Pencarian

Sang Fajar Bersinar 1

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 1


1 Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri
Bagi sanak-kadang yang berkumpul di "Padepokan"
pelangisingosari Meskipun kita semua boleh download naskah tersebut di
http://pelangisingosari.wordpress.com, tetapi hak cipta
tetap berada di Ki Arief "Kompor" Sujana.
2 SANG FAJAR BERSINAR DI BUMI SINGASARI
Karya : Arief Sujana (Ki Kompor)
JILID 01 LANGIT begitu cerah, awan putih bergantungan di
bumi Kotaraja Singasari yang besar dan ramai.
Sepanjang jalan Kotaraja dihiasi rumah-rumah besar
bertiang tinggi kayu jati berukir indah. Kuda-kuda
pengangkut barang milik saudagar tidak pernah sepi
berlalu-lalang. Kadang satu dua kereta kencana milik
para bangsawan terlihat menyusuri jalan. Terlihat
seorang putri dari jendela kereta kencana begitu elok
rupawan. Orang yang berjalan kaki pun begitu penuh
kegembiraan, datang dan berlalu dari arah pasar
Kotaraja yang ramai. Ada berita penting yang menjadi pembicaraan hangat
pada saat itu, bahwa besok di Istana Singasari akan ada
pelantikan dan pengukuhan dari beberapa Pangeran
Istana, para rakyan dan beberapa orang biasa yang
dianggap telah banyak berjasa bagi kelangsungan dan
kejayaan kerajaan Singasari.
Pada hari itu, Mahesa Murti dan Mahesa Pukat ada di
rumah Mahendra. Sebagai seorang ayah, bukan main
bangganya memandang kedua anaknya. Tidak ada
kebanggaan dari seorang ayah melihat seorang anak
yang tumbuh dewasa, berpijak dan mengenal paugeran
hidup dari yang Maha Pemberi Sumber Kehidupan.
Sementara pangkat dan jabatan hanya sebuah amanat
yang harus dijaga dan disyukuri.
Besok, Mahesa Pukat akan dikukuhkan dirinya
3 sebagai Rakyan Rangga berkedudukan di benteng
Cangu, sebuah daerah sebelah utara Kotaraja.
Sementara itu, Mahesa Murti mendapat anugerah
mendapatkan Tanah Sima untuk seluruh tanah
Padepokan Bajra Seta dan sekitarnya.
"Kekayaan, kehormatan dan kedudukan, adalah
amanat dari yang Maha Pemberi Anugerah, Sumber dari
segala sumber kehidupan ini", berkata Mahendra
memandang kedua putranya yang besok akan dilantik
dan dikukuhkan di Paseban Raya.
"Nasehat Ayah akan kami pusakai", berkata Mahesa
Murti mewakili. Mahendra tua nampak termenung, matanya
memandang jauh kedepan, jauh melampau pucuk-pucuk
kembang soka yang tumbuh di sudut halaman. Jauh
mengenang masa mudanya dalam petualangan panjang,
dari beberapa generasi ke generasi kepemimpinan
Singasari. Dan hari pun sudah menjadi senja ketika Mahesa
Pukat pamit mohon diri kembali ke rumahnya.
AKHIRNYA, Hari yang ditunggu pun tiba. Pagi itu
Istana berhias indah. Di depan pintu gerbang telah
terangkai untaian janur kuning selamat datang sebagai
tanda bahwa hari itu akan ada sebuah upacara besar.
Sepanjang dinding Istana telah berhias umbul-umbul
warna-warni mengiringi umbul-umbul kebesaran kerajaan"kerajaan dibawah daulat Singasari Raya.
Istana Singasari yang megah nampak menjadi lebih
indah melebihi pemandangan hari-hari sebelumnya.
Masuk kedalam, di Paseban Raya telah berkumpul
para undangan, para Rakryan tinggi kerajaan, para
utusan kerajaan seluruh daulat Singasari Raya, para
4 Bhirawa suci dan tentunya mereka yang akan
mendapatkan anugerah Sri Maharaja, yang akan
dinobatkan dan dikukuhkan dalam upacara besar itu.
Sementara itu, di Penataran samping Paseban Raya,
para kawula, warga Kotaraja ikut berdesakan penuh
semangat ingin menyaksikan langsung upacara
penobatan dan pengukuhan. Dan tentunya dapat melihat
langsung kemegahan Istana Singasari dari dekat, meski
hanya di Penataran, sebuah lapangan besar
berdampingan dengan Paseban Raya.
Di Panggung Paseban Raya, Sri Maharaja telah
berdiri bersama permaisuri dinaungi Payung kebesaran
kerajaan Kiai Penanggungan. Sebuah payung pusaka
kerajaan yang dikeramatkan. Konon, seorang abdi dalem
istana yang bertugas membawa payung ini harus
berpantang, ditabukan makan buah labu parang merah.
Pernah ada seorang abdi dalem yang lupa melanggar
pantangan ini. Akibatnya memang diluar akal dan pikiran,
Payung Kiai Penanggungan tidak dapat diangkat, seperti
diberati oleh beban ribuan kati. Konon juga menurut
beberapa orang tua di jaman itu, payung Kiai
Penanggungan dapat mengusir hujan. Cuaca menjadi
begitu cerah bila mana payung keramat ini telah berdiri
hadir melengkapi setiap upacara kerajaan. Dalam kisah
yang lain, Payung Kiai Penanggungan menurut para
Bhirawa suci adalah hadiah Dewa Siwa kepada Raden
Erlangga ketika berada di puncak gunung Penanggungan dalam pengungsiannya bersembunyi dari
kejaran musuh-musuhnya. "Sejahteralah Sri Seminingrat yang bergelar
Maharaja Sri Jayawisnuwardhana Sang Mapanji
Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana
Kamaleksana sang penguasa utama kerajaan Singasari
5 Raya, penuh kemuliaan Sang Permaisuri Waning Hyun
dengan abhiseka Sri Jaya Wardhani", terdengar suara
Mahapatih yang menjadi juru bicara Sri Maharaja
mengawali upacara suci itu dengan mengucapkan puja
dan puji kepada Sri Maharaja dan permaisuri.
Setelah mengatur nafas perlahan, Sang Maha Patih
membacakan satu persatu para putra raja yang
dinobatkan sebagai adipati di penjuru tanah daulat
Singasari Raya. Beberapa Rakryan tinggi kerajaan yang
dititahkan menduduki jabatan baru, juga para Bhirawa
suci dan kawula biasa yang karena jasanya telah
diberikan anugerah Tanah Sima.
Semua mendengar dengan penuh hikmad, satu
persatu ucapan yang disampaikan Sang Mahapatih wakil
juru bicara Sri Maharaja. Suasana menjadi begitu hening
penuh kehormatan, sepertinya ucapan Sang Mahapatih
adalah titah langsung Sri Maharaja.
Setelah Sang Mahapatih membacakan satu persatu
para penerima penobatan, pengukuhan dan anugerah Sri
Maharaja, maka satu persatu para penerima penobatan,
pengukuhan dan anugerah berjejer berbaris berhadap
panggung Paseban Raya untuk menerima langsung
tanda prasasti dari Sri Maharaja berupa sebuah kotak
sebesar setengah telapak tangan kayu hitam persegi
panjang berukir tanda kebesaran yang masing-masing
berbeda sesuai penobatan, pengukuhan dan anugerah
yang diberikan. Dan akhirnya, tahap demi tahap pelaksanaan
upacara suci penobatan, pengukuhan itu pun berakhir.
Ditandai dengan turunnya Sri Maharaja dan Permaisuri
meninggalkan panggung Paseban Raya.
"Selamat bertugas Rakryan Rangga Mahesa Pukat",
6 berkata Rakryan Tumenggung Honggopati kepada
Mahesa Pukat dalam sebuah perjamuan besar yang
diadakan sebagai rasa suka cita setelah upacara di
paseban Raya telah usai. "Terima kasih, mohon doa restunya", berkata Mahesa
Pukat kepada Rakryan Tumenggung Honggopati
sahabat lamanya itu. Sementara itu, di tempat yang sama, Mahesa Murti
tengah berbincang bersama seorang Bhirawa yang juga
sama-sama diberi anugerah Tanah Sima.
"Semoga Sri Maharaja selalu diberkati oleh para
Dewa", berkata Sang Bhirawa kepada Mahesa Murti. "Sri
Maharaja tangannya bermata, bersaksi atas segala jasa",
lanjutnya. "Anugerah ini adalah titipan dari Yang Maha Pemberi
Anugerah, lewat tangan Sri Maharaja anugerah ini
dititipkan", berkata Mahesa Murti.
"Pandangan Anakmas begitu luhur, berbahagialah
Penasehat Agung Mahendra, telah berputra seperti
anakmas", berkata Sang Bhirawa kepada Mahesa Murti
yang juga mengenal Mahendra.
Dan perjamuan masih terus berlangsung, suka cita
meliputi suasana kegembiraan menyambut keputusan Sri
Maharaja menempatkan beberapa keluarga dekat di
daerah-daerah yang penting. Sebuah keputusan yang
tepat untuk mengikat kedaulatan Singasari Raya.
Disamping juga dengan cerdas telah memberikan
anugerah kepada para pendeta dan kawula biasa yang
telah banyak berjasa yaitu berupa Tanah Sima.
Dukungan akan menjadi semakin meluas untuk
kedamaian bumi Singasari Raya.
7 Ditengah perjamuan yang hangat itu, datang
menghampiri Mahesa Murti seorang yang berperawakan
tubuh tegap, penuh wibawa, namun wajahnya selalu
menunjukkan senyum keramahan. Dengan penuh hormat
Mahesa Murti menyambut orang yang menghampirinya
itu yang sudah dikenalnya, yang tidak lain adalah Ratu
Anggabhaya Mahesa Cempaka. Bersamanya seorang
anak laki-laki remaja seusia Mahesa Amping.
"Beri hormat kepada Pamanmu", berkata Ratu
Anggabhaya memperkenalkan anak laki-laki yang
mempunyai wajah begitu tampan yang tidak lain adalah
putranya sendiri Raden Wijaya.
"Menghaturkan hormat untuk Paman Mahesa Murti",
berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Murti penuh
kesopanan yang dibalas dengan salam hormat kembali
dari Mahesa Murti yang dalam pandangan pertamanya
sangat menyukai anak laki-laki yang begitu tampan
didepannya penuh kesopanan dan mengenal tatakrama,
tidak seperti putra bangsawan yang sering dijumpainya,
begitu angkuh, merasa lebih tinggi martabatnya dan
selalu ingin dihormati. "Apakah aku sudah setua seorang Paman?", berkata
Mahesa Murti kepada Raden Wijaya yang menoleh
kepada Ratu Anggabaya meminta pertimbangannya
bahwa memang dalam pandangannya melihat Mahesa
Murti memang masih begitu muda.
"Aku memanggil ayahmu sebagai Paman Mahendra,
sudah sewajarnya putraku memanggilmu dengan
sebutan Paman", berkata Ratu Anggabhaya kepada
Mahesa Murti sekaligus meluruskan kebimbangan Raden
Wijaya. "Bagaimana bila aku memanggil Paman muda
8 Mahesa Murti", berkata Raden Wijaya yang disambut
tawa dari Mahesa Murti maupun Ratu Anggabhaya
sendiri. "Tidak ada Paman Muda, juga Paman tua, Paman
".ya paman?", berkata Ratu Anggabhaya yang
disambut tawa oleh Mahesa Murti dan juga Raden
Wijaya. "Betul " betul " betul", berkata Raden Wijaya dengan
jenaka yang disambut tawa mereka bertiga. Beberapa
pasang mata menjadi iri melihat keakraban mereka
bertiga. Mahesa Murti sendiri melihat kejenakaan Raden
Wijaya yang masih remaja ini jadi semakin menyukainya.
Sepertinya mereka sudah saling mengenal begitu lama.
"Sebenarnya kami berharap anakmas Mahesa Murti
dapat menggantikan kedudukan adikmu Mahesa Pukat
sebagai guru keluarga Istana", berkata Ratu
Anggabhaya. "Hamba akan menjunjung tinggi titah tuanku", berkata
Mahesa Murti penuh hormat namun ada kegelisahan
didalam hatinya. "Tapi kami lebih menghargai kedudukanmu sebagai
pemimpin Padepokan Bajra Seta" berkata Ratu
Anggabhaya dengan senyum dikulum sepertinya dapat
membaca kegelisahan hati Mahesa Murti. "Akhirnya kami
berpikir lain".", berkata kembali Ratu Anggabhaya
masih dengan senyumnya bermaksud agar Mahesa Murti
tidak lagi gelisah. Tapi ternyata Mahesa Murti menjadi
lebih gelisah menunggu akhir kata Ratu Anggabaya
selanjutnya. "Kami bermaksud ingin menitipkan putraku ini di
Padepokan Bajra Seta", berkata Ratu Anggabaya
kepada Mahesa Murti yang sepertinya telah keluar dari
9 himpitan beban berat. Nampak Mahesa Murti sepertinya
menarik napas panjang setelah menahan nafas sekejab
menerka-nerka kemana arah pembicaraan Ratu
Anggabhaya. "Kami di Padepokan Bajra Seta menerima putra


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raden Wijaya sebagai sebuah kehormatan", berkata
Mahesa Murti sambil memandang Raden Wijaya yang
juga tengah memandangnya dengan wajah penuh
kegembiraan. "Ini bukan keputusan kami, tapi putraku sendiri yang
menghendaki", berkata Ratu Anggabhaya sambil
menepuk-nepuk pundak Raden Wijaya.
"Maafkan aku Paman, mudah-mudahan kehadiranku
tidak menyusahkan", berkata Raden Wijaya yang sudah
banyak mendengar cerita dari beberapa orang yang
dikenalnya mengenai Padepokan Bajra Seta, juga
mengenai Mahesa Murti sendiri sebagai seorang pemuda
yang ilmunya sudah begitu mumpuni.
"Kapan anakmas Mahesa Murti kembali ke
Padepokan Bajra Seta?", bertanya Ratu Anggabhaya
kepada Mahesa Murti. "Secepatnya bersamaan keberangkatan Mahesa
Pukat ke tempat tugas barunya", berkata Mahesa Murti
kepada Ratu Anggabhaya. "Kalau begitu, putraku akan mempersiapkan diri",
berkata Ratu Anggabhaya kepada Mahesa Murti.
"Bintang Fajar akan bersinar di Padepokan Bajra
Seta", berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya
ketika berpamitan meninggalkannya. Raden Wijaya
menoleh sebentar melambaikan tangannya serta
melepaskan senyumnya. Entah kenapa Mahesa Murti
10 begitu simpatik kepada anak remaja itu.
Dan senjapun telah turun, Mahesa Murti bermalam di
rumah Mahendra. Banyak hal mereka bicarakan
bersama, mulai dari kedamaian di bumi Singasari yang
mulai dapat dirasakan semenjak terbunuhnya Pangeran
Gaco Bahari. Mereka juga membicarakan dampak
pemberian anugerah Tanah Sima kepada para pimpinan
pendeta agama akan berbuah dukungan yang semakin
meluas bagi pemerintahan di bumi Singasari Raya.
