Pencarian

Pedang Kunang Kunang 13

Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong Bagian 13


"Gunung Im-leng-san...merupakan tempat....pusat
hawa dingin Im han...dapat membantu peyakinannya...
sauhiap, kalau kesana .... harap berhati-hati...."
"Apa yang harus dijaga ?" Siu-mey menyelutuk.
"Masuk ke gunung itu ....harus berjalan ....sebelah
selatan menyingkiri api...jangan keliru berjalan di sebelah
.... utara....." "Tadi engkau mengatakan sebelum pertemuan di
Ceng-sia, dia tak mau unjuk diri. Lalu siapakah yang
akan bertemu dengan dia itu ?" tanya Siu-mey pula.
"Itu ... itu....." rupanya wanita itu sudah tak bertenaga
lagi sehingga mengucap dua patah kata saja sukar
tampaknya, ia pejamkan mata, kepala melentuk dan
putuslah jiwanya.... "Siapa orang itu " Lekas kasih tahu.... hai,
bangunlah...bangunlah...!"
Siu-mey berulang-ulang mengguncang bahu wanita itu namun wanita itu sudah
meninggal dunia. "Tak perlu ditanya, dia sudah meninggal," akhirnya
Gak Lui menarik pulang tangannya. Siu-mey menghela
napas. Keduanya lalu mengubur mayat wanita itu.
Setelah itu keduanya menuju kegunung Ceng sia-san.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo--Bab 31 bagian 31.1 Bab 31.
862 Lidah pedang Gunung Ceng-sia-san saat itu seolaholah diliputi oleh hawa pedang. Masih kurang tujuh
delapan li dari gunung itu, Gak Lui dan Siu-mey
berpapasan dengan rombongan2 partai persilatan
golongan putih. Diantara terdapat kaum paderi, imam,
orang biasa. Jumlahnya tak terhitung banyaknya. Begitu
melihat Gak Lui, mereka lalu mengirim pertandaan
rahasia lalu berbondong menyambut pemuda itu.
Demikian setelah melalui beberapa pos penjagaan,
akhirnya mereka tiba di kaki gunung. Tampak diatas
gunung, sosok2 tubuh manusia yang hilir mudik amat
sibuk. Dari gerakan langkah mereka yang tangkas,
tahulah Gak Lui bahwa mereka tentu tokoh2 yang
berilmu tinggi. Beberapa saat kemudian muncul belasan
tokoh menyongsong kedatangan Gak Lui. Yang berada
didepan adalah ketua perguruan Ceng-sia-pay, Thian
Lok totiang. Tampak imam tua itu masih segar bugar dan
bersemangat. Dengan tersenyum ia bersikap ramah
sekali kepada Gak Lui. Yang kedua yalah Sebun
sianseng, tokoh perguruan Kun-lun-pay. Biasanya dia
amat periang tetapi saat itu sikapnya tenang dan tak
banyak bersenyum. Jelas tokoh itu masih bersedih atas
kematian Tanghong sianseng, saudara seperguruannya.
Kemudian paderi Tek Yan taysu, tokoh perguruan Go-bipay. Sikapnya biasa tetapi wajahnya agak serius.
Tentulah mengandung sesuatu dalam hati. Dibelakang
Tek Yan taysu, tegak berjajar ketua perguruan Kongtong-pay, yalah imam Wi Ih dan keempat saudara
seperguruannya. Juga Hui Hong taysu dari Siau-lim-si
turun menyambut. Tetapi sikap ketua Siau lim si itu
berlainan dengan yang dulu. Dulu ia pernah menjanjikan
akan memberi penjelasan tentang diri Gak Lui dihadapan
partai2 perguruan silat, tetapi saat itu tampak dia agak
863 tak acuh. Gak Lui yang cerdik segera dapat meneropong
perasaan tokoh2 silat itu. Kecuali Thian Lok totiang yang
telah mendapat kembali suhengnya Ging Sing totiang,
yang lain2 itu tentu masih mengandung rasa tak puas
atas kematian dari saudara2 seperguruan mereka yang
hilang dan ternyata menjadi kaki tangan Maharaja,
kemudian mati dibunuh Gak Lui. Karena menyadari apa
yang terkandung dalam hati mereka, Gak Lui pun tak
menyesal atas sikap mereka yang mengunjuk tak
bersahabat itu. Di samping rombongan tokoh2 itu,
tampak juga paderi Kak Hui, seorang paderi dari
perguruan Heng-san pai yang berusia lebih kurang
empatpuluh tahun. Ketua Heng-san-pay, Hwat Hong
taysu, telah binasa di depan mata Gak Lui. Sedang Hwat
To taysu, pun juga dari Heng-san- pay, telah mati di
tangan Hong-lian. Karena hal2 itu, tak heran kalau sikap
Kak Hui tampak kaku. "Ha, ha, sauhiap sudah tiba kemari. Dengan begitu
dapatlah kulepaskan sebuan beban perasaan dalam
hatiku...," Thian Lok totiang berseru menyambut. Sebun
sianseng dan rombongan tokoh2pun segera mengucap
kata2 sambutan. Gak Lui dan Siu-mey sibuk juga untuk
membalas hormat. Demikian setelah saling membalas
salam, akhirnya beberapa tokoh angkatan tua segera
minta Gak Lui berdua masuk ke dalam gedung untuk
melanjutkan pembicaraan lagi. Tetapi rupanya Hwat Lui
tojin tak kuat menahan kesabarannya lagi, ia melangkah
maju dua tindak. Sebelum membuka mulut, ia
memandang pedang yang tersanggul di pinggang Gak
Lui. Hal itu cukup dimengerti Gak Lui. Tentulah orang
heran mengapa tak menyelip pedang Pelangi.
"Aku harus meminta maaf sebesar-besarnya," buru2
864 ia memberi penjelasan, "bahwa pedang Pelangi telah
jatuh di tangan si Maharaja. Tetapi aku memberi jaminan
bahwa tak lama lagi pedang itu tentu kembali ...." Karena
didahului berkata, imam Hwat Lui pun tertegun.
Kemudian dengan nada kurang senang ia bertanya:
"Setelah membuat pedang itu jatuh ke tangan musuh,
apakah saudara masih sanggup untuk mendapatkan
kembali ?" "Aku tentu dapat merebutnya kembali dan
menyerahkan kepada totiang," sahut Gak Lui tegas.
"Kalau sampai gagal, bukankah perguruan kami akan
menggigit jari ?" "Kusediakan nyawaku untuk jaminan !"
"Jiwa ?" Hwat Lui tojin mendengus, "jiwamu itu suatu
soal dan pedang pusaka perguruan lain soal lagi !"
Mengingat akan kematian ketiga tokoh tua dari Bu-tongpay, Gak Lui tak mau meladeni kata-kata Hwat Lui yang
tajam. Tetapi Siu- mey tak dapat menahan kemengkalan
hatinya lagi. Nona itu segera melengking: "Kalau engkoh
Lui bilang akan mengembalikan tentu akan mengembalikan sungguh2. Mengapa engkau bicara tak
keruan begitu ?" Rasa sedih dan penasaran Hwat Lui,
ditumpahkan kepada nona itu. Sambil mencekal batang
pedang ia berseru: "Urusan ini tiada sangkut pautnya
dengan dirimu. Sebaiknya jangan ikut campur. Atau ....
hem !" "Bagaimana ?" "Jangan kira kalau pedang perguruan Bu-tong-pay itu
tidak tajam !" "Bagus !" Siu mey marah dan melangkah maju:
"Dengan kata dan ucapan yang baik tak dapat
865 menasehati engkau. Terpaksa harus kuberi pelajaran,
agar kelak kemudian hari dapat berobah baik!"
Dalam pada itu ketiga imam dari Bu-tong-pay pun
cepat mencabut pedang. Melihat itu Gak Lui melesat ke
muka Siu-mey. Begitu pula Thian Lok totiang dan
beberapa tokoh lain, mencegah tokoh2 Bu tong-pay
supaya jangan berkelahi dengan seorang nona yang
lebih muda umur dan tingkatannya. Nasehat itu telah
membuat Hwat Lui totiang tersipu merah wajahnya.
Tiba2 dari atas gunung muncul dua sosok bayangan.
Terdengar salah seorang tertawa nyaring dan berseru
memanggil Gak Lui dengan sebutan 'engkoh Lui'.
Ternyata yang datang itu Pukulan-sakti The Thay
bersama puterinya, The Hong-lian. Melihat kedatangan
adik seperguruannya, hilanglah kemarahan Siu-mey.
Dengan gembira ia menyambut kedatangan Hong-lian.
Kedua nona itu bercakap cakap sendiri. Melihat itu ketua
Heng-san-pay yakni paderi Kak Hui berbatuk lalu
meminta Gak Lui naik ke atas gunung. Gak Luipun
menerimanya. Mereka segera menuju ke paseban besar
gunung Ceng-sia. Ketika hampir tiba di gedung itu,
kembali muncul dua rombongan. Yang dari sebelah kiri
ternyata siburung cantik dari gunung Busan, yakni Yanhong. Pertemuan Gak Lui dengan nona itu amat
menggembirakan sekali. Gak Lui lalu memperkenalkannya kepada Siu-mey dan Hong-lian.
Ternyata mereka bertiga sudah pernah berjumpa tetapi
belum akrab. Saat itu mereka bertiga tampak gembira
sekali karena mendapat kawan yang mencocoki hati.
Sedang yang muncul dari sebelah kanan yalah si Rajabengawan Gan Ke-ik ketua Partai Gelandangan serta
ketua perguruan Kiu- hoan-bun Rajawali-tanpa-bayangan
Ih Lo-cin. Oleh karena kedua tokoh itu ketua dari
perguruan persilatan maka kemunculan mereka disambut
866 serempak oleh para ketua partai persilatan.
"Ah, harap sekalian ciang-bunjin jangan sungkan.
Aku hanya mempunyai sedikit urusan dengan Gak
sauhiap....." kata Gan Ke- ik.
"Silahkan, pangcu bicara dengan Gak sauhiap," kata
Thian Lok totiang, "kami akan menunggu di sini." Melihat
si Rajawali-tanpa-bayangan, diam2 tergetarlah hati Gak
Lui. Ia ingat tokoh itu pernah mengatakan, apabila
berjumpa lagi tentu akan mengajak adu kepandaian. Ia
kuatir orang itu akan menantangnya. Maka setelah Thian
Lok totiang selesai bicara, Gak Luipun minta kepada
ketiga nona itu supaya menyingkir dulu. Ketiga nona
itupun menurut, hanya Pukulan-sakti The Thay yang
masih menemani Gak Lui. Setelah itu Gak Luipun minta
kepada sekalian tokoh2 supaya masuk lebih dulu
kedalam ruangan. Begitu selesai urusannya dengan Gan
Ke-ik, ia tentu segera masuk. Setelah para ketua dan
tokoh2 persilatan masuk kedalam ruangan, barulah Gan
Ke-ik menunjuk kepada Rajawali tanpa bayangan dan
berkata kepada Gak Lui: "Sauhiap, kiranya engkau
sudah kenal dengan saudara ini."
"Ya, kami sudah pernah berjumpa."
"Dia adalah sahabatku selama 20 tahun yang lalu.
Sungguh tak terduga kalau sampai bentrok dengan
engkau. Maka hari ini sengaja datang untuk
mendamaikan hal itu. Harap engkau menerima dengan
lapang hati." Gak Lui tertawa nyaring : "Ah, sudah tentu aku
menerima dengan gembira sekali atas kelapangan hati
ciang-bunjin. Soal kesalahan membunuh anak murid Kiuhoan-bun, dengan ini aku menghaturkan maaf yang
sedalam dalamnya." Rajawali-tanpa-bayanganpun
867 menyahut dengan sungguh2 :
"Perkelahian dalam dunia persilatan, tentu berakibat
terluka atau mati. Soal salah faham yang lalu itu, tak
perlu kita ungkat lagi. Yang penting yalah mengatur cara
untuk menghadapi kawanan Maharaja itu !" Serta merta
Gak Lui menyambut pernyataan itu dengan hormat:
"Ketujuh partai persilatan telah menunggu didalam
ruangan besar. Maaf aku hendak menemui mereka, baru
nanti akan menemani saudara lagi ...."
"Aneh," kata Gan Ke-ik sambil mengurut janggut,
"Jika soal itu menyangkut kepentingan umum, mengapa
mereka tak mau mengundang kami. Apakah ada suatu
rahasianya"." "Ah, soal itu bukan rahasia apa2 ....." sahut Gak Lui
tersenyum. "Lalu mengapa begitu dirahasiakan ?"
"Pangcu tentu mengetahui peristiwa kembalinya
Thian Wat totiang, bukan ?"
"Ya." "Semula Thian Wat totiang itu telah dikuasai
Maharaja dan menjadi anggauta Topeng Besi selama
bertahun-tahun. Kini setelah dapat kubebaskan,
beberapa ketua partai persilatan juga akan menanyakan
tentang orang2 mereka yang hilang...."
"Benar, kemanakah orang2 itu ?"
"Karena kesalahan tangan, mereka telah kubunuh !"
"O".," Gak Ke-ik terkejut, ''tentang imam Ceng Ci
yang engkau kesalahan membunuhnya, memang telah
kudengar. Tetapi kalau hanya berdasarkan soal itu lalu
mereka hendak cari2, bukankah akan merepotkan
868 engkau ?" Gak Lui tertawa tawar : "Memang dunia ini penuh
dengan kesukaran. Akupun tiada niat hendak berbantah
dengan mereka. Segala apa, biarlah aku sendiri yang
tanggung. Tentu ada jalan untuk menyelesaikannya."
"Perlukah kita membantumu ?"
"Tak perlu, disana ada The Thay cianpwe yang akan
bantu menjelaskan." Akhirnya Gan Ke-ik mempersilahkan
Gak Lui untuk menemui mereka. Apabila ada keperluan,
supaya lekas memberitahu. Demikian Gak Luipun lalu
bersama Pukulan-sakti The Thay masuk kedalam ruang
besar. Karena dahulu pernah mengunjungi, maka Gak
Lui tak asing dengan tempat itu. Berpuluh-puluh kursi
dan meja telah disiapkan dalam ruang itu. Diantaranya
tampak tujuh buah kursi kehormatan untuk tujuh ketua
partai persilatan. Kesemuanya diatur dengan rapi
menurut susunan tingkat kedudukan masing2. Setelah
Gak Lui dan The Thay dipersilahkan duduk, maka tuan
rumah yakni Thian Lok totiang segera berseru nyaring.
"Gak sauhiap, kuingat tempo hari engkau datang


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemari dengan membawa obat dan menolong jiwaku.
Begitu pula ketika markas Ceng sia-san ini dikepung oleh
kawanan Sam-koay, engkaupun telah membantu...."
"Tentang penyakit yang diderita suheng totiang
akupun telah mendapatkan obat Kiu-coan-ting-sin-tan.
Mudah-mudahan pil itu akan dapat menyembuhkannya,"
Gak Lui menukas. "O ... kebetulan sekali," seru Thian Lok totiang
dengan gembira, "budi bantuan sauhiap, sungguh besar
sekali kepada perguruan kami."
"Ah, harap totiang jangan mengatakan begitu.
869 Menolong orang, itu sudah kewajiban. Tak perlu harus
mengharap balas." "Tetapi ....," Thian Lok totiang sengaja memanjangkan nada suaranya dan memandang kearah
hadirin, "semangat sauhiap itu sungguh sikap seorang
kesatrya. Dalam soal ini.... kurasa sekalian orang tentu
akan mengakui." Gak Lui tahu bahwa para ketua partai
persilatan itu tentu akan meminta keterangan tentang
tokoh2 perguruan mereka yang tiada beritanya itu.
Ucapan Thian Lok totiang itu jelas suatu pembelaan
untuknya agar para ketua partai persilatan itu menjadi
dingin hatinya. "Ah, ucapan totiang itu keliwat memanjakan diriku,"
seru Gak Lui, "kurasa para ciangbunjin dan tokoh2 yang
hadir di sini, tentu memikirkan tentang saudara
seperguruannya yang tiada ketahuan nasibnya itu. Maka
jika ada yang hendak bertanya, silahkan, harap jangan
sungkan !" Sebenarnya Thian Lok totiang hendak menghindari
suasana itu tetapi ternyata Gak Lui sudah menukas
dengan terus terang. Seketika wajah ketua Ceng-sia-pay
itu berobah. Ia kehilangan faham.
