Pencarian

Kaki Tiga Menjangan 23

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 23


"Wajahmu juga sudah banyak berubah...."
Hong Eng terkejut setengah mati.
"Kau... kau..." Tiba-tiba dia melemparkan pedang pendeknya kemudian menghambur
ke depan Pek I Ni dan menjatuhkan dirinya berlutut serta memeluk pahanya.
"Oh, Tiang kiongcu!" seru nya. suaranya bergetar, "Kiranya Kiongcu! Aku... aku.,,."
Dia langsung menangis tersedu-sedu, Tampaknya ia sedih sekali Setelah lewat sesaat,
dia baru memaksakan dirinya berkata lagi, "Kongcu, sekarang aku bertemu lagi dengan
kongcu, walaupun aku harus mati, rasanya aku sudah cukup puas, Hatiku senang
sekali!" Bagian 47 Mendengar To Hong Eng menyebut Tiang kongcu atau puteri Tiang, bukan main
terkejutnya hati Siau Po. Langsung teringat olehnya penuturan bibi To beberapa waktu
yang lalu, To Hong Eng adalah dayang kongcu ini.
Menurut To Hong Eng, kaum pesuruhnya Li Cong menyerbu kotaraja, Kaisar Cong
Ceng bermaksud membunuh puteri kesayangannya ini dengan tangan sendiri, dia tidak
ingin puterinya itu terjatuh ketangan si pemberontak Setelah menebas sebelah lengan
puterinya itu, Cong Ceng berniat mengulangi bacokannya.
Tapi untuk Hong Eng keburu datang dan dia membiarkan punggungnya yang terkena
bacokan itu, Karena itu pula, Hong Eng jatuh tidak sadarkan diri, Tatkala siuman
kembali Cong Ceng dan Tiang kongcu telah lenyap.
Entah ke mana perginya mereka, sekarang ternyata Tiang kongcu masih hidup dan
dia dapat bertemu kembali dengan dayangnya yang sangat setia itu.
Siau Po melirik kepada Pek I Ni dan berkata dalam hati.
-- Dia telah kehilangan sebelah lengannya. Dia juga kenal baik keadaan dalam istana
ini dan tadi di dalam keraton Kun Leng Kiong dia juga menangis sedih sekali,
seharusnya sejak semula aku sudah dapat menduga siapa dirinya. Tapi sampai
sekarang aku baru mengetahuinya, aku benar-benar tolol sekali....-"Apakah selama ini kau terus berdiam dalam istana ini?" Terdengar pertanyaan Tiang
kongcu pada bekas dayangnya itu.
"lya," sahut To Hong Eng yang masih menangis sesenggukan
"Kata bocah ini, kau pernah mencoba membunuh ibu suri bangsa Tatcu." kata pula si
tuan puteri, "ltu bagus, Tapi,., hal itu bisa menyulitkan kedudukanmu sendiri."
Sembari berbicara, tanpa dapat menahan keharuan hatinya, puteri itu meneteskan
air mata. "Kongcu, dirimu lebih berharga dari laksaan tail emas," kata Hong Eng. "Kongcu tidak
boleh berdiam di sini terlalu Iama. Bahaya sekali, sebaiknya aku antar kongcu keluar
dari istana sekarang juga."
Tiang kongcu menghela napas panjang.
"Sedari lama aku bukan kongcu lagi." katanya,
"Tidak, tidak." kata To Hong Eng, "Di mata hamba, sampai kapan pun, kongcu tetap
seorang tuan puteri Untuk selama-lamanya tetapi Tiang kongcu hamba."
Pek I Ni tersenyum pilu, Diantara sinar sang rembulan, tampak air mata membasahi
pipinya yang cantik, Tapi senyumannya itu tampak dipaksakan sekali.
"Apakah keraton Leng Siu Kiong ada yang menempati?" tanyanya pula, ingin sekali
aku melihatnya." "Leng Siu Kiong?" suara To Hong Eng agak ragu-ragu. "Sekarang ini Leng Siu Kiong
ditempati oleh Kian Leng kongcu, puteri si raja Tatcu. Namun sudah beberapa hari ini
entah raja, ibu suri dan puterinya pergi ke mana. Mereka tidak berada di kotaraja, jadi
di sana hanya ada beberapa dayang dan thay-kam. sebaiknya aku pergi ke sana
membinasakan mereka semua agar kongcu dapat pergi ke sana."
"Tidak perlu kau sampai membunuh orang!" kata si puteri, "Aku hanya ingin melihatlihat
saja." Hong Eng menganggukkan kepalanya.
"Baik." sahutnya.
Dayang ini tidak tahu tuan puterinya telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Dia hanya
merasa terharu dan senang dapat bertemu kembali dengannya. Tentu dia juga senang
sekali dapat mengantarkan tuan puteri nya, sekalipun ke tempat yang penuh dengan
mara bahaya. "Mari, kongcu!" katanya kemudian. Dia langsung berjalan mendahului
Mereka bertiga menuju keraton Leng Siu Kiong. Setelah melalui beberapa pendopo
dan gudang daun teh serta tempat penyimpanan kain sutera, mereka pun sampai di
tempat tujuan. "Harap kongcu tunggu sebentar!" kata Hong Eng setengah berbisik "Nanti hamba
pergi mengusir dulu para thay-kam dan dayang-dayang di sana."
"Tidak usah," kata Tiang kongcu yang langsung menghampiri pintu dan dengan
mendadak menubruknya, pintu itu langsung jebol olehnya, sehingga timbul suara
berisik, Dan Tiang kongcu langsung masuk ke dalamnya.
Rupanya, meskipun telah direbut oleh kerajaan Ceng, keadaan di dalam istana itu
masih belum berubah banyak.
Tiang kongcu kenal baik semua kamar-kamar dalam istana itu. Karena itu dia
langsung memasuki kamar para thay-kam dan dayang, Mereka terkejut setengah mati,
Tetapi sebelum mereka sempat mengambil tindakan apa-apa. Mereka sudah ditotok
satu per satu oleh Tiang kongcu.
Dengan demikian, Tiang kongcu tidak menemukan halangan apa pun untuk
memasuki kamar itu. To Hong Eng merasa heran dan kagum akan kelihayan tuan puteri itu.
"Oh, kongcu!" serunya, "Kiranya kongcu sudah demikian lihay sekarang!"
Pek I Ni tidak mengatakan apa-apa. Dia langsung duduk di atas tempat tidurnya dan
terpaku karena teringat masa lalunya, Kejadian itu sudah berlangsung kurang lebih dua
puluh tahun yang lalu. Di sinilah lengan kanannya dikutungkan oleh ayahnya, sekarang negaranya telah
berhasil dirampas oleh musuh dan kamarnya pun menjadi kamar tuan puteri bangsa
Tatcu itu. Hong Eng dan Siau Po berdiri di kedua sisi tuan puteri itu. Mereka sama-sama
membisu. "Coba nyatakan lilin!" Perintah Tiang kongcu setelah lewat sejenak.
Hong Eng mengiyakan. Dia segera melaksanakan perintah itu. Sekejap kemudian
kamar itu sudah terang benderang, Tampak di dinding, di atas meja terdapat berbagai
senjata tajam seperti golok dan pedang. Ada juga cambuknya.
Hal ini membuktikan bahwa penghuni kamar ini mengerti ilmu silau Tidak mirip
dengan kamar seorang puteri.
Perlahan sekali Tiang kongcu menarik napas panjang.
"Rupanya puteri Tatcu itu gemar ilmu silat." katanya.
"Puteri Tatcu itu mempunyai watak yang sangat aneh," kata Siau Po. "Dia bukan
hanya senang menghajar orang, dirinya sendiri pun senang bila mendapat hajaran dari
orang, Tentang ilmu silatnya, sebetulnya belum berarti apa-apa, bahkan masih lebih
rendah dari pada aku."
Diam-diam Siau Po melirik ke dalam tempat tidur Dia teringat akan peristiwa hari itu
ketika dia terpaksa bersembunyi di dalam selimutnya puteri Tatcu itu sampai akhirnya
dia dipergoki oleh ibu suri dan dibekuknya. Kalau saat itu dia belum mempunyai Ngo
Liong Leng, mungkin saat ini dia sudah tidak hidup di dunia ini lagi
"Semua lukisan dan kitabku mungkin telah dibuang oleh puteri Tatcu itu," kata Tiang
kongcu yang kembali menarik napas panjang.
"Dia kan puteri Tatcu, aku rasa dia hanya mengenal beberapa huruf saja," kata To
Hong Eng. "Karena itu, mana mungkin dia mengenal ilmu silat dan seni lukis?"
Tiang kongcu tidak mengatakan apa-apa Iagi, Dia hanya mengibaskan tangan kirinya
sehingga padamlah lilin di depannya.
"Mari ikut aku!" katanya kemudian.
"Baik, kongcu!" sahut Hong Eng. "Kongcu begini lihay, alangkah baiknya andaikata
kongcu dapat membekuk ibu suri bangsa Tatcu dan memaksa dia menyerahkan
beberapa jilid kitabnya supaya kita dapat merusak otot nadi naganya...."
"Kitab apakah itu?" tanya Pek I Ni. "Dan apa yang kau maksud dengan urat nadi
naganya?" "Kitab Si Cap Ji Cin Keng," Hong Eng memberikan keterangannya. "Kitab itu memuat
rahasia urat naga bangsa Tatcu."
Dayang ini langsung menjelaskan dengan singkat tentang kitab pusaka tersebut yang
semuanya terdiri dari delapan jilid.
Pek I Ni mendengarkan dengan seksama dan otaknya bekerja, Setelah To Hong Eng
selesai dengan ceritanya, dia baru berkata.
"Kalau benar isi kitab itu seperti yang kau katakan, bagus sekali sebaiknya kita
tunggu sampai kembalinya ibu suri bangsa Tatcu itu, baru kita kembali lagi ke sini!"
Ketiga orang itu segera ke luar dari Leng Siu Kiong lalu meninggalkan istana itu lewat
pintu utara kembali sebagaimana masuknya tadi. Mereka langsung pulang ke
penginapan. Malam itu Hong Eng gembira sekali. Dia telah bertemu kembali dengan tuan
puterinya bahkan dapat tidur satu kamar dengannya, Saking senangnya. Hong Eng
sampai tidak bisa tidur. Sementara itu, otak Siau Po terus berputar
- Dari delapan jilid kitab Si Cap Ji Cin Keng itu, enam di antaranya ada padaku, Yang
satu lagi berada di tangan Sri Baginda, entah di mana jilid yang ke delapan itu,
sekarang si tuan puteri beserta dayangnya ingin memaksa si nenek sihir menyerahkan
kitab itu. Mana mungkin" Tapi ada baiknya kalau mereka berhasil membunuh ibu suri,
dengan demikian aku dan raja tidak pusing-pusing lagi.... Selama beberapa hari, Tiang kongcu dan To Hong Eng tidak pernah ke luar dari
kamarnya, sebaliknya Siau Po setiap hari ke luar penginapan untuk menyelidiki apakah
raja telah kembali ke kotaraja.
Pada hari ketujuh, tampaklah Kong Cin Ong, So Ngo Ta dan To Liong memimpin
barisan Gi Cian Sie Wie melindungi beberapa buah kereta kerajaan dan memasuki
halaman istana. Hal ini menandakan raja sudah pulang, Hal itu lantas diperkuat oleh munculnya
berbagai pwe lek atau pangeran, Mereka pasti ingin menjenguk raja dan menyatakan
selamat atas kembali Sri Baginda dalam keadaan baik-baik saja.
Siau Po bergegas kembali ke penginapan untuk menyampaikan hal itu kepada Tiang
kongcu. "Bagus!" kata si tuan puteri setelah mendengar laporan Siau Po. "Nanti malam aku
akan memasuki istana, Karena raja baru pulang, penjagaan di dalam istana pasti ketat
sekali, sebaiknya kalian berdua diam di dalam rumah penginapan ini saja!"
Tuan puteri bermaksud mengatakan bahwa kepandaian Siau Po dan To Hong Eng
masih belum cukup tinggi untuk digunakan sebagai andalan dalam menempuh bahaya
yang demikian besar. "Suthay, aku ingin ikut." kata Siau Po.
"Begitu pula hambamu ini, kongcu." tukas Hong Eng, "Hamba dan anak ini kenal baik
sekali keadaan dalam istana, tidak perlu khawatir akan ada bahaya apa pun."
Terang dayang ini tidak ingin berpisah dengan tuan puteri yang baru ditemuinya ini.
"Kalau kalian tetap memaksa, baiklah." kata Tiong kongcu,
Ketika saatnya sudah tiba, ketiga orang itu segera berangkat menuju istana, Mereka
langsung menuju luar Cu Leng Kiong, tempat tinggal ibu suri, Siau Po membekal Ngo
Liong Leng, Dia telah memikirnya matang-matang. seandainya mereka kepergok, dia
akan menunjukkan lencana itu agar ibu suri tunduk kepadanya.
Lencana itu disimpan dalam saku, tapi tangan kirinya terus menyusup ke dalam dan
menggenggamnya erat-erat.
Bagian luar dari keraton Cu Leng Kiong tampak sepi sekali, Tidak tampak seorang
pun di sana. Tiang kongcu mengajak kedua rekannya memutar ke belakang dan
melompati tembok dari sana. Siau Po ditenteng olehnya dan dibawa melompati tembok
bersama-sama. Dan ketika Hong Eng melompat turun ke halaman dalam, tuan puteri itu menahan
dengan tangan kirinya agar tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Dengan menunjuk ke arah jendela samping dari kamar ibu suri, Siau Po bermaksud
memberikan isyarat kepada si tuan puteri bahwa si "nenek sihir" tinggal di sana.
Kemudian dengan gerakan tangannya, dia mengajak Tiang kongcu dan To Hong Eng
pergi ke halaman belakang yang menjadi tempat tinggal para dayang keraton Cu Leng
Kiong itu. Dalam keadaan yang gelap gulita, hanya tiga buah kamar yang menampakkan sinar
remang-remang, Tiang kongcu segera menghampiri salah satu kamar tersebut Dia
mengintai ke dalamnya, Tampak belasan dayang sedang duduk seperti sedang
bersemedi. Dengan perlahan-lahan, Tiang kongcu menyingkap tirai kemudian memasuki kamar
ibu suri, Hong Eng dan Siau Po mengikuti di belakangnya.
Di dalam kamar itu ada empat batang lilin yang dinyalakan, tapi tidak kelihatan
penghuninya. Sambil menunjuk ke arah tempat tidur, Hong Eng berkata dengan suara lirih.
"Biasanya kitab itu disimpan di tempat rahasia yang ada di bawah tempat tidur...." Dia
langsung maju mendekat untuk menyingkapkan kasur dan mencari tempat rahasia itu,
Tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara langkah kaki. Siau Po segera menarik ujung
baju si dayang dan diajaknya menyembunyikan diri di belakang tempat tidur.
Hong Eng mengerti. Bersama-sama Tiang kongcu, keduanya mengikuti Siau Po
bersembunyi di belakang tempat tidur.
Dari luar kamar segera terdengar suara seorang wanita.
"Mama, aku telah melakukan tugasku, Hadiah apa yang akan kau berikan kepadaku
sebagai imbalannya?" itulah suara Kian Leng kongcu, tuan puteri bangsa Boan Ciu.
Kemudian terdengar pula jawaban si ibu suri.
"Mamamu hanya menyuruh kau melakukan urusan kecil, untuk itu pun kau
mengharapkan hadiah, Benar-benar gila!"
Sembari berbicara, keduanya sudah memasuki kamar ibu suri.
"Aha! Urusan kecil kata mama?" Terdengar si tuan puteri berkata, "Bagaimana kalau
kakak raja mengetahui akulah yang mengambilnya" Tentu dia akan marah sekali."