"Mudah-mudahan Raden Wijaya punya bakat yang
besar sebagaimana ayahnya", berkata Mahendra kepada
Mahesa Murti ketika pembicaraan beralih kepada
rencana Ratu Anggabhaya yang akan menitipkan Raden
Wijaya di Padepokan Bajra Seta. Sekilas Mahendra
terkenang kembali kemasa silam, masa ketika
membimbing dan membina Ratu Anggabhaya dan Sri
Maharaja di Padepokan terpencil milik Witantra.
"Aku menyukai anak itu", berkata Mahesa Murti
kepada Mahendra. "Raden Wijaya sudah mempunyai dasar-dasar yang
baik dalam olah kanuragan lewat Ayahnya sendiri
tentunya", berkata Mahendra.
"Juga lewat Mahesa Pukat sebagai guru keluarga
Istana", berkata Mahesa Murti
"Benar", berkata Mahendra
"Artinya tugasku melanjutkan dan mengembangkan
apa yang telah dimiliki Raden Wijaya", berkata Mahesa
Murti. "Raden Wijaya akan dapat melaluinya, karena ada di
jalur yang sama", berkata Mahendra.
"Mudah-mudahan apa yang kita harapkan dapat
11 terwujud", berkata Mahesa Murti berharap tidak ada
hambatan dalam membina Raden Wijaya.
"Raden Wijaya adalah harapan masa depan bagi
bumi Singasari ini", berkata Mahendra memandang jauh
ke depan. "Sebagai cakra membawa Singasari raya terus
melaju berkembang", berkata Mahesa Murti penuh
semangat. "Cakra?", bertanya Mahendra yang tiba-tiba saja
teringat kepada orang kepercayaan Pangeran Gaco
Bahari. "Dimana kira-kira orang itu berada", berkata
Mahendra sepertinya kepada dirinya sendiri.
"Orang yang mempunyai tanda cakra dilengannya,
maksud ayah?", bertanya Mahesa Murti kepada
Mahendra yang dibalas dengan anggukan kepala
mengiyakan. "Apa yang ayah ketahui mengenai orang itu?",
bertanya Mahesa Murti. "Dalam pertempuran denganmu, aku melihat
tatagerak yang sama, sebagaimana Mahesa Agni dan
dirimu", berkata Mahendra
"Aku belum menangkap apa yang ayah maksudkan",
berkata Mahesa Murti yang belum menangkap arah
pembicaraan Mahendra. "Di dalam dirimu sudah melebur perguruan ayah dan
Mahesa Agni", berkata Mahendra mulai menjelaskan.
"aku melihat tatagerak yang sama pada orang itu, lebih
mendekati tatagerak Mahesa Agni", berkata Mahendra
melanjutkan. "Kesimpulan apa yang ayah dapatkan dari orang itu",
berkata Mahesa Murti. 12 "Keyakinan bahwa benar orang itu berasal dari
perguruan Windu Sejati", berkata Mahendra kepada
Mahesa Murti. "Apa hubungannya dengan Paman Mahesa Agni?",
bertanya Mahesa Murti "Empu Brantas pendiri perguruan Windu Sejati
adalah saudara kandung Empu Purwa, guru Mahesa
Agni ", berkata Mahendra.
"Aku baru menyadarinya sekarang", berkata Mahesa
Murti mengenang kembali pertempurannya dengan orang
kepercayaan Pangeran Gaco Bahari.
"Sayangnya kita berdiri berseberangan jalan dengan
orang itu", berkata Mahendra."Itulah perjalanan hidup,
kami pun dulu pernah berseberangan jalan dengan
Mahesa Agni ketika ia membela kubu Ken Arok
menantang pamanmu Witantra dalam perang tanding",
berkata Mahendra mengenang masa-masa silam.
"Artinya, siapa pun bisa salah langkah", berkata
Mahesa Murti mencoba menyimpulkan perkataan
Mahendra. "Semua adalah garis dan ketetapan dari Yang Maha
Agung", berkata Mahendra.
"Dengan cara apa kita mengenal kebenaran itu
ayah?", bertanya Mahesa Murti
"Menilai, dengan cara apa kita menegakkan
kebenaran itu sendiri", berkata Mahendra. "Menilai
dengan suara hati", lanjutnya perlahan.
Dan tidak terasa sang malam pun sudah menutupi
hari, keindahan bunga soka di pojok depan halaman
rumah Mahendra sudah tidak terlihat lagi, tertutup
keremangan malam bersama angin dingin yang
13 sepertinya mencubit genit, mengusir dan mengajak
Mahesa Murti dan Mahendra beranjak dari duduknya.
Mengantar mereka tidur dan bermimpi tentang fajar dan
beningnya pagi. Pagi masih begitu suram, suara kicau burung telah
membangunkan Mahesa Murti. Segera Mahesa Murti
menuju ke pakiwan untuk bersih-bersih diri. Setelah
berganti pakaian, Mahesa Murti pun keluar menuju
pendapa. Ternyata Mahendra telah ada di pendapa, entah
sejak kapan Mahendra duduk di pendapa itu, Mahesa
Murti diam-diam memuji kebiasaan Mehendra bangun di
awal pagi. Wajah tuanya masih begitu segar, meski
beberapa bagian sudah terlihat berkerut.
"Aku ingin menitipkan sesuatu", berkata Mahendra
ketika Mahesa Murti selesai meneguk minuman hangat.
"Mahesa Agni telah menitipkam kitab ini kepadaku,
kuharap kamu dapat menyimpannya", berkata Mahendra
sambil memberikan sebuah kitab rontal yang tidak begitu
tebal terbuat dari bahan kulit binatang.
Berdebar Mahesa Murti memegang kitab itu,
wajahnya menatap penuh kekhawatiran memandang
Mahendra di depannya. "Jangan memandangku seperti itu, sepertinya aku
akan mati besok", berkata Mahendra tersenyum
memandang Mahesa Murti, sepertinya dapat membaca
apa yang ada dalam pikiran Mahesa Murti.
"Apakah ayah pernah mempelajari isi kitab ini?",
berkata Mahesa Murti setelah menguasai dirinya.
"Kitab ini berisi ujar-ujar bagaimana berperilaku
terhadap alam, sesama makhluk hidup, juga terhadap
14 Sang Pencipta", berkata Mahendra menjelaskan isi dari
kitab yang diberikan kepada Mahesa Murti. "Hanya pada
bagian terakhir dari kitab ini yang tidak pernah bisa
kumengerti", berkata Mahendra melanjutkan.
Dengan tidak sengaja, Mahesa Murti membuka
halaman terakhir dari kitab yang dipegangnya, bukan
main terperanjat hatinya membaca kalimat yang ada
dilembar terakhir dari kitab itu.
"Carilah aku dimana tidak ada aku", perlahan Mahesa
Murti membaca kalimat yang tertulis.
"Ya, kalimat itulah yang belum aku mengerti", berkata
Mahendra. "Orang bertanda cakra itu pun, ketika hendak pergi,
mengucapkan kalimat ini", berkata Mahesa Murti.
"Mungkin sebagai isyarat, bahwa kamu sealiran
dengannya, ketika bertempur denganmu dan melihat ada
beberapa tatagerak yang sama, mungkin juga ia
menyangka, bahwa kamu telah memiliki kitab ini",
berkata Mahendra mencoba menduga-duga isyarat
perkataan orang bertanda cakra itu.
Dan suasana pun sepertinya membisu, Mahesa Murti
dan Mahendra sepertinya telah jauh di alam pikirannya
masing-masing. Sementara itu, matahari sudah merayap menerangi
halaman pendapa rumah Mahendra. Seseorang datang
mendekati tangga pendapa, ternyata Mahesa Pukat.
Setelah menyapa dan menyampaikan keselamatan
masing-masing, Mahesa Pukat pun memberi kabar
bahwa dirinya akan berangkat ke benteng Cangu hari itu
juga. "Secepat ini?", berkata Mahendra kepada Mahesa
15 Pukat. "Bukankah sebagai prajurit harus siap menerima
perintah?", berkata Mahesa Pukat sambil melirik kepada
Mahesa Murti. "Untungnya aku bukan prajurit", berkata Mahesa
Murti sambil tersenyum. "Kukira, kamu akan berangkat dua atau tiga hari ini,
biarlah aku bermalam sehari ini lagi", berkata Mahesa
Murti kepada Mahesa Pukat sambil sebentar
memandang wajah ayahnya Mahendra yang nampak
begitu sedih. Mahesa Murti dapat merasakan bagaimana
seorang ayah yang akan berpisah jauh dari anakanaknya, dalam usia senjanya. Dan perkataan Mahesa
Murti adalah sebagai upaya sedikit menghibur kelaraan
Mahendra. Tidak lama Mahesa Pukat duduk bersama di
pendapa. Setelah menikmati beberapa potong makanan
dan minuman hangat, Mahesa Pukat berpamit diri.
"Hati-hatilah kamu menjaga diri", berkata Mahendra
melepas Mahesa Pukat melangkah menuruni anak
tangga pendapa. Mahendra dan Mahesa Murti mengiringi kepergian
Mahesa Pukat dengan pandangan dan hati yang trenyuh,
hingga akhirnya Mahesa Pukat tidak terlihat lagi
menghilang ditikungan jalan.
Tidak banyak yang dilakukan Mahesa Murti di rumah
Mahendra hari itu, selain menggenapi kerinduan mereka.
Dan tidak terasa hari berlalu begitu cepat menembus
senja, menggulung malam dan menarik sang matahari
pagi berdiri di ujung timur cakrawala.
Pagi itu, Mahesa Murti dan Raden Wijaya di
16 punggung kudanya keluar dari gerbang Kotaraja, diiringi
tatapan mata Mahendra tua sampai jauh menghilang
terhalang jalan bukit yang menurun.
Dengan menghela napas panjang, Mahendra
perlahan menghentak kudanya berbalik badan. Dan
membiarkan langkah kudanya berjalan perlahan.
Matanya jauh memandang ke depan, memandang harihari dalam kesendiriannya.
Ternyata Mahendra sengaja memperlambat langkah
kudanya, sepertinya ada yang ditunggunya. Dan benar
saja, tidak lama kemudian ada suara langkah kuda
mendekat. "Sudah hamba duga, ternyata Pangeran Lembu Tal
yang bersembunyi di semak-semak dekat gerbang
Kotaraja", berkata Mahendra ketika orang berkuda sudah
ada berjalan di sampingnya.
"Mata Ki Mahendra begitu awas", berkata Pangeran
Lembu Tal tersenyum malu.
"Kenapa Pangeran bersembunyi", Mahendra kepada Pangeran Lembu Tal.
bertanya "Semula aku pura-pura tidak memperlihatkan
kesedihanku di depan Raden Wijaya, tapi hati ini tak
kuat, akhirnya diam-diam aku mengikutinya sampai
gerbang Kotaraja", berkata Pangeran Lembu Tal berterus
terang kenapa dia bersembunyi.
"Pangeran tidak setuju Raden Wijaya berguru di
Padepokan Bajra Seta?", bertanya Mahendra.
"Semula aku memang keberatan, bukan aku tidak
percaya kepada Mahesa Murti, tapi usia Raden Wijaya
menurutku masih begitu dini dan belum waktunya


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merantau jauh", berkata Pangeran Lembu Tal. "Tapi
17 keinginan anak itu begitu keras, langsung menyampaikan
keinginannya kepada kakeknya sendiri Ratu Anggabhaya. Dan ternyata Ayahku Ratu Anggabhaya
merestuinya", berkata Pangeran Lembu Tal mengakhiri
penjelasannya dengan mengangkat kedua pundaknya
yang diartikan bahwa dia sendiri tidak bisa mencegah
keputusan ayahnya Ratu Anggabhaya.
"Ratu Anggabhaya sepertinya sangat menyayangi
Raden Wijaya", berkata Mahendra
"Bukan cuma menyayangi, tapi benar-benar
memanjakannya", berkata Pangeran Lembu Tal
"Begitu sayangnya, hingga kepada siapapun
membahasakan Raden Wijaya sebagai putranya",
berkata Mahendra tersenyum datar.
"Betul, aku putranya sendiri sepertinya
tersisihkan", berkata Pangeran Lembu Tal.
sudah Mahendra hanya tersenyum tidak menyambut lagi
perkataan Pangeran Lembu Tal, pikirannya melambung
jauh, membayangkan dikerumuni beberapa cucunya
yang nakal dari anak-anaknya. "Mungkinkah aku
mengalaminya?", berkata Mahendra dalam hati.
"Tidak terasa kita sudah sampai", berkata Pangeran
Lembu Tal menghentikan lamunan Mahendra ketika
mereka sudah berada di pintu gerbang Istana.
Mahendra dan Pangeran Lembu Tal pun saling
berpamit diri kembali ke rumahnya masing-masing
didalam istana Singasari.
Sementara itu, masih di Istana, di bangsal keluarga
istana, seorang pemuda nampak begitu gelisah di
kamarnya. Sudah seharian ia tidak keluar kamar.
Di luar pintu, seorang wanita tua, seorang dayang
18 pengasuh menunggu gelisah. Tadi pagi ia mencoba
mengingatkan bahwa makanan pagi sudah disiapkan,
bukan main kagetnya, pemuda itu malah membentaknya.
Sebagai seorang dayang pengasuh yang sudah lama
melayani pemuda itu, baru kali ini ia menerima perlakuan
majikannya yang tidak seperti biasanya.
"Pangeran"..hari sudah siang, apakah pangeran
tidak lapar?", berkata wanita tua itu dari depan pintu yang
tertutup, memberanikan diri bercampur perasaan cemas.
"Menjauhlah dari kamarku, aku lagi tidak mau
makan", terdengar suara keras dari dalam.
Nampak wanita tua itu menarik napas panjang,
dengan wajah sedih penuh kecemasan akhirnya
meninggalkan kamar pemuda itu.
Siapakah pemuda di dalam kamar yang dipanggil
pangeran oleh wanita tua itu, pemuda itu adalah
Pangeran Kertanegara sang putra mahkota. Sudah
seharian ia tidak keluar kamarnya. Hatinya sedang begitu
gundah gulana. Pada dasarnya, Pangeran Kertanegara adalah
seorang yang berperilaku lemah lembut. Itulah sebabnya
wanita tua itu begitu kaget mendapatkan perilaku yang
berbeda dari biasanya. Beribu pertanyaan berputar di
kepalanya. Ada apa dengan junjungannya ini, yang
sangat dikenalnya dari sejak kecil sampai menjelang
dewasa seperti ini. Kegundahan Pangeran Kertanegara berawal dari
penempatan Kebo Bangkalan yang dialih tugaskan
sebagai wakil Adipati di pulau Madura, seorang perwira
tinggi yang banyak berjasa dan sangat dipercaya oleh Sri
Maharaja. Kebo Bangkalan mempunyai seorang putri
bernama Menik Kaswari, seorang gadis belia yang cantik
19 jelita. Kecantikan inilah yang merebut hati Pangeran
Kertanegara. Dan ternyata Menik Kaswari tidak "menolak
cinta" dari Pangeran Kertanegara. Sebuah kebodohan
besar bila ada gadis yang tidak "menginginkan" seorang
Pangeran putra mahkota. Hampir setiap senja, Pangeran
Kertanegara main ke rumah Menik Kaswari.
