Pencarian

Sang Fajar Bersinar 2

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 2


sepertinya masih terngiang di telinganya.
Ketika Kertanegara ingin mengangkat badannya,
sepertinya tidak ada kekuatan yang dapat digerakkan.
73 "Tetaplah berbaring, anakmas belum pulih sama
sekali", berkata orang tua itu meminta Kertanegara untuk
tidak banyak bergerak. "Racun pedang ikan pari", berkata Kertanegara
teringat sebuah goresan pedang pemimpin perompak
yang telah melukai bahunya.
"Racun itu sudah punah, maafkan aku anakmas,terpaksa aku menutup jalan darah di kepala
anakmas untuk menghindari hal yang tidak diinginkan
dari bisa racun ikan pari yang sangat keras itu", berkata
orang tua itu berhenti sebentar kemudian berkata lagi,
"pilihan yang sangat berat, bila aku tidak melakukannya
anakmas tidak tertolong, tapi bila aku melakukannya
anakmas akan menjadi lumpuh".
"Aku lumpuh?", berkata Kertanegara sambil
menggerakkan seluruh tubuhnya. Dan apa yang di
katakana orang tua itu benar apa adanya. Kertanegara
tidak dapat menggerakkan seluruh anggota badannya.
Kedua kakinya, kedua tangannya, juga leher kepalanya.
"Aku lumpuh?", kembali Kertanegara berkata kepada
orang tua itu. "Kuatkan hati anakmas, aku akan berusaha
mengobati. Mudah-mudahan Gusti Kang Maha Cipta
memberi jalan terang bagi usaha kita", berkata orang tua
itu dengan begitu sarehnya. Sementara Kertanegara
yang telah dicekam oleh perasaan keputus asaan seperti
tersiram air dingin yang menyejukkan mendengar ucapan
orang tua itu. Kembali ada api semangat untuk dapat
sembuh kembali. Meyakinkan diri bahwa tidak ada sakit
yang tidak ada obatnya. "Keyakinan dan kepasrahan yang tinggi hanya
tercurah hati ini kepada Gusti Kang Maha Agung, adalah
74 sumber obat yang paling mujarab", kembali kata-kata
orang tua itu menyejukkan hati Kertanegara, sepertinya
dapat membaca apa yang dipikirkan oleh Kertanegara di
dalam hatinya. Kertanegara dan orang tua itu menjadi begitu akrab,
bahkan menjadi begitu dekat seperti seorang ayah dan
anak. Orang tua itu pun banyak bercerita tentang dirinya.
Dikatakan bahwa dulu ia tinggal dan dibesarkan di
daerah tanah Brantas. Hingga pada suatu hari ada
musibah besar air laut setinggi pohon kelapa bingung
arah menerjang daratan. Semua keluarganya menghilang. Hanya ia, saudara kembarnya dan kakeknya
yang selamat. Karena pada saat kejadian ia bersama
kakek dan saudara kembarnya tengah berkunjung ke
rumah salah seorang kerabat dekat kakeknya di
Panawijen bernama Empu Purwa.
"Namaku Dangka", berkata orang tua itu
"Namaku Kerta", berkata Kertanegara
"Dari mana asalmu Kerta ?", bertanya orang tua itu
yang bernama Dangka "Tumapel", berkata Kertanegara masih merahasiakan
dirinya adalah seorang Pangeran Putra Mahkota.
Dari hari ke hari, orang tua itu merawat Kertanegara.
Ternyata orang tua yang ditakuti oleh pemimpin
perompak yang menyebut namanya dengan sebutan
nelayan bercaping itu juga seorang tabib yang hebat.
"Jamur kayu hitam ini akan menguatkan jantungmu,
dan daun nangka putih ini berguna untuk mengembalikan
kerja syarafmu", berkata orang tua itu kepada
Kertanegara memberi keterangan kegunaan air seduhan
racikannya. Bukan cuma itu, orang tua itu pun banyak
75 bercerita tentang berbagai tumbuhan serta khasiatnya,
seperti daun dewa, daun sambung nyawa, atau bunga
wijaya kusuma yang hanya berbunga setahun sekali di
malam hari. Anehnya Kertanegara merekam semua
ucapan orang tua itu yang begitu terinci seperti
membedakan bentuk daun waru dan daun jati merah.
Kertanegara tidak pernah jemu meminum obat dari
orang tua itu yang sesungguhnya biasa dipanggil oleh
kerabatnya sebagai Empu Dangka. Hatinya menjadi
begitu tersentuh melihat kesungguhan Empu Dangka
merawat dirinya. Genap satu bulan Kertanegara berada di gubuk
sederhana itu. Akhirnya pengobatan Empu Dangka telah
mulai terlihat. Kertanegara telah dapat menggerakkan
jari-jari kaki dan tangannya. Bukan main senangnya
Empu Dangka melihat perkembangan itu.
Pada hari ketujuh selanjutnya, kertanegara sudah
dapat menggerakkan seluruh tubuhnya. Dan tiga hari
kemudian Kertanegara sudah dapat bangun dari duduk
di pembaringannya. "Jangan terlalu memaksakan diri, biarkan tubuhmu
menguatkan dirinya sendiri", berkata Empu Dangka
kepada Kertanegara yang tengah berusaha berdiri.
Demikianlah, dari hari kehari Kertanegara merasakan
perubahan kekuatan dirinya. Bukan main senang hatinya
ketika di suatu pagi dapat bangun dan berdiri di atas
kedua kakinya. Empu Dangka membuatkan dua buah
tongkat penyangga. Melatih Kertanegara berjalan. Bukan
main senangnya hati Kertanegara dapat berdiri di pinggir
sungai yang airnya begitu jernih. Yang selama ini hanya
didengar suara arus dan riaknya air membentur batu
besar. 76 Beberapa hari kemudian, Kertanegara telah dapat
berjalan perlahan tanpa bantuan tongkat penyangga.
"Turun dan madilah di sungai sepuasmu", berkata
Empu Dangka kepada Kertanegara
Seperti anak kecil, Kertanegara berdiri di sungai yang
tidak dalam itu. Berjalan kesana kemari dengan
senangnya. Sepertinya tidak pernah menjadi jemu.
Hangatnya sinar matahari kegembiraan hati Kertanegara.
pagi menambah Begitulah Kertanegara berlatih diri setiap hari berjalan
di dalam air sungai, keutuhan dan kekuatan tubuhnya
telah kembali seperti sedia kala. Namun masih terus
berlatih hingga bahkan dapat berlari melawan arus
sungai yang deras. "Kerta, anakku", begitulah Empu Kanda memanggil
Kertanegara. "Usiaku sudah semakin rapuh, aku ingin memberikan
sedikit ilmu yang ada ini kepadamu", berkata Empu
Kanda kepada Kertanegara." Semoga berguna dan
bermanfaat untukmu", sambung Empu Kanda melanjutkan. Kertanegara hatinya menjadi bimbang, sebulan lebih
perjalanannya tertunda, terbayang wajah Menik Kaswari
yang kecewa, akan menyangka dirinya sebagai seorang
lelaki yang tidak berani memperjuangkan arti sebuah
cinta. "Tataran ilmuku masih begitu rendah", berkata
Kertanegara dalam hati mengingat kembali pertempurannya dengan Daeng Bahar.
Kertanegara mencoba menjenguk hatinya yang
paling dalam, sepertinya hati ini begitu berat untuk
77 memilih menyetujui keinginan orang tua di depannya
yang menginginkan dirinya mewarisi ilmunya. "Apa
artinya seorang Raja bila masih takluk dan gentar
melawan sekelas perompak jalanan", pikiran Kertanegara
kembali memberi beberapa pertimbangan.
"Mudah-mudahan diriku ini tidak mengecewakan",
berkata Kertanegara kepada Empu Dangka sebagai
jawaban menerima tawarannya.
"Aku ingin melihat sejauh mana tataran ilmu yang
sudah kau miliki", berkata Empu Dangka kepada
Kertanegara meminta untuk memperlihatkan sejauh
mana tataran yang dimiliki.
Kertanegara dan Empu Dangka mencari tempat yang
agak terbuka. Mereka mendapatkan sebuah tempat yang
mereka inginkan. Matahari pada saat itu masih belum naik kepuncak
langit. Hembusan angin seperti hangat menyentuh tubuh.
Seekor burung Kepodang kuning hinggap di batu sungai.
Meneguk sedikit air sungai yang mengalir bening. Burung
Kepodang kuning itu pun terbang kembali, mungkin
menemui kekasihnya yang begitu lama menunggu.
Kertanegara telah mempersiapkan dirinya, semula
gerakannya mengalir lambat tanpa kekuatan. Namun
semakin lama menjadi semakin cepat dan keras karena
dilakukan dengan segenap tenaga yang ada. Peluh
bercucuran di seluruh tubuhnya. Dan akhirnya kecepatan
gerakannya pun perlahan berkurang, semakin lambat
dan akhirnya berhenti. "Kerta, apa hubunganmu dengan Empu Purwa?",
bertanya Empu Dangka. "Beliau dapat dikatakan sebagai buyut guruku",
78 berkata Kertanegara "Sudah kuduga, ternyata kita berasal dari perguruan
yang sama", berkata Empu Dangka manggut-manggut.
"Ditangan Empu Purwa dan keturunannya, ilmu itu telah
berubah dari watak aslinya", berkata Empu Dangka
melanjutkan. "Aku belum mengerti apa yang Empu maksudkan",
berkata Kertanegara tidak mengerti maksud perkataannya. Karena sebagai seorang yang selama ini
menekuni jurus ilmu yang diwarisi langsung dari
ayahnya, secara pribadi membanggakan aliran ilmunya.
Apalagi sering Ayahnya sendiri banyak bercerita, begitu
tingginya ilmu yang dimiliki oleh Mahesa Agni tidak
terlawan oleh siapapun pada jamannya.
"Apakah permainan jurusku ini buruk ?", berkata
Kertanegara. Empu Dangka tertawa terpingkal pingkal. "Apakah
kamu mendengar aku berkata seperti itu?", balik
bertanya Empu Dangka kepada Kertanegara.
"Aku hanya bertanya", berkata Kertanegara yang
dibalas senyuman oleh Empu Dangka.
"Pada dasarnya sebuah ilmu akan terus menuju ke
arah kesempurnaan, jurus yang kamu mainkan sudah
begitu menjadi sempurna. Terus terang aku mengagumi
bahwa ilmu itu telah disempurnakan. Namun perubahan
ilmu itu telah menyesuaikan dirinya sebagaimana watak
pemiliknya. Yang kulihat perubahannya menjadi begitu
keras, sementara watak asli dari ilmu perguruan kita
adalah sebuah kelembutan. Melawan kekerasan dengan
kelembutan. Melawan kekuatan tanpa kekuatan", berkata
Empu Dangka. 79 "Aku mohon petunjuk dari Empu", berkata
Kertanegara paham apa yang dikatakan oleh Empu
Dangka. "Aku seperti melihat watak asli dari Empu Purwa,
lewat jurus yang kamu mainkan", berkata Empu Dangka.
"Kakekku Empu Brantas banyak bercerita tentang siapa
sesungguhnya Empu Purwa. Seorang yang berwatak
keras, kadang tidak mampu mengendalikan dirinya.
Apalagi bila harga dirinya yang direndahkan, ia tidak
akan mudah menerima dan mengalah. Apakah ayahmu
tidak pernah bercerita tentang hancurnya bendungan
Panawijen?", bertanya Empu Dangka kepada Kertanegara. "Pernah, ayahku sendiri pernah bercerita mengenai
hal itu", berkata Kertanegara sambil menganggukkan
kepalanya. "Aku akan menunjukkan watak asli dari perguruan
kita yang sebenarnya, tapi tidak hari ini", berkata Empu
Dangka. "Mari kita kembali ke Gubuk, ada beberapa hal
utama yang harus aku sampaikan", berkata Empu
Dangka melanjutkan. Sementara Matahari sudah berdiri di puncaknya, para


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

binatang hutan pasti tengah bersembunyi mengintip
kapan terik panas matahari berlalu. Bersembunyi dibalik
daun dan ranting, dibalik semak belukar yang kerap, atau
seperti badak bercula, tertidur bersama baju lumpurnya.
Empu Dangka tengah memberi penjelasan tentang
dasar-dasar utama perguruannya. Melukis sebuah
lingkaran yang dikelilingi oleh lingkaran luar mirip sebuah
gambar cakra. "Lingkaran di dalam adalah pancer, dialah Sang
Hyang Maha Tunggal pusat dari segala yang hidup dan
80 menghidupi kehidupan ini, sumber dari kekuatan.
Datangilah Dia dari semua pintu, Karena Dia lah yang
memegang kunci delapan pintu arah mata angin",
berkata Empu Dangka memberi pengertian dasar untuk
memulai sebuah laku. "Apakah aku harus merajah gambar ini sebagaimana
yang ada di tangan Empu", berkata Kertanegra kepada
Empu Dangka sambil melirik lukisan cakra di tangan
Empu Dangka. "Anakku, kamu tidak perlu melukisnya di tanganmu,
patri-lah di dalam hatimu", berkata Empu Dangka kepada
Kertanegara dengan tersenyum lembut.
Demikianlah Empu Dangka memperkenalkan sifat
dan watak dari perguruannya agar menyempurnakan
ilmu yang sudah dimiliki oleh Kertanegara lewat jalur
Empu Purwa dan Mahesa Agni kembali ke jalurnya yang
murni. "Cambuk adalah senjata utama perguruan kita,
sebuah senjata yang mengutamakan sebuah kelembutan
dan kelenturan", berkata Empu Dangka sambil melepas
sebuah cambuknya yang selalu terikat di pinggangnya.
Hari pertama itu, Kertanegara mendapatkan
beberapa pemahaman dan pengertian dasar dari sebuah
laku yang harus dilaksanakan.
Pada hari kedua, Kertanegara melaksanakan sebuah
laku, duduk bersila sempurna diatas sebuah batu.
Berlatih olah pernapasan rahasia perguruan Empu
Dangka. Kekerasan dan semangat Kertanegara memang
luar biasa, sehari dan semalaman kertanegara
melaksanakan laku yang diajarkan Empu Dangka tanpa
merasakan keletihan sedikit pun. Diam-diam Empu
Dangka memuji ketahanan tubuh Kertanegara.
81 "Makan dan beristirahatlah", berkata Empu Dangka
meminta Kertanegara menghentikan laku-nya.
Setelah beberapa hari berlatih melaksanakan sebuah
laku. Akhirnya Kertanegara mulai merasakan sesuatu di
dalam lakunya. Kertanegara merasakan dirinya seperti
ambles ke dalam bumi, terbakar panasnya magma bumi,
terlempar terbawa dalam arus sungai yang jernih,
dengan sekuat tenaga berenang melawan arus sungai
hingga sampai ke hulu, meneguk dan merasakan
harumnya setetes air dari sumber mata air yang jernih,
merasakan hembusan angin, tubuhnya pun seperti
melayang keudara, tertidur di punggung matahari,
menatap lembut senyum sang rembulan dan terbang
kelangit malam menjadi sebuah bintang.
Sebuah sentuhan dingin menyentuh
Kertanegara membuka matanya tersadar.
bahunya, "Akhirnya kamu berhasil, lukislah gambar cakra itu di
dalam jiwamu", berkata Empu Dangka yang melihat
dengan penglihatan bathinnya bahwa Kertanegara telah
sampai di puncak laku-nya.
