Wanamerta kembali, "Nah, baiklah
lain kali kita mengadakan pertunjukan wayang tujuh hari
tujuh malam. Sejak Kresna Duta sampai Karna Tanding, lalu
seterusnya kita ubah, Arjuna lah yang mati oleh Adipati
Karna dari Awangga. Dan seterusnya berturut-turut
habislah Pandawa setelah para putra gugur lebih dahulu.
Juga Parikesit kita bunuh."
Meskipun Wanamerta bercakap terus, namun perhatiannya tidak terlepas dari setiap wajah yang dengan
tenang dan gelisah mendengar kata-katanya. Ceritera
wayang, apalagi Baratayuda dianggap keramat oleh
penduduk Banyubiru. Tiba-tiba secara tepat Wanamerta
mengungkapkan sindirannya dengan mempergunakan
ceritera itu. Sehingga tiba-tiba terdengarlah seseorang
berkata, meskipun perlahan-lahan, "Tidak bisa Kiai,
Baratayuda tidak bisa diubah demikian."
Wanamerta pura-pura terkejut mendengar perkataan itu.
Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab, "Kenapa
tidak bisa" Bukankah Prabu Astina, Prabu Kurapati dapat
memberi kepada rakyatnya keleluasaan seperti yang kita
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kehendaki. Sabung ayam, judi, tayub, tuak dan sebagainya,
sedang orang-orang Pendawa sepanjang hidupnya hanya
prihatin saja?" "Tidak, Kiai," terdengar suara yang lain, "Kita tidak
menghendaki demikian. Kita tidak menghendaki seperti
orang-orang Astina di Banyubiru."
"He...?" kembali Wanamerta pura-pura terkejut. "Apakah
yang kau katakan?" "Kami tidak menghendaki hal itu terjadi di Banyubiru,"
ulang suara itu. "Yang mana tidak kau kehendaki" Bukankah raja Astina
Ratu Gung Binatara, Raja yang kaya" Bukankah adinda
baginda yang berjumlah 99 orang itu semuanya pandai
berjudi, tayub dan tuak" Bukankah di Astina ada seorang
pendeta yang putus saliring ilmu, agal alus, yang kasat
mata, yang tidak kasatmata" Yang bernama Dorna?"
"Tidak... tidak..." terdengar beberapa orang memotong
kata-kata Wanamerta, "Kami tidak menghendaki itu."
"Itu yang mana...?" Wanamerta memancing ketegasan
mereka. "Judi. Kami tidak mau judi," jawab yang lain.
"O, hanya itu saja?" desak Wanamerta.
"Tidak. Tidak hanya itu. Kami tidak mau tuak," jawab
beberapa suara berbareng.
"Judi dan tuak itu saja?" Wanamerta merasa bahwa ia
hampir mencapai maksudnya.
Dan ada yang didengarnya kemudian sangat menyenangkannya. Orang-orang Banyubiru itu kemudian
berteriak, "Tidak. Kami tidak mau judi, tuak, tayub dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sabung ayam. Kami bukan orang-orang Astina. Kami adalah
orang-orang Banyubiru."
"Tunggu dulu," potong Wanamerta, "Bukankah putra-
putra Astina berada dalam asuhan Maha Pendeta Dorna
yang bijaksana, yang dapat memberikan kepada mereka
kenikmatan jasmaniah, rohaniah dalam kekuasaan mereka
atas Astina?" "Kami tidak mau pendeta itu. Kami tidak mau orang
semacam Dorna." Terdengar mereka berteriak-teriak,
"Pendeta degleng, pendeta bermulut ular."
"Jadi bagaimana seterusnya" Bagaimana dengan akhir
dari Baratayuda itu?" tanya Wanamerta.
"Prabu Kurupati terbunuh. Semua adik-adik terbunuh.
Pendeta Dorna mati di tangan Drestajumena yang berhasil
memancung lehernya," sahut mereka bersama.
"Tetapi dengan demikian masyarakat yang kita cita-
citakan. Jadi, kemenangan Pendawa berarti kemenangan
keprihatinan dari kemenangan lahiriah, tetapi juga berarti
kemenangan dari jiwa rohaniah yang tawakal, percaya
kepada keadilan Yang Maha Pencipta. Dengan demikian kita
tidak akan dapat membayangkan masyarakat seperti
masarakat kita malam ini. Tetapi masyarakat yang bekerja
keras menuju tata kehidupan yang tenteram damai tata
tentrem karta raharja, gemah ripah lohjinawi".
Semua terdiam. Hening. Sepi. Seandainya sepotong lidi
jatuh di tengah lapang itu, suaranya pasti akan sangat
mengejutkan. Angin malam yang lembut mengusap wajah-
wajah yang terbanting-banting.
Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar suara
Wanamerta gemuruh seperti guruh yang membelah langit-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
langit lapis, "Hei rakyat Banyubiru, katakan kepadaku
sekarang, adakah kalian masih tetap pada pendirian kalian"
Supaya aku membiarkan kalian hanyut dalam arus
kesenangan lahiriah, yang berpangkal melulu pada nafsu
yang tak terkendali seperti sekarang ini?" Tak ada suara
yang terdengar. Karena itu Wanamerta meneruskan,
"Jawablah pertanyaanku. Adakah kalian masih akan
meneruskan cara hidup kalian sekarang ini" Judi, tuak,
tayub dan berkelahi sesama kita karena kita sudah
mabuk...?" Mula-mula yang terdengar hanyalah suara-suara bergumam. Namun kemudian terdengarlah suara mereka
saur manuk, "Tidak...tidak... tidak...." Wanamerta kemudian
meneruskan, "Nah, dengarlah baik-baik. Aku ingin bertanya
sekali lagi, apakah cara hirup kita ini akan kita akhiri?"
"Ya, Kiai, ya, ya, kita akhiri sampai di sini," sahut mereka
berebut keras. "Bagus. Itulah yang aku harapkan. Rakyat Banyubiru
yang sejati. Kalian harus melupakan racun yang dengan
perlahan-lahan membunuh kalian, membunuh semangat
kalian, sehingga kalian lupa pada masyarakat yang kalian
cita-citakan, lupa kepada kampung halaman, lupa kepada
pribadi kalian. Nah, dengarlah baik-baik. Arya Salaka itu
akan datang. Benar-benar akan datang."
Tiba-tiba meledaklah suara mereka gemuruh. "Kita
sambut anak muda itu diantara kita. Kita sudah sampai
pada ceritera Lahirnya Parikesit. Dan Parikesit itu akan
datang membebaskan kita."
Teriakan-teriakan yang gemuruh itu mengumandang
sampai beberapa saat. Tiba-tiba diantara suara gemuruh itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terdengar sebuah teriakan, "Belum. Kita belum sampai ke
sana. Kita masih harus menyelesaikan Baratayuda dahulu."
"Marilah kita tuntut hak kita, hak atas tanah dan
kampung halaman sendiri," teriak yang lain.
Dalam keriuhan itu terdengarlah suara Sontani menggelegak menggetarkan tanah lapang itu, "Omong
kosong! Omong kosong semuanya. Apakah yang akan
kalian tuntut" Tak seorangpun merasa kehilangan hak atas
tanah ini sekarang."
Tiba-tiba suara riuh itu mereda. Karena itu Sontani
meneruskan, "Apakah yang hilang dari milik kalian. Tanah,
sawah, halaman dan rumah kalian. Bukankah barang-
barang itu masih tetap di tanganmu. Dan bukankah tak ada
seorangpun yang merampasnya?"
Suara riuh itu kini menjadi diam. Memang mereka yang
berdiri di tanah lapang itu masih memiliki tanah mereka,
sawah mereka dan rumah mereka. Tetapi kemudian
terdengarlah suara Wanamerta tenang, "Kau benar Sontani,
tetapi aku dan kalian harus membayar upeti lebih dari dua
kali lipat dari upeti yang harus kalian bayar dulu."
"Benar, benar...." Kembali mereka berteriak-teriak.
Muka Sontani menjadi merah padam. Ia merasa
terdesak. Tetapi ia tidak akan membiarkan keributan itu
terjadi. Kalau rakyat Banyubiru itu menerima Arya Salaka,
belum pasti ia akan tetap menjabat pangkatnya yang
sekarang. Ia tidak peduli apakah dengan demikian ia
berkhianat atau tidak. Yang penting ia menjadi kepala
pedukuhan Lemah Abang. Karena itu Sontani harus
berusaha keras untuk melawan Wanamerta. "Upeti adalah
kewajiban setiap tanah perdikan untuk membiayai
tanahnya. Kalau upeti tanah ini terpaksa berlipat dua, itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
adalah karena kebutuhan-kebutuhan kamipun meningkat
pula," katanya. Wanamerta tersenyum, jawabnya, "Apakah yang pernah
dihasilkan oleh upeti itu" Adakah kau dapat membangun
rumah-rumah pendidikan" Banjar-banjar desa..." Bukankah
selama ini tak satu pun rumah baru berdiri di Banyubiru"
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang sudah adapun tak terpelihara lagi. Bahkan tempat-
tempat ibadahpun tidak ada. Dan bukankah upeti itu
mengalir ke Pamingit?"
"Benar, benar....!" Teriakan itu semakin mengumandang.
Sontani tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ia melompat
menembus lingkaran manusia yang berdiri di sekeliling
Wanamerta, sambil berteriak, "Persetan dengan sesorahmu.
Kau hanya akan mengacau saja di sini. Pergi atau aku
tangkap kau." Wanamerta masih tegak di tempatnya seperti tugu.
Dengan masih setenang tadi ia menjawab, "Jangan marah
Sontani. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa" Bukankah
semula akupun telah mengatakan semuanya itu" Bahkan
semula akupun telah mengatakan bahwa aku berada di
pihak kalian, apapun yang kalian kehendaki. Dan sekarang
kalian menghendaki meletakkan segala sesuatunya pada
tempat-tempat yang sewajarnya, yang seharusnya. Tidak
lebih dan tidak kurang. Bukan judi, tuak, nafsu dan
kekuasaan. Inilah suatu usaha untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya."
"Jangan berkicau, menco tua. Aku perintahkan kau
meninggalkan tempat ini sebelum aku sumbat mulutmu
dengan tanganku." Sontani sudah tidak dapat menyabarkan
diri lagi. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan Sontani," jawab Wanamerta masih setenang
tadi, "Akibatnya tidak akan menjadi lebih baik."
Tetapi Sontani telah kehilangan akalnya. Ia melangkah
semakin dekat. Wajahnya yang keras dan matanya yang
hitam kelam, menunjukkan betapa kerasnya hatinya.
Sementara itu Sendang Papat dan Sendang Parapat telah
meninggalkan tempat mereka. Dengan tanpa menarik
perhatian, mereka telah berada diantara rakyat Banyubiru
yang berdesak-desakan itu. Mereka melihat betapa Sontani
dengan marah menghampiri Wanamerta. Tetapi karena
Sontani agaknya seorang diri, maka Sendang Papat dan
Sendang Parapat pun menyabarkan diri mereka dan melihat
saja apa yang akan terjadi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Wanamerta..." kata Sontani dengan suara yang bergetar
oleh kemarahannya. "Jangan menjawab pertanyaanku.
Tetapi kau hanya bisa melaksanakan. Tinggalkan tempat
ini." Wanamerta masih belum bergerak. Tetapi orang-orang
yang berdiri melingkar itu menjadi cemas. Sontani adalah
seorang yang benar-benar keras hati. Ia benar-benar dapat
melakukan apa saja yang ia katakan. Tetapi Wanamerta
belum juga beranjak dari tempatnya. Maka ketika ia melihat
Sontani semakin dekat di hadapannya, ia mencoba untuk
sekali lagi menjawab. Tetapi demikian Wanamerta
menggerakkan mulutnya, Sontani sudah membentaknya,
"Jangan menjawab dengan kata-kata, pergi!" Wanamerta
memandanginya dengan seksama. Dari ujung rambutnya
sampai ke ujung kakinya. Maka ketika ia sudah mendapat
ketetapan hati, sengaja ia berkata, "Kenapa tidak boleh?"
Sontani telah benar-benar marah. Ketika ia mendengar
Wanamerta masih berkata lagi, ia tidak dapat mengendalikan dirinya. Dengan satu loncatan ia telah
berhasil menangkap baju Wanamerta dan mengguncangnya
sambil membentak, "Jangan menjawab. Kau hanya bisa
pergi dari sini." Gerakan Sontani itu tiba-tiba telah menggerakkan semua
orang yang berdiri di sekeliling mereka berdua. Tiba-tiba
mereka menjadi sedemikian benci terhadapnya. Terhadap
orang yang gila pangkat dan gila hormat itu. Ketika Sontani
sekali lagi mengguncang baju Wanamerta, terdengarlah
sebuah teriakan, "Lepaskan dia Sontani, lepaskan."
Sontani melirik ke arah suara itu. Namun ia tidak mau
mendengarkan. Sehingga tiba-tiba dari arah lain terdengar
pula suara, "Sontani, jangan main kekerasan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Diam kalian!" bentak Sontani, "Aku dapat berbuat apa
yang aku kehandaki. Jangan turut campur."
"Jangan keras kepala Sontani." Terdengar suara yang
lain, "Supaya kami tidak berkeras kepala pula."
Sontani menjadi gemetar. Tetapi suara-suara itu terus
saling menyusul. "Lepaskan dia..... Lepaskan dia.... Atau
kami harus melepaskannya?" Disusul pula dengan suara-
suara yang mulai bernada kemarahan. "Pergi kau Sontani.
Pergi kau. Atau kami harus memaksa?"
Tetapi diantara teriakan-teriakan itu terdengar pula jerit
pengikut-pengikut Sontani, "Hantam dia. Hantam kambing
tua itu." Sontani melihat pengikut-pengikutnya. Dengan demikian
ia menjadi semakin sombong. Sekali lagi ia menggoncang-
goncangkan baju Wanamerta itu sambil menggeram, "Babi
tua, jangan banyak tingkah."
Pada saat itulah maka keadaan hampir tak dapat dikuasai
lagi. Kedua belah pihak hampir saja bertindak, dan apabila
demikian, di tanah lapang itu akan terjadi medan
pertempuran kecil-kecilan. Tetapi, tiba-tiba Wanamerta
berteriak tanpa memperdulikan Sontani, "He, orang-orang
Banyubiru. Sadarlah pada diri kalian masing-masing. Jangan
dibiarkan perasaan kalian menjerat kalian ke dalam suatu
perbuatan yang tolol."
Teriakan Wanamerta itu ternyata berpengaruh juga.
Beberapa orang mengurungkan niatnya dan memandangnya dengan heran. Sementara itu, orang tua
yang telah dipenuhi oleh pengalaman dalam pemerintahan
dan pengendalian terhadap orang-orang Banyubiru itu
memandang Sontani langsung ke dalam matanya. Mata
yang memancarkan kemarahan, ketamakan dan nafsu yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tak habis-habisnya. Ketika Sontani melihat mata orang tua
itu, ia terkejut. Seolah-olah dari dalam mata itu
memancarkan pengaruh yang aneh. Sehingga tiba-tiba
Sontani membuang matanya ke arah orang-orang
Banyubiru yang berdiri, dengan tenang, namun masing-
masing telah bersiap untuk memukul dan berkelahi.
"Lepaskan Sontani," kata Wanamerta lirih. Lirih saja.
Tetapi bagi Sontani terdengar seperti guruh yang meledak
di atas kepalanya. Ia mencoba untuk melawan pengaruh
kata-kata itu dengan menggenggam baju itu lebih erat dan
mencoba menarik Wanamerta ke dadanya, namun
Wanamerta itu menjadi seperti tugu yang tegak dan tak
tergerakkan. Bahkan sekali lagi ia berkata lirih, "Lepaskan
Sontani, lepaskan." Tangan Sontani bergetar. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia
melepaskan tangannya perlahan-lahan. Ia tidak dapat
melawan pengaruh perbawa orang tua yang dahulu sangat
dihormatinya itu. Tetapi demikian tangannya terlepas,
demikian ia sadar, bahwa Bahu Lemah Abang akan lepas
dari tangannya apabila Arya Salaka benar-benar akan
datang. Karena itu, didorong pula oleh kesombongannya,
serta untuk menutupi kelemahannya, ia berteriak, "Aku
lepaskan kau kelinci tua, tetapi pergilah dari sini."
Wanamerta tidak mendengarkan lagi kata-kata itu, tetapi
ia berkata kepada orang-orang Banyubiru, "Apa yang kalian
lakukan" Aku lihat kalian akan berkelahi satu sama lain".
Mereka yang membenarkan kata-kata sebagian besar dari
kalian, melawan mereka yang berpihak kepada Sontani.
Kenapa kalian..." Bukankah kalian sama-sama orang
Banyubiru" Aku berterima kasih kepada kalian yang
berusaha untuk menyelamatkan aku. Aku tahu itu. Dan aku
berbangga pula melihat pengikut-pengikut Sontani yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berani, meskipun jumlah mereka tidak sebanyak yang lain.
Tetapi aku sedih melihat pertentangan kalian. Aku sedih
melihat kalian akan bertempur satu sama lain, sesama
orang Banyubiru." Keadaan menjadi hening. Tetapi orang-orang yang
mendengar kata-kata itu menjadi bingung. Mereka sama
sekali tidak tahu maksud perkataan itu. Bagaimanakah
seharusnya mereka berbuat" Bukankah mereka harus
merebut hak atas tanah ini" Tetapi mereka tidak boleh
berbuat apa-apa. Wanamerta melihat keragu-raguan itu. Karena itu ia
menjelaskan, "Anak-anakku, jangan berbuat sendiri-sendiri.
Hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan. Tidak
bagiku dan tidak bagi Sontani. Yang harus kalian lakukan
hanyalah menempa tekad untuk melebarluaskan berita itu.
Kalian hanya akan menyambut kedatangannya dua tiga hari
lagi di tanah ini dengan tombak Kyai Bancak di tangannya.
Pembicaraan seterusnya biarlah dilakukan oleh yang berhak
membicarakannya. Yaitu Arya Salaka dan yang mengembaninya, yaitu Mahesa Jenar. Selebihnya tunggu
perintahnya." Wanamerta masih melihat keheranan terbayang di wajah
mereka. Keheranan seperti yang terbayang di wajah-wajah
laskar Banyubiru di Gedong Sanga ketika mendengar
keputusan Mahesa Jenar bahwa mereka masih harus
menunggu. Tetapi disamping itu Wanamerta merasa
berbangga bahwa ia dapat langsung berbicara dengan
mereka dan memberikan kepada mereka jalan lurus yang
harus mereka tempuh. Meskipun ia yakin bahwa apa yang
sudah dicapainya itu tidak boleh terlepas lagi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi sementara itu Sontani menjadi bermata gelap. Ia
tidak dapat mendengar, otaknya tak dapat menahannya.
Karena itu dengan suara yang mengguruh ia berkata,
"Wanamerta, baiklah kalau kau tidak mau pergi. Dan
baiklah kalau kau masih akan berteriak-teriak terus. Karena
aku sudah cukup memberi kau kesempatan, aku sekarang
terpaksa bertindak terhadapmu. Menyumbat mulutmu."
Wanamerta melihat mata Sontani telah menyala-nyala. Ia
tidak mungkin lagi menghindari bentrokan dengannya.
Tetapi ia tidak mau orang-orang Banyubiru terlibat ke
dalam bentrokan itu. Orang-orang yang sebenarnya tidak
banyak menentukan penyelesaian masalah hanya karena
berkelahi sesamanya. Karena itu ia menjawab, "Baiklah
Sontani. Kau ingin aku diam, tetapi aku ingin berbicara
terus. Kita berlawanan kehendak. Karena itu terserah apa
yang akan kau lakukan dan biarlah aku mencoba untuk
berbuat atas kehendakku pula. Tetapi satu hal yang akan
aku katakan kepada orang-orang Banyubiru dan termasuk
pengikut-pengikutmu. Tenaga mereka masih sangat
diperlukan buat masa depan. Buat ketentraman terakhir.
Karena itu kalau ada perbedaan pendapat diantara kau dan
aku, janganlah menyangkut mereka."
Sontani mendengar kata-kata itu. Ia sadar bahwa kata-
kata itu berarti suatu tantangan tanding seorang lawan
seorang. Ia menjadi bergembira, sebab iapun tahu bahwa
pengikutnya tidak sedemikian banyak berada di tanah
lapang itu. Maka ia menjawab lantang, "Suatu kehormatan
bagiku orang tua yang sombong. Dahulu aku mengagumimu. Tetapi waktu itu aku adalah seekor anak
ayam yang kagum melihat ayam jantan berkokok di atas
pagar. Tetapi sekarang tidak. Akulah ayam jantan itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta menarik nafas. Ia adalah seorang yang
mempunyai cukup pengalaman. Ia adalah emban kepala
daerah perdikan ini. Sejak masa pemerintahan Ki Ageng
Sora Dipayana, ia telah menjabatnya. Karena itu iapun
cukup tajam untuk menilai seseorang. Terhadap Sontani,
iapun dapat menilai pula dengan tepat. Ia tidak lebih dari
seorang yang besar kepala, sombong dan keras hati.
"Kau benar," jawab Wanamerta, "Kau adalah ayam
jantan itu. Hanya saja kau adalah ayam jantan yang
berkokok setelah matahari hampir terbenam."
Sontani menggeram. Sekali dua kali ia melihat
berkeliling. Tetapi ia tidak melihat Sendang Papat dan
Sendang Parapat yang tersenyum melihat kesombongannya. Dengan sombongnya seolah-olah berkata kepada rakyat
Banyubiru, "Inilah aku, Sontani Bahu dari Pedukuhan Tanah
Abang." Kemudian kepada Wanamerta ia berkata, "Wanamerta,
bukan salahku kalau kemudian tanganmu patah, atau
lehermu terpuntir. Sebab kau adalah orang tua yang tak
tahu diri." Wanamerta tersenyum. Senyum yang sangat
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjemukan bagi Sontani. Karena itu ia menggeram sekali
lagi dan berkata, "Bersedialah. Lihatlah bintang-bintang di
langit dengan seksama, barangkali ini untuk yang terakhir."
"Yang terakhir?" tanya Wanamerta heran.
"Ya, sebab ada suatu kemungkinan, bahwa dengan
tersentuh tanganku kau akan mati," jawab Sontani dengan
sombongnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta mengangguk-angguk. Sontani benar-benar
sombong. Dan kesombongan itu menjengkelkan sekali.
Maka jawab Wanamerta, "Gemintang yang bercahaya-
cahaya itu. Jadi aku tidak akan memandangnya untuk yang
terakhir kalinya. Tetapi kalau kau yang mati, mungkin
karena pokalmu sendiri, kau akan berdiam menjadi ampas
Rawa Pening." Hati Sontani menjadi semakin menyala. Dan tiba-tiba
saja ia berteriak, "Jagalah mulutmu baik-baik Wanamerta,
sebab aku ingin sekali meremasmu."
Wanamerta segera bersiaga, dan dengan suatu loncatan
yang cepat, Sontani mulai menerjang. Beberapa orang yang
berdiri disekitarnya berdesakan mundur. Dada mereka
tergoncang. Sontani adalah seorang yang kasar dan keras
hati. Karena itu serangannya pun kasar pula. Beberapa
orang menjadi cemas apakah Wanamerta dapat menjaga
dirinya menghadapi Bahu Pedukuhan Lemah Abang yang
sedang gila untuk mempertahankan kedudukannya itu.
Wanamerta heran melihat serangan Sontani yang dapat
demikian cepat. Ia mengenal Sontani lima tahun yang lalu,
sebagai seorang yang selalu merasa tidak puas. Dan
sekarang orang itu berjuang untuk mempertahankan
kepuasan-kepuasan yang pernah dicapainya. Kepuasan-
kepuasan lahiriah yang tak berharga sama sekali.
Wanamerta segera menghindarkan diri dengan satu
gerakan yang sederhana. Dan itu menambah kemarahan
Sontani. Meskipun beberapa tahun yang lampau ia benar-
benar mengagumi orang tua itu, tetapi sementara ini ia
merasa bahwa ia telah bertambah dewasa dalam ilmu tata
perkelahian. Dengan gerakan-gerakan yang keras, ia
bertempur dengan penuh nafsu. Tangannya bergerak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berputar-putar, seolah-olah roda yang berputar-putar
hendak menggilas lumat orang tua yang memuakkan itu.
Mengalami serangan yang datang bertubi-tubi itu,
Wanamerta menarik dirinya beberapa langkah surut. Ia
baru dalam taraf mempelajari gerakan-gerakan lawannya
yang cukup cepat dan berbahaya itu. Tetapi Sontani yang
sedang marah itu tidak memberinya kesempatan. Sebagai
seekor harimau yang gila, ia meloncat menerkam,
menghantam, bertubi-tubi. Tetapi Wanamerta cukup
berpengalaman. Karena ia merasa lebih tua, maka ia
menjaga agar ia tidak kehabisan nafas di tengah jalan.
Karena itu ia bertempur dengan sangat menghemat tenaga.
Meskipun demikian, setiap gerakan Wanamerta cukup
memberi perlawanan yang gigih. Sehingga setelah
beberapa saat mereka bertempur, Sontani sama sekali tak
berhasil menyentuhnya. Karena itulah maka hatinya
menjadi semakin membara. Dengan demikian ia menjadi
semakin buas dan liar. Sontani mengerahkan segenap
tenaganya untuk secepatnya menghancurkan orang tua
yang akan menjadikan sebab hilangnya kekuasaan yang
sudah berada di tangannya atas pedukuhan Lemah Abang
yang subur di pinggiran kota Banyubiru itu. Menghadapi
serigala yang marah itu, Wanamerta harus berhati-hati
pula. Sebab segala gerakan Sontani selalu dilambari oleh
segenap kekuatannya. Dan ia adalah orang yang cukup
mempunyai tenaga. Hanya sayang bahwa tenaganya tidak
disalurkannya dengan tepat. Bahkan seperti terhambat tak
berarti. Tetapi meskipun demikian, apabila serangannya itu
dapat mengenai sasarannya, agaknya akan berbahaya juga.
Karena Wanamerta masih selalu menghindari serangan-
serangan Sontani, maka seolah-olah Wanamerta menjadi
terdesak. Rakyat yang berdiri di sekitar perkelahian itu
menjadi cemas, sebab mereka tidak tahu apa yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebenarnya terjadi. Bahkan Sontani pun berpendapat
demikian pula, meskipun ia hampir tidak sabar karena
serangan-serangannya tak pernah mengenai sasarannya.
Diantara para penonton itu tampak Sendang Papat dan
Sendang Parapat tersenyum-senyum. Lima tahun yang
lampau, memang agaknya Sendang Papat dan Sendang
Parapat itu tidak lebih dari Sontani. Tetapi setelah mereka
menggembleng diri di bawah asuhan Ki Dalang Mantingan,
Wirasaba, bahkan kemudian mereka itupun mendapat
petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar sendiri. Maka ia
melihat betapa lemahnya serangan-serangan Sontani.
