Pencarian

Bloon Cari Jodoh 14

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Bagian 14


penjuru tanah air untuk mencari gadis itu. Kalau memang
sudah meninggal dimana kuburnya kalau masih hidup
dimana tempatnya." "Lalu?" "Pada suatu hari ketika berjalan di sebuah pegunungan
aku telah dihadang oleh orang jahat. Pemimpin mereka
terdiri dari lima orang bersaudara yang berilmu silat tinggi.
Kulawan mereka. Tetapi karena aku hanya seorang dan
mereka berlima, akupun kalah. Untunglah dalam saat2
yang berbahaya itu muncul seorang nikoh (rahib) memberi
pertolongan. Kelima brandal itu dihajar pontang-panting
oleh hudtim (kebut) rahib itu, Aku hendak menghaturkan
terima kasih tetapi rahib itu sudah lari. Kukejar dia, ah,
ternyata ilmu ginkang rahib itu jauh lebih hebat dari aku.
Akhirnya aku kehabisan napas dan menggeletak dibawah
pohon ..... "Aku benar2 kehabisan tenaga. Habis bertempur
melawan brandal lalu lari mengejar rahib aneh itu. Aku
tertidur hingga lewat tengah malam baru tersadar. Ketika
aku membuka mata, kejutku bukan alang kepalang.
Ternyata rahib itu tengah duduk bersila dihadapanku,
bersemedhi pejamkan mata."
'O, engkau ....... suthay .......," serentak aku bangun
hendak membeii hormat. "Ah, janganlah ....... tak perlu," kata rahib itu," apakah
engkau masih kenal padaku ?"
Pertanyaan itu membuat hatiku berdebar keras. Memang
waktu perama kali melihat rahib itu, aku sudah mempunyai
dugaan siapa dia. Tetapi karena dia melarikan diri maka
aku tak sempat .bertanya.
"Apakah ....... apa ....... apakah engkau bukan , ....... Bun
siocia ....... ?" "In-long....." rahib itu memandang lekat2 kepadaku.
"Memang benar. Rahib itu tak lain adalah Bun Liang
Ing, gadis yang menjadi pujaan hatiku. Aku tak dapat
menahan luapan perasaanku. Seketika kupeluknya. Lama
kami berdua tenggelam dalam kenangan rindu. Beberapa
saat kemudian dia menolak tubuhku dan melepaskan diri
dari pelukanku. "Ah, in-long, kita harus menyadari akan kenyataan,"
katanya, In-long adalah kata yang diucapkan seorang isteri
terhadap suaminya. "Apa maksudmu?"
"Pertama, kita sudah sama tua. Kedua, sekarang ini kita
hidup dalam dinia yang terpisah. Aku telah bersumpah
dihadapan hud-cou untuk menjadi rahib mencari
kesempurnaan batin ..."
"Tetapi Ing-moay, bukankah sekarang kita berjumpa
lagi?" seruku. "Benar," kata rahib itu, "tetapi tak mungkin kita
melanjutkan hubungan kita yang lampau lagi."
"Mengapa Ing moay, apakah engkau sudah tak cinta lagi
kepadaku?" Rahib itu tertegun. Beberapa tetes nirmala menitik dari
sudut kelopak matanya. "Cintaku kepadamu, adalah sebanyak darah yang
mengalir dalam tubuhku," kata rahib itu, "engkau satusatunya
pria yang kupuja dan menjadi ayah dari puteraku
.........." ''Ing-moay, apa katamu!" serentak aku menjerit kaget.
Rahib itu mengangguk, "Benar, in-long, hubungan yang
kita jalin sebagai tanda cinta kita, telah menghasilkan
seorang anak lelaki."
"Oh, Ing-moay, betapa bahagiaku ....... Dimana dia
sekarang?" Rahib itu menghela napas.
"Hidup manusia itu sudah ditentukan oleh kodrat
masing2," katanya, "segala derita sengsara itu adalah karma
yang harus kita terima. Barang siapa sudah menghayati
akan kodrat hidup yang terbentuk atas karma, maka tiada
lagi kesedihan dan derita yang harus disedihkan."
"Ing-moay, aku benar2 tak mengerti maksud ucapanmu.
Maukah engkau menceritakan bagaimana pengalamanmu
setelah kita terpisah dalam serangan prajurit2 tihu itu?"
Rahib itu mengangguk. ( bersambung ). -oo0dw0oo- Jilid 21 Seperti kematian yang merupakan rahasia alam yang tak
mungkin dapat diketahui manusia, demikian pula dengan
nasib orang. Bun Lian Ing adalah puteri seorang wan-gwe ( hartawan
). Cantik dan mahir dalam ilmu sastera serta memetik
harpa. Dia merupakan kebanggaan dari hartawan Bun dan
merupakan * kembang ' dari karesidenan Kwan-ciu. Ayahbundanya
mencita-citakan agar puterinya itu kelak menjadi
isteri dari pangeran kerajaan atau setidak-tidaknya orang
yang berpangkat. Memang tak ada orangtua yang tak menginginkan
anaknya bahagia. Tetapi nasib berkata lain. Gadis jelita itu telah
menyerahkan hatinya kepada seorang pemuda miskin yang
bernama Cu Ho San. Ho artinya sungai dan San artinya
gunung. Ho San sungai dan gunung atau tanah air. Karena
orang tani yang bodoh, ayahnya bingung memberi nama
dan sekenanya saja dia menamakan puteranya itu Ho San.
Peristiwa perkenalan si jelita Lian Ing dengan Ho San
hanya secara kebetulan saja. Yalah ketika bulan delapan
tanggal limabelas, menurut adat naluri rakyat, maka pada
malam purnama itu, gadis pingitan diberi kebebasan untuk
bersembahyang ke kelenteng.
Bahwa si kembang cantik Lian Ing pada malam itu akan
mengunjungi kelenteng Hok-sin-bio, telah tersiar luas.
Maka pada malam itu banyaklah pemuda2 hidung belang
yang berbondong antri menunggu kedatangan Lian Ing.
Setelah selesai bersembahyang maka Lian Ing yang naik
tandu dan dipikul oleh empat orang dan diantar oleh
beberapa orang gajihan hartawan Bun segera meninggalkan
kelenteng. Dalam perjalanan pulang itu, mereka harus melalui
sebuah jembatan. Tiba2 sekelompok pemuda yang dipimpin
oleh seorang pemuda berpakaian indah, mencegat tandu.
"Berhenti," bentak salah seorang pemuda yang bertubuh
kekar. Sebagai seorang kaya, sudah tentu hartawan Bun juga
memelihara beberapa jago untuk melindungi keluarganya.
Pada malam itu salah seorang jago keluarga Bun yang
bernama Ciu kausu, disuruh mengawal Lian Ing.
"Siapa kalian ini !" Ciu kausu serentak maju dan
menggertak pemuda itu. "O, engkau tukang pukul Bun wan-gwe, ya?" ejek
pemuda itu. "dengarkan, nona yang didalam tandu ini akan
kubawa." "Boleh," sehut Ciu kausu, "asal enggau mampu melawan
ini," ia acungkan tinjunya.
"Ha, ha, ha," pemuda itu tertawa, "aku justeru gemar
makan benda seperti itu. Cobalah engkau layangkan
kepadaku." Ciu kausu terus menyerang orang itu. Selagi keduanya
bertempur, rombongan pemuda yang lainnya segera
menyerbu pengiring tandu. Terjadi baku hantam yang
ramai. Tiba2 pemuda berpakaian indah tadi menghampiri
tandu yang sudah diletakkan di tanah oleh para pemikulnya
yang ikut terlibat dalam perkelahian.
"Nona. ikutlah aku," kata pemuda itu setelah membuka
pintu tandu. "Siapa engkau !" Lian Ing terkejut.
"Jangan takut, aku akan menolong nona," kata pemuda
berpakaian indah itu. Lian Ing bersangsi tetapi dengan cepat pemuda itu sudah
menarik tangan Lian Ing terus dilarikan. Ciu Kausu terkejut
dan hendak memburu tetapi dia tetap dilibat oleh lawannya.
Pemuda berpakaian indah itu menaikkan Lian Ing keatas
kuda dan terus dilarikan. Lian Ing terkejut ketika
mengetahui bahwa kuda itu tidak menuju kedalam kota
melainkan lari ke luar kota.
"Hai, kemana kita ini?" seru Lian Ing.
"Nanti engkau tentu tahu sendiri."
Lian Ing hendak berontak tetapi begitu bahunya
dipegang oleh pemuda itu, dia menjadi lemas tak dapat
bergerak lagi. Ternyata pemuda itu melarikan kudanya ke sebuah
gunung. Dia seorang kepala rampok yang sering mengganas
di kota2. Selain harta, pun wanita2 yang cantik juga
diculiknya. "Inilah tempat tinggal nona," katanya setelah membawa
Lian Ing kedalam sebuh gedung.
"Ini bukan rumahku!" teriak Lian Ing.
"Tetapi sekarang akan menjadi rumah nona, karena nona
akan menjadi isteriku!"
"Bangsat, siapa sudi menjadi iserimu!"
"Sudi atau tak sudi, itu bukan soal. Yang penting malam
ini engkau beristirahat dulu dan besok malam akan menjadi
nona pengantinku," kata pemuda itu seraya terus ngeloyor
pergi. Malam itu seorang bujang perempuan datang membawa
hidangan. Dari bujang itu barulah Lian Ing mengetahui
bahwa dirinya telah masuk kedalam sarang penyamun.
"Cici," kata Lian Ing kepada pelayan yang masih muda
itu, "engkau seorang wanita dan aku pun juga. Tentunya
engkau dapat merasakan betapa penderitaanku saat ini.
Maukah engkau menolongku?"
Bujang itu kerutkan dahi, "Tetapi bagaimana caranya"
Tak mungkin nona dapat keluar dari sarang ini."
Lian Ing melolos tusuk kundai dan diberikan kepada
bujang itu, ''Cici, tusuk kundai ini sebuah benda pusaka
yang tak ternilai harganya. Cukup untuk engkau makan
seumur hidup. Kuberikan kepadamu sebagai tanda terima
kasihku atas bantuanmu."
"Tetapi nona," pelayan itu gugup, "bagaimana aku dapat
menolong nona?" "Begini," Lian Ing membisiki beberapa patah kata dan
bujang itupun mengangguk. Tak berapa lama mereka
bertukar pakaian. Lian Ing memakai pakaian bujang itu dan
bujang itu berganti memakai pakaiannya. Setelah tu si
bujang disuruh minum arak dau tidur diatas ranjang.
"Jika besok kepala begal itu datang, katakan kalau
semalam engkau telah kuloloh arak. sehingga mabuk.
Tahu2 waktu bangun, engkau tidur diatas ranjang. Dengan
jawaban itu tanggung engkau takkan mendapat hukuman
dari penjahat itu." Setelah mendapat keterangan dari si bujang tentang
sebuah jalan kecil di belakang gunung dapat menuju ke kaki
gunung, Lian Ingpun segera lolos.
Menjelang pagi dia berhasil tiba dijalan yang menuju ke
kota. Tetapi alangkah kejutnya ketika empat orang
penunggang kuda mengejarnya. Ketika keempat
penunggang kuda itu kendak menangkap Lian Ing,
muncullah seorang pemuda yang bertubuh tegap. Pemuda
itu hendak berburu ke hutan.
Pemuda itu menolong Lian Ing dan bertempur dengan
keempat anakbuah penyamun. Pemuda itu babak belur dan
kalah tetapi dia nekad melawan dan akhirnya dia berhasil
memanah keempat, penunggang kuda itu sehingga mereka
melarikan diri. Dengan bantuan pemuda desa itu, akhirnya dapatlah
Lian Ing pulang ke rumahnya. Hartawan Bun gembira
sekali dan hendak memberi hadiah uang kepada pemuda
itu. Tetapi pemuda itu menolak. Tertarik akan
kejujurannya, hartawan Bun lalu memberinya pekerjaan
sebagai kepala gudang. Sejak itu terjalinlah hubungan asmara antara Lian Ing
dan Ho San. Tetapi hal itu dilakukan secara sembunyi
karena baik Lian Ing maupun Ho San sama2 menyadari
bahwa hartawan Bun tentu takkan menyetujui pernikahan
mereka. Namun akhirnya terjadilah peristiwa yang menuntut
keberanian mereka. Tihu melamar Lian Ing untuk dijadikan
isteri puteranya dan sudah tentu hartawan Bun gembira
sekali menerimanya. Yang sedih dan bingung adalah Lian
Ing dan Ho San. Sebenarnya Ho San tahu diri tetapi Lian Ing mendesak
agar pemuda itu berani bertanggung jawab untuk minggat
dari rumahnya. Ho San tergugah semangatnya atas cinta
Lian Ing Keduanya segera melarikan diri. Tihu dan
hartawan Bun marah sekali. Tihu memerintahkan
sepasukan prajurit untuk mengejar.
Dua bulan lamanya pengejaran itu dilakukan dan
berhasillah mereka mengetahui tempat persembunyian
kedua insan itu. Ho San dapat ditangkap tetapi Lian Ing dapat melarikan
diri bersembunyi disebuah gua. Dia tak mau kembali ke
rumah orangtuanya karena merasa dirinya sudah menjadi
isteri Ho San. Dan lagi diapun tak mau menikah dengan
putera tihu yang kabarnya kurang sehat pikirannya.
Selama dua bulan bersama Ho San, keduanya telah
sepakat untuk menjadi suami isteri sebagai pernyataan dari
cinta mereka yang abadi. Selama dua bulan menjadi
pengantin, itu mereka telah me nikmati hari2 yang bahagia
dan sebagai hasilnya, Lian Ingpun mengandung benih dari
Ho San. Itulah sebabnya maka ia bertekad tak mau pulang
kerumah orang tuanya lagi.
Berbulan-bulan dia hidup sengsara dalam gua di tengah
hutan belantara, sampai akhirnya dia ditemukan oleh
seorang pemburu. Dia dibawa pulang ke rumah pemburu
itu. Isteri si pemburupun amat sayang kepada Lian Ing dan
menganggapnya sebagai anak sendiri.
Tetapi baru beberapa bulan Lian Ing hidup tenang dan
sempat melahirkan bayi seorang anak laki maka datanglah


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula musibah baru. Pada suatu hari bermunculan berpuluh prajurit kerajaan
Beng di hutan itu. Ternyata mereka sedang mengiring
seorang pangeran berburu. Melihat Lian Ing, mereka
hendak mengganggu, untunglah sang pangeran itu datang
dan marah. Ketika melihat seorang anak kecil berumur satu
tahun, yalah anak dari Lian Ing, tertariklah hati pangeran
itu. Sudah belasan tahun menikah, ia belum mendapat
putera. Menurut seorang sinshe gwa-mia atau ahlinujum,
pangeran itu harus memungut anak dulu baru kelak
isterinya dapat melahirkan anak sendiri. Kalau memungut
anak laki, kelak isterinya juga akan melahirkan anak laki.
Kalau menginginkan anak perempuan, pangeran itu harus
memungut bayi perempuan. Teringat akan ramalan itu, ia terus mengambil anak laki
dari Lian Ing. Sudah tentu Lian Ing meraung-raung
menangis. Tetapi apa daya, kekuasaan pembesar daerah
apalagi seorang pangeran. besar sekali. Lian Ing telah diberi
uang seratus tail emas, Dan anaknyapun terus dibawa
pangeran itu. Lian Ing seperti orang gila. Dia serahkan uang itu kepada
suami isteri pemburu dan dia sendiri terus minggat.
Pikirannya seperti orang gila. Berbulan-bulan dia
mengembara kemana-mana sampai akhirnya dia ditemu
oleh seorang rahib dan dirawatnya. Ternyata rahib itu
seorang yang sakti. Berkat rawatan dan nasehat2 yang
tekun dari rahib itu, pelahan-lahan Lian Ing mendapat
ketenangan lagi. Dia diangkat menjadi murid rahib itu.
Selain ilmusilat, pun Lian Ing mendapat ajaran tentang
kitab2 suci sehingga pikirannya makin tenang dan sadar
akan perjalanan hidup manusia.