Kita tinggalkan dulu Kertanegara yang tengah
digembleng oleh Empu Dangka menerima warisan
ilmunya. Mari kita melihat sampai dimana perjalanan
Mahesa Murti dan Raden Wijaya.
Saat itu matahari telah mulai turun dari puncaknya,
senja masih jauh. Sekelompok burung pipit terbang ke
utara, seperti lukisan alam yang indah dalam warna
kapas awan putih tanpa suara angin.
"Kedatangan kita bersama datangnya panen raya",
berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya yang sudah
rindu dengan kehidupan Padepokan Bajra Seta.
82 "Dari mana Paman mengetahui bahwa panen raya
telah datang?", bertanya Raden Wijaya.
"Burung-burung pipit itu datang dan pergi dalam
waktu dan tempat yang sama sepanjang tahun. Mereka
hanya datang ke tempat dimana padi sedang bunting",
berkata Mahesa Murti. "Artinya perjalanan kita sudah menjadi dekat",
berkata Raden Wijaya. "Searah burung pipit itu terbang, melewati hutan
kecil, sebelum senja kita sudah sampai", berkata Mahesa
Murti sambil menghentak perut kudanya agar berlari lebih
kencang lagi. Dua ekor kuda berpacu membelah padang semak
alang-alang luas, dan masuk menghilang ditelan
kerindangan hutan yang pekat.
Sinar matahari senja mewarnai langit di atas
Padepokan Bajra Seta. Dua ekor kuda terlihat mendekati
pintu gerbang Padepokan yang masih terbuka.
"Ketua datang !!", berkata seorang cantrik dari
panggungan. Dalam waktu singkat, Mahesa Murti dan Raden
Wijaya telah dikerumuni para cantrik. Sementara itu di
Pendapa seorang wanita cantik berdiri dengan wajah
penuh ceria. Siapa lagi wanita tercantik di Padepokan
Bajra Seta selain Padmita adanya. Istri tercinta Mahesa
Murti dari Padepokan Renapati yang juga anak putri
seorang sakti bernama Kiai Wijang.
Diiringi para cantrik, Mahesa Murti dan Raden Wijaya
menuju ke pendapa Padepokan Bajra Seta.
"Raden, perkenalkan ini Bibi Padmita", berkata
Mahesa Murti kepada Raden wijaya.
83 "Sudah pantaskah aku di panggil Bibi ?", berkata
Padmita dengan senyumnya yang begitu mempesona.
Dan malam itu suasana di padepokan Bajra Seta
begitu meriah. Kembali ayam-ayam jago dan gurame
besar yang lagi bunting di kolam belakang menjadi
korban keceriaan orang-orang yang ada di Padepokan
Bajra Seta. Semuanya sepertinya bergembira, menyambut
kedatangan Mahesa Murti kembali di Padepokan Bajra
Seta. Pagi-pagi sekali Raden Wijaya dan Mahesa Amping
sudah bangun. Ketika mereka bersama naik ke Pendapa,
Mahesa Murti sudah ada. Mereka pun menikmati
makanan dan minuman hangat.
"Hari ini aku ingin mengajak Raden Wijaya ke sawah,
melihat panen raya", berkata Mahesa Amping kepada
Mahesa Murti. "Aku akan segera menyusul, aku juga sudah rindu
melihat sawah kita saat panen", berkata Mahesa Murti
memberi ijin Mahesa Murti dan Raden Wijaya pergi ke
sawah. Dengan gembira Mahesa Amping dan Raden Wijaya
turun dari pendapa. Sementara di halaman nampak
Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga sudah menanti.
Hari itu hampir sebagian para cantrik turun ke sawah
untuk melaksanakan panen raya.
Mahesa Murti melihat dari jauh Mahesa Amping dan
Raden Wijaya jalan beriring.
"Baru satu malam mereka sudah begitu akrab",
berkata Mahesa Murti sendiri dalam hati.
"Mereka sudah berangkat?", berkata Padmita yang
84 baru muncul dari pintu membawa jajanan jenang alot.
"Bukankah ada aku di sini ?", berkata Mahesa Murti
kepada Padmita yang langsung duduk meletakkan
jajanan jenang alot. "Apa perlu kutambahkan lagi wedang sarenya
Kangmas", berkata Padmita kepada Mahesa Murti yang
melihat minuman di depan Mahesa Murti sudah hampir
habis. "Tidak perlu, kehadiranmu sudah cukup melengkapi
segalanya", berkata Mahesa Murti memandang Padmita
yang tersenyum malu. Matahari pun merayap naik perlahan. Sepasang
burung murai batu tengah bercumbu di ranting bambu.
Sang jantan mulai merayu menebar pesona, sayang
seekor kadal bunting datang mengganggu. Sepasang
burung murai terbang menjauh mencari dahan dan
ranting di kerindangan pohon melanjutkan sisa asmara
mereka yang tertunda. "Kangmas akan turun ke sawah?", bertanya Padmita
kepada Mahesa Murti yang dijawab dengan anggukan
kepala pelahan. "Cepatlah Kangmas ke sawah, aku akan menyusul
untuk membawakan makanan ke sana", berkata Padmita
kepada Mahesa Murti. Matahari sudah mulai merayap naik, Mahesa Murti
keluar Padepokan Bajra Seta menuju ke sawah.
Dipesawahan yang telah menguning, para cantrik
tengah sibuk memotong padi. Sehelai demi sehelai
batang padi terpotong ani-ani tajam dari tangan yang
cekatan. Di beberapa petak sawah nampak beberapa
cantrik tengah membakar sekam. Gunungan padi pun
85 telah banyak terkumpul. Sebuah kegembiraan dan
kebahagiaan yang tidak bisa dibeli oleh apapun. Mahesa
Murti memandang semua itu dalam bathin penuh rasa
syukur. "Begitu damainya seandainya di bumi manapun tidak
ada prahara, tidak ada peperangan dan pertumpahan
darah", berkata Mahesa Murti dalam hati ketika perlahan
sudah mendekati pesawahan.
"Hasil panen kita kali ini luar biasa", berkata Wantilan
kepada Mahesa Murti. "Panen pertama di tanah Sima", berkata Mahesa
Murti kepada Wantilan yang nampak wajahnya
kemerahan terbakar sinar matahari.
"Panen pertama tanpa ikatan thanibala", berkata
wantilan menyambung ucapan Mahesa Murti.
"Mbokayu Padmita belum muncul?", bertanya
Mahesa Amping yang baru datang bersama Raden
Wijaya bergabung bersama Mahesa Murti dan Wantilan.
"Kamu menanyakan Mbokayumu atau makanannya?", bertanya Wantilan menggoda Mahesa
Amping. "Kedua-duanyalah", berkata Mahesa Amping yang
merasa malu bahwa keinginannya sudah dapat di baca
oleh Pamannya, Wantilan. "Sebentar lagi Mbokayumu datang dengan gorengan
gurame kering", berkata Mahesa Murti kepada Mahesa
Amping menggoda. Dan tidak terasa perut Mahesa
Amping seperti berkerukut mendengar gurame goreng.
Matahari telah bergeser sedikit dari puncaknya. Di
pinggir sawah di bawah pohon pisang yang tumbuh di
tegalan, mereka menikmati makan siang yang istimewa.
86 Lauk yang paling enak di dunia ini adalah rasa lapar.
Raden Wijaya dan Mahesa Amping terlihat begitu penuh
semangat dan menikmati rasa lapar mereka bersama
seekor goreng gurame kering yang masih hangat.
"Aku akan mengajak Raden Wijaya ke tepian sungai",
berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Murti yang
tengah bersiap untuk kembali ke Padepokan Bajra Seta.
"Berhati-hatilah",
mengijinkannya. berkata Mahesa Murti "Paman Sembaga ikut bersama kami", berkata
Mahesa Amping kepada Mahesa Murti.
Mahesa Murti memandang sebentar kepada
Sembaga. Mengerti apa arti pandangan mata dari
Mahesa Murti, Sembaga mengangguk perlahan. "Aku
akan menjaga dua bocah nakal ini", berkata Sembaga.
Sembaga, Mahesa Amping dan Raden Wijaya
berjalan ke arah sungai. Di tepian sungai yang agak luas
mereka berhenti. Suasana di tepian begitu teduh, sinar
matahari terhalang rindangnya batang pohon waru yang
banyak tumbuh di tepian sungai yang bening dan
berbatu. "Aku dan Paman Sembaga sering ke tempat ini
berlatih", berkata Mahesa Amping sambil membuka
bajunya yang kotor dan meletakkannya di atas sebuah
batu. "Sanggar alam", berkata Raden Wijaya sambil
memandang alam di sekitarnya.
"Mari kita berlatih Raden", berkata Mahesa Amping
kepada Raden Wijaya sambil bersiap dalam kuda-kuda
yang mantab. "Aku sudah siap menerima serangan", berkata pula
87 Raden Wijaya kepada Mahesa Amping.
Sementara itu Sembaga duduk di sebuah batu besar
menyaksikan dua orang anak muda berlatih.
"Lihat seranganku", berkata Mahesa Amping
meluncur dengan tendangannya ke arah dada Raden
Wijaya. Dengan mudahnya Raden Wijaya mengelak
kesamping sambil balas menyerang kaki Mahesa amping


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terbuka. Melihat serangan pertamanya lolos,
bahkan dirinya balik diserang, Mahesa Amping
menggunakan daya ayunan kaki kirinya yang terlanjur
melayang dengan melemparkan kakinya melingkar
kekanan, dengan gaya memutar langsung kaki kanannya
menjulur mengancam dada Raden Wijaya. Dengan
kecepatan yang luar biasa, Raden Wijaya menunduk
begitu rendah sambil satu kaki kanannya menyapu
melingkar. Kaget luar biasa Mahesa Amping mendapat
serangan yang tiba-tiba, langsung dirinya melompat
menghindari sapuan kaki Raden Wijaya.
Demikianlah dua orang muda, Raden Wijaya dan
Mahesa Amping saling berbalas menyerang. Tidak dapat
langsung ditentukan siapa diantara mereka yang lebih
unggul. Mahesa Amping begitu liat dan sempurna dalam
segi gerakan, sementara Raden Wijaya dapat mengatur
nafas dan mempunyai kecepatan gerak lebih cepat dari
Mahesa Amping. Sembaga yang menyaksikan latihan dari kedua anak
muda itu manggut-manggut langsung dapat menilai
keistimewaan masing-masing anak muda itu. "Raden
Wijaya sudah dapat menggunakan tenaga cadangannya,
sementara Mahesa Amping masih melulu pada tenaga
wadaknya", berkata Sembaga dalam hati menilai latihan
bertempur dari kedua anak muda di depannya. Sudah
lama memang ada keinginan Sembaga sendiri untuk
88 memberikan ilmunya dalam hal mengungkapkan tenaga
cadangan yang ada di dalam diri, tapi hatinya menjadi
sungkan, melihat diri sendiri yang bukan apa-apa, bukan
guru dan bukan kerabat dari Mahesa Amping. "Mahesa
Murti pasti punya perhitungan, kapan saatnya", berkata
Sembaga dalam hati menghibur diri.
Sementara itu, Mahesa Amping dan Raden Wijaya
masih terus berlatih, masing-masing telah mengeluarkan
apa yang mereka miliki, masing-masing mempunyai
keinginan yang sama, sejauh mana tingkat tataran ilmu
sahabat baru mereka. "Nafasku habis !!", berkata Mahesa Amping yang
meloncat beberapa langkah ke belakang. Peluh telah
bercucuran di seluruh tubuhnya. Sementara Raden
Wijaya terlihat masih segar bugar.
"Gantian aku yang menjadi lawanmu", berkata
Sembaga sambil maju menghadapi Raden Wijaya.
"Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan Paman",
berkata Raden Wijaya sopan menjura.
Dalam waktu singkat sudah terlihat mereka saling
balas menyerang, melompat dan menghindari serangan.
Sembaga yang berilmu tinggi dapat menyesuaikan
dirinya mengimbangi setiap serangan Raden Wijaya. Bila
ketika berlatih bersama Mahesa Amping, dengan cepat
Raden Wijaya dapat membaca setiap serangan dari
Mahesa Amping, karena mereka ada dalam satu garis
perguruan yang sama. Namun menghadapi Sembaga,
Raden Wijaya betul-betul harus berjuang keras
menghadapi jurus yang sebelumnya belum pernah
dihadapi. Satu dua kali pertahanan Raden Wijaya dapat
ditembus oleh Sembaga. Namun pada serangan
selanjutnya, Raden Wijaya sudah dapat melihat
89 kesalahannya, memperbaiki lubang-lubang kelemahannya. Bukan main senangnya Raden Wijaya mendapatkan
lawan tanding seorang Sembaga. Pengalaman dan
pengenalan atas jurus-jurusnya semakin bertambah.
"Cukup", berkata Sembaga sambil melompat
beberapa langkah kebelakang. "Hari sudah hampir
gelap", lanjut Sembaga sambil menunjuk kelangit.
Hari memang sudah senja, matahari sudah turun
mengintip di ujung garis cakrawala. Setelah mandi di
sungai mereka pun kembali ke Padepokan Bajra Seta.
Demikianlah, Raden Wijaya berlatih setiap hari di
Padepokan Bajra Seta, di sanggar tertutup atau di
tempat terbuka seperti ditepian sungai bersama Mahesa
Amping. Kadang Mahesa Murti sendiri langsung
membimbingnya, meningkatkan tataran ilmunya selapis
demi selapis. Sebagaimana Sembaga, Mahesa Murti juga melihat
keunggulan Raden Wijaya dari Mahesa Amping yaitu
dalam mengungkapkan tenaga cadangannya. Sebagai
seorang guru yang bijaksana, sebelum Mahesa Amping
mengetahui kekurangannya, ada keinginannya untuk
memberikan hal yang sama sebagaimana Raden Wijaya
yaitu sebuah laku rahasia.
Hari itu, matahari masih mengintip di batas fajar.
Seperti biasa Raden Wijaya dan Mahesa Amping sudah
bangun langsung naik ke Pendapa menemui Mahesa
Murti. Seperti biasa mereka menikmati bersama
hidangan dan minuman hangat yang di sediakan
langsung oleh Padmita. "Mahesa Amping", berkata Mahesa Murti kepada
Mahesa Amping. "Hari ini aku akan mengajakmu ke goa
Ranggan". 90 Mahesa Amping sedikitnya sudah mengetahui
dimana letak Goa Ranggan. Dari beberapa cantrik dan
penduduk disekitar Mahesa Amping banyak diceritakan
beberapa hal mengenai Goa Ranggan. Sebuah goa yang
berada tidak jauh dari Padepokan Bajra Seta, tepatnya di
gunung karang. Konon menurut cerita yang di dapat,
disana puluhan tahun yang lampau adalah tempat
bertapanya seorang pertapa sakti.
"Raden wijaya boleh diajak turut?", berkata Mahesa
Amping kepada Mahesa Murti, sepertinya sebuah
permintaan. Mahesa Murti memandang Mahesa Amping dan
Raden Wijaya silih berganti. Merasa haru melihat
keakraban mereka yang sudah begitu dekat.
