Pencarian

Para Ksatria Penjaga Majapahit 15

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 15


sudah beradu pandang satu dengan yang lainnya.
"Aku akan tetap membawamu, rela hati atau dengan
cara paksa", berkata Gajahmada sambil berdiri
membiarkan ujung cambuknya terjurai menyentuh bumi.
"Pasukanmu sangat sedikit, sebentar lagi pasti akan
tergulung", berkata Mahapatih Dyah Halayuda.
"Jangan berbesar hati, ada banyak kawan kami diluar
yang akan bergabung bermain di halaman rumahmu ini",
berkata Gajahmada dengan pandangan tetap kearah
Mahapatih Dyah Halayuda seperti takut sasarannya itu
melarikan dirinya. Belum habis Gajahmada berbicara, terlihat sebuah
pasukan lain telah memasuki halaman rumah Mahapatih
Dyah Halayuda dan langsung mengepung pihak musuh.
1038 Ternyata mereka adalah para petugas telik sandi dan
pasukan Srikandi yang sudah beberapa hari itu berjagajaga di sekitar rumah kediaman Mahapatih Dyah
Halayuda. Nampaknya mereka sengaja membiarkan
pasukan Ikal-Ikalan Bang masuk ke halaman rumah
Mahapatih Dyah Halayuda agar dapat mudah menyerang
dari arah belakang. Terkejut bukan kepalang pasukan Ikal-Ikalan Bang itu
mendapatkan serangan dari arah belakang itu, dan
dalam satu kali terjangan awal beberapa orang sudah
menjadi korban amukan pasukan yang baru datang itu.
Melihat hal demikian telah membuat ciut nyali
Mahapatih Dyah Halayuda. Apalagi dihadapannya
adalah anak muda yang punya kemampuan sangat tinggi
dan pernah berhasil mengalahkannya dalam sebuah
peperangan di Blambangan ketika dirinya menjadi
seorang pemimpin sebuah gerombolan.
"Jangan lari !!", berkata Gajahmada sambil
menghentakkan cambuknya di udara terbuka sebagai
sebuah peringatan kepada Mahapatih Dyah Halayuda
yang terlihat sudah berbalik badan bermaksud untuk
melarikan dirinya. Suara cambuk di udara pagi itu Gajahmada terdengar
begitu memekakkan telinga telah mengejutkan diri
Mahapatih Dyah Halayuda dan terlihat berhenti sejenak.
Namun Gajahmada terlihat seperti mematung, seperti
tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya itu.
Terlihat Gajahmada masih terkesima dengan apa
yang terjadi atas diri Mahapatih Dyah Halayuda.
Ternyata manakala Mahapatih Dyah Halayuda
berbalik badan hendak melarikan diri, tidak menyadari
1039 bahwa dihadapannya berdiri tiga orang prajurit Ikal-Ikalan
Bang. Mahapatih Dyah Halayuda benar-benar tidak akan
menyangka bahwa tiga buah senjata trisula yang amat
tajam meluncur dengan amat cepatnya langsung
menembus tubuhnya di tiga tempat, di dada, jantung dan
perutnya. Seketika itu juga Mahapatih Dyah Halayuda
roboh dengan mata masih terbuka. Mahapatih Dyah
Halayuda tewas ditangan tiga orang prajurit Ikal "Ikalan
Bang, para prajurit gemblengannya sendiri.
"Tugas utama kami datang disini adalah untuk
membunuhnya, dan seluruh dunia akan percaya bahwa
tangan kalianlah yang telah membunuh orang ini",
berkata salah seorang prajurit Ikal-Ikalan Bang yang
nampaknya adalah pimpinan dari para prajurit yang
datang bersamanya itu. Tar, tar, tarr !!! Tiga buah lecutan sandal pancing cambuk
Gajahmada berturut-turut bergerak menyentuh dada
ketiga prajurit pembunuh Mahapatih Dyah Halayuda dan
langsung roboh di tanah tidak mampu bergerak
sedikitpun. "Aku harus membantu kawan-kawan mengurangi
jumlah musuh", berkata Gajahmada dalam hati.
Dan terlihat berturut-turut berjatuhan korban di pihak
lawan akibat terkena ujung cambuk Gajahmada yang
selalu saja seperti bermata hinggap di tubuh lawan yang
ada dekat disekitarnya. Cambuk Gajahmada benar-benar seperti angin
prahara, menyabet melingkar, menyabet menyilang dan
kadang melecut dengan cara sandal pancing. Dan tidak
1040 satupun gerakan cambuk Gajahmada yang luput, selalu
saja menyentuh korban-korban yang langsung roboh.
Tingkat kesaktian anak muda itu benar-benar sudah
sangat begitu tinggi, getar ujung cambuk Gajahmada
kadang menggelegar menciutkan hati dan perasaan
setiap orang. Terkadang ujung cambuk itu belum sampai
menyentuh ke tubuh lawannya, tapi sambaran anginnya
telah mampu merobohkan lawan.
Semua orang yang mengenal Gajahmada di halaman
rumah Mahapatih Dyah Halayuda seperti terpana,
mengagumi kesaktian anak muda putra Nyi Nariratih itu.
"Dengan hanya seorang diri, nampaknya Gajahmada
dapat menggulung pasukan segelar sepapan", berkata
seorang prajurit Srikandi yang melihat dengan mata dan
kepala sendiri ketangguhan Gajahmada dengan ilmu
cambuknya itu. Maka dalam waktu yang amat singkat, jumlah prajurit
Ikal-Ikalan Bang terus menyusut hingga akhirnya hanya
tersisa sepuluh orang saja.
"Biarkan mereka lari", berkata Gajahmada kepada
orang-orangnya yang hendak mengejar musuh.
Mendengar perkataan Gajahmada telah membuat
beberapa orang mengundurkan niatnya mengejar para
prajurit musuh yang tersisa itu.
Terlihat mata Gajahmada menyapu ke seluruh
halaman rumah Mahapatih Dyah Halayuda, melihat
mayat yang bergelimpangan dimana sebagian besar
adalah dari pihak lawan. Pandangan mata Gajahmada tertahan ke sebuah
mayat yang terbaring kaku bergelimang darah di tanah
yang masih basah. 1041 "Kudengar Empu Nambi tewas oleh tusukan trisula
kembar Mahapatih itu dalam keadaan terikat tak
berdaya", berkata Gajahmada dalam hati masih terpaku
memandang mayat Mahapatih Dyah Halayuda.
Namun tiba-tiba saja pendengaran Gajahmada yang
sangat tajam itu telah mendengar puluhan langkah kaki
menuju gerbang halaman rumah Mahapatih Dyah
Halayuda. Saat itu pagi masih sangat remang, namun
pandangan Gajahmada telah melihat sangat jelas sekali
sekumpulan celeng hutang telah memasuki halaman
rumah Mahapatih Dyah Halayuda.
Ternyata bukan hanya Gajahmada saja yang melihat
sekumpulan celeng itu, hampir semua pasukannya juga
ikut menyaksikan kedatangan sekumpulan celeng hutan
itu. Dan semua mata yang tengah berada di halaman
rumah Mahapatih Dyah Halayuda seperti terkesima diam
manakala melihat sekumpulan celeng itu bergerumbul
menutupi mayat Mahapatih Dyah Halayuda.
Semua mata seperti terkesima diam manakala
melihat dengan mata kepala sendiri sekumpulan celeng
itu telah mencabik-cabik tubuh Mahapatih Dyah
Halayuda. Semua mata masih diam terkesima melihat
sekumpulan celeng itu pergi begitu saja meninggalkan
daging tulang belulang yang tercabik-cabik dari mayat
Mahapatih Dyah Halayuda. Anehnya para celeng itu hanya mencabik-cabik
mayat Mahapatih Dyah Halayuda, tidak mayat lainnya
yang masih berserakan memenuhi halaman rumah itu.
1042 "Kita tidak dapat menjemput Mahapatih Dyah
Halayuda hidup-hidup", berkata salah seorang kepada
Gajahmada meminta pertimbangannya, apa yang harus
mereka lakukan. Namun belum sempat Gajahmada berkata apapun,
kembali pendengaran Gajahmada yang sangat peka itu
telah mendengar bukan hanya ribuan langkah kaki, tapi
gemuruh suara ribuan prajurit di jalan.
"Tutup pintu gerbang, kita akan menyelidiki apa yang
tengah terjadi atas Kotaraja Majapahit ini", berkata
Gajahmada memerintahkan beberapa orang untuk
segera menutup pintu gerbang rumah Mahapatih Dyah
Halayuda. Dari celah-celah gerbang pintu kayu itu, Gajahmada
dan beberapa orang lainnya terlihat tengah mengintip
keadaan diluar rumah Mahapatih Dyah Halayuda.
Berdebar kencang jantung Gajahmada manakala dari
celah-celah gerbang pintu kayu telah melihat ribuan
prajurit tengah bergerak di jalan utama menuju arah
istana Majapahit. Terlihat Gajahmada telah mengumpulkan seluruh
pasukannya, pasukan gabungan Bhayangkara, Srikandi
dan para petugas telik sandi itu.
"Nampaknya Kotaraja dan istana Majapahit akan
segera dikuasai pasukan Tumenggung Ikal-Ikalan Bang.
Aku akan segera menyelidiki keadaan istana, sementara
kalian segera keluar dari Kotaraja Majapahit bergabung
dengan seluruh pasukan yang masih setia kepada
Kerajaan di Kabuyutan Bebander", berkata Gajahmada
kepada para pasukan yang diberikan mandat dibawah
kepemimpinannya itu. 1043 Demikianlah, Gajahmada seorang diri memisahkan
dirinya untuk pergi ke istana Majapahit untuk melihat
situasi terakhir disana. Sementara pasukannya akan
segera berangkat ke Kabuyutan Bebander.
Terlihat Gajahmada tidak berjalan lewat jalan utama,
tapi melewati beberapa rumah yang berjajar dengan cara
melompati pagar rumah-rumah itu bahkan terkadang
harus melewati wuwungan rumah-rumah yang berjajar di
sepanjang jalan utama menuju arah istana Majapahit.
Dari sebuah wuwungan sebuah rumah, Gajahmada
telah melihat ribuan prajurit pasukan Ikal-Ikalan
nampaknya telah menguasai Kotaraja Majapahit,
berjaga-jaga di beberapa jalan dan perempatan jalan.
Tidak seorang pun warga yang dilihatnya, mungkin
mereka semua takut untuk keluar dari rumahnya.
Melihat suasana di sepanjang jalan utama itu telah
membuat hati dan perasaan Gajahmada kembali
berdebar-debar mencemaskan keadaan istana, mencemaskan keadaan Raja Jayanagara.
"Mudah-mudahan Adityawarman dan pasukannya
telah dapat menyelamatkan Raja Jayanagara", berkata
Gajahmada dalam hati. Tidak sulit untuk seorang Gajahmada menyelinap
masuk ke istana tanpa sepengetahuan siapapun. Ilmu
meringankan tubuhnya yang amat tinggi telah membuat
dirinya dapat melesat cepat dan menyelinap diantara
gerumbul tanaman bambu. Dan dengan sekali hentakan
kaki sudah dapat meluncurkan tubuhnya tinggi ke atas
wuwungan sebuah bangunan di istana.
Ternyata Gajahmada telah melihat hampir seluruh
istana telah dikuasai para prajurit pasukan Ikal-Ikalan
Bang. 1044 "Mereka belum menguasai Puri Pasanggrahan Raja
Jayanagara", berkata Gajahmada dari sebuah tempat
tersembunyi diatas sebuah wuwungan bangunan di
istana tengah melihat halaman puri pasanggrahan Raja
Jayanagara telah dipenuhi pasukan Bhayangkara yang
tengah bersiap melindungi Raja Jayanagara. "Nampaknya pasukan gabungan Adityawarman belum
sempat membawa Raja Jayanagara keluar dari istana",
berkata kembali Gajahmada dalam hati ketika melihat
sekumpulan pasukan di panggung pendapa puri
Pasanggrahan Raja Jayanagara itu.
Kembali terlihat Gajahmada dengan sangat cepatnya
telah melesat menyelinap mendekati dinding pagar puri
pasanggrahan Raja Jayanagara.
Terlihat beberapa prajurit Bhayangkara langsung
mencabut pedangnya ketika melihat seseorang muncul
dari dinding pagar puri pasanggrahan dengan cara
seperti terbang diatas dinding pagar yang cukup tinggi
itu. Namun para prajurit Bhayangkara itu menarik nafas
dalam-dalam manakala mengetahui bahwa seseorang
yang baru saja menjejakkan kakinya di halaman puri
pasanggrahan itu ternyata adalah pimpinannya sendiri.
"Istana telah dikuasai sepenuhnya oleh prajurit
pasukan pemberontak, dan kami telah memutuskan
bertahan di puri pasanggrahan ini melindungi Raja
Jayanagara", berkata salah seorang prajurit Bhayangkara
melaporkan keadaan dan situasi istana saat itu.
"Aku akan menemui Raja", berkata Gajahmada
kepada prajuritnya itu sambil langsung berjalan kearah
pendapa agung. "Kami terlambat untuk membawa

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar Raja 1045 Jayanagara", berkata Adityawarman kepada Gajahmada
yang baru datang itu. "Kotaraja Majapahit telah dikuasai para pemberontak", berkata Gajahmada kepada Adityawarman dan Raja Jayanagara menyampaikan apa
yang telah dilihatnya tentang suasana Kotaraja Majapahit
saat itu. "Kita hadapi mereka dengan dada terbuka, aku tidak
takut mati sebagai seorang ksatria yang mempertahankan singgasanaku sendiri", berkata Raja
Jayanagara penuh keberanian seperti tidak mengenal
rasa takut sedikitpun. "Kita tidak perlu mati hari ini, yang kita lakukan
adalah menyingkir untuk menyelamatkan diri", berkata
Gajahmada kepada Adityawarman dan Jayanagara.
"Jalan keluar diistana ini sudah tertutup rapat",
berkata Adityawarman. "Kita akan memecahkan perhatian mereka, kerahkan
seluruh pasukan kita di pintu gerbang istana. Disaat yang
sama kita bertiga menyelinap keluar dari istana ini lewat
dinding pagar belakang istana. Tentunya setelah pakaian
kita berganti dengan pakaian para pelayan istana, karena
diluar penjagaan pasukan pemberontak sangat ketat
memenuhi hampir di setiap tempat", berkata Gajahmada
menyampaikan rencana pelariannya.
"Tidak ada salahnya untuk mencoba", berkata
Adityawarman sambil memandang wajah Raja Jayanagara yang masih dipenuhi keraguan.
Namun akhirnya Gajahmada dapat meyakinkan Raja
Jayanagara. "Kita pernah bersama mengembara di Tanah 1046 Pasundan, banyak peperangan kita hadapi, banyak mara
bahaya kita lalui. Seorang ksatria harus berpikir seribu
kali menyerahkan lehernya dari pedang musuh selama
masih ada kesempatan menghindar. Bila hari ini kita
membabi buta melawan musuh dengan jumlah yang
sangat besar, maka kita akan mati sebagai orang bodoh",
berkata Gajahmada berusaha meyakinkan Raja
Jayanagara. Perlahan wajah Raja Jayanagara memperlihatkan
perubahannya, diam-diam mulai membenarkan perkataan Gajahmada. "Bilamana kepala hamba putung seribu kali, masih
ada tangan dan kaki hamba untuk menjaga dan
melindungi tuanku", berkata Gajahmada sambil
tersenyum melihat keyakinan di diri Jayanagara sudah
mulai terlihat. Terlihat Gajahmada telah menemui beberapa prajurit
Bhayangkara untuk memberikan beberapa pesan yang
harus mereka lakukan. Setelah itu terlihat Gajahmada
telah kembali menghampiri Adityawarma dan Raja
Jayanagara. "Mari kita segera berkemas, berganti pakaian para
pelayan dalam istana", berkata Gajahmada kepada
Adityawarman dan Raja Jayanagara.
