Pencarian

Para Ksatria Penjaga Majapahit 7

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 7


perlahan dan jalan sudah mulai ramai dilalui beberapa
orang, satu dua orang mulai tertarik dengan keberadaan
dua buah pedati itu yang sepertinya ditinggalkan begitu
saja oleh si empunya. Gemparlah suasana di jalan Kotaraja Majapahit itu
manakala mengetahui bahwa isi dari kedua pedati itu
adalah dua puluh mayat prajurit Daha.
Kabar menghebohkan itu begitu cepatnya menjalar
hampir ke pelosok Kotaraja Majapahit, semua orang
pada hari itu membicarakan perihal kedua puluh mayat
prajurit Daha itu. Dan akhirnya berita menggemparkan itu
masuk juga ke istana Majapahit.
Pertama kali mendengar berita yang menggemparkan itu, telah membuat Baginda Raja
Sanggrama Wijaya seperti mendengar dentuman suara
halilintar di siang hari tanpa hujan. Segera Baginda Raja
Sanggrama Wijaya mengaitkan hal itu dengan berita
449 keberadaan para penghuni hutan Kemiri beberapa hari
yang lewat. "Mereka adalah para prajurit Daha yang mengawal
Patih Mahesa Amping", berkata dalam hati Baginda Raja
Sanggrama Wijaya dengan perasaan berdebar.
Sementara itu Gajahmada yang telah mendengar
berita yang menggemparkan warga Kotaraja Majapahit
sudah langsung menuju ke jalan dimana kedua pedati itu
ditemukan. Dengan wajah penuh cemas dan dada berdebar telah
memeriksa satu persatu kedua puluh prajurit Daha yang
sudah tidak bernyawa itu. Terlihat Gajahmada bernafas
lega manakala tidak menemukan Patih Mahesa Amping
diantara kedua puluh mayat itu.
"Keterlambatan yang seharusnya tidak terjadi bilasaja
Baginda Raja Sanggrama memberikan sebuah perintah
menurunkan prajurit Majapahit untuk menghancurkan
para penghuni hutan Kemiri itu", berkata Gajahmada
dalam hati menyesali keputusan Baginda Raja yang
terlambat dan berkesan agak lamban. "Ampunilah
hambamu", berkata dalam hati manakala terbersit di
dalam benaknya bahwa Baginda Raja Sanggrama ada di
belakang ini semua. "Aku harus mencari tahu keadaan Ayah angkatku itu,
semoga Gusti Yang Maha Agung selalu melindunginya",
berkata Gajahmada dalam hati penuh kegundahan dan
berharap cemas atas nasib Patih Mahesa Amping yang
masih sangat kabur dan buram itu.
Hingga tak terasa dalam kegundahan hati itu telah
membawanya ke pura Pasanggrahan Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. 450 "Duduklah wahai putra angkat saudaraku", berkata
Baginda Sanggrama Wijaya kepada Gajahmada yang
telah datang menemuinya di serambi pura Pasanggrahan
Raja. Terlihat Gajahmada telah duduk berhadapan dengan
Baginda Raja Sanggrama Wijaya dengan wajah dan
pandangan tertuju kearah lantai kayu. Namun dalam
awal pertemuannya itu, meski sekilas Gajahmada telah
menangkap wajah Baginda Raja nampaknya telah
kehilangan cahaya keceriaannya sebagaimana biasanya.
"Apakah kamu sudah memastikan bahwa dua puluh
mayat di jalan Kotaraja itu memang benar prajurit
Daha?", bertanya Baginda Raja Sanggrama Wijaya
kepada Gajahmada, "Hamba telah memastikannya dari pertanda
keprajuritannya, mereka ada dua puluh orang prajurit
pengawal sahabat tuanku, Patih Mahesa Amping",
berkata Gajahmada dengan suara datar dan perlahan
seperti tengah memberikan makna penekanan ketika
mengucapkan kata "sahabat tuanku".
Ternyata Baginda Raja Sanggrama Wijaya seperti
memahami makna penekanan kata "sahabat tuanku" itu
seperti mewakili sejuta kata-kata, mewakili perasaan hati
Gajahmada saat itu, juga seperti sebuah pedang tajam
langsung tertuju di ujung kulit lehernya.
"Aku tahu kamu begitu kecewa denganku, wahai
putra angkat saudaraku", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya seperti dapat membaca apa yang ada
dalam pikiran anak muda di hadapannya itu.
Lama keduanya terlihat berdiam diri, tidak ada katakata lagi yang terucap diantara mereka. Nampaknya
masing-masing telah tenggelam di alam pikiran dan
451 perasaannya sendiri. "Bila saja hari ini ada manusia paling rendah dimuka
bumi ini, akulah orangnya. Wahai Gajahmada, akulah
Raja penguasa Jawadwipa yang paling rendah itu, yang
paling hina, yang tidak mengenal budi membiarkan
sahabatnya yang setia kepadanya ada dalam mara
bahaya", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya
seperti seseorang yang tengah menyesali diri sendiri,
seperti seseorang yang tengah menghinakan diri sendiri.
Mendengar perkataan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya yang seperti sangat menyesali perbuatannya,
Gajahmada menjadi merasa kasihan atas perasaan
bersalah yang ada di dalam diri penguasa tunggal
Majapahit yang besar itu. Gajahmada juga menyesali
perkataannya yang sangat tajam melukai perasaan orang
yang sangat dihormati dan dihargainya itu.
Lama keduanya terdiam, ruang serambi yang
berdinding kayu jati itu seperti begitu dingin sepi dan
lengang. "Ampunilah hamba, wahai paduka junjungan hamba.
Ampunilah perkataan hamba yang telah menggores
perasaan paduka. Ampunilah setitik pikiran hamba yang
telah sedikit meragukan kesetia-kawanan paduka.
Namun mendengar kata penyesalan yang paduka
ucapkan di hadapan hamba sendiri adalah sebuah
keagungan seorang raja agung sebenarnya. Janganlah
paduka menghinakan diri sendiri", berkata Gajahmada
yang merasa bersalah telah melukai hati dan perasaan
junjungannya yang sangat dihormatinya itu.
Suasana serambi pasanggrahan Baginda
Sanggrama Wijaya itu kini kembali menjadi sepi.
Raja Perlahan Gajahmada mengangkat wajahnya dan
452 menunduk kembali, anak muda itu masih melihat duka
menyelimuti wajah Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Perlahan didengar kembali suara Baginda Raja
Sanggrama seperti tengah memendam rasa duka dan
penyesalan yang amat dalam.
"Keagungan raja agung adalah yang dapat
memelihara dan menjaga cahaya sang Siwa didalam
hatinya, sementara aku telah memilih jalan raja
kegelapan sang angkara murka. Dimana dapat
kusembunyikan wajah ini bila bertemu dengan
sahabatku, Patih Mahesa Amping?", berkata Baginda
Raja Sanggrama Wijaya kepada Gajahmada dengan
suara masih penuh dengan rasa penyesalan yang amat
sangat. Terlihat Gajahmada menarik nafas panjang, masih
dengan wajah tertunduk dalam-dalam.
"Ampuni hambamu wahai Baginda Raja, bukankah
Gusti yang maha Agung telah membentangkan jembatan
sucinya kepada semua hambanya untuk dapat
mendatanginya. Bila Baginda Raja tergelincir di hari
kemarin, masih ada waktu untuk bangkit dan berdiri
kembali meniti jembatan suci itu dengan lebih berhati-hati
kembali?", berkata Gajahmada kepada Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "Kata-katamu seperti air dingin yang menyejukkan
hatiku, namun tetap saja masih ada perasaan bersalah
didalam hati ini sebelum mengetahui kepastian tentang
sahabatku, Patih Mahesa Amping saat ini", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya kepada Gajahmada.
Mendengar perkataan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya, perasaan Gajahmada seperti terayun-ayun
dalam kerisauan dan kecemasan hati tentang nasib dan
453 keadaan ayah angkatnya itu yang belum juga diketahui
keberadaannya, masih hidup atau mungkin tidak jauh
berbeda dengan keadaan kedua puluh prajurit Daha itu.
Kembali suasana di serambi itu menjadi begitu
hening. Namun keheningan itu tidak berlangsung lama,
karena terpecahkan oleh kehadiran Ki Patih Mangkubumi. Setelah duduk menghadap Baginda Raja Sanggrama
Wijaya, ternyata lelaki tua berwajah sangat menyejukkan
itu telah membawa sebuah berita tentang keadaan Patih
Mahesa Amping. "Hamba baru saja kedatangan seorang utusan dari
Padepokan Bajra Seta", berkata Ki Patih Mangkubumi
sambil bercerita tentang berita yang dibawa oleh seorang
yang diutus dari Padepokan Bajra Seta yang membawa
kabar tentang keadaan Patih Mahesa Amping dan
putranya serta kejadian di Hutan Kemiri.
Mendengar perkataan Ki Patih Mangkubumi, terlihat
Baginda Raja dan Gajahmada sama-sama menarik nafas
panjang, merasa gembira mendengar kabar bahwa Patih
Mahesa Amping ternyata masih hidup.
"Kunjungilah ayah angkatmu itu, jadilah mataku
disana", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya
kepada Gajahmada. Demikianlah, pada hari itu juga Gajahmada telah
mempersiapkan dirinya untuk melakukan sebuah
perjalanan. Setelah memanggil dan menyampaikan
beberapa pesan kepada dua orang prajurit Bhayangkara
yang dapat dipercaya mewakilinya selama dirinya tidak
ada di istana Majapahit. Gajahmada juga berpamit diri
454 kepada Supo Mandagri yang terpaksa ditinggal sendiri di
Pasanggrahannya. "Jangan khawatirkan keberadaanku", berkata Supo
Mandagri kepada Gajahmada yang memaklumi tugas
sahabatnya itu. Demikianlah, manakala hari berada di awal senja
Gajahmada diatas kudanya telah keluar dari gapura
gerbang kota Majapahit. Terlihat beberapa anak muda
yang mengenalnya telah melambaikan tangannya kearah
Gajahmada ketika dirinya melewati jalan utama
Padukuhan Maja. Sosok Gajahmada yang duduk diatas punggung
kudanya memang sungguh menjadi sebuah perhatian
siapapun yang melihatnya. Tubuhnya yang tinggi besar
dengan pakaian seorang prajurit perwira tinggi Majapahit
seperti sebuah lukisan hidup di candi-candi purba. Juga
ketampanan wajah dan senyumnya kadang membuat
beberapa gadis seperti tersihir berdiri mematung.
"Mengapa diam mematung seperti itu?", berkata
seorang ibu kepada anak gadisnya yang tengah berdiri
terpana melihat Gajahmada diatas kudanya tengah
melewati pintu pagar rumahnya.
Terlihat anak gadis itu tidak menjawab apapun,
hanya tersipu malu menoleh kearah ibunya yang
mengerti bahwa anak gadisnya sudah mulai beranjak
dewasa, mulai tertarik kepada lawan jenisnya.
Sementara itu kuda Gajahmada terlihat sudah keluar
dari jalan utama Padukuhan Maja.
"Bawalah aku berlari, sahabat", berkata Gajahmada
kepada kudanya. Maka terlihat kuda hitam itu telah
melarikan Gajahmada membelah padang ilalang. Angin
455 di pertengahan senja itu telah mengurai rambut anak
muda perkasa itu. Dan kuda hitam itu terus berlari seperti tidak pernah
lelah menyusuri lembah dibawah sebuah perbukitan
hijau. Hingga manakala warna langit mulai menjadi gelap,
terlihat Gajahmada telah memperlambat laju kudanya
karena harus melewati sebuah jalan menurun yang
berbatu. Gajahmada memang tidak melewati jalan yang biasa
dilalui oleh para pedagang. Tapi mencoba menyusuri
jalan pintas mendaki beberapa perbukitan.
"Kita beristirahat di sini, sahabat", berkata
Gajahmada sambil mengusap rambut kudanya di sebuah
jalan sepi penuh dengan bebatuan.
Sementara itu, wajah langit malam terlihat begitu
kelam sebagai pertanda bahwa malam itu akan turun
hujan. Demikianlah, Gajahmada telah memilih sebuah
bebatuan besar sebagai tempatnya bermalam.
Dan malam itu langit seperti begitu lelah memikul
awan mendung, mengucurkan air hujan mengguyur bumi
malam. Beruntung bahwa Gajahmada dan kudanya telah
mendapatkan tempat berlindung malam itu, di celahcelah bebatuan besar.
Terlihat Gajahmada telah duduk bersandar di sebuah
dinding batu cadas yang keras, dingin embun hujan
terkadang masuk menerpa tubuhnya, namun anak muda
itu seperti tak menghiraukannya tetap diam beristirahat


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mata terpejam. 456 Hingga di ujung malam hujan terlihat sudah mulai
reda, diatas langit malam kabut hitam sudah menghilang
sirna. "Mari kita lanjutkan perjalanan ini, sahabat", berkata
Gajahmada sambil menarik tali kekang kudanya.
Tanah masih basah dan langit pagi masih memerah
dimana cahaya sang surya masih terhalang di jurang
timur bibir bumi. Terlihat langkah kaki kuda Gajahmada
perlahan menapaki rumput basah di jalan kecil di awal
pagi itu. Dan manakala wajah sang surya telah terlihat
tersenyum di ujung bumi, kuda hitam itu telah kembali
melarikan Gajahmada membelah padang ilalang menuju
sebuah perbukitan yang berjajar tinggi membiru.
Dibalik perbukitan itulah Tanah Perdikan Bajra Seta
itu berada. Dan Gajahmada memacu kudanya seperti
ingin secepatnya ada disana, menjumpai ayah angkatnya
Patih Mahesa Amping yang dikabarkan masih berbaring
sakit. Semakin dekat, warna biru perbukitan itu seperti
sirna, gerumbul hijau pepohonan pepat memenuhi
hampir setiap jengkal gundukan tanah perbukitan di
depan mata Gajahmada. Sementara itu sang surya telah semakin naik di ujung
puncak lengkung langit, terlihat Gajahmada telah
memasuki hutan perbukitan diatas tanah jalan setapak
yang biasa di lewati oleh para pemburu dan orang-orang
disekitarnya yang kebetulan punya kepentingan di hutan
perbukitan itu. Cahaya sinar matahari seperti pedang panjang
menjulur lewat diantara celah ranting dan dedaunan.
457 Wangi tanah basah yang jarang tersentuh cahaya
matahari semerbak tercium segar bersama semilir angin
yang bertiup perlahan. Perlahan sang surya perlahan menuruni lengkung
langit biru. Kuda hitam milik Gajahmada ternyata adalah
seekor kuda pilihan, terlihat begitu tegar menapaki jalan
yang mendaki dan terkadang cukup terjal. Hingga
akhirnya telah melewati puncak perbukitan dan
menuruninya. "Sahabat hitam, Tanah Perdikan Bajra Seta sudah
tidak jauh lagi", berkata Gajahmada sambil mengusap
lembut rambut leher kudanya.
Gapura batas Tanah Perdikan Bajra Seta terlihat
kokoh berdiri dipayungi awan langit kuning terbias
pantulan cahaya mentari sore yang teduh. Kuda hitam
Gajahmada terlihat tengah berjalan kearah gapura itu.
"Tanah Perdikan yang amat subur", berkata
Gajahmada dalam hati manakala melewati beberapa
sawah dan ladang hijau terhampar.
Terlihat Gajahmada diatas kudanya berjalan perlahan
diatas jalan tanah padukuhan, kadang bersisipan jalan
dengan beberapa orang petani yang lusuh kotor setelah
seharian penuh bekerja di sawah atau tanah ladangnya.
