Pencarian

Para Ksatria Penjaga Majapahit 16

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 16


Ikal-Ikalan menyambar-nyambar kemanapun Adityawarman bergerak. Nampaknya Ikal-Ikalan Bang
telah menuntaskan kemampuan puncaknya, mengumbar
kesaktiannya lewat kilatan senjata trisulanya yang terus
menyambar dan mengejar Adityawarman.
Gembira hati Ikal-Ikalan Bang melihat Adityawarman
menjadi bulan-bulanan ilmu kesaktiannya, melesat
kesana kemari tanpa dapat melakukan serangan
balasan. Hingga akhirnya Adityawarman dengan sangat
terpaksa harus menggenapi kesaktiannya dengan
puncak kemampuan yang dimiliki menghadapi sambaran
kilatan cahaya trisula Ikal-Ikalan Bang terus mengejarnya. Terlihat Adityawarman tidak berusaha menghindari
sebuah kilatan cahaya yang tertuju kepada dirinya.
Terlihat telah berdiri dengan sebuah kuda-kuda yang
amat kuat seperti menghunjam bumi, dan pedang
ditangannya tiba-tiba saja bergerak membelah udara
kosong setengah lingkaran.
Luar biasa gerakan yang dilakukan oleh Adityawarman ternyata telah menimbulkan sebuah hawa
sakti yang amat kuat, sebuah serangan tak terlihat telah
mendorong dengan amat kuat kilatan sambaran cahaya
trisula hingga berbalik arah tertuju kepada sang empunya
sendiri, Ikal-Ikalan Bang.
1113 Kejadian itu terlihat begitu cepatnya telah membuat
Ikal-Ikalan Bang tidak sempat sama sekali untuk pergi
menyingkir. Terlihat Ikal-Ikalan Bang masih berdiri mematung
dengan mata terbelalak lebar. Tak seorang pun
mengetahui bahwa Ikal-Ikalan saat itu sudah tak
bernyawa lagi, karena kilatan cahaya trisula ilmu
andalannya telah memakan tuannya dengan jantung
terbakar hangus. Orang-orang baru menyadari bahwa Ikal-Ikalan Bang
sudah tak bernyawa lagi manakala tubuh gempalnya
terlihat ambruk jatuh di bumi.
Seketika itu juga terdengar sorak sorai suara para
prajurit Gajahmada menyaksikan tewasnya Ikal-Ikalan
Bang. Sorak sorai kemenangan itu telah menyusutkan
semangat pasukan Ikal-Ikalan Bang.
Sorak sorai kematian Ikal-Ikalan Bang telah membuat
pasukannya seperti anak ayam kehilangan induknya.
Sebaliknya berita kematian Ikal-Ikalan Bang telah
melipat gandakan semangat pasukan Gajahmada,
terlihat dari cara mereka bertempur menggempur
pasukan lawan yang telah kehilangan induk semangnya.
Lain halnya dengan Ra Kuti, berita tentang kematian
Ikal-Ikalan Bang telah memacu kemarahannya,
melampiaskan kemurkaannya itu kepada Gajahmada
yang saat itu telah menjadi lawan tempurnya.
Daya tempur Ra Kuti terlihat lebih dahsyat dari
sebelumnya, serangan Ra Kuti terlihat begitu bergelora
layaknya kemurkaan ombak pasang ditengah hujan
badai di lautan lepas. 1114 Namun Gajahmada bukan sebuah perahu sampan
biasa, Gajahmada layaknya seorang pelaut ulung yang
terlahir, hidup dan besar disekitar badai itu sendiri, sudah
terbiasa dan terlatih menaklukkan raja badai yang amat
kuat sekalipun. Ditengah deru serangan Ra Kuti yang membadai,
Gajahmada masih tetap tenang berkelit terbang kesana
kemari seperti pelaut ulung menaklukkan ombak badai
dengan mengikuti arah alur gerakan ombak.
Hingga akhirnya dalam sebuah serangan, lecutan
cambuk pendek Gajahmada yang dikerahkan dengan
sepertiga kekuatan tenaga inti sejatinya telah berhasil
mengenai tepat diatas tumit kaki Ra Kuti. Sebuah arah
lecutan yang dikerahkan dengan penuh perhitungan itu
telak mengenai urat nadi syaraf kelumpuhan.
Terlihat Ra Kuti berguling-guling di tanah kotor
merasakan rasa sakit yang amat sangat, merasakan
sebelah kakinya nyaris tak dapat lagi digerakkan,
sebelah kakinya telah mati rasa.
Gajahmada tidak berusaha mengejar Ra Kuti yang
tengah merangkak mendekati pedangnya yang terlepas
jatuh di tanah. Gajahmada hanya berjalan perlahan
mendahului Ra Kuti mendekati pedangnya yang masih
tergeletak di tanah. "Bunuhlah aku, hancurkan batok kepalaku, wahai
anjing bodoh yang setia", berkata Ra Kuti dengan wajah
penuh debu, dengan mata penuh kemurkaan.
"Cambukku akan kotor bernoda darah hinamu,
biarlah Raja Jayanagara yang akan berhak memilih cara
kematianmu", berkata Gajahmada dengan pandangan
tajam menusuk dada dan perasaan Ra Kuti.
1115 Tidak ada niatan di hati Gajahmada untuk
menggerakkan cambuknya ke tubuh lawan yang sudah
tidak berdaya itu. Yang dilakukan oleh Gajahmada
adalah memanggil salah seorang prajuritnya untuk
mengikat kuat-kuat Ra Kuti agar tidak dapat melarikan
diri. Terlihat Gajahmada menyapu pandangannya ke
seluruh arah pertempuran, melihat pasukannya telah
berhasil mengurangi jumlah pasukan lawan.
Gelegar !!! Terdengar lecutan suara cambuk pendek Gajahmada
seperti guntur membelah udara.
Suara lecutan yang mengguntur itu seketika telah
mengguncangkan dada semua orang yang tengah
bertempur, suara itu seperti sebuah tangan yang amat
kuat mencekik leher mereka.
"Wahai para pasukan Ikal-Ikalan Bang, menyerah
dan bergabung bersama para prajurit Majapahit dengan
penuh kesetiaan, atau mati hari ini dengan kehinaan",
berkata Gajahmada dengan suara yang menggulunggulung memekakkan telinga menyesakkan dada
siapapun yang mendengarnya.
Seketika itu juga pertempuran menjadi terhenti,
semua orang terlihat memegang dadanya yang seperti
terguncang. Ternyata Gajahmada telah melambari suaranya
dengan ajian gelap Ngampar yang amat kuat, telah
mengguncang perasaan dan dada setiap orang yang
berada di istana. "Lepaskan senjata kalian, aku tidak akan mengulangi
tawaranku", berkata kembali Gajahmada dengan suara
1116 yang bergema menyesakkan dada.
Maka seketika itu juga para prajurit pasukan IkalIkalan Bang langsung melemparkan senjatanya, mereka
telah memilih menyerah tanpa perlawanan.
Langit diatas istana Majapahit saat itu telah terang,
kuning emas cahaya matahari pagi terbentang dari utara
dan selatan bumi. Sang fajar telah menampakkan
wajahnya, sempurna di ufuk barat bumi.
Gajahmada dan pasukannya telah menyelesaikan
pertempuran mereka, telah menguasai kembali istana
Majapahit. Sebuah kibar bendera kemenangan dari
orang-orang muda yang membuka awal sejarah kejayaan
Majapahit. Riuh gemuruh para warga Kotaraja Majapahit dengan
penuh suka cita menikmati kemenangan para pahlawan
mereka, dengan penuh suka cita menikmati jalan-jalan
utama kotaraja Majapahit tanpa rasa takut, tanpa
perasaan yang mencekam. Hari itu adalah hari
kemerdekaan mereka setelah beberapa hari bersembunyi di balik pintu tertutup dengan hati dipenuhi
kegelisahan yang amat sangat. Sebuah hari yang tidak
akan terlupakan oleh mereka, sebuah hari baru melebihi
hari-hari suci yang biasa mereka rayakan dengan penuh
kegembiraan hati, dengan perasaan penuh kedamaian
dan suka cita yang amat sangat.
Dan sehari setelah kemenangan pasukan Gajahmada menguasai kembali istana Majapahit,
gembira penuh suka cita perasaan Raja Jayanagara
menerima seratus prajurit pasukan Bhayangkara yang
akan menjemputnya pulang ke istananya kembali, ke
singgasananya kembali. Seluruh warga Kabuyutan Bebander terlihat keluar
1117 berjajar di pagar halaman rumah mereka melambaikan
tangannya kepada iring-iringan kereta kencana Raja
Jayanagara yang bergerak perlahan menuju arah gapura
batas kabuyutan Bebander.
Haru biru terlihat di wajah Ki Buyut Bebander
menatap ujung iring-iringan pasukan pengawal kereta
kencana Raja Jayanagara yang tengah bergerak
menghilang di sebuah tikungan jalan. Di hati orang tua itu
terbersit sebuah kebanggaan hati, bahwa rumahnya
telah menjadi sebuah persembunyian seorang raja
agung, seorang Raja yang sangat di hormati di seluruh
bumi Majapahit Raya. Wajah pagi di bumi kabuyutan Bebander terlihat
begitu cerah, semilir angin berhembus perlahan
menggerakkan dahan dan dedaunan seperti sebuah
ungkapan kegembiraan hati Ki Buyut Bebander dan
semua warganya, kemenangan Raja Jayanagara adalah
kemenangan mereka. Seluruh warga Kabuyutan
Bebander telah mencatat hari itu di hati masing-masing,
sebagai sebuah cerita panjang yang akan mereka
sampaikan kepada anak cucu mereka, sebuah cerita
kebanggaan orang Bebander.
Dan putra Sangkala terlihat masih merajut jaringjaring waktu sambil memandang wajah bumi yang terus
berputar silih berganti siang dan malam.
Setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti, para
pejabat di istana Majapahit ikut terkena imbasnya,
terutama para pejabat yang diketahui telah bermain mata
dengan Ra Kuti. Sementara Ra Kuti sendiri telah
dihukum seadil-adilnya sesuai kitab Kutara Manawa
Dharmasastra yang menjadi pedoman hukum di
Kerajaan Majapahit saat itu, yaitu ditanam di perempatan
jalan sebagai seorang pendosa, dan mati dilempari batu
1118 oleh setiap membencinya. warga Kotaraja Majapahit yang Dan Raja Jayanagara tidak melupakan jasa
Tumenggung Mahesa Semu yang telah menyelamatkan
kerajaan Majapahit, telah menganugerahi dirinya dengan
kedudukan dan gelar kebangsawanan, berkedudukan
sebagai seorang Patih Amangkubumi dan bergelar
kebangsawanan dengan nama Arya Tadah.
Ternyata Patih Amangkubumi Arya Tadah adalah
seorang yang cakap, dapat mengendalikan roda
kerajaan Majapahit sebagaimana jaman Empu Nambi.
Istana Majapahit tertata kembali dipenuhi para pejabat
yang bersih dan terpantau dengan baik, roda
perdagangan Kerajaan Majapahit kembali berputar, dan
perbendaharaan kerajaan kembali terisi dengan pundipundi.
Bagaimana dengan Gajahmada"
Raja Jayanagara mengetahui kesetiaan Gajahmada,
mengetahui ketinggian ilmu yang dimilikinya dan
bermaksud untuk mengukuhkannya menjadi seorang
Panglima perang di kerajaannya itu. Namun harapan dan
keinginan Raja Jayanagara tinggal sebatas keinginan
dan harapan, karena ibunda Ratu Gayatri telah
memintanya terlebih dahulu, menjadikan Gajahmada
sebagai seorang patih di kerajaan Kahuripan.
"Ibunda Ratu Gayatri pasti punya pandangan yang
amat jauh, berharap Gajahmada akan menjadi pilar-pilar
penjaga Majapahit di masa yang akan datang. Dan
Gajahmada adalah seorang yang sangat cakap untuk
belajar banyak hal. Hamba yakin bahwa ditangan Ibunda
Ratu Gayatri, anak muda itu akan menjadi seorang yang
mumpuni mewarisi kebijaksanaan Raja Kertanegara
1119 lewat putri bungsunya itu. Dan harapan ibunda Ratu
Gayatri adalah harapan hamba jua, bila saatnya tiba,
hamba akan sangat senang hati menyerahkan jabatan
hamba ini kepada anak muda itu", berkata Patih
Amangkubumi kepada Raja Jayanagara.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayahandaku Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah
menitipkan keris Nagasasra kepada Gajahmada, sebuah
pertanda begitu percayanya Ayahandaku kepada
Gajahmada", berkata Raja Jayanagara kepada Patih
Amangkubumi. "Selain Gajahmada, masih ada ksatria lainnya,
seorang yang cakap dan punya kesetiaan yang amat
tinggi sebagaimana Gajahmada", berkata Patih
Amangkubumi kepada Raja Jayanagara.
"Siapa orang itu, wahai paman Patih?", bertanya Raja
Jayanagara. "Adityawarman, sepupu tuanku sendiri", berkata Patih
Amangkubumi Arya Tadah. Demikianlah, Raja Jayanagara dan Patih Amangkubumi Arya Tadah telah sepakat mengangkat
Adityawarman sebagai panglima perang Kerajaan
Majapahit dan melepas Gajahmada menjadi Patih di
Kahuripan sesuai dengan permintaan Ibunda Ratu
Gayatri. "Sebelum Gajahmada ke Kahuripan, aku ingin
menugaskan dirinya menjadi dutaku, meluruskan kembali
hubungan kita dengan dua orang putra Empu Nambi, di
Blambangan dan Lamajang", berkata Raja Jayanagara
kepada Patih Amangkubumi.
"Gajahmada memang punya kedekatan dengan
Empu Nambi, juga dengan kedua putranya itu. Mudah1120
mudahan dengan kedatangan Gajahmada dapat
merekatkan kembali kesalahpahaman yang pernah
terjadi diantara kita", berkata Patih Amangkubumi
menyetujui usulan Raja Jayanagara itu.
Maka pada hari itu juga, Gajahmada dipanggil untuk
menghadap Raja Jayanagara di puri pasanggrahannya.
Manakala Gajahmada telah datang menghadap, Raja
Jayanagara langsung menyampaikan permintaan Ibunda
Ratu Gayatri yang memintanya untuk menjadi seorang
Patih di Kahuripan. "Bila saja aku bisa memilih, aku lebih menginginkan
dirimu berada di istana Majapahit ini. Namun aku tidak
mampu menolak permintaan Ibunda Ratu Gayatri",
berkata Raja Jayanagara kepada Gajahmada.
Mendengar penuturan dari Raja Jayanagara, terlihat
Gajahmada menarik nafas panjang dan tersenyum.
"Di istana Majapahit maupun di istana Kahuripan, dan
dimanapun hamba ditugaskan, pengabdian hamba
hanya kepada kejayaan bumi Majapahit ini. Hamba
dibesarkan di lingkungan keluarga istana ini, sudah
sewajarnya hamba menyerahkan bakti hamba untuk
keluarga istana ini. Inilah titipan Baginda Raja
Sanggrama kepada hamba, menjaga keluarga dan
keturunannya", berkata Gajahmada kepada Raja
Jayanagara. Dalam pembicaraan lain, Raja Jayanagara menyampaikan rencananya untuk menugaskan Gajahmada menjadi dutanya, meluruskan kembali
hubungan istana Majapahit dengan keluarga Empu
Nambi, di Blambangan dan Lamajang.
"Sebelum bertugas menjadi Patih di kerajaan 1121 Kahuripan, aku memintamu untuk menjadi dutaku
menyambangi keluarga Empu Nambi di Blambangan dan
Lamajang", berkata Raja Jayanagara kepada Gajahmada. "Sebuah kegembiraan hati melaksanakan titah
tuanku, mohon doa restu tuanku semoga hamba dapat
diterima sebagai duta tuanku, meluruskan kesalahpahaman yang selama ini terjadi dan meyakinkan
kedua putra Empu Nambi itu tentang niat baik istana
Majapahit yang telah kembali kepada jalur amanat citacita para pendahulunya", berkata Gajahmada kepada
Raja Jayanagara. "Kapan kamu akan berangkat, wahai saudaraku?",
berkata Raja Jayanagara kepada Gajahmada.