"Gak sauhiap," berseru Hui Gong taysu dari Siau-limsi, "akupun mengakui bahwa engkau telah menolong
jiwaku dengan pemberian obat itu. Budi itu takkan
kulupakan selama lamanya. Tetapi suhengku Hui Ki itu
merupakan tetua dari perguruan Siau- lim. Tentang
kematiannya.....terpaksa aku tak boleh tinggal diam dan
terpaksa menanyakan !" Dalam mengucap kata2 itu
tampak wajah ketua Siau-lim-si itu rawan dan berduka.
Imam Wi Ih dari Kong-tong-pay, Hwat Lui dari Butong-pay dan Kak Hui dari Heng-san-pay tampak
870 menganggukkan kepala menyetujui. Sedang Sebun
sianseng dan Tek Yan taysu dari Go-bi pay tiada
kehilangan orang, maka dalam urusan itu mereka tak
menyatakan apa2. "Terus terang taysu," Gak Luipun menyahut dengan
nada bersungguh, "suheng taysu telah kubunuh secara
tak sengaja. Dalam hal itu aku sungguh merasa
menyesal sekali." "Soal itu akupun sudah tahu," kata Hui Gong.
"Tetapi menilik kepandaian sauhiap, kiranya tak
mungkin sampai terjadi hal yang sedemikian itu !"
"Dalam pertempuran, memang sukar untuk
mencegah kesalahan tangan. Adalah karena kepandaianku yang rendah maka sampai tak dapat
menguasai permainanku !" Mendengar itu Hui Hong
taysu maju selangkah dan menegas ;
"Apakah benar begitu ?" Melihat suasana itu, The
Thay yang sejak tadi diam saja, kini berseru nyaring :
"Saudara2 sekalian, dalam soal itu kiranya akulah yang
paling mengetahui jelas. Harap saudara2 mendengarkan
penjelasanku...." Gak Lui tergetar hatinya. Ia menatap jago tua itu
dengan pandang mata mencegahnya jangan ikut campur
dalam persoalan itu. Rupanya The Thay tahu akan
maksud Gak Lui. Ia merasa kalau salah bicara. Dan lagi
pemuda itu tadi sudah mengatakan bahwa segala apa
yang akan terjadi dalam rapat pertemuan itu adalah
menjadi tanggung jawabnya semua. Kalau ia
mengatakan bahwa yang membunuh tokoh2 dari
beberapa partai persilatan itu, antara lain dilakukan oleh
Hong-lian, tentu akan lebih ruwet dan sulit lagi akibatnya.
871 ---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo--Bab 31 bagian 31.2
The Thay tiba2 mendapat akal dan segera merobah
nada pembicaraannya. "Aku sendiri pernah ditawan oleh gerombolan
Kerudung Hitam dan Topeng Besi digunung Hek-san.
Disana aku disuruh membuat pedang. Untunglah Gak
sauhiap datang menolong dan berjumpa dengan anak
perempuanku Hong-lian. Mereka lalu dikepung musuh.
Dalam gugup, Gak sauhiap telah bertindak agak cepat
sehingga selain Thian Wat totiang, pun yang lain2.... ikut
menjadi korban !" Dengan kata2 itu, The Thay telah
menuturkan apa yang telah terjadi tetapi tak sampai
menimbulkan reaksi yang menyulitkan Gak Lui. Tetapi
rupanya ketua Siau-lim-si Hui Hong taysu curiga.
Memandang kearah The Thay, ia menegas dengan nada
dingin : "Apakah omongan The sicu itu dapat dipercaya ?"
"Sungguh......" kata The Thay menelan air liurnya lalu
menyusul lagi, "kalau menilik kepandaian Gak sauhiap,
memang tak mungkin sampai terjadi hal begitu. Tetapi
dalam pertempuran itu karena kepandaian anak
perempuanku masih dangkal, beban Gak sauhiap
menjadi bertambah berat karena ia harus membagi
perhatian untuk melindungi anak itu. Demikian pula
karena diriku, Gak sauhiap bertambah berat lagi
bebannya. Karena itu maka sampai timbul peristiwa yang
tak diinginkan....."
"Hm...," karena menganggap alasan itu cukup
beralasan maka Hui Hong taysu hanya mendesah. Ia
872 hanya menghela napas: "Omitohud! Suhengku Hui Ci memang telah
melakukan banyak kejahatan tetapi dia dikuasai
Maharaja, pikirannya tidak sadar. Ah sungguh tak kira
kalau semasa hidupnya suheng telah menuntut
kehidupan yang begitu cemar dan kemudian mati secara
begitu mengenaskan. Ai, soal itu, tak tahu aku
bagaimana harus mempertanggung jawabkan kepada
para leluhur Siau-lim"."
"The sicu, Gak sauhiap," tiba2 Wi Ih totiang dari
perguruan Kong- tong-pay membuka mulut, "aku juga
ingin bicara sedikit."
"Silahkan." "Perguruan kamipun tidak beruntung. Toa-suheng Wi
Cun telah menghianati perguruan dan ikut dalam
gerombolan kaum Hitam. Sebagai seorang ketua, aku
terpaksa harus bertindak untuk membersihkan noda2
dalam tubuh perguruan Kong-tong-pay."
The Thay mengangguk: "Tindakan tegas dari totiang
itu, memang sesuai dengan jiwa dan semangat seorang
ketua. Sungguh suatu hal yang harus mendapat
penghormatan. Setiap kaum persilatan harus dapat
mengetahui tindakan totiang!"
"Ah, jangan terlalu memuji," kata Wi Ih totiang, "tetapi
... ketika murid hianat Wi Cun itu masuk ke Ceng sia,
telah diketahui Gak Lui. Dan pada kedua kalinya bertemu
digunung Hek-san, tentulah Gak sauhiap tak asing lagi
kepadanya. Anehnya, mengapa Gak sauhiap tak
menangkapnya hidup2 saja lalu diserahkan kepada kami
agar kami dapat memberi pertanggungan jawab?"
Mendengar itu Gak Lui balas bertanya: "Maksud
873 totiang bukankah hendak menyalahkan aku mengapa
main hakim sendiri ?"
Wi Ih totiang merah mukanya: "Kejahatan Wi Cun
dalam dunia persilatan, memang sudah selayaknya
dibunuh, tetapi"dia adalah murid kepala dari perguruan
kami. Dalam kedudukanku, akupun juga harus
melaporkan pada sekalian angkatan tua dari leluhur yang
lalu, baru dapat memberi keputusan. Apalagi engkau..."
"Ucapan totiang memang beralasan," cepat2 The
Thay menukas karena kuatir imam itu akan
mengutarakan kata2 yang tak sedap didengar, "menurut
peraturan, memang suheng totiang itu harus diserahkan
kepada ketua Kong-tong-pay dan dimintai pertanggungan jawab. Tetapi ketika aku ditawan
digunung Hek- san, dialah yang menjaga diriku. Lain2
anak buah Maharaja itu menurut perintahnya saja.
Adalah demi menolong diriku maka Gak sauhiap harus
memikirkan kepentingan kedua belah fihak. Karena itu ....
kalau totiang tak puas akan peristiwa itu, baiklah totiang
umpankan kemarahan totiang kepada diriku saja !"
Beberapa anak murid Kong-tong-pay berobah
wajahnya. Begitu pula Wi Ih totiangpun segera
memandangnya lekat2 : "The sicu, betapapun engkau
hendak berputar lidah tetapi tanggung jawab itu tetap
ada pada Gak" Gak sauhiap. Sekalipun engkau
mengaku bertanggung jawab, tetapi kamipun tetap
takkan mencari engkau !"
Enak kedengarannya ucapan itu tetapi artinya cukup
menyinggung perasaan. Dengan kata2 itu jelas kalau
The Thay itu dianggap remeh, sehingga tak sepadan
kalau harus disuruh bertanggung jawab. The Thay
berwatak berangasan juga. Tetapi memandang Gak Lui,
terpaksa ia hanya mengertak gigi menahan 874 kemarahannya. Melihat itu, cepat Gak Luipun menyanggapi: "Baiklah,
totiang menghendaki aku yang bertanggung jawab.
Akupun takkan menghindar. Lalu apakah yang totiang
maukan dari aku?" "Ini.....," pertanyaan itu membuat Wi Ih totiang
tertegun sendiri. Sebenarnya ia memang mempunyai
kesan baik kepada Gak Lui. Sedang suhengnya, Wi Cun
totiang itu, memang sudah seharusnya dibunuh. Tetapi
dalam kedudukan sebagai seorang ketua partai
persilatan, terpaksa ia harus mengurus hal itu. Hanya
ketika menghadapi pertanyaan Gak Lui, memang ia tak
dapat memberi jawaban. Dalam detik2 keheningan itu,
tiba2 berserulah Kak Hui dari perguruan Heng san. Dia
masih muda, baru berumur sekitar 40- an tahun. Diantara
golongan ketua persilatan, boleh dikata dia yang paling
muda. "Gak sauhiap," serunya, "menurut suasana
pembicaraan, sepertinya kita menyalahkan engkau.
Tetapi sebenarnya engkau telah melupakan sebuah hal."
"Dalam hal apa?"
"Kudengar Hui Hong cianpwe pernah mengatakan.
Beliau menasehati engkau supaya membawa kawanan
Topeng Besi itu kepada masing2 perguruannya agar
diberi hukuman sendiri. Tetapi rupanya engkau tetap
berkeras tak mau dan hendak mengadili sendiri. Dengan
begitu akhirnya harus menghadapi keadaan seperti saat
ini !" Mendengar itu diam2 Gak Lui terkejut. Pikirnya :
"Sebenarnya aku memang sudah bertindak hati2, tetapi
ternyata adik Hong liang telah bertindak terlalu terburu
nafsu sehingga menjadi begini akibatnya...."
875 "Totiang !" sahut Gak Lui. "dunia ini penuh dengan
soal yang tak seperti kita harapkan. Oleh karena itu
dalam peristiwa ini, aku tak mau menghindari tanggung
jawab. Akupun tak menyalahkan engkau hendak
mendesak aku !" "Kalau begitu baiklah," sahut paderi dari Heng-san
itu, "memang kematian suhuku ditangan gerombolan
penjahat itu, aku tak mempersalahkan engkau. Tetap
tentang kematian paman guruku Hwat Gong itu, aku
terpaksa mempersalahkan engkau !"
Gak Lui kerutkan dahi lalu menyahut: "Sudah
kukatakan, bahwa aku bersedia mempertanggung
jawabkan hal itu !" Habis berkata ia memperhatikan bahwa wajah Hwat
Lui tampak mengerut seperti hendak bicara. Maka Gak
Luipun lalu berpaling kearah mereka bertiga, serunya :
"Jika perguruan totiang masih hendak mengutarakan apa
saja, silahkan bilang !"
Hwat Lui segera menyambut : "Perguruan kami Butong kiam-pay sudah termasyhur diseluruh dunia.
Sekalipun paman guru kami Ceng Ci telah lenyap, tetapi
markas digunung Bu-tong-san tetap tak kurang suatu
apa. Tetapi setelah engkau datang ke gunung kami,
ketua kami Ceng Ki totiang menjadi co-hwe jip-mo dan
binasa !" Berhenti sejenak, Hwat Lui melanjutkan pula :
"Sebelum menutup mata, beliau telah memberikan
pedang pusaka perguruan Bu- tong kepadamu.
Pengganti ketua yalah Ceng Suan totiang, demi menjaga


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang pusaka itu telah turun gunung tetapi sungguh
naas sekali, akhirnya beliau telah binasa ditangan
Maharaja....." Berkata sampai disini ketiga imam dari perguruan Bu876
tong-pay itu sampai mengucurkan air-mata. Dengan
berlinang-linang Gak Lui berkata, "Budi kebaikan kedua
totiang itu, aku sungguh amat berterima kasih sekali....."
"Kedua cianpwe itu binasa karena engkau. Adalah
karena ingin membantu orang maka beliau rela menutup
mata. Kami yang menjadi angkatan muda tak dapat
berbuat apa2. Tetapi seharusnya engkau berusaha
sekuat tenaga untuk menolong Ceng Ci totiang sebagai
balas budi atas pengorbanan kedua totiang itu. Tetapi
ternyata ketika bertempur ditelaga Kiam-than, engkau tak
mau memperhatikan lagi siapa musuhmu itu, engkau
terus main bunuh. Dan akibatnya beliaupun ikut engkau
bunuh. Orang she Gak, engkau.., engkau... mempunyai
alasan apa lagi yang dapat membuat kami puas dan rela
?" Gak Lui menyesal tak terhingga : "Memang akulah
yang lengah...sungguh amat menyesal sekali..."
Mendengar itu The Thay menyanggah dengan
menerangkan : "Soal itu juga tak dapat mempersalahkan Gak
sauhiap seluruhnya. Pertempuran ditelaga Kiam-than itu,
musuhpun main keroyokan. Kawanan Kerudung Hitam
dan Topeng Besi campur baur sukar dibedakan. Apalagi
paman gurumu sudah kehilangan kesadaran pikirannya
sehingga menyerang secara membabi buta. Maka kalau
hendak menyalahkan, si Maharajalah yang harus
disalahkan. Tak boleh....."
"Tunggu!" tukas Hwat Lui, "walaupun ucapan The
sicu itu beralasan, tetapi makin jauh dari persoalannya.
Berbicara tentang Gak sauhiap turun gunung untuk
memapas pedang, pedangku sendiripun kena ditabasnya
kutung. Ya, walaupun soal itu salahku sendiri mengapa
kepandaianku begitu dangkal. Tetapi kenyataannya,
877 yang menimbulkan gara2 itu adalah dia, bukan aku.
Itulah sebabnya maka ketua perguruan kami sampai
menghapus perintah menutup gunung, pendek kata,
apabila tidak ada Gak Lui yang menjadi gara2, perguruan
Bu-tong-san tentu tak sampai mengalami nasib seperti
saat ini." Buru2 Gak Lui menanggapi: "Aku amat menyesal
sekali, tentu dapat....."
"Orang2nya mati, pedangnya hilang. Apa guna
ucapan maaf itu !" tukas Hwat Lui.
"Lalu bagaimana menurut kehendak totiang?"
"Hutang darah dihimpaskan !" bayar darah, dendam harus "Kecuali itu ?"
"Tiada jalan lain !"
"Ah, apakah totiang tidak terburu nafsu?" Rupanya
Hwat Lui yang sudah diamuk dengan dendam dan
penasaran, serentak berbangkit sambil memegang
tangkai pedang, serunya: "Sekali-kali aku tak dirangsang
nafsu. Kepandaian kita berduapun sudah kupertimbangkan. Tetapi demi membalas dendam dan
angkatan tua, sekalipun kalah aku tetap akan
mencobanya." Gak Lui menyadari bahwa ucapan paderi dari Butong itu memang bukan kata2 kosong. Diam2
mengagumi Hwat Lui yang bernyali besar. Tetapi kalau
bertempur sungguh, sekalipun lawan maju tiga orang,
tetap ia dapat mengatasi. Gak Lui tak mau menuruti hati
yang panas. Ia memberi isyarat tangan meminta mereka
duduk. Dalam suasana yang tegang itu, beberapa ketua
perguruan silat antara lain ketua Heng-san pay, ketua
878 Kong-tong-pay, ketua Siau-lim-pay bahkan tuan rumah
yakni Thian Lok totiang sebagai ketua Ceng-sia-pay, juga
tak dapat bicara apa2. Beberapa saat kemudian setelah
memberi kicupan mata kepada Tek Yan taysu,
berkatalah Sebun sianseng dengan tenang :
"Saudara2 ! Kurasa kedua belah fihak memang
sama2 mempunyai alasan yang kuat. Maka kesimpulannya, segala apa itu rupanya memang sudah
takdir yang tak dapat dirobah manusia ..."
"Menurut cianpwe, karena sudah takdir maka kita tak
perlu mengurus lagi ?" Hwat Lui membantah.
"Jika mau mengurus, sebaiknya tunggu setelah dapat
melenyapkan si Maharaja, baru kita nanti berunding lagi."
"Kalau begitu, fihak Kun-lun-pay dan Go-bi-pay dapat
memberi jaminan bahwa setelah musuh besar itu
terbasmi, maka kami dan Gak Lui akan bertanding untuk
menentukan siapa yang lebih unggul kepandaiannya ?"
seru Hwat Lui pula. "Tidak !" serempak Sebun sianseng dan Tek Yan
menyahut. Hwat Lui, Kak Hui dan Wi Ih totiangpun
serempak bertanya: "Kalau perguruan saudara tak mau memberi jaminan,
bukankah hal itu seperti hendak menghalangi kami....."