"Kita berangkat bersama", berkata Mahesa Murti
yang disambut gembira oleh Mahesa Amping. Dan
tentunya Raden Wijaya sendiri juga ikut bergembira,
tidak lagi kehilangan beberapa hari dengan Mahesa
Amping, sahabatnya satu-satunya yang seusia
dengannya di Padepokan Bajra Seta.
"Katakan kepada Paman Wantilan untuk mengatur
segalanya selama aku tidak ada di sini", berkata Mahesa
Murti memberikan beberapa pesan kepada istrinya
Padmita. "Apa yang akan aku katakan bila Paman Wantilan
dan siapapun bertanya tentang kepergian Kangmas
bertiga?", bertanya Padmita kepada Mahesa Murti.
"Katakan bahwa kami pergi berburu", berkata
Mahesa Murti kepada Padmita yang sebelumnya sudah
diceritakan oleh Mahesa Murti tentang keinginannya
meningkatkan ilmu Mahesa Amping.
91 Matahari masih belum merayap naik, sinar
cahayanya masih begitu redup manakala Mahesa Murti,
Mahesa Amping dan Raden Wijaya keluar dari regol
gerbang Padepokan. Beberapa cantrik sudah biasa
melihat mereka bertiga keluar dari Padepokan Bajra
Seta, mungkin ke padukuhan terdekat, ke tepian sungai
atau memang pergi berburu.
Jarak antara Pedepokan Bajra Seta dengan Goa
Ranggan tidak begitu jauh, hanya setengah hari
perjalanan. Matahari sudah bergeser setengahnya ke arah barat
ketika mereka bertiga telah sampai di kaki bukit karang.
Perjalanan selanjutnya adalah sebuah pendakian yang
melelahkan bagi Mahesa Amping, sementara itu Mahesa
Murti dan Raden Wijaya hanya menggunakan sedikit
tenaganya. Keringat sekujur tubuh Mahesa Amping
sudah begitu basah. Dalam hati memang ada sedikit
penasaran melihat Mahesa Murti dan Raden Wijaya
sepertinya berjalan di tanah datar, tidak merasakan
kelelahan sedikitpun. Akhirnya merekapun telah sampai di mulut goa
Ranggan. "Ruang mulut goa ini cuma sebatas tubuh kita, tapi di
dalamnya kita akan menemui ruangan yang cukup besar
seluas bilik kamar kita", berkata Mahesa Murti yang
sebelumnya pernah datang menyelidiki goa Ranggan ini.
Mereka tidak langsung masuk ke goa, tapi
beristirahat sebentar membuka bekal yang sengaja
mereka bawa. Matahari sudah hampir senja manakala mereka mulai
memasuki mulut goa, sebagaimana yang dikatakan oleh
Mahesa Murti, ruang goa itu memang cuma sebatas
92 tubuh orang dewasa. Maka seperti seekor ular mereka
merayap perlahan memasuki lebih dalam lagi, hingga
akhirnya mereka sampai juga di mulut goa lainnya
mendapatkan sebuah sebuah lorong goa yang cukup
luas, seluas bilik kamar sebagaimana yang dikatakan
oleh Mahesa Murti. Sebenarnya, ada beberapa lubang di atas langitlangit ruang goa itu yang dapat ditembusi cahaya
matahari. Sementara mereka baru sampai di ruang goa
itu disaat hari memang sudah diujung senja, maka
ruangan itu terlihat begitu gelap. Mereka tidak dapat
melihat apapun selain kegelapan itu sendiri.
"Mahesa Amping", berkata Mahesa Murti. "Sengaja
aku membawamu kemari, untuk melaksanakan sebuah
laku rahasia", berkata lagi Mahesa Murti kepada Mahesa
Amping yang selanjutnya juga mengatakan bahwa hal
yang sama telah dilakukan oleh Raden Wijaya. Mahesa
Murti pun bercerita tentang kejadian yang mereka alami
dalam perjalanan mereka kembali ke Padepokan Bajra
Seta, terjebak dalam sebuah sumur yang dalam. Sebuah
cerita rahasia yang tidak pernah dikatakan oleh
siapapun. Dan Mahesa Murti pun telah meminta raden
Wijaya untuk tidak bercerita, mengubur cerita ini hanya
untuk dirinya sendiri. Karena didalamnya tersangkut
sebuah rahasia besar, sebuah laku rahasia.
"Dengan laku rahasia ini, kamu dapat mengenal
dirimu sendiri lebih dalam lagi. Dan dapat mengungkap
tenaga murni yang tersembunyi di dalam dirimu sendiri",
berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping.
"Di ruang goa yang pekat ini, para pendeta telah
menemukan dirinya dan penciptanya. Merasakan
kematian sebelum datangnya kematian itu sendiri",
berkata Mahesa Murti memberikan pemahaman
93 bagaimana caranya masuk mengenal diri, mengenal
alam besar dan alam alit dan tentunya untuk mengenal
lebih dekat lagi kepada Tuhan yang Maha pencipta,
Tuhan Yang Maha Agung dan tuhan Yang Maha
Tunggal. Mahesa Amping mendengarkan semua penjelasan
dari Mahesa Murti dengan penuh perhatian. Meresapi
setiap kata demi kata. "Sekarang kita istirahat dulu, besok pagi kita baru
memulai laku itu", berkata Mahesa Murti kepada Mahesa
Amping dan Raden Wijaya. Sang fajar telah bersinar terang, cahayanya masuk
diantara lubang langit-langit goa seperti pedang panjang
menembus bumi. "Ada air yang menetes di ujung sebelah kanan goa
ini, air itu dapat mengenyangkan perut kita", berkata
Mahesa Murti kepada Mahesa Amping dan Raden
Wijaya. Cahaya di dalam goa menjadi lebih terang, sebagai
tanda diluar sana matahari sudah berada dipuncaknya.
Hari itu Mahesa Murti tengah memberikan
pemahaman kepada Mahesa Amping tentang alam
semesta diluar dirinya, segala wujud dan sifatnya.
"Kenalilah melalui wujud dan sifatnya, kamu dapat
merasakan bahwa wujud dan sifatnya ada juga didalam
dirimu", berkata Mahesa Murti kepada Mahesa
Amping."Hari ini tugasmu adalah menembus dan
mengenali alam sebagai wujud bersama sifatnya",
berkata kembali Mahesa Murti.
"Lakukanlah", berkata Mahesa Murti kepada Mahesa
Amping setelah memberi penjelasan apa yang harus
94 dilakukannya. Terlihat Mahesa Amping tengah melaksanakan
sebuah laku. Sementara itu Mahesa Murti dan Raden
Wijaya ikut juga mendampingi Mahesa Amping
memberikan dukungan bathin, berharap Mahesa Amping
berhasil dalam tahap pertamanya untuk mengenali alam
dalam wujud dan sifatnya, didalam dirinya.
Matahari telah bergeser di ujung senja, cahaya di
dalam goa telah menghilang. Kegelapan menyelimuti isi
goa. Tiga orang di dalam goa itu seperti arca budha
dalam sila sempurna. Malam terus berlalu, kegelapan begitu pekat di dalam
goa, jangankan melihat sekitarnya, melihat wujud diri
sendiri pun tidak mampu. Mahesa Amping hanya
merasakan dirinya, dalam wujud kesendirian. Mulailah
dirinya berkelana mengenal alam di sekitarnya, didalam
wujud dan sifatnya. Tanpa terasa, waktu terus berlalu. Sedikit cahaya
kemerahan mengisi lubang di atas langit-langit adalah
tanda bahwa sang fajar telah kembali datang.
"Katakan apa yang telah kamu rasakan", berkata
Mahesa Murti kepada Mahesa Amping yang sudah
terbangun dari lakunya. Mahesa Amping pun menceritakan segala yang
dirasakannya tanpa sedikitpun yang terlupakan.
"Puji Syukur kepada Gusti Yang Maha Pencipta,
perjalanan pertamamu telah sampai didalam bimbinganNYA.", berkata Mahesa Murti setelah mendengar apa
saja yang dirasakan oleh Mahesa Amping.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beristirahatlah", berkata Mahesa
Mahesa Amping dan Raden Wijaya.
Murti kepada 95 Setelah melihat Mahesa Amping telah cukup
beristrihat, Mahesa Murti kembali memberikan beberapa
penjelasan apa yang harus dilakukan oleh Mahesa
Amping. Sementara itu Raden Wijaya yang ikut
mendengarkan seperti teringat kembali bagaimana
dirinya memasuki tahap kedua ini.
"Semua yang berwujud di alam adalah semu, semua
akan kembali kepada-NYA. Janganlah takut melihat
ketidak beradaanmu, karena yang tiada itu sebenarnya
ada, dan yang ada itu sesungguhnya tiada", berkata
Mahesa Murti memberikan tuntunan kepada Mahesa
Amping sebagaimana pernah dialami Mahesa Murti
sendiri ketika membuka sebuah laku rahasia.
"Mari kita memulainya lagi", berkata Mahesa Murti
kepada Mahesa Amping. Seperti sebelumnya, Mahesa Murti dan Raden
Wijaya ikut membantu memberi dukungan bathin kepada
Mahesa Amping dengan ikut melasanakan sebuah laku.
Pelan-pelan cahaya matahari sudah tidak nampak
kembali, malam pun datang merayap, mengisi goa dalam
kepekatan. Tiada suara, begitu hening, tiada terdengar
suara nafas sedikit pun. Sepertinya di dalam goa tidak
ada yang menghuni, begitu sepi.
Waktu memang sebuah ukuran dunia, dia tidak
pernah cepat maupun menjadi lambat. Tapi hitungan
waktu di dalam goa seperti sudah terlupakan.
Keberadaannya terwakili oleh warna gelap dan warna
terang. Ketika warna di dalam goa menjadi terang,
mereka beristirahat sejenak, lalu kembali dalam sikap
sebuah laku. Tidak terasa mereka sudah memasuki hari
keempat. Mahesa Amping sudah akan memasuki tahap
akhir dalam lakunya. Mengenal dan mengerti bagaimana
96 menghimpun hawa murni di dalam tubuh. Mengendalikannya menjadi kekuatan di luar wadagnya.
Meniadakan bobot tubuh seperti kapas di terbangkan
angin, atau menjadikan bobot tubuh berat menjadi
puluhan kati. Hari itu warna goa sudah begitu terang, manakala
Mahesa Murti dan Raden Wijaya membuka matanya,
bukan main terperanjatnya mereka. Mahesa Amping
tidak ada didekat mereka.Ternyata Mahesa Amping
tengah melayang dalam posisi sila sempurna dua jengkal
di atas kepala mereka, masih dalam keadaan mata
terpejam.Mahesa Murti pun segera berdiri menyentuh
sedikit pundak Mahesa Amping dengan jari telunjuknya.
Perlahan tubuh Mahesa Amping turun kembali di
tempatnya. Mahesa Amping pun telah membuka matanya.
"Lakumu telah selesai, ternyata kamu dilahirkan
dengan bakat istimewa melampaui orang biasa", berkata
Mahesa Murti penuh rasa gembira.
"Terima kasih, semua atas dukungan Kangmas dan
Raden tentunya", berkata Mahesa Amping penuh rasa
syukur telah melewati tahap demi tahap sebuah laku
rahasia. "Hijab yang menutupi alam alit telah terbuka, jangan
kamu tinggalkan laku ini dimanapun kamu berada",
berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping.
"Berlatihlah untuk mengenal lebih dalam lagi
kekuatan yang tak terhingga yang dapat kalian
ungkapkan dalam bentuk apapun", berkata kembali
Mahesa Murti tidak hanya kepada Mahesa Amping, juga
kepada Raden Wijaya yang meresapi setiap kata
Mahesa Murti sebagai pusaka guru yang bermakna
97 dalam, saat itu dan mungkin juga di saat mendatang.
Matahari telah turun dari puncaknya, angin di bukit
karang bertiup begitu kencang. Tiga sosok tubuh
menuruni lereng bukit karang begitu ringannya. Kadang
mereka melompat jauh dari satu tempat ketempat lain
seperti kambing gunung yang tidak pernah takut jatuh
berlompatan menjejakkan kakinya dari satu sisi ke sisi
lainnya. Dalam waktu singkat mereka sudah sampai di
kaki bukit karang. Mahesa Murti, Mahesa Amping dan Raden Wijaya
nampak tengah berjalan kembali ke Padepokan Bajra
Seta. Wajah mereka begitu ceria, sepertinya tidak ada
yang luput dari pandangan mereka selain keindahan,
melihat anak kijang yang baru terlahir berjalan
terpincang-pincang, mendengar perkutut liar merayu dan
memanggil sang betina dengan suaranya yang panjang.
Bahkan perkelahian dua ekor burung jantan di angkasa
menjadi suatu yang mengasyikkan untuk dipertontonkan.
Ketika senja melukis cakrawala dalam warna
keteduhan, Mahesa murti, Mahesa Amping dan Raden
Wijaya telah sampai kembali di Padepokan Bajra Seta.
Hari itu, seperti hari sebelumnya, di saat matahari
sudah mulai bosan menatap bumi dari puncaknya.
Burung-burung liar berlindung di pepohonan yang
rindang setelah sepanjang siang mencari makanan.
Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Sembaga berada di
tepian sungai yang teduh untuk berlatih.
"Akhirnya, Mahesa Amping sudah dapat mengungkapkan tenaga cadangannya", berkata Sembaga kepada dirinya sendiri ketika melihat seranganserangan Mahesa Amping bagai angin yang menderu
berlatih bersama Raden Wijaya.
98 Raden Wijaya memang agak menjadi sibuk mengelak
dari serangan Mahesa Amping yang beruntun, begitu
cepat dan penuh dengan kekayaan gerak yang kadang
membingungkan Raden Wijaya. Tapi ketenangan Raden
Wijaya ternyata menjadi modal tersendiri, dengan
ketenangannya ia dapat berpikir jernih, meloloskan diri
dari setiap sergapan Mahesa Amping dan langsung
menyerang balik. Kekuatan dan kecepatan gerak mereka seimbang.
Kelebihan tipis dari Mahesa Amping terletak pada
kesempurnaan gerak dan pengalaman bertempurnya.
Seperti dua ekor banteng yang sedang bertempur,
tidak terlihat sedikit pun kelelahan di wajah mereka.
Ketika warna senja telah turun menyelimuti hamparan
tepian sungai, latihan mereka baru berhenti.
"Hari ini aku tidak kebagian berlatih", berkata
Sembaga dengan bersungut-sungut. "Besok aku akan
menantang kalian berdua sekaligus", berkata kembali
Sembaga. "Hadiah apa yang akan Paman Sembaga berikan
kepadaku, bila sebuah pukulanku menembus tubuh
paman", berkata Mahesa Amping kepada Sembaga.
"Aku akan menghadiahkan sebuah bogem mentah
langsung", berkata Sembaga yang disambut tawa oleh
Mahesa Amping dan Raden Wijaya.
Demikianlah, dari hari ke hari, Mahesa Amping dan
Raden Wijaya terus berlatih. Di tepian sungai, di sanggar
tertutup atau di beberapa tempat di alam terbuka lainnya
dibawah pengawasan Sembaga dan Mahesa Murti.
Kehadiran Sembaga dalam latihan-latihan mereka, telah
banyak menambah kekayaan dan pengalaman mereka
dalam pertempuran yang sebenarnya. Sementara itu,
99 Mahesa Murti dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit
membangunkan kesadaran mereka untuk dapat
mengungkapkan kekuatan yang tak terhingga yang ada
di dalam diri. Dan kekuatan itu pun akhirnya terbangun.
