Para Ksatria Penjaga Majapahit 4
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 4
ke arena membantu Manukwaja. Serangan tiga orang
dari Gunung Raung itu kembali seperti seekor ular yang
mematuk, melindungi dan menjerat anak muda susul
menyusul tiada henti. Namun, kembali Gajahmada yang telah memahami
alur gerak lawannya itu telah berhasil mematahkan dan
mementahkan serangan mereka, kali ini langsung
dengan serangan balasan yang datang seperti air bah
menggunung dan menggulung dengan pesatnya.
Sebuah gerak tangan kembar terbuka dan kelima jari
rapat seperti senjata membelah, pukulan tangan
Gajahmada berhasil mengenai rahang kedua kawan
Manukwaja yang kurang cepat mengelak. Akibatnya
sangat parah sekali, keduanya terhuyung merasakan
kepala tergetar dan penglihatan menjadi gelap.
Gedebrukkkk !!! 225 Kedua lelaki dari Gunung Raung itu roboh terbanting
di tanah keras langsung pingsan tidak dapat bergerak
kembali. "Kurobek-robek dagingmu", berkata Manukwaja
seperti sudah gelap mata menahan rasa amarah yang
memuncak diatas ubun-ubun.
"Kamu perlu lebih cepat lagi", berkata Gajahmada
sambil meliuk menghindari serangan Manukwaja yang
sudah seperti kerasukan setan di jiwanya mencoba
merajang tubuh lawannya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh seorang ahli
kanuragan adalah pengendalian diri. Kemarahan
Manukwaja telah melepaskan pengendalian dirinya yang
membuat daya nalarnya tidak bermain lagi di tambah
kemarahannya telah semakin membuat susut tenaga dan
kekuatannya. Hingga akhirnya dengan begitu mudahnya
Gajahmada menjatuhkan lawannya itu hanya dengan
sebuah tendangan beruntun yang tidak mampu dielakkan
lagi oleh Manukwaja. Terlihat tubuh Manukwaja seperti sebatang pohon
tumbang tercabut dari akarnya terhantam tendangan
beruntun dari Gajahmada yang sangat keras seperti
hantaman seekor gajah mengamuk.
Tiga tubuh lelaki dari Gunung Raung terlihat
tergeletak diatas tanah kotor dan daun-daun kering yang
beterbangan diterpa desiran angin.
Gajahmada masih berdiri tegak dengan pandangan
kearah Ki Jengkar yang masih berdiri terpaku tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya itu. Tidak percaya
bahwa tiga orang penyamun dari Gunung Raung yang
sangat di takuti di tempat asalnya itu telah di lumpuhkan
226 dengan mudahnya oleh seorang anak muda yang tidak
dikenal. "Mengapa hanya berdiri terpaku", aku juga akan
membawamu ke kadipaten Tuban sebagaimana ketiga
orang dari Gunung Raung ini", berkata Gajahmada
sambil menatap tajam kearah Ki Jengkar.
"Jangan sesumbar, aku akan mencarimu untuk
menyumbat mulut sombongmu itu", berkata Ki Jengkar
sambil berbalik badan pergi meninggalkan tempat itu.
Terlihat Gajahmada hanya sedikit tersenyum, tidak
berusaha mengejar Ki Jengkar yang telah menghilang di
kegelapan hutan senja. Tidak terasa hari memang sudah mulai senja, udara
terlihat teduh dan mulai suram.
"Terima kasih, kamu telah menyelamatkan kami",
berkata seorang pedagang yang telah dianggap sebagai
pemimpin rombongan itu. Beberapa pedagang juga menghampiri anak muda itu
dan mengucapkan rasa terima kasih mereka yang telah
terlepas dari cengkraman para perampok di jalan lingkar
hutan Jatirogo itu. "Kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini, aku
khawatir gerombolan Ki Gedonglegi akan datang kembali
dengan kawanan yang lebih banyak", berkata pemimpin
para pedagang itu. Terlihat beberapa orang pedagang telah mengikat
tangan ketiga orang penyamun dari Gunung Raung itu,
juga beberapa orang dari gerombolan Ki Gedonglegi.
Demikianlah, ketika wajah jalan lingkar di tepi hutan
Jatirogo itu sudah terlihat menjadi semakin suram,
terlihat sebuah rombongan telah bergerak berjalan
227 seperti tergesa-gesa berharap secepatnya keluar dan
jauh dari jalan itu membayangkan para perampok lain
yang lebih besar dan ganas datang menghadang
mereka. Gajahmada, Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat seperti
tidak punya beban apapun berjalan begitu ringan di
belakang para rombongan pedagang itu.
Setelah menyaksikan sendiri dengan mata dan
kepalanya sendiri bagaimana Gajahmada mengalahkan
lawannya, kedua putri Majapahit itu seperti merasa aman
dan bangga berjalan di sisi putra tunggal Nyi Nariratih,
pemimpin pasukan Srikandi di Majapahit itu.
"Di depan kita tidak jauh lagi adalah Kademangan
Singgahan, kita bisa singgah dan bermalam disana",
berkata seorang pedagang kepada Gajahmada.
"Kita bermalam di Kademangan Singgahan", berkata
Gajahmada kepada Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat.
Akhirnya di saat wayah sepi bocah, rombongan para
pedagang itu terlihat telah memasuki regol gapura
Kademangan. Beberapa pedagang terlihat wajahnya
telah berubah cerah merasa lega telah terlepas dari
peristiwa perampokan yang sangat menegangkan itu.
Kebetulan sekali bahwa salah seorang dari pedagang
itu bertempat tinggal di Kademangan Singgahan dan
menawarkan Gajahmada untuk bermalam di rumahnya.
"Terima kasih Paman, semoga tidak merepotkan",
berkata Gajahmada kepada pedagang itu.
"Jangan sungkan-sungkan, bukankah kamu sudah
menolong kami?", berkata pedagang itu balik bertanya
kepada Gajahmada. 228 Sementara itu beberapa pedagang terlihat bersama
dengan beberapa warga kademangan telah menggiring
para tawanan ke rumah Ki Jagaraga.
"Aku akan meminta Ki Jagabaya mengurus para
tawanan ini untuk selekasnya di bawa ke Kadipaten
Tuban", berkata pemimpin para pedagang itu kepada
Gajahmada manakala mereka berpisah di persimpangan
jalan antara rumah Ki Jagaraga dan rumah seorang
pedagang yang menawarkan Gajahmada untuk
bermalam di tempat tinggalnya.
"Kalian tidak akan merepotkan kami, keluarga kami
akan bahagia dapat menjamu kalian di rumahku ini",
berkata pedagang itu manakala mereka telah sampai di
muka gerbang rumahnya yang ternyata sangat besar dan
megah dibandingkan beberapa rumah di sekitarnya.
Demikianlah, malam itu Gajahmada dan kedua putri
Majapahit itu telah diterima dengan baik oleh keluarga
pedagang itu, mereka sangat berterima kasih sekali
terutama ketika mengetahui bahwa Gajahmada telah
menyelamatkan suami dan ayah mereka.
Dan malam itu tuan rumah benar-benar telah
menjamu Gajahmada dan kedua gadis yang bersamanya
itu. "Kami telah menyiapkan bilik untuk kalian beristirahat
malam ini", berkata pedagang itu mempersilahkan
tamunya untuk beristirahat.
Terlihat Gajahmada, Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat
telah diantar kedalam biliknya masing-masing.
Malam pun berlalu seperti malam sebelumnya, sepi
dan dingin. Dibiliknya sendiri, Gajahmada tidak langsung
tertidur, dirinya masih merenungkan siapa orang besar di
229 belakang Manukwaja, dibelakang Ki Jengkar dan para
perampok lainnya yang telah dibayar cukup tinggi untuk
membuat keresahan di bumi Tuban itu.
"Apakah ada kaitannya dengan pengangkatan Adipati
Tuban yang baru?", bertanya Gajahmada dalam hati.
Malam pun berlalu seperti malam sebelumnya, dingin
dan sepi. Hingga di ujung malam ketika sang fajar datang
menepis selimut mimpi, menyirnakan kegelapan yang
pecah terburai oleh suara lenguh kerbau yang terseret
menuju tanah bajakannya di gelap pagi.
Pagi itu, terlihat Gajahmada bersama Dyah Gajatri
dan Dyah Wiyat telah berkemas untuk melanjutkan
perjalanan mereka kembali.
"Pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian", berkata
pedagang itu kepada Gajahmada dan rombongannya
yang terlihat telah melangkah menuruni anak tangga
pendapa. "Terima kasih, kami akan singgah bila kebetulan
berada di seputar Kademangan Singgahan ini", berkata
Dyah Gajatri mewakili pembicaraan perpisahan itu.
"Anak-anak muda yang berani", berkata pedagang itu
dalam hati manakala telah melihat punggung tiga anak
muda itu terakhir kalinya di sebuah tikungan jalan.
Terlihat di atas langit pagi, seekor elang melintas
terbang menuju arah pesisir utara laut Tuban.
"Berapa lama jarak perjalanan kita menuju
Padepokan Nglirip?", bertanya Dyah Wiyat kepada
Gajahmada. "Hanya dua kali kepakan sayap bila kita punya sayap
seperti elang itu", berkata Gajahmada sambil ditanggapi
tawa gembira oleh Dyah Wiyat dan Dyah Gajatri.
230 Letak air terjun Nglirip dari Kademangan Singgahan
memang tidak begitu jauh lagi. Hingga ketika matahari
baru tiga perempat diatas kepala, terlihat mereka bertiga
tengah berada dan berjalan di tepi sungai yang berhulu
dari air terjun Nglirip. Perlahan dan semakin keras saja suara deru
gemuruh air terjun lewat di telinga mereka manakala
langkah kaki mereka semakin mendekati arah hulu.
Bukan main gembiranya hati Nyi Ajeng Nglirip
manakala melihat Gajahmada, Dyah Wiyat dan Dyah
Gajatri telah berada di Padepokannya. Impian, harapan
dan doanya telah kesampaian melihat dan memeluk
kembali kedua putri kandungnya yang telah sekian lama
dirindukannya. "Tempat yang indah", berkata Dyah Wiyat sambil
memandang berkeliling melihat halaman muka
padepokan yang bersatu dengan alam sekitarnya tanpa
ada batasan apapun. "Semoga kalian betah tinggal di padepokan ini",
berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada kedua putrinya itu.
"Bagiku, dimanapun berada bila didekat pangkuan
ibunda akan terasa indah", berkata Dyah Gajatri kepada
ibundanya. "Kalian pasti sudah sangat lapar", berkata Nyi Ajeng
Nglirip "Sangat-sangat sekali", berkata Dyah Wiyat sambil
meraba perutnya dan tersenyum.
Sementara matahari memang terlihat sudah merayap
naik tinggi, merayapi rasa lapar mereka.
***** 231 Sementara itu, di langit belahan bumi yang lain,
terlihat seekor elang tua tengah berputar-putar di sekitar
bumi Lamajang. Lama elang tua itu terbang mengitari bumi Lamajang,
akhirnya terbang tinggi menghilang di sekitar hutan
Randuagung. "Kuda Anjampiani, kamu telah melakukan kesalahan
besar", berkata seorang lelaki tua kepada Kuda
Anjampiani yang duduk bersimpuh menunduk dalam
tidak berani sedikit pun mengangkat wajahnya.
Siapa lelaki tua yang sepertinya sangat dihormati
oleh Kuda Anjampiani putra Ranggalawe itu"
Rambut di kepala lelaki tua itu sudah hampir
seluruhnya memutih, namun suaranya masih terdengar
lantang berwibawa. Ternyata lelaki tua dihadapan Kuda
Anjampiani itu adalah Arya Wiraraja. Seorang Adipati
Sunginep yang telah melarikan diri ke daerah Lamajang,
karena telah berani berbuat makar bersama putranya
Ranggalawe. Atas kebaikan Ki Gede Pajarakan, keluarga Arya
Wiraraja telah diberikan sebidang tanah di sekitar hutan
Randuagung. Arya Wiraraja adalah seorang yang sangat cerdik.
Dengan berada di wilayah kekuasaan Ki Gede Pejarakan
maka dirinya untuk sementara aman dari kejaran prajurit
Majapahit. Arya Wiraraja paham sekali bahwa Baginda
Raja Sanggrama Wijaya sangat menghormati Ki Gede
Pejarakan itu yang pernah punya hutang budi telah
menyelamatkan dirinya dari kejaran para prajurit
Jayakatwang beberapa tahun yang telah silam di awal
perjuangannya untuk merebut kembali tahta singgasana
Singasari. 232 "Apa yang kamu dapatkan dari keresahan warga
Tuban?", berkata kembali Arya Wiraraja dengan suara
menggelegar penuh kemarahan.
"Anjampiani hanya ingin menunjukkan bahwa
Siralawe bukan seorang Adipati yang baik yang dapat
melindungi warganya dari gangguan para perampok",
berkata Kuda Anjampiani memberanikan mengangkat
mukanya sebentar, namun kembali menundukkan
wajahnya dalam-dalam.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah kebodohanmu, kamu telah membakar asap di
tempat persembunyian kita di Randuagung ini lewat lidah
orang-orang upahanmu yang telah tertangkap itu",
berkata Arya Wiraraja kepada Kuda Anjampiani. "Mulai
hari ini, kamu harus minta persetujuanku apapun yang
akan kamu lakukan. Kita harus punya kesabaran seorang
pemburu, kesabaran seekor elang di padang
perburuannya. Tahukah kamu bahwa seekor elang besar
tidak mengandalkan kekuatannya, tapi selalu melihat sisi
kelemahan lawannya", berkata Arya Wiraraja yang mulai
kasihan kepada cucunya Anjampiani yang masih terus
menunduk tidak berani mengangkat wajahnya.
"Mulai hari ini, Anjampiani akan patuh mengikuti apa
kata Eyang", berkata Kuda Anjampiani dengan suara
melemah. "Kesalahan ayahmu adalah tidak mau mendengar
perkataanku untuk bersabar menunggu saat yang tepat
manakala musuh lengah. Ayahmu memang tidak punya
kesabaran hati seorang pemburu", berkata Arya Wiraraja
sambil memandang kedepan dengan pandangan mata
kosong penuh penyesalan. "Ajari cucumu ini agar dapat mempunyai kesabaran
seorang pemburu", berkata Kuda Anjampiani.
233 "Kamu harus mempunyai dua sayap yang kuat agar
dapat terbang tinggi bersembunyi di balik awan,
bersembunyi dari penglihatan lawanmu. Kamu harus
punya mata yang tajam, agar dapat mengawasi dan
melihat kelengahan lawanmu. Dan kamu harus punya
cakar yang kuat, yang siap melumpuhkan lawanmu
dalam sekali terjangan", berkata Arya Wiraraja kepada
Kuda Anjampiani. "Dimana cucumu memulai perburuan ini?", berkata
Kuda Anjampiani. "Kamu memulainya di atas tanah Hutan Randuagung
ini, mendekati Ki Gede Pejarakan, mempengaruhi Adipati
Menak Koncar dan menguasai seluruh daerah tapal kuda
Jawadwipa ini sebagai benteng pertahananmu untuk
menggulung Majapahit secara perlahan-lahan", berkata
Arya Wiraraja penuh semangat sebagaimana seekor
elang tua yang berdiri diatas puncak ketinggian
memandang daerah perburuannya.
Demikianlah, sejak saat itu Arya Wiraraja dan Kuda
Anjampiani seperti menghilang dalam pengawasan
orang-orang Majapahit. Namun diluar pengetahuan
siapapun, Kakek dan cucu yang punya dendam kesumat
atas tewasnya Ranggalawe itu tidak pernah berhenti
membangun kekuatan baru dengan mempengaruhi
orang-orang disekitar mereka lewat persaudaraan darah
yang kental, para putra Madhura yang tersebar banyak
memenuhi sekitar Majapahit Timur itu.
Perlahan tapi pasti, Hutan Randuagung
berubah menjadi sebuah pemukiman baru.
telah Dan nama Arya Wiraraja dan Kuda Anjampiani
perlahan menghilang, banyak orang hanya mengenal
seorang saudagar kaya raya dan putranya yang
234 menguasai daerah perdagangan di sepanjang sempalan
ujung Jawadwipa yang berbatasan dengan Balidwipa itu.
Hari ke hari nama Arya Wiraraja dan Kuda
Anjampiani seperti tenggelam. Banyak orang hanya
mengenal nama Ki Randuagung dan putranya,
Randumas sebagai seorang saudagar yang budiman
telah menanamkan banyak budi dan pengaruhnya
disekitar mereka. Namun Arya Wiraraja, sang elang tua itu tidak lagi
bermata setajam dulu. Diluar perhitungannya, Baginda
Raja Sanggrama Wijaya telah membina para ksatria baru
yang akan menjaga Majapahit dari waktu ke waktu
Di Kediri, ada Raja muda Jayanagara dan
Adityawarman yang telah dilatih dan dibina langsung
oleh Patih Mahesa Amping. Di Tuban, Ada Dyah Gajatri
dan Dyah Wiyat yang dilatih langsung oleh ibundanya
sendiri, Gusti Kanjeng Ratu Gayatri. Dan diam-diam,
Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan Patih Mangkubumi
telah membina seorang ksatria muda Majapahit yang
lain, yang selama ini dipercayakan untuk melaksanakan
beberapa tugas rahasia, sang ksatria muda itu tidak lain
adalah Gajahmada. Dua kubu kekuatan tumbuh berkembang seperti
sebuah ajang saling memupuk kekuatan baru.
Baginda Raja Sanggrama Wijaya ternyata seorang
yang mempunyai pandangan yang sangat tajam
mengetahui bahwa Majapahit sebelah timur berkembang
di pengaruhi oleh kekuatan bayangan tandingan.
"Saudaraku Empu Nambi", berkata Baginda Raja
kepada Patih Mangkubumi di Pasanggrahannya, Pura
Kartika. "Bukan maksudku meragukan kesetiaan
putramu, Adipati Menak Koncar. Namun aku
235 mengkhawatirkan perkembangan Majapahit di sebelah
timur jauh dari kendali pusat kerajaan. Dan aku
bermaksud memecah kekuasaan disana menjadi dua
wilayah yang terpisah", berkata kembali Baginda Raja
melanjutkan kata-katanya sambil memandang Patih
Mangkubumi yang terlihat sudah semakin tua itu
Terlihat Patih Mangkubumi menarik nafas dalamdalam, mencoba mendalami apa yang dipikirkan oleh
junjungannya itu yang akhir-akhir ini sering sekali
mengasingkan diri. Nampaknya peristiwa kematian
Ranggalawe dan Rakyan Kebo Arema telah membuat
hati Raja besar ini telah kehilangan semangat juangnya.
Wajahnya yang dahulu selalu penuh semangat terlihat
selalu muram seperti menanggung sebuah kesalahan
atas kematian kedua sahabat seperjuangannya itu.
"Tuanku Baginda Raja, hamba juga telah merasakan
bahwa perkembangan di wilayah timur Majapahit seperti
sebuah bayangan kekuatan, seperti seekor naga besar
yang perlahan tumbuh kaki. Hal itu bisa terjadi karena
mereka berhadapan langsung dengan dua selat laut
kemakmuran, selat Madhura dan selat Balidwipa",
berkata Patih Mangkubumi mencoba memahami jalan
pikiran junjungannya itu.
"Ternyata Empu Nambi masih seperti yang dulu,
masih selalu dapat membaca apa yang aku pikirkan",
berkata Baginda Raja dengan sedikit tersenyum.
"Tuanku Baginda Raja, ternyata Majapahit tumbuh
berkembang jauh melampau tanah kekuasaan Raja
Erlangga, lebih besar dari kekuasaan para raja Daha dan
Kahuripan, lebih besar dari kekuasaan para raja
Tumapel. Namun sebesar apapun kerajaan Majapahit ini
tumbuh, harus ada dalam batas kendali tuanku Baginda
Raja. Wilayah para Adipati sudah sewajarnya harus
236 dipecah menghindari tumbuhnya naga-naga kecil yang
bisa menjadi besar dan liar", berkata Patih Mangkubumi
diam sejenak sambil memandang junjungannya yang
nampaknya penuh perhatian mendengar semua
ucapannya itu."Usul hamba bukan hanya memecah
wilayah di timur Majapahit, juga di bagian barat Majapahit
ini", berkata kembali Patih Mangkubumi.
"Wilayah barat Majapahit?", bertanya Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Benar Tuanku Baginda, sebagaimana Kadipaten
Lamajang, Kadipaten Tuban juga perlu menjadi perhatian
kita", berkata Patih Mangkubumi sambil menjelaskan
wilayah mana yang harus dipecah itu dan mengapa
harus di pecahkan. "Ternyata Empu Naradha telah mewarisi kebijaksanaannya kedalam jiwa keturunannya. Wahai
Empu Nambi, apa yang harus aku lakukan agar tetap
dapat memegang kendali kencana kerajaanku yang
tumbuh semakin besar ini?", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya Terlihat Patih Mangkubumi tersenyum mendengar
pujian dari Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Tuan harus memegang kendali kereta kencana
sebagaimana sang Siwa memegang kendali kencana
dengan delapan tangannya", berkata Patih Mangkubumi
sambil memandang wajah Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Sang Siwa dengan delapan tangannya?", bertanya
Baginda Raja meminta Patih Mangkubumi menjelaskannya. 237 "Hamba adalah satu tangan tuanku", berkata Patih
Mangkubumi sambil tersenyum.
"Aku mengerti maksudmu, aku perlu mengangkat
tujuh orang patih untuk menggenapinya?", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya mencoba menangkap
arah perkataan orang tua yang sangat dihormatinya itu.
Akhirnya, berkat usulan dari Patih Mangkubumi yang
sangat memahami tentang ajaran suci nawasanga itu
telah memutuskan Baginda Raja untuk mengangkat tujuh
orang patih yang bertugas membantu mengendalikan
roda pemerintahan Kerajaan Majapahit. Tujuh orang
putra Majapahit yang cakap dan dapat dipercaya, para
cantrik pilihan dari berbagai padepokan yang tersebar di
Kerajaan Majapahit. Memang tidak mudah untuk mendapatkan tujuh
orang putra terbaik yang akan melaksanakan tugas
mewakili tangan dan mata Baginda Raja. Namun dengan
semangat dan keuletan yang kuat telah berhasil di
temukan para putra terbaik itu. Mereka tujuh orang
Darmaputra yang disamping memiliki wawasan yang
luas, juga memiliki tataran ilmu kanuragan yang cukup
tinggi. Demikianlah, Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah
menentukan hari penobatan tujuh orang Darmaputra
bersama wisuda dua orang adipati di wilayah timur dan
barat Majapahit. Tujuh orang Darmaputra yang terpilih itu bernama Ra
Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedang, Ra Yuyu, Ra
Pangsa dan Ra Banyak. Sementara itu dua orang adipati baru yang akan di
wisuda adalah Adipati Buntarlawe yang berkedudukan di
238 Bojonegoro, dan Adipati berkedudukan di Banger. Menak Jingga yang Ratusan prajurit Majapahit telah ditugaskan
menyebarkan berita itu ke berbagai pelosok penjuru
Kerajaan, membawa undangan resmi dari Baginda Raja.
Bergembiralah hati hampir semua orang penghuni
Padepokan yang terletak di dekat air terjun Nglirip itu
manakala melihat tiga orang prajurit datang menemui
mereka membawa undangan langsung dari Baginda Raja
untuk datang ke Kotaraja Majapahit menyaksikan wisuda
tujuh orang Darmaputra dan dua orang Adipati baru.
"Sudah lama ibunda tidak melihat suasana Kotaraja
Majapahit", berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada kedua
putrinya yang berkenan untuk datang memenuhi
undangan itu. "Kita bisa mampir terlebih dulu di Jabung, keluarga
Jayakatwang akan merasa gembira bilamana kita datang
sambil membawa seorang cucunya", berkata Gajahmada
yang mengusulkan perjalanan lewat jalur laut.
Kicau burung hutan terdengar saling bersahutan
mengisi udara pagi dan kegembiraan suasana penghuni
padepokan keluarga Nyi Ajeng Nglirip yang terlihat telah
siap berkemas untuk melaksanakan sebuah perjalanan
panjang yang cukup jauh, ke Kotaraja Majapahit.
Nyi Ajeng Nglirip, Gajahmada dan Andini terlihat
masih menoleh sebentar melambaikan tangannya
kepada para penghuni Padepokan yang masih berdiri di
muka halaman mengantar keberangkatan mereka.
Wajah Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat terlihat begitu
ceria melangkah menyusuri sungai Nglirip yang bening
239 deras membentur bebatuan menuruni perbukitan hijau.
dan mengalir berliku Dua gadis itu terlihat sudah menjadi semakin matang
dewasa seiring dengan tataran ilmu kanuragan mereka
yang sudah berkembang dengan pesatnya lewat
bimbingan Gajahmada dari hari ke hari selama mereka
menetap di padepokan Nyi Ajeng Nglirip itu.
Siapapun tidak akan menyangka, di balik kelembutan
dan gemulai pembawaan mereka, tersimpan sebuah
kekuatan tersembunyi yang mampu menghamburkan
gunung batu cadas sekalipun. Gemblengan Gajahmada
dan Kanjeng Gusti Ratu Gayatri itu telah membuat kedua
gadis itu seperti dua mutiara ratusan tahun yang berkilau
keras dan amat kuat. Mereka berdua sudah dapat
mengungkapkan kekuatan tenaga inti sejati dirinya
sendiri, mampu melontarkan angin serangan yang
dahsyat lewat terjangan angin pukulan mereka dan
bergerak melesat begitu cepat dan ringan seperti seekor
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kijang berlari. Tidak terasa, rombongan Nyi Ajeng Nglirip telah
berjalan cukup jauh meninggalkan daerah air terjun
Nglirip dan telah memasuki daerah padukuhan disekitar
Kadipaten Tuban. Gajahmada yang telah menjadi saksi suasana disaat
Majapahit dan Tuban tengah berseteru, kini melihat
suasana beberapa Padukuhan di sekitar Kadipaten
Tuban amat sangat berbeda dari sebelumnya, nampak
begitu aman dan tenteram, para warga padukuhan tidak
lagi mencurigai orang asing yang datang dan pergi.
Ketika matahari sudah bergeser sedikit turun dari
puncaknya, terlihat rombongan itu telah memasuki kota
Kadipaten Tuban. 240 Hari itu, meski bukan hari pasaran tidak menjadikan
pasar kota Kadipaten menjadi sepi. Masih ada beberapa
pedagang yang menggelar barang dagangannya, juga
beberapa kedai makanan yang tetap buka.
"Mari kita singgah di kedai itu", berkata Nyi Ajeng
Nglirip sambil menunjuk kearah sebuah kedai yang
berada di tengah pasar. Namun langkah kaki rombongan itu terhenti
manakala melihat sebuah kerumunan di seberang kedai
yang mereka tuju itu. "Sepertinya akan terjadi sebuah pertarungan",
berkata Gajahmada sambil berhenti melangkah
"Dua orang bertarung untuk menebus hutang pati",
berkata Nyi Ajeng Nglirip yang banyak mengenal
beberapa adat dan istiadat beberapa daerah.
"Apakah mereka akan bertarung sampai mati?",
bertanya Dyah Gajatri kepada ibundanya ketika melihat
dua orang petarung telah dilingkari pinggangnya dengan
sebuah tali yang terhubung satu dengan lainnya hanya
berjarak sekitar lima langkah diantaranya.
"Lihatlah seorang gadis yang menangis di pegang
oleh dua orang lelaki di pinggir kerumunan itu,
nampaknya gadis itu telah ditemukan oleh keluarganya
setelah di bawa lari oleh pemuda idamannya sendiri",
berkata Nyi Ajeng Nglirip mencoba menjelaskan.
"Seorang pemuda yang tabah", berkata Gajahmada
yang melihat seorang pemuda yang sangat tenang siap
menghadapi lawannya, seorang yang sudah berumur
terlihat begitu gagah dengan sorot mata tajam penuh
dendam membara. 241 "Apakah mereka akan bertarung sampai mati?",
bertanya kembali Dyah Gajatri kepada ibundanya merasa
pertanyaannya itu belum selesai mendapat jawaban.
"Mereka bertarung sampai ada salah satunya mati
terbunuh", berkata Nyi Ajeng Nglirip berbisik perlahan
kepada Dyah Gajatri. "Orang-orang Madhura", berkata Gajahmada ketika
melihat kedua petarung itu diberikan masing-masing
sebuah senjata tajam yang melengkung di ujungnya,
sebuah senjata celurit. Beberapa orang terlihat sudah mundur beberapa
langkah melingkari para petarung di lapangan pasar itu.
Suasana pun seketika itu terlihat begitu mencekam,
semua pandangan mata tertuju kearah kedua petarung
yang terlihat telah bersiap-siap bertarung menghadapi
lawannya. "Yudha Pramana, kamu telah menodai nama besar
keluarga kami, saatnya darahmu yang akan
menyucikannya", berkata salah seorang petarung kepada
lawannya, seorang pemuda.
$ "Kematian tidak akan kutakutkan, darahku akan
harum mewangi sebagai bukti cinta kami", berkata
pemuda itu dengan wajah tegap menantang.
"Ternyata Kunti telah menemui seorang pemuda
yang berani, sayang aku pamannya harus membunuhmu", berkata kembali lelaki itu sambil
menggenggam senjata celurit ditangannya lebih erat lagi
terlihat seperti bergoyang-goyang bergetar.
"Aku sudah siap paman", berkata pemuda itu masih
dengan sikap penuh ketenangan.
242 "Bersiaplah kamu untuk mati", berkata lawannya
sambil langsung bergerak menerjang kearah pemuda itu.
Trang !!!! Sang pemuda terlihat telah menangkis serangan
celurit diatas kepalanya. Dua senjata yang sama beradu
menimbulkan suara yang cukup nyaring bergemerincing.
Suara gemerincing dari dua senjata yang saling
beradu terdengar berkali-kali, seiring pertarungan yang
sangat mendebarkan hati itu telah mulai berlangsung
dengan sengitnya. Sebagai seorang yang ahli dalam ilmu kanuragan,
Gajahmada sudah dapat menilai bahwa lelaki berumur itu
jauh lebih kuat dan tangguh dibandingkan dengan
pemuda itu. Hanya dengan semangat tempur saja yang
telah membuat pemuda itu masih tetap bertahan
menghadapi serangan lelaki lawannya itu.
Hingga dalam sebuah serangan yang sangat kuat
penuh dengan gerakan yang sangat tangguh telah dapat
berhasil mendesak pemuda itu. Terlihat sebuah
tendangan kuat telah berhasil merobohkan pemuda itu
yang jatuh terlentang diatas tanah. Untung tali yang
menghubungkan keduanya membuat pemuda itu
tertahan tidak terguling.
Angin serangan senjata celurit di tangan lelaki itu
seperti bayangan dewa pencabut nyawa yang terlihat
telah melayang meluncur kearah leher pemuda itu.
