Pencarian

Bloon Cari Jodoh 1

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Bagian 1


"BLOON CARI JODOH PENDEKAR HURU HARA SD. LIONG Jilid 1 CELOTEH BLOON Wah, maaf beribu maaf, pembaca yang budiman.
Karena baru sekarang saya dapat nongol lagi. Tidak
jemu kan melihat tampang saya"
Kali ini oleh Bp. S D. Liong saya diberi peran lain
dari yang lain. Keblo'onan saya dikurangi sedikit dan
disuruh jadi pendekar. Katanya, supaya lekas dapat
jodoh, uh . . . . Tetapi jodoh itu gampang2 sukar. Makin di cari
makin lari, makin dikejar makin bubar. Jodoh
ditangan Tuhan. Tetapi eh, mungkin pembaca
berminat memilihkan gadis yang cocok buat saya.
Silahkan tulis surat kepada bapak Liong supaya
mengadakan sayembara lagi. Okey"
Terima kasih atas perhatian dan kecintaan
pembaca yang telah berkenan mencari pencuri jenasah
ayah saya dan pembunuh ketua Hoa-san-pay. Silakan
baca pengumuman di hal belakang.
Sekian dulu ya, dan .... Selamat tahun baru 1980. B L O ' O N. I. Benci tapi rindu. Kawanan burung gagak yang berkaok-kaok terbang
melalang di udara makin menambah keseraman pada jalan
yang membelah hutan sebuah pegunungan, di wilayah
Holam. Hari menjelang petang dan jalan sunyi senyap. Satusatunya
manusia yang berada di jalan itu hanya seorang
pemuda yang mengendarai seekor kuda putih.
Dandanannya seperti seorang sasterawan, wajahnya cakap
sekali sehingga lebih tepat kalau dikata cantik. Usianya
sekitar 18 tahun. Rupanya dia merasa bising juga mendengar suara burung
gagak yang menyengat telinga itu. Ia mengeluarkan sebuah
benda sebesar kelengkeng lalu diayunkan kearah burung itu.
Gaok . . . gaok . . . Dua ekor gagak melayang jatuh ke tanah. Tetapi bukan
merasa gembira, kebalikannya pemuda sasterawan itu
menghela napas. "Ah, masih jauh terpautnya. Sekali lontar suhu dapat
merubuhkan lima ekor burung, sedang aku hanya dua
ekor," gumamnya seorang diri. Diam2 ia berjanji akan lebih
giat berlatih ilmu melontar Hui-hong-ciok (batu terbang),
agar dapat mencapai tataran seperti suhunya.
Melihat dua orang kawannya jatuh, kawanan gagak itu
terbang pergi tetapi beberapa saat kemudian mereka datang
lagi dan berkaok-kaok riuh sekali.
"Setan alas," desuh pemuda itu seraya terus hendak
menjemput hui-hong-ciok lagi. Tetapi pada lain saat dia
teringat bahwa gagak itu burung pemakan bangkai.
Kemudian disusul pula dengan penimangan, tak mungkin
kawanan gagak akan terbang berkerumun apabila di tempat
itu tiada terdapat bangkai hewan maupun manusia.
Serentak dia teringat akan suasana negara dewasa itu.
Kotaraja Pakkia sudah jatuh ke tangan tentara Ceng.
Baginda Cong Ceng bunuh diri, putera mahkotanya lenyap
dan pemerintah kerajaan Beng hijrah ke daerah selatan,
kota Lam-kia. Pemberontakan timbul dimana-mana.
Perampok, perusuh dan pengacau berpesta pora diatas ratap
tangis rakyat yang sengsara.
"Raja Ceng harus bertanggung jawab atas kesengsaraan
rakyat ini. Aku bersumpah untuk membunuh setiap prajurit
Ceng, perampok, pengacau yang membuat rakyat
sengsara," katanya dalam hati, "dan juga dia, manusia
blo'on, yang telah membuat aku sengsara begini rupa."
Tiba2 ia terkejut menyaksikan seekor gagak terkena
sebatang panah dan meluncur jatuh kebawah, "Eh, rupanya
ada orang yang sedang bertempur. Kemungkinan besar,
kawanan perampok sedang mengganas." serentak ia
mencongklangkan kudanya menuju ke tempat kawanan
gagak beterbangan. Beberapa saat kemudian dia dapat mendengar suara
gemerincing senjata beradu. Dia makin mempesatkan lari
kudanya. Tiba di tepi hutan, ia terkejut menyaksikan suatu
pemandangan yang mengerikan. Sebuah kereta rubuh ditepi
jalan, beberapa sosok mayat terkapar malang melintang di
tengah jalan dan dua orang lelaki tengah menyeret seorang
gadis. Gadis itu meronta dan menjerit-jerit minta tolong.
Sedang tiga lelaki tengah membuka beberapa peti.
Seketika meluaplah amarah pemuda sasterawan. Ia tahu
apa yang terjadi. Jelas kelima lelaki itu bangsa penyamun
yang tengah merampok harta benda dan gadis.
"Lepaskan, bangsat!" sambil terjangkan kuda kemuka
tangannyapun berayun. "Aduh .. . aduh . . . , " terdengar kedua lelaki yang
tengah menyeret gadis itu menjerit keras. Yang seorang
rubuh dan yang satu terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap bahu kirinya. Selekas tiba, pemuda sasterawan itu terus menyambar
tubuh si gadis dan dinaikkan keatas kudanya, "Jangan
takut, nona. Peganglah kendali erat2," bisik pemuda itu.
"Putih, bawalah nona itu ketempat yang aman," serunya
pula lalu ayunkan tubuh berjungkir balik ke belakang.
Tring, ia membabat sebatang panah dengan pedangnya.
Ternyata waktu melihat kedua kawannya terluka, salah
seorang dari tiga lelaki yang tengah membongkar peti itu
terkejut dan cepat lepaskan senjata rahasia sebatang passer
kearah penunggang kuda putih itu. Namun pemuda itu
sudah dapat menduga lebih dulu. Begitu mendengar suara
kesiur angin yang tajam, dia terus buang tubuh ber
jumpalitan ke belakang dan tepat dapat menangkis passer
itu. "Hm, kawanan perampok, engkau kira dunia sudah tak
ada undang-undang lagi, ya ?" selekas melayang turun ke
tanah, pemuda sasterawan itu segera membentak.
Lelaki yang melepas senjata passer tadi terus hendak
melangkah maju tetapi kawannya yang bartubuh pendek
cepat mencegah, "Toako, potong ayam tak perlu pakai
pisau pemotong kerbau. Biarlah aku yang
membereskannya." Lelaki pendek itu bertubuh kekar. Muka bercambang
bauk, dada dan kedua tangannya penuh bulu. Muka lebar
tetapi mata, hidung dan mulut serba kecil, mirip kera.
"Hai, banci, rupanya engkau sudah bosan makan nasi, ya
?" seru lelaki pendek itu, "engkau tahu siapa aku ini ?"
"Kunyuk jelek !"
Lelaki pendek itu membelalak tetapi pada lain kilas dia
tertawa, "Ha, ha, ha, muka dan tingkah lakumu, benar2
seperti seorang gadis cantik. Sekalipun engkau seorang
pemuda tetapi aku suka"
"Kunyuk tengik, kurobek mulutmu !" seru pemuda itu
dengan muka merah. "Ha, ha, ha," kembali lelaki pendek itu tertawa,
"umumnya lelaki itu tentu beristeri wanita. Tetapi biar
orang mengatakan apa saja, asal secantik engkau biar lelaki
akupun senang memper-isterimu. Lebih baik lelaki cantik
daripada perempuan jelek bukan ?"
"Kunyuk bermulut busuk, lihat pedang !" tiba2 pemuda
itu taburkan pedangnya. Bermula berputar-putar bagaikan
kuntum bunga mekar, lalu sekonyong-konyong
berhamburan menabur kepala lelaki pendek itu.
"Uh," lelaki pendek itu mendesuh kejut. Dia bergeliatan
dengan gerak yang lincah sekali lalu tiba-tiba loncat mundur
beberapa langkah. "Bagus, bagus," seru lelaki pendek itu, "ilmu pedangmu
sungguh hebat ! Kalau engkau mau menjadi isteriku, Siamsay-
ngo-sat akan bertambah seorang Giok-lo-sat."
"Persetan dengan Siam-say-ngo-sat!"
"Uh, engkau belum tahu siapa Siam-say-ngo-sat itu. Aku
berlima inilah Siam-say-ngo sat, lima momok dari wilayah
Siam-say yang termasyhur. Apa engkau tidak takut?"
"Pedangku tak pernah takut kepada segala macam
momok dan bangsa kurcaci!"
"Bagus, aku senang melihat sikapmu yang keras tak
kenal kompromi itu," seru si lelaki pendek, "siapa
namamu?" "Supaya kalau mati engkau jangan menjadi setan
penasaran, tak apa, akan kuberitahu namaku. Aku bernama
Kui." "Kui" Hanya satu kata" Ah, tetapi nama itu sungguh
tepat dengan orangnya. Kui artinya bunga kui-hoa yang
cantik. Atau Kui yang berarti mahal, berharga atau mulia." "Ngaco!" bentak
pemuda sasterawan, "aku seorang lelaki masakan memakai nama bunga seperti anak perempuan." "Lalu, kui apa?"
"Kui, setan." "Kui setan?" lelaki
pendek itu terkejut, "mengapa pakai nama '
kui ' setan?" "Untuk mencekik manusia2 sampah masyarakat seperti engkau!"
"Siapa she-mu?"
"Aku she Wan-ong."
''Wan-ong Kui." "Ya, Wan-ong Kui si Setan Penasaran."
"Huh. Aneh. Pemuda setampan engkau mengapa
memakai nama yang begitu seram. Ikut aku saja, engkau
tentu takkan penasaran lagi."
"Jahanam . . . . "
"Tunggu," cepat lelaki pendek itu berseru ketika melihat
pemuda itu hendak bergerak menyerang lagi,
"Ilmupedangmu hebat sekali. Dari perguruan manakah
engkau dan apa nama ilmupedangmu itu ?"
"Perguruanku Hong-siang-bun. llmupedang-ku Pek-hoa
kiam. Jurus tadi Hoa-gui-hun-hiang."
"Hong-siang-bun " Mengapa tak pernah terdengar nama
perguruan itu " Apa artinya nama itu "
"Perguruan Atas-angin."
"Uh," lelaki pendek mendesuh, "ilmupedang Peh-hoakiam
?" "Seratus-bunga-bermekaran."
"Jurus Hoa-gui-hun-hiang?"
"Bunga-mekar-menabur-harum."
"Omong kosong!" teriak lelaki pendek, "dalam dunia
persilatan tak ada nama perguruan semacam Hong-siangbun
itu. Dan dalam ilmupedangpun tak ada jurus yang
disebut Bunga-mekar-menabur-harum. Hm, karena aku
suka kepadamu, engkau mendapat kelonggaran bicara.
Tetapi jangan terus menerus berolok-olok."
"Memang kutahu," sahut pemuda sasterawan dengan
centil, "ilmupedang itu tak mungkin diketahui oleh bangsa
kunyuk seperti engkau. Bagaimana rasanya jurus tadi, enak
kan ?" "Apa maksudmu, pemuda banci!"
"O, apa engkau benar2 tak merasa, ha, ha, ha?".."
"Jangan bergurau ! Apa yang engkau maksudkan ?"
"Pulang dan berkatalah di cermin. Ih, kalau tak punya
cermin, carilah telaga dan berkatalah, ha, ha, ha . . . ."
"Sam-te, mengapa engkau begitu ?""., " tiba2 salah
seorang kawannya yang membuka peti tadi maju
menghampiri. Waktu melihat tampang lelaki pendek, ia
menegur tetapi tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
mendekap mulut menahan gelak.
"Ji-ko, aku kenapa ?" lelaki pendek itu bertanya heran.
"Ah, apakah engkau tak merasa ?"
"Merasa apa?" "Alismu itu . . . ."
Cepat lelaki pendek itu merabah alisnya dan seketika ia
merjingkrak kaget, "Keparat engkau banci, akan
kuremukkan tulangmu!" serunya seraya terus menerjang
pemuda sasterawan. Ternyata alis sebelah kiri dari lelaki pendek itu telah
hilang karena tercukur kelimis oleh ujung pedang pemuda
sasterawan tadi. "Bagus, kunjuk," seru pemuda sasterawan seraya
songsongkan pedangnya membabat bahu orang. Tetapi
lelaki pendek itu teramat gesit. Selekas endapkan tubuh ke
bawah, dia terus ulurkan tangan hendak meremas dada
pemuda sasterawan itu. Jurus itu disebut Heng-cia-cay-kuo
atau Raja-kera-memetik-buah.
"Bangsat engkau kunyuk !" teriak pemuda sasterawan itu
seraya loncat ke samping. Wajahnya tersipu-sipu karena
melihat kekurang ajaran lelaki pendek yang hendak
meremas buah dadanya. "Ada ubi ada talas, ada budi tentu dibalas, pemuda
manis," lelaki pendek tertawa mengejek. Dia adalah jago
ketiga dari kawanan penjahat Siam-say yang menamakan
diri sebagai Siam-say-ngo-sat.
Siam-say-ngo-sat itu baru muncul setelah suasana negara
kacau karena diserang pasukan Ceng, Mereka terdiri dari
lima benggolan, yaitu Ma Sun gelar Thiat-pi-sin-kang
Lengan-besi-sakti, Hok Tiang Mo gelar Sin-ho-thiat-ci atau
Bangau-sakti-jari-besi, Ui Kiong gelar Kim-gan-sin-wan
atau Kera-sakti-bermata-emas, Lo Ti Seng gelar Tok-kakhou
atau Harimau-kaki-satu dan Gak Bun gelar Hui-hou-sat
atau si Rase-terbang.

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kera-sakti-bermata-emas yang bertanding dengan
pemuda sasterawan itu memiliki ilmusilat Kau-l.un
(ilmusilat jurus kera), yang cukup tinggi. Gerakannya gesit
sekali, tangannya usil dan berbahaya.
Memang apabila berhadapan dengan jago silat biasa,
Kera-sakti Ui Kiong tentu menang. Tetapi yang
dihadapinya saat itu seorang pemuda sasterawan yang
memiliki ilmupedang aneh.
"Rasakan sekarang," tiba2 pemuda itu gunakan jurus
Giok-li-san-hoa atau Bidadari-menabur-bunga, ketika ia
berhasil memancing lawan untuk menerkam dadanya.
Ui Kiong terkejut bukan kepalang ketika tiba2 pemuda
itu menghentikan tusukannya dan diganti dengan gerak
menabas yang cepat. Ui Kiong hendak menarik tangannya
tetapi sudah tak keburu. Pedang berkelebat dan menjeritlah
si Kera-sakti itu seraya mendekap tangan kanannya yang
kutung sebatas pergelangan tangan.
Kelima Siam-say-ngo-sat, sudah tiga orang yang terluka
dan rubuh. Harimau-kaki-satu Lo Ti Seng dan si Raseterbang
Gak Bun yang hendak menyeret gadis cantik tadi,
sudah terluka terkena sabitan senjata-rahasia hui-hong-giok
dari pemuda sasterawan. Lo Ti Seng patah tulang dadanya
dan pingsan. Gak Bun jalandarah Kian-ki-luat pada
bahunya terkena sehingga kaku tak dapat digerakkan. Kerasakti
Ui Kiong, pergelangan tangannya putus terbabat
pedang. Kini tinggal jago kesatu si Lengan-besi Ma Sun dan jago
kedua Bangau-sakti Hong Tiang Mo. Kedua orang itu
bersama Kera-sakti Ui Kiong membongkar peti harta milik
gadis cantik tadi. Melihat Kera-sakti terluka, Ma Sun dan
Hong Tiong Mo serentak berhamburan menerjang pemuda
sasterawan. Mereka tahu bahwa pemuda itu memiliki
pedang pusaka dan ilmu pedang yang hebat maka mereka
pun menggunakan senjatanya juga.
Ma Sun menggunakan senjata golok yang aneh.
