Pencarian

Sang Fajar Bersinar 10

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 10


kedua pemuda ini kepada kedua putri Raja Melayu.
Datuk Belang tersenyum mendapatkan tidak ada
yang menjawab pertanyaannya.
"Apakah pertanyaanku begitu sulit?", bertanya Datuk
Belang masih dengan penuh senyum.
"Pertanyaan Datuk memang begitu sulit untuk dapat
652 kami menjawabnya", berkata raden Wijaya seperti orang
yang tidak berdaya. "Bila pertanyaanku yang pertama ini begitu sulit, aku
akan memberikan sebuah pertanyaan kedua, semoga
pertanyaan kedua ini tidak sulit untuk dijawab", berkata
Datuk Belang sambil memandang Mahesa Amping dan
Raden Wijaya secara bergantian.
"Semoga saja tidak serumit pertanyaan pertama",
berkata Raden Wijaya tidak sabaran untuk mendengar
pertanyaan kedua dari datuk Belang.
"Dengarkan", berkata Datuk Belang. "Bersediakah
kalian berdua menjadi suami dari dua orang putri Dara
Petak dan Dara Jingga, seandainya ayahandanya datang
kepada kalian, meminang kalian berdua ?"
"Meminang kami?", bertanya Mahesa Amping.
"Aku ingin jawaban dan bukan balas bertanya",
berkata Datuk Belang. "Bukankah kalian sudah tahu adat
di Tanah Melayu, pihak wanitalah yang akan datang
meminang", berkata kembali Datuk Belang.
"Dua pertanyaan yang datuk sampaikan kepada kami
memang begitu sulit untuk dapat kami jawab, pertanyaan
pertama menyangkut kepentingan perasaan pribadi kami,
sementara pertanyaan kedua berkaitan erat dengan
tugas kami sebagai utusan Sri baginda Maharaja
Singasari, dan kami tidak ingin terjebak dalam
perselingkuhan antara tugas dan pribadi", berkata
Mahesa Amping mewakili sahabatnya Raden Wijaya.
"Sudahlah ayah, dua orang tamu kita sudah begitu
pening, jangan berputar-putar", berkata Pranjaya yang
kasihan melihat Mahesa Amping dan Raden Wijaya
seperti orang kebingungan.
653 "Baiklah kalau begitu. Aku akan memberikan
pertanyaan ketiga, untuk menjawabnya dibutuhkan
sebuah keberanian", berkata Datu Belang sambil
memandang Mahesa Amping dan Raden Wijaya
bergantian. Bibirnya masih menyungging sebuah
senyum. "Mudah-mudahan kami dapat menjawabnya", berkata
Raden Wijaya. "Sebelum kusampaikan pertanyaanku, aku akan
sedikit bercerita", berkata Datuk Belang.
Sebagaimana yang dikatakan, Datuk Belang pun
akhirnya bercerita. Dahulu kala, ayahanda Srimat Tribhuwanaraja
bersahabat dengan seorang pendeta suci bernama
Empu Mraten. Kepada sahabatnya ayahanda Tribhuwanaraja telah berjanji bahwa salah satu putranya
akan diberikan kepada sahabatnya itu yang kelak akan
dididik menjadi pendeta suci.
Namun janji ayahanda Tribhuwanaraja tidak dapat
dilaksanakan, karena beliau hanya berputra tunggal.
Ketika Tribhuwanaraja dinobatkan sebagai Raja,
Empu Mraten datang untuk mengingatkan janji
ayahandanya dengan mengatakan bahwa bila janji ini
tidak dilaksanakan akan membawa malapetaka besar di
Tanah Melayu. "Aku hanya berputra tunggal", berkata Ayahanda
Tribhuwanaraja penuh kebingungan kepada sahabatnya
Empu Mraten. Ketika masalah ini disampaikan kepada Tribhuwanaraja, sebagai seorang anak yang berbakti ia
mencoba memberikan sebuah usulan.
654 "Permaisuriku tengah mengandung, seorang putra
atau seorang putri, aku akan memberikannya kepadamu
sebagai pengganti diriku", berkata Tribhuwanaraja
kepada Empu Mraten. Akhirnya Empu Mraten menerima usulan itu.
"Bilamana anakmu seorang putra, aku akan
menjadikannya sebagai seorang Srimat, namun bila
anakmu seorang putri, aku akan mengembalikannya
setelah dia dewasa. Yang datang mengambil anakmu
adalah seorang perjaka yang mampu mengalahkan
ilmuku", berkata Empu Mraten memberikan beberapa
persyaratan. Beberapa bulan kemudian Sang permaisuri
melahirkan anak pertamanya. Dan ternyata anak yang
dilahirkan itu adalah seorang putri.
Sampai disitu Datuk Belang mengakhiri ceritanya,
penuh senyum memandang kepada Mahesa Amping dan
raden Wijaya. "Pertanyaan ketiga, siapakah diantara kalian yang
dapat mewakili untuk mengambil putri Tribhuwanaraja
dari tangan Empu Mraten?", bertanya Datuk Belang.
"Aku bersedia mewakili mengambil putri Raja",
berkata Mahesa Amping langsung menawarkan dirinya.
"Terima kasih, kamu telah menjawab langsung
pertanyaanku yang ketiga. Berarti pula bahwa dua buah
tugasku yang kuemban dari Tribhuwanaraja telah
kutunaikan", berkata Datuk Belang.
"Aku belum dapat menangkap perkataan Datuk yang
terakhir", berkata Raden Wijaya.
"Tadi pagi aku dipanggil Sri Baginda Raja, beliau
memberikan dua buah tugas kepadaku, tugas pertama
655 adalah datang ke Singasari untuk meminang kalian
berdua. Tugas selanjutnya adalah meminta kalian
mengambil kembali putrinya dari pendeta suci Empu
Mraten. Kedatangan kalian adalah berkah tak terkirakan
untuk kami. Kalian datang seperti pucuk dicinta ulampun
tiba", berkata Datuk Belang dengan mata berbinar-binar
penuh kegembiraan. "Dimana kami dapat menjumpai Empu Mraten ",
bertanya Mahesa Amping. "Mereka tinggal disebuah kuil suci bernama kuil
Muaro, berjarak sekitar setengah hari perjalanan dari
Kotaraja. Pranjaya dapat menjadi petunjuk jalan yang
baik untuk kalian", berkata Datuk Belang.
Semua mata memandang kepada Pranjaya. Baru
disadari bahwa Pranjaya ternyata telah memakai busana
seorang prajurit lengkap Tanah Melayu.
"Kamu sudah menjadi seorang prajurit?", berkata
Lawe. "Benar, namaku sekarang adalah Hang Pranjaya, Sri
Baginda Raja telah mengaruniakan kepadaku sebagai
Senapati prajurit perang", berkata Pranjaya penuh
kebanggaan. "Tanah Melayu ini akan menjadi aman dibawah
lindungan seorang senapati perangnya yang berilmu
tinggi", berkata Raden Wijaya memberi selamat kepada
Pranjaya. "Bukankah Sri Baginda Raja pernah meminta kalian
sebagai panglima prajuritnya?", berkata Pranjaya.
"Dan sekarang dua dari pemuda ini tidak akan
menolak pinangan Sri Baginda Raja untuk kedua
putrinya", berkata Datuk Belang yang ditanggapi penuh
656 tawa semua yang ada di panggung pendapa.
Dan haripun terus berlalu membawa sang waktu
berjalan melewati malam. Pagi itu matahari sudah merayap mengintip dari selasela hutan galam ketika sebuah jukung terapung diatas
sebuah anak sungai Musi. Diatas jukung itu duduk dua
orang pemuda yang terlihat bersama mendayung dengan
kayuhnya membawa jukung melaju meluncur membelah
air sungai yang jernih. Dua orang pemuda diatas jukung itu ternyata Mahesa
Amping dan Pranjaya. Mereka tengah melakukan
perjalanan menuju Kuil Suci Muaro yang terletak di pulau
kecil bernama Pulau Muaro. Dikuil itulah tempat tinggal
Empu Mraten sebagai guru suci membagi ilmu bersama
murid-murid setianya. Pulau Muaro adalah sebuah bukit kecil yang
dikelilingi oleh sebuah sungai. Di puncak bukit kecil itulah
sebuah kuil berdiri megah dihiasi taman hutan alam yang
asri dibawahnya menambah keelokan kuil seperti sebuah
persinggahan milik para dewa-dewi.
"Kuil Muaro sudah terlihat", berkata Pranjaya sambil
menunjuk ke sebuah arah. "Kuil diatas bukit, sebuah kuil yang indah", berkata
Mahesa Amping sambil tak jemu memandang kuil diatas
bukit yang memang seperti lukisan alam yang indah.
Akhirnya jukung mereka telah menepi di Pulau
Muaro. Terlihat mereka tengah mendekati sebuah anak
tangga batu. Itulah jalan satu-satunya menuju kekuil
Muara yang berada diatas puncak bukit kecil itu.
"Apakah anak muda berdua akan melakukan
persembahan?", bertanya seorang yang sudah begitu tua
657 dipintu masuk kuil penuh keramahan. Orang tua itu
sebagaimana para penghuni sebuah kuil pada umumnya,
memakai kain kasar berwarna putih yang sudah kusam
melilit beberapa bagian tubuhnya.
"Kami datang bukan untuk melakukan persembahan,
kami datang untuk menemui Guru Suci Empu Mraten",
berkata Pranjaya juga dengan penuh hormat.
Orang tua itu memandang Mahesa Amping dan
Pranjaya sambil tersenyum.
"Teruslah kalian berjalan, ketika kalian menemui
sebuah kolam ikan, berbeloklah kekanan hingga kalian
menemui sebuah altar batu, tunggulah disitu", berkata
orang tua itu. Mahesa Amping dan Pranjaya mengikuti arah yang
ditunjukkan orang tua itu. Akhirnya mereka menemui
sebuah altar yang menghadap sebuah taman kecil.
Sebuah taman kecil yang indah yang sepertinya terawat
dengan baik. Tidak lama kemudian muncullah orang tua yang
mereka temui di pintu kuil, hanya bedanya orang tua itu
memakai pakaian yang lebih baik, masih bersih dan
belum menjadi kusam. "Mungkin kalian menjadi bingung, orang yang kalian
temui di muka kuil itu adalah saudara kembarku,
bukankah kalian mengatakan kepadanya ada urusan
denganku?", berkata orang itu dengan penuh ramah
yang ternyata adalah Guru Suci Empu Mraten Sendiri.
Mahesa Amping dan Pranjaya memang melihat
kesamaaan itu, maka dengan penuh hormat
mengucapkan salam kepada orang tua dihadapannya itu.
"Mari kita bicara diatas altar", berkata Empu Mraten
658 mempersilahkan dua orang tamunya duduk diatas
sebuah batu altar yang bersih dan begitu licin, mungkin
sudah puluhan tahun dipakai sebagai tempat pertemuan
dan sudah sering diduduki.
Mahesa Amping dan Pranjaya langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka di kuil
Muaro itu. "Jadi kalian adalah utusan Tribhuwanaraja untuk
membawa kembali putrinya", berkata Empu Matren
penuh senyum. "Benar, untuk itulah kami datang ke kuil ini", berkata
Mahesa Amping membenarkan.
"Pastinya kamu sudah tahu persyaratan yang telah
disepakati", berkata Empu Matren kepada Mahesa
Amping sambil menatap tajam seperti tengah mengukur
sejauh mana tingkat ilmu pemuda itu.
"Diriku menjadi salah satu persyaratan itu", berkata
Mahesa Amping. "Aku yakin Tribhuwanaraja tidak akan salah memilih
orang", berkata Empu Mraten masih memandang tajam
kearah Mahesa Amping. "Semoga aku dapat mengemban tugas ini dengan
baik", berkata Mahesa Amping.
"Aku akan mengujimu dengan sebuah pertanyaan,
siapakah yang lebih bodoh dari keledai dungu ?",
bertanya Empu Matren. Mahesa amping diam sejenak, pertanyaan itu
mengingatkan dirinya kepada Mahendra. Disaat masih
kecil sering dibacakan kepadanya berbagai kitab kuno,
dan terakhir lewat Gurusuci Darmasiksa pengenalannya
terhadap isi kitab-kitab kuno itu menjadi semakin kaya
659 dan semakin tembus pandang.
"Yang paling dungu dari seekor keledai dungu adalah
buih ombak yang mengaku sebagai lautan", berkata
Mahesa Amping yang ingat pada salah satu syair dalam
sebuah kitab kuno. "Luar biasa, aku senang dengan kamu anak muda,
ternyata kamu sudah mendalami sebuah kitab kuno yang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat rahasia, hanya para brahmana yang diperkenankan menelitik kitab kuno itu", berkata Empu
Matren gembira Mahesa Amping telah mampu menjawab
pertanyaannya. Terlihat Mahesa Amping bernafas lega, pertanyaan
Empu Matren ternyata menguji sejauh mana tingkat
pemahamannya mengenai ajaran Tatwa.
"Anak muda, apakah kamu dapat bersembunyi di
tempat terang", bertanya kembali Empu Matren yang
sepertinya menguji Mahesa Amping sejauh mana
pengenalannya pada ilmu kejiwan.
Terlihat Mahesa Amping tersenyum, terlintas hari-hari
terakhir pertemuannya dengan Gurusuci Darmasiksa di
Padepokan Kahuripan. "Aku bahkan dapat bersembunyi di tengah lapangan",
berkata Mahesa Amping dengan penuh senyum.
"Ternyata Tribhuwanaraja tidak salah mengutus
orang", berkata Empu Matren merasa puas sekali.
"Anak muda, ayahanda Trubhuwanaraja adalah
sahabatku, tahukah kamu mengapa dirinya akan
menyerahkan putranya kepadaku?", bertanya Empu
Matren kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping menggelengkan kepalanya tanda
tidak mengetahuinya. 660 "Ayahanda Tribhuwanaraja kalah taruhan kepadaku,
beliau tidak dapat memecahkan jurus ilmu yang
kuciptakan sendiri bernama jurus tapak suci teratai
terbang", berkata Empu Matren.
"Mari kita ke sanggar terbuka", berkata Empu Matren
bangkit dari duduknya mengajak Mahesa Amping dan
Pranjaya mengikutinya. Terlihat mereka memasuki kuil lebih kedalam,
ternyata ditengah bangunan kuil ada ruangan terbuka.
Sebuah ruangan yang cukup luas untuk sebuah sanggar
tempat berlatih olah kanuragan. Beberapa cantrik
langsung menghentikan latihannya ketika mereka melihat
kedatangan Empu Matren, Pranjaya dan Mahesa
Amping. "Persiapkan dirimu anak muda", berkata Em Matren
yang sudah terlihat berdiri kokoh diatas kedua kakinya.
"Aku sudah siap", berkata Mahesa Amping yang juga
telah berdiri berbuat yang sama menyalurkan tenaganya
di atas kedua kakinya yang sepertinya menapak dengan
kuat diatas lantai tanah sanggar terbuka.