"Demikianlah saat itu Lian Ing mengakhiri ceritanya
kepadaku," kata Hong-ho lojin kepada Sian Li.
"Dimanakah putera Bun siocia " Apakah waktu
puteranya dibawa pergi, Bun siocia tak menanyakan nama
pangeran itu ?" tanya Stan Li.
"Sudah." sahut kakek berambut pulih itu, "tetapi
pangeran itu pintar dan tak mau memberitahu namannya.
Dia kuatir kelak Lian Ing mencari puterauya."
"Lalu bagaimana hubungan lo-jin dengan Bun siocia ?"
tanya Sian Li pula. "Setelah mendengarkan uraiannya yang panjang lebar
tentang perjalanan hidup manusia, akhirnya aku
memperoleh kesadaran juga. Aku rela melepaskan dia
untuk melanjutkan pengabdiannya dalam biara. Namun
aku merasa bahagia pada taat perpisahan yang berat itu."
"Mengapa ?" tanya Sian Li. "Dia telah memberiku
sebuah mutiara yang amat berharga."
"Mutiara " Dimanakah mutiara itu ?"
"Bukan mutiara benda melainkan sebuah mutiara
sumpah hatinya. Lian Ing berkata ..." in-long, kita harus
berani menerima kenyataan hidup seperti yang telah
digariskan oleh karma hidup kita. Tetapi percayalah,
inlong, walaupun sekarang aku tak dapat menjadi isterimu,
kelak dalam penirisanku yang akan datang, aku akan selalu
berada didampingmu, sekalipun andaikata aku ditakdirkan
harus menjadi budakmu ?"
Kakek itu menengadah memandang cakrawala.
'"Cinta itu suatu pengorbanan. Orang yang menganggap
Cinta itu suatu nafsu kemilikan, bukan Cinta yang murni
tetapi Cinta egois. Cinta adalah perasaan jiwa, bukan nafsu
raga. Memang suatu kebahagiaan tiada taranya apabila
Cinta itu dapat terwujud dalam ikatan jiwa dan raga,
jasmaniah dan rohaniah. Tetapi ada kalanya Cinta itu
mengalami rintangan, tak dapat terwujud dalam ikatan
jasmaniah. Tetapi barang siapa menghayati akan hakekat
dari Cinta murni yakni Cinta yang terpancar dari pancaran
jiwa, segala rintangan dan segala kegagalan terwujudnya
ikatan jasmaniah itu, tidakkah mengiringi kebahagiaan
ikatan jiwa yang telah berpadu satu....."
"Benar," terdengar kakek itu melanjutkan celotehnya,
"Lian Ing telah menyadarkan hatiku tentang arti Cinta yang
murni. Dalam jiwanya akulah satu-satunya pria pujaannya.
Dan dalam hatiku, dialah satu-satunya wanita yang kupuja.
Barangsiapa yang menghayati akan keagungan Cinta, dia
akan menemukan kebahagiaan jiwa ......."
Tercekat hati Sian Li mendengar kata2 kakek itu. Ada
sesuatu yang menggelitik dalam hati sanubarinya.
"Benar, cinta itu memang suatu pengorbanan,"
tergetarlah desau bisik dalam hatinya.
Terdengar kakek itu menghela napas panjang.
Sian Li tersentak dari lamunannya, "Lalu bagaimana
hubungan lo-jin dengan Bun siocia."
"Pada waktu itu dia menyerahkan sebuah kalung
kepadaku," kata kakek tua, "dia mengatakan bahwa waktu
lari dari rumah orangtuanya ia membawa sepasang kalung
pusaka, pemberian ibunya. Kalung itu aneh sekali. Masing2
mempunyai bandul permata yang terbuat dari zamrud hijau
dan merah. Zamrud hijau diukir dengan lukisan seekor
burung Hong, demikian pula zamrud merah. Tetapi apabila
sepasang kalung itu dilekatkan satu sama lain, maka
berobahlah cahayanya. Bukan hijau, bukan merah tetapi
putih cemerlang. Demikian pula kedua ukiran burung Hong
itu ber-obah bentuknya menjadi burung Hong dan Liong (
naga ), lambang dari wanita cantik dan pria ksatrya .......... "
"O," desuh Sian Li terkejut.
"In-long," kata Lian Ing saat itu, "mungkin aku tiada
sempat lagi untuk mencari putera kita itu. Maka kuserahkan
kalung zamrud yang hijau ini kepadamu. Kalung zamrud
merah kupakaikan pada puteramu. Kalung itu
memancarkan lukisan Naga. Apabila engkau sempat
mencarinya, kalung ini dapat engkau pergunakan untuk
mengenal puteramu .......... "
"Apakah kalung itu masih lo-jin simpan?" tanya Sian Li.
Kakek itu mengangguk, "Nanti kalau kembali ke gua,
akan kutunjukkan kepadamu."
Tiba2 terdengar suara orang merintih. Ternyata Bun Sui,
putera jenderal Lau, sudah siuman dari pingsannya. Dia
merasa tulang-tulangnya sakit semua.
"Engkau ....!" ia berteriak kaget demikian melihat Sian
Li. "Ya, jenderal Lau ayahmu, telah meminta bantuanku
untuk mencari engkau," sahut Sian Li.
Bun Sui teringat akan peristiwa yang dialaminya
beberapa waktu. "Kami beramai-ramai telah mencarimu," kata Sian Li
lebih lanjut, "termasuk Bok kongcu putera kemanakan dari
mentri Su Go Hwat tayjin itu juga. Kemana saja engkau
selama ini" Mengapa engkau bersama kaki tangan Ceng
yang bersenjata sepasang pit-besi itu?"
Bun Sui menyadari bahwa yang dimaksud Sian Li
tentulah Ko Cay Seng. Ia harus menyembunyikan
hubungannya dengan Ko Cay Seng.
"Aku memang ditawan oleh pasukan Ceng, tetapi setelah
menyadari aku ini putera jenderal Lau, dia orang yang
engkau katakan menggunakan senjata pit-besi itu, segera
mengantarkan aku. Maksudnya dia memang hendak
membebaskan aku," kata Bun Sui.
"Siapakah orang itu?"
"Dia bernama Ko Cay Seng, orang kepercayaan
panglima besar Torgun dari kerajaan Ceng."
"Hm," desuh Sian Li yang teringat bahwa Ko Cay Seng
itu pernah datang ke puncak Giok-li-nia untuk menangkap
Blo"on. "Jika demikian mari kita pulang," kata Sian Li.
"Siapakah lojin (orang tua) ini ?" tanya Bun Sui.
"Dia adalah.....," Sian Li berpaling memandang kakek
itu, "Hong-ho lo jin," sahut kakek itu," aneh, ternyata engkau
anak seorang jenderal, Mengapa engkau berjalan bersama
seorang kaki tangan ke-rajaan Ceng. Bukankah kerajaan
Ceng itu musuh dari kerajaan Beng ?"
"Tadi sudah kukatakan bahwa aku telah di tangkap
pasukan Ceng, kemudian setelah tahu siapa diriku, dia terus
hendak mengantarkan aku pulang,..."
"Aneh, aneh" gumam Hong-ho lojin.
"Mengapa lo jin ?" seru Sian Li.
"Biasanya kait pancingku itu hanya mengait binatang,
ikan maupun mahluk yang jahat dan salah. Kalau binatang
yang baik dan mahluk yang jujur, kait itu tak mau
memakannya." "Ah," Sian Li terkejut mendengar keterangan itu. Diam2
ia heran dan hampir tak mempercayai kata2 orangtua itu.
"Memang jika belum tahu, orang tentu tukar
mempercayai keteranganku itu," kata Hong-ho lojin, "tetapi
semua rakyat dalam hutan ini tahu bahwa Ok-hong-tiau
(pancing Angin-busuk ) hanya memancing mahluk yang
jahat dan bersalah saja!"
"Ok-hong-tiau?" ulang Sian Li, "apakah itu nama
pancing lo-jin?" "Ya." "Mengapa dinamakan begitu?"
"Setiap mahluk yang bergerak tentu akan menimbulkan
getaran angin. Dan angin itupun akan bergelombang
sampai jauh. Gelombang angin itulah yang akan
menggetarkan kait Ok-hong-tiau. Jika angin itu berasal dari
orang yang berhati busuk atau yang bersalah maka
gelombangnya akan menimbulkan getaran keras pada kait.
Dan kait itupun segera akan bergerak untuk mengait orang
atau mahluk itu. Sebelum dapat menangkap mahluk itu,
kait tetap akan memancarkan getar. Tetapi apabila angin itu
berasal dari mahluk yang baik dan tidak berhati salah, kait
pancing itupan tidak memancarkan getar apa2."
"Ah," kembali Sian Li mendesah. Nadanya seperti orang
yang kurang percaya. "Engkau tentu belum percaya, bukan?"
"Ah, tidak lo-jin, mana aku tak percaya?" buru2 Sian Li
berkata, "Jangan bohong," seru Hong-ho lojin, "aku bendak
membuktikan tentang keteranganku mengenai pancing Okhong-
thiau itu!" "Aku akan memasang tali pancing kira2 dua ratus
langkah dari tempat ini. Setelah itu kalian boleh berjalan ke
sana. Satu demi satu. Engkau dulu." ia menunjuk Sian Li,"
kira2 sepuluh menit baru dia menunjuk Bun Sui.
Kakek itu terus berjalan ke muka dan berhenti lebih
kurang dua ratus langkah disebelah muka. Setelah meneliti
dahan2 pohon diatas, dia terus enjot tubuhnya melayang
keatas dan hinggap pada sebatang dahan pohon yang
tingginya lima tombak. Kemudian ia memasang tali
pancingnya yang diluncurkan kebawah.
Sebenarnya Sian Li tak mau. Ia sungkan kepada kakek
yang pernah menolong jiwanya itu. Tetapi karena kakek itu
memaksanya, terpaksa dia melakukan juga, sekalian hendak
membuktikan keterangan kakek itu.
Tiba di bawah tali pancing itu, dia tak merasakan suatu
apa dan terus ke muka, kemudian berhenti kira2 sepuluhan
langkah. Memandang keatas ia melihat kakek itu duduk
bersila diatas dahan, pejamkan mata bersemedhi, Sian Li
tak mau mengganggunya. Beberapa saat kemudian kakek itu berseru, "Sekarang
silakan engkau ,...!"
Bun Suipun melangkah. Tiba di bawah kait tiba2 kait itu
melayang dan menyambar tengkuk bajunya. Sebenarnya
Bun Sui sudah siap2. Begitu akan disambar kait, dia hendak
menghindar. Tetapi pada waktu terjadi, ternyata dia tak
mampu menghindar lagi. "Dia mengandung hati yang tak baik, mungkin
berbohong," seru Hong-ho lojin.
Merah muka Bun Sui. Tetapi diam2 dia mengakui
kelihayan kakek itu. Memang dia memberi keterangan
bohong kepada Sian Li mengenai hubungannya dengan Ko
Cay Seng. "Ah," desuh Sian Li penuh heran dan kagum. Sekarang
dia baru percaya. "Bagaimana ?" tanya kakek itu kepadanya.
"Ya, aku percaya." kat Sian Li kemudian meminta agar
kakek itu menurunkan tubuh Bun Sui.
Hong-ho lojin mengibaskan tali dan kait yang menancap
pada tengkuk baju Bun Sui supaya lepas.
"Engkau yang bohong kakek jahanam!" Bun Sui marah.
Ia menjemput batu, dilontarkan kepada Hong-ho lojin yang
masih berada diatas pohon dan terus melarikan diri.
Sian Li terkejut dan hendak mengejar.
"Tak perlu, anak perempuan! Biarkan dia lari," seru
Hong-ho lojin seraya melayang turun." "Tetapi".."
"Karena rahasia hatinya terbuka, dia malu dan marah.
Tetapi biarkanlah saja," kata Hong-ho lojin.
"Tetapi aku harus membawanya kepada jenderal Lau,"
seru Sian Li. "Tentu," sahut Hong-ho lojin, "nanti engkau tentu akan
bertemu dengan dia lagi dan bersama-sama ke markas
jenderal itu." "Tetapi bukankah dia sudah lari?"
"Ya, tetapi dia tentu akan ditahan oleh beberapa
anakbuahku." "O, lojin punya anakbuah?"
"Sudah kukatakan bahwa seluruh margasatwa di hutan
ini adalah anak bauahku. Tanpa kuberi tanda, orang tentu
tak dapat keluar dari hutan ini."
"Siapakah yang menghadangnya?"
"Mana saja yang tahu," kata Hong-ho lojin, "kalau yang
tahu kera, mereka akan mennnggil seluruh kawannya untuk
menghadang. Kalau yang tahu ular, juga akan memanggil
kawan-kawannya. Celakanya kalau yang tahu itu si
harimau, wah dia tentu akan pingsan."
"Ah, bagaimana kalau dia sampai mati?"
"Jangan kuatir," kata Hong-ho lojin, "sebelum aku
datang, kawanan binatang anakbuahku tak berani
membunuh. Mereka hanya menahan supaya orang itu tak


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lari dan menunggu kedatanganku."
"Ah," diam2 Sian Li menghela napas. Dia benar2 kagum
atas peribadi kakek yang serba aneh dan istimewa. Setelah
melihat bukti dari pancing Ok-hong-tiau tadi, kini Sian Li
tidak berani tidak percaya lagi.
Hong-ho lojin mengajak Sian Li kembali ke dalam gua.
Ia mengambil kalung zamrud hijau dan diberikan kepada
Sian Li, "Sian Li, maukah engkau menolong aku ?"
"Tentu, lojin. Aku tentu akan melakukan apa saja yang
lojin perintahkan." Hong-ho lojin menghela napas, "Inilah yang pertama kali
aku meminta bantuan kepada orang..."
"Ah, harap lojin jangan mengatakan begitu. Lojin sudah
menyelamatkan jiwaku, aku wajib menyerahkan jiwa
ragaku untuk membantu lojin."
"Takdir hidup, kuasa Tuhan," kata Hong-ho lojin,
"engkau terakir pancingku, bukanlah aku yang menolong
melainkan memang takdir hidupmu belum selesai. Dan
itulah kekuasaan Tuhan yang maha besar bahwa engkau
yang tercebur dalam arus sungai Hong-ho yang begitu,
deras, ternyata tak mati. Aku hanyalah sebagai sarana
untuk melaksanakan kekuasaan Tuhan saja ..."
"Ah, bagaimanapun kenyataannya lojinlan yang
menolong jiwaku. Budi lojin itu pasti takkan kulupakan
selama-lamanya," kata Sian Li.
'Sudahlah, anak perempuan." seru Hjng-ho lojin,
"janganlah kita berbicara soal budi lagi. Sekarang aku
hendak minta bantuanmu, maukah engkau?"
"Tentu, lojin, tentu," seru Sian Li jrempak, "bahkan
sekalipun lojin suruh aku terjun ke lautan api, aku tetap
akan melakukan." "Ah, tak perlu begitu ngeri, anak perempuan," Hong-ho
lojin tertawa, "aku hanya minta bantuanmu untuk
mencarikan orang yang mempunyai pasangan dari kalung
Zamrud hijau ini." ''Oh, maksud lojin, putera lojin yang diambil pangeran
itu?" Hong-lo iojin menghela napas, "Kurasa mungkin dia
sudah tiada. Inilah yang sukar. Kalau dia masih hidup,
walaupun tipis kemungkinannya tetapi masih ada harapan
juga. Tetapi kalau dia sudah meninggal, sekalipun dia
mempunyai anak, tentu sukar untuk mengenalnya .......... "
"Lo-jin, lebih baik berusaha daripada tidak. Gagal atau
berhasil. serahkan saja kepada takdir! yang sudah digariskan
Tuhan," kata Sian Li, "aku akan tetap akan melaksanakan
pesan lojin. Aku tak dapat memberi ketetapan kapan aku
dapat menyelesaikan hal itu, dan gagal atau berhasilkah aku
menemukannya. Tetapi aku tetap akan mengusahakan
dengan sepenuh tenagaku, lojin."
