Pencarian

Sang Fajar Bersinar 13

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 13


terdengar suara burung liar terdengar silih berganti di
hutan tepian sungai itu. Terlihat juga dua ekor tupai
berekor panjang saling berkejaran.
Mahesa Amping terlihat duduk bersandar disebuah
pohon tempat dimana Ki Demang terikat sepanjang
tubuhnya. Tidak ada satupun suara yang terlepas dari
pendengaran Mahesa Amping. Bahkan suara kadal yang
merayap ditanah tidak luput dari perhatian dan
pendengaran Mahesa Amping yang peka dan tajam.
Sementara itu diatas pohon, Empu Dangka masih
terus mengintai, siap memberi tanda kepada Mahesa
Amping manakala orang yang ditunggu sudah terlihat.
Akhirnya penantian panjang mereka memang harus
berakhir. Berawal ditandai dengan sebuah ranting yang jatuh
tepat dihadapan Mahesa Amping.
Terlihat Mahesa Amping dengan belati ditangannya
tengah mengancam Ki Demang yang terikat di sebuah
pohon. "Berbicaralah dengan keras",
Amping kepada Ki Demang. berbisik Mahesa "Dasar anak gendeng, kau kira aku takut mati?",
berteriak Ki Demang sepertinya memaki-maki Mahesa
Amping. "Terlalu enak untukmu mati dengan cepat, aku akan
menyayat tubuhmu dan memeraskan jeruk limau agar
kamu merasakan kepedihan yang sangat", berkata
Mahesa Amping cukup keras.
"Hentikan!!" 869 Tiba-tiba saja ada suara dari seberang sungai.
Ternyata orang itu telah datang langsung meminta
Mahesa Amping berhenti melakukan penyiksaan yang
kejam kepada Ki Demang. Dan dengan cekatan
melompat dari batu-kebatu menyeberangi sungai.
Terlihat ditangannya menggenggam tiga tangkai ranting
daun pulus. Orang itu melempar begitu saja daun pulus dan
langsung mendekati Mahesa Amping.
"Kenapa kamu memintaku untuk berhenti?", bertanya
Mahesa Amping. "Bukankah kamu sangat membenci
orang ini?", bertanya kembali Mahesa Amping kepada
orang itu. "Aku memang membencinya, tapi tidak bermaksud
membunuhnya, hanya sekedar menyakiti hatinya",
berkata orang itu. "Bila aku yang membunuhnya, apa urusanmu",
berkata Mahesa Amping sambil bermaksud melakukan
sayatan di leher Ki Demang.
"Hentikan, bila kamu melukainya, kamu akan
kubunuh", berkata orang itu kembali meminta Mahesa
Amping untuk tidak melakukan apapun kepada Ki
Demang. "Apa urusanmu melarangku?", bertanya Mahesa
Amping sambil menatap tajam orang itu.
"Tidak ada urusan", berkata orang itu sambil
tangannya sudah menjulur bermaksud memegang
tangan Mahesa Amping untuk ditarik menjauh dari Ki
Demang. Namun Mahesa Amping tidak memberikan tangannya
dengan mudah, terlihat Mahesa Amping bergeser
870 kesamping. Melihat tangannya tidak berhasil merenggut tangan
Mahesa Amping, maka tangan sebelahnya telah
menyerang Mahesa Amping dengan sebuah tamparan.
Kembali Mahesa Amping tidak membiarkan tangan
orang itu menampar wajahnya, maka dengan sedikit
merunduk, tamparan itu lepas diatas kepalanya menemui
tempat kosong. Sebagai seorang yang ahli dalam kanuragan, dua kali
serangannya dapat dihindari oleh Mahesa Amping
membuat dirinya sangat penasaran, maka orang itu telah
kembali membuat sebuah serangan yang lebih cepat dan
keras dengan sebuah tendangan tajam tertuju ke tubuh
Mahesa Amping. Kembali Mahesa Amping dapat lolos dari serangan
keras dan tajam itu dengan melompat kesamping.
"Anak ini bisa jadi telah kesambat hantu penunggu
hutan ini", berkata orang itu merasa heran kepada
Mahesa Amping yang selalu dapat menghindari
serangannya, sementara pagi tadi dengan mudah dirinya
menghajar anak itu. Orang itu dengan penuh penasaran telah
meningkatkan tataran ilmu dan kecepatan geraknya
kembali menyerang Mahesa Amping dengan pukulan
dan tendangan yang beruntun.
Lagi-lagi Mahesa Amping dengan mudah melesat
kesana-kemari, tidak ada satu pun tendangan dan
pukulan orang itu yang mengenai tubuhnya.
"Ternyata dirimu telah disambat penunggu hutan ini",
berkata Orang itu dengan wajah keheranan bercampur
penasaran. 871 Mahesa Amping tidak menjawab, dengan senyum
geli telah bersiap menghadapi serangan orang itu yang
terlihat telah mempersiapkan dirinya lebih matang lagi
menganggap Mahesa Amping bukan pemuda yang tadi
pagi telah dengan mudah dihajarnya. "Biarlah orang itu
menganggap diriku telah kena sambat hantu penunggu
hutan ini", berkata Mahesa Amping sambil terus berjaga
menghadapi serangan selanjutnya.
Ternyata yang diperhitungkan Mahesa Amping tidak
meleset jauh, orang itu kembali melakukan serangannya
kearah Mahesa Amping dengan serangan yang luar
biasa berupa tendangan dan pukulan yang beruntun
tajam dan penuh dengan segala tipuan yang berbahaya.
Mahesa Amping tidak dapat lagi hanya dengan
menghindar, menghadapi serangan yang gencar penuh
dengan tipuan itu harus dihadapinya dengan balas
menyerang. Maka perkelahian itu telah terjadi begitu seru dan
menegangkan, saling menyerang dan balas menyerang.
Tempat perkelahian merekapun telah bergeser tidak lagi
di tepian sungai yang sempit itu, tapi meluas ketengah
sungai berbatu itu. Melompat dari satu batu besar ke
batu besar lainnya. Ki Demang yang melihat pertempuran diatas sungai
berbatu sangat tegang dan kagum, ternyata kedua orang
yang bertempur itu adalah dua orang ahli kanuragan.
Sebagai seorang yang juga telah mempelajari
kanuragan, melihat pertempuran itu seperti disuguhi
sebuah tontonan yang seru yang belum pernah
disaksikan sebelumnya. Begitu banyak gerak tipu dari
kedua pihak yang membuatnya kadang menarik napas
panjang, akhirnya meresa lega karena salah satu lawan
dapat keluar dari sebuah terjangan serangan yang begitu
872 keras dan cepat. Sementara itu Empu Dangka dari atas pohon tempat
persembunyiannya juga menyaksikan pertempuran yang
seru itu. "Ternyata Mahesa Amping bukan cuma bisa menjadi
hantu Leak, dalam kanuragan dapat juga diandalkan",
berkata Empu Dangka memperhatikan perkelahian yang
seru dari atas pohon persembunyiannya.
"Kamu benar-benar kesambat hutan alas ini", berkata
orang itu sambil terus meningkatkan tataran ilmunya
karena Mahesa Amping tidak dengan mudah
ditundukkannya. "Kamu benar, akulah hantu alas ini", berkata Mahesa
Amping sekenanya sambil menghindar dan balas
menyerang. Dan pertempuran sudah menjadi semakin seru,
masing-masing telah meningkatkan tataran ilmunya
ditingkat puncaknya. Gerak mereka sudah semakin cepat
hingga sepertinya tidak mampu lagi dilihat dengan
pandangan wadag. Mereka seperti bayangan yang
terbang melenting dari satu bongkah batu ke batu lainnya
diatas sungai yang jernih dan dangkal.
"Aku jadi tidak sabaran", berkata Empu Dangka yang
telah turun dari pohon persembunyiannya.
Mahesa Amping yang mendengar ucapan Empu
Dangka sempat menoleh ke arah Empu Dangka, merasa
bahwa Empu Dangka telah keluar dari pakem sandiwara
yang telah direncanakannya bersama.
"Tanganku sudah gatal untuk membunuh dua orang
bersaudara yang mudah ditipu", berkata Empu Dangka
sambil mendekati arah pertempuran.
873 "Ternyata kalian pengecut, bukalah ikatanku dan kita
bertempur secara lelaki", berkata Ki Demang berteriak.
Mahesa Amping yang mendengar teriakan Ki
Demang cukup terkejut, dengan sekali hentakan telah
berdiri dihadapan Empu Dangka.
"Aku jadi tidak mengerti apa yang akan Empu
Dangka lakukan", berkata Mahesa Amping kepada Empu
Dangka. "Ini semua adalah rencanaku, membunuh para putra
Ki Sumangkar", berkata Empu Dangka dengan suara
yang keras. "Empu Dangka telah melibatkan aku dalam rencana
yang busuk ini?", berkata Mahesa Amping yang merasa
dibohongi. "Kamu menyingkirlah, biarlah aku sendiri yang
menundukkan putra Ki Sumangkar seorang ini", berkata
Empu Dangka sambil mengedipkan sebuah matanya
memberi tanda kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping baru tersadar setelah menerima
tanda dari Empu Dangka, ternyata Empu Dangka masih
dalam sandiwara meski diluar pakem rencana semula.
Terlihat Empu Dangka telah mengurai cambuknya
yang telah dilepasnya tersembunyi melingkar di
pinggangnya. "Wahai Ki Sumangkar, meski aku tidak sempat
membunuhmu, tapi dendamku hari ini telah terpenuhi,
membunuh dua orang putramu sekaligus", berteriak
Empu Dangka dengan suara bergema memenuhi udara
di sekitar tepian sungai didalam hutan itu.
"Siapa kamu orang tua, dan apa kesalahan ayah
kami sehingga kamu begitu bernafsu untuk membunuh
874 kami", bertanya orang itu yang sangat penasaran bahwa
Empu Dangka telah menyebut nama ayahnya.
"Itu bukan urusanmu, bersiaplah untuk mati hari ini",
berkata Empu Dangka sambil bersiap diri melakukan
sesuatu dengan cambuknya.
Tiba-tiba saja Empu Dangka tanpa berucap apapun
telah menghentakkan cambuknya di udara.
Gelegar !!!!!!!!! Terdengar suara mirip halilintar bergema memekakkan telinga, langit sepertinya telah runtuh
menggoncang bumi, sekejab suasana ditepian sungai itu
menjadi gelap gulita. Ketika suasana kembali normal, Mahesa Amping
melihat Empu Dangka tengah berdiri sambil memegang
ujung cambuknya. "Anakmas telah mampu menghadapi aji cambuk
halilintarku", berkata Empu Dangka memandang kagum
kepada Mahesa Amping yang masih berdiri tegak tidak
tergoncang sedikitpun. Ternyata tenaga tersembunyi yang ada didalam
tubuh Mahesa Amping telah bekerja dengan sendirinya
melindungi dirinya. Sementara itu apa yang terjadi dengan Ki Demang
dan saudaranya itu "
Mahesa Amping telah melihat orang itu telah
tergeletak di pinggir sungai, sementara itu Ki Demang
dalam keadaan terikat di sebuah pohon terlihat
kepalanya terkulai lemah tak bergerak.
"Jangan khawatir, mereka hanya pingsan", berkata
Empu Dangka kepada Mahesa Amping.
875 Segera Mahesa Amping mendekati orang itu,
ternyata sebagaimana yang dikatakan oleh Empu
Dangka, tubuh orang itu masih hangat sebagai tanda
bahwa orang itu cuma pingsan.
Mahesa Amping juga memeriksa keadaan Ki
Demang, ternyata Ki Demang juga mendapatkan
keadaan yang sama dengan saudaranya, masih terkulai
pingsan. Terlihat Mahesa Amping menarik nafas lega, diamdiam mengagumi aji cambuk halilintar yang dilontarkan
lewat tangan Empu Dangka.
"Mungkin sepersepuluh dalam hati. Empu Dangka telah melontarkan kuatannya", berkata Mahesa Amping
"Maaf, aku telah keluar pakem", berkata Empu
Dangka penuh senyum kepada Mahesa Amping.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk selanjutnya kuserahkan peran dalang kepada
Empu Dangka", berkata Mahesa Amping yang merasa
bahwa Empu Dangka telah mempunyai sebuah rencana
tersendiri. "Tolong ikat kaki tangan saudara ki Demang itu,
dekatkan dibawah pohon dekat Ki Demang."
Sambil mengikat kaki tangan orang itu, Mahesa
Amping merasa penasaran darimana Empu Dangka
mengenal nama orang tua mereka.
"Aku dapat mengenal jurus mereka, itulah jurus Ki
Sumangkar sahabatku", berkata Empu Dangka
menerangkan tentang sahabatnya yang bernama
Sumangkar yang pernah bercerita kepadanya bahwa
telah mempunyai dua orang istri di Bali dan Di Jawa dan
juga sama-sama melahirkan dua orang lelaki. Dan dua
876 keluarganya itu memang tidak pernah tahu keadaan
masing-masing karena Ki Sumangkar telah merahasiakannya. "Kita tunggu mereka berdua siuman", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping ketika telah meletakkan
saudara Ki Demang berdekatan dengannya.
Diam-diam Mahesa Amping memperhatikan silih
berganti kedua saudara lain ibu itu, ternyata mereka
punya banyak kesamaan. Akhirnya keduanya telah
terlihat siuman, telah sadar kembali.
"Harusnya Empu Dangka bersikap adil, satu nyawa
dibayar satu nyawa, pilihlah satu diantara mereka",
berkata Mahesa Amping yang telah memulai
sandiwaranya dalam kendali Empu Dangka tentunya.
"Kamu benar, satu nyawa untuk satu nyawa, aku
akan memilih siapa diantara mereka yang akan kubunuh
menebus hutang saudaraku yang terbunuh oleh Ki
Sumangkar", berkata Empu Dangka sambil menggenggam pisau belati milik Mahesa Amping yang
dipinjamnya. "Orang tua, pilihlah aku, biarlah saudaraku tetap
hidup", berkata saudara Ki Demang.
"Mengapa kamu rela menjadi banten untuk
saudaramu?", bertanya Empu Dangka kepada Saudara
Ki Demang. "Karena aku cuma sebatang kara, sementara
saudaraku telah mempunyai istri dan keturunan", berkata
Saudara Ki Demang. "Amararaja, ternyata hatimu begitu mulia. Maafkan
bila beberapa hari yang telah lewat aku tidak mengakui
dirimu sebagai saudaraku. Pada saat itu aku masih kaget
877 dan belum dapat menerima bahwa ayahku mempunyai
pendamping lain selain ibuku", berkata Ki Demang
merasa terharu menyaksikan sikap saudaranya yang
memilih berkorban demi dirinya.
"Terima kasih atas pengakuannmu, jauh dari
pengembaraanku ke tanah Bali ini adalah melihat bahwa
didunia ini aku masih punya seorang saudara. Hari ini
bila aku mati, aku akan mati bahagia telah mendapatkan
pengakuan darimu", berkata orang itu yang ternyata
bernama Amararaja. "Jadi Ki Demang telah mengakui bahwa orang ini
adalah saudara sedarah dari Ki Demang?", bertanya
Empu Dangka kepada Ki Demang.