Tiba-tiba saja tubuh Empu Matren melenting terbang
menyerang dengan cepat kearah tubuh Mahesa Amping.
Menghadapi serangan awal yang keras dan cepat itu,
Mahesa Amping bergerak menghindar dengan ilmu
meringankan tubuhnya yang nyaris sempurna. Namun
Empu Matren tidak melepasnya, terus memburu
kemanapun Mahesa Amping bergerak menghindar.
Serangan demi serangan Empu Matren terlihat begitu
cepat dan sangat berbahaya, kadang seperti menjepit
dalam dua sisi serangan yang bersamaan, namun
Mahesa Amping selalu dapat menghindar. Pertempuran
661 terlihat begitu seru dan menjadi begitu cepat, terlihat
tubuh-tubuh mereka melesat begitu cepat seperti dua
ekor burung sikatan bertempur diudara saling berkejaran.
Empu Matren menjadi begitu penasaran, sudah
puluhan jurus dikeluarkannya belum juga dapat
mengalahkan Mahesa Amping yang selalu menghindar
dan tidak melakukan balas menyerang.
Ternyata Mahesa Amping tidak hanya menghindar,
diam-diam membaca setiap gerakan Empu Matren,
memahat dan menyimpannya didalam benaknya.
Mahesa Amping memang mempunyai daya ingat yang
luar biasa, hanya dengan sekali pandang ia dapat
mengingat semua jurus yang dilakukan oleh Empu
Matren. Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Empu Matren.
Wajahnya yang sudah berkeriput ternyata tidak
sebanding dengan kekuatan dan kecepatan bergeraknya
yang nampak begitu kuat dan sangat cekatan.
"Luar biasa, semuda ini sudah dapat menguasai ilmu
meringankan tubuh yang nyaris sempurna", berkata
Empu Mraten dalam hati sambil terus memburu
kemanapun Mahesa Amping menghindar.
"Pengulangan yang ketiga", berkata Mahesa Amping
dalam hati telah dapat menyimpan dan menghapal
seluruh jurus yang dilakukan oleh Empu Matren.
Ternyata Mahesa Amping telah dapat mencerna
seluruh jurus yang dikeluarkan Empu Matren yang
diciptakannya sendiri bernama Tapak Suci Teratai
Terbang. "Luar biasa", berkata Empu Matren yang tiba-tiba
saja mendapatkan serangan dari Mahesa Amping.
662 Empu Matren seperti tidk percaya dengan apa yang
dilihatnya, Mahesa Amping telah menyerangnya dengan
jurusnya sendiri. Ternyata Mahesa Amping sambil bertempur telah
berhasil mengubah setiap jurus milik Empu Matren
menjadi lebih sempurna. Terlihat Empu Matren telah menghadapi jurusnya
sendiri, bahkan menjadi lebih sempurna ditangan
Mahesa Amping. Meski sebagai seorang pencipta, Empu
Matren sudah mengenal betul jurus-jurusnya, maka tidak
heran bila Empu Matren dapat menghindar dan balas
menyerang. Pertempuran mereka seperti sebuah latihan
dari dua orang saudara seperguruan.
"Sempurna", berkata Empu Matren yang nyaris
terkena serangan Mahesa Amping yang diluar
dugaannya telah mengubah jurusnya dengan lebih
sempurnya. "Aku tidak pernah mewariskan ilmuku kepada
siapapun selain kepada murid-muridku", berkata Empu
Matren sambil melenting kebelakang menghindari
serangan Mahesa Amping yang tidak pernah diduganya.
"Hari ini Empu telah mewariskan ilmu itu kepadaku",
berkata Mahesa Amping yang tidak segera memburu dan
menyerang Empu Matren yang melenting kebelakang.
"Aku ingin tahu sejauh mana kamu dapat menyerap
jurusku", berkata Empu matren sambil kembali
melakukan serangan. Maka sebagaimana sebelumnya, sebuah pertempuran kembali terjadi dengan jurus yang nyaris
sama. Mendapatkan jurus ciptaannya dilakukan oleh orang
663 lain, bahkan menjadi lebih sempurna, membuat Empu
Matren menjadi begitu bersemangat seperti anak kecil
mendapatkan mainan baru. Berkali-kali tidak sengaja
keluar pujian mengagumi perubahan jurusnya yang
menjadi begitu indah dan sempurna.
Hingga akhirnya sebuah pukulan berhasil menembus
pertahanan Empun Matren, tangan kanan Mahesa
Amping berhasil menghantam pinggang Empu Matren
yang terbuka. Tubuh Empu Matren terlihat terdorong kesamping
dan jatuh terguling, Mahesa Amping tidak menyalurkan
seluruh kekuatannya. Dan Mahesa Amping juga tidak memburu lawannya.
"Cukup, aku menyerah kalah", berkata Empu Matren
yang telah bangkit berdiri kembali.
"Kukira selama ini jurusku sudah begitu sempurna,
terima kasih telah membuka mataku yang sudah lamur
ini", berkata Empu Matren sambil menjura penuh hormat
kepada Mahesa Amping yang merasa berterima kasih
dan gembira melihat sendiri jurusnya menjadi lebih
sempurna dan begitu indah.
"Jarang sekali aku melihat seseorang yang
mempunyai hati seluas samudera seperti Empu Matren,
melihat dan menghargai setiap karsa, bukan dari siapa
dan dari mana karsa itu berasal", berkata Mahesa
Amping sambil membalas penjuraan hormat dari Empu
Matren. "Mari kita kembali ke altar perjamuan", berkata Empu
Matren menggandeng bahu Mahesa Amping mengajaknya kembali ke Altar perjamuan yang diikuti
Pranjaya di belakangnya. 664 Dengan penuh keramahan Empu Matren menjamu
tamunya Mahesa Amping dan Pranjaya. Kepada seorang
cantrik yang melayani perjamuan itu Empu Matren
meminta untuk memanggil Dara Kencana.
"Sebagaimana yang pernah kukatakan, akan datang
seorang utusan yang datang untuk membawamu kembali
kepada orang tua kandungmu sendiri", berkata Empu
Matren kepada seorang gadis jelita yang datang
bersimpuh dihadapannya. Ternyata gadis jelita itu adalah
Dara Kencana, putri Tribhuwanaraja yang selama ini
diasuh dan dibesarkan di Kuil Muaro.
"Hari sudah senja, bermalamlah di kuil ini,besok aku
baru mengijinkan kalian kembali", berkata Empu Matren
kepada Mahesa Amping dan Pranjaya.
"Persiapkanlah dirimu, besok kamu akan melakukan
sebuah perjalanan", berkata Empu Matren kepada Dara
Kencana yang berpamit mohon diri beristirahat.
Dan malam pun telah datang menyelimuti kuil Muaro,
cahaya bulan temaram menaburkan sinarnya jatuh
mencumbu rumput-rumput hijau yang manja menghias
taman altar perjamuan. Banyak hal yang mereka percakapkan, dan Empu
Matran semakin mengenal Mahesa Amping sebagai
sosok pemuda yang sangat tinggi pemahaman dan
pengenalannya atas ilmu kejiwan. Dan mereka
sepertinya telah menemukan kawan berbincang yang
cocok satu dengan yang lainnya, seperti gayung
bersambut, seperti seikat kacang diatas nampan jamuan,
seperti keranjang menemukan kembali pikulannya yang
lama hilang, membawa mereka kepasar rahasia makna
yang ramai, mendulang keuntungan harta kekayaan
samudera bathin kejiwaan yang begitu luas tak mungkin
665 dapat dikeringkan hanya dalam percakapan semalam,
bahkan sepanjang usia perjalanan diujung kematian.
Ketika bulan bulat penuh rebah dibawah bukit kecil
pulau Muaro, sisa malam yang terasa dingin telah
mengingatkan mereka untuk beristirahat.
"Hari sudah jauh malam, saatnya kalian untuk
beristirahat", berkata Empu Matren mempersilahkan
Mahesa Amping dan Pranjaya beristirahat ditempat yang
telah disediakan. Dan sang waktu akhirnya datang mengubah warna
cakrawala lengkung langit, mendatangkan pagi bersama
sang fajar yang masih malu bersembunyi mengintip
diujung bumi. Kicau burung diatas kuil Muaro seperti nyanyian pagi
yang merdu telah membangunkan penghuninya. Embun
pagi di ujung rumput hijau seperti butiran mutiara
menggeliat dibelai sang surya yang sudah merata
meyirami cahayanya mengusir sisa-sisa dingin malam.
"Perbaktian kepada Sang Hyiang Tunggal tak
terbatas tempat dan waktu, dimanapun wajahmu
berpaling, dimanapun dirimu berdiri, kamu dapat
melakukan persembahan dalam bhakti", berkata Empu
Matren kepada Dara Kencana yang sudah dianggapnya
sebagai anaknya sendiri. "Semoga kesejahteran selalu membimbing perjalanan kalian", berkata Empu Matren ketika Mahesa
Amping, Dara Kencana dan Pranjaya telah bersiap diatas
jukungnya. Dan sebuah jukung telah meluncur membelakangi
kuil Muaro diiringi puluhan mata yang terus mengikutinya
hingga akhirnya telah menghilang tidak dapat terlihat lagi
666 dipersimpangan cabang sungai yang berkelok.
Dua orang pemuda tengah mengayuh jukungnya
menyusuri anak sungai Musi yang berkelok-kelok
dilindungi hutan kayu yang rimbun. Seorang Dara Cantik
duduk diantaranya menatap kedepan, membiarkan angin
pagi meniup rambutnya yang terbang terurai.
Mahesa Amping, Pranjaya dan Dara Kencana tengah
melakukan perjalanannya diatas sebuah jukung di
pedalaman sungai hutan belantara yang kelam. Baru
ketika matahari sudah merayap tinggi mengintip di selasela daun dan batang pohon kayu hutan yang kerap,
jukung mereka telah keluar dari anak sungai Musi, masuk
dalam perairan sungai Musi yang luas dan
panjang.Terlihat dua buah jung besar beriringan
melawan arus sungai purbakala itu.
"Mereka telah kembali", berkata Ratu Anggabhaya
dari anjungan melihat sebuah jung merapat didermaga.
"Seorang putri yang cantik luar biasa", berkata Lembu


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tal yang melihat seorang gadis bersama Pranjaya dan
Mahesa Amping berdiri diatas jukung tengah melangkah
menjejakkan kakinya di ujung bibir dermaga.
Sementara itu Raden Wijaya dan Lawe sudah turun
lebih dahulu langsung menyongsong kedatangan
sahabatnya itu dan menggiringnya dengan berbagai
pertanyaan. "Berkat doa kalian semua, perjalanan kami diberikan
banyak kemudahan", berkata Mahesa Amping sambil
menjawab beberapa pertanyaan Lawe.
"Akan lebih baik bila ceritamu disimpan dulu, mungkin
akan terasa nikmat bila ceritamu mengalir bersama
minuman segar dan sepiring lemang berkuah gulai",
667 berkata Raden Wijaya yang memaklumi kelelahan dua
orang sahabatnya serta Dara Kencana yang baru tiba
dari perjalanan panjangnya.
Dan merekapun terlihat menuju kesebuah kedai
langganan mereka di simpang jalan yang ramai.
"Mudah-mudahan kami tidak ketinggalan alur cerita",
berkata Ratu Anggabhaya yang menyusul kemudian
bersama Lembu Tal dan Kebo Arema.
"Cerita belum dimulai, menunggu datangnya nasi
lemang berkuah gulai", berkata Lawe dengan warna garis
wajahnya yang selalu penuh keceriaan.
Akhirnya sambil menikmati hidangan yang disediakan
di kedai itu, Mahesa Amping bercerita sekitar
perjalanannya ke kuil Muaro dan perjumpaannya dengan
Empu Matren. Sebelum memulai ceritanya, Mahesa
Amping memperkenalkan Dara Kencana kepada semua
yang ada di kedai itu. "Jadi kalian semua berasal dari Tanah Singasari?",
berkata Dara Kencana yang sudah mulai tidak merasa
canggung lagi. Sementara itu mentari diatas Bandar Sebukit telah
bergeser surut, angin membawa pergi awan hitam
berkabut jauh kehilir sungai.
Seiring perjalanan waktu yang terus berlalu, sebuah
iring-iringan kecil terlihat tengah berjalan membelakang
Bandar Sebukit. Iring-iringan itu menjadi perhatian banyak orang
sepanjang jalan antara Bandar Sebukit menuju Kotaraja.
"Diantara mereka pasti ada seorang pembesar dari
Kerajaan Singasari", berkata seseorang yang nampaknya
banyak mengenal berbagai tanda kebesaraan dari
668 berbagai kerajaan kepada seorang kawannya ketika
iring-iringan kecil bersama sekitar sepuluh orang prajurit
yang berjalan membawa berbagai umbul-umbul
kebesaran kerajaan Singasari melewati mereka.
Jarak antara Bandar Sebukit dengan Kotaraja
memang tidak begitu jauh. Kotaraja tempat istana Tanah
Melayu adalah sebuah dataran perbukitan yang cukup
luas dikelilingi sungai, salah satunya adalah Sungai Musi.
Tribhuwanaraja dan Permaisurinya menyongsong
kedatangan iring-iringan kecil itu di depan pintu gerbang
istana yang sudah diberitahukan terlebih dahulu lewat
beberapa utusan yang telah datang mendahului.
Dara Kencana telah dipertemukan kembali kepada
orang tuanya. Sebuah pertemuan yang sangat
mengharukan. Terlihat sang permaisuri memeluk erat putri
sulungnya yang terkasih, sepertinya tidak ingin
melepaskannya lagi, tidak ingin kehilangan kembali.
"Aku tidak bermimpi, aku memang tidak sedang
bermimpi", berkata Sang permaisuri sambil terus
memeluk putrinya. "Ibunda tidak bermimpi", berkata Dara Kencana
berusaha mengendalikan perasaan hatinya yang ikut
terbawa arus keharuan yang begitu sangat.
"Kembali kedatanganmu membawa karunia kebahagiaan untuk kami", berkata Tribhuwanaraja
memeluk Mahesa Amping sebagai ungkapan rasa terima
kasihnya. Dan iring-iringan dari kerajaan Singasari disambut
penuh kehormatan dan keramahan, mereka dijamu di
rumah panggung serapat, sebuah tempat khusus
669 Baginda Raja menerima dan menjamu para pejabat
istana dan tamu-tamu terhormatnya.
"Sempurnalah segala suka cita kegembiraan kita, aku
akan meminang dua orang putra kalian untuk kedua putri
tercintaku, Dara Petak dan Dara Jingga", berkata
Tribhuwanaraja disebuah perjamuannya.
"Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, dengan
segenap penghormatan yang besar mendapatkan
karunia pinangan dari penguasa tanah Melayu yang
besar, kami menyerahkan kedua putra kami", berkata
Ratu Anggabhaya mewakili kepala keluarga pihak lelaki
menerima pinangan Tribhuwanaraja.