Ujungnya bengkok, tajam dan berat. Punggung golok
bergigi gergaji yang runcing. Sedang Hong Tiang Mo juga
tak kalah aneh senjatanya. Tombak pandak yang berbentuk
seperti kepala burung bangau, mempunyai paruh yang
runcing, tangkainya diberi alat pijatan. Begitu tombol kecil
itu dipijat maka paruh akan menjulur panjang mirip dengan
burung bangau yang sedang mematuk.
"Bayar jiwa ketiga suteku," Ma Sun menggerung seraya
menabas sekuat-kuatnya. Sementara Tiang Mopun
memperlengkapi dengan ayunkan senjata burung bangau
untuk mematuk kepala lawan.
"Bagus, kalian maju berbareng saja agar dapat
menghemat waktuku," seru pemuda sasterawan untuk
menutupi hatinya yang terkejut menyaksikan senjata aneh
dari kedua orang itu. Rupanya dia masih belum banyak pengalam an dalam
pertempuran. Melihat sikapnya yang masih kikuk, diapun
agaknya baru pertama kali itu terjun keluar ke dunia
persilatan. Tetapi dia memiliki ilmupedang yang hebat dan
kekerasan hati. Dia benci kapada prajurit Ceng, perampok,
penjahat yang menindas rakyat. Dan diapun benci kepada
seseorang. Dia hendak menuntut balas kepada orang itu.
Itulah sebabnya maka ia giat sekali mempelajari
ilmupedang yang disebut Peh-hoa-kiam-hwat atau Seratusbunga-
bermekaran. "Jika terhadap bangsa kurcaci semacam ini aku takut,
bagaimana aku dapat menuntut balas kepada orang yang
kubenci itu?" serentak ia membajakan semangatnya dan
menyambut serangan kedua lawannya dengan jurus Giok-lisan-
hoa atau Bidadari-menebar-bunga.
Tring, tring .... "Hai, setan alas!" terdengar kedua orang itu menggembor
keras seraya serempak loncat mundur memeriksa
senjatanya. Dua gigi gergaji pada punggung golok Ma Sun
terpapas rompak. Lengan baju Bangau-sakti Hong Tiang
Mo terbabat tetapi senjatanya masih utuh. Kedua
benggolan Siam-say-ngo-sat itu terkejut bukan kepalang.
Selama ini belum pernah mereka menderita kekalahan
seperti itu. Apalagi mereka maju berdua.
Tetapi pemuda itu juga tak kalah kejutnya.
Ia rasakan tangannya linu sekali sehingga pedangnya
hampir lepas. Ia tahu bahwa kedua lawan, terutama Ma
San, bertenaga besar sekali.
"Ah, aku salah," gumamnya dalam hati, "guru
mengatakan bahwa ilmupedang Peh-hoa-kiam-hwat itu
mengutamakan kelincahan dan kecepatan. Jika tak perlu
tak boleh mengadu kekuatan dengan lawan."
Dalam pertempuran selanjutnya, dia taat akan pesan
gurunya. Tak mau ia mengadu kekerasan lagi.
Ma Sun dan Tiang Mo marah sekali. Mereka
melancarkan serangan dengan gencar dan dahsyat.
"Kena!" tiba2 Ma Sun membentak. Ia menahas leher
lawan, ketika lawan condongkan tubuh ke belakang, dia
terus menarik goloknya untuk mengait pedang lawan.
Memang ujung golok yang bengkok itu khusus untuk
menggaet senjata orang. Jarak yang begitu dekat, tak
mungkin gagal. Pada saat itu Hong Tiang Hongpun sambarkan paruh
senjata burung bangau ke punggung si pemuda. Dengan
begitu, pemuda sasterawan itu terjepit bahaya dari dua
arah. Punggung dipatuk paruh senjata bangau, dari muka
pedangnya akan digaet golok bengkok Ma Sun.
Tetapi pemuda itu tak gentar. Dia melakukan jurus Hekhcmg-
jay-bi atau Kumbang-hitam-menghisap-madu, ia
songsongkan tubuh kemuka untuk membelah tangan orang.
Sebelum golok bengkok sempat menggaet, tangan Ma Sun
sudah terbelah. "Aduh......" Ma Sun menjerit, lepaskan golok dan loncat
mundur lalu melarikan diri.
"Ih," tetapi pemuda sasterawan itu juga mendesis kaget
karena bahunya tersentuh benda dingin.
Ternyata karena pemuda itu condongkan tubuh kemuka,
paruh tajam dari senjata-bangau Hong Tiang Mo tak dapat
mengenai. Tetapi Hong Tiang Mo memijat tombol pada
tangkai senjatanya. Paruh baja itu tiba2 menjulur panjang
kemuka dan menusuk punggung lawan. Untung pemuda
sasterawan itu cepat menguar tubuh hingga hanya bahu
baju dan kulitnya yang keserempet pecah. Sekalipun
demikian cukup perih juga dan lengan bajunya yang
putihpun merah dengan darah.
Pemuda itu marah sekali. Selekas berputar tubuh dia
terus taburkan pedangnya.
"Aduh....," terdengar Bangau-sakti Hong Tiang Mo
menjerit keras ketika dadanya tertembus pedang lawan. Ia
terjungkal rubuh dan putus jiwanya.
Melihat Hong Tiang Mo terkepar mandi darah, ngeri
juga pemuda itu. Ia marah sekali atas kelicikan Hong Tiang
Mo yang menyerangnya dari belakang dengan senjata
rahasia. Setelah menenangkan diri, ia memandang ke sekeliling.
Ternyata kawanan penjahat itu sudah tak tampak batang
hidungnya lagi. Waktu dia sedang bertempur dengan Ma
Sun den Hong Tiang Mo, Kera-sakti Ui Kiong, Harimaukaki-
satu Lo Seng Ti dan Rase-terbang Gak Bun ngacir
pergi. "Ah," pemuda itu menghela napas. Ia beristirahat dulu
dibawah sebatang pohon. Ia termenung-menung, "ah, suhu
memang benar. Dunia persilatan memang penuh dengan
manusia licik. Pengalaman dalam pertempuran itu amat
berguna sekali. Karena dengan pengalaman itu kita dapat
menyempurnakan ilmu kepandaian kita."
Tiba2 ia teringat akan kudanya, si Putih. Serentak ia
bersuit nyaring. Tak lama terdengar derap kuda lari
menghampiri. Kuda bulu putih yang diberi nama si Putih,
muncul dengan masih membawa gadis tadi. Kuda itu
berhenti dihadapan pemuda sasterawan.
"Turunkan nona itu," seru si pemuda. Seperti tahu
bahasa manusia, kuda putih itu segera berjongkok kebawah
dan menurunkan nona itu. Selekas turun nona itu terus berlutut dihadapan pemuda
sasterawan, "Terima kasih in-kong. In-kong telah menolong
jiwaku." "Ah, janganlah nona bersikap demikian," pemuda itu
meminta supaya si nona berdiri, "sudah adat hidup kalau
tolong menolong . . . . "
"In-kong, mengapa engkau"..," gadis itu terkejut karena
melihat pemuda sasterawan itu pejamkan mata dan tiba2
terkulai bersandar pada batang pohon. Mukanya pucat lesi.
Gadis itu makin terkejut. Ternyata pemuda sasterawan
itu pingsan. Dan lebih terkejut ketika ia melihat bahu baju
pemuda itu berlumuran darah.
"Ah, dia terluka," kata gadis itu. Sebenarnya menurut
adat istiadat waktu itu, pergaulan lelaki dan wanita
terutama jejaka dan gadis, masih terbatas sekali. Tetapi
gadis itu tak mau menghiraukan soal tata-istiadat lagi.
Pemuda itu telah menolong jiwanya, diapun harus balas
menolongnya. Ia memeriksa noda darah yang membasahi
bahu lengan si pemuda. Ternyata warnanya hitam.
"Hm, dia terkena senjata beracun. Aku harus Iekas2
menolongnya, tetapi .... , " tiba2 ia tertegun. Mukanyapun
merah jengah, "haruskah aku melakukan hal itu?"
"Ah, biarlah orang mengatakan aku ini bagaimana, tetapi
aku harus membalas budinya," akhirnya gadis itu
mengambil keputusan. Cepat dia mengeluarkan sebuah
kotak yang berisi lima butir pil. Disusupkannya sebutir pil
kedalam mulut si pemuda. Kemudian ia mengambil arak
untuk mencuci luka si pemuda lalu dilumuri bubuk obat
dan dibalut dengan kain yang dirobek dari lengan bajunya
sendiri. Sampai beberapa saat ia duduk dihadapai pemuda itu
untuk menunggu perkembangannya. Dalam mencurahkan
perhatian itu mau tak mau matapun melihat dan timbullah
kesan dalam pikirannya, "Ah, sungguh seorang pemuda
yang cakap sekali sehingga mirip dengan gadis cantik,"
pikirnya. Duduk termenung di tempat pegunungan yang, sunyi di
awal malam, memang cepat menimbulkan lamunan. Sekali
melamun, gadis itupun terhanyut dalam lamunan lebih
lanjut, "Ah, apakah putera dari paman Kim Thian Cong
yang bernama Blo"on itu juga secakap ini " O; Tuhan,
semoga Blo'on itu juga pemuda yang cakap dan berbudi
seperti pemuda ini....."
"Ah, itu sudah ditetapkan oleh orang tua. Cakap atau
tidak cakap, suka atau tidak suka, aku ini sudah calon
isterinya. Aku harus menerima apa pun kenyataannya . . . ."
"Uh ?"..," tiba2 pemuda sasterawan itu mendesuh.
"In-kong, engkau sudah siuman ?" seru gadis itu kejut2
girang melihat pemuda itu mulai bergeliat dan membuka
mata. "In-kong, oh Tuhan, syukurlah engkau sembuh..."
kembali gadis itu gembira. In-kong artinya tuan penolong.
Pemuda itu masih terlongong-longong. Tiba-tiba ia
rasakan bahunya dibalut, "O, apakah ini?"
"Lukamu berdarah terpaksa kuberi obat dan kubalut,"
kata gadis itu dengan wajah cerah.
Pemuda sasterawan itu kerutkan dahi, tiba2 ia melonjak
bangun dan membentak, "Mengapa engkau berani lancang
menyentuh tubuhku ?"
Sudah tentu gadis itu terkejut sekali, "In-kong, lukamu
itu beracun, terpaksa kucuci dengan arak lalu kubalut.... "
"Engkau lancang sekali !" bentak pemuda itu dengan
marah, "siapa suruh engkau mengobati lukaku ?"
"O, In-kong, maafkan kesalahanku ....," gadis itu terus
berlutut dan hendak mencium kaki si pemuda. Tetapi
pemuda itu loncat mundur dan menudingnya, "Pergi !
Jangan menyentuh aku !"
Gadis itu heran dan ketakutan. Airmatanya pun berderaiderai
membasahi kedua pipi, "In kong, aku .... aku tak
bermasud apa" .. . kecuali hendak menolong engkau ?"
"Aku tak perlu pertolonganmu !"
"Ah, In-kong, engkau telah menolong jiwaku maka aku
pun wajib membalas budimu .,.. "
"Aku tak mengharap balas dari engkau!"
Gadis itu makin tersipu-sipu menahan air matanya, "Inkong
telah menolong jiwaku, apapun yang In-kong
perintahkan pasti akan kulakukan."
"Pergilah !" Airmata gadis itu makin membanjir, "Baik, jika in-kong
menghendaki begitu, aku akan pergi. Tetapi sebelumnya
aku mohon bertanya. Mengapa in-kong menolong aku "
Dan mengapa pula in-kong marah kepadaku " Kurasa, lebih
baik kalau tadi in-kong tidak menolongku."
"Aku tidak bermaksud menolongmu. Aku hanya
melaksanakan sumpahku untuk membunuh setiap
perampok dan penjahat yang mengganggu rakyat."
"Itu berarti in-kong menolong rakyat dan akupun juga
seorang rakyat." "Hm, yang penting aku bertujuan membasmi perampok
dan penjahat." "Baiklah," kata gadis itu sembari memesut airmatanya.
"sebenarnya tanpa pertolongan in-kong, akupun sanggup
menjaga diri. Tak mungkin penjahat itu dapat
mencemarkan kesucianku karena aku sudah bertekad lebih
baik bunuh diri daripada ternoda."
Pemuda itu tertegun. "Tolong jawab pertanyaanku yang kedua tadi. Mengapa
in-kong marah kepadaku ?"
"Siapa suruh engkau memegang tubuhku ?"
"Aku hanya mengobati luka in-kong."
"Itu pantangan besar. Aku tak mau disentuh wanita."
"O, aku tak tahu, maafkan kelantanganku tadi.
Betapapun engkau telah menolong jiwaku dan aku tetap
berterima kasih kepadamu. Mudah-mudahan kelak aku
dapat membalas budimu. Andaikata aku tak mampu, aku
tetap akan berdoa semoga Tuhan selalu melindungimu.


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selamat tinggal ......" gadis itu terus ayunkan langkah.
Pemuda sasterawan itu tertegun. Sesaat ia tak tahu apa
yang akan dilakukan. Pikirannya masih membayangkan,
bagaimana waktu dia pingsan, gadis itu telah mengobati
lukanya. Dalam mengobati, tentulah gadis itu telah
membuka bajunya, paling tidak tentu menyingsing lengan
bajunya yang luka itu " Ih " membayangkan hal itu
merahlah mukanya. Tiba2 matanya tertumbuk pada sebuah pemandangan
yang mengejutkan. Tak jauh dari mayat Bangau-sakti Hong
Tiang Mo, terdapat senjatanya yang berbentuk seperti
kepala bangau. Senjata itu menggeletak di tanah tetapi
anehnya, rumput dan tanaman kecil2 yang berada sekeliling
setengah meter, layu semua. Diluar itu rumput dan
tanaman2 masih tetap segar.
Pemuda itu terkejut dan segera menyadari bahwa senjata
Tiang Mo itu mengandung racun yang hebat. Dan serentak
diapun teringat akan lukanya. Apabila rumputpun layu,
tidakkah dia juga akan binasa " Segera ia tahu apa sebab dia
pingsan. Tetapi segera pula ia terkejut, "Mengapa aku bisa
sembuh ?" "Tunggu dulu, nona," cepat ia berseru kepada gadis yang
sudah berada sepuluhan tombak jauhnya. Ia lari
menghampiri dan gadis itupun berhenti.
"Selain membalut lukaku, apa saja yang engkau lakukan
tadi ?" tegurnya. "Kuberimu minum sebutir pil."
"Pil " Pil apa ?"
"Swat-lian-seng-tan atau pil Teratai-salju yang berkhasiat
tinggi untuk memunahkan segala macam racun."
"Dari mana engkau memperoleh pil itu ?"
"Pemberian ayahku."
"Siapa ayahmu " "
"Maaf, ayah melarang aku memberitahukan! namanya
kepada siapapun juga."
"O .. . " "Masih ada lain pertanyaan ?"
Pemuda sasterawan itu gelengkan kepala dan gadis
itupun terus lanjutkan langkahnya.
"Tunggu," kembali pemuda itu berseru seraya
menghampiri. "O, apakah masih ada pertanyaan lagi ?"
"Tiga peti milik nona itu," kata si pemuda itu," tentu
berisi harta permata. Mengapa nona hendak meninggalkan
begitu saja ?" Gadis cantik itu tertawa sendu, "Jiwa dan harta hanyalah
barang pinjaman. Sedang jiwaku saja belum tahu
bagaimana jadinya nanti, mengapa aku harus mengurusi
harta benda?" "Tetapi tidakkah peti itu akan diambil orang?"
"Terserah," jawab nona cantik itu dengan tak acuh,
"harta itulah yang mencelakai aku. Karena tahu aku
membawa harta maka perampok itu lalu menghadang dan
membunuh orang-orangku. Tanpa harta, aku lebih aman."
"Ah, siapa bilang" Nona seorang gadis cantik, berbahaya
berjalan seorang diri."
"Bukankah sudah kukatakan. Aku sudah bersedia mati
daripada ternoda?" "Nona tidak boleh begitu. Paling tidak nona harus
membawa bekal untuk perjalanan."
