Pencarian

Sang Fajar Bersinar 9

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 9


datang. Dan harapan mereka ternyata telah disinggahi, senja
akhirnya turun di Bandar kecil tak bernama itu. Sebuah
sauh tengah ditarik keatas, ikatan tali pun sudah dilepas
ditiang dermaga. Jung besar terlihat merayap menjauhi
dermaga, meninggalkan tepian pantai yang sepi.Dan
layar pun telah dikembangkan menghanyutkan jung
besar melaju mengarungi pesisir utara laut Nusa jawa.
Bandar besar Churabaya memang sepertinya tidak
pernah tidur, terlihat kerlap kerlip lampu minyak di
beberapa kedai yang masih melayani beberapa
pengunjungnya. Di saat itulah Jung besar yang
ditumpangi Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping
telah merapat di Bandar Churabaya.
"Terima kasih atas tumpangannya", berkata Raden
Wijaya kepada Juragan besar yang memberikan mereka
tumpangan. "Sama-sama, semoga kalian sampai di tempat tujuan
dengan selamat", berkata Juragan Besar itu sambil
580 melambaikan tangannya kepada Lawe, Raden Wijaya
dan Mahesa Amping yang telah turun berdiri di dermaga
bersamaan ikut juga melambaikan tangannya.
"Mari kita beristirahat di kedai", berkata Mahesa
Amping sambil menunjuk sebuah kedai di ujung jalan
yang masih buka. Sebagaimana suasana sebuah Bandar besar di
malam hari, suasana dikedai itu juga masih terhitung
ramai mengingat hari sudah masuk di pertengahan
malam. "Pesan apa tuan muda?", bertanya seorang pelayan
tua kepada mereka. "Makanan dan minuman terbaik di kedai ini", berkata
Lawe bergaya sebagai juragan besar.
"Gulai manjangan muda adalah hidangan terbaik
kami", berkata pelayan tua itu menawarkan hidangan
terbaiknya yang dibalas anggukan kepala Lawe tanda
menyetujuinya. Pelayan tua itu pun segera
menyiapkan beberapa pesanan.
kedalam untuk Namun belum lagi pelayan itu kembali, telinga Lawe
nyaris seperti panas mendengar sebuah senda gurau
dari empat orang yang nampaknya telah mabuk berat
menikmati minuman keras. Senda gurau mereka ternyata
memang ditujukan kepada Lawe, Mahesa Amping dan
Raden Wijaya. "Gulai Manjangan muda adalah hidangan orang tua
yang sudah sepuh", berkata seseorang yang terlihat
layaknya seorang pedagang kaya, terlihat dari
pakaiannya berasal dari bahan mahal.
"Atau giginya sudah banyak yang rapuh bolong",
581 berkata seorang lagi kawannya yang brewokan.
"Atau sakunya yang memang bolong", berkata
kawannya yang kedua sambil tertawa terbahak-bahak
disambut dengan gerai tawa ketiga kawannya.
"Apakah yang kalian bicarakan adalah diriku?",
berkata Lawe langsung melabrak orang yang terakhir
bicara. "Ternyata kamu belum tuli dan pikun", berkata orang
itu semakin keras ketawanya dan disambut tawa juga
dari ketiga kawannya. Lawe yang memang gampang tersinggung, tanpa
bicara lagi langsung melayangkan tangannya.
"Plokkk !!" Orang itu merasakan sebelah wajahnya panas.
"Beraninya kamu menampar wajahku", berkata orang
itu. "Itu masih ringan, biasanya aku suka merobek mulut
orang yang usil", berkata Lawe ringan.
Sementara itu Mahesa Amping dan Raden Wijaya
masih tetap duduk tenang, merasa bahwa Lawe masih
dalam keadaan terdendali. Namun tidak demikian
perasaan para pengunjung yang kebetulan masih berada
didalam yang langsung keluar kedai takut terkena
sasaran. Beberapa prajurit yang sedang meronda melihat
ketidak beresan dikedai itu langsung masuk kedalam.
"Siapa berani membuat onar disini !!", berkata
seorang prajurit. "Orang inilah yang membuat kerusuhan disini, dia
582 telah menampar wajahku", berkata orang yang ditampar
sambil menunjuk kearah Lawe.
Keanehan pun terjadi, prajurit itu nampak tertawa
terpingkal-pingkal. "Aku tidak percaya orang ini telah membuat
kerusuhan, pasti kamulah yang telah memulainya",
berkata prajurit itu setelah tertawanya habis.
"Lihatlah, aku wajahku merah ditamparnya", berkata
orang itu penasaran bahwa prajurit itu tidak
mempercayainya. "Bersyukurlah mulutmu tidak dirobeknya, hari ini aku
sedang berbuat baik, cepat keluar dari kedai ini", berkata
prajurit itu mengusir orang itu.
Sambil menggerutu orang itu keluar kedai diikuti
ketiga kawannya yang merasa ada yang tidak beres
dengan prajurit itu. "Dunia memang begitu sempit", berkata prajurit itu
yang tidak lain adalah Ki Lurah Dadulengit dari benteng
Cangu. "Sang Dewa judi dari benteng Cangu", berkata Lawe
yang sudah mengenali Dadulengit.
"Silahkan kalian kembali meronda, aku akan
menemani ketiga kawanku ini", berkata Dadulengit
kepada dua orang prajurit yang datang bersamanya.
"Tolong tambahkan pesanan kami", berkata Lawe
kepada pelayan tua yang telah membawakan pesanan
mereka. "Aku pesan Dadulengit daging kambing bakar", berkata "Bukan gulai manjangan muda?", bertanya pelayan
583 tua itu. "Apakah kamu melihat aku sudah begitu sepuh?",
bertanya Dadulengit kepada pelayan tua itu.
"Maaf, aku akan menyiapkan pesanan tuan", berkata
pelayan tua itu. "Jadi benar bahwa gulai manjangan muda hanya
untuk orang sepuh?", bertanya Lawe kepada Dadulengit.
"Khususnya untuk orang tua sepuh yang sudah
semper", berkata Dadulengit sambil tertawa melihat tiga
mangkuk gulai manjangan muda didepannya.
"Hati-hati Ki Lurah, orang yang tadi keluar telah
mengatakan yang sama", berkata mahesa Amping
sambil tersenyum. "Ternyata masalahnya ada pada gulai manjangan
muda?", berkata Dadulengit sambil tertawa.Dan
semuanyapun jadi ikut tertawa.
"Kalau tidak begitu, mana
bertemu", berkata raden Wijaya.
mungkin kita bisa Tidak lama kemudian pelayan tua sudah
membawakan pesanan Dadulengit. Maka merekapun
nampak menikmati hidangan itu.
"Pangeran Kertanegara sudah menjadi raja di
Kediri?", berkata Raden Wijaya ketika Dadulengit
bercerita tentang beberapa hal sekitar kerajaan
Singasari. "Ternyata kalian sudah terlalu lama meninggalkan
tanah Singasari", berkata Dadulengit.
"Kami memang cukup lama meninggalkan tanah
Singasari", berkata Mahesa Amping.
584 "Sekarang giliran kalian bercerita, kemana saja kalian
selama ini", berkata Dadulengit
Meski tidak seluruhnya, Mahesa Amping bercerita
beberapa hal kemana saja mereka selama ini.
Sementara itu pertengahaan malam sepertinya telah
terkikis terlewati bersama senda gurau pertemuan empat
sahabat di dalam kedai. "Tugasku di Bandar Churabaya masih tinggal
sepekan, akan kuperintahkan orangku untuk mengantar
kalian sampai ke Benteng Cangu", berkata Dadulengit
yang nampak sudah lesu mengantuk.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dadulengit, pagi
itu Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya sudah
berada di sebuah jung besar milik seorang juragan kaya
kenalan Dadulengit yang kebetulan akan berangkat ke
Bandar Cangu. Perlahan jung besar meninggalkan dermaga, hangat
sinar matahari mewarnai air sungai menjadi kuning
keperakan tergunting jung besar yang melaju melawan
arah arus sungai. Angin pagi yang bertiup ke darat telah
mendorong layar tunggal yang telah dikembangkan.
"Prajurit Singasari ada dimana-mana", berkata Raden
Wijaya menunjuk kesebuah gardu ronda yang berdiri di
tepi sungai disebuah hutan yang sepi.
"Perompak akan berpikir panjang membuat ulah di
sepanjang peraiaran ini", berkata Mahesa Amping.
Ternyata memang banyak perubahan dan perkembangan di Tanah Singasari. Senapati Mahesa
Pukat tugas dan tanggung jawabnya diperbesar, tidak
hanya mencakup Bandar Cangu, tapi sepanjang perairan
sampai dengan Bandar Churabaya. Dan Mahesa Pukat
585 telah menunjukkan baktinya dengan sungguh-sungguh.
Senapati muda ini telah berhasil mengamankan jalur
perdagangan antara Bandar Cangu dan Bandar
Churabaya. Sebuah karya bhakti yang sangat
membanggakan. "Ada lima jung raksasa", berkata Lawe ketika mereka
telah mendekati Bandar Cangu.
Ternyata setelah pelayaran perdananya, jung
Borobudur telah dianggap telah berhasil. Nampaknya
Singasari sudah tidak main-main lagi untuk mendirikan
kerajaan laut yang tangguh.
Senja yang bening telah menyambut kedatangan
Lawe, Mahesa Amping dan raden Wijaya di Bandar
Cangu yang telah menjadi lebih ramai dibandingkan
ketika mereka meninggalkannya. Banyak jung besar dari
berbagai suku bangsa telah merapat di Bandar Cangu.
Ketika Jung telah merapat di Dermaga, ketika
pemuda itu sepertinya telah kembali di kampung
halamannya sendiri. Tidak sabaran mereka langsung
menuju Benteng Cangu. "Setiap hari kami berdoa untuk keselamatan kalian",
berkata Senapati Mahesa Pukat menyambut kedatangan
tiga pemuda di Benteng Cangu.
"Berkat doa kakang Mahesa Pukat, hari ini kami telah
kembali dengan selamat", berkata Mahesa Amping
penuh kegembiraan bertemu dengan kakak dan
sekaligus gurunya sendiri selain Mahesa Murti.
Kebo Arema yang selama ini tengah mengawasi lima
buah jung Borobudur telah datang dari galangan.
"Tiga begundal sakti telah pulang kampung", berkata
Kebo Arena yang baru datang langsung bergabung.
586 Mahesa Amping, Raden Wijaya dan juga dibantu
Lawe langsung bercerita tentang tugas mereka di Tanah
Melayu. Banyak hal yang mereka sampaikan, terutama
sikap Raja Tanah Melayu yang sedari awal tidak
bermasalah dan menerima dengan sikap terbuka dalam
hal hubungan perdagangan antar kerajaan. Apa yang
terjadi sebelumnya adalah karena sikap para bangsawan
dan beberapa saudagar besar yang takut atas
persaingan yang terjadi dengan masuknya jung Singasari
yang besar dan menang dalam hal muatan barang
masuk dalam jalur perdagangan mereka.
"Berita ini harus secepatnya disampaikan kepada Sri
Maharaja dan Raja Kertanegara", berkata Kebo Arema
yang merasa gembira mendapat kabar berita gembira itu.
"Aku setuju, agar kiranya kita dapat membuat
perencanaan kedepan lebih mapan lagi", berkata
Mahesa Pukat. "Aku siap mengantar kalian menghadap
Maharaja", berkata Kebo Arema sambil tersenyum.
Sri Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya saling
berpandangan mata sepertinya tidak dapat langsung
memberikan keputusan kapan mereka akan berangkat.
"Bagaimana bila besok hari", berkata Kebo Arema
menantang. "Ternyata paman Kebo Arema lebih banyak
memikirkan diri kalian, suasana istana singasari akan
lebih nyaman untuk tempat beristirahat ketimbang di
Benteng Cangu ini", berkata Mahesa Pukat sambil


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum dapat meraba gejolak hati tiga pemuda
didepannya terutama Raden Wijaya yang tentunya
sangat merindukan keadaan keluarganya di Istana.
587 Kembali Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya
saling berpandangan. "Paman Kebo Arema dan kakang Mahesa Pukat
sudah kami anggap sebagai orang tua sendiri, keputusan
apapun adalah kebaikan untuk kami", berkata Mahesa
Amping mewakili dua orang kawannya.
"Banyak hal yang harus kita sampaikan kepada Sri
Maharaja, terutama dalam waktu dekat ini menyangkut
masalah diperlukan banyak prajurit baru yang akan
dijadikan sebagai prajurit pengawal lima buah jung yang
sebentar lagi mendekati masa penyempurnaan", berkata
Kebo Arema sepertinya meminta beberapa pendapat.
"Kita punya pengalaman pada waktu mempersiapkan
pasukan jung pertama", berkata Mahesa Amping.
"Sepertinya ketiga begundal ini masih dapat
dipercaya sebagai pelatih pasukan baru", berkata Kebo
Arema sambil melirik kepada Lawe, Mahesa Amping dan
Raden Wijaya yang ditanggapi dengan senyum dan
anggukan kepala. Sampai jauh malam mereka berbincang-bincang dan
bercerita. Semua sepertinya ingin melengkapi apa yang
terjadi selama mereka saling berpisah, dan kebo Arema
tidak lupa menceritakan sepak terjang mereka ketika
membantu Raja Kertanegara di Kediri bermain dewadewaan.
"Karena tidak ada kalian, terpaksa kami yang tua ini
bermain sebagai dewa bangau putih pelindung raja",
berkata Kebo arema yang disimak oleh ketiga pemuda itu
seperti cerita yang begitu seru dan juga lucu.
"Sebuah petualangan yang sangat menyenangkan
dan tidak akan terlupakan", berkata Lawe menanggapi
588 cerita Kebo Arema. "Bila kami bertiga yang melakoni, mungkin tidak
segemilang apa yang telah kalian bertiga lakukan",
berkata Mahesa Amping ikut memberikan tanggapannya.
"Syukurlah, Raja Kediri akhirnya dapat membangun
kerajaannya tanpa gangguan yang berarti, berkat Paman
bertiga dan tentunya para cantrik Padepokan Bajra Seta",
berkata Raden Wijaya. "Kehadiran kalian di Tanah Singasari ini begitu
sangat menggembirakan, tentunya kami yang tua
berharap mendapatkan tugas yang ringan-ringan saja",
berkata Kebo Arema sambil mengelus janggutnya yang
memang terlihat sudah berwarna dua.
"Kukira kalian bergembira melihat kami kembali
sebagaimana melihat keponakan yang sudah lama tidak
kembali, ternyata ?"?", berkata Lawe yang tidak
melanjutkan kata-katanya.
"Ternyata ?", bertanya Kebo Arema tertawa berharap
Lawe melanjutkan kata-katanya.
"Terlalu !!!," berkata Lawe melanjutkan kata-katanya,
yang disambut tawa oleh semua yang hadir.
Pagi masih begitu bening, rumput-rumput masih
basah berembun manakala empat ekor kuda terlihat
keluar dari benteng Cangu.
