Pencarian

Sang Fajar Bersinar 3

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 3


yang telah datang kemari meminta ijin kepadaku",
berkata Ki Gede masih tanpa prasangka apapun.
Kebo Arema, Kertanegara dan Wantilan saling
beradu pandang. Jawaban inilah yang ditunggu oleh
mereka. Ki Gede Banyak Wedi jelas tidak punya kaitan
apapan dengan Padepokan Alasjati.
"KiGede", berkata Kebo Arema kepada Ki Gede
dengan melepas napasnya lega dan menceritakan hal
144 yang sebenarnya, juga meminta maaf atas sikap kehatihatian terhadapnya.
"Kita memang selalu harus waspada, sikap kalian
kuanggap sesuatu yang wajar, tidak ada yang perlu
dimaafkan", berkata Ki Gede dengan senyumnya yang
tidak pernah berubah penuh keramahan.
Akhirnya, bersama Ki Gede Banyak Wedi mereka
membuat kembali rencana dan siasat yang harus mereka
lakukan. Ternyata kali ini dalam hal siasat, Kebo Arema
bertemu dengan pakarnya. "Kita harus mengetahui dengan jelas, bagaimana
keadaan Menik Kaswari dan dimana dirinya disembunyikan", berkata Ki Gede memberikan beberapa
saran serta siasat yang harus mereka lakukan.
"Agar tugas kita tidak terbongkar sebelum waktunya,
untuk sementara biarlah pasukan kecil kita tetap
bermalam di hutan perbatasan", berkata Kebo Arema
yang disetujui oleh semua yang hadir.
Akhirnya, sebuah permainan apik telah siap untuk
dilaksanakan. Ternyata buah pikiran Ki Gede Banyak
wedi benar-benar cemerlang.
"Ternyata aku berhadapan dengan mantan
penasehat Sri Maharaja", berkata Kebo Arema kepada Ki
Gede Banyak Wedi mengakui kecemerlangan pikirannya
mengatur persiapan sebelum dan menjelang penyerangan Padepokan Alasjati.
Dan ketika matahari tengah merayap berdiri di
puncaknya, beberapa wanita keluar menyediakan begitu
banyak hidangan dan minuman.
"Mudah-mudahan tidak jauh rasanya dengan juru
masak istana", berkata Ki Gede Banyak Wedi membuka
145 ucapan mempersilahkan tamu-tamunya
hidangan yang telah disediakan.
menikmati "Juru masak yang baik adalah yang tahu kapan
menyajikan sebuah hidangan", berkata Kebo Arema
sambil menyelesaikan sisa rujak degan muda yang
masih ada dihadapannya. "Dan tamu yang baik adalah yang tidak menyisakan
setetes pun minuman yang diberikan oleh tuan rumah",
berkata Wantilan yang melihat Kebo Arema sudah
menyelesaikan rujak degannya.
Setelah menyelesaikan hidangan berupa makanan
dan minuman yang menyegarkan. Mereka pun kembali
berbincang-bincang. Banyak dan ada saja yang dapat
diperbincangkan, mulai seputar rencana utama mereka
merebut kembali Menik Kaswari yang masih berada di
Padepokan Alasjati, perbincangan pun meluas ke
seputar keamanan perairan Sungai Brantas sebagai jalur
perdagangan yang penting bagi perkembangan
Singasari. Dan waktu sepertinya berlalu tanpa terasa, ditambah
dengan teduhnya suasana pendapa yang terlindung dari
terik matahari karena berdiri antara banjar Desa dan
pendapa utama sebuah pohon beringin besar dengan
banyak anak cabangnya menjulur di segala tempat
merindangi apapun yang ada dibawahnya.
"Pangeran harus menginap di rumahku, mau ditaruh
dimana mukaku kepada Sri Maharaja bila membiarkan
Pangeran tidur di hutan", berkata Ki Gede Banyak Wedi
kepada Kertanegara. "Songenep", berkata Kertanegara sambil melirik
kepada Kebo Arema yang tersenyum.
146 "Songenep tempat Dewa Malam tertidur itukah yang
Pangeran maksudkan?", bertanya Ki Gede Banyak Wedi
yang juga pernah mendengar tentang dongeng Dewa
malam. "Benar, Songenep tempat dewa malam tertidur",
berkata Kertanegara kepada Ki Banyak Wedi
membenarkan. "Sebuah nama yang baik, sebuah tempat singgah
yang baik. Tanah perdikan baru ini masih belum memiliki
sebuah nama", berkata Ki Banyak Wedi sambil berulangulang menyebut sebuah kata: "Songenep".
"Tanah Perdikan Songenep !!", berkata Kertanegara
menyambung ucapan Ki Gede.
"Terima kasih, Pangeran orang pertama yang
menyebut nama bagi tanah perdikan ini. Aku akan
membuat sebuah perayaan besar untuk lahirnya sebuah
nama bagi tanah perdikan ini. Tetapi setelah urusan
utama kita selesai", berkata Ki Banyak Wedi seperti
mendengar suara bayi anak pertamanya yang terlahir,
penuh dengan wajah suka dan cita.
Dan waktu memang tidak pernah terlahir untuk
kembali. Waktu terus berjalan melahirkan hari baru.
Pagi itu matahari belum menampakkan dirinya
penuh. Ujung-ujung rumput liar masih basah. Wajah pagi
masih buram dan dingin. Terlihat dua orang tengah
berjalan menyusuri tanah di udara pagi yang sejuk. Arah
perjalanan mereka terlihat menjauh meninggalkan Tanah
Perdikan Ki Gede Banyak Wedi ke arah utara.
Setelah terlihat lebih jelas wajah kedua orang itu.
Tahulah kita bahwa ternyata kedua orang yang berjalan
itu adalah Wantilan dan Sembaga. Mereka tengah
147 menuju Padepokan Alasjati.
Wantilan dan Sembaga telah keluar dari Tanah
Perdikan, sesuai dengan arahan dari Ki Gede Banyak
Wedi, maka tidak ada kesulitan arah perjalanan mereka.
"Kita sudah ada dibawah kaki gunung kembar",
berkata Wantilan kepada Sembaga sambil menunjuk ke
sebuah arah dimana di depan mereka terlihat dua buah
bukit berjajar tinggi menjulang hijau.
Mereka pun terus berjalan mendekati gunung kembar
sesuai petunjuk dari Ki gede Banyak Wedi. Hingga
akhirnya mereka menemui sebuah tanah lapang luas
penuh tumbuhan ilalang. Disana mereka menemui tiga
buah lingga dan sebuah altar batu pemujaan di
depannya. Dari altar pemujaan mereka mencari pohon sungkai
sebagai patok arah menuju Padepokan Alasjati. Akhirnya
Wantilan dan Sembaga melihat bersama sebuah pohon
sungkai berdiri menjulang tinggi sekitar 200 meter dari
altar batu dimana mereka berdiri.
"Padepokan Alasjati tidak jauh lagi", berkata Wantilan
kepada Sembaga sambil berjalan mendekati pohon
Sungkai sebagai patok arah kemana mereka harus
menuju. Matahari sudah hampir berada dipuncaknya,
manakala Wantilan dan Sembaga telah berada di depan
gerbang sebuah Padepokan. Seorang penjaga dari atas
panggungan telah melihat mereka. Terlihat orang itu
turun dari panggungan dan menemui Wantilan dan
Sembaga. "Maaf, apakah aku tidak salah langkah. Inikah
Padepokan Alsjati?", bertanya Wantilan kepada penjaga
148 itu. "Tidak salah lagi, Kisanak sudah ada di depan pintu
gerbangnya", berkata Penjaga itu dengan mata penuh
selidik. "Sykurlah kami tidak salah langkah. Bolehkah kami
masuk bertemu dengan pimpinan Padepokan ini?",
berkata Wantilan dengan ramah .
"Ada kepentingan apa kisanak datang menemui
pimpinan kami?", bertanya penjaga itu masih dengan
mata penuh selidik. "Aku pedagang kuda, mungkin pimpinanmu
membutuhkan banyak kuda", berkata Wantilan kepada
penjaga itu yang langsung manggut-manggut mempercayai ucapan Wantilan yang berpenampilan saat
itu layaknya seorang pedagang besar.
"Tunggulah sebentar disini, aku akan bicara pada
pimpinanku, apakah beliau berkenan menerima kisanak",
berkata penjaga itu langsung meninggalkan mereka.
Wantilan dan Sembaga tidak begitu lama menunggu.
Penjaga itu telah datang kembali.
"Nasib kisanak lagi bagus, pimpinan kami berkenan",
berkata penjaga itu dengan senyum penuh arti. "Wani
piro ?", berkata penjaga itu sambil membuat sebuah
isyarat dengan jari-jarinya.
"Aku tidak akan melupakanmu", bisik Wantilan pelan
kepada penjaga itu. Wantilan dan Sembaga diantar penjaga itu menemui
pimpinan mereka di Pendapa utama.
Wantilan dan Sembaga telah tiba di Pendapa.
Seorang yang sudah berumur namun masih tegap
149 menyambut kedatangan mereka. Setelah memperkenalkan dirinya dan Sembaga yang dikatakannya sebagai
"bujangnya", Wantilan menyampaikan tujuannya menawarkan beberapa ekor kuda.
"Kuda kami ini asli dari Pajajaran", berkata Wantilan
layaknya seorang pedagang kepada pimpinan Pedepokan itu yang memperkenalkan dirinya bernama
Datuk Alasjati. "Dari mana kalian mengetahui bahwa kami
memerlukan beberapa ekor kuda?", bertanya Datuk
Alasjati bertanya kepada Wantilan.
"Telinga pedagang lebih panjang dari orang biasa",
berkata Wantilan bergaya pedagang sungguhan.
"Kepada Datuk Alasjati, aku berikan harga perkenalan.
Sebut saja berapa ekor kuda yang Datuk butuhkan",
kembali Wantilan menawarkan dagangannya.
Lama Datuk Alasjati berpikir panjang. Terutama
tentang "harga perkenalan" yang ditawarkan Wantilan
kepadanya. "Aku butuh lima ekor kuda", berkata Datuk Alasjati
setelah berpikir agak lama.
"Kami akan datang dengan lima ekor kuda, tiga hari
setelah hari ini", berkata Wantilan memberikan keputusan
setelah "sepakat" mengenai harga.
"Bayaran akan aku berikan setelah lima ekor kuda
datang", berkata Datuk Alasjati kepada Wantilan.
"Urusan jual beli kuda sudah selesai, bolehkah aku
menawarkan hal lain?" bertanya Wantilan kepada Datuk
Alasjati. "Apalagi yang akan kamu tawarkan", berkata Datuk
Alasjati yang maklum bahwa semua pedagang tidak
150 hanya cuma punya satu barang yang diperdagangkan.
"Aku tidak menawarkan barang. Yang kutawarkan
apakah Datuk membutuhkan seorang pekatik?", bertanya
Wantilan kepada Datuk Alasjati yang salah tebak,
Wantilan tidak menawarkan barang dagangan, tapi
seorang pekatik. "Seorang pekatik?", balik bertanya Datuk Alasjati
"Dirumahku ada seorang anak yang masih muda
belia, anak keponakanku. Seorang anak yang rajin,
terutama untuk urusan merawat kuda. Hampir semua
kuda daganganku tidak ada yang sakit dirawat oleh anak
itu. Sayangnya istriku tidak menyukainya", berkata
Wantilan mengarang sebuah cerita mengenai pekatik
yang masih muda belia. "Ceritamu mengenai seorang pekatik memang
mengesankan, sampai saat ini memang aku belum
punya seorang pekatik khusus. Bawalah anak itu
bersama dengan kuda yang kamu jual", berkata Datuk
Alasjati kepada Wantilan menerima tawaran seorang
pekatik. "Berkenalan dengan Datuk memang sangat
menyenangkan", berkata Wantilan kepada Datuk Alasjati.
"Semoga hubungan dagang kita dapat berlanjut,
dimana aku dapat menghubungimu?", bertanya Datuk
Alasjati ketika Wantilan dan Sembaga mohon pamit.
"Aku tinggal tidak jauh dari Pasar Kali Anget, semua
orang disitu pasti mengenalku", berkata Wantilan yang
asal sembarang menyebut sebuah nama suatu tempat.
"Kami menunggu janjimu, tiga hari setelah hari ini",
berkata Datuk Alasjati kepada Wantilan yang ikut
mengantar sampai kebawah pendapa utama.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

151 Seorang penjaga membukakan pintu gerbang sambil
berbisik pelan, "Wani piro?"".
"Tiga hari lagi aku akan datang kembali, aku tidak
akan melupakanmu", berkata Wantilan menepuk
perlahan pundak penjaga itu.
Hari sudah hampir senja ketika Wantilan dan
Sembaga masuk kedalam kelamnya hutan Mading.
Sebagai seorang pengembara, mereka tidak salah arah
meskipun kegelapan malam didalam hutan begitu pekat.
Mereka terus berjalan sambil melihat arah bintang
menuju Tanah Perdikan Ki Gede Banyak Wedi.
Bintang subuh bersinar di ufuk timur sebagai tanda
pagi akan segera menjelang. Wantilan dan Sembaga
telah sampai di ujung batas Tanah Perdikan. Sebuah
gardu ronda yang mereka lewati telah sepi ditingalkan
perondanya. Wantilan dan Sembaga langsung menuju ke
Banjar desa. Ketika tiba di banjar Desa, dua orang pengawal
Tanah Perdikan terbangun melihat kedatangan mereka.
"Biarlah kami menunggu pagi di sini, takut
mengganggu tidurnya Ki Gede", berkata Wantilan kepada
para pengawal tanah Perdikan yang sudah mengenalnya. "Hitung-hitung menggantikan kami, istirahatlah kalian
disini", berkata salah seorang pengawal tanah perdikan
yang telah bersiap untuk pulang kerumahnya.
Wantilan dan Sembaga berbaring di panggung Banjar
Desa melepaskan rasa penat setelah setengah hari tidak
berhenti berjalan di kegelapan malam.
Pagipun telah datang bersama sang fajar matahari
memberi kehangatan dan membangunkan seluruh
152 kehidupan di bumi Tanah Perdikan. Suara kicau burung
dan tawa para bocah bermain bertelanjang dada di
sekitar banjar desa telah membangunkan Sembaga dan
Wantilan. Sambil melambaikan tangannya kepada Kebo
Arema, Kertanegara dan Ki Gede yang tengah duduk di
pendapa, Wantilan dan Sembaga langsung ke Pakiwan
membersihkan diri. Tidak lama kemudian mereka sudah
kembali bergabung bersama di pendapa utama.
Setelah meneguk sedikit minuman hangat yang telah
disediakan untuknya, Wantilan melaporkan hasil
perjalanan mereka. Mulai dari jarak Padepokan Alasjati,
pembicaraan mereka tentang jual beli kuda sampai
bagian terakhir tentang seorang pekatik.
"Lain waktu aku minta ganti peran, aku jadi pedagang
besar dan Wantilan sebagai pembantuku", berkata
Sembaga mengerutu sambil meneguk minuman hangat
di depannya. "Mengapa harus demikian?", bertanya Kebo Arema
kepada Sembaga. "Aku tidak kerasan berperan sebagai burung pelatuk
yang hanya manggut-manggut tidak berkata sepatahpun", berkata Sembaga yang disambut tawa
semua yang mendengarnya sambil memandang
Sembaga masih dengan wajah semburat masam.
