Pencarian

Para Ksatria Penjaga Majapahit 5

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 5


mereka benar-benar murni tidak diketahui oleh orangorang yang bermaksud kurang baik kepada Baginda
Raja dan keluarganya. 299 "Adakah yang kalian temui yang mungkin
mencurigakan?", bertanya Ki Putut Prastawa kepada
kelima prajuritnya itu. "Kami tidak menemui apapun, hanya ada tiga orang
pemburu yang baru pulang melintas di jalan ini", berkata
salah seorang prajurit Bhayangkara itu.
"Bagus, semoga tugas kita hari ini dapat selesai
tanpa ada hambatan dan gangguan apapun", berkata Ki
Putut Prastawa kepada para prajuritnya.
"Benih-benih jagung tumbuh subur", berkata
Gajahmada melihat hamparan benih jagung yang baru
tumbuh diatas sebuah gubuk bersama Ki Putut Prastawa.
"Membuat pikiran dan lamunan ini pergi jauh di harihari purnabakti sebagai seorang prajurit", berkata Ki
Putut Prastawa ikut memandang hamparan tanaman
jagung yang mulai tumbuh itu.
"Menanam bibit tanaman,
berbuah", berkata Gajahmada.
menjaganya hingga "Adalah kebahagiaan yang tidak dapat di beli oleh
apapun manakala melihat bibit yang kita tanam tumbuh
dan berbuah", berkata Ki Putut Prastawa.
"Tugas seorang petani adalah menanam dan
memeliharanya, hasil atau tidaknya kita pasrahkan
kepada yang punya kekuasaan tertinggi, pemilik alam ini
sendiri", berkata Gajahmada.
"Ternyata aku berhadapan dengan seorang
penghapal kitab tatwa, kupasan pertama tentang sikap
seorang Brahmana untuk memulai memasuki alam
pengembaraan bathin", berkata Ki Putut Prastawa yang
juga memahami kitab tatwa.
"Banyak orang memahami kasta sebagai perbedaan
300 lahir, sementara lahiriah di mata pemilik hidup ini adalah
sama dan sederajat. Kasta yang sebenarnya adalah
tingkat pemahaman dan pencapaian diri menuju
pengenalan hakekat hidup jati diri yang sebenarnya",
berkata Gajahmada seperti layaknya seorang pendeta
bijak. "Kamu benar, anak muda. Nampaknya kita punya
pemahaman yang sama tentang hakekat laku hidup ini",
berkata Ki Putut Prastawa penuh kebanggaan
memandang Gajahmada sebagai seorang anak muda
bukan hanya punya kesaktian ilmu yang tinggi, tapi
pemahaman ilmu bathinnya juga seperti menggantung
diatas langit yang tinggi dan sangat dalam hingga di
bawah dasar samudera raya.
Matahari putih tergantung di lengkung langit biru
menerangi wajah bumi. Perlahan sang surya merayap bergeser menjaga
sang kala di keabadian hari meniti jembatan waktu.
Hari telah berada di ujung senja manakala
rombongan Baginda Raja dan keluarganya terlihat telah
mendekati batas gerbang Kotaraja Majapahit.
"Selesai sudah tugas kita hari ini", berkata Ki Putut
Prastawa kepada Gajahmada sambil berkemas diri untuk
meninggalkan penjagaan terakhir para prajurit Bhayangkara. "Kita masih harus menunggu sepuluh
orang terakhir prajurit Bhayangkara yang tersisa",
berkata kembali Ki Putut Prastawa.
Diam-diam Gajahmada memuji kesetiaan pemimpin
pasukan Bhayangkara itu yang penuh perhatiannya
menunggu sepuluh prajurit terakhirnya.
301 Akhirnya, sepuluh prajurit terakhir yang ditunggu
telah datang. Bersama mereka langsung bergerak
memasuki Kotaraja Majapahit. "Terima kasih telah
menemaniku, wahai anak muda", berkata Ki Putut
Prastawa kepada Gajahmada manakala mereka telah
berada di muka pintu gerbang istana Majapahit.
Gajahmada mendapat kabar bahwa Nyi Ajeng Nglirip,
dua orang putrinya dan Kertawardana telah mendahuluinya kembali ke Tanah Ujung Galuh. Maka
setelah menyerahkan kudanya kepada seorang pekatik
istana, terlihat Gajahmada telah berpamit diri kepada Ki
Putut Prastawa untuk segera kembali ke tanah Ujung
Galuh. "Persiapkan dirimu untuk memegang tongkat kendali
pasukan Bhayangkara ini", berkata Ki Putut Prastawa
kepada Gajahmada. "Semoga aku dapat melaksanakannya sebaik Ki
Putut Prastawa", berkata Gajahmada.
"Aku yakin bahwa kamu dapat lebih baik lagi dari apa
yang pernah kulakukan", berkata Ki Putut Prastawa
dengan penuh senyum. Demikianlah, terlihat Gajahmada
telah berjalan meninggalkan Kotaraja Majapahit menuju
Tanah Ujung Galuh. "Kukira kamu tersasar lupa mencari arah jalan
pulang", berkata Jayakatwang penuh senyum gembira
menyambut kedatangan Gajahmada di pendapa
Pasanggrahannya. Kepada Jayakatwang, Gajahmada langsung bercerita
tentang perjalanannya bersama Ki Putut Prastawa
melihat langsung bagaimana para prajurit Bhayangkara
bertugas menjaga Baginda Raja dan keluarganya.
302 "Prajurit Bhayangkara adalah prajurit pilihan yang
terbaik. Seandainya aku masih seorang Raja, aku akan
bangga bilamana mempunyai seorang pemimpin prajurit
Bhayangkara seperti dirimu", berkata Jayakatwang
kepada Gajahmada ketika mendengar tentang dirinya
yang akan bertugas menggantikan Ki Putut Prastawa
memimpin pasukan Bhayangkara. "Perlu sebuah
kesetiaan yang tinggi, dan aku begitu yakin bahwa kamu
telah memiliki kesetiaan itu untuk Rajamu", berkata
kembali Jayakatwang. Burung belibis pengembara terlihat turun memenuhi
tanah berair sebagai pertanda awal musim penghujan
sudah mulai datang di langit Kotaraja Majapahit.
Dan pagi itu langit diatas istana Majapahit terlihat
begitu cerah setelah sepanjang malam diguyur hujan
yang cukup deras, terlihat tanah dan rerumputan di
taman yang masih basah. Di hari lain, banyak terlihat para prajurit Bhayangkara
hampir di semua tempat penjagaan dan hilir mudik di
setiap lorong istana melakukan perondaan. Namun hari
itu hanya ada beberapa orang prajurit Bhayangkara yang
masih tetap berjaga di muka gerbang istana.
Kemana selebihnya para prajurit Bhayangkara di hari
itu" Ternyata para prajurit Bhayangkara hari itu tengah
berkumpul di halaman muka pura Kartika, tempat
kediaman Baginda Raja Majapahit untuk menyaksikan
sebuah penobatan resmi peralihan pemimpin baru di
pasukan khusus itu. "Terima kasih ku sampaikan kepada Ki Putut
Prastawa, untuk semua bakti dan kesetiaannya", berkata
Baginda Raja Majapahit di hadapan para pasukan
Bhayangkara di atas pendapa menghadap para prajurit
303 Bhayangkara yang berdiri dan berkumpul di halaman
pura Kartika. "Semua memang selalu ada masanya, sebagaimana
sebutir benih padi yang ditebar diatas tanah pematang
sawah, akan tumbuh tinggi dan berbuah untuk dipanen.
Dan ada masanya pula kita menggantikannya dengan
benih-benih baru. Maka hari ini Ki Putut Prastawa telah
mengundurkan dirinya karena usianya, dan aku telah
mendapatkan seorang penggantinya, seorang anak
muda yang sudah kalian kenal, seorang anak muda yang
sudah lama telah berbakti dan menunjukkan
kesetiaannya untuk kerajaan Majapahit ini", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya, berhenti sebentar
melihat dan mengamati wajah-wajah para prajurit
Bhayangkara. Terlihat semua mata para prajurit Bhayangkara
tertuju kepada seorang anak muda yang berdiri di depan
berjajar disebelah Ki Putut Prastawa.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Baginda Raja
Sanggrama Wijaya, para prajurit Bhayangkara memang
telah mengenal anak muda itu, seorang sahabat putra
mahkota, Jayanagara yang saat itu telah menjadi raja
Muda di Kediri. "Gajahmada, bahwa hari ini kamu telah kuserahkan
menjadi pemimpin pasukan Bhayangkara ini. Semua
kendali dan wewenang telah berada di pundakmu.
Namun hari ini aku masih membuka sebuah kesempatan
kepada para prajurit Bhayangkara, apakah ada diantara
mereka yang masih sangsi atas penunjukanku ini",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya berhenti
sebentar memberi kesempatan kepada para prajurit
Bhayangkara yang menyangsikan penunjukannya itu.
304 "Kesetiaan kalian sebagai prajuritku sangat
kubanggakan. Pasukan Bhayangkara adalah para ksatria
penjaga Majapahit. Seorang ksatria akan selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Tunjukkan
kejujuran sikap kalian atas penunjukanku ini", berkata
kembali Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Aku Prakala, ingin menguji orang muda itu", berkata
salah seorang prajurit Bhayangkara sambil mengacungkan tangannya keluar dari kerumunan para pajurit.
Terlihat semua mata para prajurit Bhayangkara
tertuju ke arah seorang lelaki yang sudah cukup berumur,
lebih muda sedikit dari Ki Putut Prastawa. Nampaknya
semua para prajurit Bhayangkara telah mengenalnya,
biasa dipanggil sebagai Ki Prakala, seorang yang
diketahui memang punya tataran tingkat kanuragan yang
cukup tinggi dan sangat disegani oleh kawan-kawannya.
"Ampunkan hamba, bukan hamba menyangsikan
keputusan Paduka, namun beri kesempatan diri hamba
menguji seorang pemimpin baru kami, apakah layak
berdiri dan berada terdepan diantara kami", berkata Ki
Prakala yang sudah berada di depan dengan penuh
hormat menghadap Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Bagus, ini sebuah pertanda bahwa prajurit
Bhayangkara adalah para ksatria yang menjunjung tinggi
nilai kejujurannya. Berilah tempat untuk mereka menguji
kemampuan masing-masing", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. Para prajurit Bhayangkara tanpa perintah dua kali
terlihat telah bergeser dari tempatnya membentuk
sebuah lingkaran besar di halaman pura Kartika itu.
"Kamu bukan hanya menunjukkan keunggulanmu
dihadapan Ki Prakala, tapi kamu juga harus
305 menunjukkan keunggulanmu dihadapan seluruh prajurit
Bhayangkara yang akan menjadi tangan dan kakimu,
mendengarkan semua perintahmu dengan penuh
kesetiaan dan penghormatan", berbisik Ki Putut Prastawa
kepada Gajahmada yang terlihat akan melangkah ke
tengah arena yang telah disiapkan itu di mana Ki Prakala
telah berdiri menunggunya.
"Semoga aku tidak mempermalukanmu", berkata
Gajahmada sambil tersenyum dengan suara perlahan
hanya didengar oleh Ki Putut Prastawa sendiri.
Semua mata diatas halaman muka Pura Kartika
tertuju kepada langkah kaki Gajahmada yang dengan
penuh ketenangan berjalan mendekati Ki Prakala yang
sudah lebih dahulu berada di tengah arena.
"Aku orang muda siap menghadapimu, wahai Ki
Prakala", berkata Gajahmada dengan wajah penuh
senyum kepada Ki Prakala.
"Bagus, aku berdiri disini bukan menantangmu, tapi
hanya sekedar menguji sejauh mana kemampuan
seorang pemimpin baru di hadapan para prajurit",
berkata Ki Prakala dengan sikap ramah tanpa
permusuhan sedikit pun di warna wajahnya.
"Terima kasih Ki Prakala, ijinkan aku memperkenalkan diri bergabung di pasukan ini", berkata Gajahmada
dengan sikap penuh percaya diri yang tinggi.
"Dari masa ke masa, beginilah cara para prajurit
bhayangkara memperkenalkan dirinya, lewat sebuah
pukulan", berkata Ki Putut Prastawa sambil langsung
menerjang dengan cepatnya kearah Gajahmada yang
dilihatnya sudah bersiap diri dengan kuda-kudanya.
Dahsyat memang serangan tangan kosong dari Ki
306 Prakala meluncur tertuju kearah dada Gajahmada.
Namun semua mata terbelalak melihat Gajahmada
tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya berdiri.
Brakk !!! Sebuah kepalan tangan menghajar dada Gajahmada.
Ki Prakala berhasil Semua orang telah membayangkan bahwa tubuh
Gajahmada akan roboh terguncang oleh pukulan yang
amat keras itu. Namun semua orang di halaman pura


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kartika seperti melihat sebuah keajaiban, bukan
Gajahmada yang roboh, melainkan melihat tubuh Ki
Prakala yang seperti terlempar kebelakang beberapa
langkah. Ternyata Ki Prakala seperti menghantam sebuah
bukit batu cadas, bahkan merasakan ada sebuah tenaga
yang amat sangat kuat telah mendorong dirinya.
"Pilih bagian yang paling lunak dari tubuhku ini",
berkata Gajahmada kepada Ki Prakala yang telah berdiri
dengan mata terbelalak seperti tidak percaya dengan
apa yang terjadi barusan.
"Sebuah permainan yang sangat hebat", berkata Ki
Prakala merasa sangat penasaran sekali dan terlihat
telah bersiap kembali untuk melancarkan sebuah
serangan dengan seluruh kekuatan dan puncak tataran
ilmunya. Semua mata kembali menahan nafas lama manakala
melihat sebuah tendangan yang kuat telah meluncur
begitu deras kearah dada Gajahmada yang masih tetap
tegak tidak bergeming dan bergeser sedikit pun
menghindari serangan tendangan Ki Prakala yang
terlihat begitu dahsyat seperti sebuah gerakan
307 menghancurkan gundukan batu cadas yang amat kuat di
hadapannya itu. Brakk !!! Sebuah tendangan kaki menghantam dada Gajahmada.
Ki Prakala berhasil Kembali sebuah keajaiban seperti telah terjadi di lihat
oleh semua mata diatas halaman pura kartika itu. Semua
orang seperti sontak terperanjat melihat Gajahmada
tetap berdiri tidak bergeming sedikit pun, sementara
semua mata telah melihat bahwa sebaliknya tubuh Ki
Prakala seperti terlempar ke belakang dan berguling
panjang sekitar dua belas langkah dari tempat
Gajahmada berdiri. "Anak muda ini telah mewarisi tenaga sakti sejati
yang sangat tinggi", berkata Baginda Raja Sanggrama
dalam hati menyaksikan sendiri apa yang dilakukan
Gajahmada menghadapi Ki Prakala itu. Sebagai seorang
yang memahami ilmu tenaga sakti sejati itu tentunya
dapat menilai ditingkat mana gerangan tataran ilmu yang
dimiliki oleh Gajahmada saat itu.
"Aku masih siap berdiri, wahai Ki Prakala", berkata
Gajahmada penuh senyum kepada Ki Prakala yang
tengah mencoba bangkit berdiri.
"Terima kasih telah membuka mata hatiku, maafkan
aku yang tidak melihat gunung tinggi dihadapanku",
berkata Ki Prakala dengan penuh rasa hormat dan
mundur diri dari tengah arena.
"Kalian telah melihat sendiri siapa sesungguhnya
penggantiku ini, semoga kalian dapat menghormatinya
sebagaimana kalian menghormatiku", berkata Ki Putut
Prastawa yang telah berdiri di tengah arena.
