Pencarian

Kaki Tiga Menjangan 22

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 22


tempat tidur bocah itu, dia menghentikan langkah kakinya, Diperhatikannya si paman
guru dengan seksama, wajah Siau Po pucat pasi, nafasnya tersengal-sengal.
Cepat-cepat dia meraba nadi Siau Po. Lega juga hatinya karena denyutan masih
berjalan biasa, Tidak ada tanda-tandanya bahaya mengancam.
"Selamat, Susiok!" katanya dengan nada gembira, "Lukamu ini tidak mengancam
jiwa." Si hwesio segera meraba punggung bocah itu, yakni di jalan darah Leng Tay, Di situ
dia menekan untuk menyalurkan tenaga dalamnya dan membantu si anak muda agar
lukanya lebih cepat sembuh.
Sekejap kemudian Siau Po sudah sadar dan lebih bersemangat dari sebelumnya.
"Bagaimana, Lo sutit?" tanyanya, "Apakah Sutit sudah mengingat semua jurusnya
baik-baik?" "Aku sudah ingat, Susiok," sahut Teng Koan, "Yang sulit justru mempelajari cara
memecahkan semua jurus itu."
"Cukup asal kau dapat mengingat semua jurus serangannya." kata Siau Po. Tentang
cara pemecahannya, bisa kita pelajari perlahan-lahan."
Teng Koan menganggukkan kepalanya.
"Susiok benar." sahutnya.
Sembari berbicara, si hwesio menghentikan bantuan tenaga dalamnya.
"Kalau jurus-jurus tangan kosongnya sudah terkuras habis, kita harus memancingnya
menyerang dengan senjata tajam." kata Siau Po pula. "Kalau dia menggunakan
goloknya nanti, Sutit harus mengingat setiap gerakannya baik-baik!"
Kembali si hwesio menganggukkan kepalanya.
"Tapi sayang sekali goloknya telah menancap di tiang penglari." katanya.
"Apakah Sutit tidak bisa mencelat ke atas mengambilnya?" tanya Siau Po.
"lya, benar." sahut si hwesio kikuk karena dia tidak berpikir sejauh itu." Sutit memang
tolol sekali Tawa si hwesio nyaring dan lantang sehingga si nona terjaga dari pingsannya, Tibatiba
dia menumpu tangannya pada lantai dan mencelat bangun. Rupanya hal pertama
yang diingatnya hanya melarikan diri dari tempat tersebut.
Mata Teng Koan sangat awas dan gerakan tangannya juga cepat sekali. Melihat
tindakan si nona, dia segera mengibaskan lengan bajunya.
Nona itu terhuyung-huyung, tubuhnya membentur dinding. Dia tidak bisa meloloskan
diri dari ambang pintu. Si hwesio terus bergerak tanpa menunggu sedetik pun. Kali ini dia menggerakkan
tangan kirinya untuk menghadang seandainya si nona akan menerjang ke bagian pintu
kembali sedangkan tangannya yang lain membantu si nona berdiri.
Dengan demikian si nona jadi berdiri tegak. pikirannya ruwet sekali Dia langsung
sadar bahwa sia-sia saja dirinya berusaha melakukan perlawanan Dia sudah melihat
bahwa hwesio itu lihay sekali. Akhirnya dia menyurut mundur dua langkah dan duduk di
atas sebuah kursi. Teng Koan menatapnya dengan heran.
"Eh, apakah kau tidak akan menyerang lagi?"
Nona itu menjawab dengan nada penasaran. "Aku toh tidak dapat menandingimu,
untuk apa aku menyerang terus?"
Dengan tampang ketolol-tololan, Teng Koan berkata.
"Kalau kau tidak menyerang lagi, mana aku bisa tahu jurus apa saja yang kau
kuasai" Dengan demikian mana mungkin aku memikirkan cara untuk memecahkannya"
Ayo, cepat maju lagi, seranglah aku!"
Bagian 45 Diam-diam si nona jadi berpikir
-Bagus, ya! Rupanya kau sengaja memancing aku turun tangan, dengan demikian
kau bisa mengetahui asal-usul silatku, Tidak! Aku justru tidak sudi memperlihatkannya
kepadamu! Dengan membawa pikiran demikian, si nona bangkit kembali Lalu dia mulai
melakukan penyerangan Baik dengan satu kepalan atau keduanya sekaligus, Dia
menyerang kalang kabut, sama sekali tanpa menggunakan jurus silat mana pun. Teng
Koan menjadi heran. "Aneh! Luar biasa! Sungguh istimewa! Mengherankan!"
Semua pukulan dan tendangan yang dilancarkan si nona, dia belum pernah
melihatnya. Saking bingungnya pikirannya pun menjadi kacau, Apakah itu ilmu silat"
Mengapa gerakannya demikian kacau" Dia tidak pernah mengira bahwa nona itu
memang sengaja menyerang dengan kalang kabut, Dia juga tidak menyangka si nona
berani berbuat demikian karena tidak takut lagi dirinya akan dibunuh atau dilukai,
paling-paling dia ditotok.
Kalau orang lain pasti akan melihat tingkah si nona yang lucu, tapi Teng Koan terlalu
naif, dia malah merasa aneh dan heran Otaknya berpikir keras, Setelah lewat belasan
jurus, dia masih terbenam dalam keragu-raguan.
"Aneh! Aneh!" gumamnya seorang diri. Matanya dipertajam Biar bagaimana dia
harus membela diri, Dia menduga gadis itu menggunakan ilmu Bu Tong Pai atau Kong
Tong Pai, tapi dia belum bisa memastikannya.
Karena sangsi, hwesio tua itu tidak berani sembarangan menangkap tangan atau
kaki lawan, dia takut tipuan jurus yang digunakan si gadis masih asing baginya, Yang
membingungkan, nona itu juga menjambak bagian kepalanya, padahal dia tahu benar
seorang hwesio pasti berkepala gundul.
Semakin lama, serangan si nona semakin kacau, akhirnya Teng Koan jadi risih
sendiri. Siau Po yang berbaring di atas tempat tidur menyaksikan jalannya pertempuran
dengan memiringkan tubuhnya sedikit Dia menyaksikan gadis itu menyerang dengan
serabutan dan Teng Koan repot membela diri.
Dia merasa pertarungan itu aneh sekali sehingga tanpa sadar dia tertawa. justru
karena tertawa, lukanya terasa nyeri kembali sehingga dia menjerit perlahan. Dia
menahan rasa sakitnya dan terus menonton pertarungan yang lucu. Baginya,
pertarungan itu merupakan suatu pemandangan yang menarik.
Wajah Teng Koan memerah mendengar suara tawa paman gurunya.
- Tentu susiok menertawakan aku karena dia menyangka aku tidak mengenali jurusjurus
yang digunakan nona ini. -- Demikian pikirnya dalam hati, -- Aku khawatir nanti dia
akan menyuruh si nona menjadi ketua Poan Jian Tong untuk menggantikan aku....-Dia melirik kepada paman gurunya yang menunjukkan wajah sedih, padahal Siau Po
bukan bersusah hati, tapi sedang merasa sakit dan berusaha menahannya, Tapi Teng
Koan berpikir kembali - Hati Susiok sangat baik, Rupanya tidak tega mengatakannya kepadaku, sebaiknya
aku sendiri yang menyerahkan kedudukanku ini kepada si nona.... "
Meskipun otaknya sedang berpikir, si hwesio tetap sibuk melayani nona berbaju hijau
itu. Dia repot menangkis ke sana ke mari untuk melindungi dirinya, tapi dia tidak
membalas menyerang karena khawatir akan melukai si nona. Karena itu, dia benarbenar
repot jadinya. Pertarungan yang tidak karuan itu terus berlangsung. Lama-lama si nona menjadi
letih sendiri, dia selalu memukul dan menendang dengan serampangan, gerakannya
pun cepat sekali. Dia khawatir nanti akan dikalahkan lagi oleh si hwesio, pikirannya menjadi tidak
tenang, Apalagi sampai sekian lama dia tetap tidak berhasil mengalahkan Teng Koan,
akhirnya setelah bertarung sekian lama, tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya sebelum
terhuyung-huyung sejenak.
Teng Koan merasa terkejut dan heran.
- Apakah ini juga sebuah jurus tipuan" -- pikirnya, -- Sungguh luar biasa akal muslihat
yang digunakannya! Bagaimana kalau aku tidak ... dan dalam keadaan terduduk di atas
tanah tiba-tiba dia melakukan penyerangan kepadaku" -Pusing kepala Teng Koan memikirkannya, karena itu tanpa terasa ia ikut terjatuh
duduk di atas lantai. Nona itu girang sekali melihat orang terjatuh dengan sendirinya. Tapi dia tidak berani
maju atau mendekat karena khawatir Teng Koan hanya menggunakan akal Tanpa
menunda waktu lagi, dia segera melompat bangun dan lari ke luar menurutnya, lari
adalah jalan yang terbaik.
Di luar kamar ada beberapa orang hwesio yang sedang berkumpul Mereka melihat
nona itu ke luar dari ruangan Pan Jiak Tong, tapi mereka tidak berani menghadang atau
mencegahnya, Hal ini disebabkan mereka tidak mendapat perintah apa-apa dari sang
ketua, Mereka hanya merasa heran...
Sementara itu, Siau Po masih berbaring di atas tempat tidur Dia melihat nona itu
melarikan diri, tapi dia tidak berdaya melakukan apa-apa, dia hanya bisa menatap
dengan pikiran kalut. Tidak lama kemudian Teng Koan baru tersentak sadar wajahnya menjadi merah
padam. Hal ini membuktikan bahwa ia merasa malu sekali.
"Susiok, aku malu.,." katanya kemudian Dia merasa tidak sanggup mengalahkan si
nona. Siau Po tertawa sumbang. "Sutit, sebenarnya apa yang menjadi pikiranmu?" tanyanya.
"llmu silat nona itu aneh sekali," kata Teng Koan, "Aku tidak dapat mengenali
jurusjurus yang digunakannya, Maksudku, ketika dia menyerang aku belakangan." Dia masih
merasa jengah, Dia masih tidak sadar si nona menyerang tanpa menggunakan jurus
ilmu mana pun. Siau Po tertawa. "Apakah kau bermaksud mengatakan ilmu silat si nona itu lihay sekali?" tanyanya,
"Sungguh menggelikan Bukankah serangannya itu hanya ngawur saja?"
Sang keponakan murid menatap Siau Po dengan tajam.
"Apa Susiok maksudkan bahwa serangannya itu hanya sembarangan" Apakah
gerakannya tadi bukan karena ilmu silatnya yang aneh?" tanyanya kembali
Siau Po ingin tertawa, tapi dia mengurungkannya, Sebab lukanya sakit sekali, dia
hanya menyeringai lalu terbatuk-batuk, Keringat dingin juga membasahi keningnya.
"llmu yang digunakannya pasti di kuasai setiap bocah cilik!" katanya.
Teng Koan tertegun, Tampak dia masih merasa ragu-ragu, Kemudian dia menarik
nafas dalam-dalam untuk melegakan hatinya.
"Benarkah serangannya hanya ngawur saja?" tanyanya lagi setelah lewat sesaat.
"Di dalam biara Siau Lim Sie, pasti tidak ada ilmu silat seperti itu." katanya sambil
tertawa, Untuk sesaat, dia sampai lupa tentang sakit dan kesedihan hatinya.
Teng Koan berdiam diri Tampaknya dia sedang berpikir keras,
"Aih!" tiba-tiba dia berseru sambil menepuk pahanya, Ah! Aku memang tolol sekali!
Iya! Serangan-serangan itu memang tanpa ada juntrungan, Dengan ilmu silat Tiang Kun
yang paling rendah sekalipun pasti dapat aku merobohkannya, Namun...." Dia terdiam
lagi sejenak, lalu melanjutkan kembali.
"Nona itu sungguh aneh! Mengapa dia menggunakan gerakan seperti itu" Bukankah
dengan demikian dia hanya mempermalukan keluarga atau partai nya sendiri?"
"Aku justru merasa tidak ada yang aneh pada nona itu," sahut Siau Po. "Dia memang
sengaja tidak menggunakan ilmu silat apa pun tapi menyerang secara membabi buta."
Paman guru itu kembali tertawa, sedangkan Teng Koan tetap berdiam diri, dia tidak
tahu apa yang harus dikatakannya.
Belasan hari telah lewat, Siau Po pun sudah sembuh dari lukanya, Obat luka Siau
Lim Pay memang terkenal mujarab, Di dalam biara itu, kedudukannya tetap tinggi sekali
karena dia merupakan wakil raja, Asal dia mau, apa pun dapat dilakukannya dan tidak
ada seorang pun yang berani menegur apalagi melarangnya, kecuali dia
mengatakannya sendiri, tidak ada seorangpun yang berani menanyakan apa yang
dilakukannya. Kali ini Siau Po berbeda dari sebelumnya, Dia tertarik pada apa saja, tapi dia tidak
tekun belajar atau berlatih, Dia memang bengal dan nakal Dia selalu mengikuti
kemaunnya sendiri. Tan Kim Lam memberikan sejilid kitab ilmu silat kepadanya, dia
hanya mempelajarinya satu dua kali, kemudian dia menjadi malas melihatnya lagi.
pelajaran peninggalan Hay Tay Hu lebih mudah dipahaminya, tapi dia hanya
mempelajarinya satu hari, sedangkan sepuluh hari lainnya dia lebih banyak bermainmain.
Enam jurus yang lihay dari Hong kaucu dan Hong hujin juga dipelajari seenaknya,
begitu meninggalkan pulau Sin Liong To, dia tidak mengingat-ingatnya lagi.
Sekarang, dia diajarkan oleh Teng Koan, sebaliknya dari biasa, dia justru belajar
dengan sungguh-sungguh, Karena ilmu-ilmu itu dapat digunakan untuk menaklukkan si
gadis berbaju hijau. Teng Koan mengingat baik-baik setiap jurus yang digunakan si nona berbaju hijau
lalu berusaha memecahkannya satu persatu, Dia mengajari paman gurunya jurus-jurus
pemecahannya, meskipun dia merasa heran dengan sikap Siau Po. Suatu saat dia
bahkan pernah berkata. "Susiok, untuk apa Susiok mempelajari semua ini" Menurut Sutit, sebaiknya Susiok
belajar dari awal, yakni dari ilmu Tiang Kun. Dengan demikian, kelak kepandaian Susiok
bisa mencapai taraf yang tinggi."
"Mengapa kau menganggap pelajaran ini tidak ada faedah nya ?" tanya Siau Po.
"Karena pelajaran ini tidak mempunyai landasan tenaga dalam." sahut Teng Koan,
"llmu silat seperti ini, asal Susiok bertemu dengan lawan yang kepandaiannya tinggi,
pasti Susiok tidak dapat menghadapinya. Kecuali kalau hanya digunakan untuk
menghadapi kedua nona itu...."
Siau Po tertawa, hatinya senang sekali.
"Bagus!" serunya, "Aku memang ingin menghadapi kedua nona itu."
Teng Koan menoleh kepada si paman guru dan menatapnya lekat-lekat Dia benarbenar
tidak mengerti jalan pikiran Siau Po.
"Susiok, kalau dikemudian hari Susiok tidak bertemu lagi dengan kedua nona itu,
bukankah pelajaran Susiok ini sia-sia belaka" Bukankah percuma saja Susiok
mempelajarinya dengan susah payah" Hanya membuang-buang waktu dan tenaga
saja. Sedangkan, waktu yang dihabiskan ini dapat digunakan untuk mempelajari ilmu
silat yang sesungguhnya."
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Kalau aku tidak bertemu lagi dengan kedua nona itu, tentu aku bisa mati." katanya,
"Karena itu, untuk apa aku mempelajari ilmu silat yang sesungguhnya?"