Maka tidak lama berselang, terlihat Gajahmada,
Adityawarman dan Raja Jayanagara sudah memakai
pakaian para pelayan dalam istana, pakaian yang biasa
dikenakan oleh orang biasa pada umumnya. Sementara
itu salah seorang dari prajurit Bhayangkara sudah
bersalin mengenakan pakaian seorang Raja, pakaian
yang biasa dikenakan oleh Raja Jayanagara.
"Keselamatan Raja ada ditangan kita, bersikaplah
1047 kalian seakan-akan tengah melindungi Rajamu
membawanya keluar dari istana ini. Dengan cara itu
seluruh perhatian para pemberontak akan tertuju kepada
pasukan kalian. Semoga kita bertemu kembali berkumpul
di Kabuyutan Bebander, atau kita akan berkumpul
bersama kelak di nirwana, bersama-sama para ksatria
yang berjiwa mulia. Kesetiaan dan pengorbanan kalian
hari ini akan selalu kukenang, akan kuceritakan kepada
seluruh keluarga dan keturunan kalian, bahwa kalian
adalah sahabatku, bahwa kalian adalah para pahlawan
besar", berkata Gajahmada ketika melepas para prajurit
Bhayangkara dan prajurit Srikandi yang terkepung di
dalam istana menghadapi gerakan pemberontakan tiga
puluh sabda candra sempurna itu yang ternyata sebuah
gerakan yang dikendalikan oleh seorang anggota
Dharmaputra, Ra Kuti. Gajahmada, Adityawarman dan Raja Jayanagara
masih memandang punggung-punggung pasukan
gabungan itu keluar dari gerbang gapura puri
pasanggrahan Raja Jayanagara.
"Mari kita bergerak", berkata Gajahmada kepada
Adityawarman dan Raja Jayanagara ketika terdengar
suara keributan di sebuah lorong jalan tidak jauh dari puri
pasanggrahan Raja Jayanagara. Nampaknya pasukan
gabungan itu telah menemui pihak musuh, sudah
menemui pertempurannya. Gajahmada, Adityawarman dan Raja Jayanagara
pernah bersama-sama dimasa kecil mereka, bermain
dan berlatih olah kanuragan bersama. Nampaknya
suasana kenakalan masa-masa kecil mereka itu seperti
muncul kembali disaat mereka bertiga tengah
menyelinap dari satu bangunan ke bangunan lain,
menyelinap diantara pohon-pohon besar yang rimbun di
1048 dalam istana menghindari penglihatan mata
pemberontak yang sudah tersebar di dalam istana.
para Selisih kemampuan tataran ilmu mereka memang
tidak terpaut jauh, ketiganya telah memiliki ilmu
meringankan tubuh yang jauh melebihi orang
kebanyakan. Terlihat ketiganya telah melesat dari satu
tempat ke tempat lainnya menuju arah dinding pagar
belakang istana. Gajahmada, Adityawarman dan Raja Jayanagara
seperti para bocah kecil berlomba mendekati dinding
belakang istana. Dan hanya dengan sekali ayunan kaki saja, ketiganya
sudah seperti terbang melompati dinding istana yang
cukup tinggi itu melebihi kepala mereka masing-masing,
dan dengan sangat indahnya mereka bertiga
menjejakkan kaki di luar dinding istana.
Namun baru saja dua tiga langkah kaki mereka untuk
meninggalkan dinding belakang istana itu, terlihat
sepuluh pasukan berkuda mendekati mereka.
"Berhenti !!", berkata salah seorang dari pasukan
berkuda itu meminta ketiganya diam ditempat.
"Seluruh kotaraja Majapahit dalam kekuasaan kami,
beraninya kalian berkeliaran disaat seperti ini", berkata
salah seorang prajurit dengan kata-kata yang cukup
kasar membentak-bentak. "Jangan mendekati sahabatku ini, dirinya tengah
terkena penyakit menular yang sangat berbahaya",
berkata Gajahmada kepada prajurit itu yang telah turun
dari kudanya hendak menghampiri mereka.
Mendengar perkataan Gajahmada, langsung seketika
itu juga terlihat prajurit itu berhenti melangkah.
1049 Nampaknya Raja Jayanagara dan Adityawarman
segera mengerti bahwa Gajahmada tengah bermain
sandiwara, terlihat keduanya langsung menggaruk-garuk
seluruh tubuhnya yang ternyata memang gatal betulan
karena pakaian pelayan dalam istana yang mereka
pinjam itu memang belum sempat dicuci sepekan itu.
"Lihatlah, sahabatku yang satu ini sudah tertular
olehnya", berkata kembali Gajahmada.
"Dari mana asal kalian dan hendak kemana?",
bertanya prajurit itu dari jarak sekitar lima langkah tidak
berani mendekat. "Kami dari padukuhan barak hendak menemui Tabib
Restu Galih di Padukuhan Sawahan", berkata
Gajahmada. "Aku mengenal Tabib hebat itu, hanya orang kaya
yang berani datang ke tabib itu, konon bayarannya
sungguh sangat mahal", berkata parajurit itu melihat
pakaian ketiganya seperti orang kebanyakan, sangat
lusuh. "Kebetulan sahabatku ini masih kemenakan Tabib
Restu Galih, pasti akan memberikan keringanan kepada
kami", berkata Gajahmada.
"Lekas kalian berobat ke Tabib itu, sebelum
menularkannya ke banyak orang", berkata prajurit itu
yang mempercayai perkataan Gajahmada.
Terlihat prajurit itu kembali ke kudanya dan langsung
melompat diatas punggung kudanya sambil memberi
perintah kepada pasukannya untuk melanjutkan
perjalanan mereka. Adityawarman menahan tawanya melihat pasukan itu
berjalan melingkar menjauhi mereka bertiga.
1050 Ketika para prajurit itu telah cukup jauh, barulah
Adityawarman melepas tawanya yang sudah sekian lama
di tahan itu. "Otakmu sungguh encer sekali, Gajahmada", berkata
Adityawarman sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Asal kalian tahu saja, pakaianku ini kuambil dari
lemari kayu seorang pelayan, sementara pakaian yang
kalian kenakan itu kuambil dari sebuah bakul, mungkin
akan di cuci hari ini", berkata Gajahmada sambil
tersenyum. Melihat canda tawa Adityawarman dan Gajahmada
itu benar-benar menyentuh hati Raja Jayanagara, karena
selama ini dirinya telah mengambil jarak dengan
keduanya sejak dikukuhkannya dirinya menjadi seorang
Raja. "Tahta dan singgasana ini telah membutakan mata
hatiku, melupakan dua orang sahabat kecilku", berkata
Raja Jayanagara dalam hati masih mendengar celoteh
dan canda dua orang sahabat kecilnya diperjalanan
mereka. "Terpaksa kita berjalan melingkar mendekati
Kabuyutan Bebander", berkata Gajahmada memberi
petunjuk arah perjalanan mereka.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Gajahmada,
mereka memang tengah menempuh jalan melingkar
menuju Kabuyutan Bebander. Melewati beberapa
padukuhan, melewati hutan gerumbul yang lebat,
melewati sungai deras berbatu dan melewati beberapa
tempat yang tidak berpenghuni saat itu.
Perjalanan yang panjang itu telah membangkitkan
ingatan-ingatan Raja Jayanagara jauh kebelakang ketika
1051 mereka pergi mengembara bersama di Tanah Pasundan.
"Aku telah melupakan kesetiaan Gajahmada kepada
Kerajaan Majapahit ini, yang dengan penuh kerelaan hati
melepas tahta singgasana milik keluarganya di Kerajaan
Rakata, memilih jalan sebagai abdiku di kerajaan
Majapahit ini", berkata Raja Jayanagara dalam hati
mengenang kebersamaannya dalam pengembaraannya
di Tanah Pasundan. "Hari sudah mulai senja, kita beristirahat di pinggir
sungai ini. Ada banyak bebatuan besar untuk sekedar
meluruskan kaki-kaki kita", berkata Gajahmada ketika
mereka berada di sebuah sungai yang mengalir deras
dan berbatu. Terlihat ketiganya mencari tiga buah batu besar yang
berdekatan, di situlah mereka beristirahat setelah
seharian berjalan tidak pernah berhenti.
Dan perlahan langit senja pun berganti warna, sang
rembulan pucat di ujung senja itu begitu cantik menawan
melepas senyumnya, menatap tiga pemuda yang tengah
bersandar di bebatuan di pinggir sungai yang bening,
mengalir sangat deras. "Sudah begitu lama kita tidak menikmati bersama
suasana malam seperti ini", berkata Gajahmada kepada
Adityawarman dan Raja Jayanagara.
Terlihat Raja Jayanagara menarik nafas dalam-dalam
sepertinya membenarkan perkataan Gajahmada.
"Ternyata aku harus banyak belajar dengan kalian


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua, seperti kamu Adityawarman, kita adalah samasama sebagai putra Jawa campuran, tapi kulihat dirimu
seperti melebur menjadi seorang Jawa asli. Terlebihlebih kepadamu Wahai Gajahmada, wajahmu, tulang
1052 tubuhmu nyata bukan orang Jawa asli, tapi kamu dapat
melebur diri bergaul dengan begitu banyak orang",
berkata Raja Jayanagara kepada Adityawarman dan
Gajahmada. "Ketika kita tinggal bersama di Kotaraja Majapahit,
tidak ada banyak masalah dengan darah campuranku ini.
Tapi ketika harus tinggal di Kotaraja Kediri, awalnya
kupingku terasa panas karena kadang aku mendengar
sendiri perkataan banyak orang yang mengatakan aku
bukan orang Jawa. Namun ayahku selalu membisikkan
kepadaku sebuah kepercayaan diri yang amat tinggi",
berkata Adityawarman. "Apa yang dikatakan oleh ayahmu itu", bertanya Raja
Jayanagara tidak sabaran.
"Katakan kepada semua orang bahwa kamu memang
benar bukan orang Jawa asli, tapi katakan pula kepada
mereka bahwa bila ada musuh yang akan menyerang
orang Jawa, kamu akan berada di baris terdepan untuk
berperang menghancurkan musuh itu, itulah yang
dikatakan oleh Ayahku", berkata Adityawarman.
"Bagaimana denganmu, wahai Gajahmada?", bertanya Raja Jayanagara kepada Gajahmada.
"Hamba sudah menjadi terbiasa dengan setiap orang
yang baru mengenal hamba, pasti akan menatap hamba
sebagai orang asing. Hamba tidak merasa risih dengan
cara pandang mereka, yang hamba ingat perkataan
pengasuh hamba, Pendeta Gunakara dari Tanah Tibet
yang mengatakan bahwa derajat manusia tidak dilihat
dari asal usulnya, tapi dari bhaktinya untuk hidup dan
kehidupan ini", berkata Gajahmada sambil tersenyum.
"Terima kasih, hari ini aku dapat pelajaran mahal dari
kalian berdua. 1053 Dalam kesempatan itu, Gajahmada juga bercerita
tentang kematian Mahapatih Dyah Halayuda kepada
Raja Jayanagara dan Adityawarman.
"Orang itu nampaknya telah menemui karmanya
sendiri, seekor celeng juga punya hutang dendam
kepadanya", berkata Adityawarman setelah mendengar
penuturan Gajahmada tentang kematian Mahapatih Dyah
Halayuda itu. "Ternyata kalian sudah lama mengetahui kebusukan
Mahapatih itu", berkata Raja Jayanagara.
"Sejak peristiwa peracunan ayahku di hutan kemiri,
beruntung masih dapat disembuhkan oleh Ki Gede Bajra
Seta", berkata Adityawarman kepada Raja Jayanagara.
"Penyingkiran Patih Mahesa Amping dan Empu
Nambi ternyata mereka yang mendalanginya", berkata
Raja Jayanagara. "Sudah begitu lama kami membayangi mereka",
berkata Gajahmada kepada Raja Jayanagara.
"Hari ini aku menjadi seorang Raja yang terbuang",
berkata Raja Jayanagara. "Ada banyak orang yang masih setia di sekeliling
tuanku", berkata Gajahmada memberikan harapan
kepada Raja Jayanagara. "Aku sepupumu, akan selalu berada bersamamu,
wahai saudaraku", berkata Adityawarman ikut menghibur.
"Apa yang dapat kukatakan kepada ayahandaku
sendiri, bila saja aku tidak dapat merebut singgasana
yang dititipkannya kepadaku ini", berkata Raja
Jayanagara. "Raja Erlangga menjadi matang di pengasingannya,
1054 Baginda Raja Sanggrama Wijaya juga berharap yang
sama untuk diri tuanku", berkata Gajahmada.
"Dirimu sangat mengenal babad-babad sejarah
leluhur kami, dirimu juga lebih mengenal ayahandaku
sendiri ketimbang diriku", berkata Raja Jayanagara yang
merasa iri dengan kedekatan ayahandanya itu dengan
Gajahmada. "Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah menitipkan
putra-putrinya kepada hamba, menitipkan keris
Nagasasra untuk hamba jaga dan diberikan kepada
pewarisnya", berkata
Gajahmada kepada Raja Jayanagara. "Keris Nagasasra adalah wahyu keraton, apakah itu
berarti bahwa ayahandaku telah mempercayai dirimu
mewarisi kerajaan ini di tanganmu?", berkata Raja
Jayanagara dengan suara penuh keraguan.
Mendengar perkataan Raja Gajahmada tersenyum lebar.
Jayanagara terlihat "Wahai sahabatku Raja Jayanagara", berkata
Gajahmada membahasakan dirinya sebagai sahabat
lama, tidak lagi sebagai hamba. "Ayahandamu telah
mempercayaiku sebagaimana dirinya mempercayai Patih
Mahesa Amping dan Empu Nambi. Dan aku tidak akan
menciderai kepercayaan ayahandamu itu, akan menjaga
kerajaan Majapahit sepanjang usiaku, mendampingi
putra-putrinya", berkata Gajahmada kepada Raja
Jayanagara. "Bagus, aku percaya padamu, kamu adalah
sahabatku yang pernah hilang. Mulai hari ini aku akan
mengangkat saudara kepadamu", berkata Raja
Jayanagara penuh kesungguhan hati
1055 "Bagaimana dengan diriku ini, wahai sepupuku?",
berkata Adityawarman menggoda.
"Apakah aku harus mengangkat kepadamu?", berkata Raja Jayanagara.
saudara "Betul, betul, betul, hari ini kita bertambah seorang
saudara", berkata Adityawarman.
"Tiga orang saudara yang sama-sama berdarah
campuran", berkata Raja Jayanagara tertawa lepas.
Demikianlah, ketiga anak muda itu sejenak telah
melupakan rasa dingin ditempat terbuka di pinggir sungai
itu, melupakan batas derajat mereka, antara seorang
Raja, sepupu dan seorang manusia biasa.
Dibawah cahaya rembulan, dalam hembusan angin
malam yang dingin serta suara deru arus sungai telah
mengantar istirahat malam ketiga anak muda itu.
"Aku akan menjagamu, wahai putra Sanggrama
Wijaya", berkata Gajahmada dalam hati sambil
memandang Raja Jayanagara yang terlihat sudah tertidur
sangat pulas sekali, begitu damai wajah tidurnya itu
dengan nafas yang terdengar begitu halus.
Dan akhirnya pagi pun datang menjelang, ditandai
dengan warna udara yang bening, cahaya matahari yang
hangat dan kicau burung-burung kecil warna-warni yang
riang beterbangan dari satu pohon ke pohon lainnya.
Terlihat Gajahmada, Adityawarman dan Raja
Jayanagara menyegarkan diri mereka berendam di
sungai yang sangat jernih itu.