308 "Mulai hari ini, kepemimpinan di pasukan ini berada di
pundak Gajahmada yang telah direstui oleh Baginda
Paduka Raja. Aku ingin mendengar sumpah setia kalian
untuk terakhir kalinya, sumpah setia keluarga besar
pasukan Bhayangkara yang sangat kucintai ini", berkata
Ki Putut Prastawa di hadapan para prajurit Bhayangkara.
"Kami para ksatria Majapahit pasukan Bhayangkara,
satu untuk semua, semua untuk satu", berteriak para
prajurit Bhayangkara mengucapkan sebuah sumpah
setia yang diminta oleh Ki Putut Prastawa.
"Terimakasih, kembalilah ke tempat tugas kalian.
Semoga Gusti yang Maha Agung selalu melindungi diri
kita, melindungi Baginda Raja dan keluarganya", berkata
kembali Ki Putut Prastawa.
Terlihat para prajurit Bhayangkara telah membubarkan dirinya kembali ke tempat tugasnya
masing-masing. Sementara itu Gajahmada dan Ki Putut Prastawa
berjalan kearah pendapa pura Kartika, menghadap
Baginda Raja Sanggrama Wijaya untuk mendengar
beberapa pengarahan dan petuahnya.
"Pasukan Bhayangkara ini merupakan benteng
terakhir dari seluruh kekuatan yang ada di Majapahit ini.
Sejak saat ini dan di hari mendatang kuserahkan
keselamatan keluarga istana kepadamu", berkata
Baginda Sanggrama Wijaya kepada Gajahmada yang
duduk didampingi oleh Ki Putut Prastawa.
"Semoga hamba dapat mengemban tugas mulia ini",
berkata Gajahmada penuh penghormatan.
"Tugas seorang prajurit Bhayangkara pada saat
keadaan darurat dan genting diberikan kekuasaan penuh
309 melindungi dan menjaga keselamatan keluarga istana.
Disaat seperti itu maka kamu adalah seorang panglima
perang tertinggi", berkata Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Semoga hamba dapat mengemban kepercayaan
Paduka", berkata Gajahmada.
Demikianlah, sejak saat itu Gajahmada telah resmi
menjadi seorang pemimpin pasukan Bhayangkara,
mengatur dan mengendalikan tugas-tugas para prajurit
Bhayangkara untuk menjaga dan melindungi keselamatan Baginda Raja dan keluarganya. Dan sejak
itu pula Gajahmada diberikan mandat untuk tinggal di
dalam istana di salah satu pura yang selama ini di diami
oleh ki Putut Prastawa. Gajahmada adalah seorang pemuda yang sangat
cerdas dan sangat mudah membawa diri. Maka dalam
waktu yang sangat singkat sudah dapat menarik simpatik
para prajurit bawahannya, para prajurit pasukan
Bhayangkara. Daya tarik Gajahmada juga telah memikat hati
Baginda Raja Sanggrama Wijaya, terutama setelah
mengetahui bahwa anak muda itu mempunyai
pemahaman yang sangat tinggi dalam hal ilmu
kebathinan. Disaat-saat senggang di malam hari,
Baginda Raja sering memanggil Gajahmada menemaninya membicarakan mengenai banyak hal.
Hari ke hari pergaulan Gajahmada dan Baginda Raja
sudah begitu dekat seperti seorang ayah kepada
putranya. Kemanapun Baginda Raja pergi, pasti ada
Gajahmada menemaninya. Malam itu gerimis panjang telah membasahi istana
Majapahit. Musim penghujan di tahun itu masih berada di
310 pertengahan waktu. Dan malam itu, Baginda Raja Sanggrama Wijaya
telah ditemani Ki Patih Mangkubumi dan Gajahmada
berbincang-bincang di serambi kediamannya, pura
Kartika. "Aku ingin membangun kembali sebagaimana
leluhurku Raja Erlangga membangun kerajaannya. Yaitu
menghidupkan kembali istana Kahuripan di Jawadwipa
ini", berkata Raja Sanggrama Wijaya kepada Ki Patih
Mangkubumi dan Gajahmada.
"Hamba setuju sekali, Kerajaan Majapahit sebagai
pusat bumi akan semakin terlindungi", berkata Ki Patih
Mangkubumi menyetujui usulan Raja Sanggrama Wijaya.
"Akan lebih sempurna lagi bilamana Paduka
menempatkan seorang Raja Muda di istana Singasari",
berkata Gajahmada mencoba mengingatkan Baginda
Raja Sanggrama Wijaya. "Terima kasih telah mengingatkanku, Tuban, Kediri,
Kahuripan dan Singasari akan menjadikan Majapahit ini
semakin kuat dan kokoh, seperti pohon beringin yang
tumbuh akarnya mencengkeram bumi", berkata Baginda
Raja Sanggrama Wijaya. "Di Tuban ada Adipati Siralawe bersama Empu
Pranata. Di Kediri ada Raja muda Jayanagara bersama
Patih Mahesa Amping. Siapa gerangan yang dapat di
percaya membangun Kahuripan dan Singasari?", berkata
Ki Patih Mangkubumi. "Wahai putra Patih Mahesa Amping, siapakah
menurutmu yang pantas menduduki istana Kahuripan
dan istana Singasari?", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya kepada Gajahmada.
311 "Hamba merasa tersanjung dan terhormat untuk
mengungkapkan isi buah pikiran hamba sendiri. Dalam
pikiran hamba perlu sebuah kesetiaan dan kepercayaan
siapapun yang akan paduka tempatkan di Kahuripan dan
di Singasari", berkata Gajahmada
"Siapakah menurutmu yang pantas, yang punya
kesetiaan dan kepercayaan itu?", bertanya kembali
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Menurut pikiran hamba adalah keluarga istana ini
sendiri, Dyah Gayatri dan Kertawardana", berkata
Gajahmada. "Apa alasanmu memilih mereka?", bertanya Baginda
Raja Sanggrama Wijaya merasa yakin bahwa pasti ada
alasan tersembunyi dari anak muda itu.
"Sebagaimana di Tuban, kita percayakan Adipati
Siralawe karena ada dalam bimbingan Empu Pranata.
Sementara itu di Kediri, Raja Muda Jayanagara ada di
bawah bimbingan Patih Mahesa Amping. Maka sudah
saatnya meminta Tuan Jayakatwang dan Gusti Kanjeng
Ratu Gayatri untuk turun gunung, membimbing putri dan
cucunya sendiri di Kahuripan dan di Singasari.
Pengalaman mereka di kerajaan masa lalu pasti dapat
membimbing Dyah Gajatri dan Kertawardana, orangorang muda itu", berkata Gajahmada menyampaikan
buah pikirannya sendiri. "Aku ingin mendengar pendapat Ki Patih
Mangkubumi" berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya
meminta tanggapan Ki Patih Mangkubumi mengenai
buah pikiran Gajahmada itu.
"Sebuah pemikiran yang bagus, hamba sangat
menyukainya", berkata Ki Patih Mangkubumi. "Hamba
seperti mendengar penuturan seorang Mahapatih besar",
312 berkata kembali Ki Patih Mangkubumi dengan penuh
senyum memandang kearah Gajahmada.
"Bicara seorang Empu adalah sebuah restu, meski
terwujud dalam sebuah canda", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya kepada Gajahmada.
"Garis hidup manusia siapa yang dapat membacanya, Kerajaan Majapahit di masa depan pasti
menghadapi permasalahan yang jauh lebih rumit, perlu
seorang Mahapatih yang punya pengetahuan yang
sangat luas", berkata Ki Patih Mangkubumi.
"Kerajaan Majapahit ini akan menjadi sebuah
kerajaan kelautan yang besar. Itulah warisan pemikiran
yang kudapatkan langsung dari Raja Kertanagara di
masa hidupnya. Dan hari ini semoga kamu orang muda
dapat mewarisi pemikiran ini, bilamana umurku dan umur
Ki Patih Mangkubumi tidak sampai mewujudkannya,
kamulah yang kuharapkan dapat mewujudkan-nya,
membangun singgasana diatas laut, impian para leluhur
raja-raja di Jawadwipa ini yang telah mereka pahat dan
ukir diatas batu candi Borobudur", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Kepercayaan Paduka telah hamba pahat dalamdalam di lubuk hati hamba. Baru kali ini hamba
mendengar sebuah impian mahakarya itu. Hamba
bersumpah demi keagungan para leluhur raja-raja yang
telah merintis jalan itu, juga demi keagungan tuanku
Paduka yang telah membuka pintu jalan menuju
singgasana laut itu, hamba, Gajahmada akan rela
berdarah-darah, akan rela hidup prihatin sebelum dapat
mewujudkan impian mahakarya itu", berkata Gajahmada
dengan penuh kesungguhan hati.
"Sumpahmu adalah jiwaku yang akan terus hidup
313 selamanya di dalam dirimu. Namun kuingatkan
kepadamu bahwa tidak mudah membangun singgasana
mahakarya ini. Banyak aral dan rintangan yang akan kita
hadapi. Aku hanya melanjutkan apa yang telah di
lakukan oleh Raja Kertanagara dengan penciptaan Jung
Besar Singasari nya. Yang kulakukan saat ini hanya
membuat sebuah dermaga Majapahit yang kuat yang
tidak mudah tergerus oleh ombak prahara. Kuserahkan
kepadamu bahtera impian mahakarya ini untuk kamu
bawa ke tengah samudera raya", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. Sementara itu awan gelap terlihat hilang membuka
senyum rembulan di langit malam yang teduh menatap
wajah bumi. Angin kencang bertiup membawa lari awan
hujan ke sebelah bumi lain jauh dari Kotaraja Majapahit
di malam itu yang telah bertabur bintang.
Hari memang telah larut malam, terlihat Ki Patih
Mangkubumi dan Gajahmada berpamit diri kepada
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Sampai ketemu besok", berkata Ki Patih


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mangkubumi kepada Gajahmada di sebuah persimpangan jalan menuju tempat kediaman masingmasing di istana Majapahit itu.
Matahari pagi sudah tinggi menghangatkan bumi
tanah Ujung Galuh. Pasanggrahan Jayakatwang yang berdiri di tanah
tinggi dimana dari atas panggung pendapanya dapat
memandang hamparan laut luas, dapat melihat layarlayar perahu dagang yang bersandar di dermaga Tanah
Ujung Galuh. Nyi Ajeng Nglirip dan kedua putrinya masih berada di
Pasanggrahan itu, begitu juga Kertawardana.
314 Pagi itu suasana di atas pendapa Pasanggrahan
terlihat penuh kegembiraan hati karena sudah ada kabar
berita dari seorang utusan istana bahwa Baginda Raja
Majapahit akan berkunjung di Pasanggrahan Jayakatwang. "Pasti ada sebuah berita istimewa yang akan
disampaikan oleh Baginda Raja Sanggrama Wijaya
sehingga harus datang sendiri berkunjung ke
Pasanggrahanku", berkata Jayakatwang sambil memandang kearah gerbang gapura pasanggrahannya.
Akhirnya, tamu agung yang mereka nantikan datang
juga. Baginda Raja Sanggrama Wijaya dan para
pengawal berkudanya terlihat tengah memasuki gerbang
gapura pasanggrahan Jayakatwang.
Penuh kegembiraan hati, Jayakatwang menyambut
kedatangan keponakannya itu, Raja Majapahit yang
terlihat tengah menaiki tangga pendapa. Terlihat juga
Gajahmada dan Ki Patih Mangkubumi ikut berjalan
dibelakang Raja Majapahit itu.
Setelah duduk bersama diatas pendapa agung
Pasanggrahan, mereka pun saling menyampaikan
keselamatan masing-masing.
"Adalah sebuah kegembiraan hati, di usia yang sudah
lanjut ini dapat melihat anak dan cucu kemenakan
berkumpul di dalam suasana kedamaian", berkata
Jayakatwang menyampaikan kegembiraannya. "Angin
sejuk gerangan apakah yang akan kami terima dari
istana Majapahit sehingga seorang Raja besar harus
datang ke Pasanggrahanku ini", berkata kembali
Jayakatwang. "Pamanda, Tanah Majapahit semakin luas. Tak
terjangkau lagi tanganku untuk dapat menjaganya setiap
315 saat dan waktu. Aku perlu banyak tangan yang setia
dapat mewakiliku sendiri, menjaga dan membangun
kekuasaan Majapahit bersamaku di tanah Singasari dan
di tanah Kahuripan", berkata Baginda Raja Sanggrama
Wijaya menyampaikan maksud kedatangannya.
"Siapakah diantara kekuasaanmu, wahai Jayakatwang. kami yang dapat mewakili kemenakanku?", bertanya "Putriku sendiri, Gajatri di Tanah Kahuripan dan
Kertanagara di Tanah Singasari", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. Berdebar hati Dyah Gajatri dan Kertanagara
mendengar nama mereka disebut langsung oleh Baginda
Raja Sanggrama Wijaya. Namun mereka berdua tidak
berkata apapun. "Aku mengerti bahwa mereka berdua masih
sangatlah muda belia, namun aku merasa sangat yakin
bahwa di belakang mereka ada orang-orang yang sangat
mumpuni yang akan membimbing mereka berdua",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya dengan wajah
penuh senyum seperti dapat membaca apa yang ada
dalam pikiran semua orang yang ada di pendapa itu.
"Apakah ini berarti bahwa aku yang sudah tua ini
harus kembali turun gunung?", berkata Jayakatwang
menanggapi perkataan Raja Majapahit itu.
"Mantan Raja Kediri pasti tahu apa yang harus
diperbuat untuk membesarkan sebuah daerah Tumapel",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya penuh senyum
menatap kearah Jayakatwang.
"Wahai cucundaku, Kertanagara. Berterima kasihlah
dirimu kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya yang
316 telah menganugerahi dirimu menjadi raja Muda di
Tumapel. Berjanjilah kepada hatimu untuk memegang
amanah dan kepercayaan yang besar ini", berkata
Jayakatwang kepada Kertanagara.
"Hamba Kertanagara menghaturkan rasa
kasih yang setinggi tingginya, semoga
Kertanagara dapat menjaga amanah ini",
Kertanagara dengan rasa penuh penghormatan
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
terima hamba berkata kepada "Wahai putriku Gajatri, sampaikan rasa terima
kasihmu kepada Ayahandamu yang telah berkenan
memberimu sebuah kepercayaan yang agung menjadi
seorang Raja Muda di Kahuripan", berkata pula Nyi
Ajeng Nglirip kepada putrinya Dyah Gajatri.
"Putrimu Gajatri menghaturkan rasa terima kasih",
berkata Dyah Gajatri sebagaimana Kertanagara
menghaturkan rasa terima kasihnya di hadapan Raja
Sanggrama Wijaya. "Sebagaimana Pamanda Jayakatwang, dinda akan
ikut menemani putri kita ke Kahuripan", berkata Nyi Ajeng
Nglirip kepada Raja Sanggrama Wijaya.
"Aku membangun kerajaan Majapahit ini bersama
dengan kesetiaan dan darah para ksatria. Masa depan
kerajaan Majapahit ini harus terus berjalan dan
berkembang. Kupercayakan kerajaan ini dimasa depan
kepada para orang muda sebagaimana mereka berdua.
Merekalah para orang muda masa depan kita", berkata
Raja Sanggrama Wijaya dihadapan semua orang yang
hadir di pendapa itu. Terlihat wajah semua orang diatas pendapa
pasanggrahan Jayakatwang terlihat bergembira penuh
suka cita, namun ketika Raja Sanggrama menyampaikan
317 sebuah pembicaraan baru, terlihat suasana diatas
pendapa itu menjadi begitu hening.