Pangeran Kertanegara masih berbaring di tempat
tidurnya dengan menyandarkan dua lengannya di
belakang kepalanya. Masih teringat jelas apa yang
dikatakan Menik Kaswari dua hari yang lalu ketika dirinya
datang berkunjung. "Sri Maharaja tidak merestui hubungan kita", berkata
Menik Kaswari kepada Pangeran Kertanegara di suatu
senja. "Pengangkatan Paman Kebo Bangkalan tidak ada
kaitannya dengan hubungan kita", berkata Pangeran
Kertanegara menjelaskan. "Ayahandamu jahat", berkata Menik Kaswari sambil
berlari masuk ke dalam rumahnya.
Perkataan terakhir Menik Kaswari inilah yang
sepertinya terus menggema mengisi setiap sudut
kamarnya, menggema berputar-putar memenuhi seluruh
hati dan pikirannya. "Mungkinkah Ayahanda diam-diam tidak menghendaki hubunganku dengan Menik Kaswari?",
berkata Pangeran Kertanegara dalam hati sendiri.
"Atau diam-diam Ayahanda telah menentukan calon
seorang putri untukku?", kembali Pangeran Kertanegara
berkata dalam hatinya sendiri.
"Kenapa aku harus terlahir sebagai Putra Mahkota?",
kembali Pangeran Kertanegara bertanya kepada dirinya
20 sendiri, sepertinya menyesali keberadaannya sebagai
Putra Mahkota. "Ayahandamu jahat !!!", kembali suara itu sepertinya
begitu dekat berputar-putar ditelinganya. Pangeran
Kertanegara nampak menutup dua telinganya, tapi suara
itu sepertinya masih tetap terdengar.
Terbayang pula wajah cantik Menik Kaswari yang
saat ini telah jauh darinya tengah digoda oleh beberapa
pemuda. Tiba-tiba saja Pangeran Kertanegara bangkit dan
duduk dari pembaringannya. Matanya membesar
berputar-putar. "Menik Kaswari harus jadi istriku!!", pikiran itulah yang
ada dalam tekad Pangeran Kertanegara saat itu.
Cinta memang buta, apalagi untuk seorang pemuda
yang baru mengenal adanya perasaan cinta
sebagaimana yang dirasakan saat itu oleh Pangeran
Kertanegara. Rasa takut kehilangan orang yang dicintai,
rasa cemburu mengaduk-aduk perasaan pangeran
Kertanegara. Sepertinya hanya satu wanita yang pantas
mendampingi hidupnya saat itu. Manik Keswari seorang
!!. Tapi, Pangeran Kertanegara bukan pemuda yang
lemah, sebagai putra mahkota sudah digembleng lahir
dan bathin. Nampak Pangeran Kertanegara mengatur
pernapasannya. Memusatkan akal dan budinya kepada
Sanghyang pencipta seluruh alam. Dalam sekejab
pernapasannya seperti teratur, warna wajahnya berubah
menjadi sejuk penuh ketenangan.
"Cinta memang harus diperjuangkan, tapi tidak
dengan mengurung di kamar ini", berkata Pangeran
21 Kertanegara kepada dirinya sendiri.
"Maafkan aku Bibi, tadi pikiranku lagi kusut", berkata
Pangeran Kertanegara ketika membuka pintu kamarnya
melihat bibi pengasuhnya sedang duduk gelisah.
Seperti diguyur air dingin, perempuan tua itu begitu
bahagianya menerima senyuman dari junjungannya.
"Hamba siapkan makanan untuk Pangeran", berkata
perempuan tua itu kepada Pangeran Kertanegara.
Dan senja pun dalam wajah sendu berlalu, digantikan
oleh wajah malam yang gelap. Angin dingin malam tidak
menyurutkan perasaan para prajurit pengawal istana
bergiliran keluar dari gardu rondanya, berkeliling loronglorong bangsal istana, memastikan tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Sementara itu di cakrawala sang putri
malam masih tetap terjaga menyulam jubah pangeran
terkasih, begitu setianya menemani sang Raja malam.
Di ujung malam, di saat cahaya bintang timur terlihat
begitu cemerlang, berkelebat sesosok bayangan
mengendap di antara rimbunnya gerumbul tanaman
bunga. Bayangan itu terlihat mendekati dinding batu
Istana yang tinggi. Melesat, melenting mencapai puncak
dinding batu, dan akhirnya menghilang dibalik pagar
dinding batu istana. Pagi telah datang, cahaya matahari telah menerangi
setiap jengkal tanah dan lorong Istana Singasari. Bukan
main kagetnya dua orang prajurit pengawal yang
bertugas sebagai pengawal sang putra mahkota melihat
bibi dayang pengasuh berlari gugup menghampiri
mereka. "Pangeran tidak ada di kamarnya", berkata
perempuan tua itu kepada dua orang prajurit pengawal.
22 "Bibi sudah mencari di tempat lain?", berkata seorang
prajurit pengawal bertubuh pendek kepada Dayang
pengasuh. "Belum", berkata Dayang pengasuh.
"Kalau begitu, kami akan mencarinya", berkata teman
prajurit pengawal yang satunya lagi.
Dua orang prajurit pengawal mencari Pangeran
Kertanegara hampir di setiap tempat di seluruh istana.
"Apakah kamu melihat Pangeran Kertanegara?",
bertanya seorang prajurit pengawal bertubuh pendek
kepada seorang pekatik yang tengah mengumpulkan
rumput yang masih hijau dan segar untuk makanan kuda.
"Pangeran Kertanegara tidak pernah berkunjung
kemari, pernah"..tapi dalam mimpiku", berkata Pekatik
tua merasa pertanyaan prajurit pengawal itu bukan suatu
yang penting, bahkan melanjutkan, "paginya aku
mendapat rejeki besar, kambingku di rumah beranak
empat ekor". Bukan main geramnya para prajurit pengawal itu
mendapat jawaban pekatik tua itu, kalau bukan saat itu
tengah menghadapi suasana yang mendebarkan,
hilangnya seorang putra mahkota, mungkin pekatik tua
itu sudah ditempeleng bolak-balik sampai tersungkur
makan rumput. "Kita cari di tempat lain", berkata teman prajurit yang
satu lagi yang kelihatannya lebih sabar menggamit
tangan temannya. Matahari di cakrawala sudah merayap naik
meninggalkan pagi, cahayanya sudah menghangatkan
kulit. Lebih-lebih kulit dua orang prajurit pengawal yang
masih juga tidak mendapatkan Pangeran Kertanegara,
23 hampir di setiap tempat di lingkungan Istana.
"Kita laporkan kepada Ki Lurah", berkata Prajurit
pengawal bertubuh pendek merasa putus asa.
"Ya, kita harus segera melapor", berkata Prajurit
pengawal yang satunya lagi.
"Panggil beberapa prajurit untuk mencari Pangeran di
sekitar Kotaraja", berkata Ki Lurah setelah menerima
laporan Prajurit pengawal.
Para prajurit berpencar mencari Pangeran Kertanegara di setiap sudut Kotaraja. Pangeran
Kertanegara seperti menghilang ditelan bumi. Hampir
setiap orang menggeleng tidak tahu dan tidak melihat
Pangeran Kertanegara. Berita hilangnya Pangeran Kertanegara akhirnya
sudah sampai ke telinga Sri Maharaja.
"Pesankan kepada para petugas sandi, tugasnya
hanya menemukan dimana Pangeran Kertanegara
berada, tidak ada kewajiban membawanya kembali ke
Istana", berkata Sri Maharaja ke pada Arya Kuda Cemani
yang telah sengaja dipanggil menghadap. Tidak ada
sedikitpun kesan kecemasan pada wajah Sri Maharaja.
"Hamba mohon diri", berkata Arya Kuda Cemani
berpamit mohon diri kepada Sri Maharaja.
Ternyata Pangeran Kertanegara tidak menghilang
ditelan bumi, hanya sudah begitu jauh meninggalkan
Kotaraja. Seperti anak panah terlepas dari busurnya,
seperti anak elang yang sudah bersayap penuh.
Pangeran Kertanegara dengan gembira menyusuri
padang alang-alang yang luas, mendaki hijaunya
pegunungan, menyusuri hijaunya lereng pegunungan.
Begitu indahnya cinta. Panasnya matahari, dinginnya
24 malam di alam terbuka tidak menyurutkan hati Pangeran
Kertanegara. Keinginan Pangeran Kertanegara cuma
satu, menemui impian cintanya Menik Kaswari,
mengatakan dan membuktikan begitu kuatnya rasa
cintanya tak terhalangi tingginya gunung, luasnya
belantara hutan. Dan Pangeran Kertanegara sepertinya
tengah berjalan sebagai prajurit cinta, akan menerjang
apapun rintangan perlawanan cintanya !!!.
Sementara kita tinggalkan dulu

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Kertanegara, mari kita mengikuti perjalanan Mahesa
Murti dan Raden Wijaya menuju Padepokan Bajra Seta.
Raden Wijaya begitu gembiranya duduk di punggung
kuda diiringi Mahesa Murti menyusuri bulakan panjang,
menembus padang ilalang, mendaki bukit hijau mengejar
bayangan Matahari di ujung cakrawala senja.
Mahesa Murti kali ini sengaja tidak berjalan ke arah
seperti biasanya menuju Padepokan Bajra Seta, tapi
sedikit melambung sekedar melihat keadaan lingkungan
disekitarnya. Diam-diam mengagumi Raden Wjaya yang
tidak sedikitpun surut merasa letih kelelahan. Wajahnya
selalu segar ceria memandang setiap jengkal
pemandangan, pohon besar ditengah padang ilalang,
anak kijang yang berlari atau kemana arah raja elang
menukik menyambar tikus naas yang tidak sempat
sembunyi. "Kasihan tikus itu", berkata Raden Wijaya kepada
Mahesa Murti. "Kasihan juga kepada anak-anak elang yang menanti
di puncak gunung tinggi dalam keadaan penuh
kelaparan", berkata Mahesa Murti memberi pengertian
tentang hubungan keseimbangan alam.
"Aku baru mengerti, seandainya tidak ada Raja
25 Elang, mungkin bumi ini dikeliling ribuan tikus karena
tidak ada yang memangsanya", berkata Raden Wijaya
menangkap sebatas penalarannya yang dibalas
anggukan kepala dari Mahesa Murti.
"Seorang ksatria, terlahir untuk menjaga kedamaian
bumi ini", berkata Mahesa Murti
"Seperti Raja Elang menjaga bumi ini", berkata
Raden Wijaya melanjutkan.
"Di ujung bukit itu, kita akan menemui beberapa
padukuhan", berkata Mahesa Murti kepada Raden
Wijaya. Matahari hampir tenggelam di balik bukit, Mahesa
Murti dan Raden Wijaya mempercepat langkah kuda,
mengejar matahari senja agar dapat tiba di Padukuhan di
balik bukit disaat hari belum menjadi gelap.
Hari memang belum menjadi gelap, manakala
mereka tiba di Banjar desa sebuah Padukuhan.
Sebagaimana para pengembara, mereka pun meminta
ijin penunggu Banjar untuk bermalam.
"Nampaknya para warga desa di sini begitu ramah",
berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Murti ketika
seorang penunggu Banjar berlalu meninggalkan
setumpuk singkong rebus dan minuman hangat untuk
mereka. Mahesa Murti hanya tersenyum, menyilahkan Raden
Wijaya menikmati hidangan yang disediakan.
Sang malam pun semakin menyelimuti bumi,
mempersilahkan segala yang hidup untuk tidur, kecuali
para makhluk malam yang mencari penghidupannya di
saat malam menjelang. "Tidur lah lebih dulu, aku akan segera menyusul",
26 berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.
Ketika Raden Wijaya nampak sudah tertidur pulas,
Mahesa Murti tidak segera tidur. Mahesa Murti hanya
bersandar di dinding, matanya nampak terpejam, tapi hati
dan pikirannya selalu terjaga. Begitulah naluri para
pengembara dimanapun mereka berada. Selalu
waspada. Dan pagipun tiba, disaat semburat warna merah
muncul dari timur matahari, Mahesa Murti dan Raden
Wijaya telah keluar dari regol banjar desa. Rancak
langkah kuda berjalan menyusuri pesawahan. Beberapa
petani sudah tengah bekerja mengolah tanah
disawahnya, saat itu memang awal musim penghujan,
saat yang baik untuk memulai menanam bibit.
"Mereka terlahir sebagai petani", berkata Raden
Wijaya kepada Mahesa Murti sambil memperlambat laju
kudanya. Pikirannya begitu takjub dengan semangat
para petani yang begitu gembira bekerja menyambut
datangnya musim tandur, musim untuk memulai
menanam padi. "Raden sendiri terlahir sebagai ksatria", berkata
Mahesa Murti sambil menyamakan laju kudanya
disamping kuda Raden Wijaya.
"Apa yang membedakan aku dengan mereka?",
bertanya Raden Wijaya. "Mereka memegang cangkul, sementara Raden
menggenggam pedang di tangan", berkata Mahesa Murti.
"Mereka menanam padi, sementara Raden menanam
kedamaian", lanjut Mahesa Murti.
"Gusti Kang Akarya Jagad telah menentukan dimana
mereka dilahirkan" Berkata Raden Wijaya menirukan
27 pendeta istana kepadanya. yang mengajarkan ilmu kejiwan "Betul Raden, ada yang terlahir sebagai brahmana,
ada yang terlahir sebagai Ksatria, ada yang terlahir
sebagai Saudagar dan terlahir sebagai petani", berkata
Mahesa Murti. "Betul, pendeta istana pernah berkata seperti itu",
berkata Raden Wijaya. "Masih ada yang belum aku sebutkan, ada juga yang
terlahir sebagai perusuh", berkata Mahesa Murti.
"Perusuh?", bertanya Raden Wijaya
"Ya, mereka yang terlahir sebagai perusuh juga telah
ditentukan dan diciptakan oleh Gusti Kang Akarya
Jagad", berkata Mahesa Murti.
"Apakah kita dapat merubahnya?", bertanya Raden
Wijaya "Kita tidak dapat berbuat apapun, kecuali atas
kehendak Gusti Kang Maha Agung", berkata Mahesa
Murti. "Aku masih belum paham", berkata Raden Wijaya.
"Untuk dapat mengenal kehendak Gusti Kang Akarya
jagad, harus mengenal dan memahami alam wadag dan
alam bathin", berkata Mahesa Murti yang banyak
mengenal ilmu kajiwan lewat Kiai Wijang mencoba
menjelaskan kepada Raden Wijaya.
"Aku semakin tidak mengerti", berkata Raden Wijaya"
"Mudah-mudahan, dengan kehendak Nya, Raden
akan memahami", berkata Mahesa Murti yang menyadari
belum waktunya bicara masalah ilmu kajiwan lebih dalam
kepada Raden Wijaya. 28 "Sebentar lagi kita akan menjumpaian persimpangan
jalan, sudah waktunya kita mengambil arah kekanan",
berkata Mahesa Murti sambil menunjuk arah jauh di
depan mereka. "Pengembara melangkah", berkata Raden Wijaya
menirukan sebuah syair. "Menggandeng Matahari sebagai teman,
Menyembah bintang sebagai guru,
Memberi cinta, senyum bintang kejora"
Mahesa Murti dan Raden Wijaya mengucapkan
sebuah syair bersama, merekapun tertawa bersama,
kerena ingat pada syair yang sama pada waktu yang
sama. "Pasti kakekmu Ratu Anggabhaya yang
mengajarkan syair itu kepadamu", berkata Mahesa Murti.