"Baik, anak perempuan," kata Hong-ho lojin, "sekarang
engkau boleh minta sebuah ilmu kepandaian apa saja dari
aku, Ilmusilat tangan kosong atau ilmupedang atau ilmu
bermain senjata apa sajal"
"Ah, tidak lojin," seru Sian Li, "mana aku berani
meminta suatu apa" Bahwa lojin telah memberi pesan
kepadaku itu, sudah merupakan suatu kebahagiaan dari aku
karena aku dapat membantu lojin."
"Anak perempuan," kata kakek itu, "jika engkau anggap
aku telah melepas budi kepadamu, engkau boleh membalas
dengan budi juga. Aku menolong jiwamu, kelak engkau
boleh membalas jiwaku. Tetapi sekarang aku minta bantuan
kepadamu, engkau harus juga minta sesuatu kepadaku."
"Ah, mengapa lojin bersikap begitu?"
"Ini sudah menjadi garis hidupku, anak perempuan. Aku
tak mau berhutang kepada orang juga tak mau memberi
hutang. Apabila engkau tak mau, akupun tak jadi meminta
bantuanmu." Dulu suhunya, Kiam Thian Cong, pernah menceritakan
kepadanya bahwa dalam dunia persilatan ini banyak sekali
tokoh2 sakti yang menyembunyikan diri. Biasanya tokoh2
macam begitu tentu aneh perangainya. Jika berhadapan
dengan tokoh semacam itu, engkau harus melakukan apa
yang dikehendaki, tak perlu sungkan. Demikian pesan Kim
Thian Cong kepada Sian Li.
Serta teringat hal itu, Sian Li baru mengakui apa yang
diceritakan mendiang suhunya itu memang benar. Hong-ho
lojin yang dihadapinya saat itu tentulah termasuk tokoh
sakti berwatak aneh yang mengasingkan diri dari dunia
ramai. "Hm, percumalah menolak kehendaknya. Baik aku
menurut saja," pikirnya.
"Baik, lojin," akhirnya dia berkata, "karena lojin
memerintahkan, aku minta ilmu pancing saja,"
"Ah," tiba2 kakek itu mendesuh, "mengapa yang itu "
Aku hanya punya sebatang pancing, kalau kuberikan
kepadamu, lha aku pakai apa " Tetapi tak apalah, karena
aku sudah berjanji ...."
"O, maaf, lojin," buru2 Sian Li berseru "Aku tak jadi
minta ilmu itu. Terserah saja bagai mana lojin hendak
memberi kepandaian macam apa kepadaku."
Hong-hong lojin merenung sejenak lalu berkata,
"Bagaimana kalau kuberimu ilmu bermain payung ?".
"Ilmu payung ?" ulang Sian Li.
"Ya," kata Hong-ho lojin," kurasa tepat sekali untukmu."
Sian Li menurut saja. Kakek itu masuk ke dalam kamar
dan membawa keluar sebuah peti kayu berlapis perak,
Kemudian dia mengeluarkan sebuah benda dari dalam peti
itu. Benda itu panjangnya hanya seperempat meter, seperti
segulung kulit. "Inilah payung Yeti yang hendak kuberikan kepadamu,"
kata Hong-ho lojin. "Mengapa disebut payung Yeti, lojin ?"
"Ada ceritanya juga," kata si kakek, "setelah menerima
zamrud hijau diri Lian Ing, aku-pun segera mengembara
keseluruh peloksok tanah air untuk mencari anakku itu.
Sampai aku pernah ditawan oleh orang Biau tetapi aku
dapat meloloskan diri sehingga sampai ke pegunungan Coumo-
long-ma (Himalaya). "Waktu aku tiba di sebuah desa penduduk Himalaya
ternyata desa itu sedang diserang oleh serombongan orang
Thian-tiok (India) yang hendak mengadakan perburuan
Yeti "Apakah Yeti itu, lojin ?"
"Yeti adalah sebangsa manusia-kera yang hidup di
pegunungan Himalaya. Badannya tinggi besar dan
merupakan jenis mahluk yang hampir ludas dari dunia. Yeti
itu masih liar, tak mau didekati manusia sehingga manusia
tertarik sekali untuk menyelidiki rahasia asal usul mereka."
"O, lalu ?" "Orang2 Thian-tiok itu hendak berburu Yeti tetapi
penduduk di pegunungan Himalaya menenteng. Yeti
dianggap sebagai mahluk suci yang menunggu keselamatan
gunung Co-mo-long-ma. Terjadi pertentangan dan akhirnya
mereka berkelahi, Ternyata orang2 Thian Tiok itu pandai
ilmu silat sehingga penduduk pegunungan itu kalah. Saat
itulah aku datang. Karena menganggap pendirian penduduk
pegunungan itu benar, aku membantu mereka. Akhirnya
aku dapat mengalahkan orang2 Thian Tiok."
"Penduduk berterima kasih kepadaku. Dan sebagai tanda
pernyataan terima kasih mereka telah menghadiahkan
sebuah payung pusaka. "Payung ini terbuat dari kulit manusia Yeti yang
kebetulan mati karena mendapat kecelakaan dan kami
temukan. Walaupun daging mayat itu sudah hancur luluh
dan menjadi cairan air, namun kulitnya masih tetap utuh.
Dengan susah payah memakan waktu sampai setahun,
barulah kami dapat membuka kulit manusia Yeti yang
sudah menjadi mayat itu. Ternyata kulitnya luar biasa
kerasnya. tak mempan dibacok dengan senyata tajam. Dan
ada suatu keistimewaan lagi, ternyata kulit manusia Yeti itu
dapat menahan hawa dingin. Kami jadikan kulit manusia
Yeti itu menjadi sehelai baju dan sebuah payung. Silakan
anda memilih yang mana," kata kepala suku kepadaku.
"Aku menyatakan memilih payung," kata Hong-ho tojin.
"Mengapa lojin tak memilih bajunya ?"
'"Ah, baju itu berguna untuk mereka apabila harus
menjelajah naik ke puncak yang tertinggi. Sedang aku tidak
memerlukan benda itu. Maka akupun memilih payung saja.
Dan inilah payung itu."
Payung itu terdiri dari tiga ruas batang. Yang diatas lebih
kecil dari yang dibawah sehingga dapat dimasukkan
kedadam ruas yang paling bawah sendiri. Pada tangkai ruas
itu dipasang alat. apabila ditekan maka kedua ruas yang
masuk kedalam induk ruas, akan meluncur keluar sehingga
tangkai payung itu mencapai satu meter panjangnya. Dan
karena kulit payung itu tipis dan lemas maka dapat dilipat.
Hong-ho lojin meminta payung itu, "Beginilah cara
untuk merentang payung itu," dia menekan alat pada induk
ruas. Serentak merentanglah dua buah ruas dari dalam
induk-ruas itu dan kulitpun bertebar menjadi sebuah
payung, "Jika hendak menutup, cukup tekanlah ujung ruas
yang paling atas agar masuk kedalam induk-ruas" kata
Hong-ho lojin seraya memberi contoh.
"Sekarang akan kuajarkan kepadamu sebuah ilmu
memainkan payung itu. Ilmu permainan itu disebut Ye-tihud-
swat atau Yeti menyapu-salju. Kegunaan jurus
permainan itu untuk melindungi diri dari taburan senjata
rahasia, serangan dari beberapa lawan yang mengerubut
kita," kata Hong-ho lojin.
Sian Li mengangguk-angguk. Hong-ho lojinj pun segera
mengajarkan jurus permainan payung yang disebut Ye-tihud-
swat itu. Diam2 Sian Li terkejut. Ternyata gerakan
payung dari Hong-ho lojin itu tak ubah seperti badai
prahara yang melindungi tubuhnya. Sesaat tubuh Hong-ho
lojin seperti 'hilang' dilingkupi sinar payung.
"Hebat !" teriak Sian Li memuji, "dari mana lojin
mempalajari ilmu kepandaian itu ?"
"Berbulan-bulan aku tinggal di daerah pegunungan Como-
long-ma. Aku melihat bagaimana ngerinya apabila
badai salju tiba. Kuperhatikan cara2 badai salju itu
menghambur dan cara penolakannya. Setelah tekun
menumpahkan perhatian maka akupun mendapat ilham
untuk menciptakan ilmu melindungi diri dengan payung."
Berkat otaknya yang cerdas dan bakat yang baik, dalam
tempo kurang dari setengah hari saja dapatlah sudah Sian
Li memahami ilmu permainan itu. Setelah disuruh
memainkan dan diberi petunjuk lebih lanjut, Sian Lipun
sudah menguasainya. Diam2 dara itu gembira sekali.
Menurut penilaiannya, jurus permainan payung itu berbeda
sekali dengan jurus" dalam ilmu silat atau ilmu senjata di
dunia persilatan. Entah darimana Hong-ho lojin dapat
menciptakan ilmu permainan yang aneh dan istimewa itu.
"Sian Li," kata Hong-ho lojin, "tiada pesta yang takkan
usai. Demikian dengan kehidupan kita. Ada saat berkumpul
dan ada saat berpisah. Engkau masih mempunyai tugas lain
dan perjalanan hidupmu masih panjang. Aku takkan
menahan engkau lebik lama disini. Aku tetap akan
melanjutkan kehidupan yang tenang di tepi sungai Hong-ho
ini sampai akhir hayatku. Sekarang jika engkau hendak
berangkat, silakan, aku sudah tak ada pesan apa2 lagi."
"Terima kasih lojin," serta merta Sian Li berlutut dan
memberi hormat dihadapan kakek itu, "pesan lojin untuk
mencari putera atau cucu lojin pasti akan kulaksanakan
dengan sepenuh hati. Apabila kelak berhasil
menemukannya, tentu akan kubawa kemari untuk bertemu
dengan lojin." Hong-ho lojin menghela napas, "Ah, memang itulah
tujuan hidupku satu-satunya. Tetapi ?" ah, adakah hal itu
dapat terlaksana, kuserahkan saja kepada Tuhan yang
Maha Tahu. Terima kasih, Sian Li, dan semoga engkau
berhasil dalam usahamu."
Setelah memberi hormat Sian Li terus hendak melangkah
pergi tetapi Hong-ho lojin mencegahnya, "Tunggu dulu,"
katanya, "aku lupa untuk memberitahu kepadamu. Apabila
engkau hendak membawa anak jenderal itu, engkau harus
membawa pertandaan dari aku supaya binatang yang
mengepungnya itu menyingkir dan mau melepaskan dia."
Ia memberi kepada Sian Li sebuah doos kecil, "Doos ini
berisi bubuk kembang api. Apabila engkau banting doos ini
ke tanah, maka isinya akan memancarkan bunga api yang
berwarna warni. Nah, binatang'2 itu tentu tahu bahwa aku
sudah memberi kekuasaan kepadamu."
Setelah menghaturkan terima kasih dan menyambuti
doos itu barulah Sian Li melangkah pergi. Berat nian
hatinya untuk berpisah dengan kakek yang sudah sebatang
kara dan tinggal di tengah hutan belantara seorang diri itu.
"Tetapi ah, masih banyak tugas yang harus kuselesaikan.
Sudah berpuluh tahun dia dalam keadaan hidup seorang
diri. Biarlah, yang penting aku harus dapat menemukan
putera atau cucunya dan akan kubawa kepadanya,"
akhirnya ia bulatkan hati dan terus lari.
Tiba hampir pada ujung hutan, dia terkejut menyaksikan
suatu pemandangan yang menakjubkan tetapipun
mendebarkan. Ternyata Bun Sui masih tegak berdiri dengan
wajah tegang. Sedang di sekelilingnya tampak beberapa
jenis binatang. Didepan tampak berpuluh ekor ular sedang tidur
melingkar menutup jalan, Di belakang terdapat seekor
harimau sedang mendekam. Dan di sebelah kanan tampak
berpuluh ekor kera sedang di sebelah kiri berkerumun
beberapa ekor anjing serigala. Bun Sui tertahan di tengah2
tak berani menerjang keluar. Tetapi binatang2 itupun tak
mau menyerang, melainkan hanya mendekam di tempat
masing2. "Ah, benar2 suatu keajaiban yang apabila kuceritakan
tentu orang takkan percaya. Tetapi nyatanya memang ada
bahwa seorang manusia biasa dapat menguasai mahluk
hutan yang buas," diam2 Sian Li menghela napas.
"Lau kongcu," serunya ketika ia tiba. Harimaupun
serentak bangkit dan mengaum.


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona, awas, harimau itu buas sekali!" seru Lau Bun Sui
memberi peringatan "Jangan bergerak, tetaplah engkau disitu saja," Sian Li
balas memberitahu. Kemudian ia membanting doos yang
diberikan Hong-ho lojin tadi, darrrr .... serentak
terdengarlah letupan keras diiringi dengan pancaran sinar
api yang berwarna-warni. Melihat itu seketika harimaupun lari, disusul dengan
serigala, kera dan ular. Mereka masuk kedalam hutan lagi.
"Nona ....!" "Ya, aku telah diberi benda oleh Hong-ho lojin untuk
menghalau binatang itu," kata Sian Li.
"Ah," Bun Sui menghela napas, "siapakah sesungguhnya
orangtua itu?" "Dia seorang sakti yang menyembunyikan diri mencari
ketenangan. Memang di dunia persilatan banyak terdapat
tokoh2 sakti yang tak mau unjuk diri," kata Sian Li.
Bun Sui tak menjawab. Teringat akan pancing Ok-hongtiau
yang telah memancing dirinya tadi. dia tersipu-sipu
dalam hati. "Lau kongcu, kita naik ke puncak dulu," kata Sian Li.
"Mengapa?" "Kita jemput kakekku dan adikku lalu bersama2 pulang
ke markas Lau ciangkun."
Tetapi betapalah kejut gadis itu ketika markas gunung
Lo-san sudah menjadi tumpukan puing. Lo-san siangjin tak
ada. Lo Kun dan Uk Uk pun tak kelihatan,
Kemanakah gerangan mereka " Pikir Sian-Li. Dia heran
mengapa markas di gunung itu telah terbakar habis. Pada
hal bukankah pasukan Ceng yang berada di selat Hay-tengko
itu sudah porak poranda "
"Lau kongcu, maaf, silakan kongcu pulang lebih dulu
karena kuatir Lau ciangkun akan gelisah memikirkan
keselamatan kongcu," kata Sian Li.
"Dan engkau ?" "Tolong sampaikan kepada Lau ciangkun bahwa aku
masih sibuk hendak mencari jejak kakeku dan adikku,"
"Baiklah," kata Lau Bun Sui. Setelah pula anak jenderal
itu pergi, Sian Li mulai mencari jejak Lo Kun dan Uk Uk.
Kita ikuti perjalanan Bun Sui. Setelah turun dari puncak,
dia terus langsung hendak menuju jalan besar di kaki
gunung. Tetapi sekonyong-konyong sesosok tubuh melesat
dari balik gundukan batu di tepi jalan.
"Ah, Ko tayjin," seru Bun Sui dengan nafas legah ketika
mengetahui yang muncul itu Ko Cay Seng.
"Bagaimana kongcu dapat terlepas dari tangan kakek
berambut putih itu ?" tanya Ko Cay Seng,
Lau Bun Sui lalu menceritakan semua pengalaman yang
terjadi, "Wah, celaka, kakek itu tahu isi hatiku. Dikuatirkan
dia akan memberitahu hal itu kepada gadis yang bernama
Sian Li itu." Ko Cay Seng merenung sejenak lalu tertawa "Ah, jangan
percaya pada ocehan kakek itu. Dia seorang berilmu tinggi,
dia dapat melepaskan tenaga-dalam keluar untuk
menggerakkan kaitnya. Ingat pukulan tenaga dalam jarak
jauh seperti Biat-gong-ciang dan sejenisnya."
Bun Sui mengangguk tetapi dia masih kerutkan dahi,
bersangsi, "Kenapa kongcu, apakah engkau masih cemas ?" tanya
Ko Cay Seng. "Baik itu ocehan kosong maupun sungguh dari si kakek,
tetapi gadis itu sudah mendengarnya Apabila dia percaya,
dia tentu akan melaporkan hal itu kepada ayah .........."
Ko Cay Seng mengangguk-angguk, katanya "Jika begitu
baik kita lenyapkan saja gadis itu.
"Dia masih berada di puncak."