"Apakah tuan ingin bertemu dengan Ki Gede?",
bertanya seorang cantrik kepada Gajahmada di muka
regol gerbang Padepokan Bajra Seta.
"Kisanak benar, aku datang dari Kotaraja Majapahit",
berkata Gajahmada sambil menuntun kudanya.
"Ki Gede dengan beberapa tamunya ada di pendapa,
silahkan tuan menemui beliau", berkata cantrik itu
mempersilahkan Gajahmada memasuki Padepokan
458 Bajra Seta. "Terima kasih", berkata Gajahmada kepada cantrik itu
yang berjalan bersamanya seperti membimbingnya
menuju kearah pendapa Padepokan Bajra Seta.
"Silahkan tuan naik ke pendapa", berkata kembali
cantrik itu dengan sikap yang sangat ramah kepada
Gajahmada sambil memegang tali kekang kuda miliknya.
"Terima kasih", berkata Gajahmada sambil menyerahkan tali kekang kudanya kepada cantrik itu.
Terlihat Gajahmada telah mendekati tangga pendapa
Padepokan Bajra Seta. Beberapa orang di atas pendapa
juga telah melihat kehadirannya.
Sambil berjalan, mata Gajahmada seperti terus
berburu mencari sesosok wajah diantara beberapa orang
yang juga tengah memandang kehadirannya yang terus
melangkah mendekati anak tangga pendapa Padepokan
Bajra Seta. Akhirnya wajah yang dicari oleh Gajahmada telah
dapat ditemuinya, seraut wajah lelaki yang sudah cukup
berumur dengan sinar mata yang amat sangat tajam
terlihat memandangnya dengan bibir penuh senyum
kegembiraan. Wajah lelaki itu ada diantara beberapa
orang diatas pendapa Padepokan Bajra Seta.
Gajahmada juga melihat disebelah lelaki itu duduk
seorang pemuda yang mempunyai wajah yang sangat
mirip dengan lelaki itu juga penuh senyum gembira
menatapnya. Siapa lelaki berumur dan pemuda disampingnya itu
yang dilihat pertama kali oleh Gajahmada"
Sementara itu mata Gajahmada telah berpaling
kearah wajah lelaki tua yang juga penuh senyum
459 menyambut kedatangannya itu.
"Selamat datang di Padepokan Bajra Seta", berkata
lelaki tua menyambut kedatangan Gajahmada yang tidak
lain adalah Ki Gede Bajra Seta sendiri.
"Selamat datang wahai putraku", berkata seorang
lelaki bersama seorang pemuda disampingnya yang tidak
lain adalah Patih Mahesa Amping dan putranya sendiri,
Adityawarman. "Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah mengutus
diriku melihat keadaan ayahanda", berkata Gajahmada
kepada Patih Mahesa Amping yang dilihatnya sehat
segar bugar. "Ketika utusan kami berangkat ke istana Majapahit,
ayahandamu memang masih berbaring sakit akibat
terkena sebuah racun yang amat kuat. Ternyata gelang
batu aji yang kumiliki telah bekerja dengan baik,
menyerap semua racun didalam tubuh ayahandamu",
berkata Ki Gede Bajra Seta menjelaskan keheranan
Gajahmada yang melihat Patih Mahesa Amping telah
pulih seperti sedia kala.
Selanjutnya, Ki Bajra Seta bercerita tentang peristiwa
di hutan Kemiri hingga akhirnya telah menyelamatkan
Patih Mahesa Amping dan putranya itu.
"Baginda Raja Sanggrama Wijaya pastinya akan
merasa gembira mendengar kabar berita ini", berkata
Gajahmada tanpa bercerita sedikitpun perihal peristiwa
hutan Kemiri yang sudah diketahui sebelumnya yang
telah membuat penyesalan di hati Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. Dan Gajahmada memang tidak ingin
ada perselisihan diantara Patih Mahesa Amping dan
Baginda Raja Majapahit itu. "Sepekan lagi perayaan
wisuda dan perkawinan putrinya akan berlangsung,
460 sebuah kegembiraan paduka Raja melihat ayahanda
datang menghadirinya", berkata kembali Gajahmada.
"Besok kami akan berangkat bersama dari
Padepokan Bajra Seta ini", berkata Patih Mahesa
Amping kepada Gajahmada. "Sebuah kegembiraan hati dapat beriring berjalan
bersama kalian", berkata Gajahmada dengan wajah
penuh kegembiraan. "Kami akan merasa bangga berjalan di kawal oleh
seorang pemimpim pasukan Bhayangkara yang terkenal
itu", berkata Adityawarman sambil tersenyum.
"Anggap saja kita sebagai raja besar yang tengah
melanglang buana di jaga oleh pengawal prajurit istana",
berkata Mahesa Dharma menanggapi canda Adityawarman. "Lama aku tidak bertandang ke kotaraja Majapahit",
berkata Patih Mahesa Amping kepada Gajahmada ingin
mendengar langsung darinya mengenai keadaan
Kotaraja Majapahit saat itu.
Gajahmada dengan senang hati bercerita tentang
perkembangan Kotaraja Majapahit saat itu yang didengar
oleh semua orang yang berada di atas pendapa
Padepokan Bajra Seta. Namun Gajahmada tidak
bercerita sedikitpun tentang tertangkapnya Tumenggung
Lembu Weleng karena akan berujung terbongkarnya
rahasia kesalahan Baginda Raja Sanggrama Wijaya
yang tidak ada keinginan sedikitpun menghalangi
penyergapan di hutan Kemiri itu.
"Sampai kapan rahasia ini dapat kujaga?", berkata
Gajahmada dalam hatinya. Namun perasaan Gajahmada seperti berdebar-debar
461 manakala mendengar perkataan Mahesa Semu yang ikut
hadir di atas pendapa Padepokan Bajra Seta yang
menyangsikan pihak istana Majapahit atas peristiwa di
hutan Kemiri. "Hutan Kemiri tidak begitu jauh dari Kotaraja
Majapahit, kemana para petugas telik sandi istana hingga
tidak mengetahui ada sebuah gerakan di hutan kemiri
itu?", berkata Mahesa Semu menyampaikan rasa
kesangsiannya atas peristiwa di hutan kemiri itu.
Mendengar pertanyaan Mahesa Semu, semua mata
diatas pendapa langsung bergerak kearah Gajahmada,
nampaknya semua orang ingin mendengar bagaimana
langkah istana menanggapi peristiwa di hutan Kemiri itu.
Terlihat Gajahmada tidak langsung memberikan
jawaban, masih berusaha meredam debar perasaannya
sendiri. Akhirnya Gajahmada dapat menguasai perasaannya
sendiri, juga apa yang akan disampaikannya kepada
semua orang yang berada di atas pendapa padepokan
Bajra Seta itu. "Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah menghukum
pemimpin tertinggi prajurit telik sandinya sendiri atas
kelalaiannya itu", berkata Gajahmada sambil menarik
nafas panjang. "Nampaknya Baginda Raja belum mendapatkan
seorang pemimpin prajurit telik sandi yang dapat
diandalkan", berkata Patih Mahesa Amping menanggapi
perkataan Gajahmada. "Bila bertemu dengan Baginda
Raja, aku akan mengusulkan salah seseorang diantara
penghuni Padepokan Bajra Seta ini, dan kuyakini bahwa
Baginda Raja Sanggrama Wijaya pasti setuju dengan
usulanku ini", berkata kembali Patih Mahesa Amping.
462 Semua orang sepertinya telah sepakat dan
mengetahui siapa gerangan salah seorang penghuni
padepokan Bajra Seta yang dimaksudkan oleh Patih
Mahesa Amping itu. Terlihat hampir semua orang tertuju
pandangannya kearah Mahesa Semu.
Melihat semua orang memandang ke arahnya, telah
membuat Mahesa Semu tersenyum.
"Kurasa paman Muntilan yang lebih patut ketimbang
diriku ini", berkata Mahesa Semu sambil menepuk
pundak orang disebelahnya, seseorang yang sudah lebih
tua dari Ki Gede Bajra Seta yang tidak lain adalah
Paman Muntilan. "Baginda Raja Sanggrama Wijaya sangat menghargai keikut sertaan para penghuni Padepokan ini
dalam perjuangannya merebut dan membangun kembali
kerajaan leluhurnya ini. Usia paman Muntilan sudah
sangat tua dan kakang Mahesa Murti sudah pasti tidak
mengijinkannya. Menurutku kakang Mahesa Semu dapat
diandalkan sekaligus dapat dipercaya kesetiaannya",
berkata Patih Mahesa Amping menyampaikan usulan
rencananya yang akan disampaikan langsung kepada
Baginda raja Sanggrama Wijaya.
"Sebuah usulan yang baik, aku merestuinya", berkata
Ki Gede Bajra Seta dengan wajah berseri-seri.
Sementara itu sang malam di atas Padepokan Bajra
Seta terus berlalu bersama suara kesenyapan menyapa
semua orang untuk masuk ke peraduannya.
Hingga ketika pagi datang menjelang, terlihat wajah
Nyi Gede Bajra Seta seperti menerawang jauh terbang
menatap tujuh orang berkuda berjalan perlahan keluar
melewati regol gerbang. 463 Pagi itu, Ki Gede Bajra Seta, Mahesa Dharma,
Mahesa Semu, Paman Muntilan, Patih Mahesa Amping,
Adityawarman dan Gajahmada memulai perjalanan
mereka menuju Kotaraja Majapahit.
Nampaknya perjalanan mereka kali ini menempuh
jalur umum yang biasa di lewati oleh banyak para
pedagang. Dan tidak terasa mereka telah meninggalkan Tanah
Perdikan Bajra Seta, jauh dibelakang mereka.
Di jalan sepi yang lengang, terlihat ketujuh satria itu


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah memacu kuda-kuda mereka. Debu jalan
beterbangan di belakang kaki-kaki kuda mereka
dipayungi lengkung langit pagi yang cerah.
Gajahmada, Adityawarman dan Mahesa Dharma
terlihat berpacu di deretan paling depan, sementara
empat orang tua seperti mengiringi ketiga anak muda itu.
Tidak terasa, Tanah Perdikan Bajra Seta sudah
begitu jauh tak terlihat lagi di belakang langkah kaki-kaki
kuda mereka, di belakang perbukitan hijau yang telah
mereka lewati. "Hendak kemana gerangan para ksatria berkuda
itu?", berkata seorang pedagang kepada kawannya
diatas sebuah gerobak dagangannya yang ditarik oleh
seekor sapi besar ketika mereka dilewati oleh
Gajahmada dan rombongannya itu.
"Didepan sana ada jalan simpang menuju Kotaraja
Kediri dan Kotaraja Singasari, kita tidak tahu arah mana
yang akan mereka lewati", berkata kawannya
menanggapi perkataan pedagang itu.
"Aku mengenal beberapa pertanda keprajuritan,
salah seorang diantara mereka kulihat memakai pertanda
464 keprajuritan Majapahit", berkata pedagang itu kepada
kawannya. "Orang bilang Kotaraja Majapahit lebih ramai
dibandingkan kotaraja Singasari", berkata kawannya.
"Dua tahun yang lalu, aku pernah diajak oleh ayahku
berdagang batu aji di kotaraja Majapahit dan Bandar
pelabuhan Tanah Ujung Galuh", berkata pedagang itu
kepada kawannya. "Berapa lama perjalanan menuju Kotaraja Majapahit?", berkata kawannya merasa ingin banyak
tahu mengenai Kotaraja Majapahit itu.
"Bila kita mengambil arah ke timur dari jalan simpang
di depan sana, biasanya dengan berkuda menjelang
senja kita baru sampai di Kademangan Simpang.
Selanjutnya kita mengambil arah jalan ke utara matahari.
Biasanya dengan berkuda perlu waktu dua hari satu
malam baru kita akan sampai di Kotaraja Majapahit",
berkata pedagang itu berbagi pengalaman dengan
kawannya. Sementara itu, ketujuh ksatria berkuda telah jauh tak
terlihat lagi dari pandangan mereka berdua.
Ketujuh ksatria Majapahit itu masih terus melarikan
kuda mereka diatas jalan tanah yang lengang. Hingga
ketika hari telah menjelang siang dimana panas matahari
begitu terik menyengat kulit, terlihat mereka berhenti di
sebuah sungai kecil yang teduh dinaungi beberapa
pohon besar yang rindang.
Setelah beristirahat dengan cukup, kuda-kuda
mereka pun sudah terlihat segar kembali setelah puas
merumput, terlihat ketujuh ksatria itu telah melanjutkan
perjalanan mereka kembali.
465 Adityawarman, Gajahmada dan Mahesa Dharma
terlihat berkuda di muka, sementara keempat orang tua
lainnya selalu berada di belakang anak-anak muda itu.
"Mereka adalah anak-anak muda para ksatria
penjaga Majapahit di masa-masa yang akan datang",
berkata Patih Mahesa Amping kepada Ki Gede Bajra
Seta sambil memandang anak-anak muda didepan
mereka. "Di pundak mereka kejayaan Majapahit ini akan terus
terjaga dalam kemapanannya", berkata Ki Gede Bajra
Seta menanggapi perkataan Patih Mahesa Amping.
Dibawah lengkung langit yang terlihat mulai teduh,
para ksatria Majapahit dari dua generasi masih terus
melarikan kuda-kuda mereka diatas jalan tanah yang
lengang. Angin berhembus menyapu wajah dan rambut
mereka, juga pakaian mereka yang berkibar diatas kuda
yang berlari membelah angin.
"Hutan Kemiri", berkata Mahesa Amping sambil
menunjuk ke sebuah hutan yang cukup lebat didepan
mereka yang sudah tidak begitu jauh lagi.
Matahari masih bergelantung di lengkung langit barat
sedikit menyembul terhalang pepohonan besar hutan
Kemiri ketika ketujuh ksatria itu mulai memasukinya.
Terlihat mereka mulai memperlambat laju kuda
masing-masing. "Ditikungan itulah wanita jahat itu muncul
berlari", berkata Adityawarman sambil menunjuk kearah
sebuah tikungan di dalam hutan Kemiri.
"Beri kami kesempatan waktu untuk melihat di
beberapa tempat di hutan ini, siapa tahu masih ada satu
dua orang yang belum meninggalkan tempat ini", berkata
Gajahmada yang langsung turun dari kudanya diikuti
466 oleh Mahesa Dharma. Tidak lama berselang, Gajahmada dan Mahesa
Dharma sudah tidak terlihat lagi menghilang diantara
semak dan belukar hutan Kemiri.
Nampaknya keduanya telah sepakat untuk menggunakan ilmu meringankan tubuh masing-masing
yang sudah sangat begitu sempurna, mereka telah
langsung melesat terbang dari satu dahan pohon ke
dahan pohon lainnya. Namun yang mereka cari seperti sudah tertelan bumi,
tidak satupun penghuni hutan Kemiri yang dapat mereka
temukan. "Mereka sudah tidak ada lagi di hutan ini", berkata
Mahesa Dharma yang datang bersama Gajahmada.
"Mari kita melanjutkan perjalanan ini, kita akan
menemukan mereka ditempat lain", berkata Patih
Mahesa Amping manakala melihat Gajahmada dan
Mahesa Dharma telah meloncat di punggung kuda
masing-masing. Demikianlah, mereka terlihat telah melanjutkan
perjalanan kembali menyusuri hutan Kemiri yang
semakin redup karena cahaya matahari semakin lemah
tak mampu menembusi ranting dan daun pepohonan di
hutan Kemiri yang lebat itu.