Mereka dengan tersenyum melihat betapa Wanamerta
dengan sabarnya melayani permainan Sontani yang
menjemukan dan sama sekali tidak bermutu. Wanamerta
tidak ingin melihat keadaan semakin keruh. Agaknya
Wanamerta berusaha untuk mengalahkan Sontani tanpa
melukainya. Tetapi Sontani agaknya benar-benar orang yang tidak
berotak. Ia sama sekali tidak menyadari keadaan. Karena
itu ia malahan menjadi semakin berbesar hati dan
sombong. Bahkan kemudian ia berteriak-teriak, "Jangan
berlari-lari seperti kelinci menghadapi serigala, Wanamerta
yang malang. Agaknya kau telah terjerumus karena
kesombonganmu ke dalam sudut yang celaka. Tetapi
janganlah kau ingkar pada kejantananmu. Kepada
sesumbarmu yang seolah-olah membelah langit."
Wanamerta menggeleng lemah. Sambil menghindar terus
ia menjawab, "Sontani, seingatku, seumur hidupku aku
tidak pernah sesumbar. Karena itu, aku tidak malu
seandainya aku kalah dalam pertempuran. Kekalahan bukan
berarti kehilangan kejantanan. Seorang jantan pun dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kalah pula. Kalah dalam kejantanannya sebagai suatu
kenyataan." Sontani tertawa. Karena tertawa, ia memperlemah
serangannya. Katanya, "Ha, kau sudah semakin ketakutan.
Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Berjongkoklah dan
minta maaf kepada Bahu Pedukuhan Lemah Abang agar
kau kuampuni karena kesalahanmu. Setelah itu kau harus
meninggalkan lapangan ini dengan merangkak sampai ke
batas tanah lapang."
"Sejak umur setahun aku sudah tidak biasa lagi
merangkak, Sontani. Maafkan kalau aku tidak dapat
memenuhi permintaanmu," jawab Wanamerta.
Sontani membelalakkan matanya. Ia mengharap Wanamerta benar-benar minta maaf kepadanya, meskipun
seandainya ia tidak dapat memenuhi perintahnya itu
seluruhnya. Tetapi tiba-tiba Wanamerta menjawab sedemikian menyakitkan hati. Karena itu sekali lagi Sontani
berkata untuk menghina orang tua itu, "Aku beri
kesempatan dalam hitungan lima kali. Setelah itu tak ada
kesempatan lagi bagimu. Kalau akan aku tangkap, aku
cukur gundul dan aku arak berkeliling kota besok pagi."
Wanamerta tidak menjawab. Ia membiarkan saja Sontani
menghitung untuk memuaskan hatinya. Tetapi ketika
Sontani sampai ke hitungan yang ketiga, tiba-tiba
Wanamerta mulai dengan melontarkan beberapa serangan
balasan. Sontani terkejut. Ia sama sekali tidak menduga
bahwa Wanamerta yang tua itu masih mampu bergerak
sedemikian cepat dan berturut-turut. Karena itu ia sama
sekali kurang bersiaga, sehingga beberapa serangan
Wanamerta itu berturut-turut mengenai tubuhnya. Tidak
hanya sekali, tetapi dua-tiga kali, sehingga ia terdorong
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
beberapa langkah surut. Mengalami perisitwa itu tiba-tiba
mata Sontani yang hitam kelam itu menjadi memerah
darah, seolah-olah dari sana menyembur api yang menyala-
nyala. Dadanya terasa sesak, bukan karena sakit oleh
serangan lawannya, tetapi karena perasaan yang bercampur baur. Marah, malu, muak dan segala macam.
Tetapi dalam pada itu, ia menjadi semakin bernafsu untuk
menghancurkan musuhnya itu. Dalam tanggapannya,
serangan Wanamerta itu adalah karena kelengahannya.
Meskipun demikian ia sama sekali tidak menjadi jera, sebab
pukulan Wanamerta, meskipun mengenainya tetapi tidak
menyakitkan. Namun dengan perasaan itu ia telah
membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. Ia tidak
menyadari bahwa Wanamerta sebenarnya tidak menggunakan seluruh tenaganya. Ia hanya mempergunakan kecepatan dan mendorong dada Sontani,
menyentuh pundaknya dan dengan kaki ia menyinggung
lambungnya. Tetapi kemarahan Sontani telah benar-benar menggelapkan pikirannya. Ia benar-benar sudah tidak
dapat menimbang untuk rugi dari perbuatannya itu. Dengan
demikian ia menjadi semakin membabi buta. Menerjang,
menghantam, memukul dengan penuh nafsu. Ia berkelahi
seperti serigala gila sedang kelaparan. Dari mulutnya
terdengarlah nafasnya memburu dan geramnya yang
seram. Wanamerta membiarkan Sontani bertempur dengan cara
yang demikian. Ia mengharap Sontani akan kehabisan
tenaga dan berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian ia
tidak mengalahkannya dengan menyinggung kehormatannya beserta pengikut-pengikutnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Sontani berpendirian lain. Karena pikirannya yang
gelap itulah ia tidak dapat menimbang apa yang akan
dilakukan. A pakah akibat yang bakal timbul, dan apakah itu
akan menimbulkan korban ataukah tidak. Ketika ia merasa
bahwa tenaganya sudah mulai berkurang karena peluh
yang sudah membasahi tubuhnya seperti orang mandi, ia
menjadi tidak bersabar lagi. Ia ingin dengan segera
menangkap dan menghinakan lawannya di hadapan umum.
Sedangkan Wanamerta benar-benar licin seperti belut.
Sebenarnya heranlah Sontani, bahwa orang setua itu masih
mampu menghindarkan diri dari serangan-serangannya
yang mengalir seperti banjir. Tetapi bagi Wanamerta,
Sendang Papat dan Parapat, gerakan-gerakan itu sama
sekali tidak seperti banjir sungai yang paling kecil sekalipun.
Gerakan-gerakan itu tidak lebih dari gerakan-gerakan yang
hanya dikendalikan oleh nafsu dan kesombongan.
Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap diri sendiri,
sehingga tidak mampu lagi untuk melihat kenyataan.
Perasaan yang demikian itulah yang mendorong seseorang
ke dalam sudut kekalahan. Sebab kesombongan dan sikap
menghina lawan adalah unsur utama dari kekalahan itu
sendiri. Demikian juga Sontani. Ia merasa dirinya berlebihan.
Tetapi sekali waktu ia mengalami peristiwa yang ia takut
mengakuinya. Ia takut berpikir bahwa sebenarnya
Wanamerta adalah lawan yang tak dapat dikalahkan.
Oleh karena itu, oleh perasaan yang bercampur baur
itulah kemudian ia menjadi bermata gelap. Dengan penuh
kemarahan ia berteriak nyaring, "He Wanamerta, bertempurlah dengan laku seorang jantan. Jangan hanya
mampu berlari dan menghindar. Bertahanlah, dan marilah
kita sama-sama mengangkat dada."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Hem..." gumam Wanamerta. Di dalam hati ia mulai
menyesali sikap Sontani yang keras kepala itu. Tetapi ia
menyabarkan diri. Ketika beberapa saat kemudian Wanamerta masih belum
menjawab, sekali lagi Sontani berteriak, "Hai, kelinci betina.
Bertempurlah dengan dada tengadah. Jangan lari berputar-
putar seperti ayam disembelih. Kalau kau takut mati dalam
pertempuran ini, bertobatlah dan mintalah ampun."
Wanamerta menggeleng lemah. Tetapi ia tetap
menunggu sampai Sontani kehabisan tenaga. Karena itu
perlahan-lahan ia menjawab, "Kau belum sampai ke
hitungan yang kelima, Sontani."
Alangkah sakitnya hati Sontani. Ia sendiri sudah lupa
pada hitungan itu karena serangan Wanamerta yang tiba-
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba. Sekarang dari lawannya itu ia mendapat peringatan
akan kelalaiannya. Karena itu ia menjadi bertambah marah
dan tiba-tiba terjadilah apa yang dicemaskan oleh
Wanamerta. Apa yang sejak semula dihindari, sehigga ia
lebih senang menghindari serangan Sontani itu terus
menerus tanpa menjatuhkannya. Dengan penuh kemarahan, Sontani berteriak, "Hei orang-orang Lemah
Abang yang setia. Tangkap kelinci tua ini."
Perintah itu benar-benar menggetarkan hati Wanamerta.
Bukan karena ia takut seandainya ia terpaksa melawan
seluruh pengikut Sontani, bahkan seandainya ia terpaksa
mati karenanya. Tetapi dengan menggerakkan pengikutnya,
Sontani harus menghadapi akibat yang barangkali tak
pernah dipikirkan. Karena itu Wanamerta mencoba
mencegahnya. Dengan nyaring ia berteriak, "Tunggulah
Sontani." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi, Sontani benar-benar telah kesurupan setan. Ia
tidak mendengar seruan itu, bahkan beberapa orang
pengikutnya yang mendengarnya menganggap bahwa
Wanamerta telah menjadi ketakutan. Dengan demikian
mereka semakin bernafsu dan berloncatan maju, mendesak
orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Bahkan beberapa
orang mereka dorong jatuh tanpa peringatan apapun.
Gelang raksasa yang terdiri dari manusia yang berjejal-
jejal itu tampak bergerak-gerak. Beberapa orang masih
belum sadar apa yang akan terjadi. Baru ketika beberapa
orang berloncatan memasuki arena, tahulah mereka bahwa
Sontani bersama-sama dengan pengikutnya akan menangkap Wanamerta itu beramai-ramai.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Itulah permulaan dari bencana yang menimpa diri
Sontani. Sebab orang-orang yang telah terbuka hatinya,
melihat kebenaran keadilan, tidak rela Wanamerta menjadi
makanan pesta dari orang-orang yang hanya dapat
menghitung kebenaran dari kepentingan mereka sendiri.
Karena itulah maka merekapun serentak, tanpa perintah
dari siapapun, bergerak melawan orang-orang Sontani.
Sehingga di lapangan terbuka itu terjadilah semacam
perang kecil-kecilan antara para pengikut Sontani melawan
orang-orang Banyubiru yang lain.
Sendang Papat, Sendang Parapat dan beberapa orang
kawannya telah berdiri di sekitar Wanamerta. Mereka harus
menjaga keselamatan orang tua itu. Orang tua yang telah
menjadi emban kepala daerah perdikan Banyubiru sejak
masa pemerintahan Ki A geng Sora Dipayana.
"Apa yang akan kita lakukan, Kiai?" tanya Sendang
Papat. Wanamerta tegak seperti patung, mulutnya komat-kumit,
namun belum terdengar ia berkata. Tetapi dari matanya
telah terlontar betapa ia menyesal melihat hal ini terjadi.
Tawuran antara rakyat dan rakyat yang sebenarnya sama-
sama menanti masa depan yang lebih menyenangkan.
Sontani sendiri tiba-tiba didorong oleh hiruk-pikuk
menjauhi Wanamerta. Dengan penuh kemarahan ia
berkelahi. Namun lawannya terlalu banyak. Karena itu ia
terpaksa mundur dan mundur. Demikian pula agaknya para
pengikutnya. Mereka ternyata korban lawan. Lawan yang
dengan penuh kemarahan melawan mereka. Bagaimanapun
kuatnya Sontani, dan bagaimanapun para pengikutnya
berkelahi membabi buta, namun akhirnya mereka terpaksa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengalami perlakuan yang sama sekali tak mereka
harapkan. Demikian pula Sontani. Meski ia telah berkelahi
mati-matian namun akhirnya ia tidak berhasil melepaskan
diri dari tangan orang-orang yang semula dianggapnya tak
akan menghalangi tindakannya. Beberapa orang menangkapnya dan memegangi tangan serta kakinya.
Beberapa orang mencoba memukulnya pada b agian-bagian
tubuhnya sekenanya. Sontani meronta-ronta sejadi-jadinya.
Tetapi tangan orang-orang itu terlalu keras, dan ia tak
mampu melepaskan diri dari mereka yang tak terkendali
lagi itu. Wanamerta melihat bahaya itu. Bagaimanapun juga ia
tak menghendaki adanya korban. Karena itu hampir tak
terdengar dari sela-sela bibirnya yang bergetar ia berkata,
"Sendang, selamatkanlah Sontani itu."
Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah orang muda
yang selama ini ikut merasakan betapa tekanan-tekanan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang telah dialami oleh orang-orang Banyubiru dari orang-
orang semacam Sontani itu. Di hadapan hidungnya ia
melihat Sontani telah berusaha untuk menghina Wanamerta, sesepuh tanah perdikan ini. Karena itu, ketika
ia mendengar perintah Wanamerta, mereka menjadi heran
dan ragu, sehingga Wanamerta terpaksa mengulangi,
"Sendang..." suaranya perlahan-lahan, "Selamatkan Sontani." Sendang Papat dan Sendang Parapat sadar dari keragu-
raguannya. Bagaimanapun perasaannya bergolak di dalam
dadanya, namun mereka adalah orang-orang yang patuh.
Karena itu mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan
sigapnya mereka meloncat diantara orang yang bergolak
seperti gabah diinteri itu, menyusup langsung ke arah
Sontani. Dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman serta
kelebihan-kelebihan mereka, mereka pun segera berhasil
berdiri di samping Sontani yang sedang meronta-ronta itu.
Dengan penuh tenaga, Sendang Papat berteriak mengatasi
keriuhan suara orang-orang Banyubiru yang marah itu,
"Hai, kawan-kawan yang baik. Aku harap kerelaan kalian.
Serahkanlah orang ini kepadaku."
Beberapa orang yang dekat berdiri dengan Sendang
Papat itu terkejut, ketika mereka memandanginya, dalam
samar-samar sinar obor yang jauh. "Bukankah yang
berteriak itu Sendang Papat...?"
Tiba-tiba seorang diantara mereka berkata, "He, adakah
kau Adi Sendang Papat?"
"Ya," jawabnya singkat.
Dari arah lain terdengar suara, "Dan inilah adiknya,
Sendang Parapat." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bagus, bagus," teriak yang lain, "Bukankah kau datang
untuk membunuhnya?" "Lepaskan dia," kata Sendang Papat keras-keras.
Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sendang
Papat mendesakkan kata-katanya pula, "Lepaskan dia.
Berhentilah berkelahi. He, yang di sana, berhentilah
berkelahi." Suara itu disahut oleh Sendang Parapat dan oleh
beberapa kawan-kawan yang datang bersamanya. Karena
suara-suara itulah maka perkelahian itu terpengaruh pula.
Semakin lama menjadi mereda, dan akhirnya berhenti,
meskipun masing-masing wajah masih diliputi oleh
ketegangan dan kemarahan.
"Serahkan orang itu kepadaku," kata Sendang Papat
dengan kewibawaan yang mengagumkan orang-orang yang
berdiri di sekitarnya. Namun meskipun demikian tampak
mereka ragu, seperti Sendang Papat mula-mula juga ragu.
Di sebelah lain berdiri dengan kaki renggang, adiknya
Sendang Parapat. "Apakah kalian keberatan?" desak Sendang Papat.
Matanya beredar berkeliling. Memandang wajah-wajah yang
penuh mengandung pertanyaan. Sedang Sontani sendiri,
yang berdiri di hadapan Sendang Papat, tidak pula kalah
herannya. Ia tahu benar bahwa Sendang Papat adalah
salah seorang yang dikejar-kejarnya selama ini seperti juga
Bantaran, Penjawi, Jaladri dan yang lain-lainnya lagi.
Tiba-tiba dari antara mereka, yang berdiri berkeliling itu
terdengar sebuah pertanyaan, "Akan kau apakan dia,
Sendang Papat?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sendang Papat sendiri untuk sesaat bingung mendengar
pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menjawab, "Serahkanlah kepada kebijaksanaan Kiai Wanamerta."
"Apa yang akan dilakukan?" bertanya yang lain.
"Ia tahu apa yang akan dilakukan," jawab Sendang
Papat. Keadaan menjadi sepi. Sepi namun penuh keraguan.
Masing-masing mencoba mengangan-angankan apakah
kira-kira yang akan dilakukan oleh Wanamerta.
Tetapi kesepian itu tiba-tiba dipecahkan oleh suatu
peristiwa yang tak terduga-duga, yang merusak suasana
yang hampir baik kembali itu. Tiba-tiba dari sela-sela orang
yang mengerumuni yang pucat lesu itu meloncatlah
seseorang yang dengan serta merta menyerang Sendang
Parapat. Sebuah tusukan yang kuat mengenai lambung
kirinya, sehingga terdengar ia mengaduh.
Tetapi Sendang Parapat adalah seorang yang terlatih.
Karena itu sedemikian ia merasakan sebuah tusukan
mengenai dirinya, selain tanpa sesadarnya ia mengaduh
perlahan, namun dengan cepatnya ia bergerak dengan
tenaganya yang terakhir, menangkap tubuh orang yang
menusuknya itu, sehingga ketika orang itu akan melarikan
diri, tubuh Sendang Parapat yang lemah terseret beberapa
langkah. Tetapi dengan demikian orang itu tidak dapat
segera melenyapkan dirinya ke dalam gerombolan orang-
orang yang masih berdiri di sana sini. Ia terpaksa berhenti
mendorong Sendang Parapat untuk melepaskan pegangannya yang seolah-oleh terkunci. Dalam saat itulah
Sendang Papat, memandangi kejadian itu dengan mata
terbelalak. Tusukan yang mengenai adiknya, pada saat ia
sedang melindungi Sontani, yang dibencinya, adalah serasa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tusukan pada dadanya, yang ditutupinya rapat-rapat, kini
seolah-olah tersiram minyak. Seperti kawah gunung berapi
yang tak menemukan jalan, tiba-tiba meledaklah kemarahan Sendang Papat. Ia sempat melihat adiknya
berputar cepat sekali, dan menangkap pergelangan tangan
orang yang menusuknya. Ia melihat tubuh adiknya yang
telah lemah itu terseret beberapa langkah. Maka ia sendiri
kemudian seperti thathit meloncat beberapa langkah ke
arah orang yang mendorong adiknya, untuk melepaskan
pegangannya. Demikian Sendang Parapat terlepas, dan
tubuhnya terbanting di tanah, demikian Sendang Papat
sampai kepada orang itu. Wajah Sendang Papat tiba-tiba
berubah. Seolah-olah di dalamnya tersembunyi malaikat
pencabut nyawa. Dengan tidak berkata sepatah katapun, ia
menyerang orang yang menusuk adiknya itu. Orang itupun
agaknya sadar pula. Karena itu iapun segera melawan
serangan itu. Sendang Papat benar-benar marah.
Tenaganya menjadi seakan-akan belipat-lipat. Seperti badai
yang tak tertahan lagi ia menerkam orang yang menusuk
lambung adiknya. Betapa orang itu mencoba melawannya,
tetapi ternyata Sendang Papat bukanlah lawannya. Karena
itu ia terdorong surut beberapa langkah, yang kemudian
disusul sebuah pukulan dengan tenaga tergenggam pada
dagunya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga orang itu
seolah-olah terangkat beberapa jengkal dan terlempar ke
belakang, untuk kemudian dengan kerasnya pula terbanting
ke tanah. Sendang Papat sendiri mata gelap. Ia tidak ingat
lagi kata Wanamerta, ia tidak ingat lagi pesan Mahesa Jenar
dan pemimpin-pemimpin yang lain. Yang teringat hanyalah,
seorang dengan licik dan curang telah menusuk adiknya.
Seperti seekor harimau ia meloncat ke atas tubuh orang itu,
dan dengan sekuat tenaga seperti hujan yang tercurah dari
langit, ia menghantam bertubi-tubi wajah orang itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terdengarlah orang itu berteriak ngeri. Tetapi juga teriakan
itu seolah-olah tak terdengar oleh Sendang Papat yang
sedang marah. Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu, justru
menjadi terdiam seperti patung. Dengan mata terbelalak
pula mereka menyaksikan kejadian itu. Kejadian yang
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlangsung sedemikian cepatnya. Sehingga apa yang
mereka ketahui kemudian adalah Sendang Papat yang
marah itu duduk di atas tubuh lawannya yang terlentang di
tanah sambil memukulnya habis-habisan untuk mencurahkan kemarahannya yang meluap-luap.
Tetapi kawan-kawan orang itu ternyata tidak tinggal
diam. Ketika mereka melihat kawannya tak mampu lagi
untuk bergerak, mereka pun kemudian mencoba untuk
melepaskannya. Ternyata mereka adalah pengikut-pengikut
Sontani. Beberapa orang bersama-sama dengan mempergunakan
senjata-senjata tajam yang kecil, semacam pisau-pisau
runcing, menyerang Sendang Papat. Sendang Papat
betapapun marahnya, namun naluri keprajuritannya segera
memperingatkannya akan bahaya yang mengancam itu.
Namun justru karena itulah dengan tangkasnya ia berdiri,
menarik bagian dada baju orang yang menusuk adiknya itu
sehingga berdiri dan dengan segenap tenaga yang ada,
Sendang Papat memukul orang itu dengan tangan
kanannya ke arah perutnya. Terdengarlah suaranya seperti
tersumbat di kerongkongan. Tubuhnya terbungkuk dan
terhuyung-huyung akan jatuh menelungkup. Pada saat itu
Sendang Papat melepaskan pegangannya, dengan tangan
kirinya, ia mengangkat muka orang itu menengadah, dan
sekali lagi dengan tangan kanannya ia menghantam wajah
itu. Ternyata orang itu sudah tidak mampu untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengaduh lagi. Tubuhnya demikian saja terlempar ke
belakang, dan sekali lagi ia terbanting di tanah. Pada saat
itu beberapa orang telah berada di sekeliling Sendang Papat
dengan pisau-pisau di tangan. Tetapi Sendang Papat adalah
seorang yang terlatih menghadapi bahaya. Meskipun ia
sendiri tidak mempergunakan senjata, namun ia sama
sekali tidak takut melawan orang-orang itu. Karena itulah
maka segera berkobar kembali perkelahian. Sendang Papat
melawan lebih dari empat lima orang yang menyerangnya
dari segenap penjuru. Meskipun demikian belum terlintas di
dalam otak Sendang Papat itu untuk mempergunakan keris
yang terselip di lambung kirinya.
Demikian ia melompat kesana-kemari, seperti seekor
kijang yang keriangan di padang rumput yang hijau.
Tangannya menyambar-nyambar seperti berpuluh-puluh
pasang tangan yang bergerak bersama-sama. Pengalaman-
pengalaman serta latihan-latihan yang ditekuninya selama
ini, ternyata menempatkannya pada kedudukan yang
menguntungkan. Apalagi kali ini orang yang bernama
Sendang Papat itu benar-benar mengamuk tanpa terkendali. Perkelahian itu ternyata telah memancing berkobarnya
kembali pertempuran kecil di tanah lapangan itu. Ketika
para pengikut Sontani mulai menyerang Sendang Papat,
orang-orang yang memihak Wanamerta pun mulai bergerak
pula. Tetapi orang-orang Sontani itu telah merasa bahwa
mereka tidak akan mempu melawan kemarahan orang-
orang yang jauh lebih banyak dari jumlah mereka. Karena
itu sebagian besar dari mereka segera melarikan diri ke
dalam kegelapan malam. Yang tinggal kemudian hanyalah
kelima orang yang bersama-sama bertempur melawan
Sendang Papat itulah. Karena mereka bersenjata, mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merasa bahwa mereka akan mampu mempertahankan diri
mereka. Wanamerta, yang tak jauh dari mereka, melihat
keributan timbul kembali. Cepat ia berlari untuk mengetahui
apakah yang terjadi. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat
Sendang Parapat terbaring di tanah dengan darah yang
mengalir dari lukanya. Ia melihat dua orang yang datang
bersama dari Gedong Sanga berusaha untuk menahan
darah yang mengalir itu. Sedang seorang lagi agaknya ikut
serta berkelahi melawan orang Sontani. Wanamerta
kemudian menekan dadanya, ketika ia melihat Sendang
Papat mengamuk tanpa dapat mengendalikan dirinya sama
sekali. Beberapa saat Wanamerta berdiam diri dengan cemas.
Perkembangan keadaan itu agaknya sama sekali tidak
seperti yang dikehendaki Wanamerta, meskipun darinya ia
dapat mengambil keuntungan-keuntungan. Dengan demikian ia telah dapat menempatkan beberapa bagian
orang-orang Banyubiru itu kepada kesadarannya kembali.
Tetapi peristiwa yang terjadi ini dapat membawa akibat
yang buruk. Meskipun hanya sementara.
Pada saat itu Wanamerta sudah tidak melihat Sontani
lagi. Orang itu lari terbirit-birit ketika terbuka kesempatan,
tanpa mempedulikan lagi apakah orang-orangnya masih
berkelahi terus, dan apakah ada diantara mereka yang
menjadi korban. Yang penting baginya adalah menyelamatkan diri sendiri.
Yang mula-mula dilakukan oleh Wanamerta adalah
menyuruh kedua orang yang berusaha untuk membendung
darah yang keluar dari lambung kiri Sendang Parapat itu
untuk membawanya ke tepi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian kepada kedua orang itu, Wanamerta bertanya,
"Bagaimana luka itu?"
"Berat Kiai," jawab salah seorang diantaranya.
"Adakah kau kenal seorang yang dapat kau percaya di
sekitar tempat ini?" tanya Wanamerta pula.
Kedua orang itu berpikir. Kemudian salah seorang
menjawab, "Bagaimana dengan Kakang Prana?"
Wanamerta mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia
mengangguk-angguk, katanya, "Aku kira ia baik. Bawalah
Sendang Parapat kepadanya. Kami akan menyelesaikan
beberapa persoalan di sini. Kami akan menyusul kau nanti
ke sana. Aku sendiri masih harus mengawasi Sendang
Papat yang kehilangan keseimbangan."
"Tak dapat disalahkan," gumam orang itu seperti kepada
diri sendiri. "Ya," jawab Wanamerta singkat. Kemudian ia berkata,
"Nah pergilah kepada Prana. Usahakan obat-obatan apapun
buat luka itu. Barangkali daun metir, atau sarang labah-
labah." "Baik Kiai," sahut orang itu sambil berdiri dan
mengangkat tubuh Sendang Parapat ke rumah Ki Prana
yang tak jauh dari lapangan itu. Mereka mengharap akan
dapat beristirahat dan menyembunyikan Sendang Parapat
yang terluka itu. Sepeninggal kedua orang itu, kembali Wanamerta
mendekati Sendang Papat yang sedang ngamuk. Beberapa
orang telah berdiri di sekitar tempat itu dan beberapa orang
lagi berbondong-bondong berlari-lari ke titik perkelahian itu
pula. Mereka itu datang kembali setelah mengejar-ngejar
orang-orang Sontani. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba salah seorang yang baru datang itu dengan
nafas tersengal-sengal berteriak, "Bunuh saja mereka
semua, bunuh saja." "Bunuh... bunuh...." sahut yang lain.
Wanamerta menjadi semakin cemas. Dengan demikian
permusuhan antara orang-orang Banyubiru itu akan
bertambah menjadi-jadi. Karena itu Wanamerta segera
bertindak. Ia mengharapkan pertanggungan-jawab sepenuhnya terletak di bahunya, setidak-tidaknya pada
Sendang Papat. Maka segera ia meloncat maju sambil
berteriak, "Jangan ganggu mereka. Biarkan mereka
bertempur dengan jujur."
Beberapa orang menjadi heran mendengar kata-kata
Wanamerta itu. Mereka benar-benar tidak tahu maksudnya.