Pembicaraan baru apa gerangan yang telah
membuat semua orang diatas pendapa itu seperti
langsung terdiam" Ternyata pembicaraan Raja Sanggrama Wijaya
adalah tentang sebuah perjodohan antara Dyah Gajatri
dan Kertanagara. Semua mata terlihat tertuju kearah Dyah Gajatri yang
terlihat tertunduk diam seribu bahasa.
Nyi Ajeng Nglirip seperti dapat membaca apa yang
dipikirkan oleh putrinya itu. Sebagai seorang ibu dirinya
sudah mengetahui perasaan putrinya yang diam-diam
menaruh hati kepada guru penuntunnya, Gajahmada.
Sekilas pandangan mata Nyi Ajeng Nglirip kearah
Gajahmada yang terlihat menunduk menyembunyikan
wajah dan perasaannya. Berdebar perasaan Nyi Ajeng Nglirip manakala
melihat Dyah Gajatri perlahan mengangkat wajahnya.
"Ananda hanya akan menikah dengan siapapun yang
dapat mengalahkan Kakang Gajahmada", berkata Dyah
Gajatri kepada ayahandanya Raja Majapahit.
Semua mata saat itu juga terlihat berpaling ke arah
Gajahmada yang seperti terpana tidak menyangka sama
sekali bahwa Dyah Gajatri dapat berkata seperti itu,
menjadikan dirinya sebagai tameng.
"Bagus, sudah selayaknya seorang istri berharap
sang suami adalah seorang yang mampu melindunginya,
menjaga martabat dan kehormatannya", berkata Raja
Majapahit sambil tersenyum. "Wahai Kertawardhana,
calon istrimu telah menyampaikan persyaratannya.
318 Apakah dirimu bersedia?", berkata kembali
Sanggrama Wijaya kepada Kertawardhana.
Raja "Bila memang demikian persyaratan yang harus
ananda lakukan, pastilah ananda akan mencobanya?",
berkata Kertawardhana menjawab pertanyaan Raja
Majapahit. "Wahai prajuritku, Gajahmada, persiapkanlah dirimu.
Putriku memintamu untuk menjadi penjaga pintu ayu
pelaminannya. "Hamba akan melaksanakan tugas ini dengan
segenap hati hamba", berkata Gajahmada dengan suara
penuh kemantapan hati. "Aku tidak ingin kalian berdua terluka. Garis ilmu
perguruan kalian adalah sama-sama dari perguruan
empu Brantas. Aku ingin melihat siapa yang paling
unggul menggunakan cambuknya. Tidak dalam sebuah
perkelahian, namun hanya menghadapi sebuah besar",
berkata Raja Majapahit sambil menjelaskan bagaimana
bentuk pertandingan itu yaitu sebuah adu kesaktian
dengan cara menghancurkan sebuah batu besar.
Akhirnya semua orang diatas pendapa itu sepakat
untuk melaksanakan adu kesaktian itu di sebuah
perbukitan dekat kotaraja Majapahit yang memang masih
banyak bebatuan besar disana.
Demikianlah, hari itu juga terlihat sebuah rombongan
besar tengah menuju ke sebuah perbukitan di dekat
kotaraja Majapahit. Terlihat beberapa orang warga padukuhan seperti
terheran-heran melihat rombongan Raja Majapahit
tengah menuju perbukitan. Ketika matahari telah
bergeser jauh dari puncaknya, terlihat rombongan itu
319 telah menemukan sebuah arena di perbukitan itu yang
memang dipenuhi oleh bebatuan besar.
"Kupersilahkan kepada Patih Mangkubumi untuk
menentukan dua batu yang sama", berkata Raja
Majapahit kepada Ki Sandikala, sang Patih Mangkubumi
itu. Kertawardhana terlihat sudah berada didekat sebuah
batu besar setinggi dan sebesar dirinya sendiri. Anak
muda itu terlihat sangat begitu tenang seperti tidak
menghiraukan puluhan mata tengah memandang ke
arahnya. Perlahan Kertawardhana melepas cambuk pendek
yang melingkar di pinggangnya. Membiarkan ujung jurai
cambuk itu menyentuh bumi. Terlihat tubuh anak muda
itu mulai menegang berdiri kokoh menghadap batu besar
di hadapannya. Dan dengan sangat cepat sekali terlihat
anak muda itu telah menggerakkan cambuk ditangannya.
Gelegar !!!!! Sebuah hentakan cambuk dengan gerakan sandal
pancing telah menggetarkan batu besar di hadapan anak
muda itu. Semua orang yang menyaksikannya seperti terpana
manakala melihat batu besar yang tersentuh ujung
cambuk Kertawardhana telah hancur berkeping-keping.
Semua orang seperti terkagum-kagum menyaksikan
kedahsyatan pukulan cambuk Kertawardhana.
"Hanya inilah kemampuan ananda", berkata
Kertawardhana kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya
yang tersenyum memandangnya.
"Gajahmada, sekarang saatnya dirimu menunjukkan
kemampuanmu", berkata Ki Sandikala kepada 320 Gajahmada. Terlihat dengan penuh rasa hormat dihadapan
Baginda Raja Sanggrama Wijaya, Gajahmada perlahan
melangkah mendekati sebuah batu lain yang telah
ditentukan yang terlihat sama besarnya dengan batu
besar pertama yang telah dihancurkan oleh Kertawardhana. Sebagaimana Kertawardhana, anak muda putra
angkat Patih Mahesa Amping itu terlihat begitu tenang
dan begitu percaya diri. Ditangannya telah menggenggam pangkal cambuk pendek ciri khas


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perguruan Empu Brantas. "Anak muda ini nampaknya telah mewarisi seluruh
kesaktian ayah angkatnya, Patih Mahesa Amping",
berkata Ki Sandikala dalam hati melihat ketenangan
sikap Gajahmada . "Kakang Gajahmada pasti dapat melampaui
kesaktian Kakang Kertawardhana", berkata Dyah Gajatri
dalam hati merasa sangat yakin sekali atas kemampuan
pada diri guru penuntunnya itu.
Sebagai seorang murid, Dyah Gajatri memang
pernah melihat sendiri bagaimana Gajahmada dapat
menghancurkan sebuah batu besar jauh lebih dahsyat
dengan apa yang telah disaksikan pada diri
Kertawardhana beberapa tahun yang silam. Itulah yang
telah membuat keyakinan dirinya bahwa kesaktian
Gajahmada pasti telah berkembang lebih dahsyat lagi
dari apa yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang
lalu. Terlihat Gajahmada menarik nafas perlahan, seperti
tengah menghimpun segenap isi kemampuannya.
321 Gajahmada telah mengendapkan seluruh kekuatan
tenaga sakti sejatinya siap dihempaskan lewat ujung
cambuk pendek yang masih di genggamnya.
Terlihat anak muda itu memandang tajam kearah
batu besar di hadapannya itu.
Deg !! Suara ujung cambuk Gajahmada dengan cara sendal
pancing nyaris tak terdengar bersamaan dengan ujung
cambuknya yang menyentuh batu besar dihadapannya
itu. Semua orang terlihat membelalakkan matanya sambil
menahan nafas panjang, penuh keheranan melihat batu
besar tidak bergeming sedikitpun, tidak ada debu
sedikitpun yang runtuh. Dyah Gajatri seperti tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya itu, tidak percaya bahwa Gajahmada tidak
dapat menghancurkan batu besar itu.
Wajah merona mewarnai kulit muka gadis itu,
perlahan matanya mengembang merah. Tak kuasa gadis
itu membendung rasa duka bahwa Gajahmada yang
diharapkan dapat mencegah perjodohannya tidak dapat
berbuat apa-apa. Tak terdengar isak tangis gadis itu, tapi tiba-tiba saja
gadis itu berbalik badan dan berlari.
"Dinda akan mencoba meredam perasaan gadis kita",
berkata Nyi Ajeng Nglirip kepada Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. Terlihat Nyi Ajeng Nglirip berjalan pulang menyusul
Dyah Gajatri yang sudah mendahuluinya menuruni
perbukitan itu. 322 Tidak lama kemudian, rombongan keluarga kerajaan
itupun terlihat kembali menuruni perbukitan itu dan
berpisah jalan ke tempatnya masing-masing. Rombongan Raja Sanggrama Wijaya bersama para
pengawalnya langsung menuju Kotaraja Majapahit,
sementara rombongan keluarga Jayakatwang kembali ke
Tanah Ujung Galuh. "Anakku, sebagai seorang putri istana, diri kita
memang tidak punya pilihan selain harus mengikuti apa
keinginan orang tua. Dahulu aku pun tidak pernah dapat
memilih perjodohan antara diriku dan ayahandamu.
Sementara di hatiku saat itu telah jatuh cinta kepada
seorang pemuda biasa", berkata Nyi Ajeng Nglirip
kepada Dyah Gajatri di kamarnya yang terlihat masih
tengah menangis. Mendengar perkataan ibundanya, terlihat Dyah
Gajatri seperti hilang kesedihannya merasa heran
mendengar pernyataan ibundanya tentang kisah cintanya
itu. "Jadi ibunda juga dijodohkan sebagaimana diriku?",
bertanya Dyah Gajatri kepada ibundanya.
Terlihat Nyi Ajeng Nglirip menganggukkan wajahnya
dihadapan putrinya itu. "Siapa pemuda yang ibunda cintai itu?", bertanya
kembali Dyah Gajatri. Mendengar pertanyaan gadisnya itu, terlihat Nyi
Ajeng Nglirip tersenyum merasa bahwa putrinya sudah
dapat melupakan kesedihannya dan nampaknya ingin
mendengar lebih jauh lagi pengalaman hidup dan
cintanya itu yang nyaris sama dengan apa yang tengah
dialaminya saat itu. 323 "Pemuda itu adalah Patih Mahesa Amping", berkata
Nyi Ajeng Nglirip sambil tersenyum kepada Dyah Gajatri.
"Bagaimana ibunda dapat melupakannya?", bertanya
kembali Dyah Gajatri penuh rasa keingin-tahuannya.
"Waktulah yang dapat mengikisnya berjalan dengan
rasa cinta yang mulai tumbuh berkembang kepada
ayahandamu sendiri, suamiku", berkata Nyi Ajeng Nglirip
dengan senyum wajah penuh kebijaksanaan.
Sementara itu hari terlihat telah memasuki saat senja,
angin terasa mulai dingin menggoyangkan daun kelapa
yang banyak tumbuh di perbukitan dekat Kotaraja.
Sepasang kadal terlihat tengah saling berkejaran.
Seekor kadal betina terlihat melompat ke sebuah
batu besar, sementara sang jantan terus memburunya
ikut hinggap diatas sebuah bebatuan besar.
Dua ekor kadal yang tengah di mabok asmara itu
nampaknya sangat terkejut sekali manakala merasakan
tubuh mereka seperti terserap masuk dalam hisapan
abu. Batu besar yang dihinggapi sepasang kadal itu
ternyata adalah sebuah tumpukan abu. Berat dua ekor
kadal telah merubuhkannya. Tidak seorang pun
mengetahuinya bahwa itulah batu besar yang telah
disentuh oleh ujung cambuk Gajahmada.
Ternyata anak muda itu telah menghempaskan
seluruh kesaktian yang dimilikinya telah dapat
melumatkan sebuah batu besar yang keras hingga
menjadi hancur lumat berdebu meski yang terlihat batu
besar itu seperti tidak bergeming sedikitpun.
Garis kehidupan dan perjodohan Gajahmada ternyata
memang sudah ditentukan oleh Gusti Yang Maha Agung.
324 Seandainya ada orang lain yang mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi, pastilah akan mengetahui tingkat
kesaktian ilmu Gajahmada yang sudah begitu tinggi
menjulang ke langit tak tertandingi di jamannya. Bahkan
telah melampaui kesaktian Manusia dewa atau yang
biasa di panggil sebagai Mahesa Amping, seorang Patih
di Kediri, ayah angkatnya Gajahmada sendiri.
Namun ternyata apa yang telah terjadi atas batu
besar itu sebenarnya telah diketahui secara diam-diam
oleh Ki Sandikala dan Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Anak muda itu telah mewarisi seluruh kesaktian
Patih Mahesa Amping, bahkan telah melampauinya",
berkata Baginda Sanggrama Wijaya kepada Ki Sandikala
di serambi Bale Kartika tempat peristirahatan Raja.
"Suatu masa anak muda itu kuyakini pastilah akan
menjadi orang besar yang dapat mengangkat kerajaan
Majapahit ini ke puncak kebesarannya", berkata Ki
Sandikala sang Patih Mangkubumi itu.
"Kecemerlangan dirinya adalah kecemerlangan
Majapahit pula. Dialah harapan masa depan Kerajaan
Majapahit ini meski tidak harus menjadi seorang raja",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Apakah kita telah berbuat sebuah ketidak adilan
kepadanya?", berkata Ki Sandikala kepada Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Gajahmada telah memilih jalan lain, apa yang
menjadi keputusan kita, adalah keinginannya pula.
Dirinya telah rela mengalah meski dengan cara tak
terkalahkan", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Gajahmada memang telah menunjukkan kebijaksanaannya", berkata Ki Sandikala memuji sikap
325 Gajahmada. "Sebagai pengganti dari rasa ketidak adilan ini, aku
akan memberikannya sebuah benda milikku yang sangat
berharga", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Apa yang tuan akan berikan kepadanya?", bertanya
Ki Sandikala. "Sebuah keris pusaka kerajaan, keris
Nagasasra", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Akhirnya, malam itu juga Gajahmada telah dipanggil
untuk menghadap Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Atas ketidak adilan kami, kupersembahkan untukmu
keris pusaka kerajaan ini", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya kepada Gajahmada yang telah
datang menghadap. "Sebuah penghargaan tak terkirakan untuk hamba
menerima keris pusaka kerajaan ini", berkata Gajahmada
sambil menerima keris Nagasasra dari tangan langsung
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Kupercayakan dan kutitipkan keris pusaka ini
kepadamu, hingga pada suatu masa dapat kamu
serahkan kepada salah seorang keturunanku yang paling
berhak untuk memilikinya. Kupercayakan keris ini
kepadamu", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Terlihat Ki Sandikala seperti terharu menatap keris
yang dibalut oleh selembar kain berwarna merah dan
putih itu. Sebuah keris pusaka yang pernah lama berada
bersamanya sebagai keris pusaka leluhurnya, Raja
Erlangga. Kini keris pusaka itu telah berada ditangan seorang
anak muda bernama Gajahmada.
"Semoga jiwa dan semangat leluhur Raja Erlangga
hidup kembali. Cita-cita mempersatukan seluruh
326 nusantara dapat terwujud lewat anak muda ini", berkata
Ki Sandikala dalam hati dengan perasaan penuh
keharuan dan ketulusan hati.
Hingga jauh malam ketiga orang ksatria Majapahit itu
berbicara banyak hal, berbicara tentang cita-cita para
leluhur di bumi Jawadwipa ini, cita-cita suci membangun
kesejahteraan dan kedamaian di bumi Jawadwipa ini.
"Tugas seorang Ksatria adalah menjaga perdamaian
di bumi ini, menjaga hati para petani, menjaga hati para
pedagang, menjaga hati para seniman. Hukum keadilan
harus tumbuh di bumi Majapahit ini agar semua orang
bersama-sama menjaga perdamaian dan keamanan
bersama sebagai milik dan hak setiap jiwa yang hidup di
bumi Majapahit ini", berkata Baginda Raja Sanggrama
Wijaya kepada Ki Sandikala dan Gajahmada.
Keesokan harinya, banyak para warga Kotaraja
Majapahit bertanya-tanya manakala melihat puluhan
prajurit keluar dari gerbang kota berpencar ke berbagai
arah menuju ke berbagai tempat yang berbeda.