Teng Koan semakin heran. "Susiok," katanya, "Apakah Susiok telah terkena racun jahat nona itu sehingga biar
bagaimana pun Susiok harus menemukan mereka" Apakah tanpa obat penawar
mereka, Susiok akan menemui ajalnya?"
"Benar." sahut Siau Po tersenyum Dalam hati dia menertawakan keluguan si hwesio
yang tidak kenal asmara. "Aku memang telah terkena racun jahatnya, bahkan sudah
merasuk ke dalam tulang sumsum, Apabila aku tidak berhasil menemukan mereka, aku
pasti akan mati." "Oh, begitu rupanya!" kata Teng Koan. "Sute Teng Ciau merupakan ahli pengobatan
dalam kuil kami. sebaiknya aku undang dia untuk memeriksa keracunan dalam
tubuhmu...." "Tidak, tidak usah!" cegah Siau Po cepat "Racun ini bersifat Iamban. Hanya dia
sendiri yang dapat menyembuhkannya, Orang lain tidak mungkin bisa, lebih-Iebih Teng
Ciau." "Oh, jadi hanya dia sendiri yang memiliki obat pemunahnya..." kata Teng Koan raguragu.
"Ya... aku khawatir hanya dia yang memiliki obat penawarnya," sahut si paman guru.
Selanjutnya, Siau Po kembali belajar dengan serius. Dalam tempo dua bulan, dia
sudah mempelajari semua jurus yang dapat memecahkan ilmu si nona. Dia selalu
mengajak Teng Koan berlatih, Keponakan muridnya itu harus menyerangnya dengan
ilmu-ilmu yang dimiliki kedua nona itu.
Siau Po memang nakal Dia sering menjahili keponakan muridnya itu dan pura-pura
menganggapnya sebagai si nona berbaju hijau yang menawan hatinya itu.
Teng Koan yang polos tidak menghiraukan sikap paman gurunya, Dia malah mengira
Siau Po yang cerdik dapat mengubah jurus-jurus yang diajarkannya.
Pada suatu hari, ketika paman dan keponakan muridnya ini sedang berlatih dan
merundingkan ilmu golok si nona berbaju hijau, muncullah seorang hwesio dari Poan
Jiak Tong yang memberitahukan bahwa ada undangan dari Hong Tio atau ketua
mereka. Diharapkan Susiok cou dan supeknya itu hadir dalam pendopo besar
secepatnya, Siau Po dan Teng Koan langsung pergi ke Tay Hiong Po Tian, pendopo besar yang
dimaksudkan Di situ sudah berkumpul beberapa puluh orang tamu, Hui Cong Siansu,
ketua Siau Lim Sie sedang menemani mereka duduk, Sebagai tuan rumah, si hwesio
tua duduk si sebelah bawah.
Tampaknya ada tiga orang tamu yang dianggap terhormat Yang pertama seorang
pangeran Mongolia berusia kurang lebih dua puluh tahunan, Yang kedua seorang
lhama berusia sekitar lima puluhan tahun dan tubuhnya pendek serta kurus kering dan
kulitnya hitam sekali Yang ketiga seorang perwira berusia empat puluhan tahun. Dari
pakaian seragamnya, dapat diduga bahwa kedudukannya seorang Cong Peng atau
Brigadir jendral. Di belakang mereka berdiri puluhan tamu lainnya. Para perwira sebawahan atau
lhama biasa, Bahkan ada beberapa di antaranya yang berdandan seperti rakyat jelata,
Tapi dari bentuk tubuh mereka, dapat dipastikan bahwa mereka semua mengerti ilmu
silat. Begitu Hui Beng siansu atau Siau Po muncul, Hui Cong langsung bangkit
menyambut seraya memperkenalkan.
"Sute, para tamu agung telah bersedia mengunjungi kuil kami inilah pangeran
Kaerltan dari suku Cunkaerl di Mongolia. Dan ini lhama besar Tay Hoat su Zang Chi
dari Tibet, ini yang mulia Ma tayjin, Cong Peng sebawahan Raja muda Peng Si ong dari
In Lam. Dan saudara-saudara sekalian, ini Hui Beng siansu, adik seperguruan lolap."
Kemudian dia memperkenalkan adik seperguruannya itu kepada para tamunya.
Ketiga tamu itu memperhatikan orang yang diperkenalkan tersebut. Selain masih
muda usianya, Siau Po juga baru sembuh dari lukanya sehingga dia tampak kurus dan
lesu. "Ah! Khoceng ini sungguh menarik hati!" Demikian terdengar si pangeran berkata


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil tertawa-tawa. "Aneh! Aneh!"
Siau Po merangkapkan sepasang tangannya untuk memuji Sang Buddha, lalu dia
berkata. "Pangeran ini juga sangat lucu, Hi hi hi hi! Aneh sekali!"
Tiba-tiba wajah pangeran itu menunjukkan mimik kurang senang,
"Apanya yang lucu?" tanyanya, "Apanya yang aneh pada diriku?"
"Apa yang aneh pada diri Siau Ceng, itulah keanehan Yang Mulia," sahut Siau Po
yang membahasakan dirinya "Siau Ceng" atau hwesio cilik. "lbarat pinang di belah dua!
Silahkan! Silahkan!" katanya kemudian duduk di samping kakak seperguruannya atau
ketua biara Siau Lim Sie itu.
Teng Koan tidak diperkenalkan Dia duduk di belakang paman gurunya.
Pangeran beserta para tamu lainnya mendengar jawaban si hwesio cilik, mereka
merasa heran. Mereka menyangka hwesio cilik itu pasti luas sekali ilmu
pengetahuannya. Sementara itu, Hui Cong segera menanyakan maksud kedatangan para tamunya.
Zang Chi lhama yang memberikan jawaban.
"Sebenarnya kami bertiga hanya kebetulan bertemu dalam perjalanan. Kami telah
mendengar prihai ilmu silat yang ibarat gunung Thay san di wilayah Tiong goan. Kami
menjadi kagum sekali Kami bertiga tinggal di tanah perbatasan karenanya pendengaran
kami sangat terbatas. itulah sebabnya kami berseri untuk melakukan kunjunganmu
merantau. Untung sekali kami dapat bertemu dengan Kho ceng!"
Seperti yang diketahui, Kho Ceng artinya hwesio yang berilmu-tinggi.
Walaupun Jiang chi seorang lhama dari Tibet, tapi dia berbicara bahasa Tionghoa
dengan aksen Pe King. Kata-katanya jelas dan lancar. Gerak-geriknya pun sabar dan
halus, Coba dia tidak mengenakan baju jubah kuning, orang pasti mengira dia
penduduk Pe King dari kalangan atas.
"Pujian itu terlalu tinggi, tidak pantas kami menerimanya." kata Hui Cong merendah
"Sebaliknya kami mengagumi Mongolia, Tibet dan In Lam. Di ketiga tempat itu, umat
Buddha hidup rukun, maju dan subur. Mengingat pangeran bertiga telah menerima sinar
terang dari Sang Buddha, kami justru ingin memohon petunjuknya."
Hwesio ini pandai membawa diri. Ketika si lhama membicarakan ilmu silat, dia
mengalihkan kepada agama Buddha, Dia memang berpegang pada pokok tujuan Siau
Lim Sie yang mengutamakan agama, sedangkan ilmu silat hanya merupakan sarana
untuk menyehatkan tubuh dan membela diri.
Kemudian terdengar pangeran Kaerltan berkata.
"Siau Lim Sie mempunyai tujuh puluh dua macam ilmu silat yang telah menggetarkan
dunia persilatan. Boleh dikatakan sudah tidak ada tandingannya, Karena itu, dapatkah
kiranya Hong Tio meminta beberapa Kho Ceng menunjukkan kepandaiannya agar kami
dapat membuka mata?"
"Yang Mulia," kata Hui Cong tetap dengan nada merendah "Harap Hong tio ketahui,
tentang ilmu silat partai kami, apa yang tersiar di luaran hanya berlebihan, tidak
perlu dijadikan perhatian Yang benar, kami para pendeta hanya mmepelajari dan mendalami
agama, untuk mencari kebenaran dan mencapai kesempurnaan hidup, Memang ada
beberapa diantara kami yang belajar ilmu silat, tapi tujuannya hanya untuk membela diri
dan menjaga kesehatan pelajarannya sendiri tidak layak mendapat penghargaan...."
"Aih! Hong Tio, ternyata kau kurang berterus terang!" kata sang pangeran "Tunjukkan
saja ke-tujuh puluh dua macam ilmu silat partai kalian itu, kami pun tak lebih tak
kurang hanya ingin melihatnya saja, Bukankah kami tidak mungkin mencuri mempelajarinya"
Mengapa pandangan Hong tio demikian picik?"
Kejadian seperti ini sudah sering dialami oleh pihak Siau Lim Sie. Bahkan sudah
sejak seribu tahun yang lalu, Masalahnya nama kuil yang satu ini terlalu terkenal Ada
yang datang dengan kesungguhan hati untuk belajar, tapi tidak jarang juga yang
sengaja mencari gara-gara. Biasanya permintaan itu ditampik dengan cara halus serta
ramah tamah. Sekalipun orang yang kasar, mereka juga menghadapinya dengan sabar. Kalau
sampai ada yang melakukan kekerasan, pihak Siau Lim Sie baru mengambil tindakan
Begitu pula nada bicara sang pangeran, Hui Cong sudah biasa mendengarnya,
karena itu dia hanya tersenyum dan berkata.
"Pangeran Yang Mulia, kalau kedatangan kalian ini untuk membicarakan urusan
agama, maka lolap akan menghimpun seluruh murid untuk merundingkannya bersamasama."
katanya. "Tapi tidak demikian halnya kalau yang ingin dibicarakan itu soal ilmu silat, Ada
peraturan yang harus ditaati dalam kuil kami, yakni tidak boleh menunjukkan ilmu silat
di hadapan para tamu yang terhormat."
"Kalau begitu, nama besar Siau Lim Sie ternyata hanya kosong belaka." kata si
pangeran dengan suara keras. "Dengan demikian juga, ilmu silat Siau Lim Sie tidak
lebih dari angin busuk."
Hui Cong tertawa. "Manusia hidup di dunia, sebetulnya memang hanya menyandang nama kosong."
katanya, "Jadi ucapan Yang Mulia memang tepat sekali. Nama besar tidak bedanya
dengan angin busuk, tidak berharga sepeser pun. Nama hanya merupakan benda di
luar tubuh sesuatu, jadi ucapan pangeran memang benar sekali."
Kaerltan terdiam. Dia tidak menyangka hwesio tua ini demikian sabar, Dia berdiri,
untuk sesaat dia masih berdiam diri. Kemudian dia menunjuk kepada Siau Po sambil
bertanya dengan suara lantang.
"Eh, hwesio cilik, apakah kau juga mirip dengan angin busuk anjing dan tidak
berharga sepeser pun?"
Di luar dugaannya, Siau Po justru tertawa geli, dengan gembira dia memberikan
jawabannya. "Yang Mulia, dapat dipastikan kalau Yang Mulia masih menang jauh dibandingkan
aku, si hwesio cilik ini. Siau Ceng tidak mirip dengan angin busuk anjing dan tidak
berharga sepeser pun. sedangkan yang Mulia justru mirip dengan angin busuk anjing
dan berharga satu tail. Pokoknya, Yang Mulia masih menang satu tingkat."
Mendengar jawabannya, beberapa hadirin langsung tertawa terbahak-bahak.
Bukan main panasnya hati pangeran Kaerltan, Hampir saja dia maju dan menyerang
si hwesio cilik, untung saja dia masih sadar dengan kedudukannya.
- Hwesio ini masih kecil tapi kedudukannya tinggi, mungkin ada sesuatu yang aneh
pada dirinya.... Siapa tahu" -, pikirnya dalam hati. Karena itu dia menahan
kemarahannya. "Yang Mulia, harap Yang Mulia jangan gusar," kata Siau Po yang dapat melihat gerak
gerik orang. "Perlu diketahui bahwa di dunia ini yang busuk bukan hanya kentut anjing
saja tetapi kata-kata manusianya juga. Ada sebagian orang, kalau dia berbicara, angin
busuknya terpancar sampai ke atas langit sehingga baunya mirip... mirip.... Ah!
sebaiknya tidak usah kukatakan Lagi pula, kalau tidak berharga sepeser pun, itu toh
bukan nilai yang paling rendah, Manusia yang rendah justru orang yang hutangnya
mencapai laksaan tail tapi tidak sudi membayar satu tail pun, Mengenai Yang MuIia
sendiri, apakah Yang Mutia pernah berhutang kepada orang lain atau tidak, tentu hanya
Yang Mulia sendiri yang mengetahuinya."
Kaerltan terbungkam, dia tertegun sehingga untuk sesaat dia tidak tahu bagaimana
harus menjawab pertanyaan Siau Po.
"Kata-kata Sute benar sekaIi. Artinya pun sangat dalam." Sambung Hui Cong, "Lolap
benar-benar merasa kagum, Manusia yang hidup di dunia semua sudah ada karmanya,
perbuatan manusia terdiri dari sebab dan akibat. Siapa yang berbuat jahat, kejahatan
pulalah yang akan diterimanya, itulah yang dikatakan tidak berharga sepeser pun, Yang
lebih baik, kalau seseorang itu tidak berbuat kejahatan, tidak bersikap terlalu mulia
dan juga tidak berhutang."
"Ya, Susiok Hui Beng memang sangat cerdas," kata Teng Koan yang ikut memuji
Siau Po. Wajah Kaerltan menjadi merah padam. Dia mengira rombongan hwesio itu
sudah sepakat untuk mempermainkan dan menyindirnya.
Tiba-tiba dia melompat maju ke arah Siau Po dan menerjangnya, jarak diantara
mereka berdua kira-kira satu tombak. Si pangeran mengulurkan kedua tangannya,
Yang satu untuk menyambar wajahnya dan yang satunya lagi untuk mencengkeram
dadanya. Terlambat sudah rasa terkejut Siau Po. Tidak sempat dia membela diri atau
menghindarkan serangan tersebut.
Hui Cong dapat menyaksikan kejadian yang berlangsung di depan matanya. Dengan
gesit dia mengibaskan lengan bajunya sehingga serangan si pangeran sempat
terhalang bahkan orangnya sendiri merasa nafasnya sesak serta darah dalam tubuhnya
bergolak. Mula-mula dia terhuyung-huyung kemudian menyurut mundur tiga langkah, dia
memaksakan dirinya untuk berdiri tegak, tapi ternyata dia terhuyung-huyung kembali
lalu mundur lagi tiga tindak, dan akhirnya jatuh terduduk.
- Celaka! -- serunya dalam hati, - Aku bisa mendapat malu besar! -- Tetapi ternyata
dia jatuh terduduk di kursinya sendiri.
"Bagus!" seru orang banyak.
Lega juga hati pangeran itu. Dia tidak perlu mendapat malu besar. Dia juga merasa
senang ketika menyalurkan pernafasan dan mendapat kenyataan dirinya tidak terluka
sedikit pun. Siau Po sendiri masih bingung menghadapi kenyataan itu. Hui Cong menoleh dan
berkata kepadanya. "Sute, semangatmu bagus sekali, hatimu kukuh tidak tergoyahkan! Kau bisa bersikap
tenang meskipun ada bahaya yang mengancam. Kau juga cerdas sekali."
Kaerltan panas sekali mendengar tuan rumah memuji adik seperguruannya, Dia
menoleh ke belakang dan mengeluarkan seruan yang berupa perintah, beberapa
pengawal di belakangnya langsung menggerakkan tangan masing-masing sehingga
terlihatlah sinar kuning berkelebatan bagaikan kilat datang menyambar.