"Betul", berkata Raden Wijaya.
"Artinya kita punya guru yang sama", berkata Mahesa
Murti "Buyut Mahesa Agni yang paman maksudkan",
berkata Raden Wijaya "Betul-betul-betul", berkata Mahesa Murti yang di
sambut tawa oleh Raden Wijaya, dalam pikirannya,
ternyata Mahesa Murti dapat juga berlaku jenaka.
Dan di persimpangan jalan, sebagai mana yang
Mahesa Murti katakan, mereka pun telah mengambil
arah ke kanan. Dan sang matahari dengan setia
mengiringi langkah mereka sepanjang hari perjalanan
yang masih panjang. Panas matahari memancar kuat dari puncak
cakrawala langit, panasnya seperti membakar kulit
Mahesa Murti dan Raden Wijaya. Untungnya hembusan
29 angin sedikit melunakkan panasnya matahari di siang
jentrik itu. "Hutan Kondang sudah terlihat", berkata Mahesa
Murti menunjuk gerumbul warna hitam samar di depan
mereka, masih jauh, tapi sebuah hiburan terutama untuk
Raden Wijaya yang terlihat wajahnya memerah terbakar
panasnya matahari. Seperti dihentak perasaan yang sama, mereka pun
memacu kudanya lebih cepat lagi menunju gerumbul
hitam yang sudah semakin dapat terlihat jelas.
Akhirnya, merekapun telah sampai di tepi hutan
Kondang. Sebuah hutan yang lebat, sekumpulan pohon
yang besar, rapat berdiri di depan mereka, seperti
raksasa siap menelan mereka.
Mahesa Murti dan Raden Wijaya telah masuk ke
dalam hutan Kondang, merasakan segarnya angin dan
bau tanah basah. Panasnya sinar matahari yang seperti
menggigit kulit sudah tidak dirasakan lagi.
Mahesa Murti dan Raden Wijaya mengikuti jalan
setapak, sebagai tanda bahwa hutan ini sering dilalui
orang. "Kita beristirahat di sini", berkata Mahesa Murti
kepada Raden Wijaya sambil melompat dari kudanya.
Dan Raden Wijaya pun mengikutinya berhenti turun dari
kudanya, berjalan mendekati Mahesa Murti yang sudah
duduk bersandar di bawah sebuah pohon kayu besar,
beralaskan akar kayu yang menonjol keluar dari tanah
hitam basah. "Aku pernah lewat hutan ini, ada sebuah pohon
kelapa liar di pojok belukar seberang sana", berkata
Mahesa Murti sambil menunjuk kesebuah arah.
30 Sebagai orang yang baru pertama kalinya melakukan
perjalanan yang jauh, Raden Wijaya hanya meraba-raba
apa yang akan di lakukan oleh Mahesa Murti dengan
sebuah pohon kelapa. Matanya hanya mengikuti kemana
Mahesa Murti berjalan, menembus belukar dan
menghilang ditelan kerimbunannya.
Tidak lama kemudian, Mahesa Murti telah muncul
keluar dari semak belukar dimana tadi ia sempat
menghilang. Ditangannya membawa tiga buah butir
kelapa muda. "Rejeki kita masih baik, tidak keduluan bajing hutan",
berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya memberikan
sebuah kelapa kepadanya. Dan merekapun melepaskan dahaga dengan
meminum air kelapa segar, dan memakan daging buah
kelapa sekedar mengisi perut mereka yang sudah
waktunya minta dijatahi. "Buatkan perapian", berkata Mahesa Murti kepada
Raden Wijaya yang langsung mengerti apa yang harus
dilakukannya. Ketika Raden Wijaya membuat perapian, Mahesa
Murti membuka bekalnya, mengambil beras ketan dari
dalamnya secukupnya. "Pinjam belati kecilmu", berkata Mahesa Murti yang
mengetahui Raden Wijaya juga membawa sebilah belati.
Dengan belati itu, Mahesa Murti melubangi buah
kelapa muda, memindahkan airnya ketempat kelapa
lainya yang sudah tidak berisi. Kemudian dengan sekali
ayun, buah kelapa muda itu sudah terbelah dua.
Diam-diam Raden Wijaya kagum melihat begitu
ringan dan cekatannya tangan Mahesa Murti, kemudian
31 juga Raden Wijaya melihat Mahesa Murti memasukkan
beras itu di batok kelapa yang sudah terbelah,
mengaduknya bersama daging muda dan air kelapa.
Setelah itu mengikat kembali batok kelapa yang sudah
terbelah dua menjadi satu. Dan memasukkannya
kedalam perapian yang di buat oleh Raden Wijaya yang
sudah menyala bergulung-gulung apinya.
"Masakan sudah siap", berkata Mahesa Murti
membongkar perapian, mengeluarkan batok kelapa yang
sudah hitam gosong terbakar.
"Selamat menikmati pengembara muda", berkata
Mahesa Murti kepada Raden Wijaya sambil menyerahkan batok kelapa yang sudah terbelah berisi
beras ketan yang sudah masak.
"Masakan yang paling nikmat yang pernah aku
rasakan sepanjang hidupku",berkata Raden Wijaya
setelah mampir tiga suap nasi di mulutnya.
"Masakan ala pengembara", berkata Mahesa Murti
sambil menghabiskan makanannya.
Lidah sinar matahari menembus lewat sela-sela daun
menerangi tanah basah hutan yang rindang.
Segerombolan monyet jawa melintas berayun dari
dahan ke dahan, disambut suara burung-burung yang
terkejut terbang menjauh.
"Kita lanjutkan perjalanan ", berkata Mahesa Murti
bangkit dari duduknya, dan Raden Wijaya pun


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikutinya. Mahesa Murti dan Raden semakin masuk ke dalam
hutan. Tidak ada lagi jejak jalan setapak. Terpaksa
mereka menuntun kuda-kuda bereka karena jalan
semakin bersemak, julur akar dan batang-batang rotan
32 liar sering menghadang perjalanan mereka, namun
mereka tidak merasakan sebuah kesulitan besar,
setapak demi setapak mereka terus memasuki hutan
Kondang semakin kedalam. Rimbunnya hutan kondang tidak menjadikan Mahesa
Murti kehilangan arah. Lumut yang menghijau
kekuningan adalah petunjuk arah kemana mereka harus
melangkah, Mahesa Murti sepertinya menuju arah utara,
di belakang mengiringi Raden Wijaya yang tidak pernah
mengeluh, Raden Wijaya sepertinya menikmati
perjalanannya. Tiba-tiba saja langkah mereka terhenti. Mahesa Murti
dan Raden Wijaya sama-sama melihat seorang wanita
terikat badannya di sebuah batang pohon, tidak jauh
sekitar sepuluh depa dari tempat mereka berhenti.
Raden Wijaya turun dari kudanya, segera
menghampiri dimana wanita itu terikat. Jarak mereka
sudah tinggal empat depa lagi.
"Raden?"!!", berteriak Mahesa Murti yang merasa
ada sebuah kejanggalan sambil mendekati Raden
Wijaya. Sayang, peringatan Mahesa Murti sudah terlambat,
Raden Wijaya sudah terjerumus dalam sebuah lubang
besar. Dengan kecepatan penuh, ditambah perasaan
tanggung jawab untuk menjaga keselamatan Raden
Wijaya, Mahesa Murti seperti terbang menyambar tubuh
Raden Wijaya. Mahesa Murti berhasil menangkap tubuh Raden
Wijaya, tapi akibatnya mereka berdua terjun bersama
kedalam lubang besar. Mahesa Murti dengan merangkul
Raden Wijaya mencoba mengurangi daya luncur dengan
menjejakkan kakinya di antara tebing lobang yang keras
33 berbatu cadas, Mereka masih tetap terjun kebawah, tapi
tidak dengan cara terhempas. Dengan ringan kaki
Mahesa Murti telah menjejakkan kakinya didasar lubang.
Melepaskan Raden Wijaya yang masih belum terlepas
dari rasa tercekam yang begitu sangat.
Berdesir dada Mahesa Murti membayangkan tubuh
Raden Wijaya yang hancur dihempas dasar lubang yang
bercadas. Sementara itu di atas lubang beberapa orang berlari
menghampiri wanita yang terikat. Dua tiga orang
menjenguk kepalanya kedalam lubang. Sementara
seorang lainnya membuka ikatan yang mengikat seluruh
tubuh wanita itu. "Perangkap kita berhasil, enam kali purnama lagi, kita
terbebas dari kewajiban mencari tumbal", berkata
seorang yang paling tua diantara mereka, sepertinya
pimpinan mereka. Sementara itu didalam lubang, Raden Wijaya telah
menguasai perasaannya yang tercekam.
"Gusti yang Maha Agung masih meyelamatkan kita",
berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya mencoba
membantu menenangkannya. Raden Wijaya berusaha membiasakan penglihatannya di dalam lubang yang gelap, perlahan
penglihatannya dapat melihat meski masih begitu samar.
Sementara itu Mahesa Murti yang mempunyai
penglihatan yang tajam telah lebih dahulu melihat
keadaan sekitar. Ketika wajahnya mendongak keatas,
dilihatnya lubang diatas kepalanya begitu tinggi sekitar
lima belas kali tinggi tubuhnya. Anehnya lubang itu
berbentuk bulat bagus seperti ada yang sengaja
membuatnya. Ketika dirabanya dinding lubang, ternyata
34 berupa dinding cadas yang keras dan begitu licin
ditumbuhi lumut hijau. "Mungkinkah kita dapat keluar dari lubang ini?",
bertanya Raden Wijaya kepada Mahesa Murti
"Semoga ada jalan keluar", berkata Mahesa Murti
mencoba menenangkan Raden Wijaya meski didalam
hati masih merasa sangsi apakah dapat keluar dari
lubang yang dalam dan bercadas itu. Tapi Mahesa Murti
segera dapat menenangkan dirinya sendiri. Sudah
banyak peristiwa yang menggoncangkan perasaannya,
bahkan nyaris mengancam nyawanya.
"Kita beristirahat sejenak, sambil mencoba mencari
jalan keluar dari tempat ini", berkata Mahesa Murti sambil
duduk bersandar dinding cadas.Raden Wijaya pun duduk
mengikutinya sambil matanya masih memperhatikan tiap
jengkal lubang yang sudah mulai terlihat jelas.
"Lubang !!", berteriak Raden Wijaya melihat sebuah
lubang sebesar kepala. Belum habis teriakan Raden Wijaya, dari lubang itu
keluar kepala ular dengan mata seperti bernyala
langsung merayap mendekati Raden Wijaya.
Mahesa Murti yang melihat keadaan itu, dengan
kecepatan yang sukar diikuti oleh mata wadag, tangan
Mahesa Murti menangkap leher ular itu. Cengkraman
tangan Mahesa Murti begitu kuat meremukkan tulang
leher ular ganas itu. Dan dengan sekali ayunan, ular itu
dibenturkan kedinding cadas yang keras.
Prak"!!! Suara tubuh ular yang remuk tidak bergerak
lagi, mati. Sementara itu Mahesa Murti masih menggenggam
leher ular mati itu. Memperhatikan bentuk kepala ular itu
35 dengan seksama, ada jengger aneh menghias
kepalanya, kulit tubuh ular itu sendiri berwarna putih, ada
dua jalur garis hitam membujur sampai kebuntutnya.
"Ular petir !!", berkata Mahesa Murti. "seokor harimau
yang paling kuat akan langsung mati bila kena patuk ular
ini", berkata Mahesa Murti melanjutkan.
"Apakah paman pernah menemuai
sebelumnya", bertanya Raden Wijaya.
ular ini "Belum, hanya mendengar cerita dari para orang tua",
berkata Mahesa Murti. "menurut cerita para orang tua,
ular ini menetas disaat terdengar petir. Waktu mendengar
cerita itu, aku menganggapnya sebuah dongeng.
Ternyata dongeng itu ada", berkata mahesa Murti yang
masih memperhatikan kepala ular aneh yang baru saja
dibantingnya hingga langsung remuk dan mati.
"Apa lagi yang diceritakan para orang tua mengenai
ular ini?", bertanya Raden Wijaya begitu tertarik
mendengar cerita tentang ular berjengger yang aneh itu.
Mahesa Murti memandang wajah Raden Wijaya,
kagum melihat ketabahan anak ini yang sepertinya telah
melupakan kegelisahannya berada di dalam lubang yang
dalam. Tidak dapat menduga apa yang akan terjadi di
depan mereka. "Dagingnya Mahesa Murti berkhasiat sebagai obat", berkata "Obat untuk penyakit apa", bertanya Raden Wijaya
tidak sabar. "Obat sakit lapar", berkata Mahesa Murti tersenyum
memandang wajah Raden Wijaya yang ikut tertawa
mengetahui kalau ucapan Mahesa Murti ternyata hanya
sebuah gurauan. 36 "Masakan Ular berjengger bakar ala pengembara",
berkata Raden Wijaya yang dibalas tertawa oleh Mahesa
Murti. Dan merekapun tertawa bersama, sepertinya tidak
ada pikiran dan melupakan nasib kehidupan mereka
berada di dalam lubang yang dalam.
"Sepertinya cuaca di atas mendung",berkata Mahesa
Murti kepada Raden Wijaya.
"Hujan sudah turun",
merasakan rintik air. berkata Raden Wijaya Dan hujan memang sudah turun begitu deras, sedikit
demi sedikit air mulai naik didalam lobang. Raden Wijaya
membayangkan air akan terus naik, dan mereka bisa
mati tenggelam. "Kita bisa mati tenggelam", berkata Raden Wijaya
dengan begitu gugupnya. "Belum Raden, kita belum mati", berkata Mahesa
Murti tenang. "Tapi air hujan akan memenuhi lubang ini", berkata
Raden Wijaya dengan perasaan penuh kekhawatiran
melihat air semakin naik sudah sebatas mata kaki.
"Air sudah tidak naik lagi", berkata Mahesa Murti
kepada Raden Wijaya yang masih belum percaya bahwa
air di dalam lubang memang tidak naik lagi, meski air
hujan tetap turun mengisi lubang.
"Perhatikan arah air, berjalan tidak kelubang tempat
ular petir itu keluar", berkata Mahesa Murti sambil
mencari kemana arah air keluar sehingga tinggi air
didalam lubang sepertinya tidak lagi bertambah.
Mahesa Murti dan Raden Wijaya terus mencari
kemana arah air keluar. Akhirnya mereka pun
mendapatkan sebuah lubang yang sudah tertutup lumut
37 tebal. "Lubangnya cukup lebar", berkata Mahesa Murti
setelah berhasil membersihkan lumut-lumut yang
menyumbat yang sukar sekali terlihat bila saja tidak ada
air hujan yang turun. Ternyata memang lubang itu tidak terlalu besar,
hanya sebatas tubuh orang dewasa.
"Kita tunggu sampai hujan reda, mudah-mudahan di
balik lubang ini ada jalan keluar untuk kita", berkata
Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.