Mereka mengira bahwa Wanamerta pun akan sependapat
dengan mereka. Bahkan seorang yang berdiri di deretan
paling depan bertanya, "Bagaimanakah perkelahian itu
dapat disebut jujur" Adi Sendang Papat hanya seorang diri
tanpa senjata, harus melawan lima orang bersenjata."
Wanamerta melangkah maju semakin dekat. Ia tidak
melihat kesulitan pada Sendang Papat, karena itu ia
menjawab, "Jangan takut. Malah kalian harus bangga
bahwa Sendang Papat bertempur melawan lima orang
sekaligus. Lihatlah apa yang akan terjadi."
Tetapi Sendang Papat sendiri sama sekali tidak
mendengar mereka merasa cemas, bahwa Sendang Papat
akan mengalami bencana seperti adiknya.
Kemudian tak seorang pun berbicara lagi. Mereka dengan
seksama memperhatikan perkelahian itu. Tetapi bagaimanapun juga pembicaraan itu. Ia sama sekali tidak
melihat Wanamerta dan tidak tahu bahwa sekian banyak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang, perhatiannya tercurah kepadanya. Yang ia ketahui
adalah gelora dadanya sendiri. Gelora kemarahan yang
meluap-luap. Sendang Parapat adalah satu-satunya saudaranya. Sejak kecil keduanya tidak pernah berpisah.
Seolah-olah mereka mampunyai ikatan batin yang
sedemikian eratnya. Sakit bagi yang seorang adalah sakit
pula bagi yang lain. Tiba-tiba sekarang di hadapan
hidungnya ia melihat adiknya jatuh berlumurah darah.
Karena itu otaknya menjadi terguncang dan karena itu ia
kehilangan kesadaran. Sedang lima lawannya tiba-tiba
menjadi cemas. Mereka melihat rakyat yang marah itu
mengitarinya. Tetapi mereka merasa bahwa seolah-olah
mereka telah terjebak di dalam kepungan. Karena itu
mereka tidak mungkin lagi untuk melarikan diri. Dengan
demikian maka merekapun mengamuk pula. Mereka harus
bertempur mati-matian, sambil menunggu perkembangan
keadaan. Mereka mengharap Sontani datang membantu,
atau Sontani akan datang dengan kawan-kawan yang lebih
banyak lagi, sukar kalau Sontani dapat menghubungi
pasukan Pamingit. Apalagi ketika mereka mendengar kata-
kata Wanamerta, mereka merasa bahwa orang-orang
Banyubiru tidak akan berani bertindak terhadap mereka.
Sebab dengan demikian pasti akan terjadi bencana bagi
mereka itu. Tetapi meskipun orang-orang Banyubiru itu tidak
bertindak apa-apa terhadap mereka, namun akan sama
sajalah akibatnya. Sebab Sendang Papat yang mata gelap
itu, tendangannya jauh lebih menakutkan daripada
seandainya orang-orang Banyubiru itu menyerang mereka
beramai-ramai. Sekali-sekali mereka mencoba juga untuk
mencari jalan melarikan diri, tetapi orang-orang yang berdiri
di sekitar tempat itu sudah sedemikian tepatnya. Karena itu
tidak ada pilihan lain, bertempur mati-matian.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah perkelahian itu berlangsung beberapa lama.
Sendang Papat yang mata gelap terpengaruh oleh
kemarahannya, melawan lima orang yang mata gelap
karena putus asa. Sebab setelah sedemikian lama belum
juga Sontani datang membantu, mereka tidak dapat
mengharapkannya lagi. Orang-orang yang ada di sekitar perkelahian itu, semakin
lama menjadi semakin terpaku oleh perasaan kagum atas
tandang Sendang Papat yang hanya seorang diri melawan
lima orang yang bersenjata. Bahkan Wanamerta sendiri pun
heran melihat Sendang Papat bertempur. Seolah-olah
kekuatan serta kelincahannya bertambah-tambah.
Bahkan seolah-olah ia bergerak tidak atas kehendak
dirinya. Demikianlah seorang yang sedang meluap-luap.
Tanpa sesadarnya sendiri segala ilmu yang tersimpan
tercurah seperti hujan yang melimpah.
Apa yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan.
Tiba-tiba Sendang Papat berhasil merampas sebuah belati
dari salah seorang lawannya, dan sebelum seorang sempat
melihatnya, terdengarlah sebuah teriakan nyaring, dan
salah seorang dari lawan-lawannya itu rubuh di tanah.
Darah yang merah menyembur dari dadanya.
"Sendang Papat...!" teriak Wanamerta cemas. Tetapi
Sendang Papat sama sekali tidak mendengarnya. Bahkan
sesaat kemudian seorang lagi mengaduh keras dan
menggelepar tak berdaya. Tiga orang yang lain, betapapun
mereka tak mengenal takut pada mulanya, namun setelah
mereka melihat kenyataan itu, hati mereka pun berdesir.
Sekali lagi mereka mencoba melihat keadaan sekeliling
mereka, dan tiba-tiba mereka berteriak sambil meloncat ke
arah orang-orang yang sedang menyaksikan perkelahian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu. Beberapa orang terkejut dan bergerak mundur. Dengan
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serta-merta, mereka mendesak menyusup ke dalam
kepepatan orang-orang yang merubungnya. Tetapi agaknya
salah seorang dari mereka mengalami nasib yang malang.
Sendang Papat sempat menangkap lehernya dan tanpa
ampun lagi, belati kecilnya menyusup diantara tulang-tulang
iganya. Terdengar sekali ia memekik tinggi, kemudian
terdiam untuk selama-lamanya. Tiga orang telah menggeletak berlumuran darah yang mengalir dari
mulutnya. Namun agaknya Sendang Papat sama sekali
belum puas. Dengan marahnya ia berteriak nyaring,
"Tangkap iblis-iblis itu."
Orang-orang yang mengaguminya, tiba-tiba menjadi
cemas pula melihat wajah anak muda yang menjadi liar itu.
Mereka hanya dapat menyibak ketika Sendang Papat
meloncat mengejar dua orang lagi yang mencoba
menyelamatkan diri. Mereka, yang berdiri memagar
lingkaran pertempuran itu, malahan terpaku diam, dan
membiarkan kedua orang lawan Sendang Papat itu
menyusup diantara mereka, dan membuat keributan bagian
belakang lingkaran itu. Untunglah bahwa malam itu cukup
gelap. Sinar obor yang menyala agak jauh dari tempat itu,
sama sekali tertutup oleh bayangan-bayangan orang-orang
yang bergerak-gerak di sekitar tempat itu. Dengan demikian
maka Sendang Papat mendapat banyak kesulitan untuk
menemukan kedua orang yang melarikan diri menyusup
diantara sekian banyak orang yang kemudian dari ujung
lapangan mereka meloncat ke dalam gerumbul-gerumbul di
tepi tanah lapang itu. Ketika Sendang Papat tidak berhasil menemukan kedua
orang lawannya, menjadi semakin marah. Seperti orang
yang hilang ingatan ia berteriak, "Hai, orang-orang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru... di mana kedua orang gila itu" Kenapa kalian
hanya diam menonton seperti menonton tayub. He, di
mana..." di mana...?"
Tak seorangpun menjawab. Sendang Papat dengan liar
memandang ke segenap arah. Namun kedua orang itu tak
dapat diketemukan. Tiba-tiba mata Sendang Papat menyangkut pada
seperangkat gamelan, obor-obor yang menyala-nyala,
beberapa dingklik dasaran tuak dan minum-minuman
semacamnya, air tape yang dikentalkan, badhek dan
sebagainya. Hatinya yang marah itupun menjadi semakin
menyala seperti obor-obor itu dibongkok bersama-sama.
Gamelan yang seperangkat itupun merupakan salah satu
sumber kemunduran akhlak di Banyubiru, merupakan salah
satu sebab rakyat Banyubiru kehilangan gairah pada
perjuangannya. Sendang Papat adalah seorang penari yang
mencintai gamelan seperti ia menyayangi pakaian-
pakaiannya. Tetapi gamelan yang seperangkat ini, yang
berada di tanah lapang untuk mengiring tayub dan mabuk-
mabukan, adalah gamelan yang mengkhianati kemurnian
seni, serta menerapkan seni dalam perjuangan yang tak
terkendali. Tiba-tiba Sendang Papat meloncat sambil
berteriak, "He, orang-orang Banyubiru, adakah kalian masih
akan menyelenggarakan tari-tarian gila seperti malam-
malam yang pernah kau lalui dengan gila-gilaan?"
Tak seorangpun yang menjawab.
"Dengar...!" teriak Sendang Papat, "Aku akan membakar
gamelan yang telah menghantarkan kalian pada keadaan
yang cemar ini. Kalau kalian keberatan, lawanlah aku.
Tetapi kalau kalian sependapat, ikutlah aku."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Juga tak seorangpun menjawabnya. Karena itu tiba-tiba
dengan sigapnya Sendang Papat berlari ke arah gamelan
yang dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya
menyambar sebuah obor di tangan kiri dan satu obor lagi di
tangan kanan. Dilemparkannya kedua obor itu ke tengah-
tengah jajaran gamelan itu. Tidak hanya dua obor, tetapi
tiga, empat dan lampu-lampu minyak di dingklik-dingklik itu
disepak-sepaknya. Bahkan kemudian orang-orang yang
melihat perbuatannya itu menjadi terpengaruh pula.
Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil berteriak-teriak
mencabut segala obor yang berada di tanah lapang itu dan
dilemparkan bersama-sama ke arah seperangkat gamelan
itu. "Bakar saja, bakar saja...!" teriak mereka bersama-sama.
Obor-obor itupun kemudian menyala berkobar-kobar.
Minyak yang berada di dalam bumbung pun kemudian
tumpah ruah dan membasahi gamelan-gamelan itu. Karena
itulah maka sesaat kemudian, apipun menyala-nyala
dengan garangnya, seolah-olah hendak menyentuh langit.
Lidah api yang dihembus angin perlahan-lahan, bergoyang-
goyang seperti penari-penari yang menari-nari dengan
riangnya di atas gamelan yang sedikit demi sedikit hangus
dimakannya. Tanah lapang itu kemudian menjadi terang benderang.
Beberapa orang berusaha menyelamatkan dagangan-
dagangan mereka. Tuak, minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja diatas dasaran mereka. Tetapi api
mengamuk demikian hebatnya. Dingklik-dingklik, warung-
warung kacang itupun dalam sekejap telah lenyap dalam
pelukan penari maut yang menari-nari dengan iringan lagu
derak-berderaknya gamelan dan bambu-bambu yang
terbakar. Orang-orang Banyubiru itu seperti kelompok
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang-orang yang kehilangan akal dan kesadaran. Mereka
menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di
tanah lapang itu. Kembali Wanamerta menekan dadanya. Keadaan
berkembang sedemikian cepatnya. Tetapi ia tidak
menyalahkan Sendang Papat. Sebab telah jatuh korban di
pihaknya, karena kelicikan lawannya.
Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah tanggapan
Mahesa Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak
dikehendakinya. Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami
sendiri peristiwa-peristiwa ini, maka iapun akan dapat
mengerti. Api semakin lama semakin tinggi menggapai-gapai di
udara. Asap yang hitam membubung tinggi ke langit.
Melihat api serta asap itu, Wanamerta dapat memperhitungkan keadaan. Mau tidak mau, cahaya merah
yang mewarnai kehitaman malam itu pasti akan dapat
dilihat oleh orang-orang Lembu Sora. Karena itulah maka
mereka pasti akan datang. Dan dengan demikian keadaan
akan bertambah buruk. Karena itu, selagi masih ada
kesempatan Wanamerta ingin mencoba menghindarkan
orang-orang Banyubiru dari bentrokan bentrokan yang lebih
besar. Dengan demikian ia menyusup diantara orang
banyak yang seperti anak anak bermain api mendekati
Sendang Papat. Ketika ia sudah berdiri di belakang anak muda itu ia
menggamitnya, Sendang Papat menoleh kearahnya.
Matanya masih merah diwarnai kemarahan yang meluap
luap. Wanamerta beragu sejenak, tetapi akhirnya ia
berkata; "Sendang, hentikan permainan ini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sendang Papat memandang wajah Wanamerta dengan
kecewa, bantahnya, "Aku harus membunuh semua orang
yang telah bersetuju untuk membunuh adikku."
"Baiklah Sendang, aku akan membantumu. Tetapi tidak
sekarang dan tidak dalam kesempatan ini." jawab
Wanamerta lunak. "Kapan aku dapat melakukannya" mereka sudah mulai
sekarang." bantah Sendang Papat.
"Bukan sekarang Sendang, bahkan telah lama. Dan
selama ini kami masih mencari cari jalan untuk
menyelesaikan masalah kita dengan orang orang yang telah
keblinger itu," Wanamerta mencoba memberikan penjelasan. "Aku tidak sabar lagi. Adikku telah terbunuh, dan masih
adakah orang yang akan berusaha menyalahkan aku?"
sahut Sendang Papat. "Tidak Sendang, tidak. Kau tidak bersalah. Kau berusaha
membela adikmu, yang hanya merupakan salah seorang
dari mereka yang menjadi korban peristiwa peristiwa
semacam ini. Tetapi ketahuilah bagaimana sekiranya Lembu
Sora datang ke tanah lapang ini"," bertanya Wanamerta.
"Bagaimanakah kalau terjadi bentrokan antara orang banyu
Biru dengan pasukan Lembu Sora"."
"Aku akan berdiri paling depan. A kan aku bunuh mereka
semua, atau aku yang terbunuh," jawab Sendang Papat
lantang. Wanamerta menjadi kebingungan. Meskipun apabila
Lembu Sora itu benar benar datang, ia tidak akan
mengingkari tanggung jawab. Sebab ialah orang tertua dari
rombongannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebelum Wanamerta dapat menguasai perasaan Sendang Papat yang meluap luap itu. Tiba-tiba terdengar
dari kejauhan derap kaki kuda. Dada Wanamerta pun
berdesir. Itulah pertanda bencana akan datang.
"Sendang jangan biarkan korban menjadi semakin
banyak," berbisik Wanamerta.
Tetapi Sendang papat ridak mendengarnya. Yang
didengar adalah derap kuda yang mendatangi tanah lapang
itu. Tiba-tiba wajahnya menjadi terang. Tampaknya ia
menjadi gembira sekali, seperti kanak kanak yang
mendapat mainan. Sesekali ia meloncat dengan lincahnya.
Untuk kemudian menghambur menyongsong derap kuda
yang semakin lama semakin dekat. Beberapa orang yang
yang melihatnya ikut berlari-lari dibelakangnya. Merekapun
tiba tiba menjadi gembira pula.
Dari dalam gelap, dibalik tikungan jalan, muncullah
beberapa orang berkuda. Mereka adalah orang Lembu Sora
dari Pamingit. Wajah wajah mereka tampak betapa
garangnya. Cahaya api yang kemerahan itu membuat kesan
yang seram pada rombongan berkuda itu.
Pemimpin rombongan itu segera melihat api yang
menyala-nyala. Merekapun kemudian melihat orang orang
yang seolah olah mengamuk. Segera kemarahan menjalar
di dada mereka. Apalagi ketika mereka melihat beberapa
orang menyongsong kedatangan mereka dengan senjata
pemukul, bambu dan kayu dan apa saja yang mereka
ketemukan. Pemimpin laskar itu segera memberikan perintah, dan
bertebaranlah orang orang berkuda itu ke segenap penjuru.
Mereka memacu kuda mereka tanpa memperhitungkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
banyak orang dilapangan itu. Beberapa orang terdorong
jatuh dan bahkan ada diantaranya yang terlanggar dan
terbanting di tanah. Beberapa orang berteriak teriak
mengancam dan mengumpat umpat.
Sendang Papat menjadi kecewa ketika rombongan itu
terpencar pencar seperti orang kesurupan ia berlari-lari
mengejar kuda-kuda itu. Tetapi, kuda-kuda itu berputar-
putar dan menginjak injak yang ada di jalannya. Melihat
sikap itu Sendang Papat menjadi semakin marah. Bahkan
Wanamertapun menjadi marah pula. Ia tidak pernah
membayangkan, demikian orang Pamingit memperlakukan
orang Banyubiru itu dianggapnya sapi gembalaan, yang
dapat digiringnya dengan pecut dan tongkat pemukul.
Tetapi bagaimanapun kepalanya msdih tetap dingin.
Berbeda dengan Sendang Papat yang diikuti segenap orang
yang berada di tanah lapang itu. Merekapun segera
memberikan perlawanan. Orang banyak itupun mengamuk
sejadi-jadinya. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan tidak
banyak. Mereka adalah orang yang tidak begitu banyak
mendapat didikan keprajuritan. Dengan demikian perlawanan merekapun tidak banyak berarti. Hanya
Sendang Papat lah yang mampu menghadapi bahaya yang
mengancam dirinya. Ketika seekor kuda dengan kencangnya berlari menerjangnya, dengan segala kekuatan
ia mendesak orang di sekitarnya untuk menghindar. Namun
demikian kuda itu lewat disampingnya demikian ia meloncat
ke atas punggungnya. Sekali gerak, tangannya telah
membenamkan kerisnya kepunggung orang itu yang
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian terbanting jatuh. Dengan kuda itulah Sendang
Papat melawan orang Pamingit. Tetapi Sendang Papat
seorang diri itu pun tak banyak yang dapat dilakukan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta kemudian tidak mengingkari tanggung
jawabnya. ia berusaha untuk mengurangi tekanan orang
Pamingit itu. Namun akhirnya satu demi satu jatuhlah
korban. Sedang keributan di tanah lapang itupun semakin
menjadi jadi pula. Akhirnya Wanamerta menganggap bahwa bentrokan itu
harus segera diakhiri. Ia tidak mau melihat orang kecil
menjadi korban. Karena itu segera Wanamerta berteriak,
"Hindarkan diri, hei orang Banyubiru. Hindarkan diri kalian."
Sekali dua kali suara Wanamerta itu tenggelam saja
dalam gemuruhnya teriakan rakyat yang marah serta
teriakan orang Pamingit yang memaki maki. Tetapi ia tidak
putus asa. Diulanginya lagi kata katanya sekali dua kali.
Kemudian terdengar ia berteriak keras; "Hei orang Banyu
Biru yang setia. Jangan terlalu bodoh melawan orang
berkuda itu. Tinggalkan mereka. Hindarkan diri kalian dari
injakan kuda-kuda itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Beberapa orang mendengar teriakan Wanamerta, mereka
mulai berfikir. Apakah mereka akan dapat melawan orang
berkuda itu. Sedangkan dihadapan mereka korban jatuh
bertambah lagi. Apalgi orang Pamingit yang juga menjadi
gila itu menghunus pedang mereka. Meskipun demikian
Sendang Papat bertempur seperti burung Sikatan. Ia
menyambar dengan lincahnya diatas kudanya. Namun
tidaklah banyak yang dapat dikerjakan.
Ketika Wanamerta berteriak sekali lagi, suaranya mulai
dapat perhatian. meskipun beberapa orang yang meluap
luap perasaannya, seolah olah tidak akan meninggalkan
tanah lapang itu meskipun seandainya mereka harus
terbunuh, tetapi terdengar Wanamerta berkata: "He,
hindarkan diri kalian. Jangan mati tanpa arti. Tenaga kalian
masih sangat diperlukan oleh tanah kelahiran ini. Tetapi
nanti dalam kesempatan yang lebih baik, dimana kalian
membawa senjata di tangan kalian."
Demikianlah, kemudian orang Banyubiru itu sadar akan
keadaan yang tidak berimbang. Karena itulah mereka
mengikuti nasehat Wanamerta yang selalu diulang ulang.
Beberapa orang meloncat dan berlari meninggalkan
lapangan itu. Kuda orang Pamingit itupun mejadi liar pula. Mereka
berlari lari mengelilingi lapangan seperti serigala lapar.
Diatas punggung mereka itupun duduk orang gila yang liar
seperti beruang alasan. Orang berada dilapangan semakin berkurang jua. Satu
satu mereka mencoba menghindarkan diri mereka dengan
janji di dalam dada apabila datang saatnya maka akan
mereka serahkan jiwa raga mereka sebagai tebusan atas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kekhilafan mereka selama ini. Tetapi kali ini, mereka tidak
akan mati tanpa arti. Beberapa orangberkuda mencoba mengejar mereka
namun mereka itupun segera meloncati pagar batu dan
menyusup pagar bambu, tenggelam dalam gerumbul yang
gelap. Sendang Papat masih saja bertempur terus. Ia sama
sekali tidak memperhitungkan lagi keadaan yang dihadapinya. ia tidak mau melihat kenyataan bahwa
akhirnya ia harus bertempur seorang diri.
Demikianlah kemudian tiga orang berkuda bersama-
sama menyerangnya. Sendang Papat memang tangkas.
Tetapi ia tidak dapat melawan ketiga-tiganya sekaligus. Ia
mencoba untuk memutar kudanya, menghindar kesamping.
tetapi kuda lawannya itu akan melanggarnya. Disusul
dengan yang seekor lagi dari arah lain. Sendang Papat
segera menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu
terhenti. Seekor kuda lawannya, berlari terus kedepan,
tetapi seekor lagi benar benar membenturnya.
Tekanan itu ternyata terlalu berat bagi Sendang Papat
sehingga iapun kemudian terlempar dari punggung kudanya
bersama sama dengan penunggang kuda yang membenturnya. Keduanya jatuh bergulingan dan berusaha
bangkit kembali. Demikian mereka berdiri, demikian mereka
bertempur kembali. Tetapi dalam pada itu, kawan
kawannyapun telah siap pula untuk membantu. Wanamerta
yang masih berdiri di tanah lapang melihat kesulitan yang
bakal terjadi atas Sendang Papat. Ia tidak mau
mengorbankannya. Adiknya telah terluka berat sehingga ia
harus berusaha supaya kakaknya dapat diselamatkan. tetapi
lawan terlalu banyak. Untuk sesaat Wanamerta berbimbang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hati. Ia menyesal bahwa Sendang Papat telah kehilangan
kejernihan pikirnya sehingga seolah olah ia akan
membunuh diri. Tetapi ia tidak mempunyai banyak waktu. Bagaimanapun
yang terjadi ia harus membantu anak itu. Karena itulah
dengan secepat ia dapat, meloncatlah orang tua itu ke arah
Sendang Papat, untuk membantunya. Ketika seekor kuda
menyambarnya, Sendang Papat masih sempat mengelakkan
dirinya bahkan ia masih dapat menyerang lawannya, yang
berdiri diatas tanah. Dengan demikian, Wanamerta masih
dapat menyapanya sebelum ia digilas oleh kaki kuda orang
Pamingit itu. Yang mula mula diucapkan Wanamerta adalah "Sendang," suaranya perlahan sekali. "Adikmu mencarimu"
"He," Sendang Papat terkejut "Prapat?"
"Ya," jawab Wanamerta. Sementara itu ia harus turut
melawan lawan Sendang Papat. Sementara itu seekor kuda
sekali lagi menyambar mereka. Dengan ikat kepala yang
diuraikan, Wanamerta berhasil menakuti kuda itu, sehingga
kuda itu meronta dan melonjak tinggi. Kesempatan itu tidak
dilewatkan oleh sendang Papat. Dengan sigapnya ia
meloncat, dan sekali lagi kerisnya membenam di tubuh
orang itu. "Naiklah kiyai," teriaknya. Tetapi Wanamerta
tidak sempat naik. Orang yang semula berkelahi melawan
Sendang papat menyerangnya. Ketika sebuah pedang
menyambar lehernya, Wanamerta berjongkok merendahkan
dirinya. Kemudian dengan kakinya ia menghantam lambung
orang itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar.
Malanglah baginya, ketika saat itu dua ekor kuda bersama
sama berlari mendekati titik perkelahian. Kedua orang itu
sudah siap untuk menusuk tubuh Wanamerta dari dua arah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-Tiba seseorang terlempar ke depan mereka. Terdengarlah jerit ngeri. Tubuh itupun dengan dahsyatnya
terinjak oleh kaki-kaki kuda yang sedang berlari kencang.
Wanamerta hanya melihat peristiwa itu sebentar saja.
Iapun segera berlari, meloncat ke atas punggung kuda,
yang semula dipakai oleh Sendang Papat. Kuda itu, yang
masih berdiri di tengah lapangan, menjadi terkejut dan
berlari melingkar-lingkar. Untunglah Wanamerta segera
dapat menguasainya. Dalam pada itu Sendang Papat sudah bimbang. Kalau
semula ia sudah berketetapan hati untuk mati dengan
membawa bela sebanyak-banyaknya, kini ia terpaksa
berpikir kembali. "Adakah Parapat masih hidup?" pikirnya.
Dan tiba-tiba Sendang Papat ingin mendapat penjelasan
tentang adiknya. Karena itu Sendang Papat segera
mendekatkan diri kepada Wanamerta sambil bertanya,
"Adakah Kiai tadi berkata tentang Parapat?"
Mata Wanamerta tidak terpelas dari para penunggang
kuda yang telah siap menerjang mereka. Meskipun
demikian ia menjawab, "Ya."
"Bagaimana dengan anak itu?" Sendang Papat minta
penjelasan. "Ia mengharap kedatanganmu. Mudah-mudahan ia masih
tertolong," Wanamerta mencoba untuk memancing anak itu
meninggalkan tanah lapang yang terkutuk ini.
Sementara itu, ia melihat beberapa orang lain, yang
semula mengejar-ngejar orang Banyubiru telah memasuki
tanah lapang kembali. Bahkan mereka pun segera bersiap
pula untuk menyerang. Wanamerta melihat bahaya yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bertambah-tambah, sementara itu harapannya mulai timbul
kembali. Mudah-mudahan Sendang Papat bersedia meninggalkan tanah lapang ini untuk melihat adiknya.
"Tak cukup banyak waktu Sendang," kata Wanamerta
pula, "Adikmu cepat-cepat harus mendapat bantuan."
"Di mana dia sekarang?" tanya Sendang Papat.
"Ia disembunyikan di rumah Ki Prana," jawab
Wanamerta. Sendang Papat merenung sejenak. Di hadapannya
orang-orang Pamingit memacu kudanya ke arah mereka
berdua. "Mereka datang, Kiai," kata Sendang Papat.
Wanamerta telah melihat mereka pula. Segera ia menarik
kekang kudanya memutar sekali, lalu berlari ke samping.
"Pikirkan adikmu itu," katanya sebelum kudanya berlari.
Sendang Papat tidak sempat menjawab. Seekor kuda
lawan menyerangnya dengan cepatnya. Ketika sebuah
pedang menyambarnya, dengan cepatnya ia melekatkan
tubuhnya pada punggung kudanya. Hatinya berdesir ketika
Sendang Papat merasakan angin sambaran pedang
menghembus tengkuknya. "Hampir saja," desisnya. Karena
itu Sendang Papat merasa bahwa lebih baik melawan
orang-orang Pamingit itu, dengan pedang pula. Karena itu
cepat-cepat ia meloncat turun memungut pedang dari
seseorang yang telah tak berdaya untuk bangkit kembali.
Dengan pedang itulah kemudian ia melawan setiap
penyerangnya dengan kekuatan yang berimbang. Tetapi
orang-orang Pamingit itu pun bertambah-tambah pula.
