Bloon Cari Jodoh 17
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Bagian 17
gadis itu dengan seorang anggauta Hong-hian-hwa.
Gadis anggauta Bunga Penghibur itu tak lain adalah Ah
Ling. Dia menjadi wanita menghibur khusus untuk
panglima Taras. Karena pandai merayu, Taras sangat
menyayanginya sekali. In Hong dan Han Bi Ing terkejut dalam pertemuan
dengan Ah Ling. Mereka tak sangka kalau gadis yang masih
muda dan cantik rela mengorbankan diri untuk menjadi
pemuas nafsu orang Boan. "Memang pengorbanan itu besar sekali harganya," kata
Ah Ling," jangankan hanya kehormatan bahkan jiwa dan
raga harus kita korbankan demi menyelamatkan rakyat."
"Taci Ling, engkau benar2 seorang mustika nya
mustika," dengan penuh haru Han Bi Ing memegang erat2
kedua tangan Ah Ling. "Tidak, nona Han," kata Ah Ling, "aku hanyalah sebutir
pasir di padang pasir yang tak berharga. Diriku sudah
cemar ...." "Tetapi batinmu masih suci bagai seorang bidadari
cici........." cepat Han Bi Ing menduka.
Tersentuhlah hati In Hong seketika. Ia tak sangka bahwa
di dunia ternyata terdapat gadis2 yang rela berkorban diri
untuk menyelamatkan bangsanya.
"Cici Ling, bagaimana kalau aku ikut jadi anggauta
Hong-hian-hwe ?" In Haag menyelutuk.
"Ah, jangan nona," kata Ah Ling, "kebanyakan
anggauta2 kami adalah gadis2 lemah yang tak punya
kepandaian. Tetapi nona mempunyai kepandaian silat yang
tinggi. Nah, gunakanlah kepandaian nona untuk berjuang
melawan mereka. Tugas untuk menenggelamkan pikiran
dan semangat mereka, serahkan saja kepada kami."
"Cici Ling, engkau seorang gadis yang mulia. Engkau
laksana bunga teratai, walaupun di lumpur, tempatnya
tetapi engkau tetap suci," In Hong memeluk Ah Ling erat2.
"Lalu begaimana cici Ling hendak mengatur rencana ?"
tanya Han Bi Ing. "Begini," kata Ah Ling, "aku masih mempunyai beberapa
kawan dalam markas besar pasukan Ceng. Diantaranya
karena parasnya kurang cantik, ditugaskan menjadi
pelayan. Nah, nanti apabila semua orang berkumpul di
halaman untuk menyaksikan pawai liang-liong, kalian
berdua boleh menunggu di pintu belakang gedung, A Siu
dan A Kim akan keluar menemui. Kalian nanti boleh tukar
pakaian dan masuk kedalam gedung."
"Tetapi aku sudah menyanggupi untuk membantu main
barong-say. Oo, tak apalah, sehabis main barong- say, aku
akan langsung menuju pintu belakang,?" seru In Hong
gembira. Begaulah semua rencana telah berjalan dengan lancar.
Setelah bermain barong- say dan mencaploki kepala
beberapa pembesar Ceng, In Hong terus menuju ke pintubelakang.
Disitu Han Bi Ing pun sudah menunggu. Ketika
Ah Ling keluar, mereka lalu masuk dan kedua gadis itu
menyaru sebagai bujang pelayan.
"Begitutah Kim toako, pengalaman kami selama di
markas itu," Han Bi Ing menutup ceritanya.
"Nih, ambillah,?" tiba2 In Hong berseru seraya
mengeluarkan sebuah bungkusan kepada Kim Yu Ci.
"Apa ini?" Kim Yu Ci heran karena tak sari-sarinya gadis
centil itu memberi sesuatu kepadanya.
"Bukalah. untukmu !" seru In Hong.
Ketika Kim Yu Ci membukanya, ia terbelalak.
"Hai, kuncir siapakah begitu banyak ini ?" serunya.
"Siapa lagi kalu bukan kuncir para pembesar Ceng itu,"
sahut In Hong, "tuh, pakailah kuncirnya si Taras. Mereka
tentu akan takut kepadamu, hi, hi, hi , ...."
Waktu In Hong menceritakan bagaimana ia memperoleh
kuncir itu, Kim Yu Ci dan Han Bi Ing tertawa geli.
"Barong-say doyan kuncir. ha, ha, ha . . ."
Keesokan harinya, Han Bun Liong sudah bangun.
Semangatnya tampak lebih segar. Dia dapat berjalan keluar
dan bercakap- cakap dengan ketiga anakmuda itu.
Waktu Han Bi Ing memperkenalkan Kim Yu Ci, Han
Bun Liong terkejut, "Ah, jika demikian Kim hiantit ini
sudah menjadi menantuku bukan " Ah, terima kasih Thian,
harapanku sekarang sudah ENGKAU kabulkan. Arwah
Kim Thian Cong tentu akan dapat beristirahat dengan
tenteram di alam baka ....."
Han Bi Ing tersipu-sipu merah mukanya. Ketika ia
hendak memberi penjelasan, tiba2 Kim Yu Ci berkata,
"Gak-hu, terimalah hormat kia-say yang bodoh ini ..... "
Kim Yu Ci terus berlutut memberi hormat kepada Han
Bun Liong. Gak-hu artinya mentua dan kia-say adalah
menantu. "Ah, harap hian- say jangan banyak peradatan." kata
Han Bun Liong seraya mengangkat bangun Kim Yu Ci.
Han Bi Ing makin merah mukanya. In Hong melongo.
Tetapi Kim Yu Ci tenang2 saja.
"Eh mengapa dia mau mengaku sebagai menantu ayah.
Apakah ..... ," Han Bi Ing tak dapat melanjutkan renungan
hatinya karena sebagai seorang gadis sudah tentu dia
merasa kikuk sekali. "Hm. mengapa dia mengaku sebagai menantu" Apa dia
suka kepada ci Ing " Apakan dia sudah berunding dengan ci
Ing " Huh "..." pikir In Hong.
Kim Yu Ci mempunyai perhitungan sendiri. Pertanyaan
yang mendadak dari mulut Han Bun Liong itu memang tak
diduga- duga. Sejak bertemu dengan Han Bun Liong dan
tahu akan pribadinya, timbullah rasa hormat dan kagum
Kim Yu Ci kepada jago tua itu.
Sebelumnya belum terpikirkan soal perjodohan ataupun
hubungan asmara dengan Han Bi Ing, namun demi
menghibur hati Han Bun Liong agar jangan sedih, terpaksa
Kim Yu Ci memberi pengakuan begitu. Soal nanti
bagaimana hubungannya dengan Han Bi Ing, itu soal
belakangan. Dapat diatur. Yang penting saat itu dia dapat
menggembirakan hati Han Bun Liong. Ia dapat
membayangkan betapa sengsara keadaan Han Bun Liong
waktu ditawan dalam penjara dibawah tanah itu. Kalau dia
mendengar kabar bahwa paterinya gagal mencari Blogon,
tentulah Han Bun Liong lebih menderita batinnya.
"Ketahuilah hian-say," kata Han Bun Long pula, "satusatunya
beban yang menjadi pemikiranku adalah Bi Ing itu.
Dia putcri tunggalku dan sejak kecil' mamanya sudah
meninggal dunia. Sekarang setelah dia sudah bertemu
dengan hian-say, legahlah hatiku siorang tua ini. Kapan
saja, aku dapat mati dengan meram."
"Ah, terima kasih gak-hu, atas kepercayaan yang gak- hu
berikan kepadaku," kata Kim Yu Ci.
Kemudian Han Bun Liongpun bertanya tentang diri In
Hong. Ketika mendengar In Hong itu cucu dari Tong Kui
Tik, terkejutlah Han Bun Liong, "Ah, kiranya, hian-titli ini
cucu dan Tong-heng. Sudah lama aku tak beijumpa dengan
Tong-heng. Dimanakah dia sekarang ?"
In Hong seperti disayat hatinya mendengar orang
menanyakan kepadanya engkongnya yang tercinta itu. Air
matanyapun berlinang-linang dan mulut serasa berat untuk
berkata. "Ayah, Tong ciangpwe tak kurang suatu apa. Saat ini dia
sedang menyelesaikan suatu urusan adik Hong ini disuruh
ikut aku." 'O. apakah Tong-heng hendak berkunjung kemari ?"
"Kalau tiada aral melintang, mudah-mudahan Tong
ciangpve dapat datang kemari," sahut Han Bi Ing. Ia
mewakili In Hong bicara karena ia tahu perasaan In Hong
saat itu. "Ayah aku ingin sekali mendengar cerita ayah sejak aku
pergi dari kota ini," kata Han Bun Ing yang hendak
mengalihkan pembicaraan. Han Bun Liong menghela napas. "Ah, memang banyak
sekali pengalaman hidup yeng kualami sejak itu," katanya,
"dan kini aku makin mengenal bagaimana sifat manusia itu
yang sebenarnya." Dibawah pimpinan Han Bun Liong, dapatlah rakyat
Thay-goan menahan serangan pasukan Ceng. Han Bun
Liong berwibawa dan ditaati seluruh penduduk. Dia
dikenal seorang jago silat yang sudah mengundurkan diri
dari pergaulan ramai. Dikenal pula sebagai seorang
hartawan yang ramah dan terbuka tangannya.
Dalam kehidupan sehari-hari Han Bun Liong amat
ramah. Tetapi dalam memimpin barisan rakyat dia keras
sekali. Hal itu memang sudah ia ajukan kepada penduduk
yang memintanya memimpin barisan mereka. Perang, lain
dengan pergaulan. Dia harus tegas dan bengis. Barangsiapa
melanggar peraturan harus mau menerima hukuman. Dan
pendudukpun menyetujui karena mereka percaya penuh
kepada Han Bun Liong, Han Bun Liong membentuk beberapa kelompok barisan.
Disamping itu diapun mengerahkan kaum wanita yang tak
mau meninggalkan kota, untuk mengurus soal konsumsi
(makanan). Dalam waktu singkat kota Thay-goan yang ramai
sebagai kota perdagangan, telah berobah menjadi sebuah
benteng pertahanan yang kokoh. Setelah pasukan Ceng
menyerang mereka tentu di sambut dengan hujan
anakpanah. Han Bun Liong tak mau menyerang melainkan
bertahan. Dia akan tunggu sampai musuh lelah dan jemu
baru nanti dia akan melancarkan serangan. Pasukan Ceng
benar2 marah karena tak mampu merebut kota yang hanya
dipertahankan oleh rakyat saja.
Apa yang diperhitungkan Han Bun Liong memang
benar. Karena hampir sebulan lamanya selalu gagal,
mulailah timbul rasa jenuh dan lelah di kalangan prajurit
Ceng, Melihat itu Han Bun Liong segera memanggil beberapa
pemuda. "Tek Sun, engkau bawa pasukanmu keluar dari pintu
kota sebelah barat dan mengitari ke selatan, menyerang
pasukan musuh," kata Han Bun Liong.
"Baik, cong-tui-tiang (pemimpin)," suhut seorang
pemuda bertubuh kekar. Dia bernama Tek Sun dan
memimpin barisan golok yang terdiri dari pemuda2 berani
mati. "Dan engkau, Sun Ki, pimpinlah kelompokmu mengitari
kearah utara dan menyerang rusuk kanan barisan musuh,"
kata Han Bun Long pula. "Baik, cong-thau-leng," sahut seorang pemuda berkulit
hitam. Dia bernama Sun Ki yang diserahi memimpin
barisan panah. "Dan Sou kongcu." kata Han Bun Liong kepada Sou
Kian Hin, putera residen Thay goan yang entah bagaimana
tahu2 ikut masuk menggabung diri kedalam barisan rakyat
yang dipimpin Han Bun Liong," kongcu menjaga kota.
Saruhlah anak buah kongcu untuk membuka pintu kota dan
suruh mereka bersorak-sorai memukul genderang,"
"Baik, Han lopeh," sahut Sou Kian Hin.
"Dan engkau Hwat Seng, begitu pintu kota dibuka,
engkau harus lekas memimpin anakbuahmu untuk
menerjang musuh. Musuh sudah tak bernafsu bertempur
lagi, hancurkanlah mereka."
Hwat Seng pemuda gagah yang diserahi tugas untuk
memimpin barisan berani mati, dengan serentak melakukan
tugasnya. Demikianlah berkat perhitungan yang matang dan tepat
dari Han Bun Liong, pasukan Ceng da pat dihancur
leburkan. Mereka menderita kerusakan besar. Bahkan
pimpinan mereka, jenderal Bo-tai telah tewas dalam
serangan anak panah. Panglima besar Torgun terkejut, Dia bertanya siapakah
yang mimpin barisan rakyat Thay-goan. Ketika mendapat
keterangan, dia terkejut, "Ah," Ah, ternyata dia. Dia
memang kudengar seorang jago silat yang sakti dan
berkepandaian luas. Jika dia mau menyerah dan bekerja
pada kerajaan Ceng, wah, sungguh suatu tenaga yang amat
berharga sekali !'' Memang letak keberhasilan dari kerajaan Ceng
mengalahkan kerajaan Beng adalah karena panglima
Torgun seorang yang dapat menghargai orang pandai dan
jenderal yang pintar. Apabila menghadapi seorang lawan
yang hebat, dia tentu akan berusaha untuk menangkap
hidup orang itu dan dibujuknya supaya mau bekerja pada
kerajaan Ceng. Dengan begitu banyaklah pembesar
kerajaan Beng, baik sipil maupun militer, dapat dibujuk dan
mau bekerja kepada kerajaan Ceng. Torgun memang
seorang yang pandai dan luas pandangannya.
Malam itu Torgun memanggil Ko Cay Seng,
pembantunya yang paling dipercaya untuk diajak berunding
cara bagaimana dapat menangkap Han Bun Liong.
Ko Cay Seng terkejut, "Maksud tayjin hendak
menduduki kota Thay-goan "'
Torgun gelengkan kepala, "Kota Thay-goan tidak berarti.
Setiap saat dapat kuhancurkan. Tetapi yang lebih penting
adalah Han Bun Liong itu."
"O ciangkun hendak menawannya dan membujuknya'
supaya mau bekerja kepada kita ?"
"Begitulah," sahut Torgun, "Han Bun Long benar2
seorang tokoh yang cemerlang. Coba lihat, dengan
kekuatan penduduk yang sebelumnya kebanyakan hanya
pedagang dan kaum buruh dia dapat membentuk suatu
pasukan yang bukan saja mampu mempertahankan kota
Thay-goan, pun bahkan mampu balas menyerang dan
menghancurkan pasukan Ceng. Engkau tentu tahu siapa
jenderal Botai tu. Dia adalah salah seorang janderal
kerajaan Ceng yang gagah dan pandai. Tetapi toh akhirnya
dia harus binasa dalam pertempuran melawan pasukan
rakyat Thaygoan. Bayangkanlah, bagaimana hebatnya
kalau Han Bun Liong kita angkat menjadi pimpinan sebuah
pasukan yang terlatih. Kurasa tiada seorang jenderal
kerajaan Beng yang mampu melawannya."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ko Cay Seng menganguk, Diam2 dia kagum akan
pandangan tajam dari panglima besar kerajaan Ceng itu.
Walaupun seorang Boan, tetapi dia termasuk seorang yang
cerdas. Jika tidak demikian masakan dia dapat memegang
jabatan sebagai panglima besar yang menguasai seluruh
pasukan kerajaan Ceng dan menjadi wali dari raja Bonn
yang masih kecil. "Maka bagaimana cara untuk menangkap Han Bun
Liong, kuserahkan kepadamu, Ko ciang kun," kata
panglima Torgun. Sudah tentu amat berat tugas yang dipikul Ko Cay Seng.
Dia tak mempunyai orang dalam kota Thay goan. Apalagi
sekarang kota itu sedang dikuasai Han Bun Liong dengan
barisan rakyat. Tak mungkin dia dapat masuk kedalam kota
itu. Akhirnya setelah mempelajari kekalahan pasukan Ceng
yang lalu. dia segera menghadap panglima Torgun dan
minta disediakan suatu pasukan besar untuk mengepung
kota Thay-goan. Torgun meluluskan dan menyerahkan pimpinan pasukan
itu kepada Ko Cay Seng. Maka untuk yang kedua kalinya
kota Thay-goan dikepung lagi oleh pasukan Ceng yang
berjumlah besar. Han Bun Liongpun tetap menggunakan siasat bertahan
sampai nanti pasukan Ceng sadah lesu semangatnya
barulah dia melancarkan serangan.
Setelah mempelajari pertempuran yang lalu dan
membuktikan dengan siasat yang dilakukan Han Bun Liong
sekarang, Ko Cay Sengpun mengatur siasat. Dia
perintahkan menarik mundur pasukannya dan suruh
prajurit2 itu bermabuk-mabukan seperti orang yang kesal.
Setelah menerima laporan bahwa pasukan Ceng hanya
tinggal sedikit dan itupun sudah lesu, tiap hari kerjanya
hanya bermabuk- mabukan saja maka Han Bun Liong lalu
memanggil beberapa pemuda kepercayaannya.
Pemuda Sun Ki dan Tek Sun disuruh membawa
pasukan, mengitari masing2 ke selatan dan utara untuk
menyergap musuh dati kanan dan kiri. Sementara putera
residen yakni Sou Kian Hin disuruh membuka pintu kota
dan bersorak-sorak sambi1 memukul genderang. Lalu
pemuda Hwat Seng yang memimpin anakbuah untuk
menerjang dari muka. "Han lopeh," kata Sou Kian Hin, "idinkan kali ini aku
yang membawa pasukan untuk menyerang musuh. Sedang
tugas untuk bersorak-sorak dan memukul genderang
didalam kota suruh saja Hwat Seng."
"Ah, berbahaya kongcu," kata Han Bun Liong. "Perang
bukan suatu permainan tetapi mengadu jiwa"
"Kutahu Han lopeh," jawab Sou Kain Hin, "tetapi aku
ingin mendirikan jasa, dapat menghancurkan pasukan
Ceng." Han Bun Liong mengangguk dalam hati. Ia tahu bahwa
putera residen itu sebenarnya hanya terpengaruh oleh
kemenangan yang lalu. Dia mengira tentulah pasukan Ceng
mudah dihancurkan seperti yang lalu. Oleh karena dia
hendak merebut jasa. Sebenarnya Han Bun Liong tak senang dengan pejuang
yang berjuang karena menginginkan jasa seperti halnya
putera residen itu. Tetapi apa boleh buat. Kalau ditolak
kemungkinan putera residen itu tentu tak senang hati. Suatu
hal yang dapat mengganggu ketenangan dan persatuan.
Dalam saat2 seperti itu, Han Bun Liong tidak menghendaki
perpecahan. Baiklah kalau kongcu menghendaki begitu. Akhirnya
terpaksa ia meluluskan. Ia minta agar kongcu itu
didampingi oleh pengawalnya yang sakti. Begitu pula
jangan gegabah menyusup masuk kedaerah musuh,
"Kongcu," kata Han Bun Liong, "apabila musuh sudah
kalah dan lari, janganlah kongcu terlalu mendesak dan
mengejar mereka. Itu berbahaya. Harap kongcu
memperhatikan pesanku ini."
Demikian penyerangan telah dimulai sesuai dengan
rencana. Pihak pasukan Ceng telah menderita kerusakan
dan mundur dengan kacau balau.
Sou Kian Hin yang memimpin barisan yang menyerang
di muka, merasa gembira sekali. Ia hendak membuat
kejutan dengan menghancurkan seluruh pasukan Ceng.
Maka ketika pasukan Ceng mundur dalam keadaan kacau
balau, dia terus perintahkan anakbuahnya untuk mengejar
dan menghancurkannya. Pengejaran pasukan Ceng itu berlangsung sampai 10 li,
suatu jarak yang cukup panjang. Setelah berhasil
mengobrak abrik sisa pasukan Ceng, Sou Kian Hin menarik
pulang pasukannya. Dia berkuda di depan sendiri, diapit
oleh dua orang pengawal pribadinya. Anakbuah
pasukannya mengiring di belakang dengan bernyanyi dan
bersorak-sorai gembira. Baru tiga li jauhnya, ketika tiba disebuah tikung jalan
yang menjadi mulut sebuah hutan, tiba2 Sou Kian Hin
terkejut ketika di sebelah depan telah menghadang seorang
sasterawan setengah tua. Sasterawan setengah tua itu
berpakaian serba putih dan tengah berkipas- kipas.
"Hai, siapa engkau," tegak Sou Kian Hin serasa
memerintahkan berhenti. "Aku hendak menghaturkan selamat atas kemenangan
kongcu ," jawab sasterawan setengah tua itu dengan
tersenyum simpul, "bukankah kongcu ini Sou kongcu
putera dad Sou tihu kota Thaygoan?"
Berhadapan dengan seorang sasterawan setengah tua,
Sou Kian Hin tak curiga. Apalagi jelas sasterawan itu
hendak menghaturkan selamat kepadanya. Maka diapun
menyahut dengan tertawa, "Ah, mengapa paman repot2
begitu?" "Tetapi kongcu," kata sasterawan itu, "ini memang
benar2 suatu hal yang menggembirakan hatiku sehingga
begitu mendengar berita kemenangan kongcu, serentak
keluarlah buah pikiranku yang kutuangkan dalam syair ini.
Kuharap kongcu tak menampik persembahan syair dari
seorang sasterawan yang hina seperti diriku."
"Ah, harap lopeh jangan berkata begitu," kata Sou Kian
Hin. Sasterawan itu maju menghampiri dan menghaturkan
segulung kertas. Dan Sou Kian Hinpun segera ulurkan
tangan menyambutinya. "Uh . . . . , tiba2 Sou Kian Hin menjerit kaget ketika
tahu2 tangannya dicengkeram dan di tarik oleh sasterawan
itu. Karena tak menduga-duga dan karena pergelangan
tangannya dicengkeram begitu keras sehingga tenaganya
merana, Sou Kian Hin tak dapat mempertahankan diri lagi
dan melorot jatuh dari kudanya.
Sudah tentu kedua pengawalnya terkejut bukan main.
Serempak kedua orang itu mencabut pedang dan terus
hendak menerjang. "Berhenti!" bentak sasterawan, "berani maju selangkah
lagi, kongcu kalian tentu akan kubunuh," serunya seraya
mengangkat tangan kini kearah kepala Sou Kian Hin.
Kedua pengawal itu tak berdaya lagi.
"Hai, siapa engkau! Lepaskan Sou kongcu!" anakbuah
pasukan Sou Kian Hin berseru dan serempak maju.
"Berhenti!" kembali sasterawan itu menghardik dengan
nyaring, "kalau kalian berani maju, kongcu ini tentu akan
kuhancurkan benaknya."
Sekalian anakbuah tak berani maju. Mereka tak
menginginkan patera residen itu mati.
"Nah, kalian mau menyerah atau minta mati?" seru
sasterawan pula. "Apa katamu?" teriak para anakbuah Sou Kian Hin.
"Hanya dua jalan yang dapat kalian pilih. Menyerah atau
mati!" "Hm, jangan sombong, sasterawan. Kami tak
bermusuhan dengan engkau, mengapa engkau berani
menganiaya kongcu." "Kalian memang tak bermusuhan dengan aku, tetapi aku
yang wajib memberantas kalian." ' Siapa engkau ini?"
"Aku adalah seorang jenderal pasukan Ceng yang
ditugaskan untuk menghancurkan kota Thay roan......... ."
"Kentut!" teriak pengawal, "engkau seorang diri berani
buka bacot hendak menghancurkan kota Thay-goan" Ha,
ha, ha, ha .. .. " "Sekali lagi kuulang," seru sasterawan tak menghiraukan
ejekan orang, "kalian mau menyerah atau mati?"
"Hm, kalau menyerah coba bagaimana?"
"Kalau menyerah, kalian semua akan dibebas kan dari
kesalahan menentang pasukan Ceng, bahkan kalau mau
akan diterima menjadi prajurit Ceng."
"Hmm," dengus pengawal itu, "kalau minta mati saja?"
"Segera kalian akan mati dalam beberapa kejab saja. Tak
percaya?" seru sasterawan, "lihatlah di atas batu karang
kanan kiri jalan ini .... "
Serentak sekalian anakbuah Sou Kian Hin memandang
arah yang ditunjuk. Mereka terkejut. Ternyata diatas batu
karang yang menggunduk di kanan kini jalan, tampak
beratus-ratus prajurit Ceng dengan busur terentang di
tangan. Mereka siap membidikkan anakpanah selekas
mendapat perintah dari sasterawan itu.
"Nah, begitu aku melambaikan tangan," kata sasterawan
itu yang bukan lain adalah Ko Cay Seng, "maka beratusratus
batang panah segera akan menghujani kalian. Coba
bayangkanlah, apa kalian mampu hidup?"
Tergetar hati sekalian anakbuah. Maklum, mereka bukan
prajurit melainkan rakyat biasa. Menghadapi saat seperti itu
sudah tentu gentarlah hati mereka.
"Dan coba kalian melihat ke belakang," seru Ko Cay
Seng pula. Ketika berpaling, mereka melihat di belakang mereka
sudah muncul beratus-ratus prajurit Ceng dengan
merentang busur. "Dan lihatlah apa yang berada di belakangku," kembali
Ko Cay Seng berseru. Dari belakang Ko Cay Seng, muncullah beratus-ratus
prajurit Ceng yang menghunus pedang dan tombak.
"Nah, jelas?" seru Ko Cay Seng, "jika kalian ingin mati,
seketika ini juga aku dapat mengantar jiwa kalian ke
akhirat." "Serang!" terdengar beberapa pemuda yang marah
melihat tingkah ulah Ko Cay Seng. Tetapi mereka segera
menjerit dan rubuh dengan tubuh berhias anakpanah.
"Tuh, lihatlah buktinya." seru Ko Cay Seng,
"barangsiapa betani bergerak, tentu mati bersarang
anakpanah!" "Kalian sudah dikepung dari empat jurusan. Pasukan
kami telah memutuskan hubungan kalian dengan kota
Thay-goan. Bahkan saat ini Thaygoan sedang kami serang.
Sekarang lekas menyerah. Kalau terlambat, aku tak mau
menerima penyerahan kalian lagi!"
Dalam keadaan seperti saat itu tiada lain jalan bagi
anakbuah Sou Kian Hin kecuali hanya menyerah. Memang
mereka sudah membekal tekad untuk mati. Tetapi mereka
mau mati asal dapat membunuh musuh. Sedang saat itu
jelas mereka yang dihadapinya itu hanyalah Ko Cay Seng
seorang. Dan Ko Cay Seng juga memiliki seorang sandera,
putera residen Sou. Akhirnya Sou Kian Hin dan seluruh anak pasukannya
ditawan. Ketika Ko Cay Seng membawa Sou Kian Hin
menghadap panglima Torgun, panglima terkejut.
"Buat apa ciangkun membawa pemuda itu kemari ?"
tegur Torgun. "Tayjin, pemuda itu adalah putera Sou tihu kepala kota
Thay-goan," kata Ko Cay Seng, "apabila dia mau
menyadari dan bekerja pada kita, kurasa mudahlah kita
merebut Thay-goan." Sejenak panglima Torgun menatap Ko Cay Seng dan
dalam tatapan pandang mata yang berlangsung dalam
waktu singkat, panglima besar kerajaan Ceng itu segera
dapat menangkap maksud Ko Cay Seng.
"Baik," kata panglima Torgun. Ia turun dari kursi,
membuka tali pengikat tangan Sou Kian Hin dan
menggandeng pemuda itu diajak duduk disampingnya. Ia
menuang arak dan diberikan, "Ah, maaf, Sou kongcu tentu
manderita kejut ...."
Sou Kian Hin terkejut sekali atas perlakuan dan sikap
panglima Ceng itu. Ia tak kira kalau girinya akan disambut
dengan perlakuan yang begitu mengindahkan. Tergopohgopoh
dia menghaturkan terima kasih.
''Kongcu," kata Torgun setelah selesai minum arak,
"srbenarnya yang kami musuhi adalah raja Beng dan
mentri2 keraton yang korup dan tak becus mengurus negara
itu. Kami sebenarnya bermaksud baik untuk membantu
rakyat agar dapat hidup tenang dan sejahtera dam bebas
dari gangguan para prmbesar."
Sou Kiam Hin hanya mengangguk.
"Maka heranlah aku kalau rakyat Thay-goan malah
mati-matian melawan pasukan Ceng."
"Tetapi bukankah pasukan ciangkun itu hendak
menjajah negara kami ?" tanya Sou Kian Hin.
"Ah, tidak kongcu," sahut Torgun, "kata2 menjajah itu
terlampau berat. Kami hanya ingin mengatur dan
menertibkan kerajaan Beng yang sudah rapuh. Banyak
sekali mentri dan jenderal dari kerajaan Beng yang sadar
dan mau mengabungkan diri kepada kami. Kami terima
mereka dengan penuh kegembiraan dan menganggap
mereka seperti saudara sendiri. Coba tanyakanlah pada Ko
Cay Seng ciangkun, bagaimana perlakuan kerajaan Ceng
kepadanya." "Kongcu, walaupun aku seorang Han tetapi aku
mendapat kepercayaan penuh dari baginda Ceng dan
panglima besar Torgun tayjin ini. Tidak ada perbedaan
antara jenderal Beng yang menakluk dengan jenderal Ceng.
Sama-sama mendapat panghargaan dan perlakuan yang
Iayak."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sou Kian Hin mulai tergerak hatinya. Ia tak sangka
bahwa panglima besar kerajaan Ceng begitu ramah dan
baik. "Kiranya Torgun tay-ciangkun tentu tak keberatan untuk
mengangkat engkau sebagai residen Thay-goan apabila
engkau mau membantu kerajaan Ceng merebut kota itu dari
tangan kaum pemberontak," kata Ko Cay Seng pula.
Sou Kan Hin terkejut. Ia mengalihkan pandang kepada
Tongun. Tampak panglima besar itu mengangguk dan
tersenyum kepadanya. "Ah, budi kebaikan tayjin berdua, sungguh membuat
diriku kecil sekali," kata Sou Kian Hin "memang apa yang
Ko tayjin Katakan tadi benar. Mentri2 kerajaan Beng hanya
main korup dan menguasai pemerintahan, Rakyat sudah
cukup menderita. Kita harus berusaha untuk
mengembalikan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, apakah
artinya seorang seperti diriku ini ?"
"Kongcu, setiap orang itu tentu berguna. Apalagi kongcu
seorang putera residen, Kongcu tentu dapat melanjutkan
memegang jabatan itu." kata Ko Cay Seng.
"Jabatan residen, bukan jabatan kecil tetapi suatu
kedudukan yang tinggi. Jarang orang mempunyai
kesempatan untuk menduduki jabatan itu.
Apalagi kalau kongcu setya membantu kerajaan Ceng,
ada kemungkinan dapat dinaikkan pangkat menjadi To-tok
(gubernur)," kata Ko Cay Seng pula,
"Ah, aku benar2 tak berani memimpikan hal itu.
Kesemuanya itu kuharap tayjin suka memberi bantuan dan
bimbingan kepadaku."
"Baik, kongcu, jangan kuatir."
"Lalu apakah yang dapat kukerjakan sekarang ?" tanya
Sou Kan Hin. "Aku punya sabuah rencana. Asal kongcu mau
melakukan, kota Thay-goan tentu dapat kita rebut."
"O, silakan tayjin mengatakan."
"Rencanaku itu disebut siasat Gok-ji-ki."
"Gok-ji ki ...... "
-oo0dw0oo- JILID 26 Musuh dalam selimut. Ko Cay Seng sudah dapat menduga bahwa putera
residen Thay-goan itu tentu mau bekerja kepada pemerintah
Ceng. Sebagai seorang yang sudah banyak makan asam,
garam dalam pergaulan, dengan cepat Ko Cay Seng sudah
dapat menilai watak dan hati orang. Dia tahu bahwa Sou
Kian Hin itu seorang pemuda yang tak punya pendirian.