"Mudah-mudahan kita dapat menemui jalur menuju
arah Kabuyutan Bebander", berkata Gajahmada kepada
kedua sahabatnya itu ketika tengah bersiap untuk
melanjutkan perjalanan mereka.
1056 Demikianlah, ketiga anak muda itu sudah
melangkahkan kakinya menjauhi pinggir sungai tempat
mereka bermalam. Hingga akhirnya di suatu tempat
ketiganya telah menemukan sebuah jalan utama yang
biasa digunakan oleh para pedagang untuk menuju
Kabuyutan Bebander. "Mari kita menghangatkan diri di pagi ini", berkata
Adityawarman mengajak mereka untuk berlari.
"Saudaraku itu nampaknya tengah menguji
kemampuan kita", berkata Raja Jayanagara kepada
Gajahmada sambil langsung mengejar Adityawarman
yang sudah mendahului mereka.
Demikianlah, ketiganya terlihat seperti tiga ekor
burung camar yang melesat di padang belantara luas,
begitu riang dan saling mendahului.
Diam-diam Adityawarman dan Raja Jayanagara
mengakui keunggulan Gajahmada yang nampaknya
telah begitu sempurna penguasaan ilmu meringankan
tubuhnya. Mereka melihat Gajahmada melangkah seperti
berjalan biasa, namun dengan mengerahkan kekuatan
yang penuh tetap saja mereka berdua tidak mampu
melewati Gajahmada didepan mereka.
Hingga ketika mereka menemui beberapa ladang
jagung yang baru tumbuh, terlihat ketiganya sudah
berjalan biasa. "Masih ada tiga Padukuhan lagi yang harus kalian
lewati", berkata seorang petani yang ditanya oleh
Gajahmada tentang arah menuju rumah Ki Buyut
Bebander. Demikianlah, ketiganya terlihat berjalan menyusuri
arah jalan yang ditunjuk oleh petani tadi, melewati sawah
1057 ladang, bulakan panjang, kerimbunan hutan bambu dan
melewati tiga Padukuhan yang masih begitu sepi,
dipenuhi beberapa rumah yang sangat begitu sederhana
dengan jarak berjauhan antara satu rumah dengan
rumah lainnya. "Kitalah tamu agung yang mereka tunggu", berkata
Gajahmada sambil menunjuk ke sebuah tempat.
Gajahmada menunjuk kearah beberapa barak darurat
yang ditengahnya berdiri sebuah rumah panggung yang
cukup besar. Ternyata barak-barak darurat itu dibuat oleh para
pasukan gabungan yang tiba sehari sebelum kehadiran
mereka bertiga. Sementara rumah panggung yang cukup
besar itu adalah rumah milik Ki Buyut Bebander.
Kedatangan Gajahmada, Adityawarman dan Raja
Jayanagara di kabuyutan Bebander disambut dengan
rasa suka cita. Terutama Tumenggung Mahesa Semu
dan Nyi Nariratih. "Sungguh para dewa hari ini telah memberi
kemuliaan kepada orang-orang Bebander, mengantar
putra Raja Sanggrama Wijaya menginjak tanah kami",
berkata Ki Buyut Bebander penuh kebanggaan hati telah
diperkenalkan kepada Raja Jayanagara.
"Atas nama Raja Majapahit, aku menghaturkan
banyak terima kasih. Penerimaan warga Kabuyutan
Bebander adalah karya bhakti titian sejarah Kerajaan
Majapahit ini yang akan menjadi cerita anugerah di
masa-masa yang akan datang. Semoga keberkahan
selalu tumbuh di atas tanah subur ini", berkata Raja
Jayanagara kepada Ki Buyut Bebander.
"Sabda seorang Raja adalah sabda para dewa,
1058 anugerah seorang Raja adalah anugerah para dewa",
berkata Ki Buyut Bebander.
Demikianlah, di panggung pendapa rumah Ki Buyut
telah berubah menjadi sebuah perjamuan besar,
berduyun-duyun para warga membawa antaran hidangan
untuk para pasukan gabungan, Raja Majapahit dan
orang-orang yang selalu setia bersamanya.
Dan panggung latar bumi pun seiring waktu silih
berganti. Terlihat layar langit senja yang teduh memayungi
wajah bumi Kabuyutan Bebander.
"Terima kasih tak terhingga kuucapkan kepada
seluruh pasukan gabungan yang telah membawa aku
dan para pejabat istana di Kabuyutan Bebander ini.
Berkat kalian nafas kehidupan panji kepemimpinan
kekuasaan yang syah masih tetap hidup. Atas restuku,
aku mempercayakan sepenuhnya kepada Paman
Tumenggung Mahesa Semu untuk menjadi senapati di
tanah pengasingan ini, menyiapkan sebuah gerakan
merebut kembali istana dan Kotaraja Majapahit dari pihak
musuh", berkata Raja Jayanagara di hadapan semua
orang yang duduk diatas panggung pendapa rumah
kediaman Ki Buyut Bebander.
"Terima kasih atas restu dan kepercayaan tuanku
Baginda", berkata Tumenggung Mahesa semu penuh
penghormatan di hadapan Raja Jayanagara.
Para pejabat utama istana dan Tumenggung Jala
Yudha terlihat sangat setuju dengan pilihan Raja
Jayanagara, menjadikan Tumenggung Mahesa Semu
sebagai senapati perang kerajaan di tanah pengasingan.
Dan dalam hati mereka terbit rasa terima kasih dan
penghargaan atas kecepatan Tumenggung Mahesa
1059 Semu yang menggerakkan pasukan gabungannya
hingga dapat menyelamatkan jiwa mereka dari pihak
musuh. Dan pagi itu di ujung barat gerbang gapura Kotaraja,
terlihat lima orang pedagang anyaman tikar terlihat
tengah memanggul barang mereka. Langkah kaki
mereka nampaknya seperti kebanyakan

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang pedusunan yang sudah terbiasa menempuh perjalanan
yang cukup jauh. Nampaknya para pedagang anyaman tikar itu tidak
mengetahui tentang suasana Kotaraja Majapahit saat itu,
mereka seperti tidak memperdulikan hampir di setiap
sudut jalan utama Kotaraja Majapahit ditempatkan
beberapa prajurit yang siap siaga penuh, menghentikan
siapapun orang yang dirasa perlu mendapat perhatian
dan mencurigakan. Namun kelima pedagang anyaman tikar itu
nampaknya telah luput dari kecurigaan para prajurit yang
tengah berjaga-jaga di hampir setiap sudut kotaraja
Majapahit itu, tidak seorang pun prajurit yang mencegat
atau menghentikan mereka.
Suasana Kotaraja setelah dikuasai oleh para
pengikut Ra Kuti memang tidak seramai hari-hari
sebelumnya, banyak para pedagang yang sudah
terlanjur sandar di pelabuhan Tanah Ujung Galuh
mengundurkan niatnya memasuki Kotaraja Majapahit.
Sementara beberapa pedagang yang sudah terlanjur
berada di Kotaraja Majapahit berangsur-angsur pergi
menjauhinya, mencari tempat yang aman keluar dari
Kotaraja Majapahit. Sementara para warga sebagian
besar tidak berani keluar rumah, namun satu dua orang
yang mungkin karena kepentingan yang amat sangat
terpaksa keluar rumah. 1060 Jalan-jalan utama menuju arah pasar Kotaraja
Majapahit terlihat menjadi begitu lengang dan sepi,
hanya para prajurit saja yang kadang terlihat berjalan
berkeliling dengan berjalan kaki, atau berkuda di
sepanjang jalan utama Kotaraja Majapahit itu.
Sementara langkah kaki kelima pedagang anyaman
tikar itu telah mendekati pasar Kotaraja Majapahit.
"Naluri kelima pedagang itu sungguh sangat peka,
kotaraja ini memang masih perlu tikar yang cukup untuk
membungkus mayat", berkata seorang prajurit di sudut
kota berceloteh tentang kelima pedagang anyaman tikar
yang tengah lewat kepada kawan-kawannya.
Entah mendengar atau pura-pura tidak mendengar,
kelima pedagang anyaman tikar itu tetap saja melangkah
menuju arah pasar Kotaraja Majapahit.
Hingga ketika kelima orang pedagang anyaman tikar
itu sampai di pasar Kotaraja Majapahit, suasana tidak
terlihat seperti hari-hari pasaran sebelumnya yang selalu
ramai dengan para pedagang dan pengunjung. Hanya
beberapa kedai saja yang tetap buka, itupun karena
mereka memang tinggal dan hidup sepanjang hari di
dalam kedai itu. Terlihat kelima pedagang anyaman tikar itu tengah
mendekati sebuah kedai yang ada di pasar Kotaraja
Majapahit. Ketika tiba di muka kedai, mereka bersama
menyusun tikar-tikar yang mereka bawa di pinggir pagar
dinding kedai dan langsung memasuki kedai itu bersama.
"Naga muda mencari jalan pulang", berkata seorang
lelaki pemilik kedai sambil tersenyum.
Siapakah sebenarnya kelima pedagang anyaman
1061 tikar itu" Ternyata mereka dari Kabuyutan Bebander yang
ditugaskan untuk mengamati keadaan disekitar Kotaraja
Majapahit. Sementara orang paling muda diantara pedagang
tikar itu adalah Gajahmada, sang pemimpin pasukan
Bhayangkara. "Hari ini pelangganmu sepi sekali, wahai Ki Bancak",
berkata Gajahmada kepada pemilik kedai itu yang
ternyata adalah Ki Bancak.
"Hari ini aku hanya menunggu lima orang pedagang
tikar", berkata Ki Bancak masih dengan senyumnya.
"Silahkan duduk, aku akan mengambil minuman untuk
kalian", berkata kembali Ki Bancak sambil masuk
kedalam. Maka tidak lama berselang Ki Bancak sudah terlihat
kembali dengan membawa kendi berisi air putih dan lima
buah cangkir untuk kelima pedagang tikar samaran itu.
"Bagaimana kabar sang Naga di persembunyiannya?", berkata Ki Bancak sambil ikut
duduk bergabung "Tengah mencari saat yang paling tepat, merebut
kembali sarangnya", berkata Gajahmada kepada Ki
Bancak. "Mudah-mudahan mataku masih dapat diandalkan,
ada sepuluh kepala di tujuh perempat jalan, seratus
kepala menyebar mengawasi keadaan. Seratus kepala
berkaki kuda tiap sepinangan sirih terus berputar",
berkata Ki Bancak dengan kata-kata sandi yang hanya
dimengerti oleh mereka bersama.
"Ternyata mata tuamu masih mampu berhitung
1062 dengan tepat, kami di sepanjang jalan juga berhitung,
hanya tidak menemui seratus kepala berkaki kuda",
berkata Gajahmada kepada Ki Bancak.
"Terima kasih, itu artinya mata tuaku masih dapat
diandalkan", berkata Ki Bancak sambil melepas
senyumnya memperlihatkan gigi putihnya yang terlihat
masih kuat dan utuh. "Kutinggalkan keempat kawanku ini di kedaimu,
sementara aku harus segera ke Tanah Ujung Galuh",
berkata Gajahmada kepada Ki Bancak.
"Kebetulan sekali, ikan gurame bakar di kedai ini
memang hanya tinggal lima ekor", berkata Ki Bancak
sambil melepas senyumnya kembali.
Demikianlah, tidak lama berselang Gajahmada
memang terlihat keluar dari kedai itu. Tentunya dengan
hanya memakai pakaian lusuh seorang pedagang
anyaman tikar dari sebuah dusun yang sangat terpencil
serta sebuah caping bambu yang telah kusam membuat
dirinya tidak mudah lagi dikenali oleh siapapun.
Tapi tidak bagi seorang tukang rakit di sungai
Kalimas yang menyeberanginya.
"Tuan?"", berkata ragu-ragu seorang tukang rakit
sambil menatap wajah Gajahmada dibalik capingnya.
Tersenyum Gajahmada melihat wajah tukang rakit itu
yang nampaknya sudah dapat mengenalnya, hanya
heran dengan pakaian yang dikenakannya saat itu.
"Kubayar dengan empat kali lipat ongkos
penyeberangannya, namun dengan satu syarat untuk
tidak bercerita kepada siapapun bahwa kamu melihatku
ada disini hari ini", berkata Gajahmada kepada tukang
rakit itu. 1063 "Kapan kamu akan mengenakan kembali pakaian
seperti ini?", bertanya tukang rakit itu kepada Gajahmada
ketika mereka telah tiba di seberang Tanah Ujung Galuh.
"Apa maksudmu bertanya tentang pakaianku ini?",
balik bertanya Gajahmada.
"Agar aku dapat bercerita kepada istriku, kapan aku
dapat upah empat kali lipat darimu", berkata tukang rakit
itu penuh senyum gembira.
Gajahmada memang punya banyak kawan dari
berbagai jenjang usia, kedudukan dan martabat apapun
termasuk tukang rakit di sungai Kalimas itu.
Terlihat keduanya saling melambaikan tangannya
manakala Gajahmada telah berjalan menjauhi dermaga
tepian sungai Kalimas itu.
Arah langkah kaki Gajahmada nampaknya tengah
menuju arah Benteng prajurit di Tanah Ujung Galuh.
Pada hari-hari biasa, gerbang benteng prajurit itu
selalu terbuka, karena selain sebagai tempat kekuatan
laskar Majapahit mengamankan seluruh perdagangan
lautnya di benteng itu juga berdiri Bale tamu, sebuah
tempat untuk menerima para perwakilan utusan
perdagangan dari kerajaan lain. Namun pada hari itu
pintu gerbang benteng tertutup rapat.
"Nampaknya mereka sangat berhati-hati, tidak ingin
mendapat serangan dadakan dari arah Kotaraja
Majapahit", berkata Gajahmada dalam hati.
Akhirnya Gajahmada telah berada di muka pintu
gerbang benteng Tanah Ujung Galuh itu.
"Ada apa gerangan kamu datang ke benteng ini?",
bertanya seorang prajurit yang melihatnya dari arah atas
panggungan. 1064 Gajahmada tersenyum dalam hati, pasti karena
pakaian dan capingku ini yang membuat dirinya tidak
mengenaliku", berkata Gajahmada dalam hati mengangkat wajahnya sedikit agar dikenali oleh prajurit
itu. Namun tetap saja prajurit itu masih juga belum
berubah raut wajahnya, masih memandangnya dengan
pandangan sebagai orang asing.
"Aku, Ki Lurah Sanakeling", berkata Gajahmada
sambil melepas caping bambunya yang lebar menutupi
bagian wajahnya. "Sebentar kubukakan sendiri pintu gerbangnya",
berkata prajurit itu yang nampaknya telah mengenal
wajah Gajahmada, seorang yang sudah banyak dikenal
oleh para prajurit di benteng Tanah Ujung Galuh itu.
Gajahmada tersenyum memandang sebuah kepala
yang keluar dari pintu gerbang yang telah terbuka sedikit.
"Lekaslah masuk", berkata prajurit itu.
Maka terlihat Gajahmada segera masuk kedalam
benteng itu. "Pakaian dan caping tuan benar-benar seperti orang
dusun sungguhan", berkata prajurit itu kepada
Gajahmada setelah menutup kembali pintu gerbang
rapat-rapat. "Aku harus berpakaian seperti ini untuk masuk ke
Kotaraja Majapahit", berkata Gajahmada menjelaskan
tentang pakaian dan caping yang dikenakannya itu.
"Nampaknya ada sesuatu hal yang amat penting
sehingga tuan harus datang di benteng Tanah Ujung
Galuh ini", bertanya prajurit itu kepada Gajahmada.