"Sama sekali tidak menghalangi !" seru Sebun
sianseng dengan wajah berobah, "bagaimana tindakan
dalam dunia Persilatan, kiranya semua orang tentu
sudah jelas. Aku bukanlah seorang manusia yang ingin
mencari muka kepada orang, sedang perguruanku
sendiri pun kehilangan suhengku Tanghong Giok. Dalam
hal itu kalau aku tak menyadari benar tidaknya peristiwa
itu, tentulah dengan membabi buta kutimpahkan
879 kesalahan itu diatas kepalanya !"
Ucapan itu membuat Hwat Lui dan lain2 merah
mukanya. Namun seperti tak memperhatikan mereka,
Sebun sianseng tetap melanjutkan kata2-nya : "Soal
urusan dendam saudara ini, selainkan setelah nanti
Maharaja dapat dibasmi baru dirundingkan lagi, pun
supaya dipertimbangkan yang lebih hati2."
"Cianpwe menghendaki kita mempertimbangkan
bagaimana lagi ?" seru Hwat Lui penasaran.
Sebun sianseng deliki mata kepada paderi itu: "Paling
tidak .... bertempur itu bukan cara yang terbaik."
"Karena cianpwe menganggap kepandaian kami tidak
memadai ?" "Sekalipun ilmu kepandaian saudara tinggi, tetapi
kurang layak kalau menggunakan kegagahan untuk
bertempur mati-matian !"
"Habis bagaimana ?"
"Kurasa.....," Sebun sianseng meragu lalu memandang Gak Lui, "lebih baik serahkan Gak sauhiap
yang memutuskan saja!"
"Serahkan dia?" Hwat Lui mengulang kaget seperti
tak percaya apa yang didengarnya. Sebun Sianseng
memandang sekalian hadirin, lalu berseru:
"Benar! Gak sauhiap berwatak keras tetapi lurus. Apa
yang diputuskan tentu takkan merugikan kalian!"
Hwat Lui dan lain2 makin terkejut. Mereka
memandang Hui Hong taysu dan Wi Ih totiang.
Maksudnya meminta kedua tokoh itu untuk menyatakan
pendapat. Hui Hong taysu merenung seraya memandang
sekalian hadirin. Kemudian ia menghela napas: "Aku
880 pernah menerima budi dari Gak Sauhiap. Persoalan
perguruan, akupun tak dapat berpeluk tangan. Apabila
Gak sauhiap mempunyai pendapat yang memuaskan
kedua belah fihak, Siau-lim-si pun takkan menyatakan
lain." Wi Ih totiangpun mengangguk: "Musuh kuat berada
didepan mata, lebih dulu kita harus bersatu menghadapi,
baru nanti bicara lain2. Karena itu...Kong-tong-pay juga
menyatakan setuju." Karena kedua tokoh tua itu sudah
menyatakan pendapatnya, Hwat Lui dan Kak Huipun tak
tak dapat berkeras lagi. "Sudahlah," seru Thian Lok totiang, "soal ini sudah
beres. Sekarang kita lanjutkan dengan perundingan
untuk mengatur rencana menghadapi musuh. Adakah
selama diluaran ini. Gak siauhiap pernah mendengar
sesuatu tentang Maharaja?"
Gak Lui tersenyum: "Dia sendiri tak muncul."
Ucapan itu mengejutkan sekalian hadirin. Bagi
sementara ketua perguruan, mereka merasa lega tetapi
ada beberapa yang kecewa. Gak Lui lalu menuturkan
tentang peristiwa barisan-bersembunyi dari Siau Yau
tojin tetapi akhirnya mereka dapat disapu berantakan.
"Bagus!" seru Thian Lok totiang, "kecuali si durjana
itu, siapapun musuh yang datang tentu tak mungkin lolos
dari barisan Thian-lo- to-ong-tin ..."
Gak Lui kerutkan alis: "Oleh karena ini aku tak dapat
lama2 disini dan segera akan minta diri hendak menuju
ke Im-leng-san. Aku hendak memenuhi janji untuk
berhadapan seorang diri dengan dia dan merebut
kembali pedang Pelangi!"
"Ah ..." terdengar desah sekalian hadirin.
881 "Saudara Gak," seru Sebun sianseng dengan wajah
tegang, "kepergianmu untuk memenuhi tantangan itu,
kecuali mengandalkan ilmu kepandaian engkau tentu
juga mengandalkan kedahsyatan dari pedang pusaka
Thian-lui-koay-kiam itu, bukan?"
"Hm... benar," sahut Gak Lui, "ilmu Suitan-maut dari
manusia durjana itu hanya dapat ditumpas dengan
pedang ini!" Sebun sianseng mengicup mata dan gunakan ilmu
Menyusup- suara berkata: "Pedang itu tak boleh
sembarangan dipakai. Engkau harus mempertimbangkan
akibat dibelakangnya."
Gak Luipun menyahut dengan ilmu Menyusup-suara
juga: "Aku sudah mengetahui dan merasakan daya iblis
dari pedang itu. Dan untuk menjaga kemungkinan yang
tak diharapkan, aku sudah menyediakan empat orang
pembantu !" ---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo--Bab 31 bagian 31.3
"Bagus," sebun sianseng menjawab pula lalu berkata
dengan omongan biasa, "apakah sauhiap perlu
membawa orang ke sana ?"
"Aku hendak mengundang empat orang nona ...."
"O, empat orang nona ?"
"Mereka bukan orang luar tetapi mempunyai
hubungan dengan perguruan Bu-san dan Thian liongpay. Mereka juga mempunyai dendam permusuhan
dengan durjana itu."
"Peristiwa besar yang jarang terjadi itu, entah apakah
aku dapat menyaksikan ?" seru Thian Lok totiang dengan
882 gembira. "Hm...." Gak Lui merenung sejenak lalu menyahut,
"menurut pendapatku, lebih baik jangan."
Oleh karena soal itu milik Gak Lui bersama Maharaja,
karena Gak Lui keberatan, merekapun tak dapat berbuat
apa2 kecuali kecewa dalam hati. Entah bagaimana tiba2
Sebun sianseng mendapat pikiran. Segera ia buka suara:
"Saudara Gak, karena beberapa ketua perguruan
mempunyai kegembiraan untuk menyaksikan, lebih baik
engkau luluskan. Pun aku sendiri juga kepingin melihat !"
Bermula Gak Lui terkesiap karena anggap kata
Sebun siangseng itu tentu mengandung maksud tertentu.
Namun ia masih tak tahu. Maka ditatapnya tokoh itu
dengan pandang mata bertanya. Sebun sianseng tak
menyahut melainkan keliarkan pandang matanya. Ketika
tertumbuk pada pedang Thian lui-koay-kiam, tiba2
matanya merentang lebar2.
"Oh....." Gak Lui cepat dapat menduga bahwa tokoh
itu menguatirkan keganasan pedang Thian lui-koay-kiam
maka selain keempat nona itu mereka pun ingin
menyaksikan agar dapat memberi bantuan apabila
diperlukan. "Atas maksud para ciang-bunjin yang baik, akupun
menerima. Tetapi pada waktu pergi, kuharap supaya
menurut sebuah permintaanku," kata Gak Lui.
"Ya, kami akan menurut engkau," seru Sebun
siangseng dan Thian Lok totiang serempak.
"Perjalanan di gunung Im-leng san itu amat
berbahaya," kata Gak Lui, "lebih dulu aku hendak
mengajak keempat nona itu memasuki gunung itu. Di
sepanjang jalan akan kutinggalkan tanda rahasia agar
883 saudara2 sekalian dapat mengikuti naik. Pada waktu
menyaksikan pertempuran harap jangan memberitahukan!" "Sudah tentu tidak!" seru Sebun siangseng sembari
tertawa, "dalam pertempuran mati hidup itu, sekalipun


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau minta aku membantu, aku pun takut sendiri."
Demikian setelah tercapai keputusan, akhirnya
pertemuan untuk meminta pertanggungan jawab kepada
Gak Lui itu telah selesai. Para ketua partai persilatanpun
berbondong-bondong minta diri. Thian Lok totiang
menemani Gak Lui berjalan dibelakang rombongan
tetamu. Keduanya hendak mengambil pil Kiu-cuan- tingsim-tan untuk menolong Thian Wat totiang, tetapi ketika
berjalan sampai diluar, mereka berpapasan dengan
ketua Kaypang dan beberapa orang yang hendak
mencari Gak Lui. Ternyata mereka hendak menanyakan
keadaan pemuda itu sejak berpisah. Setelah pertemuan
yang menggembirakan itu selesai,
Gak Lui minta kepada The Thay supaya suruh Siumey mengambilkan obat. Tak berapa lama Siu-mey pun
muncul dengan membawa obat. Mereka lalu menuju
ketempat Thian Wat totiang. Tetapi belum berapa jauh
berjalan, tiba2 diluar gunung meluncur sebatang panah
api lalu disusul dengan dengung terompet yang
menggema diangkasa. Melihat itu berobahlah wajah
Thian Lok totiang, serunya agak tergetar: "Hm, sungguh
besar sekali nyali musuh. Mereka berani datang kemari!"
Gak Lui kerutkan alis lalu menyatakan hendak
menyambut musuh. "Tak perlu," sahut Thian Lok totiang, "karena
Maharaja tidak datang, lain2 saudara dapat menghadapi.
Kurasa sauhiap lebih baik masuk dan mengobati
suhengku." 884 "Baiklah, kalau ada suatu perobahan yang genting,
harap memberitahu kepadaku," kata Gak Lui seraya
melangkah kedalam halaman. Sambil menunjuk sebuah
bangunan, Thian Lok totiang berkata : "Disitulah tempat
tinggal suheng. Dahulu nona ini pernah datang kemari,
harap nona suka membawa Gak Sauhiap kesana."
Setelah itu Thian Lok totiang keluar lagi untuk
bergabung dengan tokoh2 persilatan. Sedang Siumeypun segera membawa Gak Lui keruang tempat Thian
Wat totiang. Dua orang imam kecil yang mengenal kedua
anak muda itu segera memberi hormat.
"Bagaimana keadaan totiang dalam beberapa hari ini
?" tanya Siu-mey. "Sehari-hari sucou hanya duduk termenung
seperti...memikirkan sesuatu," kata imam kecil itu.
"Baiklah, kalian boleh menyingkir dulu. Nanti apabila
ada keperluan tentu akan kupanggil."
Setelah penjaga2 itu menyingkir kehalaman, Gak
Luipun bertanya mengapa tampaknya Siu-mey begitu
tegang. Sambil memandang kearah ruang itu, Siu-mey
berkata perlahan : "Tindakanku ini ada dua maksud.
Pertama, apabila daya ingatan totiang sudah pulih
kembali, mungkin dapat menceritakan banyak sekali
rahasia. Maka paling baik jangan sampai terdengar orang
luar." "Hm"." "Dan lagi, sebelum diberinya minum pil Kiu-coan-tingsim-tan, perlu hendak kujelaskan tentang keadaannya
yang lalu agar diam2 engkaupun dapat berjaga jaga."
"Baik !" "Pada waktu The Thay lo-cianpwe mengantarnya
885 pulang, totiang dalam keadaan tak sadarkan diri, mirip
seperti mayat berjalan. Setelah minum obat dari
beberapa partai persilatan dan dirawat dengan cermat,
dia baru sedikit timbul daya ingatannya. Makan, minum
dan bicara sudah seperti orang biasa."
"Adakah ia ingat akan peristiwa ditawannya dahulu ?"
"Tidak ingat dan pula ..."
"Bagaimana ?" "Sekalian orangpun tak berani mengatakan kalau dia
pernah ditawan Maharaja dan melakukan banyak hal
yang tak pantas. Karena kuatir akan menusuk
perasaannya dan dapat menimbulkan hal2 yang tak
terduga !" "Oh !" Gak Lui terkejut. Diam2 ia menimang: "Sayang
sekali, totiang sesungguhnya seorang tokoh yang jujur
dan lurus. Apabila hal itu diketahuinya mungkin akan
menimbulkan hal yang tak diinginkan. Tetapi jika tak
kutanyakan hal itu, dendam sakit itu tentu sukar diketahui
sampai akarnya. Hm, bagaimana aku harus bertindak ?"
Rupanya Siu-mey tahu akan kegelisahan Gak Lui.
Segera ia menegurnya: "Engkoh Lui, jangan gelisah.
Obat yang sekarang hendak diminumkan itu masih suatu
pertanyaan adakah mempunyai daya khasiat atau tidak.
Jangan memikirkan terlalu jauh dulu...."
"Kalau gagal, tiada gantinya lain lagi. Tetapi kalau
berhasil ...." "Tentu totiang akan sembuh. Dan tentang
pengalamannya yang lalu, terserah saja kepadamu !"
Demikian keduanya segera menghampiri dan mulai
mengetuk pintu. "Siapa.....!"
886 JILID 18 "Gak Lui mohon menghadap totiang !"
"Gak .... Lui ?" suara dari dalam itu mengulang
dengan nada tawar. "Aku Li Siu-mey dengan engkoh-angkatku, hendak
mengantar obat untuk totiang !" seru Siu-mey.
"O, kiranya nona Li," seru orang itu dengan nada
cerah lalu mempersilahkan masuk. Setelah mendorong
pintu dan melalui dua buah ruang barulah kedua muda
mudi itu masuk ke ruang tempat Thian Wat totiang. Gak
Lui terkejut ketika menyaksikan keadaan paderi itu, Thian
Wat totiang yang dikenalnya berkepala gundul tetapi saat
itu memelihara rambut panjang. Sepasang matanya
berkilat-kilat memberingas.
"Tiap hari aku duduk bersemedhi dalam kesunyian.
Sungguh kebetulan sekali kalian datang," Thian Wat
totiang tertawa gelak2. Siu-mey tertawa pula :
"Kedatangan kami memang hendak menemani kesepian
totiang sembari menghaturkan obat Kiu- coan-ting-simtan. Apalagi engkoh Gak Lui itu bukan orang asing
karena totianglah yang telah ditolong olehnya."
"O," desuh Thian Wat totiang, "makanya aku seperti
sudah kenal, kiranya penolongku. Maaf, kalau aku
berlaku kurang menghormat." Gak Lui mengucap kata2
merendah. "Dan sauhiap mengantar obat lagi kemari. Benar2
aku amat berterima kasih. Apakah obat itu boleh segera
kuterima ?" "Ada sedikit hal yang perlu kujelaskan ..." kata Gak
Lui. 887 Setelah Thian Wat totiang mempersilahkannya, Gak
Lui melanjutkan pula: "Kalau obat itu tak manjur, harap
totiang jangan putus asa ....."
"Tentu." "Tetapi kalau manjur, totiang tentu akan kembali pula
daya ingatannya dan akan teringat akan segala peristiwa
yang lampau. Mungkin... akan menambah kegelisahan
totiang !" "Ah, memang dapat beberapa hari ini aku seperti
orang mimpi. Aku tak ingat segala peristiwa yang lampau
......." "Tetapi kalau peristiwa lama itu tak menyenangkan,
bukankah lebih baik tak ingat saja ?"
Thian Wat tetap berkeras meminta obat itu. Apa
boleh buat, Gak Lui melirik ke arah Siu-mey. Siu-meypun
merenung sejenak. Sesaat kemudian ia mengambil keluar botol obat,
ujarnya: "Totiang apakah engkau mau mempertimbangkan lagi atau tidak ?"
"Sudah lama kupertimbangkan sampai berulang kali.
Sepanjang ingatanku, memang ada suatu yang terang.
Entah baik atau buruk, harus kubikin jelas. Nona, engkau
.... bantulah !" Melihat Thian Wat totiang begitu mantap dan tak
mengunjuk rasa sesal suatu apa, barulah Siu-mey
memberikan pil dalam botol itu kepadanya. Thian Wat
amat gembira sekali sehingga tanpa berkata apa2 lagi ia
terus menelan pil itu lalu pejamkan mata menjalankan
peredaran darah, menggunakan tenaga-dalam untuk
mengembangkan daya obat itu. Beberapa saat
kemudian, tampak napasnya mulai teratur dan
888 semangatnyapun tenang. Rupanya dia sudah memasuki
tingkat kehampaan dalam semedhi. Melihat itu Siu-mey
berkata kepada Gak Lui : "Engkoh Lui, maukah engkau
mengurutnya supaya dia cepat sembuh ?"
"Kurasa tak perlu," sahut Gak Lui, "memang bermula
kukira dia menderita penyakit yang parah sehingga tak
dapat melakukan penyaluran tenaga-dalam. Tetapi
ternyata tidak. Hanya saja.....aku merasa cemas dengan
khasiat obat itu..."