"Jangan terlalu memandang harta sebagai yang paling
berkuasa. Lihat, sedangkan raja Beng yang berkuasa dan
kaya raya, toh juga hancur berantakan karena diserang
musuh, apalagi diriku seorang rakyat kecil."
Pemuda itu tertegun mendengar si nona mengatakan
tentang nasib kerajaan Beng.
"Apakah masih ada pertanyaan lagi?" tanya si nona
tetapi pemuda itu masih terlongong-longong seperti
kehilangan sesuatu. Mengira kalau pemuda itu tak mengacuhkan, gadis
cantik itupun ayunkan langkah lagi.
Pemuda itu masih terngiang-ngiang akan kata2 gadis
tadi, "raja Beng yang berkuasa dan kaya raya toh akhirnya
juga hancur berantakan . . . . "
"Benar, nasib manusia memang sukar diduga. Dulu raja,
sekarang gelandangan. Dulu kaya sekarang papa . . . , "
bisiknya seorang diri dengan berlinang-linang airmata.
Sekonyoug-konyong ia terhenyak kaget ketika
mendengar suara aum harimau dan jerit seorang wanita.
Itulah gadis tadi, pikirnya. Dan cepat diapun lari menuju
kearah suara itu. Hari itu belum terlalu gelap dan serentak pemuda itupun
segera melihat suatu pemandangan yang mengerikan.
Seekor harimau tengah menghampiri seorang gadis yang
menggeletak pingsan di tanah. Dan gadis itu tak lain adalah
si nona cantik tadi. Hanya selangkah lagi harimau itu tentu
sudah menerkam si gadis. Pemuda itu serentak berseru, "Jangan mengganas,
binatang!" - seraya ayunkan sebuah hui-hong-ciok.
Harimau terkejut dan berpaling sehingga mukanya
selamat tetapi telinganya terhantam batu itu. Harimau
meraung kesakitan lalu menerjang pemuda sasterawan.
Ngeri rasanya melihat taring dan cakar harimau yang
sedang marah itu. Namun pemuda itu sudah tak sempat
lagi memikirkan segala rasa ketakutan. Serentak dia
taburkan dua buah hui-hong-ciok. Krak, krak, terdengar
letupan benda keras yang pecah. Sepasang biji mata
harimau itu pecah berhamburan dan meraunglah binatang
itu dengan dahsyatnya. Sakit dan buta menyebabkan harimau itu kalap tak
keruan. Dia menerjang dan terus menerjang kemuka dan
akhirnya terpelanting jatuh ke dalam jurang, hancur lebur.
Pemuda itu pejamkan mata. Setelah bayang2 yang
mengerikan itu lenyap, barulah dia membuka mata dan
menghampiri ketempat si gadis yang masih pingsan.
Timbul rasa kasihannya terhadap gadis yang malang itu.
Segera ia mengangkatnya dan diletakkan dibawah pohon
lalu mengambil obat dan memasukkan sebutir pil ke mulut
si gadis. Agar dapat masuk, terpaksa pemuda itu meniup
dengan mulutnya. Kemudian ia mengurut-urut dada dan
tubuh gadis itu. Adegan terulang. Kalau tadi si gadis yang mengobati dan
menunggu pemuda sasterawan. Sekarang pemuda itu yang
mengobati dan menunggui si gadis.
Tak berapa lama, gadis itu merintih dan ini buka mata.
"O, engkau sudah siuman, nona?" seru pemuda itu
gembira. "Apakah kita berada di alam baka?" tiba si gadis itu
berkata. Pemuda sasterawan tertawa, "Tidak, nona, kita masih
hidup," "O, tetapi bukankah harimau itu sudah menerkam aku?"
"Hampir tetapi aku keburu datang dan menghalaunya.
Engkau hanya pingsan."
Gadis itu tampak mengulum-ngulum bibir, serunya,
"Mengapa lidahku terasa manis dan harum?"
Pemuda itu tertawa pula, "Kuberimu minum sebutir pil
Cian-lian-jin-som yang berkhasiat menambah tenaga dan
semangat." "Tetapi aku pingsan, bagaimana mungkin aku dapat
menelan?" "Kutiup dengan mulutku lalu kuurut dadamu."
"Apa?" serentak gadis itu melonjak bangun dan
menuding, "engkau pemuda kurang ajar tak tahu adat!
Berani benar engkau berbuat sedemikian tak senonoh!"
"Tetapi aku bermaksud hendak menolongmu."
"Tidak! Siapa yang minta engkau menolong aku! Ayo,
pergilah!" "Sabar nona," pemuda itu membujuk, "demi ingin menolong jiwa nona, terpaksa aku menggunakan cara mulut meniup ke mulut supaya pil itu bisa masuk. Maafkan aku." "Tidak! Tidak ada maaf-maafan!" bentak gadis cantik itu dengan wajah merah padam, "engkau pemuda brandal berani mengganggu isteri orang, enyah!" "O, maaf, nyonya .... "
"Ngaco belo!" bentak gadis cantik itu dengan muka
makin merah, "siapa yang engkau sebut nyonya?"
"Bukankah engkau mengatakan sudah bersuami?"
"Siapa bilang" Aku kan mengatakan sebagai isteri orang,
bukan bersuami?" gadis itu sengaja membalas kata2
pemuda itu tadi bahwa pemuda itu hanya bertujuan
memberantas perampok tetapi tidak bermaksud menolong
dia. "Hai, apa beda menjadi isteri orang dengan sudah
bersuami?" pemuda sasterawan itu makin kerupukan.
"Namanya saja berbeda, masakan kenyataannya tidak
berbeda." "Coba engkau terangkan!"
"Aku belum bersuami tetapi aku menjadi isteri orang,
karena sejak kecil aku sudah dijodohkan, mengerti?"
"O, engkau sudah ditunangkan. Kalau begitu engkau
harus mengatakan calon isteri orang."
"Calon atau tidak, itu sama. Adat kita, ditunangkan
artinya sudah menjadi isteri, hanya upacara pernikahannya
yang belum. Andaikata dia meninggal, akupun disebut
janda. Eh, mengapa engkau masih tak mau pergi?"
Pemuda itu menyeringai dalam hati. Bermula ia
mengira. kalau gadis itu sudah berobah haluan, tak tahu
kalau masih bersikap getas.
"Aku tak bermaksud apa2 kecuali hanya hendak
menolong engkau. Dan akupun tak tahu kalau engkau
sudah mempunyai tunangan, maafkan,'' habis berkata
pemuda itu terus ngeloyor pergi.
"Tunggu," tiba2 gadis itu berteriak.
"Eh, apakah engkau masih hendak bertanya lagi
kepadaku?" "Engkau minta maaf tetapi aku belum menyatakan
menerima atau tidak, mengapa engkau terus pergi?"
"Uh, apakah orang minta maaf harus tunggu jawaban?"
"Tentu," sahut si gsdis, "kalau orang sudah menjawab
menerima baru itu sah. Tetapi kalau belum menjawab, itu
belum sah." "Uh," pemuda itu mendesuh, "lalu apakah engkau mau
memberi maaf kepadaku?"
"Itu terserah kepadamu sendiri."
"Eh, apa maksudmu?"
"Tadi waktu engkau pingsan, aku juga menolongmu
tanpa bermaksud apa". Tetapi engkau marah2 dan
mengusirku . . . . "
"Karena engkau menyentuh tubuhku."
"Mengapa engkau juga berani memegang tubuhku
bahkan berani menyusupkan pil dengan . . . . " merahlah
muka gadis itu. "Aku tak tahu kalau engkau sudah ada yang punya."
"Aku juga tak tahu kalau engkau mempunyai pantangan
begitu." "Aku tidak bermaksud hendak mencelakaimu?"
"Uh," pemuda itu mcndesuh dalam hati. Ia heran
mengapa tadi gadis itu bersikap amat lemah lembut tetapi
kini berobah getas. Membayangkan bagaimana tadi dia juga
ketus terhadap gadis itu, ia menghela napas.
"Baiklah, maafkan atas sikapku yang kurang sopan
kepadamu tadi," akhirnya ia mengakui kekasarannya.
"Tidak perlu engkau minta maaf."
"Mengapa?" "Karena akupun sekarang ini juga bersikap keras
kepadamu. Jadi sudah lunas, tak ada yang berhutang. Tak
perlu maaf memaafkan."
"Baiklah," kata pemuda itu, "apakah sekarang engkau
tetap hendak mengusir aku?"
"Hutan ini bukan milikku, engkau bebas mau pergi atau
tidak." "Ah, lupakan peristiwa yang tadi, mari kita bicara secara
baik'." "Baik," kata gadis itu dengan nada berobah ramah juga,
."apa yang in-kong hendak tanyakan:'"
"Eh, mengapa engkau menyebut-nyebut in-kong "
Bukankah engkau sudah setuju untuk melupakan peristiwa
tadi ?" Gadis itu tersenyum. "Kita belum berkenalan. Siapakah namamu?" tanya si
pemuda. "Aku Han Bi Giok. Dan anda ?"
"Aku orang she-ganda Wan-ong, nama Kui."
"Ih," gadis itu mendesis, "aneh juga nama itu."
"Entahlah, itu pemberian orangtua," kata si pemuda
dengan tersenyum dalam hati, "engkau dari mana dan
hendak kemana ?" "Dulu aku tinggal di San-se, tetapi setelah tentara Ceng
menyerbu, rumahtanggaku berantakan dan sesarang aku
hendak ke gunung Lou-hu-san."
"Senasib." kata pemuda itu menjawab pertanyaan si
gadis, "aku juga tak punya rumah tangga yang tetap. Aku
seorang pengembara."
Kemudian pemuda itu bertanya pula, "Apa kah
maksudmu hendak ke Lou-hu-san ?"
'"Sebelum kota diserang musuh, ayah suruh aku beserta


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bujang2, menuju ke rumah calon suamiku."
"O, bolehkah aku tahu siapa nama calon suami nona itu
?" "Entah siapa namanya."
"Nona belum tahu namanya ?"
"Belum." "Belum pernah berjumpa ?"
"Belum." "Lalu siapa yang akan nona temui nanti ?"
"Putera dari Kim Thian Cong tayhiap."
"Apa " Putera Kim Thian Cong ?"
"Ya." "Ohhhhh," tiba2 pemuda itu mendesuh kejut, "apakah
bukan yang bernama Blo'on itu ?"
"Kata orang memang begitu," kata gadis itu, "tetapi
entahlah, aku belum tahu jelas."
"Kalau putera Kim Thian Cong, memang hanya Blo'on
itu." "Engkau kenal dia ?" tanya si gadis.
Pemuda itu merah mukanya, "Kenal sih belum
tetapi......" "Tetapi bagaimana?" gadis itu terbeliak.
"Kupernah dengar cerita orang, bahwa dulu dia pemah
dipungut sebagai menantu baginda Ing Lok. Tetapi entah
hagaimana dia terus minggas dari kotaraja."
"O, benarkah begitu ?" Bi Giok terkejut.
"Kalau engkau ke kotaraja Pak-khia, engkaui tentu akan
mendengar tentang peristiwa itu."
Bi Giok termenung beberapa saat, "Tetapi ayah
mengatakan bahwa sejak dalam kandungan aku sudah
dipertunangkan dengan putera Kim Thian Cong."
"Siapakah nama ayah nona ?"
"Maaf, aku harus memegang janji kepada ayah untuk
melakukan pesan beliau supaya tidak memberitahukan
namanya kepada orang," Kata Bi Giok, "hanya dia pernah
menolong Kim tayhiap dan sebagai balas budi maka Kim
tayhiap mengadakan perjanjian dengan ayah. Itu waktu
ibuku sedang mengandung aku dan isteri Kim tayhiap juga
sedang mengandung. Kelak apabila ibu melahirkan anak
perempuan dan isteri Kim tayhiap anak lelaki, atau ibu
melahirkan anak laki dan isteri Kim tayhiap melahirkan
anak perempuan, maka keduanya akan dijodohkan."
"Apakah Blo'on sudah tahu hal itu ?" tanya VVan-ong
Kui. "Entahlah," jawab Bi Giok, "tetapi aku sendiri setelah
kota terancam bahaya, barulah ayah memberitahukan hal
itu dan suruh aku mencari calon suamiku ke Lou-hu-san."
VVan-ong Kui diam termenung-menung. Hatinya timbul
pertentangan yang hebat. Hal itu tampak dari seri wajahnya
yang sebentar tegang sebentar pucat.
"Mengapa engkau diam saja ?" tiba2 Bi Giok menegur.
Wan-ong Kui menghela napas, "Perjalanan ke Lou-husan
amat jauh dan suasana disana rusuh, tidakkah amat
berbahaya apabila nona melakukan perjalanan seorang diri
?" "Ayah telah menunaikan Tiong (setya) kepada negara.
Akupun harus melaksanakan Hau (bakti) kepada orangtua.
Walaupun berbahaya perjalanan itu, aku tetap akan
menempuhnya. Mati hidup ditangan Tuhan,'' sahut Bi
Giok. Pemuda itu mengangguk-angguk dan dalan hati memuji
pendirian Bi Giok. Kemudian ia berkata, "Aku seorang
kelana, tiada sanak tiada keluarga, tiada rumah tiada
negara. Apabila nona tidak menolak, aku bersedia untuk
mengantarkan nona ke Lou-hu-san."
"In-kong....!" Bi Giok berteriak tegang. Dia tak
menyangka kalau pemuda yang semuda begitu getas
sikapnya, ternyata mau mengantarkannya. Serta merta
diapun berlutut menghaturkan terima kasih.
"Ah, janganlah engkau bersikap sedemikian merendah,
nona, "Wan-ong Kui memintanya supaya bangun, "kita
telah sama2 menolong dan sama2 senasib pula. Dan
memang menjadi watakku, sekali menolong aku harus
menolong sampai selesai."
"Tetapi....." tiba2 Wan-ong Kui mengerut alis.
"Mengapa ?" 'Tidakkah calon suamimu nanti akan marah apabila
melihat engkau bersama aku seorang pemuda yang tak
dikenalnya?" Bi Giok merenung sejenak lalu berkata, "Bagaimana
kalau kita mengaku sebagai engkoh adik?"
"Bagus," seru Wan-ong Kui, "tetapi bagaimana dengan
calon suamimu si Blo'on nanti?"
"Akan kukatakan bahwa engkau engkoh misanku,
masakan dia tahu." "O, baiklah," akhirnya Wan-ong Kui menerima. Mereka
lalu merundingkan bagaimana rencana dalam perjalanan.
Wan-ong Kui mengatakan bahwa ketiga peti berisi harta
permata itu harus dibawa. Untuk sementara akan diangkut
oleh si Putih. Nanti setiba di kota akan membeli kereta.
Malam itu mereka terpaksa bermalam di hutan.
Keesokan harinya, Bi Giok minta bantuan Wan-ong Kui
untuk bersama-sama mengubur mayat bujang2
pengiringnya. Setelah itu mereka lalu melanjutkan perjalanan. Mereka
berhenti di sebuah desa kecil untuk mengisi perut. Tetapi
karena desa itu tak ada kereta, merekapun melanjutkan
perjalanan lagi. Menjelang petang mereka masih belum menemukan
perumahan penduduk. Bi Giok mengeluh malam itu tentu
akan tidur di hutan lagi.
"Tuh, lihatlah, dikejauhan sebelah muka itu Apakah itu
bukan gunduk rumah ?" tiba2 Wan-ong Kui berseru.
Han Bi Giok memandang ke arah yang di tunjuk Wanong
Kui, "O, benar. Tetapi mengapa gentengnya berwarna
merah ?" "Kalau tak salah, rumah yang beratap merah biasanya
sebuah biara atau kuil. Mari kita percepat langkah. Kuil
kek, pagoda kek, asal dapat dibuat tidur, jadilah," kata
Wan-ong. Tetapi walaupun mempercepat langkah, karena harus
mendaki sebuah bukit dan kemudian menuruni sebuah
jalan yang merentang panjang tiba di tempat itu haripun
sudah gelap. Ternyata gunduk hitam itu memang sebuah
pagoda yang sudah rusak. "Berhenti, Giok-moay," bisik Wan-ong Kui "engkau lihat
benda yang berada di tengah halaman muka pagoda itu ?"