Trangg !!! Sebuah kerikil kecil yang dilepaskan oleh kekuatan
yang kuat berlimpah dengan sangat keras dan jitu sekali
telah membentur senjata celurit itu membuat telapak
tangan pemilik senjata itu merasakan panas dan perih
243 tak terkira dan tidak kuasa melepas senjatanya terlempar
dari tangannya. "Ijinkan aku menggantikan saudaraku ini", berkata
seorang pemuda yang tiba-tiba saja sudah berada
ditengah antara ikatan tali keduanya.
"Siapapun punya hak membela dalam pertarungan
darah ini", berkata lelaki itu sambil memandang tajam
kearah pemuda itu yang ternyata adalah Gajahmada.
Terlihat Gajahmada telah membuka ikatan tali yang
melingkar di pinggang pemuda itu dan berganti
mengikatnya melingkar di pinggangnya sendiri.
"Jagalah Gadismu", berkata Gajahmada berbisik
kepada pemuda itu yang merasa baru saja terlepas dari
sebuah kematian. "Terima kasih", berkata pemuda itu sambil menyingkir
menjauhi arena pertarungan.
"Kakang Yudha Pramana!!", berlari seorang gadis
yang berhasil melepaskan diri dari genggaman tangan
dua orang yang tengah menahannya. "Maafkan Kunti
yang telah menyusahkan dirimu", berkata gadis itu sambil
menangis bersimpuh memeluk kedua kaki sang pemuda
yang dipanggil dengan nama Yudha Pramana itu.
"Bersiaplah, darahmu akan menggantikannya",
berkata lelaki yang sudah berumur itu setelah memungut
kembali senjatanya di tanah.
"Aku sudah bersiap, paman", berkata Gajahmada
sikap penuh ketenangan dan percaya diri.
Terlihat Andini menarik nafas panjang, meski percaya
kepada kemampuan Gajahmada, namun hati wanita itu
tidak mampu menahan debaran jantungnya sendiri
menyaksikan sikap Gajahmada yang sangat berani
244 terpanggil maju untuk membela harapan cinta dari mudamudi yang terlihat saling mencinta itu.
Ditempat asalnya, lelaki itu adalah seorang jawara
yang sangat disegani. Namun dadanya terasa berdebar
kencang manakala pandangan matanya membentur
sorot mata Gajahmada yang terlihat begitu kuat dan
tajam seperti sebuah pedang tajam menyambar.
Terdengar gemerutuk gigi dari lelaki itu berusaha
menepis rasa gentarnya. "Senjata ini telah terhunus, pantang masuk ke sarung
sebelum menghisap darah", berkata lelaki itu sambil
langsung menerjang dengan kuatnya.
Sayang bahwa lelaki itu tidak tahu dengan siapa
dirinya berhadapan. Terlihat Gajahmada dengan
ringannya berkelit menghindar.
Melihat serangannya dengan mudah dielakkan oleh
anak muda itu, sebuah tendangan menyusul
menghantam kearah Gajahmada. Namun kembali
Gajahmada dapat menghindari serangan itu.
Bukan main geramnya lelaki itu merasa dua buah
serangannya dapat dihindari dengan mudahnya telah
menjadikan dirinya menyerang lebih kuat dan gencar
lagi. Kembali Gajahmada dengan langkah yang begitu
ringan dan sangat cepat dapat lolos dari setiap serangan
lelaki itu yang semakin gencar membabi buta merasa
bahwa lawannya hanya mampu menghindar tanpa dapat
membalas. Ternyata Gajahmada tengah mengukur tingkat
kemampuan lawannya, hanya berkelit tanpa balas
menyerang. 245 Terlihat diluar arena, pandangan mata Andini tidak
pernah sedikitpun terlepas dari jalannya pertarungan itu
seakan membayangkan bahwa Gajahmada tengah
bertarung darah membela dirinya, membela cinta mereka
berdua. Sementara itu, Nyi Ajeng Nglirip, Dyah Gajatri dan
Dyah Wiyat yang telah mengetahui tingkat kemampuan
Gajahmada, terlihat tidak begitu tegang, seperti
menunggu apa yang terakhir dilakukan oleh anak muda
yang selama ini seperti seorang ksatria penjaga bagi
keluarga mereka. Sebagaimana yang dipikirkan oleh Nyi Ajeng Nglirip,
terlihat Gajahmada sudah merasa bosan bermain-main.
Semua mata di lapangan pasar itu seperti terbelalak
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Siapapun akan terperanjat kagum melihat bagaimana
Gajahmada dengan hanya dua jari tangannya telah
menjepit senjata celurit lelaki itu yang tengah meluncur
mengayun diatas kepalanya.
Terlihat dengan sekuat tenaga, lelaki itu telah
berusaha menarik senjatanya dari jepitan Gajahmada.
Senjata di dalam jepitan Gajahmada tidak bergeming
bergerak sedikitpun, lelaki itu seperti menarik batang
pasak bumi yang menancap tumbuh di batu cadas keras.
Dan dengan gerakan biasa dari Gajahmada, hanya
dengan sebuah sedikit jentikan kedua jarinya, terlihat
senjata celurit itu patah sumpung putus terlepas dari
bagian lain di tangan lelaki itu yang bersamaan seperti
terdorong kebelakang. Untung tali ikatan membuatnya
tertahan tidak terlempar.
Terbelalak mata lelaki itu yang belum sempat
246 menguasai keadaan telah merasakan tali ikatannya
ditarik dengan kuat membuat dirinya maju terhuyung
kedepan. "Menyerahlah, atau celurit ini akan memenggal
batang lehermu", berkata Gajahmada dengan nada
mengancam sambil mengalungkan celurit di leher lelaki
itu. Pucat wajah lelaki itu merasakan darahnya berhenti
mengalir. Sebagai seorang jawara di tempat asalnya, lelaki itu
baru pertama kali itu mendengar ancaman dari orang lain
kepadanya. "Aku menyerah", berkata lelaki itu seperti pasrah
merasakan dingin senjata menempel di ujung kulitnya.
"Artinya persoalan tidak akan diperpanjang lagi,
cukup sampai disini?", berkata Gajahmada kepada lelaki
itu. "Kami tidak akan memperpanjang urusan ini lagi,
telah diselesaikan hari ini", berkata lelaki itu masih
dengan wajah pucat pasi membayangkan celurit yang
tajam itu merobek batang lehernya.
"Bagus, perkataan seorang lelaki adalah sebuah
sumpah", berkata Gajahmada sambil menarik senjata
celurit dari leher lelaki itu.
Srettt !!! Celurit ditangan Gajahmada telah membabat tali
ikatan mereka. Terlihat lelaki itu melepas ikatan tali di pinggangnya
dan datang menghampiri Yudha Pramana yang berdiri
bersama Kunti, gadis kemenakan dari lelaki itu.
247 "Masalah kalian telah selesai, sejak hari ini keluarga
tidak akan mencari kemanapun kalian pergi", berkata
lelaki itu yang langsung berbalik badan melangkah pergi
diikuti oleh tiga orang lelaki bersamanya.
Bersama dengan perginya rombongan lelaki itu,
kerumunan pun sudah semakin berkurang, orang- orang
sudah kembali lagi dalam kesibukannya masing-masing.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana lapangan pasar itu sudah kembali sebagaimana
semula sebelum adanya kejadian tarung adat itu.
"Terima kasih, tuan telah menyelamatkan hidup kami
berdua", berkata Yudha Pramana dengan sikap penuh
rasa terima kasih kepada Gajahmada.
Nampaknya kalian akan melakukan sebuah
perjalanan jauh", berkata Gajahmada kepada Yudha
Pramana. "Benar, kami memang akan pergi jauh ke Kotaraja
Majapahit", berkata Yudha Pramana.
"Ternyata kita satu perjalanan, kami juga akan
berangkat ke Kotaraja Majapahit. Namun sebelumnya
kami akan singgah terlebih dahulu ke Jabung untuk
menemui salah seorang kerabat", berkata Gajahmada
kepada Yudha Pramana. "Apakah tuan pernah pergi ke Jabung sebelumnya?",
bertanya Yudha Pramana kepada Gajahmada.
Terlihat Gajahmada tersenyum
menggelengkan kepalanya. getir sambil "Bila tuan tidak berkeberatan, aku dapat menjadi
penunjuk jalan yang baik. Aku besar di Jabung", berkata
Yudha Pramana. "Senang sekali mendapatkan seorang penunjuk
jalan", berkata Gajahmada tidak merasa keberatan.
248 "Maaf, apa yang menyebabkan tuan menolong
kami?", bertanya Yudha Pramana kepada Gajahmada.
"Juga mengakui diriku ini sebagai saudara tuan?",
berkata kembali Yudha PramanaTerlihat Gajahmada tidak langsung menjawab, hanya
memandang wajah Yudha Pramana dalam-dalam.
"Entahlah, aku hanya seperti pernah mengenalmu,
tapi entah dimana", berkata Gajahmada sambil
tersenyum. "Perasaan tuan sama dengan yang kurasakan,
mungkin kita pernah bersahabat, atau bersaudara dalam
kehidupan masa lalu kita sebelum kehidupan sekarang
ini", berkata Yudha Pramana. "Aku sangat senang hati
menjadi sahabat tuan", berkata Yudha Pramana.
"Aku juga senang punya sahabat seperti dirimu",
berkata Gajahmada. "Seperti di kehidupan masa lalu kita?", berkata Yudha
Pramana sambil tertawa panjang.
Demikianlah awal mula pertemuan persahabatan
mereka berdua, Gajahmada dan Yudha Pramana.
Terlihat Gajahmada memperkenalkan Yudha Pramana dan istrinya kepada rombongannya. Dan
mereka bersama melanjutkan pembicaraan di dalam
kedai. Yudha Pramana dan Gajahmada memang sudah
seperti sahabat lama saja layaknya, mereka saling
bercerita satu dengan yang lainnya sepertinya tidak ada
rahasia lagi diantara mereka berdua.
Maka setelah merasa cukup beristirahat di dalam
kedai, terlihat rombongan yang sudah bertambah dua
orang itu terlihat telah keluar dari kedai menuju arah
249 timur matahari. Beruntunglah ada Yudha Pramana sebagai penunjuk
jalan, karena mereka tiba memasuki Jabung disaat
malam sudah mulai turun dan sukar sekali menemui
orang untuk bertanya. Ternyata, Ki Ajar Sasmita yang juga dikenal bernama
Empu Pranata mantan pendeta suci istana Singasari itu
masih mengenal Gusti Kanjeng Ratu Gayatri.
"Semoga mata tuaku ini tidak salah mengenal orang,
bukankah aku berhadapan dengan putri bungsu Baginda
Raja Kertanegara?", berkata Ki Ajar Sasmita.
"Tuan Pendeta tidak salah mengenali orang, akulah
putri bungsu itu", berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil
tersenyum. "Puji syukur bahwa akhirnya kita dapat berjumpa
kembali", berkata Empu Pranata penuh kebahagiaan
menyambut kedatangan rombongan itu.
Nyi Ajeng Nglirip segera menyampaikan maksud
kedatangan mereka di Padepokan Jabung itu kepada
Empu Pranata. "Memang sudah saatnya Kertawardana mengenal
keluarganya sendiri", berkata Empu Pranata sambil
meminta seorang cantriknya untuk memanggil Kertawardana. "Inikah kemenakanku itu?", berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada Kertawardana yang sudah datang bergabung di
pendapa padepokan. "Kertawardana menghaturkan sembah sujud",
berkata Kertawardana penuh penghormatan setelah
diperkenalkan oleh Empu Pranata bahwa di hadapannya
itu adalah Gusti Kanjeng Ratu Gayatri, bibinya sendiri.
250 Nyi Ajeng Nglirip segera memperkenalkan rombongannya, dimana dua orang putrinya juga ikut
bersamanya. "Kakek dan nenekmu di tanah Ujung Galuh pasti
akan meresa bahagia bila saja dapat melihat dirimu",
berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada Kertawardana.
"Sayang aku yang tua ini tidak dapat menyertai
kalian", berkata Empu Pranata yang mengijinkan
Kertawardana dipertemukan dengan kakek dan
neneknya di Tanah Ujung Galuh.
Demikianlah, malam itu rombongan Nyi Ajeng Nglirip
telah diterima dan dijamu di padepokan Jabung dengan
penuh penghormatan. "Padepokan Jabung ini sangat kecil, tapi Gusti yang
Maha Agung telah memudahkan langkah kalian", berkata
Empu Pranata. "Anak muda inilah yang telah memudahkan langkah
kaki kami", berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil tersenyum
memandang kearah Yudha Pramana dan bercerita
kepada Empu Pranata tentang kejadian yang mereka
temui di pasar Kadipaten Tuban.
"Jodoh, rejeki dan maut adalah garis yang telah
ditentukan oleh Gusti Yang Maha Agung. Tidak seorang
pun dapat memajukannya, tidak seorang pun dapat
memundurkannya dan tidak seorang pun mampu
menolaknya", berkata Empu Pranata yang sudah terlihat
sangat tua itu. Dan malam itu, rombongan Nyi Ajeng Nglirip telah
bermalam di Padepokan Jabung.
Di biliknya, Dyah Gajatri tersenyum melihat adiknya
Dyah Wiyat begitu mudahnya sudah tertidur lelap.
251 Sementara dirinya seperti
memejamkan matanya. susah sekali untuk Sebagai seorang gadis yang sudah mulai tumbuh
dewasa, ternyata Dyah Gajatri sudah mulai memahami
bahwa dirinya diam-diam telah mulai tertarik kepada
lawan jenisnya. Siapakah pemuda yang sangat beruntung itu yang
menjadi perhatian gadis putri Majapahit itu"
Siapa lagi anak muda yang selama ini sangat dekat
dengannya, siapa lagi kalau bukan guru pembimbingnya
sendiri, Gajahmada. Semakin dirinya mencoba berlari dari kenyataan,
semakin kuat perasaan itu menggoda. Sentuhan dan
perhatian Gajahmada kepadanya selalu saja menjadi
bayangan yang mengulang-ulang hadir disaat menjelang
tidurnya. Tapi semua itu hanya disimpan didalam hatinya,
sebagai rahasia hidupnya.
Perlahan, rasa penat dan lelah akhirnya telah
meruntuhkan gelisah hati putri jelita itu, Dyah Gajatri
akhirnya telah terlelap juga di samping adiknya, Dyah
Wiyat yang sudah lama tertidur, mungkin sudah lama
bermimpi berdiri di atas anjungan Jung Majapahit yang
berlayar di tengah malam di bawah sang rembulan dan
sepoi angin yang begitu dingin menyejukkan hati.
Sementara itu, sang rembulan di atas langit
padepokan Jabung terlihat belum bulat penuh, angin
dingin telah menerbangkan bunga-bunga randu yang
gugur jauh dari pohonnya. Terdengar suara burung hantu
sayup mengusik keheningan malam.
Ternyata masih ada belahan jiwa di bilik lain yang
252 gelisah di larut malam itu, sebuah hati milik seorang
pemuda yang gelisah meniti malam panjang berharap
pagi segera datang menjelang.
Di peraduannya, Kertawardana tidak juga dapat
memejamkan matanya, bukan kerinduan untuk bertemu
dengan kakek dan neneknya di Tanah Ujung Galuh, tapi
kerinduan berharap pagi akan segera datang agar dirinya
dapat melihat kembali wajah jelita Dyah Gajatri yang
begitu lembut penuh kedewasaan yang telah
membuatnya jatuh cinta dalam pandangan pertamanya
itu. "Mungkinkah aku dapat mencuri perhatiannya?",
berkata Kertawardana sambil berbaring berpangku
kepala dengan kedua tangannya.
Malam bagi Kertawardana seperti merayap perlahan,
angannya sudah jauh terbang menyusuri banyak
perjalanan dan waktu, diantara kebersamaan sang putri
pencuri hatinya itu. Perlahan, pemuda itu pun akhirnya terlena masuk
antara angan dan mimpi, terjebak dan tersesat di
belantara hutan lamunan, mengembara terbang di bawa
awan dan angin harapan dan keinginan hati.
Gelisah hati Kertawardana akhirnya terjaga oleh
penggalan suara pagi, suara ayam jantan telah
membawanya kembali dari belantara perjalanan
angannya, diatas pagi di bilik peraduannya.
Wajah pagi telah membuka pintunya.
Keceriaan dan kehangatan mengisi setiap hati semua
orang yang berada diatas panggung pendapa padepokan
Jabung yang tengah bersiap diri untuk berangkat menuju
pelabuhan Tuban. 253 "Semoga keselamatan selalu menyertai kalian",
berkata Empu Pranata yang mengiringi rombongan Nyi
Ajeng Nglirip hingga di ujung tangga pendapa.
Terlihat Empu Pranata menarik nafas dalam-dalam
manakala mata tuanya melihat terakhir kalinya punggung
rombongan itu di ujung tikungan jalan yang terhalang
sebuah rumpun bambu. Hangat cahaya pagi telah mengiringi langkah kaki
rombongan Nyi Ajeng Nglirip yang berjalan meninggalkan
Padepokan Jabung diantara pematang sawah yang luas
membentang membatasi sebuah padukuhan didepan
mata mereka. Beberapa orang warga terlihat melemparkan
pandangannya kearah rombongan itu yang beriring di
jalan padukuhan. Gajahmada, Yudha Pramana dan Kertawardana
terlihat berjalan dibelakang para wanita. Andini, Nyi
Ajeng Nglirip dan Kunti terlihat sudah saling mengenal
berjalan beriring sambil bercerita dan bercakap-cakap.
Sementara itu Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat seperti
seekor anak kijang berjalan di muka penuh canda ceria.
Awan putih diatas kepala mereka terlihat berarak
terbawa angin kadang menutupi cahaya matahari
meneduhi langkah perjalanan mereka di jalan bulakan
panjang, di perbukitan karang dan sebuah padang
ilalang. Akhirnya manakala matahari terlihat sudah bergeser
sedikit dari puncaknya, rombongan Nyi Ajeng Nglirip
terlihat sudah memasuki daerah Kadipaten Tuban.
"Sebuah kehormatan dan sanjungan tak terkira
mendapat kunjungan dari Gusti Kanjeng Ratu Gayatri",
254 berkata Ki Sayekti, seorang syahbandar pelabuhan
Tuban yang pernah bertugas di lingkungan istana
Majapahit menyambut kedatangan Nyi Ajeng Nglirip dan
rombongannya di rumah tempat tinggalnya yang tidak
begitu jauh dengan pelabuhan Tuban.
Nyi Ajeng Nglirip dan rombongannya telah
diperlakukan layaknya para tamu agung sambil
menunggu kabar datangnya jung besar Majapahit yang
malam itu akan tiba singgah di Bandar pelabuhan Tuban.
Akhirnya, di saat wayah sepi bocah, rombongan Nyi
Ajeng Nglirip terlihat telah menuju Bandar pelabuhan
Tuban karena telah mendapat kabar bahwa jung besar
Majapahit telah datang merapat.
Dan di kesunyian malam itu, perlahan terlihat jung
besar Majapahit meninggalkan dermaga kayu Bandar
pelabuhan Tuban menuju Bandar pelabuhan Tanah
Ujung Galuh. Terlihat Dyah Wiyat berdiri diatas anjungan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menikmati malam dan hembusan angin laut yang
berhembus menerbangkan rambutnya, menerbangkan
tawanya diatas deru suara ombak malam.
Temaram wajah Bandar pelabuhan Tanah Ujung
Galuh dipenuhi pelita malam terlihat dari arah lepas
pantai manakala Jung Majapahit telah menguncupkan
layarnya mendekati bibir dermaga pelabuhan.
Beberapa penumpang gelisah tidak sabar berdiri
memenuhi anjungan dan buritan merasakan jung
terbesar di jamannya itu seperti begitu lamban bergerak
menuju bibir dermaga pelabuhan.
Akhirnya, seperti bendungan air yang menemui jalan,
suasana hati beberapa penumpang seperti pecah dalam
255 sorak penuh suka cita manakala jung Majapahit
membentur dan merapat di bibir dermaga pelabuhan.
Terlihat Yudha Pramana, Kunti dan Kertawardana
berdiri mematung diatas dermaga seperti layaknya
seorang asing yang tidak tahu kemana kaki melangkah.
"Kita sudah berada di Tanah Ujung Galuh", berkata
Gajahmada kepada mereka bertiga sambil tersenyum
seperti dapat membaca apa yang ada dalam pikiran
mereka. Rombongan kecil Nyi Ajeng Nglirip terlihat telah
bergerak berjalan menjauhi dermaga mengikuti langkah
kaki Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat yang berjalan dimuka
penuh riang gembira. Penuh sukacita Jayakatwang dan Nyi Turukbali
menyambut kedatangan rombongan itu.
Bercucuran air mata penuh kebahagiaan kedua
suami istri itu manakala Kertawardana memperkenalkan
dirinya. "Kertawardana menghaturkan sembah sujud dihadapan kakek dan nenek", berkata Kertawardana
bersimpuh dihadapan kedua suami istri itu.
Lengkaplah kebahagiaan sepasang suami istri itu
yang selama ini telah mendengar bahwa masih ada garis
keturunan mereka yang masih hidup, ternyata malam itu
mereka telah dipertemukan kembali. Melihat sendiri
bahwa cucu mereka telah tumbuh dewasa sebagai
seorang pemuda yang gagah menambah kebanggaan
hati mereka. Suasana hari-hari yang sepi di pura Jayakatwang
sejak malam itu telah berganti menjadi penuh keriuhan
dalam canda dan tawa. 256 Tidak terasa malam sudah semakin larut, sementara
rembulan diatas langit malam seperti lentera penjaga
diatas pura yang berdiri indah menghadap laut malam
pantai tanah Ujung Galuh, memandang titik-titik lentera
para nelayan di sepi laut malam.
"Kulihat wajah kalian sudah begitu lelah", berkata
Jayakatwang sambil tersenyum.
Mendengar perkataan Jayakatwang membuat semua
yang hadir seperti baru menyadari bahwa hari memang
telah larut malam. Debur suara ombak di pantai Tanah Ujung Galuh
terdengar seperti irama malam, mengantar langkah
mereka naik ke peraduannya, mengantar malam dan
mimpi mereka. "Tinggallah kalian bersama kami di pura ini", berkata
Jayakatwang kepada Yudha Pramana.
"Kami masih punya seorang Paman yang tinggal di
Kademangan Maja, setelah dari sana kami akan
memikirkan kembali tawaran tuan, dimana kami akan
berdiam tinggal", berkata Yudha Pramana.
"Kamu telah menjadi penunjuk jalan ketika kami di
Jabung. Hari ini akulah yang akan menjadi penunjuk
jalan untuk kalian", berkata Gajahmada kepada Yudha
Pramana menawarkan dirinya.
Demikianlah, pagi itu Gajahmada telah mengantarkan
Yudha Pramana bersama istrinya ke Kademangan Maja,
sebuah Kademangan yang berada di ujung Kotaraja
Majapahit. Sebuah Kademangan yang tengah berkembang seiring perkembangan Kotaraja Majapahit.
Terlihat mereka bertiga telah menyeberangi Sungai
Kalimas. 257 "Sebuah Kotaraja yang sangat indah dan ramai",
berkata Yudha Pramana manakala mereka bertiga telah
menyusuri jalan Kotaraja Majapahit yang di sepanjang
jalan dipenuhi bangunan rumah yang megah dengan
pilar-pilar kayu yang tinggi berukir indah.
Akhirnya mereka bertiga telah memasuki sebuah
padukuhan di Kademangan Maja.
"Sejak Pangeran Jayanagara menjadi Raja Muda di
Kediri, kalian tidak pernah kutemui memasuki padukuhan
ini", berkata Ki Bekel yang telah mengenal Gajahmada.
"Kakang Putu Risang sekarang telah kembali ke
kampung halamannya di Balidwipa. Sementara aku
sendiri belakangan ini banyak menetap di Tuban",
berkata Gajahmada kepada Ki Bekel itu.
"Mudah-mudahan aku dapat membantu kepentingan
kalian", berkata Ki Bekel yang seperti sudah dapat
menebak kedatangan mereka ke rumahnya itu pasti ada
sebuah kepentingan. "Saudaraku ini tengah mencari seorang pamannya
yang tinggal disekitar Kademangan Maja ini", berkata
Gajahmada kepada Ki Bekel.
"Siapa nama pamanmu itu, hampir semua orang di
Kademangan Maja ini aku mengenalnya", berkata Ki
Bekel. "Namanya Ki Sayuti", berkata Yudha Pramana
menyebut nama pamannya. "Ki Sayuti asli dari Bangkalan?", berkata Ki Bekel
sambil menceritakan cirri-ciri orang yang dikenalnya itu.
"Benar, pamanku memang seorang pandai besi",
berkata Yudha Pramana membenarkan cirri-ciri yang
disampaikan oleh Ki Bekel.
258 Terlihat Ki Bekel seperti terdiam, beberapa kali
menarik nafas panjang. "Apa yang terjadi pada diri pamanku?", bertanya
Yudha Pramana bercuriga melihat sikap Ki Bekel itu.
"Aku mengenal pamanmu itu, seorang yang sangat
berani", berkata Ki Bekel dan berdiam kembali.
"Apa yang terjadi pada diri pamanku itu?", bertanya
kembali Yudha Pramana. "Manakala kerajaan Majapahit belum berdiri seperti
sekarang ini, telah datang para perusuh dari Kediri di
Padukuhan ini. Pamanmu dan beberapa lelaki di
Padukuhan ini telah menghadang para perusuh itu",
berkata Ki Bekel kembali berhenti seperti tengah
mengenang peristiwa yang sudah lama lewat itu di dalam
ingatannya. "Apa yang terjadi atas diri pamanku?", bertanya
kembali Yudha Pramana. "Pamanmu adalah satu-satunya lelaki yang masih
selamat dalam kejadian itu, telah berhasil melarikan diri
mencari bantuan para prajurit Raden Wijaya di hutan
Maja", berkata Ki Bekel bercerita."Para perusuh akhirnya
dapat di pukul mundur meninggalkan padukuhan ini oleh
para prajurit Raden Wijaya. Namun dalam pertempuran
itu, pamanmu telah terluka amat parah. Hingga akhirnya
kami tidak dapat menyelamatkannya, pamanmu telah
menghembuskan nafas terakhirnya", berkata kembali Ki
Bekel melanjutkan ceritanya.
"Jadi, pamanku telah tiada?", berkata
Pramana sambil menahan kesedihan hatinya.
Yudha "Pamanmu telah tiada, menjadi bebanten padukuhan
ini", berkata Ki Bekel sambil menarik nafas panjang,
259 merasa kasihan memandang pemuda itu.
"Beberapa hari kemudian, bibimu jatuh sakit dan
menyusul suaminya dipanggil juga oleh Pemiliknya",
berkata kembali Ki Bekel.
"Bibiku juga telah tiada?", berkata Yudha Pramana
seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya itu.
"Kami ikut berduka atas semua yang menimpa
paman dan bibimu itu", berkata Ki Bekel dengan suara
perlahan. "Mari kuantar kalian ke rumah pamanmu itu, selama
ini kami menjaganya semua barang peninggalannya
berharap suatu waktu datang sanak keluarganya",
berkata kembali Ki Bekel.
Maka tidak lama berselang, terlihat Gajahmada,
Yudha Pramana dan Kunti telah mengikuti langkah Ki
Bekel menuju rumah pamannya Yudha Pramana yang
telah tiada itu. Mereka telah memeriksa dan melihat-lihat rumah
milik paman Yudha Pramana.
"Bolehkah aku membawa barang ini?", berkata
Yudha Pramana sambil mengambil sebuah clurit pendek
yang bergagang kayu hitam berukir kepala ular sangat
halus buatannya. "Kamu adalah kemenakannya, semua barang di
rumah ini telah menjadi milikmu", berkata Ki Bekel
kepada Yudha Pramana. "Terima kasih telah menjaga isi rumah ini, aku hanya
akan membawa clurit milik pamanku ini, selebihnya
kuserahkan kepada Ki Bekel", berkata Yudha Pramana.
260 Demikianlah, Gajahmada, Yudha Pramana dan
istrinya akhirnya berpamit diri kepada Ki Bekel untuk
kembali ke Tanah Ujung Galuh.
Ketika mereka sampai di pura Tanah Ujung Galuh,
semua yang mereka dengar tentang peristiwa yang
menimpa padukuhan Maja itu telah mereka ceritakan
kembali kepada Jayakatwang.
Terlihat Jayakatwang menarik nafas dalam-dalam,
matanya seperti berkaca-kaca. Didalam pikirannya
seperti terkumpul semua kenangan semasa dirinya
menjadi Raja Kediri, mengenang kekelaman jiwanya di
masa lalu. "Diperjalanan kami telah membicarakan masakmasak, memutuskan untuk menerima tawaran tuan.
Kami akan tinggal di Pura Tanah Ujung Galuh ini",
berkata Yudha Pramana membuyarkan lamunan
Jayakatwang. "Kami menyambut gembira keputusan kalian untuk
tinggal bersama kami", berkata Jayakatwang sambil
tersenyum kepada Yudha Pramana dan Kunti.
Tidak lama berselang dari pintu pliridan muncul
Nyimas Turukbali dan Nyi Ajeng Nglirip diikuti oleh dua
orang putrinya. Nampaknya mereka ikut menyambut gembira
mendengar keputusan Yudha Pramana dan istrinya
untuk tinggal bersama di pura Jayakatwang.
"Dimana Kertawardana?", bertanya Gajahmada yang
tidak melihat Kertawardana ada diantara mereka.
"Katanya ingin melihat-lihat suasana
Majapahit", berkata Nyimas Turukbali.
Kotaraja 261 "Mudah-mudahan tahu jalan
Gajahmada sambil tersenyum.
pulang", berkata Sementara itu, jauh di sebuah tempat di Lamajang di
sebuah pemukiman baru disekitar hutan Randu Agung,
berita tentang rencana penobatan para Dharmaputra dan
dua adipati di Bojonegoro dan Banger telah terdengar di
telinga Arya Wiraraja dan Kuda Anjampiani, dua orang
pelarian Majapahit yang telah berganti nama dan jati
dirinya sebagai Ki Randu Agung dan putranya Randu
Mas. "Majapahit seperti tengah mengayomi seluruh aliran
agama lewat penobatan para Dharmaputra", berkata
Randu Mas kepada Ki Randu Agung.
"Sanggrama Wijaya seorang yang sangat cerdas,
merangkul seluruh aliran agama di tanah Jawa agar tidak
menjadi sebuah kekuatan baru yang dapat mengganggu
roda pemerintahannya", berkata Ki Randu Agung memuji
kecerdasan Raja Majapahit.
"Sanggrama Wijaya seperti tahu, sudah mendahului
kita melangkah", berkata Randu Mas dengan wajah
putus asa. "Selalu masih ada jalan, janganlah membuatmu
mudah putus asa", berkata Ki Randu Agung tersenyum
melihat cucunya penuh keputus asaan.