"Ah, mengapa tiba2 saja engkau begitu hati2 .....,"
seru Siu-mey, "ingatlah, ayah pernah mengatakan, jika totiang itu
memang sudah dibius selama 18 tahun, obat ini memang
tak berguna. Kurasa.... waktu selama 18 tahun itu
memang mungkin terjadi pada diri totiang, karena
itu......." "Bagaimana ?" seru Gak Lui terkejut.
"Obat itu tak berguna, percuma engkau begitu tegang
!" seru Siu- mey. Saat itu tampak dahi Thian Wat totiang mengucurkan
keringat sebesar kedele. Cahaya wajahnyapun berobah
robah tak menentu, riang, marah, sedih dan gembira.
"Ah," tiba2 Gak Lui mendesuh pelahan, "rupanya
daya obat sudah mulai tampak. Totiang sudah dapat
mengingat peristiwa yang lampau !"
Siu-meypun terkejut juga: "Aneh sekali ! Rasanya
ilmu pengobatan ayah itu takkan salah. Kecuali .... waktu
pembiusan totiang itu memang kurang dari 18 tahun."
"Kalau kurang dari 18 tahun berarti dia juga seorang
murid hianat !" 889 "Engkoh Lui, apakah maksudmu ?"
"Jelas," sahut Gak Lui, "hal itu membuktikan bahwa
dia tidak dikuasai Maharaja tetapi memang dengan
kemauannya sendiri menggabung diri pada kawanan
penjahat, menjadi kaki tangan mereka !"
"Akhirnya apa dia bukan menjadi anggauta Topeng
Besi itu?" "Hal itu terjadi belakangan, kemungkinan musuh
memutuskan untuk menghancurkan kesadaran pikirannya. Kalau tidak, seharusnya dalam waktu 18
tahun itu dia tentu tak sadar pikirannya !"
"Oh...." hanya demikian Siu-mey dapat berseru
gemetar tanpa berkata apa2. Gak Luipun tampak
memandang lekat pada Thian Wat totiang yang saat itu
amat tegang sekali. Wajahnya mengernyit, menimbulkan
gelombang kerut yang berombak keras, penuh dengan
lamunan dan pertentangan batin. Tubuhnyapun mengigil
keras. Dalam pada itu sayup2 Gak Lui mendengar gema
suitan berulang kali. Ia duga tokoh2 partai persilatan
tentu sedang bertempur melawan musuh. Lebih kurang
setengah jam kemudian, tapak wajah Thian Wat totiang
agak tenang. Keringat yang membasahi tubuhpun sudah
kering. Akhirnya dia membuka mata. Begitu melihat Gak
Lui ia segera berseru : "Saudara, harap memberitahukan
siapakah nama saudara ini ?" Gak Lui balas menatap
dengan tajam lalu memberitahukan namanya.
"Gak Lui, hm".hm....." Thian Wat totiang anggukkan
kepala dan bertanya pula: "Siapakah nama ayahmu ?"
Gak Lui tergetar. Dengan nada dingin ia balas bertanya :
"Mengapa totiang menanyakan hal itu " Tentulah
ingatan totiang sudah pulih kembali !"
890 "Jawablah pertanyaanku lebih dulu !"
"Tidak, lebih baik totiang yang menjawab dulu !"
"Ingatan itu berada dalam otakku. Apa yang
dipikirkan tentu lain orang tak dapat mengetahui. Karena
itu.....lebih baik engkau dahulu yang menjawab !"
"baik," sahut Gak Lui lalu dengan nada setengah
marah berseru : "Mendiang ayahku bernama Gak Tiangbeng, orang memberi gelaran sebagai Dewa Pedang !"
"Benarkah dia ?"
"Sudah tentu benar !"
"Heh, heh, heh.....," tiba2 totiang itu tertawa
mengekeh. Tubuhnya gemetar, ia mengadahkan kepala
dan menghambur tertawa yang menyeramkan. Tegak
bulu kuduk Gak Lui mendengar suara-tertawa itu.
Amarahnya mulai meluap. Dengan mata memberingas,
ia berteriak : "Mengapa engkau tertawa begitu rupa !"
Tetapi Thian Wat totiang tetap tak menjawab. Ia
hentikan tawa dan menghela napas berulang2. Kerut
wajahnyapun mulai serius seperti semula lagi dan
sikapnya amat tenang sekali. Tetapi pembicaraan tadi
telah didengar dan mengejutkan dua orang paderi kecil
yang menunggu diluar. Salah seorang paderi kecil itu
segera berseru dengan nyaring dan hormat: "Hatur
beritahu kepada sucou, apakah sucou memerlukan kami
menunggu didalam ?" "Tak perlu !" seru Thian Wat totiang, "kalian mundur
semua !" Paderi kecil itu mengiakan dan melangkah
keluar dari ruang itu. Tetap baru mereka pergi, kembali
terdengar derap langkah orang menerobos masuk. Gak
Lui terkesiap. Belum sempat ia membuka mulut,
pendatang itu atau Thian Lok totiang sudah berseru :


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

891 "Suheng, engkau bagaimana...."
"Berhenti !" teriak Thian Wat totiang dengan bengis.
Derap langkah diluarpun berhenti. Lalu Thian Wat
berseru pula: "Aku tak kurang suatu apa, jangan masuk
dulu !" "Sungguh ?" "Masakan suheng membohongi engkau !"
"Kalau begitu," Thian Lok totiang berobah tenang dan
riang suaranya, "aku hendak bicara beberapa patah kata
dengan Gak sauhiap, entah apakah suheng meluluskan
?" "Tentu saja boleh," sahut Thian Wat totiang dengan
nada lebih tenang, "silahkan engkau bicara dari luar saja,
Gak sauhiap tentu sudah mendengar."
Maka Thian Lok totiangpun segera berkata dari luar :
"Gak sauhiap, akan kusampaikan kepadamu sebuah
berita baik. Musuh yang datang kegunung ini telah dapat
kami hancurkan dalam barisan Thian lo te ong-tin !"
"Bagus !" seru Gak Lui memuji, "hasil itu berkat
pimpinan totiang yang hebat!"
Thian Lok totiang mengucapkan kata2 merendah
kemudian berkata lebih lanjut: "Musuh telah menderita
kekalahan yang cukup parah sehingga takkan kembali
lagi. Kelak sauhiap dapat mencurahkan seluruh
perhatian untuk menghadapi Maharaja. Tentang diriku,
aku hendak mengatur lain2 urusan termasuk memanggil
murid2 yang kutugaskan sembunyi di beberapa tempat.
Akan kusuruh mereka beristirahat ...."
"Silahkan totiang," kata Gak Lui. Thian Lok totiangpun
pamit dan setelah menanyakan tentang keadaan
suhengnya, ia terus melesat keluar. Perhatian Gak Lui
892 kini ditumpahkan pula kearah Thian Wat totiang. Tampak
kerut wajah pendeta tua itu bergeliatan dan pada lain
saat mulutnya kedengaran menghela napas : "Gak
Sauhiap, kenangan masa lampau, memang benar seperti
yang engkau katakan .. tidak menggembirakan."
"Kalau demikian," Gak Lui berusaha keras untuk
menenangkan gejolak hatinya, "adakah totiang suka
untuk menceritakan ?"
"Tentu !" "Kalau begitu, silahkanlah."
"Tetapi sebelum minum obat, engkau berulang kali
memberi peringatan supaya peristiwa masa lampau yang
tak menyenangkan itu, dilupakan saja."
"O," Gak Lui mendesuh. Diam2 ia menduga paderi
tua itu tentu mempunyai rahasia yang sukar
diberitahukan orang. Dari nadanya, seolah-olah paderi itu
sudah mengandung penyesalan.
"Totiang, adalah totiang sekarang hendak melupakan
peristiwa lampau itu ?" tanyanya dengan nada ikut
prihatin. "Tidak !" tiba2 paderi tua itu menyahut, "aku sudah
dapat mengingat dan takkan lupa lagi. Maksudku yalah...
selayaknya engkaupun harus mendengar karena hal itu
juga tak menggembirakan bagimu !"
"Tak apa," sahut Gak Lui, "dalam menghadapi
peristiwa lampau itu, aku sudah mengemasi hatiku. Terus
terang, aku telah bersusah payah untuk mencari tahu
peristiwa lama itu. Itu pulalah sebabnya maka kutolong
engkau !" "Baik, karena engkau bersedia mendengarkan,
akupun akan bercerita mulai dari". 18 tahun yang
893 lalu....." Mendengar itu Gak Lui dan Siu-mey terbeliak.
Mereka mencurahkan perhatian benar2 kepada cerita
yang akan dibawa paderi itu. Maka mulailah Thian Wat
bercerita. "Pada masa itu, Maharaja masih menyembunyikan
diri dari dunia persilatan. Aku sudah mulai bergerak diluar
untuk membasmi Kelima Durjana yang selalu membikin
keruh suasana dunia persilatan. Ketika tiba di .... sekitar
daerah Tibet, aku berpapasan dengan seorang yang
mengenakan kerudung muka. Bermula orang itu tak
membuat suatu gerakan apa2. Tetapi begitu aku agak
lengah, dia telah gunakan ilmu tutukan yang luar biasa
menutuk jalan darahku...." Mendengar itu, Gak Lui cepat
menukas pertanyaan : "Penutukan itu bukankah terjadi
pada 18 tahun yang lalu ?"
"Hm ... benar."
"Sejak masa itu kesadaran pikiran ?"
bukankah totiang kehilangan "Tidak ! Pikiranku masih sadar .... hampir setahun
lamanya !" "Benarkah omongan totiang itu atau apakah hanya
suatu rangkaian totiang sendiri ?"
"Mengapa sauhiap tak percaya ?"
"Tindakan orang itu tentu bermaksud kalau tak
menguasai engkau, masakan engkau masih dapat sadar.
Kalau masih sadar, jelas membuktikan bahwa
engkau....." Thian Wat totiang kerutkan alis dan
menukas: "Membuktikan bahwa aku ini seorang murid
hianat, benar tidak ?"
"Terpaksa aku harus menduga demikian," sahut Gak
Lui. 894 "Engkau memang tak salah. Tetapi aku memang
mempunyai alasan sendiri. Harap suka dengarkan
sampai selasai." "Hm," Gak Lui mendesuh.
"Pada waktu bersua dengan si Maharaja-persilatan
Tio Bik-lui hatiku sudah mempunyai kecurigaan. Maka
ketika dia melakukan tutukan dengan cepat dan tiba2,
sebelumnya aku sudah siap dan diam2 telah kukerahkan
tenaga-dalam untuk bertahan. Maka lewat sehari dua
hari saja, aku sudah pulih lagi kesadaran pikiranku !"
"Lalu mengapa tak berusaha melepaskan diri?"
"Sesungguhnya akupun mempunyai maksud begitu
juga," sahut Thian Wat totiang, "tetapi kenyataan tidak
mudah. Aku harus memakai sebuah topeng besi. Kalau
hendak kulepas sendiri, tentu akan menyebabkan
benakku hancur dan jiwaku melayang."
"Lalu ?" "Ketika aku rubuh, dia sudah gunakan tutukan Im-jijiu-hwat. Maka sekalipun pikiranku masih sadar, tetapi
kecerdasanku menurun. Apalagi setiap kali mendengar
suitannya yang aneh, hatiku merana dan aku segera
menurut semua perintahnya."
"Apakah masih ada lain sebab lagi ?" tanya Gak Lui
lagi. "Selain mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, pun
dia memiliki beberapa pembantu yang ganas,
namanya....." "Tabib-jahat Li Hui-ting dan si Penjaga Akhirat ...."
"Ah, benar, benar, walaupun kepandaian mereka
tidak berapa tinggi tetapi cerdik dan julig sekali. Oleh
895 karena itu dalam keadaan menderita luka itu, aku tak
berani bertindak sembarangan. Pun kudengar rencana
mereka untuk membasmi Bu-san-su-kiam lebih dulu baru
nanti setiap partai persilatan. Aku pun segera timbul
suatu rencana." "Rencana bagaimana ?"
"Mereka tak tahu kalau pikiranku masih sadar. Maka
akan kugunakan kesempatan itu untuk mendengarkan
rahasia2 mereka. Begitu ada kesempatan aku segera
akan meloloskan diri dan memberitahukan rahasia
mereka kepada dunia persilatan."
"Kemudian lalu?"
"Setelah menetapkan keputusan itu, aku tetap
bersikap tenang dan diam2 kuperhatikan gerak gerik
musuh. Dalam beberapa waktu memang aku masih
dijaga dan tak dibawa keluar. Tetapi tak berapa lama,
kembali mereka dapat menawan tiga orang tokoh silat
yang sakti lagi. Menilik ilmu kepandaian ketiga tawanan
itu, jelas mereka adalah paderi Hui Ceng dari Siau lim-si,
imam Ceng Ci dari partai Butong-pay dan Hwat Gong
Paderi dari Hong san-pay."
"Wi Cun dari partai Kong-tong-pay itu masih belum
dihitung !" seru Gak Lui. Mendengar disebutnya nama
imam Wi Cun, mata Thian Wat totiangpun tampak
bersinar, serunya : "Orang itu tak berharga disebut.
Sebagai seorang murid partai Ceng-pay, dia berhati
congkak dan temaha sehingga mau menghianati
perguruannya !" "Hanya karena sebab itu ?"
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo--Bab 32 bagian 32.2
896 "Menurut apa yang kudengar, walaupun Wi Cun itu
murid kepala dari Tujuh jago-pedang partai Kong-tongpay, tetapi karena perangainya amat jumawa, ketua
Kong-tong-pay menganggap dia tak dapat menjadi
pewaris perguruan sehingga diam2 ketua Kong-tong pay
telah merencanakan untuk mencari lain murid yang lebih
baik. Karena sakit hati, Wi Cun lalu menggabung pada
kaum Sesat. Dia tetap bercita-cita untuk merebut
kedudukan dalam partai Kong tong-pay-lagi ..."
"Setelah membantu empat serangkai Topeng Besi itu
dan ditambah Wi Cun serta Penjaga-Akhirat, jumlah anak
buah merekapun cukup banyak. Lalu bagaimanakah
tindakan selanjutnya ?"
"Sebenarnya mereka hendak mencari Empat-pedang
Bu-san tetapi ditengah jalan telah berpapasan dengan
ayahmu..." "O ... !" Gak Lui mendesuh kaget.
"Ayahmu memang tajam sekali penglihatannya. Dari
gerak langkah si Maharaja, dia cepat dapat mengetahui
kalau Maharaja itu seorang tokoh persilatan. Segera ia
menghentikan dan menanyakan diri Maharaja ....."
"Hm, bagaimana jawabannya?"
"Dia gentar akan kebesaran nama Dewa-pedang
sehingga tak berani mengaku siapa dirinya. Tetapi
ayahmu tak mudah dibohongi. Dia mengangkat pedang
untuk mengujinya. Setelah empat jurus serangan yang
disambut orang itu dengan jurus yang aneh dan luar
biasa, barulah ayahmu tahu bahwa sumber ilmu mereka
sama. Pada jurus keempat, pedang si Maharaja
ujungnya terpapas kutung sedikit..."
897 "Benar !" seru Gak Lui.
"Karena menderita kekalahan, Maharaja lalu bersuit
dan memerintahkan kami beramai ramai untuk
menyerang ayahmu. Saat itu sebenarnya aku hendak
membantu ayahmu karena betapapun saktinya, karena
hanya seorang diri akhirnya ia tak tahan dikeroyok lalu
loncat keluar !" "Apakah setelah itu sudah selesai ?"
"Belum," Thian Wat totiang gelengkan kepala,"
ayahmu memberi peringatan !"
"Bagaimana beliau memberi peringatan?"
"Dia suruh Maharaja melenyapkan ilmu kepandaiannya dan jangan muncul didunia persilatan lagi
untuk selama-lamanya. Kalau Maharaja menolak,
ayahmu akan mengerahkan Empat- pedang Bu-san
untuk menumpasnya !"
"Lalu apa jawab Maharaja ?"
"Maharaja malah menantang. Kalau keempat jago
pedang Bu-san itu tak muncul, itu untung. Tetapi kalau
mereka berani datang, Maharaja akan menyambut
gembira sekali karena dapat menghemat waktu dan
tenaga membasminya."
"Lalu ?" "Dengan marah ayahmu pergi dan karena takut
Maharaja tak berani mengejar. Dan bulan kemudian
Maharaja berhasil mendapatkan keterangan tentang
tempat tinggal ayahmu."
"O!" "Dia segera membawa orang2nya menuju ke-tempat
tinggal ayahmu..." 898 "Bagus, dia berani datang menantang ?"
"Dia tak berani menghadapi Empat-pedang Bu-san.