"Besok pagi, disaat sang fajar bergelantung di tiang
layar perahu", berkata Gajahmada dengan penuh
senyum. Dan keesokan harinya, disaat sang fajar
bergelantung di tiang layar perahu, sebuah perahu
bercadik ganda terlihat bergerak menjauhi dermaga
pantai Tanah Ujung Galuh. Dua orang prajurit yang
sangat kuat terlihat mengayuh perahu itu bergerak
kearah selatan pantai Jawadwipa.
"Senang berlayar bersama tuan", berkata salah
seorang prajurit kepada seorang pemuda yang tidak lain
adalah Gajahmada. "Hari ini perjalanan kita cukup panjang, menyusuri
pantai Jawadwipa hingga di ujung timurnya", berkata
Gajahmada. "Hamba lahir dan besar di Bandar pelabuhan
Banyuwangi", berkata prajurit itu sambil tersenyum.
1122 "Apakah kedua orang tuamu orang asli Banyuwangi?", bertanya Gajahmada kepada prajurit itu.
"Ibuku orang Banyuwangi asli, sementara ayahku
berasal dari Balidwipa", berkata prajurit itu sambil
tersenyum. Demikianlah, Gajahmada dan kedua prajurit itu telah
berlayar semakin menjauhi Bandar pelabuhan Tanah
Ujung Galuh. Nampaknya Gajahmada lebih memilih jalur
laut untuk perjalanannya kali ini, memilih Kadipaten
Blambangan sebagai tujuan pertamanya.
Tidak ada banyak halangan dalam pelayaran
Gajahmada menuju Bandar Pelabuhan Banyuwangi,
mereka singgah di beberapa pantai timur Jawadwipa itu
bilamana bekal makanan dan air tawar mereka menipis,
mengembangkan layar penuh ketika angin berhembus
cukup kuat. "Begitu kaya alam bawah laut kita", berkata
Gajahmada kepada kedua prajurit di perahunya
manakala melihat beberapa perahu nelayan bergerak
menuju arah tepi pantai di sebuah pagi dengan begitu
banyak ikan memenuhi perahu mereka.
"Ikan berlimpah, padi berlimpah, itulah pertanda
kemakmuran bumi milik kita", berkata salah seorang
prajurit sambil tersenyum.
"Ada lagi pertanda sebuah kemakmuran, perut para
prajurit semakin membuncit karena tidak ada lagi
peperangan", berkata kawan prajurit lainnya sambil
tertawa. "Seandainya saja para pembesar, para raja-raja
berpikir sebagaimana kalian berpikir, pasti bumi ini
dipenuhi dengan kedamaian", berkata Gajahmada ikut
1123 menanggapi perbincangan kedua prajuritnya itu.
"Apakah ada perbedaan apa yang kita pikirkan
dengan yang mereka pikirkan?", bertanya prajurit yang
berasal dari Banyuwangi kepada Gajahmada.
Terlihat Gajahmada tidak langsung menjawab, hanya
tersenyum dan menarik nafas panjang.
"Yang kita pikirkan adalah sebatas isi perut kita yang
hanya sebesar kepalan tangan ini, sementara yang
mereka pikirkan kekuasaan, martabat dan kehormatan
yang jauh lebih besar dari batok kepala mereka sendiri",
berkata Gajahmada sambil tersenyum memandang
kedua prajurit yang bersamanya itu.
Di beberapa Bandar pelabuhan yang cukup ramai di
sepanjang pantai ujung Jawadwipa itu, Gajahmada
kadang meminta kedua prajuritnya menepi, untuk melihat
suasana dan keadaan di beberapa Bandar pelabuhan itu.
"Perseteruan antara keluarga Empu Nambi dan
keluarga istana Majapahit telah melahirkan kemakmuran
yang tidak merata di ujung timur Jawadwipa ini. Para
pembesar di bumi ini tidak dapat lagi melindungi para
petani dan para perambah hasil hutan", berkata
Gajahmada dalam hati yang melihat langsung para
saudagar besar memperkaya diri pribadinya tanpa
memikirkan keringat para petani, para perambah hasil
hutan. "paman Adipati Menak Jingga dan paman Adipati
Menak Koncar harus melihat ini dengan perasaan dan
hati yang dingin, mempercayai niat baik keluarga istana
Majapahit, niat baik dan cita-cita para pendiri kerajaan
Majapahit ini, salah satunya adalah ayahandanya sendiri,
Empu Nambi", berkata kembali Gajahmada dalam hati.
Demikianlah, setelah singgah di beberapa tempat
untuk melihat-lihat suasana dan keadaan, akhirnya di
1124 sebuah pagi yang cerah perahu Gajahmada telah tiba di
Bandar pelabuhan Banyuwangi, di ujung paling timur
Jawadwipa itu, sebuah Bandar pelabuhan yang sangat
ramai dipenuhi perahu besar para pedagang dari
berbagai penjuru bumi. Salah seorang prajurit yang bersama Gajahmada
ternyata punya banyak kenalan di Bandar pelabuhan itu,
dengan sangat mudahnya mereka mendapatkan tiga
ekor kuda yang cakap dan sangat kuat.
Setelah beristirahat yang cukup, terlihat mereka
bertiga telah melanjutkan perjalanannya kembali menuju
Kadipaten Blambangan. Matahari terlihat masih belum
mendekati puncak cakrawala langit ketika mereka bertiga
telah mendekati kota Kadipaten Blambangan, sebuah
tempat yang berada di timur kaki lereng Gunung Raung,
sebuah tempat yang dipenuhi petak-petak persawahan
yang sangat luas sepanjang mata memandang.
"Sebuah tempat yang sangat subur dan makmur,
membuat aku iri untuk melucuti pedang dan pakaian
keprajuritanku ini, berganti dengan pakaian seorang
petani", berkata salah seorang prajurit yang baru pertama
kali itu datang ke Kota Kadipaten Blambangan.
"Kamu akan berkata lain seandainya saja kamu
datang disaat warga disini dicekam rasa takut yang amat
sangat, disaat Ki Secang dan gerombolannya yang
bersarang di lereng Gunung Raung membakar bumi ini
dengan peperangannya", berkata Gajahmada kepada
prajurit itu dengan bercerita tentang peristiwa
peperangan yang pernah terjadi di bumi Blambangan itu.
Akhirnya mereka bertiga telah mendekati istana
Kadipaten Blambangan. "Katakan bahwa aku Gajahmada dari istana 1125 Majapahit ingin datang menghadap", berkata Gajahmada
kepada seorang prajurit pengawal istana Kadipaten
Blambangan di gerbang pintu masuk istana kadipaten.
"Tunggulah disini, aku akan meminta perkenan tuan
Adipati Menak Jingga", berkata prajurit pengawal istana
itu kepada Gajahmada. Terlihat prajurit pengawal istana Kadipaten itu telah
berjalan kearah pendapa agung, menghilang terhalang
beberapa pohon besar yang rindang membatasi antara
pintu gerbang istana Kadipaten dengan bangunan
utamanya. Namun tidak lama berselang prajurit pengawal istana
Kadipaten itu terlihat kembali dengan wajah dan sikap
jauh lebih ramah dari sebelumnya.
"Adipati Menak Jingga berkenan menerima tuan",
berkata prajurit pengawal istana Kadipaten itu kepada
Gajahmada. "Terima kasih", berkata Gajahmada kepada prajurit
pengawal istana Kadipaten itu.
"Serahkan kuda-kuda kalian kepada kami untuk kami
jaga dengan baik", berkata prajurit pengawal itu yang
telah memanggil dua orang kawannya membawa kudakuda sebagaimana biasa layaknya sebuah perlakuan
khusus kepada para tamu agung yang datang
berkunjung ke istana Kadipaten Blambangan.
Dan Gajahmada bersama dua orang prajurit
Majapahit yang menyertainya itu telah diantar menemui
Adipati Menak Jingga. "Selamat datang kembali di istanaku, wahai Mahesa
Muksa", berkata Adipati Menak Jingga menyambut


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedatangan Gajahmada dengan menyebut nama
1126 kecilnya. "Angin timur berhembus menarik kuat layar perahuku,
menarik perasaan rinduku untuk menemui seorang lelaki
perkasa penguasa bumi Blambangan ini", berkata
Gajahmada kepada Adipati Menak Jingga yang terlihat
sangat gagah dan tampan itu layaknya wajah sang Bima
di cerita pewayangan. "Pintu istanaku selalu terbuka untukmu, untuk
seorang pahlawan yang telah menyelamatkan bumi
Blambangan ini", berkata Adipati Jingga kepada
Gajahmada. Kedua orang prajurit Majapahit yang datang bersama
Gajahmada terlihat semakin mengagumi Gajahmada
yang pernah terlibat dalam sebuah peperangan di
Balambangan itu. Selanjutnya Adipati Menak Jingga dan Gajahmada
saling bercerita banyak hal, beberapa kejadian selama
mereka berpisah. "Sumber kekeruhan yang selama ini banyak
mempengaruhi kebijakan Raja Jayanagara telah
mendapatkan hukuman yang setimpal. Istana Majapahit
ini telah memaku kembali amanat dan cita-cita para
pendiri kerajaan Majapahit di dalam semangat
pembaharuannya", berkata Gajahmada bercerita tentang
keadaan istana Majapahit saat itu.
Mendengar penuturan Gajahmada, terlihat Adipati
Menak Jingga merasa gembira.
"Kabut gelap diatas istana Majapahit nampaknya
telah berlalu", berkata Adipati Menak Jingga seperti
kepada dirinya sendiri. "Dan hari ini aku datang sebagai duta istana
1127 Majapahit, mewakili keluarga istana Majapahit menghadap langsung Paman Adipati Menak Jingga",
berkata Gajahmada kepada Adipati Menak Jingga.
Terlihat Adipati Menak Jingga memicingkan matanya
seperti ingin menebak kemana arah pembicaraan
Gajahmada selanjutnya. "Aku datang mewakili diri Jayanagara untuk meminta
maaf atas kesalah pahaman yang selama ini terjadi
antara Empu Nambi dan istana Majapahit", berkata
kembali Gajahmada. Terlihat Adipati Menak Jingga terdiam diri cukup
lama, memalingkan wajahnya menatap halaman
pendapa agung yang luas dipenuhi rerumputan hijau dan
beberapa pohon besar yang cukup rindang seperti
memagarinya. "Maaf dari Raja Jayanagara tidak akan mengembalikan kehidupan ayahandaku", berkata Adipati
Menak Jingga seperti berkata kepada dirinya sendiri.
Terlihat Gajahmada menarik nafas panjang,
memahami apa yang dirasakan oleh putra bungsu Empu
Nambi itu. Suasana orang diatas pendapa agung itu seketika
menjadi hening, semua orang nampaknya telah berada
di alam pikiran. "Empu Nambi dan Baginda Raja Sanggrama Wijaya
bekerja keras membangun kerajaan Majapahit ini seperti
membangun sebuah perahu besar yang utuh yang terdiri
dari Majapahit Barat dan Majapahit Timur. Dan perahu
besar itu tidak akan mampu bergerak sedikitpun
manakala dua penguasa di barat dan di timur itu tidak
bersatu padu", berkata Gajahmada memecahkan
1128 kesunyian di pendapa agung itu.
Sementara Adipati Menak Jingga masih berdiam diri,
masih memandang halaman pendapa agungnya.
"Di perjalananku kemarin, aku sempat melihat
suasana dan keadaan di beberapa Bandar pelabuhan di
ujung timur pantai Jawadwipa ini, dan aku melihat
berbagai ketimpangan-ketimpangan, para pribumi seperti
asing di buminya sendiri, telah menjadi sapi perah oleh
satu dua saudagar besar yang telah menjalin hubungan
dengan para pedagang asing. Dimanakah nurani putra
bungsu Empu Nambi saat itu", kemanakah perginya
sebuah cita-cita luhur semangat membangun bumi ini".
Sementara aku masih merasakan bahwa Empu Nambi
masih hidup, masih menjaga bumi ini diantara kita",
berkata Gajahmada berusaha untuk membuka hati dan
perasaan Adipati Menak Jingga yang masih keras dan
dingin, masih memendam rasa amarah atas kematian
Ayahandanya itu. Tanpa terduga Adipati Menak Jingga menatap tajam
kearah Gajahmada, wajah yang sangat tampan itu begitu
berwibawa seperti wajah sang Bima di pewayangan yang
baru saja tersadar dari amuk amarahnya.
"Kamu benar, wahai putra angkat Patih Mahesa
Amping. Sebagaimana dirimu, aku pun merasakan
bahwa ayahandaku hari ini masih hidup, masih berada
diantara kita. Aku menjadi malu kepada diriku sendiri,
membiarkan amarahku sendiri sebagai amukku,
membiarkan ketimpangan-ketimpangan terjadi sebagai
sebuah pemberontakan terselubung, memungkiri hati
nurani sendiri", berkata Adipati Menak Jingga kepada
Gajahmada. "Pandanglah jelas-jelas apa yang ada di tanganku
1129 ini", berkata Gajahmada sambil memegang sebuah keris
ditangannya. "Keris Nagasasra milik ayahandaku yang telah
diberikan kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya",
berkata Adipati Menak Jingga tanpa berkedip sedikitpun.
"Sebagai seorang putra Empu Nambi, pasti paman
Adipati Menak Jingga mengetahui bahwa keris ini adalah
pertanda wahyu keraton, siapapun yang memilikinya
berhak menjadi seorang Raja di tanah Jawa ini. Namun
Empu Nambi dengan tulus menyerahkan keris ini kepada
Baginda raja Sanggrama Wijaya. Ini adalah sebuah
pertanda bahwa Empu Nambi adalah raja abadi diatas
singgasana hatinya sendiri, telah menaklukkan sang
amuk amarah, dendam dan segala hasrat keinginan
hatinya. Dan aku merasa yakin bahwa seorang putra
Empu Nambi dapat melakukan yang sama, dapat
melepas amuk amarahnya sendiri untuk menerima
dengan rasa tulus ikhlas sebuah permintaan maaf
seorang putra sahabat ayahandanya sendiri", berkata
Gajahmada kepada Adipati Menak Jingga dengan
sebuah suara yang begitu halus tersusun kalimat demi
kalimat. "Terima kasih, kamu telah membuka kembali tutur
wejangan yang telah kupusakai dari ayahandaku tentang
raja diatas singgasana hati. Dengan segala ketulusan
hati, kuterima maaf keluarga istana Majapahit. Aku yakin
bahwa ayahandaku masih hidup dan menyaksikan
keputusanku ini", berkata Adipati Menak Jingga dengan
wajah yang cerah menambah ketampanan yang dimiliki
oleh lelaki yang sudah tidak muda itu.
Mendengar perkataan Adipati Menak Jingga, terlihat
Gajahmada menarik nafas panjang setelah lama
menahan nafas tegang, merasa ragu untuk dapat
1130 melunakkan hati penguasa tunggal di bumi Blambangan
itu. "Tinggallah beberapa hari di Balambangan ini, aku
ingin mendengar banyak cerita darimu bagaimana
Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah mempercayakan
keris pusaka itu kepadamu", berkata Adipati Menak
Jingga kepada Gajahmada. "Apakah itu sebuah ancaman dari seorang penguasa
tunggal di Balambangan ini?", berkata Gajahmada sambil
tersenyum kearah Adipati Menak Jingga.