Kedua orang itu terus hendak menuju puncak lagi untuk
mencari Sian Li. "Itu dia," seru Bun Sui ketika melihat Sian Li sedang
menuruni puncak. "Jangan terburu-buru. kongcu," kata Ko Cay Seng,
"gadis itu juga lihay. Kita harus pakai siasat supaya dia
jangan sampai dapat meloloskan diri."
"O, bagaimana maksud Ko toyjin ?"
Ko Cay Seng membisiki beberapa patah kata dan tampak
Bun Suipun mengangguk-angguk. Setelah itu Ko Cay Seng
menggandeng lengan Bun Sui untuk diajak menghampiri
Sian Li. "Hai, kongcu, mengapa engkau kembali lagi?" tegur Sian
Li terkejut. Tetapi sebelum Bun kui menyahut, Ko Cay Seng sudah
mendahului, "Dia hendak mengajak nona bersama-sama ke
markas menghadap jenderal Lau."
"Tetapi aku kan masih perlu mencari kakek dan adikku
dulu ?" "O, apakah kakek dan adik nona hilang ?" diam-diam Ko
Cay Seng yang sudah tahu hal itu, pura2 kaget,
"Ya," sahut Sian Li, ''eh, bukankah engkau yang
memimpin pasukan Ceng itu ?"
"Ya." "Mengapa engkau berada disini ?"
"Aku hendak mengantarkan Lau kongcu turun gunung.
Kami telah keliru menangkap kongcu."
Sian Li kerutkan dahi. Dia curiga. Tadi Bun Sui
mengatakan kalau sudah berpisah dengan Ko Cay Seng,
mengapa sekarang bersama-sama dia lagi "
"Lau kongcu, benarkah itu ?" serentak dia bertanya
mercari penegasan. Lau Bun Sui hanya mengangguk.
"Tetapi aku masih perlu mencari kakek dan adikku,
silakan kongcu pulang lebih dulu."
"Ah, tidak," kembali Ko Cay Seng mendahului
menyahut." "Eh, mengapa tidak ?"
"Lau kongcu menghendaki agar bersama engkau
menghadap ayahnya. Barulah engkau yang memberi
laporan." "Lau kongcu," Sian Li tak menggubris Ko Cay Seng
melainkan berkata kepada Bun Sui, "jangan memaksa, aku
harus mencari kakek dan adikku dulu, baru nanti kami
menghadap Lau ciangkun."
Sebelum Bun Sui menyahut, kembali Ko Cay Seng sudah
menyerobot, 'Tidak, nona harus ikut sekarang."
Setelah beberapa kali memperhatikan sikap Bun Sui yang
tak mau bicara, timbullah kecurigaan Sian Li. "Lau kongcu,
apakah engkau tak dapat menerima keteranganku ?"
"Ah, harap nona jangan menolak ....... ," baru Ko Cay
Seng berkata begitu, Sian Li sudah membentaknya, "Aku
bertanya kepada Lau kong cu. mengapa engkau yang
menjawab. Lau kongcu, engkau jawablah sendiri!"
Bun Sui terkejut dan tertegun. Tiba2 Ko Cay Seng maju
dan menyambar lengan Sian Li, "Nona, jangan membuang
waktu!" Tetapi karena sudah curiga, Sian Lipun sudah siap.
Serentak ia menyurut mundur lalu menghantam.
"Ah." desah Ko Cay Seng dalam hati karena tak
menyangka nona itu mampu lolos dari sambarannya. Ia
menggeliatkan tangannya ke bawah dan dari samping terus
menerkam tangan Sian Li lagi.
Tetapi Sian Li juga hebat. Ia membiarkan pukulan
hendak diterkam, tetapi serempak dengan itu tangan
kirinyapun menebas lambung lawan.
"Bagus," seru Ko Cay Seng seraya menyurutkan perut ke
belakang, sedang tangannya masih tetap hendak menerkam
tangan Sian Li. "Jahanam ini lihay sekali," kata Sian Li dalam hati. Dia
juga nekad. Siasat akan dilawan dengan siasat. Dia
membiarkan tangannya diterkam, tangan kiri yang luput
menebas lambung tadi, diarahkan keatas untuk memotong
tangan Ko Cay Seng yang akan menerkam tadi.
Masih Ko Cay Seng mempertahankan kedudukan. Dia
menekuk tangannya, selekas tebasan Sian Li lewat, dia
gunakan dua buah jari tangannya untuk menutuk lengan si
nona. "Setan," damprat Sian Li dalam hati. Diapun tak mau
kalah. Pada saat Ko Cay Seng hendak menutuk, ia
membarengi dengan sebuah gerak tendangan meloncat
yang mengancam muka lawan.
"Hm," desuh Ko Cay Seng yang kali ini terpaksa harus
loncat mundur. Dalam gebrak saling bertahan itu, jelas Ko
Cay Seng telah kalah. Dia harus mundur.
Ko Cay Seng memutuskan tak mau terlalu lama terlibat
dalam pertempuran dengan Sian-li. Serentak dia
mengeluarkan sepasang pit besi dan terus maju menyerang.
Sian Li terkejut. Ketika di gunung Giok-li-nia tempo hari
dan ketika dalam pertempuran di selat Hay-teng-kok, dia
menyaksikan betapa lihai ilmu permainan pit-besi dari Ko
Cay Seng ini Jika ia tetap menggunakan tangan kosong
tentulah dia kalah. "Ah, mengapa tak kucoba untuk menggunakan payung
pemberian Hong-ho lojin itu?" pikirnya seraya terus
mengeluarkan payung itu. Crit sekali menekan alat, payung
itupun menebar. Cret .... pit-besi tertangkis oleh payung Ko Cay Seng
loncat mundur. Ia terkejut melihat payung Sian Li yang tak
mempan ditusuk ujung pit- besinya.
Namun ia penasaran. Serentak ia menyerang dengan
jurus Keng-sin-pot-pit atau Malaekat-sakti-menggurat-pit.
Cret, cret, cret .... beruntun beberapa kali pit menusuk tetapi
selalu tertangkis oleh payung.
Ko Cay Seng makin penasaran. Diapun segera mainkan
jurus permainan pit yang dahsyat. Selintas pandang tampak
suatu pemandangan yang mengagumkan. Ratusan percik
sinar berhamburan mencurah pada lingkaran sinar hitam
yang menyelubungi tubuh Sian Li.
Ko Cay Seng terkejut ketika menyaksikan payung dan
permainan payung Sian Li. Ketika di puncak Gok-li-nia dan
selama bertempur di selat Hay-teng-kok, ia tak pernah
melihat nona itu menggunakan payung. Mengapa sekarang
nona itu mempunyai payung yang begitu istimewa"
"Ah, kalau tak lekas kurobohkan, aku tentu tertahan
lama disini," pikirnya. Ia memutuskan untuk segera
mengakhiri pertempuran itu.
Setelah mempertimbangkan bagaimana cara untuk
menundukkan nona itu maka majulah ia daIam serangan
yang berbeda dengan tadi. Kini dia hanya menyerang
dengan pit di tangan kanan sedangkan pit di tangan kiri
tetap diam. Sian Li heran. Tetapi dia tak berani lengah. Dia tetap
memainkan payung untuk menghalau serangan pit.
Sekonyong-konyong Ko Cay Seng mengendap ke bawah.
Dengan jurus Giok-li-cian-ciam atau Bidadarimenyusupkan-
jarum, tiba2 pit di tangan kiri menutuk kaki
Sian Li. "Ih ....... , " Sian Li terkejut dan terpaksa menyurut
mundur. Tetapi Ko Cay Seng sudah mendesaknya dengan
pit di tangan kanan. Berulang kali serangan kaki itu
dilancarkan Ko Cay Seng sehingga cukup merepotkan Sian
Li. Kalau dia menangkis kebawah, Ko Cay Seng akan
menyerang dari atas. Kalau dia memperhatikan serangan di
atas, Ko Cay Seng akan menyelinap menyerang kakinya.
Sian Li gemas juga. Setelah mengingat akan jurus hebat
tetapi berbahaya dari permainan payung itu, sekonyongkonyong
dia mengatupkan payung dan menusuk dada
lawan. Ko Cay Seng ter kejut. Ia berkisar ke samping, cret
.... tiba2 payung menebar, ujungnya menimpa muka orang.
"Nona ....!" Sian Li terkejut mendengar teriakan itu. Dia tahu yang
berteriak itu adalah Bun Sui. Kuatir kalau anak jenderal itu
mendapat kecelakaan, Sian Li berpaling. Tetapi pada saat
itu. ia rasakan pundaknya sakit tertutuk ujung besi. Seketika
lengannyapun lemas, meletuk terkulai tak punya kekuatan.
"Celaka, aku terkena tutukan pit" kata Sian Li dalam
hati. Cepat ia menyambar payung itu dengan tangan kiri
dan balas menyerang. Tetapi dia agak kaku memainkannya
dengan tangan kiri sehingga dia terdesak oleh serangan pitbesi
lawan. "Kena!" teriak Ko Cay Seng ketika ia menyelundup
kebawah dan menutuk kaki Sian Li. Seketika itu Sian Li
rasakan kakinya lemas dan liluk, jatuhlah ia terkulai ke
tanah. "Ha, ha, ha, akhirnya ia harus menyerah juga," Ko Cay
Seng tertawa gelak2. Kemudian berpaling kearah Lau Bun
Sui, "Kongcu, bagaimana ini?"
"Terserah ....," jawab Bun Sui.
Sudah tentu Sian Li terkejut bukan kepalang mendengar
Bun Sui dapat bicara. Pada hal tadi berulang kali ia tanya,
anak jenderal itu tetap membisu dan hanya anggukkan
kepalanya. "Dia cantik, apakah kongcu tak ingin mencicipi dulu
sebelum kita bunuh?" Ko Cay Seng tertawa. Dia tahu akan
kegemaran anak jenderal itu kepada dara cantik.
Bun Sui tersipu-sipu merah mukanya, "Ah, harap jangan
menggoda .......... "
"Tidak, kongcu," kata Ro Cay Seng, *kon-cu boleh bawa
ke tempat yang sunyi, biar kutunggu disini. Setelah selesai,
bunuh saja." "Jahanam engkau, kaki tangan Ceng !" teria Sian Li
marah. "Heh, heh," Ko Cay Seng tertawa, "silakan engkau
memaki sampai kerongkonganmu pecah asal kongcu dapat
menikmati tubuhmu yang aduhay itu !"
"Kongcu, engkau bangsat yang tak tahu malu !" teriak
Sian Li, "ayahmu bingung mencarimu ternyata engkau
malah mau menjadi budak bangsat itu !"
"Jangan banyak mulut !" tiba2 Ko Cay Seng maju dan
menutuk jalandarah pembisu nona itu sehingga Sian Li tak
dapat berkutik dan tak dapat bicara.
"Silakan kongku," seru Ko Cay Seng seraya melangkah
pergi hendak duduk dibawah sebatang pohon.


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sian Li melotot marah ketika melihat Bun Sui maju
menghampirinya. Ternyata Bun Sui memang tergerak
hatinya. Adalah karena hendak mendapatkah gadis itu
maka dia sampai digebuki ayahnya. Kini dia hendak
melampiaskan nafsunya sampai puas. Tak mungkin gadis
itu akan mengadu kepada ayahnya lagi karena nanti setelah
selesai akan dibunuhnya. Baru dia hendak ulurkan tangan mengangkat tubuh Sian
Li, sekonyong-konyong dari balik pohon terdengar suara
orang berseru, "Eng ..... eng ... engkong ... itu apa buk ..
bukan cici Sian ?".!"
"Mana " O, benar," teriak seorang kakek tua, "hai Sian
Li, engkau disitu ?"
Dua sosok tubuh berhamburan keluar dari semak pohon.
Kedua orang itu tak lain adalah kakek Lo Kun dan Uk Uk.
Sudah tentu kejut Bun Sui bukan kepalang. Untung dia
terus menyurut mundur dan kedua kakek dan bocah pekok
itu tak menghiraukan dia melainkan menghampiri Sian Li,
"Sian Li, mengapa engkau disini ?"
Tetapi Sian Li diam saja. Hanya matanya memandang
kakek itu, seraya mengicup-kicupkan matanya ke muka.
Maksudnya dia minta supaya kakek dan Uk Uk menangkap
Bun Sui dan Ko Cay Seng. Tetapi kakek linglung itu tak
mengerti. "Eh, mengapa engkau manggut2 kepala " Apakah
lebermu sakit ?" Lo Kun terus memeriksa leher Sian Li.
"Aduhhhhhh "..!" tiba2 kakek itu menjerit kesakitan.
Tangannya yang kebetulan merabah ke mulut Sian Li telah
digigit nona itu sekeras-kerasnya. Sian Li gemas karena
kakek itu malah hendak memeriksa lehernya.
"Hai, mengapa engkau malah menggigit tanganku?"
teriak La Kun " "Iya, ci ....... ci ....... mengap ....... mengap .... pa engkau
menggigit" Apa aku lapar?" seru Uk Uk yang tak dapat
merobah pengertiannya tentang kata aku-engkau.
Sian Li menyeringai dan matanya melotot kepada Lo
Kun serta Uk Uk. "Sian Li, mengapa engkau diam saja?" kembali Lo Kun
bertanya. "Mungkin lapar, eng ....... engkong."
"O, jangan kuatir, nih aku masih membawa paha ayam
hutan yang kupanggang semalam," kakek itu terus
mengeluarkan sebuah paha ayam dan diangsurkan kepada
Sian Li. Tetapi Sian Li diam saja.
"Dia mal ....... malu, eng .... engkong .... makanlah ..."
seru Uk Uk. Lo Kun segera menyodorkan paha ayam panggang itu ke
mulut Sian Li. Tetapi nona itu malah mengancing rapat2
mulutnya. "Eh, anak perempuan, mengapa engkau" Apa engkau
lupa kepadaku" Bukankah aku ini engkongmu yang
tercinta" Tak perlu malu, ini pemberian engkongmu
sendiri," seru Lo Kun seraya menyusupkan paha ayam itu
ke mulut Sian Li. Tetapi Sian Li tetap menutup rapatmulutnya.
"Wah, anak perempuan ini memang bandel," kata Lo
Kun kemudian menyuruh Uk Uk, "Uk, bukalah mulutnya,
aku... eh. engkau yang memasukkan paha ayam."
"Baik," dalam berkata itu Uk Uk sudah menerkam mulut
Sian Li. Sekali di tekan maka terngangalah mulut gadis itu.
Aduh, bukan main marah dan mendongkolnya Sian Li.
Dia tak dapat menggerakkan kedua tangannya, Dia hendak
memberi isyarat supaya Lo Kun dan Uk Uk menangkap
Bun Sui dan Ko Cay Seng, siapa tahu kebalikannya mereka
malah main paksa mencangar mulutnya untuk dilolohi
paha ayam .... "Eh, mengapa tak mau menggigit ?" seru Lo Kun pula,
"benar2 engkau ini anak bandel,"
"Di... di.. , dicubit kecil2, erg .... engkong."
"O, benar," seru Lo Kun, "anak perempuan ini memang
minta kumanjakan." Dia terus mencabik-cabik daging ayam itu sedikit2 lalu
dimasukkan kedalam mulut Sian Li. Aduh mak ..,, . Sian Li
benar2 mau pingsan karena marah.
"Uuuffjff....." tiba2 gadis itu menghimpun napas lalu
dengan sekuat-kuatnya dia menyemburkan cabikan daging
ayam itu ke muka Lo Kun. "Aduh .... aduh ......" terdengar dua buah suara. Yang
satu dari mulut Lo Kun karena mukanya tertabur daging
ayam. Dan yang satu dari mulut Uk Uk yang mendekap
perutnya. Apa yang terjadi " Ternyata karena mengerahkan napas dan tenaga
sedemikian rupa, tanpa disadari jalandarah Sian Li yang
tertutuk itu tiba2 memancar lancar lagi sehingga dia dapat
bergerak. Begitu merasa tangannya bertenaga, yang
pertama-tama dikerjakan adalah menghantam perut Uk Uk
yang gendut sehingga anak gendut itu mengaduh kesakitan
dan mendekap perutnya yang mulas.
