Pencarian

Para Ksatria Penjaga Majapahit 6

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 6


beberapa orang. Segera anak muda itu berlindung di sebuah batu
besar untuk melihat siapa gerangan orang-orang itu.
Dari tempat persembunyiannya, di keremangan
malam itu Gajahmada memang telah dapat melihat
beberapa orang tengah berjalan kea rah hutan Kemiri.
"Siapakah mereka?", berkata Gajahmada dalam hati
sambil mempertajam indra penglihatannya agar dapat
melihat wajah-wajah orang yang tengah berjalan itu.
Dengan indera penglihatannya yang sangat tajam,
Gajahmada dapat melihat bahwa ada lima orang tengah
melangkahkan kakinya menuju hutan Kemiri.
Manakala Gajahmada telah memperhatikan wajah
mereka satu persatu, bukan main terkejutnya anak muda
itu ketika matanya tertuju ke salah seorang dari kelima
orang yang tengah berjalan itu.
375 "Ki Ajar Pelandongan?", berkata Gajahmada dalam
hati yang mengenali wajah salah seorang diantara kelima
orang. Ternyata diantara kelima orang itu dikenal oleh
Gajahmada sebagai Ki Ajar Pelandongan, salah seorang
guru dari para putra Adipati Ranggalawe.
"Kehadiran Ki Ajar Pelandongan disekitar Hutan
Kemiri ini telah menguatkan dugaanku bahwa Ki Arya
Wiraraja memang ada di belakang mereka", berkata
Gajahmada dalam hati mengaitkan kehadiran Ki Ajar
Pelandongan di Hutan Kemiri itu.
Mata Gajahmada beralih ke salah seorang yang ikut
berjalan didekat Ki Ajar Pelandongan. Dilihatnya bahwa
yang berjalan didekat Ki Ajar Pelandongan adalah
seorang pemuda. Timbul rasa iba kasihan Gajahmada kepada pemuda
itu yang dilihatnya tengah berjalan dengan kedua
tangannya terikat dibelakang.
"Kasihan anak muda itu, nampaknya terpaksa
berjalan mengikuti Ki Ajar Pelandongan", berkata
Gajahmada dalam hati sambil memperhatikan wajah
anak muda itu penuh dengan wajah berduka.
Melihat wajah anak muda itu, timbul sebuah pikiran
dari Gajahmada untuk membantunya melepaskan diri
dari tangan Ki Ajar Pelandongan.
Wajah langit di penghujung malam itu memang masih
gelap, terlihat Ki Ajar Pelandongan dan empat orang
yang bersamanya itu masih berjalan menuju muka hutan
Kemiri. 376 "Berhenti, ada orang didepan kita", berkata Ki Ajar
Pelandongan yang telah melihat bayangan hitam tengah
berdiri tidak jauh dari mereka.
Namun manakala Ki Ajar Pelandongan telah benarbenar mendekati bayangan hitam itu, terlihat warna
wajahnya langsung berubah pucat.
"Pendekar Seruling Sakti!", tanpa sadar bibirnya
menyebut sebuah nama. Ternyata Ki Ajar Pelandongan masih mengingat dan
mengenali siapa gerangan anak muda dihadapannya itu
yang tidak lain adalah Gajahmada yang pernah
mengalahkannya dalam pertempuran di pantai Tuban
bersama muridnya, Kuda Anjampiani salah seorang putra
Adipati Ranggalawe. "Kita berjumpa kembali, Ki Ajar Pelandongan",
berkata Gajahmada tersenyum menyapa Ki Ajar
Pelandongan. Perubahan wajah Ki Ajar Pelandongan memang
tertolong oleh keremangan warna penghujung malam itu
hingga tidak dapat terlihat oleh keempat orang yang
berjalan bersamanya itu. Namun akhirnya Ki Ajar
Pelandongan dapat menguasai perasaannya sendiri,
terutama ketika menyadari bahwa dirinya saat itu
ditemani oleh tiga orang yang berilmu cukup tinggi
melebihi tataran dirinya sendiri.
"Nasibmu malam ini nampaknya kurang beruntung,
wahai anak muda", berkata Ki Ajar Pelandongan mulai
dapat mengurangi kegentaran hatinya dan bermaksud
membuat sebuah perhitungan baru dengan anak muda di
hadapannya itu yang pernah mempermalukannya di
hadapan murid tunggalnya itu.
377 "Perkataan Ki Ajar Pelandongan seperti mendahului
Gusti Yang Maha Agung, tidak pantas diucapkan oleh
seorang guru suci", berkata Gajahmada penuh
ketenangan dan rasa percaya diri yang tinggi.
Melihat sikap Gajahmada yang tenang itu telah
membuat Ki Ajar Pelandongan menjadi begitu gusar dan
geram. "Mari kita bungkam mulut anak muda ini", berkata Ki
Ajar Pelandongan kepada ketiga orang teman yang
bersamanya itu. "Ki Ajar Pelandongan, biarkan kami berdua memberi
pelajaran kepada anak muda yang sombong ini", berkata
salah seorang diantara ketiga kawan seperjalanan Ki Ajar
Pelandongan sambil melangkah diikuti oleh seorang
kawannya lagi. Sebenarnya Ki Ajar Pelandongan ingin memberitahukan bahwa anak muda yang tengah mereka
hadapi itu bukanlah orang sembarangan, namun kedua
orang kawannya itu sudah langsung berhadapan badan
dengan Gajahmada. Sementara itu, seorang lelaki yang seusia dengan Ki
Ajar Pelandongan nampaknya seorang yang cukup
cerdas, telah dapat membaca kecemasan Ki Ajar
Pelandongan. "Kita akan membantu kedua kawan kita bila ternyata
bukan tandingan anak muda itu", berbisik lelaki itu
kepada Ki Ajar Pelandongan.
Nampaknya lelaki yang berbisik kepada Ki Ajar
Pelandongan sangat mengenal watak kedua orang yang
tengah bersiap diri menghadapi Gajahmada, ternyata
adalah dua orang yang sangat tinggi hati.
378 Langit pagi sudah mulai memerah, dalam kesuraman
itu Gajahmada semakin dapat mengenali setiap wajahwajah orang di hadapannya, juga dua orang yang
mempunyai wajah sangat beringas dengan bola mata
terbuka seperti hendak menelannya bulat-bulat.
"Berani sekali kamu, seorang diri menghadang
perjalanan kami", berkata salah seorang dari dua orang
yang berwajah sangat menyeramkan itu.
"Aku tidak menghadang kalian, hanya menaruh rasa
belas kasihan dengan seorang diantara kalian, kulihat
sangat terpaksa berjalan bersama kalian", berkata
Gajahmada dengan suara yang datar tanpa rasa takut
sedikitpun. "Nampaknya kamu orang muda memang hanya
mencari penyakit mencampuri urusan kami", berkata
seorang lainnya. "Telinga kalian nampaknya telah tersumbat,
kukatakan bahwa aku kasihan dengan tawanan kalian,
bukan mencari penyakit", berkata kembali Gajahmada
masih dengan nada suara yang datar tanpa rasa takut
sedikitpun. "Ki Badra, mari kita hajar anak sombong ini", berkata
salah seorang lagi seperti sudah tidak sabaran lagi.
"Benar Ki Badru, anak sombong ini memang perlu
belajar sopan santun", berkata orang yang di panggil Ki
Badra itu sambil melangkah mendekati Gajahmada.
Ternyata orang yang dipanggil Ki Badra itu tidak
hanya sekedar melangkah, namun tangannya terlihat
dengan sangat cepat sekali melayang menampar wajah
kepala Gajahmada. 379 Bukan main kagetnya Ki Badra melihat tangannya
tidak berhasil menyentuh kepala Gajahmada yang
dengan lebih cepat lagi telah sedikit bergeser. Hanya
angin serangannya saja yang dirasakan oleh
Gajahmada. "Aku harus berhati-hati", berkata Gajahmada dalam
hati manakala merasakan angin sambaran serangan itu
yang sangat panas menyengat kulit orang biasa.
Untungnya Gajahmada telah melambari dirinya dengan
hawa sakti sejatinya. Terlihat Gajahmada tidak balas menyerang, hanya
berjaga-jaga kalau-kalau orang itu menyerang kembali.
Ternyata memang orang itu kembali menyerang,
bahkan kali ini dibantu oleh kawannya dari arah yang
lain. Dua buah serangan tangan kosong dengan begitu
cepat meluncur kearah Gajahmada.
Namun bukan main kagetnya kedua orang itu
manakala melihat Gajahmada dengan begitu cepatnya
melenting seperti seekor burung sikatan melepaskan diri
dari sergapan dua ekor elang ganas.
"Mereka dari sebuah perguruan yang sama", berkata
Gajahmada dalam hati merasakan tenaga sakti hawa
panas yang sama dari serangan kedua orang itu yang
bagi orang biasa pasti akan berakibat buruk.
Terlihat kedua orang itu dengan penuh rasa
penasaran telah bersiap kembali melancarkan serangan
yang nampaknya lebih cepat dan lebih kuat lagi.
Kembali mereka seperti merasa kecewa bahwa sekali
lagi Gajahmada dapat dengan begitu mudahnya keluar
dari serangan ganda itu. 380 Dan Gajahmada bukan seorang yang bodoh bila
hanya bergerak menghindar tanpa melakukan sebuah
serangan balasan. Terlihat dengan sebuah gerakan yang
sukar diperhitungkan telah melakukan serangan balasan
langsung terarah kepada kedua orang lawannya itu.
"Gila!", berkata salah seorang diantara mereka yang
langsung meloncat jauh menghindari serangan cepat dari
Gajahmada yang nampaknya telah melambarinya
dengan kekuatan hawa panas yang sama.
"Edan!", berkata orang yang dipanggil Ki Badru yang
dengan penuh penasaran telah ikut meloncat kebelakang
sebagaimana kawannya. Nampaknya kedua orang itu mulai menyadari bahwa
orang muda yang menjadi lawan tandingnya adalah
bukan orang sembarangan, baru mereka sadari
mengapa Ki Ajar Pelandongan yang biasanya sangat
ringan tangan meminta mereka untuk bersama
mengeroyok anak muda itu.
Maka tanpa isyarat lagi keduanya terlihat seperti
telah sepakat untuk melakukan serangan kembali
dengan meningkatkan tataran ilmunya jauh melampaui
serangan awal mereka. Namun Gajahmada nampaknya telah mempersiapkan dirinya tidak ingin menjadi bulan-bulanan
korban serangan kedua orang itu.
Kembali kedua orang lawan Gajahmada telah
melakukan sebuah serangan ganda yang jauh lebih
cepat dan ganas dengan serangan hawa panas yang
lebih menyengat kulit. Namun lagi-lagi Gajahmada dapat meloloskan dirinya
dari kepungan serangan dahsyat itu, bahkan telah
381 menyusul dengan dahsyatnya. serangan yang tidak kalah Maka terlihatlah serang dan balas menyerang antara
Gajahmada dan kedua orang itu yang dipanggil sebagai
Ki Badra dan Ki Badru di muka hutan Kemiri di bawah
langit pagi yang masih remang-remang itu.
Hawa dingin di awal pagi di muka hutan Kemiri
memang sangat menusuk kulit badan, namun tidak di
arena pertempuran orang-orang yang tengah bertempur
itu. Terlihat rumput-rumput disekitar mereka menjadi
kering kehitaman tergilas hawa panas mencekam dari
tenaga sakti sejati yang terlontar dari serangan mereka.
"Serangan jurus Tapak Brajageni", berbisik seorang
lelaki tua kepada Ki Pelandongan sambil matanya tidak
pernah lepas dari arena pertempuran menyebut sebuah
nama jurus maut yang nampaknya menjadi andalan
kedua orang lawan Gajahmada itu.
"Anak muda itu masih dapat mengimbanginya",
berkata Ki Pelandongan kepada lelaki tua itu.
Terlihat Ki Pelandongan menahan nafas panjang, ikut
merasa penasaran bahwa kedua kawannya itu telah
mengeluarkan sebuah ajian sakti dari perguruan mereka
dimana keduanya adalah dua orang sesepuh dari
sebuah Padepokan besar di daerah Ngrangkah Pawon,
namun dilihatnya dalam pertempuran itu Gajahmada
masih dapat mengimbanginya, berkali-kali dengan
mudahnya melejit keluar dari setiap kepungan bahkan
balas menyerang dengan serangan yang tidak kalah
berbahayanya. 382 Kedua orang sesepuh Padepokan dari daerah
Ngrangkah Pawon itu terlihat telah melakukan serangan
ganda yang lebih gencar lagi dengan kekuatan berlipatlipat ingin secepatnya menuntaskan pertempuran itu


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi seorang anak muda yang dinilainya sebagai
bocah kemarin sore itu. Namun harapan kedua orang pemilik jurus sakti Braja
Geni itu menjadi kecewa berat, semangat mereka
menjadi surut manakala melihat Gajahmada masih
mampu berkelit dan bahkan telah berkali-kali balas
menyerangnya dengan serangan yang tidak kalah
dahsyatnya melampaui tataran dan kemampuan yang
mereka miliki berdua. Nampaknya pengenalan Ki Pelandongan terhadap
Gajahmada tidak salah lagi bahwa anak muda itu
bukanlah orang sembarangan. Pertempuran dirinya di
pantai Tuban nampaknya telah begitu berbekas dan tak
terlupakan bagaimana dirinya dan Kuda Anjampiani yang
telah mewarisi hampir seluruh kepandaian yang dimiliki
tidak dapat juga mengalahkan anak muda perkasa itu.
Debu terlihat bertebaran di arena pertempuran itu,
terlihat juga semak belukar kering menghitam terkena
angin panas sambaran serangan mereka yang keras.
Hingga manakala hari pagi telah terang tanah,
pertempuran itu masih saja berlangsung menjadi kian
sengit saja. Terlihat kedua orang dari Padepokan Ngrangkah
Pawon itu sudah seperti dua ekor banteng gila yang
mengamuk penuh rasa kekecewaan yang sangat
mendapatkan serangannya selalu lepas. Sementara
Gajahmada terlihat seperti seekor Elang jantan perkasa
yang terbang menukik menyambar-nyambar mangsanya.
383 Sekali dua kali serangan Gajahmada berhasil
menyentuh tubuh kedua orang yang berwajah angker
dan kejam itu. Namun nampaknya kedua orang itu
seperti tidak menghiraukan rasa perih akibat pukulan
Gajahmada yang masih ingin bermain-main dan masih
belum ingin menghentakkan tataran kemampuan yang
sebenarnya. Namun nafsu amarah kedua orang itu yang sudah
menggunung telah menguras tenaganya, terlihat
serangan keduanya semakin surut.
Plak-plak!!! Dua kali tangan Gajahmada berhasil menghantam
samping dada kedua orang itu yang terlihat langsung
limbung. Tetapi kedua orang itu sudah seperti kerasukan
dedemit, seperti tidak memikirkan rasa nyeri di tubuhnya.
Terlihat lelaki tua disebelah Ki Pelandongan seperti
menarik nafas dalam-dalam, nampaknya lelaki tua itu
sudah dapat membaca akhir dari pertempuran itu.
Apa yang ada dalam pikiran orang tua itu, ternyata
tidak berbeda jauh dengan apa yang tengah dipikirkan
oleh Ki Ajar Pelandongan.
Terlihat Ki Pelandongan dan lelaki tua itu saling
berpandangan. Ternyata arti pandangan mata mereka adalah sebuah
kesepakatan bersama untuk terjun langsung ke arena
pertempuran membantu Ki Badra dan Ki Badru yang
sudah semakin surut tenaganya.
