Para Ksatria Penjaga Majapahit 13
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 13
tempat pengungsian masing-masing.
Empu Nambi dan para pendukungnya telah berada di
puri pasanggrahan milik Ki Banyak Wedi yang telah
dirubah menjadi sebuah benteng pertahanan yang amat
kuat. Tersiar sebuah berita bahwa pasukan besar prajurit
Majapahit hari itu telah bergerak dari Kademangan Japan
menuju bumi Lamajang. "Hari ini para prajurit Majapahit telah bergerak
meninggalkan Kademangan Japan", berkata Panji
Samara kepada Empu Nambi dan beberapa orang
pimpinan pasukan pendukungnya.
"Ada tiga kesatuan pasukan kerajaan Majapahit,
891 kesatuan pasukan Jala Rananggana, pasukan Jala Pati
dan pasukan Jala Yudha. Dari kesatuan manakah yang
kali ini akan kita hadapi?", bertanya Empu Nambi kepada
Panji Samara. "Sesuai pengamatan para petugas telik sandi,
mereka dari kesatuan Jala Rananggana", berkata Panji
Samara. "Berarti kita akan berhadapan dengan Tumenggung
Jala Rananggana", berkata Empu Nambi sambil
memandang kearah putranya seperti ingin membaca isi
hati dan perasaannya saat itu setelah mendengar yang
akan dihadapinya adalah ayah mertuanya sendiri.
"Nampaknya Mahapatih Dyah Halayuda sengaja
membenturkan kita dengan orang sendiri", berkata
Adipati Menak Koncar. "Pertempuran ini adalah permainannya, dan kita telah
terjebak masuk kedalam permainannya", berkata Empu
Nambi di hadapan para pimpinan pasukan pendukungnya itu. "Apa yang diinginkan oleh Mahapatih Dyah Halayuda
dalam pertempuran ini?", bertanya Panji Wiranagari
kepada Empu Nambi. "Mengosongkan istana Majapahit dari para ksatria
penjaganya, aku berharap semoga masih ada ksatria
yang dapat melindungi Raja Jayanagara", berkata Empu
Nambi sambil memandang jauh kedepan, memandang
tanah rumput di halaman luas yang masih basah oleh
gerimis panjang semalaman.
Mendengar penuturan Empu Nambi telah membuat
semua orang berpikir dan merenung. Diam-diam di
kepala mereka membenarkan pikiran Empu Nambi
892 tentang kecerdikan Mahapatih Dyah Halayuda untuk
mencapai tujuan akhirnya, menguasai istana Majapahit.
Sementara itu terlihat seekor elang jantan terbang
melintas dari arah hutan Randu Agung menuju arah timur
langit dan berputar-putar di padang ilalang Ledoktempuro. "Kita akan menyongsong mereka di padang
Ledoktempuro", berkata Empu Nambi dihadapan para
pimpinan pasukan pendukungnya.
"Mengapa kita tidak menunggu mereka di benteng
ini?", bertanya Adipati Menak Koncar
"Mungkin Ki Lurah Bancak dapat memberikan
gambaran yang jelas kepada kalian", berkata Empu
Nambi kepada seorang lelaki tua disampingnya yang
masih terlihat tegar meski rambut putih sudah memenuhi
seluruh kepalanya. Ternyata lelaki tua itu adalah Ki
Bancak, seorang mantan prajurit Majapahit yang sengaja
diutus langsung oleh Tumenggung Mahesa Semu
sebagai penghubungnya. "Ada dua kekuatan saat ini telah berada dalam
kendali Ra Kuti, kesatuan pasukan Jala Pati dan sebuah
pasukan tersembunyi. Dua kekuatan ini dipastikan akan
segera menguasai istana Majapahit. Sementara
kesatuan pasukan Jala Yudha di benteng Tanah Ujung
Galuh diam-diam telah diyakinkan oleh Tumenggung
Mahesa Semu berada di pihak kita. Harapan
Tumenggung Mahesa Semu adalah bahwa pasukan
Empu Nambi dapat memancing Mahapatih Dyah
Halayuda menurunkan satu dari kekuatan mereka ke
Tanah Lamajang agar ada keseimbangan perlawanan
bila Ra Kuti benar-benar melaksanakan rencana
busuknya, menguasai istana Majapahit", berkata Ki
893 Bancak menyampaikan berita dari Tumenggung Mahesa
Semu. "Untuk memancing salah satu pasukan Ra Kuti keluar
dari sarangnya adalah memenangkan pertempuran kita
di padang Ledoktempuro, bukan bertahan di benteng
Randu Agung ini", berkata Empu Nambi menambahkan
penjelasannya. "Bilamana darahku tumpah di padang Ledoktempuro,
atau tubuhku tercabik-cabik, seluruh keturunanku akan
bangga bahwa leluhurnya mati di tanah kebenaran",
berkata Panji Wiranagari dengan penuh semangat.
"Aku akan mengobarkan seluruh pasukanku, bahwa
yang kita perangi adalah para pengkhianat yang ingin
menjual bumi Majapahit ini", berkata Panji Anengah
dengan suara yang cukup lantang sambil mengangkat
tangannya tinggi-tinggi. "Aku akan berada bersama pasukanku, tidak akan
mundur sebelum memenangkan pertempuran ini",
berkata Panji Samara tidak kalah semangatnya dari
kedua kawannya itu, Panji Wiranagari dan Panji
Anengah. "Aku haru bahagia mendengar semangat kalian, mata
dan hati kalian saat ini telah terbuka bahwa pertempuran
ini bukan sekedar membela dan melindungi sepenggal
kepalaku yang sudah tua dan tiada berarti ini.
Pertempuran kita adalah sebuah pertempuran suci
membela dan melindungi bahtera Majapahit ini keluar
dari angin badai yang ditaburkan oleh para pengkhianat,
para pendusta besar yang punya kulit dan mata sama
seperti kita, lahir dan tumbuh di bumi tercinta ini, namun
punya hati dan pikiran yang sangat kejam, lebih kejam
dari prajurit bangsa Mongol yang pernah kita perangi dan
894 kita usir dari tanah kita tercinta ini", berkata Empu Nambi
di hadapan para pimpinan pasukan pendukungnya.
Perkataan Empu Nambi seperti sebuah sirep,
membuat semua orang terdiam merenung dan membisu.
Sementara itu pasukan Majapahit telah bergerak
mendekati arah hutan Ledoktempuro, iring-iringan besar
itu bergerak seperti seekor Naga besar. Mahapatih Dyah
Halayuda berada di dalam pasukan itu, sebuah pasukan
gabungan terdiri dari pasukan Ki Jabung Terewes yang
masih tersisa dan sebuah pasukan yang sangat kuat dari
kesatuan pasukan Jala Rananggana.
Hutan Ledoktempuro berada di sebelah timur
Kademangan Randu Agung. Untuk mendatangi
Kademangan Randu Agung harus melewati sebuah
padang yang cukup luas. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari
Kademangan Japan, terlihat pasukan besar prajurit
Majapahit itu langsung membuat sebuah perkemahan di
hutan Ledoktempuro. "Sebuah pasukan yang sangat besar", berkata
seorang prajurit Lamajang yang sudah cukup lama
menunggu kedatangan pasukan Majapahit itu di sebuah
semak belukar yang tersembunyi.
"Kita harus segera melaporkannya ke benteng Randu
Agung", berkata seorang kawannya.
Maka terlihat dengan berendap-endap keduanya
telah keluar dari tempat persembunyian mereka menuju
ke tempat kuda-kuda mereka.
Tidak lama kemudian kedua prajurit Lamajang itu
sudah terbang diatas kudanya menuju benteng Randu
Agung. 895 "Semua sesuai dengan rencana semula, kita akan
menyongsong mereka di padang Ledoktempuro", berkata
Empu Nambi kepada para pimpinan pasukannya sambil
menyampaikan beberapa hal penting menyusun siasat
dan gelar perang mereka menghadapi pasukan
Majapahit yang sangat besar itu
Terlihat para pimpinan pasukan Empu Nambi
berpamit diri satu persatu untuk meneruskan jalur
perintahnya kepada para ketua kelompok masingmasing.
Hingga akhirnya diatas pendapa benteng Randu
Agung itu hanya tersisa Empu Nambi dan putranya,
Adipati Menak Koncar. "Apakah kamu siap menghadapi pertempuranmu,
wahai putraku?", bertanya Empu Nambi kepada Adipati
Menak Koncar. "Aku siap lahir dan bathin, wahai ayahandaku",
berkata Adipati Menak Koncar.
"Juga bilamana dalam pertempuran besar itu
berhadapan muka dengan ayah mertuamu sendiri?",
bertanya kembali Empu Nambi.
"Bukankah ayahanda selalu mengatakan bahwa
seorang prajurit harus melupakan perasaannya",
mengutamakan kejernihan pikirannya". Aku akan berdiri
di dalam pertempuranku sebagai seorang prajurit sejati,
berdiri sebagai seorang ksatria utama dibelakang
kebenaran hakiki, kebenaran sebuah cita-cita agung
Kerajaan Majapahit ini, meski yang kuhadapi adalah
ayah mertuaku sendiri", berkata Adipati Menak Koncar.
Terlihat Empu Nambi tersenyum memandang wajah
putranya dalam-dalam. 896 Dan malam itu hujan turun begitu lebatnya
mengguyur bumi Lamajang seperti ditumpahkan dari
langit yang retak. Seperti biasa, hujan yang sangat lebat itu memang
tidak begitu lama, sebentar saja awan hitam di langit
sudah menjadi tiris menyisakan gerimis yang turun di
bumi hingga di penghujung malam.
Perlahan langit kembali cerah, sang bintang kejora
terlihat muncul di langit timur.
Bumi pagi masih sangat gelap, namun kesibukan
sudah terlihat di dapur umum benteng Randu Agung.
Nampaknya para petugas hari ini harus sudah
menyiapkan ransum para prajurit yang akan segera turun
ke medan pertempurannya di padang Ledoktempuro.
Wajah obor di depan gubuk-gubuk prajurit terlihat
pucat pasi terkena cahaya matahari pagi manakala
terdengar suara bende yang berputar-putar berdengung
membentur dinding-dinding pagar batu benteng Randu
Agung. Suara bende pertama itu adalah suara panggilan
para prajurit untuk segera berkumpul di halaman muka
benteng Randu Agung. Terlihat para prajurit Lamajang
tengah berlari memenuhi halaman muka benteng Randu
Agung itu masuk ke dalam kelompok pasukannya
masing-masing. Terlihat Empu Nambi duduk diatas punggung
kudanya di barisan terdepan bersama putranya, Adipati
Menak Koncar. Ayah dan anak itu seperti dua orang
kembar, sama-sama membawa sebuah cakra di tangan
kanannya dan seekor kuda yang sama-sama berwarna
hitam. Keduanya sama-sama gagahnya duduk diatas
punggung kuda masing-masing, yang membedakan
897 keduanya adalah warna rambut dan garis kerut di wajah
mereka. Melihat kesiapan para pasukannya yang berjajar
memanjang, terlihat Empu Nambi menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum kearah Adipati Menak
Koncar. Nampaknya anggukan kepala itu sebuah pertanda
bagi Adipati Menak Koncar. Terlihat Adipati Menak
Koncar mengangkat tinggi-tinggi senjata cakranya seperti
ingin membenturkannya di dinding langit pagi sambil
berteriak keras memberikan aba-aba yang diikuti oleh
suara bende yang bergulung-gulung memenuhi udara di
sekitar halaman benteng Randu Agung itu.
Mendengar suara bende yang kedua kalinya itu telah
langsung membuat gerakan tangan para prajurit meraba
senjata dan segala peralatan yang harus mereka bawa
ke medan pertempuran, salah satu tertinggal adalah
bencana bagi diri mereka, bahkan bencana untuk kawankawan mereka sendiri.
Melihat senjata cakra yang diangkat tinggi-tinggi,
telah membuat Panji Anengah, Panji Samara dan Panji
Wiranagari seperti kembali di masa-masa muda mereka
dalam sebuah pasukan khusus dibawah kendali Empu
Nambi, seorang pemimpin yang sangat mereka hormati,
seorang pemimpin yang sangat mereka kagumi. Yang
selalu mengayomi kehidupan mereka, yang sangat
bersahaya melebur bersama dalam suasana suka dan
duka bersama mereka. Sementara pimpinan mereka saat
itu tengah disingkirkan dan dipinggirkan bahkan di buru
sebagai seorang pendosa. Kembali bergema suara bende yang bergulunggulung memenuhi benteng Randu Agung menabrak dan
898
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berputar searah dinding pagar batu yang membatasi
keliling benteng Randu Agung yang sangat luas itu.
Suara bende ketiga kalinya itu telah menggerakkan
langkah kaki pasukan Empu Nambi.
Derap gema suara langkah kaki, derap gema suara
pangkal tombak kayu bersatu padu menghentak bumi
seperti irama semangat yang bergelora memenuhi udara
pagi, memenuhi jalan-jalan utama Kademangan Randu
Agung yang dilewati oleh pasukan Empu Nambi yang
berjalan berbaris panjang seperti seekor ular sanca
raksasa meliuk-liuk merayap diatas jalan tanah melewati
persawahan yang luas sepi ditinggalkan para petaninya
yang sudah lama pergi mengungsi.
Kibar warna-warni umbul-umbul, rontek dan tunggultunggul membesarkan hati para prajurit pasukan Empu
Nambi, meneguhkan semangat dan kebanggaan hati
mereka berada di belakang Empu Nambi, sang pahlawan
besar mereka. Ular Sanca raksasa itu merayap terus kearah timur
Kademangan Randu Agung menuju arah padang
Ledoktempuro. Akhirnya pasukan besar pendukung Empu Nambi itu
telah memasuki jalan desa terakhir Kademangan Randu
Agung yang berujung di muka sebuah padang ilalang
yang sangat luas, padang Ledoktempuro.
Di sebelah timur padang Ledoktempuro adalah
sebuah hutan yang lebat dengan pohon-pohonnya yang
tinggi menjulang seperti menyanggah langit, menutup
cahaya matahari pagi padang ilalang Ledoktempuro.
Terlihat pasukan Empu Nambi telah memasuki
padang ilalang Ledoktempuro dan berhenti tepat
899 ditengahnya menghadap kearah hutan Ledoktempuro.
Terdengar suara keras membahana dari Adipati
Menak Koncar memberikan sebuah aba-aba perintah
yang diikuti oleh para penghubung terus menjalar hingga
ke barisan paling ujung, ternyata aba-aba itu adalah
sebuah perintah untuk bergerak membentuk sebuah
gelar perang. Dalam waktu yang amat singkat barisan pasukan
Empu Nambi terlihat bergerak membentuk sebuah gelar
perang yang amat sempurna, gelar Garuda Nglayang.
Tegak berdiri dengan pandangan lurus kedepan,
pasukan Empu Nambi telah siap menantang musuhmusuh mereka yang akan muncul dari kegelapan hutan
Ledoktempuro di ujung tepi timur batas padang ilalang
yang sangat luas itu. Desir angin pagi bertiup cukup keras mengibarkan
umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul di tangan
setiap kelompok pasukan. Warna-warni dan aneka corak
lambang umbul-umbul yang mereka bawa sebagai
pertanda dari mana mereka berasal, para prajurit
pengawal Kadipaten Lamajang, para prajurit Majapahit
dibawah pimpinan Panji Anengah, Panji Samara dan
Panji Wiranagari dan para cantrik perguruan Teratai
Putih yang tersebar di Jawadwipa dan Balidwipa.
Gabungan pasukan besar itu telah bersatu dan disatukan
oleh setangkai daun jarak yang terikat di atas kepala
mereka. Dan tidak lama berselang, muncullah sebuah
pasukan keluar dari hutan gelap bersama sorak sorai
gemuruh suara penuh semangat.
Itulah pasukan Majapahit yang telah keluar dari
perkemahan mereka di hutan Ledoktempuro, muncul
900 dalam barisan yang panjang seperti seekor naga raksasa
keluar dari mulut hutan. Manakala ujung barisan mereka sudah terlihat,
pasukan Majapahit itu langsung membentuk sebuah
gelar sempurna, gelar perang yang tanggon, Dirada
Meta. Terlihat Empu Nambi tersenyum memandang barisan
musuh di hadapannya, sementara para pasukannya
telah meraba senjata-senjata mereka, memastikan
bahwa senjata itu masih berada dekat mereka.
Sementara mereka yang membawa tombak panjang
terlihat tidak lagi memanggulnya diatas pundaknya, tapi
sudah terangkat dan merunduk siap menghunjam dadadada musuh mereka.
Seorang penghubung disebelah Empu Nambi terlihat
mengibarkan benderanya ke kiri dan kekanan.
Nampaknya seorang pimpinan pasukan tombak telah
langsung memahaminya sebagai sebuah perintah untuk
kelompoknya bergerak diam-diam duduk berjongkok di
belakang barisan terdepan dengan posisi mata tombak
miring meruncing. Kibar bendera pasukan Empu Nambi nampaknya
diartikan oleh Mahapatih Dyah Halayuda bahwa pasukan
musuh telah siap bergerak, maka senapati agung
pasukan Majapahit itu langsung mengangkat tangannya
tinggi-tinggi sambil berteriak keras mengguntur.
"Hancurkan pasukan pemberontak itu!!", berteriak
Mahapatih Dyah Halayuda memberi perintah.
Terdengar suara gemuruh prajurit Majapahit
menyambut perintah Senapati agung mereka. Dan
padang Ledoktempuro seperti tergoncang manakala
pasukan segelar sepapan itu telah bergerak berlari dan
901 memburu pasukan musuh di hadapannya itu.
Terlihat pasukan berkuda prajurit Majapahit di barisan
terdepan seperti membelah padang ilalang meninggalkan
pasukan lainnya yang tengah berlari kencang dengan
senjata terhunus telanjang ingin segera meluluh
lantakkan dada musuh-musuh mereka.
Layaknya seekor gajah raksasa mengamuk,
begitulah pasukan besar Majapahit itu bergerak
menerjang pasukan musuh didepan mereka.
"Apakah mereka bermaksud untuk bunuh diri
bersama?", berkata Dyah Halayuda dalam hati diatas
kudanya yang tengah berlari melihat pasukan musuh
diam tidak bergerak menyongsong terjangan mereka.
Dyah Halayuda masih juga belum dapat menebak
apa yang akan dilakukan oleh pasukan Empu Nambi itu
yang tidak bergerak sedikitpun menghadapi pasukannya
yang sudah menjadi semakin dekat itu."Apakah mereka
gentar dan menggigil takut melihat pasukanku?", berkata
kembali Dyah Halayuda dalam hati penuh kebanggaan
hati membayangkan pasukan besarnya sebentar lagi
akan meluluh lantakkan pasukan Empu Nambi itu.
"Gila, gila, gila !!", mengumpat habis-habisan Ki
Jabung Terewes yang berada di pasukan berkuda.
Sebagaimana Ki jabung Terewes, hampir semua
pasukan berkuda Majapahit itu terkejut tidak mampu lagi
menahan laju kuda mereka. Nampaknya siapapun akan
terkejut bukan kepalang, apalagi masih berada diatas
punggung kudanya yang tengah berlari kencang, karena
di barisan terdepan pasukan Empu Nambi tiba-tiba saja
telah bergeser seperti gerbang pintu kayu terbuka
melebar kekiri dan kekanan.
902 Bukan main terkejutnya pasukan berkuda itu yang
telah terperangkap tonggak-tonggak hidup dari ratusan
tombak yang sebelumnya berada terhalang barisan yang
bergerak membuka itu. Terlihat puluhan kuda tertusuk leher dan perutnya
melemparkan penunggangnya jatuh ke tanah bergulingguling dengan badan dan tulang terasa remuk, bahkan
beberapa orang langsung tidak bergerak lagi karena
sebuah batu besar menghantam kepala mereka ketika
terjatuh. Terdengar sorak sorai para pasukan Empu Nambi
menyambut penuh kegembiraan hati melihat perangkap
mereka berhasil gemilang memperdayai musuh mereka.
Sementara itu barisan terdepan pasukan Empu
Nambi yang bergeser ke kiri dan kekanan membuka
pasukan tombak itu adalah bagian sayap pasukan dalam
gelar Garuda Nglayang yang langsung bergerak
menusuk lambung pasukan induk lawan dari sebelah
kanan dan kirinya. Porak poranda kekuatan pasukan Majapahit yang
berada di lambung pasukan induk itu di hantam sayap
pasukan Empu Nambi. Gemeretak gigi Dyah Halayuda menahan rasa
amarah yang meluap-luap melihat korban di pihaknya
dalam gebrakan pertama itu dan langsung telah
memerintahkan pasukannya mundur beberapa langkah
membantu pasukan di lambung mereka yang terkoyakkoyak itu.
Layaknya seekor gajah besar yang terguncang,
perlahan telah dapat berdiri kembali tegak di empat
kakinya. Pasukan Majapahit yang mundur teratur itu
akhirnya telah kembali dalam gelarnya mengimbangi
903 gerak gelar musuh mereka yang keras laksana seekor
garuda raksasa menukik lincah mencakar dan mematuk
mangsanya dari berbagai arah dan kokoh bergerak
dalam kesatuan perintah senapati mereka, Empu Nambi.
"Selamat datang Mahapatih baru Majapahit, maafkan
bila sambutan kami tidak sesuai yang diharapkan",
berkata Empu Nambi diatas punggung kudanya
menghadang kuda Mahapatih Dyah Halayuda.
"Jangan merasa gembira dengan perangkap pasukan
tombakmu, peperangan ini masih panjang", berkata
Mahapatih Dyah Halayuda memandang tajam Empu
Nambi seperti tengah mengukur tingkat kemampuan
mantan pejabat tinggi istana yang telah berhasil
digantikan kedudukannya. "Peperangan ini memang masih panjang, kulihat
pasukanmu sudah berdiri kembali di keempat kakinya",
berkata Empu Nambi sambil tersenyum membalas
tatapan mata Dyah Halayuda yang menusuk itu.
"Menang atau kalah tidak kupikirkan dalam
peperangan ini, yang kupikirkan bagaimana dapat
membunuhmu", berkata Dyah Halayuda sambil
menghentakkan kudanya maju kedepan mendekati Empu
Nambi. Dua trisula di tangan Dyah Halayuda terlihat
menusuk kedua tempat sasaran yang berbeda, tubuh
Empu Nambi dan perut kudanya.
Namun kuda Empu Nambi adalah seekor kuda
pilihan yang sudah sangat mengerti kemauan tuannya,
terlihat kaki belakang kuda Empu Nambi bergeser
menjauhi trisula, bersamaan dengan itu cakra ditangan
Empu Nambi langsung bergerak menghantam trisula
yang meluncur ke arahnya.
904 Trang !! Hampir saja Dyah Halayuda melepaskan trisulanya,
merasakan telapak tangannya seperti tersengat panas
yang menyengat. "Hem", hanya suara dengusan itu saja yang
terdengar dari bibir Empu Nambi yang dalam benturan
pertama itu sudah dapat mengukur tingkat kemampuan
lawannya itu. Sementara itu Dyah Halayuda terkejut bukan
kepalang merasakan tataran tenaga sakti sejati lawannya
sudah begitu sangat tinggi melampau kemampuannya.
Itulah sebabnya dalam serangan-serangan berikutnya, Dyah Halayuda selalu menghindari benturan.
Cara bertempur Dyah Halayuda ini ternyata diketahui
oleh Empu Nambi, terlihat cakra di tangan Empu Nambi
menjadi lebih leluasa bergerak mengejar kemanapun
tubuh Dyah Halayuda bergerak.
Bertempur diatas kuda nampaknya kurang menguntungkan bagi Dyah Halayuda yang langsung
terbang melesat seperti seekor elang mencengkeram
dengan kedua cakar kakinya yang amat tajam.
Trang, trang !! Bersamaan dengan loncatan Dyah Halayuda yang
meninggalkan kudanya, terlihat Empu Nambi ikut
meloncat meninggalkan kudanya seperti terbang
menghadang dan menangkis kilatan trisula di tangan
Dyah Halayuda. Luar biasa akibat dari benturan senjata trisula dan
cakra itu, terlihat tubuh Dyah Halayuda terlempar empat
langkah kebelakang dengan merasakan kedua
tangannya terasa sangat perih.
905 "Hem", hanya itu suara yang keluar dari bibir Empu
Nambi yang tegak berdiri tersenyum menatap lawannya
yang tengah memperbaiki dirinya untuk tegak berdiri
setelah limbung beberapa saat.
Namun Dyah Halayuda memang seorang yang amat
licik, tahu bahwa seorang diri tidak akan mampu
menandingi Empu Nambi, telah memanggil Lembu
Peteng dan ikal-Ikalan Bang.
"Hem", hanya itu suara yang terdengar keluar dari
bibir Empu Nambi menghadapi tiga orang penyerangnya
itu. Sambil menghadapi ketiga penyerangnya, Empu
Nambi masih sempat mengamati seluruh sisi
pertempuran. Melihat kemapanan pasukan di sayap
kanannya yang dipercayakan kepada putranya, Adipati
Menak Koncar. Sekilas Empu Nambi dapat menilai
pasukan sayap kanannya itu telah dapat menekan
kekuatan musuh mereka. Sebagaimana yang di lihat oleh Empu Nambi,
ternyata pasukan sayap kanan yang dipimpin oleh
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adipati Menak Koncar mampu menekan kekuatan lawan
mereka yang dipimpin oleh seorang senapati pengapit
dalam gelar Dirada Meta yang bernama Ki Jabung
Terewes. Ki Jabung Terewes bersama pasukannya yang
pernah dipukul mundur oleh para prajurit Lamajang
beberapa waktu yang telah lewat itu memang bermaksud
membalas dendam atas kematian anak buahnya dalam
pertempuran sebelumnya itu, dan sangat kebetulan
sekali yang dihadapinya dalam pertempuran kali ini
sebagian besarnya adalah para prajurit dari Lamajang.
Namun yang dihadapi oleh Ki Jabung Terewes
906 adalah Adipati Menak Koncar yang punya banyak
pengalaman bertempur, seorang pemimpin pasukan
yang hebat mengendalikan sebuah pasukan besar.
Beberapa kali Ki Jabung Terewes seperti hilang akalnya
menghadapi berbagai jebakan dan perangkap pasukan
yang berada didalam kendali Adipati Menak Koncar ini
yang kadang menyusut melengkung membentuk jurang
menganga, begitu pasukan musuh masuk tiba-tiba saja
pasukan Adipati Menak Koncar seperti air bah
gelombang besar menghantam dan menjepit pasukannya. Dan korban pun berjatuhan tidak sedikit di
pihak pasukan Ki Jabung Terewes itu.
Sambil bertempur menghadapi tiga orang penyerangnya, terlihat Empu Nambi tersenyum penuh
kebanggaan hati bahwa putranya dengan sangat
cerdasnya mengendalikan pasukannya, mengatur
seluruh kekuatan pasukannya.
Sementara itu di sayap kiri pertempuran, Empu
Nambi sempat mengamati suasana pertempuran disana.
Telah melihat bahwa Panji Wiranagari yang dipercayakan
memimpin pasukan sayap kirinya itu mampu
mengimbangi pasukan lawan.
"Syukurlah, mereka tidak bertemu muka dalam
pertempuran ini", berkata Empu Nambi dalam hati
menarik nafas lega manakala melihat seorang senapati
musuh yang menghadapi sayap kirinya adalah besannya
sendiri, Tumenggung Jala Rananggana.
Perlahan tapi pasti, gelar Garuda Nglayang pasukan
Empu Nambi dapat mendesak gelar perang Dirada Meta
yang sangat kuat itu, terutama berkat tekanan yang kuat
di sayap kanan pasukan Adipati Menak Koncar yang
memaksa Dyah Halayuda memerintahkan beberapa
orang prajuritnya yang berada di pasukan induknya
907 bergeser membantu pasukan Ki Jabung Terewes yang
tertekan itu. Akibatnya pasukan Empu Nambi di bagian paruh dan
kepala gelar perangnya dapat memukul pasukan
Majapahit yang menyusut itu. Telah dapat mendesak
mundur pasukan Majapahit hingga empat tumbak dari
garis awal pertempuran. "Sedari awal aku memang belum yakin kemampuan
orang sombong itu ditempatkan sebagai senapati
pengapit di gelar perang ini", berkata dalam hati
Tumenggung Jala Rananggana penuh rasa khawatir.
Sementara itu matahari diatas padang Ledoktempuro
telah bergeser turun kearah barat cakrawala, dentang
senjata beradu dan suara gemuruh peperangan begitu
riuh memenuhi padang Ledoktempuro. Sorak dan sorai
suara prajurit masih silih berganti dari kedua pasukan
manakala kemenangan berpihak diantara mereka. Hanya
saja sorak dan sorai pasukan Empu Nambi lebih banyak
terdengar dibandingkan pasukan Majapahit yang
dipimpin langsung oleh Dyah Halayuda.
Suara riuh dan gemuruh peperangan itu masih
terdengar dari ujung tepi hutan di ujung timur padang
Ledoktempura. Namun akan menjadi semakin senyap
hilang dari pendengaran manakala telah masuk lebih
jauh lagi ke tengah jantung hutan itu, ke tempat
perkemahan besar pasukan Majapahit yang saat itu
hanya di jaga oleh sekitar seratus orang prajurit,
termasuk didalamnya para juru masak yang bertugas
menyiapkan ransum untuk para prajurit.
Terlihat beberapa prajurit tengah sibuk menyiapkan
masakan di depan gubuk mereka, sementara beberapa
orang prajurit di beberapa tempat tengah berjaga,
908 memastikan perkemahan mereka dalam keadaan aman
tanpa gangguan apapun. Namun para prajurit Majapahit di perkemahan itu
tidak menyadari sama sekali bahwa ribuan mata sudah
sejak lama mengintai disekitar mereka.
Entah dari mana arah datangnya, terlihat seorang
lelaki berjalan mendekati tiga orang prajurit yang tengah
menyiapkan rusa panggang tidak jauh dari gubuk
mereka. "Siapa kamu !!", berkata dengan suara keras sambil
berdiri salah seorang dari ketiga prajurit itu yang melihat
pertama kali seorang lelaki yang telah begitu dekat
dengan perapian mereka. Dengan sigap, kedua temannya ikut berdiri menatap
tajam lelaki asing itu. "Siapa aku", apakah begitu penting sebuah
namaku?", berkata lelaki asing itu penuh senyum ringan.
"Terlarang bagi orang asing memasuki perkemahan
kami, jangan-jangan kamu adalah pihak musuh yang
sengaja datang mengganggu", berkata salah seorang
kawan prajurit yang pertama kali berdiri.
"Ternyata senjata prajurit Majapahit hanya sebuah
pisau dapur biasa", berkata lelaki asing itu sambil
tersenyum memandang pisau dapur yang digenggam
oleh ketiga prajurit itu.
"Kami baru saja menyayat daging rusa, sebut siapa
kamu sebelum pisau ini akan menyayat tubuhmu",
berkata salah seorang dari ketiganya.