"Lain ladang lain pula ilalang, kamipun menerima
persimpangan adat diantara kita sebagaimana keluasan
hati tuan-tuan yang menerima persimpangan adat yang
berbeda dengan hati lapang. Untuk dan atas nama darah
persaudaraan yang abadi, kami serahkan putri terkasih
Dara Kencana sebagai kapur sirih dan pinang hiasan
kasih sayang, menerima pinangan sang penguasa
Singasari Raya", berkata Tribhuwanaraja menerima
pinangan utusan kerajaan Singasari yang diwakili
langsung oleh Ratu Anggabhaya.
Dan gending gamelan kebahagiaan sepertinya
mengiringi suara hati dalam kecap suka cita perjamuan
diatas rumah panggung serapat itu.
Sepekan kemudian telah dilangsungkan sebuah
upacara pernikahan yang dilanjutkan dengan perayaan
besar selama tujuh hari tujuh malam, dihadiri segenap
warga dan pembesar istana, seluruh raja-raja bawahan
Kerajaan Melayu Raya, dan beberapa utusan Kerajaan
sahabat terdekat. Didalam catatan kuno seorang pujangga 670 pengembara, perayaan besar itu terjadi dipertengahan
musim penghujan. Pada saat itu para pelaut memenuhi
daratan, mendamparkan sauhnya di Bandar-bandar
besar yang ramai menanti datangnya musim panas
kembali, memanggil kerinduan para pelaut untuk
mengembangkan layar menyusuri pesisir pantai,
menembus selat raya dan mengarungi samudera.
Selama tinggal di Istana Melayu, Mahesa Amping
dan Raden telah banyak memberikan perubahan yang
berarti, terutama dalam peningkatan tataran ilmu para
prajurit Tanah Melayu. Bersama Pranjaya mereka telah
melatih sepasukan prajurit khusus. Pengalaman mereka
sebagai pelatih para prajurit muda pengawal jung
Singasari di Bandar Cangu telah mengajarkan mereka
berbuat lebih baik lagi meningkatkan kemampuan para
prajurit di tanah Melayu, baik secara perorangan maupun
kemampuan mereka di medan perang secara
berkelompok. Sementara itu Ratu Anggabhaya, Lembu Tal dan
Kebo Arema banyak mengisi waktu mereka berkunjung
kerumah Datuk Belang. Hampir sepanjang malam
mereka terlihat dan terlibat dalam pembicaraan yang
hangat, melupakan kejemuan. Dan datuk Belang adalah
tuan rumah yang baik, mendapatkan kunjungan para
tamu yang baik pula. Dan sepanjang malam rumah
panggung besar itu tidak pernah sunyi dari kehangatan
dan kegembiraan. Diatas langit ribuan burung pengembara terbang
kearah selatan, itulah bahasa alam pergantian musim
penghujan akan berganti. "Semoga persaudaraan kita abadi", berkata
Tribhuwanaraja menyampaikan salam perpisahannya
kepada iring-iringan kecil yang dipimpin langsung oleh
671 Ratu Anggabhaya. "Kesetiaanku adalah penantian kesabaran yang
abadi, doa keselamatan akan selalu kupanjatkan untuk
kakang Wijaya", berkata Dara Petak melepas suaminya
Raden Wijaya. "Terbanglah, tempatmu adalah puncak-puncak
gunung tinggi dibelantara samudera raya. Aku akan
menjaga putramu, membesarkannya untuk dapat
membawaku pergi mencari jejakmu", berkata Dara
Jingga kepada Mahesa Amping penuh senyum
kebahagiaan, tidak ada air mata setetespun. Dara Jingga
tidak menginginkan kesedihannya akan membawa
keraguan langkah suaminya Mahesa Amping.
Dan siang itu Jung Singasari terlihat perlahan
bergerak meninggalkan dermaga Bandar Sebukit
mengikuti aliran sungai Batanghari yang hangat disinari
matahari musim panas yang cerah.
Senja telah menanti Jung Singasari di muara besar
sungai Batanghari. Dan layarpun terlihat telah
terkembang membawa jung Singasari menyusuri pantar
Swarnabumi yang damai. Setelah dua hari dua malam berlayar di lautan,
mereka telah melewati muara sungai Musi. Terlihat jung
Singasari tengah mengarah ke Pulau Banca.
"Pulau Banca adalah tempat persinggahan yang
tepat untuk mengisi persediaan air tawar dan pangan kita
selama berlayar", berkata Kebo Arema menjelaskan
mengapa harus singgah di pulau Banca.
Demikianlah mereka memang telah bersandar di
dermaga Pulau Banca. "Selamat datang saudaraku", berkata Gagak Seta,
672 juragan besar Pulau Banca menyambut kedatangan
mereka. "Musim melaut telah kembali, kulihat banyak jung
besar bersandar di pulaumu", berkata Kebo Arema
kepada Gagak Seta. "Rejekiku akan datang bersama datangnya musim
melaut", berkata Gagak Seta tersenyum.
"Tapi aku tidak melihat barang daganganmu
menumpuk diujung sana?", bertanya Kebo Arema yang
tidak melihat barang dagangan gagak Seta yang
sebelumnya dilihatnya selalu menumpuk tinggi, mulai
dari beras dan berbagai sayuran yang biasanya
dibutuhkan untuk persediaan selama dalam pelayaran
yang jauh. "Sudah dua hari ini para pedagang dikepulauan
Banca ini tidak berani datang menyeberang", berkata
Gagak Seta yang tiba-tiba saja warna garis wajahnya
yang biasanya periang berubah menjadi sedikit masam.
"Apakah ada gangguan dari para perompak?",
bertanya Kebo Arema merasa ikut prihatin.
"Sudah tidak ada lagi perompak yang berkeliaran di
kepulauan banca ini", berkata Gagak Seta sambil
menggelengkan kepalanya. "Jadi apa yang mengganggu mereka?", bertanya
Kebo Arema semakin penasaran.
"Ular naga besar berkaki enam", berkata Gagak Seta
"Apakah kamu sudah pernah melihatnya ?", bertanya
kembali Kebo Arema. "Aku baru mendengar dari orang-orang yang selamat,
yang nyaris dibantai ular besar itu", berkata Gagak Seta
673 sedikit bercerita. "Hari ini kami di Pulau Banca ini
bermaksud mendatangi sarang ular naga itu", berkata
kembali Gagak Seta. "Kami akan ikut menyertai", berkata Kebo Arema
kepada Gagak Seta. "Terima kasih, kami memang butuh orang-orang yang
mempunyai keberanian", berkata Gagak Seta merasa
gembira atas penyertaan Kebo Arema.
"Sampai lupa mengajak kalian singgah dirumahku,
mungkin banyak yang harus kita bicarakan sebelum
mendatangi pulau sarang naga besar itu", berkata Gagak
Seta sambil mengajak rombongan Kebo Arema singgah
dan beristirahat dirumahnya.
Setelah tiba di rumah panggung Gagak Seta, seperti
biasa mereka bersih-bersih dan beristirahat sejenak
menikmati hidangan dari tuan rumah yang cukup ramah.
Akhirnya pembicaraan kembali kepada sesosok ular
naga berkaki enam. Dan gagak Seta bercerita sedikit
tentang ular naga berkaki enam itu.
Gagak Seta bercerita bahwa beberapa puluh tahun
yang lalu, ketika kepulauan Banca ini digunakan sebagai
sarang para perompak. Ada sekelompok bajak laut yang
berhasil menjarah sebuah jung besar yang membawa
banyak barang dagangan. Disebuah pulau mereka membuka berbagai barang
hasil jarahannya itu. Dan salah satu barang jarahannya
itu adalah sebuah peti kayu yang besar.
Bukan main kagetnya para perompak itu ketika
membuka peti kayu besar itu yang ternyata adalah
seekor ular naga berkaki enam. Para bajak laut
semuanya berlari meninggalkan pulau itu.
674 "Sampai saat ini tidak ada yang berani mendekati
pulau itu", berkata Gagak Seta mengakhiri ceritanya.
"Dan baru sekarang Ular naga itu mengganggu


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia?", bertanya Raden Wijaya yang tertarik
mengenai cerita ular naga berkaki enam itu.
"Benar, baru kali ini ular naga itu mengganggu,
mungkin makanan di pulau itu sudah menipis habis",
berkata Gagak Seta. "Mungkin ular naga tua yang terusir dari
kelompoknya, aku pernah mendengar cerita itu", berkata
Mahesa Amping ikut memberikan pikirannya.
"Banyak kemungkinannnya, kita harus datang
kesarangnya, memastikan apa sebenarnya yang telah
terjadi", berkata Gagak Seta.
Akhirnya diputuskan besok pagi mereka akan
berangkat ke sarang pulau naga itu. Gagak Seta akan
mengajak tiga orang lelaki yang berani dari pulau Banca,
sementara itu Kebo Arema mengajak Mahesa Amping,
Raden Wijaya dan Lawe menyertainya.
Keesokan harinya, ketika matahari sudah bangkit
beranjak diujung timur pulau Banca yang terlindung
barisan pohon kelapa yang kokoh berdiri bercanda
bersama hembusan angin pantai bertiup sepanjang hari.
Tiga buah jukung kecil meninggalkan pulau Banca.
Mereka adalah para lelaki pemberani yang akan menuju
ke pulau naga. Tidak ada hambatan apapun ketika mereka telah
mendekati Pulau Naga yang sudah puluhan tahun tidak
ada seorangpun yang berani mendekatinya.
Terlihat tiga buah jukung telah sampai dipantai pulau
naga. Delapan orang lelaki melompat menjejakkan
675 kakinya dipasir putih pantai yang telah hangat terbakar
sinar matahari. Semua mata tertuju kepada sebuah hutan
kayu yang rimbun dihadapan mereka, pohon-pohon kayu
raksasa yang besar tinggi menutup seluruh daratan pulau
naga itu. "Berhati-hatilah", berkata Kebo Arema
dimuka mendekati hutan kayu yang lebat itu.
berjalan "Lihatlah, ular naga besar itu masuk dari tempat ini",
berkata salah seorang lelaki dari pulau Banca yang ikut
menyertai mereka melihat sebuah semak yang terkuak,
beberapa ranting kecil nampak patah.
"Kita masuk lewat jalan ini", berkata Gagak Seta.
Jejak itu memang cukup besar, memudahkan mereka
untuk berjalan menembus hutan yang penuh semak
belukar itu. Mereka belum masuk begitu jauh menembus
kerapatan belukar hutan, tiba-tiba saja langkah kaki
mereka terpaksa berhenti.
Nafas mereka sepertinya tertahan, tidak jauh dari
mereka terlihat dua sosok ular naga berkaki enam diatas
sebuah belumbang. Panjang ular naga itu mencapai
sekitar sepuluh meteran, badannya sebesar sepelukan
orang dewasa. "Ular naga yang besar", berbisik Kebo Arema seperti
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Belum habis perkataan Kebo Arema, tiba-tiba saja
mereka melihat kedua naga besar itu seperti gelisah.
"Menyingkir jauh-jauh", berkata Kebo Arema yang
melihat dua ekor naga besar itu melangkah mendekati
mereka. 676 Maka dengan sigap mereka berlari menjauh.
Ternyata kedua ekor naga besar itu tidak mengejar
mereka, tapi terus berjalan dengan keenam kakinya
mengikuti jejak yang sepertinya jalan mereka untuk
menuju kepantai. Menyadari bahwa kedua ekor naga besar itu tidak
mengejar mereka, maka dengan keberanian yang teguh
kedelapan orang pemberani itu terus membuntuti arah
langkah kedua ekor naga itu.
Kedua ekor naga besar itu telah mencapai pantai,
ternyata kegelisahan mereka karena ada seekor naga
besar lain yang terlihat baru saja tiba diujung pasir
pantai. Dua ekor naga besar terlihat menunjukkan taringtaring mereka, sepertinya sebuah bahasa mengusir naga
besar yang baru datang. Naga besar pendatang mempertunjukkan taringnya.
baru terlihat ikut Sementara itu delapan pasang mata dengan nafas
tertahan menunggu apa yang akan terjadi, ternyata
seekor naga besar pendatang baru cukup cerdas untuk
tidak melayani tantangan kedua naga besar yang
sepertinya telah bersiap menerkam lawannya. Terlihat
naga besar pendatang itu perlahan mundur, perlahan
menghilang masuk kedalam laut yang dalam.
Melihat lawannya pergi masuk kedalam laut, kedua
ekor naga besar itu terlihat telah kembali masuk kedalam
hutan. "Sebagaimana yang pernah kamu katakan, naga
besar yang terakhir kita lihat adalah naga besar yang
terusir dari kelompoknya", berkata Kebo Arema kepada
677 Mahesa Amping. "Binatang liar dihutan ini masih banyak, tidak akan
habis hanya untuk dua ekor naga besar itu", berkata
Gagak Seta. "Dapat disimpulkan, bukan dua ekor naga besar itu
yang sering menggangu penduduk, tapi seekor naga
yang terbuang dari kelompoknya, seekor naga besar
yang sedang marah", berkata Raden Wijaya ikut
memberikan sebuah kesimpulan.
"Naga itulah yang harus kita binasakan", berkata
sesorang lelaki Pulau Banca yang terlihat begitu geram,
mungkin karena salah satu korban adalah saudaranya
sendiri. "Kita pancing naga besar itu", berkata Gagak Seta
"Dengan apa?", bertanya Lawe.
Maka gagak Seta menyampaikan beberapa hal yang
dapat dimengerti dan semua nampaknya menyetujui
rencana Gagak Seta itu. "Ketika Naga besar itu menunjukkan dirinya, kita
arahkan dirinya ke darat. Kita dapat leluasa bergerak
dibandingkan berada diatas air", berkata Gagak Seta
menyampaikan beberapa rencananya.
Terlihat delapan orang telah keatas jukungnya
masing-masing. Terlihat mereka mendayung berputar
putar sekitar tempat terakhir naga besar itu masuk
kedasar laut dalam. Cukup lama mereka berputar putar, yang ditunggu
sepertinya tidak akan pernah muncul.
Ketika rasa kecewa dan putus asa mulai menjangkiti
beberapa orang, terlihat dari wajahnya yang nampak
678 lelah. Tiba-tiba saja mata mereka semua tertuju pada
satu tempat dimana air laut disekitarnya sepertinya
bergolak. Seekor naga besar yang ditunggu telah menyembul
dari permukaan laut, air laut disekitarnya sepertinya
langsung bergelombang. Tanpa aba-aba apapun, ketiga jukung itu telah
meluncur kedarat. Dengan sigap kedelapan orang itu
telah melompat menjejakkan kakinya di pasir pantai yang
landai. Sebagaimana yang mereka perhitungkan, naga besar
itu mengejar mereka sampai ke pantai.
Kedelapan orang itu telah melepaskan senjatanya
masing masing, perlahan mereka mundur mendekati
daratan yang tidak lagi berpasir.
Ular naga berkaki enam itu terus mengejar mereka.
Dan sebuah sabetan ekornya tiba-tiba saja nyaris
menghantam tubuh Gagak Seta yang berada paling
dekat dengannya. Dengan gesit gagak seta melompat menghindar.