"Hari ini aku merasa bahagia, ternyata saudara
sedarahku telah rela menjadi banten untuk diriku. Aku
telah banyak mendapatkan kemanisan hidup ini, biarlah
kamu pilih aku yang akan melunasi hutang nyawa
saudaramu", berkata Ki Demang pasrah.
"Amararatu, aku ini sebatang kara, tidak ada yang
mencari dan menangisi nyawaku", berkata Amararaja
kepada saudaranya Amararatu.
"Saudaraku, aku sudah puas menjalani hidup dan
kehidupan ini, aku rela berbagi nyawa untukmu", berkata
Ki Demang. "Orang tua, cepat kamu bunuh aku", berkata
Amararaja. Tiba-tiba saja Empu Dangka tertawa. Suara tawa
Empu Dangka yang dilambari tenaga dalam itu
sepertinya bergema memenuhi udara di sekitarnya.
"Hari ini dua jiwa sedarah telah dipertemukan. Kalian
telah mendapatkan perasaan persaudaraan yang sejati,
878 perasaan untuk melindungi, perasaan untuk saling
berkorban yang dilandasi kecintaan sejati", berkata Empu
Dangka. Terlihat Amararaja dan ki Demang saling
berpandangan, merasakan apa yang diucapkan oleh
Empu Dangka adalah benar adanya sebagaimana yang
mereka saat itu. Ki Demang dan Amararaja semakin tidak mengerti
manakala belati Empu Dangka telah membuka tali ikatan
mereka. "Mengapa orang tua tidak membunuhku?", bertanya
Amararaja kepada Empu Dangka.
"Tanyakanlah kepada anak muda ini, kenapa aku
tidak jadi membunuhmu", berkata Empu Dangka.
"Maafkan kami, semua yang kami lakukan adalah
cuma sebuah sandiwara", berkata Mahesa Amping
penuh senyum. Terlihat Ki Dalang menarik nafas lega, ternyata
semua ini adalah sebuah sandiwara meski berlanjut
dalam pakem berbeda dari awal rencana semula.
"Ternyata kalian adalah pemain watak", berkata Ki
Dalang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu langit diatas sungai jernih berbatu di
hutan itu telah tenggelam diujung senja. Suara gemericik
air sungai sepertinya telah membelah kesunyian,
membelah dan mencairkan kecanggungan dua saudara
sedarah seayah itu. Terlihat empat sosok lelaki di keremangan sandikala
tengah menyusuri sungai berjalan ke hilir menuju
Kademangan Rendang. Kadang suara tawa mereka
telah menggema mengisi keredupan malam yang
879 sebentar lagi akan turun menyelimuti bumi.
"Perkenalkan, ini saudaraku", berkata Ki Demang
memperkenalkan Amararaja kepada Ki Jagaraga ketika
mereka bertemu di Banjar Desa.
"Para kerabatku biasa memanggilku sebagai Ki
Amararaja", berkata Ki Amararaja memperkenalkan
dirinya kepada Ki Jagaraga.
"Aku melihat semua urusan telah dapat diselesai
dengan baik, kubaca dari keceriaan wajah kalian",berkata
Ki Jagaraga melihat keceriaan wajah keempat orang
yang ditemuinya. "Besok akan kuceritakan semuanya, saat ini kami
ingin beristirahat dulu", berkata Ki Demang mohon diri
kepada Ki Jagaraga. Ketika mereka memasuki lawang pintu halaman
rumah Ki Demang, dua orang wanita menyambut
kedatangan mereka. Ternyata mereka adalah Nyi Demang dan putrinya
yang seharian gelisah menunggu Ki Demang yang lama
tidak cepat kembali. "Nyai ingat orang yang dua hari yang lalu datang
kemari?", berkata Ki Demang kepada istrinya sambil
memberi jalan kepada Ki Amararaja agar istrinya melihat
jelas wajahnya. "Aku ingat, dua hari yang lalu datang kerumah ini",
berkata Nyi Demang mengingatnya.
"Perkenalkan saudaraku bernama Ki Amararaja",
berkata Ki Demang memperkenalkan saudaranya Ki
Amararaja kepada istrinya.
"Ternyata aku punya keponakan yang cantik",
880 berkata Ki Amararaja ketika melihat gadis cantik putri Ki
Demang. "Ini putriku, namanya Ni Wayan Aolani", berkata Ki
Demang memperkenalkan putrinya kepada saudaranya
Ki Amararaja, juga kepada Mahesa Amping dan Empu
Dangka. "Wajah paman Amararaja lebih muda dan lebih
ganteng dibandingkan ayah", berkata Ni Wayan Aolani
membandingkan wajah ayah dan pamannya.
"Mungkin ayahmu terlalu banyak berpikir", berkata Ki
Amararaja merasa bangga dikatakan lebih muda dan
lebih ganteng. "Ayahmu lebih ganteng sedikit", berkata Empu
Dangka ikut bicara. "Maksudnya ayahmu sedikit gantengnya", berkata Ki
Demang merendah yang disambut tawa gembira dari
semua yang ada di rumah itu.
Akhirnya Ki Demang mempersilahkan Ki Amararaja,
Mahesa Amping dan Empu Dangka bersih-bersih diri
bergantian di pringgitan.
Sementara itu sang dewi malam telah bergantungan
di puncak pohon Kemboja yang menari tertiup angin
malam yang genit dipojok halaman rumah Ki Demang.
Terlihat Mahesa Amping, Ki Amararaja, Empu
Dangka dan Ki Demang telah berkumpul di Saung
Bambu sebelah kiri halaman rumah.
"Maaf, kami masak terburu-buru, mungkin bebek
betutunya masih alot", berkata Nyi Demang sambil
meletakkan hidangan malam kepada para tamunya.
"Masih ada persediaan brem ketan hitam, semoga
881 dapat menghangatkan malam yang dingin", berkata Ni
Wayan Aolani sambil meletakkan minuman brem dan
sebakul nasi putih hangat.
"Kenapa cuma dipandang?", berkata Ki Demang
ketika Nyi Demang dan Putrinya telah masuk kembali
kedalam rumah mempersilahkan ketiga tamunya
menikmati hidangan yang telah disediakan.
"Anggap saja di rumah sendiri", berkata kembali Ki
Demang memberi semangat kepada ketiga tamunya
yang mulai menyiduk nasi putih hangat dan bebek betutu
yang sangat menggoda selera itu.
Ketika hari terus merangkak perlahan mengikis
malam, mereka masih berada di saung depan halaman
rumah, bercakap-cakap sambil memandang bintang yang
bertebaran di langit. "Aku baru melihat ada kunang-kunang terbang
setinggi pohon kelapa", berkata Ki Amararaja sambil
menunjuk jauh kedepan. Yang dilihat oleh Ki Amararaja adalah lima buah
cahaya kerlap-kerlip berjalan setinggi pohon kelapa
menjadi perhatian semua yang ada di saung bambu itu.
"Itu bukan kunang-kunang biasa, mereka adalah para
manusia Liya-ak yang tengah menikmati keindahan
suasana malam", berkata Empu Dangka sambil
tersenyum. "Aku terlahir di tanah Bali ini, baru tahu ada manusia
Liya-ak yang dapat berujud sebagai kunang-kunang.
Apakah mereka yang juga disebut sebagai manusia
Leak?", bertanya Ki Demang yang merasa tertarik
tentang Manusia Liya-ak yang dikatakan oleh Empu
Dangka. 882 "Keduanya berasal dari aliran ilmu yang berbeda,
manusia Liya-ak telah melepaskan segala amarah yang
menyelimuti jiwanya hingga menemukan anugerah
pencerminan wajah dan sifat sang Hyiang Tunggal.
Sementara itu para manusia Leak adalah para pemuja
kegelapan", berkata Empu Dangka kepada Ki Demang.
"Dalam kehidupan sehari-hari, apakah ada tanda
yang dapat membedakan kehadiran mereka?", bertanya
Ki Demang. "Tidak ada perbedaannya, mereka tetap butuh makan
nasi jagung sebagaimana kita", berkata Empu Dangka
sambil tersenyum. Sementara itu lima buah cahaya seperti kunangkunang telah menghilang dari pandangan mereka. Dan
malam telah merangkak jauh dipenghujung malam.
Pagi itu langit begitu bening diatas bumi
Kademangan Rendang. Mentari belum muncul, hanya
selembar cahaya merahnya menguas warna awan
menjadi kuning kemerahan di ujung timur bumi, warna
daun dan rerumputan menjadi begitu jelas kehijauannya,
alam semesta pagi yang bening dan jernih itu begitu elok
rupawan bagai perawan wangi keluar dari sungai setelah
mandi. "Kademangan Rendang ini akan merindukan kalian",
berkata Ki Demang mengantar Empu Dangka dan
Mahesa Amping keluar dari regol rumah.
"Semoga dalam pengembaraanku dapat berjumpa
kembali dengan kalian", berkata Ki Amararaja yang juga
ikut mengantar. "Terima kasih untuk segala kehangatan yang kami
rasakan di rumah ini", berkata Empu Dangka kepada Ki
883 Demang dan Ki Amararaja. Ki Demang dan Ki Amararaja masih terus
memandang kearah Empu Dangka dan Mahesa Amping
yang telah melangkah di jalan tanah Kademangan yang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah mulai ramai. Di sebuah kelokan jalan Empu
Dangka dan Mahesa Amping akhirnya menghilang tidak
terlihat lagi. "Mereka adalah para pengembara sejati, terbang
bebas merdeka seperti elang di langit luas", berkata Ki
Demang ketika Empu Dangka dan Mahesa Amping
sudah menghilang di kelokan jalan.
Sementara itu langit pagi sudah terang disinari
cahaya mentari yang hangat. Terlihat dua orang lelaki
melangkahkan kakinya begitu ringan menyusuri jalan
setapak. Langkah kaki mereka sepertinya berayun
bebas, tidak perlahan namun juga tidak melaju terburuburu. Mereka adalah Empu Dangka dan Mahesa Amping
yang berjalan sambil menikmati alam pemandangan
yang elok di daratan Balidwipa. Kadang terlihat mereka
diantara jalan pematang sawah pegunungan hijau yang
luas berundak seperti tangga alam pendakian raksasa
menuju puncak gunung. Kadang juga langkah kaki
mereka harus merambat perlahan menembus sebuah
hutan pegunungan yang lebat jauh dari keramaian
manusia. Matahari sudah cukup tinggi diatas cakrawala langit,
namun cahayanya redup terhalang kerimbunan dahan
dan daun hutan kayu yang lebat. Tanah dihutan itu
sepertinya tidak pernah tersentuh cahaya sepanjang hari.
Sementara hembusan angin yang masuk diantara
dedaunan membawa semerbak harum tanah hutan yang
lembab. 884 "Ternyata begitu mudah mengundang kalian", berkata
seorang tua yang tiba-tiba saja datang menghadang
langkah kaki Mahesa Amping dan Empu Dangka.
Empu Dangka dan Mahesa Amping terperanjat,
namun mereka dengan cepat dapat menguasai perasaan
hatinya. Di belakang orang tua itu bermunculan empat orang
pemuda yang berpakaian cukup rapih.
"Siapakah kalian dan apa keperluan kalian
menghadang perjalanan kami?", berkata Empu Dangka
penuh ketenangan. "Jangan berpura-pura, pasti kalian para pemuja
kegelapan yang tengah mencari kami", berkata orang tua
itu sambil tersenyum. "Kami cuma pengembara yang kebetulan lewat hutan
ini", berkata Empu Dangka dengan penuh ketenangan
memandang wajah orang tua di depannya.
Selintas Empu Dangka dan orang tua itu saling
pandang. Tidak sedikit pun terlihat kegarangan diwajah
orang tua itu. "Maaf, aku telah salah menerka kalian", berkata
orang tua itu percaya dengan apa yang dikatakan Empu
Dangka. Namun tiba-tiba saja terasa angin di sekitar hutan itu
bergulung-gulung, beberapa daun kering beterbangan.
"Sudah kuduga, penampakan lima buah cahaya di
Kademangan Rendang sebuah upaya memancing
kehadiran kami", terdengar suara entah dari mana
sumbernya bercampur dengan suara tertawa tinggi yang
menggetarkan dada. "Wahai para manusia Liya-ak, saat
ini kalianlah buruan kami", kembali terdengar suara dari
885 berbagai arah. "Lekas nampakkan wujudmu, kami tidak sabar untuk
membasmi manusia Leak di bumi ini", berkata orang tua
itu dengan suara yang tidak kalah tingginya
menggetarkan suasana di sekelilingnya.
"Aku juga sudah tidak sabar untuk memakan hati
manusia Liya-ak", berkata seseorang yang entah dari
mana datangnya sudah ada dibawah pohon kayu besar.
Melihat penampilannya yang memakai pakaian terusan
yang kotor dengan wajah yang juga kotor membuat
siapapun yang memandangnya akan meninggalkan
perasaan seram. Sementara matanya berkilat bercahaya
seperti mata yang begitu kejam dan penuh kebengisan.
"Jangan takut kami akan mengeroyok, mari kita
lakukan tradisi perkelahian yang jujur sebagaimana para
buyut kita", berkata orang tua itu yang disebut manusia
Liya-ak mendekati seseorang yang ternyata adalah
manusia Leak. "Memakan jantung manusia Liya-ak akan menambah
kekuatan", berkata Manusia Leak sambil mengusap air
liurnya yang tidak terasa keluar menetes bersama
lidahnya yang sepertinya sengaja dijulur-julurkan, sebuah
tingkah laku yang sangat menjijikkan.
"Membunuh manusia Leak adalah sepuluh kebajikan", berkata manusia Liya-ak dengan mata penuh
kebencian memandang manusia Leak dihadapannya.
Ternyata manusia Leak telah melakukan apa yang
dikatakannya, tiba-tiba saja seperti terbang meluncur
dengan kepala didepan menyambar ke arah dada
manusia Liya-ak. Nyaris dada orang tua itu terkoyak sambaran dan
886 terkaman manusia Leak dengan ketajaman giginya bila
saja dengan gerakan yang cekatan meloncat terbang ke
samping sambil menjulurkan kakinya balas menyerang
manusia Leak. Sepertinya manusia Leak itu sudah membaca apa
yang dilakukan musuhnya, masih dalam keadaan
terbang belum lagi menjejakkan kakinya dibumi, seperti
ular besut tubuhnya begitu liat langsung berubah arah
meluncur menerkam leher orang tua itu.
Kembali orang tua itu melenting ke samping sambil
membalas menyerang ke arah tubuh manusia Leak
dengan begitu cepat dan tidak kalah bahayanya.
Demikianlah dua orang dari dua aliran ilmu yang
saling bermusuhan entah sejak kapan di daratan Bali itu
telah saling menyerang dan balas menyerang. Semakin
lama semakin cepat dan begitu menegangkan.
Sementara itu Empu Dangka menarik tangan Mahesa
Amping bergeser agak menjauh. Tidak terasa dada
mereka berdua agak berdebar menyaksikan dua
kekuatan ilmu yang berbeda meski berasal dari tempat
yang sama yaitu sebuah negeri yang sangat jauh dari
Tanah Hindu. Sebagaimana Empu Dangka dan Mahesa Amping,
keempat pemuda yang mengiringi orang tua itu juga telah
bergeser menjauh. Mereka juga dengan wajah yang
tegang menyaksikan pertempuran itu.