"Mahesa Amping harus mempersiapkan
sebagai seorang pekatik", berkata Wantilan.
dirinya "Juga pesanan lima ekor kuda ", berkata Kebo Arema
sambil memandang Ki Gede Banyak Wedi.
"Lima Ekor kuda akan kupersiapkan", berkata Ki
Banyak Wedi mengerti apa yang menjadi kewajibannya.
153 "Semoga semua sesuai dengan rencana", berkata
Kertanegara yang merasa puas dengan hasil kerja
Wantilan dan Sembaga. "Dari mana Ki Gede mengetahui bahwa disana
memang memerlukan beberapa ekor kuda?", berkata
Wantilan kepada Ki Gede. "Naluri seorang yang memiliki harta mendadak.
Pikirkan dirimu sendiri yang tiba-tiba mendadak diberikan
sekampil emas, pasti yang terpikir pertama kali adalah
kuda yang terbaik yang belum dimiliki oleh orang-orang
di sekitarmu", berkata Ki Gede menjelaskan kepada
Wantilan. "Pemahaman Ki Gede mengenai naluri seorang
manusia memang perlu diacungkan sebuah jempol",
berkata Wantilan yang paham setelah mendengar
penjelasan dari Ki Gede. Hari itu juga Mahesa Amping dan Raden Wijaya telah
dipanggil datang ke Tanah Perdikan untuk mendapatkan
penjelasan lebih rinci mengenai tugas-tugasnya sebagai
seorang pekatik. Sementara Raden Wijaya dapat sebuah
tugas sebagai penghubung selama Mahesa Amping
bertugas di dalam Pedepokan Alasjati.
"Perkenalkan ini putraku bernama lawe", berkata Ki
Banyak Wedi kepada Mahesa Amping dan Raden Wijaya
memperkenalkan putranya yang seusia dengan mereka.
"Ajaklah teman-temanmu ini mengenal Tanah
Perdikan", berkata Ki Gede kepada Lawe putranya.
Lawe seorang putra yang sopan dan mudah bergaul.
Dalam waktu dekat sudah menjadi akrab. Sebagaimana
perintah ayahnya. Lawe membawa Mahesa Amping dan
Raden Wijaya berkeliling tanah perdikan.
154 Bukan main kagumnya Raden Wijaya melihat tata
cara pembangunan Tanah Perdikan. Rumah-rumah
dibangun tanpa merubah kultur tanah yang ada. Justru
bentuk sawah dan rumah mengikuti kultur tanah yang
ada. Diatas tanah tinggi, tiang dipendekkan, sementara
diatas tanah datar tiang rumahlah yang ditinggikan.
Seperti itu pula letak sawah ladang yang di Tanah
Perdikan, menyesuaikan asli kultur tanah yang ada.
Ternyata Ki Gede Banyak Wedi memegang kuat budaya
hutan larangan. "Yang panjang jangan dipendekkan, yang pendek
jangan dipanjangkan, itulah adat budaya hutan larangan
yang harus kami pegang kuat-kuat", berkata Lawe
menjelaskan mengenai bentuk rumah dan sawah lading
yang ada di Tanah Perdikan sebagaimana yang
diajarkan oleh ayahnya penguasa adat Tanah Perdikan.
Hari yang dijanjikan Wantilan akhirnya datang juga.
Lima ekor kuda berjalan menyusuri bulak panjang
keluar dari Tanah Perdikan. Tanah dan rumput yang
terinjak kaki-kaki kuda masih basah embun. Warna pagi
memang masih suram, cahaya fajar belum muncul di
timur cakrawala. Pagi memang masih begitu buram, sepi
dan dingin. Tapi udara pagi saat itu begitu menegarkan.
Ketika wajah cahaya matahari mulai muncul, lima
orang yang berkuda itu wajahnya menjadi nampak jelas.
Ternyata mereka adalah Wantilan, Sembaga, Mahesa
Semu, seorang prajurit anak buah Ki Rangga Bangkalan
dan seorang yang masih muda belia berkuda paling
depan yang tidak lain adalah Mahesa Amping.
Hari itu mereka menuju Padepokan Alas Jati sesuai
janji Wantilan untuk membawa lima ekor kuda. Tidak ada
hambatan dalam perjalanan mereka. Bahkan dengan
155 berkuda jarak perjalanan mereka menjadi lebih pendek
lagi. Matahari sudah mulai mendaki merayapi cakrawala
langit biru yang dipenuhi gumpalan awan kapas putih
berubah-rubah bentuk seiring desiran angin yang bertiup.
Kadang awan putih melukiskan diri sebagai gambar kuda
yang berlari, kadang bergambar sebuah bejana air yang
pecah terbelah. Semua itu tidak pernah terlepas dari
pandangan Mahesa Amping yang berkuda paling depan.
Mahesa Amping sepertinya menikmati perjalanannya.
Tidak sedikit pun kecemasan terlihat dalam warna
wajahnya. Akhirnya, mereka sudah sampai di depan gerbang
regol Padepokan Alasjati.
Seorang penjaga dari panggungan melihat kehadiran
mereka. Wantilan melambaikan tangannya kepada
penjaga itu yang sudah dikenalnya. Penjaga itu pun
membuka pintu gerbang. "Tunggulah sebentar, aku akan mengabarkan
kedatangan kalian kepada Datuk Alasjati", berkata
penjaga itu kepada Wantilan yang memintanya
menunggu sebentar. Tidak lama kemudian penjaga itu
telah datang bersama Datuk Alasjati dan dua orang
cantrik Padepokan Alasjati.
"Kuda yang bagus!!", berkata Datuk Alasjati
memandang lima ekor kuda yang dibawa Wantilan
dengan wajah puas. "Aku tidak pernah mengecewakan langgananku",
berkata Wantilan kepada Datuk Alasjati.
"Apakah kamu juga membawa seorang pekatik",
bertanya Datuk Alasjati memanda empat orang yang
156 datang bersama Wantilan. "Inilah keponakanku. Mudah-mudahan tidak mengecewakan Datuk", berkata Wantilan sambil
menggandeng Mahesa Amping memperkenalkan kehadapan Datuk Alasjati.
"Namanya Suro", berkata Wantilan memperkenalkan
Mahesa Amping bernama Suro.
Sekilas Datuk Alasjati memandang Mahesa Amping.
Kagum melihat tubuh Mahesa Amping yang kekar berotot
sebagai tanda bahwa anak itu memang suka bekerja
keras. "Bawa kuda-kuda itu, antar juga anak ini ke biliknya",
berkata Datuk Alasjati kepada dua orang cantriknya.
"Mari kita ke pendapa", berkata Datuk Alasjati
mengajak Wantilan ke pendapa untuk menyelesaikan
masalah pembayaran mereka.
"Terima kasih, semoga hubungan kita dapat
berlanjut", berkata Wantilan ketika menerima pembayaran atas lima ekor kuda dari Datuk Alasjati.
Datuk Alasjati mengantar Wantilan dan kawankawannya sampai dibawah tangga pendapa.
"Aku titip keponakanku Suro", berkata Wantilan
kepada Datuk Alasjati ketika pamitan akan meninggalkan
Padepokan Alasjati. Kepada penjaga sebagaimana janjinya, Wantilan
menyelipkan sekeping emas ditangannya. Bukan main
gembiranya penjaga itu. "Terima kasih banyak", berkata penjaga itu sepertinya
tidak percaya akan menerima imbalan sekeping emas.
Dan Wantilan bersama kawan-kawannya telah 157 berjalan jauh meninggalkan Padepokan Alasjati.
Sementara Mahesa Amping tinggal seorang diri.
"Mulai hari ini tugasmu mengurus semua kuda yang
ada di sini", berkata seorang penghuni Padepokan
sepertinya orang kepercayaan Datuk Alasjati, terlihat dari
sikap beberapa penghuni lainnya yang sangat
menghormatinya. Hari pertama itu tidak banyak yang dikerjakan oleh
Mahesa Amping selain membersihkan kandang kuda
yang sepertinya tidak terurus dengan baik. Dengan
cekatan Mahesa Amping membakar sisa sisa rumput
kering yang banyak tergeletak dan dibiarkan begitu saja.
Kandang kuda itu sendiri terletak di belakang
Padepokan Alasjati. Ada bilik kecil di sebelah kandang itu
yang sepertinya tidak pernah dipakai. Di bilik itulah
Mahesa Amping dipersilahkan untuk menghuninya
sebagai seorang pekatik. Agak ke tengah di belakang
gandok itu ada sebuah pintu kecil. Mahesa Amping
melihat seorang keluar dan kembali dari pintu itu
membawa bumbung bambu panjang untuk mengisinya
dengan air. Mahesa Amping menyempatkan dirinya
membuka pintu kecil itu. Ternyata di belakang
Padepokan itu mengalir sebuah sungai kecil yang jernih.
Hari itu adalah pagi pertama Mahesa Amping sebagai
seorang pekatik di Padepokan Alasjati. Pagi masih basah
dan dingin. Mahesa Amping terlihat keluar dari
Padepokan Alasjati menuntun seekor kuda mencari
rumput segar. Ketika matahari pagi sudah mulai merayap
naik, Mahesa Amping telah kembali bersama tumpukan
besar rumput segar di pundak kuda yang dituntunya.
Tidak ada lagi yang dikerjakan Mahesa Amping
ketika kuda-kuda yang dipeliharanya tengah makan
158 rumput segar. Tapi Mahesa Amping sudah terbiasa
ringan tangan. Tanpa diminta telah membantu seorang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penghuni Padepokan yang tengah membelah kayu untuk
bahan bakar. "Terima kasih , kerjaku jadi cepat selesai", berkata
orang itu gembira karena pekerjaannya telah dibantu.
"Sama-sama paman, sambil menunggu kuda-kudaku
selesai makan. Masih banyak waktu sebelum
memandikan mereka", berkata Mahesa Amping kepada
orang itu. "Jadi kamu pekatik baru itu", berkata orang itu yang
memperkenalkan dirinya bernama Bahar.
"Namaku Suro", berkata memperkenalkan dirinya. Mahesa Amping "Bantu aku membawa kayu bakar ini ke dapur",
berkata Bahar meminta Mahesa Amping membawa kayu
bakar ke dapur. Ternyata orang yang memperkenalkan dirinya
bernama Bahar adalah seorang tukang masak di
Padepokan Alasjati. Mahesa Amping ikut membantu
menyalakan api di tungku.
"Datanglah kemari bila perutmu terasa lapar, tidak
perlu sungkan", berkata Bahar sambil memasukkan
beberapa batang jagung kedalam bejana besar diatas
tungku yang sudah terbakar.
"Aku pamit dulu, kuda-kudaku sudah menunggu
untuk dimandikan", berkata Mahesa Amping kepada
Bahar setelah mengisi perutnya dengan dua buah jagung
rebus dan minuman hangat yang diberikan Bahar
kepadanya. "Aku akan menyisakan jagung rebus ini untukmu",
159 berkata bahar kepada Mahesa Amping sambil meniup
api ditungku dengan sebuah puput bambu kecil. Api di
tungku itupun menjadi menyala lebih besar.
"Terima kasih Paman", berkata Mahesa Amping
sambil berjalan keluar dapur kembali ke kandang kuda.
Mahesa Amping tengah memandikan kuda-kudanya.
Tinggal satu ekor kuda lagi, maka selesailah tugasnya
hari ini. Sementara itu dengan pendengarannya yang
tajam, Mahesa Amping dapat menangkap ada suara
langkah kaki menuju ke arahnya.
Setelah dekat Mahesa Amping dapat mengenali
orang itu, yang ternyata salah seorang yang kemarin
bersamanya membawa lima ekor kuda ke kandangnya.
"Antarkan dua ekor kuda ke depan Pendapa, Datuk
Alasjati ingin berjalan-jalan dengan kudanya", berkata
orang terus berlalu meninggalkan Mahesa Amping
sendiri. Terlihat Mahesa Amping menuntun dua ekor kuda
menuju pendapa. Di pendapa telah menanti Datuk
Alasjati dan seorang kepercayaannya. Mahesa Amping
menyerahkan kuda-kudanya.
Mahesa Amping masih sempat melihat Datuk Alasjati
dan orang kepercayaannya dengan kudanya telah
melewati regol pintu gerbang Padepokan.
Sambil menunggu kembali kuda-kudanya, Mahesa
Amping meihat-lihat sekitar Padepokan. Selain bangunan
utama, di kiri-kanan Padepokan itu berdiri berjejer barak
panjang. Memang ada beberapa orang yang pergi
berladang jagung di belakang Padepokan. Namun
sebagian lagi sepertinya tidak mempunyai kegiatan lain
selain duduk-duduk berkumpul. Sangat jauh berbeda
160 dengan keadaan di Padepokan Bajra Seta dimana
semua penghuninya bersama saling membantu dan
bekerja. Mahesa Amping melihat bahwa sebagian
penghuninya adalah orang-orang kasar.
Mahesa Amping mengelilingi Padepokan Alasjati.
Tidak kembali ke biliknya, tapi mampir kedapur.
Dilihatnya Bahar tengah memipil jagung, melepaskan biji
jagung dari tongkolnya. Mahesa Amping ikut
membantunya. "Aku perhatikan, tidak semua penghuni Padepokan
ini bekerja di ladang", berkata Mahesa Amping berharap
ada penjelasan dari Bahar.
Bahar memandang Mahesa Amping dengan
tersenyum, tapi matanya seperti memandang kekosongan. "Aku dan mereka yang bekerja di sini
adalah para budak belian, sementara mereka yang
hanya duduk, makan dan bermabuk-mabukan tiap hari
adalah penghuni Padepokan ini yang sebenarnya",
berkata Bahar kepada Mahesa Amping.
Matahari sudah jauh tinggi hampir dipuncaknya,
Mahesa Amping melihat Datuk Alasjati dan orang
kepercayaannya telah kembali bersama kudanya.
Terlihat Mahesa Amping berlari menjemput tali-tali
kuda. Datuk Alasjati yang baru kali ini dilayani oleh
seorang pekatik tersenyum memandang Mahesa Amping
yang tanggap menjura penuh hormat layaknya seorang
pekatik sungguhan. Mahesa Amping membawa dua ekor kuda kembali ke
kandangnya, setelah itu kembali membantu Bahar
menjemur biji jagung. "Tolong kamu antar hidangan ini ke gandok tengah",
161 berkata Bahar meminta Mahesa Amping mengantar
hidangan yang telah disiapkan ke Gandok tengah.
Terlihat Mahesa Amping membawa hidangan ke
Gandok tengah. Di pintu Gandok itu ada seorang
penjaga. Berdebar jantung Mahesa Amping, berpikir pasti
ada orang penting di kamar itu.
"Langsung antar sana ke dalam", berkata penjaga
yang berwajah brewok bertubuh tambur membukakan
kunci Gandok. Pintupun terbuka, Mahesa Amping masuk kedalam
Gandok tengah itu dengan perasaan berdebar. Dugaan
Mahesa Amping ternyata benar, seorang wanita tengah
duduk mendekap kedua kakinya, dagunya tengah
disandarkan pada kedua puncak dengkulnya. Pandangan gadis itu seperti kosong, sampai kehadiran
Mahesa Amping tidak diperhatikan.