Beberapa orang warga yang dekat orang-orang
istana akhirnya dapat mengetahui bahwa puluhan prajurit
itu ternyata diutus ke berbagai daerah untuk
menyampaikan sebuah undangan resmi. Ternyata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya akan melaksanakan
sebuah hajatan besar, sebuah perayaan perkawinan
sang Putri tercinta, Dyah Wiyat sekaligus upacara
kerajaan atas wisudanya dua raja muda yang akan
memimpin dua kerajaan bawahan Majapahit, yaitu
kerajaan Kahuripan dan kerajaan Tumapel.
"Aku ingin kamu sendiri yang akan menyampaikan
undangan ini kepada Ki Gede Bajra Seta", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya kepada Gajahmada.
327 "Hamba mohon doa restu dari Tuanku Baginda Raja",
berkata Gajahmada yang terlihat berdiri berjalan mundur
untuk pamit diri dari hadapan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. Maka tidak lama berselang, terlihat Gajahmada
diatas kudanya telah keluar dari pintu gerbang istana
Majapahit. Angin sejuk bertiup diatas kepalanya, terlihat anak
muda itu begitu gagah diatas kudanya yang berlari
kencang keluar dari gerbang batas kota.
Seperti seekor Rajawali muda, Gajahmada terlihat
begitu menikmati perjalanannya. Memacu kudanya
menembus padang ilalang, mendaki perbukitan hijau dan
seperti terbang di bawah langit biru memacu kudanya
membelah angin. Di sebuah jalan bulakan panjang, terlihat Gajahmada
memperlambat laju kudanya. Ternyata anak muda itu
telah melihat ada dua orang tengah menantinya. Sebagai
seorang yang sudah banyak pengalaman dirinya dapat
merasakan sebuah firasat buruk, nampaknya kedua
orang didepan sana akan bermaksud tidak baik
kepadanya. Berpikir seperti itu telah membuat langkah
Gajahmada semakin dekat semakin berhati-hati dan
waspada. Ternyata dugaan Gajahmada tidak meleset jauh,
terlihat kedua orang itu tergelak tertawa keras manakala
langkah kaki kuda Gajahmada sudah mendekatinya.
"Anak muda, turunlah segera dari kudamu", berkata
seorang yang berwajah kasar dengan banyak rambut di
wajahnya.

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang paman berdua inginkan dariku?", berkata
328 Gajahmada setelah turun dari kudanya.
Kembali kedua orang itu tertawa tergelak-gelak
mendengar pertanyaan Gajahmada.
"Tinggalkan kudamu", berkata kembali seorang yang
berwajah kasar "Tinggalkan kerismu", berkata kawannya
pula. "Maaf Paman berdua, kuda dan keris ini masih
sangat kubutuhkan. Jadi tidak akan kutinggalkan",
berkata Gajahmada dengan suara perlahan dan sikap
masih santun. "Sikapmu membuat aku tidak sabaran", berkata
orang berwajah kasar itu sambil melepas golok dari
sarungnya. Kawannya ternyata sudah ikut pula menarik golok
dari sarungnya. "Larilah sekencang-kencangnya, atau golok ini akan
menebas batang lehermu", berkata si orang berwajah
kasar dengan suara mengancam dan dengan golok
tajam terangkat diatas kepala.
"Aku tidak akan berlari, juga tidak akan membiarkan
leherku ditebas", berkata Gajahmada dengan wajah
penuh senyum seperti tidak merasa takut dan gentar
sedikitpun. Melihat sikap Gajahmada yang tidak gentar itu telah
membuat kedua orang perampok itu menjadi naik pitam,
terlihat keduanya nampaknya memang tidak main-main
lagi dengan goloknya, terlihat keduanya dengan garang
telah melayangkan golok masing-masing kearah tubuh
Gajahmada yang sangat dekat itu.
Entah dengan cara apa, Gajahmada yang memang
sudah memiliki kepandaian sangat tinggi tiba-tiba saja
329 telah merampas kedua golok dua perampok itu.
Terlihat kedua perampok itu seperti melihat hantu di
siang bolong, tidak habis pikir bagaimana anak muda itu
dengan mudahnya merebut senjata mereka.
"Buatan senjata ini masih sangat kasar", berkata
Gajahmada sambil mengadu kedua golok itu.
Trangg !!! Kedua orang perampok itu matanya seperti terbuka
lebar-lebar manakala melihat senjata mereka ditangan
anak muda itu telah menjadi kutung terpotong.
Berdebar-debar kembali perasaan kedua perampok
itu manakala kedua golok kutung itu telah dilempar ke
sebuah batu cadas besar dekat mereka. Berdesir bulu
kuduk mereka menyaksikan kedua golok kutung itu
amblas masuk kedalam batu keras itu.
Sadarlah kedua perampok itu bahwa mereka telah
berhadapan dengan seorang anak muda yang sakti.
"Ampuni jiwa kami, tidak tahu berhadapan dengan
tuan muda yang sakti", berkata kedua perampok itu
bersujud di hadapan Gajahmada.
"Paman berdua bangkitlah, aku telah mengampuni
jiwa kalian berdua. Yang kutahu bumi Majapahit ini begitu
subur, sepanjang tahun akan menjaga semua warganya
dari kekurangan pangan. Namun hari ini kudapati ada
dua orang warga Majapahit berperilaku aneh, mencari
kehidupan lain memeras dan mengancam sesamanya.
Sampaikan apa yang terjadi hingga membuat perilaku
paman berdua seperti yang kulihat hari ini?", berkata
Gajahmada kepada kedua orang itu.
"Terima kasih telah mengampuni jiwa kami. Bumi
Majapahit memang sangatlah subur, namun setahun
330 belakangan ini kami harus menyerahkan dua pertiga
lebih dari hasil panen kami. Hal itu telah membuat
keluarga kami tidak bisa bertahan menunggu panen
tahun berikutnya", berkata salah seorang dari mereka
dengan wajah menunduk seperti menyesali perbuatannya. "Aturan kerajaan Majapahit telah dinodai, hukum
keadilan yang selama ini di jaga sejak jaman para leluhur
penguasa di Jawadwipa ini telah diciderai. Siapakah
gerangan penguasa yang telah merubah aturan ini wahai
paman berdua?", bertanya Gajahmada kepada kedua
orang itu. "Tumenggung Yasakala, penguasa di Kahuripan",
berkata salah seorang diantara mereka.
"Setelah urusanku selesai, aku akan menyelidiki
persoalan ini", berkata Gajahmada kepada kedua orang
itu sambil melompat keatas kudanya.
"Kembalilah kalian berdua ke keluarga kalian masingmasing, menjadi pembegal bukan sebuah pilihan yang
baik", berkata Gajahmada seperti merasa yakin bahwa
kedua orang itu akan menyadari kesalahan dirinya dan
berhenti menjadi sorang pembegal jalanan.
Terlihat kedua orang itu masih berdiri manakala
Gajahmada dengan kudanya telah menghilang di sebuah
kelokan jalan. "Anak muda yang sakti", berkata si wajah kasar
kepada kawannya. "Untungnya anak muda itu telah berbaik hati kepada
kita", berkata kawannya sambil menarik nafas panjang
membayangkan bila saja Gajahmada menurunkan
331 tangannya berbuat keras kepada mereka berdua,
pastinya mereka berdua tidak mampu menghindar dan
menghadapinya. "Pasti seorang prajurit perwira tinggi dari Kotaraja
Majapahit", berkata si wajah kasar kembali.
"Tumenggung Yasakala pasti akan menghadapi
ganjalan besar lewat anak muda itu", berkata kawannya
berharap akan terjadi perubahan aturan yang selama ini
sangat tidak berpihak kepada para petani.
"Mari kita kembali ke rumah kita", berkata si wajah
kasar kepada kawannya. Namun belum lama mereka berjalan, terlihat tiga
orang telah keluar dari balik semak-semak dan langsung
menghadang kedua orang itu.
"Kebetulan sekali kami lewat dan mendengar kalian
berdua telah menjelek-jelekkan nama baik junjungan
kami, Tumenggung Yasakala", berkata salah seorang
dari ketiga orang yang datang menghadang.
"Kami tidak menjelek-jelekkan siapapun, kami hanya
berbicara apa adanya sesuai dengan kebenaran yang
selama ini terjadi", berkata orang yang berwajah kasar
penuh ketenangan merasa dapat menghadapi ketiga
orang penghadang itu. Dengan harapan kawannya dapat
meringankan bila terjadi pertempuran.
"Kalian berdua harus bertanggung jawab atas apa
yang kalian katakan kepada orang asing itu", berkata
salah seorang dari ketiga orang penghadang itu.
"Kami berdua bukan orang mudah digertak", berkata
kawan si orang berwajah kasar sambil tersenyum kecut.
"kalian berdua tidak bersenjata, bagaimana dapat
menghadapi kami", berkata kembali salah seorang dari
332 ketiga penghadang itu yang nampaknya adalah seorang
pimpinan dari mereka bertiga.
Tumenggung Yasakala ternyata punya banyak kaki
tangan yang bertugas memata-matai para warganya.
Nasib buruk akan menimpa siapa saja yang dicurigai
telah menentang semua kebijakan sang Tumenggung
Yasakala. Tiga orang yang datang menghadang itu
adalah sebagian dari kaki tangan Tumenggung Yasakala
yang sangat dipercaya. "Menyerahlah kalian agar dapat kami bawa
menghadap tuanku Tumenggung Yasakala", berkata
kembali salah seorang diantara mereka kepada dua
orang warganya itu. "Apa untungnya membiarkan diri dibawa menghadap
tuanmu, yang kami tahu akan menjadi korban
penyiksaan di istana Kahuripan", berkata si orang
berwajah kasar dengan dada dan wajah menengadah.
"Kalau begitu kalian memang memilih mati di jalan
ini", berkata salah seorang diantara mereka sambil
melepas senjata golok panjangnya.
Kedua temannya ikut melepas senjatanya dan telah
bergerak mengepung kedua orang tak bersenjata itu.
"habisi mereka !!", berkata pemimpin mereka.
Maka pertempuran pun telah terjadi.
Sebuah pertempuran yang berat sebelah, dimana
dua orang tak bersenjata menghadapi tiga orang
bersenjata. Namun nampaknya kedua orang begal itu punya
kemampuan yang cukup lumayan, masih dapat berkelit
kesana kemari menghadapi tiga orang kaki tangan
Tumenggung Yasakala yang bersenjata itu.
333 Hingga akhirnya salah seorang kawan si orang
berwajah kasar itu sedikit lengah, sebuah sabetan
senjata penyerangnya berhasil menggores pangkal
kakinya. "Achhh"!!", berteriak orang itu merasakan pangkal
kakinya menjadi begitu pedih dan langsung mundur jatuh
berguling di tanah. "Menyerahlah, kamu tinggal sendiri", berkata seorang
pemimpin mereka sambil mengancam dengan golok
panjangnya. "Aku tidak akan menyerah", berkata si wajah kasar
penuh keberanian. Mendengar dan melihat sikap yang penuh keberanian
itu telah membuat tiga orang penyerang merapatkan
kepungan mereka. "Lebih baik aku mati disini", berkata si wajah kasar
dalam hati sambil mengadu giginya untuk menguatkan
semangatnya. Kasiman memang si orang berwajah kasar itu, ketika
berdua menghadapi tiga orang penyerangnya saja sudah
terlihat kewalahan. Maka sudah dapat diperhitungkan
bahwa dalam waktu yang singkat sudah pasti dapat di
gulung oleh ketiga penyerang yang bersenjata itu.
Terlihat wajah dan tubuh orang berwajah kasar itu
sudah basah dengan peluh, tenaganya pun terlihat
sudah mulai menyusut. Sementara ketiga penyerangnya
terlihat semakin garang dan begitu sangat bernafsu
untuk segera menghabiskan lawan tunggalnya itu.
Orang berwajah kasar itu memang masih mampu
berkelit menghindari serangan, namun terlihat semakin
lamban bergerak. 334 Hingga di sebuah penyergapan bersama, tiga buah
senjata penyerangnya terlihat telah mengepungnya dari
tiga penjuru arah. Nampaknya dua dari tiga serangan
bersenjata itu tidak mungkin lagi dapat dihindarkan.
Untunglah nasib baik masih berada di jalan hidup
orang berwajah kasar itu manakala dirinya menjadi
pasrah hanya dapat mengelak sebuah serangan
didepannya, maka dengan mata terbelalak dilihatnya tiga
senjata lawannya tiba-tiba saja menghilang terlepas dari
genggaman tangan ketiga penyerangnya.
"Kalian telah berlaku tidak adil, menyerang orang
tidak bersenjata", berkata seorang anak muda dari atas
punggung kudanya yang tidak lain adalah Gajahmada.
Anak muda itu terlihat berbicara sambil memegang
tiga buah senjata golok panjang yang direbutnya dengan
cara dan gerakan yang sangat cepat sekali tak
terjangkau oleh pandangan orang biasa.
Terlihat ketiga orang kaki tangan Tumenggung
Yasakala merasa gentar dan menyadari telah
berhadapan dengan seorang yang berilmu sangat tinggi.
Namun manakala melihat Gajahmada yang masih
muda itu telah membuat ketiga orang itu kembali timbul
keberaniannya menganggap apa yang dilakukan oleh
Gajahmada adalah akibat keteledoran mereka.
"Turun kamu dari kudamu, agar kami mudah
mengikatmu dan membawamu menghadap tuanku
Tumenggung", berkata salah seorang dari mereka.
"Aku memang hendak menemui tuanmu, namun
kalianlah yang akan aku ikat", berkata Gajahmada sambil
turun dari kudanya dan membuang tiga buah golok
panjang yang baru saja direbutnya itu.
335 "Anak muda sombong", berkata salah seorang dari
mereka langsung menghampiri Gajahmada.
Entah dengan cara apa yang dilakukan oleh
Gajahmada, gerakannya sangat begitu cepat tak
terjangkau oleh penglihatan orang biasa.
Terlihat tiba-tiba saja orang yang menghampirinya
sudah terlempar dengan wajah sembab biru seperti
tertampar oleh tangan dan tenaga yang sangat keras.
Terlihat orang itu sudah jatuh terlempar di tanah dan
pingsan. Melihat salah seorang teman mereka pingsan tak
berdaya, kedua orang itu langsung menerjang
Gajahmada. Sama sebagaimana nasib seorang kawannya yang
pertama, kedua orang itu terlihat bersamaan terlempar
terguling-guling diatas tanah.
Terlihat orang yang berwajah kasar itu seperti
terkesima berdiri mematung melihat dua orang lawannya
sudah tidak bergerak lagi, nampaknya telah menjadi
pingsan. "Hanya dengan satu gebrakan telah dapat
merobohkan ketiga orang lawan, anak muda yang


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berilmu sangat tinggi", berkata orang berwajah kasar itu
sambil memandang Gajahmada.
Sementara Gajahmada sendiri telah berjalan
menghampiri kawan orang berwajah kasar itu yang
terluka. Terlihat Gajahmada tengah menaburkan sebuah
bubuk obat ke sekitar luka orang itu.
336 "Perih sekali", berkata orang itu sambil meringis
merasa obat yang diberikan oleh Gajahmada telah
menimbulkan rasa perih yang sangat.
"Obat ini akan memanpatkan lukamu", berkata
Gajahmada kepada orang itu.
"Terima kasih", berkata orang itu merasakan lukanya
memang berangsur tidak mengeluarkan darah lagi
sekaligus rasa perihnya sudah semakin berkurang.
