Pencarian

Bloon Cari Jodoh 6

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Bagian 6


buru2 diapun memperkenalkan nona, "Yang inilah nona
Han Bi Ing itu." Tanpa menghaturkan terima kasih, Ko Cay Sing terus
mengisar pandang kearah Han Bi Ing "Han siocia. aku
telah mendapat pesan dari ayah nona supaya
menyampaikan sebuah berita."
"O, silakan,'" kata Han Bi Ing, "apakah ayah mendapat
kecelakaan ?" Ko Gay Sing gelengkan kepala, "Tidak, nona, ayah nona
tak kurang suatu apa."
"Ah," terima kasih Tuhan," seru Han Bi Ing dengan
gembira," lalu dimanakah dia sekarang?"
"St. soal ini tak dapat kukatakan karena loheng pesan
wanti2 jangan memberitahukan tempatnya kepada siapapun
juga. Pokoknya Han beng selamat dan kini bersembunyi
ditempat yang dirahasiakan."
"O," seru Han Bi Ing," lalu apa saja pesan ayah itu ?"
"Ayah nona pesan supaya nona kembali ke Thay-goan
untuk merawat lukanya . .
"Ah," Han Bi Ing mengeluh kaget, "apakah eyah terluka
dalam peperangan itu ?"
"Ya." "Parahkah lukanya ?"
"Aku tak dapat mengatakan nona. Tetapi nanti nona
dapat melihat sendiri. Dia benar2 membutuhkan nona
untuk merawatnya, kasihan ?".
"Lalu bagaimana dengan perintahnya supaya aku
menuju ke Lou-hu-san itu ?"
"O, apakah dia memerintahkan nona begitu?"
"Apakah ayah tak menceritakan kepadamu ?" Han Bi Ing
balas bertanya. Rupanya orang itu menyadari kalau bicara secara tolol.
Buru2 ia menyusuli kata. "Mungkin karena sedang dalam,
keadaan terluka dia lupa pada perintahnya itu. Yang jelas
dia sudah mengirim pesan kepadaku supaya dihaturkan
kepada nona. Apakah nona tak kasihan kepada ayah nona
yang sudah tua dan seorang diri dalam keadaan terluka itu
?" "Ah......," Han Bi Ing mendekap mukanya dengan kedua
belah tangan. "Bagaimana nona ?"
"Baik, aku akan kembali ke Thay-goan. Tetapi
bagaimana dengan* peti harta yang- kubawa itu?"
"Ah, peti harta itu dibawakan nona?" Ko Cay Seng
terkejut tetapi cepat pula ia menyusul kata2, 'jika demikian,
bawalah sekalian peti itu mungkin bergana untuk beaya
pengobatan Hai loheng."
Han Bi Ing begitu cemas dan gembira mendengar berita
tentang diri ayahnya. Maklum sejal kecil dia sudah ditinggal
mati mamanya sehingg/ dia rapat sekali dengan ayahnya.
Demikian ayahnya, pun juga amat mencintai puteri satusatunya
itu. Maka begitu mendengar pesan ayahnya, Han
Bi Ing.pun terus setuju untuk kembali ke Thay-goan.
"Jika begitu, marilah kita berangkat sekarang juga," kata
Kon Cay Seng. "Tunggu!" tiba2 Wan-ong Kui berseru.
"Eh, siapa engkau!" teriak Ko Cay Seng. I
"Aku pengawal dari Ing moay."
"O," seru Ko Ciy Seng, 'lalu engkau mau apa?"
"Ing-moay,'" Wan-ong Kui berpaling kearah Han Bi Ing,
"apakah engkau kenal dengan kedua orang ini?"
Han Bi Ing gelengkan kepala, "Tidak."
''Mengapa engkau cepat2 percaya pada omongannya?"
Han Bi Ing tertegun. "Tetapi dia membawa berita tentang ayahku," katanya.
"Dan engkau terus percaya ?"
"Habis, ayah memang benar bertempur melawan
pasukan Ceng untuk mempertahankan kota. Kalau beliau
terluka parah dan bersembunyi di suatu tempat yang
dirahasiakan, itu memang masuk akal, Wan-ong-ko."
"Setiap orang yang mempunyai maksud, dapat saja
merangkai alasan yang dapat diterima akal."
"Lalu bagai nana aku harus berbuat, Wan-ong-ko?"
'Engkau harus meminta bukti bahwa dia benar2 orang
yang disuruh ayahmu."