Ternyata itulah senjata rahasia Kim Ci piau atau senjata rahasia uang emas yang
meluncur ke arah Hui Cong, Teng Koan dan Siau Po. sasarannya dada ketiga hwesio
tersebut. Karena jarak mereka sangat dekat, maka serangan itu dahsyat sekali, Apalagi
Kaerltan bicara dengan bahasanya sendiri sehingga mereka tidak tahu apa artinya.
Yang jelas senjata-senjata rahasia itu meluncur tepat kepada sasarannya.
"Aduh!" Terdengar Hui Cong, Teng Koan berseru, tapi sang ketua sempat
mengibaskan tangannya seperti tadi. Dia menggunakan ilmu Poa Lap Kong (llmu Jubah
Rombeng). Dengan demikian, tiga buah Kim Ci piau yang meluncur ke arahnya dapat
dihalangi sehingga dadanya tidak terluka.
Teng Koan menggunakan cara yang lain. Dia menyambut ketiga buah senjata
rahasia itu dengan jurus Keng Le Sam Po (Membalas penghormatan tiga mustika).
Caranya ialah dengan menggerakkan tangannya menangkap senjata rahasia tersebut
Yang hebat justru ketiga buah Kim Ci piau yang meluncur ke arah Siau Po. Selain
tidak bersiaga, kepandaiannya juga masih cetek, sehingga tanpa ampun lagi ketiga
buah senjata rahasia itu tepat mengenai dadanya, Dia pun menjerit seketika.
Meskipun demikian, hwesio cilik ini tidak roboh atau terluka, Yang jatuh justru ketiga
buah senjata rahasia tersebut. Hal ini karena dia mengenakan baju mustikanya.
Para tamu menjadi tertegun saking herannya. Di luar dugaan, seorang hwesio cilik
saja sudah menunjukkan ketangguhannya, Mereka mengira Siau Po menguasai salah
satu ilmu istimewa dari Siau Lim Pai yakni ilmu kebal yang dinamakan Kim Kong Hu Te
Sin Kang. Zang Chi lama tertawa dan berkata.
"Kho Ceng kecil ini sungguh lihay! Tidak mudah melatih ilmu Kim Kong Hu Te Sin
Kang sampai taraf ini. Namun ilmu yang satu" ini juga ada kelemahannya, yakni tidak
sanggup mengelakkan diri dari serangan senjata rahasia, hal ini terbukti dari jubahnya
yang bolong di sana sini."
-- Tidak heran hwesio yang masih kecil sudah menyandang huruf Hui, -- pikir
beberapa orang tamu. - pantas kedudukannya bisa seimbang dengan sang ketua,
Ternyata dia memang lihay! -Sebenarnya, walaupun tidak terluka, Siau Po merasa kesakitan juga, serangan itu
cukup hebat Tapi karena dia memang keras kepala dan dapat menahan diri, dia tidak
meringis atau menjerit, justru dia mengembangkan senyuman yang manis. Karena
itulah, dia lebih menjadi perhatian ketimbang Hui Cong atau pun Teng Koan.
Sebetulnya Kaerltan gusar sekali, tapi melihat hwesio cilik itu benar-benar lihay,
kemarahannya langsung buyar. Diam-diam dia berkata dalam hatinya.
- Ternyata ilmu Siau Lim Pai memang hebat! -"Sekarang kami telah melihat ilmu Siau
Lim Pai yang ternyata hebat dan tidak dapat disamakan dengan angin busuk seekor
anjing, Tapi, kabarnya di dalam kuil kalian tersimpan seorang wanita, hal ini tidak
pantas dan melanggar peraturan..." kata Zang Chi pula.
Mendengar kata-kata itu, wajah Hui Cong langsung berubah dingin.
"Kata-katamu keliru sekali, bapak lhama besar! Wihara kami bahkan tidak menerima
tamu wanita yang ingin bersembahyang sekalipun Darimana datangnya sumber berita
yang tidak dapat dipercaya itu?" katanya dengan nada penuh wibawa.
Zang Chi tertawa dan berkata pula.
"Berita itu sudah tersebar luas di dalam dunia Kangouw dan semua orang
mengetahuinya." Hui Cong tersenyum. "Berita yang tersiar dalam dunia Kangouw tidak usah dihiraukan!" katanya, "Paling
bagus seperti Sute Hui Beng, hatinya tidak tergerak oleh apa pun yang datang dari luar,
Dia sudah memperoleh keinsyafan."
Agaknya Zang Chi masih penasaran, dia berkata lagi.
"Kabarnya Kho Ceng kecil ini menyimpan wanita yang sangat cantik di dalam
kamarnya. Menurut berita yang kami dapatkan, dia sengaja menculik wanita itu, Kalau
benar demikian, mungkinkah hati Kho ceng kecil ini tidak tergiur melihat
kecantikannya?" Siau Po terkejut setengah mati mendengar kata-kata orang itu.
-- Bagaimana mereka bisa tahu aku menyimpan seorang wanita" Tanyanya dalam
hati, Dia jadi berpikir lagi. - Ah! Aku tahu sekarang! Berita ini tersiar pasti karena
kaburnya si nona berbaju biru, Dia tentu pergi menemui gurunya dan membeberkan
kejadian ini. Malah ada kemungkinan orang-orang ini datang ke mari karena diminta
bantuannya oleh si nona berbaju biru tua. Benarkah kedatangan mereka kemari untuk
menolong calon istriku itu" Tapi sekarang istriku sudah kabur, Rupanya dia tidak
bertemu dengan orang-orang dari rombongan ini. Karena si nona berbaju hijau itu sudah melarikan diri, meskipun terkejut, tapi Siau Po
tidak takut. Setelah mendengar kata-kata si lhama dari Tibet, dia pun tersenyum dan
berkata. "Apakah di kamarku ada wanita cantik atau tidak, tentu kalian dapat mengetahuinya
setelah melihat sendiri Para tamu yang terhormat kalau kalian mempunyai kegembiraan
untuk melongoknya, silahkan!"
"Baik!" seru Kaerltan, "Mari kita periksa ke sana untuk mendapatkan kepastian!"
Selesai berkata, pangeran ini langsung berdiri dan mengulapkan tangannya.
"Geledah kuil ini!"
Perintah itu langsung saja dilaksanakan oleh anak buah pangeran itu, mereka segera
bergerak menuju ruang belakang wihara tersebut
"Yang MuIia, sabar dulu!" kata Hui Cong. "Yang MuIia hendak menggeledah kuil
kami, entah atas perintah siapakah?"
"Sudah tentu perintahku sendiri." sahut si pangeran "Mengapa harus menunggu
perintah orang lain?"
"Kalau begitu, pangeran telah berbuat kekeliruan." kata Hui Cong sabar "Yang MuIia
seorang pangeran dari Mongolia, Kalau Yang MuIia sekarang berada di MongoIia, tentu
Yang MuIia boleh berbuat sesuka hati, Tapi di sini bukan wilayah Mongolia, karena itu
bukan hak Yang Mulia untuk mengurus persoalan Siau Lim Sie. Yang Mulia tidak
mempunyai wewenang itu."
Kaerltan segera menunjuk kepada Ma Cong Peng.
"Kalau begitu, biar dia saja yang melakukan penggeledahan." katanya, "Dia orang
dari pemerintahanmu, karenanya dia berhak melakukan penggeledahan."
Pangeran ini tidak berani sembrono, jumlah orangnya kecil, dia khawatir, kalau harus
menggunakan kekerasan, mungkin pihaknya akan kalah, Para hwesio Siau Lim Sie
rata-rata berkepandaian tinggi dan jumlahnya juga banyak sekali. Karena itu dia segera
menambahkan "Kalau kalian membangkang terhadap perintah seorang pembesar
negeri, maka berarti kalian semua dapat disebut sebagai pemberontak."
"Menentang perintah pemerintah kami tidak berani." kata Hui Cong pula, Tapi Bapak
pembesar ini merupakan bawahan Peng Si Ong yang berkuasa di In Lam. Meskipun
sebagai seorang Raja muda, kuasanya besar sekali, namun tidak mencakup wilayah Hu
Lam ini." Zang Chi tertawa. "Bukankah pendeta kecil ini sudah mengijinkan adanya penggeledahan" Mengapa
Hong Tio sendiri menolaknya" Apakah nona cantik itu bukan disembunyikan dalam
kamar si hwesio cilik ini tapi ada di dalam kamar Hong Tio sendiri?"
Hui Cong segera memuji Sang Buddha berulang-ulang.
"Dosa! Dosa!" katanya, "Taysu, mengapa kau sampai mengeluarkan kata-kata
seperti itu?" Baru saja selesai Hui Cong berkata, dari belakang Kaerltan terdengar suara seorang
wanita yang berseru dengan lantang.
"Yang MuIia, memang benar adik perempuanku telah ditawan oleh si hwesio cilik itu.
Lekas suruh mereka serahkan adikku itu! Kalau tidak, aku tidak mau mengerti, aku akan
membakar ludes kuil ini."
Suara yang datangnya tiba-tiba itu membuat semua orang menjadi terkejut, lebihlebih
pihak Siau Lim Sie, Yang lebih aneh, suara yang terdengar itu suara seorang
wanita, sedangkan orangnya laki-laki berwajah kuning dan berewokan.
Hanya Siau Po seorang yang segera mengenali bahwa laki-Iaki itu samaran si nona
berbaju biru, Nona itu memulas wajahnya dengan lilin kuning dan memakai kumis serta


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cambang palsu. Rupanya dia datang secara diam-diam sehingga tidak ada orang yang
memperhatikannya, sebaliknya dari khawatir, Siau Po justru senang sekali, Dia berkata
dalam hati. Selama beberapa hari ini aku terus bersedih, sampai she dan nama istriku sendiri
saja, aku tidak mengetahuinya, sedangkan aku pun bingung ke mana harus
mencarinya, Siapa tahu dia ada di dalam rombongan orang-orang MongoIia ini. Tidak
bisa tidak, pokoknya hari ini aku tidak akan membiarkannya lolos lagi.
Hui Cong juga segera mengenali si nona yang menyamar ini. Maka dia langsung
berkata. "Oh, nona! Kiranya kaulah yang kemarin ini datang melakukan penyerangan ke kuil
kami sehingga ada beberapa muridku yang terluka, memang ada seorang kawanmu
yang berdiam di kuil kami untuk diobati lukanya, tapi dia sudah pergi lagi, bukankah
dia pergi bersama-samamu?"
"Kebenaran itu hanya sebagian." bantah si nona. suaranya keras karena dia memang
marah sekali, "Akan tetapi kemudian adikku telah ditawan oleh si hwesio cilik itu.
Dalam hal ini dia dibantu pula oleh si hwesio tua."
Nona itu langsung menuding kepada Teng Koan, Siau Po jadi terkejut setengah mati.
- Celaka! --, pikirnya dalam hati, - Teng Koan tidak pandai berdusta, ini berbahaya
sekali! Bagaimana kalau rahasiaku sampai terbongkar" --, karenanya Siau Po jadi
kebingungan otaknya langsung berputar keras.
Si nona yang sedang menuding kepada Teng Koan berkata lagi dengan suara keras.
"Eh, hwesio tua! Bicaralah! Ayo bicara! Benar atau tidak apa yang kukatakan
barusan?" Teng Koan merangkapkan sepasang tangannya, dia tidak menjawab, tapi malah
balik bertanya. "Nona, ke manakah perginya adik nona itu" Aku harap sudilah kiranya kau
memberitahukan kepada kami! Paman guruku ini telah terluka olehnya, bahkan masih
ada sisa racun jahatnya yang mengendap dalam tubuh paman guruku ini. Oh, Li sicu,.,
sukalah kau bermurah hati, cepat kau cari adikmu dan minta obat darinya! Dalam hal
ini, paman guruku pasti tidak akan menyalahkannya."
Kata-kata ketua Poan Jiak Tong ini bagus sekali, Secara tidak langsung dia
mengakui bahwa nona itu pernah ada dalam kuilnya tapi sekarang sudah pergi lagi,
bahkan dia telah melukai paman gurunya dan meninggalkan racun dalam tubuhnya
yang bisa mengancam keselamatan jiwanya.
Semua mata diarahkan kepada Teng Koan, Melihat wajahnya yang lugu serta polos,
orang-orang yang hadir dalam ruangan itu langsung mempercayai kata-katanya.
Bahkan pihak si pangeran pun jadi berpikir.
- Kuil ini demikian besar dan luas, kamarnya saja ada ratusan. Pasti sukar untuk
menggeledahnya satu per satu, Mungkin kita memerlukan waktu yang lama untuk
melakukannya, Lagipula, hwesio tua itu telah menerangkan dengan jelas, seandainya
kami tetap menggeledah mana mungkin wanita itu bisa ditemukan" Bukankah dia telah
pergi" Seandainya kami memaksakan diri lalu tidak berhasil menemukan apa-apa,
bukankah kami akan menderita malu yang besar sekali"
Si nona yang sedang menyamar tetap tidak mau mengerti.
"Sudah terang adikku ditawan dan dibawa masuk ke dalam kuil ini, Kalau dia sampai
hilang, kemungkinan besar kalian telah mencelakainya, Kalian para hwesio yang
mendurhaka terhadap Thian yang maha Kuasa, Kalau kalian melenyapkan adikku itu,
memang tidak ada buktinya lagi,..."
Ketika mengucapkan kata-katanya yang terakhir suara si gadis bergetar, pertanda
hatinya gundah sekali. "lya, memang benar" tukas Kaerltan sembari menganggukkan kepalanya, Sejak tadi
dia memang diam saja. " Hwesio cilik itu... pasti bukan orang baik-baik."
Si nona berhenti menangis, Dia menuding kepada Siau Po.
"Kau... kau memang manusia busuk!" makinya, "Tempo hari, ketika berada di rumah
pelesiran, kau bergaul dengan segala pelacur, setelah melihat kecantikan adikku, kau
langsung berubah pikiran, kau berusaha bermain gila dengan adikku itu, Tentu adikku
itu tidak sudi melayanimu sehingga kau membunuhnya. Ke rumah hina saja kau pergi,
perbuatan apalagi yang tidak berani kau lakukan?"
Hui Cong mendengar dengan jelas setiap patah kata yang dikatakan gadis itu. Dalam
hati dia tertawa. -- Mana mungkin! -- katanya dalam hati.
Teng Koan lebih-lebih tidak percaya kata-kata si nona, Dia melihat sendiri si paman
guru bersungguh-sungguh menjadi hwesio, Apaiagi paman guru itu mewakili kaisar.
Bukankah dia masuk menjadi hwesio secara sah dan resmi" Sejauh ini, dia pun tidak
pernah melihat tindakan yang menyeIeweng dari paman gurunya itu.
Sementara itu, Siau Po masih kebingungan.
Hebat sekali caci maki si nona, Di saat yang genting itu, tiba-tiba seseorang muncul
dari belakang, Ma Cong Peng dan merangkapkan kedua tangannya memberi hormat
kepada si nona sembari berkata
"Ji kounio, hamba tahu sekali bahwa bapak guru kecil ini sangat taat beragama,
patuh kepada peraturan dan pantangan Kalau dikatakan beliau pernah main gila di
rumah hina, hamba... hamba khawatir telah terjadi kekeliruan."
Semua orang segera menoleh dan mengawasi orang yang berbicara itu, Saat itu
Siau Po sudah mengenalinya, Orang itu ialah Yo Ek Jie yang pernah ditemuinya di Kota
raja. Ketika itu Yo Ek Jie mengawal Go Eng Him dan Siau Po sempat berkawan
dengannya, Rupanya, setelah Eng Him kembali ke In Lam, Ek Jie kembali lagi
mengiringi Ma Cong Peng. Sejak tadi dia selalu berada di belakang pembesar negeri itu sehingga tidak dapat
melihat dengan jelas siapa hwesio cilik yang sedang diajak berbicara itu.
