Pencarian

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 36

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 36


meracuni jiwa kami dengan hiasan kata-kata." Kemudian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kepada Guru Lawa Ijo ia berkata, "Sudahkah senjatamu itu
siap?" Tetapi dada Pasingsingan menjadi bergetar semakin
cepat. Ada perasaan yang lain di dalam dirinya. Sekarang ia
hampir pasti dengan siapa ia berhadapan. Namun di
hadapan Sura Sarunggi, ia masih mencoba untuk
bersembunyi. Ia tidak mau orang lain mengetahui tentang
dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta kawan-
kawannya. Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam
dadanya berteriak nyaring, "Hai Umbaran, yang berdiri di
hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan
Anggara." Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh
sebuah letusan yang dahsyat. Ketika ia memandang kepada
Sura Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah mengurai ikat
pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat
pinggang yang mirip dengan sebuah cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata Sura Sarunggi, sebagaimana
senjata-senjata yang dipergunakan oleh murid-muridnya,
Uling Putih dan Uling Kuning dari Rawa Pening.
Pasingsingan, Guru Lawa Ijo kini tidak mempunyai
pilihan lain. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya
dengan mereka, apakah yang telah terjadi selama ini. Ia
merasa bahwa pada saat-saat terakhir telah diketemukannya berbagai bentuk yang keras dari ajinya,
Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan
yang dicapainya dalam petualangannya. Lalu apakah yang
telah didapatkan oleh kedua saudara seperguruan itu.
Meskipun pada masa-masa lampau, Radite dan Anggara tak
dapat diatasinya, namun kini Pasingsingan yang bernama
Umbaran itu bukanlah Umbaran beberapa tahun yang
lampau. Dengan demikian akhirnya ia memutuskan, bahwa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ia harus berjuang dengan senjatanya itu. Kemudian
terdengarlah suara meledak untuk mengatasi getaran-
getaran di jantungnya, "Hai orang-orang yang tak tahu diri,
yang telah menyia-nyiakan kesempatan terakhir karena
kebaikan hatimu. A ngkatlah wajahmu. Pandanglah angkasa
yang suram sebagai aba-aba dari isi bumi ini, dan
tundukanlah kemudian wajahmu itu sebagai penghormatan
terakhir pada ibu pertiwi. Kemudian hadapilah aku sebagai
lawanmu, yang akan mengantarkan nyawamu menyeberang ke dunia yang tak dikenal."
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas
dalam-dalam. Gumamnya, "Senjata bukanlah alat terakhir
untuk menemukan kesepakatan."
"Tak ada yang akan disepakatkan," sahut Sura Sarunggi,
"Kita berdiri berseberangan. Kita tidak dapat hidup
bersama-sama dalam satu naungan langit yang luas ini."
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu agaknya lebih
mudah tersinggung daripada Pasingsingan yang berdiri di
samping Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang, "Tidak
adakah jalan lain" Kalau demikian, kalau kau berpihak pada
orang yang menamakan diri Pasingsingan pemarah itu,
maka aku akan berdiri di pihak Pasingsingan yang seorang
lagi. Sesudah itu, biarlah kami menentukan keadaan kami
tanpa campur tanganmu."
"Tunggu..." Pasingsingan di samping Mantingan mencoba
untuk mencegahnya. Tetapi suaranya tenggelam dalam
pekik lantang Sura Sarunggi. "Bagus. Itulah kata-kata
jantan. Sudah siapkah kau?"
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu menjawab
tidak kalah lantangnya, "Aku lebih senang menempuh jalan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lain. Tetapi kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan yang
tak dapat aku elakkan, silahkanlah."
Sura Sarunggi tertawa seperti orang mabuk. Katanya,
"Meskipun kau kekasih dewa-dewa, meskipun kau
berperisai guntur dan petir, tetapi kau belum mampu
menjaring angin, maka kau akan kehilangan hidupmu
karena tanganku." "Aku bukan kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan diriku pada Yang Maha Kuasa," jawab
Pasingsingan itu. "Kepada-Nya aku mohon kekuatan untuk
melenyapkan keingkaran atas hukum-hukum-Nya."
Kembali terdengar iblis dari Rawa Pening itu tertawa.
Sesaat kemudian bergema kembali suara cemetinya
menyusur lereng-lereng bukit. "Hai, langit yang muram, angin yang kencang.
Saksikanlah kutuk yang akan
menimpa orang ini." Sura
Sarunggi menutup kata- katanya dengan derai tertawa yang mengerikan. Kemudian ia pun bersiap untuk segera mulai dengan
pertempuran melawan orang
berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan itu. Sesaat kemudian ia pun meloncat dengan garangnya. Cemetinya berputar cepat
sekali, melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin
ribut. Namun Pasingsingan itu pun telah bersiap pula.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tangan di balik jubah abu-abunya berkembang seperti
hendak terbang. Pisau belati panjangnya berkilauan
memantulkan cahaya api yang remang-remang. Demikianlah, mereka tenggelam dalam satu perkelahian
yang dahsyat. Sura Sarunggi, iblis dari Rawa Pening itu
bertempur seperti angin topan. Ia meloncat-loncat dengan
dahsyatnya mengelilingi lawannya, dan menyerangnya dari
segenap penjuru. Namun Pasingsingan itupun tidak
membiarkan dirinya tersekat dalam lingkaran cemeti
lawannya. Dengan tangkasnya ia melontarkan dirinya,
sekali-kali memotong serangan lawannya. Dan bahkan
kadang-kadang ia tegak menghadapi topan seperti bukit
Telamaya yang tak tergoyahkan oleh angin dan badai.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri memandang
perkelahian itu dengan mulut ternganga. Kedahsyatan ilmu
mereka telah menggemparkan dada masing-masing.
Demikian sengitnya perkelahian itu, sehingga akhirnya yang
tampak di mata mereka hanyalah bayang-bayang hitam
yang berputar-putar seperti angin pusaran.
Jaka Soka tak luput pula dari perasaan itu. Heran dan
berdebar-debar. Meskipun demikian ia masih ingat akan
keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari
kemungkinan, ke mana ia harus melarikan diri. Sebab
apabila Pasingsingan yang sepasang itu terlibat pula dalam
pertempuran, serta apabila kemudian Mantingan dan
kawan-kawannya telah berhasil menguasai diri mereka,
bersama-sama menyerangnya, maka sulitlah baginya untuk
bertahan. Padahal ia masih ingin menikmati kebesaran
sebagai pimpinan bajak laut yang disegani. Jaka Soka tidak
peduli lagi apa yang akan terjadi dengan golongan hitam
yang lain. Dengan laskar Mentaok, Rawa Pening, Gunung
Tidar dan lain-lainnya di Pamingit. Karena itu selama ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
masih mendapat kemungkinan, ia harus menyingkir dari
halaman itu. Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo telah
mempersiapkan dirinya pula. Ia melihat betapa sahabatnya
telah terlibat dalam suatu pertempuran yang menentukan.
Karena itu ia menggeram dengan marahnya, "Lihatlah
betapa orang yang berani menyebut dirinya Pasingsingan
itu akan hancur lumat oleh cemeti Sura Sarunggi."
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih
berdiam diri, meskipun ia mengikuti pertempuran itu
dengan seksama. Namun tak ada tanda-tanda padanya,
bahwa ia pun akan segera mulai bertempur.
Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu
menjadi semakin gelisah. Untuk merapati kegelisahannya, ia
berkata, "Hai orang yang sombong, yang berani mengaku
bernama Pasingsingan, bersiaplah menghadapi saat-saat
terakhirmu." "Jangan berkata demikian," jawabnya perlahan-lahan,
"Apakah kau juga sekasar Sura Sarunggi itu?"
"Jangan mencoba melunakkan hatiku," sahut guru Lawa
Ijo. "Aku tahu bahwa hatimu tak selunak yang aku
harapkan," kata Pasingsingan di samping Mantingan.
"Tetapi jangan terlalu lama mengelabuhi dirimu. Aku yakin
bahwa kau telah mengenal aku."
Dada guru Lawa Ijo berdesir keras. Tetapi ia takut
melihat kepada dirinya sendiri. Ia menjadi takut, bahwa
akhirnya ia benar-benar menyadari keadaannya. Karena itu
ia berteriak, "Jangan mencoba meringankan kesalahanmu.
Bersiaplah aku akan mulai."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Umbaran..." tiba-tiba terdengar suara yang lunak,
selunak suara seorang kakak terhadap adiknya. Mendengar
nama itu, darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir.
Telah bertahun-tahun ia tidak mendengarnya orang
memanggil nama yang diberikan oleh ayah bundanya. Ia
lebih senang dan bangga apabila orang menyebutnya
dengan ketakutan, "Pasingsingan." Karena itu tiba-tiba ia
menjadi bingung. Dalam kebingungan itulah ia berteriak,
"Jangan mengigau. Umbaran telah mati. Aku, Pasingsingan,
yang telah membunuhnya."
"Ya, Umbaran telah tak ada lagi," jawab orang berjubah
itu, "Yang ada kemudian adalah Pasingsingan. Tetapi,
baginya masih ada jalan kembali."
"Diam!" bentak guru Lawa Ijo. Darahnya yang beku itu
tiba-tiba mendidih kembali. Radite dan Anggara yang lenyap
dari percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu
menambah ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat
mengatasinya. Tetapi ia menjadi gelisah kembali ketika orang yang
dibentak-bentaknya itu masih tetap tenang dan berkata,
"Jangan marah Umbaran. Aku datang kepadamu dengan
maksud baik. Kau masih mempunyai kesempatan kembali
ke perguruan kita. Guru kita yang bergelar Pasingsingan
dengan cita-cita yang putih."
"Diam!" Pasingsingan berteriak semakin keras. "Sayang,
bahwa kau tak dapat mengikuti jejaknya. Kau tak mampu
menangkap ajaran- ajarannya, sehingga kau salah duga
terhadapnya. Kau menganggap bahwa guru kita telah
kehilangan kegairahannya terhadap hidup dan kehidupan.
Karena itu kau memilih jalanmu sendiri."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Omong kosong," bantah guru Lawa Ijo, "Apakah kau
selama ini juga mentaati ajaran-ajarannya" Apakah kau
selama ini bersih dari noda-noda yang dilemparkan oleh
kehidupan disekitar kita kepadamu?"
"Tidak, Umbaran," jawab orang itu. "Aku merasa, betapa
kotornya hati dan ragaku. Namun aku telah berusaha untuk
mengurangi kesalahanku, setidak-tidaknya mengurangi
kesalahan-kesalahan baru yang akan menambah beban
kehidupan sukmaku." "Aku bukan orang yang puas dengan keadaanku
sekarang. Tetapi aku berhak menuntut masa depanku
sebaik-baiknya" kata guru Lawa Ijo.
"Aku bangga terhadap mereka yang berjuang buat masa
depannya. Namun mereka jangan mengorbankan masa
depan orang lain sebagai pupuk bagi masa depannya itu."
Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, namun
cukup jelas bagi guru Lawa Ijo. Kata demi kata, yang
seolah-olah menyusup ke tulang sungsumnya. Tetapi
hatinya yang selama ini telah dibalut oleh nafsu yang
bergelora berlebih- lebihan, kini benar-benar telah menjadi
sekeras batu, meskipun dengan sekuat tenaga ia berusaha


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membendungnya. Bahkan akhirnya ia berkata lantang,
"Jangan menggurui aku. Guruilah dirimu sendiri. Bukankah
kau menjelang kebahagiaan masa depanmu dengan
mengorbankan orang lain pula" Manakah perempuan yang
aku hadiahkan kepadamu itu" Bukankah ia mati karena
ketamakanmu?" "Umbaran!" potong orang berjubah yang berdiri
disamping Mantingan. "Aku minta jangan kau sebut-sebut
itu lagi." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ha, kau menjadi ketakutan" Kau lihat noda-noda yang
melekat di tubuhku, namun tak kau lihat kotoran-kotoran
yang bergumpal-gumpal di wajahmu" Di pelupuk matamu"
Mana perempuan itu" Mana...?"
"Jangan kau sebut itu, Umbaran," kata orang itu.
"Biar, biar aku ulang seribu kali," sahut guru Lawa Ijo.
"Perempuan itu kau tukar dengan ciri-ciri kekhususan
Pasingsingan kita. Dan kau berjanji tidak akan mengganggu
gugat lagi. Sekarang perempuan itu mati. Mati. Mati...."
"Cukup!" potong orang itu keras-keras. Namun kemudian
ia menundukkan wajahnya. Tangan kirinya perlahan-lahan
diangkatnya mengusap dadanya yang bergelora.
Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa panjang sampai
tubuhnya terguncang-guncang. Ia tertawa dan tertawa
untuk memuaskan hatinya. Sambil menunjuk kepada Sura
Sarunggi dan lawannya ia berkata, "Lihat, apa yang bisa
dilakukan oleh Anggara, penjagamu itu. Lihatlah, sebentar
lagi ia akan binasa."
Orang yang berdiri di samping Mantingan itu tidak
menjawab. Tetapi ia mengangkat wajahnya, dan memandang kepada adik seperguruannya yang sedang
bertempur. Mereka berputar-putar dengan lincahnya,
lontar-melontar seperti sepasang garuda yang sedang
berlaga. Tangan mereka berkembang seperti sayap dengan
senjata masing-masing. Cemeti Sura Sarunggi meledak-
ledak mengerikan, sedangkan sinar kuning pisau belati
lawannya menyambar-nyambar seperti petir di langit yang
kelam. Ujung cemeti Sura Sarunggi itu seolah-olah memiliki
penglihatan, ke mana ia harus mematuk. Namun ujung
belati lawannya seperti mempunyai mata, yang dapat
melihat setiap serangan dari arah manapun juga.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat dan
dahsyat. Sura Sarunggi bertempur dengan kasar dan
bengis, sedang Anggara melayaninya dengan tangkas dan
tangguh. Ketika mereka sudah berkelahi beberapa saat, Sura
Sarunggi menjadi semakin heran. Lawannya dapat
bertempur dengan gigihnya. Bahkan beberapa macam
geraknya telah dikenalnya. Mirip dengan Pasingsingan
sahabatnya itu. Karena itu timbullah beberapa pertanyaan
di dalam dirinya, apakah orang ini benar-benar Pasingsingan..." "Tidak mungkin!" Pertanyaan itu dibantahnya sendiri. Anggara pada saat itu memang sengaja bertempur
dengan ciri-ciri perguruan Pasingsingan. Ia sengaja
menunjukkan, bahwa dirinyapun memiliki ilmu seperti ilmu-
ilmu ajaib dari orang yang bernama Pasingsingan itu.
Bahkan beberapa gerak diulangnya supaya menjadi jelas
bagi lawannya. Guru Lawa Ijo masih tertawa keras-keras. Dan
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih
memandangi Sura Sarunggi dan Anggara.