"Tepat," tiba2 Teng Kui Tik ikut .bicara, nona harus
dapat mempertimbangkan apakah ayahmu itu seorang
manusia yang suka mencla-mencle. kau disuruh menyingkir
lalu disuruh kembali. Dan bukankah kota Thay- goan saat
ini sudah diduduki pasukan Ceng ?"
"Dan mengapa peti harta itu juga harus taci bawa pulang
?" In Hong meriyelutuk.
Pikiran Han Ing yang semula dicengkam ketegangan
karena mendengar berita ayahnya sehingga dia tak dapat
memikir terang, kini seperi disadarkan. Ia anggap
peringatan2 dari Wan-ong Kui, Tong Kui Tik dan In Hong
itu memang tepat. "Ko sianseng," kata Han Bi Ing kepada sasterawan yang
bernama Ko Cay Seng itu, "karena aku beiurn kenal dengan
tuan maka dapatkah engkau mengunjukkan barang suatu
bukti bahwa engkau benar2 telah disuruh ayahku "
"Hm, ini urusan seorang anak dengan ayahnya, ayah
yang sedang menderita luka parah dan perlu perawatan.
Mengapa nona masih menghiraukan omongan orang2 yang
tak berkepentingan itu ?"
"Tidak, Ko sianseng," seru Han Bi Ing, "mereka justeru
memperhatikan kepentinganku. Karena kutahu ayah itu
seorang yang berhati-hati dalam tindakan dan bertanggung
jawab dalam kata2. Dia telah menyuruh aku menyingkir,
mengapa tiba2 dia suruh aku kembali lagi ?"
"Tetapi ayah nona benai2 sedang menderita musibah.
Sebagai puterinya wajiblah engkau lekas datang
merawatnya. Apakah engkau sampai hati kalau ayahmu
sampai meninggal " Apakah engkau tak berdosa kalau
engkau tak mau memenuhi keinginan ayahmu yang
meminta engkau datang untuk merawatnya atau mungkin
kalau dia sampai tak tertolong, pun dia merasa, terhibur
hatinya karena engkau menjaga di sampingnya ?"
Han Bi Ing tertegun. Kecintaannya terhadap sang ayah
memang sedemikian besar sehingga kata2 Ko Cay Seng itu
tepat mengenai di hatinya. Dia merasa berdosa kalau tak
dapat memenuhi panggilan ayahnya. Andaikata ayahnya
sampai meninggal dunia, bukankah ia akan makin berdosa
karena tak mau memenuhi panggilan itu "
"Cici Ing," tiba2 In Hong berseru, "agar hatimu lebih
mantap, mintalah bukti kepadanya !"
"Jangan usil mulut budak perempuan !" bentak Ko Cay
Seng. "Gila!" teriak In Hong, "aku bicara dengan mulutku
sendiri, mengapa engkau melarang ?"
"Jangan mencampuri urusan Han siocia !"
"Yang mempunyai kepentingan adalah cici Ing, kalau dia
yang melarang, aku taat. Tetapi kalau engkau, huh,
engkaupun hanya orang suruhan juga, bukan urusanmu!"
"Ko sianseng," cepat Han Bi Ing menukas, "agar hatiku
tenang, sukalah engkau memberi bukti bahwa engkau
benar2 disuruh ayah,",
"Bukti apa yang engkau kehendaki ?"
"Apa saja yang engkau terima dari ayah."
"Baik," kala Ko Cay Ssng seraya merogoh kedalam saku
bajunya dan mengeluarkan sebuah sampul, "inilah surat
dari ayahmu." Sambil menyambuti, Han Bi Ing berkata. "Kalau
membawa surat dari ayah mengapa dari tadi tak engkau
serahkan ?" "Kukira panggilan seorang ayah kepada putrinya yang
disayangi itu tak perlu pakai segala macam surat bukti.
Tak tahunya kalau engkau menghendaki begitu," sahut
Ko Cay Seng. In Hong terkejut melihat surat itu. Ia berpaling kearah
engkongnya kemudian kepada Wan-ong Kui. Tong Kui Tik
dan Wan-ong Kui tenang-tenang saja.
Waktu membaca surat itu wajah Han Bi Ing tampak
makin pucat dan bibirnya gemetar. Sesaat kemudian
airmatanyapun muai menitik keluar.
"Baik Ko sianseng, marilah kita berangkat, katanya.