"Ya," sahut Bi Giok, "seperti sebuah patung."
"Bukan patung tetapi manusia. Kalau menilik
dandanannya seperti seorang persilatan. Entah mengapa dia
duduk diam seperti besemedhi di tengah halaman pagoda."
"Lalu bagaimana langkah kita ?" tanya Bi Giok Wan-ong
Kui menyatakan lebih baik berhati-hati, "Kita sembunyi
dulu dibalik gerumbul pohon itu, melihat bagaimana gerak
geriknja." Keduanya segera bersembunyi.
II Satai tikus. Puing2 atap dan keping2 kayu lapuk, ranting dan daun2
kering yang gugur merupakan pemandangan dari pagoda
yang pernah menjadi kebangaan rakyat di kota Su-ciu
selatan. Pagoda itu juga pernah mempunyai nama yang
cemerlang yakni Sui-kong-tha atau pagoda Cahaya Indah.
Terdiri dari tujuh tingkat. Pernah menjadi tempat yang
ramai dikunjungi orang. Tetapi kini keadaan pagoda itu sudah bobrok. Tingkat
yang teratas sudah ambruk. Dan sejak terdengar kabar
angin bahwa di tingkat ketujuh dari pagoda itu muncul
seorang mahluk siluman, orangpun takut untuk datang.
Jangankan malam, siang haripun sunyi sekali.
Tetapi hari ini datanglah seorang pengunjung yang aneh.
Orang itu duduk santai di halaman pagoda. Kalau tidak
dipandang dengan teliti, mungkin dikira sebuah patung
penghias pagoda itu. Umurnya masih muda sekali, paling banyak baru 20-an
tahun. Wajahnya sih lumayan walau pun tak pernah
dirawat. Tetapi pakaiannya kumal2 dan kotor. Eh, dia
pakai penutup kepala dari kain. Modelnya seperti seorang
pendekar kesiangan. Yang lebih aneh lagi adalah rambutnya. Biasanya kalau
sudah ditutup dengan kopiah atau kain penutup kepala,
tentulah rambutnya tak kelihatan. Tidak demikian dengan
orang aneh itu. Kain penutup kepalanya berlubang dua,
kanan kiri diatas dahinya. Dan dari kedua lubang itu
menonjol keluar sepasang rambut mirip kuncir, mirip
tanduk. Sepintas pandang dia tentu dikira seorang
pengemis. Disampingnya terletak sebuah tongkat pendek. Tongkat
itu menggeletak tak bergerak di tanah. Tetapi orang itu
lebih tak bergerak dari tongkatnya. Dia benar2 seperti
sebuah patung atau manusia yang jadi patung.
Mungkin dia sudah cukup lama duduk mematung di
halaman pagoda itu. Entah siapakah dia dan apakah
gerangan maksudnya duduk di halaman pagoda tua yang
sunyi seperti kuburan itu.
Sedemikian rupa orang aneh itu duduk mematung
sehingga seekor tikus tak tahu kalau dia itu seorang mahluk
hidup dan berani menghampiri bahkan merayap ke
tubuhnya. Pada saat berada dikaki orang itu, tikus berhenti sejenak
dan memandang keatas. Rupanya binatang itu cerdik juga.
Dia hendak memastikan apakah benda yang hendak
dirayapi itu, manusiakah atau patung. Mungkin tikus itu
juga heran. Sebagai tikus dia tentu juga numpang tinggal di
rumah orang dan tentu sering melihat bangsa manusia.
Tentulah tikus itu berpikir, "Ah, menilik mukanya, ini
seperti manusia tetapi mengapa diam seperti patung ?"
Rupanya tikus itu juga sering berkeliaran atau bahkan
penghuni dari pagoda tua itu sehingga dia faham juga apa
yang disebut arca atau patung.
Setelah bercuit-cuit seperti untuk memastikan
dugaannya, karena kalau manusia tentu akan segera
berteriak atau bergerak memukul apabila mendengar suara
tikus bercuit, maka ia tentu sudah menarik kesimpulan,
"Ah, jelas ini bukan manusia. Atau kalau manusia tentu
manusia yang sudah mati. Takut apa ?"
Dengan penilaian itu maka si tikuspun mulai berani
merayap naik. Mungkin karena yakin orang itu kalau bukan
patung tentu seorang manusia mati, tikus itu legah hatinya.
Rupanya sudah lama tikus itu tak berjumpa dengan
manusiau atau patung manusia. Karena sejak bertahuntahun
pagoda itu tak pernah d kunjungi orang. Patung2 pun
rusak dan hancur. Kali ini rupanya dia hendak memuaskan
noltalgia atau kerinduannya terhadap bangsa manusia.
Karena tiada makanan, kawanan tikus di pagoda itu
sering ngluruk mencari makan ke rumah penduduk yang
tinggal jauh dari tempat itu. "Uh bangsa manusia memang
jahat. Jangankan ia memberi, bahkan sisa2 makanan
mereka saja kalau kita makan, mereka ngamuk. Pada hal
tuh ada beberapa orang yang tinggal di rumah gedung
besar, gudangnya penuh dengan beras. Dia gemuk isteri dan
anak2nyapun gemuk, anjing dan kucingnya juga gemuk.
Tetapi bujang2nya kurus2. Aneh mengapa orang kaya itu
lebih menyukai binatang peliharaannya anjing dan kucing,
daripada terhadap bujang-bujangnya " Bukankah bujang
dan pelayan itu juga bangsa manusia seperti dia ?"
Demikian kawalan tikus itu mengadakan rapat untuk
mengatur langkah bagaimana mengatasi bahaya kelaparan
yang mengancam mereka. Mereka memutuskan karena
pagoda sudah tak ada makanan, maka harus berburu
mencari makan ke rumah penduduk. Mereka memecah diri
menjadi beberapa kelompok untuk masuk kota. Waktu
pulang mereka berkumpul lagi menceritakan pengalaman
masing2. Diantaranya tentang keadaan seorang tuan tanah
kaya yang dikatakan lebih suka anjing dan kucingnya
gemuk dari padra bujang-bujangnya.
"Kita serbu saja manusia semacam itu," kata seekor tikus
yang masih muda. "Serbu sih boleh saja," kata tikus yang tua, "tetapi
bagaimana dengan kucing2 itu ?"
"Tak perlu takut," kata seekor tikus jantan yang bertubuh
besar, "kucing2 itu sudah gemuk, mereka tentu tak ingin
makan kita lagi. Kalau kucing2 itu berani mengejar kita,
kita lawan saja. Asal tikus bersatu, masakan kucing berani.
Kucing orang kaya tentu tak berani mati karena hidupnya
enak . . . ." Demikian terjadi penyerbuan kawanan tikus ke rumah
orang kaya itu. Memang panik orang kaya itu tetapi dia
dapat menyuruh orang mengadakan pembasmian.
Akhirnya banyak tikus yang mati. Sejak itu kawanan tikus
di pagoda yang jumlahnya tinggal sedikit itu tak berani lagi
mengatakan petualangan yang berbahaya.
Kembali kepada tikus yang tengah merayap di pangkuan
orang aneh itu. Dia termasuk tikus yang jarang melihat
manusia dan. sudah mendapat pelajaran dari tikus2 tua
tentang peristiwa serbuan ke gedung orang kaya, "Kalian
harus ha-ti2. Jumlah kita hanya tinggal sedikit, jangan
sampai habis mati semua," kata tikus tua itu.
Tikus itupun hati2 sekali. Setelah mencicit, diapun
mendengus-dengus untuk membau, "Uh, baunya apek
seperti aku," pikirnya "tentu bukan manusia hidup."
Dia gembira sekali. "Kali ini aku hendak memuaskan
hati untuk menjelajah tubuh manusia. Kawan2 mengatakan
belum pernah menyentuh tubuh orang karena begitu
melihat tikus kalau orang itu perempuan, dia menjerit.
Tetapi kalau orang lelaki tentu terus menggebuknya. Tetapi
kali ini aku mendapat kesempatan. Akan kuberitakan
kepada kawan2ku, bagaimana sebenarnya perut, dada, leher
dan muka manusia itu. Mereka tentu kagum dan memuji


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku ....," pikir tikus itu.
Biasanya tikus tentu merayap dari samping entah dari
lengan lalu ke bahu, entah dari punggung terus ke kepala.
Tetapi tikus itu sengaja hendak melakukan penjelajahan
yang istimewa. Dia merayap melalui perut, dada lalu muka
orang aneh itu. Waktu tikus itu merayap ke perut, orang itu menyeringai
menahan geli. Untung tikus tak melihatnya, "Ah, betapa
besar dan luas perut manusia itu," kata si tikus. Kemudian
timbul pikirannya, "kata para tikus tua, daging manusia itu
juga enak. Ya, mengapa tak kurasakan sekarang" Sekalian
dapat kuketahui bahwa orang ini masih -hidup atau sudah
mati. Kalau masih hidup tentu berdarah . . . . "
"Aduh mak . . . , " orang aneh itu menjerit dalam hati
ketika perutnya dikerikiti tikus itu. Rasanya sakit2 keri,
lebih keras dari orang yang digigit semut. Orang aneh itu
menyengir seperti kuda tertawa, hatinya seperti dikitik-kitik.
"Ini pengalaman baru. Rasanya orang di seluruh dunia
ini tentu belum tahu rasanya bagai mana kalau perut
dikerikiti tikus. Biarlah, aku memang hendak mencari
pengalaman yang manusia belum pernah merasakan,"
akhirnya ia menghibur diri dan menguatkan hatinya untuk
menahan siksaan itu. "Ih, mengapa keras sekali?" tikuspun heran ketika
mendapatkan perut orang aneh itu keras sekali.
Tikus tak tahu apa sebabnya. Bahkan orang itu sendiri
juga tak mengerti apa sebabnya gigi tikus yang tajam itu tak
dapat melukai perutnya. Dia hanya merasa keri lalu
menyeringai dan kencangkan perutnya, eh, tahu2 perutnya
menjadi sekeras batu. Sebenarnya hal itu hanya dapat
dilakukan oleh seorang tokoh silat yang memiliki ilmu
tenaga-dalam yang sakti. Tetapi anehnya, orang aneh itu
tak merasa memiliki ilmu tenaga- dalam. Rupanya tikus itu
bosan. Dia lalu merayap naik lagi keatas, sampai ke bagian
dada. Tiba2 ia melihat segunduk benda yang menonjol,
ujungnya mrentil kecil sebesar kedelai, "Kaya puncak
pagoda," pikirnya. Tertarik ingin tahu apa benda itu, tikuspun
menghampiri, "Ya, mungkin ini biji kedelai juga, pikirnya
pula lalu mulai digigitnya.
"Aduh mak . . . . " orang aneh itu menjerit dalam hati
ketika puting buah dadanya digigit si tikus bengal itu. Kali
ini rasanya lebih sakil dari waktu perutnya dikerikiti tadi.
Ingin rasanya dia menampar tikus itu. Ingin rasanya dia
terus melonjak bangun. Tapi pada lain saat, dia teringat,
"Kali ini Liok sumoay menganjurkan aku supaya keluar ke
dunia persilatan untuk merebut sebuah kitab pusaka yang
amat penting sekali. Kalau kitab itu sampai jatuh ke tangan
orang jahat, dunia persilatan pasti akan kiamat. Tugas itu
penting tetapi penuh bahaya sekali. Nah, kalau puting
susuku digigit tikus saja aku tak tahan, mana aku dapat
menghadapi bahaya di medan pertempuran?"
Dengan pemikiran itu dia menggigit gigi sekencangkencangnya
untuk menahan derita sakit yang tiada
kepalang, "Pengalaman ini juga istimewa. Orang dalam
dunia tentu tak ada yang pernah mengalami, membiarkan
puting susunya digigit tikus," pikirnya pula.
Aneh tapi nyata. Begitu orang aneh itu mengeraskan hati
untuk menahan sakit, tikus itupun terkejut - karena
mendapatkan puting susu orang itu kerasnya bukan main,
seperti besi. Gigi dan taringnya yang tajam terasa kesakitan,
"Ah, keras, tak enak lagi," pikir si tikus lalu hentikan
gigitannya. Dia terus merambat ke leher, "Mati aku," keluh hati
orang aneh dan hampir saja dia tak kuat menahan gelinya.
"Eh, apa-apaan ini" Kok ada benda seperti buah
kelengkeng. Apa saja isinya" Mungkin enak," pikir si tikus
lalu mulai menggigiti. "Aduh pak . . . ., " orang aneh Itu menjerit dalam hati. Ia
ingin cari variasi. Tak mau menyebut "aduh mak" tetapi
'aduh pak '. Tak adil kalau hanya mak saja yang disambati.
Pak, seharusnya juga menerima keluhan.
Ternyata yang digigiti si tikus itu adalah jakun atau buah
kerongkongan (kalamenjing) orang itu. Kali ini mau tak
mau orang aneh itu harus menelan airliur sehingga
jakunnya mondar-mandir turun naik. Melihat itu tikus
makin gembira. Dikiranya dia mendapat permainan yang
lucu. Maka diapun menubruk ke atas, menerkam ke
bawah." "Tikus keparat! Masakan kalamenjing dibuat main bola,"
orang aneh itu tak kuat lagi menahan siksa geli dan sakit.
Dia hampir gerakkan tangannya tetapi tiba2 lain pikiran
melintasi pula, *'huh, mau jadi pendekar segala!
Kalamenjing digigit tikus saja sudah tak tahan, pendekar
apa itu?" Dia mengangguk dalam hati, "Mungkin beginilah cara
seorang pendekar itu digembeleng. Dan lagi memang
pengalaman ini tentu tak pernah dialami orang di dunia
kecuali aku." Dia terus mengertek gigi untuk memperkencang
lehernya, menahan sakit. Eh, lagi2 terjadi. Begitu dia
keraskan hati dan kencangkan urat, tikus itupun segera
berhenti menggigit. Seperti waktu menggigit perut dan
puting susu, kali ini tikus itupun tak dapat menggigit
kalamenjing orang aneh itu karena tiba2 kalamenjing itu
berobah sekeras batu. Tikus itu merayap lagi keatas lagi. Kali ini dia melihat
sehelai benda yang lebar seperti daun, "Eh, kok ada liang
seperti gua kecil. Akan kulihat, kalau memang sesuai, akan
kujadikan sarangku," pikir si tikus. Dia terus menghampiri
benda lebar itu. "Aduh, kong . . . , " kembali orang aneh itu merintih
kepada engkongnya. Tikus itu merayapi daun telinganya
dan huh, kurang ajar benar.
Orang aneh itu hampir menjerit ketika kumis tikus
menusuk lubang telinganya. Memang tidak sakit tetapi
kerinya bukan kepalang. Rasa geriming yang menggetarkan
uluhatinya menyebabkan ia mengerahkan tenaga untuk
menahan dan eh, aneh, tahu2 daun telinganya itu dapat
mengatup sendiri. Bukan hanya mengatup biasa tetapi
seperti menampar si tikus sehingga binatang kurang ajar itu
menyurut mundur dan lari ke pipinya. Tikus jtu juga
terkejut dan kesakitan. Setelah berhenti sejenak, tikus itu tampaknya melihat
dua buah benda yang aneh bentuknya pada muka orang
aneh itu. "Kok seperti lemari rebah. Tetapi mengapa diatas lemari
rebah itu terdapat rumput kecil2 dan sebatang pohon," pikir
tikus nakal itu seraya melayap menghampiri.
"Mungkin dalam lemari rebah ini masih ada sisa
makanan," kata si tikus sendiri dan dia coba2 hendak
membuka lemari rebah yang terkancing rapat itu.
"Bangsat, mengapa dia menyingkap-nyingkap bibirku,"
orang aneh itu bersungut-sungut dalam hati, "uh, kurang
ajar, dia mengkerikiti gigiku, aduh, aduh, linunya . . . . "
Ternyata tikus itu memang menyingkap bibir orang aneh
itu dengan moncongnya yang runcing. Setelah tersingkap
dia lalu menggigit gigi orang itu, "Wah, lumayan, masih
ada sisa tulang ayam . . . . , " kata tikus itu.