Seorang putera residen yang biasa bermanja dalam
kesenangan. "Ya, Gok-ji-ki," katanya menjawab pertanyaan Sou Kian
Hin, "tahukah kongcu apa arti Gok-ji-ki itu?"
"Harap tayjin suka menjelaskan."
"Gok-ji-ki artinya siasat "menyiksa diri". Dalam
peperangan sering dilakukan siasat semacam itu. Yalah
seorang harus dilukai anggauta tubuhnya agar kembali
kedalam induk pasukannya. Atau kalau dia musuh, agar dia
menyeberang ikut pada musuhnya. Dengan begitu fihak
yang menerima orang itu tentu akan percaya kalau orang
itu benar2 mau menyerah dan takluk. Pada hal dia tetap
setia kepada fihaknya sendiri. Didalam pasukan musuh dia
akan menjadi musuh dalam selimut untuk menghancurkan
musuh dari dalam," Ko Cay Seng memberi penjelasan
"0, ya, aku tahu sekaarang. Maksud tayjin, aku akan
menyandang luka2 dan kembali kedalam kota Thay-goan
lagi . . .. " "Kongcu sungguh cerdas sekali," seru Ko Cay Seng
memuji, "memang begitulah yang kumaksudkan," nanti
dalam kota Thay-goan, kongcu boleh mengadakan gerakan,
membentuk kawan2 untuk merintangi pekerjaan anakbuah
Han Bun Liong, memata-matai dan menghasut rakyat
supaya memberontak terhadap Han Bun Liong. Sanggupkah
kongcu melakukan tugas itu?"
"Tetapi . . . " Sou Klan Hin kerutkan dahi.
"Jangan kuatir, kongcu," cepat Ko Cay Seng
menyanggapi, "cukuplah kalau kongcu membuat luka
ringan. Dan kongcu boleh membawa beberapa anakbuah
kongcu yang setya kepada kongcu untuk pura2 meloloskan
diri dari tawanan disini. Nanti kamipun pura2 akan
melakukan pengejaran kepada kongcu."
"Baik, jika begitu." kata Sou Kian Hin, "kapan
dilaksanakan ?" "Malam nanti." Setelah mencapai persetujuan maka Ko Cay Seng lalu
membawa Sou Kian Hin keluar. Sebelum meninggalkan
tempat itu, panglima besar Torgun memberi pesan,
"Kongcu, apabila kongcu benar2 dapat menyerahkan Han
Bun Liong dan kota Thay goan, kongcu akan kuangkat
sebagai residen kota itu."
Sou Klan Hin menghaturkan terima kasih.
"Lihatlah kongcu, betapa besar perhatian panglima
kepadamu. Dia adalah panglima besar yang menguasai
seluruh pasukan Ceng dan menjadi wali seri baginda raja
Ceng yang masih kecil. Kalau engkau mendapat
kepercayaannya, tentu kelak engkau dapat mencapai
pangkat yang lebih tinggi bagi. Percayalah kongcu, bahwa
tak mungkin kerajaan Beng menang melawan pasukan
Ceng. Dan jelas bahwa yang akan menguasai tanah kita ini
adalah kerajaan Ceng. Kalau sekarang kau tak berusaha
mencari kedudukan, kelak kalau negara sudah aman, tentu
sukar memperoleh kesempatan sebagus itu lagi," kata Ko
Cay Seng di tengah perjalanan.
Malam itu Sou Kian Hin mengumpulkan anak buahnya
untuk berunding. "Daripada menjadi tawanan toh juga tentu akan
dihukum mati, lebih baik kita nekad meloloskan diri," kata
Sou Kian Hin dengan garang.
"Tetapi kongcu," kata salah seorang pemuda, "kita tak
mempunyai senjata. Bagaimana mungkin kita dapat
melawan apabila mereka melakukan pengejaran?"
'Yang penting aku hendak minta kesediaan saudara2
dulu. Apakah saudara2 berani menghadapi bahaya dan
menanggung segala resiko apabila kita meloloskan diri?"
tanya Sou Kian Hin. "Tentu," seru beberapa pemuda, "kita berani masuk
menjadi anakbuah pasukan itu, tak lain karena hendak
mempertahankan kota kita dari serangan musuh. Dan kita
tahu bahwa resiko seorang prajurit itu kalau tak menang
tentu kalah. Kalau tak hidup tentu mati."
"Bagus," seru Sou Kian Hin. "sekarang mari kita atur
siasat. Aku akan pura2 pingsan dan kalian harus berteriakteriak
memanggil penjaga. Begitu penjaga masuk, ringkus
dan lucutilah mereka. Kemudian kita menyerbu ke gudang
senjata dan terus meloloskan diri."
Pemuda2 itu masih meragu tetapi segera Sou Kian Hin
menjerit, "Aduhhhh, perutku ...." dia terus rubuh.
Pemuda2 itu terkejut. Ada yang berteriak memanggil
penjaga. Dua orang penjaga bersenjata pedang masuk.
Tetapi pada saat itu juga, kedua penjaga itu dapat dihantam
rubuh dan diringkus. Setelah melucuti senjata, Sou Kian
Hin menuju ke sebuah ruangan. Dengan menyaru sebagai
penjaga tadi, dia seorang diri menghampiri rumah itu.
"Kenapa?" tegur penjaga rumah yang bukan lain
merupakan gudang penyimpan senjaga pasukan Ceng.
"Ada perintah dari ciangkun," kata Sou Klan Hin, "nih,
terimalah .. . . duk ..... " sekali pukul penjaga itupun rubuh.
Sou Kian Hin memberi isyarat kepada anakbuahnya
untuk membuka gudang senjata itu dan mengambil senjata.
"Mari kita lobos dari pintu belakang," kata Sou Kian
Hut. Kebetulan penjagaan di belakang tidak begitu kuat.
Hanya ada dua orang penjaga yang sedang ngantuk.
Keduanya dengan mudah dapat dihantam pingsan.
Sebenatnya hal itu memang sudah diatur oleh Ko Cay Seng
untuk memudahkan jalan lari bagi Sou Kian Hin tetapi
jangan sampai kentara. Setelah lolos dari markas, malam itu Sou Kian Hin terus
melanjutkan perjalanan kembali ke kota Thay-goan. Tetapi
sepasukan tentara Ceng mengejarnya.
"Kita tempur saja mereka !" kata Sun Kian Hin.
Pertempuran segera terjadi. Entah bagaimana tampaknya
prajurit2 Ceng itu lamas dan banyak yang menderita luka,
bahkan ada yang mati. Tetapi fihak anakbuah Sou Kian
Hin juga banyak terluka dan ada yang mati juga.
Dalam pertempuran seru itu tiba2, bahu Sou Kian Hin
ditikam seorang 'prajurit Ceng dari belakang. Sou Kian Hin
menjerit kesakitan tetapi pada saat itu telinganya
mendengar suara seperti ngiang nyamuk, "Maaf, kongcu,
lekas sabet aku dengan pedang . ."
Sou Kian Hin terkejut. Cepat ia menyabat prajurit itu.
Prajurit itupun menjerit kesakitan dan terus melarikan diri.
Dengan semangat yang menyala-nyala akhirnya dapatlah
anakbuah Sou Kian Hin memukul mundur pasukan Cang
yang, mengejar mereka. Dengan membawa luka dan
korban, pasukan Ceng itupun terpaksa mundur.
Keesokan harinya gemparlah kota Thay-goan ketika
menyambut kedatangan Sou Kian Hin dengan sisa
anakbuahnya, Penduduk mengelu-elu mereka sebagai
pahlawan. Pada malam harinya, Sou Kian Hin diterima dalam
sebuah perjamuan oleh Han Bun Liong. Atas permintaan
Han Bun Liong, Sou Kian Hin menceritakan .
pengalamannya salama ditangkap.
"Mereka memperlakukan kami dengan ramah tamah dan
baik sekali," kata putera residen itu, 'kemudian mereka
membujuk kami supaya mau bekerja kepada kerajaan Ceng
dengan janji akan mendapat pangkat dan anugerah. Untuk
siasat, kami pura2 menerima. Pada malam itu ketika
penjagaan lengah, kami segera berontak. Membunuh
penjaga dan membuka gudang senjata lalu melarikan diri.
Mereka mengejar. Kamipun melawan dan berhasil
memukul mundur musuh. Dalam pertempuran itu memang
banyak saudara2 kita yang gugur dan terluka termasuk aku
..... " demikian Sou Kian Hin mengakhiri keterangannya.
Karena bahu kiri pemuda itu memang terluka dan
dibalut dengan kain putih, semua orang pun percaya akan
keterangannya. Han Bun Liong menghaturkan secawan
arak untuk menghormati keberanian Sou Kian Hin.
Kota Thay-goan masih dikepung musuh. Musuh hanya
mengepung dan tak melakukan serangan.
Malam itu Han Bun Long masih duduk seorang diri
sebagaimana kebiasaannya setiap malam. Tiap malam dia
tidur sampai jauh malam. Karena dia selalu keliling
mengadakan inspeksi pada pos2 penjagaan kota. Setelah
kembali ke markas, ia masih memikirkan rencana2 lain,
dari soal pertahanan kota sampai pada kehidupan
penduduk. Walaupun sedang perang menghadapi musuh,
dia menghendaki agar kehidupan rakyat masih berlangsung
seperti biasa. Kecuali perdagangan, semua lapangan kerja
rakyat supaya tetap barjalan. Terutama lapangan pangan,
rakyat dtanjurkan untuk tetap mengerjakan sawah, ladang
dan kebun. "Kita akan menghadapi peperangan yang lama," katanya
kepada penduduk, "perang bukan hanya tergantung dari
persenjataan dan jumlah pasukan tetapi juga daya
ketahanan. Daya ketahanan itu baru dapat berlangsung
kokoh apabila persediaan makanan cukup dan peningkatan
kesadaran dibina. Perang harus mempunyai dua bekal.
Pikiran dan perut. Pikiran yalah kesadaran kita mengapa
dan apa tujuan kita perang. Kesadaran tinggi, semangat
berperang meningkat. Perut, yalah makanan. Perut yang
terjamin, akan menimbulkan tenaga dan kekuatan
berperang. Jika salah satu dari kedua hal itu kurang maka
kita tentu kalah." Beberapa hari sejak kembalinya Sou Kian Hin, ada
beberapa peristiwa aneh yang terjadi dalam kota Thaygoan.
Pertama, rakyat datang melaporkan bahwa ternak
mereka banyak yang mati. Kemudian beberapa hari lagi,
ada yang melapor kalau sawah mereka telah hancur. Padi
yang sudah hampir berbuah, dicabuti orang. Lalu ada yang
melapor bahwa keluarga dan tetangganya terserang
penyakit perut secara mendadak, bahkan ada yang mati.
Han Bun Liong terkejut. Tiap malam ia rajin meronda
tetapi selama ini belum dapat menemukan sesuatu yang
mencurigakan. Malam itu ketika Han Bun Liong sedang duduk di
markas, tiba2 masuklah penjaga mengiring beberapa orang.
"Han thau-leng, celaka!" seru orang itu dengan gugup,
"gudang beras kita telah dimakan api!"
"Apa?" serentak Han Bun Liong loncat bangun.
"Gudang beras kita telah terbakar?" ulang orang nu.
Han Bun Liong cepat lari menuju ke gudang beras. Saat
itu rakyat sedang sibuk memadamkan api yang mengganas
buas. Hanya sebagian kecil dari persediaan beras yang
dapat diselamatkan. Sudah tentu hal itu menimbulkan kegemparan besar.
Penduduk mulai was2. Persediaan makanan hanya tinggal
dua tiga hari saja. Untuk mencari bantuan makanan ke lain
daerah, harus menerobos kepungan pasukan Ceng.
Malam itu Han Bun Liong mengadakan rapat.
"Saudara2, saat ini kita sedang menghadapi bahaya,"
katanya, "persediaan makanan kita hanya tinggal dua tiga
hari. Kita harus berusaha untuk keluar dari kesulitan
Kuminta saudara memberi pandangan."
"Satu-satunya jalan kita harus berani menerobos
kepungan musuh," kata Sou Kian Hin.
"Benar, benar, kami setuju dengan pendapat Sou kongcu.
Kalau kita diam saja, kita tentu mati kelaparan. Sejak hari
ini kita hanya mendapat jatah makanan bubur. Lebih baik
sebelum mati kita berpantang ajal. Dari pada mati
kelaparan lebih baik kita serbu saja," seru beberapa
pimpinan barisan.
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnya Han Bun Liong menyadari bahwa jika
melakukan peperangan secara terbuka, fihaknya tentu
kalah. Pasukan Ceng itu sudah terlatih baik, sedang
fihaknya hanya lasykar rakyat yang tidak mendapat didikan
perang. "Tidak," ia menolak usul Sou Kian Hin, "kita harus tetap
bertahan saja." "Tetapi bagaimana dengan persediaan ransum kita ?"
tanya Sou Kian Hin. "Kita hemat. Kita tak makan nasi tetapi makan bubur
saja. Kurasa keadaan musuh sudah mulai menunjukkan
kelesuan. Beberapa hari lagi baru kita buka serangan," kata
Han Bun Liong. Rakyat mulai gelisah. Maklum mereka orang kota yang
biasa hidup kecukupan. Sudah tentu mereka tak tahan
menderita. Sebenarnya bukan Han Bun Liong tak berusaha. Dia
sudah berusaha mengirim beberapa orang jago silat untuk
mengadakan hubungan dengan beberapa daerah agar dapat
memperoleh bantuan ransum. Tetapi sampai hari itu belum
juga ada yang kembali. Sudah tentu Han Bun Liong heran
tetapi tak mengerti apa sebenarnya,
Dua hari kemudian, pendudukpun berbondong- bandong
mendatangi markas dan minta supaya Han Bun Liong
segera bertindak, Mereka sudah kelaparan. Bahkan ada
yang melapor bahwa wabah penyakit perut yang meminta
jiwa, mulai makin menjalar luas.
Han Bun Long makan gelisah. Kalau dia memutuskan
untuk membuka pintu kota dan menyerbu musuh, jelas
tentu akan mengantar jiwa. Saat itu semangat dan
kesehatan rakyat sudah menutun. Jika beberapa hari yang
lalu ia mengambil tindakan, memang masih ada harapan
untuk berhasil. Pun Han Bun Liong sendiri juga heran mengapa dalam
waktu akhir2 ini semangatnya terasa lemah, semangatnya
kendor, tubuhnyapun terasa lemas. Dia tahu bahwa hal itu
bukan disebabkan karena kelaparan. Tetapi ada sesuatu
sebab yang la tak mengerti.
Rupanya rakyat sudah tak dapat bersabar lagi! Melihat
sikap Han Bun Liong yang masih segan2, meledaklah teriak
sorak dari rakyat, "Han Bun Liong, mundurlah. Kami tak
menghendaki engkau memimpin kami !"
Han Bun Long terkejut, Satmur hidup baru kali itu dia
menderita pukulan batin yang menghancurkan
semangatnya. Kalau musuh berkata begitu, itu sih dapat
dimengerti. Tetapi yang meneriakkan kata2 itu adalah
rakyat kota Thay-goan. Rakyat yang selama ini menjunjung
dan menghormatinya. Rakyat yang selalu diperhatikan
kepentingannya, bahkan harta benda Han Bun Liong tak
sedikit yang disumbangkan untuk mereka. Mengapa dalam
menghadapi saat menderita seperti itu, rakyat lalu
mencampakkannya seperti seekor anjing"
"Baik, aku akan mengundurkan diri. Tetapi siapakah
yang akan melanjutkan perjuangan mempertahankan kota
itu ?" serunya. "Kami sudah mengangkat Sou kongcu menjadi pimpinan
kami. Dan nanti malam kami akan membuka pintu untuk
menyerbu musuh !" terteriak orang itu,
Han Bun Liong terkejut. Dia sih rela menyerahkau
pimpinan kepada Sou Kian Hin. Tetapi tindakan rakyat
hendak menyerbu musuh itu sungguh berbahaya sekali.
"Jangan bertindak begitu !" serunya.
"Terima kasih Han sianseng. Tetapi tuan sudah bukan
pimpinan kami. Kami sudah mempunyai pimpinan baru !"
"Mengapa engkau mencegah ?" teriak sekelompok
pemuda. "Kuminta kalian tetap mempertahankan kota ini saja.
Biarlah aku yang akan menyerbu mereka !"
"Engkau sendiri ?"
"Dengan beberapa orang yang mau ikut aku.
"Bukankah semakin banyak yang melakukan serbuan,
semakin besar kekuatan kita ?"
"Tidak," seru Han Bun Liong, "kalian adalah rakyat
biasa dan musuh adalah prajurit2 yang telah mendapat
didikan militer. Bertempur dengan mereka berarti seperti
anai-anai yang menyerbu api."
Begltulah malam itu Han Bun Liong telah
mengumpulkan beberapa sahabat kaum persilatan untuk
mengadakan penyerbuan ke dalam pasukan musuh.
"Rahasiakan tindakanku ini dan pertahankan kota.
Jangan membuat suatu gerakan agar musuh jangan curiga,"
pesan Han Bun Liong pada saat hendak menyerbu.
Pada saat Han Ban Liong dan kawan2 sedang menuju ke
tempat pasukan musuh, tiba2 ia melthat sebatang
anakpanah api meluncur kearah kubu barisan musuh. Ia
terkejut. Jelas panah berapi itu berasal dari dalam kota
Tahy-goan, Tetapi Han Bun Liong tak sempat meneliti lebih lanjut
karena saat itu disebelah muka tampak beratus-ratus obor
siap menanti. Han Bun Long hanya ditemani oleh empat orang. Tiga
sahabat jago silat dan yang seorang adalah Un Gi,
bujangnya yang tua. Selain itu ada pula lebih kurang
duapuluh rakyat yang ikut. Mereka adalah rakyat yang
tetap setya kepada Han Bun Long.
Han Bun Liong memimpin kelompoknya untuk maju
menyerbu. Tetapi alangkah kejutnya ketika tiba2 ratusan
obor itu padam dan lenyap.
"Celaka, kita tertipu," seru Han Bun Liong yang segera
memerintahkan mundur. Ternyata dia benar. Di belakang tampak be ratus2 obor.
Han Bun Liong bersiap-siap maju tetapi obor2 itu lenyap.
Dan kini dari sebelah barat muncul beratus obor. Ketika
hendak dihampiri obor2 itupun lenyap, berganti muncul di
sebelah timur. Demikian beratus-ratus obor itu bergantian
muncul lenyap, di empat penjuru.
"Ah, kita terjebak," keluh Han Bun Liong, "musuh sudah
mengetahui tindakanku keluar menyerang ini ...."
"J ka begitu, kita masuk kedalam kota saja, loya," kata
bung Ui Gi. Oleh karena beberapa kawan menyetujui, terpaksa Han
Bun Long meluluskan. Tetapi alangkah kejutnya ketika
pintu kota ditutup dan dari atas pintu muncul Sou Kian
Hin. "Sou kongcu, bukalah pintu," seru kawan Han Bun
Liong yang bernama Gui Tik.
"Engkau ikut paman Han menyerbu musuh, mengapa
belum bertempur sudah hendak masuk kedalam kota lagi ?"
seru Sou Kian Hin. "Kita terjebak musuh dan dikepung dari empat jurusan !"
"Itu sudah lumrah," sahut Sou Kian Hirt dengan santai.
"mengapa kalian tak menggunakan siasat juga ?"
"Eh, Sou kongcu, aku tak tahu maksudmu."
"Kami akan mempertahankan kola ini dan kalian yang
menyerbu musuh." "Bantulah dengan anakpasukan lagi, kongcu."
"Tidak bisa," sahut Sau Kian Hin, "kota harus
dipertahankan." "Tetapi......... tetapi ini mengenai keselamatan Han loengbiong
...." "Juga kelamatanmu, bukan " Tetapi beribu ribu rakyat
Thay-goan perlu diselamatkan juga bukan ?"
"Sou kon-cu, apa maksudmu ?"
"Musuh telah mengadakan serangan besar-besarun. Jika
pintu kota dibuka, mereka pasti akan menyerbu masuk."
"Lalu........." seru Gui Tik.
"Berusahalah untuk menahan musuh agar jangan masuk
kedalam kota," seru Sou Kian Hin.
Gui Tik hendak berkata lagi tetapi dicegah Han Bun
Liong, "Sudahlah, saudara Gui, Sou kongcu benar. Kita
harus menahan musuh."
Han Bun Long tenangkan diri sesaat memperhitungkan
kalau menyerbu ke muka tentu akan berhadapan dengan
berlapis- lapis pasukan musuh. Karena jalanan ke muka itu
menuju ke kubu markas pasukan musuh.
"Saudara Gui," katanya sesaat kemudian, "kita pecah
anakbuah kita menjadi dua. Engkau pimpin serangan ke
selatan dan aku menyerang ke utara."
"Tetapi Han lo-enghiong," kata Gui Tik, "kita hanya
membawa duapuluh anakbuah. Kalau dipecah dua, kan
masih sedikit kekuatannya."
"Ini sudah resiko kita, saudara Gui."
"Tetapi kalau San kongcu mau membuka pintu dan
mengeluarkan beberapa kelompok pasukan lagi, kita tentu
lebih kuat." "Jangan mengharapkan hal yang tak mungkin saudara
Gui." "Tetapi lo-enghiong yang pimpinan pertahanan kota
Thay-goan. Mestinya mereka harus tunduk pada perintah
lo- enghiong." "Rakyat sudah tak menghendaki aku. Mereka
mengangkat Sou kongcu menjadi pimpinan."
"Ah, kurasa, dalam peristiwa itu memang tak wajar.
Seperti halnya wabah yang telah membunuh ternak dan
memakan korban beberapa penduduk serta terbakarnya
gudang ransum." "Apa maksud saudara Gui?"
"Rasanya hal itu memang digerakkan oleh tangan kotor
yang hendak menghancurkan kita dari dalam."
Han Bun Liong terkejut. "Lalu siapa yang saudara curigai?"
"Aku curiga pada Sau kongcu . .. . "
"Ah, jangan saudara berprasangka begitu. Apakah
saudara mempunyai bukti?"
"Sebenarnya aku sudah menyelidiki hal itu. Dan tahu
siapa yang membakar gudang. Tetapi ketika orang itu
hendak kutangkap di rumahnya, ternyata dia sudah mati."
"Dibunuh orang?"
"Diracun!" "Ahh . . . . " "Dan aku sendiri beberapa hari yang lain hampir saja
juga mati. Habis makan perutku terasa sakit sekali. Aku
curiga kalau makanan diberi racun. Sisa makanan
kuberikan kepada anjing. Ternyata anjing itu juga mati.
Akhirnya kudapatkan kalau yang memasukkan racun
kedalam hidanganku adalah juru masak. Kupanggil juru
masak itu, dia tak ada. Katanya, malam itu dia pamit
pulang. Kusuruh orang ke rumahnya ternyata dia tak
pulang. Dan sampai kemarin, dia tetap tak kembali di
rumahnya......... " "Ah, tetapi hal itu belum membuktikan bahwa Sou
kongcu yang melakukan," sanggah Han Bun Liong. Dia
memang tak percaya seorang putera residen yang dengan
gagah berani menyerang musuh kemudian ditawan lalu
dapat meloloskan diri dari tawanan, akan berbuat hal
seperti yang dikatakan Gui Tik.
"Saudara2, sekarang marilah kita membuka serangan.
Jika masih selamat, kelak kita akan berjumpa lagi. Tetapi
kalau andaikata binasa, kelak kita bertemu di akhirat," kata
Han Bun Liong dengan nada yang sarat.
Rupanya jago tua itu sudah mantap, akan menyerang
musuh agar musuh jangan sampai menyerang kota. Biarlah
dia gugur asal rakyat Thay goan selamat.
Keduapuluh orang itu dipecah menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama dipimpin Gui Tik, dan menyerang ke
utara. Kelompok kedua dipimpin Han Bun Liong sendiri,
menyerang ke selatan"
Tetapi sebagaimana yang tadi, tiba2 barisan obor di utara
maupun selatan itu lenyap tiba2. Han Bun Liong terkejut.
Ketika berpaling ke belakang, dilihatnya beratus-ratus obor
sudah mengerumuni di muka pintu kota, Han Bun Liong
dan Gui Tik telah dipotong sampai terpisah jauh satu sama
lain. "Ha, ha, ha, Han Bun Liong, Han Bun Liong engkau
sudah tua mengapa masih ngotot seperti anakmuda " Apa
yang hendak engkau cari .... ?" tiba2 terdengar sebuah suara
yang nyaring dari dalam pasukan musuh.
Han Bun Liong terkejut. Sebagai seorang jago silat dia
tahu bahwa orang yang berseru itu memiliki tenaga-dalam
yang kuat sekali. "Hm siapakah engkau ?"
"Aku " Aku ini musuh atau kawan, terganlung pada
anggapanmu. Tetapi aku hanya melihat dan bicara menurut
kenyataan. Bukankah engkau sudah tua " Mengapa engkau
tidak mau menikmati hari tuamu melainkan harus
menyibukkan diri terjun dalam peperangan lagi " Bukankah
beberapa peti harta bendamu sudah engkau ungsikan keluar
daerah ?" Bukan kepalang kejut Han Bun Liong mendengar hal itu.
Beberapa anakbuahnya-pun ikut terkejut. Mereka mengira
selama ini Han Bun Liong seorang hartawan yang jujur dan
murah hati. Segala harta bendanya hampir habis di
sumbangkan dalam perjuangan menentang penjajah Ceng.
"Hm, siapa engkau " Mengapa engkau takut unjuk diri ?"
seru Han Bun Liong. "Yang penting bukan siapa diriku tetapi benar atau
tidaknya yang kukatakan itu."
"Jangan memfitnah!" seru Han Bun Liong.
"Fitnah lebih kejam dari pembunuhan! Fitnah memang
jahat sekali. Tetapi apa yang kukatakan itu bukan fitnah
melainkan kenyataan."
"Ngaco!" bentak Han Bun Liong.
"Baiklah, apakah engkau tak keberatan kalau kukatakan
rahasiamu itu di depan orang banyak?"
Karena sudah terlanjur menginjak pembicaraan soal ini
maka malu hatilah Han Bun Liong apabila tak berani
menerima tantangan orang itu.
Sebenarnya sejak pertama kali bertukar pembicaraan,
Han Bun Liong sudah berusaha untuk mempertajam
penglihatan menembus dalam kegelapan dan mencari orang
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bicara kepadanya itu. Tetapi karena malam gelap dan
di fihak pasukan Ceng terdiri dari beratus- ratus prajurit,
sukar bagi Han Bun Liong untuk menemukan orang itu.
"Hm, jika engkau seorang ksatrya, unjukkan lah siapa
dirimu!" seru Han Bun Liong.
"Nanti engkau tentu akan mengetahui siapa diriku.
Sekarang aku hendak membuka kedokmu dulu. Hai, rakyat
Thay-goan, dengarkanlah kisah nyata siapa sesungguhnya
Han Bun Liong itu. Kalian semua mengagumi dan
menghormatinya sebagai seorang hartawan yang murah
hati tetapi sebenarnya dia adalah seorang manusia berhati
serigala. Harta kekayaannya itu sebenarnya bukan miliknya
tetapi titipan orang. Dan dia tak mau mengembalikan
kepada orang itu lagi. Harta benda itupun bukan milik
orang yang titip kepadanya tetapi milik kerajaan Beng ..... "
"O, harta curian! Harta curian!" teriak beratus-ratus
orang. Yang berteriak itu adalah prajurit2 Ceng sendiri
untuk menyambut pernyataan orang tadi.
"Benar," seru orang itu pula, "ada seorang perwira dari
Lasykar Tani yang dipimpin pemberontak Li Cu Seng.
Ketika Cu Seng berhasil menduduki kotaraja Pak kia,
perwira itu berhasil masuk kedalam keraton dan mengambil
beberapa peti intan permata yang berharga. Barang2 itu
dititipkan kepada Han Bun Liong. Dan orang yang
menitipkan itu sudah mati . .. . "
"Dimana harta karun itu?"
"Kembalikan harta karun itu, Han Bun Liong!"
"Sabar, saudara, sabarlah. Tak mungkin saudara akan
meminta kembali harta karun itu kepadanya, karena .. . "
"Sudah diludaskan!"
"Dihabiskan, dibagi-bagikan secara royal sekali.
"Tiap hari berpesta pora menjamu tamu!" Demikian
teriak beberapa orang. "Salah," seru orang itu pula, "harta karun itu tidak
dihabiskan Han Bun L.ong. Dia sendiri cukup kaya."
"Lalu dimana harta karun itu ?"
"Tanyakan sendiri kepadanya !"
Serentak dari empat penjuru, terdengar suara
menggelagar, "Han Bun Liong, dimanakah harga karun itu
?" Dalam suasana malam sunyi, teriakan beratus-ratus
prajurit Ceng itu menggema dengan nyaring sehingga
rakyat yang berada dalam kota Thay-goan dapat mendengar
jelas. Sepanjang hidup baru pertama kali itu Han Bun Liong
menderita serangan amarah yang begitu hebat. Dia tak
dapat mengendalikan diri lagi. Serentak dengan
menggembor keras, dia terus mainkan pedang maju
menyerang. Tetapi pasukan Ceng yang hendak diserang tentu
mundur. Dan serempak itu pasukan Ceng lain yang sudah
siap di belakang Hun Bun Liong lalu tampil mengejar.
Kalau dikejar akan menghilang dan dari belakang akan
tampil pasukan lain lagi.
Dengan permainan itu, Han Bun Liong benar2 seperti
dipermainkan. Ia sudah membulatkan tekad untuk
mengadu jiwa tetapi yang diajak adu jiwa akan menghilang,
Pancak dari pada luap amarahnya yang tak dapat
dikendalikan lagi terjadi ketika dari atas pintu kota telah
berktbar bendera kerajaan Ceng dan tampak beberapa
perwira Ceng berdiri disitu.
"Han Bun Liong, apa yang engkau cari " Lihatlah, rakyat
Thay-guan sudah gembira menyambut kedatangan pasukan
kerajaan Ceng. Mereka tahu kami datang bukan untuk
menindas tetapi untuk mengembalikan keamanan dan
kesejahteraan" terdengar seorang perwira Ceng berseru.
Han Bun Liong marah. Tetapi yang membuatnya hampir
pingsan karena marah adalah seorang pemuda yang duduk
disamping perwira Ceng itu. Siapa lagi pemuda itu kalau
bukan Sou Kian Hin. "Sou kongcu, engkau ..... "
"Maaf, paman Han. aku hanya menurut suara rakyat
saja, Rakyat sudah keliwat menderita kelaparan dan
kecemasan. Mereka ingin mengenyam kehidupan yang
tenang. Ternyata pasukan Ceng telah datang dengan
membawa pengayoman dan ktsejahteraan bagi rakyat Thaygoan,
Maka kuminta paman Han juga mau masuk ke kota.
Para ciangkun dan pembesar Ceng akan menyambut
kedatangan paman Han dengan rasa hahagia......... ."
"Hm, terima kasih Sou kongcu. Jika mau menakluk pada
kerajaan Ceng, perlu apa aku harus mengorbankan segala
harta benda dan jiwaku " Bukankah dulu2 aku sudah dapat
bekerja kepada mereka ?"
"Ah, paman Han," seru Sou Kian Hin, "keadaan
memaksa kita harus melihat kenyataan. Pandangan kita
terhadap kerajaan Ceng salah. Ternyata mereka baik sekali
kepada kita." "Hm tak ada tuan yang tak baik kepada anjing
peliharaannya. Silakan engkau menjadi anjing peliharaan
orang Ceng, tetapi aku Han Bun Liong, tetap akan menjadi
seorang rakyat Han yang bebas!"
Sudah tentu Sou Kian Hin malu dan marah karena
dikatakan seperti anjing. "Han Bun Liong adalah karena
mengingat engkau seorang tua yang banyak menanam
kebaikan kepada penduduk Thaygoan maka aku masih
bersikap mengbormat kepadamn. Ketahuilah, aku sekarang
yang menjadi residen kota Thay- goan !"