"Dulu kakeklah yang telah mengajarkan bagaimana
Raja Jayakatwang menghancurkan Singasari. Kakek
pula yang mengajarkan Sanggrama Wijaya merebut
kembali tahtanya dari Raja Jayakatwang. Cucumu
percaya bahwa kakek belum menjadi tua untuk membuat
jalan menghancurkan Majapahit", berkata Randu Mas
kepada kakeknya Ki Randu Agung.
262 "Para Dharmaputra adalah manusia seperti kita",
berkata Ki Randu Agung sambil tersenyum.
"Cucumu belum dapat mengikuti jalan pikiran kakek",
berkata Randu Mas dengan penuh penasaran.
"Rakyan Kuti dan Rakyan Semi adalah dua orang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putra Lamajang, kita dapat mendekati mereka berdua",
berkata Ki Randu Agung. "Kita mendekati mereka berdua untuk berdiri
bersama kita menghancurkan Majapahit?", bertanya
Randu Mas mencoba membaca jalan pikiran kakeknya
itu. "Benar, nampaknya kamu sudah dapat membaca apa
yang aku pikirkan", berkata Ki Randu Agung.
"Rakyan Kuti masih kemenakan Patih Mangkubumi,
apakah kita dapat mendekatinya?", bertanya Randu Mas
penuh keraguan. "Justru dengan mendekati Rakyan Kuti, kita seperti
punya senjata bermata dua. Disisi lain sebagai kekuatan
baru yang akan mengancam kekuatan Majapahit. Disisi
lain akan merusak hubungan antara Patih Mangkubumi
dengan rajanya, Sanggrama Wijaya", berkata Ki Randu
Agung dengan wajah seperti seorang pemikir ulung yang
telah mendapatkan sebuah jalan terang.
"Ternyata Kakekku belum setua yang kupikirkan,
masih dapat berpikir dengan penuh kecemerlangan",
berkata Randu Mas mengagumi jalan pikiran kakeknya
itu. "Kesabaran, itulah jalan yang akan mengantar kita
menghancurkan musuh kita", berkata Ki Randu Agung.
263 "Pengikut aliran Rakyan Kuti dan Rakyan Semi
adalah dua aliran terbesar di Lamajang ini, bagaimana
kita dapat mempengaruhi mereka?", berkata Randu Mas.
"Kita bangun sebuah aliran lain diluar mereka, kita
buat mereka cemburu seakan-akan Majapahit telah
menganak emas-kan aliran baru itu", berkata Ki Randu
Agung menyampaikan buah pikirannya.
"Sebuah cara yang sangat hebat", berkata Randu
Mas kembali memuji jalan pikiran kakeknya itu.
Sementara itu hari di atas rumah kediaman Ki Randu
Agung telah terlihat mulai redup, matahari di musim
kering itu telah mulai gelisah bersembunyi di balik batang
pohon randu tua yang tumbuh di pojok kiri pagar
halaman mereka. "Orang-orang baru pulang dari ladangnya menanam
bibit palawija di bulan Kartika ini. Saat yang baik untuk
kita menanam benih-benih permusuhan di tanah
Majapahit ini. Besok aku akan pergi untuk waktu yang
cukup lama ke Tanah Gelang-gelang menemui seorang
kenalanku seorang Brahmana", berkata Ki Randu Agung
sambil menatap keluar pagar halaman melihat beberapa
petani pulang dari ladangnya.
Bulan Kartika di hari ke lima belas.
Pagi itu suasana di tiap perempatan jalan di Kotaraja
Majapahit dipenuhi dupa, bunga dan janur, sebagai
pertanda bahwa hari itu diistana akan dilaksanakan
sebuah upacara besar. Dari setiap padukuhan, tua muda, laki-laki dan wanita
terlihat berduyun-duyun keluar bersatu dan bertemu di
jalan utama menjadi sebuah iringan panjang menuju
istana Majapahit. 264 Iring-iringan warga terlihat telah berkumpul tumpah
ruah di lapangan alun-alun di muka istana Raja.
Hampir semua orang mengenakan pakaian serba
putih saat itu telah membuat gembira hati Baginda Raja
Sanggrama Wijaya yang sudah duduk diatas batu keling
untuk menyaksikan jalannya sebuah upacara besar,
wisuda penobatan tujuh orang Dharmaputra dan dua
orang Adipati baru di Bojonegoro dan Banger.
Semua mata terlihat memandang ke muka panggung
utama, melihat Patih Mangkubumi dengan suara yang
lantang telah membacakan sebuah kekancingan,
menyebut nama tujuh Dharmaputra yang dianugerahi
Baginda Raja Sanggrama Wijaya sebagai pejabat istana
mewakili tujuh aliran suci di tanah Majapahit Raya.
Semua mata masih memandang ke muka panggung
utama, mendengar Patih Mangkubumi membacakan
sebuah kekancingan untuk dua orang Adipati baru,
Buntar Lawe dan Menak Jingga sebagai perwakilan
tangan raja di wilayah Bojonegoro dan Banger.
Hening suasana semua orang manakala seorang
pendeta telah memercikkan air suci sebagai pertanda
restu dari para dewa telah memberkati para wisudawan.
Semua orang nampaknya dengan penuh suka cita
mengikuti jalannya upacara wisuda itu yang diakhiri
dengan sebuah perjamuan besar.
"Pada bulan ke tiga di tahun ini, kami akan
melakukan jiarah ke Tanah Singasari, kuharap kalian
dapat berkenan ikut bersama kami", berkata Baginda
Raja Sanggrama Wijaya kepada Nyi Ajeng Nglirip dan
dua orang putrinya di saat perjamuan.
265 Terlihat Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat memandang
kearah ibunda mereka, seperti tengah menunggu dengan
hati penuh pengharapan. "Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat pasti akan gembira
jiarah ke tanah leluhurnya", berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada suaminya, Raja Sanggrama Wijaya.
Terlihat wajah Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat penuh
kegembiraan mendengar jawaban langsung ibundanya
itu. "Jagalah ibunda kalian", berbisik Baginda Raja
Sanggrama Wijaya kepada Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat
manakala hendak meninggalkan mereka bertiga untuk
menemui beberapa orang tamu lainnya yang datang dari
berbagai penjuru tanah Majapahit Raya.
Dan di sudut lain di perjamuan besar itu, terlihat
Gajahmada penuh suka cita bertemu dengan dua orang
sahabat lamanya, Raja Muda Jayanagara dan
Adityawarman yang datang dari Tanah Kediri bersama
Patih Mahesa Amping. "Ternyata aku punya seorang sepupu", berkata Raja
Muda Jayanagara kepada Kertawardana yang diperkenalkan oleh Gajahmada.
"Kami akan gembira bilamana kalian datang ke
Tanah Kediri", berkata Adityawarman kepada Gajahmada
dan Kertawardana. Sebagai para sahabat lama, mereka pun saling
bercerita banyak hal sejak perpisahan mereka yang
cukup lama itu. Perjamuan yang melimpah, pertemuan yang
menyenangkan. Namun harus berakhir dalam sebuah
perpisahan. 266 Semua orang seperti tidak pernah melupakannya,
semua orang warga Majapahit merasa pengukuhan para
Dharmaputra sebagai sebuah kepedulian Baginda Raja
Sanggrama Wijaya atas kemerdekaan hakiki manusia
atas jiwa keTuhanannya. Kemerdekaan beragama, kemerdekaan berkarya.
Dan Majapahit sudah seperti sebuah bahtera besar yang
siap berlayar mengarungi jagad raya dan berdiri sama
tinggi diantara para bangsa-bangsa di dunia.
Kemakmuran anak nagari, keamanan di rumah dan
diperjalanan telah menjadi pemandangan kehidupan
orang Majapahit. Dan upeti agung setiap tahun datang
mengalir dari berbagai penjuru wilayah mengisi
perbendaharaan kerajaan Majapahit.
Hingga pada akhir bulan ketiga di tahun itu dimana
para petani sudah memanen palawija dan telah bersiap
menanam padi gaga, beberapa mata air mulai berisi,
kapuk mulai berbuah dan burung kecil mulai bertelur dan
bersarang. Dalam suasana seperti itulah terlihat sebuah
iring-iringan Raja Sanggrama Wijaya telah keluar dari
istana Majapahit. Empat kereta kencana yang indah diiringi sepasukan
prajurit berkuda di depan dan dibelakangnya membuat
semua orang berdiri dan menunggu di depan pagar
rumahnya di setiap padukuhan yang terlewati.
Sebagaimana janjinya, Baginda Raja Sanggrama
Wijaya telah berkenan untuk jiarah dan tapak tilas ke
tanah candi leluhurnya, bumi Singasari sebagai tanda
bakti dan tanda syukur atas karunia yang melimpah.
Nyi Ajeng Nglirip bersama kedua putrinya berada
disalah satu kereta kencana. Sementara Gajahmada dan
267 Kertawardana telah berada diantara para pasukan
berkuda. Dan pagi bersama mega-mega putih yang cerah
mengiringi rombongan Raja Sanggrama Wijaya yang
telah mulai jauh meninggalkan Kotaraja Majapahit,
memasuki sebuah bukit dan padang hijau penuh bunga
warna-warni seperti wajah dan senyum para gadis
perawan, begitu segar dan menyejukkan hati.
Bulan sabit melengkung di awal langit malam.
Rombongan penguasa Majapahit itu terlihat tengah
memasuki Kademangan Simpang.
Gemerlap obor menerangi sepanjang jalan Kademangan bersama para warga yang berdiri berjajar
penuh suka cita menyambut iring-iringan pasukan
berkuda yang berjalan perlahan dibelakang empat kereta
kencana. "Selamat datang anak muda", berkata seorang lelaki
tua diatas kudanya kepada Gajahmada.
"Senang bertemu denganmu, wahai Ki Putut
Prastawa", berkata Gajahmada yang telah mengenal
lelaki itu sebagai seorang pemimpin pasukan
Bhayangkara. "Aku akan membawa rombongan ke tempat
kediaman Ki Demang Simpang", berkata lelaki tua yang
dipanggil sebagai Ki Putut Prastawa itu mengajak
Gajahmada mengikuti dirinya.
Diam-diam Gajahmada memuji kesiapan para prajurit
Bhayangkara yang terlihat berdiri di antara para warga
menjadi pagar hidup yang siap bergerak setiap saat bila
terjadi hal yang dapat membahayakan keselamatan
268 junjungan mereka, Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan
keluarganya. Siapa gerangan Ki Putut Prastawa itu"
Dahulu, lelaki tua seusia Patih Mangkubumi itu
adalah seorang putut yang sangat setia di Padepokan
Empu Nambi di Lamajang. Di awal perjuangan Baginda
Raja Sanggrama Wijaya membangun kerajaan
Majapahit, banyak jasa dan pengorbanan-nya. Itulah
sebabnya beliau telah dipercayakan oleh Baginda Raja
Sanggrama Wijaya memimpin pasukan Bhayangkara,
sebuah pasukan pengawal istana yang bertugas
menyelamatkan dan melindungi Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan keluarganya.
"Patih Mangkubumi banyak bercerita tentang dirimu",
berkata Ki Putut Prastawa kepada Gajahmada yang
berkuda beriring disebelahnya.
"Semoga bukan mengenai keburukanku", berkata
Gajahmada sambil tersenyum kearah Ki Putut Prastawa.
"Patih Mangkubumi telah memuji dirimu yang telah
berhasil merintis jalan pasukan Majapahit menuju
Tuban", berkata Ki Putut Prastawa.
"Patih Mangkubumi terlalu berlebihan, siapapun
dapat melakukannya", berkata Gajahmada.
"Tapi kamu telah melakukannya, sebaik dan
sesempurna seorang prajurit perwira", berkata Ki Putut
Prastawa. "Aku merasa tersanjung, mendapat kepercayaan dari
Patih Mangkubumi", berkata Gajahmada.
Tidak terasa ternyata iring-iringan rombongan Raja
Majapahit itu telah berada di muka sebuah rumah yang
cukup megah dan kokoh. Rumah seorang Demang yang
269 telah disiapkan untuk tempat bermalam bagi Baginda
Raja Sanggrama Wijaya dan keluarganya.
Terang benderang cahaya pelita yang menerangi
halaman dan pendapa rumah Ki Demang Simpang.
Tergopoh-gopoh beberapa orang menyambut Raja
Sanggrama Wijaya dan keluarganya untuk naik keatas
pendapa yang sudah disiapkan.
"Besok pagi Baginda Raja dan keluarganya akan
berangkat ke Kotaraja Singasari. Ditengah malam aku
akan berangkat mendahului rombongan. Apakah kamu
bersedia menjadi teman di perjalananku itu?", berkata Ki
Putut Prastawa kepada Gajahmada.
"Disini aku tidak terikat oleh apapun, sementara
berada diatas kuda mengiringi kereta kencana yang
lambat sangat membosankan", berkata Gajahmada
menyetujui permintaan lelaki tua itu untuk menemaninya
berkuda di tengah malam mendahului rombongan Raja
dan keluarganya. Terlihat Raja dan keluarganya satu persatu
memasuki pakiwan untuk bersih-bersih dan kembali ke
pendapa untuk menikmati perjamuan malam yang telah
disiapkan. Sementara itu Ki Putut Prastawa telah menemui
beberapa prajurit bawahannya memastikan kesiapan
para pasukan pengawal Raja dan keluarganya itu.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puas dan gembira hati Ki Demang dan para sesepuh
melihat Baginda Raja dan keluarganya menikmati
perjamuan malam itu. "Tersanjung diri kami segenap warga Kademangan
Simpang menjadi singgahan tuanku Paduka Baginda
270 Raja memijakkan kaki di Kademangan ini", berkata Ki
Demang di hadapan Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Aku mengenal setiap jalan di Kademangan Simpang
ini, mengenal kegelapan hutan Simpang ini bersama
pasukanku yang tidak pernah tidur menunggu pasukan
musuh. Dan hari ini aku datang kembali disaat masa
damai tanpa peperangan dan kegelisahan. Inilah
perjamuan yang paling nikmat selama hidupku,
menikmati hidangan yang lengkap sambil mengenang
jaman dan masa sulit yang pernah kami hadapi dan
alami disekitar hutan Kademangan Simpang ini", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya dengan wajah penuh
kebahagiaan. Diam-diam Gajahmada seperti tengah merenungi,
siapa saja ksatria Majapahit yang ikut berjuang bersama
orang nomor satu di kerajaan Majapahit itu.
Ternyata Ayah angkatnya, Patih Mahesa Amping
pernah bercerita banyak mengenai sebuah pertempuran
pasukannya di hutan Simpang itu. Patih Mahesa Amping
pernah bercerita kepadanya bagaimana kesaktian Empu
Nambi dan Baginda Raja yang dengan kekuatannya
telah dapat menumbangkan begitu banyak pepohonan
besar dan berhasil membuat panik pasukan musuh yang
tewas seketika tertimpa batang pohon besar yang
tumbang diantara barisan mereka.
"Terima kasih untuk semua perjamuan ini", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya sambil bangkit berdiri
diikuti oleh semua yang hadir di atas panggung pendapa
kediaman Ki Demang Simpang itu dan memberi jalan
kepada Baginda Raja dan keluarganya memasuki
peraduannya masing-masing.
271 PKPM-04 BULAN SABIT melengkung di langit malam.
Dua orang penunggang kuda terlihat telah
menyelinap di gelap malam menjauhi Kademangan
Simpang. Temaram cahaya malam menyinari wajah kedua
penunggang kuda itu yang ternyata adalah Ki Putut
Prastawa dan Gajahmada yang telah mendahului
rombongan Raja dan keluarganya ke arah jalan menuju
Kotaraja Singasari. "Disaat pagi gelap kita sudah berada di Kotaraja
Singasari", berkata Ki Putut Prastawa diatas punggung
kudanya kepada Gajahmada.
"Berkuda di tengah malam memang sangat
menyenangkan", berkata Gajahmada sambil merasakan
angin sejuk dingin berhembus lewat di wajahnya.
"Seperti inilah tugas para prajurit Bhayangkara,
memastikan perjalanan Raja dan keluarganya tidak
mendapatkan gangguan dan rintangan apapun", berkata
Ki Putut Prastawa sambil tersenyum memandang ke
muka. "Kulihat Ki Putut Prastawa sangat menikmatinya",
berkata Gajahmada sambil menoleh menatap wajah Ki
Putut Prastawa yang tidak pernah mengeluh dan
bersusah hati itu. "Dulu aku melayani keluarga Empu Nambi dan
keluarganya, sekarang aku melayani Raja dan
keluarganya. Dimanapun dan kepada siapapun aku
mengabdi, kuanggap sebagai jalan hidupku, sebagai
sebuah laku di dunia ini", berkata Ki Putut Prastawa
masih tetap tersenyum dan wajah memandang kearah
272 kedepan. "Aku yang muda ini perlu belajar banyak dari Ki Putut
Prastawa", berkata Gajahmada yang diam-diam memuji
cara pandang dan cara menyikapi kehidupannya.
"Menjadi apapun itu tidak penting, yang terpenting
adalah menikmati dan mewataki lakon apapun yang
ditugaskan oleh sang dalang", berkata Ki Putut Prastawa
sambil tersenyum menoleh kearah Gajahmada seperti
tengah menguji sejauh mana pemahaman anak muda itu
tentang nilai-nilai kehidupan.
"Apakah yang Ki Putut Prastawa maksudkan bahwa
kita harus bersatu tunduk dan patuh mensyukuri jalan
kehidupan yang diberikan oleh yang mempunyai
kehidupan ini?", berkata Gajahmada.
"Seperti itulah kita memandang kehidupan ini, wahai
anak muda", berkata Ki Putut Prastawa memuji tingkat
pemahaman Gajahmada. "Seperti Sidharta Gautama yang keluar dari
kehidupan istana, menghambakan dirinya sepanjang
hidupnya", berkata Gajahmada
"Jarang sekali anak muda yang sudah mapan
memahami arti sang Budha dan penghambaan dirinya,
dan malam ini aku bertemu dengan salah seorang anak
muda itu", berkata Ki Putut Prastawa merasa semakin
menyukai anak muda yang berkuda bersamanya itu.
"Aku orang muda perlu banyak petunjuk dari orang
tua", berkata Gajahmada.
Entah mengapa Gajahmada seperti merasa orang
tua yang tengah berada diatas punggung kuda itu
bukanlah orang biasa, tapi seorang yang sudah begitu
mumpuni pencerahan bathinnya.
273 "Bila kamu ingin mendengar petunjukku, bergabunglah bersamaku di pasukan Bhayangkara ini", berkata Ki
Putut Prastawa sambil tersenyum memandang kearah
Gajahmada seperti menunggu apa yang akan diucapkan
oleh anak muda itu. "Dengan senang hati, aku menerima dan mendengar
petunjukmu, wahai orang tua", berkata Gajahmada
seperti tidak terbebani apapun.
"Tidakkah kamu sadari, bahwa selama ini dirimu telah
menjadi seorang prajurit Bhayangkara. Bukankah kamu
telah menemani Putra Mahkota Majapahit mengembara
di Tanah Pasundan?", berkata Ki Putut Prastawa.
"Raja Muda Kediri itu adalah sahabatku", berkata
Gajahmada. "Itulah jati diri seorang prajurit Bhayangkara yang
sudah kamu miliki, melindungi Raja dan keluarganya
sebagaimana seorang sahabat", berkata Ki Putut
Prastawa. "Aku orang muda perlu banyak bimbingan darimu",
berkata Gajahmada. "Jangan merendahkan dirimu dihadapanku, Patih
Mangkubumi telah banyak bercerita kepadaku tentang
dirimu. Kamulah Putra Mahkota sang Budha Sidharta
Gautama yang telah meninggalkan istana Rakata.
Pencitraan sang Budha telah menitis di dalam jiwamu.
Dan aku merasa bangga hadir dan ada bersamamu di
malam ini, besok dan di sisa hidupku", berkata Ki Putut
Prastawa dengan kesungguhan hati.
"Aku orang muda perlu banyak bimbingan darimu",
berkata Gajahmada. "Seorang dirimu sudah melebihi cahaya apapun,
274 kamulah sang matahari itu yang akan membawa
kegemilangan Kerajaan Majapahit ini", berkata Ki Putut
Prastawa yang telah melihat Gajahmada tidak dengan
kasat matanya, tapi dengan penglihatan bathinnya.
"Terima kasih untuk semua kepercayaan dan
harapanmu, namun aku yang muda ini masih perlu
banyak bimbingan darimu", berkata Gajahmada.
"Tidak sulit menjadi seorang prajurit Bhayangkara.
Pegang kendali kudamu dan jangan jauh dariku", berkata
Ki Putut Prastawa sambil menghentakkan kakinya di
perut kudanya, seketika itu juga kudanya seperti terkejut
dan langsung melompat kedepan dan berlari kencang.
"Aku akan tetap di dekatmu, wahai orang tua",
berkata Gajahmada sambil ikut menghentakkan kudanya
agar berlari mengejar kuda Ki Putu Prastawa yang sudah
terbang terpacu di depannya.
Terlihat dua orang penunggang kuda tengah berpacu
di tanah jalan keras membelah udara malam. Diam-diam
Gajahmada memuji kemahiran Ki Putut Prastawa diatas
kudanya. Meski sudah begitu tua, tapi masih sangat
tangkas dan gagah berdiri diatas punggung kudanya.
Di sebuah jalan yang membelah sebuah hutan, Ki
Putut Prastawa telah melambatkan jalan kudanya.
"Aku ingin melihat apakah mereka masih terjaga di
tengah malam ini", berkata Ki Putut Prastawa kepada
Gajahmada sambil mengambil batu apinya dan
memercikkannya tinggi-tinggi diatas kepalanya beberapa
kali. Terlihat sinar percikan api yang sama di beberapa
tempat muncul di kegelapan malam.
Tahulah Gajahmada bahwa ternyata di jalan yang
275 membelah sebuah hutan ada beberapa prajurit yang
terus berjaga sepanjang malam. Hingga akhirnya mereka
telah memasuki sebuah jalan yang dibatasi oleh dua
buah tebing tinggi. Kembali Ki Putut Prastawa memercikkan batu apinya.
Kembali balasan percikan api yang sama terlihat muncul
dari atas dua tebing itu sebagai pertanda diatas sana
juga sudah di penuhi para prajurit Majapahit.
"Para prajurit Bhayangkara telah memagari
sepanjang perjalanan antara Kademangan Simpang ke
Kotaraja Singasari", berkata Ki Putu Prastawa tersenyum
diatas punggung kudanya yang terus berjalan melangkah
diiringi kuda Gajahmada yang berjalan bersamanya.
Akhirnya seperti yang dikatakan oleh Ki Putut
Prastawa, di ujung pagi mereka berdua memang telah
memasuki gerbang batas kotaraja Singasari.
Angin sejuk dingin menyambut mereka berdua di
tanah berbukit di bawah kaki Gunung Arjuna itu.
Pagi masih buta, kerlip puluhan pelita malam seperti
hiasan bintang memenuhi perbukitan dari rumah para
penduduk yang masih belum terbangun dari tidurnya.
"Kotaraja Singasari mulai terbangun kembali",
berkata Ki Putut Prastawa manakala mereka sudah
berada di jalan utama Kotaraja Singasari yang masih
sepi di pagi itu. Terlihat Ki Putut Prastawa dan Gajahmada turun dari
kudanya manakala mereka telah berada di depan regol
gerbang istana Singasari.
Dua orang prajurit Majapahit menyapa mereka yang
ternyata adalah dua orang anak buah Ki Putut Prastawa
dari pasukan Bhayangkara yang sudah dua tiga hari
276 berada di Istana Singasari.
"Pihak penguasa di istana Singasari ini nampaknya
sangat gembira mendengar rencana kedatangan
Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan keluarganya,
setelah beristirahat Ki Putut Prastawa dapat melihat
persiapan yang telah mereka lakukan di istana ini",
berkata salah seorang p kepada prajurit melaporkan
beberapa hal kepada Ki Putut Prastawa tentang
kesiapan yang dilakukan oleh pihak tuan rumah
sehubungan dengan kunjungan Raja Majapahit itu.
"Mari kuantar ke tempat untuk beristirahat", berkata
seorang prajurit lainnya mengajak Ki Putut Prastawa dan
Gajahmada untuk mengikutinya.
Terlihat Ki Putut Prastawa dan Gajahmada tengah
berjalan di belakang seorang prajurit Majapahit yang
membawanya menuju ke belakang istana.
Di keremangan pagi yang masih gelap itu,
Gajahmada masih dapat melihat sisa reruntuhan
beberapa bangunan yang nampaknya telah terbakar.
Sejak penyerangan para prajurit Jayakatwang yang
berhasil memporak-porandakan istana, merampok
seluruh barang-barang berharga di dalamnya serta
membumi hanguskannya, sisa reruntuhan istana
Singasari seperti dibiarkan begitu saja. Terlihat rumput
liar dan tanaman merambat tumbuh subur menutupi
hampir di setiap tempat. Namun ketika Raden Wijaya
merebut kekuasaan dari tangan Raja Jayakatwang dan
membangun kerajaan baru Majapahit, roda pemerintahan
di Kotaraja Singasari di percayakan kepada Tumenggung
Mahesa Pukat, seorang mantan senapati Singasari yang
sangat setia yang juga salah satu gurunya ketika masih
berada di Padepokan Bajra Seta.
277 Tumenggung Mahesa Pukat berhasil membangun
kembali Kotaraja Singasari, memberikan jaminan
keamanan dan keberanian para warganya kembali dari
pengungsian dan bersama membangun kotaraja
Singasari. Namun Tumenggung Mahesa Pukat belum
berani membangun kembali istana Singasari karena
belum ada mandat dari Raja Majapahit untuk menunjuk
seseorang yang akan menjadi raja muda disana.
Dan pagi itu langit sudah menjadi terang diatas istana
Singasari. Setelah beristirahat sejenak, Ki Putut
Prastawa telah mengajak Gajahmada untuk melihat-lihat
suasana disekitar istana. "Inilah Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya, satu-satunya bangunan yang tidak
terjamah oleh amuk para prajurit Jayakatwang", berkata
Ki Putut Prastawa kepada Gajahmada seperti dapat
membaca apa yang dipikirkan oleh anak muda itu
manakala melihat sebuah bangunan yang utuh tidak
terbakar sebagaimana bangunan yang lainnya di
lingkungan istana itu. "Ratu Anggabhaya dan putranya yang bernama
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lembu Tal telah dapat mempertahankan dan melindungi
keluarga istana di Pasanggrahannya hingga datangnya
pasukan Raden Wijaya kembali ke istana Singasari",
berkata kembali Ki Putut Prastawa seperti mengingat
kembali suasana peperangan di masa lalu dimana dirinya
menjadi bagian dari pasukan Raden Wijaya bersama
Empu Nambi yang kala itu masih dikenal sebagai
seorang Guru suci dari Lamajang dengan nama Ki
Sandikala sebagai nama samarannya.
"Ratu Anggabaya dan Pangeran Lembu Tal pastinya
seorang yang sakti mandraguna", berkata Gajahmada
dalam hati membayangkan suasana peperangan dan
amuk para prajurit Jayakatwang yang tidak dapat
278 menembus pertahanan Pasanggrahan Ratu Anggabhaya
untuk waktu yang cukup lama.
"Gusti Kanjeng Ratu Gayatri yang masih belia saat itu
dapat selamat dari amuk pasukan Jayakatwang karena
berlindung di Pasanggrahan ini", berkata kembali Ki Putut
Prastawa. Mendengar Ki Putut Prastawa menyebut nama Gusti
Kanjeng Ratu Gayatri, maka pikiran Gajahmada seperti
terbang membayangkan wanita perkasa yang telah
berganti nama sebagai Nyi Ajeng Nglirip itu pastinya
seorang wanita yang punya tingkat tataran ilmu
kanuragan cukup tinggi dimana dapat menyeberang dan
menerobos pagar hidup pasukan Jayakatwang untuk
bergabung di pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Namun lamunan Gajahmada akhirnya terjaga
manakala di kejauhan dilihatnya seorang lelaki yang
sudah cukup berumur dengan wajah dan tubuh terlihat
masih begitu gagah tengah datang menghampiri mereka
berdua. Dari caranya berjalan yang terlihat begitu ringan dan
sangat teratur sebagai pertanda bahwa lelaki gagah itu
pastilah seorang ahli kanuragan yang sangat terlatih.
"Mengapa hanya berdiri di muka regol Pasanggrahan?", berkata lelaki itu kepada Ki Putut
Prastawa sambil tersenyum ramah.
"Aku belum berani masuk sebelum ada ijin dari Ki
Tumenggung", berkata Ki Putut Prastawa seperti telah
mengenal lelaki gagah itu yang ternyata adalah Ki
Tumenggung Mahesa Pukat. "Mari kita masuk bersama, aku bukan pemiliknya,
hanya kebetulan diberikan kepercayaan untuk 279 menjaganya", berkata Tumenggung
kepada Ki Putut Prastawa.
Mahesa Pukat Terlihat mereka bertiga telah masuk ke Pasanggrahan Ratu Anggabhaya dan langsung naik ke
pendapanya. Bukan main gembiranya Tumenggung Mahesa Pukat
manakala telah diperkenalkan Gajahmada sebagai putra
angkat Mahesa Amping. Wajah lelaki yang sangat
tampan itu terlihat sangat ramah dan senang menatap
Gajahmada dalam-dalam. "Sejak menjadi seorang Patih di Kediri, aku tidak
pernah lagi bertemu dengan ayah angkatmu itu", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat kepada Gajahmada.
"Beliau hanya sebentar berada di Kotaraja Majapahit
di saat penobatan para Dharmaputra", berkata
Gajahmada bercerita tentang perjumpaannya dengan
Patih Mahesa Amping, ayah angkatnya itu.
"Melihat dirimu, aku seperti melihat kembali Mahesa
Amping dimasa mudanya. Bahagia diriku melihat cambuk
pendek itu melingkar di pinggangmu", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat sambil menatap kearah
cambuk yang melingkar terikat di pinggang Gajahmada.
"Cambuk pendek ini pemberian dari ayah angkatku
sendiri", berkata Gajahmada sambil melepas cambuk
pendeknya dan menyerahkan kepada Tumenggung
Mahesa Pukat seperti dapat membaca apa yang
diinginkan oleh lelaki yang sudah berumur itu.
"Aku mengenal cambuk ini, karena memang buah
tanganku sendiri. Jaga dan peliharalah cambuk ini",
berkata Tumenggung Mahesa Pukat sambil menyerahkan kembali cambuk di tangannya kepada
280 Gajahmada. Langit senja terlihat melingkungi tanah berbukit yang
hijau. Senja di kotaraja Singasari sangatlah elok, terutama
ketika pandangan mata kita tertuju kearah gunung biru
disebelah barat Kotaraja itu yang tinggi menjulang ke
langit seperti lukisan alam yang indah memanjakan mata
siapapun yang memandangnya.