Ibu suri duduk, terdengar kembali suaranya.
"Hanya sebuah kitab agama, apa artinya" Kita pergi ke Ngo Tay san untuk
bersembahyang, maksud kita ingin mendapat perlindungan dari Pou Sat. Karena itu,
sepulang dari sana kita harus bersembahyang lagi, Dengan demikian hati Pou Sat pasti
senang sekali." "Kalau hal itu memang urusan kecil seperti kata mama, sebaiknya nanti aku
menemui kakak raja dan mengatakan bahwa mamalah yang menyuruh aku mengambil
kitab Si Cap Ji Cin Keng itu untuk membaca doa guna memohon perlindungan Pou Sat
agar kakak raja dalam keadaan sehat-sehat selalu."
Mendengar kata-kata si tuan puteri, hati Siau Po senang sekali.
-- Bagus! Rupanya si nenek sihir telah menyuruh puterinya mencuri kitab Si Cap Ji
Cin Keng itu!" Berpikir demikian, tiba-tiba hati Siau Po merasa kurang puas, ia ingat keadaan
dirinya yang kurang menguntungkan. Mengapa dia justru mendengar berita baik ini
disaat Tiang kongcu berada di sampingnya " Coba kalau dia mendengarnya sendiri,
bukankah kitab itu akan terjatuh ketangannya. sedangkan sekarang keadaannya jadi
menyulitkan.... "BoIeh kau beritahukan kepada kakak rajamu itu," terdengar ibu suri berkata kembali
"Tapi kalau raja datang menemuiku, aku akan menjawab bahwa aku tidak tahu menahu
tentang kitab itu. Kata-kata seorang bocah mana boleh dipercaya begitu saja?"
"Oh, Mama! Apakah Mama ingin menyangkalnya?" seru si tuan puteri "Bukankah
kitab itu memang ada di tangan Mama?"
Ibu suri tertawa. "Bukankah masalah itu mudah sekali?" sahutnya. "Aku bisa melempar kitab itu ke
dalam tungku api sehingga tidak meninggalkan bukti apa-apa."
"Sudahlah, sudahlah!" kata si tuan puteri yang kewalahan juga akhirnya. "Aku kalah
bicara, Dasar Mama sudah tidak mau memberikan hadiah malah ingin mempermainkan
aku!" "Sebenarnya, kau toh telah memiliki segalanya, Apa lagi yang kau inginkan?" tanya
ibu suri. "Memang aku sudah memiliki apa saja, tapi masih ada satu yang kurang." kata si
tuan puteri. "Apa?" "Aku kekurangan seorang thay-kam yang dapat ku ajak bermain-main."
Ibu suri tertawa, "Seorang thay-kam?" katanya, "Bukankah di dalam istana ini ada beberapa ratus
orang thay-kam" Bukankah kau bisa memilih salah satu di antaranya untuk kau jadikan
kawan bermain-main" Mengapa kau harus mempersoalkan masalah yang sepele itu?"
"Tidak! Aku tidak membutuhkan segala thay-kam yang Mama katakan, Mereka
semua tolol. Persis seperti mayat hidup. Tidak menggembirakan bermain-main bersama
mereka, Aku menginginkan Siau Kui Cu, thay-kam yang selalu mendampingi di sisi
kakak raja." Mendengar kata-kata si tuan puteri, hati Siau Po langsung tercekat.
-- Aih! Rupanya si tuan puteri ini masih belum lupa kepadaku, Tapi mengajaknya
bermain bukan hal yang mudah, bisa-bisa jiwaku melayang karenanya! -"Aku sudah menanyakannya kepada kakak raja," terdengar si tuan puteri berkata
kembali "Kata kakak, thay-kam itu sedang bertugas ke luar kotaraja dan sampai sekian
lama belum kembali juga, Karena itu, Mama, sebaiknya kau saja yang mengatakan
kepada kakak bahwa aku minta thay-kam itu diberikan kepadaku."
- Ah, budak yang satu ini --, Siau Po mengeluh dalam hatinya. -- Aneh-aneh saja dia
bisa punya pikiran seperti itu, Kalau aku sampai terjatuh ke tangannya, pasti setiap
hari tubuhku akan babak belur dihajarnya.
"Raja menyuruh Siau Kui Cu melakukan suatu tugas?" tanya ibu suri, "Tahukah kau
ke mana perginya anak itu" Dan tugas apa yang harus dilaksanakannya?"


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut apa yang aku dengar dari para Sie Wie," sahut Kian Leng kongcu," Kakak
raja menitahkan Siau Kui Cu pergi ke Gunung Ngo Tay san."
"Oh!" seru ibu suri perlahan. "Dia pergi ke Ngo Tay san" Mengapa kita tidak bertemu
dengannya?" "Aku juga baru tahu setelah kita kembali ke istana ini. Mereka tidak tahu tugas apa
yang diberikan kakak raja kepadanya, Kata para Sie Wie, kakak raja sangat
menyayangi thay-kam itu. Bahkan pangkatnya telah dinaikkan."
"Oh!" terdengar ibu suri kembali mengeluarkan seruan tertahan, Setelah itu keadaan
sunyi senyap, Beberapa saat kemudian, terdengar ibu suri baru berkata kembali.
"Baiklah, Kita tunggu sampai dia pulang, Nanti aku akan membicarakannya dengan
raja." Suara ibu suri terdengar tawar sekali.
"Sekarang sudah cukup larut, kembalilah ke kamarmu untuk beristirahat" terdengar
ibu suri melanjutkan kata-katanya.
"Aku tidak ingin kembali ke kamarku." kata si tuan puteri, "Aku ingin menemani Mama
tidur di sini." "Kau toh bukan anak kecil lagi, mengapa tidak mau tidur di kamarmu sendiri?"
"Aku takut, katanya di sana ada hantu." sahut Kian Leng kongcu.
"Ngaco!" bentak ibu suri. "Mana mungkin!"
"Tapi, memang benar, Mama! Para dayangku dan thay-kam yang mengatakannya,
Mereka mengatakan bahwa beberapa malam yang lalu, mereka telah diganggu setan,
Tiba-tiba saja mereka semua tidak sadarkan diri, sampai keesokkan harinya mereka
baru mendusin Mereka juga mengatakan bahwa mereka seperti bermimpi saja...."
"Mana mungkin! jangan kamu dengar ocehan para budak itu!" bantah ibu suri. Pasti
selama kita pergi, para dayang dan thay-kam itu jadi ketakutan sendiri dan menduga
yang tidak-tidak. Nah, kembalilah ke kamarmul"
Kian Leng kongcu tidak berani membantah lagi, Segera dia mengucapkan selamat
malam kepada ibunya lalu mengundurkan diri.
Ibu suri duduk sambil bertopang dagu, Matanya terpaku menatap sinar lilin, Lewat
sekian lama, dia baru menolehkan kepalanya, Tiba-tiba dia melihat dua sosok
bayangan yang bergerak-gerak menuruti gerakan cahaya lilin.
Dia terkejut setengah mati dan juga merasa heran sehingga matanya terasa
berkunang-kunang, Namun dia menabahkan hatinya dan memperhatikan dengan
seksama. Tidak salah lagi, Memang itulah dua sosok bayangan dari tubuh manusia. Tapi
hatinya tetap tercekat. -- Benarkah di dunia ini ada hantu" --, demikian pikirnya dalam hati, sekarang dia
merasa, dari kedua bayangan itu, yang satu adalah bayangannya sendiri dan yang
satunya lagi bayangan orang lain.
Kemudian dia teringat banyaknya korban yang mati ditangannya, umumnya mereka
mati karena terkena fitnahnya, Tanpa terasa, bulu romanya jadi berdiri, tubuhnya
menggigil bergidik itulah sebabnya, meskipun nyalinya besar dan kepandaiannya tinggi,
dia tidak berani bergerak sedikit pun.
Sampai sekian lama, ibu suri tetap berdiam diri, namun sementara itu, otaknya terus
bekerja. -- Ah, tidak, tidak! Hantu tidak mempunyai bayangan Yang punya bayangan pasti
bukan hantu, -, demikian pikirnya.
Tapi, setelah memasang telinga sesaat, ibu suri tidak mendengar suara dengus
napas manusia, karena itu dia berpikir kembali.
-- Kalau bukan manusia, mungkinkah sesosok mayat" -- otomatis seluruh persendian
tubuhnya menjadi lemas, Dia duduk tidak berkutik Matanya terus memperhatikan kedua
bayangan di hadapannya, Hampir saja dia jatuh pingsan saking pusing memikirkannya.
Setelah lewat sejenak, tiba-tiba ibu suri mendengar suara tarikan napas di
belakangnya, Wanita itu merasa pasti sehingga hatinya menjadi senang sekali Dia
segera menolehkan kepalanya.
Di sana, terhalang sebuah meja, dia melihat seorang pendeta perempuan sedang
duduk berdiam diri dengan sepasang mata menatap kepadanya, Bhikuni itu berwajah
putih bersih, mimik wajahnya tampak tenang sekali. Sulit memastikan apakah dia
seorang manusia hidup atau sesosok mayat....
"Siapa kau?" tegur ibu suri "Mengapa kau berada di sini?" suaranya agak bergetar.
Bhikuni berwajah putih bersih itu tidak menjawab pertanyaannya, ibu suri juga
menatap terus, Kemudian dia mengulangi pertanyaannya,
Sesaat kemudian, terdengar bhikuni itu berkata. "Siapa kau" Mengapa kau berada di
sini?" Pertanyaan itu persis sama dengan pertanyaan yang diajukannya, Namun, sekarang
hati ibu suri jadi lega, Dia dapat mendengar suara orang yang terang dan jelas. Dapat
dipastikan bahwa itulah suara seorang manusia, Karena itu hilanglah seluruh perasaan
takutnya. "Di sini keraton, istana raja!" katanya kemudian, "Besar sekali nyalimu...."
Pek I Ni bersikap dingin, Sahutannya juga tawar sekali.
"Tidak salah, ini memang istana kaisar, keraton permaisuri atau ibu suri. Tapi kau,
makhluk apakah kau ini" Mengapa nyalimu demikian besar sehingga kau berani datang
ke mari?" Keberanian ibu suri sudah terbangun Dia dapat mendengar dengan jelas bahwa
itulah suara manusia, Bukan suara hantu,
"Aku Hong thayhou." sahutnya keras, "Tentu aku berhak berdiam dalam keraton ini.
Sedangkan, kau... siluman dari manakah kau ini?"
Pek I Ni mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas kitab Si Cap Ji Cin Keng
yang ada di atas meja, kemudian perlahan-lahan dia mengangkatnya.
"Lepaskan!" bentak ibu suri, Tangannya bergerak menghajar tangan Pek I Ni.
Pek I Ni membalikkan tangannya untuk menyambut serangan ibu suri, Dengan
demikian, beradulah tangan kedua orang itu dan akhirnya tubuh ibu suri terhuyunghuyung
sehingga dia langsung melompat turun dari tempat tidurnya.
"Bagus!" serunya, "Rupanya kau juga pandai silat!"
Sambil berseru, ibu suri menyerang, Berhadapan dengan manusia biasa, dia tidak
takut sama sekali, Bahkan berturut-turut dia telah menyerang sebanyak empat kali.
Sementara itu, Pek I Ni masih duduk di atas kursi. Bahkan dengan tangan kirinya, dia
menyelipkan kitab Si Cap Ji Cin Keng itu ke dalam sakunya, sedangkan tangannya
yang iain dapat membela diri dengan baik sekali, Dalam sekejap mata, pecahlah
keempat serangan lawannya itu.
Ibu suri tambah gusar. Di depan matanya sendiri, dengan mudah orang dapat
merampas kitabnya, Dia merasa penasaran sekali, Dengan lincah ia meraba paha
kanannya untuk mengeluarkan senjatanya, sehingga dilain detik tangannya sudah
menggenggam sebuah senjata pendek yang berkilauan.
Siau Po memasang mata dengan tajam. Dia melihat senjata ibu suri bukan golok
pendek atau pisau belati, melainkan sebuah Pek Kim Tian Kong Ngo Bi Ci atau mirip
dengan trisula pendek dengan bahan dari emas putih bercampur baja.
Senjata itu pula yang digunakan ibu suri untuk membunuh Hay Kong Kong tempo
hari. Dengan senjatanya itu, ibu suri menyerang kembali.
Dalam gusarnya, dia bersikap garang sekali, Senjata dalam genggamannya
berkelebat ke sana ke mari sehingga menimbulkan cahaya yang berkilauan.
"Aku harus ke luar untuk mencegahnya menyerang terus," katanya kepada To Hong
Eng dengan suara berbisik Dia tidak ingin melihat Tiang kongcu terancam bahaya, "Aku
tidak ingin Tiang kongcu terluka...."
To Hong Eng segera menarik tangan Siau Po.
"Tidak usah!" bisiknya.
Pek I Ni masih duduk tegak di atas kursi, ia menggerakkan tangannya untuk menotok
sana dan menekan sini, Dengan cara demikian, semua serangan ibu suri dapat
dipunahkannya, Meskipun setiap serangan itu sangat membahayakan.
Gerakan ibu suri gesit sekali. Begitu dia maju, dia langsung melompat mundur
kembali atau bergeser ke kiri dan kanan dan mendadak dia melakukan penyerangan
lagi, Angin yang terpancar dari gerak-gerik mereka membuat lilin dalam kamar itu terus
bergoyangan. Ketika pertempuran masih berlangsung, tiba-tiba saja dua dari keempat batang lilin
yang ada dalam kamar itu padam Dengan demikian keadaan di dalam kamar tidak
seterang sebelumnya lagi.
Tidak lama kemudian, dua batang yang lainnya juga ikut padam sehingga kamar itu
menjadi gelap gulita, pertempuran masih berlangsung terus, sebagaimana dapat
diketahui dari suara yang terbit dari pukulan-pukulan keduanya.
Juga terdengar dengus napas ibu suri yang berat, Rupanya dia benar-benar gusar
serta penasaran Tiba-tiba terdengar Pek I Ni bertanya, "Kau seorang ibu suri, tapi dari mana kau
mempelajari ilmu silatmu?"
Ibu suri tidak menjawab, dia masih menyerang terus, Segera terdengar suara
tepakan nyaring sebanyak empat kali, itulah suara muka ibu suri yang terkena gaplokan
berkali-kali. Lalu disusul dengan suara jeritan kemarahan dan penasaran kemudian menghilang
Dengan perlahan-lahan suara-suara itu menghilang seiring dengan berhentinya
pertempuran yang aneh dan dahsyat itu. Selama itu Pek I Ni masih tetap duduk di atas
kursinya, Sejenak kemudian, kamar itu menjadi terang kembali Rupanya Pek I Ni segera
menyatakan sebatang lilin yang ada di dekatnya, Tampaklah ibu suri sedang bertekuk
lutut di hadapan lawannya tanpa dapat berkutik sedikit pun.
Menyaksikan keadaan itu, hati Siau Po senang sekali
-- Biar bagaimana, aku harus membunuh setan perempuan itu hari ini --, pikirnya,
Sementara itu, Pek I Ni mengulurkan tangannya untuk menyulut tiga batang lilin
lainnya, Dengan demikian suasana kamar itu kembali terang seperti semula.
Rupanya Tiang kongcu menyalakan lilin dengan Hwe Cip (pemantik api) yang selalu
dibekalnya, Siau Po kagum sekali melihat kelihayan dan kecerdasan puteri itu.
Wajah ibu suri pucat pasi, rupanya dia merasa malu dan tidak berdaya.