"Pasang telinga kalian, sebagai seorang prajurit
Majapahit pasti kalian pernah mendengar nama Rangga
Pamandana, seorang mantan prajurit Majapahit dari
909 kesatuan pasukan Jala Yudha", berkata lelaki asing itu
yang ternyata adalah Rangga Pamandana, salah
seorang perwira prajurit Majapahit yang telah membelot
berada di belakang pasukan Empu Nambi.
Sebagai seorang prajurit Majapahit, nampaknya
mereka bertiga memang pernah mendengar nama
Rangga Pamandana. Seketika itu juga wajah ketiganya
langsung berubah menjadi pucat pasi.
Rangga Pamandana tersenyum melihat perubahan
wajah ketiga prajurit itu.
Namun ketiga prajurit itu mulai sadar akan tugas dan
kewajibannya sebagai seorang prajurit yang harus
menjaga dan mengamankan perkemahan mereka.
"Apa yang tuan inginkan di perkemahan kami?",
bertanya salah seorang prajurit itu yang sudah dapat
mengendapkan perasaan jerihnya kepada Rangga
Pamandana itu. "Aku ingin merampok gudang persediaan kalian",
berkata Rangga Pamandana dengan suara datar tanpa
tekanan mengancam. Mendengar perkataan Rangga Pamandana, ketiganya saling berpandangan satu dengan yang
lainnya. "Kami bertiga mungkin bukan tandingan tuan, namun
kami dapat memanggil kawan-kawan kami yang lainnya",
berkata salah seorang prajurit kepada Rangga
Pamandana. "Cepat kamu panggil mereka, aku tidak akan lari
selangkah pun dari tempatku berdiri", berkata Rangga
Pamandana. Mendengar perkataan Rangga Pamandana, langsung
910 seketika salah seorang prajurit langsung berlari ke
sebuah gubuk dan langsung membunyikan kentongan
yang ada di depan gubuk itu.
Maka terdengarlah suara kentongan bernada panjang
berputar-putar memenuhi seluruh perkemahan dari ujung
satu ke ujung lainnya. Dan dalam waktu yang singkat seratus orang prajurit
Majapahit sudah berkumpul di hadapan Rangga
Pamandana. "Kutawarkan kepada kamu untuk menyerahkan diri
tanpa perlawanan", berkata seorang kepala prajurit di
perkemahan itu kepada Rangga Pamandana.
"Bagaimana bila terbalik aku yang menawarkan
kepada kalian untuk menyerahkan diri tanpa
perlawanan", berkata Rangga Pamandana masih dengan
sikap tenang tanpa merasa gentar sedikitpun
menghadapi seratus orang prajurit Majapahit itu.
"Apa yang kamu miliki sehingga berani menawarkan
hal demikian kepada kami?", berkata kepala prajurit itu
sudah mulai tidak sabaran menghadapi sikap Rangga
Pamandana itu. "Aku memiliki pasukan besar sepuluh kali lipat dari
jumlah kalian", berkata Rangga Pamandana menjawab
kalem. "Omong kosong !!", berkata kepala prajurit itu dengan
nada membentak menganggap ucapan Rangga
Pamandana hanya untuk mengulur-ulur waktu.
"Aku berkata benar", berkata Rangga Pamandana
sambil langsung bersuit panjang.
Terkejut para prajurit yang ada di perkemahan itu,
ternyata Rangga Pamandana tidak beromong kosong.
911 Ternyata suitan panjang Rangga Pamandana itu
adalah untuk memanggil para pasukan. Terlihat
bermunculan dari semak dan belukar beberapa orang
seperti hantu di siang hari bolong, setiap kepala
bercirikan daun jarak yang terikat kuat. Dan benar-benar
berjumlah sepuluh kali lipat dari jumlah prajurit Majapahit
yang berada di perkemahannya.
"Kuulangi lagi tawaranku, menyerah tanpa perlawanan", berkata Rangga Pamandana setelah
seluruh pasukannya telah berkumpul di belakangnya.
Mendengar tawaran dari Rangga Pamandana itu,
beberapa orang masih berpikir-pikir, beberapa lainnya
hanya menunggu suara terbanyak dari kawan-kawannya,
sementara yang terbanyak adalah yang tidak berpikir
apapun kecuali rasa takut yang amat sangat
membayangkan menghadapi jumlah musuh yang
sepuluh kali lipat dari jumlah mereka.
"Kami prajurit Majapahit, tidak akan gentar
menghadapi musuh", berkata kepala prajurit Majapahit itu
sambil meloloskan pedangnya dan mengangkatnya
tinggi-tinggi seperti ingin menusuk dinding langit.
Nampaknya suara kepala prajurit itu seperti sebuah
perintah, seketika itu juga seratus prajurit Majapahit itu
telah ikut meloloskan pedang di pinggang mereka,
melupakan rasa takut, melupakan kebimbangan hati dan
melupakan pikiran apapun selain siap menghadapi
apapun yang terjadi. "Para prajurit yang sangat berani", berkata Rangga
Pamandana memuji sikap para prajurit Majapahit itu
sambil melepaskan pedangnya memberi tanda kepada
pasukannya untuk maju. Maka pertempuran memang tidak dapat dihindari
912 lagi, seratus orang prajurit Majapahit memang telah
menunjukkan keberaniannya. Denting suara pedang
saling beradu, caci maki dan bentakan kasar adalah
suara peperangan di arena perkemahan itu.
Namun apalah artinya seratus orang prajurit
menghadapi seribu orang pasukan Rangga Pamandana"
Apalah artinya seratus prajurit Majapahit kelas dua
dalam lingkungan keprajuritan, para juru masak dan para
prajurit penjaga biasa"
Sementara pasukan Rangga Pamandana itu adalah
para prajurit pilihan, sebagian dari para prajurit dari
Blambangan yang sengaja belum diterjunkan oleh Empu
Nambi dalam pertempuran di hari pertamanya itu.
Maka dalam waktu yang amat singkat pasukan
Rangga Pamandana telah dapat menguasai medan
pertempuran itu. Jumlah prajurit Majapahit terlihat
semakin menyusut tajam, korban di pihak prajurit
Majapahit seperti daun di musim kemarau panjang, telah
terlihat berguguran, mati atau terluka parah di ujung
pedang pasukan Rangga Pamandana yang trengginas
itu, yang punya banyak pengalaman bertempur, para
prajurit terbaik dari Tanah Blambangan yang sangat
terkenal itu. "Menyerahlah kalian", berkata Rangga Pamandana
dengan suara penuh wibawa kepada sepuluh orang
prajurit Majapahit yang tersisa, yang sudah terkepung
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam lingkaran yang amat kuat.
Suara keras Rangga Pamandana yang penuh
kewibawaan itu seperti sebuah tangan kuat langsung
merontokkan nyali dan taji keberanian sepuluh orang
prajurit Majapahit yang tersisa itu. Seorang prajurit
Majapahit dengan wajah yang sudah penuh rasa putus
913 asa terlihat telah langsung melemparkan senjatanya.
Nampaknya lemparan senjata tanda penyerahan diri
salah seorang dari prajurit Majapahit itu seperti sirep
yang amat kuat, kesembilan orang prajurit Majapahit
langsung mengikutinya, melemparkan senjatanya jauhjauh dari jangkauan dirinya sendiri.
"Ikat mereka semua, dan kosongkan gudang
persediaan mereka", berkata Rangga Pamandana
memerintahkan pasukannya.
Maka dalam waktu yang amat singkat itu, terlihat
pasukan Rangga Pamandana itu telah membawa
persediaan pangan yang ada di gudang perkemahan
pasukan Majapahit itu. Kedatangan dan kepergian pasukan Rangga
Pamandana itu benar-benar seperti hantu di siang hari
bolong, mereka sudah hilang menyelinap di kerepatan
hutan Ledoktempuro yang amat lebat itu, seperti hilang
tertelan bumi. Sementara itu pertempuran di padang Ledoktempuro
masih terus berlangsung dengan amat serunya. Sorak
sorai prajurit dari dua belah pihak saling silih berganti
manakala sebuah kemenangan berhasil mereka raih,
korban pun sudah terlihat begitu banyak bergelimpangan
di tanah, jerit dan teriakan terlontar seketika bersamaan
rasa sakit yang amat sangat manakala tebasan sebuah
pedang melukai tubuh para prajurit dari kedua belah
pihak. Dan dari sorak sorai yang pernah terdengar, sorak
sorai kali ini terdengar begitu riuh, begitu sangat
bergemuruh dari sebelumnya. Terdengar dari pasukan
yang bertempur di sayap kiri berasal dari suara pasukan
yang dipimpin langsung oleh Adipati Menak Koncar.
914 Ternyata suara riuh itu terdengar manakala terlihat
cakra di tangan Adipati Menak Koncar membentur dada
Ki Jabung Terewes yang langsung terlempar dan
berguling-guling diatas tanah dan diam tak bergerak lagi.
Sebenarnya Ki Jabung Terewes belum mati, hanya
terluka parah. Namun suara pasukan di pihak Empu
Nambi telah berteriak penuh kegembiraan bahwa Ki
jabung Terewes telah terbunuh.
"Senapati musuh terbunuh, senapati musuh terbunuh
!!", berteriak para pasukan di sayap kiri pimpinan Adipati
Menak Koncar itu bergemuruh terdengar oleh semua
orang yang tengah bertempur di padang Ledoktempuro
itu. Suara riuh kemenangan itu terdengar juga di telinga
Mahapatih Dyah Halayuda yang tengah bertempur
menghadapi Empu Nambi. "Lembu Peteng, pimpinan kuserahkan kepadamu
menggantikan Ki Jabung Terewes", berkata Dyah
Halayuda kepada Lembu Peteng yang tengah
membantunya menghadapi Empu Nambi.
Terlihat Lembu Terewes langsung meloncat bergeser
kearah sayap kiri gelar mereka.
Menghadapi dua orang penyerangnya membuat
Empu Nambi dapat merasa lebih ringan dan leluasa
mengamati seluruh keadaan medan pertempuran,
memberikan perintah-perintahnya lewat jalur penghubungnya. Empu Nambi dapat melihat keadaan pertempuran di
sayap kanannya, ternyata kepemimpinan Lembu Peteng
tidak dapat merubah keadaan, bahkan membuat lebih
parah lagi keadaan dimana para prajurit Lamajang di
915 bawah kepemimpinan Adipati Menak Koncar telah
semakin menusuk kearah lambung pasukan induk
mereka. Berdebar perasaan hati Dyah Halayuda, membayangkan lambung gelar Dirada Meta sampai
robek tidak mampu menahan tekanan sayap kanan
pasukan Empu Nambi itu. Terlihat Empu Nambi tersenyum dikulum manakala
mendengar perintah Dyah Halayuda untuk memperkuat
sayap kiri mereka. Sementara itu Empu Nambi masih melihat
keseimbangan pertempuran di sayap kirinya, nampaknya
Tumenggung Jala Rananggana mampu mengimbangi
kekuatan pasukan yang berada di bawah pimpinan Panji
Wiranagari dan Panji Anengah. Mereka nampaknya
berasal dari induk jalur tata gelar yang sama, jadi seperti
dapat saling membaca setiap gerak lawan, karena
mereka sama-sama para prajurit Majapahit yang berada
di pihak yang berseberangan.
"Sayang hawa murniku sudah terkuras hampir
setengahnya oleh Gajahmada", berkata dalam hati Dyah
Halayuda ketika menghindari setiap benturan senjata
Empu Nambi, hanya mengandalkan kecepatan dan
kegesitannya bergerak. Namun tiba-tiba saja suara sorak dan sorai kembali
terdengar di ujung kiri sayap pasukannya yang dipimpin
oleh Lembu Peteng. Berdebar perasaan hati Dyah
Halayuda manakala mendapat berita dari penghubungnya bahwa Lembu Peteng gugur terhantam
cakra Adipati Menak Koncar di kepalanya.
"Orang-orang bodoh !!", berkata Dyah Halayuda
kepada seorang penghubungnya.
916 "Masih ada seorang kawanmu ini menggantikan
orangmu yang gugur itu, sehingga kita bisa lebih leluasa
berhadapan satu lawan satu", berkata Empu Nambi
dengan senyum menggoda. "Kurobek mulutmu", berteriak Dyah Halayuda penuh
kemarahan sambil menerjang Empu Nambi seperti badai
gelombang yang bergulung-gulung.
Trang !! Cakra Empu Nambi seperti tameng yang amat kuat
menahan serangan yang amat dahsyat itu.
Maka akibatnya berpulang kepada Dyah Halayuda
yang langsung mundur dua langkah dari tempatnya
berdiri sambil merasakan kedua tangannya bergetar
pedih. "lambung pasukanmu sebentar lagi akan robek",
berkata Empu Nambi mengingatkan musuhnya.
"Persetan dengan pasukanku, yang kuinginkan hari
ini adalah membunuhmu", berkata Dyah Halayuda sambil
memerintahkan sepuluh orang prajuritnya membantu
dirinya mengepung Empu Nambi seorang diri.
Namun Empu Nambi berada bersama orang-orang
yang setia kepadanya, tidak akan rela melihat Empu
Nambi seorang diri menghadapi kecurangan itu. Terlihat
beberapa orang setianya telah turun bersama
menghadapi setiap musuh yang datang membantu Dyah
Halayuda. Termasuk mengambil alih menghadapi IkalIkalan Bang.
Akibatnya, Dyah Halayuda hanya seorang diri
menghadapi Empu Nambi. Beruntung bahwa hati dan
pikiran Empu Nambi setengahnya berada di medan
pertempuran, mengendalikan seluruh pasukannya lewat
917 jalur para penghubungnya. Terlihat Empu Nambi dengan
ringannya keluar dari serangan lawannya, hanya
beberapa kali membuat tekanan-tekanan menembus
pertahanan lawannya. Namun setengah hati perlawanan Empu Nambi telah
menguras habis tenaga Dyah Halayuda. Melihat bahwa
dirinya tidak akan mampu seorang diri menghadapi
Empu Nambi, tiba-tiba saja Dyah Halayuda melompat
jauh dan menyelinap diantara keriuhan suasana
peperangan. "Manusia licik", berkata Empu Nambi yang telah
kehilangan jejak Dyah Halayuda.
Bersama hilangnya Dyah Halayuda dalam pandangan Empu Nambi, terlihat seluruh pasukan
Majapahit telah bergerak mundur dengan sebuah gelar
membentuk sebuah lingkaran cakra besar yang terus
bergerak mendekati arah hutan Ledoktempuro.
"Hari telah senja", berkata Empu Nambi dalam hati
sambil menatap mentari yang semakin surut di ujung
barat bumi. "Bila saja tidak datang senja, pasukan kita sudah
berada di ujung kemenangan", berkata Adipati Menak
Koncar yang datang mendekati Empu Nambi.
"Masih ada waktu besok, wahai putraku", berkata
Empu Nambi dengan senyum penuh kebanggaan hati
memandang putranya yang dilihatnya sangat cekatan
dan cerdas mengendalikan sayap kanan gelar perang
pasukannya. Sementara itu pasukan Majapahit sudah hampir
seluruhnya masuk kedalam hutan, dipadang Ledoktempuro itu hanya tertinggal pasukan Empu Nambi.
918 "Mari kita kembali ke benteng Randu Agung", berkata
Empu Nambi kepada Adipati Menak Koncar.
Demikianlah, wajah senja yang buram mengiringi
pasukan Empu Nambi meninggalkan padang Ledoktempuro, meninggalkan mayat-mayat musuh
mereka, membiarkan orang-orang yang terluka dari pihak
musuh mereka yang sebentar lagi akan dibawa oleh
kawan-kawan mereka sendiri.
Wajah bumi di ujung senja perlahan semakin redup,
iring-iringan pasukan Empu Nambi telah memasuki jalan
utama Kademangan Randu Agung, tanpa suara, tanpa
derap langkah kaki yang keras menghentak bumi.
Sesekali wajah mereka menyapu hamparan persawahan
yang sepi disisi perjalanan mereka.
Sementara itu pasukan Dyah Halayuda yang
memasuki hutan Ledoktempuro sudah mendekati
perkemahannya. Bukan main terkejutnya Dyah Halayuda manakala
melihat para prajurit penjaganya sudah dalam keadaan
terikat tangan dan kakinya.
"Mereka telah merampok persediaan pangan kita",
berkata salah seorang prajurit penjaga bercerita apa
yang terjadi di perkemahan tadi siang.
Terlihat wajah Dyah Halayuda seperti terbakar
merah, tidak berkata apapun selain bergeratak giginya
menahan rasa amarah yang begitu amat hebat dan
langsung menuju kearah gubuknya sendiri.
Akhirnya dengan sangat terpaksa beberapa orang
prajurit Majapahit itu harus nganglang dimalam hari
berburu di hutan untuk mempersiapkan ransum para
prajurit malam itu dan keesokan harinya.
919 Kasihan memang keadaan para prajurit Majapahit itu,
setelah seharian bertempur masih harus menunggu
cukup lama, menunggu keberuntungan teman-teman
mereka berburu di hutan. "Bukan Ki Sandikala bila tidak cerdik", berkata
Tumenggung Jala Rananggana dalam hati sambil
berbaring di gubuknya memuji kecerdikan Empu Nambi
yang sudah lama dikenalnya itu dalam masa-masa
perjuangan menghadapi para prajurit Raja Jayakatwang.
"Roda kehidupan memang sangat aneh, dulu aku dan
Empu Nambi berada dalam satu barisan, sementara saat
ini aku dan Empu Nambi berada di barisan terpisah dan
berseberangan", berkata kembali Tumenggung Jala
Rananggana dalam hati. Namun baru saja Tumenggung Jala Rananggana
memejamkan matanya yang sudah amat lelah itu, tibatiba saja datang seorang prajurit yang memintanya untuk
menghadap Mahapatih Dyah Halayuda .
"Sampaikan kepada Mahapatih, aku akan segera
menghadap", berkata Tumenggung Jala Rananggana
kepada prajurit itu. Maka tidak lama berselang terlihat Tumenggung Jala
Rananggana telah keluar dari gubuknya memenuhi
panggilan Mahapatih Dyah Halayuda.
Ternyata ketika Tumenggung Jala Rananggana
sampai di gubuk Mahapatih Dyah Halayuda, dilihatnya
sudah ada Ikal-Ikalan Bang dan beberapa perwira tinggi.
"Dalam pertempuran
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besok, aku berharap Tumenggung Jala Rananggana tetap menjadi senapati
pengapitku di sayap kiri dalam gelar Dirada Meta",
berkata Dyah Halayuda. 920 Terlihat Tumenggung menarik nafas panjang, "Yang
aku khawatirkan akhirnya terjadi juga", berkata
Tumenggung Jala Rananggana dalam hati membayangkan bahwa dalam pertempuran besok sudah
dapat dipastikan dirinya akan berhadapan dengan anak
menantunya sendiri, Adipati Menak Koncar. "Apa yang
harus kukatakan kepada kedua putra mereka bila
pedangku ternoda darah ayahnya ?", berkata kembali
Tumenggung Jala Rananggana membayangkan pertempuran yang akan dilaluinya itu.
Dan malam itu bulan belum tua di langit Kademangan
Pronojiwo, sebuah kademangan yang berada di kaki
gunung Semeru. Di saat bumi Lamajang bergelora, Kademangan
Pronojiwo menjadi tempat pengungsian bagi para warga
Lamajang yang merasa yakin bahwa peperangan tidak
akan menjalar hingga kesana. Mungkin karena letaknya
berada di ujung paling barat, terpisah oleh sebuah hutan
kecil dengan beberapa kademangan terdekatnya.
Ternyata Empu Nambi sangat memperhatikan
keselamatan para pengungsi dengan menempatkan tiga
ribu pasukannya di Kademangan Pronojiwo itu.
Rangga Pamandana oleh Empu Nambi dipercayakan
memimpin pasukan itu sebagian besar berasal dari para
prajurit pengawal Kadipaten Blambangan.
Disamping menjaga keamanan para pengungsi dan
warga Kademangan Pronojiwo, pasukan Rangga
Pamandana itu juga sebagai pasukan khusus yang
sengaja disiapkan oleh Empu Nambi terpisah dari
pasukan induknya di benteng Randu Agung, jauh dari
perhitungan dan pengamatan Mahapatih Dyah Halayuda.
Tadi siang sebagian dari pasukan Rangga 921 Pamandana telah dengan sangat mudahnya menggasak
gudang persediaan Majapahit. Dan dengan penuh
kegembiraan hasil jarahan itu langsung dibagi- bagikan
kepada para pengungsi dan para warga Kademangan
Pronojiwo. Dan malam itu nampaknya Rangga Pamandana ingin
kembali membuat sebuah kehebohan lain di perkemahan
para pasukan Majapahit. "Malam ini aku perlu seratus prajurit untuk nglanglang
di hutan Ledoktempuro", berkata Rangga Pamandana
kepada salah seorang kepala kelompok prajurit.
Maka tidak lama berselang, terlihat Rangga
Pamandana dari seratus orang prajuritnya telah keluar
dari Kademangan Pronojiwo.
Untuk menghindari pengamatan para petugas
Majapahit yang pasti telah disebar di berbagai tempat,
pasukan Rangga Pamandana tidak melewati jalan
utama, tapi memotong diantara pematang sawah menuju
hutan Ledoktempuro. "Kita buat mereka tidak tidur semalaman", berkata
Rangga Pamandana ketika mereka telah berada di
sekitar perkemahan hutan Ledoktempuro itu.
Sementara itu suasana di perkemahan sudah jauh
malam, hampir seluruh prajurit Majapahit sudah pulas
tertidur setelah lelah dan penat seharian bertempur dan
makan malam yang terbatas karena gudang persediaan
mereka telah di jarah oleh Pasukan Rangga Pamandana.
Ada lima pos gardu penjagaan di perkemahan itu,
dan di setiap waktu secara bergilir mereka berkeliling
perkemahan untuk memastikan keadaan aman terjaga.
Malam itu semilir angin terasa sangat dingin seperti
922 menusuk kulit telah membuat para penjaga di pos gardu
yang berada di ujung perkemahan duduk berhimpitan
dan tidak jauh-jauh dari perapian.
Namun salah seorang dari para penjaga itu telah
melihat di kegelapan malam seseorang tengah
menyalakan sebuah perapian.
"Mungkin seorang prajurit yang masih kelaparan,
berburu sendiri unggas di hutan", berkata salah seorang
penjaga kepada kawannya. "Mari kita dekati, siapa tahu ada unggas lebih",
berkata kawan penjaga itu.
Sementara itu beberapa kawan mereka tidak begitu
peduli dengan pembicaraan dua orang prajurit penjaga
itu, masih duduk berhimpitan di depan perapian mereka.
Tidak lama berselang kedua prajurit penjaga itu telah
mendekati orang yang tengah membuat perapian itu,
tubuh orang itu membelakangi mereka sehingga
wajahnya belum terlihat jelas.
"Pendeta menyebar benih di tanah kering", berkata
salah seorang penjaga menyebut sebuah kata sandi.
"Pendeta harusnya di pura, membaca kitab suci",
berkata orang itu sambil menambahkan ranting-ranting
kecil di perapiannya. Mendengar jawaban kata sandi dari orang itu, terlihat
keduanya mengerutkan keningnya langsung berubah
sikapnya menjadi penuh kewaspadaan meraba pedang
di pinggang masing-masing.
"Berdiri dan berbalik badan agar kami dapat melihat
wajahmu", berkata salah seorang dari penjaga itu kepada
seorang lelaki didekat mereka itu.
923 Maka terlihat lelaki itu berdiri sambil menepak-nepak
telapak tangannya yang kotor dan membalikkan
badannya. Terbelalak mata kedua penjaga itu menatap wajah
lelaki yang terlihat tersenyum memandang mereka
berdua. "Rangga Pamandana menyebut sebuah nama. !!", bersamaan keduanya Ternyata lelaki yang sendirian membuat perapian itu
adalah Rangga Pamandana, tentu saja kedua penjaga
itu mengenalnya karena tadi siang Rangga Pamandana
dan pasukannya telah menggasak habis gudang
persediaan mereka. Namun baru saja keduanya meraba gagang pedang
di pinggang, tiba-tiba saja tangan Rangga Pamandana
telah mendahuluinya bergerak dengan amat cepat sekali.
Plok, plokk !! Dua kali tangan Rangga Pamandana bergerak
menampar wajah keduanya dengan tamparan yang kuat.
Terlihat keduanya langsung limbung terlempar dan
jatuh di tanah dengan kepala terasa pening berat.
Ternyata kejadian yang menimpa kedua penjaga itu
dilihat oleh kawan-kawan mereka.
"Ada sesuatu menimpa kedua teman kita", berkata
salah seorang dari para penjaga itu sambil menunjuk
kearah kedua kawan mereka yang terjatuh itu.
Serempak delapan berloncatan berlari. orang penjaga itu telah Termangu mereka semuanya karena mengenal siapa
lelaki yang telah merobohkan kedua kawan mereka.
924 "Rangga Pamandana !!", berkata beberapa orang
masih mengenal Rangga Pamandana yang tengah
berdiri tegak sambil melayangkan senyumnya kepada
kedelapan penjaga itu. "Mengapa salah seorang dari kalian tidak
membunyikan tanda bahaya ?", bertanya Rangga
Pamandana kepada prajurit penjaga itu.
Mendengar pertanyaan dari Rangga Pamandana
para prajurit penjaga saling berpandangan membenarkan
perkataan Rangga Pamandana itu.
"Jaluk, lekas kamu bunyikan pertanda, sementara
kami akan menahan orang ini agar tidak lari", berkata
salah seorang prajurit penjaga itu kepada kawannya
yang bernama Jaluk. Terlihat Jaluk sudah langsung berlari ke gubuknya
dimana alat kentongan ada disana.
Namun bersamaan dengan itu pula, sepuluh prajurit
Rangga Pamandana telah menyelinap masuk ke
kandang kuda. "Aku tidak akan lari, mari kita memanaskan tubuh kita
di malam dingin ini", berkata Rangga Pamandana ketika
merasa yakin sepuluh orang pasukannya telah berhasil
menyelinap ke kandang kuda.
Namun baru saja Rangga Pamandana berkata,
terdengar suara kentongan tanda bahaya bergema di
malam yang sepi itu. Maka tidak lama berselang, ketujuh orang prajurit
penjaga sudah mengepung Rangga Pamandana dengan
pedang terhunus ditangan mereka.
"Kita tahan orang ini, sebentar lagi kawan-kawan kita
akan turun membantu", berkata salah seorang prajurit
925 penjaga kepada kawan-kawan mereka.
Perkataan salah seorang prajurit
menumbuhkan keberanian di hati
terlihat dua orang prajurit penjaga
telah melayangkan pedangnya
Pamandana. penjaga itu seperti kawan-kawannya, dari arah berbeda kearah Rangga "Nampaknya kalian banyak berlatih dengan patokpatok mati", berkata Rangga Pamandana sambil
bergeser selangkah. Bukan main kecewanya kedua orang penyerang itu
yang telah kehilangan sasarannya.
Namun keempat kawannya sudah langsung bergerak
menyusul menerjang Rangga Pamandana.
Demikianlah susul menyusul serangan dihadapi oleh
Rangga Pamandana, namun tidak satupun serangan
yang dapat menciderainya, Rangga Pamandana dapat
bergerak dengan cepatnya seperti tengah bermain-main
dengan bahaya, seperti tengah menunggu sesuatu.
Ternyata yang ditunggu Rangga Pamandana adalah
kedatangan para penjaga dari gardu yang lain yang
datang mendekati arah suara kentongan.
Ternyata yang ditunggu Rangga Pamandana juga
terbangunnya para prajurit Majapahit yang tengah
tertidur, terbangun dan keluar dari gubuknya langsung
berlari kearah suara kentongan bahaya.
Ketika para penjaga berlari mendekat, ketika para
prajurit terbangun dan datang mendekat, Rangga
Pamandana masih juga belum melarikan dirinya, masih
bermain-main dengan ketujuh orang penjaga yang
menyerangnya. Apa sebenarnya yang masih ditunggu oleh Rangga
926 Pamandana " Ternyata Rangga Pamandana menunggu suara
langkah kaki kuda yang panik berlari ke berbagai arah.
Luar biasa kehebohan terjadi di perkemahan pasukan
Majapahit, manakala para penjaga di beberapa pos
ronda datang mendekat, manakala beberapa prajurit
terbangun, dan disaat semua orang datang mendekati
Rangga Pamandana untuk membantu meringkusnya,
terdengarlah suara derap langkah kaki kuda tanpa
penunggangnya, kuda-kuda itu dibuat menjadi panik oleh
pasukan Rangga Pamandana yang telah menyelinap ke
kandang kuda, membuka lebar-lebar kandang kuda.
Semua mata tertuju kearah kuda-kuda yang berlari
tanpa arah, ratusan kuda berlari bersama ke segala arah
penjuru bahkan ada yang berlari berlawanan arah
dengan beberapa prajurit yang baru datang.
Suasana perkemahan yang semula sepi berubah
menjadi suara riuh yang ramai, suara derap, suara
ringkik kuda dan suara orang berteriak.
"Kejar dan tangkap kuda-kuda itu !!", berteriak
beberapa orang tengah mengejar kuda-kuda mereka.
Itulah kehebohan yang tengah ditunggu oleh Rangga
Pamandana, sesaat tiada ada prajurit Majapahit yang
memperhatikannya, sesaat itu dipergunakan Rangga
Pamandana untuk melarikan dirinya menghilang di
kegelapan hutan. Ternyata Rangga Pamandana tidak pergi jauh-jauh
dari perkemahan itu, masih bersembunyi di dalam
kegelapan hutan Ledoktempuro.
Apakah masih ada kehebohan lain yang ditunggu
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh Rangga Pamandana "
927 Ternyata ketika para penjaga meninggalkan pos
gardu penjagaan mereka, manakala beberapa prajurit
terbangun mendengar suara kentongan bahaya dan
langsung keluar meninggalkan gubuk-gubuk mereka,
maka disaat itulah beberapa pasukan Rangga
Pamandana telah mendekati gubuk-gubuk kosong yang
telah ditinggalkan oleh penghuninya.
Dari tempat kejauhan, Rangga Pamandana melihat
api mulai menjalar membakar beberapa buah gubuk di
perkemahan pasukan Majapahit.
Laksana sebuah perapian besar di malam gelap yang
dingin, lidah kobaran api begitu cepat membakar batang
kayu gubuk bahkan telah merambat menjilat gerumbul
dan semak-semak hutan di sekelilingnya.
Rangga Pamandana tersenyum melihat para prajurit
Majapahit bahu membahu memadamkan api agar tidak
merambat ke gubuk lainnya.
"Apakah ada orang kita yang tertinggal?", bertanya
Rangga Pamandana kepada beberapa orang prajuritnya,
memastikan bahwa jumlah mereka lengkap tidak satupun
yang berkurang. Akhirnya setelah merasa yakin tidak ada seorang pun
yang tertinggal, Rangga Pamandana mengajak
pasukannya kembali ke Kademangan Pronojiwo.