Si nona gusar sekali kepada orang yang ikut campur dalam urusannya itu.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya dengan keras, "Tidak mungkin kau kenal
dengannya." Yo Ek Jie bersikap hormat sekali ketika menjawab pertanyaannya.
"Hamba kenal dengan sian su muda ini, Bahkan Sicu hamba juga kenal dengannya,
Terhadap istana kami, sian su ini sudah menanamkan budi yang besar, Sebelum
menyucikan diri Siau Su ini adalah seorang Kong Kong dalam istana Sri Baginda.
Karena itulah hamba berani mengatakan bahwa tuduhan ke rumah hina itu atau
memaksa Sam kounio (nona ketiga) pasti bukan kenyataan Ji kounio, hamba harap
sudilah kiranya Ji kounio mengerti."
Hampir semua hadirin mengeluarkan seruan tertahan Mereka pun jadi tertegun
Diam-diam mereka berpikir.
-- Kalau dia benar seorang thay-kam, tentu tidak mungkin dia pergi ke rumah hina,
lebih-Iebih tidak mungkin menyembunyikan seorang wanita di dalam kamarnya untuk
diperkosa -Nona itu melihat wajah para hadirin, dia menjadi mendongkol jelas orang-orang itu
tidak mempercayai keterangannya lagi, Dia toh tidak sembarangan menuduh" Karena
itu, dengan sengit dia membentak.
"Bagaimana kau tahu dia seorang thay-kam" Kalau dia benar seorang kebiri,
mengapa dia mengatakan kepadaku bahwa dia ingin menikahi adikku" Dan bukan
hanya si hwesio cilik itu saja yang ceriwis, si hwesio tua pun pandai menggoyangkan
lidahnya, Dan mau menang sendiri."
Sembari berkata, si nona menuding lagi kepada Teng Koan.
Mata para hadirin pun beralih lagi kepada Teng Koan Hwesio itu sudah berusia
delapan puluhan tahun, wajahnya welas asih, gerak-geriknya halus, bahkan
tampangnya ketolol-tololan. Sedangkan, barusan mereka semua mendengar katakatanya
juga kurang lancar, bicaranya agak gugup.
Karena itu, mana ada orang yang percaya kalau dia pandai memutar lidah" sebagian
besar dari mereka langsung merasa menyesal telah mengikuti permintaan si nona
dengan mendatangi kuil ini.
Sementara itu, terdengar Yo Ek Jie berkata kembali
"Ji kounio, kounio tentu belum tahu siapa sian su kecil ini sebenarnya. Sebelum
menjadi hwesio, dia mempunyai nama yang besar sekali. Dialah Kui Kong Kong yang
telah berhasil membunuh Go Pay si menteri durhaka. Ongya kami telah termakan fitnah
orang, untung ada sian su kecil ini yang sudi berbicara dan menjelaskan semuanya di
hadapan Sri Baginda, kalau tidak, mungkin seluruh keluarga Ongya kami bisa mati
penasaran Budi yang besar ini masih belum terbalaskan oleh kami sampai saat ini."
Para hadirin semuanya sudah pernah mendengar prihal kematian menteri Go Pay di
tangan seorang thay-kam cilik, Semua orang juga tahu, Kui Kong Kong atau thay-kam
cilik itu sangat disayangi raja. Karena itu, ketika mendengar penjelasan Yo Ek Jie
kembali mereka mengeluarkan seruan tertahan Mereka menjadi kagum sekali.
Sementara itu, bukan main leganya hati Siau Po. Dia segera menghampiri Yo Ek Jie.
Sembari tertawa dia berkata.
"Saudara Yo, sudah lama sekali kita tidak bertemu Bagaimana kabarnya Sicu kalian
di In Lam" Apakah beliau baik-baik saja" Aih! Saudara, untuk apa kau ungkit lagi
peristiwa yang telah lalu?"
Meskipun Yo Ek Jie mengikuti Ma Cong Peng mendaki bukit Siau Sit san tersebut,
tapi selain orang-orangnya Peng Si Onghu sendiri, baik pengikut si pangeran maupun
para lhama tidak ada yang mengetahui namanya.
Karena itu, begitu mendengar Siau Po memanggilnya dengan sebutan "Saudara Yo,"
mereka langsung percaya bahwa kedua orang itu memang saling mengenal.
Mendengar sapaan Siau Po itu, Yo Ek Jie langsung tersenyum.
"Sian su baik sekali" kata nya. "Sian su menyebut hal itu sebagai peritiwa kecil tapi
Sicu kami justru sangat berterima kasih, Memang Sri Baginda sangat bijaksana dan
pandai membedakan hitam serta putih, tapi kalau waktu itu sian su tidak
menjelaskannya, pasti ongya kami akan mendapat banyak kesulitan sebelum
semuanya menjadi terang."
"Ah, kau cuma memuji, saudara Yo!" kata Siau Po. "Yang benar, ongya kalianlah
yang terlalu sungkan."
Meskipun di mulutnya Siau Po berkata demikian, tapi di dalam hatinya dia justru
mendumel. - Aku menyesal tidak berhasil merobohkan ongya kamu itu. sebenarnya Sri Baginda
memang cerdas sekali dan telah tahu semuanya dengan jelas. sedangkan aku hanya
mengikuti arusnya saja, Namun, siapa sangka perbuatanku itu justru mendatangkan
kebaikan sehingga hari ini aku dapa lolos dari mala petaka.... -Sementara itu, Kaerltan menatap si anak muda dengan seksama, Sesaat kemudian
dia baru berkata. "Oh, rupanya kaulah si thay-kam cilik yang sudah membinasakan Go Pay. Ketika di
MongoIia, aku telah mendengar namamu yang menjadi buah bibir di mana-mana.
Karena Go Pay jago nomor satu dari Boan Ciu, maka ilmu silatmu pasti berasal dari
partai Siau Lim Sie ini."
Siau Po tertawa dan menyahut dengan merendahkan diri.
"llmu silatku cetek sekali, tidak ada harganya disebut-sebut, Hanya akan menjadi
bahan tertawaan saja, Sebenarnya, orang yang mengajarkan ilmu silat padaku cukup
banyak, salah satunya ialah saudara Yo ini, dia mengajarkan aku dua jurus Heng Siau
Ciang kun dan Ko San Liu Sui."
Selesai berkata, Siau Po langsung menjalankan kedua jurus itu, Dia memang tidak
menguasai tenaga dalam, tapi orang tidak akan mengetahuinya Yang penting kedua
jurus yang disebutkan dijalaninya dengan benar.
Setelah Siau Po selesai bersilat, Yo Ek Jie berkata kembali
"Kedua jurus inilah yang menjadi andalan kita ketika itu, Karena siansu menunjukkan
kedua ilmu ini di hadapan Sri Baginda, untuk membuktikan kata-katanya, jadi jelaslah
ongya kami hanya termakan fitnah musuhnya."
Mendengar pembicaraan itu, hati si nona berbaju biru tidak begitu gusar lagi, Dia
lantas memperhatikan Ek Jie dan bertanya.
"Yo si siok (Paman keempat), benarkan Peng Si Ong berhutang budi sebesar itu
kepada nya ?" "Benar, Ji kounio," sahut Ek Jie. "Kalau kounio bertemu dengan Sicu, kounio bisa
menanyakan sendiri duduk persoalannya sehingga jelas."
Si nona berdiam diri sejenak.
"Lalu," dia menoleh kepada Siau Po kembali "Kau telah melakukan hal yang
sedemikian terhadap kami kakak adik berdua, apakah kau hanya bergurau atau
memang mengandung maksud tertentu?" suaranya tidak sekeras sebelumnya lagi.
"Bergurau" Sama sekali aku tidak berani, kalau mempunyai maksud tertentu, itu
memang benar," sahut Siau Po. sementara itu, dalam hatinya dia berkata, -- Maksudnya
ingin menikahi adikmu.,., -Tapi dia tidak mengutarakannya, dia hanya berkata, "Tapi di
sini banyak orang, tidak leluasa aku mengatakannya."
"Apa maksudmu itu?" tanya si nona.
Siau Po tersenyum, Dia tidak memberikan jawaban apa-apa.
Mendengar pembicaraan kedua orang itu dan menilik sikap si hwesio cilik, orangorang
jadi berpikir -- Kalau dia mempunyai maksud tertentu, pasti tidak dapat mengatakannya di depan
orang banyak..,. Sampai di situ, Zang Chi segera bangkit dan merangkapkan kedua tangannya untuk
memberi hormat. "Hong tio, Hui Beng Siansu, kedatangan kami ini sungguh sembrono, kami mohon
maaf! Perkenankanlah kami mengundurkan diri sekarang!" katanya.
Hui Cong segera membalas hormatnya.
"Para tamu yang terhormat sekalian telah datang dari tempat yang jauh, sebaiknya
kita bersantap bersama dulu sebelum kalian mohon diri." katanya, Kemudian dia
menoleh kepada si nona berbaju biru yang sedang menyamar itu. "Kau seorang wanita,
Kau memang sedang menyamar sebagai pria dan lancang memasuki kuil kami. Urusan
yang sudah lewat tidak perlu kita ungkit kembali, tapi... untuk mengundang kau makan
bersama-sama, rasanya kurang... tepat."
Zang Chi tertawa lagi dan berkata.
"Terima kasih! Terima kasih!" katanya, "Harap Hong Tio tidak perlu repot-repot Tidak
perlulah kami bersantap bersama." Dan dia langsung mengajak rombongannya
mengundurkan diri dari kuil tersebut.
Para hadirin itu langsung memberi hormat Hui Cong, Siau Po dan Teng Koan
mengantarkan sampai di pintu halaman.
Tepat pada saat itulah terdengar suara bisingnya derap kaki belasan ekor kuda ke
arahnya. Dalam sekejap mata rombongan yang terdiri dari enam belas orang Gi Cian
Sie Wie atau pengawal istana raja telah sampai.
Tiba di depan kuil, keenam belas orang Sie Wie itu langsung melompat turun dari
kuda masing-masing kemudian membentuk tiga barisan yang rapi menghampiri Siau
Po. Dua orang Sie Wie yang jalan paling depan ialah Tio Kong Lian dan Cio Ci Hian.
Begitu melihat Siau Po, mereka segera menyapa dengan suara nyaring.
"Tou... tayjin, apakah tayjin baik-baik saja?"
Sebenarnya mereka hendak memanggil Tou tong tayjin, tapi ketika melihat jubah
pendeta yang dikenakan si anak muda, mereka menjadi ragu. Selesai berkata,
keduanya segera memberi hormat kepada Siau Po.
Senang sekali hati Siau Po melihat kedatangan rombongan itu.
"Tuan-tuan sekalian, silahkan bangun!" katanya ramah. "Kalian tidak perlu
melakukan banyak peradatan. justru setiap hari aku sedang menunggu-nunggu
kedatangan kalian." Kaerltan merasa heran dan kagum melihat para pengawal istana bersikap demikian
menghormat kepada si hwesio cilik, sekarang dia tidak berani tidak memandang mata
lagi kepada Siau Po. - Ternyata hwesio cilik ini memang mempunyai kedudukan yang tinggi! --, pikirnya,
Kong Lian dan yang lainnya merupakan pengawal-pengawal pribadi raja, Terhadap
para pembesar dari propinsi luar, mereka tidak memandang sebelah mata. Karenanya,
ketika melihat Ma Cong Peng, mereka hanya mengangguk sedikit dan tidak
menghiraukannya lagi, Mereka langsung berbicara dengan Siau Po.
Kelihatan tidak puas melihat sikap para Sie Wie itu. Hatinya menjadi panas.
"Hm!" Dia mengeluarkan dengusan dingin, "Ayo berangkat, tidak tahan aku
menyaksikan wajah-wajah yang tidak tahu malu ini!" Kemudian dia memberi hormat
kepada Hui Cong dan yang lainnya lalu berjalan dengan langkah cepat dan diikuti oleh
orang-orangnya. Setibanya di pendopo besar, Tio Kong Lian segera mengeluarkan firman raja yang
langsung dia bacakan. Kaisar menghadiahkan uang sebanyak dua laksa tail kepada
pihak Siau Lim Sie. Untuk digunakan sebagai biaya memperbaiki kuil serta
patungTiraikasih website http://cerita-silat.co.cc/
patung yang rusak, sedangkan kepada Siau Po, dianugerahkan sebutan kehormatan,
yakni "Hu Kok Hong Seng Siansu" (Pendeta terhormat yang membantu negara
menghormati sang nabi). Hui Cong dan Hui Beng segera berlutut dan menyatakan terima kasihnya.
Selesai menjalankan upacara singkat itu, Kong Lian dijamu air teh. Setelah itu, Siau
Po mengajak pengawal pribadi raja itu ke dalam kamarnya bersama Cio Ci Hian, Di
dalam kamar itu setelah berbicara sebentar, Tio Kong Lian segera berkata.
"Sri Baginda menitahkan agar Tayjin segera menetapkan hari untuk berangkat ke
gunung Ngo Tay san."
"Baik!" sahut Siau Po. Dia memang telah menduga akan datang titah itu.
Kong Lian merogoh sakunya, Dia mengeluarkan apa yang disebut firman rahasia,
dengan kedua tangannya dia menyerahkan firman itu kepada Siau Po.
"Sri Baginda juga mengirimkan firman rahasia ini...."
Siau Po menjatuhkan dirinya berlutut ketika menerima firman tersebut Katanya dalam
hati, -Entah ada perintah apa lagi" Aku buta huruf Bagaimana aku mengenali kata-kata


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam firman ini" Katanya ini firman rahasia, jadi aku tidak dapat memperlihatkannya
kepada Kong Lian atau Coi Ci Hian, Lebih baik aku minta bantuan Hong To suheng,
tentu dia tidak akan membocorkan rahasia.
Dengan membawa firman itu, Siau Po segera menemui Hui Cong taysu.
"Hong Tio suheng, ada firman rahasia untukku, sudilah kiranya suheng memberi
petunjuk kepadaku!" katanya sambil membuka firman tersebut
Rupanya isi firman itu terdiri dari empat helai peta. Gambar yang pertama merupakan
sebuah gunung dengan kelima puncaknya, Siau Po segera mengenalinya sebagai
gunung Ngo Tay san. Di bagian utara dari puncak selatan terdapat sebuah wihara
dengan nama "Ceng Liang si." Karena sempat berdiam cukup lama dalam kuil itu, Siau
Po jadi mengenali huruf-huruf itu.
Gambar yang kedua melukiskan seorang hwesio cilik tengah memasuki sebuah kuil
dan papan di atasnya juga bertuliskan huruf "Ceng Liang si."