Namun sabetan ekor naga besar itu terus melaju,
seorang lelaki putra pulau Banca tidak dapat mengelak
sabetan yang datang begitu cepat itu, tubuhnya
terlempar sampai dengan puluhan kaki jauhnya. Lelaki itu
nampak meringis menahan rasa sakit yang sangat,
tulang rusuknya terasa remuk dan patah.
"Lindungi orang itu", berkata Mahesa Amping kepada
Lawe. Terlihat Lawe berlari mendekati orang itu yang masih
menahan rasa sakitnya tidak mampu bangkit berdiri,
dengan kedua tangannya Lawe segera menyeret orang
679 itu menjauhi serangan naga besar yang buas itu.
Ternyata Naga besar itu adalah makhluk cerdas, tahu
kelemahan lawan. Tiba-tiba saja makhluk besar itu
merayap dengan cepat mengejar Lawe yang tengah
menyeret seorang yang terluka.
Mahesa Amping merasakan bahaya besar tengah
mengancam sahabatnya, pada saat itu Lawe memang
tidak dalam keadaan siap menerima terkaman.
Tanpa berpikir panjang, tubuh Mahesa Amping
seperti terbang melesat jauh dan hinggap tepat dileher
makhluk melata yang besar itu.
Crattttt !!!!! Dua buah belati kembar senjata andalan Mahesa
Amping telah menembus dua mata naga besar itu. Dan
dengan hitungan kejapan mata, tubuh Mahesa Amping
telah bergerak melesat menjauh dan berdiri dengan
kedua belati pendeknya yang terlihat berlumur darah
segar. Tubuh naga besar itu berguling-guling merasakan
sakit yang sangat pada kedua matanya, terdengar suara
mencicit panjang keluar dari mulutnya yang bertaring
menyeramkan. Suara mencicit panjang itu seperti sebuah aba-aba,
serentak lima orang telah bergerak dengan senjatanya
masing-masing. Dengan lompatan panjang, Kebo Arema berhasil
merobek leher naga besar itu. Bersamaan dengan itu,
sebuah keris Raden Wijaya telah menghujam dalam
diperut naga besar itu. Sementara itu Gagak Seta
dengan golok panjangnya yang tajam, nyaris
membuntungi kaki depan makhluk mengerikan itu.
680 Namun malang bagi kedua lelaki asal pulau Banca
yang ingin ikut membantai naga besar itu. Dalam
keadaan kalap dan terluka makhluk itu telah
mengayunkan ekornya, kedua orang itu seperti
terhantam benda keras yang kuat, mereka terlempar jauh
dan sepertinya tidak terlihat bergerak lagi. Ternyata
mereka telah jatuh pingsan.
Mahesa Amping segera mendekati kedua orang itu.
"Syukurlah, hanya pingsan", berkata Mahesa Amping
dalam hati setelah meyakinkan bahwa nyawa keduanya
masih dapat tertolong. Sementara itu Naga besar itu masih berkelepar
meronta kesana kemari, terlihat darah mengalir dari luka
robekan pedang Kebo Arema dilehernya yang cukup
dalam dan melebar hampir dapat dikatakan setengah
dari lingkaran badannya yang besar sepelukan tangan.
Darah juga terlihat keluar dari perut dan kaki depannya
yang nyaris hampir kutung.
Lama juga ular naga besar berkaki enam itu bertahan
dari sisa hidupnya. Namun perlahan tapi pasti kekuatan
makhluk besar itu semakin surut karena kehabisan
darah. Akhirnya tidak ada lagi gerakan, ular naga berkaki
enam itu sudah tidak kuasa mempertahankan
kematiannya, tergeletak dipantai dengan tubuh kotor
berbaur debu pasir putih. Ombak air laut sekali kali
terlihat membasahi bangkai ular naga besar itu, perlahan
bergeser mendekati bibir laut.
"Bagaimana dengan kedua ular naga yang ada di
hutan itu", bertanya Mahesa Amping kepada Gagak Seta
ketika mereka sudah ada diatas jukung menjauhi bibir
pantai Pulau naga. 681 "Mudah-mudahan mereka tidak membahayakan
penduduk kepulauan ini", berkata Gagak Seta sambil
memandang pulau naga yang sudah semakin menjauh.
"Semoga hanya satu ekor naga yang tersisih dari
kelompoknya", berkata Mahesa Amping sepertinya
berharap cuma naga itu satu-satunya yang telah
meresahkan penduduk kepulauan Banca.
"Aku juga berharap yang sama", berkata Gagak Seta
tersenyum kepada Mahesa Amping.
Senja sudah terlihat tua manakala jukung-jukung
mereka kembali di Pulau Banca.
"Syukurlah kalian telah kembali dengan selamat",
berkata Ratu Anggabhaya bersama Lembu Tal dan Dara
petak menyambut kedatangan mereka kembali dari
perburuan ular naga berkaki enam yang meresahkan
penduduk kepulauan Banca.
Dan malamnya, sambil beristirahat sebuah cerita
tentang perburuan ular naga menjadi sebuah
pembicaraan yang menarik. Sementara itu rembulan
telah melenggut bersembunyi di balik batang-batang
pohon kelapa, ombak laut pasang datang dan pergi
berlari berkejaran sepanjang pantai.
Malam berlalu di Pulau Banca bersama suara ombak
yang bersatu dengan gesekan suara daun nyiur kering
dan angin pantai seperti degung gamelan pengantin


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengantar tidur, damai membuai jiwa dalam ketenangan
yang sunyi. Tidak terasa, sang pagi pun akhirnya telah datang
menjelang. Terlihat jung Singasari telah bergerak perlahan
meninggalkan dermaga Pulau Banca. Persediaan air
682 tawar dan pangan telah mengisi lambung jung, dan
pelayaran panjang telah dimulai kembali.
"Sudah saatnya kalian menentukan arah jalan, meniti
kehidupan untuk hari depan yang panjang", berkata Ratu
Anggabhaya kepada Raden Wijaya, Mahesa Amping dan
Lawe. Saat itu malam telah datang memayungi anjungan
jung Singasari diatas hamparan laut buram, tidak
seorangpun yang melihat perubahan wajah Mahesa
Amping, pikirannya seperti terapung-apung diantara
berbagai banyak jalan kehidupan. Mahesa Amping
seperti berdiri di banyak persimpangan jalan. Terbayang
sebuah keluarga kecil ditengah sawah ladang saat
memetik panen jagung raya.Terbayang pula wajah para
cantrik disisa malam yang teduh bersenandung tentang
ujar-ujar kitab kuno. Dan lamunannya melambung tinggi,
mendapati sebuah wajah penuh senyum, wajah senapati
muda lengkap dengan pakaian kepangkatan seorang
prajurit. Tiba-tiba saja Mahesa Amping seperti dibawa pergi
bersama lamunannya, terjerambat ditengah kecamuk
peperangan besar, mendengar rintihan, mendengar
umpatan-umpatan kotor, dan meihat mayat bergelimpangan diatas genangan darah manusia. Salah
satu mayat itu adalah wajah prajurit muda yang kemarin
masih bersamanya berlatih memegang pedang, dan
wajah mayat yang lain lagi adalah seorang prajurit tua
yang pekan lalu asyik bercerita kepadanya bahwa
istrinya yang sudah lama dinikahi ternyata telah hamil
muda. "Aku yakin kalian bertiga akan menjadi kebanggaan
prajurit Singasari", berkata Ratu Anggabhaya yang
langsung membuyarkan semua lamunan Mahesa
683 Amping. "Setelah tiba di Tanah Singasari, aku akan
membicarakannya langsung kepada Sri baginda Raja",
berkata kembali Ratu Anggabhaya tanpa memperhatikan
perubahan wajah Mahesa Amping yang masih seperti
terapung-apung dipermainkan gelombang laut buram
kehidupan yang bersimpang.
"Aku memilih jalanku, atau jalan yang memilih tanpa
pilihan?", berkata Mahesa Amping dalam hati.
Sementara itu Jung Singasari telah melewati Selat
Sunda, langsung menyisir pantai utara Nusajawa.
Sebagaimana ketika bertolak dari Tanah Singasari, Jung
Singasari juga telah singgah di beberapa Bandar besar
yang ada di Nusajawa, disamping untuk saling bertukar
barang dagangan, mereka juga memenuhi lambung jung
dengan berbagai persediaan selama pelayaran.
Di Bandara Churabaya mereka singgah sebentar
sekedar menanti angin laut. Di malam semilir angin yang
bertiup mendorong layar terkembang membawa mereka
pulang ke kampung kerinduan. Bumi Singasari Raya.
Dipagi yang cerah, Jung Singasari telah kembali ke
sanggarnya, telah merapat di dermaga Bandar Cangu
yang ramai. Ratu Anggabhaya, Lembu Tal dan Dara Kencana
dikawal oleh sekitar dua puluh orang prajurit langsung
berangkat ke Kotaraja. "Di Benteng Cangu tugas telah menantiku", berkata
raden Wijaya ketika mengantar Ratu Anggabhaya dan
Lembu Tal memberikan alasan tidak dapat menyertainya
ke Koraraja. "Salam untuk Sri Baginda Raja, aku berjanji akan
684 membawa keuntungan berlipat", berkata Kebo Arema
kepada Ratu Anggabhaya turut mengantar keberangkatan iring-iringan utusan raja itu.
Setelah iring-iringan utusan kerajaan itu sudah jauh
meninggalkan Bandar Cang,terlihat Kebo Arema, Raden
Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe telah melangkahkan
kakinya menuju Benteng Cangu.
"Selamat datang wahai para pelaut", berkata Mahesa
Pukat yang menyongsong kedatangan mereka menuruni
tapak kaki tangga pendapa.
"Selamat berjumpa kembali
Singasari", berkata Kebo Arema.
Senapati muda Setelah bercerita tentang keselamatan masingmasing, merkapun saling berceritat entang berbagai hal,
berbagai pengalaman selama dalam pelayaran.
Sementara Mahesa Pukat bercerita tentang berbagai hal,
terutama tentang lima buah jung Singasari yang sudah
mendekati kesempurnaaan, juga tentang seribu lima
ratus prajurit muda siap menerima tempaan lahir dan
bathin. "Para prjurit muda itu sudah mengisi barak-baraknya,
siap menerima tempaan dan pendadaran", berkata
Mahesa Pukat bercerita tentang beberapa hal yang
berkaitan dengan persiapan penempaan prajurit muda.
"Terima kasih untuk semuanya", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Pukat yang telah banyak membantu.
Kebo Arema, Mahesa Amping, Lawe dan Raden
Wijaya memang sudah tidak sabar lagi untuk melihat
barak-barak baru serta lima buah jung baru yang sudah
mendekati kesempurnaannya. Setelah beristirahat yang
cukup mereka langsung menuju barak-barak baru, juga
685 melihat lima buah jung raksasa yang sudah mendekati
kesempurnaan. Baru setelah matahari menukik diujung
senja, mereka kembali ke Benteng Cangu untuk
membuat beberapa rencana yang akan dilakukan
keesokan harinya. Sejak saat itu, hari-hari mereka tercurah dalam
penempaan para prajurit muda. Pengalaman pertama
mereka membina para prajurit baru sebelumnya menjadi
pengalaman yang berharga untuk melakukan lebih baik
lagi. Para prajurit muda memang sengaja dilatih dalam
berbagai medan, kadang mereka dibawa ke hutan
belantara, kadang mereka dibawa berlayar jauh
menyusuri sungai Brantas. Diharapkan mereka akan
menjadi prajurit yang tangguh, di daratan dan di lautan.
Di hutan belantara mereka dilatih menguasai alam,
bersembunyi dan menyerang lawan di kegelapan dan
kepekatan hutan. Sementara di lautan luas mereka dilatih
menghadapi serangan badai, membaca bintang,
menggulung layar dan kemudi dan berperang di
perairaan dalam berbagai gelar peperangan.
Secara bertahap kemampuan kanuragan mereka
terus ditingkatkan, baik dalam pertempuran secara
perorangan maupun secara berkelompok. Ternyata
mereka adalah para prajurit muda yang berbakat, setelah
beberapa bulan ditempa dan digembleng dengan cara
yang baik tanpa melupakan segi dan nilai-nilai
kemanusiaan, mereka telah terbentuk sebagai prajurit
yang tangguh. Prajurit khusus yang dapat berperang
disegala medan, di darat dan dilautan.
Seiring dengan perjalanan waktu, lima buah jung
singasari telah selesai siap diarungi. Mulailah para
prajurit muda dilatih di medan yang sebenarnya, medan
tugas prajurit pengawal kerajaan laut Singasari Raya.
686 Tiga ratus prajurit yang sudah berpengalaman, yang
merupakan prajurit khusus pertama telah dibagi dalam
enam kelompok di enam jung yang berbeda. Enam orang
yang paling cakap dipercayakan sebagai kepala
kelompok yang bertanggung jawab sebagai kepala
pengawal Jung. "Saatnya kerajaan laut Singasari memperkenalkan
diri kepenjuru dunia", berkata Kebo Arema pada suatu
malam di pendapa Benteng Cangu membuat sebuah
rencana pelayaran yang panjang.
Sejak saat itu, jung Singasari banyak terlihat di
sepanjang pesisir Nusajawa sampai ke Tanah Melayu.
Mereka adalah para pelaut yang tangguh dan pemberani.
Para bajak laut berpikir tiga kali untuk mendekati mereka.
Dan para saudagar di setiap Bandar yang disinggahi
merasa senang berbagi keuntungan dengan mereka.
"Pekan depan kita akan mencoba berlayar ke arah
timur matahari, berlayar sampai ke Tanah Gurun",
berkata Kebo Arema menyampaikan rencananya.
"Merintis jalur perdagangan baru
Mahesa Pukat kepada Kebo Arema.
?", bertanya "Menyatukan jalur perdagangan dari timur ke barat",
berkata Kebo Arema sambil menjelaskan beberapa hal
keuntungan dengan menyatukan jalur perdagangan.
"Benteng Cangu ini akan terasa sepi tanpa kehadiran
kalian", berkata Mahesa Amping sambil menatap Kebo
Arema, Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya secara
bersamaan. "Harus ada yang tetap mengawasi armada besar
Jung Singasari selama pelayaran kami ke daerah timur",
berkata Kebo Arema. 687 Akhirnya disepakati, Raden Wijaya dan Lawe
ditugaskan sebagai pemimpin tertinggi armada besar
Jung Singasari, mempunyai wewenang penuh untuk
mengambil berbagai pertimbangan dan keputusan besar.
Sementra itu Mahesa Amping ditunjuk untuk
mendampingi Kebo Arema, merintis jalur pelayaran baru
ke arah timur. Ketika keputusan ini disampaikan kepada para
prajurit pengawal jung singasari, mereka menerima dan
berjanji akan mematuhi segala perintah dan keputusan.
"Kita harus mohon doa restu dari Sri Baginda
Maharaja di Kutaraja", berkata Kebo Arema.