Terlihatlah di senja itu, empat buah kereta kencana
diiringi pasukan berkuda tengah memasuki Kotaraja
Singasari. Para warga yang sudah sejak petang menunggu
terlihat bersorak gembira melihat rombongan raja dan
keluarganya itu muncul. Kedatangan raja dan
keluarganya telah menanamkan sebuah kebanggaan
warga Kotaraja Singasari, mereka bangga bahwa
kerajaan Majapahit yang besar itu telah diperintah oleh
orang Tumapel. Dan hari itu Raja dan keluarga
kebanggaan mereka telah datang berkunjung ke
kampung halamannya sendiri.
Iring-iringan rombongan Raja dan keluarganya
terlihat menjadi semakin panjang, warga Kotaraja
berduyun-duyun ikut mengiringi di belakang pasukan
berkuda berjalan menuju istana Singasari.
"Paman Guru Mahesa Pukat", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya manakala turun dari kereta kencana
langsung menghampiri dan memeluk Tumenggung
Mahesa Pukat yang masih berdiri mematung merasa
terharu bahwa seseorang cantrik bimbingannya itu telah
menjadi seorang penguasa Agung yang sangat di
hormati di Tanah Jawa itu.
281 "Jangan permalukan dirimu dihadapan orang banyak,
kamu adalah seorang Raja Agung", berkata Tumenggung
Mahesa Pukat berbisik kepada Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Aku tidak mempermalukan diriku, semua orang hari
ini harus mengetahui bahwa berkat bimbingan Paman
Guru lah aku ada seperti sekarang ini", berkata Baginda
Raja Sanggrama Wijaya perlahan melepas pelukannya.
"Mari kuantar Tuanku untuk beristirahat", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat sambil berjalan mengiringi
Baginda Raja menuju Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Tak kuasa Baginda Raja menahan rasa haru
manakala memasuki Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Terbayang masa-masa kecilnya dalam pelukan kakek
dan ayah tercintanya, Ratu Anggabhaya dan Pangeran
Lembu Tal. Tidak terasa, langit senja perlahan menghilang.
Wajah bumi perlahan mulai menjadi gelap.
Namun obor, oncor dan pelita malam telah
menerangi halaman dan pendapa Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya di istana Singasari itu. Menerangi suasana
kegembiraan hati Raja dan keluarganya yang tengah
beristirahat di pendapa Pasanggrahan yang masih utuh
tidak terbakar amuk para pasukan Jayakatwang
beberapa tahun yang silam, utuh dan tidak berubah
seperti ketika Baginda Raja Sanggrama Wijaya pernah
ada di masa kecilnya. "Aku melihat Kotaraja Singasari sudah mulai
berkembang, sudah mulai menata kehidupannya
kembali", berkata Baginda Raja kepada Tumenggung
Mahesa Pukat. 282 "Para warga Kotaraja Singasari telah menata
kehidupannya kembali dengan sebuah kebanggaan
bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di Tanah Jawa ini
telah diwarisi oleh pewarisnya yang syah, keluarga istana
Tumapel ini", berkata Tumenggung Mahesa Pukat
dengan wajah bahagia bahwa Baginda Raja telah
melihat langsung suasana Kotaraja Singasari.
Akhirnya pembicaraan mereka meningkat
permasalahan pembangunan istana Singasari.
ke "Malam ini ada sembilan Akuwu ingin datang
menghadap tuanku Paduka", berkata Tumenggung
Mahesa Pukat. "Adakah hal penting yang ingin mereka sampaikan
kepadaku?", bertanya Baginda Raja.
"Bila Tuanku berkenan, mereka berharap bahwa ada
seorang Raja Muda yang dapat mengisi kekosongan
Istana Singasari. "Panggillah mereka, aku akan perkenankan
permohonan mereka", berkata Baginda Raja kepada
Tumenggung Mahesa Pukat. Tidak lama berselang, datanglah kesembilan para
akuwu itu menghadap Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Tumenggung Mahesa
Pukat, mereka memohon perkenan Baginda Raja
Sanggrama Wijaya untuk mengangkat seorang Raja
Muda di istana Singasari.
"Kuperkenankan permohonan kalian, setiba di
Kotaraja Majapahit akan kubicarakan bersama Patih
Mangkubumi, siapa gerangan yang paling tepat duduk di
singgasana Singasari ini", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya kepada kesembilan Akuwu yang
283 datang menghadap itu. Dan malam perjamuan besar pun berlangsung
hingga jauh malam. Puas hati Tumenggung Mahesa
Pukat melihat Baginda Raja dan keluarganya menikmati
perjamuan. Puas pula hati kesembilan para Akuwu
mendengar langsung perkenan Baginda Raja atas
permohonan mereka untuk mengangkat seorang Raja
Muda di istana Singasari.
"Di Tahun depan aku akan datang kembali ke istana
Singasari ini, dan aku berharap istana Singasari ini dapat
di bangun kembali seperti masa-masa jayanya dulu",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Mohon doa dan restu Tuanku Baginda, semoga kami
dapat membangun istana Singasari ini sesuai dengan
keinginan Tuanku Paduka", berkata Tumenggung
Mahesa Pukat dengan penuh kehormatan.
Sementara itu hari sudah mulai larut malam, Baginda
Raja Sanggrama Wijaya terlihat berdiri untuk memasuki
tempat peraduannya. Dengan penuh kehormatan semua orang di
panggung pendapa pasanggrahan ratu Anggabhaya
terlihat ikut berdiri. Dan panggung pendapa yang terang
benderang itupun terlihat lengang, malam telah semakin
senyap. Pagi putih cerah dibawah tatapan sang surya di ujung
timur bumi seperti menerangi wajah gunung Arjuna yang
membentengi ujung barat Kotaraja Singasari yang sejuk
berhawa perbukitan hijau.
Raja dan keluarganya terlihat tengah berdoa di
astana pura tempat perabuan leluhur mereka, Sang
Rajasa Ken Arok. 284 Para warga Singasari ikut membakar dupa, ikut
berdoa sebagai tanda bakti dan kecintaan mereka
kepada Sang pendiri Kerajaan Singasari yang
dipercayakan sebagai titisan dewa Syiwa yang turun ke
bumi. Gapura candi astana pura tempat perabuan Rajasa
Ken Arok dicandikan terlihat kembali lengang manakala
Raja dan keluarganya telah berlalu pergi kembali ke
istana Singasari. "Paduka Raja dan keluarganya siang ini akan
berkeliling melihat-lihat suasana Kotaraja dan padukuhan
di sekitarnya", berkata Ki Putut Prastawa kepada
Gajahmada."Mari kita melihat kesiapan para prajurit
Bhayangkara di beberapa tempat yang akan disinggahi
oleh Paduka Raja dan keluarganya.
Demikianlah, Ki Putut Prastawa dan Gajahmada
sudah terlihat berjalan menyusuri jalan Kotaraja
Singasari, melihat suasana pasar Kotaraja yang masih
ramai, juga menyusuri jalan kearah padukuhan disekitar
Kotaraja Singasari yang di pastikan akan disinggahi oleh
Paduka Raja dan keluarganya.
Dalam hati, Gajahmada memuji para prajurit
Bhayangkara yang diam-diam sudah berada di tempattempat tersembunyi membaur dengan keramaian.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Begitu setianya para prajurit Bhayangkara melindungi Raja dan keluarganya", berkata Gajahmada dalam
hati manakala melihat kesiapan para prajurit
Bhayangkara yang telah siap bertindak disaat yang tepat
bilamana terjadi hal-hal yang tidak diinginkan untuk
melindungi Raja dan keluarganya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Putut Prastawa,
siang itu Raja dan keluarganya telah keluar dari istana
285 Singasari untuk melihat-lihat suasana Kotaraja Singasari
serta beberapa padukuhan di sekitarnya.
Raja Sanggrama Wijaya dan keluarganya terlihat
hanya berjalan kaki dengan pengawalan beberapa
prajurit pengawal. Penghormatan warga Singasari kepada rajanya
terlihat begitu agung, di jalan-jalan Kotaraja dan
siapapun dirinya langsung bersujud tidak berani
mengangkat wajah mereka manakala iring-iringan Raja
dan keluarganya lewat di hadapan mereka.
Kunjungan Raja dan keluarganya di hari itu di
beberapa tempat di sekitar Kotaraja Singasari seperti
tidak rusak dan tercela oleh hal-hal yang tidak diinginkan.
Tanah Singasari yang berbukit dan teduh sepanjang hari
itu karena dirimbuni banyak pepohonan besar seperti
tidak membuat lelah Raja dan keluarganya singgah dari
satu padukuhan ke padukuhan lainnya di sekitar Kotaraja
Singasari. "Terima kasih telah memulihkan suasana di Singasari
ini", berkata Raja Sanggrama Wijaya penuh suka cita
kepada Tumenggung Mahesa Pukat melihat gemah ripah
suasana Singasari yang mulai terbangun.
"Paman Gurumu ini tidak sendiri, terutama dalam
memulihkan suasana keamanan di wilayah Singasari ini.
Ada Ki Gede dari Tanah Perdikan Bajra Seta bersama
para cantriknya yang telah banyak membantu menjaga
ketentraman di seluruh wilayah Singasari ini", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat. "Paman Guru Mahesa Mukti?", bertanya Baginda
Raja Sanggrama Wijaya mengingat sebuah nama lain
dari Mahesa Mukti yang sekarang lebih banyak dikenal
sebagai Ki Gede Bajra Seta karena telah di hadiahkan
286 tanah Perdikan di masa pemerintahan Raja Kertanagara
atas jasa-jasanya. "Para gembong perampok akan berpikir ulang untuk
membuat ulah di wilayah Singasari ini karena harus
berhadapan dengan Ki Gede dan para cantriknya",
berkata Tumenggung Mahesa Pukat.
"Para cantrik Padepokan Bajra Seta sejak dulu
banyak berperan menjaga keamanan di bumi Singasari",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Para prajurit di beberapa kesatuan di Singasari ini
banyak berasal dari Padepokan Bajra Seta, bahkan putra
tunggal Ki Gede sendiri telah ikut bergabung menjadi
pemimpin pasukan khusus, seorang pemuda yang punya
masa depan yang hebat bernama Mahesa Dharma",
berkata Tumenggung Mahesa Pukat.
"Artinya tongkat kepemimpinan di bumi Majapahit ini
sudah dapat di berikan kepada para angkatan muda.
Kebesaran sebuah kerajaan bukan bagaimana kita
membesarkannya, tapi bagaimana kita membangun para
angkatan muda untuk dapat menggantikan kita yang
pasti akan tua dan mati", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya penuh kegembiraan mendengar
penuturan dari Tumenggung Mahesa Pukat tentang
kemunculan para angkatan muda di bumi Singasari itu.
"Secepatnya aku akan memutuskan siapa angkatan
muda yang akan ditempatkan sebagai Raja Muda di
istana Singasari ini", berkata kembali Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Sayang sekali kehadiran Tuanku Baginda tidak lama
di Singasari ini, bila lebih lama lagi, mungkin aku dapat
mengundang Ki Gede Bajra Seta untuk datang ke
Kotaraja Singasari ini", berkata Tumenggung Mahesa
287 Pukat. "Sampaikan salam baktiku kepadanya, semoga di
tahun depan aku akan lebih lama lagi berada di tanah
kelahiranku ini", berkata Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Salam tuanku Baginda akan kusampaikan bila
berjumpa dengannya", berkata Tumenggung Mahesa
Pukat. Demikianlah, guru dan murid itu, Tumenggung
Mahesa Pukat dan Raja Sanggrama Wijaya saling
bercerita tentang kenangan mereka berdua manakala
berada di Padepokan Bajra Seta beberapa tahun yang
silam. Juga berbicara banyak hal tentang Singasari di
masa yang akan datang. "Terima kasih telah menemaniku di malam ini",
berkata Baginda Raja kepada Tumenggung Mahesa
Pukat yang telah menuruni anak tangga pendapa
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya untuk pamit mengundurkan diri karena hari telah jauh malam.
Semilir angin malam yang sejuk berhembus perlahan
memenuhi istana Singasari yang sunyi.
Dan angin pagi pun akhirnya telah datang bersama
suara nyanyian burung-burung yang riang terbang di
bawah hangatnya sang surya menatap wajah istana
Singasari yang telah terbangun.
Empat kereta kencana yang ditarik oleh kuda-kuda
pilihan terlihat di halaman istana Singasari.
"Senang bertemu denganmu, wahai putra guruku",
berkata Baginda Sanggrama Wijaya kepada seorang
pemuda bersama Tumenggung Mahesa Pukat.
"Ayahanda sering bercerita tentang Tuanku Paduka",
288 berkata pemuda tampan itu yang ternyata adalah
Mahesa Dharma, putra Ki Gede Bajra Seta.
"Sampaikan salamku kepada Ayahandamu", berkata
Baginda Raja sambil tersenyum.
Mahesa Dharma dan Tumenggung Mahesa Pukat
terlihat membalas lambaian tangan Baginda Raja
Sanggrama Wijaya yang telah berada di atas kereta
kencananya. Empat kereta kencana terlihat sudah mulai bergerak
perlahan melewati gerbang regol istana diiringi oleh
pasukan berkuda. Warna pagi yang cerah bersama hawa sejuk tanah
berbukit kotaraja Singasari seperti mengantar putranya,
sang Baginda Raja penguasa Tanah Majapahit Raya
keluar dari gerbang batas kotaraja Singasari.
"Mari kita menyisir jalan di belakang iring-iringan
Baginda Raja", berkata seorang pemimpin prajurit
Bhayangkara manakala melihat rombongan Baginda
Raja Majapahit telah melewati sebuah jalan yang diapit
oleh dua buah tebing curam.
Hari telah bergeser mendekati siang yang terik
manakala rombongan Baginda Raja Sanggrama Wijaya
tengah melewati jalan yang diapit oleh sebuah hutan
belantara. Terlihat beberapa prajurit Bhayangkara tengah
berkemas untuk meninggalkan tempat penjagaannya
setelah sekitar tiga hari tiga malam mereka berada di
sekitar hutan itu berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak
diinginkan yang mungkin akan mengganggu perjalanan
Baginda Raja dan keluarganya kembali ke Kotaraja
Majapahit. 289 Dan manakala wajah senja terlihat tengah
bergantung di langit bening, rombongan Raja dan
keluarganya itu telah memasuki wilayah Kademangan
Simpang. Tergopoh-gopoh terlihat beberapa pelayan wanita
dan pria datang dan kembali menyiapkan perjamuan
Baginda Raja dan keluarganya yang telah berada diatas
pendapa rumah Ki Demang Simpang.
Ternyata telah datang beberapa pemimpin dari
Kademangan terdekat ikut menyambut kedatangan
Baginda Raja dan keluarganya. Banyak hadiah yang
mereka persembahkan kepada Baginda Raja dan
keluarganya. Sementara itu di luar pagar halaman rumah Ki
Demang, dua orang terlihat tengah menuntun kudanya
mencoba menembus dan melewati kerumunan para
warga Kademangan Simpang.
Dua orang penuntun kuda itu memang tidak menjadi
pusat perhatian para warga di muka pagar halaman
rumah Ki Demang Simpang, namun tidak lepas dari mata
seorang lelaki pemimpin pasukan Bhayangkara yang
tidak pernah melepas pandangannya mengikuti kemana
arah jalan dari kedua penunggang kuda itu.
"Kita bayangi kedua orang itu", berkata Ki Putut
Prastawa kepada Gajahmada.
Kedua orang penuntun kuda itu sudah terlihat
melewati kerumunan para warga Kademangan Simpang
di muka pagar rumah Ki Demang. Dan dengan sigap
terlihat keduanya telah melompat duduk diatas punggung
kuda masing-masing. Manakala kedua penunggang kuda itu telah melewati
290 regol Kademangan Simpang. Terlihat dua ekor kuda
mengikuti jalan mereka. "Tuan Pendeta, nampaknya ada yang ingin
berkenalan dengan diri kita", berkata seorang lelaki tua
sambil tersenyum menghentikan kudanya di sebuah
jalan. Orang yang di panggil dengan sebutan tuan pendeta
itupun ikut menghentikan kudanya sambil membalikkan
arah muka kudanya. Ternyata lelaki tua yang bersama pendeta itu punya
daya pendengaran sangat tajam, mengetahui bahwa ada
orang lain mengikuti perjalanan mereka.
"Semoga mata tuaku ini tidak salah melihat orang,
apakah diriku ini berhadapan dengan salah seorang
putra Lamajang yang bernama Ki Putut Prastawa?",
berkata lelaki tua itu sambil tersenyum manakala dua
orang berkuda di belakang mereka itu telah
mendekatinya. "Tersanjung diri ini bahwa seorang besar seperti tuan
Arya Wiraraja masih mengenal diriku", berkata salah
seorang penunggang kuda yang mengikuti dari belakang
yang ternyata adalah Ki Putut Prastawa bersama
Gajahmada. "Aku memang sudah tua, tapi masih tetap mengenali
para putra Lamajang yang saat ini ada diantara manisnya
madu para penguasa Majapahit", berkata lelaki tua yang
ternyata adalah Arya Wiraraja.
Terkejut Gajahmada manakala mengetahui bahwa
salah seorang yang tengah diikuti itu ternyata bernama
Arya Wiraraja, seorang yang pernah berkuasa di
Kadipaten Songinep, ayahanda dari Ranggalawe.
291 "Maaf bila kami mengusik perjalanan tuan Arya
Wiraraja, kami hanya sekedar memastikan bahwa
kehadiran tuan Arya Wiraraja di Kademangan Simpang
ini hanya sebuah kebetulan saja", berkata Ki Putut
Prastawa kepada Arya Wiraraja yang masih duduk di
punggung kudanya. "Banyak hal kebetulan terjadi di dunia ini, terutama
kehadiran kalian dihadapanku akan dapat menyusahkan
hari-hariku", berkata Arya Wiraraja
"Setahuku, seekor harimau tua tidak akan pernah
berhenti berburu", berkata Ki Putut Prastawa.
"Kamu benar, seekor harimau tua tidak akan pernah
berhenti berburu. Apalagi hari ini ada dua ekor anjing
pengawal yang melihat kehadiranku, terpaksa aku harus
membungkam mulut kalian selama-lamanya", berkata
Arya Wiraraja sambil turun dari kudanya.
"Tuan Arya Wiraraja, aku masih menghormatimu",
berkata Ki Putut Prastawa ikut turun dari kudanya.
"Tuan Arya Wiraraja, Ki Putut Prastawa sangat
menghormatimu. Akulah lawanmu, bukankah tuan ingin
membungkam mulut kami berdua?", berkata Gajahmada
yang sudah lebih cepat maju menghadapi Arya Wiraraja.
Tanpa sengaja tatapan mata Arya Wiraraja beralih
kearah anak muda dihadapannya itu, bukan main
terkejutnya Arya Wiraraja manakala pandangan matanya
membentur mata Gajahmada yang dirasakannya seperti
begitu kuat dan tajam. "Apa hubunganmu, wahai anak muda dengan Patih
Mahesa Amping?", bertanya Arya Wiraraja kepada
Gajahmada yang dilihatnya melilitkan sebuah cambuk
pendek di pinggangnya. 292 "Aku putra angkatnya", berkata Gajahmada dengan
penuh ketenangan. "Ternyata banyak tumbuh pohon muda di pagar
rumah tuan Majapahit", berkata Arya Wiraraja sambil
meloloskan sebuah celurit senjata andalannya.
Melihat Arya Wiraraja telah meloloskan senjata
andalannya itu, Gajahmada telah melepaskan cambuk
pendeknya pula dari pinggangnya.
"Aku ingin melihat, apakah kamu sudah mewarisi
cambuk sakti ayah angkatmu itu", berkata Arya Wiraraja
sambil langsung menerjang kearah Gajahmada dengan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senjata andalannya yang melengkung itu. Bukan main
terkejutnya Arya Wiraraja mendapati lawan mudanya
ternyata begitu cepat dapat bergerak keluar dari
terjangannya. Tahulah dirinya bahwa anak muda itu telah memiliki
kemampuan cukup tinggi. Maka segera dirinya membuat
serangan lanjutan dengan meningkatkan tataran ilmunya
lebih dahsyat dari serangan pertamanya.
Namun kembali gerakan anak muda itu telah
membuat Arya Wiraraja seperti dibuat malu di hadapan
kawan seperjalanannya itu yang ikut tidak berkedip
melihat dua buah serangan Arya Wiraraja dapat
dihindarkan dengan begitu mudahnya.
Melihat dua buah serangannya dapat dihindarkan
dengan mudahnya, telah membuat Arya Wiraraja seperti
kain minyak yang mudah terbakar langsung menyusul
dengan sebuah serangan yang telah dilambari ilmu
puncaknya. Terlihat wajah Ki Putut Prastawa seperti terpaku,
meski pernah mendengar ketinggian ilmu Gajahmada
293 namun tetap masih menyangsikan apakah anak muda itu
dapat menghadapi orang tua itu yang telah
menyerangnya dengan ilmu puncaknya.
Ternyata Gajahmada dapat merasakan hawa
serangan ketiga Arya Wiraraja yang sangat begitu kuat
dan dahsyat menerjangnya.
Terbelalak mata Ki Putut Prastawa melihat
Gajahmada kali ini bukan hanya menghindar tapi sudah
balas menyerang dengan menghentakkan cambuk
pendeknya terasa ikut menggetarkan dadanya yang
sudah mundur menjauhi arena pertempuran itu.
"Ternyata ketinggian ilmu anak muda ini bukan hanya
cerita isapan jempol belaka", berkata Ki Putut Prastawa
dalam hati merasakan hentakan cambuk pendek
Gajahmada meski berdiri beberapa langkah dari arena
pertempuran itu. "Jangan besar kepala dengan suara cambukmu itu",
berkata Arya Wiraraja sambil melambari dirinya dengan
tenaga sakti sejatinya ketika merasakan suara cambuk
Gajahmada seperti sebuah palu besar menghimpit
dadanya dan langsung membuat serangan balasan lebih
dahsyat lagi. Terlihat Gajahmada seperti telah membaca
jangkauan angin serangan Arya Wiraraja yang datang
mendahului senjata ditangannya dan Gajahmada sudah
langsung meloncat tinggi langsung membalas serangan
tidak kalah dahsyatnya dengan melecutkan ujung
cambuk pendeknya kearah tubuh Arya Wiraraja.
Kecepatan serangan Gajahmada yang tak terduga itu
telah membuat Arya Wiraraja langsung melejit
kesamping. 294 Namun suara hentakan cambuk Gajahmada tetap
saja terasa seperti sebuah himpitan batu besar di dada
Arya Wiraraja. Ternyata Gajahmada telah menambah
tenaga sakti sejatinya lebih tinggi lagi dari sebelumnya.
Terlihat Arya Wiraraja telah memutar senjata
celuritnya dengan begitu cepatnya bermaksud membuat
angin serangan dahsyat yang menyambar begitu cepat
kearah tubuh Gajahmada. Namun mata Gajahmada seperti mampu melihat
serangan kasat mata itu sudah langsung bergeser
dengan kecepatan yang begitu sangat luar biasa.
Terbelalak mata Arya Wiraraja melihat tubuh
Gajahmada berputar begitu cepatnya, sebentar berada di
hadapannya, sekejap sudah berada di sampingnya.
Entah bagaimana caranya, Arya Wiraraja telah
melihat ujung cambuk Gajahmada telah membelit
senjatanya dan tanpa daya dan kemampuan apapun
merasakan daya tarik yang amat begitu kuat telah
menghentak menarik senjatanya yang seketika itu juga
terlepas dari tangannya dan sudah berpindah tangan di
dalam genggaman tangan Gajahmada.
"Ujung cambukku ini dapat melukai dirimu dari arah
manapun yang kusuka", berkata Gajahmada yang berdiri
tegap, tangan kanannya masih memegang pangkal
cambuk pendeknya, sementara tangan lainnya terlihat
tengah menggenggam senjata milik Arya Wiraraja.
"Silahkan kamu pilih mana bagian tubuhku yang
paling cepat mengantar kematianku", berkata Arya
Wiraraja dengan sikap layaknya seorang ksatria
mengakui keunggulan lawan mudanya.
"Tuan Arya Wiraraja, demi ayah angkatku Patih
295 Mahesa Amping yang sangat mencintai
dan menghormatimu sebagai ayah kandungnya sendiri, aku
tidak akan membunuhmu. Kami akan membiarkan dirimu
pergi dan tidak akan mengatakan kepada siapapun
bahwa telah melihat dirimu di sekitar Kademangan
Simpang ini", berkata Gajahmada sambil mendekati Arya
Wiraraja dan memberikan kembali senjatanya.
"Terima kasih telah mengampuni selembar nyawa
tuaku ini, sampaikan salam rinduku kepada ayah
angkatmu. Katakan kepadanya bahwa aku juga sangat
mencintainya sebagaimana aku mencintai putraku,
saudara angkatnya yang telah tiada, Ranggalawe",
berkata Arya Wiraraja sambil menerima kembali
senjatanya dari tangan Gajahmada.
Terlihat Gajahmada dan Ki Putut Prastawa masih
duduk diatas punggung kudanya sambil memandang dua
orang penunggang kuda yang semakin menjauh dan
menghilang di kegelapan malam.
"Mari kita kembali ke rumah Ki Demang", berkata Ki
Putut Prastawa mengajak Gajahmada untuk kembali ke
rumah Ki Demang Simpang. Kuda-kuda Gajahmada dan
Ki Putut Prastawa terlihat sudah memasuki jalan
Kademangan Simpang. "Ternyata pandangan Ki Patih Mangkubumi tidak
salah menjadikan dirimu sebagai pengganti diriku yang
sudah tua ini", berkata Ki Putut Prastawa sambil
tersenyum kearah anak muda di sebelahnya yang telah
disaksikan dengan mata kepalanya sendiri adalah
seorang yang berilmu begitu sangat tinggi yang dengan
begitu mudahnya mengalahkan seorang seperti Arya
Wiraraja. "Aku belum dapat mengerti arah perkataan Ki Putut
296 Prastawa", berkata Gajahmada
"Beberapa pekan sebelum keberangkatan Baginda
Raja dan keluarganya, aku telah menyampaikan
permintaan mengundurkan diri dari tugas pemimpin
prajurit Bhayangkara. Dan Ki Patih Mangkubumi telah
mengabulkan permintaanku serta menunjuk dirimulah
yang akan menggantikan kedudukanku ini", berkata Ki
Putut Prastawa menjelaskan kembali perkataannya itu.
"Jadi Ki Putut Prastawa memang telah merencanakan semua ini, mengajak diriku dalam
perjalanan tengah malam bukan sekedar sebagai kawan
sepi?", berkata Gajahmada.
"Benar, sahabat muda. Aku memang sengaja
membawamu dalam tugas-tugasku agar dirimu
mengetahui apa yang harus dilakukan oleh seorang
pemimpin prajurit Bhayangkara", berkata Ki Putut
Prastawa sambil tersenyum."Aku yakin bahwa dirimu
dapat bekerja lebih baik dariku", berkata kembali Ki Putut
Prastawa. Terlihat Gajahmada menarik nafas panjang, seperti
tengah menerawangi garis hidupnya, menyusuri kembali
perjalanan hidupnya dari waktu ke waktu.
Tengah malam terasa dingin dan sepi di
Kademangan Simpang. Bulan sabit melengkung di langit
malam. Dua ratus pasukan berkuda terlihat seperti bayangan
hantu malam telah bergerak keluar dari Kademangan
Simpang kearah jalan menuju Kotaraja Majapahit.
Mereka adalah para prajurit Bhayangkara yang akan
bertugas sebagai pagar hidup membayangi penjagaan
perjalanan Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan
keluarganya yang akan kembali ke Kotaraja Majapahit
297 keesokan harinya. "Nampaknya, inilah malam perjalanan tugas
terakhirku", berkata Ki Putut Prastawa kepada
Gajahmada diatas punggung kudanya tengah berjalan di
kegelapan malam yang dingin.
"Aku ikut berdoa untuk kebahagiaan Ki Putut
Prastawa mengisi masa-masa purnabhakti bersama
keluarga di Lamajang", berkata Gajahmada kepada
orang tua itu. "Terima kasih, pintu rumahku akan selalu terbuka di
Lamajang untukmu. Datang dan singgahlah", berkata Ki
Putut Prastawa kepada Gajahmada.
Semilir angin malam yang dingin berhembus
menyapu wajah Gajahmada dan Ki Putut Prastawa yang
masih tetap berjalan melihat kesiapan para prajurit
Bhayangkara yang sudah berada di tempat penjagaan
masing-masing di sepanjang jalan arah menuju Kotaraja
Majapahit. "Wajahmu terlihat pucat pasi seperti telah melihat
dedemit penunggu jalan ini", berkata Ki Putut Prastawa
seperti dapat langsung membaca wajah salah seorang
anak buahnya yang tengah berjaga di sebuah jalan di
tepi sebuah hutan. "Aku tidak melihat dedemit, tapi sudah dua kali ini
mendengar suara si embah", berkata prajurit itu
menyebut harimau sebagai si embah.
"Berdoalah, semoga ada anak kijang yang tersesat
malam ini yang akan jadi santapan malam harimau itu
ketimbang daging tubuhmu", berkata Ki Putut Prastawa
sambil turun dari kudanya dan berjaga menemani prajurit
itu yang merasa terhibur dengan kehadiran Gajahmada
298 dan Ki Putut Prastawa. Diam-diam Gajahmada memuji sikap kesabaran Ki
Putut Prastawa yang dapat mengerti perasaan anak
buahnya dan tidak membuat jarak antara pemimpin dan
anak buahnya. Nampaknya selama ini mereka telah
membaur seperti layaknya sebuah keluarga yang besar,
keluarga prajurit Bhayangkara.
Hingga ketika warna langit mulai memerah sebagai
pertanda sang fajar sudah terbangun di ujung timur bumi,
terlihat Ki Putut Prastawa dan Gajahmada tengah
berkemas untuk melanjutkan perjalanan mereka kembali
kearah jalan menuju Kotaraja Majapahit.
"Nampaknya si embah sudah kenyang menikmati
makan malamnya", berkata Ki Putut diatas punggung
kudanya kepada prajuritnya.
Angin malam di awal pagi itu terasa begitu
menyegarkan berhembus lembut mengusap wajah
mereka berdua, Ki Putut Prastawa dan Gajahmada yang
tengah berkuda menyusuri jalan tanah yang keras.
Matahari pagi sudah menyembul di ujung timur bumi,
manakala Ki Putut Prastawa dan Gajahmada telah
berada tidak jauh lagi dari Kotaraja Majapahit. Terlihat
mereka berhenti di sebuah kelompok penjagaan terakhir
para prajurit Bhayangkara.
Tidak ada yang menyangka bahwa lima orang yang
tengah duduk-duduk di galengan sebuah sawah dan
sebuah gubuk itu adalah para prajurit Bhayangkara.