Di belakang hwesio itu mengiringi serombongan pendeta dan di atas kepalanya
terdapat tulisan "hwesio-hwesio Siau Lim Sie." Huruf-huruf itu juga dikenal oleh Siau
Po. Gambar yang ketiga adalah gambar sebuah pendopo, yakni Tay Hiong Po Tian. Di
sana ada seorang hwesio cilik yang duduk di kursi pertama dan letaknya di tengahtengah
ruangan. Hwesio cilik itu bukan lain daripada Siau Po sendiri, Dia mengenakan jubah merah,
jubah seorang Hong Tio atau kepala pendeta. Dia didampingi oleh sejumlah hwesio
Iainnya. Melihat gambar yang telah dia kenal dengan baik itu, Siau Po menjadi tertawa
sendiri. Sekarang dia membeberkan gambar yang keempat Kali ini tampak seorang hwesio
kecil sedang berlutut di hadapan seorang hwesio lainnya. Usia hwesio itu sekitar empat
puluhan tahun, wajahnya putih bersih, mengandung wibawa besar dan enak dipandang,
Tentu saja hwesio itu dilukiskan sebagai Heng Ti taysu atau kaisar Sun Ti yang telah
menyucikan diri. Melihat keempat gambar tersebut Siau Po mula-mula tidak mengerti artinya, Dia
memperhatikan dengan seksama, Begitu pula Hui Cong taysu, Mereka sama-sama
menguras otak. Siau Po membalikkan gambar yang pertama, Dia tahu lukisan itu mengartikan bahwa
dia harus menuju gunung Ngo Tay san. Tapi hal itu memang sudah diketahuinya, untuk
apa Sri Baginda melukiskannya lagi, Siau Po menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal Setelah menerima dan membaca isi surat dari raja yang isinya meminta pada Siau
Po pergi ke Ngo Tay san guna merawat ayah raja di kuil Ceng Liang Sie.
Mulanya Siau Po sangat gembira menerima surat dari raja, Tetapi, setelah diketahui
isinya ia lalu berpikir, sampai kapankah ia harus merawat ayah raja" Apakah ia harus
menjadi biksu sampai tua"
"Sute selamat kau telah diperintahkan raja untuk pergi ke Ngo Tay san, di sana kau
akan menjadi seorang ketua, kau tahu" Usia kuil itu lebih tua dari kuil ini, Sute,
harapanku semoga kau berhasil dalam memajukannya!" kata Hui Cong.
Siau Po hanya menggelengkan kepala, "Sebenarnya aku tak sanggup menjadi ketua
di sana, aku akan ditertawakan orang." keluh Siau Po. "Kau jangan merendah, kau kan
dapat membawa pendeta di sini untuk membantumu dan kau pun di suruh membawa
pendeta itu katanya dalam surat itu dan mereka juga bawahanmu pasti mereka akan
menurut dan membantumu." jawab Hui Cong memberikan keyakinan.
Siau Po terdiam dan katanya dalam hati, "Raja memang pandai, sebelum aku
disuruh merawat ayahnya yang berada di kuil itu aku disuruh menjadi biksu di kuil ini
agar nanti aku dapat dipindah ke Ngo Tay san dengan membawa biksu pilihanku.
Karena ayah raja sekarang telah menjadi biksu, maka tak mungkin ia mau selalu
dikawal oleh para Sie Wie, hal itu untuk menghilangkan kecurigaan di samping itu juga
salah satu pendeta di sini ada yang berada di sana dan itu sangat memudahkan Orang
tak kan tahu kalau ayah raja masih tetap dikawal, Tetapi kali ini bukan oleh para Sie
Wie melainkan oleh para biksu," katanya.
Setelah berpikir demikian Siau Po lalu kembali ke kamarnya untuk mengambil uang
dan dihadiahkan pada para pengawal yang telah membawakan surat itu.
Satah satu dari mereka lalu berkata, "Sejak dahulu hingga sekarang ini, baru kali ini
seorang biksu memberikan hadiah pada pengawal raja!" katanya gembira. Siau Po
tertawa. "Biksu tua tidak, tetapi biksu cilik ya!" katanya, "Sute, tentang perintah raja kami
tak banyak tanya, tetapi jika sute memerintahkan pada kami, kami akan mematuhi sama
halnya dengan kami menerima perintah dari raja kami akan setia padamu." katanya.
"Jika Sute akan melakukan sesuatu kami bersedia mewakilinya, Umpamanya saja,
kamu akan mengambil kitab ilmu silat Siau Lim Sie atau membakar perpustakaan itu
kami akan melakukannya." jawabnya pula.
Bagian 46 Mendengar ucapan itu Kiong Lian tertawa.
"Ya, itulah yang dinamakan merampok, selagi ada kebakaran kita mengambil kitab
itu." katanya. Siau Po terkejut lalu berkata dalam hati.
"Ya, mereka menyangka aku dikirim ke mari ada maksud tertentu yaitu untuk
mendapatkan kitab ilmu silat itu dan bukankah raja sangat menyukai ilmu silat?"
katanya dalam hati. "Jangan khawatir dalam hal itu aku sudah berhasil katanya sambil tertawa.
"Dasar rejeki besar Baginda raja, kau memang sangat cerdik dan kau sudah
membangun jasa." jawabnya.
"Apakah kau hendak menyerahkan pada raja, dan jika kau dicurigai kau dapat
mengijinkan mereka menggeledah kau." jawabnya.
Siau Po tertawa lagi. "Sejauh itu tak usah, kau cukup memberikan laporan pada raja jika suratnya telah
sampai ketanganku, dan aku berjanji akan bekerja dengan sebaik-baiknya." jawab Siau
Po. "Kiranya kau telah membaca kitab itu, itu sangat baik karena dengan demikian kau
dapat mengingat-ingat isi kitab silat Siau Lim Sie yang sangat terkenal itu." kata
seorang Sie To. "Memang itu yang terbaik, ada buku atau tidak itu tidak mengapa yang penting kau
sudah dapat menghafal isi kitab itu, dan memahami isinya." kata Kiong Lian.
Dalam hati Siau Po berkata.
"Mereka telah menyangka bahwa aku telah berhasil mendapatkan kitab itu." katanya.
Setelah berbicara kedua orang itu pun berpamitan.
Tiba-tiba Siau Po ingat rombongan pangeran itu lalu bertanya pada utusan itu.
"Tuan-tuan apakah Tuan mengetahui rombongan siapakah yang tadi ke mari?"
tanyanya. Kiong Lian berdua menggelengkan kepala.
"Tidak!" sahutnya.
"Jika demikian kau harus mencari tahu, sebab ia datang ke mari sangat
mencurigakan. Atau mereka akan mencuri kitab ilmu silat Siau Lim Sie terutama si
Cong Peng, dia bekerja untuk siapa dan siapa pemimpinnya. Mengapa ia mau merusak
usaha Baginda" perbuatan mereka itu adalah perbuatan durhaka dan pengkhianat. Jika
kalian dapat mengetahuinya kalian akan berjasa besar pada raja!" kata Siau Po.
"lni sangatlah mudah, mereka pergi belum lama dengan demikian kami dapat
mengejarnya dan Cong Peng itu telah aku ketahui nama mereka dan itu pekerjaan yang
sangat mudah!" jawab mereka.
Siau Po tahu Cong Peng itu bawahan Gou Sam Kui tetapi ia tak mau mengatakannya
karena dengan demikian itu namanya memfitnah, dengan demikian Siau Po telah
membangun jasa pada raja.
"Dalam rombongan itu ada seorang nona yang menyamar sebagai seorang laki-laki."
kata Siau Po menerangkan pada mereka yang secara langsung itu perintah panglima.
"Dia bersama rombongannya sedang mencari salah seorang nona yang cantik yang
umurnya kurang lebih enam belas tahun Mereka berdua sangat erat sekali dengan
rombongan Dan kalian juga harus mengetahui nama nona itu dan asal-usulnya dan kau
segera menulis surat padaku!" perintah Siau Po pada mereka.
Mereka berdua lalu berjanji untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dan untuk tugas
penyelidikan itu tugas mudah bagi mereka.
Setelah mereka pergi Siau Po lalu memberitahukan pada ketua pendeta bahwa ia
akan pergi besok ke Ceng Liang Sie.
Hui Cong Sian Su mengatakan setuju bahkan itu lebih baik.
"Kau cerdas Sute, kau pasti akan dapat memajukan kuil itu sangat disayangkan kita
bersama hanya sampai di sini, Berapa orang yang akan kau ajak pergi ke sana?" tanya
Hui Cong. "Yang paling penting ialah Teng Koan. Juga delapan belas dari anggota Lohan Tong
dan yang lainnya hanya pelengkap jumlah seluruhnya adalah tiga puluh empat orang!"
kata Siau Po menjelaskan Hui Cong tak berkata apa-apa ia lalu memerintahkan pada pengawalnya untuk
mengumpulkan orang-orang yang dimaksud dan menerangkannya akan tugas ke Ngo
Tay san di kuil Ceng Liang Sie.
Demikianlah keesokan paginya mereka sudah siap dengan peralatan mereka dan tak
lupa sebelum berangkat Siau Po menemui Song Ji.
Sudah kira-kira setengah tahun Siau Po dan Song Ji tidak bertemu dan pertemuan itu
membuat Song Ji sangat terharu, ia lalu menangis, ia tahu kalau Siau Po menjadi biksu
dari Kong Lian ia sangat sedih dan kali ini Siau Po datang dengan kepala botak.
"Song Ji, janganlah kau menangisi Apakah yang kau tangisi" Apakah kau menangisi
karena aku tak pernah menengokmu!" tanyanya.
"Bu.... Bukan itu Siangkong. Namun kau telah mensucikan diri!" katanya.
"Oh, anak tolol Siangkongmu ini menjadi pendeta hanya pendeta palsu!" kata Siau
Po sambil memegang tangan si nona dan lalu dicium.
Song Ji percaya, dan itu yang membuatnya menjadi girang tetapi ia menjadi maIu.
Siau Po menatap wajah nona itu yang sekarang menjadi kurus dan lemah hal itu
menjadikan ia terlihat jangkung.
"Kenapa kau jadi kurus apakah setiap hari kau hanya memikirkan aku saja?"
tanyanya. Nona itu menjadi merah mukanya dan ia tertunduk.
"Sudah, sekarang kau ganti pakaian, dan menyamar menjadi pria. Kau turut
denganku!" kata Siau Po.
Kembali Song Ji menjadi girang, Tanpa berkata apa pun ia lalu masuk ke kamarnya
dan berganti pakaian, Tak berapa lama kemudian ia ke luar dengan pakaian pesuruh
pelajar. Selesai berganti pakaian ia lalu mendekati Siau Po dan mengajaknya untuk pergi.
Perjalanan ke Ngo Tay san tidak mendapatkan halangan Setelah mereka tiba di kaki
gunung itu, baru saja mereka ingin mendaki tiba-tiba dari atas gunung sudah berlari
beberapa biksu lalu menanyakan apakah mereka dari Siau Lim Sie.
Siau Po mengangguk dan membenarkan pertanyaan itu.
"Jikalau demikian siansu tentu Hui Beng Siansu?" tanyanya.
Siau Po lalu menganggukkan kepala.
Lantas mereka berlutut dan memberi hormat seraya berkata.
"Siansu datang untuk mengepalai kuil ini dan sebenarnya kami telah menanti sejak
beberapa hari yang lalu." katanya.
Biksu itu benar, raja terlebih dahulu telah mengirim surat ke kuil itu akan
kedatangannya seorang kepala pendeta, tentang diangkatnya Hui Beng baru untuk kuil
itu. Hoat Seng dipesan akan menyerahkan kedudukannya itu jika pendeta ketua yang
baru telah tiba, maka untuk itu ia memerintahkan anak buahnya untuk menanti ketua
yang dijanjikan raja untuk kuil itu.
Sesampainya di atas gunung Siau Po disambut oleh Hoat Seng dan ia lalu
menyerahkan kedudukannya itu pada Siau Po, Semua pendeta dan juga undangan
hadir pada acara penyerahan jabatan itu, hanya ada tiga pendeta yang tak dapat hadir
tetapi mereka itu sudah mengirim surat yang isinya mengatakan bahwa mereka tidak
hadir karena mereka sedang menyendiri.
Para biksu Ceng Liam Sie sudah mengenal Siau Po dan Song Ji mereka mengenal
Siau Po dan juga Song Ji sewaktu mereka sedang mendapat serangan dari musuh dan
Siau Po juga Song Jie yang membantu mengusir orang-orang itu.
Mereka menjadi heran karena mereka telah mengetahui budi biksu cilik itu dan juga
Song Jie yang sekarang menjadi kepala biksu mereka.
Song Ji seorang wanita, walaupun mereka masih kecil ia tak baik berada di dalam
kuil itu. Siau Po mendapat akal untuk menghindari kecanggungan dari para biksu itu, ia
mencukur botak kepala Song Ji dan si wanita itu menurut saja, tugasnya sebagai
pembantu bagian dalam. Setelah ia menjadi ketua dan mulai menjalankan segala tugasnya, ia lalu ingat akan
perintah raja yang memintanya untuk merawat sang ayah, Lalu menanyakan pada
pengawalnya tentang ayah raja yang sekarang telah menjadi biksu, ia mendapat
jawaban bahwa sang ayah itu tidak berada di kuil melainkan di sebuah gunung, beliau
tinggal sendiri. Lalu Siau Po juga mengatakan memerintah para biksu untuk membangun bangunan
gubuk-gubuk di sekitar tempat ayah raja itu dan masing-masing gubuk dihuni oleh enam
orang biksu. Jika malam telah tiba Siau Po ingat pada nona yang memakai baju hijau, ia lalu
meminta pada Teng Koan untuk mengajari ilmu silat dan Siau Po selalu memuji
kepandaiannya. Siau Po lalu menyerap semua ilmunya, Karena dirinya cerdas maka dengan waktu
singkat ia dapat menguasai ilmu itu.
Siau Po sekarang sedang menunggu kabar dari utusannya yang ditugaskan untuk
mengetahui nama dan asal usul nona-nona itu, ia sangat khawatir sekali.
"Aku telah makan obat Tok Liong Ie Kin Wan dari kaucu, maka bila aku tak
memberikan kitab itu padanya dalam waktu satu tahun racun itu akan bekerja dan itu
sangat berbahaya, kalau tidak salah waktunya tinggal dua bulan lagi." katanya dalam
hati. Siau Po lalu berjalan-jalan di sekitar Gunung Ngo Tay san sepulangnya dari
berjalanjalan ia dikagetkan oleh hadirnya beberapa biksu dengan menggunakan pakaian resmi
dan memegang senjata. "Berapa jumlah mereka?" tanya Siau Po. "Empat ribu delapan puluh dua Ihama!"
jawab Teng Koan. "Apa yang hendak mereka lakukan?" tanyanya lagi.
"Hamba tidak mengetahuinya," jawabnya pula.
"Mungkinkah mereka akan menyerang kita?" tanyanya.
"Mungkin juga, tetapi nampaknya mereka tak mungkin menyerang kita sekarang ini.
Sebab mereka penganut Sang Buddha. Tak mungkin mereka menyerang kita pada saat
siang hari. Sebab Sang buddha sangat mencintai kedamaian.-." jawab Teng Koan.
"Jikalau demikian, kita harus memberitahukan pada para biksu yang berada di
gubuk-gubuk itu. Cepat!" perintah Siau Po.
"Sebaiknya aku meminta bantuan pada raja!" pikirnya.
"Namun aku khawatir yang dari jauh akan bertindak sia-sia!" jawab Teng Koan.
"Jikalau demikian, mari kita melindungi Heng Tie Taysu menyerbu keluar!" kata Siau
Po. "Ya, nampaknya hanya ada satu jalan, kami tiga puluh tujuh murid Siau Lim Sie
mana mungkin dapat menyerang orang sebanyak itu. sebaiknya untuk menerobos lolos
itu sangatlah mudah..." katanya.
"Sebaiknya kita harus dapat menyelamatkan Heng Tie Taysu serta Giok Lin Taysu
walau dengan jalan apapun!" kata Siau Po.
Setelah berkata demikian Siau Po pergi ke kamarnya untuk mencari jalan yang
terbaik guna menyelamatkan kuil ini dan juga guru besar mereka, Sambil berpikir Siau
Po akhirnya tertidur. Belum seberapa lama kemudian Siau Po dibangunkan oleh anak buahnya yang
melaporkan keadaan di luar kuil itu.