Tiba-tiba saja manusia Leak itu telah melenting
kebelakang sekitar sepuluh langkah. Terlihat manusis
Leak telah dalam keadaan duduk bersila dengan lengan
rebah diatas paha dan telapak tangan terbuka keatas.
Ternyata orang tua yang dikatakan sebagai manusia
Liya-ak juga melakukan yang sama sebagaimana yang
887 dilakukan oleh manusia Leak.
"Mari kita lanjutkan pertemburan ini di alam tak
terbatas", berkata Manusia Leak yang tiba-tiba saja
keluar dari ubun-ubunnya sebuah cahaya bulat bersinar
berwarna kemerahan. Berbarengan keluarnya cahaya kemerahan dari
ubun-ubun manusia Leak, dari mulut orang tua itu juga
telah keluar sebuah cahaya bulat bersinar kehijauan.
Yang terjadi kemudian adalah sebuah pemandangan
yang luar biasa, dua buah cahaya bulat saling berkejar
diudara, yang satu bersinar kemerahan sementara yang
lainnya bersinar kehijauan. Bahkan kadang dua cahaya
itu saling bertabrakan menimbulkan suara yang
berdentam keras seperti suara guntur mengguncang
bumi. Sementara dua cahaya saling bertempur, keempat
pemuda yang menjadi pengikut manusia Liya-ak telah
melakukan hal yang sama sebagaimana orang tua dan
manusia Leak. Mereka berjejer duduk bersila. Rupanya
mereka telah mengosongkan dirinya, terlihat empat buah
cahaya bulat bersinar kehijauan diatas kepala masingmasing.
"Mereka telah keluar dari rangka jasadnya", berkata
Mahesa Amping yang diam-diam telah mengendapkan
segala akal budinya, melihat dengan mata bathinnya.
Yang dilihatnya saat itu adalah sebagaimana
pertempuran sebelumnya ketika mereka beradu ilmu
dengan jasad mereka. Ternyata mata wadag hanya
mampu melihat cahaya bulat yang saling menyerang,
sementara dengan mata bathin, Mahesa Amping dapat
melihat mereka bertempur sebagaimana jasad kasar
bertempur. 888 Diam-diam Empu Dangka mengagumi pemuda
disebelahnya ini yang telah mampu menggunakan mata
bathinnya, sebuah pertanda orang bersangkutan telah
berada dalam tingkat kesempurnaan ilmu yang tinggi.
"Manusia Leak itu dari tataran tingkat utama", berkata
Empu Dangka yang sepertinya sangat mengenal tingkat
dan tataran kedua orang yang tengah bertempur itu. "Aku
pernah melihat manusia Liya-ak dari tataran tingkat
utama bertempur dengan manusia Leak yang juga ada di
tingkat tataran ilmu yang sama", berkata kembali Empu
Dangka sambil terus mengawasi jalannya pertempuran.
"Aku juga melihat orang itu itu telah menjadi bulanbulanan manusia Leak", berkata Mahesa Amping yang
juga menghawatirkan nasib lawan manusia Leak.
"Kita tidak dapat datang membantu, pertempuran
mereka adalah perkelahian hidup dan mati yang telah
berlangsung ratusan tahun diantara dua perguruan yang
telah saling bermusuhan", berkata Empu Dangka kepada
Mahesa Amping yang masih mengkhawatirkan lawan
manusia Leak yang terlihat sudah semakin tersudut
kewalahan menghadapi serangan manusia Leak yang
semakin gencar dan telah berada dipuncak tataran
ilmunya. "Bagaimana bila ada yang datang membantu?",
berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka.
"Aku belum pernah melihat ada orang luar yang
datang melerai pertempuran mereka, atau membantu
salah satu pihak", berkata Empu Dangka.
"Aku akan datang membantu", berkata Mahesa
Amping yang langsung meloncat mendekati arah
pertempuran. 889 Empu Dangka menarik nafas panjang, disebelahnya
jasad wadag Mahesa Amping masih duduk bersila.
"Biarlah aku yang menyelesaikan pertempuran yang
sudah tidak seimbang ini", berkata Mahesa Amping
kepada orang tua yang terlihat hampir saja terkalahkan
menghadapi serangan-serangan gencar dan berbahaya
dari Manusia Leak. "Kamu yang akan menggantikan takdirnya?", berkata
Manusia Leak menatap tajam Mahesa Amping.
"Anak muda, kenapa kamu menggantikan takdirku
ini?", bertanya orang tua itu kepada Mahesa Amping.
"Takdir milik yang Maha Kuasa Sang Hyiang Widi",
berkata Mahesa Amping penuh ketenangan. "Menyingkirlah, aku yang akan menghadapinya", berkata
kembali Mahesa Amping kepada orang tua itu.
Maka orang tua itu telah menyingkir bergabung
dengan kelompoknya empat orang pemuda. Entah
kenapa melihat tatapan mata Mahesa Amping dirinya
telah langsung mempercayainya.
Ternyata kepercayaan orang tua itu terhadap Mahesa
Amping tidak sia-sia. Terlihat Mahesa Amping telah
dapat mengimbangi serangan-serangan manusia Leak
yang sangat berbahaya. Bukan main geramnya manusia Leak itu yang baru
pertama kali bertemu dengan lawan tanding yang begitu
tangguh. Tidak satupun ditemui celah yang dapat
ditembus, sebaliknya beberapa pukulan telah bersarang
di beberapa tubuhnya. Manusia Leak itu terlihat semakin putus asa, maka
diterapkannya ilmu simpanannya yang jarang sekali
dipergunakan, sebuah aji yang sangat menyeramkan.
890 "Aji sekati nyawa", berkata Empu Dangka yang
melihat bagaimana manusia Leak telah mengetrapkan aji
simpanannya. Timbul kekhawatirannya terhadap Mahesa
Amping, dapatkah pemuda itu menghadapi ajian ilmu
purba yang selama ini hanya pernah didengar dari orangorang tua jaman dulu.
Siapapun yang menyaksikan apa yang dilihat
dihadapannya akan terbungkam sepertinya tidak
mempercayai apa yang terjadi.
Apa sebenarnya yang terlihat dan terjadi?""
Yang tengah terjadi adalah putusnya dua tangan dan
dua kaki serta kepala dari tubuh manusia Leak. Yang
sangat meyeramkan adalah kelima anggota tubuh yang
terlepas itu secara bersamaan menyerang Mahesa
Amping. Untungnya Mahesa Amping telah dapat menguasai
ilmu meringankan tubuh kelas tinggi dan nyaris telah
sampai ditataran puncak kesempurnaaannya. Maka tidak
satupun serangan yang dapat langsung mengenai tubuh
Mahesa Amping. "Ilmu meringankan tubuh yang sempurna", berkata
Empu Dangka kepada dirinya sendiri manakala melihat
tubuh Mahesa Amping melenting kesana kemari seperti


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belalang kecil melesat menghindari setiap serangan lima
buah anggota badan manusia Leak yang terpisah namun
serentak melakukan serangan.
Kembali manusia Leak itu menggeram, tidak satu pun
serangannya mengenai tubuh lawannya, bahkan setahap
demi setahap Mahesa Amping telah menguasai
pertandingan terlihat balas melakukan serangan yang
tidak kalah berbahayanya.
891 Sementara senja diatas hutan belantara itu telah
datang menyelimuti bumi. Kegelapan telah mengelilingi
pandangan mata. Namun pertandingan yang tidak
memerlukan mata wadag antara manusia Leak dan
Mahesa Amping masih terus berlangsung.
Manusia Leak itu sepertinya sudah begitu geram,
segala tenaga dikerahkan namun tak satupun serangan
dapat mengenai tubuh Mahesa Amping yang begitu
cepat menghindar melenting dan balas menyerang.
Beberapa pukulan Mahesa Amping telah bersarang di
berbagai anggota badan yang terpisah itu.
Mahesa Amping diam-diam mengagumi semangat
tempur dari manusia Leak yang tidak mengenal rasa
putus asa. Maka diam-diam telah menerapkan ilmu
simpanannya yang jarang sekali dipergunakan, hanya
dalam keadaan terpaksa. Dalam sebuah serangan kepungan yang cepat dari
lima anggota tubuh manusia Leak, Mahesa Amping
melenting ke udara. Masih dalam keadaan melenting diudara, terlihat
sebuah seleret cahaya keluar dari sorot mata Mahesa
Amping. Ternyata sinar kilat cahaya yang begitu cepat
datangnya dari sorot mata Mahesa Amping tertuju
kesebuah salah satu lengan manusia Leak.
Akibatnya membuat siapapun yang melihatnya akan
terperanjat menahan nafas tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Sebuah lengan manusia Leak hangus terbakar
tergeletak diatas tanah. "Apakah kamu masih menunggu satu persatu 892 anggota tubuhmu hangus terbakar?" berkata Mahesa
Amping dihadapan sebuah kepala yang terpisah.
"Ternyata kisanak belum mengetahui aturan dari
pertempuran di alam tak terbatas ini. Kuakui ketinggian
ilmu kisanak melampaui tataran ilmuku, untuk itu sesuai
aturan pertempuran ambillah nyawaku kapanpun engkau
mau", berkata kepala yang terpisah itu sepertinya telah
mengakui kekalahannya. Dan tiba-tiba saja seluruh anggota badan manusia
Leak itu menghilang. Ternyata manusia Leak itu telah
kembali ke jasad kasarnya.
Bersamaan dengan itu pula Mahesa Amping telah
kembali ke jasad kasarnya yang masih duduk bersila di
sebelah Empu Dangka. Terlihat Mahesa Amping berdiri dan melangkah
mendekati Manusia Leak yang tengah tertunduk menanti
tindakan Mahesa Amping untuk melepas nyawanya.
"Aku tidak akan mengambil nyawamu, nyawamu
bukan milikku, dialah Sang Hyiang Widi pemilik segala
yang hidup", berkata Mahesa Amping kepada Manusia
Leak dihadapannya yang masih tertunduk pasrah.
"Ajaran kami kekalahan adalah kematian", berkata
manusia Leak itu perlahan.
"Itulah ajaran kegelapan, lihatlah dunia di
sekelilingmu, lihatlah kehidupan yang tercurah yang
diberikan oleh Yang Maha Hidup, Yang Maha Kasih,
yang telah menjadikan alam ini penuh dengan
kedamaiannya. Jadilah manusia yang berarti itulah
kehidupan yang sebenarnya", berkata Mahesa Amping
kepada manusia Leak. "Bila aku punya arti bagi kehidupan ini, itukah
893 pertanda aku punya kehidupan?", bertanya manusia
Leak itu mengangkat wajahnya perlahan kepada mahesa
Amping. "Manusia yang tidak punya arti dalam kehidupannya
adalah manusia yang telah lama mati meski masih
bernyawa", berkata Mahesa Amping.
"Sang kegelapan telah mengisi seluruh benakku
dengan kekuasaan yang tak terbatas, menjadikan tangan
ini sebagai pencabut nyawa demi keinginan segala
dendam. Tapi hati ini sedikit pun tidak merasakan
kebahagiaan. Semakin meluaskan segenap kebencian
keseluruh bumi, semakin jiwa ini tak pernah terpuaskan.
Namun manakala tuan berkata tentang Yang Maha
Hidup, Yang Maha Kasih, jiwa ini sepertinya telah
terkubur. Kulihat sedikit cahaya dalam kegelapan di
rongga hati ini yang sepertinya memberikan sedikit
pengharapan sebuah kebahagiaan yang belum pernah
kurasakan, sebuah rasa yang baru kali ini datang,
sebuah rasa yang bukan kepuasan, kegembiraan, tapi
sebuah ketenangan jiwa, merasakan ada di dalam
genggaman Yang Maha Hidup, Yang Maha Kasih",
berkata manusia Leak perlahan kepada Mahesa Amping.
"Pergilah kemanapun kamu pergi, Yang Maha Hidup
ada dimanapun kamu berada, disaat pagi dan petang,
dalam keadaan kamu berdiri, duduk dan berbaring. Dia
Yang Maha Hidup akan berlari kepadamu manakala
kamu berjalan menghadapnya", berkata Mahesa Amping
kepada manusia Leak. "Tuan telah memberikan kepada hamba sebuah
tuntunan yang belum pernah sekalipun kudengar,
kupersembahkan jiwa ini berbakti selamanya kepada
tuan", berkata manusia Leak itu sambil bersujud
dihadapan Mahesa Amping. 894 "Bangkitlah, mulai hari ini kita bersaudara", berkata
Mahesa Amping sambil mencoba mengangkat tubuh
manusia Leak untuk berdiri.
Bukan main gembiranya manusia
mendengar perkataan Mahesa Amping.
Leak itu "Namaku Jaran Waha, benarkah tuan mengangkat
hamba ini sebagai saudara?", berkata manusia Leak itu
yang telah memperkenalkan dirinya bernama Jaran
Waha. "Namaku Mahesa Amping, mulai hari ini kita
bersaudara", berkata mahesa Amping mengulang
perkataannya sepertinya meyakinkan kepada Jaran
Waha atas apa yang diucapkannya.
"Terima kasih, sebuah kebahagiaan menjadi
saudaramu", berkata Jaran Waha sambil memeluk tubuh
Mahesa Amping penuh kegembiraan.
Orang tua dan empat orang pemuda yang
bersamanya telah mendengar dan menyaksikan apa
yang telah terjadi menjadi merasa terharu.
"Wahai anak muda, pemahamanmu mengenai
kebenaran begitu tinggi, kami menjadi malu pada diri
sendiri, selama ini kami hanya mengenal membasmi
kejahatan adalah sebuah pembunuhan, ternyata
kebenaran sejati adalah menghidupkan kehidupan itu
sendiri ", berkata orang tua itu. "Perkenalkan kami dari
perguruan Panca Agni, namaku Ki Arya Sidi. Dan
keempat pemuda yang bersamaku adalah para muridku
empat orang Pangeran muda putra Raja Puri Pusering
Jagad di Pejeng", berkata orang tua itu memperkenalkan
dirinya dan keempat muridnya.
"Bahagia diri ini dapat berkenalan dengan seorang
895 guru dari perguruan Panca Agni dan juga keempat
muridnya", berkata Mahesa Amping menjura penuh
hormat. "Kami berhutang budi padamu anak muda, semoga
kami dapat membalasnya", berkata Ki Arya Sidi kepada
Mahesa Amping. "Hutang budi itu kuanggap telah selesai manakala
tidak ada permusuhan lagi antara perguruanmu dengan
saudaraku ini", berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya
Sidi. "Aku juga akan mengikat persaudaraan denganmu
anak muda, apakah dirimu berkenan?", bertanya Ki Arya
Sidi menunggu jawaban dari Mahesa Amping.
"Dengan tangan terbuka dan wajah kebahagiaan
menerima Ki Arya Sidi sebagai saudara. Itu artinya kita
bertiga telah terikat tali persaudaraan", berkata Mahesa
Amping sambil memeluk Ki Arya Sidi dengan penuh
kegembiraan. "Mari Ki Jaran Waha, kita bertiga adalah saudara",
berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha yang
langsung mendekat. Maka terlihat mereka bertiga saling berpelukan
sebagaimana saudara yang disaksikan oleh keempat
pemuda para murid Ki Arya Sidi dan juga tentunya Empu
Dangka yang masih duduk di tempatnya.