"O, karena itulah maka engkau lalu berhamba kepada
orang Boan " Bagus, silakan saja. Tetapi jangan coba2
membujuk aku untuk menjadi budak Boan !" seru Han Bun
Liong. Keadaan Han Bun Liong saat itu benar2 seperti seekor
harimau yang masuk kota. Dia di kepung dan ditonton oleh
prajurit Ceng dan rakyat kota Thay-goan.
"Saudara2, aku akan menjemput mereka !" katanya
kepada beberapa anakbuahnya. Dia terus mencabut pedang
dan mengamuk. Tetapi tampaknya prajurit2 Ceng yang diserang itu tak
mau melayani dengan sungguh2. Mereka hanya menahan
serangan sambil mundur. Han Bun Liong mengamuk bagai seekor harimau
mencium bau darah. Tetapi kearah mana ia mengamuk,
tentulah barisan musuh yang diamuk itu akan mundur.
Tetapi dari belakang. kanan dan kiri tentu mereka maju
merapat lagi. Dengan demikian, Han Bun Liong tetap
terkepung. Pertempuran berjalan dengan seru sehingga sampai fajar.
Saat itu Han Ban Liong sudah lemas. Peristiwa yang
menyakiti hati, menimbulkan kemarahan besar. Dan karena
semalam suntuk harus bertempur maka tenaganyapun
habis. "Ah, Han Bun Liong seorang lelaki. Daripada hidup
herlumur nista, lebih baik aku mati," saat itu dia berdiri
tegak seraya memandang ke sekeliling. Anakbuahnya sudah
lunglai, rakyat duduk di tanah. Maklum, mereka adalah
rakyat biasa, karena semalam suntuk bertempur, mereka
sudah tak kuat berdiri lagi. Bulat sudah keputusannya untuk
bunuh diri. Tiba2 genderang bertalu riuh dan terdengar bunyi derap
kuda lari mendatangi. Pasukan yang berada di sebelah
depan Han Bun Liong menyisih ke samping dan muncullah
dua orang penunggang kuda. Yang seorang mengenakan
seragam militer yang gagah dan yang seorang adalah
sasterawan setengah tua yang jelas bukan orang Boan.
Sekalian anakpasukan Ceng segera berdiri tegak dan
memberi hormat kepada kedua orang itu.
"Tay- ciangkun, ban-swe !" seru sekalian pasukan. Tayciangkun
artinya panglima besar. Ban-swe artinya
dirgahayu. Kedua penunggang kuda itu berhenti pada jarak lima
meter dari Han Bun Liong. Sasterawan setengah tua turun
dari kudanya. "Han wan-gwe, maaf, Han wan-gwe tentu menderita
kejut," kata sasterawan itu dengan ramah.
"Siapakah anda ?"
"Aku orang she Ko nama Cay Seng."
"Apakah anda juga orang persilatan ?"
"Sebenarnya seorang bun (sasterawan) tetapi saterawan
mogol. Juga seorang persilatan tetapi juga setengah matang.
Bun mogol, Bu setengah matang."
"Hm, lalu apakah engkau bekerja pada kerajaan Boan."
Ko Cay Seng menghela napas, "Dibilang bekerja pada
kerajaan Boan juga boleh, tidak juga boleh. Artinya, aku
bekerja pada kerajaan Boan demi kepentingan rakyat kita."
'Ya, kutahu." "O, apakah Han wan-ghee sudah mengetahui?"
'Sudah," sahut Han Bun Long, "karena memang
bcgitulah jawaban setiap orang yang bekerja pada kerajaan
Boan." Merah muka Ko Cay Seng terkena sentila kata Han Bun
Liong yang tajam itu. Namun dia tetap tenang, Setiap orang
mempunyai pendirian hidup sendiri. Tetapi pendirian itu
harus disesuaikan dengan kenyataan. Itu baru benar."
Han Bun Liong diam saja. "Lalu apa maksud anda menemui aku" Bukankah aku
sudah terkepung dan setiap saat dapat anda tangkap?"
"Ya, memang begitu, Han wan-gwe," kata Ko Cay Seng,
"tetapi apakah Han wan-gwe tak merasakan sesuatu yang
tak wajar?" "Soal apa?" "Selama Han wan-gwe bertempur semalam tadi?"
Han Bun Liong merenung sejenak, "Memang ada
sesuatu yang tak wajar. Setiap kali kuserang pasukan Ceng
tentu mundur dan tak mau balas menyerang."
Ko Cay Song tertawa, "Benar, sebagai seorang jago tua
tentulah Han wan-gwe dapat merasakan hal itu. Tetapi
adakah Han wan-gwe dapat menduga apa sebabnya?"
"Coba engkau bilang."
"Jika mau menangkap atau membunuh Han wan-gwe,
tentulah pasukan Ceng sudah dapat melakukannya dengan
mudah. Tetapi mereka memang dilarang membunuh Han
wan-gwe .. . " "Siapa yang melarang?"
"Panglima besar kerajaan Ceng sendiri."
Han Bun Liong terkesiap, "Mengapa?"
"Karena panglima besar sangat sayang dan menghargai
Han wan- gwe. Han wan-gwe seorang tokoh yang tiada
bandingannya, sayang mendapat tempat yang tidak sesuai
dengan bakat Han wan-gwe. Ada sebuah pepatah yang
mengatakan burung yang bagus harus memilih hinggap di
pohon yang baik . tentulah Han wan-gwe sudah tahu' hal
itu bukan?" "Ko sian-seng," sahut Han Bun Liong, "memang benar
kata-katamu itu. Karena bangsa burung hanya memikirkan
soal kenikmatan saja. Mereka hanya pandai mengkibur
majikannya dengar suaranya yang merdu atau bulunya
yang indah. Bangsa burung tiada gunanya kecuali hanya
untuk menyenangkan hati orang yang memeliharanya."
Ko Cay Seng terkesiap. "Tetapi lain halnya dengan binatang anjing. Orang kalau
dimaki sebagai anjing tentu marah. Tetapi sesungguhnya,
tidak seluruh orang itu lebih baik dari anjing. Ada orang
yang lebih rendah budinya dari anjing. Anjing dapat
menjaga rumah, menjaga keselamatan keluarga tuannya
Anjing adalah binatang yang tahu akan kesetyaan. Apa kata
anda terhadap orang yang tak setya kepada negara dan
bangsanya sendiri" Apakah orang semacam itu lebih baik
daripada seekor anjing?"
Merah muka Ko Cay Seng. Tetapi cepat dia
menenangkan, katanya, "Bagaimanapun juga manusia tetap
lebih tinggi daripada anjing. Kesetyaan itu memang luhur.
Tetapi kesetyaan yang buta adalah bodoh dan salah. Anjing
tetap binatang yang tak dapat membedakan benar dan
salah, kecuali hanya setya saja. Walaupun majikan mereka
seorang penjahat, seorang pembunuh, seorang pembohong,
dia akan tetap setya. Lain dengan manusia. Manusia tidak
harus seperti anjing. Harus dapat membedakan mana yang
salah dan yang benar. Jika tidak dapat membedakan, nah,
barulah dia tepat disebut lebih rendah dari anjing."
Han Bun Liong tak mau meladeni.
"Han wan-gwe, seorang ksatrya harus pandai
menycsuaikan diri dan tahu keadaan. Aku memang bekerja
pada kerajaan Ceng karena kuanggap hal itu dapat
membawa kebaikan kepada rakyat kita. Dan ketahuilah,
bahwa dunia ini tidak langgeng sifatnya. Demikian pala
dengan kejayaan sebuah kerajaan. Sudah berabad-abad
kerajaan Beng berdiri. Memang raja2 Beng yang terdahulu
bijaksana dan pandai mengurus negara. Tetapi raja Beng
yang sekarang, lemah dan hanya gemar berfoya2. Ini suatu
pertanda zaman bahwa sudah tiba waktunya kerajaan itu
harus tenggelam dan diganti dengan sebuah kerajaan baru .
. . . " "Hm," dengus Han Bun Liong.
"Suatu bukti lagi," kata Ko Cay Seng, "begitu cepat
kotaraja Pak-kia jatuh ke tangan pasukan kerajaan Ceng.
Bukankah hal itu sudah cukup menunjukkan bahwa
memang bintang dari kerajaan Beng itu sudah waktunya
pudar?" seru Ko Cay Seng.
"Hm, tak perlu panjang lebar memberi kuliah," tukas
Han Bun Liong, "katakanlah, apa maksudmu menemui
aku?" "Seperti telah kukatakan tadi bahwa panglima besar
kerajaan Ceng sangat menghargai Han wan-gwe sehingga
beliau berkenan menyempatkan diri datang menjumpai
wan-gwe. Apakah wangwe merasa lebih berharga sehingga
tak mau menyambut panglima besar kerajaan Ceng?"
Han Bun Liong memang sudah menduga kalau perwira
Ceng yang naik kuda bulu putih itu tentu seorang militer
yang berpangkat. Tetapi dia tak sangka kalau penurggang
kuda bulu putih itu adalah panglima besar kerajaan Ceng
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri. "O, maaf, tay-ciangkun. Aku tak tahu sehingga tak
menghormat kedatangan tay-ciangkun," walaupun terhadap
lawan tetapi dalam pembicaran, Han Bun Liong tetap
menghormati kedudukan orang.
"Ah, Han sianseng sungguh seorang yang hebat," seru
panglima besar Torgun dalam bahasa Han yang lancar,
"sudah lama aku mendengar nama anda dan baru hari ini
aku beruntung dapat bertemu muka."
Habis berkata Torgun terus turun dari kuda putih,
menghampiri Han Bun Liong dan ulurkan tangan untuk
berjabatan. Tanpa curiga Han Bun Liongpun menyambuti. Pada saat
tangannya berjabatan, ia rasakan sebuah arus tenaga-dalam
yang kuat, melanda ke telapak tangan, mengalir ke lengan
dan terus menyusup ke arah jantung. Han Bun Long
terkejut. Ia tak menyangka bahwa panglima besar kerajaan
Ceng, selain seorang militer juga memiliki ilmu tenagadalam
yang sakti. Jelas Torgun itu tentu seorang jago silat
yang berilmu tinggi. Han Bun Liong merasakan serangan itu. Ia hendak
mengerahkan tenaga-dalamnya juga tetapi merasa
terlambat. Percuma saja, pikirnya, karena arus tenagadalam
orang sudah menyerbu jantungnya.
"Ah, percuma." pikirnya dan diapun pejamkan mata
menunggu ajal. "Ah, Han sianseng merendah diri," kata Torgun dan
seketika arus tenaga dalam yang menyusup ke lengan Han
Bun Liongpun menyurut lenyap.
Han Bun Liong terkejut. Jelas panglima Ceng telah
menguasai ilmu tenaga-dalam yang dapat dipancarkan dan
ditarik menurut sekehendak hatinya.
"Terima kasih, tay-ciangkun. Sungguh suatu kehormatan
besar bagi si tua Han Bun Liong dapat berjabatan tangan.
Andaikata mati pun sudah puas," seru Han Bun Liong. Dia
memang sudah memutuskan akan mati- ditangan seorang
panglima besar, adalah suatu kehormatan besar.
Tetapi Torgun hanya ingin menguji. Dia kecele karena
Han Bun Liong tak membuat reaksi. Dia tak mau
membunuh Han Bun Liong maka tenaga-dalamnya pun
ditarik kembali. "Han sianseng, disini-bukan tempat bicara mari kita
masuk ke markas," kata Torgun seraya menarik tangan
orang. Terpaksa Han Bun Lion mengikuti. Dia tak gentar
karena sudah membekal tekad untuk mati.
Gui Tik dan anakbuahnya juga ditangkap dan dibawa ke
markas. Han Bun Liong diperlakukan baik oleh Torgun dan
diminta supaya membantu kerajaan Ceng tetapi dia
menolak. Akhirnya karena secara halus tak dapat dibujuk,
Han Bun Liong lalu di jeblus kan dalam penjara dibawah
tanah dan disiksa, kaki tangannya dirantai seperti seekor
binatang buas. Demikian Han Bun Liong mengakhiri ceritanya kepada
ketiga anakmuda itu. "Hm, jika tahu dia yang berhianat, tentu waktu main
barong-say malam itu, dia sudah kubunuh." seru In Hong.
"Ah, berbahaya nona In," kata Han Bu Long "kalau saat
itu dia mati, kalian tentu aka dibunuh juga.
"Ya, benar," "kata in Hong, "tetapi dia selalu
mengganggu ci Ing saja. Nanti pada suatu hari dia pasti
kubunuh." Han Bun Liong menghela napas, "Suasana sekarang
sudah jauh berobah. Kota Thay-goan sudah diduduki
tentara Ceng, Dimara-mana tersebar mata2. Hendaknya
segala tindakan kita harus diperhitungkan dengan hati2."
Jago tua itu memuji keberanian In Hong dan Han Bi Ing
serta Kim Yu Ci yang berani menempuh bahaya besar
merampok penjara. "Ah, janganlah paman memuji aku," aku," kata In Hong,
"kalau tak ada bantuan ci Ah Ling, ink mungkin kami dapat
menyelundup masuk ke dalam penjara dibawah tanah itu."
Kembali Han Bun Liong menghela napas.
"Memang saat ini negara sedang dalam bahaya besar.
Menilik kekuatan pasukan Ceng, kemungkinan kerajaan
Beng tak dapat dipertahankan lagi," katanya.
"Ah, apakah kita harus menyerah begitu saja ?" seru In
Hong. "Tidak, In titli," Han Bun Liong tersenyum, "putera2
kesuma bangsa seperti kalian ini harus tetap melanjutkan
perjuangan untuk mengusir musuh dari bumi kita. Kutahu,
bahwa setiap terjadi perobahan suasana, tentulah
bermunculan tokoh2 penting, baik yang ikut membantu
musuh maupun yang menentang musuh. Disamping
banyak, bangsa kita yang rela menjadi penghianat bangsa,
pun tak sedikit putera puteri kita yang berani mengorbankan
diri sebagai pahlawan. Aku terharu mendengar
perkumpulan Hong-hian-hwe. Mereka adalah gadis2 suci
yang rela mengorbankan diri untuk menyelamatkan rakyat.
Kita berdosa kepada pengorbanan mereka apabila kita tak
dapat mengusir penjajah,"
Kim Yu Ci mengangguk. "Memang dalam keadaan
menghadapi musuh, semua orang dapat membaktikan diri
menurut kemampuan masing2. Pahlawan bukan hanya
semata yang bertempur dengan musuh, pun setiap orang
yang berani mengorbankan diri untuk menyelamatkan
bangsa. juga seorang pahlawan."
"Paman Han," tiba2 In Hong menyelutuk, "benarkah
harta karun itu bukan milik paman sendiri ?"
Han Bun Liong mengangguk, "Benar. Harta karun itu
memang barang titipan dari saudara Nyo Sian, seorang
pewira dari pasukan Li Cu Sang. Aku sebenarnya tak mau
tetapi dia memaksa dengan mengatakan begini," Daripada
harta karun itu jatuh ke tangan kaum thaykam (kebiri) dan
mentri2 dorna, lebih baik kita angkuti saja."
"Untuk apa sekian banyak harta benda itu"' tanyaku.
"Harta itu banyak gunanya. Lebih2 dalan suasana
perang. Kita dapat menggunakan harta itu untuk melawan
musuh," kata No Sian.
"Maksudmu, harta itu boleh digunakan untuk keperluan
perjuangan kita ?" aku menegas pula.
"Pertama, mengapa harta karun itu kutitipkan pada
saudara Han, karena kupandang saudara Han seorang
hartawan sehingga orang takkan curiga. Kedua kalinya,
saudara seorang dermawan dan seorang pendekar golongan
hiap-gi. Maka apabila perlu, silakan saudara Han
mengambilnya. Terserah mau diberikan kepada siapa saja
yang saudara pandang layak dibantu," kata Nyo Sian.
"Karena dia mengatakan begitu maka akupun baru mau
menerima barang titipan itu," kata Han Liong memberi
keterangan kepada In Hong.
"Yah, apakah engkau kenal dengan seorang yang
bernama Lu Pin ?" tanya Han Bi Ing yang juga
menceritakan tentang peristiwa Lu Pin yang datang hendak
mencari ayahnya itu. "O, dia;" kata Han Bun Liong, "dia adalah teman Nyo
Sian yang tahu perbuatan Nyo Sian mengangkuti harta
benda keraton. Dia pernah datang kepadaku untuk
meminta harta karun itu tetapi kutolak, Yang titip Nyo Sian
yang berhak minta kembali adalah Nyo Sian, kataku. Dia
pergi hendak mengajak Nyo Sian tetapi sampai sekarang dia
belum pernah datang lagi. Lalu apa katanya kepadamu ?"
"Dia mengatakan telah bertemu dengan Nyo Sian tetapi
saat ini Nyo Sian menderita sakit lepra. Dia hanya
membawa surat Nyo Sian untuk ayah,"
"Jangan percaya, paman Han," seru In Hong "kecua:i
Nyo Sian sendiri yang datang, jangan menerima segala
bukti." "Ya," kata Han Bun Liong, "memang bisa saja dia
membuat surat mencontoh tulisan Nyo Sian. Atau
kemungkinan juga bisa dia mermak Nyo Sian untuk
menulis surat. Tetapi aku takkan memberikannya, kecuali
Nyo Sian datang sendiri. Pendirlan Han Bun LIong itu didukung ketiga
anakmuda. "Apabila Nyo Sian sudah mati, lebih baik gak-hu
mempergunakan harta karun itu untuk kepentingan
perjuangan," kata Kim Yu Ci.
"Kurasa tidak perlu tunggu Nyo Sian mati, sekalipun
masih hidup, Han pehpeh boleh menggunakan harta itu. Itu
kan juga bukan harta miliknya Nyo Sian," seru In Hong.
Han Bun Liong mengaugguk. Kemudian dia
menanyakan dimana harta karun itu.
"Disimpan oleh Wan-ong-ko yang menjadi teman
seperjalananku ke gunung Lou- hud-san. Ayah tak perlu
kuatir, kelak kalau ketemu dia tentu akan kutanyakan
dimana dia menyimpannya."
Demikian sambil menunggu suasana di luar sudah
tenang, terpaksa mereka tinggal dalam kamar rahasia itu.
Kawan atau Lawan. Han Bun Liong, Kim Yu Ci, Han Bi Ing dan In Hong
untuk sementara akan bersembunyi dulu di ruang rahasia di
bawah tanah dalam gedung keluarga Han. Nanti apabila
suasana sudah reda, barulah mereka akan keluar.
Memang benar Panglima Taras marah sekali dengan
peristiwa perampokan tawanan orang she Han dari penjara
rahasia. Bahkan dia sendiri matanya juga terserang jarum
bwe-hoa-ciam dan banyak pembesar2 negeri antara lain
residen Sou Kian Hin yang kehilangan kuncirnya.
Panglima Taras memerintah supaya dilakukan
penggeledahan dan razzia besar pada setiap rumah
penduduk di Thay-goan. Suasana kota itu menjadi tegang. Malam hari sunyi
karena tak ada orang yang berani keluar malam. Banyak
rakyat yang menderita tindakan sewenang- wenang dari
kawanan prajurit Ceng. Tetapi sampai sebegitu jauh belum
juga mereka berhasil menangkap biangkeladi dari
kerusuhan itu. Memang banyak yang ditangkap dan disiksa
tetapi akhirnya dilepas lagi tiada bukti kuat.
Sekarang kita tinggalkan dulu rombongan Kim Yu Ci
bersama kedua gadis. mari kita kembali mengikuti
perjalanan pendekar Huru Hara, sahabat kita yang sudah
agak lama kita tinggalkan itu.
Setelah meninggalkan gunung Hong-hong-san, pendekar
Huru Hara bersama si bocah kuncung Ah Liong tujukan
langkahnya ke utara. Dia hendak mencari barisan Suka
Rela di propinsi Shoa-tang.
"Engkoh Hok, apa sih barisan Suka Rela itu. Mengapa
ada barisan kok suka rela ?" tanya Ah Liong kepada
pendekar Huru Hara yang biasa dipanggil dengan sebutan
engkoh Hok. "Barisan suka rela itu adalah barisan dari rakyat yang
secara suka rela masuk menjadi pejuang. Tidak ada
paksaan, mereka berjuang atas kemauannya sendiri maka
dinamakan barisan Suka Rela," kata pendekar Huru Hara.
"Siapa yang mengumpulkan dan mengepalai barisan itu
?" tanya Ah Liong pula.
"Itulah yang hendak kuselidiki, Ah Liong," kata
pendekar Huru Hara. "Lho, engkau hendak menyelidiki atau hendak mencari
paman engkoh yang ditangkap itu?"
"Kedua-duanya, Ah Liong. Paman Cian-li ji itu orang
kuno, aneh dan nyentrik. Tetapi dia baik dan sayang
kepadaku. Engkau tahu mengapa dia bernama Cian li-ji?"
"Cian-li-ji itu artinya Telinga-seribu-li. Telinga yang
dapat menangkap suara pada jarak selibu li," kata pendekar
Huru Hara. "O, hebat," seru Ah Liong.
"Dia juga mempunyai penyakit seperti engkau."
"Penyakit apa?" tanya Ah Liong.
"Apa kegemaranmu kalau berhadapan dengan musuh?"
"Apa ya" Eh, eh . . . . "
"Tolol! Bukankah engkau gemar memutus celana
orang?" "Benar! Sejak taliku putus dan anuku kelihaan oleh
engkoh, aku sakit hati. Untuk membalas kepada engkoh, sih
tidak boleh karena aku seorang adik. Maka kutumpahkan
penasaranku itu kepada setiap orang yang menjadi lawan.
Dengan begitu tentu akan bertambahlah jumlah orang yang
celananya melorot turun . . . . "
"Hm, engkau ini memang kurang ajar. Tetapi ingat,
jangan sekali- kali engkau lakukan hal itu terhadap seorang
gadis atau wanita. Kalau engkau sampai melakukan hal itu,
aku tak mau jadi engkohmu lagi, tahu?"
"Baik, engkoh," kata Ah Liong. Anak yang bandel itu
kalau terhadap Huru Hara selalu menurut dan taat, "tetapi
apa penyakit paman Cian-li-ji itu?"
"Dia gemar menampar pipi orang."
"Uhhhh," desuh Ah Liong, "itu kegemaran aneh juga.
Tetapi sayang kan kalau pipi yang halus harus ditampar ?"
"Tentu saja pipi musuh, bukan pipi sembarang orang dan
terutama bukan pipi wanita. Aku pun melarangnya
menampar pipi kaum wanita.
"Hai ..... ," tertak Huru Hara tiba2, "mengapa aku begini
pelupa ?" "Kenapa ?" "Kita ini salah jalan. Mengapa menuju Shoa-tang ?"
"Lho engkoh ini bagaimana sih " Aku hanya menurut
saja," "Bukankah Ang Hin kepala gunung Hong hong-san
mengatakan bahwa barisan 'Suka Rela itu berpusat di
gunung Lu-Bang-san di wilayah Sanse ?"
"Entah bagaimana keterangan Ang Hin kepada engkoh.
Aku tak ikut mendengarkan."
"Sudahlah," seru Huru Harai, "hayo kita putar haluan,
menuju ke barat saja."
Keduanya segera berganti arah. Tiba2 mereka
mendengar derap kuda lari pesat.
"Rupanya ada orang datang kemari." kata Huru Hara. Ia
terus menyeret Ah Liong bersembunyi dibalik gerumbul
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pohon. "Mengapa harus bersembunyi, engkoh ?"
"St. kita lihat siapa yang datang dulu," bisik Huru Hara,
Seekor kuda hitam lari melintas jalansepi. Dari tempat
persembunyiannya. Huru Hara merasa kenal dengan
pemuda itu. Dia merasa sudah pernah bertemu dan bicara,
Tetapi untuk sesaat dia agak lupa.
Belum sempat ia teringat siapa pemuda itu, sekonyongkonyong
dari balik gunduk batu di tepi jalan,
berhamburanlah tiga empat buah tali dan jaring kearah
tubuh pemuda itu. Uhhhh . , . karena tak menyangka-nyangka pemuda itu
hendak berusaha untuk menghindari tali tetapi tak sempat
menghindar tebaran jaring yang menelungkupi kepalanya.
Seketika kepala dan tubuh pemuda itu terjaring dan pada
lain saat dia menjerit tertahan karena jaring ditarik turun
kebawah sehingga dia turut jatuh ketanah.
Pemuda itu tak berkutik dan pada saat itu, salah seorang
dari kawanan yang menghadangnya segera ayunkan
tombaknya. "Tunggu ..... !"
Orang yang hendak menombak itu terkejut ketika
mendengar suara teriakan yang nyaring seperti halilintar
berbunyi. Cepat mereka bepaling. Seorang pemuda dan
seorang bocah laki berloncatan, pemuda itupun sudah tiba
di hadapan mereka. "Lepaskan kongcu itu," hardik pemuda yang datang itu
dengan bengis. "Siapa engkau!" kawanan orang itu balas menghardik.
Mereka terdiri dari enam orang. Menilik dandanannya
mereka adalah orang2 persilatan.
"Kubilang, lepaskan kongcu itu!" pemuda yang bukan
lain Huru Hara mengulang perintahnya
"Eh, lagakmu seperti seorang jenderal saja !" teriak salah
seorang kawanan penghadang itu, "siapa engkau!"
"Aku Huru Hara, utusan Raja Akhirat!"
"Kentut!" teriak mereka, "kalau melihat dandananmu
seperti pendekar kesiangan itu, mungkin engkau memang
seperti tukang sapu akhirat. Tetapi dIsini bukan akhirat.
Lebih baik engkau kembali ke akhirat saja!"
"Untuk yang terakhir kali, kuperintahkan segera lepaskan
kongcu itu," seru Huru Hara pula.
"TIdak. Jangan turut . . . , " baru salah seorang berkata
begitu, tahu2 Huru Hara sudah lesat dan orang itupun
menjerit rubuh. Kawan- kawannya yang lima terkejut. Hampir mereka
tak percaya apa yang disaksikan tadi. Gerakan pemuda
aneh itu benar2 seperti setan.
Namun mereka menyadari bahwa yang dihadapinya itu
adalah seorang jago yang sakti. Serempak mereka mencabut
senjatanya masing2. "Bagus, hayo kalian maju berlima, agar lekas dapat
kubereskan," seru Huru Hara dengan gembira.
Kelima orang itu menggunakan bermacam-macam
senjata. Ada yang menggunakan pedang, golok, bindi,
trisula dan tombak. Tetapi Huru Hara dapat melayani
mereka. "Ah Liong, tolonglah pemuda dalam jaring itu," seru
Huru Hara. Ah Liong cepat menghampiri pemuda itu. Tetapi saat itu
dia diserang oleh orang yang menggunakkan golok, "Jangan
kurang ajar, bocah kuncung!" teriak orang itu seraya
membabat leher Ah Liong. Ah Liong mengendapkan tubuh. Selekas golok lewat
diatas kepalanya dia terus menyeruduk bawah dan tahu2,
uhhhh . . . . orang itu menjerit kaget karena celananya putus
tali dan meloncat. Buru2 dia mendekap dengan tangan kiri.
"Nih, rasakanlah, plok . .. . , " Ah Liong menonjok
hidung orang itu sehingga berlumuran darah. Orang itu
menjerit seperti babi hendak disembelih dan terus
terhuyung-huyung mundur. Jika mau menggunakan pedang Pek-kak-kiam atau
pedang Tanduk putih yalah pedang pusaka yang
mengandung magnit, tentulah keempat lawannya itu sudah
kalah. Tetapi dia tak mau lawannya mati, karena hendak
menangkap hidup keempat orang itu agar dapat ditanya
keterangannya. Plak . . . sebuah tendangan singgah di lambung lawan
yang bersenjata pedang. Orang itu meliuk-liuk kerena
tulang iganya patah. Duk, orang yang bersenjata
tombakpun tersodok perutnya hingga jatuh terlentang.
Krak. bindi dari lawan yang lain mencelat keudara dan
orang yang menggunakan bindi itupun terseok-seok
mendekap lengannya yang patah tulangnya Tinggal yang
menggunakan tombak. Orang itu nekad melontarkan
tombaknya kepada Huru Hara.
"Aduh ..... ," teriak orang yang juga menggunakan
tombak dan hendak menombak pemuda dalam jaring tadi.
Tombak dapat dihindari Huru Hara dan melayang ke
belakang. tepat menancap di dada kawannya sendiri. Habis
melontarkan tombak, orang itu terus lari.
Huru Hara tak mau mengejar. Dia sudah mendapat tiga
orang yang dapat memberi keterangan.
Saat itu pemuda yang terjaring dalam jala tadipun sudah
dapat dikeluarkan Ah Liong. Pemuda itu menghampiri dan
mengucap terima kasih. "Ah, ternyata Bok kongcu," seru Huru Hara setelah
berhadapan dengan pemuda itu. Memang pemuda itu tak
lain adalah Bok Kian, putera keponakan menteri
pertahanan Sa Go Hwat yang pernah bertemu dengan Huru
Hara di gunung Hong. "Mengapa kongcu dicelakai mereka ?"
"Entah, aku juga tak tahu."
"Siapakah mereka Bok Kian gelengkan kepala tak tahu.
"Aneh, kalau kongcu belum kenal mengapa mereka
hendak mencelakai kongcu ?"
"Aku sendiri juga heran," kata Bok Kian yang berpikiran
polos. "Mengapa kongcu sampai disini ?"
"Aku mendapat titah dari paman Su, supaya
menyampaikan berita kepada jenderal Ui Tek Kong supaya
bcrsiap diri untuk diajak menggempur jenderal Co Liang
Giok." "Lho, bukankah Co Liang Gok itu jenderal kerajaan
Beng ?" Huru Hara heran.
"Benar," kata Bok Kian, "tetapi dia hendak memberontak
kepada kekuasaan kerajaan Beng,"
"Ah," teriak Huru Hara, "bagaimana buktinya dia
hendak memberontak ?"
"Saat ini paman Su berada di Yang- ciu untuk menilik
keadaan pasukan. Dia mendengar kabar bahwa pasukan
Ceng sudah menyerang wilayah Soa-tang, Ho-lam dan Ho -
pak ?" "Ah," Huru Hara mendesah.
"Mengapa ?" "Hampir saja aku hendak menuju ke Shoatang untung
tak jadi." "Mengapa Loan-heng hendak kesana ?"
"Aku hendak mencari pamanku yang ditawan anakbuah
barisan Suka Rela." "Apa hubungannya pasukan Ceng menyeberang wilayah
Shoa-tang, Holam dan Hopak dengan tuduhan bahwa
jenderal Co Liang Giok hendak memberontak?" tanya Huru
Hara. "Paman Su menerima amanat dari kerajaan bahwa
jenderal Co Liang Giok hendak memberontak. Itulah
sebabnya paman Su terus hendak mengajak jenderal Ui
menumpas mereka." "Ah, sungguh berbahaya," kata Huru Hara dalam
keadaan seperti sekarang ini, kita harus bersatu, mengapa
terpecah belah dan harus tumpas menumpas sendiri.
Apakah Su tayjin percaya?"
"Paman Su percaya kalau titah itu dari seri baginda Hok
Ong maka dia terpaksa harus melakukan."
"Hm," dengus Huru Hata, "kalau aku bertemu dengan Su
tayjin tentu akan kusarankan agar diselidiki dulu
kebenarannya dan jangan gegabah bertindak karena besar
sekali akibatnya." Kemudian Huru Hara menghampiri salah seorang
penghadang yang masih rebah ditanah "Engkau minta mati
atau hidup?" "Ampun hohan," seru orang itu.
"Baik, tetapi engkau harus memberi keterangan yang
jujur. Siapakah kalian ini?"
"Hamba seorang jagoan dunia hitam yang melakukan
pekerjaan untuk orang. Ada orang yang mengupah hamba
supaya membunuh kongcu itu."
"Mengapa harus membunuh kongcu?" desak Huru Hara.