Siau Po lalu berpikir keras, dan ia memutuskan untuk menemui guru besar tersebut
satu persatu guna menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya agar mereka mau
ikut meloloskan diri. Sesampainya mereka di tempat Giok Lim, Siau Po mengalami kekecewaan Biksu
tersebut beranggapan dingin atas usul Siau Po untuk meloloskan diri.
Siau Po menjadi bingung, cara apa yang harus ditempuh guna mencari jalan yang
terbaik. Sedang berpikir demikian tiba-tiba terdengar suara langkah yang sedang terburuburu,
lalu muncullah Teng Koan dari Siau Lim Sie yang terus memberikan laporannya.
"Harap Susiok ketahui, tadi para Ihama mulai mencari lagi kira-kira seratus tombak!"
katanya, "Mengapa mereka datang secara bertahap" Apakah mereka itu telah terpengaruh
Buddha kita, Merasa menyesal dan sadar bahwa berpaling ke belakang berarti melihat
gili-gili tempat mendarat!" kata Siau Po.
"Bukan.,.! Bukan demikian. Mereka sedang menanti datangnya sang malam hingga
mereka akan menyerang kita!" kata Heng Tian.
Heng Tian adalah salah seorang perwira dan ia juga salah seorang pengawal raja
yang sudah sering kali menghadapi peperangan. Oleh karenanya ia sekarang
berpangkat perwira, ia juga seorang ahli dalam peperangan.
"Baiklah, kita menunggu saja mereka sampai memasuki pendopo dan menyaksikan
Sang Buddha yang bersifat pengasih itu.... Mudah-mudahan mereka menjadi sadar,.,"
kata Siau Po. "Oh, Heng Tian yang muda, bagaimana kau bicara begini rupa" itu tak mungkin


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan?" kata Heng Tian.
Giok Lim diam saja sewaktu mereka melihat Siau Po dan Heng Tian berbicara
dengan emosi masing-masing.
"Heng Tian, mengapa kau berpikir seperti itu" Dia benar dan ia telah mendapatkan
keyakinan Buat apa kau berpikir terlalu keras!" kata Giok Lim.
Heng Tian terdiam. "Oh, kiranya kau telah mendapatkan jalannya!" katanya.
"Sama sekali aku tak mempunyai daya yang sempurna, aku cuma berpikir jika kita
melarikan diri, inilah saatnya...!" kata Siau Po.
Heng Tian dan Teng Sim mengangguk tanda setuju.
"Jika demikian, cepatlah kalian berkemas dan kita berangkat sebelum mereka datang
ke mari! Kita harus menyerbu turun guna meloloskan diri, kita menyingkir ke kota Hu
Peng, Aku percaya walaupun Ihama itu berani tapi tak mungkin mereka berani
menyerang kota Hu Peng!" berkata pula Siau Po.
Mereka lalu secara bersama menjawab setuju.
Baru saja mereka akan meninggalkan tempat itu Heng Tian berkata.
"Aku orang yang berjubah apes! Dahulu sudah banyak korban gara-gara aku dan kali
ini aku dibilang celaka, Biarlah nanti aku akan menunggu tibanya orang-orang itu dan
aku akan membakar diriku dihadapan mereka agar mereka merasa puas, bukankah
yang mereka cari adalah aku agar mereka dapat melakukan sesuatu dengan
kepuasan!" kata Heng Tie yang sudah pasrah itu.
"Tidak.... Tidak suheng, lebih baik aku yang menggantikan suheng untuk membakar
diri!" teriak Heng Tian.
Heng Tie tersenyum ternyata dia benar-benar berani
"Kau hendak menggantikan aku untuk membakar diri, sedangkan yang mereka cari
adalah aku. itu sangat percuma!" kata Heng Tie.
Kembali semua terdiam. "Heng Tie taysu sudah sadar, benar kata Sang Buddha kalau bukan kita yang masuk
neraka lalu siapa...?" kata Giok Lim.
"Ah biksu busuk! Kau mengatakan itulah kesadaran tetapi aku sebaliknya! itu bukan
arti yang tulen, itu palsu!" Siau Po mencaci dalam hati.
"Kalian tunggu saja nanti bila Ihama itu datang, aku dan dia akan bersama-sama
membakar diri dan kalian janganlah mencegahnya.,.!" kata Giok Lim.
Siau Po dan lainnya saling memandang.
Heng Tie pun berkata. "Dahulu karena aku, rakyat jadi menderita, Banyak mereka yang tewas. Jika
sekarang aku mati dengan seribu kali takkan mungkin aku dapat menebus dosa-dosaku
yang telah lalu aku sudah terlalu banyak dosa dan untuk itu jika aku nanti membakar
diriku itu hanya salah satu cara untuk menebus dosaku.
Untuk itu aku minta kalian supaya mendukung aku, Jika saat ini aku mempunyai
kesalahan, maafkan aku, Aku tak ingin saat ini timbul lagi korban, Aku berharap kalian
dapat memahaminya..!" katanya.
Selesai berkata ia lalu memberikan hormat pada Siau Po dan yang lainnya karena
mereka telah berani membelanya.
Melihat kenyataan itu Siau Po dan kawannya masing-masing kembali ke kamarnya.
Sesampainya di kamar Siau Po memanggil beberapa anak buahnya untuk
memberitahukan tentang keputusan Heng Tie.
"Mereka bertiga hendak membakar diri, jika mungkin marilah kita mencegahnya
dengan kekerasan dan melindunginya!" kata Siau Po.
"Bukankah kalian akan menyelamatkan mereka bertiga" Jawab, ya atau tidak.,.?"
tanya Siau Po. "Benar!" jawab mereka secara serempak.
"Jikalau demikian itulah yang sangat sulit!" kata Siau Po.
"Sekarang kalian dengar perkataanku Kalian pergi menerobos dari sebelah timur,
dengan lagak ingin meloloskan diri turun dari gunung. Lalu bersamaan dengan itu kalian
turun dan balik lagi, tetapi kalian harus membawa beberapa orang Ihama ke mari!" kata
Siau Po sambil mengatur siasat.
Mendengar itu Teng Sim berkata.
"Apakah maksud tuan untuk membuat sandera agar mereka itu tak dapat langsung
menyerang" Kalau memang demikian kita harus mencari sandera orang yang
berpangkat!" katanya.
"Mungkin sukar untuk membekuk Ihama tingkat tinggi, dan itu dapat menimbulkan
banyak jatuh korban, Aku pikir lebih baik kita menangkap Ihama dari golongan rendah
saja..!" ujar Siau Po.
Para biksu itu tak mengerti maksud Siau Po, tetapi karena itu perintah maka mereka
lalu pergi melakukan tugasnya.
Tak lama terdengar suara ribut-ribut, Siau Po naik ke atap di sana ia menyaksikan
muridnya yang sedang menjalankan perintah Terlihat kelebatan sinar pedang.
Biksu-biksu yang diperintahkan Siau Po adalah orang-orang pilihan, tapi Ihama itu
bukanlah lawan mereka dan setelah mereka mendapatkan bantuan dari atas Siau Po
berteriak. "Musuh terlalu tangguh, sebaiknya kalian mundur.-.!" katanya.
Teriakan Siau Po menggunakan tenaga dalam yang cukup sempurna maka suara itu
berkumandang ke segala arah.
"Bagaimana sekarang!" tanya Teng Koan.
"Kita cepat kembali dan kita bekuk beberapa orang itu.,.!" kata Teng Sim yang lalu
menarik musuh. Kata-kata itu dilakukan dengan menyambar para Ihama yang tak berdaya, Ada yang
dipanggul dan ada pula yang digendong. Teng Sim dan Teng Koan berlari di belakang,
hingga mereka dapat mencegah orang yang akan mengejarnya.
Dengan tertawa girang Siau Po menyambut kedatangannya di depan pintu yang
selanjutnya mereka dibawa ke dalam wihara untuk selanjutnya akan ditanya, jumlah
mereka yang berhasil ditawan ada empat puluh tujuh orang.
Telanjangi mereka lalu totok jalan darahnya dan masukkan mereka ke dalam gudang
kayu belakang.,.!" perintah Siau Po.
Para biksu heran tetapi mereka melakukan juga perintah itu. para Ihama yang
terkurung itu sudah telanjang bulat dan tak dapat bergerak.
"Selesai melakukan tugasnya masing-masing, biksu berkumpul untuk mendengarkan
kata-kata dari ketua mereka itu lalu Siau Po berkata.
"Para keponakan muridku, di dunia ini tak ada yang sempurna, Kalian para biksu
sama dengan para lhama, Untuk itu sekarang buka jubah kalian dan pakailah pakaian
para Ihama itu!" Para Ihama itu menjadi terbengong.
"Song Ji ke mari, lekas kau bantu aku untuk memakai pakaian sebagai mana Ihama
cilik!" katanya. "Kau juga harus menyamar sebagai Ihama cilik!" kata Siau Po pada Song Ji.
Si nona cilik yang mendengarkan perintah itu menurut.
"Susiok apakah arti kita menggunakan pakaian lhama ini!" tanya Siau Po.
"Mungkin kita akan mengatakan takluk pada pihak musuh atau apakah kita akan
mengganti agama kuning!" tanya Teng Koan.
"Bukan, kita sekarang menyamar sebagai seorang lhama dan nanti kita menyerbu ke
kuil di gunung itu. Kita bekuk dan kita totok sedapat mungkin Giok Lim, Heng Tje, dan
Heng Tian lalu kita bawa mereka dan kita ganti pakaian mereka dengan pakaian lhama
ini. Mendengar keterangan itu mereka semua tertawa, mereka telah mengetahui maksud
dari taktik Siau Po. "Bagus!" kata Siau Po. "Jika kalian telah mengetahuinya, kita bergerak saat orangorang
itu menyerang ke mari. Dengan demikian mereka tak mengetahui mana yang asli
dan mana yang tidak.,.!" katanya.
"Dengan begitu kita tak usah melakukan pembunuhan!" kata Teng Sim penuh
semangat. Hampir tengah malam Siau Po dan kawan-kawannya pergi ke tempat ketiga guru
besarnya itu. Sengaja ia memancing keributan hingga ketiga biksu itu tak sempat
berkata lalu para lhama palsu itu sudah menyerbu masuk ke dalam, Langsung ketiga
biksu itu ditotok dan diganti pakaiannya dengan pakaian lhama itu.
Setelah itu Siau Po memerintahkan pada Song Ji untuk membakar tempat itu yang
secara kebetulan telah disiapkan kayu dan jerami untuk membunuh ketiga biksu itu.
Belum beberapa jauh mereka berjalan, terlihat sudah api yang melalap kuil itu sudah
nyala berkobar. Mereka berlari tanpa ada halangan, hal itu karena mereka menggunakan pakaian
lhama itu. "Kuil itu sudah terbakar habis dengan demikian mereka tak mungkin dapat
menemukan ketiga orang ini. Lalu dengan begitu mereka tak mungkin dapat mencari
kita!" kata Song Ji.
"Kau benar, Sute!" kata Teng Koan.
Sesampainya di situ Siau Po meminta totokan tersebut agar dibebaskan, mereka lalu
meminta maaf karena telah berbuat kurang ajar.
Semenjak ditotok mereka melihat dan mendengar Mereka mengetahuinya kalau ini
perbuatan para biksu, yang berusaha menolongnya, Dan setelah membebaskan
totokan Heng Tian berkata dengan suara nyaring tetapi berwibawa.
"Bagus... bagus, akal kalian sungguh sangat bagus, sekarang kita semua sudah
terancam mara bahaya! Hong Tio taysu kau telah menolong kami, Untuk mengucapkan
terima kasih saja kami tak terburu, mana dapat kami menggusarimu!" kata Heng Tian.
Heng Tie yang tadi ingin membakar diri pun bergembira.
"ltu sangatlah bagus, kita bebas tanpa kerugian sedikit pun!" katanya pada Siau Po.
Tiba-tiba saja terdengar suara berisik dari atas gunung.
"Susiok, mereka menyusul kita!" seru Teng Koan sambil melihat ke arah atas para
pendeta yang sedang mengejar mereka.
"Mari, kita menemuinya. Kita bicara dengan mereka sampai mereka tak tertawa dan
tersenyum baru kita menunjuk ke arah gunung itu. Walau bagaimana kita tak boleh
menyerang mereka itu!" kata Siau Po.
Teng Koan semua maju dan mereka semua ikut bersama.
"Loo Hong ya, dengar titahku dan juga guru Loo Hong ya!" kata Siau Po dengan
senang, lalu mereka bertiga dikurung di tengah dan mereka bersama lari ke arah jalan
besar Belum jauh mereka berlari terlihat ada serombongan sedang menuju ke arahnya dan
pada masing-masing orang itu menggunakan kalung yang isinya sebuah kalimat yaitu
"Mau berziarah dengan sujud."
Dari rombongan peziarah lalu muncul seorang yang tinggi besar dan menegur
mereka, "Kalian sedang buat apa?" tanyanya, Melihat orang itu Siau Po girang sekali
dia adalah salah seorang pengawal raja yaitu congkoan To Liong, Maka ia lalu
melangkah ke depan dan menyapanya.
"Hay, To Toako! Kau lihat siapa diriku ini?" tanya Siau Po.
Orang itu lalu meneliti muka yang lucu itu dengan kepala botak licin.
Siau Po memasang mukanya dan terus tertawa, "Kau,., kau saudara Wie.,."
Mengapa kau berada di sini dan mengapa kau memakai pakaian lhama?" tanyanya,
Siau Po tertawa. "Dan kau sendiri, kenapa berada di sini?" Siau Po balik bertanya.
Tak berapa lama kemudian datanglah serombongan Sie Wie yang sebagian mereka
kenal. "Apakah Sri Baginda yang menyuruh kalian datang ke mari?" tanya Siau Po.
"Sri Baginda dan Thay Hou datang ke Ngo Tay san untuk bersembahyang dan
sekarang ini rombongan Sri Baginda berada di wihara Leng Keng Sie!" jawabnya.
Siau Po girang bercampur keheranan "Sri Baginda datang ke Ngo Tay san dan si
molek tua ikut juga, ia mau apa?" tanya Siau Po dalam hati, "Tio Toako, tolong kau
menghadap Kong Cin Ong! Katakan padanya aku akan menggunakan pasukan tentara,
guna melakukan suatu gerakan, Namun karena urusan ini sangat penting aku tak
sempat menemui langsung padanya untuk minta ijinnya..." kata Siau Po.
Cee Hian menurut ia lalu beranjak pergi, Dan tak lama datang pasukan dari bendera
kuning lalu Siau Po langsung berkata pada pimpinannya.
"Toa Tong Tayjim, di sini ada beberapa ribu pendeta lhama dan rupanya mereka
sudah mengetahui bahwa raja ingin berziarah sekarang mereka sudah mengurung
wihara itu dan nampaknya mereka akan mengadakan pemberontakan maka itu silahkan
kalian pergi, inilah jasa besar bagi kalian!" perintah Siau Po.
Kedua pembesar itu girang sekali dan ia lalu berlari dan mengucapkan terima kasih.
Keduanya percaya dengan keterangan itu.
Setelah memberikan pesan pada beberapa orang pembesar militer Siau Po lalu
mengajak rombongannya untuk beristirahat dan berganti pakaian di salah satu kuil,
Siau Po menyewa kuil itu pada salah seorang pendeta.
Melihat uang sewa yang diberikan Siau Po, pendeta itu merasa gembira.
Siau Po lalu ke luar. Kali ini ingin memberikan kabar yang rahasia, ia juga
memerintahkan pada seratus lebih Sie Wie untuk berjaga-jaga di sekitar kuil itu.
Setelah mengatur siasat Siau Po lalu mengutus beberapa orang Sie Wie untuk
memberitahukan pada raja.