"Jangan membeku seperti batu," tegur Umbaran,
"Sekarang apa katamu?"
Orang yang bernama Radite itu perlahan-lahan menoleh
ke arah Umbaran, jawabnya, "Marilah kita lupakan masa
lampau. Marilah kita bina bersama masa depan perguruan
kita." "Masa depanku jauh berbeda dengan masa depanmu.
Jangan mengigau lagi. Pergi dan bawa adikmu itu, atau kau
berdua binasa." Umbaran meneruskan, "Jangan mimpi aku
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berlutut di bawah kakimu dan menyerahkan perempuan
untuk kedua kalinya."
"Jangan bicara tentang perempuan!" Radite membentak.
Kesabarannya telah menjadi semakin tipis. Hatinya yang
luka karena perempuan, kini terungkap kembali.
"Aku bicara tentang perempuan, supaya kau teringat
kembali akan perjanjian kita. Kita tidak akan saling
mengganggu," sahut Umbaran.
"Aku tidak akan mengganggu gugat pusaka-pusaka yang
telah kau miliki, ciri-ciri khusus Pasingsingan yang kau
pakai, sedang kau tak akan mengganggu gugat perempuan
itu," jawab Radite. "Tetapi aku berhak mengganggu gugat
segala perbuatanmu yang terkutuk."
"Kau iri hati" kata Umbaran.
"Tidak," jawab Radite, "Aku mempunyai kepentingan
sendiri. Aku tidak mau menanggung beban dosamu lebih
banyak lagi karena kesalahanku, menyerahkan kesaktian
Pasingsingan kepadamu. Sebab dengan demikian kau telah
menarik diri dari persahabatanku dengan Pandan Alas, Sora
Dipayana, Titis Angganten dan lain-lain. Bahkan kau telah
menempatkan dirimu sebagai lawan. Nah, aku akan
menghentikan semuanya itu."
"Ha, itulah akibat nafsu gilamu kepada perempuan?"
jawab Umbaran. Sengaja ia ingin memanaskan hati Radite.
Mempengaruhinya dengan kelemahan-kelemahannya.
Tetapi dengan demikian Radite menjadi marah. Peristiwa
itu adalah peristiwa yang paling pedih dalam hidupnya,
karena itu setiap kali ia dihadapkan pada kenangan itu,
setiap kali ia kehilangan kesabaran.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Umbaran..." kata Radite dengan lantang, "Kesabaran
seseorang ada batasnya. Jangan menunggu demikian."
Umbaran menjadi berdebar-debar. A pakah Radite benar-
benar akan marah dan menyerangnya" Tetapi tak ada
pilihan lain. Sura Sarunggi telah bertempur dengan
gigihnya. Keduanya berdiri tegak dengan tenangnya. Radite masih
berusaha menguasai perasaannya, sedang Umbaran
menjadi berdebar-debar menghadapi kemungkinan yang
berat. Ia tidak segarang biasanya, yang langsung menikam
lambung lawannya. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan keadaan. Karena keragu-raguannya
itulah ia masih berdiri tegak.
Ketika keduanya sedang berusaha menekan perasaan
masing-masing, tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi
kentongan, yang dipukul bergelombang-gelombang. Rog-
rog asem. "Setan," desis Pasingsingan, "Mereka datang."
Radite mengangkat wajahnya. Lamat-lamat terdengar
kentongan itu menjalar. Ia tidak tahu tanda apakah itu.
Karena itu, ia harus memperhitungkan setiap kemungkinan.
Namun karena itulah maka Pasingsingan guru Lawa Ijo
menjadi bertambah bingung. Akhirnya ia kehilangan
kejernihan dan kelicinan otaknya. Ia tahu benar, bahwa
tanda itu mengabarkan kedatangan orang Banyubiru atau
Pamingit. Mahesa Jenar atau Sora Dipayana dan kawan-
kawannya. Akhirnya ia menjadi mata gelap. Sebab
menyingkirpun tak ada kesempatan pula.
Karena itu, tanpa diduga-duga, ia meloncat dengan
garangnya sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkilauan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyambar leher Radite. Radite terkejut mengalami
serangan yang tiba-tiba itu. Sebenarnya ia masih
mengharap agar mereka tidak perlu mempergunakan
kekerasan, apalagi dengan tetesan darah. Tetapi Umbaran
telah menyerangnya. Dengan demikian ia tak dapat berbuat
lain daripada melawannya. Maka sesaat kemudian kedua
Pasingsingan itupun telah bertempur pula. Masing-masing
memegang pisau belati panjang di tangannya. Umbaran
dan Radite adalah dua orang yang memiliki ilmu yang
bersumber dari guru yang sama. Karena itu mereka pun
bertempur dengan ilmu yang sama pula. Tetapi ilmu
mereka masing-masing telah mengalami beberapa perubahan sesuai dengan pengaruh keadaan dan waktu.
Ilmu Pasingsingan Umbaran telah berubah menjadi semakin
kasar, keras dan kejam. Sedang ilmu Radite masih tetap
dalam tataran yang bersih. Meksipun demikian tidak berarti
bahwa Umbaran telah melampaui Radite dalam ketahanan
tempurnya. Dalam beberapa saat mereka telah lenyap dari bentuk
mereka. Yang tampak hanyalah pusaran yang kelam dari
jubah mereka yang abu-abu, di sela oleh cahaya kuning
yang menyambar-nyambar mengerikan.
Umbaran yang mata gelap, bertempur dengan darah
yang bergelora. Hatinya benar-benar telah dikuasai oleh
nafsu yang ganas. Dan dari hidungnya seolah-olah terhirup
udara maut. Dengan berteriak-teriak nyaring ia meloncat-
loncat, menyerang dengan sengitnya. Pisaunya berputar-
putar mengarah ke segenap bagian-bagian tubuh Radite.
Dalam kesibukan pertempuran antara hidup dan mati itu,
terdengar Umbaran berteriak, "Kalau kau masih belum
mampu melenyapkan diri dari tangkapan mataku, jangan
mengharap keluar dari halaman ini dengan ragamu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Radite diam saja. Namun ia bertempur terus. Sebenarnya
dalam lekuk-lekuk hatinya yang terdalam, masih juga
bermunculan perasaan sesal dan ngeri atas apa yang
pernah terjadi pada dirinya. Tukar-menukar kehormatan.
Tetapi ia sadar pula, bahwa apabila ia tidak cawe-cawe,
maka Pasingsingan yang bernama Umbaran itu akan
banyak menimbulkan bencana. Kalau benar-benar ia
berhasil memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten,
maka keadaan akan sangat berbahaya. Ia dapat
menghadap Sultan Demak dengan laskar segelar sepapan,
dan memaksanya untuk menyerahkan kekuasaan, setelah ia
menyatakan diri sebagai pemilik pusaka-pusaka sipat kandel
itu. Dengan landasan kekuatan golongan hitam dan daerah-
daerah yang didudukinya, beserta kesesatan pandangan
beberapa orang kawula Demak atas kepercayaan mereka,
bahwa siapa yang memiliki Nagasasra Sabuk Inten akan
mampu merajai Nusantara, maka Umbaran akan mendapatkan pengikut-pengikutnya.
Atau orang yang berotak licin itu dapat menempuh jalan
lain. Ia dapat menggerakkan laskar hitam untuk
menimbulkan bencana. Sebagai Pasingsingan, ia dapat
menggulung daerah demi daerah. Namun kemudian sebagai
Umbaran yang berwajah manis, ia menghadap Sultan
dengan menyerahkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Dengan demikian ia akan mendapatkan banyak kepercayaan dari Sultan. Akhirnya ia dapat melawan
kekuasaan Demak dari luar dan dari dalam. Sementara itu
ia harus mencuri keris-keris itu kembali.
Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin
sengit. Masing-masing bertekad untuk memenangkan
pertempuran. Meskipun Umbaran bertempur dengan kasar
dan bengis, namun Radite bukan anak-anak yang baru
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dapat berdiri. Radite memiliki kematangan ilmu melampaui
Umbaran, meskipun pada dasarnya Umbaran berguru lebih
dahulu kepada Pasingsingan Sepuh. Tetapi karena Umbaran
kurang dapat menepati ajaran-ajaran gurunya, maka
akhirnya ia terpaksa menghentikan usahanya mengisap ilmu
yang luar biasa itu. Dan kini, dua orang murid dari
perguruan yang sama itu berhadapan dan bertempur mati-
matian. Selain mereka yang bertempur, tak seorang pun yang
menggerakkan tubuhnya oleh ketegangan yang semakin
memuncak. Perhatian mereka seolah-olah terikat erat-erat
pada pertempuran itu. Kesempatan yang demikian itulah yang ditunggu Jaka
Soka. Kalau ia terlambat mempergunakan waktu, sehingga
Mantingan dan kawan-kawannya berhasil menguasai diri
mereka, maka akan celakalah nasibnya. Dengan diam-diam


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan sangat hati-hati ia berkisar, setapak demi setapak. Ia
telah menemukan arah yang baik untuk menyembunyikan
diri dan kemudian meninggalkan tanah perdikan yang
seolah-olah menjadi panas, sepanas bara api baginya.
Maka, dengan tidak menarik perhatian, akhirnya Jaka Soka
berhasil menyelinap ke dalam gelap dan kemudian
menghilang dari halaman itu. Bagi Jaka Soka, lebih baik
hidup di antara anak buahnya dan perempuan-perempuan
yang dikumpulkan selama ini, daripada mati di Banyubiru.
Ia tidak peduli apa yang dikatakan orang atasnya. Apakah
orang akan mengatakannya pengecut, apakah penakut, ia
tidak keberatan. Sebab pada dasarnya, meskipun golongan
hitam itu nampaknya bekerja bersama-sama, namun
mereka sama sekali tak memiliki kesetiakawanan yang
jujur. Apabila mereka terbentur pada kepentingan diri,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
maka kepentingan bersama dapat dianggapnya tidak
berlaku. Sementara itu, Arya Salaka memacu kudanya seperti
angin topan. Meskipun demikian, tarasa betapa lambatnya
perjalanan itu. Kuda yang dinaikinya betapa malasnya,
sehingga berkali-kali ia terpaksa mencambuknya.
Ketika dari kejauhan tampak api yang menyala,
terdengar giginya gemertak. Tangannya yang memegang
tombak pusaka Banyubiru terasa gemetar. Ia menjadi
marah sekali. Ia menyesal, bahwa ia terlambat.
Di belakangnya berpacu Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Kedua orang itu pun tak kalah gelisahnya. Juga
kedua orang itu menyesal kenapa Sawung Sariti tidak
segera mengabarkan kepada mereka, bahwa ada serombongan orang-orang dari golongan hitam yang pergi
ke Banyubiru. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memacu
kuda mereka dengan darah yang bergolak.
Suara kaki-kaki kuda mereka berderap memecah sepi
malam di atas tanah-tanah berbatu padas. Orang-orang
yang menutup pintu serapat-rapatnya di tepi-tepi jalan,
menjadi semakin gelisah mendengar derap kuda itu. Mereka
memeluk anak-anak mereka semakin erat di dada mereka
sambil berdoa, semoga Yang Maha Kuasa melindungi
mereka dari bencana. Arya Salaka melihat dua tiga orang menyelinap ke
halaman ketika kudanya menghambur terbang, tetapi ia
tidak memperdulikannya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
pun tak begitu tertarik kepada orang-orang itu. Tetapi
ketika kemudian terdengar bunyi kentongan, mereka
menyesal. Agaknya orang-orang itu adalah para pengawas,
yang harus mengamat-amati kedatangan orang-orang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Banyubiru. Namun mereka tak dapat memutar kuda mereka
kembali. Dengan demikian waktu mereka akan semakin
habis. Ketika Arya Salaka akan membelok ke arah api yang
menyala-nyala, terdengar Mahesa Jenar berteriak, "Terus
ke rumahmu, Arya." Arya menarik kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga
kuda itu meringkik dan berdiri tegak di atas kedua kaki
belakangnya. "Api," jawab Arya.
Pada saat itu kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
telah berlari disampingnya, tidak ke arah api itu. Dan
terdengarlah suara Mahesa Jenar tanpa menghentikan
kudanya, "Itu adalah suatu cara untuk memancing kita. Aku
telah mengenal akal itu".
Kembali Arya Salaka menggeretakkan giginya. Dengan
cepatnya ia mencambuk kudanya dan berlari mengikuti
gurunya. Mereka langsung pergi ke rumah kepala daerah
perdikan yang sedang diguncang oleh peristiwa-peristiwa
yang menyedihkan. Ketika mereka semakin lama menjadi
semakin dekat, maka dada merekapun semakin berdebar-
debar pula. Meskipun demikian, Arya masih belum sadar benar akan
keadaannya, sehingga dengan berteriak ia bertanya,
"Bagaimana dengan api itu paman?".
Mahesa Jenar menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul
dekat dibelakangnya, "Jangan perdulikan", jawabnya
"mereka hanya ingin menarik perhatian kita. Tempat yang
menyala itu adalah tempat-tempat yang tak berarti. Mudah-
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mudahan laskarmu telah berusaha untuk menyelesaikannya. Bukankah api itu telah surut?".
"Ya", sahut Arya. Ia mengerti sekarang, bahwa bahaya
yang sebenarnya tidak terletak di daerah api itu.
----------o-dwkz)(arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II Demikianlah mereka bertiga memacu kuda-kuda mereka
semakin cepat dan cepat. Mereka berpacu bersama angin
basah yang bertiup menghanyutkan awan yang kelabu.
Kilat memancar-mancar di udara seperti sedang bersabung,
diantar oleh bunyi guruh yang menggelegar memukul
tebing-tebing perbukitan.
Arya Salaka menjadi tidak sabar lagi. Ketika ia melihat
sepasang beringin di alun-alun, hatinya seperti meronta-
ronta. Tetapi dimuka regol rumahnya tak dilihatnya apapun
yang mencurigakan. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, adalah orang-orang
yang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari
Arya Salaka. Karena itu mereka menghentikan kuda-kuda
mereka dimuka halaman. Mereka harus memasuki halaman
itu dalam kesiagaan penuh. Namun Arya Salaka tidak
sempat berpikir demikian. Ia langsung melampaui Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara di atas kudanya yang masih
berlari seperti di kejar hantu.
"Arya!", teriak Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar tak
mampu menghentikannya. Seperti anak panah Arya
langsung menyerbu masuk ke halaman.
Di halaman itu masih bertempur dengan sengitnya, Sura
Sarunggi melawan Anggara, dan Umbaran melawan Radite.