Mahesa Amping meletakkan hidangan di meja yang
ada dipojok kamar. Sebelum keluar memandang
sebentar gadis didepannya dengan perasaan iba.
"Pangeran Kertanegara titip salam untukmu", berkata
Mahesa Amping perlahan kepada gadis itu yang tidak
lain adalah Menik Kaswari.
Mendengar ucapan Mahesa Amping, wajah Menik
Kaswari tiba-tiba berubah. Sebelum gadis itu
mengucapkan kata-kata apapun, Mahesa Amping
memberi tanda agar Menik Kaswari tetap diam.
Mahesa Amping keluar dari kamar itu, seorang
penjaga langsung mengunci kembali pintu kamar.
Mahesa Amping kembali ke dapur menemui Bahar
menyampaikan bahwa ia telah mengantarkan hidangan
ke Gandok tengah tanpa bercerita tetang gadis yang
162 ditemui di gandok itu. "Aku akan kekandang kuda, menutupi rumput agar
tidak terlalu kering", berkata Mahesa Amping kepada
Bahar. Sampai datangnya senja tidak ada yang dikerjakan
Mahesa Amping selain memilih rumput yang masih
segar, memasukkannya di tempat makanan kuda.
Beberapa rumput kering dikumpulkan dan dibakar di
depan biliknya Malampun akhirnya datang. Mahesa Amping sudah
naik ke pembaringannya. Pikirannya masih tertuju pada
Menik Kaswari yang terkurung di Gandok tengah.
"Kasihan gadis itu", berkata Mahesa Amping seorang
diri diri. Akhirnya rasa kantuk memaksanya tertidur nyenyak
setelah seharian bekerja sebagai seorang pekatik.
Pagipun akhirnya datang kembali, ditandai dengan
bersahut-sahutannya suara ayam jantan bersama suara
kicau burung yang hinggap diatas dahan pohon.
Terlihat Mahesa Amping tengah menuntun seekor
kuda lengkap dengan sebuah arit dan garpu di
tangannya. Sengaja Mahesa Amping mencari rumput agak jauh
dari Padepokan Alasjati. Ketika terkumpul setumpuk
besar ruput segar, Mahesa Amping bermaksud
meninggalkan tempat itu untuk kembali. Tapi
pendengarannya yang tajam menangkap sesuatu.
Mahesa Amping sengaja tidak menoleh dan terus
bekerja. "Baru punya jabatan seorang pekatik saja sudah
begitu sombong", berkata seseorang dari arah belakang
163 Mahesa Amping. Suara yang sangat dikenalnya.
Mahesa Amping berbalik badan.
Dihadapannya bertolak pinggang dua orang pemuda
seusianya yang tidak lain adalah Raden Wijaya dan
Lawe. Dibelakang mereka menggendong sebuah
keranjang berisi jamur dan akar obat-obatan. Rupanya
mereka tengah menyamar sebagai pembantu tabib
mencari bahan obat di hutan.
"Kalian jangan terlalu lama disini, katakan bahwa aku
telah menemui Menik Kaswari masih dalam keadaan
selamat" berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya
dan Lawe. "Dan ini denah Padepokan itu", berkata Mahesa
Amping sambil menggambar denah padepokan diatas
tanah sambil menjelaskan apa saja yang digambarkannya. "Disinilah letak pintu belakang", berkata
Mahesa Amping menjelaskan.
Akhirnya mereka sepakat bertemu di tempat yang sama.
untuk berpisah dan "Besok disaat yang sama aku menunggu kalian di
sini", berkata Mahesa Amping sambil menumpuk rumput
di atas pundak kudanya. Mahesa Amping kembali ke Padepokan Alasjati,
sementara Raden Wijaya dan Lawe kembali ke Tanah
Perdikan. "Saat ini pasti Mahesa Amping tengah membersihkan
kandang kudanya", berkata Raden Wijaya kepada Lawe
ketika mereka berjalan sudah cukup jauh.
"Ternyata Mahesa Amping dapat memerankannya",
berkata Lawe kepada Raden Wijaya.
164 Raden Wijaya sepertinya tertawa sendiri, ada rasa
kagum kepada Mahesa Amping yang dapat melakukan
apapun, mulai dari merawat kuda, sebagai petani
disawah sampai sebagai tukang besi sekalipun. Raden
Wijaya memang pernah ditunjukkan oleh Mahesa
Amping, bagaimana membentuk sebuah pedang menjadi
begitu sempurna, ringan,kuat dan tajam.
Tapi lamunan Raden Wijaya sepertinya menjadi
buyar ketika didepannya berpapasan dengan dua orang
yang pernah di temuinya dalam perjalanannya diatas
kapal kayu. "Sepasang iblis dari Gelang-Gelang", berkata Raden
Wijaya dalam hati mengingat dua orang berjalan
mendekatinya berharap tidak mengenalnya.
Tapi harapan Raden Wijaya meleset, justru dua
orang itu mengingatnya. Tertawa dan bertolak pinggang
didepannya. "Tidak kuduga, kita bertemu dengan salah satu
bocah sombong", berkata salah seorang pemuda yang
tidak punya luka dipundaknya.
"Kita ingin tahu, apakah ia masih sombong, jauh dari
kelompoknya", berkata pemuda yang satu lagi.
Sementara Lawe yang belum mengenal dua orang
kembar ini seperti tertantang.
"Siapa kamu", berkata Lawe sepertinya tidak gentar
kepada sepasang iblis dari Gelang-gelang.
Melihat sikap Lawe, dua pemuda itu menjadi geram.
"Ditempat asalku tidak ada yang berani melotot seperti
kamu", berkata keras pemuda yang tidak punya luka
dipundaknya kepada Lawe. "Itu memang di tempat asalku, tidak berlaku disini",
165 berkata Lawe lebih keras lagi.
Mendengar ucapan Lawe, pemuda itu seperti disiram
air panas, darahnya langsung naik sampai keubun-ubun.
"Kita habisi dua anak sombong ini", berkata demikian
pemuda yang tidak punya luka dipundaknya langsung
menyerang Lawe. Sementara itu, pemuda yang satu lagi, melihat
saudaranya telah mulai menyerang dan telah memilih
lawannya. Maka pemuda itu langsung menyerang Raden


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wijaya. Terjadilah perkelahian yang seru di Hutan Mading.
Ternyata Lawe dapat mengimbangi pemuda itu.
Membalas serangan dengan serangan balik yang tidak
kalah kerasnya. Sementara itu Raden Wijaya belum
menunjukkan dirinya, tidak langsung balas menyerang.
Dengan kecepatannya bergerak Raden Wijaya banyak
mengelak dan menghindar. Masih ingin mengukur sejauh
mana tataran ilmu salah seorang pemuda yang dikenal
sebagai sepasang iblis dari Gelang-Gelang.
Pemuda kembar yang mempunyai luka dipundaknya
itu menjadi begitu bernafsu, menyangka akan dapat lebih
cepat mengalahkan lawannya itu yang hanya dapat
menghindar. Dengan sangat bernafsu telah meningkatkan tataran ilmunya secepatnya menyelesaikan perkelahiannya.
Raden Wijaya sudah dapat mengukur tataran ilmu
lawannya. Dan nampaknya telah bosan bermain. Maka
dalam sebuah serangan ia tidak berusaha menghindar,
bahkan membentur tangan pemuda itu yang tengah
meluncur menghantam leher Raden Wijaya. Dengan
melambari kekuatan ditangan kirinya dengan sedikit
tenaga cadangannya, menangkis tangan pemuda itu
166 yang telah mengerahkan sepenuh kekuatannya. Maka
terjadilah benturan yang luar biasa. Pemuda itu
merasakan tangannya seperti remuk membentur benda
keras. Raden Wijaya tidak melepaskan kesempatan itu.
Selagi pemuda itu menyeringai merasakan sakit yang
luar biasa, sebuah tamparan yang dilambari tenaga
cadangan yang kuat menghantam rahangnya. Sudah
dapat ditebak, pemuda itu merasakan bumi menjadi
gelap dan langsung rebah pingsan.
Melihat saudara kembarnya telah dikalahkan oleh
lawannya, pemuda yang tengah menghadapi Lawe
menjadi agak panik. Tidak menyangka bahwa pemuda
belia yang ditemuinya di atas kapal itu yang disangkanya
begitu lemah ternyata mempunyai tataran ilmu lebih
tinggi melampau orang-orang yang mengalahkan
kelompok Hantu Wungu. Sementara pemuda yang
dihadapinya juga tidak mudah untuk dikalahkannya.
Mendapat pemikiran seperti itu, maka hanya satu
jurus yang harus dikeluarkannya saat itu, tidak lain jurus
langkah seribu. Pemuda itu tiba-tiba saja bersalto dua kali mundur ke
belakang, dan langsung melejit menghilang di kegelapan
hutan yang lebat. Ketika melihat lawannya pergi, Lawe bermaksud
mengejarnya. Tapi Raden Wijaya mencegahnya.
"Jangan dikejar, orang itu dapat berbuat licik di
kelebatan rimba", berkata Raden Wijaya mengingatkan
Lawe untuk tidak mengejar.
Sementara itu, salah satu saudara kembar itu masih
tergeletak pingsan. Raden Wijaya dan Lawe segera
mengikat tangan dan kakinya. Karena menunggu lama
tidak juga siuman, terpaksa Raden Wijaya dan Lawe
167 mengangkat dan membawanya dengan sebatang kayu
panjang, persis seperti membawa binatang hasil buruan.
Dengan membawa tawanan yang masih pingsan itu,
perjalanan Raden Wijaya dain Lawe jadi sedikit
terhambat. Menjelang sore, ketika matahari sudah turun
setengah dari puncaknya mereka baru sampai di Tanah
Perdikan. Raden Wijaya dan Lawe langsung bercerita tentang
berita dari Mahesa Amping. Juga tentang sepasang iblis
dari Gelang-gelang. "Letakkan orang ini di kamar banjar desa, jaga dan
awasi dengan ketat", berkata Ki Gede kepada salah
seorang pengawal tanah perdikan.
Ki Gede dan Kebo Arema beserta rombongannya
kembali membuat berbagai siasat dan perhitungan
sesuai dengan berita terakhir yang diterima dari Mahesa
Amping lewat Raden Wijaya dan Lawe.
"Serangan kita harus serempak, dari luar dan dalam",
berkata Ki Gede Banyak Wedi menyampaikan
gagasannya. Dengan rinci Ki Gede menyampaikan
gagasan dan siasatnya. "Raden Wijaya dan Lawe harus dapat menyusup ke
dalam Padepokan Alasjati, membantu Mahesa Amping
melakukan penyelamatan Menik Kaswari", berkata Ki
Gede dengan rinci menyampaikan gagasan dan
siasatnya. "Aku seperti berhadapan dengan seorang panglima
perang", berkata Kebo Arema kagum atas gagasan dan
siasat dari Ki Gede. "Aku pernah belajar dengan seorang ahli siasat
paling hebat di Bumi Singasari", berkata Ki Gede.
168 "Siapa?", bertanya Kertanegara penasaran ingin tahu
siapa orangnya yang menjadi guru siasat dari Ki Gede.
"Mahesa Agni", berkata Ki Gede perlahan.
Kertanegara manggut-manggut membenarkan apa
yang dikatakan oleh Ki Gede. Melalui ayahnya
Kertanegara pernah diceritakan bagaimana dengan
kesabaran Mahesa Agni menyusun tahap demi tahap
usahanya memenangkan keponakannya Anusapati dari
kubu Tohjaya. Termasuk usaha penyelamatan ayahnya
dan Ratu Anggabhaya ketika masih kecil dimana Ki Gede
Banyak Wedi ikut didalamnya.
"Penyerangan kita lakukan di saat hari menjelang
fajar", berkata Ki Gede mumutuskan waktu yang tepat
untuk melaksanakan siasatnya.
"Serangan fajar", berkata Kebo arema menyetujui
gagasan dan siasat itu. "Aku akan membawa sepuluh pengawal tanah
perdikan yang terbaik", berkata Ki Gede.
"Kapan kita lakukan serangan ini?", bertanya
Kertanegara yang sepertinya tidak sabar untuk segera
mengeluarkan Menik Kaswari dari Padepokan Alasjati.
"Lebih cepat lebih baik", berkata Ki Gede.
Dan malam pun kembali datang. Sebagian
rombongan yang masih didalam hutan telah dipanggil
untuk beristirahat di Tanah Perdikan. Mereka adalah
Mahesa Semu, Bhaya, Ki Rangga Bangkalan serta lima
orang prajuritnya. Sang Dewa Malam masih berjaga menyelimuti Tanah
Perdikan dengan kegelapannya. Sementar itu Sang Fajar
sepertinya sudah begitu jemu menunggu saat dan waktu
bertahta di atas cahayanya. Akhirnya penantian itu
169 datang juga, seiring dengan berjalannya sang waktu.
Sementara itu, jauh sebelum fajar menyingsing. Dua
ekor kuda sudah jauh keluar dari Tanah Perdikan.
Mereka adalah Raden Wijaya dan Lawe yang bertugas
sebagai penghubung, membawa berita penting untuk
disampaikan ke Mahesa Amping.
Kuda mereka seperti terbang mengejar waktu.
Sang Surya sudah merayap mengintip bumi yang
masih basah oleh embun pagi. Seperti hari kemarin,
Mahesa Amping tengah menyabit rumput segar untuk
makanan kudanya. Mengikat rumput segar dalam satu
ikatan dan menumpuknya di atas kiri kanan kudanya.
Masih ada waktu menunggu Raden Wijaya dan Lawe.
Yang ditunggu akhirnya datang juga. Raden Wijaya
dan Lawe telah datang tepat waktu. Mereka datang
berjalan kaki setelah menyembunyikan kuda-kudanya di
tempat yang aman dan tidak mudah terlihat.
"Kalian datang tepat waktu", berkata Mahesa Amping
tersenyum menyambut kedatangan Raden Wijaya dan
Lawe. Raden Wijaya dan Lawe langsung menyampaikan
beberapa rencana yang akan mereka lakukan untuk
menyelamatkan dan membawa keluar Menik Kaswari
dari Padepokan Alasjati. "Peran utama kita adalah menyusup dari dalam",
berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping
"Dan menyalakan tungku api peperangan", berkata
Lawe menambahkan. "Serangan fajar", berkata Mahesa Amping mengerti
apa yang harus dilakukan.
170 "Sampai ketemu lagi wahai pekatik muda", berkata
Raden Wijaya kepada Mahesa Amping ketika mereka
berpisah sambil melambaikan tangannya.
Seperti kemarin, Mahesa Amping melakukan
kegiatan sebagaimana biasa. Membersihkan kandang
kuda, memandikan kuda serta pekerjaan yang
berhubungan dengan tugas seorang pekatik. Ketika tidak
ada yang dikerjakan, Mahesa Amping ikut membantu
Bahar di dapur. Siang itu Mahesa Amping kembali diminta mengantar
hidangan ke Gandok tengah. Seperti hari kemarin,
penjaga pintu gandok itu menyuruh Mahesa Amping
langsung masuk. Tidak seperti hari kemarin dimana
Mahesa Amping melihat Menik Kaswari tengah duduk
memeluk lututnya tidak bergairah hidup. Tapi kali ini
ketika Mahesa Amping masuk, Menik Kaswari langsung
memberondong dirinya dengan begitu banyak pertanyaan. "Pangeran Kertanegara sudah ada di Pulau
Madhura?", bertanya Menik Kaswari kepada Mahesa
Amping. Mahesa Amping memberi tanda agar Menik Kaswari
berbicara pelan, jangan sampai diketahui oleh penjaga di
luar. "Doakanlah, Pangeran Kertanegara hari ini dapat
menyelamatkan Mbakyu Menik", berkata perlahan
Mahesa Amping kepada Menik Kaswari.