"Bunuhlah aku!" katanya, "Menyiksa dengan cara seperti ini bukanlah perbuatan
orang gagah." "Kau ini benar-benar aneh." kata Tiang kongcu yang tidak menggubris permintaan
orang, "Bukankah kepandaianmu ini berasal dari Coa To" Mengapa kau yang
merupakan seorang nyonya agung, ibu suri sebuah kerajaan, bisa berhubungan dengan
kawanan Sin Liong kau?"
Diam-diam Siau Po tercekat hatinya.
-- Segala apa pun diketahui oleh suthay ini, aku harus berhati-hati -- pikirnya, - Aku
tidak boleh sembarangan berbicara atau membohonginya.... -"Apa itu Sin Liong Kau" Aku tidak tahu." sahut ibu suri, "Kepandaianku ini aku
dapatkan dari seorang thay-kam."
"Apa" Seorang thay-kam?" tanya Pek I Ni heran. "Jadi ada seorang thay-kam di sini
yang mempunyai hubungan dengan Sin Liong Kau" Siapa thay-kam itu" Siapa
namanya?" "Dia bernama Hay Tay Hu, dia sudah lama menutup mata."
Mendengar jawaban itu, Siau Po tertawa dalam hatinya.
-- Nenek sihir ini mengoceh tidak karuan! Coba kalau dia tahu aku ada di sini, tentu
dia tidak berani bicara seperti itu. -- Meskipun berpikir demikian, Siau Po tetap tidak
ke luar dari tempat persembunyiannya.
Pek I Ni berdiam diri sekian lama, kemudian baru dia berbicara lagi.
"Hay Tay Hu?" tanyanya. Agaknya dia sedang berpikir "Aku belum pernah
mendengar nama itu, Barusan kau menepuk aku tujuh kali dengan tenaga yang luar
biasa beratnya. Apa nama pukulan itu?"
"Menurut keterangan guruku, itulah pukulan dari Bu Tong pai," sahut ibu suri,
"Namanya Jiu In Ciang (Tangan awan lunak)."
Pek I Ni menggelengkan kepalanya.
"Bukan," katanya, "ltu bukan Jiu In Ciang, tapi Hoa Kut Bian Ciang (Tangan kapas
menghancurkan tulang belulang), Bu Tong Pai adalah sebuah partai lurus, tidak
mungkin memiliki ilmu yang begitu sadis."
"Mungkin suthay benar," sahut ibu suri, "Aku menyebutkannya karena menuruti
keterangan guruku saja, Benar atau salah, aku tidak tahu...."
Ibu suri melihat bhikuni itu gagah dan cerdas, Dia menjadi kagum sekaligus takluk
serta takut. Pek I Ni bertanya lagi. "Dengan ilmumu ini, sudah berapa banyak orang yang kau celakai?"
"Aku.... Boanpwe.,." sahut ibu suri yang bingung bagaimana harus menjawab
pertanyaan itu dan tidak tahu bagaimana harus menyebut dirinya sendiri "Boanpwe
hidup dalam istana, boanpwe belajar silat hanya untuk membela diri saja, juga untuk
menyehatkan tubuh, boanpwe sama sekali belum pernah mencelakai siapa pun...."
-- Muka badak! --, maki Siau Po dalam hati.
"Harap suthay ketahui," kata ibu suri menambahkan "Boanpwe selalu mendapat
pengawalan ke mana saja, Karena itu, Boan pwe belum pernah bertempur dengan
siapa-siapa, Malam ini merupakan pertama kali boanpwe bentrok dengan suthay,
Ternyata ilmu silatku belum berarti apa-apa...."
Pek I Ni tersenyum. "Sebenarnya ilmu silatmu baik sekali." katanya.
"Boanpwe seperti katak dalam tempurung," kata ibu suri merendah. "Coba kalau hari
ini boanpwe tidak menyaksikan ilmu silat suthay yang demikian tinggi, mana mungkin
boanpwe tahu bahwa langit sebenarnya luas sekali...."
"Hm!" terdengar Pek I Ni mendengus dingin, "Kapan matinya thay-kam bernama Hay
Tay Hu itu" Siapa yang membunuhnya?"
"Sudah beberapa tahun dia mati... karena usianya yang lanjut...."
"Mungkin engkau sendiri belum pernah melakukan kejahatan," kata Pek I Ni kembali
"Akan tetapi, kalian bangsa Tatcu sudah merampas dan menduduki kerajaan Beng ku.
Kalian sudah memaksa kaisar kami membunuh diri. Kaulah istrinya raja Tatcu yang
pertama, atau ibunya raja Tatcu yang kedua, karena itu kau tidak boleh hidup lebih lama
lagi." Ibu suri terkejut setengah mati sehingga tubuhnya menggigil.
"Suthay..." katanya, "Kaisar yang sekarang bukanlah anak kandungku, ibunya adalah
permaisuri Hau Kong yang sudah lama mati...."
Pek I Ni mengangguk. "Oh, begitu !" katanya, "Tapi kau tetap istri kaisar Sun Ti. Sun Ti sudah menganiaya
dan membunuh ribuan laksa jiwa bangsaku, bangsa Han. Mengapa kau tidak memberi
nasehat kepadanya atau mencegahnya melakukan pembantaian itu?"
"Harap suthay ketahui," kata ibu suri yang pandai bicara, "Dalam hal ini, boanpwe
tidak dapat berbuat apa-apa. Mendiang raja Sun Ti sangat menyayangi selirnya, Tang
Gok Hui, karena itu pula, dahulu sulit bagi boanpwe untuk bertemu dengan kaisar
sendiri itulah sebabnya boanpwe tidak menemukan jalan untuk menasehatinya atau
mencegahnya...." Pek I Ni terdiam sekian lama.
"Bicaramu memang beralasan," katanya, "Baiklah. Malam ini aku tidak akan
membunuhmu." "Terima kasih, suthay!" tukas ibu suri langsung, "Boanpwe berjanji, mulai hari ini dan
selanjutnya boanpwe akan berdoa memuji Sang Buddha, Oleh karena itu, harap suthay
kembalikan lagi kitab suciku itu...."
"lnikah kitab Si Cap Ji Cin Keng" kata Pek I Ni. "Untuk apa kau memiliki kitab ini?"
"Boanpwe ingin bersujud terhadap Sang Buddha," sahut ibu suri, "Karena itu, sejak
hari ini, siang dan malam boanpwe ingin membaca doa."
"Kitab Si Cap Ji Cin Keng adalah kitab umum, dalam setiap wihara atau kuil, pasti
ada. Mengapa kau justru menginginkan yang satu ini?" tanya Pek I Ni.
"Mungkin suthay belum tahu," kata ibu suri yang berkeras ingin mendapatkan
kitabnya kembali "Kitab Si Cap Ji Cin Keng yang satu ini, dahulu selalu dibaca siang
dan malam oleh almarhum Sri Baginda, Karena itulah boanpwe tidak dapat
melupakannya, boanpwe selalu menganggap kitab itu seperti almarhum sendiri...."
"Kalau begitu sikapmu, terang kau keliru sekali." kata Pek I Ni. "Siapa yang membaca
kitab ini, pikirannya harus kosong dan bersih, Tidak boleh ada kenangan apa pun yang
melekat dalam hatinya, Kau membaca kitab suci dan berdo'a tapi di samping itu kau
masih ingat terus pada suamimu, apa gunanya kau berdoa?"
"Terima kasih, suthay! petunjuk suthay ini berharga sekali." kata ibu suri, "Tapi
boanpwe bodoh sekali, tidak mudah boanpwe menerima penjelasanku..."
Sekonyong-konyong saja sepasang mata Tiang kongcu menyorotkan sinar yang
berapi-api. "Cepat katakan!" bentaknya dengan suara keras. "Apanya yang istimewa dari kitab
ini" Cepat katakan!"
Hati ibu suri diam-diam jadi tercekat "Sebenarnya.,." katanya gugup, "Hal ini hanya
karena kekolotan pikiranku dalam beragama. walaupun Sri Baginda almarhum telah
memperlakukan aku dengan tidak selayaknya, tapi aku tetap tidak dapat melupakannya.
Setiap kali memegang kitab ini, hati boanpwe tidak begitu tersiksa oleh kerinduan...."
Pek I Ni menarik napas panjang, "Kalau kau tetap kukuh dengan pendirianmu dan
tidak mau sadar." katanya, "Apabila kau tetap tidak mau berterus terang, terserah
kepadamu!" Sembari berkata, Pek I Ni mengibaskan ujung lengan bajunya sehingga totokan pada
tubuh ibu suri terbebaskan seketika.
"Terima kasih atas kebaikan suthay!" kata ibu suri sambil berlutut dan menyembah
beberapa kali . Setelah itu dia baru bangun.
"Jangan bicara tentang kebaikan hatiku!" kata Pek I Ni. "Aku tidak melakukan
kebaikan apa pun terhadapmu sekarang aku ingin bertanya, Yaitu mengenai
kepandaian Hoa Kut Bian Ciang yang kau miliki, bagaimana apabila kelak kau
menggunakan ilmu itu untuk mencelakai orang?"
"Tentang hal itu, guruku tidak pernah memberikan keterangan yang selengkapnya"


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahut ibu suri yang licik itu. "Dia hanya mengatakan ilmu itu hebat sekali dan di dalam
dunia ini hanya ada beberapa orang yang dapat menahannya."
"Oh, kau tadi menyerang aku sebanyak tujuh kali," kata Pek I Ni. "Aku toh tidak
melawannya, aku hanya melontarkan kembali seranganmu singkat kata, aku telah
mengembalikan ilmumu sendiri sehingga kau roboh tadi. Siapa yang berbuat jahat, dia
akan menerima akibatnya, Karena itu, jangan kau sesalkan apa pun juga!"
Mendengar keterangan itu, semangat ibu suri serasa terbang melayang. Dia insyaf
dengan kehebatan Hoa Kut Bian Ciang, Tidak aneh kalau tadi dia roboh sendiri
Tenaganya seakan tiba-tiba terkuras habis.
Sampai-sampai dia merasa sulit walau ingin menggerakkan satu jari tangannya saja,
Tidak di-sangka-sangka dia termakan serangannya sendiri ini yang dinamakan senjata
makan tuan. Dahulu dia menggunakan pukulan itu untuk membunuh pangeran Eng, putera selir
Tang Gok Hui serta dua saudara perempuan selir itu, sehingga tiga jiwa melayang
ditangannya. Ketika itu, dia telah menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan ketiga orang itu
ketika jiwanya sekarat Dia tidak menyangka bhikuni ini demikian lihay, pukulan mautnya
dapat dialihkan kepada penyerangnya sendiri.
Saking takutnya, ibu suri menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pe I Ni.
"Suthay, tolonglah!"
Tang Gok Hui bertiga saja tidak dapat bertahan dari satu pukuIannya, sekarang
dirinya sendiri terkena tujuh pukulan sekaligus, mana mungkin dia dapat menahan
penderitaannya" Pek I Ni menarik napas panjang.
"Siapa yang berbuat jahat, dia akan menerima akibatnya." katanya, "Dalam hal ini,
kau sendiri yang harus menyelamatkan dirimu, orang lain tidak berdaya apa-apa."
Ibu suri mengangguk-anggukkan kepalanya, Dia benar-benar takut sekali.
"Boanpwe benar-benar mengharapkan kebaikan suthay," katanya, "Boanpwe minta
sudilah kiranya suthay menunjukkan suatu jalan hidup untukku!"
"Kau menyembunyikan segalanya, kau tidak mau berbicara terus terang, itu akibat
kesesatan dirimu sendiri." kata Tiang kongcu, "Bukankah jalan terang terbentang di
hadapanmu" Mengapa kau tidak memilihnya, malah sekarang menyesali orang lain"
seandainya aku memang mempunyai kemurahan hati, tentu akan kupersembahkan
kepada bangsaku sendiri, orang Han. Kau adalah budak Boan Ciu, di antara kau dan
aku terhalang dendam yang dalam, bagaimana aku dapat menolongmu" Sudah bagus
hari ini aku tidak langsung turun tangan sendiri merampas selembar nyawamu. Dengan
demikian, berarti aku telah berbuat kebaikan kepadamu."
Sembari berkata, Tiang kongcu bangun berdiri ibu suri terkejut sekali Dia mengerti
keadaan yang di hadapinya, Kalau kesempatan baik ini lenyap, pasti celakalah dia. Dia
bakal menderita seperti Tang Gok Hui dan yang lainnya, Dia menggigil sendiri setiap
mengingat penderitaan mereka.
"Su... thay!" Akhirnya dia memanggil "A... ku bukan bangsa Tatcu.... Aku... aku...."
"Kau apa?" "A... ku orang Han...."
Pek I Ni tertawa tawar. "Hm.... Sampai detik ini kau masih mengoceh tidak karuan, Seorang permaisuri
bangsa Tatcu, mana mungkin bisa orang Han?"
"Boanpwe tidak sembarangan berbicara. Kaisar yang sekarang adalah putera Tong
Ke si. Dan Tong Ke si itu anak perempuan dari Tong Tou, dia orang bangsa Han."
"Kalau begitu, Tong Ke si mendapat kemuliaan karena mengandalkan puteranya,"
kata Pek I Ni. "Dengan demikian, dia hanya seorang selir bukan permaisuri bahkan
belum pernah diangkat jadi permaisuri justru karena puteranya sudah menjadi kaisar,
dia baru dianugerahkan menjadi ibu suri."
"lya, memang begitulah.,." kata ibu suri menganggukkan kepalanya.
Pek I Ni berdiam diri, kemudian dia melangkahkan kakinya untuk meninggalkan
tempat itu. "Suthay!" panggil ibu suri yang bukan main bingungnya, "Dengan sebenar-benarnya
aku bukan orang Tatcu, bahkan aku benci sekali kepada mereka, sebagaimana suthay
membencinya." "Apa sebab kebencianmu itu?"
"Sebenarnya ini merupakan sebuah rahasia besar," kata ibu suri. "Sebenarnya juga
aku tidak boleh membuka rahasia ini, tapi...."
"Kalau rahasia ini memang tidak boleh dibuka, sebaiknya kau simpan saja sendiri...."
Ibu suri tambah bingung. Karena itu, dia tidak memperdulikan apa-apa lagi.
"Suthay!" panggilnya kembali "Dengan sebenar-benarnya aku bukan bangsa Tatcu,
Bahkan aku juga bukan ibu suri yang sejati, aku hanya seorang ibu suri palsu, Ya, aku
bukan ibu suri kerajaan Ceng."
Biar bagaimana, hati Pek I Ni tercengang juga mendengar pernyataan itu, Dia
merasa heran sekali. Bahkan Siau Po yang bersembunyi di belakang tempat tidur tidak kalah herannya.
Dengan tindakan yang lamban sekali Pek I Ni kembali ke kursinya.
"Kau seorang ibu suri palsu" Mana mungkin" Bagaimana caranya?"
"Duduk persoalannya begini," kata ibu suri memberikan keterangannya. "Ayah dan
ibuku telah dianiaya sampai mati oleh bangsa Tatcu, Karena itu aku sangat
membencinya, setelah orang tuaku dibunuh, aku pun ditawan dan dipaksa menjadi
dayang melayani permaisuri. Kemudian... aku... aku langsung menyaru sebagai
permaisuri itu...." Mendengar kata-katanya, Siau Po semakin heran.
-- Nenek sihir ini benar-benar berani berbohong, - pikirnya dalam hati, - Bagaimana
dia bisa mengucapkan kata-kata seperti itu" Wanita yang mengaku dirinya sebagai ibu suri palsu segera melanjutkan
keterangannya. "lbu suri yang asli memang orang Boan Ciu." katanya, "Shenya Po erl Chiteh dan dia
puteri pangeran Koerltsin, Ayahku sendiri she Mo dan bernama Bun Liong, Dia seorang
panglima besar dari kerajaan Beng...."
Pek I Ni tercengang mendengar kata-katanya.