"Aku lupa memperkenalkan sahabat perjalananku",
berkata Mahesa Amping yang telah memperkenalkan
Empu Dangka kepada semua yang ada dihutan itu.
Sementara itu suasana di hutan itu sudah begitu
gelap, sang malam telah menyelimuti bumi.
"Tempat tinggalku tidak jauh dari sini, mudah896
mudahan kalian berkenan mampir ditempatku yang
sederhana", berkata Ki Jaran Waha menawarkan semua
yang ada untuk singgah di tempat tinggalnya.
"Maafkan kami saudaraku Ki Jaran Waha, Pejeng
sudah tidak begitu jauh lagi, biarlah kami melanjutkan
perjalanan kami dimalam hari ini", berkata Ki Arya Sidi.
"Bila kalian ada di sekitar Pejeng, datang singgahlah ke
Padepokan kami", berkata kembali Ki Arya Sidi.
"Kami akan berkunjung ke Padepokan Panca Agni,
karena kebetulan kami akan melewati Pejeng", berkata
Empu Dangka kepada Ki Arya Sidi.
"Terima kasih, kami akan menunggu kedatangan
kalian", berkata Ki Arya Sidi sambil berpamitan bersama
keempat muridnya melanjutkan perjalanannya.
Demikianlah, akhirnya Mahesa Amping dan Empu
Dangka mengikuti Ki Jaran Waha berjalan kearah tempat
tinggalnya. Setelah mereka berjalan menyusuri hutan yang
gelap, sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Jaran Waha
bahwa tempat tinggalnya memang tidak begitu jauh.
Akhirnya mereka telah sampai di kediaman Ki Jaran
Waha. Ternyata kediaman Ki Jaran Waha adalah sebuah
goa yang ada didalam hutan itu sendiri. Bila saja datang
tidak bersama Ki Jaran Waha, tidak seorangpun dapat
menemui goa itu. ----------oOo---------JILID 10
Pintu goa itu sendiri terhalang semak belukar.
Mereka terlihat memasuki lubang goa yang sempit hanya
897 cukup masuk untuk satu orang.
Namun ketika mereka semakin masuk kedalam,
ternyata ada ruangan yang cukup luas selebar tiga kali
kamar. Dua buah pelita berada di dua sudut cukup
menerangi ruangan. Terlihat sebuah bale batu besar di
tengah-tengah ruangan. Dan seorang pemuda diatas
bale batu itu terkejut melihat kedatangan mereka bertiga.
"Kita kedatangan tamu istimewa, siapkan minuman
dan makanan hangat untuk kami", berkata Ki Jaran
Waha kepada pemuda itu. Dengan sigap pemuda itu turun dari bale batu
menyiapkan perapian. "Silahkan naik keatas bale batu, cuma itu perabot
didalam goa ini", berkata Ki Jaran Waha mempersilahkan
Mahesa Amping dan Empu Dangka.
"Setidaknya malam ini kita terlindung dari angin dan
embun", berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha
mencoba membesarkan hatinya.
Demikianlah, malam itu Mahesa Amping dan Empu
Dangka bermalam ditempat Ki Jaran Waha didalam
sebuah goa. "Maafkan aku saudaraku, aku telah melumpuhkan
tangan kirimu", berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran
Waha. "Akulah yang seharusnya berterima kasih, dengan
kejadian itu tangan kananku dapat mengerti arti hidup
ini", berkata Ki Jaran Waha sambil tersenyum.
Ketika minuman dan makanan hangat telah
disiapkan, mereka pun nampak menikmati hidangan
malam itu diatas bale batu. Sepanjang malam mereka
asyik bercakap-cakap. Ada-ada saja yang mereka
898 percakapkan. Ternyata dari percakapan itu dapat diketahui bahwa
Ki Jaran Waha adalah seorang Raja Leak. Para
pengikutnya tersebar di seluruh daratan bumi Bali.
"Ternyata aku berhadapan dengan seorang Raja",
berkata Empu Dangka. "Bahkan kita telah makan di satu
bersamanya", menimpali Mahesa Amping.
tempat "Tidak sebagaimana Raja Puri Dalem, Raja Leak
cuma punya perabot Bale Batu", berkata Ki Jaran Waha
yang disambut tawa oleh Mahesa Amping dan Empu


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dangka. Akhirnya rasa kantuk yang menghentikan pembicaraan mereka. Terlihat satu persatu mencari
tempat untuk tidur didalam goa.
Sang malam ternyata hanya tinggal menyisakan
waktunya sedikit, sebentar saja sudah terdengar suara
ayam hutan berkokok sebagai tanda hari sudah masuk
pagi. "Semoga perjalanan kalian dipenuhi keselamatan",
berkata Ki Jaran Waha mengantar sampai keluar goa
Mahesa Amping dan Empu Dangka yang akan
melanjutkan perjalanan mereka.
"Semoga hari-harimu dipenuhi kesejahteraan wahai
saudaraku", berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran
Waha. "Ikat pinggang itu adalah tanda pengenalku, seluruh
pengikutku di tanah Bali ini akan setia kepadamu
sebagaimana mereka setia kepadaku", berkata Ki Jaran
Waha mengingatkan Mahesa Amping atas ikat pinggang
pemberiannya. Sebuah ikat pinggang sederhana dengan
899 tameng dari bahan perak bergambar matahari.
Sampai jauh Ki Jaran Waha dan pemuda yang setia
menemaninya mengikuti punggung belakang Mahesa
Amping dan Empu Dangka yang telah melangkah
menjauh dari tempat tinggal mereka hingga akhirnya
hilang terhalang semak belukar dan batang-batang kayu
besar di hutan itu. Mahesa Amping dan Empu Dangka terus membelah
semak-semak belukar berjalan menyusuri hutan yang
masih tetap gelap meski matahari diluar sana telah cukup
tinggi. Akhirnya ketika matahari sudah berdiri diatas
puncaknya, Mahesa Amping dan Empu Dangka terlihat
keluar dari hutan rimba yang pekat, sebuah hutan
perawan yang jarang sekali didatangi oleh siapapun yang
ternyata didalamnya adalah sebuah kediaman seorang
raja Leak, pemimpin tertinggi para manusia Leak di
daratan Bali yang ternyata bernama Ki Jaran Waha.
"Semoga Ki Jaran Waha dapat membimbing para
pengikutnya menuju jalan kebenaran", berkata Mahesa
Amping sambil menoleh ke arah hutan rimba ketika jarak
mereka dengan hutan itu terlihat sudah semakin
menjauh. "Aku pun berharap demikian, semoga juga mereka
dapat mengikis sedikit demi sedikit pandangan orang Bali
tentang manusia Leak", berkata Empu Dangka.
Sementara itu hari sudah mendekati senja ketika
mereka tiba di sebuah dusun.
"Dapatkah kakek menunjukkan kepada kami
Padepokan Panca Agni", berkata Mahesa Amping
kepada seorang tua yang dijumpainya masih berada di
900 sawah. "Teruslah kalian menyusuri tegalan ini, Padepokan
Panca Agni ada di puncak bukit Pejeng Gundul", berkata
orang tua itu sambil menunjuk ke sebuah perbukitan
yang sudah begitu dekat dari tempat mereka berdiri.
"Jadi bukit didepan itu bernama bukit Pejeng
gundul?", bertanya Mahesa Amping.
"Benar, di puncak bukit itulah Padepokan Panca Agni
berdiri", berkata orang tua itu mengulangi keterangannya.
"Terima kasih Kek", berkata Mahesa Amping kepada
orang tua itu yang membalasnya dengan sebuah
anggukan kepala sebagai tanda keramahannya.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh orang tua itu,
Mahesa Amping dan Empu Dangka terus mengikuti
tegalan sawah menuju ke sebuah perbukitan kecil.
Akhirnya manakala senja telah turun menyelimuti
perbukitan kecil, Mahesa Amping dan Empu Dangka
telah berada diatas puncak bukit Pejeng Gundul. Sebuah
hamparan tanah lapang menghadang dihadapan
mereka. Tidak ada pohon kayu satu pun. Dan sebuah
Padepokan kecil terlihat berdiri sunyi dipayungi langit
senja yang bening sepertinya sebuah bangunan yang
elok telah tercipta dan bersatu dengan alam perbukitan
yang dipenuhi hamparan padang alang-alang.
"Sebuah Padepokan yang menjauh dari lingkungannya", berkata Mahesa Amping memandang
sebuah bangunan Padepokan kecil.
"Mungkin mereka memang ingin menjauh dan keluar
dari lingkungan di sekitarnya, atau memang mereka
menyukai kesunyian dan kesendirian", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping yang terus melangkah
901 mendekati Padepokan diatas puncak bukit itu.
Ketika mereka sampai di regol Padepokan Panca
Agni, pintu gerbang tidak terkunci juga tidak ada
panggungan menara ronda sebagaimana sebuah
padepokan besar umumnya. Mahesa Amping mendorong pintu gerbang yang tidak
terkunci dan menjulurkan kepalanya melihat kedalam.
Ternyata ada seorang lelaki tua tengah membawa
sebuah pelita yang akan diletakkan disusut pintu regol
halaman. "Silahkan masuk, apakah tuan-tuan akan bertemu
dengan Ki Arya Sidi ?", bertanya lelaki tua itu.
"Benar, kami ingin bertemu dengan Ki Arya Sidi",
berkata Mahesa Amping yang telah membuka pintu
gerbang lebih lebar lagi.
"Mari kuantar tuan-tuan ke Pendapa", berkata Lelaki
tua itu mengantar Mahesa Amping dan Empu Dangka
menuju pendapa Padepokan Panca Agni.
"Padepokan ini begitu sepi", bertanya Mahesa
Amping kepada lelaki tua itu yang merasa aneh bahwa
sebuah Padepokan begitu sepi tidak ada orang yang
terlihat selain lelaki tua itu.
Lelaki tua yang mengerti keheranan Mahesa Amping
hanya tersenyum. "Penghuni padepokan saat ini masih ada di sanggar
bersama Ki Arya Sidi", berkata Lelaki tua itu kepada
Mahesa Amping. Terlihat Mahesa Amping, Empu Dangka dan orang
tua itu tengah naik tangga pendapa.
"Tunggulah disini, aku akan menyampaikan tentang
902 kedatangan tuan-tuan", berkata orang tua itu
mempersilahkan Mahesa Amping dan Empu Dangka
menunggu di Pendapa. Diam-diam senja sudah semakin surut, pandangan
mata di depan halaman sudah semakin buram.
"Maaf, tentunya kalian menunggu disini begitu lama",
berkata Ki Arya Sidi yang telah muncul di Pendapa
menemui Mahesa Amping dan Empu Dangka.
"Kami belum begitu lama, justru kamilah yang
meminta maaf telah mengganggu kesibukan Ki Arya
Sidi", berkata Empu Dangka.
"Tidak ada yang terganggu, bahkan aku merasa
sebuah kehormatan dikunjungi kalian", berkata Ki Arya
Sidi. Akhirnya mereka pun saling
keselamatan masing-masing.
bercerita "Aku berharap kalian dapat dua
Padepokan ini", berkata Ki Arya
pengharapan. tentang tiga hari di Sidi penuh "Kami hanya pengembara yang tidak punya tujuan,
dua tiga hari tidak masalah untuk kami", berkata Empu
Dangka sambil tersenyum memandang Mahesa Amping
sepertinya meminta persetujuan.
"Sebuah kenikmatan dua tiga hari dapat terhindar
dari angin dan hujan", berkata Mahesa Amping
sepertinya menyetujui. Terdengar suara pintu berderit dari dalam, seorang
lelaki tua yang sudah dikenal oleh Mahesa Amping dan
Empu Dangka terlihat membawa beberapa hidangan.
"Silahkan dinikmati hidangan malamnya, mumpung
903 masih hangat", berkata Ki Arya Sidi mempersilahkan
para tamunya. Setelah menikmati hidangan malam, mereka pun
mengisi malam dengan perbincangan. Banyak hal yang
mereka bicarakan. "Ternyata Empu Dangka pemerhati masalah para
penguasa pura saat ini. Aku pun berpendapat yang sama
bahwa saat ini para penguasa pura umumnya telah
keluar dari garis kekuasaan para pendahulunya sebagai
pelayan rohani", berkata Ki Arya Sidi menyampaikan
pendapatnya. "Bukankah Ki Arya Sidi adalah guru para pangeran
penguasa pura di Balidwipa ini ?", bertanya Mahesa
Amping. "Secara turun temurun para Pangeran penguasa
Pura di Balidwipa ini menjadi seorang sisya di
Padepokan Panca Agni ini, namun di tahun ini hanya
pangeran dari Pura Pusering Jagad saja yang
mengirimkan para Pangerannya. Aku belum tahu apakah
keberadaan Padepokan ini sudah mulai meluntur dalam
pandangan mereka", berkata Ki Arya Sidi.
"Jadi hanya empat orang pangeran dari Pura
Pusering Jagad di Padepokan Panca Agni ini", berkata
Mahesa Amping. "Berapapun memang bukan masalah untukku, aku
hanya mewarisi apa yang telah ayah dan buyutku
melakukannya, membina para pangeran para penguasa
pura, menjadi guru para sisya di padepokan Panca Agni
ini", berkata Ki Arya Sidi.
Dan malam pun berlalu semakin larut diatas bumi
Padepokan Panca Agni. Angin semilir dingin
904 menghembus kantuk yang datang menggelayut.
Akhirnya Ki Arya Sidi memaklumi kedua tamunya
yang terlihat sudah perlu beristirahat telah mempersilahkan keduanya masuk ke peraduan yang
telah disediakan. "Aku ini memang tuan rumah yang tidak tahu diri,
sudah tahu tamunya sudah suntuk masih diajak
berbincang-bincang", berkata Ki Arya Sidi sambil
tersenyum. "Berbincang dengan Ki Arya Sidi memang
mengasikkan, tapi kantuk ini memang datang tanpa
diundang", berkata Empu Dangka sambil mengangkat
badannya berdiri. Dan malam pun berlalu bersama suara keheningan
yang senyap, meski kadang ditingkahi suara angin
mendayu dayu diatas puncak Bukit Pejeng gundul
menggulung padang ilalang. Sesekali terdengar suara
burung tekukur jantan tengah menjaga sang betina yang
tengah mengerami dua butir telur hasil percintaan
mereka. Itulah panggung dunia malam di sekitar Padepokan
Panca Agni yang sunyi senyap jauh dari keramaian
penduduk di sekitarnya. Malam pun akhirnya surut pergi ke balik bumi yang
lain, berganti sang pagi yang ditandai dengan pecahnya
warna awan biru oleh sinar kuning terang di ujung timur
bumi. Indahnya warna dunia pagi di saat matahari masih
dibawah bibir bumi menjadikan suasana begitu bening
sepanjang mata memandang, batang pohon kayu, tanah
dan rumput terlihat jelas dalam nuansa kehijauannya.
Dalam suasana pagi yang indah itulah Mahesa
905 Amping dan Empu Dangka terlihat duduk di pendapa
Padepokan Panca Agni tengah menikmati suasana pagi.