Menik Kaswari sepertinya belum puas dengan sedikit
jawaban dari Mahesa Amping.
"Maaf, penyamarku bisa terbongkar", berkata Mahesa
Amping sambil dengan cepat meletakkan hidangan di
171 meja dan langsung keluar dari kamar.
Mahesa Amping nampak melepas nafasnya merasa
lega ketika keluar dari gandok tengah. Dari sikapnya,
kelihatan penjaga yang berwajah brewok bertubuh
tambur itu tidak mencurigainya.
Ketika senja telah turun, Mahesa Amping masih di
kandang kuda. Memilih rumput yang masih segar untuk
makanan kudanya. Sementara yang terlanjur kering
dikeluarkan, ditumpuk dan dibakar.
Malam perlahan datang menggulung lembaran senja
yang buram kemerahan menjadi warna kelabu. Di ufuk
barat masih tersisa seberkas warna merah yang akhirnya
terus pudar menghilang. Dan malam pun telah memayungi langit di atas
Padepokan Alas jati. Beberapa penghuni mengisi malam
yang dingin dengan bersenda gurau sambil meminum
tuak. Beberapa lagi terlihat sudah naik ke
pembaringannya. Malam itu mahesa Amping menemani Bahar yang belum tidur.
sengaja datang "Aku ingin membuat minuman wedang sare untuk
teman berbincang", berkata Mahesa Amping kepada
Bahar. "Buatlah yang lebih, kadang ada saja penghuni
Padepokan ini yang datang minta dibuatkan minuman
hangat", berkata Bahar.
"Jadi pintu dapur ini tidak dikunci sepanjang malam?",
bertanya Mahesa Amping menyelidik.
"Ya, sepanjang malam. Agar siapapun yang masih
lapar dapat masuk tanpa mengganggu tidurku", berkata
Bahar tanpa prasangka apapun. Tidak menduka kalau
172 Mahesa Amping hanya memastikan apakah pintu dapur
terkunci di malam hari. "Ruang dapur ini hangat, tidak seperti bilikku angin
sepertinya menusuk tulang", berkata Mahesa Amping
sambil menikmati minuman hangatnya, wedang sare
bersama gula batu. "Itulah sebabnya, aku sudah tidur jauh sebelum
malam", berkata Bahar kepada Mahesa Amping.
"Kalau begitu, kehadiranku mengganggu waktu tidur
Paman?", berkata Mahesa Amping kepada Bahar.
"Itu kan bila sendiri. Kalau ada yang menemani aku
bisa tidur sampai jauh malam", berkata Bahar kepada
Mahesa Amping. Dan ternyata Bahar memang teman berbincang yang
menyenangkan. Ada saja yang dapat diceritakan dan
dibincangkan. Malam pun terus berlalu bersama berputarnya waktu.
Suara binatang malam terdengar dari dapur yang terbuat
dari bilik bambu. Dan angin dingin pun kadang
menyergap tubuh mereka. Malam menjadi begitu sepi dan sunyi.
"Aku pamit dulu, mataku sudah berat", berkata
Mahesa Amping kepada Bahar mohon diri kembali ke
biliknya. Mahesa Amping keluar dari dapur, memandang langit


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kelam bertabur bintang. Batang-batang pohon
besar di samping Padepokan Alasjati tergambar seperti
sosok raksasa hitam berjajar. Hanya suara gesekan daun
dan cabang pohon yang terdengar ketika desir angin
bertiup keras. 173 Mahesa Amping memang belum mengantuk, tapi
tetap masuk ke biliknya. Semetara waktu sepertinya
begitu lambat berjalan merayap.
Sementara itu langit di atas Padepokan Alasjati telah
berubah kelam berawan tebal tanpa satu pun bintang
hadir di sana. Sayup-sayup terdengar tiga kali suara anak katak
menjerit ditelan seekor ular. Berselang kemudian tiga kali
suara kutilang jantan kehilangan betinanya.
"Raden Wijaya dan Lawe sudah ada di belakang
Padepokan", berkata Mahesa Amping kepada dirinya
sendiri dari dalam biliknya.
Nampak Mahesa Amping keluar dari biliknya
menyelinap membuka pintu belakang Padepokan
Alasjati. Dengan pandangannya yang tajam Mahesa
Amping melihat Raden Wijaya dan Lawe muncul dari
kegelapan malam. Mahesa Amping memberi tanda agar
Raden Wijaya dan Lawe menyeberang.
"Masuk dan bersembunyilah di bilikku", berkata
Mahesa Amping kepada Raden Wijaya dan Lawe ketika
kedua kawannya itu sudah berada di dekatnya.
Mahesa Amping, Raden menyelinap masuk bilik. Wijaya dan Lawe Awan hitam yang menggelantung diatas Padepokan
Alasjati ternyata telah bergeser ditiup angin malam
berpindah ke tempat yang jauh. Warna langit pun
menjadi cerah, bintang-bintang pun berdatangan
menaburi warna langit malam.
Kerlip Bintang kejora sudah mulai terlihat di ujung
timur. Di kegelapan malam, di depan Padepokan Alasjati,
174 jauh dari jarak lemparan lembing dan anak panah
beberapa orang terlihat berdiri dalam jarak yang teratur.
Setiap orang terlihat membawa dua buah batang bambu,
dari setiap batang bambu itu berdiri dua buah buah obor
yang belum dinyalakan. "Nyalakan !!", terdengar suara keras penuh wibawa
yang tidak lain adalah suara Ki Gede Banyak Wedi
memberi perintah. Serentak setiap orang menyalakan keempat obor
yang dipegang dikedua kiri dan kanan tangannya.
Nyala puluhan obor itu memang sangat menggetarkan siapapun yang melihatnya dari jauh di
kegelapan malam. Seorang penjaga dari panggungan
Padepokan Alasjati telah melihatnya, matanya yang
sudah terkantuk berat sepertinya hilang seketika. Dengan
sigap langsung memukul kentongan kayu tanda bahaya.
Gegerlah seluruh penghuni Padepokan Alasjati
melihat puluhan obor musuh telah siap di depan
Padepokan. Semua telah mempersiapkan dirinya
menghadapi apapun yang terjadi.
Bersamaan dengan itu, tiga sosok tubuh telah
menyelinap masuk lewat pintu dapur yang tidak terkunci.
Terus masuk ke ruangan tengah. Mereka adalah Mahesa
Amping, Raden Wijaya dan Lawe yang telah ditugaskan
menyelinap dari dalam Padepokan Alasjati untuk
menyelamatkan Menik Kaswari.
Ternyata Datuk Alasjati orang yang selalu waspada.
Ditengah kegemparan akan datangnya musuh, masih
sempat memerintahkan tiga orang anak buahnya untuk
menjaga Menik Kaswari di dalam Gandok tengah.
Seperti seekor harimau yang mengunci langkah
175 buruannya. Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe
telah membagi lawannya masing-masing.
Dengan gerakan yang begitu cepat dan mendadak
mereka telah melompat berdiri di depan tiga orang
penjaga yang kaget tidak menduga musuh sudah ada di
depannya. Keterkejutan inilah yang dipergunakan
Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe untuk
melakukan sebuah serangan mematikan.
Mahesa Amping dengan kecepatan yang luar biasa
menyerang seorang penjaga yang telah dipilihnya. Naas
nasib penjaga itu, tanpa sempat melihat dari mana
datangnya sebuah tamparan tangan yang keras
menghantam tepat diurat tengkuknya, penjaga itu
langsung roboh lemas dan pingsan.
Raden Wijaya telah berbuat yang sama, seorang
penjaga tiba-tiba saja telah merasakan samping
tengkorak kepalanya dihantam oleh tangan yang
bertenaga. Seketika penjaga itu seperti mendengar suara
mendenging di telinganya, pandangannya menjadi kabur.
Dan penjaga itu pun roboh ketika sebuah pukulan tepat
mengenai urat mematikan di tengkuknya.
Pada saat yang bersamaan pula, Lawe telah
menyerang seorang penjaga yang sudah dipilihnya.
Sambil melompat Lawe menerkam lawannya dengan
gerakan tangan membacok ke arah tengkuk kanannya.
Seperti naluri yang sudah mendarah daging, penjaga itu
bukan orang yang lemah dalam kanuragan. Maka tangan
kanannya langsung begerak menangkis serangan itu.
Tetapi gerakan Lawe ternyata sebuah tipuan, sebelum
tangan lawannya menyentuh bacokan tangan kosongnya, sebuah belati ditangan Lawe telah
menyelinap langsung menembus jantung lawannya.
Penjaga itu pun roboh dengan mata melotot tanpa
176 berkedip. Mahesa Amping yang sempat melihat bagaimana
Lawe merobohkan lawannya sekejab merasa terkejut.
Sepertinya tidak menyangka Lawe yang dikenalnya
begitu santun dan lemah lembut telah melakukan
kekerasan, membunuh lawan tanpa berkedip. Tapi
Mahesa Amping hanya menyimpan perasaan itu dalam
hati, merasa maklum bahwa inilah sebuah peperangan.
Membunuh atau dibunuh. Mahesa Amping segera mengubur perasaannya,
langsung membuka selarak palang pintu yang sengaja
dibuat di luar. "Ikutlah kami Mbakyu Menik, kita harus secepatnya
keluar dari sini", berkata Mahesa Amping kepada Menik
Kaswari yang memang sudah tidak tidur lagi ketika
mendengar suara kentongan tanda bahaya berbunyi
berkali-kali. "Kamu pengantar hidangan tadi siang itu?", berkata
Menik Kaswari memperhatikan wajah Mahesa Amping
yang terlihat jelas dari cahaya klenting minyak jarak
dipojok kamar yang mulai redup.
"Benar, mari segera kita keluar dari tempat ini",
berkata Mahesa Amping mengajak Menik Kaswari keluar
bersamanya. Tanpa rintangan yang berarti, Mahesa Amping
bersama Menik Kaswari, Raden Wijaya dan Lawe keluar
dari bangunan utama Padepokan Alasjati lewat pintu
dapur. Mereka langsung menyelinap menuju pintu
belakang Padepokan Alasjati.
Terlihat mereka tengah menyeberangi sungai kecil.
Ternyata Raden Wijaya dan Lawe telah sengaja
177 mempersiapkan empat ekor kuda tidak begitu jauh dari
sungai kecil. Dengan empat ekor kuda itu mereka telah
menyelinap menghilang dikegelapan.
Sebelum jauh dari padepokan Alasjati, lawe masih
ingat tugas yang harus dilaksanakannya, yaitu melepas
panah api sanderan. Panah api sanderan itu memang sudah ditunggutunggu. Sebagai tanda bahwa sandera telah keluar dari
kurungan. Panah api sanderan itu juga sebagai tanda
bahwa serangan fajar akan segera dimulai.
Puluhan cahaya obor masih berdiri terlihat dari jauh
sebagai pasukan yang tengah bersiap. Puluhan obor itu
memang tidak bergerak karena menancap dan berdiri
ditanah. Yang bergerak adalah orang-orang yang tidak
lagi memegang obor. Mereka bergerak dengan cepat
menuju pintu gerbang Padepokan Alasjati.
Sepuluh orang dengan cepat telah menyelinap
dikegelapan malam dan semak-semak yang tinggi sudah
merapat di dinding pagar Padepokan mendekati pintu
gerbang. Dari tempat yang tak terlihat, Kertanegara telah
mengerahkan pukulan jarak jauhnya. Dari tangannya
meluncur kilatan api menerjang pintu gerbang yang
kokoh dari batang kayu yang tebal.
Tiba-tiba saja terdengar suara yang keras. Pintu
gerbang seperti didorong benda yang ratusan kati
beratnya langsung terbuka terbelah dua. Pada
kesempatan itulah sepuluh orang telah masuk kedalam
Padepokan Alasjati. "Bunuh mereka semua", berkata Datuk Alasjati ketika
melihat hanya sepuluh orang yang masuk.
178 Tapi kesepuluh orang yang telah masuk kedalam
Pedepokan Alasjati bukan orang sembarangan. Mereka
adalah tiga orang cantrik utama dari Padepokan Bajra
Seta,dua orang pelaut ulung Kebo Arema dan Bhaya
bersama Ki Gede Banyak Wedi dan Ki Rangga
Bangkalan yang dibantu oleh tiga orang prajurit Singasari
yang berpengalaman membuat para penghuni Padepokan Alasjati seperti kumpulan semut yang
kedatangan bola api. Terlempar jatuh siapapun yang
berani mendekat. Belum lagi kegentaran mereka mereda, tiba-tiba saja
datang tiga belas orang langsung masuk dari pintu
gerbang yang sudah terbuka terpecah dua. Kertanegara
bersama dua belas orang dibelakangnya langsung
datang menyerang. Para penghuni Padepokan yang berada diposisi
membelakangi pintu gerbang nasibnya memang jelek,
mereka seperti terjepit oleh dua bola api yang tidak bisa
lagi dielakkan. Sebentar saja hampir seperempat
Padepokan Alasjati sudah berkurang.
penghuni Datuk Alasjati menggeram marah, darahnya telah
naik hampir ke ubun-ubunnya. Matanya memandang
tajam kearah seorang pemuda dengan cambuk di
tangan. Hampir seluruh gerakannya menimbulkan korban
yang langsung terlempar roboh. Kadang terkena ujung
cambuknya, atau kadang lewat tendangannya. Bukan
main marahnya Datuk Alasjati melihat anak buahnya
jatuh roboh terlempar. "Akulah lawanmu anak muda", berkata Datuk Alasjati
langsung menghadang Kertanegara.
"Siapapun lawanku, aku sudah siap", berkata 179 Kertanegara telah bersiap menyerang lawannya yang
baru datang menghadangnya.
Kertanegara langsung melecut cambuknya ke udara.
Seketika dada Datuk Alasjati sepertinya terhentak.
"Siapakah dirimu anak muda, gerakan cambukmu
mengingatkan aku pada seseorang bernama Empu
Dangka", berkata Datuk Alasjati sambil melambari dirinya
dengan kekuatan yang dapat mengimbangi daya hentak
cambuk Kertanegara. "Aku muridnya," berkata Kertanegara masih bersiap
menghadapi orang di depannya yang menurutnya
berilmu tinggi karena hentakan cambuknya sepertinya
tidak berpengaruh. "Aku pemimpin Padepokan ini, aku mau tahu apakah
murid Empu Dangka sudah mewarisi seluruh ilmunya",
berkata Datuk Alasjati. "Ternyata aku berhadapan dengan Datuk Alasjati",
berkata Kertanegara dengan mata penuh kebencian.
"Akulah orang yang kamu tunggu selama ini. Siapapun
orang yang telah mengupahmu, aku tidak akan
menyerahkan kepalaku".