Beberapa prajurit merasa bangga atas kepedulian
Rangga Pamandana itu, merasa dinaungi dan dilindungi
oleh pimpinan mereka sendiri.
"Mari kita kembali ke Kademangan Pronojiwo",
berkata Rangga Pamandana kepada para prajuritnya.
Sebagaimana mereka berangkat, ketika kembali
menuju arah Kademangan Pronojiwo mereka tidak
928 melewati jalan utama, tapi menyusuri persawahan yang
kering ditumbuhi banyak semak dan rerumputan.
Dan tengah perjalanan, Rangga Pamandana telah
mengutus seorang prajuritnya ke benteng Randu Agung
untuk menyampaikan berita kepada Empu Nambi tentang
apa yang terjadi atas perkemahan pasukan Majapahit di
hutan Ledoktempuro. Sementara itu kebakaran di perkemahan pasukan
Majapahit tidak bisa dipadamkan dan telah menjalar
semakin membesar melahap habis perkemahan mereka.
Dan malam itu dengan sangat terpaksa para prajurit
Majapahit beristirahat di bawah langit terbuka.
"Rangga Pamandana, dua kali orang itu membuat
keonaran", berkata Mahapatih Dyah Halayuda dengan
kata-kata penuh kemarahan.
"Besok pagi, prajurit kita tidak siap menghadapi
pertempurannya. Apakah sebaiknya kita mundur kembali
ke Kademangan Japan?", berkata Tumenggung Jala
Rananggana kepada Mahapatih.
Namun ketinggian hati Mahapatih telah membuatnya
tidak lagi dapat berpikir jernih, baginya peperangan ini
adalah peperangan antara dua orang patih kerajaan
Majapahit, dan dirinya telah berjanji kepada Raja
Jayanagara untuk dengan segera membawa Empu
Nambi, hidup atau mati. "Besok kita tetap bertempur menghadapi musuh di
padang Ledoktempuro, katakan kepada prajurit bahwa
bila mereka ingin makan, mereka harus mengalahkan
musuh hari itu juga", berkata Mahapatih dengan
ketinggian hatinya tidak mengindahkan usulan Tumenggung Jala Rananggana.
929 Seandainya Mahapatih Dyah Halayuda menerima
usulan Tumenggung Jala Rananggana, seandainya
membuang jauh-jauh rasa ketinggian hatinya, mau
berpikir jernih memahami keadaan para prajuritnya,
persediaan pangannya yang menipis serta istirahat yang
sangat kurang, pastinya Mahapatih Dyah Halayuda akan
memutuskan lain. Dan seandainya malam itu Dyah Halayuda melihat
apa yang tengah dilakukan oleh pasukan Empu Nambi di
benteng Randu Agung, pastinya Dyah Halayuda akan
berpikir lain. Malam itu Dyah Halayuda tidak mengetahui bahwa
pasukan Empu Nambi di benteng Randu Agung tengah
bersiap diri bergerak di dini hari, bergerak langsung
menyerang pasukan Dyah Halayuda langsung di hutan
Ledoktempuro. Berawal dari utusan Rangga Pamandana yang telah
bertemu langsung dengan Empu Nambi, menyampaikan
apa yang telah dilakukan oleh Pasukan Rangga
Pamandana di perkemahan pasukan Majapahit itu.
Maka malam itu juga Empu Nambi telah
membangunkan prajuritnya yang bertugas di dapur
umum untuk menyiapkan makanan untuk pasukannya
yang sengaja belum dibangunkan agar dapat beristirahat
dengan cukup. Manakala ransum para prajurit sudah siap, malam
sudah berada di tiga perempat malam, barulah Empu
Nambi membangunkan para prajuritnya, mengisi
perutnya agar memberikan kekuatan baru. Demikianlah,
di penghujung malam yang masih gelap dan dingin,
terlihat pasukan Empu Nambi telah keluar dari regol pintu
gerbang benteng Randu Agung.
930 Iring-iringan pasukan Empu Nambi yang berbaris
panjang terlihat seperti seekor ular naga raksasa
merayap di jalan utama Kademangan Randu Agung.
Cahaya obor ditangan setiap prajurit seperti sisik-sisik
emas yang menyala-nyala bergerak di malam gelap itu.
Demikianlah, laksana seekor ular naga raksasa di
malam gelap, pasukan besar itu telah merayap bergerak
terus hingga akhirnya telah berada di ujung timur
Kademangan Randu Agung. "Buka mata kepalamu lebar-lebar, barisan hantukah
yang kamu lihat bergerak di padang Ledoktempuro itu?",
berkata seorang prajurit Majapahit yang ditugaskan
mengamati keadaan di ujung hutan Ledoktempuro
kepada kawannya sambil menunjuk kearah padang
Ledoktempuro. "Mereka bukan barisan hantu, tapi sebuah pasukan
besar yang tengah bergerak", berkata kawannya
memastikan. "Nampaknya mereka mengarah ke hutan ini,
malapetaka besar akan menimpa pasukan kita", berkata
kembali petugas pengamat itu kepada kawannya.
Demikianlah, terlihat kedua petugas pengamat itu
telah langsung berbalik badan berlari masuk kedalam
hutan. Bukan main terkejutnya Dyah Halayuda mendengar
berita dari dua orang petugas pengamatnya tentang
sebuah pasukan besar yang tengah menuju ke hutan
Ledoktempuro. Tak ada dalam pikirannya sedikit pun
bahwa Empu Nambi telah mengambil kesempatan
menyerang pasukannya di malam itu juga.
"Ternyata Empu Nambi seorang manusia licik yang
931 kukenal di dunia ini", berkata Dyah Halayuda penuh
amarah di hadapan Tumenggung Jala Rananggana dan
Ikal-Ikalan Bang. Bila saja ada cahaya yang menerangi wajah
Tumenggung Jala Rananggana saat itu, pasti akan
terlihat sedikit senyum nyinyir yang menertawakan diri
Mahapatih Dyah Halayuda seakan berkata. "kamulah
manusia terbodoh yang kukenal di dunia ini". Namun
yang keluar dari bibir Tumenggung Jala Rananggana
berbeda dengan apa yang ada didalam hatinya, "Masih
ada waktu untuk menyelamatkan pasukan kita,
menyingkir keluar dari hutan ini", berkata Tumenggung
Jala Rananggana kepada Dyah Halayuda.
"Tidak, tidak, tidak !!, kita bukan sekumpulan tikus
sawah, tapi sekumpulan pasukan Majapahit yang punya
harga diri tinggi. Kita tidak akan lari setapak pun, kita
hadapi mereka", berkata Dyah Halayuda kepada
Tumenggung Jala Rananggana.
"Bila memang itu keputusan Mahapatih, aku pamit diri
untuk menyiapkan pasukanku", berkata Tumenggung
Jala Rananggana berpamit diri kepada Dyah Halayuda
sebelum isi perutnya seperti ingin muntah merasa sangat
muak melihat sikap Dyah Halayuda yang sangat tinggi
hati itu. "Ikal-Ikalan Bang, apakah kamu juga punya pikiran
yang sama seperti Tumenggung pengecut itu?", berkata
Dyah Halayuda kepada Ikal-Ikalan Bang ketika
Tumenggung Jala Rananggana telah jauh dari mereka
berdua. Terlihat Ikal-Ikalan Bang tidak langsung menjawab,
hati dan pikirannya diam-diam membenarkan usulan
Tumenggung Jala Rananggana.
932 "Menurutku, pasukan kita memang tidak punya
kesiapan untuk menghadapi musuh", berkata Ikal-Ikalan
Bang "Enyahlah kamu dari hadapanku", berkata Dyah
Halayuda penuh kemarahan.
Tanpa berkata apapun, terlihat Ikal-Ikalan Bang telah
berbalik badan meninggalkan Dyah Halayuda seorang
diri. Ikal-Ikalan Bang dan Tumenggung Jala Rananggana
memang seperti tengah digayuti kebimbangan hati,
mengikuti kebenaran pikirannya atau mengikuti Senapati
Agung mereka yang tinggi hati dan sangat keras kepala
itu yang berujung kehancuran pasukannya sendiri, para
prajurit Majapahit yang berada dibawah kendalinya
selama ini, yang sebagian besar sudah menyatu dengan
kehidupannya, yang dikenal juga secara kesehariannya,
yang dikenal juga para keluarganya. Sementara saat itu
demi kesetiaannya kepada perintah sang Mahapatih
harus membiarkan prajuritnya masuk ke jurang
kematiannya. "Persiapkan prajurit kalian", berkata Tumenggung
Jala Rananggana kepada para perwira tingginya.
Ternyata para prajurit Majapahit dapat diandalkan,
mereka nampaknya sudah terlatih untuk siap siaga
menghadapi berbagai macam keadaan darurat, terlihat
mereka dengan sigap telah bergabung dalam kesatuan
masing-masing. Terlihat semua obor di perkemahan itu sudah
dimatikan, gelap pekat memenuhi suasana di
perkemahan itu. Dan ribuan mata dengan hati mencekam
menanti dengan perasaan berdebar kehadiran musuh di
kegelapan malam. 933 "Gila, mereka datang dengan jumlah dua kali lipat
dari kemarin", berkata Dyah Halayuda manakala melihat
puluhan ribu obor telah muncul di kegelapan hutan
malam. Ternyata siasat Empu Nambi dapat mengelabui
penglihatan musuhnya, menggetarkan perasaan musuhnya seakan-akan jumlah prajuritnya berlipat
ganda. Padahal yang bertambah adalah obor ditangan
para prajurit Lamajang dimana setiap orang membawa
dua buah obor. Suasana di tengah Hutan Ledoktempuro itu menjadi
semakin mencekam manakala obor ditangan prajurit
Lamajang telah dimatikan. Para prajurit Lamajang seperti
menghilang di kegelapan malam.
Berdebar perasaan sebagian
besar prajurit Majapahit, mereka seperti menghadapi prajurit hantu
yang dapat seketika muncul dihadapan mereka, atau
bahkan dapat muncul seketika dari arah belakang
mereka sendiri. Kegelisahan itulah yang tengah melanda sebagian
para prajurit Majapahit di kegelapan malam menanti
dengan hati dan perasaan cemas kemunculan musuh
mereka. Kegelisahan para prajurit Majapahit akhirnya
terpecahkan bersama desir ribuan suara anak panah
berapi yang datang arah depan mereka.
Serangan anak panah berapi yang datang dengan
sangat tiba-tiba itu benar-benar membuat para prajurit
Majapahit menjadi sangat panik, ratusan orang tidak
dapat menghindarinya lagi telah terluka terkena anak
panah berapi. 934 Serangan anak panah yang membabi buta itu
ternyata hanya sebuah permulaan awal kejutan, karena
kejutan-kejutan lainnya ternyata datang tidak kalah
hebatnya karena selang waktu yang amat singkat setelah
hujan anak panah berapi itu telah terdengar suara riuh
bergemuruh pasukan Empu Nambi yang datang dan
muncul dengan sangat tiba-tiba sekali dari arah kanan
dan kiri pasukan Majapahit.
Disinilah terlihat kecerdasan Empu Nambi sebagai
seorang senapati perang yang sangat ulung, dapat
memanfaatkan medan kegelapan hutan menjadi
berpihak kepada pasukannya.
Ternyata setelah memerintahkan pasukannya untuk
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mematikan obor yang menyala, Empu Nambi
memisahkan pasukannya dalam tiga kelompok besar,
satu kelompok diam ditempat sebagai pasukan
pemanah, sementara dua kelompok lainnya bergerak
bergeser ke kiri dan ke kanan perkemahan musuh.
Maka ratusan prajurit Majapahit telah menjadi korban,
mulai dari terkena panah hingga menjadi tunggul-tunggul
sasaran pedang pasukan Empu Nambi yang datang dari
arah kegelapan malam. Luar biasa, dalam waktu yang amat singkat itu
sepertiga pasukan Majapahit menyusut tajam tidak
mampu menahan gelombang serangan pasukan Empu
Nambi yang datang dari tiga penjuru arah kegelapan
malam. "Jangan terpecah dari kelompok kalian", berkata
Tumenggung Jala Rananggana ditengah kepanikan para
prajuritnya. Ternyata teriakan Tumenggung Jala Rananggana
telah menyadarkan prajuritnya, mereka pun langsung
935 bersatu padu menghadapi gelombang terjangan lawanlawan mereka.
Sementara itu di sisi lainnya, Ikal-Ikalan Bang juga
telah dapat membangkitkan kesadaran para prajuritnya
untuk tidak panik, menyatukan kelompok-kelompoknya
kembali. Namun kemenangan awal telah berpihak kepada
pasukan Empu Nambi, pasukan Majapahit yang telah
menyusut tajam itu seperti tidak mampu lagi menahan
arus gelombang serangan pasukan Empu Nambi yang
menjepit dari tiga penjuru itu.
"Kita bertemu lagi, wahai Mahapatih Majapahit",
berkata Empu Nambi yang dapat menerobos medan
pertempuran menemui Mahapatih Dyah Halayuda.
"Tidak perlu susah payah mencarimu, wahai
pemberontak", berkata Dyah Halayuda mencoba
menutupi rasa gentarnya mengingat dalam pertempuran
sebelumnya dirinya mengakui tenaga lawannya yang
sangat kuat seperti membentur gunung karang itu.
Ternyata Empu Nambi tidak dapat dikelabui dengan
sebuah gertakan, dirinya dapat membaca apa yang ada
dalam pikiran Dyah Halayuda sebenarnya.
"Panggil dua atau tiga orang perwiramu, agar kamu
dapat bersembunyi dari setiap seranganku", berkata
Empu Nambi sambil tersenyum memandang Dyah
Halayuda. Ternyata Dyah Halayuda berhati picik dan tidak
punya rasa malu, tiba-tiba saja telah bersuit panjang
memanggil para perwiranya.
Tidak tanggung-tanggung, enam orang perwira telah
datang siap membantunya. 936 "Di kegelapan malam ini tidak ada yang melihat
dirimu, bersiaplah untuk mati", berkata Dyah Halayuda
sambil memberi perintah kepada para perwiranya
langsung menerjang kearah Empu Nambi.
Memang tidak seorang pun yang melihat keberadaan
Empu Nambi, semua orang tengah menghadapi lawan
masing-masing dalam sebuah perang brubuh tanpa gelar
perang di kegelapan malam di hutan Ledoktempuro.
Tapi Empu Nambi tidak surut menghadapi Dyah
Halayuda dan pembantunya itu, dengan lincah dan gesit
melepaskan diri dari kepungan-kepungan mereka bahkan
beberapa kali dapat membalas serangan yang cukup
berbahaya. Sementara itu tidak terasa cahaya pagi sudah mulai
merayapi hutan Ledoktempuro.
Mata para prajurit sudah mulai dapat melihat
rerumputan hijau, batang-batang kayu, semak belukar
dan tentunya hingar-bingar suasana peperangan yang
terlihat semakin nyata. Namun kemenangan di serangan awal menjadi
pertanda kemenangan-kemenangan berikutnya bagi
pasukan Empu Nambi. Terdengar untuk pertama kali
suara sorak sorai dari sebuah kelompok pasukan Empu
Nambi yang telah dapat menundukkan kelompok
lawannya. Suara sorak sorai itu benar-benar menciutkan hati
dan perasaan para prajurit Majapahit.
Dan kembali suara sorak sorai terdengar dari belahan
lain, suara sorak sorai dari kelompok pasukan Empu
Nambi benar-benar membuat hati dan perasaan pasukan
Majapahit semakin menguncup.
937 Sementara sorak sorai kemenangan dari dua
kelompok pasukan Empu Nambi itu telah menambah
semangat pasukan Empu Nambi yang mendengarnya,
seperti ingin secepatnya menyelesaikan pertempuran
mereka dan berteriak bersorak sorai sebagaimana
kawan-kawan mereka itu. "Tumenggung Jala Rananggana benar, pasukanmu
akan habis binasa semuanya", berkata Empu Nambi
sambil tertawa mendengar salah seorang penghubung
Dyah Halayuda yang membawa pesan dari Tumenggung
Jala Rananggana untuk membawa pasukannya mundur.
"Aku akan mundur setelah dapat membunuhmu
terlebih dahulu", berkata Dyah Halayuda sambil mengejar
kearah Empu Nambi yang tengah menghadapi dua orang
perwiranya. Trang, trangg !! Sambil keluar melompat dari serangan dua orang
lawannya, Empu Nambi harus menangkis serangan
trisula kembar di tangan Dyah Halayuda.
Seketika itu juga Dyah Halayuda merasakan dirinya
terdorong dua langkah dan masih merasakan kepedihan
kedua telapak tangannya akibat benturan cakra Empu
Nambi yang telah dilambari tenaga sakti sejatinya amat
kuat itu. Beruntung empat orang perwira Majapahit sudah
datang menghadang menghalangi Dyah Halayuda dari
Empu Nambi yang melangkah mendekatinya.
Namun Empu Nambi terlihat merasa ringan-ringan
saja menghadapi keempat perwira itu, juga ketika dua
orang perwira lainnya, bahkan ketika Dyah Halayuda
sudah tatag kembali ikut bergabung mengeroyok Empu
938 Nambi. "Lihatlah pasukanmu sudah semakin menyusut",
berkata Empu Nambi kepada Dyah Halayuda sambil
bergerak menghindari dua orang penyerangnya.
Ternyata sambil menghadapi Dyah Halayuda dan
para perwiranya, Empu Nambi masih sempat melihat
secara keseluruhan suasana pertempuran di hutan
Ledoktempuro itu. Sebagaimana yang dilihat oleh Empu Nambi,
pasukan Majapahit yang dijepit dari tiga penjuru itu
memang semakin menyusut jumlahnya.
Nampaknya semangat pasukan Majapahit sudah
terlihat semakin rapuh, mungkin karena istirahat serta
makan yang sangat terbatas benar-benar mempengaruhi
kesiapan lahir dan bathin pasukan yang berada dalam
kepemimpinan Mahapatih Dyah Halayuda itu.
Sementara itu pasukan Empu Nambi seperti seekor
ayam aduan yang giras baru keluar dari kurungan sang
pawang perawat ayam aduan, tandang pasukan Empu
Nambi benar-benar menguasai semua garis pertempurannya. Suasana pertempuran yang sudah terlihat pincang di
pihak pasukan Majapahit itu telah membuat Tumenggung
Jala Rananggana harus selalu berada di tengah-tengah
kelompoknya memberikan arahan dan pengendaliannya
yang diyakini lambat tapi pasti akan hancur binasa dalam
kekalahan yang besar. Namun dengan sangat gigihnya
Tumenggung Jala Rananggana selalu mendatangi
kelompoknya yang dilihatnya mendapatkan tekanan
pihak musuh. "Cakramu benar-benar sangat mengerikan, wahai
939 anak menantuku", berkata Tumenggung Jala Rananggana kepada seorang lelaki dengan senjata
cakra ditangannya yang sangat menggiriskan hati telah
melemparkan begitu banyak korban di pihak pasukan
Majapahit. Ternyata lelaki bersenjata cakra yang dipanggil
sebagai anak menantu oleh Tumenggung Jala
Rananggana itu tidak lain adalah Adipati Menak Koncar.
"Ternyata Ananda hari ini telah salah menempatkan
diri berada di pasukan ini", berkata Adipati Menak Koncar
berdiri mematung penuh rasa kebimbangan.
"Anak menantu tidak salah berdiri, tapi peperangan
inilah yang salah sehingga kita satu keluarga harus
berdiri berseberangan", berkata Tumenggung Jala
Rananggana kepada Adipati Menak Koncar.
"Ananda merasa berat mengangkat cakra ini",
berkata Adipati Menak Koncar
"Ayah mertuamu juga seperti berat mengangkat
pedang ini, takut melukaimu", berkata Tumenggung Jala
Rananggana. "Bila demikian aku akan mencari lawan lain", berkata
Adipati Menak Koncar sambil melangkah menjauhi ayah
mertuanya itu. "Lindungi dirimu dari pedang musuh, wahai anak
menantuku", berkata Tumenggung Jala Rananggana
sambil melompat ke garis pertempuran yang berlawanan
arah dengan anak menantunya itu.
Dan tidak lama kemudian sorak sorai terdengar dari
pihak pasukan Empu Nambi, terdengar dari arah Adipati
Menak Koncar menempatkan dirinya.
Suara sorak sorai pasukan Empu Nambi itu seperti
940 merobek-robek hati dan perasaan Tumenggung Jala
Rananggana, mengiris-iris hatinya yang tengah
diombang-ambingkan oleh gelombang kebimbangan
antara kecintaannya kepada pasukannya dan kasih
sayangnya kepada ayah dua orang cucu tercintanya,
Adipati Menak Koncar. Ingin rasanya Tumenggung Jala Rananggana
langsung melompat membantu pasukannya yang tengah
mendapatkan tekanan, tapi bersamaan itu pula
terbayang wajah dua orang cucu tercintanya seperti
menahannya. Sementara itu Empu Nambi masih seperti bermainmain menghadapi Dyah Halayuda dan keenam perwira
yang membantu mengeroyoknya.
"Biarkan diriku seorang diri menghadapi mereka",
berkata Empu Nambi kepada setiap orang yang datang
untuk meringankan dirinya itu.
Pandangan dan senyum Empu Nambi ternyata
seperti sirep membuat siapapun langsung menuruti
permintaan Empu Nambi mencari pertempuran lain.
"Lihatlah pasukanmu akan tergilas habis, aku beri
kesempatan pasukanmu mundur keluar dari pertempuran
ini", berkata Empu Nambi kepada Dyah Halayuda.
"Aku tidak akan mundur sebelum melihat
bangkaimu", berkata Dyah Halayuda sambil menerjang
bersama-sama perwira pembantunya.
Namun dengan sigap dan lincah Empu Nambi sudah
begitu cepat berkelit menghindar dan langsung
menerjang membuat serangan balasan kepada salah
seorang perwira. Ternyata perwira itu tidak siap dan lengah 941 mendapatkan serangan yang tiba-tiba saja terarah
kepadanya. Prakk !!! Tempurung kaki kanan perwira itu terbentur cakra
Empu Nambi yang meluncur begitu cepat dan tiba-tiba
itu. Terlihat perwira itu terlempar jatuh dan bergulingan
merasakan sakit yang amat sangat di bagian tulang
tempurung kakinya yang remuk.
Ciut seketika perasaan Dyah Halayuda dan kelima
orang sisa perwira pembantunya itu melihat keampuhan
serangan Empu Nambi yang sangat tiba-tiba itu, benarbenar seperti terjangan batu karang di tanah curam,
meluncur tak mampu di hindari oleh siapapun.
"Kalian tidak akan mampu menahan kerasnya
cakraku ini, tapi kalian juga tidak akan mampu menahan
tiga ribu pasukan cadanganku yang datang dari arah
belakangmu", berkata Empu Nambi sambil berdiri tegak.
Ternyata Empu Nambi tidak sekedar berkata
sesumbar, Dyah Halayuda yang terlatih pendengarannya
telah mendengar suara sorak sorai yang datang bukan di
arena pertempuran, tapi dari arah belakang mereka
meski masih sangat jauh. "Kamu benar-benar licik, Empu Nambi", berkata Dyah
Halayuda dengan gemeretak gigi menahan rasa amarah
yang amat sangat. Sementara itu suara sorak sorai dari kejauhan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin santer terdengar, semakin mendekat meruntuhkan semangat bertempur pasukan Majapahit.
"Dengar dan pasang telingamu, siapa yang datang",
berkata Empu Nambi sambil tersenyum berdiri tegak
942 penuh percaya diri yang tinggi.
Ternyata suara sorai pasukan yang datang itu
terdengar semakin jelas. "Kami pasukan dari Blambangan, sisakan kami
musuh !!", demikian suara itu bergema semakin jelas
terdengar mendekati arah pertempuran.
"Pasti kamu sudah pernah mengenal pimpinan
pasukan cadanganku itu, dialah Rangga Pamandana",
berkata Empu Nambi masih dengan senyumnya.
Cahaya matahari terlihat berada di puncak
cakrawala, itulah pertanda panggilan untuk datang
pasukan cadangan yang sudah diatur oleh Empu Nambi
membawa tenaga dan nafas baru bagi pasukannya.
Akhirnya suara sorak sorai pasukan cadangan yang
di pimpin oleh Rangga Pamandana itu terdengar begitu
jelas berputar-putar diantara batang-batang pepohonan
dan mengisi seluruh arena pertempuran di hutan
Ledoktempuro itu. "Kami pasukan dari Blambangan, sisakan kami
musuh", demikian sorak sorai suara pasukan cadangan
itu menciutkan hati setiap jiwa prajurit Majapahit
terdengar semakin jelas. Dan akhirnya suara sorak sorai itu berhenti berganti
menjadi suara gemuruh air bah yang tumpah membanjiri
arena pertempuran dari arah belakang pasukan
Majapahit. Pasukan yang baru datang itu memang seperti
sebuah air bah yang tumpah, langsung meluluh
lantakkan beberapa orang pasukan Majapahit yang
berbalik badan menghadang mereka.
Jiwa dan semangat prajurit Majapahit sudah semakin
943 rapuh, berharap sebuah seruan mundur yang tidak juga
kunjung datang. Disaat yang sangat genting itu, tiba-tiba saja
sepasukan prajurit yang dipimpin oleh Tumenggung Jala
Rananggana datang dengan gelar perang Cakra Byuha
nya menerobos ke tengah-tengah pertempuran.
"Lupakan masalah harga dirimu, kuberi kesempatan
pasukanmu mundur", berkata Empu Nambi kepada Dyah
Halayuda. "Jangan sombong, aku pasti datang kembali
membawamu hidup atau mati", berkata Dyah Halayuda
yang langsung masuk menerobos kedalam lingkaran
barisan cakranya. "Maafkan bila aku lancang mengambil alih perintah
untuk mundur", berkata Tumenggung Jala Rananggana
kepada Dyah Halayuda yang baru masuk bersama
beberapa prajurit lainnya.
"Kali ini kamu benar", berkata Dyah Halayuda kepada
Tumenggung Jala Rananggana.
Maka dalam waktu yang amat singkat, lingkaran
cakra yang pimpin oleh Tumenggung Jala Rananggana
itu semakin membesar menyerap seluruh prajurit
Majapahit masuk kedalamnya.
Gelar perang cakra Byuha memang sebuah gelar
perang pertahanan yang amat kuat, orang sakti manapun
tidak akan berani coba-coba memasukinya. Dan setiap
prajurit di tataran paling rendah sekalipun pasti sudah
tahu bahwa itulah sebuah gelar perang mundur
menyelamatkan pasukan yang tersisa dari kehancurannya. "Biarkan mereka mundur", berkata Empu Nambi
944 kepada pasukannya manakala melihat lingkaran cakra
pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Tumenggung Jala
Rananggana itu bergerak mundur kearah utara hutan
Ledoktempuro. Mendengar seruan Empu Nambi, seluruh prajurit
Lamajang telah membiarkan pasukan musuh bergerak
menjauhi arena pertempuran.
Akhirnya pasukan Majapahit itu telah jauh terpisah
masuk kearah utara hutan Ledoktempuro dan
menghilang di kelebatan hutan rimba.
"Mereka pergi meninggalkan kawan-kawannya yang
mati dan terluka", berkata Empu Nambi kepada Adipati
Menak Koncar. "Kami akan segera memerintahkan sebagian
pasukan untuk menolong mereka yang terluka", berkata
Adipati Menak Koncar seperti paham makna perkataan
ayahandanya itu. Maka tidak lama berselang terlihat beberapa orang
turun menolong para korban peperangan itu, tidak
melihat musuh atau kawan lagi, nilai-nilai naluri
kemanusiaan telah mulai hidup kembali di ujung
pertempuran itu yang nyaris merubah manusia menjadi
sekelompok hewan buas yang saling menggeram
menunjukkan taring dan cakarnya yang amat tajam dan
runcing, membunuh atau terbunuh. Hanya itulah yang
ada dalam pikiran setiap manusia di sebuah medan
pertempuran. Dan sangkala terlihat redup sembunyi di kelebatan
hutan Ledoktempuro manakala beberapa orang tengah
memisahkan mayat-mayat korban pertempuran itu,
memisahkan mayat kawan dan mayat musuh mereka
untuk dikebumikan di tempat terpisah. Mayat-mayat
945 pasukan Majapahit nampaknya telah langsung dikebumikan di hutan Ledoktempuro, sementara mayat
prajurit Lamajang mereka bawa kembali ke kampung
halaman masing-masing dengan maksud pihak keluarga
mereka masih dapat melihat wajah saudara, anaknya
atau kekasihnya untuk yang terakhir kalinya.
"Mari kita kembali ke Benteng Randu Agung", berkata
Empu Nambi kepada putranya.
Terdengar suara Adipati Menak Koncar yang
mengguntur memberi aba-aba pasukannya untuk
bergerak. Suara itu terdengar bergema berputar-putar
diantara batang-batang pohon hutan Ledoktempuro.
Maka terlihatlah iring-iringan pasukan segelar
sepapan pasukan Empu Nambi telah bergerak
menerobos hutan Ledoktempuro seperti seekor ular naga
raksasa besar meliuk-liuk diantara bebatuan dan pohonpohon besar semakin jauh meninggalkan sisa
perkemahan yang hangus terbakar.
Keesokan harinya, berita tentang kemenangan
pasukan Empu Nambi yang gilang gemilang itu telah
membuat gembira semua warga di bumi Lamajang,
mereka langsung turun gunung kembali ke kampung
halaman masing-masing setelah beberapa hari hidup
ditempat pengungsian. Namun kepada para penduduknya, Adipati Menak
Koncar memberitahukan bahwa peperangan masih
belum berakhir, pasukan Majapahit akan datang kembali
dalam jumlah yang lebih besar lagi.
"Kapan pasukan Majapahit akan datang kembali
belum dapat kita pastikan, untuk sementara kalian dapat
pulang ke rumah masing-masing, bercocok tanam atau
beternak, kami akan terus berjaga dan memantau
946 keadaan. Hingga bila saatnya kembali terjadi
peperangan tidak akan membawa banyak korban,
terutama para orang tua, para wanita dan anak-anak
kita", berkata Adipati Menak Koncar kepada para
bebahunya. Demikianlah, Adipati Menak Koncar dan pasukannya
telah kembali ke Kadipaten Lamajang, sementara
pasukan gabungan Empu Nambi yang berasal dari
Kadipaten Blambangan dan berbagai daerah di
Jawadwipa dan Balidwipa tetap berada di benteng
Randu Agung. "Lumbung padi di benteng Randu Agung ini masih
berlimpah, sebagai cadangan kuserahkan lahan
persawahan yang luas milik kakek buyutku untuk digarap
bersama", berkata Kuda Anjampiani kepada Empu
Nambi. "Terima kasih, kamu sudah banyak berkorban untuk
kami", berkata Empu Nambi kepada Kuda Anjampiani.