Mereka berlima memang sengaja berpakaian sebagaimana layaknya seorang petani agar penyamaran
Pendekar Pengejar Nyawa 5 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Pedang Kiri Pedang Kanan 2
ke arena membantu Manukwaja. Serangan tiga orang
dari Gunung Raung itu kembali seperti seekor ular yang
mematuk, melindungi dan menjerat anak muda susul
menyusul tiada henti. Namun, kembali Gajahmada yang telah memahami
alur gerak lawannya itu telah berhasil mematahkan dan
mementahkan serangan mereka, kali ini langsung
dengan serangan balasan yang datang seperti air bah
menggunung dan menggulung dengan pesatnya.
Sebuah gerak tangan kembar terbuka dan kelima jari
rapat seperti senjata membelah, pukulan tangan
Gajahmada berhasil mengenai rahang kedua kawan
Manukwaja yang kurang cepat mengelak. Akibatnya
sangat parah sekali, keduanya terhuyung merasakan
kepala tergetar dan penglihatan menjadi gelap.
Gedebrukkkk !!! 225 Kedua lelaki dari Gunung Raung itu roboh terbanting
di tanah keras langsung pingsan tidak dapat bergerak
kembali. "Kurobek-robek dagingmu", berkata Manukwaja
seperti sudah gelap mata menahan rasa amarah yang
memuncak diatas ubun-ubun.
"Kamu perlu lebih cepat lagi", berkata Gajahmada
sambil meliuk menghindari serangan Manukwaja yang
sudah seperti kerasukan setan di jiwanya mencoba
merajang tubuh lawannya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh seorang ahli
kanuragan adalah pengendalian diri. Kemarahan
Manukwaja telah melepaskan pengendalian dirinya yang
membuat daya nalarnya tidak bermain lagi di tambah
kemarahannya telah semakin membuat susut tenaga dan
kekuatannya. Hingga akhirnya dengan begitu mudahnya
Gajahmada menjatuhkan lawannya itu hanya dengan
sebuah tendangan beruntun yang tidak mampu dielakkan
lagi oleh Manukwaja. Terlihat tubuh Manukwaja seperti sebatang pohon
tumbang tercabut dari akarnya terhantam tendangan
beruntun dari Gajahmada yang sangat keras seperti
hantaman seekor gajah mengamuk.
Tiga tubuh lelaki dari Gunung Raung terlihat
tergeletak diatas tanah kotor dan daun-daun kering yang
beterbangan diterpa desiran angin.
Gajahmada masih berdiri tegak dengan pandangan
kearah Ki Jengkar yang masih berdiri terpaku tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya itu. Tidak percaya
bahwa tiga orang penyamun dari Gunung Raung yang
sangat di takuti di tempat asalnya itu telah di lumpuhkan
226 dengan mudahnya oleh seorang anak muda yang tidak
dikenal. "Mengapa hanya berdiri terpaku", aku juga akan
membawamu ke kadipaten Tuban sebagaimana ketiga
orang dari Gunung Raung ini", berkata Gajahmada
sambil menatap tajam kearah Ki Jengkar.
"Jangan sesumbar, aku akan mencarimu untuk
menyumbat mulut sombongmu itu", berkata Ki Jengkar
sambil berbalik badan pergi meninggalkan tempat itu.
Terlihat Gajahmada hanya sedikit tersenyum, tidak
berusaha mengejar Ki Jengkar yang telah menghilang di
kegelapan hutan senja. Tidak terasa hari memang sudah mulai senja, udara
terlihat teduh dan mulai suram.
"Terima kasih, kamu telah menyelamatkan kami",
berkata seorang pedagang yang telah dianggap sebagai
pemimpin rombongan itu. Beberapa pedagang juga menghampiri anak muda itu
dan mengucapkan rasa terima kasih mereka yang telah
terlepas dari cengkraman para perampok di jalan lingkar
hutan Jatirogo itu. "Kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini, aku
khawatir gerombolan Ki Gedonglegi akan datang kembali
dengan kawanan yang lebih banyak", berkata pemimpin
para pedagang itu. Terlihat beberapa orang pedagang telah mengikat
tangan ketiga orang penyamun dari Gunung Raung itu,
juga beberapa orang dari gerombolan Ki Gedonglegi.
Demikianlah, ketika wajah jalan lingkar di tepi hutan
Jatirogo itu sudah terlihat menjadi semakin suram,
terlihat sebuah rombongan telah bergerak berjalan
227 seperti tergesa-gesa berharap secepatnya keluar dan
jauh dari jalan itu membayangkan para perampok lain
yang lebih besar dan ganas datang menghadang
mereka. Gajahmada, Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat seperti
tidak punya beban apapun berjalan begitu ringan di
belakang para rombongan pedagang itu.
Setelah menyaksikan sendiri dengan mata dan
kepalanya sendiri bagaimana Gajahmada mengalahkan
lawannya, kedua putri Majapahit itu seperti merasa aman
dan bangga berjalan di sisi putra tunggal Nyi Nariratih,
pemimpin pasukan Srikandi di Majapahit itu.
"Di depan kita tidak jauh lagi adalah Kademangan
Singgahan, kita bisa singgah dan bermalam disana",
berkata seorang pedagang kepada Gajahmada.
"Kita bermalam di Kademangan Singgahan", berkata
Gajahmada kepada Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat.
Akhirnya di saat wayah sepi bocah, rombongan para
pedagang itu terlihat telah memasuki regol gapura
Kademangan. Beberapa pedagang terlihat wajahnya
telah berubah cerah merasa lega telah terlepas dari
peristiwa perampokan yang sangat menegangkan itu.
Kebetulan sekali bahwa salah seorang dari pedagang
itu bertempat tinggal di Kademangan Singgahan dan
menawarkan Gajahmada untuk bermalam di rumahnya.
"Terima kasih Paman, semoga tidak merepotkan",
berkata Gajahmada kepada pedagang itu.
"Jangan sungkan-sungkan, bukankah kamu sudah
menolong kami?", berkata pedagang itu balik bertanya
kepada Gajahmada. 228 Sementara itu beberapa pedagang terlihat bersama
dengan beberapa warga kademangan telah menggiring
para tawanan ke rumah Ki Jagaraga.
"Aku akan meminta Ki Jagabaya mengurus para
tawanan ini untuk selekasnya di bawa ke Kadipaten
Tuban", berkata pemimpin para pedagang itu kepada
Gajahmada manakala mereka berpisah di persimpangan
jalan antara rumah Ki Jagaraga dan rumah seorang
pedagang yang menawarkan Gajahmada untuk
bermalam di tempat tinggalnya.
"Kalian tidak akan merepotkan kami, keluarga kami
akan bahagia dapat menjamu kalian di rumahku ini",
berkata pedagang itu manakala mereka telah sampai di
muka gerbang rumahnya yang ternyata sangat besar dan
megah dibandingkan beberapa rumah di sekitarnya.
Demikianlah, malam itu Gajahmada dan kedua putri
Majapahit itu telah diterima dengan baik oleh keluarga
pedagang itu, mereka sangat berterima kasih sekali
terutama ketika mengetahui bahwa Gajahmada telah
menyelamatkan suami dan ayah mereka.
Dan malam itu tuan rumah benar-benar telah
menjamu Gajahmada dan kedua gadis yang bersamanya
itu. "Kami telah menyiapkan bilik untuk kalian beristirahat
malam ini", berkata pedagang itu mempersilahkan
tamunya untuk beristirahat.
Terlihat Gajahmada, Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat
telah diantar kedalam biliknya masing-masing.
Malam pun berlalu seperti malam sebelumnya, sepi
dan dingin. Dibiliknya sendiri, Gajahmada tidak langsung
tertidur, dirinya masih merenungkan siapa orang besar di
229 belakang Manukwaja, dibelakang Ki Jengkar dan para
perampok lainnya yang telah dibayar cukup tinggi untuk
membuat keresahan di bumi Tuban itu.
"Apakah ada kaitannya dengan pengangkatan Adipati
Tuban yang baru?", bertanya Gajahmada dalam hati.
Malam pun berlalu seperti malam sebelumnya, dingin
dan sepi. Hingga di ujung malam ketika sang fajar datang
menepis selimut mimpi, menyirnakan kegelapan yang
pecah terburai oleh suara lenguh kerbau yang terseret
menuju tanah bajakannya di gelap pagi.
Pagi itu, terlihat Gajahmada bersama Dyah Gajatri
dan Dyah Wiyat telah berkemas untuk melanjutkan
perjalanan mereka kembali.
"Pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian", berkata
pedagang itu kepada Gajahmada dan rombongannya
yang terlihat telah melangkah menuruni anak tangga
pendapa. "Terima kasih, kami akan singgah bila kebetulan
berada di seputar Kademangan Singgahan ini", berkata
Dyah Gajatri mewakili pembicaraan perpisahan itu.
"Anak-anak muda yang berani", berkata pedagang itu
dalam hati manakala telah melihat punggung tiga anak
muda itu terakhir kalinya di sebuah tikungan jalan.
Terlihat di atas langit pagi, seekor elang melintas
terbang menuju arah pesisir utara laut Tuban.
"Berapa lama jarak perjalanan kita menuju
Padepokan Nglirip?", bertanya Dyah Wiyat kepada
Gajahmada. "Hanya dua kali kepakan sayap bila kita punya sayap
seperti elang itu", berkata Gajahmada sambil ditanggapi
tawa gembira oleh Dyah Wiyat dan Dyah Gajatri.
230 Letak air terjun Nglirip dari Kademangan Singgahan
memang tidak begitu jauh lagi. Hingga ketika matahari
baru tiga perempat diatas kepala, terlihat mereka bertiga
tengah berada dan berjalan di tepi sungai yang berhulu
dari air terjun Nglirip. Perlahan dan semakin keras saja suara deru
gemuruh air terjun lewat di telinga mereka manakala
langkah kaki mereka semakin mendekati arah hulu.
Bukan main gembiranya hati Nyi Ajeng Nglirip
manakala melihat Gajahmada, Dyah Wiyat dan Dyah
Gajatri telah berada di Padepokannya. Impian, harapan
dan doanya telah kesampaian melihat dan memeluk
kembali kedua putri kandungnya yang telah sekian lama
dirindukannya. "Tempat yang indah", berkata Dyah Wiyat sambil
memandang berkeliling melihat halaman muka
padepokan yang bersatu dengan alam sekitarnya tanpa
ada batasan apapun. "Semoga kalian betah tinggal di padepokan ini",
berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada kedua putrinya itu.
"Bagiku, dimanapun berada bila didekat pangkuan
ibunda akan terasa indah", berkata Dyah Gajatri kepada
ibundanya. "Kalian pasti sudah sangat lapar", berkata Nyi Ajeng
Nglirip "Sangat-sangat sekali", berkata Dyah Wiyat sambil
meraba perutnya dan tersenyum.
Sementara matahari memang terlihat sudah merayap
naik tinggi, merayapi rasa lapar mereka.
***** 231 Sementara itu, di langit belahan bumi yang lain,
terlihat seekor elang tua tengah berputar-putar di sekitar
bumi Lamajang. Lama elang tua itu terbang mengitari bumi Lamajang,
akhirnya terbang tinggi menghilang di sekitar hutan
Randuagung. "Kuda Anjampiani, kamu telah melakukan kesalahan
besar", berkata seorang lelaki tua kepada Kuda
Anjampiani yang duduk bersimpuh menunduk dalam
tidak berani sedikit pun mengangkat wajahnya.
Siapa lelaki tua yang sepertinya sangat dihormati
oleh Kuda Anjampiani putra Ranggalawe itu"
Rambut di kepala lelaki tua itu sudah hampir
seluruhnya memutih, namun suaranya masih terdengar
lantang berwibawa. Ternyata lelaki tua dihadapan Kuda
Anjampiani itu adalah Arya Wiraraja. Seorang Adipati
Sunginep yang telah melarikan diri ke daerah Lamajang,
karena telah berani berbuat makar bersama putranya
Ranggalawe. Atas kebaikan Ki Gede Pajarakan, keluarga Arya
Wiraraja telah diberikan sebidang tanah di sekitar hutan
Randuagung. Arya Wiraraja adalah seorang yang sangat cerdik.
Dengan berada di wilayah kekuasaan Ki Gede Pejarakan
maka dirinya untuk sementara aman dari kejaran prajurit
Majapahit. Arya Wiraraja paham sekali bahwa Baginda
Raja Sanggrama Wijaya sangat menghormati Ki Gede
Pejarakan itu yang pernah punya hutang budi telah
menyelamatkan dirinya dari kejaran para prajurit
Jayakatwang beberapa tahun yang telah silam di awal
perjuangannya untuk merebut kembali tahta singgasana
Singasari. 232 "Apa yang kamu dapatkan dari keresahan warga
Tuban?", berkata kembali Arya Wiraraja dengan suara
menggelegar penuh kemarahan.
"Anjampiani hanya ingin menunjukkan bahwa
Siralawe bukan seorang Adipati yang baik yang dapat
melindungi warganya dari gangguan para perampok",
berkata Kuda Anjampiani memberanikan mengangkat
mukanya sebentar, namun kembali menundukkan
wajahnya dalam-dalam.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah kebodohanmu, kamu telah membakar asap di
tempat persembunyian kita di Randuagung ini lewat lidah
orang-orang upahanmu yang telah tertangkap itu",
berkata Arya Wiraraja kepada Kuda Anjampiani. "Mulai
hari ini, kamu harus minta persetujuanku apapun yang
akan kamu lakukan. Kita harus punya kesabaran seorang
pemburu, kesabaran seekor elang di padang
perburuannya. Tahukah kamu bahwa seekor elang besar
tidak mengandalkan kekuatannya, tapi selalu melihat sisi
kelemahan lawannya", berkata Arya Wiraraja yang mulai
kasihan kepada cucunya Anjampiani yang masih terus
menunduk tidak berani mengangkat wajahnya.
"Mulai hari ini, Anjampiani akan patuh mengikuti apa
kata Eyang", berkata Kuda Anjampiani dengan suara
melemah. "Kesalahan ayahmu adalah tidak mau mendengar
perkataanku untuk bersabar menunggu saat yang tepat
manakala musuh lengah. Ayahmu memang tidak punya
kesabaran hati seorang pemburu", berkata Arya Wiraraja
sambil memandang kedepan dengan pandangan mata
kosong penuh penyesalan. "Ajari cucumu ini agar dapat mempunyai kesabaran
seorang pemburu", berkata Kuda Anjampiani.
233 "Kamu harus mempunyai dua sayap yang kuat agar
dapat terbang tinggi bersembunyi di balik awan,
bersembunyi dari penglihatan lawanmu. Kamu harus
punya mata yang tajam, agar dapat mengawasi dan
melihat kelengahan lawanmu. Dan kamu harus punya
cakar yang kuat, yang siap melumpuhkan lawanmu
dalam sekali terjangan", berkata Arya Wiraraja kepada
Kuda Anjampiani. "Dimana cucumu memulai perburuan ini?", berkata
Kuda Anjampiani. "Kamu memulainya di atas tanah Hutan Randuagung
ini, mendekati Ki Gede Pejarakan, mempengaruhi Adipati
Menak Koncar dan menguasai seluruh daerah tapal kuda
Jawadwipa ini sebagai benteng pertahananmu untuk
menggulung Majapahit secara perlahan-lahan", berkata
Arya Wiraraja penuh semangat sebagaimana seekor
elang tua yang berdiri diatas puncak ketinggian
memandang daerah perburuannya.
Demikianlah, sejak saat itu Arya Wiraraja dan Kuda
Anjampiani seperti menghilang dalam pengawasan
orang-orang Majapahit. Namun diluar pengetahuan
siapapun, Kakek dan cucu yang punya dendam kesumat
atas tewasnya Ranggalawe itu tidak pernah berhenti
membangun kekuatan baru dengan mempengaruhi
orang-orang disekitar mereka lewat persaudaraan darah
yang kental, para putra Madhura yang tersebar banyak
memenuhi sekitar Majapahit Timur itu.
Perlahan tapi pasti, Hutan Randuagung
berubah menjadi sebuah pemukiman baru.
telah Dan nama Arya Wiraraja dan Kuda Anjampiani
perlahan menghilang, banyak orang hanya mengenal
seorang saudagar kaya raya dan putranya yang
234 menguasai daerah perdagangan di sepanjang sempalan
ujung Jawadwipa yang berbatasan dengan Balidwipa itu.
Hari ke hari nama Arya Wiraraja dan Kuda
Anjampiani seperti tenggelam. Banyak orang hanya
mengenal nama Ki Randuagung dan putranya,
Randumas sebagai seorang saudagar yang budiman
telah menanamkan banyak budi dan pengaruhnya
disekitar mereka. Namun Arya Wiraraja, sang elang tua itu tidak lagi
bermata setajam dulu. Diluar perhitungannya, Baginda
Raja Sanggrama Wijaya telah membina para ksatria baru
yang akan menjaga Majapahit dari waktu ke waktu
Di Kediri, ada Raja muda Jayanagara dan
Adityawarman yang telah dilatih dan dibina langsung
oleh Patih Mahesa Amping. Di Tuban, Ada Dyah Gajatri
dan Dyah Wiyat yang dilatih langsung oleh ibundanya
sendiri, Gusti Kanjeng Ratu Gayatri. Dan diam-diam,
Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan Patih Mangkubumi
telah membina seorang ksatria muda Majapahit yang
lain, yang selama ini dipercayakan untuk melaksanakan
beberapa tugas rahasia, sang ksatria muda itu tidak lain
adalah Gajahmada. Dua kubu kekuatan tumbuh berkembang seperti
sebuah ajang saling memupuk kekuatan baru.
Baginda Raja Sanggrama Wijaya ternyata seorang
yang mempunyai pandangan yang sangat tajam
mengetahui bahwa Majapahit sebelah timur berkembang
di pengaruhi oleh kekuatan bayangan tandingan.
"Saudaraku Empu Nambi", berkata Baginda Raja
kepada Patih Mangkubumi di Pasanggrahannya, Pura
Kartika. "Bukan maksudku meragukan kesetiaan
putramu, Adipati Menak Koncar. Namun aku
235 mengkhawatirkan perkembangan Majapahit di sebelah
timur jauh dari kendali pusat kerajaan. Dan aku
bermaksud memecah kekuasaan disana menjadi dua
wilayah yang terpisah", berkata kembali Baginda Raja
melanjutkan kata-katanya sambil memandang Patih
Mangkubumi yang terlihat sudah semakin tua itu
Terlihat Patih Mangkubumi menarik nafas dalamdalam, mencoba mendalami apa yang dipikirkan oleh
junjungannya itu yang akhir-akhir ini sering sekali
mengasingkan diri. Nampaknya peristiwa kematian
Ranggalawe dan Rakyan Kebo Arema telah membuat
hati Raja besar ini telah kehilangan semangat juangnya.
Wajahnya yang dahulu selalu penuh semangat terlihat
selalu muram seperti menanggung sebuah kesalahan
atas kematian kedua sahabat seperjuangannya itu.
"Tuanku Baginda Raja, hamba juga telah merasakan
bahwa perkembangan di wilayah timur Majapahit seperti
sebuah bayangan kekuatan, seperti seekor naga besar
yang perlahan tumbuh kaki. Hal itu bisa terjadi karena
mereka berhadapan langsung dengan dua selat laut
kemakmuran, selat Madhura dan selat Balidwipa",
berkata Patih Mangkubumi mencoba memahami jalan
pikiran junjungannya itu.
"Ternyata Empu Nambi masih seperti yang dulu,
masih selalu dapat membaca apa yang aku pikirkan",
berkata Baginda Raja dengan sedikit tersenyum.
"Tuanku Baginda Raja, ternyata Majapahit tumbuh
berkembang jauh melampau tanah kekuasaan Raja
Erlangga, lebih besar dari kekuasaan para raja Daha dan
Kahuripan, lebih besar dari kekuasaan para raja
Tumapel. Namun sebesar apapun kerajaan Majapahit ini
tumbuh, harus ada dalam batas kendali tuanku Baginda
Raja. Wilayah para Adipati sudah sewajarnya harus
236 dipecah menghindari tumbuhnya naga-naga kecil yang
bisa menjadi besar dan liar", berkata Patih Mangkubumi
diam sejenak sambil memandang junjungannya yang
nampaknya penuh perhatian mendengar semua
ucapannya itu."Usul hamba bukan hanya memecah
wilayah di timur Majapahit, juga di bagian barat Majapahit
ini", berkata kembali Patih Mangkubumi.
"Wilayah barat Majapahit?", bertanya Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Benar Tuanku Baginda, sebagaimana Kadipaten
Lamajang, Kadipaten Tuban juga perlu menjadi perhatian
kita", berkata Patih Mangkubumi sambil menjelaskan
wilayah mana yang harus dipecah itu dan mengapa
harus di pecahkan. "Ternyata Empu Naradha telah mewarisi kebijaksanaannya kedalam jiwa keturunannya. Wahai
Empu Nambi, apa yang harus aku lakukan agar tetap
dapat memegang kendali kencana kerajaanku yang
tumbuh semakin besar ini?", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya Terlihat Patih Mangkubumi tersenyum mendengar
pujian dari Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Tuan harus memegang kendali kereta kencana
sebagaimana sang Siwa memegang kendali kencana
dengan delapan tangannya", berkata Patih Mangkubumi
sambil memandang wajah Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Sang Siwa dengan delapan tangannya?", bertanya
Baginda Raja meminta Patih Mangkubumi menjelaskannya. 237 "Hamba adalah satu tangan tuanku", berkata Patih
Mangkubumi sambil tersenyum.
"Aku mengerti maksudmu, aku perlu mengangkat
tujuh orang patih untuk menggenapinya?", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya mencoba menangkap
arah perkataan orang tua yang sangat dihormatinya itu.
Akhirnya, berkat usulan dari Patih Mangkubumi yang
sangat memahami tentang ajaran suci nawasanga itu
telah memutuskan Baginda Raja untuk mengangkat tujuh
orang patih yang bertugas membantu mengendalikan
roda pemerintahan Kerajaan Majapahit. Tujuh orang
putra Majapahit yang cakap dan dapat dipercaya, para
cantrik pilihan dari berbagai padepokan yang tersebar di
Kerajaan Majapahit. Memang tidak mudah untuk mendapatkan tujuh
orang putra terbaik yang akan melaksanakan tugas
mewakili tangan dan mata Baginda Raja. Namun dengan
semangat dan keuletan yang kuat telah berhasil di
temukan para putra terbaik itu. Mereka tujuh orang
Darmaputra yang disamping memiliki wawasan yang
luas, juga memiliki tataran ilmu kanuragan yang cukup
tinggi. Demikianlah, Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah
menentukan hari penobatan tujuh orang Darmaputra
bersama wisuda dua orang adipati di wilayah timur dan
barat Majapahit. Tujuh orang Darmaputra yang terpilih itu bernama Ra
Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedang, Ra Yuyu, Ra
Pangsa dan Ra Banyak. Sementara itu dua orang adipati baru yang akan di
wisuda adalah Adipati Buntarlawe yang berkedudukan di
238 Bojonegoro, dan Adipati berkedudukan di Banger. Menak Jingga yang Ratusan prajurit Majapahit telah ditugaskan
menyebarkan berita itu ke berbagai pelosok penjuru
Kerajaan, membawa undangan resmi dari Baginda Raja.
Bergembiralah hati hampir semua orang penghuni
Padepokan yang terletak di dekat air terjun Nglirip itu
manakala melihat tiga orang prajurit datang menemui
mereka membawa undangan langsung dari Baginda Raja
untuk datang ke Kotaraja Majapahit menyaksikan wisuda
tujuh orang Darmaputra dan dua orang Adipati baru.
"Sudah lama ibunda tidak melihat suasana Kotaraja
Majapahit", berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada kedua
putrinya yang berkenan untuk datang memenuhi
undangan itu. "Kita bisa mampir terlebih dulu di Jabung, keluarga
Jayakatwang akan merasa gembira bilamana kita datang
sambil membawa seorang cucunya", berkata Gajahmada
yang mengusulkan perjalanan lewat jalur laut.
Kicau burung hutan terdengar saling bersahutan
mengisi udara pagi dan kegembiraan suasana penghuni
padepokan keluarga Nyi Ajeng Nglirip yang terlihat telah
siap berkemas untuk melaksanakan sebuah perjalanan
panjang yang cukup jauh, ke Kotaraja Majapahit.
Nyi Ajeng Nglirip, Gajahmada dan Andini terlihat
masih menoleh sebentar melambaikan tangannya
kepada para penghuni Padepokan yang masih berdiri di
muka halaman mengantar keberangkatan mereka.
Wajah Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat terlihat begitu
ceria melangkah menyusuri sungai Nglirip yang bening
239 deras membentur bebatuan menuruni perbukitan hijau.
dan mengalir berliku Dua gadis itu terlihat sudah menjadi semakin matang
dewasa seiring dengan tataran ilmu kanuragan mereka
yang sudah berkembang dengan pesatnya lewat
bimbingan Gajahmada dari hari ke hari selama mereka
menetap di padepokan Nyi Ajeng Nglirip itu.
Siapapun tidak akan menyangka, di balik kelembutan
dan gemulai pembawaan mereka, tersimpan sebuah
kekuatan tersembunyi yang mampu menghamburkan
gunung batu cadas sekalipun. Gemblengan Gajahmada
dan Kanjeng Gusti Ratu Gayatri itu telah membuat kedua
gadis itu seperti dua mutiara ratusan tahun yang berkilau
keras dan amat kuat. Mereka berdua sudah dapat
mengungkapkan kekuatan tenaga inti sejati dirinya
sendiri, mampu melontarkan angin serangan yang
dahsyat lewat terjangan angin pukulan mereka dan
bergerak melesat begitu cepat dan ringan seperti seekor
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kijang berlari. Tidak terasa, rombongan Nyi Ajeng Nglirip telah
berjalan cukup jauh meninggalkan daerah air terjun
Nglirip dan telah memasuki daerah padukuhan disekitar
Kadipaten Tuban. Gajahmada yang telah menjadi saksi suasana disaat
Majapahit dan Tuban tengah berseteru, kini melihat
suasana beberapa Padukuhan di sekitar Kadipaten
Tuban amat sangat berbeda dari sebelumnya, nampak
begitu aman dan tenteram, para warga padukuhan tidak
lagi mencurigai orang asing yang datang dan pergi.
Ketika matahari sudah bergeser sedikit turun dari
puncaknya, terlihat rombongan itu telah memasuki kota
Kadipaten Tuban. 240 Hari itu, meski bukan hari pasaran tidak menjadikan
pasar kota Kadipaten menjadi sepi. Masih ada beberapa
pedagang yang menggelar barang dagangannya, juga
beberapa kedai makanan yang tetap buka.
"Mari kita singgah di kedai itu", berkata Nyi Ajeng
Nglirip sambil menunjuk kearah sebuah kedai yang
berada di tengah pasar. Namun langkah kaki rombongan itu terhenti
manakala melihat sebuah kerumunan di seberang kedai
yang mereka tuju itu. "Sepertinya akan terjadi sebuah pertarungan",
berkata Gajahmada sambil berhenti melangkah
"Dua orang bertarung untuk menebus hutang pati",
berkata Nyi Ajeng Nglirip yang banyak mengenal
beberapa adat dan istiadat beberapa daerah.
"Apakah mereka akan bertarung sampai mati?",
bertanya Dyah Gajatri kepada ibundanya ketika melihat
dua orang petarung telah dilingkari pinggangnya dengan
sebuah tali yang terhubung satu dengan lainnya hanya
berjarak sekitar lima langkah diantaranya.
"Lihatlah seorang gadis yang menangis di pegang
oleh dua orang lelaki di pinggir kerumunan itu,
nampaknya gadis itu telah ditemukan oleh keluarganya
setelah di bawa lari oleh pemuda idamannya sendiri",
berkata Nyi Ajeng Nglirip mencoba menjelaskan.
"Seorang pemuda yang tabah", berkata Gajahmada
yang melihat seorang pemuda yang sangat tenang siap
menghadapi lawannya, seorang yang sudah berumur
terlihat begitu gagah dengan sorot mata tajam penuh
dendam membara. 241 "Apakah mereka akan bertarung sampai mati?",
bertanya kembali Dyah Gajatri kepada ibundanya merasa
pertanyaannya itu belum selesai mendapat jawaban.
"Mereka bertarung sampai ada salah satunya mati
terbunuh", berkata Nyi Ajeng Nglirip berbisik perlahan
kepada Dyah Gajatri. "Orang-orang Madhura", berkata Gajahmada ketika
melihat kedua petarung itu diberikan masing-masing
sebuah senjata tajam yang melengkung di ujungnya,
sebuah senjata celurit. Beberapa orang terlihat sudah mundur beberapa
langkah melingkari para petarung di lapangan pasar itu.
Suasana pun seketika itu terlihat begitu mencekam,
semua pandangan mata tertuju kearah kedua petarung
yang terlihat telah bersiap-siap bertarung menghadapi
lawannya. "Yudha Pramana, kamu telah menodai nama besar
keluarga kami, saatnya darahmu yang akan
menyucikannya", berkata salah seorang petarung kepada
lawannya, seorang pemuda.
$ "Kematian tidak akan kutakutkan, darahku akan
harum mewangi sebagai bukti cinta kami", berkata
pemuda itu dengan wajah tegap menantang.
"Ternyata Kunti telah menemui seorang pemuda
yang berani, sayang aku pamannya harus membunuhmu", berkata kembali lelaki itu sambil
menggenggam senjata celurit ditangannya lebih erat lagi
terlihat seperti bergoyang-goyang bergetar.
"Aku sudah siap paman", berkata pemuda itu masih
dengan sikap penuh ketenangan.
242 "Bersiaplah kamu untuk mati", berkata lawannya
sambil langsung bergerak menerjang kearah pemuda itu.
Trang !!!! Sang pemuda terlihat telah menangkis serangan
celurit diatas kepalanya. Dua senjata yang sama beradu
menimbulkan suara yang cukup nyaring bergemerincing.
Suara gemerincing dari dua senjata yang saling
beradu terdengar berkali-kali, seiring pertarungan yang
sangat mendebarkan hati itu telah mulai berlangsung
dengan sengitnya. Sebagai seorang yang ahli dalam ilmu kanuragan,
Gajahmada sudah dapat menilai bahwa lelaki berumur itu
jauh lebih kuat dan tangguh dibandingkan dengan
pemuda itu. Hanya dengan semangat tempur saja yang
telah membuat pemuda itu masih tetap bertahan
menghadapi serangan lelaki lawannya itu.
Hingga dalam sebuah serangan yang sangat kuat
penuh dengan gerakan yang sangat tangguh telah dapat
berhasil mendesak pemuda itu. Terlihat sebuah
tendangan kuat telah berhasil merobohkan pemuda itu
yang jatuh terlentang diatas tanah. Untung tali yang
menghubungkan keduanya membuat pemuda itu
tertahan tidak terguling.
Angin serangan senjata celurit di tangan lelaki itu
seperti bayangan dewa pencabut nyawa yang terlihat
telah melayang meluncur kearah leher pemuda itu.