"Siapa yang berwenang penuh dari kelima Rangga di
benteng Tanah Ujung Galuh ini", balik bertanya
1065 Gajahmada kepada Ki Lurah Sanakeling.
"Sejak hilangnya Tumenggung Jala Yudha dalam
peristiwa di Kotaraja Majapahit, kami di Benteng Tanah
Ujung Galuh belum memutuskan siapa pemegang
kendali dan pucuk pimpinan. Namun tadi malam alur
perintah sandi kami terima dari Ki Rangga Pitu Jegong",
berkata Ki Lurah Sanakeling.
"Bila demikian, antarkan aku untuk menemuinya. Ada
sesuatu hal yang amat sangat penting yang akan
kusampaikan kepadanya", berkata Gajahmada.
"Aku sendiri yang akan mengantar tuan", berkata Ki
Lurah Sanakeling. Terlihat Ki Lurah Sanakeling memanggil dua orang
prajurit yang berada di pos penjagaan. Nampaknya Ki
Lurah Sanakeling memberi perintah kepada dua orang
prajurit itu untuk menggantikan dirinya bertugas di
panggungan memantau keadaan di luar benteng.
"Mari ikut bersamaku", berkata Ki Lurah Sanakeling
kepada Gajahmada. Terlihat Gajahmada telah berjalan bersama Ki Lurah
Sanakeling menuju arah tempat kerja Ki Rangga Pitu
Jegong. "Ki Rangga Jegong Pitu, aku membawa seorang
penyusup nakal yang mencoba masuk ke benteng kita",
berkata Ki Lurah Sanakeling kepada Ki rangga Pitu
Jegong. "Bagaimana caranya aku dapat menghukum seorang
tuan penguasa puri pasanggrahan Tanah Ujung Galuh
yang indah itu, seorang pemimpin pasukan Bhayangkara
yang berilmu sangat tinggi itu", berkata Ki Rangga Pitu
Jegong sambil tersenyum memandang Gajahmada.
1066 "Aku sengaja datang ke Benteng ini untuk
menyampaikan sebuah pesan singkat dari pemilik keris
ini", berkata Gajahmada sambil memperlihatkan sebuah
keris berkepala gurita laut.
Bukan main terkejutnya Ki Rangga Pitu dan Ki Lurah
Sanakeling dengan mata yang terus terbuka menatap
keris ditangan Gajahmada itu.
"Apakah tuan Tumenggung Jala Yudha masih
hidup", dimana beliau saat ini", bagaimana pula dengan
putrinya?", bertanya Ki Rangga Pitu Jegong beruntun.
"Tumenggung Jala Yudha masih hidup, sehat, begitu
pula dengan putri kecilnya. Namun sampai saat ini aku
belum dapat menyampaikan dimana keberadaannya",
berkata Gajahmada menjawab pertanyaan beruntun dari
Ki Rangga Pitu Jegong itu.
"Aku dapat mengerti mengapa kamu belum dapat
menyampaikan keberadaannya, karena kamu belum
dapat menilai dimana keberpihakan kami saat ini
menghadapi suasana kekisruhan yang terjadi di istana
dan Kotaraja Majapahit. Aku akan memanggil keempat
pejabat Rangga di benteng ini, agar sama-sama
mendengar apa pesan dan amanat dari Tumenggung


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jala Yudha kepada kami", berkata Ki Rangga Pitu
Jegong kepada Gajahmada. "Terima kasih atas pengertian Ki Rangga Pitu Jegong
untuk hal yang satu itu", berkata Gajahmada.
Terlihat Ki Rangga Pitu Jegong meminta batuan Ki
Lurah Sanakeling untuk memanggil keempat pejabat
Rangga lainnya. "Aku akan segera menemui mereka", berkata Ki
Lurah Sanakeling sambil langsung berbalik badan keluar
1067 dari ruang kerja Ki Rangga Pitu Jegong.
Selama tidak ada lagi Ki Lurah Sanakeling, keduanya
hanya berbicara ha-hal yang biasa dan ringan sebagai
pengisi waktu sambil menunggu kedatangan keempat
pejabat Rangga. Dan akhirnya Ki Lurah Sanakeling datang kembali,
tentunya bersama keempat pejabat Rangga di benteng
Tanah Ujung Galuh itu. Mereka adalah Ki Rangga Siji Kepeng, Ki Rangga
Lara Manuk, Ki Rangga Lor Anabrang dan Ki Rangga
Pangkalima, terlihat wajah mereka begitu tegang,
mungkin karena Ki Lurah Sanakeling telah menyampaikan ada pesan dan amanat dari Tumenggung
Jala Yudha untuk mereka. "Maaf Ki Rangga Pitu Jegong, apakah aku masih
diperlukan hadiri di ruangan ini?", bertanya Ki Lurah
Sanakeling kepada Ki Rangga Pitu Jegong merasa
kurang enak hati melihat kepangkatan prajuritnya
mungkin tidak berkenan ikut mendengar berita penting
itu. "Tidak masalah Ki Lurah, tetaplah kamu disini",
berkata Ki Rangga Pitu Jegong dengan suara sangat
lembut perlahan kepada Ki Lurah Sanakeling mengerti
perasaan yang membebani diri Ki Lurah itu.
Ternyata suara Ki Rangga Pitu Jegong sebagai
pembatas terakhir, setelah itu suasana terlihat begitu
mencekam, begitu tegang, begitu sunyi dan senyap.
Semua mata tertuju kearah Gajahmada yang masih diam
mematung. Semua mata seperti tersirep, mengikuti arah gerak
tangan Gajahmada. 1068 Semua mata masih tersirep, mengikuti gerak tangan
Gajahmada yang terlihat meraba sesuatu dari balik
pakaiannya yang lusuh itu.
"Keris pusaka Ki Bajrongan !!", serentak suara
berdesis keluar dari mulut Ki Rangga Siji Kepeng, Ki
Rangga Lara Manuk, Ki Rangga Lor Anabrang dan Ki
Rangga Pangkalima. "Kalian pasti sudah mengenal siapa pemilik keris
pusaka ini", berkata Gajahmada sambil memandang
wajah kelima pejabat Rangga di benteng Tanah Ujung
Galuh itu satu persatu. "Pemilik keris ini ingin
menyampaikan sebuah pesan melalui diriku bahwa
dirinya saat ini masih hidup, pemilik keris ini ingin
menyampaikan sebuah pesan melalui diriku bahwa
dirinya saat ini masih sebagai seorang pemimpin tertinggi
kesatuan pasukan Jala Yudha, pemilik keris ini ingin
menyampaikan sebuah pesan melalui diriku bahwa
dirinya tetap setia kepada penguasa yang syah, putra
Raja Sanggrama Wijaya, Raja Jayanagara", berdiam diri
sejenak Gajahmada sambil mengamati satu persatu
wajah kelima pejabat Rangga di benteng Tanah Ujung
Galuh itu. "pemilik keris ini ingin menyampaikan sebuah
pesan melalui diriku bahwa siapapun yang berpihak lain
darinya adalah musuhnya", berkata kembali Gajahmada
masih tetap dengan pandangan yang mengikat semua
orang yang ada di ruang kerja Ki Rangga Pitu Jegong itu,
seperti ingin membaca isi hati mereka.
Perkataan Gajahmada seperti batas awal kesenyapan di ruangan itu, tidak ada satupun suara.
Semua mata masih tertuju kearah Gajahmada, seperti
masih menunggu pesan dan amanat pemimpin mereka
itu lewat anak muda itu. Akhirnya penantian mereka pecah juga, Gajahmada
1069 terdengar kembali membuka suara.
"Pemilik keris ini telah berpesan pula kepadaku,
bahwa sejak hari ini segala perintah dan kendali
kesatuan pasukan Jala Yudha berada di dalam
pimpinanku", berkata Gajahmada sambil menilik sikap
setiap orang satu persatu kelima pejabat Rangga itu,
lewat raut warna wajah mereka.
Suasana kembali sepi mencekam.
"Bagaimana kami dapat meyakini bahwa Tumenggung Jala Yudha masih hidup, bagaimana kami
dapat meyakini bahwa pesan Tumenggung Jala Yudha
itu benar adanya", berkata Ki Rangga Pangkalima
memecahkan suasana sepi dan mencekam itu.
Sebagaimana diketahui, Ki Rangga Pangkalima
adalah seorang yang sangat teliti, biasa berbicara apa
adanya tanpa perasaan sungkan, apa yang ada dalam
pikirannya akan diucapkan langsung tanpa pandang
bulu. JILID 13 MENDENGAR ucapan Ki Rangga Pangkalima tidak
membuat seorang Gajahmada tersinggung, memaklumi
dan menghargai sikap manusia yang memang tidak
sama satu dengan yang lainnya.
"Aku akan membawa Ki Lurah Sanakeling untuk
bertemu langsung dengan pimpinanmu itu", berkata
Gajahmada sambil tersenyum.
"Sebuah cara yang sangat cerdas", berkata Ki rangga
Pitu Jegong menyetujui usulan Gajahmada.
Ucapan Ki Rangga Pitu Jegong memang berhasil
1070 mengurangi ketegangan yang sempat muncul dalam
pertemuan itu. "Aku setuju", berkata Ki Rangga Siji Kepeng.
"Aku sangat setuju sekali", berkata Ki Rangga Lara
Manuk "Aku sangat-sangat setuju", berkata Ki Rangga Lor
Anabrang "Sebuah usulan yang sangat cerdas, aku percaya
kepada Ki Lurah Sanakeling menjadi kepanjangan
mataku", berkata Ki Rangga Pangkalima.
"Baiklah, aku akan membawa Ki Lurah Sanakeling
untuk wakil kepanjangan mata kalian", berkata
Gajahmada kepada kelima orang kepercayaan
Tumenggung Jala Yudha di Benteng Tanah Ujung Galuh
itu. Demikianlah, pada hari itu juga terlihat Gajahmada
dan Ki Lurah Sanakeling telah keluar dari pintu gerbang
benteng Tanah Ujung Galuh, tentunya setelah Ki Lurah
Sanakeling berganti pakaian sebagaimana yang
dikenakan oleh Gajahmada, selembar pakaian lusuh dan
sebuah caping lebar. "Apakah hari ini aku akan mendapatkan tambahan
delapan kali dari pembayaran biasa?", bertanya seorang
tukang rakit yang tengah menyeberangkan Gajahmada
dan Ki Lurah Sanakeling. "Mengapa kamu berkata seperti itu?", bertanya
Gajahmada kepada tukang rakit itu.
"Karena hari ini aku melihat ada penumpangku
dengan dua caping yang sama", berkata tukang rakit
sambil tersenyum. 1071 Namun ketika tiba di seberang, tukang rakit itu
menolak pembayaran dari Gajahmada.
"Pembayaran sebelumnya sudah sangat besar sekali,
jangan dianggap perkataanku tadi", berkata tukang rakit
itu kepada Gajahmada. Demikianlah, tukang rakit itu terlihat melambaikan
tangannya kepada Gajahmada yang telah berjalan
menjauhi tepian Sungai Kalimas itu bersama Ki Lurah
Sanakeling. Ketika mereka tiba di pasar Kotaraja Majapahit,
suasana tidak ada yang banyak berubah, suasana masih
tidak lebih ramai dari tadi pagi.
Terlihat keduanya telah mendekati kedai Ki Bancak.
Ternyata di alam kedai Ki Bancak, empat orang
kawannya yang menyamar sebagai para pedagang tikar
itu masih menunggu, tentunya bersama Ki Bancak yang
selalu setia menemani mereka.
Kepada mereka semua, Gajahmada memperkenalkan Ki Lurah Sanakeling serta bercerita
banyak tentang pertemuan dirinya dengan para wakil
pimpinan di benteng Tanah Ujung Galuh.
"Aku perlu salah satu dari kalian mengantar Ki
Lurah", berkata Gajahmada.
Salah seorang dari keempat kawan Gajahmada
menawarkan dirinya. "Biar aku saja yang mengantar Ki Lurah Sanakeling",
berkata orang itu. "Terima kasih, Ki Lurah sudah mengerti tentang
bahayanya membocorkan rahasia tempat pengasingan
kita", berkata Gajahmada memberikan jaminan kepada
1072 kawan-kawannya. Maka tidak lama kemudian Ki Lurah Sanakeling
bersama seseorang yang mengantarnya sudah pergi
keluar dari kedai Ki Bancak.
"Tugas kita malam ini hanya menghitung berapa
kepala di jalanan Kotaraja, apakah ada perbedaan antara
siang dan malam hari", berkata Gajahmada kepada
kawan-kawannya. "Masih ada banyak waktu menunggu saat tengah
malam, aku akan membuatkan kalian nasi serundeng,
nikmat dimakan disaat nasinya masih hangat", berkata Ki
Bancak. "Ki Bancak masih berhutang satu ekor gurame bakar
kepadaku, jadi untukku nasi serundeng dan ikan bakar
gurame, impas hutang piutang", berkata Gajahmada
sambil tertawa panjang. Demikianlah, malam itu Gajahmada dan ketiga
kawannya memutuskan untuk keluar dari kedai Ki
Bancak disaat tengah malam.
Sementara sambil menunggu mereka mendapat
suguhan minuman dan suguhan cerita dari Ki Bancak
yang seperti tidak pernah habis-habisnya, berbagai cerita
pengalaman menarik selama Ki Bancak bertugas
sebagai prajurit di beberapa daerah.
Hingga akhirnya di saat tengah malam tiba,
Gajahmada dan ketiga kawannya telah menyelinap
keluar dari kedai Ki Bancak.
Tidak seperti di siang harinya mereka mengamati
situasi dengan cara terbuka menyamar sebagai para
pedagang tikar, sementara di malam itu mereka harus
menyusup dan menyelinap di kegelapan malam
1073 mengamati seluruh penjagaan di Kotaraja Majapahit.
Akhirnya, manakala mereka merasa cukup menjelajahi hampir seluruh Kotaraja, mereka memutuskan untuk kembali ke kedai Ki Bancak.
"Bagaimana keadaan dan suasana penjagaan
Kotaraja Majapahit di malam hari?", bertanya Ki Bancak
kepada Gajahmada dan kawan-kawannya yang baru
kembali itu. "Tidak banyak perbedaan, tempat dan jumlah
mereka", berkata Gajahmada kepada Ki Bancak.
"Perlu beberapa hari untuk mengamati sebuah
situasi, agar kita yakin sebagai sebuah kepastian",
berkata Ki Bancak. "Benar Ki Bancak, kami memang perlu dua hingga
tiga hari sebelum memutuskan hasil pengamatan kami",
berkata Gajahmada. "Aku akan membantu kalian mengamati keadaan di
saat siang hari, siapa yang peduli dengan wajah tuaku
ini", berkata Ki Bancak sambil tersenyum.
Demikianlah, tiga hari Gajahmada dan kawankawannya melakukan pengamatan situasi Kotaraja
Majapahit, bahkan Gajahmada seorang diri masih
sempat mengamati situasi istana Majapahit, tentunya
karena kemampuan ilmunya yang sudah sangat tinggi
sehingga dapat begitu mudahnya menyelinap dan
bergerak tanpa terlihat oleh siapapun.
Sementara itu Ki Lurah Sanakeling telah kembali ke


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benteng di Tanah Ujung Galuh dan meyakinkan para
pejabat Rangga di benteng itu bahwa Tumenggung Jala
Yudha masih hidup, aman dan tidak tengah dibawah
tekanan siapapun. Sesuai dengan janjinya, Ki Lurah
1074 Sanakeling memang tidak membocorkan dimana letak
pengasingan Tumenggung Jala Yudha itu.
Dan pagi itu terlihat Gajahmada bersama tiga orang
kawannya tengah berpamit diri dengan Ki Bancak untuk
kembali ke Kabuyutan Bebander.
"Kutitipkan semua barang dagangan kami kepadamu,
wahai Ki Bancak", berkata Gajahmada kepada Ki
Bancak. "Artinya bebas diriku menjual dengan harga yang
lebih tinggi", berkata Ki Bancak sambil tersenyum
"Sampai bertemu lagi, wahai prajurit tua", berkata
Gajahmada sambil melambaikan tangannya setelah dua
tiga langkah berjalan meninggalkan kedai Ki Bancak.
