Pencarian

Sang Fajar Bersinar 12

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 12


Dan diatas langit Balai tamu di tepian Sungai Brantas
itu masih dipenuhi kerlap-kerlip bintang-bintang kecil.
Bulan sabit telah jatuh bergeser ke Barat. Langit purba di
malam itu tidak berawan, begitu jernih berwarna biru
kelam. Terdengar dikesunyian malam suara celepuk
malam yang terus menjauh, mungkin tengah mencari
anak-anak tikus yang terjebak jauh dari induknya. Dari
tepian sungai Brantas tidak putus saling menyambut
suara katak mengiringi malam, mungkin tengah
memanggil dan merindukan datangnya sang hujan.
Dan pagi pun akhirnya datang juga, warna sungai
dan langit seperti satu warna, putih keperakan disinari
cahaya matahari pagi yang telah datang mengintip di
ujung timur bumi. Pagi itu Kebo Arema, Lawe, Mahesa Amping dan
Raden Wijaya telah berkumpul bersama di pendapa Balai
Tamu menikmati suasana dan warna pagi di tepian
sungai Brantas yang indah. Di Hutan seberang sungai
sekumpulan burung betet loreng terbang bersama
mencari persinggahan baru, sebagai tanda bahwa
pergantian musim akan segera datang.
"Aku punya kenalan seorang saudagar yang sering
796 berdagang ke Tanah Bali", berkata Kebo Arema kepada
Mahesa Amping. "Sebuah berita baik, setidaknya aku dapat ikut
berlayar bersamanya", berkata Mahesa Amping.
"Aku akan menemuinya, kapan akan bertolak ke
Tanah Bali", berkata Kebo Arema.
Pagi itu matahari bersinar cerah mewarnai Bandar
Cangu yang sudah ramai sejak pagi dini. Sebuah bahtera
terlihat perlahan bertolak meninggalkan Bandar Cangu
perlahan dibawa arus sungai Brantas yang jernih putih
keperakan dibias cahaya matahari pagi. Bahtera dagang
itu milik seorang saudagar yang akan berlayar menuju ke
Tanah Bali. Diatas Bahtera itulah Mahesa Amping ada
bersamanya. Angin yang berhembus diawal musim kemarau itu
terasa begitu sejuk membelai wajah Mahesa Amping
diatas geladak Bahtera. Tidak ada yang tahu bahwa
pemuda itu adalah seorang Rangga prajurit Singasari.
Mahesa Amping memang sengaja menyamarkan jati
dirinya dengan mengenakan pakaian orang kebanyakan.
Kepada Saudagar yang sekaligus pemilik bahtera kayu
ini yang menjadi kawan kenalan Kebo Arema, Mahesa
Amping mengatakan tujuannya ke Bali adalah untuk
menemui saudara perempuannya yang sudah begitu
lama berpisah. Bahtera itu terus melaju dibawa aliran sungai Brantas
melewati hutan yang lebat di kanan kirinya, atau sesekali
melewati hamparan sawah yang luas menghijau, diselingi
puluhan burung bangau putih terbang melintas,
berkerumun turun diatas pematang sawah. Seorang
bocah kecil terlihat berlari mengusik burung bangau yang
terbang kembali menjauh. 797 Terlihat Mahesa Amping tersenyum sendiri, ternyata
dirinya tengah merenungi garis hidupnya yang
Padepokan Bajra Seta, hidup sebagai seorang cantrik,
merasakan suasana kehidupan padepokan Bajra Seta
yang Gayem, mengembara berlayar ke berbagai belahan
dunia, hingga akhirnya telah diangkat sebagai seorang
prajurit, diangkat sebagai seorang Rangga.
Sementara itu sang waktu terus berlalu, bahtera itu
telah mendekati Bandar Curabhaya di saat menjelang
senja. Hanya sebentar bahtera itu bersandar di Bandar
Curabhaya, setelah memuat dan menuruni beberapa
barang pesanan, bahtera itu telah bertolak kembali
kearah timur Jawadwipa menuju Tanah Bali.
Bahtera itu telah mengembangkan layarnya, angin
laut berhembus cukup kencang. Dibawah langit malam
bahtera itu terapung diatas hamparan laut biru yang luas
menyusuri tepian pantai Jawadwipa.
"Esok pagi kita sudah sampai di Tanah Sempit Selat
Bali", berkata seorang tua yang ikut sebagai penumpang
di atas Bahtera itu."Anak muda sudah sering ke Tanah
Bali?" berkata orang tua itu kepada Mahesa Amping.
"Untuk pertama kalinya", berkata Mahesa Amping
dengan senyum penuh persahabatan.
"Apakah anak muda punya saudara yang tinggal di
Tanah Bali?" bertanya orang tua itu.
"Aku punya seorang saudara perempuan yang sudah
lama tinggal di Tanah Bali", berkata Mahesa Amping.
Tanpa ditanya orang tua itu bercerita bahwa dirinya
adalah seorang pedagang batu aji. "Kadang aku juga
berdagang keris bertuah, tergantung pesanan", berkata
798 orang tua itu. Kebersamaan mereka sebagai sesama penumpang
di bahtera, sama-sama berlayar di tengah lautan luas
telah membawa keakraban diantara mereka.
"Orang-orang memanggilku sebagai Ki Ketut Areng",
berkata orang tua itu memperkenalkan dirinya.
"Namaku Mahesa Amping", berkata Mahesa Amping
ikut memperkenalkan dirinya.
"Singgahlah ke rumahku beberapa hari sebelum
melanjutkan perjalananmu", berkata orang tua itu yang
mengaku bernama Ki Ketut Areng menawarkan Mahesa
Amping untuk singgah di rumahnya.
"Terima kasih, aku akan singgah", berkata Mahesa
Amping kepada kawan berlayarnya itu.
"Hari masih jauh pagi, sebaiknya kita tidur
beristirahat", berkata Ki Ketut Areng sambil menggelar
tikar pandan yang dibawanya. "Tikar ini cukup untuk kita
berdua", berkata Ki Ketut Areng menawarkan Mahesa
Amping berbagi tikar pandannya sebagai alas tidur
menanti datangnya pagi. Akhirnya mereka terlihat lelap tertidur diatas geladak
bahtera, angin dingin laut malam tidak terasa berhembus
menyapu. Terlihat seluruh tubuh mereka sudah
terbungkus kain panjang sekedar mengurangi dinginnya
angin laut malam. Langit malam sedikit demi sedikit semakin surut
berganti menjadi langit pagi. Ditandai dengan warna
semburat kemerahan menyala di ujung timur bumi. Dan
semburat warna merah itu akhirnya merata mewarnai
seluruh lengkung langit. "Malam telah kita lewati", berkata Ki Ketut Areng yang
799 mulai terjaga dari tidurnya kepada Mahesa Amping yang
sudah bangun lebih dulu tengah bersandar di dinding
geladak. "Itukah Balidwipa?", bertanya Mahesa Amping sambil
menunjuk kearah timur matahari.
"Itulah Balidwipa, pulau tempat matahari terbit",
berkata Ki Ketut Areng sambil menatap cahaya kuning
matahari yang mengintip dari balik bumi Tanah Bali.
"Bahtera sepertinya akan merapat", berkata Mahesa
Amping yang melihat Bahtera berbelok ke kanan kearah
tepian pesisir Tanah Jawa.
"Benar, bahtera akan merapat di Tanah Sempit",
berkata Ki Ketut Areng yang kelihatannya sudah sering
berlayar menuju Tanah Bali.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Ketut Areng,
bahtera memang tengah merapat di sebuah Bandar kecil
bernama Tanah sempit, entah kenapa dinamakan
demikian, mungkin letak Bandar itu yang dibatasi oleh
dua buah anak sungai yang bermuara di Selat Bali,
mungkin. "Diujung senja bahtera ini baru akan berlayar
kembali, mari kita turun kearah", berkata Ki Ketut Areng
yang telah bersiap-siap untuk turun ke darat.
Bulat penuh matahari sudah terlihat di ujung timur
langit, cahaya pagi telah menerangi seluruh tanah
Bandar kecil itu. Terlihat Ki Ketut Areng diiringi Mahesa
Amping tengah mendekati sebuah perkampungan
nelayan. Ternyata mereka tengah mendekati sebuah kedai
makanan yang ada di perkampungan nelayan itu. "Kami
minta minuman hangat", berkata Ki Ketut Areng kepada
800 pemilik kedai itu. Tidak lama kemudian pemilik kedai itu sudah
membawakan minuman hangat serta beberapa jajanan.
"Aku membawa kesukaan tuan, serabi dan dage
goreng", berkata pemilik kedai itu kepada Ki Ketut Areng
yang ternyata sudah sangat sering berkunjung ke
kedainya. Terlihat Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng tengah
menikmati minuman hangat serta serabi dan Dage
gorengnya. "Apa yang biasa Ki Ketut Areng lakukan selama
menunggu bahtera berlayar kembali?", berkata Mahesa
Amping kepada Ki Ketut Areng.
"Berdagang", tersenyum. berkata Ki Ketut Areng sambil "Berdagang?", bertanya Mahesa Amping keheranan.
"Di perkampungan nelayan ini ada seorang juragan
yang cukup makmur, aku akan menawarkan sebuah
keris kecil kepadanya", berkata Ki Ketut Areng.
Maka ketika bumi sudah terang tanah, Ki Ketut Areng
dan Mahesa Amping terlihat telah keluar dari kedai itu.
Terlihat mereka tengah memasuki perkampungan itu
menuju ke sebuah rumah panggung yang paling besar
yang ada di perkampungan nelayan itu.
"Selamat bertemu kembali wahai juragan besar",
berkata Ki Ketut Areng melambaikan tangannya kepada
seorang yang berwajah bundar berperawakan sedang
diatas panggung pendapanya.
"Naiklah keatas Ki Ketut", berkata orang itu kepada Ki
Ketut Areng. Terlihat Ki Ketut Areng diiringi Mahesa
801 Amping tengah menaiki anak tangga pendapa.
"Perkenalkan teman mudaku", berkata Ki Ketut Areng
memperkenalkan Mahesa Amping kepada orang itu yang
ternyata seorang yang sangat ramah.
"Namaku Mahesa Amping", berkata Mahesa Amping
memperkenalkan dirinya. "Orang-orang memanggilku Ki Sukasrana", berkata
orang itu memperkenalkan dirinya.
Setelah bercerita tentang keselamatan masingmasing, Ki Sukasrana pun bercerita tentang batu aji yang
pernah dibelinya dari Ki Ketut Areng.
"Batu aji nya telah kuikat dengan ikatan kuningan",
berkata Ki Sukasrana sambil memperlihatkan sebuah
batu cincin di jarinya yang berwarna seperti buah atap.
"Ternyata batu akik ini adem dipakainya", berkata Ki
Sukasrana yang merasa cocok dengan batu akik yang
dipakainya. "Aku membawakan untukmu sebuah keris kecil,
sebagaimana barang yang biasa kubawa, Ki Sukasrana
boleh menyimpannya dulu, bila sehari dua hari ada
kecocokan, silahkan Ki Sukasrana membelinya", berkata
Ki Ketut mengeluarkan sebuah keris kecil berwarna
emas. Sebagai seorang yang ahli pembuat berbagai
senjata, Mahesa Amping dapat mengetahui bahan apa
yang digunakan untuk pembuatan keris kecil itu, tapi
Mahesa Amping tidak menunjukkan keahliannya di
depan kedua orang itu. "Aku akan menyimpannya", berkata Ki Sukasrana
kepada Ki Ketut Areng sambil menerima keris kecil itu.
Namun belum lama mereka bercakap-cakap, terlihat
802 empat orang lelaki tengah memapah seorang yang
nampaknya telah pingsan mendekati rumah Ki
Sukasrana. "Itu anak buahku", berkata Ki Sukasrana mengenali
orang-orang yang datang. "Ada apa dengan Tole?", berkata Ki Sukasrana
kepada salah seorang yang datang memapah kawannya
itu. "Tidak sengaja kami mendapatkan ular api dijaring
kami, Tole bermaksud membuangnya, namun tiba-tiba
saja ular api itu mematuk kakinya", berkata salah
seorang yang baru datang itu.
"Bawa Tole keatas pendapa, segera panggilkan
Tabib Koneng kemari", berkata Juragan Sukasrana
kepada anak buahnya. "Sudah tiga hari ini Tabib Koneng belum pulang
mengantar istrinya ke rumah mertuanya di kampong
kidul", berkata salah seorang anak buah Ki Sukasrana.
"Badannya masih hangat, mungkin aku dapat
mengobatinya", berkata Mahesa Amping yang tanpa
disuruh telah memeriksa badan orang yang tengah
pingsan itu. Terlihat Mahesa Amping mengeluarkan belati
kecilnya dari balik pakaiannya. Dan dengan cekatan
tangan Mahesa Amping telah mengerat bagian kaki yang
terluka dipatuk ular. Dengan mimijat beberapa bagian
tubuh orang yang telah pingsan itu, dan sedikit
mengerahkan kesaktiannya, telapak tangan Mahesa
Amping menempel di bagian yang terluka itu. Tidak
begitu lama telah keluar darah hitam dari kaki yang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terluka. 803 "Racunnya telah keluar", berkata Mahesa Amping
ketika darah merah terlihat keluar dari bagian luka orang
yang pingsan itu. "Ambilkan segelas air", berkata Mahesa
Amping. Maka salah seorang anak buah Ki Sukasrana masuk
kedalam rumah, tidak lama kemudian sudah membawa
semangkuk air. ----------oOo---------JILID 09
TERLIHAT Mahesa Amping mengeluarkan sebuah
bubu bambu yang selalu dibawanya dibalik ikat
pinggangnya. Ternyata didalam bubu bambu kecil itu
berisi bubuk racikan obat. Mahesa Amping terlihat tengah
melarutkan bubuk racikan obat itu dengan air yang ada di
mangkuk. Dan dengan tangannya meneteskan air itu ke
bibir orang yang pingsan itu.
Tidak lama kemudian, terlihat wajah orang yang
pingsan itu yang semula putih pucat terlihat sudah mulai
berwarna memerah. Mahesa Amping terlihat memegang
lengan orang itu. "Denyut nadinya telah normal kembali", berkata
Mahesa Amping sambil menarik nafas lega sebagai
tanda bahwa orang yang terkena bisa racun ular api itu
dapat diselamatkan. Melihat perubahan di wajah orang yang pingsan itu,
beberapa orang yang ada di pendapa itu ikut menarik
nafas lega, merasa kawannya akan sembuh dan dapat
diselamatkan. 804 "Dimana aku?", bertanya orang yang pingsan itu
ketika membuka matanya melihat banyak orang di
sekelingnya. "Kamu baru saja selamat dari bisa racun ular api",
berkata Ki Sukasrana kepada orang yang baru siuman
itu. "Minumlah obat ini sampai habis", berkata Mahesa
Amping sambil memberikan mangkuk berisi obat
racikannya kepada orang yang baru siuman itu yang
sudah dapat duduk bersandar dinding kayu.
Terlihat orang itu meminum obat racikan di sebuah
mangkuk yang diberikan Mahesa Amping dan kembali
bersandar di dinding kayu, wajahnya terlihat semakin
segar tidak pucat lagi sebagaimana sebelumnya.