Setelah tahu ayahmu hanya seorang diri karena ketiga
saudara seperguruannya belum pulang, Maharaja lalu
bertindak. Maka pada suatu malam yang berangin keras
..." bercerita sampai di situ Thian Wat totiang berhenti
memandang Gak Lui. "Malam itu bagaimana ?" desak Gak Lui.
"Gak sauhiap," Thian Wat totiang batuk2 sejenak,
"apakah engkau tetap hendak mendengar kisah itu "
Kurasa lebih baik ...."
"Ya, aku tetap hendak mendengarkan. Silahkan
totiang bercerita terus," tukas Gak Lui. Thian Wat totiang
menghela napas panjang, ujarnya : "Pada malam gelap
itu, kami beramai-ramai mengepung rumahnya. Tetapi
ayahmu tak ada. Setelah bertanya pada salah seorang
bujang barulah diketahui bahwa belum berapa lama
ayahmu keluar pintu."
"Kalau begitu," "mamahku"..?"
Gak Lui mulai

Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tegang, "Sebelum menceritakan tentang mamahmu, lebih
dulu aku menghaturkan maaf kepadamu."
"Me ... mengapa ?"
"Aku sebagai seorang murid dari partai agama tetapi
ternyata tak berbuat suatu apa melihat orang yang
tertimpa kecelakaan. Itu suatu dosa besar !"
Mendengar itu dada Gak Lui serasa meledak dan
airmatapun berderai-derai turun. Namun dikuatkan jua
perasaan dan bertanya : "Karena totiang berada dalam
cengkeraman durjana ....kiranya bukan suatu kesalahan....apa pun yang telah terjadi .... harap totiang
899 suka menuturkan semua...."
"Melihat ayahmu tak berada dalam rumah, Maharaja
lalu memberi perintah supaya membasmi seluruh
keluarga ayahmu. Ah, kasihan benar. Mamahmu yang
tak mengerti ilmu silat itu harus menderita kematian yang
mengenaskan .... Tetapi...."
"Hm...hm ....," Gak Lui mendesuh dengan katupkan
gigi kencang2 untuk menahan tangisnya. Namun
gelombang kesedihan yang hebat, telah menghancurkan
pertahanan nurani. Akhirnya ia menjerit, "Mah...
mamah".nasibmu sungguh mengenaskan sekali!"
"Tetapi....," Thian Wat totiang menelan pula air
liurnya, "bayi puteranya itu, untung tak berada padanya.
Mungkin sebelumnya sudah disingkirkan kelain tempat."
"Apakah disembunyikan didalam ?"
"Benar, memang telah disembunyikan
onggok rumput diluar gedung."
didalam "Tetapi mengapa dapat diketahui?"
"Karena engkau menangis mengejutkan Maharaja!"
keras sehingga "Lalu.... lalu bagaimana aku dapat tertolong?"
"Ketika Maharaja memeriksa tumpukan rumput itu,
saat itu aku kebetulan lari dimukanya maka akulah yang
terus mendahului untuk menusukmu dengan pedang !"
"Oh"." "Tetapi tusukan itu hanya melukai bagian luar dan tak
sampai melukai tulang. Maharaja dan anak buahnya
yang lain tak menduga sampai disitu. Karena melihat
engkau berlumuran darah, diapun segera tak ikut turun
tangan!" 900 "Aduh !" mendengar Gak Lui ditusuk pedang, Siumey menjerit kaget. Gak Luipun ikut tegang sehingga ia
mengangkat tangan untuk merabah mukanya. Tetapi ah
.... mukanya masih tertutup dengan topeng kulit kera.
"Apakah .... wajahku terdapat bekas tanda luka " Dan
karena itulah maka gihu memakaikan topeng kulit ini
kepadaku ?" pikirnya. Untung Siu-mey tak sempat
memperhatikan perobahan air muka pemuda itu.
"Totiang, bahwa Gak Lui sampai dapat hidup hari ini,
adalah atas budi pertolongan totiang. Budi sebesar
lautan itu entah bagaimana aku dapat membalasnya,"
katanya dengan penuh haru terima kasih kepada Thian
Wat totiang. "Ah, engkau telah membalas berlipat ganda," ujar
Thian Wat totiang perlahan, "jika tiada engkau,
bagaimana aku masih dapat hidup " Dan aku masih
memiliki kesadaran. Oleh karena itu kita sudah saling
memberi budi dan tak perlu merasa berhutang budi. Nah,
dengarkanlah ceritaku".."
"Baik, silahkan totiang melanjutkan."
"Setelah membunuh, mereka lalu membakar gedung
keluargamu. Kemudian mereka melanjutkan pula
rencana untuk membasmi Empat-pedang Bu-san. Tetapi
si Maharaja itu memang seorang durjana yang amat julig,
banyak akal muslihatnya. Takut kalau rencananya bocor
ia segera suruh orang untuk menyelidiki disekitar tempat
itu. Akhirnya penyelidikan itupun berhasil mendapatkan
jejak!" "Tentulah engkoh misanku Gak Ci-cin dan aku !"
"Benar, engkoh misanmu itu telah meninggalkan
sebuah jejak telapak kaki yang menimbulkan kecurigaan
901 musuh. Dia segera membawa anak buah menyusur jejak
itu. Celaka, hasil dari pencarian itu telah menyebabkan
mereka tahu bahwa engkau belum mati."
"Kalau begitu apakah mereka tak curiga kepada
totiang ?" "Untung aku pura2 seperti orang limbung dan jejak
telapak kaki engkoh misanmu itu menjurus ketempat
kediaman Empat-pedang Bu-san. Oleh karena terlalu
girang, Maharaja sampai lupa pada diriku. Bahkan
keinginannya untuk membunuh engkau pun dikesampingkan juga."
"Lalu mereka terus masuk kedaerah gunung Wansan ?"
"Ya, benar," Thian Wat totiang, "tetapi setelah masuk
pegunungan Wan-san, karena keadaannya sulit dan
berbahaya, akhirnya hanya si Maharaja dan kami ketiga
Topeng Besi yang dapat masuk jauh kedalam. Wi Cun
dari partai Kong-tong-pay ketinggalan dibelakang. Saat
itu engkoh misanmu sudah mengatur persiapan hendak
pindah kelain tempat."
"Lalu siapakah yang membunuhnya ?"
"Sudah tentu si Maharaja! Setelah dia membunuhnya, tiba2 muncullah seorang jago pedang!"
"Dia adalah ayah angkatku Pedang-aneh ji Ki-tek,"
Gak Lui menerangkan. "Munculnya si Pedang-aneh cepat dapat diketahui
Maharaja yang menduganya sebagai salah seorang
tokoh Empat-pedang Bu- san. Karena sudah mendapat
hajaran dari ayahmu maka Maharaja tak berani gegabah
bergerak. Lebih dulu ia suruh kami yang maju
menyerang. Tak terduga, hanya dalam tiga jurus saja,
902 ujung pedang kami bertiga telah dipapasnya kutung dan
dengan gerak yang luar biasa cepatnya, dia dapat
menusuk alis kami." "Ya, aku tahu tentang hal itu. Adalah karena
mendengar suara tangisku, maka beliau agak terganggu
perhatiannya dan kena di...."
"Dibabat kutung kaki dan tangannya. Tetapi
musuhpun terkena supit yang dihembuskan dengan
mulut oleh ayah-angkatmu sehingga ujung hidungnya
hilang dan terbirit-birit lari ketakutan!" sambut Thian Wat
totiang. "Lari kemana ?"
"Setelah tinggalkan tempat itu, Maharaja memeriksa
lukanya dan dapatkan tidak kena racun. Tetapi nyalinya
sudah rontok tak berani coba2 menghadapi panah-supit
dari Bu-san. Dan lagi ia menganggap bahwa Pedanganeh tentu sudah mati. Begitu pula bayi yang baru
berumur beberapa bulan yalah engkau, dia anggap tak
berbahaya. Kalau engkau berangkat besar tentu akan
menjadi manusia liar. Oleh karena itu Maharajapun
segera mengajak anak buahnya menuju ke Bu-san."
"bukankah ditengah jalan bertemu dengan Tabibsakti Li Kok-hoa yang disuruhnya mengobati lukanya itu
?" "Benar !" "Peristiwa dalam perjalanan itu akupun sudah
mendengar dari Tabib-sakti Li Kok hoa. Tetapi setelah
masuk kegunung Bu-san, timbul lagi sebuah
pertanyaan." "Sauhiap maksudkan yang mana ?"
"Waktu Maharaja membawa Tabib-sakti bertemu
903 dengan paman guruku Lengan-besi-hati-baik, mereka..."
"Mereka mengadakan pembicaraan beberapa saat
lalu paman gurumu memotong hidungnya sendiri
diberikan kepada Maharaja."
"Hai, adakah totiang melihat sendiri peristiwa itu?"
"Ya, setiap saat aku selalu waspada. Sekali Maharaja
suruh kami bertiga sembunyi dibelakang batu besar
tetapi diam2 aku mengisar keluar untuk mencuri dengar
pembicaraan mereka."
"Ah, tetapi......" Gak Lui menghela napas putus asa,
"mereka melakukan pembicaraan dengan ilmu Menyusup-suara. Mungkin, totiang tak dapat menangkap
pembicaraannya...." "Justeru kebalikannya !"
"Oh !" Gak Lui mendesuh tegang.
"Setiap patah pembicaraan mereka telah kudengar
dengan jelas !" "Mungkinkah itu ?" masih Gak Lui setengah kurang
percaya. "Gak sauhiap, dalam hal itu memang ada suatu
lubang kelemahan. Adakah engkau tak pernah
menduganya ...." "Apakah totiang memperhatikan gerak bibir mereka "
Tidak, tidak mungkin ! Mereka berdua saat itu sama
mengenakan kerudung muka tentu tak kelihatan
bibirnya....." "Memang pada saat itu aku hampir putus asa. Tetapi
dalam keputusan-asa itu, tiba2 aku mendapat pikiran.
Ilmu Menyusup suara itu menggunakan tenaga-dalam
untuk memancarkannya. Betapapun saktinya tenaga904
dalam seseorang, tentulah pancaran ilmu Menyusupsuara itu tetap menghamburkan gelombang getaran.
Kebetulan sekali barisan batu2 karang digunung itu
dapat memantulkan kumandang dari getaran suara
itu....." "Ah, aku mengerti," segera Gak Lui menukas dan
mengangguk, "kiranya totiang hendak mencari pantulan
kumandang getaran itu sehingga totiang dapat
menangkap pembicaraan mereka!"
"Benar !" "Kalau begitu harap totiang suka memberi-tahu isi
dari pembicaraan itu. Kumohon totiang mengingat semua
pembicaraan itu, jangan sampai ada sepatahpun yang
kelupaan," kata Gak Lui dengan nada bersungguh.
Thian Wat totiangpun segera merenung dan
kerahkan ingatannya untuk mengenangkan peristiwa
yang lampau itu. Beberapa saat kemudian ia berkata :
"Setelah berhadapan dengan paman- gurumu, dan
mengucap beberapa patah kata, Maharaja lalu
mengajukan permintaan untuk meminta pedang pusaka
Thian-lui- koay-kiam!"
"Lalu apa jawaban paman guruku ?"
"Dengan tegas ia menolak dan memberitahu kepada
Maharaja bahwa kecuali Empat- pedang Bu-san itu
bersama-sama datang, mungkin pedang itu mungkin
dapat diambil. Karena dia sendiri juga tak dapat
mengambilnya." "Setelah mendapat jawaban itu lalu bagaimana kata
Maharaja ?" "Tampaknya dia tak berani menggunakan kekerasan.
Dengan kata2 yang sungkan ia menyatakan hendak
905 meminta pedang itu namun kalau tak boleh, cukup asal ia
diperbolehkan untuk masuk kedalam istana Bi-kiong dan
melihat sejenak perwujudan pedang itu, ia sudah puas
...." "Paman guruku meluluskan atau tidak ?"
"Paman gurumu memberi nasehat dengan tajam.
Dan bertanya mengapa Maharaja Tio Bik-lui tiba2
menghendaki pedang pusaka itu?"
"Dia tentu berkata bohong!"
"Maharaja mengatakan bahwa dia dicelakai orang
didunia persilatan. Dia terkena panah beracun sehingga
ujung hidungnya kutung maka ia hendak menggunakan
pedang pusaka untuk melakukan pembalasan. Tetapi
paman gurumu tak percaya dan malah memakinya
mengapa ia gemar berkelahi dengan orang."
"Aneh," gumam Gak Lui dengan kerutkan alis,
"mengapa paman bersikap begitu baik terhadap Tio Biklui seperti seolah-olah paman itu sudah faham akan
perangai Maharaja itu. Tentulah didalam soal itu ada
rahasianya.....Hm. sungguh aneh benar." Demikian Gak
Lui menimang dalam hati. "Mendengar itu Tio Bik-lui segera berganti nada,"
tiba2 Thian Wat totiang berkata pula, "dia mengatakan
pedang Thian lui-koay- kiam itu seharusnya menjadi hak
miliknya. Maka kalau saat itu ia datang untuk meminta,
sudahlah sewajarnya...."
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo--Bab 32 bagian 32.3
"Apakah dasarnya?"
906 "Dia adalah putera dari pemilik pedang itu!"
"O!" Gak Lui terkejut seperti disambar kilat. Dia
benar2 tak percaya akan kata-kata itu, "Dia... dia... putera
dari.....kakek guruku ?" Thian Wat menghela napas dan


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata dengan suara parau :
"Benar, memang dia adalah putera yang murtad dari
kakek gurumu. Ah, jangan terburu buru engkau terkejut
dulu. Cerita yang akan kututurkan dibagian belakang
masih banyak yang menggemparkan hatimu!"
"Maaf," buru2 Gak Lui menghaturkan maaf karena
berulang kali mengganggu penuturan orang.
"Mendengar pengakuan itu paman gurumu marah.
Mereka bertengkar sampai lama. Dalam perbantahan
mulut itu Maharaja telah memaparkan sebuah rahasia
yang terjadi antara paman gurumu dengan mereka ayah
dan putera....." Rahasia itulah yang selama itu
merupakan teka teki dalam hati Gak Lui. Sudah tentu ia
menaruh perhatian besar sekali untuk mengetahui
rahasia itu. Hatinyapun mulai tegang. Sejenak meneguk
air liur dan mengatur pernapasan, maka Thian Wat
totiangpun melanjutkan ceritanya lagi.
"Kesimpulan dari perbantahan mereka dapatlah
diketahui bahwa kakek-gurumu itu ternyata hanya
mempunyai seorang putera yalah Tio Bik-lui itu. Dia
seorang anak yang cerdas tetapi sayang perangainya
amat ganas. Kalau dia berhasil meyakinkan ilmu silat
yang sakti, mungkin dunia persilatan akan menderita
malapetaka...." "Oleh karena itu maka kakek guruku tak mau
mengajarkan ilmu silat kepadanya ?" tukas Gak Lui pula.
"Boleh dikata begitulah. Kakek-gurumu hanya 907 memberinya beberapa dasar ilmu silat saja lalu
dihentikan. Kebalikannya karena melihat muridnya si
Lengan-besi-hati-baik itu jujur dan berbudi, kakekgurumu telah menurunkan seluruh ilmu kepandaiannya
kepadanya. Bahkan rahasia dari pedang pusaka Thianlui-koay-kiam itupun diberitahukan kepada Lengan-besihati-baik."
"Kalau begitu .... Tio Bik-lui tentu penasaran dan dia
tentu akan merapat pada lengan-besi-hati-baik, minta
supaya diberi pelajaran ilmu silat."
"Benar," kata Thian Wat totiang, "sebenarnya kakekgurumu sudah memberitahu kepada Lengan-besi-hatibaik bahwa ilmu silat yang diajarkannya itu tak boleh
diberikan kepada lain orang atau Tio Bik-lui. Tetapi ah,
paman-gurumu itu memang keliwat baik sekali hatinya.
Dia sayang Tio Bik-lui seperti adiknya sendiri. Karena
terus diminta oleh Tio Bik-lui, akhirnya paman-gurumu
tak sampai hati dan mau menurunkan ilmu
kepandaiannya kepada Tio Bik-lui. Bahkan memberitahu
juga tempat penyimpanan pedang pusaka itu.
Akhirnya...." "Ketahuan, oleh kakek-guruku !" tukas Gak Lui.