Hingga ketika matahari hampir terjatuh di ujung barat
bumi, terlihat ketujuh ksatria itu telah muncul di ujung
hutan kemiri. "Kita singgah dan bermalam di Kademangan
Simpang", berkata Ki Gede Bajra Seta ketika di hadapan
mereka berdiri sebuah gapura gerbang batas
Kademangan Simpang. 467 Manakala mereka telah memasuki jalan utama
Kademangan Simpang, beberapa pedagang terlihat
tengah menurunkan muatan barang mereka di beberapa
tempat. Kademangan Simpang memang sebuah
persinggahan para pedagang dari berbagai daerah yang
cukup jauh. "Bukankah aku berhadapan dengan Ki Gede Bajra
Seta", berkata seorang prajurit pengawal Kademangan
Simpang di muka regol pintu masuk halaman Ki Demang.
"Ternyata matamu masih sangat awas pak tua",
berkata Ki Gede Bajra Seta kepada prajurit tua itu yang
langsung turun dari kudanya.
Demikianlah, sambil menuntun kuda masing-masing,
ketujuh ksatria Majapahit itu berjalan mengikuti prajurit
tua di depan mereka. Terlihat prajurit tua itu telah menghilang masuk lewat
jalan pintu samping arah serambi rumah Ki Demang.
Sementara Ki Gede Bajra Seta bersama rombongannya
berdiri di muka anak tangga pendapa rumah Ki Demang.
"Senang hati ini melihat Ki Gede Bajra Seta datang
singgah di gubukku ini", berkata seorang lelaki tua yang
bertubuh subur yang ternyata adalah Ki Demang
Simpang. "Kami dalam perjalanan takut hujan, jadi telah
memutuskan untuk singgah di istana Ki Demang yang
megah ini", berkata Ki Gede Bajra Seta sambil tersenyum
penuh canda kepada Ki Demang Simpang yang
nampaknya telah mengenalnya sangat dekat dan akrab
itu. "Naiklah ke Pendapa", berkata Ki Demang Simpang
kepada Ki Gede Bajra Seta dan Rombongannya.
468 Terlihat prajurit tua yang mengantar mereka telah
memanggil beberapa kawannya untuk membawa kudakuda ke kandang untuk di rawat dan diistirahatkan.
Sementara itu Ki Gede Bajra Seta dan
rombongannya telah berada di atas panggung pendapa
Ki Demang. Ternyata Ki Demang Simpang seorang yang sangat
hangat dan ramah. Tidak lama berselang, hidangan malam telah keluar
langsung ditempatkan dihadapan Ki Gede Bajra Seta
dan rombongannya itu. Sambil menikmati minuman hangat di malam hari, Ki
Demang Simpang banyak bercerita tentang keadaan di
Kademangan Simpang yang nampaknya telah semakin
ramai di singgahi oleh para pedagang yang datang dan
pergi ke berbagai tempat yang jauh.
"Ada beberapa pedagang yang bertanya tentang alat
pertanian yang kami miliki, mereka sangat tertarik
dengan kehalusan dan kekuatannya. Akhirnya kusampaikan kepada mereka bahwa alat-alat itu kami
dapatkan dari Padepokan Bajra Seta", bercerita Ki
Demang Simpang di pendapanya.
"Terima kasih, kami memang jadi banyak menerima
pesanan alat pertanian lewat suara Ki Demang", berkata
Ki Gede Bajra Seta menanggapi pembicaraan Ki
Demang Simpang. "Tiga pekan yang telah lewat, ada seorang pedagang
yang bertanya kepadaku dimana mendapatkan golok
panjang seperti milikku itu, seperti sebelumnya
kukatakan bahwa aku memesannya dari Padepokan
Bajra Seta", berkata Ki Demang Simpang kepada Ki
469 Gede Bajra Seta. "pedagang itu mengatakan mendapat
sebuah pesanan senjata untuk jumlah yang cukup
banyak dari seorang tuan besar daerah Lamajang",
berkata kembali Ki Demang Simpang.
Terlihat Ki Gede Bajra Seta, Patih Mahesa Amping
dan Gajahmada langsung seperti mengerutkan
keningnya mendengar penuturan Ki Demang Simpang itu
yang menyinggung masalah pesanan senjata itu.
"Pesanan senjata", sayang kami belum kedatangan
pedagang itu di Padepokan kami", berkata Ki Gede Bajra
Seta kepada Ki Demang Simpang tanpa menunjukkan
rasa curiganya. "Senjata buatan Padepokan Bajra Seta memang
sangat halus dan sangat tajam, terus terang aku sangat
bangga membawa golok panjang di pinggangku, senjata
buatan Padepokan Bajra Seta", berkata Ki Demang
Simpang kembali dengan wajah hangat dan gembira.
"Bila kelak aku pulang ke Tanah Perdikan Bajra Seta,
aku akan meminta beberapa cantrik untuk mengantar
senjata jenis lain, mungkin mata tombak dengan
pegangan kayu keling. Pasti Ki Demang akan
menyukainya", berkata Ki Gede Bajra Seta kepada Ki
Demang Simpang yang tidak mengetahui ada maksud
tersembunyi di balik perkataannya itu.
"Dengan senang hati, aku akan menantikannya",
berkata Ki Demang Simpang dengan wajah penuh
kegembiraan. Sementara itu langit malam nampaknya telah
menyelimuti halaman muka rumah kediaman Ki Demang
Simpang, semilir angin dingin kadang masuk menyelinap
lewat pagar jati pendapa dan kolong papan lantai
panggung pendapa yang sedikit renggang bercelah.
470 "Hari nampaknya sudah mulai larut malam", berkata
Ki Demang Simpang sambil mempersilahkan tamunya
untuk beristirahat. Pagi itu cahaya matahari menerangi Kademangan
Simpang begitu cerahnya. Beberapa gerobak pedagang
terlihat di jalan utama, mungkin akan melanjutkan
perjalanan yang tertunda ke sebuah tempat yang cukup
jauh. Sementara itu di halaman muka kediaman Ki
Demang Simpang, terlihat tujuh ekor kuda tengah
disiapkan oleh beberapa orang prajurit pengawal
Kademangan. "Pintu rumah kami selalu terbuka untuk kalian",
berkata Ki Demang Simpang kepada ketujuh tamunya
yang tengah menuruni anak tangga pendapa rumahnya.
"Sekali waktu, bertandanglah ke Tanah Perdikan
Bajra Seta", berkata Ki Gede Bajra Seta kepada Ki
Demang Simpang. Terlihat Ki Demang melambaikan tangannya kepada
Ki Gede Bajra Seta dan rombongannya yang telah
bersiap diri diatas kudanya untuk melanjutkan perjalanan
mereka ke Kotaraja Majapahit.
Awan putih bersih memayungi rombongan Ki Gede
Bajra Seta yang terlihat telah keluar dari regol pintu


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerbang rumah kediaman Ki Demang Simpang.
Nampaknya orang-orang di Kademangan Simpang
sudah terbiasa melihat orang-orang asing keluar masuk
di Kademangan mereka. Juga manakala mereka melihat
rombongan Ki Gede Bajra Seta yang tengah berjalan
diatas kuda mereka di jalan utama Kademangan.
Akhirnya ketujuh ksatria berkuda itu telah keluar dari
471 gapura batas Kademangan. Kademangan Simpang arah utara Seperti sebelumnya, Gajahmada, Adityawarman dan
Mahesa Dharma terlihat berkuda di depan diikuti oleh
empat orang tua di belakang mereka.
"Nampaknya ada sebuah gerakan di Lamajang yang
tengah menyusun kekuatannya", berkata Patih Mahesa
Amping kepada Ki Gede Bajra Seta yang berkuda di
sebelahnya. "Peristiwa di hutan Kemiri sebuah pertanda bahwa
mereka sudah mempunyai arah perencanaan yang
panjang, seperti sekumpulan rayap yang perlahan
merusak keutuhan sebuah pokok kayu besar", berkata Ki
Gede Bajra Seta menanggapi perkataan Patih Mahesa
Amping. "Mereka harus segera dibersihkan sebelum ada
korban lain seperti diriku", berkata Patih Mahesa Amping.
"Semoga Baginda Raja mengerti dan cepat tanggap
sebelum kekuatan itu semakin besar tak terkendalikan
lagi", berkata Ki Gede Bajra Seta.
"Lama aku tidak bertemu dengannya, semoga
kebesaran kerajaan ini tidak merubah dirinya", berkata
Patih Mahesa Amping sambil menatap jauh kedepan,
membayangkan masa-masa yang panjang bersama
Baginda Raja Sanggrama Wijaya dalam suka dan duka,
dalam sebuah perjuangan yang begitu melelahkan.
Ketujuh ksatria berkuda itu terlihat sudah jauh dari
Kademangan Simpang, di jalan sepi langkah kuda
mereka seperti terbang membelah udara siang itu.
"Nampaknya ada sebuah pertempuran", berkata
Patih Mahesa Amping langsung memperlambat laju
472 kudanya diikuti oleh yang lainnya karena melihat yang
sama. Ketika ketujuh ksatria berkuda itu telah semakin
mendekati tempat pertempuran, suara denting senjata
beradu serta suara teriakan pertempuran menjadi
semakin terdengar dengan jelas.
"Apakah sebuah perampokan?", berkata Patih
Mahesa Amping kepada Ki Gede Bajra Seta yang sudah
berada di dekat pertempuran itu melihat tiga buah
gerobak yang biasa dimiliki oleh para pedagang ada
diantara pertempuran yang sedang berlangsung.
"Bila sebuah perampokan, adalah sebuah kecerobohan melakukan perampokan di jalan yang
cukup terbuka dan ramai ini", berkata Ki Gede Bajra Seta
menyampaikan pendapatnya.
"Kita akan segera mencari tahu", berkata Patih
Mahesa Amping sambil turun dari kudanya mendekati
arah pertempuran itu. Ketika Patih Mahesa Amping tengah mendekati
pertempuran itu, memang sangat sukar ditentukan kedua
kelompok yang sedang bertarung dengan sangat
serunya itu. Siapa yang mewakili para pedagang dan
siapa yang mewakili kelompok lainnya.
"Berhenti, atau kalian semua akan kujadikan budak
belian!!", menggelegar suara Patih Mahesa Amping dari
pinggir pertempuran mencoba menghentikan pertempuran itu. Ternyata suara Patih Mahesa Amping telah dilambari
oleh ajian gelap Ngampar kelas tinggi, meski hanya
seperdelapan dari kekuatan yang dimiliki, ternyata cukup
andal mampu menghentakkan dada siapapun orang
473 yang tengah bertempur saat itu.
Seketika pertempuran itu seperti terhenti.
Terlihat dua belas orang telah menyingkir
memisahkan diri, kelompok lainnya juga ikut mundur
meski dengan sikap masih dalam keadaan siaga dan
waspada. Orang-orang yang telah menghentikan pertempuran
itu nampaknya adalah orang-orang yang punya cukup
pengalaman tentang kanuragan, buktinya mereka dapat
menilai suara orang yang tengah menghentikan
pertempuran itu pastinya bukan orang sembarangan,
beberapa orang terlihat masih memegang dada masingmasing yang masih terasa sesak oleh sebuah himpitan
benda yang amat kuat menekan rongga dada mereka
hanya dengan sebuah hentakan suara.
Terlihat semua orang yang telah menghentikan
pertempuran itu menoleh kearah Patih Mahesa Amping,
bukan main terkejutnya bahwa yang menghentikan
mereka ternyata adalah seorang petinggi Majapahit, saat
itu pakaian yang dikenakan oleh Patih Mahesa Amping
memang memakai pertanda seorang petinggi Majapahit.
"Hentikan pertempuran, atau kalian semua akan
kujadikan sebagai budak belian", berkata patih Mahesa
Amping sambil melangkah ke tengah diantara dua
kelompok yang sudah terpisah jarak itu.
"Ampuni hamba, kami hanya para pedagang yang
terancam oleh orang-orang itu", berkata salah seorang
mewakili sebelas orang lainnya yang mengaku para
pedagang. "Kami bukan perampok, kami hanya menagih hutang
mereka", berkata seseorang mewakili kelompok lainnya
474 yang berjumlah sekitar dua puluh orang lebih sedikit.
"Bohong, kami tidak punya sangkutan hutang
apapun, mereka telah memaksa kami untuk tidak
berdagang ke Tanah Ujung Galuh", berkata orang yang
mewakili para pedagang itu.
"Kalian telah berbohong di hadapanku, tanah
Majapahit ini adalah tanah merdeka, siapapun boleh
datang dan pergi kemanapun", berkata Patih Mahesa
Amping sambil menghadap kepada kelompok orangorang yang lebih banyak itu, dari pakaian dan sikap
mereka dapat dipastikan bahwa mereka adalah orangorang kasar yang sudah terbiasa melakukan kekerasan
dan pemaksaan kepada orang lain yang lemah.
"Apakah tuan akan menangkap kami seorang diri?",
bertanya orang yang mewakili kawan-kawannya itu yang
nampaknya adalah pemimpin mereka sambil melihat
enam orang yang datang bersama Patih Mahesa
Amping. "Kalian tidak perlu takut bahwa keenam kawanku itu
akan ikut membantuku", berkata Patih Mahesa Amping
sambil tersenyum, mengetahui kemana arah pembicaraan pemimpin orang-orang kasar itu.
"Seorang petinggi Majapahit yang kutahu adalah
seorang yang dapat dipegang janjinya, bersiaplah tuan
untuk menghadapi kami semua", berkata orang itu
dengan suara tinggi seperti ingin didengar oleh semua
orang yang ada di tempat itu.
"Kita diminta untuk menjadi penonton yang baik",
berkata Ki Gede Bajra Seta berbisik kepada kelima orang
yang berada didekatnya itu.
Mahesa Semu, Paman Muntilan, Gajahmada dan
475 Adityawarman yang sudah tahu tingkat ilmu yang dimiliki
Patih Mahesa Amping terlihat tersenyum sendiri, dan
diam diatas kudanya masing-masing, sementara itu
Mahesa Dharma yang baru mendengar dari cerita
ayahnya tentang cantrik terbaik di Padepokan Bajra Seta
itu masih terlihat sangat tegang, membayangkan Patih
Mahesa Amping dikeroyok oleh sekitar dua puluh orang
kasar itu. "Lihatlah, aku tidak memegang senjata apapun untuk
menangkap kalian semua", berkata Patih Mahesa
Amping dengan sikap yang amat tenang sekali kepada
orang-orang dihadapannya itu.
"Mari kawan-kawan, kita cincang petinggi Majapahit
yang sombong ini", berkata pemimpin mereka sambil
mengacungkan golok panjangnya tinggi-tinggi mengajak
kawan-kawannya mengeroyok Patih Mahesa Amping
seorang diri. Sementara itu para pedagang dan orang-orangnya
seperti terpecah perasaan hatinya.
Beberapa orang para pedagang dan orang-orangnya
merasa cemas melihat Patih Mahesa Amping seorang
diri menghadapi kelompok orang yang sebelumnya
menjadi lawan mereka. Sementara beberapa orang lagi
sangat percaya bahwa petinggi Majapahit itu dapat
menghadapi lawannya melihat ketenangan dan rasa
percaya diri yang tinggi, juga ilmu gelap Ngampar lewat
hentakan suaranya yang mereka rasakan bersama,
beberapa orang para pedagang itu merasa yakin bahwa
petinggi Majapahit bukanlah orang sembarangan.
Ternyata keyakinan beberapa orang dari kelompok
pedagang itu terbukti, mereka telah melihat dengan mata
kepala sendiri beberapa orang penyerang pertama sudah
476 terlempar dengan cara yang tidak diketahui, sementara
beberapa orang lainnya yang semula meragukan
tandang Patih Mahesa Amping terbelalak seperti tidak
yakin dengan yang dilihat oleh mata kepalanya sendiri.