"Kakekku selalu berkata bahwa hidup di dunia ini
sangat singkat, kita harus pandai-pandai memilih dimana
seharusnya kita berpijak, dan aku merasa telah berpijak
ditempat yang benar, berjuang bersama Empu Nambi",
berkata Kuda Anjampiani. "Kakekmu sangat benar, wahai Kuda Anjampiani.
Hidup di dunia ini memang sangat singkat.
Berbahagialah mereka yang banyak menabung
kebajikan di kehidupannya yang amat singkat ini",
berkata Empu Nambi dengan wajah penuh berseri-seri
kepada Kuda Anjampiani. Demikianlah, sejak saat itu Empu Nambi seperti telah
kembali menjadi seorang guru suci sebagaimana dulu
kala sebelum menjadi pejabat Patih Amangkubumi di
947 istana Majapahit. Hampir setiap malam Empu Nambi
memberikan pencerahan lahir dan bathin kepada
pasukan gabungannya yang berkumpul di benteng
Randu Agung itu. Para pasukan gabungan yang berasal dari berbagai
tempat itu menjadi kerasan tinggal bersama di benteng
Randu Agung seperti layaknya di sebuah padepokan, di
siang hari mereka bekerja di sawah ladang untuk
mencukupi kehidupan mereka sendiri, sementara
dimalam harinya mereka menggarap lahan akal budi
mereka, menyemai rasa, citra makna hakekat hidup yang
selalu dirawat agar terus tumbuh berkembang lewat
siraman rohani lahir dan bathin oleh sang guru suci,
Empu Nambi. Sementara itu pasukan Mahapatih Dyah Halayuda
saat itu masih berada di Kademangan Japan menunggu
bala bantuan dari Kotaraja Majapahit untuk mengganyang kembali bumi Lamajang.
Nampaknya kekalahan pasukan Majapahit oleh
pasukan Empu Nambi telah membuat Raja Jayanagara
merasa tercoreng citranya sebagai seorang raja agung
yang sangat dihormati. Dan ingin membuktikan
kebesaran pasukan Majapahit yang kuat dengan
menurunkan laskar yang besar untuk menundukkan bumi
Lamajang. Rencana penyerangan ke bumi Lamajang dilaksanakan lebih cermat lagi dengan membangun jalur
lumbung-lumbung persediaan pangan pasukan Majapahit di beberapa tempat sepanjang perjalanan
antara Kotaraja Majapahit menuju bumi Lamajang.
Sementara kesatuan pasukan yang dikirim bergabung
dengan pasukan Mahapatih yang masih berada di
Kademangan Japan saat itu adalah sebuah pasukan dari
948 kesatuan Jala Pati, sebuah kesatuan pasukan khusus
yang sangat disegani di Kerajaan Majapahit yang
dipimpin oleh seorang Tumenggung yang sangat
mumpuni, cerdas dan punya pengalaman yang luas
menghadapi berbagai macam jenis pertempuran, di
tempat terbuka maupun di kelebatan hutan rimba.
"Peta kekuatan di Kotaraja Majapahit akan menjadi
berimbang bilamana kesatuan pasukan Jala Pati datang
bergabung bersama pasukan Mahapatih di Kademangan
Japan", berkata Ki Bancak kepada Empu Nambi
menyampaikan suasana di Kotaraja Majapahit.
"Seberapa besar kekuatan pasukan bayangan yang
dimiliki oleh Ra Kuti ?", bertanya Empu Nambi kepada Ki
Bancak. "Setara dengan kekuatan kesatuan pasukan Jala
Yudha di benteng Tanah Ujung Galuh", berkata Ki
Bancak. "Aku berharap Tumenggung Mahesa Semu dapat
menggalang kekuatan lain selain kesatuan pasukan Jala
Yudha di benteng Tanah Ujung Galuh", berkata Empu
Nambi kepada Ki Bancak. "Pasukan khusus yang dipimpin oleh Nyi Nariratih
dan pasukan Bhayangkara telah menyediakan dirinya
berjuang bersama Tumenggung Mahesa Semu", berkata
Ki Bancak. "Kemampuan perorangan prajurit di Pasukan Srikandi
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan pasukan Bhayangkara dapat diandalkan", berkata
Empu Nambi penuh kegembiraan hati membayangkan
masih ada kekuatan lain yang dapat menjadi benteng
terakhir menyelamatkan istana Majapahit. "Katakan
kepada Tumenggung Mahesa Semu agar jangan lengah
sedikitpun, selalu membayangi gerakan Ra Kuti. Banyak
949 kemungkinan bisa terjadi bahwa Ra Kuti bergerak lebih
cepat lagi mendahului Mahapatih merebut kekuasaan di
istana Majapahit selagi Mahapatih dan pasukannya
masih berada di luar Kotaraja Majapahit", berkata
kembali Empu Nambi kepada Ki Bancak.
"Pesan Empu Nambi akan aku sampaikan", berkata
Ki Bancak kepada Empu Nambi.
"Jaga kesehatanmu, wahai prajurit tua", berkata
Empu Nambi sambil melambaikan tangannya mengantar
Ki Bancak yang tengah menuruni anak tangga pendapa
di benteng Randu Agung itu.
Terlihat Ki Bancak terus berjalan menapaki halaman
benteng Randu Agung di ujung senja itu dalam tatapan
mata Empu Nambi hingga menghilang di ujung regol
pintu gerbang benteng Randu Agung.
Angin dingin lembut menyapu wajah Ki Bancak yang
telah menyusuri jalan Kademangan Randu Agung di
keremangan malam itu. Sosok seperti seorang Ki Bancak memang tidak akan
membawa perhatian, siapapun tidak akan menyangka
bahwa orang tua itu adalah seorang penghubung dalam
sebuah sejarah penting pergolakan Majapahit, seorang
yang ikut andil menyelamatkan bahtera Majapahit dari
badai dan prahara yang berkecamuk di saat itu.
"Aku berharap tanaman jagung itu dapat dipanen
sebelum datangnya prahara di bumi Lamajang ini",
berkata Ki Bancak dalam hati ketika melewati sebuah
ladang jagung yang tumbuh subur.
Sebagai seorang yang pernah mengalami masa
perang dan masa damai di bumi Majapahit, kecamuk
yang tengah berlangsung antara istana Majapahit dan
950 keluarga Empu Nambi benar-benar membuat dirinya
menjadi sangat prihatin, berharap prahara itu selekasnya
berakhir. "Selama ini kupercaya bahwa seorang raja adalah
pilihan para dewa, mungkinkah para dewa bisa salah
memilih ?", berkata Ki Bancak dalam hati sambil berjalan
menyayangkan sikap Raja Jayanagara yang lemah
mudah terhasut oleh bisikan-bisikan orang lain sehingga
memusuhi Empu Nambi, sahabat setia ayahandanya
sendiri. Tidak terasa langkah kaki Ki Bancak telah
membawanya hingga di kota kadipaten Lamajang,
menyusuri jalan-jalan utamanya yang sepi di malam itu,
melihat rumah-rumah penduduk yang telah dihuni
kembali ditandai pelita minyak jarak yang tergantung di
depan rumah setiap penduduk.
"Kemapanan dan kenyamanan para warga kota
Kadipaten Lamajang ini sebentar lagi akan berubah,
mereka harus kembali lagi ke pengungsiannya, hidup
dengan segala keterbatasannya", berkata Ki Bancak
dalam hati sambil memandang kerlap-kerlip pelita rumah
penduduk di sepanjang perjalanan malamnya memasuki
kota Kadipaten Lamajang. Akhirnya langkah kaki Ki Bancak terlihat sudah
semakin menjauhi kota Kadipaten Lamajang.
"Gerbang gapura ini akan menjadi saksi bisu, pasang
surut kehidupan warga Lamajang, masa perang dan
masa damai di bumi Lamajang ini", berkata kembali Ki
Bancak dalam hati manakala melewati sebuah gerbang
gapura perbatasan kota kadipaten Lamajang yang kokoh
berdiri seperti raksasa bisu di kegelapan malam.
"Aku akan mencari tempat beristirahat sejenak, agar
951 tidak memasuki Kademangan Japan di saat hari masih
gelap", berkata Ki Bancak dalam hati yang
merencanakan dirinya sendiri memasuki Kademangan
Japan di saat pagi sudah terang tanah agar tidak menjadi
bahan perhatian dan kecurigaan para prajurit Majapahit
yang pastinya sudah memasang banyak petugasnya
mengawasi daerah sekitarnya, terutama para pendatang
yang berjalan dari arah bumi Lamajang.
Terlihat Ki Bancak tengah bersandar di sebuah batu
besar dibawah sebuah pohon besar, nafas orang tua itu
terlihat kembang kempis dengan mata yang terpejam,
nampaknya tengah menikmati lonjoran kaki tuanya
setelah setengah malam berjalan tiada henti.
Ketika langit bersulam tipis warna kemerahan, terlihat
Ki Bancak sudah bersiap-siap diri untuk melanjutkan
perjalanannya kembali. Ternyata Ki Bancak sangat berpengalaman mengatur
perjalannya sendiri, berusaha mengambil arah yang
berbeda ketika berangkat. Nampaknya Ki Bancak sangat
berhati-hati agar tidak dapat bertemu orang-orang yang
sama di perjalanannya, apalagi orang yang kebetulan
dari pihak lawan. Kadang Ki Bancak harus mengambil
arah memutar agar membingungkan siapapun orang
yang kebetulan mengikutinya. Naluri mantan petugas
telik sandi ini memang telah mendarah daging di dalam
diri orang tua itu. Dan kali ini untuk menuju arah Kademangan Japan,
terlihat Ki Bancak tidak menempuh lewat jalur yang biasa
di lewati para pedagang, tapi mengambil arah
melengkung yang lebih sepi dan jarang dilewati orang
pada umumnya. Ternyata naluri keprajuritannya telah membawanya
952 ke sebuah ladang jagung yang cukup luas.
"Nampaknya inilah lumbung hidup yang paling
terdekat menuju arah Lamajang, pasti ada banyak lagi
ditanam lumbung-lumbung hidup sepanjang jalan dari
arah Kotaraja Majapahit menuju arah Lamajang", berkata
Ki Bancak dalam hati sambil berusaha menjauhi sebuah
gubuk yang ada tidak jauh dari ladang jagung itu.
Terlihat Ki Bancak sudah jauh meninggalkan ladang
jagung yang cukup luas itu.
"Nampaknya Tumenggung Jala Pati seorang yang
sangat cerdas, tidak ingin kalah berperang hanya karena
prajuritnya kelaparan kehabisan ransum makanan",
berkata Ki Bancak dalam hati sambil terus berjalan
menjauhi ladang jagung yang dicurigainya sebagai salah
satu lumbung hidup yang sengaja ditata untuk sebuah
persiapan peperangan menghadapi pasukan Empu
Nambi di bumi Lamajang. Demikianlah, Ki Bancak terus berjalan menuju arah
Kademangan Japan. Ditempat-tempat yang dianggapnya
sangat sepi terlihat Ki Bancak telah menggunakan
kemampuannya yang jarang dimiliki oleh orang biasa,
berlari cepat. Ternyata orang tua itu punya kemampuan
ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, telah berlari
melesat terbang tanpa merasakan kelelahan sedikitpun.
Dan ketika dirasakan dirinya telah mendekati arah
Kademangan Japan, terlihat Ki Bancak kembali berjalan
seperti biasa, tertatih-tatih layaknya seorang pengembara
tua. "Pak tua, carilah jalan lain. Terlarang siapapun
memasuki perkemahan prajurit Majapahit", berkata
seorang prajurit Majapahit kepada Ki Bancak di sebuah
jalan menuju arah bulakan panjang.
953 Ki Bancak yang sudah mengetahui bahwa bulakan
panjang itu sebagai perkemahan pasukan Majapahit,
terlihat berpura-pura heran.
"Dua tahun lalu tidak ada larangan melewati jalan ini",
berkata Ki Bancak pura-pura merasa heran.
"Itulah perbedaannya, dua tahun lalu mungkin pak
tua masih dapat berlari cepat, sementara hari ini pak tua
jalan biasa saja sudah tertatih-tatih", berkata prajurit itu
kepada Ki Bancak. Terlihat Ki Bancak berpura-pura layaknya orang yang
tidak suka hati disebut sebagai orang tua yang sudah
rapuh. "Kamu salah orang muda, aku masih dapat berlari
cepat bahkan dapat terbang melesat mengendarai
angin", berkata Ki Bancak kepada prajurit itu.
"Nampaknya pak tua sering berkhayal di sepanjang
perjalanan", berkata prajurit itu sambil tertawa.
"Terbanglah, tapi jangan lewat bulakan ini", berkata
kembali prajurit itu masih dengan tawanya.
Masih dengan wajah bersungut-sungut terlihat Ki
Bancak telah melangkah kearah lain menuju arah
Kademangan Japan yang memang sudah tidak begitu
jauh itu. Tidak banyak yang dilakukan oleh Ki Bancak di
Kademangan Japan selain melihat suasana keadaan
Kademangan Japan dan mencari sebuah kedai untuk
mengganjal perut tuanya yang sudah minta diisi.
"Kasihan warga Kademangan ini, mereka harus
menyerahkan setengah lumbung persediaan makanan
mereka untuk panen depan kepada prajurit Majapahit di
bulakan itu", berkata Ki Bancak sambil mengunyah
954 lontong balap bumbu kuning, sebuah makanan yang
khas ditemukan hanya di kedai daerah sekitar pantai
Pasuruan itu. Demikianlah, dalam perjalanan kembali ke Kotaraja
Majapahit, naluri keprajuritan Ki Bancak telah dapat
menemukan kantong-kantong persediaan pangan,
ladang-ladang jagung di tempat-tempat yang sepi dan
terjaga. Dari umur tanaman jagung itu, Ki Bancak dapat
memperkirakan bahwa peperangan akan berlangsung
menjelang purnama kedua dari hari itu.
Semua yang dilihat oleh Ki Bancak dalam
perjalanannya kembali ke Kotaraja Majapahit telah
disampaikan oleh Tumenggung Mahesa Semu.
"Yang belum dapat kucerna, mengapa mereka
membangun lumbung hidup mereka di ujung Kota
Kadipaten Lamajang, bukan di ujung benteng Randu
Agung", berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada Ki
Bancak. "Otak tuaku sudah begitu lemah, hanya berpikir
bahwa pasukan Majapahit akan menyerang Kadipaten
Lamajang terlebih dahulu agar tidak ada gangguan yang
menghalangi mereka disaat penyerangan ke benteng
Randu Agung. "Siapa bilang otak Ki Bancak sudah tua, justru aku
tidak terpikir hal itu sebagai kemungkinan yang paling
mendekati kebenaran", berkata Tumenggung Mahesa
Semu kepada Ki Bancak. "Aku hanya menduga-duga, tidak berpikir apapun",
berkata Ki Bancak merendahkan dirinya.
"Aku akan mengutus seorang penghubung kepada
Empu Nambi, menyampaikan apa yang Ki Bancak
955 temukan dalam perjalanan pulang ke kotaraja Majapahit".
Berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada Ki Bancak.
"Mudah-mudahan Empu Nambi dapat berpikir lebih
cermat lagi membuat beberapa persiapan menghadapi
serangan pasukan Majapahit yang lebih besar ini",
berkata kembali Tumenggung Mahesa Semu kepada Ki
Bancak. Ragil dan ketiga sepupunya yang sebaya terlihat
tengah bermain di ladang jagung ayahnya. Keempat
anak itu terlihat berlari-lari masuk timbul tenggelam
diantara batang tanaman jagung yang lebih tinggi dari
tubuh mereka. Usia Ragil saat itu baru menginjak usia delapan
tahun, belum dapat memahami apa yang dipikirkan
kedua orang tuanya saat itu, yang dia tahu dua hari lagi
tanaman jagung akan di panen, yang diketahui juga
bahwa setelah itu mereka harus kembali berangkat
mengungsi ke lereng gunung Semeru seperti beberapa
waktu yang lalu. Ragil memang tidak bertanya sama
sekali kepada kedua orang tuanya mengapa mereka
harus mengungsi. Kedua orang tua Ragil dan juga para tetangganya
telah mendapat perintah dari para bebahu Kota
Kadipaten Lamajang bahwa mereka secepatnya harus
pergi mengungsi ke tempat yang aman, karena pasukan
Majapahit akan datang kembali dalam waktu yang dekat
ini. Berita tentang datangnya sebuah pasukan besar dari
Kotaraja Majapahit telah sampai di benteng Randu
Agung. Dan siang itu terlihat Empu Nambi telah
mengumpulkan seluruh pimpinan pasukannya untuk
956 membuat berbagai persiapan untuk
serangan pasukan dari Majapahit itu.
menghadapi "Mereka nampaknya tidak langsung datang
menggempur kita di benteng Randu Agung ini, tapi
bergerak kearah Kademangan Pronojiwo", berkata Empu
Nambi kepada para pemimpin pasukannya.
"Mengapa ayahanda berpikir seperti itu ?", bertanya
Adipati Menak Koncar belum dapat memahami jalan
pikiran ayahandanya itu. "Panji Samara, jelaskan dengan naluri keprajuritanmu
bilamana dirimu adalah seorang senapati pasukan
Majapahit yang telah menempatkan kantong-kantong
lumbung persediaanmu dekat kearah kaki Gunung
Semeru, bukankah mereka mengetahui bahwa pasukan
kita berada di benteng Randu Agung ?", berkata Empu
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nambi kepada Panji Samara.
"Seandainya aku adalah seorang senapati Majapahit,
aku akan membumi hanguskan bumi Lamajang hingga
tidak ada semak belukar yang dapat hidup tumbuh di
bumi, barulah aku akan mengepung benteng Randu
Agung tanpa rasa khawatir mendapatkan serangan dari
arah belakang. Itulah sebabnya ada ladang jagung
tersembunyi dan terjaga di dekat arah kaki Gunung
Semeru, bukan disekitar benteng Randu Agung", berkata
Panji Samara memaparkan pemikirannya sesuai
permintaan Empu Nambi. "Gangguan kecil pasukan Rangga Pamandana pasti
tidak akan luput dari ingatan mereka", berkata Empu
Nambi menambahkan. "Licik sekali jalan pikiran mereka itu, menyerang para
pengungsi yang hanya dilindungi sebuah pasukan kecil
Rangga Pamandana", berkata Menak Koncar mulai
957 mengerti jalan pikiran ayahandanya itu.
"Bawalah pasukanmu ke Kademangan Pronojiwo,
agar kamu dapat membantu pasukan Rangga
Pamandana, melindungi para pengungsi disana", berkata
Empu Nambi kepada Adipati Menak Koncar.
Terlihat kebimbangan di hati Adipati Menak Koncar
menanggapi perintah ayahandanya itu.
Nampaknya Empu Nambi dapat membaca apa yang
ada dalam pikiran dan perasaan hati putranya itu.
"Selembar nyawaku ini tidaklah berarti dibandingkan
keselamatan ribuan pengungsi di lereng gunung Semeru,
disana banyak anak-anak kecil yang harus dapat
menikmati kehidupannya yang sangat panjang, disana
ada banyak wanita belia yang harus dijaga
kehormatannya. Bila memang sebuah pedang merenggut
nyawaku dalam peperangan ini, aku akan mati dengan
tersenyum. Namun pastikan untukku bahwa kamu telah
melindungi warga Lamajang di pengungsiannya", berkata
Empu Nambi kepada Adipati Menak Koncar dengan
wajah penuh senyum mencoba meredam kebimbangan
hati putranya itu. Suasana diatas pendapa tempat mereka berkumpul
seketika menjadi begitu hening, perkataan Empu Nambi
telah membuat semua orang yang berada diatas
panggung pendapa itu seperti terenyuh mendengar
keluhuran jiwa seorang Empu Nambi yang lebih banyak
memikirkan orang lain selain dirinya sendiri.
"Adipati Menak Koncar, bawalah pasukanmu ke kaki
Gunung Semeru, aku akan menggantikanmu menjaga
ayahandamu sebagaimana kamu dapat menjaganya di
benteng Randu Agung ini", berkata Panji Wiranagari
kepada Adipati Menak Koncar yang masih diselimuti rasa
958 kebimbangan hati tercermin diwajahnya.
"Adipati Menak Koncar, aku Panji Anengah mencintai
Ayahandamu sebagaimana dirimu, percayakanlah diri
Ayahandamu kepada diriku", berkata Panji Anengah
kepada Adipati Menak Koncar.
"Adipati Menak Koncar, aku Panji Samara telah rela
berseberangan dengan kerajaan Majapahit karena aku
terlahir sebagai seorang prajurit dari tangan dan didikan
ayahandamu. Percayalah kepadaku, aku akan menjaganya sebagaimana seorang putranya menjaganya", berkata Panji Samara dengan suara penuh
ketulusan hati didengar oleh semua yang berkumpul di
pendapa benteng Randa Agung itu.
"Wahai ayahandaku, berbahagialah dirimu dikelilingi
oleh kesetiaan. Ringan dan tunai kewajibanku sebagai
seorang putramu. Kutinggalkan dirimu untuk memenuhi
kewajibanku yang lain, melindungi wargaku sebagai
seorang Adipati", berkata Menak Koncar dihadapan
ayahandanya. "Berangkatlah wahai putraku, penuhi kewajibanmu
sebagai seorang Adipati. Lindungilah wargamu
sebagaimana kamu melindungi diriku", berkata Empu
Nambi kepada putranya dengan sebuah senyum penuh
kecintaan hati. "Aku pamit diri, mohon doa restu ayahanda", berkata
Adipati Menak Koncar berpamit diri untuk kembali ke
istana Kadipaten Lamajang menyiapkan pasukannya
yang akan berangkat ke kaki gunung Semeru melindungi
para pengungsi disana. Terlihat Adipati Menak Koncar telah berdiri dan
melangkah perlahan menuju arah tangga pendapa
Benteng Randu Agung. 959 Terlihat Empu Nambi menarik nafas panjang terus
mengikuti arah putranya melangkah yang telah berada
diujung anak tangga terakhir pendapa. "Aku bangga
mempunyai seorang putra sepertimu, wahai Menak
Koncar", berkata Empu Nambi dalam hati melepas
kepergian putranya itu. Matahari sore terlihat masih memancarkan cahayanya diatas pantai Pasuruan. Tiga orang lelaki
terlihat tengah memperbaiki perahu mereka, sementara
tiga orang bocah telanjang asyik bermain berlari diatas
pasir pantai. "Ada sekumpulan prajurit Majapahit di Kademangan
Japan, kabarnya mereka akan menyerang bumi
Lamajang", berkata seorang lelaki kepada kawannya
masih sambil memperbaiki beberapa bagian perahu
mereka. "Beruntunglah bahwa kita terlahir sebagai orang laut
yang hanya menghadapi badai di lautan, bukan pedang
dan lembing sebagaimana perang orang-orang darat itu",
berkata kawannya menanggapi perkataan lelaki pertama.
"Kita bakal kena imbasnya, harga beras dan jagung
orang darat pasti menjadi langka karena telah direbut
setengahnya oleh pasukan Majapahit itu", berkata lelaki
ketiga ikut bicara. Demikianlah, meski Kademangan Japan jauh dari
garis pantai Pasuruan, namun kehadiran pasukan
Majapahit berdampak bagi kehidupan para nelayan
disekitarnya yang merasa sukar mendapatkan beras dan
jagung dari petani di Kademangan Japan. Dimana
setengah dari lumbung-lumbung mereka telah diserahkan kepada pasukan Majapahit guna kebutuhan
peperangan mereka. 960 Baru sepekan pasukan Majapahit tiba di Kademangan Japan bergabung dengan pasukan
sebelumnya dibawah pimpinan Mahapatih Dyah
Halayuda. Namun bagi warga Kademangan Japan dan
sekitarnya kehadiran mereka seperti sudah begitu lama,
begitu berat menyengsarakan kehidupan para petani
yang sangat sederhana itu. Bahkan beberapa prajurit
Majapahit sudah mulai mengganggu anak-anak gadis
mereka. Namun hari itu para warga Kademangan Japan mulai
dapat bernafas lega, karena pagi hari tadi pasukan besar
itu telah bergerak meninggalkan Kademangan Japan.
Ternyata pasukan besar Majapahit itu bergerak
menyimpang dari jalur yang semestinya, tidak bergerak
menuju bumi Lamajang lewat Kademangan Randu
Agung, tapi menyimpang ke arah kaki Gunung Semeru.
"Kita harus secepatnya memberitahukan Empu
Nambi di benteng Randu Agung", berkata seorang
petugas pengamat kepada kawannya disebuah tempat
persembunyiannya. Maka keduanya terlihat berendap-endak mendekati
kuda-kuda mereka yang terikat disebuah tempat
tersembunyi. Tanpa terlihat oleh siapapun, keduanya telah
melarikan kuda-kuda mereka menyimpang dari arah para
prajurit Majapahit bergerak, kedua petugas pengamat itu
melarikan kudanya ke arah Kademangan Randu Agung,
sementara pasukan Majapahit terlihat terus bergerak
menyimpang lebih kekanan mendekati arah kaki gunung
Semeru. Hari sudah mulai gelap ketika para
pengamat itu tiba di benteng Randu Agung.
petugas 961 Manakala mendengar berita tentang pasukan
Majapahit yang datang ke bumi Lamajang, segera Empu
Nambi memerintahkan orangnya untuk meneruskan
berita itu ke Kademangan Pronojiwo.
"Pasukan Lamajang lebih mengenal daerah disekitar
kaki Gunung Semeru itu dibandingkan pasukan
Majapahit yang baru datang itu" berkata Empu Nambi
kepada para pemimpin pasukannya di benteng Randu
Agung "Tugas kita dalam permainan ini adalah
memancing keluarnya kesatuan pasukan Jala Pati dari
Kotaraja Majapahit, sehingga peta kekuatan di Kotaraja
Majapahit saat ini berimbang antara kekuatan yang
tengah di galang oleh Tumenggung Mahesa Semu saat
ini menghadapi kekuatan bayangan yang telah lama di
bangun oleh Ra Kuti untuk menguasai istana Majapahit.
Apa yang kita lakukan saat ini adalah menyumbangkan
kemenangan dalam permainan besar ini. Bukankah
kesatuan pasukan Jala Pati sudah berada di Bumi
Lamajang saat ini ?", berkata kembali Empu Nambi.
"Pasukan Lamajang yang di pimpin oleh Adipati
Menak Koncar memang lebih menguasai daerahnya,
namun pasukan Majapahit yang datang kali ini lebih
besar dari sebelumnya, jauh lebih besar dari pasukan
Rangga Pamandana dan pasukan Adipati Menak
Koncar. Mungkin ada baiknya pasukan kita bergabung di
Kademangan Pronojiwo menghadapi pasukan Majapahit
itu", berkata Panji Anengah memberikan usulan kepada
Empu Nambi. "Aku mengenal Tumenggung Pati Jala dengan baik,
seorang yang sangat cerdas. Aku curiga mengapa
dirinya telah menghadapkan pasukannya ke Kademangan Pronojiwo, menurutku adalah sebuah
jebakan agar kita keluar dari benteng Randu Agung ini",
962 berkata Empu Nambi. Ternyata kecurigaan Empu Nambi sangat beralasan,
karena malam itu pasukan Majapahit memang telah
berada tidak jauh dari Kademangan Pronojiwo, disebuah
padang luas terpisah sebuah hutan kecil di kaki Gunung
Semeru itu. "Benteng Randu Agung terlalu kuat untuk kita
gempur, kita harus memancing mereka keluar dari
benteng itu", berkata Temunggung Pati Jala kepada
Mahapatih Dyah Halayuda. "Kita bumi hanguskan tempat pengungsian para
warga Lamajang di Kademangan Pronojiwo, pasti Empu
Nambi luluh hatinya keluar dari bentengnya", berkata
Mahapatih Dyah Halayuda. Sementara itu Adipati Menak Koncar dan Rangga
Pamandana yang telah mendengar berita kedatangan
pasukan Majapahit ke kaki Gunung Semeru itu telah
membuat berbagai persiapan.
"Kita kalah jumlah dengan mereka, yang terbaik
adalah menghadapi mereka didalam hutan", berkata
Adipati Menak Koncar kepada Rangga Pamandana.
"Aku setuju, kita hadapi mereka di dalam hutan",
berkata Rangga Pamandana menyetujui usulan Adipati
Menak Koncar itu. Demikianlah, malam itu langit di bumi Lamajang
terlihat dipenuhi awan gelap, tiada satupun bintang
disana sebagai pertanda hujan segera akan turun.
Benar saja, dipertengahan malam itu hujan turun
begitu lebat mengguyur bumi Lamajang.
Suara guntur dan petir silih berganti bersama suara
deru hujan yang tumpah benar-benar seperti laskar dari
963 langit mengepung bumi Kademangan Pronojiwo di
malam itu. Namun yang terlihat keluar dari Kademangan
Pronojiwo dibawah guyuran hujan yang lebat di malam
itu bukan laskar dari langit, tapi sebuah pasukan yang
dipimpin oleh Adipati Menak Koncar dan Rangga
Pamandana terlihat berlari-lari kecil menyelinap keluar
dari Kademangan Pronojiwo menuju kearah hutan
didepannya yang merupakan sebuah pemisah dengan
beberapa Kademangan tetangganya.
"Hujan nampaknya telah berpihak kepada kita untuk
membuat berbagai persiapan gelar perang senyap di
hutan ini", berkata Adipati Menak Koncar kepada Rangga
Pamandana yang merasa yakin bahwa para petugas
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengamat dari pihak lawan pasti tidak ada yang akan
menyangka pasukannya telah mendahului masuk ke
hutan itu. Terlihat dibawah guyuran hujan di hutan Pronojiwo
itu, beberapa prajurit telah langsung membuat berbagai
macam persiapan, diantaranya telah membuat berbagai
macam jebakan yang dapat mengejutkan pihak lawan,
juga mencari tempat yang baik untuk tempat
persembunyian mereka sendiri melakukan gelar perang
senyap di dalam hutan Pronojiwo seperti hantu yang
datang mengejutkan pihak lawan dan tidak lama
kemudian menghilang seperti tertelan bumi.
Namun seandainya Adipati Menak Koncar dan
Rangga Pamandana berdua mengenal Tumenggung
Jala Pati sebagaimana Empu Nambi mengenalnya,
mungkin keduanya akan membuat perhitungan lebih
matang lagi, melihat berbagai kemungkinankemungkinan lain seperti jalan lain yang dapat ditempuh
untuk mendekati Kademangan Pronojiwo, menyergap
964 warga dan para pengungsi di Kademangan itu sekaligus
akan menjepit pasukan mereka di dalam hutan gelar
perang senyap ciptaan mereka sendiri.
Seandainya mereka berdua mengenal Tumenggung
Jala Pati sebagaimana Empu Nambi, pasti mereka
membuat perhitungan lain, perhitungan dan kemungkinan lain. Sayangnya mereka tidak mengenal Tumenggung
Jala Pati yang akan mereka hadapi itu adalah seorang
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 16 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Rahasia Lukisan Kuno 3
tempat pengungsian masing-masing.