Keesokan harinya, keempat orang pentolan armada
besar laut Singasari ini telah memacu kudanya berangkat
ke Kotaraja untuk mohon doa restu dri Sri Maharaja
Singasari. Mereka tiba di Kotaraja bersamaan dengan hari
Maguntur Raya. Disaksikan bersama para pejabat istana,
di Balai Maguntur raya Kebo Arema menyampaikan
laporan khusus tentang berbagai hal menyangkut
tentang Armada besar jung Singasari di hadapan Sri
Maharaja Singasari. Sri Maharaja Singasari menerima laporan Kebo
Arema dengan penuh gembira dan suka cita, impiannya
tentang kerajaan laut telah menjadi kenyataan.
"Armada jung Singasari telah membawa kemakmuran
yang besar, pemikiran dan rencanamu untuk menyatukan
jalur perdagangan laut dari timur ke barat adalah
pemikiran yang cerdas, doa dan restuku menyertai
kalian", berkata Sri Baginda Maharaja Singasari di ruang
rapat balai magunturan raja.
688 Setelah keluar dari balai Maguntur raya, mereka tidak
langsung kembali ke Bandar Cangu. Mereka berempat
menyempatkan waktu beristirahat semalam di pesanggrahan Ratu Anggabhaya, memohan restu dan
nasehat langsung dari Ratu Anggabhaya. Keesokan
harinya baru mereka berempat berangkat menuju Bandar
Cangu. "Selamat jalan para pendekar laut sejati", berkata
Ratu Anggabhaya melepas keberangkatan mereka.
Kotaraja saat itu sudah memasuki pergantian musim
panas, di pagi yang hangat itu terlihat empat ekor kuda
keluar dari gerbang kota menyusuri jalan tanah yang
terbuka kearah Bandar Cangu.
Lengkung langit bertebaran awan putih, matahari
musim panas terasa lebih menyengat cahayanya
membakar bumi. Diiringi debu yang mengepul dibelakang
kaki-kaki kuda, empat orang berkuda terlihat rancak
melarikan kudanya diatas jalan tanah yang kering,
mereka adalah Kebo Arema, Lawe, Raden Wijaya dan
Mahesa Amping yang tengah menembus hari menuju
Bandar Cangu. Keceriaan nampak menyelimuti wajah
mereka. Dibenak hati masing-masing masih terbayang
wajah Sri Baginda Maharaja yang penuh suka cita dan
perasaan gembira mendengar laporan Kebo Arema di
ruang Balai Maguntur Raya. Ibarat arah matahari, tugas
"kekancingan" membangun armada besar laut Singasari
sudah menapak di arah puncak matahari. Setengahnya
lagi adalah menunggu datangnya senja kesempurnaan.
Dan senja akhirnya telah tiba menyambut langkah
kaki kuda mereka di padukuhan terdekat dari Bandar
Cangu yang ramai. "Selamat datang kembali di Benteng Cangu", berkata


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

689 Mahesa Pukat menyambut kedatangan Kebo Arema,
Lawe dan Mahesa Amping yang baru tiba dari Kutaraja.
Setelah bersih-bersih dan beristirahat sejenak,
barulah mereka berkumpul kembali di pendapa Benteng
Cangu, banyak yang mereka bicarakan sepanjang
malam, antara lain tentang rencana keberangkatan
pelayaran menuju daerah timur.
Dan rembulan sepotong nampaknya begitu lelah
mengegelantung diatas langit benteng Cangu. Suara
burung celepuk terdengar panjang dan semakin menjauh
hilang ditelan kesunyian malam.
Hari-hari berlalu menunggu saat keberangkatan
pelayaran ke daerah timur nampaknya sudah hampir
tiba. Beberapa prajurit yang ijin ke kampung halamannya
bertemu dengan keluarganya masing-masing nampaknya
hampir dapat dipastikan telah berdatangan berkumpul
kembali di barak-barak mereka.
Dan pagi itu terlihat sebuah jung besar bergerak
perlahan meninggalkan dermaga Bandar Cangu. Kebo
Arema, Mahesa Amping dan tiga ratus prajurit pengawal
melambaikan tangannya kepada orang-orang yang
berdiri di sepanjang Bandar Cangu melepas kepergian
mereka, melepas para pelaut sejati, pejuang perintis
daerah baru bagi kemakmuran dan kejayaan Singasari.
"Selamat jalan sahabat", berkata Lawe melambaikan
tangannya mengiringi jung Singasari yang terus melaju
membelakangi Bandar Cangu yang akhirnya hanya
terlihat buritan bahteranya yang semakin menjauh hilang
diujung batas mata memandang.
Raden Wijaya dan Lawe mulai merasakan ketidak
hadiran dua orang terdekatnya ketika langkah kaki
mereka beranjak dari tepi dermaga Bandar Cangu, ketika
690 tiba di benteng Cangu, dan ketika datang berkunjung ke
barak prajurit pengawal jung Singasari keesokan harinya.
Tapi perasaan itu tidak dibiarkan membeku, justru
perasaan itu telah menggerakkan hati dan semangat
mereka untuk dapat berkarya, membuat berbagai
kesibukan baru. Ternyata berawal dari sinilah sifat
kepemimpinan Raden Wijaya mulai terlatih.
dan sikap Dimulai dari pembangunan balai tamu yang besar
ditengah barak-barak prajurit tempat Raden Wijaya dan
Lawe dapat menerima para tamunya dari berbagai
kalangan, sekaligus tempat mereka beristirahat.
Raden Wijaya dan Lawe nampaknya berkeinginan
keluar dari ketergantungan Benteng Cangu yang selama
ini banyak membantu. Mahesa Pukat diam-diam memuji keputusan Raden
Wijaya dan Lawe, Armada laut Singasari adalah
kesatuan dan kekuatan yang besar, balai tamu yang
besar dan megah adalah citra perwakilan wibawa
kesatuan mereka. "Terima kasih atas pengertian dan dukungan dari
Paman Senapati", berkata Raden Wijaya atas dukungan
dan simpatik yang besar dari Mahesa Pukat.
Setelah balai tamu berdiri dengan megahnya di
tengah barak-barak prajurit, kembali Raden Wijaya
menunjukkan bakat kepemimpinannya yang cemerlang.
Raden Wijaya telah membuat kesepakatan dagang
bersama berbagai kalangan terutama para bangsawan
Singasari. Dibawah kepemimpinan Raden Wijaya, lima bahtera
Jung Singasari tidak pernah sepi dan selalu sarat penuh
691 membawa berbagai barang pulang dan pergi sepanjang
jalur perdagangan antara Bandar Cangu dan Tanah
Melayu. Dan armada jung Singasari sudah mulai dikenal
oleh para saudagar besar sebagai armada dagang yang
paling disegani, dapat menjaga keamanan barang
perdagangan sampai di tempat tujuan.
Kekuatan armada laut Singasari telah ikut memicu
kemakmuran di dalam nagari, berbagai hasil pertanian,
berbagai hasil kerajinan yang berlimpah dapat
diperdagangkan keluar nagari ke berbagai tempat yang
jauh sampai ke Tanah Melayu.
Di saat musim pasang laut, armada jung Singasari
dapat melayari sampai jauh kedaerah pedalaman hulu
sungai diberbagai banyak Nagari, dipedalaman hulu
sungai Citarum di tanah Pasundan, di pedalaman hulu
sungai Musi dan dipedalaman hulu sungai Batanghari di
Tanah Melayu. Lewat tangan kepemimpinan Raden Wijaya, pilarpilar istana kerajaan laut Singasari telah mulai terbangun.
Sementara itu, dilangit malam dibawah cahaya bulan
dan bintang terlihat sebuah bahtera dengan tujuh buah
layar terkembang penuh tengah melaju diatas lautan
luas, kadang bahtera itu bergoyang dipermainkan
gelombang laut. ***** Sementara itu, jung Singasari yang sedang melawat
ke timur sudah mencapai suatu perairan luas dengan
beberapa pulau kecil "Kita telah memasuki perairan Masalembo, para
pelaut menamakan daerah ini sebagai neraka laut",
berkata seorang yang nampak gagah diatas anjungan
692 kepada seorang pemuda didekatnya. Ternyata dua orang
itu tidak lain adalah Kebo Arema dan Mahesa Amping di
atas Jung Singasari. "Kenapa para pelaut menyebut daerah ini sebagai
neraka laut?", bertanya Mahesa Amping penuh
penasaran. "Hantu badai sering datang dengan tiba-tiba sebagai
pusaran puting beliung yang menakutkan menyeret dan
menenggelamkan sebuah bahtera hingga kedasar laut
dalam ", berkata Kebo Arema sambil matanya menatap
jauh kedepan, sepertinya takut ucapannya didengar oleh
hantu badai yang baru saja disebutnya.
Ternyata ucapan Kebo Arema sepertinya didengar
oleh hantu badai yang paling ditakuti, tiba-tiba saja
terdengar suara angin bergemuruh berasal dari lambung
kanan jung Singasari. "Putar kemudi membelakangi arah badai", berteriak
Kebo Arema kepada dua orang yang telah siap siaga
memegang kemudi ganda yang menjadi ciri khas jung
Singasari. Terlihat juru mudi itu dengan sigap telah memutar
arah tepat bersamaan dengan datangnya gelombang
besar mendorong bahtera yang seperti terbang begitu
tinggi melambung. Disinilah para prajurit merasakan berhadapan dengan
keganasan laut yang sebenarnya, namun berkat latihan
yang sering mereka lakukan terutama dalam menghadapi
datangnya badai laut, mereka seperti diuji dengan medan
yang sebenarnya, disinilah para prajurit awak jung
Singasari dituntut untuk melakukan apa yang harus
mereka lakukan. Tanpa mengenal gentar beberapa
prajurit berlari mendekati tali tiang layar, dengan cepat
693 mereka berhasil menurunkan tiang layar. Dan jung
Singasari telah selamat dari gulungan angin yang
berputar lewat diatas jung Singasari yang tengah
meluncur terhempas menukik menuruni gelombang
pasang. Jung Singasari telah terhempas menampar air laut
dibawahnya mengangkat air laut naik mengisi dan
membasahi hampir sepanjang geladak seperti hujan
besar tercurah dari langit. Satu jam lebih seluruh awak
jung Singasari diguncang gelombang, disinilah mereka
diuji untuk dengan tangkas mengarahkan bahtera
mengikuti kemana arah gelombang datang, dan Kebo
Arema adalah pengarah dan pemandu mereka yang
sangat dipercaya. "Pertahankan arah, belakangi ombak gelombang",
berteriak Kebo Arema dengan suaranya yang keras
ditengah suara gemuruh angin gelombang ombak laut
yang datang mengejar. Akhirnya setelah sekian lama bermain dan bertarung
dengan gelombang, mereka merasakan gelombang
sudah tidak datang dan mengejar lagi, sepertinya
makhluk gelombang pasang telah telah bosan
mengoyak-ngoyak bahtera itu, mungkin telah jauh dari
area perburuannya. "Kita telah jauh keluar dari jalur mata angin,
kembangkan kembali layar penuh", berkata Kebo Arema
memberi perintah kepada prajuritnya yang langsung
dilaksanakan dengan trampil dan penuh cekatan. Dan
semuanya sepertinya telah memahami dan mengerti apa
yang harus dilakukan sesuai dengan tugasnya masingmasing.
"Pertahankan arah, kita telah kembali pada jalur mata
694 angin", kembali Kebo Arema berkata kepada dua orang
yang bertugas menjaga kemudi kembar.
Badai pasti berlalu, demikianlah para awak bahtera
itu merasakan makna yang sebenarnya. Sebuah makna
yang bukan sekedar kata-kata, tapi mereka memang
merasakan dan menghadapinya dalam kehidupan nyata,
melewati saat yang begitu mencekam, merasakan tubuh
terhempas dan tergoncang bersamaan dengan guyuran
tumpahan air asin laut menampar wajah.
"Berbahagialah, tidak semua orang merasakan apa
yang baru saja kita alami, merasakan nyawa akan hilang,
merasakan hidup akan berakhir", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Amping dan beberapa prajurit yang ada
dianjungan yang diketahui baru pertama kali ini
merasakan keganasan gelombang badai yang sesungguhnya. "Inilah pelajaran pertama, dan kalian telah
melewatinya dengan benar", berkata kembali Kebo
Arema. Sementara itu diujung timur cakrawala langit,
semburat warna merah mencium ujung tepian laut
sebagai tanda sang dewi pagi akan datang menjelang.
Kearah semburat warna merah itulah bahtera itu
mengarahkan kemudinya, mengarahkan layar harapan.
Seekor elang laut terlihat terbang mengambang
berputar putar, itulah bahasa alam sebagai tanda bahwa
daratan sudah semakin mendekat.
"Sebentar lagi kita akan menemui daratan", berkata
Kebo Arema kepada Mahesa Amping sambil matanya
menatap dan mengikuti arah elang laut yang tengah
berputar-putar. 695 Sebagaimana yang dikatakan oleh Kebo Arema,
terlihat bayangan hitam daratan diujung pandangan yang
jauh. Sebuah pemandangan yang indah, sebuah
harapan yang indah setelah sekian lama jiwa terasa
jenuh memandang hamparan laut luas yang sepertinya
tidak bertepi. "Daratan!!", berteriak seorang prajurit melepas rasa
kegembiraannya. Bahtera itu terus melaju mendekati
bayangan hitam yang semakin nampak jelas.
Akhirnya daratan tidak lagi sebagai bayangan hitam,
tapi sudah terlihat jelas sebagai gerumbul hutan bakau
yang subur hijau menutupi tepian bibir laut. Beberapa
nelayan terlihat tengah mengayuh jukungnya dan
melambaikan tangannya kearah bahtera besar yang baru
dilihatnya untuk pertama kalinya.
"Dengan bahtera sebesar itu kita dapat mencari ikan
ditempat lebih jauh lagi", berkata seorang anak lelaki
tanggung kepada seorang lelaki tua, mungkin ayahnya.
"Dengan bahtera itu kita tidak perlu menepi, berlayar
sepanjang masa", berkata lelaki tua sambil tersenyum,
matanya mengagumi bahtera yang tengah melaju dekat
jukungnya yang kecil terguncang-guncang terkena sayap
ombak bahtera besar. "Inilah daratan Bone, kampung para pelaut", berkata
Kebo Arema kepada Mahesa Amping di anjungan.
Akhirnya bahtera telah memasuki sebuah teluk besar,
terlihat sebuah perkampungan nelayan yang besar.
Perlahan jung Singasari mendekati sebuah dermaga
besar. Tiga orang prajurit dengan penuh cekatan
melompat ke tepi dermaga, dan dengan sigap pula
menyambut ujung tali yang dilemparkan kearahnya dari
696 atas Bahtera. "Inilah Bandar Bacukiki", berkata Kebo Arema
memperkenalkan nama Bandar tempat bahtera mereka
saat itu telah merapat. "Bandar yang sepi", berkata Mahesa Amping yang
melihat Bandar itu tidak seperti layaknya Bandar-bandar
besar yang pernah dikunjunginya.