"Lekaslah kalian kembali pulang, agar tidak
berurusan lebih panjang dengan orang-orang ini",
berkata Gajahmada kepada kedua orang yang pernah
bermaksud membegalnya itu.
"Apa yang anak muda akan lakukan kepada ketiga
orang itu?", bertanya orang berwajah kasar itu kepada
Gajahmada. "Aku akan mengikatnya dan memaksanya membawaku kehadapan Tumenggung Yasakala",
berkata Gajahmada perlahan.
"Menghadap Tumenggung Yasakala?", bertanya
orang berwajah kasar itu kepada Gajahmada dengan
wajah penuh kekhawatiran.
"Tidak perlu khawatir, aku bisa mengurus semua ini
sendiri", berkata Gajahmada dengan wajah penuh
senyum mengerti dan menangkap kekhawatiran orang
itu. Demikianlah, manakala kedua orang itu sudah pergi,
terlihat Gajahmada telah mendapatkan bahan tali dari
kulit kayu untuk mengikat ketiga orang kaki tangan
Tumenggung Yasakala itu. 337 "Berjalanlah kalian di depan agar tidak terseret oleh
kudaku", berkata Gajahmada kepada ketiga orang itu
yang telah siuman kembali.
Gajahmada memang telah meminta kepada ketiga
orang itu untuk membawanya kehadapan Tumenggung
Yasakala di istana Kahuripan.
Terlihat ketiga orang itu telah terikat kedua tangannya
berjalan di depan Gajahmada yang berjalan duduk diatas
punggung kudanya. Berjalan dengan tangan terikat memang membuat
perjalanan menjadi lamban, tapi Gajahmada dengan
sabar mengikuti mereka bertiga dari belakang diatas
kudanya. Kota tua Kahuripan memang tidaklah seramai
Kotaraja Majapahit saat itu. Sejak ditinggalkan oleh Raja
Erlangga yang berpindah ke Kotaraja Daha, kota
Kahuripan semakin tertinggal kemajuannya.
Hari senja menjelang malam manakala Gajahmada
dan ketiga tawanannya telah memasuki gerbang batas
kota Kahuripan. "Kulepaskan kalian, kabarkan bahwa malam ini aku
akan menemui tuanmu, Tumenggung Yasakala", berkata
Gajahmada sambil membuka ikatan tali pada tangan
ketiganya. Ketiga orang itu merasa aneh bahwa setelah sampai
di kota Kahuripan mereka telah dilepaskan dengan
begitu saja. Tanpa berkata-kata ketiga orang itu telah berlari
menjauhi Gajahmada. 338 Terlihat Gajahmada tersenyum kecil melihat ketiga
orang itu semakin menjauh berlari cepat dan akhirnya
menghilang di sebuah tikungan jalan.
"Dasar bodoh, kalian bertiga tidak dapat menghadapi
anak muda itu?", berkata Tumenggung Yasakala penuh
kegeraman mendapat berita dan kabar tentang seorang
anak muda yang akan menemui dirinya malam itu.
"Anak muda itu sungguh sangat sakti, kami bertiga
bukanlah tandingannya", berkata salah seorang dari
mereka bertiga sambil bercerita bagaimana mereka
bertiga dapat di robohkan dengan mudahnya oleh anak
muda itu. Akhirnya Tumenggung Yasakala dapat mempercayai
cerita ketiga kaki tangannya itu.
Maka malam itu rumah kediaman Tumenggung
Yasakala terlihat di jaga dengan begitu rapat tidak seperti
hari-hari sebelumnya. Tumenggung Yasakala juga telah mengundang dua
orang jagoan ternama di kota Kahuripan itu untuk
menemaninya bersama di rumahnya.
Angin dingin di kota tua Kahuripan malam itu
berhembus cukup kencang. Tiga buah pohon kelapa di
halaman depan rumah kediaman Tumenggung Yasakala
terlihat bergoyang. Daun dan batang pohon jamblang tua
di sudut kiri pagar halaman terlihat seperti raksasa hitam
bergoyang-goyang menyeramkan.
Terlihat lima orang penjaga di gardu ronda sudah
mulai mengantuk, merasa bahwa anak muda yang konon
akan mengunjungi Tumenggung Yasakala hanya
sesumbar belaka. Mereka merasa tidak yakin bahwa
anak muda itu pasti tidak akan berani bertandang ke
339 rumah kediaman tumenggung Yasakala yang telah di
penuhi banyak para prajurit, juga dua orang jagoan
kenamaan di kota itu. "Menurutku anak muda itu hanya asal sesumbar
untuk datang bertandang ke rumah ini, coba kalian
pikirkan siapa gerangan yang berani seorang diri datang
ke rumah ini. Tentunya bila orang itu sudah kurang akal
atau sudah bosan hidup", berkata salah seorang prajurit
penjaga kepada keempat kawannya di gardu ronda.
Namun baru saja ucapan salah seorang prajurit
berhenti, tiba-tiba saja mereka berlima terkejut melihat
enam buah obor yang terpasang di halaman muka
kediaman Tumenggung padam secara bersamaan.
Terlihat kelima orang prajurit penjaga itu
berhamburan keluar dari gardu ronda untuk melihat apa
gerangan yang telah terjadi.
Bukan main terkejutnya mereka manakala melihat
sepuluh orang prajurit yang sengaja didatangkan dari
istana Kahuripan terlihat telah bergelimpangan di tanah
halaman muka Tumenggung Yasakala.
"Apa yang telah terjadi atas mereka?", bertanya salah
seorang diantara mereka sambil melihat di keremangan
malam beberapa tubuh yang terbaring tidak bergerak di
atas tanah halaman. "Siapa yang telah melakukannya?", bertanya pula
seorang yang lain. Mata mereka pun segera menebar ke sekeliling
halaman, melihat-lihat siapa tahu ada sesuatu yang
dapat menjawab keanehan itu.
Dan tiba-tiba saja nafas kelima prajurit penjaga itu
seperti tertahan manakala mereka melihat berkelebat
340 sesosok bayangan hitam turun dari pohon jamblang yang
lebat itu. Belum sempat berkata apapun manakala sesosok
bayangan dengan begitu cepatnya mendekati mereka
dan langsung merasakan bagian tengkuk sep lehernya
seperti terhantam sebuah pukulan tangan yang amat
keras. Hanya itu yang mereka rasakan, karena setelah
itu mereka berlima terlihat lunglai tak sadarkan diri jatuh
di bumi, pingsan. Mulai padamnya obor di halaman hingga kelima
prajurit penjaga pingsan memang berlangsung dengan
begitu cepatnya. Dan semua yang terjadi di muka
halaman itu telah dilihat oleh mereka yang berada di atas
pendapa rumah Tumenggung Yasakala.
Terlihat dua orang tokoh kenamaan di kota Kahuripan
yang sengaja diundang oleh Tumenggung Yasakala
telah melompat turun ke halaman.
Di keremangan malam, mereka berdua memang
telah melihat seseorang yang berdiri di tengah halaman.
"Siapa kamu"!", bertanya salah seorang
keduanya dengan suara yang membentak garang.
dari "Haruskah kusebut namaku?", bertanya sambil
tersenyum orang yang berdiri di tengah halaman itu
dengan deretan gigi terlihat jelas.
"Dialah anak muda yang mengikat kami", berkata
salah seorang dari ketiga orang kaki tangan
Tumenggung Yasakala yang telah ikut turun ke halaman
dan telah melihat jelas serta mengenali siapa orang yang
berdiri ditengah halaman itu.
"Benar, orang inilah yang telah mengikat tangan
kami", berkata seorang lagi kepada Tumenggung
341 Yasakala yang rumahnya. juga telah ikut turun kehalaman "Nyalimu sungguh sangat besar sekali anak muda",
berkata salah seorang dari kedua tokoh Kahuripan yang
usianya sudah terlihat sangat sepuh sekali, sudah lebih
dari setengah abad terlihat dari uban putih hampir di
seluruh kepala dan janggutnya itu.
"Terima kasih telah menyiapkan sebuah sambutan
istimewa untukku", berkata anak muda itu yang ternyata
adalah Gajahmada. "Ki Ambara, biarlah aku yang maju mengurus anak
muda sombong ini", berkata seorang yang lebih muda
kepada seorang tua yang dipanggilnya dengan sebutan
Ki Ambara. Tanpa menunggu jawaban Ki Ambara, orang itu
sudah melangkah mendekati Gajahmada.
"Sebut namamu, agar aku dapat memberitahukan
kepada ibumu bila di kemudian hari dirinya mencari
mayatmu", berkata orang itu sambil menunjuk dengan
kasar kearah Gajahmada. Mendengar orang itu menyebut ibunya, seketika
Gajahmada seperti terbakar amarahnya. Sudah sejak
kecil dirinya tidak rela mendengar siapapun yang
memperolok-olok ibunya. Namun untung saja Gajahmada tersadar bahwa orang itu hanya sekedar
membakar perasaannya. "namaku Gajahmada, siapa gerangan
paman?", berkata Gajahmada yang sudah
mengendalikan kembali perasaannya.
nama dapat "Di Kahuripan ini siapapun akan lari bila mendengar
namaku", berkata orang itu sambil bertolak pinggang.
342 "Sebut nama Paman, mudah-mudahan aku masih
kuat berdiri lama di tempat ini", berkata Gajahmada
sambil tersenyum. "Dengar baik-baik, namaku Jatayu yang punya
tangan api. Gurumu pasti pernah bercerita kepadamu",
berkata orang itu yang mengaku bernama Jatayu dengan
suara penuh kesombongan. "Sayangnya guruku tidak pernah bercerita apapun
tentang orang yang bernama Jatayu di Kahuripan ini",
berkata Gajahmada tidak menjadi gentar mendengar
sesumbar orang itu. "Bagus, malam ini kamu akan tahu dan menyesal
telah bertemu denganku", berkata orang itu sambil
langsung menerjang dengan cepat dan keras kearah
Gajahmada. "Gerakan paman masih sangat lamban", berkata
Gajahmada sambil dengan cepatnya telah bergeser
kesamping. Semua orang di halaman itu terbelalak penuh
keheranan melihat gerakan Gajahmada yang begitu
cepatnya telah berpindah tempat seperti terbang melesat
tanpa melangkah. Jatayu yang angkuh itu ikut merasa terkesima melihat
lawan mudanya itu telah berpindah tempat dengan
cepatnya. Dan nampaknya telah memaklumi bahwa
lawannya telah memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sangat tinggi. Maka Jatayu langsung telah meningkatkan tataran
ilmunya lebih jauh lagi bergerak lebih cepat dengan
sebuah lompatan panjang seperti seekor elang hendak
menerkam mangsanya. 343 Kali ini menghindar, mendekat. terlihat seperti Gajahmada tidak

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah menunggu berusaha serangan Demikianlah, begitu serangan lelaki yang bernama
Jatayu itu telah begitu dekat, hanya dengan sekali
kibasan tangan saja, tubuh Jatayu telah terlempar sekitar
lima langkah kebelakang dengan badan terguling di
tanah. Orang tua yang bernama Ki Ambara sangat terkejut
sekali, tidak menyangka bahwa anak muda itu ternyata
mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat telah dapat
memukul mundur seorang Jatayu yang sangat
dikenalnya di Kahuripan itu sebagai seorang jawara
paling di segani. Sementara ilmunya sendiri tidak terpaut
jauh dengan Jatayu yang dikenal memiliki kesaktian
berupa tangan yang dapat membara.
"Kita habisi anak sombong ini bersama", berkata Ki
Ambara langsung turun beradu muka dengan
Gajahmada. "Bagus, majulah paman berdua agar secepatnya
urusan di Kahuripan ini dapat kuselesaikan", berkata
Gajahmada tanpa sedikitpun merasa gentar menghadapi
kedua orang undangan Tumenggung Yasakala itu.
Lelaki yang bernama Jatayu memang sudah bangkit
berdiri kembali, kehadiran Ki Ambara telah membuat
dirinya merasa punya kepercayaan diri kembali dan
berharap dapat mengembalikan nama besarnya di
hadapan Tumenggung Yasakala yang telah mengundangnya itu. Gajahmada menyadari bahwa kedua orang lawannya
itu adalah orang yang tangguh, namun kepercayaan diri
Gajahmada begitu besar atas kemampuan yang
344 dimilikinya. Meski begitu Gajahmada tidak sembarangan
bertindak, masih ingin melihat kemampuan orang tua
yang di panggil sebagai Ki Ambara itu.
Demikianlah, Jatayu dan Ki Ambara bersama-sama
menyerang Gajahmada. Ternyata Gajahmada dalam hal kecepatan bergerak
jauh melampaui keduanya, terlihat dengan mudahnya
Gajahmada berkelit kesana kemari menghindari
serangan kedua lawannya itu secara bersamaan.
Dalam sebuah benturan, akhirnya Gajahmada dapat
mengukur kekuatan Ki Ambara yang tidak lebih dari
Jatayu sendiri, hanya selisih beberapa lapis saja.
Setelah dapat mengukur kekuatan lawan, terlihat
Gajahmada sudah mulai melakukan tekanan-tekanan.
Merasa bahwa Gajahmada telah mulai melakukan
tekanan-tekanan yang sangat berbahaya, terlihat Jatayu
telah langsung meningkatkan puncak kemampuannya
yang sangat di banggakan, yaitu telah melambari
kekuatan tangannya seperti api membara.
Sementara itu Ki Ambara juga tidak mau ketinggalan,
telah menunjukkan ilmu andalannya, yaitu sebuah jurus
tangan besi yang dapat meremukkan tulang.
Namun kedua jurus andalan mereka berdua seperti
kalis dihadapan seorang seperti Gajahmada yang telah
mewarisi banyak ilmu yang hebat dari para guru yang
mumpuni di jamannya itu. Terheran-heran Jatayu manakala melihat Gajahmada
tidak merasakan apapun ketika menangkis pukulan
tangannya yang sudah dilambari hawa sakti membara.
Yang lebih terheran-heran lagi adalah Ki Ambara,
benturan tangan dengan Gajahmada berakibat terbalik,
345 dirinyalah yang merasakan tangannya terasa remuk
redam terbentur oleh sebuah batu cadas yang amat
keras. Sebenarnya Gajahmada hanya mempergunakan
seperti lima dari kemampuan ilmunya, tapi telah mampu
melayani bahkan menekan kedua lawannya itu.
Akhirnya setelah merasa cukup bermain-main,
Gajahmada telah bermaksud menyudahi permainannya.
Maka dengan sebuah kecepatan yang sungguh kasat
mata, sebuah tendangan telah bersarang di perut Ki
Ambara, sementara sebuah tamparan tangan tepat
singgah di rahang Jatayu.
Bengg !! Dua tubuh bersamaan jatuh terbanting di bumi
dengan kerasnya. Gemetar Tumenggung Yasakala menyaksikan dua
orang undangannya telah terbaring tidak bergerak lagi di
halaman rumahnya. "keluarkan semua orang kaki tanganmu, aku masih
siap disini untuk menghadapinya", berkata Gajahmada
kepada Tumenggung Yasakala.
"Semua orangku sudah kamu kalahkan, sebutlah apa
gerangan yang kamu inginkan, pasti aku akan
memenuhinya", berkata Tumenggung dengan suara
penuh rayuan. "Aku tidak menginginkan kekayaanmu, karena kutahu
semua dari hasil memeras orang-orang miskin di
Kahuripan ini", berkata Gajahmada dengan wajah penuh
kebencian melihat sikap Tumenggung Yasakala yang
sangat penuh manis kepalsuan itu.
346 "Bila harta tidak kamu inginkan, aku dapat
membawakan untukmu para dara yang tercantik di
Kahuripan ini", berkata Tumenggung Yasakala masih
dengan sikap penuh rayuan.