Bukan main terkejutnya Gajahmada yang tiba-tiba
saja merasakan sebuah angin sambaran tongkat berasal
dari arah belakangnya. 384 Maka seketika itu Gajahmada telah langsung melesat
menghindar jauh ke samping sambil melihat siapa
gerangan penyerangnya itu yang ternyata adalah Ki Ajar
Pelandongan. Namun baru saja kakinya hinggap ke tanah, sebuah
sambaran tongkat yang lain telah datang begitu cepat
dan keras. Tidak ada jalan lain bagi Gajahmada selain melompat
terbang dengan cepatnya menghindari serangan tidak
terduga-duga itu. "Jarang sekali ada orang yang dapat menghindari
seranganku", berkata lelaki tua di hadapan Gajahmada
sambil melancarkan serangan kembali.
Serangan orang yang bernama Gagakpati itu
memang sangat dahsyat seperti sebuah ombak besar
yang bergulung-gulung datangnya.
Melihat kehadiran Ki Pelandongan yang datang
membantunya seperti sebuah angin segar bagi Ki Badra
dan Ki Badru yang mulai terkikis daya tahan dan
semangat tempurnya itu. Terlihat keduanya seperti punya semangat baru
langsung menerjang kearah Gajahmada.
"Tamat riwayatmu", berkata Ki Pelandongan dalam
hati yang langsung menerjang Gajahmada dari arah
yang lain. Sementara itu tidak jauh dari arena pertempuran,
seorang pemuda yang terikat kedua tangannya
menyaksikan pertempuran itu dengan mata seperti tidak
berkedip sedikit pun. "Bila anak muda itu mati, akulah penyebabnya. Kelak
aku akan berbakti kepada keluarganya untuk menebus
385 kebaikan hatinya yang sangat berbudi ingin memerdekakanku dari empat orang manusia berhati iblis
itu", berkata anak muda itu yang usianya terlihat lebih
muda sedikit dari Gajahmada.
Mata anak muda yang masih terikat kedua tangannya
itu tidak bergeser sedikit pun dari arena pertempuran itu.
Manakala Gajahmada terlepas dari serangan salah
seorang lawannya, maka terlihat anak muda itu seperti
bernafas lega. Sambil berdiri dikejauhan, anak muda itu masih
melihat terus jalannya pertempuran antara Gajahmada
dengan empat orang sakti yang menurut anak muda itu
sangat memalukan. Ternyata pemahaman anak muda itu tentang
kanuragan masih sangat begitu dangkal, seandainya
dirinya mengetahui pasti akan berdecak kagum dengan
apa yang telah dilakukan Gajahmada menghadapi ke
empat lawannya itu. Ke empat lawan Gajahmada terlihat seperti
kehilangan akal menghadapi Gajahmada, karena hampir
seluruh serangan mereka dapat dituntaskan dengan
begitu mudahnya. Sebaliknya serangan Gajahmada
mereka rasakan terlihat begitu rumit dan sangat sukar
diterka kemana arahnya. Yang terjadi adalah Gajahmada seperti layaknya
seekor Elang Jantan yang terbang menyambar kesana
kemari dengan cepatnya. Satu dua kali pukulannya
sempat mengenai sasaran dari keempat lawannya itu.
Ki Gagakpati yang paling mapan dari ketiga kawan
bertempurnya itu masih sangat sukar menangkap arah
serangan Gajahmada yang sangat cepat dan tidak
386 terduga-duga datangnya. Dirinya yang sudah malang
melintang menghadapi banyak jenis perguruan
dihadapan Gajahmada menjadi seperti orang baru
mengenal ilmu kanuragan. Seandainya Ki Gagakpati mengetahui siapa
sebenarnya anak muda yang tengah dihadapinya itu,
mungkin dirinya tidak akan berani langsung turun ke
arena pertempuran membantu ketiga kawannya itu.
Ki Gagakpati dan ketiga kawannya itu tidak
mengetahui bahwa anak muda yang tengah mereka
hadapi itu adalah seorang yang pernah dibina langsung
oleh tiga orang sakti mandraguna yang sangat disegani
oleh kawan maupun lawannya. Ketiga orang sakti
mandraguna itu adalah Patih Mahesa Amping, Prabu
Gurusuci Darmasiksa dan sang pertapa dari gunung
Wilis. Patih Mahesa Amping yang juga dikenal sebagai
Manusia Dewa adalah seorang yang sangat cerdas yang
telah berhasil merangkum begitu banyak rahasia
kelemahan berbagai jenis olah Kanuragan di Jawadwipa
ini dan berhasil menciptakan sebuah olah kanuragan
yang baru yang jauh lebih sangat sempurna di jamannya.
Prabu Gurusuci Darmasiksa, seorang mantan Raja
sunda yang telah mengasingkan dirinya sebagai seorang
pertapa di lereng Gunung Galunggung, adalah seorang
yang mempunyai banyak ajian sakti mandraguna. Salah
satu ajian yang sangat dahsyat dan telah diwarisi kepada
Gajahmada adalah sebuah ajian rahasia, ajian para
leluhur raja Pasundan yang bernama ajian Pangeran
Muncang Kuning yang dapat melebur gunung batu
sekalipun. 387 Sang pertapa dari Gunung Wilis atau Pendeta
Darmaraya adalah seorang yang mempunyai tingkat ilmu
sudah sangat begitu tinggi, konon dapat terbang dan
bergerak seperti angin. Ketiga ilmu pilihan dari ketiga tokoh sakti di jamannya
itu telah mapan tumbuh subur di dalam diri seorang
pemuda bernama Gajahmada.
Namun seorang Gajahmada bukanlah anak muda
yang brutal, mampu dapat mengendalikan hasratnya
untuk berbuat angkara kepada siapapun.
Kesadaran dirinyalah yang telah mengendalikan
dirinya menghadapi keempat lawannya di muka hutan
Kemiri itu. Meski telah memiliki kesaktian ilmu yang amat
tinggi, masih tidak ingin menunjukkan jati diri yang
sebenarnya, hanya sebatas mengimbangi tataran
kekuatan lawan-lawannya. Namun keempat lawannya itu seperti menghadapi
seekor banteng muda yang sukar sekali untuk segera
ditundukkan, bahkan lambat laun tenaganya sendiri yang
semakin terkuras habis. Warna pagi sudah mulai semakin terang tanah,
terlihat keempat orang sakti yang tengah menghadapi
Gajahmada sudah berlimpah basah keringat, beberapa
kali serangan dan pukulan Gajahmada sempat
membekas di tubuh masing-masing. Sementara itu
terlihat tidak setitik pun peluh mengalir di tubuh
Gajahmada. Anak muda itu seperti baru turun bermainmain biasa dan tidak satu pun serangan lawannya
berhasil mengenai tubuhnya meski telah dikepung dari
berbagai arah serangan sekalipun.
Gajahmada sudah dapat menyadari bahwa kekuatan
keempat lawannya itu sudah mulai terkuras habis,
388 beberapa pukulannya telah berhasil semakin mengurangi
kekuatan mereka. Hingga akhirnya terlihat Gajahmada nampaknya ingin
menyelesaikan pertempuran itu, sebuah gerakan yang
amat cepat serta sebuah pukulan yang amat keras telah
melempar keempat lawannya jatuh berturut-turut di tanah
dan tidak bergerak lagi. Ternyata Gajahmada telah melambari kekuatan
dirinya meski tidak sepenuhnya, hanya sekedar membuat
mereka menjadi pingsan untuk beberapa saat.
"Mengapa kamu tidak melarikan diri ketika kami
bertempur", berkata Gajahmada kepada pemuda yang
sedari tadi berdiri menyaksikan pertempuran dirinya.
Lama anak muda yang masih terikat tangannya itu
tidak langsung menjawab pertanyaan Gajahmada.
Namun setelah beberapa saat, sambil menarik nafas
panjang terlihat anak muda itu membuka mulutnya.
"Semula aku mengira bahwa tuan akan terbunuh oleh
keempat iblis itu, bila aku melarikan diri pada saat itu
yang ku khawatirkan adalah tidak dapat mengetahui
siapa jati diri tuan. Hal itu aku lakukan karena diriku
merasa terharu terhadap sikap tuan yang bermaksud
menolong diriku ini. Maafkan diriku ini yang telah
menduga bahwa tuan akan mati terbunuh, dan aku telah
berjanji untuk dapat berbakti seumur hidupku ini untuk
keluarga yang tuan tinggalkan", berkata anak muda itu
sambil menundukkan wajahnya.
Mendengar penuturan anak muda itu, terlihat
Gajahmada tersenyum. Diam-diam memuji anak muda
itu sebagai seorang yang berbudi halus.
389 "Sekarang kamu telah bebas merdeka, kembalilah ke
rumah keluargamu", berkata Gajahmada kepada anak
muda itu sambil melepaskan tali ikatannya.
Terlihat anak muda itu menengadah ke langit seperti
hendak menutupi rasa haru sedih di wajahmya.
Perlahan anak muda itu bercerita kepada Gajahmada
bahwa dirinya selama ini hanya hidup berdua bersama
seorang ayahnya yang sangat ahli dalam pembuatan
berbagai jenis senjata termasuk membuat sebuah keris.
Diceritakan juga bahwa dalam sebuah kemelut di
Kota Tuban, ayah dan dirinya terpaksa mengungsi jauh
hingga ke daerah Lamajang. Dikatakan pula bahwa
ayahnya merasa cukup kerasan tinggal di Lamajang
yang damai. "Namun itu tidak lama, empat orang berhati iblis itu
telah datang membunuh ayahnya", berkata pemuda itu
sambil menunjuk kearah empat orang yang saat itu
masih tergeletak pingsan di tanah.
"Mengapa mereka membunuh ayahmu?", bertanya
Gajahmada sangat tertarik dengan cerita anak muda itu.
"Mereka memaksa ayahku bergabung bersama
mereka hingga terjadi sebuah perkelahian seru antara
ayahku dengan salah seorang dari mereka, lelaki yang
paling tua itu", berkata anak muda itu sambil menunjuk
kearah Ki Gagakpati. "Apakah ayahmu dapat mengimbangi ilmu orang


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu?", bertanya kembali Gajahmada.
"Bahkan ayahku hampir saja dapat mengalahkannya
bila saja tidak dikeroyok oleh ketiga kawan-kawannya
itu", berkata anak muda itu
390 "Apa yang terjadi dalam pertempuran itu?", bertanya
kembali Gajahmada sambil berpikir bahwa pastilah ayah
anak ini seorang yang berilmu cukup tinggi karena sudah
hampir dapat mengalahkan salah seorang dari mereka.
Terlihat anak muda itu tidak langsung menjawab,
matanya seperti memandang jauh kearah bebatuan yang
bertebaran di muka hutan Kemiri itu.
"Ayahku terbunuh oleh mereka", berkata anak muda
itu setelah lama terdiam.
"Biar kutebak sendiri, pastinya mereka membawamu
kemari untuk menggantikan ayahmu membuat berbagai
jenis senjata", berkata Gajahmada
"Benar", berkata anak muda menganggukkan kepalanya perlahan.
itu sambil "Siapa namamu?", bertanya Gajahmada kepada anak
muda itu yang ikut berduka atas derita yang dialami oleh
anak muda itu. "Supo Mandagri", berkata anak muda itu menyebut
namanya. "Namaku Gajahmada, kita sama-sama putra tunggal.
Ikutlah bersamaku ke Majapahit", berkata Gajahmada
kepada anak muda itu yang menyebut dirinya bernama
Supo Mandagri. "Terima kasih, aku memang tidak tahu hendak pulang
kemana lagi setelah tidak ada ayahku", berkata Supo
Mandagri sambil memandang ke arah Gajahmada yang
tersenyum penuh tulus kepadanya.
Matahari belum naik tinggi, langit bening berawan
teduh manakala Gajahmada dan Supo Mandagri terlihat
telah jauh meninggalkan Hutan Kemiri.
391 "Sebentar lagi kita akan memasuki Kademangan
Simpang", berkata Gajahmada sambil menuntun
kudanya kepada Supo Mandagri.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Gajahmada, letak
Kademangan Simpang memang sudah tidak begitu jauh
lagi. "Gusti yang Maha Agung telah memberkati tanah
Majapahit ini seperti surga, menumbuhkan sebiji jagung
menjadi berlipat-lipat, menurunkan hujan dan banyak
ikan di setiap sungai-sungai", berkata Gajahmada
kepada Supo Mandagri dengan penuh kegembiraan hati
melihat-lihat tanaman jagung yang sebentar lagi sudah
menjadi tua manakala mereka berdua telah memasuki
sebuah jalan bulakan panjang mendekati Kademangan
Simpang. Ternyata perkataan Gajahmada adalah bermaksud
untuk menghibur perasaan hati Supo Mandagri yang
masih belum dapat sepenuhnya melupakan peristiwa
kematian ayahnya itu. Dan Gajahmada dapat mengerti
bahwa memang tidak mudah untuk secepatnya
melupakan kehilangan seseorang yang amat kita cintai
sebagaimana yang dialami oleh Supo Mandagri.
Terlihat keduanya telah berada di jalan Padukuhan
utama di Kademangan Simpang.
Beruntung bahwa mereka masih menemui sebuah
kedai yang masih buka di ujung sebuah Pasar di
Kademangan Simpang itu. Keberuntungan lainnya, bahwa mereka akhirnya
dapat seekor kuda yang cukup baik lewat kenalan pemilik
kedai itu pula. Setelah beristirahat yang cukup, terlihat Gajahmada
392 dan Supo Mandagri telah keluar dari Kademangan
Simpang. Melihat kesigapan cara berkudanya, Gajahmada
sudah dapat menilai bahwa anak muda itu nampaknya
sudah punya dasar kanuragan yang cukup baik.
"Mari kita berpacu", berkata Gajahmada kepada Supo
Mandagri manakala mereka berada di sebuah padang
ilalang yang cukup luas membentang mata.
Demikianlah, dua ekor kuda terlihat berlari begitu
cepatnya membelah padang ilalang dibawah lengkung
langit yang cerah dalam tatapan matahari yang mulai
bergulir kearah barat bumi.
Hingga akhirnya ketika matahari telah menghilang di
balik punggung sebuah perbukitan, terlihat keduanya
telah turun dari kudanya masing-masing menuju ke
sebuah danau besar yang teduh dirimbuni banyak
pepohonan. "Sebuah keris yang sangat sempurna", berkata Supo
Mandagri menilai keris di pinggang Gajahmada.
Terlihat Gajahmada tersenyum sambil menyerahkan
keris Nagasasra ke tangan Supo Mandagri.
"Keris Nagasasra", berkata Supo Mandagri dengan
mata tidak berkedip sedikitpun memandang sebilah keris
di tangannya. "Ternyata pemahamanmu mengenai berbagai jenis
keris sangat hebat, benar bahwa keris di tanganmu itu
adalah keris Nagasasra", berkata Gajahmada kepada
Supo Mandagri. "Ayahku pernah mendongeng tentang keris ini yang
pernah dimiliki oleh Raja Erlangga dan telah diwarisi
kepada putrinya sendiri yang bernama Dewi Kili Suci",
393 berkata Supo Mandagri ditangannya itu. masih memandang keris "Di Kotaraja Majapahit, aku akan memperkenalkan
dirimu kepada seseorang keturunan pembuat keris
pusaka ini", berkata Gajahmada penuh senyum menatap
wajah Supo Mandagri yang masih seperti tersihir penuh
rasa kekaguman masih memandang keris ditangannya.
"Keturunan empu Bharada?", berkata Supo Mandagri
dengan penuh kegembiraan hati.