"Siapa gerangan yang berani mengancam putra Patih
Mahesa Amping yang dapat meruntuhkan gunung,
menyurutkan air lautan", berkata Adipati Menak Jingga
kepada Gajahmada. Demikianlah, beberapa hari lamanya Gajahmada
tinggal di istana kadipaten Blambangan memenuhi
permintaan Adipati Menak Jingga. Dan Gajahmada
ternyata tidak hanya bercerita tentang keris Nagasasra
yang saat itu ada bersamanya, tapi Gajahmada bercerita
banyak tentang beberapa amanat dari Baginda Raja
Sanggrama Wijaya dan Empu Nambi kepadanya.
"Sungguh besar harapan yang dititipkan Baginda
Raja Sanggrama Wijaya kepadanya", berkata Adipati
Menak Jingga dalam hati setelah mendengar begitu
banyak cerita dan penuturan Gajahmada ketika hari-hari
anak muda itu banyak bergaul bersama Baginda Raja
Sanggrama Wijaya dan Patih Amangkubumi Empu
Nambi di istana Majapahit.
Setelah tiga hari tinggal di istana Kadipaten
Blambangan, di sebuah pagi di hari keempatnya
Gajahmada meninggalkan Kadipaten Blambangan.
1131 Terlihat tiga orang penunggang kuda memacu
kudanya melewati gapura perbatasan kota Kadipaten
Blambangan di arah baratnya. Ternyata mereka adalah
Gajahmada dan dua orang prajurit Majapahit yang akan
melakukan sebuah perjalanan menuju arah Kadipaten
Lamajang. Tidak ada banyak hambatan dan halangan dalam
perjalanan mereka menuju Kota Kadipaten Lamajang.
Hingga setelah bermalam di beberapa tempat, mendaki
bukit dan menembus beberapa hutan lebat, di hari ketiga
mereka terlihat sudah berada di sekitar Kadipaten
Lamajang, sebuah dataran yang sangat luas yang dilatari
tiga pegunungan berapi, gunung Semeru, Bromo dan
Tengger. "Mengapa tuan berhenti disini", berkata salah
seorang prajurit kepada Gajahmada yang menghentikan
kudanya di sebuah padang ilalang yang cukup luas
membentang. "Karena kita akan memasuki sebuah kota tua, kota
yang diberkati oleh para dewata", berkata Gajahmada
sambil memandang tiga pegunungan yang berdiri
membentang biru di hadapan mereka.
"Ada apa dengan kota tua itu?", bertanya salah
seorang prajurit yang terlahir sebagai putra Banyuwangi
itu. "Ada sebuah kepercayaan, barang siapa datang ke
Kota Lamajang dari arah timur Gunung Semeru,
berhentilah sebentar, pintalah sesuatu keinginan didalam
hatimu, pasti para dewa akan mendengar permintaanmu
itu", berkata Gajahmada kepada kedua prajuritnya itu.
"Aku meminta untuk naik pangkat:, berkata salah
seorang prajurit 1132 "Aku meminta untuk diangkat sebagai lurah prajurit",
berkata prajurit putra Banyuwangi itu.
Kedua orang prajurit itu memandang heran kearah
Gajahmada yang tidak mengatakan apapun.
"Tuan tidak meminta apapun?", bertanya salah
seorang prajurit kepada Gajahmada.
"Sudah kuucapkan dalam hati", berkata Gajahmada
sambil tersenyum kepada kedua prajuritnya.
"Boleh kami tahu, apa yang tuan pinta?", bertanya
prajurit putra Banyuwangi kepada Gajahmada.
"Aku hanya meminta agar tugasku di Kadipaten
Lamajang dapat mulus tanpa hambatan", berkata
Gajahmada. "Tidak meminta untuk naik pangkat?", bertanya salah
seorang prajurit kepada Gajahmada.
"Lain kali saja, karena hanya berlaku untuk satu
permintaan", berkata Gajahmada penuh senyum kepada
kedua prajuritnya. "Satu permintaan?", berkata keduanya bersamaan
dan tertawa bersama. Matahari pagi belum begitu tinggi manakala
Gajahmada dan kedua prajuritnya telah memasuki
kadipaten Lamajang. Mereka bertiga melihat kesibukan para petani di
sawah-sawah mereka, nampaknya pada saat itu musim
tanam padi telah datang di bumi Lamajang, hujan dan
sumber air melimpah mengalir diantara parit-parit.
Di sebuah tempat, terlihat beberapa lelaki tengah
memperbaiki jalan air. 1133 "Bukankah kalian adalah para prajurit Majapahit?",
bertanya Gajahmada yang telah turun dari kudanya
menghampiri para lelaki yang tengah sibuk bekerja itu,
yang masih menggunakan peneng ikat pinggang yang
biasa di kenakan oleh para prajurit Majapahit.
Mendengar pertanyaan Gajahmada, beberapa orang
lelaki menghentikan kesibukannya.
"Matamu sungguh teliti, benar kami prajurit Majapahit
dari kesatuan Jala Rananggana", berkata salah seorang
mewakili teman-temannya. Mendengar perkataan dari salah seorang diantara
mereka, Gajahmada segera mengetahui latar belakang
para prajurit itu, mereka adalah para prajurit yang lebih


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memilih setia berada di belakang Empu Nambi, para
prajurit Majapahit yang menyeberang dan bergabung
sebagai pasukan Empu Nambi menghadapi pasukan
Majapahit yang datang memerangi Kadipaten Lamajang.
"Bangga hatiku melihat prajurit Majapahit telah
membaur bersama para petani Lamajang, apakah kalian
tidak rindu dengan Kotaraja Majapahit?", bertanya
Gajahmada kepada para prajurit itu.
Terlihat para prajurit itu saling berpandangan satu
dengan yang lainnya. Gajahmada seperti mengetahui apa yang mereka
pendam dalam hati masing-masing, dan tidak memaksa
mereka menjawab pertanyaannya itu.
"Kami datang dari istana Majapahit, tugas kami
adalah membawa kembali prajurit Majapahit untuk
bergabung di dalam kesatuannya, seperti dahulu kala",
berkata Gajahmada kepada para prajurit itu.
"Perkataanmu kami dengar seperti angin sorga",
1134 berkata salah kawannya. seorang prajurit mewakili kawan- "Berdoalah, kalian berada di kota suci di bawah kaki
gunung Semeru tempat para dewata", berkata
Gajahmada sambil berpamit diri untuk melanjutkan
perjalanannya ke istana Kadipaten Lamajang.
Terlihat para prajurit itu mengikuti langkah kaki kuda
Gajahmada yang telah bergerak semakin menjauhi
mereka, di punggung anak muda itu sepertinya para
prajurit itu menggantungkan harapannya, harapan untuk
kembali ke Kotaraja Majapahit, berkumpul kembali
bersama keluarga, atau seorang kekasih yang masih
tetap menunggu penuh rindu.
Dan Gajahmada bersama dua orang prajuritnya telah
berada di depan gerbang istana Kadipaten Lamajang.
Kedua orang prajurit Majapahit yang datang bersama
Gajahmada tidak menyangka sama sekali bahwa
Gajahmada begitu di kenal oleh para prajurit pengawal
Kadipaten Lamajang dan diperlakukan layaknya seorang
tamu agung, bertiga mereka digiring menuju pendapa
agung istana Kadipaten Lamajang.
Kedua prajurit Majapahit itu benar-benar merasa
tersanjung, manakala diajak untuk duduk bersama di
pendapa agung satu atap bersama para pahlawan
Majapahit, para panglima perang yang hebat di
kesatuannya masing-masing, para prajurit perwira tinggi
yang sangat di hormati dan disegani. Mereka adalah
Tumenggung Jala Rananggana, Panji Wiranagari, Panji
Samara dan Panji Anengah.
"Kawan-kawanku pasti tidak akan percaya bahwa aku
duduk bersama di pendapa agung bersama orang-orang
hebat ini", berkata prajurit putra Banyuwangi dalam hati.
1135 Angan-angan kedua prajurit Majapahit itu terpenggal
dan buyar untuk sementara waktu, manakala terdengar
suara penuh wibawa dan lantang dari Adipati Menak
Koncar mengawali suasana pertemuan itu.
"Kami telah mendengar hukuman atas diri Ra Kuti,
otak dan sumber kekeruhan di bumi Majapahit ini. Kami
juga telah mendengar bahwa istana Majapahit telah di isi
oleh para pejabat muda yang setia, bersih dan patuh
menjunjung tinggi keagungan kerajaan Majapahit. Inilah
kemenangan kita bersama, tidak sia-sia apa yang telah
dikorbankan oleh ayahandaku selama ini, keluar dari
istana Majapahit dan berperang di luar memerangi para
angkara", berkata Adipati Menak Koncar membuka
pertemuan itu. "Dan hari ini kita kedatangan seorang duta
istana Majapahit, perwakilan Raja Jayanagara yang
memang kita tunggu-tunggu kedatangannya, berharap
mengetahui kebijakan, sikap dan pandangan pihak istana
Majapahit atas keluarga Empu Nambi dan ribuan prajurit
Majapahit yang ada di bumi Lamajang ini", berkata
kembali Adipati Menak Koncar di atas panggung
pendapa agung itu. Terlihat pandangan semua orang di pendapa agung
itu tertuju kearah Gajahmada, semua orang nampaknya
tengah menunggu suara dan perkataan utusan langsung
Raja Jayanagara itu. Terlihat Gajahmada menarik nafas panjang,
perkataan Adipati Menak Koncar dicernanya dengan
baik. Nampaknya Adipati Menak Koncar dalam pikiran
Gajahmada jauh lebih bijaksana dibandingkan dengan
adik bungsunya di Blambangan, jauh lebih mengerti arah
perjuangan Empu Nambi sesungguhnya, siasat dan
perjuangannya, juga semua pengorbanan yang
dilakukannya. 1136 "Sebuah kebanggaan hati duduk bersama para
ksatria penjaga Majapahit, para pahlawan bumi
Majapahit yang sesungguhnya di pendapa agung ini. Ada
dua hal penting yang akan kusampaikan di pendapa
agung ini", berkata Gajahmada sambil tersenyum
menyapu pandangannya ke semua orang yang hadir di
pendapa agung itu. Hening suasana di atas pendapa agung istana
kadipaten Lamajang itu, semua orang seperti menahan
nafasnya menunggu perkataan anak muda itu
selanjutnya, sang duta Raja Jayanagara.
Terlihat Tumenggung Jala Rananggana bergeser
menyempurnakan posisi duduknya, seperti gelisah
menanti berita apa gerangan yang akan disampaikan
oleh Gajahmada dari istana Majapahit itu.
"Pertama-tama aku datang sebagai duta pribadi Raja
Jayanagara, secara terbuka menyampaikan permohonan
maaf atas apa yang terjadi di bumi Lamajang ditujukan
kepada seluruh warga Lamajang, kepada keluarga besar
Empu Nambi", berkata Gajahmada diam sejenak
menyapu pandangannya ke seluruh yang hadir saat itu
dipendapa agung. "Hal kedua sehubungan dengan
kedatanganku ini adalah sebagai duta istana Majapahit,
mengabarkan bahwa pihak istana Majapahit berharap
seluruh prajurit Majapahit yang selama ini berseberangan
untuk kembali bergabung dalam kesatuan pasukan
kerajaan Majapahit", berkata kembali Gajahmada.
Terlihat semua orang di atas pendapa agung istana
Kadipaten Lamajang seperti menarik nafas panjang,
perkataan Gajahmada sebagai seorang duta telah
menyampaikan sikap pihak istana Majapahit yang
mereka nanti-nantikan, mencairkan ketegangan antara
keluarga Empu Nambi dan keluarga istana Majapahit dan
1137 tentunya memberikan kabar gembira dan kepastian nasib
ribuan prajurit Majapahit untuk dapat bergabung kembali
sebagai pasukan Kerajaan Majapahit.
"Mewakili keluarga besar Empu Nambi, mewakili
seluruh warga bumi Lamajang, dengan hati terbuka
menyadari bahwa tiada gading yang tidak retak, tiada
seorang pun terlepas dari kesalahan dan kekhilafan,
permohonan maaf Raja Jayanagara kami terima dengan
perasaan lapang dada. Sementara mengenai harapan
pihak kerajaan Majapahit yang meminta seluruh
prajuritnya untuk bergabung kembali, nampaknya
Tumenggung Jala Rananggana yang dapat menyampaikannya, mewakili seluruh prajurit Majapahit di
bumi Lamajang ini", berkata Adipati Menak Koncar.
Terlihat Tumenggung Jala Rananggana menyempurnakan letak duduknya, menarik nafas
panjang dan mengarahkan pandangannya kearah
Gajahmada. "Perkataanmu sungguh seperti semilir angin pagi
yang sejuk datang dari puncak gunung Semeru, apa
yang kami lakukan selama ini adalah kesetiaan kami
kepada hati nurani, kesetiaan kami kepada kebenaran
hakiki, kesetiaan dan pengabdian kami kepada Kerajaan
Majapahit. Dan bila Kerajaan Majapahit membuka pintu
gerbangnya, kami para prajurit akan membuka lebarlebar pintu hati kami, mencurahkan segala pikiran,
tenaga dan jiwa kami sebagai sebuah pasukan
kebanggaan Kerajaan Majapahit, selamanya kami
bangga telah menjadi prajurit kerajaan Majapahit ini",
berkata Tumenggung Jala Rananggana mewakili para
prajurit yang masih berada di bumi Lamajang itu.
"Tak terkira kegembiraan dan kebahagiaan
menyelimuti segenap hati dan perasaan ini, 1138 mendapatkan sebuah ketulusan hati keluarga besar
Empu Nambi, melihat kesetiaan para prajurit pahlawan
bumi Majapahit untuk bergabung kembali dibawah
naungan Kerajaan Majapahit Raya", berkata Gajahmada
dengan wajah penuh cerah ceria mewakili hati dan
perasaannya saat itu. Terlihat prajurit putra Banyuwangi yang datang
bersama Gajahmada tersenyum simpul, ternyata
pikirannya teringat kepada permintaannya yang
diucapkan di ujung perbatasan kota Kadipaten
Lamajang. "permintaan Gajahmada telah di dengar oleh
para dewata, semoga saja permintaanku akan menjadi
kenyataan", berkata prajurit putra Banyuwangi itu sambil
berkhayal membayangkan dirinya sebagai seorang
prajurit berpangkat lurah.
Namun langkah seorang pelayan menumpahkan
minumannya, membuyarkan khayalan prajurit itu.
Dan putra sangkala terlihat tengah menggulung
jaring-jaring waktu yang terhampar sisa kemarin dan
kemarinnya lagi. Hari itu langit senja telah mewarnai bumi Lamajang,
mentari terpenggal sepotong di ujung puncak gunung
Semeru. Dan senja itu Kota tua Lamajang terlihat begitu sepi
semenjak ditinggal oleh para prajurit Majapahit, seorang
gadis menatap dari jeruji jendela rumahnya, menatap
hampa halaman rumahnya, menatap hampa pintu pagar
halaman rumahnya, berharap muncul seorang kekasih
pujaan hatinya yang mungkin saat itu telah berada di
kotaraja Majapahit, pergi bersama pasukan yang telah
bergabung di dalam kesatuannya kembali dibawah
naungan panji-panji kerajaan Majapahit.
1139 Gadis di balik jeruji jendela itu, adalah sepenggal
potongan cerita yang tersisa, sepenggal sejarah yang
terukir rapat-rapat di balik kisah panjang para pahlawan
pembela panji Majapahit di bumi Lamajang, ilham para
pujangga yang tidak pernah kering mengukir rontal-rontal
babad cinta, prahara dan air mata.
Gadis dibalik jeruji jendela itu masih menatap langit
senja, sementara kekasih pujaan hatinya di waktu yang
sama tengah bergerak bersama kesatuannya, para
prajurit Majapahit di bawah pimpinan Tumenggung Jala
Rananggana yang terlihat telah memasuki gerbang
gapura batas Kotaraja Majapahit dari arah barat.