"Kau puteri Mo Bun Liong?" tanyanya menegaskan "Kau maksudkan Mo Bun Liong
yang dulu memangku jabatan tinggi dan berkuasa di pulau Pi to?"
"Benar." sahut ibu suri sambil menganggukkan kepalanya. "Sepanjang tahun ayahku
menempur bangsa Tatcu, kemudian akhirnya dia malah dihukum mati. Padahal ayahku
itu menjadi korban musuh yang menggunakan tipu daya mengadu domba perwiraperwira
kerajaan Beng." "Oh, ini merupakan sebuah berita baru dan aneh." kata si bhikuni heran. "Yang aneh
justru kau. Bagaimana kau bisa menyamar sebagai permaisuri" Mengapa dalam sekian
tahun rahasia itu tidak pernah terbongkar?"
"Cukup lama aku melayani permaisuri "sahut ibu suri palsu" selama itu aku selalu
mendengarkan suara dan memperhatikan gerak-geriknya dengan seksama, Aku juga
mempelajari semua kebiasaannya. Bahkan wajahku ini adalah wajah palsu."
Sembari berkata, ibu suri palsu itu menghampiri meja rias. Dia merendam sapu
tangannya dengan air kemudian diusapkannya ke muka, Dalam sekejap mata,
terkelupaslah dua potong kulit wajahnya, Dengan demikian, terlihatlah selembar wajah
yang lain. Wajah yang tadinya montok dan gemuk berubah menjadi kurus panjang dengan
potongan kuaci, malah matanya agak mendelong.
"Oh!" seru Tiang kongcu saking heran dan terkejutnya, "Benar-benar wajahmu jadi
berubah dan berlainan sekali "Dia berdiam sejenak kemudian baru melanjutkan kembali
"Tidak mudah bagimu melakukan penyamaran ini. Apakah dayang atau pelayanmu
tidak ada yang curiga dengan kepalsuanmu ini" Mungkinkah suamimu sendiri tidak
mengetahuinya?" "Suamiku?" kata ibu suri palsu itu. "Hmm! Raja almarhum itu hanya menyayangi
Tang Gok Hui, selirnya yang genit itu. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah bermalam
di kamar ini. permaisuri yang asli saja dia tidak pernah melirik barang sedikit pun,
Apalagi yang palsu."
Nada suara ibu suri palsu itu menyiratkan kegetiran hidup dan kepahitan serta
penderitaan yang dalam. Kemudian terdengar dia menambahkan lagi.
"Jangan kata aku telah menyamar dengan demikian sempurna, meskipun hanya
sedikit kemiripan saja, mana mungkin dia mengetahuinya?"
Pek I Ni berdiam diri, Tampaknya dia percaya dengan keterangan ibu suri palsu itu.
"Lalu, apakah tidak ada seorang dayang atau pelayan pun yang mengetahui
kepalsuanmu ini?" tanyanya kembali.
"Begitu aku berhasil mengekang ibu suri, aku segera mengganti semua pelayan dan
dayang yang melayani permaisuri asIi, Aku juga jarang keluar di siang hari, Kalau toh
aku terpaksa ke luar juga, dalam istana ini ada sebuah peraturan yang menguntungkan
aku, yakni para dayang, pelayan atau thay-kam dilarang melihat wajah junjungannya,
Ada kemungkinan mereka memperhatikan dari jauh, tapi mana mungkin mereka
mengetahui penyamaranku ini?"
Pek I Ni terdiam kembali, tetapi tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam benaknya.
"Pengakuanmu itu tidak tepat." katanya nyaring, "Kau mengatakan bahwa raja tua
tidak memperdulikan dirimu, tapi bukankah kau mempunyai seorang puteri
dengannya?" "Puteri itu bukan puteri asli si raja tua." sahut pula si ibu suri palsu, "Di dalam
istana ada seorang laki-laki bangsa Han yang biasa menyamar sebagai dayang dan
senantiasa mendampingi aku, puteri Kian Leng kongcu adalah anak gadisnya, Sayang
sekali belum lama ini tidak beruntung laki-laki itu telah menutup mata...."
To Hong Eng mencekal tangan Siau Po keras-keras ketika mendengar keterangan
ibu suri. Demikian pula si anak muda, mereka sama-sama berpikir keras, memang ada
seorang laki-laki yang menyamar sebagai dayang tapi dia bukan mati sakit
Siau Po pun berpikir lebih jauh.
-- pantas tuan puteri demikian centil dan berandalan. Rupanya dia anak campuran si
ibu suri palsu dengan dayang palsu, Raja tua demikian welas asih dan sabar,
bagaimana mungkin menurunkan seorang puteri semacam dia" Sementara itu, Tiang kongcu pun berpikir
-- Kau hamil dan melahirkan seorang puteri sedangkan si raja tua tidak biasa
bermalam di kamarmu, mana mungkin kecurigaannya tidak timbul" Meskipun berpikir demikian, dia tidak berani menanyakannya, Dia sendiri seorang
gadis suci yang belum pernah menikah, Tapi dia juga berpikir lebih jauh, - Karena dia
permaisuri palsu, begitu mengetahui dirinya hamil, tentu dia mencari jalan agar
rahasianya ini jangan sampai terbuka. Dalam hal ini, lebih baik aku selidiki secara
keseluruhannya Karena itu, dia menggelengkan kepalanya sambil berkata pula. "Kata-katamu itu
tidak benar semuanya."
"Tapi, cianpwe!" ibu suri menjadi bingung dan khawatir "Bukankah boanpwe telah
membuka semua rahasia yang memalukan ini" Mana mungkin boanpwe masih
menyimpan rahasia lainnya?"
"Kalau ceritamu benar," kata Pek I Ni. "Berarti permaisuri yang asli telah kau bunuh,
Oh, sungguh tanganmu itu penuh dengan noda darah!"
"Boanpwe penganut agama Buddha, setiap hari boanpwe membaca doa dan
bersembahyang. Meski-pun boanpwe benci sekali terhadap bangsa Tatcu, tapi
boanpwe tidak berani sembarangan melakukan pembunuhan permaisuri yang asli
sampai sekarang masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja."
Keterangannya itu membuat hati Tiang kongcu dan dua orang lainnya yang
bersembunyi di belakang tempat tidur menjadi terkejut setengah mati, Hal ini benarbenar
di luar dugaan mereka. "Jadi permaisuri itu masih hidup?" tanya Pek I Ni menegaskan. "Di mana dia
sekarang" Kalau dia masih hidup, apakah kau tidak khawatir ia akan membongkar
rahasiamu ini?" Ibu suri menggelengkan kepalanya, Dia langsung merogoh sebuah anak kunci yang
terbuat dari emas dari dalam sakunya, Kemudian dia berjalan ke samping tempat tidur,
Di situ terdapat sebuah Iemari besi.
Dengan anak kunci itu, dia membuka lemari tersebut Begitu kedua pintunya
terpentang lebar, Tiang kongcu langsung mengeluarkan seruan tertahan.
Tampak di dalam lemari terdapat seorang wanita yang sedang rebah tidak berkutik
dan tubuhnya ditutupi dengan sehelai selimut yang indah.
"Diakah permaisuri yang asli?" tanyanya sambil menunjuk kepada wanita itu.
"Silahkan cianpwe lihat sendiri!" kata ibu suri sambil mengambil sebuah tempat lilin
yang dalam keadaan menyala dan dibawanya ke dekat wanita itu untuk menerangi
bagian wajahnya. Pek I Ni memperhatikan dengan seksama, Dia melihat wajah wanita itu pucat pasi
seakan tidak mengandung darah setetes pun. Tapi tampangnya memang persis dengan
ibu suri palsu ketika penyamarannya belum dibuka.
Mendengar suara pintu lemari dibuka, wanita itu membuka matanya perlahan-lahan
dan dia langsung memejamkannya kembali
"Aku tidak sudi bicara, Lekaslah kau bunuh aku!" ujarnya lirih.
"Aku tidak pernah membunuh orang." kata ibu suri. "Mana mungkin aku
membunuhmu?" Dengan perlahan, ibu suri palsu itu menutup kembali pintu lemarinya.
"Bukankah kau telah mengurungnya selama belasan tahun?" tanya Tiang kongcu.
"Benar." "Tadi dia mengatakan bahwa dia tidak sudi berbicara, dalam hal apakah kau
memaksanya" Apakah karena dia tidak mau berbicara maka kau mengurungnya
demikian lama" Andaikata dia tetap tidak mau berbicara, bukankah akhirnya kau akan
membunuhnya juga" Kau akan membunuhnya, bukan?"
Ibu suri menggelengkan kepalanya.
"Tidak... tidak," sahutnya, "Boanpwe mengetahui dengan baik sekali bahwa
pantangan utama dalam agama Buddha adalah membunuh Boanpwe juga pantang
makanan berjiwa, boanpwe tentu tidak akan membunuhnya."
"Hm!" Pek I Ni memperdengarkan suaranya yang dingin. "Apakah kau menganggap
aku seperti bocah berusia tiga tahun" Apakah kau pikir aku tidak dapat membaca jalan
pikiranmu" Kau mengurung dia, itu berarti karena setiap saat ada ancaman bahaya
bagimu bukan" Dan pada saat itu kau bisa menggunakannya sebagai barang jaminan,
bukan" Kau belum membunuhnya, hal ini pasti karena kau masih mempunyai rencana
yang lain. Apa itu" Bukankah berbahaya sekali apabila dia berkaok-kaok dalam
lemari?" "Dia tidak berani berteriak Aku telah memberitahukan kepadanya, kalau dia bersuara
sedikit saja, pertama-tama aku akan membunuh si raja tua, kemudian aku juga akan
membunuh raja yang masih kecil itu. Wanita ini sangat menghormati si raja tua dan
sayang kepada si raja muda. Tidak mungkin dia membiarkan boanpwe mencelakai
mereka." "Sebenarnya, urusan apa yang kau tanyakan kepadanya?" tanya Tiang kongcu
kembali, "Urusan apa yang kau minta dia mengatakannya" Karena dia tidak membuka
mulut sampai sekarang, mengapa kau tidak membuktikan kata-katamu dengan
membunuh raja?" "Hal ini karena dia mengatakan, apabila aku membunuh kedua raja itu, maka dia
akan membunuh diri." sahut ibu suri. "Dia mengancam tidak mau makan, Karena itu, di
antara kami berdua, saling takut satu dengan yang lainnya, Dia telah berjanji tidak
akan membunuh diri, apabila aku juga tidak membunuh raja."
Apa yang dikatakan ibu suri palsu itu memang benar Dia belum membinasakan ibu
suri yang asli itu, karena masih ada rahasia yang ingin ia korek dari mulutnya.
Kalau tidak, permaisuri itu pasti sudah dibunuhnya sejak dulu, Tentu mudah saja
baginya melenyapkan bukti, setelah membunuh dia dapat membakarnya sampai
musnah. "Aku telah bertanya kepadamu, tapi kau masih tidak mau mengatakannya juga," kata
Tiang kongcu pula. "Sebenarnya urusan apa yang hendak kau korek?"
"Baik,baik." sahut ibu suri, itulah rahasia yang menyangkut keruntuhannya kerajaan
Boan Ciu. pada mulanya, bangsa Boan Ciu berdiri di daerah Liau Tong. Kalau akhirnya
dia berhasil menyerang dan menduduki kerajaan Beng kita yang Maha Agung, hal ini
karena mereka mengandalkan urat naganya yang berada di daerah makmur itu."
Tiang kongcu hanya berdiam diri dan mendengarkan dengan seksama.
Ibu suri palsu itu melanjutkan kembali keterangannya.
"Sebegitu jauh yang boanpwe ketahui, di Liau Tong, yakni Gunung Tiang Pek San
terdapat uratnya dari keluarga Aishin Goro, yaitu keluarga asli dari keturunan rajaraja
Boan Ciu, Katanya, asal urat naga itu diputuskan atau dipisahkan dari kepala dengan
ekornya, maka bukan saja bangsa Han kita dapat membangun kembali kerajaan Beng,
sebaliknya bangsa Boan Ciu sendiri akan runtuh habis-habisan sampai dipusatkan di
Kwan Tong." Pek I Ni mengangguk Keterangan itu sama dengan keterangan yang diberikan oleh
To Hong Eng. "Di mana letaknya urat naga itu?" tanyanya kemudian.
Yang dinamakan urat naga sebetulnya ialah garis-garis atau batas-batas letaknya
kedudukan tanah yang makmur dalam suatu wilayah atau daerah.
"Nah, itulah yang dinamakan rahasia besar." sahut ibu suri, "Si kaisar tua mengetahui
hal itu. Ketika kaisar tua hendak menutup mata, kaisar cilik masih belum mengerti
apaapa. Karena itu, rahasia tersebut hanya diberitahukan kepada permaisurinya.
Menurutnya, permaisuri harus menunggu sampai si raja cilik agak dewasa, rahasia
itu baru boleh disampaikan kepadanya, Ketika kaisar tua berbicara dengan
permaisurinya, boanpwe masih menjadi dayang, Dengan demikian boanpwe berhasil
mendengar pembicaraan mereka.
Tapi sayangnya apa yang boanpwe dengar tidak lengkap, Karena itu, tidak ada jalan
lain bagi boanpwe untuk melakukan penyelidikan lebih jauh. Boanpwe terpaksa
menempuh jalan seperti sekarang ini, supaya kelak dikemudian hari boanpwe bisa
mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan untuk pergi ke gunung Tiang Pek San dan


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memutuskan urat naga bangsa Boan Ciu, Dengan demikian pula, kerajaan Beng kita
baru bisa dibangun kembali."
Pek I Ni berdiam untuk berpikir
"Soal urat naga, sebetulnya merupakan masalah yang menyangkut Hong Sui suatu
tempat." katanya, "ltu juga merupakan urusan yang tidak bisa dipercaya sepenuhnya,
Apa yang aku tahu, runtuhnya kerajaan Beng disebabkan oleh pemerintahannya yang
kurang tepat. Terutama rakyatnya yang terlalu ditekan sehingga timbul keinginan untuk
memberontak Aku mengetahui hal ini setelah bertahun-tahun aku merantau dan banyak
bergaul dengan rakyat jelata."
"Meskipun demikian, ada baiknya suthay menaruh sedikit perhatian," sahut ibu suri.
"Menurut boanpwe, urusan membangun kembali kerajaan Beng kita, soal Hong Sui itu
sebaiknya dipercaya daripada tidak. seandainya kita membongkar urat naga itu dan
tidak membuahkan hasil, berarti kita hanya kehilangan waktu dan tenaga, Kita tidak
menderita kerugian apa-apa. sebaliknya kalau kita berhasil, kita bisa menumpas
kerajaan musuh sekaligus membangun kembali kerajaan kita, Singkatnya, kita bisa
menolong rakyat kita dari penderitaan yang berkepanjangan ini."
Pek I Ni menganggukkan kepalanya, Dia tertarik juga mendengar alasan ibu suri
palsu itu. "Kau benar juga," katanya, "Masalahnya sekarang hanya kepercayaan. Memang,
andaikata kita gagal, kita tidak menderita kerugian apa-apa. Tapi, kalau kita tidak
berhasil dan kegagalan kita tersiar luas, pasti kepercayaan rakyat kita akan goyah,
demikian pula kepercayaan bangsa Boan Ciu.
Bukankah mereka percaya sekali dengan urusan urat nadi naga ini" Hal ini justru
menguntungkan pihak kita, Apakah kau memaksa ibu suri yang asli mengatakan di
mana letaknya urat nadi tersebut?"