Mereka adalah Kebo Arema, Raden Wijaya, Lawe
dan Mahesa Amping yang akan mengunjungi Istana
Singasari. Ternyata jalan antara Bandar Cangu menuju
Singasari sudah menjadi begitu ramai. Dijalan kerap kali
mereka menjumpai gerobak para pedagang yang akan
meninggalkan Bandar Cangu atau yang akan menuju ke
589 Bandar Cangu. "Di sepanjang jalan sudah banyak tempat singgah,
sementara jalur ini sudah semakin aman bagi para
pedagang", berkata Kebo Arema memberikan keterangan tentang perkembangan Singasari khususnya
jalur perdagangan antara Bandar Cangu dan kotaraja.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kebo Arema, di
sepanjang jalan memang banyak ditemui perkampungan
baru. Beberapa pedagang nampak tengah beristirahat,
bahkan ada yang tengah menurunkan barang
dagangannya serta melakukan pertukaran barang antara
sesama pedagang. Tentunya sesuai keuntungan yang
bagus dari semua pihak. Di perjalanan mereka juga menemui banyak lahan
yang telah dibuka, baik untuk ladang maupun
persawahan. Wajah Singasari sepertinya tengah berseri bersama
hamparan hijau padi yang tengah merambat tumbuh.
Dan Singasari memang terus tumbuh berkembang
dibawah genggaman tangan dingin Sri Maharaja
Singasari yang bijaksana Wishnuwardhana dan Ratu
Anggabhaya. Dan tidak terasa perjalanan mereka sudah hampir
sampai. Terlihat mereka telah memasuki gerbang
kotaraja. Keramaian pun sudah semakin terasa. Hiruk
pikuk para pejalan kaki dan gerobak pedagang yang
berlalu lalang mewarnai kehidupan Kotaraja. Kereta
kencana milik para bangsawan sepertinya tidak ingin
terlupakan menjadi pemandangan tersendiri ikut
meramaikan suasana kotaraja yang berhawa dingin dan
sejuk karena berdiri diatas punggung perbukitan yang
hijau. 590 Matahari sudah tergelincir turun dari puncaknya.
Kebo Arema, Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya
terlihat tengah menuntun kudanya melewati regol pintu
gerbang Istana. "Lama sekali kita tidak berjumpa wahai pengembara
tua", berkata seorang prajurit pengawal yang datang dan
telah mengenali siapa empat orang yang baru datang.
"Badanmu nampak semakin tambur", berkata Kebo
Arema yang sudah mengenal hampir seluruh prajurit
pengawal di istana Singasari.
Prajurit yang berbadan tambur itu pun memanggil
dua orang kawannya untuk membantunya membawa
empat ekor kuda untuk dirawat sebagaimana mestinya.
Sementara itu Kebo Arema, Lawe dan Mahesa Amping
diajak langsung oleh Raden Wijaya ke bangsal istana
keluarganya. Kedatangan keempat orang ini memang sangat
mengejutkan, sekaligus sebuah kegembiraan besar
melihat putra mereka Raden Wijaya yang sudah begitu
lama meninggalkan Istana tiba-tiba saja telah kembali
pulang. "Anakku", hanya itu yang terucap dari bibir Dyah
Lembu Tal sambil memeluk erat putranya.
"Beristirahatlah kalian, nanti malam kita rayakan
perjumpaan ini", berkata Ratu Anggabhaya ikut
menyambut kedatangan mereka.
Sebagaimana yang dikatakan Ratu Anggabhaya,
malam itu telah diadakan perjamuan besar sebagai
ungkapan kegembiraannya atas kedatangan putra
kesayangannya. Dan sang waktu sepertinya berkejaran menutup hari
591 dengan wajah topeng malam dan menarikan irama
penuh suka cita. Dan yang tidak terduga dalam perjamuan
kegembiraan itu, Sri Maharaja Ranggawuni berkenan
datang hadir manakala mendengar bahwa ada seorang
keponakannya telah kembali pulang.
"Jarang sekali aku melihat ada asap perjamuan besar
berasal dari bangsal ini, ternyata ada seorang putra
tercinta yang datang", berkata Sri Maharaja Ranggawuni
memulai percakapannya. "Berbahagialah wahai putraku, Sri Maharaja
Singasari telah meringankan kakinya datang dalam
perjamuanmu", berkata Ratu Anggabhaya rmenyambut
kedatangan Sri Maharaja Semua wajah mewakili keceriaannya masing-masing
dalam canda dan tawa saling bercerita mengisi lembaran
yang terlewat sepanjang jarak perpisahan diantara
mereka, ayah, kakek dan putranya. Dan ketiga sahabat
pun seakan melengkapi. "Ternyata langkahku kemari membawa telingaku atas
berita besar yang menggembirakan", berkata Sri
maharaja manakala mendengar berita tentang sikap Raja
Tanah melayu yang telah menerima hubungan
perdagangan dari Tanah Singasari.
"Puji syukur kehadirat Sang Hiyang Gusti Yang Maha
Pemurah, kamu telah dipertemukan dengan Eyangmu
sendiri, Gurusuci Darmasiksa", berkata Dyah Lembu Tal
manakala mendengar cerita tentang pengembaraan
mereka di Tanah Pasundan.
"Beliau juga telah menitipkan salam kepada
Ayahanda", berkata Raden Wijaya kepada Ayahnya
592 Lembu Tal. "Beliau adalah seorang Raja dan Mertua yang baik
selama aku bersamanya di Tanah Pasundan", berkata
Dyah Lembu Tal sepertinya tengah mengenang dan
menerawang sepotong kenangan yang indah memasuki
hari-hari ketika masih di Tanah Pasundan.
"Kita telah mempunyai ikatan keluarga di Tanah
Pasundan, bagaimana bila kita mengikat juga Tanah
Melayu dengan sebuah ikatan yang sama", berkata Sri
Baginda Maharaja memberikan sebuah usulan.
Berdebar jantung Mahesa Amping dan Raden Wijaya
mendengar perkataan Sri Baginda Maharaja, terlintas
dalam pikiran mereka berdua gadis jelita Tanah Melayu
yang telah memberikan cintanya kepada mereka. Terlihat
mereka berusaha keras menutupi gejolak perasaan hati
masing-masing. "Tanah Melayu adalah pintu gerbang perdagangan
raya, dan jalan untuk kesana sudah terbuka", berkata
Kebo Arema memberikan pemikirannya.
"Saatnya layar Jung Borobudur dikembangkan.Sekali
dayung tujuh pulau terlewati. Aku menunjuk kembali
dirimu melakukan perlawatan resmi ke Tanah Melayu,
sekaligus sebagai juru pinang putraku Kertanegara",
berkata Sri Baginda Maharaja kepada Kebo Arema.
Kembali Mahesa Amping dan Raden Wijaya
berdebar-debar dalam kecemasan, peluh dingin tiba-tiba
keluar mengalir dikening masing-masing.
"Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping telah
berjasa membuka jalan emas ini di tanah Melayu. Hamba
berharap tiga pemuda ini dikut sertakan", berkata Kebo
Arema kepada Sri Baginda Maharaja.
593 "Aku cuma punya mimpi tentang kerajaan air.Perlu
jalan panjang untuk mewujudkannya", berkata Sri
Baginda Maharaja dan diam sebentar sambil menarik
nafas panjang, matanya menerawang jauh kedepan.
"Kutitipkan pada kalian mimpiku ini", berkata kembali Sri
baginda Maharaja sambil memandang secara berganti
kepada Kebo Arema, Mahesa Amping, Lawe dan terakhir
memandang lama kepada Raden Wijaya."Berkenankah
kalian menerima titipan mimpiku ini ?", berkata Sri
Baginda Maharaja kepada Kebo Arema dan ketiga orang
pemuda di depannya. "Sebuah kehormatan untuk hamba", berkata Kebo
Arema sambil menjura penuh hormat.
"Titah Paduka akan hamba pusakai", berkata Mahesa
Amping dan Lawe "Putramu berjanji, Putramu akan berbakti meski
harus membawakan matahari untuk membangunkan
mimpi Paduka di hari kebenaran, dihari kehidupan yang
nyata", berkata Raden Wijaya penuh semangat dan haru
mendapatkan kepercayaan yang tulus dari Sri baginda
Maharaja. "Esok hari, disaat aku terbangun dari mimpi, mungkin
belum ada yang dapat kulihat. Namun ketika mataku
sudah tidak dapat bermimpi lagi, aku akan melihat kalian
telah mengarungi penjuru dunia di tahta kencana
kerajaan air yang luas. Disaat itulah jiwaku akan
tersenyum", berkata Sri baginda Maharaja penuh senyum
kebahagiaan. Matanya begitu teduh memandang
kedepan seperti memandang rembulan dalam kesempurnaan keindahan malam. Dan lamunannya
memang telah melayang jauh diantara dermaga-dermaga
diujung penjuru dunia, diatas tiang-tiang layar yang
tengah berkembang tertiup angin malam, ditengah
594 kebiruan laut yang luas tak bertepi.
"Kembang Wijaya telah mulai tumbuh", berkata
Mahesa Amping berbisik kepada dirinya sendiri.
Inilah perjamuan malam yang selalu dikenang oleh
keempat pahlawan besar dari tanah Singasari. Sisa hari
selanjutnya telah mereka genapi dengan sebuah
persiapan besar, membangun sebuah mimpi.
Dan Sang Pewaris Kembang Wijaya telah mulai
terlihat tumbuh berkembang seiring perjalanan waktu.
Tidak terasa sudah dua pekan mereka berada di
Istana Singasari. Mereka telah menerima surat
kekancingan, diberikan wewenang besar membangun


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah kekuatan besar armada laut Singasari.
Pagi itu matahari sudah naik diatas bukit
menghangatkan bumi. Empat ekor kuda terlihat
meninggalkan gerbang batas kota.
Mereka adalah Kebo Arema, Lawe, Mahesa Amping
dan Raden Wijaya yang tengah melakukan perjalanan ke
Bandar Cangu. Ketika matahari berada di puncak langit, mereka
singgah sebentar di sebuah perkampungan baru yang
bermunculan seiring dengan telah mulai ramainya jalur
perdagangan antara Kotaraja dan Bandar Cangu.
Disaat matahari sudah tergelincir jatuh bergeser dari
lengkung langit, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Angin yang sejuk berhembus genit mengayunkan
ranting dan daun disepanjang jalan tanah yang teduh
dilindungi kerimbunan hutan dikiri kanan jalan menuju
Bandar Cangu. Jalan tanah itu seperti menyisakan ribuan
jejak kaki. Puluhan gerobak pedagang setiap hari
menjejakkan bebannya diatas tanah yang semakin
595 mengeras. Senja masih jauh dibelakang menunggu sang surya
bosan bergantung di lengkung langit. Dan empat ekor
kuda terlihat sudah mendekati Benteng Cangu yang
kokoh. "Selamat bergabung kembali di pondok para lelaki",
berkata Mahesa Pukat menyambut kedatangan mereka
yang baru tiba di benteng Cangu.
Setelah saling bercerita tentang keselamatan masingmasing, merekapun diberi kesempatan untuk bersihbersih dan beristirahat sejenak sambil menikmati
beberapa hidangan yang disediakan.
"Segarkanlah diri kalian, aku masih cukup bersabar
menunggu cerita kalian setelah dua pekan di Kotaraja",
berkata Mahesa Pukat sambil tersenyum mempersilahkan mereka beristirahat.
"Sri Baginda Maharaja titip salam kepadamu",
berkata Kebo Arema memulai sebuah pembicaraan.
"Ternyata kalian telah menerima surat kekancingan
untuk membangun sebuah armada laut Singasari yang
besar", berkata Mahesa Pukat.
"Tanpa bantuan Senapati muda di Benteng cangu ini,
kami tidak dapat perbuat banyak", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Pukat sambil tersenyum dan bermainmain mengelus janggutnya yang sudah berwarna dua.
"Tugas seorang prajurit melayani rajanya, aku siap
membantu kalian", berkata Mahesa Pukat.
"Lima bulan mendatang, lima armada besar jung
Singasari telah siap mengarungi lautan bebas. Kita butuh
para prajurit baru yang cukup banyak", berkata Kebo
Arema. 596 "Aku akan mengutus beberapa prajuritku keberbagai
wilayah untuk membawa para calon prajurit muda",
berkata Mahesa Pukat. "Barak-barak yang ada harus diperluas lagi", berkata
Raden Wijaya ikut memberikan pemikiran.
"Banyak hal yang harus kita kerjakan mulai esok hari,
disamping persiapan keberangkatan pelayaran kita
menuju Tanah Melayu", berkata Kebo Arema.
Maka keesokan harinya, Senapati Mahesa Amping
telah mengutus beberapa perwiranya untuk berangkat ke
berbagai wilayah di Tanah Singasari untuk mencari
beberapa pemuda yang akan dijadikan sebagai prajurit
yang kelak akan menjadi bagian dari sebuah pasukan
besar armada kelautan. Sementara itu Kebo Arema bersama Raden Wijaya,
Lawe dan Mahesa Amping telah mengunjungi barak para
prajurit Jung Singasari. Kepada beberapa prajurit perwira
mereka memberi kabar bahwa pekan depan akan
berangkat berlayar ke Tanah Melayu.
Bukan main gembiranya para prajurit yang
mendengar rencana itu, sudah begitu jemu mereka
menunggu kapan saatnya berlayar kembali, merasakan
suara ombak dan angin laut. Melihat kembali Bandarbandar besar yang penuh dengan keramaiannya.
"Kami akan mempersiapkan diri", berkata seorang
perwira yang telah ditunjuk menjadi pemimpim di barak
itu dengan penuh semangat.
Dalam kesempatan itu, Kebo Arema, Raden Wijaya,
Mahesa Amping dan Lawe telah membuat beberapa
gambaran sementara dari rencana mereka untuk
memperbesar jumlah barak yang sudah ada sebagai
597 penampungan para prajurit baru yang lebih banyak yang
akan bergabung bersama mereka sebagai pasukan
armada kelautan Singasari.
Ketika matahari telah tergelincir mencium pucuk
hutan kayu diseberang sungai Brantas, mereka kembali
ke Benteng Cangu. Kepada Mahesa Pukat mereka
menyampaikan beberapa gagasan tentang perluasan
barak prajurit armada laut.
"Aku akan mengerahkan sejumlah prajuritku untuk
memperluas barak yang ada, sementara kalian dapat
memusatkan segenap pikiran untuk mempersiapkan
pelayaran panjang ke Tanah Melayu", berkata Senapati
muda itu. "Kami yang menerima kekancingan, namun tuan
Senapati jua yang disibukkan", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Pukat. Dalam kesempatan itu, Mahesa Amping menyampaikan sebuah keinginan untuk mohon ijin untuk
mengunjungi Padepokan Bajra Seta.
"Aku dapat merasakan kerinduanmu, sampaikan
salamku kepada Kakang Mahesa Murti", berkata Mahesa
Pukat kepada adik angkatnya mahesa Amping.
Hari masih menjelang senja, Matahari kuning masih
bersinar hangat diatas bumi Bandar Cangu. Terlihat
Mahesa Amping sendiri dengan kudanya telah jauh
memunggungi Bandar Cangu. Hentakan kakinya
memberi tanda kepada kudanya untuk berlari.