Sendang Papat melihat Wanamerta yang tua itu pun dapat
bergerak mengagumkan. Di tangannya tiba-tiba saja telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tergenggam sebuah telempak, tombak bertangkai pendek.
Agaknya ia pun merasa perlu untuk memegang sebuah
senjata yang tidak terlalu pendek dalam pertempuran
berkuda. Namun, meskipun demikian di dalam hati Sendang Papat
mulailah timbul keraguan. Ia terpengaruh benar oleh kata-
kata Wanamerta tentang adiknya. Karena itu selagi ia
sempat, ia mendorong kudanya ke arah Wanamerta, dan
dengan suara yang parau dan perlahan-lahan ia berkata,
"Apakah kita lebih baik meninggalkan lapangan ini, Kiai?"
"Demikianlah, untuk keselamatan adikmu. Ia membutuhkan perawatan," jawab Wanamerta.
"Baiklah," jawab Sendang Papat.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 19 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Tetapi sementara itu, Wanamerta memandang sekelilingnya dengan alis yang berkerut-kerut. Ia melihat
perubahan pada tata perkelahian lawannya.
Wanamerta tidak lagi melihat mereka bersiap untuk
menyerang satu demi satu atau berdua atau bertiga
sekalipun. Yang dilihatnya adalah orang-orang Pamingit itu
mulai membuat sebuah gelang, mengelilingi mereka
berdua. "Setan," desis Sendang Papat.
"Mereka mengepung kita," sahut Wanamerta.
Sendang Papat memutar kudanya untuk melihat keadaan
di sekelilingnya. Ia melihat sepuluh, bahkan lebih dari itu,
orang-orang berkuda di sekelilingnya. Sedang di tengah
lapang itu, ia melihat beberapa
ekor kuda tak berpenumpang. Dua tiga orang Pamingit terbaring diantara
beberapa orang Banyubiru yang terluka dan bahkan ada
yang terbunuh di tanah lapang itu. Suatu kekacauan yang
mengerikan.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi sementara itu, Wanamerta dan Sendang Papat
harus berpikir tentang diri mereka. Ketika mereka
melayangkan kembali pandangan mereka, mereka melihat
perlahan-lahan kuda-kuda yang mengepung itupun mulai
bergerak maju. Wanamerta adalah seorang tua yang berpengalaman
cukup. Karena itu segera ia mengetahui maksud orang-
orang Pamingit itu. Maka desisnya, "Sendang, jangan beri
kesempatan mereka bersama-sama menyerang. Kau lihat
kelemahan mereka?" Sendang menggeleng lemah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kita menyerang dari arah api. Aku harap mereka
terganggu oleh cahaya yang silau itu. Kita tembus dinding
yang bertentangan dengan arah cahaya. Secepat-cepatnya,
sebelum datang yang lain, mereka sempat membantu,"
kata Wanamerta setengah perintah.
Sendang Papat telah menangkap maksud orang tua itu.
Ia memuji didalam hatinya. Tetapi ia tidak sempat untuk
berkata apapun, sebab demikian Wanamerta selesai
berkata, demikian ia menarik kekang kudanya dan memacu
ke arah barat. Sendang Papat pun segera menyusul.
Pedangnya berkilau-kilau kemerah-merahan oleh cahaya api
yang sudah mulai berkurang. Namun cahayanya masih
cukup besar untuk menerangi seluruh tanah lapang itu.
Orang-orang Pamingit itu terkejut melihat kesigapan
Wanamerta dan Sendang Papat. Meskipun mereka sudah
mengira, bahwa kedua orang itu tidak akan mau menyerah
begitu saja, namun serangan mereka berdua yang tiba-tiba,
telah menyebabkan mereka kehilangan waktu beberapa
saat untuk menilai gerakan itu.
Demikianlah, Wanamerta telah mencapai dinding
kepungan itu, dengan membelakangi api yang menyala-
nyala. Setiap garis-garis yang tergores pada tubuh orang
Pamingit itu. Setiap gerakannyapun dapat diketahuinya.
Sebaliknya orang-orang itu hanya melihat bayangan hitam
seperti terbang menerkamnya. Mereka tidak dapat melihat
dengan jelas, gerakan-gerakan apakah yang sudah
dilakukan oleh dua hantu yang seakan-akan meloncat dari
tengah-tengah itu. Karena itu mereka menjadi gugup.
Tetapi sesaat kemudian, kawan-kawan merekapun
menjadi sadar. Mereka akhirnya mengetahui juga, bahwa
Wanamerta telah mengambil keuntungan dari cahaya api
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang silau itu. Dengan demikian segera merekapun
bergerak maju mengejarnya.
Ternyata perhitungan Wanamerta adalah tepat. Ia dapat
mencapai dinding kepungan sebelum lawan-lawan mereka
yang lain sempat membantu. Dengan telapaknya Wanamerta menyerang orang yang menghadang di
hadapannya. Meskipun kemudian orang dikanan kirinya
merapat, namun cahaya yang silau telah membuat untung
Wanamerta dan Sendang Papat. Perkelahian yang terjadi
kemudian tidak berlangsung lama. Mereka tidak dapat
menahan kedua orang itu untuk menerobos kepungan
mereka. Dengan demikian akhirnya Wanamerta berhasil
keluar dari lingkaran maut itu bersama-sama dengan
Sendang Papat. Tetapi Wanamerta kemudian tidak mau
disilaukan oleh api yang memberinya keuntungan, apabila
ia harus melawan pengejarnya. Karena itu segera ia
membelokkan arah kudanya ke kanan.
Tetapi orang-orang Pamingit itu telah mendapatkan
kesadaran mereka. Sebagian dari mereka segera menyusul,
dan sebagian lagi memotong jalan. Tetapi Wanamerta dan
Sendang Papat telah melepaskan diri dari kepungan.
Mereka dapat menghadapi lawan mereka dari satu arah.
Meskipun demikian lawan mereka terlalu banyak. Sehingga
kemudian ternyata bahwa Wanamerta dan Sendang Papat
pun terdesak. Menghadapi keadaan yang demikian, kedua
orang Banyubiru yang gemblengan itu malahan telah
membulatkan tekad untuk melawan sampai kesempatan
terakhir. Dalam pada itu, ketika mereka sedang berkelahi mati-
matian, tiba-tiba terdengarlah suara-suara anak muda
tertawa. Disusul oleh sebuah aba dari antara mereka,
"Ayolah, kita mulai."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Yang berada di tanah lapang itu kemudian dikejutkan
oleh munculnya empat ekor kuda dari sudut tanah lapang
itu. Kemudian seekor lagi ditunggangi oleh seorang anak
muda yang tampan, bertubuh tegap dan berdada bidang.
Agaknya anak muda yang terakhir itulah yang telah
mengucapkan aba-aba. Sedang keempat anak muda yang
lain itupun langsung menerjunkan diri ke kancah
pertempuran. "Ayolah Kiai," teriak salah seeorang diantaranya, "Aku
berada di pihak Kiai dan Paman Sendang Papat."
Wanamerta heran melihat kedatangan mereka. Demikian
juga Sendang Papat. Wanamerta adalah orang Banyubiru
sejak Pangrantunan. Tetapi terhadap anak-anak muda itu ia
belum begitu mengenal. Sedang mula-mula Sendang Papat
pun agak ragu, siapakah yang telah datang tepat pada
saatnya membantu mereka berdua.
Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat belum sempat
bertanya tentang mereka. Pertempuran itu menjadi kian
sengit. Keempat anak muda itupun berkelahi dengan tekad
yang menyala-nyala. Dengan demikian pekerjaan Sendang
Papat dan Wanamerta menjadi berkurang. Lawan-lawan
mereka setidak-tidaknya telah berkurang dengan empat
orang, yang harus melayani keempat anak muda yang
bertempur dengan tenaga yang penuh. Namun agaknya
keempat anak muda itu masih kurang pengalaman,
sehingga meskipun mereka bertempur mati-matian, tetapi
ternyata bahwa mereka tidak lebih dari setiap orang dari
laskar Pamingit itu. Sehingga dengan demikian, pertempuran itupun hampir tak terpengaruh oleh kehadiran
keempat orang itu. Meskipun demikian, kesempatan untuk
menjaga diri bagi Wanamerta dan Sendang Papat adalah
jauh lebih besar dari semula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka semakin lama pertempuran itupun menjadi
semakin keras. Orang-orang Pamingit yang tidak segera
dapat menyelesaikan pekerjaan mereka itupun menjadi
marah dan bertempur semakin liar. Karena jumlah mereka
lebih banyak maka kemudian mereka pun berhasil sedikit
demi sedikit menguasai keadaan, sehingga pertempuran
itupun menjadi berat sebelah. Ternyata yang menjadi pusat
perhatian mereka adalah Wanamerta dan Sendang Papat.
Sedang terhadap keempat anak muda itu mereka hanya
sekedar memberikan perlawanan untuk menjaga mereka
supaya mereka tidak dapat langsung membantu Wanamerta
dan Sendang Papat. Dalam keadaan yang demikian itu, maka tiba-tiba
pemuda yang seorang lagi yang masih duduk diam di atas
punggung kudanya di tepi lapangan itu tertawa terbahak-
bahak. Suaranya itu sangatlah menarik perhatian. Baik
orang Pamingit maupun Wanamerta dan Sendang Papat.
Bahkan kawan kawannyapun menoleh kepadanya.
"Permainan yang jelek," katanya. "Tidakkah kalian dapat
berkelahi lebih baik?"
"Apakah yang jelek"," jawab salah seorang temannya.
"Kalian hanya mampu berputar putar seorang penari
jathilan diatas kuda kepang," jawab anak muda itu....
Kawan-Kawan anak muda itu tak ada yang menjawab.
Tetapi pertempuran masih berlangsung terus. Sehingga
kemudian terdengar ia berkata pula, "Kiai Wanamerta dan
Paman Sendang Papat pun agaknya sudah terlalu payah.
Tetapi cara-cara yang dipergunakan, serta gerak-gerak
yang bersumber pada Paman Mahesa Jenar agaknya cukup
menarik." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta dan Sendang Papat sekali lagi terkejut bukan
main. Kenapa anak muda itu mengetahui beberapa unsur
gerak yang dipelajarinya dari Mahesa Jenar"
Kemudian terdengarlah anak muda yang gagah tampan
itu meneruskan, "Tetapi sayang, bahwa Paman Sendang
Papat kurang berhasil mengambil keuntungan dari
gabungan ilmu Ki Ageng Supit Wanakerta dengan ilmu dari
perguruan Pengging."
Sendang Papat menjadi semakin heran. Ia belum pernah
mengenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta. Sedang yang
dikenalnya hanya Wanamerta. Tiba-tiba ia tidak dapat
menunda keinginannya untuk mengetahui serba sedikit
tentang anak muda itu, sehingga sambil bertempur ia
berteriak, "Aku belum kenal Ki Ageng Supit dari
Wanakerta." "Kalau begitu..." jawab anak muda itu, "Kakang Sendang
pasti kenal salah seorang muridnya."
"Siapakah dia?" tanya Sendang Papat.
"Wiraraga atau Dalang Mantingan," jawab anak muda
itu. Kembali Sendang Papat keheranan. Ternyata anak muda
itu kenal pula kepada Ki Dalang Mantingan.
Sementara itu orang-orang Pamingit menjadi semakin
mendesak pula. Sehingga akhirnya Wanamerta dan
Sendang Papat benar-benar mengalami kesulitan. Dalam
keadaan yang demikian itulah tiba-tiba anak muda yang
masih berdiam diri di pinggir tanah lapang itu berkata
lantang, "Maafkan aku Kiai Wanamerta dan Kakang Paman
Papat kalau aku ikut campur pula dalam pertempuran ini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah selesai dengan kata-katanya, segera ia
mendorong kudanya untuk terjun ke dalam pertempuran.
Mula-mula orang Pamingit itu tidak banyak memperhatikannya. Mereka mengira bahwa anak muda itu
tidak terlalu jauh terpaut dari keempat kawannya. Tetapi
ketika anak muda itu telah benar-benar bertempur, ternyata
ia benar-benar mengejutkan. Dalam saat yang sangat
pendek, ternyata ia telah berhasil melemparkan dua orang
Pamingit dari kudanya. "Gila...!" teriak salah seorang yang terlempar itu dengan
penuh kemarahan. Punggungnya terasa betapa sakit,
sedang bajunya tersobek lebih sekilan. Dengan mengumpat-umpat ia berusaha untuk mengejar kudanya
kembali dan dengan susah payah ia meloncat ke
punggungnya. Demikian pula kawannya yang seorang lagi.
Sambil memungut pedangnya ia berteriak, "Anak gila,
agaknya kaupun ingin menjadi bangkai seperti Wanamerta
dan Sendang Papat." Anak muda itu tertawa. Sedang tandangnya menjadi
semakin mengherankan. Ia menyerang seperti elang untuk
kemudian melingkar dan menyerang kembali. Ia tidak
pernah menghindari setiap serangan, dan bahkan dengan
tertawa nyaring ia melawan dua tiga orang sekaligus.
"Aneh," pikir Wanamerta dan Sendang Papat seperti
berjanji. Perhatian orang-orang Pamingit kemudian lebih
banyak tertuju kepadanya daripada Wanamerta dan
Sendang Papat. Apalagi mereka berduapun menjadi seolah-
olah penonton yang keheranan. Demikian juga keempat
kawan-kawannya. Anak muda itu, yang bertubuh tegap dan kekar dan
tampan, bertempur seperti anak bermain kejar-kejaran.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesungguhan.
Sayang bahwa cahaya api yang semakin pudar, tidak
memberi kesempatan kepada Wanamerta dan Sendang
Papat untuk mengenalnya dengan baik.
Dengan nada yang segar, anak muda itu berkata, "He,
kawan-kawan dari Pamingit. Kenapa kalian bersusah payah
mengejar-ngejar Kiai Wanamerta dan Kakang Sendang
Papat, sedang orang-orang yang bersalah tidak kau
tangkapi?" "Siapa yang bersalah itu?" teriak orang-orang Pamingit
dengan marah. "Sontani dan orang-orangnya," jawab anak muda itu.
"Omong kosong," bentak orang Pamingit yang lain sambil
memutar pedangnya menyambar punggung anak itu.
Dengan enaknya anak muda itu mengelak tanpa
berkisar. Tetapi kemudian dengan satu gerakan yang
sederhana ia telah berhasil memukul dengan tangannya.
Ya, dengan tangannya, pergelangan tangan orang yang
menyerangnya, sehingga terdengar ia mengaduh perlahan,
dan pedangnya terpelanting jatuh di tanah. Orang itu
menggeram marah, tetapi ia memacu kudanya menjauhi
anak muda itu, sebelum ia berhasil mendapatkan sebilah
pedang yang lain yang dipungutnya dari seorang kawannya
yang telah terbaring di tanah.
Anak muda itu masih bertempur dengan lincahnya.
Wanamerta dan Sendang Papat, seolah-olah terbebas sama
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali dari perkelahian itu. Mereka kini tinggal menghadapi
seorang-seorang. Sedang yang lain lebih banyak mencari
perhatian untuk menjatuhkan pemuda itu lebih dahulu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan tertawa anak muda itu kemudian terdengar
berkata, "He, kawan-kawan Pamingit. Demikianlah kira-kira
yang akan kalian alami, kalau kalian pada suatu saat
terpaksa bertempur melawan Arya Salaka."
"Arya Salaka...?" u;ang salah seorang dari padanya,
sedangkan dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat
tertarik pula pada kata-kata itu.
"Ya, Arya Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi.
Aku hanya menirukan beberapa bagian dari ilmunya," anak
muda itu melanjutkan. Tak ada yang terdengar menjawab perkataannya. Tetapi
orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin marah.
Namun mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak akan mampu melawan anak muda itu bersama-sama
dengan Wanamerta, Sendang Papat dan keempat anak-
anak muda yang lain, yang menganggap perkelahian itu
seperti permainan saja. "Arya Salaka dapat memukul hancur kepala kuda yang
kalian naiki hanya dengan tangannya." Anak muda itu
meneruskan. Dan tiba-tiba ia menyambar salah seorang
lawannya, dan dengan gerak yang mengejutkan ia
menghantam kepala kuda itu. Terdengarlah suara ledakan
disusul dengan teriakan-teriakan anak-anak muda yang lain,
seperti mereka melihat kawannya menang bertaruh. Kuda
itu menggeliat dan memekik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh
berguling untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir
darah bercampur otak yang menghambur-hambur. Orang
yang semula melekat di punggung kuda itu, juga
terbanting. Seperti orang lumpuh ia menyaksikan kepala
kudanya pecah. Tubuhnya terasa gemetar dan seolah-olah
segala persendian tubuhnya terlepas satu sama lain.
"Hebat..., hebat...." teriak kawan-kawannya. Tetapi
orang-orang Pamingit menjadi pucat karenanya.
"Hebat...." desis Wanamerta dan Sendang Papat
perlahan-lahan. Anak muda itu memutar kudanya sekali. Dan orang-
orang Pamingit mulai menjauhinya.
"Lihatlah kepala kuda itu," katanya. Wajahnya yang
cerah itu beredar berkeliling.
"Nah, siapa yang ingin kepalanya sendiri aku pecahkan
seperti kepala kuda itu?" katanya pula.
Tak seorangpun terdengar menjawab. Orang-orang
Pamingit itupun telah berhenti menyerang dengan kuda-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kuda mereka, tegak beberapa langkah berkeliling, seperti
hendak mengepung anak muda itu. Namun tak seorangpun
berani mendekati. "Nah, ketahuilah bahwa Arya Salaka pun mampu berbuat
demikian," katanya. "Tetapi itu tidak mengherankan." Tiba-tiba salah seorang
dari orang-orang Pamingit itu berkata. Mata anak muda
itupun menjadi redup. Dengan sudut matanya ia
memandang orang Pamingit itu.
"Kau tidak heran...?" Ia tanya.
Ternyata orang Pamingit itu menjadi gemetar. Tetapi ia
malu untuk menunjukkan perasaan takutnya. Meskipun
terbata-bata ia menjawab, "Sawung Sariti pun mampu
melakukan. Ia memiliki aji Lebur Sekethi."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
"Hebat. Memang, Lebur Sekethi pun hebat pula. Sehebat
Sasra Birawa dan Cundha Manik dari Gunungkidul. Tetapi
ilmu semacam itupun mengenal tingkatan pula. Sawung
Sariti menekuni ilmunya sambil makan dan minum seenak-
enaknya. Kalau ia lelah, ia dapat berbaring di tempat
pembarian yang empuk dan baik. Tetapi tidak dengan Arya
Salaka." Anak muda itu berhenti sambil menarik nafas. Ia
menunggu kalau-kalau ada yang mencoba menjawabnya.
Namun orang-orang Pamingit itu menjadi seperti orang-
orang terinjak. Diam. "Dengarlah..." katanya kemudian, "Sawung Sariti berlatih
di dalam pendapa yang terlindung dari terik matahari.
Beberapa orang mengipasinya kalau keringatnya mulai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengalir. Dengan tergesa-gesa gadis-gadis menyediakan air
hangat bila ia haus. Dan apa yang terjadi dengan Arya Salaka"
Ia mesu diri sejadi-jadinya dalam masa pembajaan.
Apabila siang, ia berlatih di terik panas matahari. Apabila
malam ia berlatih dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah,
ia membaringkan dirinya, beralas rumput, berselimut langit.
Kalau ia haus, minumlah ia air hangat yang baru memancar
dari sumbernya. Sedangkan kalau ia lapar, dengan
sabarnya ia menunggui perapian dimana ia merebus jagung
atau ketela pohon. Disamping itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja
keras. Ia mencangkul diantara para petani. Berjuang
melawan ombak dan taupan diantara para nelayan.
Nah, katakan sekarang hai orang-orang Pamingit.
Siapakah yang kira-kira akan lebih kuat dan masak
menguasai ilmunya. Arya Salaka atau Sawung Sariti?"
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 11 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Iblis Sungai Telaga 16
Tak seorang pun beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi
mereka yang sejak semula merasa terganggu oleh
kehadiran Wanamerta, menjadi semakin tersinggung oleh
kata-kata ejekan itu. Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang
Banyubiru itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan, "Kenapa kalian memandang aku seperti
memandang hantu" Adakah kalian tidak mengenal aku
lagi?" Masih belum terdengar suara dari antara mereka.
"He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah," sambung
Wanamerta. Yang disebut namanya menjadi semakin bingung.
Mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara
yang berat dan parau, "Kiai, apakah yang sebenarnya akan
Kiai lakukan di sini?"
Pandang Wanamerta segera beredar ke arah suara itu.
Suara yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh
jangkung, berkumis pendek seperti lalat yang hinggap di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bawah hidungnya, dengan bibir yang tebal dan hidung yang
melengkung seperti paruh burung.
"Ha, kau itu agaknya Sontani?" tanya Wanamerta.
"Ya, akulah," sahut orang jangkung itu. Matanya
memancarkan perasaan yang kurang senang atas kehadiran
Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat
hadiah pangkat dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban
untuk mengamankan daerahnya.
"Ah, hampir aku tak mengenalmu lagi," sambung
Wanamerta, "Kau sekarang nampak begitu gagah."
Sontani adalah seorang yang sombong. Yang merasa
dirinya mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang
lain. Karena itulah maka sudah sewajarnya kalau ia
diangkat menjadi bahu dan mengepalai pedukuhan Lemah
Abang. Juga terhadap Wanamerta, ia ingin menunjukkan
jabatannya, sebagai suatu kewajaran. "Kiai, aku berbicara
sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu jangan
Kiai merajuk seperti anak-anak."
Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran
kota Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang
tua yang saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak
mengesankan keheranannya, bahkan dengan tersenyum
Kiai Wanamerta menjawab, "Aku mengucapkan selamat
kepadamu Sontani. Tetapi lalu bagaimana dengan Kiai
Bakung?" "Huh," jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya,
"Orang tua yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik
mengeram saja di rumahnya. Tak ada yang dapat
dilakukan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia
tidak menjawab. Maka terdengarlah kembali suara Sontani, "Nah Kiai...
aku ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di
sini?" Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya, "Sudah aku
katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria."
"Bohong!" bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya
kemudian, "Telah sekian lamanya kau menghilang.
Sekarang tiba-tiba muncul seperti hantu bangkit dari
kuburnya." Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia kurang senang
mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana
tidak rusak karenanya. Maka iapun menjawab, "Sontani,
pertama, memang kedatanganku ini tertarik oleh suara
gamelan yang demikian hangatnya. Kedua, aku memang
sudah rindu kepada kampung halaman. Aku telah
memutuskan untuk pulang dan hidup diantara kalian seperti
sediakala." "Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke
Banyubiru," bantah Sontani.
"Kenapa?" sahut Wanamerta.
"Kau telah meninggalkan kampung halamanmu terlalu
lama. Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan
sepantasnya kau sekarang ditangkap dan diserahkan
kepada Ki A geng Lembu Sora," ancam Sontani.
"O...." jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan
kepalanya. "Ketahuilah Sontani, dan ketahuilah anak-
anakku rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang berhasrat
untuk kembali pulang kampung halaman, tetapi juga orang-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang lain seperti Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan
Sendang Parapat, Wiraga dan yang lain-lain. Bahkan,
dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda Arya Salaka pun akan
kembali ke Banyubiru."
Oleh karena itu, tiba-tiba terdengarlah gumam yang
merata di seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah
sedang terbang berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk
sesaat, namun yang kemudian menjadikan mereka
bertanya-tanya, kepada diri sendiri, kepada orang-orang
yang berdiri di sekitarnya, "Apakah berita itu benar...?"
Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-
katanya, "Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah
kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah pengalaman?"
Sebagian besar dari mereka yang berdiri di tanah lapang
itu, tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap
kebenaran dari berita itu. Maka kembali terdengar mereka
bergumam, "Mudah-mudahan berita itu benar."
Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar di
lapangan itu, terdengarlah suara Sontani lantang,
"Bohong...!" Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti.
Disusul dengan suara Sontani melanjutkan, "Apakah
keuntungan kita dengan kedatangan anak itu?"
"Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?" jawab
Wanamerta. "Tidak peduli anak siapa dia. Anak setan, hantu,
thethekan. Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru
mengalami bencana. Pada saat golongan hitam menyerang
daerah ini. Untunglah bahwa pada saat itu seluruh rakyat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru bangkit melawannya bersama-sama dengan
rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah tanah perdikan ini.
Sekarang anak itu akan kembali dan masih menyebut-
nyebut sebagai putra Ki A geng Gajah Sora."
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan
menjawab, Sontani sudah berteriak pula, "Ia masih merasa
berhak pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku
yakin bahwa kedatangannya hanya akan menambah
bencana saja. Setiap masa peralihan sama sekali tidak akan
menguntungkan. Kiai, katakan kepada anak itu, supaya ia
mengurungkan niatnya sebelum ia menyesal!"
Kata-kata Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa
orang, lebih-lebih yang sejak semula memandang kehadiran
Wanamerta itu sebagai bencana. Maka terdengarlah
seseorang berteriak, "Jangan tambah kesulitan kami dan
hal-hal yang tetek bengek. Biarlah kami hidup seperti apa
yang kami alami sekarang ini."
Mendengar teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi
menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri untuk
memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak
sepuas-puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak
itu terhalang, maka semakin bernafsulah mereka. Sehingga
suaranya sendiri tidak akan dapat didengar orang. Agaknya
kesempatan itupun dipergunakan sebaik-baiknya oleh
orang-orang yang tidak menghendaki kehadirannya. Maka
terdengarlah bersautan, "He, Wanamerta. Jangan bikin
ribut di tanah yang kau anggap tanah kelahiranmu ini."
Disusul oleh yang lain, "Kami tidak perlukan anak itu. Juga
tidak kami perlukan kau, Wanamerta."
Orang-orang yang semula mengharap kebenaran berita
tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pula. Apakah untungnya" Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya akan menambah keributan. Satu demi
satu merekapun terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang
semakin ribut. Bahkan akhirnya seorang berteriak, "Pergilah
kau Wanamerta, keledai tua yang tak tahu diri. Pergi....
Pergi...." Disaut oleh suara gemuruh, "Pergi.... Pergi....
Biarlah kami menikmati malam-malam yang indah ini tanpa
gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar Kiai
Wanamerta tergila-gila kepadamu." Terdengarlah kemudian
suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah
lapang itu. Sendang Papat dan Sendang Parapat yang berdiri di
bawah bayang-bayang yang gelap, hampir-hampir tak
dapat menguasai diri mereka. Peluh dingin mengalir di
segenap bagian tubuhnya. Tangan mereka sudah bergetar
di hulu keris mereka. Namun ketika mereka masih melihat
Kiai Wanamerta berdiri dengan tenangnya, merekapun
menahan diri mereka sekuat-kuatnya. Memang pada saat
itu Wanamerta masih berdiri tegak di tempatnya tanpa
bergerak. Ia memandang setiap wajah orang-orang
Banyubiru yang seakan-akan telah kehilangan akal itu.