Bagian 48 Ibu suri itu mengangguk. "Benar, tapi sungguh celaka perempuan hina itu" Dia tahu urat nadi itu sangat
penting bagi kejayaan bangsanya, sehingga dia memilih tidak mengatakannya,
meskipun dirinya terancam bahaya maut dan setiap saat jiwanya bisa melayang,
Selama belasan tahun ini, tidak perduli boanpwe menggunakan cara yang halus atau
kasar, juga berbagai akal, dia tetap dengan sikap kepala batunya itu, Dia sengaja
menutup mulutnya erat-erat."
Pek I Ni mengeluarkan kitab Si Cap Ji Cin Keng.
"Bukankah kau ingin mengetahui di mana letaknya kitab-kitab yang lainnya?"
tanyanya. Ibu suri terkejut setengah mati sehingga tanpa terasa kakinya menyurut mundur dua
langkah. "Jadi kau telah mengetahui hal itu?"
"Rahasia besar tentang urat nadi naga bangsa Boan Ciu terletak dalam delapan jilid
kitab Si Cap Ji Cin Keng ini," katanya terus terang, "Berapa jilid yang telah kau
dapatkan?" "Suthay benar-benar lihay, Urusan apa pun dapat suthay ketahui," kata si ibu suri
palsu mengakui "Baiklah. Boanpwe pun tidak mau menyembunyikan apa-apa lagi.
sebenarnya boanpwe sudah berhasil mengumpulkan sebanyak empat jilid, Tapi... tapi
pada suatu malam, telah datang orang yang memasuki istana dan mencoba melakukan
pembunuhan dia telah berhasil menikam aku satu kali, setelah itu dia merampas
keempat jilid kitabku itu.... Coba suthay periksa."
Selesai berkata, si ibu suri palsu membuka bajunya, juga kutangnya untuk
memperlihatkan tanda bekas tikaman kepada si bhikuni, Lukanya itu cukup besar.
Tiang kongcu tahu tentang To Hong Eng yang menyelundup ke dalam keraton dan
berusaha melakukan pembunuhan atau diri si ibu suri.
Karena itu, dia tidak heran melihat luka tersebut Karena itu, dia yakin keempat jilid
kitab itu berada di tangan dayangnya dan nanti dayang itu pasti akan berbicara terus
terang kepadanya. Sementara itu, hati Siau Po terguncang ketika mendengar kata-kata si ibu suri palsu.
-- Kalau bhikuni ini menyelidiki lebih jauh, kemungkinan kecurigaannya akan jatuh
pada diri-ku. -- pikirnya.
Kemudian terdengar Pek I Ni berkata kembali. "Aku tahu siapa orang yang
menyerang dirimu, tapi setahuku, dia tidak mengambil keempat jilid kitabmu itu."
Ibu suri palsu begitu heran sehingga dia memperdengarkan seruan tertahan.
"Penyerang itu tidak mengambil kitab tersebut?" tanyanya, "Lalu, siapa yang
mencurinya" Sungguh aneh!"
Pek I Ni tidak memperdulikan kepusingan ibu suri.
"Kau mau bicara terus terang atau tidak, terserah kepadamu sendiri." katanya,
"Suthay," kata si ibu suri palsu itu maklum orang kurang percaya kcpadanya, "Suthay
sangat membenci raja Tatcu, juga bangsanya, Dan kepandaian suthay tinggi sekali.
Sungguh tepat kalau rahasia itu jatuh ke tangan suthay.
Dengan demikian, suthay dapat memimpin tampuk pimpinan untuk membawa orangorang
membongkar urat naga bangsa Tatcu, Suthay, urusan ini minta pun boanpwe
tidak berani, apalagi berbohong"
Ke delapan jilid kitab itu harus didapatkan terlebih dahulu, baru urat nadinya bisa
ditemukan Sekarang suthay baru mendapatkan satu, seandainya digabungkan dengan
empat jilid yang tadinya kumiliki, tetap saja masih belum cukup."
Sikap Tiang kongcu tetap dingin.
"Sebenarnya, apa yang kau pikirkan dalam hatimu, aku tidak tahu. Aku juga enggan
menduga-duga, Tapi kau anak gadis Ma Bun Liong dari Pi to (Pulau kulit), sekarang kau
katakan terus terang bukankah kau mempunyai hubungan yang erat dengan Sin Liong
Kau?" "Tidak... tidak," sahut ibu suri palsu menyangkal "Bahkan boanpwe belum pernah
mendengar tentang partai Naga Sakti itu...."
Pek I Ni menatap tajam wanita di depannya
"Mari aku ajarkan kau semacam kepandaian," katanya kemudian "Setiap hari, pagi,
siang dan malam, kau harus melatihnya dengan tekun, inilah semacam latihan
menepuk kayu, kau harus menepuknya berturut-turut sembilan kali sembilan, 4 jadi
delapan puluh satu hari, Kalau kau melatihnya dengan baik, maka sisa racun Hoan Kut
Ciang yang tersisa dalam tubuhmu akan musnah secara keseluruhan."
Senang sekali hati ibu suri mendengar keterangan itu. Dia segera menjatuhkan diri
berlutut di depan puteri kerajaan Beng untuk memberi hormat dan mengucapkan terima
kasihnya berulang kali. Pek I Ni segera mengajarkan caranya melakukan latihan yang istimewa itu. Kadangkadang
dia berbicara untuk menjelaskannya lebih mendetail. Setelah selesai dia
menambahkan "Mulai hari ini, apabila kau menggunakan tenagamu untuk mencelakai orang, maka
seluruh tulang belulang dalam tubuhmu akan terlepas dengan sendirinya Kalau hal itu
sampai terjadi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat menolongmu lagi."
Ibu suri menyahuti dengan suara perlahan sebagai tanda bahwa dia sudah mengerti
pesan itu. Di dalam hati, dia sangat menyesal dan sedih.
-- Kalau begini, percuma saja aku belajar ilmu silat, karena aku tidak boleh
menggunakannya sama sekali --, pikirnya.
Pek I Ni segera mengibaskan lengan bajunya dan menotok jalan darah hun-hiat di
tubuh ibu suri, lalu dia berkata dengan perlahan
"Nah, kau ke luarlah sekarang!"
Ibu suri menurut. Dia memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kemudian
mengundurkan diri. Setelah itu, Hong Eng dan Siau Po baru muncul dan tempat persembunyiannya.
"Suthay, kata-kata perempuan itu hanya tiga bagian yang benar, tujuh bagian lainnya
merupakan kebchongan, jangan suthay percaya penuh kepadanya!" kata Siau Po.
Pek I Ni menganggukkan kepalanya.
"BetuI," sahutnya, "lsi kitab ini bukan hanya mengenai urat nadi naga bangsa Tatcu
saja, juga menyangkut harta karun yang besar sekali, Tapi dia sengaja tidak
menyebutnyebutnya." Sementara itu, Hong Eng sudah membongkar sprei dan tempat tidur Dia menemukan
tempat penyimpanan rahasia si ibu suri palsu, Ketika membukanya, dia menemukan
banyak barang permata juga uang perak, tapi hanya keempat jilid kitab Si Cap Ji Cin
Keng itulah yang tidak berhasil ditemukannya.
"Ambillah semua harta itu!" kata Pek I Ni. "Kelak kalau kita merantau, kita akan
membutuhkannya." Hong Eng menurut, dia membungkus harta itu lalu diserahkan kepada si bhikuni.
Sementara itu, Siau Po berkata dalam hatinya, , -- Kali ini si nenek sihir benar-benar
bangkrut habislah semua hartanya! -"Perempuan tadi menyamar sebagai ibu suri, pasti dia mengandung niat tertentu,"
kata Pek I Ni. "Karena itu, kau boleh berdiam di sini terus untuk memata-matainya, ilmu
silatnya sudah musnah. Tidak perlu kau takut lagi kepadanya."
Hong Eng mengangguk sebagai tanda menerima tugas itu, Tapi hatinya juga sedih
sekali karena sadar akan berpisah lagi dengan junjungannya yang disayanginya itu.
Pek I Ni segera mengajak Siau Po kembali ke penginapan Di dalam kamar, dia
membuka kitab Si Cap Ji Cin Keng dan memeriksanya halaman demi halaman, Dia
kenal baik dengan kitab agama itu, Setiap lembarnya sudah dihafalnya luar kepala.
Setelah membalik halangannya sampai selesai, dia memulainya dari pertama lagi,
tapi kali ini dia mendekati lilin yang ada di atas meja dan memeriksa halamanhalamannya
dengan teliti. Tiang kongcu berdiam diri sekian lama, Tampaknya dia sedang memutar otaknya
dan menerka-nerka, Kemudian bhikuni itu mengambil air dan membasahi pinggiran
kitab itu juga tiap halamannya. Dengan demikian, dia bisa membuka bagian kulit kitab
itu. Lalu dia membuka benang jahitannya, Di antara kulit kitab yang terbuat dari kulit
kambing itu, dia menemukan belasan potongan kulit kambing lainnya dengan ukuran
keciI-kecil. Senang sekali hati Siau Po melihatnya.
"Tidak salah!" serunya, "Ternyata kitab ini memang berisi rahasia besar!"
Pek I Ni membeberkan semua kulit kambing itu di atas meja, Bentuknya berbedabeda,
ada yang persegi, ada yang segi tiga, ada yang berbentuk bujur sangkar dan lainlainnya.
Yang disayangkan setelah dicoba-coba, ternyata potongan itu tidak dapat
dicocokkan satu dengan lainnya.
Di atas potongan kulit itu terdapat garis-garis halus dan huruf-huruf Boan Ciu yang
ditulis dengan warna hitam Setelah memperhatikan dengan seksama dan berpikir Siau
Po berkata. "Rupanya setiap jilid kitab mempunyai tanda-tanda rahasia seperti ini. Kiranya benar
bahwa harus didapatkan dulu ke delapan jilid kitab ini, baru tanda-tanda ini bisa
disatukan dan jadilah peta yang sempurna."
"Tampaknya memang demikian," kata Pek I Ni yang merapikan kembali semua kulit
kambing itu, lalu di masukkannya ke dalam bungkusan dan di masukkan ke dalam
sakunya. Besok pagi, Tiang kongcu mengajak Siau Po meninggalkan kotaraja, terus menuju
barat sampai di kecamatan Ciang Peng, di taman makam Su Leng, gunung Kim Peng
San, itulah taman makamnya kaisar Cong Ceng. Karena tidak ada yang mengurus,
rumputnya tumbuh tinggi-tinggi dan keadaannya sungguh mengenaskan.
Sepanjang perjalanan Pek I Ni diam saja, Tapi sesampainya di sana tanpa dapat
dicegah lagi, dia menangis tersedu-sedu,
Siau Po berlutut dan ikut memberi hormat, Tiba-tiba dia melihat berke!ebatannya
warna hijau seperti sehelai gaun di sisinya. Dia terperanjat Warna itulah yang sering
terbayang di pelupuk matanya akhir-akhir ini. Kemudian dia mendengar suara yang
nyaring serta halus. "Ah! Akhirnya tidak sia-sia aku menunggu di sini! Aku... aku...." Dia menarik napas
panjang kemudian menambahkan "Aku sudah menunggu di sini tiga hari lamanya,
Sudahlah, tidak ada yang perlu disedihkan!" Dia berkata demikian, tapi lagi-lagi dia
menarik napas panjang. Itulah suara si nona berbaju hijau, Suara itu membuat Siau Po senang sekali
Sampaisampai dia merasakan seluruh persendian tubuhnya menjadi lemas, Suara itu demikian
merdu dan meresap di hati. Karena itu, dia cepat-cepat menjawab.
"Ya, kau telah menunggu aku selama tiga hari lamanya, tapi tidak perlu kau bersusah
hati." Selesai berkata, Siau Po bangkit dan berpaling kepada si nona yang kecantikannya
luar biasa itu. , tetapi si nona tampaknya terkejut setengah mati melihatnya. Kemudian
tampak mimik wajahnya menunjukkan perasaan kurang senang.
"Aku juga sangat memikirkanmu," kata Siau Po kembali. "Bahkan aku sangat
menderita...." Tiba-tiba dia harus menghentikan kata-katanya karena perutnya terasa
nyeri sekali dan tubuhnya terpental roboh ke belakang lalu jatuh di atas tanah.
Rupanya secara tiba-tiba dia ditendang oleh gadis itu.
Rupanya juga tidak hanya cukup dengan menendang, gadis itu juga mengeluarkan
pisau Liu Yap tonya dan menikam ke arah Siau Po, Untung anak muda itu cukup gesit.
Dia menggeser sedikit dengan menggelinding sehingga pisau gadis itu menikam di atas
tanah. Di saat si nona yang masih penasaran itu ingin membacok lagi, terdengarlah teriakan
si bhikuni. "Tahan!" "Dia jahat! Dia... paling pandai menghina aku!" Gadis itu melemparkan pisaunya dan
menangis tersedu-sedu, "Suhu, lekas suhu bunuh dia!"
Siau Po gembira sekaligus heran mendengar kata-kata si nona berbaju hijau itu.
Namun pikirannya langsung bekerja.
-- Oh, rupanya dia murid suthay, jadi kata-kata nya tadi bukan ditujukan kepadaku -Dia langsung duduk tegak, sementara itu, otaknya terus berputar. Akhirnya dia
mengambil keputusan dalam hati -- Aku harus berlagak menjadi orang baik-baik, lebih
bagus lagi kalau aku bisa membuat suthay ini menyukaiku, dengan demikian kelak dia
akan menjodohkan aku dengan muridnya ini. Membawa pikiran demikian, si anak muda yang banyak akalnya ini segera berdiri
dan menjura dalam-dalam. "Nona, seandainya tanpa sengaja aku telah membuat kekeliruan terhadapmu,
dengan kemurahan hatimu, sudilah kiranya kau tidak menjadi kecil hati, Kalau nona
ingin memukul aku, pukullah, asal kau sudi mengampuni jiwaku.,.,"
Nona itu masih memeluk gurunya, Sebelah kakinya di angkat ke atas untuk
menendang dagu Siau Po. "Aduhl" jerit Siau Po yang kembali terjungkal ke belakang dan tidak bangun lagi,
sedangkan dari mulutnya terus keluar suara rintihan.
"Aih A Ko!" kata si bhikuni, "Mengapa kau sembarangan menendang orang tanpa
menanyakan dulu sebab musababnya?"
Siau Po senang mendengar suara si bhikuni yang nadanya mengandung teguran
kepada si nona, Diam-diam dia berkata dalam hati.
- Oh, rupanya kau bernama A Ko! Akhirnya aku berhasil mengetahui namamu juga. -, sementara itu, dia mulai kenal sifat si bhikuni, karena itu, kembali dia menjura dan
berkata. "Suthay, sudah seharusnya nona ini menendang aku dua kali! Memang akulah
yang bersalah, walaupun nona ini menendang aku seribu kali atau sampai mati
sekalipun, aku memang pantas mendapat hukuman ini!"
Selesai berkata, si anak muda meraba dagunya, air matanya pun berceceran. Kali ini
bukan pura-pura lagi, Dagunya memang terasa sakit sekali.
"Suhu, hwesio ini sangat busuk, Dia selalu menghina aku." kata A Ko pada gurunya.
Pek I Ni menatap Siau Po lekat-lekat. "Bagaimana dia menghinamu?"
Wajah si nona jadi merah padam.
"Dia... dia sering kali menghina aku.-." katanya, "Pokoknya sering sekali...."
"Suthay." kata Siau Po. "Singkatnya, akulah yang toloI, Lebih-lebih ilmu silatku ini
tidak berarti sama sekali, Baru-baru ini, nona ini berjalan-jalan ke Siau Lim Sie...."
"Oh! Kau pergi ke Siau Lim Sie?" tukas si bhikuni.
"Aih! Kau kan seorang anak perempuan, untuk apa kau pergi ke Siau Lim Sie?"
Mendengar teguran halus itu, hati Siau Po semakin senang.