Hujan di atas lubang dimana Mahesa Murti dan
Raden Wijaya terperangkap di dalamnya memang cukup
deras. Pada waktu itu memang sedang musim penghujan.Ditambah lagi lubang itu sendiri begitu landai
sehingga bukan cuma air yang langsung dari langit yang
turun mengisi lubang, tapi air dari tanah sekitar juga ikut
mengalir langsung kedalam lubang seperti tumpah.
Tidak ada celah untuk berlindung. Air menimpa
kepala Mahesa Murti dan Raden Wijaya seperti batu,
datang bertubi-tubi. Akhirnya, yang diharapkan pun tiba, curah hujan
sudah tidak begitu deras lagi.
"Hujan sudah reda", berkata mahesa Murti yang
merasakan tidak ada air lagi yang jatuh menimpa
kepalanya."Mari kita periksa lubang itu", berkata Mahesa
Murti sambil mendekati lubang yang sudah tidak tertutup
lumut lagi. Mahesa Murti dan Raden Wijaya memperhatikan
lubang di hadapan mereka.
38 "Tidak ada salahnya kita mencoba", berkata Mahesa
Murti sambil menepuk pundak Raden Wijaya mencoba
membesarkan perasaan hatinya.
Lubang itu memang sebesar badan orang dewasa.
Mahesa Murti dan Raden Wijaya sudah masuk merayap
ke dalamnya. Seperti ular yang merayap, mereka pun
terus merayap. Mahesa Murti yang merayap di depan
dengan ketajaman indera penciumannya, merasakan
bahwa semakin masuk ke dalam, udara dirasakan
semakin menyegarkan. Entah sudah berapa puluh meter
meraka merayap. Tiba-tiba, setelah badan mereka sudah
begitu pedih, serta tenaga sepertinya sudah banyak
terkuras, Mahesa Murti sampai lebih dulu di ujung
lubang. Bukan main gembiranya melihat ada ruangan
yang luas di depan matanya.
Ruangan itu mirip sebuah kamar yang luas, di pojok
ruangan ada sebuah altar batu yang menonjol lebih
tinggi. Langit diatasnya cukup tinggi, ada begitu banyak
lubang. Ternyata dari situlah sumber udara segar yang
dirasakan Mahesa Murti ketika merayap dalam lubang
sempit. Sementara ruangan itu sendiri hampir seluruhnya
berdinding batu cadas. Mahesa Murti dan Raden Wijaya mendekati altar
batu. Dengan terbelalak mereka mendapatkan sebuah
tengkorak manusia utuh terbungkus kain yang sudah
rapuh dalam keadaan posisi bersila sempurna.
Ada sebuah tulisan yang terpahat bukan dengan
benda tajam, sepertinya dipahat oleh sebuah jari tangan.
Menyaksikan hal seperti ini menjadikan Mahesa Murti
dan Raden Wijaya mengagumi siapapun orang yang
melakukannya, kemungkinan adalah orang yang mereka
temui yang tinggal tulang belulang di hadapan mereka.
39 Pelan-pelan Mahesa Murti membaca pahatan tulisan


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, "Siapapun yang menemukan jasadku telah berjodoh
denganku. Sempurnakan jasadku di Bengawan Brantas.
Sampaikan maafku kepada para warga Panawejen.
Carilah aku dimana tidak ada aku
Aku yang penuh dosa, bernama Purwaka Lodra"
"Empu Purwa !!", berbarengan Mahesa Murti dan
Raden Wijaya menyebut sebuah nama.
"Seandainya Paman Mahesa Agni ada disini, betapa
gembiranya hatinya", berkata Mahesa Murti kepada
dirinya sendiri yang mengetahui betapa rindunya Mahesa
Agni kepada gurunya Empu Purwa. Sudah begitu banyak
tempat disinggahi dimana Empu Purma ada kemungkinan dapat dijumpai. Tapi Empu Purwa seperti
hilang ditelan bumi. "Ternyata, Empu Purwa menanti sisa usianya di sini",
berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.
Ketika Mahesa Murti membaca kembali tulisan di
atas altar batu, Mahesa Murti meraba sesuatu dibalik
kainnya, teringat sebuah rontal milik Mahesa Agni yang
dititipkan oleh ayahnya sendiri ketika akan berangkat ke
Padepokan Bajra Seta. Mahesa Murti mengambil rontal dari balik kainnya.
Mahesa Murti tercenung dalam hati. "Empu Purwa
sepertinya sudah melihat masa depan, tahu aku
pembawa rontal titipan Mahesa Agni akan singgah di
tempat ini", bekata Mahesa Murti sambil memberi hormat
kepada sisa tulang tengkorak di depannya yang ia yakini
jasad Empu Purwa. 40 Raden Wijaya yang tidak mengetahui apa yang
dipikirkan oleh Mahesa Murti mengikuti memberi hormat
kepada tulang tengkorak di depannya yang masih tegak
dalam posisi bersila sempurna.
"Mari kita beristirahat sejenak", berkata Mahesa Murti
kepada Raden Wijaya merasa kasihan, tentunya pasti
perlu beristirahat setelah sekian lama merayap di lubang
yang sempit. Raden Wijaya dan Mahesa Murti pun mencari tempat
untuk sekedar bersandar. Ketika Raden Wijaya tengah
beristirahat, Mahesa Murti penasaran kembali membaca
rontal yang dibawanya. Sebagai orang yang pernah
diberikan pencerahan bathin lewat Kiai Wijang, dengan
cepat Mahesa Murti telah dapat mengurai pokok-pokok
penting tuntunan yang ada dalam rontal peninggalan
empu Purwa. Mahesa Murti juga telah dapat mengurai
perbedaan yang begitu tipis antara tuntunan yang pernah
diberikan Kiai Wijang dengan tuntunan empu Purwa
lewat rontal yang sedang dibacanya.
Mahesa Murti semakin hanyut dalam bacaannya.
Mahesa murti sudah dapat mencerna tuntunan empu
purwa, bahkan pada kalimat terakhir :
- " Carilah aku dimana tidak ada aku " "Luar biasa !!", berkata Mahesa Murti seperti pada
dirinya sendiri. "Apa yang luar biasa Paman?", bertanya Raden
Wijaya kepada Mahesa Murti. Tapi Mahesa Murti
sepertinya tidak mendengar dan juga tidak menjawab
pertanyaan Raden Wijaya. Dengan penuh keheranan Raden Wijaya melihat
Mahesa Murti melakukan sila sempurna persis
41 sebagaimana posisi tulang tengkorak Empu Purwa di
altar. Raden Wijaya memang tidak mengerti apa yang
sedang dilakukan oleh Mahesa Murti, ternyata Mahesa
Murti telah menemukan sebuah laku yang didapatkan
dari rontal peninggalan Mahesa Agni yang juga berarti
warisan dari Empu Purwa. Tapi Mahesa Murti tidak langsung mencoba "laku" itu.
Mahesa Murti mencoba "laku" sebagaimana pernah
dituntun langsung oleh Kiai Wijang untuk sekedar melihat
perbedaan dan kesamaan yang mungkin dapat
dirasakannya. Sebagaimana yang diajarkan oleh Kiai
Wijang, Mahesa memulai memusatkan semua nalar dan
budinya, melihat diri lewat pencitraan sifat perusuh atau
macra, setingkat demi setingkat Mahesa Murti mulai
masuk lebih ke dalam dengan pencitraan sudra, waisya,
kesatria dan berada dalam puncak pencitraan Brahmana.
Raden Wijaya melihat Mahesa Murti seperti tidak
bergerak, seperti patung hidup, karena Raden Wijaya
sama sekali tidak mendengar napas keluar masuk hidung
Mahesa Murti. Raden Wijaya benar-benar tidak paham apa yang
tengah dilakukan oleh Mahesa Murti.
Raden Wijaya memang tidak paham apa yang tengah
dilakukan oleh Mahesa Murti. Ternyata Mahesa Murti
seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru,
Mahesa Murti tengah "asyik" didalamnya mencoba
sebuah "laku-baru"
Setelah mencoba "laku" yang diajarkan oleh Kiai
Wijang, Mahesa Murti mulai mencoba sebuah "lakubaru", sesuai yang dibaca dalam rontal warisan empu
purwa. Mahesa Murti langsung melihat kedalam diri,
42 merasakan keakuannya, mencitrakan sosok dan
wajahnya sendiri dan tiba-tiba saja mahesa Murti seperti
hilang, tidak mendengar apapun, tidak melihat apapun,
waktu sepertinya berhenti dalam ketiadaan masa, dan
puncaknya merasakan "ketiadaan", masuk kedalam
"kehampaan". Bersamaan dengan apa yang tengah dirasakan oleh
Mahesa Murti, maka bukan main terperanjatnya Raden
Wijaya melihat tubuh Mahesa Murti terangkat sejengkal
dan diam ditempatnya sekian lama. Akhirnya Raden
Wijaya melihat tubuh Mahesa Murti kembali turun di
tempatnya seperti semula. Terlihat Mahesa Murti
sepertinya menarik napas panjang.
"Raden", berkata Mahesa Murti kepada Raden
Wijaya yang masih menatapnya dalam ketidak
mengertian. "Ternyata Empu Purwa telah memberikan
sebuah rahasia besar, Sepertinya ruh Empu Purwa
masih ada disini memberi petunjuk langsung", berkata
Mahesa Murti sambil menatap tulang tengkorak di altar
yang diyakini sebagai jasad Empu Purwa.
"Aku tidak mengerti dan memahami apa yang Paman
maksudkan", berkata Raden Wijaya
"Pada saatnya Raden akan memahaminya", berkata
Mahesa Murti sambil menatap Raden Wijaya, berjanji
dalam diri pribadi akan mengajarkan Raden Wijaya apa
saja yang baru didapatkanya itu.
"Mari kita mencoba keluar dari tempat ini", berkata
Mahesa Murti kepada raden Wijaya sambil bangkit
berdiri. "Kita berada puluhan meter dibawah tanah, hanya
manusia bersayap saja yang bisa keluar dari tempat ini",
berkata Raden Wijaya. 43 Mahesa Murti tersenyum memandang Raden Wijaya
dan berkata: "Marilah kita mencari sayap itu"
"Mencari sayap?", bertanya Raden Wijaya tidak
mengerti."Dimana kita mencari sayap", kembali Raden
Wijaya bertanya. "Kita akan mencari sayap itu, dimulai dari mana
Empu Purwa dapat hidup sekian lama jauh dari
kehidupan ramai", berkata Mahesa Murti begitu lembut
dan penuh senyum sepertinya tidak tengah berada
dalam keadaan apapun. Dan Raden Wijaya pada dasarnya adalah seorang
anak yang cerdas, juga tabah. Melihat ketenangan
Mahesa Murti, timbul kembali semangatnya.
"Segera kita mulai", berkata Raden Wijaya penuh
semangat. Dan Mahesa Murti bersama Raden Wijaya pun sibuk
meneliti dan memperhatikan setiap sudut rongga di
bawah tanah itu yang mirip sebuah kamar besar dengan
penuh perhatian. "Tanaman buah", berkata Mahesa Murti kepada
Raden Wijaya sambil menunjuk sebuah tumbuhan
merayap di pojok kanan altar. Tanaman itu menempel
pada dinding batu cadas. Daunnya kecil seperti daun
beringin. Dan yang sangat menggembirakan hati Mahesa Murti
dan Raden Wijaya bahwa tanaman merayap itu berbuah
!! Tanaman merayap itu ternyata mempunyai buah
yang banyak. Anehnya baik yang masih kecil maupun
yang sudah besar mempunyai warna yang sama, yaitu
berwarna hijau. Buah yang paling besar dan
44 kemungkinan sudah masak besarnya sebesar setengah
kepalan tangan orang dewasa.
Mahesa Murti memetik sebuah yang nampak paling
besar, tanpa berpikir panjang langsung mencobanya.
Ternyata buah itu cukup manis.
"Manis asam enak", berkata Mahesa Murti setelah
menghabiskan buah itu tanpa sisa. "Cobalah", berkata
Mahesa Murti kepada Raden Wijaya yang langsung
memetik sebuah yang menurutnya memang sudah
masak. "Lumayan untuk sekedar mengganjal", berkata
Raden Wijaya setelah mencoba buah yang tumbuh di
dinding cadas itu. "Setidaknya memperpanjang umur kita di bawah
tanah ini", berkata Mahesa Murti.
Sementara itu cahaya yang masuk dari langit-langit
yang tinggi mulai menghilang, sebagai tanda bahwa
matahari telah bergeser. Ruangan di bawah tanah itu
pun menjadi semakin redup, semakin gelap.
Didalam kegelapan itulah Mahesa Murti secara
bertahap memberi penjelasan awal kepada Raden
Wijaya sebelum melaksanakan laku rahasia yang didapat
dari sebuah rontal peninggalan Empu Purwa. Raden
Wijaya penuh perhatian mencoba mencerna apa yang
disampaikan Mahesa Murti.
"Raden pernah melihat seekor ular. Untuk melihat
seekor ular secara bathiniah, adalah merasakan sifatsifat ular itu sendiri, bagaimana seekor ular yang tertidur
selama tiga bulan setelah memangsa seekor lembu,
itulah ular sebagai lambang kemalasan", berkata Mahesa
Murti mencoba secara bertahap memberikan pengertian45
pengertian membuka rahasia bathin.
"Raden pernah melihat seekor kera, perhatikan
bagaimana caranya makan, mulutnya masih menyimpan
makanan, sementara tangannya masih juga memasukkan makanan kedalam mulutnya, itulah sifat
ketamakan yang ada di dalam dirimu", berkata kembali
Mahesa Murti masih memberikan pengertian tentang
lambang-lambang. Raden Wijaya mulai dapat mencerna, bagaimana
melihat kedalam diri, berkelana di dalam diri yang selama
ini belum pernah dilakukannya.
"Ternyata alam bathin itu begitu luas, seluas alam
wadag itu sendiri", berkata Raden Wijaya yang telah
menangkap tahap awal pemahamannya mengenai
rahasia bathin. "Beristirahatlah, besok kita lanjutkan", berkata
Mahesa Murti yang merasa gembira, tahap pertama telah
dilalui Raden Wijaya dengan begitu sempurna. Diamdiam memuji kecerdasan bathin Raden Wijaya. Karena
tidak semua orang dapat mencerna pemahaman
bathiniah. Demikianlah,dari hari ke hari dan setahap demi
setahap Raden Wijaya mulai menerima beberapa
pengertian dasar. Di hari ketiga Raden Wijaya sudah
masuk lebih dalam lagi mengenai rahasia-rahasia
mengungkap diri, mengenal nafsu yang ada di dalam diri
dan pengendaliannya. "Ketika awal pertama belajar kanuragan, seorang
guru mengajarkan bagaimana kita mengelak kekiri dan
kekanan setiap mendapatkan serangan sebuah senjata
kayu, setelah cukup lama berlatih, kita menjadi terbiasa
mengelak, seperti itulah kita belajar "titis" mengelak
46 setiap kali datang pikiran nafsu menyerang", berkata
Mahesa Murti yang dengan sabar memberi pemahaman
kepada Raden Wijaya. Pada hari keempat, Mahesa Murti merasakan bahwa
Raden Wijaya telah mempunyai dasar yang cukup
sebagai landasan yang kuat menerima "laku-rahasia".