Kedatangan pasukan Tumenggung Jala Rananggana
itu disambut dengan penuh suka cita oleh segenap
warga Kotaraja Majapahit. Disambut sebagai para
pahlawan yang telah kembali dari medan perang,
disambut dengan sebuah upacara kebesaran kerajaan
yang dipimpin langsung oleh Raja Jayanagara.
"Kehormatan kami anugerahi atas kesetiaan kalian,
aku anugerahi dan berkati kalian sebagai para pahlawan,
untuk yang masih hidup atau kepada mereka yang telah
gugur di medan peperangan. Bergabunglah kalian
kembali di bawah kendali Kerajaan Majapahit, di bawah
panji Jala Rananggana, dibawah panji Jala Pati dan panji
Jala Yudha", berkata Raja Jayanagara menyampaikan
kata sambutannya dalam upacara kebesaran kerajaan
itu. Demikianlah, pasukan yang baru datang itu disambut
dengan penuh suka cita dan diberikan kesempatan libur
dalam waktu sepekan untuk berkumpul bersama
keluarga mereka yang telah begitu lama menunggu dan
menanti dengan doa dan harapan.
1140 Sementara itu sang malam ditemani rembulan yang
terlihat bermanja bergelantung di ujung tiang layar
perahu, menatap pelita dan oncor di sepanjang tepi
Bandar pelabuhan Tanah Ujung Galuh.
"Ibundamu merasa gembira, kamu telah menyelesaikan tugasmu sebagai seorang duta
perdamaian di tanah Lamajang dan Blambangan dengan
sangat sempurna, terutama telah membawa kembali
kekuatan pasukan kita dalam pangkuan ibu pertiwi",
berkata Nyi Nariratih kepada Gajahmada yang baru saja


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercerita tentang perjalanannya melaksanakan tugas
sebagai duta perdamaian. "Semua berkat doa ibunda", berkata Gajahmada
perlahan memandang wajah ibundanya, Nyi Nariratih.
Dan deru ombak di pantai Tanah Ujung Galuh
terdengar sayup mengiringi malam panjang.
Gajahmada dan Nyi Nariratih terlihat masih bercakapcakap di ruang dalam puri pasanggrahan mereka.
"Jangan kamu sia-siakan harapan ibunda Ratu
Gayatri, seorang patih adalah kepanjangan tangan dari
keluarga istana Kahuripan, memimpin dan mengendalikan para pejabat istana dan pendengar yang
baik cetusan dan keluhan para kawula alit ", berkata Nyi
Nariratih kepada Gajahmada.
"Aku hanya tahu bertempur memutar senjataku
menghadapi seorang lawan", berkata Gajahmada
kepada Nyi Nariratih "Kamu akan menemui banyak pertempuranmu,
permasalahan yang akan kamu hadapi itulah
pertempuranmu yang membutuhkan sebuah kecekatan
pemikiran seorang Patih", berkata Nyi Nariratih
1141 membesarkan hati putranya itu.
"Doa restu ibunda sangat aku harapkan, semoga aku
dapat di terima oleh para pembesar di istana Kahuripan",
berkata Gajahmada mencoba membulatkan tekan dan
kepercayaan dirinya. "Doa restu ibundamu selalu mengiringi di setiap
langkahmu, wahai putraku", berkata Nyi Nariratih dengan
senyum penuh kasih memandang putranya.
"Besok aku akan berangkat ke Tanah Kahuripan,
namun akan menyempatkan diri singgah dan berpamitan
dengan semua orang di istana Majapahit", berkata
Gajahmada kepada Nyi Nariratih.
"Beristirahatlah, besok kamu akan menempuh
sebuah perjalanan jauh", berkata Nyi Nariratih kepada
putranya itu. Demikianlah, Nyi Nariratih dan Gajahmada telah
masuk ke peraduannya masing-masing, sementara suara
deru ombak di pantai tanah Ujung Galuh masih saja
terdengar sayup mengiringi malam, mengiringi suara
kesunyian malam. Namun di peraduannya, Nyi Nariratih tidak langsung
memejamkan matanya. Pelita malam di sudut kamarnya
masih menerangi lesung pipit di wajah tuanya yang
masih terlihat menarik seukuran usianya yang sudah
tidak muda itu. Ternyata perasaan seorang ibu tidak dapat dikelabui
oleh apapun, Nyi Nariratih seperti dapat membaca
perasaan putranya, membaca pikiran yang terkandung
lewat sinar mata putranya itu.
"Hingga sampai kapan putraku harus menyembunyikan perasaan hatinya sendiri kepada gadis
1142 jelita itu?", berkata dalam hati Nyi Nariratih tersenyum
mengguratkan lesung pipitnya terlihat lebih dalam lagi
sambil membayangkan kegelisahan hati putranya yang
selalu saja disembunyikan dihadapan ibundanya sendiri.
Siapakah gadis jelita yang ada dalam pikiran Nyi
Nariratih itu" Siapa lagi kalau bukan seorang biksuni cantik jelita
penuh pesona, pemilik wajah seperti dewi kahyangan
yang terukir di kuil-kuil suci yang juga diam-diam telah
menambatkan hatinya kepada Gajahmada.
Keesokan harinya, Gajahmada telah bersiap-siap
untuk berangkat ke Kotaraja Majapahit.
"Kutitipkan ibundaku kepadamu, wahai saudaraku",
berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri.
"Aku akan menjaganya sebagaimana menjaga ibuku
sendiri", berkata Supo Mandagri kepada Gajahmada.
"Kulihat kamu disibukkan dengan banyak pesanan
keris pusaka akhir-akhir ini", berkata Gajahmada kepada
Supo Mandagri. "Beruntung, banyak pejabat baru istana yang
memesan keris kepadaku", berkata Supo Mandagri
penuh senyum. "Kamu telah menemukan duniamu sendiri, wahai
sahabatku", berkata Gajahmada
"Semoga kamu juga menemukan duniamu, kita
berkarya di bidang masing-masing, mengukir sang
waktu, menorehkan gemerlap keindahan di setiap lekuk
dan liku kehidupan ini", berkata Supo Mandagri dengan
pandangan mata lebih bijak dari usianya yang masih
belia itu. 1143 "Kamu sudah dapat berbicara layaknya seorang
Empu", berkata Gajahmada sambil menepuk pundak
sahabatnya itu. Akhirnya pembicaraan mereka terhenti manakala
pintu pringgitan terbuka.
Dari balik pintu pringgitan itu terlihat seorang wanita
tua yang masih terlihat cantik dengan lesung pipit di
kedua pipinya. "Matahari masih belum tinggi, mari kita berangkat ke
Kotaraja Majapahit", berkata wanita itu yang tidak lain
adalah Nyi Nariratih. Diiringi pandangan mata Supo Mandagri, terlihat
Gajahmada dan Nyi Nariratih telah keluar dari pintu
gapura. "Aku yakin bahwa di tangan anak muda itu akan
terlahir sebuah karya besar, lebih besar dari karyaku
sendiri yang tidak lebih dari lekukan-lekukan besi",
berkata Supo Mandagri yang masih memandang
Gajahmada yang terakhir kalinya yang telah menghilang
terhalang pagar batu halaman puri pasanggrahan.
Sementara itu sang mentari terlihat sudah mendaki
tiang-tiang layar perahu yang tertambat di dermaga kayu
Bandar Pelabuhan Tanah Ujung Galuh. Semilir angin laut
mengantar perjalanan Gajahmada dan Nyi Nariratih yang
tengah menanti sebuah rakit yang telah terlanjur
meluncur ke seberang sungai Kalimas.
Tidak lama berselang, rakit itu telah kembali.
"Senang bertemu dengan tuan", berkata pemilik rakit
itu menyapa Gajahmada dengan penuh keramahan.
Diam-diam Nyi Nariratih tersenyum melihat kerapatan
putranya dengan pemilik rakit itu, merasa gembira bahwa
1144 Gajahmada dapat bersikap ramah kepada siapapun dan
dapat menempatkan dirinya.
"Terima kasih, sampai berjumpa kembali", berkata
Gajahmada kepada pemilik rakit itu manakala mereka
telah berada di seberang sungai Kalimas.
"Nanti sore aku akan membawakan buah nangka
untuk tuan", berkata pemilik rakit itu kepada Gajahmada.
"Sayang sekali, sore ini aku tidak pulang ke Tanah
Ujung Galuh", berkata Gajahmada kepada pemilik rakit
itu tanpa mengabarkan bahwa dirinya akan berangkat ke
tanah Kahuripan untuk waktu yang lama.
"Bila demikian, aku akan segera mengambilnya di
rumah, tunggulah sebentar", berkata pemilik rakit itu yang
langsung berlari ke arah rumahnya yang memang tidak
begitu jauh dari tempat penyeberangan itu.
Dan tidak lama berselang pemilik rakit itu sudah
datang kembali dengan sebuah nangka besar yang
sangat harum pertanda sudah sangat tua dan matang.
"Terima kasih", berkata
pemberian nangka besar itu.
Gajahmada menerima "Bila ada waktu, singgahlah ke rumah, si Gundul dan
Cah Bonek sering menanyakan diri tuan", berkata pemilik
rakit itu kepada Gajahmada.
"Bila ada waktu, aku akan singgah", berkata
Gajahmada sambil tersenyum ramah.
Demikianlah, Gajahmada dan Nyi Nariratih sudah
berlalu meninggalkan sungai Kalimas menuju arah
Kotaraja Majapahit. Ternyata garis perjalanan setiap manusia sudah
diatur dengan sangat sempurna oleh sang Maha
1145 pencipta. Karena seandainya saja Gajahmada tidak
terlambat dalam penyeberangan pertamanya, seandainya saja Gajahmada tidak menunggu pemilik
rakit yang pulang untuk memberikan sebuah nangka,
pasti Gajahmada akan bertemu dengan ayah angkatnya
sendiri, Patih Mahesa Amping.
Dimanakah Patih Mahesa Amping saat itu"
Disaat Gajahmada dan Nyi Nariratih menunggu
sebuah rakit yang terlanjur meluncur meninggalkan
mereka di sungai Kalimas, disaat yang sama terlihat
sebuah kereta jenasah yang ditarik oleh seekor kuda
hitam tengah memasuki Kotaraja Majapahit dari arah
barat. Kusir kereta jenasah itu adalah seorang pendeta suci
berjubah putih dengan rambut yang terlepas terurai
panjang. "Tuan pendeta, mengapa tuan meninggalkan kereta
jenasah ini di muka gerbang istana?", bertanya seorang
prajurit pengawal kepada pendeta yang terlihat telah
turun dari kereta jenasah dan bermaksud untuk
meninggalkannya. Terlihat pendeta itu berhenti melangkah
membalikkan badannya kearah prajurit itu.
dan "Tugasku hanya mengantar jenasah ini hingga
sampai di muka gerbang istana", berkata pendeta itu.
Prajurit itu segera menjenguk isi didalam kereta
jenasah dan melihat sekujur mayat terbaring tertutup kain
putih. "Siapa gerangan mayat ini?", bertanya prajurit itu
menolehkan pandangannya ke arah pendeta berdiri.
Namun prajurit itu tidak melihat lagi keberadaan sang
1146 pendeta itu, sudah menghilang entah kemana.
Hebohlah para prajurit penjaga yang tengah bertugas
saat itu, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
"Siapa gerangan yang meletakkan kereta jenasah di
muka gerbang istana?", bertanya seorang pemuda yang
baru datang yang tidak lain adalah Gajahmada.
Maka prajurit penjaga yang sempat bertemu dengan
kusir kereta jenasah itu langsung bercerita apa yang
telah dilihatnya pertama kali.
"Kusirnya sudah langsung menghilang tanpa jejak",
berkata prajurit penjaga itu bercerita kepada Gajahmada.
Terlihat Gajahmada mendekati kereta jenasah itu dan
langsung membuka kain penutup wajah mayat yang
terbaring di dalam kereta jenasah itu.
Bergetar seluruh tubuh Gajahmada manakala telah
membuka kain penutup mayat itu.
"Baginda raja Sanggrama Wijaya", berkata Gajahmada seperti kepada dirinya sendiri setelah dapat
menguasai perasaan hatinya, mengenali siapa gerangan
jenasah itu. Perkataan Gajahmada yang perlahan itu didengar
oleh semua prajurit penjaga, seketika itu juga mereka
menjatuhkan dirinya bersujud menghadap kereta jenasah
itu. Sementara itu mata Gajahmada menyisir ke segala
tempat, berharap dapat menemukan seorang kusir
pembawa kereta jenasah itu.
Namun yang dicari oleh Gajahmada tidak juga di
dapati. "Mari kita bawa kereta jenasah ini ke dalam istana",
1147 berkata Gajahmada memerintahkan seorang prajurit
penjaga. Maka terlihat dengan wajah penuh khidmat
Gajahmada bersama para prajurit penjaga telah
membawa kereta jenasah itu ke dalam istana.
Dan gemparlah suasana istana Majapahit mendengar
tentang kereta jenasah itu, mendengar tentang kematian
Baginda Raja Sanggrama Wijaya yang sangat mereka
cintai itu. Jenasah Baginda Raja Sanggrama Wijaya disemayamkan di pendapa agung istana, ditunggui
dengan setia oleh Raja Jayanagara, Ibunda Ratu Dara
Petak dan seluruh keluarga dekatnya.
Pada hari itu juga, Patih Amangkubumi Arya Tadah
langsung mengirim empat belas utusan ke berbagai
daerah bawahan di seluruh bumi Majapahit Raya.
Pada hari ketujuhnya, Raja Jayanagara telah
dinobatkan secara resmi sebagai seorang Raja Majapahit
pengganti Baginda Raja Sanggrama Wijaya, karena


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuai ketentuan hukum yang berlaku saat itu bahwa
seorang putra mahkota baru dapat dinobatkan setelah
pendahulunya telah wafat. Penobatan Raja Jayanagara
disaksikan oleh seluruh raja muda penguasa daerah
bawahan, seluruh pejabat istana dan para utusan
perwakilan dari berbagai penjuru Kerajaan persekutuan.
Pelaksanaan pelantikan Raja Jayanagara berlangsung dalam suasana duka, tanpa kemeriahan
apapun. Dan sehari setelah penobatan Raja Jayanagara,
telah dilaksanakan sebuah upacara besar pemakaman
Baginda Raja Sanggrama Wijaya. Berduyun-duyun
1148 seluruh warga Kotaraja Majapahit menyaksikan
pelaksanaan upacara pemakaman itu. Mendung langit
diatas Kotaraja Majapahit mengiringi suasana upacara
mengantar kepergian Raja mereka, seorang Raja yang
taat kepada agamanya, seorang Raja yang mau duduk
bersama para kawula alit, seorang Raja yang tidak
pernah melupakan jasa para sahabatnya, seorang Raja
yang begitu sangat sederhana dan dicintai oleh begitu
banyak orang. Bade jenasah Baginda Raja Sanggrama Wijaya di
arak keliling kota diiringi ribuan manusia, diiringi gamelan
dan kidung suci menuju ke tempat pembakaran mayat
yang dilaksanakan di alun-alun Kotaraja Majapahit.
Diantara ribuan manusia yang mengiringi bade
jenasah Baginda Raja Sanggrama Wijaya, terlihat dua
orang muda mudi yang selalu bersama berjalan beriring
seperti tak ingin terpisahkan lagi. Mereka adalah
Gajahmada dan Biksuni Andini
"Tidak banyak kematian seseorang diiringi oleh
ribuan manusia yang mencintainya", berkata Gajahmada
kepada Biksuni Andini sambil menatap kobaran api yang
bergulung-gulung membakar bangunan kayu hiasan
yang menyanggah tubuh jenasah.
"Upacara pembakaran mayat adalah pelunasan
hutang budi para keluarga dan seluruh orang yang
mencintainya menuju alam kesempurnaan arwah",
berkata Biksuni Andini kepada Gajahmada.