Sengaja Mahesa Amping mencari jalan pintas yang
terdekat, melewati beberapa perbukitan, menenbus
hutan dan padang ilalang yang luas. Sesekali memberi
kesempatan kudanya untuk beristirahat dan merumput.
598 Setelah itu kembali memacu kudanya menyusuri jalan
pintas yang masih dikenalnya untuk menuju Padepokan
Bajra Seta. Setengah harian Mahesa Amping berlari memacu
kudanya, sementara kegelapan malam telah menyembunyikan sisa-sisa segenap cahaya yang ada.
Bersyukurlah bahwa Mahesa Amping telah keluar dari
sebuah hutan yang cukup lebat, dimukanya telah
membentang padang ilalang yang luas dibatasi sebuah
bukit kecil. Dibalik bukit kecil itulah Padepokan Bajra
Seta tidak jauh lagi sudah dapat ditemui.
Diatas langit malam padang ilalang, bulan sabit
bersembunyi dibalik kegelapan awan. Taburan bintang di
langit malam memberi arti kesunyian abadi. Mahesa
Amping menghentikan langkah kudanya disebuah pohon
yang cukup rindang yang berdiri layaknya raksasa
penjaga padang ilalang, disitulah Mahesa Amping duduk
beristrirahat mendinginkan peluh yang masih terasa
basah disekujur tubuh setelah seharian penuh memacu
kudanya. Terlihat Mahesa Amping merebahkan tubuhnya
diantara akar-akar kayu yang menjalar seperti tangantangan kuat masuk menggenggam bumi. Sebuah nafas
yang teratur nyaris tak terdengar keluar masuk dari cupit
hidung Mahesa Amping. Pemuda itu sudah tertidur,
namun masih dalam kesiagaan dan kewaspadaan yang
tinggi. Tidak satupun bunyi disekitarnya yang luput dalam
pendengarannya, meski tubuhnya sudah dalam keadaan
tertidur. Seperti itulah layaknya seorang yang sudah
berilmu tinggi, panca inderanya masih tetap siaga
berjaga didalam tidurnya.
Namun malam itu tidak ada apapun yang membuat
tidurnya terjaga. Mahesa Amping terlihat perlahan
599 membuka kelopak matanya. Warna langit diujung timur
telah memburai cahaya kemerahan, pertanda malam
telah mulai bosan menunggui belahan bumi, berpindah
kebelahan lainnya. "Perjalanan kita tinggal sedikit lagi, sahabat", berkata
Mahesa Amping kepada kudanya yang seperti mengerti
membiarkan Mahesa Amping duduk diatas punggungnya. Terlihat perlahan kuda Mahesa Amping melangkah,
berjinjat menyentuh tanah yang masih basah berembun,
membelah ilalang setinggi badan yang juga masih basah
berpeluh rintik embun yang dingin.
Dikeramangan bayi pagi yang dingin, Mahesa
Amping sudah sampai diatas bukit kecil. Kokok ayam
hutan terdengar saling bersahutan dari hutan kecil
diseberang kanan dekat bukit.
Padukuhan terdekat dengan Padepokan Bajra sudah
terlihat dikelilingi hamparan sawah luas menghijau,
menggoda langkah kuda Mahesa Amping untuk
melangkah lebih cepat lagi menuruni bukit kecil, dan
berlari kencang dibulakan panjang.
"Mahesa Amping!!!", berseru dua orang lelaki
perpakaian petani menyandang sebuah cangkul di
pundaknya "Aku begitu merindukan Paman berdua", berkata
Mahesa Amping yang telah turun dari kudanya langsung
memeluk kedua orang lelaki perpakaian petani yang
ternyata tidak lain adalah Wantilan dan Sembaga.
"Kami akan sebentar menyiangi rumput liar di sawah,
kami akan segera kembali menemuimu di Pedepokan
untuk mendengar cerita darimu yang pasti luar biasa",
600 berkata Wantilan kepada Mahesa Amping.
"Aku juga menunggu Paman berdua di Padepokan",
berkata Mahesa Amping yang langsung melompat keatas
kudanya. Wantilan dan Sembaga tersenyum mengiringi
punggung Mahesa Amping diatas kudanya yang sudah
berjalan menuju Padepokan Bajra Seta.
Ketika Mahesa Amping sampai di regol pintu gerbang
Padepokan, seorang cantrik berlari menghampirinya.
"Selamat datang saudaraku", berkata Cantrik itu
kepada Mahesa Amping dan langsung memeluknya.
Beberapa cantrik yang tengah berada di halaman
Padepokan segera melihat kedatangangan Mahesa
Amping, maka beberapa cantrik telah menyongsong
kedatangan Mahesa Amping.
Mahesa Amping segera menuju pendapa dimana
disitu sudah berdiri Mahesa Murti dan istrinya Padmita
yang terlihat tengah menggendong seorang bayi.
"Puji syukur kehadirat Gusti Yang Maha Pengasih,
adikku telah kembali", berkata Mahesa Murti menyambut
kedatangan Mahesa Amping.
"Berkat doa Kakang dan Mbakyu, Gusti Yang Maha
pelindung telah menjagaku sampai hari ini", berkata
Mahesa Amping menjura penuh hormat kepada Mahesa
Murti dn Padmita."Ternyata aku telah dikaruniai seorang
keponakan", berkata Mahesa Amping saat melihat
seorang bayi dalam dekapan Padmita.
"Namanya Mahesa Darma", berkata Mahesa Murti
sambil tersenyum. "Lekaslah bersih-bersih, kami menunggumu 601 disini",berkata Padmita yang masih menganggap Mahesa
Amping sebagai bocah kecil seperti dulu.
Mahesa Amping segera kepakiwan untuk membersihkan dirinya. Maka ketika dirinya kembali ke
pendapa, sudah ada disana Mahesa Semu yang
langsung berdiri memeluk dirinya.
"Aku begitu merindukanmu adikku". Berkata Mahesa
Semu begitu haru memeluk Mahesa Amping begitu erat.
Sementara itu dihalaman terlihat Wantilan dan
Sembaga berjalan menuju Pendapa.
"Kami tidak jadi kesawah, takut keponakanku yang
nakal tiba-tiba saja menghilang pergi dari Padepokan ini",
berkata Sembaga ketika sudah naik ditangga pendapa
kepada Mahesa Amping. "Biarkan Mahesa Amping menikmati hidangan dan
sedikit beristirahat, setelah itu baru kita tuntut dirinya
untuk bercerita", berkata Mahesa Murti.
"Kalian masih menganggap Mahesa Amping seperti
bocah nakal, kalian tidak melihat kumis diatas bibirnya


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang pasti membuat setiap gadis tergila-gila", berkata
Wantilan menggoda Mahesa Amping yang tersenyum
menunda suapannya. "Jangan ganggu adiku yang tengah menikmati
makanannya", berkata Mahesa Semu ikut menggoda.
"Kapan aku akan menyelesaikan makananku,
sementara kalian terus menggoda", berkata Mahesa
Amping melotot yang membuat semua yang ada di
pendapa tersenyum, mereka masih melihat Mahesa
Amping sebagaimana yang dulu, masih begitu lugu,
seorang adik kecil yang selalu mendapatkan perhatian
penuh dari semua orang dewasa yang ada di Padepokan
602 itu. Dan beberapa cantrik telah berdatangan hampir
memenuhi pendapa padepokan. Mahesa Amping pun
segera bercerita, mulai dari petualangannya di Tanah
Gelang-Gelang, pelayaran panjangnya sampai ke Tanah
Melayu, dan terakhir tentang perjalanannya di Tanah
pasundan. "Ayahku Mahendra pernah bercerita tentang seorang
Raja Pasundan yang telah mengasingkan dirinya menjadi
seorang Gurusuci yang sederhana", berkata Mahesa
Murti ketika mahesa Amping bercerita tentang Gurusuci
Darmasiksa. "Beliau adalah seorang yang berilmu tinggi, terutama
dalam hal ilmu kajiwan", berkata Mahesa Amping.
"Jadi pekan depan kalian akan berlayar kembali ke
Tanah Melayu?", bertanya Mahesa Murti ketika mahesa
Amping berbicara tentang rencananya berlayar kembali
ke Tanah Melayu. "Aku mohon doa restu", berkata Mahesa Amping.
"Berbahagialah dirimu, Sri Baginda Maharaja telah
mempercayai dirimu sebagai salah seorang yang akan
membangun sebuah armada kelautan yang besar",
berkata Mahesa Murti merasa bangga bahwa Mahesa
Amping telah menerima kekancingan dari Sri baginda
Maharaja Singasari. "Maaf, besok pagi aku sudah harus meninggalkan
Padepokan ini", berkata Mahesa Amping.
"Kami akan selalu berdoa untuk keselamatanmu",
berkata Mahesa Semu mewakili semua yang ada
dipendapa itu. Sementara itu matahari di atas Padepokan Bajra
603 Seta terus merayap tinggi. Cerita diatantara mereka
sepertinya tidak pernah tuntas, mereka saling
melengkapi apa saja yang telah terjadi selama jarak dan
waktu yang memisahkan diantara mereka.
"Kakang Mahesa Pukat telah bercerita tentang
petualangan kalian bermain sebagai Dewa Bangau
Putih", berkata mahesa Amping yang langsung
ditanggapi dengan cerita mereka lebih seru dan lebih
seru lagi. Matahari masih menggelantung di lengkung langit
sebelah barat. Mahesa Murti mengajak Mahesa Amping
ke tepi sungai berbatu. Ada tanah datar luas beralas
rumput hijau yang dinaungi beberapa batang pohon waru
dan pohon ambon yang rindang.
"Aku yakin, ada beberapa hal yang belum semuanya
kamu ceritakan. Aku dapat merasakannya dalam setiap
tarikan nafasmu. Itulah sebabnya aku membawamu
kemari agar leluasa bagimu untuk mengungkapkannya",
berkata Mahesa Murti setelah mereka duduk bersama
diatas sebuah batu besar yang datar ditepi sungai.
Berdesir darah Mahesa Amping diam-diam
mengagumi kakak angkatnya sekaligus gurunya yang
telah dapat membaca apa yang ada di dalam alam
pikirannya. Maka secara terinci Mahesa Amping bercerita
tentang Kembang Wijaya serta tuntunan dari Gurusuci
Darmasiksa yang sepertinya telah dikenalnya dalam jalur
rahasia rontal Empu Purwa yang pernah diungkapkan
oleh Mahesa Murti kepadanya.
"Ternyata kamu sudah menemukan takdirmu, engkau
adalah sang penuntun yang akan mendampingi Sang
pewaris dalam tahtanya", berkata Mahesa Murti setelah
604 mendengar cerita Mahesa Amping tentang Kembang
Wijaya. "Perhatikan pohon waru itu", berkata Mahesa Murti
kepada Mahesa Amping yang langsung matanya tertuju
kearah pohon waru yang ditunjuk oleh Mahesa Murti.
"Aku yakin bahwa sudah ratusan kali kamu melihat
pohon waru itu, namun hanya sebatas penglihatan yang
sepintas dan sebatas penglihatan wadag bahwa wujud
pohon waru itu agak condong ke arah tepian sungai",
berkata mahesa Murti kepada Mahesa Amping yang
berusaha menangkap kearah mana tujuan perkataan
Mahesa Murti. "Selama ini ada yang engkau lewatkan ketika melihat
pohon waru itu, perhatikanlah bahwa pohon waru itu
mempunyai akar yang cukup panjang masuk hingga
kedasar bumi menghisap sari bumi untuk menghidupi
batang dan daunnya", berkata Mahesa Murti
"Melihat apa yang tak terlihat, mendengar apa yang
tak terdengar", berkata Mahesa Amping mencoba
menerjemahkan apa yang ingin diungkapkan oleh
Mahesa Murti. "Engkau dapat berada dimana-mana meski tidak
berada dimana-mana", berkata Mahesa Murti masih terus
menuntun pengembaraan jiwa Mahesa Amping.
"Ternyata Gurusuci Darmasiksa sengaja membukakan pintu batas alam jagad tak terbatas kepada kami",
berkata Mahesa Amping penuh kegembiraan dapat
masuk lebih dalam lagi jauh ke sumber alam jagad raya
tak terbatas dan diam-diam mengagumi bahwa pasti
gurunya ini telah jauh melampaui karena telah dapat
menuntunnya dengan benar.
605 "Engkau telah mengungkapkan segala kekuatan yang
ada didalam alam jagad raya tak terbatas sebagai
kekuatan yang tak terbatas, janganlah memalingkan
dirimu, janganlah menghentikanmu dalam kepuasan dan
kegembiraan semu, pengembaraan menuju sumber
hidup adalah perjalanan panjang tak terbatas. Dialah
Sang Maha Hidup yang akan menuntun perjalananmu",
berkata Mahesa Murti. "Tuntunan kakang adalah sebuah
terhingga", berkata Mahesa Amping
pusaka tak "Ketika berada dialam jagad raya tak terbatas, kamu
dapat membawa inderamu kemanapun kamu inginkan",
berkata Mahesa Murti sambil tersenyum.
"Ilmu Aji Pameling indera, ilmu aji langlang sukma?",
bertanya Mahesa Amping seperti tidak percaya atas apa
yang dapat diungkapkan manakala telah berada dialam
jagad raya tak terbatas. "Bakatmu yang terlahir telah membawamu menemukan takdirmu, bawalah indramu kemanapun
yang kamu inginkan", berkata Mahesa Murti.
Maka Mahesa Amping telah mencurahkan dirinya
masuk ke dalam alam jagad raya tak terbatas, mencoba
membawa indranya ketempat yang jauh, kesebuah
tempat di Bandar Cangu. Mahesa Amping telah melihat jelas, sebagaimana
berada ditempat nyata disebuah Jung Singasari yang
besar. Tidak terasa langkahnya telah menuntunnya
kesebuah kamar perwira yang terbuka. Mahesa Amping
tersenyum membuka matanya kembali telah berada
diatas batu datar di tepi sungai bersama Mahesa Murti.
"Baru saja engkau membawa inderamu ke Bandar
606 Cangu. Engkau menyaksikan sendiri kelakuan lucu dua
sahabatmu Lawe dan raden Wijaya di dalam kamar salah
seorang perwira, mereka saling berganti mencoba baju
perang perwira", berkata Mahesa Murti seperti menjadi
saksi apa yang telah dilihatnya.
"Tuntunan Kakang adalah pusaka yang tak
terhingga", berkata Mahesa Amping penuh rasa hormat
dan terima kasih atas segala tuntunan kakaknya yang
telah membuka mata hatinya menembus batas jarak dan
waktu. "Seperti yang telah kukatakan, segala anugerah yang
engkau temukan dalam perjalananmu hendaknya
janganlah memalingkan dan menghentikan perjalananmu
menemukan sumber dari segala sumber kehidupan ini,
mengungkap rahasia demi rahasia yang tak terungkap
dalam pengembaraan panjang yang tak ada puncaknya,
yang tak ada batasnya. Karena Dialah Gusti Yang Maha
Tinggi, Yang Maha luas ilmunya", berkata Mahesa Murti
sambil tersenyum penuh kebahagiaan bahwa Mahesa
Amping telah dapat mampu menerima dan mengungkapkan dirinya menembus rahasia besar alam
jagad raya tak terbatas. Sementara itu sang mentari sudah terperosok jauh
ditepi ujung lengkung langit. Warna senja yang bening
melatari tepian sungai berbatu dalam pesona keindahan
lukisan alam. "Mbakyumu mungkin sudah lama menunggu, mari
kita kembali ke Padepokan", berkata Mahesa Murti
kepada Mahesa Amping. Terlihat mereka berdua bangkit dari batu datar di
tepian sungai, berjalan ke arah Padepokan Bajra Seta.