"Orang itu bernama Ki Sandikala yang biasa juga
dipanggil sebagai Empu Nambi", berkata Gajahmada
kepada Supo Mandagri. "Mahapatih Majapahit", berkata Supo Mandagri
seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. "Tidak banyak yang mengetahui bahwa Ki Sandikala
telah mewarisi ilmu leluhurnya membuat sebuah keris
pusaka. Karena aku sendiri pernah diperlihatkannya
sebuah keris kembaran Nagasasra yang nyaris sangat
serupa dengan yang aslinya di tanganmu ini", berkata
Gajahmada penuh senyum gembira melihat Supo
Mandagri seperti telah melupakan kesedihan hatinya.
"Ayahku begitu mengagumi Empu Bharada sebagai
seorang ahli yang sangat mumpuni dalam pembuatan
sebuah keris pusaka. Sebuah kehormatan bila saja aku
dapat mengenal langsung salah seorang keturunannya
itu", berkata Supo Mandagri dengan penuh kegembiraan
hati. "Bila berjodoh, aku akan meminta Ki Sandikala
berbagi keahliannya itu kepadamu", berkata Gajahmada.
"Maaf, apakah aku berhadapan dengan seorang
394 pangeran Majapahit?", berkata Supo Mandagri sambil
memandang kearah Gajahmada.
Mendengar perkataan Supo Gajahmada hanya tersenyum.
Mandagri, terlihat "Mengapa kamu bertanya seperti itu?", berkata
Gajahmada kepada Supo Mandagri dengan masih wajah
masih penuh senyum. "Dari ucapanmu, nampaknya kamu begitu dekat
dengan Mahapatih Majapahit. Dan setahuku keris
Nagasasra ini hanya dimiliki oleh keturunan Raja
Erlangga", berkata Supo Mandagri kepada Gajahmada.
"Aku hanya seorang kepala prajurit pengawal istana
Majapahit. Mengapa keris pusaka ini berada di tanganku,
ceritanya sangat panjang sekali", berkata Gajahmada
kepada Supo Mandagri. Mendengar penuturan Gajahmada, nampaknya Supo
Mandagri cukup mengerti bahwa Gajahmada tidak ingin
bercerita panjang mengenai keris pusaka itu hingga
berada ditangannya dan tidak mencoba mendesak
Gajahmada untuk bercerita. Didalam benaknya
terbayang sebuah pertemuan dengan salah seorang
keturunan Empu Bharada yang sering di ceritakan oleh
ayahnya sebagai seorang empu yang sangat sakti
mandraguna serta seorang yang sangat mumpuni
sebagai pembuat keris pusaka hingga dijuluki sebagai
pembuat keris para dewa. "Ternyata aku berhadapan dengan seorang kepala
prajurit pengawal istana Majapahit", berkata Supo
Mandagri sambil menyerahkan kembali keris Nagasasra
kepada Gajahmada. "Besok pagi, perjalanan kita masih sangat panjang",
395 berkata Gajahmada sambil duduk bersandar di sebuah
batang pohon besar sambil mengajak Supo Mandagri
untuk beristirahat pula. Semilir angin malam ditempat
terbuka telah membuat Supo Mandagri begitu cepat
tertidur. "Kasihan Supo Mandagri, telah ditinggalkan seorang
ayah yang sangat dicintainya", berkata Gajahmada
dalam hati sambil menatap tubuh anak muda yang
tengah tertidur begitu pulasnya.
"Orang-orang yang karena berbagai kepentingannya
berusaha untuk merusak tatanan kemapanan Majapahit
harus segera dibersihkan. Barulah impian Raja Erlangga
akan terwujud nyata, membangun sebuah kerajaan yang
besar di darat dan lautan dalam cinta kasih penuh
perdamaian", berkata Gajahmada dalam hati sambil
meraba keris Nagasasra yang selalu melekat di
pinggangnya itu. Lama Gajahmada tidak dapat memejamkan matanya,
silih berganti pikirannya seperti mengembara dari satu
peristiwa ke peristiwa lainnya dalam hidupnya.
Terbayang di benaknya sosok seorang pendeta
Gunakara yang begitu kasih mengasuhnya sejak kecil
yang telah mengatakan bahwa dirinya adalah titisan
Maha Gurusuci nya, Damyang Dalai lama.
Terbayang pula wajah ayah kandungnya, pendeta
Darmaraya atau yang dikenal sebagai seorang pertapa
dari gunung Wilis saat dirinya meninggalkan Kerajaan
Rakata, melepas kedudukannya sebagai seorang putra
mahkota."Berjalanlah wahai putraku bersama takdirmu,
tahtamu lebih besar dari kerajaanmu sendiri, dan
namamu akan abadi terpahat sepanjang masa", demikian
terngiang perkataan ayah kandungnya itu manakala
melepas kepergiannya meninggalkan pulau Rakata di
396 ujung barat Jawadwipa. "Aku berjalan diatas takdirku", berkata Gajahmada
seperti kepada dirinya sambil tersenyum.
Semilir angin dingin berhembus mengusap wajah
Gajahmada yang perlahan memejamkan matanya,
namun panca inderanya yang peka seperti terus terjaga.
Tidak satupun suara disekitarnya yang luput dari
pendengarannya, demikianlah sikap seorang ksatria
yang selalu terjaga dan waspada sebagai hasil tempaan
dirinya selama ini. Hingga ketika ayam hutan di kejauhan terdengar,
terlihat Gajahmada telah membuka matanya dan
tersenyum memandang kearah Supo Mandagri yang juga
sudah ikut terbangun di pagi itu.
"Pagi yang indah, saudaraku", berkata Gajahmada
menyapa Supo Mandagri. Dibawah langit pagi dalam tatapan sang surya yang
muncul mengintip di timur perbukitan hijau telah
membuat air danau mulai menghangat.
"Jangan kamu habiskan cadangan ikan di danau ini",
berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri yang tengah
mencari ikan hanya dengan sebuah batang kayu yang
ujungnya diruncingkan. "Seperti yang kamu katakan, bumi Majapahit ini
adalah sebuah surga", berkata Supo Mandagri penuh
kegembiraan hati sambil berjalan ke tepi danau bersama
empat ekor ikan yang tertancap di dahan kayu
runcingnya. Dan tidak lama berselang, wangi ikan bakar pun telah
menggoda selera. Terlihat Gajahmada dan Supo
Mandagri tengah menikmati sarapan pagi mereka di tepi
397 danau yang mulai terlihat cerah itu.
"Di pertengahan malam bila tidak ada halangan, kita
akan sampai di Kotaraja Majapahit", berkata Gajahmada
memperkirakan jarak perjalanan mereka.
Mendengar perkataan Gajahmada tentang Kotaraja
Majapahit telah membuat Supo Mandagri menjadi penuh
semangat langsung berkemas-kemas diri. Apalagi yang
diidamkan oleh Supo Mandagri kalau bukan sebuah
pertemuan dengan salah seorang keturunan Empu
Bharada sang pencipta keris para dewa itu.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan manakala matahari sudah mulai tinggi diatas
perbukitan sebelah timur, terlihat Gajahmada dan Supo
Mandagri sudah jauh meninggalkan danau di bawah
lembah hijau itu. Bila sebelumnya mereka berdua berjalan pintas
memotong beberapa perbukitan hijau, kali ini Gajahmada
nampaknya mencoba menyusuri jalan tanah keras yang
biasa di gunakan oleh para pedagang.
Di perjalanan mereka kadang bersisipan jalan
dengan beberapa pedagang dengan gerobak dagangannya yang berjalan perlahan ditarik oleh seekor
sapi besar, mungkin akan ke sebuah tempat yang ramai,
Tumapel atau mungkin saja hendak ke Kediri.
"Bumi Majapahit adalah surganya para pedagang,
mereka datang dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa
menemui seorang pun pembegal di jalanan yang mereka
lewati", berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri
manakala mereka bersisipan jalan dengan sebuah
gerobak para pedagang yang membawa barang
dagangannya. "Sayangnya sebuah kemapanan tidak ada yang
398 langgeng di bumi ini", berkata Supa Mandagri perlahan
sambil memandang jauh kedepan ke arah sebuah
gerumbul awan putih di langit yang terus bergerak
berubah-ubah bentuk. "Kamu benar, wahai saudaraku. Sebagaimana
berlayar di lautan yang tenang dan teduh dimana kita
dapat memandang rembulan sepanjang malam. Namun
siapa sangka badai dan gemuruh datang dengan tibatiba. Yang kita pikirkan saat itu adalah bagaimana
caranya agar tetap bertahan hidup dan sebuah
keyakinan bahwa badai memang pasti akan berlalu",
berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri
Gajahmada dan Supo Mandagri masih terlihat
berkuda diatas jalan tanah keras. Di jalan sepi terlihat
mereka saling memacu kudanya dan memperlambat laju
kudanya manakala memasuki jalan sebuah padukuhan.
Semakin mendekati arah Kotaraja Majapahit, jarak
antara sebuah Padukuhan dengan padukuhan lainnya
menjadi semakin rapat. Dua ekor kuda yang tegar bersama dua orang
pemuda penunggangnya memang selalu menjadi
perhatian orang-orang padukuhan, terutama para
gadisnya yang terlihat saling mencuri pandang.
"Dua orang pangeran Majapahit mungkin baru pulang
dari sebuah pengembaraan", berkata seorang gadis
berkulit hitam manis sambil mencubit kawannya.
Nampaknya mereka baru pulang memetik buah dan
sayuran di kebunnya. "Apakah kamu berharap salah satu dari mereka akan
menoleh kebelakang melihatmu dan segera turun
menyapamu?", berkata kawan gadis hitam manis itu.
399 "Aku berharap lebih dari itu", berkata gadis hitam
manis itu sedikit tersenyum sambil menutup mulutnya.
"Akan kulaporkan kepada tunanganmu, Kakang
Sumandra", berkata kawannya sambil berlari dan
tertawa. Mendengar ancaman penuh canda itu, terlihat gadis
hitam manis itu langsung ikut berlari mengejar kawannya
itu. Sementara itu, Gajahmada dan Supo Mandagri
sudah jauh keluar dari Padukuhan itu.
Dan langit terlihat mulai teduh dalam tatapan sang
surya yang mulai lelah rebah di barat bumi.
"Dibalik perbukitan itu kita akan sampai di
Kademangan Maja", berkata Gajahmada sambil
menunjuk sebuah perbukitan yang hijau namun tidak
begitu tinggi. Demikianlah, dibawah langit malam mereka telah
menyusuri jalan yang melingkari sebuah perbukitan hijau,
mereka telah mendapatkan beberapa padukuhan yang
berbatas sawah ladang yang cukup luas.
"Kita telah memasuki Kademangan Maja", berkata
Gajahmada kepada Supo Mandagri ketika langkah kaki
kuda mereka memasuki jalan utama sebuah Padukuhan.
"Nampaknya hampir semua orang sudah beristirahat
di rumahnya masing-masing", berkata Supo Mandagri
kepada Gajahmada ketika melihat jalan yang mereka
lalui sudah menjadi begitu lengang.
Namun di sebuah gardu ronda, mereka berdua
melihat beberapa anak muda sudah berkumpul disana.
"Berhenti!", berkata seorang pemuda berdiri di depan
400 mereka diikuti oleh empat orang kawannya.
Terlihat Gajahmada segera turun dari kudanya dan
menghampiri mereka. Malam itu memang sudah begitu gelap, namun ketika
cahaya pelita yang ada di ujung gardu menerangi wajah
Gajahmada, terlihat wajah salah seorang pemuda yang
mencegatnya itu langsung berubah tidak garang lagi.
"Maaf"kami tidak menduga ternyata tuan yang lewat
di jalan ini", berkata pemuda itu dengan penuh santun
kepada Gajahmada yang nampaknya sangat dikenalnya
itu, juga keempat kawannya itu ikut berubah sikap
menjadi begitu hormat. Ternyata Gajahmada sudah sangat dikenal oleh
warga Kademangan Maja karena sering bertandang
menemani Jayanagara sebelum menjadi Raja Muda di
Kediri untuk berbagai keperluan terutama para
pemudanya dimana Gajahmada pernah ikut melatih
meningkatkan olah kanuragan kepada para pemuda
disana. "Sejak kapan di Kademangan ini ada aturan untuk
mencegat orang yang berjalan malam?", berkata
Gajahmada sambil tersenyum kepada pemuda itu yang
juga sudah dikenalnya itu sebagai salah satu putra Ki
Demang Maja. "Pekan depan rencananya Ki Jagaraga akan
melangsungkan pungut mantu, namun ada sebuah kabar
bahwa ada seorang pemuda di Kademangan seberang
bukit ini yang merasa sakit hati dan telah membayar
orang untuk membuat kerusuhan di Kademangan Maja",
berkata putra Ki Demang Maja itu kepada Gajahmada.
"Apakah perlu kami kirim tiga empat orang prajurit
401 untuk membantu keamanan disini?", berkata Gajahmada
kepada pemuda itu. "Terima kasih"..mudah-mudahan pemuda disini
dapat menanggulanginya sendiri", berkata pemuda itu
kepada Gajahmada. "Salam kepada ayahmu, aku belum sempat singgah",
berkata Gajahmada sambil melompat keatas punggung
kudanya. "Salam tuan akan kami sampaikan", berkata anak
muda itu sambil melambaikan tangannya diikuti oleh
keempat kawannya. "Mereka mengenalmu dengan baik", berkata Supo
Mandagri kepada Gajahmada manakala langkah kaki
kuda mereka telah menjauhi gardu ronda.
Terlihat Gajahmada tidak langsung menjawab, hanya
menoleh sebentar kearah Supo Mandagri sambil
melemparkan sedikit senyumnya.
"Didepan kita adalah hutan Maja, pembatas antara
Kademangan Maja dengan Kotaraja Majapahit", berkata
Gajahmada menjelaskan kemana arah mereka di malam
itu. Demikianlah, di malam gelap mereka telah
menembus hutan Maja yang masih tersisa karena
tergusur oleh pembangunan dan perluasan Kotaraja
Majapahit yang terus maju dan berkembang itu.
"Selamat datang di Kotaraja Majapahit, wahai
saudaraku", berkata Gajahmada sambil tersenyum
kepada Supo Mandagri. Ternyata mereka memang
tengah mendekati sebuah Gapura gerbang batas
kotaraja Majapahit. "Kotaraja yang indah", berkata Supo Mandagri sambil
402 memandang sebuah perbukitan berundak di balik gapura
gerbang batas kotaraja yang megah itu.
"Diatas puncak bukit itulah istana Majapahit berdiri",
berkata Gajahmada sambil menunjuk kearah puncak
bukit dimana terlihat sebuah bangunan pura yang sangat
elok dipandang mata. "Pastilah seseorang yang mencintai sebuah
keindahan yang memilih tempat ini sebagai sebuah
kotaraja", berkata Supo Mandagri sambil tak jemu
memandang kerlap kerlip pelita malam dari setiap rumah
penduduk Kotaraja Majapahit yang melingkar-lingkar
mengelilingi istana Majapahit di malam itu di bawah
cahaya temaram bulan purnama.
"Konon Baginda Raja Sanggrama sendiri yang
menemukan dan memilih tempat ini. Tahukah kamu,
siapa gerangan perancang hebat yang membangun
kotaraja Majapahit yang indah ini?", berkata Gajahmada
kepada Supo Mandagri. "Pastilah seorang pecinta jiwa seni yang berotak
cemerlang", berkata Supo Mandagri masih memandang
penuh kekaguman wajah kotaraja dari atas kudanya.
"Kamu benar, orang itu adalah Ki Sandikala", berkata
Gajahmada kepada Supo Mandagri.