"Di sebuah pulau terasing, diantar hanya beberapa
orang yang setia dan mencintaiku", berkata Gajahmada
seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
"Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan
kakang Gajahmada", berkata Biksuni Andini kepada
1149 Gajahmada. "Entahlah, lamunanmu saat ini seperti terbang ke
sebuah tempat, menyaksikan pemakamanku sendiri",
berkata Gajahmada kepada Biksuni Andini.
"Apakah kakang Gajahmada melihat kehadiranku ada
bersama orang-orang yang setia dan mencintai
kakang?", berkata Biksuni tersenyum kearah Gajahmada.
Gajahmada tidak segera menjawab, hanya
memandang kobaran api yang sudah mulai surut,
padam. Dan masa berkabung di istana Majapahit telah
digenapi empat puluh hari, para kerabat keluarga, empat
belas yuwaraja bawahan telah berpamit diri satu persatu
menghadap Baginda Raja Jayanagara. Terakhir
rombongan keluarga Ibunda Ratu Gayatri bersama
putrinya yuwaraja Tribhuwana Tunggadewi berpamit diri
untuk kembali ke Kotaraja Kahuripan.
Matahari pagi terlihat begitu benderang menyinari
bumi, terlihat sebuah kereta kencana diiringi empat belas
prajurit berkuda telah keluar dari Kotaraja Majapahit.
Mereka adalah iring-iringan keluarga istana
Kahuripan yang akan kembali ke kotaraja Kahuripan.
Duduk di dalam kereta kencana Ibunda Ratu Gayatri
diapit oleh kedua putrinya, Yuwaraja Tribhuwana dan
putri Dyah Wiyat. Dibelakang kereta kencana yang berjalan perlahan
itu, terlihat seorang wanita cantik jelita dengan bibir yang
indah seperti diciptakan selalu menyunggingkan sebuah
senyum yang begitu menawan. Gadis jelita itu memakai
pakaian seorang biksuni duduk diatas punggung
kudanya yang berjalan perlahan mengikuti laju gerak
1150 kereta kencana. Disamping gadis jelita itu berkuda seorang pemuda
berbadan tegap dengan rambut terurai tanpa ikat kepala.
Gadis jelita dan pemuda tampan rupawan diatas
kudanya memang menimbulkan rasa iri siapapun yang
memandangnya, layaknya mereka adalah pasangan
dewa dan dewi dari kahyangan yang turun menyambangi
bumi. "Kakang Gajahmada belum menjawab pertanyaanku", berkata gadis jelita itu dengan kerling dan
senyum dibibirnya diarahkan kepada pemuda berwajah
rupawan disampingnya. "Pertanyaan yang mana?", balik bertanya pemuda
rupawan yang tidak lain adalah Gajahmada.
"Di pulau sepi, diantar oleh sedikit orang yang masih
setia kepadamu", berkata gadis jelita itu yang tidak lain
adalah Biksuni Andini. "Lupakanlah, karena lamunanku sudah berubah
menjadi sebuah pulau sepi dan sunyi, hanya ada dua
orang manusia yang saling mencintai, yang saling
menjaga", berkata Gajahmada sambil tersenyum
memandang kearah gunung penanggungan yang
tersembul biru dibalik awan putih jauh di ujung langkah
kaki kuda mereka. "Apakah aku harus bertapa terlebih dahulu di gunung
Penanggungan untuk dapat menemui pulau impian itu?",
berkata Biksuni Andini dengan suara berbisik perlahan
menghembuskan nafas yang begitu harum.
"Aku akan menemanimu bertapa disana, sebagaimana Raja Erlangga ditemani sahabatnya, Empu
Narotama", berkata Gajahmada juga dengan suara
1151 perlahan tidak terdengar oleh para prajurit berkuda
dibelakang mereka. Kotaraja Kahuripan berada di sebelah selatan
Kotaraja Majapahit segaris lurus dengan arah gunung
Penanggungan dan berada diantara pertengahannya.
Kotaraja Kahuripan adalah sebuah kota tua
peninggalan Raja Erlangga. Keberadaan Kerajaan
Kahuripan dihidupkan kembali oleh Baginda Raja
Sanggrama Wijaya sebagai garis pertahanan pusat
kerajaannya bila terjadi serangan dari orang-orang
pedalaman, nampaknya Baginda Raja Sanggrama
Wijaya belajar dari kehancuran kerajaan Singasari ketika
mendapatkan serangan dari Raja Jayakatwang beberapa
tahun yang telah silam. Sebagai seorang istri Baginda Raja Sanggrama
Wijaya dan putri bungsu Raja terakhir kerajaan Singasari,
nampaknya ibunda Ratu Gayatri sangat paham betul
kedudukan kerajaan Kahuripan bagi kelangsungan pusat
Kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya ibunda Ratu Gayatri
membutuhkan seorang Patih yang cakap untuk
membangun sebuah pasukan yang kuat. Dan pilihan
ibunda Ratu Gayatri jatuh kepada seorang pemuda yang
diketahui punya kesaktian yang sangat tinggi di
jamannya, seorang anak muda yang juga sudah cukup
lama pernah tinggal bersamanya, diketahui kesetiaannya
yang sangat tinggi. "Didepan kita itu adalah candi Darma", berkata
Biksuni Andini kepada Gajahmada sambil menunjuk
kearah sebuah Gapura sebuah candi yang tinggi
menjulang dihadapan mereka. "Kami membangun candi
itu sebagai perlambang awal pendarmaan Raja Erlangga
sebagai seorang manusia titisan dewa Siwa turun ke
bumi untuk memberikan cahaya kehidupan", berkata
1152 kembali Biksuni Andini kepada Gajahmada.
Pandangan mata Gajahmada telah melihat patung
dewa Siwa diatas gapura, namun Gajahmada tidak
menanyakan kepada Biksuni Andini, mengapa ada
sebuah patung Budha diatas pintu masuk gapura itu.
Terlihat iring-iringan melewati candi Darma. kereta kencana itu telah Dan tidak lama berselang iring-iringan itu telah
memasuki kotaraja Kahuripan.
"Besok aku akan memerintahkan Ki Arya Kanuruhan
untuk menyiapkan kekancingan dirimu sebagai seorang
patih di kerajaan Kahuripan ini. Sementara hari ini
Biksuni Andini akan mengantarmu mengenal beberapa
tempat di istana ini, juga ke tempat tinggalmu di dalam
istana ini", berkata ibunda Ratu Gayatri kepada
Gajahmada di pendapa agung istana Kahuripan.
Demikianlah, pada hari itu juga Biksuni Andini telah
mengantar Gajahmada ke beberapa tempat di istana
Kahuripan. "Ini adalah puri pasanggrahan tempat para tamu
agung kami, silahkan beristirahat, wahai tuan patih",
berkata Biksuni Andini penuh senyum manis kepada
Gajahmada. "Dimanakah seorang Patih kerajaan Kahuripan dapat
bertemu seorang Biksuni di istana ini?", berkata
Gajahmada menyambut senyum gadis jelita itu.
"Tidak di setiap saat, hanya dalam setiap hari
keagamaan di kuil milik keluarga istana", berkata Biksuni
Andini menjawab pertanyaan Gajahmada.
Ternyata ibunda Ratu Gayatri tidak salah memilih
Gajahmada sebagai patih di kerajaan Kahuripan. Anak
1153 muda itu ternyata punya bakat seorang pemimpin yang
cakap, dalam waktu yang amat singkat telah mampu
merangkul seluruh pejabat istana Kahuripan. Nampaknya
kerendahan hati dan kesederhanaannya telah mencuri
hati seluruh warga istana Kahuripan, mulai dari para
pejabat tinggi istana hingga para pekatik, semua
menyukai dan menyenanginya.
Patih Gajahmada, sebuah nama yang telah melekat
di diri anak muda itu sejak berada di kerajaan Kahuripan.
Ibunda Ratu Gayatri merasa gembira melihat
bagaimana cara Patih Gajahmada membangun sebuah
pasukan yang kuat dan tangguh di kerajaan Kahuripan.
Ternyata Patih Gajahmada tidak menambah jumlah
pasukan yang sudah ada, melainkan meningkatkan
tataran yang dimiliki oleh setiap prajuritnya. Dan Patih
Gajahmada memulainya dari sepuluh orang prajurit
perwira dari kesatuan masing-masing.
"Lepaskan pedang kalian, aku akan menghadapi
kalian seorang diri", berkata Patih Gajahmada kepada
sepuluh perwira tinggi di sebuah sanggar tertutup di
istana Kahuripan. Mendengar tantangan Patih Gajahmada, kesepuluh
orang prajurit perwira itu sudah langsung meloloskan
pedangnya dan mengepung Patih Gajahmada yang telah
berdiri tegak penuh percaya diri yang amat tinggi.
Kesepuluh prajurit perwira itu adalah orang-orang
terbaik di kesatuan masing-masing. Nampaknya
tantangan Patih Gajahmada telah memberi kesempatan
kepada mereka untuk mengukur sejauh mana tingkat
kemampuan anak muda itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi para prajurit perwira itu
sudah langsung menyerang Patih Gajahmada.
1154 Bukan main terkesimanya wajah para prajurit perwira
itu, karena tiada satupun serangan mereka yang dapat
melukai tubuh Patih Gajahmada yang bertangan kosong
itu menghadapi mereka. Mereka melihat Patih
Gajahmada begitu gesit bergerak dan selalu dapat
meloloskan dirinya dari setiap kepungan mereka.
Ternyata dalam gerakan selanjutnya, Patih
Gajahmada sudah tidak sekedar berkelit menghindari
serangan mereka, Patih Gajahmada sudah mulai
melakukan serangan balasan. Satu dua orang terlihat
telah terkena tendangan dan tinju Patih Gajahmada yang
langsung terlempar keluar dari arena pertempuran.
Ternyata Patih Gajahmada hanya mengeluarkan sedikit
tenaga saktinya, beberapa prajurit perwira yang
terlempar itu sudah langsung bangkit dan kembali
bergabung menyerang anak muda itu.
Kembali Patih Gajahmada dapat keluar dari
kepungan mereka, dan kembali dua tiga orang terlempar
terkena tinju dan tendangan Patih Gajahmada.
Nampaknya para prajurit perwira itu telah
mengerahkan segenap kemampuannya, namun tetap
saja tidak dapat melumpuhkan anak muda yang hanya
bertangan kosong itu. Peluh terlihat mengucur deras membasahi tubuh
mereka, satu dua orang tenaganya sudah mulai surut.
Namun tidak setitikpun peluh terlihat di wajah Patih


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gajahmada. Anak muda itu terlihat masih segar bugar,
masih gesit berkelit kesana kemari dengan sangat
lincahnya bergerak menghindarkan diri dari serangan
pedang-pedang tajam mereka.
Hingga dalam sebuah sergapan bersama, sepuluh
pedang tajam telanjang telah bergerak ke satu titik yang
1155 sama, tubuh Patih Gajahmada.
Namun kesepuluh prajurit perwira itu menjadi begitu
terkejut terkesima, entah dengan cara apa, gerakan Patih
Gajahmada tak terbaca oleh penglihatan mata mereka,
tiba-tiba saja dalam waktu bersamaan kesepuluh prajurit
perwira itu merasakan pedangnya beradu dengan batu
karang yang amat kuatnya menggetarkan pedang
mereka, membuat rasa perih telapak tangan mereka
hingga tanpa sadar terlepas begitu saja.
Plak, plak, plok !! Belum reda rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba saja
sebuah tamparan tangan Gajahmada telah bersarang di
wajah mereka. Kesepuluh prajurit perwira itu terlihat terlempar
hingga lima langkah dari tempat berdirinya masingmasing, merasakan rasa perih di wajah masing-masing.
"Kemampuan kalian sudah cukup tinggi, aku hanya
sedikit menyempurnakannya, mengarahkan kalian
bagaimana mengendalikan nafas kalian agar tenaga
kalian tidak menjadi cepat surut dalam sebuah
pertempuran", berkata Patih Gajahmada sambil berdiri
tegak dengan wajah terlihat masih tetap segar bugar
seperti tidak pernah melakukan apapun.
Demikianlah, sejak saat itu Patih Gajahmada dengan
penuh kesungguhan hati telah menggembleng para
prajurit perwira itu. Kesepuluh prajurit perwira seperti
menemukan seorang guru yang sebenarnya.
Para prajurit perwira itu terus berlatih dengan
tekunnya, kadang Patih Gajahmada membawa mereka
ke alam terbuka, berlatih di tempat terbuka dalam udara
pagi yang segar, berlatih di alam terbuka dalam teriknya
1156 sinar matahari yang menyengat tubuh.
Dalam kesempatan tertentu, Patih Gajahmada juga
telah menyempurnakan tataran kemampuan kanuragan
mereka, melatih mereka mengenal berbagai macam jenis
aneka senjata, kelemahan dan keunggulan dari berbagai
jenis senjata hingga mereka sangat mahir menguasai
dan menggunakan berbagai ragam jenis senjata di
tangan mereka. Dalam kesempatan tertentu, Patih Gajahmada
menempa para prajurit perwira mengenal bagaimana
berperang dengan cara berkelompok, mengenal dan
memahami berbagai ragam gelar peperangan.
Tiga bulan Patih Gajahmada menempa para prajurit
perwira itu, tidak terasa tataran kemampuan para prajurit
perwira itu sudah melompat lima kali lipat dari
kemampuan mereka semula. "Kalian masih dapat terus berlatih meningkatkan
kemampuan yang kalian miliki, hari ini kulepaskan kalian
kembali ke kesatuan masing-masing agar dapat
menularkan apa yang pernah kalian dapati di lingkungan
kalian", berkata Patih Gajahmada di suatu hari
mengakhiri masa penempaan itu.
"Terima kasih atas semua petunjuk yang tuan Patih
berikan kepada kami, bila ada waktu kami masih ingin
terus berada dalam bimbingan tuan Patih", berkata salah
satu prajurit perwira itu mewakili kawan-kawannya.
"Aku akan mendatangi kesatuan kalian masingmasing, melihat dan menilai sejauh mana perkembangan
kemampuan di kesatuan kalian", berkata Patih
Gajahmada kepada ke sepuluh prajurit perwira itu.
Demikianlah, hari itu Patih Gajahmada telah melepas
1157 kesepuluh prajurit perwira itu kembali ke kesatuan
masing-masing, berharap menularkan semua tempaan
yang pernah mereka jalani kepada para prajurit mereka.
Hingga sejak hari itu, Patih Gajahmada melihat
kesungguhan di setiap kesatuan prajurit yang ada di
kerajaan Kahuripan itu meningkatkan kemampuan
masing-masing. Dan sesuai dengan yang pernah dikatakan oleh para
prajurit perwira itu, Patih Gajahmada di sela-sela
tugasnya sebagai seorang patih di Kerajaan Kahuripan
telah menyempatkan waktunya menyambangi kesatuan
prajurit untuk melihat dan menilai perkembangan
kemampuan mereka, bahkan kadang dalam sebuah
kesempatan melakukan sebuah latihan gabungan yang
melibatkan berbagai kesatuan, mengenal ragam jenis
cara bertempur secara berkelompok, mengenal dan
memahami berbagai jenis ragam gelar peperangan,
memahami beragam siasat peperangan.
"Ternyata aku tidak salah memilih dirimu, wahai
putraku", berkata Ibunda Ratu Gayatri kepada
Gajahmada yang telah dianggap sebagai putranya
sendiri manakala melihat langsung sebuah latihan
gabungan para prajurit yang di lakukan ditempat terbuka,
di alun-alun Kotaraja Kahuripan.
"Hamba masih perlu bimbingan Nyimas Kanjeng
Ratu", berkata Gajahmada kepada Ibunda Ratu Gayatri.