Raden Wijaya sudah dapat mengungkapkan
kekuatan hawa panas dari dalam dirinya. Dari hentakan
tangannya akan meluncur angin panas yang bergulung
gulung menghanguskan apapun yang menghadang.
Sementara itu, sebagaimana pernah dikatakan oleh
Mahesa Murti, bahwa Mahesa Amping mempunyai bakat
yang istimewa, mempunyai bakat di luar orang biasa.
Diam-diam telah menemukan rahasia membangunkan
hampir semua kekuatan yang dapat diungkapkan sesuai
dengan keinginannya. Membangunkan hawa dingin yang
dapat membekukan, membangunkan hawa panas yang
dapat membakar apapun yang ada disekelilingnya. Dan
yang lebih mengerikan lagi adalah dari sorot matanya
yang dapat meremukkan kerasnya batu.
"Penuhilah hati kalian dengan hawa kasih, dan
jalanilah kehidupan kalian dengan budi. Jauhilah hati
kalian dari nafsu angkara, karena disitulah sumber
petaka dan bencana", berkata Mahesa Murti kepada
Raden Wijaya dan Mahesa Amping pada suatu malam di
sebuah tempat alam terbuka yang jauh dari kehidupan
dan padepokan Bajra Seta. Sebuah tempat yang sering
mereka singgahi untuk berlatih meningkatkan tataran
ilmu Raden Wijaya dan Mahesa Amping selapis demi
selapis menuju kearah kesempurnaanya.
Di suatu hari, Matahari saat itu sudah rebah di ujung
senja. Warna cakrawala dikuas bening redup tanpa
desiran angin sedikit pun. Gambar pohon randu yang
100 bercabang banyak di sudut depan dinding Padepokan
Bajra Seta seperti patung arca. Tidak ada satu pun helai
daun yang bergerak. Panggraita Mahesa Amping yang sudah semakin
tajam menangkap sebuah bayangan yang begitu jelas.
Wajah yang pernah dikenalnya. Tapi Mahesa Amping
tidak mengatakan apapun apa yang dilihatnya kepada
Mahesa Murti dan Raden Wijaya yang ketika itu mereka
tengah duduk di Pendapa utama.
Seorang berkuda masuk melewati gerbang
Padepokan Bajra Seta yang memang selalu terbuka.
"Paman Arya Kuda Cemani", berkata Mahesa Murti
yang dengan ketajaman matanya mampu mengenali
orang berkuda yang telah masuk melewati pintu gerbang
Padepokan. Arya Kuda Cemani diterima langsung di Pendapa
Bajra Seta. Setelah bercerita tentang keselamatan
masing-masing, Arya Kuda Cemani langsung menyampaikan tujuannya datang ke Padepokan Bajra
Seta. Yaitu bercerita tentang hilangnya Putra Mahkota
yang sampai saat ini pihak kerajaan telah kehilangan
jejaknya. Sang Putra Mahkota seperti hilang ditelan bumi.
"Sesuai perintah Sri Maharaja, kami petugas sandi
diminta hanya sekedar membayangi. Sampai di Bandar
Pelabuhan Cangu, kami masih dapat membayanginya.
Tapi setelah itu, kami telah kehilangan jejak. Pengeran
Kertanegara seperti hilang di telan bumi", berkata Arya
Kuda Cemani bercerita tentang keadaan tentang Putra
Mahkota yang hilang. "Bukankah Putra Mahkota sudah dapat menjaga
dirinya sendiri?", berkata Raden Wijaya yang sangat
mengenal Pangeran Kertanegara sebagai seorang yang
101 sudah memiliki bekal ilmu yang cukup.
"Pada awalnya memang kami berpikir seperti itu, Sri
Maharaja juga berpikir demikian", berkata Arya Kuda
Cemani berhenti sebentar, lalu lanjutnya, "para petugas
sandi menangkap berita, ada sekelompok orang tengah
membayangi Sang Putra Mahkota, bermaksud melenyapkannya". "Usaha melenyapkan Sang Putra Mahkota adalah
sebuah usaha menghancurkan keberadaan Singasari",
berkata Mahesa Murti menyimpulkan keterangan yang
disampaikan Arya Kuda Cemani." Apakah petugas sandi
sudah dapat menembus, kira-kira mereka dari pihak
mana?", bertanya Mahesa Murti kepada Arya Kuda
Cemani. "Itulah yang belum dapat kami ungkap, untuk inilah
Sri Maharaja memerintahkan aku secara khusus datang
ke Padepokan Bajra Seta ini", berkata Arya Kuda
Cemani. "Sri Maharaja memerintahkan kami untuk mencari
tahu ada dipihak siapa mereka itu?", bertanya Mahesa
Murti kepada Arya Kuda Cemani.
"Bukan cuma itu", berkata Arya Kuda Cemani."Tapi
juga membawa kembali Sang Putra Mahkota dengan
selamat tiba di istana", berkata kembali Arya Kuda
Cemani. Suasana di Pendapa Bajra Seta sepertinya menjadi
begitu hening. Semua kepala sepertinya tengah berpikir
dengan pikirannya masing-masing. Akhirnya semua mata
tertuju kepada Mahesa Murti, menunggu apa yang akan
dikatakannya.

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nampak Mahesa Murti menarik nafas panjang.
102 Kepercayaan Sri Maharaja terhadap Padepokan Bajra
Seta adalah sebuah kebanggaan, sekaligus sebuah
kemuliaan, demikian Mahesa Murti berpikir di dalam
hatinya. "Panggil Paman Sembaga, Paman Wantilan dan
Mahesa Semu kemari", berkata Mahesa Murti kepada
Mahesa Amping. Maka Mahesa Amping langsung turun dari Pendapa.
Tidak lama kemudian ia telah datang kembali bersama
Sembaga, Wantilan dan Mahesa Semu.
Dengan singkat, Mahesa Murti bercerita tentang
perintah khusus dari Sri Maharaja Singasari kepada
Sembaga, Wantilan dan Mahesa Semu.
"Aku memutuskan, mempercayakan tugas mulia ini
kepada kalian berlima", berkata Mahesa Murti
memberikan sebuah keputusan.
Mahesa Amping dan Raden Wijaya saling
memandang. Bukan main senangnya mereka berdua
diikutkan dalam tugas khusus itu.
"Besok pagi kalian sudah dapat berangkat, mungkin
di perjalanan Paman Arya Kuda Cemani dapat
memberikan beberapa petunjuk apa saja yang dapat
kalian lakukan", berkata Mahesa Murti kepada kelima
orang kepercayaannya. Dan pagi pun telah datang, tanah dan daun masih
penuh dengan embun, pagi masih begitu gelab manakala
enam ekor kuda keluar dari pintu gerbang regol
Padepokan Bajra Seta. "Aku titipkan padamu Raden Wijaya dan Mahesa
Amping", berbisik Mahesa Murti kepada Sembaga yang
berjalan paling belakang.
103 Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Murti, di
perjalanan Arya Kuda Cemani memberikan beberapa
petunjuk yang dapat mereka lakukan.
Di sebuah persimpangan jalan, mereka berpisah.
Arya Kuda Cemani melanjutkan perjalanannya ke
Singasari untuk melapor kepada Sri Maharaja.
Sementara lima orang pahlawan dari Padepokan Bajra
Seta sesuai petunjuk dari Arya Kuda Cemani langsung
menuju Bandar Cangu. Tempat terakhir Pangeran
Kertanegara dapat dibayangi oleh para petugas sandi.
Tidak banyak hambatan yang
perjalanan mereka ke Bandar Cangu.
berarti dalam Temaram langit senja begitu indah menghiasi
suasana Bandar Cangu. Ujung-ujung tiang layar perahu
berjajar. Beberapa buruh hilir mudik mengangkat barang.
Beberapa pedati bersandar di beberapa kedai yang
tumbuh subur disekitar keramaian Bandar Cangu.
Sementara itu bila mata kita bergeser ke kiri, terlihat
sebuah bangunan benteng prajurit yang luas dan kokoh.
Berdiri di pinggir sungai Brantas seperti raksasa penjaga
sungai. "Kita singgah ke Benteng Cangu", berkata Wantilan
kepada kawan-kawannya yang sudah mengetahui bahwa
Mahesa Pukat bertugas di Benteng cangu itu.
Ketika mereka tiba di pintu gerbang, seorang prajurit
keluar dari gardu penjaga.
"Adakah kepentingan kalian datang ke Benteng ini?",
berkata Prajurit penjaga itu dengan wajah penuh curiga.
"Kami bermaksud ingin menemui saudara kami",
berkata Wantilan mewakili kawan-kawannya.
"Siapa nama Saudara kalian?", bertanya prajurit itu
104 masih dengan wajah penuh prasangka.
"Mahesa Pukat", berkata Wantilan kepada Prajurit itu.
Bukan main kagetnya prajurit itu mendengar nama
yang disebut oleh Wantilan. Dengan wajah masih penuh
curiga dan tidak percaya prajurit itu memandang
Wantilan dari ujung kaki sampai kepala, tidak ada
sedikitpun kemiripan Wantilan dengan Senopati mereka.
"Apakah kalian sudah punya janji?", berkata Prajurit
itu masih dengan keraguan.
"Belum", berkata Wantilan yang sudah mulai jengkel
kepada prajurit itu. "Silahkan kalian menunggu, aku akan melapor
kepada ketua regu kami, apakah kalian dapat diterima",
berkata prajurit itu meminta Wantilan dan kawankawannya menunggu.
Terlihat prajurit itu masuk dalam salah satu barak
yang terlihat berjejer. Sementara ditengah benteng itu
berdiri sebuah bangunan utama. Dan nampak di pojok
belakang benteng itu berdiri sebuah panggungan yang
tinggi, tempat untuk mengawasi keadaan diluar benteng.
Tidak lama kemudian, terlihat prajurit penjaga itu
telah datang bersama seorang prajurit lainnya, mungkin
ketua regu yang telah dikatakannya.
"Mohon pertimbangan Ki Bekel. Apakah mereka
dapat diterima?", berkata Parajurit itu ke pada seorang
prajurit lagi yang dipanggilnya sebagai Ki Bekel.
Tiba-tiba saja prajurit itu bertolak belakang dengan
gagahnya. "Kenapa kamu tidak ikat mereka semuanya?",
berkata prajurit yang di panggil Ki Bekel itu dengan wajah
105 penuh wibawa kepada prajurit penjaga.
"Aku tidak mengerti, mengapa harus mengikat
mereka?", bertanya prajurit itu dengan wajah
kebingungan. Ki Bekel itu pun tertawa terpingkal-pingkal,
sementara itu, Mahesa Semu dan Wantilan yang telah
mengenali wajah Ki Bekel itu pun ikut tertawa.
Melihat semua itu, wajah prajurit itu semakin kusut
kebingungan. Ki Bekel yang tidak lain adalah Dadulengit
itu pun menepuk pundak prajurit yang masih
kebingungan. "Mereka adalah sahabatku, mereka juga saudara Ki
Senopati", berkata Dadulengit kepada Parjurit itu yang
langsung menemui sahabat lamanya orang-orang dari
Padepokan Bajra Seta yang dianggapnya sebagai
pahlawan yang telah ikut membantu membebaskan
dirinya dan kawan-kawannya dari perbudakan.
"Selamat berjumpa wahai sahabat lama", berkata
Dadulengit sambil memeluk mereka satu persatu dengan
gembiranya. "Pasti kamu Mahesa Amping, cantrik padepokan
Bajra Seta paling muda", berkata Dadulengit masih
mengenali Mahesa Amping. "Kamu sudah tumbuh sebagai seorang pemuda",
berkata Dadulengit memeluk erat-erat Mahesa Amping
dengan gembira. "Perkenalkan ini Raden Wijaya", berkata Mahesa
Amping memperkenalkan Raden Wijaya kepada
Dadulengit. "Perkenalkan, nama lengkapku Ki Bekel Dadulengit",
berkata Dadulengit yang disambut senyum hangat dari
106 semua yang ada disitu, kecuali prajurit penjaga yang
masih berdiri disitu. "Apakah setelah jadi prajurit kamu masih berjudi?",
bertanya Mahesa Semu yang ingat kegemaran
Dadulengit yang bergelar dewa judi.
"Dibandar Cangu, aku seperti menemukan sorga
yang hilang. Hampir setiap malam aku menyelinap pergi
berjudi", berkata Dadulengit berterus terang.
"Moga-moga saja kamu tidak menjual tameng
prajuritmu", berkata Wantilan yang disambut tawa oleh
Dadulengit dan keempat kawannya.
Mari kita tinggalkan dulu lima ksatria dari Padepokan
Bajra Seta. Kita sudah terlalu lama meninggalkan
Kertanegara yang tengah digodok di "kawah
candradimuka" hutan Porong oleh Empu Dangka.
Di ujung senja, redup cahaya matahari tanpa desiran
angin sedikit pun. Dua sosok bayangan tengah saling
menyerang. Di tangan mereka sebuah cambuk panjang
meluncur kadang melecut begitu gemulai, kadang bagai
sebuah pedang kaku menerjang.
Kertanegara dan Empu Dangka terlihat tengah
berlatih. Kadang kecepatan serangan sepertinya begitu
mengerikan. Mereka sepertinya sepasang anak kecil
yang bermain, tidak mengenal kengerian yang
sebenarnya. Saling mengelak dan menyerang seperti
sepasang ular kembar tengah bercinta-kasih, tiada yang
menyakitkan. Yang ada hanyalah sebuah kegembiraan.
"Cukup!!", berkata Empu Dangka sambil melompat
mundur beberapa langkah. "Kemajuanmu benar-benar
luar biasa. Begitu sempurna!!", berkata Empu Dangka
mengungkapkan kegembiraaannya.
107 "Terima kasih Empu", berkata Kertanegara sambil
mengusap peluh di wajahnya.
Empu Dangka terlihat masuk ke gubuknya.
Sementara Kertanegara sibuk menyiapkan perapian.
Akhirnya, tidak lama kemudian. Terlihat mereka
tengah menikmati makanan dan minuman hangat di
gubuk mereka yang begitu sederhana.
"Seandainya besok aku mati, mungkin aku tidak akan
menyesal. Karena semua ilmuku telah luluh di dalam
tubuhmu", berkata Empu Dangka sambil mengangkat
minuman hangatnya, meneguknya sedikit.
"Semoga diriku tidak mengecewakan Empu", berkata
Kertanegara kepada Empu Dangka penuh rasa terima
kasih. "Anakku", berkata Empu Dangka. "Aku mempunyai
saudara kembar, entah sampai saat ini aku tidak tahu
dimana rimbanya", berkata Empu Dangka dengan mata
jauh menerawang menembus batu hitam di seberang
sungai. "Adakah yang dapat dibedakan di antara kalian?",
bertanya Kertanegara kepada Empu Dangka.
"Sukar sekali membedakan diri kami, yang jelas aku
berjuang seluas lapang dadaku, sementara saudaraku
berjuang sejauh bumi dipijak, itulah yang membedakan di
antara kami", berkata Empu Dangka dengan mata masih
memandang jauh melampai batu hitam di seberang
sungai. "Kebenaran memang harus diperjuangkan, di dalam
jiwa bersama Paramashiwa, di bumi sebagai Budha.