"Wah, celaka, kalau kubiarkan, bisa ompong nanti
gigiku," orang aneh itu akhirnya menggertek gigi kencang2
untuk menahan gigitan si tikus.
"Setan," gerutu si tikus, "masa tulang ayam kerasnya
begini rupa. Ah, mungkin batu nih."
Tikus itu hentikan gigitannya. Ketika memandang
keatas, ia terkejut, "Lho, mengapa di bawah akar pohon itu
terdapat dua buah liang. Tetapi mengapa liang itu kecil"
Liang semut barangkali?"
Namun tikus itu ingin melihat juga. Ia naik keatas mulut,
"Lho, ini juga aneh, mengapa semak rumput ini berwarna
hitam" Coba kurasakan bagaimana rasa rumput hitam itu
.... " Ternyata yang dimaksud dengan rumput hitam itu tak
lain adalah kumis orang aneh yang tumbuh pendek.
"Aduh, aduh .... memang sialan tikus ini," orang aneh itu
menyengir seperti muka setan waktu kumisnya yang pendek
itu ditarik-tarik mulut tikus. Sakit2 pedas rasanya. Serentak
ia kencangkan mulut untuk menahan rasa sakit. Eh, tikus
itupun terus berhenti. "Lho, kalau rumput mengapa keras begini rupa. Ini mirip
kawat, sialan . . . ," tikus itu menyumpah-nyumpah dan
hentikan gigitannya. Ia menengadah memandang keatas,
"Ih, silir sekali, lubang itu mengeluarkan angin," katanya.
Ia merayap naik dan merasa makin silir, "Uh, mengapa
anginnya berbau tak enak?" katanya pula, "o, mungkin
didalam liang itu terdapat ikan atau makanan. Akan
kumasuki ..." Ia terus menyusupkan moncongnya kedalam lubang
hidung orang aneh itu. Sudah tentu kepalanya tak dapat
masuk namun tikus itu masih berusaha untuk memutarmutar
kepalanya agar dapat masuk. Tetapi yang masuk
bukan muka melainkan kumisnya. Dan karena kumis tikus
itu diputar-putar maka . . .
"Ah . . ah . . ah . . jingngngngng . . Mana tahaaannn . . . !
" Lubang hidung itu memang peka sekali. Betapapun
orang aneh itu berusaha untuk menahan pernapasan tetapi
karena lubang hidung dikili-kili dengan kumis, buyarlah
pertahanan napas orang itu. Bagaikan gunung meledak
maka diapun ber-bangkis sekuat-kuatnya.
Jika orang biasa yang berbangkis, paling2 tikus itu tentu
akan terkejut atau terpelanting jatuh. Tetapi orang aneh itu
memang luar biasa. Angin dan air hidung yang
dimuncratkan, luar biasa sekali. Tikus itu meraya seperti
dilanda oleh badai prahara yang dahsyat. Dia mencelat
sampai beberapa meter terbanting di tanah dan tak berkutik
lagi. Pemuda Wan-ong Kui dan gadis cantik Han Bi Giok
menyaksikan peristiwa itu di tempat persembunyiannya.
Berulang kali Bi Giok hampir tertawa tetapi untung
mulutnya didekap oleh Wan-ong Kui. Tetapi ketika melihat
adegan yang terakhir dimana hidung orang aneh itu dikilikili
kumis tikus dan berbangkis, Wan-ong Kuipun tertawa.
Tetapi secepat itu pula Bi Giokpun mendekap mulutnya.
Dengan demikian tanpa disadari, kedua muda mudi itu
telah saling berdekapan mulut.
Mereka saling memandang dan tersipu-siput saling
melepaskan dekapannya, "St, Giok-moay, jangan tertawa,
lihatlah dia sudah pasang kuda-kuda lagi," bisik Wan-ong
Kui. Ternyata orang aneh itu merangkak, untuk mengambil
tikus yang sudah mati itu lalu ditaruhkan dibelakang. Disitu
sudah terdapat lima ekor tikus mati. Rupanya orang aneh
itu memang sedang berburu tikus. Tetapi aneh, mengapa
berburu tikus harus dengan mematikan diri seperti patung"
Demikian timbul pertanyaan dalam hati Bi Giok dan Wan
ong Kui. "Buat apa berburu tikus" O, apakah dia seorang
pengemis yang kelaparan?" Bi Giok dan Wan-ong Kui
saling berpandangan. Mereka tak berani bicara dengan
mulut melainkan dengan pandang mata. Mereka duga beberapa tikus itu tentu didapati orang aneh dengan cara yang lucu. Diam tertariklah
perhatian Bi Giok dan Wan-ong Kui untuk menyaksikan gerak gerik orang aneh itu. Kembali orang aneh itu duduk mematung Tak berapa lama. dari arah pagoda muncul seekor tikus. Tikus itu berlari-lari
menghampiri siorang aneh. Rupanya tikus itu memang
bangsa tikus cross-boy. Maklum, jaman kemajuan. Bukan
hanya manusia saja yang maju tetapi binatangpun
mengalami evolusi dan proses kemajuan. Siapa tahu besok
tikus itu akan sebesar kucing dan berbalik kucing yang takut
pada kucing. Tikus tidak disukai manusia dan diuber-uber.
Tentu mereka akan selalu meningkatkan daya pertumbuhan
fisik (ba dan) dan mentalnya untuk hidup. Tidak demikian
dengan kucing yang disayang dan dimanjakan orang, Badan
gemuk, malas dan tumpul mentalnya.
Tikus yang berlari-lari itu selekas tiba dibelakang si orang
aneh, tidak seperti tikus yang tadi masih bersikap hati2
untuk melihat, mencici dan mencium bau orang aneh itu,
tikus yang datang ini tanpa banyak upacara lagi, terus lonca
dan hinggap di tengkuk orang aneh.
"Aduh, mati aku....., " orang aneh itu menyeringai
kesakitan setengah mati ketika tengkuknya digigit si tikus.
Dia meregang dan menghimpun kekuatan untuk menahan
kesakitan. Eh tahu2 tikus itu berhenti menggigit. Dia
menyeringai, "Aneh, kerasnya seperti batu," kata tikus itu.
Tikus itu terus merayap keatas kepala, "Aha, pohon
cemara yang rindang," serunya dengan gempita lalu
melompat menggigit rambut yang menon jol keluar dari
lubang kain penutup kepala orang aneh itu. Kiranya yang
disangka pohon cemara itu tak lain adalah rambut aneh dari
orang itu. "Tikus bangsat....!" orang aneh itu menjerit dalam hati
ketika tikus itu tepat hinggap di atas hidungnya.
"Karena yang diterkam ujung rambut, maka ia telah
berhasil menggigit ujung rambut siorang aneh, ujung
rambut yang diganduli tikus itupun segera menjuntai
kebawah sehingga badan tikus itupun ikut nemplok di
gunduk batang hidung orang itu.
Saat itu dia benar2 sudah tak tahan lagi untuk segera
menampar tikus berandalan itu. Tetapi pada lain saat dia


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teringat, "Ho, engkau mau ingkar pada sumpahmu "
Bukankah tadi waktu engkau hendak berburu tikus, engkau
sudah bersumpah tak mau membunuh dengan tangan dan
senjata tajam " Hayo, jangan mungkir . . . ! "
"Bangsaaaat....!" kembali dia memekik dalam hati ketika
batang hidungnya terasa "basah dan dialiri air. Waktu
singgah dekat lubang hidung, aduh-duh, baunya apek
sekali. "Rasain lu, ini gara2 ingin menjadi pendekar besar,
sampai2 muka dikencingi tikus," diam2 dia mengejek
dirinya sendiri. Dan serentak, dia teringat akan
pendiriannya pada waktu mulai hendak mengadakan
perburuan tikus, "Aku lebih besar dan lebih hebat segalagalanya
dari tikus. Kalau aku membunuhnya dengan
tangan dan senjata, sudah tentu menang. Tapi itu tidak adil
dan tidak pantas dilakukan oleh seorang pendekar besar.
Aku harus berani bersumpah untuk membunuh tikus tanpa
menggunakan tangan dan senjata...."
Apa boleh buat, dia harus terima nasib. Sudah
bersumpah harus dituruti, pikirnya.
Tiba2 ia rasakan tikus yang masih nempel di batang
hidungnya itu mulai bersiap-siap, "Eh rupanya dia hendak
melonjak keatas lagi. Mungkin hendak menubruk rambutku
lagi. Celaka kalau dia benar hendak menerkam ujung
rambut! dia tentu akan terayun kebawah lagi dan uh, uh
kali ini batang hidungku, tetapi bagaimana nanti kalau
sampai biji mataku yang di tempeli kakinya. Dan idihhh .. .
kalau dia sampai terkencing-kencing lagi, celaka mataku !"
Setelah bercuit-cuit, tikus kurang ajar itu ayunkan tubuh
loncat ke atas. Memang benar dugaan orang itu. Tikus itu
hendak menerkam untaian rambut yang disebelah kanan.
Tadi gandulan yang sebelah kiri, kini tikus itu hendak
mencoba yang sebelah kanan.
Orang aneh itu kerahkan semangatnya dan
pikirannyapun menghendaki agar rambutnya berobah keras
dan tegak kaku agar tikus itu jangan sampai terayun
kebawah lagi. Cit, cit, cit, ciiiiittttt .... ciiiiitttt . . . Tikus itu mencicit
sekeras-kerasnya ketika ia meloncat dan menerkam ujung
rambut orang itu dan tahu2 tertancap diujung rambut.
Ternyata rambut orang aneh itu tiba2 berobah sekeras
kawat berduri yang tajam sehingga tikus itu seperti
terpanggang. Orang itu terkejut ketika tikus berhenti bercicit. Dan
tiba2 rambutnyapun melemas, tikus terjatuh
bergelundungan menghantam dada dan jatuh tepat
dimukanya, mati ! "O, bukan salahku kalau engkau mati tikus" kata orang
aneh itu seraya menjemput tikus yang sudah mati itu.
Waktu memeriksa, dia berseru, "Ai, kasihan engkau.
Mukanya hancur lebur seperti tertusuk beribu jarum . .. ."
Kali ini dia berbangkit dan mengumpulkan tikus hasil
perburuannya, "Ah, sudah cukup, sudah genap tujuh ekor."
Dia terus membawa tujuh ekor bangkai tikus itu ke
belakang pagoda, Disitu terdapat sebuah aliran sungai kecil.
Setelah dikuliti, tikus2 itupun dicuci bersih. Ia membuat
tujuh batang tusuk untuk menusuk tujuh ekor tikus itu.
Kembali ke halaman pagoda, ia mengumpulkan rumput,
daun, ranting kering dan keping2 kayu lalu membuat api.
Ketujuh tusuk satai tikus itu dibakarnya. Ternyata dia
hendak membuat sate bakar tikus.
"Huak bau satai tikus yang bertebaran keempat penjuru
itu, sempat juga mencapai tempat persembunyian Bi Giok.
Nona itu mual dan terus hendak muntah, untung mulutnya
cepat didekap lagi oleh tangan Wan-ong Kui. Ia mengambil
sebutir pil dan dimasukkan kedalam mulut nona,
"makanlah obat penolak muntah ini."
Eh, rupanya orang aneh itu hendak disampingnya,
mengeluarkan beberapa cawan arak dan di jajar2 berkeliling
setiap cawan dengan lain cawan berjarak satu langkah.
"Ih, kalau mau pesta sendiri mengapa di menyediakan
delapan cawan arak ?" bisik Bi Gioi
"Entahlah, kita lihat saja," bisik Wan-on Kui.
Selesai menjajar cawan arak, dia mengambil poci arak
dan diletakkan dihadapannya. Eh, rupanya dia memang
membawa persediaan lengkap. Diambilnya piring besar dan
sebotol kecap, bawang dan berambang merah. Lebih dulu
mengambil ketujuh tusuk sate tikus, ditaruh dalam piring.
Kepala dan isi perut tikus sudah di potong dan
dibersihkan sehingga benar2 berupa hidangan sate bakar.
Lalu dituangi kecap, bawang dan berambang merah
dikupas dan diiris-iris. Asyik benar, seperti seorang
pedagang sate yang berpengalaman.
Ia mengambil setusuk sate yang sudah berlumuran kecap
lalu digigitnya sedikit, "Wah, enak llhooo ..,!"
Setelah selesai dengan kesibukannya mengatur pesta
perjamuan, ia menengadah memandang ke langit, "Huh,
rembulan sudah keluar, mengapa para tetamu itu masih
belum datang ?" Tiba2 dari belakang pagoda terdengar suara tawa yang
parau, "Heh, heh, sudah sejak tadi aku datang kemari!"
Sesosok tubuh muncul dari belakang pagoda dan
berjalan menghampiri ketempat orang aneh itu.
Ditingkah sinar rembulan yang terang, dapatlah
diketahui bahwa pendatang itu seorang lelaki tua bertubuh
kurus. Memakai kain penutup kepala, berjubah kelabu,
rambut alisnya jarang dan mata sipit. Dahinya penuh
keriput. Dia berlarian dengan membawa sebatang tongkat
yang aneh, terbuat daripada kayu pohon cendana.
Perawakan, wajah dan gaya lelaki itu memberi kesan
bahwa dia seorang setan arak yang sedang ketagihan
minum." Orang aneh itu tak terkejut, pun tak menghiraukan. Dia
masih enak2 mencampur sate dengan bumbu kecap seraya
berseru, "O, engkau Kolera-tua ?"
Lelaki tua itu tertawa mengekeh, "Ya."
"Duduklah." Kembali lelaki kurus tua itu tertawa mengekeh dan
duduk di 'meja perjamuan'. Waktu melihat di tanah telah
dijajar delapan cawan arak, dia bertanya, "O, apakah masih
ada lain tetamu yang engkau undang ?"
"Hm," dengus orang aneh itu.
Lelaki tua menyeringai sehingga giginya yang kuning
tampak merekah, "Kukira engkau hanya mengundang aku
seorang. Lalu siapakah yang enam orang itu?"
"Kawan-kawanmu."
Lelaki tua gelengkan kepala, "Aku tak punya kawan."
"Mereka sama dengan bidang pekerjaanmu. Warna pilih
warna, kelompok berkumpul dengan kelompok. Burung
gagak disini, juga sekawan dengan gagak dari lain daerah."
Wajah lelaki tua itu agak berobah, serunya,
"Siapakah....."
"'Manusia-pemakan-serigala Sebun Pa, Landak besi Ma
Hiong, Im pohpoh, Ang-hay-ji, Harpa-asmara Hoa Lan Ing
dan paderi Gemar-segala-apa," sahut orang aneh itu.
Kolera-tua kerutkan dahi, "Apakah mereka mau datang?"
"Seperti engkau, mereka pasti datang."
Kolera-tua deliki mata berseru, "Bagaimana engkau
dapat memastikan kalau aku tentu datang?"
"Apa sebab engkau mau datang?" orang aneh itu balas
bertanya. "Aku telah menerima sepucuk undangan dari seorang
kerucuk tak ternama. Tetapi dia memakai nama yang
menarik perhatian. Timbul keinginanku untuk mengetahui,
siapakah dia. Oleh karena itu aku perlukan datang kemari."
"Tepat," seru orang aneh itu, "merekapunn tentu juga
tergelitik hatinya untuk mengetahui. Seperti engkau,
mereka tentu akan datang tepat pada waktunya."
Lelaki tua yang bergelar Kolera-tua itu muIai menatap
wajah si orang aneh dengan penuh perhatian, kemudian
bertanya, "Siapa namamu?"
"Nama atau alias?"
"Nama." "Loan Thian Te." ( noot : Te, huruf e supaya dieja seperti
e dalam kata "ekor ' )
"Loan Thian Te?" ulang Kolera-tua.
"Hm." "Apakah ada she Loan itu?"
"Semua she, memang sebelumnya tidak ada lalu
diadakan. Semua buatan manusia."
"Apa artinya Loan?"
"Kacau atau mengacau."
"Gile," gumam Kolera-tua, "masakan orang memakai
she begituan." "Habis mau apa kalau sudah kodrat."
"Thian tentu berarti langit, bukan?"
"Ya." "Dan Te tentu berarti bumi?"