"Ternyata suamiku Baginda raja Sanggrama Wijaya
benar perkataannya tentang dirimu, kamu adalah anak
muda yang sangat cakap. Pada suatu masa aku akan
melepasmu, meninggalkan kerajaan kecil ini untuk
melaksanakan tugas yang jauh lebih besar lagi, menjadi
seorang Patih Amangkubumi di pusat kerajaan ini, di
1158 istana Kerajaan Majapahit", berkata Ibunda Ratu Gayatri
kepada Patih Gajahmada. "Hamba masih perlu banyak bimbingan dari Nyimas
Kanjeng Ratu", berkata Patih Gajahmada dengan penuh
rasa hormat kepada Ibunda Ratu Gayatri.
"Sebagaimana suamiku, aku juga berharap yang
sama. Kami berharap agar dirimu menjadi penjaga dan
penuntun putra-putriku disaat mata dan langkahku sudah
tidak bisa lagi mengawasi mereka", berkata Ibunda Ratu
Gayatri kepada Gajahmada.
"Harapan Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan
Nyimas Kanjeng Ratu adalah titah yang akan hamba
jalani dengan segenap hati, jiwa dan raga hamba",
berkata Gajahmada kepada Ibunda Ratu Gayatri.
JILID 13 LANGIT pagi diatas bumi Kahuripan bertabur cahaya
kuning keemasan menebar merata dari cahaya matahari
yang terlihat bulat penuh di ujung timur bumi.
Terlihat lima orang penunggang kuda berpacu diatas
jalan tanah menjauhi Kota tua Kahuripan menuju arah
gunung Penanggungan. Semilir angin pagi menyapu wajah dan menerbangkan rambut para penunggang kuda itu.
Sementara sang mentari kuning di sebelah kiri mereka
seperti terus mengikuti setiap gerak langkah kaki kuda
mereka. Cahaya mentari pagi menerpa wajah para
penunggang kuda itu yang terdiri dari dua orang wanita
dan tiga orang lelaki. 1159 Menilik perlengkapan yang mereka bawa menjelaskan bahwa mereka adalah para pemburu.
Sementara pakaian yang mereka kenakan layaknya
orang biasa pada umumnya yang berbahan kasar.
Penilaian sebagai para pemburu biasa, itulah yang
ingin mereka tunjukkan kepada setiap orang. Hingga
tidak seorang pun yang menduga bahwa mereka adalah
para penghuni istana Kahuripan.
Dua orang wanita yang bersama mereka adalah
Biksuni Andini dan sang putri Dyah Wiyat, sementara
seorang pemuda tanpa pengikat kepala adalah Patih
Gajahmada. Dan dua orang lelaki yang selalu berkuda
dibelakang mereka adalah dua orang pelayan dalam
istana Kahuripan. Sebagaimana kebiasaan para bangsawan pada
umumnya disaat itu, berburu adalah sebuah hiburan
yang sangat menyenangkan hati. Dan pagi itu mereka
tengah memacu kuda mereka menuju arah hutan di timur
Gunung Penanggungan, sebuah hutan yang sangat baik
untuk berburu karena masih begitu liar alamnya dengan
beragam jenis binatang buruan yang cukup banyak.
Jarak hutan timur gunung Penanggungan tidak begitu
jauh dari Kotaraja Kahuripan, terlihat matahari pagi disisi
kiri mereka baru bergeser sejajar dengan bahu mereka
manakala langkah kaki kuda mereka telah mendekati
kaki gunung Penanggungan yang rimbun dan hijau itu.
Cahaya matahari tertahan rimbunnya hutan,
kelimanya telah memasuki hutan liar itu semakin dalam.
Semakin masuk kedalam hutan, semakin sukar
perjalanan yang harus mereka melalui sehingga
memaksa harus turun dan menuntun kuda masingmasing.
1160 Terlihat Biksuni Andini dan putri Dyah Wiyat
sepertinya sudah sering dan terbiasa melintasi
pedalaman hutan timur di kaki gunung Penanggungan
itu. "Sebentar lagi kita sampai di rumah singgah", berkata
Biksuni Andini kepada Gajahmada yang baru pertama
kali itu memasuki pedalaman hutan di kaki gunung
penanggungan yang sangat lebat itu.
Ternyata rumah singgah yang dikatakan oleh Biksuni
Andini memang sudah terlihat mereka berlima, sebuah
rumah sederhana yang memang sengaja di bangun
sebagai tempat mereka bermalam di hari-hari perburuan
para keluarga istana Kahuripan.
Sore di hutan perburuan, di timur kaki gunung
Penanggungan. Gajahmada, Biksuni Andini dan Dyah Wiyat sudah
menjelajahi hutan, mereka terpisah dalam jarak yang
tidak begitu jauh menyisir hutan mencari binatang
buruan. Ternyata hari itu keberuntungan berada di Dyah
Wiyat, seekor rusa jantan terlihat berada di tepi sebuah
sungai dangkal. Sebagai seorang putrid istana yang sering diajak
berburu, Dyah Wiyat memahami beberapa larangan
berburu, antara lain tidak boleh memanah binatang dari
arah belakang, dilarang membunuh binatang yang
tengah minum. Terlihat Dyah Wiyat telah menarik busurnya,
menunggu hingga rusa itu merasa dahaga meminum air
sungai yang jernih. Jepp !!! 1161 Anak panah Dyah Wiyat telah meluncur dengan
begitu kencangnya, bersamaan ketika rusa itu
mengangkat kepalanya dan tepat menembus bagian
pelipis atas kepala rusa itu.
Gembira hati Dyah Wiyat, membayangkan bahwa
dirinyalah yang pertama kali mendapatkan hasil buruan
di sore hari itu. Terlihat gadis cantik itu berlari-lari
menyeberangi sungai dangkal berbatu itu mendekati
hasil buruannya. Namun manakala Dyah Wiyat sudah berada di
seberang sungai, terkejut dirinya melihat seorang
pemuda juga tengah mendekati hasil buruannya itu.
"Rusa ini adalah milikku, panahku telah mematikannya", berkata Dyah Wiyat kepada pemuda itu.
"Panahku telah menembus jantungnya, itu artinya
rusa ini adalah milikku", berkata pemuda itu sambil
menunjuk sebuah anak panah yang menancap tepat di
jantung rusa yang sudah tidak berdaya terbaring di
pinggir sungai. Seketika itu juga Dyah Wiyat memang melihat anak
panah yang bukan miliknya telah menancap tepat di
dada rusa itu. "Panahku telah menembus kepalanya !", berkata
Dyah Wiyat tidak mau menyerah.
"Panahku juga telah menembus jantungnya !!",
berkata pemuda itu tidak mau mengalah.
"Kita tentukan dengan adu kepalan", berkata Dyah
Wiyat kepada pemuda itu. "Apa maksudmu menentukan dengan adu kepalan",
berkata pemuda itu tidak mengerti apa yang
dimaksudkan oleh Dyah Wiyat.
1162 "Maksudku kita bertanding, kepalan siapa yang
pertama kali menyentuh tubuh, dialah yang berhak
memiliki rusa ini", berkata Dyah Wiyat kepada pemuda
itu. "Pantang bagiku memukul seorang wanita", berkata
pemuda itu dengan wajah penuh keraguan.
"Bila demikian rusa ini milikku, karena kamu tidak
mau bertanding melawanku", berkata Dyah Wiyat sambil


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencoba melangkah mendekati rusa yang sudah tidak
berdaya itu. "Gadis keras kepala, aku akan memenuhi
permintaanmu", berkata pemuda itu merasa khawatir
rusa itu akan dibawa pergi oleh Dyah Wiyat.
Mendengar perkataan pemuda itu, terlihat Dyah
Wiyat berhenti melangkah dan memandang kearah
pemuda itu. "Bukankah kamu pantang memukul seorang
wanita?", berkata Dyah Wiyat sambil tersenyum.
"Hari ini biarlah kulanggar pantanganku, bukankah
hanya memukul dengan kepalan tangan dan tidak
mencelakai dirimu?", berkata pemuda itu balas
tersenyum mengetahui bahwa perkataan gadis itu hanya
sekedar menyudutkannya. "Dalam sebuah pertandingan, kadang kepalan tangan
tidak bermata. Jangan salahkan bila kepalanku akan
mencelakai dirimu", berkata Dyah Wiyat sambil berdiri
tegak dengan kuda-kuda siap bertanding.
"Gadis keras kepala, kuberi kesempatan dirimu
menyerang lebih dulu", berkata pemuda itu telah bersikap
siap menerima serangan Dyah Wiyat.
"Hem", hanya suara itu yang terdengar dari Dyah
1163 Wiyat yang langsung menerjang pemuda itu.
Bukan main terkejutnya pemuda itu melihat serangan
yang kuat dan cepat mengarah ke tubuhnya. Nampaknya
Dyah Wiyat ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan
wanita biasa. Namun pemuda itu ternyata juga bukan pemuda
biasa, terlihat dari gerakannya yang begitu gesit
mengelak. Melihat serangan pertamanya dapat dengan
mudahnya dihindari oleh pemuda itu, telah membuat
Dyah Wiyat melanjutkan dengan serangan berikutnya.
Kembali pemuda itu dapat menghindari serangan
Dyah Wiyat untuk kedua kalinya itu.
Serangan ketiga, keempat dan serangan berikutnya
dari Dyah Wiyat masih saja dapat dihindari oleh pemuda
itu. "Apakah kamu hanya bisa menghindar?", berkata
Dyah Wiyat sambil melakukan serangan.
"Hati-hati dengan seranganku", berkata pemuda itu
sambil berkelit menghindari serangan Dyah Wiyat untuk
pertama kalinya telah melakukan serangan balasan.
"Bagus, ternyata kamu bisa juga menyerang wanita",
berkata Dyah Wiyat sambil tersenyum merasa dapat
memancing pemuda itu melakukan serangan balasan.
Ternyata serangan anak muda itu tidak kalah kuat
dan gesitnya sebagaimana serangan Dyah Wiyat.
Maka serang dan balas menyerang antara Dyah
Wiyat dan pemuda itu terlihat semakin sengit saja.
Tataran kemampuan mereka sepertinya berimbang,
sama-sama lincah dan gesit, sama-sama cekatan
1164 mengatur siasat serangan dengan berbagai tipu daya
yang sangat pelik. Jarang sekali Dyah Wiyat menemukan lawan tanding
yang dapat mengimbangi tataran kemampuannya,
apalagi yang dihadapinya itu dari garis perguruan yang
berbeda, telah membuat Dyah Wiyat semakin
bersemangat melayani pemuda itu.
"Satu sama lainnya tidak bersungguh-sungguh
menjatuhkan lawannya", berkata Gajahmada sambil
tersenyum kepada Biksuni Andini di seberang sungai.
Ternyata Gajahmada dan Biksuni Andini sedari awal
sudah menyaksikan pertempuran keduanya dari
seberang sungai. Dan sebagai seorang pembimbing putri
Dyah Wiyat dalam olah kanuragan, maka Gajahmada
dapat membaca gerakan anak asuhnya itu yang memang
tidak tuntas menyelesaikan serangannya.
"Setahuku, sang putri sangat ganas serangannya dan
tidak pernah memberi kesempatan lawannya", berkata
Biksuni Andini ikut merasa heran.
"Aku ada sedikit akal", berkata Gajahmada kepada
Biksuni Andini. "Tetaplah disini, dibalik semak-semak itu ada
seseorang bersembunyi, pasti orang dekat dari anak
muda itu", berkata kembali Gajahmada kepada Biksuni
Andini. Terlihat Biksuni Andini mengerutkan keningnya,
sedari tadi tidak dilihat seorang pun selain mereka yang
tengah bertempur itu. Namun Biksuni Andini selalu
percaya bahwa Gajahmada punya daya penglihatan
yang sangat tajam dan kuat, membiarkan kekasih hatinya
itu melangkah menyeberangi sungai dangkal mendekati
1165 pertempuran itu. Maka tidak lama berselang, Gajahmada sudah
berada di seberang sungai, tidak jauh dari arena
pertempuran dan membelakangi sebuah semak belukar.
"Mengapa harus bersembunyi, kurang jelas
menyaksikan pertempuran sepasang pengantin yang
sangat indah ini?", berkata Gajahmada dengan suara
perlahan seperti kepada dirinya sendiri.
Ternyata perkataan Gajahmada ditujukan kepada
seseorang yang bersembunyi dari balik semak belukar,
karena tidak lama berselang terlihat sebuah kepala
bersembul dari balik semak belukar itu.
"Matamu sungguh sangat tajam, wahai orang muda",
berkata seseorang yang baru saja keluar dari balik
semak belukar itu kepada Gajahmada.
Hanya sebentar tatapan mata Gajahmada kearah
lelaki yang sangat tua yang telah berdiri disampingnya,
pandangan mata Gajahmada kembali kearah pertempuran Dyah Wiyat dan pemuda itu.
"Namaku Gajahmada, yang tengah bertempur itu
adalah adikku", berkata Gajahmada kepada lelaki tua itu
tanpa memalingkan wajahnya dari arah pertempuran.
"Orang biasa memanggilku sebagai Ki Ajar Bendawa,
anak muda yang tengah bertempur itu adalah muridku",
berkata lelaki tua itu memperkenalkan jati dirinya sambil
tidak berkedip sedikitpun menyaksikan pertempuran
didepan matanya. "Apakah kalian berasal dari Tanah Wengker?",
berkata Gajahmada tanpa memalingkan wajahnya, masih
terus menyaksikan arah pertempuran.
"Pengetahuanmu mengenal berbagai jenis oleh
1166 kanuragan sangat kaya, dapat mengenal gerak dasar
dan asal perguruan kami", berkata lelaki tua yang
bernama Ki Ajar Benawa itu mengakui kebenaran
perkataan Gajahmada. "Anak muda yang sangat berbakat, pasti di ajar oleh
seorang guru yang hebat", berkata Gajahmada kepada
Ki Ajar Benawa. "Kamu terlalu memuji, adikmu sendiri kulihat
setingkat tipis diatas kemampuan muridku. Hanya
kemurahannya saja tidak ingin secepatnya menyelesaikan pertempurannya", berkata Ki Ajar
Benawa mengakui keunggulan dari Dyah Wiyat.
"Aku sudah mulai jemu dengan pertempuran ini,
bagaimana bila kita bertaruh", berkata Gajahmada
kepada Ki Ajar Benawa dengan suara yang cukup keras,
nampaknya sengaja agar pembicaraannya di dengar
oleh kedua anak muda yang tengah bertempur itu.
"Apa yang akan kita pertaruhkan?", bertanya Ki Ajar
Benawa, juga dengan suara yang dikeraskan seperti
tahu keinginan dari Gajahmada.
"Bila adikku kalah dalam pertempuran ini, maka
selama tiga hari tiga malam dirinya akan menjadi pelayan
kalian. Sebaliknya bila muridmu kalah, dirinya akan
menjadi pelayan kami selama tiga hari tiga malam?",
berkata Gajahmada dengan suara yang dikeraskan.
"Cis, tidak akan sudi diriku menjadi pelayanmu",
berkata Dyah Wiyat langsung melakukan serangan yang
lebih gencar dari sebelumnya, nampaknya perkataan
Gajahmada telah membakar perasaan hatinya.
"Siapa sudi menjadi pelayan anak gadis keras kepala
sepertimu", berkata pemuda itu sambil berkelit dan balas
1167 menyerang. Terlihat Gajahmada dan Ki Ajar Benawa tersenyum
menyaksikan perubahan pertempuran itu, mereka tidak
lagi bermain-main dengan gerak dan jurus mereka, tapi
sama-sama ingin menuntaskan setiap serangan mereka
untuk sebuah satu kepalan kemenangan, benar-benar
ditujukan penuh kesungguhan hati untuk menjatuhkan
lawannya. Akhirnya, sebagaimana yang sudah dibaca oleh
Gajahmada dan Ki Ajar Benawa, tataran kemampuan
Dyah Wiyat memang berada setingkat tipis dari
kemampuan pemuda itu. Terlihat pemuda itu mulai
kewalahan menghadapi serangan-serangan Dyah Wiyat
yang beruntun seperti ingin secepatnya untuk
menyelesaikan pertempurannya.