Lain lagi para ksatria yang datang bersama
Mahesa Amping, dengan kemampuan mereka
sudah cukup tinggi, dapat menangkap gerakan
Mahesa Amping yang memang sangat cepat tak
diikuti oleh pandangan mata orang biasa.
Patih yang Patih dapat Kemanapun langkah Patih Mahesa Amping bergerak,
pasti ada korban yang terlempar langsung roboh pingsan
di bumi tak mampu bergerak lagi.
"Menyerah atau kubuat kalian tidak berdaya seperti
mereka ini", berkata Patih Mahesa Amping sambil berdiri
diantara tujuh orang yang bergelimpangan tak mampu
bergerak lagi. Semua orang-orang kasar itu seperti mundur
kebelakang melihat tidak percaya beberapa orang kawan
mereka dengan mudahnya jatuh bergelimpangan tak
berdaya tanpa mengerti dengan cara apa petinggi
Majapahit itu dapat melakukannya, karena yang
dilihatnya bahwa petinggi Majapahit itu hanya berkelebat
dengan sangat cepat sekali tak dapat mereka ikuti
dengan pandangan mata mereka sendiri.
"Kalian sudah tidak mempunyai pemimpin lagi",
berkata Patih Mahesa Amping sambil menyentuh dengan
ujung kakinya seorang pemimpin mereka yang terbaring
di tanah kotor tak bergerak.
Ternyata gertakan Patih Mahesa Amping telah
mampu menciutkan hati orang-orang kasar itu.
"Kami menyerah, namun biarkan kami pergi", berkata
477 salah seorang dari mereka sambil melempar senjatanya.
Ternyata sikap salah seorang diantara orang-orang
kasar itu telah diikuti oleh kawan-kawannya, terlihat
mereka satu persatu telah melempar sendiri senjata
mereka ke tanah jauh dari jangkauan tangan mereka
berdiri. "Kali ini aku mengampuni jiwa kalian, pergilah dan
jangan mencoba memaksakan kehendak kepada
siapapun. Namun ketujuh orang termasuk pemimpin
kalian ini akan kubawa untuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya", berkata Patih Mahesa Amping dengan
sikap yang begitu penuh wibawa.
Terlihat Ki Gede Bajra Seta tersenyum mendengar
perkataan Patih Mahesa Amping, diam-diam menyetujui
sikap muridnya itu. Ternyata pikiran Patih Mahesa Amping mendekati
dengan apa yang dipikirkan oleh Ki Gede Bajra Seta.
"Ketujuh orang ini sudah mencukupi untuk
kutanyakan kelak, siapa orang yang mengupah mereka",
berkata Patih Mahesa Amping dalam hati sambil
menatap sisa orang-orang kasar itu yang telah
melangkah pergi menjauh berjalan kearah lain dari arah
menuju Kotaraja Majapahit.
"Kemana tujuan kalian?", bertanya patih Mahesa
Amping kepada salah seorang yang nampaknya menjadi
pimpinan rombongan pedagang itu.
"Kami akan ke Tanah Ujung Galuh untuk menjual
kapuk dan beberapa hasil hutan lainnya, dua pekan
sebelumnya salah seorang dari mereka telah datang ke
rumah kami mengancam agar kami tidak membawa
kapuk ke Tanah Ujung Galuh, melainkan ke Tanah
478 Lamajang", berkata pemimpin pedagang itu bercerita


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa mereka berurusan dengan kelompok orangorang kasar itu. "itulah sebabnya kami membawa
beberapa orang pengawal, namun ternyata mereka lebih
banyak dari jumlah kami", berkata kembali orang itu.
"Mengapa kalian tidak mengikuti permintaan mereka,
bukankah dari sini jarak ke Lamajang tidak berbeda
jarak?", bertanya patih Mahesa Amping kepada orang itu.
"Jarak yang kami tempuh memang tidak berbeda
jauh, hanya kami akan merasa kurang menguntungkan
bila barang kapuk kami di jual kepada tuan besar mereka
di Tanah Lamajang dibandingkan bila menjual barang
kapuk ini kepada para pedagang asing di Tanah Ujung
Galuh", berkata pemimpin pedagang itu kepada Patih
Mahesa Amping. "Disamping itu kami dapat membawa
beberapa dagangan lain yang lebih berguna seperti kain
tenun dan barang lainnya yang banyak diminati oleh
orang-orang pedalaman dibandingkan bila kami ke
Tanah Lamajang atau singgah ke Bandar Pasuruan",
berkata kembali orang itu memberikan alasannya kepada
Patih Mahesa Amping. "Alasan kalian dapat kupahami, sekarang bantulah
aku untuk mengikat mereka", berkata Patih Mahesa
Amping kepada pemimpin para pedagang itu.
Terlihat pemimpin orang itu telah memerintahkan
orang-orangnya untuk mengikat orang-orang yang masih
tergeletak pingsan terbaring di tanah.
"Kita tunggu mereka siuman kembali agar lebih
mudah membawanya", berkata Patih Mahesa Amping
manakala melihat hampir seluruh orang-orang kasar itu
terikat tangannya. Dengan sabar terlihat semua orang di jalan itu
479 menunggu ketujuh pingsannya. orang itu sadar siuman dari Akhirnya tidak lama berselang ketujuh orang itu
terlihat sudah mulai siuman, mereka sangat terkejut
mendapatkan diri mereka sudah terikat tangannya.
"Suruh mereka berjalan, kami akan berjalan bersama
kalian", berkata Patih Mahesa Amping dari atas
punggung kudanya. Demikianlah, terlihat ketujuh orang tawanan itu telah
di giring berjalan di muka.
Ketujuh orang tawanan itu berjalan dimuka para
pedagang yang masing-masing telah naik diatas gerobak
mereka yang ditarik oleh seekor sapi jantan. Sementara
patih Mahesa Amping dan rombongannya berjalan di
belakang para pedagang itu. Perjalanan mereka terlihat
memang menjadi begitu lamban.
Hingga manakala matahari berada diatas kepala
mereka dan cahayanya tidak lagi dapat terhalang oleh
kerimbunan pohon besar di kiri kanan jalan tanah yang
mereka lalui itu, terlihat mereka berhenti di sebuah jalan
untuk beristirahat sambil menunggu matahari bergeser
surut. Patih Mahesa Amping terlihat bersama kelompoknya
sendiri di sebuah pohon besar yang sangat rimbun
meneduhi bumi di bawahnya. Sementara kelompok para
pedagang telah memilih sebuah pohon lain untuk
melindungi tubuh mereka dari sengatan matahari.
Terlihat salah seorang dari para pedagang tengah
memberikan air dan beberapa potong bekal mereka
kepada para tawanan yang mengambil tempat di sebuah
pohon lain tidak jauh dari mereka.
480 Disaat mereka tengah beristirahat menunggu
matahari surut bergeser, terlihat Patih Mahesa Amping
meminta Gajahmada untuk membawa seorang tawanan
menghadap kepadanya. "Bawalah pemimpin mereka kepadaku", berkata Patih
Mahesa Amping kepada Gajahmada.
Maka tidak lama berselang, Gajahmada sudah
datang kembali sambil membawa seorang tawanan yang
nampaknya adalah pemimpin mereka.
"Apakah kamu punya nama?", berkata Patih Mahesa
Amping kepada tawanan itu yang telah duduk
dihadapannya dengan tangan terikat kebelakang.
"Orang memanggilku Ragil, itulah namaku", berkata
tawanan itu kepada Patih Mahesa Amping.
Terlihat Patih Mahesa Amping tersenyum memandang tawanan itu yang terlihat usianya sudah
tidak muda lagi, dapat dikatakan seumuran dengannya.
Pakaian yang dikenakan dari bahan yang sangat kasar
yang biasa dikenakan oleh para pengembara.
"Dari mana asalmu?", bertanya
Mahesa Amping kepada tawanan itu.
kembali Patih "Aku tidak tahu dari mana asalku, yang hanya kutahu
bahwa aku besar diantara para kuli angkut di Bandar
Pasuruan", berkata tawanan itu dengan sikap seperti
tidak peduli menanggapi pertanyaan Patih Mahesa
Amping. "Aku tidak peduli dengan siapa namamu, juga tempat
asalmu. Namun kuingatkan kepadamu bila kita telah tiba
di kotaraja Majapahit, kamu dan orang-orangmu akan
kuserahkan kepada seorang pedagang budak belian",
berkata Patih Mahesa Amping kepada tawanan itu
481 dengan suara perlahan, namun terdengar tekanan
suaranya seperti sebuah ancaman.
Pada saat itu hukum perbudakan memang masih
berlaku, orang yang tidak sanggup membayar hutang
dan para tawanan perang dapat saja di jadikan sebagai
budak belian. Terlihat peluh sebesar biji jagung keluar dari kulit
wajah tawanan itu, bukan karena cuaca hari yang terasa
masih sangat terik, tapi suara ancaman patih Mahesa
Amping nampaknya terdengar begitu sangat menakutkan. "Bayangkan bahwa lengan bahumu akan di rajah
sebagai pertanda bahwa kamu adalah seorang budak
hina. Bayangkan pula bahwa dirimu akan dibeli oleh
seorang majikan yang sangat jahat dan kejam.
Bayangkan pula bahwa kamu akan dikebiri agar tidak
mengganggu istri majikanmu sendiri", berkata Patih
Mahesa Amping masih dengan suara perlahan
dihadapan tawanan itu. Mendengar perkataan Patih Mahesa Amping, terlihat
peluh di wajah orang itu seperti bertambah banyak.
Nampaknya ancaman Patih Mahesa Amping telah
menyentuh orang itu yang terlihat semakin gelisah
membayangkan dirinya akan terjatuh menjadi seorang
budak hina hingga akhir hidupnya.
"Tidak ada keuntungan bagiku berbelas kasih kepada
orang sepertimu ini, namun aku ingin membuat sebuah
penawaran kepadamu, kubebaskan dirimu atau menjadi
seorang budak di sisa usiamu ini", berkata Patih Mahesa
Amping masih dengan suara datar dan perlahan.
"Apa yang tuan tawarkan?", berkata tawanan itu
seketika merasa ada sebuah kesempatan agar dirinya
482 dapat dibebaskan, juga bayangan akan menjadi seorang
budak tidak akan terjadi.
Lama patih Mahesa Amping tidak berkata apapun,
sengaja mengulur waktu guna dapat mengaduk-aduk
perasaan tawanan di hadapannya itu.
Terlihat Patih Mahesa Amping tersenyum melihat
kegelisahan yang sangat di wajah orang itu.
"Tawaranku tidak begitu sulit dan memberatkanmu,
cukup dirimu mengatakan siapa gerangan orang yang
mengupahmu untuk melakukan semua ini", berkata Patih
Mahesa Amping masih dengan suara yang datar dan
perlahan sekali. Terlihat orang itu tidak langsung menjawab seperti
sebelumnya, peluh terlihat semakin banyak keluar di kulit
wajahnya yang hitam legam seperti sudah terbiasa hidup
di alam yang panas di sekitar pantai pesisir. Nampaknya
orang itu tengah berpikir keras antara menjawab
pertanyaan Patih Mahesa Amping atau diam membisu.
Melihat orang dihadapannya itu tengah berpikir keras,
patih Mahesa Amping tidak segera memaksa dan
mengejarnya dengan perkataan apapun, hanya
memandang orang itu dengan sorot matanya yang
sangat tajam seperti tengah menelanjangi dan
menjelajahi alam pikiran dan perasaan orang itu.
"Nampaknya kamu sangat takut untuk menyebut
sebuah nama, bukankah bumi ini sangat luas", kamu
dapat pergi ke sebuah tempat yang sangat aman, jauh
dari orang yang kamu sangat takuti itu", berkata patih
Mahesa Amping seperti dapat membaca apa yang
tengah dipikirkan oleh orang dihadapannya itu.
Kata-kata patih Mahesa Amping memang sangat
483 perlahan, namun di dengar oleh orang itu seperti sebuah
tangan yang sangat kokoh menuntun jalan pikirannya.
"Aku memilih tawaran tuan", berkata orang itu
perlahan kepada patih Mahesa Amping.
Mendengar perkataan orang itu, terlihat Patih
Mahesa tidak berkata apapun seperti menunggu orang
itu untuk berkata selanjutnya, berkata tentang siapa
orang yang mengupahnya untuk melakukan semua
tindakannya yang memaksa para pedagang untuk tidak
pergi ke Tanah Ujung Galuh.
"Orang yang mengupahku adalah seorang yang
sangat berpengaruh di Tanah Lamajang, seseorang yang
punya banyak pesuruh, seseorang yang sangat disegani,
kekuasaannya bahkan melebihi seorang Adipati di
Lamajang dan Adipati di Blambangan. Orang itu adalah
Ki Randu Agung", berkata orang itu kepada Patih
Mahesa Amping. Terlihat Patih Mahesa Amping terdiam, masih
memandang orang itu dengan sorot matanya yang begitu
tajam seperti tengah mengukur sejauh mana kebenaran
kata-kata orang itu. Lama suasana menjadi begitu lengang, begitu sunyi.
Hanya suara angin yang terdengar menderu keras
disekitar mereka. "Tak kusangsikan semua perkataanmu", berkata
Patih Mahesa Amping memecah kesunyian yang
mencekam itu. "Aku juga akan menepati janjiku,
membebaskan dirimu dan orang-orangmu. Kusarankan
agar kamu pergi menyingkir ke tempat yang jauh dari
jangkauan orang itu. Carilah kerja yang lain yang lebih
baik yang tidak merugikan orang lain. Tanah Majapahit
begitu luas dan amat subur, dimanapun kamu berada
484 tidak akan menjadikanmu kelaparan", berkata kembali
Patih Mahesa Amping kepada orang itu.
Terlihat Ki Bajra Seta menarik nafas panjang, merasa
sikap Patih Mahesa Amping sudah sangat cukup
bijaksana membebaskan orang itu, juga kepada semua
tawanannya. Sesuai dengan perkataannya, Patih Mahesa Amping
memang telah membebaskan orang itu. Dibantu oleh
Gajahmada dan Adityawarman, mereka juga telah
melepaskan tali yang mengikat semua para tawanan.
"Mengapa kita melepaskan mereka?", bertanya
seorang pemimpin para pedagang yang meresa heran
melihat para tawanan telah dibebaskan. "Bukankah kita
akan membawa mereka ke Kotaraja Majapahit?",
bertanya kembali pemimpin para pedagang itu kepada
Patih Mahesa Amping. "Mereka hanya seorang upahan, dan kalian sudah
tidak akan diganggu lagi oleh mereka semua", berkata
Patih Mahesa Amping kepada pemimpin pedagang itu.
"Ingatlah oleh kalian, aku tidak akan mengampuni bila
bertemu kembali di sebuah tempat kalian masih bekerja
memaksa dan merugikan orang lain", berkata Patih
Mahesa Amping dari atas kudanya ketika hendak
meninggalkan mereka, tujuh orang tawanan yang sudah
dibebaskan itu. Terlihat ketujuh orang itu berdiri memandang
rombongan para pedagang dan para ksatria Majapahit
yang semakin jauh meninggalkan mereka di jalan sepi di
siang itu. "Petinggi Majapahit itu benar, kita harus pergi jauh",
berkata pemimpin itu kepada kawan-kawannya.
485 Terlihat para ksatria berkuda dan para pedagang
telah berjalan beriringan di jalan arah menuju Kotaraja
Majapahit. Perlahan warna senja terlihat redup menutupi
jalan sepi itu yang selalu diiringi suara langkah kaki kuda
serta suara derit roda gerobak pedati.
"Sebentar lagi kita akan menemui Padukuhan
Sindang, kami biasa singgah dan bermalam disana",
berkata pemimpin pedagang itu menawarkan Patih
Mahesa Amping dan rombongannya untuk bermalam di
Padukuhan Sindang.