"Terima kasih anak muda, kamu telah menyelamatkan anak buahku", berkata K Sukasrana
yang melihat anak buahnya sudah menjadi lebih segar
dari sebelumnya. "Diujung barat kampung ini kulihat ada hutan kecil,
carilah jamur kayu merah di hutan itu, mudah-mudahan
penyembuhannya akan menjadi lebih cepat lagi", berkata
Mahesa Amping sambil menyebut beberapa tumbuhan
yang banyak tumbuh di sekitar perkampungan itu
sebagai bahan campuran obat.
"Aku tidak menyangka bahwa teman mudaku ini
adalah seorang tabib", berkata Ki Ketut Areng
"Aku hanya punya sedikit ilmu", berkata Mahesa
Amping merendahkan dirinya.
"Antarlah Tole ke rumahnya, jangan lupa untuk
mencarikan jamur kayu merah dan beberapa bahan
tumbuhan untuk obat", berkata Ki Sukasrana kepada
805 keempat anak buahnya untuk mengantar Tole yang
sudah dapat berdiri, meski masih sedikit lemas.
Sementara itu matahari diatas perkampungan
nelayan itu sudah cepat naik ke puncaknya, untungnya di
depan rumah Ki Sukasrana berdiri tumbuh sebuah pohon
jamblang yang berdahan dan berdaun cukup lebat
sehingga sinar matahari tidak langsung masuk
menyengat kulit di siang hari itu.
"Kalian pasti sudah sangat lapar", berkata Ki
Sukasrana sambil berdiri tersenyum.
Ternyata Ki Sukasrana masuk kedalam untuk
menengok Nyai Sukasrana yang sudah hampir selesai
menyelesaikan beberapa masakan. Ki Sukasrana telah
kembali ke pendapa menemani tamunya. Tidak lama
berselang terdengar pintu pringgitan berderit dan muncul
seorang perempuan yang ternyata adalah Nyai
Sukasrana yang sekilas masih nampak sisa-sisa
kecantikannya ketika masih muda dulu.
"Silahkan kisanak makan seadanya, hari ini kami
cuma memasak lawar, pepesan ayam dan mangut lele",
berkata Nyai Sukasrana kepada Mahesa Amping dan Ki
Ketut Areng. "Terima kasih, kami telah merepotkan nyai", berkata
Ki Ketut Areng kepada nyai Sukasrana yang hanya
tersenyum dan kembali lagi masuk kedalam menghilang
dibalik pintu pringgitan.
Dan sang waktu ternyata begitu cepat berlalu, tidak
terasa matahari sudah rebah turun sedikit ke barat. "Pintu
rumahku selalu terbuka untuk kalian", berkata Ki
Sukasrana mengantar Mahesa Amping dan Ki Ketut
Areng menuruni tangga pendapanya.
806 "Semoga di pertemuan berikutnya, buah jamblang itu
sudah banyak yang masak", berkata Mahesa Amping
menunjuk ke arah pohon jamblang di depan rumah Ki
Sukasrana. "Semoga tidak ada hambatan dalam perjalanan
kalian", berkata Ki Sukasrana dari atas pendapanya.
Demikianlah Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng
telah kembali ke Bandar kecil itu. Bahtera yang mereka
tumpangi masih terlihat merapat di sebuah dermaga.
Ketika matahari sudah berbaring diujung barat bumi,
di batas senja bahtera itu telah bertolak meninggalkan
Bandar Tanah sempit-sempit.
Sang malam terlihat begitu kelam mewarnai langit
laut selat Bali, tapi masih ada beberapa bintang sebagai
tanda bahwa hari tidak akan turun hujan.
Bahtera itu berlayar diatas hamparan laut sunyi.
Kadang terlihat kerlap-kerlip lampu centing bergoyang
diatas jukung berlayar tunggal nelayan yang tengah
mencari ikan, mereka memang terlahir sebagai nelayan,
hidup berkeluarga dan beranak pinak melahirkan para
nelayan muda di masa yang akan datang. Sebuah
kehidupan malam di tengah lautan yang begitu sunyi,
menjaring ikan untuk kehidupan keluarganya. Dan
mereka tidak pernah jemu untuk melakoninya. Adalah
sebuah kebahagiaan tak terkira manakala pulang dari
melaut membawa banyak ikan di kaping bambu. Itulah
kebahagiaan yang tidak dapat dibeli, sebagaimana
seorang petani melihat panen jagungnya.
"Besok menjelang pagi kita sudah tiba di Bandar
Buleleng", berkata Ki Ketut Areng kepada Mahesa
Amping yang tengah melihat dua orang lelaki diatas
jukungnya terapung di tengah laut malam.
807 Sementara itu angin bertiup begitu dingin, tidak
terasa bahtera telah melewati selat Bali. Di sebelah
kanan bahtera membujur gundukan tanah hitam. Itulah
Balidwipa disaat malam kelam seperti bayi raksasa yang
tengah tertidur. "Ketika bertolak dari Bandar Cangu, aku tidak
merasakan apapun. Namun manakala Bahtera sudah
mulai menyentuh pesisir Bali, hati ini seperti tersentaksentak, ingin rasanya aku terjun berenang ketepian dan
berlari pulang", berkata Ki Ketut Areng sambil menatap
pesisir tepian pantai Bali yang terlihat masih menghitam,
hanya terlihat kerlip beberapa lampu-lampu kecil berasal
dari lampu lenting rumah penduduk di tepi pantai seperti
melihat gundukan tanah hitam bertabur bintang-bintang.
"Mari duduk bersandar, malam masih sangat
panjang", berkata Mahesa Amping kepada ki Ketut Areng
yang masih berdiri memandang jauh ke tepi pesisir
pantai.Tidak lama kemudian Ki ketut Areng telah
mengikuti Mahesa Amping bersandar di dinding geladak.
Malam di atas kepala mereka seperti payung langit
raksasa, dalam kekerdilannya, bahtera sepertinya tidak
bergerak. Dan Ki Ketut Areng tidak terasa telah bergeser
rebah berbaring dan akhirnya telah tertidur. Tinggalah
Mahesa Amping yang masih terjaga bersandar di dinding
geladak. Dan tidak terasa Mahesa Amping telah bergeser
berbaring dan akhirnya ikut tertidur.
Terkejut Mahesa Amping ketika membuka matanya,
langit diatas bahtera sudah terang, ternyata sang pagi
sudah datang menjelang. "Hari sudah pagi", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Ketut Areng yang juga telah ikut terbangun.
Setelah merapikan pakaian dan ikat kepalanya,
808 terlihat Mahesa Amping berdiri dipinggir geladak
bersama Ki Ketut Areng memandang tak jemu pulau Bali
yang hijau terbungkus pohon-pohon hutan yang besar,
tinggi dan kerap rapat. Bahtera semakin merapat ke pantai mendekati
tepian. Diujung timur terlihat tiang-tiang layar bahtera
berjajar. Ke arah itulah bahtera yang ditumpangi Mahesa
Amping dan Ki Ketut Areng bergerak menghampirinya.
Bahtera itu telah hampir merapat di sebuah dermaga
kayu yang panjang, seorang lelaki terlihat dengan
beraninya melompat dari geladak sambil membawa
tambang besar. Dan ketika kakinya telah menyentuh
lantai geladak, dengan cekatan mengikat tali di sebuah
tonggak kayu. Bahtera telah merapat dan bersandar di Bandar
Buleleng yang cukup ramai sebagaimana suasana di
Bandar-bandar besar di tanah jawa.
"Terima kasih untuk tumpangannya", berkata mahesa
Amping kepada saudagar pemilik bahtera. "Tunggulah
bahtera kami bilamana kamu akan kembali ke tanah
Jawa", berkata saudagar itu kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng telah
menginjakkan kakinya di dermaga. Terlihat beberapa
orang tengah membawa kuda yang akan diangkut
berlayar, mungkin ke sebuah tempat yang jauh.
"Rumahku tidak begitu jauh dari sini", berkata ki Ketut
Areng dengan wajah begitu ceria merasakan udara
kampung halamannya sendiri. Ternyata rumah Ki Ketut
Areng memang tidak begitu jauh dari Bandar Buleleng,
hanya terpisah dengan sebuah hutan kecil.
Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng sudah mendekati
809 sebuah regol gerbang Kademangan Kabukbuk. Sebuah
Kademangan yang paling dekat dengan Bandar
Buleleng. Tidaklah aneh bila Kademangan itu cukup ramai
menjadi tempat persinggahan orang-orang Bali
pedalaman yang akan membawa berbagai dagangannya
ke Bandar Buleleng diantaranya adalah ternak kuda
sebagaimana yang mereka lihat tengah diangkut berlayar
di Bandar buleleng. Di pintu regol, Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng
disambut gembira oleh seorang gadis yang ternyata putri
tunggal Ki Ketut Areng. "Ibu masih belum pulang ke pasar", berkata gadis itu
kepada ayahnya Ki Ketut Areng.
Mahesa Amping dipersilahkan bersih-bersih di
pakiwan. Setelah itu Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng
terlihat beritirahat bercakap-cakap di rumah bambu,
sebuah bangunan yang bertiang bambu terbuka dan
terpisah dari bangunan utama.
Rumah Ki Ketut Areng memang terlihat asri, ada
beberapa tanamam bunga yang terawatt apik di halaman
dan tiga buah pohon jepung merah berdiri disisi kiri pagar
dinding batu. Tidak lama kemudian datanglah dari regol pintu
halaman seorang wanita sambil menjungjung keranjang
diatas kepalanya yang ternyata adalah Nyai Ketut Areng
yang baru pulang dari pasar.
Ki Ketut Areng memperkenalkan Mahesa Amping
kepada istrinya. Dan hari itu keluarga Ki Ketut Areng
sepertinya merayakan kebahagiaannya dengan memasak berbagai hidangan.
810 Hari itu Mahesa Amping bermalam dirumah Ki Ketut
Areng, sudah menjadi kebiasaan Mahesa Amping
bangun di awal pagi. "Wanita bali memang terbiasa melakukan kerja keras
seperti membajak sawah dan mencangkul", berkata Ki
Ketut Areng yang dapat membaca keheranan Mahesa
Amping melihat istri dan putrid Ki Ketut Areng pagi-pagi
sudah keluar rumah membawa pacul dan arit ke sawah.
"Apa kerja laki-laki Bali?", bertanya Mahesa Amping.
"Berjudi menyabung ayam", berkata Ki Ketut Areng
sambil membelai leher ayam kesayangannya yang sudah
lama ditinggalkannya. "Nikmat sekali terlahir sebagai pria Bali", berkata
mahesa Amping sambil tersenyum.
Hari itu Ki Ketut Areng mengajak mahesa Amping ke
rumah kenalannya seorang pedagang kuda, Mahesa
Amping memang sengaja meminta Ki Ketut Areng
mencarikannya seekor kuda yang baik.
"Kuda ini asli Sumbawa, beruntung aku belum


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawanya kepasar", berkata kenalan Ki Ketut Areng
seorang pedagang kuda. Malam itu bulan bersinar bulat penuh menyinari
halaman rumah Ki Ketut Areng. Semilir angin
menggoyangkan bunga dan daun kemboja di sudut
halaman rumah. Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng
terlihat masih berbincang-bincang seputar rencana
perjalanan mahesa Amping ke Puri Besakih.
"Puri Besakih hanya berjarak dua hari perjalanan
berkuda", berkata Ki Ketut Areng memberikan gambaran
arah menuju Puri Besakih. Sebagai seorang pedagang
batu aji, pengenalan Ki ketut Areng tentang berbagai
811 daerah di Tanah bali memang cukup luas.
"Puri Besakih terletak dilereng Gunung Agung,
berjalanlah mengambil arah matahari terbit disebelah
kananmu", berkata Ki Ketut Areng menambahi
penjelasanya. Sementara itu angin di depan halaman Ki Ketut
Areng semakin dingin, bunga-bunga kemboja merah
terlihat banyak berserakan.
"Saatnya beristirahat", berkata Ki Ketut Areng
mengajak Mahesa Amping beristirahat karena esok hari
akan melakukan perjalanan panjang.
Malam diatas rumah Ki Ketut Areng berlalu dalam
sunyi, hanya suara gemeriaicik air yang terdengar tiada
henti berasal dari sungai kecil disebelah rumah Ki Ketut
Areng. Dan disaat pagi sudah terang bumi, Mahesa Amping
pamit diri untuk melanjutkan perjalanannya.
"Aku berdoa untukmu, semoga tidak ada halangan
dan hambatan diperjalananmu", berkata Ki Ketut Areng
melepas keberangkatan Mahesa Amping.
Terlihat Mahesa Amping menuntun kudanya keluar
dari regol pintu halaman Ki Ketut Areng.Dan dengan
lincahnya telah melompat diatas kudanya.
"Kuda yang baik", berkata Mahesa Amping sambil
menepuk perut kudanya. Mendapat perintah dari tuan
barunya kuda itu seperti mengerti telah melangkahkan
kakinya berjalan perlahan.
"Pintu rumah kami selalu terbuka untukmu", berkata
Ki Ketut Areng sambil melambaikan tangannya.
Mahesa Amping berkuda diatas jalan Kademangan
812 yang sudah ramai orang berlalu lalang untuk pergi ke
sawah atau pergi ke pasar.Ketika telah keluar dari regol
pintu gerbang Kademangan Kabukbuk, terlihat Mahesa
Amping mengambil arah kekanan menyusuri jalan yang
sepertinya sudah mengeras, sebagai tanda sering
dilewati gerobak kuda memuat barang penuh
muatan.Sementara itu Matahari pagi mengintip dari selasela daun dan dahan pokok-pokok pohon kayu yang
tinggi menjulang disepanjang perjalanannya. Harum
tanah hutan basah yang tertiup angin begitu
menyegarkan. "Aku ingin mencoba sejauh mana kekuatan
nafasmu", berkata mahesa Amping kepada kuda barunya
sambil menjejakkan kakinya keperut kudanya.
Ternyata kuda itu adalah kuda yang pintar, tahu
perintah tuannya. Maka terlihat kuda itu telah berlari
begitu cepatnya. "Kuda pintar", berkata Mahesa Amping yang merasa
gembira dibawa kudanya berlari cepat.
Diatas puncak bukit tanah datar yang dipenuhi
ilalang, Mahesa Amping memperlambat laju kudanya.
Dihadapannya nun jauh disana terlihat sebuah gunung
berkabut di puncaknya dan berwarna biru terlihat dari
jauh. "Itulah Gunung Batur sebagaimana yang dikatakan Ki
Ketut Areng", berkata Mahesa Amping dalam hati melihat
sebuah gunung membujur tinggi dihadapannya.
Sementara itu Matahari diatas puncak bukit tanah
datar sudah berada dipuncak langit, terang menyengat
kulit. "Mari kita mencari tempat teduh", berkata Mahesa
813 Amping sambil menjejakkan kakinya di perut kudanya.
Dan kuda itu pun kembali menghentakkan empat kakinya
berlari ke arah yang diinginkan Mahesa Amping, berlari
ke arah gerumbulan hutan hijau.