"Han siocia, apakah benar surat itu dari ayahmu ?" tegur
Tong Kui Tik. "Benar, Tong pehpeh (paman) Aku tak ragu lagi bahwa
ini memang buah tulisan ayah," kata Han Bi Ing.
Tong Kui Tik mengangguk, "Baiklah. Tetapi aku
berkumpul dengan ayahmu sudah beberapa tahun. Akupun
tahu juga gaya tulisan ayahmu. Bolehkah aku melihat
surat itu ?" Han Bi Ing segera menyerahkan surat Ketika
membaca, wajah T'ong Kui Tik tam mengeriput tegang.
Beberapa saat kemudian mengangguk dan menyerahkan
surat itu lagi pada Han Bi Ing, "Benar, memang itu
tulisan ayahmu." "Jika begitu, anda idinkan kami berangkat sekarang
bersama Han siocia?" tanya Ko Cay Seng dengan nada
riang. "Ya." . "Engkong!" teriak In Hong. Tetapi Tong Kui Tik tak
menyahut. Wajahnya tampak membesi.
"Nona Han, mari kita berangkat sekarang."
"Baik." "Tetapi mana peti harta itu?"
Han Bi Ing tetkesiap lalu berbaling kepada Wan-ong Kui,
"Wan-ong-ko, dimanakah engkau menyimpan peti itu?"
Sebelum Wan-ong Kui menjawab, Tong Kui Tik sudah
mendahului, "Jika engkau hendak memenuhi panggilan
ayahmu, silakan. Tetapi tentang peti harta itu, jangan
engkau bawa serta." "Mengapa?" Ko Cay Seng tercejut.
"Karena itu bukan milik Han Bun Liong!"
Han Bi Ing terkejut, lebih2 Ko Cay Seng. Serentak dia
berseru, "Apa katamu" Harta itu bukan milik Han Bun
Liong?" "Ya." "Lalu milik siapa?"
"Milik mentri Go Sam Kui!"
"Hai!" teriak Ko Cay Seng, "jangan engkau bergurau
sahabat." "Siapa yang bergurau?" balas Tong Kui Ti "memang
harta karun itu milik mentri penghianat Go Sam Kui. Kalau
tak percaya tanyakan sendiri kepada Han Bun Liong."
"Tidak! Han Bun Liong tidak mengatakan apa2 bahkan
dialah yang suruh puterinya membawa kembali harta itu,"
bantah Ko Cay Seng. "Tidak bisa," seru Tong Kui Tik dengan tegas, "kalau
Han Bun Liong menanyakan, suruh dia mencari aku si Ah
Tek." Ko Cay Seng mulai tegang, "Tidak mungkin. Harta itu
adalah milik Han Bun Liong sendiri. Aku salah seorang
sahabatnya yang tahu betul akan keadaannya."
"Dari mana dia memperoleh harta kekayaan sebesar itu?"
tanya Tong Kui Tik. "Dahulu dia bekerja sebagai pengawal mentri Go Sam
Kui." "Berapa gajih seorang pengawal mentri" Bahkan
mentripun kalau dia benar2 jujur, tak mungkin akan
memiliki harta karun yang sedemikian besarnya."
"Bagaimana mungkin mentri Go Sam menyerahkan
harta karun itu kepada Han BuLiong?" bantah Ko Cay
Seng. "Itu memang suatu rahasia, engkau tak perlu tahu.
Pokok, aku tahu jelas tentang persoalan itu. Kalau tak
percaya tanyakanlah sendiri kepada Han Bun Liong."
"Hm, rupanya anda hendak cari perkara, bukan?" seru
Ko Cay Ssng yang mencium gelagat tak baik.
"Itu terserah kepadamu," sahut Tong Kui Tik, "kalau
engkau tak mengutik tentang peti harta itu, urusan inipun
selesai. Tetapi kalau engkau berkeras kepala, hm, bukan
salahku kalau terjadi sesuatu!"
"Nona Han, dimana peti itu?" seru Ko Cay Ceng kepada
Han Bi Ing. Han Bi Ing heran mengapa tiba2 Tong Kui Tik bersikap
demikian. Tetapi dia seorang nona yang cerdas. Ia tahu
bahwa tentu ada hal2 yang menyebabkan mengapa Tong
Kui lik bersikap begitu. Wan-ong Kui juga mempunyai pendapat begitu.