"Hamba tak tahu hohan," kata orang itu.
"Bohong!" bentak Huru Hara seraya mencekik orang itu,
"mau bilang terus terang atau tidak!"
"Ba?" ik ?" ba ".ik".."
Pada saat Huru Hara lepaskan cekikannya tiba2
terdengar derap beberapa ekor kuda lari mendatangi dan
pada lain saat muncullah lima penunggang kuda. Yang
didepan sendiri seorang pemuda cakap.
"Hai, Bok-te, mengapa engkau disini?" tiba2 pemuda
cakap itu melesat turun dari kudanya dan menghampiri Bok
Kian. "O, Su- heng, engkau juga datang," kata Bok Kian.
Ternyata pemuda yang datang itu adalah Su Hong Liang.
Karena Su Hong Liang lebih tua, ia memanggil Bok-te (
adik Bok ) dan Bok Kian menyebut Su-heng (engkoh Su) .
Seperti diketahui, Bok Kian itu keponakan Su Go Hwat
dari isterinya. Sedang Su Hong Liang itu juga keponakan,
putera dan saudara tua Su Go Hwat.
"Engkau dari mana Bok-te?" ulang Su Hong Liang.
"Paman menugaskan aku untuk memberitahu pada
jenderal Ui Tek Kong untuk diajak menyerang jenderal Co
Liang Giok." "O, apakah jenderal Co hendak memberontak ?"
"Menurut firman yang diterima paman dari kerajaan,
memang begitu," kata Bok Kian.
"Hm, makanya Ma kongcu putera Ma Su Ing tay-haksu
mengutus kedua pengawal supaya aku bersama-sama
menyelidiki gerak gerik jende Co."
"Oh," desuh Bok Kian, "lalu bagaimana hasil
penyelidikan Su-heng ?"
"Memang ada tanda2 jenderal Co hendak
memberontak," kata Su Hong Liang.
"Apakah dia takluk kepada pasukan Ceng," tanya Bok
Kian. "Tidak." "Lalu mengapa dia hendak memberontak," Bok Kian
heran. "Dia hendak membawa pasukan ke kotaraja untuk
membersihkan beberapa mentri yang katanya menjadi
biangkeladi dari kehancuran kerajaan Beng."
"Oh," Bok Kian makin terkejut.
"Lalu bagaimana pandapat paman Su Go Hwat " "tanya
Su Hong Liang. "Saat ini paman berada di kota Yang- ciu sedang menilik
keadaan pasukan kita. Tiba2 paman menerima titah dari
baginda supaya mengajak jenderal Ui Tek Kong untuk
menggempur jenderal Co Liang Giok yang hendak
memberontak." "Dan paman lalu bertindak ?"
"Rupanya paman Su masih hendak merundingkan hal itu
dengan jenderal Ui. Kemungkinan paman akan menemui
jenderal Co untuk mengetahui bagaimana pendiriannya
yang sebenarnya." Tampak Su Hong Liang kerutkan dahi. "Tetapi kalau
sudah menerima firman dari kerajaan, seharusnya paman
dapat bertindak dengan tegas, tak perlu harus berunding
lagi." "Ya," kata Bok Kian, "tetapi paman berpendapat, apabila
masih dapat ditempuh dengan jaIan damai. sebaiknya
digunakan jalan damai. Itu lebih bijaksana dan
menguntungkan. Karena kalau sampai gempur-gempuran
sendiri, tentu akan melemahkan kekuatan kita dan
menguntungkan musuh."
"Tetapi menurul penyelidikanku, memang jenderal Co
sudah tak dapat dicegah lagi. Dia hendak mengadakan
pembersihan ke kotaraja. Ini sangat berbahaya. Lebih baik
sebelumnya dia harus lekas ditumpas dulu." kata Su Hong
Liang. "Kurasa paman Su tentu akan dapat bertindak dengan
bijaksana," sambut Bok Kian.
Su Hong Liang hanya mendesuh. Kemudian bertanya
apa yang terjadi pada diri Bok Kian di tempat itu. Bok Kian
menceritakan apa yang dialaminya beberapa saat
kemudian. Untung pendekar Huru Hara keburu datang
kalau tidak, mungkin dia sudah mati,
"Mana penjahat itu?" tanya Su Hong Liang. Ketika Bok
Kian memberitahu ketiga penjahat yang masih menggeletak
itu, Su Hong Liang memberi isyarat mata kepada kedua
orang kawannya dan mereka lalu merighampiri ketiga
penjahat itu. Orang yang hendak dipaksa mengaku keterangan oleh
pendekar Huru Hara tadi, begitu melihat Su Hong Liang,
matanya terbelalak dan mulutpun berseru, 'Su kong . . . . "
"Nih, terimalah!" Su Hong Liang menyabet leher orang
itu dengan pedangnya. Seketika putuslah nyawa orang itu
sebelum sempat melanjutkaa kata-katanya........."
Kedua kawan Su Hong Liang tadipun sarempak pada
waktu yang bersamaan, sudah memberesi kedua orang yang
menggeletak di sebelah sana.
"Su kongcu, mengapa engkau membunuh orang itu?"
tanya pendekar Huru Hara yang kesima melihat tindakan
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda itu sehingga tak keburu mencegah.
"Mengapa tidak" Bukankah dia hendak mencelakai Bokto?"
sahut Su Hong Liang, "engkau telah menolong jiwa
Bok-te dan aku yang menyempurnakannya."
"Tetapi aku sedang menanyai keterangannya," kata Huru
Hara. "Perlu apa ?" seru Su Hong Liang, "sudah jelas mereka
hendak mencelakai Bok-te, dalam suaana perang seperti
saat ini, tidak perlu kita harus bertele-tete memeriksa. Kalau
salah, terus bunuh saja !"
"Tetapi tadi kudergar dia memanggil nama kongcu,
Apakah bukan engkau ?" tegur Huru Hara dengan tajam.
"Aku putera keponakan mentri pertahanan Su Go Hwat
tayjin, sudah tentu banyak yang kenal. Kemungkinan dia
akan meratap minta ampun. aku tak ingin mendengar
ocehan semacam itu lagi," kata Su Hong Liang.
"Ah. tetapi tindakan kongcu itu kurang bijaksana. Lebih
baik kalau kita pariksa dulu orang itu sampai jelas agar kita
tahu siapa sesungguhnya yang hendak mengarah jiwa Bok
kongcu. Waktu kuperiksa, dia mengatakan kalau dia diupah
untuk membunuh Bok kongcu. Tetapi belum sempat
kuperiksa lagi tahu2 kongcu sudah membunuh," kata Huru
Hara agak menyesali orang.
"Sudahlah, urusan sudah terlanjur masakan disesali lagi.
Orang yang hendak membunuh toh sudah kubunuh, Dan
aku memang berhak untuk melakukan hal itu."
Huru Hara tak puas mendengar omongan pemuda itu.
Belum sempat dia membuka mulut, tahu2 Ah Long sudah
nyelonong, "Itu lancang namanya."
Su Hong Liang terkejut dan berpaling. Ketika
mengetahui yang mengatakan dia lancang itu seorang
bocah kuncung, dia marah, "Hai, apa katamu bocah
kuncung ?" "Engkau lancang !" seru Ah Liong.
"Eh, engkau berani mengatakan aku begitu?"
"Karena engkau juga menghina engkohku."
"Siapa yang menghina ?"
"Ketiga penjahat itu adalah engkohku yang menangkap,
mestinya yang berhak mengadili adalah engkohku !"
"Eh, bocah kuncung, tahukah engkau siapa aku ini ?"
"Tahu." Su Hong Liang terbeliak, "Engkau tahu diriku siapa ?"
"Aku kan tidak buta ?"
"Kalau sudah tahu mengapa engkau berani membacot ?"
"Apakah itu salah ?"
"Ya, sudah tentu salah. Orang yang berani mengatai
seorang keluarga mentri, harus dihukum."
"Siapa keluarga mentri ?"
"Gila ! Bukankah engkau mengatakan kau tahu siapa
diriku ?" "Ya, aku tahu, masakan aku buta ?"
"Mengapa engkau tak mengerti kalau aku putera
keponakan dari mentri Su Go Hwat yang kuasa besar ?"
"Aku tahu engkau ini seorang manusia, seorang pemuda.
Tetapi aku tak mau mengerti engkau putera kemanakan
mentri besar atau bukan."
"Setan ! Engkau berani menghina ?"
"Jawablah," seru Ah Liong sambil bercekak pingang,
"apa hubungan soal disini dengan mentri besar yang
berkuasa itu " Ini kan urusan penjahat yang ditangkap
engkoh dan hendak diperiksa, mengapa engkau lancang
membunuhnya ?" "Bok-te, siapakah bangsat kecil itu ?" teriak Su Hong
Liang. "Adik dari Loan-heng ini," kata Bok Kian.
"Hai, bung, mengapa engkau tak dapat mengajar adikmu
?" tegur Su Hong Liang.
"Apanya yang harus diajar ?" tenang2 Huru Hara
menjawab. "Dia berani kurang ajar kepadaku !"
"Baik," kata Huru Hara, "tetapi kita harus adil. Kita bagi
persoalannya. Dia mengatakan engkau lancang, itu
memang kurang ajar. Tetapi dia salah atau tidak. Engkau
memang lancang atau tidak ?"
Su Hong Liang terbeliak. "Aku bersedia menghukum kekurangan ajaran adikku
tetapi engkaupun harus mengaku bersalah," kata Huru Hara
pula. 'Gila !" teriak Su Hong Liang, "engkau berani menghina
aku ?" "Siapa yang menghina " Bukankah engkau suruh aku
menghukum adikku " Nah, begitulah syaratnya. Kalau
engkau mau mengaku salah, akupun mau menghajarnya !"
"Su kongcu." tiba2 salah seorang kawanan yang bertubuh
tinggi besar, brewok dan bersimbak dada maju, "tak perlu
banyak membuang waktu dengan segala cacing2 begini . ..."
Dengan tinjunya yang sebesar buah kelapa, dia
menghantam Huru Hara, "Cacing, nih rasakanlah .... duk .
..." Huru Hara terkejut tetapi marah juga terhadap si tinggi
besar yang terlalu kasar itu. Dia tangkis pukulan orang
tinggi besar itu. Bok Kian terkejut dan berteriak. Dia kuatir Huru Hara
akan menderita luka. Tetapi alangkah terkejutnya ketika
melihat kesudahannya. Huru Hara tersurut mundur selangkah, tetapi si tinggi
besar itu mencelat sampai dua tombak jatuh jungkir balik
dan akhirnya mencium tanah.
Sudah tentu hal itu mengejutkan sekali. Orang tinggi
besar itu bernama Thay San, menjadi pengawal Su Hong
Liang. Dia bertenaga kuat sekali. Siapa namanya yang asli
orang tak tahu, tetapi karena perawakannya tinggi besar
dan gagah perkara, apalagi dia mangatakan bersal dari
gunung Thay-san maka orang menyebutnya dengan nama
si Thay-san. Su Horig Liang memelihara dua orang pengawal
peribadi. Satu si tinggi besar Thay-san dan yang satu Hwesat-
ciang si pukulan Pasir-api Hun Ti Siang.
Melihat rekannya terpental sampai jungkir balik,
terkejutlah Hun Ti Siang. Cepat dia maju hendak
menyerang Huru Hara tetapi saat itu Ah Liong sudah maju.
"Engkohku sudah menerima serangan kawanmu.
Sekarang akulah yang akan menghadapi engkau!"
Bok Kian terkejut. Dia melirik kepada Huru Hara dan
menduga tentulah Huru Hara akan melarang anak itu.
Tetapi diluar dugaan Huru Hara tenang2 saja dan tak
mengacuhkan hal itu. "Satan cilik," teriak Hun Ti Siang, "engkau berani
melawan aku?" "Tidak," sahut Ah Liong.
"Mengapa engkau berani menghadang dimukaku?"
"Aku tidak berani melawanmu tetapi kalau engkau
berani menyerang, terpaksa aku membela diri," sahut Ah
Liong. "Baik, aku memang hendak memberi hajaran kepada
engkohmu dan engkau sendiri."
"Ya, sebelum menghajar engkohku, hajarlah aku. Kalau
engkau memang dapat menghajar aku, baru engkau layak
berhadapan dengan engkohku. Karena jangankan hanya
engkau seorang, sekalipun kamu semua maju bareng, tentu
tak mampu nga1ahkan engkohku."
Sudah tentu Pasir-api Hun Ti Siang seperti orang yang
kebakaran jenggot marahnya, "Setan cilik, engkau harus
mampus .. . .!" Dia terus menyerang tetapi Ah Liong berlari-larian
menghindar dan berputar mengelilinginya.
Huru Hara terkejut ketika merasakan angin pukulan
orang she Hun itu memancarkan hawa -panas seperti api.
Memang dia percaya Ah Liong tak mungkin dapat dipukul
tetapi ia kuatir anak itu tak tahan akan angin panas dari
pukulan orang. Sebelum dia sempat memikirkan daya untuk menoloug
Ah Long, tiba2 pula terdengar suara kuda berlari
mendatangi. Dan beberapa saat kemudian muncul dua ekor
kuda yang dinaiki oleh seorang nona. Yang satu
mengenakan kain cadar hitam penutup mukanya dan satu
seorang dara berwajah cerah.
"Hai, Ing-moay, engkau juga kemari?" Su Hong Liang
demi melihat gadis bercadar itu.
"Ah, Ing-moay . . . . , " seru Bok Kian pula.
Ternyata kedua gadis yang datang itu ada Su Tiau Ing
dan dara pelayannya yang bernama Jui Liu atau yang biasa
dipanggil Ah Liu. Huru Hara teringat bahwa ia pernah bertemu dengan
kedua gadis itu ketika singgah di rumah-makan yang
menyajikan bak-pau berisi daging manusia dulu.
Malihat Su Tiau Ing, puteri caatik dari mentri Su Go
Hwat, wijah Su Hong Liang seketika berubah terang
benderang. Ia menghampiri gadis yang menjadi adik
sepupunya, "Ing-moay, mengapa engkau tampak begitu
tegang" Apakah di perjalanan engkau mendapat gangguan?"
"Tidak," sahut Su Tiau Ing ringkas, "aku mendapat
perintah dari ayah untuk menyusul Bok heng."
"O, tentu penting sekali."
"Ya," sahut Su Tiau Ing, "ayah hendak menyampaikan
pesan kepada jenderal Ui Tek Kong supaya mengerahkan
pasukannya menahan serangan musuh di Shoa-tang. Soal
jenderat Co Liang Giok, ayah dapat mengatasi sendiri."
"Ah.. mengapa paman menitahkan begitu" Kukira kita
harus membersihkan tubuh kita dari setiap kaum
pemberontak baru kita dapat kokoh menghadapi serangan
luar. Kalau hanya memikirkan serangan musuh tetapi tak
lekas menindak orang dalam yang memberontak, kekuatan
kita tentu lemah," kata Su Hang Liang.
"Tetapi kurasa paman Su benar," tiba2 Bok Kian
menyanggah, "aku percaya dengan kewibawaan dan
kebijaksanaannya, paman tentu dapat menyadarkan
jenderal Co supaya kembali kepada jalan yang benar."
"Ah, umpama bisul, kalau hanya diobati tentu hanya
kempes tetapi dalamnya masih kotor. Lebih baik dipotong
supaya kotorannya keluar bersih. Demikian dengan jenderal
yang sudah menunjukkan tanda hendak berontak. Mungkin
paman Su dapat menasehati dan diapun mau tunduk.
Tetapi kurasa hanya untuk sementara. Apabila tiba saatnya
yang tepat, dia tentu akan memberontak lagi. Maka
mumpung belum terlanjur, lebih baik sekarang ditumpas
saja," kata Su Hong Lian.
"Ya, memang itu lebih tegas," tiba2 Su Tiau Ing berkata.
"Ing-moay !" teriak Bok Kian terkejut, "bukankah
engkau diutus paman untuk menyampaikan pesan kepada
jenderal Ui Tek Kong?"
"Ah, Bok te, dalam mengutus kepentingan negara setiap
orang berhak menilai dan mempunyai pendirian. Kita tak
perlu ragu mengoreksi tiap langkah yang kurang benar,
demi kepentingan negara," bantah Su Hong Liang,
"andaikan Ing-moay tak mau menyampaikan pesan itu
kepada jenderal Ui, tetap menunggu kedatangan paman
untuk bersama-sama menumpas jenderal yang berontak
itu." "Jangan!" cegah Bok Kiang, "Ing-moay pribadi boleh tak
setuju tetapi perintah paman harus dilaksanakan."
"Harus" Siapakah yang mengharuskan aku ?" Su Tiau
Ing melengking. Bok Kian yang berwajah polos, tampak melongo. Dalam
pergaulan dengan Su Tiau Ing, dia memang selalu
mengalah. Tak jarang dia mendapat muka asam, cibiran
bibir dan cemohan dari adik misannya itu, tetapi dia tetap
sabar. Kadang sidara pelayan Ah Liu yang sering
membelanya kalau dia benar.
Tetapi terhadap Su Hong Liang, Tiau Ing memang lebih
memberi hati. Su Hong Liang lebih tampan, lebih pintar
bicara, lebih pandai mengambil hati. Anehnya, si dara
pelayan Ah Liu tidak suka. Ia lebih kasihan kepada Bok
Kian yang jujur. "Bok- te, engkau kan tahu bagaimana watak Ing-moay.
Kalau dia bilang tidak mau, biar ada geledeg menyambar,
dia tetap tak mau," seru Su Hong Liang dengan tertawa.
Secara licik, dia hendak menganjurkan supaya Tiau Ing
tetap kukuh pada pendiriannya.
Tiba2 sidara pelayan Ah Liu berseru, "Siocia, lalu
bagaimana dengan pesan tayjin itu?"
"Biarlah saja," sahut Tiau Ing.
"Ah, kurasa kurang baik, siocia," kata Ah Lau, "tayjin
tentu marah dan kecewa. Lain kali tentu tak mau mengutus
siocia keluar lagi. Wah, berabe kan" Kelak kita tentu tak
dapat kaluar kemana-mana lagi,"
Su Tiau Ing tertegun. Apa yang dikata Liu itu memang
benar. Ayahnya memang memanjakan dia. Tetapi kalau
dalam urusan pemerintahan, mentri Su Go Hwat itu sangat
keras. Siapa yang melanggar tentu dihukum. Pcrnah sekali
keponakannya, Su Hong Liang, melalaikan tugas yang
diserahkan kepadanya. Mentri Su Go Hwa marah dan
suruh keponakannya itu dijebluskan dalam penjara. Setelah
itu sebenarnya mentri Sudah tak mau menerima
keponakannya lagi. Tetapi karena engkohnya datang
meminta maaf dan Hong Liang juga berjanji takkan berbuat
begitu lagi, mentri Su baru mau menerimanya lagi.
"Ah Liu, jangan ikut campur !" bentak Hong Liang.
"Tetapi engkoh Liang, Ah Liu memang benar. Kalau
ayah sampai marah, aku tentu dilarang keluar lagi," kata
Tiau Ing lalu bertanya kepada Ah Liu. "lalu bagaimana
baiknya "Bagaimana kalau siocia minta bantuan Bok-kongcu ?"
balas Ah Liu. "Ya," kata Tiau Ing, "tetapi ...."
"Bok kongcu, apakah engkau mau mewakili siocia
menyerahkan pesan Su tayjin kepada jenderal Ui?" tanpa
menunggu nonanya selesai berkata, Ah Liu terus bertanya
kepada Bok Kian. "Baik, Ah Liu," kata Bok Kian.
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnya Su Hong Liang hendak mencegah tetapi
terlambat. Ah Liu sudah meminta dan Bok Kianpun sudah
menyanggupi. Dia hanya terkejut.
Ah Liu meminta surat mentri Su Go Hwat dari Tiau Ing
dan diberikan kepada Bok Kian.
Tiba2 terdengar suara kuda berlari lagi. Dan pada
beberapa saat kemudian, muncul dua penunggang kuda.
Yang satu seorang nona cantik dan yang satu seorang
wanita berumur 40-an tahun. Kedua penunggang kuda itu
berhenti di tempat rombongan anak2 muda itu.
"Ih, nona Ma," sahut Su Hong Liang seraya memberi
hormat. Nona itu mengerling pandang ke sekeliling lalu bertanya.
"Engkoh Liang, siapakah nona cantik disampingmu itu ?".
"0, maaf, aku lupa memperkenalkan. Inilah adik Su Tiau
Ing, puteri dari paman Su Go Hwat," Su Hong Liang
memperkenalkan kepada nona itu. "adik Ing, yang datang
ini adalah Ma Giok Cu siocia, puteri tay-haksu Ma Su Ing
tayin." "O, maaf Ma siocia, aku berlaku tak hormat," kata Tiau
Ing seraya memberi hormat.
Ma Giok Cu tertawa sinis, "Tak apa Su socia, kutahu
engkau tentu sedang sibuk dengan engkoh Liang. Apa saja
sih yang kalian bicarakan sampai dihadiri sekian- banyak
orang ini?" Habis berkata kembali Ma Giok Cu mengeliarkan
pandang memeriksa orang2 yang berada di tempat itu.
Ketika pandang matanya tertumbuk pada pendekar Huru
Hara, ia terkesiap kaget melihat dandanan pemuda itu.
Tetapi ketika memandang Ah Liong, ia makin terbelalak.
Ternyata saat itu Ah Liong deliki mata dan leletkan lidah
kepadanya. "Ih, setannnn!" teriak Ma Giok Cu.
Sekalian orang terkejut dan serempak mencurah pandang
kearah Ah Liong yang tengah dipandang Ma Giok Cu.
Mereka terkejut tapipun geli ketika melihat Ah Liong
bergaya mempertunjukkan tampang setan itu.
"Ma siocia, dia seorang bocah liar, bukan setan," kata Su
Hong Liang lalu berteriak kepada Ah Liong, "Hai, setan
cilik, jangan kurang ajar kepada puteri tay-haksu!"
Ah Liong menyeringai. -0oodwoo0- Jilid ke 27 Perang .... Ah Liong memang mengkal melihat sikap dan tingkah
laku yang baru datang itu. Waktu pertama kali nona itu
mengerlingkan mata memandang sekalian orang, waktu
tiba pada gilirannya, Ah Long sudah menyengirkan hidung.
Tetapi tupanya Ma Giok Cu tak sempat memperhatikan.
Waktu kedua kalinya Ma Giok Cu mengeliarkan
pandang lagi, Ah Liong sengaja deliki mata dan leletkan
lidahnya seperti setan. Dan ternyata memang Ma Giok Cu
terkejut dan tertarik perhatiannya.
"Hai, apa-apaan engkau, setan cilik!" teriak Su Hong
Liang makin marah. "Kenapa sih?" balas Ah Liong.
"Mengapa engkau berani menyengir kepadaku?"
"Lho, aku kan menggunakan hidungku sendiri untuk
menyeringai, apa tidak boleh?"
"Itu berarti menghina aku!"
"Aneh," gerutu Ah Liong, "orang menyeringai dengan
hidungnya sendiri, dituduh menghina. Apa engkau merasa
terhina?" "Tentu!" "Engkau merasa terhina bagaimana?"
"Engkau seorang bocah liar berani menghina aku dan
nona Ma, puteri mentri besar dari kerajaan Beng."
"Aku tidak memaki dan tidak mencelah ke padamu dan
kepada nona itu. Aku menyeringai dengan hidungku
sandiri. Uh, bung, jangan main kuasa seperti pembesar
saja!" "Rangket bangsat cilik itu!" teriak Su Hong Liang kepada
kedua pengawalnya. Dan Hun Ti Siang yang tadi belum
selesai perkelahiannya, dengan Ah Liong, maju
menghampiri lagi. "Berhenti tiba2 Huru Hara membentak "Jangan main
sewenang-wenang!" "O, engkau hendak membela adikmu?" seru Hun Ti
Siang. "Ya," sahut Huru Hara, "jika tadi engkau hendak
melawannya, aku sih tak keberatan Tetapi kalau sekarang,
lain halnya." "Mengapa lain ?"
"Kalau tadi, itu soal mengadu kegagahan, siapa yang
lebih sakti. Tetapi sekarang, engkau bukan lagi seorang
jago, melainkan seorang alat dari tuanmu yang sewenangwenang
itu. Coba bilang, apakah orang yang menyeringai
dengan hidungnya seudiri itu melanggar undang2. Kalau
melanggar, aku ingin tahu, undang2 kerajaan manakah itu
!" "Bagussss . !" tiba2 terdengar lengking seorang dara. Dan
ketika sekalian orang memandang kearahnya, ternyata yang
berseru memuji itu adalah Ah Liu, pelayan Su Tiau Ing.
Ma Gioa Cu deliki mata kepada dara itu, lalu bertanya
kepada Su Hong Liang, "Eagkoh Liang, siapakah orang
yang dandanannya seperti pendekar kesiangan itu ?"
"Dia adalah engkoh dari bocah liar itu," sahut Su Hong
Liang. "O, pantas," kata Ma Giok Cu," adiknya kuncung,
engkohnya punya rambut seperti dua buah tanduk, hi, hi, hi
..... " "Dengar ! Bukankah nona itu menghina aku" Ai
mengapa engkau tak berani menindaknya tetapi hanya
berani menindak adikku," tegur Huru Hara.
"Jangan banyak mulut!" Hun Ti Siang terus memukul,
krak ..... Huru Hara tak senang melibat tingkah Hun Ti Siang
yang berandalan itu. Maka ditangkisnya pukulan orang she
Hun itu, Akibatnya Hun Ti Siang menjerit keras,
terhuyung-huyung sambil mendekap lengan kanannya yang
tulangnya patah. Su Hong Liang terkejut. Kedua pengawalnya, si tinggi
besar Thay-san dan kini si Pasir-api Hun Ti Siang, telah
dirubuhkan oleh Huru Hara dalam sekali gebrak saja. Dia
marah. Tetapi sebelum sempat bertindak, Bok Kian sudah
menyelutuk, "Su-heng, sudahlah, kita ini kan orang sendiri,
mengapa harus saling bermusuhan " Yang penting kita
harus lekas mengerjakan tugas kita masing2."
Kemudian dia terus hendak mengajak Huru Hara
berangkat. Tetapi tiba2 Ma Giok Cu mencegahnya,
"Tunggu dulu !"
"O, apakah Ma siocia ada keperluan dengan kami ?"
tanya Bok Kian. "Ya, tetapi bukan dengan engkau. Kalau engkau hendak
pergi, silakan pergi saja," kata Ma Giok Cu, "aku perlu
dengan pendekar kesiangan itu."
Mendengar itu Huru Hara segera melangkah maju ke
hadapan Ma Giok Cu, "Baik, aku pendekar Huru Hara,
akan menunggu apa saja yang hendak engkau katakan !"
"Pendekar Huru Hara ?" Ma Giok kaget.
"Hm," dengus Huru Hara.
"Apa engkau membuat huru hara ?"
"Ya, aku memang pencari huru hara."
"Kalau begitu engkau seorang pemberontak."
"Ya, memang aku seorang pemberontak."
"Jangan guyon," teriak Ma Giok Cu.
"Siapa yang ada waktu guyon " Aku memang tukang
membuat huru hara. tukang berontak. Tetapi yang
kuberontak adalah peristiwa2 ketidak-adilan, manusia2
yang jahat dan lalim!"
"Hai, bung, jangan kurang ajar. Ma su Ing adalah puteri
dari mentri tay- haksu Ma Su Ing tayjin," seru Su Hong
Liang. "Kalau dia seorang puteri tay-haksu. lalu engkau suruh
aku bagaimana " Pay kui atau menyembah dibadapannya "
Seperti halnya dengan kau sendiri. Engkau adalah
keponakan dari mentri pertahanan Su Go Hwat tayjin.
Tetapi yang mentri itu adalah Su tayjin, bukan engkau.
Engkau bukan orang berpangkat, jangan main kuasa,
jangan seperti seorang pembesar !"
Marah padam wajah Su Hong Liang disemprot begitu
tajam oleh Huru Hara. "Kuperingatkan, engkau masih mempunyai perhitungan
yang belum selesai dengan aku. Engkau berani membunuh
penjahat yang kutangkap. Padahal dari mulut panjahat itu
tentu dapat kuketahui siapa yang menyuruh membunuh
Bok kong ," kata Huru Hara lagi.
Belum Su Hong Liang menyahut, Ma Giok Cu sudah
berteriak, "Apa " Engkau hendak mengganggu engkoh
Liang " "Ya," sahut Huru Hara, "apa hubungan dengan engkau
?" "Kalau tak ada hubungannya masakan aku mau turut
campur, Engkau boleh mengganggu siapun kecuali engkoh
Liang!" !" Mendengar itu tersipu-sipulah Su Hong Liang. Tampak
Su Tiau Ing melengos. "Soal itu, jangan kita bicarakan dulu," ka Huru Hara,"
sekarang apa yang nona hendak katakan kepadaku ?"
"Sekali tepuk dua lalat," seru Ma Giok Cu, "aku memang
hendak menjajal kepandaianmu. Menilik engkau berdandan
sebagai seorang pendekar nyentrik dan bernyali besar kalau
bicara, tentulah engkau memiliki kepandaian sakti. Dan
kebetulan pula engkau hendak mengganggu engko Liang.
Maka ingin aku mencoba kepandaianmu."
"O, begitu," kata Huru Hara, "aku tidak cari huru hara,
tetapi huru hara yang mencari aku. Baiklah, nona, aku
menurut saja." "Lau-ma, silakan menghajar adat kepada pendekar
kesiangan iau," seru Ma Giok Cu seraya berpaling kepada
wanita setengah tua. "Baik," kata wanita itu seraya maju kehadapan Huru
Hara. "Apakah wanita ini yang nona perintahkan untuk
menguji aku?" seru Huru Hara terkejut. Ma Giok Cu
mengiakan. "Maaf aku tak mau," kata Huru Hara terus berputar
tubuh dan hendak melangkah.
"Tunggu!" teriak Ma Giok Cu, "mengapa engkau
menolak bertempur dengan Lau-ma?"
"Aku paling segan bertempur dengan wanita. kalau nona
mengajukan jago lelaki, biarpun berapa orang maju, aku
mau melayani. Tetapi kalau wanita, maaf saja . . . . "
"Eh, bung, jangan menghina aku," seru wanita yang
dipanggil Lau-ma itu, "apa engkau kira aku tak mampu
menghajar engkau?" "Aku tidak mengira begitu. Hanya aku memang segan
bertempur melawan wanita."
"Hm, jangan menghina!" seru Lau-ma, "kalau dalam
sepuluh jurus aku tak dapat merubuhkan engkau, engkau
boleh bebas!" "Ah . .. , " Huru Hara mendesah.
"Lekas bersiap!" bentak Lau-ma. Kemudian ia mulai
membuka serangan. Gayanya lemah gemulai seperti tak bertenaga ketika
sepasang tangan Lau-ma menari-nari mengarah kepada
Huru Hara. Tetapi ternyata Huru Hara terteliak kaget ketika
ia merasa keduabelas jalandarah tubuhnya yang penting
seperti dibayangi oleh jari jemari wanita itu.
Beberapa tokoh yang berada ditempat itu terkejut
menyaksikan permainan yang aneh dari wanita yang
disebut Lau-ma. Tetapi tiada seorang pun yang tahu
ilmusilat apakah yang dimainkan Lau-ma.
"Sin-ci-kui-ing!" tiba2 salah seorang yang datang bersama
Su Hong Liang, yalah seorang lelaki setengah tua yang
bermata tajam, berseru tertahan.
Sin-ci-kui-ing artinya Bayangan-jari- setan. Sebuah
ilmusilat yang hampir sudah tak ada lagi dalam dunia
persilatan. Crek, crek . . . . dua buah jalandarah pada bahu dan
pinggang Huru Hara tertutuk sehing Huru Hara terhuyung.
Tetapi Lau-ma sendiri juga mengerut dahi.
Walaupun tusukan jarinya dapat mangenai jalandarah
Pedang Angin Berbisik 11 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Tujuh Pedang Tiga Ruyung 10
gadis itu dengan seorang anggauta Hong-hian-hwa.