Terlihat Mahesa Amping bersama kudanya seperti
membelah padang ilalang yang luas berlari menuruni
bukit ilalang. Dihadapannya menanti hutan hijau
menjanjikan keteduhan. Dan Mahesa Amping bersama kudanya terlihat sudah
memasuki hutan hijau itu, sengatan matahari di siang itu
telah berganti dengan kesejukan suasana hutan hijau
bersama harum angin segar membawa wewangian daundaun muda.
Mahesa Amping memperlambat laju kudanya,
mencoba menikmati suasana segar didalam kerindangan
hutan hijau yang lebat dipenuhi pohon-pohon kayu besar
yang menjulang tinggi. Namun pendengaran Mahesa Amping yang tajam
telah mendengar sesuatu yang aneh, sebuah suara dua
senjata beradu tidak jauh darinya. Maka Mahesa Amping
segera mempercepat lari kudanya, keingintahuannya
begitu besar untuk mengetahui apa yang telah terjadi di
balik tikungan jalan di tengah hutan itu.
Denting suara senjata beradu sudah semakin dekat,
ternyata ada sebuah pertempuran, tapi Mahesa Amping
tidak dapat membedakan siapa lawan dan siapa kawan
diantara orang-orang yang tengah bertempur.
Namun lama kelamaan Mahesa Amping dapat
membedakan dua kelompok yang sedang bertempur itu
dari pakaiannya. Satu kelompok memakai kain poleng
menutupi bagian pinggangnya, sementara kelompaok
lainnya hanya menyelendangkan kain poleng itu dileher
814 atau melintang antara leher dan dada.
Mahesa Amping melihat kelompok yang memakai
kain poleng dipinggangnya kalah jumlah, mereka hanya
sepuluh orang lelaki menghadapi sekitar lima belas orang
lawannya. Mahesa Amping melihat dua orang kelompok kain
poleng di pinggang telah keluar dari pertempuran karena
terluka cukup parah. Sebagai seorang yang mempunyai
perasaan halus, Mahesa Amping merasa kasihan kepada
kelompok berpakaian poleng dipinggangnya yang
kewalahan menghadapi kelompok yang lebih banyak.
Namun Mahesa Amping masih takut salah bertindak.
Ketika seorang lagi dari kelompok kain poleng
dipinggang terlempar dan terluka cukup parah, akhirnya
Mahesa Amping telah menemukan cara menghentikan
pertempuran itu. Terlihat Mahesa Amping turun dari kudanya dan
mengikat kudanya di sebuah batang pohon yang
tersembunyi. Mahesa Amping melangkahkan kakinya
mendekati pertempuran itu.
Ternyata diam-diam Mahesa Amping telah merapalkan salah satu kesaktiannya, sejenis ajian ilmu
Kawah aji ari-ari. Sebuah ilmu yang dapat merebut
pikiran banyak orang. Ternyata ajian sakti Mahesa Amping kali ini hanya
tertuju kepada orang-orang yang berpakaian poleng
melilit dilehernya. "Hentikan pertempuran !!!", berkata Mahesa Amping
dengan suara yang dilambari tenaga sakti menjadi
seperti menggema dan terasa menghentak dada
siapapun yang mendengarnya.
815 Seketika pertempuran itu menjadi terhenti, semua
orang menatap arah suara, menatap Mahesa Amping
yang tengah melangkah mendekati pertempuran yang
terhenti. Orang-orang yang berpakaian poleng di pinggangnya
telah melihat Mahesa Amping sebagai seorang pemuda
biasa, namun kegentaran mengisi hati mereka manakala
menangkap sorot mata yang tajam penuh ketenangan.
Sementara orang-orang yang berpakaian poleng di
leher dan seadanya terlihat melotot seperti melihat
sesosok hantu yang menakutkan.
Ternyata mereka memang melihat hantu sebenarnya,
di hadapan mereka tengah berjalan menghampiri
sesosok hantu yang berbadan tinggi sekitar dua kali
orang dewasa dengan wajah mayat pucat menakutkan
ditumbuhi dua buah gigi caling yang keluar menakutkan
dari sela-sela bibirnya. "Hantu leak !!!!"
"Hantu Leak !!!!"
Berteriak beberapa orang berpakaian poleng di
lehernya sambil berlari sekencang-kencangnya hingga
tidak terdengar lagi suara langkah mereka.
Sementara itu orang-orang berpakaian poleng di
pinggangnya merasa heran, mengapa tiba-tiba saja
semua lawannya telah berlari dengan wajah penuh
ketakutan sambil berteriak hantu leak, sebuah hantu
yang memang paling ditakuti di tanah Bali.
"Terima kasih, kedatangan anak muda telah
menyelamatkan kami dari kekalahan yang sia-sia",
berkata seorang diantara mereka yang ternyata adalah
pimpinan dari kelompoknya, "namun kami heran
816 mengapa mereka lari dalam keadaan takut", berkata
kembali orang itu penuh rasa penasaran.
"Mungkin mereka takut melihat hantu sebenarnya,
hantu yang cuma mereka yang melihatnya", berkata
Mahesa Amping sekenanya sambil tersenyum.
Pemimpin orang-orang itu tidak mendesak Mahesa
Amping mengatakan yang sebenarnya, namun di hati
kecilnya pasti anak muda itu telah melakukan sesuatu
yang membuat lawannya berlarian meninggalkan
pertempuran. "Apapun yang anak muda telah lakukan, kami
sebagai orang berbudi tidak lupa mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga", berkata pimpinan itu."Bolehkah
kami mengetahui namamu wahai anak muda", berkata
kembali pimpinan orang-orang itu.
Mahesa Amping dapat mengukur seseorang lewat
tutur katanya, dan Mahesa Amping merasa berhadapan
dengan orang-orang dari golongan baik dan berbudi.
"Namaku Mahesa Amping, kebetulan aku lewat hutan
ini ketika kalian sedang bertempur", berkata Mahesa
Amping menyampaikan jati dirinya.
"Pasti anak muda bukan orang asli Bali, karena
semua orang telah mengenal kami sebagai rombongan
kesenian Jagur, orang-orang Bali memanggilku dengan
sebutan Ki Dalang Bancak", berkata pimpinan orangorang itu memperkenalkan dirinya bernama Ki Dalang
Bancak. Mahesa Amping termangu-mangu, baru menyadari
bahwa dirinya berhadapan dengan sebuah rombongan
kesenian dan memang melihat ada seperangkat alat
gamelan di sekitar mereka.
817 Sementara itu dari sebuah gerumbul semak-semak
keluar dua orang gadis dengan wajah masih diliputi sisasisa ketakutan.
"Mereka adalah dua orang putri kami", berkata Ki
Dalang kepada Mahesa Amping yang memandang
sebentar kedua gadis itu yang baru saja keluar dari
tempat persembunyiannya. "Bolehkah aku memeriksa tiga orang kawan kalian
yang terluka?", berkata Mahesa Amping sambil
melangkah mendekati tiga orang yang terluka yang
sedang dipapah oleh beberapa orang.
"Silahkan", berkata Ki
mengiringi Mahesa Amping.
Dalang Bancak sambil "Kebetulan aku membawa obat pemampat darah,
bubuhkanlah bubuk obat ini di tempat yang terluka",
berkata Mahesa Amping kepada salah seorang anak
buah Ki Dalang Bancak. Ternyata obot bubuk pemberian Mahesa Amping
sangan manjur, luka-luka dari ketiga orang itu dalam
waktu cepat sudah tidak mengeluarkan darah lagi.
"Ternyata anak muda adalah seorang tabib", berkata
Ki Dalang Bancak kepada Mahesa Amping.
"Aku bukan seorang tabib, hanya punya sedikit
pengetahuan tentang pengobatan", berkata Mahesa
Amping merendah. "Anak muda pasti seorang pengembara dari tempat
yang jauh, sebentar lagi malam akan menjelang. Sebuah
kebahagiaan bilamana anak muda mampir bermalam di
Padukuhan kami yang tidak jauh dari hutan ini", berkata
Ki Dalang bancak menawarkan kepada Mahesa Amping
untuk singgah di Padukuhannya..
818 "Hari memang akan menjelang malam, tawaran ki
Dalang Bancak sebuah kehormatan, aku tidak berani
menolaknya", berkata Mahesa Amping kepada Ki Dalang
Bancak. Ki Dalang Bancak diam-diam mengagumi Mahesa
Amping, "Seorang anak muda yang santun", berkata Ki
Dalang Bancak didalam hatinya melihat dan tutur kata
Mahesa Amping yang teratur dan santun.
Terlihat sebuah iring-iringan kecil menyusuri jalan
hutan di penghujung senja itu. Mahesa Amping terlihat


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuntun kudanya berjalan beriringan dengan Ki Dalang
Bancak. Sambil berjalan, Ki Dalang bancak bercerita asal
muasal terjadinya pertempuran. Diceritakan oleh Ki
Dalang Bancak bahwa mereka baru saja pulang dari
sebuah acara potong gigi di sebuah padukuhan
Buleleng. "Orang-orang yang menyerang kami adalah anak
buahnya saudagar Made Ontrak yang kaya raya namun
tidak pernah puas dengan seorang istri. Beberapa hari
yang lalu telah mengutus anak buahnya melamar salah
seorang putriku, namun dengan tegas kutolak
lamarannya. Karena kami punya adat istiadat yang
berbeda, beristri lebih dari satu wanita adalah sebuah
perbuatan tabu", berkata Ki Dalang Bancak bercerita
sepanjang perjalanannya. "Jadi hari ini anak buah Made Ontrak bermaksud
membawa pergi putri putri Ki Dalang?", berkata mahesa
Amping yang sudah mulai mengerti apa sebenarnya
yang telah terjadi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Dalang Bancak,
Padukuhan mereka memang tidak jauh lagi dari hutan
819 tempat dimana mereka bertempur.
Terlihat iring-iringan itu telah memasuki gerbang
padukuhan, berjalan di atas jalan tanah yang rata.
Terlihat rumah-rumah penduduk dipadukuhan itu yang
berjejer rapi, terbuat dari kayu jati yang sudah
dihaluskan. Di halaman muka mereka masing-masing
mempunyai sebuah pura pemujaan dan dapat dipastikan
setiap halaman menanam dua atau tiga pohon jipun.
"Inilah gubukku", berkata Ki Bancak berhenti dimuka
sebuah rumah yang sangat berbeda dibandingkan
rumah-rumah yang ada disekitarnya, rumah itu nampak
lebih luas, disisi kanannya terlihat sebuah sanggar
dengan empat buah tiang terukir dan sebagai bangunan
terbuka. Beberapa orang berpamit kerumahnya masing-masing.
diri untuk kembali "Besok aku akan kerumah tiga orang kawanmu yang
sakit, ada beberapa racikan yang akan kuberikan kepada
mereka", berkata Mahesa Amping kepada orang-orang
yang berpamit kepada Ki Dalang Bancak untuk kembali
kerumah mereka. "Silahkan masuk kerumah kami", berkata Ki Dalang
Bancak mempersilahkan Mahesa Amping masuk ke
rumahnya. Sementara itu hari sudah menjelang malam ketika
Mahesa Amping bersama Ki Dalang Bancak dan kedua
putrinya memasuki regol halaman muka.
"Pura Besakih adalah pancer dari Sembilan pura
yang ada di tanah bali ini.Jadi penguasa pura Bali adalah
penguasa Tanah Bali", berkata Ki Dalang Bancak
bercerita tentang Pura Besakih ketika Mahesa Amping
820 mengatakan tujuannya ke Bali kali ini mengarang cerita
telah ditugaskan oleh gurunya melakukan pendarmaannya di Pura Besakih.
"Penguasa Pura Besakih memperlakukan diri sebagai
paramasiwa", berkata Mahesa Amping menanggapi
cerita Ki Dalang Bancak. "Nenek moyang kami mempunyai kepercayaan
bahwa pusat bumi ada di Bali", berkata Ki Dalang
Bancak. Mendengar penyataan terakhir dari Ki Dalang
Bancak, pikiran Mahesa Amping jauh melambung,
didalam hatinya mengagumi nalar budi Maharaja
Kertanegara tentang Tanah Bali.
"Ternyata Maharaja Kertanegara mempunyai pandangan yang jauh, kekuatan dan kepercayaan warga
tanah Bali adalah sebuah ancaman bagi perkembangan
Singasari di masa yang akan datang", berkata Mahesa
Amping dalam hati menyatukan cerita Ki Dalang Bancak
dengan tugas yang diemban dari Maharaja Singasari.
"Orang luar tidak ada yang menyadari kekuatan
Tanah Bali bila bersatu padu, bayangkan sebuah bala
prajurit yang besar dengan cepat dapat terwujud
bilamana seluruh pecalang disetiap padukuhan
dikumpulkan", berkata Ki Dalang Bancak menyampaikan
rahasia kekuatan Tanah Bali yang sebenarnya.
"Berapa orang pecalang disetiap padukuhan ?",
bertanya Mahesa Amping "Bisa mencapai tiga puluh orang, bahkan bisa lebih
tergantung jumlah warga disetiap padukuhan", berkata Ki
Dalang menjawab pertanyaan Mahesa Amping.
"Akan menjadi sebuah kekuatan yang besar bila
seluruh pecalang bersatu di Tanah Bali ini", berkata
821 Mahesa Amping membenarkan ucapan Ki Dalang
Bancak. "Menghindari pertempuran terbuka", berkata Mahesa
Amping dalam hati yang diam-diam membuat sebuah
rancangan bagaimana seharusnya menguasai Tanah
Bali. "Empat hari lagi adalah bulan purnama sasih kedasa,
semua penduduk tanah Bali akan berduyun-duyun
menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan di Pura
Besakih dalam upacara Batara turun Kabeh", berkata Ki
Dalang Bancak kepada Mahesa Amping.
"Artinya kita dapat bertemu kembali di Pura Besakih",
berkata mahesa Amping. "Bila kamu mengundurkan sehari dua hari
perjalananmu, kita dapat berangkat bersama ke pura
Besakih", berkata Ki Dalang bancak.
"Kebetulan aku punya keperluan lain, harus
berangkat esok pagi", berkata mahesa Amping berusaha
mengelak untuk pergi bersama untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan dikemudian hari, terutama
berkaitan dengan tugas delik sandinya yang seharusnya
menghindari hubungan langsung dengan orang
kebanyakan. Sementara itu terdengar pintu pringgitan berdenyit,
terlihat salah seorang putri Ki dalang Bancak keluar dari
pintu pringgitan itu sambil membawa sebuah kendi tanah
liat. "Masih ada sisa minuman brem untuk menghangatkan pembicaraan kalian", berkata gadis itu sambil
tersenyum dan kembali lagi menghilang dibalik pintu
pringgitan. 822 "Istriku sudah lama meninggal, di rumah ini kami
cuma bertiga", berkata Ki Dalang Bancak yang
sepertinya dapat membaca pikiran Mahesa Amping yang
sejak kedatangannya tidak melihat adanya seorang ibu
dirumah itu. "Jadi Ki Dalang Bancak seorang duda?", berkata
Mahesa Amping. "Khusus di Kademangan ini kami memegang adat
untuk tidak beristri lebih dari satu, kami hanya melakukan
upacara perkawinan satu kali untuk seumur hidup",
berkata Ki Dalang Bancak menjelaskan tentang hukum
adat istiadatnya. "Apakah ada hukuman bilamana melanggar adat
itu?", bertanya Mahesa Amping.