Empu Nambi dan para pendukungnya telah berada di
puri pasanggrahan milik Ki Banyak Wedi yang telah
dirubah menjadi sebuah benteng pertahanan yang amat
kuat. Tersiar sebuah berita bahwa pasukan besar prajurit
Majapahit hari itu telah bergerak dari Kademangan Japan
menuju bumi Lamajang. "Hari ini para prajurit Majapahit telah bergerak
meninggalkan Kademangan Japan", berkata Panji
Samara kepada Empu Nambi dan beberapa orang
pimpinan pasukan pendukungnya.
"Ada tiga kesatuan pasukan kerajaan Majapahit,
891 kesatuan pasukan Jala Rananggana, pasukan Jala Pati
dan pasukan Jala Yudha. Dari kesatuan manakah yang
kali ini akan kita hadapi?", bertanya Empu Nambi kepada
Panji Samara. "Sesuai pengamatan para petugas telik sandi,
mereka dari kesatuan Jala Rananggana", berkata Panji
Samara. "Berarti kita akan berhadapan dengan Tumenggung
Jala Rananggana", berkata Empu Nambi sambil
memandang kearah putranya seperti ingin membaca isi
hati dan perasaannya saat itu setelah mendengar yang
akan dihadapinya adalah ayah mertuanya sendiri.
"Nampaknya Mahapatih Dyah Halayuda sengaja
membenturkan kita dengan orang sendiri", berkata
Adipati Menak Koncar. "Pertempuran ini adalah permainannya, dan kita telah
terjebak masuk kedalam permainannya", berkata Empu
Nambi di hadapan para pimpinan pasukan pendukungnya itu. "Apa yang diinginkan oleh Mahapatih Dyah Halayuda
dalam pertempuran ini?", bertanya Panji Wiranagari
kepada Empu Nambi. "Mengosongkan istana Majapahit dari para ksatria
penjaganya, aku berharap semoga masih ada ksatria
yang dapat melindungi Raja Jayanagara", berkata Empu
Nambi sambil memandang jauh kedepan, memandang
tanah rumput di halaman luas yang masih basah oleh
gerimis panjang semalaman.
Mendengar penuturan Empu Nambi telah membuat
semua orang berpikir dan merenung. Diam-diam di
kepala mereka membenarkan pikiran Empu Nambi
892 tentang kecerdikan Mahapatih Dyah Halayuda untuk
mencapai tujuan akhirnya, menguasai istana Majapahit.
Sementara itu terlihat seekor elang jantan terbang
melintas dari arah hutan Randu Agung menuju arah timur
langit dan berputar-putar di padang ilalang Ledoktempuro. "Kita akan menyongsong mereka di padang
Ledoktempuro", berkata Empu Nambi dihadapan para
pimpinan pasukan pendukungnya.
"Mengapa kita tidak menunggu mereka di benteng
ini?", bertanya Adipati Menak Koncar
"Mungkin Ki Lurah Bancak dapat memberikan
gambaran yang jelas kepada kalian", berkata Empu
Nambi kepada seorang lelaki tua disampingnya yang
masih terlihat tegar meski rambut putih sudah memenuhi
seluruh kepalanya. Ternyata lelaki tua itu adalah Ki
Bancak, seorang mantan prajurit Majapahit yang sengaja
diutus langsung oleh Tumenggung Mahesa Semu
sebagai penghubungnya. "Ada dua kekuatan saat ini telah berada dalam
kendali Ra Kuti, kesatuan pasukan Jala Pati dan sebuah
pasukan tersembunyi. Dua kekuatan ini dipastikan akan
segera menguasai istana Majapahit. Sementara
kesatuan pasukan Jala Yudha di benteng Tanah Ujung
Galuh diam-diam telah diyakinkan oleh Tumenggung
Mahesa Semu berada di pihak kita. Harapan
Tumenggung Mahesa Semu adalah bahwa pasukan
Empu Nambi dapat memancing Mahapatih Dyah
Halayuda menurunkan satu dari kekuatan mereka ke
Tanah Lamajang agar ada keseimbangan perlawanan
bila Ra Kuti benar-benar melaksanakan rencana
busuknya, menguasai istana Majapahit", berkata Ki
893 Bancak menyampaikan berita dari Tumenggung Mahesa
Semu. "Untuk memancing salah satu pasukan Ra Kuti keluar
dari sarangnya adalah memenangkan pertempuran kita
di padang Ledoktempuro, bukan bertahan di benteng
Randu Agung ini", berkata Empu Nambi menambahkan
penjelasannya. "Bilamana darahku tumpah di padang Ledoktempuro,
atau tubuhku tercabik-cabik, seluruh keturunanku akan
bangga bahwa leluhurnya mati di tanah kebenaran",
berkata Panji Wiranagari dengan penuh semangat.
"Aku akan mengobarkan seluruh pasukanku, bahwa
yang kita perangi adalah para pengkhianat yang ingin
menjual bumi Majapahit ini", berkata Panji Anengah
dengan suara yang cukup lantang sambil mengangkat
tangannya tinggi-tinggi. "Aku akan berada bersama pasukanku, tidak akan
mundur sebelum memenangkan pertempuran ini",
berkata Panji Samara tidak kalah semangatnya dari
kedua kawannya itu, Panji Wiranagari dan Panji
Anengah. "Aku haru bahagia mendengar semangat kalian, mata
dan hati kalian saat ini telah terbuka bahwa pertempuran
ini bukan sekedar membela dan melindungi sepenggal
kepalaku yang sudah tua dan tiada berarti ini.
Pertempuran kita adalah sebuah pertempuran suci
membela dan melindungi bahtera Majapahit ini keluar
dari angin badai yang ditaburkan oleh para pengkhianat,
para pendusta besar yang punya kulit dan mata sama
seperti kita, lahir dan tumbuh di bumi tercinta ini, namun
punya hati dan pikiran yang sangat kejam, lebih kejam
dari prajurit bangsa Mongol yang pernah kita perangi dan
894 kita usir dari tanah kita tercinta ini", berkata Empu Nambi
di hadapan para pimpinan pasukan pendukungnya.
Perkataan Empu Nambi seperti sebuah sirep,
membuat semua orang terdiam merenung dan membisu.
Sementara itu pasukan Majapahit telah bergerak
mendekati arah hutan Ledoktempuro, iring-iringan besar
itu bergerak seperti seekor Naga besar. Mahapatih Dyah
Halayuda berada di dalam pasukan itu, sebuah pasukan
gabungan terdiri dari pasukan Ki Jabung Terewes yang
masih tersisa dan sebuah pasukan yang sangat kuat dari
kesatuan pasukan Jala Rananggana.
Hutan Ledoktempuro berada di sebelah timur
Kademangan Randu Agung. Untuk mendatangi
Kademangan Randu Agung harus melewati sebuah
padang yang cukup luas. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari
Kademangan Japan, terlihat pasukan besar prajurit
Majapahit itu langsung membuat sebuah perkemahan di
hutan Ledoktempuro. "Sebuah pasukan yang sangat besar", berkata
seorang prajurit Lamajang yang sudah cukup lama
menunggu kedatangan pasukan Majapahit itu di sebuah
semak belukar yang tersembunyi.
"Kita harus segera melaporkannya ke benteng Randu
Agung", berkata seorang kawannya.
Maka terlihat dengan berendap-endap keduanya
telah keluar dari tempat persembunyian mereka menuju
ke tempat kuda-kuda mereka.
Tidak lama kemudian kedua prajurit Lamajang itu
sudah terbang diatas kudanya menuju benteng Randu
Agung. 895 "Semua sesuai dengan rencana semula, kita akan
menyongsong mereka di padang Ledoktempuro", berkata
Empu Nambi kepada para pimpinan pasukannya sambil
menyampaikan beberapa hal penting menyusun siasat
dan gelar perang mereka menghadapi pasukan
Majapahit yang sangat besar itu
Terlihat para pimpinan pasukan Empu Nambi
berpamit diri satu persatu untuk meneruskan jalur
perintahnya kepada para ketua kelompok masingmasing.
Hingga akhirnya diatas pendapa benteng Randu
Agung itu hanya tersisa Empu Nambi dan putranya,
Adipati Menak Koncar. "Apakah kamu siap menghadapi pertempuranmu,
wahai putraku?", bertanya Empu Nambi kepada Adipati
Menak Koncar. "Aku siap lahir dan bathin, wahai ayahandaku",
berkata Adipati Menak Koncar.
"Juga bilamana dalam pertempuran besar itu
berhadapan muka dengan ayah mertuamu sendiri?",
bertanya kembali Empu Nambi.
"Bukankah ayahanda selalu mengatakan bahwa
seorang prajurit harus melupakan perasaannya",
mengutamakan kejernihan pikirannya". Aku akan berdiri
di dalam pertempuranku sebagai seorang prajurit sejati,
berdiri sebagai seorang ksatria utama dibelakang
kebenaran hakiki, kebenaran sebuah cita-cita agung
Kerajaan Majapahit ini, meski yang kuhadapi adalah
ayah mertuaku sendiri", berkata Adipati Menak Koncar.
Terlihat Empu Nambi tersenyum memandang wajah
putranya dalam-dalam. 896 Dan malam itu hujan turun begitu lebatnya
mengguyur bumi Lamajang seperti ditumpahkan dari
langit yang retak. Seperti biasa, hujan yang sangat lebat itu memang
tidak begitu lama, sebentar saja awan hitam di langit
sudah menjadi tiris menyisakan gerimis yang turun di
bumi hingga di penghujung malam.
Perlahan langit kembali cerah, sang bintang kejora
terlihat muncul di langit timur.
Bumi pagi masih sangat gelap, namun kesibukan
sudah terlihat di dapur umum benteng Randu Agung.
Nampaknya para petugas hari ini harus sudah
menyiapkan ransum para prajurit yang akan segera turun
ke medan pertempurannya di padang Ledoktempuro.
Wajah obor di depan gubuk-gubuk prajurit terlihat
pucat pasi terkena cahaya matahari pagi manakala
terdengar suara bende yang berputar-putar berdengung
membentur dinding-dinding pagar batu benteng Randu
Agung. Suara bende pertama itu adalah suara panggilan
para prajurit untuk segera berkumpul di halaman muka
benteng Randu Agung. Terlihat para prajurit Lamajang
tengah berlari memenuhi halaman muka benteng Randu
Agung itu masuk ke dalam kelompok pasukannya
masing-masing. Terlihat Empu Nambi duduk diatas punggung
kudanya di barisan terdepan bersama putranya, Adipati
Menak Koncar. Ayah dan anak itu seperti dua orang
kembar, sama-sama membawa sebuah cakra di tangan
kanannya dan seekor kuda yang sama-sama berwarna
hitam. Keduanya sama-sama gagahnya duduk diatas
punggung kuda masing-masing, yang membedakan
897 keduanya adalah warna rambut dan garis kerut di wajah
mereka. Melihat kesiapan para pasukannya yang berjajar
memanjang, terlihat Empu Nambi menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum kearah Adipati Menak
Koncar. Nampaknya anggukan kepala itu sebuah pertanda
bagi Adipati Menak Koncar. Terlihat Adipati Menak
Koncar mengangkat tinggi-tinggi senjata cakranya seperti
ingin membenturkannya di dinding langit pagi sambil
berteriak keras memberikan aba-aba yang diikuti oleh
suara bende yang bergulung-gulung memenuhi udara di
sekitar halaman benteng Randu Agung itu.
Mendengar suara bende yang kedua kalinya itu telah
langsung membuat gerakan tangan para prajurit meraba
senjata dan segala peralatan yang harus mereka bawa
ke medan pertempuran, salah satu tertinggal adalah
bencana bagi diri mereka, bahkan bencana untuk kawankawan mereka sendiri.
Melihat senjata cakra yang diangkat tinggi-tinggi,
telah membuat Panji Anengah, Panji Samara dan Panji
Wiranagari seperti kembali di masa-masa muda mereka
dalam sebuah pasukan khusus dibawah kendali Empu
Nambi, seorang pemimpin yang sangat mereka hormati,
seorang pemimpin yang sangat mereka kagumi. Yang
selalu mengayomi kehidupan mereka, yang sangat
bersahaya melebur bersama dalam suasana suka dan
duka bersama mereka. Sementara pimpinan mereka saat
itu tengah disingkirkan dan dipinggirkan bahkan di buru
sebagai seorang pendosa. Kembali bergema suara bende yang bergulunggulung memenuhi benteng Randu Agung menabrak dan
898
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berputar searah dinding pagar batu yang membatasi
keliling benteng Randu Agung yang sangat luas itu.
Suara bende ketiga kalinya itu telah menggerakkan
langkah kaki pasukan Empu Nambi.
Derap gema suara langkah kaki, derap gema suara
pangkal tombak kayu bersatu padu menghentak bumi
seperti irama semangat yang bergelora memenuhi udara
pagi, memenuhi jalan-jalan utama Kademangan Randu
Agung yang dilewati oleh pasukan Empu Nambi yang
berjalan berbaris panjang seperti seekor ular sanca
raksasa meliuk-liuk merayap diatas jalan tanah melewati
persawahan yang luas sepi ditinggalkan para petaninya
yang sudah lama pergi mengungsi.
Kibar warna-warni umbul-umbul, rontek dan tunggultunggul membesarkan hati para prajurit pasukan Empu
Nambi, meneguhkan semangat dan kebanggaan hati
mereka berada di belakang Empu Nambi, sang pahlawan
besar mereka. Ular Sanca raksasa itu merayap terus kearah timur
Kademangan Randu Agung menuju arah padang
Ledoktempuro. Akhirnya pasukan besar pendukung Empu Nambi itu
telah memasuki jalan desa terakhir Kademangan Randu
Agung yang berujung di muka sebuah padang ilalang
yang sangat luas, padang Ledoktempuro.
Di sebelah timur padang Ledoktempuro adalah
sebuah hutan yang lebat dengan pohon-pohonnya yang
tinggi menjulang seperti menyanggah langit, menutup
cahaya matahari pagi padang ilalang Ledoktempuro.
Terlihat pasukan Empu Nambi telah memasuki
padang ilalang Ledoktempuro dan berhenti tepat
899 ditengahnya menghadap kearah hutan Ledoktempuro.
Terdengar suara keras membahana dari Adipati
Menak Koncar memberikan sebuah aba-aba perintah
yang diikuti oleh para penghubung terus menjalar hingga
ke barisan paling ujung, ternyata aba-aba itu adalah
sebuah perintah untuk bergerak membentuk sebuah
gelar perang. Dalam waktu yang amat singkat barisan pasukan
Empu Nambi terlihat bergerak membentuk sebuah gelar
perang yang amat sempurna, gelar Garuda Nglayang.
Tegak berdiri dengan pandangan lurus kedepan,
pasukan Empu Nambi telah siap menantang musuhmusuh mereka yang akan muncul dari kegelapan hutan
Ledoktempuro di ujung tepi timur batas padang ilalang
yang sangat luas itu. Desir angin pagi bertiup cukup keras mengibarkan
umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul di tangan
setiap kelompok pasukan. Warna-warni dan aneka corak
lambang umbul-umbul yang mereka bawa sebagai
pertanda dari mana mereka berasal, para prajurit
pengawal Kadipaten Lamajang, para prajurit Majapahit
dibawah pimpinan Panji Anengah, Panji Samara dan
Panji Wiranagari dan para cantrik perguruan Teratai
Putih yang tersebar di Jawadwipa dan Balidwipa.
Gabungan pasukan besar itu telah bersatu dan disatukan
oleh setangkai daun jarak yang terikat di atas kepala
mereka. Dan tidak lama berselang, muncullah sebuah
pasukan keluar dari hutan gelap bersama sorak sorai
gemuruh suara penuh semangat.
Itulah pasukan Majapahit yang telah keluar dari
perkemahan mereka di hutan Ledoktempuro, muncul
900 dalam barisan yang panjang seperti seekor naga raksasa
keluar dari mulut hutan. Manakala ujung barisan mereka sudah terlihat,
pasukan Majapahit itu langsung membentuk sebuah
gelar sempurna, gelar perang yang tanggon, Dirada
Meta. Terlihat Empu Nambi tersenyum memandang barisan
musuh di hadapannya, sementara para pasukannya
telah meraba senjata-senjata mereka, memastikan
bahwa senjata itu masih berada dekat mereka.
Sementara mereka yang membawa tombak panjang
terlihat tidak lagi memanggulnya diatas pundaknya, tapi
sudah terangkat dan merunduk siap menghunjam dadadada musuh mereka.
Seorang penghubung disebelah Empu Nambi terlihat
mengibarkan benderanya ke kiri dan kekanan.
Nampaknya seorang pimpinan pasukan tombak telah
langsung memahaminya sebagai sebuah perintah untuk
kelompoknya bergerak diam-diam duduk berjongkok di
belakang barisan terdepan dengan posisi mata tombak
miring meruncing. Kibar bendera pasukan Empu Nambi nampaknya
diartikan oleh Mahapatih Dyah Halayuda bahwa pasukan
musuh telah siap bergerak, maka senapati agung
pasukan Majapahit itu langsung mengangkat tangannya
tinggi-tinggi sambil berteriak keras mengguntur.
"Hancurkan pasukan pemberontak itu!!", berteriak
Mahapatih Dyah Halayuda memberi perintah.
Terdengar suara gemuruh prajurit Majapahit
menyambut perintah Senapati agung mereka. Dan
padang Ledoktempuro seperti tergoncang manakala
pasukan segelar sepapan itu telah bergerak berlari dan
901 memburu pasukan musuh di hadapannya itu.
Terlihat pasukan berkuda prajurit Majapahit di barisan
terdepan seperti membelah padang ilalang meninggalkan
pasukan lainnya yang tengah berlari kencang dengan
senjata terhunus telanjang ingin segera meluluh
lantakkan dada musuh-musuh mereka.
Layaknya seekor gajah raksasa mengamuk,
begitulah pasukan besar Majapahit itu bergerak
menerjang pasukan musuh didepan mereka.
"Apakah mereka bermaksud untuk bunuh diri
bersama?", berkata Dyah Halayuda dalam hati diatas
kudanya yang tengah berlari melihat pasukan musuh
diam tidak bergerak menyongsong terjangan mereka.
Dyah Halayuda masih juga belum dapat menebak
apa yang akan dilakukan oleh pasukan Empu Nambi itu
yang tidak bergerak sedikitpun menghadapi pasukannya
yang sudah menjadi semakin dekat itu."Apakah mereka
gentar dan menggigil takut melihat pasukanku?", berkata
kembali Dyah Halayuda dalam hati penuh kebanggaan
hati membayangkan pasukan besarnya sebentar lagi
akan meluluh lantakkan pasukan Empu Nambi itu.
"Gila, gila, gila !!", mengumpat habis-habisan Ki
Jabung Terewes yang berada di pasukan berkuda.
Sebagaimana Ki jabung Terewes, hampir semua
pasukan berkuda Majapahit itu terkejut tidak mampu lagi
menahan laju kuda mereka. Nampaknya siapapun akan
terkejut bukan kepalang, apalagi masih berada diatas
punggung kudanya yang tengah berlari kencang, karena
di barisan terdepan pasukan Empu Nambi tiba-tiba saja
telah bergeser seperti gerbang pintu kayu terbuka
melebar kekiri dan kekanan.
902 Bukan main terkejutnya pasukan berkuda itu yang
telah terperangkap tonggak-tonggak hidup dari ratusan
tombak yang sebelumnya berada terhalang barisan yang
bergerak membuka itu. Terlihat puluhan kuda tertusuk leher dan perutnya
melemparkan penunggangnya jatuh ke tanah bergulingguling dengan badan dan tulang terasa remuk, bahkan
beberapa orang langsung tidak bergerak lagi karena
sebuah batu besar menghantam kepala mereka ketika
terjatuh. Terdengar sorak sorai para pasukan Empu Nambi
menyambut penuh kegembiraan hati melihat perangkap
mereka berhasil gemilang memperdayai musuh mereka.
Sementara itu barisan terdepan pasukan Empu
Nambi yang bergeser ke kiri dan kekanan membuka
pasukan tombak itu adalah bagian sayap pasukan dalam
gelar Garuda Nglayang yang langsung bergerak
menusuk lambung pasukan induk lawan dari sebelah
kanan dan kirinya. Porak poranda kekuatan pasukan Majapahit yang
berada di lambung pasukan induk itu di hantam sayap
pasukan Empu Nambi. Gemeretak gigi Dyah Halayuda menahan rasa
amarah yang meluap-luap melihat korban di pihaknya
dalam gebrakan pertama itu dan langsung telah
memerintahkan pasukannya mundur beberapa langkah
membantu pasukan di lambung mereka yang terkoyakkoyak itu.
Layaknya seekor gajah besar yang terguncang,
perlahan telah dapat berdiri kembali tegak di empat
kakinya. Pasukan Majapahit yang mundur teratur itu
akhirnya telah kembali dalam gelarnya mengimbangi
903 gerak gelar musuh mereka yang keras laksana seekor
garuda raksasa menukik lincah mencakar dan mematuk
mangsanya dari berbagai arah dan kokoh bergerak
dalam kesatuan perintah senapati mereka, Empu Nambi.
"Selamat datang Mahapatih baru Majapahit, maafkan
bila sambutan kami tidak sesuai yang diharapkan",
berkata Empu Nambi diatas punggung kudanya
menghadang kuda Mahapatih Dyah Halayuda.
"Jangan merasa gembira dengan perangkap pasukan
tombakmu, peperangan ini masih panjang", berkata
Mahapatih Dyah Halayuda memandang tajam Empu
Nambi seperti tengah mengukur tingkat kemampuan
mantan pejabat tinggi istana yang telah berhasil
digantikan kedudukannya. "Peperangan ini memang masih panjang, kulihat
pasukanmu sudah berdiri kembali di keempat kakinya",
berkata Empu Nambi sambil tersenyum membalas
tatapan mata Dyah Halayuda yang menusuk itu.
"Menang atau kalah tidak kupikirkan dalam
peperangan ini, yang kupikirkan bagaimana dapat
membunuhmu", berkata Dyah Halayuda sambil
menghentakkan kudanya maju kedepan mendekati Empu
Nambi. Dua trisula di tangan Dyah Halayuda terlihat
menusuk kedua tempat sasaran yang berbeda, tubuh
Empu Nambi dan perut kudanya.
Namun kuda Empu Nambi adalah seekor kuda
pilihan yang sudah sangat mengerti kemauan tuannya,
terlihat kaki belakang kuda Empu Nambi bergeser
menjauhi trisula, bersamaan dengan itu cakra ditangan
Empu Nambi langsung bergerak menghantam trisula
yang meluncur ke arahnya.
904 Trang !! Hampir saja Dyah Halayuda melepaskan trisulanya,
merasakan telapak tangannya seperti tersengat panas
yang menyengat. "Hem", hanya suara dengusan itu saja yang
terdengar dari bibir Empu Nambi yang dalam benturan
pertama itu sudah dapat mengukur tingkat kemampuan
lawannya itu. Sementara itu Dyah Halayuda terkejut bukan
kepalang merasakan tataran tenaga sakti sejati lawannya
sudah begitu sangat tinggi melampau kemampuannya.
Itulah sebabnya dalam serangan-serangan berikutnya, Dyah Halayuda selalu menghindari benturan.
Cara bertempur Dyah Halayuda ini ternyata diketahui
oleh Empu Nambi, terlihat cakra di tangan Empu Nambi
menjadi lebih leluasa bergerak mengejar kemanapun
tubuh Dyah Halayuda bergerak.
Bertempur diatas kuda nampaknya kurang menguntungkan bagi Dyah Halayuda yang langsung
terbang melesat seperti seekor elang mencengkeram
dengan kedua cakar kakinya yang amat tajam.
Trang, trang !! Bersamaan dengan loncatan Dyah Halayuda yang
meninggalkan kudanya, terlihat Empu Nambi ikut
meloncat meninggalkan kudanya seperti terbang
menghadang dan menangkis kilatan trisula di tangan
Dyah Halayuda. Luar biasa akibat dari benturan senjata trisula dan
cakra itu, terlihat tubuh Dyah Halayuda terlempar empat
langkah kebelakang dengan merasakan kedua
tangannya terasa sangat perih.
905 "Hem", hanya itu suara yang keluar dari bibir Empu
Nambi yang tegak berdiri tersenyum menatap lawannya
yang tengah memperbaiki dirinya untuk tegak berdiri
setelah limbung beberapa saat.
Namun Dyah Halayuda memang seorang yang amat
licik, tahu bahwa seorang diri tidak akan mampu
menandingi Empu Nambi, telah memanggil Lembu
Peteng dan ikal-Ikalan Bang.
"Hem", hanya itu suara yang terdengar keluar dari
bibir Empu Nambi menghadapi tiga orang penyerangnya
itu. Sambil menghadapi ketiga penyerangnya, Empu
Nambi masih sempat mengamati seluruh sisi
pertempuran. Melihat kemapanan pasukan di sayap
kanannya yang dipercayakan kepada putranya, Adipati
Menak Koncar. Sekilas Empu Nambi dapat menilai
pasukan sayap kanannya itu telah dapat menekan
kekuatan musuh mereka. Sebagaimana yang di lihat oleh Empu Nambi,
ternyata pasukan sayap kanan yang dipimpin oleh
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adipati Menak Koncar mampu menekan kekuatan lawan
mereka yang dipimpin oleh seorang senapati pengapit
dalam gelar Dirada Meta yang bernama Ki Jabung
Terewes. Ki Jabung Terewes bersama pasukannya yang
pernah dipukul mundur oleh para prajurit Lamajang
beberapa waktu yang telah lewat itu memang bermaksud
membalas dendam atas kematian anak buahnya dalam
pertempuran sebelumnya itu, dan sangat kebetulan
sekali yang dihadapinya dalam pertempuran kali ini
sebagian besarnya adalah para prajurit dari Lamajang.
Namun yang dihadapi oleh Ki Jabung Terewes
906 adalah Adipati Menak Koncar yang punya banyak
pengalaman bertempur, seorang pemimpin pasukan
yang hebat mengendalikan sebuah pasukan besar.
Beberapa kali Ki Jabung Terewes seperti hilang akalnya
menghadapi berbagai jebakan dan perangkap pasukan
yang berada didalam kendali Adipati Menak Koncar ini
yang kadang menyusut melengkung membentuk jurang
menganga, begitu pasukan musuh masuk tiba-tiba saja
pasukan Adipati Menak Koncar seperti air bah
gelombang besar menghantam dan menjepit pasukannya. Dan korban pun berjatuhan tidak sedikit di
pihak pasukan Ki Jabung Terewes itu.
Sambil bertempur menghadapi tiga orang penyerangnya, terlihat Empu Nambi tersenyum penuh
kebanggaan hati bahwa putranya dengan sangat
cerdasnya mengendalikan pasukannya, mengatur
seluruh kekuatan pasukannya.
Sementara itu di sayap kiri pertempuran, Empu
Nambi sempat mengamati suasana pertempuran disana.
Telah melihat bahwa Panji Wiranagari yang dipercayakan
memimpin pasukan sayap kirinya itu mampu
mengimbangi pasukan lawan.
"Syukurlah, mereka tidak bertemu muka dalam
pertempuran ini", berkata Empu Nambi dalam hati
menarik nafas lega manakala melihat seorang senapati
musuh yang menghadapi sayap kirinya adalah besannya
sendiri, Tumenggung Jala Rananggana.
Perlahan tapi pasti, gelar Garuda Nglayang pasukan
Empu Nambi dapat mendesak gelar perang Dirada Meta
yang sangat kuat itu, terutama berkat tekanan yang kuat
di sayap kanan pasukan Adipati Menak Koncar yang
memaksa Dyah Halayuda memerintahkan beberapa
orang prajuritnya yang berada di pasukan induknya
907 bergeser membantu pasukan Ki Jabung Terewes yang
tertekan itu. Akibatnya pasukan Empu Nambi di bagian paruh dan
kepala gelar perangnya dapat memukul pasukan
Majapahit yang menyusut itu. Telah dapat mendesak
mundur pasukan Majapahit hingga empat tumbak dari
garis awal pertempuran. "Sedari awal aku memang belum yakin kemampuan
orang sombong itu ditempatkan sebagai senapati
pengapit di gelar perang ini", berkata dalam hati
Tumenggung Jala Rananggana penuh rasa khawatir.
Sementara itu matahari diatas padang Ledoktempuro
telah bergeser turun kearah barat cakrawala, dentang
senjata beradu dan suara gemuruh peperangan begitu
riuh memenuhi padang Ledoktempuro. Sorak dan sorai
suara prajurit masih silih berganti dari kedua pasukan
manakala kemenangan berpihak diantara mereka. Hanya
saja sorak dan sorai pasukan Empu Nambi lebih banyak
terdengar dibandingkan pasukan Majapahit yang
dipimpin langsung oleh Dyah Halayuda.
Suara riuh dan gemuruh peperangan itu masih
terdengar dari ujung tepi hutan di ujung timur padang
Ledoktempura. Namun akan menjadi semakin senyap
hilang dari pendengaran manakala telah masuk lebih
jauh lagi ke tengah jantung hutan itu, ke tempat
perkemahan besar pasukan Majapahit yang saat itu
hanya di jaga oleh sekitar seratus orang prajurit,
termasuk didalamnya para juru masak yang bertugas
menyiapkan ransum untuk para prajurit.
Terlihat beberapa prajurit tengah sibuk menyiapkan
masakan di depan gubuk mereka, sementara beberapa
orang prajurit di beberapa tempat tengah berjaga,
908 memastikan perkemahan mereka dalam keadaan aman
tanpa gangguan apapun. Namun para prajurit Majapahit di perkemahan itu
tidak menyadari sama sekali bahwa ribuan mata sudah
sejak lama mengintai disekitar mereka.
Entah dari mana arah datangnya, terlihat seorang
lelaki berjalan mendekati tiga orang prajurit yang tengah
menyiapkan rusa panggang tidak jauh dari gubuk
mereka. "Siapa kamu !!", berkata dengan suara keras sambil
berdiri salah seorang dari ketiga prajurit itu yang melihat
pertama kali seorang lelaki yang telah begitu dekat
dengan perapian mereka. Dengan sigap, kedua temannya ikut berdiri menatap
tajam lelaki asing itu. "Siapa aku", apakah begitu penting sebuah
namaku?", berkata lelaki asing itu penuh senyum ringan.
"Terlarang bagi orang asing memasuki perkemahan
kami, jangan-jangan kamu adalah pihak musuh yang
sengaja datang mengganggu", berkata salah seorang
kawan prajurit yang pertama kali berdiri.
"Ternyata senjata prajurit Majapahit hanya sebuah
pisau dapur biasa", berkata lelaki asing itu sambil
tersenyum memandang pisau dapur yang digenggam
oleh ketiga prajurit itu.
"Kami baru saja menyayat daging rusa, sebut siapa
kamu sebelum pisau ini akan menyayat tubuhmu",
berkata salah seorang dari ketiganya.