Gadis anggauta Bunga Penghibur itu tak lain adalah Ah
Ling. Dia menjadi wanita menghibur khusus untuk
panglima Taras. Karena pandai merayu, Taras sangat
menyayanginya sekali. In Hong dan Han Bi Ing terkejut dalam pertemuan
dengan Ah Ling. Mereka tak sangka kalau gadis yang masih
muda dan cantik rela mengorbankan diri untuk menjadi
pemuas nafsu orang Boan. "Memang pengorbanan itu besar sekali harganya," kata
Ah Ling," jangankan hanya kehormatan bahkan jiwa dan
raga harus kita korbankan demi menyelamatkan rakyat."
"Taci Ling, engkau benar2 seorang mustika nya
mustika," dengan penuh haru Han Bi Ing memegang erat2
kedua tangan Ah Ling. "Tidak, nona Han," kata Ah Ling, "aku hanyalah sebutir
pasir di padang pasir yang tak berharga. Diriku sudah
cemar ...." "Tetapi batinmu masih suci bagai seorang bidadari
cici........." cepat Han Bi Ing menduka.
Tersentuhlah hati In Hong seketika. Ia tak sangka bahwa
di dunia ternyata terdapat gadis2 yang rela berkorban diri
untuk menyelamatkan bangsanya.
"Cici Ling, bagaimana kalau aku ikut jadi anggauta
Hong-hian-hwe ?" In Haag menyelutuk.
"Ah, jangan nona," kata Ah Ling, "kebanyakan
anggauta2 kami adalah gadis2 lemah yang tak punya
kepandaian. Tetapi nona mempunyai kepandaian silat yang
tinggi. Nah, gunakanlah kepandaian nona untuk berjuang
melawan mereka. Tugas untuk menenggelamkan pikiran
dan semangat mereka, serahkan saja kepada kami."
"Cici Ling, engkau seorang gadis yang mulia. Engkau
laksana bunga teratai, walaupun di lumpur, tempatnya
tetapi engkau tetap suci," In Hong memeluk Ah Ling erat2.
"Lalu begaimana cici Ling hendak mengatur rencana ?"
tanya Han Bi Ing. "Begini," kata Ah Ling, "aku masih mempunyai beberapa
kawan dalam markas besar pasukan Ceng. Diantaranya
karena parasnya kurang cantik, ditugaskan menjadi
pelayan. Nah, nanti apabila semua orang berkumpul di
halaman untuk menyaksikan pawai liang-liong, kalian
berdua boleh menunggu di pintu belakang gedung, A Siu
dan A Kim akan keluar menemui. Kalian nanti boleh tukar
pakaian dan masuk kedalam gedung."
"Tetapi aku sudah menyanggupi untuk membantu main
barong-say. Oo, tak apalah, sehabis main barong- say, aku
akan langsung menuju pintu belakang,?" seru In Hong
gembira. Begaulah semua rencana telah berjalan dengan lancar.
Setelah bermain barong- say dan mencaploki kepala
beberapa pembesar Ceng, In Hong terus menuju ke pintubelakang.
Disitu Han Bi Ing pun sudah menunggu. Ketika
Ah Ling keluar, mereka lalu masuk dan kedua gadis itu
menyaru sebagai bujang pelayan.
"Begitutah Kim toako, pengalaman kami selama di
markas itu," Han Bi Ing menutup ceritanya.
"Nih, ambillah,?" tiba2 In Hong berseru seraya
mengeluarkan sebuah bungkusan kepada Kim Yu Ci.
"Apa ini?" Kim Yu Ci heran karena tak sari-sarinya gadis
centil itu memberi sesuatu kepadanya.
"Bukalah. untukmu !" seru In Hong.
Ketika Kim Yu Ci membukanya, ia terbelalak.
"Hai, kuncir siapakah begitu banyak ini ?" serunya.
"Siapa lagi kalu bukan kuncir para pembesar Ceng itu,"
sahut In Hong, "tuh, pakailah kuncirnya si Taras. Mereka
tentu akan takut kepadamu, hi, hi, hi , ...."
Waktu In Hong menceritakan bagaimana ia memperoleh
kuncir itu, Kim Yu Ci dan Han Bi Ing tertawa geli.
"Barong-say doyan kuncir. ha, ha, ha . . ."
Keesokan harinya, Han Bun Liong sudah bangun.
Semangatnya tampak lebih segar. Dia dapat berjalan keluar
dan bercakap- cakap dengan ketiga anakmuda itu.
Waktu Han Bi Ing memperkenalkan Kim Yu Ci, Han
Bun Liong terkejut, "Ah, jika demikian Kim hiantit ini
sudah menjadi menantuku bukan " Ah, terima kasih Thian,
harapanku sekarang sudah ENGKAU kabulkan. Arwah
Kim Thian Cong tentu akan dapat beristirahat dengan
tenteram di alam baka ....."
Han Bi Ing tersipu-sipu merah mukanya. Ketika ia
hendak memberi penjelasan, tiba2 Kim Yu Ci berkata,
"Gak-hu, terimalah hormat kia-say yang bodoh ini ..... "
Kim Yu Ci terus berlutut memberi hormat kepada Han
Bun Liong. Gak-hu artinya mentua dan kia-say adalah
menantu. "Ah, harap hian- say jangan banyak peradatan." kata
Han Bun Liong seraya mengangkat bangun Kim Yu Ci.
Han Bi Ing makin merah mukanya. In Hong melongo.
Tetapi Kim Yu Ci tenang2 saja.
"Eh mengapa dia mau mengaku sebagai menantu ayah.
Apakah ..... ," Han Bi Ing tak dapat melanjutkan renungan
hatinya karena sebagai seorang gadis sudah tentu dia
merasa kikuk sekali. "Hm. mengapa dia mengaku sebagai menantu" Apa dia
suka kepada ci Ing " Apakan dia sudah berunding dengan ci
Ing " Huh "..." pikir In Hong.
Kim Yu Ci mempunyai perhitungan sendiri. Pertanyaan
yang mendadak dari mulut Han Bun Liong itu memang tak
diduga- duga. Sejak bertemu dengan Han Bun Liong dan
tahu akan pribadinya, timbullah rasa hormat dan kagum
Kim Yu Ci kepada jago tua itu.
Sebelumnya belum terpikirkan soal perjodohan ataupun
hubungan asmara dengan Han Bi Ing, namun demi
menghibur hati Han Bun Liong agar jangan sedih, terpaksa
Kim Yu Ci memberi pengakuan begitu. Soal nanti
bagaimana hubungannya dengan Han Bi Ing, itu soal
belakangan. Dapat diatur. Yang penting saat itu dia dapat
menggembirakan hati Han Bun Liong. Ia dapat
membayangkan betapa sengsara keadaan Han Bun Liong
waktu ditawan dalam penjara dibawah tanah itu. Kalau dia
mendengar kabar bahwa paterinya gagal mencari Blogon,
tentulah Han Bun Liong lebih menderita batinnya.
"Ketahuilah hian-say," kata Han Bun Long pula, "satusatunya
beban yang menjadi pemikiranku adalah Bi Ing itu.
Dia putcri tunggalku dan sejak kecil' mamanya sudah
meninggal dunia. Sekarang setelah dia sudah bertemu
dengan hian-say, legahlah hatiku siorang tua ini. Kapan
saja, aku dapat mati dengan meram."
"Ah, terima kasih gak-hu, atas kepercayaan yang gak- hu
berikan kepadaku," kata Kim Yu Ci.
Kemudian Han Bun Liongpun bertanya tentang diri In
Hong. Ketika mendengar In Hong itu cucu dari Tong Kui
Tik, terkejutlah Han Bun Liong, "Ah, kiranya, hian-titli ini
cucu dan Tong-heng. Sudah lama aku tak beijumpa dengan
Tong-heng. Dimanakah dia sekarang ?"
In Hong seperti disayat hatinya mendengar orang
menanyakan kepadanya engkongnya yang tercinta itu. Air
matanyapun berlinang-linang dan mulut serasa berat untuk
berkata. "Ayah, Tong ciangpwe tak kurang suatu apa. Saat ini dia
sedang menyelesaikan suatu urusan adik Hong ini disuruh
ikut aku." 'O. apakah Tong-heng hendak berkunjung kemari ?"
"Kalau tiada aral melintang, mudah-mudahan Tong
ciangpve dapat datang kemari," sahut Han Bi Ing. Ia
mewakili In Hong bicara karena ia tahu perasaan In Hong
saat itu. "Ayah aku ingin sekali mendengar cerita ayah sejak aku
pergi dari kota ini," kata Han Bun Ing yang hendak
mengalihkan pembicaraan. Han Bun Liong menghela napas. "Ah, memang banyak
sekali pengalaman hidup yeng kualami sejak itu," katanya,
"dan kini aku makin mengenal bagaimana sifat manusia itu
yang sebenarnya." Dibawah pimpinan Han Bun Liong, dapatlah rakyat
Thay-goan menahan serangan pasukan Ceng. Han Bun
Liong berwibawa dan ditaati seluruh penduduk. Dia
dikenal seorang jago silat yang sudah mengundurkan diri
dari pergaulan ramai. Dikenal pula sebagai seorang
hartawan yang ramah dan terbuka tangannya.
Dalam kehidupan sehari-hari Han Bun Liong amat
ramah. Tetapi dalam memimpin barisan rakyat dia keras
sekali. Hal itu memang sudah ia ajukan kepada penduduk
yang memintanya memimpin barisan mereka. Perang, lain
dengan pergaulan. Dia harus tegas dan bengis. Barangsiapa
melanggar peraturan harus mau menerima hukuman. Dan
pendudukpun menyetujui karena mereka percaya penuh
kepada Han Bun Liong, Han Bun Liong membentuk beberapa kelompok barisan.
Disamping itu diapun mengerahkan kaum wanita yang tak
mau meninggalkan kota, untuk mengurus soal konsumsi
(makanan). Dalam waktu singkat kota Thay-goan yang ramai
sebagai kota perdagangan, telah berobah menjadi sebuah
benteng pertahanan yang kokoh. Setelah pasukan Ceng
menyerang mereka tentu di sambut dengan hujan
anakpanah. Han Bun Liong tak mau menyerang melainkan
bertahan. Dia akan tunggu sampai musuh lelah dan jemu
baru nanti dia akan melancarkan serangan. Pasukan Ceng
benar2 marah karena tak mampu merebut kota yang hanya
dipertahankan oleh rakyat saja.
Apa yang diperhitungkan Han Bun Liong memang
benar. Karena hampir sebulan lamanya selalu gagal,
mulailah timbul rasa jenuh dan lelah di kalangan prajurit
Ceng, Melihat itu Han Bun Liong segera memanggil beberapa
pemuda. "Tek Sun, engkau bawa pasukanmu keluar dari pintu
kota sebelah barat dan mengitari ke selatan, menyerang
pasukan musuh," kata Han Bun Liong.
"Baik, cong-tui-tiang (pemimpin)," suhut seorang
pemuda bertubuh kekar. Dia bernama Tek Sun dan
memimpin barisan golok yang terdiri dari pemuda2 berani
mati. "Dan engkau, Sun Ki, pimpinlah kelompokmu mengitari
kearah utara dan menyerang rusuk kanan barisan musuh,"
kata Han Bun Long pula. "Baik, cong-thau-leng," sahut seorang pemuda berkulit
hitam. Dia bernama Sun Ki yang diserahi memimpin
barisan panah. "Dan Sou kongcu." kata Han Bun Liong kepada Sou
Kian Hin, putera residen Thay goan yang entah bagaimana
tahu2 ikut masuk menggabung diri kedalam barisan rakyat
yang dipimpin Han Bun Liong," kongcu menjaga kota.
Saruhlah anak buah kongcu untuk membuka pintu kota dan
suruh mereka bersorak-sorai memukul genderang,"
"Baik, Han lopeh," sahut Sou Kian Hin.
"Dan engkau Hwat Seng, begitu pintu kota dibuka,
engkau harus lekas memimpin anakbuahmu untuk
menerjang musuh. Musuh sudah tak bernafsu bertempur
lagi, hancurkanlah mereka."
Hwat Seng pemuda gagah yang diserahi tugas untuk
memimpin barisan berani mati, dengan serentak melakukan
tugasnya. Demikianlah berkat perhitungan yang matang dan tepat
dari Han Bun Liong, pasukan Ceng da pat dihancur
leburkan. Mereka menderita kerusakan besar. Bahkan
pimpinan mereka, jenderal Bo-tai telah tewas dalam
serangan anak panah. Panglima besar Torgun terkejut, Dia bertanya siapakah
yang mimpin barisan rakyat Thay-goan. Ketika mendapat
keterangan, dia terkejut, "Ah," Ah, ternyata dia. Dia
memang kudengar seorang jago silat yang sakti dan
berkepandaian luas. Jika dia mau menyerah dan bekerja
pada kerajaan Ceng, wah, sungguh suatu tenaga yang amat
berharga sekali !'' Memang letak keberhasilan dari kerajaan Ceng
mengalahkan kerajaan Beng adalah karena panglima
Torgun seorang yang dapat menghargai orang pandai dan
jenderal yang pintar. Apabila menghadapi seorang lawan
yang hebat, dia tentu akan berusaha untuk menangkap
hidup orang itu dan dibujuknya supaya mau bekerja pada
kerajaan Ceng. Dengan begitu banyaklah pembesar
kerajaan Beng, baik sipil maupun militer, dapat dibujuk dan
mau bekerja kepada kerajaan Ceng. Torgun memang
seorang yang pandai dan luas pandangannya.
Malam itu Torgun memanggil Ko Cay Seng,
pembantunya yang paling dipercaya untuk diajak berunding
cara bagaimana dapat menangkap Han Bun Liong.
Ko Cay Seng terkejut, "Maksud tayjin hendak
menduduki kota Thay-goan "'
Torgun gelengkan kepala, "Kota Thay-goan tidak berarti.
Setiap saat dapat kuhancurkan. Tetapi yang lebih penting
adalah Han Bun Liong itu."
"O ciangkun hendak menawannya dan membujuknya'
supaya mau bekerja kepada kita ?"
"Begitulah," sahut Torgun, "Han Bun Long benar2
seorang tokoh yang cemerlang. Coba lihat, dengan
kekuatan penduduk yang sebelumnya kebanyakan hanya
pedagang dan kaum buruh dia dapat membentuk suatu
pasukan yang bukan saja mampu mempertahankan kota
Thay-goan, pun bahkan mampu balas menyerang dan
menghancurkan pasukan Ceng. Engkau tentu tahu siapa
jenderal Botai tu. Dia adalah salah seorang janderal
kerajaan Ceng yang gagah dan pandai. Tetapi toh akhirnya
dia harus binasa dalam pertempuran melawan pasukan
rakyat Thaygoan. Bayangkanlah, bagaimana hebatnya
kalau Han Bun Liong kita angkat menjadi pimpinan sebuah
pasukan yang terlatih. Kurasa tiada seorang jenderal
kerajaan Beng yang mampu melawannya."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ko Cay Seng menganguk, Diam2 dia kagum akan
pandangan tajam dari panglima besar kerajaan Ceng itu.
Walaupun seorang Boan, tetapi dia termasuk seorang yang
cerdas. Jika tidak demikian masakan dia dapat memegang
jabatan sebagai panglima besar yang menguasai seluruh
pasukan kerajaan Ceng dan menjadi wali dari raja Bonn
yang masih kecil. "Maka bagaimana cara untuk menangkap Han Bun
Liong, kuserahkan kepadamu, Ko ciang kun," kata
panglima Torgun. Sudah tentu amat berat tugas yang dipikul Ko Cay Seng.
Dia tak mempunyai orang dalam kota Thay goan. Apalagi
sekarang kota itu sedang dikuasai Han Bun Liong dengan
barisan rakyat. Tak mungkin dia dapat masuk kedalam kota
itu. Akhirnya setelah mempelajari kekalahan pasukan Ceng
yang lalu. dia segera menghadap panglima Torgun dan
minta disediakan suatu pasukan besar untuk mengepung
kota Thay-goan. Torgun meluluskan dan menyerahkan pimpinan pasukan
itu kepada Ko Cay Seng. Maka untuk yang kedua kalinya
kota Thay-goan dikepung lagi oleh pasukan Ceng yang
berjumlah besar. Han Bun Liongpun tetap menggunakan siasat bertahan
sampai nanti pasukan Ceng sadah lesu semangatnya
barulah dia melancarkan serangan.
Setelah mempelajari pertempuran yang lalu dan
membuktikan dengan siasat yang dilakukan Han Bun Liong
sekarang, Ko Cay Sengpun mengatur siasat. Dia
perintahkan menarik mundur pasukannya dan suruh
prajurit2 itu bermabuk-mabukan seperti orang yang kesal.
Setelah menerima laporan bahwa pasukan Ceng hanya
tinggal sedikit dan itupun sudah lesu, tiap hari kerjanya
hanya bermabuk- mabukan saja maka Han Bun Liong lalu
memanggil beberapa pemuda kepercayaannya.
Pemuda Sun Ki dan Tek Sun disuruh membawa
pasukan, mengitari masing2 ke selatan dan utara untuk
menyergap musuh dati kanan dan kiri. Sementara putera
residen yakni Sou Kian Hin disuruh membuka pintu kota
dan bersorak-sorak sambi1 memukul genderang. Lalu
pemuda Hwat Seng yang memimpin anakbuah untuk
menerjang dari muka. "Han lopeh," kata Sou Kian Hin, "idinkan kali ini aku
yang membawa pasukan untuk menyerang musuh. Sedang
tugas untuk bersorak-sorak dan memukul genderang
didalam kota suruh saja Hwat Seng."
"Ah, berbahaya kongcu," kata Han Bun Liong. "Perang
bukan suatu permainan tetapi mengadu jiwa"
"Kutahu Han lopeh," jawab Sou Kain Hin, "tetapi aku
ingin mendirikan jasa, dapat menghancurkan pasukan
Ceng." Han Bun Liong mengangguk dalam hati. Ia tahu bahwa
putera residen itu sebenarnya hanya terpengaruh oleh
kemenangan yang lalu. Dia mengira tentulah pasukan Ceng
mudah dihancurkan seperti yang lalu. Oleh karena dia
hendak merebut jasa. Sebenarnya Han Bun Liong tak senang dengan pejuang
yang berjuang karena menginginkan jasa seperti halnya
putera residen itu. Tetapi apa boleh buat. Kalau ditolak
kemungkinan putera residen itu tentu tak senang hati. Suatu
hal yang dapat mengganggu ketenangan dan persatuan.
Dalam saat2 seperti itu, Han Bun Liong tidak menghendaki
perpecahan. Baiklah kalau kongcu menghendaki begitu. Akhirnya
terpaksa ia meluluskan. Ia minta agar kongcu itu
didampingi oleh pengawalnya yang sakti. Begitu pula
jangan gegabah menyusup masuk kedaerah musuh,
"Kongcu," kata Han Bun Liong, "apabila musuh sudah
kalah dan lari, janganlah kongcu terlalu mendesak dan
mengejar mereka. Itu berbahaya. Harap kongcu
memperhatikan pesanku ini."
Demikian penyerangan telah dimulai sesuai dengan
rencana. Pihak pasukan Ceng telah menderita kerusakan
dan mundur dengan kacau balau.
Sou Kian Hin yang memimpin barisan yang menyerang
di muka, merasa gembira sekali. Ia hendak membuat
kejutan dengan menghancurkan seluruh pasukan Ceng.
Maka ketika pasukan Ceng mundur dalam keadaan kacau
balau, dia terus perintahkan anakbuahnya untuk mengejar
dan menghancurkannya. Pengejaran pasukan Ceng itu berlangsung sampai 10 li,
suatu jarak yang cukup panjang. Setelah berhasil
mengobrak abrik sisa pasukan Ceng, Sou Kian Hin menarik
pulang pasukannya. Dia berkuda di depan sendiri, diapit
oleh dua orang pengawal pribadinya. Anakbuah
pasukannya mengiring di belakang dengan bernyanyi dan
bersorak-sorai gembira. Baru tiga li jauhnya, ketika tiba disebuah tikung jalan
yang menjadi mulut sebuah hutan, tiba2 Sou Kian Hin
terkejut ketika di sebelah depan telah menghadang seorang
sasterawan setengah tua. Sasterawan setengah tua itu
berpakaian serba putih dan tengah berkipas- kipas.
"Hai, siapa engkau," tegak Sou Kian Hin serasa
memerintahkan berhenti. "Aku hendak menghaturkan selamat atas kemenangan
kongcu ," jawab sasterawan setengah tua itu dengan
tersenyum simpul, "bukankah kongcu ini Sou kongcu
putera dad Sou tihu kota Thaygoan?"
Berhadapan dengan seorang sasterawan setengah tua,
Sou Kian Hin tak curiga. Apalagi jelas sasterawan itu
hendak menghaturkan selamat kepadanya. Maka diapun
menyahut dengan tertawa, "Ah, mengapa paman repot2
begitu?" "Tetapi kongcu," kata sasterawan itu, "ini memang
benar2 suatu hal yang menggembirakan hatiku sehingga
begitu mendengar berita kemenangan kongcu, serentak
keluarlah buah pikiranku yang kutuangkan dalam syair ini.
Kuharap kongcu tak menampik persembahan syair dari
seorang sasterawan yang hina seperti diriku."
"Ah, harap lopeh jangan berkata begitu," kata Sou Kian
Hin. Sasterawan itu maju menghampiri dan menghaturkan
segulung kertas. Dan Sou Kian Hinpun segera ulurkan
tangan menyambutinya. "Uh . . . . , tiba2 Sou Kian Hin menjerit kaget ketika
tahu2 tangannya dicengkeram dan di tarik oleh sasterawan
itu. Karena tak menduga-duga dan karena pergelangan
tangannya dicengkeram begitu keras sehingga tenaganya
merana, Sou Kian Hin tak dapat mempertahankan diri lagi
dan melorot jatuh dari kudanya.
Sudah tentu kedua pengawalnya terkejut bukan main.
Serempak kedua orang itu mencabut pedang dan terus
hendak menerjang. "Berhenti!" bentak sasterawan, "berani maju selangkah
lagi, kongcu kalian tentu akan kubunuh," serunya seraya
mengangkat tangan kini kearah kepala Sou Kian Hin.
Kedua pengawal itu tak berdaya lagi.
"Hai, siapa engkau! Lepaskan Sou kongcu!" anakbuah
pasukan Sou Kian Hin berseru dan serempak maju.
"Berhenti!" kembali sasterawan itu menghardik dengan
nyaring, "kalau kalian berani maju, kongcu ini tentu akan
kuhancurkan benaknya."
Sekalian anakbuah tak berani maju. Mereka tak
menginginkan patera residen itu mati.
"Nah, kalian mau menyerah atau minta mati?" seru
sasterawan pula. "Apa katamu?" teriak para anakbuah Sou Kian Hin.
"Hanya dua jalan yang dapat kalian pilih. Menyerah atau
mati!" "Hm, jangan sombong, sasterawan. Kami tak
bermusuhan dengan engkau, mengapa engkau berani
menganiaya kongcu." "Kalian memang tak bermusuhan dengan aku, tetapi aku
yang wajib memberantas kalian." ' Siapa engkau ini?"
"Aku adalah seorang jenderal pasukan Ceng yang
ditugaskan untuk menghancurkan kota Thay roan......... ."
"Kentut!" teriak pengawal, "engkau seorang diri berani
buka bacot hendak menghancurkan kota Thay-goan" Ha,
ha, ha, ha .. .. " "Sekali lagi kuulang," seru sasterawan tak menghiraukan
ejekan orang, "kalian mau menyerah atau mati?"
"Hm, kalau menyerah coba bagaimana?"
"Kalau menyerah, kalian semua akan dibebas kan dari
kesalahan menentang pasukan Ceng, bahkan kalau mau
akan diterima menjadi prajurit Ceng."
"Hmm," dengus pengawal itu, "kalau minta mati saja?"
"Segera kalian akan mati dalam beberapa kejab saja. Tak
percaya?" seru sasterawan, "lihatlah di atas batu karang
kanan kiri jalan ini .... "
Serentak sekalian anakbuah Sou Kian Hin memandang
arah yang ditunjuk. Mereka terkejut. Ternyata diatas batu
karang yang menggunduk di kanan kini jalan, tampak
beratus-ratus prajurit Ceng dengan busur terentang di
tangan. Mereka siap membidikkan anakpanah selekas
mendapat perintah dari sasterawan itu.
"Nah, begitu aku melambaikan tangan," kata sasterawan
itu yang bukan lain adalah Ko Cay Seng, "maka beratusratus
batang panah segera akan menghujani kalian. Coba
bayangkanlah, apa kalian mampu hidup?"
Tergetar hati sekalian anakbuah. Maklum, mereka bukan
prajurit melainkan rakyat biasa. Menghadapi saat seperti itu
sudah tentu gentarlah hati mereka.
"Dan coba kalian melihat ke belakang," seru Ko Cay
Seng pula. Ketika berpaling, mereka melihat di belakang mereka
sudah muncul beratus-ratus prajurit Ceng dengan
merentang busur. "Dan lihatlah apa yang berada di belakangku," kembali
Ko Cay Seng berseru. Dari belakang Ko Cay Seng, muncullah beratus-ratus
prajurit Ceng yang menghunus pedang dan tombak.
"Nah, jelas?" seru Ko Cay Seng, "jika kalian ingin mati,
seketika ini juga aku dapat mengantar jiwa kalian ke
akhirat." "Serang!" terdengar beberapa pemuda yang marah
melihat tingkah ulah Ko Cay Seng. Tetapi mereka segera
menjerit dan rubuh dengan tubuh berhias anakpanah.
"Tuh, lihatlah buktinya." seru Ko Cay Seng,
"barangsiapa betani bergerak, tentu mati bersarang
anakpanah!" "Kalian sudah dikepung dari empat jurusan. Pasukan
kami telah memutuskan hubungan kalian dengan kota
Thay-goan. Bahkan saat ini Thaygoan sedang kami serang.
Sekarang lekas menyerah. Kalau terlambat, aku tak mau
menerima penyerahan kalian lagi!"
Dalam keadaan seperti saat itu tiada lain jalan bagi
anakbuah Sou Kian Hin kecuali hanya menyerah. Memang
mereka sudah membekal tekad untuk mati. Tetapi mereka
mau mati asal dapat membunuh musuh. Sedang saat itu
jelas mereka yang dihadapinya itu hanyalah Ko Cay Seng
seorang. Dan Ko Cay Seng juga memiliki seorang sandera,
putera residen Sou. Akhirnya Sou Kian Hin dan seluruh anak pasukannya
ditawan. Ketika Ko Cay Seng membawa Sou Kian Hin
menghadap panglima Torgun, panglima terkejut.
"Buat apa ciangkun membawa pemuda itu kemari ?"
tegur Torgun. "Tayjin, pemuda itu adalah putera Sou tihu kepala kota
Thay-goan," kata Ko Cay Seng, "apabila dia mau
menyadari dan bekerja pada kita, kurasa mudahlah kita
merebut Thay-goan." Sejenak panglima Torgun menatap Ko Cay Seng dan
dalam tatapan pandang mata yang berlangsung dalam
waktu singkat, panglima besar kerajaan Ceng itu segera
dapat menangkap maksud Ko Cay Seng.
"Baik," kata panglima Torgun. Ia turun dari kursi,
membuka tali pengikat tangan Sou Kian Hin dan
menggandeng pemuda itu diajak duduk disampingnya. Ia
menuang arak dan diberikan, "Ah, maaf, Sou kongcu tentu
manderita kejut ...."
Sou Kian Hin terkejut sekali atas perlakuan dan sikap
panglima Ceng itu. Ia tak kira kalau girinya akan disambut
dengan perlakuan yang begitu mengindahkan. Tergopohgopoh
dia menghaturkan terima kasih.
''Kongcu," kata Torgun setelah selesai minum arak,
"srbenarnya yang kami musuhi adalah raja Beng dan
mentri2 keraton yang korup dan tak becus mengurus negara
itu. Kami sebenarnya bermaksud baik untuk membantu
rakyat agar dapat hidup tenang dan sejahtera dam bebas
dari gangguan para prmbesar."
Sou Kiam Hin hanya mengangguk.
"Maka heranlah aku kalau rakyat Thay-goan malah
mati-matian melawan pasukan Ceng."
"Tetapi bukankah pasukan ciangkun itu hendak
menjajah negara kami ?" tanya Sou Kian Hin.
"Ah, tidak kongcu," sahut Torgun, "kata2 menjajah itu
terlampau berat. Kami hanya ingin mengatur dan
menertibkan kerajaan Beng yang sudah rapuh. Banyak
sekali mentri dan jenderal dari kerajaan Beng yang sadar
dan mau mengabungkan diri kepada kami. Kami terima
mereka dengan penuh kegembiraan dan menganggap
mereka seperti saudara sendiri. Coba tanyakanlah pada Ko
Cay Seng ciangkun, bagaimana perlakuan kerajaan Ceng
kepadanya." "Kongcu, walaupun aku seorang Han tetapi aku
mendapat kepercayaan penuh dari baginda Ceng dan
panglima besar Torgun tayjin ini. Tidak ada perbedaan
antara jenderal Beng yang menakluk dengan jenderal Ceng.
Sama-sama mendapat panghargaan dan perlakuan yang
Iayak."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sou Kian Hin mulai tergerak hatinya. Ia tak sangka
bahwa panglima besar kerajaan Ceng begitu ramah dan
baik. "Kiranya Torgun tay-ciangkun tentu tak keberatan untuk
mengangkat engkau sebagai residen Thay-goan apabila
engkau mau membantu kerajaan Ceng merebut kota itu dari
tangan kaum pemberontak," kata Ko Cay Seng pula.
Sou Kan Hin terkejut. Ia mengalihkan pandang kepada
Tongun. Tampak panglima besar itu mengangguk dan
tersenyum kepadanya. "Ah, budi kebaikan tayjin berdua, sungguh membuat
diriku kecil sekali," kata Sou Kian Hin "memang apa yang
Ko tayjin Katakan tadi benar. Mentri2 kerajaan Beng hanya
main korup dan menguasai pemerintahan, Rakyat sudah
cukup menderita. Kita harus berusaha untuk
mengembalikan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, apakah
artinya seorang seperti diriku ini ?"
"Kongcu, setiap orang itu tentu berguna. Apalagi kongcu
seorang putera residen, Kongcu tentu dapat melanjutkan
memegang jabatan itu." kata Ko Cay Seng.
"Jabatan residen, bukan jabatan kecil tetapi suatu
kedudukan yang tinggi. Jarang orang mempunyai
kesempatan untuk menduduki jabatan itu.
Apalagi kalau kongcu setya membantu kerajaan Ceng,
ada kemungkinan dapat dinaikkan pangkat menjadi To-tok
(gubernur)," kata Ko Cay Seng pula,
"Ah, aku benar2 tak berani memimpikan hal itu.
Kesemuanya itu kuharap tayjin suka memberi bantuan dan
bimbingan kepadaku."
"Baik, kongcu, jangan kuatir."
"Lalu apakah yang dapat kukerjakan sekarang ?" tanya
Sou Kan Hin. "Aku punya sabuah rencana. Asal kongcu mau
melakukan, kota Thay-goan tentu dapat kita rebut."
"O, silakan tayjin mengatakan."
"Rencanaku itu disebut siasat Gok-ji-ki."
"Gok-ji ki ...... "
-oo0dw0oo- JILID 26 Musuh dalam selimut. Ko Cay Seng sudah dapat menduga bahwa putera
residen Thay-goan itu tentu mau bekerja kepada pemerintah
Ceng. Sebagai seorang yang sudah banyak makan asam,
garam dalam pergaulan, dengan cepat Ko Cay Seng sudah
dapat menilai watak dan hati orang. Dia tahu bahwa Sou
Kian Hin itu seorang pemuda yang tak punya pendirian.