"Jaga kepala kalian, agar masih dapat menikmati nasi
serundengku", berkata Ki Bancak membalas lambaian
tangan Gajahmada dan kawan-kawannya itu.
Terlihat Gajahmada dan ketiga kawannya itu sudah
semakin jauh meninggalkan pasar kotaraja Majapahit. Di
jalan-jalan utama mereka masih melihat banyak prajurit
yang tetap berjaga-jaga. Sementara Kotaraja Majapahit
yang ramai itu terlihat seperti sebuah kota tambang yang
telah ditinggalkan para penambangnya, kota itu menjadi
begitu sepi karena para warganya merasa tidak nyaman
berada diluar rumah mereka, masih ada rasa takut
melihat sikap para prajurit yang kurang bersahabat
bahkan ada beberapa prajurit yang memanfaatkan
suasana dan keadaan, melakukan berbagai tindakan
yang kurang manusia merugikan para warga Kotaraja
Majapahit. Namun di sebuah sudut jalan, Gajahmada dan ketiga
kawannya berdebar-debar perasaannya manakala salah
1075 seorang prajurit memanggil mereka untuk mendekat.
Dengan menguatkan hati dan perasaan diri, mereka
berempat terlihat mendekati seorang prajurit yang
memanggilnya di bawah tatapan mata beberapa prajurit
yang tengah berkumpul. "Bukankah kalian para pedagang anyaman tikar?",
berkata seorang prajurit ketika mereka berempat datang
mendekat. "Benar, kami para pedagang anyaman tikar di pasar
Kotaraja", berkata Gajahmada tanpa membuka caping
lebarnya. "Pasti kalian dapat untung besar, nampaknya barang
dagangan kalian sudah habis terjual", berkata prajurit itu.
"Pasar Kotaraja tiga hari ini begitu sepi, tak satu pun
barang kami yang terjual", berkata Gajahmada dengan
suara yang sangat memelas sekali.
"Kami menjaminkan barang dagangan kami kepada
seorang pemilik kedai untuk biaya makan dan
tumpangan selama tiga hari", berkata kawan Gajahmada
menambahkan. "Dari mana asal kalian?" bertanya prajurit itu mulai
merasa kasihan. "Dari Padukuhan Pandan Pudak", berkata Gajahmada mengambil alih jawaban, takut ketiga
kawannya salah menyebut sebuah nama tempat.
"Lanjutkan perjalanan kalian, aku hanya ingin
memastikan bahwa kalian benar dari Padukuhan Pandan
Pudak, tempat asal kakak iparku yang memang kutahu
sebagian warganya para menganyam tikar", berkata
prajurit itu sangat berubah sekali sikapnya, begitu sangat
ramah. 1076 Mendengar ucapan prajurit itu, terlihat Gajahmada
menarik nafas lega, merasa beruntung pernah
menyambangi Padukuhan Pandan Pudak, yang memang
sebagian besar warganya adalah para penganyam tikar
sebagaimana dikatakan oleh prajurit itu.
"Permisi, kami akan melanjutkan perjalanan kembali",
berkata Gajahmada sambil membungkuk penuh hormat
kepada prajurit itu, juga kepada para prajurit lainnya.
Demikianlah, Gajahmada dan ketiga kawannya telah
melanjutkan perjalanan mereka kembali setelah tertahan
oleh seorang prajurit yang hanya sekedar bertanya itu.
Hingga akhirnya Gajahmada dan ketiga kawannya
telah mendekati gerbang gapura sebelah barat Kotaraja
Majapahit. Ketika melewati gerbang gapura sebelah barat itu,
terlihat mereka berhenti sebentar hanya untuk
memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti perjalanan
mereka. Sementara itu mentari pagi di belakang punggung
mereka begitu hangat menyebarkan cahayanya,
memberi warna keindahan alami untaian bunga ilalang
yang tengah mekar, beberapa juntai terlihat terbang
seperti kapas tertiup angin bertebaran mencari
kehidupan baru. "Baginda Raja Sanggrama Wijaya banyak belajar dari
tanaman ilalang ini ketika awal membangun dasar
kerajaannya. Sederhana, selalu bersama dan tumbuh
menyebar di tanah kering dan basah", berkata
Gajahmada dalam hati. "Orang-orang yang saat ini masih setia di Kabuyutan
Bebander adalah ilalang kehidupan yang terus bertahan
1077 di tengah kekerasan alam, tiada ada yang dapat
menghalangi untuk terus melanjutkan kehidupannya",
berkata kembali Gajahmada dalam hati seperti tengah
menikmati perjalanannya, memandang untaian bunga
ilalang yang bertebaran terbang tertiup angin mengiringi
setiap jejak langkah kakinya.
Gajahmada dan ketiga kawannya terlihat sudah
berada di jalur menuju arah Kabuyutan Bebander,
sebuah jalan berbatu yang sangat jarang sekali dilintasi
para pedagang. Karena para pedagang saat itu lebih
condong bergerak ke arah utara dan selatan Kotaraja
Majapahit yang terus berkembang.
Sepanjang perjalanan mereka menuju Kabuyutan
Bebander tidak menemui hambatan yang berarti, namun
tetap saja mereka selalu memasang kewaspadaan,
selalu memastikan bahwa perjalanan mereka itu tidak
ada yang mengikuti. Hingga ketika mereka menemui sebuah pertigaan
jalan, mereka sengaja membuat kecohan dengan
mengambil jalan yang salah.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, mereka
pun mengambil arah melingkar, sehingga mereka datang
ke Kabuyutan Bebander dari arah belakang.
Matahari terlihat sudah jauh condong ke barat,
Gajahmada dan ketiga kawannya itu telah tiba di
Kabuyutan Bebander. "Senang melihatmu kembali, wahai anak muda",
berkata Raja Jayanagara menyambut kedatangan
Gajahmada di pendapa rumah Ki Buyut Bebander.
Maka setelah bersih-bersih di pakiwan, terlihat
Gajahmada telah langsung bergabung di panggung
1078 pendapa Ki Buyut Bebander dimana saat itu terlihat
beberapa orang memang tengah menunggunya.
Diatas panggung pendapa itu, terlihat Gajahmada
dengan sangat rinci menyampaikan hasil pengamatannya tentang situasi di kotaraja Majapahit dan
istana. "Kamu benar-benar telah melaksanakan tugasmu
dengan sangat baik sekali, wahai Gajahmada", berkata
Tumenggung Mahesa Semu setelah mendengar semua
rincian pengamatan Gajahmada dan kawan-kawannya
itu. "Mudah-mudahan tidak ada yang terlepas dari
pengamatan kami", berkata Gajahmada kepada
Tumenggung Mahesa Semu yang telah mendapat restu
dari Raja Jayanagara untuk menjadi pimpinan
pergerakan merebut kembali istana dan Kotaraja
Majapahit itu. "Pengamatan kalian sudah lebih dari mencukupi",
berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada Gajahmada.
Demikianlah, diatas panggung pendapa itu Tumenggung Mahesa Semu langsung menyusun
rencana penyerangan mereka. Ternyata Tumenggung
Mahesa Semu seorang penyusun siasat perang yang
sangat hebat. "Kita bergerak di malam hari, pasukan gabungan
yang terdiri dari para prajurit Srikandi, pasukan
Bhayangkara dan petugas telik sandi bertugas sebagai
pasukan pembuka, mengamankan jalan-jalan Kotaraja,
sebagai jembatan pembuka gerbang bagi kesatuan
pasukan Jala Yudha memasuki istana", berkata
Tumenggung Mahesa Semu menyusun rencana
penyerangan mereka di Kotaraja Majapahit.
1079 Sambil berkata, Tumenggung Mahesa Semu
menyapu pandangannya ke semua orang yang hadir di
panggung pendapa Ki Buyut Bebander itu, ternyata tidak
seorang pun menyanggah usulan rencana penyerangannya itu. "Untuk pasukan pembuka, kupercayakan kepada
Adityawarman yang akan menjadi pimpinannya.
Sementara untuk pasukan utama, kupercayakan kepada
Gajahmada yang akan menjadi pimpinannya", berkata
Tumenggung Mahesa Semu sambil menyapu pandangannya berkeliling ke semua orang yang hadir di
panggung pendapa itu, terhenti sebentar ketika beradu
pandang dengan Tumenggung Jala Yudha dan mencoba
membaca apa yang ada dalam pikirannya.
"Pertempuran yang akan kita hadapi ini akan menjadi
sebuah peristiwa sejarah yang amat penting bagi
kelangsungan hidup dan matinya kerajaan Majapahit
yang kita cintai ini. Sudah saatnya kita para orang tua
memberikan kesempatan kepada orang-orang muda
untuk tampil dan maju kedepan, menumbuhkan rasa
kepercayaan diri kepada mereka, membangun citra dan
harapan-harapan baru lewat tangan dan karya mereka
sendiri. Sementara masih ada tugas yang amat penting
bagi kita para orang tua yang tidak kalah utamanya,
menjaga dan melindungi Raja Jayanagara di Kabuyutan
Bebander ini", berkata Tumenggung Mahesa Semu
kembali menyapu pandangannya ke semua orang yang
hadir di panggung pendapa rumah kediaman Ki Buyut
Bebander itu. Terlihat Tumenggung Jala Yudha menarik nafas
panjang, mengerti bahwa perkataan Tumenggung
Mahesa Semu itu ditujukan kepada dirinya seorang dan
diam-diam dapat memahami arah jalan pikiran yang
1080 diinginkan oleh Tumenggung Mahesa Semu itu.
"Sejarah adalah sebuah peristiwa yang amat penting
yang dapat kita jadikan sebagai panduan hidup kita. Dan
aku menjadi mata sejarah manakala Raja Kertanegara
memilih seorang anak muda bernama Raden Wijaya
untuk menjadi seorang senapati perangnya menghadapi
perlawanan Raja Jayakatwang. Ternyata Raja Kertanegara ingin menciptakan orang muda yang dapat
melanjutkan masa depan Singasari, membiarkan anak
muda itu harus menangis darah manakala melihat istana
dan keluarganya dihancurkan oleh musuhnya, setengah
lebih pasukannya binasa. Namun setelah kepahitankepahitan hidup yang dialaminya, anak muda itu telah
tumbuh dan berkembang menjadi seekor harimau muda
yang kuat, menjadi seekor Rajawali yang perkasa, yang
selalu unggul di medan pertempurannya, bahkan telah
mampu membangun sebuah kerajaan yang jauh lebih
besar dari yang dimiliki oleh Raja Kertanegara", berkata
kembali Tumenggung Mahesa Semu.
"Aku percaya kepada Gajahmada dan Adityawarman,
bukankah keduanya pernah ditunjuk oleh Baginda Raja
Sanggrama Wijaya memimpin sebuah pasukan
memerangi sebuah pemberontakan di Lamajang dan
Blambangan?", berkata Ki Tumenggung Wasa

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyetujui usulan Tumenggung Mahesa Semu.
"Bukan berarti aku membela putraku sendiri, tapi
menurutku Gajahmada dan Adityawarman memang
pantas diberikan kesempatan itu", berkata Nyi Nariratih.
"Apakah ada yang lebih pantas dari kedua anak
muda ini" ", berkata Tumenggung Mahesa Semu sambil
menyapu pandangannya berkeliling ke semua orang
yang hadir di panggung pendapa itu.
1081 Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada yang
mengusulkan nama lain. Maka Tumenggung Mahesa
Semu langsung memutuskan ketetapannya bahwa
Gajahmada dan Adityawarman yang akan menjadi
pimpinan pasukan yang akan bergerak menguasai
Kotaraja dan Istana Majapahit.
"Kita bergerak di saat bulan hilang di langit, masih
dua hari setelah hari ini", berkata Tumenggung Mahesa
Semu di hadapan semua yang hadir diatas panggung
pendapa itu. Maka setelah itu Gajahmada dan Adityawarman
diminta untuk membuat rencana lebih matang lagi,
didengar oleh semua yang hadir.
Gajahmada dan Adityawarman langsung menyampaikan gagasan-gagasannya dengan sangat
gamblang sekali membuat semua orang menjadi tidak
menyangsikan lagi kemampuan kedua anak muda itu.
"Besok aku akan mendahului ke benteng Tanah
Ujung Galuh", berkata Gajahmada menyampaikan
maksudnya untuk berangkat ke benteng Tanah Ujung
Galuh menyiapkan kesatuan pasukan Jala Yudha
sebagai pasukan utama. "Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, tidak
seorang pun yang hadir di panggung pendapa ini untuk
keluar dari Kabuyutan Bebander hingga batas waktu
yang akan kutentukan", berkata Tumenggung Mahesa
Semu. Demikianlah, setelah tidak ada lagi yang perlu
dibicarakan lagi, satu persatu setiap orang berpamit diri
untuk beristirahat. "Aku akan menyiapkan beberapa orangku berjaga1082
jaga di sekitar Kabuyutan Bebander ini, memastikan tiada
seorang pun membocorkan rencana penyerangan kita
ini", berkata Tumenggung Mahesa Semu kepada
Adityawarman dan Gajahmada manakala di atas
panggung pendapa itu hanya tinggal mereka bertiga.
"Apakah paman Tumenggung Mahesa Semu
mencurigai salah seorang diantara kita akan
berkhianat?", bertanya Gajahmada kepada Tumenggung
Mahesa Semu. "Sampai saat ini belum ada yang kucurigai", berkata
Tumenggung Mahesa Semu. "Semoga tidak ada yang mengkhianati perjuangan
kita ini", berkata Gajahmada.
"Aku juga berharap demikian, namun kita tetap harus
berhati-hati karena kita tidak tahu dan tidak dapat
membaca apa yang ada didalam hati setiap orang",
berkata Tumenggung Mahesa Semu.
Mendengar perkataan Tumenggung Mahesa Semu,
terlihat Gajahmada dan Adityawarman mulai dapat
mengikuti sikap dan cara kerja cantrik utama dari
padepokan Bajra Seta itu yang terkesan begitu sangat
berhati-hati dan begitu penuh dengan perhitungan yang
sangat matang. "Mari kita beristirahat, hari sudah begitu jauh malam",
berkata Tumenggung Mahesa Semu mengajak kedua
anak muda itu untuk beristirahat.
Sementara bukan sabit tipis diatas langit malam
Kabuyutan Bebander terlihat melenggut, sendiri.
Suara lengking malam langgeng mengisi waktu demi
waktu memenggal sangkala dalam samadhi sepi.
Sementara semilir angin yang dingin seperti nafas pada
1083 pendeta tua menghembuskan sirep sukma menyenyakkan setiap jiwa terpulas di peraduannya.
Semua orang di Kabuyutan Bebander nampaknya
sudah lama terpejam dalam tidurnya. Para prajurit di
dalam barak-barak darurat yang berjajar disamping
rumah kediaman Ki Buyut Bebander terlihat berhimpit
berbaring tidur diatas rumput dan ilalang kering yang
cukup hangat. Hanya beberapa orang prajurit terlihat terus berjaga
sepanjang malam itu, mengusir kantuk mereka dengan
cara berbincang-bincang, meneguk wedang hangat yang
terjaga kehangatannya di dekat perapian. Namun mereka
tetap selalu waspada, menjaga segala kemungkinan
yang bisa saja terjadi tanpa terduga.
Perlahan sang waktu terus terkikis di perbatasan
jarak persinggahan pagi yang ditandai dengan sebaris
warna merah memanjang dari ufuk timur dan barat
cakrawala langit. "Hendak kemanakah gerangan tuan?", berkata
seorang prajurit peronda kepada Gajahmada yang
terlihat sudah siap berkemas melakukan perjalanannya.