Dibiarkannya mereka berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan. Teriakan-teriakan itupun semakin lama menjadi semakin
keras dan ribut. Tetapi mereka tak berbuat lain daripada
berteriak-teriak. Ketika mereka masih melihat Wanamerta
berdiri saja seperti patung, mereka menjadi heran. Dengan
demikian teriakan-teriakan itupun menjadi semakin berkurang. A palagi ketika mereka melihat ketenangan yang
membayang di wajah orang tua itu, seolah-oleh teriakan-
teriakan mereka itu seperti suara angin yang berdesir,
menyegarkan tubuhnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta mengamati keadaan secermat-cermatnya. Ia
berusaha untuk memperhitungkan waktu sebaik-baiknya.
Ketika suara teriakan-teriakan itu sudah susut, berkatalah ia
dengan lantangnya, "He, Nyi Gadung Sari kenapa kau
belum juga menari" Marilah kita menari bersama-sama.
Bukankah Wanamerta juga seorang penari yang baik" Lebih
baik dari kalian yang berada di tanah lapang ini?"
Suara Wanamerta itu benar-benar mengejutkan. Apalagi
Nyi Gadung Sari sendiri. Tetapi yang lebih terkejut adalah
mereka yang mengharapkan Wanamerta menjadi marah.
Dengan demikian mereka punya alasan untuk mengusirnya.
Tetapi ternyata orang tua itu sama sekali tidak marah.
"Saudara-saudaraku serta anak-anakku, bukankah aku
sudah berkata bahwa aku akan kembali ke kampung
halaman" Bukankah dengan demikian aku harus menyesuaikan diri dengan cara hidup kalian?"
Teriakan-teriakan dari orang-orang yang berdiri di tanah
lapang itu telah benar-benar berhenti. Ada diantaranya
yang sudah puas, ada yang karena suaranya telah menjadi
serak parau. Tetapi ada juga yang karena terkejut
mendengar kata-kata Wanamerta yang sama sekali tak
mereka duga sebelumnya. "Bukankah kalian menghendaki agar aku tidak mengganggu kalian?" tanya Wanamerta.
Sementara suasana menjadi hening. Namun sesaat
kemudian terdengar beberapa orang menjawab, "Ia benar,
jangan ganggu kami."
"Aku berjanji untuk tidak mengganggu kalian." Wanamerta meneruskan, "Bahkan aku ingin menyesuaikan
diri dengan kalian. Bukankah apa yang kalian lakukan itu
sangat menarik" Menari-nari menyanyi dan bergembira
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sepanjang hari. Bukankah dengan demikian kalian akan
awet muda?" Wanamerta diam sesaat. Maka kembali tanah
lapang itu ditelan kesepian. Yang terdengar hanyalah
tarikan nafas yang saling memburu. Ketika tak seorang pun
yang memotong kata-kata itu, Wanamerta meneruskan,
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inilah kelebihan kalian dari masa-masa lampau. Dari jaman
nenek moyang nenek moyang kita. Apa yang kalian lakukan
sekarang belum pernah terjadi di tanah perdikan ini sejak
masa tanah ini masih bernama Pangrantunan. Kita sekarang
tidak perlu bekerja keras, tidak perlu membanting tulang
untuk tanah kita yang sudah melimpah ruah ini. Sawah
ladang, parit-parit dan jalan-jalan. Begitu?"
Tanah lapang itu menjadi semakin sunyi. Namun dada
orang-orang Banyubiru menjadi semakin riuh. Benarkah
mereka sekarang tidak perlu lagi bekerja keras" Benarkah
sawah ladang mereka telah melimpah ruah" Pertanyaan-
pertanyaan itu bergelora di setiap dada. Dan perlahan-lahan
mereka menggelengkan kepala mereka.
"Nah..." sambung Wanamerta, "Sekarang kita tidak usah
bersusah payah, berpikir tentang tetek bengek. Kita
sekarang tidak usah bersusah payah berpikir tentang
kesejahteraan kampung halaman lahir maupun batin.
Begitu?" Tak satu suara pun yang terdengar, sehingga
Wanamerta berkata terus, "Jadi bagaimana" Atau kita
memang menghendaki hal-hal seperti ini berlangsung
terus" Kita biarkan masjid-masjid, banjar-banjar desa dan
balai-balai kita menjadi sarang labah-labah dan runtuh
sedikit demi sedikit seperti keruntuhan akal kita..." Bagus-
bagus. Demikian agaknya yang kalian kehendaki. Mari, mari
anak-anakku. Marilah kita berpikir tentang diri kita sendiri.
Tidak perlu tentang tanah pusaka kita yang tercinta. Karena
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itulah maka aku sependapat dengan kalian. Menyabung
ayam di siang hari, judi, tuak dan tayub di malam hari
seperti sekarang ini. Hem...."
Wanamerta berhenti untuk menelan ludahnya. Wajahnya
telah basah oleh peluh yang mengalir dari keningnya. Kata-
katanya seakan-akan menghunjam ke dalam dada orang-
orang Banyu Biru yang berdiri tegak berhimpit-himpitan di
sekitarnya. Ketika tak seorang pun menjawab ia
meneruskan lagi, "Dan sekarang semua itu ada pada kita.
Menyabung ayam, judi, perempuan, dan apalagi...?"
Kata-kata itu tajamnya seperti sembilu. Mereka yang
semula terseret oleh arus kebencian kepada orang tua itu,
sekali lagi menundukkan wajah mereka. Mereka menjadi
sangat malu kepada diri sendiri. Seterusnya Wanamerta
berkata, "Nah, sekarang kalian boleh memilih. Tenggelam
dalam lumpur kemaksiatan atau tegak kembali lewat jalan
kebenaran. Atau kita menunggu masanya kita menjadi
hancur dengan sendirinya, kemudian orang-orang dari
kalangan hitam akan menari-nari di atas bangkai kita
bersama. Sadar atau tidak sadar apa yang kalian lakukan
adalah sangat menguntungkan dan mempercepat keruntuhan kita. Lahir dan batin. Sekarang kita dapat
tertawa, menari dan menyanyi. Tetapi besok kita akan mati
dengan bau tuak menghambur dari mulut kita. Dan kita
telah kehilangan jalan untuk menghadap kembali kepada
Tuhan kita." Tanah lapang itu benar-benar seperti padang luas yang
kosong. Sepi hening. Yang terdengar kemudian adalah
Wanamerta kembali, "Sekarang kalian tinggal memilih. Aku
berada di pihak kalian. Dan apakah kalian pernah melihat
wayang" Apakah kalian pernah mendengar ceritera
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Baratayuda" Pada saat Pendawa menuntut haknya kembali
dari para Kurawa...?"
Juga tidak seorangpun yang memotong kata-kata
Wanamerta, sehingga ia dapat meneruskan, "Dalam ceritera
pewayangan, wayang beber atau wayang kulit, diceriterakan bahwa akhir dari Baratayuda itu, yang sayang
tidak memuaskan kita semua. Kenapa akhir dari Baratayuda
itu menunjukkan kemenangan pihak Pendawa" Tidak
Kurawa?" Wanamerta melihat kegelisahan rakyat Banyubiru
yang berdiri mengelilinginya. Pada wajah-wajah mereka
tampak ketegangan yang mencekam. Tetapi masih belum
seorang yang berkata sepatah katapun. Yang terdengar
kemudian adalah suara Wanamerta kembali, "Nah, baiklah
lain kali kita mengadakan pertunjukan wayang tujuh hari
tujuh malam. Sejak Kresna Duta sampai Karna Tanding, lalu
seterusnya kita ubah, Arjuna lah yang mati oleh Adipati
Karna dari Awangga. Dan seterusnya berturut-turut
habislah Pandawa setelah para putra gugur lebih dahulu.
Juga Parikesit kita bunuh."
Meskipun Wanamerta bercakap terus, namun perhatiannya tidak terlepas dari setiap wajah yang dengan
tenang dan gelisah mendengar kata-katanya. Ceritera
wayang, apalagi Baratayuda dianggap keramat oleh
penduduk Banyubiru. Tiba-tiba secara tepat Wanamerta
mengungkapkan sindirannya dengan mempergunakan
ceritera itu. Sehingga tiba-tiba terdengarlah seseorang
berkata, meskipun perlahan-lahan, "Tidak bisa Kiai,
Baratayuda tidak bisa diubah demikian."
Wanamerta pura-pura terkejut mendengar perkataan itu.
Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab, "Kenapa
tidak bisa" Bukankah Prabu Astina, Prabu Kurapati dapat
memberi kepada rakyatnya keleluasaan seperti yang kita
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kehendaki. Sabung ayam, judi, tayub, tuak dan sebagainya,
sedang orang-orang Pendawa sepanjang hidupnya hanya
prihatin saja?" "Tidak, Kiai," terdengar suara yang lain, "Kita tidak
menghendaki demikian. Kita tidak menghendaki seperti
orang-orang Astina di Banyubiru."
"He...?" kembali Wanamerta pura-pura terkejut. "Apakah
yang kau katakan?" "Kami tidak menghendaki hal itu terjadi di Banyubiru,"
ulang suara itu. "Yang mana tidak kau kehendaki" Bukankah raja Astina
Ratu Gung Binatara, Raja yang kaya" Bukankah adinda
baginda yang berjumlah 99 orang itu semuanya pandai
berjudi, tayub dan tuak" Bukankah di Astina ada seorang
pendeta yang putus saliring ilmu, agal alus, yang kasat
mata, yang tidak kasatmata" Yang bernama Dorna?"
"Tidak... tidak..." terdengar beberapa orang memotong
kata-kata Wanamerta, "Kami tidak menghendaki itu."
"Itu yang mana...?" Wanamerta memancing ketegasan
mereka. "Judi. Kami tidak mau judi," jawab yang lain.
"O, hanya itu saja?" desak Wanamerta.
"Tidak. Tidak hanya itu. Kami tidak mau tuak," jawab
beberapa suara berbareng.
"Judi dan tuak itu saja?" Wanamerta merasa bahwa ia
hampir mencapai maksudnya.
Dan ada yang didengarnya kemudian sangat menyenangkannya. Orang-orang Banyubiru itu kemudian
berteriak, "Tidak. Kami tidak mau judi, tuak, tayub dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sabung ayam. Kami bukan orang-orang Astina. Kami adalah
orang-orang Banyubiru."
"Tunggu dulu," potong Wanamerta, "Bukankah putra-
putra Astina berada dalam asuhan Maha Pendeta Dorna
yang bijaksana, yang dapat memberikan kepada mereka
kenikmatan jasmaniah, rohaniah dalam kekuasaan mereka
atas Astina?" "Kami tidak mau pendeta itu. Kami tidak mau orang
semacam Dorna." Terdengar mereka berteriak-teriak,
"Pendeta degleng, pendeta bermulut ular."
"Jadi bagaimana seterusnya" Bagaimana dengan akhir
dari Baratayuda itu?" tanya Wanamerta.
"Prabu Kurupati terbunuh. Semua adik-adik terbunuh.
Pendeta Dorna mati di tangan Drestajumena yang berhasil
memancung lehernya," sahut mereka bersama.
"Tetapi dengan demikian masyarakat yang kita cita-
citakan. Jadi, kemenangan Pendawa berarti kemenangan
keprihatinan dari kemenangan lahiriah, tetapi juga berarti
kemenangan dari jiwa rohaniah yang tawakal, percaya
kepada keadilan Yang Maha Pencipta. Dengan demikian kita
tidak akan dapat membayangkan masyarakat seperti
masarakat kita malam ini. Tetapi masyarakat yang bekerja
keras menuju tata kehidupan yang tenteram damai tata
tentrem karta raharja, gemah ripah lohjinawi".
Semua terdiam. Hening. Sepi. Seandainya sepotong lidi
jatuh di tengah lapang itu, suaranya pasti akan sangat
mengejutkan. Angin malam yang lembut mengusap wajah-
wajah yang terbanting-banting.
Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar suara
Wanamerta gemuruh seperti guruh yang membelah langit-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
langit lapis, "Hei rakyat Banyubiru, katakan kepadaku
sekarang, adakah kalian masih tetap pada pendirian kalian"
Supaya aku membiarkan kalian hanyut dalam arus
kesenangan lahiriah, yang berpangkal melulu pada nafsu
yang tak terkendali seperti sekarang ini?" Tak ada suara
yang terdengar. Karena itu Wanamerta meneruskan,
"Jawablah pertanyaanku. Adakah kalian masih akan
meneruskan cara hidup kalian sekarang ini" Judi, tuak,
tayub dan berkelahi sesama kita karena kita sudah
mabuk...?" Mula-mula yang terdengar hanyalah suara-suara bergumam. Namun kemudian terdengarlah suara mereka
saur manuk, "Tidak...tidak... tidak...." Wanamerta kemudian
meneruskan, "Nah, dengarlah baik-baik. Aku ingin bertanya
sekali lagi, apakah cara hirup kita ini akan kita akhiri?"
"Ya, Kiai, ya, ya, kita akhiri sampai di sini," sahut mereka
berebut keras. "Bagus. Itulah yang aku harapkan. Rakyat Banyubiru
yang sejati. Kalian harus melupakan racun yang dengan
perlahan-lahan membunuh kalian, membunuh semangat
kalian, sehingga kalian lupa pada masyarakat yang kalian
cita-citakan, lupa kepada kampung halaman, lupa kepada
pribadi kalian. Nah, dengarlah baik-baik. Arya Salaka itu
akan datang. Benar-benar akan datang."
Tiba-tiba meledaklah suara mereka gemuruh. "Kita
sambut anak muda itu diantara kita. Kita sudah sampai
pada ceritera Lahirnya Parikesit. Dan Parikesit itu akan
datang membebaskan kita."
Teriakan-teriakan yang gemuruh itu mengumandang
sampai beberapa saat. Tiba-tiba diantara suara gemuruh itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terdengar sebuah teriakan, "Belum. Kita belum sampai ke
sana. Kita masih harus menyelesaikan Baratayuda dahulu."
"Marilah kita tuntut hak kita, hak atas tanah dan
kampung halaman sendiri," teriak yang lain.
Dalam keriuhan itu terdengarlah suara Sontani menggelegak menggetarkan tanah lapang itu, "Omong
kosong! Omong kosong semuanya. Apakah yang akan
kalian tuntut" Tak seorangpun merasa kehilangan hak atas
tanah ini sekarang."
Tiba-tiba suara riuh itu mereda. Karena itu Sontani
meneruskan, "Apakah yang hilang dari milik kalian. Tanah,
sawah, halaman dan rumah kalian. Bukankah barang-
barang itu masih tetap di tanganmu. Dan bukankah tak ada
seorangpun yang merampasnya?"
Suara riuh itu kini menjadi diam. Memang mereka yang
berdiri di tanah lapang itu masih memiliki tanah mereka,
sawah mereka dan rumah mereka. Tetapi kemudian
terdengarlah suara Wanamerta tenang, "Kau benar Sontani,
tetapi aku dan kalian harus membayar upeti lebih dari dua
kali lipat dari upeti yang harus kalian bayar dulu."
"Benar, benar...." Kembali mereka berteriak-teriak.
Muka Sontani menjadi merah padam. Ia merasa
terdesak. Tetapi ia tidak akan membiarkan keributan itu
terjadi. Kalau rakyat Banyubiru itu menerima Arya Salaka,
belum pasti ia akan tetap menjabat pangkatnya yang
sekarang. Ia tidak peduli apakah dengan demikian ia
berkhianat atau tidak. Yang penting ia menjadi kepala
pedukuhan Lemah Abang. Karena itu Sontani harus
berusaha keras untuk melawan Wanamerta. "Upeti adalah
kewajiban setiap tanah perdikan untuk membiayai
tanahnya. Kalau upeti tanah ini terpaksa berlipat dua, itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
adalah karena kebutuhan-kebutuhan kamipun meningkat
pula," katanya. Wanamerta tersenyum, jawabnya, "Apakah yang pernah
dihasilkan oleh upeti itu" Adakah kau dapat membangun
rumah-rumah pendidikan" Banjar-banjar desa..." Bukankah
selama ini tak satu pun rumah baru berdiri di Banyubiru"
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang sudah adapun tak terpelihara lagi. Bahkan tempat-
tempat ibadahpun tidak ada. Dan bukankah upeti itu
mengalir ke Pamingit?"
"Benar, benar....!" Teriakan itu semakin mengumandang.
Sontani tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ia melompat
menembus lingkaran manusia yang berdiri di sekeliling
Wanamerta, sambil berteriak, "Persetan dengan sesorahmu.
Kau hanya akan mengacau saja di sini. Pergi atau aku
tangkap kau." Wanamerta masih tegak di tempatnya seperti tugu.
Dengan masih setenang tadi ia menjawab, "Jangan marah
Sontani. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa" Bukankah
semula akupun telah mengatakan semuanya itu" Bahkan
semula akupun telah mengatakan bahwa aku berada di
pihak kalian, apapun yang kalian kehendaki. Dan sekarang
kalian menghendaki meletakkan segala sesuatunya pada
tempat-tempat yang sewajarnya, yang seharusnya. Tidak
lebih dan tidak kurang. Bukan judi, tuak, nafsu dan
kekuasaan. Inilah suatu usaha untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya."
"Jangan berkicau, menco tua. Aku perintahkan kau
meninggalkan tempat ini sebelum aku sumbat mulutmu
dengan tanganku." Sontani sudah tidak dapat menyabarkan
diri lagi. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Jangan Sontani," jawab Wanamerta masih setenang
tadi, "Akibatnya tidak akan menjadi lebih baik."
Tetapi Sontani telah kehilangan akalnya. Ia melangkah
semakin dekat. Wajahnya yang keras dan matanya yang
hitam kelam, menunjukkan betapa kerasnya hatinya.
Sementara itu Sendang Papat dan Sendang Parapat telah
meninggalkan tempat mereka. Dengan tanpa menarik
perhatian, mereka telah berada diantara rakyat Banyubiru
yang berdesak-desakan itu. Mereka melihat betapa Sontani
dengan marah menghampiri Wanamerta. Tetapi karena
Sontani agaknya seorang diri, maka Sendang Papat dan
Sendang Parapat pun menyabarkan diri mereka dan melihat
saja apa yang akan terjadi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Wanamerta..." kata Sontani dengan suara yang bergetar
oleh kemarahannya. "Jangan menjawab pertanyaanku.
Tetapi kau hanya bisa melaksanakan. Tinggalkan tempat
ini." Wanamerta masih belum bergerak. Tetapi orang-orang
yang berdiri melingkar itu menjadi cemas. Sontani adalah
seorang yang benar-benar keras hati. Ia benar-benar dapat
melakukan apa saja yang ia katakan. Tetapi Wanamerta
belum juga beranjak dari tempatnya. Maka ketika ia melihat
Sontani semakin dekat di hadapannya, ia mencoba untuk
sekali lagi menjawab. Tetapi demikian Wanamerta
menggerakkan mulutnya, Sontani sudah membentaknya,
"Jangan menjawab dengan kata-kata, pergi!" Wanamerta
memandanginya dengan seksama. Dari ujung rambutnya
sampai ke ujung kakinya. Maka ketika ia sudah mendapat
ketetapan hati, sengaja ia berkata, "Kenapa tidak boleh?"
Sontani telah benar-benar marah. Ketika ia mendengar
Wanamerta masih berkata lagi, ia tidak dapat mengendalikan dirinya. Dengan satu loncatan ia telah
berhasil menangkap baju Wanamerta dan mengguncangnya
sambil membentak, "Jangan menjawab. Kau hanya bisa
pergi dari sini." Gerakan Sontani itu tiba-tiba telah menggerakkan semua
orang yang berdiri di sekeliling mereka berdua. Tiba-tiba
mereka menjadi sedemikian benci terhadapnya. Terhadap
orang yang gila pangkat dan gila hormat itu. Ketika Sontani
sekali lagi mengguncang baju Wanamerta, terdengarlah
sebuah teriakan, "Lepaskan dia Sontani, lepaskan."
Sontani melirik ke arah suara itu. Namun ia tidak mau
mendengarkan. Sehingga tiba-tiba dari arah lain terdengar
pula suara, "Sontani, jangan main kekerasan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Diam kalian!" bentak Sontani, "Aku dapat berbuat apa
yang aku kehandaki. Jangan turut campur."
"Jangan keras kepala Sontani." Terdengar suara yang
lain, "Supaya kami tidak berkeras kepala pula."
Sontani menjadi gemetar. Tetapi suara-suara itu terus
saling menyusul. "Lepaskan dia..... Lepaskan dia.... Atau
kami harus melepaskannya?" Disusul pula dengan suara-
suara yang mulai bernada kemarahan. "Pergi kau Sontani.
Pergi kau. Atau kami harus memaksa?"
Tetapi diantara teriakan-teriakan itu terdengar pula jerit
pengikut-pengikut Sontani, "Hantam dia. Hantam kambing
tua itu." Sontani melihat pengikut-pengikutnya. Dengan demikian
ia menjadi semakin sombong. Sekali lagi ia menggoncang-
goncangkan baju Wanamerta itu sambil menggeram, "Babi
tua, jangan banyak tingkah."
Pada saat itulah maka keadaan hampir tak dapat dikuasai
lagi. Kedua belah pihak hampir saja bertindak, dan apabila
demikian, di tanah lapang itu akan terjadi medan
pertempuran kecil-kecilan. Tetapi, tiba-tiba Wanamerta
berteriak tanpa memperdulikan Sontani, "He, orang-orang
Banyubiru. Sadarlah pada diri kalian masing-masing. Jangan
dibiarkan perasaan kalian menjerat kalian ke dalam suatu
perbuatan yang tolol."
Teriakan Wanamerta itu ternyata berpengaruh juga.
Beberapa orang mengurungkan niatnya dan memandangnya dengan heran. Sementara itu, orang tua
yang telah dipenuhi oleh pengalaman dalam pemerintahan
dan pengendalian terhadap orang-orang Banyubiru itu
memandang Sontani langsung ke dalam matanya. Mata
yang memancarkan kemarahan, ketamakan dan nafsu yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tak habis-habisnya. Ketika Sontani melihat mata orang tua
itu, ia terkejut. Seolah-olah dari dalam mata itu
memancarkan pengaruh yang aneh. Sehingga tiba-tiba
Sontani membuang matanya ke arah orang-orang
Banyubiru yang berdiri, dengan tenang, namun masing-
masing telah bersiap untuk memukul dan berkelahi.
"Lepaskan Sontani," kata Wanamerta lirih. Lirih saja.
Tetapi bagi Sontani terdengar seperti guruh yang meledak
di atas kepalanya. Ia mencoba untuk melawan pengaruh
kata-kata itu dengan menggenggam baju itu lebih erat dan
mencoba menarik Wanamerta ke dadanya, namun
Wanamerta itu menjadi seperti tugu yang tegak dan tak
tergerakkan. Bahkan sekali lagi ia berkata lirih, "Lepaskan
Sontani, lepaskan." Tangan Sontani bergetar. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia
melepaskan tangannya perlahan-lahan. Ia tidak dapat
melawan pengaruh perbawa orang tua yang dahulu sangat
dihormatinya itu. Tetapi demikian tangannya terlepas,
demikian ia sadar, bahwa Bahu Lemah Abang akan lepas
dari tangannya apabila Arya Salaka benar-benar akan
datang. Karena itu, didorong pula oleh kesombongannya,
serta untuk menutupi kelemahannya, ia berteriak, "Aku
lepaskan kau kelinci tua, tetapi pergilah dari sini."
Wanamerta tidak mendengarkan lagi kata-kata itu, tetapi
ia berkata kepada orang-orang Banyubiru, "Apa yang kalian
lakukan" Aku lihat kalian akan berkelahi satu sama lain".
Mereka yang membenarkan kata-kata sebagian besar dari
kalian, melawan mereka yang berpihak kepada Sontani.
Kenapa kalian..." Bukankah kalian sama-sama orang
Banyubiru" Aku berterima kasih kepada kalian yang
berusaha untuk menyelamatkan aku. Aku tahu itu. Dan aku
berbangga pula melihat pengikut-pengikut Sontani yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berani, meskipun jumlah mereka tidak sebanyak yang lain.
Tetapi aku sedih melihat pertentangan kalian. Aku sedih
melihat kalian akan bertempur satu sama lain, sesama
orang Banyubiru." Keadaan menjadi hening. Tetapi orang-orang yang
mendengar kata-kata itu menjadi bingung. Mereka sama
sekali tidak tahu maksud perkataan itu. Bagaimanakah
seharusnya mereka berbuat" Bukankah mereka harus
merebut hak atas tanah ini" Tetapi mereka tidak boleh
berbuat apa-apa. Wanamerta melihat keragu-raguan itu. Karena itu ia
menjelaskan, "Anak-anakku, jangan berbuat sendiri-sendiri.
Hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan. Tidak
bagiku dan tidak bagi Sontani. Yang harus kalian lakukan
hanyalah menempa tekad untuk melebarluaskan berita itu.
Kalian hanya akan menyambut kedatangannya dua tiga hari
lagi di tanah ini dengan tombak Kyai Bancak di tangannya.
Pembicaraan seterusnya biarlah dilakukan oleh yang berhak
membicarakannya. Yaitu Arya Salaka dan yang mengembaninya, yaitu Mahesa Jenar. Selebihnya tunggu
perintahnya." Wanamerta masih melihat keheranan terbayang di wajah
mereka. Keheranan seperti yang terbayang di wajah-wajah
laskar Banyubiru di Gedong Sanga ketika mendengar
keputusan Mahesa Jenar bahwa mereka masih harus
menunggu. Tetapi disamping itu Wanamerta merasa
berbangga bahwa ia dapat langsung berbicara dengan
mereka dan memberikan kepada mereka jalan lurus yang
harus mereka tempuh. Meskipun ia yakin bahwa apa yang
sudah dicapainya itu tidak boleh terlepas lagi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi sementara itu Sontani menjadi bermata gelap. Ia
tidak dapat mendengar, otaknya tak dapat menahannya.
Karena itu dengan suara yang mengguruh ia berkata,
"Wanamerta, baiklah kalau kau tidak mau pergi. Dan
baiklah kalau kau masih akan berteriak-teriak terus. Karena
aku sudah cukup memberi kau kesempatan, aku sekarang
terpaksa bertindak terhadapmu. Menyumbat mulutmu."
Wanamerta melihat mata Sontani telah menyala-nyala. Ia
tidak mungkin lagi menghindari bentrokan dengannya.
Tetapi ia tidak mau orang-orang Banyubiru terlibat ke
dalam bentrokan itu. Orang-orang yang sebenarnya tidak
banyak menentukan penyelesaian masalah hanya karena
berkelahi sesamanya. Karena itu ia menjawab, "Baiklah
Sontani. Kau ingin aku diam, tetapi aku ingin berbicara
terus. Kita berlawanan kehendak. Karena itu terserah apa
yang akan kau lakukan dan biarlah aku mencoba untuk
berbuat atas kehendakku pula. Tetapi satu hal yang akan
aku katakan kepada orang-orang Banyubiru dan termasuk
pengikut-pengikutmu. Tenaga mereka masih sangat
diperlukan buat masa depan. Buat ketentraman terakhir.
Karena itu kalau ada perbedaan pendapat diantara kau dan
aku, janganlah menyangkut mereka."