"Ternyata kalian telah bangun mendahului aku",
berkata Ki Arya Sidi yang baru saja datang dan langsung
bergabung di pendapa Padepokan Panca Agni.
"Sang Maha Karsa telah menciptakan awal pagi
sebagai keelokan wajah bumi, memberi mata ini
memandang tak pernah jemu", berkata Empu Dangka.
"Aku iri dengan kehidupan kalian, setiap hari
menikmati lukisan alam pagi yang berbeda, di sebuah
tempat dan waktu", berkata Ki Arya Sidi kepada Mahesa
Amping dan Empu Dangka. "Ki Arya Sidi tanpa disadari telah melihat warna pagi
yang berbeda ketika menerima para pangeran muda di
awal pertama sebagai seorang Sisya Padepokan",
berkata Empu Dangka. "Apa yang Empu katakan memang dapat kurasakan,
ada sebuah keindahan yang kurasakan di saat menerima
para pangeran muda yang datang dipadepokan ini",
berkata Ki Arya Sidi membenarkan perkataan Empu
Dangka. Sementara itu tidak terasa sang mentari telah


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merayap naik melewati ujung bibir bumi, menerangi
halaman Padepokan Panca Agni.
"Mari kita ke sanggar melihat para sisya berlatih",
berkata Ki Arya Sidi mengajak Mahesa Amping dan
Empu Dangka ke Sanggar. Ketika mereka tiba di Sanggar, keempat para Sisya
Padepokan Panca Agni terlihat tengah berlatih
ketahanan tubuh dengan beberapa alat yang ada dan
tersedia di dalam sanggar. Namun melihat Guru mereka
906 yang datang bersama dua orang tamu yang sudah
dikenalnya mereka menghentikan latihan dan datang
menghampiri. Secara berturut Ki Arya Sidi memperkenalkan
keempat Sisyanya kepada Mahesa Amping dan Empu
Dangka. "Mulai dari yang paling tua bernama Wayan Dewa
Bayu, adik keduanya bernama Made Dewa Apah, adik
ketiga bernama Nyoman Dewa Teja, dan adik ketiganya
yang terkecil bernama Ketut Dewa Akasa", berkata Ki
Arya Sidi memperkenalkan keempat sisyanya.
"Namaku Mahesa Amping, dan ini Empu Dangka, kita
telah bertemu beberapa hari yang lalu", berkata Mahesa
Amping memperkenalkan dirinya kepada keempat Sisya.
"Saudaraku Mahesa Amping ingin melihat kalian
berlatih, lakukanlah dari awal", berkata Ki Arya Sidi
kepada keempat orang Sisyanya.
Maka keempat sisya Padepokan Panca Agni
mengambil tempat yang luas didalam sanggar. Terlihat
mereka secara bersamaan dan perlahan melakukan
gerakan-gerakan jurus perguruan mereka.
"Sebuah jurus yang indah", berkata Mahesa Amping
yang melihat keempat sisya melakukan gerak jurus
mereka. Ternyata yang dilihat Mahesa Amping adalah gerak
awal, gerak selanjutnya terlihat semakin lama menjadi
semakin cepat. Sebagai seorang yang ahli kanuragan yang juga
dikaruniai daya tangkap yang luar biasa, Mahesa Amping
sudah dapat memahat dan menghafal setiap jurus yang
dilihatnya. 907 Maka ketika keempat sisya telah selesai
memperlihatkan semua jurus perguruan mereka, Mahesa
Amping dengan penuh hormat meminta kepada Ki Arya
Sidi untuk memperlihatkan hasil rancangannya mengenai
jurus yang baru saja diperagakan itu.
"Ijinkan aku yang bodoh ini memperlihatkan beberapa
penyesuaian, mudah-mudahan berguna", berkata
Mahesa Amping sambil melangkah ke tempat yang agak
lapang agar dapat dilihat oleh semua yang ada di
sanggar itu. Terlihat Mahesa Amping telah melakukan gerakan
jurus perguruan Panca Agni dengan perlahan.
Bukan main tercengangnya Ki Arya Sidi melihat
Mahesa Amping tengah menjalankan gerakan jurusnya
yang nyaris sempurna, tidak ada beda sedikit pun
sebagaimana sebelumnya telah diperagakan oleh para
sisyanya. Kembali Ki Arya Sidi menjadi semakin tercengang
manakala memperhatikan lebih teliti lagi atas semua
gerakan yang dilakukan oleh Mahesa Amping. Ternyata
sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping untuk
memberikan beberapa penyesuaian jurus perguruannya
telah benar-benar diperlihatkan.
"Terima kasih, sebuah penyesuaian yang nyaris
sempurna", berkata Ki Arya Sidi penuh kegembiraan
melihat beberapa bagian jurus perguruannya telah
diubah menjadi begitu sempurna.
"Hanya sedikit penyesuaian", berkata
Amping yang telah menghentikan gerakannya.
Mahesa "Dengan terpaksa aku meminta saudaraku Mahesa
Amping lebih lama sedikit di Padepokan Panca Agni",
908 berkata Ki Arya Sidi kepada Mahesa Amping. "Untuk
memberikan bimbingan langsung tentang penyesuaian
jurus perguruan kami kepada para Sisyaku", berkata
kembali Ki Arya Sidi. "Apa artinya sebuah waktu dan hari bagi seorang
pengembara", berkata Empu Dangka kepada Mahesa
Amping. Mahesa Amping tersenyum mendengar perkataan
Empu Dangka. "Semoga tuan rumahnya tidak bosan menanggung
dua orang pengembara", berkata Mahesa Amping yang
disambut tawa oleh Ki Arya Sidi.
"Untuk dua orang pengembara seperti kalian, kami
akan merasa gembira dapat menahan kalian tidak keluar
dari gerbang Padepokan ini", berkata Ki Arya Sidi dengan
penuh kegembiraan bahwa permintaannya untuk tinggal
beberapa hari lebih lama sepertinya dapat dikabulkan.
Demikianlah, pada hari itu Mahesa Amping langsung
membimbing keempat Sisya Padepokan Panca Agni
dengan beberapa jurus penyesuaian.
Ternyata para Sisya padepokan Panca Agni adalah
orang-orang yang cerdas. Mereka dengan mudah dapat
mengikuti bimbingan dari Mahesa Amping.
"Hanya perlu beberapa pengulangan, kalian akan
terbiasa dengan beberapa bagian yang berubah",
berkata Mahesa Amping kepada para sisya yang
dilihatnya telah dapat melaksanakan bimbingannya.
"Terima kasih, kami akan berlatih terus", berkata
Wayan Dewa Bayu mewakili saudaranya.
"Bagus, aku melihat kalian sangat berbakat", berkata
Mahesa Amping. 909 Demikianlah, Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki
Arya Sidi hari itu melihat para sisya berlatih dengan
penuh semangat. "Saatnya aku yang mulai berlatih", berkata Ki Arya
Sidi sambil maju beberapa langkah langsung melakukan
gerakan jurus perguruannya.
Sebagai seorang guru, Ki Arya Sidi terlihat sudah
dapat langsung melakukan perubahan penyesuaian
sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh Mahesa
Amping. Demikianlah, seharian mereka berada di sanggar
Padepokan Panca Agni berlatih jurus perguruan mereka
yang telah disempurnakan oleh Mahesa Amping. Ketika
matahari telah turun mendekati ujung barat lengkung
bumi barulah mereka keluar dari sanggar.
"Semangat Ki Arya Sidi ternyata masih membara",
berkata Mahesa Amping ketika mereka duduk di
pendapa menghabisi waktu senjanya.
"Kehadiran kamulah yang telah membangkitkan
semangatku, terutama penyempurnaan jurus perguruan
kami", berkata Ki Arya Sidi.
"Melihat kawanku Mahesa Amping yang selalu
berbagi, aku jadi iri. Sekarang giliranku yang akan
berbagi sedikit ilmu cambukku kepadamu", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping.
"Empu Dangka ingin memberikan ilmu cambuk
kepadaku ?", bertanya Mahesa Amping.
"Cambuk adalah lambang kelembutan, aku melihat
sifat dan sikapmu sangat sejiwa dengan lambang
cambuk itu sendiri yang kadang lembut, tapi kadang
dapat keras menghentak", berkata Empu Dangka kepada
910 Mahesa Amping. "Itupun bila dirimu berkenan", berkata
kembali Empu Dangka. "Adalah sebuah kehormatan mewarisi ilmu cambuk
dari Empu Dangka, terima kasih telah mempercayakannya kepada diri ini", berkata Mahesa Amping.
"Aku telah mewarisi ilmu cambuk ini kepada orang
yang tepat, aku yakin di tanganmu akan berkembang
melebihi apa yang telah aku capai", berkata Empu
Dangka merasa gembira bahwa Mahesa Amping
berkenan menerima tawarannya menurunkan ilmu
cambuknya. "Empu Dangka terlalu memuji, mudah-mudahan
diriku yang bodoh ini dapat menerima pengajaran yang
Empu Dangka berikan", berkata Mahesa Amping dengan
penuh kerendahan hati. "Merasa bodoh, itulah jiwa para penuntut ilmu sejati.
Karena ilmu itu sendiri laksana samudra laut yang maha
luas, semakin kita minum semakin kita menjadi haus.
Semakin kita mendalaminya, semakin banyak yang tidak
kita ketahui", berkata Empu Dangka
"Ucapan Empu Dangka sebagai pusaka yang akan
aku bawa dalam jiwa ini", berkata Mahesa Amping.
"Besok kita akan mulai berlatih", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping.
"Setidaknya hari-hari di Padepokan Panca Agni ini
menjadi tidak menjemukan", berkata Ki Arya Sidi yang
merasa gembira bahwa Empu Dangka dan Mahesa
Amping agak lebih lama di Padepokannya.
Sementara itu tidak terasa rembulan sudah muncul di
ujung timur menggelantung di langit meski awan senja
masih terang berwarna pucat. Terlihat padang ilalang
911 yang mengelilingi Padepokan Panca Agni berayun-ayun
merunduk ditiup angin. Dan sang waktu terus berlalu. Langit malam telah
menyelimuti Padepokan Panca Agni di puncak bukit
Pejeng Gundul itu. Bersama dengan bergulirnya sang waktu, penguasa
malam nampaknya telah bersembunyi di sisi kegelapan
bumi lainnya ketika sang fajar datang menjenguk wajah
bumi pagi. Suara ayam jago sudah terdengar sayup dari
perkampungan yang jauh. Wajah pagi yang bening
terlihat semakin cerah dan hangat manakala sang
mentari telah muncul utuh bergelantung di ujung
lengkung langit sebelah timur.
Para penghuni Padepokan Panca Agni di pagi itu
telah memulai kembali melakukan latihan didalam
sanggar bersama Mahesa Amping dan Empu Dangka.
"Biarlah aku yang mendampingi para sisya", berkata
Ki Arya Sidi yang nampaknya telah memberikan
kesempatan kepada Mahesa Amping untuk menerima
pengajaran ilmu cambuk dari Empu Dangka.
"Terima kasih", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Arya Sidi. Terlihat Mahesa Amping dan
mengambil tempat disudut Sanggar.
Empu Dangka "Aku akan memperkenalkan kepadamu tentang
wujud serta sifat dari cambuk ini sebagai dasar mengenal
ilmu cambuk", berkata Empu Dangka kepada Mahesa
Amping. Maka mulailah Empu Dangka menjelaskan beberapa
hal mengenai wujud dan sifat dari sebuah cambuk
kepada Mahesa Amping yang mendengarnya dengan
912 penuh perhatian. Ternyata Mahesa Amping mempunyai daya tangkap
yang cemerlang, dengan singkat telah memahami segala
sifat maupun watak dari sebuah senjata cambuk yang
disampaikan langsung dari Empu Dangka.
Setahap demi setahap Empu Dangka memberikan
dasar-dasar menggunakan sebuah senjata cambuk.
"Perlu waktu satu bulan ketika aku memberikan
pemahaman dasar-dasar jurus cambuk kepada
Kertanegara maupun Kebo Arema. Sementara kamu
sudah dapat melakukannya dengan begitu sempurna
dalam waktu setengah hari", berkata Empu Dangka yang
merasa kagum atas kecepatan Mahesa Amping
menguasai dasar-dasar jurus ilmu cambuknya.
Sementara itu di sisi lain didalam sanggar itu, para
sisya masih terus berlatih. Terlihat juga kemajuan
mereka yang membuat gembira Ki Arya Sidi sebagai
gurunya. Latihan mereka di dalam sanggar itu akhirnya terhenti
ketika sang pelayan tua datang membawa hidangan
untuk makan siang. "Bila tidak ingat sedang berlatih, pasti kuisi penuh
perutku ini", berkata Mahesa Amping sambil memegang
paha ayam yang ditanggapi senyum para Sisya.
"Ternyata kita punya perasaan yang sama", berkata
Wayan Dewa Bayu sambil manggut-manggut.
"Jangan khawatir, masih ada makan malam", berkata
Ki Arya Sidi. "Artinya hari ini masih ada seekor ayam yang akan
pasrah menerima takdirnya", berkata Empu Dangka
perlahan. 913 Setelah beristirahat sejenak, mereka pun kembali
berlatih. Terlihat para sisya dibawah bimbingan gurunya
tengah berlatih jurus perguruan mereka yang telah
disempurnakan. Sementara itu Mahesa Amping dengan
tekun berlatih dasar-dasar ilmu cambuk dibawah
bimbingan Empu Dangka. "Jurus ilmu cambuk ini terdiri dari tiga belas jurus,
setiap jurus bercabang lima bagian dan setiap cabang
mempunyai enam pecahan gerak yang berbeda", berkata
Empu Dangka sambil memperagakan setiap jurus,
cabang dan pecahan geraknya kepada Mahesa Amping.
Kembali Empu Dangka tercengang melihat Mahesa
Amping dengan cepat dapat menirukan semua jurus
yang diperagakannya, meski masih terlihat kaku. Namun


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan beberapa pengulangan Mahesa Amping dapat
melakukannya dengan begitu sempurna.
"Luar biasa !!!", berkata Empu Dangka seperti tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya bahwa dengan
waktu yang begitu singkat Mahesa Amping telah
menghafal dan melakukan semua jurus ilmu cambuknya
dengan begitu sempurna. Sementara itu hari telah beranjak sore, matahari
sudah condong ke barat diatas langit Padepokan Panca
Agni. Terlihat para Sisya tengah beristirahat mengendurkan
urat-urat persendian mereka setelah hampir seharian
berlatih. Sementara itu Mahesa Amping masih terus
berlatih sepertinya tidak merasakan kelelahan apapun.
"Anak muda ini telah menguasai ilmu pengolahan
nafas yang sempurna, mungkin tiga hari tiga malam anak
muda ini mampu bertahan dalam pertempuran yang
sebenarnya", berkata Empu Dangka dalam hati
914 mengagumi ketahanan tubuh Mahesa Amping.
Sambil berlatih, Mahesa Amping melihat para sisya
sudah beristirahat. Maka akhirnya Mahesa Amping
terlihat menghentikan latihannya. Tidak sedikit pun
terlihat kelelahannya. "Ilmu pengaturan nafasmu sudah begitu sempurna",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.
"Empu Dangka terlalu memuji", berkata Mahesa
Amping merendahkan dirinya.