Seorang putera residen yang biasa bermanja dalam
kesenangan. "Ya, Gok-ji-ki," katanya menjawab pertanyaan Sou Kian
Hin, "tahukah kongcu apa arti Gok-ji-ki itu?"
"Harap tayjin suka menjelaskan."
"Gok-ji-ki artinya siasat "menyiksa diri". Dalam
peperangan sering dilakukan siasat semacam itu. Yalah
seorang harus dilukai anggauta tubuhnya agar kembali
kedalam induk pasukannya. Atau kalau dia musuh, agar dia
menyeberang ikut pada musuhnya. Dengan begitu fihak
yang menerima orang itu tentu akan percaya kalau orang
itu benar2 mau menyerah dan takluk. Pada hal dia tetap
setia kepada fihaknya sendiri. Didalam pasukan musuh dia
akan menjadi musuh dalam selimut untuk menghancurkan
musuh dari dalam," Ko Cay Seng memberi penjelasan
"0, ya, aku tahu sekaarang. Maksud tayjin, aku akan
menyandang luka2 dan kembali kedalam kota Thay-goan
lagi . . .. " "Kongcu sungguh cerdas sekali," seru Ko Cay Seng
memuji, "memang begitulah yang kumaksudkan," nanti
dalam kota Thay-goan, kongcu boleh mengadakan gerakan,
membentuk kawan2 untuk merintangi pekerjaan anakbuah
Han Bun Liong, memata-matai dan menghasut rakyat
supaya memberontak terhadap Han Bun Liong. Sanggupkah
kongcu melakukan tugas itu?"
"Tetapi . . . " Sou Klan Hin kerutkan dahi.
"Jangan kuatir, kongcu," cepat Ko Cay Seng
menyanggapi, "cukuplah kalau kongcu membuat luka
ringan. Dan kongcu boleh membawa beberapa anakbuah
kongcu yang setya kepada kongcu untuk pura2 meloloskan
diri dari tawanan disini. Nanti kamipun pura2 akan
melakukan pengejaran kepada kongcu."
"Baik, jika begitu." kata Sou Kian Hin, "kapan
dilaksanakan ?" "Malam nanti." Setelah mencapai persetujuan maka Ko Cay Seng lalu
membawa Sou Kian Hin keluar. Sebelum meninggalkan
tempat itu, panglima besar Torgun memberi pesan,
"Kongcu, apabila kongcu benar2 dapat menyerahkan Han
Bun Liong dan kota Thay goan, kongcu akan kuangkat
sebagai residen kota itu."
Sou Klan Hin menghaturkan terima kasih.
"Lihatlah kongcu, betapa besar perhatian panglima
kepadamu. Dia adalah panglima besar yang menguasai
seluruh pasukan Ceng dan menjadi wali seri baginda raja
Ceng yang masih kecil. Kalau engkau mendapat
kepercayaannya, tentu kelak engkau dapat mencapai
pangkat yang lebih tinggi bagi. Percayalah kongcu, bahwa
tak mungkin kerajaan Beng menang melawan pasukan
Ceng. Dan jelas bahwa yang akan menguasai tanah kita ini
adalah kerajaan Ceng. Kalau sekarang kau tak berusaha
mencari kedudukan, kelak kalau negara sudah aman, tentu
sukar memperoleh kesempatan sebagus itu lagi," kata Ko
Cay Seng di tengah perjalanan.
Malam itu Sou Kian Hin mengumpulkan anak buahnya
untuk berunding. "Daripada menjadi tawanan toh juga tentu akan
dihukum mati, lebih baik kita nekad meloloskan diri," kata
Sou Kian Hin dengan garang.
"Tetapi kongcu," kata salah seorang pemuda, "kita tak
mempunyai senjata. Bagaimana mungkin kita dapat
melawan apabila mereka melakukan pengejaran?"
'Yang penting aku hendak minta kesediaan saudara2
dulu. Apakah saudara2 berani menghadapi bahaya dan
menanggung segala resiko apabila kita meloloskan diri?"
tanya Sou Kian Hin. "Tentu," seru beberapa pemuda, "kita berani masuk
menjadi anakbuah pasukan itu, tak lain karena hendak
mempertahankan kota kita dari serangan musuh. Dan kita
tahu bahwa resiko seorang prajurit itu kalau tak menang
tentu kalah. Kalau tak hidup tentu mati."
"Bagus," seru Sou Kian Hin. "sekarang mari kita atur
siasat. Aku akan pura2 pingsan dan kalian harus berteriakteriak
memanggil penjaga. Begitu penjaga masuk, ringkus
dan lucutilah mereka. Kemudian kita menyerbu ke gudang
senjata dan terus meloloskan diri."
Pemuda2 itu masih meragu tetapi segera Sou Kian Hin
menjerit, "Aduhhhh, perutku ...." dia terus rubuh.
Pemuda2 itu terkejut. Ada yang berteriak memanggil
penjaga. Dua orang penjaga bersenjata pedang masuk.
Tetapi pada saat itu juga, kedua penjaga itu dapat dihantam
rubuh dan diringkus. Setelah melucuti senjata, Sou Kian
Hin menuju ke sebuah ruangan. Dengan menyaru sebagai
penjaga tadi, dia seorang diri menghampiri rumah itu.
"Kenapa?" tegur penjaga rumah yang bukan lain
merupakan gudang penyimpan senjaga pasukan Ceng.
"Ada perintah dari ciangkun," kata Sou Klan Hin, "nih,
terimalah .. . . duk ..... " sekali pukul penjaga itupun rubuh.
Sou Kian Hin memberi isyarat kepada anakbuahnya
untuk membuka gudang senjata itu dan mengambil senjata.
"Mari kita lobos dari pintu belakang," kata Sou Kian
Hut. Kebetulan penjagaan di belakang tidak begitu kuat.
Hanya ada dua orang penjaga yang sedang ngantuk.
Keduanya dengan mudah dapat dihantam pingsan.
Sebenatnya hal itu memang sudah diatur oleh Ko Cay Seng
untuk memudahkan jalan lari bagi Sou Kian Hin tetapi
jangan sampai kentara. Setelah lolos dari markas, malam itu Sou Kian Hin terus
melanjutkan perjalanan kembali ke kota Thay-goan. Tetapi
sepasukan tentara Ceng mengejarnya.
"Kita tempur saja mereka !" kata Sun Kian Hin.
Pertempuran segera terjadi. Entah bagaimana tampaknya
prajurit2 Ceng itu lamas dan banyak yang menderita luka,
bahkan ada yang mati. Tetapi fihak anakbuah Sou Kian
Hin juga banyak terluka dan ada yang mati juga.
Dalam pertempuran seru itu tiba2, bahu Sou Kian Hin
ditikam seorang 'prajurit Ceng dari belakang. Sou Kian Hin
menjerit kesakitan tetapi pada saat itu telinganya
mendengar suara seperti ngiang nyamuk, "Maaf, kongcu,
lekas sabet aku dengan pedang . ."
Sou Kian Hin terkejut. Cepat ia menyabat prajurit itu.
Prajurit itupun menjerit kesakitan dan terus melarikan diri.
Dengan semangat yang menyala-nyala akhirnya dapatlah
anakbuah Sou Kian Hin memukul mundur pasukan Cang
yang, mengejar mereka. Dengan membawa luka dan
korban, pasukan Ceng itupun terpaksa mundur.
Keesokan harinya gemparlah kota Thay-goan ketika
menyambut kedatangan Sou Kian Hin dengan sisa
anakbuahnya, Penduduk mengelu-elu mereka sebagai
pahlawan. Pada malam harinya, Sou Kian Hin diterima dalam
sebuah perjamuan oleh Han Bun Liong. Atas permintaan
Han Bun Liong, Sou Kian Hin menceritakan .
pengalamannya salama ditangkap.
"Mereka memperlakukan kami dengan ramah tamah dan
baik sekali," kata putera residen itu, 'kemudian mereka
membujuk kami supaya mau bekerja kepada kerajaan Ceng
dengan janji akan mendapat pangkat dan anugerah. Untuk
siasat, kami pura2 menerima. Pada malam itu ketika
penjagaan lengah, kami segera berontak. Membunuh
penjaga dan membuka gudang senjata lalu melarikan diri.
Mereka mengejar. Kamipun melawan dan berhasil
memukul mundur musuh. Dalam pertempuran itu memang
banyak saudara2 kita yang gugur dan terluka termasuk aku
..... " demikian Sou Kian Hin mengakhiri keterangannya.
Karena bahu kiri pemuda itu memang terluka dan
dibalut dengan kain putih, semua orang pun percaya akan
keterangannya. Han Bun Liong menghaturkan secawan
arak untuk menghormati keberanian Sou Kian Hin.
Kota Thay-goan masih dikepung musuh. Musuh hanya
mengepung dan tak melakukan serangan.
Malam itu Han Bun Long masih duduk seorang diri
sebagaimana kebiasaannya setiap malam. Tiap malam dia
tidur sampai jauh malam. Karena dia selalu keliling
mengadakan inspeksi pada pos2 penjagaan kota. Setelah
kembali ke markas, ia masih memikirkan rencana2 lain,
dari soal pertahanan kota sampai pada kehidupan
penduduk. Walaupun sedang perang menghadapi musuh,
dia menghendaki agar kehidupan rakyat masih berlangsung
seperti biasa. Kecuali perdagangan, semua lapangan kerja
rakyat supaya tetap barjalan. Terutama lapangan pangan,
rakyat dtanjurkan untuk tetap mengerjakan sawah, ladang
dan kebun. "Kita akan menghadapi peperangan yang lama," katanya
kepada penduduk, "perang bukan hanya tergantung dari
persenjataan dan jumlah pasukan tetapi juga daya
ketahanan. Daya ketahanan itu baru dapat berlangsung
kokoh apabila persediaan makanan cukup dan peningkatan
kesadaran dibina. Perang harus mempunyai dua bekal.
Pikiran dan perut. Pikiran yalah kesadaran kita mengapa
dan apa tujuan kita perang. Kesadaran tinggi, semangat
berperang meningkat. Perut, yalah makanan. Perut yang
terjamin, akan menimbulkan tenaga dan kekuatan
berperang. Jika salah satu dari kedua hal itu kurang maka
kita tentu kalah." Beberapa hari sejak kembalinya Sou Kian Hin, ada
beberapa peristiwa aneh yang terjadi dalam kota Thaygoan.
Pertama, rakyat datang melaporkan bahwa ternak
mereka banyak yang mati. Kemudian beberapa hari lagi,
ada yang melapor kalau sawah mereka telah hancur. Padi
yang sudah hampir berbuah, dicabuti orang. Lalu ada yang
melapor bahwa keluarga dan tetangganya terserang
penyakit perut secara mendadak, bahkan ada yang mati.
Han Bun Liong terkejut. Tiap malam ia rajin meronda
tetapi selama ini belum dapat menemukan sesuatu yang
mencurigakan. Malam itu ketika Han Bun Liong sedang duduk di
markas, tiba2 masuklah penjaga mengiring beberapa orang.
"Han thau-leng, celaka!" seru orang itu dengan gugup,
"gudang beras kita telah dimakan api!"
"Apa?" serentak Han Bun Liong loncat bangun.
"Gudang beras kita telah terbakar?" ulang orang nu.
Han Bun Liong cepat lari menuju ke gudang beras. Saat
itu rakyat sedang sibuk memadamkan api yang mengganas
buas. Hanya sebagian kecil dari persediaan beras yang
dapat diselamatkan. Sudah tentu hal itu menimbulkan kegemparan besar.
Penduduk mulai was2. Persediaan makanan hanya tinggal
dua tiga hari saja. Untuk mencari bantuan makanan ke lain
daerah, harus menerobos kepungan pasukan Ceng.
Malam itu Han Bun Liong mengadakan rapat.
"Saudara2, saat ini kita sedang menghadapi bahaya,"
katanya, "persediaan makanan kita hanya tinggal dua tiga
hari. Kita harus berusaha untuk keluar dari kesulitan
Kuminta saudara memberi pandangan."
"Satu-satunya jalan kita harus berani menerobos
kepungan musuh," kata Sou Kian Hin.
"Benar, benar, kami setuju dengan pendapat Sou kongcu.
Kalau kita diam saja, kita tentu mati kelaparan. Sejak hari
ini kita hanya mendapat jatah makanan bubur. Lebih baik
sebelum mati kita berpantang ajal. Dari pada mati
kelaparan lebih baik kita serbu saja," seru beberapa
pimpinan barisan.
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnya Han Bun Liong menyadari bahwa jika
melakukan peperangan secara terbuka, fihaknya tentu
kalah. Pasukan Ceng itu sudah terlatih baik, sedang
fihaknya hanya lasykar rakyat yang tidak mendapat didikan
perang. "Tidak," ia menolak usul Sou Kian Hin, "kita harus tetap
bertahan saja." "Tetapi bagaimana dengan persediaan ransum kita ?"
tanya Sou Kian Hin. "Kita hemat. Kita tak makan nasi tetapi makan bubur
saja. Kurasa keadaan musuh sudah mulai menunjukkan
kelesuan. Beberapa hari lagi baru kita buka serangan," kata
Han Bun Liong. Rakyat mulai gelisah. Maklum mereka orang kota yang
biasa hidup kecukupan. Sudah tentu mereka tak tahan
menderita. Sebenarnya bukan Han Bun Liong tak berusaha. Dia
sudah berusaha mengirim beberapa orang jago silat untuk
mengadakan hubungan dengan beberapa daerah agar dapat
memperoleh bantuan ransum. Tetapi sampai hari itu belum
juga ada yang kembali. Sudah tentu Han Bun Liong heran
tetapi tak mengerti apa sebenarnya,
Dua hari kemudian, pendudukpun berbondong- bandong
mendatangi markas dan minta supaya Han Bun Liong
segera bertindak, Mereka sudah kelaparan. Bahkan ada
yang melapor bahwa wabah penyakit perut yang meminta
jiwa, mulai makin menjalar luas.
Han Bun Long makan gelisah. Kalau dia memutuskan
untuk membuka pintu kota dan menyerbu musuh, jelas
tentu akan mengantar jiwa. Saat itu semangat dan
kesehatan rakyat sudah menutun. Jika beberapa hari yang
lalu ia mengambil tindakan, memang masih ada harapan
untuk berhasil. Pun Han Bun Liong sendiri juga heran mengapa dalam
waktu akhir2 ini semangatnya terasa lemah, semangatnya
kendor, tubuhnyapun terasa lemas. Dia tahu bahwa hal itu
bukan disebabkan karena kelaparan. Tetapi ada sesuatu
sebab yang la tak mengerti.
Rupanya rakyat sudah tak dapat bersabar lagi! Melihat
sikap Han Bun Liong yang masih segan2, meledaklah teriak
sorak dari rakyat, "Han Bun Liong, mundurlah. Kami tak
menghendaki engkau memimpin kami !"
Han Bun Long terkejut, Satmur hidup baru kali itu dia
menderita pukulan batin yang menghancurkan
semangatnya. Kalau musuh berkata begitu, itu sih dapat
dimengerti. Tetapi yang meneriakkan kata2 itu adalah
rakyat kota Thay-goan. Rakyat yang selama ini menjunjung
dan menghormatinya. Rakyat yang selalu diperhatikan
kepentingannya, bahkan harta benda Han Bun Liong tak
sedikit yang disumbangkan untuk mereka. Mengapa dalam
menghadapi saat menderita seperti itu, rakyat lalu
mencampakkannya seperti seekor anjing"
"Baik, aku akan mengundurkan diri. Tetapi siapakah
yang akan melanjutkan perjuangan mempertahankan kota
itu ?" serunya. "Kami sudah mengangkat Sou kongcu menjadi pimpinan
kami. Dan nanti malam kami akan membuka pintu untuk
menyerbu musuh !" terteriak orang itu,
Han Bun Liong terkejut. Dia sih rela menyerahkau
pimpinan kepada Sou Kian Hin. Tetapi tindakan rakyat
hendak menyerbu musuh itu sungguh berbahaya sekali.
"Jangan bertindak begitu !" serunya.
"Terima kasih Han sianseng. Tetapi tuan sudah bukan
pimpinan kami. Kami sudah mempunyai pimpinan baru !"
"Mengapa engkau mencegah ?" teriak sekelompok
pemuda. "Kuminta kalian tetap mempertahankan kota ini saja.
Biarlah aku yang akan menyerbu mereka !"
"Engkau sendiri ?"
"Dengan beberapa orang yang mau ikut aku.
"Bukankah semakin banyak yang melakukan serbuan,
semakin besar kekuatan kita ?"
"Tidak," seru Han Bun Liong, "kalian adalah rakyat
biasa dan musuh adalah prajurit2 yang telah mendapat
didikan militer. Bertempur dengan mereka berarti seperti
anai-anai yang menyerbu api."
Begltulah malam itu Han Bun Liong telah
mengumpulkan beberapa sahabat kaum persilatan untuk
mengadakan penyerbuan ke dalam pasukan musuh.
"Rahasiakan tindakanku ini dan pertahankan kota.
Jangan membuat suatu gerakan agar musuh jangan curiga,"
pesan Han Bun Liong pada saat hendak menyerbu.
Pada saat Han Ban Liong dan kawan2 sedang menuju ke
tempat pasukan musuh, tiba2 ia melthat sebatang
anakpanah api meluncur kearah kubu barisan musuh. Ia
terkejut. Jelas panah berapi itu berasal dari dalam kota
Tahy-goan, Tetapi Han Bun Liong tak sempat meneliti lebih lanjut
karena saat itu disebelah muka tampak beratus-ratus obor
siap menanti. Han Bun Long hanya ditemani oleh empat orang. Tiga
sahabat jago silat dan yang seorang adalah Un Gi,
bujangnya yang tua. Selain itu ada pula lebih kurang
duapuluh rakyat yang ikut. Mereka adalah rakyat yang
tetap setya kepada Han Bun Long.
Han Bun Liong memimpin kelompoknya untuk maju
menyerbu. Tetapi alangkah kejutnya ketika tiba2 ratusan
obor itu padam dan lenyap.
"Celaka, kita tertipu," seru Han Bun Liong yang segera
memerintahkan mundur. Ternyata dia benar. Di belakang tampak be ratus2 obor.
Han Bun Liong bersiap-siap maju tetapi obor2 itu lenyap.
Dan kini dari sebelah barat muncul beratus obor. Ketika
hendak dihampiri obor2 itupun lenyap, berganti muncul di
sebelah timur. Demikian beratus-ratus obor itu bergantian
muncul lenyap, di empat penjuru.
"Ah, kita terjebak," keluh Han Bun Liong, "musuh sudah
mengetahui tindakanku keluar menyerang ini ...."
"J ka begitu, kita masuk kedalam kota saja, loya," kata
bung Ui Gi. Oleh karena beberapa kawan menyetujui, terpaksa Han
Bun Long meluluskan. Tetapi alangkah kejutnya ketika
pintu kota ditutup dan dari atas pintu muncul Sou Kian
Hin. "Sou kongcu, bukalah pintu," seru kawan Han Bun
Liong yang bernama Gui Tik.
"Engkau ikut paman Han menyerbu musuh, mengapa
belum bertempur sudah hendak masuk kedalam kota lagi ?"
seru Sou Kian Hin. "Kita terjebak musuh dan dikepung dari empat jurusan !"
"Itu sudah lumrah," sahut Sou Kian Hirt dengan santai.
"mengapa kalian tak menggunakan siasat juga ?"
"Eh, Sou kongcu, aku tak tahu maksudmu."
"Kami akan mempertahankan kola ini dan kalian yang
menyerbu musuh." "Bantulah dengan anakpasukan lagi, kongcu."
"Tidak bisa," sahut Sau Kian Hin, "kota harus
dipertahankan." "Tetapi......... tetapi ini mengenai keselamatan Han loengbiong
...." "Juga kelamatanmu, bukan " Tetapi beribu ribu rakyat
Thay-goan perlu diselamatkan juga bukan ?"
"Sou kon-cu, apa maksudmu ?"
"Musuh telah mengadakan serangan besar-besarun. Jika
pintu kota dibuka, mereka pasti akan menyerbu masuk."
"Lalu........." seru Gui Tik.
"Berusahalah untuk menahan musuh agar jangan masuk
kedalam kota," seru Sou Kian Hin.
Gui Tik hendak berkata lagi tetapi dicegah Han Bun
Liong, "Sudahlah, saudara Gui, Sou kongcu benar. Kita
harus menahan musuh."
Han Bun Long tenangkan diri sesaat memperhitungkan
kalau menyerbu ke muka tentu akan berhadapan dengan
berlapis- lapis pasukan musuh. Karena jalanan ke muka itu
menuju ke kubu markas pasukan musuh.
"Saudara Gui," katanya sesaat kemudian, "kita pecah
anakbuah kita menjadi dua. Engkau pimpin serangan ke
selatan dan aku menyerang ke utara."
"Tetapi Han lo-enghiong," kata Gui Tik, "kita hanya
membawa duapuluh anakbuah. Kalau dipecah dua, kan
masih sedikit kekuatannya."
"Ini sudah resiko kita, saudara Gui."
"Tetapi kalau San kongcu mau membuka pintu dan
mengeluarkan beberapa kelompok pasukan lagi, kita tentu
lebih kuat." "Jangan mengharapkan hal yang tak mungkin saudara
Gui." "Tetapi lo-enghiong yang pimpinan pertahanan kota
Thay-goan. Mestinya mereka harus tunduk pada perintah
lo- enghiong." "Rakyat sudah tak menghendaki aku. Mereka
mengangkat Sou kongcu menjadi pimpinan."
"Ah, kurasa, dalam peristiwa itu memang tak wajar.
Seperti halnya wabah yang telah membunuh ternak dan
memakan korban beberapa penduduk serta terbakarnya
gudang ransum." "Apa maksud saudara Gui?"
"Rasanya hal itu memang digerakkan oleh tangan kotor
yang hendak menghancurkan kita dari dalam."
Han Bun Liong terkejut. "Lalu siapa yang saudara curigai?"
"Aku curiga pada Sau kongcu . .. . "
"Ah, jangan saudara berprasangka begitu. Apakah
saudara mempunyai bukti?"
"Sebenarnya aku sudah menyelidiki hal itu. Dan tahu
siapa yang membakar gudang. Tetapi ketika orang itu
hendak kutangkap di rumahnya, ternyata dia sudah mati."
"Dibunuh orang?"
"Diracun!" "Ahh . . . . " "Dan aku sendiri beberapa hari yang lain hampir saja
juga mati. Habis makan perutku terasa sakit sekali. Aku
curiga kalau makanan diberi racun. Sisa makanan
kuberikan kepada anjing. Ternyata anjing itu juga mati.
Akhirnya kudapatkan kalau yang memasukkan racun
kedalam hidanganku adalah juru masak. Kupanggil juru
masak itu, dia tak ada. Katanya, malam itu dia pamit
pulang. Kusuruh orang ke rumahnya ternyata dia tak
pulang. Dan sampai kemarin, dia tetap tak kembali di
rumahnya......... " "Ah, tetapi hal itu belum membuktikan bahwa Sou
kongcu yang melakukan," sanggah Han Bun Liong. Dia
memang tak percaya seorang putera residen yang dengan
gagah berani menyerang musuh kemudian ditawan lalu
dapat meloloskan diri dari tawanan, akan berbuat hal
seperti yang dikatakan Gui Tik.
"Saudara2, sekarang marilah kita membuka serangan.
Jika masih selamat, kelak kita akan berjumpa lagi. Tetapi
kalau andaikata binasa, kelak kita bertemu di akhirat," kata
Han Bun Liong dengan nada yang sarat.
Rupanya jago tua itu sudah mantap, akan menyerang
musuh agar musuh jangan sampai menyerang kota. Biarlah
dia gugur asal rakyat Thay goan selamat.
Keduapuluh orang itu dipecah menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama dipimpin Gui Tik, dan menyerang ke
utara. Kelompok kedua dipimpin Han Bun Liong sendiri,
menyerang ke selatan"
Tetapi sebagaimana yang tadi, tiba2 barisan obor di utara
maupun selatan itu lenyap tiba2. Han Bun Liong terkejut.
Ketika berpaling ke belakang, dilihatnya beratus-ratus obor
sudah mengerumuni di muka pintu kota, Han Bun Liong
dan Gui Tik telah dipotong sampai terpisah jauh satu sama
lain. "Ha, ha, ha, Han Bun Liong, Han Bun Liong engkau
sudah tua mengapa masih ngotot seperti anakmuda " Apa
yang hendak engkau cari .... ?" tiba2 terdengar sebuah suara
yang nyaring dari dalam pasukan musuh.
Han Bun Liong terkejut. Sebagai seorang jago silat dia
tahu bahwa orang yang berseru itu memiliki tenaga-dalam
yang kuat sekali. "Hm siapakah engkau ?"
"Aku " Aku ini musuh atau kawan, terganlung pada
anggapanmu. Tetapi aku hanya melihat dan bicara menurut
kenyataan. Bukankah engkau sudah tua " Mengapa engkau
tidak mau menikmati hari tuamu melainkan harus
menyibukkan diri terjun dalam peperangan lagi " Bukankah
beberapa peti harta bendamu sudah engkau ungsikan keluar
daerah ?" Bukan kepalang kejut Han Bun Liong mendengar hal itu.
Beberapa anakbuahnya-pun ikut terkejut. Mereka mengira
selama ini Han Bun Liong seorang hartawan yang jujur dan
murah hati. Segala harta bendanya hampir habis di
sumbangkan dalam perjuangan menentang penjajah Ceng.
"Hm, siapa engkau " Mengapa engkau takut unjuk diri ?"
seru Han Bun Liong. "Yang penting bukan siapa diriku tetapi benar atau
tidaknya yang kukatakan itu."
"Jangan memfitnah!" seru Han Bun Liong.
"Fitnah lebih kejam dari pembunuhan! Fitnah memang
jahat sekali. Tetapi apa yang kukatakan itu bukan fitnah
melainkan kenyataan."
"Ngaco!" bentak Han Bun Liong.
"Baiklah, apakah engkau tak keberatan kalau kukatakan
rahasiamu itu di depan orang banyak?"
Karena sudah terlanjur menginjak pembicaraan soal ini
maka malu hatilah Han Bun Liong apabila tak berani
menerima tantangan orang itu.
Sebenarnya sejak pertama kali bertukar pembicaraan,
Han Bun Liong sudah berusaha untuk mempertajam
penglihatan menembus dalam kegelapan dan mencari orang
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bicara kepadanya itu. Tetapi karena malam gelap dan
di fihak pasukan Ceng terdiri dari beratus- ratus prajurit,
sukar bagi Han Bun Liong untuk menemukan orang itu.
"Hm, jika engkau seorang ksatrya, unjukkan lah siapa
dirimu!" seru Han Bun Liong.
"Nanti engkau tentu akan mengetahui siapa diriku.
Sekarang aku hendak membuka kedokmu dulu. Hai, rakyat
Thay-goan, dengarkanlah kisah nyata siapa sesungguhnya
Han Bun Liong itu. Kalian semua mengagumi dan
menghormatinya sebagai seorang hartawan yang murah
hati tetapi sebenarnya dia adalah seorang manusia berhati
serigala. Harta kekayaannya itu sebenarnya bukan miliknya
tetapi titipan orang. Dan dia tak mau mengembalikan
kepada orang itu lagi. Harta benda itupun bukan milik
orang yang titip kepadanya tetapi milik kerajaan Beng ..... "
"O, harta curian! Harta curian!" teriak beratus-ratus
orang. Yang berteriak itu adalah prajurit2 Ceng sendiri
untuk menyambut pernyataan orang tadi.
"Benar," seru orang itu pula, "ada seorang perwira dari
Lasykar Tani yang dipimpin pemberontak Li Cu Seng.
Ketika Cu Seng berhasil menduduki kotaraja Pak kia,
perwira itu berhasil masuk kedalam keraton dan mengambil
beberapa peti intan permata yang berharga. Barang2 itu
dititipkan kepada Han Bun Liong. Dan orang yang
menitipkan itu sudah mati . .. . "
"Dimana harta karun itu?"
"Kembalikan harta karun itu, Han Bun Liong!"
"Sabar, saudara, sabarlah. Tak mungkin saudara akan
meminta kembali harta karun itu kepadanya, karena .. . "
"Sudah diludaskan!"
"Dihabiskan, dibagi-bagikan secara royal sekali.
"Tiap hari berpesta pora menjamu tamu!" Demikian
teriak beberapa orang. "Salah," seru orang itu pula, "harta karun itu tidak
dihabiskan Han Bun L.ong. Dia sendiri cukup kaya."
"Lalu dimana harta karun itu ?"
"Tanyakan sendiri kepadanya !"
Serentak dari empat penjuru, terdengar suara
menggelagar, "Han Bun Liong, dimanakah harga karun itu
?" Dalam suasana malam sunyi, teriakan beratus-ratus
prajurit Ceng itu menggema dengan nyaring sehingga
rakyat yang berada dalam kota Thay-goan dapat mendengar
jelas. Sepanjang hidup baru pertama kali itu Han Bun Liong
menderita serangan amarah yang begitu hebat. Dia tak
dapat mengendalikan diri lagi. Serentak dengan
menggembor keras, dia terus mainkan pedang maju
menyerang. Tetapi pasukan Ceng yang hendak diserang tentu
mundur. Dan serempak itu pasukan Ceng lain yang sudah
siap di belakang Hun Bun Liong lalu tampil mengejar.
Kalau dikejar akan menghilang dan dari belakang akan
tampil pasukan lain lagi.
Dengan permainan itu, Han Bun Liong benar2 seperti
dipermainkan. Ia sudah membulatkan tekad untuk
mengadu jiwa tetapi yang diajak adu jiwa akan menghilang,
Pancak dari pada luap amarahnya yang tak dapat
dikendalikan lagi terjadi ketika dari atas pintu kota telah
berktbar bendera kerajaan Ceng dan tampak beberapa
perwira Ceng berdiri disitu.
"Han Bun Liong, apa yang engkau cari " Lihatlah, rakyat
Thay-guan sudah gembira menyambut kedatangan pasukan
kerajaan Ceng. Mereka tahu kami datang bukan untuk
menindas tetapi untuk mengembalikan keamanan dan
kesejahteraan" terdengar seorang perwira Ceng berseru.
Han Bun Liong marah. Tetapi yang membuatnya hampir
pingsan karena marah adalah seorang pemuda yang duduk
disamping perwira Ceng itu. Siapa lagi pemuda itu kalau
bukan Sou Kian Hin. "Sou kongcu, engkau ..... "
"Maaf, paman Han. aku hanya menurut suara rakyat
saja, Rakyat sudah keliwat menderita kelaparan dan
kecemasan. Mereka ingin mengenyam kehidupan yang
tenang. Ternyata pasukan Ceng telah datang dengan
membawa pengayoman dan ktsejahteraan bagi rakyat Thaygoan,
Maka kuminta paman Han juga mau masuk ke kota.
Para ciangkun dan pembesar Ceng akan menyambut
kedatangan paman Han dengan rasa hahagia......... ."
"Hm, terima kasih Sou kongcu. Jika mau menakluk pada
kerajaan Ceng, perlu apa aku harus mengorbankan segala
harta benda dan jiwaku " Bukankah dulu2 aku sudah dapat
bekerja kepada mereka ?"
"Ah, paman Han," seru Sou Kian Hin, "keadaan
memaksa kita harus melihat kenyataan. Pandangan kita
terhadap kerajaan Ceng salah. Ternyata mereka baik sekali
kepada kita." "Hm tak ada tuan yang tak baik kepada anjing
peliharaannya. Silakan engkau menjadi anjing peliharaan
orang Ceng, tetapi aku Han Bun Liong, tetap akan menjadi
seorang rakyat Han yang bebas!"
Sudah tentu Sou Kian Hin malu dan marah karena
dikatakan seperti anjing. "Han Bun Liong adalah karena
mengingat engkau seorang tua yang banyak menanam
kebaikan kepada penduduk Thaygoan maka aku masih
bersikap mengbormat kepadamn. Ketahuilah, aku sekarang
yang menjadi residen kota Thay- goan !"