"Ki Patih Mangkubumi?", berkata Supo Mandagri.
"Nama aslinya adalah Empu Nambi putra Pranaraja
keturunan Empu Bharada yang telah diamanatkan
menyimpan keris pusaka Nagasasra sebagai wahyu
kraton untuk diserahkan sendiri kepada pewarisnya para
putra Raja Erlangga", berkata Gajahmada kepada Supo
Mandagri. "Semakin aku tidak sabaran untuk secepatnya
403 bertemu dan mengenal Ki Sandikala", berkata Supo
Mandagri penuh semangat mendekati gapura gerbang
batas kotaraja Majapahit.
Dan di bawah cahaya temaram bulan purnama,
kedua anak muda yang telah saling mengangkat diri
sebagai dua saudara itu terlihat telah melewati gerbang
batas kotaraja Majapahit.
Malam memang sudah begitu larut, suasana kotaraja
Majapahit terlihat begitu lengang.
Dan akhirnya terlihat kuda Gajahmada dan Supo
Mandagri telah sampai di puncak bukit berundak itu, di
gerbang pura istana Majapahit.
"Lama sekali kami tidak melihat kehadiran tuan di
istana ini", berkata tiga orang prajurit penjaga kepada
Gajahmada yang datang bersama Supo Mandagri.
"Nampaknya Gajahmada sangat dihormati di istana
ini", berkata Supo Mandagri dalam hati sambil
membiarkan seorang prajurit penjaga mengambil alih tali
kekang kudanya. Setelah bertutur kata kepada ketiga prajurit penjaga
mengenai keselamatan dan keadaan masing-masing,
dengan penuh santun terlihat Gajahmada berpamit diri
untuk beristirahat di pasanggrahannya sendiri di dalam
istana Majapahit. "Kalian pasti sudah sangat begitu lelah menanggung
beban tubuh tuan kalian selama diperjalanan", berkata
salah seorang prajurit itu berbicara kepada seekor kuda
yang tengah dituntunnya itu.
Sementara itu Gajahmada dan Supo Mandagri telah
jauh melangkah menyusuri jalan dan lorong-lorong di
istana Majapahit. 404 "Hamba akan menyiapkan makanan dan minuman
hangat untuk tuan-tuan", berkata seorang lelaki tua
pelayan Gajahmada di Pasanggrahannya.
Terlihat Gajahmada dan Supo Mandagri pergi ke
pakiwan untuk bersih-bersih diri. Dan tidak lama
berselang seorang pelayan tua telah kembali dengan
membawa makanan dan minuman hangat.
"Sebentar lagi fajar akan segera menyingsing, masih
ada waktu untuk kita beristirahat sejenak", berkata
Gajahmada kepada Supo Mandagri.
Malam memang telah berada di penghujung pagi
yang ditandai dengan sebaris tipis warna merah telah
mencuat ditengah bentangan hitam langit malam.
Perlahan cahaya merah mulai merajai langit yang
terpancar dari sumbernya di ujung jurang timur bumi.
Dan sayup perlahan pula terdengar suara ayam jantan
terdengar dari tempat yang sangat jauh.
"Nampaknya kamu memang sudah terbiasa bangun
di awal pagi", berkata Gajahmada kepada Supo
Mandagri yang sudah terlebih dahulu berada di serambi
pasanggrahannya. "Kami memang biasa bangun di awal pagi, apalagi
bila banyak pesanan untuk membuat berbagai senjata.
Kami merasa senang bila dapat memuaskan hati para
pelanggan", berkata Supo Mandagri bercerita tentang
kegiatan sehari-harinya bersama ayahnya.
"Pagi ini aku akan mengajakmu bersama ke
Pasanggrahan Ki Patih Mangkubumi", berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri.
Mendengar nama Ki Patih Mangkubumi, terlihat


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah Supo Mandagri langsung berubah penuh berseri405
seri seperti menemuinya. tidak sabar untuk segera datang Dan Supo Mandagri memang tidak harus menunggu
lama, ketika cahaya pagi telah mulai terlihat merata,
dirinya telah diajak keluar mendatangi pasanggrahan Ki
Patih Mangkubumi. "Selamat datang wahai putraku", berkata Ki Patih
Mangkubumi menyambut hangat kedatangan Gajahmada
yang hadir bersama Supo Mandagri.
Setelah duduk bersama di pendapa pasanggrahan Ki
Patih Mangkubumi, segera Gajahmada memperkenalkan
Supo Mandagri kepada lelaki tua yang selalu dipenuhi
senyum ramah itu. "Nama hamba Supo Mandagri, sebuah kehormatan
untuk hamba dapat berkenalan dengan salah seorang
keturunan empu Bharada sang pencipta keris para
dewa", berkata Supo Mandagri memperkenalkan dirinya.
"Nampaknya kawanmu ini telah melebih-lebihkan
namaku di hadapanmu", berkata Ki Patih Mangkubumi
sambil memandang kearah Gajahmada.
"Hamba tidak menambah atau melebihkan apapun,
hamba hanya berkata bahwa di Majapahit ini ada
seorang keturunan dari Empu Bharada yang telah
mewarisi keahliannya dalam membuat sebuah keris
pusaka", berkata Gajahmada sambil bercerita mengenai
hal ihwal Supo Mandagri. "Aku ikut prihatin atas musibah yang kamu alami",
berkata Ki Patih Mangkubumi kepada Supo Mandagri
setelah mendengar penuturan tentang dirinya.
"Terima kasih", berkata Supo Mandagri.
"Aku banyak mengenal orang asli Lamajang, siapa
406 nama orang tuamu?", bertanya Ki Patih Mangkubumi
kepada Supo Mandagri. "Supo Mageni", berkata Supo Mandagri.
Lama Ki Patih Mangkubumi terdiam
mengingat-ingat nama orang di Lamajang.
seperti "Sayang, aku tidak mengenal nama ayahmu itu",
berkata Ki Patih Mangkubumi setelah lama berpikir.
"Kami memang baru tinggal beberapa bulan di
Lamajang, ayah hamba berasal dari Tanah Tuban",
berkata Supo Mandagri kepada Ki Patih Mangkubumi
"Sebagai seorang putra seorang pembuat keris, pasti
kamu juga telah mewarisi keahlian ayahmu itu", berkata
Ki Patih Mangkubumi kepada Supo Mandagri.
"Benar, hamba sering membantu disaat ayah hamba
bekerja. Sebuah kehormatan untuk hamba dapat belajar
lebih dalam lagi seorang yang mumpuni sebagaimana Ki
Patih Mangkubumi", berkata Supo Mandagri kepada Ki
Patih Mangkubumi. "Sebagaimana dirimu, aku juga banyak belajar dari
ayahku sendiri. Aku sering membantunya disaat bekerja
membuat sebilah keris", berkata Ki Patih Mangkubumi
sambil menarik nafas panjang seperti tengah
menerawang jauh ke sebuah waktu yang jauh
kebelakang disaat dirinya masih sangat muda seusia
Supo Mandagri dan Gajahmada.
Sikap Ki Patih Mangkubumi itu telah membuat
Gajahmada dan Supo Mandagri jadi ikut terdiam.
Suasana di atas pendapa Pasanggrahan Ki Patih
Mangkubumi seketika menjadi hening.
"Banyak orang dapat membuat sebuah keris",
berkata Ki Patih Mangkubumi memecahkan keheningan
407 diatas pendapanya. "Namun hanya sedikit orang yang
dapat menciptakan sebuah keris pusaka yang mampu
bermakna di dalam seni karyanya itu", berkata kembali Ki
Patih Mangkubumi sambil memandang kedua anak muda
di hadapannya itu. Gajahmada dan Supo Mandagri sama-sama
mencoba mencerna perkataan orang tua pewaris tunggal
dari leluhurnya sendiri, sang pencipta keris para dewa.
"Banyak candi pernah kita lihat, namun hanya satu
candi yang mampu dapat melahirkan mimpi-mimpi baru.
Itulah candi pusaka leluhur kita, candi Borobudur yang
tidak mudah lapuk tergerus oleh jaman", berkata Ki Patih
Mangkubumi."Jadi setiap benda pusaka dalam bentuk
apapun akan melahirkan ketentraman hati, ketenangan
jiwa dan keluhuran budi sekaligus akan melahirkan
mimpi-mimpi baru yang berguna di dalam kehidupan ini.
Itulah benda pusaka yang sebenarnya", berkata kembali
Ki Patih Mangkubumi sambil tersenyum memandang
kedua anak muda di hadapannya itu.
Nampaknya kedua anak muda dihadapan Ki Patih
Mangkubumi seperti telah mulai dapat mengerti kemana
alur pembicaraannya itu. Melihat kedua anak muda dihadapannya masih
terdiam, terlihat Ki Patih Mangkubumi menarik nafas
panjang seperti tengah mengumpulkan semua ingatannya, dan mencoba memilih kata-kata yang tepat
agar Gajahmada dan Supo Mandagri dapat mencerna
penuturannya itu. "Maka seorang Empu adalah seorang guru yang
mampu menciptakan sebuah pusaka yang disampaikan
lewat setiap karyanya yang disampaikan lewat berbagai
perlambang. Maka seorang Empu adalah seperti seorang
408 yang kaya raya yang sangat berlimpah harta dan selalu
ingin berbagi kepada siapapun", berkata Ki Patih
Mangkubumi dengan wajah penuh senyum mengakhiri
kata-katanya. "Tutur Ki Patih Mangkubumi telah mencerahkan jiwa
ini, ternyata masih banyak sekali yang harus hamba
pelajari dalam hidup ini untuk menciptakan sebuah keris
pusaka yang sebenarnya", berkata Supo Mandagri
seperti telah memahami dan mencerna semua tutur Ki
Patih Mangkubumi. "Guru yang terbaik ada di dalam diri kita sendiri.
Selama kita dapat menjaga hati ini agar senantiasa
selalu bersih, maka selama itu pula kita akan berada
dalam pengajarannya", berkata Ki Patih Mangkubumi.
"Perkataan Ki Patih Mangkubumi, akan kami
pusakai", berkata Gajahmada dan Supo Mandagri
bersamaan. "Aku senang berbicara dengan orang-orang muda
seperti kalian berdua", berkata Ki Patih Mangkubumi
dengan wajah dan senyum cerahnya.
Sementara itu matahari pagi di atas Pura
Pasanggrahan Ki Patih Mangkubumi terlihat semakin
beranjak naik yang diiringi oleh suara kicau burung yang
saling bersahutan diatas kerindangan dan keasrian
taman disekitar Pura Pasanggrahan.
Namun manakala Gajahmada bercerita tentang
kecurigaannya atas para penghuni di Hutan kemiri,
terlihat garis wajah di kening orang tua itu berkerut
menunjukkan seperti begitu penuh kesungguhan
perhatiannya. "Apakah kamu begitu yakin bahwa mereka berasal
409 dari Lamajang?", berkata Ki Patih Mangkubumi.
"Hamba merasa yakin bahwa hampir semua orang
penghuni hutan kemiri itu menggunakan bahasa ibu yang
sama, bahasa Lamajang", berkata Gajahmada kepada Ki
Patih Mangkubumi penuh keyakinan.
"Yang sangat kuherankan, hingga saat ini tidak ada
berita dan kabar apapun dari Tumenggung Lembu
Weleng mengenai keadaan hutan Kemiri. Sebagai
seorang pemimpin para prajurit telik sandi, sangat aneh
bila mereka tidak mendengar atau mengetahuinya",
berkata Ki Patih Mangkubumi dengan wajah berkerut
merasa curiga ada sesuatu yang kurang beres di
kesatuan para prajurit telik sandi itu.
"Hutan kemiri memang tidak begitu jauh dari Kotaraja
Majapahit", berkata Gajahmada ikut membenarkan
dugaan Ki Patih Mangkubumi.
"Hari ini juga aku akan menyampaikan perihal hutan
kemiri kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya", berkata
Ki Patih Mangkubumi. Akhirnya menyadari banyak hal kesibukan yang akan
di kerjakan oleh Ki Patih Mangkubumi di hari itu, terlihat
Gajahmada dan Supo Mandagri pamit diri.
"Aku akan memperkenalkan dirimu kepada ibuku",
berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri ketika
mereka telah berada di luar istana Majapahit.
Maka terlihat kedua anak muda itu telah berjalan
bersama di sekitar Kotaraja Majapahit yang sudah cukup
ramai itu menuju ke sebuah barak pasukan khusus
prajurit wanita yang dipimpin oleh ibunda Gajahmada
sendiri, Nyi Nariratih. "Nyi Rangga Nariratih ada di ruang para perwira",
410 berkata seorang prajurit wanita menunjukkan kepada
Gajahmada ketika bertemu di Barak kesatuan pasukan
khusus wanita itu. Dan manakala Gajahmada dan Supo Mandagri telah
mendekati sebuah pintu tempat para perwira berkumpul,
mereka berdua telah bersisipan jalan dengan seorang
prajurit wanita yang baru saja keluar dari pintu dengan
dua matanya terlihat baru saja banyak mengeluarkan air
mata. Namun Gajahmada seperti tidak memperhatikannya, langsung menuju ke pintu ruang
para perwira tinggi pasukan khusus itu.
"Ibumu merasa gembira melihat kamu sudah kembali
di Kotaraja Majapahit ini", berkata Nyi Rangga Nariratih
kepada putra kesayangannya itu.
Maka setelah menyampaikan hal keselamatan
masing-masing, Gajahmada segera memperkenalkan
sahabat barunya itu kepada Nyi Rangga Nariratih.
"Namaku Supo Mandagri", berkata Supo Mandagri
kepada ibunda Gajahmada. "Senang mengenalmu, wahai Supo Mandagri",
berkata Nyi Rangga Nariratih dengan penuh keramahan.
Akhirnya dalam sebuah kesempatan, Gajahmada
mencoba bertanya perihal seorang prajurit wanita yang
dilihatnya begitu bersedih.
"Suami dari wanita itu tengah menghadapi sebuah
masalah besar", berkata Nyi Rangga Nariratih
"Semula aku mengira bahwa wanita itu telah
melakukan sebuah kesalahan besar, dapat teguran dari
ibunda", berkata Gajahmada.
"Wanita itu adalah seorang prajurit yang baik",
berkata Nyi Rangga Nariratih.
411 "Ada masalah apa dengan suaminya?", bertanya
Gajahmada kepada ibundanya.
Lama Nyi Rangga Nariratih tidak langsung menjawab
seperti tengah menimbang-nimbang apakah Gajahmada
dan Supo Mandagri boleh mendengar rahasia itu. Namun
akhirnya terlihat sebuah senyum tersungging dibibirnya.
"Kedatangan kalian sungguh sebuah kebetulan",
berkata Nyi Rangga Nariratih kepada kedua anak muda
itu. Mendengar perkataan Nyi Rangga Nariratih telah
membuat kedua anak muda itu terheran-heran.
"Kebetulan dengan apa gerangan, wahai ibundaku?",
bertanya Gajahmada kepada ibundanya.
"Wanita itu bersuamikan seorang prajurit telik sandi.
Setelah beberapa hari bertugas telah kembali membawa
sebuah berita rahasia. Namun manakala telah
menyampaikan berita rahasia itu kepada Tumenggung
Lembu Weleng yang menjadi atasannya, ada sebuah
kabar bahwa jiwanya terancam. Untuk menyelamatkan
dirinya, suaminya hingga kini telah menghilang entah
kemana. Wanita yang menjadi istrinya itu telah
menghadap kepadaku meminta perlindunganku untuk
menyelamatkan suaminya. Maukah kamu berdua
menolong wanita itu", berkata Nyi Rangga Nariratih
kepada Gajahmada dan Supo Mandagri.