"Kebetulan sekali, ternyata kamu Pangeran itu,
jagalah kepalamu", berkata Datuk Alasjati sambil
menyerang dengan tombak panjangnya langsung
mengarah kepala Kertanegara. Sebuah serangan yang
cepat. Dengan kecepatan yang sama, Kertanegara
mengelak mundur ke belakang samba melecutkan


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cambuknya yang panjang dengan gerak sendal pancing.
Datuk Alasjati kaget bukan kepalang melihat
serangannya dapat dielakkan dengan begitu mudah
180 serta langsung balik dirinya di serang.
"Gila!!", berkata Datuk Alasjati sambil mundur jauh
kebelakang. "Ini baru sebuah awal, Datuk", berkata Kertanegara
sambil tersenyum memegang ujung cambuknya.
"Jangan cepat berbangga", berkata Datuk Alas jati
sambil memutar kencang tombak panjangnya menerjang
Kertanegara. Dan pertempuran antara Kertanegara dan Datuk
Alsjati menjadi begitu seru. Sambil bertempur terus
menelitik sampai sejauh mana tataran ilmu lawan. Datuk
Alasjati terus meningkatkan tataran kekuatan ilmunya
menghadapi daya hentak cambuk Kertanegara yang
terus meningkat menyesakkan dada.
Tidak disengaja pertempuran antara Datuk Alasjati
dan Kertanegara telah terpisah dari pertempuran lainnya.
Daya hentak cambuk Kertanegara memang luar biasa.
Hentakan itu mempengaruhi siapapun yang mendekat.
Siapapun berusaha menyingkir menjauhi pertempuran
itu, dada mereka terasa pecah. Hanya Datuk Alasjati
yang mampu bertahan mengimbangi serangan cambuk
Kertanegara yang menggetarkan itu.
Sementara itu jumlah para penghuni Padepokan
Alasjati terus menyusut. Kemampuan lawan mereka
ternyata jauh melampaui kemampuan yang mereka
miliki. Hingga akhirnya hanya tinggal sepuluh orang yang
masih berdiri bertahan. "Menyerahlah", berkata Ki Gede Banyak Wedi
kepada sepuluh orang penghuni Padepokan Alasjati.
Para penghuni Padepokan Alasjati ternyata dapat
berhitung dengan baik. Mereka merasakan tataran ilmu
181 mereka dibawah para penyerangnya. Ditandai dengan
cepatnya jumlah mereka terus berkurang meski pada
awalnya jumlah mereka sebanding. Meski ada juga
lawan mereka yang cidera, tapi itu dapat dihitung dengan
jari.Kekuatan lawan tidak pernah berkurang.
"Cepat menyerah", berkata kembali Ki Gede Banyak
Wedi dengan suara yang mengguntur.
"Kami menyerah", berkata salah seorang dari mereka
sambil melempar senjatanya yang diikuti oleh semua
kawan-kawannya. Seluruh senjata telah diamankan. Seluruh penghuni
Padepokan Alasjati yang tersisa sepuluh orang langsung
diikat sebagai tawanan yang tidak berdaya.
Sementara itu pertempuran antara Datuk Alasjati dan
Kertanegara masih terus berlangsung. Datuk Alasjati
masih terus meningkatkan tataran ilmunya mencoba
melambari kekuatan dirinya menahan daya hentak
cambuk Kertanegara yang terus meningkat. Datuk
Alasjati mencoba mengurangi daya hentakan itu dengan
melambari dirinya dengan hawa panas lewat sambaran
tongkatnya yang berputar kencang. Tapi dihadapan
Kertanegara hawa panas itu seperti tidak berpengaruh.
Kertanegara langsung menawarkan hawa panas dengan
hawa dingin yang kasat mata keluar dari dalam dirinya.
Serangan hawa panas itu seperti tidak berarti, bahkan
Datuk Alasjati merasakan dirinya seperti menggigil
terserang dingin yang kasat mata keluar dengan
sendirinya dari tubuh Kertanegara.
Akibatnya memang sangat fatal. Disamping
merasakan dadanya yang terasa sesak ketika
menghindar dari sentakan cambuk Kertanegara yang
terus mengejarnya, Datuk Alasjati juga meresakan
182 serangan hawa dingin yang sepertinya menyerang
menusuk-nusuk tulangnya. Datuk Alasjati telah berusaha meningkatkan tataran
ilmunya pada puncaknya, tapi daya hentak yang
menyesakkan dadanya serta hawa dingin yang menusuknusuk dirinya tidak juga berkurang. Pucat wajah Datuk
Alasjati, tataran ilmu Kertanegara ternyata sukar sekali
diukur sampai dimana puncaknya. Timbul rasa
penyesalannya mengapa mau menerima tawaran untuk
membunuh Pangeran Kertanegara yang dikiranya begitu
mudah dapat dilakukannya.
"Menyerahlah", berkata Kertanegara yang sudah
dapat mengendalikan dirinya untuk tidak menuruti
kebenciannya melumatkan orang yang telah mengurung
Menik Kaswari yang dilihatnya sudah pucat pasi tidak
berdaya. Sebenarnya sudah banyak kesempatan untuk
merobohkan lawannya. Tapi Kertanegara tidak juga
melakukannya, hanya untuk mengukur sampai sejauh
mana tataran ilmu Datuk Alasjati dapat bertahan, dan
menekannya agar menyerah. Kertanegara berharap
Datuk Alasjati dapat dijadikan alat penghubung, siapa
dibalik semua ini yang menginginkan nyawanya sebagai
sebuah hadiah. "Aku menyerah", berkata Datuk Alasjati yang
nampaknya sudah berputus asa. Menyadari bahwa
Kertanegara masih bermurah hati tidak membinasakannya. "Terima kasih telah memperpanjang
umurku", berkata kembali Datuk Alasjati sambil
melempar tombak panjangnya di tanah.
Dengan mudah datuk Alasjati menyerahkan kedua
tangannya untuk diikat. Dikumpulkan bersama anak
183 buahnya sebagai tawanan. Ditempat yang lain, Mahesa Amping, Raden Wijaya,
Lawe dan Menik Kaswari telah semakin jauh dari
Padepokan Alasjati. Sementara itu Matahari pagi sudah bersinar terang.
Cahayanya sudah masuk lewat cabang dan daun
pepohonan Hutan Mading. "Tugas kita tanpa rintangan yang berarti", berkata
Raden Wijaya merasa sebentar lagi sudah sampai di
Tanah Perdikan. "Apakah seharusnya aku kembali ke Padepokan
Alasjati, mungkin tenagaku dibutuhkan di sana", berkata
Lawe minta pertimbangan Mahesa Amping dan Raden
Wijaya. "Jangan!", berkata Mahesa Amping. "Ki Gede pasti
punya pertimbangan lain mengapa tugas ini harus kita
bertiga yang melaksanakannya", Lanjut Mahesa Amping.
"Jarak hutan Mading ke Tanah Perdikan sudah begitu
dekat, kupikir cukup kalian berdua mendampingi Mbakyu
Menik Kaswari sampai di tujuan", berkata Lawe
menyampaikan pendapatnya.
"Apapun perintah pimpinan harus kita patuhi", berkata
Mahesa Amping kepada Lawe mengingatkan. Meski
sebenarnya bukan itu yang dipikirkan Mahesa Amping.
Panggraitanya yang tajam telah menangkap sesuatu
akan terjadi dalam perjalanan mereka.
Apa yang terlintas dalam "pengabaran" bathin yang
diterima oleh Mahesa Amping ternyata memang
sepertinya akan terjadi. Di depan mereka terlihat tiga
orang sepertinya sengaja menunggu mereka.
"Berhati-hatilah", berkata Mahesa Amping sambil
184 meminta Menik Kaswari berjalan di belakang mereka.
Ketika mereka sudah menjadi semakin dekat dengan
tiga orang yang sepertinya sengaja menunggu mereka.
Lawe dan Raden Wijaya mengenal salah satu dari tiga
orang itu yang tidak lain salah seorang pemuda kembar
yang pernah menjadi lawannya.
"Dua orang itulah yang membawa Prastawa", berkata
pemuda itu yang namanya sendiri adalah Praskata
kepada seorang di sebelahnya yang sudah berumur
yang tidak lain adalah gurunya sendiri.
"Kalau begitu, mulai hari ini aku memberi julukan baru
untukmu, Setan Mati ketawa" berkata Lawe dari belakang
Mahesa Amping sambil masih belum dapat menghentikan kegeliannya.
"Kupecahkan mulutmu", berkata Empu Gelian sambil
mengangkat sebuah gelang ke atas tidak dapat lagi
menahan kemarahannya. "Melihat sikapmu, aku akan menambahkan julukan
untukmu, Setan Marah Mati ketawa", berkata Mahesa
Amping menambahkan minyak karena dilihatnya orang
tua itu matanya sudah merah terbakar amarah.
Tanpa kata-kata, gelang di tangan Empu Gelian yang
sudah terangkat tinggi langsung menghantam kepala
Mahesa Amping yang ada di dekatnya. Dengan tenang
Mahesa Amping surut ke belakang sedikit. Dan dengan
kecepatan yang tidak diduga-duga, gerakannya seperti
tidak terlihat oleh pandang mata biasa, telah menyentil
gelang Empu Gelian dengan sentilan jari telunjuknya.
Ting !! Bukan main kagetnya Empu Gelian melihat gerakan
Mahesa Amping yang begitu cepat, sementara
185 tangannya dirasakan sedikit tergetar karena Mahesa
Amping tidak sekedar menyentil, tapi telah sedikit
menyalurkan tenaga cadangannya ke ujung telunjuk
jarinya. "Jangan merasa gagah dengan merasa sedikit
kemampuan", berkata Empu Gelian sambil mengayunkan
mendatar gelang ditangan satunya.
Wuss !! Terdengar angin dari gelang itu yang nyaris merobek
perut Mahesa Amping yang dengan cepat surut sedikit ke
belakang namun tidak langsung melakukan serangan
balik, tapi berdiri siap menghadapi serangan selanjutnya.
Terperanjat Empu Gelian mendapati dua serangannya lolos tanpa arti, sebagai seorang yang
berpengalaman, tahulah bahwa anak muda di depannya
telah mampu menguasai tenaga cadangan yang ada di
dalam dirinya, baik dalam kecepatan gerak maupun
dalam menyalurkan kekuatan dari dalam diri.
Maka, serangan selanjutnya dari Empu Gelian
merupakan serangan yang penuh perhitungan dan juga
penuh tipuan. Sebuah serangan beruntun menerjang
Mahesa Amping. Hanya dengan kemampuan gerakannya yang cepat Mahesa Amping masih dapat
mengelak serangan demi serangan.
Mahesa Amping telah mengeluarkan belati pendeknya yang selalu dibawa terselip tersembunyi
dibalik kainnya. Mahesa Amping menyadari bahwa
sangat berbahaya terus-menerus mengelak. Empu
Gelian lawannya itu ternyata begitu berpengalaman,
gerakannya begitu kaya dengan banyak tipuan yang
membahayakan jiwa Mahesa Amping. Akhirnya mahesa
Amping terlihat tidak hanya mengelak, tapi langsung
186 membalas serangan berbahayanya. Empu Gelian tidak kalah Pertempuran pun menjadi semakin dahsyat dan seru.
Mahesa Amping dan Empu Gelian terus meningkatkan
tataran ilmunya selapis demi selapis, masing-masing
masih mencoba menelitik dan menjajagi sejauh mana
tingkat kemampuan ilmu lawannya. Suara benturan dua
senjata pun sering tidak dapat lagi dihindari. Empu
Gelian mendapat keuntungan dan kelebihan dengan dua
senjata gelangnya. Tapi Mahesa Amping mampu
mengimbanginya dengan tidak hanya kecepatan
geraknya, tapi juga kemahirannya merubah genggaman
belati pendek ditangannya. Kadang belati itu digenggam
dalam gerak menikam, kadang belati pendek itu berubah
dalam posisi genggaman tangan menusuk dan
mengayun. Pertempuran antara Mahesa Amping dan Empu
Gelian menjadi semakin menakjubkan mata, semakin
cepat. Menik Kaswari yang menyaksikan langsung
pertempuran itu sepertinya hanya melihat dua bayangan
hitam saling berkelebat. Kadang terdengar suara dua
senjata beradu, kadang hanya suara senjata membelah
angin. Wuss !!!. Berdebar-debar perasaan Menik Kaswari
tidak karuan. Menik Kaswari hanya berharap, semoga
Mahesa Amping yang keluar hidup-hidup dari
pertempuran maha dahsyat yang baru pertama kalinya
disaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri.
Sementara Lawe dan Raden Wijaya terus mengawasi


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua orang di depannya, takut bila saja mereka bertindak
pengecut membantu pertempuran itu.
Sambil mengawasi dua orang di depannya, Lawe
menyaksikan pertempuran itu sebagai pertempuran yang
mengagumkan. Tidak dapat langsung menilai, siapakah
187 yang dapat keluar sebagai pemenangnya. Karena
keduanya begitu sama-sama sempurna menguasai
senjatanya. Sama-sama dapat bergerak dengan cepat.
Lawe hanya dapat berharap, Mahesa Amping dapat
keluar mengakhiri pertempuran itu sebagai pemenang.
Hanya Raden Wijaya sepertinya yang dapat
menyaksikan pertempuran dengan hati yang tenang.
"Mahesa Amping masih bermain-main", berkata
Raden Wijaya kepada dirinya sendiri. Meskipun ia sendiri
melihat kekayaan pengalaman Empu Galian dengan
gerakannya yang penuh tipu daya membahayakan. Tapi
dirinya yakin, Mahesa Amping dapat mengatasinya. Dan
Raden Wijaya memang melihat Mahesa Amping masih
belum menunjukkan tataran ilmunya yang sebenarnya.
Sementara itu Prastaka dan saudara perguruaannya
berdebar-debar tidak menyangka ada yang dapat
mengimbangi ilmu gurunya. Dan orang itu masih begitu
muda belia. "Apakah anak muda itu juga berada di atas kapal
kayu ?", bertanya saudara seperguruannya kepada
Praskata. "Aku melihatnya ada bersama di Kapal kayu, bahkan
anak itu bermaksud mengejarku", berkata Praskata
kepada saudara seperguruannya.
"Dari Padepokan mana mereka sesungguhnya",
berkata saudara seperguruannya sambil matanya tidak
lepas sedikitpun dari pertempuran di depan matanya
yang sangat menggetarkan hatinya. Sebagai murid
tertua, baru pertama kali ini melihat gurunya bertempur
begitu lama dan mendapatkan lawan yang seimbang.
Pertempuran masih berlangsung . Dan memang
188 Mahesa Amping sebagaimana yang dilihat Raden Wijaya
masih belum menuntaskan tataran ilmunya pada
puncaknya. Mahesa Amping hanya mengimbangi
serangan-serangan Empu Gelian selapis lebih sedikit.
Begitulah mereka selapis demi selapis meningkatkan
tataran ilmunya. Empu Gelian telah mengeluarkan
segenap kemampuannya. Angin serangan senjatanya
benar-benar menggiriskan, hawa panas mampu merobek
tubuh lawan meski senjata gelangnya belum dan masih
jauh dari jangkauan. Untungnya Mahesa Amping lebih dulu menyadarinya
sebelum angin panas itu merobek perutnya. Mahesa
Amping telah melapisi dirinya dengan kekuatan hawa
dingin yang mampu meredam dan menawarkan hawa
panas dari angin senjata Empu Gelian. Bukan main
terkejutnya Empu Galian, angin panasnya tidak berarti
menghadapi Mahesa Amping.