"Pasang telinga kalian, sebagai seorang prajurit
Majapahit pasti kalian pernah mendengar nama Rangga
Pamandana, seorang mantan prajurit Majapahit dari
909 kesatuan pasukan Jala Yudha", berkata lelaki asing itu
yang ternyata adalah Rangga Pamandana, salah
seorang perwira prajurit Majapahit yang telah membelot
berada di belakang pasukan Empu Nambi.
Sebagai seorang prajurit Majapahit, nampaknya
mereka bertiga memang pernah mendengar nama
Rangga Pamandana. Seketika itu juga wajah ketiganya
langsung berubah menjadi pucat pasi.
Rangga Pamandana tersenyum melihat perubahan
wajah ketiga prajurit itu.
Namun ketiga prajurit itu mulai sadar akan tugas dan
kewajibannya sebagai seorang prajurit yang harus
menjaga dan mengamankan perkemahan mereka.
"Apa yang tuan inginkan di perkemahan kami?",
bertanya salah seorang prajurit itu yang sudah dapat
mengendapkan perasaan jerihnya kepada Rangga
Pamandana itu. "Aku ingin merampok gudang persediaan kalian",
berkata Rangga Pamandana dengan suara datar tanpa
tekanan mengancam. Mendengar perkataan Rangga Pamandana, ketiganya saling berpandangan satu dengan yang
lainnya. "Kami bertiga mungkin bukan tandingan tuan, namun
kami dapat memanggil kawan-kawan kami yang lainnya",
berkata salah seorang prajurit kepada Rangga
Pamandana. "Cepat kamu panggil mereka, aku tidak akan lari
selangkah pun dari tempatku berdiri", berkata Rangga
Pamandana. Mendengar perkataan Rangga Pamandana, langsung
910 seketika salah seorang prajurit langsung berlari ke
sebuah gubuk dan langsung membunyikan kentongan
yang ada di depan gubuk itu.
Maka terdengarlah suara kentongan bernada panjang
berputar-putar memenuhi seluruh perkemahan dari ujung
satu ke ujung lainnya. Dan dalam waktu yang singkat seratus orang prajurit
Majapahit sudah berkumpul di hadapan Rangga
Pamandana. "Kutawarkan kepada kamu untuk menyerahkan diri
tanpa perlawanan", berkata seorang kepala prajurit di
perkemahan itu kepada Rangga Pamandana.
"Bagaimana bila terbalik aku yang menawarkan
kepada kalian untuk menyerahkan diri tanpa
perlawanan", berkata Rangga Pamandana masih dengan
sikap tenang tanpa merasa gentar sedikitpun
menghadapi seratus orang prajurit Majapahit itu.
"Apa yang kamu miliki sehingga berani menawarkan
hal demikian kepada kami?", berkata kepala prajurit itu
sudah mulai tidak sabaran menghadapi sikap Rangga
Pamandana itu. "Aku memiliki pasukan besar sepuluh kali lipat dari
jumlah kalian", berkata Rangga Pamandana menjawab
kalem. "Omong kosong !!", berkata kepala prajurit itu dengan
nada membentak menganggap ucapan Rangga
Pamandana hanya untuk mengulur-ulur waktu.
"Aku berkata benar", berkata Rangga Pamandana
sambil langsung bersuit panjang.
Terkejut para prajurit yang ada di perkemahan itu,
ternyata Rangga Pamandana tidak beromong kosong.
911 Ternyata suitan panjang Rangga Pamandana itu
adalah untuk memanggil para pasukan. Terlihat
bermunculan dari semak dan belukar beberapa orang
seperti hantu di siang hari bolong, setiap kepala
bercirikan daun jarak yang terikat kuat. Dan benar-benar
berjumlah sepuluh kali lipat dari jumlah prajurit Majapahit
yang berada di perkemahannya.
"Kuulangi lagi tawaranku, menyerah tanpa perlawanan", berkata Rangga Pamandana setelah
seluruh pasukannya telah berkumpul di belakangnya.
Mendengar tawaran dari Rangga Pamandana itu,
beberapa orang masih berpikir-pikir, beberapa lainnya
hanya menunggu suara terbanyak dari kawan-kawannya,
sementara yang terbanyak adalah yang tidak berpikir
apapun kecuali rasa takut yang amat sangat
membayangkan menghadapi jumlah musuh yang
sepuluh kali lipat dari jumlah mereka.
"Kami prajurit Majapahit, tidak akan gentar
menghadapi musuh", berkata kepala prajurit Majapahit itu
sambil meloloskan pedangnya dan mengangkatnya
tinggi-tinggi seperti ingin menusuk dinding langit.
Nampaknya suara kepala prajurit itu seperti sebuah
perintah, seketika itu juga seratus prajurit Majapahit itu
telah ikut meloloskan pedang di pinggang mereka,
melupakan rasa takut, melupakan kebimbangan hati dan
melupakan pikiran apapun selain siap menghadapi
apapun yang terjadi. "Para prajurit yang sangat berani", berkata Rangga
Pamandana memuji sikap para prajurit Majapahit itu
sambil melepaskan pedangnya memberi tanda kepada
pasukannya untuk maju. Maka pertempuran memang tidak dapat dihindari
912 lagi, seratus orang prajurit Majapahit memang telah
menunjukkan keberaniannya. Denting suara pedang
saling beradu, caci maki dan bentakan kasar adalah
suara peperangan di arena perkemahan itu.
Namun apalah artinya seratus orang prajurit
menghadapi seribu orang pasukan Rangga Pamandana"
Apalah artinya seratus prajurit Majapahit kelas dua
dalam lingkungan keprajuritan, para juru masak dan para
prajurit penjaga biasa"
Sementara pasukan Rangga Pamandana itu adalah
para prajurit pilihan, sebagian dari para prajurit dari
Blambangan yang sengaja belum diterjunkan oleh Empu
Nambi dalam pertempuran di hari pertamanya itu.
Maka dalam waktu yang amat singkat pasukan
Rangga Pamandana telah dapat menguasai medan
pertempuran itu. Jumlah prajurit Majapahit terlihat
semakin menyusut tajam, korban di pihak prajurit
Majapahit seperti daun di musim kemarau panjang, telah
terlihat berguguran, mati atau terluka parah di ujung
pedang pasukan Rangga Pamandana yang trengginas
itu, yang punya banyak pengalaman bertempur, para
prajurit terbaik dari Tanah Blambangan yang sangat
terkenal itu. "Menyerahlah kalian", berkata Rangga Pamandana
dengan suara penuh wibawa kepada sepuluh orang
prajurit Majapahit yang tersisa, yang sudah terkepung
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam lingkaran yang amat kuat.
Suara keras Rangga Pamandana yang penuh
kewibawaan itu seperti sebuah tangan kuat langsung
merontokkan nyali dan taji keberanian sepuluh orang
prajurit Majapahit yang tersisa itu. Seorang prajurit
Majapahit dengan wajah yang sudah penuh rasa putus
913 asa terlihat telah langsung melemparkan senjatanya.
Nampaknya lemparan senjata tanda penyerahan diri
salah seorang dari prajurit Majapahit itu seperti sirep
yang amat kuat, kesembilan orang prajurit Majapahit
langsung mengikutinya, melemparkan senjatanya jauhjauh dari jangkauan dirinya sendiri.
"Ikat mereka semua, dan kosongkan gudang
persediaan mereka", berkata Rangga Pamandana
memerintahkan pasukannya.
Maka dalam waktu yang amat singkat itu, terlihat
pasukan Rangga Pamandana itu telah membawa
persediaan pangan yang ada di gudang perkemahan
pasukan Majapahit itu. Kedatangan dan kepergian pasukan Rangga
Pamandana itu benar-benar seperti hantu di siang hari
bolong, mereka sudah hilang menyelinap di kerepatan
hutan Ledoktempuro yang amat lebat itu, seperti hilang
tertelan bumi. Sementara itu pertempuran di padang Ledoktempuro
masih terus berlangsung dengan amat serunya. Sorak
sorai prajurit dari dua belah pihak saling silih berganti
manakala sebuah kemenangan berhasil mereka raih,
korban pun sudah terlihat begitu banyak bergelimpangan
di tanah, jerit dan teriakan terlontar seketika bersamaan
rasa sakit yang amat sangat manakala tebasan sebuah
pedang melukai tubuh para prajurit dari kedua belah
pihak. Dan dari sorak sorai yang pernah terdengar, sorak
sorai kali ini terdengar begitu riuh, begitu sangat
bergemuruh dari sebelumnya. Terdengar dari pasukan
yang bertempur di sayap kiri berasal dari suara pasukan
yang dipimpin langsung oleh Adipati Menak Koncar.
914 Ternyata suara riuh itu terdengar manakala terlihat
cakra di tangan Adipati Menak Koncar membentur dada
Ki Jabung Terewes yang langsung terlempar dan
berguling-guling diatas tanah dan diam tak bergerak lagi.
Sebenarnya Ki Jabung Terewes belum mati, hanya
terluka parah. Namun suara pasukan di pihak Empu
Nambi telah berteriak penuh kegembiraan bahwa Ki
jabung Terewes telah terbunuh.
"Senapati musuh terbunuh, senapati musuh terbunuh
!!", berteriak para pasukan di sayap kiri pimpinan Adipati
Menak Koncar itu bergemuruh terdengar oleh semua
orang yang tengah bertempur di padang Ledoktempuro
itu. Suara riuh kemenangan itu terdengar juga di telinga
Mahapatih Dyah Halayuda yang tengah bertempur
menghadapi Empu Nambi. "Lembu Peteng, pimpinan kuserahkan kepadamu
menggantikan Ki Jabung Terewes", berkata Dyah
Halayuda kepada Lembu Peteng yang tengah
membantunya menghadapi Empu Nambi.
Terlihat Lembu Terewes langsung meloncat bergeser
kearah sayap kiri gelar mereka.
Menghadapi dua orang penyerangnya membuat
Empu Nambi dapat merasa lebih ringan dan leluasa
mengamati seluruh keadaan medan pertempuran,
memberikan perintah-perintahnya lewat jalur penghubungnya. Empu Nambi dapat melihat keadaan pertempuran di
sayap kanannya, ternyata kepemimpinan Lembu Peteng
tidak dapat merubah keadaan, bahkan membuat lebih
parah lagi keadaan dimana para prajurit Lamajang di
915 bawah kepemimpinan Adipati Menak Koncar telah
semakin menusuk kearah lambung pasukan induk
mereka. Berdebar perasaan hati Dyah Halayuda, membayangkan lambung gelar Dirada Meta sampai
robek tidak mampu menahan tekanan sayap kanan
pasukan Empu Nambi itu. Terlihat Empu Nambi tersenyum dikulum manakala
mendengar perintah Dyah Halayuda untuk memperkuat
sayap kiri mereka. Sementara itu Empu Nambi masih melihat
keseimbangan pertempuran di sayap kirinya, nampaknya
Tumenggung Jala Rananggana mampu mengimbangi
kekuatan pasukan yang berada di bawah pimpinan Panji
Wiranagari dan Panji Anengah. Mereka nampaknya
berasal dari induk jalur tata gelar yang sama, jadi seperti
dapat saling membaca setiap gerak lawan, karena
mereka sama-sama para prajurit Majapahit yang berada
di pihak yang berseberangan.
"Sayang hawa murniku sudah terkuras hampir
setengahnya oleh Gajahmada", berkata dalam hati Dyah
Halayuda ketika menghindari setiap benturan senjata
Empu Nambi, hanya mengandalkan kecepatan dan
kegesitannya bergerak. Namun tiba-tiba saja suara sorak dan sorai kembali
terdengar di ujung kiri sayap pasukannya yang dipimpin
oleh Lembu Peteng. Berdebar perasaan hati Dyah
Halayuda manakala mendapat berita dari penghubungnya bahwa Lembu Peteng gugur terhantam
cakra Adipati Menak Koncar di kepalanya.
"Orang-orang bodoh !!", berkata Dyah Halayuda
kepada seorang penghubungnya.
916 "Masih ada seorang kawanmu ini menggantikan
orangmu yang gugur itu, sehingga kita bisa lebih leluasa
berhadapan satu lawan satu", berkata Empu Nambi
dengan senyum menggoda. "Kurobek mulutmu", berteriak Dyah Halayuda penuh
kemarahan sambil menerjang Empu Nambi seperti badai
gelombang yang bergulung-gulung.
Trang !! Cakra Empu Nambi seperti tameng yang amat kuat
menahan serangan yang amat dahsyat itu.
Maka akibatnya berpulang kepada Dyah Halayuda
yang langsung mundur dua langkah dari tempatnya
berdiri sambil merasakan kedua tangannya bergetar
pedih. "lambung pasukanmu sebentar lagi akan robek",
berkata Empu Nambi mengingatkan musuhnya.
"Persetan dengan pasukanku, yang kuinginkan hari
ini adalah membunuhmu", berkata Dyah Halayuda sambil
memerintahkan sepuluh orang prajuritnya membantu
dirinya mengepung Empu Nambi seorang diri.
Namun Empu Nambi berada bersama orang-orang
yang setia kepadanya, tidak akan rela melihat Empu
Nambi seorang diri menghadapi kecurangan itu. Terlihat
beberapa orang setianya telah turun bersama
menghadapi setiap musuh yang datang membantu Dyah
Halayuda. Termasuk mengambil alih menghadapi IkalIkalan Bang.
Akibatnya, Dyah Halayuda hanya seorang diri
menghadapi Empu Nambi. Beruntung bahwa hati dan
pikiran Empu Nambi setengahnya berada di medan
pertempuran, mengendalikan seluruh pasukannya lewat
917 jalur para penghubungnya. Terlihat Empu Nambi dengan
ringannya keluar dari serangan lawannya, hanya
beberapa kali membuat tekanan-tekanan menembus
pertahanan lawannya. Namun setengah hati perlawanan Empu Nambi telah
menguras habis tenaga Dyah Halayuda. Melihat bahwa
dirinya tidak akan mampu seorang diri menghadapi
Empu Nambi, tiba-tiba saja Dyah Halayuda melompat
jauh dan menyelinap diantara keriuhan suasana
peperangan. "Manusia licik", berkata Empu Nambi yang telah
kehilangan jejak Dyah Halayuda.
Bersama hilangnya Dyah Halayuda dalam pandangan Empu Nambi, terlihat seluruh pasukan
Majapahit telah bergerak mundur dengan sebuah gelar
membentuk sebuah lingkaran cakra besar yang terus
bergerak mendekati arah hutan Ledoktempuro.
"Hari telah senja", berkata Empu Nambi dalam hati
sambil menatap mentari yang semakin surut di ujung
barat bumi. "Bila saja tidak datang senja, pasukan kita sudah
berada di ujung kemenangan", berkata Adipati Menak
Koncar yang datang mendekati Empu Nambi.
"Masih ada waktu besok, wahai putraku", berkata
Empu Nambi dengan senyum penuh kebanggaan hati
memandang putranya yang dilihatnya sangat cekatan
dan cerdas mengendalikan sayap kanan gelar perang
pasukannya. Sementara itu pasukan Majapahit sudah hampir
seluruhnya masuk kedalam hutan, dipadang Ledoktempuro itu hanya tertinggal pasukan Empu Nambi.
918 "Mari kita kembali ke benteng Randu Agung", berkata
Empu Nambi kepada Adipati Menak Koncar.
Demikianlah, wajah senja yang buram mengiringi
pasukan Empu Nambi meninggalkan padang Ledoktempuro, meninggalkan mayat-mayat musuh
mereka, membiarkan orang-orang yang terluka dari pihak
musuh mereka yang sebentar lagi akan dibawa oleh
kawan-kawan mereka sendiri.
Wajah bumi di ujung senja perlahan semakin redup,
iring-iringan pasukan Empu Nambi telah memasuki jalan
utama Kademangan Randu Agung, tanpa suara, tanpa
derap langkah kaki yang keras menghentak bumi.
Sesekali wajah mereka menyapu hamparan persawahan
yang sepi disisi perjalanan mereka.
Sementara itu pasukan Dyah Halayuda yang
memasuki hutan Ledoktempuro sudah mendekati
perkemahannya. Bukan main terkejutnya Dyah Halayuda manakala
melihat para prajurit penjaganya sudah dalam keadaan
terikat tangan dan kakinya.
"Mereka telah merampok persediaan pangan kita",
berkata salah seorang prajurit penjaga bercerita apa
yang terjadi di perkemahan tadi siang.
Terlihat wajah Dyah Halayuda seperti terbakar
merah, tidak berkata apapun selain bergeratak giginya
menahan rasa amarah yang begitu amat hebat dan
langsung menuju kearah gubuknya sendiri.
Akhirnya dengan sangat terpaksa beberapa orang
prajurit Majapahit itu harus nganglang dimalam hari
berburu di hutan untuk mempersiapkan ransum para
prajurit malam itu dan keesokan harinya.
919 Kasihan memang keadaan para prajurit Majapahit itu,
setelah seharian bertempur masih harus menunggu
cukup lama, menunggu keberuntungan teman-teman
mereka berburu di hutan. "Bukan Ki Sandikala bila tidak cerdik", berkata
Tumenggung Jala Rananggana dalam hati sambil
berbaring di gubuknya memuji kecerdikan Empu Nambi
yang sudah lama dikenalnya itu dalam masa-masa
perjuangan menghadapi para prajurit Raja Jayakatwang.
"Roda kehidupan memang sangat aneh, dulu aku dan
Empu Nambi berada dalam satu barisan, sementara saat
ini aku dan Empu Nambi berada di barisan terpisah dan
berseberangan", berkata kembali Tumenggung Jala
Rananggana dalam hati. Namun baru saja Tumenggung Jala Rananggana
memejamkan matanya yang sudah amat lelah itu, tibatiba saja datang seorang prajurit yang memintanya untuk
menghadap Mahapatih Dyah Halayuda .
"Sampaikan kepada Mahapatih, aku akan segera
menghadap", berkata Tumenggung Jala Rananggana
kepada prajurit itu. Maka tidak lama berselang terlihat Tumenggung Jala
Rananggana telah keluar dari gubuknya memenuhi
panggilan Mahapatih Dyah Halayuda.
Ternyata ketika Tumenggung Jala Rananggana
sampai di gubuk Mahapatih Dyah Halayuda, dilihatnya
sudah ada Ikal-Ikalan Bang dan beberapa perwira tinggi.
"Dalam pertempuran
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besok, aku berharap Tumenggung Jala Rananggana tetap menjadi senapati
pengapitku di sayap kiri dalam gelar Dirada Meta",
berkata Dyah Halayuda. 920 Terlihat Tumenggung menarik nafas panjang, "Yang
aku khawatirkan akhirnya terjadi juga", berkata
Tumenggung Jala Rananggana dalam hati membayangkan bahwa dalam pertempuran besok sudah
dapat dipastikan dirinya akan berhadapan dengan anak
menantunya sendiri, Adipati Menak Koncar. "Apa yang
harus kukatakan kepada kedua putra mereka bila
pedangku ternoda darah ayahnya ?", berkata kembali
Tumenggung Jala Rananggana membayangkan pertempuran yang akan dilaluinya itu.
Dan malam itu bulan belum tua di langit Kademangan
Pronojiwo, sebuah kademangan yang berada di kaki
gunung Semeru. Di saat bumi Lamajang bergelora, Kademangan
Pronojiwo menjadi tempat pengungsian bagi para warga
Lamajang yang merasa yakin bahwa peperangan tidak
akan menjalar hingga kesana. Mungkin karena letaknya
berada di ujung paling barat, terpisah oleh sebuah hutan
kecil dengan beberapa kademangan terdekatnya.
Ternyata Empu Nambi sangat memperhatikan
keselamatan para pengungsi dengan menempatkan tiga
ribu pasukannya di Kademangan Pronojiwo itu.
Rangga Pamandana oleh Empu Nambi dipercayakan
memimpin pasukan itu sebagian besar berasal dari para
prajurit pengawal Kadipaten Blambangan.
Disamping menjaga keamanan para pengungsi dan
warga Kademangan Pronojiwo, pasukan Rangga
Pamandana itu juga sebagai pasukan khusus yang
sengaja disiapkan oleh Empu Nambi terpisah dari
pasukan induknya di benteng Randu Agung, jauh dari
perhitungan dan pengamatan Mahapatih Dyah Halayuda.
Tadi siang sebagian dari pasukan Rangga 921 Pamandana telah dengan sangat mudahnya menggasak
gudang persediaan Majapahit. Dan dengan penuh
kegembiraan hasil jarahan itu langsung dibagi- bagikan
kepada para pengungsi dan para warga Kademangan
Pronojiwo. Dan malam itu nampaknya Rangga Pamandana ingin
kembali membuat sebuah kehebohan lain di perkemahan
para pasukan Majapahit. "Malam ini aku perlu seratus prajurit untuk nglanglang
di hutan Ledoktempuro", berkata Rangga Pamandana
kepada salah seorang kepala kelompok prajurit.
Maka tidak lama berselang, terlihat Rangga
Pamandana dari seratus orang prajuritnya telah keluar
dari Kademangan Pronojiwo.
Untuk menghindari pengamatan para petugas
Majapahit yang pasti telah disebar di berbagai tempat,
pasukan Rangga Pamandana tidak melewati jalan
utama, tapi memotong diantara pematang sawah menuju
hutan Ledoktempuro. "Kita buat mereka tidak tidur semalaman", berkata
Rangga Pamandana ketika mereka telah berada di
sekitar perkemahan hutan Ledoktempuro itu.
Sementara itu suasana di perkemahan sudah jauh
malam, hampir seluruh prajurit Majapahit sudah pulas
tertidur setelah lelah dan penat seharian bertempur dan
makan malam yang terbatas karena gudang persediaan
mereka telah di jarah oleh Pasukan Rangga Pamandana.
Ada lima pos gardu penjagaan di perkemahan itu,
dan di setiap waktu secara bergilir mereka berkeliling
perkemahan untuk memastikan keadaan aman terjaga.
Malam itu semilir angin terasa sangat dingin seperti
922 menusuk kulit telah membuat para penjaga di pos gardu
yang berada di ujung perkemahan duduk berhimpitan
dan tidak jauh-jauh dari perapian.
Namun salah seorang dari para penjaga itu telah
melihat di kegelapan malam seseorang tengah
menyalakan sebuah perapian.
"Mungkin seorang prajurit yang masih kelaparan,
berburu sendiri unggas di hutan", berkata salah seorang
penjaga kepada kawannya. "Mari kita dekati, siapa tahu ada unggas lebih",
berkata kawan penjaga itu.
Sementara itu beberapa kawan mereka tidak begitu
peduli dengan pembicaraan dua orang prajurit penjaga
itu, masih duduk berhimpitan di depan perapian mereka.
Tidak lama berselang kedua prajurit penjaga itu telah
mendekati orang yang tengah membuat perapian itu,
tubuh orang itu membelakangi mereka sehingga
wajahnya belum terlihat jelas.
"Pendeta menyebar benih di tanah kering", berkata
salah seorang penjaga menyebut sebuah kata sandi.
"Pendeta harusnya di pura, membaca kitab suci",
berkata orang itu sambil menambahkan ranting-ranting
kecil di perapiannya. Mendengar jawaban kata sandi dari orang itu, terlihat
keduanya mengerutkan keningnya langsung berubah
sikapnya menjadi penuh kewaspadaan meraba pedang
di pinggang masing-masing.
"Berdiri dan berbalik badan agar kami dapat melihat
wajahmu", berkata salah seorang dari penjaga itu kepada
seorang lelaki didekat mereka itu.
923 Maka terlihat lelaki itu berdiri sambil menepak-nepak
telapak tangannya yang kotor dan membalikkan
badannya. Terbelalak mata kedua penjaga itu menatap wajah
lelaki yang terlihat tersenyum memandang mereka
berdua. "Rangga Pamandana menyebut sebuah nama. !!", bersamaan keduanya Ternyata lelaki yang sendirian membuat perapian itu
adalah Rangga Pamandana, tentu saja kedua penjaga
itu mengenalnya karena tadi siang Rangga Pamandana
dan pasukannya telah menggasak habis gudang
persediaan mereka. Namun baru saja keduanya meraba gagang pedang
di pinggang, tiba-tiba saja tangan Rangga Pamandana
telah mendahuluinya bergerak dengan amat cepat sekali.
Plok, plokk !! Dua kali tangan Rangga Pamandana bergerak
menampar wajah keduanya dengan tamparan yang kuat.
Terlihat keduanya langsung limbung terlempar dan
jatuh di tanah dengan kepala terasa pening berat.
Ternyata kejadian yang menimpa kedua penjaga itu
dilihat oleh kawan-kawan mereka.
"Ada sesuatu menimpa kedua teman kita", berkata
salah seorang dari para penjaga itu sambil menunjuk
kearah kedua kawan mereka yang terjatuh itu.
Serempak delapan berloncatan berlari. orang penjaga itu telah Termangu mereka semuanya karena mengenal siapa
lelaki yang telah merobohkan kedua kawan mereka.
924 "Rangga Pamandana !!", berkata beberapa orang
masih mengenal Rangga Pamandana yang tengah
berdiri tegak sambil melayangkan senyumnya kepada
kedelapan penjaga itu. "Mengapa salah seorang dari kalian tidak
membunyikan tanda bahaya ?", bertanya Rangga
Pamandana kepada prajurit penjaga itu.
Mendengar pertanyaan dari Rangga Pamandana
para prajurit penjaga saling berpandangan membenarkan
perkataan Rangga Pamandana itu.
"Jaluk, lekas kamu bunyikan pertanda, sementara
kami akan menahan orang ini agar tidak lari", berkata
salah seorang prajurit penjaga itu kepada kawannya
yang bernama Jaluk. Terlihat Jaluk sudah langsung berlari ke gubuknya
dimana alat kentongan ada disana.
Namun bersamaan dengan itu pula, sepuluh prajurit
Rangga Pamandana telah menyelinap masuk ke
kandang kuda. "Aku tidak akan lari, mari kita memanaskan tubuh kita
di malam dingin ini", berkata Rangga Pamandana ketika
merasa yakin sepuluh orang pasukannya telah berhasil
menyelinap ke kandang kuda.
Namun baru saja Rangga Pamandana berkata,
terdengar suara kentongan tanda bahaya bergema di
malam yang sepi itu. Maka tidak lama berselang, ketujuh orang prajurit
penjaga sudah mengepung Rangga Pamandana dengan
pedang terhunus ditangan mereka.
"Kita tahan orang ini, sebentar lagi kawan-kawan kita
akan turun membantu", berkata salah seorang prajurit
925 penjaga kepada kawan-kawan mereka.
Perkataan salah seorang prajurit
menumbuhkan keberanian di hati
terlihat dua orang prajurit penjaga
telah melayangkan pedangnya
Pamandana. penjaga itu seperti kawan-kawannya, dari arah berbeda kearah Rangga "Nampaknya kalian banyak berlatih dengan patokpatok mati", berkata Rangga Pamandana sambil
bergeser selangkah. Bukan main kecewanya kedua orang penyerang itu
yang telah kehilangan sasarannya.
Namun keempat kawannya sudah langsung bergerak
menyusul menerjang Rangga Pamandana.
Demikianlah susul menyusul serangan dihadapi oleh
Rangga Pamandana, namun tidak satupun serangan
yang dapat menciderainya, Rangga Pamandana dapat
bergerak dengan cepatnya seperti tengah bermain-main
dengan bahaya, seperti tengah menunggu sesuatu.
Ternyata yang ditunggu Rangga Pamandana adalah
kedatangan para penjaga dari gardu yang lain yang
datang mendekati arah suara kentongan.
Ternyata yang ditunggu Rangga Pamandana juga
terbangunnya para prajurit Majapahit yang tengah
tertidur, terbangun dan keluar dari gubuknya langsung
berlari kearah suara kentongan bahaya.
Ketika para penjaga berlari mendekat, ketika para
prajurit terbangun dan datang mendekat, Rangga
Pamandana masih juga belum melarikan dirinya, masih
bermain-main dengan ketujuh orang penjaga yang
menyerangnya. Apa sebenarnya yang masih ditunggu oleh Rangga
926 Pamandana " Ternyata Rangga Pamandana menunggu suara
langkah kaki kuda yang panik berlari ke berbagai arah.
Luar biasa kehebohan terjadi di perkemahan pasukan
Majapahit, manakala para penjaga di beberapa pos
ronda datang mendekat, manakala beberapa prajurit
terbangun, dan disaat semua orang datang mendekati
Rangga Pamandana untuk membantu meringkusnya,
terdengarlah suara derap langkah kaki kuda tanpa
penunggangnya, kuda-kuda itu dibuat menjadi panik oleh
pasukan Rangga Pamandana yang telah menyelinap ke
kandang kuda, membuka lebar-lebar kandang kuda.
Semua mata tertuju kearah kuda-kuda yang berlari
tanpa arah, ratusan kuda berlari bersama ke segala arah
penjuru bahkan ada yang berlari berlawanan arah
dengan beberapa prajurit yang baru datang.
Suasana perkemahan yang semula sepi berubah
menjadi suara riuh yang ramai, suara derap, suara
ringkik kuda dan suara orang berteriak.
"Kejar dan tangkap kuda-kuda itu !!", berteriak
beberapa orang tengah mengejar kuda-kuda mereka.
Itulah kehebohan yang tengah ditunggu oleh Rangga
Pamandana, sesaat tiada ada prajurit Majapahit yang
memperhatikannya, sesaat itu dipergunakan Rangga
Pamandana untuk melarikan dirinya menghilang di
kegelapan hutan. Ternyata Rangga Pamandana tidak pergi jauh-jauh
dari perkemahan itu, masih bersembunyi di dalam
kegelapan hutan Ledoktempuro.
Apakah masih ada kehebohan lain yang ditunggu
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh Rangga Pamandana "
927 Ternyata ketika para penjaga meninggalkan pos
gardu penjagaan mereka, manakala beberapa prajurit
terbangun mendengar suara kentongan bahaya dan
langsung keluar meninggalkan gubuk-gubuk mereka,
maka disaat itulah beberapa pasukan Rangga
Pamandana telah mendekati gubuk-gubuk kosong yang
telah ditinggalkan oleh penghuninya.
Dari tempat kejauhan, Rangga Pamandana melihat
api mulai menjalar membakar beberapa buah gubuk di
perkemahan pasukan Majapahit.
Laksana sebuah perapian besar di malam gelap yang
dingin, lidah kobaran api begitu cepat membakar batang
kayu gubuk bahkan telah merambat menjilat gerumbul
dan semak-semak hutan di sekelilingnya.
Rangga Pamandana tersenyum melihat para prajurit
Majapahit bahu membahu memadamkan api agar tidak
merambat ke gubuk lainnya.
"Apakah ada orang kita yang tertinggal?", bertanya
Rangga Pamandana kepada beberapa orang prajuritnya,
memastikan bahwa jumlah mereka lengkap tidak satupun
yang berkurang. Akhirnya setelah merasa yakin tidak ada seorang pun
yang tertinggal, Rangga Pamandana mengajak
pasukannya kembali ke Kademangan Pronojiwo.