"Hari ini aku akan ke Kotaraja Majapahit", berkata
Gajahmada sambil tersenyum kepada prajurit peronda itu
yang tiada lain adalah para prajurit Bhayangkara.
"Semoga hasil penjualan tikarnya berlipat-lipat
ganda", berkata salah seorang prajurit peronda kepada
Gajahmada yang saat itu memang tengah membawa
gulungan tikar pandan layaknya seorang pedagang
anyaman tikar. Terlihat Gajahmada tersenyum memandang para
prajurit itu, dan terus melangkah sambil mengangkat
1084 caping besarnya pengganti lambaian tangan kepada
para prajurit itu. Para prajurit yang bertugas jaga itu terus mengiringi
langkah kaki Gajahmada hingga menghilang terhalang
tanaman pagar halaman rumah Ki Buyut Bebander dan
kegelapan pagi yang masih sepi itu.
Dan tidak lama berselang terlihat Gajahmada telah
keluar dari gerbang gapura Kabuyutan Bebander.
Namun baru saja beberapa langkah dari gerbang
gapura Kabuyutan Bebander, di keremangan pagi itu
mata anak muda itu terkejut melihat empat sosok tubuh
bergelimpangan di tengah jalan.
Segera Gajahmada mengamati keempat sosok tubuh
itu. "Mereka sudah tidak bernyawa lagi", berkata
Gajahmada dalam hati setelah memeriksa satu persatu
tubuh keempat orang itu. "Aku mengenal mereka sebagai
orang-orangnya Tumenggung Mahesa Semu, pasti ada
seseorang yang memaksa untuk keluar dari Kabuyutan
Bebander dan tidak dapat dihalangi oleh keempat orang
ini", berkata kembali Gajahmada dalam hati mulai
menduga-duga kejadian yang menimpa keempat
orangnya Tumenggung Mahesa Semu itu.
Dengan seksama Gajahmada memeriksa keadaan
sekelilingnya berharap mendapatkan sesuatu petunjuk.
Pandangan mata Gajahmada terpaku kepada dahandahan semak belukar yang patah terkuak.
"Pertempuran mereka masih belum lama terjadi",
berkata Gajahmada dalam hati melihat getah dahan yang
masih basah. "Semoga aku masih dapat mengejarnya",
berkata kembali Gajahmada sambil langsung melesat
1085 menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang amat
sempurna itu. Benar saja perhitungan Gajahmada bahwa orang
yang telah menewaskan keempat prajurit itu masih belum
begitu jauh dari tempat peristiwa. Dikejauhan dilihatnya
seorang lelaki tengah berlari menyusuri jalan arah
menuju Kotaraja Majapahit.
Dan dengan melipat gandakan kecepatannya berlari,
Gajahmada sudah mulai dapat mendekati lelaki itu.
"Siapakah lelaki itu?", berkata Gajahmada dalam hati
merasa tidak sabaran lagi untuk secepatnya menyusul
orang didepannya yang juga telah menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya melesat berlari dengan cepatnya.
Namun siapa yang dapat menandingi ilmu
meringankan tubuh Gajahmada yang nyaris sempurna
itu, yang seakan terbang mengendarai angin saja
layaknya. "Berhenti !!", berkata Gajahmada yang telah dapat
mendahului lari lelaki itu.
Terkejut bukan kepalang lelaki itu manakala melihat
seorang anak muda telah berdiri dihadapannya.
"Anak muda, apakah kamu berpikir aku akan gemetar
melihat keberadaanmu?", berkata lelaki itu kepada
Gajahmada. "Aku tidak berpikir seperti itu, yang kupikirkan
mengapa seorang seperti Ki Demung Samaya telah tega
hati membunuh empat orang prajurit?", berkata
Gajahmada yang mengenal lelaki dihadapannya itu yang
ternyata adalah Ki Demung Samaya, salah seorang
pejabat utama istana yang dipercaya mengurus rumah
tangga istana. 1086 "Empat orang prajurit itu telah menghalangi
langkahku, menyingkirlah kamu dari hadapanku agar
tidak menjadi seperti mereka", berkata Ki Demung
Samaya kepada Gajahmada. "Ternyata Tumenggung Mahesa Semu sudah punya
sebuah firasat, ada diantara kita yang akan berkhianat",
berkata Gajahmada kepada Ki Demung Samaya.
"Ra Kuti telah menjanjikanku sebuah jabatan yang
sangat tinggi, seorang Mahapatih kepadaku", berkata Ki
Demung Samaya penuh kepercayaan diri yang amat
tinggi. "Hanya karena itukah Ki Demung harus menghianati
kami?", berkata Gajahmada dengan pandangan yang
amat tajam menyambar membentur mata Ki Demung
Samaya Tersentak Ki Demung Samaya manakala matanya
terbentur oleh sambaran tatapan mata Gajahmada yang
begitu kuat mengguncang dadanya.
"Aku akan membunuhmu", berkata Ki Demung
Sahaya menghempas perasaan jerihnya.
Langsung Gajahmada bersiap diri dan bersikap
sangat hati-hati sekali karena mengetahui Ki Demung
Samaya seorang yang berilmu tinggi, telah melihat bekas
luka di kepala dan di dada keempat prajurit itu adalah
akibat sebuah pukulan yang berasal dari tangan yang
sangat kuat dan kokoh. Namun Gajahmada tidak dapat berpikir lebih lama
lagi, karena Ki Demung Samaya sudah menyerangnya.
Luar biasa memang daya serang Ki Demung
Samaya, angin pukulannya menyambar-nyambar
mendebarkan hati. 1087 Terpaksa Gajahmada harus berkelit kesana kemari
tanpa dapat balas menyerang.
"Semua orang boleh mengagumimu", berkata Ki
Demung Samaya sambil menerjang Gajahmada tanpa
memberi celah sedikitpun.
Gerakan Ki Demung Samaya memang sangat gesit
dan kuat, terutama kepalan tangannya yang dapat
menghancurkan bebatuan besar yang terkena sambaran
tangannya itu. "Ternyata kemasyuran namamu hanya bualan orang
bodoh", berkata Ki Demung Samaya sambil terus
mendesak Gajahmada. Terpaksa Gajahmada harus berkelit keluar dari
sergapan Ki Demung Samaya yang amat cepat dan kuat
itu dan kembali sebuah batu besar hancur terhantam
sambaran pukulan tangan Ki Demung Samaya yang
amat kuat itu. Melihat bahwa Gajahmada masih saja dapat berkelit,
telah memaksa Ki Demung Samaya meningkatkan
tataran ilmunya, meningkatkan kekuatan dan kecepatannya bergerak. Namun Gajahmada tetap saja dapat berkelit seperti
seekor belut yang selalu lepas dari cengkraman
serangan Ki Demung Samaya yang sudah meningkatkan
tataran ilmunya. Ternyata Gajahmada diam-diam telah meningkatkan
tataran ilmunya sebanding dengan daya serang Ki
Demung Samaya yang terus meningkat.
Hingga akhirnya Ki Demung Samaya sudah langsung
menerapkan puncak kemampuannya, angin pukulannya
telah mampu membuat kering daun-daun belukar di
1088 sekelingnya dan telah bergerak begitu cepat mengejar
kemanapun Gajahmada berkelit menghindarkan dirinya.
"Hanya segini sajakah kemampuan seorang
pemimpin pasukan Bhayangkara itu?", berkata Ki
Demung Samaya yang melihat Gajahmada tidak punya
kesempatan sedikitpun untuk membalas serangannya.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata Ki Demung sudah terperangkap dalam
jebakan Gajahmada yang sengaja berpura-pura tidak
mampu membalas serangannya. Apa yang dilakukan
Gajahmada ternyata semata-mata ingin mengetahui
puncak kemampuan tataran ilmu yang dimiliki oleh
lawannya itu. Dan akhirnya setelah puas menghadapi serangan Ki
Demung Samaya, Gajahmada sudah dapat melihat
tingkat kemampuan lawannya yang tidak berkembang
lagi, kecepatan dan kekuatannya.
Hingga dalam sebuah serangan, terlihat Gajahmada
tidak berkelit seperti biasanya namun berdiri tegap
dengan membusungkan dadanya.
Terlihat kepalan tangan Ki Demung Samaya telah
meluncur dengan sangat cepat dan kuatnya ke arah
dada Gajahmada dengan angin pukulannya terdengar
berdesing sarat dengan udara kematian yang begitu
mencekam. Ternyata diam-diam Gajahmada telah melambari
dirinya dengan ilmu kekebalan tubuh setingkat ajian
lembu Sekilan tingkat tinggi untuk berjaga-jaga.
Bukk !! Kepalan tangan Ki Demung membentur dada Gajahmada.
Samaya telah Terbelalak mata Ki Demung Samaya tidak menduga
1089 bahwa Gajahmada tidak bergeming sedikitpun mendapatkan gempuran pukulannya yang amat kuat itu
yang setara dengan kekuatan seekor kerbau gila yang
tengah mengamuk yang dapat membunuh seekor
harimau besar sekalipun. Tapi anak muda yang menjadi lawannya itu tidak
bergeming sedikitpun, seperti tidak merasakan benturan
pukulannya yang amat kuat di puncak tataran ilmunya itu.
Dan belum habis rasa terkejut di hati Ki Demung
Samaya, tiba-tiba saja dengan sangat cepatnya dua
tangan terbuka milik Gajahmada telah bergerak dengan
amat cepatnya. Dan, plakk !!! Dua tangan terbuka bagian dalamnya telah meluncur
dari bawah ke atas menghentakkan dagu Ki Demung
Samaya. Luar biasa daya hentak pukulan Gajahmada telah
dapat mengangkat sedikit tubuh Ki Demung Samaya.
Gelap seketika seluruh pandangan mata Ki Demang
Samaya yang langsung limbung terhempas jatuh di tanah
dengan kepala terasa berat.
Terlihat darah keluar dari bibir Ki Demang Samaya
yang berasal dari dua gigi depannya yang tanggal akibat
benturan dua tangan Gajahmada yang amat kuat itu,
yang ternyata hanya seperlima kekuatan yang
dilepaskannya bermaksud tidak berakibat kematian
lawannya. "Apa yang dikatakan oleh banyak orang tentang
dirimu, ternyata benar adanya", berkata Ki Demung
Samaya sambil mencoba bangkit berdiri masih dengan
kepala terasa amat berat dan pening.
1090 Namun belum sempat Ki Demung Samaya berdiri
sempurna, dari arah belakangnya bermunculan begitu
banyak orang yang ternyata adalah para prajurit pasukan
Ikal-Ikalan Bang. "Dialah salah satu orang bercaping yang kemarin kita
buntuti itu", berkata salah seorang prajurit sambil
menunjuk ke arah Gajahmada.
Terlihat Gajahmada tersenyum mendengar perkataan
salah satu prajurit itu, merasa gembira telah membuat
sebuah jejak palsu ketika pulang ke Kabuyutan Bebander
beberapa hari yang lalu yang ternyata diikuti oleh para
prajurit pasukan Ikal-Ikalan Bang itu.
"Banyak orang bercaping, pasti kalian salah melihat
orang", berkata Gajahmada sambil menaikkan sedikit
caping lebarnya agar para prajurit itu dapat melihat
bagian wajahnya lebih jelas lagi.
Terlihat keraguan di wajah beberapa prajurit yang
mendengar perkataan Gajahmada. Namun salah
seorang pemimpin mereka ternyata berpikir lain.
"Tangkap orang ini, salah atau benar urusan
dibelakang", berkata pemimpin mereka memberi
perintah. Tidak perlu dua kali perintah, dua puluh orang prajurit
sudah langsung mengepung Gajahmada.
"Aku hanya punya sebuah cambuk pendek para
gembala", berkata Gajahmada sambil melepas cambuk
pendeknya yang tersembunyi dari balik pakaiannya.
"Serang !!", berkata pemimpin
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
mereka sambil Terlihat Gajahmada tidak bergeming sedikitpun dari
tempatnya berdiri, seperti menunggu dua puluh prajurit
1091 itu datang mendekat. Benar saja, begitu ujung pedang para prajurit itu
sekitar dua jengkal dari tubuhnya, terlihat Gajahmada
seperti terbang melompat tinggi, sementara ujung
cambuknya berkelebat kesana kemari menyentuh
beberapa tubuh prajurit masih dalam keadaan diatas
udara. Beberapa kali sentuhan lembut ujung cambuk
Gajahmada telah membuat beberapa prajurit langsung
terlempar telah membuat rasa jerih sebagian prajurit
yang tengah menyerangnya itu.
"Banyak orang bercaping lebar di muka bumi ini, pasti
kalian salah melihat orang", berkata Gajahmada masih
dengan caping di kepalanya menutupi sebagian
wajahnya itu. "Jangan dengarkan ocehannya, lekas tangkap orang
ini", berkata pemimpin prajurit itu sambil mengangkat
tinggi-tinggi pedangnya. Kembali terlihat para prajurit yang telah berkurang
sepertiganya itu menyerang Gajahmada.
Seperti sebelumnya, Gajahmada tidak bergeming
sedikitpun dari tempatnya berdiri sepertinya hendak
menunggu serangan para prajurit itu semakin mendekat.
Namun kali ini mata Gajahmada yang sangat peka itu
telah melihat gerakan Ki Demung Samaya yang diamdiam menyelinap bermaksud melarikan dirinya.
Ditengah serangan pedang para prajurit yang sudah
semakin mendekat, hati dan perasaan Gajahmada hanya
tertuju kearah Ki Demang Samaya.
Gelegarrr" !!!! 1092 Hentakan cambuk Gajahmada terdengar seperti
suara Guntur memecah udara pagi itu terasa telah
menyesakkan dada setiap prajurit, sesaat itu benar-benar
sesaat yang sangat berarti bagi seorang Gajahmada
untuk melesat terbang mengejar Ki Demung Samaya
yang diam-diam meninggalkan tempat itu.
Dan ujung cambuk Gajahmada telah mendahului
langkahnya telah bergerak dengan cara sandal pancing.
Deggg !!!! Hanya itu suara yang terdengar berasal dari ujung
cambuk Gajahmada memecahkan udara. Namun suara
cambuk yang terdengar sangat lembut itu di hentakkan
dengan sebuah kekuatan puncaknya.
Akibatnya sungguh sangat luar biasa, meski ujung
cambuk itu masih berada sekitar lima langkah kaki dari
punggung Ki Demung Samaya, namun angin lecutannya
telah berhasil menyambar tubuhnya.
Gajahmada masih berdiri mematung dengan ujung
cambuk menyentuh bumi melihat akibat dari dahsyatnya
hentakan ilmu puncaknya lewat ujung lecutan cambuk
pendeknya. Sungguh sebuah pemandangan yang sungguh
sangat mengerikan, terlihat tubuh Ki Demung Samaya
roboh dengan tubuh hangus terbakar.
Seluruh prajurit yang ada saat itu ikut menjadi saksi
sebuah kedahsyatan ilmu yang dimiliki oleh orang
bercaping itu telah membuat jerih perasaan mereka tidak
berani melangkah untuk melakukan serangan seperti
sebelumnya. Terlihat Gajahmada telah membalikkan tubuhnya
menghadap para prajurit yang masih terpana
1093 ditempatnya berdiri. "Banyak orang bercaping lebar di muka bumi ini,
pastikan bahwa aku bukan orang yang kemarin kalian
lihat", berkata Gajahmada masih dengan caping lebarnya
yang hampir menutupi sebagian wajahnya.
Para prajurit itu masih terpana dan mematung
ditempatnya berdiri ketika melihat orang bercaping itu
melesat terbang tak menjejakkan kakinya di tanah dan
menghilang dari pandangan mata mereka.
"Nampaknya perkataan orang itu benar adanya,
bukan pedagang tikar yang kita buntuti kemarin", berkata
salah satu prajurit. "Aku juga berharap demikian, berharap orang itu
bukan salah seorang pedagang tikar yang kita cari itu",
berkata pemimpin mereka. "Mengapa tuan berharap seperti itu?", berkata salah
satu dari para prajurit kepada pimpinannya itu.