"Mahesa Darma sudah kangen sama ayahnya",
607 berkata Padmita ketika Mahesa Murti dan Mahesa
Amping tengah menaiki anak tangga pendapa.
"Mahesa Darma atau ibunya yang kangen?", berkata
Mahesa Amping menggoda yang dibalas senyum oleh
Padmita. Sementara itu Sang Senjakala sepertinya sudah lelah
membayangi wajah bumi. Sang Butakala telah
bersembunyi di balik kegelapan malam.
"Semoga Gusti Yang Maha Menjaga akan selalu
melindungi, dimanapun kita berada", berkata Mahesa
Murti kepada Mahesa Amping dan beberapa cantrik
ketika selesai menikmati hidangan makan malam mereka
di pendapa Padepokan Bajra Seta.
"Besok aku akan kembali ke Bandar Cangu, bersiap
untuk berlayar jauh ke Tanah Melayu. Aku mohon doa
restunya", berkata Mahesa Amping.
"Kami di Padepokan Bajra Seta selalu berdoa
untukmu Mahesa Amping", berkata Mahesa Murti
mewakili semua yang hadir.
Ingatan Mahesa Amping tiba-tiba saja kembali ke
tepian sungai menjelang senja tadi."Berada dimanamana tanpa berada dimana-mana", berbisik Mahesa
Amping kepada dirinya sendiri.
"Yang memisahkan diri kita adalah wadag kasar ini,
sementara bila hati ini bertaut kepada yang Maha
memiliki Alam Jagad Raya tak terbatas, diri kita telah
disatukan, diri kita dapat dipertemukan", berkata Mahesa
Murti seperti dapat membaca apa yang dipikirkan oleh
Mahesa Amping. "Dimanapun aku berada, aku akan selalu
mempusakainya", berkata Mahesa Amping penuh rasa
608 terima kasih. Sementara itu malam seperti berlari membawa Sang
kala dikegelapannya, tidak terasa hari sudah
dipertengahan malam, terdengar suara kentongan
menyauarakan nada dara muluk dari sebuah gardu
ronda di padukuhan terdekat. Dan semua yang ada di
Pendapa itu telah masuk ke peraduannya masing masing
beristirahat untuk menyongsong datangnya sang pagi,
esok hari. Dan ketika semburat warna merah sudah hampir
merata memenuhi lengkung langit, Mahesa Amping
sudah terjaga dari tidurnya, segera bersih-bersih diri dan
langsung menuju ke Pendapa. Ternyata Mahesa Murti
sudah terjaga sudah duduk dipendapa mendahuluinya.
"Ternyata Kakang lebih dulu terjaga mendahuluiku",
berkata Mahes Amping kepada Mahesa Murti.
"Semakin tua semakin sedikit tidur, kelak kamu akan
merasakannya", berkata Mahesa Murti sambil tersenyum.
Padmita terlihat datang membawa makanan dan
minuman hangat. "Ada kiriman ubi manis dari pemilik kedai dipojok
pasar padukuhan", berkata Padmita bercanda menggoda
Mahesa Amping. "Anak gadis itu sudah disunting oleh putranya Ki
Bekel, meski begitu kadang bila bertemu denganku
masih sering menanyakan dirimu", berkata Mahesa Murti
kepada Mahesa Amping yang hanya tersenyum entah
apa arti senyumnya, yang jelas pikirannya jauh
menerawang ke sebuah tempat yang jauh di tanah
seberang, tepatnya di Tanah Melayu.
Sementara itu sang surya sudah merayap naik, sinar
609 matahari pagi sudah merata menghangatkan bumi, ujung
kelopak daun bunga tidak mampu lagi menyembunyikan


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setitik embun. Kicau burung-burung kecil sudah ramai
terdengar bersama jerit anak ayam berlari mengejar
induknya di halaman Padepokan Bajra Seta.
"Kami semua akan merindukanmu", berkata Mahesa
Murti mewakili beberapa cantrik yang mengantarnya
sampai di regol pintu gerbang Padepokan.
"Kerinduan kalian akan kubawa sepanjang jalan",
berkata Mahesa Amping melambaikan tangannya ketika
kudanya sudah melangkah perlahan meninggalkan
Regol Padepokan. Berpasang-pasang mata mengantar dan mengiringi
kepergian Mahesa Amping bersama langkah kudanya
menyusuri jalan tanah panjang yang akhirnya
menghilang di sebuah tikungan jalan.
Sebagaimana datangnya, Mahesa Amping kembali
melalui jalan pintas, melintasi bukit-bukit kecil dan
sebuah hutan panjang. Dahulu bersama Mahesa Murti
sering diajak keberbagai tempat yang sangat jarang
dilalui oleh orang-orang pada umumnya, dan kembali
Mahesa Amping melintasi jalan penuh kenanganini .
Terlihat kuda Mahesa Amping tengah mendaki bukit
kecil penuh ilalang, debu mengepul dari belakang kaki
kudanya membelah ilalang seperti berpacu mengejar
matahari yang terus merayap kepuncak langit.
Ketika Matahari sudah menggelantung di puncak
lengkung langit, kuda Mahesa Amping sudah masuk
berlindung didalam sebuah kepekatan hutan rimba terus
masuk kedalam kerimbunannya.
Dan senja yang bening telah mengantar perjalanan
610 Mahesa Amping menembus padang ilalang di bukit kecil.
Di kaki ujung bukit itu bertemu dengan jalan tanah yang
datar, jalan menuju Bandar Cangu.
Mahesa Amping memperlambat lari kudanya,
perjalanannya sudah hampir mendekat. Namun hari
sudah memasuki malam. "Selamat datang kembali di Benteng Cangu", berkata
seorang prajurit yang membukakan pintu gerbang dan
sudah mengenal Mahesa Amping.
Mahesa Amping segera menuntun kudanya ke
kandang kuda di belakang.
"Biarlah kuda ini aku yang mengurusnya", berkata
seorang pekatik mengambil tali kuda dari tangan Mahesa
Amping. Mahesa Amping segera bersih-bersih diri, setelah itu
langsung menuju pendapa. Ternyata Mahesa Pukat
sudah menunggunya. Setelah bercerita tentang keselamatan masingmasing, Mahesa Amping juga bercerita tentang keadaan
Padepokan Bajra Seta. "Kakang Mahesa Murti dan seluruh warga padepokan
menitipkan salam untukmu", berkata Mahesa Amping.
"Semoga keselamatan selalu mewarnai Padepokan
Bajra Seta", berkata Mahesa Pukat menerima titipan
salam itu. Ketika mereka tengah menikmati makanan dan
minuman hangat, Kebo Arema, Lawe dan Raden Wijaya
telah datang bergabung. "Kukira kamu besok baru kembali", berkata Lawe
kepada Mahesa Amping. 611 "Aku tidak mau di sebut seorang pemalas, cuma
tinggal terima bersih", berkata Mahesa Amping.
"Sayangnya sudah tidak
dikerjakan", berkata Lawe.
adalagi yang harus "Saat ini kita hanya menunggu kedatangan utusan
dari Kotaraja Singasari, apakah Sri Baginda Maharaja
akan mengantar kepergian kita", berkata Kebo Arema.
"Ketika kalian berlayar di tanah Melayu, mungkin aku
adalah orang yang tidak sabaran menunggu kedatangan
kalian bersama dengan seribu lima ratus calon prajurit
yang sudah siap di barak barunya", berkata Mahesa
Pukat mencoba mengingatkan bahwa masih banyak
tugas menunggu mereka. "Tidak dapat kubayangkan, berdiri ditengah ribuan
kerumunan prajurit muda", berkata Raden Wijaya.
"Dengan mengenakan seragam prajurit perwira",
berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.
Lawe dan Raden Wijaya saling berpandangan.
"Kalian memang sudah seharusnya menjadi seorang
prajurit, karena kalian sudah melakukan tugas seorang
prajurit Singasari selama ini", berkata Kebo Arema.
"Tidak cuma sekedar meminjam baju perang seorang
perwira", berkata Mahesa Amping Kembali Lawe dan
Raden Wijaya saling berpandangan.
"Aku belum paham apa maksudmu sekedar
meminjam baju perang seorang perwira", bertanya
Raden Wijaya menyelidiki dari mana Mahesa Amping
mengetahui dirinya dan Lawe pernah mencoba sebuah
pakaian perang seorang perwira.
"Kemarin aku cuma bermimpi, kalian meminjam
612 pakaian perang seorang perwira", berkata Mahesa
Amping sekedar membelokkan cerita, dimana kemarin
dirinya tengah menerapkan ajian Langlang Sukma.
"Kemarin aku melihat langsung mereka menyelinap di
kamar perwira, mencoba sebuah pakaian perang milik
seorang perwira", berkata Kebo Arema sambil
tersenyum. "Paman melihat kami?", berkata Lawe.
"Aku melihat kalian begitu gagah mengenakannya",
berkata Kebo Arema tersenyum.
Kembali Lawe dan Raden Wijaya saling berpandangan, kali ini sambil tersenyum bersama.
"Aku berpendapat sudah saatnya kalian bergabung
sebagai prajurit", berkata Mahesa Pukat."melihat jasajasa yang telah kalian berikan bagi Tanah Singasari, Sri
baginda Raja langsung menyetujui usulan ini, apakah
kalian bersedia?", bertanya Mahesa Pukat kepada Lawe,
Raden Wijaya dan Mahesa Amping.
"Ayahku seorang prajurit, bila ini sebuah panggilan,
aku bersedia", berkata Lawe.
"Aku terlahir dilingkungan istana, pada saatnya aku
akan menerima kekancingan, dan aku sudah siap
kapanpun panggilan itu datang", berkata Raden Wijaya.
"Aku ingin mendengar pernyataan dari Mahesa
Amping", berkata Mahesa Pukat sambil berpaling kearah
Mahesa Amping. Semua mata dan telinga sepertinya
menunggu apa yang akan dikatakan Mahesa Amping.
Mahesa Amping tidak segera menjawab, sepertinya
tengah menimbang-nimbang dua kehidupan yang
berbeda, kehidupan di Padepokan Bajra Seta dan
kehidupan disebuah barak prajurit seperti yang dilihatnya
613 saat itu di Benteng Cangu. Tiba-tiba terlintas bayangan
sebuah peperangan, darah dan denting pedang saling
beradu, puluhan mayat bergelimpangan terinjak-injak
langkah kaki dan suara mengumpat bersatu dengan jerit
menahan sakit yang tak terhingga.
"Bagiku pengabdian ada dimana-mana, meski hanya
sebagai seorang petani. Memakai baju prajurit atau tidak
bagiku sama saja, kesetiaanku dan pengabdiannku
dimanapun aku berada, dimana tanah berpijak, disitulah
langit akan kujunjung. Aku akan berbuat apapun mesti
tidak harus menjadi apapun", berkata Mahesa Amping
sepertinya membiarkan kata hatinya berbicara.
"Setiap manusia mempunyai garis hidupnya sendirisendiri, berbahagialah orang yang telah memilih kata
hatinya sebagai kemerdekaan, mengalir seperti air
sungai, tidak ada tekanan dan keterpaksaan", berkata
Mahesa Pukat sepertinya tengah mengenang jauh
kebelakang manakala sebuah perjalanan hidup
memaksanya menentukan pilihan untuk menjadi seorang
prajurit, namun dihati kecilnya sering menggeliat
perasaan yang tidak pernah hilang, sebuah ketenangan
kehidupan di sebuah Padepokan yang penuh damai. Dan
diam-diam dapat membaca warna pilihan Mahesa
Amping. "Aku sependapat dengan Mahesa Amping, kita
adalah seorang prajurit meski tanpa mengenakan baju
prajurit, bukankah kita telah menerima kekancingan
untuk membangun sebuah armada besar prajurit
kelautan", berkata Kebo Arema.
"Langkah kalian bertiga masih begitu panjang",
berkata Mahesa Pukat kepada tiga orang pemuda
dihadapannya yang dirasakannya akan menjadi bintang
fajar yang cemerlang di kehidupan yang akan datang.
614 "Kami perlu banyak bimbingan", berkata Mahesa
Pukat penuh kerendahan hati.
Sementara itu diatas langit bulan masih belum bulat
penuh muncul dari gerumbul hutan bambu. Suara derik
malam sudah mulai mengalun bersama suara daun dan
dahan yang bergesekan diayunkan angin.
Lawe, Kebo Arema dan Mahesa Pukat sudah lebih
dulu masuk keperaduannya, di pendapa hanya tinggal
Mahesa Amping dan Raden Wijaya yang masih belum
mengantuk. "Kakang Mahesa Murti berpesan agar kita terus
berlatih", berkata Mahesa Amping.
"Bekal ilmu yang diberikan kepada kita memang
harus selalu disempurnakan", berkata Raden Wijaya.
"Kakang Mahesa Murti telah membukakan tabir
rahasia lewat olah kajiwan yang disampaikan Gurusuci
Darmasiksa", berkata Mahesa Amping sambil menjelaskan sebuah rahasia jalan terang menuju alam
jagad raya yang tak terbatas sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Mahesa Murti.
Terlihat raden Wijaya langsung melakukan apa yang
baru saja diungkapkan oleh Mahesa Amping.
"Pada saatnya kamu akan mengungkapkan sebuah
jalan untuk berada dimana-mana tanpa berada dimana
mana", berkata Mahesa Amping.
"Sejenis ilmu langlang sukma?", berkata raden
Wijaya penuh kegembiraan.
"Semua adalah karunia dari-NYA, semoga kita tidak
menjadi berpaling", berkata Mahesa Amping.
"Dengan ilmu itulah kamu menyaksikan kami di
615 kamar seorang perwira?", bertanya raden Wijaya.
Mahesa Amping tidak langsung menjawab, hanya
tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan.
"Aku selalu kalah satu langkah denganmu", berkata
Raden Wijaya sambil tersenyum, diam-diam mengagumi
saudara seperguruannya ini yang mempunyai bakat
begitu luar biasa. Demikianlah Mahesa Amping dan Raden Wijaya
memang selalu berlatih meningkatkan ilmunya lewat
sebuah tata laku rahasia di sepanjang malam disetiap
waktu dimanapun mereka berada.