Mereka bertempur dalam tingkat tertinggi dari ilmu-ilmu
mereka. Yang paling gelisah dari mereka adalah Umbaran. Ia
sadar sesadar-sadarnya, apabila datang orang-orang
Banyubiru, maka akan berakhirlah kisah petualangannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu, dalam kegelisahannya ia sempat memperhitungkan keadaan. Ia harus bertindak cepat dan
menguntungkan. Karena itu ia memutuskan untuk
membunuh salah seorang lawannya atau orang-orang
Banyubiru yang datang untuk mengurangi lawannya.
Sesudah itu, kalau perlu ia akan melarikan diri saja,
meskipun kemungkinannyapun tipis pula. Tetapi kalau ia
berhasil membunuh salah seorang dari mereka, ia akan
dapat mempengaruhi keadaan, meskipun hanya sekejap.
Dan kelebihan waktu yang sekejap itu harus dipergunakan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketika ia mendengar derap kuda langsung
memasuki halaman, ia melontar mundur beberapa langkah,
kemudian dengan tak terduga Umbaran berteriak keras-
keras, dan pisau belati panjangnya meluncur seperti tatit ke
dada Arya Salaka. Arya terkejut melihat sinar kuning
menyilaukan terbang kearahnya. Tetapi ia tidak mendapat
kesempatan untuk mengelak. Kudanya sendiri berlari cepat
menyongsong sinar yang berkilat-kilat itu. Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara terkejut bukan kepalang. Maut yang
menyambar itu demikian cepatnya sehingga mereka tak
mampu berbuat apa-apa, selain berteriak keras, "Arya,
bungkukkan badanmu".
Arya Salaka telah kehilangan keseimbangan perhitungannya. Karena itu tak ada yang dapat dikerjakan.
Ia mencoba membungkuk merapat ke punggung kuda,
namun pisau itu telah dekat sekali. Tetapi tak sempat
dilihatnya adalah sambaran pisau yang kedua. Pisau belati
panjang yang seakan-akan mengejar pisau yang pertama.
Pisau inipun tak kalah cepatnya, meluncur dari arah yang
lebih rendah dari pisau yang pertama, sehingga kedua pisau
itupun seperti kilat di langit yang sambar menyambar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tuhan adalah penentu dari semua kejadian. Demikianlah
pisau itu pun tak terlepas dari pengaruh tangan Nya.
Pisau belati yang kedua, yang dilemparkan oleh
Pasingsingan yang seorang lagi, meluncur dari arah yang
berbeda serta lebih rendah dari arah pisau yang pertama,
berhasil mengenai pisau yang pertama. Sentuhan itu dapat
mempengaruhi arah pisau-pisau itu. Sehingga dengan
demikian, selisih arah yang hanya setebal jari mengukit
arah yang pertama, telah menyelamatkan Arya Salaka.
Meskipun ia belum berhasil merapatkan tubuhnya
sepenuhnya, namun pisau-pisau itu tak menyentuh kulitnya.
Hanya ikat kepalanya sajalah yang tersambar dan terbawa
oleh pisau-pisau itu. Namun meskipun demikian, dada Arya
Salaka berdesir keras. Ia menggeram sambil menggigit
bibirnya. Maut serasa telah hinggap diujung rambutnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpekik kecil. Mereka
meloncat bersama-sama maju, namun kemudian mereka
melihat Arya Salaka masih duduk di atas punggung kudanya
yang meluncur cepat di halaman itu, yang kemudian
melingkar memutar di samping gandok.
"Bagaimana kau Arya?", teriak Mahesa Jenar.
Nafas Arya masih meloncat-loncat tak teratur. Dadanya
berdebar cepat dan jantungnya seperti berdentang-
dentang. Namun ia sempat menjawab terbata-bata, "Baik
paman". Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas panjang.
Tetapi kelegaannya itu tidak terlalu lama. Mereka
ditegangkan kembali oleh kenyataan yang dilihatnya di
halaman. Dalam remang-remang cahaya obor di pendapa,
mereka melihat Mantingan, Wilis, Widuri dan Wirasaba
berdiri dalam satu kelompok hampir berhimpitan dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kaku, di pendapa mereka melihat Wanamerta duduk lemas
seperti orang yang kehilangan akal, sedang Sendang
Parapat pun duduk bersandar tiang. Tangannya memegang
senjatanya, namun senjata itu terkulai di lantai. Sedang
beberapa penjaga diregol jatuh tersungkur di tanah, dan
mereka yang berada di gardu telah kehilangan kemampuan
bergerak. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka
menjadi semakin terkejut ketika mereka melihat dua
lingkaran pertempuran. Dan hampir-hampir dada mereka
meledak ketika mereka melihat tiga orang yang memakai
jubah abu-abu dan bertopeng kasar.
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi", gumam Mahesa
Jenar. Kebo Kanigara berdiam diri. Keningnya berkerut-kerut.
Umbaran ternyata telah menyerang Radite dengan
membabi buta, ketika ia tidak berhasil membunuh Arya
Salaka. Pada saat itu, ia telah mencoba untuk melarikan
diri, namun Radite bukan anak-anak yang dapat
dikelabuhinya, sehingga dengan beberapa loncatan ia telah
berhasil menahan Pasingsingan yang menghantui Demak
pada saat itu. Tiba-tiba halaman itu digetarkan oleh pekik kecil. Widuri
tiba-tiba berhasil menguasai kesadarannya, ketika dilihatnya
ayahnya memasuki halaman. Kemudian ia meloncat maju.
Mula-mula ia seperti melihat malaikat hadir di halaman itu.
Maka ketika ayahnya berdiri tegak mengamati keadaan, ia
menghambur lari kepadanya, "Ayah", panggilnya. Seperti
anak ayam yang terancam elang, Widuri bersembunyi di
balik sayap-sayap induknya. Kebo Kanigara pun menjadi
terharu karenanya. Meskipun ia tidak melepaskan perhatiannya kepada keadaan sekelilingnya, namun
dipeluknya anak itu erat-erat. Pada saat itu Rara Wilis pun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjadi bertambah tenang, sebab mereka masih dapat
mengharap perlindungan dari orang-orang yang dibanggakannya. Demikianlah ketegangan yang mencekik
leher orang-orang di halaman itu menjadi semakin terurai.
Kedatangan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka
benar-benar telah membebaskan mereka dari kecemasan.
Bukan karena mereka cemas dan takut bahwa mereka akan
terbunuh, namun mereka cemas dan takut bahwa mereka
tidak dapat mempertahankan pusat pemerintahan Banyubiru, dan karena itulah kini mereka yakin bahwa
Banyubiru akan dapat diselamatkan.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih berdiri tegak tak
bergerak. Hanya pandangan mata mereka sajalah yang
beredar dari satu titik ke titik yang lain. Ketika kemudian
mata Mahesa Jenar bertemu pandang dengan Rara Wilis
berdesirlah hatinya. Rara Wilis kemudian menundukkan
wajahnya, namun hatinya melonjak. Pada wajah gadis itu,
Mahesa Jenar dapat melihat ketegangan yang selama itu
mencekam hatinya. Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara bergumam
perlahan-lahan, "Widuri, apakah yang terjadi" Bukankah
kalian selamat?". Widuri tidak senakal dan semanja biasanya. Kini benar-
benar ia berusaha menempatkan diri. Karena itu ia
menjawab perlahan-lahan, "Tiga hantu bertemu di sini,
Ayah. Ditambah seorang lagi, yang datang bersama salah
seorang dari hantu-hantu itu."
Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi ragu, apakah
yang harus dilakukan. Tetapi disamping itu, ia pun
bersyukur kepada Yang Maha Agung bahwa anak serta
sahabat-sahabatnya telah diselamatkan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Berbeda dengan Mahesa Jenar. Ia telah memiliki
beberapa pengetahuan yang lebih banyak daripada Kebo
Kanigara. Ia telah mengenal lebih dalam mengenai
Pasingsingan. Karena itu cepat otaknya bekerja dan
menemukan pemecahan dari teka-teki yang dihadapinya.
Teringatlah ia kepada ketiga murid Pasingsingan yang
bernama Radite, Anggara dan Umbaran. Teringatlah ia
kepada dua orang petani yang bernama Paniling dan Darba
di Pudak Pungkuran. Karena itu Mahesa Jenar segera
mengetahui bahwa kedua orang berjubah abu-abu di antara
mereka adalah Radite dan Anggara, sedang yang lain
adalah Umbaran. Mahesa Jenar juga memastikan bahwa
yang bertempur melawan Sura Sarunggi itu adalah salah
seorang dari kedua petani dari Pundak Pungkur itu, sedang
yang bertempur di antara dua orang yang berpakaian mirip
itu adalah Umbaran melawan salah seorang saudara
seperguruannya. Tetapi yang manakah di antara keduanya
yang bernama Radite dan yang manakah yang Umbaran"
Karena itulah kemudian Maheswa Jenar berbisik kepada
Kebo Kanigara, "Kakang, ingatkah Kakang kepada dua
orang petani di Pudak Pungkuran?"
"Ya," sahut Kebo Kanigara. Sebenarnya ingatannya pun
mulai merayap kepada kedua orang petani itu. Karena itu,
pertanyaan Mahesa Jenar telah mendorongnya kepada
suatu kepastian tentang tiga orang hantu berjubah abu-abu
itu. "Tuhan Maha Besar," Mahesa Jenar meneruskan,
"Mereka datang kemari pada saat yang tepat. Karena salah
seorang dari mereka itu pulalah maka Arya Salaka dapat
diselamatkan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya," jawab Kebo Kanigara. Pada saat itu dua buah pisau
belati panjang yang berwarna kuning terbang ke arah Arya
Salaka. Baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara melihat
salah seorang dari mereka berjongkok. Orang itulah yang
telah menolong Arya dari usaha pembunuhan yang
dilakukan oleh yang lain. Dan orang itulah pasti salah
seorang dari Radite atau Anggara. Tetapi ketika kemudian
keduanya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang riuh,
maka mereka tidak dapat mengenal lagi yang manakah di
antara keduanya yang telah menolong Arya. Karena itu
mereka tidak dapat segera berbuat sesuatu, sebelum
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan sebaik- baiknya. Namun Mahesa Jenar tidak mencemaskan keadaan. Ia
yakin bahwa Radite dan Anggara akan dapat menyelesaikan
pekerjaan mereka. Di Rawa Pening dahulu, Sima Rodra dan
Pasingsingan tak mampu melawan kedua orang itu pula,
sedangkan pada saat itu Radite dan Anggara harus
menyembunyikan gerak-gerak khusus dari perguruan
Pasingsingan. Apalagi kini mereka dapat bergerak dengan
leluasa tanpa pengendalian diri. Mereka tidak perlu takut-
takut bahwa mereka akan dikenal, sebab agaknya
kehadiran mereka pada saat itu dengan ciri-ciri kekhususan
mereka, adalah karena Radite dan Anggara telah
menemukan suatu cara pemecahan.
Karena itulah akhirnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
malahan berkisar menepi. Arya pun telah turun dari
kudanya. Kini jantungnya telah tidak berdentang-dentang
lagi. Ia berdiri tidak jauh dari gurunya, sambil
memperhatikan setiap keadaan. Ia tidak mengerti mengapa
tiba-tiba ada tiga orang yang berjubah dan bertopeng.
Sedang sepasang di antaranya saling bertempur.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pertempuran di halaman itu semakin sengit, Sura
Sarunggi mengumpat di dalam hati. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara benar-benar mempengaruhi perasaannya. Ia telah
melihat sendiri apa yang telah dialami oleh Sima Rodra dan
Nagapasa. Kedua orang itu pulalah yang telah membinasakan mereka. Sedang kini tiba-tiba ada setan,
gendruwo, thethekan yang mengganggu. Orang berjubah
itu benar-benar mengacaukan rencana. Kalau tak ada
mereka, ia pasti akan berhasil menghindari pertempuran
ketika didengarnya kentongan rog-rog asem. Tetapi
sekarang tak ada kesempatan untuk meninggalkan halaman
itu. Tetapi justru karena itulah maka Sura Sarunggi,
seorang yang mempunyai nama yang besar di antara
mereka, yang tahu akibat-akibat dari perbuatannya,
menjadi semakin marah. Senjatanya meledak-ledak seperti
guruh di langit. Menyambar, melingkar, mematuk
mengerikan. Senjata itu dapat menyerang lawannya tidak
saja dari muka atau dari samping, tetapi ujungnya tiba-tiba
dapat mematuk pula dari arah punggung lawannya.
Untunglah yang melawannya adalah Anggara yang memiliki
kelincahan melampaui ujung cemeti itu. Setiap kali ia
meloncat-loncat menghindari dari ujung senjata lawannya
itu, selincah sikatan menyambar belalang di rerumputan.
Bahkan ujung pisaunya pun mematuk-matuk mengerikan,
seolah-olah telah berubah menjadi puluhan, bahkan ratusan
pisau yang bergerak bersama-sama.
Kemudian Sura Sarunggi itu tidak lagi memperhitungkan
apa yang akan terjadi atas dirinya. Tetapi yang ada
dibenaknya adalah bertempur mati-matian untuk membinasakan orang yang telah berani merusak rencananya itu. Sesudah itu, apakah ia harus mengalami
nasib seperti Sima Rodra, apakah ia masih akan bernasib
baik, tidaklah menjadi soal baginya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah pertempuran antara Sura Sarunggi dengan
Anggara segera mencapai saat-saat yang menentukan.
Ketika Anggara melihat lawannya berjuang pada tataran
terakhir, ia pun segera memusatkan segela kemampuannya.
Sehingga lambat laun, tampaklah bahwa petani miskin dari
Pudak Pungkuran itu dapat mendesak lawannya. Sambil
menggeram marah, Sura Sarunggi berusaha untuk
melepaskan segala kesaktiannya. Namun ternyata Anggara
memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Sehingga
akhirnya Sura Sarunggi tak dapat berbuat lain daripada
melepaskan ilmu terakhir, yang dinamainya Uler Kilan. Ilmu
yang luar biasa dahsyatnya. Meskipun pada dasarnya ilmu
ini adalah ilmu gerak, namun Uler Kilan memiliki daya
keampuhan yang nggegirisi. Sentuhan-sentuhan ilmu ini
dapat menyebabkan lawannya menjadi nyeri dan panas,
seperti tersentuh oleh ulat yang paling berbahaya berlipat
seperti tersentuh oleh bisa ulat yang paling berbahaya
berlipat seribu. Dengan berteriak nyaring, Sura Sarunggi
melenting tinggi. Kemudian menyambar lawannya dengan
tangannya yang mengembang. Sedang tangannya yang lain
masih juga mempermainkan cambuknya yang meledak-
ledak mengerikan. Anggara yang melihat perubahan gerak lawannya, segara
mengetahui, bahwa orang yang berkepala besar itu telah
melepaskan ilmu terakhirnya. Karena itu, iapun melontar
mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak. Sebab,
sudah pasti, untuk melawan ilmu sakti itu, ia pun harus
mempergunakan rangkapan pula.