"Oh!" seru Siau Po. "Rupanya nona ini pergi ke Siau Lim Sie bukan atas titah suthay"
itu lebih bagus lagi, "Dia menghentikan kata-katanya sejenak kemudian baru
melanjutkan lagi, "Dia pergi ke Siau Lim Sie bukan seorang diri, tapi bersama seorang
kakak perempuannya, Si nona ini ikut pergi karena tidak dapat menentang kehendak
dan bujukan nona yang satunya lagi."
"Eh, bagaimana kau bisa mengetahuinya?" tanya Pek I Ni.
"Sebab saat itu aku berada di dalam kuil," sahut Siau Po, "Ketika itu aku sedang
menjalankan tugas yang diberikan si raja Tatcu, Aku harus menggantikan dirinya
menjadi hwesio di wihara tersebut. Aku melihat kedatangan nona yang satunya, lalu
nona ini baru menyusul, wajahnya menunjukkan kurang setuju...."
"Apakah A Ki yang mengajakmu?" tanya si bhikuni kepada muridnya, Si nona
menganggukkan kepalanya. "Para hwesio dari Siau Lim Sie itu galak sekali." sahutnya, "Menurut mereka, kuil
mereka itu tidak boleh dimasuki kaum wanita."
"Lalu bagaimana?" tanya sang guru.
"ltu memang benar." tukas Siau Po cepat "Peraturan Siau Lim Sie itu memang tidak
tepat Mengapa kaum wanita tidak di ijinkan memasuki kuil" Bukankah Kuan Se In Pou
Sat juga seorang wanita?"
"Lalu, apa yang terjadi?" tanya si bhikuni kembali
Siau Po menunjuk kepada A Ko.
"Nona ini mengatakan," Kalau orang tidak mengijinkan kita masuk, ya sudah. Mari
kita pulang saja! Tetapi keempat Ti Kek Ceng dari Siau Lim Sie memang tidak kenal
kesopanan, mereka malah mengoceh tidak karuan sehingga kemarahan kedua nona
jadi bangkit Celakanya, kawanan para hwesio itu benar-benar tidak punya guna, ilmu
mereka terlalu rendah,.,."
"Apakah kalian bertempur?"
"Dalam hal ini, keempat Ti Kek Ceng itulah yang bersalah," sahut Siau Po
mendahului si nona, "Aku melihat sendiri peristiwa itu. Mereka menguluran tangannya


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendorong si nona. Nona suthay bayangkan saja, kedua nona ini anak gadis yang
masih suci bersih, mana boleh disentuh oleh tangan kotor para hwesio itu. Karena itu,
kedua nona tersebut langsung menghindarkan diri. Dengan demikian, tangan dan kaki
para hwesio itu melanggar tiang sehingga mereka semua merasa kesakitan...."
"Hm." Si bhikuni memperdengarkan suaranya yang tawar, "llmu silat Siau Lim Sie
menjagoi dunia persilatan, mana mungkin murid-muridnya demikian tidak punya guna"
Eh, A Ko, coba kau katakan, jurus apa yang kau gunakan ketika menghadapi mereka?"
A Ko tidak berani berdusta, Dengan nada perlahan dia menjelaskan kepada sang
guru. "Jadi kau telah merobohkan empat orang hwesio Siau Lim Sie?"
"Dengan dia, semuanya berjumlah lima orang." sahut A Ko.
"Nyalimu sungguh tidak kecil!" tegur sang guru, "Kamu sudah berani lancang
mendatangi Siau Lim Sie, kau juga melukai para hwesio di sana sampai patah tangan
dan kakinya." Pek I Ni menatap muridnya dengan garang.
A Ko takut sekali, wajahnya jadi pucat pasi. Ketika itu, si bhikuni sudah melihat tanda
bekas luka di leher muridnya.
"Apakah lukamu kau dapatkan ketika berhadapan dengan hwesio Siau Lim Sie?"
tanyanya. "Bu,., kan.,." sahut A Ko gugup, "Dia,., dia...." Tangannya menunjuk kepada Siau Po.
Matanya menjadi merah, sambil menangis dia melanjutkan kata-katanya. "Dia sangat
menghina aku, maka aku menggunakan senjataku untuk membunuh diri, tapi,., aku
tidak sampai mati karenanya...."
Mengetahui kedua muridnya lancang mendatangi Siau Lim Sie, Pek I Ni gusar sekali
Tapi ketika melihat bekas luka di leher A Ko, hatinya merasa iba juga.
"Bagaimana caranya dia menghinamu?" tanyanya.
A Ko tidak menjawab, dia hanya menangis,
"Memang akulah yang bersalah." kata Siau Po cepat "Aku bicara tanpa pikir-pikir lagi,
MuIutku lancang sekali, sebaliknya si nona itu hanya menyambar aku dan membuat aku
takut karena dia ingin mengorek kedua biji mataku, Aku begitu takutnya sehingga aku
menggerakkan tanganku dengan serabutan sehingga tanpa disengaja aku menyentuh
tubuhnya.... Maka itu, tidak dapat disalahkan kalau nona itu merasa gusar sekali,..."
Sembari berkata, secara diam-diam si anak muda melirik kepada A Ko. Dia
mendapat kenyataan bahwa wajah si nona menjadi merah padam, Rupanya A Ko
menjadi jengah sendiri, tapi di samping itu hatinya juga agak lega karena Siau Po
selalu membelanya. Pek I Ni masih menanyakan jalannya pertempuran setelah memperoleh jawaban, dia
baru mengerti duduk perkaranya.
"Kesalahan itu terjadi tanpa sengaja, karenanya urusan ini juga tidak perlu ditanggapi
secara serius." katanya kemudian,
Dengan perlahan-lahan dia menepuk bahu muridnya sambil berkata kembali.
"Dia masih kanak-kanak, lagipula dia juga seorang thay-kam, jadi tidak ada yang
perlu dijadikan masalah, bukan" Dengan pukulan Leng Yan Kui Cau kau telah
mematahkan kedua tangannya, ini sudah merupakan hukuman yang pantas baginya."
A Ko menangis sambil berdiam diri. Dalam hati dia berkata:
-- Siapa bilang dia masih kanak-kanak, buktinya dia berani pergi ke rumah hina untuk
berbuat busuk.... - Meskipun demikian, dia tidak bisa mencetuskan pikirannya itu,
karena gurunya pasti akan bertanya panjang lebar mengapa dia sendiri bisa masuk ke
tempat seperti itu, Tapi hatinya mendongkol sekali sehingga dia masih menangis terus.
Siau Po berlutut di depan nona itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seraya
berkata. "Nona, kalau kau masih belum puas, silahkan! silahkan kau tendang lagi aku
beberapa kali. Puaskanlah hatimu!"
A Ko menangis. "Aku tidak akan menendang kamu!" katanya.
Tapi Siau Po tidak puas. Dia segera menggaplok kedua pipinya sendiri secara
bergantian sehingga terdengarlah suara Plak! Plok! Yang nyaring
"Dasar aku memang pantas mati! Dasar aku memang pantas mati!" katanya.
Pek I Ni mengerutkan keningnya.
"Dalam hal itu, bukan kau yang bersalah" katanya, "Eh, A Ko, kita tidak boleh
menimbulkan kesulitan bagi orang lain, Kita juga tidak boleh menghina orang
sedemikian rupa." A Ko menangis sesenggukan.
"Tapi dia terlalu menghina aku." katanya, "Suhu tahu, dia telah menangkap aku dan
menahan aku dalam kuilnya, dia tidak mau membebaskan aku...."
"Apa katamu?" tanya Pek I Ni. "Sampai terjadi hal sedemikian rupa?"
"Benar, memang benar." kata Siau Po mengaku. "Dalam hal ini, akulah yang
bersalah. Aku ingin menyenangkan hati nona ini, Aku ingin mengambil hatinya karena
itu aku mengundangnya masuk ke dalam kuil. Ketika itu aku berpikir, nona ini ingin
sekali melihat-lihat keadaan dalam kuil, tapi dilarang oleh para hwesio, tentu saja si
nona menjadi gusar dan mendongkol. Karena itulah aku mengundang nona ini
memasuki pendopo Poan Jiak Tong dan meminta seorang hwesio tua menemaninya
berbicara...." "Kacau! Kacau! Kalian berdua benar-benar keterlaluan!" tukas Pek I Ni. "Kau
menyebut-nyebut seorang hwesio tua, siapa hwesio itu?"
"Dia Teng Koan taysu, ketua dari Poan Jiak Tong-Hwesio yang pernah mengadu
tangan dengan suthay ketika berada di kuil Ceng Liang Si, Ngo Tay san...."
Pek I Ni menganggukkan kepalanya.
"Taysu itu memiliki ilmu yang tinggi sekali," katanya memuji, Terus dia menepuknepuk
bahu A Ko seraya berkata kembali "Sudahlah! Taysu itu sangat lihay ilmu
silatnya, lagipula usianya sudah lanjut sekali, Siau Po meminta dia menemanimu, hal ini
tidak membuat dirimu terhina, Sekarang, sudah! Urusan kalian jangan diperpanjang
lagi!" Mendengar ucapan gurunya, A Ko berkata dalam hatinya.
- Bocah ini sungguh jahat! Sayang ada beberapa hal yang tidak dapat ku utarakan,
karena aku khawatir suhu akan menyelidikinya lebih jauh, sedangkan aku bersama enci
memang telah melakukan beberapa kesalahan.... Tapi, meskipun berpikir demikian, dia
tetap berkata, "Suhu, ada yang tidak diketahui oleh suhu, dia.,,."
Pek I Ni tidak memperdulikan muridnya lagi, Sebaliknya, dia hanya memperhatikan
gundukan tanah di depannya dengan pandangan kosong.
Siau Po menatap si nona, dia menjulurkan lidahnya, tangannya menjungkit hidung
dan wajahnya dibuat-buat seperti badut, Dia sengaja menggoda nona itu.
A Ko mendongkol sekali, Dia mendelik kepada Siau Po yang jahil itu, tetapi dengan
demikian si anak muda justru semakin senang, Walaupun sedang kesal dan marah,
kecantikan si nona tidak berkurang sedikit pun, Bagi Siau Po tidak ada bagian tubuh
gadis itu yang tidak menggiurkan.
A Ko melirik si Siau Po. Tampak Siau Po masih memperhatikannya lekat-lekat, wajah
si nona jadi merah padam, dia merasa malu sekaligus mendongkol. Karena itu tanpa
memperdulikan keadaan gurunya yang masih berdiam diri, dia menarik ujung
pakaiannya sambil berkata.
"Suhu, dia terus memperhatikan aku,.,." Sang guru masih berdiam diri, Dia sedang
mengenangkan kehidupannya yang telah berlalu di dalam istana kerajaan. Dia seperti
tidak mendengar dan tidak merasakan apa-apa....
Lambat laun, sang surya mulai menggeser diri, dari timur ke barat Pek I Ni masih
berdiam diri. Da!am hal ini, Siau Po lah yang paling tidak keberatan. Baginya, semakin
lama Pek I Ni berdiam di makam itu, semakin baik.
Dia dapat melihat si nona dengan sepuas hatinya, Sebaliknya, A Ko menjadi tidak
leluasa sekali Berulang kali dia melihat si anak muda masih meliriknya dengan "mata
maling" nya. Dia jadi malu, bingung dan mendongkol.
Sang waktu masih terus berlalu, Sore sudah mulai menjelang, sementara itu, A Ko
masih merasa kesal sehingga dia berkata dalam hati.
- Bocah ini jahat sekali Entah apa yang dikatakannya kepada suhu sehingga suhu
demikian mempercayainya, Awas! Kalau suhu sedang tidak ada, aku akan
menendangmu sampai mati Ya, setelah kau dibunuh, masa bodoh kalau suhu
menyalahkan aku. Aku tidak mau dihina terus-terusan olehnya."
Akhirnya, terdengar Tiang kongcu menarik napas panjang sembari berkata. "Mari kita
pergi!" Malam itu, mereka tidak pulang ke penginapan melainkan bermalam di rumah
seorang petani. Siau Po pandai membawa diri. Dia tahu Pek I Ni sangat resik, sebelum bersantap,
dia selalu mencuci mangkok piring serta sumpitnya sampai bersih sekali. Bahkan dia
menyeka meja dan kursi dan sebelum tidur, dia juga membersihkan kamar serta
merapikan tempat tidur pendeta perempuan itu.
Pek I Ni mengangguk-angguk melihat sikap bocah itu.
- Anak ini sungguh cekatan dan mengerti segala hal, kalau dia diajak bepergian, dia
bisa banyak membantu.... katanya dalam hati,
Selesai bersantap malam, Pek I Ni menanyakan tentang A Ki, murid perempuannya
yang satu lagi. "Sejak hari itu ketika kami berpisah di depan kuil Siau Lim Sie, aku tidak melihatnya
lagi.," kata A Ko. "A... ku... aku khawatir dia telah dibunuh oleh anak muda ini..."
"ltu tidak mungkin terjadi" sahut Siau Po cepat. "Ketika aku bertemu dengan nona A
Ki, aku melihatnya bersama-sama pangeran Kaerltan dari Mongolia, Bersama mereka
juga ada seorang Ihama dari Tibet serta seorang Cong Peng yang menjadi bawahan
Gou Sam Kui..." Mendengar disebutkan nama Gou Sam Kui, sepasang mata Tiang kongcu langsung
membelakak, Hawa amarahnya meluap dengan tiba-tiba.
"Aih! Mengapa dia bersama-sama orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan
kita?" "Mungkin ketika rombongan si pangeran tiba di luar Siau Lim Sie, kebetulan nona A
Ki pun sampai di sana." kata Siau Po. Dia ingin meredakan kemarahan bhikuni itu.
Kalau suthay memang ingin pergi mencarinya, sebaiknya aku ikut Aku yakin nona itu
mudah ditemukan." "Mengapa kau begitu yakin?" tanya Pek I Ni.
"Hal ini karena aku mengenal baik pangeran dari Mongolia, si lhama serta perwira
tersebut." sahut Siau Po. "Cukup asal kita menemukan salah seorang dari mereka,
lagipula mudah bagi kita menanyakan tentang mereka di mana pun sampainya kita."
"Baik!" kata Tiang kongcu, "Kau boleh ikut aku mencari A Ki."
"Terima kasih, suthay!" kata Siau Po yang gembira sekali, "Suthay memang baik
sekali!" Pek I Ni jadi heran melihat sikap Siau Po.
"Kau mau membantu aku, seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih
kepadamu," katanya, "Mengapa sekarang malah kau yang menyatakan terima kasih
kepadaku?" "Hal ini karena suthay sendiri. Setiap hari, kalau aku dekat dengan suthay, hatiku
menjadi lega dan terbuka. Karena itu aku berharap dapat mengikuti suthay untuk
selama-lamanya. seandainya tidak bisa, lebih satu hari di dekat suthay kan lebih baik
dari pada tidak?" "Benarkah?" tanya Pek I Ni.
Tiang kongcu sudah mengambil A Ki dan A Ko sebagai murid, sikapnya biasa-biasa
saja, sedangkan kedua muridnya itu sangat takut kepadanya sehingga mereka tidak
berani mengatakan apa-apa, Lain halnya dengan Siau Po yang baru dikenalnya ini.
Siau Po cerdas dan berani, dia juga dapat memberikan pelayanan yang baik.
Meskipun Pek I Ni sendiri orangnya pendiam dan hatinya sudah tawar, tapi dia senang
juga dengan sikap Siau Po. Karena itu, akhirnya dia tersenyum.
"Suhu!" kata A Ko yang terkejut karena gurunya ingin mengajak si bocah melakukan
perjalanan bersama-sama, "Suhu, dia...."
Si nona tahu benar, meskipun mulut Siau Po berkata demikian, tapi tujuan yang
sebenarnya ingin selalu dekat dengannya.