Kemudian Sian Lipun melenting bangun dan menuding
kakek Lo Kun, "Engkau benar2 seorang kakek limbung !"
"Dan engkau, anak gendeng !" iapun memaki Uk Uk.
Sudah tentu Lo Kun dan Uk Uk mendelik "Eh, mengapa
engkau malah marah2 kepadaku ?" tanya Lo Kun sambil
mengusap mukanya yang berlepotan daging ayam.
"Mengapa engkau lolohkan paha ayam ke mulutku ?"
"Lho, bukankah engkau lapar ?"
"Siapa bilang lapar ?"
"Ea, anak ini mengapa tenpa hujan tanpa angin marah2
kepadaku," gumam Lo Kun," Sian Li, tak baik seorang cucu
berani kepada engkongnya. Coba katakan apa salahku?"
Tetapi Sian Li tak menghiraukan. Dia terus menerjang
ke muka, "Hai, kemana jahanam tadi ?" teriaknya lalu
berpaling ke kanan, "Hai, bangsat itu juga menghilang !"
Sian Li lari ke timur, Tetapi tak berapa lama dia kembali
lagi. "Celaka ! Celaka ! Adalah karena gara2 kalian maka
kedua bangsat itu bisa lolos !" teriaknya teraya membantingbanting
kaki. Melihat tingkah laku Sian Li, Lo Kun dan Uk Uk hanya
melongo. Waktu Sian Li lari ke selatan keduanya hendak
mengikuti tetapi eh, tahu2 Sian Li sudah balik. Waktu Sian
Li lari ke timur, keduanya hendak ikut tetapi eh, tahu2 nona
itu sudah kembali lagi dan marah2.
"Sian Li, mengapa engkau ?" tanya Lo Kun.
Tiba2 Sian Li melihat payungnya masih menggeletak di
tanah. Maka dipungutnya payung itu dan dilipatnya.
"Sian Li, apakah aku bersalah kepadamu ?" tanya Lo
Kun pula. Sian Li menghela napas. Ia menyadari kalau Lo Kun itu
memang seorang kakek yang limbung, percuma saja dia
marah2 kepadanya. Dan lagi dalam meloloh paha ayam
tadi, sebenarnya Lo Kun bermaksud baik,
"Ya, apa boleh buat, mereka sudah kabur," kata Sian Li.
"Siapakah yang engkau maksudkan ?"
"Anak jenderal Lau dan bangsat kaki tangan Ceng itu,"
kata Sian Li. "O, pemuda yang hendak mengangkat engkau tadi "
Apakah dia ".eh, benar, dia memang anak jenderal Lau
yang dirangket bapaknya tempo hari. Tetapi mengapa dia
berada disini ?" "Dia hendak kurang ajar kepadaku," Sian Li seraya
tersipu-sipu merah mukanya,
"Kurang ajar " Mana dia sekarang " Biar kuhajarnya !"
seru Lo Kun lalu berpaling kepada Uk Uk, "Uk, seret anak
jenderal itu kemari!"
"Per ....... perut engkau .... mulas eng..eng ....... kong,"
seru Uk Uk. "Mulas" Kenapa?"
"Ditinju cici ....... Li," kata Uk Uk seraya mengusap-usap
parutnya yang gendut. Melihat tingkah laku bocah itu mau tak mau terpaksa
San Li geli juga, "Siapa suruh engkau mengangakan
mulutku ?" "Tidak," sahut Uk Uk, "terbalik. ' Engkau yang
mengangakan mulutku !"
Sian Li hendak membantah tetapi serentak dia teringat
akan pengertian Uk Uk tentang istilah aku-engkau yang
dibalik artinya itu. "Ya, siapa suruh begitu ?" katanya.
"Yang suruh eng. eng ....... kong," jawab Uk Uk
"seharusnya aku meninju perut eng ....... engkong, bukan
meninju perut engkau."
Sian Li tertawa, "Yang kelihatan dimuka adalah perutku,
jadi yang engkau sasar juga perut yang kelihatan itu. Masa
begitu saja sakit?" "Sian Li, jangan menggubris anak itu. Biar perutnya
sakit, asal tidak pecah saja. Sekarang engkau harus
menceritakan kemana saja engkau dan mengapa tak
kembali ke markas di puncak gunung. Aku dan Uk Uk
menunggumu setengah mati," seru Lo Kun.
Sian Li mengajak kedua orang itu duduk beristirahat di
bawah pohon. Lalu dia menceritakan semua pengalaman
yang telah terjadi pada dirinya.
"Eh, mana kakek Hong-ho lojin itu?" seru Lo Kun "coba
saja apakah pancingnya akan mengait aku atau tidak!"
"Sudahlah," kata Sian Li, "sekarang kuminta kakek
menceritakan pengalaman kakek waktu berada di markas."
Lo Kunpun bercerita, Lo-san siangjin datang dan
mengajaknya keluar. Tahu2 dia dan Uk Uk dimasukkan
kedalam sebuah gua dan ditutup dari luar.
"Ah, masakan Lo-san siangjin berbuat begitu?" Sian Li
heran. "Sungguh," seru Lo Kun dengan nada serius, "bukankah
begitu Uk?" Uk Uk geleng2 kepala, "Belum bi .... bisa."
"Lho, belum bisa apa?"
"Menjawab." "Kenapa?" "Perutmu masih sakit nih?""
Tiba2 Lo Kun tertawa, "Hm, anak ini memang banyak
akal bulusnya. Pura2 sakit tetapi sebenarnya minta ....... , "
ia terus mengambil buli2 arak dan disodorkan, "nih,
minumlah." "Eh, tahu ju ....... juga eng ....... engkong ini," Uk Uk
menyambut buli2 terus diteguknya. Lalu diserahkan
kembali, "sekarang engkau . " bisa menjawab. Memang
benar apa yang dika"dikatakan eng ....... eng ....... engkong
tadi." "Jika benar demikian, tentulah Lo-san siang- jin itu perlu
dicurigai," kata Sian Li, "pertama Lo-san siangjin yang
datang itu bukan Lo-san siangjin yang aseli tetapi palsu
.......... " "Palsu" Ah, tak mungkin," bantah Lo Kun.
"Dan kedua, kemungkinan Lo-san siangjin memang
bersekutu dengan orang Ceng."
"Ya, itu memang jelas,"
"Tetapi kurasa menilik peribadinya yang kuketahui
selama ini, tak mungkin dia mau bekerja sama dengan
orang Ceng. Kurasa kemungkinan yang pertama tadi bahwa
dia bukan Lo-san sian jin; yang aseli, lebih mendekati
kebenaran. Tetapi bagaimana kakek dapat keluar dari gua
itu?" Lo Kun menceritakan bahwa hal itu memang tak
terduga. Karena sudah putus asa tak dapat menjebol pintu
gua yang ditutup dengan batu benar maka dia bersama Uk
Uk lalu masuk menyusup ke bagian dalam. Ternyata lorong
gua,itu amat panjang sekali.
"Aduh, kalau teringat penderitaanku selama merangkak
dalam lorong gua itu, ingin rasanya aku mencincang Lo-san
siangjin," katanya, "coba bayangkan. Dalam lorong
terowongan itu kadang terdapat binatang serangga yang
suka menggigit. Antara lain aku sampai menjerit-jerit
seperti orang gila ketika aku diserang semut dan anai". Uk
Uk juga berkuik-kuik seperti babi hendak disembelih ....
"Coba bagaimana rasanya kalau orang merangkak dalam
terowongan yang gelap lalu dirubung barisan semut. Apa
tidak setengah mati. Barang yang setengah itu tentu celaka.
Lebih baik mati daripada setengah mati. Lebih baik mentah
dari-pada setengah matang. Bukankah begitu Uk?"
"Ben ....... benar ....... kong," kata Uk Uk, "lebih2 aku.
Per ....... perutmu yang gendut ini hen dak dima ....
dimakan rayap ....... aduhhh kong .. sakit tetapi geli .......
aku sampai terken ....... kencing ....... kencing ....... lho."
Sian Li tertawa ngikik mendengar kata2 itu.
==== Hal 52-53 enggak ada, kelewat kali!
==== Mereka benar2 penasaran. Tetapi sampai siang berganti
malam dan malam berganti pagi, mereka tetap tak dapat
menemukan pertapa itu. "Aneh," kata Sian Li, "kemana saja pertapa itu ?"
"Kemana lagi kalau tidak ikut pada pasukan Ceng,"
gerutu Lo Kun. "Pasukan Ceng yang berada di selat Hay teng-kok sudah
hancur. Perahu2 merekapun sudah dilarikan oleh pasukan
Beng yang dipimpin Bok kongcu. Tak mungkin pertapa itu
akan menggabungkan diri dengan mereka."
"Dia tentu bersembunyi," kata Lo Kun,
"Ya, mungkin saja," kata Sian Li, "sekarang kurasa baik
kita turun gunung menuju ke markas jenderal Lau untuk
melaporkan hasil usaha kita."
"Sekalian laporkan saja tentang perbuatan puteranya
yang kurang ajar itu," seru Lo Kun.
"Baiklah," kata Sian Li, sudah jelas bahwa putera
jenderal itu bersekongkol dengan orang Ceng. Aku harus
memberi peringatan kepada jenderal Lau supaya dia hati2
menjaga anaknya." Merekapun segera turun gunung dan menuju ke markas
jenderal Liu. Tetapi alangkah kejut mereka waktu
mendapatkan jenderal Lau dan pasukannya sudah pindah


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke lain tempat. Menurut kabar, pasukan jenderal Lau Cek Jing sudah
diperintahkan untuk menjaga propinsi Shoa-tang, dengan
berkedudukan di kota Hui-pak.
"Bagaimana -Sian Li " Apakah kita perlu mencari
jenderal itu ?" tanya Lo Kun.
"Kurasa demikian," sahut Sian Li, "karena dikuatirkan
anak jenderal itu akan. mengacau dari dalam."
"Apakah anak jenderal itu sudah kembali kepada
bapanya ?" "Kemungkinan sudah."
"Lho, apa dia tak takut ?"
"Kurasa anak jenderal itu sudah berada dalam kekuasaan
kaki tangan Ceng yang bernama Ko Cay Seng, yaitu orang
yang bersenjata pit besi. Buktinya dia mau saja disuruh
pura2 tertutuk jalandarahnya dan tak dapat bicara waktu
mendatangi aku. O. benar, ya tentu begitu !"
Lo Kun melongo. Dia tak mengerti apa maksud kata2
gadis itu. "Apa maksudmu ?" tanyanya.
"Waktu aku berada di tempat Hong-ho lo-jin, Bun Sui si
anak jenderal itu berjalan bersama orang she Ko, waktu
kutegur. Bun Sui mengatakan bahwa dia memang dibawa
oleh orang she Ko itu karena hendak diantar pulang.
Mereka telah keliru menangkap dan tak tahu kalau dia anak
jenderal Lau. Begitulah keterangan Bun Sui
"Lalu ?" "Nah. Bun Sui dan orang she Ko tentu takut kalau hal itu
kulaporkan kepada jenderal Lau. Oleh karena itu mereka
tentu memutuskan untuk membunuh aku, melenyapkan
saksi mulut." "Bangsat Ko Cay Seng itu ! Kalau bertemu lagi tak perlu
kita beri ampun," seru Lo Kun.
"Maka terpaksa kita harus mencari markas jenderal
Lau," kata Sian Li. "Tetapi bukankah tujuan kita hendak mencari engkohmu
si Blo'on ?" "Ya, memang kita harus mencarinya," jawab Sian Li."
anak jenderal itu berbahaya. Dia dapat merupakan musuh
dalam selimut dan hal itu akan membahayakan perjuangan
pasukan Beng. Soal engkoh Blo'on, kan sekalian kita dapat
mencari dan menyelidiki beritanya."
"O, cici maksudkan sekali minum dua teguk bu .......
bukan ?" sela Uk Uk.
"Minum apa ?" "Mi ..... minum arak."
Sian Li geleng2 kepala, "Hm, kakek Lo Kun telah
merusak jiwa anak itu. Masa anak kok begitu doyan arak,"
Mereka lalu berangkat ke Shoa tang.
II. Ramai2 potong "..
Untuk memperlengkapi perjalanan Sian Li waktu turun
gunung hendak mencari Blo'on, baiklah kami tuturkan
tentang diri Wan-ong Kui.
Sebagaimana telah diceritakan dalam jilid 10, waktu Sian
menuruni gunung ia mendengar suara orang merintih dari
bawah jurang. Ia segera menolong orang itu. Dan orang itu
tak lain adalah Wan-ong Kui yang terjatuh kedalam jurang
akibat melakukan pertempuran dengan imam dari
perguruan Go-bi-pay yani Hian Hian tojin.
Waktu menyaru sebagai Blo'on, Sian Li tahu siapa Wanong
Kui yang datang bersama In Hong dan Han Bi Ing.
Tetapi karena Sian Li mengenakan pakaian sebagai seorang
gadis lagi, sudah tentu Wan-ong Kui tak mengenalnya. Sian
Li mengaku sebagai seorang murid Kun-lun-pay yang
disuruh perguruannya untuk menyampaikan pesan kepada
Blo'on. Karena Blo'on tak ada maka dia hendak menyusul
ke Co-ciu tempat kedudukan markas jenderal Ko Kiat.
Wan-ong Kui menyatakan hendak ikut dan Sian Lipun
tak keberatan. Tetapi ketika tiba di Co-ciu ternyata pasukan
jenderal Ko Kiat sudah pindah ke Ki-ciu,
Keduanya berunding. Karena Sian Li hendak tetap
mencari Blo'on yang belum dapat diketahui tempatnya
maka Wan-ong Kuipun tak mau menyertainya. Pikir2 lebih
baik dia menuju ke Tha goan karena bukankah Han Bi Ing,
In Hong dan rombongannya akan menuju ke sana" Di sana
dia dapat menggabung dengan rombongan Hanm Bi Ing
untuk sekalian mencari jejak Blo'on.
Dan selama melakukan perjalanan bersarama Sian Li, ia
merasa nona itu bersikap dingin kepadanya. Dia tak tahu
bahwa Sian Li itu adalah adik seperguruan Blo'on. Dan dia
tak menyadari pula bahwa Sian Li tahu kalau dia (Wan
Ong Kui) hendak mecari Blo'on itu karena bertujuan
hendak membunuhnya. Sudah tentu Sian Li tak suka
kepadanya. Wan Ong Kui merasakan baik Han Bi Ing maupun In
Hong, jauh lebih ramah dan bersahabat dari sikap Sian Li.
Maka setelah di Co-cu ia tak menemukan Blo'on, dia
memutuskan lebih baik berpisah deagan Sian Li dan
menuju ke Thay-goan sendiri.
Demikian sebabnya mengapa Sian Li hanya seoranj diri
ketika dihadang anakbuah Bun Sui.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan rombongan Han
Bi Ing dengan In Hong dan Kim Yu Ci. Tujuan Han Bi Iug
ke kota Thay-goan itu tak lain adalah karena menerima
kabar dari Ko Cay Seng bahwa ayahnya, Han Bun Liong,
sedang sakit parah di Thay-goan. Ternyata menurut
keterangan Ko Cay Seng, Han Bun Liong belum gugur
dalam pertempuran melawan pasukan Ceng yang
menyerang kota itu. Dia hanya terluka berat dan kini
bersembunyi di rumah seorang sahabatnya. Tempat itu
dirahasiakan agar jangan sampai digeropyok prajurit Ceng.
Sudah tentu keterangan Ko Cay Seng itu bohong. Tujuan
yang penting bagi orang she Ko itu jelas hendak merebut
tiga buah peti harta karun yang dibawa Han Bi Ing. Tetapi
karena pandainya Ko Cay Seng merangkai cerita dan kata2
yang menyentuh hati, Han Bi Ingpun tergerak hatinya.
"Cici Ih, kurasa keterangan antek Ceng itu tentu bohong.