Sura Sarunggi kemudian bertempur benar-benar seperti
Ular Kilan. Jauh berbeda dengan gerak-gerak sebelumnya.
Ia melenting-lenting dari satu tempat ke tempat lain dengan
loncatan-loncatan panjang. Kemudian kembali ia SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyerang dengan telapak tangannya. Disusul dengan
ledakan cambuknya memecah desir angin malam.
Akhirnya Anggara pun tak mempunyai pilihan lain. Dalam
sesaat ia telah berhasil membangun diri dalam kekuatan
rangkapannya. Ilmu yang disusunnya bersama-sama
dengan kakak seperguruannya, Radite, berdasarkan ilmu
yang diterimanya dari gurunya. Ilmu yang tak kalah
ampuhnya, yang dinamai Naga Angkasa. Tiba-tiba Anggara
dalam pakaian Pasingsingan itu mengembangkan tangannya, seperti seekor burung garuda. Jubahnya seolah-
olah menjadi sayap-sayap yang selalu bergerak-gerak ditiup
angin. Dalam kesiagapan tertinggi ia menanti lawannya
menyerangnya kembali. Demikianlah kedua orang itu bertempur dalam tingkatan
terakhir. Sura Sarunggi menjadi heran, kenapa Pasingsingan ini tak melepaskan aji Gelap Ngampar atau
Alas Kobar, tetapi ia lebih senang melawan ilmunya dengan
ilmu gerak pula. Namun Naga Angkasa pun membawa
udara yang aneh, yang seolah-olah mempengaruhi
kesadaran lawannya. Naga Angkasa tidak sepanas Alas
Kobar, namun pengaruhnya jauh melampauinya, sehingga
dengan demikian, terasa bahwa ilmunya sendiri, Uler Kilan
menjadi susut daya kemampuannya. Meskipun demikian,
Sura Sarunggi bukan tokoh yang baru lahir kemarin sore.
Berpuluh-puluh tahun ia menekuni ilmunya. Karena itu,
didesaklah ilmu itu sampai tapis. Dengan demikian, maka
perlawannyapun menjadi bertambah sengit.
Namun kembali kepada sumber kekuatan, yang kasat
mata maupun yang tidak kasat mata. Bagaimanapun setan
dan iblis berusaha membangun kerajaan dengan dalih
apapun juga, namun akhirnya kekuasaan Tuhanlah yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akan menang. Dan akan mulailah kerajaan Sorga yang
abadi. Semakin lama, semakin jelas, bahwa Naga Angkasa yang
dahsyat itu, benar-benar dapat mendesak ilmu yang
dinamainya Uler Kilan. Meskipun demikian, Uler Kilan yang
kasar dan bengis itu benar-benar merupakan ilmu terkutuk
dan luar biasa. Apalagi kemungkinan Sura Sarunggi itupun
mempergunakan ilmunya yang lain, yang disebutnya Welut
Putih, yang dapat meluluri kulitnya dengan keringatnya,
sehingga ia menjadi selicin belut. Kemudian Anggara
terpaksa untuk kedua kalinya melepaskan ilmunya yang
lain, ilmu yang benar-benar diterima dari gurunya secara
murni, Alas Kobar, setelah ia berusaha menjauhkan
lawannya dari pendapa. Sebab ia sadar, bahwa Alas Kobar
akan memancar ke segala arah, sehingga dengan demikian
ia memerlukan jarak untuk membebaskan orang-orang lain
dari pengaruhnya. Terasa kini oleh Sura Sarunggi, bahwa lawannya itupun
benar-benar bernama Pasingsingan. Tetapi ia tetap tidak
mengerti kenapa hal itu bisa terjadi. Meskipun demikian ia
tidak mau berpikir lebih banyak lagi. Ketika terasa udara
panas menyerangnya, iapun segera membentengi diri,
untuk membebaskan panas yang melibatnya. Namun
dengan demikian, terasa bahwa ilmunya menjadi semakin
susut. Kemampuannya tidak sedahsyat mula-mula. Naga
Angkasa yang dirangkapi Alas Kobar benar-benar menjadikannya cemas. Tetapi kini benar-benar ia tak mempunyai kesempatan
untuk melarikan diri. Karena itu, bagaimanapun juga, ia
harus mengurai segenap kemampuannya. Bahkan akhirnya
ia menjadi seolah-olah putus asa, dan bertempurlah ia
membabi buta.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam keadaan yang demikian itulah, akhirnya Sura
Sarunggi benar-benar kehilangan perhitungan. Ketika
Anggara menyerangnya dengan dahsyat, ia mencoba untuk
mengelakkan diri dengan melenting tinggi. Uler Kilan itu
benar-benar telah membebaskannya, namun ketika ia
berusaha untuk menyerang lawannya dengan cambuknya di
tangan kiri dan kekuatan-kekuatan ilmu gerak Naga
Angkasa, ia berhasil menangkap ujung cambuk Sura
Sarunggi. Direnggutkannya cambuk itu kuat-kuat, namun
Sura Sarunggi tak akan melepaskan senjatanya. Memang
hal itu telah diperhitungkan oleh Anggara. Dengan
demikian, karena Anggara merasa bahwa Naga Angkasa
dapat melampaui, setidak-tidaknya menyamai kekuatan
lawannya, ia mempunyai kemenangan waktu. Sura
Sarunggi tersentak selangkah maju, namun selangkah itu
telah menentukan saat terakhirnya. Ketika ia meluncur
maju, pada saat yang bersamaan, Anggara meloncat maju.
Pisau belati panjangnya bergerak dengan cepatnya
menyambar leher lawannya. Tetapi Sura Sarunggi tak mau
mati. Dengan gerak naluriah, ia terpaksa melepaskan
cambuknya dan membungkukkan diri. Kali ini ia terbebas
dari sambaran pisau itu, tetapi untuk kedua kalinya Anggara
menyerang dengan tangannya mengenai tengkuk lawannya. Kekuatan Anggara benar-benar mengagumkan.
Meskipun saat itu Sura Sarunggi dalam lambaran ilmunya,
namun dengan kekuatan Naga Angkasa, pukulan tangan
Anggara benar-benar seperti sambaran petir yang
menghantam dari langit. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah maka pertempuran itu sampai pada akhirnya. Sura Sarunggi, seorang yang selama ini menjadi tempat
berlindung beberapa orang
dari golongan hitam di Rawa
Pening, dan yang telah melahirkan dua orang kakak-
beradik Uling Putih dan Uling
Kuning ke dalam lingkungan
golongan hitam, kini tak dapat menghindarkan diri dari terkaman maut. Karena
pukulan tangan Anggara yang berlambaran ilmu dahsyat itulah, maka terdengar
gemeretak tulang lehernya. Sekali ia menggeliat dan
melenting tinggi, kemudian ia terjatuh beberapa langkah
dari lawannya. Meskipun demikian ia masih berusaha berdiri
dan dengan mata yang merah menyala-nyala ia
mengumpat dalam bahasa kasar, "Setan belang, iblis
laknat. Terkutuklah kau oleh jin dan peri...." Kemudian Sura
Sarunggi kehilangan segenap kekuatannya. Ia tak dapat
mengumpat-umpat lagi, bahkan akhirnya ia terhuyung-
huyung dan kemudian jatuh diam. Maut telah merenggutnya dari kehidupannya yang penuh dengan
noda-noda hitam. Suaranya yang kasar dan keras itu telah mempengaruhi
suasana di halaman itu. Semua orang menoleh kepadanya.
Agak jauh di depan gelap mereka melihat orang berjubah
itu berdiri tegak. Beberapa langkah di hadapannya terkapar
lawannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mantingan dan Wirasaba melihat peristiwa itu seperti
peristiwa-peristiwa rentetan-rentetan kejadian-kejadian yang mengambang dalam hatinya. Ia menyaksikannya
dengan perasaan yang kosong, setelah hatinya terampas
oleh ketegangan yang terus-menerus. Meskipun demikian,
sesuatu memancar di dalam dada mereka. Ketika melihat
Sura Sarunggi jatuh tersungkur, menyalalah kelegaan di
dada mereka. Sedang Rara Wilis dan Endang Widuri kini
telah benar-benar menjadi tenang. Mereka telah dapat
menilai, keadaan dengan baik. Mereka telah dapat
meyakinkan diri mereka, bahwa Sura Sarunggi dan
Pasingsingan yang datang bersama hantu Rawa Pening itu
pasti akan dapat dikalahkan. Kehadiran Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara dapat menjadi kunci penyelesaian apabila
kedua orang berjubah yang lain tak mampu memenangkan
pertempuran. Juga apabila kedua orang bertopeng yang tak
mereka kenal itu, akhirnya akan mengambil alih perbuatan-
perbuatan kedua orang yang lain itu. Apalagi kemudian
mereka melihat bahwa salah seorang dari dua orang yang
menggoncangkan hati mereka telah dapat dikalahkan.
Pasingsingan, guru Lawa Ijo itupun tak kalah terkejutnya
mendengar sahabatnya mengumpat-umpat. Dengan satu
loncatan panjang, guru Lawa Ijo melontar ke samping
untuk mendapat waktu melihat apa yang terjadi atas Sura
Sarunggi. Lawannya pun tidak melihat, bagaimana
sahabatnya itu jatuh tersungkur di tanah, untuk kemudian
tidak bangun kembali. Terdengarlah Umbaran menggeram. Suaranya bergulung-gulung di belakang topengnya yang kasar.
Kemudian terdengarlah ia berteriak putus asa, "Ayo,
majulah bersama-sama. Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan
kawanmu itu. Bersama-sama mati pulalah Mantingan, dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perempuan-perempuan yang tak tahu diri. Inilah Umbaran,
tak akan mundur setapak." Suaranya menggelegar seperti
suara guruh yang mengumandang di lembah yang berawa
itu. Namun di balik suara yang garang itu, terasa betapa
kecemasan dan keputusasaan menguasainya.
Anggara masih berdiri di tempatnya, namun ia telah
memutar tubuhnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih
tegak seperti patung, dan Radite yang langsung
berhadapan dengan Umbaran itupun belum juga bergerak.
Bahkan kemudian terdengar Radite itu berkata, "Umbaran,
Anggara terpaksa membunuhnya."
"Persetan dengan Sura Sarunggi," jawab Umbaran.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas dalam-
dalam. Mereka kini tahu dengan tepat, bahwa yang
bertempur dengan Umbaran adalah Radite. Dan kini mereka
telah dapat membedakan, yang manakah Radite dan yang
manakah Umbaran. Meskipun demikian, mereka tak akan
mengganggu dua orang yang kakak-beradik seperguruan
itu menyelesaikan masalah mereka.
"Umbaran..." kata Radite, "Pergunakanlah saat-saat
terakhir ini sebaik-baiknya. Pandanglah langit yang luas dan
menjadi lapang pulalah hatimu. Menyebutlah nama Tuhan,
dan kemudian bertobatlah."
"Kenapa aku harus bertobat?" teriak Pasingsingan, "Aku
telah menempuh suatu perjuangan yang mengasyikkan,
yang telah membentuk diriku menjadi seorang yang bercita-
cita. Aku sadar dan tahu akibat-akibat dari perjuanganku.
Aku tahu bahwa suatu kali aku harus memilih, mukyi atau
mati" "Hem" Radite mengeluh, "jangan begitu. Tak ada di
dunia ini manusia yang bebas dari kesalahan. Kau, aku,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Anggara, Anakmas Mahesa Jenar dan Anakmas Kebo
Kanigara itupun memiliki dosa masing-masing. Karena itu
terhadap orang yang telah bertobat, tak seharusnya
dilakukan sesuatu. Sebab kami sendiri pun bernoda. Kami
akan memaafkan kau. Demikian juga guru kita. Hanya
orang-orang yang terlepas dari dosalah yang berhak
menghukum setiap orang yang telah bulat-bulat pasrah diri
ke dalam lingkungan kebenaran. Dan orang yang demikian
itu tidak ada di dunia ini. Karena itu apabila kau benar-
benar bertobat, pasrah diri dengan tulus dan jujur, tak akan
ada orang yang mendendammu."
"Bah!" jawab Umbaran, "Akan kau pikat aku dengan
mulutmu. Bertempurlah dengan sikap jantan. Jangan
membujuk dan menikam aku dari belakang."
"Kejantanan seseorang tidaklah ditentukan dengan atau
oleh senjata," sahut Radite, "Tetapi ditentukan oleh caranya
menyelesaikan persoalan. Bagaimana ia menghargai cinta
atas sesama, cinta yang dilimpahkan Tuhan kepadanya."
"Marilah kita selesaikan persoalan ini dengan cara yang
sudah kita mulai," kata Umbaran dengan lantang. "Aku
telah bertekad untuk membunuh dan mengikat kalian di
belakang kaki-kaki kuda. Kalau kau akan berbuat demikian
atasku, ayolah, majulah bersama-sama."
"Kalau kami berbuat demikian atasmu, Umbaran..." kata
Radite, "Maka dosa kami akan berlipat ganda. Sebab kami
tahu bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa dan
bertentangan dengan perikemanusiaan. Dan dengan
demikian, tak akan ada bedanya, siapakah yang dapat
menikmati cinta abadi, dan manakah yang masih hidup
dalam kegelapan." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Pasingsingan yang juga bernama Umbaran itu
tertawa dan tertawa. Suaranya menggelegar mengumandang. Namun ia tidak melepaskan aji Gelap
Ngampar, sebab ia tahu, bahwa tidak akan ada gunanya.
Tetapi ia tertawa karena berbagai perasaan bergulat di
dalam dadanya. Marah, kecewa, cemas dan putus asa. Pada
saat yang demikian, seakan-akan berdatangan kenangan
masa lampaunya. Sejak masa kanak-kanaknya yang kelam.
Ayahnya bukanlah seorang yang dapat dibanggakan. Ia
adalah seorang penjudi besar, yang hampir setiap malam
tak pernah menjenguk rumahnya. Seorang yang sanggup
membunuh kawan bermainnya hanya karena uang seduwit,
apalagi dalam persoalan-persoalan yang lebih besar.
Sebagai lazimnya penjudi, ayahnya adalah seorang yang
mabuk pada nafsu-nafsu keduniawian yang lain, makan,
minum tuak dan perempuan. Meskipun ayahnya tidak
termasuk dalam lingkungan penjahat, namun apa yang
dilakukan tidaklah kalah kejam dan bengis daripada para
penjahat. Ibunya mula-mula hanya menahan hati. Dengan
sedih ia berusaha hidup dan menghidupi anaknya,
Umbaran. Tetapi lambat laun, perempuan itupun hanyut
dalam arus kemiskinan jiwa. Ketika seorang laki-laki datang
dan menyatakan belas kasihannya ketidakpuasannya
selama ini kepada suaminya dan kesulitan yang
disandangnya. Laki-laki datang dengan berbagai kesenangan. Uang, perhiasan dan nafsu. Maka berulang
kalilah hal yang demikian itu terjadi. Laki-laki itu datang
untuk kedua, ketiga, keempat dan ketigapuluh kalinya.