"Benar, setelah kakek-gurumu mengetahui hal itu,
beliau marah sekali. Pertama, dia hendak menghukum
Tio Bik-lui dulu." "Pada usia 30 tahun, kakek-guruku telah kehilangan
isteri. Sudah tentu beliau amat sayang kepada puteranya
tunggal itu ..." "Mungkin hal itu salah satu sebab. Tetapi-pun
dikarenakan paman-gurumu memohonkan ampun untuk
Tio Bik-lui dan paman gurumu bersedia untuk mewakili
menerima hukuman itu seluruhnya dan rela akan
908 mengasingkan diri di istana bi-kiong menjaga pedang
pusaka itu untuk selama lamanya ...."
"Akhirnya kakek-guruku menerima permohonan
paman-guruku. Puteranya yang murtad itu diusir dan tak
boleh menggunakan ilmu silat perguruan ayahnya,"
sambung Gak Lui. "Ya, benar begitu.." Mendengar itu Gak Luipun
menghela napas panjang dan diam2 merenung: "O,
makanya paman guru begitu baik terhadap Tio Bik-lui,
kiranya mereka sudah seperti saudara. Tentang kakekguru menerima Empat pedang Bu-san sebagai murid
bukan untuk menjaga paman guru melainkan takut kalau
puteranya yang murtad itu tak menurut perintah dan
membuat huru hara di dunia persilatan !" Pikirannya lebih
lanjut: "Tetapi, mungkin kakek-guru... tak suka
mengatakan tentang nasib rumah tangganya yang
malang atau kuatir Empat-pedang Bu-san itu akan
seperti paman-guru. Maka kakek-guru telah mengeluarkan perintah yang keras dan bengis." Dalam
pada ia berpikir itu, Thian Wat totiangpun berdiam diri.
Sepasang matanya berkilat-kilat menatap wajah pemuda
itu. "Adakah dalam perbantahan itu Tio Bik-lui dan
paman guruku tak mengungkat tentang Empat-pedang
Bu-san ?" tanya Gak Lui.
"Tidak karena rupanya Maharaja tak berani
membicarakan soal itu. Sedang karena keliwat
dirangsang kemarahan, paman gurumupun tak
memperhatikan soal itu," Sahut Thian Wat totiang.
"O, maka ketika ayahku dikurung dalam lubang batu
disitu, paman gurupun tak tahu," kata Gak Lui, "lalu
bagaimana kelanjutannya?"
909 "Setelah lagi dengan susah payah paman gurumu
menasehati Maharaja supaya jangan menimbulkan gara2
dan sebagai imbalan, paman gurumu bersedia
menyerahkan batang hidungnya kepada Maharaja agar
Maharaja itu pulih kembali wajahnya. Asal Maharaja
jangan mengungkat soal pedang Thian- lui-koay-kiam
dan jangan masuk kedalam istana Bi kiong. Sudah tentu
karena tahu akan kelihayan paman gurumu, Maharaja
terpaksa menerima perjanjian itu. Dia tinggalkan Bu-san
dan membuat lain rencana."
"Rencana apa lagi ?" tanya Gak Lui.
"Setelah tinggalkan Bu san, kecuali menduga bahwa
Pedang- aneh tentu sudah mati; Maharaja tetap gelisah
karena tak dapat menemukan tempat tinggal ketiga tokoh
Empat-pedang Bu-san yang lain, termasuk ayahmu. Dia
merasa selama tokoh2 pedang dari Bu-san itu belum
lenyap, tentu sukar baginya untuk merajai dunia
persilatan. Pada waktu itu dia segera berunding untuk
mengatur siasat dengan Wi Cun, murid hianat dari
perguruan Kong-tong-pay."
"O," Gak Lui mendesuh.
"Wi Cun menganjurkan agar Maharaja mempelajari
ilmu simpanan dari kelima partai persilatan melalui diri
kami. Dengan begitu kepandaian Maharajapun
bertambah lipat saktinya."
"Lalu siapakah yang merencanakan supaya
menyamar dan memalsu sebagai diri totiang berlima itu
?" tanya Gak Lui. "Soal itu ....," sepasang mata Thian Wat totiang
berkilat-kilat dan merenung sejenak, lalu berkata pula,
"aku tak begitu ingat. Karena daya pikiranku makin
lemah, kesadarankupun makin menurun. Pokoknya,
910 mereka masing2 mempelajari suatu aliran ilmu silat dan
lagi .... Maharajapun memiliki suatu ilmu Suitan yahg
dapat memberi perintah kepada kami."
"Adakah totiang masih ingat akan tempat digunung
Im-leng-san itu ?" "Tempat itu adalah tempat Maharaja berlatih ilmu
kepandaian. Sayang otakku sudah tumpul sehingga tak
ingat akan keadaannya yang pelik."
Gak Lui tak putus asa mendengar jawaban Thian Wat
totiang. Maklumlah, Thian Wat totiang sudah makin tua
dan makin lemah ingatannya, mungkin tak ingat jelas
tempat itu. "Totiang, adalah daya ingatanmu pada waktu akhir2
ini hampir hilang?" "Hm..." Thian Wat totiang merenung beberapa jenak
lalu tertawa : "Maaf, walaupun pil dari sauhiap itu amat
mustajab tetapi karena umurku sudah makin lanjut, daya
ingatankupun mundur sekali. Oleh karena itu, obat pun
tak banyak menolong diriku !"
"Ah, tak apalah," Gak Lui menghiburnya.
"Dalam mencita-citakan untuk merajai dunia
persilatan itu, ada dua hal yang masih ditakuti Tio Biklui," katanya pula, "pertama, kepada Kaisar Li Liong-ci
dan kedua kepada ayahku dan paman2 guruku. Tentang
paman guruku yang kesatu, karena tak pernah pergi dari
Bu-san, maka Tio Bik-luipun tak menguatirkan. Untuk
menghadapi tokoh2 yang ditakutinya itu maka dia
memerlukan pedang pusaka Thian-lui koay-kiam. Tetapi
dalam beberapa tahun ini Empat-pedang Bu san
berturut-turut telah meninggal dunia. Sedang Kaisar
Persilatanpun telah pergi dari daerah Tiong-goan. Kini
911 dunia persilatan telah dikuasai oleh si Maharaja dengan
gerombolannya." Lebih lanjut Gak Lui berpikir : "Setelah
aku turun gunung untuk menumpulkan ujung pedang dari
setiap musuh yang kuhadapi, terpaksa kugunakan ilmu
pedang Bu-san. Hal itu benar2 seperti orang haus yang
diberi air bagi diri Maharaja. Dan hal itupun menimbulkan
kecurigaannya bahwa Empat pedang Bu-san itu tentu
masih hidup. Maka berulang kali ia hendak
menyelidikinya bahwa dengan berpura-pura menjadi
orang baik dia memberi petunjuk kepadaku bagaimana
cara untuk mengambil pedang Thian-lui-koay-kiam
kegunung Bu-san...."
"Tetapi rupanya Thian maha murah dan adil. Bukan
saja aku mendapat tambahan ilmu kepandaian, pun juga
memperoleh pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Biarlah
dia telah memiliki ilmu suitan Pencabut-nyawa yang
hebat, tetapi pedang pusaka itu tetap akan dapat
membasminya....." berpikir sampai disitu, Gak Lui
memegang kerangka pedang erat2. Pikirannya
melayang- layang tak keruan. Thian Wat totiangpun
menatap wajah Gak Lui lalu pedang yang tersanggul
pada bahu pemuda itu. Sesaat keadaan sunyi senyap.
Rupanya Siu-mey tak enak hati kalau sebagai tetamu
diam saja. Maka ia menggamit siku lengan Gak Lui.
Pemuda itu terkejut dan memandang Siu-mey. Dari
pancaran mata sinona tahulah kalau Siu-mey
mengajaknya pergi. Gak Lui anggap memang Thian Wat
totiang perlu beristirahat. Tetapi sebelum minta diri, ia
berkata : "Totiang, tadi engkau mengatakan bahwa
diantara kita berdua tiada yang berhutang budi. Baiklah,
akupun tak menyatakan terima kasih tetapi totiangpun
jangan mengingat tindakanku memberi obat itu sebagai
suatu budi...." 912 "Baiklah," Thian Wat totiang mengangguk. Tetapi
ketika Gak Lui berbangkit hendak pergi, Thian Wat
totiang mencegahnya : "Tunggu dulu, pertanyaan." aku masih mempunyai sebuah Gak Lui buru2 duduk kembali dan mempersilahkan
paderi itu mengatakan. Sejenak batuk2, dengan suara
parau Thian Wat totiang bertanya :
"Beberapa sahabatku yang menderita kesukaran itu
.... bagaimanakah keadaannya saat ini ?"
"Sahabat yang tertimpah kesukaran ?" Gak Lui
menegas. "Benar." "Totiang tanyakan .... Hwat Gong taysu dan kawankawannya itu ?"
"Ya, mereka senasib dengan diriku, menjadi
anggauta Topeng Besi sampai belasan tahun maka
sudah seharusnya aku bertanya tentang diri mereka."
"Adakah keadaan mereka, totiang
mendengar ?" Gak Lui balas bertanya.
tak pernah "Pernah kutanyakan kepada sute dan beberapa ciang
bunjin tetapi tiada seorangpun yang memberi jawaban
sesungguhnya !" "Terus terang saja, ketika bertempur digunung Hek
san; mereka telah keliru terbunuh."
"O, sauhiap .... keliru membunuh mereka?"
"Benar." "Lalu apakah engkau menyesal atau tidak ?"
913 "Bukan melainkan hanya menyesal pun....."
"Pun bagaimana ?"
"Aku merasa berdosa...."
"Mengapa ?" "Mereka tak seharusnya menerima kematian begitu."
"Sauhiap, kata-katamu itu salah !"
"Mengapa ?" "Gerombolan Topeng Besi itu telah mengganas dunia
persilatan. Sudah layak kalau menerima kematian. Kalau
membunuh orang jahat masih merasa menyesal, biarlah
aku mati saja !" "Tidak, tidak ! Soalnya berbeda. Kalau aku memang
tahu tetapi kurang hati2. Sedang totiang itu adalah diluar
kehendak totiang sendiri."
"Ah....." Thian Wat totiang menghela napas panjang,
"sauhiap membunuh mereka itu suatu berkah bagai
keselamatan dunia persilatan. Pun bagi diri yang mati
itu." "Mengapa ?" Gak Lui terkejut.
"Apabila engkau menolong mereka dengan pil ini,
setelah mereka sembuh, keadaan mereka tentu lebih
menyedihkan maka lebih baik mati."


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh," Gak Lui mendesuh dan gemetar. Walaupun
totiang itu mengatakan dalam banyak peristiwa yang
lampau ia tak ingat tetapi ucapannya yang terakhir itu
menandakan kalau ia masih ingat semua. Gak Lui
menimang. Daripada membantah, dikuatirkan akan
menimbulkan reaksi hebat dalam hati paderi itu, lebih
baik ia segera angkat kaki dari situ. Katanya : "Ucapan
914 totiang memang benar, aku sekarang sudah mengerti
dan takkan bersedih hati."
Thian Wat totiang tertawa. Kemudian Gak Lui
menanyakan lagi adakah totiang itu perlu beberapa anak
murid untuk menjaga di situ. Thian Wat totiang
mengiakan. Gak Lui dan Siu-mey minta diri, melangkah
ke luar. Lebih dulu ia suruh paderi kecil untuk menjaga di
situ setelah itu kedua pemuda itu lalu masuk ke dalam
ruang tetamu. Tampak Thian Lok totiang menyambut
dengan wajah tegang: "Sauhiap, bagaimana keadaan suhengku ?"
"Selamat, totiang, Thian Wat totiang telah pulih
kesadarannya kembali dan telah menerangkan banyak
hal kepadaku...." "Ah, sauhiap.....engkau sungguh baik sekali. Cengsia-pay tak tahu bagaimana akan berterima kasih
kepadamu !" seru Thian Lok totiang.
"Ah, harap totiang jangan memikirkan hal itu.
Silahkan totiang masuk, Thian Wat totiang hendak
bicara." Dengan gembira Thian Lok totiang segera masuk ke
dalam ruangan untuk menjumpai suheng-nya.
"Engkoh Lui, rasanya persoalan ini telah berakhir
memuaskan. Mereka kakak dan adik seperguruan
tentu...." belum selesai Siu- mey berkata, Gak Lui ulurkan
jarinya untuk ditempelkan ke bibir nona itu agar jangan
bicara. Tiba2 dari dalam ruang persemedhian, terdengar
jeritan-ngeri dari Thian Wat totiang. Disusul dengan
suara benda jatuh di lantai dan jeritan nyaring dari paderi
kecil yang menjaga di situ.
"Celaka!" Gak Lui terkejut terus lari menerobos ke
915 dalam lagi. Tampak Thian Wat totiang terkapar dalam
kubangan darah di lantai. Sedang Thian Lok totiangpun
menggeletak di bawah tempat tidur. Paderi kecil tegak
seperti patung, tubuh gemetar dan lidah menjulur keluar.
Kejut Gak Lui bukan kepalang. Tetapi cepat ia menyadari
apa yang telah terjadi. Lebih dulu ia memeriksa tubuh
Thian Wat totiang. Dicobanya untuk memberi
pertolongan dengan menyalurkan tenaga dalam tetapi
ternyata totiang itu sudah putus nyawanya. Gak Lui lalu
menghampiri Thian Lok totiang untuk memeriksa
keadaannya. "Engkoh Lui, mengapakah mereka ini ?" tanya Siu
mey, "perlukah memberitahukan kepada yang lain ?" Gak
Lui mengatakan tak perlu.
"Kalau sampai terjadi sesuatu,
menimbulkan kesulitan pada kita ?"
apakah takkan "Thian Lok totiang segera akan siuman. Serahkan
saja bagaimana dia nanti akan mengurus. Kalau suruh
lain orang masuk kemari, tentu lebih berabe !"
"Mengapa begitu?"
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo--Bab 32 bagian 32.4
Sambil mengurut tubuh Thian Lok totiang, Gak Lui
menerangkan : "Menilik keadaannya, Thian Wat totiang itu tentu
membunuh diri dengan memutuskan urat2 nadinya.
Bagaimana sebabnya nanti tunggu setelah Thian Lok
totiang sadar dari pingsannya. Dalam masalah segawat
ini, aku tak berani bertindak sendiri dan kuserahkan saja
kepada fihak Ceng-sia-pay....."
916 Tiba2 mulut Thian Lok totiang terdengar mengerang
perlahan dan membuka mata. Lalu cepat2 ber-bangkit.
"Harap ciang-bunjin suka tenang. Kalau ciang-bunjin
gugup, Ceng-sia-pay tentu tiada yang memimpinnya,"
Gak Lui menghibur. "Sau-hiap....." kata Thian Lok totiang dengan nada
gemetar, "suheng ternyata sudah meninggal .... aku....
sungguh .... tak percaya!"
"Oh, totiang tak menyaksikan kejadian itu ?" Gak Lui
terkejut. "Ketika masuk dalam ruang ini, suheng sudah
terkapar diatas tempat tidur!"
"Kalau menurut pendapatku, Thian Wat totiang telah
membunuh diri ...." "Apakah engkau berani memastikan?" ketua
perguruan Ceng-sia- pay itu menegas dengan nada
kurang percaya. Gak Lui terkejut. Buru2 ia menunjuk pada paderi
kecil, serunya.: "Jika ciang-bunjin tak percaya, silahkan tanya
padanya !" Thian Lok seperti disadarkan, ia menatap
paderi kecil. Karena paderi kecil itu tetap diam saja,
Thian Lok membentaknya: "Engkau ....engkau .... mengapa tak lekas kemari!"
Dengan tersipu sipu ketakutan paderi kecil itu segera
menghampiri. Tubuhnya masih gemetar keras sehingga
geraham giginya terdengar berkerutukan tetapi tak dapat
mengeluarkan perkataan. Thian Lok makin marah dan
hendak menamparnya tetapi Gak Lui cepat mencegahnya: "Totiang, harap jangan marah. Memang
dapat dimengerti kalau murid totiang itu tentu terbang
917 semangatnya menyaksikan peristiwa ini. Walaupun dia
mendapat tugas untuk menjaga Thian Wat totiang tetapi
karena kepandaiannya terbatas, dia tak dapat berbuat
apa2. Makin totiang marah, makin dia takut !"
Thian Lok totiang menyadari kalau dirinya keliwat
terangsang kemarahan, ia segera menutuk jalan darah
paderi kecil itu supaya jalan darahnya lancar. Beberapa
saat kemudian paderi kecil itu menangis: "Hatur beritahu
kepada ciang-bun ..... kakek guru .... telah meninggalkan
pesan ... bahwa ia membunuh diri sendiri ...."
"O, masih sempat berpesan!"