"Kami punya tempat khusus, sebuah tempat
pengasingan untuk mereka yang melanggar aturan adat
itu", berkata Ki Dalang Bancak menjawab pertanyaan
Mahesa Amping. Sementara itu seteguk demi seteguk brem didalam
kendi tanah liat itu tidak terasa sudah semakin tiris,
bersama dengan surutnya cahaya bulan yang masih
belum bulat sempurna bergeser ke barat.
"Saatnya beristirahat, tidak terasa malam sudah jauh
larut", berkata Ki Dalang bancak menawarkan Mahesa
Amping untuk beristirahat.
Demikianlah akhirnya Mahesa Amping bermalam di
bilik yang telah disediakan. Dipembaringan pikiran
Mahesa Amping terus berpikir, terutama tentang
pecalang yang terdapat di setiap Padukuhan
sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Dalang Bancak.
"Mungkinkah penguasa Bali diam-diam telah 823 membangun sebuah kekuatan?",
Amping dalam hati. bertanya Mahesa Mahesa Amping masih juga memejamkan matanya, pikirannya
terbayang beberapa peperangan disaksikannya, suara senjata beradu,
darah berceceran dimana-mana,
memilukan. belum dapat semakin jauh, yang pernah teriakan kasar, suara rintihan "Dalam suasana perang, manusia seperti lupa akan
persaudaraan, lupa sebagai sesama makhluk yang
seharusnya saling menyayangi, rasa kasih telah hilang
menjadi rasa dendam dan haus darah. Dalam Susana
peperangan manusia seperti binatang buas dihutan,
bahkan lebih buas dari binatang buas sekalipun", berkata
Mahesa Amping dalam hati ketika bayangan peperangan
telah muncul kembali menemui alam pikirannya.
"Sri Maharaja Singasari bertekat memperluas
kerajaannya sebagai pendarmaan siwa budha,
sementara penguasa Bali merasa berdiri sebagai pusat
bumi sebagai paramasiwa", berkata Mahesa Amping
dalam hati sambil tersenyum.
"Puji syukur kehadiratmu wahai Gusti sang Hyiang
Jagat bumi yang selalu menjaga hati ini, telah kau
cerahkan hati ini dari kesalahan yang terkecil, pengakuan
atas diri ini", berkata Mahesa Amping dalam hati yang
telah menemukan sebuah hakekat hati, Dewata nawa
sanga adalah pekerjaan hati, milik Sang Hyiang Jagat
Raya, tersesatlah jalan para yogi yang mencari nirwana
didalam dunia fana. Akhirnya Mahesa Amping telah kembali dalam
kesadaran pikirannya, menghadirkan dan menyatukan
akal budinya, menyerahkan hatinya kepada Gusti Sang
824 Maha Karsa yang membawanya kedalam alam
ketiadaan, alam kesunyatan. Terlihat nafasnya begitu
teratur, nyaris tak terdengar.
Akhirnya, sang pagi telah datang. Ditandai dengan
suara kokok ayam jantan yang terdengar sayup-sayup
dari tempat yang sangat jauh saling bersahutan hingga
akhirnya begitu jelas terdengar dari belakang rumah Ki
Dalang bancak. Sebagaimana yang dijanjikan, Mahesa Amping pagi
itu diantar sendiri oleh Ki Dalang Bancak menemui tiga
orang yang kemarin terluka. Mahesa Amping telah
memberikan mereka obat dari beberapa tetumbuhan
yang ada disekitar Padukuhan itu.
"Racikan obat ini berguna untuk pemulihan", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Dalang bancak ketika
mengunjungi salah satu dari orang yang terluka.
Ketika hari telah terang bumi, matahari sudah
merayap diatas cakrawala, Mahesa Amping mohon pamit
diri untuk melanjutkan perjalanannya.
"Senang berkenalan dengan kalian", berkata Mahesa
Amping sambil melompat diatas kudanya.
"Pintu rumahku selalu terbuka untukmu anak muda",
berkata Ki Dalang Bancak melepas keberangkatan
Mahesa Amping yang telah berada diatas kudanya.
"Aku akan merindukan brem hangat Ki Dalang
Bancak", berkata Mahesa Amping sambil menepuk perut
kudanya. Terlihat kuda Mahesa Amping perlahan berjalan di
sepanjang jalan Padukuhan diiringi tatap mata Ki Dalang
dan dua orang putrinya sampai akhirnya Mahesa Amping
dan kudanya menghilang disebuah tikungan jalan.
825 "Menurut ayah, apakah pemuda itu masih
layang?",bertanya putri tertua dari Ki Dalang Bancak.
"Aku lupa menanyakannya", berkata Ki Dalang
Bancak tidak tahu maksud dan arah pertanyaan putrinya.
"Kenapa ayah tidak menanyakannya?", berkata sang
putri kembali "Bila bertemu kembali, pasti kutanyakan", berkata Ki
Dalang tersenyum mulai menangkap maksud dan arah
pertanyaan putrinya. Sementara itu Mahesa Amping bersama kudanya
telah keluar dari regol gerbang padukuhan, melewati
bulakan panjang dan hutan bambu.
Segerombolan burung manyar terlihat bermain diatas
sebuah rumpun bambu, mungkin dibatang-batang bambu
itu banyak serangganya. Sementara itu seekor kadal
berlari terusik langkah kaki kudanya.
Langit diatas hutan bambu itu begitu cerah,


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerumbul awan berwarna kapas dilangit biru dalam
cahaya matahari yang terus mendaki merayap diatas
cakrawala. Gemericik suara air dari sungai kecil di hutan bambu
itu sepertinya memanggilnya, Mahesa Amping terlihat
telah turun dari kudanya, memberikan kesempatan
kudanya beristirahat meneguk sepuasnya air jernih yang
mengalir di sungai berbatu di hutan bambu itu dan
membiarkan kudanya memamah rerumputan yang
tumbuh di sepanjang sungai kecil itu.
Matahari sudah berada diatas puncak cakrawala,
namun kerimbunan hutan bambu dan semilir angin di
siang itu telah memberikan keteduhan. Di sebuah batu
besar Mahesa Amping terlihat bersandar menunggu
826 kudanya yang masih terus memamah rumput-rumput
muda yang segar. Namun tiba-tiba saja Mahesa Amping mencium
sebuah harum daging bakar yang sangat menggoda.
Keingintahuannya telah memaksanya berdiri dan
berjalan menghampiri kudanya. Terlihat Mahesa Amping
telah berjalan menuntun kudanya tengah mencari
sumber aroma daging bakar yang begitu menggoda.
Mahesa Amping telah menemukan sumber aroma itu,
dihadapannya terlihat seorang tua tengah memanggang
dua ekor ayam hutan. Terperanjat Mahesa Amping melihat wajah orang tua
itu, sebuah wajah yang sangat dikenalinya.
"Empu Nada!!", berteriak Mahesa Amping merasa
gembira di tempat yang asing ini dapat bertemu dengan
orang yang dikenalnya. Orang tua yang dipanggil Empu Nada itu mengangkat
wajahnya, menatap Mahesa Amping penuh selidik.
"Orang yang kamu sebut itu adalah saudaraku, bahagia
diriku mendengar kembali nama saudaraku yang telah
lama tidak kuketahui rimbanya", berkata orang tua itu.
Mahesa Amping menatap wajah orang tua itu dengan
lebih teliti, memang sangat mirip dengan Empu Nada
yang dikenalnya. "Apakah orang tua dihadapanku
saudara kembar Empu Nada yang bernama Empu
Dangka?", bertanya Mahesa Amping penuh kehati-hatian
takut salah mengenal orang.
"Ternyata saudara kembarku telah bercerita tentang
diriku kepadamu, pasti kamu sangat dekat dengannya.
Benar Anakmas, namaku adalah Bratadangkadewa,
saudara kembar orang yang anakmas kenal yang
827 bernama Bratanadadewa", berkata orang tua itu yang
ternyata adalah Empu Dangka.
"Namaku Mahesa Amping, senang dapat berjumpa
dengan saudara kembar Empu Nada", berkata Mahesa
Amping memperkenalkan dirinya.
"Mari duduk bersama, seekor ayam hutan ini
memang untukmu", berkata Empu Dangka penuh
senyum keramahan. "Jadi Empu Dangka memang sengaja menungguku
disini?", bertanya mahesa Amping.
"Benar, aku sudah melihat bagaimana kamu
menakut-nakuti orang-orang yang tengah bertempur",
berkata Empu Dangka sambil menyerahkan seekor ayam
panggang yang sudah matang kepada Mahesa Amping.
"Terima kasih", berkata Mahesa Amping sambil
menerima ayam panggangnya.
Maka kedua orang yang baru bertemu itu terlihat
tengah menikmati ayam hutan bakar.
"Ayam bakar yang nikmat", berkata Mahesa Amping.
"Rasa laparlah yang membuat kenikmatan ayam
bakar itu", berkata Empu Dangka.
Ketika mereka telah menyelesaikan makan siang
yang nikmat itu, Mahesa Amping memulai pertanyaannya. "Ketika kami pulang dari Tanah Madhura bersama
Pangeran Kertanegara, kami tidak menemui Empu
Dangka di Hutan Porong, kemanakah Empuh ketika itu",
bertanya Mahesa Amping. "Aku memang tidak pernah betah hidup dalam satu
tempat, ketika itu aku telah melanglang buana mengikuti
828 langkah kaki, ternyata langkah kakiku membawaku ke
Balidwipa ini", berkata Empu Dangka menjelaskan
kemana dirinya setelah dari hutan Porong tempat
terakhirnya bersama Pangeran Kertanegara.
"Ada berita gembira, Pangeran Kertanegara telah
menjadi Maharaja Singasari", berkata Mahesa Amping
diam sebentar melihat kegembiraan diwajah Empu
Dangka. "Berita yang lebih menggembirakan lagi adalah
bahwa Empu Bratanaddewa telah dikukuhkan oleh Sri
baginda Maharaja Kertanegara untuk menjadi Gurusuci
pendeta istana", berkata Mahesa Amping melanjutkan.
"Sebuah berita yang sangat menggembirakan",
berkata Empu Dangka sepertinya merasa bahagia
mendengar dua kabar yang sangat membahagiakannya
itu. "Ternyata Empu Dangka tidak pernah keluar dari
Balidwipa ini hingga ketinggalan kabar tentang
perkembangan Singasari", berkata mahesa Amping.
"Benar, di Balidwipa ini hatiku ini seperti telah
kepincut, aku seperti telah menemukan rumahku sendiri",
berkata Empu Dangka menyampaikan perasaan hatinya
tentang pulau Dewata. "Aku baru beberapa hari di Balidwipa ini, apa yang
membuat Empu Dangka kerasan di Balidwipa ini",
berkata dan bertanya Mahesa Amping.
"Para pendahulu, penetap pertama di Balidwipa ini
ternyata telah menata Balidwipa dengan apiknya",
berkata Empu Dangka. "pengembaraan jiwaku sepertinya
tidak pernah terpuaskan, setiap saat jiwaku sepertinya
telah meneguk pengetahuan baru, mengenal alam baru
setiap kali mendaki setiap pura yang ada di bali Dwipa ini
yang ternyata ditata begitu apik dan serasinya mengikuti
829 alam dan tempatnya berdiri berdasarkan tuntunan
Dewata Nawa Sanga, Sembilan penguasa disetiap
penjuru angin dengan satu pancer di pura Pusering
Jagad", berkata Empu Dangka.
"Jadi yang menjadi pancer adalah Pura Pusering
Jagad, bukan Pura Besakih?", bertanya Mahesa Amping.
"Itulah yang amat kusayangkan, penguasa di Pura
Besakih telah mencoba menggeser kedudukan pancer
yang sudah ditetapkan oleh pendahulunya", berkata
Empu Dangka. "Dampak apa yang dapat terjadi bilamana
pergeseran dan perubahan tempat itu terjadi?", bertanya
Mahesa Amping "Keserasian dan keselarasan di bumi ini akan
terganggu, akan timbul berbagai kekacauan yang
berujung kepada peperangan antara para penguasa
Pura", berkata Empu dangka.
"Balidwipa ini begitu dekat dengan Kerajaan
Singasari, kekakacauan di balidwipa akan mempengaruhi
tatanan dan kemapanan di Tanah Singasari", berkata
Mahesa Amping mencoba menilai dan mengungkapkan
wawasannya. "Anakmas benar, kekacauan di Balidwipa dapat
mempengaruhi kemapanan Singasari", berkata Empu
Dangka membenarkan pandangan Mahesa Amping.
"Apakah ada usaha dari para penguasa selain
penguasa pura Besakih untuk mengingatkannya?",
bertanya Mahesa Amping. "Mereka merasa tidak mampu menandingi kesaktian
penguasa Pura Besakih yang bernama Adidewa
Lamcana", berkata Empu dangka.
830 Sebagai seorang yang tengah bertugas sebagai
seorang delik sandi, Mahesa Amping memang sangat
berhati-hati. Mahesa Amping telah dapat membaca di
pihak mana Empu Dangka berada. Maka akhirnya
Mahesa Amping bercerita tentang rencana dan tugas
yang tengah diembannya saat ini dari Sri Baginda
Maharaja Kertanegara. "Aku berpihak kepada junjunganmu Sri Baginda
Maharaja Kertanegara, semoga pencerahan hatinya
terus bercahaya, memuliakan keinginnya mengembalikan
tatanan dan keserasian Balidwipa", berkata Empu
Dangka menyampaikan persetujuannya.
"Aku yang muda mohon petunjuk dari Empu Dangka",
berkata Mahesa Amping. "Dengan senang hati", berkata Empu Dangka penuh
senyum. "Dimana Empu Dangka bertempat tinggal selama di
Balidwipa ini?", bertanya Mahesa Amping.
"Dibawah cakrawala langit, dihamparan bumi yang
luas", berkata Empu Dangka sambil tersenyum.
"Pengembara sejati", berkata Mahesa Amping.
"Mengikuti kemana langkah kaki", berkata Empu
Dangka. "Termasuk juga mengikuti dan menunggu kehadiranku disini", berkata Mahesa Amping.
"Aku hanya ingin mengenal seorang pemuda yang
telah menguasai ajian Kawah aji ari-ari", berkata Empu
Dangka sambil tersenyum. "Artinya semalaman Empu Dangka menungguku di
hutan bambu ini", berkata mahesa Amping.
831 "Sekedar mengikuti kata hati, mengenalmu lebih
dekat", berkata Empu Dangka menyampaikan perasaannya saat itu. "Kata hati itulah yang telah mempertemukan kita",
berkata Mahesa Amping. Sementara itu tidak terasa matahari telah beranjak
bergeser kebarat mengintip dari sela-sela batang dan
daun bambu. "Kita menanti hari upacara Dewata Turun Kabeh di
tempat yang paling dekat, diperkampungan para
pemburu", berkata Empu Dangka setelah mendengar
rencana Mahesa Amping untuk mengunjungi Pura
Besakih. "Kupercayakan diri ini bersama pemandu terbaik di
pulau dewata", berkata Mahesa Amping sambil
menuntun kudanya mengikuti langkah kaki Empu
Dangka. "Dihadapan kita adalah hutan Trunyam, perkampungan para pemburu ada ditengah hutan
Trunyam itu", berkata Empu Dangka sambil menunjuk
sebuah hutan lebat dihadapan mereka.