"Kalian belum juga tidur?" berkata seorang peronda
yang datang mendekati mereka
"Duluar udara begitu segar dan kami masih belum
mengantuk", berkata Mahesa Amping kepada peronda
itu. Ketika peronda itu pergi, Mahesa Amping dan Raden
Wijaya masih tetap di pendapa. Banyak yang mereka
bicarakan, saling mengisi dan saling mencocokkan apa
saja yang mereka rasakan dalam pengembaraan bathin
yang semakin jauh, semakin banyak yang mereka
dapatkan, semakin merasa baru sedikit yang mereka
dapat ungkapkan. Mereka seperti masuk kedalam lautan
samudera yang dalam, semakin masuk kedalam,
semakin banyak keindahan yang mereka dapatkan. Dan
hari-hari mereka seperti baru dan baru. Begitulah mereka
tidak merasakan bahwa ilmu dan kekuatan mereka terus
meningkat setingkat demi setingkat jauh melampaui usia
muda mereka. "Ada tamu yang datang", berkata Mahesa Amping
menunjuk kearah pintu gerbang yang terbuka.
616 ----------oOo---------JILID 07
"Selamat datang di Benteng Cangu", berkata Raden
Wijaya menyambut kedatangan orang pertama yang
mendekati Pendapa. Ternyata orang itu adalah Ratu Anggabhaya datang
bersama Lembu Tal. Mereka datang ke Benteng Cangu
bersama beberapa pengawal.
"Kami berangkat dari Kotaraja sudah menjelang
sore", berkata Ratu Anggabhaya setelah duduk bersama
di pendapa. Mahesa Pukat dan Kebo Arema telah dibangunkan
dari tidurnya dan langsung bergabung di Pendapa
Benteng Cangu. Setelah menyampaikan kabar keselamatan masingmasing, Ratu Anggabhaya menyampaikan maksud
kedatangannya sebagai wakil utusan dari Kotaraja yang
akan ikut bersama mengantar keberangkatan Jung
Singasari berlayar ke Tanah Melayu untuk melakukan
sebuah pinangan. "Ada berita dari Tanah Kediri, Raja Kertanegara
bersedia menerima usulan pinangan ke tanah Melayu",


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata Ratu Anggabhaya. "Sebuah kebahagian berlayar bersama kalian",
berkata Raden Wijaya penuh kegembiraan membayangkan sebuah perjalanan panjang bersama
kakek dan ayahnya sendiri.
Sementara itu hari sudah sedikit lagi menyisakan
malamnya, namun masih ada waktu untuk beristirahat
617 sejenak. Semua yang hadir dipendapa itu telah masuk
keperaduannya masing-masing, melewati sisa malam
mereka sekedar memejamkan mata dan berbaring.
Pagi di Benteng Cangu diawali dengan munculnya
semburat warna merah diujung timur bumi. Semburat
warna merah itu terus menjalar mewarnai seluruh
lengkung langit tua.Pada saat itu, segala yang ada diatas
bumi mulai terlihat jelas, meski masih berbalut warna
kesuraman.Udara di tepi pagi itu masih begitu dingin,
burung-burung masih menyembunyikan kepalanya
didalam kehangatan bulu-bulunya ditengah kerimbunan
semak dan dahan pepohonan.
Mulailah terdengar sayup-sayup suara ayam jago dari
tempat yang begitu jauh saling bersambut menjadi
terdengar semakin jelas mendekat, mungkin suara ayam
jago milik penduduk sekitara yang terdekat.
Itulah awal pagi di Benteng Cangu, beberapa prajurit
terlihat telah bertukar jaga di panggung penjagaan. Di
Barak-barak prajurit sudah kembali terdengar suara
canda, dan di dapur umum sudah terlihat asap mengepul
keluar lewat celah-celah atap dan pagar bilik bambu.
"Inilah warna pagi di Benteng Cangu", berkata
Mahesa Pukat kepada Ratu Anggabhaya dan lembu Tal
di pendapa bersama Raden Wijaya, Mahesa Amping,
Kebo Arema dan juga Lawe.
Pada hari itu tidak banyak yang mereka lakukan
selain memeriksa beberapa hal kesiapan dalam
pelayaran mereka. Ratu Anggabhaya dan Lembu Tal mengunjungi
pembangunan barak-barak baru sekaligus melihat
anjungan dimana lima buah jung Singasari masih dalam
penyempurnaan. 618 Dan hari yang dinantikan, akhirnya datang juga.
Pagi itu hari sudah hangat tanah, Jung Singasari
terlihat mulai merenggang perlahan menjauhi dermaga.
Seperti raksasa besar dan kuat, jung Singasari
bergoyang menimbulkan ombak dan riak besar
menampar tepian tanah sungai.
Air sungai mengalir membawa Jung Singasari
menyusuri sungai Brantas yang berliku panjang.
Hangatnya sinar matahari pagi sepertinya memberi
semangat para prajurit dalam tugas pengawalannya,
berlayar ke Tanah Melayu.
Dari sinilah catatan sejarah besar pelayaran jung
Singasari dimulai, sebuah tinta emas tentang sebuah
keagungan dan kejayaan para pelaut singasari yang
berani meniti setiap penjuru dermaga dunia.
Kembali sebagaimana pelayarannya yang pertama,
kehadiran raksasa Jung Singasari yang besar pada
jamannya itu selalu menjadi perhatian orang disetiap
Bandar yang disinggahi. Sebagaimana pelayarannya yang pertama, Jung
Singasari juga singgah dibeberapa Bandar besar di
sepanjang pesisir utara laut Nusajawa. Di setiap Bandar
besar itu mereka telah menjalin persahabatan dalam
perdagangan yang saling menguntungkan.
"Disinilah pusat kerajinan perak dari salaka yang
terkenal", berkata Raden Wijaya kepada Ratu
Anggabhaya ketika jung Singasari merapat singgah di
Bandar Rakata. "Cukup lama aku di Tanah Pasundan, tapi langkah
kakiku saat itu belum sempat berkunjung di daerah ini",
berkata Lembu Tal ketika mereka berjalan-jalan disekitar
619 Bandar Rakata. Ketika senja mulai turun, terlihat beberapa prajurit
tengah membuka tali temali jung Singasari dari tonggak
dermaga. Jung Singasari telah bergerak menjauhi
Dermaga Bandar Rakata. Bulan bulat penuh menggantung diatas langit laut
sunda. Lima layar telah berkembang penuh mengantar
Jung Singasari seperti angsa raksasa berenang di danau
besar Laut Sunda yang penuh ombak tinggi dan kuat.
Dan Jung Singasari sepertinya dapat menaklukkannya.
"Dihadapan kita ada jung perompak", berkata Kebo
Arema yang telah memberi tanda lewat pelita suarnya,
namun jung itu tidak jua membalasnya. "Kita lihat apakah
para perompak itu punya nyali besar berhadapan dengan
kita", berkata Kebo Arema.
Namun jung itu terlihat menjauh, ternyata benar apa
yang dikatakan Kebo Arema, para perompak itu berpikir
dua kali untuk menghadang angsa raksasa itu.
"Mereka menjauh", berkata Mahesa Amping yang
dapat melihat lewat kemampuan penglihatannya yang
tajam melihat jung bajak laut itu telah menjauhi Jung
Singasari. Laut Selat Sunda pada saat itu memang terkenal
dengan para bajak lautnya yang ganas. Namun sosok
Jung Singasari telah menggetarkan nyali mereka untuk
mendekat. Langit malam masih menyelimuti cakrawala diatas
hamparan laut gelap manakala mereka telah melihat
bayangan swargabumi seperti raksasa hitam yang
tertidur. "Mungkin setelah kembali dari Tanah Melayu, kita
620 akan singgah di pantai seputih itu", berkata Kebo Arema
sambil menunjuk arah daratan yang masih samar yang
ternyata adalah pantai Seputih dimana dalam pelayaran
perdana mereka pernah menyinggahinya.
"Begitu teduh dan menyejukkan hati", berkata Ratu
Anggabhaya di anjungan sambil memandang kemunculan sinar fajar yang mengintip diujung bumi
sebelah timur. "Para pelaut menyebutnya sebagai wajah dewi pagi",
berkata Kebo Arema. Sementara itu angin masih bertiup kuat menghempas
lima layar yang berkembang menyusuri pesisir
swargabumi yang mulai terlihat dibawah sinar matahari
pagi sebagai gerumbul hutan hijau sepanjang mata
memandang. "Bila angin bertiup bagus seperti ini, menjelang sore
kita sudah tiba di Selat Banca", berkata kebo Arema.
"Aku pernah mendengar bahwa Pulau Banca dan
puluhan pulau disekitarnya sebagai sarang para bajak
laut", berkata Lembu Tal.
"Benar, pulau Banca dan sekitarnya adalalah momok
yang menakutkan bagi para pedagang, tapi saat ini
sudah menjadi persinggahan yang nyaman", berkata
Kebo Arema. "Apakah kita akan bersinggah di Pulau Banca?",
bertanya Raden Wijaya. "Kita akan singgah bermalam disana, paginya angin
timur akan mengantar kita memasuki sungai Musi",
berkata Kebo Arema sepertinya sangat mengenal sekali
setiap liku perjalanan di Swargadwipa.
"Di Jung Singasari ini kamulah rajanya, kami akan
621 mengikuti kemanapun layar kau arahkan", berkata Ratu
Anggabhaya kepada Kebo Arema sambil tersenyum.
Sebagaimana yang diperkirakan Kebo Arema,
Mentari saat itu sudah rebah hampir jatuh diujung
cakrawala. Kemudi ganda jung singasari terlihat
diarahkan kesebuah pulau yang masih terlihat
menghitam. "Kita tengah mengarah ke pulau Banca", berkata
Kebo Arema sabil menunjuk kearah sebuah pulau yang
semakin jelas telihat garis pantainya.
Ternyata ada beberapa jung besar yang telah
singgah merapat di dermaga. Dan Jung Singasari
perlahan merapat disebuah dermaga yang telah
disediakan. "Pulau dengan pantai yang indah", berkata Ratu
Anggabhaya memuji keindahan pantai alam pulau Banca
yang memang sangat menawan. Sebuah pantai berpasir
putih terlihat sepanjang mata memandang diantara
puluhan pohon kelapa seperti penjaga yang berdiri setia.
Sebagaimana di Bandar sebelumnya yang mereka
singgahi, di pulau Banca Jung Singasari juga telah
menjadi perhatian. Semua orang di Bandar Cangu itu
memuji keindahan dan kemegahan angsa raksasa itu
dimana ukurannya memang merupakan Jung terbesar
yang ada pada jaman itu. "Ternyata tuan datang bersama istana terapung ini",
berkata seorang berwajah perlente menyalami kedatangan Kebo Arema. Sepertinya mereka sudah
saling mengenal. "Perkenalkan ini sahabatku, pemilik pulau Banca ini,
namanya Gagak Seta", berkata Kebo Arema
622 memperkenalkan sahabatnya kepada Ratu Anggabhaya,
Lembu Tal, Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe.
"Tuan Kebo Arema terlalu meninggikan, aku cuma
pedagang kecil di Pulau Banca ini", berkata Gagak Seta
merendah. Dari pakaiannya, dapat diketahui bahwa Gagak Seta
memang seorang yang cukup kaya. Dan Gagak Seta
memang seorang yang rendah hati. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Kebo Arema, Gagak Seta memang orang
yang sangat disegani di Pulau Banca. Dari kilatan
matanya dapat ditangkap bahwa Gagak seorang yang
berilmu cukup tinggi. Mengapa Gagak Seta begitu hormat kepada Kebo
Arema" Ada cerita tersendiri dibalik persahabatan mereka,
sebagaimana pernah diceritakan dimuka tentang latar
belakang Kebo Arema, bahwa semasa mudanya Kebo
Arema adalah seorang Pendekar yang sangat ditakuti
oleh semua Bajak Laut. Di sepanjang Pesisir Nusajawa
sampai jauh ke semananjung Malaka namanya menjadi
momok yang menakutkan khususnya bagi para Bajak.
Diantara para bajak laut itu, tersebutlah sebuah nama
Gagak Seta sebagai salah seorang Bajak Laut yang
sangat ditakuti oleh para pedagang yang hendak masuk
ke Bandar Sriwijaya melewati selat Banca.
Beberapa pedagang datang menemui Kebo Arema,
mereka bercerita tentang seorang Bajak laut yang
berilmu sangat tinggi bernama Gagak Seta.
Sebagai seorang pendekar, Kebo Arema merasa
terpangil. Maka dengan penuh keberanian, berangkatlah
Kebo Arema mendatangi sarang penyamun itu di Pulau
623 Banca seorang diri. Maka terjadilah perkelahian yang begitu sengit antara
Kebo Arema dan Gagak Seta yang berakhir dengan
kalahnya Gagak Seta. Kebo Arema tidak membunuh Gagak Seta, bahkan
telah menyadarkan Gagak Seta bahwa perbuatannya
selama itu sangat tidak terpuji.
Gagak Seta menyadari kesalahannya dan berjanji
untuk bergabung bersama Kebo Arema untuk
mengamankan selat Banca dari segala ancaman para
Bajak Laut. Sejak saat itu, selat Banca menjadi daerah yang
aman. Dan Kepulauan Banca tidak lagi menjadi sarang
para Bajak Laut. Dan sejak saat itu para pedagang yang
berlayar dari laut timur pasti singgah dan menjatuhkan
sauhnya di Pulau Banca setelah melakukan pelayaran
yang panjang sebelum melanjutkan pelayaran mereka ke
Bandar Sriwijaya. Dan para penghuni Pulau banca mendapat berkah
dari persinggahan para pedagang, Gagak Seta termasuk
diantaranya menjadi seorang pedagang yang cukup
berhasil. Disamping namanya sangat disegani dan
dihormati, Gagak Seta adalah seorang pedagang yang
cukup kaya raya di Pulau banca.
Begitulah awal dan akhir sebuah cerita persahabatan
antara Kebo Arema dan Gagak Seta.
"Kalian adalah tamuku, mari beristirahat di gubukku",
berkata Gagak Seta mengajak Kebo Arema dan kawankawannya berkunjung kerumahnya.
"Ternyata gubuk di Pulau Banca ini adalah sebuah
rumah yang megah", berkata Kebo Arema ketika mereka
624 sudah sampai di rumah Gagak Seta yang ternyata
memang sebuah rumah panggung yang sangat megah,
hampir seluruh bahan bangunan terbuat dari kayu jati
yang mengkilat. Beberapa bagian berupa ukiran yang
begitu indah, seperti pada lispang, pintu, jendela bahkan
papan pagar pendapa telah dihias dengan seni ukir yang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu halus mempesona. "Silahkan menikmati hidangan ala kadarnya", berkata
Gagak Seta mempersilahkan tamunya menikmati
makanan dan minuman hangat yang disediakan.
Setelah masing-masing bercerita tentang keselamatannya dan beberapa hal keadaan ditempat
masing-masing, Kebo Arema langsung bercerita tentang
rencana pelayarannya. "Disamping menjajagi beberapa usaha perdagangan
antar nagari, kami bermaksud akan melakukan pinangan
di tanah Melayu", berkata Kebo Arema
"Ternyata kalian adalah rombongan peminang",
berkata Gagak Seta penuh senyum.
"Kami bermaksud untuk meminang putri Raja
Melayu", berkata ratu Anggabhaya ikut menjelaskan.