"Kitalah yang akan meramaikannya kelak", berkata
Kebo Arema kepada Mahesa Amping. "Bandar Bacukiki
ini adalah gerbang utama menuju Tanah Gurun, selama
ini para pelaut mandar menyembunyikan Pulau Gurun,
sebuah daratan yang kaya akan pala dan lada, apakah
kamu sudah menangkap kemana arah pembicaraanku?",
bertanya Kebo Arema kepada Mahesa Amping.
"Kita memutuskan mata rantai para pelaut Mandar,
membawa pala dan lada dari Tanah Gurun langsung ke
Tanah Melayu dengan harga yang bagus", berkata
Mahesa Amping.

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku senang punya kawan seperjalanan yang
otaknya sangat encer", berkata Kebo Arema sambil
menepuk-nepuk bahu Mahesa Amping. "Mari kita turun
melihat keadaan Bandar Bacukiki", berkata kembali Kebo
Arema. Ketika mereka berdua telah turun di dermaga,
seorang yang sudah cukup berumur namun masih
terlihat kegagahannya telah mendatangi mereka.
"Siapakah diantara tuan yang menjadi pimpinan
bahtera besar ini", bertanya orang itu.
"Akulah pemimpin bahtera besar ini, putra Karaeng
Tuku yang pernah menyelamatkan sepuluh pelaut
Mandar di Pulau Wangi-wangi", berkata Kebo Arema
697 dengan bahasa asli mandar yang cukup kental kepada
orang yang datang menyapanya.
Terlihat orang itu tertegun sebentar mendengar
ucapan Kebo Arema, dahinya terlihat semakin bertambah
kerutan seperti tengah mengingat-ingat sesuatu dengan
kuat. "Aku belum pikun, dihadapanku pasti Karaeng Taka,
putra penguasa Pulau Wangi-wangi yang telah
menyelamatkan selembar nyawaku ini", berkata orang itu
setelah merasa ingatannya telah menemukan sebuah
kenangan yang sudah lama terlupakan.
"Benar, aku Karaeng Taka. Ternyata Paman
Malarangeng masih gagah seperti dulu yang kukenal",
berkata Kebo Arema yang ternyata mengenal orang
dihadapannya. "Tidak kusangka, hari ini aku bertemu dengan putra
Karaeng Tuku yang dulu masih kecil dan sangat nakal",
berkata orang itu yang di panggil Paman Malarangeng
penuh kegembiraan menyalami erat tangan Kebo Arema
serta mengguncang-guncang bahunya seperti layaknya
orang yang lebih tua kepada seorang bocah.
"Mari ikut berkunjung ke rumahku, keluargaku akan
senang dapat mengenal putra penyelamatku dari Wangiwangi", berkata Paman Malarangeng mengajak Kebo
Arema dan Mahesa Amping ke rumahnya.
Ternyata rumah Paman Malarangeng tidak begitu
jauh dari dermaga, sebuah rumah panggung yang besar.
Di rumah panggung itu Kebo Arema diperkenalkan
kepada semua keluarga dan kerabatnya, berkali-kali
Paman Malarangeng menyebut nama Kebo Arema
sebagai putra yang penyelamat dari Wangi-wangi.
698 "Orang Mandar adalah para pembuat jung yang
cakap, melihat Bahtera besarmu aku jadi iri, ternyata
bukan hanya orang mandar satu-satunya yang cakap
dalam membuat sebuah jung besar", berkata Paman
Malarangeng. "Paman Malarangeng tidak usah berkecil hati,
bahtera besar itu adalah karya para putra mandar",
berkata Kebo Arema kepada Paman Malarangeng yang
langsung mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ternyata karya orang kita sendiri", berkata Paman
Malarangeng sambil masih mengangguk-anggukkan
kepalanya tanda penuh kekaguman dan kebanggaan.
"Kami membawa banyak barang berbagai senjata
dan alat pertanian, mudah-mudahan berguna untuk
orang-orang disini", berkata Kebo Arema kepada Paman
Malarangeng. "Kebetulan sekali, kami disini tengah membangun
kekuatan, orang-orang suku dalam sering datang
menyerang", berkata Paman Malarangeng.
"Kulihat perkampungan besar ini tidak begitu kaya,
apa yang mereka harapkan?", bertanya Kebo Arema.
"Mereka tidak mencari harta, tapi mencari para
wanita", berkata Paman Malarangeng.
"Ternyata perang lama", berkata Kebo Arema sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tahan keberangkatan kalian hingga tiga hari, kami
akan memuat bahtera kalian dengan kebutuhan yang
cukup selama pelayaran menuju Tanah Gurun", berkata
Paman Malarangeng. Hari itu juga Kebo Arema telah memerintahkan
beberapa prajurit untuk menurunkan berbagai senjata
699 dan alat pertanian. Pada jaman itu Singasari memang
terkenal sebagai daerah pengrajin alat-alat pertanian dan
berbagai senjata. "Aku memang pernah mendengar bahwa di Tanah
Singasari banyak ahli pembuat alat dan senjata", berkata
Paman Malarangeng sambil memeriksa berbagai
senjata. "Ringan dan kuat", berkata kembali Paman
Malarangeng sambil menimang-nimang sebuah golok
panjang. Dan tidak terasa senja telah turun di Bandar Bacukiki,
puluhan kalelawar terlihat telah keluar dari sarangnya
meski hari masih bening, mungkin sudah tidak sabar
setelah seharian menunggu datangnya malam.
Malam itu Kebo Arema dan Mahesa Amping
beristirahat di rumah Paman Malarangeng. Banyak yang
mereka percakapkan sambil menunggu datangnya rasa
kantuk tiba. "Perkampungan ini sangat terbuka, memudahkan
musuh menyerang dari banyak tempat", berkata Kebo
Arema memberi penilaian tentang keadaan perkampungan Bandar Bacukiki.
"Mungkin kamu punya saran untuk itu", berkata
Paman Malarangeng meminta saran kepada Kebo
Arema. "Membangun rumah pantau yang tinggi, yang dapat
melihat kedatangan musuh dari tempat yang jauh",
berkata Kebo Arema. "Sebuah usul yang baik", berkata
Malarangeng menyetujui usul dari Kebo Arema.
Paman "Aku juga punya seorang kawan yang dapat melatih
sebuah pasukan khusus", berkata Kebo Arema sambil
700 melirik Mahesa Amping. "Kami menghaturkan ribuan terima kasih, pasukan
khusus itu akan menjaga dan melindungi wanita-wanita
kami", berkata Paman Malarangeng yang sudah
menbayangkan sebuah pasukan yang kuat.
Keesokan harinya, Paman Malarangeng telah
mengumpulkan semua lelaki yang ada. Ternyata mereka
umumnya telah mempunyai dasar kanuragan yang
lumayan. Maka dengan telaten Mahesa Amping
meningkatkan tataran mereka tanpa merubah apapun
yang telah mereka miliki. Mahesa Amping memberikan
beberapa bentuk latihan yang harus mereka lakukan,
baik latihan yang akan meningkatkan tataran ilmu secara
perorangan maupun secara berkelompok.
"Waktu yang ada memang sangat singkat, Paman
Malarangeng harus mengawasi mereka untuk selanjutnya", berkata Mahesa Amping kepada Paman
Malarangeng. "Ketika kembali dari Tanah Gurun, kuharap kalian
punya waktu yang cukup", berkata Paman Malarangeng
yang bersedia mengawasi latihan-latihan yang telah
diberikan oleh Mahesa Amping.
Dan waktu memang terasa begitu singkat, tiga hari
telah berlalu, selama itu para lelaki di perkampungan
Bandar Bacukiki telah mempelajari beberapa hal yang
dapat meningkatkan kemampuan mereka, baik secara
perorangan maupun secara berkelompok, meski
dibutuhkan waktu yang cukup untuk melatihnya.
Senja itu langit sudah berwarna bening kelabu,
puluhan kalelawar telah memenuhi angkasa Bandar
Bacukiki. Terlihat tiga orang prajurit tengah melepaskan
tali temali tambatan dermaga.
701 "Kami menunggu kedatangan kalian kembali",
berkata Paman Malarangeng melambaikan tangannya
bersama beberapa lelaki di dermaga Bandar Bacukiki.
Dan Bahtera besar itu terlihat perlahan bergerak
bergeser menjauhi dermaga Bandar Bacukiki, menyusuri
hutan bakau yang subur menutupi bibir pantai lengkung
teluk Bone. Malam itu bulan bulat kuning bergelantung diatas
langit bersama jutaan bintang berkelip mengawani
sebuah bahtera yang tengah terapung diatas hamparan
laut luas seperti tidak bertepi. Tujuh tiang layar terlihat
sudah mengembang ditiup angin yang sepertinya tidak
pernah lelah bertiup sepanjang malam.
Dan rembulan telah mengiringi bahtera besar itu
berlayar menuju ke pulau pelabuhan berikutnya hingga
diujung sisa malam. Temaram warna merah menyala terlihat diujung
sebuah pulau hitam. "Arahkan layar ke pulau hitam itu", berkata Kebo
Arema kepada juru mudinya.
Dan bahtera besar itu telah mengarahkan layarnya ke
arah pulau yang terlihat kelam bermahkota cahaya warna
merah menyala. Cahaya warna merah itu sudah semakin buram
karena harus berbagi cahayanya mengisi seluruh
lengkung langit. Sebuah bahtera elok berlayar tujuh
terlihat terapung ditengah lautan luas menuju sebuah
pulau yang semakin terlihat jelas.
"Kita sudah masuk keperairan Pulau Wangi-Wangi",
berkata Kebo Arema sambil matanya tidak melepas
sedikitpun daratan di depannya, tidak sebagamana
702 biasanya bila bahtera hampir mendekati sebuah tempat
untuk berlabuh, kali ini terlihat raut wajah Kebo Arema
begitu tegang, sepertinya ada sebuah kenangan kelam
mengisi seluruh benak dan pikirannya.
Lamunan Kebo Arema telah tersungkur jauh
melampaui waktu yang begitu jauh, terlempar dalam
kenangan kelam ketika dirinya harus keluar meninggalkan pulau wangi-wangi tempat dirinya
dibesarkan. Terbayang jelas ketika di suatu hari Ayahnya
telah menyuruhnya keluar dari Pulau Wangi-wangi.
"Kamu adalah putra tunggalku, pergilah sejauh kamu
bisa. Datanglah kembali setelah kamu telah menjadi
seorang lelaki", berkata Ayah Kebo Arema kepada
dirinya. Kebo Arema masih mengingat jelas, hari itu Pulau
Wangi-wangi telah didatangi segerombolan orang, salah
seorang diantaranya adalah pamannya sendiri.
Pamannya adalah seorang buangan dari pulau Wangiwangi karena telah melakukan sebuah dosa yang tidak
dapat diampuni, telah menodai seorang gadis. Dan gadis
itu adalah sepupunya sendiri, sebuah garis perkawinan
yang ditabukan oleh orang pulau Wangi-wangi.
Hari itu Paman Kebo Arema datang untuk merebut
kekuasaan ayah Kebo Arema. Meski ayah Kebo Arema
adalah orang yang kuat dan disegani di pulau Wangiwangi, namun menghadapi gerombolan itu pasti tidak
akan mampu melawannya. Menghadapi suasana yang
sulit dan berbahaya itu, ayahnya telah meminta Kebo
Arema segera meninggalkan Pulau Wangi-wangi untuk
menghindari hal-hal yang mungkin saja dapat terjadi.
Kebo Arema tidak pergi jauh, hanya meyeberang ke
sebuah pulau terdekat. Dari beberapa nelayan yang juga
703 dikenalnya sebagai penghuni pulau Wangi-wangi didapat
sebuah berita menyedihkan, Ayahnya telah terbunuh.
Dan Pamannya telah menjadi penguasa pulau wangiwangi bersama gerombolannya.
"Pulau Wangi-wangi saat ini seperti neraka,
pamanmu dan gerombolannya telah berlaku diluar batas
kemanusian, mereka seperti raja besar yang harus
dilayani, merebut semua wanita yang diinginkannya",
berkata nelayan itu mengakhiri ceritanya kepada Kebo
Arema. Sejak saat itu Kebo Arema telah mengembara jauh,
dihati kecilnya ada sebuah tekad untuk kembali menuntut
balas. Dan hari itu Kebo Arema telah datang kembali
setelah pengembaraannya yang panjang.
Terlihat matahari telah bersembul dari balik daratan
pulau Wangi-wangi yang cukup luas. Sebuah daratan
yang cukup hijau. Burung-burung kecil berburu ikan di
peraiaran yang semakin mendekati daratan.
Dan Bahtera telah menjatuhkan jangkarnya, laut
landai tidak memungkinkan bahtera besar itu menepi
sampai ke daratan. Terlihat sepuluh jukung kecil keluar
dari jung Singarasi mendekati bibir pantai Pulau Wangiwangi.
Lima orang berperawakan tegar sepertinya tengah
menanti kedatangan mereka.
Sepuluh buah jung telah merapat dipantai berpasir.
Empat puluh lelaki terlihat telah meloncat ke air laut
dangkal. Sinar matahari pagi menyinari wajah-wajah
mereka yang terus melangkah kedepan.
"Aku hanya ingin bicara dengan pemimpin kalian",
704 berkata salah seorang dari


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perperawakan kekar dan tegar.
lima orang lelaki "Akulah pemimpinnya", berkata Kebo Arema dengan
suara menantang keras. Kelima orang itu terkejut mendengar suara yang tidak
menunjukkan rasa gentar sedikitpun.
"Kamu harus tahu aturan di atas pulau ini", berkata
kembali salah seorang dari mereka.
"Selama aturan itu tidak merugikan, kami akan
mentaatinya", berkata Kebo Arema kepada orang itu.
"Aturan kepada siapapun yang singgah di pulau ini
adalah menyerahkan setengah barang yang dibawanya",
berkata orang itu dengan suara yang agak sedikit
ditinggikan. "Kami tidak akan menerima aturan itu, niat kami
semula hanya singgah, tapi niat kami berubah melihat
kesewenang-wenangan aturan di pulau ini", berkata
Kebo Arema. "Bila tidak menerima aturan di pulau ini, silahkan
tinggalkan tempat ini", berkata orang itu.
"Kami memang tidak sekedar singgah, kami datang
untuk menguasai pulau ini", berkata Kebo Arema dengan
suara yang tidak kalah kerasnya dengan orang itu.
Kelima orang itu kaget dan terkejut mendengar
ucapan Kebo Arema yang terkesan seperti menantang
perang. Tapi kelima orang itu cukup cerdik, mereka
berlima tidak akan mungkin menang menghadapi empat
puluh orang yang terlihat sudah siap bertempur.
"Kami akan lapor kepada Pimpinan kami, tunggulah
disini, kami akan datang dan mengusir kalian seperti
705 menggebuk seekor anjing kurapan", berkata orang itu
sambil mengajak keempat kawannya pergi.