"Dengan segala senang hati, kami berdua siap
membantu", berkata Gajahmada mewakili kawannya,
Supo Mandagri. "Bila demikian, aku akan manggil kembali wanita itu",
berkata Nyi Rangga Nariratih.
Maka tidak lama kemudian, seorang prajurit wanita
412 yang sedang dilanda kemalangan kehilangan suaminya
itu telah datang kembali di ruang perwira pasukan khusus
itu. "Sukemi, anakku dan kawannya ini telah bersedia
membantumu, ceritakanlah dengan jelas hingga
suamimu itu menghilang", berkata Nyi Rangga Nariratih
kepada seorang anak buahnya yang bernama Sukemi.
Maka wanita itupun telah bercerita yang didengar
oleh Gajahmada dan Supo Mandagri sama persis
dengan yang diceritakan oleh Nyi Rangga Nariratih


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelumnya. "Apakah kamu tahu rahasia apa yang diketahui oleh
suamimu itu?", bertanya Gajahmada kepada wanita itu.
"Suamiku tidak bercerita apapun kepadaku, hanya
mengatakan akan segera menyampaikan langsung
sebuah rahasia besar kepada Tumenggung Lembu
Weleng", berkata wanita itu.
"Apakah suamimu mempunyai sorang sahabat dekat
di kesatuannya itu?", bertanya Gajahmada kepada
wanita itu. "Sahabatnya itulah yang telah mengabarkan bahwa
suamiku jiwanya terancam", berkata wanita itu sambil
menyebut sebuah nama. "Baiklah, hari ini juga kami akan menemui sahabat
suamimu itu", berkata Gajahmada kepada wanita itu.
"Bersabarlah Sukemi, semoga kita dapat melewati
cobaan ini", berkata Nyi Rangga Nariratih kepada anak
buahnya itu. "Terima kasih untuk perhatian Nyi Rangga kepada
kami", berkata wanita prajurit itu sambil berpamit diri.
413 Manakala wanita itu telah meninggalkan ruang
perwira pasukan khusus itu, ternyata Gajahmada dan
Supo Mandagri ikut berpamit diri.
"Berhati-hatilah kalian, yang kalian hadapi ini adalah
seorang pembesar istana", berkata Nyi Rangga Nariratih
memberikan nasihat kepada Gajahmada dan Supo
Mandagri yang bermaksud pamit diri untuk segera
mencari tahu keberadaan suami anak buahnya itu yang
telah pergi menyembunyikan diri karena telah mendapat
sebuah ancaman jiwanya akan dihilangkan oleh
seseorang berhubungan dengan berita rahasia yang
dimilikinya itu. Maka sebagai seorang pemimpin pasukan khusus
Bhayangkara, tidaklah sulit untuk mencari sebuah nama
prajurit dari kesatuan telik sandi yang disebut oleh prajurit
anak buah ibundanya itu sebagai seorang sahabat dekat
suaminya itu. "Danta saat ini berada di rumah orang tuanya di
Padukuhan Sempur tengah menyiapkan rencana
perkawinan adiknya", berkata seorang prajurit yang
mengenal orang yang sedang dicari oleh Gajahmada itu.
Akhirnya setelah menemui beberapa orang anak
buahnya di kesatuan Bhayangkara untuk mewakilinya
karena ada keperluan yang sangat penting, terlihat
Gajahmada dan Supo Mandagri telah berjalan kearah
Padukuhan Sempur yang tidak begitu jauh dari Kotaraja
Majapahit. Sementara itu langit masih terang dimana matahari
masih menggantung rebah sedikit di awal sore manakala
Gajahmada dan Supo Mandagri telah memasuki wilayah
padukuhan Sempur. Sangat mudah untuk mencari orang yang bernama
414 Danta itu, karena hampir semua warga mengenalnya
sebagai seorang prajurit Majapahit.
Ternyata keluarga prajurit yang bernama Danta itu
memang akan melaksanakan sebuah hajatan besar,
terlihat di halaman depan rumahnya beberapa orang
tengah membangun sebuah tajuk.
"Sungguh sebuah kehormatan besar mendapat
kunjungan tuan pemimpin pasukan Bhayangkara",
berkata seorang pemuda berdada bidang yang
nampaknya sudah mengenal Gajahmada.
Ternyata pemuda berdada bidang itu adalah Danta
sendiri. Terlihat mereka bertiga duduk diatas pendapa
rumah Danta dimana di halaman rumahnya terlihat
beberapa orang tengah menyiapkan sebuah tajuk.
Gajahmada tidak langsung menyampaikan tujuannya,
mengawalinya dengan beberapa pembicaraan lain.
Namun ketika Danta mendesak dengan keperluan
apakah gerangan dirinya datang mengunjungi rumahnya.
Maka akhirnya Gajahmada maksud tujuannya yang
sebenarnya. "Aku datang untuk menanyakan perihal Sumijan,
kawanmu", berkata Gajahmada kepada Danta.
Terlihat Danta tidak langsung menjawab, seperti
tengah berpikir baik dan buruknya menyampaikan hal
yang sebenarnya kepada Gajahmada. Namun rasa
kesetia kawannya timbul, merasa kasihan dan ingin
dapat membantu masalah yang dihadapi oleh kawannya
itu, Sumijan. Ditambah lagi bahwa dihadapannya adalah
seorang pemimpin pasukan Bhayangkara yang sangat
dipercaya oleh Sri Baginda Raja Majapahit.
"Hamba sendiri yang telah menyampaikan kepada
415 Sumijan bahwa jiwanya terancam", berkata Danta
setelah berpikir cukup lama kepada Gajahmada.
"Siapa gerangan yang akan mengancam keselamatan dirinya itu?", bertanya Gajahmada kepada
Danta. Kembali terlihat Danta terdiam seperti merasa
bimbang untuk mengatakan yang sebenarnya kepada
Gajahmada. Nampaknya Gajahmada memaklumi apa
yang dipikirkan oleh Danta.
"Janganlah kamu merasa takut untuk menceritakan
hal yang sebenarnya kepadaku, aku akan menjamin
seutuhnya keselamatan dirimu dan keluargamu", berkata
Gajahmada mencoba meyakinkan perasaan Danta.
Mendengar perkataan Gajahmada serta rasa kesetia
kawannya kepada Sumijan, terlihat Danta seperti
menarik nafas panjang menguatkan hatinya sendiri dan
merasa yakin bahwa Gajahmada dapat dipegang
janjinya. "Tumenggung Lembu Weleng sendiri yang telah
berencana menghabisi nyawa Sumijan", berkata Danta
kepada Gajahmada dengan suara bergetar karena masih
ada perasaan takut di hatinya sendiri.
"Apakah Sumijan sempat bercerita kepadamu
tentang sebuah berita yang telah disampaikan sendiri
olehnya kepada Tumenggung Lembu Weleng?",
bertanya kembali Gajahmada kepada Danta.
"Sebelum pergi menghilang, Sumijan telah menyampaikannya berita itu kepada hamba", berkata
Danta masih dengan suara bergetar.
"Percayalah kepadaku, aku akan menyelesaikan
permasalahan kawanmu itu hingga tuntas. Ceritakanlah
416 kepada kami apa yang telah kamu dengar dari Sumijan",
berkata Gajahmada mencoba kembali memberikan rasa
keyakinan kepada Danta. Nampaknya Danta mulai mempercayai Gajahmada
yang mempunyai jabatan dan wewenang cukup tinggi di
istana Majapahit sebagai seorang yang sangat dekat
dengan Sri Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Sumijan telah mendapat sebuah tugas ke Kotaraja
Kediri, namun manakala telah menyelesaikan tugasnya
di Kediri, diperjalanan pulangnya telah melihat sesuatu
yang mencurigakan berada di hutan Kemiri. Jiwa
keprajuritannya sebagai seorang petugas telik sandi
telah mendorong dirinya untuk menyelidiki siapa
gerangan para penghuni hutan Kemiri yang sangat
mencurigakan itu. Bukan main terkejutnya Sumijan
manakala mengetahui bahwa para penghuni hutan
Kemiri itu adalah sebuah kekuatan yang sengaja
disiapkan untuk membunuh seorang pembesar dari
istana Kediri yang dipastikan akan melewati hutan Kemiri
dalam waktu dekat ini", berkata Danta dengan suara kali
ini begitu penuh kepercayaan yang tinggi, merasa
dihadapannya adalah seorang yang punya wewenang
cukup disegani di istana Majapahit melebihi Tumenggung
lembu Weleng atasannya itu.
"Kepercayaanmu dan keberanianmu menjelaskan
tentang berita ini sungguh aku hargai, Kerajaan
Majapahit berhutang budi kepadamu", berkata Gajahmada kepada Danta "Semua hamba lakukan demi rasa kesetiaan kepada
Sumijan, juga kepercayaan hamba kepada tuanku",
berkata Danta kepada Gajahmada.
Demikianlah, Gajahmada dan Supo Mandagri segera
417 pamit diri merasa telah mendapatkan penjelasan yang
cukup gamblang mengenai persoalan yang telah terjadi
atas diri Sumijan, suami salah seorang prajurit pasukan
khusus Nyi Rangga Nariratih.
"Aku akan menyempatkan diri datang di hari
perkawinan adikmu", berkata Gajahmada kepada Danta
ketika telah berada di bawah tangga pendapanya.
"Kami sekeluarga akan menjadi tersanjung bila saja
tuanku datang di hari perkawinan adik kami", berkata
Danta dengan wajah cerah kepada Gajahmada.
Manakala di perjalanan kembali Ke Kotaraja
Majapahit, terlihat Supo Mandagri hanya mengikuti
langkah kaki Gajahmada dan tidak banyak bertanya.
Nampaknya memaklumi sahabatnya itu nampaknya
tengah berpikir keras mengungkap persoalan suami
seorang prajurit anak buah ibundanya itu.
Dugaan Supo Mandagri ternyata memang benar,
ternyata Gajahmada sambil berjalan berusaha memecahkan siapa gerangan pembesar istana dari Daha
yang sengaja telah disiapkan sebuah kekuatan untuk
membunuhnya. Tiba-tiba saja pikiran Gajahmada melayang jauh
ketika dirinya bertemu dengan Ki Aria Wiraraja beberapa
waktu yang telah lewat di sekitar tempat yang tidak jauh
dari Hutan Kemiri. "Apakah Ki Aria Wiraraja berada dibelakang semua
ini?", berkata dalam hati Gajahmada berusaha
memecahkan masalah yang masih sangat buram itu.
"Siapa gerangan pembesar dari Daha yang akan
dicelakai itu?", bertanya kembali Gajahmada dalam hati
sambil terus berpikir memecahkan masalah yang sangat
418 pelik itu. Ketika Gajahmada dan Supo Mandagri tiba kembali
di istana Majapahit, hari telah terlihat mendekati saat
senja. "Kembalilah ke Pasanggrahanku sendiri, aku akan
menghadap langsung Baginda Raja Sanggrama Wijaya
di pura pasanggrahannya", berkata Gajahmada kepada
Supo Mandagri. Terlihat keduanya berpisah di sebuah persimpangan
jalan di dalam istana Majapahit. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Gajahmada, anak muda itu memang telah
melangkahkan kakinya menuju pura pasanggrahan
penguasa tertinggi Majapahit.
Salah seorang prajurit Bhayangkara yang tengah
bertugas menyapa Gajahmada dan mengatakan bahwa
Sri Baginda Raja Sanggrama Wijaya saat itu tengah
bersama Ki Patih Mangkubumi di serambi.
Terlihat dengan tergesa-gesa sekali Gajahmada
tengah menuju ke arah serambi.
Gajahmada memang telah melihat Baginda Raja
tengah berbincang-bincang bersama Ki Sandikala dan
langsung mengajak Gajahmada duduk bergabung
bersama mereka. "Kebetulan sekali kamu datang, kami tengah
membicarakan masalah hutan Kemiri dan Tumenggung
Lembu Weleng", berkata Ki Sandikala kepada
Gajahmada. "Hamba telah menemukan keterkaitan diantara
keduanya", berkata Gajahmada sambil bercerita tentang
apa yang telah ditemukannya yang dimulai kisah
menghilangnya suami seorang prajurit pasukan khusus
419 ibundanya, juga cerita dari Danta tentang sebuah berita
rahasia. "Siapa gerangan pembesar dari Daha yang akan
mereka celakai itu?", bertanya Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Menurut hamba, Ki Aria Wiraraja berada di belakang
ini semua", berkata Gajahmada.
"Bagaimana kamu merasa yakin bahwa Ki Aria
Wiraraja ada dibelakang ini semua?", bertanya Ki
Sandikala kepada Gajahmada.
Gajahmada bercerita tentang pertemuannya dengan
Ki Aria Wiraraja beberapa waktu yang telah lewat di
sekitar hutan Kemiri. "Bila memang Ki Aria Wiraraja berada di belakang ini
semua, apa yang diinginkannya dari semua ini?",
bertanya kembali Baginda Raja Sanggrama Wijaya
memaksa Ki Sandikala dan Gajahmada untuk terus
berpikir. "Aku mengenal Ki Aria Wiraraja sebagai seorang


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemburu yang ulung, sangat gigih dan pantang
menyerah. Aku masih ingat perkataannya kepadaku
bahwa kita harus mengenal watak dan perilaku binatang
jenis apa yang akan kita buru sebagaimana seekor elang
mengamati mangsanya, atau seperti seekor harimau
besar yang menanti dengan sabar mangsanya menjadi
lengah, atau seperti seekor ular yang berpura-pura mati
agar ditinggalkan oleh musuhmu", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya kepada dua orang kepercayaannya
itu yang masih saja terlihat tengah berpikir.
Gajahmada dan Ki Sandikala masih terlihat terus
berpikir, sementara Baginda Raja Sanggrama Wijaya
420 masih saja berkata-kata. "Di lain waktu, Ki Aria Wiraraja juga pernah berkata
kepadaku bahwa untuk menghancurkan sebuah pura
yang besar tidak harus mencari seekor gajah yang besar
pula, tapi carilah telur-telur rayap agar kamu tanam di
satu tiang penyangganya", berkata kembali Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. Mendengar perkataan terakhir Baginda Raja
Sanggrama Wijaya, terlihat Gajahmada dan Ki Sandikala
saling beradu pandang. "Daha adalah tiang penyangga dari Majapahit yang
besar ini", berkata Gajahmada yang seperti dibenarkan
oleh Ki Sandikala lewat tatapan mata dan anggukan
kepalanya. Sementara itu Baginda Raja Sanggrama Wijaya
terlihat mengerutkan keningnya.
"Hamba merasa bahwa pembesar dari Daha yang
akan dicelakai itu adalah ayah angkat hamba sendiri,
Patih Mahesa Amping", berkata Gajahmada dengan
suara perlahan "Bagaimana kamu merasa bahwa Patih Mahesa
Amping adalah orang yang akan dicelakai itu?", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya kepada Gajahmada.