Pek I Ni mendelik kepada muridnya itu.
"Ah! Kau tahu apa" Mana kau tahu isi hati orang" Memang aku selalu berpesan
kepada kalian berdua agar jangan sembarangan menghadapi orang-orang dunia
Kangouw, tapi bocah ini lain, Dia tidak bisa disamakan dengan yang lainnya, Sudah
cukup lama dia mengikuti aku, dan aku tahu dia dapat dipercayai."
A Ko menundukkan kepalanya. "Ya," sahutnya tanpa berani banyak bicara lagi.
Keesokan harinya, mereka menuju selatan, Di sepanjang jalan mereka bertanyatanya
tentang A Ki. Selama itu, Siau Po juga selalu bersikap baik. Dengan hati-hati dia
melayani guru dan murid itu, Terhadap A Ko, meskipun cintanya kebelet sekali, dia tidak
berani bersikap ceriwis atau sembarangan. Dia tidak ingin perbuatan buruknya
kepergok oleh Pek I Ni dan akibatnya dia pasti tidak disetujui.
Selama dalam perjalanan Siau Po juga tidak pernah berbicara dengan A Ko.
Sebaliknya, apabila ada kesempatan baik, yakni disaat gurunya sedang tidak melihat,
dia suka menendang Siau Po atau menggaploknya berkali-kali. Tapi Siau Po
membiarkan saja. Dia menganggap gadis itu mungkin menjadi senang atas
perlakuannya itu. Pada suatu hari, ketiga orang itu bermalam di sebuah penginapan kecil di dekat kota
Cong Chiu, Siau Po segera pergi ke pasar untuk membeli sayuran segar dan
memasakkannya untuk si bhikuni, Ketika pulang dari pasar, A Ko sedang berdiri di
depan pintu penginapan dengan mata menatap ke arah jalan besar.
Dia segera menghampiri dengan wajah tersenyum dan tangannya memegang
sebungkus kembang gula Bwe Kui Siong yang dibelinya dari pasar, Sembari
mengasongkan bungkusan permen itu, Siau Po berkata.
"Nona A Ko, barusan aku membelikan sebungkus kembang gula untukmu, Tidak
kusangka di tempat yang begini terpencil ada orang yang menjual kembang gula
sebagus ini." A Ko tidak menyambut kembang gula itu, Gadis itu malah mendelikkan matanya
sambil berkata. "Kembang gula yang kau beli pasti berbau busuk, Aku tidak sudi memakannya."
"Aih, nona!" kata Siau Po dengan maksud membujuk "Kembang gula yang aku beli
ini sama sekali tidak berbau, malah rasanya lezat sekali, Cobalah dulu!"
Diam-diam Siau Po sering memperhatikan makanan apa saja yang menjadi
kesukaan nona itu. Biarpun Pek I Ni jarang memberikan uang banyak, tapi kalau
membelikannya, si nona selalu memakannya dengan lahap. Karena itulah, sengaja
Siau Po membelikan sebungkus kembang gula kesukaan gadis itu.
"Aku tidak suka makan kembang gula," kata si nona yang terpaksa melayani orang
bicara, "Suhu sedang bersemedi, mungkin perlu waktu satu dua jam baru selesai Hatiku
kesal sekali, Aku ingin mencari suatu tempat yang pemandangannya indah, tapi sepi
yang tak ada orang...."
Hampir Siau Po tidak percaya dengan pendengarannya sendiri Darah dalam
tubuhnya langsung mengalir lebih deras dan wajahnya berubah menjadi merah.
"Apakah... kau bukan sedang mempermainkan aku?" tanyanya heran,
"Mempermainkanmu" Untuk apa?" kata A Ko. "Kalau kau tidak suka menemani aku,
sudahlah! Aku bisa pergi seorang diri."
Selesai berkata, nona itu langsung berjalan menuju arah timur yang ada sebuah
gang kecil. "Pergi! Pergi! Aku pasti mau pergi denganmu!" sahut Siau Po yang senangnya
setengah mati, "Demi engkau, jangan kata menemani jalan-jalan, meskipun harus terjun
ke dalam lautan api sekalipun, aku pasti akan menyertaimu!" Dia langsung mengikuti di
belakang si nona. Begitu ke luar dari daerah pasar, A Ko menunjuk ke arah timur tenggara. Sejauh
beberapa li dari tempat itu tampak sebuah bukit
"Tentu menggembirakan kalau kita berpesiar ke sana!" kata si nona.
Bukan main girangnya hati Siau Po.
"lya, iya." sahutnya cepat.
Mereka langsung menuju bukit tersebut yang keadaannya sepi sekali dan
pemandangannya sama sekali tidak indah, Tapi dalam pandangan mata Siau Po, tidak
ada pemandangan yang lebih indah lagi dari pada tempat itu. Hatinya senang sekali
sehingga tanpa sadar dia memuji.
"Sungguh sebuah tempat yang luar biasa indahnya !"
"Apanya yang indah?" kata A Ko. "Lihat sendiri. Pepohonannya kacau dan batunya
berserakan dimana-mana, Tempat ini justru menjemukan."
"lya, benar juga, pemandangannya memang tidak seberapa bagus." sahut si anak
muda yang merasa serba salah.
"Tapi baru saja kau memujinya," kata A Ko kembali "Mengapa?"
Siau Po tersenyum. "Sebenarnya pemandangan alam di sini tidak indah." katanya, "Tapi, wajah nona
yang cantik luar biasalah yang menggantikan bunga-bunga yang seharusnya memenuhi
tempat ini. Di sini tidak terlihat seekor burung pun, suara nona yang merdulah sebagai
pengganti burung-burung itu."
"Hm!" A Ko memperdengarkan suaranya yang dingin, "Kau tahu apa maksudku
mengajak kau ke mari" itu bukan karena aku ingin mendengarkan ocehanmu. Aku
justru ingin kau pergi, pergi sejauh-jauhnya dan secepat-cepatnya. Jangan pernah
muncul lagi di depan mataku. Kalau kau berani menampakkan dirimu lagi, hati-hati akan
ku cungkil biji matamu!"
Siau Po terkejut setengah mati, Dia melihat wajah si gadis sangat muram.
"Oh, Nona!" katanya dengan nada sedih. "Nona, untuk selanjutnya aku tidak akan
berani main gila lagi di hadapanmu, Mohon sudilah kau mengampuni aku!"
"Sekarang justru aku sudah memberikan pengampunan kepadamu." kata A Ko. "Aku
tidak langsung mengambil jiwamu, bukan?" Mendadak dia menghunus goloknya lalu
menambahkan "Kau mau ikut aku ke mari karena kau mengandung niat buruk, bukan"
Apakah kau kira aku tidak mengetahuinya" Kau sangat menghina aku, karena itulah


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku menghukummu, aku tidak perduli kalau nanti suhu akan menghajar aku dengan
rotan sebanyak seribu kali pun."
Hati Siau Po semakin tercekat, gadis itu membolak-balikkan golok di tangannya
sehingga sinarnya berkilauan. Dia langsung membayangkan watak keras si nona dan
saat ini tentunya si nona tidak sedang bergurau dengannya.
"Nona," katanya. "Suthay mengajak aku mencari nona A Ki. Baikiah, setelah berhasil
menemukannya, aku tidak akan mengikuti kalian lagi." A Ko menggelengkan kepalanya,
"Tidak bisa." katanya keras, "Sekalipun tanpa engkau, kami pasti akan menemukannya,
Lagi-pula, dia bukan anak kecil berusia tiga tahun, memangnya dia tidak punya kaki
untuk pulang sendiri?"
Kembali A Ko menggerakkan goIoknya.
"Kalau kau masih tidak mau pergi, jangan kau sesalkan aku!" katanya pula dengan
suara bengis. Siau Po mencoba tertawa. "Nona, tampaknya Nona bermaksud tidak baik terhadapku" tanyanya, "Mengapa?"
Nona itu tampaknya gusar sekali.
"Sampai saat ini kau masih berusaha mempermainkan aku?" katanya sambil
menerjang ke depan dan mengirimkan sebuah bacokan.
Siau Po terkejut, dia merasa takut tapi untung-nya dia juga sempat menghindarkan
diri. "Kau mau pergi atau tidak?" ancam si nona.
"Maaf, Nona!" kata Siau Po. "Aku tidak dapat pergi. walaupun kau cincang seluruh
tubuhku sampai hancur lebur, walaupun aku harus menjadi setan gentayangan aku
harus mengikutimu terus."
Bukan main marahnya hati A Ko, kembali dia melancarkan tiga bacokan.
Dalam hal menghindarkan diri dari serangan Siau Po sudah cukup lihay, Tidak siasia
dia mencangkok pelajaran Teng Koan taysu sekarang dia dapat menggunakannya
dengan baik. Semua serangan si nona menjadi sia-sia. Hal ini justru menambah
kegusaran dalam hati A Ko, dia mengulangi serangannya dengan sadis dan beruntun
Repot juga Siau Po dibuatnya, Akhirnya dia terpaksa menghunuskan pisau belatinya
dan digunakan untuk menangkis serangan si nona sehingga golok A Ko jadi kutung.
A Ko terkejut sekaligus marah, Dengan golok buntungnya, dia menyerang kembali
Kali ini malah secara serabutan.
Menyaksikan orang sudah menjadi kalap, Siau Po tidak berani melayani terus, Dalam
hal ilmu silat, dia masih kalah jauh, Karena itu, terpaksa dia membalikkan tubuhnya dan
lari menuruni bukit. A Ko mengejar. "Larilah yang jauh! Kalau kau lari jauh-jauh, aku tidak akan membunuhmu!"
teriaknya. Siau Po tidak menyahut, dia hanya berlari terus.
Melihat arah larinya si anak muda, A Ko jadi bingung. Karena Siau Po lari pulang ke
penginapan. - Ah, dia lari pulang. --, pikirnya dalam hati. --Dia pasti mengadu kepada suhu! -Dengan membawa pikiran demikian, dia mempercepat larinya, Tapi sayangnya ilmu
meringankan tubuh gadis itu juga masih kepalang tanggung, tidak berbeda jauh dengan
Siau Po. itulah sebabnya dia tidak berhasil mengejar si anak muda.
Sesaat kemudian, tampak si anak muda sudah menyelinap ke dalam penginapan.
-- Celaka! -- pikir A Ko. -- Kalau dia sampai mengadu kepada suhu, apa boleh buat,
aku akan membeberkan semua perbuatannya kepadaku tempo hari! Karena merasa sudah terlanjur, si nona melambatkan langkah kakinya dan berjalan
perlahan lahan menuju pintu penginapan
Baru sampai di ambang pintu kamar, tiba-tiba A Ko menjadi terkejut setengah mati,
Karena sekonyong-konyong ada angin atau tenaga keras yang menyerangnya,
membuatnya terhuyung-huyung tiga langkah sampai dia tidak dapat mempertahankan
diri dan jatuh terduduk, Kembali A Ko terkejut, dia berusaha untuk bangun Karena itu, dia menjulurkan
tangannya untuk menumpu di atas tanah, Tidak tahunya dia malah menyentuh wajah
seseorang. Terpaksa dia menekan terus untuk melompat bangun, Setelah berdiri, dia
baru menolehkan kepalanya dan menoleh kepada orang yang diduduki dan ditekannya
barusan. Kembali dia terkejut karena mengenali Siau Po yang sangat dibencinya.
"Hai, apa yang kau lakukan?" tanyanya kaget dan heran Namun baru selesai dia
mengajukan pertanyaan itu, kembali kedua lututnya terasa lemas dan dia terjatuh
kembali. "Eh, eh!" serunya pula, Tapi sudah terlambat, dia jatuh justru menimpa tubuh Siau Po
sehingga wajah mereka jadi saling berhadapan dan dalam posisi berpelukan.
Bukan main khawatirnya hati A Ko. Dia takut wajahnya dicium oleh si anak muda
yang ceriwis itu, Karena itu dia berusaha untuk bangun kembali Tapi entah mengapa,
seluruh tubuhnya terasa lemas sehingga niatnya menjadi gagal. Dia terpaksa
melengoskan wajahnya. "Cepat bangunkan aku!" katanya dengan terpaksa.
"Aku juga kehabisan tenaga.,." sahut Siau Po. "Bagaimana baiknya sekarang?"
Meskipun mulutnya bertanya demikian, hati Siau Po justru senang sekali, Dia toh
ditindih oleh si nona cantik, yang tubuhnya lembut dan kulitnya halus, Dalam keadaan
seperti itu, dia masih sempat berkata dalam hatinya.
-- jangan kata sekarang tenagaku benar-benar sudah lemah, meskipun tetap kuat
seperti semula, aku tidak akan membangunkan engkau, Bukankah kau sendiri yang
jatuh menimpa aku" jangan kau salahkan atau sesalkan aku -AKo menjadi bingung.
"Suhu sedang dikepung musuh!" katanya, "Kita harus menolongnya!"
Barusan, ketika memasuki kamar, A Ko sempat melihat gurunya sedang
mengibaskan sebelah lengan bajunya dan menghantam sebelah tangannya lagi untuk
menolak serangan lawan. Tapi tadi A Ko belum sempat melihat lawan gurunya dengan tegas. ia hanya tahu
bahwa musuh itu bukan hanya satu orang, Ketika dia ingin melihat lebih tegas, angin
pukulan dari dalam kamar sudah menghantamnya sehingga dia terjatuh dan menimpa
tubuh si anak muda. Siau Po melangkah terlebih dahulu, Ketika sampai di depan pintu kamar, dia pun
menyaksikan apa yang dilihat A Ko. Dia juga roboh tidak berdaya. Dia merasa kesakitan
tapi hatinya senang sekali. Dia malah berharap si nona menindihnya terus, sampaisampai
dia lupa Pek I Ni sedang bertarung dengan siapa....
A Ko menekan dada orang, Dia terpaksa berusaha bangun. Perlahan-lahan dia
bangkit berdiri kemudian menghembuskan napas lega.
"Mengapa kau berbaring di atas tanah?" tanyanya "Mengapa kau membuat aku jatuh
tersandung?" Nona ini sudah menduga jatuhnya Siau Po pasti karena alasan yang sama dengan
dirinya, tapi dia tetap mengajukan pertanyaan itu.
"lya, Nona!" sahut Siau Po yang menyimpang dari pertanyaan gadis itu. "Kalau aku
tahu kau akan jatuh di sini, seharusnya aku cepat-cepat menyingkir agar kita bisa jatuh
berdampingan." "Cis!" si nona meludah, Tapi dia mengkhawatirkan keselamatan gurunya sehingga
cepat-cepat dia memperhatikan keadaan di dalam kamar.
Pek I Ni masih duduk bersila di atas tanah, Kedua tangannya digerak-gerakkan untuk
menahan datangnya serangan lawan, jumlah musuhnya ada lima orang, Semuanya
para lhama dengan jubah merah. Setiap lawannya menyerang dengan cepat dan
dahsyat, walaupun demikian, mereka tidak sanggup mendekati bhikuni itu,
A Ko berusaha maju terus, Dia ingin mengetahui apakah masih ada musuh lainnya di
dalam kamar Tapi, baru saja kakinya menindak dua langkah, tiba-tiba serangkum angin
kencang kembali menerpanya sehingga mau tidak mau dia harus menyurut mundur
kembali. Begitu mundur nona itu menendang Siau Po.
"Eh, cepat bangun!" katanya, "Kau masih enak-enakan berbaring di sini. Lihat
musuh-musuh itu, orang dari golongan apakah mereka itu?"
Siau Po menumpu pada dinding dan bangun perlahan-Iahan. Lalu memperhatikan ke
dalam kamar. "Semuanya ada enam orang lhama dan mereka semua terdiri dari orang jahat."
katanya. "Ngaco!" bentak si nona. "Sudah tentu mereka orang-orang jahat, untuk apa kau
mengatakannya lagi?"