Luar biasa memang serangan Dyah Wiyat, begitu
cepat dan penuh daya tipu yang membingungkan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Ajar Benawa,
ternyata memang Dyah Wiyat lebih unggul dibandingkan
anak muridnya, meski keunggulannya itu tidak begitu
terpaut jauh. Namun pemuda itu punya semangat bertempur yang
sangat luar biasa, berkali-kali dapat lolos dari sergapan
serangan Dyah Wiyat yang deras seperti ombak
bergulung-gulung tiada pernah berhenti.
"Di Bumi Majapahit ini, jarang ada yang dapat
menandingi kekayaan gerak olah kanuragan dari
Padepokan Bajra Seta", berkata Ki Ajar Benawa
mengagumi gerak langkah serangan Dyah Wiyat.
"Ternyata Ki Ajar Benawa punya pengetahuan yang
sangat luas tentang olah kanuragan di bumi Majapahit
1168 ini", berkata Gajahmada kepada Ki Ajar Benawa.
"Seandainya saja dari semula aku mengetahui bahwa
gadis itu punya garis gerak yang berasal dari Padepokan
Bajra Seta, mungkin aku tidak berani bertaruh
kepadamu, wahai orang muda", berkata Ki Ajar Benawa
seperti tahu apa yang akan terjadi kepada anak muridnya
itu. Ternyata dugaan Ki Ajar Benawa tentang hasil akhir
dari pertempuran itu semakin menjadi kenyataan, anak
muridnya terlihat semakin tersudut menghadapi serangan
Dyah Wiyat yang membawakan gerak jurus milik
padepokan Bajra Seta yang terkenal sangat kaya dengan
beragam gerak yang sangat sukar sekali di duga.
Dan akhirnya dalam sebuah serangan yang beruntun,
sebuah pukulan dari tangan mungil Dyah Wiyat tidak
dapat di hindari oleh pemuda itu.
Plak".des..!!! Pukulan Dyah Wiyat berhasil bersarang di dada
pemuda itu yang langsung terdorong mundur tiga
langkah dari tempatnya berdiri.
Beruntung bahwa Dyah Wiyat tidak menggunakan inti
tenaga sejatinya, hanya menggunakan tenaga wadagnya
yang terlatih. "Mulai hari ini kamu menjadi pelayanku, wahai
pemuda sombong", berkata Dyah Wiyat sambil bertolak
pinggang penuh kegembiraan hati.
"Aku tidak akan mau menjadi pelayanmu", berkata
pemuda itu dengan sikap menantang.
"Kakang Gajahmada, jelaskan kepada anak sombong
ini", berkata Dyah Wiyat sambil memandang kearah
Gajahmada. 1169 "Aku akan meminta gurunya yang akan menjelaskannya", berkata Gajahmada sambil tersenyum.
"Maafkan aku, wahai muridku. Semula aku memang
sangat membanggakan ilmu perguruan kita, hingga aku
berani bertaruh dengan orang muda ini", berkata Ki Ajar
Benawa kepada anak muridnya itu. "Namun aku akan
meminta kepada kakak gadis ini untuk memperpanjang
pertaruhan ini, satu hari saja", berkata kembali Ki Ajar
Benawa yang langsung mengalihkan pandangannya
kearah Gajahmada. Gajahmada yang mendengar perkataan Ki Ajar
Benawa kepada muridnya itu terlihat hanya tersenyum,
dalam pikirannya seperti dapat membaca arah pikiran Ki
Ajar Benawa yang diam-diam belum dapat menerima
kekalahan muridnya itu, dan masih merasa keunggulan
ilmu perguruan mereka. "Aku akan menerima permintaan Ki Ajar Benawa,
memperpanjang pertaruhan ini. Aku yakin kalian cukup
jantan untuk memegang janji", berkata Gajahmada
kepada Ki Ajar Benawa. "Terima kasih, besok pagi kita bertemu di pinggir
sungai ini", berkata Ki Ajar Benawa kepada Gajahmada.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan menunggu kalian disini", berkata
Gajahmada ketika Ki Ajar Benawa berpamit diri.
Terlihat Ki Ajar Benawa dan anak muridnya itu telah
melangkah pergi dan menghilang masuk kedalam hutan.
"Orang tua itu diam-diam telah mempelajari gerak
langkahmu, dan merasa yakin dapat mengajari anak
muridnya untuk dapat mengalahkanmu", berkata
Gajahmada kepada Dyah Wiyat.
"Aku akan berusaha untuk tidak dapat dikalahkan
1170 oleh pemuda sombong itu", berkata Dyah Wiyat sambil
mencibirkan bibir tipisnya.
Terlihat Gajahmada hanya tersenyum melihat sikap
sang putri yang sudah sangat dikenalnya itu. Dan
sebagai seorang yang lebih dewasa seperti dapat
membaca apa yang ada dalam hati sang putri.
"Wanita memang sangat pandai menutupi perasaan
hatinya sendiri", berkata Gajahmada dalam hati.
"Mengapa pemuda tampan itu dibiarkan pergi,
bukankah kalian telah memenangkan pertaruhan?",
bertanya Biksuni Andini yang baru saja datang dari
seberang sungai. "Kakang Gajahmada terlalu baik kepada mereka",
berkata Dyah Wiyat sambil bersungut wajahnya.
"Nanti malam aku akan mengajarimu sebuah gerak
jurus yang lain, diluar yang pernah aku ajarkan selama ini
kepadamu. Diluar apa yang ada dalam pikiran guru anak
muda itu", berkata Gajahmada mencoba menghibur
perasaan hati sang putri.
Mendengar perkataan Gajahmada, terlihat perubahan
wajah Dyah Wiyat yang tidak bersungut-sungut lagi, tapi
penuh kegembiraan. Karena dirinya sangat mengenal
Gajahmada yang punya banyak ilmu andalan, dan
merasa gembira akan diajarkan sebuah gerak jurus yang
lain, yang berbeda dari yang ditekuninya selama ini.
Sementara itu hari telah berada di ujung senja,
suasana di pinggir sungai didalam hutan itu sudah
menjadi begitu gelap. "Mari kita kembali ke rumah singgah", berkata
Gajahmada kepada Dyah Wiyat dan Biksuni Andini.
Terlihat Dyah Wiyat dan Biksuni berjalan dibelakang
1171 Gajahmada yang membawa rusa diatas pundaknya
dengan begitu ringannya. Dan senja baru saja berlalu di hutan timur kaki
gunung Penanggungan, terlihat seorang pelayan dalam
tengah menyalakan tujuh buah oncor di halaman muka
rumah singgah. "Mari kita turun ke halaman muka", berkata
Gajahmada kepada Dyah Wiyat manakala mereka telah
beristirahat dengan cukup menikmati santapan makan
malam yang disediakan oleh para pelayan dalam istana
yang ikut di hutan perburuan itu.
Manakala mereka telah sama-sama berada di
halaman muka, terlihat Gajahmada langsung membuat
sebuah lingkaran yang mengelilingi dirinya dan didalam
lingkaran itu dibuat juga tiga garis yang membagi
lingkaran itu menjadi tiga bagian yang sama.
"Perhatikan olehmu, aku akan mengajarimu sebuah
langkah-langkah dasar Adityakundala", berkata Gajahmada sambil berdiri di pusat lingkaran dengan
sikap kuda-kuda yang amat kuat seperti mencengkeram
bumi. "Langkah Adityakundala?", berkata
mengulangi perkataan Gajahmada.
Dyah Wiyat "Sebuah langkah ajaib dimana sampai saat ini tidak
seorang pun mampu memecahkannya", berkata
Gajahmada sambil tersenyum.
Maka terlihat dengan sangat perlahan Gajahmada
menggerakkan kakinya yang tidak pernah keluar dari
sebuah lingkaran dengan langkah kaki bergeser
mengikuti garis segi tiga.
1172 "Aku akan mengulanginya", berkata Gajahmada yang
melihat Dyah Wiyat masih belum menangkap seluruh
langkahnya. Akhirnya setelah tiga kali Gajahmada melakukan
gerakan langkah dasar Adityakundala, dilihatnya gadis
manis telah tersenyum sebagai pertanda telah mengukir
semua gerakan yang ditunjukkan kepadanya itu.
"Lakukan sebagaimana aku lakukan", berkata
Gajahmada yang langsung keluar dari garis lingkaran
yang dibuatnya itu. Terlihat Gajahmada tersenyum gembira melihat Dyah
Wiyat dengan lincahnya bergerak perlahan sebagaimana
gerakan yang telah dicontohkan sebelumnya.
Setelah puas melihat Dyah Wiyat dapat menirukan
semua gerakannya dengan amat sempurna, Maka
Gajahmada meminta Dyah Wiyat untuk melakukannya
dengan gerakan yang semakin lama semakin cepat.
"Ilmu meringankan tubuh yang kamu miliki sudah
sangat baik, lakukan gerakan itu hingga di puncak
tataran yang kamu miliki", berkata Gajahmada kepada
Dyah Wiyat. Nampaknya Dyah Wiyat memang seorang gadis
yang amat cerdas, langsung mengerti apa yang
diinginkan oleh Gajahmada.
Terlihat Dyah Wiyat telah berdiri dengan sikap kudakuda yang kokoh mencengkeram bumi.
Pandangan mata Gajahmada tidak berkedip melihat
Dyah Wiyat tengah menarik nafas panjang, mengendapkan segenap hasrat, pikiran dan perasaannya kepada Gusti Yang Maha Agung.
Pandangan mata Gajahmada tidak berkedip 1173 sedikitpun melihat Dyah Wiyat memulai gerakan yang
diajarkannya dengan amat perlahan, namun lambat laun
gerakannya menjadi begitu cepat hingga membuat
tubuhnya seperti menghilang terbungkus sebuah
bayangan hitam. Pandangan mata Gajahmada masih tertuju kearah
Dyah Wiyat yang dilihatnya telah bergerak semakin
lambat hingga akhirnya berhenti tidak bergerak sama
sekali. Terlihat keringat mengalir di kening gadis manis itu.
"Sebuah gerakan yang benar-benar sangat luar
biasa", berkata Dyah Wiyat sambil mengusap keringat
yang mengalir di keningnya.
"Apakah kamu telah merasakan dirimu seperti
sebuah ombak di pantai?", berkata Gajahmada.
"Aku merasakan seperti sebuah ombak, semakin
besar angin bertiup, semakin deras pula kecepatanku
memburu pantai", berkata Dyah Wiyat.
"Apakah kamu juga merasakan seperti seekor elang
perkasa mengarungi padang perburuanmu?", berkata
Gajahmada. "Aku merasakan seperti seekor elang perkasa diatas
awan biru, semakin angin berhembus, semakin kuat
sayapku melayang dan menukik kemanapun arah yang
kuinginkan", berkata Dyah Wiyat dengan wajah begitu
penuh kegembiraan hati layaknya seorang anak kecil
yang baru menemukan sebuah permainan barunya.
"Kamu telah mewarisi sebuah jurus rahasia yang
amat pelik, terutama bila kamu dapat menggabungkan
dengan gerak olah kanuragan yang telah kamu kuasai
dari jalur perguruan kita dengan cara acak, pasti akan
1174 membingungkan lawanmu, mengecohkan lawanmu,
disaat itulah kamu dapat melihat sebuah peluang arah
dari seranganmu kemanapun yang kamu inginkan",
berkata Gajahmada dengan penuh rasa puas melihat
Dyah Wiyat dapat mencerna semua yang diajarkan
olehnya. "Mari kita bertempur, aku akan menyerangmu dengan
jurus perguruan mereka", berkata Gajahmada sambil
bersikap seperti akan melakukan sebuah penyerangan.
Terkejut awalnya Dyah Wiyat mendapatkan serangan
pertama Gajahmada dengan gerak sangat mirip sekali
dengan gerakan pemuda yang tadi sore menyerangnya.
Namun Dyah Wiyat dengan cepat menguasai dirinya,
langsung berkelit dengan gerakan yang baru saja
dipahaminya itu, gerak jurus rahasia Adityakundala yang
amat langka itu. "Bagus !!", berkata Gajahmada yang melihat Dyah
Wiyat dengan begitu mudahnya dapat mengelak dari
serangannya, bahkan telah membalas serangannya
dengan tidak kalah sergapnya.
"Bagus !!", kembali Gajahmada memuji serangan
Dyah Wiyat dengan langkah-langkah ajaibnya.
Sementara itu Biksuni Andini seperti mematung
berdiri diatas pendapa rumah singgah menyaksikan
latihan Dyah Wiyat dan Gajahmada, sebagai seorang
yang ahli olah kanuragan tidak lepas pandangannya
kearah gerak Dyah Wiyat yang sangat aneh dan sangat
rumit serta seperti tidak mudah dibaca kemana langkah
dan arah serangan berikutnya.
Terlihat Biksuni Andini sedikit tersenyum manakala
melihat gerakan Gajahmada yang benar-benar mirip
1175 dengan gerakan yang dilakukan anak muda lawan Dyah
Wiyat yang dilihatnya tadi sore di pinggir sungai.
"Gerak langkah perguruan Wengker menjadi lebih
sempurna di tangan Kakang Gajahmada", berkata
Biksuni Andini menilai gerakan Gajahmada menggunakan gerak jurus perguruan Wengker menghadapi Dyah Wiyat di halaman muka rumah
singgah. Sementara itu cahaya oncor yang sengaja dipasang
di halaman muka terlihat sudah mulai redup sinarnya.
"Cukup, kita sudahi latihan malam ini", berkata
Gajahmada sambil meloncat memberi tanda kepada
Dyah Wiyat untuk berhenti menyerangnya.
"Bagaimana menurut kakang penguasaanku memahami gerak langkah Adityakundala ini?", bertanya
Dyah Wiyat kepada Gajahmada.
"Orang tua itu malam ini pasti tengah melatih
muridnya mempelajari jurus-jurus seranganmu, menilai
kelemahan-kelemahanmu. Dan besok mereka pasti akan
kita buat terkejut mendapatkanmu melakukan serangan
dengan jurus-jurus baru ini", berkata Gajahmada penuh
senyum kepuasan. "Apakah kakang yakin aku dapat mengalahkan
pemuda sombong itu?", bertanya kembali Dyah Wiyat.
"Tadi sore kamu sudah dapat mengalahkannya,
besok dengan jurus barumu itu aku yakin lebih mudah
lagi mengalahkannya", berkata Gajahmada meyakinkan
diri Dyah Wiyat. "Terima kasih, bila aku dapat mengalahkannya,
semua atas jasa kakang Gajahmada", berkata Dyah
Wiyat dengan senyum menawan.
1176 "Bukan karena jasaku, tapi karena kecerdasanmu",
berkata Gajahmada menarik nafas panjang mencoba
menutupi hasrat dan kekagumannya melihat kecantikan
Dyah Wiyat yang semakin menjadi gadis dewasa itu.
Sementara itu beberapa oncor yang menerangi
halaman muka rumah singgah terlihat sudah benar-benar
menjadi redup kehabisan minyak.
"Saatnya kita beristirahat",
kepada Dyah Wiyat. berkata Gajahmada Terlihat Dyah Wiyat menggandeng tangan Gajahmada beriring menuju arah pendapa dimana
Biksuni Andini masih berdiri.
Ternyata Biksuni Andini benar-benar tidak merasa
cemburu dengan sikap Dyah Wiyat kepada Gajahmada,
mengerti bahwa mereka sudah seperti layaknya kakak
dan adik kandung sendiri.
Dan gelap menggayuti sang malam di hutan


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perburuan yang sunyi, terkadang terdengar suara tikus
kecil menjerit di ujung cengkraman seekor ular,
terkadang terdengar suara burung celepuk yang semakin
jauh menghilang, terkadang terdengar auman sang raja
hutan memecah kesunyian malam di hutan timur kaki
gunung Penanggungan. Itulah suara degung malam penantian panggung altar
pagelaran sendratari kehidupan, yang diawali dengan
terbukanya layar pagi dalam semburat cahaya perak
keemasan sang fajar diantara celah-celah daun, ranting
dan dahan pepohonan di hutan timur kaki gunung
Penanggungan. "Mari kita menemui janji", berkata Gajahmada kepada
Biksuni Andini dan Dyah Wiyat untuk berangkat ke
1177 pinggir sungai menemui Ki Ajar Bendawa dan muridnya.