Sontani mendengar kata-kata itu. Ia sadar bahwa kata-
kata itu berarti suatu tantangan tanding seorang lawan
seorang. Ia menjadi bergembira, sebab iapun tahu bahwa
pengikutnya tidak sedemikian banyak berada di tanah
lapang itu. Maka ia menjawab lantang, "Suatu kehormatan
bagiku orang tua yang sombong. Dahulu aku mengagumimu. Tetapi waktu itu aku adalah seekor anak
ayam yang kagum melihat ayam jantan berkokok di atas
pagar. Tetapi sekarang tidak. Akulah ayam jantan itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta menarik nafas. Ia adalah seorang yang
mempunyai cukup pengalaman. Ia adalah emban kepala
daerah perdikan ini. Sejak masa pemerintahan Ki Ageng
Sora Dipayana, ia telah menjabatnya. Karena itu iapun
cukup tajam untuk menilai seseorang. Terhadap Sontani,
iapun dapat menilai pula dengan tepat. Ia tidak lebih dari
seorang yang besar kepala, sombong dan keras hati.
"Kau benar," jawab Wanamerta, "Kau adalah ayam
jantan itu. Hanya saja kau adalah ayam jantan yang
berkokok setelah matahari hampir terbenam."
Sontani menggeram. Sekali dua kali ia melihat
berkeliling. Tetapi ia tidak melihat Sendang Papat dan
Sendang Parapat yang tersenyum melihat kesombongannya. Dengan sombongnya seolah-olah berkata kepada rakyat
Banyubiru, "Inilah aku, Sontani Bahu dari Pedukuhan Tanah
Abang." Kemudian kepada Wanamerta ia berkata, "Wanamerta,
bukan salahku kalau kemudian tanganmu patah, atau
lehermu terpuntir. Sebab kau adalah orang tua yang tak
tahu diri." Wanamerta tersenyum. Senyum yang sangat
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjemukan bagi Sontani. Karena itu ia menggeram sekali
lagi dan berkata, "Bersedialah. Lihatlah bintang-bintang di
langit dengan seksama, barangkali ini untuk yang terakhir."
"Yang terakhir?" tanya Wanamerta heran.
"Ya, sebab ada suatu kemungkinan, bahwa dengan
tersentuh tanganku kau akan mati," jawab Sontani dengan
sombongnya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta mengangguk-angguk. Sontani benar-benar
sombong. Dan kesombongan itu menjengkelkan sekali.
Maka jawab Wanamerta, "Gemintang yang bercahaya-
cahaya itu. Jadi aku tidak akan memandangnya untuk yang
terakhir kalinya. Tetapi kalau kau yang mati, mungkin
karena pokalmu sendiri, kau akan berdiam menjadi ampas
Rawa Pening." Hati Sontani menjadi semakin menyala. Dan tiba-tiba
saja ia berteriak, "Jagalah mulutmu baik-baik Wanamerta,
sebab aku ingin sekali meremasmu."
Wanamerta segera bersiaga, dan dengan suatu loncatan
yang cepat, Sontani mulai menerjang. Beberapa orang yang
berdiri disekitarnya berdesakan mundur. Dada mereka
tergoncang. Sontani adalah seorang yang kasar dan keras
hati. Karena itu serangannya pun kasar pula. Beberapa
orang menjadi cemas apakah Wanamerta dapat menjaga
dirinya menghadapi Bahu Pedukuhan Lemah Abang yang
sedang gila untuk mempertahankan kedudukannya itu.
Wanamerta heran melihat serangan Sontani yang dapat
demikian cepat. Ia mengenal Sontani lima tahun yang lalu,
sebagai seorang yang selalu merasa tidak puas. Dan
sekarang orang itu berjuang untuk mempertahankan
kepuasan-kepuasan yang pernah dicapainya. Kepuasan-
kepuasan lahiriah yang tak berharga sama sekali.
Wanamerta segera menghindarkan diri dengan satu
gerakan yang sederhana. Dan itu menambah kemarahan
Sontani. Meskipun beberapa tahun yang lampau ia benar-
benar mengagumi orang tua itu, tetapi sementara ini ia
merasa bahwa ia telah bertambah dewasa dalam ilmu tata
perkelahian. Dengan gerakan-gerakan yang keras, ia
bertempur dengan penuh nafsu. Tangannya bergerak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berputar-putar, seolah-olah roda yang berputar-putar
hendak menggilas lumat orang tua yang memuakkan itu.
Mengalami serangan yang datang bertubi-tubi itu,
Wanamerta menarik dirinya beberapa langkah surut. Ia
baru dalam taraf mempelajari gerakan-gerakan lawannya
yang cukup cepat dan berbahaya itu. Tetapi Sontani yang
sedang marah itu tidak memberinya kesempatan. Sebagai
seekor harimau yang gila, ia meloncat menerkam,
menghantam, bertubi-tubi. Tetapi Wanamerta cukup
berpengalaman. Karena ia merasa lebih tua, maka ia
menjaga agar ia tidak kehabisan nafas di tengah jalan.
Karena itu ia bertempur dengan sangat menghemat tenaga.
Meskipun demikian, setiap gerakan Wanamerta cukup
memberi perlawanan yang gigih. Sehingga setelah
beberapa saat mereka bertempur, Sontani sama sekali tak
berhasil menyentuhnya. Karena itulah maka hatinya
menjadi semakin membara. Dengan demikian ia menjadi
semakin buas dan liar. Sontani mengerahkan segenap
tenaganya untuk secepatnya menghancurkan orang tua
yang akan menjadikan sebab hilangnya kekuasaan yang
sudah berada di tangannya atas pedukuhan Lemah Abang
yang subur di pinggiran kota Banyubiru itu. Menghadapi
serigala yang marah itu, Wanamerta harus berhati-hati
pula. Sebab segala gerakan Sontani selalu dilambari oleh
segenap kekuatannya. Dan ia adalah orang yang cukup
mempunyai tenaga. Hanya sayang bahwa tenaganya tidak
disalurkannya dengan tepat. Bahkan seperti terhambat tak
berarti. Tetapi meskipun demikian, apabila serangannya itu
dapat mengenai sasarannya, agaknya akan berbahaya juga.
Karena Wanamerta masih selalu menghindari serangan-
serangan Sontani, maka seolah-olah Wanamerta menjadi
terdesak. Rakyat yang berdiri di sekitar perkelahian itu
menjadi cemas, sebab mereka tidak tahu apa yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebenarnya terjadi. Bahkan Sontani pun berpendapat
demikian pula, meskipun ia hampir tidak sabar karena
serangan-serangannya tak pernah mengenai sasarannya.
Diantara para penonton itu tampak Sendang Papat dan
Sendang Parapat tersenyum-senyum. Lima tahun yang
lampau, memang agaknya Sendang Papat dan Sendang
Parapat itu tidak lebih dari Sontani. Tetapi setelah mereka
menggembleng diri di bawah asuhan Ki Dalang Mantingan,
Wirasaba, bahkan kemudian mereka itupun mendapat
petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar sendiri. Maka ia
melihat betapa lemahnya serangan-serangan Sontani.
Mereka dengan tersenyum melihat betapa Wanamerta
dengan sabarnya melayani permainan Sontani yang
menjemukan dan sama sekali tidak bermutu. Wanamerta
tidak ingin melihat keadaan semakin keruh. Agaknya
Wanamerta berusaha untuk mengalahkan Sontani tanpa
melukainya. Tetapi Sontani agaknya benar-benar orang yang tidak
berotak. Ia sama sekali tidak menyadari keadaan. Karena
itu ia malahan menjadi semakin berbesar hati dan
sombong. Bahkan kemudian ia berteriak-teriak, "Jangan
berlari-lari seperti kelinci menghadapi serigala, Wanamerta
yang malang. Agaknya kau telah terjerumus karena
kesombonganmu ke dalam sudut yang celaka. Tetapi
janganlah kau ingkar pada kejantananmu. Kepada
sesumbarmu yang seolah-olah membelah langit."
Wanamerta menggeleng lemah. Sambil menghindar terus
ia menjawab, "Sontani, seingatku, seumur hidupku aku
tidak pernah sesumbar. Karena itu, aku tidak malu
seandainya aku kalah dalam pertempuran. Kekalahan bukan
berarti kehilangan kejantanan. Seorang jantan pun dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kalah pula. Kalah dalam kejantanannya sebagai suatu
kenyataan." Sontani tertawa. Karena tertawa, ia memperlemah
serangannya. Katanya, "Ha, kau sudah semakin ketakutan.
Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Berjongkoklah dan
minta maaf kepada Bahu Pedukuhan Lemah Abang agar
kau kuampuni karena kesalahanmu. Setelah itu kau harus
meninggalkan lapangan ini dengan merangkak sampai ke
batas tanah lapang."
"Sejak umur setahun aku sudah tidak biasa lagi
merangkak, Sontani. Maafkan kalau aku tidak dapat
memenuhi permintaanmu," jawab Wanamerta.
Sontani membelalakkan matanya. Ia mengharap Wanamerta benar-benar minta maaf kepadanya, meskipun
seandainya ia tidak dapat memenuhi perintahnya itu
seluruhnya. Tetapi tiba-tiba Wanamerta menjawab sedemikian menyakitkan hati. Karena itu sekali lagi Sontani
berkata untuk menghina orang tua itu, "Aku beri
kesempatan dalam hitungan lima kali. Setelah itu tak ada
kesempatan lagi bagimu. Kalau akan aku tangkap, aku
cukur gundul dan aku arak berkeliling kota besok pagi."
Wanamerta tidak menjawab. Ia membiarkan saja Sontani
menghitung untuk memuaskan hatinya. Tetapi ketika
Sontani sampai ke hitungan yang ketiga, tiba-tiba
Wanamerta mulai dengan melontarkan beberapa serangan
balasan. Sontani terkejut. Ia sama sekali tidak menduga
bahwa Wanamerta yang tua itu masih mampu bergerak
sedemikian cepat dan berturut-turut. Karena itu ia sama
sekali kurang bersiaga, sehingga beberapa serangan
Wanamerta itu berturut-turut mengenai tubuhnya. Tidak
hanya sekali, tetapi dua-tiga kali, sehingga ia terdorong
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
beberapa langkah surut. Mengalami perisitwa itu tiba-tiba
mata Sontani yang hitam kelam itu menjadi memerah
darah, seolah-olah dari sana menyembur api yang menyala-
nyala. Dadanya terasa sesak, bukan karena sakit oleh
serangan lawannya, tetapi karena perasaan yang bercampur baur. Marah, malu, muak dan segala macam.
Tetapi dalam pada itu, ia menjadi semakin bernafsu untuk
menghancurkan musuhnya itu. Dalam tanggapannya,
serangan Wanamerta itu adalah karena kelengahannya.
Meskipun demikian ia sama sekali tidak menjadi jera, sebab
pukulan Wanamerta, meskipun mengenainya tetapi tidak
menyakitkan. Namun dengan perasaan itu ia telah
membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. Ia tidak
menyadari bahwa Wanamerta sebenarnya tidak menggunakan seluruh tenaganya. Ia hanya mempergunakan kecepatan dan mendorong dada Sontani,
menyentuh pundaknya dan dengan kaki ia menyinggung
lambungnya. Tetapi kemarahan Sontani telah benar-benar menggelapkan pikirannya. Ia benar-benar sudah tidak
dapat menimbang untuk rugi dari perbuatannya itu. Dengan
demikian ia menjadi semakin membabi buta. Menerjang,
menghantam, memukul dengan penuh nafsu. Ia berkelahi
seperti serigala gila sedang kelaparan. Dari mulutnya
terdengarlah nafasnya memburu dan geramnya yang
seram. Wanamerta membiarkan Sontani bertempur dengan cara
yang demikian. Ia mengharap Sontani akan kehabisan
tenaga dan berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian ia
tidak mengalahkannya dengan menyinggung kehormatannya beserta pengikut-pengikutnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Sontani berpendirian lain. Karena pikirannya yang
gelap itulah ia tidak dapat menimbang apa yang akan
dilakukan. A pakah akibat yang bakal timbul, dan apakah itu
akan menimbulkan korban ataukah tidak. Ketika ia merasa
bahwa tenaganya sudah mulai berkurang karena peluh
yang sudah membasahi tubuhnya seperti orang mandi, ia
menjadi tidak bersabar lagi. Ia ingin dengan segera
menangkap dan menghinakan lawannya di hadapan umum.
Sedangkan Wanamerta benar-benar licin seperti belut.
Sebenarnya heranlah Sontani, bahwa orang setua itu masih
mampu menghindarkan diri dari serangan-serangannya
yang mengalir seperti banjir. Tetapi bagi Wanamerta,
Sendang Papat dan Parapat, gerakan-gerakan itu sama
sekali tidak seperti banjir sungai yang paling kecil sekalipun.
Gerakan-gerakan itu tidak lebih dari gerakan-gerakan yang
hanya dikendalikan oleh nafsu dan kesombongan.
Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap diri sendiri,
sehingga tidak mampu lagi untuk melihat kenyataan.
Perasaan yang demikian itulah yang mendorong seseorang
ke dalam sudut kekalahan. Sebab kesombongan dan sikap
menghina lawan adalah unsur utama dari kekalahan itu
sendiri. Demikian juga Sontani. Ia merasa dirinya berlebihan.
Tetapi sekali waktu ia mengalami peristiwa yang ia takut
mengakuinya. Ia takut berpikir bahwa sebenarnya
Wanamerta adalah lawan yang tak dapat dikalahkan.
Oleh karena itu, oleh perasaan yang bercampur baur
itulah kemudian ia menjadi bermata gelap. Dengan penuh
kemarahan ia berteriak nyaring, "He Wanamerta, bertempurlah dengan laku seorang jantan. Jangan hanya
mampu berlari dan menghindar. Bertahanlah, dan marilah
kita sama-sama mengangkat dada."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Hem..." gumam Wanamerta. Di dalam hati ia mulai
menyesali sikap Sontani yang keras kepala itu. Tetapi ia
menyabarkan diri. Ketika beberapa saat kemudian Wanamerta masih belum
menjawab, sekali lagi Sontani berteriak, "Hai, kelinci betina.
Bertempurlah dengan dada tengadah. Jangan lari berputar-
putar seperti ayam disembelih. Kalau kau takut mati dalam
pertempuran ini, bertobatlah dan mintalah ampun."
Wanamerta menggeleng lemah. Tetapi ia tetap
menunggu sampai Sontani kehabisan tenaga. Karena itu
perlahan-lahan ia menjawab, "Kau belum sampai ke
hitungan yang kelima, Sontani."
Alangkah sakitnya hati Sontani. Ia sendiri sudah lupa
pada hitungan itu karena serangan Wanamerta yang tiba-
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba. Sekarang dari lawannya itu ia mendapat peringatan
akan kelalaiannya. Karena itu ia menjadi bertambah marah
dan tiba-tiba terjadilah apa yang dicemaskan oleh
Wanamerta. Apa yang sejak semula dihindari, sehigga ia
lebih senang menghindari serangan Sontani itu terus
menerus tanpa menjatuhkannya. Dengan penuh kemarahan, Sontani berteriak, "Hei orang-orang Lemah
Abang yang setia. Tangkap kelinci tua ini."
Perintah itu benar-benar menggetarkan hati Wanamerta.
Bukan karena ia takut seandainya ia terpaksa melawan
seluruh pengikut Sontani, bahkan seandainya ia terpaksa
mati karenanya. Tetapi dengan menggerakkan pengikutnya,
Sontani harus menghadapi akibat yang barangkali tak
pernah dipikirkan. Karena itu Wanamerta mencoba
mencegahnya. Dengan nyaring ia berteriak, "Tunggulah
Sontani." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi, Sontani benar-benar telah kesurupan setan. Ia
tidak mendengar seruan itu, bahkan beberapa orang
pengikutnya yang mendengarnya menganggap bahwa
Wanamerta telah menjadi ketakutan. Dengan demikian
mereka semakin bernafsu dan berloncatan maju, mendesak
orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Bahkan beberapa
orang mereka dorong jatuh tanpa peringatan apapun.
Gelang raksasa yang terdiri dari manusia yang berjejal-
jejal itu tampak bergerak-gerak. Beberapa orang masih
belum sadar apa yang akan terjadi. Baru ketika beberapa
orang berloncatan memasuki arena, tahulah mereka bahwa
Sontani bersama-sama dengan pengikutnya akan menangkap Wanamerta itu beramai-ramai.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Itulah permulaan dari bencana yang menimpa diri
Sontani. Sebab orang-orang yang telah terbuka hatinya,
melihat kebenaran keadilan, tidak rela Wanamerta menjadi
makanan pesta dari orang-orang yang hanya dapat
menghitung kebenaran dari kepentingan mereka sendiri.
Karena itulah maka merekapun serentak, tanpa perintah
dari siapapun, bergerak melawan orang-orang Sontani.
Sehingga di lapangan terbuka itu terjadilah semacam
perang kecil-kecilan antara para pengikut Sontani melawan
orang-orang Banyubiru yang lain.
Sendang Papat, Sendang Parapat dan beberapa orang
kawannya telah berdiri di sekitar Wanamerta. Mereka harus
menjaga keselamatan orang tua itu. Orang tua yang telah
menjadi emban kepala daerah perdikan Banyubiru sejak
masa pemerintahan Ki A geng Sora Dipayana.
"Apa yang akan kita lakukan, Kiai?" tanya Sendang
Papat. Wanamerta tegak seperti patung, mulutnya komat-kumit,
namun belum terdengar ia berkata. Tetapi dari matanya
telah terlontar betapa ia menyesal melihat hal ini terjadi.
Tawuran antara rakyat dan rakyat yang sebenarnya sama-
sama menanti masa depan yang lebih menyenangkan.
Sontani sendiri tiba-tiba didorong oleh hiruk-pikuk
menjauhi Wanamerta. Dengan penuh kemarahan ia
berkelahi. Namun lawannya terlalu banyak. Karena itu ia
terpaksa mundur dan mundur. Demikian pula agaknya para
pengikutnya. Mereka ternyata korban lawan. Lawan yang
dengan penuh kemarahan melawan mereka. Bagaimanapun
kuatnya Sontani, dan bagaimanapun para pengikutnya
berkelahi membabi buta, namun akhirnya mereka terpaksa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengalami perlakuan yang sama sekali tak mereka
harapkan. Demikian pula Sontani. Meski ia telah berkelahi
mati-matian namun akhirnya ia tidak berhasil melepaskan
diri dari tangan orang-orang yang semula dianggapnya tak
akan menghalangi tindakannya. Beberapa orang menangkapnya dan memegangi tangan serta kakinya.
Beberapa orang mencoba memukulnya pada b agian-bagian
tubuhnya sekenanya. Sontani meronta-ronta sejadi-jadinya.
Tetapi tangan orang-orang itu terlalu keras, dan ia tak
mampu melepaskan diri dari mereka yang tak terkendali
lagi itu. Wanamerta melihat bahaya itu. Bagaimanapun juga ia
tak menghendaki adanya korban. Karena itu hampir tak
terdengar dari sela-sela bibirnya yang bergetar ia berkata,
"Sendang, selamatkanlah Sontani itu."
Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah orang muda
yang selama ini ikut merasakan betapa tekanan-tekanan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang telah dialami oleh orang-orang Banyubiru dari orang-
orang semacam Sontani itu. Di hadapan hidungnya ia
melihat Sontani telah berusaha untuk menghina Wanamerta, sesepuh tanah perdikan ini. Karena itu, ketika
ia mendengar perintah Wanamerta, mereka menjadi heran
dan ragu, sehingga Wanamerta terpaksa mengulangi,
"Sendang..." suaranya perlahan-lahan, "Selamatkan Sontani." Sendang Papat dan Sendang Parapat sadar dari keragu-
raguannya. Bagaimanapun perasaannya bergolak di dalam
dadanya, namun mereka adalah orang-orang yang patuh.
Karena itu mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan
sigapnya mereka meloncat diantara orang yang bergolak
seperti gabah diinteri itu, menyusup langsung ke arah
Sontani. Dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman serta
kelebihan-kelebihan mereka, mereka pun segera berhasil
berdiri di samping Sontani yang sedang meronta-ronta itu.
Dengan penuh tenaga, Sendang Papat berteriak mengatasi
keriuhan suara orang-orang Banyubiru yang marah itu,
"Hai, kawan-kawan yang baik. Aku harap kerelaan kalian.
Serahkanlah orang ini kepadaku."
Beberapa orang yang dekat berdiri dengan Sendang
Papat itu terkejut, ketika mereka memandanginya, dalam
samar-samar sinar obor yang jauh. "Bukankah yang
berteriak itu Sendang Papat...?"
Tiba-tiba seorang diantara mereka berkata, "He, adakah
kau Adi Sendang Papat?"
"Ya," jawabnya singkat.
Dari arah lain terdengar suara, "Dan inilah adiknya,
Sendang Parapat." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bagus, bagus," teriak yang lain, "Bukankah kau datang
untuk membunuhnya?" "Lepaskan dia," kata Sendang Papat keras-keras.
Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sendang
Papat mendesakkan kata-katanya pula, "Lepaskan dia.
Berhentilah berkelahi. He, yang di sana, berhentilah
berkelahi." Suara itu disahut oleh Sendang Parapat dan oleh
beberapa kawan-kawan yang datang bersamanya. Karena
suara-suara itulah maka perkelahian itu terpengaruh pula.
Semakin lama menjadi mereda, dan akhirnya berhenti,
meskipun masing-masing wajah masih diliputi oleh
ketegangan dan kemarahan.
"Serahkan orang itu kepadaku," kata Sendang Papat
dengan kewibawaan yang mengagumkan orang-orang yang
berdiri di sekitarnya. Namun meskipun demikian tampak
mereka ragu, seperti Sendang Papat mula-mula juga ragu.
Di sebelah lain berdiri dengan kaki renggang, adiknya
Sendang Parapat. "Apakah kalian keberatan?" desak Sendang Papat.
Matanya beredar berkeliling. Memandang wajah-wajah yang
penuh mengandung pertanyaan. Sedang Sontani sendiri,
yang berdiri di hadapan Sendang Papat, tidak pula kalah
herannya. Ia tahu benar bahwa Sendang Papat adalah
salah seorang yang dikejar-kejarnya selama ini seperti juga
Bantaran, Penjawi, Jaladri dan yang lain-lainnya lagi.
Tiba-tiba dari antara mereka, yang berdiri berkeliling itu
terdengar sebuah pertanyaan, "Akan kau apakan dia,
Sendang Papat?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sendang Papat sendiri untuk sesaat bingung mendengar
pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menjawab, "Serahkanlah kepada kebijaksanaan Kiai Wanamerta."
"Apa yang akan dilakukan?" bertanya yang lain.
"Ia tahu apa yang akan dilakukan," jawab Sendang
Papat. Keadaan menjadi sepi. Sepi namun penuh keraguan.
Masing-masing mencoba mengangan-angankan apakah
kira-kira yang akan dilakukan oleh Wanamerta.
Tetapi kesepian itu tiba-tiba dipecahkan oleh suatu
peristiwa yang tak terduga-duga, yang merusak suasana
yang hampir baik kembali itu. Tiba-tiba dari sela-sela orang
yang mengerumuni yang pucat lesu itu meloncatlah
seseorang yang dengan serta merta menyerang Sendang
Parapat. Sebuah tusukan yang kuat mengenai lambung
kirinya, sehingga terdengar ia mengaduh.
Tetapi Sendang Parapat adalah seorang yang terlatih.
Karena itu sedemikian ia merasakan sebuah tusukan
mengenai dirinya, selain tanpa sesadarnya ia mengaduh
perlahan, namun dengan cepatnya ia bergerak dengan
tenaganya yang terakhir, menangkap tubuh orang yang
menusuknya itu, sehingga ketika orang itu akan melarikan
diri, tubuh Sendang Parapat yang lemah terseret beberapa
langkah. Tetapi dengan demikian orang itu tidak dapat
segera melenyapkan dirinya ke dalam gerombolan orang-
orang yang masih berdiri di sana sini. Ia terpaksa berhenti
mendorong Sendang Parapat untuk melepaskan pegangannya yang seolah-oleh terkunci. Dalam saat itulah
Sendang Papat, memandangi kejadian itu dengan mata
terbelalak. Tusukan yang mengenai adiknya, pada saat ia
sedang melindungi Sontani, yang dibencinya, adalah serasa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tusukan pada dadanya, yang ditutupinya rapat-rapat, kini
seolah-olah tersiram minyak. Seperti kawah gunung berapi
yang tak menemukan jalan, tiba-tiba meledaklah kemarahan Sendang Papat. Ia sempat melihat adiknya
berputar cepat sekali, dan menangkap pergelangan tangan
orang yang menusuknya. Ia melihat tubuh adiknya yang
telah lemah itu terseret beberapa langkah. Maka ia sendiri
kemudian seperti thathit meloncat beberapa langkah ke
arah orang yang mendorong adiknya, untuk melepaskan
pegangannya. Demikian Sendang Parapat terlepas, dan
tubuhnya terbanting di tanah, demikian Sendang Papat
sampai kepada orang itu. Wajah Sendang Papat tiba-tiba
berubah. Seolah-olah di dalamnya tersembunyi malaikat
pencabut nyawa. Dengan tidak berkata sepatah katapun, ia
menyerang orang yang menusuk adiknya itu. Orang itupun
agaknya sadar pula. Karena itu iapun segera melawan
serangan itu. Sendang Papat benar-benar marah.
Tenaganya menjadi seakan-akan belipat-lipat. Seperti badai
yang tak tertahan lagi ia menerkam orang yang menusuk
lambung adiknya. Betapa orang itu mencoba melawannya,
tetapi ternyata Sendang Papat bukanlah lawannya. Karena
itu ia terdorong surut beberapa langkah, yang kemudian
disusul sebuah pukulan dengan tenaga tergenggam pada
dagunya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga orang itu
seolah-olah terangkat beberapa jengkal dan terlempar ke
belakang, untuk kemudian dengan kerasnya pula terbanting
ke tanah. Sendang Papat sendiri mata gelap. Ia tidak ingat
lagi kata Wanamerta, ia tidak ingat lagi pesan Mahesa Jenar
dan pemimpin-pemimpin yang lain. Yang teringat hanyalah,
seorang dengan licik dan curang telah menusuk adiknya.
Seperti seekor harimau ia meloncat ke atas tubuh orang itu,
dan dengan sekuat tenaga seperti hujan yang tercurah dari
langit, ia menghantam bertubi-tubi wajah orang itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terdengarlah orang itu berteriak ngeri. Tetapi juga teriakan
itu seolah-olah tak terdengar oleh Sendang Papat yang
sedang marah. Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu, justru
menjadi terdiam seperti patung. Dengan mata terbelalak
pula mereka menyaksikan kejadian itu. Kejadian yang
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlangsung sedemikian cepatnya. Sehingga apa yang
mereka ketahui kemudian adalah Sendang Papat yang
marah itu duduk di atas tubuh lawannya yang terlentang di
tanah sambil memukulnya habis-habisan untuk mencurahkan kemarahannya yang meluap-luap.