"Bila orang itu salah satu dari para pedagang tikar
yang kita cari, artinya orang itu adalah musuh kita dan
malapetaka bagi pihak kita, karena segelar sepapan
pasukan pasti dapat digulungnya seorang diri", berkata
pemimpin para prajurit itu.
Dan Gajahmada dengan kemampuan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah amat tinggi itu telah
berada di sebelah barat perbatasan Kotaraja Majapahit.
Mentari di hadapannya sudah menyebarkan cahayanya
merata memenuhi hampir setiap sudut bumi.
Kali ini terlihat Gajahmada tidak langsung memasuki
Kotaraja Majapahit, melainkan melingkar melewati
beberapa padukuhan untuk menghindari pertemuan
dengan para prajurit pasukan Ikal-Ikalan Bang yang telah
1094 menguasai Kotaraja dan istana Majapahit.
"Selamat datang, wahai ksatria bercaping bambu",
berkata seorang tukang rakit kepada Gajahmada yang
sudah sangat dikenalnya itu.
"Bagaimana suasana penyeberangan akhir-akhir ini",
bertanya Gajahmada kepada tukang rakit itu.
"Sangat sepi, para pedagang dari Tanah Ujung Galuh
belum ada keinginan untuk memasuki Kotaraja
Majapahit. Beberapa kawanku yang bekerja sebagai
buruh angkut bercerita bahwa banyak para pedagang
mengurungkan niatnya untuk singgah di bandar
pelabuhan Ujung Galuh", berkata tukang rakit itu
bercerita tentang suasana dan keadaan di Bandar
pelabuhan Tanah Ujung Galuh.
"Anggap saja ini pengganti hari-hari sepimu", berkata
Gajahmada kepada tukang rakit itu setelah memberikan
pembayaran penyeberangannya dengan jumlah empat
kali lipat dari biasanya.
"Terima kasih, senang berjumpa dengan tuan",
berkata tukang rakit itu penuh rasa gembira.
"Terima kasih pula telah mengantarku", berkata
Gajahmada sambil melompat ke dermaga kayu.
"Tiga kali orang itu menyeberang, aku bisa libur
sepekan ini", berkata tukang rakit itu dalam hati sambil
menghitung keping yang diberikan oleh Gajahmada
kepadanya. Sementara itu Gajahmada sudah jauh meninggalkan
tepian Sungai Kalimas, langkah kakinya terlihat tengah
menuju arah benteng prajurit di Tanah Ujung Galuh itu.
"Kami di benteng ini tidak sabar menunggu
kedatangan tuan", berkata seorang prajurit yang
1095 membukakan pintu gerbang untuk Gajahmada.
"Terima kasih, semua berkat kesaksian Ki Lurah
Sanakeling", berkata Gajahmada kepada prajurit itu yang
ternyata adalah Ki Lurah Sanakeling.
"Aku akan mengantar tuan ke tempat kerja
Tumenggung Jala Yudha, karena tuan adalah pimpinan
kami", berkata Ki Lurah Sanakeling kepada Gajahmada.
"Pemimpin sementara", berkata Gajahmada sambil
tersenyum kepada Ki Lurah Sanakeling.
Demikianlah, terlihat Gajahmada telah mengikuti Ki
Lurah Sanakeling menuju tempat kerja Tumenggung Jala
Yudha sehubungan dengan tugas yang akan
diembannya memimpin pasukan besar itu menguasai
kembali Kotaraja dan istana Majapahit dari tangan Ra
Kuti. "Terima kasih Ki Lurah", berkata Gajahmada kepada
Ki Lurah Sanakeling yang mengantarnya itu.
Kehadiran Gajahmada ternyata langsung diketahui
oleh para perwira tinggi di benteng itu yang memang
tengah menunggunya. Maka tidak berselang lama para
perwira tinggi itu sudah berkumpul seluruhnya.
"Sejak hari ini, untuk sementara waktu pimpinan


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuambil alih. Persiapkan pasukan yang berada dalam
wewenang kalian masing-masing, karena besok malam
kita sudah akan bergerak", berkata Gajahmada kepada
para perwira tinggi itu. Dihadapan para perwira tinggi itu, Gajahmada
dengan rinci menyampaikan apa saja yang harus mereka
lakukan, langkah demi langkah.
"Kita menunggu isyarat dari pasukan pembuka yang
akan menjadi jembatan kita menuju gerbang istana",
1096 berkata Gajahmada kepada para perwira tinggi itu.
"Pesanku, pastikan bahwa sejak hari ini tidak ada
seorang pun prajurit keluar dari benteng ini. Pastikan
bahwa rahasia rencana gerakan kita tidak keluar dari
benteng ini", berkata kembali Gajahmada. "Sejak hari ini
kupercayakan Ki Lurah Sanakeling sebagai petugas
penghubungku, perintahnya adalah perintahku", berkata
kembali Gajahmada kepada para perwira tinggi itu.
Diam-diam para perwira tinggi itu mengakui sikap dan
bahasa Gajahmada yang sangat tegas berwibawa
layaknya seorang pemimpin besar, meski usianya masih
begitu muda belia. "Beristirahatlah kalian hari ini agar pada saatnya kita
dapat melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya",
berkata Gajahmada kepada para perwira tinggi itu. "kata
sandi kita hari ini hingga menjelang malam nanti adalah
Sang Naga Gelisah menunggu bulan hilang", berkata
kembali Gajahmada melepas para perwira tinggi itu
kembali ke tempatnya masing-masing.
Setelah para perwira tinggi itu pergi keluar ruangan,
hanya ada Ki Lurah Sanakeling yang tetap menemani
Gajahmada. "Sebelum tengah malam kita sudah harus berada di
seberang sungai Kalimas, kita perlu banyak rakit untuk
dapat menyeberangkan para prajurit", berkata Gajahmada kepada Ki Lurah Sanakeling.
Ternyata Ki Lurah Sanakeling sangat tanggap apa
yang diinginkan oleh Gajahmada.
"Aku akan menugaskan beberapa prajurit untuk
menyiapkan sejumlah rakit yang kita butuhkan itu,
tentunya tanpa menarik perhatian orang banyak", berkata
Ki Lurah Sanakeling kepada Gajahmada.
1097 "Senang bekerja sama denganmu", berkata
Gajahmada dengan sangat terbuka mengungkapkan
pujiannya kepada Ki Lurah Sanakeling.
"Senang juga bekerja dengan orang muda seperti
dirimu", berkata pula Ki Lurah Sanakeling sambil
tersenyum. Demikianlah, sejak hari itu pimpinan di benteng
Tanah Ujung Galuh telah diambil alih oleh Gajahmada
dengan dukungan penuh para perwira tinggi kesatuan
pasukan Jala Yudha. Sebuah pasukan yang biasanya
dipercaya untuk mengamankan laut perdagangan
Majapahit dari para bajak laut, dan kali ini mereka
dituntut untuk bertempur di daratan, menghadapi
pasukan Ikal-Ikalan Bang.
Dan hari itu putra sangkala terlihat tengah
menganyam jaring-jaring waktu, konon nanti malam akan
banyak darah manusia yang akan menjadi sesaji
tumbalnya. Dan hari itu pasukan gabungan yang terdiri dari para
prajurit Srikandi, prajurit telik sandi dan prajurit
Bhayangkara telah berhasil menyusup di beberapa
padukuhan terdekat disekitar Kotaraja Majapahit, mereka
dibawah kendali orang muda bernama Adityawarman
yang dipercaya memimpin pasukan pembuka, sebuah
pasukan yang akan menjadi jembatan pasukan utama
yang akan bergerak dari benteng Tanah Ujung Galuh,
satu-satunya kesatuan pasukan Majapahit yang masih
setia kepada Raja Jayanagara.
"Tidak ada masakan apapun hari ini, wahai orang
muda", berkata Ki Bancak di kedainya menerima
kedatangan seseorang di kedainya.
"Sang naga gelisah menanti bulan hilang", berkata
1098 orang itu dengan wajah penuh senyum.
"Ternyata aku berhadapan dengan orang sendiri",
berkata Ki Bancak membalas senyum orang itu.
"Di belakangku ada sekitar sepuluh orang untuk
bersembunyi di kedai ini", berkata orang itu
menyampaikan maksud dan keinginannya.
"Senang aku melayani kalian", berkata Ki Bancak
mempersilahkan orang itu duduk sambil menunggu
sepuluh orang yang akan muncul kemudian.
Maka tidak lama kemudian kesepuluh orang itu telah
memenuhi kedai Ki Bancak, dan untuk keamanan terlihat
Ki Bancak telah menutup rapat kedainya.
"Ternyata kamu salah seorang dari mereka", berkata
Ki Bancak kepada salah seorang yang muncul di
kedainya itu yang tidak lain adalah Adityawarman.
"Sengaja aku bergabung di kedai ini, konon katanya
nasi serundeng di kedai ini sudah sangat tersohor
kelezatannya", berkata Adityawarman kepada Ki Bancak.
"Jangan khawatir, aku akan menyiapkan nasi
serundeng untuk kalian", berkata Ki Bancak masih
dengan senyumnya. Demikianlah, sebagaimana sepuluh orang di kedai Ki
Bancak, ratusan prajurit lainnya telah menyusup diamdiam di beberapa rumah penduduk di sekitar Kotaraja
Majapahit, tentunya yang dapat menjamin kerahasiaan
mereka. Para prajurit yang berada di bawah kendali
Adityawarman itu telah menyusup layaknya pasukan
senyap menanti saat yang ditentukan, menanti saat
waktu tengah malam manakala bulan sabit tua
bersembunyi di langit malam.
1099 Dan putra sangkala terlihat masih tengah merajut
jaring-jaring waktu, sementara sang malam masih begitu
jauh di ujung balik bumi, sebuah penantian yang
sungguh amat menggelisahkan hati.
Di ujung kegelisahan, putra sangkala telah menebar
senja di langit Kotaraja Majapahit.
Dan di ujung senja, langit malam mulai menggayuti
langit Kotaraja Majapahit. Sepi senyap suasana di
beberapa jalan utama karena para warga beberapa hari
itu lebih memilih diam di rumah masing-masing berharap
masa-masa yang kurang menentu itu akan segera
berakhir. Ternyata Ra Kuti hanya dapat sebatas menguasai
istana dan Kotaraja Majapahit, namun belum dapat
menguasai kepercayaan para warganya yang tetap
berkeyakinan bahwa kerajaan Majapahit hanya milik para
putra dewata, para pemilik wahyu keraton yang disucikan
lewat darah keturunan Raja Erlangga, darah keturunan
keluarga Singasari. Para warga masih tetap percaya bahwa Raja
Jayanagara masih hidup dan akan kembali menguasai
singgasananya yang direbut paksa oleh Ra Kuti dan
pasukannya. Hingga akhirnya menjelang tengah malam tiba, para
warga Kotaraja Majapahit menjadi begitu percaya bahwa
utusan pasukan dewata telah hadir di tengah-tengah
mereka, menjenguk dan mendatangi rumah-rumah
mereka dengan sebuah kabar gembira.
"Kami datang bersama kesetiaan kepada Raja
Jayanagara, padamkan pelita di rumahmu", berkata
salah seorang prajurit kepada seorang warga di
rumahnya. 1100 Maka dengan segala kerelaan hati, warga itu
memadamkan semua pelita dirumahnya.
"Raja Jayanagara yang kita tunggu akhirnya datang
juga bersama laskar dewatanya menguasai kembali
istana", berkata seorang lelaki kepada istrinya yang
bertanya mengapa pelita di dalam rumahnya harus di
padamkan. Dengan padamnya pelita di semua rumah-rumah
warga, seketika itu Kotaraja Majapahit seperti sebuah
kota hantu, begitu gelap dan sangat mencekam sekali.
Ditengah malam yang gelap gulita itu, ratusan prajurit
senyap telah menyebar ke tujuh puluh titik jalan-jalan
utama Kotaraja Majapahit.
Para prajurit senyap yang terdiri dari para prajurit
pilihan yang punya tataran lebih dari seorang prajurit
biasa itu telah bergerak mendekati sasaran mereka.
Para prajurit pasukan Ikal-Ikalan Bang yang
berkelompok di beberapa jalan utama Kotaraja Majapahit
itu tidak menyadari sama sekali bahwa bahaya tengah
mengintai mereka. Tidak ada banyak hambatan dan perlawanan yang
berarti menghadapi pasukan yang tengah lengah itu,
dalam waktu dan tempo yang amat singkat, para prajurit
senyap itu telah berhasil melumpuhkannya.
Maka terlihat cahaya kunang-kunang menerangi
Kotaraja Majapahit di tujuh puluh titik di jalan-jalan
utama. "Mereka telah melaksanakan tugas dengan singkat",
berkata Adityawarman kepada beberapa orang prajurit
yang menyertainya melihat kunang-kunang menerangi
jalan-jalan utama Kotaraja Majapahit.
1101 Ternyata Adityawarman memimpin sebuah pasukan
yang akan menyergap pasukan berkuda yang biasanya
meronda berkeliling jalan-jalan Kotaraja Majapahit.
Adityawarman dan pasukannya
menyelinap di kegelapan malam.
masih merapat "Bersiaplah, mereka sudah datang", berkata
Adityawarman kepada seorang prajurit didekatnya yang
telah melihat pasukan berkuda sebentar lagi akan
melewati mereka. Kembali para prajurit pilihan itu telah menunjukkan
kemahirannya, dari kegelapan malam terlihat mereka
bergerak dengan sangat sigap dan penuh perhitungan
yang matang. Dan dengan hanya satu lompatan saja mereka telah
berhasil menjangkau setiap dada musuh-musuh mereka
yang masih berada diatas punggung kudanya.
Lima puluh orang pasukan berkuda dengan sekali
sergapan telah berhasil mereka lumpuhkan.
"Mari kita menyusul kawan-kawan kita yang sudah
berada merapat di luar pagar istana", berkata
Adityawarman kepada beberapa prajurit yang menyertainya itu. "Pagar luar istana telah kita kuasai", berkata seorang
prajurit sengaja menunggu kedatangan Adityawarman
yang baru tiba itu. "Lepaskan panah sanderan, agar Gajahmada dan
pasukannya bergerak masuk ke istana". Berkata
Adityawarman kepada prajurit yang menunggunya itu.
Maka tidak lama berselang terlihat tiga buah panah
sanderan menerangi udara malam Kotaraja Majapahit.
1102 "Saatnya kita bergerak", berkata Gajahmada kepada
Ki Lurah Sanakeling manakala melihat tiga buah panah
sanderan susul menyusul menerangi langit malam
Kotaraja Majapahit. Terlihat Ki Lurah Sanakeling langsung menghampiri
seorang penghubung. Maka dalam waktu yang amat
singkat perintah berantai pun sudah merata diterima oleh
setiap kelompok prajurit kesatuan pasukan Jala Yudha
itu yang sudah cukup lama menanti di tepian sungai
Kalimas, sebuah perintah untuk bergerak bersama ke
arah istana Majapahit. Seperti sebuah pasukan hantu malam yang
mengerikan, pasukan segelar sepapan itu telah
mendekati Kotaraja Majapahit yang sepi dan sangat
gelap itu. Suara derap langkah kaki pasukan yang datang dari
arah tanah Ujung Galuh itu terdengar mengusik
kesunyian malam. "Para dewata telah mengutus laskarnya", berkata
seorang lelaki tua kepada istrinya yang telah
memberanikan dirinya mengintip dari celah-celah pintu
kayunya. Begitulah kepercayaan hampir seluruh warga
Kotaraja Majapahit bahwa para dewata akan selalu
melindungi putra sucinya dengan menurunkan laskar
malamnya menguasai kembali Kotaraja dan istana dari
para penguasa kelam, penguasa yang tidak akan pernah
mendapat restu dari para dewata.