Sejak itu Umbaran menjadi liar. Tak ada perhatian atasnya
sebagai anak-anak yang memerlukan cinta kasih orang
tuanya. Ayahnya sibuk dengan dadu dan warna-warna di
meja judi, sedang ibunya sibuk melayani laki-laki yang
datang mengisi kekosongan hatinya selama itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Umbaran yang kecil, melihat kehidupan dari segi yang
kelam. Mula-mula ia merasa sedih. Kemudian ia membenci
laki-laki yang datang hampir setiap hari apabila ayahnya
pergi. Ia benci kepada ayahnya yang hampir menguras
habis segala kekayaan dan harta benda yang pernah
dimiliki. Ia benci kepada segala-galanya. Akhirnya ia
menerima keadaan itu sebagai hal yang sewajarnya.
Sebagai hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang.
Ia menganggap bahwa saat yang pendek dalam dunia ini
harus diteguknya senikmat-nikmatnya. Tanpa menghiraukan masa-masa mendatang, tanpa menghiraukan
jaman yang abadi yang akan ditandai oleh pengadilan bagi
segenap umat manusia. Pada saat manusia harus
menjawab tanpa dapat menyembunyikan peristiwa yang
bagaimanapun kecil dan gelapnya. Sebab pengadilan Tuhan
mengenal setiap manusia. Tuhan akan melihat, meskipun
hanya setetes darah yang pernah ditumpahkan, selembar
rambut yang pernah digugurkan, tanpa dapat dipungkiri.
Tetapi Umbaran tidak mengenal itu. Tak seorangpun yang
pernah memperkenalkannya dengan kerajaan sorga. Tak
seorangpun yang pernah berceritera kepadanya tentang
kehadiran nabi-nabi di dunia.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Umbaran tak pernah mendengar semuanya itu. Ketika
akhirnya ia mendengar juga, hatinya telah menjadi sekeras
batu. Meskipun kadang-kadang hatinya terketuk juga,
namun nafsunya yang melonjak-lonjak, yang dipupuknya
sejak kanak-kanaknya, telah mendesak cahaya-cahaya yang
menyorot ke dalam hatinya. Sehingga kemudian ia telah
bertekad untuk menutup pintu serapat-rapatnya dari
segenap pekabaran tentang kerajaan Allah yang Abadi.
Kalau terasa padanya, adanya kekuatan-kekuatan di luar
kekuatan dirinya, di luar kekuatan manusia, maka ia
mencoba untuk mencarinya pada alam, pada batu-batu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
besar, pada pohon-pohon beringin tua, pada relung-relung
goa. Kepada kerajaan setan, ia mengabadikan dirinya untuk
mendapat kekuatan-kekuatan ajaib. Namun kekuatan-
kekuatan yang dilambari oleh kekuatan hitam, yang
arahnyapun untuk membuat malapetaka dan bencana bagi
umat manusia. Karena itulah ketika hatinya menjadi gelap, maka
gelaplah seluruh isi bumi. Tak ada sedikitpun cahaya yang
dapat memberinya arah. Ketika ia harus berhadapan
dengan Radite itupun, baginya seakan-akan dihadapkan ke
tepi suatu jurang yang dalam dan kelam. Tetapi ia sudah
bertekad untuk melompat ke dalamnya. Ia tidak tahu
apakah di dalamnya akan dijumpainya istana gading yang
indah, atau di sana akan dijumpainya kandang serigala
lapar yang siap untuk menyobek-nyobek kulit dagingnya.
Namun ia tidak peduli itu. Ia sudah basah kuyup di tengah-
tengah arus sungai yang deras. Tak ada jalan kembali.
Dengan tanpa berkata sepatah kata pun, akhirnya
Umbaran membangunkan segenap kekuatan yang ada
padanya. Ketika kemudian semua kenangan masa
lampaunya telah menghindar dari benaknya, suara
tertawanya pun menjadi surut, dan akhirnya terdiam.
Demikian mulutnya terkatup, dengan serta merta direnggutnya topeng yang selama ini menutupi wajah
aslinya. Dan tampaklah wajah tampan seorang yang telah
melampaui setengah abad. Matanya yang bulat bersinar-
sinar penuh nafsu, hidungnya yang mancung dan bibirnya
yang tipis. Dengan geram topeng itu dibantingnya, dan
terdengarlah ia berkata, "Radite, tak ada artinya lagi bagiku
topeng dan jubah ini. Sekarang Umbaran berhadapan
dengan Radite dalam penentuan saat terakhir."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terdengarlah Radite menarik nafas. Ia mengeluh dalam
hati melihat kekerasan hati Umbaran. Namun perlahan-
lahan tangannya bergerak membuka topengnya pula.
Jawabnya, "Marilah kita tidak berpura-pura lagi, tidak
menjadikan diri kita orang-orang aneh yang hanya
mengalutkan orang lain yang melihat kita. Marilah kita
kembali kepada diri kita, manusia yang kercil, dan tak
berarti. Marilah kita yang kecil ini mempersiapkan diri kita
untuk mengharap Yang Maha Agung. Umbaran, berjanjilah.
Persoalanmu akan selesai, dan akibatnya persoalan-
persoalan lain pun akan selesai pula. Pengikut-pengikutmu
pun akan sadar dari kekeliruannya, bahwa apa yang akan
dicapainya selama ini tak akan bermanfaat bagi bebrayan
manusia." Umbaran menggeram. Sekali lagi suara tertawanya
terlontar mengerikan, katanya, "Jangan mengigau lagi,
Radite. Bersiaplah."
Sebelum Radite menjawab, Umbaran telah menyerangnya kembali. Dengan gerak yang dahsyat penuh
nafsu kemarahan ia mengamuk sejadi-jadinya. Bahkan
mirip dengan orang yang kehilangan akal. Meskipun
demikian, gerak-gerak yang dilontarkan menjadi semakin
berbahaya. Dalam keputusasaan, ia hanya mampu berpikir,
"Marilah kita mati bersama-sama."
----------o-dwkz)(arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Radite kemudian telah kehilangan kesempatan untuk
mengajak saudara seperguruannya itu menemukan jalan
kembali. Kesalahan yang telah dilakukannya beberapa puluh
tahun lampau seharusnya tak terulang lagi. Pada saat
seakan-akan ia membuka pintu seluas-luasnya kepada
Umbaran untuk melakukan kejahatan. Pada saat ia
menyerahkan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan karena
nafsunya yang tak terkendalikan. Meskipun pada saat itu, ia
sama sekali tidak menduga, bahwa saudara seperguruannya itu tidak meneruskan naluri gurunya yang
bijaksana dan penuh pengabdian kepada manusia, yang di
dasarnya dengan sinar cinta yang abadi.
Demikianlah pertempuran itu kembali berlangsung
dengan sengitnya. Umbaran yang putus asa bertempur
seperti gelombang laut yang ganas, bergulung-gulung
menghantam apapun yang ada di hadapannya, sedang
Radite melayaninya seperti seekor burung rajawali, yang
setiap saat mampu melontarkan diri ke udara, menghindari
ancaman gelombang yang bagaimanapun dahsyatnya,
untuk kemudian menukik dengan kuku-kukunya yang tajam
dan paruhnya yang runcing, menghantam lawannya. Tak
seorang pun yang berani mencampuri pertempuran itu.
Apalagi Mantingan, Wirasaba, atau Wilis.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak beranjak dari
tempatnya. Sedang Widuri masih berpegangan ujung baju
ayahnya, seperti anak-anak yang takut hilang di tengah-
tengah pasar yang ribut. Arya Salaka masih juga berdiri
seperti patung. Namun hatinya berdebar menyaksikan
pertempuran yang dahsyat itu. Mahesa Jenar dan Kebo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kanigara menyaksikan pertempuran itu dengan tegang
pula. Mereka sadar bahwa yang dihadapinya adalah
persoalan yang sama sekali berbeda dengan persoalan yang
sedang berlangsung di Pamingit. Radite dan Umbaran tidak
bertempur karena tanah perdikan Banyubiru, tidak karena
mereka berebut Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak
karena mereka berdua ingin memiliki kesempatan untuk
menuju ke singgasana Demak. Kalau Umbaran bertempur
dengan nafsu yang meluap-luap untuk mempertahankan
cita-citanya tanpa mengenal surut, maka Radite bertempur
dengan harapan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan
yang pernah dilakukan, menghentikan kejahatan yang akan
selalu dilakukan oleh Umbaran. Radite sendiri sama sekali
tidak ada nafsu untuk memiliki pusaka-pusaka Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten, tak ada nafsu untuk menjadi
tetua para sakti dan tak ada nafsu untuk menempuh jalan
ke singgasana Demak. Sebab ia tahu bahwa itu bukanlah
haknya. Setiap orang yang mencoba untuk merebut hak itu
tanpa wahyu keraton padanya, tanpa wahyu yang
dilimpahkan oleh Yang Maha Esa, maka mereka pasti akan
mengalami kegagalan, bahkan kehancuran, apabila mereka
tidak segera menyadari kesalahannya.
Demikianlah pertempuran yang sengit itu berlangsung
tanpa gangguan. Seakan-akan mereka mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah
mereka. Dalam gelap malam yang semakin pekat itu, bayangan
mereka melontar-lontar melingkar-lingkar dengan cepatnya.
Kini mereka telah tak bersenjata lagi. Mereka hanya
percaya kepada kekuatan mereka, kepada kesaktian
mereka. Meskipun demikian mereka sama sekali tak
mempergunakan aji mereka, baik Gelap Ngampar maupun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Alas Kobar, sebab mereka sadar bahwa ilmu-ilmu itu hanya
akan berbenturan tanpa arti. Mereka kini lebih mementingkan kepada kesempatan-kesempatan yang akan
ditemuinya apabila lawannya berbuat kesalahan yang
meskipun sekejap. Mendung di langit menjadi semakin tebal dan tebal.
Angin dari lembah kini sudah tidak bertiup lagi. Sambaran-
sambaran tatit di langit yang kadang-kadang menyobek
gelap malam menjadi semakin sering, dan guruh pun
menggelegar tak henti-hentinya. Sesaat kemudian,
meledaklah petir di udara, yang kemudian disusul dengan
hujan yang seperti dicurahkan dari langit. Butiran-butiran
air yang besar berjatuhan di tanah, di genteng-genteng, di
cabang-cabang pepohonan, dan di tubuh mereka yang
dengan kaku berdiri di halaman Banyubiru. Hujan yang
seperti tertuang dari langit yang pecah itu sama sekali tak
mereka hiraukan. Bunyinya yang kemersak seperti banjir
bandang tak mereka dengar, sebab perhatian mereka
sedang terpaku pada pertempuran antara hidup dan mati
dari dua orang yang bersaudara seperguruan. Hanya
Anggara lah yang kemudian bergerak dari tempatnya, tetapi
tidak mencari tempat untuk berteduh. Perlahan-lahan ia
melangkah mendekati titik pertempuran, dimana kedua
saudara seperguruannya sedang mengadu kesaktian, yang
bersumber dari mata air yang sama. Namun dalam arus
yang berikutnya, sungai yang satu tetap mengalirkan air
yang bening, meskipun ada juga kotoran-kotoran yang
hanyut di dalamnya. Sedang sungai yang lain benar-benar
telah mengalirkan air yang keruh. Anggara pun kemudian
telah melepaskan topengnya. Ketika kedua saudaranya tak
mengenakan topeng lagi. Ia sama sekali tak merasa perlu
mempergunakannya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Di sela-sela bunyi gemersik dedaunan yang digerakkan
oleh air hujan, kadang-kadang terdengarlah jerit yang
memekakkan telinga, yang melontar dari mulut Umbaran
dengan penuh kemarahan. Dan bersamaan dengan itu
gerakannya pun menjadi semakin liar dan ganas. Namun
Radite telah bertekad untuk melayaninya habis-habisan.
Meskipun sekali-kali timbul juga penyesalan di hatinya.
Seandainya, ya seandainya dirinya pada saat itu tak terlibat
dalam nafsu yang telah menjadikannya seolah-olah lupa
pada keadaan diri, maka apa yang diprihatinkannya atas
Umbaran itu tidak akan terjadi. Tetapi semua sudah terjadi.
Yang harus dilakukan adalah menghentikan persoalan yang
telah berlarut-larut dan yang menurut Anggara telah hampir
terlambat. Terngiang kembali kata adik seperguruannya,
"Kakang, agaknya Kakang telah menunggu anak macan itu
menjadi seekor macan yang ganas dan trengginas. Nah
akhirnya pekerjaan Kakang akan menjadi sangat berat."
Ternyata kata-kata itu benar. Pekerjaan Radite benar-benar
berat. Umbaran telah menambah ilmunya dengan segala
macam ilmu yang didapatnya dari daerah-daerah kelam,
dari pohon-pohon beringin tua, dan relung-relung goa dan
dari batu-batu besar dari bukit-bukit yang suram.
Namun Radite pun telah matang pula dengan ilmunya.
Selama ia bersembunyi di antara para petani miskin di
Pudak Pungkuran bersama Anggara, sempat juga mereka
menempa diri mendalami ajaran-ajaran gurunya lahir dan
batin. Meskipun mereka menganggap diri mereka telah
hilang dari pergaulan para sakti, namun firasat mereka
tetap menuntut untuk menjagai kemungkinan- kemungkinan, bahwa pada suatu saat mereka masih harus
menampakkan diri. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itulah maka kali inipun Radite tidak dapat didesak
oleh Umbaran. Bagaimanapun ganasnya Umbaran, namun
dengan tangguhnya Radite melawan hantu yang terkenal
dari alas Mentaok itu. Bahkan akhirnya ternyata bahwa
Umbaran lambat laun harus merasakan betapa dahsyat ilmu
yang dimiliki oleh Radite.
Tetapi Umbaran tidak lagi mendapat kesempatan untuk
lari. Kalau tatit memancar di
udara, jelas dilihatnya. Anggara, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara berdiri tegak
di halaman itu. Mereka adalah orang-orang yang mengerikan bagi Umbaran. Mereka adalah orang-orang
yang telah terbukti dalam


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melampaui kesaktian golongannya. Mahesa Jenar
yang telah berhasil membunuh Sima Rodra itu terang tak dapat dikalahkan
sejak di Gedong Sanga, Kebo
Kanigara telah berhasil membunuh Naga Laut yang menamakan diri Nagapasa,
sedang Anggara baru saja membinasakan sahabatnya Sura
Sarunggi. Kini ia sendiri harus bertempur melawan Radite. Dan ia
merasakan betapa tangan lawannya menjadi sekeras baja
dan seberat timah. Setiap sentuhan serasa meremukkan
tulang sungsumnya. Namun demikian, hati Umbaran telah
benar-benar dikuasai oleh iblis. Ia tidak mau melihat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kenyataan. Ia tidak mau mendengarkan panggilan terakhir
dari saudara seperguruannya itu.