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, kami sudah terbiasa untuk bermalam
di tempat terbuka, jauh dari keramaian", berkata Patih
Mahesa Amping dengan halus menolak tawaran
pemimpin pedagang itu. Demikianlah, ketujuh ksatria berkuda itu terlihat telah
memisahkan diri dari rombongan para pedagang.
Dibawah tatapan para pedagang, langkah kaki kuda para
ksatria itu semakin menjauh bergerak dibawah langit
senja. "Senja yang indah", berkata Adityawarman kepada
Gajahmada yang berkuda disebelahnya sambil
memandang matahari senja di ujung danau luas yang
jernih. "Besok pagi kita akan dimanjakan oleh cahaya
matahari pagi yang muncul di ujung perbukitan itu",
berkata Gajahmada sambil menunjuk kearah perbukitan
hijau di sebelah timur mereka.
"Inilah taman istana bagi para pengembara, wahai
putraku", berkata Patih Mahesa Amping kepada
Adityawarman sambil tersenyum.
Nampaknya mereka memang akan bermalam di tepi
486 danau yang amat luas itu, yang begitu tenang dan jernih
airnya dikelilingi banyak pepohonan yang rindang.
Keletihan berkuda sepanjang hari seakan telah
terobati dengan duduk beralas rumput hijau di tepi danau
senja yang teduh. Perlahan sang senja semakin redup dan menghilang
sembunyi di balik bumi sepi.
"Aku menjadi sangat tertarik, siapa gerangan orang
yang bernama Ki Randu Agung dari Lamajang itu",
berkata Ki Gede Bajra Seta seperti memulai sebuah
pembicaraan di tepi danau dibawah langit malam itu.
Mendengar perkataan Ki Gede Bajra Seta, keenam
ksatria itu seperti tercenung sejenak. Muncul dalam
pikiran masing-masing sesosok wajah Ki Randu Agung
dari Lamajang yang masih sangat penuh rahasia itu.
"Dari gerakan yang telah dilakukan, mencelakai diriku
di Hutan Kemiri, serta gerakan yang lain seperti
mempengaruhi para pedagang untuk tidak membawa
barang dagangan mereka ke Tanah Ujung Galuh, aku
menjadi seperti teringat kepada sebuah nama, seseorang
pemikir ulung yang menjadi guru kami dalam bersiasat
ketika berjuang melawan Raja Jayakatwang", berkata
Patih Mahesa Amping. "Apakah yang kamu maksudkan adalah Ki Arya
Wiraraja, Adipati dari Sunginep itu?", berkata Ki Gede
Bajra Seta mencoba menyebut sebuah nama kepada
Patih Mahesa Amping. "Benar, Kakang", berkata Patih Mahesa Amping
membenarkan perkataan Ki Gede Bajra Seta."Orang tua
itu telah kehilangan segala-galanya. Kehilangan putra
tunggalnya Ranggalawe. Juga telah kehilangan hasrat,
487 cinta serta seluruh kesetiaannya kepada cita-cita
perjuangannya sendiri. Kematian Ranggalawe adalah
kematian cintanya kepada bumi kerajaan Singasari yang
telah membesarkan dirinya", berkata kembali Patih
Mahesa Amping. "Ayahku Mahendra serta paman Mahesa Agni sangat
menghormatinya sebagai seorang pejuang yang sangat
berani melawan arus demi menegakkan sebuah
kebenaran", berkata Ki Gede Bajra Seta.
"Kabar terakhir adalah berita tentang pengungsiannya ke Lamajang setelah peristiwa
pemberontakan Adipati Ranggalawe", berkata Patih
Mahesa Amping. "Ki Banyak Wedi, Ki Arya Wiraraja atau Ki Randu
Agung, mungkin adalah orang yang sama", berkata Ki
Gede Bajra Seta kepada Patih Mahesa Amping.
"Aku mencintainya sebagai ayahku sendiri sebagaimana Ranggalawe telah menganggapku sebagai
saudaranya", berkata Patih Mahesa Amping sambil
menarik nafas dalam-dalam seperti tengah mengenang
masa-masa yang telah lama berlalu. "Aku juga begitu
sangat mengenalnya sebagai seorang pemikir ulung
yang sangat sukar ditebak kemana arahnya, seperti
sekumpulan awan di langit yang terus berubah mengikuti
kemana arah angin mengubahnya", berkata kembali
Patih Mahesa Amping. "Dunia ini memang seperti panggung pewayangan,
seorang kawan setia kadang berubah menjadi seorang
musuh di ujung seberang pasukan. Sementara itu
seorang musuh besar dapat berubah arah menjadi
kawan setia. Jayakatwang dan Ki Arya Wiraraja adalah
wayang hidup dari cerita yang amat panjang ini", berkata
488 Ki Bajra Seta dengan suaranya yang terdengar begitu
halus. "Seorang ksatria menyembah rajanya, bukankah kita
telah melanggar sumpah ikrar diri bila berada di baris
terdepan melawan sang raja?", berkata Mahesa Dharma
mencoba mengungkapkan pandangannya atas sikap
yang telah diambil oleh Ki Arya Wiraraja.
"Kehidupan ini memang sangat begitu pelik untuk
dimengerti, wahai putraku", berkata Ki Gede Bajra Seta
sambil tersenyum memandang Mahesa Dharma. "namun
selama kamu berpegang teguh kepada raja hati
nuranimu sendiri, disitulah kebenaran hakiki yang harus
kamu yakini dimana seharusnya kamu berdiri", berkata
kembali Ki Gede Bajra Seta kepada putranya itu.
"Meski harus berdiri berseberangan arah dengan raja
yang selama ini kita junjung?", berkata Mahesa Dharma.
"Seorang raja adalah titisan para dewa yang
menjelma di kehidupan alam ini, dialah hati nuranimu",
berkata Ki Gede Bajra Seta dengan suara halus penuh
senyum menatap putranya. Semua yang duduk di tepi danau itu seperti terlena
hanyut mendengarkan perkataan Ki Gede Bajra Seta
kepada putranya itu, semua seperti tenggelam mencoba
menyelami makna kata-kata dari seorang guru yang
begitu sangat dihormati itu, seorang yang sangat lembut
namun dibalik kelembutannya itu tersembunyi sebuah
kekuatan ilmu kesaktian yang sungguh amat begitu tinggi
tak tertandingi. Sementara itu, altar langit malam sudah semakin
larut. Hanya ada bulan sepotong diatas danau sepi
menemani wajah malam. 489 "Hari sudah jauh malam", berkata Ki Gede Bajra Seta
sambil matanya memandang wajah bulan sepotong yang
menggantung diatas langit malam.
"Biarkan kami orang muda menjadi peronda yang
baik sepanjang malam ini", berkata Gajahmada kepada
Ki Gede Bajra Seta mewakili Adityawarman dan Mahesa
Dharma. Demikianlah, ketiga anak muda itu telah menawarkan
diri untuk berjaga-jaga dimalam itu sebagaimana
kebiasaan para pengembara dimanapun berada yang
selalu siaga dan waspada dari hal yang mungkin saja
dapat terjadi mengancam jiwa mereka.
"Aku akan menyiapkan perapian", berkata Mahesa
Dharma sambil bangkit berdiri.
"Lama sekali kita berpisah sejak aku ikut ayahku ke
Kediri", berkata Adityawarman kepada Gajahmada ketika
melihat Mahesa Dharma berlalu pergi mencari beberapa
ranting kering untuk sebuah perapian.
"Yang pasti hutan Maja tempat kita bermain sudah
semakin menyempit di penuhi banyak pemukiman baru",
berkata Gajahmada kepada Adityawarman sambil
tersenyum memandang sahabat lamanya itu.
Banyak hal perkembangan lain di Kotaraja Majapahit
yang diceritakan oleh Gajahmada kepada sahabatnya
itu, juga perjalanannya bersama Jayanagara ke Tanah
Pasundan. "Ceritamu tentang Tanah Pasundan telah membuat
diriku menjadi iri, sayang sekali aku tidak ikut bersama
kalian", berkata Adityawarman kepada Gajahmada.
"Nampaknya aku telah kehilangan beberapa penggal
cerita", berkata Mahesa Dharma kepada Gajahmada dan
490 Adityawarman sambil meletakkan beberapa ranting
kering. "Jangan khawatir, aku akan menunggu sampai kamu
dapat menyalakan perapian", berkata Gajahmada
kepada Mahesa Dharma yang baru datang.
Demikianlah, usai Mahesa Dharma menyalakan
perapian di dekat mereka bertiga, terlihat Gajahmada
telah melanjutkan ceritanya kembali tentang pengembaraannya di Tanah Pasundan.
"Jadi kamu pernah berkunjung hingga ke ujung barat
Jawadwipa ini?", berkata Mahesa Dharma merasa
kagum mendengar cerita Gajahmada tentang sebuah
kerajaan kecil di Tanah Rakata.
"Nampaknya kita kalah selangkah dengan kawan ini",
berkata Adityawarman kepada Mahesa Dharma
manakala telah mendengar cerita yang lain dari
Gajahmada, yaitu pengembaraannya di sekitar pesisir
Tuban. Sementara itu perapian mereka nampaknya sudah
semakin surut meredup. "Aku akan mencari ranting kering, siapa tahu semakin
besar kobaran api akan mendengar cerita lain yang lebih
seru dan mengasyikkan", berkata Mahesa Dharma
sambil bangkit dari duduknya.
Altar langit malam masih menyelimuti danau sepi
yang berhias bulan belum bulat sempurna yang redup
terkantuk-kantuk. Terlihat Gajahmada, Adityawarman dan Mahesa
Dharma masih saja bercengkerama mengisi dinginnya
malam dalam kehangatan perapian yang sudah semakin
surut meredup. 491 "Sekarang giliranmu bercerita tentang Kotaraja
Kediri", berkata Gajahmada kepada Adityawarman.
"Tidak ada yang sangat menarik untuk kuceritakan
tentang Kotaraja Kediri, sekali dua kali ayahku kadang
mengajakku ikut pergi berburu di hutan bersama Raja
Jayanagara", berkata Adityawarman.
"Ayahmu pasti banyak memberikan bimbingan
kanuragan kepadamu", berkata Gajahmada kepada
Adityawarman. "Di hari-hari tertentu, aku dan Raja Jayanagara selalu
berlatih di sanggar istana dibawah bimbingan ayahku",
berkata Adityawarman. Tiba-tiba saja Gajahmada berdiri dan mundur dua
langkah telah membuat Adityawarman dan Mahesa
Dharma tercengang dengan sikapnya yang tiba-tiba itu.
"Perapian sudah semakin dingin, bagaimana bila kita
sedikit menghangatkan diri. Aku siap menghadapi kalian
berdua", berkata Gajahmada sambil bertolak pinggang
penuh tantangan. Terlihat Adityawarman dan Mahesa Dharma
tersenyum dan mengerti apa keinginan dari Gajahmada
yang ternyata mengajak mereka berlatih di malam dingin
itu. Terlihat Adityawarman dan Mahesa Dharma sudah
berdiri. "Ternyata putra Patih Mahesa Amping dan putra Ki
Gede Bajra Seta bukanlah seorang pengecut", berkata
Gajahmada sambil bergerak berjalan menuju sebuah
tempat yang lebih terbuka.
Terlihat Adityawarman dan
mengikuti arah langkah Gajahmada.
Mahesa Dharma 492 "Aku ingin tahu sejauh mana kesaktian putra tunggal
sang pertapa dari Gunung Wilis", berkata Mahesa
Dharma kepada Gajahmada yang telah berada
dihadapannya dengan sikap dada tegap terbuka.
"Ayunkan kepalanmu, maka kamu akan tahu sejauh
mana kecepatanku menghindarinya", berkata Gajahmada
sambil tersenyum. "Lihatlah kepalan tanganku ini dengan mata terbuka",
berkata Mahesa Dharma sambil bergerak begitu
cepatnya menerjang dengan kepalan tangannya kearah
Gajahmada. "Masih belum dengan segenap hati", berkata
Gajahmada sambil sedikit bergeser kesamping,
bersamaan dengan itu sebuah tendangan kakinya
meluncur dengan sangat tiba-tiba sekali mengejutkan diri
Mahesa Dharma. "Serangan balik yang luar biasa", berkata Mahesa
Dharma langsung melenting dengan cepatnya.
Melihat Gajahmada dan Mahesa Dharma sudah
saling menyerang telah membuat hati Adityawarman
tidak sabaran untuk ikut meramaikannya.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak ingin jadi penonton", berkata Adityawarman sambil langsung menerjang kearah
pertempuran itu. "Bagus, kuhadapi kalian berdua", berkata Gajahmada
dengan suara penuh kegembiraan hati.
Ternyata derap langkah ketiga anak muda di tepi
danau itu telah mencuri perhatian keempat orang tua
yang terbangun dan langsung melihat pertempuran
ketiga anak muda itu. "Langkah Adityakundala", berbisik Patih Mahesa
493 Amping kepada Ki Gede Bajra Seta di dekatnya dengan
pandangan penuh kekaguman.
Ternyata Patih Mahesa Amping saat itu telah melihat
gerak langkah kaki ajaib dari Gajahmada yang selalu
dapat lolos dari serangan kedua kawannya. Gerak
langkah kaki Gajahmada terlihat seperti menari-nari
dalam satu lingkaran. Semakin cepat Mahesa Dharma dan Adityawarman
menyerang, secepat itu pula Gajahmada dapat lolos dari
sergapan tanpa keluar dari garis lingkaran langkah
ajaibnya. "Empu Dangka pernah bercerita tentang sebuah
langkah ajaib yang dimiliki oleh kakek luarnya yang
bernama Empu Tantular, darimana Gajahmada
mendapatkan ilmu langkah ajaib itu?", berbisik Patih
Mahesa Amping kepada Ki Gede Bajra Seta.
"Ayahku Mahendra juga pernah bercerita tentang
langkah sakti itu, mengatakan bahwa ilmu langkah sakti
itu telah musnah bersama pemiliknya, kakak kandung
Empu Brantas yang mempunyai kesaktian lebih tinggi
dan mumpuni dari adiknya itu", berkata Ki Gede Bajra
Seta yang juga pernah mendengar tentang sebuah
langkah rahasia yang bernama Adityakundala.
Kedua orang yang punya pengalaman yang luas
mengenai aneka macam jenis olah kanuragan itu seperti
disuguhi sebuah tontonan yang mengasyikkan. Terlihat
mata mereka seperti tidak pernah berkedip sedikitpun,
takut terpotong atau kehilangan alur gerak Gajahmada
yang tengah memainkan sebuah jurus yang benar-benar
mengagumkan, sangat unik meliuk-liuk seperti sebuah
lidah api mengikuti gerak arah angin yang meniupnya.
Sebagaimana Patih Mahesa Amping dan Ki Gede
494 Bajra Seta, ternyata Mahesa Semu dan Paman Muntilan
juga ikut menyaksikan pertempuran ketiga anak muda
itu. Mahesa Dharma dan Adityawarman terlihat sudah
bercucuran keringat, sementara itu Gajahmada masih
terlihat bugar penuh kegembiraan hati melayani
serangan ganda dari kedua kawannya itu.
Dan pertempuran ketiga anak muda itu memang
sebuah pertempuran kelas tinggi dimana ketiganya
terlihat seperti tiga bayangan yang berkelebat dengan
cepatnya. Sejauh itu tidak satupun serangan yang dapat
menyentuh tubuh Gajahmada dan telah membuat
Mahesa Dharma dan Adityawarman telah meningkatkan
tataran kemampuan mereka.