Trangg !!! Sebuah kerikil kecil yang dilepaskan oleh kekuatan
yang kuat berlimpah dengan sangat keras dan jitu sekali
telah membentur senjata celurit itu membuat telapak
tangan pemilik senjata itu merasakan panas dan perih
243 tak terkira dan tidak kuasa melepas senjatanya terlempar
dari tangannya. "Ijinkan aku menggantikan saudaraku ini", berkata
seorang pemuda yang tiba-tiba saja sudah berada
ditengah antara ikatan tali keduanya.
"Siapapun punya hak membela dalam pertarungan
darah ini", berkata lelaki itu sambil memandang tajam
kearah pemuda itu yang ternyata adalah Gajahmada.
Terlihat Gajahmada telah membuka ikatan tali yang
melingkar di pinggang pemuda itu dan berganti
mengikatnya melingkar di pinggangnya sendiri.
"Jagalah Gadismu", berkata Gajahmada berbisik
kepada pemuda itu yang merasa baru saja terlepas dari
sebuah kematian. "Terima kasih", berkata pemuda itu sambil menyingkir
menjauhi arena pertarungan.
"Kakang Yudha Pramana!!", berlari seorang gadis
yang berhasil melepaskan diri dari genggaman tangan
dua orang yang tengah menahannya. "Maafkan Kunti
yang telah menyusahkan dirimu", berkata gadis itu sambil
menangis bersimpuh memeluk kedua kaki sang pemuda
yang dipanggil dengan nama Yudha Pramana itu.
"Bersiaplah, darahmu akan menggantikannya",
berkata lelaki yang sudah berumur itu setelah memungut
kembali senjatanya di tanah.
"Aku sudah bersiap, paman", berkata Gajahmada
sikap penuh ketenangan dan percaya diri.
Terlihat Andini menarik nafas panjang, meski percaya
kepada kemampuan Gajahmada, namun hati wanita itu
tidak mampu menahan debaran jantungnya sendiri
menyaksikan sikap Gajahmada yang sangat berani
244 terpanggil maju untuk membela harapan cinta dari mudamudi yang terlihat saling mencinta itu.
Ditempat asalnya, lelaki itu adalah seorang jawara
yang sangat disegani. Namun dadanya terasa berdebar
kencang manakala pandangan matanya membentur
sorot mata Gajahmada yang terlihat begitu kuat dan
tajam seperti sebuah pedang tajam menyambar.
Terdengar gemerutuk gigi dari lelaki itu berusaha
menepis rasa gentarnya. "Senjata ini telah terhunus, pantang masuk ke sarung
sebelum menghisap darah", berkata lelaki itu sambil
langsung menerjang dengan kuatnya.
Sayang bahwa lelaki itu tidak tahu dengan siapa
dirinya berhadapan. Terlihat Gajahmada dengan
ringannya berkelit menghindar.
Melihat serangannya dengan mudah dielakkan oleh
anak muda itu, sebuah tendangan menyusul
menghantam kearah Gajahmada. Namun kembali
Gajahmada dapat menghindari serangan itu.
Bukan main geramnya lelaki itu merasa dua buah
serangannya dapat dihindari dengan mudahnya telah
menjadikan dirinya menyerang lebih kuat dan gencar
lagi. Kembali Gajahmada dengan langkah yang begitu
ringan dan sangat cepat dapat lolos dari setiap serangan
lelaki itu yang semakin gencar membabi buta merasa
bahwa lawannya hanya mampu menghindar tanpa dapat
membalas. Ternyata Gajahmada tengah mengukur tingkat
kemampuan lawannya, hanya berkelit tanpa balas
menyerang. 245 Terlihat diluar arena, pandangan mata Andini tidak
pernah sedikitpun terlepas dari jalannya pertarungan itu
seakan membayangkan bahwa Gajahmada tengah
bertarung darah membela dirinya, membela cinta mereka
berdua. Sementara itu, Nyi Ajeng Nglirip, Dyah Gajatri dan
Dyah Wiyat yang telah mengetahui tingkat kemampuan
Gajahmada, terlihat tidak begitu tegang, seperti
menunggu apa yang terakhir dilakukan oleh anak muda
yang selama ini seperti seorang ksatria penjaga bagi
keluarga mereka. Sebagaimana yang dipikirkan oleh Nyi Ajeng Nglirip,
terlihat Gajahmada sudah merasa bosan bermain-main.
Semua mata di lapangan pasar itu seperti terbelalak
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Siapapun akan terperanjat kagum melihat bagaimana
Gajahmada dengan hanya dua jari tangannya telah
menjepit senjata celurit lelaki itu yang tengah meluncur
mengayun diatas kepalanya.
Terlihat dengan sekuat tenaga, lelaki itu telah
berusaha menarik senjatanya dari jepitan Gajahmada.
Senjata di dalam jepitan Gajahmada tidak bergeming
bergerak sedikitpun, lelaki itu seperti menarik batang
pasak bumi yang menancap tumbuh di batu cadas keras.
Dan dengan gerakan biasa dari Gajahmada, hanya
dengan sebuah sedikit jentikan kedua jarinya, terlihat
senjata celurit itu patah sumpung putus terlepas dari
bagian lain di tangan lelaki itu yang bersamaan seperti
terdorong kebelakang. Untung tali ikatan membuatnya
tertahan tidak terlempar.
Terbelalak mata lelaki itu yang belum sempat
246 menguasai keadaan telah merasakan tali ikatannya
ditarik dengan kuat membuat dirinya maju terhuyung
kedepan. "Menyerahlah, atau celurit ini akan memenggal
batang lehermu", berkata Gajahmada dengan nada
mengancam sambil mengalungkan celurit di leher lelaki
itu. Pucat wajah lelaki itu merasakan darahnya berhenti
mengalir. Sebagai seorang jawara di tempat asalnya, lelaki itu
baru pertama kali itu mendengar ancaman dari orang lain
kepadanya. "Aku menyerah", berkata lelaki itu seperti pasrah
merasakan dingin senjata menempel di ujung kulitnya.
"Artinya persoalan tidak akan diperpanjang lagi,
cukup sampai disini?", berkata Gajahmada kepada lelaki
itu. "Kami tidak akan memperpanjang urusan ini lagi,
telah diselesaikan hari ini", berkata lelaki itu masih
dengan wajah pucat pasi membayangkan celurit yang
tajam itu merobek batang lehernya.
"Bagus, perkataan seorang lelaki adalah sebuah
sumpah", berkata Gajahmada sambil menarik senjata
celurit dari leher lelaki itu.
Srettt !!! Celurit ditangan Gajahmada telah membabat tali
ikatan mereka. Terlihat lelaki itu melepas ikatan tali di pinggangnya
dan datang menghampiri Yudha Pramana yang berdiri
bersama Kunti, gadis kemenakan dari lelaki itu.
247 "Masalah kalian telah selesai, sejak hari ini keluarga
tidak akan mencari kemanapun kalian pergi", berkata
lelaki itu yang langsung berbalik badan melangkah pergi
diikuti oleh tiga orang lelaki bersamanya.
Bersama dengan perginya rombongan lelaki itu,
kerumunan pun sudah semakin berkurang, orang- orang
sudah kembali lagi dalam kesibukannya masing-masing.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana lapangan pasar itu sudah kembali sebagaimana
semula sebelum adanya kejadian tarung adat itu.
"Terima kasih, tuan telah menyelamatkan hidup kami
berdua", berkata Yudha Pramana dengan sikap penuh
rasa terima kasih kepada Gajahmada.
Nampaknya kalian akan melakukan sebuah
perjalanan jauh", berkata Gajahmada kepada Yudha
Pramana. "Benar, kami memang akan pergi jauh ke Kotaraja
Majapahit", berkata Yudha Pramana.
"Ternyata kita satu perjalanan, kami juga akan
berangkat ke Kotaraja Majapahit. Namun sebelumnya
kami akan singgah terlebih dahulu ke Jabung untuk
menemui salah seorang kerabat", berkata Gajahmada
kepada Yudha Pramana. "Apakah tuan pernah pergi ke Jabung sebelumnya?",
bertanya Yudha Pramana kepada Gajahmada.
Terlihat Gajahmada tersenyum
menggelengkan kepalanya. getir sambil "Bila tuan tidak berkeberatan, aku dapat menjadi
penunjuk jalan yang baik. Aku besar di Jabung", berkata
Yudha Pramana. "Senang sekali mendapatkan seorang penunjuk
jalan", berkata Gajahmada tidak merasa keberatan.
248 "Maaf, apa yang menyebabkan tuan menolong
kami?", bertanya Yudha Pramana kepada Gajahmada.
"Juga mengakui diriku ini sebagai saudara tuan?",
berkata kembali Yudha PramanaTerlihat Gajahmada tidak langsung menjawab, hanya
memandang wajah Yudha Pramana dalam-dalam.
"Entahlah, aku hanya seperti pernah mengenalmu,
tapi entah dimana", berkata Gajahmada sambil
tersenyum. "Perasaan tuan sama dengan yang kurasakan,
mungkin kita pernah bersahabat, atau bersaudara dalam
kehidupan masa lalu kita sebelum kehidupan sekarang
ini", berkata Yudha Pramana. "Aku sangat senang hati
menjadi sahabat tuan", berkata Yudha Pramana.
"Aku juga senang punya sahabat seperti dirimu",
berkata Gajahmada. "Seperti di kehidupan masa lalu kita?", berkata Yudha
Pramana sambil tertawa panjang.
Demikianlah awal mula pertemuan persahabatan
mereka berdua, Gajahmada dan Yudha Pramana.
Terlihat Gajahmada memperkenalkan Yudha Pramana dan istrinya kepada rombongannya. Dan
mereka bersama melanjutkan pembicaraan di dalam
kedai. Yudha Pramana dan Gajahmada memang sudah
seperti sahabat lama saja layaknya, mereka saling
bercerita satu dengan yang lainnya sepertinya tidak ada
rahasia lagi diantara mereka berdua.
Maka setelah merasa cukup beristirahat di dalam
kedai, terlihat rombongan yang sudah bertambah dua
orang itu terlihat telah keluar dari kedai menuju arah
249 timur matahari. Beruntunglah ada Yudha Pramana sebagai penunjuk
jalan, karena mereka tiba memasuki Jabung disaat
malam sudah mulai turun dan sukar sekali menemui
orang untuk bertanya. Ternyata, Ki Ajar Sasmita yang juga dikenal bernama
Empu Pranata mantan pendeta suci istana Singasari itu
masih mengenal Gusti Kanjeng Ratu Gayatri.
"Semoga mata tuaku ini tidak salah mengenal orang,
bukankah aku berhadapan dengan putri bungsu Baginda
Raja Kertanegara?", berkata Ki Ajar Sasmita.
"Tuan Pendeta tidak salah mengenali orang, akulah
putri bungsu itu", berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil
tersenyum. "Puji syukur bahwa akhirnya kita dapat berjumpa
kembali", berkata Empu Pranata penuh kebahagiaan
menyambut kedatangan rombongan itu.
Nyi Ajeng Nglirip segera menyampaikan maksud
kedatangan mereka di Padepokan Jabung itu kepada
Empu Pranata. "Memang sudah saatnya Kertawardana mengenal
keluarganya sendiri", berkata Empu Pranata sambil
meminta seorang cantriknya untuk memanggil Kertawardana. "Inikah kemenakanku itu?", berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada Kertawardana yang sudah datang bergabung di
pendapa padepokan. "Kertawardana menghaturkan sembah sujud",
berkata Kertawardana penuh penghormatan setelah
diperkenalkan oleh Empu Pranata bahwa di hadapannya
itu adalah Gusti Kanjeng Ratu Gayatri, bibinya sendiri.
250 Nyi Ajeng Nglirip segera memperkenalkan rombongannya, dimana dua orang putrinya juga ikut
bersamanya. "Kakek dan nenekmu di tanah Ujung Galuh pasti
akan meresa bahagia bila saja dapat melihat dirimu",
berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada Kertawardana.
"Sayang aku yang tua ini tidak dapat menyertai
kalian", berkata Empu Pranata yang mengijinkan
Kertawardana dipertemukan dengan kakek dan
neneknya di Tanah Ujung Galuh.
Demikianlah, malam itu rombongan Nyi Ajeng Nglirip
telah diterima dan dijamu di padepokan Jabung dengan
penuh penghormatan. "Padepokan Jabung ini sangat kecil, tapi Gusti yang
Maha Agung telah memudahkan langkah kalian", berkata
Empu Pranata. "Anak muda inilah yang telah memudahkan langkah
kaki kami", berkata Nyi Ajeng Nglirip sambil tersenyum
memandang kearah Yudha Pramana dan bercerita
kepada Empu Pranata tentang kejadian yang mereka
temui di pasar Kadipaten Tuban.
"Jodoh, rejeki dan maut adalah garis yang telah
ditentukan oleh Gusti Yang Maha Agung. Tidak seorang
pun dapat memajukannya, tidak seorang pun dapat
memundurkannya dan tidak seorang pun mampu
menolaknya", berkata Empu Pranata yang sudah terlihat
sangat tua itu. Dan malam itu, rombongan Nyi Ajeng Nglirip telah
bermalam di Padepokan Jabung.
Di biliknya, Dyah Gajatri tersenyum melihat adiknya
Dyah Wiyat begitu mudahnya sudah tertidur lelap.
251 Sementara dirinya seperti
memejamkan matanya. susah sekali untuk Sebagai seorang gadis yang sudah mulai tumbuh
dewasa, ternyata Dyah Gajatri sudah mulai memahami
bahwa dirinya diam-diam telah mulai tertarik kepada
lawan jenisnya. Siapakah pemuda yang sangat beruntung itu yang
menjadi perhatian gadis putri Majapahit itu"
Siapa lagi anak muda yang selama ini sangat dekat
dengannya, siapa lagi kalau bukan guru pembimbingnya
sendiri, Gajahmada. Semakin dirinya mencoba berlari dari kenyataan,
semakin kuat perasaan itu menggoda. Sentuhan dan
perhatian Gajahmada kepadanya selalu saja menjadi
bayangan yang mengulang-ulang hadir disaat menjelang
tidurnya. Tapi semua itu hanya disimpan didalam hatinya,
sebagai rahasia hidupnya.
Perlahan, rasa penat dan lelah akhirnya telah
meruntuhkan gelisah hati putri jelita itu, Dyah Gajatri
akhirnya telah terlelap juga di samping adiknya, Dyah
Wiyat yang sudah lama tertidur, mungkin sudah lama
bermimpi berdiri di atas anjungan Jung Majapahit yang
berlayar di tengah malam di bawah sang rembulan dan
sepoi angin yang begitu dingin menyejukkan hati.
Sementara itu, sang rembulan di atas langit
padepokan Jabung terlihat belum bulat penuh, angin
dingin telah menerbangkan bunga-bunga randu yang
gugur jauh dari pohonnya. Terdengar suara burung hantu
sayup mengusik keheningan malam.
Ternyata masih ada belahan jiwa di bilik lain yang
252 gelisah di larut malam itu, sebuah hati milik seorang
pemuda yang gelisah meniti malam panjang berharap
pagi segera datang menjelang.
Di peraduannya, Kertawardana tidak juga dapat
memejamkan matanya, bukan kerinduan untuk bertemu
dengan kakek dan neneknya di Tanah Ujung Galuh, tapi
kerinduan berharap pagi akan segera datang agar dirinya
dapat melihat kembali wajah jelita Dyah Gajatri yang
begitu lembut penuh kedewasaan yang telah
membuatnya jatuh cinta dalam pandangan pertamanya
itu. "Mungkinkah aku dapat mencuri perhatiannya?",
berkata Kertawardana sambil berbaring berpangku
kepala dengan kedua tangannya.
Malam bagi Kertawardana seperti merayap perlahan,
angannya sudah jauh terbang menyusuri banyak
perjalanan dan waktu, diantara kebersamaan sang putri
pencuri hatinya itu. Perlahan, pemuda itu pun akhirnya terlena masuk
antara angan dan mimpi, terjebak dan tersesat di
belantara hutan lamunan, mengembara terbang di bawa
awan dan angin harapan dan keinginan hati.
Gelisah hati Kertawardana akhirnya terjaga oleh
penggalan suara pagi, suara ayam jantan telah
membawanya kembali dari belantara perjalanan
angannya, diatas pagi di bilik peraduannya.
Wajah pagi telah membuka pintunya.
Keceriaan dan kehangatan mengisi setiap hati semua
orang yang berada diatas panggung pendapa padepokan
Jabung yang tengah bersiap diri untuk berangkat menuju
pelabuhan Tuban. 253 "Semoga keselamatan selalu menyertai kalian",
berkata Empu Pranata yang mengiringi rombongan Nyi
Ajeng Nglirip hingga di ujung tangga pendapa.
Terlihat Empu Pranata menarik nafas dalam-dalam
manakala mata tuanya melihat terakhir kalinya punggung
rombongan itu di ujung tikungan jalan yang terhalang
sebuah rumpun bambu. Hangat cahaya pagi telah mengiringi langkah kaki
rombongan Nyi Ajeng Nglirip yang berjalan meninggalkan
Padepokan Jabung diantara pematang sawah yang luas
membentang membatasi sebuah padukuhan didepan
mata mereka. Beberapa orang warga terlihat melemparkan
pandangannya kearah rombongan itu yang beriring di
jalan padukuhan. Gajahmada, Yudha Pramana dan Kertawardana
terlihat berjalan dibelakang para wanita. Andini, Nyi
Ajeng Nglirip dan Kunti terlihat sudah saling mengenal
berjalan beriring sambil bercerita dan bercakap-cakap.
Sementara itu Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat seperti
seekor anak kijang berjalan di muka penuh canda ceria.
Awan putih diatas kepala mereka terlihat berarak
terbawa angin kadang menutupi cahaya matahari
meneduhi langkah perjalanan mereka di jalan bulakan
panjang, di perbukitan karang dan sebuah padang
ilalang. Akhirnya manakala matahari terlihat sudah bergeser
sedikit dari puncaknya, rombongan Nyi Ajeng Nglirip
terlihat sudah memasuki daerah Kadipaten Tuban.
"Sebuah kehormatan dan sanjungan tak terkira
mendapat kunjungan dari Gusti Kanjeng Ratu Gayatri",
254 berkata Ki Sayekti, seorang syahbandar pelabuhan
Tuban yang pernah bertugas di lingkungan istana
Majapahit menyambut kedatangan Nyi Ajeng Nglirip dan
rombongannya di rumah tempat tinggalnya yang tidak
begitu jauh dengan pelabuhan Tuban.
Nyi Ajeng Nglirip dan rombongannya telah
diperlakukan layaknya para tamu agung sambil
menunggu kabar datangnya jung besar Majapahit yang
malam itu akan tiba singgah di Bandar pelabuhan Tuban.
Akhirnya, di saat wayah sepi bocah, rombongan Nyi
Ajeng Nglirip terlihat telah menuju Bandar pelabuhan
Tuban karena telah mendapat kabar bahwa jung besar
Majapahit telah datang merapat.
Dan di kesunyian malam itu, perlahan terlihat jung
besar Majapahit meninggalkan dermaga kayu Bandar
pelabuhan Tuban menuju Bandar pelabuhan Tanah
Ujung Galuh. Terlihat Dyah Wiyat berdiri diatas anjungan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menikmati malam dan hembusan angin laut yang
berhembus menerbangkan rambutnya, menerbangkan
tawanya diatas deru suara ombak malam.
Temaram wajah Bandar pelabuhan Tanah Ujung
Galuh dipenuhi pelita malam terlihat dari arah lepas
pantai manakala Jung Majapahit telah menguncupkan
layarnya mendekati bibir dermaga pelabuhan.
Beberapa penumpang gelisah tidak sabar berdiri
memenuhi anjungan dan buritan merasakan jung
terbesar di jamannya itu seperti begitu lamban bergerak
menuju bibir dermaga pelabuhan.
Akhirnya, seperti bendungan air yang menemui jalan,
suasana hati beberapa penumpang seperti pecah dalam
255 sorak penuh suka cita manakala jung Majapahit
membentur dan merapat di bibir dermaga pelabuhan.
Terlihat Yudha Pramana, Kunti dan Kertawardana
berdiri mematung diatas dermaga seperti layaknya
seorang asing yang tidak tahu kemana kaki melangkah.
"Kita sudah berada di Tanah Ujung Galuh", berkata
Gajahmada kepada mereka bertiga sambil tersenyum
seperti dapat membaca apa yang ada dalam pikiran
mereka. Rombongan kecil Nyi Ajeng Nglirip terlihat telah
bergerak berjalan menjauhi dermaga mengikuti langkah
kaki Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat yang berjalan dimuka
penuh riang gembira. Penuh sukacita Jayakatwang dan Nyi Turukbali
menyambut kedatangan rombongan itu.
Bercucuran air mata penuh kebahagiaan kedua
suami istri itu manakala Kertawardana memperkenalkan
dirinya. "Kertawardana menghaturkan sembah sujud dihadapan kakek dan nenek", berkata Kertawardana
bersimpuh dihadapan kedua suami istri itu.
Lengkaplah kebahagiaan sepasang suami istri itu
yang selama ini telah mendengar bahwa masih ada garis
keturunan mereka yang masih hidup, ternyata malam itu
mereka telah dipertemukan kembali. Melihat sendiri
bahwa cucu mereka telah tumbuh dewasa sebagai
seorang pemuda yang gagah menambah kebanggaan
hati mereka. Suasana hari-hari yang sepi di pura Jayakatwang
sejak malam itu telah berganti menjadi penuh keriuhan
dalam canda dan tawa. 256 Tidak terasa malam sudah semakin larut, sementara
rembulan diatas langit malam seperti lentera penjaga
diatas pura yang berdiri indah menghadap laut malam
pantai tanah Ujung Galuh, memandang titik-titik lentera
para nelayan di sepi laut malam.
"Kulihat wajah kalian sudah begitu lelah", berkata
Jayakatwang sambil tersenyum.
Mendengar perkataan Jayakatwang membuat semua
yang hadir seperti baru menyadari bahwa hari memang
telah larut malam. Debur suara ombak di pantai Tanah Ujung Galuh
terdengar seperti irama malam, mengantar langkah
mereka naik ke peraduannya, mengantar malam dan
mimpi mereka. "Tinggallah kalian bersama kami di pura ini", berkata
Jayakatwang kepada Yudha Pramana.
"Kami masih punya seorang Paman yang tinggal di
Kademangan Maja, setelah dari sana kami akan
memikirkan kembali tawaran tuan, dimana kami akan
berdiam tinggal", berkata Yudha Pramana.
"Kamu telah menjadi penunjuk jalan ketika kami di
Jabung. Hari ini akulah yang akan menjadi penunjuk
jalan untuk kalian", berkata Gajahmada kepada Yudha
Pramana menawarkan dirinya.
Demikianlah, pagi itu Gajahmada telah mengantarkan
Yudha Pramana bersama istrinya ke Kademangan Maja,
sebuah Kademangan yang berada di ujung Kotaraja
Majapahit. Sebuah Kademangan yang tengah berkembang seiring perkembangan Kotaraja Majapahit.
Terlihat mereka bertiga telah menyeberangi Sungai
Kalimas. 257 "Sebuah Kotaraja yang sangat indah dan ramai",
berkata Yudha Pramana manakala mereka bertiga telah
menyusuri jalan Kotaraja Majapahit yang di sepanjang
jalan dipenuhi bangunan rumah yang megah dengan
pilar-pilar kayu yang tinggi berukir indah.
Akhirnya mereka bertiga telah memasuki sebuah
padukuhan di Kademangan Maja.
"Sejak Pangeran Jayanagara menjadi Raja Muda di
Kediri, kalian tidak pernah kutemui memasuki padukuhan
ini", berkata Ki Bekel yang telah mengenal Gajahmada.
"Kakang Putu Risang sekarang telah kembali ke
kampung halamannya di Balidwipa. Sementara aku
sendiri belakangan ini banyak menetap di Tuban",
berkata Gajahmada kepada Ki Bekel itu.
"Mudah-mudahan aku dapat membantu kepentingan
kalian", berkata Ki Bekel yang seperti sudah dapat
menebak kedatangan mereka ke rumahnya itu pasti ada
sebuah kepentingan. "Saudaraku ini tengah mencari seorang pamannya
yang tinggal disekitar Kademangan Maja ini", berkata
Gajahmada kepada Ki Bekel.
"Siapa nama pamanmu itu, hampir semua orang di
Kademangan Maja ini aku mengenalnya", berkata Ki
Bekel. "Namanya Ki Sayuti", berkata Yudha Pramana
menyebut nama pamannya. "Ki Sayuti asli dari Bangkalan?", berkata Ki Bekel
sambil menceritakan cirri-ciri orang yang dikenalnya itu.
"Benar, pamanku memang seorang pandai besi",
berkata Yudha Pramana membenarkan cirri-ciri yang
disampaikan oleh Ki Bekel.
258 Terlihat Ki Bekel seperti terdiam, beberapa kali
menarik nafas panjang. "Apa yang terjadi pada diri pamanku?", bertanya
Yudha Pramana bercuriga melihat sikap Ki Bekel itu.
"Aku mengenal pamanmu itu, seorang yang sangat
berani", berkata Ki Bekel dan berdiam kembali.
"Apa yang terjadi pada diri pamanku itu?", bertanya
kembali Yudha Pramana. "Manakala kerajaan Majapahit belum berdiri seperti
sekarang ini, telah datang para perusuh dari Kediri di
Padukuhan ini. Pamanmu dan beberapa lelaki di
Padukuhan ini telah menghadang para perusuh itu",
berkata Ki Bekel kembali berhenti seperti tengah
mengenang peristiwa yang sudah lama lewat itu di dalam
ingatannya. "Apa yang terjadi atas diri pamanku?", bertanya
kembali Yudha Pramana. "Pamanmu adalah satu-satunya lelaki yang masih
selamat dalam kejadian itu, telah berhasil melarikan diri
mencari bantuan para prajurit Raden Wijaya di hutan
Maja", berkata Ki Bekel bercerita."Para perusuh akhirnya
dapat di pukul mundur meninggalkan padukuhan ini oleh
para prajurit Raden Wijaya. Namun dalam pertempuran
itu, pamanmu telah terluka amat parah. Hingga akhirnya
kami tidak dapat menyelamatkannya, pamanmu telah
menghembuskan nafas terakhirnya", berkata kembali Ki
Bekel melanjutkan ceritanya.
"Jadi, pamanku telah tiada?", berkata
Pramana sambil menahan kesedihan hatinya.
Yudha "Pamanmu telah tiada, menjadi bebanten padukuhan
ini", berkata Ki Bekel sambil menarik nafas panjang,
259 merasa kasihan memandang pemuda itu.
"Beberapa hari kemudian, bibimu jatuh sakit dan
menyusul suaminya dipanggil juga oleh Pemiliknya",
berkata kembali Ki Bekel.
"Bibiku juga telah tiada?", berkata Yudha Pramana
seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya itu.
"Kami ikut berduka atas semua yang menimpa
paman dan bibimu itu", berkata Ki Bekel dengan suara
perlahan. "Mari kuantar kalian ke rumah pamanmu itu, selama
ini kami menjaganya semua barang peninggalannya
berharap suatu waktu datang sanak keluarganya",
berkata kembali Ki Bekel.
Maka tidak lama berselang, terlihat Gajahmada,
Yudha Pramana dan Kunti telah mengikuti langkah Ki
Bekel menuju rumah pamannya Yudha Pramana yang
telah tiada itu. Mereka telah memeriksa dan melihat-lihat rumah
milik paman Yudha Pramana.
"Bolehkah aku membawa barang ini?", berkata
Yudha Pramana sambil mengambil sebuah clurit pendek
yang bergagang kayu hitam berukir kepala ular sangat
halus buatannya. "Kamu adalah kemenakannya, semua barang di
rumah ini telah menjadi milikmu", berkata Ki Bekel
kepada Yudha Pramana. "Terima kasih telah menjaga isi rumah ini, aku hanya
akan membawa clurit milik pamanku ini, selebihnya
kuserahkan kepada Ki Bekel", berkata Yudha Pramana.
260 Demikianlah, Gajahmada, Yudha Pramana dan
istrinya akhirnya berpamit diri kepada Ki Bekel untuk
kembali ke Tanah Ujung Galuh.
Ketika mereka sampai di pura Tanah Ujung Galuh,
semua yang mereka dengar tentang peristiwa yang
menimpa padukuhan Maja itu telah mereka ceritakan
kembali kepada Jayakatwang.
Terlihat Jayakatwang menarik nafas dalam-dalam,
matanya seperti berkaca-kaca. Didalam pikirannya
seperti terkumpul semua kenangan semasa dirinya
menjadi Raja Kediri, mengenang kekelaman jiwanya di
masa lalu. "Diperjalanan kami telah membicarakan masakmasak, memutuskan untuk menerima tawaran tuan.
Kami akan tinggal di Pura Tanah Ujung Galuh ini",
berkata Yudha Pramana membuyarkan lamunan
Jayakatwang. "Kami menyambut gembira keputusan kalian untuk
tinggal bersama kami", berkata Jayakatwang sambil
tersenyum kepada Yudha Pramana dan Kunti.
Tidak lama berselang dari pintu pliridan muncul
Nyimas Turukbali dan Nyi Ajeng Nglirip diikuti oleh dua
orang putrinya. Nampaknya mereka ikut menyambut gembira
mendengar keputusan Yudha Pramana dan istrinya
untuk tinggal bersama di pura Jayakatwang.
"Dimana Kertawardana?", bertanya Gajahmada yang
tidak melihat Kertawardana ada diantara mereka.
"Katanya ingin melihat-lihat suasana
Majapahit", berkata Nyimas Turukbali.
Kotaraja 261 "Mudah-mudahan tahu jalan
Gajahmada sambil tersenyum.
pulang", berkata Sementara itu, jauh di sebuah tempat di Lamajang di
sebuah pemukiman baru disekitar hutan Randu Agung,
berita tentang rencana penobatan para Dharmaputra dan
dua adipati di Bojonegoro dan Banger telah terdengar di
telinga Arya Wiraraja dan Kuda Anjampiani, dua orang
pelarian Majapahit yang telah berganti nama dan jati
dirinya sebagai Ki Randu Agung dan putranya Randu
Mas. "Majapahit seperti tengah mengayomi seluruh aliran
agama lewat penobatan para Dharmaputra", berkata
Randu Mas kepada Ki Randu Agung.
"Sanggrama Wijaya seorang yang sangat cerdas,
merangkul seluruh aliran agama di tanah Jawa agar tidak
menjadi sebuah kekuatan baru yang dapat mengganggu
roda pemerintahannya", berkata Ki Randu Agung memuji
kecerdasan Raja Majapahit.
"Sanggrama Wijaya seperti tahu, sudah mendahului
kita melangkah", berkata Randu Mas dengan wajah
putus asa. "Selalu masih ada jalan, janganlah membuatmu
mudah putus asa", berkata Ki Randu Agung tersenyum
melihat cucunya penuh keputus asaan.