"Benar." "Thian Te berarti Langit dan Bumi atau dunia."
"Orang setua engkau masakan tak mengarti Thian Te."
"Lalu kalau Loan Thian Te itu dirangkai artinya . . . . "
"Dunia kacau atau Mengacau dunia, terserah pilih
mana." "Hm, edan," gumam Kolera-tua, "masakan orang
bernama begitu." "Kolera-tua itu apa juga nama yang lumrah."
"Itu kan gelar."
"Aku juga punya gelar."
"Engkau tadi mengatakan alias, sekarang bilang gelar.
Mana yang betul?" "Dua-duanya betul. Gelarku ya aliasku, liasku ya
gelarku." "Siapa gelar atau aliasmu?"
"HURU HARA." ''Hus, jangan gila-gilaanl" bentak Kolera-tua, "apa-apaan
gelar kok Huru Hara. Siapa yang memberi?"
"Aku sendiri. Terserah orang mau mengakui atau tidak."
"O, engkau menamakan dirimu Pendekar Huru Hara."
"Ya. Sebenarnya hanya Huru Hara saja. Tetapi kalau
orang mau memberi tambahan kata Pendekar, terserah.
Yang penting gelar itu sesuai sebagai alias dari namaku
yang aseli." "Coba katakan alasanmu, mengapa engkau memakai
gelar Huru Hara?" "Dunia kacau, negara timbul huru hara. Aku ingin
tenang, ingin kedamaian, pun dikejar huru hara. Daripada
dikejar huru hara dari penjajah Ceng dan kawanan
penjahat, pengacau dan perampok, lebih baik aku membuat
huru hara untuk mengejar mereka."
"Perlu apa engkau mengundang aku?"
"Demi memperlengkapi sarana berhuru-hara itu maka
kuundang kalian Tujuh-momok-pembunuh untuk
membantu usahaku." "Aku seorang pembunuh bayaran yang mahal.
Kemungkinan engkau tak kuat membayar permintaanku."
"Belum tentu," sahut orang aneh.
"Kolera hanya memandang uang, bukan orang."
"Belum tentu," sahut orang aneh.
"Lho. mengapa engkau mengatakan begitu. Coba
katakan apa maksudmu mengundang aku?"
"Sabar dulu. Tunggu setelah kalian bertujuh lengkap,
baru kukatakan." "Hm," Kolera-tua mendengus. Tiba2 matanya tertumbuk
pada sate bakar yang berada dalam panggang, "Apa itu?"
tegurnya. "Hidangan sate bakar."
"Satai apa?" "Tikus." "Edan engkau," seru Kolera-tua, "engkau hendak
menjamu tokoh2 besar yang engkau undang itu dengan
satai tikus?" Orang aneh mengangguk, "Habis, uangku hanya pas
untuk beli arak. Selain itu, daging tikus itu bukan daging
sembarangan. Satai tikus merupakan hidangan mewah yang
jarang terdapat di dunia. Satai tikus diiring arak, wah, enak
lhoooo.....!" --0odwo0-- Jilid: 2. Pinjam kepala, Mendengar ocehan si orang aneh, Kolera-tua melonjak
bangun. Ada sesuatu yang tersembunyi dibalik kata2 orang
aneh itu. "Ngaco !" bentaknya, "kalau tak memandang umurmu
masih muda, saat ini engkau tentu sudah kuhajar !" "
Habis berkata dia terus berputar tubuh dan ngeloyor pergi.
"Eh, datang lagi seorang," seru pendekar Huru Hara
seraya tersenyum, "apakah engkau tak mau menemui
kawan sekerja untuk ngobrol-ngobrol dulu ?"
Kolera-tua berhenti dan berpaling memandang kearah
utara. Dari arah itu tampak segulung sinar merah yang
terbang mendatangi. Dalam sekejab saja, sinar merah
itupun sudah tiba di muka pagoda.
Ternyata sinar merah itu adalah pakaian dari seorang
anak yang saat itu tegak berdiri di halaman pagoda.
Dikata 'anak' sebenarnya kurang tepat karena umurnya
sudah hampir 40 tahun. Tetapi kalau disebut orangtua, pun
kurang sesuai karena wajahnya tampak kekanak-kanakan.
Mungkin karena tubuhnya pendek kecil, pipi licin tidak
berkumis dan berjanggut, apalagi gemar memakai baju
merah, maka orang menyangkanya seperti anak. Juga ada
keistimewaan lain yalah, bahwa dia selamanya tak
memakai sepatu. Memang sukar untuk menyebut seorang mahluk seperti
dia. Anak atau orangtuakah " Paling-paling dikatakan saja
'bayi tua'. Melihat kedatangan orang itu, benar juga Kolera-tua
batalkan maksudnya hendak pergi. Dia segera tertawa
menyapanya, "Ang Hay Ji, sudah lama kita tak ketemu !"
Anak tua baju merah itu ternyata bernama Ang Hay Ji


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berarti Bocah merah. Dia tertawa mengikik seperti
anak kecil lalu balas memberi salam, "Idih, Kolera-tua,
mengapa engkau berada disini ?"
Aku juga menjadi tetamu," sahut Kolera tua,
"Idih," seru Ang Hay Ji terkejut lalu berpaling kearah si
Huru Hara. "Budak kecil, apakah engkau yang memakai nama Huru
Hara dalam surat undangan itu?" seinnya.
Sambil masih asyik mempersiapkan satai tikusnya, Huru
Hara menjawab, "Iya."
Angkuh dan tengik sekali sikap si Huru Hara dalam
menjawab pertanyaan tetapi diluar dugaan Ang Hay Ji
tidak marah malah tertawa, "Engkau mengundang aku
kemari, apa keperluanmu?"
"Ada deh," sahut Huru Hara.
"Apakah ada kang-tau ( obyek ) yang hendak engkau
berikan kepadaku?" Huru Hara mengangguk. "Coba katakan!"
"Sabar dulu," kata Huru Hara, "nanti setelah semua
datang, baru kukatakan."
"Eh, budak kecil," seru Ang Hay Ji, "lagak langgammu
mau meniru tokoh2 sakti yang aneh, ya?"
"Mengapa engkau mengatakan begitu?" balas Huru
Hara. "Apa maksudmu menggunakan nama Huru Hara itu?"
"Negara diserang tentara Ceng, pemberontakan timbul,
perampok seperti jamur dimusim hujan, rakyat hidup dalam
penderitaan dan ketakutan, apakah itu bukan suasana huruhara
" Aku memakai nama Huru Hara agar setiap detik aku
selalu ingat akan keadaan negara dan rakyat kita saat ini."
"Apa faedahnya hanya mengingat saja ?".
"Tentu saja ada," sahut Huru Hara, "percuma pikiran
kita harus selalu ingat. Dan apabila pikiran sudah terisi
dengan ingatan itu maka kau tentu akan mencari usaha
untuk meringankan penderitaan rakyat. Beda dengan kalau
kita tak mengingatnya, kita mudah terpikat kesenangan
diatas keluh rintihan rakyat."
"Wah, wah, hebat benar omonganmu," seru Ang Hay Ji,
"apakah engkau mempunyai rencana untuk meringankan
penderitaan rakyat ?"
"Ada deh." "Coba katakan."
"Tunggu saja nanti setelah semua sudah datang."
"Ih, engkau masih mengundang lain tetamu lagi ?" seru
Ang Hay Ji. "Ya, dia masih menunggu kedatangan lima tokoh lagi,"
selutuk Kolera-tua. "Siapa ?" "Manusia-pemakan-serigala Sebun Pa, Harpa asmara
Hoa Lan Ing, Landak-besi Ma Hion, Im pohpoh dan paderi
Gemar-segala-apa." Mendengar itu mendeliklah mata Ang Ha Ji lalu
berteriak keras2, "Bocah badung, otak lempung, minta
dipentung ! Engkau berani mengundang ke Tujuhpembunuh-
besar " Idih, kalau engkau tak punya uang
sebanyak limapuluh ribu tail perak tak mungkin engkau
dapat menyuruh mereka datang kemari."
"Belum tentu, bung. Untung atau buntung sang nasib
tergantung. Tuh, paderi Gemar-segala-apa sudah datang,"
sahut Huru Hara. Tepat pada saat dia berkata begitu, sesosok bayangan
berkelebat dan muncullah seorang paderi tua dengan
mencekal tongkat pertapaan.
Paderi Gemar-segala-apa !
Paderi itu berumur lebih kurang setengah abad.
Wajahnya berseri seperti wajah yang memancarkan rasa
cinta kasih. Siapa yang belum kenal kepadanya tentu akan
terpengaruh dengan lagak lahiriyahnya. Dan menganggap
dia seorang paderi yang sudah mencapai penerangan batin
tinggi. Memang boleh juga gayanya seperti seorang paderi yang
saleh. Begitu tiba, dia terus menganggukkan kepala,
rangkapkan kedua tangan dan melantang doa
pemberkahan, "Omitohud ! Sudah bertahun-tahun tak
berjumpa dengan sicu berdua. Apakah selama ini sicu
berdua baik2 saja?" Kolera-tua tertawa, "Baik sih baik, tetapi tidak seuntung
engkau yang . mendapat rejeki luar biasa melimpahnya.
Kabarnya tahun lalu engkau telah mengeruk keuntungan
sampai lima enampuiuh ribu tail perak, benarkah itu?"
"Omitohud," seru paderi itu, "ah, itu hanyal kabar angin.
Dan angin itu tentu selalu kosong. Aku seorang umat
vihara, bagaimana aku masih mempunyai nafsu temaha
terhadap harta dunia Tidak banyak, hanya sekitar empat
puluhan ribu saja." Ang Hay Ji menghela napas, "Idih, tahun lalu aku hanya
memperoleh hasil duapuluhan ribu saja. O, selama
matahari masih bersinar nafsu manusia selalu tak puas.
Rupanya manusia-manusia sekarang ini makin lama makin
aneh. Yang mengejar tidak dapat, yang diam malah
dikejar." "Omitohud!" seru paderi Gemar-segala-apa "apa yang
sicu keluhkan itu?" "Aku mengeluhkan nasibku sendiri," jawab Ang Hay Ji,
"aku sudah pasang merk menjadi pembunuh bayaran tetapi
ternyata penghasilanku masih kalah jauh dengan seorang
paderi." "Itu kesalahanmu sendiri," tiba2 Huru Hara menyelutuk.
"Apa katamu" Aku salah" Salah apa?" Ang Hay Ji
menegas. "Salah ibumu yang mengandung, mengapa lahirkan
engkau menjadi seorang pendek kecil seperti seorang bocah
?"," "Kunyuk, engkau berani menghina aku ' A'ig Hay Ji
deliki mata. "Mengapa engkau marah?" seru Huru Hara dengan
tenang2 saja," bukankah engkau ingin mengetahui mengaoa
nasibmu kalah baik dengan seorang paderi " Itulah letak
sebabnya." "Bagaimana ?" "Karena tubuhmu kecil dan wajahmu seperti kanak2,
orang tentu tak percaya engkau mampu membunuh orang.
Tidak demikian dengan paderi ini. Dia berwajah terang,
bergaya suci dan berbicara penuh welas asih. Orang tentu
lebih percaya!" "Omitohud," seru paderi Gemar-segala-apa. "tak perlu
sicu menghiraukan omongan orang. Untung tak dapat
diraih, celaka tak dapat ditolak. Tahun lalu tidak untung,
tahun ini tentu banyak rejeki."
Kemudian paderi itu bertanya kepada Huru-Hara,
"Apakah sicu ini yang mengundang aku ke mari ?"
"Benar." "Apakah keperluan sicu mengundang aku ?"
"Ada," sahut Huru Hara, "tetapi harap tunggu dulu
setelah semua datang."
Seperti Kolera-tua dan Ang Hay Ji, juga paderi Gemarsegala-
apa mendapat keterangan yang serupa tentang
tetamu2 yang diundang. "Apakah sicu menganggap bahwa sicu perlu bantuan
tenaga seorang paderi ?"
"Sebenarnya aku sangat menghormat kedudukan paderi,
imam dan penganut agama yang saleh. Tetapi setelah
mendengar engkau mana gelar paderi Gemar-segala-apa
maka akupun mengundangmu."
"Sicu belum menjawab pertanyaanku," "Pertanyaan lohweshio
sudah terjawab. Bukankah engkau sudah
menerima undanganku " Dengan begitu terang aku
membutuhkan tenagamu. "Dalam soal apa saja maka, sicu begitu memerlukan
tenaga paderi tua semacam aku ini ?"
"Jangan terburu nafsu, hweshio tua. Nanti apabila sudah
berkumpul lengkap, tentu akan kuberitahu."
"Omitohud !" seru paderi Gemar-segala-apa, "apa
maksud sicu memakai gelar Huru Hara ?"
"Hweshio tua, ah, mengapa engkau mengajukan
pertanyaan begitu" Tidakkah engkau sudah merasa sendiri
?" "Apa yang harus kurasakan ?"
"Kehadiranmu ditempat ini sudah merupakan jawaban
dari pertanyaanmu. Apakab engkau masih perlu penjelasan
?" "Sekira aku sudah mengerti, masakan aku perlu bertanya
lagi ?" "Baik," kata pendekar Huru Hara," negara diserang
musuh, suasana kacau, pemberontakan dan kejahatan
merajalela. Negara kehilangan pimpinan, undang2 diinjakinjak,
rakyat kebingungan. Apakah ini bukan suatu huru
hara " "Ya, benar. Tetapi apa sangkut pautnya dengan nama
yang engkau gunakan itu ?"
"Negara huru hara tentu akan menimbulkan jaman edan.
Orang baik menjadi munafik, yang jahat makin mengumbar
nafsu, karena harta, timbullah nafsu. Jaman edan memberi
kesempatan sebesar-besarnya. Merampok, membunuh,
memeras dan segala macam cara kejahatan dilakukan,
teman makan teman bahkan saudara tega untuk mencelakai
saudaranya sendiri."
"Omitohud !" seru paderi Gemar-segala-apa, "terlalu
ngeri sicu melukiskan suasana negara dewasa ini. Pada hal
kejahatan itu, seiring dengan kebaikan. Sejak manusia lahir,
kejahatan dan kebaikan itu sudah ada."
"Tetapi dalam jaman edan seperti sekarang ini, kebaikan
menipis sebaliknya kejahatan makin bertumbuh. Contoh
yang paling jelas lagi. Paderi itu seharusnya berada dalam
vihara dan pantang dahar makanan berjiwa. Tetapi dalam
jaman edan ini terdapat paderi yang bergelar Gemar-segalaapa.
Kalau yang suci sudah begitu rakus gemar segala apa ,
lalu apa masih ada sisa lagi untuk yang tidak suci dan orang
biasa ?" Merah muka paderi Gemar-segala-apa ia waktu
mendengar kata2 tajam dari pendekar Huru Hara. Dia
hendak membantah tetapi sekonyong konyong terdengar
derap kuda lari mendatangi. Dari debur suaranya, kuda itu
masih berada di tempat jauh. Tetapi dalam beberapa kejab
saja derap kuda itu sudah makin dekat.
Sekalian orang serempak memandang kearah datangnya
kuda itu. Mereka terkesiap menyaksikan suatu adegan yang
hebat. Masih terpisah berpuluh tombak dari tempat halaman
pagoda, penunggang kuda sudah ayunkan tubuh ke udara,
membiarkan kuda itu berlari sendiri. Kemudian bagai
seekor burung garuda, orang itu melayang turun ke
hadapan beberapa orang tadi.
Benar2 seorang lelaki yang jantan gagah perkasa.
Kepalanya bundar besar, biji matanya besar. Mukanya
berewok penuh rambut lebat tingginya hampir dua meter.
Orang itu tak lain adalah benggolan pembunuh yang
termasyhur dalam dunia persilatan yakni Landak-besi Ma
Hiong. Setiap orang yang mendengar namanya tentu
gemetar dan copot nyalinya. Bahkan anak kecil yang
nangis, tentu akan diam. apabla akan dipanggilkan Ma
Hiong. Ma Hiong memang seorang raksasa seram
"Aha, engkau juga datang Ma toaya," seru Kolera-tua.