Sementara itu hari sudah menjelang malam. Angin
laut semilir bertiup menjadikan pelepah dan daun kelapa
yang banyak tumbuh di pulau Banca itu seperti sebuah
tangan yang melambai-lambai.
Sebagai orang-orang yang sudah biasa tinggal di
hawa perbukitan yang sejuk dan dingin, mereka memang
harus membiasakan dirinya di dalam suasana hawa
pantai yang cukup menggerahkan. Itulah sebabnya
mereka masih tetap di pendapa meski hari sudah masuk
dipertengahan malam. 625 Namun rasa kantuk akhirnya mengalahkan
segalanya, satu persatu telah masuk kedalam bilik yang
telah disediakan untuk mereka beristirahat.
Dan ketika pagi masih buta, warna lengkung langit
masih berbayang kemerahan, semuanya telah terbangun. "Terima kasih telah berbagi malam kepada kami",
berkata Kebo Arema kepada sahabatnya Gagak Seta
yang mengantar tamu-tamunya sampai di Dermaga.
"Pulau Banca ini selalu menunggu kedatangan
kalian", berkata Gagak Seta melambaikan tangannya.
Sauh telah diangkat diburitan, tali temali telah dilepas
dari tambatan, Jung Singasari telah beranjak menjauhi
dermaga. "Angin laut bertiup cukup kuat", berkata Kebo Arema
setelah memerintahkan beberapa prajurit untuk
membuka layar. Dan lima layar telah berkembang ditiup angin laut.
Diatas laut biru langit sudah berwarna merah terang.
"Bila angin bertiup cukup bagus, kita akan sampai di
Bandar Sebukit menjelang mentari menjadi semakin
tinggi", berkata Kebo Arema ketika Jung Singasari terlihat
tengah memasuki sebuah muara besar, muara sungai
Musi. Ternyata Jung Singasari bukan satu-satunya jung
yang masuk ke muara sungai Musi di pagi yang bening
itu. Beberapa jung terlihat memasuki jalur yang sama.
Sebuah gambaran bahwa perairan sungai purbakala ini
telah dilewati berbagai jung dari belahan penjuru dunia.
"Setiap jung membawa cirinya sendiri sebagai tanda
dari mana mereka berasal, dan jung kita adalah yang
626 terbesar", berkata Kebo Arema penuh kebanggaan
diatas anjungan. Akhirnya sebagaimana yang diperkirakan oleh Kebo
Arema, jung Singasari telah mendekati Bandar Sibukit,
Bandar Sriwijaya yang besar. Dan merapat untuk
pertama kalinya di sebuah dermaga.
"Akhirnya kita dapat menyaksikan jung Singasari itu
merapat di Bumi Sriwijaya", berkata seorang buruh
kepada kawannya yang pernah mendengar cerita
tentang jung besar dari Singasari.
"Silahkan kalian melihat-lihat kota tua Sriwijaya,
sementara aku akan menemui beberapa pedagang
dibandar ini", berkata Kebo Arema mempersilahkan Ratu
Anggabhaya dan rombongan kecilnya turun ke darat.
"Semoga peruntunganmu baik wahai saudagar
besar", berkata Ratu Anggabhaya kepada Kebo Arema
yang membalasnya dengan penuh senyuman disebut
sebagai seorang Saudagar besar.
Ternyata Kebo Arema bukan cuma lihai membaca
bintang dan arah angin, namun Kebo Arema juga
seorang pedagang ulung. Banyak para pedagang yang
ditemui kebo Arema menjadi tertarik dan langsung
melakukan perjanjian dagang yang tentunya saling
menguntungkan. Keunggulan jung Singasari adalah dapat membawa
barang sepuluh kali lipat banyaknya dibandingkan
kebanyakan jung besar pada saat itu. Dan Kebo Arema
dengan mudah membuat persaingan berpihak kepadanya dengan harga jual yang jauh lebih murah.
Ketika Kebo Arema tengah melakukan tugasnya
sebagai seorang saudagar besar, Ratu Anggabhaya dan
627 rombongan kecilnya sudah memasuki kota tua Sriwijaya.
"Kita cari sebuah kedai, sinar matahari disini
sepertinya begitu menyengat", berkata Lembu Tal
mengajak untuk singgah kesebuah kedai.
"Kedai itu nampaknya begitu ramai dikunjungi banyak
orang, pasti sebuah kedai istimewa", berkata Lawe
menunjuk kesebuah kedai di muka sebuah pasar yang
memang tengah ramai dikunjungi banyak orang.
Merekapun segera masuk dan mencari tempat duduk
yang ternyata masih tersedia. Seorang pelayan
mendatangi mereka menanyakan pesanan apa yang
diinginkan. "Aku pesan masakan istimewa di kedai ini", berkata
Lawe menyampaikan pesanannya.
Tidak lama berselang seorang pelayan telah kembali
membawa makanan dan minuman pesanan mereka.
"Selamat menikmati tuan", berkata pelayan itu penuh
hormat. Namun baru saja pelayan itu ingin melangkah,
seorang yang berwajah kasar telah mendekatinya.
"Katakan pada junjunganmu, Rang Brewok meminta
sedikit sangu keamanan", berkata orang itu kepada
pelayan. "Hari ini sudah ada dua orang
sebagaimana tuan", berkata pelayan itu.
yang sama "Mulai besok jangan kamu berikan apapun yang
mereka pinta, karena hanya aku seorang yang berhak
mempunyai wewenang dipasar ini", berkata orang itu.
"Mereka juga berkata sebagaimana tuan katakan",
berkata pelayan itu. 628 "Jangan banyak cakap, lekas jumpai saja
junjunganmu", berkata orang itu yang sudah mulai tidak
sabaran. "Aku akan menyampaikannya", berkata pelayan itu
sambil melangkah menuju kedalam.
Tidak lama berselang, pelayan itu telah kembali
bersama junjungannya, entah apa yang dibicarakan
diantara mereka dan berapa yang diberikan kepada
orang itu, yang jelas orang yang mengaku bernama Rang
Brewok itu telah meninggalkan kedai itu.
Semua itu telah menjadi perhatian Ratu Anggabhaya
dan rombongannya. "Tanah Sriwijaya sudah lama tidak bertuan,
pemerasan merajalela dimana-mana", berkata Ratu
Anggabhaya. Setelah merasa cukup beristirahat, mereka keluar
dari kedai melihat-lihat suasana pasar yang ramai.
Mereka juga berjalan melihat-lihat suasana padukuhan
terdekat. "Ada upacara sabung ayam", berkata Lembu Tal
menunjuk kesebuah keramaian.
"Kukira upacara sabung ayam hanya milik orang
Nusajawa", berkata Lawe.
"Sebagai tanda bahwa orang Tanah Swargadwipa
serumpun dengan kita, bangsa Galuh Agung", berkata
Ratu Anggabhaya yang mempunyai wawasan yang luas
tentang sejarah leluhur bangsa Galuh Agung.
"Degungnya pun kulihat sama, ada ukiran naga
diatasnya", berkata Lawe memperhatikan seperangkat
gamelan. 629 "Degung itu perlambang naga dan matahari, mereka
meletakkannya masih disisi bagian paling tinggi, artinya
mereka masih menghargai penguasa bumi ini, meski
yang kita ketahui bahwa Tanah Sriwijaya sudah lama
tidak bertuan", berkata Ratu Anggabhaya memberi
makna tentang lambang dari Degung.
"Naga dan Matahari adalah lambang Dewa Siwa",
berkata Raden Wijaya "Itupun dapat diartikan bahwa persembahan umum
mereka ditujukan kepada Dewa Siwa", berkata Ratu
Anggabhaya. "Artinya kepercayaan mereka sama dengan kita",
berkata Lembu Tal sambil terus melangkah mendekati
arena sabung ayam yang ternyata masih baru akan
dimulai. Ada dua ekor ayam tengah dipersiapkan untuk diadu.
Keduanya terlihat mempunyai tubuh yang sama
kokohnya, satu ekor ayam berwarna merah, sementara
satu ekor lagi berwarna hitam sampai keparuh dan
kakinya berwarna hitam, sepertinya keturunan ayam
Cemani. Kedua ekor ayam itu terlihat tengah dipasang sebuah
pisau kecil di tajinya. Akhirnya kedua ekor ayam itu sudah dilepas saling
berhadapan. Maka terjadilah perkelahian yang seru
antara kedua ayam itu. Mereka saling melompat
menerjang lawannya. Terlihat seekor ayam yang berwarna merah
terhuyung ke samping diterjang ayam cemani hitam.
Kembali ayam cemani itu melakukan serangan, untuk
kedua kalinya sebuah sabetan pisau membeset leher
630 ayam berwarna merah. Darah mengucur di leher ayam berwarna merah,
tanpa ada serangan apapun, ayam itu terlihat seperti
meregang, dan akhirnya tewas menggelepar.
"Apakah kamu melihat ada kecurangan dalam adu
dua jago itu", berbisik Lembu Tal kepada Mahesa
Amping. "Benar, ayam cemani itu diberikan pisau yang
mengandung tuba", berkata Mahesa Amping perlahan.
"Ayam merah itu akan dihidangkan setelah upacara
ini, bahaya siapapun yang memakannya", kembali
Lembu Tal berbisk kepada Mahesa Amping. "Lakukanlah
apapun untuk mencegahnya", berkata Lembu Tal
memberi tanda agar Mahesa Amping melakukan sebuah
tindakan. Maka tanpa memikirkan akibat apapun, Mahesa
Amping telah masuk ke tengah arena sabung ayam.
Semua mata melihat heran ke arah Mahesa Amping,
mereka berpikir sama, apa yang hendak dilakukan
pemuda itu. "Ada kecurangan dalam sabung ayam ini", berkata
Mahesa Amping di tengah-tengah arena.
Seorang pemilik ayam cemani terbelalak matanya
mendengar ucapan Mahesa Amping.
"Kamu menuduhku telah berbuat kecurangan?",
berkata orang itu sambil tangannya menunjuk kearah
tubuh Mahesa Amping. "Benar, aku menuduhmu telah melakukan kecurangan", berkata Mahesa Amping dengan penuh
ketenangan. 631 "Bukankah semua telah melihat bahwa ayamku telah
melakukan sebuah kemenangan?", berkata orang itu
yang sepertinya meminta dukungan dari semua orang.
"Ayammu belum tentu memenangkan pertandingan
bila saja tidak ada tuba di pisau tajinya", berkata Mahesa
Amping sepertinya tidak merasa gentar menyampaikan
sebuah kebenaran. "Kamu harus membuktikan ucapanmu", berteriak
orang itu sambil tangannya menunjuk-nunjuk kearah
Mahesa Amping. "Berikan kepadaku dua ekor ayam", berkata Mahesa
Amping kepada orang-orang didekatnya. Dua orang
terlihat membawa dua ekor ayam yang diminta oleh
Mahesa Amping. "Aku akan membuktikannya", berkata Mahesa
Amping sambil membuka pisau taji dari kaki ayam
berwarna merah yang sudah mati.
"Kalian dapat melihat bahwa ayam segar ini tidak


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mati meski sedikit tubuhnya dilukai dengan pisau
taji ini", berkata Mahesa Amping sambil melukai sedikit
bagian tubuh dari salah satu ekor ayam yang diberikan
kepadanya. "Berikan kepadaku pisau taji ayammu", berkata
Mahesa Amping kepada seorang pemilik ayam Cemani
yang nampaknya mulai merasa ketakutan.
Salah seorang penonton nampaknya menjadi tidak
sabaran langsung mendekati pemilik ayam cemani.
"Berikan pisau taji ini, kita harus dapat
membuktikannya", berkata penonton yang tidak sabaran
itu sambil membuka ikatan pisau taji dari kaki ayam
cemani dan langsung memberikannya kepada Mahesa
632 Amping. "Jangan kamu gunakan tanganmu untuk makan
sebelum meyakinkan bahwa tanganmu sudah menjadi
bersih", berkata Mahesa Amping kepada seorang yang
memberikan pisau taji. "Lihatlah, aku akan melukai seekor ayam yang masih
hidup ini, dalam waktu singkat ayam ini akan mati",
berkata Mahesa Amping kepada semua orang yang ada
di arena sabung ayam itu.
Pemilik ayam semakin pucat. cemani terlihat wajahnya sudah Ternyata Mahesa Amping telah berhasil membuat
sebuah bukti. Seekor ayam yang dilukai oleh pisau taji
milik ayam merah masih tetap hidup. Sementara ayam
yang dilukai oleh pisau taji milik ayam cemani nampak
terhuyung-huyung seperti mabuk. Dan akhirnya semua
dapat menyaksikan bahwa ayam itu terlihat terkapar,
mati. "Bunuh anak muda itu", berkata tiba-tiba pemilik
ayam cemani kepada dua orang didekatnya.
Dua orang yang ada di dekat pemilik ayam cemani itu
sudah menerjang Mahesa Amping. Dua buah senjata
badik telanjang meluncur mengincar leher dan dada
pemuda itu. Entah dengan cara apa Mahesa Amping
melakukannya, dua buah badik sudah berpindah tangan
berada dikedua tangannya, sementara kedua orang
penyerangnya terlempar kebelakang jatuh terhuyung.
"Kamparu, beraninya kamu merusak acara penikahan
kami", berkata seorang yang sudah cukup umur kepada
pemilik ayam Cemani. 633 "Aku memang sudah terlanjur kecewa kepadamu,
aku ingin membunuh calon menantumu lewat ayam yang
mati itu", berkata pemilik ayam cemani itu berterus
terang. "Aku memilih pemuda itu karena taat dan rajin
bekerja dibandingkan dirimu yang hanya mengejar
kesenangan, sering merusak pagar ayu", berkata orang
tua itu. "Saat ini tidak ada penguasa di Sriwijaya, dengan
kekayaanku semua dapat kubeli, termasuk kamu",
berkata pemilik ayam Cemani itu sambil memberi sebuah
tanda. Tiba-tiba saja lima orang berwajah kasar dan
garang telah mendekatinya.
Mahesa Amping tidak yakin bahwa orang tua itu akan
mampu menghadapi lima orang upahan yang terlihat
sangat bengis dan garang.
"Aku yang telah membuka urusan ini, serahkanlah
semua kepadaku", berkata Mahesa Amping kepada
orang tua itu yang nampaknya agak gentar melihat
kelima orang upahan pemilik ayam cemani itu."Menepilah", berkata Mahesa Amping kepada orang
tua itu untuk keluar arena.
"Bunuh anak muda itu", berkata pemilik ayam cemani
kepada lima orang upahannya.
Maka arena sabung ayam telah berubah ajang, telah
berganti menjadi perkelahian manusia dengan manusia.
Bedanya tidak satu lawan satu, tapi satu orang
menghadapi lima orang. Kali ini Mahesa Amping tidak ingin tergesa-gesa
menyelesaikan pertempurannya, dengan telaten menghadapi setiap serangan dengan hanya menghindar.
634 Semua mata sepertinya Mahesa Amping. menghawatirkan keadaan "Kasihan pemuda itu sudah masuk kedalam urusan
Rangkayo Kumaru", berkata seorang yang berada paling
depan kepada kawannya. "Bila saja aku punya kemampuan, aku akan turun
membela pemuda itu", berkata kawannya.