Serentak dia berseru, "Ing-moay, jika engkau liendak
merawat ayahmu, silakan. Tetapi peti itu janganlah engkau
bawa dulu. Kalau benar ayahmu menghendaki barang itu,
baru nanti kita mengambilnya."
"Wan-ong-ko, maukah engkau ikut aku menjenguk
ayah?" tiba2 Han Bi Ing bertanya.
"Baik," sahut Wan-ong Kui. Karena sudah menyanggupi
hendak mengantar Han Bi Ing, malu kemanapun dia akan
tetap mengantar. Diam2 iapun curiga kepada kedua
pendatang itu. "'Ko sianseng," kata Han Bi Ing, "nanti setelah bertemu
dengan ayah dan jika ayah benar2 menghendaki, kami akan
datang kemari lagi untuk mengambilnya."
"Tidak, nona Han," jawab Ko Cay Seng dengan nada
keras, "perintah ayah nona harus di-laksanakan. Aku tak
mau mengantar nona kalau nona tak membawa peti itu."
"Hm, aneh engkau ini," seru In Hong, "mengapa engkau
berkeras menghendaki peti itu?"l
"Jangan ikut campur, budak perempuan!" bentak Ko Cay
Seng. Memang In Hong sudah tak senang kepada Ko Cay
Seng. Dibentak dan dimaki sebagai budak perempuan,
dara itupun marah, "Kalau begitu pergilah engkau. Cici
Ing tidak boleh pergi, peti itupun jangan harap kami
serahkan kepadamu!" "Budak liar, engkau berani lancang bicara! kutampar
mulutmu!" "Coba saja kalau engkau berani!" In Hong menantang,


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah maju dan tegak bercekak pinggang dihadapan
Ko Cay Seng. Tiba2 lelaki kawan Ko Cay Seng, segera maju dan
ayunkan tangannya. "Hong, jangan cari perkara," teriak Tong Kui Tik seraya
mengangkat tangan seperti sikap orang yang mencegah.
Plok.....auh, lelaki tua itu terlempar dua tiga langkah
ke belakang karena perutnya didupak In Hong.
Ketika hendak menampar, sekonyong-konyong lelaki tua
yang berpakaian seperti seorang pertapa itu rasakan
tangannya kaku sehingga sukar digerakkan. Dan pada saat
itulah I n Hong mengirim sebuah tendangan ke perut orang.
Merah padam muka pertapa tua itu. Walau pun dia tak
terluka tetapi sekali gebrak dijatuhkan oleh seorang anak
perempuan, dia malu sekali. Dan sebagai seorang berilmu
tinggi dia tahu apa sebab lengannya mendadak kaku.
"Ho, rupanya engkau memiliki ilmu tenaga-sakti yang
hebat, loheng," serunya kepada Tong Kui Tik, "tetapi
sayang caramu tadi tidak sportif."
"Benar," sahut Tong Kui Tik, "tetapi rasanya masih
lebih sportitf daripada perbuatan seorang angkatan tua
yang hendak menghina seorang bocah perempuan."
"Baik," sahut pertapa itu, "jika demikian aku jngin
berkenalan dengan kepandaianmu. Mari kita bermain
beberapa jurus." Tong Kui Tik terpaksa menyambut tantangan itu.
Keduanya segera berhadapan. Tetapi sebelum mereka
mulai bertempur, Ko Cay Seng suh berseru, "Suto
siangjin, kalau siangjin hendak bertempur, jangan
bertempur secara percuma."
"Bagaimana maksud Ko-heng?" sahut pertapa itu.
"Bukankah dia tadi yang menentang soal peti harta?"
"O, benar, benar," pertapa itu cepat dapat menanggapi
maksud kawannya. Ia berkata kepada Tong Kui Tik, "Anda
melarang peti harta itu tak boleh kami bawa, bukan?"
"Ya." "Nah, kita bertaruh. Kalau aku menang, apakah engkau
bersedia menyerahkan peti itu?"
"Aku takkan menghalangi!"
"Apa maksudmu?"
"Peti itu bukan aku yang menyimpan. Tetapi aku berhak
untuk melarang setiap orang tak bertanggung jawab yang
hendik membawanya." "Lalu siapa yang menyimpan?"
"Aku tak berhak menjawab. Sekarang kita bicarakan
persoalan kita sendiri. Bagaimana kalau engkau kalah?"
"Aku pergi dari sini!" sahut pertapa itu.