"Besok aku akan mencari bahan untuk membuat
sebuah cambuk, aku perlu janget khusus dan karahkarah baja pilihan", berkata Empu Dangka
"Aku pernah membuat sebuah cambuk dari bahan
jerami", berkata Mahesa Amping.
Empu Dangka Mahesa Amping. tersenyum mendengar ucapan "Akulah yang akan membuatnya khusus untukmu.
Cambuk yang kupunya ini dan dua lagi yang telah dimiliki
oleh Kertanegara dan Kebo Arema adalah buah tangan
kakekku sendiri Empu Brantas", berkata Empu Dangka
penuh kegembiraan. "Memiliki sebuah senjata buatan seorang ahli adalah
sebuah kebanggaan dan kehormatan", berkata Mahesa
Amping sambil memandang cambuk milik Empu Dangka
yang masih dipegangnya. "Aku merasa bangga telah membuat dan menitipkan
sebuah cambuk untukmu, aku yakin di tanganmu ilmu
cambukku akan berkembang melebihi tataran yang
kumiliki", berkata Empu Dangka.
"Sudah beberapa kali Empu Dangka memujiku, lama915
lama kepalaku Amping. bisa membesar", berkata Mahesa Terlihat Empu Dangka sedikit tersenyum memandang
Mahesa Amping. Didalam hatinya telah timbul kesukaan
dan kekaguman atas pemuda yang sederhana itu, dirinya
yakin bahwa didalam diri anak muda ini telah
bersembunyi kekayaan dan kekuatan ilmu yang luar
biasa yang tidak dimiliki oleh orang biasa.
"Sanggar ini sudah menjadi gelap", berkata Ki Arya
Sidi menghampiri Mahesa Amping dan Empu Dangka
mengajak mereka bersama keluar dari sanggar.
Terlihat mereka bersama telah keluar dari sanggar
Padepokan Panca Agni. Ternyata langit diatas Padepokan sudah di ujung
senja. Di pendapa padepokan Panca Agni terlihat
pelayan tua tengah menyalakan pelita.
"Kutinggalkan cambukku agar dapat kau pakai untuk
berlatih", berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping
ketika mereka berada di pendapa
"Perlu berapa lama untuk membuat sebuah cambuk
?", bertanya Ki Arya Sidi kepada Empu Dangka
"Tergantung bahan yang tersedia. Sementara itu aku
perlu waktu yang khusus juga tempat yang khusus pula",
berkata Empu Dangka "Aku yakin, selama aku membuat sebuah cambuk,
dirimu sudah menguasai sepenuhnya ilmu cambuk",
berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.
"Aku akan berusaha", berkata Mahesa Amping.
Terdengar suara pintu berderit, dan pelayan tua
terlihat muncul dari balik pintu itu sambil membawa
916 beberapa hidangan malam. "Gurame bakar bumbu merah sangat nikmat untuk
hidangan malam", berkata Ki Arya Sidi sambil
mempersilahkan kedua tamunya menikmati hidangan
yang telah disediakan. "Malam ini seekor ayam jago telah luput dari
takdirnya", berkata Empu Dangka yang disambut tawa
semuanya. "kapan pun, takdir ayam jago masih tetap ada
ditangan Ki Nyoman", berkata Ki Arya Sidi
"Pelayan tua itu bernama Ki Nyoman ?", bertanya
Mahesa Amping. "ki Nyoman sudah tinggal di Padepokan ini ketika aku
masih kecil", berkata Ki Arya Sidi bercerita tentang
pelayannya yang sangat setia.
Sementara itu sang malam telah semakin kelam
menyelimuti puncak Bukit Pejeng.
Langit malam bertaburan bintang purba menjaga
penghuni bumi yang telah tertidur bersama mimpinya.
Terkantuk kantuk sang rembulan bersama cahayanya
yang kian pudar berbaring mendekati kaki langit di ujung
barat bumi. Akhirnya sang rembulan tergelincir jatuh di balik bumi
manakala sang fajar merah datang muncul mengintip di
ujung timur bumi. Dan warna awan gelap pun pudar
menjadi kuning kemerahan tersinar cahaya mentari yang
terus merayap di ujung kaki langit.
Langit pagi diatas puncak bukit Pejeng berhias awan
putih bersih. Cahaya matahari pagi telah menerangi
Padepokan Panca Agni. Sekelompok burung manyar
terlihat terbang melintas, seekor induk ayam betina di
917 halaman padepokan terdengar memanggil anak-anaknya
untuk berebut mengurai seekor cacing tanah yang
terjebak diatas tanah kering.
"Secepatnya aku akan kembali", berkata Empu
Dangka kepada Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi yang
mengantarnya sampai di muka regol pintu gerbang
Padepokan Panca Agni. "Aku tidak sabar melihat sebuah cambuk hasil karya
seorang Empu", berkata Mahesa Amping kepada Empu
Dangka yang hanya tersenyum melambaikan tangannya
dan membalikkan badannya terus berjalan melangkahkan kakinya. Pandang mata Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi
terus mengiringi langkah kaki Empu Dangka yang
semakin menjauh yang akhirnya menghilang di ujung
jalan tanah yang menurun.
"Mari kita ke sanggar, para Sisya sudah mendahului
kita disana", berkata Ki Arya Sidi kepada Mahesa
Amping. Ketika Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi masuk
kedalam sanggar, terlihat para Sisya tengah berlatih.
Mahesa Amping yang melihat para sisya berlatih
dengan penuh semangat merasa kagum dan gembira
bahwa para sisya telah terlihat semakin berkembang
maju, semakin menguasai jurus perguruannya yang telah
disempurnakannya. "Kulihat mereka sudah semakin menguasai", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi yang terus
memperhatikan keempat anak didiknya yang tengah
berlatih. "Aku menyukai semangat mereka", berkata Ki Arya
918 Sidi. "Mereka juga nampaknya sangat berbakat", berkata
Mahesa Amping. Namun perhatian Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi
terpecah, terlihat seorang lelaki berjubah pendeta telah
masuk kedalam sanggar. "Maafkan hamba tuan, orang itu sudah hamba coba
memperingatkannya agar menunggu di pendapa, tapi
orang itu tidak menggubris peringatan hamba", berkata Ki
Nyoman pelayan tua yang juga telah masuk langsung
memberitahukan tentang kedatangan orang berjubah
pendeta itu. "Orang itu mengatakan dirinya berasal dari
Pura Indrakila", berkata kembali Ki Nyoman kepada Ki
Arya Sidi. "Rahajeng semengan", berkata Ki Arya Sidi menahan
diri bertutur dan bersikap hormat kepada orang yang
baru masuk itu. "Ada kepentingan apakah tuan pendeta
sepagi ini datang ke Padepokan Panca Agni?", berkata
lagi Ki Arya Sidi kepada orang berjubah pendeta itu yang
diketahui lewat Ki Nyoman berasal dari Pura Indrakila.
Melihat raut wajahnya orang itu dan rambut di kepala
yang sudah berwarna putih semuanya itu dapat
dikatakan bahwa umur orang itu sudah tua sekitar enam
puluh tahunan lebih. Rambut yang sudah berwarna putih
itu dibiarkan terurai tanpa ikat kepala.
"Sanggar yang bagus, sanggar yang bagus", berkata
orang berjubah pendeta itu sepertinya tidak menghiraukan pertanyaan Ki Arya Sudi, bahkan terlihat
matanya menyapu seisi ruangan sanggar Padepokan
Panca Agni. "Sayang penghuninya empat orang Sisya",
berkata kembali orang berjubah pendeta.
"Lebih baik empat orang Sisya tapi sepenuh jiwa
919 menuntut ilmu, daripada seratus sisya tapi setengah
jiwa", berkata Ki Arya Sidi yang mulai kurang senang
dengan orang yang datang itu.
"Apa arti menuntut ilmu di tempat yang tidak
bermakna", berkata orang itu masih dengan mata tidak
memandang ke arah Ki Arya Sidi melainkan masih
menyapu pandangannya ke seluruh isi sanggar.
Ki Arya Sidi sebenarnya sudah semakin tidak suka,
namun masih berusaha mengendalikan dirinya.
Sementara itu Mahesa Amping diam-diam memperhatikan orang berjubah pendeta itu. Ada sedikit
getaran yang dirasakannya, itu adalah pertanda bahwa
orang itu mempunyai tingkat kekuatan bathin yang tinggi.
"Siapakah tuan pendeta, agar kami tuan rumah tidak
salah menilai orang", berkata Ki Arya Sidi yang masih
dapat mengendalikan dirinya.
"Orang memanggilku sebagai Guru Dewa Bakula",
berkata orang itu kepada Ki Arya Sidi. Kali ini
pandangannya langsung tertuju langsung kepada Ki Arya
Sidi. Bukan main terkejutnya Ki Arya Sidi mendengar
orang itu menyebut namanya. Ki Arya Sidi sebagai
seorang guru di Padepokan Panca Agni mempunyai
pengetahuan dan pergaulan yang luas di Balidwipa
pernah mendengar nama Guru Dewa Bakula sebagai
orang yang berasal dari negeri Hindu. Guru Dewa Bakula
didengarnya sebagai seorang yang sakti yang telah
menjadi seorang guru pendeta di Pura Indrakila. Guru
Dewa Bakula inilah yang menyebabkan para penguasa
Pura di seluruh Balidwipa tidak lagi mengirim para
pangerannya ke Padepokan Panca Agni sebagaimana
telah dilakukan secara turun temurun. Saat ini hampir
920 semua para pangeran dari semua pura di Balidwipa
menjadi sisya di Pura Indrakila. Hanya penguasa dari
Pura Pusering Jagad yang masih mempercayai
Padepokan Panca Agni ini sebagai tempat membina para
Pangerannya. "Kami sangat tersanjung atas kedatangan tuan Guru
Dewa Bakula di Padepokan Panca Agni", berkata Ki Arya
Sidi. "Kedatanganku di Padepokan ini hanya sekedar ingin
mengetahui setinggi apa ilmu perguruan Panca Agni
sehingga pernah menjadi kawah candradimuka bagi para
pangeran di seluruh pura Balidwipa", berkata Guru Dewa
Bakula kepada Ki Arya Sidi dengan tatapan yang begitu
tajam. Tersentak dada Ki Arya Sidi ditatap dengan
pandangan mata yang sangat tajam itu. Sebuah tatapan
mata yang dilambari tenaga yang tersembunyi.
Untungnya didekat Ki Arya Sidi ada Mahesa Amping
yang diam-diam menyentuh tangan Ki Arya Sidi
membantunya menyalurkan tenaga murninya menjadi
daya kebal didalam tubuh Ki Arya Sidi tanpa


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepengetahuan Ki Arya Sidi tentunya.
"Apakah ada keuntungan bagi tuan untuk menilai
tinggi rendahnya ilmu perguruan Panca Agni?", bertanya
Mahesa Amping kepada Guru Dewa Bakula dengan
tatapan yang kuat. Kaget bukan kepalang Guru Dewa Bakula
mendapatkan seorang muda didekat Ki Arya Sidi
mempunyai kekuatan mata yang sangat tajam
sebagaimana dirinya. Sedikit dadanya terasa tersentak
menatap sorot mata pemuda itu. Diam-diam telah
melambari dirinya dengan tenaga murni agar rongga
921 dadanya tidak terguncang.
"Sebenarnya tidak ada keuntungan apapun, hanya
sekedar mengetahui sejauh mana tingkat ilmu perguruan
Panca Agni", berkata Guru Dewa Bakula yang masih
mengalihkan pandangannya ke arah Mahesa Amping.
"Tuan Pendeta terlalu berkelok-kelok dalam
merangkai kata-kata, langsung saja kami maknai
perkataan tuan pendeta adalah ingin menguji
kemampuan kami?", berkata Mahesa Amping kepada
Guru Dewa Bakula mewakili Ki Arya Sidi.
"Ternyata kamu pandai menerjemahkan apa yang
aku maksudkan", berkata Guru Dewa Bakula kepada
Mahesa Amping. "Kuterjemahkan lagi lebih pastinya adalah bahwa
tuan pendeta ingin adu tanding di tempat ini", berkata
Mahesa Amping dengan begitu tenang bahkan dengan
sedikit senyum. "Aku senang kepadamu yang pandai menerjemahkan
ucapanku, aku memang ingin adu tanding ditempat ini",
berkata Guru Dewa Bakula yang diam-diam mengagumi
sikap Mahesa Amping yang tidak berpengaruh atas sorot
pandang matanya. "Apakah yang tuan tawarkan kepada kami dari hasil
adu tanding itu?", bertanya Mahesa Amping dengan
suara yang datar namun dengan sorot mata yang tidak
kalah tajamnya menatap langsung Guru Dewa Bakula.
"Kutawarkan seluruh sisyaku di Pura Indrakila bila
dapat menandingiku, sebaliknya serahkan semua sisya
di Padepokan Panca Agni ini bila ternyata tidak dapat
menandingi ilmuku", berkata Guru Dewa Bakula dengan
suara yang bergema karena dilambari tenaga dalam
922 yang tinggi. Semua yang ada di sanggar itu merasakan rongga
dadanya terguncang. "Empat puluh sisya sebanding dengan empat sisya,
sebuah penawaran yang menarik", berkata Mahesa
Amping sambil tertawa panjang bermaksud meredam
daya sentak yang dilontarkan oleh Guru Dewa Bakula.
Ki Nyoman yang paling terguncang terlihat masih
memegangi dadanya. Sementara empat orang sisya dan
Ki Arya Sidi sudah dapat menguasai dirinya masingmasing.
Sementara itu Guru Dewa Bakula terlihat terkejut
merasakan anak muda dihadapannya telah mampu
mengimbangi ilmunya lewat pantulan suara.
"Ternyata kamu ingin memamerkan diri", berkata
Guru Dewa Bakula kepada Mahesa Amping.
"Aku tidak memamerkan diri, hanya sekedar
menyampaikan bahwa ilmu yang tuan pendeta keluarkan
dapat juga dilakukan oleh orang di pasar", berkata
Mahesa Amping dengan sedikit senyum
"Artinya ilmuku ini pasaran?", berkata Guru Dewa
Bakula dengan mata melotot tidak senang.
"Terserah tuan pendeta mengartikan perkataannku,
meski aku tidak bermaksud berkata seperti itu", berkata
kembali Mahesa Amping dengan senyum dikulum
berhasil membakar amarah Guru Dewa Bakula.
"Rasanya aku ingin merobek mulutmu yang terlalu
banyak bicara", berkata Guru Dewa Bakula dengan
penuh amarah yang terbakar.
"Sang Hyiang Widi telah menciptakan mulut manusia
923 dengan sempurna, apakah tuan pendeta bermaksud
untuk merusaknya?", bertanya Mahesa Amping dengan
suara yang datar. "Aku benar-benar akan merobek mulutmu", berkata
Guru Dewa Bakula yang sudah tidak dapat
mengendalikan lagi perasaannya dan langsung
melompat menerjang dengan dua buah tangan
menerkam kepala Mahesa Amping.
"Sabar tuan pendeta, kita belum menyampaikan
sebuah kesepakatan", berkata Mahesa Amping sambil
bergeser sedikit ke kiri maka terkaman kedua tangan
Guru Dewa Bakula mengenai tempat kosong.