Pertempuran di tengah arena sabung ayam sudah
semakin seru, bukan main geramnya kelima orang
upahan itu yang tidak pernah mampu menembus
pertahanan Mahesa Amping, semua serangan selalu
dapat dihindarinya. Mereka masih menganggap bahwa
semua hanya sebuah kemujuran. Mereka tidak
menyadari bahwa Mahesa Amping telah mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya tingkat tinggi yang nyaris
sempurna. Lima orang upahan itu benar-benar sudah bernafsu
untuk menyelesaikan perkelahiannya, mereka merasa
malu, nama mereka sepertinya takut tercoreng bilamana
tidak segera menyelesaikan anak muda yang sepertinya
tidak punya keistimewahan sedikitpun.
Kelima orang itu sepertinya punya tekat yang sama,
seperti digerakkan perasaan yang sama, mereka
menyerang secara bersama.
Lima buah senjata terhunus siap menyincang tubuh
Mahesa Amping. Semua orang menahan nafasnya, pikirannya sudah
jauh kedepan dalam bayangan bahwa anak muda itu
akan tersayat lima buah senjata tajam yang nampaknya
berkilat selalu diasah ketajamannya.
Semua orang memang mempunyai pikiran masing635
masing, ternyata ada seorang yang punya pikiran
berbeda. Orang itu berwajah tikus, lengkap dengan
kumisnya yang lurus panjang tidak berjanggut.
"Lima orang itu tidak akan mampu menghadapi
Manusia Dewa", berkata orang berwajah tikus itu.
Ternyata orang berwajah tikus itu sudah mengenali
diri Mahesa Amping yang pernah menghebohkan dan
menunjukkan kesaktiannya di Tanah Melayu.
Pikiran orang berwajah tikus itu sepertinya sudah
membaca apa yang akan dilakukan Mahesa Amping
menghadapi kelima orang upahan.
Benar !!, Mahesa Amping sudah jemu bermain.
Ketika kelima orang upahan itu menyerang serentak
bersama-sama, dengan kecepatan yang tidak lagi dapat
dilihat dengan pandangan wadag, tubuh Mahesa Amping
telah melenting keatas melampaui tubuh salah satu
penyerangnya. Dengan sebuah tendangan mendorong
pantat salah satu penyerang itu yang langsung menabrak
kawannya didepan. Akibatnya memang sangat lucu dan
menggelikan. Kelima orang penyerang itu saling
bertabrakan satu dengan yang lainnya.
"Aku disini sahabat", berkata Mahesa Amping yang
masih berdiri tegap memberi kesempatan kelima
penyerangnya bersiap diri.
Wajah kelima orang upahan itu benar-benar seperti
wajah setan merah, matanya melotot, nafasnya seperti
memburu, rasa malu bercampur penasaran membuat
mereka menjadi begitu kalap. Tanpa aba-aba sedikitpun
mereka sudah langsung menerjang tubuh Mahesa
Amping seperti berlomba. Kembali Mahesa Amping melakukan aksinya, dengan
636 menggunakan ilmu kecepatan tingkat tinggi serta
sepersepuluh kekuatannya karena tidak menginginkan
kelima orang penyerangnya mati konyol, Mahesa Amping
telah menghajar kelima penyerangnya, masing-masih
dapat jatah satu pukulan telak di tubuhnya
Semua orang seperti tidak percaya atas apa yang
mereka saksikan, kelima orang berwajah garang itu
semuanya telah berbaring merintih kesakitan.
"Masih adakah sisa orang upahanmu?", berkata
Mahesa Amping kepada pemilik ayam Cemani yang
bernama Rangkayo Kamparu.
"Seratus orang cecurut tengik tidak akan mampu
menandingi Manusia Dewa", berkata seorang berwajah
tikus yang tiba-tiba saja telah berada di tengah arena
sabung ayam. "Tengku Sancang dari Pulau We" berbisik salah
seorang kepada kawannya yang sudah mengenal orang
berwajah tikus itu yang akhir-akhir ini sering berkeliaran
di sekitar Bandar Sebukit bersama para pedagang dari
Semenanjung Malaka. Ternyata Tengku Sancang adalah orang yang sangat
disegani di sepanjang jalur perdagangan selat Malaka.
Para Bajak Laut berpikir sepuluh kali untuk mengganggu
pelayarannya apalagi berani lawan muka dengannya.
Disamping berilmu tinggi, Tengku Sancang adalah
pedagang besar yang sangat kaya. Lengkaplah rasa
segan orang terhadapnya. "Apakah ki sanak adalah orang upahan pemilik ayam
cemani", berkata Mahesa Amping ragu melihat
penampilan Tengku Sancang yang perlente juga tidak
garang. 637 "Rangkayo Kamparu adalah keponakanku, tapi aku
berdiri disini tidak ada urusan dengan sabung ayam ini,
aku hanya ingin mengenal lebih dekat kehebatan ilmu
Manusia Dewa", berkata Tengku Sancang sambil
memilin kumisnya yang panjang jatuh melebihi bibirnya.
"Aku cuma ingin meluruskan kecurangan di arena
sabung ayam ini, jadi tidak ada tambahan urusan
lainnya", berkata Mahesa Amping berusaha menghindari
urusan menjadi panjang. "Semakin kamu menghindar, semakin diriku menjadi
penasaran. Selama ini aku tidak pernah menjual ilmuku,
kecuali hanya membeli siapapun yang berani
mengusikku.Tapi kali ini biarlah aku yang datang menjual
ilmu, bersiaplah", berkata Tengku Sancang sambil
mengeluarkan senjata andalannya, sebuah rencong
panjang. Mahesa Amping tidak dapat mengelak lagi, apalagi
melihat orang dihadapannya telah melepas senjatanya.
Adalah sebuah penghinaan meninggalkan orang yang
telah menelanjangi senjatanya.
"Mudah-mudahan diriku dapat membeli rasa
penasaranmu", berkata Mahesa Amping telah bersiap diri
dan tidak ada keinginan untuk mengeluarkan senjata.
"Namumu sudah melangit di sepanjang Selat Malaka
setelah kejadian di Tanah Melayu, nyaris membenamkan
namaku, itulah urusan yang ingin kuselesaikan hari ini",
berkata Tengku Sancang. "Ternyata ada banyak yang kalian tutupi selama di
Tanah Melayu, pasti ada sebuah kejadian yang sangat
luar biasa yang tidak kalian ceritakan kepadaku", berkata
Lembu Tal kepada anaknya Raden Wijaya sambil
matanya tidak pernah lepas ketengah arena sabung
638 ayam dimana Mahesa Amping dan Tengku Sancang
telah saling berhadapan. "Aku sudah sering mendengar tentang kehebatan
ilmu anak muda itu, tapi baru hari ini aku melihat sendiri
kehebatannya dalam bergerak yang menurutku nyaris
begitu cepat, dan nyaris begitu sempurna melampaui
perkiraannku semula", berkata Ratu Anggabhaya
"Bila ada kesempatan, hamba siap menuturkan cerita
selengkapnya", berkata Lawe sambil tersenyum.
Sementara itu diarena sabung ayam, pertempuran
sudah berlangsung. Tengku Sancang sudah memulai
serangannya dengan langsung melayangkan rencongnya
keleher Mahesa Amping. Melihat awal serangan itu, Mahesa Amping dapat
mengukur kekuatan lawan. Angin serangan itu datang
begitu kuat sebagai tanda bahwa lawannya mempunyai
kekuatan yang sangat luar biasa. Dan Mahesa Amping
tidak berani bermain-main sembarangan. Dengan hatihati menghindari setiap serangan dan balas menyerang.
Mahesa Amping telah melambari dirinya dengan
kekuatan kasat mata, seandainya senjata itu
mengenainya tidak akan melukainya, tapi Mahesa
Amping tidak akan menyodorkan tubuhnya sia-sia,
dirinya masih bisa menyelinap dalam setiap sergapan
bahkan membalas serangan tidak kalah dhsyatnya.
Lingkaran sabung ayam sepertinya menjadi lebih luas
dari semula, abu yang beterbangan memaksa semua
orang mundur dengan sendirinya. Tapi semua orang
tidak berusaha meninggalkan tontonan yang

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menegangkan itu, melebihi tontonan sabung ayam yang
paling seru sekalipun yang pernah mereka saksikan.
Mahesa Amping, Tengku Sancang telah melewati
639 ratusan jurus, merekapun telah meningkatkan tataran
ilmunya setahap demi setahap. Pertempuran menjadi
semakin seru dan begitu cepat. Kadang yang terlihat
adalah dua bayangan yang saling berkelebat.
"Kamu belum mengeluarkan senjata?", berkata
Tengku Sancang merasa diremehkan dihadapi Mahesa
Amping dengan tanpa senjata.
"Aku merasa belum perlu mengeluarkan senjata",
berkata Mahesa Ringan membuat Tengku Sancang
semakin menjadi panas mendengarnya.
"Kamu akan menyesal", berkata Tengku Sancang
sambil menerjang dengan rencongnya ke tubuh Mahesa
Amping. Mahesa Amping menyadari bahwa serangan datang
dengan kekuatan berlapis setingkat lebih tinggi dari
tataran sebelumnya, maka Mahesa telah mempersiapkan
dirinya, meningkatkan tataran ilmunya lebih setingkat lagi
agar dapat mengimbangi kemampuan lawan.
Kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit, lebih
seru dan lebih dahsyat dari sebelumnya.
Rencong ditangan Tengku Sancang berputar keras
seperti gasing menerjang kemanapun Mahesa Amping
menghindar. Untungnya ilmu meringankan tubuh Mahesa
Amping sudah melampaui tataran tertinggi, sambil
menghindar masih dapat mengancam pertahanan lawan.
"Baru kali aku berhadapan dengan orang yang begitu
licin seperti anak muda ini", berkata Tengku Sancang
yang diam-diam mengagumi ilmu Mahesa Amping yang
masih saja mengimbangi perlawanannya meski sudah
diterapkan segala tataran kemampuannya yang tertinggi.
Tiba-tiba saja tubuh Tengku melenting kebelakang.
640 Mahesa Amping menyadari pasti Tengku Sancang
ingin berbuat sesuatu yang berbahaya. Maka Mahesa
Amping telah bersiap melepas segala kemampuannya
dalam batas kesadarannya yang tinggi.
Benar saja dugaan Mahesa Amping !!
Tiba-tiba saja dirasakan tanah tempat berpijaknya
terasa bergoyang. Ternyata semua orang di sekitarnya merasakan hal
yang sama. Serentak semua orang dengan penuh rasa
takut dan gentar berlari menjauh. Anehnya ketika mereka
menjauh, getaran tanah yang bergoyang tidak lagi
mereka rasakan. "Ilmu Aji abu-abu", berkata Ratu Anggabhaya kepada
Raden Wijaya."Hanya orang yang mempunyai pikiran
yang kuat yang mampu menggerakkan alam khayal
orang di sekitarnya", berkata kembali Ratu Anggabhaya
yang sepertinya tidak berpengaruh atas apa yang terjadi.
Mendengar keterangan Ratu Anggabhaya, Raden
Wijaya, Lembu Tal dan Lawe segera memusatkan alam
pikirannya, menyerahkan akal dan budinya kedalam
kebesaran Sang Hyiang Gusti Sejati, Gusti Yang Maha
Karsa. Sementara itu Mahesa Amping telah dapat
menguasai dirinya, permainan pikiran sudah bukan
barang asing bagi dirinya. Tapi Mahesa Amping adalah
pemuda yang cerdas, juga cerdik. Dihadapan Tengku
Sancang sepertinya terpengaruh, merasakan seakanakan dirinya terkejut atas apa yang terjadi. Terlihat
Mahesa Amping seperti orang yang tengah berusaha
tegak mengimbangi tanah yang bergoyang seperti
tengah terjadi gempa besar.
641 "Sebentar lagi namaku akan menjulang kelangit,
manusia dewa dapat kukalahkan", berkata Tengku
Sancang sambil tertawa melihat Mahesa Amping sudah
masuk dalam perangkap pikirannya.
Tengku Sancang tidak melepas kesempatan yang
ada, langsung melakukan serangan sebagaimana
sebelumnya, berharap pikiran Mahesa Amping menjadi
bercabang dengan pengaruh tanah yang terasa
bergoyang. Tapi Mahesa Amping ternyata masih saja dapat
mengimbanginya, masih juga melakukan tekanan yang
tidak kalah dahsyatnya, meski dengan berpura-pura
terpengaruh dengan keadaan di sekitarnya sebagaimana
orang yang tengah menghadapi sebuah gempa
sungguhan. Tengku Sancang merasa tidak sabaran, dihentakkan
segenap kekuatan pikirannya.
Maka luar biasa dampak penguasaaan alam pikiran
itu, semua orang menyaksikan angin puyuh besar
menyambar tubuh Mahesa Amping dan terus
mengejarnya kemanapun dirinya menghindar.
Mahesa Amping menghadapi dua serangan,
serangan angin puyuh yang seperti bernyawa terus
mengejarnya, juga serangan rencong Tengku Sancang
yang juga sedahsyat putaran angin puyuh menyerang
dan mengejarnya. Menghadapi angin puyuh, Mahesa Amping sudah
menyadari sebagai sebuah kekuatan palsu yang
bersumber dari kekuatan pikiran Tengku Sancang.
Mahesa Amping masih berusaha bersandiwara seakanakan berpengaruh. Namun diam-diam telah menerapkan
ajian yang sama. 642 Kekuatan akal pikiran Mahesa Amping adalah
kekuatan yang berlandaskan pada kekuatan alam tak
terbatas, maka kekuatan akal pikiran Mahesa Amping
tidak disadari oleh Tengku Sancang berbalik telah
memperangkapnya. Tengku Sancang merasa gembira melihat Mahesa
Amping telah digulung oleh angin puyuh buatannya,
Mahesa Amping telah dibawa terbang tinggi.
Tapi matanya terbelalak melihat Mahesa Amping
bersama Angin puyuhnya datang bersama-sama turun.
Mahesa Amping seperti dewa terbang mengejar dirinya
dengan kecepatan yang tidak dapat dihindari. Angin
puyuh buatannya sendiri telah melemparkan dirinya
terhempas jauh. Tengku Sancang seperti tidak percaya atas apa yang
terjadi pada dirinya. Bermula dengan kekuatan pikirannya
telah mampu bermain-main dengan sebuah angin puyuh
buatan, namun pada saat terakhir angin puyuh itu telah
menjadi barang nyata berbalik menyerangnya bahkan
mampu menghempaskan dirinya terlempar jauh.
Mahesa Amping tidak mengejar Tengku Sancang
yang terjengkang, membiarkan Tengku Sancang berdiri
dan mempersiapkan dirinya.
"Tengku Sancang !!!", berkata Mahesa Amping
dengan suara yang dilambari tenaga saktinya terdengar
seperti bergema menghentakkan dada Tengku Sancang.