Beberapa prajurit merasa bangga atas kepedulian
Rangga Pamandana itu, merasa dinaungi dan dilindungi
oleh pimpinan mereka sendiri.
"Mari kita kembali ke Kademangan Pronojiwo",
berkata Rangga Pamandana kepada para prajuritnya.
Sebagaimana mereka berangkat, ketika kembali
menuju arah Kademangan Pronojiwo mereka tidak
928 melewati jalan utama, tapi menyusuri persawahan yang
kering ditumbuhi banyak semak dan rerumputan.
Dan tengah perjalanan, Rangga Pamandana telah
mengutus seorang prajuritnya ke benteng Randu Agung
untuk menyampaikan berita kepada Empu Nambi tentang
apa yang terjadi atas perkemahan pasukan Majapahit di
hutan Ledoktempuro. Sementara itu kebakaran di perkemahan pasukan
Majapahit tidak bisa dipadamkan dan telah menjalar
semakin membesar melahap habis perkemahan mereka.
Dan malam itu dengan sangat terpaksa para prajurit
Majapahit beristirahat di bawah langit terbuka.
"Rangga Pamandana, dua kali orang itu membuat
keonaran", berkata Mahapatih Dyah Halayuda dengan
kata-kata penuh kemarahan.
"Besok pagi, prajurit kita tidak siap menghadapi
pertempurannya. Apakah sebaiknya kita mundur kembali
ke Kademangan Japan?", berkata Tumenggung Jala
Rananggana kepada Mahapatih.
Namun ketinggian hati Mahapatih telah membuatnya
tidak lagi dapat berpikir jernih, baginya peperangan ini
adalah peperangan antara dua orang patih kerajaan
Majapahit, dan dirinya telah berjanji kepada Raja
Jayanagara untuk dengan segera membawa Empu
Nambi, hidup atau mati. "Besok kita tetap bertempur menghadapi musuh di
padang Ledoktempuro, katakan kepada prajurit bahwa
bila mereka ingin makan, mereka harus mengalahkan
musuh hari itu juga", berkata Mahapatih dengan
ketinggian hatinya tidak mengindahkan usulan Tumenggung Jala Rananggana.
929 Seandainya Mahapatih Dyah Halayuda menerima
usulan Tumenggung Jala Rananggana, seandainya
membuang jauh-jauh rasa ketinggian hatinya, mau
berpikir jernih memahami keadaan para prajuritnya,
persediaan pangannya yang menipis serta istirahat yang
sangat kurang, pastinya Mahapatih Dyah Halayuda akan
memutuskan lain. Dan seandainya malam itu Dyah Halayuda melihat
apa yang tengah dilakukan oleh pasukan Empu Nambi di
benteng Randu Agung, pastinya Dyah Halayuda akan
berpikir lain. Malam itu Dyah Halayuda tidak mengetahui bahwa
pasukan Empu Nambi di benteng Randu Agung tengah
bersiap diri bergerak di dini hari, bergerak langsung
menyerang pasukan Dyah Halayuda langsung di hutan
Ledoktempuro. Berawal dari utusan Rangga Pamandana yang telah
bertemu langsung dengan Empu Nambi, menyampaikan
apa yang telah dilakukan oleh Pasukan Rangga
Pamandana di perkemahan pasukan Majapahit itu.
Maka malam itu juga Empu Nambi telah
membangunkan prajuritnya yang bertugas di dapur
umum untuk menyiapkan makanan untuk pasukannya
yang sengaja belum dibangunkan agar dapat beristirahat
dengan cukup. Manakala ransum para prajurit sudah siap, malam
sudah berada di tiga perempat malam, barulah Empu
Nambi membangunkan para prajuritnya, mengisi
perutnya agar memberikan kekuatan baru. Demikianlah,
di penghujung malam yang masih gelap dan dingin,
terlihat pasukan Empu Nambi telah keluar dari regol pintu
gerbang benteng Randu Agung.
930 Iring-iringan pasukan Empu Nambi yang berbaris
panjang terlihat seperti seekor ular naga raksasa
merayap di jalan utama Kademangan Randu Agung.
Cahaya obor ditangan setiap prajurit seperti sisik-sisik
emas yang menyala-nyala bergerak di malam gelap itu.
Demikianlah, laksana seekor ular naga raksasa di
malam gelap, pasukan besar itu telah merayap bergerak
terus hingga akhirnya telah berada di ujung timur
Kademangan Randu Agung. "Buka mata kepalamu lebar-lebar, barisan hantukah
yang kamu lihat bergerak di padang Ledoktempuro itu?",
berkata seorang prajurit Majapahit yang ditugaskan
mengamati keadaan di ujung hutan Ledoktempuro
kepada kawannya sambil menunjuk kearah padang
Ledoktempuro. "Mereka bukan barisan hantu, tapi sebuah pasukan
besar yang tengah bergerak", berkata kawannya
memastikan. "Nampaknya mereka mengarah ke hutan ini,
malapetaka besar akan menimpa pasukan kita", berkata
kembali petugas pengamat itu kepada kawannya.
Demikianlah, terlihat kedua petugas pengamat itu
telah langsung berbalik badan berlari masuk kedalam
hutan. Bukan main terkejutnya Dyah Halayuda mendengar
berita dari dua orang petugas pengamatnya tentang
sebuah pasukan besar yang tengah menuju ke hutan
Ledoktempuro. Tak ada dalam pikirannya sedikit pun
bahwa Empu Nambi telah mengambil kesempatan
menyerang pasukannya di malam itu juga.
"Ternyata Empu Nambi seorang manusia licik yang
931 kukenal di dunia ini", berkata Dyah Halayuda penuh
amarah di hadapan Tumenggung Jala Rananggana dan
Ikal-Ikalan Bang. Bila saja ada cahaya yang menerangi wajah
Tumenggung Jala Rananggana saat itu, pasti akan
terlihat sedikit senyum nyinyir yang menertawakan diri
Mahapatih Dyah Halayuda seakan berkata. "kamulah
manusia terbodoh yang kukenal di dunia ini". Namun
yang keluar dari bibir Tumenggung Jala Rananggana
berbeda dengan apa yang ada didalam hatinya, "Masih
ada waktu untuk menyelamatkan pasukan kita,
menyingkir keluar dari hutan ini", berkata Tumenggung
Jala Rananggana kepada Dyah Halayuda.
"Tidak, tidak, tidak !!, kita bukan sekumpulan tikus
sawah, tapi sekumpulan pasukan Majapahit yang punya
harga diri tinggi. Kita tidak akan lari setapak pun, kita
hadapi mereka", berkata Dyah Halayuda kepada
Tumenggung Jala Rananggana.
"Bila memang itu keputusan Mahapatih, aku pamit diri
untuk menyiapkan pasukanku", berkata Tumenggung
Jala Rananggana berpamit diri kepada Dyah Halayuda
sebelum isi perutnya seperti ingin muntah merasa sangat
muak melihat sikap Dyah Halayuda yang sangat tinggi
hati itu. "Ikal-Ikalan Bang, apakah kamu juga punya pikiran
yang sama seperti Tumenggung pengecut itu?", berkata
Dyah Halayuda kepada Ikal-Ikalan Bang ketika
Tumenggung Jala Rananggana telah jauh dari mereka
berdua. Terlihat Ikal-Ikalan Bang tidak langsung menjawab,
hati dan pikirannya diam-diam membenarkan usulan
Tumenggung Jala Rananggana.
932 "Menurutku, pasukan kita memang tidak punya
kesiapan untuk menghadapi musuh", berkata Ikal-Ikalan
Bang "Enyahlah kamu dari hadapanku", berkata Dyah
Halayuda penuh kemarahan.
Tanpa berkata apapun, terlihat Ikal-Ikalan Bang telah
berbalik badan meninggalkan Dyah Halayuda seorang
diri. Ikal-Ikalan Bang dan Tumenggung Jala Rananggana
memang seperti tengah digayuti kebimbangan hati,
mengikuti kebenaran pikirannya atau mengikuti Senapati
Agung mereka yang tinggi hati dan sangat keras kepala
itu yang berujung kehancuran pasukannya sendiri, para
prajurit Majapahit yang berada dibawah kendalinya
selama ini, yang sebagian besar sudah menyatu dengan
kehidupannya, yang dikenal juga secara kesehariannya,
yang dikenal juga para keluarganya. Sementara saat itu
demi kesetiaannya kepada perintah sang Mahapatih
harus membiarkan prajuritnya masuk ke jurang
kematiannya. "Persiapkan prajurit kalian", berkata Tumenggung
Jala Rananggana kepada para perwira tingginya.
Ternyata para prajurit Majapahit dapat diandalkan,
mereka nampaknya sudah terlatih untuk siap siaga
menghadapi berbagai macam keadaan darurat, terlihat
mereka dengan sigap telah bergabung dalam kesatuan
masing-masing. Terlihat semua obor di perkemahan itu sudah
dimatikan, gelap pekat memenuhi suasana di
perkemahan itu. Dan ribuan mata dengan hati mencekam
menanti dengan perasaan berdebar kehadiran musuh di
kegelapan malam. 933 "Gila, mereka datang dengan jumlah dua kali lipat
dari kemarin", berkata Dyah Halayuda manakala melihat
puluhan ribu obor telah muncul di kegelapan hutan
malam. Ternyata siasat Empu Nambi dapat mengelabui
penglihatan musuhnya, menggetarkan perasaan musuhnya seakan-akan jumlah prajuritnya berlipat
ganda. Padahal yang bertambah adalah obor ditangan
para prajurit Lamajang dimana setiap orang membawa
dua buah obor. Suasana di tengah Hutan Ledoktempuro itu menjadi
semakin mencekam manakala obor ditangan prajurit
Lamajang telah dimatikan. Para prajurit Lamajang seperti
menghilang di kegelapan malam.
Berdebar perasaan sebagian
besar prajurit Majapahit, mereka seperti menghadapi prajurit hantu
yang dapat seketika muncul dihadapan mereka, atau
bahkan dapat muncul seketika dari arah belakang
mereka sendiri. Kegelisahan itulah yang tengah melanda sebagian
para prajurit Majapahit di kegelapan malam menanti
dengan hati dan perasaan cemas kemunculan musuh
mereka. Kegelisahan para prajurit Majapahit akhirnya
terpecahkan bersama desir ribuan suara anak panah
berapi yang datang arah depan mereka.
Serangan anak panah berapi yang datang dengan
sangat tiba-tiba itu benar-benar membuat para prajurit
Majapahit menjadi sangat panik, ratusan orang tidak
dapat menghindarinya lagi telah terluka terkena anak
panah berapi. 934 Serangan anak panah yang membabi buta itu
ternyata hanya sebuah permulaan awal kejutan, karena
kejutan-kejutan lainnya ternyata datang tidak kalah
hebatnya karena selang waktu yang amat singkat setelah
hujan anak panah berapi itu telah terdengar suara riuh
bergemuruh pasukan Empu Nambi yang datang dan
muncul dengan sangat tiba-tiba sekali dari arah kanan
dan kiri pasukan Majapahit.
Disinilah terlihat kecerdasan Empu Nambi sebagai
seorang senapati perang yang sangat ulung, dapat
memanfaatkan medan kegelapan hutan menjadi
berpihak kepada pasukannya.
Ternyata setelah memerintahkan pasukannya untuk
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mematikan obor yang menyala, Empu Nambi
memisahkan pasukannya dalam tiga kelompok besar,
satu kelompok diam ditempat sebagai pasukan
pemanah, sementara dua kelompok lainnya bergerak
bergeser ke kiri dan ke kanan perkemahan musuh.
Maka ratusan prajurit Majapahit telah menjadi korban,
mulai dari terkena panah hingga menjadi tunggul-tunggul
sasaran pedang pasukan Empu Nambi yang datang dari
arah kegelapan malam. Luar biasa, dalam waktu yang amat singkat itu
sepertiga pasukan Majapahit menyusut tajam tidak
mampu menahan gelombang serangan pasukan Empu
Nambi yang datang dari tiga penjuru arah kegelapan
malam. "Jangan terpecah dari kelompok kalian", berkata
Tumenggung Jala Rananggana ditengah kepanikan para
prajuritnya. Ternyata teriakan Tumenggung Jala Rananggana
telah menyadarkan prajuritnya, mereka pun langsung
935 bersatu padu menghadapi gelombang terjangan lawanlawan mereka.
Sementara itu di sisi lainnya, Ikal-Ikalan Bang juga
telah dapat membangkitkan kesadaran para prajuritnya
untuk tidak panik, menyatukan kelompok-kelompoknya
kembali. Namun kemenangan awal telah berpihak kepada
pasukan Empu Nambi, pasukan Majapahit yang telah
menyusut tajam itu seperti tidak mampu lagi menahan
arus gelombang serangan pasukan Empu Nambi yang
menjepit dari tiga penjuru itu.
"Kita bertemu lagi, wahai Mahapatih Majapahit",
berkata Empu Nambi yang dapat menerobos medan
pertempuran menemui Mahapatih Dyah Halayuda.
"Tidak perlu susah payah mencarimu, wahai
pemberontak", berkata Dyah Halayuda mencoba
menutupi rasa gentarnya mengingat dalam pertempuran
sebelumnya dirinya mengakui tenaga lawannya yang
sangat kuat seperti membentur gunung karang itu.
Ternyata Empu Nambi tidak dapat dikelabui dengan
sebuah gertakan, dirinya dapat membaca apa yang ada
dalam pikiran Dyah Halayuda sebenarnya.
"Panggil dua atau tiga orang perwiramu, agar kamu
dapat bersembunyi dari setiap seranganku", berkata
Empu Nambi sambil tersenyum memandang Dyah
Halayuda. Ternyata Dyah Halayuda berhati picik dan tidak
punya rasa malu, tiba-tiba saja telah bersuit panjang
memanggil para perwiranya.
Tidak tanggung-tanggung, enam orang perwira telah
datang siap membantunya. 936 "Di kegelapan malam ini tidak ada yang melihat
dirimu, bersiaplah untuk mati", berkata Dyah Halayuda
sambil memberi perintah kepada para perwiranya
langsung menerjang kearah Empu Nambi.
Memang tidak seorang pun yang melihat keberadaan
Empu Nambi, semua orang tengah menghadapi lawan
masing-masing dalam sebuah perang brubuh tanpa gelar
perang di kegelapan malam di hutan Ledoktempuro.
Tapi Empu Nambi tidak surut menghadapi Dyah
Halayuda dan pembantunya itu, dengan lincah dan gesit
melepaskan diri dari kepungan-kepungan mereka bahkan
beberapa kali dapat membalas serangan yang cukup
berbahaya. Sementara itu tidak terasa cahaya pagi sudah mulai
merayapi hutan Ledoktempuro.
Mata para prajurit sudah mulai dapat melihat
rerumputan hijau, batang-batang kayu, semak belukar
dan tentunya hingar-bingar suasana peperangan yang
terlihat semakin nyata. Namun kemenangan di serangan awal menjadi
pertanda kemenangan-kemenangan berikutnya bagi
pasukan Empu Nambi. Terdengar untuk pertama kali
suara sorak sorai dari sebuah kelompok pasukan Empu
Nambi yang telah dapat menundukkan kelompok
lawannya. Suara sorak sorai itu benar-benar menciutkan hati
dan perasaan para prajurit Majapahit.
Dan kembali suara sorak sorai terdengar dari belahan
lain, suara sorak sorai dari kelompok pasukan Empu
Nambi benar-benar membuat hati dan perasaan pasukan
Majapahit semakin menguncup.
937 Sementara sorak sorai kemenangan dari dua
kelompok pasukan Empu Nambi itu telah menambah
semangat pasukan Empu Nambi yang mendengarnya,
seperti ingin secepatnya menyelesaikan pertempuran
mereka dan berteriak bersorak sorai sebagaimana
kawan-kawan mereka itu. "Tumenggung Jala Rananggana benar, pasukanmu
akan habis binasa semuanya", berkata Empu Nambi
sambil tertawa mendengar salah seorang penghubung
Dyah Halayuda yang membawa pesan dari Tumenggung
Jala Rananggana untuk membawa pasukannya mundur.
"Aku akan mundur setelah dapat membunuhmu
terlebih dahulu", berkata Dyah Halayuda sambil mengejar
kearah Empu Nambi yang tengah menghadapi dua orang
perwiranya. Trang, trangg !! Sambil keluar melompat dari serangan dua orang
lawannya, Empu Nambi harus menangkis serangan
trisula kembar di tangan Dyah Halayuda.
Seketika itu juga Dyah Halayuda merasakan dirinya
terdorong dua langkah dan masih merasakan kepedihan
kedua telapak tangannya akibat benturan cakra Empu
Nambi yang telah dilambari tenaga sakti sejatinya amat
kuat itu. Beruntung empat orang perwira Majapahit sudah
datang menghadang menghalangi Dyah Halayuda dari
Empu Nambi yang melangkah mendekatinya.
Namun Empu Nambi terlihat merasa ringan-ringan
saja menghadapi keempat perwira itu, juga ketika dua
orang perwira lainnya, bahkan ketika Dyah Halayuda
sudah tatag kembali ikut bergabung mengeroyok Empu
938 Nambi. "Lihatlah pasukanmu sudah semakin menyusut",
berkata Empu Nambi kepada Dyah Halayuda sambil
bergerak menghindari dua orang penyerangnya.
Ternyata sambil menghadapi Dyah Halayuda dan
para perwiranya, Empu Nambi masih sempat melihat
secara keseluruhan suasana pertempuran di hutan
Ledoktempuro itu. Sebagaimana yang dilihat oleh Empu Nambi,
pasukan Majapahit yang dijepit dari tiga penjuru itu
memang semakin menyusut jumlahnya.
Nampaknya semangat pasukan Majapahit sudah
terlihat semakin rapuh, mungkin karena istirahat serta
makan yang sangat terbatas benar-benar mempengaruhi
kesiapan lahir dan bathin pasukan yang berada dalam
kepemimpinan Mahapatih Dyah Halayuda itu.
Sementara itu pasukan Empu Nambi seperti seekor
ayam aduan yang giras baru keluar dari kurungan sang
pawang perawat ayam aduan, tandang pasukan Empu
Nambi benar-benar menguasai semua garis pertempurannya. Suasana pertempuran yang sudah terlihat pincang di
pihak pasukan Majapahit itu telah membuat Tumenggung
Jala Rananggana harus selalu berada di tengah-tengah
kelompoknya memberikan arahan dan pengendaliannya
yang diyakini lambat tapi pasti akan hancur binasa dalam
kekalahan yang besar. Namun dengan sangat gigihnya
Tumenggung Jala Rananggana selalu mendatangi
kelompoknya yang dilihatnya mendapatkan tekanan
pihak musuh. "Cakramu benar-benar sangat mengerikan, wahai
939 anak menantuku", berkata Tumenggung Jala Rananggana kepada seorang lelaki dengan senjata
cakra ditangannya yang sangat menggiriskan hati telah
melemparkan begitu banyak korban di pihak pasukan
Majapahit. Ternyata lelaki bersenjata cakra yang dipanggil
sebagai anak menantu oleh Tumenggung Jala
Rananggana itu tidak lain adalah Adipati Menak Koncar.
"Ternyata Ananda hari ini telah salah menempatkan
diri berada di pasukan ini", berkata Adipati Menak Koncar
berdiri mematung penuh rasa kebimbangan.
"Anak menantu tidak salah berdiri, tapi peperangan
inilah yang salah sehingga kita satu keluarga harus
berdiri berseberangan", berkata Tumenggung Jala
Rananggana kepada Adipati Menak Koncar.
"Ananda merasa berat mengangkat cakra ini",
berkata Adipati Menak Koncar
"Ayah mertuamu juga seperti berat mengangkat
pedang ini, takut melukaimu", berkata Tumenggung Jala
Rananggana. "Bila demikian aku akan mencari lawan lain", berkata
Adipati Menak Koncar sambil melangkah menjauhi ayah
mertuanya itu. "Lindungi dirimu dari pedang musuh, wahai anak
menantuku", berkata Tumenggung Jala Rananggana
sambil melompat ke garis pertempuran yang berlawanan
arah dengan anak menantunya itu.
Dan tidak lama kemudian sorak sorai terdengar dari
pihak pasukan Empu Nambi, terdengar dari arah Adipati
Menak Koncar menempatkan dirinya.
Suara sorak sorai pasukan Empu Nambi itu seperti
940 merobek-robek hati dan perasaan Tumenggung Jala
Rananggana, mengiris-iris hatinya yang tengah
diombang-ambingkan oleh gelombang kebimbangan
antara kecintaannya kepada pasukannya dan kasih
sayangnya kepada ayah dua orang cucu tercintanya,
Adipati Menak Koncar. Ingin rasanya Tumenggung Jala Rananggana
langsung melompat membantu pasukannya yang tengah
mendapatkan tekanan, tapi bersamaan itu pula
terbayang wajah dua orang cucu tercintanya seperti
menahannya. Sementara itu Empu Nambi masih seperti bermainmain menghadapi Dyah Halayuda dan keenam perwira
yang membantu mengeroyoknya.
"Biarkan diriku seorang diri menghadapi mereka",
berkata Empu Nambi kepada setiap orang yang datang
untuk meringankan dirinya itu.
Pandangan dan senyum Empu Nambi ternyata
seperti sirep membuat siapapun langsung menuruti
permintaan Empu Nambi mencari pertempuran lain.
"Lihatlah pasukanmu akan tergilas habis, aku beri
kesempatan pasukanmu mundur keluar dari pertempuran
ini", berkata Empu Nambi kepada Dyah Halayuda.
"Aku tidak akan mundur sebelum melihat
bangkaimu", berkata Dyah Halayuda sambil menerjang
bersama-sama perwira pembantunya.
Namun dengan sigap dan lincah Empu Nambi sudah
begitu cepat berkelit menghindar dan langsung
menerjang membuat serangan balasan kepada salah
seorang perwira. Ternyata perwira itu tidak siap dan lengah 941 mendapatkan serangan yang tiba-tiba saja terarah
kepadanya. Prakk !!! Tempurung kaki kanan perwira itu terbentur cakra
Empu Nambi yang meluncur begitu cepat dan tiba-tiba
itu. Terlihat perwira itu terlempar jatuh dan bergulingan
merasakan sakit yang amat sangat di bagian tulang
tempurung kakinya yang remuk.
Ciut seketika perasaan Dyah Halayuda dan kelima
orang sisa perwira pembantunya itu melihat keampuhan
serangan Empu Nambi yang sangat tiba-tiba itu, benarbenar seperti terjangan batu karang di tanah curam,
meluncur tak mampu di hindari oleh siapapun.
"Kalian tidak akan mampu menahan kerasnya
cakraku ini, tapi kalian juga tidak akan mampu menahan
tiga ribu pasukan cadanganku yang datang dari arah
belakangmu", berkata Empu Nambi sambil berdiri tegak.
Ternyata Empu Nambi tidak sekedar berkata
sesumbar, Dyah Halayuda yang terlatih pendengarannya
telah mendengar suara sorak sorai yang datang bukan di
arena pertempuran, tapi dari arah belakang mereka
meski masih sangat jauh. "Kamu benar-benar licik, Empu Nambi", berkata Dyah
Halayuda dengan gemeretak gigi menahan rasa amarah
yang amat sangat. Sementara itu suara sorak sorai dari kejauhan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin santer terdengar, semakin mendekat meruntuhkan semangat bertempur pasukan Majapahit.
"Dengar dan pasang telingamu, siapa yang datang",
berkata Empu Nambi sambil tersenyum berdiri tegak
942 penuh percaya diri yang tinggi.
Ternyata suara sorai pasukan yang datang itu
terdengar semakin jelas. "Kami pasukan dari Blambangan, sisakan kami
musuh !!", demikian suara itu bergema semakin jelas
terdengar mendekati arah pertempuran.
"Pasti kamu sudah pernah mengenal pimpinan
pasukan cadanganku itu, dialah Rangga Pamandana",
berkata Empu Nambi masih dengan senyumnya.
Cahaya matahari terlihat berada di puncak
cakrawala, itulah pertanda panggilan untuk datang
pasukan cadangan yang sudah diatur oleh Empu Nambi
membawa tenaga dan nafas baru bagi pasukannya.
Akhirnya suara sorak sorai pasukan cadangan yang
di pimpin oleh Rangga Pamandana itu terdengar begitu
jelas berputar-putar diantara batang-batang pepohonan
dan mengisi seluruh arena pertempuran di hutan
Ledoktempuro itu. "Kami pasukan dari Blambangan, sisakan kami
musuh", demikian sorak sorai suara pasukan cadangan
itu menciutkan hati setiap jiwa prajurit Majapahit
terdengar semakin jelas. Dan akhirnya suara sorak sorai itu berhenti berganti
menjadi suara gemuruh air bah yang tumpah membanjiri
arena pertempuran dari arah belakang pasukan
Majapahit. Pasukan yang baru datang itu memang seperti
sebuah air bah yang tumpah, langsung meluluh
lantakkan beberapa orang pasukan Majapahit yang
berbalik badan menghadang mereka.
Jiwa dan semangat prajurit Majapahit sudah semakin
943 rapuh, berharap sebuah seruan mundur yang tidak juga
kunjung datang. Disaat yang sangat genting itu, tiba-tiba saja
sepasukan prajurit yang dipimpin oleh Tumenggung Jala
Rananggana datang dengan gelar perang Cakra Byuha
nya menerobos ke tengah-tengah pertempuran.
"Lupakan masalah harga dirimu, kuberi kesempatan
pasukanmu mundur", berkata Empu Nambi kepada Dyah
Halayuda. "Jangan sombong, aku pasti datang kembali
membawamu hidup atau mati", berkata Dyah Halayuda
yang langsung masuk menerobos kedalam lingkaran
barisan cakranya. "Maafkan bila aku lancang mengambil alih perintah
untuk mundur", berkata Tumenggung Jala Rananggana
kepada Dyah Halayuda yang baru masuk bersama
beberapa prajurit lainnya.
"Kali ini kamu benar", berkata Dyah Halayuda kepada
Tumenggung Jala Rananggana.
Maka dalam waktu yang amat singkat, lingkaran
cakra yang pimpin oleh Tumenggung Jala Rananggana
itu semakin membesar menyerap seluruh prajurit
Majapahit masuk kedalamnya.
Gelar perang cakra Byuha memang sebuah gelar
perang pertahanan yang amat kuat, orang sakti manapun
tidak akan berani coba-coba memasukinya. Dan setiap
prajurit di tataran paling rendah sekalipun pasti sudah
tahu bahwa itulah sebuah gelar perang mundur
menyelamatkan pasukan yang tersisa dari kehancurannya. "Biarkan mereka mundur", berkata Empu Nambi
944 kepada pasukannya manakala melihat lingkaran cakra
pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Tumenggung Jala
Rananggana itu bergerak mundur kearah utara hutan
Ledoktempuro. Mendengar seruan Empu Nambi, seluruh prajurit
Lamajang telah membiarkan pasukan musuh bergerak
menjauhi arena pertempuran.
Akhirnya pasukan Majapahit itu telah jauh terpisah
masuk kearah utara hutan Ledoktempuro dan
menghilang di kelebatan hutan rimba.
"Mereka pergi meninggalkan kawan-kawannya yang
mati dan terluka", berkata Empu Nambi kepada Adipati
Menak Koncar. "Kami akan segera memerintahkan sebagian
pasukan untuk menolong mereka yang terluka", berkata
Adipati Menak Koncar seperti paham makna perkataan
ayahandanya itu. Maka tidak lama berselang terlihat beberapa orang
turun menolong para korban peperangan itu, tidak
melihat musuh atau kawan lagi, nilai-nilai naluri
kemanusiaan telah mulai hidup kembali di ujung
pertempuran itu yang nyaris merubah manusia menjadi
sekelompok hewan buas yang saling menggeram
menunjukkan taring dan cakarnya yang amat tajam dan
runcing, membunuh atau terbunuh. Hanya itulah yang
ada dalam pikiran setiap manusia di sebuah medan
pertempuran. Dan sangkala terlihat redup sembunyi di kelebatan
hutan Ledoktempuro manakala beberapa orang tengah
memisahkan mayat-mayat korban pertempuran itu,
memisahkan mayat kawan dan mayat musuh mereka
untuk dikebumikan di tempat terpisah. Mayat-mayat
945 pasukan Majapahit nampaknya telah langsung dikebumikan di hutan Ledoktempuro, sementara mayat
prajurit Lamajang mereka bawa kembali ke kampung
halaman masing-masing dengan maksud pihak keluarga
mereka masih dapat melihat wajah saudara, anaknya
atau kekasihnya untuk yang terakhir kalinya.
"Mari kita kembali ke Benteng Randu Agung", berkata
Empu Nambi kepada putranya.
Terdengar suara Adipati Menak Koncar yang
mengguntur memberi aba-aba pasukannya untuk
bergerak. Suara itu terdengar bergema berputar-putar
diantara batang-batang pohon hutan Ledoktempuro.
Maka terlihatlah iring-iringan pasukan segelar
sepapan pasukan Empu Nambi telah bergerak
menerobos hutan Ledoktempuro seperti seekor ular naga
raksasa besar meliuk-liuk diantara bebatuan dan pohonpohon besar semakin jauh meninggalkan sisa
perkemahan yang hangus terbakar.
Keesokan harinya, berita tentang kemenangan
pasukan Empu Nambi yang gilang gemilang itu telah
membuat gembira semua warga di bumi Lamajang,
mereka langsung turun gunung kembali ke kampung
halaman masing-masing setelah beberapa hari hidup
ditempat pengungsian. Namun kepada para penduduknya, Adipati Menak
Koncar memberitahukan bahwa peperangan masih
belum berakhir, pasukan Majapahit akan datang kembali
dalam jumlah yang lebih besar lagi.
"Kapan pasukan Majapahit akan datang kembali
belum dapat kita pastikan, untuk sementara kalian dapat
pulang ke rumah masing-masing, bercocok tanam atau
beternak, kami akan terus berjaga dan memantau
946 keadaan. Hingga bila saatnya kembali terjadi
peperangan tidak akan membawa banyak korban,
terutama para orang tua, para wanita dan anak-anak
kita", berkata Adipati Menak Koncar kepada para
bebahunya. Demikianlah, Adipati Menak Koncar dan pasukannya
telah kembali ke Kadipaten Lamajang, sementara
pasukan gabungan Empu Nambi yang berasal dari
Kadipaten Blambangan dan berbagai daerah di
Jawadwipa dan Balidwipa tetap berada di benteng
Randu Agung. "Lumbung padi di benteng Randu Agung ini masih
berlimpah, sebagai cadangan kuserahkan lahan
persawahan yang luas milik kakek buyutku untuk digarap
bersama", berkata Kuda Anjampiani kepada Empu
Nambi. "Terima kasih, kamu sudah banyak berkorban untuk
kami", berkata Empu Nambi kepada Kuda Anjampiani.