"Dulu kakeklah yang telah mengajarkan bagaimana
Raja Jayakatwang menghancurkan Singasari. Kakek
pula yang mengajarkan Sanggrama Wijaya merebut
kembali tahtanya dari Raja Jayakatwang. Cucumu
percaya bahwa kakek belum menjadi tua untuk membuat
jalan menghancurkan Majapahit", berkata Randu Mas
kepada kakeknya Ki Randu Agung.
262 "Para Dharmaputra adalah manusia seperti kita",
berkata Ki Randu Agung sambil tersenyum.
"Cucumu belum dapat mengikuti jalan pikiran kakek",
berkata Randu Mas dengan penuh penasaran.
"Rakyan Kuti dan Rakyan Semi adalah dua orang
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putra Lamajang, kita dapat mendekati mereka berdua",
berkata Ki Randu Agung. "Kita mendekati mereka berdua untuk berdiri
bersama kita menghancurkan Majapahit?", bertanya
Randu Mas mencoba membaca jalan pikiran kakeknya
itu. "Benar, nampaknya kamu sudah dapat membaca apa
yang aku pikirkan", berkata Ki Randu Agung.
"Rakyan Kuti masih kemenakan Patih Mangkubumi,
apakah kita dapat mendekatinya?", bertanya Randu Mas
penuh keraguan. "Justru dengan mendekati Rakyan Kuti, kita seperti
punya senjata bermata dua. Disisi lain sebagai kekuatan
baru yang akan mengancam kekuatan Majapahit. Disisi
lain akan merusak hubungan antara Patih Mangkubumi
dengan rajanya, Sanggrama Wijaya", berkata Ki Randu
Agung dengan wajah seperti seorang pemikir ulung yang
telah mendapatkan sebuah jalan terang.
"Ternyata Kakekku belum setua yang kupikirkan,
masih dapat berpikir dengan penuh kecemerlangan",
berkata Randu Mas mengagumi jalan pikiran kakeknya
itu. "Kesabaran, itulah jalan yang akan mengantar kita
menghancurkan musuh kita", berkata Ki Randu Agung.
263 "Pengikut aliran Rakyan Kuti dan Rakyan Semi
adalah dua aliran terbesar di Lamajang ini, bagaimana
kita dapat mempengaruhi mereka?", berkata Randu Mas.
"Kita bangun sebuah aliran lain diluar mereka, kita
buat mereka cemburu seakan-akan Majapahit telah
menganak emas-kan aliran baru itu", berkata Ki Randu
Agung menyampaikan buah pikirannya.
"Sebuah cara yang sangat hebat", berkata Randu
Mas kembali memuji jalan pikiran kakeknya itu.
Sementara itu hari di atas rumah kediaman Ki Randu
Agung telah terlihat mulai redup, matahari di musim
kering itu telah mulai gelisah bersembunyi di balik batang
pohon randu tua yang tumbuh di pojok kiri pagar
halaman mereka. "Orang-orang baru pulang dari ladangnya menanam
bibit palawija di bulan Kartika ini. Saat yang baik untuk
kita menanam benih-benih permusuhan di tanah
Majapahit ini. Besok aku akan pergi untuk waktu yang
cukup lama ke Tanah Gelang-gelang menemui seorang
kenalanku seorang Brahmana", berkata Ki Randu Agung
sambil menatap keluar pagar halaman melihat beberapa
petani pulang dari ladangnya.
Bulan Kartika di hari ke lima belas.
Pagi itu suasana di tiap perempatan jalan di Kotaraja
Majapahit dipenuhi dupa, bunga dan janur, sebagai
pertanda bahwa hari itu diistana akan dilaksanakan
sebuah upacara besar. Dari setiap padukuhan, tua muda, laki-laki dan wanita
terlihat berduyun-duyun keluar bersatu dan bertemu di
jalan utama menjadi sebuah iringan panjang menuju
istana Majapahit. 264 Iring-iringan warga terlihat telah berkumpul tumpah
ruah di lapangan alun-alun di muka istana Raja.
Hampir semua orang mengenakan pakaian serba
putih saat itu telah membuat gembira hati Baginda Raja
Sanggrama Wijaya yang sudah duduk diatas batu keling
untuk menyaksikan jalannya sebuah upacara besar,
wisuda penobatan tujuh orang Dharmaputra dan dua
orang Adipati baru di Bojonegoro dan Banger.
Semua mata terlihat memandang ke muka panggung
utama, melihat Patih Mangkubumi dengan suara yang
lantang telah membacakan sebuah kekancingan,
menyebut nama tujuh Dharmaputra yang dianugerahi
Baginda Raja Sanggrama Wijaya sebagai pejabat istana
mewakili tujuh aliran suci di tanah Majapahit Raya.
Semua mata masih memandang ke muka panggung
utama, mendengar Patih Mangkubumi membacakan
sebuah kekancingan untuk dua orang Adipati baru,
Buntar Lawe dan Menak Jingga sebagai perwakilan
tangan raja di wilayah Bojonegoro dan Banger.
Hening suasana semua orang manakala seorang
pendeta telah memercikkan air suci sebagai pertanda
restu dari para dewa telah memberkati para wisudawan.
Semua orang nampaknya dengan penuh suka cita
mengikuti jalannya upacara wisuda itu yang diakhiri
dengan sebuah perjamuan besar.
"Pada bulan ke tiga di tahun ini, kami akan
melakukan jiarah ke Tanah Singasari, kuharap kalian
dapat berkenan ikut bersama kami", berkata Baginda
Raja Sanggrama Wijaya kepada Nyi Ajeng Nglirip dan
dua orang putrinya di saat perjamuan.
265 Terlihat Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat memandang
kearah ibunda mereka, seperti tengah menunggu dengan
hati penuh pengharapan. "Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat pasti akan gembira
jiarah ke tanah leluhurnya", berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada suaminya, Raja Sanggrama Wijaya.
Terlihat wajah Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat penuh
kegembiraan mendengar jawaban langsung ibundanya
itu. "Jagalah ibunda kalian", berbisik Baginda Raja
Sanggrama Wijaya kepada Dyah Gajatri dan Dyah Wiyat
manakala hendak meninggalkan mereka bertiga untuk
menemui beberapa orang tamu lainnya yang datang dari
berbagai penjuru tanah Majapahit Raya.
Dan di sudut lain di perjamuan besar itu, terlihat
Gajahmada penuh suka cita bertemu dengan dua orang
sahabat lamanya, Raja Muda Jayanagara dan
Adityawarman yang datang dari Tanah Kediri bersama
Patih Mahesa Amping. "Ternyata aku punya seorang sepupu", berkata Raja
Muda Jayanagara kepada Kertawardana yang diperkenalkan oleh Gajahmada.
"Kami akan gembira bilamana kalian datang ke
Tanah Kediri", berkata Adityawarman kepada Gajahmada
dan Kertawardana. Sebagai para sahabat lama, mereka pun saling
bercerita banyak hal sejak perpisahan mereka yang
cukup lama itu. Perjamuan yang melimpah, pertemuan yang
menyenangkan. Namun harus berakhir dalam sebuah
perpisahan. 266 Semua orang seperti tidak pernah melupakannya,
semua orang warga Majapahit merasa pengukuhan para
Dharmaputra sebagai sebuah kepedulian Baginda Raja
Sanggrama Wijaya atas kemerdekaan hakiki manusia
atas jiwa keTuhanannya. Kemerdekaan beragama, kemerdekaan berkarya.
Dan Majapahit sudah seperti sebuah bahtera besar yang
siap berlayar mengarungi jagad raya dan berdiri sama
tinggi diantara para bangsa-bangsa di dunia.
Kemakmuran anak nagari, keamanan di rumah dan
diperjalanan telah menjadi pemandangan kehidupan
orang Majapahit. Dan upeti agung setiap tahun datang
mengalir dari berbagai penjuru wilayah mengisi
perbendaharaan kerajaan Majapahit.
Hingga pada akhir bulan ketiga di tahun itu dimana
para petani sudah memanen palawija dan telah bersiap
menanam padi gaga, beberapa mata air mulai berisi,
kapuk mulai berbuah dan burung kecil mulai bertelur dan
bersarang. Dalam suasana seperti itulah terlihat sebuah
iring-iringan Raja Sanggrama Wijaya telah keluar dari
istana Majapahit. Empat kereta kencana yang indah diiringi sepasukan
prajurit berkuda di depan dan dibelakangnya membuat
semua orang berdiri dan menunggu di depan pagar
rumahnya di setiap padukuhan yang terlewati.
Sebagaimana janjinya, Baginda Raja Sanggrama
Wijaya telah berkenan untuk jiarah dan tapak tilas ke
tanah candi leluhurnya, bumi Singasari sebagai tanda
bakti dan tanda syukur atas karunia yang melimpah.
Nyi Ajeng Nglirip bersama kedua putrinya berada
disalah satu kereta kencana. Sementara Gajahmada dan
267 Kertawardana telah berada diantara para pasukan
berkuda. Dan pagi bersama mega-mega putih yang cerah
mengiringi rombongan Raja Sanggrama Wijaya yang
telah mulai jauh meninggalkan Kotaraja Majapahit,
memasuki sebuah bukit dan padang hijau penuh bunga
warna-warni seperti wajah dan senyum para gadis
perawan, begitu segar dan menyejukkan hati.
Bulan sabit melengkung di awal langit malam.
Rombongan penguasa Majapahit itu terlihat tengah
memasuki Kademangan Simpang.
Gemerlap obor menerangi sepanjang jalan Kademangan bersama para warga yang berdiri berjajar
penuh suka cita menyambut iring-iringan pasukan
berkuda yang berjalan perlahan dibelakang empat kereta
kencana. "Selamat datang anak muda", berkata seorang lelaki
tua diatas kudanya kepada Gajahmada.
"Senang bertemu denganmu, wahai Ki Putut
Prastawa", berkata Gajahmada yang telah mengenal
lelaki itu sebagai seorang pemimpin pasukan
Bhayangkara. "Aku akan membawa rombongan ke tempat
kediaman Ki Demang Simpang", berkata lelaki tua yang
dipanggil sebagai Ki Putut Prastawa itu mengajak
Gajahmada mengikuti dirinya.
Diam-diam Gajahmada memuji kesiapan para prajurit
Bhayangkara yang terlihat berdiri di antara para warga
menjadi pagar hidup yang siap bergerak setiap saat bila
terjadi hal yang dapat membahayakan keselamatan
268 junjungan mereka, Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan
keluarganya. Siapa gerangan Ki Putut Prastawa itu"
Dahulu, lelaki tua seusia Patih Mangkubumi itu
adalah seorang putut yang sangat setia di Padepokan
Empu Nambi di Lamajang. Di awal perjuangan Baginda
Raja Sanggrama Wijaya membangun kerajaan
Majapahit, banyak jasa dan pengorbanan-nya. Itulah
sebabnya beliau telah dipercayakan oleh Baginda Raja
Sanggrama Wijaya memimpin pasukan Bhayangkara,
sebuah pasukan pengawal istana yang bertugas
menyelamatkan dan melindungi Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan keluarganya.
"Patih Mangkubumi banyak bercerita tentang dirimu",
berkata Ki Putut Prastawa kepada Gajahmada yang
berkuda beriring disebelahnya.
"Semoga bukan mengenai keburukanku", berkata
Gajahmada sambil tersenyum kearah Ki Putut Prastawa.
"Patih Mangkubumi telah memuji dirimu yang telah
berhasil merintis jalan pasukan Majapahit menuju
Tuban", berkata Ki Putut Prastawa.
"Patih Mangkubumi terlalu berlebihan, siapapun
dapat melakukannya", berkata Gajahmada.
"Tapi kamu telah melakukannya, sebaik dan
sesempurna seorang prajurit perwira", berkata Ki Putut
Prastawa. "Aku merasa tersanjung, mendapat kepercayaan dari
Patih Mangkubumi", berkata Gajahmada.
Tidak terasa ternyata iring-iringan rombongan Raja
Majapahit itu telah berada di muka sebuah rumah yang
cukup megah dan kokoh. Rumah seorang Demang yang
269 telah disiapkan untuk tempat bermalam bagi Baginda
Raja Sanggrama Wijaya dan keluarganya.
Terang benderang cahaya pelita yang menerangi
halaman dan pendapa rumah Ki Demang Simpang.
Tergopoh-gopoh beberapa orang menyambut Raja
Sanggrama Wijaya dan keluarganya untuk naik keatas
pendapa yang sudah disiapkan.
"Besok pagi Baginda Raja dan keluarganya akan
berangkat ke Kotaraja Singasari. Ditengah malam aku
akan berangkat mendahului rombongan. Apakah kamu
bersedia menjadi teman di perjalananku itu?", berkata Ki
Putut Prastawa kepada Gajahmada.
"Disini aku tidak terikat oleh apapun, sementara
berada diatas kuda mengiringi kereta kencana yang
lambat sangat membosankan", berkata Gajahmada
menyetujui permintaan lelaki tua itu untuk menemaninya
berkuda di tengah malam mendahului rombongan Raja
dan keluarganya. Terlihat Raja dan keluarganya satu persatu
memasuki pakiwan untuk bersih-bersih dan kembali ke
pendapa untuk menikmati perjamuan malam yang telah
disiapkan. Sementara itu Ki Putut Prastawa telah menemui
beberapa prajurit bawahannya memastikan kesiapan
para pasukan pengawal Raja dan keluarganya itu.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puas dan gembira hati Ki Demang dan para sesepuh
melihat Baginda Raja dan keluarganya menikmati
perjamuan malam itu. "Tersanjung diri kami segenap warga Kademangan
Simpang menjadi singgahan tuanku Paduka Baginda
270 Raja memijakkan kaki di Kademangan ini", berkata Ki
Demang di hadapan Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Aku mengenal setiap jalan di Kademangan Simpang
ini, mengenal kegelapan hutan Simpang ini bersama
pasukanku yang tidak pernah tidur menunggu pasukan
musuh. Dan hari ini aku datang kembali disaat masa
damai tanpa peperangan dan kegelisahan. Inilah
perjamuan yang paling nikmat selama hidupku,
menikmati hidangan yang lengkap sambil mengenang
jaman dan masa sulit yang pernah kami hadapi dan
alami disekitar hutan Kademangan Simpang ini", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya dengan wajah penuh
kebahagiaan. Diam-diam Gajahmada seperti tengah merenungi,
siapa saja ksatria Majapahit yang ikut berjuang bersama
orang nomor satu di kerajaan Majapahit itu.
Ternyata Ayah angkatnya, Patih Mahesa Amping
pernah bercerita banyak mengenai sebuah pertempuran
pasukannya di hutan Simpang itu. Patih Mahesa Amping
pernah bercerita kepadanya bagaimana kesaktian Empu
Nambi dan Baginda Raja yang dengan kekuatannya
telah dapat menumbangkan begitu banyak pepohonan
besar dan berhasil membuat panik pasukan musuh yang
tewas seketika tertimpa batang pohon besar yang
tumbang diantara barisan mereka.
"Terima kasih untuk semua perjamuan ini", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya sambil bangkit berdiri
diikuti oleh semua yang hadir di atas panggung pendapa
kediaman Ki Demang Simpang itu dan memberi jalan
kepada Baginda Raja dan keluarganya memasuki
peraduannya masing-masing.
271 PKPM-04 BULAN SABIT melengkung di langit malam.
Dua orang penunggang kuda terlihat telah
menyelinap di gelap malam menjauhi Kademangan
Simpang. Temaram cahaya malam menyinari wajah kedua
penunggang kuda itu yang ternyata adalah Ki Putut
Prastawa dan Gajahmada yang telah mendahului
rombongan Raja dan keluarganya ke arah jalan menuju
Kotaraja Singasari. "Disaat pagi gelap kita sudah berada di Kotaraja
Singasari", berkata Ki Putut Prastawa diatas punggung
kudanya kepada Gajahmada.
"Berkuda di tengah malam memang sangat
menyenangkan", berkata Gajahmada sambil merasakan
angin sejuk dingin berhembus lewat di wajahnya.
"Seperti inilah tugas para prajurit Bhayangkara,
memastikan perjalanan Raja dan keluarganya tidak
mendapatkan gangguan dan rintangan apapun", berkata
Ki Putut Prastawa sambil tersenyum memandang ke
muka. "Kulihat Ki Putut Prastawa sangat menikmatinya",
berkata Gajahmada sambil menoleh menatap wajah Ki
Putut Prastawa yang tidak pernah mengeluh dan
bersusah hati itu. "Dulu aku melayani keluarga Empu Nambi dan
keluarganya, sekarang aku melayani Raja dan
keluarganya. Dimanapun dan kepada siapapun aku
mengabdi, kuanggap sebagai jalan hidupku, sebagai
sebuah laku di dunia ini", berkata Ki Putut Prastawa
masih tetap tersenyum dan wajah memandang kearah
272 kedepan. "Aku yang muda ini perlu belajar banyak dari Ki Putut
Prastawa", berkata Gajahmada yang diam-diam memuji
cara pandang dan cara menyikapi kehidupannya.
"Menjadi apapun itu tidak penting, yang terpenting
adalah menikmati dan mewataki lakon apapun yang
ditugaskan oleh sang dalang", berkata Ki Putut Prastawa
sambil tersenyum menoleh kearah Gajahmada seperti
tengah menguji sejauh mana pemahaman anak muda itu
tentang nilai-nilai kehidupan.
"Apakah yang Ki Putut Prastawa maksudkan bahwa
kita harus bersatu tunduk dan patuh mensyukuri jalan
kehidupan yang diberikan oleh yang mempunyai
kehidupan ini?", berkata Gajahmada.
"Seperti itulah kita memandang kehidupan ini, wahai
anak muda", berkata Ki Putut Prastawa memuji tingkat
pemahaman Gajahmada. "Seperti Sidharta Gautama yang keluar dari
kehidupan istana, menghambakan dirinya sepanjang
hidupnya", berkata Gajahmada
"Jarang sekali anak muda yang sudah mapan
memahami arti sang Budha dan penghambaan dirinya,
dan malam ini aku bertemu dengan salah seorang anak
muda itu", berkata Ki Putut Prastawa merasa semakin
menyukai anak muda yang berkuda bersamanya itu.
"Aku orang muda perlu banyak petunjuk dari orang
tua", berkata Gajahmada.
Entah mengapa Gajahmada seperti merasa orang
tua yang tengah berada diatas punggung kuda itu
bukanlah orang biasa, tapi seorang yang sudah begitu
mumpuni pencerahan bathinnya.
273 "Bila kamu ingin mendengar petunjukku, bergabunglah bersamaku di pasukan Bhayangkara ini", berkata Ki
Putut Prastawa sambil tersenyum memandang kearah
Gajahmada seperti menunggu apa yang akan diucapkan
oleh anak muda itu. "Dengan senang hati, aku menerima dan mendengar
petunjukmu, wahai orang tua", berkata Gajahmada
seperti tidak terbebani apapun.
"Tidakkah kamu sadari, bahwa selama ini dirimu telah
menjadi seorang prajurit Bhayangkara. Bukankah kamu
telah menemani Putra Mahkota Majapahit mengembara
di Tanah Pasundan?", berkata Ki Putut Prastawa.
"Raja Muda Kediri itu adalah sahabatku", berkata
Gajahmada. "Itulah jati diri seorang prajurit Bhayangkara yang
sudah kamu miliki, melindungi Raja dan keluarganya
sebagaimana seorang sahabat", berkata Ki Putut
Prastawa. "Aku orang muda perlu banyak bimbingan darimu",
berkata Gajahmada. "Jangan merendahkan dirimu dihadapanku, Patih
Mangkubumi telah banyak bercerita kepadaku tentang
dirimu. Kamulah Putra Mahkota sang Budha Sidharta
Gautama yang telah meninggalkan istana Rakata.
Pencitraan sang Budha telah menitis di dalam jiwamu.
Dan aku merasa bangga hadir dan ada bersamamu di
malam ini, besok dan di sisa hidupku", berkata Ki Putut
Prastawa dengan kesungguhan hati.
"Aku orang muda perlu banyak bimbingan darimu",
berkata Gajahmada. "Seorang dirimu sudah melebihi cahaya apapun,
274 kamulah sang matahari itu yang akan membawa
kegemilangan Kerajaan Majapahit ini", berkata Ki Putut
Prastawa yang telah melihat Gajahmada tidak dengan
kasat matanya, tapi dengan penglihatan bathinnya.
"Terima kasih untuk semua kepercayaan dan
harapanmu, namun aku yang muda ini masih perlu
banyak bimbingan darimu", berkata Gajahmada.
"Tidak sulit menjadi seorang prajurit Bhayangkara.
Pegang kendali kudamu dan jangan jauh dariku", berkata
Ki Putut Prastawa sambil menghentakkan kakinya di
perut kudanya, seketika itu juga kudanya seperti terkejut
dan langsung melompat kedepan dan berlari kencang.
"Aku akan tetap di dekatmu, wahai orang tua",
berkata Gajahmada sambil ikut menghentakkan kudanya
agar berlari mengejar kuda Ki Putu Prastawa yang sudah
terbang terpacu di depannya.
Terlihat dua orang penunggang kuda tengah berpacu
di tanah jalan keras membelah udara malam. Diam-diam
Gajahmada memuji kemahiran Ki Putut Prastawa diatas
kudanya. Meski sudah begitu tua, tapi masih sangat
tangkas dan gagah berdiri diatas punggung kudanya.
Di sebuah jalan yang membelah sebuah hutan, Ki
Putut Prastawa telah melambatkan jalan kudanya.
"Aku ingin melihat apakah mereka masih terjaga di
tengah malam ini", berkata Ki Putut Prastawa kepada
Gajahmada sambil mengambil batu apinya dan
memercikkannya tinggi-tinggi diatas kepalanya beberapa
kali. Terlihat sinar percikan api yang sama di beberapa
tempat muncul di kegelapan malam.
Tahulah Gajahmada bahwa ternyata di jalan yang
275 membelah sebuah hutan ada beberapa prajurit yang
terus berjaga sepanjang malam. Hingga akhirnya mereka
telah memasuki sebuah jalan yang dibatasi oleh dua
buah tebing tinggi. Kembali Ki Putut Prastawa memercikkan batu apinya.
Kembali balasan percikan api yang sama terlihat muncul
dari atas dua tebing itu sebagai pertanda diatas sana
juga sudah di penuhi para prajurit Majapahit.
"Para prajurit Bhayangkara telah memagari
sepanjang perjalanan antara Kademangan Simpang ke
Kotaraja Singasari", berkata Ki Putu Prastawa tersenyum
diatas punggung kudanya yang terus berjalan melangkah
diiringi kuda Gajahmada yang berjalan bersamanya.
Akhirnya seperti yang dikatakan oleh Ki Putut
Prastawa, di ujung pagi mereka berdua memang telah
memasuki gerbang batas kotaraja Singasari.
Angin sejuk dingin menyambut mereka berdua di
tanah berbukit di bawah kaki Gunung Arjuna itu.
Pagi masih buta, kerlip puluhan pelita malam seperti
hiasan bintang memenuhi perbukitan dari rumah para
penduduk yang masih belum terbangun dari tidurnya.
"Kotaraja Singasari mulai terbangun kembali",
berkata Ki Putut Prastawa manakala mereka sudah
berada di jalan utama Kotaraja Singasari yang masih
sepi di pagi itu. Terlihat Ki Putut Prastawa dan Gajahmada turun dari
kudanya manakala mereka telah berada di depan regol
gerbang istana Singasari.
Dua orang prajurit Majapahit menyapa mereka yang
ternyata adalah dua orang anak buah Ki Putut Prastawa
dari pasukan Bhayangkara yang sudah dua tiga hari
276 berada di Istana Singasari.
"Pihak penguasa di istana Singasari ini nampaknya
sangat gembira mendengar rencana kedatangan
Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan keluarganya,
setelah beristirahat Ki Putut Prastawa dapat melihat
persiapan yang telah mereka lakukan di istana ini",
berkata salah seorang p kepada prajurit melaporkan
beberapa hal kepada Ki Putut Prastawa tentang
kesiapan yang dilakukan oleh pihak tuan rumah
sehubungan dengan kunjungan Raja Majapahit itu.
"Mari kuantar ke tempat untuk beristirahat", berkata
seorang prajurit lainnya mengajak Ki Putut Prastawa dan
Gajahmada untuk mengikutinya.
Terlihat Ki Putut Prastawa dan Gajahmada tengah
berjalan di belakang seorang prajurit Majapahit yang
membawanya menuju ke belakang istana.
Di keremangan pagi yang masih gelap itu,
Gajahmada masih dapat melihat sisa reruntuhan
beberapa bangunan yang nampaknya telah terbakar.
Sejak penyerangan para prajurit Jayakatwang yang
berhasil memporak-porandakan istana, merampok
seluruh barang-barang berharga di dalamnya serta
membumi hanguskannya, sisa reruntuhan istana
Singasari seperti dibiarkan begitu saja. Terlihat rumput
liar dan tanaman merambat tumbuh subur menutupi
hampir di setiap tempat. Namun ketika Raden Wijaya
merebut kekuasaan dari tangan Raja Jayakatwang dan
membangun kerajaan baru Majapahit, roda pemerintahan
di Kotaraja Singasari di percayakan kepada Tumenggung
Mahesa Pukat, seorang mantan senapati Singasari yang
sangat setia yang juga salah satu gurunya ketika masih
berada di Padepokan Bajra Seta.
277 Tumenggung Mahesa Pukat berhasil membangun
kembali Kotaraja Singasari, memberikan jaminan
keamanan dan keberanian para warganya kembali dari
pengungsian dan bersama membangun kotaraja
Singasari. Namun Tumenggung Mahesa Pukat belum
berani membangun kembali istana Singasari karena
belum ada mandat dari Raja Majapahit untuk menunjuk
seseorang yang akan menjadi raja muda disana.
Dan pagi itu langit sudah menjadi terang diatas istana
Singasari. Setelah beristirahat sejenak, Ki Putut
Prastawa telah mengajak Gajahmada untuk melihat-lihat
suasana disekitar istana. "Inilah Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya, satu-satunya bangunan yang tidak
terjamah oleh amuk para prajurit Jayakatwang", berkata
Ki Putut Prastawa kepada Gajahmada seperti dapat
membaca apa yang dipikirkan oleh anak muda itu
manakala melihat sebuah bangunan yang utuh tidak
terbakar sebagaimana bangunan yang lainnya di
lingkungan istana itu. "Ratu Anggabhaya dan putranya yang bernama
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lembu Tal telah dapat mempertahankan dan melindungi
keluarga istana di Pasanggrahannya hingga datangnya
pasukan Raden Wijaya kembali ke istana Singasari",
berkata kembali Ki Putut Prastawa seperti mengingat
kembali suasana peperangan di masa lalu dimana dirinya
menjadi bagian dari pasukan Raden Wijaya bersama
Empu Nambi yang kala itu masih dikenal sebagai
seorang Guru suci dari Lamajang dengan nama Ki
Sandikala sebagai nama samarannya.
"Ratu Anggabaya dan Pangeran Lembu Tal pastinya
seorang yang sakti mandraguna", berkata Gajahmada
dalam hati membayangkan suasana peperangan dan
amuk para prajurit Jayakatwang yang tidak dapat
278 menembus pertahanan Pasanggrahan Ratu Anggabhaya
untuk waktu yang cukup lama.
"Gusti Kanjeng Ratu Gayatri yang masih belia saat itu
dapat selamat dari amuk pasukan Jayakatwang karena
berlindung di Pasanggrahan ini", berkata kembali Ki Putut
Prastawa. Mendengar Ki Putut Prastawa menyebut nama Gusti
Kanjeng Ratu Gayatri, maka pikiran Gajahmada seperti
terbang membayangkan wanita perkasa yang telah
berganti nama sebagai Nyi Ajeng Nglirip itu pastinya
seorang wanita yang punya tingkat tataran ilmu
kanuragan cukup tinggi dimana dapat menyeberang dan
menerobos pagar hidup pasukan Jayakatwang untuk
bergabung di pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Namun lamunan Gajahmada akhirnya terjaga
manakala di kejauhan dilihatnya seorang lelaki yang
sudah cukup berumur dengan wajah dan tubuh terlihat
masih begitu gagah tengah datang menghampiri mereka
berdua. Dari caranya berjalan yang terlihat begitu ringan dan
sangat teratur sebagai pertanda bahwa lelaki gagah itu
pastilah seorang ahli kanuragan yang sangat terlatih.
"Mengapa hanya berdiri di muka regol Pasanggrahan?", berkata lelaki itu kepada Ki Putut
Prastawa sambil tersenyum ramah.
"Aku belum berani masuk sebelum ada ijin dari Ki
Tumenggung", berkata Ki Putut Prastawa seperti telah
mengenal lelaki gagah itu yang ternyata adalah Ki
Tumenggung Mahesa Pukat. "Mari kita masuk bersama, aku bukan pemiliknya,
hanya kebetulan diberikan kepercayaan untuk 279 menjaganya", berkata Tumenggung
kepada Ki Putut Prastawa.
Mahesa Pukat Terlihat mereka bertiga telah masuk ke Pasanggrahan Ratu Anggabhaya dan langsung naik ke
pendapanya. Bukan main gembiranya Tumenggung Mahesa Pukat
manakala telah diperkenalkan Gajahmada sebagai putra
angkat Mahesa Amping. Wajah lelaki yang sangat
tampan itu terlihat sangat ramah dan senang menatap
Gajahmada dalam-dalam. "Sejak menjadi seorang Patih di Kediri, aku tidak
pernah lagi bertemu dengan ayah angkatmu itu", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat kepada Gajahmada.
"Beliau hanya sebentar berada di Kotaraja Majapahit
di saat penobatan para Dharmaputra", berkata
Gajahmada bercerita tentang perjumpaannya dengan
Patih Mahesa Amping, ayah angkatnya itu.
"Melihat dirimu, aku seperti melihat kembali Mahesa
Amping dimasa mudanya. Bahagia diriku melihat cambuk
pendek itu melingkar di pinggangmu", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat sambil menatap kearah
cambuk yang melingkar terikat di pinggang Gajahmada.
"Cambuk pendek ini pemberian dari ayah angkatku
sendiri", berkata Gajahmada sambil melepas cambuk
pendeknya dan menyerahkan kepada Tumenggung
Mahesa Pukat seperti dapat membaca apa yang
diinginkan oleh lelaki yang sudah berumur itu.
"Aku mengenal cambuk ini, karena memang buah
tanganku sendiri. Jaga dan peliharalah cambuk ini",
berkata Tumenggung Mahesa Pukat sambil menyerahkan kembali cambuk di tangannya kepada
280 Gajahmada. Langit senja terlihat melingkungi tanah berbukit yang
hijau. Senja di kotaraja Singasari sangatlah elok, terutama
ketika pandangan mata kita tertuju kearah gunung biru
disebelah barat Kotaraja itu yang tinggi menjulang ke
langit seperti lukisan alam yang indah memanjakan mata
siapapun yang memandangnya.