"O, karena itulah maka engkau lalu berhamba kepada
orang Boan " Bagus, silakan saja. Tetapi jangan coba2
membujuk aku untuk menjadi budak Boan !" seru Han Bun
Liong. Keadaan Han Bun Liong saat itu benar2 seperti seekor
harimau yang masuk kota. Dia di kepung dan ditonton oleh
prajurit Ceng dan rakyat kota Thay-goan.
"Saudara2, aku akan menjemput mereka !" katanya
kepada beberapa anakbuahnya. Dia terus mencabut pedang
dan mengamuk. Tetapi tampaknya prajurit2 Ceng yang diserang itu tak
mau melayani dengan sungguh2. Mereka hanya menahan
serangan sambil mundur. Han Bun Liong mengamuk bagai seekor harimau
mencium bau darah. Tetapi kearah mana ia mengamuk,
tentulah barisan musuh yang diamuk itu akan mundur.
Tetapi dari belakang. kanan dan kiri tentu mereka maju
merapat lagi. Dengan demikian, Han Bun Liong tetap
terkepung. Pertempuran berjalan dengan seru sehingga sampai fajar.
Saat itu Han Ban Liong sudah lemas. Peristiwa yang
menyakiti hati, menimbulkan kemarahan besar. Dan karena
semalam suntuk harus bertempur maka tenaganyapun
habis. "Ah, Han Bun Liong seorang lelaki. Daripada hidup
herlumur nista, lebih baik aku mati," saat itu dia berdiri
tegak seraya memandang ke sekeliling. Anakbuahnya sudah
lunglai, rakyat duduk di tanah. Maklum, mereka adalah
rakyat biasa, karena semalam suntuk bertempur, mereka
sudah tak kuat berdiri lagi. Bulat sudah keputusannya untuk
bunuh diri. Tiba2 genderang bertalu riuh dan terdengar bunyi derap
kuda lari mendatangi. Pasukan yang berada di sebelah
depan Han Bun Liong menyisih ke samping dan muncullah
dua orang penunggang kuda. Yang seorang mengenakan
seragam militer yang gagah dan yang seorang adalah
sasterawan setengah tua yang jelas bukan orang Boan.
Sekalian anakpasukan Ceng segera berdiri tegak dan
memberi hormat kepada kedua orang itu.
"Tay- ciangkun, ban-swe !" seru sekalian pasukan. Tayciangkun
artinya panglima besar. Ban-swe artinya
dirgahayu. Kedua penunggang kuda itu berhenti pada jarak lima
meter dari Han Bun Liong. Sasterawan setengah tua turun
dari kudanya. "Han wan-gwe, maaf, Han wan-gwe tentu menderita
kejut," kata sasterawan itu dengan ramah.
"Siapakah anda ?"
"Aku orang she Ko nama Cay Seng."
"Apakah anda juga orang persilatan ?"
"Sebenarnya seorang bun (sasterawan) tetapi saterawan
mogol. Juga seorang persilatan tetapi juga setengah matang.
Bun mogol, Bu setengah matang."
"Hm, lalu apakah engkau bekerja pada kerajaan Boan."
Ko Cay Seng menghela napas, "Dibilang bekerja pada
kerajaan Boan juga boleh, tidak juga boleh. Artinya, aku
bekerja pada kerajaan Boan demi kepentingan rakyat kita."
'Ya, kutahu." "O, apakah Han wan-ghee sudah mengetahui?"
'Sudah," sahut Han Bun Long, "karena memang
bcgitulah jawaban setiap orang yang bekerja pada kerajaan
Boan." Merah muka Ko Cay Seng terkena sentila kata Han Bun
Liong yang tajam itu. Namun dia tetap tenang, Setiap orang
mempunyai pendirian hidup sendiri. Tetapi pendirian itu
harus disesuaikan dengan kenyataan. Itu baru benar."
Han Bun Liong diam saja. "Lalu apa maksud anda menemui aku" Bukankah aku
sudah terkepung dan setiap saat dapat anda tangkap?"
"Ya, memang begitu, Han wan-gwe," kata Ko Cay Seng,
"tetapi apakah Han wan-gwe tak merasakan sesuatu yang
tak wajar?" "Soal apa?" "Selama Han wan-gwe bertempur semalam tadi?"
Han Bun Liong merenung sejenak, "Memang ada
sesuatu yang tak wajar. Setiap kali kuserang pasukan Ceng
tentu mundur dan tak mau balas menyerang."
Ko Cay Song tertawa, "Benar, sebagai seorang jago tua
tentulah Han wan-gwe dapat merasakan hal itu. Tetapi
adakah Han wan-gwe dapat menduga apa sebabnya?"
"Coba engkau bilang."
"Jika mau menangkap atau membunuh Han wan-gwe,
tentulah pasukan Ceng sudah dapat melakukannya dengan
mudah. Tetapi mereka memang dilarang membunuh Han
wan-gwe .. . " "Siapa yang melarang?"
"Panglima besar kerajaan Ceng sendiri."
Han Bun Liong terkesiap, "Mengapa?"
"Karena panglima besar sangat sayang dan menghargai
Han wan- gwe. Han wan-gwe seorang tokoh yang tiada
bandingannya, sayang mendapat tempat yang tidak sesuai
dengan bakat Han wan-gwe. Ada sebuah pepatah yang
mengatakan burung yang bagus harus memilih hinggap di
pohon yang baik . tentulah Han wan-gwe sudah tahu' hal
itu bukan?" "Ko sian-seng," sahut Han Bun Liong, "memang benar
kata-katamu itu. Karena bangsa burung hanya memikirkan
soal kenikmatan saja. Mereka hanya pandai mengkibur
majikannya dengar suaranya yang merdu atau bulunya
yang indah. Bangsa burung tiada gunanya kecuali hanya
untuk menyenangkan hati orang yang memeliharanya."
Ko Cay Seng terkesiap. "Tetapi lain halnya dengan binatang anjing. Orang kalau
dimaki sebagai anjing tentu marah. Tetapi sesungguhnya,
tidak seluruh orang itu lebih baik dari anjing. Ada orang
yang lebih rendah budinya dari anjing. Anjing dapat
menjaga rumah, menjaga keselamatan keluarga tuannya
Anjing adalah binatang yang tahu akan kesetyaan. Apa kata
anda terhadap orang yang tak setya kepada negara dan
bangsanya sendiri" Apakah orang semacam itu lebih baik
daripada seekor anjing?"
Merah muka Ko Cay Seng. Tetapi cepat dia
menenangkan, katanya, "Bagaimanapun juga manusia tetap
lebih tinggi daripada anjing. Kesetyaan itu memang luhur.
Tetapi kesetyaan yang buta adalah bodoh dan salah. Anjing
tetap binatang yang tak dapat membedakan benar dan
salah, kecuali hanya setya saja. Walaupun majikan mereka
seorang penjahat, seorang pembunuh, seorang pembohong,
dia akan tetap setya. Lain dengan manusia. Manusia tidak
harus seperti anjing. Harus dapat membedakan mana yang
salah dan yang benar. Jika tidak dapat membedakan, nah,
barulah dia tepat disebut lebih rendah dari anjing."
Han Bun Liong tak mau meladeni.
"Han wan-gwe, seorang ksatrya harus pandai
menycsuaikan diri dan tahu keadaan. Aku memang bekerja
pada kerajaan Ceng karena kuanggap hal itu dapat
membawa kebaikan kepada rakyat kita. Dan ketahuilah,
bahwa dunia ini tidak langgeng sifatnya. Demikian pala
dengan kejayaan sebuah kerajaan. Sudah berabad-abad
kerajaan Beng berdiri. Memang raja2 Beng yang terdahulu
bijaksana dan pandai mengurus negara. Tetapi raja Beng
yang sekarang, lemah dan hanya gemar berfoya2. Ini suatu
pertanda zaman bahwa sudah tiba waktunya kerajaan itu
harus tenggelam dan diganti dengan sebuah kerajaan baru .
. . . " "Hm," dengus Han Bun Liong.
"Suatu bukti lagi," kata Ko Cay Seng, "begitu cepat
kotaraja Pak-kia jatuh ke tangan pasukan kerajaan Ceng.
Bukankah hal itu sudah cukup menunjukkan bahwa
memang bintang dari kerajaan Beng itu sudah waktunya
pudar?" seru Ko Cay Seng.
"Hm, tak perlu panjang lebar memberi kuliah," tukas
Han Bun Liong, "katakanlah, apa maksudmu menemui
aku?" "Seperti telah kukatakan tadi bahwa panglima besar
kerajaan Ceng sangat menghargai Han wan-gwe sehingga
beliau berkenan menyempatkan diri datang menjumpai
wan-gwe. Apakah wangwe merasa lebih berharga sehingga
tak mau menyambut panglima besar kerajaan Ceng?"
Han Bun Liong memang sudah menduga kalau perwira
Ceng yang naik kuda bulu putih itu tentu seorang militer
yang berpangkat. Tetapi dia tak sangka kalau penurggang
kuda bulu putih itu adalah panglima besar kerajaan Ceng
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri. "O, maaf, tay-ciangkun. Aku tak tahu sehingga tak
menghormat kedatangan tay-ciangkun," walaupun terhadap
lawan tetapi dalam pembicaran, Han Bun Liong tetap
menghormati kedudukan orang.
"Ah, Han sianseng sungguh seorang yang hebat," seru
panglima besar Torgun dalam bahasa Han yang lancar,
"sudah lama aku mendengar nama anda dan baru hari ini
aku beruntung dapat bertemu muka."
Habis berkata Torgun terus turun dari kuda putih,
menghampiri Han Bun Liong dan ulurkan tangan untuk
berjabatan. Tanpa curiga Han Bun Liongpun menyambuti. Pada saat
tangannya berjabatan, ia rasakan sebuah arus tenaga-dalam
yang kuat, melanda ke telapak tangan, mengalir ke lengan
dan terus menyusup ke arah jantung. Han Bun Long
terkejut. Ia tak menyangka bahwa panglima besar kerajaan
Ceng, selain seorang militer juga memiliki ilmu tenagadalam
yang sakti. Jelas Torgun itu tentu seorang jago silat
yang berilmu tinggi. Han Bun Liong merasakan serangan itu. Ia hendak
mengerahkan tenaga-dalamnya juga tetapi merasa
terlambat. Percuma saja, pikirnya, karena arus tenagadalam
orang sudah menyerbu jantungnya.
"Ah, percuma." pikirnya dan diapun pejamkan mata
menunggu ajal. "Ah, Han sianseng merendah diri," kata Torgun dan
seketika arus tenaga dalam yang menyusup ke lengan Han
Bun Liongpun menyurut lenyap.
Han Bun Liong terkejut. Jelas panglima Ceng telah
menguasai ilmu tenaga-dalam yang dapat dipancarkan dan
ditarik menurut sekehendak hatinya.
"Terima kasih, tay-ciangkun. Sungguh suatu kehormatan
besar bagi si tua Han Bun Liong dapat berjabatan tangan.
Andaikata mati pun sudah puas," seru Han Bun Liong. Dia
memang sudah memutuskan akan mati- ditangan seorang
panglima besar, adalah suatu kehormatan besar.
Tetapi Torgun hanya ingin menguji. Dia kecele karena
Han Bun Liong tak membuat reaksi. Dia tak mau
membunuh Han Bun Liong maka tenaga-dalamnya pun
ditarik kembali. "Han sianseng, disini-bukan tempat bicara mari kita
masuk ke markas," kata Torgun seraya menarik tangan
orang. Terpaksa Han Bun Lion mengikuti. Dia tak gentar
karena sudah membekal tekad untuk mati.
Gui Tik dan anakbuahnya juga ditangkap dan dibawa ke
markas. Han Bun Liong diperlakukan baik oleh Torgun dan
diminta supaya membantu kerajaan Ceng tetapi dia
menolak. Akhirnya karena secara halus tak dapat dibujuk,
Han Bun Liong lalu di jeblus kan dalam penjara dibawah
tanah dan disiksa, kaki tangannya dirantai seperti seekor
binatang buas. Demikian Han Bun Liong mengakhiri ceritanya kepada
ketiga anakmuda itu. "Hm, jika tahu dia yang berhianat, tentu waktu main
barong-say malam itu, dia sudah kubunuh." seru In Hong.
"Ah, berbahaya nona In," kata Han Bu Long "kalau saat
itu dia mati, kalian tentu aka dibunuh juga.
"Ya, benar," "kata in Hong, "tetapi dia selalu
mengganggu ci Ing saja. Nanti pada suatu hari dia pasti
kubunuh." Han Bun Liong menghela napas, "Suasana sekarang
sudah jauh berobah. Kota Thay-goan sudah diduduki
tentara Ceng, Dimara-mana tersebar mata2. Hendaknya
segala tindakan kita harus diperhitungkan dengan hati2."
Jago tua itu memuji keberanian In Hong dan Han Bi Ing
serta Kim Yu Ci yang berani menempuh bahaya besar
merampok penjara. "Ah, janganlah paman memuji aku," aku," kata In Hong,
"kalau tak ada bantuan ci Ah Ling, ink mungkin kami dapat
menyelundup masuk ke dalam penjara dibawah tanah itu."
Kembali Han Bun Liong menghela napas.
"Memang saat ini negara sedang dalam bahaya besar.
Menilik kekuatan pasukan Ceng, kemungkinan kerajaan
Beng tak dapat dipertahankan lagi," katanya.
"Ah, apakah kita harus menyerah begitu saja ?" seru In
Hong. "Tidak, In titli," Han Bun Liong tersenyum, "putera2
kesuma bangsa seperti kalian ini harus tetap melanjutkan
perjuangan untuk mengusir musuh dari bumi kita. Kutahu,
bahwa setiap terjadi perobahan suasana, tentulah
bermunculan tokoh2 penting, baik yang ikut membantu
musuh maupun yang menentang musuh. Disamping
banyak, bangsa kita yang rela menjadi penghianat bangsa,
pun tak sedikit putera puteri kita yang berani mengorbankan
diri sebagai pahlawan. Aku terharu mendengar
perkumpulan Hong-hian-hwe. Mereka adalah gadis2 suci
yang rela mengorbankan diri untuk menyelamatkan rakyat.
Kita berdosa kepada pengorbanan mereka apabila kita tak
dapat mengusir penjajah,"
Kim Yu Ci mengangguk. "Memang dalam keadaan
menghadapi musuh, semua orang dapat membaktikan diri
menurut kemampuan masing2. Pahlawan bukan hanya
semata yang bertempur dengan musuh, pun setiap orang
yang berani mengorbankan diri untuk menyelamatkan
bangsa. juga seorang pahlawan."
"Paman Han," tiba2 In Hong menyelutuk, "benarkah
harta karun itu bukan milik paman sendiri ?"
Han Bun Liong mengangguk, "Benar. Harta karun itu
memang barang titipan dari saudara Nyo Sian, seorang
pewira dari pasukan Li Cu Sang. Aku sebenarnya tak mau
tetapi dia memaksa dengan mengatakan begini," Daripada
harta karun itu jatuh ke tangan kaum thaykam (kebiri) dan
mentri2 dorna, lebih baik kita angkuti saja."
"Untuk apa sekian banyak harta benda itu"' tanyaku.
"Harta itu banyak gunanya. Lebih2 dalan suasana
perang. Kita dapat menggunakan harta itu untuk melawan
musuh," kata No Sian.
"Maksudmu, harta itu boleh digunakan untuk keperluan
perjuangan kita ?" aku menegas pula.
"Pertama, mengapa harta karun itu kutitipkan pada
saudara Han, karena kupandang saudara Han seorang
hartawan sehingga orang takkan curiga. Kedua kalinya,
saudara seorang dermawan dan seorang pendekar golongan
hiap-gi. Maka apabila perlu, silakan saudara Han
mengambilnya. Terserah mau diberikan kepada siapa saja
yang saudara pandang layak dibantu," kata Nyo Sian.
"Karena dia mengatakan begitu maka akupun baru mau
menerima barang titipan itu," kata Han Liong memberi
keterangan kepada In Hong.
"Yah, apakah engkau kenal dengan seorang yang
bernama Lu Pin ?" tanya Han Bi Ing yang juga
menceritakan tentang peristiwa Lu Pin yang datang hendak
mencari ayahnya itu. "O, dia;" kata Han Bun Liong, "dia adalah teman Nyo
Sian yang tahu perbuatan Nyo Sian mengangkuti harta
benda keraton. Dia pernah datang kepadaku untuk
meminta harta karun itu tetapi kutolak, Yang titip Nyo Sian
yang berhak minta kembali adalah Nyo Sian, kataku. Dia
pergi hendak mengajak Nyo Sian tetapi sampai sekarang dia
belum pernah datang lagi. Lalu apa katanya kepadamu ?"
"Dia mengatakan telah bertemu dengan Nyo Sian tetapi
saat ini Nyo Sian menderita sakit lepra. Dia hanya
membawa surat Nyo Sian untuk ayah,"
"Jangan percaya, paman Han," seru In Hong "kecua:i
Nyo Sian sendiri yang datang, jangan menerima segala
bukti." "Ya," kata Han Bun Liong, "memang bisa saja dia
membuat surat mencontoh tulisan Nyo Sian. Atau
kemungkinan juga bisa dia mermak Nyo Sian untuk
menulis surat. Tetapi aku takkan memberikannya, kecuali
Nyo Sian datang sendiri. Pendirlan Han Bun LIong itu didukung ketiga
anakmuda. "Apabila Nyo Sian sudah mati, lebih baik gak-hu
mempergunakan harta karun itu untuk kepentingan
perjuangan," kata Kim Yu Ci.
"Kurasa tidak perlu tunggu Nyo Sian mati, sekalipun
masih hidup, Han pehpeh boleh menggunakan harta itu. Itu
kan juga bukan harta miliknya Nyo Sian," seru In Hong.
Han Bun Liong mengaugguk. Kemudian dia
menanyakan dimana harta karun itu.
"Disimpan oleh Wan-ong-ko yang menjadi teman
seperjalananku ke gunung Lou- hud-san. Ayah tak perlu
kuatir, kelak kalau ketemu dia tentu akan kutanyakan
dimana dia menyimpannya."
Demikian sambil menunggu suasana di luar sudah
tenang, terpaksa mereka tinggal dalam kamar rahasia itu.
Kawan atau Lawan. Han Bun Liong, Kim Yu Ci, Han Bi Ing dan In Hong
untuk sementara akan bersembunyi dulu di ruang rahasia di
bawah tanah dalam gedung keluarga Han. Nanti apabila
suasana sudah reda, barulah mereka akan keluar.
Memang benar Panglima Taras marah sekali dengan
peristiwa perampokan tawanan orang she Han dari penjara
rahasia. Bahkan dia sendiri matanya juga terserang jarum
bwe-hoa-ciam dan banyak pembesar2 negeri antara lain
residen Sou Kian Hin yang kehilangan kuncirnya.
Panglima Taras memerintah supaya dilakukan
penggeledahan dan razzia besar pada setiap rumah
penduduk di Thay-goan. Suasana kota itu menjadi tegang. Malam hari sunyi
karena tak ada orang yang berani keluar malam. Banyak
rakyat yang menderita tindakan sewenang- wenang dari
kawanan prajurit Ceng. Tetapi sampai sebegitu jauh belum
juga mereka berhasil menangkap biangkeladi dari
kerusuhan itu. Memang banyak yang ditangkap dan disiksa
tetapi akhirnya dilepas lagi tiada bukti kuat.
Sekarang kita tinggalkan dulu rombongan Kim Yu Ci
bersama kedua gadis. mari kita kembali mengikuti
perjalanan pendekar Huru Hara, sahabat kita yang sudah
agak lama kita tinggalkan itu.
Setelah meninggalkan gunung Hong-hong-san, pendekar
Huru Hara bersama si bocah kuncung Ah Liong tujukan
langkahnya ke utara. Dia hendak mencari barisan Suka
Rela di propinsi Shoa-tang.
"Engkoh Hok, apa sih barisan Suka Rela itu. Mengapa
ada barisan kok suka rela ?" tanya Ah Liong kepada
pendekar Huru Hara yang biasa dipanggil dengan sebutan
engkoh Hok. "Barisan suka rela itu adalah barisan dari rakyat yang
secara suka rela masuk menjadi pejuang. Tidak ada
paksaan, mereka berjuang atas kemauannya sendiri maka
dinamakan barisan Suka Rela," kata pendekar Huru Hara.
"Siapa yang mengumpulkan dan mengepalai barisan itu
?" tanya Ah Liong pula.
"Itulah yang hendak kuselidiki, Ah Liong," kata
pendekar Huru Hara. "Lho, engkau hendak menyelidiki atau hendak mencari
paman engkoh yang ditangkap itu?"
"Kedua-duanya, Ah Liong. Paman Cian-li ji itu orang
kuno, aneh dan nyentrik. Tetapi dia baik dan sayang
kepadaku. Engkau tahu mengapa dia bernama Cian li-ji?"
"Cian-li-ji itu artinya Telinga-seribu-li. Telinga yang
dapat menangkap suara pada jarak selibu li," kata pendekar
Huru Hara. "O, hebat," seru Ah Liong.
"Dia juga mempunyai penyakit seperti engkau."
"Penyakit apa?" tanya Ah Liong.
"Apa kegemaranmu kalau berhadapan dengan musuh?"
"Apa ya" Eh, eh . . . . "
"Tolol! Bukankah engkau gemar memutus celana
orang?" "Benar! Sejak taliku putus dan anuku kelihaan oleh
engkoh, aku sakit hati. Untuk membalas kepada engkoh, sih
tidak boleh karena aku seorang adik. Maka kutumpahkan
penasaranku itu kepada setiap orang yang menjadi lawan.
Dengan begitu tentu akan bertambahlah jumlah orang yang
celananya melorot turun . . . . "
"Hm, engkau ini memang kurang ajar. Tetapi ingat,
jangan sekali- kali engkau lakukan hal itu terhadap seorang
gadis atau wanita. Kalau engkau sampai melakukan hal itu,
aku tak mau jadi engkohmu lagi, tahu?"
"Baik, engkoh," kata Ah Liong. Anak yang bandel itu
kalau terhadap Huru Hara selalu menurut dan taat, "tetapi
apa penyakit paman Cian-li-ji itu?"
"Dia gemar menampar pipi orang."
"Uhhhh," desuh Ah Liong, "itu kegemaran aneh juga.
Tetapi sayang kan kalau pipi yang halus harus ditampar ?"
"Tentu saja pipi musuh, bukan pipi sembarang orang dan
terutama bukan pipi wanita. Aku pun melarangnya
menampar pipi kaum wanita.
"Hai ..... ," tertak Huru Hara tiba2, "mengapa aku begini
pelupa ?" "Kenapa ?" "Kita ini salah jalan. Mengapa menuju Shoa-tang ?"
"Lho engkoh ini bagaimana sih " Aku hanya menurut
saja," "Bukankah Ang Hin kepala gunung Hong hong-san
mengatakan bahwa barisan 'Suka Rela itu berpusat di
gunung Lu-Bang-san di wilayah Sanse ?"
"Entah bagaimana keterangan Ang Hin kepada engkoh.
Aku tak ikut mendengarkan."
"Sudahlah," seru Huru Harai, "hayo kita putar haluan,
menuju ke barat saja."
Keduanya segera berganti arah. Tiba2 mereka
mendengar derap kuda lari pesat.
"Rupanya ada orang datang kemari." kata Huru Hara. Ia
terus menyeret Ah Liong bersembunyi dibalik gerumbul
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pohon. "Mengapa harus bersembunyi, engkoh ?"
"St. kita lihat siapa yang datang dulu," bisik Huru Hara,
Seekor kuda hitam lari melintas jalansepi. Dari tempat
persembunyiannya. Huru Hara merasa kenal dengan
pemuda itu. Dia merasa sudah pernah bertemu dan bicara,
Tetapi untuk sesaat dia agak lupa.
Belum sempat ia teringat siapa pemuda itu, sekonyongkonyong
dari balik gunduk batu di tepi jalan,
berhamburanlah tiga empat buah tali dan jaring kearah
tubuh pemuda itu. Uhhhh . , . karena tak menyangka-nyangka pemuda itu
hendak berusaha untuk menghindari tali tetapi tak sempat
menghindar tebaran jaring yang menelungkupi kepalanya.
Seketika kepala dan tubuh pemuda itu terjaring dan pada
lain saat dia menjerit tertahan karena jaring ditarik turun
kebawah sehingga dia turut jatuh ketanah.
Pemuda itu tak berkutik dan pada saat itu, salah seorang
dari kawanan yang menghadangnya segera ayunkan
tombaknya. "Tunggu ..... !"
Orang yang hendak menombak itu terkejut ketika
mendengar suara teriakan yang nyaring seperti halilintar
berbunyi. Cepat mereka bepaling. Seorang pemuda dan
seorang bocah laki berloncatan, pemuda itupun sudah tiba
di hadapan mereka. "Lepaskan kongcu itu," hardik pemuda yang datang itu
dengan bengis. "Siapa engkau!" kawanan orang itu balas menghardik.
Mereka terdiri dari enam orang. Menilik dandanannya
mereka adalah orang2 persilatan.
"Kubilang, lepaskan kongcu itu!" pemuda yang bukan
lain Huru Hara mengulang perintahnya
"Eh, lagakmu seperti seorang jenderal saja !" teriak salah
seorang kawanan penghadang itu, "siapa engkau!"
"Aku Huru Hara, utusan Raja Akhirat!"
"Kentut!" teriak mereka, "kalau melihat dandananmu
seperti pendekar kesiangan itu, mungkin engkau memang
seperti tukang sapu akhirat. Tetapi dIsini bukan akhirat.
Lebih baik engkau kembali ke akhirat saja!"
"Untuk yang terakhir kali, kuperintahkan segera lepaskan
kongcu itu," seru Huru Hara pula.
"TIdak. Jangan turut . . . , " baru salah seorang berkata
begitu, tahu2 Huru Hara sudah lesat dan orang itupun
menjerit rubuh. Kawan- kawannya yang lima terkejut. Hampir mereka
tak percaya apa yang disaksikan tadi. Gerakan pemuda
aneh itu benar2 seperti setan.
Namun mereka menyadari bahwa yang dihadapinya itu
adalah seorang jago yang sakti. Serempak mereka mencabut
senjatanya masing2. "Bagus, hayo kalian maju berlima, agar lekas dapat
kubereskan," seru Huru Hara dengan gembira.
Kelima orang itu menggunakan bermacam-macam
senjata. Ada yang menggunakan pedang, golok, bindi,
trisula dan tombak. Tetapi Huru Hara dapat melayani
mereka. "Ah Liong, tolonglah pemuda dalam jaring itu," seru
Huru Hara. Ah Liong cepat menghampiri pemuda itu. Tetapi saat itu
dia diserang oleh orang yang menggunakkan golok, "Jangan
kurang ajar, bocah kuncung!" teriak orang itu seraya
membabat leher Ah Liong. Ah Liong mengendapkan tubuh. Selekas golok lewat
diatas kepalanya dia terus menyeruduk bawah dan tahu2,
uhhhh . . . . orang itu menjerit kaget karena celananya putus
tali dan meloncat. Buru2 dia mendekap dengan tangan kiri.
"Nih, rasakanlah, plok . .. . , " Ah Liong menonjok
hidung orang itu sehingga berlumuran darah. Orang itu
menjerit seperti babi hendak disembelih dan terus
terhuyung-huyung mundur. Jika mau menggunakan pedang Pek-kak-kiam atau
pedang Tanduk putih yalah pedang pusaka yang
mengandung magnit, tentulah keempat lawannya itu sudah
kalah. Tetapi dia tak mau lawannya mati, karena hendak
menangkap hidup keempat orang itu agar dapat ditanya
keterangannya. Plak . . . sebuah tendangan singgah di lambung lawan
yang bersenjata pedang. Orang itu meliuk-liuk kerena
tulang iganya patah. Duk, orang yang bersenjata
tombakpun tersodok perutnya hingga jatuh terlentang.
Krak. bindi dari lawan yang lain mencelat keudara dan
orang yang menggunakan bindi itupun terseok-seok
mendekap lengannya yang patah tulangnya Tinggal yang
menggunakan tombak. Orang itu nekad melontarkan
tombaknya kepada Huru Hara.
"Aduh ..... ," teriak orang yang juga menggunakan
tombak dan hendak menombak pemuda dalam jaring tadi.
Tombak dapat dihindari Huru Hara dan melayang ke
belakang. tepat menancap di dada kawannya sendiri. Habis
melontarkan tombak, orang itu terus lari.
Huru Hara tak mau mengejar. Dia sudah mendapat tiga
orang yang dapat memberi keterangan.
Saat itu pemuda yang terjaring dalam jala tadipun sudah
dapat dikeluarkan Ah Liong. Pemuda itu menghampiri dan
mengucap terima kasih. "Ah, ternyata Bok kongcu," seru Huru Hara setelah
berhadapan dengan pemuda itu. Memang pemuda itu tak
lain adalah Bok Kian, putera keponakan menteri
pertahanan Sa Go Hwat yang pernah bertemu dengan Huru
Hara di gunung Hong. "Mengapa kongcu dicelakai mereka ?"
"Entah, aku juga tak tahu."
"Siapakah mereka Bok Kian gelengkan kepala tak tahu.
"Aneh, kalau kongcu belum kenal mengapa mereka
hendak mencelakai kongcu ?"
"Aku sendiri juga heran," kata Bok Kian yang berpikiran
polos. "Mengapa kongcu sampai disini ?"
"Aku mendapat titah dari paman Su, supaya
menyampaikan berita kepada jenderal Ui Tek Kong supaya
bcrsiap diri untuk diajak menggempur jenderal Co Liang
Giok." "Lho, bukankah Co Liang Gok itu jenderal kerajaan
Beng ?" Huru Hara heran.
"Benar," kata Bok Kian, "tetapi dia hendak memberontak
kepada kekuasaan kerajaan Beng,"
"Ah," teriak Huru Hara, "bagaimana buktinya dia
hendak memberontak ?"
"Saat ini paman Su berada di Yang- ciu untuk menilik
keadaan pasukan. Dia mendengar kabar bahwa pasukan
Ceng sudah menyerang wilayah Soa-tang, Ho-lam dan Ho -
pak ?" "Ah," Huru Hara mendesah.
"Mengapa ?" "Hampir saja aku hendak menuju ke Shoatang untung
tak jadi." "Mengapa Loan-heng hendak kesana ?"
"Aku hendak mencari pamanku yang ditawan anakbuah
barisan Suka Rela." "Apa hubungannya pasukan Ceng menyeberang wilayah
Shoa-tang, Holam dan Hopak dengan tuduhan bahwa
jenderal Co Liang Giok hendak memberontak?" tanya Huru
Hara. "Paman Su menerima amanat dari kerajaan bahwa
jenderal Co Liang Giok hendak memberontak. Itulah
sebabnya paman Su terus hendak mengajak jenderal Ui
menumpas mereka." "Ah, sungguh berbahaya," kata Huru Hara dalam
keadaan seperti sekarang ini, kita harus bersatu, mengapa
terpecah belah dan harus tumpas menumpas sendiri.
Apakah Su tayjin percaya?"
"Paman Su percaya kalau titah itu dari seri baginda Hok
Ong maka dia terpaksa harus melakukan."
"Hm," dengus Huru Hata, "kalau aku bertemu dengan Su
tayjin tentu akan kusarankan agar diselidiki dulu
kebenarannya dan jangan gegabah bertindak karena besar
sekali akibatnya." Kemudian Huru Hara menghampiri salah seorang
penghadang yang masih rebah ditanah "Engkau minta mati
atau hidup?" "Ampun hohan," seru orang itu.
"Baik, tetapi engkau harus memberi keterangan yang
jujur. Siapakah kalian ini?"
"Hamba seorang jagoan dunia hitam yang melakukan
pekerjaan untuk orang. Ada orang yang mengupah hamba
supaya membunuh kongcu itu."
"Mengapa harus membunuh kongcu?" desak Huru Hara.
"Hamba tak tahu hohan," kata orang itu.