Kicau burung pagi terdengar riuh mengantar langkah
kaki mereka yang telah meninggalkan rumah singgah
memasuki hutan belantara lebih kedalam lagi.
"Nampaknya kalian tidak tidur sepanjang malam ini,
sehingga telah mendahului kami datang ke tempat ini",
berkata Gajahmada kepada Ki Ajar Bendawa dan
muridnya yang memang telah berada di pinggir sungai
tempat perjanjian mereka.
"Kedatangan kalian tidak terpaut jauh, ternyata kalian
orang-orang yang selalu menepati janji", berkata Ki Ajar
Bendawa menyambut kedatangan mereka bertiga.
"Kemarin adikku telah memenangkan pertaruhan ini,
bila hari ini adikku kembali memenangkannya maka
kuberharap tidak ada kata lain dari pemuda ini untuk
memenuhi ikatan kesepakatan kita", berkata Gajahmada
kepada Ki Ajar Bendawa. "Bagaimana bila muridku memenangkan pertempurannya?", berkata Ki Ajar Bendawa sambil
tersenyum penuh keyakinan yang tinggi.
"Artinya keadaan seimbang, tidak ada yang kalah dan
yang menang", berkata Gajahmada kepada Ki Ajar
Bendawa. "Harus ada yang menang !!", berkata tiba-tiba murid
Ki Ajar Bendawa. "Baiklah, kemenangan kemarin kami anggap tidak
ada. Jadi hari ini adalah hari yang menentukan", berkata
Gajahmada sambil memandang kearah Dyah Wiyat
untuk tidak membantah. Ternyata Dyah Wiyat seperti menampakkan wajah
yang acuh tak acuh, seperti ingin menyampaikan rasa
1178 kepercayaan yang amat tinggi bahwa hari ini dirinya akan
mengalahkan anak muda itu.
"Mari kita memberi kesempatan kepada mereka",
berkata Ki Ajar Bendawa sambil melangkah menuju
tempat kemarin, dekat sebuah semak belukar.
Melihat Ki Ajar Bendawa telah berjalan, Gajahmada
dan Biksuni terlihat ikut menyingkir, meninggalkan Dyah
Wiyat dan murid Ki Ajar Bendawa hanya berdua di tanah
datar seperti dua ayam jago yang siap bertempur.
Melihat bahwa dirinya saat itu hanya berdua dengan
pemuda itu, terlihat Dyah Wiyat langsung menarik garis
wajahnya memasang wajah kecut.
"Aku datang untuk menebus kekalahanku kemarin",
berkata pemuda itu kepada Dyah Wiyat.
"Terserah, mau menebus kekalahan atau mau kalah
untuk kesekian kalinya aku tidak peduli", berkata Dyah
Wiyat masih dengan sikap acuh tak acuh.
"Gadis keras kepala, aku akan menjadikanmu
seorang pelayanku", berkata pemuda itu yang terlihat
telah langsung bersiap diri.
Mendengar perkataan pemuda itu, Dyah Wiyat
langsung membuat ancang-ancang siap menerima
serangan pemuda itu. "Siapa yang sudi menjadi pelayanmu", berkata Dyah
Wiyat. "Menghadapimu, aku tidak akan pantang memukul
seorang wanita", berkata pemuda itu yang langsung
menyerang ke arah Dyah Wiyat.
Tidak seperti hari kemarin, nampaknya anak muda itu
sudah mendapat pelajaran dari gurunya bagaimana
1179 menghadapi jurus-jurus garis perguruan padepokan
Bajra Seta yang sudah tersohor dan sangat disegani itu.
Terlihat arah serangan pemuda itu langsung menyerang
kearah dada gadis itu. Sebagai seorang gadis, serangan pemuda itu dapat
dianggap sebagai serangan melecehkan, namun Dyah
Wiyat tidak terpancing amarahnya, dengan penuh
kewaspadaan yang amat tinggi dan terkendali dapat
dengan mudahnya hanya dengan sedikit menggeser kaki
kanannya sedikit dan menyorongkan badannya sudah
berhasil membuat serangan pemuda itu menemui tempat
kosong. Dan Dyah Wiyat sudah langsung membacok
dengan tangan kosong kearah pinggang pemuda itu.
Terkejut sekali pemuda itu menghadapi serangan
yang tak terduga-duga dan langsung melenting
kesamping untuk menghindar.
Ternyata Dyah Wiyat seperti sudah dapat membaca
kemana arah gerak pemuda itu akan pergi menghindar,
terlihat belum sempat pemuda itu berdiri sempurna
sudah kembali mendapatkan serangan, kali ini adalah
sebuah tendangan keras yang meluncur serong kearah
batok kepalanya. Itulah kehebatan serangan beruntun dari perguruan
padepokan Bajra Seta yang sepertinya diciptakan hanya
untuk menyerang kemanapun musuh pergi menghindar.
Ternyata pemuda itu sudah banyak mendapat
pengarahan dari gurunya menghadapi jurus-jurus gadis
cantik itu yang akhirnya dapat mengimbanginya, bukan
hanya bergerak menghindar tapi sudah dapat balas
menyerang. Bila hari kemarinnya, pemuda itu hanya dapat
membalas serangan satu kali dari tiga kali serangan
1180 Dyah Wiyat, sementara hari itu sudah dapat membalas
satu lawan satu, setiap kali Dyah Wiyat menyerang,
setiap kali itu pula dia mampu langsung membalas
serangannya. Terlihat wajah Ki Ajar Bendawa begitu penuh
senyum, merasa puas dengan hasil pengarahannya
dapat diterapkan dengan sangat baik oleh muridnya itu.
Sebagai seorang yang ahli mengenal berbagai jenis
olah kanuragan, diam-diam Gajahmada mengagumi guru
dari anak muda itu yang dengan sangat cepatnya
mempelajari sisi kelemahan jurus-jurus Dyah Wiyat.
Sementara itu air sungai didekat arena pertempuran
itu sudah mulai hangat, nampaknya sang mentari pagi
dapat menembusi cahayanya diantara kelebatan hutan,
menembus daun dan dahan pepohonan seperti puluhan
pedang menembus tanah hutan.
"Kuat sekali daya tempur anak gadis ini", berkata Ki
Ajar Bendawa dalam hati yang melihat muridnya belum
juga dapat mengungguli kemampuan Dyah Wiyat.
"Kemampuan mereka hanya terpaut tipis", berkata
Gajahmada dalam hati menilai kemampuan keduanya.
"Lambat tapi pasti, gadis itu akan kewalahan",
berkata Ki Ajar Bendawa manakala melihat anak
muridnya telah melakukan siasat-siasat yang telah
diajarkan kepadanya menghadapi Dyah Wiyat.
Sebagaimana yang tengah di saksikan oleh Ki Ajar
Bendawa, anak muridnya mulai melakukan siasat-siasat
yang benar-benar menyudutkan diri Dyah Wiyat.
Ternyata Dyah Wiyat memang benar-benar tersudut,
segala gerak serangannya dapat dipatahkan oleh
pemuda itu dan dengan gerak yang tak terduga
1181 melakukan serangan-serangan balasan.
Bila hari kemarin tiga kali serangan Dyah Wiyat
dibalas dengan satu kali serangan, maka pada saat itu
terbalik, tiga kali serangan pemuda itu hanya dapat
dibalas sekali oleh Dyah Wiyat.
"Jangan pernah menyepelekan perguruan Wengker",
berkata Ki Ajar Bendawa dalam hati penuh kegembiraan
hati melihat hasil pertempuran saat itu.
"Apakah Dyah Wiyat telah melupakan jurus-jurus
barunya?", berkata Gajahmada dalam hati penuh
berdebar-debar melihat Dyah Wiyat benar-benar
terancam oleh serangan beruntun dari lawannya.
Terlihat Biksuni Andini juga ikut-ikutan menjadi
cemas melihat pertempuran di pinggir sungai itu, merasa
berdebar-debar membayangkan kekalahan berada di
pihak Dyah Wiyat. "Semalaman Kakang Gajahmada mengajarkan jurusjurus barunya, namun mengapa tidak diterapkan dalam
pertempurannya?", berkata Biksuni Andini dalam hati
tidak dapat membaca jalan pikiran Dyah Wiyat saat itu.
Ternyata Gajahmada dan Biksuni Andini benar-benar
tidak dapat membaca apa yang ada dalam pikiran Dyah
Wiyat yang tengah bertempur itu.
Mengapa Dyah Wiyat tidak memunculkan jurus-jurus
Adityakundala" Entah mengapa Dyah Wiyat merasakan sesuatu
yang tak pernah dirasakannya selama ini, merasa
sebuah kenyamanan yang menyenangkan, atau sebuah
debar-debar kegembiraan hati yang aneh manakala
memandang wajah pemuda itu. Dan Dyah Wiyat
sepertinya tidak ingin menuntaskan peristiwa itu,
1182 menuntaskan pertandingan itu.
Dyah Wiyat memang tidak menyadari bahwa debar
perasaannya itu adalah debar cinta pertama.
Dan Gajahmada yang telah banyak mengenal gadis
manis itu sejak kecilnya telah mulai dapat membacanya.
Terlihat Gajahmada tersenyum sambil menggelenggelengkan kepalanya. Dan sepintas muncul sebuah akal
di kepalanya. "Ki Ajar Bendawa, aku mohon maaf bila adikku
ternyata nantinya mengecewakan kalian", berkata
Gajahmada kepada Ki Ajar Bendawa dengan suara yang
sedikit dikeraskan agar Dyah Wiyat mendengarnya.
"Aku belum dapat mengerti maksud perkataanmu,
wahai orang muda", berkata Ki Ajar Bendawa yang tidak
mengerti arah perkataan Gajahmada.
"Maksudku, adikku tidak dapat menjadi seorang
pelayan yang baik", berkata Gajahmada kepada Ki Ajar
Bendawa dengan suara yang masih sedikit dikeraskan.
"Sepertinya kamu sudah begitu yakin bahwa adikmu
akan dikalahkan oleh muridku", berkata Ki Ajar Bendawa
kepada Gajahmada. "Itulah yang aku khawatirkan, adikku kalah dalam
pertandingan ini, dan akan menjadi seorang pelayan
yang bodoh", berkata kembali Gajahmada masih dengan
suara yang sedikit dikeraskan.
"Seorang pelayan yang bodoh?", berkata Ki Ajar
Bendawa kepada Gajahmada.
"Benar, seorang pelayan yang tidak pandai
memasak, seorang pelayan yang tidak pandai mencuci
pakaian, seorang pelayan yang tidak kuat mengerjakan
1183 berbagai pekerjaan yang berat-berat", Gajahmada kepada Ki Ajar Bendawa.
berkata Ternyata pancingan Gajahmada telah mengenai
sasarannya. "Cis, aku tidak akan mau menjadi pelayanmu",
berkata Dyah Wiyat sambil melompat beberapa langkah
dari arena pertempuran. Terlihat Ki Ajar Bendawa mengerutkan keningnya
manakala melihat Dyah Wiyat berdiri dengan sikap kudakuda yang kuat seperti mencengkeram bumi.
Dan pandangan Ki Ajar Bendawa tidak pernah lepas
dari semua gerakan yang dilakukan oleh Dyah Wiyat,
sebuah gerakan yang sangat rumit yang baru pertama
kali itu dilihatnya. Terlihat Gajahmada tersenyum, merasa pancingannya berhasil dengan sangat jitu sekali.
Sebagaimana yang dilihat oleh Ki Ajar Bendawa dan
Gajahmada, ternyata Dyah Wiyat telah menerapkan
langkah-langkah jurus ajaibnya, sebuah langkah jurus
Adityakundala. Dan pertempuran saat itu seperti berubah drastic,
Dyah Wiyat sepertinya telah benar-benar menguasai
hampir seluruh pertandingannya.
Berkali-kali pemuda itu hampir saja terperangkap
sebuah jebakan lawannya, jebakan langkah-langkah
ajaib dari Dyah Wiyat yang terkadang seperti sebuah
pusaran angin yang menyedot dirinya masuk mengikuti
putaran itu. Dan Dyah Wiyat sendiri merasa telah bersatu dengan
langkah-langkah ajaibnya, merasakan dirinya seperti
sebuah ombak yang di dorong oleh sebuah putaran
1184 angin yang amat kencang, merasakan dirinya seperti
seekor elang perkasa mengarungi langit raya.
Hingga akhirnya pemuda itu sudah seperti seekor
tikus besar yang berlari mencari tempat untuk
bersembunyi, namun sambaran dan cengkraman elang


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkasa jauh lebih cepat.
Dan tiba-tiba saja dua buah tangan mungil Dyah
Wiyat benar-benar tidak mampu dielakkan oleh pemuda
itu. Plak".dess !!! Dua tangan mungil Dyah Wiyat telah menghantam
dada anak muda itu. Terlihat anak muda itu terlempar mundur beberapa
langkah merasakan rasa sakit yang amat sangat di
dadanya. Sambil terduduk pemuda itu masih saja memegangi
dadanya yang masih terguncang.
Sementara itu Dyah Wiyat berdiri bertolak pinggang.
"Mulai hari ini kamu adalah pelayanku ", berkata
Dyah Wiyat kepada pemuda itu.
"Aku menerima kalah, aku menerima menjadi
pelayanmu, tapi bukan tanpa batas, hanya tiga hari saja",
berkata pemuda itu menjelaskan.
"Apakah kamu tidak menanyakan siapa nama
pelayan barumu itu?", berkata Gajahmada kepada Dyah
Wiyat. "Namaku Jaka Sesuruh", berkata pemuda itu sambil
memandang Dyah Wiyat. "Tundukkan wajahmu, begitulah cara seorang 1185 pelayan berkata kepada majikannya", berkata Dyah
Wiyat kepada pemuda itu yang mengaku bernama Jaka
Sesuruh. Dan terlihat Jaka Sesuruh sudah mulai berdiri, namun
sesuai permintaan Dyah Wiyat telah menundukkan
wajahnya, layaknya seorang pelayan berdiri dihadapan
majikannya. "Mari ikut dengan kami, aku ingin menikmati
masakanmu hari ini", berkata Dyah Wiyat memerintah.
"Maaf, apakah aku boleh ikut bersama kalian ?",
bertanya Ki Ajar Bendawa.
Mendengar pertanyaan Ki Ajar Bendawa, terlihat
Dyah Wiyat dan Biksuni Andini memandang kearah
Gajahmada yang dianggap pimpinan dalam rombongan
mereka itu. "Ki Ajar Bendawa boleh ikut bersama kami,
setidaknya menjadi saksi dan jaminan bahwa muridnya
benar-benar melaksanakan tugas sebagai pelayan dalam
tiga hari ini", berkata Gajahmada sambil tersenyum
kearah Ki Ajar Bendawa. Sementara itu matahari terlihat sudah cukup tinggi
menerangi suasana sekitar pinggir sungai di hutan
perburuan itu ketika mereka meninggalkannya kembali
ke rumah singgah. Namun manakala mereka telah mendekati rumah
singgah, Ki Ajar dan Jaka Sesuruh menjadi berdebardebar.
Semua orang khususnya para pemburu pasti tahu
bahwa rumah singgah itu adalah milik keluarga istana
Kahuripan. Hal itulah yang membuat Ki Ajar Bendawa
dan Jaka Sesuruh menjadi berdebar-debar hatinya
1186 karena ternyata mereka berhadapan dengan para
keluarga istana Kahuripan yang sangat dihormati dan
Senopati Pamungkas 31 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Jejak Di Balik Kabut 21
^