Sementara itu, arena pertempuran terlihat seperti
tanah terbongkar. Semak-semak terlihat hangus terbakar
terkena angin panas tersambar senjata gelang milik
Empu Gelian. Empu Gelian menjadi penasaran, sudah ratusan
jurus masih juga belum dapat menundukkan lawannya
yang masih muda belia ini. Akhirnya tanpa malu lagi telah
meningkatkan tataran ilmunya pada batas puncaknya.
Senjata gelangnya terlihat seperti bara merah menyala,
sementara angin serangannya terlihat seperti api yang
menyebar mengikuti kemanapun Mahesa Amping
bergerak. Tapi, angin hawa panas itu tidak juga mampu
menembus tubuh Mahesa Amping. Angin hawa panas itu
sepertinya langsung menjadi dingin manakala masuk
mendekati tubuh Mahesa Amping. Sementara itu
serangan belati pendek Mahesa Amping menjadi sangat
189 menyibukkan yang kadang menggulung tidak putus. datang seperti ombak Dalam sebuah serangan yang dilakukan oleh Mahesa
Amping, terlihat Empu Gelian melompat menjauh. Empu
Gelian memang sudah tidak sabar lagi, ingin selekasnya
menyelesaikan pertempurannya. Mahesa Amping
menyadari, pasti Empu Gelian bermaksud mengeluarkan
ilmu andalannya. Dugaan Mahesa Amping ternyata tidak
meleset jauh. Terlihat Empu Gelian menambah senjata
gelangnya yang tergantung dilehernya. Empat buah
gelang ditangan Empu Galian menyala seperti bara. Dan
dengan kecepatan yang luar biasa satu gelang meluncur
menerjang Mahesa Amping yang langsung mengelak
kesamping. Belum lagi kaki Mahesa Amping jatuh di
bumi, sebuah gelang yang lain kembali menerjang tubuh
Mahesa Amping. Begitulah Mahesa Amping diserang
oleh Empu Gelian dengan gelang yang membara
meluncur seperti bola api. Anehnya gelang itu dapat
kembali sendiri ketangan pemiliknya. Bukan main
sibuknya Mahesa Amping mengelak tanpa dapat
menyerang kembali. Mahesa Amping seperti barang
mainan Empu Gelian, kadang harus berguling di tanah
menghindar serangan gelang yang datang seperti bola
api. Akhirnya, Mahesa Amping tidak lagi mampu berpikir
jernih. Satu waktu tenaganya akan terkuras. Maka pada
sebuah serangan, terlihat Mahesa Amping mengelak.
Tapi Mahesa Amping sudah dapat menghitung tempo
serangan berikutnya. Sebelum serangan itu datang, sebuah pandangan
mata Mahesa Amping tepat menyentuh dada kiri Empu
Galian. Jantung Empu Gelian langsung hangus terbakar
ditambah sebuah gelang yang tidak sempat ditangkap
190 menembus perutnya. Dengan mata terbuka terbelalak, Empu Gelian jatuh
kebumi terlentang masih menggenggam tiga buah
gelang miliknya. Jiwanya sudah melayang.
Mahesa Amping masih berdiri menegang, termangu
melihat hasil serangannya diluar pikiran jernihnya.
"Harusnya aku tidak membunuhnya", berkata Mahesa
Amping kepada dirinya sendiri, sepertinya telah
menyesali dirinya sendiri yang tidak dapat berpikir jernih,
memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan panjang.
Sementara itu Prastaka dan saudara seperguruannya
seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
Gurunya yang dianggapnya telah mempunyai ilmu
setinggi gunung telah tergeletak di tanah tak bernyawa.
Mereka berdua menatap Mahesa Amping dengan
pandangan penuh kebencian, namun juga ada perasaan
gentar. Tapi Prastaka dan Saudara sepergurunnya
ternyata adalah orang yang cerdas, dapat berhitung
panjang, selain Mahesa Amping yang telah mengalahkan
gurunya. Masih Ada Lawe yang pernah dihadapi dan
mengimbangi ilmu Praskata. Dan di samping Lawe, ada
seorang lagi yang telah melumpuhkan Prastawa dengan
mudah. Akhirnya sebelum berlanjut dalam kesuitan yang
lain, Praskata dan saudara seperguruannya telah
membawa mayat gurunya. Ketika agak jauh berjalan beberapa langkah,
Praskata berbalik badan. "Aku akan kembali mencari
kalian, membayar hutang nyawa guruku", berkata
Praskata langsung berbalik badan kembali mengikuti
saudara seperguruannya yang tengah membawa mayat
gurunya. 191 "Datanglah dengan seluruh orang Gelang-gelang,
aku tidak takut!!", berteriak Lawe yang merasa tertantang
dengan ucapan Praskata yang pernah bertempur
dengannya tapi belum tuntas, belum ada yang kalah dan
menang. Sementara itu, matahari diatas hutan Mading sudah
bergeser turun dari puncaknya. Cahayanya sudah tidak
lagi menyengat kulit, telah menjadi teduh terhalang
cabang daun pepohonan hutan yang lebat.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita", berkata Mahesa
Amping yang telah berada diatas kudanya.
Merekapun kembali melanjutkan perjalanannya yang
tertunda, meninggalkan arena sisa pertempuran yang
seperti tanah lapang yang terkoyak hangus terbakar.
Kini kita kembali ke Padepokan Alasjati. Terlihat
beberapa orang yang terluka tengah diberikan
pengobatan. Beberapa mayat telah dikumpulkan. Orangorang penghuni Padepokan Alasjati yang telah menjadi
tawanan telah diberikan kebebasan sementara untuk
membantu mengubur mayat-mayat kawan mereka
sendiri yang terbunuh dalam pertempuran.
"Apa yang harus kita lakukan dengan para tawanan
itu", berkata Kertanegara kepada Ki Gede Banyak Wedi
di pendapa utama Padepokan Alasjati.
"Untuk jangka panjangnya belum dapat kupikirkan,
kita lihat perkembangan. Yang harus segera kita
dapatkan adalah membuka mulut mereka, siapa dalang
di balik semua ini", berkata Ki Gede kepada Kertanegara.
Akhirnya mereka sepakat untuk mencoba mencari
keterangan dari para tawanan, siapa yang telah
membayar begitu mahal untuk kepala seorang Putra
192 Mahkota. Kertanegara dan Ki Gede Memanggil satu persatu
tawanan. Menanyakan beberapa hal. Hingga akhirnya
Datuk Alasjati sendiri telah dipanggil menghadap mereka.
"Datuk Alasjati", berkata Kertanegara kepada Datuk
Alasjati yang sudah datang menghadap sebagai seorang
tawanan. "Beberapa tawanan sudah kami tanyakan, tentunya
mereka juga telah bercerita kepadamu apa saja yang
telah kami tanyakan. Kejujuran Datuk menentukan,
perlakuan apa selanjutnya yang dapat kami berikan
kepada semua tawanan, termasuk diri pribadi Datuk
sendiri", berkata Kertanegara perlahan tapi didalam katakatanya mengandung sebuah ancaman.
"Semoga aku dapat menjawab pertanyaan Pangeran", berkata Datuk Alasjati dengan hati gentar
menangkap sebuah ancaman dibalik kelembutan katakata Kertanegara.
"Kami akan melepas Datuk, melepas semua
tawanan, membiarkan Padepokan ini sebagaimana
semula", berkata Kertanegara berdiam sebentar memberi
kesempatan Datu Alasjati berpikir tenang. Dan
Kertanegara berkata kembali , "kami akan memberikan
semua itu, tentunya setelah Datuk mau menerima
sebuah penawaran". "Selama tawaran Pangeran dapat kupikul", berkata
Datuk Alasjati seperti pasrah apapun yang akan
diperlakukan terhadapnya.
"Tawaran kami tidak berat, dapatkah Datuk
bergabung menjadi sahabat kami?" berkata Kertanegara
perlahan kepada Datuk Alasjati.
193 Tampaknya Datuk Alas tengah berpikir keras.
Mencoba mengukur kekuatan dua kubu dimana dirinya
ada diantaranya. "Pangeran Kertanegara adalah seorang
Putra Mahkota, kekuasaannya akan menjadi lebih besar.
Tidak ada salahnya bila aku bernaung, berbalik arah
menjadi sahabat", berpikir datuk Alasjati menimbangnimbang untung dan ruginya menerima tawaran
Kertanegara. "Aku terima tawarannya", berkata Datuk Alasjati
memberikan sebuah keputusan.
"Ternyata Datuk dapat berpikir jernih", berkata
Kertanegara kepada Datuk Alasjati.
Maka sesuai kesepakatan itu, Datuk Alasjati dan
anak buahnya tidak lagi diperlakukan sebagai tawanan.
Mereka semua telah dibebaskan. Ketika matahari
menjelang senja, Kertanegara dan pasukan kecilnya
terlihat keluar Padepokan Alasjati.
Datuk Alasjati mengikuti iring-iringan itu keluar dari
Padepokannya. "Masih muda, ilmunya sudah begitu
tinggi. Aku berjanji setia di belakangnya", berkata Datuk
Alasjati kepada dirinya sendiri ketika rombongan kecil itu
tidak terlihat lagi, terhalang kerimbunan hutan dibawah
suram cahaya matahari senja tanpa desiran angin. Hutan
dalam bayangan senja sepertinya terus membawa Datuk
Alasjati untuk merenung, mencoba berpikir jernih,
membangun kembali Padepokannya yang telah porak
poranda."Ternyata kesombonganku telah tersungkur
tanpa arti di hari ini", berkata Datuk Alasjati menyesali
kesombongannya selama ini yang menganggap ilmunya
sudah begitu tinggi. Menyerang lawan dengan senjatanya sendiri, itulah
yang Kertanegara dan Ki Gede inginkan dengan melepas
194 Datuk Alasjati dengan "mengikatnya" sebagai sahabat.
Siapa dalang dibalik semua ini memang sudah
tergambar. Tetapi Kertanegara dan Ki Gede telah
sepakat untuk menyimpannya rapat-rapat.
Hutan dalam bayangan senja menatap rombongan
kecil memasuki kerimbunannya. Derap kaki kuda seperti
rancak tari pahlawan pulang berperang membawa
kemenangan. Tidak ada hambatan lain dalam perjalanan
mereka menuju Tanah Perdikan baru yang belum
bernama. Hari telah masuk tengah malam ketika rombongan
kecil itu telah masuk Padukuhan paling ujung di Tanah


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perdikan. Akhirnya mereka terlihat dari Banjar Desa.
Beberapa peronda menyambut kedatangan mereka
dengan perasaan suka cita.
"Syukurlah kalian juga telah behasil menjalankan
tugas", berkata Ki Gede ketika melihat Lawe, Mahesa
Amping dan Raden Wijaya di Pendapa utama.
"Mbakyu Menik tengah beristirahat di dalam
kamarnya", berkata Mahesa Amping kepada Kertanegara
tanpa ditanya. "Terima kasih, seusia kalian aku masih takut
melewati pohon besar di malam hari", bekata
Kertanegara ketika Raden Wijaya bercerita tentang
pertemuan mereka dengan guru sepasang iblis di Hutan
Mading. Malam pun berlalu bersama bulan tua dan bintang
bertabur di langit malam.
Tungku di dapur belakang terlihat dinyalakan. Nyi
Gede Banyak Wedi dibantu beberapa oaring lelaki
tengah sibuk membawa hidangan makanan dan
195 minuman hangat. Pendapa utama dan Banjar desa
menjadi ramai. Beberapa orang dari beberapa
Padukuhan telah berdatangan, diantaranya adalah sanak
kandang para pengawal tanah perdikan yang ikut
bertempur di Padepokan Alasjati. Suka cita wajah
mereka mendapati suami, anak dan saudara mereka
pulang dengan selamat, meski ada satu dua orang
mendapat sedikit luka ringan.
Baru ketika pagi akan datang menjelang, beberapa
orang telah kembali ke rumahnya. Banjar Desa dan
pendapa utama seperti lengang. Satu dua orang nampak
masih bercakap-cakap. Sementara sebagian lagi sudah
terlelap tertidur nyenyak.
Mata ini sepertinya baru mengejap, sang surya sudah
datang menepati janjinya.
Tungku dapur rumah Ki Gede sudah lama menyala.
Kesibukan kembali terlihat.
Sementara itu Kertanegara dan Menik Kaswari telah
bertemu. Sebuah pertemuan di pagi hari yang mengharu
birukan untuk sebuah rindu yang lama tertahan. Di
bawah matahari pagi mereka bersama menyusuri jalan
berliku sekitar padukuhan Tanah perdikan yang masih
asri. Sawah ladang dan bangunan rumah berdiri diatas
tanah asli apa adanya menyesuaikan tinggi dan
rendahnya keadaan tanah. Sebuah pemandangan yang
indah, seindah memandang mata wajah sang kekasih di
pagi hari. "Mari kita kembali", berkata Kertanegara kepada
Menik Kaswari. "Tidak terasa mungkin kita sudah begitu jauh
berjalan, ayah pasti sudah terbangun menunggu kita",
berkata Menik Kaswari yang teringat kepada ayahnya
196 yang masih tertidur di Banjar desa ketika mereka
melewatinya. Di banjar desa Ki Rangga Bangkalan memang sudah
terbangun, bahagia memeluk anak gadisnya yang
menangis tersedu di pangkuannya. Ayah mana yang
tidak bahagia mendapatkan kembali anak gadisnya
dengan selamat, tanpa berkurang sehelai rambutpun.
Pagi itu ki Gede telah mengumpulkan beberapa
warganya menyampaikan berita penting bahwa mulai
hari itu Tanah Perdikan telah mempunyai sebuah nama.
"Songenep artinya tempat singgah yang baik,
semoga nama ini menjadi berkah untuk kita semuanya",
berkata Ki Gede menyebut sebuah nama untuk Tanah
Perdikannya. "Hidup Tanah Perdikan Songenep", terdengar
beberapa orang berkali-kali menyebut kata Tanah
Perdikan Songenep. Tampaknya mereka ikut gembira
mendapatkan sebuah nama untuk Tanah Perdikan yang
mereka huni selama ini. Pada hari itu juga Ki Gede telah menawarkan kepada
Kertanegara menyediakan rumahnya untuk dijadikan
tempat sebuah upacara pelamaran.
"Ayah gadis itu sudah ada disini, sementara itu salah
satu cantrik utama Padepokan Bajra Seta telah
membawa peneng utusan resmi dari Sri Maharaja",
berkata Ki Gede kepada Kertanegara.
Perayaan besar pun telah disepakati, perayaan besar
untuk dua upacara besar, pemberian nama Tanah
Perdikan dan penerimaan resmi keluarga Menik Kaswari
atas lamaran Kertanegara.
Sesuai adat, seorang Pangeran berhak membawa
197 gadis yang dicintainya ke istana setelah melakukan
upacara boyongan. Agar persiapan perayaan dapat terlaksana dengan
baik dan meriah, ditetapkan harinya dua hari setelah hari
itu. Bukan main kesibukan persiapan hari perayaan itu.