Mengapa cici mau pulang ke Thay-goan?" pernah In Hong
memberi peringatan. Tetapi dijawab Han Bi Irg, ''Memang keterangan kaki
tangan Ceng itu meragukan. Tetapi aku mempunyai pikiran
lain. Dengan mengatakan berita itu, walaupun bohong
tetapi paling tidak dia tentu tahu keadaan ayah. Aku kuatir
ayahku telah ditawan mereka dan di jadikan sandera untuk
menekan aku supaya menyerahkan harta karun itu kepada
mereka." "Jika demikian, mengapa cici hendak ke Thay-goan"
Apakah cici bermaksud hendak menyerahkan harta karun
itu kepada mereka?" tanya In Hong.
"Tidak adik Hong," kata Han Bi Ing, "ayah telah
memberi pesan agar harta karun itu ditaruh di tempat
kediaman Kim Thian Cong tayhiap. Apabila tak mungkin
supaya aku berusaha untuk menyelamatkan dan sedapat
mungkin menyerahkan harta karun itu kepada kaum
pejuang. Aku hendak ke Thay-goan karena aku kuatir ayah
benar2 sedang dalam keadaan menderita dalam
cengkeraman mereka. Soal keterangan antek Ceng itu benar
atau tidak, tetapi hatiku tidak selalu dihantui oleh
kecemasan saja, apabila aku sudah datang dan
membuktikannya sendiri."
In Hong dapat menerima penjelasan itu. Demikian pula
Kim Ya Ci. Dia tahu bagaimana perasaan seorang anak
perempuan terhadap orang tuanya. Anak laki sih memang
tabah saja tetapi kalau anak perempuan. Apalagi seorang
gadis seperti Han Bi Ing yang sejak kecil diasuh dalam
kemanjaan oleh ayahnya, tentulah keadaan ayahnya itu
sangat menjadi pemikirannya.
Demikian mereka bertiga menuju ke Thay-goan. Mereka
menyadari bahwa Thay-goan saat itu sangat berbahaya bagi
mereka. Thay-goan sebuah kota penting di sebelah barat
kotaraja Pak-khia, merupakan sebuah kota yang ramai dan
besar. Perdagangan berkembang pesat, penuh dengan
tempat2 hiburan yang indah.
Saat itu Thay-goan sudah diduduki oleh pasukan Ceng.
Kedatangan ketiga anakmuda ke kota itu tentu akan
menimbulkan perhatian kepada prajurit2 Ceng. Apalagi
Han Bi Ing adalah puteri dari Han Bun Liong, tokoh yang
ternama dari kota itu. Selain kaya dan terbuka tangannya
kepada setiap orang, pun Han Bun Liong juga termasyhur
memiliki kepandaian yang tinggi. Dia banyak sekali
mengikat persahabatan dengan kaum persilatan, baik dari
golongan Hitam maupun Putih. Dan sebagai tokoh
terkemuka sudah tentu dia juga bersahabat dengan walikota
dan para pembesar setempat.
Perjalanan itu memang tidak mudah. Thay-goan terletak
didaerah yang sudah berada dalam kekuasaan kerajaan
Ceng yang saat itu sudah menduduki daerah sebelah timur
utara sungai Hong-ho. Mereka naik kuda dan hari itu setelah menyeberangi
sungai Hong-ho, mereka menuju ke timur laut.
In Hong pesan beberap macam hidangan dan arak.
Sambil menikmati hidangan mereka bercakap-cakap.
"Aneh mengapa orang Boan memaksa rakyat Han harus
memelihara kuncir ?" kata In Hong.
"Mungkin sebagai tanda setya kepada kerajaan Ceng,"
kata Han Bi Ing. "Ah, tidak," jawab In Hong, "kurasa orang Boan
memang sengaja hendak menghina bangsa kita."
"Menghina bagaimana ?"
"Coba bayangkan saja orang- yang memelihara kuncir
itu. Apakah mereka tidak menyerupai babi ?"
"St, jangan keras2, "Kim Yu Ci memberi peringatan
seraya memandang ke bawah jalanan "tuh lihat, ada
serombongan prajurit Ceng datang. Kalau mereka masuk ke
rumah makan ini dapat melihat kita....."
-oo0dw0ooJilid 22 Ramai2 potong .... In Horg si dara centil melongok ke bawah. Memang
benar. Di jalanan tampak sekawan prajurit Ceng sedang
berjalan dengan seenaknya sendiri sampai memenuhi jalan.
Orang2 pun pada menyingkir ke samping karena takut
ketabrak. "Hm, seperti raja saja agaknya mereka itu," dengus In
Hong dengan geram. "Sudahlah, adik Hong, jangan cari gara2," kata Han Bi
Ing. "Ah, cici berkata begitu. Aku menurut," kata In Hong,
"tetapi apakah kalau kita tak cari gara2 mereka akan puas"
Tidak, Kita tidak cari gara2 tetapi mereka yang akan cari
perkara." "Itu lain soal lagi. Tetapi yang penting, kita harus hati2
menjaga diri, menahan kemarahan. Ingat, disini adalah
daerah kekuasaan orang Boan. Kalau kita tidak hati2 tentu
akan mendapat kesulitan," Han Bi Ing memberi peringatan.
"Ya, mudah-mudahan saja seperti yang diharapkan,"
kata In Hong, "tetapi kurasa sukar. Sebagai fihak yang
menang, prajurit2 Ceng itu tentu bertindak semaunya
sendri. Lihat baru berjalan saja lagaknya seperti raja.
Berjalan memenuhi jalan dan di sepanjang jalan bergurau.
Apa mereka anggap jalan itu punya kakeknya sendiri"
Bukankah rakyat diwajibkan bayar pajak segala macam?"
"Memang demikianlah tingkah laku prajurit dalam
suasana perang," kata Han Bi Ing, "mereka menganggap
dirinya yang paling berjasa sendiri dan paling berkuasa.
Merasa harus dihormati dan disanjung-sanjung sebagai
pahlawan, padahal tanpa bantuan rakyat, mana mereka
mampu berperang?" "Ah, memang manusia itu gampang lupa. Setiap orang
menganggap dirinya paling berjasa," kata In Hong.
"Baiklah cici Ing," akhirnya dara itu berkata, "aku akan
berusaha untuk mengekang diri dan mudah"an tak terjadi
suatu apa nanti." Han Bi Ing tersenyum. Apa yang dikuatirkan pemilik rumahmakan memang
menjadi kenyataan. Kawanan prajurit Ceng itu masuk
kedalam rumahmakan. Mereka mengambil tempat duduk
dan minta disediakan arak.
Sambil menunggu, mata mereka berkeliaran memandang
kian kemari pada tetamu2 yang berada dalam ruangan itu.
Tak lama kemudian pelayan datang membawa arak.
"Goblok, mengapa hanya arak ?" seru salah seorang yang
memelihara kumis tebal. "Bukankah loya (tuan) tadi hanya minta arak ?"
"Babi!" tiba2 prajurit berkumis tebal itu menarik kuncir
pelayan," masakan arak tak pakai daging untuk
pengantarnya ?" Pelayan itu kelabakan seperti babi yang ditarik ekornya,
"Ampun, loya, nanti kuambilkan hidangan daging."
Prajurit lepaskan kuncir pelayan dan membentak,
"Lekas, bawakan dua kati daging sapi bakar !'*
Pelayanpun tergopoh-gopoh masuk.
Tak berapa lama seorang pelayan lain keluar dengan
membawa penampan berisi hidangan dan arak yang
dipesan In Hong. "Hai, kemari dulu," teriak seorang prajurit yang
hidungnya besar. Pelayan itu terkejut. Dia hendak mengantarkan makanan
itu keatas. Terpaksa dia menghampiri ke tempat kawanan
prajurit Ceng itu. "Apa itu?" seru prajurit hidung besar tadi, "buka!"
Pelayan terpaksa melakukan perintah, "Ini hidangan
yang dipesan tamu diatas."
"Wou, hebat juga. Baunya menusuk hidung. Pintar sekali
orang itu memesan hidangan," kata prajurit itu, "kasih
kemari saja!" Pelayan itu terkejut. "Tetapi tuan, ini pesanan tamu
diatas!" "Babi!" bentak prajurit itu, "kan bisa engkau suruh
buatkan lagi. Yang itu berikan kemari."
"Tetapi tuan," kata pelayan, "tetamu diatas itu sudah


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejak tadi yang pesan. Kalau membuat lagi tentu makan
waktu lama." "Eh, kurang ajar engkau, babi!" prajurit hidung besar itu
terus menarik kuncir pelayan sehingga pelayan itu hampir
jatuh, "lekas taruh ke meja."
Terpaksa pelayan itu menurut.
"Hai, bung, itu pesananku. Lekas bawa kemari. Masa
sudah setengah jam baru jadi," tiba2 terdengar suara
seorang gadis melengking.
Ketika kawanan prajurit berpaling ternyata diatas tangga,
tampak seorang dara cantik sedang menuding kearah
mereka. "Maaf, nona," kata pelayan bingung, "nanti kita buatkan
lagi." "'Kan itu sudah jadi?"
"Ya, tetapi . . . . "
"Terapi bagaimana?"
"Ini untuk loya disini . . . . "
"Gila! Makanan aku yang pesan mengapa engkau
berikan pada orang lain! Hayo, bawa kemari!" teriak In
Hong. "Maaf, nona . . . . "
"Tidak ada maaf, lekas bawa kemari! Aku sudah lapar."
"Loya kata pelayan itu kepada prajurit yang berhidung
besar. "Suruh dia makan bersama disini kalau sudah lapar,"
kata prajurit berhidung besar.
"Nona, loya mempersilakan nona untuk makin bersama
disini saja." "Apa?" In Hong terus turun dari tangga dan
menghampiri ke meja kawanan prajurit itu dan tanpa
banyak mulut terus menyambar basi hidangan yang berisi
kueh panas." Memang kawanan prajurit itu sengaja tak menghiraukan
In Hong. Mereka hendak mencoba apakah In Hong berani
datang. Ternyata dara centil itu memang berani. Begitu
dara itu mengangkat basi hidangan, prajurit hidung besar
segera mencekal tangan In Hong, "Ai, nona manis, makan
disini saja ?"?" dia menarik In Hong ke pangkuannya.
"Aduhhhhh....." tiba2 prajurit itu menjerit sekeras-keras
dan mendekap mukanya. Ternyata dengan berani In Hong
telah mencurahkan basi berisi kuah panas itu ke kepala
prajurit. Tanpa peduli orang kesakitan, In Hong menyambar
bubur kepiting lagi. Tetapi prajurit yang lain serentak berdiri
dan menerkam lengan Ini Hong, "Jangan kurang ajar, anak
perempuan liar....."
"Uhhhhh .. . .,'" belum sempat dia menyelesaikan
kata2nya, In Hong menelungkupkan basi bubur kepiting
yang masih panas itu pada muka orang.
Kawanan prajurit itu terdiri dari enam orang.. Melihat
kedua kawannya dikeramasi kuah panas dan bubur
kepiting, salah seorang marah dan hendak menangkap.
Tetapi secepat kilat In Hong sudah mendahului menyambar
sayur kakap masak tomat dan dilekatkan pada muka
prajurit itu. "Auhhhhh." seperti kawannya yang dua tadi, prajurit
itupun menjerit kesakitan karena mukanya berlepotan
kakap. Celakanya, ingsang darii ikan kakap yang tajam
telah menusuk matanya. Perbuatan In Hong itu tak dapat dibiarkan lagi. Ketiga
prajurit yang lain serentak berbangkit dan terus
menghantam, Tetapi dengan kecepatan yang luar biasa, In
Hong menyambar tiga buah basi berisi hidangan dan
disongsongkan, prangng, prangng, prangng , . . . basi itu
pecah berhamburan tetapi tangan ketiga prajurit itupun
berdarah. "Eh, budak liar, engkau benar2 kurang ajar!" teriak ketiga
prajurit itu seraya maju lagi untuk menyerang.
Brakkkkkk.....In Hong menendang meja kearah mereka,
Hidangan dan kuah berhamburan menimpah mereka.
Mereka makin marah. Serentak merekapun mencabut
pedang dan menyerang. Prak, prak, prak, In Hong
menyambar kursi dan dilemparkan kepada mereka.
Suasana menjadi gaduh tak keruan, Tetamu2 lain
ketakutan dan bergegas keluar. Pemilik rumah makan
segera menghampiri, "Nona, ai, celaka nih," serunya seperti
orang bingung, "mengapa nona mengacau rumahmakanku
?" "In Hong, berhenti," seru seorang gadis lain yung turun
dari tangga, "pemilik rumah makan, jangan kuatir, semua
kerugianmu akan kubayar."
Ternyata yang datang itu adalah Han Bi Ing. Dan di
belakangnya tampak Kim Yu Ci.
"Aku sih mau2 saja berhenti," tetapi kawanan prajurit ini
tak mau berhenti," seru In Hong.
Memang benar. Kawanan prajurit itu bahkan tiga
prajurit yang telah diktramasi kuah dan bubur panas tadi,
juga ikut mencabut senjata dan bersiap hendak menyerang
In Hong. "Berhenti," tiba2 Kim Yu Ci berseru, "segala urusan bisa
diurus tanpa harus pakai kekerasan! Mengapa tuan2 hendak
menyerang adikku?" In Hong terkejut karena diaku adik oleh Kim Yu Ci,
"Uh, kapan sih aku menjadi adik ibu-bapamu?" gumamnya
dalam hati. Namun dia diam saja.
Prajurit yang bertubuh kekar menuding Kim Yu Ci, "Ho,
engkau, mengapa sebagai engkoh engkau tak mampu
menghajar adik?" "Hai, engkau tentu bukan orang sini" Mengapa engkau
tak pakai kuncir" "teriak seorang prajurit yang lain.
Sebelum Kim Yu Ci menyahut, muncullah si orang
kepala polisi bersama dua orang anakbuah-nya. Pemilik
rumahmakan telah menyuruh seorang pegawainya untuk
melapor kepada polisi tentang keributan di rumahmakan.
"Hai, siapa yang berani mengganggu keamaan itu?" seru
kepala polisi itu. Dia orang she Kwan bernama Tiong,
seorang kepala polisi yang menjaga keamanan kota.
. "Kwan pohtau (kepala polisi), tangkaplah gadis yang
telah menyiram kuah panas kepada kawan kami," seru
prajurit bertubuh kekar seraya menunjuk In Hong.
Kepala polisi kerutkan dahi. Heran dia dibuatnya
mengapa kawanan prajurit Ceng yang begitu kasar dan
garang dapat dicelakai seorang anak perempuan.
"Bagaimana Kwan bokthau?" tegur prajurit itu pula.
"O, ya," sahut kepala polisi, "bagaimana asal mulanya
peristiwa ini?" "Kami baik2 mengundangnya makan bersama satu meja
dengan kami, dia malah marah dan mencurahkan kuah dan
bubur panas kekepala kawan kami. Apakah budak liar
semacam itu tak perlu ditangkap?" kata prajurit.
"Dan pemuda itu tak pakai kuncir!" seru prajurit yang
lain. "Nona, engkau harus ikut kami ke kantor polisi," seru
kepala polisi. Tiba2 seorang lelaki tua melangkah masuk dan terus
menghampiri kepala polisi, "Ih, ada urusan apakah ini pak
polisi?" tanyanya. "Hus, siapa engkau! Pergi, jangan campur tangan urusan
polisi!" bentak kepala polisi.
Lelaki tua itu tertawa menyengir lalu lewat di samping
kepala polisi dan melintas ke belakang Kim Yu Ci, lalu
duduk di sebuah meja paling ujung.
"Mengapa engkau hendak menangkap aku?" tanya In
Hong. "Menurut keterangan para loya ini, engkau telah
mengguyur kuah dan bubur panas ke kepala mereka,
Mencelakai orang, tentu dihukum. Berat hukumannya."
"Apakah tuan percaya saja kepada keterangan mereka ?"
balas In Hong. "Prajurit kerajaan Ceng adalah pelindung rakyat dan
pahlawan. Rakyat harus menghormati," kata kepala polisi.
"Itu boleh2 saja," sahut In Hong, "tapi apakah tuan
percaya saja kepada mereka ?"
"Tentu." "Walaupun keterangan mereka itu bohong?"
"Eh, anak perempuan, jangan sembarang bicara.
Masakan para loya ini bohong ?"
"Apakah tuan tak perlu tanya keterangan kepadaku dan
terus mau main tangkap saja ?"