Pada saat-saat terakhir, ternyata bahwa ia semakin
terdesak. Di dalam hujan yang semakin lebat, tampaklah ia
setapak demi setapak terdesak mundur. Meskipun Umbaran
berusaha untuk menguasai keadaan, menyerang dengan
dahsyatnya, sedahsyat hujan yang tercurah dari langit,
namun Radite tak ubahnya seperti batu karang yang tegak
perkasa, tak goyah oleh arus air dan angin yang
bagaimanapun kencangnya. Meskipun hujan masih belum surut, namun berangsur-
angsur gelap malam menjadi berkurang. Api di ujung kota
telah lama padam. Dari kejauhan, di sela-sela desir hujan di
dedaunan dan di atap-atap rumah terdengar ayam jantan
berkokok bersahutan. Lamat-lamat namun meyakinkan
bahwa hari menjelang pagi. Sesaat kemudian terdengarlah
suara riuh di luar halaman. Agaknya laskar Banyubiru yang
telah berhasil mengusir orang-orang dari golongan hitam
yang telah membakar rumah dan banjar-banjar desa, kini
berdatangan di rumah kepala daerahnya.
Mendengar suara riuh itu, dan mendengar ayam jantan
yang berkokok di kejauhan, Umbaran menjadi bertambah
gelisah. Seperti ia datang dari kerajaan setan, maka
kedatangan fajar sangat menggelisahkan. Apalagi suara
riuh yang semakin lama semakin dekat.
Karena itulah maka akhirnya ia menuntut saat terakhir
dari pertempuran itu. Seperti orang gila ia menyerang
sejadi-jadinya. Kini ia tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, kecuali nafsu kemarahan dan keputusasaan. Karena itulah maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Umbaran mencoba untuk mempergunakan ajiannya Alas
Kobar. Ia mengharap apabila ajinya tak dapat mempengaruhi
lawannya atau Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara
setidak-tidaknya ia akan dapat membunuh Mantingan, Wilis
dan Widuri. Dengan demikian, udara yang panas kembali menyala di
halaman itu. Umbaran sengaja mengisar diri mendekati
tempat-tempat mereka berdiri. Mantingan, Wirasaba, Wilis
dan Arya Salaka. Mahesa Jenar terkejut merasakan udara yang panas itu.
Demikian juga Kebo Kanigara. Apalagi Mantingan, Wirasaba
dan yang lain-lain. Udara yang panas itu serasa membakar
tubuh mereka di antara air hujan yang dingin.
Namun Anggara tidak membiarkan hal itu terjadi. Segera
ia melipat tangan di dadanya, memusatkan kekuatan
batinnya untuk melawan aji A las Kobar itu dengan kekuatan
batin pula, seperti apa yang telah dilakukan. Bagi Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara, Alas Kobar itu segera mendapat
perlawanan dari dalam tubuh mereka, kekuatan-kekuatan di
luar kekuatan jasmaniah yang telah disalurkan oleh
kekuatan aji Sasra Birawa yang mengendap di dalam dada
mereka, yang getaran demi getaran merayap sepanjang
urat-urat mereka ke seluruh permukaan tubuh. Namun
mereka belum pernah mempelajari ilmu yang sedemikian,
sehingga daya perlawanannya tidak saja mengalir ke
segenap tubuh mereka, namun dapat memancar mempengaruhi keadaan sekitarnya. Dalam hal ini agaknya
Anggara dan Radite memiliki kelebihan daripada mereka itu.
Mereka dapat memancarkan kekuatan ilmunya, SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mempengaruhi keadaan di sekitarnya seperti pancaran aji
Alas Kobar itu sendiri. Radite yang pada saat itu sedang bertempur, menjadi
cemas. Ia tidak akan dapat memusatkan kekuatan batin
dalam perlawanan aji Alas Kobar dengan melipat tangan di
dadanya. Ia menjadi cemas kalau aji Alas Kobar ini akan
membakar orang-orang yang berdiri di halaman itu. Karena
itu, dalam saat yang pendek ia harus dapat melawan aji
Alas Kobar itu dengan cara lain. Ia harus mempengaruhi
sumber dari udara panas yang membakar halaman itu.
Karena itu ia bertekad untuk melumpuhkan Umbaran pada
saat yang pendek. Pada saat itu pulalah maka terpencarlah
ajinya Naga Angkasa. Ilmu gerak yang sukar dicari
bandingnya. Dengan kecepatan seperti petir yang meloncat
di langit, Radite menyerang Umbaran sesaat setelah
Umbaran berhasil memancarkan ajinya Alas Kobar.
Serangan yang demikian dahsyatnya, demikian cepat dalam
taraf tertinggi dari ilmunya Naga Angkasa.
Yang terjadi kemudian adalah mengejutkan sekali.
Umbaran kehilangan waktu hanya sekejap. Namun yang
sekejap itu telah menentukan segala-galanya. Sebuah
sambaran yang dahsyat telah menghantam dadanya.
Sambaran aji Naga Angkasa. Umbaran yang memiliki
kesaktian di atas manusia biasa itu terdorong beberapa
langkah surut. Kemudian ia terguling jatuh sambil berteriak
ngeri. Namun sesaat kemudian ia berhasil tegak kembali.
Tetapi tiba-tiba ia menjadi terhuyung-huyung. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya kekuatan jasmaniahnya tak mengijinkannya lagi. Sehingga kemudian
Umbaran itu roboh kembali di atas tanah yang basah oleh
air hujan yang melimpah dari langit.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Namun Umbaran tidak mau mengerti akan keadaannya.
Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk berdiri. Tetapi
karena kemampuannya terbatas, maka ia hanya dapat
berguling-guling dan meronta-ronta di atas tanah yang
becek penuh lumpur. Tergetarlah setiap hati yang melihat peristiwa itu. Melihat
Umbaran yang sama sekali tidak ikhlas menerima
kenyataan pada dirinya. Radite yang berdiri beberapa langkah darinya, berdiri
tegak dengan nafas yang tegang. Tiba-tiba ia meloncat
maju, namun segala permusuhannya telah lenyap seperti
dihanyutkan oleh air hujan yang seperti dituang dari langit.
Dengan hati-hati Radite berusaha untuk menangkap
Umbaran, dan kemudian dengan hati-hati pula ditenangkannya orang yang telah dibakar oleh nafsunya itu.
Katanya, "Umbaran, tenanglah."
Umbaran menggeram. Ia masih berusaha melepaskan
diri. Tetapi ia tidak mampu lagi. Nafasnya telah memburu
dan dadanya menggelombang tak menentu. Ia tidak lagi
dapat berbuat sesuatu ketika Radite meletakkan kepala
Umbaran di atas tangannya. Hanya kakinya sajalah yang
menyepak-nyepak dan kepalanya menyentak-nyentak.
Sekali lagi terdengar Radite berkata, "Umbaran, tenanglah.
Tak ada yang perlu kau gelisahkan."
"Setan!" terdengar Umbaran menggeram marah. Matanya memancar merah seperti mata harimau. "Kau kira
bahwa kau dapat mengalahkan aku?"
"Tidak, Umbaran," jawab Radite, "Aku tidak dapat
mengalahkan kau." "Kalau begitu..." kata Umbaran tersengkal-sengkal,
"Kalau begitu, kau harus berlutut di bawah kakiku dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
minta maaf kepadaku sebelum kau kubunuh mati, kuikat di
belakang kaki kuda."
"Baiklah, Umbaran, aku minta maaf kepadamu," sahut
Radite. Tiba-tiba Umbaran menjadi agak tenang. Tetapi
kemarahannya masih memancar di matanya. Ketika ia
menggerakkan tangannya, ternyata ia sudah terlalu lemah,
namun orang yang telah hanyut dalam nafsu kebiadaban itu
tiba-tiba meludahi muka Radite. Radite terkejut. Itu adalah
suatu penghinaan bagi laki-laki. Namun ia hanya menarik
nafas dalam-dalam. Sambil kemudian mengusap mukanya
dengan lengan bajunya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara pun
kemudian melangkah mendekati Radite yang berjongkok di
samping Umbaran yang gelisah menghadapi saat-saat yang
mengerikan. Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
pun berjongkok pula. Beberapa langkah darinya tampak
Rara Wilis menunduk, sedang Endang Widuri memalingkan
wajahnya. Mereka tidak sampai hati untuk menyaksikan
peristiwa yang mengerikan itu.
Kemudian terdengarlah suara parau Umbaran yang
terputus-putus, "Kalian mau mengeroyok aku?"
"Tidak, tidak... Umbaran," jawab Anggara.
"Ayo majulah bersama-sama Radite, Anggara, Mahesa
Jenar dan kawanmu itu. Mantingan dan perempuan-
perempuan itu semua bersama-sama. Meskipun kulit kalian
berlapis baja dan nyawa kalian berangkap lima, namun
Umbaran tak akan mundur selangkah."
"Tidak, Umbaran..." sahut Radite, "Aku dan Anggara
adalah saudaramu seperguruan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Hem..." Umbaran mengeram. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidung serta
mulutnya. Arya Salaka berdiri tegak seperti tugu. Apa yang
disaksikan benar-benar mengaggumkannya. Suatu pameran
keluruhan budi yang tak ada taranya. Radite dan Anggara
tampaknya sama sekali tak mendendam Umbaran,
meskipun selama ini Umbaran telah menyulitkannya. Karena
Umbaran lah maka Radite menjadi seorang yang merasa
rendah diri dan tak berarti, yang lebih baik bersembunyi di
antara para petani, daripada bergaul dengan orang-orang
sebayanya, para sakti yang sedang mengemban tugas-
tugas kemanusiaan. Hujan yang lebat masih saja seperti tercurah dari langit.
Dedaunan bergoyang-goyang karenanya, dengan disertai
oleh suara yang gemersik semakin keras. Di regol halaman
berdirilah laskar Banyubiru berjejal-jejal. Mereka berdesakan memasuki halaman. Namun kemudian mereka
tertegun diam ketika mereka melihat halaman Banyubiru itu
dicengkam oleh suasana ngeri yang mendirikan bulu roma.
Mereka masih sempat melihat dua orang berjubah abu-abu
bertempur, kemudian salah seorang darinya terbanting
jatuh dan meronta-ronta di tanah. Ketika beberapa orang
laskar yang berdiri di bagian belakang mendesak maju,
pemimpin laskar itu berteriak, "Berdiri di tempatmu!"
Arya Salaka dan orang-orang yang berada di halaman itu
hanya menoleh sebentar kepada laskar yang berjejalan itu.
Sesaat kemudian kembali perhatiannya beralih kepada
Umbaran. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Paman..." bisik

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebo Kanigara kepada Radite, "Bukankah lebih baik Umbaran ini dibawa naik ke
pendapa?" Radite mengangguk-angguk, namun tiba-tiba terdengar
Umbaran berteriak, "Apa" Apa yang akan kalian lakuan.
Menipu aku lalu menusuk dari belakang?"
"Tidak, tidak Umbaran," sahut Radite cepat-cepat.
"Marilah kita naik ke pendapa."
"Jangan coba mengelabuhi mataku. Aku adalah calon
pemimpin dari seluruh golongan hitam, dan akulah orang
yang pertama-tama harus memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Kemudian akulah orangnya yang mampu
menguasai seluruh tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit.
Sebab aku memiliki sipat kandel dari kraton." Umbaran itu
tiba-tiba berteriak-teriak. Kini ia benar-benar telah
mengigau. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah
namun nafasnya masih belum dapat diendapkan, meskipun
agaknya ia telah berada di ambang pintu maut.
"Umbaran..." bisik Radite, "Berdoalah, supaya maksudmu
tercapai." "Ha...?" jawab Umbaran, "Kelinci yang bodoh. Hanya
orang yang tak percaya kepada diri sendiri sajalah yang
berdoa." "Tuhan menentukan segala-galanya," bisik Radite pula,
"Kalau kau menyebut nama-Nya Yang Agung, kau akan
mendapatkan apa yang kau kehendaki."
Umbaran tidak menjawab. Tubuhnya menjadi semakin
lemah, dan nafasnya menjadi semakin berdesakan dan
terengah-engah. Beberapa kali ia berusaha untuk menelan
ludah dan air hujan yang jatuh di mulutnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Umbaran masih terbujur di tangan Radite. Kadang-
kadang ia masih meronta untuk mencoba merenggutkan
diri dari kekuasaan maut yang sudah merabanya.
"Di mana Lawa Ijo...?" Tiba-tiba Umbaran berteriak.
"Lawa Ijo telah meninggalkan kau" jawab Radite.
"Mati...?" teriak Umbaran. "Sura Sarunggi...?"
"Orang itu mati pula" jawab Radite seterusnya.
"Mati. Mati. Semua orang telah mati. Gila. Tetapi aku
tidak akan mati. Aku akan merajai Nusantara." Umbaran
masih mengigau. "Berdoalah" bisik Radite.
"Apakah kalau aku berdoa aku akan menjadi raja?" tanya
Umbaran yang semakin payah.
"Lebih dari itu. Kau akan mengenal kerajaan Surga,
kerajaan Allah yang jauh lebih indah dan bahagia daripada
kerajaan yang kau impikan itu. Di kerajaan Sorga, kau tak
mengenal dendam dan benci, tak mengenal keserakahan
dan ketamakan" jawab Radite.
"Aku akan menjadi raja di sana?" tanya Umbaran dalam
desahan nafas yang semakin lambat.
"Semua orang menjadi raja. Merajai diri sendiri,
menguasai nafsu dan dosa. Pekerjaan yang paling sulit
dilakukan di dunia ini. Merajai diri sendiri, menguasai nafsu
dan dosa. Jauh lebih sulit daripada merajai orang lain,
meskipun beribu-ribu bahkan berjuta-juta. Di kerajaan
Sorga, kau akan dapat melakukannya" bisik Radite.
Umbaran mencoba menarik nafas. Lambat-lambat ia
berkata, "Aku akan berdoa."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Sebutlah nama Tuhan, mohonlah ampunan supaya kau
ikut di dalam daerah kerajaan-Nya" desak Radite.
Umbaran menjadi semakin payah. Mulutnya tampak
bergerak-gerak, namun tak terdengar suaranya. Kini ia
menjadi tenang. Ia tidak lagi berusaha melawan maut.