"Tapi mereka menyerang suthay, itulah yang membuktikan bahwa mereka itu orang
jahat." Si nona mendelikkan matanya.
"Aku rasa kau tentunya teman orang-orang itu, Kau yang mengajak mereka ke mari
untuk mencelakai suhu." tukasnya.
"Mana mungkin, Nona?" kata Siau Po. "Aku justru sangat menghormati suthay
seperti halnya aku menghormati Kuan Im Pousat, mana mungkin aku mencelakainya?"
A Ko segera menoleh ke dalam kamar. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan tertahan
Siau Po pun cepat-cepat memperhatikan keadaan di dalam kamar Tampak keenam
lhama itu, masing-masing menghunus goloknya dan menyerang Pek I Ni.
Tapi mereka tertahan oleh pukulan si bhikuni sehingga mereka tidak bisa maju lebih
dekat. Hanya saja sekarang di atas kepala wanita itu tampak uap putih mengepul,
menandakan dia sudah mengeluarkan tenaganya terlalu banyak dan keadaan ini
membahayakan dirinya. Dalam hati Siau Po ada niat ingin membantu bhikuni itu, tapi dia tidak dapat
memasuki kamar .Bahkan kalau dia bisa masuk sekalipun, malah bisa membuat Pek I
Ni menjadi kikuk. Bukankah dia tidak berdaya apa-apa menghadapi keenam lhama
yang tangguh-tangguh itu"
Melihat ke sekitarnya, Siau Po mendapatkan ada sebatang sapu tersandar di sudut
tembok, Dia merayap perlahan-lahan ke sana lalu diambilnya sapu itu, Kemudian Siau
Po menjulurkan sapu itu lewat sela pintu dengan maksud menyodokkannya ke wajah
salah seorang lhama sehingga orang itu kurang waspada dan Pek I Ni mempunyai
kesempatan menghajarnya. Tapi, baru saja sapunya masuk ke dalam, dia sudah mendengar suara bentakan
keras disusul dengan kelebatan sinar golok. Sapu di tangan Siau Po langsung terkutung
menjadi dua bagian, Bahkan dia sendiri ikut terkena sambaran angin sehingga terpental
ke belakang, "Kau benar-benar sembrono," kata A Ko, "Mana boleh kau melakukan hal itu?"
Siau Po tidak menyahut otaknya terus bekerja keras, matanya jelalatan ke sana ke
mari, Anak muda itu memperhatikan posisi keenam orang lhama itu lalu mengendapendap
ke belakang mereka, Karena terhalang dinding kamar, lawan tidak dapat melihat
nya. Dia berdiri tepat di belakang salah seorang Ihama, yakni orang yang
mengutungkan sapunya tadi. Dia menikamkan pisau belatinya pada orang itu.
Pisau itu luar biasa tajamnya, sedangkan tebal dinding tidak lebih dari satu dim.
Pisau itu telak mengenai punggung si Ihama, Lhama itu menjerit, lalu tubuhnya terkulai
di atas tanah. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana dirinya diserang lawan, sehingga
boleh dikatakan menjadi mati konyol.
Diam-diam Siau Po merasa girang, karena mendengar suara teriakan atau jeritan si
Ihama, Dia tahu tikamannya sudah membawa hasil. Karena itu, dia segera menggeser
ke arah Ihama yang kedua dan kembali menikamkan pisaunya.
"Aduh!" jerit lhama itu dan tubuhnya pun terkulai seperti kawannya barusan.
--Bagus! --, seru Siau Po dalam hatinya, Dia puas dengan usaha itu walaupun yang
dilakukannya berupa serangan gelap, Tanpa ragu lagi, dia segera melanjutkan
serangannya. Dalam waktu yang singkat, empat orang lhama telah roboh tidak berkutik Untung
pisau belatinya tidak tembus ke dalam sekali sehingga luka setiap lhama tidak
mengucurkan darah, Dengan demikian kawan-kawannya tidak tahu apa yang telah
terjadi. Saking heran dan khawatir dalam pikiran mereka langsung timbul niat untuk
melarikan diri. Pek I Ni dapat melihat sikap para lhama itu, Dia menghajar seorang lhama yang
sedang memutar tubuhnya untuk pergi, Robohlah orang itu, mulutnya mengeluarkan
darah dan jiwanya melayang seketika, sedangkan dengan kibasan lengan baju
kanannya, dia membuat seorang lhama lainnya tidak dapat melarikan diri karena lima
jalan darahnya telah tertotok. Dengan demikian lhama itu juga langsung roboh tidak
berkutik. Pek I Ni menendang kembali tubuh keempat lhama yang sudah rebah di atas tanah,
Bhikuni itu melihat lubang bekas tikaman juga darah yang merembes ke luar dari
selaselanya, maka dia segera mengerti sebab kematian keempat lhama tersebut. Dia lalu
bertanya kepada lhama yang tertotok itu.
"Kau,., siapa?" Tiba-tiba tubuhnya terhuyung-huyung dan jatuh terguling di atas
lantai, dari mulutnya muncrat darah segar.
Rupanya Tiang kongcu sudah menguras tenaganya secara berlebihan ketika
menghadapi keenam orang lhama yang kepandaiannya tinggi-tinggi itu. Untung dia
masih bisa bertahan sampai tahap terakhir dan kemudian baru roboh.
A Ko dan Siau Po terkejut setengah mati, Mereka segera menghambur ke depan dan
memapah bhikuni itu. "Suhu! Suhu!" panggil A Ko berulang kali.
Napas Pek I Ni lemah sekali, Matanya terpejam dan mulutnya tertutup rapat-rapat.
Bersama-sama A Ko, Siau Po mengangkat tubuh bhikuni itu ke atas tempat tidur,
Darah masih mengalir dari sudut bibir wanita itu.
A Ko bingung sekali sehingga dia menangis terus. Ketika pertempuran terjadi, para
pelayan serta pemilik penginapan semuanya lari kucar-kacir, sekarang mereka kembali
lagi dan ketika melihat darah berceceran dimana-mana mereka jadi ketakutan.
Beberapa diantaranya malah berteriak-teriak seperti orang kalap,
"Untuk apa kalian berteriak-teriak?" bentak Siau Po sambil memungut sebilah golok,
"Diam! Atau kalian semuanya ku bunuh!"
Orang-orang itu ketakutan, mereka segera menutup mulut Siau Po mengeluarkan
sejumlah uang lalu menyerahkannya kepada salah seorang pelayan.
"Sekarang cepat kau carikan dua buah kereta besar! Yang lima tail ini untukmu!"
katanya, Siau Po mengeluarkan uang lagi sebanyak empat puluh tail, lalu dia berkata kepada
pemilik penginapan. "Keenam orang lhama ini mati karena saling menyerang antara kawannya sendiri,
kalian semua juga menyaksikan bukan?"
Padahal para pelayan dan pemilik penginapan itu tidak melihat apa-apa, tapi mereka
takut terhadap ancaman Siau Po sehingga serentak mereka menganggukkan
kepalanya dan mengiyakan.
Tidak lama kemudian kedua kereta besar yang dipesan Siau Po sudah datang,
Dengan dibantu oleh A Ko, dia menggotong Pek I Ni ke atas sebuah kereta.
"Kau duduk di atas satu kereta dengan gurumu, aku akan membawa lhama yang
tertotok ini." katanya kepada A Ko.
"Ke barat daya!" kata Siau Po pula kepada sais kereta setelah mereka semua naik ke
atasnya. Siau Po khawatir lhama itu bisa membebaskan sendiri totokannya, Karena itu dia
mengikat kaki dan tangan orang itu erat-erat.
Sementara kereta berjalan terus, Siau Po melihat si Ihama, sudah sadar. Tanpa
menunda waktu lagi, dia mulai mengajukan pertanyaan kepadanya.
"Kau lihat sendiri, empat orang rekanmu telah terbunuh di tanganku, Kalau kau tidak
menjawab pertanyaanku baik-baik, maka kau akan mengalami nasib yang sama. Malah
aku akan menyiksamu terlebih dahulu, Nah, sekarang katakan, siapa yang menyuruh
kalian mencari keributan dengan suthay kami?"
Lhama itu takut sekali. Apalagi setelah Siau Po mengeluarkan pisau belatinya yang
sinarnya berkilauan dan terus digerak-gerakkan di depan hidungnya.
"Aku bernama Hupain, lhama dari Tibet." kata orang itu. "Kami mendapat tugas untuk
menangkap hidup-hidup suthay itu. Orang yang memerintahkan kami adalah kakak
seperguruan kami yang tertua, namanya Shang Cie."
"Suthay ini orang baik-baik," kata Siau Po. "Dengan kakak seperguruanmu pasti tidak
ada persengketaan apa-apa, Mengapa kakak seperguruanmu memerintahkan kalian
menangkapnya?" "Menurut kakak seperguruanku suthay itu telah mencuri kitab suci... bukan di pinjamKitab suci itu seluruhnya ada delapan jilid dan mempunyai sangkutan yang penting
dengan Buddha hidup kami. Kami harus meminta pulang kitab tersebut"
"Kitab apakah itu?" tanya Siau Po.
"Kitab Chayen kulu-kulu."
"Ngaco!" kata Siau Po. "Mana ada kitab Chayen kulu-kulu?"
"ltulah bahasa Tibet!" sahut si Ihama, "Dalam bahasa Tionghoa, orang menyebutnya
Si Cap Ji Cin Keng."
"Bagaimana kakakmu yang busuk itu bisa tahu suthay kami memiliki kitab tersebut ?"
tanyanya kembali. "Tentang itu aku tidak tahu apa-apa."
"Sekarang aku ingin tanya lagi kepadamu, bersama kakak seperguruanmu yang
busuk itu, orang yang kepandaiannya lebih rendah atau lebih tinggi daripadaku masih
ada berapa lagi?" "Jumlah kami semua tiga belas orang, suthay telah membinasakan lima di antara
kami, sekarang masih tersisa delapan orang lagi."
Siau Po mendupak tubuh orang itu.
"Kau sangat busukl Sudah mau mati, masih mengoceh yang tidak-tidak. Jadi
kepandaian mereka semuanya lebih tinggi daripada aku" Kau lihat saja nanti, kalau
bertemu dengan mereka, aku akan menghabisi mereka satu persatu, Biar kau tahu
sampai di mana kelihayanku!"
"lya, iya!" sahut si lhama yang ketakutan.
Siau Po masih belum puas, dia masih mengajukan beberapa pertanyaan, dan tidak
memperoleh keterangan yang cukup jelas lagi, dia baru menghentikan kereta dan
melaporkan apa yang didapatkan kepada Pek I Ni.
"Suthay, di sana masih ada delapan orang lhama. Kalau mereka datang sekaligus,


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin sulit bagi suthay untuk melayaninya, Lain halnya kalau keadaan suthay sehat
seperti sebelumnya."
Pek I Ni menggelengkan kepalanya.
"Sekalipun dalam keadaan sehat, satu lawan tujuh, tetap saja tidak mungkin menang,
Menurut apa yang aku ketahui, Sang Cie itu merupakan lhama yang kepandaiannya
nomor satu di wilayah Tibet. ilmunya tinggi sekali, Menghadapi dia satu orang saja
masih belum tentu kesudahannya, apalagi kalau dia mengandalkan saudara-saudara
seperguruannya yang lain." katanya.
"Kalau begitu, sebaiknya kita menggunakan tipu daya kata Siau Po." Aku mempunyai
akal yang cukup baik, tapi entah suthay mau menjalankannya atau tidak...."
Bhikuni itu menarik napas panjang.
"Sekarang aku sudah tidak berbeda dengan manusia biasa, Coba kau katakan apa
akal mu itu?" "Aku berpikir agar kita pergi ke sebuah tempat yang sunyi," kata Siau Po. "Di sana
suthay menyamar sebagai wanita setengah baya yang sedang sakit. Aku dan A Ko
akan menjadi anak-anakmu yang mengurusmu, Entah bagaimana pendapat suthay"
Tentu saja hanya untuk sementara, setidaknya sampai kesehatan suthay pulih
kembali." Pek I Ni menggelengkan kepalanya.
"Huh! pikiran apa yang kau cetuskan?" bentak AKo. "Sungguh bodoh! Suhu adalah
orang gagah di jaman ini, mengapa suhu harus menyembunyikan diri sedemikian rupa"
Bukankah itu berarti takut?"
"Akal ini sebetulnya dapat dilakukan, tapi kalian harus menyamar sebagai
keponakanku..." kata Pek I Ni.
Siau Po senang sekali mendengar ucapan si bhikuni.
"Baik, baik!" katanya berkali-kali.
A Ko mendelikkan matanya kepada si anak muda, Dia merasa tidak puas mendengar
suhunya setuju dengan usul si bocah tengik.
"Lhama itu sebaiknya jangan dibiarkan hidup, nanti dia bisa menimbulkan kesulitan
bagi kita, Kita kubur saja dia hidup-hidup di tempat ini." kata Siau Po pula.
"Tadi kita bertempur karena terpaksa, kau membunuh orang juga karena terpaksa,
sekarang lhama ini sudah tidak berdaya, apabila kita membunuhnya juga, itu berarti kita
terlalu kejam, sebaiknya kita bawa saja dia bersama-sama...."
Bagian 49 Siau Po menurut. Mereka segera menjalankan lagi kereta tersebut sampai sekian
tama menempuh perjalanan, mereka masih belum menemukan satu pun rumah
penduduk desa, Siau Po khawatir mereka akan tersusul oleh rombongan Shang Cie,
karena itu, ketika melihat sebuah gang kecil, dia menyuruh sais membelokkan kereta ke
arah gang itu. Justru kereta sedang dijalankan perlahan-Iahan, dari belakang mereka terdengar
suara derap kaki belasan ekor kuda. Siau Po menjadi terkejut sekali. Hatinya juga
langsung merasa cemas. Mungkinkah rombongan lawan sudah menyusul tiba"
- Celaka! Rupanya jumlah para lhama itu lebih dari belasan orang! -- keluhnya dalam
hati. Suara derap langkah kaki kuda itu semakin cepat. Diam-diam Siau Po mengintai ke
luar jendela, Tampak puluhan penunggang kuda dengan pakaian berwarna hijau
mendatangi kereta. Ternyata mereka bukan rombongan para Ihama, Dalam waktu yang singkat kereta itu
sudah tersusul sebentar lagi para penunggang kuda itu akan melewati mereka.
Tiba-tiba terdengar suara A Ko memanggil. "The toako! The toako!"
Salah satu dari penunggang kuda itu, yakni seorang anak muda, langsung
menghentikan kuda tunggangannya. Dibiarkannya kereta itu lewat di sisinya sehingga
mereka berjalan berdampingan.
"Nona Tan !" sapa si penunggang kuda itu.
"Benar, memang aku!" sahut A Ko yang dari nada suaranya kentara bahwa hatinya
senang sekali. "Tidak tersangka kita akan bertemu kembali?" kata si anak muda, "Apakah kau
bersama-sama nona Ong?"
"Bukan," sahut A Ko. "Kakak seperguruanku tidak ada di sini"
"Apakah kau pun hendak menuju Ho Kan?" lagi-lagi anak muda itu bertanya.
"Tidak!" sahut A Ko.
"Kota Ho Kan ramai sekali" kata si penunggang kuda, "Sebaiknya kau ke sana saja!"
Pembicaraan itu berlangsung sementara kereta terus berjalan sedangkan Siau Po
yang masih duduk satu kereta dengan si nona terus memperhatikannya.
Kisah Sepasang Rajawali 18 Misteri Rumah Berdarah Karya Tjan I D Senja Jatuh Di Pajajaran 7
^