"Bukankah Patih Mahesa Amping adalah sahabat
tuanku", bukankah Patih Mahesa Amping telah mampu
merangkul semua kekuatan yang ada di Daha menjadi
bersatu di bawah kewibawaannya", bukankah Patih
Mahesa Amping telah menjadi saudara angkat tuanku
sendiri", dan bagi mereka mencelakai Mahesa Amping
berarti telah menyakiti hati tuanku sendiri", berkata
Gajahmada menjawab pertanyaan Baginda Raja
421 Sanggrama Wijaya. "Ki Aria Wiraraja akan berhadapan dengan batu
karang besar memilih Patih Mahesa Amping yang
perkasa. Satu laskar besar tidak mampu menggeser
sedikitpun dari tempatnya berdiri. Hanya dengan satu
hentakan cambuknya, ribuan orang dapat binasa
seketika", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya
masih belum yakin bahwa Patih Mahesa Amping adalah
orang yang akan di celakai oleh orang-orang di hutan
Kemiri itu. "Ki Aria Wiraraja punya seribu cara untuk
menghancurkan sebuah karang besar", berkata Ki
Sandikala seperti mengingatkan Baginda Raja Sanggrama Wijaya. Mendengar perkataan Ki sandikala terlihat Baginda
Raja Sanggrama terdiam sejenak merasa bahwa ucapan
Patihnya itu memang dapat dibenarkan bila saja Mantan
Adipati Sunginep itu benar-benar berada dibelakang
semua itu. Namun sayangnya, tidak semua orang dapat selalu
menjernihkan suara hatinya, tidak semua orang baik
terlepas dari bisikan jahat, tidak terkecuali seorang
penguasa tertinggi Majapahit itu.
"Wahai Wijaya, benarkah kejayaanmu yang maha
tinggi itu ditopang oleh sebuah pilar kekuatan seorang
Mahesa Amping?", terdengar suara bisikan jahat seperti
menantang dan mempertanyakan kebesaran nama
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Melihat Baginda Raja Sanggrama Wijaya diam
membisu, Gajahmada dan Ki Sandikala tidak berani
bersuara lagi, membiarkan penguasa tunggal Majapahit
itu menentukan sendiri langkah apa yang terbaik
422 dilakukan. Namun sebagai seorang yang telah terbuka mata
hatinya, seorang yang telah dicerahkan alam bathinnya
untuk melihat yang tidak kasat mata, ternyata Ki
Sandikala dan Gajahmada sama-sama telah merasakan
sebuah hal yang tidak wajar tengah memenuhi suasana
di sekitar pura pasanggrahan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. Ternyata panggraita kedua orang tokoh kepercayaan
Baginda Raja Sanggrama Wijaya itu memang tidak
meleset jauh, karena nun jauh disana di sebuah rumah
besar di pinggir sebuah hutan Randu Agung terlihat ada
sepuluh orang datuk tengah membaca mantra-mantra
yang ikut terbang mengudara bersama asap dupa yang
terus terjaga oleh arang yang terus membara.
Pada hari itu, seorang tokoh ternama mantan
pembesar istana Singasari, seorang yang pernah ikut
andil dan berjasa membangun Kerajaan Majapahit yang
telah melupakan nama besarnya sendiri berganti nama
sebagai Ki Randu Agung, seorang yang punya pengaruh
besar di Tanah Lamajang memang sengaja mengumpulkan sepuluh orang datuk besar untuk dapat
merusak kejernihan hati Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. Mantra dan doa para datuk itu ternyata mampu
menembus tirai-tirai kehalusan jiwa Baginda Raja
Sanggrama yang datang membisiki hatinya dengan
menaburkan dan menumbuhkan kembali sifat-sifat
angkara yang mengepung kesucian hatinya.
"Wahai Wijaya, kamu telah membesarkan ular naga
itu, suatu saat tahta dan kekuasaanmu akan tergilas oleh
kekuatan ular naga itu, keagungan namamu dan
423 segenap keturunanmu tidak tercatat lagi dalam tinta
sejarah bumi suci ini, sebaliknya sang naga itulah yang
akan menjadi agung di puja di setiap candi pura. Saatnya
kamu memikirkan dirimu dan masa depan keturunanmu
sendiri. Biarkanlah ada orang lain mengakhiri perjalanan
sang naga di hutan kemiri, bukankah tanganmu akan
terus terjaga kebersihannya?", berkata kembali bisikan
didalam diri Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Tumenggung Lembu Weleng telah berselingkuh
dengan kita, aku ingin dirinya segera diamankan agar
tidak melarikan diri. Sementara untuk masalah para
penghuni hutan kemiri akan kita bicarakan kembali esok
hari", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya
sebagaimana layaknya seorang raja memberi titah
kepada para punggawanya. Terlihat Gajahmada dan Ki Sandikala saling
berpandangan seperti merasa kecewa atas sikap dan
keputusan penguasa tunggal Kerajaan Majapahit itu
yang hanya menghukum Tumenggung Lembu Weleng
namun tidak membuat sebuah keputusan pada hari itu
juga untuk menyelamatkan Patih Mahesa Amping,
seorang pembesar Daha yang akan dicelakai oleh
sebuah kekuatan yang telah disiapkan di hutan kemiri.
Demikianlah, terlihat Ki Sandikala telah berpamit diri
di hadapan Baginda Raja Sanggrama Wijaya, tentunya
dengan sebuah pengharapan pikiran Baginda Raja akan
menjadi lebih jernih lagi esok harinya.
Sementara Gajahmada di malam itu juga telah
membawa beberapa orang kepercayaannya untuk
mengamankan Tumenggung Lembu Weleng. Hukuman
apa yang pantas untuk seseorang pejabat istana yang
telah melakukan pengkhianatan adalah menjadi
wewenang Baginda Raja Sanggrama Wijaya yang akan
424 menentukannya. Setelah melaksanakan tugasnya, mengamankan
Tumenggung Lembu Weleng di tempat yang terjaga di
istana Majapahit, terlihat anak muda pemimpin pasukan
khusus Bhayangkara itu melangkahkan kakinya ke arah
Pasanggrahannya sendiri. Sementara hati dan pikirannya
masih saja terpaut kedalam suasana penuh kekhawatiran
tentang rencana orang-orang hutan kemiri yang telah
disiapkan untuk mencelakai ayah angkatnya, Patih
Mahesa Amping. Di Pasanggrahan pribadinya Gajahmada tidak
bertemu dengan Supo Mandagri, karena sudah lebih
dulu beristirahat di peraduannya.
Lama hingga datangnya warna merah tipis di atas
langit saat sang malam mulai jenuh menjaga bumi, tidak
juga ada perasaan mengantuk pada diri Gajahmada.
Keterikatan bathin sebagai seorang putra angkat telah
memenuhi debar-debar kalbunya memikirkan keselamatan Patih Mahesa Amping.
Gajahmada tidak menyadari bahwa itulah getaran
pranggraita yang harus disikapi. Sementara itu di sebuah
yang jauh dari kotaraja Majapahit, di sebuah alam
suasana padukuhan yang aman dan tentram di bawah
bintang gemintang langit malam, seorang lelaki tua telah
merasakan hal yang sama sebagaimana tengah di
rasakan oleh Gajahmada saat itu.
"Besok pagi kita ke hutan kemiri", berkata lelaki tua
itu yang tidak lain adalah Ki Gede Bajra Seta kepada
putranya Mahesa Darma. Ternyata lelaki tua yang masih terlihat gagah itu telah
mampu dapat membaca sebuah pengabaran bahwa
akan terjadi sebuah peristiwa besar berkaitan dengan
425 seseorang yang sangat dicintainya itu, Patih Mahesa
Amping. Seseorang yang pernah dibesarkan dan dibina
lahir dan bathin di Padepokan Bajra Seta bersama
Baginda Raja Sanggrama Wijaya sang penguasa
Majapahit itu. Sebagai seorang putra dari Ki Gede Bajra Seta,
Mahesa Dharma dapat mengerti bahwa ayahnya pasti
telah mendapatkan sebuah panggraita sehingga tiba-tiba
saja telah mengajaknya untuk pergi ke hutan kemiri
besok pagi. "Masih ada waktu beristirahat, meski hanya
merebahkan badan dan meluruskan kaki", berkata
Mahesa Dharma sambil bangkit berdiri pamit diri kepada
ayahnya untuk masuk ke peraduannya.
Manakala putranya sudah masuk ke peraduannya,
terlihat Ki Bajra Seta melangkahkan kakinya menuju
ujung pagar pendapa halaman padepokan Bajra Seta. Di
benak orang tua yang sudah penuh dengan kerut-kerut di
wajahnya itu adalah sebuah bayangan Mahesa Amping
kecil yang tengah berlatih di depan halaman muka
Padepokan Bajra Seta. "Kasihan Mahesa Amping, sejak lahir tidak mengenal
wajah orang tuanya sendiri", berkata Ki Gede Bajra Seta
sambil mengenang masa-masa keberadaan Mahesa
Amping di Padepokan Bajra Seta.
Namun sebagai seorang guru suci yang telah
mengenal arti kebesaran dan kekuasaan tertinggi Gusti
yang Maha Agung sebagai pemilik alam semesta jagad
raya ini, dirinya telah menyadari bahwa tidak satupun
makhluk yang dapat lepas dan lari dari takdirNya. Dan
manakala hujan di pagi itu telah mengguyur bumi, terlihat
Ki Gede Bajra Seta masih tersenyum memandang curah
426 hujan yang cukup lebat di halaman depan Padepokan
Bajra Seta. "Kita menunggu saat hujan menjadi reda, wahai
putraku", berkata Ki Bajra Seta kepada Mahesa Dharma
yang telah bersiap-siap diri untuk berangkat menuju
hutan kemiri. "Hujan yang turun cukup deras seperti ini biasanya
tidak begitu lama", berkata Mahesa Dharma kepada
ayahnya sambil ikut memandang hujan yang masih turun
cukup deras itu. Sementara itu di sebuah pagi yang sama dalam
cuaca yang cukup cerah disebuah tempat yang berjarak
sekitar setengah hari perjalanan dari hutan kemiri, terlihat
sekumpulan prajurit tengah membongkar perkemahan
darurat mereka. Nampaknya akan melanjutkan
perjalanan kembali setelah bermalam di tempat itu.
Ternyata mereka adalah para prajurit Daha yang
tengah mengawal seorang pembesar istana Daha dan
putranya yang tidak lain adalah Patih Mahesa Amping
dan putranya bernama Adityawarman.
Sosok sang Patih dari Daha itu terlihat begitu gagah
perkasa berdiri diatas kudanya dengan janggut yang
tebal dan terpelihara rapi telah

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menambah kewibawaannya. Sementara itu disampingnya adalah
putranya sendiri, seorang pemuda yang cukup tampan
yang dikenal bernama Adityawarman.
Terlihat Patih Mahesa Amping dan putranya itu telah
bersiap-siap diatas kudanya untuk melanjutkan
perjalanan mereka sebagai utusan kerajaan Daha untuk
menyaksikan sebuah wisuda Rajamuda Tumapel dan
Rajamuda Kahuripan yang dilakukan secara bersamaan
di istana Majapahit. 427 Nampaknya sang Patih telah memilih bermalam di
tempat itu dengan perhitungan tidak menjadi perhatian
banyak orang dibandingkan bila mereka bermalam di
sebuah Kademangan. Sebagaimana diketahui bahwa
sebuah rombongan utusan kerajaan biasanya membawa
banyak barang berharga sebagai upeti dan hadiah, dan
Patih Mahesa Amping nampaknya menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan terjadi dalam perjalanan mereka.
"Kita sudah siap melanjutkan perjalanan, wahai
tuanku", berkata seorang pemimpin prajurit pengawal itu
kepada Patih Mahesa Amping.
"Mari kita berangkat", berkata Patih Mahesa Amping
kepada putranya sambil menghentakkan perut kudanya.
Terlihat rombongan pasukan berkuda mengiringi
dibelakang sang patih yang sangat berwibawa diatas
kudanya itu telah berjalan perlahan diatas jalan keras,
sebuah jalan tanah yang biasa digunakan oleh banyak
pedagang untuk datang dan pergi ke Kotaraja Kediri.
Dalam perjalanan, sang surya pagi terlihat telah mulai
merangkak menerangi wajah-wajah para prajurit.
Rombongan berkuda para prajurit Daha yang
mengawal Patih Mahesa Amping terlihat masih terus
berjalan menyusuri jalan yang mendatar panjang, namun
terkadang terjal dan berliku.
"Seperti inilah kehidupan yang kita jalani, wahai
putraku. Dimana tidak selamanya kita berjalan diatas
tanah datar, terkadang didepan mata kita terbentang
jalan terjal yang penuh berliku", berkata Patih Mahesa
penuh senyum kepada putranya, Adityawarman.
"Aku menikmati perjalanan ini, wahai ayahku",
berkata Adityawarman dengan wajah cerah ceria.
428 "Kamu benar wahai putraku, pahit getir asam dan
manis kehidupan adalah sebuah racikan kenikmatan
yang harus kita nikmati", berkata Patih Mahesa Amping
sambil menghirup nafas panjang menikmati harum daun
hijau yang terbawa oleh hembusan angin disiang itu.
Demikianlah, Patih Mahesa Amping dan rombongannya itu masih terus berrjalan dipayungi lagit
yang cerah membelah padang dan perbukitan hijau.
Hingga manakala cahaya matahari mulai menyengat
kulit, Mahesa Amping telah memerintahkan rombongannya itu untuk beristirahat.
Terlihat beberapa orang prajurit Daha yang
mendengar perintah itu sudah langsung melompat dari
kudanya mencari tempat teduh untuk bersandar dan
mengeringkan peluh yang membasahi seluruh tubuh
mereka. "Kita berteduh di dekat bebatuan besar itu", berkata
Mahesa Amping mengajak putranya kesebuah batu
besar yang teduh dinaungi sebuah pohon besar yang
sangat rindang. Desir angin berhembus lembut menyapu wajah Patih
Mahesa Amping yang telah bersandar di sebuah
bebatuan besar bersama putranya.
"Ketika Raja Jayakatwang masih berkuasa, ayahmu
bersama Baginda Raja Sanggrama Wijaya pernah duduk
bersama di bebatuan ini sebagai dua orang pembegal
sambil mengamati para pedagang yang lewat di jalan ini",
berkata Patih Mahesa Amping kepada Adityawarman.
"Ayah bersama Baginda Raja pernah jadi seorang
pembegal?", berkata Adityawarman seperti tidak percaya
dengan apa yang didengar dari ayahnya sendiri.
429 "Tidak selamanya kita harus berperang berhadapan
dengan pedang ditangan, ayahmu terpaksa menjadi
pembegal di berbagai tempat untuk sebuah pencitraan
bahwa Raja jayakatwang tidak mampu mengamankan
kerajaannya sendiri", berkata Patih Mahesa Amping
kepada Adityawarman sambil tersenyum.
"Aku hanya pernah mendengar bahwa ayah dan
Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah memenangkan
sebuah peperangan dengan gilang gemilang, baru hari
ini kudengar cerita tentang perang sebagai seorang
pembegal jalanan", berkata Jayakatwang sambil tertawa
membayangkan ayahnya yang sangat di hormati oleh
banyak orang itu ternyata pernah menjadi seorang
pembegal jalanan. Patih Mahesa Amping hanya tersenyum memandang
putranya yang masih tertawa mendengar ceritanya
tentang seorang pembegal jalanan.
"Begitulah peperangan, adakalanya kita memenangkan sebuah pertempuran, namun kadangkala
kita harus pulang membawa kegetiran hati menanggung
kekalahan dalam sebuah pertempuran.
Sementara yang paling sangat menyakitkan dalam
sebuah peperangan manakala kawan-kawan dekat kita
sudah tidak dapat kita jumpai di alam dunia ini, tewas
disaat pertempuran. Pada saat itu, tidak ada obat apapun
untuk menyembuhkan kepiluan hati ini", berkata patih
Mahesa Amping kepada putranya.
"Ternyata sebuah peperangan banyak menimbulkan
kepedihan hati, ternyata pula kemenangan gilang
gemilang Baginda Raja Sanggrama Wijaya berada diatas
darah dan air mata para sahabat setianya", berkata
Adityawarman dengan wajah seperti tengah merenungi
430 dan membayangi sebuah pertempuran besar.