Serangan ganda dari Adityawarman dan Mahesa
Dharma memang terlihat begitu dahsyat, sangat cepat
dan menjepit dari dua tempat yang berbeda.
"Jurus langkah yang sangat pelik", berdesah ucapan
dari Patih Mahesa Amping seperti tak sadar penuh
kekaguman melihat cara Gajahmada menghadapi
serangan Adityawarman dan Mahesa Dharma.
Sesungguhnya sebagai seorang ahli kanuragan kelas
tinggi di jamannya itu, Patih Mahesa Amping baru kali ini
menyaksikan sebuah cara bertempur yang sangat
mengagumkan, keluar dari gerak alur dasar-dasar ilmu
olah kanuragan yang dikenalnya selama ini.
"Adityawarman dan Mahesa Dharma tidak dapat
memecahkan gerak langkah Gajahmada", berkata Ki
Gede Bajra Seta sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya penuh kekaguman.
495 Dan tiba-tiba saja keempat orang tua yang sudah
sangat ahli dalam ilmu olah kanuragan itu seperti
terkesima dengan apa yang mereka saksikan bersama
itu. Ternyata keempat orang tua itu telah melihat gerakan
Gajahmada yang indah dan sangat pelik untuk ukuran
ahli kanuragan dimanapun, dimana terlihat hanya
dengan sebuah kaki yang bertumpu diatas tanah, dua
buah tangan Gajahmada terlihat mengembang seperti
seekor elang memulai terbangnya.
Dan?" Des, des !!!! Terlihat Adityawarman dan Mahesa Dharma
terlempar jatuh berguling-guling di tanah terkena
sambaran kedua tangan Gajahmada yang telak
menyentuh pinggang kedua lawan tandingnya itu.
"Kalian telah berhutang satu pukulan", berkata
Gajahmada yang berdiri tertawa melihat kedua kawannya
terguling di tanah. "Aku memang masih harus banyak belajar
denganmu", berkata Mahesa Dharma yang sudah dapat
berdiri kembali tegap diatas kedua kakinya.
"Dulu aku tidak pernah dapat mengalahkanmu,
ternyata sekarang aku merasa tertinggal lebih jauh lagi
darimu", berkata Adityawarman di sisi lain yang juga
telah dapat berdiri. "Sebuah pertunjukan yang hebat", berkata Mahesa
Semu dari sudut tempatnya.
"Maaf, kami telah mengganggu istirahat kalian orang
tua", berkata Gajahmada sambil berpaling menghadap
keempat orang tua yang sedari tadi menyaksikan
496 pertempuran itu. "Kamu telah mewarisi ilmu langkah rahasia
Adityakundala", berkata Ki Gede Bajra Seta kepada
Gajahmada. "Adityakundala?", berkata Gajahmada terheran-heran
kepada Ki Gede Bajra Seta.
"Dari mana kamu mewarisi ilmu rahasia itu, wahai
putraku?", berkata Patih Mahesa Amping kepada
Gajahmada penuh kekaguman.
"Aku mewarisinya dari ayah kandungku sendiri",
berkata Gajahmada kepada Patih Mahesa Amping.
Terkejut Patih Mahesa Amping mendengar ucapan
Gajahmada itu, seperti tidak percaya dengan yang
didengarnya sendiri bahwa Gajahmada telah menyebut
ayah kandungnya. "Pendeta Dharmaraya?", berkata Patih Mahesa
Amping dengan pandangan aneh kepada Gajahmada.
"kamu telah bertemu dengan ayah kandungmu", berkata
kembali Patih Mahesa Amping kepada Gajahmada.
Dengan singkat Gajahmada bercerita tentang
pertemuannya dengan ayah kandungnya sendiri itu
ketika dalam pengembaraannya di Tanah Pasundan.
"Ibumu pasti akan gembira mendengar ceritamu itu",
berkata Patih Mahesa Amping kepada Gajahmada.
"Benar, ibu menangis gembira mendengar kisahku
itu", berkata Gajahmada kepada patih Mahesa Amping.
"Berbahagialah bahwa kamu telah mewarisi ilmu
rahasia yang sangat langka itu", berkata Ki Gede Bajra
Seta penuh kagum kepada Gajahmada.
"Ayahku tidak pernah mengatakannya kepadaku
497 bahwa gerak langkah itu bernama Adityakundala,
ternyata Ki Gede Bajra Seta punya pengetahuan yang
sangat luas mengenai olah kanuragan", berkata
Gajahmada dengan suara penuh kerendahan hati.
"Ayahku Mahendra pernah bercerita bahwa gerak
langkah rahasia itu adalah ciptaan seorang Empu sakti
mandraguna di jamannya bernama Empu Tantular, kakak
kandung dari Empu Brantas yang garis perguruannya
telah mengalir kepada kita", berkata Ki Gede Bajra Seta
kepada Gajahmada. "Sungguh sebuah gerakan yang amat pelik, tidak
mudah dibaca awal dan akhirnya", berkata Patih Mahesa
Amping dengan pengakuan yang sebenarnya, merasa
sebagai seorang yang sudah banyak mempelajari
beraneka jenis aliran kanuragan, tapi baru kali ini tidak
mampu mencerna dasar langkah rahasia yang dimiliki
oleh Gajahmada. "Maafkan putramu ini, dengan penalaranku sendiri
telah menggabungkan gerak aliran perguruan kita
dengan gerak langkah yang diajari oleh ayah kandungku
itu", berkata Gajahmada dengan penuh kejujuran.
"Empu Tantular pasti akan bangga melihat karya
ciptanya telah disempurnakan olehmu", berkata Ki Gede
Bajra Seta kepada Gajahmada.
Sementara itu tidak terasa lengkung langit diatas
mereka terlihat sudah memerah terbias cahaya matahari
yang mulai mengintip di ujung hutan perbukitan sebelah
timur danau. Perlahan, sang surya mengukir altar kehidupan pagi
dengan warna kuning emasnya.
"Hari yang baik untuk melanjutkan sebuah 498 perjalanan", berkata Patih Mahesa Amping sambil
bangkit berdiri menatap wajah penguasa langit pagi yang
bersinar lembut penuh kehangatan.
Dan tidak lama berselang, derap suara langkah kaki
kuda terdengar semakin menjauh meninggalkan danau
sepi itu. Tujuh ksatria berkuda terlihat telah berada diatas
jalan tanah menuju arah Kotaraja Majapahit. Kepulan
debu terlihat di belakang langkah kaki kuda mereka
meninggalkan jejak-jejak baru diatas tanah keras yang
berdebu. Dan sang surya di timur mereka seperti selalu
mengiringi perjalanan mereka, merayap perlahan
menjelajahi cakrawala langit biru yang dipenuhi awan
putih yang terus bergerak mengikuti arah angin.
Dan manakala wajah mentari sudah hampir
menjangkau puncak cakrawala, ketujuh ksatria berkuda
itu telah memasuki Kademangan Maja.
Kehadiran para ksatria berkuda itu memang cukup
menarik perhatian para penduduk yang berada di jalan
utama kademangan Maja. Pandangan mereka terus
tertuju kearah para ksatria itu yang terus berjalan
perlahan diatas kuda masing-masing hingga akhirnya
menghilang di ujung tikungan jalan yang mendekati arah
regol gerbang batas Kademangan Maja.
"Lama sekali aku tidak berkunjung ke tanah ini",
berkata Patih Mahesa Amping kepada Ki Gede Bajra
Seta yang berkuda di sampingnya ketika mereka telah
melihat di kejauhan sebuah gapura besar berdiri megah
seperti raksasa besar menjaga bumi sesembahannya.
"Gapura Majapahit", berkata Ki Gede Bajra Seta
penuh kebanggaan hati memandang gapura gerbang
batas Kotaraja Majapahit yang sudah menjadi semakin
499 dekat itu. "Lihatlah pura indah di atas puncak bukit, itulah istana
tempat Baginda Raja Sanggrama Wijaya", berkata Patih
Mahesa Amping kepada Ki Gede Bajra Seta penuh
kebanggaan hati seperti ingin berkata bahwa dirinya ada
di saat pembangunan awal membabat hutan Maja untuk
membangun sebuah penghunian baru bagi sebuah dunia
baru, sebuah kerajaan Siwa di bumi raya.
Demikianlah, ketujuh ksatria itu terlihat telah melewati
gapura gerbang batas kotaraja dan terus berjalan
menyusuri sebuah pemukiman yang masih dipenuhi
pohon-pohon besar di kiri kanan jalan yang meneduhi
sepanjang jalan utama Kotaraja Majapahit.
"Perancang pemukiman ini pastinya adalah seorang
yang punya nilai seni yang tinggi, juga sorang yang
berotak sungguh cemerlang", berkata Ki Gede Bajra Seta
memuji penataan jalan pemukiman yang terlihat sungguh
begitu asri dengan membiarkan pohon-pohon besar
hutan tetap tumbuh. "Ki Sandikala yang merancang semua ini, juga pura
istana tempat Baginda Raja Sanggrama Wijaya", berkata
Ki Patih Mahesa Amping kepada Ki Gede Bajra Seta.
Demikianlah, jalan yang teduh dan sejuk di
sepanjang jalan utama Kotaraja Majapahit itu telah
membawa ketujuh ksatria berkuda itu ke depan pintu
gerbang istana Majapahit.
Gajahmada langsung membawa rombongannya ke
Pasanggrahannya sendiri untuk beristirahat. Gajahmada
juga telah mengutus salah seorang bawahannya di
pasukan Bhayangkara untuk menghadap kepada
Baginda Raja Sanggrama Wijaya untuk menyampaikan
berita tentang kedatangan mereka di istana Majapahit itu.
500 Bukan main gembiranya Baginda Raja Sanggrama
Wijaya mendapat kabar tentang kedatangan Ki Gede
Bajra Seta serta Patih Mahesa Amping.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan bahwa aku ingin segera bertemu dengan
mereka", berkata Baginda Raja kepada utusan pasukan
Bhayangkara itu. Prajurit pasukan Bhayangkara itupun terlihat telah
berjalan menuju pura pasanggrahan Gajahmada untuk
menyampaikan pesan Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Segera kami akan datang menghadap", berkata
Gajahmada kepada prajurit itu.
Demikianlah, setelah beristirahat secukupnya Gajahmada telah membawa Ki Gede Bajra Seta, Patih
Mahesa Amping dan rombongannya itu menghadap
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
Manakala mereka telah memasuki halaman
pasanggrahan Baginda Raja, ternyata penguasa agung
bumi Majapahit itu telah menunggu mereka di Pendapa
Agungnya. Dua orang prajurit pengawal terlihat mengernyitkan
keningnya merasa heran melihat Baginda Raja
Sanggrama Wijaya langsung berdiri menyambut
kedatangan para tamunya itu. Nampaknya kegembiraan
hatinya melihat Ki Gede Bajra Seta bersama orang-orang
dari Padepokan Bajra seta itu telah melupakan unggahunggah yang biasa berlaku bagi seorang raja agung
menerima para tamunya. "Sebuah karunia agung memenuhi istana ini yang
membawa paman guru datang menemuiku", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya penuh suka cita
menyambut kedatangan Ki Gede Bajra Seta.
501 "lama kita tidak berjumpa, wahai saudaraku", berkata
Baginda Raja menyapa Patih Mahesa Amping, Mahesa
Semu dan Paman Muntilan. "Pasti kalian sudah menjadi pemuda yang tangguh",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya menyapa
Adityawarman dan Mahesa Dharma.
Setelah duduk dan bercerita tentang keselamatan
masing-masing, Baginda Raja Sanggrama Wijaya
meminta Patih Mahesa Amping bercerita tentang
peristiwa di Hutan Kemiri.
"Aku telah mendengar dari seorang utusan dari
Padepokan Bajra Seta yang datang bercerita tentang
peristiwa di Hutan Kemiri, aku ingin mendengar langsung
cerita itu darimu sendiri, wahai saudaraku", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya kepada Patih Mahesa
Amping. Maka berceritalah Patih Mahesa Amping dari awal
peristiwa di hutan Kemiri hingga sampai diselamatkan
oleh Ki Gede Bajra Seta. "Kakang Mahesa Murti datang disaat yang tepat",
berkata Patih Mahesa Amping.
"Gelang batu aji milikku itu hanya sebuah perantara,
nyawa kita adalah milik Gusti Yang maha Agung, berkata
Patih Mahesa Amping dapat diselamatkan dari kekuatan
racun yang amat keras itu", berkata Ki Gede Bajra Seta
menambahi cerita Patih Mahesa Amping.
"Kejadian di hutan Kemiri itu telah membukakan mata
hatiku bahwa di istana ini telah disusupi para musuh
yang hendak menghancurkan cita-cita perjuangan kita",
berkata Baginda Raja sambil melirik kearah Gajahmada,
berharap bahwa anak muda itu tidak bercerita kepada
502 Patih Mahesa Amping tentang cidera hatinya yang salah
langkah membuat sebuah kebijakan dalam peristiwa di
Hutan Kemiri itu. Nampaknya Gajahmada dapat membaca arti
pandangan mata dari Baginda Raja Sanggrama Wijaya,
dengan sedikit senyum terlihat Gajahmada sedikit
menggelengkan kepalanya tanpa diketahui oleh
siapapun seakan menyampaikan kepada Baginda Raja
Sanggrama Wijaya bahwa rahasia itu masih tertutup
rapat-rapat. "Salah satunya telah dapat kami tangkap, salah
seorang kepercayaanku sendiri yang bernama Tumenggung Lembu Weleng", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. "hingga saat ini aku belum dapat
menemukan seseorang yang tepat untuk menggantikan
kedudukannya membawahi sebuah pasukan khusus,
para prajurit telik sandi", berkata kembali Baginda Raja.
"Perlu seseorang yang tepat untuk sebuah jabatan
yang istimewa itu, seseorang yang dapat dipercaya
kesetiaannya. Bila Paduka mengijinkannya, hamba
menawarkan seseorang yang kesetiaannya tidak
diragukan lagi, dialah kakang Mahesa Semu", berkata
patih Mahesa Amping kepada Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Terima kasih telah menunjukkan kepadaku siapa
gerangan orang yang dapat dipercaya dan tidak dapat
disangsikan kesetiaannya, semoga kiranya Kakang
Mahesa Semu tidak menolak penawaranku untuk
menjadi seorang Tumenggung di istanaku ini", berkata
Baginda Raja Sanggrama Wijaya sambil memandang
kepada Mahesa Semu. "Titah paduka Raja adalah sabda para dewa, hamba
503 menerima titah paduka", berkata Mahesa Amping
dihadapan Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Tumenggung Lembu Weleng mungkin hanya seekor
cicak yang sudah dapat kita jerat, sementara jauh nun
disana ada seekor buaya besar yang masih berkuasa di
sarangnya. Kemapanan tatanan kehidupan di bumi
Majapahit ini nampaknya tengah diuji oleh segelintir
manusia yang iri melihat kejayaan Kerajaan paduka yang
terus berkembang ini", berkata patih Mahesa Amping
sambil bercerita tentang sebuah usaha dari sebuah
kelompok bayangan hitam dengan berbagai cara
diantaranya dengan mencelakai orang-orang terdekat
Baginda Raja Sanggrama Wijaya, juga sebuah usaha
memutuskan jalur pusat perdagangan Majapahit di
Tanah Ujung Galuh. "Kemegahan istana ini nampaknya telah membutakan hatiku, membutakan kesadaranku bahwa
ada sebuah bayangan hitam yang diam-diam telah
menyiapkan sebuah alat pemukul di balik tirai
persembunyiannya, menanti saat kelemahan dan
kelengahan kita datang", berkata Baginda Raja.
Mendengar perkataan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya telah membawa setiap orang di pendapa agung
untuk diam merenung, diam berpikir sejenak.