Tetapi kawan-kawan orang itu ternyata tidak tinggal
diam. Ketika mereka melihat kawannya tak mampu lagi
untuk bergerak, mereka pun kemudian mencoba untuk
melepaskannya. Ternyata mereka adalah pengikut-pengikut
Sontani. Beberapa orang bersama-sama dengan mempergunakan
senjata-senjata tajam yang kecil, semacam pisau-pisau
runcing, menyerang Sendang Papat. Sendang Papat
betapapun marahnya, namun naluri keprajuritannya segera
memperingatkannya akan bahaya yang mengancam itu.
Namun justru karena itulah dengan tangkasnya ia berdiri,
menarik bagian dada baju orang yang menusuk adiknya itu
sehingga berdiri dan dengan segenap tenaga yang ada,
Sendang Papat memukul orang itu dengan tangan
kanannya ke arah perutnya. Terdengarlah suaranya seperti
tersumbat di kerongkongan. Tubuhnya terbungkuk dan
terhuyung-huyung akan jatuh menelungkup. Pada saat itu
Sendang Papat melepaskan pegangannya, dengan tangan
kirinya, ia mengangkat muka orang itu menengadah, dan
sekali lagi dengan tangan kanannya ia menghantam wajah
itu. Ternyata orang itu sudah tidak mampu untuk
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengaduh lagi. Tubuhnya demikian saja terlempar ke
belakang, dan sekali lagi ia terbanting di tanah. Pada saat
itu beberapa orang telah berada di sekeliling Sendang Papat
dengan pisau-pisau di tangan. Tetapi Sendang Papat adalah
seorang yang terlatih menghadapi bahaya. Meskipun ia
sendiri tidak mempergunakan senjata, namun ia sama
sekali tidak takut melawan orang-orang itu. Karena itulah
maka segera berkobar kembali perkelahian. Sendang Papat
melawan lebih dari empat lima orang yang menyerangnya
dari segenap penjuru. Meskipun demikian belum terlintas di
dalam otak Sendang Papat itu untuk mempergunakan keris
yang terselip di lambung kirinya.
Demikian ia melompat kesana-kemari, seperti seekor
kijang yang keriangan di padang rumput yang hijau.
Tangannya menyambar-nyambar seperti berpuluh-puluh
pasang tangan yang bergerak bersama-sama. Pengalaman-
pengalaman serta latihan-latihan yang ditekuninya selama
ini, ternyata menempatkannya pada kedudukan yang
menguntungkan. Apalagi kali ini orang yang bernama
Sendang Papat itu benar-benar mengamuk tanpa terkendali. Perkelahian itu ternyata telah memancing berkobarnya
kembali pertempuran kecil di tanah lapangan itu. Ketika
para pengikut Sontani mulai menyerang Sendang Papat,
orang-orang yang memihak Wanamerta pun mulai bergerak
pula. Tetapi orang-orang Sontani itu telah merasa bahwa
mereka tidak akan mempu melawan kemarahan orang-
orang yang jauh lebih banyak dari jumlah mereka. Karena
itu sebagian besar dari mereka segera melarikan diri ke
dalam kegelapan malam. Yang tinggal kemudian hanyalah
kelima orang yang bersama-sama bertempur melawan
Sendang Papat itulah. Karena mereka bersenjata, mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merasa bahwa mereka akan mampu mempertahankan diri
mereka. Wanamerta, yang tak jauh dari mereka, melihat
keributan timbul kembali. Cepat ia berlari untuk mengetahui
apakah yang terjadi. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat
Sendang Parapat terbaring di tanah dengan darah yang
mengalir dari lukanya. Ia melihat dua orang yang datang
bersama dari Gedong Sanga berusaha untuk menahan
darah yang mengalir itu. Sedang seorang lagi agaknya ikut
serta berkelahi melawan orang Sontani. Wanamerta
kemudian menekan dadanya, ketika ia melihat Sendang
Papat mengamuk tanpa dapat mengendalikan dirinya sama
sekali. Beberapa saat Wanamerta berdiam diri dengan cemas.
Perkembangan keadaan itu agaknya sama sekali tidak
seperti yang dikehendaki Wanamerta, meskipun darinya ia
dapat mengambil keuntungan-keuntungan. Dengan demikian ia telah dapat menempatkan beberapa bagian
orang-orang Banyubiru itu kepada kesadarannya kembali.
Tetapi peristiwa yang terjadi ini dapat membawa akibat
yang buruk. Meskipun hanya sementara.
Pada saat itu Wanamerta sudah tidak melihat Sontani
lagi. Orang itu lari terbirit-birit ketika terbuka kesempatan,
tanpa mempedulikan lagi apakah orang-orangnya masih
berkelahi terus, dan apakah ada diantara mereka yang
menjadi korban. Yang penting baginya adalah menyelamatkan diri sendiri.
Yang mula-mula dilakukan oleh Wanamerta adalah
menyuruh kedua orang yang berusaha untuk membendung
darah yang keluar dari lambung kiri Sendang Parapat itu
untuk membawanya ke tepi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian kepada kedua orang itu, Wanamerta bertanya,
"Bagaimana luka itu?"
"Berat Kiai," jawab salah seorang diantaranya.
"Adakah kau kenal seorang yang dapat kau percaya di
sekitar tempat ini?" tanya Wanamerta pula.
Kedua orang itu berpikir. Kemudian salah seorang
menjawab, "Bagaimana dengan Kakang Prana?"
Wanamerta mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia
mengangguk-angguk, katanya, "Aku kira ia baik. Bawalah
Sendang Parapat kepadanya. Kami akan menyelesaikan
beberapa persoalan di sini. Kami akan menyusul kau nanti
ke sana. Aku sendiri masih harus mengawasi Sendang
Papat yang kehilangan keseimbangan."
"Tak dapat disalahkan," gumam orang itu seperti kepada
diri sendiri. "Ya," jawab Wanamerta singkat. Kemudian ia berkata,
"Nah pergilah kepada Prana. Usahakan obat-obatan apapun
buat luka itu. Barangkali daun metir, atau sarang labah-
labah." "Baik Kiai," sahut orang itu sambil berdiri dan
mengangkat tubuh Sendang Parapat ke rumah Ki Prana
yang tak jauh dari lapangan itu. Mereka mengharap akan
dapat beristirahat dan menyembunyikan Sendang Parapat
yang terluka itu. Sepeninggal kedua orang itu, kembali Wanamerta
mendekati Sendang Papat yang sedang ngamuk. Beberapa
orang telah berdiri di sekitar tempat itu dan beberapa orang
lagi berbondong-bondong berlari-lari ke titik perkelahian itu
pula. Mereka itu datang kembali setelah mengejar-ngejar
orang-orang Sontani. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba salah seorang yang baru datang itu dengan
nafas tersengal-sengal berteriak, "Bunuh saja mereka
semua, bunuh saja." "Bunuh... bunuh...." sahut yang lain.
Wanamerta menjadi semakin cemas. Dengan demikian
permusuhan antara orang-orang Banyubiru itu akan
bertambah menjadi-jadi. Karena itu Wanamerta segera
bertindak. Ia mengharapkan pertanggungan-jawab sepenuhnya terletak di bahunya, setidak-tidaknya pada
Sendang Papat. Maka segera ia meloncat maju sambil
berteriak, "Jangan ganggu mereka. Biarkan mereka
bertempur dengan jujur."
Beberapa orang menjadi heran mendengar kata-kata
Wanamerta itu. Mereka benar-benar tidak tahu maksudnya.
Mereka mengira bahwa Wanamerta pun akan sependapat
dengan mereka. Bahkan seorang yang berdiri di deretan
paling depan bertanya, "Bagaimanakah perkelahian itu
dapat disebut jujur" Adi Sendang Papat hanya seorang diri
tanpa senjata, harus melawan lima orang bersenjata."
Wanamerta melangkah maju semakin dekat. Ia tidak
melihat kesulitan pada Sendang Papat, karena itu ia
menjawab, "Jangan takut. Malah kalian harus bangga
bahwa Sendang Papat bertempur melawan lima orang
sekaligus. Lihatlah apa yang akan terjadi."
Tetapi Sendang Papat sendiri sama sekali tidak
mendengar mereka merasa cemas, bahwa Sendang Papat
akan mengalami bencana seperti adiknya.
Kemudian tak seorang pun berbicara lagi. Mereka dengan
seksama memperhatikan perkelahian itu. Tetapi bagaimanapun juga pembicaraan itu. Ia sama sekali tidak
melihat Wanamerta dan tidak tahu bahwa sekian banyak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang, perhatiannya tercurah kepadanya. Yang ia ketahui
adalah gelora dadanya sendiri. Gelora kemarahan yang
meluap-luap. Sendang Parapat adalah satu-satunya saudaranya. Sejak kecil keduanya tidak pernah berpisah.
Seolah-olah mereka mampunyai ikatan batin yang
sedemikian eratnya. Sakit bagi yang seorang adalah sakit
pula bagi yang lain. Tiba-tiba sekarang di hadapan
hidungnya ia melihat adiknya jatuh berlumurah darah.
Karena itu otaknya menjadi terguncang dan karena itu ia
kehilangan kesadaran. Sedang lima lawannya tiba-tiba
menjadi cemas. Mereka melihat rakyat yang marah itu
mengitarinya. Tetapi mereka merasa bahwa seolah-olah
mereka telah terjebak di dalam kepungan. Karena itu
mereka tidak mungkin lagi untuk melarikan diri. Dengan
demikian maka merekapun mengamuk pula. Mereka harus
bertempur mati-matian, sambil menunggu perkembangan
keadaan. Mereka mengharap Sontani datang membantu,
atau Sontani akan datang dengan kawan-kawan yang lebih
banyak lagi, sukar kalau Sontani dapat menghubungi
pasukan Pamingit. Apalagi ketika mereka mendengar kata-
kata Wanamerta, mereka merasa bahwa orang-orang
Banyubiru tidak akan berani bertindak terhadap mereka.
Sebab dengan demikian pasti akan terjadi bencana bagi
mereka itu. Tetapi meskipun orang-orang Banyubiru itu tidak
bertindak apa-apa terhadap mereka, namun akan sama
sajalah akibatnya. Sebab Sendang Papat yang mata gelap
itu, tendangannya jauh lebih menakutkan daripada
seandainya orang-orang Banyubiru itu menyerang mereka
beramai-ramai. Sekali-sekali mereka mencoba juga untuk
mencari jalan melarikan diri, tetapi orang-orang yang berdiri
di sekitar tempat itu sudah sedemikian tepatnya. Karena itu
tidak ada pilihan lain, bertempur mati-matian.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah perkelahian itu berlangsung beberapa lama.
Sendang Papat yang mata gelap terpengaruh oleh
kemarahannya, melawan lima orang yang mata gelap
karena putus asa. Sebab setelah sedemikian lama belum
juga Sontani datang membantu, mereka tidak dapat
mengharapkannya lagi. Orang-orang yang ada di sekitar perkelahian itu, semakin
lama menjadi semakin terpaku oleh perasaan kagum atas
tandang Sendang Papat yang hanya seorang diri melawan
lima orang yang bersenjata. Bahkan Wanamerta sendiri pun
heran melihat Sendang Papat bertempur. Seolah-olah
kekuatan serta kelincahannya bertambah-tambah.
Bahkan seolah-olah ia bergerak tidak atas kehendak
dirinya. Demikianlah seorang yang sedang meluap-luap.
Tanpa sesadarnya sendiri segala ilmu yang tersimpan
tercurah seperti hujan yang melimpah.
Apa yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan.
Tiba-tiba Sendang Papat berhasil merampas sebuah belati
dari salah seorang lawannya, dan sebelum seorang sempat
melihatnya, terdengarlah sebuah teriakan nyaring, dan
salah seorang dari lawan-lawannya itu rubuh di tanah.
Darah yang merah menyembur dari dadanya.
"Sendang Papat...!" teriak Wanamerta cemas. Tetapi
Sendang Papat sama sekali tidak mendengarnya. Bahkan
sesaat kemudian seorang lagi mengaduh keras dan
menggelepar tak berdaya. Tiga orang yang lain, betapapun
mereka tak mengenal takut pada mulanya, namun setelah
mereka melihat kenyataan itu, hati mereka pun berdesir.
Sekali lagi mereka mencoba melihat keadaan sekeliling
mereka, dan tiba-tiba mereka berteriak sambil meloncat ke
arah orang-orang yang sedang menyaksikan perkelahian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu. Beberapa orang terkejut dan bergerak mundur. Dengan
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serta-merta, mereka mendesak menyusup ke dalam
kepepatan orang-orang yang merubungnya. Tetapi agaknya
salah seorang dari mereka mengalami nasib yang malang.
Sendang Papat sempat menangkap lehernya dan tanpa
ampun lagi, belati kecilnya menyusup diantara tulang-tulang
iganya. Terdengar sekali ia memekik tinggi, kemudian
terdiam untuk selama-lamanya. Tiga orang telah menggeletak berlumuran darah yang mengalir dari
mulutnya. Namun agaknya Sendang Papat sama sekali
belum puas. Dengan marahnya ia berteriak nyaring,
"Tangkap iblis-iblis itu."
Orang-orang yang mengaguminya, tiba-tiba menjadi
cemas pula melihat wajah anak muda yang menjadi liar itu.
Mereka hanya dapat menyibak ketika Sendang Papat
meloncat mengejar dua orang lagi yang mencoba
menyelamatkan diri. Mereka, yang berdiri memagar
lingkaran pertempuran itu, malahan terpaku diam, dan
membiarkan kedua orang lawan Sendang Papat itu
menyusup diantara mereka, dan membuat keributan bagian
belakang lingkaran itu. Untunglah bahwa malam itu cukup
gelap. Sinar obor yang menyala agak jauh dari tempat itu,
sama sekali tertutup oleh bayangan-bayangan orang-orang
yang bergerak-gerak di sekitar tempat itu. Dengan demikian
maka Sendang Papat mendapat banyak kesulitan untuk
menemukan kedua orang yang melarikan diri menyusup
diantara sekian banyak orang yang kemudian dari ujung
lapangan mereka meloncat ke dalam gerumbul-gerumbul di
tepi tanah lapang itu. Ketika Sendang Papat tidak berhasil menemukan kedua
orang lawannya, menjadi semakin marah. Seperti orang
yang hilang ingatan ia berteriak, "Hai, orang-orang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru... di mana kedua orang gila itu" Kenapa kalian
hanya diam menonton seperti menonton tayub. He, di
mana..." di mana...?"
Tak seorangpun menjawab. Sendang Papat dengan liar
memandang ke segenap arah. Namun kedua orang itu tak
dapat diketemukan. Tiba-tiba mata Sendang Papat menyangkut pada
seperangkat gamelan, obor-obor yang menyala-nyala,
beberapa dingklik dasaran tuak dan minum-minuman
semacamnya, air tape yang dikentalkan, badhek dan
sebagainya. Hatinya yang marah itupun menjadi semakin
menyala seperti obor-obor itu dibongkok bersama-sama.
Gamelan yang seperangkat itupun merupakan salah satu
sumber kemunduran akhlak di Banyubiru, merupakan salah
satu sebab rakyat Banyubiru kehilangan gairah pada
perjuangannya. Sendang Papat adalah seorang penari yang
mencintai gamelan seperti ia menyayangi pakaian-
pakaiannya. Tetapi gamelan yang seperangkat ini, yang
berada di tanah lapang untuk mengiring tayub dan mabuk-
mabukan, adalah gamelan yang mengkhianati kemurnian
seni, serta menerapkan seni dalam perjuangan yang tak
terkendali. Tiba-tiba Sendang Papat meloncat sambil
berteriak, "He, orang-orang Banyubiru, adakah kalian masih
akan menyelenggarakan tari-tarian gila seperti malam-
malam yang pernah kau lalui dengan gila-gilaan?"
Tak seorangpun yang menjawab.
"Dengar...!" teriak Sendang Papat, "Aku akan membakar
gamelan yang telah menghantarkan kalian pada keadaan
yang cemar ini. Kalau kalian keberatan, lawanlah aku.
Tetapi kalau kalian sependapat, ikutlah aku."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Juga tak seorangpun menjawabnya. Karena itu tiba-tiba
dengan sigapnya Sendang Papat berlari ke arah gamelan
yang dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya
menyambar sebuah obor di tangan kiri dan satu obor lagi di
tangan kanan. Dilemparkannya kedua obor itu ke tengah-
tengah jajaran gamelan itu. Tidak hanya dua obor, tetapi
tiga, empat dan lampu-lampu minyak di dingklik-dingklik itu
disepak-sepaknya. Bahkan kemudian orang-orang yang
melihat perbuatannya itu menjadi terpengaruh pula.
Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil berteriak-teriak
mencabut segala obor yang berada di tanah lapang itu dan
dilemparkan bersama-sama ke arah seperangkat gamelan
itu. "Bakar saja, bakar saja...!" teriak mereka bersama-sama.
Obor-obor itupun kemudian menyala berkobar-kobar.
Minyak yang berada di dalam bumbung pun kemudian
tumpah ruah dan membasahi gamelan-gamelan itu. Karena
itulah maka sesaat kemudian, apipun menyala-nyala
dengan garangnya, seolah-olah hendak menyentuh langit.
Lidah api yang dihembus angin perlahan-lahan, bergoyang-
goyang seperti penari-penari yang menari-nari dengan
riangnya di atas gamelan yang sedikit demi sedikit hangus
dimakannya. Tanah lapang itu kemudian menjadi terang benderang.
Beberapa orang berusaha menyelamatkan dagangan-
dagangan mereka. Tuak, minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja diatas dasaran mereka. Tetapi api
mengamuk demikian hebatnya. Dingklik-dingklik, warung-
warung kacang itupun dalam sekejap telah lenyap dalam
pelukan penari maut yang menari-nari dengan iringan lagu
derak-berderaknya gamelan dan bambu-bambu yang
terbakar. Orang-orang Banyubiru itu seperti kelompok
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orang-orang yang kehilangan akal dan kesadaran. Mereka
menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di
tanah lapang itu. Kembali Wanamerta menekan dadanya. Keadaan
berkembang sedemikian cepatnya. Tetapi ia tidak
menyalahkan Sendang Papat. Sebab telah jatuh korban di
pihaknya, karena kelicikan lawannya.
Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah tanggapan
Mahesa Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak
dikehendakinya. Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami
sendiri peristiwa-peristiwa ini, maka iapun akan dapat
mengerti. Api semakin lama semakin tinggi menggapai-gapai di
udara. Asap yang hitam membubung tinggi ke langit.
Melihat api serta asap itu, Wanamerta dapat memperhitungkan keadaan. Mau tidak mau, cahaya merah
yang mewarnai kehitaman malam itu pasti akan dapat
dilihat oleh orang-orang Lembu Sora. Karena itulah maka
mereka pasti akan datang. Dan dengan demikian keadaan
akan bertambah buruk. Karena itu, selagi masih ada
kesempatan Wanamerta ingin mencoba menghindarkan
orang-orang Banyubiru dari bentrokan bentrokan yang lebih
besar. Dengan demikian ia menyusup diantara orang
banyak yang seperti anak anak bermain api mendekati
Sendang Papat. Ketika ia sudah berdiri di belakang anak muda itu ia
menggamitnya, Sendang Papat menoleh kearahnya.
Matanya masih merah diwarnai kemarahan yang meluap
luap. Wanamerta beragu sejenak, tetapi akhirnya ia
berkata; "Sendang, hentikan permainan ini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sendang Papat memandang wajah Wanamerta dengan
kecewa, bantahnya, "Aku harus membunuh semua orang
yang telah bersetuju untuk membunuh adikku."
"Baiklah Sendang, aku akan membantumu. Tetapi tidak
sekarang dan tidak dalam kesempatan ini." jawab
Wanamerta lunak. "Kapan aku dapat melakukannya" mereka sudah mulai
sekarang." bantah Sendang Papat.
"Bukan sekarang Sendang, bahkan telah lama. Dan
selama ini kami masih mencari cari jalan untuk
menyelesaikan masalah kita dengan orang orang yang telah
keblinger itu," Wanamerta mencoba memberikan penjelasan. "Aku tidak sabar lagi. Adikku telah terbunuh, dan masih
adakah orang yang akan berusaha menyalahkan aku?"
sahut Sendang Papat. "Tidak Sendang, tidak. Kau tidak bersalah. Kau berusaha
membela adikmu, yang hanya merupakan salah seorang
dari mereka yang menjadi korban peristiwa peristiwa
semacam ini. Tetapi ketahuilah bagaimana sekiranya Lembu
Sora datang ke tanah lapang ini"," bertanya Wanamerta.
"Bagaimanakah kalau terjadi bentrokan antara orang banyu
Biru dengan pasukan Lembu Sora"."
"Aku akan berdiri paling depan. A kan aku bunuh mereka
semua, atau aku yang terbunuh," jawab Sendang Papat
lantang. Wanamerta menjadi kebingungan. Meskipun apabila
Lembu Sora itu benar benar datang, ia tidak akan
mengingkari tanggung jawab. Sebab ialah orang tertua dari
rombongannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sebelum Wanamerta dapat menguasai perasaan Sendang Papat yang meluap luap itu. Tiba-tiba terdengar
dari kejauhan derap kaki kuda. Dada Wanamerta pun
berdesir. Itulah pertanda bencana akan datang.
"Sendang jangan biarkan korban menjadi semakin
banyak," berbisik Wanamerta.
Tetapi Sendang papat ridak mendengarnya. Yang
didengar adalah derap kuda yang mendatangi tanah lapang
itu. Tiba-tiba wajahnya menjadi terang. Tampaknya ia
menjadi gembira sekali, seperti kanak kanak yang
mendapat mainan. Sesekali ia meloncat dengan lincahnya.
Untuk kemudian menghambur menyongsong derap kuda
yang semakin lama semakin dekat. Beberapa orang yang
yang melihatnya ikut berlari-lari dibelakangnya. Merekapun
tiba tiba menjadi gembira pula.
Dari dalam gelap, dibalik tikungan jalan, muncullah
beberapa orang berkuda. Mereka adalah orang Lembu Sora
dari Pamingit. Wajah wajah mereka tampak betapa
garangnya. Cahaya api yang kemerahan itu membuat kesan
yang seram pada rombongan berkuda itu.
Pemimpin rombongan itu segera melihat api yang
menyala-nyala. Merekapun kemudian melihat orang orang
yang seolah olah mengamuk. Segera kemarahan menjalar
di dada mereka. Apalagi ketika mereka melihat beberapa
orang menyongsong kedatangan mereka dengan senjata
pemukul, bambu dan kayu dan apa saja yang mereka
ketemukan. Pemimpin laskar itu segera memberikan perintah, dan
bertebaranlah orang orang berkuda itu ke segenap penjuru.
Mereka memacu kuda mereka tanpa memperhitungkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
banyak orang dilapangan itu. Beberapa orang terdorong
jatuh dan bahkan ada diantaranya yang terlanggar dan
terbanting di tanah. Beberapa orang berteriak teriak
mengancam dan mengumpat umpat.
Sendang Papat menjadi kecewa ketika rombongan itu
terpencar pencar seperti orang kesurupan ia berlari-lari
mengejar kuda-kuda itu. Tetapi, kuda-kuda itu berputar-
putar dan menginjak injak yang ada di jalannya. Melihat
sikap itu Sendang Papat menjadi semakin marah. Bahkan
Wanamertapun menjadi marah pula. Ia tidak pernah
membayangkan, demikian orang Pamingit memperlakukan
orang Banyubiru itu dianggapnya sapi gembalaan, yang
dapat digiringnya dengan pecut dan tongkat pemukul.
Tetapi bagaimanapun kepalanya msdih tetap dingin.
Berbeda dengan Sendang Papat yang diikuti segenap orang
yang berada di tanah lapang itu. Merekapun segera
memberikan perlawanan. Orang banyak itupun mengamuk
sejadi-jadinya. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan tidak
banyak. Mereka adalah orang yang tidak begitu banyak
mendapat didikan keprajuritan. Dengan demikian perlawanan merekapun tidak banyak berarti. Hanya
Sendang Papat lah yang mampu menghadapi bahaya yang
mengancam dirinya. Ketika seekor kuda dengan kencangnya berlari menerjangnya, dengan segala kekuatan
ia mendesak orang di sekitarnya untuk menghindar. Namun
demikian kuda itu lewat disampingnya demikian ia meloncat
ke atas punggungnya. Sekali gerak, tangannya telah
membenamkan kerisnya kepunggung orang itu yang
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian terbanting jatuh. Dengan kuda itulah Sendang
Papat melawan orang Pamingit. Tetapi Sendang Papat
seorang diri itu pun tak banyak yang dapat dilakukan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta kemudian tidak mengingkari tanggung
jawabnya. ia berusaha untuk mengurangi tekanan orang
Pamingit itu. Namun akhirnya satu demi satu jatuhlah
korban. Sedang keributan di tanah lapang itupun semakin
menjadi jadi pula. Akhirnya Wanamerta menganggap bahwa bentrokan itu
harus segera diakhiri. Ia tidak mau melihat orang kecil
menjadi korban. Karena itu segera Wanamerta berteriak,
"Hindarkan diri, hei orang Banyubiru. Hindarkan diri kalian."
Sekali dua kali suara Wanamerta itu tenggelam saja
dalam gemuruhnya teriakan rakyat yang marah serta
teriakan orang Pamingit yang memaki maki. Tetapi ia tidak
putus asa. Diulanginya lagi kata katanya sekali dua kali.
Kemudian terdengar ia berteriak keras; "Hei orang Banyu
Biru yang setia. Jangan terlalu bodoh melawan orang
berkuda itu. Tinggalkan mereka. Hindarkan diri kalian dari
injakan kuda-kuda itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Beberapa orang mendengar teriakan Wanamerta, mereka
mulai berfikir. Apakah mereka akan dapat melawan orang
berkuda itu. Sedangkan dihadapan mereka korban jatuh
bertambah lagi. Apalgi orang Pamingit yang juga menjadi
gila itu menghunus pedang mereka. Meskipun demikian
Sendang Papat bertempur seperti burung Sikatan. Ia
menyambar dengan lincahnya diatas kudanya. Namun
tidaklah banyak yang dapat dikerjakan.
Ketika Wanamerta berteriak sekali lagi, suaranya mulai
dapat perhatian. meskipun beberapa orang yang meluap
luap perasaannya, seolah olah tidak akan meninggalkan
tanah lapang itu meskipun seandainya mereka harus
terbunuh, tetapi terdengar Wanamerta berkata: "He,
hindarkan diri kalian. Jangan mati tanpa arti. Tenaga kalian
masih sangat diperlukan oleh tanah kelahiran ini. Tetapi
nanti dalam kesempatan yang lebih baik, dimana kalian
membawa senjata di tangan kalian."
Demikianlah, kemudian orang Banyubiru itu sadar akan
keadaan yang tidak berimbang. Karena itulah mereka
mengikuti nasehat Wanamerta yang selalu diulang ulang.
Beberapa orang meloncat dan berlari meninggalkan
lapangan itu. Kuda orang Pamingit itupun mejadi liar pula. Mereka
berlari lari mengelilingi lapangan seperti serigala lapar.