"Katakan kepada pemimpin kalian, aku putra Kareng
Tuku datang untuk menuntut balas", berkata Kebo Arema
kepada kelima orang yang tengah akan pergi
meninggalkan mereka. Salah seorang dari kelima orang yang hendak berlalu
itu nampaknya terkejut mendengar sebuah nama disebut
oleh Kebo Arema, orang itu terlihat berbalik badan
memperhatikan Kebo Arema dari ujung kaki sampai ke
kepala. "Aku akan menyampaikannya kepada pemimpin
kami", berkata orang itu yang langsung berbalik badan
mengejar keempat kawannya yang sudah beberapa
langkah meninggalkannya. "Kira-kira berapa kekuatan mereka", berkata Mahesa
Amping yang berdiri didekat Kebo Arema.
"Menurutku tidak melebihi banyaknya lelaki di Bandar
Bacukiki", berkata Kebo Arema.
"Aku pernah melihat kemampuan para lelaki di
Bandar Bacukiki, bersiaplah kalian menghadapi perang
brubuh yang kasar", berkata Mahesa Amping kepada
semua prajurit yang ikut merapat di pantai pulau Wangiwangi.
Tidak lama kemudian datanglah rombongan orang
dari arah daratan. "Ternyata keponakanku yang datang", berkata
seorang yang nampaknya orang penting di pulau wangiwangi itu.
"Ternyata Paman Karaeng Jagong tidak pernah susut
tua", berkata Kebo Arema menatap tajam seorang lelaki
706 dihadapannya yang di panggilnya sebagai paman
Karaeng Jagong. "Karaeng Taka, ternyata kamu sudah menjadi
seorang lelaki", berkata Karaeng Jagong yang masih
mengenali Kebo Arema sebagai putra saudaranya.
"Darah harus dibalas darah, begitulah tutur dari
penjunjung adat di pulau ini", berkata Kebo Arema
dengan suara bergetar menahan gejolak dendamnya
yang telah lama berlalu dan hadir menghantui di banyak
mimpi-mimpinya. "Dulu aku datang menemui ayahmu untuk membalas
sakit hati sebagai orang buangan yang terhina, dan
sekarang kamu datang kepadaku sebagai seorang putra
yang akan menuntut balas, membeli darah dengan
darah", berkata Karaeng Jagong kepada Kebo Arema
yang sepertinya masih meremehkan kemampuan
keponakannya itu. "Aku datang untuk mensucikan pulau ini dengan
darahmu", berkata Kebo Arema masih dengan suara
bergetar menahan rasa gusar yang sangat.
"Habisi mereka, bahtera besar akan menjadi milik
kita", berkata Karaeng Jagong memberi perintah untuk
menyerang. Sebagaimana yang dikatakan Mahesa Amping,
terjadilah perang brubuh yang sangat kasar. Tapi para
prajurit muda Singasari adalah prajurit yang tangguh dan
juga sudah terlatih lama. Mereka langsung menghadapi
serangan orang-orang pulau wangi-wangi.
Pertempuranpun tidak dapat dihindari lagi, jumlah
kekuatan lawan memang berimbang.
Tapi para prajurit Singasari tidak merasa gentar,
707 terlihat mereka sudah dapat menguasai medan
pertempuran, penguasaan mereka melakukan peperangan secara berkelompok maupun secara
perorangan telah menjadikan mereka lebih menguasai
pertempuran. Ditambah lagi diantara mereka ada
Mahesa Amping yang meski tidak menggunakan
kemampuan dan kekuatan sebenarnya yang luar biasa
melampaui kemampuan orang biasa. Tapi hampir setiap
musuh yang datang langsung terpelanting jauh dengan
merasakan tulang-tulang rusuknya nyeri patah.
Sementara itu Kebo Arema telah beradu tanding
bersama Karaeng Jagong pamannya sendiri. Kebo
Arema masih belum menunjukkan kemampuan yang
sebenarnya, masih terus mengimbangi serangan
Karaeng Jagong sambil mencari kelemahan-kelemahan
yang mungkin dapat ditembusi.
Golok panjang Karaeng Jagong nampak berputar
menyerang kearah Kebo Arema. Namun dengan gesit
dan lincah Kebo Arema melenting sambil membalas
serangan lawan dengan lecutan senjata andalannya
berupa sebuah cambuk. Bukan main penasarannya Karaeng Jagong
mendapatkan serangannya tidak pernah sedikitpun
mengenai sasaran, bahkan dirinya mendapatkan
serangan balik yang sangat merepotkan.
Sementara itu para prajurit bersama Mahesa Amping
terlihat hampir menguasai medan pertempuran, setengah
lawannya telah jatuh bergelimpangan tidak berdaya.
Perlahan tapi pasti para lelaki dari pulau Wangi-wangi
satu persatu telah keluar dari pertempuran dalam
keadaan yang terluka. "Menyerahlah!!",
berkata Mahesa Amping 708 menggertak sisa lima orang yang sudah terkepung.
Kelima orang itu memang sudah putus asa melihat
jumlah lawan yang banyak dan mereka merasakan lawan
mempunyai kekuatan melampaui kemampuan mereka.
"Kami menyerah", berkata salah seorang sambil
melempar golok panjangnya yang diikuti oleh keempat
kawannya, ikut melemparkan senjatanya.
"Orang-orang lemah", berkata Karaeng Jagong yang
masih sempat melihat anak buahnya yang terakhir
melemparkan senjatanya menyerah.
"Harusnya paman juga ikut menyerah", berkata Kebo
Arema yang melihat kegusaran hati Karaeng Jagong.
"Darah ayahmu Karaeng Tuku masih membekas di
golok ini, saatnya juga akan dibasahi oleh darah
putranya", berkata Karaeng Jagong sambil menyerang
lebih cepat dan kuat, sepertinya telah meluluhkan segala
kekuatan dan kemampuannya.
Itulah kesalahan yang paling fatal untuk Karaeng
Jagong, ucapannya yang menyebut nama Karaeng Tuku
telah membakar amarah didada Kebo Arema.
Dengan kemarahan yang luar biasa, tidak terasa
telah mengantar kemampuan Kebo Arema hingga
sampai pada puncak ilmunya tertinggi.
Sepertinya Kebo Arema tidak menyadari apa yang
diperbuatnya. Dess !! Dess!! Dess!! ----------oOo---------709
JILID 08 Tiga buah lecutan yang nyaris tak bersuara itu
berasal dari kekuatan yang dahsyat telah melecut tiga
bagian tubuh Karaeng Jagong yang datang begitu cepat
tidak dapat dihindari lagi.
Tiga buah sayatan terlihat jelas ditubuh Karaeng
Jagong, memanjang di paha, di dada dan lehernya.
Perlahan tubuh Karaeng Jagong jatuh bertumpu pada
kedua siku kakinya, lalu seluruh tubuhnya rebah
telentang tak bernyawa. Bergidik bulu remang Mahesa Amping, baru kali ini
melihat Kebo Arema mengeluarkan kemampuan
puncaknya, menggetarkan senjata cambuknya yang luar
biasa dengan kekuatan yang dahsyat, begitu cepat dan
dengan kekuatan penuh. Dan Karaeng Jagong telah
merasakan ilmu puncak itu. Langsung jatuh telentang
diatas tanah tak bernyawa.
Kebo Arema seperti tidak percaya atas apa yang
terjadi, terlihat dirinya masih berdiri kaku menatap tubuh
Karaeng Jagong yang rebah di bumi tidak lagi bernyawa.
"Pengendalian diriku terlepas, aku telah berbuat
diluar kesadaranku", berkata Kebo Arema sepertinya
menyesali apa yang telah terjadi.
"Siapapun dapat berbuat yang sama, terutama
kepada orang yang telah membunuh ayah kandungnya",
berkata Mahesa Amping yang telah mendekati Kebo
Arema. "Yang kusesalkan aku tidak dapat mengendalikan
diriku sendiri", berkata Kebo Arema.
"Aku juga pernah melakukannya, tapi menjadi
pelajaran yang sangat mahal", berkata Mahesa Amping
710 kepada Kebo Arema agar tidak lagi menyalahi dirinya
sendiri. Langit diatas pantai pulau Wangi-wangi telah
semakin terang, sinar matahari sudah merayap
menggapai puncaknya. Terlihat beberapa lelaki
penduduk asli pulau wangi-wangi yang selama ini
bersembunyi dibalik pepohonan telah berani menampakkan dirinya, terutama ketika melihat Karaeng
Jagong telah tidak mampu lagi bergerak, mati.
"Jangan hanya berdiri, hari ini aku telah
membebaskan kalian dari kesewenang-wenangan",
berkata Kebo Arema dengan bahasa yang fasih, bahasa
asli orang pulau wangi-wangi.
Seseorang terlihat sudah menghampiri Kebo Arema. berani mendekat, "Aku mendengar tuan mengatakan sebagai putra
pemimpin kami Karaeng Tuku, kalau memang benar
pasti tuan yang bernama Karaeng Taka", berkata orang
itu memperhatikan Kebo Arema dari dekat.
"Benar, akulah Karaeng Taka", berkata Kebo Arema
memberi keyakinan kepada orang itu.
"Penglihatanku tidak akan salah, aku melihat ada
bekas luka di atas alismu. Luka akibat sayatan ujung
kerang, akulah yang melakukannya", berkata orang itu
penuh kegembiraan merasa yakin orang dihadapannya
adalah benar Kebo Arema. "Aku ingat, pasti kamu Bolange, anak nakal itu",
berkata Kebo Arema yang langsung mengenal lelaki
sebaya didepannya itu. Seperti bocah kecil yang baru saja memenangkan
sebuah permainan, mereka saling berpelukan, saling
711 memukul pipi masing-masing menunjukkan rasa
kegembiraan mereka yang sudah begitu lama tidak
berjumpa. Melihat Bolange bersama orang asing berpelukan
dan bergembira, beberapa penduduk asli pulau Wangiwangi jadi semakin berani mendekat.
Dengan bangga Bolange memperkenalkan Kebo
Arema sebagai putra Karaeng Tuku yang sudah lama
menghilang. Beberapa orang yang terlihat sebaya
dengan Kebo Arema nampak ikut bergembira, mereka
mengenali Kebo Arema yang dulu adalah teman
sepermainannya, dan menjadi saksi hari yang memilukan
itu, hari dimana pulau Wangi-wangi seperti neraka.
Beberapa orang pengikut Karaeng Tuku telah ikut
menjadi korban pembantaian.
"Mari kita urus mereka yang masih terluka", berkata
Mahesa Amping kepada beberapa prajurit.
Terlihat Mahesa Amping dan beberapa prajurit


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah mengobati orang-orang yang terluka. Sementara
itu hanya dua orang dari pihak prajurit Singasari yang
terluka agak parah. Beberapa penduduk asli pulau Wangi-wangi telah ikut
membantu menguburkan beberapa mayat termasuk
diantaranya adalah Karaeng Jagong.
Meskipun selama hidupnya banyak melukai perasaan
para penduduk, mayat-mayat itu masih diperlakukan
dengan baik, disemayamkan dan dikuburkan sebagaimana mestinya. "Perlakuan apa yang harus diberikan kepada para
tawanan itu", berkata Bolange kepada Kebo Arema
sambil menunjuk lima orang tawanan dan beberapa lagi
712 yang terluka. "Mereka akan menjadi pengawasan kami, aku
khawatir penduduk disini tidak dapat lagi menerima
kehadiran mereka", berkata Kebo Arema kepada
Bolange. "Sebuah keputusan yang bijaksana", berkata Bolange
menyetujui keputusan Kebo Arema yang dulunya adalah
sahabat sepermainannya. Pulau Wangi-wangi adalah sebuah daratan yang
subur, namun setalah dikuasai oleh Karaeng Jagong dan
gerombolannya, pulau itu menjadi seperti pulau neraka,
beberapa penduduknya diam-diam meninggalkannya
pergi mengungsi, sementara sebagian lagi tetap
bertahan, menerima semua perlakuan kehinaan, pasrah
atas nasib buruk mereka. "Kita bangun kembali pulau ini sebagaimana dulu,
pulau yang penuh semangat kebersamaan, bersama
berladang, bersama berburu ikan, hasilnya untuk
bersama, satu untuk semua dan semua untuk satu",
berkata Kebo Arema kepada penduduk asli Pulau WangiWangi.
"Hidup putra Karaeng Tuku !!!", berkata para
penduduk asli bersamaan penuh kegembiraan.
"Saatnya kalian memilih orang terbaik diantara kalian
menjadi pemimpin kalian, pemimpin yang dapat
mempersatukan setiap hati, pemimpin yang dapat
membangkitkan semangat hati, seorang pemimpin yang
berdiri dan melepaskan kepentingan diri pribadi,
mengembalikan harga diri seluruh warga pulau ini,
mengharumkan kembali pulau ini sebagaimana
namanya, Wangi-wangi", berkata Kebo Arema dengan
penuh semangat. 713 "Hidup putra Karaeng Tuku, engkaulah pemimpin
pulau wangi-wangi", berteriak para penduduk asli Wangiwangi menunjuk Kebo Arema sebagai pemimpin meraka.
Kebo Arema merasa terpojok, tidak ingin menyakiti
perasaan hati para penduduk asli pulau Wangi-wangi
yang dikenal penuh kesetiaan.
"Aku menerima keputusan kalian, namun ijinkan aku
menunjuk beberapa orang yang akan membantuku, yang
harus kalian taati sebagaimana kalian mentaati diriku",
berkata Kebo Arema memberikan sebuah usulan.
Demikianlah hari pertama Kebo Arema dan Mahesa
Amping tiba di pulau Wangi-wangi.
Pada hari kedua Kebo Arema telah menunjuk empat
orang penduduk asli pulau Wangi-wangi menjadi wakil
kepemimpinannya yang langsung disetujui oleh para
penduduk pulau Wangi-wangi. Diantara wakilnya itu
adalah Bolange, seorang yang cukup cakap dan dapat
dipercaya. "Rumah itu hangus terbakar, tidak ada seorang pun
yang berani membangun rumah diatas tanah itu", berkata
Bolange kepada Kebo Arema memberi penjelasan
tentang sebuah tanah kosong yang dulu adalah sebuah
tanah tempat berdirinya rumah keluarga kebo Arema.
"Aku ingin diatas tanah ini dibangun kembali sebuah
rumah panggung besar, sebuah rumah banjar tempat
semua orang dapat berkumpul dihari-hari tertentu,
merapatkan pemikiran yang baik membangun dan
menjaga pulau Wangi-wangi", berkata Kebo Arema
kepada Bolange. "Permintaan tuan Karaeng Taka adalah titah untuk
hamba", berkata Bolange sambil tersenyum.
714 "Inilah titah pengausa pulau Wangi-wangi yang
pertama", berkata Kebo Arema yang ikut tersenyum
melihat gaya Bolange bertutur layaknya seorang hamba
kepada Rajanya. Pada dasarnya orang-orang pulau wangi-wangi
memang sangat taat kepada pemimpinnya, namun dalam
sikap mereka sepertinya tidak ada batas sebagaimana
seorang hamba kepada rajanya, mereka sangat
bersahaya, pemimpin mereka adalah sahabat, sementara kesetiaan diperlihatkan dalam perbuatan,
bukan dalam sikap dan tutur kata.