"Bohong!" bentak Huru Hara seraya mencekik orang itu,
"mau bilang terus terang atau tidak!"
"Ba?" ik ?" ba ".ik".."
Pada saat Huru Hara lepaskan cekikannya tiba2
terdengar derap beberapa ekor kuda lari mendatangi dan
pada lain saat muncullah lima penunggang kuda. Yang
didepan sendiri seorang pemuda cakap.
"Hai, Bok-te, mengapa engkau disini?" tiba2 pemuda
cakap itu melesat turun dari kudanya dan menghampiri Bok
Kian. "O, Su- heng, engkau juga datang," kata Bok Kian.
Ternyata pemuda yang datang itu adalah Su Hong Liang.
Karena Su Hong Liang lebih tua, ia memanggil Bok-te (
adik Bok ) dan Bok Kian menyebut Su-heng (engkoh Su) .
Seperti diketahui, Bok Kian itu keponakan Su Go Hwat
dari isterinya. Sedang Su Hong Liang itu juga keponakan,
putera dan saudara tua Su Go Hwat.
"Engkau dari mana Bok-te?" ulang Su Hong Liang.
"Paman menugaskan aku untuk memberitahu pada
jenderal Ui Tek Kong untuk diajak menyerang jenderal Co
Liang Giok." "O, apakah jenderal Co hendak memberontak ?"
"Menurut firman yang diterima paman dari kerajaan,
memang begitu," kata Bok Kian.
"Hm, makanya Ma kongcu putera Ma Su Ing tay-haksu
mengutus kedua pengawal supaya aku bersama-sama
menyelidiki gerak gerik jende Co."
"Oh," desuh Bok Kian, "lalu bagaimana hasil
penyelidikan Su-heng ?"
"Memang ada tanda2 jenderal Co hendak
memberontak," kata Su Hong Liang.
"Apakah dia takluk kepada pasukan Ceng," tanya Bok
Kian. "Tidak." "Lalu mengapa dia hendak memberontak," Bok Kian
heran. "Dia hendak membawa pasukan ke kotaraja untuk
membersihkan beberapa mentri yang katanya menjadi
biangkeladi dari kehancuran kerajaan Beng."
"Oh," Bok Kian makin terkejut.
"Lalu bagaimana pandapat paman Su Go Hwat " "tanya
Su Hong Liang. "Saat ini paman berada di kota Yang- ciu sedang menilik
keadaan pasukan kita. Tiba2 paman menerima titah dari
baginda supaya mengajak jenderal Ui Tek Kong untuk
menggempur jenderal Co Liang Giok yang hendak
memberontak." "Dan paman lalu bertindak ?"
"Rupanya paman Su masih hendak merundingkan hal itu
dengan jenderal Ui. Kemungkinan paman akan menemui
jenderal Co untuk mengetahui bagaimana pendiriannya
yang sebenarnya." Tampak Su Hong Liang kerutkan dahi. "Tetapi kalau
sudah menerima firman dari kerajaan, seharusnya paman
dapat bertindak dengan tegas, tak perlu harus berunding
lagi." "Ya," kata Bok Kian, "tetapi paman berpendapat, apabila
masih dapat ditempuh dengan jaIan damai. sebaiknya
digunakan jalan damai. Itu lebih bijaksana dan
menguntungkan. Karena kalau sampai gempur-gempuran
sendiri, tentu akan melemahkan kekuatan kita dan
menguntungkan musuh."
"Tetapi menurul penyelidikanku, memang jenderal Co
sudah tak dapat dicegah lagi. Dia hendak mengadakan
pembersihan ke kotaraja. Ini sangat berbahaya. Lebih baik
sebelumnya dia harus lekas ditumpas dulu." kata Su Hong
Liang. "Kurasa paman Su tentu akan dapat bertindak dengan
bijaksana," sambut Bok Kian.
Su Hong Liang hanya mendesuh. Kemudian bertanya
apa yang terjadi pada diri Bok Kian di tempat itu. Bok Kian
menceritakan apa yang dialaminya beberapa saat
kemudian. Untung pendekar Huru Hara keburu datang
kalau tidak, mungkin dia sudah mati,
"Mana penjahat itu?" tanya Su Hong Liang. Ketika Bok
Kian memberitahu ketiga penjahat yang masih menggeletak
itu, Su Hong Liang memberi isyarat mata kepada kedua
orang kawannya dan mereka lalu merighampiri ketiga
penjahat itu. Orang yang hendak dipaksa mengaku keterangan oleh
pendekar Huru Hara tadi, begitu melihat Su Hong Liang,
matanya terbelalak dan mulutpun berseru, 'Su kong . . . . "
"Nih, terimalah!" Su Hong Liang menyabet leher orang
itu dengan pedangnya. Seketika putuslah nyawa orang itu
sebelum sempat melanjutkaa kata-katanya........."
Kedua kawan Su Hong Liang tadipun sarempak pada
waktu yang bersamaan, sudah memberesi kedua orang yang
menggeletak di sebelah sana.
"Su kongcu, mengapa engkau membunuh orang itu?"
tanya pendekar Huru Hara yang kesima melihat tindakan
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda itu sehingga tak keburu mencegah.
"Mengapa tidak" Bukankah dia hendak mencelakai Bokto?"
sahut Su Hong Liang, "engkau telah menolong jiwa
Bok-te dan aku yang menyempurnakannya."
"Tetapi aku sedang menanyai keterangannya," kata Huru
Hara. "Perlu apa ?" seru Su Hong Liang, "sudah jelas mereka
hendak mencelakai Bok-te, dalam suaana perang seperti
saat ini, tidak perlu kita harus bertele-tete memeriksa. Kalau
salah, terus bunuh saja !"
"Tetapi tadi kudergar dia memanggil nama kongcu,
Apakah bukan engkau ?" tegur Huru Hara dengan tajam.
"Aku putera keponakan mentri pertahanan Su Go Hwat
tayjin, sudah tentu banyak yang kenal. Kemungkinan dia
akan meratap minta ampun. aku tak ingin mendengar
ocehan semacam itu lagi," kata Su Hong Liang.
"Ah. tetapi tindakan kongcu itu kurang bijaksana. Lebih
baik kalau kita pariksa dulu orang itu sampai jelas agar kita
tahu siapa sesungguhnya yang hendak mengarah jiwa Bok
kongcu. Waktu kuperiksa, dia mengatakan kalau dia diupah
untuk membunuh Bok kongcu. Tetapi belum sempat
kuperiksa lagi tahu2 kongcu sudah membunuh," kata Huru
Hara agak menyesali orang.
"Sudahlah, urusan sudah terlanjur masakan disesali lagi.
Orang yang hendak membunuh toh sudah kubunuh, Dan
aku memang berhak untuk melakukan hal itu."
Huru Hara tak puas mendengar omongan pemuda itu.
Belum sempat dia membuka mulut, tahu2 Ah Long sudah
nyelonong, "Itu lancang namanya."
Su Hong Liang terkejut dan berpaling. Ketika
mengetahui yang mengatakan dia lancang itu seorang
bocah kuncung, dia marah, "Hai, apa katamu bocah
kuncung ?" "Engkau lancang !" seru Ah Liong.
"Eh, engkau berani mengatakan aku begitu?"
"Karena engkau juga menghina engkohku."
"Siapa yang menghina ?"
"Ketiga penjahat itu adalah engkohku yang menangkap,
mestinya yang berhak mengadili adalah engkohku !"
"Eh, bocah kuncung, tahukah engkau siapa aku ini ?"
"Tahu." Su Hong Liang terbeliak, "Engkau tahu diriku siapa ?"
"Aku kan tidak buta ?"
"Kalau sudah tahu mengapa engkau berani membacot ?"
"Apakah itu salah ?"
"Ya, sudah tentu salah. Orang yang berani mengatai
seorang keluarga mentri, harus dihukum."
"Siapa keluarga mentri ?"
"Gila ! Bukankah engkau mengatakan kau tahu siapa
diriku ?" "Ya, aku tahu, masakan aku buta ?"
"Mengapa engkau tak mengerti kalau aku putera
keponakan dari mentri Su Go Hwat yang kuasa besar ?"
"Aku tahu engkau ini seorang manusia, seorang pemuda.
Tetapi aku tak mau mengerti engkau putera kemanakan
mentri besar atau bukan."
"Setan ! Engkau berani menghina ?"
"Jawablah," seru Ah Liong sambil bercekak pingang,
"apa hubungan soal disini dengan mentri besar yang
berkuasa itu " Ini kan urusan penjahat yang ditangkap
engkoh dan hendak diperiksa, mengapa engkau lancang
membunuhnya ?" "Bok-te, siapakah bangsat kecil itu ?" teriak Su Hong
Liang. "Adik dari Loan-heng ini," kata Bok Kian.
"Hai, bung, mengapa engkau tak dapat mengajar adikmu
?" tegur Su Hong Liang.
"Apanya yang harus diajar ?" tenang2 Huru Hara
menjawab. "Dia berani kurang ajar kepadaku !"
"Baik," kata Huru Hara, "tetapi kita harus adil. Kita bagi
persoalannya. Dia mengatakan engkau lancang, itu
memang kurang ajar. Tetapi dia salah atau tidak. Engkau
memang lancang atau tidak ?"
Su Hong Liang terbeliak. "Aku bersedia menghukum kekurangan ajaran adikku
tetapi engkaupun harus mengaku bersalah," kata Huru Hara
pula. 'Gila !" teriak Su Hong Liang, "engkau berani menghina
aku ?" "Siapa yang menghina " Bukankah engkau suruh aku
menghukum adikku " Nah, begitulah syaratnya. Kalau
engkau mau mengaku salah, akupun mau menghajarnya !"
"Su kongcu." tiba2 salah seorang kawanan yang bertubuh
tinggi besar, brewok dan bersimbak dada maju, "tak perlu
banyak membuang waktu dengan segala cacing2 begini . ..."
Dengan tinjunya yang sebesar buah kelapa, dia
menghantam Huru Hara, "Cacing, nih rasakanlah .... duk .
..." Huru Hara terkejut tetapi marah juga terhadap si tinggi
besar yang terlalu kasar itu. Dia tangkis pukulan orang
tinggi besar itu. Bok Kian terkejut dan berteriak. Dia kuatir Huru Hara
akan menderita luka. Tetapi alangkah terkejutnya ketika
melihat kesudahannya. Huru Hara tersurut mundur selangkah, tetapi si tinggi
besar itu mencelat sampai dua tombak jatuh jungkir balik
dan akhirnya mencium tanah.
Sudah tentu hal itu mengejutkan sekali. Orang tinggi
besar itu bernama Thay San, menjadi pengawal Su Hong
Liang. Dia bertenaga kuat sekali. Siapa namanya yang asli
orang tak tahu, tetapi karena perawakannya tinggi besar
dan gagah perkara, apalagi dia mangatakan bersal dari
gunung Thay-san maka orang menyebutnya dengan nama
si Thay-san. Su Horig Liang memelihara dua orang pengawal
peribadi. Satu si tinggi besar Thay-san dan yang satu Hwesat-
ciang si pukulan Pasir-api Hun Ti Siang.
Melihat rekannya terpental sampai jungkir balik,
terkejutlah Hun Ti Siang. Cepat dia maju hendak
menyerang Huru Hara tetapi saat itu Ah Liong sudah maju.
"Engkohku sudah menerima serangan kawanmu.
Sekarang akulah yang akan menghadapi engkau!"
Bok Kian terkejut. Dia melirik kepada Huru Hara dan
menduga tentulah Huru Hara akan melarang anak itu.
Tetapi diluar dugaan Huru Hara tenang2 saja dan tak
mengacuhkan hal itu. "Satan cilik," teriak Hun Ti Siang, "engkau berani
melawan aku?" "Tidak," sahut Ah Liong.
"Mengapa engkau berani menghadang dimukaku?"
"Aku tidak berani melawanmu tetapi kalau engkau
berani menyerang, terpaksa aku membela diri," sahut Ah
Liong. "Baik, aku memang hendak memberi hajaran kepada
engkohmu dan engkau sendiri."
"Ya, sebelum menghajar engkohku, hajarlah aku. Kalau
engkau memang dapat menghajar aku, baru engkau layak
berhadapan dengan engkohku. Karena jangankan hanya
engkau seorang, sekalipun kamu semua maju bareng, tentu
tak mampu nga1ahkan engkohku."
Sudah tentu Pasir-api Hun Ti Siang seperti orang yang
kebakaran jenggot marahnya, "Setan cilik, engkau harus
mampus .. . .!" Dia terus menyerang tetapi Ah Liong berlari-larian
menghindar dan berputar mengelilinginya.
Huru Hara terkejut ketika merasakan angin pukulan
orang she Hun itu memancarkan hawa -panas seperti api.
Memang dia percaya Ah Liong tak mungkin dapat dipukul
tetapi ia kuatir anak itu tak tahan akan angin panas dari
pukulan orang. Sebelum dia sempat memikirkan daya untuk menoloug
Ah Long, tiba2 pula terdengar suara kuda berlari
mendatangi. Dan beberapa saat kemudian muncul dua ekor
kuda yang dinaiki oleh seorang nona. Yang satu
mengenakan kain cadar hitam penutup mukanya dan satu
seorang dara berwajah cerah.
"Hai, Ing-moay, engkau juga kemari?" Su Hong Liang
demi melihat gadis bercadar itu.
"Ah, Ing-moay . . . . , " seru Bok Kian pula.
Ternyata kedua gadis yang datang itu ada Su Tiau Ing
dan dara pelayannya yang bernama Jui Liu atau yang biasa
dipanggil Ah Liu. Huru Hara teringat bahwa ia pernah bertemu dengan
kedua gadis itu ketika singgah di rumah-makan yang
menyajikan bak-pau berisi daging manusia dulu.
Malihat Su Tiau Ing, puteri caatik dari mentri Su Go
Hwat, wijah Su Hong Liang seketika berubah terang
benderang. Ia menghampiri gadis yang menjadi adik
sepupunya, "Ing-moay, mengapa engkau tampak begitu
tegang" Apakah di perjalanan engkau mendapat gangguan?"
"Tidak," sahut Su Tiau Ing ringkas, "aku mendapat
perintah dari ayah untuk menyusul Bok heng."
"O, tentu penting sekali."
"Ya," sahut Su Tiau Ing, "ayah hendak menyampaikan
pesan kepada jenderal Ui Tek Kong supaya mengerahkan
pasukannya menahan serangan musuh di Shoa-tang. Soal
jenderat Co Liang Giok, ayah dapat mengatasi sendiri."
"Ah.. mengapa paman menitahkan begitu" Kukira kita
harus membersihkan tubuh kita dari setiap kaum
pemberontak baru kita dapat kokoh menghadapi serangan
luar. Kalau hanya memikirkan serangan musuh tetapi tak
lekas menindak orang dalam yang memberontak, kekuatan
kita tentu lemah," kata Su Hang Liang.
"Tetapi kurasa paman Su benar," tiba2 Bok Kian
menyanggah, "aku percaya dengan kewibawaan dan
kebijaksanaannya, paman tentu dapat menyadarkan
jenderal Co supaya kembali kepada jalan yang benar."
"Ah, umpama bisul, kalau hanya diobati tentu hanya
kempes tetapi dalamnya masih kotor. Lebih baik dipotong
supaya kotorannya keluar bersih. Demikian dengan jenderal
yang sudah menunjukkan tanda hendak berontak. Mungkin
paman Su dapat menasehati dan diapun mau tunduk.
Tetapi kurasa hanya untuk sementara. Apabila tiba saatnya
yang tepat, dia tentu akan memberontak lagi. Maka
mumpung belum terlanjur, lebih baik sekarang ditumpas
saja," kata Su Hong Lian.
"Ya, memang itu lebih tegas," tiba2 Su Tiau Ing berkata.
"Ing-moay !" teriak Bok Kian terkejut, "bukankah
engkau diutus paman untuk menyampaikan pesan kepada
jenderal Ui Tek Kong?"
"Ah, Bok te, dalam mengutus kepentingan negara setiap
orang berhak menilai dan mempunyai pendirian. Kita tak
perlu ragu mengoreksi tiap langkah yang kurang benar,
demi kepentingan negara," bantah Su Hong Liang,
"andaikan Ing-moay tak mau menyampaikan pesan itu
kepada jenderal Ui, tetap menunggu kedatangan paman
untuk bersama-sama menumpas jenderal yang berontak
itu." "Jangan!" cegah Bok Kiang, "Ing-moay pribadi boleh tak
setuju tetapi perintah paman harus dilaksanakan."
"Harus" Siapakah yang mengharuskan aku ?" Su Tiau
Ing melengking. Bok Kian yang berwajah polos, tampak melongo. Dalam
pergaulan dengan Su Tiau Ing, dia memang selalu
mengalah. Tak jarang dia mendapat muka asam, cibiran
bibir dan cemohan dari adik misannya itu, tetapi dia tetap
sabar. Kadang sidara pelayan Ah Liu yang sering
membelanya kalau dia benar.
Tetapi terhadap Su Hong Liang, Tiau Ing memang lebih
memberi hati. Su Hong Liang lebih tampan, lebih pintar
bicara, lebih pandai mengambil hati. Anehnya, si dara
pelayan Ah Liu tidak suka. Ia lebih kasihan kepada Bok
Kian yang jujur. "Bok- te, engkau kan tahu bagaimana watak Ing-moay.
Kalau dia bilang tidak mau, biar ada geledeg menyambar,
dia tetap tak mau," seru Su Hong Liang dengan tertawa.
Secara licik, dia hendak menganjurkan supaya Tiau Ing
tetap kukuh pada pendiriannya.
Tiba2 sidara pelayan Ah Liu berseru, "Siocia, lalu
bagaimana dengan pesan tayjin itu?"
"Biarlah saja," sahut Tiau Ing.
"Ah, kurasa kurang baik, siocia," kata Ah Lau, "tayjin
tentu marah dan kecewa. Lain kali tentu tak mau mengutus
siocia keluar lagi. Wah, berabe kan" Kelak kita tentu tak
dapat kaluar kemana-mana lagi,"
Su Tiau Ing tertegun. Apa yang dikata Liu itu memang
benar. Ayahnya memang memanjakan dia. Tetapi kalau
dalam urusan pemerintahan, mentri Su Go Hwat itu sangat
keras. Siapa yang melanggar tentu dihukum. Pcrnah sekali
keponakannya, Su Hong Liang, melalaikan tugas yang
diserahkan kepadanya. Mentri Su Go Hwa marah dan
suruh keponakannya itu dijebluskan dalam penjara. Setelah
itu sebenarnya mentri Sudah tak mau menerima
keponakannya lagi. Tetapi karena engkohnya datang
meminta maaf dan Hong Liang juga berjanji takkan berbuat
begitu lagi, mentri Su baru mau menerimanya lagi.
"Ah Liu, jangan ikut campur !" bentak Hong Liang.
"Tetapi engkoh Liang, Ah Liu memang benar. Kalau
ayah sampai marah, aku tentu dilarang keluar lagi," kata
Tiau Ing lalu bertanya kepada Ah Liu. "lalu bagaimana
baiknya "Bagaimana kalau siocia minta bantuan Bok-kongcu ?"
balas Ah Liu. "Ya," kata Tiau Ing, "tetapi ...."
"Bok kongcu, apakah engkau mau mewakili siocia
menyerahkan pesan Su tayjin kepada jenderal Ui?" tanpa
menunggu nonanya selesai berkata, Ah Liu terus bertanya
kepada Bok Kian. "Baik, Ah Liu," kata Bok Kian.
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnya Su Hong Liang hendak mencegah tetapi
terlambat. Ah Liu sudah meminta dan Bok Kianpun sudah
menyanggupi. Dia hanya terkejut.
Ah Liu meminta surat mentri Su Go Hwat dari Tiau Ing
dan diberikan kepada Bok Kian.
Tiba2 terdengar suara kuda berlari lagi. Dan pada
beberapa saat kemudian, muncul dua penunggang kuda.
Yang satu seorang nona cantik dan yang satu seorang
wanita berumur 40-an tahun. Kedua penunggang kuda itu
berhenti di tempat rombongan anak2 muda itu.
"Ih, nona Ma," sahut Su Hong Liang seraya memberi
hormat. Nona itu mengerling pandang ke sekeliling lalu bertanya.
"Engkoh Liang, siapakah nona cantik disampingmu itu ?".
"0, maaf, aku lupa memperkenalkan. Inilah adik Su Tiau
Ing, puteri dari paman Su Go Hwat," Su Hong Liang
memperkenalkan kepada nona itu. "adik Ing, yang datang
ini adalah Ma Giok Cu siocia, puteri tay-haksu Ma Su Ing
tayin." "O, maaf Ma siocia, aku berlaku tak hormat," kata Tiau
Ing seraya memberi hormat.
Ma Giok Cu tertawa sinis, "Tak apa Su socia, kutahu
engkau tentu sedang sibuk dengan engkoh Liang. Apa saja
sih yang kalian bicarakan sampai dihadiri sekian- banyak
orang ini?" Habis berkata kembali Ma Giok Cu mengeliarkan
pandang memeriksa orang2 yang berada di tempat itu.
Ketika pandang matanya tertumbuk pada pendekar Huru
Hara, ia terkesiap kaget melihat dandanan pemuda itu.
Tetapi ketika memandang Ah Liong, ia makin terbelalak.
Ternyata saat itu Ah Liong deliki mata dan leletkan lidah
kepadanya. "Ih, setannnn!" teriak Ma Giok Cu.
Sekalian orang terkejut dan serempak mencurah pandang
kearah Ah Liong yang tengah dipandang Ma Giok Cu.
Mereka terkejut tapipun geli ketika melihat Ah Liong
bergaya mempertunjukkan tampang setan itu.
"Ma siocia, dia seorang bocah liar, bukan setan," kata Su
Hong Liang lalu berteriak kepada Ah Liong, "Hai, setan
cilik, jangan kurang ajar kepada puteri tay-haksu!"
Ah Liong menyeringai. -0oodwoo0- Jilid ke 27 Perang .... Ah Liong memang mengkal melihat sikap dan tingkah
laku yang baru datang itu. Waktu pertama kali nona itu
mengerlingkan mata memandang sekalian orang, waktu
tiba pada gilirannya, Ah Long sudah menyengirkan hidung.
Tetapi tupanya Ma Giok Cu tak sempat memperhatikan.
Waktu kedua kalinya Ma Giok Cu mengeliarkan
pandang lagi, Ah Liong sengaja deliki mata dan leletkan
lidahnya seperti setan. Dan ternyata memang Ma Giok Cu
terkejut dan tertarik perhatiannya.
"Hai, apa-apaan engkau, setan cilik!" teriak Su Hong
Liang makin marah. "Kenapa sih?" balas Ah Liong.
"Mengapa engkau berani menyengir kepadaku?"
"Lho, aku kan menggunakan hidungku sendiri untuk
menyeringai, apa tidak boleh?"
"Itu berarti menghina aku!"
"Aneh," gerutu Ah Liong, "orang menyeringai dengan
hidungnya sendiri, dituduh menghina. Apa engkau merasa
terhina?" "Tentu!" "Engkau merasa terhina bagaimana?"
"Engkau seorang bocah liar berani menghina aku dan
nona Ma, puteri mentri besar dari kerajaan Beng."
"Aku tidak memaki dan tidak mencelah ke padamu dan
kepada nona itu. Aku menyeringai dengan hidungku
sandiri. Uh, bung, jangan main kuasa seperti pembesar
saja!" "Rangket bangsat cilik itu!" teriak Su Hong Liang kepada
kedua pengawalnya. Dan Hun Ti Siang yang tadi belum
selesai perkelahiannya, dengan Ah Liong, maju
menghampiri lagi. "Berhenti tiba2 Huru Hara membentak "Jangan main
sewenang-wenang!" "O, engkau hendak membela adikmu?" seru Hun Ti
Siang. "Ya," sahut Huru Hara, "jika tadi engkau hendak
melawannya, aku sih tak keberatan Tetapi kalau sekarang,
lain halnya." "Mengapa lain ?"
"Kalau tadi, itu soal mengadu kegagahan, siapa yang
lebih sakti. Tetapi sekarang, engkau bukan lagi seorang
jago, melainkan seorang alat dari tuanmu yang sewenangwenang
itu. Coba bilang, apakah orang yang menyeringai
dengan hidungnya seudiri itu melanggar undang2. Kalau
melanggar, aku ingin tahu, undang2 kerajaan manakah itu
!" "Bagussss . !" tiba2 terdengar lengking seorang dara. Dan
ketika sekalian orang memandang kearahnya, ternyata yang
berseru memuji itu adalah Ah Liu, pelayan Su Tiau Ing.
Ma Gioa Cu deliki mata kepada dara itu, lalu bertanya
kepada Su Hong Liang, "Eagkoh Liang, siapakah orang
yang dandanannya seperti pendekar kesiangan itu ?"
"Dia adalah engkoh dari bocah liar itu," sahut Su Hong
Liang. "O, pantas," kata Ma Giok Cu," adiknya kuncung,
engkohnya punya rambut seperti dua buah tanduk, hi, hi, hi
..... " "Dengar ! Bukankah nona itu menghina aku" Ai
mengapa engkau tak berani menindaknya tetapi hanya
berani menindak adikku," tegur Huru Hara.
"Jangan banyak mulut!" Hun Ti Siang terus memukul,
krak ..... Huru Hara tak senang melibat tingkah Hun Ti Siang
yang berandalan itu. Maka ditangkisnya pukulan orang she
Hun itu, Akibatnya Hun Ti Siang menjerit keras,
terhuyung-huyung sambil mendekap lengan kanannya yang
tulangnya patah. Su Hong Liang terkejut. Kedua pengawalnya, si tinggi
besar Thay-san dan kini si Pasir-api Hun Ti Siang, telah
dirubuhkan oleh Huru Hara dalam sekali gebrak saja. Dia
marah. Tetapi sebelum sempat bertindak, Bok Kian sudah
menyelutuk, "Su-heng, sudahlah, kita ini kan orang sendiri,
mengapa harus saling bermusuhan " Yang penting kita
harus lekas mengerjakan tugas kita masing2."
Kemudian dia terus hendak mengajak Huru Hara
berangkat. Tetapi tiba2 Ma Giok Cu mencegahnya,
"Tunggu dulu !"
"O, apakah Ma siocia ada keperluan dengan kami ?"
tanya Bok Kian. "Ya, tetapi bukan dengan engkau. Kalau engkau hendak
pergi, silakan pergi saja," kata Ma Giok Cu, "aku perlu
dengan pendekar kesiangan itu."
Mendengar itu Huru Hara segera melangkah maju ke
hadapan Ma Giok Cu, "Baik, aku pendekar Huru Hara,
akan menunggu apa saja yang hendak engkau katakan !"
"Pendekar Huru Hara ?" Ma Giok kaget.
"Hm," dengus Huru Hara.
"Apa engkau membuat huru hara ?"
"Ya, aku memang pencari huru hara."
"Kalau begitu engkau seorang pemberontak."
"Ya, memang aku seorang pemberontak."
"Jangan guyon," teriak Ma Giok Cu.
"Siapa yang ada waktu guyon " Aku memang tukang
membuat huru hara. tukang berontak. Tetapi yang
kuberontak adalah peristiwa2 ketidak-adilan, manusia2
yang jahat dan lalim!"
"Hai, bung, jangan kurang ajar. Ma su Ing adalah puteri
dari mentri tay- haksu Ma Su Ing tayjin," seru Su Hong
Liang. "Kalau dia seorang puteri tay-haksu. lalu engkau suruh
aku bagaimana " Pay kui atau menyembah dibadapannya "
Seperti halnya dengan kau sendiri. Engkau adalah
keponakan dari mentri pertahanan Su Go Hwat tayjin.
Tetapi yang mentri itu adalah Su tayjin, bukan engkau.
Engkau bukan orang berpangkat, jangan main kuasa,
jangan seperti seorang pembesar !"
Marah padam wajah Su Hong Liang disemprot begitu
tajam oleh Huru Hara. "Kuperingatkan, engkau masih mempunyai perhitungan
yang belum selesai dengan aku. Engkau berani membunuh
penjahat yang kutangkap. Padahal dari mulut panjahat itu
tentu dapat kuketahui siapa yang menyuruh membunuh
Bok kong ," kata Huru Hara lagi.
Belum Su Hong Liang menyahut, Ma Giok Cu sudah
berteriak, "Apa " Engkau hendak mengganggu engkoh
Liang " "Ya," sahut Huru Hara, "apa hubungan dengan engkau
?" "Kalau tak ada hubungannya masakan aku mau turut
campur, Engkau boleh mengganggu siapun kecuali engkoh
Liang!" !" Mendengar itu tersipu-sipulah Su Hong Liang. Tampak
Su Tiau Ing melengos. "Soal itu, jangan kita bicarakan dulu," ka Huru Hara,"
sekarang apa yang nona hendak katakan kepadaku ?"
"Sekali tepuk dua lalat," seru Ma Giok Cu, "aku memang
hendak menjajal kepandaianmu. Menilik engkau berdandan
sebagai seorang pendekar nyentrik dan bernyali besar kalau
bicara, tentulah engkau memiliki kepandaian sakti. Dan
kebetulan pula engkau hendak mengganggu engko Liang.
Maka ingin aku mencoba kepandaianmu."
"O, begitu," kata Huru Hara, "aku tidak cari huru hara,
tetapi huru hara yang mencari aku. Baiklah, nona, aku
menurut saja." "Lau-ma, silakan menghajar adat kepada pendekar
kesiangan iau," seru Ma Giok Cu seraya berpaling kepada
wanita setengah tua. "Baik," kata wanita itu seraya maju kehadapan Huru
Hara. "Apakah wanita ini yang nona perintahkan untuk
menguji aku?" seru Huru Hara terkejut. Ma Giok Cu
mengiakan. "Maaf aku tak mau," kata Huru Hara terus berputar
tubuh dan hendak melangkah.
"Tunggu!" teriak Ma Giok Cu, "mengapa engkau
menolak bertempur dengan Lau-ma?"
"Aku paling segan bertempur dengan wanita. kalau nona
mengajukan jago lelaki, biarpun berapa orang maju, aku
mau melayani. Tetapi kalau wanita, maaf saja . . . . "
"Eh, bung, jangan menghina aku," seru wanita yang
dipanggil Lau-ma itu, "apa engkau kira aku tak mampu
menghajar engkau?" "Aku tidak mengira begitu. Hanya aku memang segan
bertempur melawan wanita."
"Hm, jangan menghina!" seru Lau-ma, "kalau dalam
sepuluh jurus aku tak dapat merubuhkan engkau, engkau
boleh bebas!" "Ah . .. , " Huru Hara mendesah.
"Lekas bersiap!" bentak Lau-ma. Kemudian ia mulai
membuka serangan. Gayanya lemah gemulai seperti tak bertenaga ketika
sepasang tangan Lau-ma menari-nari mengarah kepada
Huru Hara. Tetapi ternyata Huru Hara terteliak kaget ketika
ia merasa keduabelas jalandarah tubuhnya yang penting
seperti dibayangi oleh jari jemari wanita itu.
Beberapa tokoh yang berada ditempat itu terkejut
menyaksikan permainan yang aneh dari wanita yang
disebut Lau-ma. Tetapi tiada seorang pun yang tahu
ilmusilat apakah yang dimainkan Lau-ma.
"Sin-ci-kui-ing!" tiba2 salah seorang yang datang bersama
Su Hong Liang, yalah seorang lelaki setengah tua yang
bermata tajam, berseru tertahan.
Sin-ci-kui-ing artinya Bayangan-jari- setan. Sebuah
ilmusilat yang hampir sudah tak ada lagi dalam dunia
persilatan. Crek, crek . . . . dua buah jalandarah pada bahu dan
pinggang Huru Hara tertutuk sehing Huru Hara terhuyung.
Tetapi Lau-ma sendiri juga mengerut dahi.
Walaupun tusukan jarinya dapat mangenai jalandarah
Pedang Angin Berbisik 11 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Tujuh Pedang Tiga Ruyung 10