Diatas punggung mereka itupun duduk orang gila yang liar
seperti beruang alasan. Orang berada dilapangan semakin berkurang jua. Satu
satu mereka mencoba menghindarkan diri mereka dengan
janji di dalam dada apabila datang saatnya maka akan
mereka serahkan jiwa raga mereka sebagai tebusan atas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kekhilafan mereka selama ini. Tetapi kali ini, mereka tidak
akan mati tanpa arti. Beberapa orangberkuda mencoba mengejar mereka
namun mereka itupun segera meloncati pagar batu dan
menyusup pagar bambu, tenggelam dalam gerumbul yang
gelap. Sendang Papat masih saja bertempur terus. Ia sama
sekali tidak memperhitungkan lagi keadaan yang dihadapinya. ia tidak mau melihat kenyataan bahwa
akhirnya ia harus bertempur seorang diri.
Demikianlah kemudian tiga orang berkuda bersama-
sama menyerangnya. Sendang Papat memang tangkas.
Tetapi ia tidak dapat melawan ketiga-tiganya sekaligus. Ia
mencoba untuk memutar kudanya, menghindar kesamping.
tetapi kuda lawannya itu akan melanggarnya. Disusul
dengan yang seekor lagi dari arah lain. Sendang Papat
segera menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu
terhenti. Seekor kuda lawannya, berlari terus kedepan,
tetapi seekor lagi benar benar membenturnya.
Tekanan itu ternyata terlalu berat bagi Sendang Papat
sehingga iapun kemudian terlempar dari punggung kudanya
bersama sama dengan penunggang kuda yang membenturnya. Keduanya jatuh bergulingan dan berusaha
bangkit kembali. Demikian mereka berdiri, demikian mereka
bertempur kembali. Tetapi dalam pada itu, kawan
kawannyapun telah siap pula untuk membantu. Wanamerta
yang masih berdiri di tanah lapang melihat kesulitan yang
bakal terjadi atas Sendang Papat. Ia tidak mau
mengorbankannya. Adiknya telah terluka berat sehingga ia
harus berusaha supaya kakaknya dapat diselamatkan. tetapi
lawan terlalu banyak. Untuk sesaat Wanamerta berbimbang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hati. Ia menyesal bahwa Sendang Papat telah kehilangan
kejernihan pikirnya sehingga seolah olah ia akan
membunuh diri. Tetapi ia tidak mempunyai banyak waktu. Bagaimanapun
yang terjadi ia harus membantu anak itu. Karena itulah
dengan secepat ia dapat, meloncatlah orang tua itu ke arah
Sendang Papat, untuk membantunya. Ketika seekor kuda
menyambarnya, Sendang Papat masih sempat mengelakkan
dirinya bahkan ia masih dapat menyerang lawannya, yang
berdiri diatas tanah. Dengan demikian, Wanamerta masih
dapat menyapanya sebelum ia digilas oleh kaki kuda orang
Pamingit itu. Yang mula mula diucapkan Wanamerta adalah "Sendang," suaranya perlahan sekali. "Adikmu mencarimu"
"He," Sendang Papat terkejut "Prapat?"
"Ya," jawab Wanamerta. Sementara itu ia harus turut
melawan lawan Sendang Papat. Sementara itu seekor kuda
sekali lagi menyambar mereka. Dengan ikat kepala yang
diuraikan, Wanamerta berhasil menakuti kuda itu, sehingga
kuda itu meronta dan melonjak tinggi. Kesempatan itu tidak
dilewatkan oleh sendang Papat. Dengan sigapnya ia
meloncat, dan sekali lagi kerisnya membenam di tubuh
orang itu. "Naiklah kiyai," teriaknya. Tetapi Wanamerta
tidak sempat naik. Orang yang semula berkelahi melawan
Sendang papat menyerangnya. Ketika sebuah pedang
menyambar lehernya, Wanamerta berjongkok merendahkan
dirinya. Kemudian dengan kakinya ia menghantam lambung
orang itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar.
Malanglah baginya, ketika saat itu dua ekor kuda bersama
sama berlari mendekati titik perkelahian. Kedua orang itu
sudah siap untuk menusuk tubuh Wanamerta dari dua arah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-Tiba seseorang terlempar ke depan mereka. Terdengarlah jerit ngeri. Tubuh itupun dengan dahsyatnya
terinjak oleh kaki-kaki kuda yang sedang berlari kencang.
Wanamerta hanya melihat peristiwa itu sebentar saja.
Iapun segera berlari, meloncat ke atas punggung kuda,
yang semula dipakai oleh Sendang Papat. Kuda itu, yang
masih berdiri di tengah lapangan, menjadi terkejut dan
berlari melingkar-lingkar. Untunglah Wanamerta segera
dapat menguasainya. Dalam pada itu Sendang Papat sudah bimbang. Kalau
semula ia sudah berketetapan hati untuk mati dengan
membawa bela sebanyak-banyaknya, kini ia terpaksa
berpikir kembali. "Adakah Parapat masih hidup?" pikirnya.
Dan tiba-tiba Sendang Papat ingin mendapat penjelasan
tentang adiknya. Karena itu Sendang Papat segera
mendekatkan diri kepada Wanamerta sambil bertanya,
"Adakah Kiai tadi berkata tentang Parapat?"
Mata Wanamerta tidak terpelas dari para penunggang
kuda yang telah siap menerjang mereka. Meskipun
demikian ia menjawab, "Ya."
"Bagaimana dengan anak itu?" Sendang Papat minta
penjelasan. "Ia mengharap kedatanganmu. Mudah-mudahan ia masih
tertolong," Wanamerta mencoba untuk memancing anak itu
meninggalkan tanah lapang yang terkutuk ini.
Sementara itu, ia melihat beberapa orang lain, yang
semula mengejar-ngejar orang Banyubiru telah memasuki
tanah lapang kembali. Bahkan mereka pun segera bersiap
pula untuk menyerang. Wanamerta melihat bahaya yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bertambah-tambah, sementara itu harapannya mulai timbul
kembali. Mudah-mudahan Sendang Papat bersedia meninggalkan tanah lapang ini untuk melihat adiknya.
"Tak cukup banyak waktu Sendang," kata Wanamerta
pula, "Adikmu cepat-cepat harus mendapat bantuan."
"Di mana dia sekarang?" tanya Sendang Papat.
"Ia disembunyikan di rumah Ki Prana," jawab
Wanamerta. Sendang Papat merenung sejenak. Di hadapannya
orang-orang Pamingit memacu kudanya ke arah mereka
berdua. "Mereka datang, Kiai," kata Sendang Papat.
Wanamerta telah melihat mereka pula. Segera ia menarik
kekang kudanya memutar sekali, lalu berlari ke samping.
"Pikirkan adikmu itu," katanya sebelum kudanya berlari.
Sendang Papat tidak sempat menjawab. Seekor kuda
lawan menyerangnya dengan cepatnya. Ketika sebuah
pedang menyambarnya, dengan cepatnya ia melekatkan
tubuhnya pada punggung kudanya. Hatinya berdesir ketika
Sendang Papat merasakan angin sambaran pedang
menghembus tengkuknya. "Hampir saja," desisnya. Karena
itu Sendang Papat merasa bahwa lebih baik melawan
orang-orang Pamingit itu, dengan pedang pula. Karena itu
cepat-cepat ia meloncat turun memungut pedang dari
seseorang yang telah tak berdaya untuk bangkit kembali.
Dengan pedang itulah kemudian ia melawan setiap
penyerangnya dengan kekuatan yang berimbang. Tetapi
orang-orang Pamingit itu pun bertambah-tambah pula.
Sendang Papat melihat Wanamerta yang tua itu pun dapat
bergerak mengagumkan. Di tangannya tiba-tiba saja telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tergenggam sebuah telempak, tombak bertangkai pendek.
Agaknya ia pun merasa perlu untuk memegang sebuah
senjata yang tidak terlalu pendek dalam pertempuran
berkuda. Namun, meskipun demikian di dalam hati Sendang Papat
mulailah timbul keraguan. Ia terpengaruh benar oleh kata-
kata Wanamerta tentang adiknya. Karena itu selagi ia
sempat, ia mendorong kudanya ke arah Wanamerta, dan
dengan suara yang parau dan perlahan-lahan ia berkata,
"Apakah kita lebih baik meninggalkan lapangan ini, Kiai?"
"Demikianlah, untuk keselamatan adikmu. Ia membutuhkan perawatan," jawab Wanamerta.
"Baiklah," jawab Sendang Papat.
----------o-dwkz-0-arema-o----------
Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 19 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Tetapi sementara itu, Wanamerta memandang sekelilingnya dengan alis yang berkerut-kerut. Ia melihat
perubahan pada tata perkelahian lawannya.
Wanamerta tidak lagi melihat mereka bersiap untuk
menyerang satu demi satu atau berdua atau bertiga
sekalipun. Yang dilihatnya adalah orang-orang Pamingit itu
mulai membuat sebuah gelang, mengelilingi mereka
berdua. "Setan," desis Sendang Papat.
"Mereka mengepung kita," sahut Wanamerta.
Sendang Papat memutar kudanya untuk melihat keadaan
di sekelilingnya. Ia melihat sepuluh, bahkan lebih dari itu,
orang-orang berkuda di sekelilingnya. Sedang di tengah
lapang itu, ia melihat beberapa
ekor kuda tak berpenumpang. Dua tiga orang Pamingit terbaring diantara
beberapa orang Banyubiru yang terluka dan bahkan ada
yang terbunuh di tanah lapang itu. Suatu kekacauan yang
mengerikan.
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi sementara itu, Wanamerta dan Sendang Papat
harus berpikir tentang diri mereka. Ketika mereka
melayangkan kembali pandangan mereka, mereka melihat
perlahan-lahan kuda-kuda yang mengepung itupun mulai
bergerak maju. Wanamerta adalah seorang tua yang berpengalaman
cukup. Karena itu segera ia mengetahui maksud orang-
orang Pamingit itu. Maka desisnya, "Sendang, jangan beri
kesempatan mereka bersama-sama menyerang. Kau lihat
kelemahan mereka?" Sendang menggeleng lemah.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kita menyerang dari arah api. Aku harap mereka
terganggu oleh cahaya yang silau itu. Kita tembus dinding
yang bertentangan dengan arah cahaya. Secepat-cepatnya,
sebelum datang yang lain, mereka sempat membantu,"
kata Wanamerta setengah perintah.
Sendang Papat telah menangkap maksud orang tua itu.
Ia memuji didalam hatinya. Tetapi ia tidak sempat untuk
berkata apapun, sebab demikian Wanamerta selesai
berkata, demikian ia menarik kekang kudanya dan memacu
ke arah barat. Sendang Papat pun segera menyusul.
Pedangnya berkilau-kilau kemerah-merahan oleh cahaya api
yang sudah mulai berkurang. Namun cahayanya masih
cukup besar untuk menerangi seluruh tanah lapang itu.
Orang-orang Pamingit itu terkejut melihat kesigapan
Wanamerta dan Sendang Papat. Meskipun mereka sudah
mengira, bahwa kedua orang itu tidak akan mau menyerah
begitu saja, namun serangan mereka berdua yang tiba-tiba,
telah menyebabkan mereka kehilangan waktu beberapa
saat untuk menilai gerakan itu.
Demikianlah, Wanamerta telah mencapai dinding
kepungan itu, dengan membelakangi api yang menyala-
nyala. Setiap garis-garis yang tergores pada tubuh orang
Pamingit itu. Setiap gerakannyapun dapat diketahuinya.
Sebaliknya orang-orang itu hanya melihat bayangan hitam
seperti terbang menerkamnya. Mereka tidak dapat melihat
dengan jelas, gerakan-gerakan apakah yang sudah
dilakukan oleh dua hantu yang seakan-akan meloncat dari
tengah-tengah itu. Karena itu mereka menjadi gugup.
Tetapi sesaat kemudian, kawan-kawan merekapun
menjadi sadar. Mereka akhirnya mengetahui juga, bahwa
Wanamerta telah mengambil keuntungan dari cahaya api
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang silau itu. Dengan demikian segera merekapun
bergerak maju mengejarnya.
Ternyata perhitungan Wanamerta adalah tepat. Ia dapat
mencapai dinding kepungan sebelum lawan-lawan mereka
yang lain sempat membantu. Dengan telapaknya Wanamerta menyerang orang yang menghadang di
hadapannya. Meskipun kemudian orang dikanan kirinya
merapat, namun cahaya yang silau telah membuat untung
Wanamerta dan Sendang Papat. Perkelahian yang terjadi
kemudian tidak berlangsung lama. Mereka tidak dapat
menahan kedua orang itu untuk menerobos kepungan
mereka. Dengan demikian akhirnya Wanamerta berhasil
keluar dari lingkaran maut itu bersama-sama dengan
Sendang Papat. Tetapi Wanamerta kemudian tidak mau
disilaukan oleh api yang memberinya keuntungan, apabila
ia harus melawan pengejarnya. Karena itu segera ia
membelokkan arah kudanya ke kanan.
Tetapi orang-orang Pamingit itu telah mendapatkan
kesadaran mereka. Sebagian dari mereka segera menyusul,
dan sebagian lagi memotong jalan. Tetapi Wanamerta dan
Sendang Papat telah melepaskan diri dari kepungan.
Mereka dapat menghadapi lawan mereka dari satu arah.
Meskipun demikian lawan mereka terlalu banyak. Sehingga
kemudian ternyata bahwa Wanamerta dan Sendang Papat
pun terdesak. Menghadapi keadaan yang demikian, kedua
orang Banyubiru yang gemblengan itu malahan telah
membulatkan tekad untuk melawan sampai kesempatan
terakhir. Dalam pada itu, ketika mereka sedang berkelahi mati-
matian, tiba-tiba terdengarlah suara-suara anak muda
tertawa. Disusul oleh sebuah aba dari antara mereka,
"Ayolah, kita mulai."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Yang berada di tanah lapang itu kemudian dikejutkan
oleh munculnya empat ekor kuda dari sudut tanah lapang
itu. Kemudian seekor lagi ditunggangi oleh seorang anak
muda yang tampan, bertubuh tegap dan berdada bidang.
Agaknya anak muda yang terakhir itulah yang telah
mengucapkan aba-aba. Sedang keempat anak muda yang
lain itupun langsung menerjunkan diri ke kancah
pertempuran. "Ayolah Kiai," teriak salah seeorang diantaranya, "Aku
berada di pihak Kiai dan Paman Sendang Papat."
Wanamerta heran melihat kedatangan mereka. Demikian
juga Sendang Papat. Wanamerta adalah orang Banyubiru
sejak Pangrantunan. Tetapi terhadap anak-anak muda itu ia
belum begitu mengenal. Sedang mula-mula Sendang Papat
pun agak ragu, siapakah yang telah datang tepat pada
saatnya membantu mereka berdua.
Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat belum sempat
bertanya tentang mereka. Pertempuran itu menjadi kian
sengit. Keempat anak muda itupun berkelahi dengan tekad
yang menyala-nyala. Dengan demikian pekerjaan Sendang
Papat dan Wanamerta menjadi berkurang. Lawan-lawan
mereka setidak-tidaknya telah berkurang dengan empat
orang, yang harus melayani keempat anak muda yang
bertempur dengan tenaga yang penuh. Namun agaknya
keempat anak muda itu masih kurang pengalaman,
sehingga meskipun mereka bertempur mati-matian, tetapi
ternyata bahwa mereka tidak lebih dari setiap orang dari
laskar Pamingit itu. Sehingga dengan demikian, pertempuran itupun hampir tak terpengaruh oleh kehadiran
keempat orang itu. Meskipun demikian, kesempatan untuk
menjaga diri bagi Wanamerta dan Sendang Papat adalah
jauh lebih besar dari semula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka semakin lama pertempuran itupun menjadi
semakin keras. Orang-orang Pamingit yang tidak segera
dapat menyelesaikan pekerjaan mereka itupun menjadi
marah dan bertempur semakin liar. Karena jumlah mereka
lebih banyak maka kemudian mereka pun berhasil sedikit
demi sedikit menguasai keadaan, sehingga pertempuran
itupun menjadi berat sebelah. Ternyata yang menjadi pusat
perhatian mereka adalah Wanamerta dan Sendang Papat.
Sedang terhadap keempat anak muda itu mereka hanya
sekedar memberikan perlawanan untuk menjaga mereka
supaya mereka tidak dapat langsung membantu Wanamerta
dan Sendang Papat. Dalam keadaan yang demikian itu, maka tiba-tiba
pemuda yang seorang lagi yang masih duduk diam di atas
punggung kudanya di tepi lapangan itu tertawa terbahak-
bahak. Suaranya itu sangatlah menarik perhatian. Baik
orang Pamingit maupun Wanamerta dan Sendang Papat.
Bahkan kawan kawannyapun menoleh kepadanya.
"Permainan yang jelek," katanya. "Tidakkah kalian dapat
berkelahi lebih baik?"
"Apakah yang jelek"," jawab salah seorang temannya.
"Kalian hanya mampu berputar putar seorang penari
jathilan diatas kuda kepang," jawab anak muda itu....
Kawan-Kawan anak muda itu tak ada yang menjawab.
Tetapi pertempuran masih berlangsung terus. Sehingga
kemudian terdengar ia berkata pula, "Kiai Wanamerta dan
Paman Sendang Papat pun agaknya sudah terlalu payah.
Tetapi cara-cara yang dipergunakan, serta gerak-gerak
yang bersumber pada Paman Mahesa Jenar agaknya cukup
menarik." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta dan Sendang Papat sekali lagi terkejut bukan
main. Kenapa anak muda itu mengetahui beberapa unsur
gerak yang dipelajarinya dari Mahesa Jenar"
Kemudian terdengarlah anak muda yang gagah tampan
itu meneruskan, "Tetapi sayang, bahwa Paman Sendang
Papat kurang berhasil mengambil keuntungan dari
gabungan ilmu Ki Ageng Supit Wanakerta dengan ilmu dari
perguruan Pengging."
Sendang Papat menjadi semakin heran. Ia belum pernah
mengenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta. Sedang yang
dikenalnya hanya Wanamerta. Tiba-tiba ia tidak dapat
menunda keinginannya untuk mengetahui serba sedikit
tentang anak muda itu, sehingga sambil bertempur ia
berteriak, "Aku belum kenal Ki Ageng Supit dari
Wanakerta." "Kalau begitu..." jawab anak muda itu, "Kakang Sendang
pasti kenal salah seorang muridnya."
"Siapakah dia?" tanya Sendang Papat.
"Wiraraga atau Dalang Mantingan," jawab anak muda
itu. Kembali Sendang Papat keheranan. Ternyata anak muda
itu kenal pula kepada Ki Dalang Mantingan.
Sementara itu orang-orang Pamingit menjadi semakin
mendesak pula. Sehingga akhirnya Wanamerta dan
Sendang Papat benar-benar mengalami kesulitan. Dalam
keadaan yang demikian itulah tiba-tiba anak muda yang
masih berdiam diri di pinggir tanah lapang itu berkata
lantang, "Maafkan aku Kiai Wanamerta dan Kakang Paman
Papat kalau aku ikut campur pula dalam pertempuran ini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah selesai dengan kata-katanya, segera ia
mendorong kudanya untuk terjun ke dalam pertempuran.
Mula-mula orang Pamingit itu tidak banyak memperhatikannya. Mereka mengira bahwa anak muda itu
tidak terlalu jauh terpaut dari keempat kawannya. Tetapi
ketika anak muda itu telah benar-benar bertempur, ternyata
ia benar-benar mengejutkan. Dalam saat yang sangat
pendek, ternyata ia telah berhasil melemparkan dua orang
Pamingit dari kudanya. "Gila...!" teriak salah seorang yang terlempar itu dengan
penuh kemarahan. Punggungnya terasa betapa sakit,
sedang bajunya tersobek lebih sekilan. Dengan mengumpat-umpat ia berusaha untuk mengejar kudanya
kembali dan dengan susah payah ia meloncat ke
punggungnya. Demikian pula kawannya yang seorang lagi.
Sambil memungut pedangnya ia berteriak, "Anak gila,
agaknya kaupun ingin menjadi bangkai seperti Wanamerta
dan Sendang Papat." Anak muda itu tertawa. Sedang tandangnya menjadi
semakin mengherankan. Ia menyerang seperti elang untuk
kemudian melingkar dan menyerang kembali. Ia tidak
pernah menghindari setiap serangan, dan bahkan dengan
tertawa nyaring ia melawan dua tiga orang sekaligus.
"Aneh," pikir Wanamerta dan Sendang Papat seperti
berjanji. Perhatian orang-orang Pamingit kemudian lebih
banyak tertuju kepadanya daripada Wanamerta dan
Sendang Papat. Apalagi mereka berduapun menjadi seolah-
olah penonton yang keheranan. Demikian juga keempat
kawan-kawannya. Anak muda itu, yang bertubuh tegap dan kekar dan
tampan, bertempur seperti anak bermain kejar-kejaran.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesungguhan.
Sayang bahwa cahaya api yang semakin pudar, tidak
memberi kesempatan kepada Wanamerta dan Sendang
Papat untuk mengenalnya dengan baik.
Dengan nada yang segar, anak muda itu berkata, "He,
kawan-kawan dari Pamingit. Kenapa kalian bersusah payah
mengejar-ngejar Kiai Wanamerta dan Kakang Sendang
Papat, sedang orang-orang yang bersalah tidak kau
tangkapi?" "Siapa yang bersalah itu?" teriak orang-orang Pamingit
dengan marah. "Sontani dan orang-orangnya," jawab anak muda itu.
"Omong kosong," bentak orang Pamingit yang lain sambil
memutar pedangnya menyambar punggung anak itu.
Dengan enaknya anak muda itu mengelak tanpa
berkisar. Tetapi kemudian dengan satu gerakan yang
sederhana ia telah berhasil memukul dengan tangannya.
Ya, dengan tangannya, pergelangan tangan orang yang
menyerangnya, sehingga terdengar ia mengaduh perlahan,
dan pedangnya terpelanting jatuh di tanah. Orang itu
menggeram marah, tetapi ia memacu kudanya menjauhi
anak muda itu, sebelum ia berhasil mendapatkan sebilah
pedang yang lain yang dipungutnya dari seorang kawannya
yang telah terbaring di tanah.
Anak muda itu masih bertempur dengan lincahnya.
Wanamerta dan Sendang Papat, seolah-olah terbebas sama
Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali dari perkelahian itu. Mereka kini tinggal menghadapi
seorang-seorang. Sedang yang lain lebih banyak mencari
perhatian untuk menjatuhkan pemuda itu lebih dahulu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan tertawa anak muda itu kemudian terdengar
berkata, "He, kawan-kawan Pamingit. Demikianlah kira-kira
yang akan kalian alami, kalau kalian pada suatu saat
terpaksa bertempur melawan Arya Salaka."
"Arya Salaka...?" u;ang salah seorang dari padanya,
sedangkan dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat
tertarik pula pada kata-kata itu.
"Ya, Arya Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi.
Aku hanya menirukan beberapa bagian dari ilmunya," anak
muda itu melanjutkan. Tak ada yang terdengar menjawab perkataannya. Tetapi
orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin marah.
Namun mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak akan mampu melawan anak muda itu bersama-sama
dengan Wanamerta, Sendang Papat dan keempat anak-
anak muda yang lain, yang menganggap perkelahian itu
seperti permainan saja. "Arya Salaka dapat memukul hancur kepala kuda yang
kalian naiki hanya dengan tangannya." Anak muda itu
meneruskan. Dan tiba-tiba ia menyambar salah seorang
lawannya, dan dengan gerak yang mengejutkan ia
menghantam kepala kuda itu. Terdengarlah suara ledakan
disusul dengan teriakan-teriakan anak-anak muda yang lain,
seperti mereka melihat kawannya menang bertaruh. Kuda
itu menggeliat dan memekik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh
berguling untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir
darah bercampur otak yang menghambur-hambur. Orang
yang semula melekat di punggung kuda itu, juga
terbanting. Seperti orang lumpuh ia menyaksikan kepala
kudanya pecah. Tubuhnya terasa gemetar dan seolah-olah
segala persendian tubuhnya terlepas satu sama lain.
"Hebat..., hebat...." teriak kawan-kawannya. Tetapi
orang-orang Pamingit menjadi pucat karenanya.
"Hebat...." desis Wanamerta dan Sendang Papat
perlahan-lahan. Anak muda itu memutar kudanya sekali. Dan orang-
orang Pamingit mulai menjauhinya.
"Lihatlah kepala kuda itu," katanya. Wajahnya yang
cerah itu beredar berkeliling.
"Nah, siapa yang ingin kepalanya sendiri aku pecahkan
seperti kepala kuda itu?" katanya pula.
Tak seorangpun terdengar menjawab. Orang-orang
Pamingit itupun telah berhenti menyerang dengan kuda-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kuda mereka, tegak beberapa langkah berkeliling, seperti
hendak mengepung anak muda itu. Namun tak seorangpun
berani mendekati. "Nah, ketahuilah bahwa Arya Salaka pun mampu berbuat
demikian," katanya. "Tetapi itu tidak mengherankan." Tiba-tiba salah seorang
dari orang-orang Pamingit itu berkata. Mata anak muda
itupun menjadi redup. Dengan sudut matanya ia
memandang orang Pamingit itu.
"Kau tidak heran...?" Ia tanya.
Ternyata orang Pamingit itu menjadi gemetar. Tetapi ia
malu untuk menunjukkan perasaan takutnya. Meskipun
terbata-bata ia menjawab, "Sawung Sariti pun mampu
melakukan. Ia memiliki aji Lebur Sekethi."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
"Hebat. Memang, Lebur Sekethi pun hebat pula. Sehebat
Sasra Birawa dan Cundha Manik dari Gunungkidul. Tetapi
ilmu semacam itupun mengenal tingkatan pula. Sawung
Sariti menekuni ilmunya sambil makan dan minum seenak-
enaknya. Kalau ia lelah, ia dapat berbaring di tempat
pembarian yang empuk dan baik. Tetapi tidak dengan Arya
Salaka." Anak muda itu berhenti sambil menarik nafas. Ia
menunggu kalau-kalau ada yang mencoba menjawabnya.
Namun orang-orang Pamingit itu menjadi seperti orang-
orang terinjak. Diam. "Dengarlah..." katanya kemudian, "Sawung Sariti berlatih
di dalam pendapa yang terlindung dari terik matahari.
Beberapa orang mengipasinya kalau keringatnya mulai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengalir. Dengan tergesa-gesa gadis-gadis menyediakan air
hangat bila ia haus. Dan apa yang terjadi dengan Arya Salaka"
Ia mesu diri sejadi-jadinya dalam masa pembajaan.
Apabila siang, ia berlatih di terik panas matahari. Apabila
malam ia berlatih dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah,
ia membaringkan dirinya, beralas rumput, berselimut langit.
Kalau ia haus, minumlah ia air hangat yang baru memancar
dari sumbernya. Sedangkan kalau ia lapar, dengan
sabarnya ia menunggui perapian dimana ia merebus jagung
atau ketela pohon. Disamping itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja
keras. Ia mencangkul diantara para petani. Berjuang
melawan ombak dan taupan diantara para nelayan.
Nah, katakan sekarang hai orang-orang Pamingit.
Siapakah yang kira-kira akan lebih kuat dan masak
menguasai ilmunya. Arya Salaka atau Sawung Sariti?"
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 11 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Iblis Sungai Telaga 16