Sebuah tajuk besar telah didirikan lengkap dengan
panggung tempat peralatan gamelan. Akan didatangkan
seorang sinden kondang dari Kalianget bernama Ni Ken
Padmi. Kemerduan suara Ken Padmi konon mampu
menghentikan sebuah daun kering yang terjatuh dari
cabangnya.Dan konon, para penonton seperti tersirep,
tidak sadar menari sendiri.
Di dalam persiapan pembuatan tajuk dan panggung
yang hampir selesai, terlihat Lawe, Raden Wijaya dan
Mahesa Amping ikut membantu. Ternyata Mahesa
Amping bukan hanya ahli memainkan belati pendeknya.
Ia juga mahir merangkai beberapa hiasan janur. Pada
saat itu terlihat tangan Mahesa Amping begitu cepat dan
luwesnya membuat janur merak penghias nampan
kalung penganten. "Di istana aku sering melihat hiasan janur, tapi tidak
sesempurna buatanmu", berkata Raden Wijaya kepada
Mahesa Amping yang tidak menjawab hanya sedikit
tersenyum. Pekerjaan pembuatan hiasan janur nampaknya
sudah hampir selesai. Tidak ada lagi yang dikerjakan
oleh Lawe dan Raden Wijaya selain menonton kerja
Mahesa Amping menyelesaikan hiasan burung meraknya
dibawah cahaya oncor minyak jarak yang banyak
dipasang sepanjang tajuk di malam itu.
"Ayahku sudah memberi ijin bahwa aku diperbolehkan ikut kalian menjadi cantrik di Padepokan
198 Bajra Seta", berkata Lawe kepada Mahesa Amping dan
Raden Wijaya. "Mudah-mudahan sainganku tidak bertambah",
berkata Mahesa Amping sambil merangkai janur.
"Saingan dalam hal apa?", bertanya Lawe tidak
mengerti. "Ada seorang gadis yang diam-diam dicintai, tapi
ketika aku datang gadis itu jatuh cinta padaku", berkata
Raden Wijaya membantu menjelaskan apa yang
dikatakan Mahesa Amping. Dan Lawe langsung
tersenyum mengerti apa yang maksud dari perkataan
Mahesa Amping. "Jadi sahabat kita ini takut kalau aku akan ikut
bersaing?", berkata Lawe sambil melirik Mahesa Amping
yang sepertinya tidak mendengarkan celoteh Lawe.
"Begitulah", berkata
pertanyaan Lawe. Raden Wijaya menjawab "Apakah gadis itu begitu cantik?", bertanya Lawe
"Begitulah", berkata Raden Wjaya
"Apakah gadis itu bersuara merdu sebagaimana Ni
Sinden Ken Padmi ?" "Begitulah", berkata Raden Wijaya.
Begitulah mereka bertiga bercanda saling menggoda.
Terlihat mereka telah bersatu sebagaimana tiga sahabat
yang tidak mudah lagi dipisahkan. Hati mereka
sepertinya telah terikat. Seperti janur burung merak di
tangan Mahesa Amping yang terangkai begitu indah.
Mungkin hanya waktu sisa usia yang dapat memisahkan
mereka. Sebagaimana sebuah rangkaian janur yang
indah akan layu dan lekang dimakan waktu.
199 Dan waktu yang ditunggu akhirnya tiba, malam
perayaan untuk dua ungkapan rasa sukur lahirnya
sebuah nama bagi Tanah perdikan dan resminya
Pangeran Kertanegara memboyong Menik Kaswari ke
Istana. Puncak perayaan adalah mendengarkan suara indah
Ni Sinden Ken Padmi membawakan empat belas
tembang macatan. Seluruh hadirin seperti tersirep diam
dan hening ketika suara Ni Sinden Ken Padmi mulai
mengalunkan tembang cinta asmaradana yang mendayu
dayu membawa pendengarnya dalam suasana cinta,
rindu dan kemesraan cinta. Jiwa hadirin yang telah
terbawa irama suara cinta itu tiba-tiba terhanyut oleh
suasana duka sedih penuh kecewa ketika suara indah Ni
Sinden Ken Padmi mengalunkan tembang Maskumambang. Jiwa pendengar tiba-tiba saja seperti
terlempar dalam medan perang grumuh, melompat,
menerkam dan menerjang musuh ketika suara Ni Sinden
Ken Padmi begitu menghentak-hentak penuh semangat.
Dan Ni Sinden Ken Padmi sang bidadari cinta penuh
pesona cahaya dewi panggung menutup suasana hati
pencintanya dengan tembang kenangan Kinanti dalam
irama kegembiraan penuh kasih sayang.
"Tidak pernah kulupakan seumur hidupku, mendengar langsung suara sinden kondang Singasari
ini", berkata Sembaga.
"Ternyata cerita orang tentang Ni Sinden Ken Padmi
bukan isapan jempol, seluruh jiwaku seperti hanyut
terbawa suaranya yang bening", berkata Wantilan.
Namun ketika semua orang tengah membicarakan
tentang indahnya suara Ni Sinden Ken Padmi, terjadi
sebuah kegaduhan besar. 200 "Tawanan hilang!!", terdengar suara entah dari mana
semakin lama bertambah saling mengulang kata yang
sama, "Tawanan hilang !!!!!"
Tampak beberapa orang berlari menuju bilik kecil di
banjar desa tempat Prastawa, salah seorang dari
sepasang iblis dari Gelang-gelang ditawan.
"Dia lari lewat wuwungan", berkata Ki Gede Banyak
Wedi yang melihat wuwungan di bilk itu yang rusak.
"Dahan pohon beringin itu mempermudah tawanan",
berkata Kebo Arema menunjuk sebuah dahan beringin
yang melunjur diatas atap bilik tempat tawanan dikurung.
Namun akhirnya, kegaduhan itu tidak berlarut-larut
merusak suasana perayaan yang meriah. Ki Gede
Banyak Wedi meminta semua orang kembali
ketempatnya menyaksikan beberapa tontonan yang
masih belum habis seperti tarian gemulai para gadis
cantik diiringi degung gamelan irama malam.
"Hiburan masih belum selesai, mari kita kembali",
berkata Ki Gede Banyak Wedi mengajak tamunya dan
semua orang untuk melupakan tentang tawanan yang
kabur, kembali menyaksikan hiburan di panggung yang
masih tersisa. Di ujung malam panggung hiburan telah berakhir.
Masih ada beberapa orang yang menyisakan paginya
disekitar panggung dan banjar desa hingga datangnya
fajar. Dan Matahari menggeliat malas mendatangi pagi. Di
pendapa beberapa orang telah berkumpul, sepertinya
akan melakukan perjalanan panjang.
"Menyerahkan kembali tusuk konde ini ke pemiliknya.
201 Aku ingin tahu bagaimana sikapnya pertama kali ketika
melihat tusuk konde ini", berkata Kertanegara
menjelaskan. "Kenapa harus kami bertanya Mahesa Amping yang menyerahkannya?", "Karena ini menyangkut rahasia keluarga", berkata
Kertanegara. "mengenai kapan kalian dapat menyampaikannya, tidak usah terburu-buru, kapan pun
kalian punya kesempatan waktu", berkata Kertanegara
melanjutkan. "Ingat, ini rahasia", berkata Kertanegara sambil
menyerahkan tusuk konde kepada Raden Wijaya.
Ternyata di balik permintaan Kertanegara, ada
sebuah keinginan lain dari pemikiran Kertanegara yang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu membaca masa depan dengan panggraitanya
yang tajam bahwa tiga pemuda belia ini mempunyai
masa depan yang gemilang. Perjalanan Raden Wijaya,
Mahesa Amping dan Lawe akan menambah wawasan
dan pendalaman mereka tentang keadaan daerah
Gelang-gelang dan sekitarnya. Permintaan Kertanegara
bermakna seperti senjata trisula. Banyak hal lain yang
diinginkan dari ketiga pemuda belia yang masih di
dekatnya itu. Seperti anak elang yang telah tumbuh
sayap, Kertanegara mulai melihat dunia perburuannya.
Dan sebagai seorang Panglima yang akan berperang,
Kertanegara sudah menemukan siapa saja yang akan
menjadi sayap-sayap tempurnya, menuju kemenangan
gemilang. Langit malam bertabur bintang. Suara debur ombak
semakin malam semakin keras terdengar. Dan api
unggun sudah semakin redup tidak ada lagi yang
menambahkan kayu kering. Penghuni gubuk kecil
202 beratap ilalang itu sudah jauh bemimpi. Dan pagi pun
telah datang. Dua buah jukung terlihat sudah menyusuri sungai
porong, membelakangi dan meninggalkan matahari yang
mengintip dibalik timur laut memberi cahaya di atas
pantai pasir putih muara porong yang indah.
Matahari pagi, perkampungan nelayan yang damai
dan pantai pasir putih muara porong yang indah sudah
lama tertinggal jauh. Dua buah jukung semakin jauh
masuk kepedalaman kegelapan hutan porong yang lebat.
Tepat manakala matahari telah bergeser dari
puncaknya, mereka telah sampai di tempat kediaman
Empu Dangka di tepian sungai.
Gubuk sederhana itu memang masih berdiri. Tapi
sepertinya sudah lama ditinggalkan oleh penghuninya.
Meski begitu mereka tetap beristirahat di tepian sungai
itu, membuka perbekalan yang mereka bawa.
Kebo Arema dan Kertanegara yang pernah lama
tinggal ditepian sungai itu masih tetap menyapu dengan
matanya setiap sudut tepian sungai masih berharap
Empu Dangka muncul. Tapi yang dinantikan tidak juga
ada. Akhirnya, setelah merasa cukup beristirahat di tepian
tempat dimana Empu Dangka pernah menghuninya,
merekapun melanjutkan perjalanan.
Matahari senja telah merebahkan dirinya, dua buah
jukung keluar dari mulut sungai hutan Porong. Air sungai
Brantas begitu tenang mengalir menyambut dua buah
jukung menggunting arusnya yang berlawanan arah.
Perjalanan memang masih panjang. Sang malam
telah datang memayungi Sungai Brantas dengan
203 kegelapannya. Kesunyian perjalanan malam menyusuri
sungai Barantas seperti berlalu melintas kuburan tua,
kesunyian begitu mencekam. Hanya suara dayung yang
dikayuh memecah air terdengar menyusup kesunyian
dalam cahaya lentera yang bergoyang.
"Kita berhenti sambil menunggu fajar", berkata Kebo
Arema ketika merasa hari telah jauh diujung malam.
Merekapun mencari daerah terbuka. Di sebuah
tempat di tepian yang berbatu mereka menyandarkan
jukungnya. Mahesa Amping dan Bhaya terpilih mendapatkan
giliran berjaga. Di belakang mereka hutan lebat dalam
kekelaman yang pekat. Sesekali terdengar suara anjing
hutan saling berebut daging buruan, setelah itu malam
menjadi sepi kembali. Tidak ada hal yang berarti yang mengganggu
istirahat mereka di malam itu. Dan pagi pun akhirnya
datang juga. Hutan gelap di belakang mereka sudah
berubah menjadi terang oleh cahaya matahari pagi,
terlihat jelas deretan pohon besar berdiri menjulang tinggi
dirambati rotan liar dan tangkai tanaman menjalar
menutupi pokok-pokok batang kayu yang besar. Sebuah
hutan liar yang masih perawan.
Setelah bersih-bersih diri mereka pun terlihat tengah
mempersiapkan diri melanjutkan perjalanannya.
"Setengah hari perjalanan kita sudah sampai di
Bandar Cangu", berkata Kebo Arema menjelaskan jarak
perjalanan mereka. Terlihat dua buah jukung meluncur menggunting arus
sungai Brantas. Kadang di tengah perjalanan bersisipan
dengan perahu kapal dagang. Atau melewati beberapa
204 nelayan di atas jukung kecil melemparkan jalanya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kebo Arema, di
saat matahari telah turun bergeser sedikit dari
puncaknya, mereka telah tiba di Bandar Cangu yang
ramai. Berjejer perahu kapal dagang tengah bersandar.
Di sebuah dermaga yang tidak begitu ramai mereka
menyandarkan jukungnya. Terlihat mereka memasuki sebuah kedai, Seorang
pelayan datang menghampiri.
"Pesan makanan apa tuan muda", berkata pelayan itu
kepada Lawe yang memanggilnya dengan sebutan tuan
muda. "Aku pesan nasi srundeng hangat lengkap dengan
daging empalnya", berkata Lawe kepada pelayan itu.
Disiang hari itu pengunjung kedai terus bertambah. Di
sudut kedai Nampak dua orang pedagang tengah
menikmati makanannya sambil berbincang-bincang
sekitar keamanan nagari Singasari yang semakin aman,
perampokan sudah jarang sekali terdengar baik di darat
maupun di perjalanan sungai sepanjang Brantas.
"Sejak berdirinya Benteng Cangu, perjalanan
sepanjang sungai Brantas ini menjadi aman. Sudah ada
gardu jaga di sepanjang sungai", berkata seorang
pedagang berwajah bulat sambil meneguk minumannya
"Mudah-mudahan Putra Mahkota dapat melanjutkan
keadaan hal ini", berkata temannya yang berkumis tebal.
"Itulah yang kita harapkan sebagai seorang
pedagang", berkata pedagang yang berwajah bulat.
"Tapi aku melihat sesuatu yang lain di Gelanggelang", berkata Pedagang yang berkumis tebal.
"Sebuah persiapan besar tengah dilakukan di sana",
205 lanjut pedagang berkumis tebal itu lagi.
"Persiapan dalam hal apa?", bertanya pedagang
berwajah bulat. "Persiapan sebuah pasukan yang besar", berkata
pedagang berkumis tebal "Dari mana kamu mengetahuinya",
pedagang berwajah bulat menjadi penasaran.
bertanya "Seorang temanku mendapat pesanan lima ribu jenis
senjata. Dari temanku itulah aku kebagian rejeki
mendapat seribu pesanan senjata tombak", berkata
pedagang berkumis tebal. "Bukankah pembelian senjata suatu yang wajar?",
bertanya pedagang bewajah bulat.
"Bila hanya lima ribu senjata memang dapat
dimengerti, mungkin untuk mengganti senjata mereka
yang sudah usang. Tapi sebulan sebelumnya mereka
juga telah memesan jumlah yang sama kepada temanku
itu", berkata pedagang berkulit tebal.
Ternyata pembicaraan mereka diam-diam didengar
oleh Kertanegara yang duduk tidak begitu jauh dari
kedua pedagang itu. Kertanegara sepertinya berpurapura tidak memperhatikan mereka, sepertinya tengah
asyik menikmati hidangan di depannya. Berharap ada
pembicaraan lain yang berguna.
Tapi harapan Kertanegara tinggal harapan, di depan
kedai telah terjadi keributan, perhatian kedua pedagang
telah beralih ke depan kedai itu.
Mahesa Semu yang sudah menyelesaikan hidangannya berjalan mendekati pintu kedai. Ternyata
diluar kedai telah terjadi keributan kecil para buruh
angkut barang. Syukurlah tidak berlanjut karena entah
206 dari mana telah datang dua orang prajurit melerai
mereka. Ternyata Mahesa Semu mengenal salah seorang
prajurit itu, yang tidak lain adalah Dadulengit.