"Paman guru", berkata Baginda Raja Sanggrama
Wijaya sambil memandang ke arah Ki Gede Bajra Seta.
"di penjuru kerajaan ini siapapun telah mengenal
ketajaman mata pedang buatan para cantrik dari
Padepokan Bajra Seta, namun tiada seorang pun yang
mengetahui ketajaman pemikiran Paman guru lebih
tajam dari mata pedang dimanapun. Tunjukkan kepadaku
apa yang harus aku lakukan menghadapi musuh yang
bersembunyi itu", berkata kembali Baginda Raja
504 Sanggrama Wijaya sambil tersenyum memandang Ki
Gede Bajra Seta. Terlihat Ki Gede Bajra Seta menarik nafas panjang
seperti hendak mengumpulkan segenap akal budinya,
mengumpulkan segenap nalar ketajaman pikiran yang
dimilikinya. "Muridku Baginda Raja Sanggrama Wijaya, bahwa
memancing seekor buaya besar yang bersalah untuk
keluar dari persembunyiannya memang sebuah
pekerjaan yang sangat amat sulit. Sementara tidak
mudah untuk mendekati sarang mereka sendiri. Hal yang
dapat kita lakukan adalah merebut makanan mereka,
dengan cara seperti itulah kita dapat membunuh seekor
buaya besar di sarangnya sendiri. Hanya pemikiran ini
yang dapat paman gurumu berikan", berkata Ki Gede
Bajra Seta kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Wahai saudaraku Patih Mahesa Amping, tunjukkan
kepadaku bagaimana caraku untuk merebut makanan
mereka", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya
kepada Patih Mahesa Amping.
Mendengar perkataan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya, terlihat semua orang diatas pendapa agung itu
memalingkan pandangannya ke arah Patih Mahesa
Amping. Lelaki yang terlihat sangat gagah perkasa dengan
sepasang mata yang sangat tajam itu tidak langsung
menjawab pertanyaan Baginda Raja Sanggrama Wijaya,
terlihat menarik nafas dalam-dalam.
Semua orang yang ada diatas pendapa agung itu
sejenak terdiam seperti tengah menunggu apa perkataan
Patih Mahesa Amping yang sudah dikenal memiliki
kecerdasan yang sangat luar biasa terutama untuk
505 memecahkan berbagai masalah yang sangat pelik
sekalipun. "Sumber dari kekeruhan ini telah kita dapatkan lewat
pengakuan beberapa orang tawanan yang dapat kami
sadap dalam perjalanan menuju Kotaraja Majapahit, yaitu
ada seorang yang punya pengaruh besar di Tanah
Lamajang", berkata Patih Mahesa Amping mulai
menuturkan pemikirannya. "Kita memang tidak perlu
menurunkan sebuah pasukan besar untuk menggempurnya, yang sangat mudah adalah memutuskan jalur perdagangan mereka, memutuskan
hubungan perdagangan mereka dengan para pedagang
dari Balidwipa, memutuskan jalur perdagangan mereka
menuju Bandar pelabuhan Pasuruan.", berkata kembali
Patih Mahesa Amping. "Sebuah cara yang hebat, merebut makanan musuh.
Aku akan mengutus beberapa orang untuk mempengaruhi para pedagang dari Balidwipa. Aku juga
akan mempengaruhi para pedagang asing untuk tidak
datang ke Bandar pelabuhan Pasuruan. Terakhir aku
akan menyiapkan para pembegal jalanan sebagaimana
yang pernah kita lakukan kepada Raja Jayakatwang",
berkata Baginda Raja. Tiba-tiba saja semua pandangan diatas pendapa
agung itu tertuju kepada seorang prajurit pengawal yang
datang menghadap paduka Raja Sanggrama Wijaya.
"Ampun Tuanku Paduka, Ki Mangkubumi bersama
dua orang putranya mohon ijin untuk bertemu dengan
tuanku Paduka", berkata prajurit pengawal istana itu
kepada Baginda Raja. "Katakan kepadanya bahwa disini ada banyak
sahabat lama menunggunya", berkata Baginda Raja
506 kepada prajurit itu. Maka tidak lama berselang, muncul Maha Patih
Mangkubumi datang bersama dua orang putranya,
Adipati Menak Koncar dan Adipati Menakjingga.
Sebagaimana diketahui mereka berdua adalah dua
orang adipati yang ditugaskan di Tanah Lamajang dan
Tanah Blambangan. Nampaknya mereka berdua datang
ke Kotaraja Majapahit sesuai undangan untuk
menghadiri hari wisuda dan perkawinan Putri Gajatri dan
Kertawardana. "Nampaknya disini telah berkumpul para sahabat
lama", berkata Maha Patih yang murah senyum itu
sambil memandang kearah Ki Gede Bajra Seta dan Patih
Mahesa Amping. Manakala Ki Mangkubumi dan kedua putranya telah
duduk bersama di Pendapa Agung, Baginda Raja secara
singkat menyampaikan kembali rencananya menghadapi
sebuah gerakan yang berasal dari bumi Lamajang.
"Hamba mohon ampun, sebagai seorang Adipati di
Lamajang sampai tidak mengetahui ada sebuah
pergerakan yang akan mengganggu kemapanan di bumi
Majapahit ini", berkata Adipati Menak Koncar setelah
mendengar penuturan dari Baginda Raja.
"Aku akan mengutus beberapa orang yang akan
melakukan sebuah kekacauan di bumi Lamajang,
bersikaplah seakan-akan kamu tidak mengetahuinya",
berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya kepada Adipati
Menak Koncar. "Siapa gerangan orang-orang yang akan ditugaskan
membuat kekacauan itu, agar hamba tidak salah langkah
bertindak", berkata Adipati Menak Koncar kepada
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
507

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar pertanyaan dari Adipati Menak Koncar,
terlihat Baginda Raja Sanggrama Wijaya tersenyum dan
terdiam sesaat. Semua orang diatas pendapa agung seperti ikut
terdiam menunggu perkataan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Dibutuhkan seorang yang setia dan amanah yang
akan menjalani tugas ini, menurutku Kakang Mahesa
Semu adalah orang yang sangat patut melaksanakan
tugas ini sebelum menjadi seorang Tumenggung di
istana Majapahit ini. Semoga tugas awal di bumi
Lamajang akan menjadi bekal untuk memahami medan
telik sandi yang sebenarnya", berkata Baginda Raja
Sanggrama Wijaya. Semua mata diatas pendapa agung itu terlihat tertuju
kearah Mahesa Semu. "Semoga hamba dapat mengemban tugas dan
kepercayaan tuanku Baginda Raja", berkata Mahesa
Semu sambil merangkapkan kedua tangannya di dada
penuh hormat menghadap ke arah Baginda Raja.
"Gajahmada dan Adityawarman kuperintahkan untuk
ikut membantumu", berkata Baginda Raja Sanggrama
Wijaya sambil tersenyum memandang kedua anak muda
itu. "Titah Paduka hamba junjung", berkata Gajahmada
dan Adityawarman bersamaan.
"Wahai putra Empu Nambi, aku akan menurunkan
beberapa orangku yang akan datang mempengaruhi
para pedagang dari Balidwipa. Sebagai seorang Adipati
di Blambangan tugasmu adalah membantu orangorangku itu", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya
508 kepada Adipati Menak Jingga.
"Hamba akan siap membantu dengan segenap hati",
berkata Adipati Menak Jingga dengan sikap penuh
hormat. "Aku berharap awan hitam diatas bumi Lamajang
akan cepat berlalu. Kemapanan bahtera Majapahit harus
kita jaga bersama, tanpa itu bahtera Majapahit ini tidak
akan sampai ke tanah impian kita semua, sebuah tanah
impian kerajaan sang Siwa di bumi ini, tanah dan lautan
yang dipenuhi kemakmuran, kesejahteraan dan
kedamaian sentosa", berkata Baginda Raja Sanggrama
Wijaya. "Diatas pendapa agung hari ini aku melihat beberapa
anak muda, ingatlah bahwa kami orang tua akan hilang
terkubur tanah, ditangan kalian bahtera Majapahit ini
kuwariskan. Pegang erat-erat kemudi layar bahteramu
agar tidak keluar dari jalur cita-cita pendahulumu. Tanah
dan lautan ini adalah karunia dari Gusti Yang Maha
Agung untuk bangsamu. Aku tidak akan rela orang asing
memilikinya, meski segenggam tanah bumi ini", berkata
kembali Baginda Raja Sanggrama Wijaya yang ditujukan
kepada beberapa anak muda yang ikut hadir di atas
pendapa agung itu. Perkataan Baginda Raja Sanggrama Wijaya
terdengar begitu agung, telah membuat semua orang
seperti tersihir untuk merenunginya. Terutama orangorang muda seperti Gajahmada, Adityawarman, Mahesa
Dharma, Adipati Menak Koncar dan Adipati Menak
Jingga. Sementara itu langit senja perlahan terlihat telah
menghilang berganti dengan warna gelap malam.
Cakrawala langit malam diatas istana Majapahit dihiasi
509 wajah bulan yang belum bulat sempurna, juga jutaan
bintang gemintang yang berkedip abadi.
"Terima kasih telah memenuhi undanganku, sampai
bertemu kembali di acara wisuda dan perkawinan
putriku", berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya
kepada para tamunya, sahabat-sahabat setianya
manakala bermaksud untuk undur diri meninggalkan
pendapa agung pura pasanggrahannya.
Demikianlah, para tamu Baginda Raja Sanggrama
Wijaya terlihat satu persatu menuruni anak tangga
pendapa agung itu. "Sampai bertemu besok, Ki Sandikala", berkata Patih
Mahesa Amping kepada Empu Nambi manakala mereka
berada di sebuah persimpangan jalan di dalam istana itu.
Terlihat Empu Nambi mengambil arah jalan lain di
persimpangan itu bersama kedua putranya.
Malam begitu dingin menusuk kulit, terlihat Ki
Sandikala bersama dua putranya telah naik ke pendapa
dan langsung ke ruang pringgitan.
Nampaknya mereka belum berniat untuk segera
beristirahat tidur. Sebagaimana Patih Mahesa Amping dan rombongannya, Adipati Menak Koncar dan Adipati
Menak Jingga memang baru hari itu tiba di Kotaraja
Majapahit. Mereka datang lewat jalan laut dari jalur
pesisir timur Jawadwipa. "Aku merasa malu sebagai seorang Adipati tidak
mengetahui ada sebuah pergerakan di Tanah Lamajang
yang tengah mengancam kemapanan di bumi Majapahit
ini", berkata Adipati Menak Koncar kepada ayahnya,
Empu Nambi. 510 Mendengar perkataan putranya itu, terlihat Empu
Nambi hanya tersenyum lembut.
"Baginda Raja memang tidak kemana-mana, namun
mata dan pendengarannya ada di mana-mana. Itulah
kelebihannya sebagai seorang Raja. Janganlah kamu
merasa malu, karena kamu telah melaksanakan tugasmu
dengan baik sebagai seorang Adipati Lamajang,
menciptakan rasa aman bagi wargamu, juga sebagai
kepanjangan tangan istana dalam memungut pajak dan
upeti", berkata Empu Nambi membesarkan perasaan
putranya. "Pandangan Baginda Raja Sanggrama Wijaya
ternyata begitu tajam, telah membukakan mataku bahwa
sebuah peperangan tidak harus dengan cara
mengangkat senjata, tapi dapat dilakukan dengan cara
yang lain, misalnya penguasaan jalur perdagangan",
berkata Adipati Menak Jingga.
"Bagus bila kalian telah mulai mengerti permasalahan
ini", berkata Empu Nambi sambil memandang kedua
putranya itu. "Selama ini kalian belum dapat membaca
bahwa ada sebuah kekuatan besar yang sangat
berpengaruh mencoba menguasai jalur pesisir dan
Banyuwangi, Banger dan Pasuruan", berkata kembali
Empu Nambi kepada kedua putranya itu.
"Selama ini aku hanya melihat bahwa orang-orang
dari tanah Madhura hampir menguasai perdagangan di
jalur pesisir itu, namun aku tidak menyangka bahwa
mereka digerakkan oleh sebuah kekuatan tunggal dari
Tanah Lamajang", berkata Adipati Menak Jingga.
"Orang-orang Madhura itu juga saudara kita. Yang
ingin kita lawan adalah kekuatan tunggal yang
mempengaruhi mereka yang tengah mengancam
511 kemapanan di bumi Majapahit ini", berkata Empu Nambi
mencoba meluruskan permasalahan yang tengah
mereka perbincangkan itu. "Saatnya para putra pribumi
menyingsingkan lengannya ikut mengambil alih jalur
perdagangan di tanahnya sendiri. Pihak istana akan
membuka seluas-luasnya kesempatan ini, namun tanpa
dukungan dari para putra pribumi gerakan ini akan
menjadi sebuah senjata yang tumpul, tidak akan
merubah keadaan apapun", berkata kembali Empu
Nambi kepada kedua putranya itu.
"Terima kasih ayah, aku akan menggerakkan para
putra pribumi untuk menjadi tuan di tanahnya sendiri",
berkata Adipati Menak Jingga kepada Empu Nambi.
"Sementara pihak istana membuat sebuah kekalutan
dan kekacauan jalur perdagangan mereka, di saat yang
sama kita mengambil alih jalur perdagangan mereka",
berkata Adipati Menak Koncar.
"Wahai putraku Menak Koncar", berkata Empu Nambi
sambil menatap putranya Menak Koncar dengan sebuah
pandangan yang sangat tajam. "Sebagai seorang Adipati
Blambangan, pasti kamu sudah banyak mengenal
beberapa tempat di Lamajang. Kamu juga telah banyak
mengenal orang yang berpengaruh di Lamajang. Apakah
dirimu pernah bertemu dengan seseorang yang sangat
berpengaruh disana yang datang dari Tanah Sunginep?",
berkata kembali Empu Nambi kepada Adipati Menak
Koncar. Mendengar pertanyaan ayahnya itu, terlihat Adipati
Menak Koncar tidak langsung menjawab, seperti tengah
berpikir dan mencoba mencari siapa gerangan orang
yang dimaksudkan oleh ayahnya itu.
"Mungkinkah orang tua itu?", berkata Adipati Menak
512 Koncar perlahan sekali seperti masih meragukannya.
"Katakanlah kepada ayahmu, aku melihat sebuah
keraguan yang sangat manakala kamu berkata ketidak
tahuan kamu di hadapan Baginda Raja Sanggrama
Wijaya", berkata Empu Nambi masih dengan pandangan
yang sangat tajam seperti menusuk membedah dada
putranya yang langsung menunduk seperti tengah
menyembunyikan sebuah kesalahan. "Sejak kecil aku
mendidikmu untuk berlaku jujur dan adil, sejak kecil aku
mendidikmu untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kesetiaan.
Janganlah kamu menyimpan sebuah kebusukan, karena
sampai kapan pun kamu tidak akan mampu
menutupinya", berkata kembali Empu Nambi kepada
putranya Adipati Menak Koncar.
"Semula orang tua itu datang kepadaku untuk
membuka sebuah pemukiman baru di Hutan Randu. Aku
memberikannya karena kulihat tidak mengganggu
tatanan yang telah ada di Lamajang. Hingga akhirnya
kulihat pemukiman baru itu berkembang pesat menjadi
sebuah kademangan yang sangat maju", berkata Adipati
Menak Koncar kepada ayahnya, Empu Nambi.
"Kamu tidak mengatakan bahwa orang tua itu telah
memberimu banyak hadiah kepadamu", berkata Empu
Nambi masih dengan pandangannya yang sangat tajam
seperti tengah membaca isi hati putranya i itu.