Perlawanan yang tak akan berarti. Sebab maut adalah di
luar kemampuan manusia untuk mencegahnya apabila ia
datang. Radite menjadi berdebar-debar, demikian juga
orang-orang lain yang menyaksikan. Mereka tidak tahu apa
yang diucapkan oleh Umbaran itu, namun mereka
mengharap agar Umbaran dapat mengurangi dosa-dosanya.
Terdengarlah Radite berbisik, "Mudah-mudahan ia berdoa."
Pada saat itulah nafas terakhir meluncur dari hidung
Umbaran. Namun ia tidak meronta-ronta lagi. Kepalanya di
tangan Radite itu kemudian terkulai lemah. Kepala dan
wajah tampannya yang selama ini selalu dilapisi dengan
topengnya yang kasar dan jelek.
Umbaran telah tidak ada lagi, setelah lebih dari setengah
abad ia tenggelam dalam arus nafsunya yang melonjak-
lonjak. Kebencian yang berakar di dalam relung-relung
hatinya, telah memancar dengan ungkapan yang mengerikan. Radite menundukkan wajahnya. Ia merasa bahwa ia ikut
serta membebani Umbaran dengan dosa-dosa. Ia merasa
bahwa ia telah ikut serta menodai nama Pasingsingan yang
telah disemarakkan oleh gurunya dan sebagian dari jerih
payahnya. Tetapi ia tidak tahu, bahwa di dalam dada
Umbaran tersimpan hati yang hitam, sehitam malam yang
paling gelap. Ia tidak tahu. Tak seorangpun yang tahu,
bahkan gurunyapun tidak. Seandainya gurunya SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengetahuinya, pasti ia tidak akan menerimanya sebagai
muridnya. Sesaat suasana menjadi hening. Hanya titik-titik air hujan
sajalah yang terdengar mengusik sepi. Cahaya fajar di timur
telah merayap semakin tinggi, dan gelap malam pun mulai
disingkirkan. Tak hanya Arya Salaka yang menjadi kagum, namun juga
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan kepalanya.
Mereka menyatakan hormat setinggi-tingginya di dalam
hati. Radite tidak membiarkan musuhnya mati dalam
kegelapan. Tetapi ia telah berusaha untuk menunjukkan
jalan kembali, ke daerah pelukan tangan Yang Maha
Pengasih. Sesaat kemudian, diangkatlah mayat yang beku dingin
itu ke pendapa. Kemudian diletakkan membujur ke utara di
atas tikar pandan di tengah-tengah pendapa itu. Pada saat
itulah Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan yang lain-lain
seakan-akan terlepas dari suatu ikatan yang erat membelit
tubuhnya. Mereka kemudian bergegas-gegas melangkah
naik ke pendapa dan duduk di belakang mereka yang telah
mengangkat mayat itu, yaitu Radite, Anggara, Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara. Hanya Arya Salaka yang
melangkah ke regol halaman, menerima pemimpin
laskarnya yang akan memberikan laporan kepadanya.
"Terima kasih," jawab Arya Salaka setelah laporan itu
selesai. "Beristirahatlah kalian. Tetapi jangan hilang
kewaspadaan. Tempatkan penjagaan-penjagaan di setiap
jalan masuk. Rawat kawanmu baik-bak. Nanti aku akan
datang ke perkemahanmu."
Laskar itupun kemudian meninggalkan halaman itu,
kembali ke perkemahan mereka untuk beristirahat.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun demikian senjata-senjata mereka tidak terlepas
dari genggaman, sebab setiap saat keadaan akan dapat
berubah-ubah. Ketika laskar Banyubiru itu telah hilang di balik dinding
halaman, Arya Salaka pun kemudian menyusul naik ke
pendapa, dan duduk di belakang gurunya.
Hujan pun semakin lama semakin tipis, sejalan dengan
cahaya terang yang memancar di ufuk timur. Banyubiru
yang terletak di lereng Bukit Telamaya itu seakan-akan
mulai memancarkan cahaya yang cerah, secerah cahaya
matahari pagi. A wan di langit perlahan-lahan hanyut dibawa
angin yang bertiup dari pegunungan.
Dalam keheningan itu terdengar Arya berbisik kepada
gurunya, "Paman, apakah kita tidak perlu melihat garis
pertempuran di Pangrantunan?"
Mahesa Jenar berpikir sejenak, kemudian ia menjawab,
"Menurut pertimbanganku, keadaan kini tidak lagi terlalu
berbahaya, Arya. Kita tidak tergesa-gesa lagi, meskipun
lebih baik kalau hari ini kita pergi. Tetapi menurut
perhitunganku, tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam itu
telah sebagian besar lenyap, Sima Rodra, Nagapasa, Sura
Sarunggi dan Umbaran telah tak ada lagi. Yang tinggal
adalah Bugel Kaliki dan Jaka Soka."
Arya Salaka mengangguk-angguk. Demikian juga Kebo
Kanigara. Namun dengan demikian mereka teringat akan
kehadiran Jaka Soka di halaman ini malam tadi. Sehingga
terloncat dari mulut Endang Widuri, "Paman, Jaka Soka tadi
malam telah datang menjemput Bibi." Agaknya gadis itu
telah mulai dengan kenakalannya kembali setelah segala
sesuatu menjadi lebih tenang dan tidak menegangkan hati.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ah..." desah Rara Wilis. Tetapi ia tidak melanjutkan lagi,
sedang Mahesa Jenar pun hanya tersenyum saja.
Tetapi Radite dan Anggara masih dalam keadaan seperti
semula. Mereka menekuni mayat Umbaran seperti
menekuni mayat saudara sendiri. Terkenanglah di dalam
hati mereka, masa-masa lampau di perguruan Pasingsingan. Meskipun mereka tidak pernah mengalami
suatu masa bergurau bersama-sama, namun terasa bahwa
mereka bersama-sama telah meneguk air dari sumber yang
sama. Namun demikian, terasa pula oleh mereka, bahwa
tak seorang manusia pun yang sempurna. Pasingsingan
sepuh adalah orang yang mumpuni putus segala macam
ilmu lahir dan batin. Namun ia adalah manusia biasa.
Manusia yang kerdil daan kecil. Manusia yang kesinungan
sifat khilaf dan alpa. Manusia yang pengetahuannya sangat
terbatas. Karena itu maka Pasingsingan berbuat salah. Ia
telah menerima Umbaran itu berkhianat. Menodai nama
baik perguruannya. Mau tidak mau, noda itu akan terpercik
kepada saudara-saudara seperguruannya, Radite dan
Anggara. Bahkan noda itu akan terpercik ke gurunya pula.
Tetapi tangan Radite telah bergerak dalam usahanya
menghentikan pengkhianatan itu. Umbaran telah dibunuhnya dengan ilmu yang pada dasarnya diterima dari
gurunya, seperti ilmu Umbaran itu sendiri. Sebab belumlah
pasti bahwa orang lain akan mampu membunuhnya.
Melihat mereka, Radite dan Anggara masih tenggelam
dalam kemuraman. Widuri menyela. Iapun kemudian
berdiam diri sambil menundukkan wajahnya. Sehingga
untuk beberapa saat pendapa itu kembali menjadi sepi.
Baru beberapa saat kemudian terdengar Mahesa Jenar
berkata, "Arya, suruhlah beberapa orang merawat mayat
Sura Sarunggi dan orang-orang yang lain. Kuburlah di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tempat yang seharusnya, supaya bersihlah tangan kita dari
noda-nodanya." Arya Salaka pun segera berdiri, menemui beberapa orang
di gardu penjagaan yang nampaknya masih sangat payah
meskipun mereka tidak berbuat sesuatu. Beberapa kawan-
kawan mereka yang terlukapun telah mereka rawat sebaik-
baiknya. Kepada mereka, Arya memerintahkan untuk
memanggil beberapa orang lain, untuk bersama-sama
menyelenggarakan penguburan mayat Sura Sarunggi dan
kawan-kawannya. Kemudian ketika Arya kembali ke pendapa, didengarnya
Radite berkata, "Anakmas Mahesa Jenar. Kalau Anakmas
tidak keberatan, biarlah mayat Umbaran ini aku bawa ke
Pudak Pungkuran." Mahesa Jenar mengangkat dahinya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia bertanya, "Kenapa mesti di
bawa ke Pudak Pungkuran" Kami di sini pun akan bersedia
melaksanakan penguburannya seperti yang Paman kehendaki." "Anakmas..." sahut Radite, "Umbaran adalah saudara
seperguruanku. Akulah yang mempunyai kewajiban atas
segala-galanya. Meskipun ia terbunuh oleh tanganku,
namun biarlah aku dapat menunjukkan kuburnya seandainya pada suatu saat guru datang bertanya
kepadaku, di mana Umbaran. Sebab sesaat nanti, guru
pasti sudah mendengar berita

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang kematian Pasingsingan. Dan guru pasti akan mencari aku untuk
menanyakannya. Sebab Pasingsingan itu terbunuh oleh
Pasingsingan pula." "Kalau demikian..." jawab Mahesa Jenar, "Terserahlah
kepada Paman." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Terimakasih A nakmas," jawab Radite, "Mudah-mudahan
dengan lenyapnya Umbaran, noda-noda yang melekat pada
perguruan Pasingsingan akan tidak bertambah lagi."
"Paman..." jawab Mahesa Jenar, "Setiap orang akan
mengetahui, bahwa bukan Pasingsingan Sepuh lah yang
bersalah, juga bukan Pasingsingan yang lain yang bersalah,
tetapi Umbaran, manusia yang bernama Umbaran itulah
yang berdosa. Dan ia telah menerima hukumannya."
Kembali mereka berdiam diri. Sesaat kemudian kembali
Mahesa Jenar minta agar Arya Salaka menyediakan
beberapa orang dan engkrak yang akan mengatar Radite
dan Anggara kembali ke Pudak Pungkuran dengan
membawa mayat Umbaran. Ketika matahari memanjat kaki langit sepenggalah, maka
Radite dan Anggara itu segera minta diri, katanya,
"Anakmas, barangkali masih ada pekerjaan lain yang harus
Anakmas kerjakan. Pekerjaan yang lebih penting daripada
menemui aku di sini. Karena itu, aku minta diri, kembali ke
Pudak Pungkuran dengan mayat Umbaran."
Radite dan Anggara tak dapat dicegah lagi. Karena itu
segera merekapun berangkat beserta beberapa orang yang
menyertainya mengusung Umbaran.
"Lain kali aku datang lagi," kata Radite, "Dalam
kesempatan yang lebih baik. Syukurlah kalau aku nanti
berkesempatan bertemu dengan eyangnya Arya Salaka, Ki
Ageng Sora Dipayana. Tetapi orang tua itu pasti tak akan
mengenal aku, sebab yang dikenalnya adalah topeng kasar
yang jelek itu." "Baiklah Eyang," sahut Arya Salaka, "Aku akan
sampaikan kepada Eyang Sora Dipayana bahwa seseorang
yang tak dikenal akan menemuinya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian berjalanlah iring-iringan itu meninggalkan
Banyubiru, berjalan menyusur jalan-jalan kota, ke arah
timur. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan
orang-orang lain mengantar mereka sampai beberapa
langkah ke luar alun-alun Banyubiru. Ketika iring-iringan itu
telah hilang di kelokkan jalan, maka mereka kembali ke
pendapa duduk melingkar di atas tikar pandan.
Mantingan menceriterakan apa yang dilihatnya, sejak
awal sampai akhir. Sejak ia melihat daun yang bergoyang-
goyang, muncullah Wadas Gunung, Lawa Ijo dan Jaka
Soka. Kemudian Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Disusul
dengan hadirnya dua orang yang menyerupai Pasingsingan
pula. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka
mendengarkan ceritera itu dengan hati yang berdebar-
debar. Akhirnya mereka mengucap syukur bahwa Tuhan
telah berkenan menyelamatkan orang-orang yang berada di
pendapa itu. ----------o-dwkz)(arema-o----------
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV SEHARI itu mereka beristirahat di Banyubiru. Mereka
tidak perlu mencemaskan nasib Pangrantunan. Di sana
masih ada Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas,
Titis Anganten dan laskar yang masih cukup kuat. Nanti
apabila matahari telah condong dan panas sudah tidak
terasa membakar tubuh mereka di perjalanan, mereka baru
akan berangkat ke Pangrantunan.
Sehari itu, baik Arya Salaka, Rara Wilis maupun Endang
Widuri seakan-akan masih dibayangi oleh bahaya-bahaya
yang selalu mengancam mereka. Sebaliknya Kebo Kanigara
dan Mahesa Jenar pun merasa bahwa mereka tidak sampai
hati untuk melepaskan mereka yang masih dibayangi oleh
kecemasan itu duduk sendiri dengan gelisah. Widuri, seperti
anak-anak yang takut ditinggal pergi oleh ayahnya, selalu
mengikutinya ke mana ayahnya pergi. Kebo Kanigara
menjadi geli karenanya, meskipun ia dapat merasakan
betapa pengaruh keadaan semalam telah sedemikian dalam
membekas di dalam dada anaknya itu. Karena itu sambil
tertawa ia berkata, "Widuri, kenapa kau membayangi aku
terus-menerus" Apakah aku menjanjikan sesuatu kepadamu?" "Ah...." Widuri mengeluh. Ia sadar bahwa ia masih
terpengaruh oleh kecemasan yang mencengkam seluruh
jiwanya semalam. "Apakah kau kira aku menyembunyikan kain sutera
berwarna hijau seperti yang kau impi-impikan?" tanya
ayahnya pula. "Ah...." Kembali Widuri berdesis. Tetapi sebagai anak
yang manja justru ia berkata, "Tentu. Tentu ayah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyembunyikan kain sutera berwarna hijau. Bukankah
ayah sanggup membelikan buat aku" Janji ayah telah lebih
setahun yang lalu." Kebo Kanigara tertawa. Mereka hanya bergurau, sebab
Widuri pun sadar bahwa ayahnya tidak akan mampu
membeli kain sutera berwarna hijau yang mahal. Namun di
ruang itu, A rya Salaka mendengar kelakar itu. Tiba-tiba saja
merayap di dalam hatinya suatu janji, apabila nanti ia dapat
menggarap sawah dan tegalannya di Banyubiru seperti
masa-masa lampau, maka hasilnya pasti cukup untuk
membeli kain sutera berwarna hijau. Meskipun ia tidak
tahu, apakah Widuri akan menerimanya, seandainya ia
nanti memberikannya. "Gila!" hatinya membantah sendiri, "Kenapa aku ribut-
ribut tentang kain sutera berwarna hijau" Bukankah
sekarang kita sedang menghadapi saat-saat terakhir yang
menentukan?" "Apa salahnya...?" Jauh di dalam hatinya terdengar suara
lain. Arya menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir perasaan yang berdebat di dalam hatinya. Kemudian untuk
melenyapkan perasaan itu ia berkata kepada gurunya yang
duduk di hadapannya, "Paman, siapakah sebenarnya dua
orang yang berpakaian mirip dengan Pasingsingan itu"
Agaknya Paman telah mengenal mereka dengan baik."