"kamu benar wahai putraku, namun peperangan
bukan hanya dibanjiri oleh darah dan air mata, juga
penderitaan panjang manakala tidak ada lagi tempat
berlindung dan bernaung karena hampir seluruh tempat
dikuasai oleh pihak musuh, sementara pula tidak ada
seorangpun yang berani menampung kami sebagai para
pemberontak", berkata Patih Mahesa Amping melukiskan
penderitaan yang sangat di masa-masa penuh
perjuangan menghadapi kekuasaan Raja Jayakatwang.
"Tidak ada yang berani menerima kalian?", bertanya
Adityawarman dengan penuh perhatian.
"Tidak semuanya, masih ada seorang mantan
pembesar Singasari yang merasa simpatik terhadap
perjuangan kami yang ingin menghidupkan kembali
kekuasaan Singasari ini di Jawadwipa ini. Dialah Adipati
Sunginep yang diam-diam memberi kami naungan
kepada kami untuk bersembunyi sementara waktu, juga
telah menyumbang begitu banyak kuda serta membeli
banyak budak untuk kami jadikan tambahan pasukan
untuk kembali mengadakan perlawanan kepada
kekuasaan Raja jayakatwang", berkata Patih Mahesa
Amping bercerita tentang kebaikan seorang Adipati
Sunginep kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya di
masa-masa perjuangannya. Mendengar penuturan ayahnya itu, terlihat Adityawarman tidak berkata apapun hanya terdiam
membisu seperti tengah membayangkan ayahnya yang
saat ini penuh bergelimang kehormatan dan
berkecukupan itu ternyata punya sebuah kenangan yang
begitu pahit dalam sisi kehidupannya di masa-masa
perjuangan bersama Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
431 "Kita sudah cukup beristirahat, mari kita melanjutkan
perjalanan kita", berkata Patih mahesa Amping kepada
putranya, Adityawarman. Demikianlah, rombongan Patih Mahesa Amping
terlihat telah bergerak kembali.
Angin lembut menyapu wajah para prajurit Daha yang
tetap siaga mengawal dan menjaga junjungan mereka
Patih Mahesa Amping yang terlihat berkuda berdampingan bersama putra tunggalnya, Adityawarman.
Sementara sang mentari di langit terlihat terus
bergeser kearah barat meneduhi bumi.
Wajah bumi terlihat mulai suram di penghujung senja
itu, seekor elang jantan terlihat melintas terbang dan
menghilang di kerimbunan hutan kemiri.
"Kita bermalam di muka hutan ini", berkata Patih
Mahesa Amping kepada seorang pemimpin prajurit.
Tidak lama berselang, terlihat dua puluh orang
prajurit Daha sudah sibuk untuk membangun
perkemahan darurat di muka hutan kemiri, nampaknya
mereka memang akan bermalam ditempat itu.
"Berada di alam terbuka lebih baik dibandingkan
berada di antara kerimbunan hutan lebat, kita tidak dapat
melihat musuh yang datang", berkata Patih Mahesa
Amping menjelaskan kepada Adityawarman mengapa
memilih bermalam di muka hutan itu.
"Bukankah kita tidak dalam suasana peperangan,
wahai ayahku", berkata Adityawarman kepada ayahnya.
"Peperangan tidak akan pernah berakhir, wahai
putraku", berkata Patih Mahesa Amping dengan wajah
bijaksananya memandang kearah Adityawarman.
432 "Peperangan tidak akan pernah berakhir?", bertanya
Adityawarman mengulangi perkataan ayahnya.
Terlihat Mahesa Amping tidak langsung menjawab
pertanyaan Adityawarman, hanya menarik nafas panjang
sambil tersenyum menatap wajah putranya yang telah
menjadi seorang pria dewasa itu, namun belum dapat
memahami banyak hal asam garam peri kehidupan di
dunia ini. "Peperangan adalah seperti sebuah dendam yang
tidak akan pernah berkesudahan, peperangan kita
kemarin adalah buah dari peperangan para orang
terdahulu kita, sementara peperangan nanti adalah buah
dari peperangan hari ini", berkata Patih Mahesa Amping
kepada Adityawarman. "Dimana kita mendapat kedamaian dan ketentraman
hati bila merasa ada musuh dimana-mana?", bertanya
Adityawarman kepada ayahnya.
"Didalam dirimu telah mengalir darah ksatria, dan
seorang ksatria terlahir hidup hanya mengenal tajamnya
ujung pedang ditangan kita yang mengharuskan kita
untuk siap siaga setiap waktu menghadapi ancaman
tajamnya pedang musuh-musuh kita yang terlihat
maupun dibalik kegelapan malam sekalipun", berkata
Patih Mahesa Amping seperti tengah memberi nasehat
kepada putranya agar selalu siap siaga tidak pernah
lengah sedikitpun. Lama Adityawarman perkataan ayahnya itu. seperti tengah merenungi "Apakah kamu mengira seorang petani tidak pernah
punya musuh dan ancaman", tikus-tikus di sawah,
burung-burung kecil pencuri padi dan musim kemarau
yang sangat panjang. Jalani dan nikmatilah hidup dan
433 takdirmu sebagai anugerah dari yang Maha Agung dalam
senang dan dalam susah, disitulah ada sebuah
ketenteraman hati", berkata kembali Patih Mahesa
Amping seperti mengetahui apa yang tengah dipikirkan
oleh putranya itu. Sementara itu lengkung langit malam telah
bertaburan bintang gemintang memayungi hutan kemiri.
Malam itu di muka hutan kemiri yang sepi,terlihat
empat orang prajurit Daha masih berjaga-jaga
mendapatkan giliran ronda pertamanya.
Dan malampun berlalu dengan begitu tenangnya
seperti telah memberi kesempatan kepada rombongan
Patih Daha itu dapat tidur beristirahat setelah setengah
harian mereka berjalan cukup melelahkan.
Tidak terjadi apapun dimalam itu kecuali gerimis yang
datang diujung malam. Hingga manakala langit pagi terlihat masih memerah
dan gerimis sudah lama berlalu menyisakan rumputrumput yang basah disekitar perkemahan, beberapa
prajurit sudah terbangun langsung membuat perapian
dan sarapan pagi untuk mereka semua.
"Mari kita melanjutkan perjalanan", berkata Patih
Mahesa Amping kepada seorang pemimpin prajurit Daha
ketika warna pagi sudah terlihat mulai terang tanah.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terlihat iring-iringan prajurit Daha itu telah bergerak
menyusuri jalan menuju arah hutan kemiri hingga
akhirnya seperti hilang satu persatu menghilang ditelan
kelebatan dan kegelapan hutan kemiri.
Sang matahari pagi perlahan beranjak naik dan mulai
menembusi cahayanya lewat diantara celah -celah
dedaunan. Sementara itu iring-iringan prajurit daha itu
434 telah semakin masuk lebih dalam lagi di hutan kemiri
yang panjang dan lebat itu dipenuhi pohon-pohon kayu
yang besar tinggi menjulang.
Terlihat alis dan kening Patih Mahesa Amping
berkerut tajam manakala mendengar suara burung yang
seperti tengah terusik. Sebagai seorang yang mempunyai banyak pengalaman di berbagai tempat pertempuran, nampaknya Patih Mahesa Amping telah mulai dapat
merasakan beberapa keganjilan yang perlu di curigai dan
diwaspadai. "Berhati-hatilah", berkata Patih Mahesa Amping
kepada pemimpin prajurit yang berkuda didekatnya.
Baru saja Patih Mahesa Amping berbicara kepada
pemimpin prajuritnya, dikejauhan terdengar suara wanita
tengah meminta pertolongan.
Hampir seluruh prajurit Daha tanpa perintah apapun
sudah bersiap diri siaga meraba gagang pedang
panjangnya masing-masing.
Suara teriakan wanita meminta pertolongan menjadi
semakin jelas hingga akhirnya semua orang telah melihat
seorang wanita tengah berlari kearah mereka sambil
melolong meminta pertolongan.
Terlihat Adityawarman dengan begitu sigapnya
mendahului siapapun telah melompat dari kudanya.
"jangan takut, kami akan menolongmu", berkata
Adityawarman kepada wanita yang tengah berlari
semakin dekat kearahnya. "Tolonglah hamba tuan", berteriak wanita itu sambil
menggamit lengan Adityawarman.
435 Ternyata dibelakang wanita itu terlihat sekitar sepuluh
orang tengah berlari, nampaknya memang tengah
mengejar wanita itu. "Serahkan wanita jalang itu kepada kami", berkata
seorang berkening lebar dan berambut sedikit hanya
dibagian belakang kepalanya itu dengan suara sangat
garang dan kasar sekali. "Kami prajurit Daha, tidak akan menyerahkan wanita
itu kepada orang-orang kasar seperti kalian", berkata
seorang pemimpin prajurit Daha tidak kalah kerasnya
dengan orang berkening lebar itu.
"Prajurit Daha?", berkata orang itu sambil tertawa
panjang diikuti oleh hampir semua kawannya.
Namun ternyata mata Patih Mahesa Amping yang
sangat tajam itu tidak dapat tertipu,
Tiba-tiba saja telah melompat dari kudanya langsung
terbang begitu cepatnya dan entah dengan cara apa
telah mencengkeram kuat-kuat pundak wanita yang
masih menggamit tangan Adityawarman.
Terperanjat wanita itu tidak mampu berbuat apapun,
juga manakala Patih Mahesa Amping telah melemparnya
jauh hingga terpelanting berguling-guling di tanah.
Hampir semua orang terkejut melihat kecepatan Patih
Mahesa Amping bergerak. Ternyata Patih Mahesa Amping yang mempunyai
ketajaman penglihatan itu telah melihat wanita itu diamdiam telah menorehkan kukunya sedikit melukai lengan
Adityawarman yang sama sekali tidak menyadari
perlakuan wanita yang ingin ditolongnya itu.
Namun secepat apapun Patih Mahesa Amping
bergerak, tetap saja terlambat. Terlihat wajah
436 Adityawarman telah berubah
limbung jatuh ketanah. pucat dan langsung Seorang ayah mana yang tidak gusar melihat putra
tunggalnya rebah pingsan tak berdaya. Terlihat gerakan
Patih Mahesa Amping yang tidak memperdulikan orangorang disekitarnya sudah langsung memeriksa keadaan
putranya dan melihat sebuah goresen kecil di lengannya.
Melihat junjungannya tengah memeriksa putranya,
dua puluh orang prajurit Daha telah membentuk barisan
yang melingkar melindungi Patih Mahesa Amping.
"Putramu telah terkena bisa kelabang hijau yang
dilarutkan dengan getah kayu upas", berkata orang
berkening lebar sambil tertawa panjang diikuti oleh
kawan-kawannya yang lain.
Mendengar perkataan orang itu, terlihat Patih
mahesa Amping seperti bergetar seluruh tubuhnya
menahan amarah yang begitu luar biasa.
Sebagai seorang yang sangat ahli dalam bidang
pengobatan, Patih Mahesa Amping sangat memahami
bagaimana cara kerja racun itu didalam darah seorang
yang dilukai oleh dua jenis racun itu, bisa kelabang hijau
dan getah kayu apus. Patih Mahesa Amping telah
mengetahui bahwa kedua racun itu akan merusak syaraf
dikepala yang mengakibatkan kelumpuhan seluruh
anggota badan. Terlihat Patih Mahesa Amping sudah duduk bersila
sambil merapatkan tangannya diatas luka putranya.
Nampaknya Patih Mahesa Amping seperti tidak
memperdulikan siapapun disekitarnya, telah mengendapkan seluruh akal budinya, menutup seluruh
panca inderanya guna dapat mengungkapkan daya
437 kekuatan sejati dirinya. Sementara itu para prajurit Daha telah semakin
merapat melingkari junjungannya siap menghadapi
siapapun yang mencoba berani mengganggu apa yang
tengah di lakukan oleh Patih Mahesa Amping. Pedang
ditangan para prajurit seperti berkilat terkena sinar
cahaya matahari yang menembus lewat ranting dan
dedaunan di hutan kemiri itu.
Melihat sikap para prajurit Daha yang telah begitu
siap menghadapi segala ancaman itu telah membuat
kesepuluh orang menjadi gentar tidak berani mendekat.
Sementara itu Patih Mahesa Amping yang berada di
dalam lingkaran penjagaan para prajuritnya terlihat masih
duduk bersila dengan tangan masih menempel di lengan
Adityawarman yang tergores luka.
Nampaknya Patih Mahesa Amping tengah mengerahkan segenap kekuatan sejatinya, peluh mulai
terlihat mengalir keluar diwajahnya.
Ternyata Patih Mahesa Amping yang konon mampu
menghancurkan sebuah gunung karang lewat sorot
matanya itu telah mengerahkan kesaktiannya menghisap
seluruh racun yang telah masuk ke tubuh putranya lewat
goresan kuku jari wanita yang berpura-pura meminta
pertolongan itu. Peluh terlihat semakin deras mengucur di wajah Patih
Mahesa Amping yang perkasa itu.
Sementara itu para prajurit Daha masih tetap berdiri
rapat ditempatnya dengan pedang tergenggam erat
ditangan dan siap bergerak menjaga siapapun yang
datang mendekat. "Anjing-anjing Daha, kami akan membunuh kalian
438 semua", berkata orang berjidat lebar itu kepada para
prajurit yang masih terus rapat dan siap mengancam
siapapun yang datang mendekat.
Mendengar perkataan orang berjidat lebar itu seperti
sebuah perintah untuk kawan-kawannya, terlihat
kesepuluh orang kawannya telah menyebar dan
mengepung. "Hancurkan siapapun yang datang mendekat, jumlah
kita lebih banyak dari mereka", berteriak pemimpin
prajurit pengawal itu kepada kawan-kawannya memberikan semangat. Namun tiba-tiba saja orang berjidat lebar itu terlihat
bersuit panjang seperti tengah memberikan sebuah
pertanda isyarat Mendengar suitan panjang itu telah membuat para
prajurit Daha itu menjadi lebih berhati-hati lagi, mereka
semua berpikiran bahwa suitan panjang itu seperti
tengah memanggil orang-orang mereka untuk datang
membantu. Ternyata pikiran para prajurit itu tidak jauh melesat,
tidak lama setelah terdengar suitan panjang itu terlihat
beberapa bayangan bergerak keluar dari semak belukar
dan kerapatan pohon-pohon di hutan kemiri itu.
Ternyata bayangan yang bergerak keluar dari semak
belukar hutan kemiri itu adalah orang-orang yang
memang sudah lama menunggu panggilan lewat suitan
panjang itu. Sepuluh orang, dua puluh orang dan akhirnya tidak
bertambah lagi setelah jumlah orang-orang yang datang
itu berjumlah sekitar seratus orang yang langsung
memadati dan mengepung para prajurit Daha.
439 Para prajurit Daha bukan orang yang tidak pandai
berhitung, mereka telah menyadari bahwa kekuatan
lawan berlipat-lipat ganda dari kekuatan mereka sendiri.
Namun para prajurit Daha itu seperti tidak bergeming
sedikitpun, jiwa dan perasaan mereka nampaknya telah
ditempa untuk tidak gentar menghadapi ancaman
apapun, sekalipun ancaman jiwa mereka sekalipun.
"Wahai para prajurit Daha, kami memberi waktu
kepada kalian untuk segera menyingkir melepaskan
Patih Mahesa Amping kepada kami", berkata salah
seorang diantara mereka yang nampaknya menjadi
pemimpin dari mereka, seorang lelaki yang terlihat sudah
sangat begitu tua namun masih dapat berdiri kokoh yang
ternyata tidak lain adalah Ki Ajar Pelandongan.