Sementara itu pasukan Adityawarman telah berada di
dinding pagar istana bagian dalam.
Kehadiran pasukan Adityawarman itu langsung 1103 diketahui oleh pihak lawan, tapi semua itu memang


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah diperhitungkan oleh Adityawarman.
"Tugas kita adalah menjaga dan mengamankan
sekitar dinding ini, hingga Gajahmada dan pasukannya
datang", berkata Adityawarman kepada pasukannya itu.
Bergelombang pasukan Ikal-Ikalan Bang berdatangan menghalau pasukan Adityawarman yang
telah berada di dalam istana Majapahit itu.
Pertempuran pun sudah tidak dapat dihindarkan lagi,
pasukan Adityawarman memang sangat diandalkan dan
seperti tahu tugasnya dalam pertempuran itu dengan
tidak bergerak jauh dari dinding pagar istana yang
memang sengaja dipertahankan itu.
Namun gelombang pasukan Ikal-Ikalan Bang
semakin lama semakin bertambah jumlahnya, sementara
pasukan Gajahmada belum juga terlihat tanda-tanda
kedatangannya. Disaat-saat yang genting itulah Adityawarman
sebagai seorang pemimpin muda dituntut untuk menjaga
semangat pasukannya. Terlihat Adityawarman di barisan
terdepan dengan penuh gagah beraninya menghalau
setiap musuh yang datang mendekat. Pedang
Adityawarman bergerak kesana kemari seperti bermata
telah menyapu banyak pasukan lawan yang terus
berdatangan seperti gelombang pasang di pantai, tidak
pernah putus datang dan pergi.
Di ujung kegelisahan melihat gelombang pasukan
musuh yang kian membanjir pertempuran, terdengar
suara gemuruh yang datangnya dari arah belakang
pasukan Adityawarman, muncul dari dinding pagar
istana. 1104 "Bertahanlah, pasukan Gajahmada telah berdatangan", berkata Adityawarman kepada pasukannya yang melihat pasukan Gajahmada telah
masuk lewat dinding pagar istana yang dijaganya itu.
Gelegarrr !!! Terdengar suara hentakan sebuah cambuk yang
membahana memekakkan udara malam di istana
Majapahit. Dan suara itu seperti suara angin segar di telinga
Adityawarman, menjadikan pedangnya berputar lebih
cepat lagi menghalau setiap musuh yang datang
mendekat. "Terima kasih, kawan. Pasukanmu telah memudahkan kami memasuki istana ini", berkata
Gajahmada kepada Adityawarman yang tiba-tiba saja
telah berada disampingnya.
"Simpan rasa terima kasihmu, mari kita hangatkan
malam ini", berkata Adityawarman penuh kegembiraan
hati sambil memutar pedang panjangnya melibas lima
orang pasukan musuh yang langsung terlempar mundur
terkena sambaran pedang Adityawarman yang sangat
tajam itu. Sebagaimana pedang Adityawarman, cambuk
pendek Gajahmada juga telah melibas begitu banyak
musuh. Akhirnya ribuan pasukan Gajahmada telah berhasil
masuk tumpah membanjiri istana Majapahit. Dan seperti
gelombang amuk banjir bandang dari sebuah bendungan
besar yang jebol, pasukan Gajahmada telah memporakporandakan dan meluluh lantakkan pasukan Ikal-Ikalan
Bang. Sebuah pasukan besar kesatuan Jala Yudha yang
1105 biasa bertempur di kegelapan malam ditengah lautan itu
benar-benar seperti laskar raja badai, bergerak menyapu
bersih pasukan musuh yang tidak menyangka akan
kedatangan badai prahara di malam itu.
"Anak muda, aku akan menghentikan gerak
pedangmu yang ganas itu", berkata seorang lelaki
bertubuh pendek dan gempal yang tidak lain adalah IkalIkalan Bang berdiri dihadapan Adityawarman.
"Sungguh sebuah kehormatan berhadapan langsung
dengan seorang Tumenggung", berkata Adityawarman
kepada Ikal-Ikalan Bang yang datang menghadangnya.
Masih basah bibir Adityawarman, terlihat Ikal-Ikalan
Bang sudah langsung menerjang dengan senjata trisula
ditangannya. Namun Adityawarman bukan anak muda biasa, putra
sang Patih Mahesa Amping itu terlihat dengan mudahnya
mengelak terjangan serangan lawannya itu dan sudah
langsung balas menyerang.
Terkejut bukan kepalang Ikal-Ikalan Bang mendapatkan kegesitan dan ketangkasan anak muda
yang menjadi lawannya itu. Benturan pertama itu telah
membuat Ikal-Ikalan Bang menyadari bahwa lawannya
itu bukan anak muda sembarangan. Dan orang
kepercayaan Ra Kuti itu menjadi lebih berhati-hati lagi
dan tidak memandang sebelah mata lawannya itu.
Kembali Ikal-Ikalan Bang melakukan serangan ke
arah Adityawarman, tentunya dengan pengerahan
kemampuan berlipat ganda dari sebelumnya.
Namun Adityawarman masih saja dapat mengimbangi serangan Ikal-Ikalan Bang, bahkan dapat
membalas serangan lawannya itu dengan tidak kalah
1106 tangguhnya. Nampaknya Adityawarman tidak ingin
langsung meningkatkan kemampuan puncaknya, hanya
sekedar menyejajarkan tingkat kemampuan Ikal-Ikalan
Bang untuk mengukur sampai dimana puncak
kemampuan tataran ilmu yang dimiliki lawannya itu.
Sungguh Ikal-Ikalan Bang tidak pernah menyangka
akan terganjal dirinya melulu hanya berhadapan seorang
lawan muda yang tidak mudah dilumpuhkan itu, bahkan
dirinya seperti terkurung dalam pertempuran satu lawan
satu ditengah pertempuran besar itu.
Kembali Ikal-Ikalan Bang harus meningkatkan tataran
kemampuannya agar secepatnya menuntaskan pertempurannya, namun Adityawarman seperti gunung
karang yang tidak mudah digempur, masih saja dapat
bertahan mengimbangi serangannya itu.
Terlihat Trisula ditangan Ikal-Ikalan Bang seperti
bergulung-gulung menerjang kearah Adityawarman,
namun putra terkasih Patih Mahesa Amping itu seperti
burung sikatan melesat berkelit dengan cepatnya keluar
dari gulungan gelombang serangan Ikal-Ikalan Bang
bahkan telah balas menyerang dengan tidak kalah
dahsyatnya membuat lelaki bertubuh gempal itu
terkadang harus bergelinding di tanah kotor.
Pertempuran Ikal-Ikalan Bang dan Adityawarman
telah menyisakan arena pertempuran tersendiri, semua
orang seperti menyingkir menjauhi perkelahian dua orang
tangguh itu, takut terkena imbas sepak terjang angin
serangan senjata keduanya yang terlihat begitu dahsyat
menggetarkan hati bersama debu tanah yang mengepul
terhempas terjangan langkah kaki mereka berdua.
Sementara itu pertempuran di istana sudah seperti
tak terkendali lagi, berkecamuk memenuhi seluruh sisi
1107 istana. Dan pasukan Gajahmada terlihat perlahan tapi
pasti telah berhasil menekan pasukan lawan mereka
yang terlepas dari tali kendali pimpinannya, karena IkalIkalan Bang seperti terkunci dalam pertempuran
menghadapi Adityawarman yang memang sengaja tidak
melepaskannya. "Tetaplah kalian dalam gelar kesatuan masingmasing", berkata Gajahmada mengingatkan pasukannya.
Maka dengan kendali seorang Gajahmada,
pasukannya itu seperti sekumpulan serigala menyergap
sekumpulan banteng yang tak terkendali. Satu persatu
prajurit pasukan Ikal-Ikalan Bang terperangkap dalam
sergapan pasukan Gajahmada yang terikat dalam
kendali gelar pimpinan kelompok masing-masing.
Sambil menyapu pandangannya ke seluruh
pertempuran, cambuk Gajahmada ikut menyapu puluhan
prajurit lawan. Ujung cambuk Gajahmada seperti
bermata, mematuk dan melecut para prajurit lawan yang
berada didekatnya, layaknya sebuah api obor besar
meruntuhkan anak-anak rayap yang datang mendekat.
Ribuan mayat bergelimpangan, ribuan orang terluka
parah tak berdaya, dan darah merah telah menggenangi
istana Majapahit. Suara denting senjata beradu, suara bentakan penuh
kebencian dan suara jerit menahan rasa sakit yang amat
sangat adalah suara bising kegaduhan peperangan di
istana Majapahit yang seperti tidak akan berkesudahan
itu. "Aku harus menyudahi peperangan ini", berkata
Gajahmada sambil memandang korban peperangan di
kedua belah pihak. 1108 Maka terlihat Gajahmada seperti tengah mencari
seseorang. Hingga akhirnya tatapan matanya telah
menyinggahi seorang lelaki yang terlihat begitu tangkas
memainkan sebuah pedang panjang ditangannya, begitu
gesit terlepas dari sergapan pasukannya bahkan telah
banyak melukai prajuritnya.
Tarrr !! Cambuk pendek Gajahmada telah berhasil menggetarkan ujung pedang lelaki itu yang nyaris
melukai seorang prajuritnya.
Terlihat lelaki itu menatap tajam kearah Gajahmada,
seseorang yang telah menggetarkan ujung pedangnya,
menggetarkan telapak tangannya.
"Sungguh tidak menyangka bertemu dengan seekor
anjing setia", berkata lelaki itu dengan pandangan penuh
kebencian yang amat sangat.
Terlihat Gajahmada tidak terpancing amarahnya
mendengar perkataan lelaki itu, membalasnya dengan
pandangan mata yang sangat amat tajam seperti kilatan
cahaya pedang tajam menyambar-nyambar mengguncang perasaan lelaki itu.
"Lebih baik menjadi seekor anjing yang setia dari
pada harus menjadi seekor anjing yang tidak mengenal
balas budi tuannya. Baginda Raja Sanggrama telah
mengangkat harkat kehormatanmu menjadi salah
seorang anggota Dharmaputra, namun kamu membalas
susu dengan racun, membalas kebaikan dengan
kejahatan", berkata Gajahmada kepada lelaki itu yang
tidak lain adalah Ra Kuti.
"Mengapa tidak berpikir untuk setia kepadaku", aku
akan memberikan jabatan tertinggi di istana ini,
1109 berpikirlah wahai kepala pasukan Bhayangkara", berkata
Ra Kuti dengan perkataan manis membujuk Gajahmada.
"Kesetianku tidak bisa dibeli oleh apapun,
kesetiaanku adalah harga diriku yang paling tinggi. Dan
aku bukan pemimpi seperti dirimu", berkata Gajahmada
kepada Ra Kuti masih dengan tatapan mata yang amat
tajam menyambar. "Ternyata aku berhadapan dengan seekor anjing
paling bodoh yang pernah kutemui", berkata Ra Kuti
sambil menggenggam pedangnya kuat-kuat seperti
tengah bersiap-siap untuk mencincang anak muda
dihadapannya itu yang kukuh tidak bisa dibujuk dengan
apapun itu. "Aku akan menghentikan mimpimu itu", berkata
Gajahmada penuh ketenangan berdiri tegak membiarkan
ujung cambuknya berjurai jatuh menyentuh bumi.
"Bersiaplah untuk mati", berkata Ra Kuti sambil
langsung bergerak menerjang kearah Gajahmada.
Tapi Gajahmada seperti dapat membaca kemana
arah serangan Ra Kuti yang sangat ganas itu, terlihat
dengan begitu mudahnya berkelit dan sudah langsung
membalas serangan lewat ujung cambuknya yang
meluncur begitu cepatnya kearah tubuh Ra Kuti.
Terkesiap Ra Kuti mendapatkan serangan balasan
dari nak muda itu yang datang dari arah yang tak
terduga-duga mengancam batok kepalanya.
Pedang Ra Kuti terlihat telah bergerak mencoba
membabat habis tali cambuk Gajahmada yang masih
bergerak itu. Bukan main terperanjatnya perasaan hati Ra Kuti
melihat cambuk Gajahmada tiba-tiba saja berubah arah
1110

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak kearah pinggangnya.
Tidak ada cara lain dari Ra Kuti selain melemparkan
dirinya berguling di tanah kotor.
Terlihat Gajahmada tidak mengejarnya, hanya berdiri
tegak memberi kesempatan Ra Kuti untuk berdiri
kembali. Pejabat anggota Dharmaputra itu seperti tercoreng
wajahnya, merasa terhina harus jatuh bergulingan di
tanah kotor menghadapi seorang kepala pasukan
Bhayangkara itu. Kembali Ra Kuti melakukan serangannya dengan
segenap kemampuan yang dimilikinya.
"Pedangku akan membunuhmu", berkata Ra Kuti
kepada Gajahmada dengan kemarahan yang meluapluap.
Luar biasa memang daya serang Ra Kuti, pedang
ditangannya terlihat bergulung-gulung mengejar kemanapun Gajahmada bergerak, seperti ombak pasang
di pantai, seperti angin prahara.
Namun tidak mudah melumpuhkan seorang
Gajahmada yang telah memiliki tingkat kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya yang nyaris amat sempurna itu,
semakin cepat Ra Kuti bergerak, semakin cepat pula
gerakan Gajahmada berkelit melesat keluar dari
sergapan Ra Kuti. Sebenarnya Gajahmada bisa saja melakukan
serangan balasan, namun Gajahmada seperti membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan Ra Kuti,
membiarkan pembesar istana itu melampiaskan
amarahnya, membiarkan Ra Kuti mengeluarkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya.
1111 Hingga akhirnya Gajahmada sudah merasa bosan
dengan permainannya sendiri, terlihat Gajahmada tidak
hanya bergerak berkelit menghindari serangan Ra Kuti,
namun rangkap melakukan serangan balasan yang
begitu cepat dan tidak terduga-duga.
Beruntung ujung cambuk Gajahmada tidak tertuju
kearah bagian tubuhnya, tapi ke bagian senjata pedang
ditangannya. Ting !!! Ujung cambuk Gajahmada telah membentur pedang
ditangan Ra Kuti, menggetarkan pedang itu dan
merambat menyengat telapak tangannya.
Ra Kuti seperti tidak mampu menggenggam
pedangnya sendiri, merasakan telapak tangannya seperti
panas tersengat. Dan pedang ditangannya terlepas dari
genggamannya sendiri, jatuh dibawah kaki Gajahmada.
Terlihat Ra Kuti berdiri mematung, seperti orang
tersihir tidak menyadari apa yang telah terjadi atas
dirinya. Namun Ra Kuti masih dapat melihat dengan
kesadarannya sendiri ketika Gajahmada menundukkan
badan memungut pedang miliknya.
Berdesir darah ra Kuti manakala Gajahmada
melempar pedang miliknya yang menancap tepat dua jari
dari kakinya. "Ambil pedangmu, dan genggam lebih kuat lagi",
berkata Gajahmada dengan kilatan tatapan matanya
yang menyambar-nyambar. Ketinggian hati seorang seperti Ra Kuti telah
membuat dirinya tidak dapat mengukur tingkat
kemampuan lawan, melihat apa yang terjadi atas dirinya
adalah keberuntungan Gajahmada semata.
1112 "Tidak akan terjadi dua kali keberuntungan untukmu",
berkata Ra Kuti yang telah menggenggam pedangnya
kembali. Sementara itu pertempuran antara Ikal-Ikalan Bang
dan Adityawarman sudah semakin seru dan
menegangkan. Terlihat kilatan cahaya senjata Trisula
Manusia Harimau Jatuh Cinta 4 Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Istana Kumala Putih 7
^