"Kakekku selalu berkata bahwa hidup di dunia ini
sangat singkat, kita harus pandai-pandai memilih dimana
seharusnya kita berpijak, dan aku merasa telah berpijak
ditempat yang benar, berjuang bersama Empu Nambi",
berkata Kuda Anjampiani. "Kakekmu sangat benar, wahai Kuda Anjampiani.
Hidup di dunia ini memang sangat singkat.
Berbahagialah mereka yang banyak menabung
kebajikan di kehidupannya yang amat singkat ini",
berkata Empu Nambi dengan wajah penuh berseri-seri
kepada Kuda Anjampiani. Demikianlah, sejak saat itu Empu Nambi seperti telah
kembali menjadi seorang guru suci sebagaimana dulu
kala sebelum menjadi pejabat Patih Amangkubumi di
947 istana Majapahit. Hampir setiap malam Empu Nambi
memberikan pencerahan lahir dan bathin kepada
pasukan gabungannya yang berkumpul di benteng
Randu Agung itu. Para pasukan gabungan yang berasal dari berbagai
tempat itu menjadi kerasan tinggal bersama di benteng
Randu Agung seperti layaknya di sebuah padepokan, di
siang hari mereka bekerja di sawah ladang untuk
mencukupi kehidupan mereka sendiri, sementara
dimalam harinya mereka menggarap lahan akal budi
mereka, menyemai rasa, citra makna hakekat hidup yang
selalu dirawat agar terus tumbuh berkembang lewat
siraman rohani lahir dan bathin oleh sang guru suci,
Empu Nambi. Sementara itu pasukan Mahapatih Dyah Halayuda
saat itu masih berada di Kademangan Japan menunggu
bala bantuan dari Kotaraja Majapahit untuk mengganyang kembali bumi Lamajang.
Nampaknya kekalahan pasukan Majapahit oleh
pasukan Empu Nambi telah membuat Raja Jayanagara
merasa tercoreng citranya sebagai seorang raja agung
yang sangat dihormati. Dan ingin membuktikan
kebesaran pasukan Majapahit yang kuat dengan
menurunkan laskar yang besar untuk menundukkan bumi
Lamajang. Rencana penyerangan ke bumi Lamajang dilaksanakan lebih cermat lagi dengan membangun jalur
lumbung-lumbung persediaan pangan pasukan Majapahit di beberapa tempat sepanjang perjalanan
antara Kotaraja Majapahit menuju bumi Lamajang.
Sementara kesatuan pasukan yang dikirim bergabung
dengan pasukan Mahapatih yang masih berada di
Kademangan Japan saat itu adalah sebuah pasukan dari
948 kesatuan Jala Pati, sebuah kesatuan pasukan khusus
yang sangat disegani di Kerajaan Majapahit yang
dipimpin oleh seorang Tumenggung yang sangat
mumpuni, cerdas dan punya pengalaman yang luas
menghadapi berbagai macam jenis pertempuran, di
tempat terbuka maupun di kelebatan hutan rimba.
"Peta kekuatan di Kotaraja Majapahit akan menjadi
berimbang bilamana kesatuan pasukan Jala Pati datang
bergabung bersama pasukan Mahapatih di Kademangan
Japan", berkata Ki Bancak kepada Empu Nambi
menyampaikan suasana di Kotaraja Majapahit.
"Seberapa besar kekuatan pasukan bayangan yang
dimiliki oleh Ra Kuti ?", bertanya Empu Nambi kepada Ki
Bancak. "Setara dengan kekuatan kesatuan pasukan Jala
Yudha di benteng Tanah Ujung Galuh", berkata Ki
Bancak. "Aku berharap Tumenggung Mahesa Semu dapat
menggalang kekuatan lain selain kesatuan pasukan Jala
Yudha di benteng Tanah Ujung Galuh", berkata Empu
Nambi kepada Ki Bancak. "Pasukan khusus yang dipimpin oleh Nyi Nariratih
dan pasukan Bhayangkara telah menyediakan dirinya
berjuang bersama Tumenggung Mahesa Semu", berkata
Ki Bancak. "Kemampuan perorangan prajurit di Pasukan Srikandi
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan pasukan Bhayangkara dapat diandalkan", berkata
Empu Nambi penuh kegembiraan hati membayangkan
masih ada kekuatan lain yang dapat menjadi benteng
terakhir menyelamatkan istana Majapahit. "Katakan
kepada Tumenggung Mahesa Semu agar jangan lengah
sedikitpun, selalu membayangi gerakan Ra Kuti. Banyak
949 kemungkinan bisa terjadi bahwa Ra Kuti bergerak lebih
cepat lagi mendahului Mahapatih merebut kekuasaan di
istana Majapahit selagi Mahapatih dan pasukannya
masih berada di luar Kotaraja Majapahit", berkata
kembali Empu Nambi kepada Ki Bancak.
"Pesan Empu Nambi akan aku sampaikan", berkata
Ki Bancak kepada Empu Nambi.
"Jaga kesehatanmu, wahai prajurit tua", berkata
Empu Nambi sambil melambaikan tangannya mengantar
Ki Bancak yang tengah menuruni anak tangga pendapa
di benteng Randu Agung itu.
Terlihat Ki Bancak terus berjalan menapaki halaman
benteng Randu Agung di ujung senja itu dalam tatapan
mata Empu Nambi hingga menghilang di ujung regol
pintu gerbang benteng Randu Agung.
Angin dingin lembut menyapu wajah Ki Bancak yang
telah menyusuri jalan Kademangan Randu Agung di
keremangan malam itu. Sosok seperti seorang Ki Bancak memang tidak akan
membawa perhatian, siapapun tidak akan menyangka
bahwa orang tua itu adalah seorang penghubung dalam
sebuah sejarah penting pergolakan Majapahit, seorang
yang ikut andil menyelamatkan bahtera Majapahit dari
badai dan prahara yang berkecamuk di saat itu.
"Aku berharap tanaman jagung itu dapat dipanen
sebelum datangnya prahara di bumi Lamajang ini",
berkata Ki Bancak dalam hati ketika melewati sebuah
ladang jagung yang tumbuh subur.
Sebagai seorang yang pernah mengalami masa
perang dan masa damai di bumi Majapahit, kecamuk
yang tengah berlangsung antara istana Majapahit dan
950 keluarga Empu Nambi benar-benar membuat dirinya
menjadi sangat prihatin, berharap prahara itu selekasnya
berakhir. "Selama ini kupercaya bahwa seorang raja adalah
pilihan para dewa, mungkinkah para dewa bisa salah
memilih ?", berkata Ki Bancak dalam hati sambil berjalan
menyayangkan sikap Raja Jayanagara yang lemah
mudah terhasut oleh bisikan-bisikan orang lain sehingga
memusuhi Empu Nambi, sahabat setia ayahandanya
sendiri. Tidak terasa langkah kaki Ki Bancak telah
membawanya hingga di kota kadipaten Lamajang,
menyusuri jalan-jalan utamanya yang sepi di malam itu,
melihat rumah-rumah penduduk yang telah dihuni
kembali ditandai pelita minyak jarak yang tergantung di
depan rumah setiap penduduk.
"Kemapanan dan kenyamanan para warga kota
Kadipaten Lamajang ini sebentar lagi akan berubah,
mereka harus kembali lagi ke pengungsiannya, hidup
dengan segala keterbatasannya", berkata Ki Bancak
dalam hati sambil memandang kerlap-kerlip pelita rumah
penduduk di sepanjang perjalanan malamnya memasuki
kota Kadipaten Lamajang. Akhirnya langkah kaki Ki Bancak terlihat sudah
semakin menjauhi kota Kadipaten Lamajang.
"Gerbang gapura ini akan menjadi saksi bisu, pasang
surut kehidupan warga Lamajang, masa perang dan
masa damai di bumi Lamajang ini", berkata kembali Ki
Bancak dalam hati manakala melewati sebuah gerbang
gapura perbatasan kota kadipaten Lamajang yang kokoh
berdiri seperti raksasa bisu di kegelapan malam.
"Aku akan mencari tempat beristirahat sejenak, agar
951 tidak memasuki Kademangan Japan di saat hari masih
gelap", berkata Ki Bancak dalam hati yang
merencanakan dirinya sendiri memasuki Kademangan
Japan di saat pagi sudah terang tanah agar tidak menjadi
bahan perhatian dan kecurigaan para prajurit Majapahit
yang pastinya sudah memasang banyak petugasnya
mengawasi daerah sekitarnya, terutama para pendatang
yang berjalan dari arah bumi Lamajang.
Terlihat Ki Bancak tengah bersandar di sebuah batu
besar dibawah sebuah pohon besar, nafas orang tua itu
terlihat kembang kempis dengan mata yang terpejam,
nampaknya tengah menikmati lonjoran kaki tuanya
setelah setengah malam berjalan tiada henti.
Ketika langit bersulam tipis warna kemerahan, terlihat
Ki Bancak sudah bersiap-siap diri untuk melanjutkan
perjalanannya kembali. Ternyata Ki Bancak sangat berpengalaman mengatur
perjalannya sendiri, berusaha mengambil arah yang
berbeda ketika berangkat. Nampaknya Ki Bancak sangat
berhati-hati agar tidak dapat bertemu orang-orang yang
sama di perjalanannya, apalagi orang yang kebetulan
dari pihak lawan. Kadang Ki Bancak harus mengambil
arah memutar agar membingungkan siapapun orang
yang kebetulan mengikutinya. Naluri mantan petugas
telik sandi ini memang telah mendarah daging di dalam
diri orang tua itu. Dan kali ini untuk menuju arah Kademangan Japan,
terlihat Ki Bancak tidak menempuh lewat jalur yang biasa
di lewati para pedagang, tapi mengambil arah
melengkung yang lebih sepi dan jarang dilewati orang
pada umumnya. Ternyata naluri keprajuritannya telah membawanya
952 ke sebuah ladang jagung yang cukup luas.
"Nampaknya inilah lumbung hidup yang paling
terdekat menuju arah Lamajang, pasti ada banyak lagi
ditanam lumbung-lumbung hidup sepanjang jalan dari
arah Kotaraja Majapahit menuju arah Lamajang", berkata
Ki Bancak dalam hati sambil berusaha menjauhi sebuah
gubuk yang ada tidak jauh dari ladang jagung itu.
Terlihat Ki Bancak sudah jauh meninggalkan ladang
jagung yang cukup luas itu.
"Nampaknya Tumenggung Jala Pati seorang yang
sangat cerdas, tidak ingin kalah berperang hanya karena
prajuritnya kelaparan kehabisan ransum makanan",
berkata Ki Bancak dalam hati sambil terus berjalan
menjauhi ladang jagung yang dicurigainya sebagai salah
satu lumbung hidup yang sengaja ditata untuk sebuah
persiapan peperangan menghadapi pasukan Empu
Nambi di bumi Lamajang. Demikianlah, Ki Bancak terus berjalan menuju arah
Kademangan Japan. Ditempat-tempat yang dianggapnya
sangat sepi terlihat Ki Bancak telah menggunakan
kemampuannya yang jarang dimiliki oleh orang biasa,
berlari cepat. Ternyata orang tua itu punya kemampuan
ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, telah berlari
melesat terbang tanpa merasakan kelelahan sedikitpun.
Dan ketika dirasakan dirinya telah mendekati arah
Kademangan Japan, terlihat Ki Bancak kembali berjalan
seperti biasa, tertatih-tatih layaknya seorang pengembara
tua. "Pak tua, carilah jalan lain. Terlarang siapapun
memasuki perkemahan prajurit Majapahit", berkata
seorang prajurit Majapahit kepada Ki Bancak di sebuah
jalan menuju arah bulakan panjang.
953 Ki Bancak yang sudah mengetahui bahwa bulakan
panjang itu sebagai perkemahan pasukan Majapahit,
terlihat berpura-pura heran.
"Dua tahun lalu tidak ada larangan melewati jalan ini",
berkata Ki Bancak pura-pura merasa heran.
"Itulah perbedaannya, dua tahun lalu mungkin pak
tua masih dapat berlari cepat, sementara hari ini pak tua
jalan biasa saja sudah tertatih-tatih", berkata prajurit itu
kepada Ki Bancak. Terlihat Ki Bancak berpura-pura layaknya orang yang
tidak suka hati disebut sebagai orang tua yang sudah
rapuh. "Kamu salah orang muda, aku masih dapat berlari
cepat bahkan dapat terbang melesat mengendarai
angin", berkata Ki Bancak kepada prajurit itu.
"Nampaknya pak tua sering berkhayal di sepanjang
perjalanan", berkata prajurit itu sambil tertawa.
"Terbanglah, tapi jangan lewat bulakan ini", berkata
kembali prajurit itu masih dengan tawanya.
Masih dengan wajah bersungut-sungut terlihat Ki
Bancak telah melangkah kearah lain menuju arah
Kademangan Japan yang memang sudah tidak begitu
jauh itu. Tidak banyak yang dilakukan oleh Ki Bancak di
Kademangan Japan selain melihat suasana keadaan
Kademangan Japan dan mencari sebuah kedai untuk
mengganjal perut tuanya yang sudah minta diisi.
"Kasihan warga Kademangan ini, mereka harus
menyerahkan setengah lumbung persediaan makanan
mereka untuk panen depan kepada prajurit Majapahit di
bulakan itu", berkata Ki Bancak sambil mengunyah
954 lontong balap bumbu kuning, sebuah makanan yang
khas ditemukan hanya di kedai daerah sekitar pantai
Pasuruan itu. Demikianlah, dalam perjalanan kembali ke Kotaraja
Majapahit, naluri keprajuritan Ki Bancak telah dapat
menemukan kantong-kantong persediaan pangan,
ladang-ladang jagung di tempat-tempat yang sepi dan
terjaga. Dari umur tanaman jagung itu, Ki Bancak dapat
memperkirakan bahwa peperangan akan berlangsung
menjelang purnama kedua dari hari itu.
Semua yang dilihat oleh Ki Bancak dalam
perjalanannya kembali ke Kotaraja Majapahit telah
disampaikan oleh Tumenggung Mahesa Semu.
"Yang belum dapat kucerna, mengapa mereka
membangun lumbung hidup mereka di ujung Kota
Kadipaten Lamajang, bukan di ujung benteng Randu
Agung", berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada Ki
Bancak. "Otak tuaku sudah begitu lemah, hanya berpikir
bahwa pasukan Majapahit akan menyerang Kadipaten
Lamajang terlebih dahulu agar tidak ada gangguan yang
menghalangi mereka disaat penyerangan ke benteng
Randu Agung. "Siapa bilang otak Ki Bancak sudah tua, justru aku
tidak terpikir hal itu sebagai kemungkinan yang paling
mendekati kebenaran", berkata Tumenggung Mahesa
Semu kepada Ki Bancak. "Aku hanya menduga-duga, tidak berpikir apapun",
berkata Ki Bancak merendahkan dirinya.
"Aku akan mengutus seorang penghubung kepada
Empu Nambi, menyampaikan apa yang Ki Bancak
955 temukan dalam perjalanan pulang ke kotaraja Majapahit".
Berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada Ki Bancak.
"Mudah-mudahan Empu Nambi dapat berpikir lebih
cermat lagi membuat beberapa persiapan menghadapi
serangan pasukan Majapahit yang lebih besar ini",
berkata kembali Tumenggung Mahesa Semu kepada Ki
Bancak. Ragil dan ketiga sepupunya yang sebaya terlihat
tengah bermain di ladang jagung ayahnya. Keempat
anak itu terlihat berlari-lari masuk timbul tenggelam
diantara batang tanaman jagung yang lebih tinggi dari
tubuh mereka. Usia Ragil saat itu baru menginjak usia delapan
tahun, belum dapat memahami apa yang dipikirkan
kedua orang tuanya saat itu, yang dia tahu dua hari lagi
tanaman jagung akan di panen, yang diketahui juga
bahwa setelah itu mereka harus kembali berangkat
mengungsi ke lereng gunung Semeru seperti beberapa
waktu yang lalu. Ragil memang tidak bertanya sama
sekali kepada kedua orang tuanya mengapa mereka
harus mengungsi. Kedua orang tua Ragil dan juga para tetangganya
telah mendapat perintah dari para bebahu Kota
Kadipaten Lamajang bahwa mereka secepatnya harus
pergi mengungsi ke tempat yang aman, karena pasukan
Majapahit akan datang kembali dalam waktu yang dekat
ini. Berita tentang datangnya sebuah pasukan besar dari
Kotaraja Majapahit telah sampai di benteng Randu
Agung. Dan siang itu terlihat Empu Nambi telah
mengumpulkan seluruh pimpinan pasukannya untuk
956 membuat berbagai persiapan untuk
serangan pasukan dari Majapahit itu.
menghadapi "Mereka nampaknya tidak langsung datang
menggempur kita di benteng Randu Agung ini, tapi
bergerak kearah Kademangan Pronojiwo", berkata Empu
Nambi kepada para pemimpin pasukannya.
"Mengapa ayahanda berpikir seperti itu ?", bertanya
Adipati Menak Koncar belum dapat memahami jalan
pikiran ayahandanya itu. "Panji Samara, jelaskan dengan naluri keprajuritanmu
bilamana dirimu adalah seorang senapati pasukan
Majapahit yang telah menempatkan kantong-kantong
lumbung persediaanmu dekat kearah kaki Gunung
Semeru, bukankah mereka mengetahui bahwa pasukan
kita berada di benteng Randu Agung ?", berkata Empu
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nambi kepada Panji Samara.
"Seandainya aku adalah seorang senapati Majapahit,
aku akan membumi hanguskan bumi Lamajang hingga
tidak ada semak belukar yang dapat hidup tumbuh di
bumi, barulah aku akan mengepung benteng Randu
Agung tanpa rasa khawatir mendapatkan serangan dari
arah belakang. Itulah sebabnya ada ladang jagung
tersembunyi dan terjaga di dekat arah kaki Gunung
Semeru, bukan disekitar benteng Randu Agung", berkata
Panji Samara memaparkan pemikirannya sesuai
permintaan Empu Nambi. "Gangguan kecil pasukan Rangga Pamandana pasti
tidak akan luput dari ingatan mereka", berkata Empu
Nambi menambahkan. "Licik sekali jalan pikiran mereka itu, menyerang para
pengungsi yang hanya dilindungi sebuah pasukan kecil
Rangga Pamandana", berkata Menak Koncar mulai
957 mengerti jalan pikiran ayahandanya itu.
"Bawalah pasukanmu ke Kademangan Pronojiwo,
agar kamu dapat membantu pasukan Rangga
Pamandana, melindungi para pengungsi disana", berkata
Empu Nambi kepada Adipati Menak Koncar.
Terlihat kebimbangan di hati Adipati Menak Koncar
menanggapi perintah ayahandanya itu.
Nampaknya Empu Nambi dapat membaca apa yang
ada dalam pikiran dan perasaan hati putranya itu.
"Selembar nyawaku ini tidaklah berarti dibandingkan
keselamatan ribuan pengungsi di lereng gunung Semeru,
disana banyak anak-anak kecil yang harus dapat
menikmati kehidupannya yang sangat panjang, disana
ada banyak wanita belia yang harus dijaga
kehormatannya. Bila memang sebuah pedang merenggut
nyawaku dalam peperangan ini, aku akan mati dengan
tersenyum. Namun pastikan untukku bahwa kamu telah
melindungi warga Lamajang di pengungsiannya", berkata
Empu Nambi kepada Adipati Menak Koncar dengan
wajah penuh senyum mencoba meredam kebimbangan
hati putranya itu. Suasana diatas pendapa tempat mereka berkumpul
seketika menjadi begitu hening, perkataan Empu Nambi
telah membuat semua orang yang berada diatas
panggung pendapa itu seperti terenyuh mendengar
keluhuran jiwa seorang Empu Nambi yang lebih banyak
memikirkan orang lain selain dirinya sendiri.
"Adipati Menak Koncar, bawalah pasukanmu ke kaki
Gunung Semeru, aku akan menggantikanmu menjaga
ayahandamu sebagaimana kamu dapat menjaganya di
benteng Randu Agung ini", berkata Panji Wiranagari
kepada Adipati Menak Koncar yang masih diselimuti rasa
958 kebimbangan hati tercermin diwajahnya.
"Adipati Menak Koncar, aku Panji Anengah mencintai
Ayahandamu sebagaimana dirimu, percayakanlah diri
Ayahandamu kepada diriku", berkata Panji Anengah
kepada Adipati Menak Koncar.
"Adipati Menak Koncar, aku Panji Samara telah rela
berseberangan dengan kerajaan Majapahit karena aku
terlahir sebagai seorang prajurit dari tangan dan didikan
ayahandamu. Percayalah kepadaku, aku akan menjaganya sebagaimana seorang putranya menjaganya", berkata Panji Samara dengan suara penuh
ketulusan hati didengar oleh semua yang berkumpul di
pendapa benteng Randa Agung itu.
"Wahai ayahandaku, berbahagialah dirimu dikelilingi
oleh kesetiaan. Ringan dan tunai kewajibanku sebagai
seorang putramu. Kutinggalkan dirimu untuk memenuhi
kewajibanku yang lain, melindungi wargaku sebagai
seorang Adipati", berkata Menak Koncar dihadapan
ayahandanya. "Berangkatlah wahai putraku, penuhi kewajibanmu
sebagai seorang Adipati. Lindungilah wargamu
sebagaimana kamu melindungi diriku", berkata Empu
Nambi kepada putranya dengan sebuah senyum penuh
kecintaan hati. "Aku pamit diri, mohon doa restu ayahanda", berkata
Adipati Menak Koncar berpamit diri untuk kembali ke
istana Kadipaten Lamajang menyiapkan pasukannya
yang akan berangkat ke kaki gunung Semeru melindungi
para pengungsi disana. Terlihat Adipati Menak Koncar telah berdiri dan
melangkah perlahan menuju arah tangga pendapa
Benteng Randu Agung. 959 Terlihat Empu Nambi menarik nafas panjang terus
mengikuti arah putranya melangkah yang telah berada
diujung anak tangga terakhir pendapa. "Aku bangga
mempunyai seorang putra sepertimu, wahai Menak
Koncar", berkata Empu Nambi dalam hati melepas
kepergian putranya itu. Matahari sore terlihat masih memancarkan cahayanya diatas pantai Pasuruan. Tiga orang lelaki
terlihat tengah memperbaiki perahu mereka, sementara
tiga orang bocah telanjang asyik bermain berlari diatas
pasir pantai. "Ada sekumpulan prajurit Majapahit di Kademangan
Japan, kabarnya mereka akan menyerang bumi
Lamajang", berkata seorang lelaki kepada kawannya
masih sambil memperbaiki beberapa bagian perahu
mereka. "Beruntunglah bahwa kita terlahir sebagai orang laut
yang hanya menghadapi badai di lautan, bukan pedang
dan lembing sebagaimana perang orang-orang darat itu",
berkata kawannya menanggapi perkataan lelaki pertama.
"Kita bakal kena imbasnya, harga beras dan jagung
orang darat pasti menjadi langka karena telah direbut
setengahnya oleh pasukan Majapahit itu", berkata lelaki
ketiga ikut bicara. Demikianlah, meski Kademangan Japan jauh dari
garis pantai Pasuruan, namun kehadiran pasukan
Majapahit berdampak bagi kehidupan para nelayan
disekitarnya yang merasa sukar mendapatkan beras dan
jagung dari petani di Kademangan Japan. Dimana
setengah dari lumbung-lumbung mereka telah diserahkan kepada pasukan Majapahit guna kebutuhan
peperangan mereka. 960 Baru sepekan pasukan Majapahit tiba di Kademangan Japan bergabung dengan pasukan
sebelumnya dibawah pimpinan Mahapatih Dyah
Halayuda. Namun bagi warga Kademangan Japan dan
sekitarnya kehadiran mereka seperti sudah begitu lama,
begitu berat menyengsarakan kehidupan para petani
yang sangat sederhana itu. Bahkan beberapa prajurit
Majapahit sudah mulai mengganggu anak-anak gadis
mereka. Namun hari itu para warga Kademangan Japan mulai
dapat bernafas lega, karena pagi hari tadi pasukan besar
itu telah bergerak meninggalkan Kademangan Japan.
Ternyata pasukan besar Majapahit itu bergerak
menyimpang dari jalur yang semestinya, tidak bergerak
menuju bumi Lamajang lewat Kademangan Randu
Agung, tapi menyimpang ke arah kaki Gunung Semeru.
"Kita harus secepatnya memberitahukan Empu
Nambi di benteng Randu Agung", berkata seorang
petugas pengamat kepada kawannya disebuah tempat
persembunyiannya. Maka keduanya terlihat berendap-endak mendekati
kuda-kuda mereka yang terikat disebuah tempat
tersembunyi. Tanpa terlihat oleh siapapun, keduanya telah
melarikan kuda-kuda mereka menyimpang dari arah para
prajurit Majapahit bergerak, kedua petugas pengamat itu
melarikan kudanya ke arah Kademangan Randu Agung,
sementara pasukan Majapahit terlihat terus bergerak
menyimpang lebih kekanan mendekati arah kaki gunung
Semeru. Hari sudah mulai gelap ketika para
pengamat itu tiba di benteng Randu Agung.
petugas 961 Manakala mendengar berita tentang pasukan
Majapahit yang datang ke bumi Lamajang, segera Empu
Nambi memerintahkan orangnya untuk meneruskan
berita itu ke Kademangan Pronojiwo.
"Pasukan Lamajang lebih mengenal daerah disekitar
kaki Gunung Semeru itu dibandingkan pasukan
Majapahit yang baru datang itu" berkata Empu Nambi
kepada para pemimpin pasukannya di benteng Randu
Agung "Tugas kita dalam permainan ini adalah
memancing keluarnya kesatuan pasukan Jala Pati dari
Kotaraja Majapahit, sehingga peta kekuatan di Kotaraja
Majapahit saat ini berimbang antara kekuatan yang
tengah di galang oleh Tumenggung Mahesa Semu saat
ini menghadapi kekuatan bayangan yang telah lama di
bangun oleh Ra Kuti untuk menguasai istana Majapahit.
Apa yang kita lakukan saat ini adalah menyumbangkan
kemenangan dalam permainan besar ini. Bukankah
kesatuan pasukan Jala Pati sudah berada di Bumi
Lamajang saat ini ?", berkata kembali Empu Nambi.
"Pasukan Lamajang yang di pimpin oleh Adipati
Menak Koncar memang lebih menguasai daerahnya,
namun pasukan Majapahit yang datang kali ini lebih
besar dari sebelumnya, jauh lebih besar dari pasukan
Rangga Pamandana dan pasukan Adipati Menak
Koncar. Mungkin ada baiknya pasukan kita bergabung di
Kademangan Pronojiwo menghadapi pasukan Majapahit
itu", berkata Panji Anengah memberikan usulan kepada
Empu Nambi. "Aku mengenal Tumenggung Pati Jala dengan baik,
seorang yang sangat cerdas. Aku curiga mengapa
dirinya telah menghadapkan pasukannya ke Kademangan Pronojiwo, menurutku adalah sebuah
jebakan agar kita keluar dari benteng Randu Agung ini",
962 berkata Empu Nambi. Ternyata kecurigaan Empu Nambi sangat beralasan,
karena malam itu pasukan Majapahit memang telah
berada tidak jauh dari Kademangan Pronojiwo, disebuah
padang luas terpisah sebuah hutan kecil di kaki Gunung
Semeru itu. "Benteng Randu Agung terlalu kuat untuk kita
gempur, kita harus memancing mereka keluar dari
benteng itu", berkata Temunggung Pati Jala kepada
Mahapatih Dyah Halayuda. "Kita bumi hanguskan tempat pengungsian para
warga Lamajang di Kademangan Pronojiwo, pasti Empu
Nambi luluh hatinya keluar dari bentengnya", berkata
Mahapatih Dyah Halayuda. Sementara itu Adipati Menak Koncar dan Rangga
Pamandana yang telah mendengar berita kedatangan
pasukan Majapahit ke kaki Gunung Semeru itu telah
membuat berbagai persiapan.
"Kita kalah jumlah dengan mereka, yang terbaik
adalah menghadapi mereka didalam hutan", berkata
Adipati Menak Koncar kepada Rangga Pamandana.
"Aku setuju, kita hadapi mereka di dalam hutan",
berkata Rangga Pamandana menyetujui usulan Adipati
Menak Koncar itu. Demikianlah, malam itu langit di bumi Lamajang
terlihat dipenuhi awan gelap, tiada satupun bintang
disana sebagai pertanda hujan segera akan turun.
Benar saja, dipertengahan malam itu hujan turun
begitu lebat mengguyur bumi Lamajang.
Suara guntur dan petir silih berganti bersama suara
deru hujan yang tumpah benar-benar seperti laskar dari
963 langit mengepung bumi Kademangan Pronojiwo di
malam itu. Namun yang terlihat keluar dari Kademangan
Pronojiwo dibawah guyuran hujan yang lebat di malam
itu bukan laskar dari langit, tapi sebuah pasukan yang
dipimpin oleh Adipati Menak Koncar dan Rangga
Pamandana terlihat berlari-lari kecil menyelinap keluar
dari Kademangan Pronojiwo menuju kearah hutan
didepannya yang merupakan sebuah pemisah dengan
beberapa Kademangan tetangganya.
"Hujan nampaknya telah berpihak kepada kita untuk
membuat berbagai persiapan gelar perang senyap di
hutan ini", berkata Adipati Menak Koncar kepada Rangga
Pamandana yang merasa yakin bahwa para petugas
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengamat dari pihak lawan pasti tidak ada yang akan
menyangka pasukannya telah mendahului masuk ke
hutan itu. Terlihat dibawah guyuran hujan di hutan Pronojiwo
itu, beberapa prajurit telah langsung membuat berbagai
macam persiapan, diantaranya telah membuat berbagai
macam jebakan yang dapat mengejutkan pihak lawan,
juga mencari tempat yang baik untuk tempat
persembunyian mereka sendiri melakukan gelar perang
senyap di dalam hutan Pronojiwo seperti hantu yang
datang mengejutkan pihak lawan dan tidak lama
kemudian menghilang seperti tertelan bumi.
Namun seandainya Adipati Menak Koncar dan
Rangga Pamandana berdua mengenal Tumenggung
Jala Pati sebagaimana Empu Nambi mengenalnya,
mungkin keduanya akan membuat perhitungan lebih
matang lagi, melihat berbagai kemungkinankemungkinan lain seperti jalan lain yang dapat ditempuh
untuk mendekati Kademangan Pronojiwo, menyergap
964 warga dan para pengungsi di Kademangan itu sekaligus
akan menjepit pasukan mereka di dalam hutan gelar
perang senyap ciptaan mereka sendiri.
Seandainya mereka berdua mengenal Tumenggung
Jala Pati sebagaimana Empu Nambi, pasti mereka
membuat perhitungan lain, perhitungan dan kemungkinan lain. Sayangnya mereka tidak mengenal Tumenggung
Jala Pati yang akan mereka hadapi itu adalah seorang
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 16 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Rahasia Lukisan Kuno 3