"Kesepakatan apa lagi", berkata Guru Dewa Bakula
sambil bertolak pinggang.
"Kesepakatan siapapun yang kalah dalam pertandingan ini akan mengaku murid seumur hidupnya",
berkata Mahesa Amping masih dengan senyum dikulum.
"Akan kujadikan kamu murid yang paling tersiksa
sepanjang hidupmu", berkata Guru Dewa Bakula penuh
kemarahan. "Sepertinya tuan pendeta sudah membayangkan aku
sebagai murid yang terkasih", berkata Mahesa Amping
kembali memancing amarah Guru Dewa Bakula.
"Ki Arya Sidi, apakah
kamu membiarkan perguruanmu diwakili oleh anak muda bau kencur ini?",
bertanya Guru Dewa Bakula kepada Ki Arya Sidi
bermaksud mengecilkan diri Mahesa Amping.
"Dia adalah saudaraku, dia punya hak mewakili
Padepokan Panca Agni", berkata Ki Arya Sidi yang telah
mengenal Mahesa Amping sebagai pemuda yang
memiliki kemampuan ilmu yang tinggi.
924 "Mari kita selesaikan kesepakatan ini di luar sanggar,
di tempat yang lebih luas", berkata Mahesa Amping
sambil melangkah keluar dari sanggar.
Terlihat belakang. Guru Dewa Bakula mengikutinya dari Mahesa Amping telah sampai di halaman muka
Padepokan Panca Agni. "Jadi kamu memilih tempat ini", berkata Guru Dewa
Bakula sambil mendengus geram memandang kepada
Mahesa Amping. "Aku takut tuan Pendeta salah sasaran bila kita
bertempur didalam sanggar", berkata Mahesa Amping
dengan penuh ketenangan. Sementara itu Ki Arya Sidi dan keempat Sisyanya
telah tiba juga di halaman muka. Di belakang mereka
mengikuti Ki Nyoman pelayan tua berdiri ditempat yang
lebih jauh. "Silahkan tuan pendeta memulai", kembali Mahesa
berkata kepada Guru Dewa masih dengan ketenangannya. Melihat sikap yang tenang dari Mahesa Amping telah
membakar hati pendeta tua itu.
"Anak muda ini begitu percaya diri, pasti baru saja
menyelesaikan sebuah ilmu yang diyakininya tidak
terkalahkan, dasar katak dalam tempurung", berkata
Guru Dewa Bakula dalam hati menggeram.
"Bukalah matamu lebar-lebar", berkata Guru Dewa
Bakula sambil menerjang terbang dengan kaki menjulur
menghantam dada Mahesa Amping.
"Kulihat tuan pendeta menyerang dengan mata
925 terpejam", berkata Mahesa Amping setelah bergeser
menghindari serangan lawan dan melihat Guru Dewa
Bakula menemui tempat kosong.
"Jangan besar kepala", berkata Guru Dewa Bakula
sambil melayangkan serangan kedua dengan tangan
kanannya yang bergerak begitu cepat, lebih cepat dari
serangan pertamanya. "Untung kepalaku tidak begitu besar", berkata
Mahesa Amping yang memiringkan sedikit kepalanya
menghindari kepalan tangan Guru Dewa Bakula yang
hanya merasakan angin pukulannya.
Ternyata Mahesa Amping tidak cuma menghindar,
sebuah tangannya melesat cepat menghantam kearah
ketiak lawannya. Bukan main kagetnya Guru Dewa Bakula, serangan
itu diluar perhitungannya dan siapapun ahli kanuragan
tidak akan berpikir kearah seperti serangan Mahesa
Amping. Maka dengan langkah yang terkaget seketika itu
juga Guru Dewa Bakula melemparkan dirinya kebelakang
dengan gerakan kayang. Itulah satu-satunya cara
meloloskan diri dari serangan Mahesa Amping yang aneh
dan diluar perhitungannya.
Sebenarnya, sebelum datang menyatroni Padepokan
Panca Agni. Guru Dewa Bakula telah banyak
mempelajari kelebihan maupun kelemahan dari jurus
perguruan Padepokan Panca Agni. Namun kali ini ia
terbentur melawan seorang Mahesa Amping yang telah
menyempurnakan jurus perguruan Panca Agni.
Guru Dewa Bakula menjadi sangsi, apakah yang
dipelajari mengenai jurus perguruan Panca Agni bukan
dari sumber aslinya. Dengan takjub ia melihat Mahesa
Amping mengimbanginginya dengan jurus perguruan
926 Padepokan Panca Agni tanpa sedikit pun dilihatnya ada
celah kelemahan sebagaimana yang sudah dipelajarinya
jauh sebelum berangkat mendatangi Padepokan Panca
Agni. Tidak terasa ratusan jurus telah berlalu, Guru Dewa
Bakula tidak menemui kesempatan sedikit pun
menembus pertahanan jurus perguruan Padepokan
Panca Agni. Jurus yang dimainkan oleh Mahesa Amping
dengan begitu sempurna. "Ternyata mereka telah berhasil mengembangkan
ilmu mereka", berkata Guru Dewa Bakula dalam hati
setelah melihat sendiri perubahan yang terjadi dari jurus
perguruan Panca Agni sangat berbeda dan berubah tidak
lagi sebagaimana yang pernah dilihatnya dari beberapa
orang yang pernah menjadi seorang Sisya di Padepokan
Panca Agni yang selama ini telah disadapnya.
"Kuingin melihat sejauh mana kekuatan dirimu",
berkata Guru Dewa Bakula sambil melakukan
penyerangan kembali. Kali ini dengan meningkatkan
tataran kemampuannya lewat penyaluran tenaga
murninya dalam setiap gerakan.
Luar biasa serangan itu !!!
Ada semacam angin pukulan hawa panas yang
keluar dari setiap serangan Guru Dewa Bakula. Dan
hawa panas itu terasa mendahului setiap serangan
kearah yang dituju. Bukan Mahesa Amping kalau tidak menyadari apa
yang telah terjadi. Maka Mahesa Amping pun diam-diam
telah melambari dirinya dengan kekuatan pengimbang,
kekuatan hawa dingin tiba-tiba saja telah menyelimuti
seluruh tubuh Mahesa Amping
927 "Kurang ajar", berkata Guru Dewa Bakula yang
menyadari pengerahan tenaga saktinya berupa pukulan
hawa panas menjadi tidak berarti dihadapan Mahesa
Amping. Kekuatan ilmunya sepertinya menjadi tawar.
"Jangan gembira dulu, ilmuku
puncaknya", berkata Guru Dewa
melontarkan kemampuan puncaknya.
belum sampai Bakula sambil Guru Dewa Bakula memang telah melepaskan
kemampuan puncaknya, maka hawa panas pukulannya
telah bertambah semakin membakar.
Terlihat rumput-rumput di sekelilingnya menjadi
hangus terbakar. Namun ternyata kembali serangan itu
menjadi tawar dihadapan Mahesa Amping yang langsung
meningkatkan tataran kemampuannya pula.
Sebenarnya tataran kemampuan Mahesa Amping
masih belum tuntas pada puncaknya. Anak muda itu
masih saja sekedar mengimbangi kekuatan lawan.
"Biarlah lawanku ini mengumbar seluruh ilmu
simpanannya", berkata Mahesa Amping dalam hati.
Sementara itu Guru Dewa Bakula menjadi sangat
penasaran menyaksikan kemampuan anak muda
lawannya yang telah mampu menawarkan pukulan angin
panasnya yang membakar dan dilontarkan dengan
kemampuan tataran puncaknya.
"Anak gila", berkata Guru Dewa Bakula melenting
menjauh menghindari serangan Mahesa Amping yang
nyaris mengenai dadanya. Mahesa Amping tidak memburunya, membiarkan
Guru Dewa Bakula siap melakukan serangan berikutnya.
Ternyata Guru Dewa Bakula tidak melakukan
serangan kembali. Terlihat tangannya bersedakep diatas


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

928 dadanya. Sementara bibirnya terlihat seperti komat-kamit
membaca mantera. Mahesa Amping menjadi siaga, mempersiapkan
dirinya menghadapi serangan dari Guru Dewa Bakula
yang mungkin akan melepaskan ilmu simpanan yang
lain. Ternyata dugaan Mahesa Amping benar adanya.
Entah darimana datangnya suara mendesis dari
sekitar halaman muka Padepokan Panca Agni.
"Ular !!!", berteriak Ki Nyoman yang melihat banyak
gerakan diatas tanah halaman Padepokan Panca Agni.
Ternyata yang dilihat oleh Ki Nyoman bukan
khayalan mata, ratusan ular cobra hitam tengah menjalar
di halaman padepokan Panca Agni. Aneh memang
bahwa ratusan ular itu sepertinya telah dikerahkan
pikirannya menuju satu titik tempat. Dan satu titik tempat
itu adalah dimana Mahesa Amping berdiri.
Sekali lagi bukan Mahesa Amping bila saja menjadi
ciut melihat ratusan ular cobra hitam mendatanginya.
Anak muda ini sudah menempa dirinya dengan berbagai
tempaan. Anak muda ini sudah berhasil menguasai
berbagai ilmu. Didalam dirinya sepertinya telah
mengendap puncak kemampuan berbagai ilmu yang
jarang sekali dimiliki oleh sembarang orang.
Terlihat Mahesa Amping telah melakukan sikap diri
yang sama sebagaimana dilakukan oleh Guru Dewa
Bakula. Terlihat tangannya juga bersedakep diatas
dadanya. Mahesa Amping memang tengah memusatkan
segala pikiran dan hatinya, menyerahkan kepasrahan
jiwa raga dan sukmanya kepada Sang Hyiang Widi yang
mempunyai segala keagungan, dan kekuatan.
929 "Tidak ada daya dan upaya selain diriMU wahai Gusti
Yang Maha Agung", berkata Mahesa Amping yang telah
mencurahkan segenap hatinya menembus alam ketidak
terbatasan. Mahesa Amping dan Guru Dewa Bakula telah
melakukan hal yang sama. Sama-sama telah
mengerahkan penguasaan dirinya masuk dalam
kekuatan alam tak terbatas.
Pertempuran kali ini bukan lagi adu pukul kekuatan,
tapi pertempuran yang sedang berlangsung adalah
pertempuran kekuatan bathin tingkat tinggi.
Ternyata Mahesa Amping telah berhasil menembus
alam tak terbatas diatas lingkaran kekuasaan bathin
Guru Dewa Bakula. Mahesa Amping telah berhasil
menguasai segala kendali alam pikiran. Kekuatan telah
berpihak dalam diri Mahesa Amping !!!!!!. Terlihat ratusan
ular cobra hitam telah berubah arah menuju titik yang
lain. Dan titik itu adalah tempat dimana Guru Dewa
Bakula berdiri !!!!. "Ular gila!!", berteriak Guru Dewa Bakula sambil
mengibaskan kedua tangannya.
Begitu menakjubkan angin pukulan yang keluar dari
kedua tangan Guru Dewa Bakula. Sebuah badai hawa
panas menyebar dan menghanguskan ratusan cobra
hitam yang langsung mati kering tak bergerak.
Ki Arya Sidi dan keempat Sisyanya terlihat bergerak
cepat menjauh menghindari dirinya dari hawa panas
meski sudah ada dalam jarak yang cukup jauh.
"Ternyata tuan pendeta tidak menyukai ular", berkata
Mahesa Amping tersenyum kepada Guru Dewa Bakula
yang baru saja terlepas dari serangan ratusan ular cobra
930 hitam. "Baru kali ini kutemui seorang yang dapat
mengungguli ilmu Aji Megananda yang kumiliki", berkata
Guru Dewa Bakula yang baru menyadari siapa lawan
dihadapannya. "Silahkan tuan pendeta mengeluarkan ilmu simpanan
yang lain, mudah-mudahan aku dapat melayaninya",
berkata Mahesa Amping sambil bersiap diri namun masih
bersikap sebagai orang yang tidak jumawa dihadapan
lawannya setelah berhasil keluar dari serangan ratusan
ular cobra hitam yang dikendalikan oleh kekuatan ilmu Aji
Megananda milik Guru Dewa Bakula.
"Bersiaplah melayani permainanku yang lain",
berkata Guru Dewa Bakula sambil menghentakkan kaki
kanannya diatas tanah. Bumm!!! Terdengar suara berdegum keras ketika kaki Guru
Dewa Bakula menghentak bumi.
Akibatnya pun sangat luar biasa !!!
Tanah dihadapan Mahesa Amping sepertinya runtuh
membentuk sebuah jurang yang dalam dan terus
berguguran maju mengikis setiap jengkal tanah hingga
akhirnya telah sampai diatas bumi tempat Mahesa
Amping berpijak. Terdengar tawa Guru Dewa Bakula menggelegar
bergema dari berbagai penjuru melihat apa yang telah
diperbuatnya atas diri Mahesa Amping.. Namun tiba-tiba
saja tawanya berhenti berubah dengan pandangan
terkesima tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Ternyata Guru Dewa Bakula melihat Mahesa Amping
tidak berpengaruh apapun, dirinya terlihat seakan masih
931 berdiri sambil bertolak pinggang diatas lubang jurang
yang menganga dalam. "Ilmu sihirmu tidak akan berpengaruh apapun
terhadapku", berkata Mahesa Amping sambil bertolak
pinggang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ternyata bumi yang berguguran runtuh membentuk
sebuah jurang yang dalam adalah sebuah bayangan
semu. Bukan main marahnya Guru Dewa Bakula
menyaksikan permainannya tidak berpengaruh pada diri
Mahesa Amping. Namun kemarahan Guru Dewa Bakula harus
disingkarkan dulu, karena ada yang penting daripada itu
yaitu manakala dihadapannya Mahesa Amping telah
menjadi tiga orang yang sama bentuk sama rupa tengah
mengepungnya. "Ilmu aji kawah ari-ari!!!", berkata tidak sengaja keluar
dari bibir Guru Dewa Bakula.
"Kami bukan bayangan semu, kami adalah bayangan
sejati", berkata ketiga orang Mahesa Amping secara
bersamaan. Guru Dewa Bakula menyangka bahwa pasti cuma
satu Mahesa Amping yang asli. Ternyata persangkaan
Guru Dewa Bakula salah !!! Tiga orang Mahesa Amping
menghentakkan sinar dari sorot matanya masing-masing.
Darrrr !!! Terdengar suara benturan keras berasal dari kurang
lebih satu jengkal dari depan dan kanan kiri kaki Guru
Dewa Bakula bersumber dari hentakan sorot mata tiga
sosok tubuh Mahesa Amping.
"Tiga buah lubang kecil itu bukan bayangan semu,
silahkan diperiksa", berkata Mahesa Amping sambil
932 tersenyum. Guru Dewa Bakula langsung memeriksa tiga buah
bongkahan tanah dan rumput yang terangkat akibat dari
hentakan sinar sorot matanya.
"Gila !!!", berkata Guru Dewa Bakula yang telah
memeriksa tiga bongkahan tanah yang ternyata
semuanya adalah asli, bukan bayangan semu
sebagaimana yang disangka sebelumnya.
"Aku dapat berbuat lebih keras lagi !!!", berkata salah
seorang Mahesa Amping kepada Guru Dewa Bakula.