"Ya, masih sempat meninggalkan pesan..."
"Bagaimana ucapannya?"
"Beliau mengatakan .... dosa selama 18 tahun
berlumuran dosa. Sekalipun karena kesadarannya hilang
dan diluar kehendaknya tetapi Thian Wat totiang tetap
merasa malu untuk bertemu orang .... malu kepada para
leluhur partai perguruan Ceng-sia-pay .... malu terhadap
kaum persilatan ...."
"Lalu apa lagi ?"
"Beliau mengatakan pula .... setelah kembali ke
gunung sekalipun kaum persilatan tak mencarinya untuk
membuat perhitungan tetapi hati nuraninya tetap tak
mengijinkan. Satu-satunya jalan untuk melepaskan
kedosaannya.... hanyalah mati!"
"Kemudian ?" "Kebetulan suhu terlambat datang kemari!"
"Huak ....," mendengar itu darah Thian Lok totiang
bergolak dan meluap. Ia muntah darah dan tubuhnya
terhuyung hampir rubuh pingsan lagi. Untung Gak Lui
918 sudah bersiaga. Cepat ia ulurkan tangan memapahnya.
Setelah lunglai sampai beberapa saat, akhirnya ketua
Ceng sia- pay itu membuka mata dan berkata rawan :
"Sauhiap, aku mempunyai sebuah perkataan yang
sesungguhnya masih maju mundur untuk kukatakan!"
"Dari pada terpendam dalam hati lebih baik totiang
tumpahkan saja." "Obat yang engkau berikan itu ... memang amat
mujarab kepada orang lain tetapi setelah diminum
suheng, mengorbankan jiwanya. Kalau tahu begitu, lebih
baik tidak minum obat itu..." Gak Lui tertawa getir: "Soal
itu memang sudah kupertimbangkan."
"Lalu mengapa masih tetap memberikan kepadanya
?" Siu-mey penasaran melihat sikap ketua perguruan
Ceng-sia-pay itu. Tetapi ia dapat memaklumi keadaan
orang. Katanya: "Totiang, engkoh Lui memang kuatir
setelah pulih kesadaran pikirannya, suhengmu akan
menyesal dan melakukan putusan pendek. Maka engkoh
Luipun menerangkan beberapa kali dan Thian Wat
totiang tetap menghendaki obat itu .... Kurasa Thian Wat
totiang memang telah mempertimbangkan keputusan itu
dengan masak2. Dia lebih baik mati daripada kehilangan
moril. Betapapun dia itu juga seorang manusia yang
memiliki perasaan halus. Maka akibat daripada
kematiannya itu sekali kali bukan karena gara2 kami
memberi obat melainkan karena kesadaran dari Thian
Wat totiang sendiri."
Setelah merenung beberapa saat barulah ketua Ceng
sia-pay itu berkata dengan nada agak menyesal: "Kalian
benar, karena hatiku amat berduka maka sampai
mengeluarkan ucapan yang tiada layak. Harap kalian
919 suka maafkan. Dan perjamuan malam ini .... akan
menjadi sebuah upacara sembahyangan arwah
suheng..." Sesungguhnya setelah dapat menghancurkan kaki
tangan Maharaja para orang gagah itu sedianya akan
mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan.
Tetapi setelah mendengar berita kematian Thian Wat
totiang, merekapun ikut berduka-cita. Seluruh tokoh2
persilatan yang berada di gunung Ceng-sia-san sama
sembahyang di muka jenazah Thian Wat totiang. Setelah
sembahyang Gak Lui mundur ke samping. Ia
memandang ke sekeliling. Tampak tokoh2 dari perguruan
Bu- tong-pay, Heng-san pay, Siau-lim-si, Gobi-pay,
Kong-tong-pay dan Ceng sia-pay, memandang dengan
sinar mata yang aneh. Tak berapa lama iapun melihat
sigadis cantik Yan-hong dari Bu san, The Hong lian dan
Siu-mey bersama-sama sembahyang. Di belakang ketiga
nona itu tampak seorang lelaki berpakaian serba putih,
bersembahyang dengan berlutut di hadapan peti mati
Thian Wat totiang. Gak Lui terkejut. Ia maju menghampiri
hendak menegur tetapi orang itu cepat2 melangkah
keluar dari ruang jenazah. Gak Lui hendak menyusul
tetapi karena orang begitu banyak, ia tak dapat cepat2
mengejar. Ketika ia menuruni batu titian, orang itupun
sudah lenyap entah ke mana.
"Engkoh Lui !" "Adik Lui !" Terdengar berturut-turut dua buah suara
memanggil dan Gak Luipun cepat berpaling ke belakang.
Ah, ternyata ketiga nona tadi sudah menyusulnya.
"Bukankah engkau hendak mencari Hi Kiam-gin ?"
tanya Siu-mey lebih dahulu.
"Ya." 920 "Jangan buang tenaga sia2. Dia sudah mengasingkan diri tak mau bertemu orang terutama
dengan engkau !" "Apakah engkau tak memberitahu kepadanya bahwa
ayahmu sudah meluluskan untuk mengobati wajahnya ?"
"Sudah kukatakan," kata Siu-mey.
"Lalu bagaimana jawabnya ?"
"Dia mengucapkan terima kasih kepada ayah tetapi
dia tak mau berobat."
"Hm..." Gak Lui mendesuh, "kalau begitu beritahu
padaku di mana tempat tinggalnya. Aku akan
menjumpainya." "Ah, perlu apa" Engkau hanya akan ketemu batu saja
...." "Aku mempunyai urusan yang penting sekali maka
harus bertemu muka dengan dia!"
"Apa?" ketiga nona itu serempak berseru.
"Soal itu amat penting sekali. Mempunyai hubungan
erat dengan perguruanku dan keselamatan sekian
banyak orang. Aku harus berunding dengan cici Kiam gin
...." "O, engkau tak dapat memberitahukan lebih dahulu
kepada kami ?" "Aku harus bertemu dan berunding dengan dia atau
urusan itu sukar dilaksanakan!" sahut Gak Lui.
"Uh, uh....," ketiga nona itu mendengus ejek, "kami
percaya dia tentu tak mau mempedulikan engkau lagi,
sudahlah, jangan jual mahal !"
"Lain soal mungkin dia menolak tetapi dalam urusan
921 ini dia tentu harus mempedulikan. Sudahlah jangan
banyak cakap, bawalah aku ke sana !" Siu-mey terpaksa
menurut. Sambil berjalan ia bersungut-sungut:
"Hm, bagus, kalau belum tiba di dasar sungai Hongho
tentu tak puas. Kami akan melihat bagaimana engkau
nanti memainkan perananmu."
Setelah menyusur tikungan tak berapa lama mereka
tiba di sebuah bangunan. Tempat itu sebenarnya
diperuntukkan tetamu wanita

Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh karenanya suasananyapun sepi. Dari tutup kain jendela yang
ditingkah sinar lilin, tampak sesosok tubuh tengah duduk
di dalam sebuah ruang. Gak Lui duga tentulah nona Hi
Kiam-gin. "Sudah sampai," seru Siu-mey, "urusan meminta
pintu, terserah kepadamu." Gak Lui segera melangkah
maju, mengetuk pintu: "Cici Gin ...." Belum sempat ia
melanjutkan ucapannya, Hi Kiam-gin sudah menyahut
dengan nada sedingin es: "Aku tak menerima tetamu,
silahkan kembali." "Aku Gak Lui...."
"Kutahu engkau ini siapa. Diantara kita berdua sudah
putus hubungan, tak perlu menyebut adik lagi !"
"Aku mempunyai soal penting
kurundingkan dengan engkau...."
yang harus "Kalau tak mau enyah, jangan menyesal kalau
kulepaskan Cek yan-sin hwe yang ganas!" bentak Hi
Kiam-gin yang tak sabar lagi. Cek-yan-sin-hwe atau apisakti-asap-merah, merupakan senjata obat pasang yang
ganas. Begitu menyentuh kulit orang tentu terbakar.
Bahkan rumahpun dapat terbakar oleh obat pasang itu.
Gak Lui terkejut dan mundur selangkah. Dalam pada itu
922 ia memperhatikan ketiga nona tadi. The Hong-lian
tertawa geli, si dara Yan-hong agak kasihan dan Siu-mey
seperti mengejeknya. Gak Lui tak mau menghiraukan
mereka dan berseru pula kepada Hi Kiam gin: "Hi Kiamgin, jika engkau masih ingat akan kematian yang
mengenaskan dari ayahmu dan masih ingin membalas
dendam, kuharap engkau sadar dan mau berunding."
Ucapan itu walaupun tak segera mendapat jawaban
tetapi Hi Kiam-gin berdiam diri tidak segetas tadi. Hal itu
menandakan bahwa ia memang belum dapat melupakan
soal membalaskan sakit hati ayahnya.
"Pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam sudah diberikan
oleh suhumu Lengan besi-hati-baik kepadaku. Engkau
ingin melihat atau tidak ... !"
"Hm... ," Hi Kiam-gin mendengus.
"Besok pagi aku hendak ke gunung Im-leng-san
untuk mencari musuh kita. Siu-mey bertiga ingin ikut.
Kalau engkau suka, bawalah mereka bersama. Kalau
tidak..." "Bagaimana ?" "Kami akan berangkat sekarang !"
"Oh..." Hi Kiam gin mendesuh kejut, "lalu apa
perlunya engkau mencari aku ?"
"Pedang ini....."
"Bagaimana ?" "Soal itu memang ada sedikit liku2 yang harus
kurundingkan dengan engkau. Jika engkau tak
melupakan pemberian ajaran ilmu pedang Bu-san itu,
seharusnya engkau mau menemui kami untuk
berunding." 923 Kembali Hi Kiam-gin berdiam diri. Beberapa saat
kemudian terdengar ia berkata dengan agak gemetar:
"Masuklah....!" Ketika Gak Lui masuk ke dalam kamar itu,
ketiga nona tercengang. The Hong lian leletkan lidah :
"Aneh sekali ! Mengapa engkoh Lui ingin berunding
dengan seorang nona yang begitu dingin. Apakah yang
hendak dirundingkan ?"
"Sudahlah, jangan bicara. Mungkin kita dapat
mendengarkan pembicaraan mereka," seru Su-mey.
Tetapi betapapun ketiga nona itu berusaha untuk
mendengarkan pembicaraan mereka, namun tetap tak
mendengar suatu apa. Rupanya Gak Lui dan Hi Kiam-gin
menggunakan ilmu Menyusup- suara. Beberapa saat
kemudian, Gak Lui berpaling dan mempersilahkan ketiga
nona itu masuk. Gak Lui memperkenalkan mereka
kepada Hi Kiam-gin dan menuturkan riwayatnya
masing2. "Taci bertiga tentu sudah mahir mempelajari ilmu
pedang Busan itu ?" tiba2 Hi Kiam gin mengajukan
pertanyaan. "Ah, kami ingat pelajaran itu ...."
"Bagus," seru Hi Kiam-gin. Ia segera menguraikan
tentang kehebatan dari keempat pedang apabila
serempak bermain dalam ilmu pedang perguruan Busan. Adalah Siu-mey yang cepat dapat menyelami
keadaan, serunya: "Kami masing2 telah mempelajari sebuah jurus dari
ilmu pedang Busan. Apabila kita berempat bergabung,
tentu dapat membantu engkoh Lui membasmi musuh.
Bukankah tujuan ke gunung Im leng-san itu juga dengan
begitu?" "Ini ... ," kata Hi Kiam-gin tersekat, ia tampak ragu2
924 untuk memberi keterangan. Adalah Gak Lui yang
melanjutkan: "Soal itu tidak benar seluruhnya begitu.
Walaupun ilmu pedang istimewa tetapi harus dilihat
bagaimana kepandaian masing2."
"Engkau maksudkan kepandaian kami masih dangkal
sehingga tak dapat menghadapi musuh ?"
"Menurut tingkat kepandaian, kalau ini memang tak
terpaut banyak satu dengan lain. Dan kali ini kepergian
kita ke Im leng- san itu bukan semata2 hanya
menghadapi musuh, tetapi menghadapi ...."
"Siapa ?" "Menghadapi pedang pusaka Thian lui koay-kiam !"
"O !" ketiga nona itu serempak mendesuh kaget. Yan
hong sidara cantik dari Bu-san cepat tertawa: "Adik Lui,
mungkin dahulu kakek gurumu kuatir kalau pedang itu
sampai jatuh ke tangan orang lain maka ia telah siapkan
rencana begitu. Tetapi sekarang pedang sudah berada di
tanganmu, mengapa masih takut lagi!"
Dengan wajah bersungguh Gak Lui menjawab:
"Pedang itu memiliki tenaga iblis. Mudah dimainkan tetapi
sukar ditarik kembali. Untuk lain orang mungkin tak tahu
tetapi engkau tahu jelas sekali !"
"Tentu," sahut Yan hong. Ia teringat akan cerita
ibunya bahwa pedang itu memang sukar dikendalikan
sehingga telah melukai banyak sekali murid2 perguruan
Bu-kau. Ia menggigil dan bertanya : "Adakah engkau ....
menghendaki kami .... menghadapi engkau....."
"Bukan menghadapi tetapi menjaga !"
"Tidak, tidak, tidak!" seru Yan hong dan kedua nona
lainnya dengan serempak. Rupanya hanya Hi Kiam-gin
yang dapat mengetahui intisari dari ilmu pedang dari
925 perguruan Bu-san itu. Boleh dikata tiga dari empat jurus
ilmu pedang itu hanyalah untuk memapas, mencongkel
dan menjatuhkan pedang itu dari tangan orang. Hanya
jurus Hawa-pedang-menembus-malam,
benar2 berbahaya. Pun apabila orang dapat menguasainya juga
takkan melukai orang. Dengan pertimbangan itulah maka
ia dapat menerima permintaan Gak Lui. Gak Lui
menguraikan intisari dari ilmu pedang itu dan cara2
menggunakannya untuk memukul lepas pedang Thianlui-koay- kiam. Demikian hampir setengah hari memberi
pelajaran, akhirnya Gak Lui dapat menjelaskan ketiga
nona itu sehingga mereka mau meluluskan permintaannya. Hanya Yan hong yang tetap berkeras
kepala tak setuju. ---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo--Bab 32 bagian 32.5
"Taci Yan," kata Gak Lui agak kurang senang.
"engkau adalah pewaris dari perguruan Bu-kau. Masakan
engkau tak ingat akan peristiwa kakek guru dahulu"
Mengapa engkau masih berbanyak hati dan kukuh ?"
"Ya, sudah tentu aku ingat.... tetapi pedang dan golok
itu tidak bermata. Apabila sampai melukai engkau....."
Mendengar itu Hi Kiam-gin cepat menyelutuk: "Di dalam
memainkan pedang, titik beratkan pada pertahanan dan
kurangkan serangan. Bukankah tadi dia sudah
mengatakan ...." "Ya, memang dia sudah mengatakan dan akupun
sudah mendengar jelas," sahut Yan-hong.
"Kalau begitu tak perlu cemaslah. Apalagi jurus
Hawa-pedang- menembus-malam itu merupakan jurus
926 yang terakhir, kemungkinan tak perlu digunakan lagi."
"Cici menjamin ?"
"Tak perlu menjamin. Jurus itu engkau yang
menerima pelajarannya. Engkau dapat bergerak menurut
keadaan." "Eh, bukankah tadi telah disepakatkan, bila Gak Lui
tak dapat mengendalikan pedang pusaka itu, kita
berempat harus serempak mengepungnya" Mengapa
sekarang cici mengatakan lain?"
"Ah, bukan begitu. Kita berempat harus membentuk
diri seperti tembok pedang. Lebih dulu membendung
keganasan pedang itu lalu kita gunakan jurus Menjolokbintang-memetik-bintang
atau Membelah-emasmemotong-kumala, memapas jatuh pedang itu dari
tangannya." "Kalau gagal baru kugunakan jurus Hawa-pedangmenembus malam itu, bukan ?" Yan-hong cepat
menyelutuk. "Kukira....," kata Hi Kiam-gin, "tokoh sakti kalau
bertempur, dalam sekejab saja sudah dapat diketahui
menang kalahnya. Oleh karena itu jurus keempat itu
mungkin tak perlu engkau keluarkan. Dan ingat,
walaupun sebuah jurus ilmu permainan itu hebat, tetapi
pun harus mengandalkan tingkat tenaga orang itu....."