Melihat sikap Tumenggung Yasakala seperti itu telah
membuat Gajahmada semakin jijik memandangnya,
dalam hati sudah banyak gadis cantik di Kahuripan ini
yang menjadi korbannya. "perhatikan baik-baik apa yang ada di tanganku ini",
berkata Gajahmada sambil mengangkat keris Nagasasra
tinggi-tinggi di hadapan Tumenggung Yasakala.
Bukan main terkejutnya Tumenggung Yasakala
manakala melihat keris yang dibalut oleh kain berwarna
merah putih itu, sebagai seorang pejabat tinggi dirinya
sangat mengenal betul keris yang ada di tangan anak
muda itu. "Ampunkan hamba yang hina ini, tidak tahu telah
berhadapan dengan utusan Tuanku Baginda Raja
Sanggrama Wijaya", berkata Tumenggung Yasakala
sambil duduk bersimpuh dihadapan Gajahmada.
Melihat sikap Tumenggung Yasakala yang berharap
belas kasih itu telah membuat kebencian Gajahmada
kepada orang itu menjadi berkurang.
"Tahukah kamu apa hukuman bagi seorang pejabat
kerajaan yang telah menggunakan amanat suci sabda
Baginda Raja Sanggrama Wijaya", kamu bersama
keluargamu akan dijadikan sebagai budak belian yang
hina", berkata Gajahmada dengan nada suara penuh
kewibawaan. 347 "Ampunilah jiwa hamba ini", berkata Tumenggung
Yasakala penuh dengan suara pengharapan dan belas
kasih dari Gajahmada. "Jiwamu dan keluargamu kuampuni, namun sebagai
imbalannya bahwa kamu harus mengeluarkan seluruh
harta kekayaanmu untuk di bagikan kepada seluruh
warga Kahuripan yang selama ini kamu peras tenaganya.
Dan mulai saat ini aku tidak ingin mendengar kembali
bahwa kamu mengambil pajak warga Kahuripan ini
melampaui nilai-nilai keadilan yang telah diamanatkan
oleh Baginda Raja Majapahit", berkata Gajahmada
kepada Tumenggung Yasakala yang masih bersimpuh di
tanah. "Terima kasih telah mengampuni jiwa hamba dan
keluarga hamba. Semua perintah tuanku akan segera
hamba laksanakan", berkata Tumenggung Yasakala
sambil bersujud di hadapan Gajahmada merasa gembira
bahwa anak muda itu telah mengampuni dirinya dan
keluarganya. "Ingatlah, aku akan selalu mengawasimu", berkata
Gajahmada sambil terlihat berbalik badan berjalan
menjauhi Tumenggung Yasakala.
Bukan main terkejutnya hati dan perasaan
Tumenggung Yasakala manakala melihat dengan mata
dan kepalanya sendiri bahwa anak muda itu begitu cepat
berkelebat seperti sebuah bayangan hitam menghilang
dari pandangan matanya. Hebohlah para warga Kahuripan manakala mereka
melihat sendiri puluhan gerobak berisi padi dan jagung
memasuki padukuhan mereka.
348 Dengan penuh rasa suka cita para warga padukuhan
itu menerima padi dan jagung itu yang ternyata dari
Tumenggung Yasakala. "Tumenggung Yasakala telah bermurah hati telah
memberikan kembali apa yang telah diambil dari kita",
berkata seorang petani kepada istrinya.
"Kita tidak perlu lagi mencari kimpul untuk tambahan
makanan anak-anak kita", berkata istri petani itu dengan
wajah berkaca-kaca penuh kegembiraan hati.
Sementara itu di sebuah jalan padukuhan yang masih
berada di dalam wilayah Kahuripan, seorang pemuda
tersenyum diatas kudanya.
"Tumenggung Yasakala telah memenuhi janjinya",
berkata pemuda itu yang tidak lain adalah Gajahmada.
Hembusan angin siang itu terlihat menerbangkan
rambutnya, menyejukkan hati dan perasaannya.
Rembulan tergantung diatas sebuah danau tanpa
angin. Kegelapan malam telah menebarkan sepi manakala
Gajahmada tengah menambatkan tali kudanya di sebuah
pohon kayu yang baru tumbuh di tepi danau itu.
"Aku ada untuk apa?", berkata Gajahmada sambil
memandang bulan bulat terang diantara langit malam.
Terlihat Gajahmada masih memandang rembulan
malam sambil bersandar di sebuah batang pohon kayu
yang rindang. Ternyata lamunannya seperti terbang jauh
menyusuri perjalanan hidupnya, dimulai dari masa
kecilnya bersama ibunya, Nyi Nari Ratih, ayah angkatnya
Patih Mahesa Amping dan Pendeta Gunakara dari Tibet.
349 "Mereka semua telah memberiku sebuah cinta kasih
yang utuh", berkata Gajahmada dalam hati sambil
menarik nafas panjang membayangkan wajah tiga orang
yang pernah ada di sisinya yang dengan penuh
kelembutan kasih sayang telah banyak membimbingnya
mengenal banyak kepelikan rahasia kehidupan.
"Mereka telah memberiku cinta dan harapan, semoga
aku tidak mengecewakan mereka", berkata kembali
Gajahmada dalam hati seperti telah kembali kepada citra
jati dirinya, kemana arah yang hendak diraih dalam hidup
ini. "Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah memberikan
sebuah kepercayaan yang tinggi kepadaku, membawa
bahtera Majapahit ke lautan yang jauh", berkata
Gajahmada sambil meraba gagang kepala keris
Nagasasra yang terselip di pinggangnya.
Kesendirian Gajahmada seperti terjaga manakala
didengarnya suara lolong banyak anjing liar di sekitar
hutan malam. Matanya memandang kearah kudanya
yang gelisah mendengar suara lolongan anjing-anjing liar
itu. "Kegelisahan dan kegembiraan hati datang dan pergi
di dalam setiap jiwa. Itulah kesempurnaan cinta kasih
Gusti yang Maha Agung agar setiap jiwa dapat
mengenalnya, menyadari kekerdilan dan kelemahannya
menghadapi alam yang penuh rahasia dipenuhi kekuatan
tak terjangkau", berkata anak muda itu sambil mencoba
menembus kegelapan hutan malam dengan matanya
yang tajam. Ternyata Gajahmada tidak mendapatkan apapun di
kegelapan hutan malam itu.
350 "Anjing-anjing liar itu telah pergi jauh", berkata
Gajahmada dalam hati sambil melihat kudanya yang
telah kembali berbaring. "Perjalananku ke tempat Ki Gede Bajra Seta masih
sangat jauh", berkata Gajahmada sambil memejamkan
matanya berbaring di batang kayu yang besar yang
tumbuh rindang di pinggir danau itu sambil
membayangkan perjalanannya yang masih sangat jauh
itu. Dan rembulan masih tergantung diatas danau,
sementara malam terus berlanjut berlalu dalam sepi,
tanpa angin sedikitpun. Bumi malam telah terkubur jauh m yang manakala
wajah matahari pagi utuh menerangi kejernihan air
danau. Terlihat seekor ular air meliuk-liuk ke tengah air,
puluhan burung kecil melintas terbang.
"Pagi yang indah", berkata Gajahmada sambil
mengusap kepala kudanya. Tidak lama kemudian anak muda perkasa itu sudah
berlalu meninggalkan danau jernih dibawah perbukitan
hijau itu. Perlahan angin mengusap wajahnya manakala
Gajahmada telah memasuki sebuah jalan keras yang
biasa digunakan oleh para pedagang dan para
pengembara. Jalan keras itu ternyata adalah sebuah jalan menuju
Kademangan Simpang, sebuah Kademangan yang


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup ramai karena sebagai tempat persinggahan para
pedagang dan para pengembara pada saat itu yang
punya tujuan ke Kotaraja Singasari maupun ke Kotaraja
Kediri. 351 Ketika matahari telah bergeser dari puncaknya,
Gajahmada bersama kudanya terlihat telah memasuki
wilayah Kademangan Simpang.
"Masih ada kedai yang masih buka", berkata
Gajahmada dalam hati manakala melihat sebuah kedai di
tengah pasar yang masih buka meski hari pasar di siang
itu sudah berlalu. Terlihat seorang pekatik menerima tali kekang kuda
Gajahmada didepan sebuah kedai.
"Sementara tuan beristirahat di kedai, kuda ini akan
kujaga dan kurawat", berkata seorang pekatik muda itu
kepada Gajahmada yang dilihatnya baru saja menempuh
sebuah perjalanan yang cukup jauh.
Namun Gajahmada tidak langsung mencari tempat
duduk, terlihat matanya menyapu beberapa pengunjung.
Dari pakaian yang dikenakannya, Gajahmada dapat
menduga bahwa sebagian besar pengunjung kedai itu
adalah para pedagang, sementara beberapa orang lagi
adalah para pengembara yang memang banyak terlihat
berkeliaran di banyak tempat di jaman itu.
"Kami akan menyiapkan pesanan tuan", berkata
seorang pelayan tua kepada Gajahmada yang telah
memilih sebuah tempat duduk di kedai itu.
Sambil menanti makanan pesanannya datang, telinga
Gajahmada tertarik sekali dengan sebuah pembicaraan
dua orang pedagang yang duduk tepat tidak jauh dari
dirinya. "Di hutan Kemiri ada sekelompok perampok, namun
sudah sejauh ini tidak ada perhatian sedikitpun dari pihak
kerajaan", berkata seorang pedagang kepada kawannya
itu. 352 "Mungkin letak hutan Kemiri berada di pertengahan
antara Kediri dan Singasari, masing-masing merasa
bukan wewenang-nya", berkata kawan pedagang itu.
"Bila memang berada di tengah-tengah antara
Singasari dan Kediri, setidaknya perihal keberadaan
mereka sudah didengar oleh Ki Gede Bajra Seta",
berkata pedagang itu kembali.
"Menurutku, Ki Gede Bajra Seta sudah tidak lagi
memikirkan masalah keamanan, sudah terlalu sibuk
menghitung dan menumpuk harta kekayaannya", berkata
kawan si pedagang itu. "Sayang sekali bila Ki Gede Bajra Seta telah berubah
pandangan hidupnya, sudah condong kearah duniawi",
berkata kembali pedagang itu sambil menggelenggelengkan kepalanya seperti menyesali sikap Ki Gede
Bajra Seta. "Begitulah manusia kebanyakan, bila sudah terkenal
dan berada di lingkaran kerajaan kadang lupa dengan
tujuan hidupnya semula", berkata kawan pedagang ikut
menanggapi. Sementara itu, Gajahmada yang banyak mengetahui
tentang Ki Bajra Seta dari cerita ayah angkatnya Mahesa
Amping menjadi semakin panas saja mendengarnya.
"Seandainya Mahesa Darma berada di sini dan
mendengar pembicaraan kedua orang itu, aku tidak tahu
apa yang dilakukan olehnya", berkata Gajahmada dalam
hati sambil teringat kepada seorang putra Ki Bajra Seta
yang saat itu telah menjadi seorang prajurit perwira di
kerajaan Singasari. Terkesiap wajah Gajahmada manakala tiba-tiba saja
seorang pemuda tampan berdiri dari tempat duduknya
353 serta datang menghampirinya. Pemuda itu masih seusia
dengannya terlihat menatapnya dengan wajah penuh
senyum. "Bukankah kamu adalah Gajahmada yang datang ke
Kotaraja Singasari bersama pemimpin pengawal
pasukan Majapahit?", berkata pemuda itu masih dengan
wajah penuh senyumnya. Terlihat Gajahmada berdiri dan menatap wajah anak
muda yang sudah mulai diingatnya itu. "Mahesa Darma",
berkata Gajahmada kepada anak muda itu sambil penuh
kehangatan menyambut gembira pertemuan itu yang
sangat tidak terduga-duga.
Ternyata anak muda yang sangat tampan itu adalah
benar Mahesa Darma yang pernah diperkenalkan oleh
Tumenggung Mahesa Pukat ketika Gajahmada berada di
istana Singasari. Seorang putra tunggal Ki Gede Bajra
Seta yang telah menjadi seorang prajurit perwira di
kerajaan Singasari. Mungkin karena mereka berdua merasa punya garis
perguruan yang sama, juga beberapa sikap kepribadian
yang hampir sama, mereka berdua dengan cepatnya
sudah menjadi begitu akrab.
Ketika seorang pelayan membawa pesanan makanan
ke meja Gajahmada, dengan penuh kesopanan Mahesa
Darma meminta kepada pelayan itu untuk membawa
pesanan makanannya bergabung di meja yang sama
dengan Gajahmada. "Bila demikian, kita dapat bersama-sama berjalan ke
Padepokan Bajra Seta", berkata Mahesa Darma kepada
Gajahmada yang telah bercerita tentang tujuan
perjalanannya. 354 "Setidaknya, aku tidak perlu banyak bertanya kepada
banyak orang dimana letak Padepokan Bajra Seta",
berkata Gajahmada penuh kegembiraan.
Ketika kedua pedagang yang membicarakan perihal
Ki Gede Bajra Seta berdiri dan pergi, Gajahmada merasa
heran bahwa Mahesa Darma tidak berbuat apapun
kepada kedua pedagang itu yang telah menghina
ayahnya. "Apakah kamu tengah memikirkan apa yang
dibicarakan oleh kedua pedagang tadi?", bertanya
Mahesa Darma kepada Gajahmada.
Terperanjat Gajahmada tidak menyangka bahwa
Mahesa Darma ternyata dapat membaca apa yang
tengah dipikirkannya. "Benar, aku tengah memikirkannya bahkan
membayangkan sebuah tindakan yang seharusnya kamu
lakukan terhadap kedua pedagang tadi yang telah
menghina ayahmu", berkata Gajahmada.
"Apa yang dilakukan oleh ayahku di dalam hidupnya
tidak untuk mendatangkan pujian dan penghargaan.
Yang dilakukannya hanya sebatas naluri kemanusiaan
sebagai seseorang yang dikaruniai sebuah kelebihan
dari orang kebanyakan. Itulah sebabnya aku putranya
tidak berusaha membersihkan namanya, tidak merasa
tersinggung dengan apapun pendapat dan ungkapan
siapapun yang menghina ayahku", berkata Mahesa
Darma kepada Gajahmada masih dengan sebuah
senyuman yang hangat. Diam-diam Gajahmada sangat mengagumi sikap dan
pandangan anak muda itu. 355 "Gerombolan perampok di hutan Kemiri sangat dekat
dengan Padepokan Bajra Seta, namun ayahmu tidak
melakukan tindakan apapun", berkata Gajahmada
memancing sebuah pertanyaan.
"Mengenai hal itu, aku akan mencoba bertanya
kepada ayahku. Kuyakini pastilah ayahku punya
berbagai pertimbangan untuk tidak langsung menumpasnya", berkata Mahesa Darma dengan nada
pembicaraan yang datar. Akhirnya ketika hari sudah semakin mendekati sore,
keduanya telah sepakat untuk melanjutkan perjalanan
mereka menuju Padepokan Bajra Seta.
Terlihat kedua anak muda itu telah keluar dari
Kademangan Simpang, mereka tidak memacu kuda
untuk berlari cepat, hanya berjalan biasa.
Arah Padepokan Bajra Seta dari Kademangan
Simpang adalah searah jalan menuju Kotaraja Kediri,
terlihat Gajahmada dan Mahesa Darma sudah jauh
meninggalkan Kademangan Simpang.
"Padepokan Bajra Seta berada dibalik pegunungan
hijau itu", berkata Mahesa Darma kepada Gajahmada.
"Belum tengah malam kita sudah dapat mencapainya", berkata Gajahmada memperkirakan jarak
tempuh perjalanan mereka.