"Kawan-kawan, kita tidak akan menyerahkan
siapapun", berkata pemimpin prajurit Daha dengan suara
tidak kalah lantangnya dari suara Ki Ajar Pelandongan.
"hancurkan mereka semua", berkata
Pelandongan dengan suara mengguntur
perintah. Ki Ajar memberi Mendengar perintah Ki Ajar Pelandongan, orangorangnya yang telah mengepung para prajurit Daha
langsung seperti air bah bergerak kearah para prajurit
Daha. "Gelar perang cakra", berteriak lantang pemimpin
prajurit Daha yang langsung diikuti oleh kawan-kawannya
membentuk sebuah gelar perang yang memang
diperuntukkan melindungi seseorang dalam keadaan
genting, juga sebuah gelar perang perlawanan bilamana
keadaan kekuatan musuh jauh lebih banyak dari
kekuatan sendiri. Nampaknya para penghuni hutan kemiri yang terlihat
440 sebagian besar berwajah kasar dan garang itu tidak
sama sekali mengenal gelar perang apapun, mereka
terlihat sudah bergerak siap meluluh lantakkan para
prajurit Daha yang telah siap lahir dan bathinnya itu
menghadapi serangan musuh yang berlipat ganda
jumlahnya, siap mati berdarah-darah demi membela
junjungannya yang sangat dihormati, Patih Mahesa
Amping. Kedua puluh orang prajurit daha itu nampaknya
sudah cukup terlatih dalam gelar perang cakra itu, terlihat
beberapa orang penghuni hutan kemiri yang terdepan
sudah terlempar dan terguling terkena sabetan pedang
para prajurit yang telah bergerak melingkar dengan gelar
perang cakranya. Sementara itu Patih Mahesa Amping yang masih
berda di tengah lingkaran penjagaan para prajurit Daha
terlihat telah membuka matanya. Dilihatnya Wajah
Adityawarman yang pucat tak berdarah perlahan sudah
mulai memerah pipinya sebagai pertanda racun
ditubuhnya sudah keluar dan tidak mengancam jiwanya
lagi. Bersamaan dengan itu, teriakan para penghuni hutan
kemiri seperti bergemuruh penuh kemarahan.
Nampaknya kematian beberapa kawan mereka
akibat sabetan pedang prajurit yang terus bergerak itu
seperti air panas yang memicu kemarahan. Terlihat para
penghuni hutan kemiri seperti berlomba berlari untuk
menghancurkan para prajurit Daha yang jumlahnya
hanya dua puluh orang itu.
Kembali kemapanan gerak gelar perang cakra dari


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para prajurit sungguh dapat diandalkan, beberapa orang
terlihat terlempar jatuh ketanah terkena sabetan dan
441 bacokan pedang para prajurit Daha.
Namun kejatuhan kawan-kawannya itu telah
membuat para penghuni hutan kemiri semakin terbakar
untuk meluluh tantakkan musuh mereka. Suara denting
senjata terdengar saling beradu, para penghuni hutan
kemiri terus bergerak mendesak, sementara para prajurit
Daha masih terus bertahan.
Kegigihan dan keserasian para prajurit Daha dalam
memainkan gelar perang cakra memang perlu
diacungkan jempol, orang-orang hutan kemiri tidak
satupun yang dapat memecahkan gelar perang mereka.
"Kita hancurkan gelar perang mereka", berkata
seorang lelaki disebelah Ki Ajar Pelandongan yang tidak
lain adalah Ki Gagakpati.
Ternyata kehadiran Ki Gagakpati dan Ki Ajar
Pelandongan telah dapat memecahkan gelar perang
para prajurit Daha, satu dua orang prajurit terlihat dengan
mudahnya terlempar oleh tongkat-tongkat kayu mereka.
Akibatnya gelar perang cakra mereka seperti sebuah
roda pedati yang tersendat berhenti berputar.
Dan kembali satu dua orang prajurit Daha terlempar,
kali ini bukan oleh Ki Gagakpati atau oleh Ki Ajar
Pelandongan sendiri, melainkan oleh para penghuni
hutan kemiri yang berhasil mengeroyok para prajurit
Daha. Melihat beberapa anak buahnya gugur tidaklah
membuatnya menjadi gentar, namun yang telah
membuat perasaannya menjadi penuh berdebar adalah
manakala dilihatnya Patih Mahesa Amping telah
tergeletak tidak bergerak disisi putranya sendiri,
Adityawarman. 442 Apa yang terjadi pada diri Patih Mahesa Amping yang
sangat perkasa itu" Ternyata Patih Mahesa Amping telah mengambil
sebuah keputusan besar, mengetahui kejamnya daya
racun yang tengah menyerang putranya telah
memutuskan untuk memindahkannya kedalam dirinya
sendiri. Racun itu telah menjalar ke syaraf di kepalanya
yang mengakibatkan kelumpuhan seluruh otot-otot
tubuh. Dan Patih Mahesa Amping tidak dapat lagi
menggerakkan tangan dan kakinya sendiri, terbaring tak
berdaya disisi Adityawarman yang belum juga siuman
dari pingsannya. "Kita bertahan sampai darah penghabisan !!",
berteriak pemimpin prajurit Daha itu memberikan
semangat kepada seluruh anak buahnya manakala
dilihatnya dua tiga orang kembali terlempar jatuh kebumi
dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Setengah dari para prajurit Daha itu telah gugur dan
terluka, namun mereka tetap bertahan untuk tetap
melindungi junjungan mereka.
Meski jumlah mereka hanya tinggal sepuluh orang,
tapi tandang mereka sudah seperti seekor banteng yang
terluka, mereka seperti tidak menghiraukan diri lagi, yang
dipikirkan oleh kesepuluh prajurit itu adalah menjaga
siapun tidak boleh mendekati tuan mereka.
"Prajurit bodoh", berkata Ki Ajar Pelandongan sambil
menghajar kepala seorang prajurit dengan tongkat
kayunya yang langsung roboh terkapar di bumi tidak
bergerak lagi. Tiga orang prajurit bersamaan telah ikut menjadi
korban amukan para penghuni hutan Kemiri itu yang
ingin segera menyelesaikan urusan mereka hingga
443 tuntas. Kini tinggal pemimpin mereka bersama tiga orang
prajurit Daha yang masih tegak berdiri menjaga tuan
mereka, Patih Mahesa Amping yang terbaring disisi
Adiryawarman yang belum juga siuman dari pingsannya.
"Habisi mereka semua", berkata Ki Ajar Pelandongan
kepada orang-orangnya itu.
Satu dua orang terdepan telah terkenan sabetan
pedang prajurit yang masih tegak berdiri menjaga Patih
Mahesa Amping. Namun apa artinya empat orang prajurit
Daha dihadapan sekumpulan orang-orang hutan Kemiri
itu" Meski mereka masih tetap bertahan, tenaga mereka
akhirnya semakin terkuras habis, hingga akhirnya tidak
mampu hanya untuk mengangkat pedang mereka
sendiri. Disaat seperti itu, terjangan dan bacokan senjata
sudah tidak mungkin lagi dapat mereka hindari.
Sungguh tragis sekali nasib keempat prajurit terakhir
itu, puluhan senjata telah menggores hampir seluruh
tubuh mereka yang langsung terkulai lemas kehabisan
darah dan tenaga. Kini Patih Mahesa Amping terlihat masih terbaring
disisi putranya tanpa penjagaan dari satupun prajurit
Daha. "Wahai Patih Daha yang perkasa, tidak ada lagi yang
dapat menjagamu dan melindungimu dari senjata kami",
berkata Ki Ajar Pelandongan kepada Patih Mahesa
Amping yang masih berbaring tidak berdaya mengangkat
tangan dan kakinya sendiri untuk berdiri. Hanya matanya
masih terlihat sangat tajam penuh rasa percaya diri yang
tinggi. 444 "Hingga saat ini aku masih percaya bahwa selembar
nyawaku ini adalah milik Gusti Yang Maha Agung, dialah
yang Maha menentukan mati dan hidupku ini", berkata
Patih Mahesa Amping dengan sebuah senyuman
dibibirnya. "Akulah yang menentukan mati hidupmu hari ini",
berkata Ki Ajar Pelandongan sambil mengangkat tongkat
kayunya kearah kepala Patih Mahesa Amping.
Sungguh gagah sikap Patih Mahesa Amping yang
perkasa itu, matanya tidak berkedip sedikitpun melihat
tongkat kayu Ki Ajar Pelandongan yang sudah terayun
kearah batok kepalanya. Apa yang terjadi selanjutnya"
Terkejut tiba-tiba Ki Ajar Pelandongan dengan mata
yang terbuka lebar, tiga buah batu kecil telah membuat
patah tiga tongkat kayunya dimana dirinya sendiri
merasakan telapak tangannya panas bergetar hingga
harus melepaskan sisa potongan tongkatnya.
Belum habis rasa terkejut dari Ki Ajar Pelandongan,
tiba-tiba saja melesat dua bayangan hitam dan langsung
menyambar tubuh Patih Mahesa Amping dan
Adityawarman yang masih tergeletak di tanah.
Ternyata bayangan itu adalah sosok dua orang lelaki,
seorang lelaki yang lebih tua terlihat telah memikul Patih
Mahesa Amping di pundaknya, sementara lelaki yang
satunya adalah seorang pemuda juga telah memikul
tubuh Adityawarman di pundaknya.
Sungguh keduanya seperti sengaja menunjukkan
ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, sambil
memikul beban mereka terlihat sudah melesat diatas
kepala orang-orang hutan Kemiri.
445 "Kejar mereka!!", berteriak Ki Ajar Pelandongan
seperti baru tersadar dari sebuah mimpi.
Namun teriakan Ki Ajar Pelandongan sungguh
terlambat, karena keduanya seperti punya sepasang
sayap telah terbang ke atas cabang pohon dan
menghilang di antara kerimbunan hutan Kemiri.
"Meski kita tidak berhasil membunuh pembesar Daha
itu, tapi racun kita nampaknya telah melumpuhkannya",
berkata Ki Gagakpati kepada Ki Ajar Pelandongan.
"Ki Gagakpati benar, apa artinya hidup bila seluruh
anggota badan telah menjadi lumpuh seumur hidupnya",
berkata Ki Ajar Pelandongan penuh perasaan gembira
kepada Ki Gagakpati. "Apakah Ki Ajar Pelandongan mengenal kedua orang
itu?", bertanya Ki Gagakpati kepada Ki Ajar
Pelandongan. Terlihat Ki Ajar Pelandongan berdiam sejenak
mencoba mengingat-ingat apakah dirinya pernah
mengenal kedua orang yang datang dan pergi secara
tiba-tiba itu. "Nampaknya aku belum mengenal kedua orang itu",
berkata Ki Ajar Pelandongan kepada Ki Gagakpati sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara dua orang sosok bayangan yang telah
membawa Patih Mahesaamping dan Adityawarma telah
jauh meninggalkan hutan Kemiri.
Di sebuah tempat yang menurut mereka cukup aman,
terlihat keduanya telah berhenti dan meletakkan tubuh
Patih Mahesa Amping dan Adityawarman.
"Terima kasih telah menolong kami, wahai Kakang
Mahesa Murti", berkata Patih Mahesa Amping kepada
446 lelaki tua yang telah menolongnya yang ternyata adalah
Ki Gede Bajra Seta. Sementara pemuda yang
bersamanya adalah Mahesa Dharma, putra tunggalnya.
"Maafkan kami berdua telah terlambat menyelamatkan kalian", berkata Ki Gede Bajra Seta
dengan suara penuh haru dan rasa penyesalan yang
sangat telah datang terlambat.
"Tidak ada yang perlu disesalkan dan tidak ada yang
terlambat, wahai Kakang Mahesa Murti. Bukankah
Kakang sendiri yang selalu mengajarkan kepada para
cantrik bahwa tidak ada satupun makhluk di alam
semesta ini yang tidak luput dari penjagaannya, dan tidak
ada satupun makhluk di alam semesta ini yang luput dari
takdirnya", berkata Patih Mahesa Amping masih dengan
wajah yang terlihat begitu tabah.
"Ceritakanlah kepada kami apa yang telah terjadi
atas diri kalian, wahai saudaraku", berkata Ki gede Bajra
Seta kepada Patih Mahesa Amping.
Dengan keadaan masih berbaring diatas sebuah
tanah berumput, Patih Mahesa Amping segera bercerita
apa yang telah terjadi atas diri mereka di hutan Kemiri,
juga tentang keputusannya untuk memindahkan racun
yang sangat ganas itu dari tubuh Adityawarman ke dalam
dirinya. "Nampaknya kamu telah memilih sebuah keputusan
yang sangat rumit, wahai saudaraku", berkata Ki Gede
Bajra Seta penuh rasa haru mendengar semua cerita
Patih Mahesa Amping. "Aku merasa telah memilih sebuah keputusan yang
benar, wahai kakang. Bukankah kita pernah
mengalaminya sebagai seorang ayah yang penuh rasa
haru melihat putra kita yang masih bayi merintih di
447 tengah malam buta", kita akan selalu berkata bila saja
dapat menanggung sakit bayi kita itu. Dan dalam
pandanganku, masa depan Adityawarman masih sangat
begitu panjang dibandingkan dengan waktuku ini yang
hanya tinggal dua tiga kali tikungan saja", berkata Patih
Mahesa Amping dengan bibir tersenyum dan suara yang
begitu tabah kepada Ki Gede Bajra Seta yang
mendengarnya masih dengan perasaan terharu.
"Kamu memang tidak pernah berubah, wahai
saudaraku", berkata Ki Gede Bajra Seta yang telah
mengenal Patih Mahesa Amping sejak kecil sebagai
seorang yang tidak pernah berkeluh kesah apapun yang
telah dialami atas dirinya.
"Apakah Kakang telah memeriksa keadaan
putraku?", berkata patih Mahesa Amping kepada Ki Gede
Bajra Seta. "Aku telah memeriksanya, tidak ada yang perlu di
risaukan tentang keadaannya meski saat ini belum juga
terjaga dari pingsannya", berkata Ki Gede bajra Seta
memberitahukan tentang keadaan Adityawarman kepada
Patih Mahesa Amping. "Ayah, langit terlihat mulai
Mahesa Dharma kepada ayahnya.
mendung", berkata "Saudaraku, kami akan membawamu ke Padepokan
Bajra Seta", berkata Ki Gede Bajra Seta sambil
mengangkat tubuh Patih Mahesa Amping yang telah
lumpuh itu keatas pundaknya.
Sementara itu Mahesa Dharma telah meletakkan
tubuh Adiryawarman diatas pundaknya.
Demikianlah, Ki Gede Bajra Seta dan Mahesa
Dharma telah membawa tubuh Patih Mahesa Amping
448 dan Adityawarman ke Padepokan Bajra Seta yang
berjarak sekitar setengah hari perjalanan berkuda.
Namun keduanya seperti tidak membawa benda yang
berat, mereka berdua terlihat telah berlari dengan
ringannya, bahkan terkadang kaki-kaki mereka seperti
tidak menyentuh tanah lagi, melesat terbang.
JILID 6 Kabut pagi masih menyelimuti bumi Kotaraja
Majapahit. Awalnya satu dua orang tidak begitu
memperhatikan dua buah pedati yang sudah tidak ada
penarik kudanya diletakkan begitu saja di pinggir jalan
Kotaraja Majapahit di pagi itu.
Namun manakala kabut pagi mulai menghilang
Pendekar Latah 18 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara 1
^