"Omitohud," seru paderi Gemar-segala-apa, "selamat
datang Ma sicu." "Idih, Ma toaya, sudah lama kita tak bertemu," seru Ang
Hay Ji. Rupanya ketiga pembunuh bayaran itu juga segan
terhadap si raksasa Ma Hiong.
"Ya, ya, terima kasih," sahut Ma Hiong, "lalu mana si
Huru Hara yang mengundang aku itu?"
"Dia," sahut Kolera-tua.
"Hanya seorang kunyuk kecil, Ma toaya," keru Ang Hay
Ji, "mungkin tak dapat membayar kita."
"Hm, mengapa berani mengundang kita berempat?"
dengus Ma Hiong. "'Bukan hanya empat, tetapi tujuh orang," teriak Koleratua.
"Tujuh orang?" Ma Hiong terkejut lalu menegur Huru
Hara, "Hai, benarkah engkau megundang tujuh orang"'
"Ini," sahut Huru Hara seraya menunjuk pada tujuh
cawan arak yang telah dijajar di hadapannya.
"Siapa saja?" "Selain kita berempat masih ada Im-poh-soh?"." Baru
Kolera tua menerangkan sampai di situ, tiba2 dari belakang
pagoda terdengar suara orang tertawa mengikik keras.
Seorang nenek tua muncul. Walaupun sudah tua tetapi
nenek itu masih genit. Mukanya berbedak, bibirnya
dimerah dan rambut disisir mengkilap, pakai pita, uh . . .
"Im pohpoh, datang," seru Ang Hay Ji, "benar-benar
suatu peristiwa yang langka sekali bahwa hari ini Tujuh
pembunuh-besar dapat berkumpul disini!"
"Hi, hik," seru nenek itu yang ternyata memang Im
pohpoh, "engkau juga nongol bocah baju merah."
"Tentu," sahut Ang Hay Ji, "nih, Kolera tua, paderi
Segala-apa-mau, Ma toaya dan aku. Dengan pohpoh, kita
sudah berjumlah lima orang.
"Bocah merah," seru Im pohpoh pula, "mengapa engkau
tampak gembira sekali" Apakah yang mengundang engkau
itu akan memberimu sebuah kang-tau yang hebat?"
"Entahlah." "Entah" Engkau tidak tahu?" Im pohpoh menegas heran.
"Ya. Dia tak mau bilang sebelum kita bertujuh lengkap."
"Ih, mana orangnya?"
"Tuh," Ang Hay Ji menuding pada pendekar Huru Hara
yang masih berkemas mengatur hidangan sate.
"Itu kan bocah penjual sate," seru Im poh-poh.
"Bukan, pohpoh," kata Ang Hay Ji, "memang dia yang
mengundang kita."

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar?" "Sungguh mati!" Ang Hay Ji memberi penegasan,
kemudian berseru kepada Huru Hara, "hai, kunyuk, Im
pohpoh yang engkau undang sudah datang, mengapa
engkau diam saja?" "Lalu engkau suruh aku bagaimana?" sahut pendekar
Huru Hara. "Sambut, dong, engkau kan tuan rumahnya!"
"Cukup sudah engkau wakili."
"Hai, bocah, apakah engkau yang menggunakan nama
Huru Hara." "Ya." "Apa maksudnya?"
"Tidak bermaksud apa2. Itu hanya sebuah nama."
"Banyak sekali nama yang bagus2, mengapa engkau
pakai yang begituan?"
"Yang penting, orangnya. Bukan namanya."
"Apakah engkau sedang mengalami huru hara?"
"Ya." "O, maka engkau mengundang kami datang. Huru Hara
apa yang sedang engkau derita?"
"Semua," sahut pendekar aneh itu, "'Negara,
rumahtangga dan hatiku.'"
"Lalu apa maksudmu mengundang kami?"
"Masih kurang dua orang lagi. Setelah lengkap, baru
nanti kukatakan,'' sahut pendekar Huru Hara.
"'Masih kurang dua" Siapa?"
"Manusia-pemakan-serigala Sebun Pa dan Harpa-asmara
Hoa Lan Ing, pohpoh," seru And Hayji.
"O, mereka juga diundang?"
"Benar. Tujuh pembunuh besar dalam dunia persilatan
telah diundangnya. Entah dia mempunyai modal berapa
sehingga berani melakukan hal itu."
"Aku datang . . . ! " tiba2 terdengar sebuah suara
melengking yang tajam. Walaupun masih jauh tetapi
nadanya berkumandang mengiang-ngiang di telinga
sekalian orang. Im pohpoh menyambut dengan tertawa juga, "Ih, budak
Sebun Pa sekarang ini ilmu -tenaga-dalamnya maju sekali."
"Terima kasih atas pujian Im cici," seru sebuah suara dan
pada lain saat muncullah sesosok bayangan biru terbang
melayang ke halaman pagoda.
Namanya Manusia-pemakan-serigala tetapij ternyata
orangnya cakap, berumur sekitar 50-an tahun, mengenakan
dandanan seperti seorang sasterawan. Benar, memang yang
muncul itu adalah Sebun Pa.
Memang tidak sesuai segala-galanya pada dirinya. Dia
seorang pembunuh bayaran tetapi wajahnya cakap seperti
seorang sasterawan. Biasanya srigala yang makan orang,
tetapi dia memakai gelar 'manusia pemakan serigala'.
Pernah dalam kesempatan berhadapan dengan musuh
dan saling mengejek, dia memberi jawaban yang tepat,
"Apakah seorang sasterawan tak dapat menjadi pembunuh.
Disitulah letak kelebihan diriku. Aku seorang sasterawan
dapat menjadi pembunuh. Tetapi seorang pembunuh belum
tentu mampu jadi sasterawan !"
"Lho, kok pakai gelar Manusia-pemakan-serigala "
Apakah engkau gemar makan serigala ?" tanya seorang
yang pernah berhadapan dengan dia.
"Ya." sahut Sebun Pa, "engkau tahu apa arti namaku ?"
"O, apa itu " itu kan berarti macan tutul."
"Tidakkah macan tutul gemar makan serigaIa ?"
'"O, engkau mendasarkan gelarmu itu dengan namamu
yang asli ?" "Hm, susahnya kalau orang buta huruf, disitulah," jawab
Sebun Pa. Ada juga keistimewaan dari Sebun Pa. Walaupun
seorang pembunuh bayaran, tetapi tidak sembarang dia
mau terima permintaan orang walaupun dijanjikan upah
besar. "Huh, engkau tahu apa makna gelarku manusiapemakan-
serigala itu ?" tanyanya pada satu orang yang
hendak menyewanya. Kebanyakan orang tentu menjawab tak tahu dan minta
keterangan. "Gelar Manusia-pemakan-serigala bukan sekedar gelar
kosong untuk menambah keseraman. Tetapi memang
betul2 ada kenyataannya," kata Sebun Pa, "aku mempunyai
prinsip tersendiri sebagai seorang pembunuh bayaran. Soal
upah juga boieh kurang tetapi syaratnya harus dipenuhi."
"Apa syaratnya ?"
"Yang menjadi calon korbanku itu harus orang ternama,
baik dalam dunia persilatan, pemerintahan, masyarakat dan
dagang. Aku tak mau membunuh seorang tak bernama
walaupun di beri upah besar ! Dengan begitu barulah sesuai
dengan gelarku. Aku seorang manusia pemakan serigala.
Serigala kuartikan orang2 besar dan ternama."
"Hola. sekarang hanya kurang seorang !" seru Ang Hay
Ji seraya bertepuk tangan.
"Siapa "'r "Harpa-asmara Hoa Lan Ing."
Tiba2 si raksasa Ma Hiong berseru dengan suara
menggeledek, "Hoa Lan Ing paling senang jual aksi. Dia
selalu datang yang terakhir sendiri."
"Benarlah, dia sudah datang," seru paderi Segala-apamau.
Sayup-sayup terdengar suara harpa beralun bagaikan
kemerduan suara musik yang mengantar para bidadari
turun dari langit. Hanya harpa Jit-luan-khim- atau harpa
tujuh snaar yang mampu memperdengarkan bunyi
sesyahdu itu. Serentak perhatianpun terpikat akan keasyikan alunan
harpa itu. Bermula melukiskan curahan perasaan kesepian
dan kesedihan, kemudian dalam kesedihan itu memancar
rasa penasaran. Penasaran yang kecewa dan bukan
kemarahan, kesedihan yang sepi bukan kedukaan, semisal
dara yang kemanja-manjaan.
"Ha, perempuan busuk itu sedang melengking-lengking,"
dengus Ma Hiong. Habis berkata dia terus duduk bersila
pejamkan mata dan menyalurkan tenaga-dalam.
Ternyata suara harpa yang menghanyutkan hati itu
mengandung pancaran tenaga-dalam yang hebat.
Barangsiapa lemah, urat jantungnya tentu putus.
Kolera-tua, paderi Segala-apa-mau, Ang Hay Ji dan
Sebun Pa juga menyadari hal itu. Merekapun serempak
duduk bersila untuk menyalurkan tenaga-dalam. Wajah
mereka tampak tegang seperti sedang menghadapi musuh
tangguh. Hanya Pendekar Huru Hara dan nenek Im
pohpoh yang tampak santai seperti tak merasakan suatu
apa. Im pohpoh seorang wanita, sudah tentu dia tak terpikat
daya rayuan sesama jenisnya. Tetapi diam2 nenek itu heran
mengapa pendekar Huru Hara juga tak tertarik " Bukankah
dia masih seorang anakmuda yang berdarah panas "
Im pohpoh menghampiri ketempat pendekat Huru Hara
dan memuji, "Budak kecil, pertahananmu sungguh kokoh
sekali." "Pertahanan apa ?" sahut Huru Hara.
"Engkau seorang pemuda tetapi ternyata mampu
bertahan dari pancaran suara harpa Hoa Lan Ing yang
penuh mengandung perangsang cabul. Sungguh jarang
sekali pemuda seperti engkau !"
"O, suara harpanya itu memancarkan daya perangsang ?"
seru Huru Hara tertawa. "Ya," sahut Im pohpoh, "didunia hanya sedikit sekali
orang yang mampu bertahan atas suara harpa asmaranya.
Barangsiapa yang lemah kepandaiannya, tentu segera
terhanyut dalam buaian asmara, pikiran kabur dan terus tak
dapat mengendalikan diri.
"Aneh, mengapa aku tak merasa sesuatu! yang istimewa
pada suara harpa itu." Huru Hara mengangkat bahu,
menyeringai. "Cobalah engkau dengarkan dengan seksama, betapa
merintih-rintih irama harpa itu seperti orang meratap
curahan asmara, bagai musafir yang kehausan di padang
pasir yang tandus. Sebagai orang lelaki, tidakkah hatimu
terketuk untuk memenuhi keinginannya?"
Huru Hara gelengkan kepala, "Aku tak mengerti irama
musik, pun tak tahu apa yang terkandung dalam alunan
suara harpanya. Sayang ..."
"Benar, memang sayang engkau tak mengerti hal musik,
sehingga engkau tak dapat menikmati betapa keindahan
asmara itu . . . . "
"Aku bukan menyayangkan diriku melainkan
menyayangkan dia. Kalau benar dia hendak tujukan alunan
harpanya itu kepadaku, bukankah dia hanya membuangbuang
waktu percuma saja ibarat orang memetik harpa
dihadapan seekor kerbau?"
"Hi, hi, hik, engkau memang seekor kerbau dungu," seru
Im pohpoh tertawa mengikik.
Pada saat itu suara harpapun makin jelas dan
iramanyapun makin sedih seperti seorang janda muda yang
bergelimpangan di ranjang seorang diri, terkenang akan
malam pengantin. Tampak Kolera- tua mulai runtuh pertahanannya.
Kepalanya mulai bercucuran keringat, muka merah tegang
dan mata pun berkilat-kilat. Dia mulai terbakar oleh api
asmara. Tiba2 Im pohpoh tertawa mengikik lalu berseru nyaring,
"Hoa hujin, disini banyak sahabat kita, jangan unjuk
permainan semacam itu!"
Sekonyong-konyong suara harpa itupun berhenti,
berganti dengan gemerencing suara tawa lengking yang
membelah angkasa lalu turun melayang ke bumi. Tahu2 di
halaman pagoda muncul seorang wanita yang cantik
mempesonakan" Rambut hitam legam yang disanggul bagai gumpal awan,
muka bulat telur dengan pipi semerah bunga mawar mekar
di pagi hari. Alisnya lebat bagai gunung dimusim semi dan
matanya yang bening seperti telaga, leher jenjang, dada
padat dan pinggang ramping, ah, habis kiranya kata-kata
untuk melukiskan kecantikan wanita itu.
Dia menjinjing sebuah harpa, dengan langkah lemah
gemulai seperti pohon liu tertiup angin dia menghampiri
dan tertawa merdu, "Ih, engkau juga hadir, Im cici. Maaf,
atas keterlambatanku."
Saat itu Kolera-tua, paderi Segala-apa-mau, Landak-besi
Ma Hiong dan Sebun Pa sudah berbangkit. Hanya Ang Hay
Ji yang masih deprok duduk di tanah, belum berani berdiri.
Sambil menyeringai seperti anak kecil minum permen,
dia berseru, "Hoa hujih, ilmu kepandaianmu makin lama
makin hebat. Aku benar-benar ....,"
Harpa-asmara Hoa Lan Ing meludah, "Cis, anak kecil
yang masih msnyusu seperti engkau mau main2 apa"
Tunggu beberapa tahun lagi kalau engkau sudah besar."
Kolera-tua tertawa gelak2. Tepat sekali dampratan si
cantik itu kepada bocah baju merah Ang Hay Ji. Wajah
Ang Hay Ji yang merah makin merah seperti kepiting
direbus. Harpa-asmara Hoa Lan Ing mengalihkan pandang
matanya kepada pendekar Huru Hara, lalu menegur dengan
merdu, "Apakah anda ini pendekar Huru Hara?"
"Ya," Huru Hara mengangguk.
"Sungguh aneh sekali nama itu."
Pendekar Huru Hara tertawa, "Memang selera orang
berbeda. Ada orang yang suka pakai nama binatang yaitu
Ati Kau ( anjing ), Ah Mau ( kucing ), Ah Hau (harimau)
dan lain2. Mengapa kalau aku pakai nama Huru Hara,
engkau merasa aneh?"
"Mengapa engkau mengapa nama Huru Hara" Apakah
engkau sedang mengalami huru hara?"
''Ya, aku merasa begitu."
"Ah, benar sekali dugaanku," Hoa Lan Ing tertawa
merdu, "hatiku memang lemah. Begitu melihat surat
undangan itu tertera nama Huru Hara, aku segera
memutuskan untuk datang. Huru hara apakah yang sedang
engkau alami sehingga engkau mengundang aku datang
kemari?" "Tuan2 sekalian, silakan duduk dulu," tidak terus
menjawab pertanyaan tetapi pendekar Huru Hara
mempersilakan tetamu undangannya duduk.
Ketujuh tokoh pembunuh yang ternama itupun segera
diiduk mengelilingi "perjamuan'.
Pendekar Huru Hara mengambil poci arak lalu mulai
menuangkan pada delapan cawan yang telah dijajar-jajar,
kemudian dia mulai membuka, perjamuan.
"Anda sekalian adalah tokoh2 dunia persilatan yang
ternama. Bahwa anda telah sudi memerlukan hadir
memenuhi surat undmganku itu benar2 merupakan suatu
kehormatan besar bagiku. Sebagai pernyataan terima
kasihku yang tak terhingga, lebih dulu aku hendak
menghaturkan arak Kehormatan kepada anda sekalian!"
Habis berkata dia terus meneguk cawannya sampai
habis. Ketujuh pembunuh besar itu tak mau ikut minum
melainkan tersenyum saja memandangnya. Rupanya
mereka tak mau menerima undangan diajak minum
bersama. Pendekar Huru Hara tersenyum, serunya.
"Arak tak tercampur racun, silakan anda minum!"
Tetapi ketujuh tokoh benggolan itu tetap tak mau
mengangkat cawannya. "Mengapa anda tak mau minum ?" seru pendekar Huru
Hara! "Kami bertujuh ini selamanya memang tak pernah
minum arak lain orang," sahut Ma Hiong dengan nada
dingin. "Mengapa ?" "Terlalu banyak orang yang telah kami bunuh."