Hutan Trunyam yang lebat itu dibatasi padang ilalang
yang luas yang kadang diselingi batu karang gundul
berkapur yang dipenuhi lumut dan jamur.
Diujung senja Mahesa Amping dan Empu Dangka
baru sampai di bibir hutan Trunyam itu. Terlihat Mahesa
Amping dan Empu Dangka telah masuk kedalam hutan
Trunyam itu menghilang ditelan kegelapan hutan diujung
senja saat sinar matahari begitu lemah cahayanya tidak
mampu menembusi lorong-lorong gerumbul pepohonan
yang kerap dan lebat di hutan Trunyam itu.
832 "Orang di Tanah Jawa takut berjalan dimalam Jum"at
Kliwon, sementara itu di Balidwipa yang ditakuti adalah
malam Rabu Wage", berkata Empu Dangka ketika
mereka telah masuk lebih dalam lagi di kegelapan hutan
Trunyam. "Bukankah hari ini adalah Malam Rabu Wage?",
berkata mahesa Amping yang menyadari bahwa hari itu
adalah malam Rabu Wage. "Apakah hatimu telah diliputi perasaan takut?",
bertanya Empu Dangka. ?""-oOo?"?"Urat takutku sudah putus, apalagi berjalan bersama
Empu Dangka", berkata Mahesa Amping yang
tersenyum, namun senyumnya tidak terlihat tertutup
keremangan hutan Trunyam.
Terlihat Mahesa Amping dan Empu Dangka telah
memasuki hutan Trunyam lebih dalam lagi. Ternyata
Empu Dangka sepertinya telah mengenal jalan-jalan
setapak di hutan itu. Sambil menuntun kudanya Mahesa
Amping mengikuti langkah kaki Empu Dangka.
Sementara itu hari telah menjadi malam, suasana
didalam hutan itu menjadi begitu gelap.
"Apakah kamu mencium bau kemenyan?",bertanya
Empu Dangka "Benar, bau kemenyan itu semakin sangat dan
keras", berkata Mahesa Amping.
"Bau kemenyan itu berasal dari pohon menyan yang
banyak tumbuh dihutan ini, terutama di tempat


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemakaman para suku Trunyam itu", berkata Empu
833 Dangka menjelaskan sumber bau kemenyan itu yang
ternyata berasal dari pohon menyan yang banyak
tumbuh di hutan itu. "Kepercayaan mereka berbeda
dengan penduduk umumnya di Tanah Bali ini, dan
mereka tidak mengabukan jenasah saudaranya, tapi
meletakkannya secara utuh di pemakaman khusus
dibawah pohon kemenyan yang banyak tumbuh dihutan
ini", berkata kembali Empu Dangka yang sepertinya
begitu mengenal kehidupan para suku Trunyam.
"Meletakkan begitu saja sebuah mayat?", bertanya
Mahesa Amping tidak mengerti dan baru mendengar
sebuah cara pemakaman yang aneh.
"Kelak kamu akan menyaksikannya sendiri", berkata
Empu Dangka yang terus melangkah berjalan.
Kita tinggalkan dulu Mahesa Amping dan Empu
Dangka yang tengah berjalan didalam hutan Trunyam.
Kita mendahului mereka melihat dari dekat keadaan
perkampungan suku Trunyam.
Suku Trunyam umumnya adalah para pemburu,
mereka menggantungkan kehidupan mereka di hutan
Trunyam secara turun temurun, merekalah penduduk asli
Balidwipa sebenarnya. Pada saat itu mereka hanya terdiri dari tujuh puluh
kepala keluarga yang tinggal di hutan Trunyam,
beberapa orang asli suku trunyam ada juga yang telah
keluar dan membaur dengan penduduk luar menjadi
petani atau sebagai pedagang sebagaimana umumnya
penduduk Balidwipa. Rumah-rumah mereka sangat sederhana dari kayu
yang masih kasar dengan atap yang terbuat dari alangalang kering. Namun kerukunan dan keguyupan diantara
mereka sangat mengagumkan, mereka seperti keluarga
834 besar yang saling tolong menolong. Mereka mempunyai
lumbung bersama dan juga berburu bersama untuk
dinikmati dan dimakan bersama.
Sudah dua pekan ini para warga suku Trunyam
merasakan kegelisahan dan kegundahan. Dua pekan
lalu warga suku Trunyam ini geger dengan hilangnya
sebuah mayat dari salah satu saudara wanita yang mati
secara tidak wajar, mati gantung diri.
Kejadiannya bertepatan di malam Rabu Wage atau
malam buda cemeng, sebuah malam yang sangat
dikeramatkan oleh orang Bali pada umumnya
sebagaimana orang jawa mengkramatkan Malam Jumaat
Kliwon. Malam itu hari belum larut malam, beberapa
lelaki suku Trunyam masih belum tidur diluar rumah
mereka. Terjadilah sebuah pemandangan yang begitu
menakutkan, mereka melihat dengan mata kepala sendiri
sebuah keranda berjalan sendiri, seperti melayang
terbang terbawa angin. Mereka umumnya adalah para
lelaki pemberani, tapi melihat sebuah keranda yang
berjalan sendiri telah menggugurkan keberanian mereka,
dua dari lima orang lelaki yang tengah berbincangbincang diluar rumahnya itu seperti tidak bisa bergerak,
tubuhnya seperti kaku dengan perasaan penuh
ketakutan yang sangat. Sementara seorang lelaki lainnya bukan hanya tidak
bisa bergerak, tapi juga langsung terkencing-kencing
membasahi pakaian bawahnya.
Pada keesokan harinya terjadi kegemparan melanda
para suku Trunyam, mereka telah kehilangan mayat
perempuan yang telah meninggal dua hari yang lalu, mati
dalam ketidakwajaran, mati dengan jalan bunuh diri.
835 Mereka pun telah menyatukan kehilangan mayat itu
dengan cerita tentang sebuah keranda bambu yang
berjalan terbang sendiri.
"Mungkin hantu Leak yang membawa pergi Wariga
Alit", berkata salah seorang suku Trunyam menyebut
hantu Leak dan nama mayat gadis yang hilang itu.
Semua orang akhirnya berpikir sama, mempercayai
bahwa Wariga Alit dibawa Hantu Leak. Dan sejak itu
warga suku Trunyam merasa gelisah, takut bila hantu
Leak itu akan datang mengambil mayat lainnya, mayat
saudara mereka yang diletakkan begitu saja dibawah
pohon Menyan. Dan hari ini adalah malam Rabu Wage, malam buda
cemeng, hari dua pekan yang lalu mereka kehilangan
mayat saudara perempuan mereka.
Malam itu memang sangat dingin, cahaya bulan yang
belum bulat penuh meremangi malam gelap di
perkampungan suku Trunyam. Suara srigala terdengar
mengaung panjang sayup menambah keseraman dan
kegelisahan orang-orang suku Trunyam yang masih
belum dapat memejamkan mata meski dari awal malam
sudah naik kepembaringannya.
Tidak ada satupun lelaki suku Trunyam yang keluar
rumah dimalam itu, namun ternyata masih ada satu lelaki
yang tidak percaya dengan cerita keranda yang terbang
meluncur sendiri. Lelaki itu bernama Ki Tolu Cemeng, kepala Suku
Trunyam ayah Wariga Alit, mayat gadis yang hilang itu.
Terlihat Ki Tolu Cemeng tengah bersembunyi diatas
sebuah pohon ambon didepan rumahnya yang berbatang
besar dan bercabang banyak. Sejak awal malam Ki Tolu
836 Cemeng sudah berada diatas pohon itu. Firasatnya
mengatakan di malam itu akan menemui kembali
keranda mayat yang menghebohkan warganya itu.
Ternyata firasat Ki Tolu Cemeng sangat kuat, yang
sangat dinantikannya itu ternyata datang kembali.
?""-oOo?""Di keremangan malam yang sunyi, dari atas dahan
pohon ambon, Ki Tolu Cemeng melihat sebuah keranda
yang tertutup kain panjang seperti terbang meluncur
sendiri tanpa ada yang mengusungnya.
Ketika keranda itu telah melewati pohon ambon, Ki
Tolu Cemeng perlahan turun dari pohon langsung
mengikuti dari belakang keranda yang meluncur sendiri.
Tidak terlihat sedikit pun rasa takut diwajahnya, Ki Tolu
Cemeng terus membuntuti keranda itu.
Ternyata keranda itu menuju ke arah pemakaman.
Suara burung celepuk yang terdengar semakin
menjauh di keremangan malam yang sunyi menambah
suasana seperti dipenuhi keangkeran yang mencekam.
Tapi semua itu tidak membuat nyali Ki Tolu Cemeng
surut, bahkan semakin membuat dirinya menjadi penuh
gairah menyingkap keinginan tahuannya lebih jauh lagi.
"Seandainya yang membawa keranda itu hantu Leak,
aku akan menantangnya berkelahi", begitu tekad Ki Tolu
Cemeng berkata sendiri didalam hatinya sambil terus
membuntuti keranda itu. Akhirnya keranda itu telah sampai di tanah
pemakaman. Keranda itu sudah tidak bergerak lagi,
Bergerutuk suara gigi Ki Tolu Cemeng penuh
837 kemarahan setelah melihat sendiri apa yang ada
dihadapannya, namun Ki Tolu Cemeng berusaha
menahan kesabarannya agar dapat mengetahui apa
yang akan tejadi selanjutnya, maka Ki Tolu Cemeng telah
memilih tempat yang sangat gelap untuk bersembunyi.
Ternyata dari balik kain penutup keranda keluar
empat orang lelaki, merekalah empat hantu leak jadijadian. Mereka melempar begitu saja keranda di tanah
dekat mereka. "Hari ini kita telah membuat takut orang-orang suku
liar itu", berkata salah seorang dari keempat orang lelaki
itu. "Dua pekan lalu kita sudah membuat gundah gulana
calon mertuamu yang angkuh itu", berkata salah seorang
yang lain dari keempat lelaki itu.
"Aku belum puas sebelum orang tua itu ikut bunuh
diri", berkata seorang yang paling muda diantara
keempat lelaki itu. "Bila tidak mati bunuh diri, kita akan mebunuhnya",
berkata seorang lelaki yang pertama kali bicara,
sepertinya salah seorang pemimpin kelompok itu.
"Dengan sekali tepuk, dua pulau terlalui. Dendammu
kepada kepala suku itu akan terlaksana, dan tugas
mengusir suku Trunyam dari hutan ini juga akhirnya akan
terlaksana", berkata pemimpin mereka.
Sementara itu, di tempat yang terpisah, mahesa
Amping dan Empu Dangka telah menyaksikan semuanya
dari tempat yang tersembunyi. Mendengar pembicaraan
empat orang yang bermain hantu-hantuan bahkan
melihat dengan jelas Ki Tolu Cemeng yang tengah
bersembunyi 838 "Apakah kamu melihat ada orang yang tengah
mengintai empat hantu keranda itu?", berbisik Empu
Dangka kepada mahesa Amping.
Mahesa Amping tidak menjawab pertanyaan Empu
Dangka, hanya menganggukkan kepalanya.
Sementara itu Ki Tolu Cemeng sudah tidak tahan lagi
menguasai amarahnya yang sepertinya telah mengisi
penuh rongga ddanya. "Ketut Wuye, ternyata ini semua perbuatanmu!!",
berkata setengah berteriak melepas kemarahannya
keluar dari persembunyiannya.
Bukan main kagetnya keempat hantu leak jadi-jadian
itu. Namun melihat hanya Ki Tolu Celeng seorang diri
yang muncul dari persembunyiannya, keempat orang itu
sepertinya telah menguasai dirinya kembali.
"Sangat kebetulan sekali, Ki Tolu datang
menyerahkan nyawa", berkata lelaki yang paling muda
yang sudah dikenal oleh Ki Tolu Cemeng bernama Ketut
Wuye. "Aku bersyukur tidak jadi punya anak mantu lelaki
sepertimu", berkata Ki Tolu Cemeng penuh kebencian.
"Anak gadis Ki Tolu Cemeng mencintaiku", berkata
Ketut Wuye dengan senyum mengejek
"Kamu telah mengguna-gunainya", berkata Ki Tolu
Cemeng masih dengan penuh kebencian sambil
tangannya telah melayang menyambar wajah pemuda
itu. Tapi ternyata pemuda itu bukan orang yang mudah
dirobohkan hanya dalam satu gerakan, terlihat pemuda
839 itu telah bergeser surut bersamaan dengan itu balas
menyerang Ki Tolu Cemeng.
"Ternyata calon mertuaku sudah bosan hidup, ingin
menyusul anak gadisnya", berkata Ketut Wuye sambil
melepaskan tendangannya. Terjadilah pertempuran yang seru antara Ki Tolu
Cemeng dengan Ketut Wuye. Saling hantam dan saling
tendang. Kadang Ki Tolu Cemeng terlempar
menghantam batang pohon menyam yang banyak
tumbuh disekitar perkelahian mereka, namun dalam
serangan yang lain, Ketut Wuye yang jatuh
menggelinding di tanah. Sebuah perkelahian yang seimbang bila saja ketiga
kawan Ketut Wuye tidak ikut campur membantu. Dan
sepertinya tidak sabaran.
"Kita habisi orang tua ini", berkata seorang lelaki yang
nampaknya pemimpin kelompok ini memberI tanda
kedua orang kawannya untuk mengeroyok Ki Tolu
Cemeng. Maka kasihan sekali melihat Ki Tolu Cemeng harus
menghadapi empat orang sekaligus, beberapa pukulan
telah berhasil menerobos beberapa bagian tubuhnya.
Namun Ki Tolu Cemeng tidak sedikit pun jera dan
mundur, bahkan semakin pukulan datang bertubi-tubi
menghantam tubuhnya, semangatnya semakin bertambah, tekadnya telah bulat berkelahi sampai habis
tenaga di badan. ?""-oOo?"?"Hari ini aku bertemu empat ekor cecurut yang cuma
berani mengeroyok orang tua", berkata Ki Dangka yang
840 muncul keluar dari persembunyiannya merasa kasihan
bahwa Ki Tolu Cemeng tidak dapat berbuat banyak
menghadapi keempat pengeroyoknya.
Keempat orang pengeroyok Ki Tolu Cemeng sangat
kaget melihat ada orang yang tiba-tiba datang
mengatakan mereka sebagai empat orang cecurut.
Perkelahian untuk sementara jadi terhenti.
Namun melihat yang datang hanya seorang tua renta
yang lebih tua dari Ki Tolu Cemeng telah mengembalikan
kekagetan mereka. "Ternyata kita kedatangan macan ompong yang
bosan hidup", berkata salah seorang pimpinan mereka.
Belum habis orang itu berbicara, entah dengan cara
apa yang jelas gerakan Empu Dangka tidak dapat diikuti
oleh mata wadag. Sebuah tamparan yang keras
menghantam wajah orang itu yang langsung tersungkur
ke belakang dengan dua giginya langsung tanggal. Dari
bibirnya terlihat keluar sedikit darah segar.