Hari ketiga di pulau Wangi-wangi itu adalah sebuah
kesibukan besar membangun sebuah rumah banjar
sebagaimana yang diinginkan oleh Kebo Arema,
pemimpin dan penguasa pulau wangi-wangi yang baru.
Semua orang laki-laki nampak turun bekerja
bergotong royong membangun rumah banjar diatas
tanah keluarga Kebo Arema. Para prajurit seprtinya tidak
mau ketinggalan, mereka ikut turun membantu.
Dan bukan Kebo Arema bila tidak ikut gatal turun
membantu, maka sukar sekali membedakan antara
atasan dan bawahannya, sama-sama berpeluh, samasama berdebu. Dan juga sama-sama makan ditempat
yang sama. Dalam waktu empat pekan, rumah banjar itu sudah
berdiri. Begitu megah sebagaimana layaknya rumah
seorang sultan di Tanah Melayu. Namun rumah banjar itu
adalah milik orang banyak. Semua orang ikut merasa
bangga dan merasa memilikinya.
"Kita harus menjaga agar pulau ini tidak kembali
dikuasai oleh para bajak laut", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Amping sambil memberikan 715 pandangannya bahwa kedamaian di Pulau Wangi-wangi
juga keamanan palayaran armada besar Singasari di
jalur perdagangan timur menuju Tanah Gurun.
Diam-diam Mahesa Amping mengakui keunggulan
pemikiran Kebo Arema yang begitu jauh, penuh dengan
berbagai perhitungan yang kuat layaknya seorang
panglima mengatur siasat peperangan.
"Saatnya kita membangun kekuatan di Pulau Wangiwangi ini", berkata Kebo Arema disuatu malam kepada
Mahesa Amping di teras panggung pendapa rumah
banjar. Sebagaimana di Bandar Bacukiki, Kebo Arema telah
mengumpulkan beberapa pemuda maupun orang
dewasa yang masih mempunyai semangat untuk menjadi
pasukan pengawal pulau Wangi-wangi.
Untuk hal itu, Kebo Arema telah meminta Mahesa
Amping untuk melakukakn tugasnya, membangun dan
membina kesatuan itu. Hari demi hari pasukan pengawal itu telah melakukan
berbagai macam latihan, baik latihan ketahanan tubuh
maupun latihan pertempuran secara perorangan dan
berkelompok. Ternyata bukan hanya pemuda dan orang dewasa
yang ditunjuk sebagai pasukan pengawal yang berlatih,
beberapa orang penghuni pulau itu ikut berbondongbondong meminta dilatih kanuragan juga.
Kebo Arema menyambut baik semangat itu, maka
menerima dan mengabulkan keinginan mereka untuk ikut
berlatih. Maka Kebo Arema ikut bersama dua orang
prajurit yang dianggap cakap turun membantu Mahesa
Amping, melatih para penghuni pulau Wangi-wangi.
716 Tiga bulan telah berlalu, pasukan pengawal pulau
Wangi-wangi sudah terlihat kemampuannya, sementara
para lelaki penghuni pulau wangi-wangi sudah dapat
dipercaya bersama pasukan pengawal akan dapat
menjaga pulaunya dari berbagai ancaman yang mungkin
dapat terjadi, sebagaimana terjadi pada beberapa tahun
silam, pada generasi orang tua mereka.
"Kalian harus berlatih setiap saat, aku telah
memberikan semua bahan dasar latihan, semua
tergantung pada diri kalian masing-masing, siapa yang
rajin berlatih akan menuai hasilnya sendiri", berkata
Mahesa Amping ketika mengakhiri sebuah latihan
disuatu hari diujung senja.
"Pilihlah senjata yang kalian sukai", berkata Kebo
Arema pada suatu hari membagikan berbagai macam
senjata kepada para penghuni pulau Wangi-wangi.
Bukan main senangnya mereka menerima hadiah itu.
"Setiap senjata mempunyai sifat dan keistimewaannya masing-masing, kalian harus memahami senjata yang kalian miliki, mengenal dan
merasakan sebagaimana anggota tubuh kalian, sebagai
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan", berkata Mahesa
Amping memberikan pemahaman dasar-dasar yang kuat
atas berbagai macam senjata.
"Musim panas akan segera berakhir, waktu pelayaran
kita sangat terbatas", berkata Kebo Arema kepada
Mahesa Amping, memberikan beberapa kemungkinan
yang harus mereka jalani sehubungan dengan tugas
mereka merintis jalur perdagangan di daerah timur,
terutama dengan hampir datangnya musim penghujan,
musim pasang laut. "Ada dua pilihan, menyeberangi perairan Laut Jawa
717 sebelum datangnya musim pasang, atau tertahan di
daerah timur ini menantikan kembali datangnya musim
berlayar tiba", berkata kembali Kebo Arema kepada
Mahesa Amping. "Aku memilih kita kembali ke tanah Singasari
sebelum tiba musim pasang, pelayaran yang panjang
mungkin akan membuat kejenuhan para prajurit", berkata
Mahesa Amping memberikan pemikirannya.
"Apakah kamu tidak memperhitungkan diriku sebagai
penguasa Pulau Wangi-wangi ini?", bertanya Kebo
Arema dengan senyum dikulum.
"Untuk hal itu aku tidak memperhitungkannya, yang
kutahu Paman Kebo Arema tidak pernah bermimpi
menjadi seorang penguasa dimanapun", berkata Mahesa
Amping kepada Kebo Arema.
"Ternyata pemikiran kita tidak jauh berbeda,
kecintaan kita kepada dunia akan membutakan mata hati
kita kepada kecintaan yang hakiki, kecintaan atas karunia
dari yang Maha Pencipta, yang harus dipuja dan
disembah setiap saat, setiap waktu dalam keadaan
apapun, itulah kebahagiaan sejati karunia dari pemilik
alam semesta ini, Gusti Yang Maha Hidup, Gusti Yang
Maha Tunggal, Gusti Yang selalu menjaga", berkata
Kebo Arema. "Dan sang penguasa pulau Wangi-wangi harus rela
meninggalkan kekuasaannya", berkata Mahesa Amping.
"Kekuasaan sementara, sebuah titipan", berkata
Kebo Arema penuh senyum. Demikianlah, mereka sepakat untuk secepatnya
kembali ketanah Singasari sebelum datang musim
pasang laut tiba. 718 Keputusan itu disampaikan kepada beberapa wakil
pimpinan pulau Wangi-wangi.
Semula mereka merasa keberatan, namun dengan
sedikit pengertian akhirnya mereka tidak dapat menahan
Kebo Arema. "Ada tugas yang tengah aku emban, membangun
jalur perdagangan yang cukup luas, dari ujung timur
Tanah Gurun sampai ke ujung Malaka. Masih banyak
tempat yang harus kami singgahi, seperti pesisir
Tanjungpura sampai ke ujung Campa. Kemajuan
perdagangan Singasari berdampak juga bagi kemakmuran pulau Wangi-wangi ini. Ijinkan dan doakan
aku dapat mengemban tugas besar ini", berkata Kebo
Arema memberikan pengertian kepada para wakilnya.
Hari itu senja telah turun menyelimuti pantai pulau
Wangi-wangi, terlihat sepuluh jung terakhir yang akan
membawa beberapa prajurit ke tengah laut tempat
Bahtera besar Singasari menambatkan sauhnya. Mereka
akan melakukan pelayaran kembali setelah lama
tertunda, berlayar ke Tanah Gurun.
Bulan bulat diatas langit sepertinya tidak pernah
bergeser mengiringi sebuah bahtera yang terapung
diatas laut malam. Tujuh layar terkembang penuh ditiup


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin menuju timur laut. Bahtera itu masih terapung di hamparan laut luas
yang tidak bertepi, terlihat seperti tidak bergerak
mengejar tepi laut yang terus berlari menjauh.
Sementara, sang malam diam-diam telah meninggalkan
lengkung langit, memberi kesempatan sang pagi
memulai melukis langit. Semburat merah menyala menyembul di ujung timur,
sinar lentera bahtera masih terlihat bergelantungan di
719 ujung anjungan dan buritan bergoyang mengikuti gerak
bahtera yang terapung di tengah hamparan laut luas tak
bertepi. Dan akhirnya semburan warna merah itu telah
merata mengisi lengkung langit, mewarnai kehadiran
sang dewi pagi di tengah hamparan permadani laut biru.
Perlahan tapi pasti, sang surya mulai menampakkan
setengah wajahnya di ujung timur penuh senyum
menawan. "Jaga arah kemudi, kita berlayar ke arah timur
matahari", berkata Kebo Arema memberi perintah
kepada juru mudi. "Daratan!!!", berteriak seorang prajurit yang melihat
sekumpulan burung manyar karang beterbangan diatas
air laut, sepertinya tengah berpesta berburu ikan kecil.
"Putar kemudi kekiri, jauhkan arah bahtera dari
kumpulan burung manyar karang itu", berteriak Kebo
Arema membuat dua orang juru mudi terkejut, namun
masih sempat mencerna perintah Kebo Arema.Dengan
cekatan kemudi kembar telah berputar ke kiri, bahtera
bergeser arah ke kiri. "Kita telah terhindar dari kehancuran, dibawah burung
camar karang bukan laut dalam, melainkan sebuah
gunung karang yang bersembunyi", berkata Kebo Arema
menjelaskan kepada beberapa prajurit yang tidak
mengerti mengapa arah bahtera tiba-tiba saja harus
menghindari sekumpulan burung manyar karang.
"Diatas gunung karang itu adalah air laut dangkal
tempat ikan-ikan kecil bermain, itulah bahasa alam yang
memberi petunjuk burung manyar karang setiap pagi
datang mencari makan", berkata Kebo Arema
720 memberikan penjelesannya. "Pesanku, jangan coba-coba
memasuki laut banda di malam hari, bahtera kita akan
tersesat berlabuh di tempat yang salah, tergerus hancur
diatas gunung karang itu", kembali Kebo Arema berkata
kepada beberapa prajurit yang langsung memahaminya.
"Aku pernah mendengar cerita ini dari seorang pelaut
di Bandar Sebukit, gunung karang yang bersembunyi itu
mereka namakan sebagai laut gosong", berkata Mahesa
Amping. "Pelaut itu benar, gunung karang bersembunyi itu
disebut juga dengan nama laut gosong", berkata Kebo
Arema membenarkan Mahesa Amping.
Sementara itu warna pagi sudah menjadi lebih
terang, di ujung timur sang surya telah menampakkan
seluruh wajahnya yang menawan, bulat kuning terang
dan tidak menyilaukan mata.
"Lihatlah, sebuah daratan telah muncul di ujung
timur", berkata salah seorang prajurit yang melihat
sebuah titik hitam muncul dari arah timur matahari.
Seperti berjalan diatas bola besar, diatas lengkung
laut biru titik hitam itu terus berubah menjadi bayangan
hitam. Semakin bahtera besar itu mengejar tepi ujung
laut, bayangan hitam itu semakin banyak terlihat.
"Para pelaut mandar merahasiakan jalur perjalanan
ini, dan kita orang pertama yang telah menemukan jalan
rahasia ini, jalan menuju tempat tumbuhnya pohon emas,
cengkeh dan pala", berkata Kebo Arema penuh
kegembiraan melihat bayangan hitam semakin
mendekat. "Kita bersandar ditepi pulau yang terbesar", berkata
Kebo Arema ketika mereka banyak melewati pulau-pulau
721 kecil. Akhirnya Bahtera besar itu telah berlabuh di sebuah
dermaga, beberapa orang terlihat berdiri di sepanjang
dermaga, inilah pertama kali mereka melihat sebuah
bahtera yang besar, sebuah bahtera yang indah yang
pernah mereka saksikan. "Kami dari Tanah Singasari, dapatkah mengantar
kami kepada penguasa pulau ini ?", berkata Kebo Arema
kepada salah seorang yang berbadan tegap, berkulit
legam dan mempunyai rambut keriting ikal tanpa ikat
kepala. Hampir semua orang yang ditemui di Tanah
Gurun ini memiliki kulit yang hitam legam sebagaimana
yang tengah berbicara bersama Kebo Arema.
"Mari kuantar kalian kepada pimpinan kami", berkata
orang itu menampakkan senyum dengan deretan giginya
yang putih bersih. Kebo Arema bersama Mahesa Amping diajak oleh
orang itu kesebuah perkampungan besar, terlihat rumahrumah yang begitu sederhana, berbentuk lingkaran kayu
mengelilingi dinding dengan atap setengah lingkaran
terbuat dari daun enau. "Tunggulah disini, aku akan menemuinya", berkata
orang itu ketika mereka berada di sebuah rumah yang
paling besar yang ada diperkampungan itu.
"Pandita O Luhu Tuban, ada tamu ingin bertemu",
berteriak orang itu sepertinya ingin memberitahu orang
didalam rumah itu. Maka muncullah seorang tua dari pintu yang terbuka,
rambut di kepalanya sudah memutih. Orang tua itu
mendatangi Kebo Arema dan Mahesa Amping.
"Tuan pasti datang dari tempat yang jauh", berkata
722 orang tua itu setelah berhadapan dengan Mahesa
Amping dan Kebo Arema. "Benar, kami datang dari ujung barat matahari
terbenam, kami berasal dari Nusajawa", berkata Kebo
Arema. Sementara itu orang yang mengantar Kebo Arema
dan Mahesa Amping telah berpamit meninggalkan
mereka. Dengan ramah orang tua yang dipanggil Pandita O
Luhu Tuban itu mengajak Mahesa Amping dan Kebo
Arema duduk diatas rumput di depan rumah bulat
melingkar itu. "Dalam setiap dua kali musim panas, beberapa orang
suku laut datang kemari menukar cengkeh dan pala
dengan kulit binatang, mungkin kalian datang
sebagaimana mereka datang", berkata Pandita O Luhu
Tuban memulai pembicaraannya.
"Kami datang membawa banyak barang besi, itulah
hadiah yang setara dengan cengkeh dan pala", berkata
Kebo Arema sambil menunjukkan beberapa barang
senjata yang sengaja dibawa.
"Barang bagus !", berkata Pandita O Luhu Tuban
menimang-nimang sebuah parang panjang.
"Senjata ini adalah salah satu barang yang kami
bawa, ada banyak lagi yang dapat kami tunjukkan
kepada tuan", berkata Kebo Arema.
"Buah cengkeh dan pala tumbuh dengan sendirinya
di hutan kami, sementara barang besi ini dibuat dengan
keringat dan kesungguhan. Kami akan memenuhi
bahtera tuan dengan cengkeh dan pala sebanyak yang
tuan inginkan", berkata Pandita O Luhu Tuban penuh
723 kegembiraan. Demikianlah awal pertemuan antara Kebo Arema,
Mahesa Amping dan Pandita O Luhu Tuban. Ketika
matahari terlihat semakin merayap naik, Mahesa Amping
dan Kebo Arema berpamit diri.
Keesokan harinya Kebo Arema bersama Mahesa
Mencari Bende Mataram 20 Anak Harimau Karya Siau Siau Pendekar Pemabuk 8
^