"Kamu tidak akan berhasil merusak pikiranku, aku dapat
mendatangkan gempa sungguhan, aku mampu
membawa angin puyuh sungguhan, bahkan aku dapat
membawa bongkahan hujan es yang begitu dingin yang
akan membekukan jantungmu", berkata kembali Mahesa
Amping dengan suara yang telah dilambari tenaga sakti
643 terasa menghentak-hentak dada tengku Sancang.
Tengku Sancang berusaha meningkatkan ketahanan
tubuhnya, namun hentakan suara itu sepertinya tidak
mudah dibatasi, seperti langsung mencekik rongga
dadanya yang terasa menjadi sesak.
"Ilmu anak muda ini memang sudah seperti dewa",
berkata Tengku Sancang seperti sudah merasa putus
asa, tidak ada kepercayaan diri lagi untuk melawan
pemuda dihadapannya. "Apakah pertempuran ini masih dilanjutkan?",
bertanya Mahesa Amping yang berdiri tidak jauh darinya.
Tengku Sancang menatap mahesa Amping seperti
menatap seorang dewa. Dilihatnya mata Mahesa Amping
seperti dua bola api yang menyala.
Terbelalak Tengku Sancang sampai jantungnya
terasa berhenti ketika menyaksikan sendiri dari kedua
bola mata Mahesa Amping keluar cahaya seperti kilat
menyambar. Tengku Sancang masih dapat bernafas lega, cahaya
kilat itu hanya menyambar sebuah batu sebesar kepala
disampingnya. Seperti tidak percaya apa yang telah
dilihatnya, batu sebesar kepala itu hancur hilang berganti
sebagai serbuk debu yang beterbangan.
"Aku memang bukan tandinganmu, aku menyerah
kalah", berkata Tengku Sancang sambil membayangkan
dirinya yang akan menjadi sasaran dari cahaya kilat
kedua mata Mahesa Amping.
"Aku serahkan keponakanmu kepadamu, bila disuatu
waktu kudapati ulahnya yang menyusahkan sesama,
maka kesalahan akan kujatuhkan kepadamu", berkata
Mahesa Amping, kali ini begitu lembut penuh wibawa.
644 "Aku akan berusaha mengurus keponakanku, itu
adalah hukuman teringan yang kudapat dibandingkan
hilangnya nyawaku dengan tubuh hancur berdebu tanpa
pemakaman", berkata Tengku Sancang seperti telah
mendapat kembali hadiah satu nyawa untuknya.
"Kami akan berlayar ke Tanah Melayu, suatu waktu
mungkin akan berlayar sampai ke tempat asalmu. Aku
berharap kita berjumpa kembali dalam suasana yang
berbeda, setidaknya sebagai seorang sahabat", berkata
Mahesa Amping. "Tersanjung diriku bila saja kita bertemu di tempat
asalku, aku akan memperkenalkan kepada semua
kerabatku bahwa engkau adalah sahabatku. Aku akan
menantikan kedatanganmu", berkata Tengku Sancang
penuh kegembiraan. "Saatnya aku menyalami seorang sahabat", berkata
mahesa Amping sambil mengulurkan tangannya.
Tengku Sancang menyambut menggenggamnya penuh keakraban.
tangan itu, Banyak orang bernafas lega menyaksikan dua orang
yang semula saling menyerang itu telah saling
bersalaman. "Sampai berjumpa kembali sahabat", berkata Tengku
Sancang sambil memanggil keponakannya Rangkayo
Kamparu meninggalkan tempat itu diringi tatapan banyak
orang. "Kamu telah menyelesaikan urusan ini dengan penuh
bijaksana", berkata lembu Tal yang datang menghampirinya. "Ayahku tidak akan memaafkan dirinya, bila saja
kamu bernasib buruk di arena itu. Bukankah ayah yang
645 menyuruh Mahesa Amping turun ke arena itu?", berkata
Raden Wijaya "Tanpa disuruh pun, aku yakin Mahesa Amping akan
turun dengan sendirinya", berkata Lembu Tal berusaha
mengelak. "Sebenarnya sebelum Mahesa Amping turun ke
arena, aku sudah ada niat", berkata Lawe sambil bergaya
seperti layaknya seorang gagah membuat Ratu
Anggabhaya, raden Wijaya dan Lembu Tal tersenyum
menggeleng-gelengkan kepalanya menyaksikan ulah
Lawe yang masih senang berguarau.
Sementara itu beberapa orang yang ada disekitar itu
sudah berkumpul kembali untuk mengikuti sebuah
upacara pernikahan. "Kami akan merasa terhormat bilamana tuan-tuan
menghadiri upacara pernikahan anak-anak kami",
berkata seorang tua yang sudah dikenal oleh Mahesa
Amping sebagai orang tua yang disuruhnya menepi dari
arena sabung ayam menghindari perkelahian dengan
lima orang upahan yang beringas.
"Menyaksikan sebuah pernikahan adalah sebuah
rahmat, begitulah pendeta Brahmana mengajarkan
umatnya", berkata ratu Anggabhaya mengajak rombongannya menerima undangan tuan rumah yang
ramah. Sebagaimana orang asing yang melihat sebuah
upacara yang berbeda, mereka benar-benar menikmati
dan menyaksikan sebagai tayangan istimewa. Yang
sangat berkesan adalah sebuah acara berbalas pantun,
semua yang hadir berusaha tampil menunjukkan
keahliannya sebagai ahli pantun yang tidak pernah mau
menyerah. 646 Untungnya para keluarga calon pengantin cukup
bijaksana, mereka akhirnya mengalah kepada pihak
calon pengantin pria, demi puncak acara yang mereka
tunggu dan sebuah hidangan besar yang sangat
dinantikan. Ketika hari sudah masuk menjelang malam, Ratu
Anggabhaya dan rombongannya berpamit diri kembali ke
Bandar Sebukit untuk bermalam disana.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bandar sebukit memang tidak pernah tidur
sebagaimana suasana Bandar besar pada umumnya.
Para buruh terlihat masih memanggul barang dari jung
menuju gudang penyimpanan atau kadang datang dari
arah sebaliknya. "Hari ini kita untung besar, dagangan yang kita bawa
sudah habis terjual, berganti dengan barang dagangan
yang banyak dibutuhkan di Tanah Singasari", berkata
Kebo Arema dianjungan tempat mereka berkumpul
menghabiskan malam di Bandar Sebukit.
"Sebentar lagi lima jung Singasari telah siap berlayar
mendatangi Bandar-bandar besar ketimur dan kebarat,
membawa berbagai barang dagangan, kembali
membawa keberuntungan", berkata Ratu Anggabhaya
penuh keyakinan. "Bendahara terus menghitung harta kerajaan yang
bertambah, para petani bergembira menikmati panen di
tanahnya, para pedagang berkeliling membawa
peruntungannya. Sementara para ksatria sepanjang hari
berpesta bersama keluarganya, menjaga nagari tanpa
peperangan", berkata Lembu Tal membacakan sebuah
puisi salah seorang pujangga terkenal jaman itu.Empu
Bara Kembara. Dan sang waktupun berlari menggulung malam,
647 membangunkan pagi yang terkantuk dalam selimut angin
dingin. Beberapa nelayan setelah semalaman suntuk
menjaring udang terlihat tengah mendayung jukungnya
pulang membawa harapan kepada keluarganya.
Sepasang angsa berenang menyusuri tepian sungai
Musi yang mulai hangat disinari cahaya matahari pagi.
"Kita berangkat menjelang siang", berkata Kebo
Arema. "Masih ada waktu menikmati pagi di Bandar sebukit
yang hangat", berkata Ratu Anggabhaya.
Sebagaimana yang dikatakan Ratu Anggabhaya,
mereka memang masih sempat berjalan-jalan disekitar
Bandar Sebukit, melihat-lihat berbagai jung besar dari
berbagai penjuru dunia dan berbagai bangsa.
Akhirnya, ketika Matahari telah hampir beranjak
dipuncak Cakrawala, Jung Singasari telah meninggalkan
Bandar Sebukit, hanyut terapung diatas Sungai Musi
yang luas dan panjang. Terlihat gerumbul hutan hitam
membatasi tepian sungai, Kadang juga melintasi
perkampungan nelayan dengan rumah-rumah panggung
yang kecil berbilik kayu hitam.
"Kita akan tiba diujung muara Sungai Musi menjelang
malam, semoga angin laut bertiup cukup bagus untuk
mengantar kita sampai di Tanah Melayu", berkata Kebo
Arema menjelaskan arah perjalanan mereka.
Jung Singasari yang besar terlihat seperti kotak kayu
hitam terapung di tengah kolam yang luas. Sungai Musi
memang sebuah sungai yang sangat luas. Sebuah
pohon kelapa yang tinggi akan terlihat kecil sebesar
telunjuk jari dari seberang tepi sungai lainnya.
Setelah menempuh perjalanan panjang diatas sungai
648 Musi yang luas, Jung Singasari telah mendekati Muara
disaat hari telah menjadi gelap.
Lampu suar telah dinyalakan dianjungan dan di
buritan. Dan temali layarpun telah dilepaskan
berkembang. Jung Singasari telah melaju terapung
diatas laut purbakala dalam kelam malam dan iringan
debur ombak yang saling mengejar dibelakang buritan.
Dibawah sisa malam, dari sisi kiri Jung Singasari,
daratan Swargadwipa terlihat bagai raksasa hitam tidur
terbujur panjang. Namun warna kelam malam bukan
warna abadi, perlahan sang waktu telah mengubahnya
menjadi warna merah buram menyala, dan akhirnya
ketika sang fajar muncul diujung timur bumi, semua
menjadi terlihat jelas, lengkung langit berawan kelabu
diatas bukit barisan yang jauh berwarna biru. Barisan
ombak bergiliran mencium bibir tepian pantai berpasir
putih berlatar hijau kerimbunan hutan pohon-pohon kayu
besar purbakala yang tinggi.
"Muara sungai Batanghari ada dibalik bukit batu
karang itu", berkata Kebo Arema sambil menunjuk
kearah sebuah batu karang yang tinggi menjulang.
Jung Singasari telah melewati bukit batu karang,
warna air laut terlihat berwarna hijau abu-abu sebagai
tanda tidak jauh lagi akan menemui sebuah muara besar.
"Kita sudah mendekati muara sungai Batanghari",
berkata raden Wijaya begitu gembiranya.
Ternyata muara sungai Batanghari memang sudah
begitu dekat, terlihat tiga buah jung besar tengah
memasuki bibir muara sungai Batanghari, terlihat juga
beberapa jukung para nelayan yang baru pulang melaut
ikut meramaikan suasana Muara sungai itu.
649 Angin laut berhembus lembut, cahaya perak sinar
matahari membias seperti warna pelangi diatas warna air
berwarna kehijauan. Jung Singasari sudah memasuki
bibir muara sungai Batanghari yang lebar dan panjang.
Semakin masuk kedalam, semakin banyak menemui
sungai yang bercabang membelah daratan menjadi
sebagai sebuah pulau. "Tanah seribu pulau, itulah nama lain untuk Tanah
melayu", berkata Kebo Arema kepada Ratu Anggabhaya
sambil melihat beberapa cabang sungai yang berliku.
Sementara itu ketika matahari telah bergeser sedikit
jatuh dari puncaknya, Jung Singasari telah mendekati
Bandar Melayu. Terlihat tiang-tiang layar jung besar
bergoyang dipermainkan gelombang air sungai di
sepanjang dermaga. Akhirnya Jung Singasari telah merapat di tepi
dermaga. "Jung raksasa itu pastilah Jung Singasari dari Bandar
Cangu, jauh lebih besar dari apa yang pernah
kubayangkan", berkata seorang pedagang India kepada
kawannya ketika melihat jung Singasari merapat di
Dermaga. "Dengan Jung sebesar itu, aku berani mengarungi
lautan yang keras", berkata kawannya.
Sementara itu diatas Jung Singasari terlihat beberapa
kesibukan kecil, beberapa prajurit dengan cekatan
melompat ketepi dermaga, membawa tali temali untuk
diikatkan ditonggak-tonggak dermaga. Di buritan dua
orang prajurit tengah menurunkan tali jangkar,
meyakinkan bahwa jangkar benar-benar sudah jatuh
sampai kedasar sungai. 650 "Kami menunggu kabar dari kalian bertiga", berkata
Ratu Anggabhaya kepada Raden Wijaya, Mahesa
Amping dan Lawe yang akan turun lebih dulu.
Telah disepakati sebelumnya, bahwa ketiga pemuda
itu akan menjadi penghubung yang akan mengabarkan
kepada pihak Istana Tanah Melayu bahwa utusan dari
Kerajaan Singasari akan datang berkunjung menghaturkan sebuah pinangan.
"Ada baiknya bila kita menemui Datuk Belang,
mungkin beliau dapat membantu serta memberikan
beberapa pertimbangan", berkata raden Wijaya ketika
mereka sudah hampir mendekati kotaraja Tanah Melayu.
Rumah Datuk Belang memang tidak jauh dari
Kotaraja. Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu
jauh, akhirnya mereka telah sampai di rumah Datuk
Belang, sebuah rumah panggung yang besar.
"Mudah-mudahan beliau ada dirumah", berkata
Mahesa Amping sambil tertus melangkah mendekati
anak tangga. Seorang yang seumur Datuk Belang telah
menyongsong mereka, ternyata seorang pelayan Datuk
Belang yang sudah mereka kenal.
"Selamat berjumpa kembali", berkata Pelayan tua itu.
"Sebentar sore Datuk Belang dan Pranjaya pasti kembali,
saat ini mereka masih ada diistana menghadap Sri
baginda", berkata kembali pelayan tua itu.
"Tentu ada urusan yang sangat penting sampai Sri
baginda memanggil mereka", berkata mahesa Amping
kepada pelayan tua itu. "Mungkin", berkata pelayan tua itu sambil tersenyum
651 dan pamit untuk menyiapkan makanan dan minuman
kepada meraka. "Tidak usah repot-repot Paman", berkata Lawe yang
dibalas oleh pelayan tua itu dengan penuh senyum.
Sementara itu hari memang sebentar lagi menjelang
sore, mereka tidak menunggu begitu lama. Datuk Belang
dan Pranjaya yang ditunggu akhirnya telah datang.
Bukan main senangnya Datuk Belang dan Pranjaya
melihat kehadiran ketiga pemuda itu ada dirumahnya.
Setelah bercerita tentang keselamatan masingmasing, Raden Wijaya langsung menyampaikan maksud
dan tujuan mereka yang sesungguhnya.
"Jadi kalian datang bersama utusan Raja Singasari
untuk meminang seorang putri Raja Melayu", berkata
datuk belang setelah mendengar semua perkataan
Raden Wijaya. "Mungkin Datuk belang dapat memberi beberapa
pertimbangan untuk kami", berkata Raden Wijaya.
"Sepengetahuanku, hanya ada dua putri di istana,
Dara Petak dan Dara Jingga. Siapakah diantara mereka
yang akan dipinang untuk Raja Singasari?", bertanya
Datuk Belang sambil memandang Raden Wijaya dan
Mahesa Amping secara bergantian. Diam-diam Datuk
Belang sudah mengetahui perasaan yang ada dihati
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis 2 Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau 7
^