"Baik, mari kita mulai."
"Tunggu," seru pertapa, lalu berpaling kearah Ko Cay
Seng, "bagaimana pendapat Ko heng?"
"Syaratnya terlalu enteng," seru Ko Cay Seng, "paling
tidak, dia haius memberitahu dimana tempat peti itu
disimpan." "Ti.lak perlu," tiba2 Wan-ong Kui menyelutuk, "akulah
yang menyimpan peti itu. Jangan mendesak Tong locianpwe."
"Ho, lalu engkau juga menghendaki bertempur?"
"Ya," jawab Wan-ong Kui. Ia memperhitungkan
rrenghendaki atau tidak, orang she Ko itu tentu akan
mendesak iya untuk memberikan peti itu.
"Apakah engkau yang hendak menantang Wan-ongko?"
teriak In Hong. 'Ya," sahut Ko Cay Seng
"Ah, masakan engkau berani."
"Kenapa tak berani?"
"Karena setiap kali bertempur, Wan-ong-ko tentu maju
berdua dengan aku. Dan biasanya setiap lawan tentu tak
dapat bertahan lama ..."
'"Sombong!" bentak Ko Cay Seng, "jangankan hanya
dua, empat atau sepuluh budak perempuan seperti engkau,
aku masih sanggup menghajar."
"Baik," kata In Hong lalu mengajak Wan-ong Kui,
"Wan-ong-ko, mari kita remuk manusia yang ingin
merampok peti harta ini!"
Wan-ong Kui mengangguk. "Apa janjimu kalau kalian kalah ?" seru Ko-Cay Seng.
"Bukankah engkau menghendaki peti harta itu ?" balas I
n Hong. "Ya." "Dan apa janjimu kalau engkau yang kalah.
Ko Cay Seng tertawa lepas, "Jika aku kalah, ha, ha,
terserah saja pada kalian aku bagaimana ?"
"Baik. bersiaplah," seru In Hong seraya mencabut
sepasang pedang. Wan-ong-kui pun juga melolos
pedangnya. "O, kalian menggunakan pedang ?" seru Ko Cay Seng,"
bagus, bagus ! Supaya pertempuran ini lebih menggairahkan
semangatku, biarlah kulayani kalian dengan sepasang
tangan kosong. Karena kugunakan senjataku, dikuatirkan
terlalu cepat selesainya, kurang menarik."
In Hong geram tetapi diam2 ia hendak membikin panas
hati orang, "Jangan sombong, bung. Coba engkau
katakan, berapa lama engkau mampu bertahan ?"
"Ho, budak perempuan, engkau benar2 bermulut besar,"
seru Ko Cay Seng, "kalau dalam sepuluh jurus aku tak
mampu mengalahkan kalian aku akan pergi dari sini !"
"Ah, jangan," seru In Hong, "kasihan kalau dalam
sepuluh jurus. Bagaimana kalau kuberi seratus jurus ?"
"Gila!" teriak Ko Cay Seng makin panas, 'sebenarnya
sepuluh jurus itu sudah terlalu banyak. Kalau aku mau
mempercepat, dalam lima atau enam jurus saja, kalian tentu
sudah rubuh!" "Cis, enak saja kalau ngoceh," teriak In Hong, "lima kali
lima, duapuluh lima jurus, kuberi kesempatan kepadamu."
"Budak liar, kalau dalam lima jurus aku tak dapat
mengalahkan engkau, aku akan pergi!"
"Uh "Jangan banyak mulut, lekas mulai!" bentak Ko Cay
Seng seraya menampar In Hong.
In Hong loncat menghindar ke samping. Namun ia
rasakan angin pukulan sasterawan yang menyambar
telinganya, tajam sekali.
Ko Cay Seng tak dapat melanjutkan serangannya kepada
In Hong karena saat itu dia sudah diserang Wan-ong Kui.
Wan-ong Kui tahu bahwa dibalik kata2 yang congkak dari
sasterawan itu tentu didukung oleh kepandaiannya yang
sakti. Maka ia terus melancarkan ilmupedang Peh-hoakiam.
In Hong juga maju dan memainkan ilmupedang Song
ou-tiap-kiam atau ilmupedang Sepasang-kupu-kupu.