Terlihatlah di senja itu, empat buah kereta kencana
diiringi pasukan berkuda tengah memasuki Kotaraja
Singasari. Para warga yang sudah sejak petang menunggu
terlihat bersorak gembira melihat rombongan raja dan
keluarganya itu muncul. Kedatangan raja dan
keluarganya telah menanamkan sebuah kebanggaan
warga Kotaraja Singasari, mereka bangga bahwa
kerajaan Majapahit yang besar itu telah diperintah oleh
orang Tumapel. Dan hari itu Raja dan keluarga
kebanggaan mereka telah datang berkunjung ke
kampung halamannya sendiri.
Iring-iringan rombongan Raja dan keluarganya
terlihat menjadi semakin panjang, warga Kotaraja
berduyun-duyun ikut mengiringi di belakang pasukan
berkuda berjalan menuju istana Singasari.
"Paman Guru Mahesa Pukat", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya manakala turun dari kereta kencana
langsung menghampiri dan memeluk Tumenggung
Mahesa Pukat yang masih berdiri mematung merasa
terharu bahwa seseorang cantrik bimbingannya itu telah
menjadi seorang penguasa Agung yang sangat di
hormati di Tanah Jawa itu.
281 "Jangan permalukan dirimu dihadapan orang banyak,
kamu adalah seorang Raja Agung", berkata Tumenggung
Mahesa Pukat berbisik kepada Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Aku tidak mempermalukan diriku, semua orang hari
ini harus mengetahui bahwa berkat bimbingan Paman
Guru lah aku ada seperti sekarang ini", berkata Baginda
Raja Sanggrama Wijaya perlahan melepas pelukannya.
"Mari kuantar Tuanku untuk beristirahat", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat sambil berjalan mengiringi
Baginda Raja menuju Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Tak kuasa Baginda Raja menahan rasa haru
manakala memasuki Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Terbayang masa-masa kecilnya dalam pelukan kakek
dan ayah tercintanya, Ratu Anggabhaya dan Pangeran
Lembu Tal. Tidak terasa, langit senja perlahan menghilang.
Wajah bumi perlahan mulai menjadi gelap.
Namun obor, oncor dan pelita malam telah
menerangi halaman dan pendapa Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya di istana Singasari itu. Menerangi suasana
kegembiraan hati Raja dan keluarganya yang tengah
beristirahat di pendapa Pasanggrahan yang masih utuh
tidak terbakar amuk para pasukan Jayakatwang
beberapa tahun yang silam, utuh dan tidak berubah
seperti ketika Baginda Raja Sanggrama Wijaya pernah
ada di masa kecilnya. "Aku melihat Kotaraja Singasari sudah mulai
berkembang, sudah mulai menata kehidupannya
kembali", berkata Baginda Raja kepada Tumenggung
Mahesa Pukat. 282 "Para warga Kotaraja Singasari telah menata
kehidupannya kembali dengan sebuah kebanggaan
bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di Tanah Jawa ini
telah diwarisi oleh pewarisnya yang syah, keluarga istana
Tumapel ini", berkata Tumenggung Mahesa Pukat
dengan wajah bahagia bahwa Baginda Raja telah
melihat langsung suasana Kotaraja Singasari.
Akhirnya pembicaraan mereka meningkat
permasalahan pembangunan istana Singasari.
ke "Malam ini ada sembilan Akuwu ingin datang
menghadap tuanku Paduka", berkata Tumenggung
Mahesa Pukat. "Adakah hal penting yang ingin mereka sampaikan
kepadaku?", bertanya Baginda Raja.
"Bila Tuanku berkenan, mereka berharap bahwa ada
seorang Raja Muda yang dapat mengisi kekosongan
Istana Singasari. "Panggillah mereka, aku akan perkenankan
permohonan mereka", berkata Baginda Raja kepada
Tumenggung Mahesa Pukat. Tidak lama berselang, datanglah kesembilan para
akuwu itu menghadap Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Tumenggung Mahesa
Pukat, mereka memohon perkenan Baginda Raja
Sanggrama Wijaya untuk mengangkat seorang Raja
Muda di istana Singasari.
"Kuperkenankan permohonan kalian, setiba di
Kotaraja Majapahit akan kubicarakan bersama Patih
Mangkubumi, siapa gerangan yang paling tepat duduk di
singgasana Singasari ini", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya kepada kesembilan Akuwu yang
283 datang menghadap itu. Dan malam perjamuan besar pun berlangsung
hingga jauh malam. Puas hati Tumenggung Mahesa
Pukat melihat Baginda Raja dan keluarganya menikmati
perjamuan. Puas pula hati kesembilan para Akuwu
mendengar langsung perkenan Baginda Raja atas
permohonan mereka untuk mengangkat seorang Raja
Muda di istana Singasari.
"Di Tahun depan aku akan datang kembali ke istana
Singasari ini, dan aku berharap istana Singasari ini dapat
di bangun kembali seperti masa-masa jayanya dulu",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Mohon doa dan restu Tuanku Baginda, semoga kami
dapat membangun istana Singasari ini sesuai dengan
keinginan Tuanku Paduka", berkata Tumenggung
Mahesa Pukat dengan penuh kehormatan.
Sementara itu hari sudah mulai larut malam, Baginda
Raja Sanggrama Wijaya terlihat berdiri untuk memasuki
tempat peraduannya. Dengan penuh kehormatan semua orang di
panggung pendapa pasanggrahan ratu Anggabhaya
terlihat ikut berdiri. Dan panggung pendapa yang terang
benderang itupun terlihat lengang, malam telah semakin
senyap. Pagi putih cerah dibawah tatapan sang surya di ujung
timur bumi seperti menerangi wajah gunung Arjuna yang
membentengi ujung barat Kotaraja Singasari yang sejuk
berhawa perbukitan hijau.
Raja dan keluarganya terlihat tengah berdoa di
astana pura tempat perabuan leluhur mereka, Sang
Rajasa Ken Arok. 284 Para warga Singasari ikut membakar dupa, ikut
berdoa sebagai tanda bakti dan kecintaan mereka
kepada Sang pendiri Kerajaan Singasari yang
dipercayakan sebagai titisan dewa Syiwa yang turun ke
bumi. Gapura candi astana pura tempat perabuan Rajasa
Ken Arok dicandikan terlihat kembali lengang manakala
Raja dan keluarganya telah berlalu pergi kembali ke
istana Singasari. "Paduka Raja dan keluarganya siang ini akan
berkeliling melihat-lihat suasana Kotaraja dan padukuhan
di sekitarnya", berkata Ki Putut Prastawa kepada
Gajahmada."Mari kita melihat kesiapan para prajurit
Bhayangkara di beberapa tempat yang akan disinggahi
oleh Paduka Raja dan keluarganya.
Demikianlah, Ki Putut Prastawa dan Gajahmada
sudah terlihat berjalan menyusuri jalan Kotaraja
Singasari, melihat suasana pasar Kotaraja yang masih
ramai, juga menyusuri jalan kearah padukuhan disekitar
Kotaraja Singasari yang di pastikan akan disinggahi oleh
Paduka Raja dan keluarganya.
Dalam hati, Gajahmada memuji para prajurit
Bhayangkara yang diam-diam sudah berada di tempattempat tersembunyi membaur dengan keramaian.
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Begitu setianya para prajurit Bhayangkara melindungi Raja dan keluarganya", berkata Gajahmada dalam
hati manakala melihat kesiapan para prajurit
Bhayangkara yang telah siap bertindak disaat yang tepat
bilamana terjadi hal-hal yang tidak diinginkan untuk
melindungi Raja dan keluarganya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Putut Prastawa,
siang itu Raja dan keluarganya telah keluar dari istana
285 Singasari untuk melihat-lihat suasana Kotaraja Singasari
serta beberapa padukuhan di sekitarnya.
Raja Sanggrama Wijaya dan keluarganya terlihat
hanya berjalan kaki dengan pengawalan beberapa
prajurit pengawal. Penghormatan warga Singasari kepada rajanya
terlihat begitu agung, di jalan-jalan Kotaraja dan
siapapun dirinya langsung bersujud tidak berani
mengangkat wajah mereka manakala iring-iringan Raja
dan keluarganya lewat di hadapan mereka.
Kunjungan Raja dan keluarganya di hari itu di
beberapa tempat di sekitar Kotaraja Singasari seperti
tidak rusak dan tercela oleh hal-hal yang tidak diinginkan.
Tanah Singasari yang berbukit dan teduh sepanjang hari
itu karena dirimbuni banyak pepohonan besar seperti
tidak membuat lelah Raja dan keluarganya singgah dari
satu padukuhan ke padukuhan lainnya di sekitar Kotaraja
Singasari. "Terima kasih telah memulihkan suasana di Singasari
ini", berkata Raja Sanggrama Wijaya penuh suka cita
kepada Tumenggung Mahesa Pukat melihat gemah ripah
suasana Singasari yang mulai terbangun.
"Paman Gurumu ini tidak sendiri, terutama dalam
memulihkan suasana keamanan di wilayah Singasari ini.
Ada Ki Gede dari Tanah Perdikan Bajra Seta bersama
para cantriknya yang telah banyak membantu menjaga
ketentraman di seluruh wilayah Singasari ini", berkata
Tumenggung Mahesa Pukat. "Paman Guru Mahesa Mukti?", bertanya Baginda
Raja Sanggrama Wijaya mengingat sebuah nama lain
dari Mahesa Mukti yang sekarang lebih banyak dikenal
sebagai Ki Gede Bajra Seta karena telah di hadiahkan
286 tanah Perdikan di masa pemerintahan Raja Kertanagara
atas jasa-jasanya. "Para gembong perampok akan berpikir ulang untuk
membuat ulah di wilayah Singasari ini karena harus
berhadapan dengan Ki Gede dan para cantriknya",
berkata Tumenggung Mahesa Pukat.
"Para cantrik Padepokan Bajra Seta sejak dulu
banyak berperan menjaga keamanan di bumi Singasari",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Para prajurit di beberapa kesatuan di Singasari ini
banyak berasal dari Padepokan Bajra Seta, bahkan putra
tunggal Ki Gede sendiri telah ikut bergabung menjadi
pemimpin pasukan khusus, seorang pemuda yang punya
masa depan yang hebat bernama Mahesa Dharma",
berkata Tumenggung Mahesa Pukat.
"Artinya tongkat kepemimpinan di bumi Majapahit ini
sudah dapat di berikan kepada para angkatan muda.
Kebesaran sebuah kerajaan bukan bagaimana kita
membesarkannya, tapi bagaimana kita membangun para
angkatan muda untuk dapat menggantikan kita yang
pasti akan tua dan mati", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya penuh kegembiraan mendengar
penuturan dari Tumenggung Mahesa Pukat tentang
kemunculan para angkatan muda di bumi Singasari itu.
"Secepatnya aku akan memutuskan siapa angkatan
muda yang akan ditempatkan sebagai Raja Muda di
istana Singasari ini", berkata kembali Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Sayang sekali kehadiran Tuanku Baginda tidak lama
di Singasari ini, bila lebih lama lagi, mungkin aku dapat
mengundang Ki Gede Bajra Seta untuk datang ke
Kotaraja Singasari ini", berkata Tumenggung Mahesa
287 Pukat. "Sampaikan salam baktiku kepadanya, semoga di
tahun depan aku akan lebih lama lagi berada di tanah
kelahiranku ini", berkata Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Salam tuanku Baginda akan kusampaikan bila
berjumpa dengannya", berkata Tumenggung Mahesa
Pukat. Demikianlah, guru dan murid itu, Tumenggung
Mahesa Pukat dan Raja Sanggrama Wijaya saling
bercerita tentang kenangan mereka berdua manakala
berada di Padepokan Bajra Seta beberapa tahun yang
silam. Juga berbicara banyak hal tentang Singasari di
masa yang akan datang. "Terima kasih telah menemaniku di malam ini",
berkata Baginda Raja kepada Tumenggung Mahesa
Pukat yang telah menuruni anak tangga pendapa
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya untuk pamit mengundurkan diri karena hari telah jauh malam.
Semilir angin malam yang sejuk berhembus perlahan
memenuhi istana Singasari yang sunyi.
Dan angin pagi pun akhirnya telah datang bersama
suara nyanyian burung-burung yang riang terbang di
bawah hangatnya sang surya menatap wajah istana
Singasari yang telah terbangun.
Empat kereta kencana yang ditarik oleh kuda-kuda
pilihan terlihat di halaman istana Singasari.
"Senang bertemu denganmu, wahai putra guruku",
berkata Baginda Sanggrama Wijaya kepada seorang
pemuda bersama Tumenggung Mahesa Pukat.
"Ayahanda sering bercerita tentang Tuanku Paduka",
288 berkata pemuda tampan itu yang ternyata adalah
Mahesa Dharma, putra Ki Gede Bajra Seta.
"Sampaikan salamku kepada Ayahandamu", berkata
Baginda Raja sambil tersenyum.
Mahesa Dharma dan Tumenggung Mahesa Pukat
terlihat membalas lambaian tangan Baginda Raja
Sanggrama Wijaya yang telah berada di atas kereta
kencananya. Empat kereta kencana terlihat sudah mulai bergerak
perlahan melewati gerbang regol istana diiringi oleh
pasukan berkuda. Warna pagi yang cerah bersama hawa sejuk tanah
berbukit kotaraja Singasari seperti mengantar putranya,
sang Baginda Raja penguasa Tanah Majapahit Raya
keluar dari gerbang batas kotaraja Singasari.
"Mari kita menyisir jalan di belakang iring-iringan
Baginda Raja", berkata seorang pemimpin prajurit
Bhayangkara manakala melihat rombongan Baginda
Raja Majapahit telah melewati sebuah jalan yang diapit
oleh dua buah tebing curam.
Hari telah bergeser mendekati siang yang terik
manakala rombongan Baginda Raja Sanggrama Wijaya
tengah melewati jalan yang diapit oleh sebuah hutan
belantara. Terlihat beberapa prajurit Bhayangkara tengah
berkemas untuk meninggalkan tempat penjagaannya
setelah sekitar tiga hari tiga malam mereka berada di
sekitar hutan itu berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak
diinginkan yang mungkin akan mengganggu perjalanan
Baginda Raja dan keluarganya kembali ke Kotaraja
Majapahit. 289 Dan manakala wajah senja terlihat tengah
bergantung di langit bening, rombongan Raja dan
keluarganya itu telah memasuki wilayah Kademangan
Simpang. Tergopoh-gopoh terlihat beberapa pelayan wanita
dan pria datang dan kembali menyiapkan perjamuan
Baginda Raja dan keluarganya yang telah berada diatas
pendapa rumah Ki Demang Simpang.
Ternyata telah datang beberapa pemimpin dari
Kademangan terdekat ikut menyambut kedatangan
Baginda Raja dan keluarganya. Banyak hadiah yang
mereka persembahkan kepada Baginda Raja dan
keluarganya. Sementara itu di luar pagar halaman rumah Ki
Demang, dua orang terlihat tengah menuntun kudanya
mencoba menembus dan melewati kerumunan para
warga Kademangan Simpang.
Dua orang penuntun kuda itu memang tidak menjadi
pusat perhatian para warga di muka pagar halaman
rumah Ki Demang Simpang, namun tidak lepas dari mata
seorang lelaki pemimpin pasukan Bhayangkara yang
tidak pernah melepas pandangannya mengikuti kemana
arah jalan dari kedua penunggang kuda itu.
"Kita bayangi kedua orang itu", berkata Ki Putut
Prastawa kepada Gajahmada.
Kedua orang penuntun kuda itu sudah terlihat
melewati kerumunan para warga Kademangan Simpang
di muka pagar rumah Ki Demang. Dan dengan sigap
terlihat keduanya telah melompat duduk diatas punggung
kuda masing-masing. Manakala kedua penunggang kuda itu telah melewati
290 regol Kademangan Simpang. Terlihat dua ekor kuda
mengikuti jalan mereka. "Tuan Pendeta, nampaknya ada yang ingin
berkenalan dengan diri kita", berkata seorang lelaki tua
sambil tersenyum menghentikan kudanya di sebuah
jalan. Orang yang di panggil dengan sebutan tuan pendeta
itupun ikut menghentikan kudanya sambil membalikkan
arah muka kudanya. Ternyata lelaki tua yang bersama pendeta itu punya
daya pendengaran sangat tajam, mengetahui bahwa ada
orang lain mengikuti perjalanan mereka.
"Semoga mata tuaku ini tidak salah melihat orang,
apakah diriku ini berhadapan dengan salah seorang
putra Lamajang yang bernama Ki Putut Prastawa?",
berkata lelaki tua itu sambil tersenyum manakala dua
orang berkuda di belakang mereka itu telah
mendekatinya. "Tersanjung diri ini bahwa seorang besar seperti tuan
Arya Wiraraja masih mengenal diriku", berkata salah
seorang penunggang kuda yang mengikuti dari belakang
yang ternyata adalah Ki Putut Prastawa bersama
Gajahmada. "Aku memang sudah tua, tapi masih tetap mengenali
para putra Lamajang yang saat ini ada diantara manisnya
madu para penguasa Majapahit", berkata lelaki tua yang
ternyata adalah Arya Wiraraja.
Terkejut Gajahmada manakala mengetahui bahwa
salah seorang yang tengah diikuti itu ternyata bernama
Arya Wiraraja, seorang yang pernah berkuasa di
Kadipaten Songinep, ayahanda dari Ranggalawe.
291 "Maaf bila kami mengusik perjalanan tuan Arya
Wiraraja, kami hanya sekedar memastikan bahwa
kehadiran tuan Arya Wiraraja di Kademangan Simpang
ini hanya sebuah kebetulan saja", berkata Ki Putut
Prastawa kepada Arya Wiraraja yang masih duduk di
punggung kudanya. "Banyak hal kebetulan terjadi di dunia ini, terutama
kehadiran kalian dihadapanku akan dapat menyusahkan
hari-hariku", berkata Arya Wiraraja
"Setahuku, seekor harimau tua tidak akan pernah
berhenti berburu", berkata Ki Putut Prastawa.
"Kamu benar, seekor harimau tua tidak akan pernah
berhenti berburu. Apalagi hari ini ada dua ekor anjing
pengawal yang melihat kehadiranku, terpaksa aku harus
membungkam mulut kalian selama-lamanya", berkata
Arya Wiraraja sambil turun dari kudanya.
"Tuan Arya Wiraraja, aku masih menghormatimu",
berkata Ki Putut Prastawa ikut turun dari kudanya.
"Tuan Arya Wiraraja, Ki Putut Prastawa sangat
menghormatimu. Akulah lawanmu, bukankah tuan ingin
membungkam mulut kami berdua?", berkata Gajahmada
yang sudah lebih cepat maju menghadapi Arya Wiraraja.
Tanpa sengaja tatapan mata Arya Wiraraja beralih
kearah anak muda dihadapannya itu, bukan main
terkejutnya Arya Wiraraja manakala pandangan matanya
membentur mata Gajahmada yang dirasakannya seperti
begitu kuat dan tajam. "Apa hubunganmu, wahai anak muda dengan Patih
Mahesa Amping?", bertanya Arya Wiraraja kepada
Gajahmada yang dilihatnya melilitkan sebuah cambuk
pendek di pinggangnya. 292 "Aku putra angkatnya", berkata Gajahmada dengan
penuh ketenangan. "Ternyata banyak tumbuh pohon muda di pagar
rumah tuan Majapahit", berkata Arya Wiraraja sambil
meloloskan sebuah celurit senjata andalannya.
Melihat Arya Wiraraja telah meloloskan senjata
andalannya itu, Gajahmada telah melepaskan cambuk
pendeknya pula dari pinggangnya.
"Aku ingin melihat, apakah kamu sudah mewarisi
cambuk sakti ayah angkatmu itu", berkata Arya Wiraraja
sambil langsung menerjang kearah Gajahmada dengan
Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senjata andalannya yang melengkung itu. Bukan main
terkejutnya Arya Wiraraja mendapati lawan mudanya
ternyata begitu cepat dapat bergerak keluar dari
terjangannya. Tahulah dirinya bahwa anak muda itu telah memiliki
kemampuan cukup tinggi. Maka segera dirinya membuat
serangan lanjutan dengan meningkatkan tataran ilmunya
lebih dahsyat dari serangan pertamanya.
Namun kembali gerakan anak muda itu telah
membuat Arya Wiraraja seperti dibuat malu di hadapan
kawan seperjalanannya itu yang ikut tidak berkedip
melihat dua buah serangan Arya Wiraraja dapat
dihindarkan dengan begitu mudahnya.
Melihat dua buah serangannya dapat dihindarkan
dengan mudahnya, telah membuat Arya Wiraraja seperti
kain minyak yang mudah terbakar langsung menyusul
dengan sebuah serangan yang telah dilambari ilmu
puncaknya. Terlihat wajah Ki Putut Prastawa seperti terpaku,
meski pernah mendengar ketinggian ilmu Gajahmada
293 namun tetap masih menyangsikan apakah anak muda itu
dapat menghadapi orang tua itu yang telah
menyerangnya dengan ilmu puncaknya.
Ternyata Gajahmada dapat merasakan hawa
serangan ketiga Arya Wiraraja yang sangat begitu kuat
dan dahsyat menerjangnya.
Terbelalak mata Ki Putut Prastawa melihat
Gajahmada kali ini bukan hanya menghindar tapi sudah
balas menyerang dengan menghentakkan cambuk
pendeknya terasa ikut menggetarkan dadanya yang
sudah mundur menjauhi arena pertempuran itu.
"Ternyata ketinggian ilmu anak muda ini bukan hanya
cerita isapan jempol belaka", berkata Ki Putut Prastawa
dalam hati merasakan hentakan cambuk pendek
Gajahmada meski berdiri beberapa langkah dari arena
pertempuran itu. "Jangan besar kepala dengan suara cambukmu itu",
berkata Arya Wiraraja sambil melambari dirinya dengan
tenaga sakti sejatinya ketika merasakan suara cambuk
Gajahmada seperti sebuah palu besar menghimpit
dadanya dan langsung membuat serangan balasan lebih
dahsyat lagi. Terlihat Gajahmada seperti telah membaca
jangkauan angin serangan Arya Wiraraja yang datang
mendahului senjata ditangannya dan Gajahmada sudah
langsung meloncat tinggi langsung membalas serangan
tidak kalah dahsyatnya dengan melecutkan ujung
cambuk pendeknya kearah tubuh Arya Wiraraja.
Kecepatan serangan Gajahmada yang tak terduga itu
telah membuat Arya Wiraraja langsung melejit
kesamping. 294 Namun suara hentakan cambuk Gajahmada tetap
saja terasa seperti sebuah himpitan batu besar di dada
Arya Wiraraja. Ternyata Gajahmada telah menambah
tenaga sakti sejatinya lebih tinggi lagi dari sebelumnya.
Terlihat Arya Wiraraja telah memutar senjata
celuritnya dengan begitu cepatnya bermaksud membuat
angin serangan dahsyat yang menyambar begitu cepat
kearah tubuh Gajahmada. Namun mata Gajahmada seperti mampu melihat
serangan kasat mata itu sudah langsung bergeser
dengan kecepatan yang begitu sangat luar biasa.
Terbelalak mata Arya Wiraraja melihat tubuh
Gajahmada berputar begitu cepatnya, sebentar berada di
hadapannya, sekejap sudah berada di sampingnya.
Entah bagaimana caranya, Arya Wiraraja telah
melihat ujung cambuk Gajahmada telah membelit
senjatanya dan tanpa daya dan kemampuan apapun
merasakan daya tarik yang amat begitu kuat telah
menghentak menarik senjatanya yang seketika itu juga
terlepas dari tangannya dan sudah berpindah tangan di
dalam genggaman tangan Gajahmada.
"Ujung cambukku ini dapat melukai dirimu dari arah
manapun yang kusuka", berkata Gajahmada yang berdiri
tegap, tangan kanannya masih memegang pangkal
cambuk pendeknya, sementara tangan lainnya terlihat
tengah menggenggam senjata milik Arya Wiraraja.
"Silahkan kamu pilih mana bagian tubuhku yang
paling cepat mengantar kematianku", berkata Arya
Wiraraja dengan sikap layaknya seorang ksatria
mengakui keunggulan lawan mudanya.
"Tuan Arya Wiraraja, demi ayah angkatku Patih
295 Mahesa Amping yang sangat mencintai
dan menghormatimu sebagai ayah kandungnya sendiri, aku
tidak akan membunuhmu. Kami akan membiarkan dirimu
pergi dan tidak akan mengatakan kepada siapapun
bahwa telah melihat dirimu di sekitar Kademangan
Simpang ini", berkata Gajahmada sambil mendekati Arya
Wiraraja dan memberikan kembali senjatanya.
"Terima kasih telah mengampuni selembar nyawa
tuaku ini, sampaikan salam rinduku kepada ayah
angkatmu. Katakan kepadanya bahwa aku juga sangat
mencintainya sebagaimana aku mencintai putraku,
saudara angkatnya yang telah tiada, Ranggalawe",
berkata Arya Wiraraja sambil menerima kembali
senjatanya dari tangan Gajahmada.
Terlihat Gajahmada dan Ki Putut Prastawa masih
duduk diatas punggung kudanya sambil memandang dua
orang penunggang kuda yang semakin menjauh dan
menghilang di kegelapan malam.
"Mari kita kembali ke rumah Ki Demang", berkata Ki
Putut Prastawa mengajak Gajahmada untuk kembali ke
rumah Ki Demang Simpang. Kuda-kuda Gajahmada dan
Ki Putut Prastawa terlihat sudah memasuki jalan
Kademangan Simpang. "Ternyata pandangan Ki Patih Mangkubumi tidak
salah menjadikan dirimu sebagai pengganti diriku yang
sudah tua ini", berkata Ki Putut Prastawa sambil
tersenyum kearah anak muda di sebelahnya yang telah
disaksikan dengan mata kepalanya sendiri adalah
seorang yang berilmu begitu sangat tinggi yang dengan
begitu mudahnya mengalahkan seorang seperti Arya
Wiraraja. "Aku belum dapat mengerti arah perkataan Ki Putut
296 Prastawa", berkata Gajahmada
"Beberapa pekan sebelum keberangkatan Baginda
Raja dan keluarganya, aku telah menyampaikan
permintaan mengundurkan diri dari tugas pemimpin
prajurit Bhayangkara. Dan Ki Patih Mangkubumi telah
mengabulkan permintaanku serta menunjuk dirimulah
yang akan menggantikan kedudukanku ini", berkata Ki
Putut Prastawa menjelaskan kembali perkataannya itu.
"Jadi Ki Putut Prastawa memang telah merencanakan semua ini, mengajak diriku dalam
perjalanan tengah malam bukan sekedar sebagai kawan
sepi?", berkata Gajahmada.
"Benar, sahabat muda. Aku memang sengaja
membawamu dalam tugas-tugasku agar dirimu
mengetahui apa yang harus dilakukan oleh seorang
pemimpin prajurit Bhayangkara", berkata Ki Putut
Prastawa sambil tersenyum."Aku yakin bahwa dirimu
dapat bekerja lebih baik dariku", berkata kembali Ki Putut
Prastawa. Terlihat Gajahmada menarik nafas panjang, seperti
tengah menerawangi garis hidupnya, menyusuri kembali
perjalanan hidupnya dari waktu ke waktu.
Tengah malam terasa dingin dan sepi di
Kademangan Simpang. Bulan sabit melengkung di langit
malam. Dua ratus pasukan berkuda terlihat seperti bayangan
hantu malam telah bergerak keluar dari Kademangan
Simpang kearah jalan menuju Kotaraja Majapahit.
Mereka adalah para prajurit Bhayangkara yang akan
bertugas sebagai pagar hidup membayangi penjagaan
perjalanan Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan
keluarganya yang akan kembali ke Kotaraja Majapahit
297 keesokan harinya. "Nampaknya, inilah malam perjalanan tugas
terakhirku", berkata Ki Putut Prastawa kepada
Gajahmada diatas punggung kudanya tengah berjalan di
kegelapan malam yang dingin.
"Aku ikut berdoa untuk kebahagiaan Ki Putut
Prastawa mengisi masa-masa purnabhakti bersama
keluarga di Lamajang", berkata Gajahmada kepada
orang tua itu. "Terima kasih, pintu rumahku akan selalu terbuka di
Lamajang untukmu. Datang dan singgahlah", berkata Ki
Putut Prastawa kepada Gajahmada.
Semilir angin malam yang dingin berhembus
menyapu wajah Gajahmada dan Ki Putut Prastawa yang
masih tetap berjalan melihat kesiapan para prajurit
Bhayangkara yang sudah berada di tempat penjagaan
masing-masing di sepanjang jalan arah menuju Kotaraja
Majapahit. "Wajahmu terlihat pucat pasi seperti telah melihat
dedemit penunggu jalan ini", berkata Ki Putut Prastawa
seperti dapat langsung membaca wajah salah seorang
anak buahnya yang tengah berjaga di sebuah jalan di
tepi sebuah hutan. "Aku tidak melihat dedemit, tapi sudah dua kali ini
mendengar suara si embah", berkata prajurit itu
menyebut harimau sebagai si embah.
"Berdoalah, semoga ada anak kijang yang tersesat
malam ini yang akan jadi santapan malam harimau itu
ketimbang daging tubuhmu", berkata Ki Putut Prastawa
sambil turun dari kudanya dan berjaga menemani prajurit
itu yang merasa terhibur dengan kehadiran Gajahmada
298 dan Ki Putut Prastawa. Diam-diam Gajahmada memuji sikap kesabaran Ki
Putut Prastawa yang dapat mengerti perasaan anak
buahnya dan tidak membuat jarak antara pemimpin dan
anak buahnya. Nampaknya selama ini mereka telah
membaur seperti layaknya sebuah keluarga yang besar,
keluarga prajurit Bhayangkara.
Hingga ketika warna langit mulai memerah sebagai
pertanda sang fajar sudah terbangun di ujung timur bumi,
terlihat Ki Putut Prastawa dan Gajahmada tengah
berkemas untuk melanjutkan perjalanan mereka kembali
kearah jalan menuju Kotaraja Majapahit.
"Nampaknya si embah sudah kenyang menikmati
makan malamnya", berkata Ki Putut diatas punggung
kudanya kepada prajuritnya.
Angin malam di awal pagi itu terasa begitu
menyegarkan berhembus lembut mengusap wajah
mereka berdua, Ki Putut Prastawa dan Gajahmada yang
tengah berkuda menyusuri jalan tanah yang keras.
Matahari pagi sudah menyembul di ujung timur bumi,
manakala Ki Putut Prastawa dan Gajahmada telah
berada tidak jauh lagi dari Kotaraja Majapahit. Terlihat
mereka berhenti di sebuah kelompok penjagaan terakhir
para prajurit Bhayangkara.
Tidak ada yang menyangka bahwa lima orang yang
tengah duduk-duduk di galengan sebuah sawah dan
sebuah gubuk itu adalah para prajurit Bhayangkara.
Mereka berlima memang sengaja berpakaian sebagaimana layaknya seorang petani agar penyamaran
Pendekar Pengejar Nyawa 5 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Pedang Kiri Pedang Kanan 2