Ketiga kawannya merasa pemimpinnya salah
langkah dan apa yang menimpanya hanya sebuah
kebetulan. Maka ketiganya tanpa aba-aba telah langsung
menyerang Empu Dangka dan meninggalkan Ki Tolu
Cemeng seorang diri yang merasa ada kesempatan
untuk sedikit beristirahat mengatur nafas.
Ternyata ketiga lelaki itu terlambat menyadari tengah
berhadapan dengan siapa, sebagaimana pemimpinnya,
kali ini mereka juga tanpa mengetahui bagaimana Empu
Dangka memulainya, tiba-tiba saja merasakan sebuah


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tamparan yang keras menghantam wajah mereka yang
langsung tersungkur kebelakang, masing-masing merasakan nyeri pada bagian dalam mulut mereka. Dan
begitu mereka membuka mulut, dua buah gigi depan
841 mereka telah tanggal copot dari akarnya bersama sedikit
darah dari gusi yang robek terluka.
"Apakah kalian masih punya tenaga?", berkata Empu
Dangka sambil tersenyum. "Apakah kalian masih ingin
bermain dengan macan ompong", berkata kembali Empu
Dangka. Keempat orang itu nampaknya langsung mengerti
telah berhadapan dengan orang tua yang bukan orang
sembarangan, karena dengan sekali gebrak tanpa
diketahui dengan cara apa mereka sudah tersungkur
dengan masing-masing telah tanggal gigi depan mereka.
"Ampuni kami tuan", berkata pemimpim mereka
mewakili kawan-kawannya dengan wajah penuh takut
tidak berani menatap langsung Empu Dangka.
"Aku serahkan kepada Ki Tolu Cemeng, apakah
dirinya mau memaafkan kalian", berkata Empu Dangka
yang ternyata sudah mengenal Ki Tolu Cemeng.
"Aku hanya ingin mereka mengembalikan mayat
putriku", berkata Ki Tolu Cemeng sambil menatap tajam
keempat lelaki itu, terutama pemuda yang bernama Ketut
Wuye. "Kalian dengar sendiri, cepat kalian bawa kembali
mayat yang telah kalian curi", berkata Empu Dangka
setengah membentak kepada keempat lelaki itu yang
tidak berani mengangkat wajahnya.
"kami akan segera mengembalikannya", berkata
pemimpin mereka dengan penuh rasa takut.
Sementara itu terlihat Mahesa Amping telah keluar
dari persembunyiannya, sambil menuntun kuda
mendekati Empu Dangka. Kehadiran Mahesa Amping awalnya sangat 842 mengagetkan Ki Tolu Cemeng, tapi melihat sikap Empu
Dangka yang tidak menunjukkan hal apapun, Ki Tolu
Cemeng telah menyimpulkan bahwa Mahesa Amping
adalah kawan Empu Dangka.
Singkat cerita, terlihatlah iring-iringan sebuah
keranda yang dipikul empat orang lelaki diikuti di
belakangnya Empu Dangka, Mahesa Amping dan Ki Tolu
Cemeng menuju perkampungan suku Trunyam.
Malam sudah wayah sepi uwong ketika iring-iringan
itu telah sampai di tengah kampong suku Trunyam. Ki
Tolu Trunyam membangunkan beberapa warganya.
Maka dalam waktu singkat seluruh warga suku Trunyam
telah terbangun dan bergerumbul mengerumuni keempat
lelaki bersama kerandanya.
"Ternyata keranda yang kita temui bukan hantu
sungguhan", berkata salah seorang lelaki yang dua
pekan lalu basah kuyup pakaian bawahnya melihat hantu
keranda. Sebagaimana yang diminta oleh Ki Tolu Cemeng,
keempat orang lelaki hantu jadi-jadian itu yang diiringi
hampir semua lelaki dewasa suku Trunyam pada malam
itu juga telah mengambil kembali mayat yang mereka curi
disebuah tempat dan membawanya kembali ketempatnya semula di tanah pemakaman suku
Trunyam. Setelah mengembalikan mayat anak gadis Ki Tolu
Cemeng, keempat orang lelaki itu telah diamankan
disebuah tempat dan dijaga dengan ketat agar tidak
dapat melarikan diri. "Besok pagi baru kita tanyakan, siapakah dalang di
belakang mereka", berkata Empu Dangka kepada Ki Tolu
Cemeng. 843 "Terima kasih, entah apa yang terjadi atasku bila saja
Empu Dangka tidak datang membantu", berkata Ki Tolu
Cemeng menjura kepada Empu Dangka penuh rasa
terima kasih. "Sang Hyiang Widi telah melangkahkan kakiku ke
Hutan Trunyam", berkata Empu Dangka dengan sedikit
senyumnya. Sementara itu hari sudah sampai dipenghujung
malam, langit diatas perkampungan Trunyam sudah
berwarna kelabu kemerahan sebagai tanda sang pagi
akan datang menjelang. Terlihat Empu Dangka, Mahesa Amping dan Ki Tolu
Cemeng tengah duduk diatas rumput basah di depan
rumah Ki Tolu Cemeng karena rumah mereka tidak
punya teras pendapa. Mereka masih berbincang-bincang seputar kejadian
tentang keranda jadi-jadian itu. Seorang lelaki terlihat
membawa minuman hangat kepada mereka.
?""-oOo?""Tanpa disadari langit diatas mereka sudah menjadi
terang, sinar matahari pagi sudah datang menembus
sela-sela dahan dan dedaunan yang rindang. Terlihat
beberapa wanita membawa bumbung bambu diatas
kepalanya menuju ke sebuah kedung, mungkin mereka
akan mandi dan pulangnya membawa air didalam
bumbung bambu untuk persediaan air dirumahnya.
"Kami bukan petani yang baik", berkata Ki Tolu
Cemeng ketika seorang lelaki membawakan mereka
rebusan jagung yang masih hangat.
Terlihat mereka menikmati rebusan jagung yang
844 masih hangat itu. "Air putih yang sangat segar, terasa ada sedikt rasa
manis", berkata Mahesa Amping setelah meneguk sedikit
air dari bejana bambu. "Air itu kami sadap dari bambu tua, air itulah yang
kami minum setiap pagi", berkata Ki Tolu Cemeng sambil
tersenyum kepada Mahesa Amping.
Sementara itu hari sudah terang tanah, sebagaimana
yang telah mereka sepakati semula untuk menanyakan
kepada keempat orang lelaki yang telah mereka
amankan disebuah tempat yang dijaga dengan sangat
ketat. Ki Tolu Cemeng memerintahkan beberapa lelaki suku
Trunyam untuk membawa satu persatu secara
bergantian dari keempat orang yang telah menggelisahkan kehidupan suku Trunyam.
Dengan cara seperti itu akhirnya mereka dapat
mengorek keterangan bahwa mereka sesungguhnya
hanya seorang suruhan. Dalang dibelakang mereka
ternyata seorang senapati Kuturan bernama Made
Sangaran, seorang pejabat kepercayaan Raja Adidewa
Lamcana penguasa Puri Besakih.
"Kita belum dapat mendakwa apa yang diperbuat
oleh Senapati kuturan Made Sangarans itu sebagai
perintah langsung penguasa Puri Besakih", berkata
Empu Dangka berpendapat. "Apa yang dapat aku lakukan terhadap keempat
orang suruhan itu?", bertanya Ki Tolu Cemeng kepada
Empu Dangka meminta pendapatnya.
"Melepaskannya", berkata Empu Dangka
"Melepaskannya?",
bertanya Ki Tolk Cemeng 845 meminta penjelasan dari Empu Dangka.
"Dengan melepasnya, tidak ada alasan dari
Penguasa Puri Besakih berbuat kekerasan terhadap
suku Trunyam ini", berkata Empu Dangka. "Sekaligus
sebagai bukti bahwa orang-orang suku Trunyam sebagai
manusia yang beradab, bukan suku liar sebagaimana
tanggapan mereka", berkata kembali Empu Dangka
menjelaskan pertimbangannya mengapa harus melepaskan keempat tawanan mereka itu.
"Sebuah pertimbangan yang baik, kami akan
melepaskan mereka hari ini juga", berkata Ki Tolu
Cemeng menyetujui usulan Empu Dangka.
Akhirnya pada hari itu juga mereka telah melepas
keempat tawanan mereka. Sementara itu Mahesa Amping dan Empu Dangka
masih di perkampungan Suku Trunyam. Dihari kedua
mereka baru meninggalkan perkampungan suku
Trunyam. Mahesa Amping menitipkan kudanya kepada
Ki Tolu Cemeng. "Kami akan singgah kembali", berkata Empu Dangka
kepada Ki Tolu Cemeng yang mengantar mereka sampai
dimuka jalan setapak di depan rumahnya.
"Bila kalian tidak datang singgah, kuda itu menjadi
milikku", berkata Ki Tolu Trunyam bercanda.
Pada hari itu suasana pagi telah terang tanah,
matahari pagi sudah bergeser naik menerangi
perkampungan suku Trunyam. Mahesa Amping dan
Empu Dangka sudah meninggalkan perkampungan suku
Trunyam. Terlihat mereka tengah menyusuri hutan
Trunyam kearah selatan. 846 "Kita melambung ke Timur melewati pinggang
Gunung Batur", berkata Empu Dangka kepada Mahesa
Amping "Kupercayakan langkah kakiku kepada
pemandu", berkata Mahesa Amping sambil
mengikuti langkah kaki Empu Dangka.
sang terus Di sebuah tanah tebing yang tinggi mereka berhenti
sebentar, dibawah mereka terhampar luas Danau Batur
yang indah dikelilingi gerumbul pepohonan yang rimbun
menghijau. Sebuah pesona lukisan alam yang indah,
membawa jiwa hanyut dalam ketentraman siapapun yang
memandangnya. "Sekarang aku baru mengerti, kenapa Empu Dangka
tidak pernah kembali lagi ke Jawadwipa. Balidwipa
seperti serpihan sorga yang jatuh di bumi", berkata
Mahesa Amping kepada Empu Dangka yang
menanggapinya dengan senyum penuh arti.
"Bila ada yang bertanya dimana kampung
halamanku, maka dengan bangga kukatakan Balidwipa
sebagai kampung halamanku kedua", berkata Empu
Dangka sambil memandang jauh ke arah Danau Batur
yang begitu mempesona. Matahari telah turun ke arah barat ketika mereka
menuruni lembah gunung Batur. Terlihat mereka telah
memasuki sebuah hutan lembah yang kerap.
"Setelah melewati dua gundukan bukit itu, kita sudah
ada dikaki Gunung Agung", berkata Empu Dangka
memberikan gambaran perjalanan mereka.
Demikianlah akhirnya mereka telah sampai dikaki
Gunung Agung ketika hari sudah jatuh diujung senja.
Terlihat mereka tengah memasuki sebuah padukuhan
847 kecil dikaki Gunung Agung itu.
"Kelihatannya kalian datang dari tempat yang jauh",
berkata penjaga banjar kepada Mahesa Amping dan
Empu Dangka. "Benar, kami dari tepian Buleleng bermaksud
berjiarah di Pura Besakih", berkata Empu Dangka.
"Besok kami juga akan ke Pura Besakih, mengikuti
upacara Batara Turun Kabeh", berkata penjaga Banjar
itu. Demikianlah, Mahesa Amping dan Empu Dangka
malam itu bermalam disebuah padukuhan kecil di kaki
Gunung Agung. "Kebetulan kami baru panen ketela pohon", berkata
penjaga Banjar sambil meletakkan beberapa potong
ketela rebus dan dua buah minuman hangat.
"Terima kasih, kami telah merepotkan", berkata
Mahesa Amping kepada penjaga Banjar itu yang tidak
menjawab, hanya sedikit tersenyum sebagai arti bahwa
apa yang dilakukannya adalah sebuah kewajaran.
"Cuma ini yang dapat kami berikan", berkata penjaga
Banjar itu sambil mempersilahkan Mahesa Amping dan
Empu Dangka menikmati hidangan yang telah
disediakan. "Bila ada keperluan lain, jangan sungkan
mengetuk pintu rumahku", berkata penjaga Banjar itu
ketika pamit kembali ke rumahnya.
Malam itu bulan bersinar bulat penuh bagai sinar
perawan yang siap ke pelaminan, begitulah orang-orang
tua berkata tentang sinar bulan yang indah cemerlang di
waktu purnama bulat penuh.
"Pergantian penguasa di Jawadwipa silih berganti,


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara di Balidwipa terjadi kelanggengan yang lama",
848 berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping yang
masih belum mengantuk. "Adakah sesuatu yang membuat perbedaan itu?",
bertanya Mahesa Amping "Perbedaannya terletak pada tempat kekuasaan itu
sendiri", berkata Empu Dangka
"Aku yang bodoh ini belum dapat menangkap apa
yang dimaksud dari perkataan Empu Dangka", berkata
Mahesa Amping yang masih belum menangkap
perkataan Empu Dangka. "Kekuatan penguasa Di Jawadwipa terletak didalam
istana, sementara kekuatan Balidwipa bersumber diluar
istananya", berkata Empu Dangka menjelaskan.
"Mungkinkah diluar pura ada sebuah kekuatan?",
bertanya Mahesa Amping "Para pecalang adalah salah satu contoh kekuatan
diluar pura", berkata Empu Dangka.
"Aku baru dapat mengerti", berkata Mahesa Amping.
"Penghuni Tanah Bali ini telah diikat jiwanya oleh
sebuah keyakinan bahwa kehadiran sebuah pura
merupakan sumber dan pusat segala kehidupan.
Kelangsungan kehidupan sebuah pura adalah hidup dan
matinya kehidupan mereka", berkata Empu Dangka
memberikan sebuah pandangan mengenai kehidupan
masyarakat di Tanah Bali.
"Apakah Empu Dangka tengah menggambarkan
sebuah kekuatan sarang lebah?", berkata Mahesa
Amping. "Seperti itulah bila saja dapat digambarkan
kekuasaan sebuah pura atas masyarakat di sekitarnya",
849 berkata Empu Dangka yang diam-diam mengagumi daya
tangkap dan daya nalar dari pemuda dihadapannya itu.
Malam di Padukuhan kaki bukit Gunung Agung
memang sangat dingin, ditandai dengan bulan purnama
sasih kedasa yang turun sempurna satu tahun sekali.
Terlihat Empu Dangka telah mendahului tidur,
sementara Mahesa Amping masih terlihat bersandar
didinding Banjar berjaga secara bergantian menghindari
hal-hal yang mungkin saja dapat terjadi. Namun sampai
menjelang di ujung malam, tidak terjadi apapun yang
mengganggu keberadaan mereka.
"Mengapa anakmas tidak membangunkan aku",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping yang
masih bersandar di dinding Banjar.
"Kulihat Empu Dangka tidurnya begitu nyenyak",
berkata Mahesa Amping. "Masih ada sisa malam untuk beristirahat meluruskan
badan", berkata Empu Dangka meminta Mahesa Amping
untuk beristirahat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Empu Dangka,
malam memang masih tersisa. Terlihat Mahesa Amping
telah meluruskan badannya, merasakan nikmatnya
berbaring. Tidak begitu lama Mahesa Amping sudah
tertidur nyenyak. Sementara itu sambil bersandar di dinding Banjar
Empu Dangka tersenyum melihat Mahesa Amping yang
begitu cepatnya dan sangat mudah sudah tertidur
nyenyak. Namun ternyata Mahesa Amping tidak cukup lama
tertidur, karena sang pagi akhirnya telah muncul
mendatangi bumi yang ditandai suara ayam jantan
850 terdengar sayup dari tempat yang begitu jauh saling
bersahutan membangunkan Mahesa Amping.