Sementara Gusti Yang Maha Agung yang mempunyai
kehendak", berkata Kertanegara sepertinya kepada
108 dirinya sendiri. Empu Dangka seperti tersentak mendengar ucapan
Kertanegara. Matanya menatap Kertanegara begitu
tajam. "Anakku, kata-katamu adalah kesempurnaan Tattwa.
Hari ini aku berguru padamu. Telah terpiciklah aku
selama ini, memperjuangkan kebenaran hanya untuk
pribadi di dalam diri. Melupakan bumi tempat tubuh ini
berpijak. Siwa dan Budha bersatu dalam satu tubuh,
tanpa batas antara lahir dan bathin. Seandainya
saudaraku ada disini dan mengetahui akan hal ini, kami
pasti tidak akan terpisah dalam perseturuan", berkata
Empu Dangka seperti anak kecil mendapatkan mainan
baru. Sebuah gambaran seorang yang mempunyai
kelapangan jiwa, mau menerima kebenaran, tidak
memperdulikan siapa yang berkata.
"Untuk kelapangan hati, aku masih harus berguru
dengan Empu", berkata Kertanegara memandang Empu
Dangka dengan penuh kebanggaan.
"Tattwa ibarat sebuah tinta Samudera, ilmu yang kita
miliki adalah cuma sebaris kata yang jatuh diujung pena.
Semakin kita meneguk air Tattwa, semakin haus dahaga
kita rasakan", berkata Empu dangka kepada
Kertanegara. Malam telah turun membelenggu hutan Porong
dengan kegelapannya. Cahaya oncor dari minyak biji
jarak menerangi gubuk di tepian sungai berbatu itu.
"Besok kamu akan melanjutkan perjalananmu?",
berkata Empu Dangka kepada Kertanegara yang
memang bermaksud melanjutkan perjalanannya.
"Meski lewat pencerahan tattwa yang telah Empu
109 tuntun selama ini, aku telah menemukan arah
perjuanganku sendiri, sementara perjuanganku mendapatkan Menik Kaswari lebih bersifat janji seorang
lelaki", berkata Kertanegara kepada Empu Dangka
menjelaskan tujuan awal meninggalkan tanah kelahirannya untuk membawa kembali gadis pujaannya.
"Mencintai dan dicintai, itu adalah anugerah dari
Gusti Yang Maha Kasih. Ikutilah air yang mengalir.
Sementara harta, tahta dan wanita ibarat batu-batu hitam
di tengah arus sungai. Janganlah menghalangi dirimu
mencapai muara cinta kasih yang hakiki, yang abadi",
berkata Empu Dangka. "Nasehat Empu adalah pusaka yang akan selalu aku
jaga", berkata Kertanegara dengan perasaan gamang,
besok ia akan berpisah dengan orang tua di depannya.
Sendiri menghadapi sisa kehidupannya.
Suasana menjadi begitu hening, Empu Dangka dan


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kertanegara sepertinya tengah ada di dalam pikirannya
masing-masing. Kegelapan malam tanpa suara angin
sepertinya menambah kesunyian itu. Hanya suara air
sungai yang terus menderu ditingkahi suara binatang
malam. Sekali-kali terdengar suara burung yang terus
semakin menjauh. "Kamu tidak perlu kembali kesungai Brantas, telusuri
sungai ini sampai ke muara sungai porong. Aku ingin
kamu menemui seorang sahabatku di sana", berkata
Empu Dangka kepada Kertanegara memecah kesunyian
diantara mereka. "Siapa nama Kertanegara sahabat Empu itu?", bertanya "Aku tidak tahu nama aslinya, yang kutahu bahwa ia
memperkenalkan dirinya dengan nama Kebo Arema",
110 berkata Empu Dangka kepada Kertanegara.
Empu Dangka pun sekilas menceritakan beberapa
hal mengenai sahabatnya itu yang bernama Kebo
Arema. Seorang pendekar muda yang sangat disegani
oleh para perompak, di sungai dan di lautan. Hingga
pada suatu hari terkena sebuah muslihat, dirinya diracuni
oleh musuhnya dengan racun yang keras. Syukurlah,
garis hidupnya tidak harus mati oleh sebuah racun.
Dengan kesabaran akhirnya Empu Dangka dapat
menyembuhkannya. Itulah awal perkenalan dan
persahabatan antara Kebo Arema dan Empu Dangka.
JILID 02 "Bawalah kayu aji besi keling ini, tunjukkan padanya",
berkata Empu Dangka tanpa menjelaskan kenapa dirinya
harus menunjukkan kayu aji besi keling itu kepada Kebo
Arema. Malam sudah semakin larut. Suara binatang malam
mendenging mengisi kesunyian. Kadang masih terdengar
suara burung celepuk dari tempat yang begitu dan
semakin menjauh. Sementara itu cahaya oncor dari
minyak biji jarak sudah semakin redup. Empu Dangka
dan Kertanegara telah tertidur didalam lelapnya.
Dan pagi pun telah menjelang. Diawali dengan
munculnya bintang kejora di langit timur. Hari masih
begitu gelap dan dingin, Empu Dangka dan Kertanegara
sudah terbangun. "Semoga Gusti Yang Maha Agung selalu
menyertaimu", berkata Empu Dangka ketika melepas
kepergian Kertanegara. Sampai jauh mata Empu Dangka mengiringi sosok
111 Kertanegara yang akhirnya menghilang di sebuah
tikungan sungai. Sebagaimana yang disarankan oleh Empu Dangka,
dengan sebuah jukung perahu kecil Kertanegara
menyusuri sungai Porong. Tidak ada hambatan yang
berarti sepanjang perjalanannya. Hanya dalam
kesendiriannya, Kertanegara merasa dirinya baru terlahir.
Dirabanya sebuah canbuk yang melingkar di
pinggangnya. "Dengan cambuk ini aku akan berdharma,
melecut Singasari sampai di tempat tertinggi", berkata
Kertanegara kepada dirinya sendiri dengan mata
menatap kedepan penuh harapan dan semangat.
Tidak terasa, jukung yang dikayuh Kertanegara telah
mengantarnya hingga sampai di tepi muara.
Ditambatkannya jukung itu di sebuah dermaga.
Kertanegara melihat sebuah perkampungan nelayan,
kesanalah langkah kakinya menuju.
Senja telah turun dalam warna buram di atas
perkampungan kecil itu. Wajah bulat matahari kuning
sudah terpotong di ujung barat cakrawala, seperti lukisan
alam yang sempurna, begitu sejuk jiwa yang
memandangnya. Ketika itu masih dalam musim angin barat,
gelombang laut masih tinggi. Pada saat seperti itu
banyak nelayan tidak berani melaut. Seorang lelaki
tengah memperbaiki jalanya yang robek. Sementara dua
anak kecil laki-laki bugil bertelanjang masih bermain di
depan pondoknya yang sederhana.
"Maaf mengganggu, dapatkah menunjukkan kepadaku dimana tempat tinggal seorang bernama Kebo
Arema?", Kertanegara bertanya kepada lelaki itu.
112 "Mari kuantar kisanak ke tempat Paman Kebo
Arema", berkata lelaki itu sambil berdiri.
Kertanegara dan lelaki itu berjalan bersama ke
tempat tinggal kebo Arema.
Seorang lelaki yang telah berumur setengah baya
nampak tengah duduk di bale-bale sebuah pondok
beratap jurai alang-alang. Pakaian yang dikenakannya
sebagaimana kebanyakan para nelayan, begitu
sederhana. Lelaki itu bertubuh sedang, nampak gagah
dan berwajah tampan dengan sepasang alis tebal dan
mata yang bersinar tajam, menandakan lelaki ini
mempunyai kepribadian diri yang kuat.
"Paman Kebo Arema, ada yang ingin bertemu",
berkata lelaki yang mengantar Kertanegara kepada
seorang lelaki yang dipanggil dengan nama Kebo Arema.
Kebo Arema memandang Kertanegara dengan wajah
ramah, sementara lelaki yang mengantar Kertanegara
pamit meninggalkan mereka.
"Mari kita duduk di bale-bale", berkata Kebo Arema
menyilahkan Kertanegara duduk bersama di Bale-bale.
"Ada keperluan apa gerangan kisanak perlu menemui
aku", bertanya Kebo Arema kepada Kertanegara ketika
mereka sudah duduk bersama di bale-bale.
"Apakah paman pernah mengenal seorang bernama
Empu Dangka?", bertanya Kertanegara mencoba
meyakinkan bahwa di depannya adalah Kebo Arema
sahabat dari Empu Dangka.
"Empu Dangka yang tinggal di tepian sungai Porong,
mungkin yang kisanak maksudkan?", Kebo Arema balik
bertanya kepada Kertanegara.
Dari pertanyaaan itu, Kertanegara merasa yakin
113 bahwa lelaki di depannya itu memang Kebo Arema yang
dimaksud. Maka sesuai amanat dari Empu Dangka, Kertanegara
mengeluarkan kayu aji besi keling dari balik pakaiannya
serta menunjukkannya di hadapan Kebo Arema.
Bukan main kagetnya Kebo Arema melihat kayu aji
besi keling berada di tangan Kertanegara. Wajahnya
bertambah gelap menatap Kertanegara.
"Ampunilah hamba Pangeran, hamba tidak berlaku
hormat", berkata Kebo Arema sambil bersujud dihadapan
Kertanegara. "Bangunlah Paman, bagaimana Paman mengetahui
bahwa aku seorang Pangeran?", berkata Kertanegara
meminta Kebo Arema bangkit.
Dengan wajah menunduk menjura penuh hormat.
Kebo Arema pun menceritakan awal pertemuannya
dengan Empu Dangka. "Empu Dangka yang sebelumnya kukenal dengan
sebutan tabib seribu obat itu telah berhasil
menyembuhkanku. Atas rasa terima kasihku, aku telah
mempersembahkan diriku sendiri untuk mengabdi
sepanjang hidupku kepadanya. Tapi beliau menolaknya
dan mengatakan bahwa berbaktilah kepada seorang
lelaki yang menunjukkan kepadamu kayu aji besi keling.
Dialah putra sang fajar Putra Mahkota Singasari.
Dampingilah dia seperti bintang kejora mengawal
datangnya sang fajar", berkata Kebo Arema kepada
Kertanegara menceritakan tentang dirinya dan hubungannya dengan kayu aji besi keling yang
ditunjukkan Kertanegara kepadanya.
"Aku jadi malu, selama bersamanya aku menutup diri
114 tentang jati diriku yang sebenarnya. Ternyata Empu
Dangka tidak mempermasalahkannya dengan pura-pura
tidak tahu", berkata Kertanegara kepada Kebo Arema
dengan bercerita singkat tentang pertemuannya dengan
Empu dangka. "Kita sama-sama berutang nyawa dengan orang tua
itu", berkata Kebo Arema kepada Kertanegara. Menatap
Kertanegara seperti kepada saudara kandungnya sendiri.
"Selamat datang di gubukku yang sederhana",
berkata Kebo Arema dengan penuh hormat kepada
Kertanegara. Kebo Arema dan Kertanegara begitu cepat menjadi
begitu akrab, seperti dua saudara bercerita tentang
beberapa hal, terutama tentang keberadaan mereka
yang sama-sama pernah disembuhkan oleh Empu
Dangka dan pernah lama tinggal di tepian sungai
Porong, di sebuah gubuk yang begitu sederhana.
"Di kampung nelayan ini, aku cukup bahagia
membantu para nelayan sebagai pawang ikan", berkata
Kebo Arema kepada Kertanegara bercerita tentang
dirinya di perkampungan kecil nelayan itu.
"Aku belum pernah mendengar tugas dari seorang
pawang ikan", bertanya Kertanegara kepada Kebo
Arema. Kebo Arema tersenyum mendengar pertanyaan
Kertanegara, Kebo Arema menjadi maklum, karena
sebagai orang daratan Kertanegara tidak mengetahui
banyak bagaimana kehidupan seorang nelayan.
"Tugas seorang pawang ikan adalah membaca
bintang, membawa nelayan ke tempat dimana ikan kakap
merah berkumpul, dimana tempat ikan rengge bermain.
115 Itulah sebagian dari keahlianku. Sementara itu para
nelayan disini tidak mengetahui lebih jauh lagi tentang
diriku yang sebenarnya. Mereka tidak akan mengetahui,
bahwa aku dapat membawa mereka lebih jauh ke Tidore
tempat begitu banyak mutiara, atau berkelana di
sepanjang laut Selat Malaka. Hanya dengan membaca
bintang di langit", Berkata Kebo Arema menjawab
pertanyaan Kertanegara. "Paman telah berkelana di banyak tempat", berkata
Kertanegara kepada Kebo Arema yang banyak bercerita
tentang beberapa daerah yang pernah disinggahi, mulai
dari pesisir tanah jawa sampai di beberapa nagari
disepanjang selat Malaka.
"Tapi akhirnya berhenti di tepian sungai Porong",
berkata Kebo Arema yang disambut gelak tawa oleh
Kertanegara. "Aku akan mengajak Paman kembali berkelana,
membacakan bintang dilangit untukku", berkata
Kertanegara kepada Keo Arema.
"Kupersembahkan diriku ini untuk Pangeran", berkata
Kebo Arema sambil menjura penuh hormat kepada
Kertanegara. Seorang Putra Fajar yang sudah lama
ditunggunya. Sang fajar kembali muncul di ujung laut biru.
Berduyun duyun deburan ombak membelai pantai pasir
putih. Beberapa wanita berkemben mencari lindung laut
di pantai ditingkahi beberapa bocah kecil telanjang
bermain berlari di atas pasir putih.
Sebagai orang daratan, Kertanegara menikmati
pemandangan di depan matanya sebagai anugerah pagi
dari Tuhan Yang Maha Pencipta.
116 "Saat ini masih musim angin barat, para nelayan tidak
berani turun ke laut", berkata Kebo Arema kepada
Kertanegara. "Gusti Yang Maha Agung telah menganugerahkan
alam yang indah untuk dinikmati", berkata Kertanegara
kepada Kebo Arema. Sementara pandang matanya
masih terpana memandang matahari yang sudah bulat
penuh di ujung cakrawala laut biru.
Berjalan seorang wanita tua menghampiri mereka
dengan setumpuk lindung laut.
"Terima kasih Nyi Parmi, sekalian aku titip gubukku
ini, mungkin dalam waktu yang sangat lama aku dapat
kembali", berkata Kebo Arema kepada wanita tua itu
yang memberikannya setumpuk lindung laut.
Kebo Arema pun telah membuat perapian, membakar
lindung laut dalam bentuk tusukan sate panjang.
Kertanegara pun ikut membantu membakar lindung laut
itu. "Sarapan pagi yang nikmat", berkata
sambil mengangkat seekor lindung laut
masak. Aroma harumnya membuat
langsung mengikutinya, mengambil dua
bakar yang sangat menggoda.
Kebo Arema yang sudah Kertanegara ekor lindung Sementara itu wajah bulat matahari sudah mulai naik.
Suara ombak sudah sedikit mereda.
"Saatnya kita berangkat", berkata Kebo Arema
kepada Kertanegara. Dan sebuah perahu telah meluncur meninggalkan


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepian pantai pasir putih dalam tatapan cahaya lembut
matahari pagi. "Dimusim angin barat ini kita tidak bisa langsung
117 menembus Madhura dari sisi timur. Kita mendarat dari
sisi barat Madhura", berkata Kebo Arema kepada
Kertanegara. Perahu masih terus melaju membelah ombak laut.