"Kita sudah mendekati hutan Kemiri", berkata
Mahesa Darma seperti hendak mengingatkan Gajahmada untuk berhati-hati.
Gajahmada terus mengikuti arah kaki kuda Mahesa
Darma yang mengambil arah ke hutan Kemiri.
356 Matahari di awal sore itu sudah terhalang kerimbunan
hutan Kemiri. Terlihat kuda-kuda mereka telah semakin
masuk kedalam hutan kemiri.
Semakin masuk kedalam, kedua anak muda itu
terlihat semakin berhati-hati, telah memasang segenap
panca inderanya. Sebagai dua orang anak muda yang telah memiliki
kesaktian tinggi, mereka telah menyadari bahwa ada
beberapa pasang mata tengah mengintai mereka
berdua. Namun kedua anak muda itu tidak melakukan
apapun selain duduk diatas kuda masing-masing
mengikuti langkah kaki kuda mereka terus berjalan diatas
tanah keras yang membelah hutan Kemiri.
Hingga ketika mereka telah mulai menemui jalan
terakhir dari hutan Kemiri, mereka berdua tidak
mendapatkan gangguan apapun.
"Besar dugaanku bahwa mereka bukan para
perampok", berkata Mahesa Darma manakala mereka
memang telah keluar dari hutan Kemiri itu.
"Aku juga berpikir demikian, tapi kita belum tahu apa
yang ingin mereka lakukan di hutan Kemiri itu", berkata
Gajahmada ikut memberikan dugaannya.
"Hutan kemiri dan Padepokan Bajra Seta tidak begitu
jauh, ayahku pasti sudah mencoba melakukan sebuah
pengamatan siapa dan apa yang ingin mereka lakukan di
hutan Kemiri itu", berkata Mahesa Darma.
"Membuat aku ingin secepatnya bertemu dengan
ayahmu itu", berkata Gajahmada
"Aku juga sudah sangat rindu suasana Padepokanku
itu", berkata Mahesa Darma sambil menghentakkan
kakinya di perut kudanya agar berlari.
357 Melihat Mahesa Darma telah memacu kudanya,
Gajahmada ikut memacu kudanya.
Terlihat dua ekor kuda telah berlari seperti berpacu
menuju sebuah perbukitan hijau di hadapan mereka.
"Padepokan Bajra Seta ada ditengah hamparan
sawah dan ladang itu", berkata Mahesa Darma ketika
mereka telah berada diatas puncak perbukitan hijau.
Dari atas perbukitan hijau itu, Gajahmada telah
melihat sebuah bangunan yang dikelilingi hamparan
sawah ladang yang cukup luas. Sementara matahari saat
itu telah mulai tenggelam di ufuk barat bumi.
"Sebuah padepokan yang sangat tenang", berkata
Gajahmada kepada Mahesa Darma sambil membayangkan suasana penuh kedamaian memenuhi
alam Padepokan Bajra Seta.
"Aku lahir dan dibesarkan di padepokan itu", berkata
Mahesa Darma dengan penuh kebanggaan masih
memandang dari atas puncak perbukitan hijau.
"Sebagaimana Patih Mahesa Amping dan Baginda
Raja Sanggrama Wijaya", berkata Gajahmada.
"Ayahku sering bercerita tentang mereka berdua,
menurut ayahku mereka berdua adalah dua orang cantrik
terbaik di padepokan Bajra Seta", berkata Mahesa
Darma kepada Gajahmada. "Hanya guru yang hebat saja yang dapat melahirkan
murid yang luar biasa", berkata Gajahmada.
Terlihat Mahesa Darma hanya tersenyum kecil
mendengar pujian Gajahmada tentang ayahnya.
"Mari kita menuruni perbukitan ini", berkata Mahesa
Darma sambil menepuk pundak kudanya.
358 Kedua anak muda itupun terlihat tengah menuruni
perbukitan itu, sementara hari sudah terlihat semakin
redup di penghujung senja itu.
Dan manakala kuda-kuda mereka telah memasuki
wilayah tanah perdikan Bajra Seta, dua tiga orang yang
masih berada diluar rumah mereka terlihat melambaikan
tangannya kepada Mahesa Darma yang juga langsung
membalas lambaian tangan mereka.
Melihat hal demikian, Gajahmada langsung menarik


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah kesimpulan bahwa Mahesa Darma adalah
seorang anak muda yang rendah hati yang sangat
dikenal di daerah tanah perdikan milik ayahnya itu.
Ketika mereka berdua telah mendekati Padepokan
Bajra Seta, terlihat Mahesa Darma menghentikan
kudanya di dekat dua orang berpakaian petani yang
nampaknya baru saja kembali dari sawah.
"Ternyata orang kotaraja Singasari yang datang",
berkata salah seorang dari mereka menyambut
kedatangan Mahesa Darma yang langsung turun dari
kudanya. "Paman Mahesa Semu dan Paman Muntilan, aku
datang bersama kawan dari Majapahit", berkata Mahesa
Darma memperkenalkan Gajahmada kepada kedua
pamannya itu. Dengan penuh rasa hormat, terlihat Gajahmada
memperkenalkan dirinya dan ikut berjalan sambil
menuntun kudanya sebagaimana Mahesa Darma.
"Kalian berdua langsung saja ke pendapa, biar kuda
kalian kami bawa ke kandang belakang", berkata Paman
Muntilan kepada Mahesa Darma dan Gajahmada.
359 "Terima kasih", berkata Gajahmada kepada Paman
Mahesa Semu yang mengambil tali kekang kudanya,
sementara tali kekang kuda Mahesa Darma telah diambil
oleh Paman Muntilan. "Orang-orang tua yang hebat", berkata Gajahmada
sambil memandang kedua orang tua itu yang sudah
berlalu sambil menuntun kuda. Sebagai seorang yang
menguasai ilmu kanuragan dapat langsung menilai
bahwa kedua orang tua itu pastinya seorang yang sangat
terlatih dilihat dari cara mereka melangkah.
Mata Gajahmada berpaling kearah pendapa dimana
saat itu terlihat seorang lelaki tua penuh senyum
memandang mereka berdua yang masih berada di
halaman muka tengah melangkah kearah tangga
pendapa padepokan Bajra Seta.
"Selamat datang wahai putraku", berkata lelaki tua
diatas pendapa menyambut penuh hangat kedatangan
Mahesa Darma. Mahesa Darma segera memperkenalkan Gajahmada
kepada ayahnya sebagai seorang sahabat dari
Majapahit. Bukan main senang hati Ki Gede Bajra Seta
manakala Gajahmada bercerita bahwa dirinya adalah
putra angkat Patih Mahesa Amping.
"Jodoh bahwa kita dapat saling bertemu, nampaknya
kamu sudah mewarisi apa yang dimiliki oleh ayah
angkatmu itu", berkata Ki Bajra Seta yang bernama asli
Mahesa Murti itu. "Apa yang kumiliki ini tidak dapat dibandingkan
dengan Ki Bajra Seta", berkata Gajahmada.
360 "Kamu terlalu merendahkan dirimu", berkata Ki Bajra
Seta dengan senyum dan tatapan mata yang sepertinya
tengah mengukur kedalaman isi hati Gajahmada.
Ketika tatapan mata mereka saling bertemu, terlihat
keduanya seperti tersentak bersama, seperti baru saja
memasuki sebuah mata air yang dalam tak terukur.
Segera Gajahmada mengalihkan pandangan sambil
bercerita tentang maksud dan tujuannya menemui Ki
Bajra Seta. "Jadi Baginda Raja Sanggrama Wijaya bermaksud
untuk pungut mantu sekaligus pengangkatan pengantin
itu menjadi raja muda di Kahuripan dan Singasari",
berkata Ki Bajra Seta setelah mendengar penuturan
Gajahmada. "Tiga hari Gajahmada setelah purnama kedua", berkata "Semoga diri ini diberikan kesehatan untuk dapat
datang menghadirinya", berkata Ki Bajra Seta.
Akhirnya dalam sebuah kesempatan, Mahesa Darma
mencoba bertanya tentang sebuah gerombolan yang ada
di hutan Kemiri kepada ayahnya itu.
Mendengar pertanyaan Mahesa Darma, Ki Bajra Seta
tidak langsung menjawab, hanya terlihat menarik nafas
panjang dan terdiam sejenak.
Terlihat pula Mahesa Darma dan Gajahmada seperti
tidak sabar untuk segera mengetahui apa yang ada
dalam pikiran orang tua itu.
"Beberapa cantrik di Padepokan Bajra Seta ini
pernah melakukan pengamatan dan penyelidikan di
hutan Kemiri itu, nampaknya mereka bukan sebuah
gerombolan perampok", berkata Ki Bajra Seta sambil
361 memandang kedua anak muda yang penuh perhatian
mendengar penuturannya. "Sebuah penggalangan kekuatan untuk mengganggu
tata kehidupan yang sudah mapan?", berkata Mahesa
Darma mencoba menyampaikan pikirannya.
"Siapa dibelakang mereka dan apa yang ingin
mereka lakukan?", bertanya pula Gajahmada seperti
menyetujui kesimpulan dan pemikiran Mahesa Darma.
Jilid 5 Terlihat Ki Gede Bajra Seta sedikit tersenyum sambil
menatap kedua anak muda dihadapannya itu yang
nampaknya begitu semangat membicarakan perihal
sebuah kelompok di hutan Kemiri.
"Sampai saat ini kami belum dapat memastikan apa
yang akan mereka lakukan, hanya kami telah dapat
memastikan dari mana mereka berasal serta siapa
dibelakang mereka itu", berkata Ki Gede Bajra Seta
kepada Gajahmada dan Mahesa Darma.
"Siapa orang dibelakang gerombolan itu?", bertanya
Gajahmada kepada Ki Gede Bajra Seta
"Kami sudah dapat memastikan bahwa mereka
adalah orang-orang dari Lamajang", berkata Ki Gede
Bajra Seta penuh kepastian. "Namun kami belum dapat
membaca gerak dan langkah mereka di hutan Kemiri itu",
berkata kembali Ki Gede Bajra Seta.
"Hutan Kemiri lebih dekat ke Tumapel dibandingkan
dengan Kediri. Apakah ada kaitannya dengan
pengangkatan Raja muda di Tumapel dalam waktu dekat
ini?", berkata Mahesa Darma mencoba menyampaikan
jalan pikirannya. 362 "Berita tentang pengangkatan Raja Muda Kertawardana mungkin sudah tersebar hingga ke
Lamajang, mereka ingin menggempur kekuatan
Majapahit lewat Tumapel", berkata Gajahmada ikut
memberikan pemikirannya. "Masih banyak kemungkinan lain yang dapat terjadi,
Baginda Raja Sanggrama Wijaya harus segera di
beritahukan mengenai gerakan di Hutan Kemiri ini.
Mungkin sebagai seorang Raja, dirinya dapat melihat
kemungkinan yang lebih banyak dibandingkan dengan
pemikiranku yang hanya sebatas Tanah Perdikan Bajra
Seta ini", berkata Ki Gede Bajra Seta penuh kerendahan
hati. "Manakala kembali, aku akan menyampaikan hal ini
kepada Baginda Raja", berkata Gajahmada.
"Bila ada hal yang baru mengenai para gerombolan di
hutan Kemiri, akan segera kami sampaikan ke Kotaraja
Majapahit", berkata Ki Gede Bajra Seta.
"Memukul seekor ular memang harus kepalanya,
namun kita harus mengetahui dan memastikan seberapa
bahaya ekornya", berkata Mahesa Darma.
"Memukul seekor ular memang di arah kepalanya,
namun tidak disaat malam gelap seperti ini", berkata Ki
Gede Bajra Seta dengan wajah penuh senyum ke arah
Mahesa Darma dan Gajahmada.
"Ayah mulai berteka-teki, apa hubungannya ular
dengan malam gelap?", berkata Mahesa Darma yang
mengetahui bahwa sifat asli ayahnya itu yang penuh
dengan rasa candanya. "Jangan terlalu berpikir jauh, maksudku bahwa hari
sudah jauh malam, saatnya kalian untuk beristirahat",
363 berkata Ki Gede Bajra Seta dengan tawa dan senyum
perlahan. Mendengar perkataan dari Ki Bajra Seta, terlihat
Gajahmada dan Mahesa Darma seperti ikut tersenyum.
Saat itu hari memang telah jauh malam, halaman
padepokan Bajra Seta sudah terlihat gelap. Sementara
diatas panggungan terlihat beberapa cantrik tengah
bersenda gurau mengisi dinginnya malam.
Pagi yang cerah Padepokan Bajra Seta. mengisi suasana di sekitar Dari atas pendapa Padepokan, Gajahmada melihat
suasana kesibukan para cantrik di awal pagi itu.
Beberapa cantrik keluar membawa perlengkapan
pertanian, sementara beberapa orang lagi terlihat tengah
menyapu halaman muka Padepokan.
"Mumpung masih hangat", berkata Ki Gede Bajra
Seta menawarkan wedang jahe yang telah tersedia
kepada Gajahmada. Selain Ki Gede Bajra Seta dan Mahesa Darma,
Gajahmada diatas pendapa Padepokan juga ditemani
oleh para sesepuh Padepokan antara lain Ki Muntilan
dan Paman Mahesa Semu. Diam-diam Gajahmada menilai sikap para penghuni
Padepokan Bajra Seta sebagai orang-orang yang sangat
sederhana namun mempunyai rasa persaudaraan yang
tinggi. Dirinya juga mengetahui bahwa mereka adalah
orang-orang yang punya tataran tingkat ilmu yang cukup
mumpuni. "Kita belum dapat memastikan apa yang diinginkan
oleh para gerombolan di Hutan Kemiri, kita harus lebih
teliti agar kita bisa menggebuk kepala ular yang
364 sebenarnya", berkata Ki Bajra Seta ketika pembicaraan
beralih ke masalah para gerombolan di Hutan Kemiri.
"Perampokan yang terjadi adalah sikap sedikit
diantara mereka yang kurang disiplin", berkata Paman
Mahesa Semu yang pernah melakukan penyelidikan di
sekitar hutan Kemiri itu.
"Mengenai penanaman jagung di beberapa tempat
terbuka di hutan Kemiri adalah sebuah pertanda bahwa
mereka punya sebuah rencana tertentu dalam waktu
tertentu pula", berkata Ki Muntilan memberikan
pandangannya. "Rencana itulah yang harus kita pastikan, agar dapat
membawa kita kearah siapa dalang dibalik mereka itu",
berkata Ki Bajra Seta. "Baginda Raja Sanggrama Wijaya akan merasa
gembira bahwa jauh dari istana Majapahit masih ada
orang-orang yang berada dibelakangnya menjaga bumi
Majapahit ini", berkata Gajahmada.
"Kami hanya melakukan apa yang dapat kami
lakukan untuk bumi ini, melihat para petani bergembira
menikmati hasil panennya, melihat para pedagang tanpa
kegelisahan di setiap perjalanannya", berkata Ki Bajra
Seta dengan wajah penuh keceriaannya.
"Sayangnya, ada sebagian orang yang tidak suka
melihat kedamaian dan ketentraman tumbuh di bumi
Majapahit ini" berkata Mahesa Darma.
"Banyak hal yang melatari, antara lain masalah
dendam dan sakit hati, juga ketamakan hati dari orangorang yang haus kekuasaan merasa ingin memiliki
kekuasaan lebih besar lagi dari apa yang dimiliki saat ini",
berkata Ki Bajra Seta. 365 Diam-diam pikiran Gajahmada melayang jauh ke
Lamajang, teringat kepada seorang mantan penguasa
besar dari Sunginep yang bersembunyi di Lamajang.