Warna pagi saat itu memang masih gelap dan
berembun, namun jalan didepan Banjar desa itu sudah
terlihat mulai ramai dilalui beberapa orang. Hampir setiap
wanita menjunjung bakul di kepalanya.
"Mereka akan berangkat ke Pura Besakih", berkata
Empu Dangka kepada Mahesa Amping.
Demikianlah, setelah bersih-bersih diri, Mahesa
Amping dan Empu Dangka telah berbaur bersama
semua orang Padukuhan berjalan kaki mendaki Gunung
Agung menuju Pura Besakih. Rombongan pejalan kaki
itu semakin lama semakin banyak bergabung dengan
orang-orang dari berbagai Padukuhan lainnya. Berduyun-duyun ratusan orang menyusuri Jalan setapak
menuju Pura Besakih itu sudah begitu padat dan mirip
ular panjang yang tengah berjalan.
Kabut turun menghalangi pandangan mata, ratusan
orang yang berjalan mendaki Pura Besakih tidak surut
terus berjalan. Wajah-wajah mereka dipenuhi suasana
kegembiraan. Tidak terasa, akhirnya Mahesa Amping dan Empu
Dangka yang berjalan bersama ratusan orang telah
sampai di pelataran tanah datar. Dihadapan mereka
berdiri Pura Besakih dengah megahnya diatas undakan
tanah tinggi, ada undakan anak tangga dari batu yang
tinggi untuk dapat sampai ke Pura Besakih.
"Sebuah benteng Istana yang elok", berkata Mahesa
Amping sambil memandang penuh kekaguman atas
suasana pemandangan lukisan alam penuh kedamaian
dalam sosok bangunan batu berundak dikelilingi
kehijauan warna alam di sebuah lereng Gunung Agung.
851 "Prajurit Singasari akan datang menguasai pura
agung ini", berkata Mahesa Amping dalam hati masih
menikmati keelokan pura Besakih yang berdiri tinggi
dihadapannya. "Pura Basuki adalah pura huluning jagat, berdiri
diatas Gunung Agung yang tinggi. Semoga pasukan
Maharaja Kertanegara dapat menghormati bangunan
suci ini", berkata Empu Dangka yang sepertinya dapat
membaca apa yang tengah dipikirkan oleh Mahesa
Amping. Tidak terasa langkah kaki Mahesa Amping dan Empu
Dangka telah terbawa oleh arus yang terus berlipat dari
ratusan orang yang terus bergerak menapaki tangga
batu menuju lawang batu di puncak anak tangga.
Akhirnya bersama kerumunan orang yang terus
bergerak, Mahesa Amping dan Empu Dangka telah
sampai di puncak tangga dan melangkah melewati
lawang pintu pura. Mereka telah sampai di Pura
Penataran Agung, sebuah pura yang berada di tengah
beberapa pura yang ada diatas tanah berbukit itu.
"Inilah istana Raja Adidewa Lancana", berkata Empu
Dangka ketika berada di pura Penataran Agung tempat
semua umat sedharma melakukan upacara Batara Turun
Kabeh. Terlihat semua upakara yang dibawa dari berbagai
padukuhan telah diletakkan di Bale Pasemuan. Satu
persatu semua orang telah duduk menghadap Bale
Gajah. Dan mereka dengan penuh hidmat mendengar
pitutur langsung dari Sang Ratu Agung, Raja Adidewa
Lancana. Sebagai puncak upacara Batara Turun Kabeh adalah
pelaksanaan membawa berbagai upakara dan 852 wewalungan kerbau yang akan ditawur di puncak
Gunung Agung. Terlihat sebanyak empat puluh orang
yang dipimpin oleh seorang Jero Mangku tengah berjalan
menuju ke puncak Gunung Agung, ke puncak kepundan
gunung tertinggi di Tanah Bali itu.
"Mereka membawa berbagai upakara dan wewalungan kerbau untuk ditawurkan di puncak
kepundan Gunung Agung", berkata Empu Dangka
kepada Mahesa Amping. "Dimanakah istana Raja
Adidewa Lencana", bertanya Mahesa Amping ketika
mereka tengah bermaksud meninggalkan Pura
Penataran Agung. Empu Dangka tidak menjawab, hanya memberi
pertanda ke arah utara dari tempat mereka berdiri.
"Sebuah istana yang asri penuh ketenangan", berkata
Mahesa Amping memandang kepada sebuah pura yang
dikelilingi dinding batu bersusun rapih serta diukir dan
terlihat begitu agung berdiri diatas ketinggian sebuah
tanah bukit. "Pura ini menghadap arah timur laut, sebuah
perlambang Dewa Sambhu salah satu penguasa
sembilan penjuru mata angin", berkata Empu Dangka
ketika mereka tengah keluar meliwati lawang pintu Pura
Besakih. Sementara itu matahari telah mulai menaik,
menyinari dan menghangatkan pagi di Pura Besakih.
Mahesa Amping dan Empu Dangka terlihat bersama
beberapa orang tengah menuruni jalan setapak di lereng
pegunungan Gunung Agung yang masih teduh dalam
kehijauan dan kerapatan hutan kayu.
"Bukankah harusnya kita berbelok kekanan?",
bertanya Mahesa Amping kepada Empu Dangka.
853 "Kita harus melihat suasana kaki gunung Agung dari
sisi yang lain", berkata Empu Dangka menjelaskan arah
perjalanan mereka. "Jadi kita tidak kembali keperkampungan Trunyam?",
bertanya Mahesa Amping. "Maaf, kuda anakmas memang harus direlakan",
berkata Empu Dangka sambil tersenyum.
"Aku bertanya tentang arah, kenapa Empu Dangka
menjawabnya tentang kuda?", bertanya kembali Mahesa
Amping. "Aku hanya sekedar menerka-nerka", berkata Empu
Dangka sambil lalu. "Kali ini tebakan Empu Dangka meleset jauh",
berkata Mahesa Amping sambil mengikuti langkah kaki
Empu Dangka yang masih terus berjalan.
Semakin turun kebawah, iring-iringan orang yang
pulang dari Pura Besakih semakin berkurang, satu
persatu telah berbelok arah menuju Padukuhan mereka
masing-masing. Hingga akhirnya di jalan setapak itu
hanya tertinggal Mahesa Amping dan Empu Dangka
berdua. Sementara itu matahari diatas langit telah condong
kebarat, Mahesa Amping Dan Empu Dangka masih terus
menyusuri jalan setapak yang masih menurun ke bawah
dikaki gunung Agung yang penuh tetumbuhan dan
pepohonan yang lebat. Cahaya matahari tua yang
semakin rebah kearah barat bumi sudah semakin redup.
Pandangan mata di hutan sekitar Mahesa Amping
dan Empu Dangka sudah semakin tersamar dan menjadi
semakin buram manakala kabut sore di kaki gunung
Agung turun menutupi segenap pandangan mata.
854 "Di ujung senja kita sudah tiba di pintu lawang
sebuah Kademangan", berkata Empu Dangka kepada
Mahesa Amping yang terus mengikutinya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Empu Dangka,
mereka telah melihat sebuah pintu lawang yang menjadi
tanda batas antara hutan dan sebuah Kademangan.
"Kita memasuki Kademangan Rendang, sebuah
Kademangan yang cukup besar", bekata Empu Dangka
ketika mereka melewati sebuah pintu lawang yang
terbuat dari batu hitam yang tersusun rapih diukir dengan
cara yang halus dan telaten berdiri dikiri dan kanan jalan.
Namun ketika mereka mendekati sebuah banjar
desa, mereka melihat kerumunan orang di Banjar desa.
Rasa keingintahuan mereka begitu tinggi, tidak terasa
mereka sudah ada diantara kerumunan itu.
Terlihat dua orang wanita muda dan seorang wanita
yang sudah berumur tengah duduk sambil menggarukgaruk beberapa bagian tubuhnya yang terlihat sangat
gatal menyakitkan. Terlihat ketiga wanita itu beberapa bagian tubuhnya
sudah berwarna merah karena digaruk dengan kerasnya
dan berkali-kali. "Ada apa dengan tiga orang wanita itu ?", bertanya
Empu Dangka kepada seorang pemuda didekatnya.
"Sore tadi mereka turun mandi di sungai, selesai
mandi mereka merasakan gatal yang sangat", berkata
pemuda itu. "Apakah sudah ada tabib yang mengobati?", bertanya
kembali Empu Dangka "Ki Tabib Jaran Wungu sejak pagi tadi telah
berangkat ke Pura Besakih, sampai saat ini belum
855 pulang, biasanya Ki Tabib menginap di rumah anaknya di
padukuhan dekat Pura Besakih", berkata pemuda itu.
"Mohon maaf, siapa kerabat terdekat dari ketiga
wanita ini", berkata Empu Dangka kepada beberapa
orang yang berkerumun. "Aku suami dan ayahnya", berkata seorang lelaki
yang sudah berumur. "Aku mohon ijin, mudah-mudahan

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat mengobatinya", berkata Empu Dangka kepada lelaki itu
yang terlihat sudah sangat putus asa, terlihat dari
wajahnya yang begitu putus asa.
"Silahkan, aku berterima kasih atas kesediaan
kisanak", berkata lelaki itu yang merasa ada sebuah
harapan meski belum mengenal siapa Empu Dangka.
Empu Dangka langsung mendekati seorang wanita
yang sudah berumur yang masih terus menggaruk
badannya yang gatal tidak pernah hilang.
Ternyata penglihatan mata Empu Dangka sangat
tajam, hanya sekali pandang sudah melihat keganjilan
yang ada di tubuh wanita itu.
Terlihat Empu Dangka menggosok-gosokkan tangannya dengan sebuah tanah yang diambil
didekatnya. Setelah sebagian tangannya telah merata
dengan tanah merah, dengan hati-hati tangan Empu
Dangka mengambil sesuatu benda halus yang menempel
di tubuh wanita itu. "Istri dan dua orang anakmu terkena bulu daun
pulus", berkata Empu Dangka sambil memperlihatkan
sebuah bulu halus kepada seorang lelaki yang mengaku
suami dan ayah dari ketiga wanita itu.
"Ditempat asalku, kami menyebutnya daun pulus,
856 sementara di Tanah Bali ini
menyebutnya sebagai daun Lateng.
beberapa orang "Kedua nama daun itu baru kali ini aku
mendengarnya", berkata lelaki itu yang baru mengenal
dua nama daun yang disebutkan oleh Empu Dangka.
"Lumuri seluruh tubuh istri dan anakmu dengan tanah
merah, setelah itu bersihkan dengan air bersih yang
bukan berasal dari sungai tempat mereka mandi",
berkata Empu Dangka kepada lelaki itu.
Lelaki yang sudah putus asa itu langsung mengikuti
semua petunjuk Empu Dangka dengan membawa istri
dan anaknya ke rumahnya yang ternyata bersebelahan
dengan banjar desa. Dua orang lelaki tetangga dekatnya
terlihat mengumpulkan tanah merah dan membawanya
kerumah keluarga yang kemalangan itu.
Beberapa orang yang awalnya telah berkerumun di
banjar desa itu terlihat menunggu hasil pengobatan yang
dianjurkan oleh Empu Dangka. Hampir semua orang
matanya tertuju ke arah lawang gerbang rumah keluarga
yang kemalangan itu. Akhirnya yang mereka tunggu ternyata datang juga,
dari arah lawang gerbang rumah keluarga itu, seorang
lelaki suami dan ayah para wanita itu telah datang
dengan wajah terang, tidak lagi suram sebagaimana
sebelumnya. "Terima kasih, istri dn anak-anakku sudah hilang rasa
gatalnya", berkata lelaki itu sambil menyalami Empu
Dangka penuh rasa terima kasih.
"Bersyukurlah kepada Sang Hyiang Widi yang telah
membawa langkah kakiku ke Kademangan ini", berkata
Empu Dangka sambil tersenyum, ikut merasakan
857 kebahagiaan lelaki itu yang telah terbebas dari rasa
cemas dan kekhawatiran itu.
"Atas nama warga kademangan, aku menghaturkan
terima kasih kepada tuan tabib", berkata seorang yang
berwajah bersih nampaknya sudah berumur namun dari
gaya bahasanya sepertinya seorang yang terhormat.
"Aku bukan tabib, hanya sedikit mengenal beberapa
tumbuhan" berkata Empu Dangka merendahkan dirinya.
"Aku Demang di sini, bolehkah aku mengenal nama
orang tua?", berkata orang itu.
"Ternyata aku berhadapan dengan Ki Demang,
orang-orang memanggilku dengan sebutan Empu
Dangka. Kebetulan sekali aku dan anakku melewati
Kademangan ini", berkata Empu Dangka kepada orang
itu yang ternyata adalah Ki Demang.
"Kalian pasti datang dari tempat yang jauh, mari
beristirahat dirumahku", berkata Ki Demang mengajak
Empu Dangka dan Mahesa Amping kerumahnya.
Beberapa orang nampak menjadi begitu hormat
kepada Empu Dangka, mungkin ikut merasa berterima
kasih telah berhasil menyembuhkan istri dan dua gadis
anak tetangganya. Dengan penuh hormat mereka
berpamit kepada Empu Dangka dan Ki Demang kembali
kerumah mereka masing-masing.
"Sebaiknya kalian tidak mandi dulu di sungai, besok
aku akan memeriksa keadaan sungai kalian", berkata
Empu Dangka kepada orang-orang itu.
"Mari ke rumahku", berkata Ki Demang meminta
Empu Dangka dan Mahesa Amping mengikutinya. Malam
itu di Kademangan Rendang hujan turun rintik-rintik.
"Di Kademangan Rendang ini hampir setiap hari
858 hujan, mungkin karena berada dikaki Gunung Agung",
berkata Ki Demang kepada Empu Dangka dan Mahesa
Amping di bale tamu yang ada didepan teras rumahnya
sebagaimana umumnya rumah yang ada di tanah Bali.
"Besok pagi aku akan memeriksa keadaan sungai",
berkata Empu Dangka "Besok aku akan meminta Ki Jagaraga menemani
kesungai", berkata Ki Demang.
"Hanya orang yang sangat dengki dan sakit hati yang
telah berbuat jahat menabur daun pulus di sungai",
berkata Mahesa Amping ikut berbicara.
"Kita harus menemukan orang itu agar tidak kembali
menimbulkan korban", berkata Ki Demang.
"Aku berkeyakinan bahwa pelakunya pasti bukan
orang Kademangan ini", berkata Empu Dangka
memberikan pandangannya. "Benar, warga kademangan ini begitu rukun dan
saling menyayangi, mereka tidak mungkin sampai hati
mencelakai keluarga dan kerabatnya sendiri", berkata Ki
Demang membenarkan pandangan Ki Dangka.
"Kalau begitu kita harus melakukan penyelidikan
secara tersembunyi, siapa tahu kita dapat menangkap
basah perbuatannya itu", berkata Mahesa Amping.