Dikayuh oleh dua orang sakti yang bertenaga seperti dua
puluh ekor banteng yang disatukan, perahu itu seperti
terbang di atas air laut.
"Itulah pulau Madhura", berkata Kebo Arema kepada
Kertanegara. Sebuah tanah daratan hitam di sebelah kanan
mereka memang sudah terlihat. Pulau Madhura seperti
raksasa hitam yang membujur tengah tertidur.
"Kita sudah setengah perjalanan", berkata Kebo
Arema kepada Kertanegara, memintanya untuk
mengayuh perahu ke pantai.
Perahu telah ditarik jauh di atas daratan pantai putih.
Matahari sudah hampir di atas puncak cakrawala. Panas
cahaya matahari terpantul pasir putih seperti menyengat.
"Ada air tawar yang selalu menetes di bawah goa
karang itu", berkata Kebo Arema kepada Kertanegara
sambil menunjuk sebuah goa karang.
Di depan mereka memang berdiri bukit karang yang
tinggi menjulang. Dibawah gunung karang itu ada
sebuah lekukan yang dalam, mungkin terkikis oleh
pukulan ombak yang terus menerus dan membentuknya
seperti goa bermulut panjang. Dari sebuah lubang langitlangit goa itu menetes air.
"Air tawar", berkata Kertanegara kepada Kebo Arema
yang hanya tersenyum melihat Kertanegara yang
mengumpulkan tetesan air di goa itu dengan dua telapak
tangannya. 118 "Pangeran beristirahatlah, aku ada urusan dengan
seekor kura-kura", berkata Kebo Arema kepada
Kertanegara. "Urusan apa dengan kura-kura ?", bertanya
Kertanegara tidak mengerti apa maksud Kebo Arema.
"Aku akan meminjam beberapa telurnya untuk urusan
perut kita", berkata Kebo Arema kepada Kertanegara
sambil tersenyum dan kembali ketepi pantai.
Tidak lama kemudian, Kebo Arema sudah muncul
kembali dengan membawa beberapa butir telur kurakura.
Dengan sigap Kebo Arema menimbun telur-telur itu
ke dalam pasir. Di atas pasir itu Kebo Arema membuat
sebuah perapian. "Urusan telur kura-kura telah dibayar tunai", berkata
kebo Arema sambil duduk memandang perapiannya
yang sudah menyala besar. Asapnya membumbung
keatas terbang hilang ditiup angin yang berdesir
kencang. Kita tinggalkan dulu Kebo Arema dan Kertanegara
yang tengah beristirahat, mari kita kembali ke Benteng
Cangu. Seperti yang telah diceritakan di muka, lima ksatria
Padepokan Bajra Seta tengah diantar oleh Dadulengit
menemui Mahesa Pukat di pendapa utama.
Bukan main senangnya Mahesa Pukat mendapat
kunjungan dari orang-orang Bajra Seta. Tampak hadir
bersama mereka Gedemantra dan Putumantra. Mereka
semua adalah bagian dari para budak yang ikut ke
Benteng Cangu mengabdikan dirinya sebagai prajurit
Singasari. 119 Setelah bercerita tentang keselamatan masingmasing, Wantilan mewakili saudara-saudaranya dari
Bajra Seta bercerita tentang tugasnya untuk mencari
keberadaan Putra Mahkota.
"Beberapa petugas sandi telah berhasil menemui
seorang penumpang kapal kayu yang berangkat
bersama Pangeran Kertanegara dari Bandar Cangu. Dari
penumpang itu disadap sebuah berita, bahwa Pangeran
Kertanegara dalam keadaan pingsan dibawa oleh
seorang yang disebut oleh para perompak bernama
Nelayan bercaping ke arah sungai Porong", berkata
Wantilan menjelaskan berita terakhir keberadaan
Pangeran Kertanegara kepada Mahesa Pukat. "Yang
sangat dikhawatirkan, saat ini ada sekelompok orang
yang berencana membunuh Pangeran Kertanegara",
berkata kembali Wantilan melanjutkan.
"Kita tidak mengetahui siapa dan dimana tempat
tinggal seorang yang bernama Nelayan bercaping itu",
berkata Mahesa Pukat memberikan pandangannya.
"Bagaimana bila kita menganggap Pangeran
Kertanegara sudah di selamatkan olen Nelayan
bercaping itu, dan saat ini tengah dalam perjalanannya
ke Madhura", berkata tiba-tiba Mahesa Amping
memberikan pendapatnya yang sebenarnya adalah
tangkapan sekilas panggraitanya.
Mahesa Pukat menatap tajam mahesa Amping,
teringat kembali ke masa-masa silam. Mahesa Pukat
merasa bahwa Mahesa Amping telah berhasil dan
mengenal lebih tajam getar panggraitanya.
"Itukah yang kau tangkap dari panggraitamu ?",
bertanya Mahesa Pukat langsung kepada Mahesa
Amping. 120 Kaget Mahesa Amping mendengar pertanyaan
Mahesa Pukat, sebenarnyalah apa yang dikatakannya
adalah gambaran yang sekilas yang muncul secara tibatiba di dalam pandangan bathinnya.
"Tiba-tiba saja aku melihat gambaran seperti itu",
berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Pukat.
"Secepatnya kita menemui Pangeran Kertanegara
sebelum didahului sekelompok orang yang akan
membunuhnya", berkata Mahesa Semu ikut memberikan
pandangannya. "Kita harus bergerak cepat", berkata Putumantra.
"Panggraita Mahesa Amping dapat diterima oleh
akal", berkata Mahesa Pukat memberikan pendapatnya.
"Aku ada usul", berkata Dadulengit tiba-tiba. Semua
mata tertuju kepadanya. "Usulku adalah bagaimana bila kita lanjutkan
pembicaraan ini setelah menikmati hidangan yang sudah
tersedia di depan kita", berkata Dadulengit sambil
tersenyum. "Aku sependapat", berkata Sembaga yang perutnya
sudah lama berbunyi melihat hidangan yang telah
tersedia. Dan malampun terus berlalu, menyelimuti benteng
Cangu dalam gelap tanpa bintang dilangit biru.
Akhirnya semua sepakat, diputuskan untuk segera
melanjutkan perjalanan ke Madhura.
"Panggraita Mahesa Amping diterima juga oleh akal
sehat, bila Pangeran tidak selamat di tangan Nelayan
bercaping, tunailah tugas kalian. Tapi bila ada
kemungkinan bahwa Pangeran selamat dan sedang
121 dalam perjalanan ke Madhura, langkah kalian harus
cepat, mendahului siapapun yang akan berbuat tidak
baik bagi keselamatan Putra Mahkota", berkata Mahesa
Pukat memberikan pendapatnya dan langsung disepakati
oleh semua yang hadir. Matahari pagi di atas Bandar Cangu sudah nampak
begitu tinggi diujung timur cakrawala. Seorang pemilik
kapal kayu kenalan Mahesa Pukat bersedia membawa
lima orang ksatria dari Padepokan Bajra Seta. Dengan
kapal kayu itulah mereka berangkat ke Curabhaya.
Kapal kayu pun telah meluncur membelah sungai
Brantas. Dari atas geladak disepanjang jalan terlihat
pesawahan yang luas, berbungalah mata yang
memandangnya. Kedamaian menghampir petak demi
petak sawah bagai permadani hijau terhampar luas.
Aliran sungai brantas menjadi karunia membasahi sawah
lading petani di sepanjang jalan. Tapi ketika kapal kayu
melaju ditepi hutan yang sepi, hati menjadi kecut.
Sepertinya puluhan mata dibalik kerindangan hutan
tengah mengawasi, menyergap mereka dengan tiba-tiba.
Kehadiran perompak memang masih menjadi hantu yang
menakutkan pagi para pedagang. Harapan mereka
tentang peranan Benteng Cangu memang sangat besar.
Tapi itupun untuk waktu yang agak lama.
Tapi ternyata perompak tidak muncul dari balik hutan.
Tiga orang berwajah beringas berdiri diatas geladak
kapal dengan golok besar telanjang.
"Yang ingin selamat, berkumpul di sebelah kiri
geladak", berkata seorang yang tinggi besar sepertinya
pimpinan dari mereka. Maka beberapa penumpang dengan wajah penuh
ketakutan telah berkumpul di geladak sebelah kiri.
122 "Lewati mayat kami terlebih dahulu", berkata salah
seorang awak kapal dibelakangnya diikuti tiga orang
lainnya. "Kami hanya perlu beberapa barang, jadi jangan
menyusahkan diri", berkata seorang pemimpin perompak
menggertak. "Kami bertanggung jawab di atas kapal ini", berkata
pimpinan awak kapal. "Dasar kepala batu", berkata pemimpin perompak
sambil maju menerjang pemimpin awak kapal langsung
golok besarnya membabat kepala pemimpin awak kapal
itu. Ternyata pemimpin awak kapal bukan sembarang
menantang, dengan gesit merendahkan dirinya dan
langsung menyerang dengan menyodokkan pedang
panjangnya keperut pemimpin perompak itu. Bukan main
geramnya pemimpin perompak itu, melihat serangannya
dapat ditandingi. Akhirnya terjadilah perang tanding yang mendebarkan diatas geladak kapal itu antara pemimpin
perompak dan pemimpin awak kapal.
Sementara itu, tiga orang awak kapal tidak tinggal
diam. Mereka langsung menghadang dua perompak
yang tidak menyangka bahwa di kapal kayu itu akan
mendapat perlawanan. Akhirnya terjadilah perang tanding yang mendebarkan diatas geladak kapal itu antara perompak
dan para awak kapal. Seorang perompak tanpak tidak
gentar mendapat dua orang lawan.
Lima orang ksatria dari Padepokan Bajra Seta masih
belum dapat menilai, apakah pertempuran akan berjalan
123 seimbang. Meski begitu mereka telah mempersiapkan
dirinya, akan membantu para awak kapal.
Entah dari mana munculnya, seorang pemuda
perlente barwajah tampan, namun senyumnya nampak
seperti iblis, dingin dan kejam. Bertolak pinggang diujung
geladag. "Ternyata tugasku hari ini menjadi begitu ringan",
berkata pemuda perlente itu sepertinya kata-katanya
ditujukan kepada pemimpin perompak.
"Sepasang iblis dari gelang-gelang !!", berkata
pemimpin perompak sambil melompat mundur beberapa
langkah dari hadapan lawannya. Ternyata pemimpin
perompak itu telah mengenal pemuda perlente itu.
"Hantu Wungu, Apakah bayaranmu untuk membunuh
Putra Mahkota masih belum banyak?", berkata seorang
pemuda yang sangat mirip dengan pemuda perlente
sambil duduk dipagar geladak. Yang membedakan
kedua pemuda itu adalah pemuda yang terlihat
belakangan mempunyai cacat luka bakar dipundaknya.
"Dari mana kalian mengetahui tugas rahasia kami
"Siapapun kalian, enyahlah dari kapal kami", berkata
pemimpin awak kapal yang terbakar amarahnya
mendengar pembicaraan mereka. Dengan geram
langsung menyerang pemimpin perompak yang dipanggil
Hantu Wungu itu. Sementara itu, tiga orang awak kapal dan dua orang
perompak masih terus bertempur.
Lima orang ksatria dari Padepokan Bajra Seta sudah
dapat menilai, siapa yang lebih unggul dari pertempuran
itu. Hantu Wungu dan dua orang anak buahnya ternyata
sudah tidak bermain-main lagi, telah menunjukkan siapa
124 mereka sebenarnya.Terlihat pemimpin awak kapal
seperti tidak berdaya mengelak serangan dari Hantu
Wungu yang semakin cepat. Hampir saja sebuah
sabetan golok panjang Hantu Wungu mengenai
pinggangnya kalau saja pemimpin awak kapal itu tidak
menjatuhkan dirinya berguling di geladak.
Sementara itu, tiga orang awak kapal nasibnya
hampir sama, mereka sudah menjadi bulan-bulan dua
orang perompak anak buah Hantu Wungu.
Wantilan telah memberi tanda kepada saudarasaudaranya, mereka telah siap turun bertempur sebelum
para awak kapal menjadi korban.
"Biarlah aku menghadapi orang ini", berkata
Sembaga kepada pemimpin awak kapal yang baru
bangkit berdiri setelah berguling jatuh di lantai geladak.
"Ini adalah tanggung jawabku", berkata pemimpim
awak kapal kayu itu kepada Sembaga.
"Hantu Dungu ini bukan tandinganmu, aku tidak ingin


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada korban di kapal ini", berkata Sembaga berusaha
memberi keyakinan kepada pemimpin awak kapal kayu
itu. "Berhati-hatilah", berkata pemimpin awak kapal itu
yang memang merasa bukan tandingan Hantu Wungu,
hanya karena rasa tanggung jawabnya saja maka ia
masih terus bertahan. Meski di dalam hatinya masih
menyangsikan apakah Sembaga dapat menandingi
Hantu Wungu. Dalam keraguan pemimpin awak kapal itu
pun mundur beberapa langkah.
"Di tempat asalku tidak ada yang berani
menghinaku", berkata Hantu Wungu menunjuk dengan
golok besarnya kepada Sembaga, rupanya Hantu Wungu
125 mendengar dengan jelas ketika Sembaga menyebutnya
dengan Hantu Dungu. "Ternyata hantu mudah tersinggung", berkata
Sembaga kepada Hantu Wungu sambil tersenyum. Tidak
sedikit pun menampakkan kegentarannya.
Sikap Sembaga membuat Hantu Wungu naik pitam.
Tanpa aba-aba lagi sudah langsung menyerang
Sembaga. Ketika menyaksikan pertempuran antara Hantu
Wungu dan Pemimpin awak kapal, Sembaga sudah
dapat menilai sejauh mana tataran ilmu Hantu Wungu,
Maka tanpa melepaskan senjatanya Sembaga melayani
serangan hantu Wungu. Sembaga sepertinya tidak ingin
membunuh Hantu Wungu, juga tidak ingin secepatnya
menyelesaikan pertempurannya. Terlihat Sembaga lebih
banyak mengelak, sengaja menguras tenaga Hantu
Wungu yang semakin panas melihat serangannya selalu
menjadi luput dari sasaran.
Sementara itu Wantilan dan Mahesa Semu juga telah
ikut ambil bagian. Wantilan menghampiri dua orang awak
kapal yang sudah hampir kehabisan tenaga menghadapi
seorang perompak yang terlihat mempunyai kematangan
bertempur jauh lebih baik.
"Beristirahatlah, cecunguk ini urusanku", berkata
Wantilan meminta dua orang awak kapal menyingkir.
Melihat ada yang datang membantu, kedua awak
kapal yang sudah hampir terkalahkan itu seperti menarik
nafas lega. Meski masih merasa sangsi apakah Wantilan
dapat melayani lawannya itu.
"Hebat, ternyata ada orang pemberani di kapal ini",
berkata perompak itu memandang tajam Wantilan.
126 "Aku punya penyakit turunan, badanku gatal-gatal
bila lama tidak berkelahi", berkata Wantilan sambil
menggaruk beberapa bagian tubuhnya.