"Aku ingin melihat, sejauh mana daya lompatanmu",
berkata Mahesa Murti meminta Raden Wijaya melakukan
sebuah lompatan keatas. Raden Wijaya mempersiapkan dirinya, melakukan
sebuah lompatan. Hup..!!, Raden Wijaya melompat tinggi sekuat
tenaganya. Hasilnya hanya sebatas dan setinggi
lututnya. "Bagus", berkata Mahesa Murti. "Mulai hari ini aku
aku akan mengajarkan sebuah laku rahasia.
Mulailah Mahesa Murti memberi penjelasan apa yang
harus dilakukan Raden Wijaya untuk memulai sebuah
laku rahasia. Lubang-lubang diatas langit-langit dalam ruang
bawah tanah telah menghilang, sebagi tanda matahari
sudah jauh bergeser bersembunyi dibalik kegelapan
malam. Sementara itu, Mahesa Murti dan Raden Wijaya telah


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memulai laku rahasia, duduk bersila sempurna.
Didalam kegelapan malam, yang juga kegelapan
diruang bawah tanah, Raden Wijaya seperti patung
budha diam tak bergerak, napasnya semakin lama
semakin tidak terdengar lagi. Sementara itu Raden
Wijaya tidak melihat dan menyadari, bahwa Mahesa
Murti di sebelahnya sudah tidak menyentuh lantai lagi,
47 seperti terangkat permukaan lantai. mengambang satu jengkal dari Baru setelah cahaya masuk lewat lubang langitlangit, Mahesa Murti memberi isyarat kepada Raden
Wijaya mengahiri "lakunya"
"Kita mulai lagi", berkata Mahesa Murti kepada
Raden Wijaya setelah beberapa lama mereka beristirahat
sambil memakan buah hijau yang tumbuh di pojok kanan
altar. Kembali Mahesa Murti dan Raden Wijaya bersila
sempurna ditempatnya masing-masing.
Raden Wijaya terlihat begitu tatag, nafasnya begitu
teratur dan sama sekali tidak terdengar. Sementara itu
terlihat seperti hari sebelumnya, tubuh Mahesa Murti
terangkat mengapung di udara setinggi dua jengkal.
Raden Wijaya masih tetap duduk sempurna,
melaksanakan laku rahasia sebagaimana diajarkan oleh
Mahesa Murti. Dan keajaiban pun terjadi, merasakan
tubuhnya begitu ringan terangkat sedikit demi sedikit,
mengapung di udara setinggi tiga jari.
Seandainya ada orang yang hadir dan melihat apa
yang terjadi, pasti menyangka bahwa Mahesa Murti dan
Raden Wijaya adalah bukan manusia, tapi makhluk halus
penghuni ruang bawah tanah. Bagaimana tidak heran
dan terkejut melihat Mahesa Murti dan Raden Wijaya
mengapung tidak menyentuh dinding lantai.
Seharian dan semalaman Mahesa Murti dan Raden
Wijaya berlatih laku rahasia itu. Baru ketika cahaya dari
lubang langit-langit muncul kembali, Mahesa Murti
memberi isyarat kepada Raden Wijaya untuk
menghentikannya. 48 "Coba lakukan sebuah lompatan", berkata Mahesa
Murti kepada Raden Wijaya ketika mereka sudah
beristirahat sekian lamanya.
Hup..!!, Raden Wijaya mengerahkan segenab
tenaganya. Bukan main gembiranya raden Wijaya
merasakan kekuatan yang ada didalam dirinya.
Tubuhnya sendiri seperti begitu ringan. Raden Wijaya
dapat melompat setengah dari tingginya langit-langit.
"Kita sudah mulai punya sayap", berkata Mahesa
Murti sambil menepuk bahu Raden Wijaya. "Sekarang
lakukan sebagaimana aku lakukan", berkata kembali
mahesa Murti sambil berjalan ke sudut ruangan.
Di sudut dinding itu, Mahesa murti diam sejenak,
mencoba menilai sejauh mana kira-kira tenaga yang
dapat dilontarkan oleh Raden Wijaya.
Terkesima Raden Wijaya melihat Mahesa Murti
lompat dari sudut ke sudut dinding secara siksak tiga kali
terus ke atas sampai tangannya menyentuh langit-langit
yang tinggi, lima belas kali tinggi tubuhnya. Ternyata
Mahesa Murti hanya mengeluarkan sepertiga dari
kekuatannya. "Raden pasti bisa juga melakukannya", berkata
Mahesa Murti kepada raden Wijaya memberikan
semangat dan keyakinan. Sambil berkata, tubuh Mahesa Murti turun tidak
meluncur deras, tapi turun seperti tertahan perlahan
sampai akhirnya kedua kakinya menyentuh dinding
lantai. Sebuah atraksi meringankan tubuh yang luar biasa.
"Lakukanlah secara bertahap, kendalikan kekuatan
dan bobot tubuh kita sesuai kehendak kita", berkata
49 Mahesa Murti Kepada Raden Wijaya.
Dengan penuh semangat dan keyakinan, Raden
Wijaya berlatih setahap demi setahap.
Diawali dengan satu loncatan, Raden Wijaya mulai
dapat mengatur kekuatan dan mengendalikan bobot
beban tubuhnya. Begitu besar semangat berlatih Raden
Wijaya. Tidak terasa, seharian penuh Raden Wijaya terus
meningkatkan latihannya dengan menambah jumlah
lompatan. Dan kembali Raden Wijaya berhasil siksak dua
kali lompatan dan turun perlahan nyaris seperti elang
hinggap diatas puncak tebing.
Bukan main gembiranya hati Raden Wijaya, meski
belum mampu menyentuh dinding langit-langit sebagaimana dilakukan oleh Mahesa Murti.
"Besok kita lanjutkan latihan kita, sekarang kita
beristirahat dulu", berkata Mahesa Murti kepada Raden
Wijaya, kagum melihat semangat berlatihnya Raden
Wijaya. Sebelum menjelang tidur, Mahesa Murti dan Raden
Wijaya melaksanakan "laku rahasia" beberapa saat tidak
begitu lama. "Bila setiap menjelang tidur kita melakukannya, akan
menambah ketajaman pengendalian kita terhadap
kekuatan yang ada di dalam diri kita. Kekuatan kita
semakin bertambah sesuai pengenalan kita terhadap
sumber kekuatan itu sendiri, yaitu Gusti Yang Maha
Agung", berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.
"Inilah sebuah laku rahasia membangun hawa murni
warisan Empu Purwa yang berjodoh kepada kita",
kembali berkata Mahesa Murti sambil memandang tulang
tengkorak di altar yang masih tegak duduk dalam posisi
50 bersila sempurna. Demikianlah, Raden Wijaya hari demi hari terus
berlatih sampai akhirnya dapat melakukan lompatan
dengan begitu sempurna, tangannya berhasil menyentuh
dinding langit-langit yang tinggi, dan ketika turun,
sebagaimana dilakukan Mahesa Murti, Raden Wijaya
pun dapat melakukannya turun dengan pengendalian
bobot beban tubuh yang sempurna.
Sebuah atraksi meringankan tubuh yang luar biasa
telah di perlihatkan oleh Raden Wijaya dengan begitu
sempurna. "Kita sudah punya sayap", berkata Mahesa Murti
gembira melihat Raden Wijaya berhasil menyempurnakan latihannya.
"Hari ini adalah hari terakhir kita di perut bumi ini,
istirahatlah, besok pagi kita harus bersiap keluar dari
lubang ini", berkata Mahesa Murti yang memperkirakan
hari sudah masuk malam. Seperti biasa, menjelang tidur mereka melaksanakan
laku rahasia terlebih dahulu. Setelah itu pun mereka
berbaring tidur melepaskan kepenatan dan kelelahan
setelah seharian berlatih.
Malam di dalam perut bumi memang sepertinya
begitu panjang, begitu gelap dan pekat. Suara malam
tidak menembus kedalaman bumi. Menjadikan ruangan
itu seperti kuburan besar yang sunyi. Hanya nafas
mereka saja yang terdengar perlahan didalam kegelapan
dan kepekatan. Dan pagi pun akhirnya datang juga. Matahari
menembus celah-celah atap batu cadas seperti pedangpedang panjang menerangi seisi ruangan.
51 "Jasad ini harus disempurnakan, sebagaimana
permintaan beliau", berkata Mahesa Murti sambil
mengumpulkan dan mengikat tulang dan tengkorak
dengan tali dari batang tanaman yang ada di ruangan itu.
"Mari kita masuk", berkata Mahesa Murti kepada
Raden Wijaya mengajak masuk kedalam lubang yang
sempit, yang hanya dapat dilalui dengan cara merayap.
Mahesa Murti dan Raden Wijaya tengah merayap di
lubang yang sempit. Seperti ular merayap, mereka
menyusuri lubang sempit itu yang tidak selalu lurus,
kadang berbelok kekiri, kadang juga berbelok ke kanan,
dan bahkan kadang ada juga yang menanjak ke atas.
Tapi dengan kekuatan yang sudah berlipat ganda karena
sudah berlatih laku rahasia, mereka terus merayap dan
tidak merasakan kelelahan. Mereka merayap lebih cepat
dibandingkan ketika masuk beberapa hari yang lalu.
Dan akhirnya mereka telah keluar dari lubang yang
sempit itu. Raden Wijaya nampak menarik napas
panjang, begitu lega perasaannya keluar dari lubang
yang sempit itu. Nampak wajahnya menatap keatas
memandang mulut sumur yang begitu tinggi.
"Tunggu isyarat dariku", berkata Mahesa Murti sambil
mempersiapkan dirinya, berharap Raden Wijaya tidak
segera meloncat sebelum ada isyarat darinya untuk
berjaga-jaga terhadap hal-hal yang mungkin dapat terjadi
di atas sana yang dapat mengancam keselamatan
mereka. Hup..!!, Mahesa Murti sudah melenting ke atas,
terlihat kemudian kakinya menghentak pinggir dinding
sumur yang dalam itu sebagai landasan melemparkan
tubuhnya yang ringan melenting lebih tinggi lagi. Dan
dengan tiga kali hentakan, Mahesa Murti sudah sampai
52 di mulut sumur yang dalam. Mahesa Murti seperti terlahir
kembali, melihat suasana kerindangan tumbuhan hutan
dan sinar matahari pagi yang begitu menyilaukan
matanya, belum terbiasa melihat cahaya setelah sekian
lama terkurung di kedalaman perut bumi.
Sementara itu Raden Wijaya masih berada di lubang
sumur, melihat Mahesa Murti memberi isyarat untuk
segera naik keatas. Hup..!!, tubuh Raden Wijaya telah melenting keatas,
sebagaimana Mahesa Murti melenting begitu cepat
seperti seekor belalang melenting beberapa kali dari
pingir dinding ke dinding lainnya hingga akhirnya berdiri
tegap di atas bibir sumur.
"Gusti Kang Maha Agung masih melindungi diri kita
Raden", berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya
yang masih tegak di bibir sumur yang dalam. Bersyukur
bahwa cucu Ratu Anggabaya yang telah dipercayakan
kepadanya masih selamat bersamanya.
"Mari kita mencari tempat yang baik, guna
memperabukan jasad Empu Purwa", berkata Mahesa
Murti kepada Raden Wijaya.
Dan mereka pun sibuk membuat sebuah bade
sederhana tetapi tetap dengan tujuh panggungan
sebagai penghormatan tertinggi.
Bade pun dibakar, api menggulung-gulung membakar
batang-batang kayu dan tulang belulang dari Empu
purwa. Ditengah kobaran dan kretak suara kayu terbakar,
pendengaran Mahesa Murti yang tajam mendengar ada
beberapa langkah kaki menginjak ranting tidak jauh dari
mereka. 53 "Ada beberapa orang bersembunyi di sekitar kita",
berbisik Mahesa Murti kepada Raden Wijaya agar
berlaku waspada. Mahesa Murti dan Raden Wijaya tidak menunjukkan
sikap apapun, sepertinya belum mengetahui bahwa ada
beberapa pasang mata tengah mengintai mereka.
"Mereka mendekat", kembali Mahesa Murti berbisik
kepada Raden Wijaya. Ternyata apa yang Mahesa Murti katakan benar
adanya. Lima belas orang tengah mendekati mereka dari
arah belakang. Dengan cepat Mahesa Murti dan Raden
Wijaya membalikkan badannya.
Mahesa Murti dan Raden Wijaya terpaku terheranheran. Orang-orang yang mendekati mereka telah
bersujud dihadapan mereka. Memanggil dan menyebut
Mahesa Murti dan Raden Wijaya sebagai dewa.
"Ampunkan kami dewa agung", berkata mereka
sambil bersujud dihadapan Mahesa Murti dan Raden
Wijaya. Iba hati Mahesa Murti melihat orang-orang itu. Yang
ternyata adalah sekelompok suku asli penghuni hutan
yang masih begitu terasing yang tidak pernah keluar dari
kehidupan hutan sebagai tanah penghidupan mereka
Dan teringat Mahesa Murti bahwa merekalah yang
menjebaknya sehingga masuk kedalam lubang sumur
yang dalam. Sementara itu Mahesa Murti tidak
menyalahkan mereka atas "penumbalan" yang telah
terjadi.Karena merupakan hal yang biasa pada jaman itu,
penumbalan manusia atas manusia. Pengorbanan
manusia atas manusia. "Bangkitlah", berkata Mahesa Murti dengan suara
54 yang menggelegar. "Ampun dewa, jangan celakai kami", berkata salah
seorang yang nampaknya pimpinan orang-orang itu yang
telah mulai mengangkat wajahnya menatap Mahesa
Murti dan Raden Wijaya penuh rasa takut.
"Mulai hari ini tidak ada lagi penumbalan", berkata
Mahesa Murti dengan wajah dan suara yang agak
ditekan berkesan angker.

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perintah Dewa akan kami patuhi", berkata pemimpin
mereka yang juga terlihat usianya paling tua di antara
orang-orang itu. "Bawa kembali kuda-kuda kami", berkata mahesa
Murti memberi perintah. Maka pemimpin mereka mengerti apa yang
diinginkan dari Mahesa Murti, terlihat salah seorang dari
mereka berlari dan menghilang dibalik semak-semak.
Tidak lama kemudian, orang itu telah datang kembali
membawa dua ekor kuda. Mahesa Murti dan Raden
Wijaya mengenali bahwa kuda-kuda itu adalah miliknya.
"Sekarang menjauhlah, jangan sesekali mendekati
tempat ini", berkata Mahesa Murti memberi isyarat agar
mereka pergi menjauh. Dan mereka pun perlahan menjauh meninggalkan
Mahesa Murti dan Raden Wijaya hilang di balik
kerimbunan pedalaman hutan Kondang.
Matahari sudah melonjak semakin tinggi diatas
cakrawala, dua ekor kuda perlahan berjalan menyusuri
kerimbunan hutan kondang. Mahesa Murti dan Raden
Wijaya melanjutkan perjalanannya yang tertunda
beberapa hari, terkurung terperangkap dalam perut bumi.
55 "Ternyata paman dapat juga berlaku seperti dewa",
berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Murti.
Mahesa Murti mengerti apa yang Raden Wijaya
maksudkan, maka ia pun berkata, "Kepercayaan mereka
sudah begitu tua, butuh banyak waktu untuk
merubahnya. Jalan terbaik untuk saat ini adalah menjadi
dewa". "Dewa hutan Kondang", berkata Mahesa Murti yang
dibalas gelak tawa dari Raden Wijaya.