"Orang tua itu memang telah memberiku begitu
banyak hadiah kepadaku", berkata Adipati Menak Koncar
masih dengan wajah menunduk semakin dalam.
"Kamu telah terjerat didalam pengaruhnya, siapakah
orang tua itu memperkenalkan jati dirinya kepadamu?",
bertanya Empu Nambi kepada Adipati Menak Koncar
dengan suara yang sangat lembut merasa kasihan
513 melihat sikap putranya itu yang merasa telah melakukan
kesalahan besar, menerima hadiah, sebuah kesalahan
besar dalam hukum tata krama kerajaan Majapahit pada
saat itu bagi seorang Rakyan istana.
"Orang tua itu memperkenalkan dirinya bernama Ki
Randu Alam, seorang yang sangat kaya raya berasal dari
Tanah Sunginep", berkata Adipati Menak Koncar kepada
Empu Nambi. "Ki Banyak Wedi, Ki Arya Wiraraja atau Ki Randu
Alam mungkin adalah orang yang satu", berkata Empu
Nambi sambil menarik nafas dalam-dalam. "besok kita
dapat membicarakan orang tua itu bersama Ki Patih
Mahesa Amping, juga mematangkan persiapan kita
menghentikan semua geraknya di wilayah timur
Balidwipa itu", berkata kembali Empu Nambi.
Demikianlah, ketika cahaya matahari pagi terlihat
terang menghangatkan halaman muka pura Pasanggrahan Gajahmada, terlihat tiga orang lelaki
berjalan memasuki halaman itu.
Ketika semakin mendekati anak tangga pendapa,
ternyata mereka bertiga orang itu adalah Ki Sandikala
bersama dua orang putranya, Adipati Menak Koncar dan
Adipati Menak Jingga. "Senyum keceriaan Ki Mangkubumi mengalahkan
cahaya sang surya dimanapun", berkata Patih Mahesa
Amping menyambut Ki Sandikala bersama putranya itu.
Ki Gede Bajra Seta, Mahesa Semu, paman Muntilan,
Mahesa Dharma, Adityawarman dan tentunya tuan
rumah pemilik pura Pasanggrahan itu sendiri,
Gajahmada terlihat menyambut gembira kedatangan Ki
Sandikala dan dua orang putranya itu.
514 Pembicaraan awal mereka bermula berkisar tentang
beberapa persiapan dalam rangka pelaksanaan wisuda
Raja Muda di Tumapel dan Kahuripan, juga tentang
perkawinan kedua Raja Muda yang baru akan dilantik itu.
"Pastinya Jayakatwang dan Nyimas Turuk Bali akan
ikut bersama Kertawardana ke Tumapel, sementara itu
Nyi Ageng Nglirip dipastikan akan mengikuti putrinya
Dyah Gajatri ke Kahuripan", berkata Ki Patih
Mangkubumi atau Empu Nambi mengawali pembicaraannya. "Semoga kehadiran orang tua disamping kedua raja
muda itu dapat membantu menjadikan Tumapel dan


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kahuripan dapat berkembang seperti di jaman Raja
Erlangga, leluhur mereka", berkata patih Mahesa
Amping. "Yang pasti akan menjadikan kemapanan di bumi
Majapahit menjadi semakin kokoh dan kuat", berkata Ki
Patih Mangkubumi yang dulu pernah dipanggil sebagai
Ki Sandikala itu. Akhirnya pembicaraan beralih kepada persiapan
mereka menghadapi sebuah gerakan tersembunyi di
timur Jawadwipa itu. "Kedua putraku ini akan membangun sebuah gudang
penampungan besar di Bandar pelabuhan Pasuruan,
Banger dan Banyuwangi yang akan membeli barang
dagangan para putra pribumi yang berasal dari setiap
penjuru Kademangan di timur Jawadwipa itu", berkata
Patih Mangkubumi menjelaskan sebagian rencana
mereka. "Mereka pasti mencoba mengganggu keberadaan
gudang penampungan itu", berkata Patih Mahesa
Amping seperti tengah menguji pemikiran Patih
515 Mangkubumi yang juga terkenal sebagai ahli siasat
perang itu. "Kita akan melakukan siasat perang Mowor Sambu
dan Dom Sumuruping Banyu, sebagai pasukan senyap
menjaga jalur perdagangan yang tengah kita bangun.
Mahesa Semu, Gajahmada dan Adityawarman telah
dipercayakan menggerakkan para prajurit Majapahit di
timur Jawadwipa itu", berkata Ki Patih Mangkubumi
dengan wajah penuh senyum sambil memandang kearah
Patih Mahesa Amping. "Sebuah rencana yang sangat hebat, membangun
jalur perdagangan di hulu dan di hilir. Sangat matang dan
terinci, memudahkan Kakang Mahesa Semu sedikit
bergerak memimpin para prajurit senyapnya menuju
kemenangan yang gemilang", berkata Patih Mahesa
Amping memuji pemikiran Ki Patih Mangkubumi.
"Hanya sebuah pemikiran dari orang tua yang mulai
pikun", berkata Ki Patih Mangkubumi merendahkan
dirinya. "Pada saatnya akan terjadi sebuah perang terbuka,
manakala Ki Randu Alam akan melakukan siasat yang
sama di semua tempat, di hulu dan hilir perdagangan
yang kita bangun itu", berkata Ki Gede Bajra ikut
memberikan pemikirannya. "Itu kita siasati dengan membagi kekuatan di tiga titik
yang berbeda, di jalur Pasuruan, Banger dan
Banyuwangi", berkata Ki Patih Mangkubumi menyampaikan sebuah jawaban dari pertanyaan Ki Gede
Bajra Seta. "Berapa kira-kira pasukan yang kita butuhkan dalam
gerakan di wilayah timur Jawadwipa ini?", bertanya
Mahesa Semu merasa punya kepentingan karena telah
516 dipercayakan oleh Baginda Raja memimpin sebuah
pasukan di wilayah timur Jawadwipa itu.
"Tiga ratus prajurit di jalur Pasuruan, Tiga Ratus di
jalur Banger dan tiga ratus di jalur Banyuwangi", berkata
Ki Patih Mangkubumi sambil merinci di tempat mana
para prajurit Majapahit disembunyikan agar selalu dapat
mengetahui kemana arah lawan bergerak.
"Beruntunglah Baginda Raja yang mempunyai Maha
Patihnya yang berasal dari timur Jawadwipa itu, hampir
tiap jengkal tanah disana ada di dalam kepalanya",
berkata Patih Mahesa Amping yang memuji pemahaman
Ki Patih Mangkubumi atas wilayah timur Jawadwipa itu.
"Aku besar di wilayah timur itu", berkata Ki Patih
Mangkubumi sambil tersenyum.
"Yang kuharapkan semua berjalan sesuai rencana,
tidak ada banyak korban di kedua belah pihak, terutama
ketentraman para warga yang ada di wilayah itu
sebagaimana peperangan yang ada dan pernah kita
lewati bersama", berkata Ki Gede Bajra Seta sambil
menyampaikan nasehatnya kepada Mahesa Semu,
Gajahmada dan Adityawarman yang akan terjun
langsung memimpin pasukannya di wilayah timur itu.
"Penderitaan dan darah telah banyak tertumpah untuk
membangun Kerajaan Majapahit yang kita cintai ini,
janganlah ditambah dengan darah dan penderitaan lagi.
Pedang bukanlah satu-satunya alat untuk menyelesaikan
setiap pertikaian, pedang itu sendiri diciptakan hanya
untuk menjaga kedamaian di bumi ini. Peperangan dan
perdamaian adalah dua sisi pedang yang berbeda,
seorang ksatria yang bijaksana saja yang mampu
membedakannya", berkata kembali Ki Gede Bajra Seta
mengakhiri pesan-pesannya.
517 Sementara itu dari pintu pringgitan seorang pelayan
tua keluar sambil membawa baki makanan dan minuman
untuk mereka yang hadir diatas pendapa pura
Pasanggrahan Gajahmada. Ternyata sedari tadi
beberapa orang di pawon tengah sibuk menyiapkan
masakan untuk mereka. Dan hari yang dinantikan itu akhirnya datang juga,
disaat bulan bulat sempurna, sebuah hari pertanda
wisuda putri Dyah Gajatri dan Kertawardana.
Melarut seluruh warga Kotaraja Majapahit tumpah di
tanah lapang alun-alun istana untuk turut hadir di hari
pelantikan Bhre Tumapel dan Bhre Kahuripan.
Ditandai bunga-bunga sajen dan tumpeng keselamatan menghiasi setiap perempatan jalan Kotaraja
Majapahit. Dan istana pun berhias aneka janur kuning
yang melambai menyambut kegembiraan itu.
Duduk diatas batu keling Baginda Raja Sanggrama
Wijaya di kawani para undangan utusan dan kehormatan
dari berbagai daerah bawahan diteduhi tajuk berhias
bunga aneka dan rangkaian janur kuning.
Terlihat suasana menjadi begitu hening manakala
seorang petugas istana membuka acara wisuda itu yang
diawali dengan puja dan puji bagi junjungan mereka,
Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
"Sembah pujiku orang hina ke bawa telapak kaki
pelindung jagat. Siwa-Budha Janma Bhatara senantiasa
tenang tenggelam dalam samadi. Sang Sri Prawatanata,
pelindung para miskin, raja adiraja di dunia. Dewa
Bhatara, lebih khayal dari yang khayal, tapi nyata di atas
tanah. Merata serta meresapi segala makhluk, nirguna
bagi kaum wisnawa, iswara bagi yogi, purusa bagi kapila,
hartawan bagi jambala, wagindra dalam segala ilmu,
518 dewa asmara di dalam cinta berahi, dewa yama dalam
menghilangkan penghalang dan menjamin dunia",
terdengar lantang suara petugas pembuka acara itu
memulai pembukaan acara penobatan suci itu.
Suasana pun menjadi semakin hening mencekam
manakala seorang panditha suci membacakan mantramantranya, memohon doa kepada para dewa untuk
keselamatan dan kejayaan putri Dyah Gajatri dan
Kertawardana yang telah dinobatkan sebagai raja muda
di Kahuripan dan Tumapel.
"Nama abhiseka untuk Bhre Kahuripan adalah
Tribuana Tungga Dewi Wisnuwardani, nama abhiseka
Bhre Tumapel adalah Cakraweda Dewa Wisnuwardhana", berkata pandhita suci itu mensahkan
keduanya dengan memercikkan air suci yang berasal
dari mata air gunung Penanggungan yang dipercayai
sebagai tempat bersemayamnya para leluhur mereka.
Satu hari setelah jelang penobatan keduanya menjadi
raja muda di Kahuripan dan Tumapel, telah
dilangsungkan sebuah upacara perkawinan keduanya.
Suasana kegembiraan para warga Kotaraja Majapahit
seperti berlipat-lipat kegembiraan dengan rasa suka
citanya hingga datangnya malam, semakin malam
menjadi semakin meriah perayaan perkawinan sang putri
Raja Majapahit itu. Namun dimalam penuh kegembiraan itu, tidak
seorang pun bertanya-tanya, dimanakah gerangan
Gajahmada sang pemimpin pasukan Bhayangkara,
pemuda yang sakti mandraguna itu "
Anak muda itu memang tidak terlihat lagi disaat hari
mulai wayah sepi bocah, disaat semua orang penuh
kegembiraan dan suka cita merayakan hari kebahagiaan
519 perkawinan sang putri Raja itu.
Dimanakah gerangan Gajahmada saat itu"
Malam itu di ujung gapura batas kotaraja Majapahit
sebelah utara, di sebuah sungai kecil berbatu. Terlihat
wajah sang rembulan tersenyum manja bergantung di
langit malam. Temaram cahaya rembulan menyinari dua muda
mudi yang tengah duduk bersama diatas sebuah batu
besar di pinggir sungai kecil berbatu itu, diantara suara
gemericik air sungai, diantara suara gending keheningan
malam. "Entah sampai kapan kita akan terus bersembunyi di
kegelapan malam seperti ini", berkata seorang wanita
jelita kepada pemuda disampingnya sambil memandang
wajah sang purnama. "Diantara siang dan malam, ada sang senja yang
membatasinya. Sementara cintaku tidak terbatas
apapun", berkata pemuda itu sambil tersenyum ikut
menatap wajah sang rembulan.
"Sementara cintaku harus bersembunyi di balik jubah
seorang biksuni, bersembunyi di antara dua mata Siwa
dalam kuil sang Budha", berkata kembali wanita jelita itu
dengan wajah masih menatap sang rembulan.
"Di Tanah Kahuripan masih akan selalu ada wajah
rembulan, disitulah wajahku kusisihkan menjaga
rindumu", berkata sang pemuda masih ikut menikmati
wajah sang rembulan malam sebagaimana wanita jelita
itu. "Berjanjilah, wajah kita akan bersatu di dalam
lingkaran sang dewi malam", berkata wanita jelita itu
dengan wajah penuh senyum kebahagiaan, kali ini
520 sambil memandang wajah pemuda yang berada
disampingnya yang juga tengah memandangnya.
"Aku berjanji, manakala waktunya tiba dimana tidak
ada lagi seorang raja yang memerlukan baktiku. Disaat
itulah aku akan membawamu jauh ke pulau terasing
dimana tidak seorang pun mengenal kita, memandang
bersama matahari terbit di waktu pagi dan menjelang
tenggelam. Memandang wajah purnama bersama.
Hingga ajal menjemputku, ku ingin dirimulah yang ada di
sisiku", berkata pemuda itu menatap dalam-dalam wajah
wanita dihadapannya itu yang begitu jelita seperti wajah
dewi-dewi rupawan yang terukir di setiap candi-candi
pemujaan. "Aku akan menanti saat itu, wahai kakang
Gajahmada", berkata wanita jelita itu sambil tersenyum.
Ternyata pemuda yang bersama wanita jelita itu
adalah Gajahmada. Siapakah wanita jelita yang bersamanya itu"
Ternyata wanita itu adalah Andini, seorang wanita
yang telah membaktikan dirinya sebagai seorang biksuni,
murid terkasih Gusti Ratu Gayatri ibunda Bhre Kahuripan
Tribuana Tungga Dewi. "Hari telah mulai larut malam, kakang", berkata Andini
kepada Gajahmada. "Mari kita kembali ke istana, melebur diantara
kegembiraan pesta perayaan yang masih tersisa",
berkata Gajahmada sambil menggamit tangan Andini.
Demikianlah, dua orang berilmu tinggi itu terlihat telah
berkelebat seperti terbang di kegelapan malam.
Empat puluh hari setelah pelantikan Bhre Kahuripan
dan Bhre Tumapel. Di langit yang sama di bumi
521 Majapahit yang mulai menebarkan sayapnya yang kokoh
mengarungi padang perburuannya.
Malam itu di pesisir pantai Tanah ujung Galuh, tiga
perahu berlayar tunggal terlihat bergerak menjauhi
dermaga. Sekitar lima belas orang berada diatas tiga
perahu itu, mereka adalah enam ratus orang prajurit
Majapahit terakhir yang akan berangkat menuju tiga
tempat sasaran yang berbeda di pesisir timur Jawadwipa,
Banyuwangi, Banger dan Pasuruan.
Pemberangkatan enam ratus prajurit Majapahit
memang sengaja sangat dirahasiakan, mereka adalah
para pasukan senyap yang akan digelar di tiga tempat
berbeda di belahan timur Jawadwipa untuk menandingi
sebuah kekuatan tersembunyi yang telah diketahui
berpusat di Tanah Lamajang.
Gajahmada, Adityawarman dan Mahesa Semu
adalah tiga ksatria utama yang memimpin para prajurit
Memburu Iblis 1 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Pendekar Remaja 15
^