"Apakah sekarang kamu sudah sedemikian gatal?",
bertanya perompak itu masih dengan sorot mata yang
tajam menakutkan. "Gatal sekali untuk menusuk kedua matamu", berkata
Wantilan perlahan kepada perompak itu.
"Kurang ajar, kurobek mulut lancangmu !!", berkata
perompak itu merasa diremehkan oleh Wantilan
langsung menyerang dengan golok besarnya.
Maka terjadilah pertempuran yang seru antara
Wantilan dan perompak itu. Wantilan tidak ingin bermain
lama dengan perompak itu, dengan pedang panjangnya
Wantilan memburu perompak itu yang terkaget bahwa
lawannya bukan orang lemah.
Sementara itu, disisi lainnya. Mahesa Semu sudah
menggantikan awak kapal yang juga hampir terbunuh.
Ketika sebuah serangan ke arah leher awak kapal itu
yang tidak mungkin dapat dihindari. Dengan kecepatan
yang luar biasa pedang Mahesa Semu telah menagkis
laju golok besar perompak. Dan benturan dua senjatapun
terjadi. Bukan main kagetnya perompak itu. Hampir saja
senjatanya terlepas. Tangannya terasa panas menahan
benturan itu. Namun nyalinya kembali berkembang ketika
mengetahui orang yang menahan dan membenturkan
senjatanya hanyalah seorang pemuda.
"Anak muda, apakah kamu tidak takut mati?", berkata
perompak itu kepada Mahesa Semu.
"Justru aku yang harus berkata, apakah kamu tidak
takut kehilangan senjatamu?", berkata Mahesa Semu
127 sambil tersenyum. Perompak itu menjadi panas melihat Mahesa Semu
begitu tenang, meski dalam benturan pertama telah
merasakan benturan tenaga yang malampaui tenaganya.
Tapi perompak itu masih belum merasa suatu kekalahan.
Perompak itu masih berpikir dan berharap dapat
mengalahkan pemuda di hadapannya dengan kecerdikan
dan pengalaman tempurnya.
Tetapi, harapan perompak itu ternyata cuma sampai
sebuah harapan. Setelah sekian jurus ia belum mampu
juga mengalahkan Mahesa Semu, bahkan sepertinya
justru dirinya yang hampir tidak berdaya menerima
serangan-serangan Mahesa Semu. Semakin lama sudah
dapat dibaca bahwa perompak itu tinggal menunggu
waktu. Dan waktu itu pun terjadi, sebuah benturan
senjata kembali terjadi. Perompak itu sudah tidak lagi
dapat mempertahankan golok besarnya. Telapak
tangannya dirasakan begitu panas, dan golok besarnya
pun telah terlepas terpental jauh.
Sepasang iblis dari gelang-gelang yang biasanya
selalu meremehkan lawan-lawannya menjadi sangat
kaget menyaksikan orang-orang yang baru datang
menggantikan para awak kapal dan ternyata mempunyai
tataran ilmu diatas kelompok Hantu Wungu.
"Menyerahlah", berkata Mahesa Semu yang dengan
gerakan begitu cepat telah mengancam pedangnya di
ujung leher seorang perompak lawannya.
Sementara itu, Wantilan juga telah menyelesaikan
perkelahiannya. Sebuah tendangan yang cukup keras
telah menghantam dada perompak hingga terlempar
menghantam pagar geladak langsung pingsan.
Sepasang iblis dari Gelang-gelang semakin tegang.
128 Dua anak buah Hantu Wungu dengan mudah dijatuhkan
oleh orang-orang yang belum dikenalnya.
Sementara itu Sembaga masih melayani Hantu
Wungu, memancing Hantu Wungu lebih buas lagi
menyerangnya. Dengan sekuat tenaga Hantu Wungu
terus menyerang Sembaga tanpa mengetahui bahwa
dirinya sengaja dipancing untuk menguras tenaganya.
Hingga akhirnya Sembaga mulai terlihat tidak telaten lagi.
Tiga buah pukulan beruntun begitu cepat menghantam
Hantu Wungu. Pukulan pertama sebuah tinju
menghantam perutnya. Ketika tubuh Hantu Wungu agak
merendah menahan sakit di perutnya yang dirasakan
seperti terhantang benda berat yang begitu keras,
pukulan kedua kembali dirasakan pada samping tulang
lehernya. Dan terakhir, sebuah tamparan menghantam
persis pada tulang rahangnya. Seperti handuk basah,
Hantu Wungu ambruk lemas tak bertenaga. Pandangan
matanya seperti menjadi begitu gelap. Dan Hantu Wungu
telah tergeletak pingsan tak bergerak lagi.
Sepasang iblis dari Gelang-Gelang terperanjat
melihat tiga pukulan Sembaga yang begitu cepat
beruntun menghantam tubuh Hantu Wungu yang sangat
disegani di daerah Wungu sehingga bergelar Hantu
Wungu. Sepasang Iblis dari Gelang-Gelang adalah
orang-orang yang bukan saja kejam, tapi licik dan cerdik.
Mereka dapat berhitung dengan cepat, pasti ada
beberapa orang lagi seperti Sembaga, bahkan lebih lihai
lagi. Maka mereka pun telah sepakat. Terjun ke sungai
melarikan diri. "Jangan kau kejar !!", berkata Sembaga mencegah
Mahesa Amping yang akan ikut terjun kesungai mengejar
Sepasang Iblis dari Gelang-Gelang.
"Kita tidak mengetahui keadaan di seberang hutan
129 sana. Atau jangan-jangan itu sebuah pancingan", berkata
Sembaga kepada Mahesa Amping menyampaikan
pendapatnya. "Terima kasih Paman", berkata Mahesa Amping
mengerti dan menerima kekhawatiran Sembaga yang
mengingatkannya. Dalam waktu singkat, Hantu Wungu dan dua orang
anak buahnya telah terikat.Mereka diamankan di tengah
tiang layar kapal kayu dalam pengawasan yang ketat dari
para awak kapal. Sementara itu, jauh dari Sungai Brantas. Di pantai
Karang Anyer, Kebo Arema dan Kertanegara telah
merasa cukup beristirahat. Mereka telah bersiap-siap
melanjutkan perjalanannya.
Sebuah perahu terlihat begitu kecil di tengah laut
yang luas. Diapit dua daratan yang semakin menyempit
terus membelah ombak. "Kita berpacu dengan senja", berkata Kebo Arema
memberi tanda mempercepat dayung mereka.
Di kejauhan sudah terlihat ujung-ujung tiang layar
kapal kayu bersandar. Semakin lama menjadi semakin
jelas. Puluhan kapal kayu besar tengah bersandar.
Sebuah kapal kayu besar bertiang layar rangkap tengah
merenggang dari dermaga. "Kita telah sampai di Ujung Galuh", berkata Kebo
Arema kepada Kertanegara.
Matahari mengintip separuh wajahnya di ujung
sebelah barat. Pulau Madhura terlihat panjang hitam
memanjang dalam kesunyiannya. Hati Kertanegara
seperti tergetar meletup-letup seakan telah terbang jauh
mendarat di pulau hitam itu. Melihat sang kekasih Menik
130 Kaswari dalam tatap sendu rindu.
"Kita bermalam di sini", berkata Kebo Arema
membuyarkan lamunan Kertanegara. "Aku punya
keluarga dekat di sini", berkata lagi Kebo Arema kepada
Kertanegara. Perahu mereka bersandar di dermaga sebuah
perkampungan nelayan. Sebuah perkampungan yang
unik. Rumah mereka ada di atas air, berupa tongkang
kayu beratap diikat pada tonggak-tonggak kayu yang
menancap di dasar laut dangkal. Perkampungan
terapung, begitulah orang-orang menyebutnya.
"Perkenalkan, inilah saudara sepupuku bernama
Bhaya", berkata Kebo Arema kepada Kertanegara
memperkenalkannya kepada Bhaya saudara sepupunya.
Seorang pemuda yang seusia dengan Kertanegara.
Wajahnya cukup gagah mirip dengan Kebo Arema,
hanya lebih muda, itulah yang membedakannya.
Setelah menanyakan keselamatan masing-masing.
Kebo Arema bercerita bahwa rencananya mereka akan
menyeberang ke Pulau Madhura mengantar Kertanegara
untuk menemui seseorang di sana.
"Di Kademangan Mlajah aku pernah mendengar telah
berdiri sebuah barak besar prajurit. Disitulah tempat satusatunya para prajurit tinggal di Pulau Madhura", berkata
Bhaya kepada Kebo Arema dan Kertanegara.
"Apakah kamu tidak keberatan mengantar kami
kesana?", berkata Kebo Arema kepada Bhaya.
"Dengan senang hati, Paman", berkata Bhaya
kepada Kebo Arema. Dan malam pun telah menyelimuti perkampungan
terapung itu. Wajah bulat bulan purnama tergantung di
131 langit kelam. Suara ombak dan angin sepertinya
nyanyian malam yang abadi. Kadang tongkang kayu
bergetar ditampar gulungan ombak yang tinggi. Orang
bilang saat itu Dewi Bulan dan Dewa Laut tengah
kasmaran. Tapi tangan Dewa Laut tidak pernah mampu
menggapai wajah Sang Dewi Rembulan.
Dan pagi pun telah datang pula. Dewi Bulan telah
kembali keperaduannya. Meninggalkan Dewa Laut yang
lelah tetidur. Sebuah Jukung bercadik, berlayar merenggang dari perkampungan terapung.
tunggal "Ke Kademangan Mlajah lewat jalur laut lebih cepat",
berkata Bhaya kepada Kertanegara sambil mengayuh
jukungnya yang lebih besar dibandingkan jukung milik
Kebo Arema. Diam-diam Kertanegara memuji Bhaya
sepertinya begitu mengenal kehidupan laut.
yang "Jukung ini seperti rumah keduaku, kadang berharihari aku terapung di tengah lautan", berkata Bhaya
kepada Kertanegara. Arah jukung sedikit melengkung melampau paruh
burung ujung Madhura. "Kita telah sampai di pesisir pulau Madhura", berkata
Bhaya kepada Kertanegara ketika jukung mereka telah
mendekati pesisir pulau Madhura.
Jukung pun terus melaju menyusuri pesisir pantai
Madhura. Layar pun telah dikembangkan. Siang itu angin
bertiup keras keutara. "Sebentar lagi kita akan melewati pantai tanduk pulau
sapi", berkata Bhaya kepada Kertanegara mengatakan
pulau Madhura sebagai pulau sapi.
132 "Kita beristirahat di tanduk sapi", berkata Kebo Arema
kepada Kertanegara sambil menunjuk ke sebuah arah
yang merupakan celah sempit antara nusajawa dan
Pulau madhura. Seperti yang dikatakan Kebo Arema, mereka merapat
beristirahat di pantai Tanduk. Diperjalanan Bhaya masih


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempat menumbak beberapa sotong. Sejenis cumi-cumi
namun tubuhnya lebih tambur lagi, sangat banyak di
jumpai di sekitar pesisir pantai Pulau Madhura.
"Sotong bakar yang nikmat", berkata Kertanegara
sambil menikmati tiga buah sotong dalam satu tusukan
kayu panjang. Ketika matahari bergeser surut dari puncaknya,
Kertanegara, Kebo Arema dan Bhaya terlihat tengah
mendorong jukungnya menjauhi pantai. Jukung pun kini
telah bergerak kembali menyusuri pesisir Pulau Madhura.
Ketika menemui beberapa perahu nelayan yang tengah
menurunkan sauhnya di tengah laut, mereka pun saling
menyapa atau sekedar melambaikan tangan. Begitulah
pekerti kehidupan di tengah laut, mereka saling menyapa
dan siap membantu bila diperlukan.
Jarak perjalanan mereka memang sudah begitu
dekat. Matahari telah semakin surut ke barat manakala
mereka telah menambatkan jukung pada sebatang
pohon kelapa. Angin laut sepoi berdesir mengeringkan
peluh dan rasa lelah. "Tidak jauh dari sini ada sebuah pasar", berkata
Bhaya kepada Kertanegara dan Kebo Arema.
Tidak jauh dari pantai tempat mereka menambatkan
jukungnya, ada sebuah pasar. Untungnya hari itu adalah
hari pasaran. Masih ada sebuah kedai yang masih buka.
Mereka mampir sebentar membeli beberapa jajanan dan
133 minuman hangat yang menyegarkan. Setelah itu mereka
pun melanjutkan perjalanannya.
Matahari sudah semakin surut ketika mereka telah
sampai di Kedemangan Mlajah. Hamparan sawah
sepertinya menyambut kedatangan mereka. Kedemangan Mlajah adalah daerah yang ramai, yang
merupakan jalur perdagangan antara Madhura dan
Nusajawa. Disitulah barak prajurit didirikan di samping
untuk menjaga keamanan, juga sebagai perwakilan
kerajaan Singasari menempatkan seorang Rakyan
mengurus thanibala khusus dari pulau Madhura.
Kepada seorang petani yang tengah membuat tali
temali pengusir burung mereka bertanya, dimana letak
barak prajurit. Petani itu pun menunjuk ke sebuah arah.
"Kisanak menyusuri jalan desa ini, ambillah jalan ke
kanan ketika menemui pertigaan jalan", berkata petani itu
menunjukkan dimana letak barak prajurit.
Akhirnya, mereka pun telah sampai di tempat yang
mereka tuju. Sebuah barak yang besar yang dikelilingi
pagar kayu bulat setinggi kepala.
Kepada seorang prajurit penjaga, Kebo Arema
menyampaikan maksudnya untuk bertemu dengan
seorang perwira tinggi bernama Bangkalan.
"Ki Rangga Bangkalan tidak tinggal di barak, beliau
tinggal bersama keluarganya", berkata prajurit penjaga
itu. "Dapatkah kami ditunjukkan dimana rumah keluarga
Ki Rangga?", berkata Kebo Arema kepada Prajurit itu.
"Ikutilah bulakan panjang di samping barak ini,
rumahnya tidak jauh dari sini", berkata prajurit itu
134 memberi arah kemana harus mencari rumah Ki Rangga
Bangkalan. Kertanegara, Kebo Arema dan Bhaya tengah
menelusuri sebuah bulakan panjang. Ketika sampai di
ujung bulakang panjang, melewati sebuah rumpun
bambu tali, mereka melihat sebuah rumah yang tidak
begitu besar dikelilingi pagar kayu yang dibelah
sederhana. Hari sudah hampir senja manakala mereka mencoba
membuka regol pintu pagar. Terlihat seorang lelaki duduk
sendiri di pendapa. "Pangeran!!", berdiri orang itu sambil memeluk
Kertanegara yang belum sempat naik ke pendapa. Orang
itu yang tidak lain adalah Bangkalan menangis tersegugsegug di pundak Kertanegara.
Kertanegara berfirasat ada sesuatu yang besar yang
telah terjadi. "Katakan paman, apa yang telah terjadi?", berkata
Kertanegara kepada Bangkalan sambil mengguncang
kedua pundaknya. Bangkalan sepertinya tersadar. Dengan wajah masih
dalam kesedihan mengajak Kertanegara naik ke
Pendapa rumah. Sementara Kebo Arema dan Bhaya ikut
juga naik dan duduk di Pendapa.
"Semula aku merasa putus harapan, menyangka
Pangeran tidak akan mungkin datang kemari", berkata
Bangkalan setelah dapat menenangkan dirinya.