Matahari telah turun semakin merendah di langit
cakrawala senja ketika Mahesa Murti dan Raden Wijaya
keluar hutan kondang. "Di balik bukit batu itu kita akan mendapatkan sebuah
padukuhan", berkata Mahesa Murti kepada Raden
Wijaya yang menyambutnya dengan meyepak perut kuda
agar berlari. Dua ekor kuda berpacu di tengah padang, berpacu
mengejar bukit batu dalam bayangan senja.
Kita tinggalkan dulu perjalanan Mahesa Murti dan
Raden Wijaya, yang selalu menikmati perjalanannya,
seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, seperti
elang laut yang perkasa yang tidak pernah gentar
memandang angin prahara, terus maju mengepakkan
sayapnya kembali ke puncak bukit batu pulau karang.
Diketinggian itulah mereka akan kembali pulang.
Padepokan Bajra Seta. Sementara itu di sebuah jalan yang panjang, seorang
pemuda dengan pakaian yang kasar yang biasa dipakai
para petani, tengah berjalan dengan langkah begitu
mantap. Dari gerakan langkahnya dapat di duga, bahwa
pemuda itu seorang yang sudah cukup terlatih. Terlihat
56 dari irama setiap langkahnya yang jatuh teratur.Tapi
keberadaan pemuda yang berpakaian sederhana itu
tidak banyak memberikan perhatian. Beberapa orang
yang berpapasan dengannya tidak begitu memperhatikannya. Sebuah pedati yang ditarik dengan seekor kuda
melewatinya. Dua orang nampak di atasnya. Jalan di
depan nampaknya menanjak. Jalan pedati menjadi
begitu lambat. Dan di luar keinginan, tiba-tiba saja roda
kanan pedati terlepas dari jalurnya. Luar biasa beban
yang harus ditahan oleh kuda pedati itu. Sudah dapat di
duga, bila kuda pedati itu tidak dapat menahan beban,
maka ada kemungkinan pedati itu akan terjungkal ke
belakang. Pemuda sederhana, yang melihat semua kejadian itu
dengan cepat memungut sebuah batu besar dijalan,
berlari mengganjal sebuah roda sebelah kiri pedati.
Pedati pun tidak turun terjungkal ke belakang.
"Terima kasih anak muda", berkata seorang yang
dengan tergesa turun dari pedati.
"Hanya kebetulan aku melihat langsung dari belakang
pedati. Mari kita periksa, kenapa roda itu dapat keluar
dari jalurnya", berkata pemuda sederhana itu."Tolong
katakan kepada kawanmu untuk melepas pelana kuda",
berkata pemuda itu sepertinya begitu tanggap apa yang
harus dilakukan segera. Seorang yang telah mengucapkan terima kasih
kepada pemuda itu pun memerintah kawannya untuk
melepas pelana kuda dari pedati. Dari gaya ucapannya
dapat diketahui bahwa orang itu nampaknya seorang
saudagar, sedangkan kawannya itu adalah pembantunya. 57 Pelana kuda sudah dilepaskan dari pedati. Pemuda
dan saudagar itu pun memeriksa roda kanan yang
terlepas. Sementara pembantunya tengah mengikat kuda
di sebuah pohon di pinggir jalan.
"Pasaknya pecah", berkata pemuda itu setelah
memeriksa jalur roda. Bersama saudagar dan pembantunya, pemuda
sederhana itu pun nampak sibuk ikut menurunkan
beberapa barang yang ada di atas pedati. Serta dengan
sigap membantu memperbaiki membuat pasak baru dari
ranting pohon hitam yang banyak tumbuh di sepanjang
jalan. Dan akhirnya roda pun telah terpasang di tempatnya
seperti semula. "Terima kasih untuk pertolongannya", berkata
saudagar itu merasa gembira melihat roda sudah
terpasang. "Perkenalkan namaku Magonda", lanjut
Saudagar itu memperkenalkan dirinya.
"Namaku Kerta", berkata pemuda sederhana itu.
Magonda memperhatikan pemuda sederhana di
hadapannya, baru kali ini setelah beberapa waktu tidak
sempat memperhatikannya. Dari pakaian yang di
kenakan Kerta, maka Magonda berpikir bahwa Kerta
hanyalah seorang pengembara yang sering di jumpainya.
Seorang pengembara yang tidak mempunyai arah tujuan.
Dan tanpa berpikir panjang menawarkan pekerjaan
kepada Kerta. Yang sebenarnya adalah Pangeran
Kertanegara, Sang Putra Mahkota.
"Seorang pembantuku terkena sakit malaria, terpaksa
aku titipkan di rumah sepupuku di Kotaraja. Kalau kamu
tidak keberatan, mungkin kamu bersedia bekerja
58 bersama kami", berkata Magonda.
"Kemana tujuan kepada Magonda tuan?", bertanya Kertanegara Sekejab Magonda menjadi bingung, pemuda
didepannya ini bertanya lebih dulu kemana tujuannya
sebelum menyampaikan kesediaan atas tawaran
kerjanya. Tapi Magonda berpikir cepat. Mungkin anak
muda ini ingin mengetahui sejauh mana arah
perjalannya. Sehingga tidak bersimpangan dengan
tujuan perjalanan pemuda ini.
"Saat ini kami hendak ke Bandar Cangu, setelah
sampai di sana kami akan berlayar ke Carubhaya",
berkata Magonda menjelaskan tujuan perjalanannya.
"Aku bersedia bekerja dengan tuan", berkata
Kertanegara setelah berpikir bahwa perjalanannya akan
lebih baik lagi bila bergabung bersama Magonda,
seorang Saudagar. Bukan main senangnya Magonda mendengar
kesediaan Kertanegara yang sejak semula sudah timbul
perasaan suka. Kertanegara, Magonda dan pembantunya naik di atas
pedati kuda. Ternyata Magonda suka bercerita. Banyak
sekali yang di ceritakannya, bukan cuma pengalaman
perjalanannya sebagai seorang Saudagar, juga bercerita
tentang beberapa istrinya yang tersebar di berbagai
tempat. "Seorang istriku di Madura mempunyai senjata
tongkat", berkata Magonda bercerita tentang salah satu
istrinya. "Aku sering dikalahkannya dengan tongkat itu",
lanjut Magonda. "Istri tuan seorang pendekar wanita?", bertanya
59 Kertanegara dengan lugunya.
Seorang pembantunya yang sedang memegang
kendali kuda, pernah juga diceritakan Magonda dengan
cerita yang sama langsung tertawa terpingkal-pingkal.
Kertanegara menjadi bingung, adakah yang lucu dengan
pertanyaaanya " "Sukar sekali bicara dengan orang muda sepertimu",
berkata Magonda kepada Kertanegara.
Jarak perjalanan ke Bandar Cangu memang tidak
begitu lama lagi. Matahari masih belum tenggelam
manakala pedati yang ditumpangi Kertanegara telah
sampai di Bandar Cangu. Tiang-tiang layar kapal kayu
yang bersandar sudah terlihat dari jauh. Bergeser sedikit
dari dermaga akan terlihat bangunan benteng Cangu
yang masih dalam pembangunannya.
Begitu ramai suasana di Bandar Cangu. Lalu lalang
para buruh mengangkat barang. Kadang juga terlihat
beberapa Prajurit Singasari. Yang sangat menarik lagi
adalah kehadiran beberapa wanita dengan pakaian yang
menggiurkan berjalan sepertinya mengundang setiap
mata lelaki. Sudah menjadi kelajiman di setiap Bandar
dimanapun akan diramaikan dengan beberapa rumah
pelacuran. Bahkan bukan sesuatu yang aneh bila pihak
kerajaan menunjuk seseorang sebagai Pejabat rumah
bordil istilah untuk tempat pelacuran.
"Kita menginap di sini", berkata Magonda ketika
pedati mereka berhenti di sebuah penginapan.
"Aku akan menemui kawanku, menanyakan apakah
ada kapal yang akan berangkat besok", berkata
Magonda kepada Kertanegara yang tengah sibuk
menyimpan beberapa barang yang harus dikeluarkan
dari pedati. 60 Malam telah menyelimuti Bandar Cangu, di atas
langit bergantung sang rembulan menaburkan cahaya
kekuningan di atas tiang-tiang layar kapal kayu yang
bersandar, menerangi bangunan benteng Cangu yang
masih belum sempurna. Dari sebuah gundukan tanah tinggi, Kertanegara
memandang semua itu bersama jutaan bintang di langit
malam. "Ayahanda telah memulai membuat gerbang yang
sempurna di Bandar Cangu ini. Dari tanah inilah
Singasari menguasai dunia", berkata Kertanegara
kepada dirinya sendiri memuji siasat Ayahandanya
membangun benteng dan Bandar Cangu.
Ketika Kertanegara memandang rembulan yang
dikelilingi taburan bintang. Hayalannya bergayut pada
wajah Menik Kaswari. "Aku akan membuktikan, bahwa cintaku padamu
tidak akan pernah hilang sebagaimana janji bintang
kejora diawal pagi", berkata Kertanegara kepada dirinya
sambil memandang wajah bulan yang sepertinya
tersenyum memandangnya. Angin malam berhembus begitu dingin, menyadarkan
Kertanegara bahwa malam sudah jauh mendekati pagi.
Didalam kekelaman malam Kertanegara kembali ke
penginapannya. Bumi pagi di Bandar Cangu sudah menggeliat,
wajah-wajah ceria para buruh bekerja mengangkat
barang ke kapal kayu mewarnai dermaga.
Seorang awak kapal telah menarik jangkar keatas,
sementara seorang didermaga melepas tali ikatan kapal
kayu. Sepuluh budak mengayuh kapal kayu ketengah
61 sungai. Dan kapal kayu pun telah bergerak terbawa arus
sungai Brantas. Tiga orang laki-laki tengah melambaikan tangannya
kepada sebuah keluarga yang ada di atas kapal kayu.
Sepasang suami istri bersama seorang anak
perempuannya yang sudah remaja. Beberapa orang lagi
duduk berkerumun menikmati makan pagi, sepertinya
para saudagar dan pembantunya yang sudah terbiasa
menggunakan kapal kayu ini sebagai jalur perdagangannya. Kertanegara memandang dermaga Bandar Cangu
yang semakin menjauh dari belakang kapal kayu.
"Perjalananku sudah semakin menjauh dari Kotaraja. Di
dermaga inilah aku akan bersandar membawa kembali
Menik Kaswari", berkata Kertanegara memandang
dermaga yang semakin menjauh.
"Apakah ini perjalanan pertamamu dengan kapal


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kayu?", bertanya Magonda yang sudah ada disampingnya. Dan Kertanegara tidak menjawab, hanya
menganggukkan kepalanya. Kapal kayu telah meluncur semakin menjauh,
membelah hutan rimba disepanjang sungai Brantas.
"Harus ada pos gardu tambahan di sepanjang
perairan ini membantu keberadaan benteng Cangu",
berkata Kertanegara kepada dirinya sendiri melihat
begitu sunyinya keadaan di sepanjang perairan.
"Kita akan melewati simpang tiga Hutan Bahar",
berkata Magonda menghentikan lamunan Kertanegara.
"Ada apa dengan simpang tiga Hutan Bahar ?",
bertanya Kertanegara tertarik dengan ucapan Magonda.
"Kawanku pemilik kapal kayu ini mengatakan, setelah
62 Datuk Malakar tewas, daerah ini menjadi perairan yang
tidak bertuan, para bajak laut semakin merajalela. Dan
simpang tiga hutan bahar inilah yang menjadi daerah
operasi mereka. Mereka datang dan pergi dari sungai
yang ada di mulut Hutan Bahar", berkata Magonda
memberi keterangan kepada Kertanegara.
Bukan main geramnya hati Kertanegara. Sebagai
seorang Pangeran, hati kecilnya merasakan kegeraman
kepada bajak laut yang tidak lagi memandang kekuasaan
Singasari. Tapi kegeraman itu tidak ditunjukkan
dihadapan Magonda. "Para bajak laut sepertinya punya banyak mata,
sepertinya sudah membaca kapan kapal kayu yang
memuat barang yang berharga lewat di daerahnya",
berkata Magonda kepada Kertanegara dengan wajah
penuh khawatir, karena sebentar lagi simpang tiga hutan
bahar akan dilaluinya. "Apakah sudah ada yang melaporkan keadaan ini
kepada pejabat di Bandar Cangu", bertanya Kertanegara
kepada Magonda "Sudah, tapi tidak ada upaya apapun, mungkin
mereka masih sibuk membangun benteng di Bandar
Cangu", berkata Magonda kepada Kertanegara.
Apa yang dikhawatirkan Magonda sepertinya
memang akan menjadi kenyataan. Sebuah Kapal kayu
besar tiba-tiba muncul dari mulut hutan Bahar.
Kapal kayu di depan yang muncul dari mulut Hutan
Bahar telah menghadang di depan.
"Perompak", berkata seorang awak kapal.
Teriakan awak kapal itu sudah terlambat. Kapal
perompak itu sudah merapat di lambung kiri kapal kayu
63 yang ditumpangi Kertanegara. Dua puluh orang
bersenjata golok panjang telah melompat menyeberang
di atas dek kapal. "Yang tidak ingin melawan berkumpul di sebelah
kanan, aku tidak akan melukai kalian", berkata seorang
yang bertubuh tinggi besar dan bercambang yang
sepertinya pimpinan dari para perompak. Senjatanya
begitu aneh, sebuah pedang yang terbuat dari tulang
ikan pari. Beberapa penumpang dengan wajah penuh
ketakutan telah berkumpul di sebelah kanan dek kapal.
Sementara itu sepuluh awak kapal dengan pedang
telanjang di tangan telah berkumpul siap menghadapi
apapun yang terjadi. "Menyerahlah, kami lebih banyak dari kalian", berkata
pemimpin perompak itu menggertak para awak kapal.
"Kami lebih baik mati daripada menyerahkan apapun
kepada kalian", berkata seorang awak kapal yang
ternyata pimpinan dari para awak kapal itu.
Kertanegara sudah bersiap diri akan terjun bertempur
membela para awak kapal. Tapi ada seseorang
memanggil namanya. "Kerta, kemarilah"!!", terdengar Magonda memanggil Kertanegara dari sebelah dek kanan di antara
beberapa penumpang yang telah berkumpul.
Tapi Kertanegara sepertinya sudah tidak peduli
dengan panggilan Magonda yang duduk cemas melihat
Kertanegara yang tidak ingin bergabung bersamanya.
Bahkan dengan gagahnya Kertanegara telah bergabung
bersama para awak kapal. "Dengar sekali lagi orang-orang dungu, menyerahlah.
64 Kami hanya memerlukan barang yang kalian bawa,
setelah itu kalian dapat pergi dengan selamat", berkata
pimpinan perompak itu memberikan peringatan kepada
para awak kapal agar menyerah.
"Dengar sekali lagi orang sombong, kami tidak akan
pernah menyerah", perkata pimpinan para awak kapal
tidak kalah gertaknya. Bukan main marahnya pemimpin perompak itu. Yang
nama panggilannya adalah Daeng Bahar, yang sangat
ditakuti oleh kawan maupun lawan. Yang merupakan
satu-satunya lawan tanding dan saingan terbesar Datuk
Malakar, merasa tidak dipandang mata oleh para awak
kapal, darahnya seperti terbakar.