"Apakah engkau merasa tindakanmu mengguyur kuah
dan bubur panas ke kepala orang suatu perbuatan yang
benar ?" "Benar atau tidak, harus ditimbang dulu bagaimana asal
mula perkaranya. Pokoknya, tuan hanya menerima
keterangan mereka saja apa akan minta keterangan dari
orang yang tersangkut"'
"Hm, paling keteranganmu itu tentu membela diri dari
kesalahan." "Habis, apa aku harus mengatakan tuan ini seorang
kepala penjahat kalau kenyataan tuan ini seorang kepala
polisi ?" In Hong menjawab dengan berani.
Brak, brak, brak.... Terdengar suara meja ditampar keras dan menyusul
terdengar suara parau berteriak, "Hai, mana pelayan" Ini
rumahmakan atau rumah sakit ?"
Sekalian berpaling. Ternyata yang menggebrak meja itu
tak lain adalah lelaki tua berwajah bocah tadi.
"Seret orang itu keluar!" perintah kepala polisi kepada
kedua anakbuahnya. "Apa salahku" Hai, kepala polisi, aku akan menghadap
raja untuk melaporkan perbuatan yang sewenang-wenang
ini. Masakan orang tak salah engkau usir dari rumahmakan
" Engkau kira aku tak punya uang ?" kakek berwajah bocah
itu berteriak kalang kabut ketika diseret keluar oleh dua
orang polisi. 'Tuan," kata Han Bi Ing," baiklah tuan tanyakan kepada
saksi yang tahu tentang peristiwa tadi."
"Siapa saksinya " Tetamu2 sudah meninggalkan
rumahmakan ini," kata kepala polisi.
"Pemilik rumahmakan dan pelayan ini mengetahui
peristiwa itu. Silakan tuan tanya kepada mereka," kata Han
Bi Ing. "Bagaimana ?" karena malu terhadap seorang nona
cantik, kepala polisi itu menegur pelayan!
"A . . . a . . . anu tuan polisi.. ,." Pelayan itu tergagapgagap
dan tak melanjutkan omongannya ketika beradu
pandang dengan prajurit Ceng yang bertubuh kekar.
"Lekas katakan yang genah !" bentak kepala polisi.
"Lo .. . lo . .. loya itu .. . be, be . .. nar .."
"Bangsat !" damprat In Hong," engkau berani bohong "
Bukankah hidangan yang kupesan itu diserobot mereka ?"
"Sebenarnya kami sudah berjanji hendak membuatkan
lagi untuk nona, tetapi nona tak mau dan . . . ."
"Bangsat engkau!' In Hong terus hendak menampar
pelayan itu tetapi dicegah Han Bi lng "jangan adik Hong."
"Nih, jelas bahwa nonalah yang bersalah." kata kepala
polisi. "Dan pokthau." kata prajurit bertubuh kekar, "pemuda
itu juga melanggar undang2 karena tak mau memelihara
kuncir." "O," kepala polisi menyalangkan mata kearah Kim Yu
Ci. Ia terbeliak, '"Ah, apakah loya tidak salah lihat "
Bukankah pemuda itu sudah pakai kuncir ?"
"Hah ?" prajurit tegap itu membelalakkan mata, "tetapi
dia tadi .. . dia tadi tak pakai kuncir, pokthau dia berpaling
kepada kepala polisi itu dan tiba2 berteriak, "hai, mengapa .
. . mengapa pokthau sendiri tak memakai kuncir !"
"Apa ?" teriak kepala polisi Kwan Tiong dengan kaget
dan serentak merabah batok kepadanya, "astaga ! Kemana
kuncirku ?" "Engkau juga tak pakai kuncir !" teriak In Horg seraya
menuding pada prajurit tegap itu.
Prajurit pucat dan serentak merabah kepalanya, "Celaka
!" ia melonjak kaget, "kuncirku .. . ."
"Jatuh !" seru kawannya yang melihat seikal rambut
jatuh di tanah. Prajurit tegap itu serentak menyambar kucir
dan terlongong- longong memandangnya, "Mengapa
kuncirku jatuh ?" "Tuan kepala polisi, tangkap orang tak berkuncir ini!"
teriak In Hong. Kepala polisi Koan tercengang.'
"Hai, prajurit2, lekas tangkap dan bawa kedua orang tak
berkuncir ini kepada pembesarmu!"
Beberapa prajurit itu tertegun. "Ha, kalian tak mau
menangkap" Baik, aku akan melaporkan kepada
pembesarmu," gertak In Hong seraya hendak keluar.
"Tunggu !" teriak kepala polisi lalu berpaling kepada
kawanan prajurit," mari kita pergi!" Dia terus melangkah
keluar. Kawanan prajurit itupun mengikuti langkahnya.
Rupanya mereka menyadari bahwa rombongan gadis itu
memang pemuda2 yang berilmu tinggi Apalagi prajurit
bertubuh tegap yang menjadi kepala mereka, kuncirnya
putus. Memang pada waktu kerajaan Ceng mengumumkan
bahwa setiap arang lelaki harus memelihara kuncir,
terjadilah reaksi yang keras di kalangan rakyat Han. Oieh
karena itu kerajaan Ceng pun menjalankan peraturan itu
dengan keras. Barangsiapa berani melanggar perintah itu
akan dihukum rangket sampai 50 kali. Dan apabila untuk
yang kedua kalinya masih melanggar, akan dihukum mati.
Itulah sebabnya kepala polisi begitu ketakutan setengah
mati karena kehilangan kuncir, demikian pula dengan
kawanan prajurit. Sebagai hamba hukum dan prajurit
hukumannya jauh lebih berat apabila berani melanggar
undang-undang itu. "Ah, adik Hong, mengapa engkau cari gara2 lagi ?" tegur
Han Bi Ing. "Bukan aku yang bersalah," bantah In Hong "masa


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidangan pesanan kita diserobot seenaknya sendiri oleh
prajurit itu." Sementara itu tampak Kim Yu Ci tertegun.
"Kim kongcu, dari mana engkau memperoleh kuncir
itu?" tegur Han Bi Ing.
Kim Yu Ci geleng2 kepala, "Aku sendiri juga tak tahu,"
katanya seraya hendak mencabut Kuncir yang melekat pada
tengkuknya. "Jangan," seru In Hong, "daripada menghadapi banyak
kesulitan lebih baik engkau pakai saja kuncir itu."
"Apakah kuncir itu benar dari rambutmu sendiri?" tanya
Han Bi Ing pula. "Bukan," jawab Kim Yu Ci, "kuncir itu melekat pada
rambut tengkukku." "Siapakah yang memasangnya?"
"Itulah yang menjadi pemikiranku. Pada hal jelas tiada
orang yang masuk kemari, mengapa tahu2 aku mempunyai
kuncir!" Beberapa saat kemudian, In Hong seperti teringat
sesuatu, serunya, "Ah, orangtua yang berwajah tertawa
tadi, apakah bukan dia . . . . "
"Ah, dia kan terus diringkus polisi dan diseret keluar,"
bantah Han Bi Ing, "bagaimana mungkin dia dapat
mencomot kuncir kepala polisi dan dipasang di rambutmu?"
Baik Kim Yu Ci maupun Han Bi Ing tak dapat
menjawab pertanyaan itu. "Apakah engkau tak merasakan suatu apa ketika kuncir
itu nomplok di rambutmu?" tanya In-Hong pula.
Kim Yu Ci hanya gelengkan kepala, "Ya, aku memang
mencurigai orangtua itu. Selain dia tiada orang lain yang
masuk ke ruang ini."
"Dan mengapa kuncir dari prajurit bertubuh tegap tadi
juga putus" Apakah kuncir mereka memang kuncir
pasangan?" Sebelum mendapat jawaban, In Hong sudah memanggil
pelayan, "Hai, bung, apakah kuncirmu aseli atau
pasangan?" "Aseli, nona," kata pelayan. "Masa iya, coba
kuperiksanya," In Hong suruh pelayan itu berputar badan
lalu ia memegal kuncir pelayan, "ah, pasangan juga! Hm,
sudah dua kali engkau bohong, bung! Nah, buktinya
kuncirmu dapat kuambil!'' dia terus melemparkan kuncir
pelayan itu ke lantai. Sudah tentu pelayan itu kaget setengah mati. Kuncir itu
memang tumbuh dari rambutnya dan dipelihara sampai
panjang. Mengapa sekarang terlepas.
"Hayo, celaka," pelayan menyambar kunci terus lari
masuk kedalam. Melihat itu pemilik rumahmakan merabai dan menariknarik
kuncirnya. Dia legah karena kuncirrya tidak lepas
tetapi dia kuatir akan terjadi apa2 maka dia terus
mendekapnya saja seperti takut kalau jatuh.
Han Bi Ing geleng2 kepala, "Ah, engkau memang nakal,
adik Hong." "Sebagai hukuman dari kebohongannya tadi," bisik In
Hong. "Ciangkui," kata Han Bi Ing seraya menghampiri pemilik
rumahmakan. Ia memberikan dua tail emas, "kiranya ini
cukup untuk pengganti semua kerusakan disini."
"Terima kasih," dengan tangan kiri masih mendekap
kuncir, tangan kanan menerima uang pemberian si nona.
"Eh, apa-apaan itu" Mengapa kuncir kok di dekap terus
menerus" Apa takut terbang?" tegur In Hong.
Pemilik rurnahmakan hanya tertawa menyengir.
"Nona," katanya, "kurasa nona sekalian lebih baik lekas2
tinggalkan kota ini. Karena dikuatirkan tak lama lagi
prajurit2 Ceng itu akan datang untuk menangkap nona dan
tuan." "Ya," kata Han Bi Ing lalu mengajak kedua kawannya
pergi. "Pergi sih boleh saja, tetapi bagaimana dengan perutku
yang masih kosong ini?" lengking In Hong.
"Wahhhh," pemilik rurnahmakan garuk2 kepalanya,
"kalau harus masak tentu makan waktu. bagaimana kalau
kusuruh membungkuskan bakpau saja"
Tanpa menunggu persetujuan orang, pemilik
rumahmakan segera suruh tukang masak membungkuskan
sepuluh butir bakpau. Kota Thay-goan adalah ibukota propiri San-se.
Merupakan dataran yang dikelilingi oleh pegunungan. Di
sebelah selatan gunung Tiong thiau-san, di sebelah utara
tembok raksasa Ban li-tiang-shia yang membatasi tanah
Tiong-goa dengan Mongolia. Lalu disebelah timur-laut
gunung Ngo-tay san dan disebelah tenggara gunung Thayheng-
san. Puncak gunung Ngo tay-san mencapai ketinggian
3000 meter, merupakan salah satu dari Panca-giri (lima
gunung ) yang tertingj di benua Tiong-goan.
Setelah melintasi propinsi Siam-say maka ketiga
anakmuda itupun memasuki wilayah San yang saat itu
sudah diduduki oleh kerajaan Ceng atau Boan-ciu.
Saat itu mereka tiba di sebuah kota kecil di kaki
pegunungan Lu-liang-san dan mengalami peristiwa lucu di
rumahmakan. Sekeluar dari rumahmakan mereka hendak melanjutkan
perjalanan ke timur. Singkatnya ditengah jalan mereka tak
mengalami gangguan apa-apa. Mungkin merekapun
memang bertindak hati2, sedapat mungkin menghindari
jalan besar dan kota yang ramai. Mereka lebih senang
mengambil jalan yang sepi di pegunungan dan desa".
Dengan tindakan itulah maka mereka dapat tiba di kota
Thay-goan dengan selamat.
Sebelum memasuki kota, berkatalah KimYu Ci,
"Suasana dalam kota tentu jauh berbeda ketika masih
dalam kekuasaan kerajaan Beng. Kurasa baiklah kita
menyamar. Terutama penting sekali bagi nona Han agar
jangan diketahui musuh"
"Menyamar bagaimana ?" tanya In Hong.
"Kalau kita menyamar sebagai pelancong, tentu mudah
menimbulkan perhatian orang. Masa dalam suasana
perang, orang sempat untuk melancong," kata Kim Yu Ci,
"maka sebaiknya kita menyamar saja sebagai rakyat desa
yang hendak menjual barang ke kota. Bagaimana ?"
"Wah, berabe," kata In Hong, "kalau engkau sih mudah
saja, Tetapi bagaimana dengan cici Ing " Masakan orang
takkan kaget melihat seorang desa yang secantik dia ?"
"Hi, adik Hong, engkau memang suka menggoda orang,
Cobalah engkau berkaca, apakah orang jaga akan percaya
kalau orang desa secantik engkau ?"
Kim Yu Ci menganggiu, "Ya, memang begitu. Lalu
harus menyamar jadi apa ?"
"Itu mudah saja," kata In Hong, "yang tepat kalau aku
dan cici Ing menyamar sebagai rahib."
"Menjadi rahib ?" ulang Kim Yu Ci, "tetapi apakah
didalam kota terdapat biara ?"
"Ada," sahut Han Bi Ing, "bahkan beberapa buah. Yang
terkenal adalah biara Sam-im lahnya."
"Ya, itu memang tepat," kata Kim Yu Ci tetapi dari
mana kita dapat memperoleh pakaian rahib?"
In Hong tak dapat menjawab.
"Kalau menyamar sebagai rakyat desa mudah saja kita
beli pakaiannya," tambah Kim Yu Ci.
"Cici Ing," kata In Hong, "biara yang terletak agak diluar
kota ?" "Ya, ada. Biara Ceng-leng-kwan. Letak, memang
disebelah luar tembok kota," kata Bi Ing.
"Itulah," seru In Hong, "kita ke sana mencuri jubah rahib
untuk kita berdua. Dan baimana untuk engkau ?" tanyanya
kepada Kl Yu Ci. "Kupikir," kata Kim Yu Ci, "aku akan menyaru
sebagai....." "Paderi gundu! saja !"
"Wah, wah, jangan dong," kata Kim Yu Ci, kalau
airmuka dilumuri kotoran atau bedak untuk berganti wajah,
itu sih mudah saja kalau sudah selesai lalu dicuci. Tetapi
kalau ranbut sudah terlanjur di gundul, apakah bisa tumbuh
dengan cepat" Jangan2 aku nanti dikira paderi murtad."
In Hong tertawa. 'Dengan aku menyaru sebagai rakyat dan kalian sebagai
rahib, tentulah orang tak menyangka kalau kita ini sekawan
sehingga mengurangkan perhatian orang."
Setelah mencapai sepakat maka bertanyalah Kim Yu Ci,
"Jika demikian mari kita menuju ke biara itu."
Biara Ceng-leng-kwan tidak berapa besar dan teeletak di
pinggiran kota. Kepala biara bernama Gok Sian suthay,
berumur enampuluhan tahun. Mempunyai dua orang murid
Lian Ceng dan Lian Kiat, dua saudara kembar yang baru
berumur duapuluhan tahun.
Setelah tiba di biara itu maka Kim Yu Ci berkata, "Harap
nona berdua tunggu disini, akulah yang akan
mengambilkan pakaian rahib."
"Ah, jangan," kata In Hong, "engkau seorang lelaki dan
rahib2 di biara itu semua wanita. Apakah engkau tidak
sungkan ?" "Habis ?" kata Kim Yu Ci, "ini kan urusan penting.
Apalagi kita ini kan kaum persilatan, mengapa harus malu
?" "Lebih baik aku sajalah," seru In Hong. tetapi....."
"Apa engkau kira aku tak mampu melakukan "
Bukankah mereka itu hanya rahib2 yang hanya mengurusi
biara dan membaca kitab ?"
Kim Yu Ci gelengkan kepala, "Jangan meremehkan
kaum paderi dan rahib. Tidak semua kaum paderi dan rahib
itu hanya membaca kitab saja. Merekapun diberi latihan
bersemedhi dan ilmusilat untuk menjaga kesehatan. Lihat
tuh ceritanya vihara Siau-lim. Dulu pendirinya. Tat cousu.
telah memberi pelajaran silat. Pelajaran sesungguhnya
sebagai suatu gerak badan agar kesehatan mereka baik dan
semangat tidak lesu. tapi lama kelamaan ilmusilat itu
menjadi suatu senjata untuk berkelahi. Kalau untuk beladiri
baik saja, tetapi ada juga yang digunakan untu
mencelakai orang, menjadi jagoan."