Darrrrrrrrrr !!!!! Tiba-tiba saja terdengar suara keras menghantam
sebuah batu sebesar kepala kerbau yang tidak jauh dari
tempat Guru Dewa Bakula berdiri. Terlihat batu itu
hancur luluh berhamburan menjadi sebuah tepung yang
sangat halus. Ternyata itu semua akibat sebuah hentakan yang
dahsyat lewat kekuatan sorot mata salah seorang
Mahesa Amping. "Tuan Pendeta, dapatkah tuan melayani kami
bertiga?", berkata Mahesa Amping yang telah kembali
menjadi satu sosok tubuh.
Merinding bulu roma Guru Dewa Bakula melihat apa
yang terjadi. "Anak muda, kali ini kuakui bahwa kamu
memang pantas menjadi lawan tandingku", berkata Guru
Dewa Bakula sambil merangkapkan kedua tangannya
diatas dadanya. Terlihat sebuah asap tipis keluar dari ubun-ubun
Guru Dewa Bakula. "Sang Budha meninggalkan istana",
berkata Guru Dewa Bakula dengan suara berdesisis
seperti berkata kepada dirinya sendiri. Setelah berkata
933 tiba-tiba saja Guru Dewa Bakula tidak terlihat lagi
sosoknya, seperti menghilang ditelan bumi.
Mahesa Amping langsung meningkatkan kewaspadaannya, meluluhkan segenap panca indranya
kedalam kekuatan panca indra bathin.
Untunglah Mahesa Amping telah menguatkan panca
indra bathinnya, karena tiba-tiba saja dirasakannya ada
sebuah seleret cahaya merah mengarah punggung
belakangnya. Dengan cepat Mahesa Amping melenting
kesamping. Belum sempat kaki Mahesa Amping berpijak ditanah,
kembali sebuah serangan seleret cahaya merah
meluncur mengarah kepadanya. Maka jalan satu-satunya
adalah menjatuhkan dirinya bergelinding di tanah.
Terdengar suara tawa membahana dari segala
penjuru, suara tawa kegembiraan dari Guru Dewa Bakula
yang merasa kali ini dapat mengalahkan lawannya.
Ki Arya Sidi, Ki Nyoman dan Kempat Sisya
Padepokan Panca Agni terlihat mencemaskan keadaan
Mahesa Amping. Mahesa Amping yang tengah dicemaskan itu telah
dengan cepat sudah berdiri tegak kembali. Langsung
Mahesa Amping menghentakkan kekuatan yang ada
didalam dirinya. "Kabut datang mengiringi perjalanan Sang Budha",
berkata Mahesa Amping dengan suara lirih sepertinya
berkata kepada dirinya sendiri.
Terperanjat Guru Dewa Bakula melihat apa yang
terjadi, tiba-tiba saja kabut turun menutupi halaman muka
Padepokan Panca Agni. Siapapun yang ada didalamnya tidak lagi dapat
934 melihat apapun, batas pandang benar-benar telah
tertutup oleh kabut yang tiba-tiba turun menutupi
segenap sisi halaman Padepokan Panca Agni.
"Tuan Pendeta, aku dapat melihat dimana tuan
berdiri, namun Tuan Pendeta tidak dapat melihat dimana
keberadaanku", berkata Mahesa Amping dengan suara
yang terdengar dari berbagai arah penjuru mata angin.
"Pantas anak muda ini begitu percaya diri, entah
apalagi yang dapat dilakukan dari perbendaharaan
ilmunya yang lain", berkata Guru Dewa Bakula yang
diam-diam mengagumi kesaktian Mahesa Amping
seorang muda yang telah mempunyai banyak
kemampuan. Kembali terbayang sebuah batu yang
hancur luluh berhamburan menjadi tepung halus.
"Terima kasih untuk tidak meluluhkan tubuh tuaku ini
menjadi sebuah tepung halus", berkata Guru Dewa
Bakula yang telah menyadari bahwa bila diinginkan
sudah lama Mahesa Amping dapat mengalahkannya.
Setelah mendengar perkataan dari Guru Dewa
Bakula, dengan perlahan Mahesa Amping telah melepas
kekuatan yang memancar dari dalam dirinya. Kabut pun
terlihat semakin menipis dan perlahan menghilang
seperti terhembus angin. Batas pandang dihalaman muka Padepokan Panca
Agni telah kembali normal sebagaimana semula.
Ternyata jarak antara Guru Dewa Bakula dan
Mahesa Amping hanya berjarak sepuluh langkah.
Terlihat Mahesa Amping tengah berdiri tegak dengan
wajah penuh senyum. "Siapakah namamu anak muda?", bertanya Guru
Dewa Bakula kepada Mahesa Amping, seorang anak
935 muda yang telah diakuinya mempunyai kemampuan
yang lebih tinggi. "Namaku Mahesa Amping", berkata Mahesa Amping
kepada Guru Dewa bakula. "Nama yang baik, aku mengakui kekalahanku atas
dirimu", berkata Guru Dewa Bakula.
Ki Arya Sidi yang mendengar perkataan Guru Dewa
Bakula menarik nafas dalam-dalam merasakan
kecemasannya selama dalam pertempuran itu telah
hilang berganti dengan perasaan gembira bahwa
Mahesa Amping yang mewakili perguruannya telah
memenangkan pertandingannya.
"Bagaimana dengan kesepakatan kita?", bertanya
kembali Mahesa Amping kepada Guru Dewa Bakula.
"Ucapan seorang lelaki tidak dapat ditarik ulur, mulai
hari ini seluruh sisya yang ada di Pura Indrakila
kuserahkan kepadamu. Dan sejak hari ini dirimu adalah
guru tunggal di Pura Indrakala", berkata Guru Dewa
Bakula kepada Mahesa Amping.
Sekejap Mahesa Amping tertegun. Awalnya ia hanya
mewakili perguruan Panca Amping dan tidak terpikir
apapun tentang dirinya yang akan menjadi seorang guru


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tunggal di Pura Indrakila.
Namun Mahesa Amping telah mempunyai pandangan yang luas. Telah diketahui bahwa hampir
seluruh pangeran dari berbagai pura di Balidwipa telah
menjadi sisya di Pura Indrakila.
"Kehadiranku di Pura Indrakala dapat membantu
rencana Singasari menaklukkan kekuasaan Balidwipa
ini", berkata Mahesa Amping berpikir dalam hati. "Aku
menerima kesepakatan itu, nantikan diriku bulan
936 purnama yang akan datan di Pura Indrakila.
"Sejak ini sebutan guru didepan namaku sudah
kuhapus, aku Dewa Bakula menanti kehadiranmu di Pura
Indrakala", berkata Dewa Bakula kepada Mahesa
Amping. "Berbahagialah dirimu yang mempunyai seorang
saudara sebagaimana pemuda ini", berkata Dewa Bakula
kepada Ki Arya Sidi menjura penuh hormat. "Mohom
maaf bila kehadiranku telah menggangu kenyamanan
yang ada dipadepokan Panca Agni ini", berkata kembali
Dewa Bakula sambil mohon untuk pamit diri.
"Semoga kesejahteraan dan keselamat selalu
menyertai tuan pendeta", berkata Mahesa Amping
melepas kepergian Dewa Bakula.
"Aku nantikan kehadiranmu di Pura Indrakila",
berkata Dewa Bakula sambil melambaikan tangannya
yang telah melangkah menuju pintu regol halaman
Padepokan Panca Agni. Dewa Bakula akhirnya telah tidak terlihat lagi
terhalang pagar batu disisi kiri Padepokan Panca Agni.
Sementara itu matahari telah bergeser dari
puncaknya. Cahayanya tidak lagi sekeras sebelumnya.
Awan putih bergerumbul bergumpalan mengisi seluruh
lengkung langit diatas padepokan Panca Agni.
"Mari kita ke Pendapa menunggu Ki Nyoman
menyiapkan makan siang untuk kita", berkata Ki Arya
Sidi kepada Mahesa Amping yang dibanggakannya itu
yang telah banyak membantunya selama ini. Mulai dari
pertolongannya melawan Raja Leak di tengah hutan
beberapa hari yang lalu, berlanjut dengan kemurahan
hati Mahesa Amping telah menjadikan ilmu perguruannya
937 meningkat jauh lebih sempurna dari sebelumnya. Dan
terakhir bahwa anak mud itu telah mewakili
perguruannya mengalahkan seorang guru pendeta dari
Pura Indrakila. Terlihat Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi beriringan
menuju anak tangga pendapa. Sementara itu keempat
orang Sisya telah pamit sebelumnya kepada Ki Arya Sidi
mohon diri untuk kembali ke Sanggar nya.
"Masaknya terburu-buru, mudah-mudahan bumbunya
tidak ada yang ketinggalan", berkata Ki Nyoman yang
datang membawa beberapa hidangan makan siangnya.
"Terima kasih Ki Nyoman, Lauk yang paling nikmat
adalah rasa lapar", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Nyoman yang membalasnya dengan penuh senyum dan
langsung menghilang dibalik pintu yang dirapatkannya
kembali. "Silahkan dinikmati", berkata Ki Arya Sidi
mempersilahkan Mahesa Amping untuk menikmati
hidangan yang telah disediakan.
Demikianlah Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi tengah
menikmati makan siangnya. Terdengar suara burung
ramai berlompatan diranting pohon beringin besar yang
ada disebelah kanan halaman Padepokan Panca Agni.
Siang itu langit berawan cerah, sinar mentari terus
menjauh dengan sinarnya yang semakin melembut.
Di pendapa Padepokan Panca Agni terlihat Mahesa
Amping dan Ki Arya Sidi masih asyik bercakap-cakap.
Banyak sekali kecocokan diantara keduanya seakanakan apapun yang dibicarakan selalu menjadi suatu yang
menarik. "Mungkin aku minta bantuan Ki Arya Sidi", berkata
938 Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi.
"Bantuan apa yang bisa aku lakukan?", bertanya Ki
Arya Sidi belum menangkap kemana arah pembicaraan
Mahesa Amping. "Aku telah berjanji bahwa purnama akan datang akan
berada di Pura Indralika", berkata Mahesa Amping
"Adakah hubungannya dengan diriku", bertanya
kembali Ki Arya Sidi. "Hubungannya sangat erat sekali", berkata kembali
Mahesa Amping membuat Ki Arya Sidi semakin tidak
mengerti. "Pertama kuanggap ilmu jurus perguruan sudah
cukup baik dan sempurna", berkata Mahesa Amping.
"Kedua aku tidak lama di Balidwipa ini", berkata kembali
Mahesa Amping sambil menatap Ki Arya Sidi dengan
senyum penuh arti. "Aku masih belum dapat menangkap kemana arah
pembicaraanmu", berkata Ki Arya Sidi yang masih juga
belum dapat menangkap maksud arah pembicaraan dari
Mahesa Amping. "Aku ingin menyerahkan semua Sisya di Pura
Indraloka kepada Ki Arya Sidi", berkata Mahesa Amping
langsung membuat Ki Arya Sidi terbelalak tidak percaya.
"Apakah itu tidak kesepakatan?", bertanya meragukannya. melanggar perjanjian Ki Arya Sidi agak "Kita tidak melanggar perjanjian. Aku telah mewakili
pertempurannya, sekarang Ki Arya Sidi lah yang
mewakili diriku menjadi guru para Sisya di Pura
Indrakila", berkata Mahesa Amping
939 "Tapi aku masih perlu kamu mendampingiku",
berkata Ki Arya Sidi. "Aku akan selalu disampingmu selama dapat
kulakukan", berkata Mahesa Amping membesarkan hati
Ki Arya Sidi. "Baiklah aku bersedia", berkata Ki
menyanggupi permintaan Mahesa Amping.
Demikianlah mereka berdua begitu
merancang rencana mereka di Pura Indrakila.
Arya Sidi asyiknya "Mari kita melihat para sisya berlatih", berkata Ki Arya
Sidi mengajak Mahesa Amping ke sanggar untuk melihat
para siya yang tengah berlatih.
Ketika mereka masuk kedalam sanggar, mereka
masih melihat keempat sisya Padepokan Panca Agni
berlatih dengan penuh semangat.
"Aku melihat mereka maju dengan sangat pesatnya",
berkata Ki Arya Sidi yang penuh gembira melihat para
sisyanya berlatih dengan semangat dan semakin
berkembang. "Jangan lupa agar kalian juga melatih ketahanan dan
ketrampilan diri. Kulihat alat latihan disini sudah lebih dari
cukup untuk dipergunakan", berkata Mahesa Amping
memberikan sedikit masukan dan pengarahan kepada
para sisya. "Terima kasih Paman Guru, bimbingannya akan aku
perhatikan dan laksanakan", berkata Ketut Dewa Akasa
seorang sisya yang paling muda dipadepokan Panca
Agni. Mahesa Amping tersenyum mendengar namanya
dipanggil sebagai Paman Guru oleh para Sisya
dipadepokan Panca Agni. 940 "Paman Gurumu memang masih muda, tapi
ditangannya kalian akan maju lebih pesat lagi", berkata
Ki Arya Sidi yang dapat mengerti keengganan Mahesa
Amping dirinya dipanggil sebagai Paman guru.
"Hari ini aku dipanggil dengan sebutan paman guru,
purnama depan aku akan dipanggil sebagai Maha Guru",
berbisik Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi yang
disambut gelak tawa dan senyum berkepanjangan oleh
Ki Arya Sidi. Seiring perjalanan waktu, mentari diatas Padepokan
Panca Agni telah bergelantung diujung langit barat.
Sinarnya sudah semakin redup. Dan tanah datar bumi
telah berwarna bening senja. Padang ilalang yang luas
diatas puncak Bukit Pejeng melenggut tertiup angin.
Langit senja yang beningpun lambat laun semakin
memudar seiring hilangnya sang mentari yang tergelincir
diujung bibir bumi. Layar besar panggung tanah datar
bumi telah berlatar kesunyian langit buram diujung senja
menjelang malam. Terlihat puluhan kalong beterbangan keluar dari
sarangnya diatas padang ilalang yang luas di puncak
bukit pejeng dan terus terbang menghilang dibalik bukit.
Terdengar suara ayam jago sayup-sayup dari sebuah
perkampungan di bawah bukit.
"Empu Dangka masih juga belum kembali", berkata
Ki Arya Sidi kepada Mahesa Amping di atas pendapa
Padepokan Panca Agni. "Mungkin perlu waktu yang cukup untuk membuat
sebuah cambuk yang bernilai ulung", berkata Mahesa
Amping kepada Ki Arya Sidi yang tengah memandang
pintu regol halaman muka Padepokan Panca Agni
berharap Empu Dangka akan muncul disana.
941 "Semoga tidak ada aral apapun atas dirinya", berkata
Ki Arya Sidi kepada Mahesa Amping.
Terdengar suara pintu berderit, terlihat Ki Nyoman
muncul dari balik pintu itu sambil membawa pelita yang
telah ditambahkan minyak jaraknya.
Suasana pendapa menjadi terang setelah disinari
cahaya pelita yang diletakkan diatas pojok pagar
pendapa. "Aku tidak melihat seorang wanita di Padepokan ini,
apakah Ki Arya Sidi pernah mempunyai seorang istri ?",
bertanya Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi sekedar
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 19 Kisah Flarion Putera Sang Naga Langit Karya Junaidi Halim Pendekar Pemetik Harpa 29
^