"Budak Wie Siau Po tengah melakukan tugas yang berat. Tak berani budak
meninggalkan tugas itu, maka itu budak hanya bisa menanti di kuil Kim Kok Sie!" itulah
isi surat Siau Po. Siau Po lalu pergi ke kuil yang dimaksudkan itu, Tak lama kemudian ia mendengar
keributan dari atas gunung, itulah suara pertempuran pasukan Sie Wie dengan para
lhama itu. Setelah keributan itu berhenti tak lama kemudian datang rombongan pasukan raja ke
kuil itu. "Pastilah raja kecil itu telah tiba." katanya.
Sambil berkata demikian Siau Po lalu mengambil pisau belatinya guna menjaga
kemungkinan jika yang datang itu bukan rombongan raja.
Suara itu terdengar semakin dekat dan tak lama kemudian muncul rombongan raja
didahului dengan datangnya para Sie Wie dan langsung berbaris.
"Cepat kau simpan senjata tajam itu.,.!" kata salah seorang Sie Wie dengan suara
perlahan. "Selamat Baginda! Ayah Baginda berada di dalam!" kata Siau Po.
Kong Hie mengangguk. "Kau tolong aku dengan memberi kabar!" katanya dan ia lalu memerintahkan para
Sie Wie itu untuk meninggalkan tempat itu.
"Kalian boleh pergi ke luar!" kata raja pada para Sie Wie.
Semua Sie Wie lalu pergi ke luar Siau Po mulai mengetuk pintu kamar ayah raja itu
dengan suara perlahan-Iahan.
"Hui Beng mohon menghadapi- kata Siau Po.
Tetapi dari dalam kamar itu tak terdengar suara apa-apa. Hingga raja menjadi tak
sabaran dan langsung memanggilnya dengan panggilan yang biasa digunakan di
Kerajaan. Karena dari dalam tak terdengar jawaban akhirnya raja menjadi bersedih, melihat
rajanya menangis Siau Po teringat pada ayah dan ibunya.
Tak lama terdengar pintu itu terbuka, Melihat hal itu raja sangat senang maka ia lalu
segera masuk dan langsung menubruk kaki ayahnya.
Heng Tie perlahan-Iahan mengusap kepala putranya itu.
"Nak.... Nak!" kata ayah raja dan ia pun menangis.
Siau Po sudah berhenti menangis, ia telah memasang telinganya untuk
mendengarkan pembicaraan antara raja dengan ayahnya.
Heng Tie mengatakan sesuatu, suaranya sangat perlahan hingga tak terdengar oleh
Siau Po dari luar, ingin ia mendengarkan pembicaraan antara raja dengan ayahnya,
tetapi ia tak berani mengintai dan juga mendengarkan pembicaraan itu dari selah-selah.
Tak lama terdengar suara raja dengan menyebut nama permaisuri Toan Keng Hong
Hau dan disusul dengan suara ayah raja.
"Untuk selama-lamanya jangan menaikkan pajak!"
"Jangan menaikkan pajak" Adakah pesan lain yang akan disampaikan raja pada
ayahnya?" tanya Siau Po dalam hati
Tak lama kemudian terdengar lagi pembicaraan mereka.
"Hari ini kita bertemu satu dengan yang lainnya, itu juga sudah tak selayaknya, bukan
sedikit kau menggagalkan pertapaanku, Mulai saat ini kau jangan datang-datang lagi ke
mari!" pesan ayah raja.
Raja tak mengucapkan kata-katanya yang terdengar suara ayahnya.
"Kau telah mengutus orang untuk melayaniku, meskipun itu datang dari hatimu yang
paling dalam, kau masih keliru beranggapan demikian. Seorang pertapa ia harus dapat
merasakannya sendiri Hal itu sudah seharusnya mereka terima, maka itu jika kau
merawatku dengan sempurna sekali itu pun tak baik!" katanya.
Terdengar suara raja tetapi, tiba-tiba terdengar suara dari ayah raja dengan nada
yang keras. "Sekarang sebaiknya kau menjaga dirimu sendiri Dengan kau mencintai rakyat,
berarti kau sudah berbakti kepadaku.,.!" kata ayah raja.
Agaknya raja merasa sangat berat untuk meninggalkan ayahnya.
Lalu terdengar langkah kaki mendekati pintu kamar Siau Po dengan cepat berpurapura
melihat halaman dan menjauhi dari tempatnya mengintai.
Segera terdengar suara pintu terbuka, ayah raja itu sambil memegangi tangan
anaknya melangkah ke luar dari kamarnya.
Ayah dan anak itu saling mengawasi Anak itu terus memegang erat tangan ayahnya.
Dengan perlahan-lahan raja melepaskan tangan yang memegang tangan ayahnya
itu, lalu ayah raja segera kembali ke kamarnya dan mengunci pintu dari dalam.
Kong Hie menubruk ke pintu dan kembali menangis.
Siau Po berdiri diam menemani raja dan menangis.
Tak lama raja berhenti menangis, ia merasa yakin bahwa ayahnya tak akan


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membukakan pintu, walaupun demikian ia tak mau segera berlalu dari kamar itu, Maka
ia mendekati Siau Po dan menarik tangan Siau Po untuk duduk, Dengan sapu tangan ia
menghapus air matanya. "Menurut Hu Hong kau baik sekali Kau pandai bekerja tetapi Hu Hong tak
menghendakinya lebih jauh, Katanya kalau para menteri melayaninya dengan
sempurna bukan lagi ia seorang pertapa.,.!" Menyebut kata "Pertapa" air mata raja itu
mengalir pula. Senang Siau Po mendengar raja tua itu tak mau dirawatnya lebih lama, akan tetapi
pada wajahnya tak menggetarkan, sebaliknya ia berkata.
"Ada banyak sekali orang yang hendak mencelakai raja yang tua, oleh karena itu raja
harus melindunginya terutama menjaganya secara diam-diam!" kata Siau Po.
"Itu pasti!" kata raja.
"Kawanan Ihama itu sangat jahat! Entah apa maksudnya dan apa pula daya
upayanya.,.?" katanya.
Hampir raja ini mengutuk dengan kata-kata cara rumah hina seperti biasa diucapkan
Siau Po, yang suka meniru, Sebaliknya, ia merubah itu menjadi Nyonya itu.
Siau Po tertawa dan berkata.
"Oh, Sri Baginda, Tuan telah mendapatkan kata-kata baru!"
Raja tersenyum. "Aku dapatkan ini dari mulut adikku, yang mendapatkannya pula dari para Sie Wie
nya! Adik-ku itu bersama telah mendaki gunung!" kata raja.
Sebelum Siau Po mengatakan sesuatu, raja menambahkan
"Hu Hong juga tak sudi menemukan ibu suri serta adiku itu...!" kata sang raja.
Siau Po mengangguk. "Para lhama itu terang ingin menahan Hu Hong supaya dapat dijadikan jaminan.
Dengan begitu dapat memaksa dan memeras aku," kata raja kemudian.
"Mana mereka dapat mencapai hati mereka" Siau Po kau baik sekali, kau telah
menolong Hu Hong, jasamu tidak kecil!"
"Tetapi itu berkat kecerdasan raja juga!" kata Siau Po.
"Sri Baginda pandai memikir jauh, mulanya Sri Baginda sudah menerkanya. Maka
Baginda telah mengirim hamba ini ke mari menjadi biksu sebenarnya aku tak punya
jasa apa-apa, Sebab, siapa pun yang Baginda utus ke mari, dia tentu dapat melakukan
tugasnya!" kata Siau Po.
"Bukan soal itu.,." kata raja.
"Kata Hu Hong kau pandai mengetahui hatinya kau dapat menyelamatkan tanpa ada
yang korban, Dan di antara kita tak ada yang celaka!" kata raja.
"Hamba mendengar Lo Hongya hendak membakar diri hal itu membuat aku
khawatir!" kata Siau Po. "Lo Hong hendak menebus dosa...!"
"Apa, membakar diri?" tanya raja terkejut "Menebus dosa...!" Raja itu kaget sehingga
tubuhnya menggigil. "Begitulah!" kata Siau Po, yang mengatakan duduknya peristiwa di saat mereka
bingung sekali, karena pihak lhama akan datang menyerbu.
"Oleh karena tidak ada jalan lain, terpaksa hamba melakukan itu. Hamba merasa
kurang hormat telah menyiraminya!"
"Tapi kau berbuat demikian guna menolong ayahanda, itu bagus!" raja justru memuji.
Terus raja berdiam untuk menoleh ke pintu ayahnya.
"Hu Hong memesanku untuk menyayangi rakyat. Supaya aku tidak menambah
pajak!" kata raja. "Kata-kata itu akan kuingat dan kau pun pernah menyampaikannya terhadapku tetapi
kali ini pesan pribadi dari Hu Hong nanti aku tak dapat melupakannya."
"Pajak ialah uang yang dibayarkan kepada negara!" sahutnya, menjelaskan.
"Di jaman Ahala Beng, kalau raja mengerjakan angkatan bersenjata untuk berperang
uangnya di-dapat dari memeras rakyat Raja-raja itu sangat royal, uangnya kurang.
Maka rakyatlah yang diganggu dipaksa memenuhi kehendaknya! para pembesar Beng
juga busuk sekali, mereka jahat Jika raja membutuhkan seratus juta mereka menambah
menjadi dua ratus juta, Hingga mereka turut me-ngeduk harta! Demikianlah rakyat yang
miskin bertambah melarat Raja menambah pajak, lain tahun menambah kenaikan, lalu
rakyat dari mana mendapatkan uang?" kata raja.
Siau Po mengangguk. "Oh, kiranya begitu" kata Siau Po. "Ayahnya memerintahkan pada raja jangan
menaikkan pajak, itu maksudnya agar tak terjadi huru-hara?" tanya Siau Po.
"Kau menyebut dia Giau Sun!" kata raja.
"Hu Hong berkata padaku sebabnya mengapa ia menyucikan diri, bahkan selama
beberapa tahun ia sudah menutup diri, Karena ia malu sendiri atas perbuatannya
selama menjadi raja, Dahulu sebenarnya raja Cong Ceng mati dipaksa oleh si berandal
yang membuat huru-hara dan memberontak karena Gouw Sam Kui datang ke negeri
kita meminta bantuan dan meminjam angkatan perang kita dan si berandal dapat
diruntuhkan." kata raja.
"Dengan demikian kami membalas sakit hati raja Beng! Akan tetapi lain pandangan
rakyat Han, mereka bukan saja berterima kasih pada kami bahkan kami dipandang
sebagai musuh besar. Nah, coba kau katakan apa sebab dari itu!" tanya raja.
"Mungkin mereka itu tolol!" sahut Siau Po, "Memang di dunia ini ada banyak sekali
manusia toIoI, sebaliknya orang pintar sangat sedikit! Atau mungkin mereka itu orang
yang tak berbudi yang melupakan kebaikan orang!" kata Siau Po.
"Mungkin mereka beranggapan demikian itu bukannya!" kata raja,
Kaisar Kong Hi menghela napas.
"Pembunuhan sepuluh hari Yang-ciu dan tiga hari di Ke Teng di mana orang yang
dibinasakan tak terhitung jumlahnya, itulah perbuatan yang sangat jahat dari Kerajaan
kita.,.!" katanya menyesal.
"Maka nanti sepulangnya aku dari kota raja, aku bakal memaklumkan pembebasan
pajak selama tiga tahun pada para penduduk itu!"
Mendengar kata-kata raja itu, Siau Po berpikir.
"Kalau penduduk kota Yang Cu dan Keng teng bebas pajak tiga tahun, saku mereka
tentu akan banyak uangnya, Dan Yang Cu pastilah Lecu Wan akan maju dan subur.
Maka itu bagaimana aku dapat berpikir agar raja cilik ini menugaskan aku melakukan
sesuatu di Yang Cu..?"
Sedang berpikir demikian Siau Po ditanya rajanya.
"Hai, bagaimana pikiran itu bagus atau tidak?" tanyanya.
Siau Po terkejut Kemudian raja menceritakan pada Siau Po bahwa ia pernah
memerintahkan pada Sie Wie untuk menyelidiki rombongan yang datang itu, ia pun
menceritakan perihal ibu surinya.
"Sekarang ini kau sudah selesai mewakili aku menjadi Biksu dan sudah saatnya kau
pulang bersama aku ke kotaraja, Untuk itu selain kau menjadi biksu kau juga telah
menjadi lhama besar. Kau boleh pilih untuk kau dua ribu Sie Wie untuk menjadi
anggotamu, Kau dapat membuatkan mereka tempat di sekitar gunung. Di sana kau
akan menjadi lhama dan akan mendapat hadiah yang besar...!"
00oo00 Bhiksuni itu tidak suka banyak bicara, Dia diam saja, Tapi ketika si anak muda
mengoceh terus, dia pun berkata,
"llmu silat Siau Lim Pay mempunyai keistimewaan tersendiri katanya, "Kau si bocah
cilik mirip dengan katak dalam tempurung, jangan sembarangan kau berbicara!
Memang benar aku tidak mempunyai ilmu kebal seperti kau yang tidak mempan senjata
tajam...." Siau Po jadi tertarik dengan kepribadian si bhikuni itu.
"SebetuInya ilmu kebalku ini ilmu palsu," katanya sembari membuka jubah luarnya
untuk memperlihatkan baju mustikanya yang tidak mempan senjata tajam. "Baju inilah
yang membuat tubuhku kebal senjata tajam."
Bhikuni itu segera meluncurkan tangannya menotok baju mustika Siau Po. Tapi
sampai berkali-kali dia tidak berhasil menotok putus sehelai benangnya sekalipun Dia
pun tersenyum. "Rupanya begitu! Tadinya aku heran Siau Lim Pay memiliki ilmu kebal yang demikian
luar biasa dan engkau yang masih muda sudah berhasil menguasainya!"
Senang sekali hati si bhikuni, bibirnya mengembangkan senyuman kemudian
menambahkan. "Anak, kau benar-benar jujur dan polos!"
Di dalam hati Siau Po tertawa. Dalam hidupnya ada juga orang yang mengatakan dia
jujur dan polos. Baginya, pujian itu sungguh langka.
"Suthay," katanya, "Terhadap lain orang, mungkin aku tidak akan terus terang, tetapi
terhadapmu aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu mengapa aku tidak
berani berdusta kepadamu, mungkin karena aku menganggap kau sebagai...ibuku,.,."
"Sudah! Sudah!" tukas si bhikuni, "Lain kali, jangan kau bicara seperti itu lagi,
kurang enak aku mendengarnya!"
"Baik, baik, suthay!" sahut Siau Po. "Kau telah menyerang aku sampai sekarang rasa
sakitnya masih ada. Tapi tidak apa-apa, aku merasa puas dengan sikapmu ini, lagipula
aku telah menyebutmu sebagai ibu...."
Ibu Siau Po adalah seorang pelacur, dengan memanggil suthay itu sebagai ibu, dia
menganggapnya sebagai seorang pelacur juga, Dasar bocah ini nakal sekali.
Diam-diam Siau Po melirik bhikuni itu. Dia mendapat kenyataan bahwa wajah wanita
itu cantik dan berwibawa, Tanpa terasa timbul perasaan kagum dan hormatnya.
Bocah ini memang luar biasa, Terhadap Sang Buddha saja, tidak ada perasaan
hormatnya sama sekali, Terhadap Tan Kin Lam, gurunya, dia hanya merasa takut.
Terhadap Hong kaucu dan Hong hujin, dia hanya hormat dibibir saja, di dalam hatinya
dia memandang hina. Tapi aneh, terhadap bhikuni ini, dia tidak berani kurang ajar. Hatinya langsung
merasa menyesal telah mengumpamakan orang seperti pelacur.