"Apa hubungannya hal itu dengan arak ?"
"Orang yang dosanya setumpuk gunung, tak lurus
sembarangan minum arak yang dihidangkan orang karena


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuatir arak yang bersihpun nanti dapat berobah menjadi
arak beracun. Pendekar Huru Hara tertawa, "Baiklah. KaIau kuatir
minum arak dapat membahayakan jiwa, akupun takkan
memaksa. Tetapi aku ingin, melaksanakan kewajibanku
sebagai tuan rumah untuk menghindangkan sate bakar
kepada para tetamu sekalian."
Ia segera mengambil setusuk sate, dihidangkan
kehadapan Harpa-asmara Hoa Lan Ing, "Silahkan nyonya
yang pertama-tama menikmati hidangan sate bakar ini."
"Sate apakah itu ?" Hoa Lan Ing kerutkan alis.
"Sate tikus." "Ih, ih, memuakkan," seru Hoa Lan Ing seraya
tegangkan alis mengerut jijik, "bagaimana engkau berani
menghidangkan daging semacam itu kepadaku ?"
"Daging manusiapun bisa dimakan apalagi daging tikus
?" sahut pendekar Huru Hara.
"Ngaco !" bentak wanita cantik itu dengan marah, "aku
memang membunuh orang tetapi tak pernah makan
dagingnya, singkirkanlah !"
Pendekar Huru Hara cibirkan bibir lalu mengalihkan
tusuk sate bakar itu kehadapan nenek Im," Pohpoh tentu
tak mungkin takut makar sate ini, bukan ?"
Im pohpoh gelengkan kepala, "Bukan karena takut tetapi
aku memang tak mau makan satemu itu, bocah !"
Huru Hara tak mau memakan melainkan mengalihkan
kehadapan Ang Hay Ji, "Engkau tentu tak menampik, kan
?" Tetapi Ang Hay Ji tak mau menyambuti melainkan
tertawa mengikik, "Hi, hik, segala apa saja aku makan asal
bukan masakan orang."
"Maksudmu ?" "Hidangan yang dimasak orang, selamanya aku tak mau
makan." "Takut diracun."
"Ya," sahut Ang Hay Ji, "aku mempunyai prinsip begini
'tidak mau mencelakai orang tetapi tak mau seratus persen
percaya pada orang."
"O, apakah selama ini engkau benar2 tak pernah
mencelakai orang ?".
"Ya," sahut Ang Hay Ji, "aku hanya membunuh orang
tetapi tak pernah mencelakai orang. Mencelakai orang itu
melanggar peri kemanusiaan."
"Uh, bagus, bagus," seru Huru Hara seraya acungkan
jempol tangannya dan tertawa mengejek, "baru kali ini aku
mendengar suatu ajaran yang menarik. Membunuh itu
perbuatan baik dan mencelakai itu barulah perbuatan jahat.
Tetapi dimanakah letak perbedaannya ?"
"Membunuh," kata Ang Hay Ji. "hampir dilakukan tiap
hari oleh orang, membunuh kerbau, kambing, ayam, ikan
dan lain2 binatang. Jika membunuh binatang dianggap
wajar, mengapa membunuh manusia dianggap tidak wajar "
Bukankah mereka sama2 mahluk berjiwa ?"
"O, ya, iya," Huru Hara garuk2 kepala, "lalu apa
bedanya kata peri-kemanusiaan dengan peri-kebinatangan
itu ?" "Hus, bocah gila," seru Ang Hay Ji tertawa," tidak ada
kata 'peri-kebinatangan' itu. Yang ada peri-kemanusiaan."
"Sebabnya ?" ''Binatang itu adalah mahluk pengisi dunia yang
diperuntukkan bagi kehidupan manusia, seperti halnya
dengan tumbuhkan dan lain2 benda. Kambing, kerbau,
ayam dan lain2 binatang dismbelih, selain untuk lauk pauk
makanan manusia pun juga untuk menambah tenaga
kekuatan manusia itu."
"O, makanya aku tak pernah mendengar kata perikebinatangan
karena binatang itu memang diperuntukkan
manusia." "Ya." "Lalu apa yang disebut peri- kemanusisiaan itu ?"
"Peri-kemanusiaan yalah asas hidup berdasarkan rasa
cinta kasih dan menghormat hak hidup seorang manusia."
"Maka mencelakai sesama manusia itu, melanggar perikemanusiaan
?" "Ya, benar." "Tetapi kalau membunuh sesama manusia itu tidak
melanggar peri-kemanusiaan ?" desak Huru Hara.
"Hi, hi', hi, mari engkau sekarang bocah merah....." Im
pohpoh tertawa mengikik, "engkau harus menelan lagi
ludahmu tadi." Ang Hay Ji mengangkat muka dan menyahut, "Jangan
menertawakan dulu, pohpoh. Aku kan belum memberi
jawaban kepada bocah ini."
Ia terus beralih memandang Huru Hara dan berseru,
"Membunuh dan membunuh ada dua, bocah Engkau harus
dapat membedakannya."
"O, membunuh itu ada dua " Apa saja ?"
"Membunuh karena membela negara, tugas jalan
kebenaran, tidak melanggar peri-kemanusiaan. Tetapi
membunuh karena hendak nenginginkan harta benda dan
dendam peribadi, itu melanggar peri-kemanusiaan."
"Dan kalau pembunuhan yang engkau lakukan itu.
apakah juga tak melanggar peri-kemanusiaan?"
"Sudah tentu tidak, bocah," sahut Ang Hay i dengan
yakin, "aku ini seorang pembunuh bayaran. Kalau orang
suruh aku membunuh orang, itu berarti aku bekerja.
Melaksanakan tugas pekerjaan, itu tidak melanggar perikemanusiaan.
Dan selamanya aku tak mau membiarkan
korbanku itu menderita kesakitan. Setiap kali terus kubunuh
dengan cepat!" "Mengapa engkau harus menuntut penghiduan sebagai
pembunuh " Bukankah masih ada lain pekerjaan yang lebih
baik dari pekerjaan sebagai pembunuh ?"
Ang Hay Ji tak lekas menyahut melainkan
mengelilingkan pandang kearah keenam tokoh lainnya,
"Pertanyaan ini menyangkut kepentingan anda sekalian.
Siapa mau menjawab ?"
"Dia bertanya kepadamu, engkaulah yang wajib
menjawab," seru Kolera-tua,
''Hm, baiklah," kata Ang Hay Ji lalu menghadap kearah
Huru Hara lagi, "Aku bekerja sebagai pembunuh bayaran
karena kuanggap pekerjaan itu mudah dan menghasilkan
uang banyak." "Hm, baik, catatlah apa yang engkau katakan ini semua,"
dengus pendekar Huru Hara. Ia terus menghidangkan sate
tikus kepada Kolera tua, paderi Gemar-segala-apa, Landakbesi
Ma Hiong dan Sebun Pa, "Aku tak dapat
menghidangkan apa2, kecuali sate bakar ini. Harap anda
suka mencicipi." Tetapi keempat orang itu hanya gelengkan kepala.
Pendekar Huru Hara tak mau memaksa melainkan tertawa
gelak2, "Baiklah, kalau anda tak mau, aku sendiri yang
akan memakannya. Lain2 ikan aku tak suka. Aku hanya
gemar makan kawanan tikus saja....."
Mendengar kata2 itu, ketujuh benggolan pembunuh itu
berobah cahaya wajahnya. Tetapi Huru Hara tak
mengacuhkan, dia mulai memakan sate bakar itu seraya
berulang-ulang berseru, "Wah enak lhooo .. .. "
Melihat tingkah laku si Huru Hara itu, Landak-besi Ma
Hiong tak dapat menahan kesabarannya lagi. Wajahnya
mulai menampilkan hawa pembunuhan dan serentak dia
menegur bengis, "Budak kecil, apa maksudmu ini semua ?"
"Hm," acuh tak acuh Huru Hara picingkan mata melirik
pada Ma Hiong. Ma Hiong tertawa dingin, "Engkau menyuguhkan tujuh
ekor tikus kepada tetamu, apa maksudmu" Apakah engkau
hendak mempermainkan kita ?"
Masih santai menikmati sate bakarnya, Huru hara
menjawab, "Sekarang ini rakyat sedang menderita. Musuh
menyerang, perampok mengganas masih ditambah lagi
dengan gangguan tikus2 busuk. Kalau aku dapat memakan
seekor, berarti mengurangi beban penderitaan rakyat."
"Kata-katanya mengandung arti yang dalam," seru
Kolera-tua. "Benar, bocah itu hendak menyamakan kita sebagai
tujuh ekor tikus yang hendak dimakannya!" sambut Ang
Hay Ji. "Ha, ha," Huru Hara tertawa, "kalau engkau merasa
sebagai tikus yang mengganggu rakyat memang tepat sekali
engkau merasa kuatir. Kegemaranku memang makan
tikus." "Selain itu," Huru Hara melanjut lagi," kini di berbagai
daerah negara kita terserang paceklik musim kering
panjang. Bahaya kelaparan merajalela dimana-mana. Kalau
saat ini aku dapat makan daging tikus, itu sudah suatu
rejeki besar." Ketujuh benggolan itu serentak diam. Dari nada katakatanya,
jelas Huru Hara memang mengakui kata2 Ang
Hay Ji bahwa ketujuh benggolan itu hendak dipersamakan
seperti tikus buduk. "Gila mengapa kita dipermainkan seorang bocah gila
semacam dia," dengus Landak-besi Subun Pa seraya
berbangkit lalu berseru bengis "Hai, budak kurang ajar,
engkau harus menjawab dengan sungguh2 pertanyaanku.
Siapakah engkau"' "Huru Hara." "Benarkah namamu begitu ?"
"Tolong tanya, apa artinya Loan Thian Te itu ?" balas
Huru Hara. "Hm, itukah namamu ?"
"Negara diduduki musuh, rakyat menderita rumahtangga
berantakan, apakah itu bukan huru hara ?"
Sebun Pa mendengus, "Hm, apa hubungan hal itu
dengan kami ?" "Tak ada." sahut Huru Hara, "tetapi bisa ada . . ."
"Lalu apa maksudmu mengundang kami ke mari ini ?"
"Tentu saja ada," sahut Huru Hara, "aku hendak pinjam
sebuah barang kepada anda sekalian"."
Kolera-tua tertawa mencemoh, "Budak, kalau engkau
hendak pinjam uang atau suruh kami memberi dana kepada
rakyat yang kelaparan itu, engkau salah alamat!"
"O, tidak," sahut Huru Hara, "aku tidak bermaksud
pinjam uang melainkan hendak pinjam sehelai kertas dari
anda." "Sehelai kertas?" Sebun Pa terkesiap, "kertas apa?"
"Undangan." "Undangan?" Sebun Pa makin tegang.
"Ya. Bulan yang lalu, kalian masing2 telah menerima
undangan pesta dari seorang pembesar tinggj, bukan?"
Seketika wajah ketujuh benggolan itu berobah makin
tegang. "Dari mana engkau tahu hal itu?" bentak Se-bun Pa.
"Tak perlu mengurus soal sumbernya, yang penting hal
itu benar atau tidak?"
Kolera-tua batuk2. Sambil mengusap-usap dagu, dia
berseru, "Perlu apa engkau hendak meminjam undangan
itu?" "Untuk melamar."
"Jelaskan!" bentak Kolera-tua.
"Aku hendak melamar pekerjaan kepada orang besar
itu." "Pekerjaan apa?"
"Hm, kalau seorang jenderal besar mengundang kalian
menghadiri pesta yang diadakannya, apakah jenderal itu
hanya karena ingin menjamu kalian tanpa suatu maksud
tertentu"'' ''Hm," dengus Kolera-tua, "apa engkau tahu pekerjaan
apa yang hendak beliau berikan kepada kami?"
"Tidak tahu jelas," kata pendekar Huru Hara, "tapi
mudah diduga." "Coba engkau duga," seru Sebun Pa.
"Sebagai seorang jenderal, dia tentu pandai dan luas
pengalaman. Apa yang hendak diberikan kepada kalian,
tentulah disesuaikan dengan pekerjaan kalian."
"Membunuh orang?"
'"Kemungkinan besar, ya," sahut Huru Hara, "tetapi
mungkin juga pekerjaan lain yang sifatnya sejenis."
"Lalu apa maksudmu hendak meminjam surat undangan
itu kepada kami?" "Dengan membawa ketujuh lembar undangan yang
kalian terima itu, tentulah jenderal itu segera mendapat
kesan bahwa tak perlu lagi menyewa kalian bertujuh tetapi
cukup memakai aku seorang saja."
Kolera-tua tertawa gelak2, "Wah, tepat sekali
omonganmu, budak. Memang jenderal itu tentu mendapat
kesan begitu. Tetapi apakah engkau kira kalau kami
bertujuh tentu mau meminjamkan surat undangan
kepadamu?" Huru Hara tertawa hambar, "Kalau tidak boleh, akupun
tak memaksa. Tetapi aku hendak pinjam lain barang lagi . .
. . " "Barang apa lagi?" teriak Kolera- tua.
"Batang kepala kalian ....
Mendengar itu ketujuh benggolan itu terbelalak tetapi
Kolera-tua segera tertawa terpingkal-pingkal, "Bagus, bagus,
memang rencanamu hebat, nyalimu besar. Kalau engkaiu
mampu menyerahkan tujuh batang kepala kami, memang
lebih memperoleh kepercayaan jenderal itu dari pada hanya
membawa surat undangan kami saja."
"Itulah," seru Huru Hara, "sekarang terserah kepada
kalian semua, apakah kalian mau meminjamkan surat
undangan atau batang kepala?"
Ketujuh orang itu adalah tokoh2 pembunuh yang
termasyhur dalam dunia persilatan. Seharusnya mereka
sejak tadi marah karena dipermainkan oleh anakmuda yang
bertingkah aneh seperti si Huru Hara itu. Tetapi entah
mengapa, mereka seperti melihat bahwa orang aneh itu
bukan seorang anakmuda biasa. Mereka tak boleh bertindak
secara gegabah. "Lebih baik engkau mengajukan permintaan yang kedua


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu saja," Kolera-tua tertawa.
Huru Hara mengangguk. Setelah membersihkan mulut
dan meneguk cawan arak lagi, dia menyambar tongkatnya
dan berbangkit, "Baik, kalau memang begitu, silakan
kemari." Kolera-tua geleng2 kepala tertawa lalu mengikuti
pendekar Huru Hara yang menuju ke sebidang lapangan
kosong disebelah. "Hayo, sudah siap?" seru Huru Hara.
"Hm." "Engkau yang mulai dulu atau aku?"
Kolera-tua tertawa, "Engkau seorang budak kecil, sudah
tentu aku akan mengalah"
"Ya, benar," seru Huru Hara, "eh, tetapi aku tuanrumah
dan engkau tetamu. Tidak pantas kalau tuanrumah tidak
menghormat tetamu. Silakan engkau saja yang mulai!"
"Ya, engkau benar. Sekarang begini saja. Aku yang
mulai menyerang tetapi aku tak mau memakai tongkat
melainkan dengan tangan kosong. Sedang engkau boleh
menyambut dengan senjata apa saja."
"O, boleh, boleh," sambut Huru Hara.
Dalam pada itu ditempat persembunyiannya, Han Bi
Giok dan pemuda sasterawan Wan-ong Kui mengikuti
semua yang terjadi di halaman pi goda.
"Ah, mengapa orang aneh itu cari mati sendiri?" bisik Bi
Giok. "Tetapi dia jujur," bisik Wan-ong Kui, "sebagai
tuanrumah memang seharusnya mengalah kepada tetamu."
"Ih, tetapi bagaimana mungkin dia mampu menghadapi
ketujuh pembunuh besar itu?"
"Kita belum tahu siapa dia dan bagaimana
kepandaiannya. Tetapi dengan berani mengundang ketujuh
tokoh pembunuh itu, dia tentu sudah mempunyai
Kisah Pedang Di Sungai Es 16 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Pedang Asmara 19
^