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. "Ya, aku telah
mengenal mereka" jawab Mahesa Jenar. "Mereka adalah
saudara-saudara seperguruan Pasingsingan, guru Lawa Ijo,
yang sebenarnya bernama Umbaran." Seterusnya Mahesa
Jenar menceriterakan beberapa hal mengenai Radite dan
Anggara. Widuri yang mendengar segera berlari-lari ikut
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
serta mendengarkan ceritera itu. Disamping Mantingan,
Wirasaba, Wanamerta dan Sendang Parapat. Kanigara pun
kemudian duduk bersama mereka.
"Mereka adalah orang-orang yang luar biasa," desis Arya
Salaka, "Mereka berhasil mengalahkan dan bahkan
membunuh Sura Sarunggi dan Pasingsingan"
"Ya, merekaadalah orang-orang yang luar biasa, yang
selama ini tekun mendalami ilmunya. Namun mereka
menyembunyikan diri mereka di antara para petani miskin
di Pudak Pungkuran, ketika mereka mereka merasa bahwa
mereka telah berbuat suatu kesalahan."
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
dalam hatinya ia sedang sibuk menjajagi kedua orang yang
bernama Radite dan Anggara itu dengan gurunya. Gurunya
pun dahulu tak dapat dikalahkan oleh Pasingsingan di
Gedong Sanga, dan kemudian ternyata gurunya berhasil
membunuh Sima Rodra. Juga Kebo Kanigara berhasil
membunuh Nagapasa. Dengan demikian Arya Salaka
mendapat kesimpulan bahwa setidak-tidaknya gurunya
memiliki ilmu setingkat dengan Radite dan Anggara.
Memang sebenarnyalah demikian. Namun Arya belum
mendengar bahwa Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar benar-
benar pernah mencoba menjajagi ilmu kedua orang itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pernah bertempur
melawan Radite dan Anggara pada saat mereka mencoba
untuk menemukan jawaban tentang Pasingsingan sepuh di
Pudak Pungkuran. Pada saat itu ternyata bahwa mereka
terpaksa memuji ketangguhan masing-masing.
Demikianlah mereka sehari-hari itu beristirahat di
Banyubiru. Ketika matahari sudah semakin rendah, maka
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka pun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mempersiapkan diri untuk kembali ke Pangrantunan.
Namun mereka kini sudah tidak gelisah lagi, sebab mereka
sudah yakin bahwa golongan hitam akan dapat mereka
hancurkan. Tetapi kali ini Widuri tidak mau ditinggalkan
oleh ayahnya. Bukan karena ia takut, tetapi anak itu benar-
benar ingin melihat apa yang terjadi di Pangrantunan. Kali
ini Kebo Kanigara tak dapat menolaknya. Widuri terpaksa
ikut serta dalam rombongan itu. Karena kemudian Rara
Wilis tak mempunyai kawan lagi apabila ia tinggal di
Banyubiru, iapun memutuskan untuk ikut serta di dalam
rombongan, apalagi ketika ia tahu bahwa Ki Ageng Pandan
Alas berada di Pangrantunan. Dengan demikian ia akan
dapat melepaskan rindunya kepada satu-satunya keluarga
yang masih ada. Hanya Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta beserta
Sendang Parapat yang terpaksa tinggal di Banyubiru.
Mereka mendapat pesan, apabila ada kekalutan supaya
langsung memberitahukan ke Pangrantunan atau Pamingit.
Mahesa Jenar menduga bahwa Jaka Soka tak akan datang
kembali ke Banyubiru sebab ia sudah tak memiliki kekuatan
lagi. Gurunya sudah meninggal dan laskarnya pun tak akan
mencukupi. Sedang Bugel Kaliki adalah seorang yang berdiri
sendiri. Seorang diri, tanpa laskar dan tanpa pengikut.
Menurut perhitungan Mahesa Jenar, orang itupun tak akan
datang. Agaknya orang bongkok dari lembah gunung Cerme
itu telah kehilangan nafsunya untuk mencari Nagasasra dan
Sabuk Inten. Atau barangkali justru mempunyai perhitungan lain. Dibiarkannya kawan-kawannya atau
lawan-lawannya binasa. Kemudian ia akan dengan leluasa
berbuat sendiri, menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Sementara itu golongan hitam telah
kehilangan pemimpin-pemimpin mereka.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kalau Bugel Kaliki itu datang kemari..." kata Mahesa
Jenar kemudian, "Jangan layani. Biarlah ia berbuat sesuatu.
Ia hanya memerlukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Dahulu
ia pun pernah mengaduk rumah ini, namun ia tidak
menemukan apa-apa." Mantingan mendengarkan pesan Mahesa Jenar dengan
baik. Demikian juga Wirasaba, Wanamerta dan Sendang
Parapat. Namun dengan demikian terbayang juga di dalam
hati mereka bahwa cahaya yang cerah telah mulai
memancar di atas tanah perdikan Banyubiru. Awan yang
kelam perlahan-lahan hanyut dibawa oleh angin yang
berhembus tak henti-hentinya. Mantingan jadi teringat pada
ceritera-ceritera pewayangan yang sering dibawakannya
apabila ia sedang duduk bersila di belakang layar putih.
Bahwa betapapun kejahatan itu berkuasa, namun akhirnya
kebenaranlah yang akan menang. Sebab kebenaran adalah
pancaran dari kehendak Yang Maha Kuasa.
Ketika semua sudah siap, maka segera mereka naik ke
punggung kuda. Wilis pun kini telah biasa naik kuda,
sedang Widuri karena kenakalannya, ia tidak kalah
tangkasnya dengan setiap laki-laki. Ia berani berbuat hal-
hal yang aneh-aneh di atas punggung kuda. Bahkan
kadang-kadang sampai gerak-gerak yang berbahaya. Tetapi
ia tertawa saja apabila ayahnya memperingatkannya.
Demikianlah maka setelah sekali lagi mereka mohon diri
kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Ki Wanamerta
beserta Mantingan, Wirasaba dan Sendang Parapat,
bergeraklah kuda-kuda itu meninggalkan halaman. Tetapi
ketika Arya Salaka hampir sampai di muka regol, tiba-tiba ia
menarik kekang kudanya, sehingga kuda itupun berhenti.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ada apa Arya?" tanya gurunya, dan semua mata pun
memandang ke arahnya. "Pisau," jawab Arya sambil menunjuk ke pohon sawo
yang tumbuh di samping regol.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas. Dua
bilah pisau menancap di pohon itu. Kedua-duanya berwarna
kuning kemilau. "Kyai Suluh," desis Mahesa Jenar, "Ambillah Arya." Arya segera meloncat turun dari kudanya. Dengan
cekatan, ia memanjat pohon
sawo itu beberapa depa.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian diambilnya kedua-duanya. Kedua pisau
itu benar-benar mirip satu
sama lain, sehingga Arya tak
mampu membedakannya. "Adakah Kyai Suluh itu
lebih dari satu?" tanya Arya.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entahlah" jawabnya.
"Cobalah Arya" pinta Kebo Kanigara.
Arya segera menyerahkan kedua pisau belati itu.
Mantingan pun kemudian berdiri pula di samping Kebo
Kanigara. Sebagai seorang dalang banyaklah diketahuinya
mengenai batu-batuan dan biji-biji besi. Ia senang
mempelajarinya. Juga perasaannya yang lembut, dengan
mudahnya dapat menangkap setiap getaran yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memancar dari besi-besi aji. Kanigara pun agaknya memiliki
pengetahuan yang serupa, sehingga akhirnya ia berkata,
"Inilah yang asli."
Mantingan mengangguk. "Kakang benar. Aku juga
menyangka demikian. Sedang yang lain adalah keturunannya, meskipun keturunannya itupun memiliki
kekuatan-kekuatan yang mirip dengan aslinya."
"Kyai Suluh adalah pusaka yang mempunyai daya
kekuatan yang luar biasa." Kanigara meneruskan, "Pengaruhnya atas ketabahan hati serta keberanian dapat
diandalkan. Sayang, pengaruh itu pada Umbaran mendapat
arah yang salah. Aku kagum akan ketabahan hati serta
keberanian Umbaran, namun aku menyesalkan atas tujuan
yang akan dicapainya."
Tak seorangpun yang menyahut. Semua membenarkan
kata-kata itu, Umbaran telah menyalahgunakan kekuatan
yang tersimpan di dalam pusaka Pasingsingan itu.
"Mahesa Jenar..." kata Kebo Kanigara, "Siapakah yang
berhak menerima pisau-pisau ini?"
"Paman Radite dan Anggara" jawab Mahesa Jenar.
"Mereka tak memerlukan lagi," sahut Kebo Kanigara,
"Ternyata mereka membiarkan kedua pusaka ini berada di
halaman Banyubiru. Bukankan maksudnya untuk menyerahkan pusaka-pusaka ini kepada penguasa Banyubiru?" "Mudah-mudahan," jawab Mahesa Jenar. "Setidak-
tidaknya pusaka-pusaka itu dapat dipinjam. Apabila nanti
diperlukan, biarlah keduanya dikembalikan."
"Baiklah," kata Kebo Kanigara, "Agaknya Arya Salaka
yang wajib menyimpannya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar menatap wajah Arya Salaka yang berdiri
dua langkah di muka Kebo Kanigara. Wajah yang merah
kehitam-hitaman dibakar oleh terik matahari di tengah-
tengah perjalanan, di tengah-tengah sawah dan tegalan, di
hutan dan di lautan. Namun dari wajah yang kasar itu
memancar ketulusan serta kejujuran dan penderitaan
murni. Anak yang hidup di tengah-tengah badai kesulitan
dan penderitaan itu benar-benar memiliki kesederhanaan
berpikir, meskipun otaknya cukup cerdas. Mendengar
perkataan Kebo Kanigara itu Mahesa Jenar ikut bergembira,
segembira Arya Salaka sendiri. Pusaka semacam itu adalah
pusaka yang sulit dicari. Kini Arya akan menerimanya,
meskipun belum pasti bahwa pusaka itu akan dimiliki untuk
seterusnya. "Arya..." terdengar Kebo Kanigara meneruskan, "Simpanlah pusaka ini. Mudah-mudahan akan bermanfaat
bagimu. Ketabahan serta keberanian akan memancar ke
dalam hatimu. Namun apa yang telah terjadi dapatlah
menjadi peringatan bagimu. Umbaran telah berusaha untuk
mempergunakan pusaka itu dalam perjalanannya yang
sesat." Dada Arya menjadi berdebar-debar. Ia maju selangkah,
dan dengan tangan yang gemetar diterimanya Kiai Suluh
dari tangan Kebo Kanigara, yang berkata pula, "Kau telah
memiliki salah satu dari kebesaran-kebesaran yang pernah
dimiliki oleh Pasingsingan."
"Aku akan selalu mengingatnya, Paman" jawab Arya
Salaka. "Apa yang telah terjadi dengan Umbaran."
Tiba-tiba terdengar Widuri menyela, "Ayah, aku juga
punya cincin yang bermata merah menyala."
Kebo Kaniara menoleh kepada putrinya, "Apakah itu?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Widuri menunjukkan jarinya yang dilingkari oleh sebuah
cincin yang bermata merah menyala.
"Kelabang Sayuta..." desis Mahesa Jenar.
"Ya," jawab Widuri, "Lawa Ijo menamakannya demikian."
"Dari manakah kau mendapat cincin itu?" tanya ayahnya.
"Lawa Ijo," sahut Widuri. Kemudian ia pun menceriterakan tentang Lawa Ijo. Tentang anak perempuannya yang mati dan tentang prangsangkanya
yang salah terhadap istrinya.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun
mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Agaknya Lawa
Ijo telah menjadi korban keadaan seperti Umbaran. Menjadi
korban keadaan di sekitarnya. Keluarganya, ruang
pergaulan dan sahabat-sahabatnya. Bahkan mungkin, selain
mereka masih ada lagi berpuluh-puluh, malahan beratus-
ratus orang yang menjadi korban seperti itu. Mungkin
dalam pergaulan dengan sahabat-sahabatnya, mungkin
dalam keadaan yang tak serasi di dalam rumah tangga dan
orang tuanya atau mungkin keadaan yang sumbang di
perguruannya. Sehingga untuk menjadi manusia yang baik
diperlukan penilikan atas tiga daerah hidup manusia sejak
masa kanak-kanaknya, yaitu keluarga, lingkungan pergaulan dan tempat mereka menempa diri, yaitu
perguruan-perguruan. Namun tiba-tiba di antara mereka terdengar suara
Mantingan bergumam, "Takdir telah menentukan atas
kedua pusaka itu." Semua orang menoleh kepadanya. Di antara mereka ada
yang bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi Mantingan tidak
meneruskan kata-katanya. Hanya Kebo Kanigara, Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar dan Wanamerta lah yang menangkap maksud kata-
kata itu. Kata-kata yang terlanjur melontar demikian saja
dari mulut Mantingan, sehingga dengan demikian Mantingan sendiri agak menyesal karenanya. Namun ketika
dilihatnya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum,
Mantingan ikut tersenyum pula. Malahan Kiai Wanamerta
berkata perlahan-lahan, "Kami orang-orang tua hanya
berdoa, semoga anak-anak muda mendapat jalan terang."
Yang lain tak dapat mengerti apa yang mereka
maksudkan. Arya Salaka Widuri, bahkan Rara Wilis
menyangka bahwa Wanamerta sedang berdoa untuk
kemenangan mereka melawan orang-orang dari golongan
hitam. Namun sebagai seorang ayah, Kebo Kanigara
berpikir, "Apakah kedua pusaka, yang masing-masing
berada di tangan Arya dan Endang Widuri itu akan menjadi
perlambang dan menentukan jalan hidup mereka?"
Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Mahesa Jenar tidak
berkata apa-apa. Malahan kemudian kembali mereka
teringat kepada perjalanan yang akan mereka tempuh,
sehingga dengan demikian kembali Mahesa Jenar mohon
diri untuk meneruskan perjalanan itu.
Maka merekapun segera berkemas. Kyai Suluh kini
berada di pinggang Arya Salaka, sedang tangannya masih
menggenggam tombak Banyubiru. Sedang pusaka keturunan Kyai Suluh masih di bawa oleh Kebo Kanigara.
Meskipun ia sendiri tidak memerlukannya, namun belum
ada orang yang akan diserahinya untuk menyimpan pusaka
itu. Di sepanjang perjalanan, Kebo Kanigara berusaha untuk
dapat menasehati putrinya mengenai Kelabang Sayuta itu.
Seperti juga Kyai Suluh, Kelabang Sayuta adalah batu akik
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Jago Kelana 2
^