Mahesa Semu mengajak Dadulengit dan temannya
kedalam kedai. Bukan main senangnya Dadulengit
bertemu kembali dengan orang-orang dari Padepokan
Bajra Seta. Siang itu juga, rombongan di antar Dadulengit
singgah di Benteng Cangu.
"Selamat datang Pangeran", berkata Senapati
Mahesa Pukat menyambut Pangeran Kertanegara
bersama rombongan kecilnya.
"Kalian telah menunaikan tugas dengan baik",
berkata Senapati Mahesa Pukat memberi selamat
kepada para cantrik utama Padepokan Bajra Seta.
Setelah bercerita tentang keselamatan masingmasing. Senapati Mahesa Pukat ingin mendengar
langsung cerita perjalanan mereka di Pulau Madhura.
Wantilan mewakili kawan-kawannya bercerita sekitar
perjalanan mereka di Pulau Madhura.
Suasana di pendapa utama benteng cangu itu
menjadi seperti hening manakala Senapati Mahesa
Pukat menyampaikan berita duka cita, Ayahnya
Mahendra telah meninggal dunia.
"Aku mendapat kabar sehari setelah kalian
meninggalkan Bandar Cangu ini", berkata Senapati
Mahesa Pukat menjelaskan kapan ayahnya Mahendra
meninggal dunia. Mahesa Amping yang biasanya sangat tabah, tidak
mampu menutup rasa dukanya. Terlintas bayangan
207 wajah Mahendra yang begitu penuh senyum saat
memberinya dasar kanuragan. Terlihat Mahesa Amping
menunduk dalam menahan agar air matanya keluar dan
mencoba menguasai gelombang perasaannya dukanya.
"Sri Maharaja telah berkenan mencandikan jasadnya
di Gunung Arjuna", berkata Senapati Mahesa Pukat
menjelaskan dimana jasad Mahendra di kebumikan.
"Seorang yang setia pada pengabdiannya", berkata
Kebo Arema ketika mengetahui siapa Mahendra lewat
penjelasan Kertanegara. Senjapun datang meredup rasa duka yang berlarut
melepas perasaan yang terhanyut, perlahan Mahesa
Amping sudah dapat menguasai perasaannya,
menyadari bahwa hidup dan mati adalah sebuah takdir
yang sudah digariskan. Semua akan kembali kedalam
keabadian Sang Hyang Maha Karsa.
Malam pun berlalu dalam sebuah perjamuan besar di
Pendapa utama Benteng Cangu. Senapati Mahesa Pukat
bersedia menyediakan prajuritnya mengawal Pangeran
Kertanegara bersama calon istrinya Menik Kaswari.
Akhirnya disepakati, para cantrik padepokan Bajra Seta
akan langsung kembali ke padepokannya, sementara
Kebo Arema dan Bhaya akan terus bersama Kertanegara
tinggal di Kotaraja sesuai dengan permintaan Pangeran
Kertanegara. "Paman Sembaga sudah lama meninggalkan
Padepokan Bajra Seta, sudah rindu berat untuk segera
turun ke sawah", berkata Senapati Mahesa Pukat yang
seperti dapat membaca hati Sembaga dan kawankawannya.
Bersama datangnya pagi, bersama geliat lalu lalang
di sekiatar Bandar Cangu yang ramai, sebuah
208 rombongan telah keluar meninggalkannya. Dan di
sebuah jalan yang bercabang, rombongan itu pun
terpecah. Pangeran Kertanegara dan Menik Kaswari
bersama Kebo Arema, Bhaya dan sekelompok prajurit
mengambil arah jalan ke arah Kotaraja Singasari.
Sementara rombongan lainnya terlihat mengambil jalan
lain, mereka adalah para cantrik utama Bajra Seta
bersama Lawe seorang putra tunggal Ki Gede Banyak
Wedi yang telah diijinkan menuntut ilmu di Padepokan
Bajra Seta. Langit cerah memayungi lima ekor kuda berlari
menembus hutan ilalang. Tiga ekor kuda Nampak selalu
berjalan beriring di muka, penunggangnya masih muda
belia sementara itu di belakang mereka tiga ekor kuda
yang selalu mengikuti dan mengimbangi laju kuda
mereka. Tiga orang penunggang kuda yang masih muda belia
adalah Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe.
Sementara di belakang mereka yang selalu mengikuti
adalah Sembaga, Wantilan dan Mahesa Semu. Hati
mereka semua sudah terpaut untuk segera sampai di
Padepokan Bajra Seta. Sepanjang hari mereka memacu
kudanya, di bulakan panjang atau di hutan ilalang. Di
malam hari baru mereka beristirahat, kadang di banjar
desa sebuah Padukuhan atau di tanah terbuka di bawah
pohon besar agar sedikit berlindung dari angin malam.
Hari itu matahari senja sudah membayangi bumi
ketika mereka keluar dari sebuah hutan. Jarak
Padepokan Bajra Seta cuma terhalang bukit kecil.
Matahari sudah bersembunyi di ujung cakrawala
ketika mereka sampai diatas puncak bukit kecil. Di depan
mata mereka memandang hamparan hijau sawah dalam
gugus petak bersusun bertingkat.
209 "Rumput-rumput liar di sawah menanti kita", berkata
Wantilan sambil memacu kudanya menapaki bulakan
panjang.

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari memang sudah hampir gelap manakala mereka
telah sampai di muka gerbang Padepokan Bajra Seta.
Segenap penghuni Padepokan menyambut suka cita
kedatangan mereka. "Kami membawa putra Ki Gede Banyak Wedi,
namanya Lawe", berkata Wantilan ketika mereka sudah
naik pendapa utama memperkenalkan Lawe kepada
Mahesa Murti. "Aku merasa tersanjung dititipi putra Paman Bahyak
Wedi di Padepokan ini", berkata Mahesa Murti menerima
Lawe seperti keluarganya sendiri.
Mulai hari itu Lawe telah menjadi cantrik di
Padepokan Bajra Seta. Setahap-demi setahap tataran
ilmu Lawe terus meningkat. Berlatih bersama Mahesa
Amping dan Raden Wijaya telah membuat perkembangan ilmu Lawe semakin pesat.
Tidak ada perbedaan di Padepokan Bajra Seta,
semua bahu membahu bekerja untuk memenuhi
kehidupan mereka sendiri, disamping olah kanuragan
dan olah kajiwan yang dipimpin langsung oleh Mahesa
Murti sebagai ketua tunggal Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu kedatangan Kertanegara di Kutaraja
disambut dengan suka cita. Sri Maharaja menerima
Menik Kaswari sebagai menantunya. Dan pada hari itu
juga telah dilangsungkan upacara peresmian mereka
dengan upacara kebesaran kerajaan.
Dalam sebuah kesempatan, Kertanegara telah
memperkenalkan Kebo Arema kepada Sri Maharaja.
210 Ternyata mereka berdua merasa begitu cocok. Keduanya
mempunyai pandangan yang sama tentang dunia bahari.
"Jadi kamu berasal dari suku air", berkata Sri
Maharaja setelah mengenal Kebo Arema lebih jauh lagi.
"Ada yang bilang bahwa suku air punya nyawa rangkap
tiga ?" Tersenyum Kebo Arema mendengar pertanyaan Sri
Maharaja. "Mungkin yang dimaksud tuanku, bahwa suku
air adalah orang yang tidak pernah takut menghadapi
badai, topan dan ombak. Setiap orang suku air pernah
mengalami terapung berhari-hari di tengah laut,
terdampar di pulau kosong atau sekarat terkena racun
ikan laut paling ganas sekali pun".
Demikianlah awal pertemuan Kebo Arema dengan Sri
Maharaja. Mereka sama-sama mempunyai pandangan
yang sama tentang dunia bahari yang mereka sepakati
menyebutnya sebagai kerajaan air. Hari-hari selanjutnya,
Kebo Arema begitu sering dipanggil ke istana di tempat
pribadi Sri Maharaja. Kadang mereka berbincang sampai
jauh malam. Hari itu kembali Kebo Arema di panggil menghadap
Sri Maharaja. "Kebo Arema", berkata Sri Maharaja. "Dalam sebuah
perjalanan pulang dari subuah jiarah suci di Biara
Beduhur, dalam tujuh malam aku bermimpi dengan
mimpi yang sama" "Gerangan apa yang tuan mimpikan ?", bertanya
Kebo Arema menjadi sangat ingin tahu apa yang Sri
Baginda mimpikan itu. "Dalam mimpi itu, aku masih ada di dalam biara
Beduhur memandang sebuah lukisan Jung besar
211 berlayar yang megah bagai sebuah Jung para dewa.
Entah dari mana datangnya, di sebelahku telah berdiri
seorang pemuda berjubah putih, rambutnya terurai tanpa
ikat kepala. Pemuda itu memandangku dengan
tersenyum begitu ramah sambil menunjuk ke arah
gambar di batu itu dan berkata bahwa akulah yang
berjodoh dapat membawa lukisan di batu itu keluar dari
biara Beduhur. Sampai tujuh malam berturut-turut aku
bermimpi yang sama", berkata Sri Maharaja bercerita
tentang mimpinya. "Kita bertemu dengan pemuda yang sama dalam
mimpi", berkata Kebo Arema
"Apa yang kamu mimpikan?", terheran Sri Maharaja
mendengar ucapan Kebo Arema.
"Pada waktu itu aku terapung apung di tengah lautan,
jukungku pecah dihantam badai gelombang. Tujuh
malam di tengah lautan aku bermimpi yang sama. Dalam
mimpiku aku telah ada di atas Jung besar yang tidak
pernah kulihat sepanjang hidupku. Entah dari mana
disampingku berdiri seorang pemuda berjubah putih,
rambutnya terurai tanpa ikat kepala. Pemuda itu berkata
kepadaku, bahwa aku berjodoh membawa dan memiliki
Jung besar itu", berkata Kebo Arema bercerita tentang
mimpinya. "Apakah kamu pernah bercerita tentang mimpimu itu
kepada orang lain?" bertanya Sri Maharaja.
"Hamba cuma bercerita kepada kakek hamba.
Setelah mendengar cerita mimpi itu, kakek hamba hanya
mengatakan bahwa Gunadharma leluhur para suku air
telah menyelamatkan hamba", berkata Kebo Arema.
"Pemuda yang kamu mimpikan Gunadharma?" bertanya Sri Maharaja
bernama 212 "Apa yang Tuanku ketahui mengenai Gunadharma
leluhur kami?", bertanya Kebo Arema
"Gunadharma adalah murid seorang Brahmana sakti,
konon dialah yang dipercayakan Raja Samaratungga
membangun biara di atas bukit Beduhur", berkata Sri
Maharaja. "Aku akan menatah gambar di atas kulit rontal",
berkata Kebo Arema sambil mengambil selembar kulit
rontal dan menatahnya. Ternyata tatahan Kebo Arema
melukiskan sebuah Jung Besar.
"Lukisan inikah yang terpahat di Biara Beduhur?",
bertanya Kebo Arema "Benar, kamu dapat melukisnya begitu indah",
berkata Sri Maharaja memuji tatag Kebo Arema di atas
kulit rontal "Hamba tidak pernah berkunjung ke biara Beduhur,
lukisan ini adalah Jung besar yang ada dalam mimpi
hamba". "Ternyata kita telah berjodoh, sebagaimana Raja
Samaratungga dan Gunadharma membangun mimpi
mereka membangun biara besar di atas bukit Beduhur".
"Maksud tuanku, kita bersama membangun Jung
para dewa itu?", bertanya Kebo Arema
"Benar, kita bukan hanya membangun Jung besar itu,
tapi kita akan membangun kerajaan air bersama",
berkata Sri Maharaja dengan penuh semangat, telah
dapat membatang tafsir mimpinya.
"Mulai hari ini, aku serahkan mimpiku kepadamu,
membuat jung besar para dewa", berkata Sri Maharaja.
"Titah tuanku akan hamba junjung segenab hati",
213 berkata Kebo Arema dengan penuh hormat.
"Kutitipkan juga, Putra Mahkota bersamamu", berkata
Sri Maharaja sambil tersenyum, dalam hati telah
bersyukur bahwa Pangeran Kertanegara telah mendapatkan sahabat sejati seperti Kebo Arema.
Keesokan harinya, Sri Maharaja telah memanggil
Mahapatih untuk membuat persiapan sebuah prasasti
pengukuhan sebuah usaha besar membangun kerajaan
air di bumi Singasari. Gegap gempita suasana di seluruh penjuru bumi
Singasari mendengar rencana besar itu. Ada yang
gembira dan bangga. Tapi ada juga sebagian yang
merasa ketakutan, menjadi semakin merasa terancam.
Diam-diam menyebarkan kebencian bahwa Sri Maharaja
telah menjadi pikun, telah melakukan perbuatan sia-sia.
Pagi itu tanah Kutaraja masih basah, gerimis di
malam hari menggenangi banyak tanah berlubang. Tiga
ekor kuda terlihat keluar dari gerbang kota. Mereka
adalah Kebo Arema, Bhaya dan Pangeran Kertanegara
yang akan melakukan perjalanan menuju Bandar Cangu.
Disanalah mereka akan membuat sebuah sejarah
baru di bumi Singasari, membangun jung besar
sebagaimana terpahat di dinding Biara Bukit Beduhur.
Jalan yang mereka lewati adalah jalan lintas
perdagangan. Beberapa gerobak dengan muatan penuh
tampak terlihat tengah berjalan pelan menuju Kutaraja.
"Sudah lama tidak terdengar ada perampokan di
sepanjang perjalanan ini", berkata Pangeran Kertanegara. "Kelak akan juga dirasakan keamanan perjalanan di
perairan", berkata Kebo Arema. "Tentunya setelah
214 berdirinya sebuah kerajaan air yang akan kita bangun",
berkata Kertanegara penuh semangat.
"Disamping para perampok, masih ada segelintir
orang yang merasa terancam berdirinya sebuah
kekuatan di perairan", berkata Kebo Arema
"Yang pasti mereka akan melemparkan duri di
sepanjang perjalanan kita", berkata Pangeran Kertanegara. "Itulah salah satu yang harus kita waspadai", berkata
Kebo Arema sambil memandang jauh ke ujung batas
cakrawala. Sementara itu matahari telah jauh bergeser ke barat.
Langkah kaki kuda mereka sudah hampir mendekati
Bandar Cangu. "Selamat datang di benteng Cangu", berkata
Senapati Mahesa Pukat menyambut kedatangan mereka
di pendapa utama Benteng Cangu.
Setelah menyampaikan berita keselamatan masingmasing. Pangeran Kertanegara menyampaikan tujuan
dan rencananya, yaitu membuat sebuah jung besar yang
belum ada sebelumnya di jaman itu.
"Sebuah kebanggaan yang besar bila aku terlibat
dalam karya yang maha besar ini", berkata Senapati
Mahesa Pukat memberikan dukungannya.
Akhirnya pembicaraanpun semakin mendalam,
semakin terinci. Mulai dari penempatan galangan,
pencarian bahan kayu dan berlanjut kepada penggalangan prajurit yang akan menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari jung besar itu sendiri.
"Prajurit air", berkata Senapati Mahesa Pukat setelah
merasa mengerti apa yang harus mereka lakukan
215 mewujudkan impian Sri Maharaja membangun sebuah
Bu Kek Kang Sinkang 2 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Badai Laut Selatan 9
^