"Sudahlah," tukas In Hong, "pokoknya aku tentu mampu
mencuri pakaian mereka! Harap tunggu disini, jangan pergi
kemana-mana." Habis berkata dara itu terus melesat pergi. Kim Yu Ci
menghela napas., "Ah, anak perempuan itu memang garang
sekali. Dia belum tahu pengalaman di dunia persilatan.
Mudah-mudahan tak terjadi suatu apa."
'Ya, dia masih bersifat kekanak-kanakan segala apa mau
menang sendiri," kata Han Bi Ing, "tetapi dia sebenarnya
besar sekali rasa setiakawan dan penuh tanggung jawab."
Cepat In Hong sudah mendekati biara gerumbul pohon
yang gelap, dia maju rnenghampiri biara. Biara itu tampak
sunyi, karena itu sudah larut malam. Tetapi anehnya pintu
ruang depan tak tertutup. In Hong melangkah masuk. Meja
sembahyang yang berada dalam ruang tengah itu masih
menyala lilinnya. Yang dipuja di meja sembahyang itu
adalah arca Dewi Koan Im. Dan di kanan kiri meja dapat
arca dua orang sian-thong ( kacung nya).
Tiba2 mata In Hong menyala ketika melihat dialas meja
sembahyangan itu masih terdapat sesaji buah-buahan,
antara lain buah li ( peer ) sudah lama dia tak makan buahbuahan.
Seketika timbullah seleranya. Maka diapun maju
ke meja dan wutttt, ia terus menyambar buah li.
"Uh ia mendesuh kaget ketika buah li itu dapat bergerak
menghindar ke samping. "Ah, mungkin karena tertampar oleh angin gerak
tanganku, buah itu menggelinding," pikirnya.
Dia terus mengulangi lagi, menyambar buah itu, Uhhh . .
. , " kembali ia melongo karena buah itu menggelinding lagi
ke samping. "Gila, masakan menyambar buah li saja sampai dua kali
kok tak mampu," ia mulai geram.
Setelah memperhatikan posisinya, In Hong menyambar
lagi. Kali ini dia bergerak dengan amat cepat.
"Ihhhh," kembali mulutnya mendesis karena
sambarannya itu luput lagi. Kali ini bukan menggelinding
ke samping tetapi mencelat keatas lalu jatuh lagi.
"G.la!" dengus In Hong. Dia makin penasaran.
Disambarnya lagi, eh, buah li itu dapat melejit ke belakang.
In Hong tidak menyadari bahwa tak mungkin buah li
dapat bergerak dan mencelat kalau tidak digerakkan tenaga
orang. Tetapi dalam anggapan dia mengira buah itu
bergerak karena tertampar oleh angin gerak tangannya.
"Ah, tak perlu di sambar, cukup pelahan-lahan agar tidak
menimbulkan angin," akhirnyal ia mendapat akal.
Kali ini tangannya maju direntang seperti anak yang
hendak mendekap cengkerik. Pelahan-lahan tangannya
makin mendekati buah itu. Dan ketika tinggal sejari
jauhnya, dia terus menyambar, uhhhh .... buah itu melejit
ke atas. "Ah, goblok, mengapa aku tak dapat bersabar," ia
menyalahkan dirinya sendiri. Diulanginya lagi untuk
ajukan tangannya mendekati buah itu. Ketika tiba di dekat
buah, dia memang dapat mengendalikan diri untuk tidak
cepat2 meraih, melainkan julurkan jari telunjuk untuk
menyentuh buah itu, ih ... . hanya tersentuh sedikit saja,
buah itu teras melejit ke muka.
Kali ini In Hong benar2 kaget. Mengapa begitu
tersentuh, buah terus mencelat" Padahal pclahan sekali
ujung jarinya itu menyentuhnya.
"Apakah buah itu bernyawa. Ataukah ruang ini ada
psnunggunya ?""," baru dia berkata begitu tiba2
sepasang lilin yang terletak di meja bergerak-gerak,
berpindah tempat. Sudah tentu In Hong terbelalak kaget.
"Edan," gumamnya, "masakan lilin dapat berpindah
tempat, buah dapat bergerak dan melejit!"
Yang lebih gila lagi, sekonyong-konyong sepasang lilin
yang berpindah tempat itu padam. Seketika ruang itupun
gelap gulita.

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak perempuan, engkau berani mencuri buahku?"
tiba2 telinga In Hong seperti terngiang suara halus macam
denging nyamuk. Sudah tentu In Hong melonjak seperti meliuk ular. Suara
apakah itu" Dia tabahkan hati dan mencabut pedangnya.
"Ho, anak perempuan, engkau berani melawan aku"
Akulah Dewi Koan Im yang dipuja di sini?".. " kembali
telinga In Hong terngiang suara halus seperti nyamuk.
Seketika lilinpun menyala lagi. Dan memandang ke
muka, In Hong masih melihat arca Dewi Koan Im itu
seperti tersenyum kepadanya. "Hayo, engkau harus berlutut
menghaturkan maaf kepada Dewi . . . . " tiba2 telinga In
Hong giang suara nyamuk itu dan tanpa terasa, lututnyapun
terkulai melentuk dan bluk, In Hong jatuh berlutut di depm
meja sembahyang. Dia terkejut dan hendak meronta berbangkit tetapi
lututnya sukar digerakkan.
"Hm, anak perempuan, kalau engkau tetap tak mau
minta ampun, engkau akan kusuruh berlutut sampai besok
siang ..." telinganya terngiang pula suara nyamuk itu.
"Siapa engkau?" tanyanya. Ia tak tahu siapa yang bicara
itu. Maka iapun hanya sekedar bertanya tanpa mengetahui
kepada siapa pertanyaan itu ia ajukan,
"Aku penunggu biara ini. Bukankah engkau ini seorang
pencuri?" terdengar suara itu mengiang di telinganya.
"Ti . . . dak . . . aku bukan pencuri."
"Hm, aku adalah sin-beng (malaekat) yang tahu isi hati
orang, mengapa engkau berani bohong kepadaku?"
"Kalau malaekat, cobalah engkau tunjuk muka, jangan
bersembunyi." "Aku sudah berada di depanmu, engkau sendiri yang tak
tahu. Tidak percaya?"
"Mengapa aku tak dapat melihatmu?"
"Engkau bangsa manusia, tentu saja tak dapat melihat
perwujudanku. Yang penting, kau haturkan maaf kepada
Dewi. Dewi Koan !m adalah dewi pengasih dan penyayang,
apa permintaanmu tentu akan dikabulkan....."
In Hong diam. Dia masih tak percaya.
"Budak perempuan, apakah engkau minta dipaksa "
Baiklah....." begitu telinganya terngiang suara halus itu,
leher In Hong terasa kencang lalu terus melentuk ke muka,
kepala menunduk sampai ke tanah.
Dara itu terkejut dan coba hendak meronta tetapi
percuma. Dia tak dapat menggerakkan leher mengangkat
kepala. "Hayo, kalau tak mau minta ampun, engkau lurus
menunduk sampai besok siang dimana kepala biara ini
tentu akan mengetahui perbuatanmu ?""
In Hong terkejut, heran, cemas tetapipun menyerah. Dia
benar2 tak dapat berkutik. Diam-diam ia menimang, "Apa
sih beratnya untuk mengucapkan kata2 itu " Daripada aku
begini sampai besok pagi dan dipergoki rahib biara ini, kan
lebih baik aku menurut dulu....."
Setelah memutuskan, diapun segera mengutipkan kata2
seperti yang diajarkan suara gaib tadi. Habis mengucap, eh,
tahu2 dia dapat bergerak lagi. Cepat dia berbangkit. Belum
berbuat apa2, tiba2 buah li tadi menggelinding dan
mencelat ke arah dadanya. C;pat dia menyanggapinya.
"Makan?"?" terngiang pula suara halus itu ditelinga
In Hong. In Hong terpaksa menurut. Memang enak rasanya buah
li itu. Setelah makan maksudnya di hendak cepat2
tinggalkan ruang sembahyang itu. Ia benar2 kapok
mengganggu sesaji yang diperuntukkan Dewi Koan Im.
Tetapi entah bagaimana sehabis makan buah |i, ia
rasakan matanya ngantuk sekali. Sedemikian ngantuk
sampai sukar dibuka. Dan akhirnya ia pun menyerah saja,
terus menggeletak tidur. Han Bi Ing yang menunggu di hutan, mulai cemas.
Mengapa sampai sejam lamanya belum juga In Hong
muncul. Ditunggunya lagi sampai sejam. Dan waktu sudah
tiga jam lamanya, Han Ing tak dapat menahan
kesabarannya lagi. "Kim kongcu, bagaimanakah dengan Hong."
"Ya, anak prempuan itu memang bandel," kata Kim Yu
Ci, "seharusnya dia sudah kembali."
"Lalu bagaimana?"
"Engkau berani menunggu seorang diri di sini?"
"Takut apa?" "Kalau begitu biarlah kususulnya saja," Kim Yu Ci yang
terus lari menuju ke biara.
Saat itu rembulan sudah condong ke barat. Ruang depan dari biara itu gelap
tiada penerangannya lagi.
Kemanakah ia harus mencari
jejak dara itu" "Adakah kepala biara ini,
seorang rahib yang sakti?"'pikirnya. Ia
mempunyai alasan untuk menduga begitu. In Hong juga
memiliki kepandaian yang cukup tinggi tetapi mengapa
sudah tiga jam berada dalam biara itu tak juga dara itu
kembali lagi" Kim Yu Ci menjemput kerikil dan dilontarkan ke
genteng. Cara itu adalah cara yang digunakan oleh kaum
ya-heng-jin (kaum persilatan yung bekerja pada malam hari)
untuk menyelidiki apakah penghuni rumah sudah tidur atau
belum. Suara berkelotekan dari batu kerikil yang menggelinding
di atap, tiada bersambut. Tiada suara dari penghuni yang
terdengar bangun. Kim Yu Ci memberanikan diri. Dia tak mau langsung
memasuki ruang dalam, melainkan Ioncat ke atas genteng.
Baru kakinya menginjak gentong, tiba2 setiup angin tajam
telah menyambar kearahnya.
"Hm, kurang ajar, ada orang yang menyerang aku
dengan senjata rahasia," pikirnya. Dia diam saja. Begitu
benda itu tiba, dia segera menamparnya, plek.....
"Ih . . . . , "dia mendesis ketika merasakan bahwa yang
ditampar itu bukan senjata rahasia yang berbahaya
melainkan sehelai daun. "Kurang ajar !" gumamnya namun pada lain saat dia
terkesiap. Orang yang mampu melontarkan daun seperti
melontar senjata rahasia terang tentu memiliki tenagadalam
yang luar biasa hebatnya.
"Celaka, ada orang sakti yang hendak menganggu aku,"
pikirnya. Mendekam diatas wuwingan genteng, ia
memandang kesekeliling penjuru. Namun ia tak
menemukan sesuatu yang layak dicurigai. Empat penjuru
sunyi senyap terbungkus dalam kegelapan malam yang
kelam. Tiba2 ia melihat sesosok tubuh memberosot lari dari
balik gerumbul, "Ho, engkau," kata Kim Yu Ci seraya loncat turun untuk
mengejar. Ternyata orang itu amat tangkas dan sekali. Kim Yu Ci
terus mengejar sampai tiba sebuah lembah barulah orang itu
berhenti. "Ho, mau apa engkau mengejar aku ?" tegur orang itu.
Suaranya parau. Dan Kim Yu Ci seperti pernah mendengar
nada suara orang itu tapi entah dimana ia sudah lupa.
"Siapa engkau ?"
"Apa pedulimu aku siapa ?"
"Bukankah yang menyerang aku dengan lemparan daun
tadi, engkau ?" "Apa engkau anggap aku mampu melakukan itu ?" balas
orang yang wajahnya pucat seperli mayat.
"Hm, tiada lain orang kecuali engkau !"
"Lalu apa maksudmu"'' tanya orang' itu.
"Engkau hurus mengatakan siapa dirimu dan apn
maksudmu mengganggu aku ?"
"Kalau aku tak mau mengatakan ?"
"Harus mau !" bentak Kim Yu Ci seraya terus
menyambar orang itu. Tetapi dia terkejut sekali karena
orang itu mampu menghindar dari tangannya.
Dahulu karena hendak menuntut balas kepada Kim
Thian Cong maka Kim Yu Ci menyaru sebagai Kim Thian
Cong. Dia bermarkas di gunung Hung san dan mendirikan
Perkumpulan Seng-lian-kau. Selain untuk mencari Kim
Thian Cong, pun ia bermaksud untuk menjagoi dunia
persilatan. Sudah barang tentu dia memiliki kepandaian
yang sakti sehingga mampu mengalahkan tokoh2
persilatan. Peristiwa itu menggemparkan dunia persilatan. Ketua
dari tujuh partai persilatan yang ternama sampai kelabakan.
Akhirnya tampillah pendekar Bloon untuk menghadapinya.
Untung pada waktu mereka berdua bertempur mencapai
detik2 yang gawat, datanglah Hiang Hiang niocu untuk
mendamaikan dan menceritakan siapa sebenarnya mereka
itu. Ternyata orang yang menyamar sebagai Kim Thian
Cong itu adalah Kim Yu Ci. Dan Kim Yu Ci itu ternyata
putera dari Hiang Hiang niocu dengan Kim Thian Cong,
Blo'on putera Kim Thian Cong dari ibu lain. Dengan
demikian Kim YuCi dan Kim Yu Yong (Blo'on) itu adalah
saudara tunggal ayah lain ibu.
Tentang kisah yang menarik itu, anda dapat mengetahui
dalam cersil Pendekar Blo'on yang lalu.
Maka tak heran kalau Kim Yu Ci terkejut karena orang
bermuka pucat itu mampu lolos dari sergapannya.
"Hm, engkau ternyata hebat juga," dengus Kim Yu Ci
seraya melanjutkan serangannya. Tetapi tiba2 orang itu
berseru, "Aya, celaka, maksud baik disangka jelek .... , ."
Habis berkata orang itu terus loncat dan melarikan diri.
Kim Yu Ci tertegun mendengar kata orang itu Hanya
sejenak dia terdiam atau orang itu sudah lenyap dalam
kegelapan malam. "Luar biasa sekali ilmu ginkang orang itu," kata Kim Yu
Ci sesaat kemudian. Akhirnya terpaksa dia kembali ke biara
lagi. Ah, ternyata halaman biara dia telah menyaksikan
suatu pemandangan yamg menegangkan.
Ditingkah oleh sinar bulan remang, saat di halaman
biara sedang berlangsung pertempuran yang seru antara tiga
sosok bayangan hitam. Kim Yu Ci tak tahu siapa mereka itu. Tetapi sesaat
kemudian dia baru dapat melihat bahwa yang bertempur itu
adalah seorang rahib tua melawan dua orang paderi.
Walaupun tak tahu siapa mereka tetapi Kim Yu Ci rasakan
suatu keganjilan. Mengapa dua orang paderi lelaki tak
sungkan mengeroyok seorang rahib wanita tua " Dan
mengapa diantara sesama kaum agama mereka harus
berkelahi " Seketika timbullah keinginan Kim Yu Ci untuk melerai.
Tetapi mereka berkelahi sedemikian seru sehingga seolah
ketiga sosok bayangan itu tergabung menjadi satu.
"Hai, taysu dan suthay yang bertempur, kuharap sukalah
berhenti dulu," serunya untuk menghentikan pertempuran
itu. Tetapi mereka tak mengacuhkan.
"Taysu, aku bermaksud baik untuk mendamaikan urusan
kalian. Harap taysu hentikan pertempuran dulu," Kim Yu
Ci mengulang seruannya. Namun tetap tak diacuhkan.
"Maaf, taysu dan sin-ni, apabila seruanku tak dihiraukan,
terpaksa aku akan bertindak," untuk yang terakhir kalinya
Kim Yu Ci memberi peringatan.
Tiba2 salah seorang paderi melesat ke tempat Kim Yu Ci
Pasangan Naga Dan Burung Hong 2 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Hantu Wanita Berambut Putih 3
^