Namun Gajahmada tidak menyampaikan pikirannya
mengenai orang yang tengah diawasi oleh pihak istana
Majapahit di Lamajang. Terlihat Gajahmada kembali menyimak pembicaraan
Ki Bajra Seta diatas pendapa Padepokan.
"Dengan pemahaman bathiniah, seseorang akan
mengenal jati dirinya, memahami arah dari mana dan
akan kemana akhir hidup ini. Manusia yang paling sakti
adalah manusia yang dapat mengenal nafsunya sendiri",
berkata Ki Gede Bajra Seta.
Mendengar perkataan Ki Gede Bajra Seta, semua
yang berada diatas Padepokan itu seperti tengah
merenungi dirinya sendiri, sejenak suasana diatas
padepokan Bajra Seta seperti hening seketika.
"Aku berharap para cantrik dari padepokan ini yang
telah menjadi prajurit di istana Tumapel akan menjadi
prajurit yang andal lahir dan bathin", berkata Ki Gede
Bajra Seta mencoba memecahkan keheningan di atas
pendapa Padepokan. "Dalam pengamatanku, sampai saat ini mereka
adalah para prajurit yang sangat diandalkan di
kesatuannya masing-masing", berkata Mahesa Darma
kepada ayahnya. "Aku bahagia mendengarnya", berkata Ki Gede Bajra


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seta penuh kegembiraan. Mendengar pembicaraan mereka berdua, pikiran
Gajahmada seperti tengah membayangkan sebuah
pasukan yang sangat kuat dan mapan. "tempaan di
366 Padepokan ini akan melahirkan para prajurit yang andal
lahir dan bathin", berkata Gajahmada dalam hati.
Bayangan dan pikiran Gajahmada akhirnya seperti
berpindah arah ke sebuah suasana kegembiraan hati
para penghuni Tanah Perdikan manakala menghadapi
hari panen raya ketika Ki Muntilan mengalihkan
pembicaraan tentang keadaan sawah mereka yang
sebentar lagi akan di panen.
"Tanaman padi kita sudah bunting tua, tiga hari lagi
dapat dipastikan sudah siap panen", berkata Ki Muntilan
penuh kegembiraan hati. "Gusti yang Maha Agung telah melimpahkan rizki
yang besar kepada kita", berkata Ki Gede Bajra Seta
penuh kebahagiaan. Pembicaraan mereka nampaknya terhenti manakala
beberapa orang cantrik terlihat tengah memasuki pintu
regol Padepokan. "Tidak terasa hari sudah menjelang siang", berkata
Paman Mahesa Semu sambil memandang para cantrik
yang baru saja memasuki regol pintu Padepokan,
nampaknya habis bekerja di sawah.
Sementara itu dari pintu pringgitan seorang wanita
datang menghampiri mereka di pendapa Padepokan,
ternyata wanita itu adalah Nyi Gede Bajra Seta yang
masih terlihat cantik terawat meski usianya sudah
dipastikan tidak terpaut jauh dari Ki Gede Bajra Seta.
"Makanan di dapur sudah siap untuk disajikan",
berkata Nyi Gede Bajra Seta sambil memandang kearah
putranya, Mahesa Darma dan Gajahmada.
367 "Sengaja ibumu memasak gurame pepes, kesukaanmu", berkata Ki Gede Bajra Seta kepada
Mahesa Darma "Pantas, sedari tadi aku mencium aroma kemangi
yang terbakar", berkata Ki Muntilan dengan senyum
malu-malu. Mendengar pembicaraan mereka, lamunan Gajahmada seperti terbang ke Kotaraja Majapahit,
terbayang wajah ibundanya yang juga sangat
menyayanginya sebagaimana Nyi Gede Bajra Seta
kepada putranya itu, Mahesa Darma.
Sementara itu angin semilir masuk ke pendapa
terasa begitu menyejukkan diantara kerindangan dan
keteduhan suasana halaman muka Padepokan Bajra
Seta yang dinaungi tiga buah pohon beringin putih yang
tinggi menyatu satu dengan yang lainnya berdiri di
tengah halaman Padepokan.
Tidak terasa, matahari telah bergeser perlahan ke
barat. "Berat rasanya hati ini mengucap, diberati perjamuan
dan kehangatan suasana di Padepokan ini. Namun apa
boleh buat bahwa aku harus berpamit diri untuk kembali
ke Kotaraja Majapahit", berkata Gajahmada berpamit diri
kepada Ki Gede Bajra Seta, Mahesa Darma, Ki Muntilan
dan Paman Mahesa Semu. "Pintu Padepokan Bajra Seta selalu terbuka untukmu,
wahai anak muda", berkata Ki Gede Bajra Seta penuh
keramahan. "Sayang bahwa aku masih dua tiga hari disini, bila
tidak kita dapat berjalan bersama, setidaknya hingga
Kademangan Simpang", berkata Mahesa Darma merasa
368 sangat singkat pertemuan dirinya dengan sahabat
barunya itu, Gajahmada. "Semoga saja aku diijinkan menemani Ki Gede untuk
datang ke Kotaraja Majapahit saat perayaan besar itu",
berkata Paman Mahesa Semu sambil melirik kearah Ki
Gede Bajra Seta yang membalasnya dengan senyum
kecil. "Tunggulah disini, biar aku yang akan membawakan
kudamu", berkata Ki Muntilan yang langsung menuruni
anak tangga pendapa. Maka tidak lama berselang terlihat Ki Muntilan telah
datang kembali sambil membawa kuda milik Gajahmada.
"Aku akan merindukan kalian bertemu di Kotaraja
Majapahit", berkata Gajahmada sambil melambaikan
tangannya dari atas punggung kudanya.
Terlihat kuda Gajahmada telah melewati regol
gerbang Padepokan Bajra Seta diikuti tatapan mata Ki
Bajra Seta, Mahesa Darma, Ki Muntilan dan Mahesa
Semu. Angin semilir mengurai rambut hitam Gajahmada
diatas punggung kudanya, setengah berlari Gajahmada
memacu kudanya diatas tanah bulakan panjang menuju
sebuah perbukitan hijau. Hari telah mendekati saat senja manakala
Gajahmada tengah menuruni perbukitan hijau menuju
arah Hutan Kemiri. Kadang Gajahmada berjalan dibawah kerindangan
pohon-pohon besar yang menghalangi cahaya matahari
masuk menerangi jalan tanah yang keras yang
369 nampaknya sudah begitu sering dilalui oleh para
pedagang. Namun manakala selentingan berita mengenai
perampokan yang terjadi di Hutan Kemiri, beberapa
pedagang terpaksa telah mencari jalan lain yang lebih
aman. Terlihat anak muda yang telah mewarisi berbagai
ilmu kesaktian dari beberapa orang sakti itu begitu
tenang menuruni perbukitan hijau diatas punggung
kudanya. Ketika Gajahmada telah berada di kaki bukit hijau,
matahari terlihat sudah tipis mengintip di bumi sebelah
barat. Batang-batang ilalang yang tinggi terlihat seperti
menenggelamkan tubuh Gajahmada yang berjalan
perlahan. Nampaknya anak muda itu punya maksud dan
rencana tersendiri sengaja memperlambat laju kudanya.
Ternyata Gajahmada memang punya maksud
tersendiri memperlambat laju kudanya agar ketika tiba di
hutan Kemiri di saat hari telah menjadi gelap malam.
Perlahan tapi pasti, sang malam mulai menyelimuti
wajah bumi, dan terlihat Gajahmada bersama kudanya
telah mulai mendekati arah muka hutan Kemiri yang
sudah terlihat gelap pekat,
Tanpa menambah dan mengurangi laju kudanya,
Gajahmada terlihat sudah mulai memasuki hutan Kemiri
yang pada saat itu diketahui telah mulai dipenuhi oleh
orang-orang dari Lamajang.
Sedikit sekali ada orang yang berani memasuki hutan
belantara di saat malam hari. Disamping para perampok
yang sangat ditakuti, bahaya lain yang bahkan lebih
370 menakutkan dari para perampok adalah keberadaan
binatang buas yang biasanya berkeliaran disaat malam
seperti harimau dan gerombolan serigala.
Namun rasa percaya diri anak muda itu benar-benar
begitu tinggi. Nampaknya Gajahmada telah benar-benar
meyakini kesaktian yang dimilikinya sebagai anugerah
dari Yang Maha Agung untuk melindungi dirinya.
Terlihat Gajahmada masih berada diatas punggung
kudanya seperti perlahan membelah dua sisi hutan
Kemiri. Sambil berjalan tangannya meraba pangkal keris
yang selalu berada di pinggangnya itu. Hanya orangorang yang memahami keris saja yang tahu dari bahan
kayu apa gerangan pangkal keris itu terbuat. Konon
pangkal kayu itu berasal dari sebuah pokok akar kayu
hitam yang telah berumur ratusan tahun. Sedikit orang
yang mengetahui bahwa harum wangi kayu itu mampu
tercium oleh binatang buas yang berada ditempat yang
cukup jauh. Tidak satupun binatang buas yang berani
terlalu dekat dengan kayu hitam itu, mereka pasti
langsung pergi jauh menghindar.
Namun, rasa kepercayaan diri dari anak muda ini
ternyata bukan karena telah memiliki kemampuan yang
sangat tinggi atau sebuah keris Nagasasra yang bertuah
itu, ternyata rasa kepercayaan diri yang tinggi itu berasal
dari dirinya sendiri yang bersumber dari pemahaman dan
pengenalannya atas pemilik kekuasaan yang hakiki,
Gusti Yang Maha Agung pemilik alam semesta ini.
"Tiada seorang pun lepas dari takdirMU", berkata
Gajahmada dalam hati sambil menghentakkan kakinya
diatas perut kudanya agar berjalan lebih cepat lagi.
Terlihat Gajahmada diatas kudanya sudah melangkah memasuki hutan Kemiri lebih kedalam lagi.
371 Suasana di kedalaman hutan Kemiri di malam hari itu
begitu gelap dan sunyi, namun penglihatannya yang
terlatih dan sangat tajam dapat menembus setiap
keremangan di depan matanya.
Sebagai seorang yang telah memiliki kesaktian yang
sangat tinggi, panggraita Gajahmada sudah begitu
halusnya menerima setiap kemungkinan-kemungkinan
bahaya di dekat dirinya. Dan kali ini Gajahmada seperti telah menangkap
bayangan-bayangan yang mencurigakan disekitar dirinya
yang seperti tengah mengintai dan mengawasinya.
Namun Gajahmada seperti sengaja untuk tidak
memperhatikannya, sikapnya seperti tidak melihat
apapun, terus berjalan diatas kudanya menembus hutan
Kemiri. Dan tidak terasa hari telah jauh malam, suasana
hutan Kemiri sungguh begitu gelap dan sunyi.
"nampaknya aku sudah terlepas dari pengintaian
mereka", berkata Gajahmada dalam hati manakala
merasa sudah mulai mendekati jalan keluar dari hutan
kemiri di malam itu dan sudah merasa jauh dari
pengintaian orang-orang penghuni hutan Kemiri itu.
Hingga akhirnya manakala Gajahmada terlihat telah
keluar hutan Kemiri, ternyata anak muda itu telah
membawa kudanya kearah sebuah bebatuan besar yang
dipenuhi oleh semak belukar.
Ternyata Gajahmada tengah menyembunyikan
kudanya di sela-sela bebatuan besar yang terhalang oleh
rimbunnya batang daun ilalang dan semak belukar.
Di bawah kegelapan langit malam, terlihat
Gajahmada yang telah memiliki kecepatan bergerak yang
372 sangat tinggi itu seperti sebuah anak panah yang
dilepaskan dengan tenaga penuh, melejit dan melesat
jauh kegelapan hutan Kemiri kembali.
Dengan kemampuan ilmu meringankan tubuhnya
yang sangat luar biasa itu, tidak sukar bagi Gajahmada
berpindah dari satu batang pohon ke batang pohon
lainnya tanpa terdengar sedikitpun jejak langkah kakinya
manakala hinggap di sebuah batang pohon yang rimbun
di kegelapan hutan Kemiri itu.
Akhirnya Gajahmada seperti telah menemukan apa
yang dicarinya itu. "Nampaknya mereka memang tengah membangun
sebuah kekuatan di Hutan Kemiri ini", berkata
Gajahmada dalam hati dari sebuah kerimbunan pohon
tinggi. Ternyata dari atas ketinggian pohon yang
melindunginya, Gajahmada telah melihat beberapa barak
berdiri di kedalaman hutan Kemiri.
Nampaknya Gajahmada tidak langsung meninggalkan tempatnya, terlihat duduk bersandar di
sebuah batang pohon besar yang sangat rindang yang
tidak mudah terlihat dari arah bawah.
Ternyata Gajahmada memang ingin menunggu
datangnya pagi, ingin melihat lebih jauh lagi tentang
orang-orang penghuni barak di hutan Kemiri itu.
Dan malam pun akhirnya telah berlalu.
Suasana pagi di hutan kemiri ditandai dengan suara
kicau burung-burung kecil yang terbang hinggap dari
satu batang pohon ke pohon lainnya.
Kehidupan suasana barak-barak di hutan kemiri
ditandai dengan munculnya asap tebal dari salah satu
373 barak yang mungkin digunakan oleh para penghuni
hutan Kemiri itu sebagai dapur umum.
Terlihat mata Gajahmada menjelajah dari satu tempat
ke tempat lain, melihat lalu lalang beberapa orang para
penghuni barak di hutan Kemiri. Hingga ketika bias
cahaya pagi lebih jelas lagi menerangi beberapa tempat
di kedalaman hutan Kemiri itu, Gajahmada telah melihat
pula ladang terbuka yang telah ditumbuhi tanaman
jagung. Lewat penangkapan pendengarannya yang terlatih,
Gajahmada sempat pula mendengarkan beberapa


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percakapan para penghuni barak-barak itu.
"Aku teringat kepada Ki Sandikala dan Ki Putut
Prastawa, bahasa yang mereka pergunakan nampaknya
memang dari Lamajang", berkata Gajahmada dalam hati
mengingat bahasa ibu yang digunakan oleh orang-orang
penghuni barak-barak di hutan Kemiri itu.
"Banyak tempat yang lebih subur untuk berladang
jagung, tapi mereka lebih memilih sebuah tempat
tersembunyi di kedalaman hutan Kemiri", berkata kembali
Gajahmada dalam hati mencoba meyakini bahwa orangorang yang berada di bawah pohon tempatnya
bersembunyi itu adalah sebuah kelompok yang punya
kepentingan tidak baik terhadap kemapanan tata
kehidupan yang telah ada di bumi Jawadwipa itu.
"Langkah kaki mereka seperti orang-orang terlatih
dalam olah Kanuragan", berkata kembali Gajahmada
dalam hati masih terus mengamati kesibukan orang yang
berlalu-lalang di bawah pohon tempat persembunyiannya.
Akhirnya setelah merasa cukup mengamati suasana
para penghuni barak-barak itu, terlihat Gajahmada telah
374 mulai beranjak dari tempat persembunyiannya.
Dengan kemampuan ilmu meringankan tubuhnya
yang telah nyaris sempurna, terlihat Gajahmada seperti
terbang melesat cepat dari batang pohon satu ke batang
pohon lainnya. Lebih cepat dari anak panah, Gajahmada terlihat
sudah jauh meninggalkan kedalaman hutan Kemiri.
Hari masih gelap di pinggir hutan Kemiri manakala
Gajahmada tengah menuju ke tempat persembunyian
kudanya. Namun pendengarannya yang sudah sangat tajam
tiba-tiba saja telah mendengar suara langkah kaki
Naga Kemala Putih 2 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti 19
^