Bhikuni berjubah putih itu mengajak Siau Po turun gunung dari sebelah utara, Dari
sana mereka memutar ke timur, akhirnya mereka tibalah di sebuah pasar, Siau Po
membeli seperangkat pakaian baru, Setelah berdandan, dia tampak seperti anak
tanggung seorang hartawan.
Selama menjadi bhiku palsu dan melindungi kaisar Sun Ti, Siau Po memang
membekal uangnya yang jumlahnya beberapa puluh ribu tail perak. Karena itu,
sekarang sepanjang perjalanan mudah saja dia melayani bhikuni itu.
Setiap kali makan, dia selalu meminta barang hidangan yang istimewa, bahkan kalau
perlu dia membantu koki rumah makan tersebut bagaimana harus membuat hidangan
yang lebih lezat. Selama di istana dia sudah sering melayani kaisar dan ibu suri,
karena itu dia tahu makanan apa saja yang terkenal kelezatannya.
Si bhikuni berjubah putih, atau lebih baik kita panggil saja Pek I Ni rupanya pendiam
sekali, dia jarang berbicara, Siau Po segera tahu kebiasaan wanita itu.
Karena itu apabila tidak ada keperluan penting, dia tidak mengajak orang bicara, Dia
hanya melayani dengan telaten dan bersikap manis.
Dengan demikian, pada suatu hari tibalah mereka di tempat tujuan, yakni kotaraja.
Siau Po memilih sebuah hotel yang besar, begitu berbicara dengan si pengurus
hotel, dia langsung memberi hadiah sebanyak dua puluh tail, karena itu dia segera
mendapatkan pelayanan yang memuaskan.
Ketika melihat tamunya seorang pendeta perempuan, pemilik hotel itu merasa heran.
Tetapi dia mengambil sikap tidak perduli..
Hari itu, setelah selesai bersantap, tiba-tiba Pek I Ni berkata kepada Siau Po.
"Aku akan pergi ke bukit Keng San untuk melihat-Iihat."
"Bukit Keng San?" tanya Siau Po heran, "ltukan bukit tempat bersemayamnya arwah
para mendiang kaisar Cong Ceng dari dinasti Beng! Ya, kita memang perlu ke sana
untuk memberikan hormat kita."
Segera keduanya berangkat, hanya sesaat saja mereka sudah tiba di tempat tujuan,
Mereka sudah berada di sebuah taman yang ada di sisi makam.
Sesampainya di atas bukit, Siau Po menunjuk pada sebatang pohon besar.
"Kaisar Cong Ceng wafat dengan menggantung diri di atas pohon itu." katanya
menjelaskan. Pek I Ni mengelus-elus pohon itu. Tangannya bergetar dan air matanya langsung
jatuh berderai membasahi pipinya. Bahkan sekejap kemudian, terdengar dia menangis
tersedu-sedu sampai menjatuhkan dirinya berlutut di bawah pohon itu.
Siau Po heran menyaksikan sikap wanita itu, Sebagai orang yang cerdas, pikirannya
langsung bekerja. - Mungkinkah dia mengenal kaisar Cong Ceng" -- tanyanya dalam hati, Dia langsung
teringat kepada bibi To nya. Karena itu dia berpikir lagi. --Mungkinkah dia juga bekas
seorang dayang dalam istana seperti halnya bibi To" Atau... dia salah seorang selir
raja" Ah, tidak mungkin! Usianya tidak tepat! Dia malah lebih muda dari pada si
perempuan hina ibu suri. Pek I Ni masih menangis terus. Mau tidak mau, Siau Po jadi terharu sekali, Tanpa
terasa dia ikut menjatuhkan diri berlutut di bawah pohon itu bahkan menyembah
beberapa kali untuk menghormati arwah kaisar Cong Ceng yang mati menggantung diri
di sana. Tidak lama kemudian, Pek I Ni berdiri Dia merangkul pohon itu dan tiba-tiba tubuhnya
jatuh terkulai Rupanya dia tidak sadarkan diri lagi.
Siau Po terkejut setengah mati, Dia berdiri, kemudian berusaha membangunkan
wanita itu. "Suthay! Suthay!" panggilnya berkali-kali, "Suthay, sadarlah!"
Sejenak kemudian, Pek I Ni siuman juga dari pingsannya, Wanita itu masih berdiam
diri sekian lama, akhirnya dia baru berkata dengan suara lirih.
"Mari kita pergi ke istana untuk melihat-lihat."
"Baik," sahut Siau Po. "Kita pulang dulu ke rumah penginapan Di sana aku akan
mencari pakaian thay-kam. Nanti suthay menyamar sebagai seorang thay-kam baru kita
masuk ke dalam istana."
Pek I Ni tampaknya tidak senang dengan usul itu.
"Mana boleh aku mengenakan pakaian bangsa Tatcu?" katanya dengan nada keras.
Siau Po bingung. Tetapi sesaat kemudian dia sudah mendapat akal.
"Begini saja," katanya, "Sebaiknya suthay menyamar sebagai seorang Ihama, Sudah
biasa di istana kedatangan pengikut agama asal Tibet itu."
Pek I Ni menggelengkan kepalanya.
"Tidak!" katanya, "Aku tak sudi menyamar sebagai Ihama. Aku akan pergi dengan
pakaianku ini. Siapa yang berani menentang aku?"
"Memang benar, para pengawal dalam istana pasti tidak mungkin bisa merintangi
suthay, tapi kalau sampai terjadi penghadangan, berarti terjadilah pertempuran Dengan
demikian suthay tidak akan mendapat kesempatan untuk melihat-lihat lagi." Siau Po
tidak ingin kedatangan mereka sampai menimbulkan keonaran.
Pek I Ni mengangguk perlahan.
"Kau benar juga," katanya, "Sebenarnya kalau hari sudah gelap aku akan masuk ke
dalam istana, Kau tunggu aku di rumah penginapan ini saja, jadi kalau terjadi sesuatu,
dirimu pasti tidak akan terlibat"
"Oh, tidak, tidak!" sahut Siau Po cepat "Aku ingin ikut bersama suthay. Aku kenal baik
keadaan dalam istana, tidak ubahnya seperti rumahku sendiri Aku pun mengenal
dengan baik seluruh penghuni istana itu. Pokoknya, apa pun yang ingin suthay lihat,
aku ingin menunjukkannya."
Bhikuni itu tidak berkata apa-apa, dia hanya diam saja, Siau Po juga membungkam.
Ketika waktu sudah menunjukkan pukul dua tengah malam , Pek I Ni ke luar dari
kamarnya, dia meloncati genting dan Siau Po mengikuti di belakangnya. Sesaat
kemudian mereka sudah sampai di luar tembok istana.
"Mari kita putar ke arah timur laut!" ajak Siau Po. Dua dinding sebelah sana lebih
pendek dari yang lainnya, Di bagian itu, hanya pegawai serabutan yang tinggal disana,
Tidak pernah para pengawal meronda sampai ke bagian itu.
Pek I Ni menurut Dia menuju timur laut seperti yang ditunjuk anak muda itu,
sesampainya di bawah tembok, dia segera mencekal ikat pinggang Siau Po dan
ditentengnya melompati tembok tersebut dan seterusnya turun ke dalam halaman
istana. "Selewatnya dari sini, kita akan sampai di ruang Lok Siu Tong dan pendopo Yang
Seng Tian," kata Siau Po memberikan keterangannya, "Bagian mana yang suthay ingin
lihat?" "Semua bagian pun aku ingin melihatnya," sahut Pek I Ni yang langsung berjalan
menuju barat Mereka melintasi Lok Siu Tong dan Yang Seng Tian, kemudian memutar
ke sebuah koridor dan sampai di pendopo Han Kiong Potian. Lalu mereka menyusun
keraton Keng Yang Kiong, Ciong Ciu Kiong dan akhirnya sampai di taman bunga.
Walaupun cuaca gelap gulita, nyatanya Pek I Ni dapat berjalan dengan cepat dan
ketika membelok, dia tidak ragu-ragu sedikit pun. Dan di setiap tempat yang ada
penjaganya, dia selalu sudah bersiap siaga dengan menyembunyikan diri dulu di
tempat yang gelap atau di gerombolan pepohonan. Setelah penjaga itu lewat, dia baru
melanjutkan langkah kakinya.
Menyaksikan gerak-gerik bhikuni itu, Siau Po merasa heran.
- Aneh! -- katanya dalam hati, - Mengapa suthay ini kenal baik sekali keadaan dalam
istana ini" Bahkan tampaknya lebih kenal daripada aku sendiri Aku menyatakan akan
menjadi petunjuk jalan baginya, malah sekarang boleh dibilang dia yang mengantar
aku.... -Sembari membungkam dan dalam hati menduga-duga, Siau Po membiarkan dirinya
diajak ke arah barat. Mereka ke luar dari pintu Kun Leng Mui dan sampai di keraton Kun
Leng Kiong. setibanya di sana, si bhikuni tampak agak ragu-ragu.
"Bukankah permaisuri tinggal di dalam keraton ini?" tanyanya.
"Sri Baginda toh belum menikah, jadi mana mungkin memiliki permaisuri?" sahut
Siau Po. Tadinya ibu suri yang berdiam di sini, sekarang dia pindah ke Cu Leng Kiong.
Tempat ini tidak ada yang menghuni lagi."
"Mari kita masuk untuk melihat-Iihat!" kata Pek I Ni yang langsung menghampiri
jendela, Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh daun jendela itu, Sekali tarik saja
jendela itu sudah terpentang.
Dengan satu kali loncatan, Pek I Ni masuk ke dalam, Tindakannya diikuti oleh Siau


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Po. Siau Po sendiri belum pernah masuk ke dalam kamar ini. Dapat dipastikan bahwa
kamar ini sudah lama dibiarkan kosong. Begitu masuk ke dalam, hawa pengap
langsung menusuk hidung. Untung ada sinar rembulan yang menyorot lewat jendela,
sehingga keadaan di dalamnya tidak terlalu gelap.
Siau Po melihat Pek I Ni langsung duduk di atas tempat tidur tanpa bergerak sama
sekali. Sesaat kemudian, Siau Po tambah heran, dia melihat wanita itu meneteskan air
mata. -- Tidak salah lagit Dia pasti sama dengan bibi To yang pernah menjadi dayang dan
melayani permaisuri dari dinasti yang terdahulu Kemudian tampak Pek I Ni berdiri Dia mendongakkan kepalanya dan memperhatikan
tiang penglari. "Dulu, permaisuri Cin Hong hou mati gantung diri di sana.-." katanya perlahan.
"Benar," sahut Siau Po yang kecurigaannya bertambah-tambah, Karena itu, dia
segera bertanya dengan suara perlahan. "Suthay, maukah kau menemui bibiku?"
"Bibimu?" tanyanya bingung, "Siapakah bibimu itu?"
"Bibiku itu she To, namanya Hong Eng."
"Hong Eng?" sahut Pek I Ni menegaskan.
"Tidak salah!" sahut Siau Po. "Mungkin suthay mengenalnya, Dulu dia menjadi
dayang putri Tiang Kongcu dari kaisar Cong Ceng...."
"Bagus!" seru Pek I Ni yang tampaknya tertarik sekali, "Dimana dia sekarang" Suruh
dia menemui aku!" Siau Po tahu biasanya wanita ini tenang sekali sebagaimana ketika dia berusaha
membunuh kaisar Kong Hie. Gerakannya gesit dan sikapnya tidak gugup sedikit pun.
Tetapi kali ini suaranya agak bergetar Hal ini menandakan hatinya tegang sekali.
"Malam ini bibiku itu tidak dapat dipanggil" kata Siau Po.
"Kenapa?" tanya si bhikuni dengan suara mendesak.
"Bibiku itu setia sekali terhadap kerajaan Beng yang agung," sahut Siau Po. "Dia
pernah berusaha membunuh ibu suri bangsa Tatcu, Sayang dia gagal, ibu suri tidak
sampai mati, Oleh karena itu, bibi terpaksa harus menyembunyikan diri dalam istana,
Bibi To harus melihat dulu tanda rahasia dariku, besok malam baru kita dapat bertemu
dengannya." "Baiklah," kata Pek I Ni, "Hong Eng, budak itu benar-benar pemberani dan
bersemangat, Apakah tanda rahasia yang harus kau buat untuk memanggilnya ?"
"Dengan bibi aku telah berjanji," kata Siau Po. "Kalau kami hendak bertemu, aku
harus menancapkan sebatang kayu di tempat pembakaran, melihat kayu itu, bibi To
segera akan tahu maksudku."
"Kalau begitu, mari kita buat tanda itu!" kata Pek I Ni yang segera melompati jendela.
Setelah itu dia menarik tangan Siau Po untuk ke luar dari pintu Liong Hok Mui, lalu
melintasi keraton Eng Siu Kiong, melewati pendopo-pendopo Te Goan Tian dan Po Hoa
Tian, kemudian menuju utara di mana terletak tempat pembakaran.
Di sana, Siau Po bermaksud langsung menancapkan sebatang kayu sebagai tanda,
tapi tiba-tiba si bhikuni memberikan isyarat kepadanya.
"Awas! Ada orang!"
Tempat itu tempat pembakaran sampah atau barang-barang rongsokan yang tidak
dipakai lagi, jarang sekali tengah malam ada orang yang datang ke sana. Siau Po
segera menarik tangan Pek I Ni dan diajaknya bersembunyi di belakang sebuah
jambangan besar. Segera terdengar suara langkah kaki yang cepat dan ringan, Orang itu berjalan di
atas kerikil, jadi timbul sedikit suara, sebentar saja dia sudah sampai di tempat
pembakaran sampah, Dia melihat kayu yang ditancapkan Siau Po. Sekejap kemudian,
dia menghampiri kayu itu dan mencabutnya.
Ketika orang itu memutar tubuhnya, Siau Po segera melihatnya dengan jelas dan
mengenalinya sebagai To Hong Eng.
"Bibi, aku di sini!" panggilnya perlahan Dia pun segera muncul dari tempat
persembunyiannya. Hong Eng segera menghambur ke depan dan memeluk Siau Po.
"Oh, anak yang baik!" serunya girang, "Akhirnya kau kembali juga. Kau tahu, setiap
malam aku datang kemari untuk metihat-lihat. Aku selalu berharap dapat menemukan
tanda yang kita janjikan dulu."
"Bibi," kata Siau Po kemudian, "Ada seorang yang ingin bertemu dengan bibi...."
Tampaknya Hong Eng merasa heran, Dia melepaskan pelukannya dan menatap Siau
Po lekat-lekat. "Siapa orang itu?" tanyanya.
Pada saat itu, Pek I Ni sudah ke luar pula dari tempat persembunyiannya.
"Hong Eng," sapanya, "Hong Eng, apakah kau masih mengenali aku?"
To Hong Eng terkejut setengah mati, Dia tidak menyangka ada orang lain yang
bersembunyi di belakang jambangan besar itu. Tanpa terasa kakinya sampai menyurut
mundur tiga langkah, tangan kanannya segera meraba ke bagian pinggang untuk
menghunus pedang pendeknya.
"Siapa kau?" tanyanya.
Pek I Ni menghela napas. "Rupanya kau sudah tidak mengenali aku lagi." katanya perlahan,
Hong Eng memperhatikan dengan seksama, "Kau... kau.,." katanya sambil maju dua
langkah, "Aku tidak dapat melihat wajahmu dengan jelas...kau.,.,"
Pek I Ni memiringkan tubuhnya sedikit agar wajahnya tersoren cahaya rembulan.
Sembari melakukan hal itu, dia berkata dengan Iirih.
Memburu Iblis 5 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Jala Pedang Jaring Sutra 17
^