"Hm, kalau begitu engkau anggap tenaga
kepandaianku ini yang paling lemah sendiri diantara kita
berempat ini. Sekalipun aku menyerang juga tak sampai
melukai adik Lui," cepat Yan-hong merangkai kesimpulan
sendiri. Hi Kiam-gin diam saja tak mau meladeni Yanhong yang sedang marah itu. Apalagi Siu-mey dan The
Hong-lian saling bertukar pandang seperti menyetujui
927 pernyataan Yan-hong. Melihat itu Gak Lui tak sabar lagi.
Segera ia berkata kepada Yan- hong: "Taci Yan,
katakanlah. Engkau ingin membalas dendam sakit hati
atau tidak?" "Adik Lui, aku ingin sekali menuntut balas," jawab
Yan hong, "dan kuharap engkau berhasil membalas sakit
hati kepada musuh." Dengan mengertak gigi Gak Lui berkata: "Demi
memikirkan perasaanmu terhadap ibumu, terpaksa aku
tak dapat mengelabuhi engkau lagi !"
"Ih, dalam soal apa engkau mengelabuhi aku ?" tanya
Yan hong agak kaget. "Yang menipu dan mencuri ilmu kepandaian Bu-kau
dari ibumu, bukan lain yalah Maharaja Tio Bik-lui itu
sendiri." Mendengar itu seketika pecahlah tangis sinona.
Dengan gemetar ia berseru: "Mengapa.....engkau tak
mengatakan dari dulu ?"
"Karena tiada sempat dan kedua kali demi menjaga
agar engkau jangan menempuh bahaya!"
"Tidak .... tidak peduli bagaimana, aku hendak
mencarinya dan membuat perhitungan......hendak
kucincang tubuhnya ..."
"Tetapi kepandaiannya engkau tentu sudah
mengetahui sendiri. Apalagi ditambah dengan beberapa
ilmu yang istimewa itu, kecuali dengan pedang pusaka
Thian-lui koay-kiam, tak mungkin dapat menundukkannya. Hanya saja apabila menggunakan
pedang pusaka itu harus mempunyai persiapan agar
jangan menimbulkan akibat yang membahayakan lain
orang. Jika engkau benar2 hendak melakukan
pembalasan, engkau harus meluluskan permintaanku.
928 Kalau tidak...." "Bagaimana ?" "Aku takkan membawa kalian semua !"
"Kalau tak dapat menguasai pedang pusaka itu, lalu
bagaimana?" "Toh gunung Im-leng-san itu sunyi belantara, setelah
membunuh musuh, aku akan mencari daya.... kalau perlu
hanya orang dan pedang itu harus hancur bersama agar
jangan menimbulkan dosa berdarah pada lain orang....."
"Jangan! Jangan !" Yan-hong menjerit kaget. Dia tak
tega kalau pemuda itu sampai celaka. Tetapi iapun tak
sampai hati untuk bertempur mengepung Gak Lui.
"Ah, di dunia ini memang penuh dengan soal
kesukaran dan penderitaan," tiba2 Hi Kiam-gin berkata
dengan nada dingin, "dalam soal hubungan asmara saja
adik Lui belum dapat memutuskan, sekarang akan
bertambah dengan soal pembalasan sakit hati. Dalam
soal pembalasan ini, aku memang wajib mengambil
bagian dan harus membantu sekuat tenaga. Yang
dibutuhkan adik Lui, bukan bantuan tenaga untuk
menghancurkan musuh melainkan apabila selesai
menghancurkan musuh, pedang Thian-lui-koay-kiam itu
akan membuas dan membunuh orang lain. Nah, keadaan
itulah yang memerlukan tenaga kita untuk mengatasinya.
Kecuali kita memang menghendaki dia ....supaya binasa
bersama pedang pusaka itu ...."
Ucapan itu telah menggetarkan sanubari ketiga nona
yang lain. Serempak mereka berkata dalam hati, rela


Pedang Kunang Kunang Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menempuh bahaya daripada membiarkan Gak Lui akan
binasa bersama pedang Thian-lui-koay-kiam. Akhirnya
dengan airmata bercucuran, Yan-hong menerima
929 permintaan Gak Lui. Gak Lui serasa terlepas dari himpitan batu besar. Ia
memandang dengan penuh rasa terima kasih kepada Hi
Kiam-gin. Nona itu tundukkan kepala. Dua butir airmata
menitik turun dari pelupuknya. Setelah perundingan
selesai, Hi Kiam-gin mengantar keluar tetamunya lalu
seorang diri masuk kedalam kamarnya. Siu-mey
bertigapun kembali kedalam kamar dan tidur. Gak Lui
masih mondar mandir dalam paseban markas Ceng-siapay. Di ruang sembahyang peti-mati Thian Wat totiang
masih terdengar para anak murid Ceng-sia-pay
membaca kitab suci, memanjatkan doa untuk arwah
Thian Wat totiang. Kemudian ia ke ruang samping dan
duduk bersemedhi. Entah berapa lama, tiba2 ia terkejut
bangun. Saat itu hari sudah terang tanah tetapi yang
mengejutkan Gak Lui yalah suara hiruk pikuk yang
menggema dalam ruang paseban besar itu. Cepat ia
melangkah keluar. Suara hiruk pikuk makin nyaring.
Seluruh markas seolah-olah tergetar. Cepat ia mencari Hi
Kiam gin dan ketiga nona lainnya untuk diajak berangkat
Im-leng-san. Tetapi ketika ia melangkah keluar, kejutnya
bukan kepalang. Hidungnya terbaur angin berbau anyir
yalah bau dari bangsa ular.
"Hai, dari manakah sekian banyak ular itu "
Sekalipun gunung ini ada ularnya, juga tak bergolak
seperti ini ?" pikirnya terus hendak mencari Siu-mey.
Baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan Thian
Lok totiang ketua Ceng sia-pay. Dilihatnya ketua Cengsia-pay itu tengah bingung sembari memberi petunjuk
kepada anak murid untuk mengelompok jadi satu.
Ratusan anak murid Ceng-sia-pay itu sama menghunus
pedang, ujungnya ditunjukkan ke tanah. Mata merekapun
memandang ke tanah dengan ketakutan. Melihat itu Gak
Lui cepat melesat ke hadapan Thian Lok totiang.
930 "Sauhiap, ke manakah engkau ini " Mengapa sampai
lama tak dapat kucarimu..." seru Thian Lok totiang.
"Aku sedang duduk bersemedhi di ruang samping.
Tolong tanya, apakah yang terjadi?"
"Ular ... barisan ular telah menyerbu markas di
gunung Ceng-sia- san sini. Murid2 dari partai2 persilatan
yang sedang tidur banyak yang digigit terluka ... bahkan
mati." "Lalu di manakah para ciang-bunjin?"
"Berada di sekitar gunung ini memberi petunjuk
kepada anak muridnya menghadapi serangan ular..."
"Oh, banyakkah jumlahnya ular itu?"
"Tak dapat dihitung banyaknya. Markas Ceng-sia-pay
mungkin akan penuh!" Gak Lui terkejut. Karena ia pernah
makan rumput Hiang-coh, ia tak takut kepada bangsa
ular. Tetapi ia tahu bagaimana kelihayan bangsa ular itu.
Bagi orang persilatan yang belum tinggi kepandaiannya
tentu tak dapat melawan. Diam2 ia heran siapakah tokoh
yang mampu memerintahkan barisan ular untuk
menyerang markas Ceng-sia-pay itu " Tiba2 ia teringat
bahwa di antara yang datang ke Ceng-sia-san itu
terdapat juga partai Pengemis daerah selatan.
Pemimpinnya si Pengemis Ular yang termasyhur itu
memang hendak melakukan pembalasan sakit hati atas
musuh yang telah membunuh Pengemis-jahat.
"Ketua partai Kay-pang seorang ahli menghadapi
bangsa ular beracun. Sekarang ini dia berada di mana?"
"Di bagian selatan gunung. Tetapi menurut katanya,
ia mungkin tak mampu menghadapi serangan sekian
banyak ular ini." "Kewalahan?" 931 "Ya," sahut ketua Ceng sia pay.
"Lalu di manakah adikku Siu-mey itu ?"
"Dia sih mempunyai daya. Saat ini sedang
mempertahankan dibagian muka gunung dan hendak
mencari sauhiap!" "Kalau begitu harap totiang menjaga diruang paseban
ini, aku hendak mencarinya." Sepanjang jalan Gak Lui
melihat anak murid partai persilatan masing2 membentuk
diri dalam barisan, menggunakan senjatanya untuk
menghalau serangan barisan ular ular. Tetapi ular2 itu
pun lincah dan gesit sekali sehingga masih ada yang
dapat meloloskan diri. Gak Lui percepat larinya. Ia
lepaskan hantaman untuk menghancurkan barisan ular
itu. Tetapi di luar markas, kawanan ular itu makin banyak
jumlahnya. Tokoh2 silat yang berilmu tinggi terhambat di
tengah barisan ular. Mereka mengamuk dan membabat
kawanan ular itu. Tetapi asal sedikit ayal saja tentu ada
yang digigit ular. Dan begitu orang itu rubuh tentu terus
dibuat "pesta' oleh kawanan ular. Dalam beberapa kejab
saja, tubuh orang itu habis dagingnya dan tinggal
merupakan seperangkat tulang tengkorak. Dalam
perjalanan itu tak sedikit Gak Lui menolong beberapa
orang. Tetapi ketika hampir tiba di pintu markas, ternyata
di situ sudah merupakan seperti lautan ular. Melihat itu
Gak Lui segera gunakan pedangnya untuk mengamuk.
Bum, bum, bum ... pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam
dan pukulan, menyiak sebuah jalan-darah. Dan saat itu ia
sudah berada diluar pintu besar. Didalam lingkaran
hanya seluas tiga tombak tampak seorang tokoh
menggunakan senjata aneh, sebuah payung besi dan
sebuah kipas besi. Bagaikan angin puyuh yang menderu
deru, orang itu mengamuk sehingga tiada seekor ularpun
yang mampu menyusup dekat.
932 "Sebun sianseng, berhentilah. Akulah yang datang!"
seru Gak Lui serentak. Karena tahu ular tak dapat
masuk, Sebun sianseng hentikan gerakannya. Dan saat
itu Gak Luipun menyelinap mendekatinya.
"Sauhiap, aku sudah terkepung oleh kawanan ular
jahat. Sungguh tak nyana kalau aku benar2 merasa
kewalahan menghadapi mereka," Sebun sianseng
tertawa hambar. "Kalau sianseng tak kuat, bolehkah aku memberi
bantuan?" tanya Gak Lui.
"Tak usah! Tadi gadis ular Siu-mey sudah
menghampiri kemari dan memberikan rumput wangi
kepadaku. Oleh karena itu aku dapat terlindung dari
bahaya maut..." "Dimana dia sekarang?"
"Menyusur lamping gunung..."
"Mengapa?" "Dia percaya beberapa ketua partai persilatan tentu
serupa keadaannya dengan diriku. Maka dia hendak
mencari mereka untuk membagikan rumput wangi itu."
"Marilah kuantar sianseng ke dalam markas, di sana
keadaannya lebih aman ...."
"Juga tak perlu," sahut Sebun sianseng, "kalau tak
dapat membasmi orang yang melepaskan ular itu, dalam
setengah hari saja di luar dan di dalam markas tentu
akan dibanjiri ular. Maka lebih baik aku tetap berada di
sini. Kalau musuh hendak menyerang ke atas, aku dapat
menahannya." Gak Lui anggap pernyataan tokoh itu
beralasan juga. Maka ia minta diri dan menuju ke arah
yang ditunjukkan Sebun sianseng untuk mencari Siumey. Tetapi sampai melingkari gunung, tetap ia tak
933 berhasil menemukan Siu-mey. Yang dijumpainya
hanyalah beberapa ketua partai persilatan. Mereka ada
yang bersembunyi dalam guha ada yang di atas dahan
pohon dan ada pula yang keadaannya serupa dengan
Sebun sianseng tadi yalah terkurung di tanah datar.
Adalah karena makan rumput-wangi pemberian Siu-mey,
mereka dapat bertahan dari serbuan ular. Tak berapa
lama tibalah ia dibalik gunung. Terdengar desis gemuruh
dan bau yang anyir sekali dari sebuah dinding tinggi yang
terdiri dari beribu ekor ular. Didepan tembok ular itu
tampak dua sosok tubuh, seorang tua berambut putih
dan seorang nona cantik sedang berputar-putar. Orang
tua itu ternyata Ong Ping-gak ketua Kay-pang dan sinona
yalah Siu-mey. Mulut Siu-mey bersuit perlahan untuk
menghalau ular sedang kedua tangannya bagai orang
menari-nari. Sepasang ular kecil yang menghias
tangannya itu pun bergeliatan mematuk musuh. Ular
yang betapa besar dan berbisa, apabila tersentuh oleh
sepasang ular kecil dari Siu-mey itu tentu jatuh ketanah
dan mati. Walaupun kedua orang itu sibuk membasmi
serangan ular tetapi karena jumlah barisan ular itu
terlampau banyak maka sukarlah bagi keduanya untuk
menghancurkan semua. Melihat itu Gak Lui terus maju
menghampiri. "Sauhiap," seru Ong Ping-gak dengan girang seraya
membuka jalan untuk Gak Lui. Siu-mey pun bukan
kepalang girangnya : "Engkoh Lui, kebetulan sekali engkau
Rumput-wangiku sudah habis kubagi-bagikan.
dibelakang barisan ular itu ada orang yang
perintah. Aku kewalahan untuk menghalau
harap engkau cari daya !"
datang. Rupanya memberi mereka, Sejenak berpikir, Gak Lui berkata ; "Tentulah
934 perbuatan si melihatnya?" Pengemis Ular itu. Apakah engkau "Tidak," sahut Siu-mey, "aku sibuk dengan serangan
ular sehingga tiada perhatian kesitu."
Kemudian Gak Lui bertanya kepada ketua Kaypang.
Pun ketua partai pengemis itu menyatakan tak melihat
orang itu. Ia menambahkan keterangan: "Pengemis Ular
itu memang misterius dan hebat dalam ilmu
menundukkan ular. Andai nona Li tak berada disini,
tulang2ku tentu sudah dimakan kawanan ular jahat itu...."
Melihat kedua ahli menundukkan ular itu kewalahan
juga, terkejutlah Gak Lui. Ia memandang kesekeliling
penjuru. Ah, empat penjuru hanya lautan ular berbisa.
Tetapi tiba2 matanya tertarik pada seekor benda yang
aneh. Besarnya sepelukan tangan orang, panjang satu
setengah meter. Kaki dan kepala sama besarnya
sehingga mirip seperti sebuah tiang daging. Cepat Gak
Lui menduga sesuatu. Ia berseru kepada Siu-mey :
"Ikut aku !" dengan pedang pusaka Thian lui-hoaykiam ia terus mendahului menerjang barisan ular. Dalam
dua tiga kali loncatan ia sudah tiba diatas batu karang itu.
Rupanya ular aneh yang bergeliatan diatas karang itu
tahu juga akan gelagat yang berbahaya. Ular itu
membalikkan badan melorot turun. Tetapi terlambat.
Sekali loncat, kaki Gak Lui pun sudah menginjak perut
ular itu. Ular aneh itu melengkung tubuhnya, tiba2
menyemburkan cairan air racun. Tetapi tubuh Gak Lui
sudah kebal dengan racun ular. Ia keraskan injakannya
sehingga ular aneh itu menjerit jerit kesakitan dan tiba2
dapat meratap : "Tuan, ampunilah jiwaku ..."
"Siapa yang engkau sebut tuan itu?" dengan marah
Gak Lui perhebat kakinya sehingga mulut orang itu
935 menyembur darah segar. ---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo--Bab 32 bagian 32.6
"Sauhiap .... sau ... hiap ampunilah jiwaku...!" orang
itu merintih- rintih minta ampun.
"Rupanya engkau ini anak buah si Pengemis Ular,"
Seru Gak Lui seraya gunakan ujung jari untuk menggurat
tubuh ular itu, bratt.....kulit ular pecah dan tampaklah
sebuah wajah menyeringai kesakitan dari seorang
pengemis. "Ya ... ya ....," dengan napas terengah-engah, orang
itu mengangguk. "Lekas bilang, dimana dia sekarang?"
"Sembunyi ditengah tembok ular itu !"
"Bangun !" bentak Gak Lui, "bawa aku kesana !"
"Baik ... ," baru orang itu mengucap, tiba2 di udara
meluncur seekor ular kecil yang terus menyambar dan
menggigit tenggorokannya. Orang itu mengaduh tertahan
terus rubuh ke bawah batu karang ! Gak Lui menjentik
ular kecil itu tetapi dengan gesit ular itu terbang hendak
Pendekar Naga Mas 6 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Misteri Rumah Berdarah 2
^