Akhirnya, dengan panjang lebar Bangkalan bercerita
bahwa ketika dalam perjalanannya menuju Kademangan
ini, mereka sekeluarga dicegat oleh segerombolan orang.
"Tiga orang prajurit terbunuh, dan aku tidak dapat
135 berdaya ketika mereka membawa pergi Menik Kaswari
dengan sebuah ancaman pedang di lehernya", berkata
Bangkalan terdiam sebentar sepertinya tengah
mengenang peristiwa itu baru saja terjadi.
"Seorang yang sepertinya pemimpin gerombolan itu
berkata kepadaku", Bercerita kembali Bangkalan tapi
cuma sampai disitu membuat Kertanegara tidak lagi
dapat bersabar. "Apa yang dikatakan oleh orang itu?", bertanya
Kertanegara sepertinya tidak sabar lagi.
"Anakku hanya dapat di jemput oleh Pangeran, orang
itu mengatakan bahwa Pangeran harus datang sendiri ke
tempat mereka", berkata Bangkalan kepada Kertanegara.
"Dimana tempat mereka?", bertanya Kertanegara
kepada Bangkalan. "Orang itu menyebut sebuah Padepokan di daerah
Mading bernama Padepokan Alasjati", berkata Bangkalan kepada Kertanegara.
Suasana pun sepertinya menjadi begitu hening.
Masing-masing telah berada dalam pikirannya sendirisendiri. Seperti halnya Kertanegara yang duduk
mematung. Khayalan yang selalu menyertainya dalam
perjalanan dimana dalam lamunannya ketika sampai
akan disambut sendiri oleh Menik Kaswari dalam
suasana sendu rindu. Sepertinya telah hilang terbang
entah kemana. "Apa yang Ki Rangga perbuat selama ini?", bertanya
Kebo Arema kepada Bangkalan mencoba memecahkan
keheningan suasana. "Aku sudah mengutus dua orang prajurit, mengamati
Padepokan Alasjati itu", berkata bangkalan. "Sambil
136 menunggu kedatangan Pangeran", berkata Bangkalan
melanjutkan. Kembali suasana menjadi hening, masing-masing
sepertinya tengah berada dalam pikirannya sendirisendiri. Masing-masing mencoba berpikir apa yang harus
dilakukan. "Sebagaimana yang mereka inginkan, akulah alat
penukar Menik Kaswari", berkata Kertanegara mengungkapkan pikirannya.
"Menik Kaswari adalah sebuah umpan, mereka ingin
menjebak Pangeran datang ketempat mereka untuk
kepentingan mereka yang belum kita ketahui", berkata
Kebo Arema memberikan tanggapannya.
"Tapi penyelesaiannya, aku harus datang ke tempat
mereka", berkata Kertanegara.
"Kita datang bersama ketempat mereka", berkata
Bhaya yang selama ini lebih banyak berdiam diri.
"Benar, kita datang bersama", berkata Kebo Arema
menyetujui usulan Bhaya. "Aku akan menyertai kalian bersama lima orang
prajurit", berkata bangkalan dengan wajah penuh
semangat. Angin berdesir menyorongkan batang-batang bambu
yang terlihat dari pendapa rumah kediaman Bangkalan.
Senja telah turun bersama bayang-bayang suram.
Sebentar lagi akan datang wajah malam dalam
kegelapan. Sebuah lentera minyak jarak tergantung di kiri kanan
pendapa rumah kediaman Bangkalan. Kertanegara,
Kebo Arema, Bhaya dan Bangkalan masih duduk di
pendapa, meski dalam suasana penuh keprihatinan,
137 mereka masih dapat sempat mencicipi hidangan yang
disediakan dari tuan rumah.
Dari kegelapan pintu pagar halaman depan, terlihat
lima sosok lelaki berjalan mendekati pendapa. Bangkalan
yang pertama kali berdiri menyambut kedatangan
mereka. "Adakah yang dapat kami bantu?" berkata Bangkalan
kepada lima orang yang baru datang, mengira mereka
adalah penduduk sekitar yang memerlukan bantuan atau
beberapa keperluan. Dan hal itu memang sering terjadi.
"Apakah ini adalah rumah Ki Rangga Bangkalan?",
terdengar salah seorang dari lima orang yang datang itu
bertanya. "Aku sendiri yang ki sanak maksudkan", berkata
Bangkalan memperkenalkan dirinya.
Belum sempat lima orang yang datang itu
mengatakan sesuatu, Kertanegara telah ikut turun dari
Pendapa. Terkejut melihat salah seorang dari kelima
orang yang baru datang itu sebagai orang yang telah
sangat dikenalnya. "Dimas Wijaya!!", Kertanegara berkata
menghampiri salah seorang yang dikenalnya.
sambil Dan orang yang dipanggil namanya oleh Kertanegara
juga memandangnya dengan mata tidak percaya.
"Kangmas !!", berkata seorang lelaki muda remaja
yang tidak lain adalah Raden Wijaya melihat Kertanegara
dengan wajah gembira. Merekapun saling berpelukan, tidak menyangka di
tempat yang begitu jauh dari tanah kelahirannya dapat
bertemu. Bertemu dengan saudaranya sendiri.
138 Keempat orang yang datang bersama Raden Wijaya
tentunya tidak lain adalah para Ksatria dari Padepokan
Bajra Seta. Setelah menyeberang di Pulau Madhura,
perjalanan mereka dilanjutkan lewat jalan darat sampai di
Kedemangan Mlajah tanpa banyak kesulitan. Dan
akhirnya telah berada di depan pendapa rumah
kediaman Bangkalan. Mereka akhirnya duduk bersama di pendapa. Setelah
saling berkenalan dan menceritakan keselamatan
masing-masing, merekapun bercerita tentang peristiwa
yang mereka alami di atas kapal kayu dalam perjalanan
mereka. "Kita harus mengetahui, siapa di balik ini yang
menginginkan kematian Pangeran", berkata Kebo Arema
sambil juga menjelaskan rencana secepatnya menyelamatkan Menik Kaswari, putri Bangkalan yang
saat ini telah disandera di Padepokan Alasjati.
Akhirnya mereka sepakat, berangkat bersama ke
Mading. Sampai jauh malam mereka berunding
mempersiapkan beberapa hal yang harus dilakukan agar
usaha mereka dapat berhasil, yaitu menyelamatkan
Menik Kaswari. "Lewat jalur laut lebih cepat", berkata Kebo Arema
yang sepertinya talah disepakati menjadi pimpinan
pasukan kecil itu. "Kita akan menyusuri Pulau Madura dari pesisir
selatan", berkata Kebo Arema menyampaikan rencana
perjalanannya. Sebagai seorang yang banyak berkelana dari pulau
satu ke pulau lainnya dan sangat menguasai kehidupan
laut, Kebo Arema sepertinya sangat hafal dengan
beberapa tempat khususnya Pulau Madura. "Untuk
139 mencapai hutan Mading, jalan terdekat adalah melewati
tanah perdikan baru. Penguasa tanah perdikan itu
bernama Ki Gede Banyak Wedi", kembali Kebo Arema
menjelaskan arah perjalanan mereka.
"Sangat kebetulan sekali, aku mengenal dekat
dengan penguasa tanah perdikan itu. Seorang yang
sangat disayangi oleh Ayahku. Kita dapat menjadikan
tempatnya sebagai tempat persiapan memata-matai
Padepokan Alasjati dari dekat", berkata Kertanegara
memotong penjelasan Kebo Arema.
"Tidak semudah itu Pangeran, kita harus hati-hati.
Kita harus mengetahui kemana arah angin Penguasa
Tanah Perdikan itu berpijak", berkata Kebo Arema
memberikan pandangannya. Sementara semua yang
hadir di pendapa rumah kediaman Bangkalan mengakui
dan membenarkan kehati-hatian dari sikap Kebo Arema.
"Benar, dalam keadaan ini kita harus hati-hati menilai
siapa kawan dan siapa lawan", berkata Wantilan ikut


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan pandangannya. "Begitulah maksudku, untuk menjaga keselamatan
Pangeran. Bukankah sampai saat ini kita belum
mengungkap siapa di belakang layar yang menginginkan
kematian Pangeran?", berkata Kebo Arema membenarkan pendapat Wantilan.
Siapakah yang dimaksud dengan Ki Gede Banyak
Wedi", kita semua telah mengenalnya sebagai orang
yang sangat berjasa terutama ketika menyelamatkan Sri
Maharaja dan Ratu Anggabhaya sewaktu masih kecil
dalam sebuah rencana pembunuhan orang-orang
terdekat Baginda Raja Tohjaya, penguasa pada waktu
itu. Atas jasa yang besar itulah Banyak Wedi diberikan
hadiah dan anugerah sebuah tanah perdikan. Walaupun
140 pada mulanya Banyak Wedi berharap diberikan Tanah
Perdikan di tanah kelahirannya sendiri yaitu di Benangka,
sebuah daerah di bagian Barat Pulau Madura. Sebagai
daerah yang sudah matang. Tapi Sri Maharaja
memberikan tanah perdikan jauh dari harapannya,
sebuah tanah di hutan larangan. Tapi sebagai seorang
yang setia, Banyak Wedi dapat memaklumi maksud
sebenarnya dari Tanah Perdikan yang dianugerahkan
kepadanya. Sebagai perwakilan kerajaan Singasari di
belahan timur Pulau Madura.
"Arah perjalanan kita bisa berubah, tergantung
kemana mata angin bertiup", berkata kembali Kebo
Arema menyampaikan beberapa kemungkinan yang
dapat dilakukan. Matahari pagi telah mulai merayap naik, tiga buah
jukung bercadik dan berlayar tunggal telah jauh
meninggalkan Pantai Punuk. Menyusuri pesisir selatan
pantai Pulau Madura. Di tengah perjalanan mereka masih sempat singgah
sebentar di sebuah pantai yang sunyi untuk beristirahat.
Tapi tidak lama, mereka pun melanjutkan perjalanannya.
Kebo Arema nampak memimpin rombongan berada di
jukung terdepan. Malam telah datang menyambut tiga buah jukung
yang tengah merapat di tepian Kali Anget yang sepi.
Kebo Arema nampak berjalan dimuka bersama
Kertanegara dan Bhaya. Dibelakang mereka adalah lima
ksatria dari Bajra Seta. Sementara di ujung iringan itu
berjalan lima orang prajurit bersama Ki Rangga
Bangkalan. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang
panjang. Mereka telah berada di hutan perbatasan
141 Tanah Perdikan baru, tanah perdikan Ki Gede Banyak
Wedi. Di hutan itulah mereka beristirahat.
"Besok pagi kita menyelidiki keadaan tanah perdikan
ini. Mudah-mudahan dapat menjadi tempat menginap
yang baik", berkata Kebo Arema kepada Kertanegara
yang tengah duduk bersandar di sebuah pohon besar
tidak jauh darinya. "Sungenep", berkata Kertanegara menyebut sebuah
nama tempat dalam dongeng para pendeta ketika Dewa
Malam berubah menjadi seorang manusia biasa yang
tidak pernah bisa tidur. Di "Sungenep" inilah pertama kali
Sang Dewa bisa tidur nyenyak.
Dan akhirnya semuanya memang telah tertidur di
hutan itu meski pagi sudah hampir datang menjelang.
Untuk berjaga-jaga dua orang prajurit sengaja tidak ikut
tidur. Hingga ketika datang pagi menjelang baru prajurit
itu bergantian tertidur. Matahari pagi sudah merambat naik mengusir embun
hilang di ujung daun hijau.
Terlihat Kebo Arema, Kertanegara dan Wantilan telah
memasuki regol gerbang desa. Di Banjar desa mereka
berhenti dan menemui seorang pengawal tanah
Perdikan. Kebo Arema menyampaikan niatnya untuk
menemui Ki Gede Banyak Wedi.
"Katakan bahwa kami datang dari Kotaraja", berkata
Kebo Arema kepada pengawal itu.
Rumah kediaman Ki Gede Banyak Wedi memang
terlihat lebih mencolok dibandingkan rumah penduduk di
sekitarnya. Tapi tidak seperti umumnya rumah penguasa
yang selalu dikelilingi dinding batu yang tinggi. Rumah
kediaman Ki Gede Banyak Wedi tidak berpagar dinding.
142 Rumah dan banjar desa seperti menjadi kesatuan yang
utuh. Letak pendapa rumah kediaman Ki Banyak Wedi
ada di sisi kanan banjar desa. Dari Banjar desa dapat
melihat langsung pendapa utama rumah itu.
"Ki Gede berkenan menerima kisanak semua",
berkata pengawal Tanah Perdikan yang sudah datang
kembali mempersilahkan Kebo Arema, Kertanegara dan
Wantilan naik kependapa utama.
Kebo Arema, Kertanegara dan Wantilan telah duduk
di Pendapa. Bukan main kagetnya Ki Gede Banyak Wedi
ketika melihat ada Pangeran Kertanegara bersama
tamunya. "Pangeran..!!", berkata Ki Gede Banyak Wedi seperti
tidak mempercayai pada penglihatannya.
"Rejeki melimpah apapun yang kuterima tidak akan
sebanding kegembiraanku menerima Pangeran di
gubukku ini", berkata Ki Gede Banyak Wedi
mengutarakan kegembiraannya.
Bukan main sibuknya suasana di dapur belakang
setelah diberitahu bahwa tamu mereka adalah seorang
Pangeran, seorang putra mahkota kerajaan Singasari
yang besar. Antara gembira dan gugup untuk menyajikan
hidangan apakah yang layak untuk seorang pangeran.
"Aku hanya ingin memperluas wawasanku menjelajah
sekitar nagari", berkata Kertanegara ketika Ki Gede
banyak Wedi menanyakannya apakah ada keperluan
penting hingga sampai ke tempat kediamannya.
Kertanegara masih mencoba merahasiakan kepentingannya. "Bukankah bila kita berjalan lebih ke utara dari sini,
kita akan berhadapan dengan hutan Mading?", bertanya
143 Kebo Arema tanpa penekanan khusus dalam katakatanya. Sepertinya pertanyaannya kepada Ki Gede
Banyak Wedi cuma sebuah pertanyaan biasa, hanya
sebuah kata-kata pengisi keheningan yang dipaksakan.
"Benar, arah utara dari sini adalah hutan Mading",
berkata Ki Gede Banyak Wedi kepada Kebo Arema
tanpa prasangka apapun. "Aku pernah mendengar bahwa di hutan Mading itu
ada berdiri sebuah Padepokan bernama"..Padepokan
Alasjati", berkata Wantilan kepada Ki Gede masih
sebagai sebuah pancingan.
"Ya benar, sebuah Padepokan baru bernama
Padepokan Alasjati", berkata kembali Ki Gede sepertinya
membenarkan apa yang dikatakan Wantilan.
"Hutan Mading adalah bagian dari hutan larangan,
masuk dalam wilayah amanah sabda prasasti Sri
Maharaja di samping tanah perdikan yang dihadiahkan
kepada Ki Gede. Sudahkah Padepokan Alasjati itu
meminta ijin kepada Ki Gede ?", bertanya Kebo Arema
kepada Ki Gede. "Selentingan, aku mendapat kabar bahwa mereka
adalah para bajak laut yang tengah bersembunyi.
Sementara untuk sebuah ijin, tidak ada seorang pun
Pendekar Pedang Sakti 6 Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Mencari Bende Mataram 18
^