Demikianlah, malam itu Mahesa Amping dan Empu
Dangka bermalam dirumah Ki Demang.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali terlihat tiga orang
lelaki keluar dari lawang pintu halaman Ki Demang.
Mereka adalah Empu Dangka, Mahesa Amping dan Ki
Jagaraga yang pagi itu telah dihubungi Ki Demang untuk
menemani Empu Dangka memeriksa keadaan sungai.
859 Sungai itu ternyata tidak begitu jauh mengalir
membelah Kademangan Rendang yang berasal dari
beberapa mata air yang bersumber dari Gunung Agung.
Sungai itu begitu jernih dan berbatu.Empu Dangka,
Mahesa Amping dan Ki Jagaraga terlihat berjalan
menyusuri sungai jernih berbatu itu. Kadang mereka
harus melompat dari batu ke batu.
Masih belum begitu jauh mereka berjalan, disebuah
tikungan sungai mereka menemukan tiga tangkai daun
pulus dibenamkan didalam air dibawah sebuah batu.
"Dari sinilah orang itu telah menyebarkan bulu daun
pulus itu", berkata Empu Dangka sambil mengambil tiga
tangkai daun pulus yang terbenam di dalam sungai.
"Apakah mungkin orang itu akan kembali melakukan
kejahatannya", bertanya Mahesa Amping.
"Orang itu mungkin masih ada di sekitar
Kademangan ini, memasang telinganya menghitung
jumlah korban", berkata Empu Dangka.
"Mudah-mudahan orang itu belum puas melihat baru
tiga orang yang menjadi korbannya", berkata Ki
Jagaraga. "Kita berharap yang sama", berkata Empu Dangka
"Sekarang apa yang harus kita perbuat?", bertanya Ki
Jagaraga. "Bersembunyi disekitar sungai ini,
kedatangannya", berkata Mahesa Amping.
menunggu Maka akhirnya mereka sepakat untuk bersembunyi
disekitar sungai, ditempat yang tersembunyi yang tidak
mudah terlihat. Untuk memberi kesan bahwa perbuatannya belum
860 diketahui, Empu Dangka mengembalikan tiga tangkai
daun pulus ketempatnya semula.
Terlihat Mahesa Amping, Empu dangka dan Ki
Jagaraga tengah mencari pohon yang tinggi. Akhirnya
mereka menemukan sebuah pohon yang sangat cocok
sebagai tempat bersembunyi namun dapat melihat
dengan jelas keadaan di sekitarnya.
"Menunggu diatas pohon sampai sore hari sungguh
melelahkan, kita perlu berjaga secara bergilir", berkata
Empu Dangka. "Aku setuju, biarlah aku yang dapat giliran kedua.
Aku akan datang disiang hari menggantikan kalian",
berkata Mahesa Amping. Akhirnya sesuai kesepakatan, Mahesa Amping telah
kembali Ke Kademangan, sementara itu Empu Dangka
dan Ki Jagaraga mendapat giliran pertama naik keatas
pohon sebagai tempat untuk melakukan pengintaian.
Mahesa Amping tidak menyusuri sungai sebagaimana berangkatnya, tapi ia sengaja berjalan
masuk ke hutan di pinggir sungai itu.
Ternyata pernyataan Mahesa Amping untuk secara
bergiliran berjaga diatas pohon hanya sebuah alasan
untuk melindungi Ki Jagaraga. Yang sebenarnya adalah
bahwa Mahesa Amping telah menemui sebuah jejak
langkah. Dengan langkah perlahan Mahesa Amping terus
mengikui jejak langkah kaki itu yang ternyata menuju ke
arah hutan dalam. Sebagai seorang yang banyak belajar di dalam
pengembaraannya, baik mengenal jejak dan arah,
Mahesa Amping dapat membaca bahwa jejak langkah
861 kaki itu hanya tertinggal satu hari, terlihat dari dahan
semak kecil yang patah tidak lagi bergetah. Perlahan tapi
pasti, Mahesa Amping seperti memegang tali
tersembunyi yang tertinggal lewat jejak langkah kaki itu.
Mahesa Amping ternyata seorang pencari jejak yang
ulung, dari jejak kaki ditanah basah dapat dibaca berat
badan orang yang tengah dikuntitnya itu. Mahesa
Amping juga dapat mengukur seberapa tinggi orang yang
akan ditemuinya lewat sebuah dahan yang patah.
Mahesa Amping masih terus mengikuti jejak langkah
kaki itu, baik lewat jejak tanah yang terinjak maupun
semak yang rusak terkuak.
"Semoga tidak ada orang lain yang merusak jejak
yang kuikuti ini", berkata Mahesa Amping berharap jejak
yang diikutinya itu tidak rusak oleh jejak orang lain.
Tapi Mahesa Amping berkeyakinan bahwa hutan di
sisi sungai itu jarang sekali dilalui orang.
Tiba-tiba saja langkah Mahesa Amping terhenti.
Tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri, terhalang
semak dan batang pohon besar, Mahesa Amping melihat
seorang lelaki yang sudah tidak muda lagi meski belum
dapat dikatakan sudah tua tengah bersandar di sebuah
batu besar. Wajah dan pakaian orang itu begitu lusuh
dan kotor. "Orang ini sangat cocok sekali dengan gambaran
jejak yang kuikuti, berbadan kokoh dan tinggi besar",
berkata Mahesa dalam hati memperhatikan seorang
lelaki yang tidak begitu jauh darinya.
"Orang inikah yang telah membuat sebuah
kesusahan menyebarkan bulu daun pulus?", berpikir
Mahesa Amping sambil mencari jalan bagaimana
862 caranya menyibak dalang penyebar daun pulus itu.
Terlihat Mahesa Amping mengotori wajah dan
pakaiannya. Tiba-tiba saja Mahesa Amping mengambil pisau
belatinya dari balik pakaiannya dan langsung melompat
kearah orang itu yang tengah bersandar di sebuah batu
besar. "Kamu pasti orang Kademangan Rendang,
kamulah orang pertama yang kubunuh hari ini", berteriak
Mahesa Amping sambil menunjuk-nunjuk wajah lelaki itu
dengan pisau belatinya. "Setan alas, orang gila,baru datang sudah marahmarah tidak karuan", berkata lelaki itu sambil berdiri
tanpa sedikitpun terlihat rasa takut menghadapi Mahesa
Amping yang memgang senjata belati tajam.
"Hari ini kamulah orang Kademangan Rendang yang
pertama kubunuh", berkata Mahesa Amping sambil
tertawa mirip pemuda kurang waras.
"Aku bukan orang Kademangan Rendang!!", berteriak
orang itu lebih keras dari tawa Mahesa Amping.
"Bohong!!", berkata Mahesa Amping lebih keras lagi.
"Kamu berkata seperti itu karena takut kubunuh", berkata
kembali Mahesa Amping sambil menjulurkan belatinya
kehadapan wajah orang itu.
"Terserah percaya atau tidak, aku bukan orang
Kademangan Rendang", berkata orang itu yang
sepertinya telah kesal sekali melihat Mahesa Amping


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang akan membunuhnya. "Aku akan membunuhmu!!", berteriak Mahesa
Amping sampil menghujamkan belatinya ke arah leher
orang itu. "Orang gila!!", berkata orang itu sambil mengelak
863 sedikit merunduk dan bersamaan dengan itu kakinya
telah melambung tepat bersarang diperut Mahesa
Amping. Ternyata Mahesa Amping diam-diam telah melambari
tubuhnya dengan kekebalan. Meskipun terlihat perutnya
terkena tendangan dari orang itu, dirinya tidak
merasakan apapun. Namun meski begitu Mahesa
Amping telah berpura-pura terlempar jatuh.
"Aku akan mencabik-cabik tubuhmu", berkata
Mahesa Amping sambil berdiri dengan wajah penuh
murka. Kembali Mahesa Amping menyerang orang itu
dengan gerakan yang kasar dan brutal, menyerang
kearah perut orang itu. "Anak gila!!", berkata orang itu sambil sedikit
bergeser kesamping. Kembali sebuah tendangan yang
lebih keras lagi dari sebelumnya langsung bersarang di
pinggang Mahesa Amping. Mahesa Amping terlihat seakan-akan terpelanting
kesamping. "Kusayat kulitmu sebelum mati", berkata Mahesa
Amping sambil bangkit berdiri.
Kembali Mahesa Amping mendekati orang itu dengan
berlari sambil menyilangkan belatinya kearah tubuh
orang itu. "Anak gila!!", berkata orang itu sambil tangannya
menyambar pergelangan tangan Mahesa Amping yang
tengah menggenggam belati.
Tangan orang itu terlihat begitu cepat, pergelangan
tangan Mahesa Amping seperti dicengkerang sebuah
tangan yang kuat, belati ditangan Mahesa Amping
864 terlepas dan bersamaan dengan itu tiba-tiba saja dengan
tenaga yang kuat melempar Mahesa Amping hingga
terpelanting mencium tanah.
Terlihat orang itu mendekati Mahesa Amping yang
masih tengkurap diatas tanah basah.
"Apa yang membuatmu begitu dendam dengan orang
Kademangan Rendang", berkata orang itu sambil
tangannya mencengkeram leher Mahesa Amping.
"Lepaskan", memberontak. berkata Mahesa Amping berusaha Namun cekalan tangan orang itu begitu kuat, Mahesa
Amping tidak dapat bergerak sedikitpun. "Cepat
ceritakan!!", berkata orang itu masih mencekal leher
Mahesa Amping. "Bagaimana aku bisa bicara, sementara mulutku
tertutup tanah", berkata Mahesa Amping yang memang
masih menghadap tanah. "Katakan, kenapa kamu begitu benci dengan orang
Kademangan Rendang!!", berkata orang itu sambil
melepas cekalannya. Mahesa Amping bebalik badan, duduk dengan wajah
menghadap orang itu. "Aku benci orang Kademangan
Rendang karena mereka kikir, bukannya memberikan
sedekah makanan, mereka mencaci maki diriku dengan
mengatakan diriku pemalas. Bahkan lebih kejam lagi
mereka membiarkan anak-anak kecil melempari diriku
dengan batu", berkata Mahesa Amping dengan wajah
penuh kesal. Tiba-tiba saja orang itu tertawa panjang. "Wahai
orang Kademangan Rendang, hari ini telah bertambah
musuhmu", berkata orang itu diujung tawanya.
865 "Kamu juga memusuhi orang
Rendang?", bertanya Mahesa Amping
Kademangan "Benar, aku senang melihat mereka susah", berkata
orang itu. "Apa yang telah kamu lakukan?", bertanya lagi
Mahesa Amping. "Kutaburkan sungai mereka dengan bulu daun pulus,
kemarin sore aku sudah baru melihat tiga orang yang
telah menjadi korban. Sore ini aku akan kembali
melakukannya", berkata orang itu sambil tertawa bangga.
"Kenapa kamu tidak membunuh mereka
persatu?", bertanya kembali Mahesa Amping.
satu "Bodoh, membunuh mereka sangat mudah, tapi aku
ingin menyiksa mereka",berkata orang itu.
"Apakah kamu membenci orang Kademangan
Rendang karena mereka menolak permintaan sedekah?", bertanya Mahesa Amping
"Aku bukan pengemis sepertimu, yang kubenci bukan
orang Kademangan, tapi Demangnya yang sangat
sombong", berkata Orang itu.
"Apa yang disombongkan Ki Demang terhadapmu?",
bertanya Mahesa Amping. "Demang sombong itu tidak mengakui diriku adalah
saudaranya", berkata orang itu sambil memukulmukulkan tangannya dengan kepalan tangannya sendiri.
"Jadi kamu bukan orang Kademangan Rendang?",
bertanya Mahesa Amping memancing.
"Berapa kali kukatakan bahwa aku bukan orang
Kademangan Rendang!?", berkata orang itu dengan
mata melotot seperti hendak menelan bulat-bulat wajah
866 Mahesa Amping. "Aku akan kembali ke Kademangan Rendang,
membunuh mereka satu persatu", berkata Mahesa
Amping berdiri dan memungut kembali pisau belatinya
yang terjatuh. "Dengan caramu, kamu tidak dapat membunuh
satupun orang Kademangan Rendang", berkata orang itu
sepertinya mengejek Mahesa Amping yang diketahui
tidak mengerti sedikit pun jurus kanuragan.
"Aku akan memilih anak-anak kecil", berkata Mahesa
Amping sambil berjalan meninggalkan orang itu yang
terlihat bertolak pinggang menganggap Mahesa Amping
sebagai pemuda bodoh dan kurang waras.
Ketika merasa sudah jauh dari orang itu, mahesa
Amping berbelok arah kembali ke tepi sungai tempat
dimana Empu Dangka dan Ki Jagaraga tengah
bersembunyi. "Ki Jagaraga sebaiknya kembali ke Kademangan,
biarlah kami berdua yang berjaga", berkata Mahesa
Amping kepada Ki Jagaraga.
"Baiklah, aku kembali ke Kademangan, perutku
memang sudah terasa berbunyi kukuruyuk", berkata Ki
Jagaraga sambil turun dari atas pohon tempat mereka
bersembunyi. Setelah Ki Jagaraga sudah tidak kelihatan, Mahesa
Amping bercerita kepada Empu Dangka apa yang telah
ditemui dan dialaminya. "Ternyata kamu berotak encer", berkata Empu
Dangka setelah mendengar cerita Mahesa Amping.
"Masih ada waktu untuk menyiapkan sebuah siasat
baru", berkata Mahesa Amping sambil menjelaskan
867 kepada Empu Dangka apa yang akan dilakukannya
untuk menjebak orang yang telah menebarkan bulu daun
pulus di sungai. "Semoga usaha kita berhasil", berkata Empu Dangka
ketika Mahesa Amping yang bermaksud kembali ke
kademangan Rendang. Matahari di siang itu telah menerangi sungai jernih
berbatu disebuah hutan perbatasan Kademangan
Rendang. Di tempat persembunyiannya, diatas sebuah pohon
besar Empu Dangka menunggu kedatangan Mahesa
Amping. Dan yang ditunggu akhirnya datang juga. Mahesa
Amping telah datang kembali bersama Ki Demang.
"Aku takut Ki Demang tidak menyetujui rencana
kami", berkata Empu Dangka kepada Ki Demang yang
telah datang bersama Mahesa Amping.
"Aku percaya kepada kalian", berkata Ki Demang
sambil tersenyum. "Maaf, aku harus mengikat Ki Demang", berkata
Mahesa Amping yang telah menyiapkan sebuah tali
temali dari kulit kayu yang kuat, mengikat Ki Demang ke
sebuah pohon. "Aku akan kembali keatas pohon sebagai pengintai",
berkata Empu Dangka sambil naik kembali keatas
sebuah pohon sebagai pengintai bila saja orang yang
mereka tunggu datang ketempat itu.
Waktu terus berlalu, tidak terasa matahari telah
bergeser kebarat. Cahaya matahari diatas sungai itu
telah menjadi teduh karena terhalang ranting dan daun
yang rindang. Suara gemericik air sungai yang mengalir
868 menabrak batu-batu besar yang berserakan sepanjang
sungai terus berbunyi tidak pernah putus. Kadang juga
Sukma Pedang 9 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Naga Sakti Sungai Kuning 6
^