"Habisi mereka !!", berkata Daeng Bahar kepada
anak buahnya yang langsung mengepung para awak
kapal dan Kertanegara yang telah ikut bergabung.
Pertempuran pun tidak bisa lagi dihindari. Para
perompak langsung menerjang para awak kapal.
Sebuah sabetan golok panjang menyambar kepala
Kertanegara. Dengan gesit Kertanegara mengelak
merendahkan tubuhnya. Golok panjang yang diayunkan
dengan kekuatan penuh lewat di kepala Kertanegara.
Melihat sasarannya terlepas, seorang perompak yang
bertubuh bundar semakin penasaran. Ayunan golok
panjangnya berubah arah, kali ini langsung membelah
kepala Kertanegara. Kembali Kertanegara dengan gesit
mengelak dengan mundur ke belakang. Golok panjang
menancap setengah jengkal di kayu geladak kapal.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Kertanegara.
Tendangan kerasnya langsung menghantam wajah
orang bertubuh bundar itu. Dan langsung terjengkang
65 tidak sadarkan diri. Kertanegara mengambil golok panjang yang
menancap di kayu geladak kapal. Melihat pertempuran
yang berat sebelah. Hampir setiap awak kapal dikerubuti
oleh dua orang perompak. Sementara itu pemimpin awak
kapal itu pun tengah berjuang menghadapi Daeng Bahar
yang bertempur demikian garangnya.
"Aku harus mengurangi kekuatan mereka", berkata
dalam hati Kertanegara sambil mengayunkan golok
panjang di tangannya kepada seorang perompak di
dekatnya. Perompak itu tidak sempat mengelak, maka
yang dapat dilakukannya adalah menangkis sambaran
golok panjang yang tertuju pada pinggangnya dengan
senjatanya. Maka benturan dua senjata pun terjadi.
Senjata perompak itu pun langsung terlepas dari
tangannya. Dan tendangan Kertanegara kembali
menemui sasaran terbuka, bersarang pada dada
perompak yang masih tercengang merasakan tangannya
yang masih seperti terbakar akibat benturan goloknya
sendiri. Perompak itu pun langsung terjungkal melayang
membentur kayu penyangga geladak.
Daeng Bahar ternyata bermata awas, seorang
pemimpin yang tahu melindungi anak buahnya. Melihat
dengan cepat dua orang anak buahnya terkapar tidak
bergerak, matanya memandang tajam ke arah
Kertanegara. Dengan sebuah lentingan panjang melayang ke arah
Kertanegara meninggalkan pimpinan awak kapal seorang
diri. Sementara itu pemimpin awak kapal yang ditinggal
sendiri oleh lawannya langsung menerjang perompak di
dekatnya yang tengah menyerang mengerubuti seorang
66 anak buahnya. "Akulah lawanmu", berkata Daeng Bahar kepada
Kertanegara dengan mata tajam menakutkan.
Kertanegara tidak menjadi gentar dengan tatapan
tajam itu. Tapi juga tidak meremehkan lawannya itu,
terutama dengan pedang tulang ikan pari itu yang
menurut perhitungan Kertanegara mengandung bisa
racun yang tajam. "Aku sudah siap", berkata Kertanegara dengan
tenang. "Rasakan pedangku", berkata Daeng Bahar sambil
mengayunkan pedangnya menyambar dada Kertanegara. Serangan itu datangnya begitu cepat,
sepertinya angin sambarannya telah menerjang dada
Kertanegara. Maka dengan gerakan yang tidak kalah
cepatnya, Kertanegara mundur kebelakang. Pedang
tulang pari lewat sejengkal dari dada Kertanegara.
Ternyata ayunan keras itu membawa tubuh Daeng
Bahar. Melihat pinggang yang terbuka, Kertanegara pun
langsung membabat goloknya ke samping searah
ayunan pedang tulang pari Daeng Bahar. Tubuh Daeng
Bahar pada saat itu seperti mati langkah. Maka jalan
satu-satunya adalah menjatuhkan dirinya menghindari
serangan golok Kertanegara, bergelinding dua kali di
lantai geladak dan dengan cepat bangkit berdiri dengan
mata melotot tidak percaya, bahwa anak muda lawannya
mempunyai serangan yang begitu hebat, begitu
mematikan. "Gila !!", berkata Daeng Bahar penuh kemarahan
bercampur malu merasa anak buahnya yang begitu
segan dan takut kepadanya melihat apa yang terjadi
dengannya, mengelinding dilantai geladak kapal.
67 Daeng Bahar kembali menyerang Kertanegara. Kali
ini serangannya penuh dengan perhitungan. Tidak
meremehkan anak muda yang menjadi lawannya itu. Dan
Kertanegara pun semakin berhati-hati. Pertempuran pun
menjadi begitu sengit, masing-masing telah meningkatkan tataran ilmunya. Saling serang, kadang
berlompat menghindar dari setiap serangan. Kertanegara
bagai burung sikatan menukik cepat menyerang, tapi
Daeng Bahar juga dengan gerakan yang tidak kalah
cepatnya menghindar dan langsung balik menyerang.
Magonda yang gemetar berkumpul bersama para
penumpang kapal kayu, benar-benar tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri, anak muda yang selama
ini bersamanya ternyata dapat bertempur begitu hebat,
bahkan dapat menandingi serangan pemimpin perompak
yang ganas dan begitu cepat. Kadang pandangan
matanya seperti kabur tidak bisa lagi mengikuti gerakan
dari keduanya. Sementara itu para awak kapal betul-betul berjuang
keras menghadapi para perompak dengan jumlah lebih
banyak. Beberapa orang sudah ada yang terkapar tidak
bergerak. Satu orang perompak dan dua orang lainnya
adalak awak kapal itu sendiri. Dengan gigih para awak
kapal mempertahankan dirinya dari serangan para
perompak yang brutal dan kasar. Beberapa orang awak
kapal sudah terluka. Perlawanan mereka sudah semakin
melemah, bersamaan tiga orang awak kapal jatuh
kembali terkapar. Hanya tinggal lima orang lagi yang
masih bertahan menghadapi tujuh belas perompak.
Sebuah suitan nyaring terdengar dari pimpinannya,
seperti tahu apa yang harus dilakukan, para awak kapal
telah bersatu beradu punggung. Untuk sementara
mereka dapat bertahan dengan saling membantu. Tapi
68 para perompak ternyata punya pengalaman bertempur
yang banyak, mereka pun sepertinya bersepakat mencari
seorang awak yang paling lemah. Maka serangan pun
ditujukan pada awak kapal yang dianggapnya paling
lemah, seorang awak kapal yang sudah terluka paha kaki
kirinya tergores golok panjang para perompak. Dan
siasat para perompak berhasil. Para awak kapal di sisi
kanan dan kirinya tidak dapat melindungi kawannya.
Sebuah tusukan golok panjang menembus awak kapal
yang sudah terluka itu. Jatuh lemah terkulai di lantai
geladak. Dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Pemimpin awak kapal menyadari, lambat atau cepat
mereka pasti habis terbantai. Maka sebelum hal itu
terjadi, Pemimpin itupun telah mengambil keputusan
yang berat. "Kami menyerah", berkata Pemimpin awak kapal itu
mengangkat pedangnya diikuti oleh keempat anak
buahnya. "Letakkan senjata kalian", berkata seorang perompak
yang berwajah hitam menyuruh para awak kapal yang
sudah menyerah meletakkan senjatanya.
Lima orang awak kapal yang menyerah itu pun telah
diikat kuat di pagar geladak.
Sementara itu pemimpin perompak dan Kertanegara


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih bertempur dengan keras dan sengitnya. Saling
berlompat menghindar dan menyerang. Sukar sekali
mengukur siapa yang lebih tinggi ilmunya. Terlihat Daeng
bahar mempunyai pengalaman bertempur yang cukup.
Serangannya begitu banyak unsur tipuan yang
berbahaya. Untungnya Kertanegara seorang yang
banyak mengutamakan kecerdikan dan ketenangan,
sehingga tidak mudah tertipu. Yang sangat di takuti oleh
69 Kertanegara adalah senjata Daeng Bahar itu sendiri yang
terbuat dari tulang ikan pari, yang mempunyai bisa yang
kuat. Itulah sebabnya Kertanegara tidak pernah lengah
sedikit pun. Magonda bersama para penumpang yang melihat
pertempuran itu menjadi gelisah, berharap Kertanegara
mengalahkan pemimpin perompak itu. Tapi Pemimpin
perompak itu dalam pandangan Magonda begitu lihai
dan ganas. Beberapa kali napasnya seperti berhenti
melihat serangan pemimpin perompak itu yang nyaris
mengenai tubuh Kertanegara.
Sementara para perompak yang sudah berhasil
menyelesaikan pertempurannya memandang geram,
tidak sabar untuk ikut membantu pemimpim mereka. Tapi
mereka tidak berani melakukannya, sebab mereka tahu
bahwa pemimpin mereka adalah orang yang sangat
tinggi hati. Takut bantuan mereka malah akan membuat
marah, bahkan merendahkan pemimpin mereka sendiri.
Maka berpikir seperti itu, mereka menanti pertempuran
itu dengan wajah yang tidak sabaran.
Tapi seorang perompak yang berwajah hitam
mempunyai pemikiran lain. Dengan cepat berjalan
mendekati para penumpang yang sudah dalam keadaan
penuh ketakutan. Tiba-tiba saja tangannya menyambar
seorang gadis remaja yang tengah gemetar ketakutan.
"Jangan sakiti anak kami", berkata seorang lelaki
ayah dari gadis itu. Tapi perompak berwajah hitam itu tidak memperdulikan permohonan ayah dari gadis itu. Dengan
kasar membawa gadis itu mendekati pertempuran.
"Ampun !!", berteriak gadis itu memohon untuk
dilepaskan. 70 Ternyata siasat perompak itu berhasil, Kertanegara
mendengar teriakan gadis itu. Yang ada dalam
bayangannya adalah suara kekasihnya Menik Kaswari,
seketika perhatian Kertanegara terpecah. Daeng Bahar
pun tahu menggunakan kesempatan itu. Sedetik
kelengahan Kertanegara memang sangat fatal akibatnya.
Sebuah sabetan pedang ikan pari itu telah berhasil
singgah menggores bahunya.
Bukan main kagetnya Kertanegara menyadari dirinya
telah terluka. Meski hanya sebuah goresan.
Daeng Bahar Kertanegara. bertolak pinggang di hadapan "Tidak ada yang dapat selamat dari racun pedang
pariku", berkata Daeng Bahar sambil tertawa panjang.
Apa yang dikatakan Daeng Bahar memang bukan
sebuah gertakan. Terlihat Kertanegara merasakan hawa
dingin di sekujur tubuhnya. Tubuhnya mulai terlihat
limbung. Sebuah bayangan muncul seperti terbang dari
lambung kanan kapal kayu. Bayangan itu pun begitu
cepatnya telah merangkul pinggang Kertanegara yang
hampir limbung terjatuh. Dan entah bagaimana caranya
sebuah cambuk meluncur dari tangannya menjerat
pedang pari di tangan Daeng Bahar yang masih
menganga tidak tahu apa yang terjadi. Pedang Pari lepas
dari tangannya terlempar tinggi. Dan dengan sekali
sentakan sendal pancing, pedang pari itu hancur menjadi
debu yang bertaburan jatuh.
"Nelayan bercaping !!", tidak sadar Daeng Bahar
menyebut sebuah nama. Matanya menatap seseorang
yang berdiri di hadapannya seperti melihat malaekat
pencabut nyawa, penuh rasa takut yang sangat. Orang
71 yang berdiri di hadapan Daeng Bahar memang
berpakaian nelayan. Setengah wajahnya tertutup caping
bambu. "Untuk kedua kalinya kuampuni jiwamu, pergilah",
berkata orang bercaping itu kepada Daeng Bahar.
Seperti tikus yang terjebak lama di dalam air, Daeng
Bahar dengan penuh ketakutan mundur perlahan diikuti
semua anak buahnya meloncat ke kapal kayu miliknya.
Perlahan orang bercaping itu merebahkan tubuh
Kertanegara yang sudah tidak sadarkan diri lagi. Terlihat
orang bercaping itu memijat beberapa urat di beberapa
tubuh Kertanegara. Kemudian dari balik bajunya
mengeluarkan sebuah kayu berwarna hitam sebesar
telunjuk jari. Sebuah kayu aji besi keling yang sangat
langka. Beberapa penumpang dan awak kapal yang
pernah mendengar cerita mengenai kayu aji besi keling
itupun seperti melihat hantu, tidak percaya bahwa pusaka
itu memang ada. Dan orang bercaping itu terlihat
menempelkan kayu aji besi keling itu tepat di bahu
Kertanegara yang terluka. Para penumpang dan
beberapa awak kapal yang masih tersisa matanya seperti
terbelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya,
kayu aji besi keling itu seperti lintah menempel di bahu
Kertanegara tanpa disentuh lagi oleh orang bercaping itu.
Dan tidak lama kemudian kayu aji besi keling itupun jatuh
dengan sendirinya. Terlihat orang bercaping itu
sepertinya menarik napas panjang.
Tanpa berkata-kata, orang bercaping itu mengangkat
tubuh Kertanegara di bahunya. Sebagaimana kemunculannya, orang bercaping itupun berkelebat
melompat ke sisi lambung kanan kapal. Para penumpang
dan lima orang awak kapal masih melihat sebuah jukung
meluncur dari sisi kanan kapal kayu semakin menjauh.
72 Orang bercaping itu terlihat duduk di atas jukung itu.
Jukung itu pun tidak terlihat lagi masuk ke sebuah sungai
kecil terhalang akar-akar kayu dan rindangnya
pepohonan. Jauh di pedalaman hutan Porong, di tepian sungai
yang bening dan berbatu, sebuah gubuk sederhana
berdiri di atas batu cadas. Atapnya tertutup daun dan
ranting kering yang terhubung dan terikat di empat pohon
besar sebagai tiang sekaligus pengikat dinding daun
pandan yang dianyam kasar seadanya. Sungai yang
membelah hutan itu telah diterangi matahari pagi.
Sinarnya yang lembut juga menghangatkan atap gubuk
yang terbuat dari daun dan ranting kering. Juga
menghangatkan siapapun yang ada didalamnya.
Kehangatan itulah yang membangunkan Kertanegara
yang terbaring di gubuk sederhana itu.
"Dimana aku", berkata Kertanegara ketika membuka
matanya kepada seorang yang ada didekatnya. Kerut di
wajah dan warna putih rambutnya menandakan bahwa
orang itu sudah berumur. Namun tubuhnya masih begitu
tegap kokoh dan berotot. Sangat berlawanan sekali
dibandingkan dengan wajah dan rambutnya yang sudah
putih seluruhnya. Namun sinar matanya begitu lembut
dan bening sebagaimana bayi yang baru terlahir.
"Sudah tiga hari anakmas tidak sadarkan diri",
berkata orang tua itu kepada Kertanegara.
Dan Kertanegara pun mulai mengingat segalanya.
Pertempurannya dengan pemimpin perompak, juga
teriakan yang begitu memilukan dari seorang gadis yang
Petualang Asmara 23 Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Istana Kumala Putih 9
^