Ilmupedang itu ia dapatkan dari Sim Hui suthay, seorang
rahib sakti kenalan Tong Kui Tik. Kebetulan Sim Hui
suthay yang tengah mencari daun obat, bertemu dengan In
Hong. Melihat dara itu mempunyai bakat dan tulang yang
bagus, Sim Hui suthay segera menyatakan hendak
mengambilnya sebagai murid. Tetapi dasar nakal, In
Hong malah menghina rahib itu, "Kalau engkau
memang sakti, hayo kejarlah aku .... "
In Hong terus lari naik ke puncak gunung. Ia mengira
masakan rahib tua yang lemah itu mampu mengejarnya.
Tiba di pondoknya, engkohnya sudah menyambut diiuar.
'Engkong, ada seorang rahib tua hendak mengambil aku
sebagd murid. Lucu," ln Hong tertawa mengejek.
"Mengapa lucu?" tanya engkongnya.
"Bukankah apa yang engkong ajarkan kepadaku itu
sudah hebat sekali?"
Tong Kui Tik gelengkan kepala, "Diatas gunung masih
ada langit. Orang sakti masih ada yang lebih sakti. Hong,
jangan engkau membanggakan kepandaianmu. Ilmusilat
itu tiada batasnya dan orang sakti yang terpendam itu,
banyak sekali. Hong, mengapa engkau menolak diambil
murid ?" "Eh, engkong ini bagaimana sih?" gumam Hong,
"sedang berjalan mendaki gunung sudah susah, masakan
hendak menjadi guruku," dia lalu menceritakan
bagaimana ia menantang rahib tua itu untuk mengejarnya.
Tong Kui Tik tertawa, "Ya, benar. Tetapi engkau juga
keterlaluan, masakan seorang tua engkau ajak adu lari."
'Salahnya mengapa mau In Hong tertawa, "Salahnya mengapa mau mengambil
murid aku"' "Tetapi kalau umpama dia mampu mengejarmu, apakah
engkau mau menjadi murdnya?"
Tanpa ragu2 In Hong mengiakan. Tong Kui Tik tertawa,
"Ai, engkau ini memang budak liar. Hong, ambilkan pipaku
di meja dalam." In Hong lari masuk kedalam ruangan. Tiba" ia menjerit
dan lari keluar lagi, "Engkong .... engkong .... mengapa
rahib itu berada dalam ruang kiia?"
"Rahib tua" Aneh, aku juga tak tahu," engkongnya
tertawa dan mengajak In Hong masuk.
"Suthay, memang beginilah watak cucuku yang liar itu,"
Tong Kui Tik tertawa lalu membentak In Hong, "Homg,
mengapa engkau tak lekas menghaturkan hormat dan maaf
kepada suthay, Sun Hui suthay adalah guru dari mendiang
mamamu!" In Hong terkejut dan gopoh berlutut memberi hormat
serta menghaturkan maaf. "Bangunlah, nak. Kalau melihat wajahmu, aku
terkenang pada ibumu," kata Sim Hui su;hay dengan
berlinang-linang. "Hong, adalah karena melihat wajahmu yang mirip
mamamu itu maka suthay tertarik dan hendak
mengambilmu sebagai murid," kata Tong Kui Tik.
Dari hasil pembicaraan, mengingat In Hong berat untuk
berpisah dengan engkongnya, maka Sim Hui suthay
tinggal beberapa waktu di gunung itu. Setiap setengah
tahun atau paling lama setahun sekali, Sim Hui suthay
tentu datang lagi untuk memberi pelajaran ilmusilat.
Song-ou-tiap kiam-hwat atau ilmupedang Sepasangkupu2
adalah ajaran dari Sim Hui suthay. Berkata suthay
itu, "Inilah ilmupedang yang pernah kuberikan kepada
mamamu dulu. Engkau harus mampu mempelajarinya dan
mencapai hasil yang lebih baik dari mamamu."
Ilmupedang Sepasang-kupu2 memiliki gaya dan gerak
yang lincah dan lemas. Sim Hui suthay telah
menciptakannya sendiri. Ilmupedang itu tepat sekali untuk
wanita. Sudah dua bahkan hampir tiga tahun Sim Hui suthay tak
datang. In Hong gelisah dan akhirnya mendesak
engkongnya diajak turun gunung mencari nenek-gurunya
itu. Kebetulan pula Wan-ong Kui memainkan ilmupedang
Peh-hoa-kiam atau Seratus-bunga. Ilmupedang itu serasi
sekali mempunyai imbangan ilmupedang Sepasang-kupukupu.
Yang satu berhamburan bagai seratus bunga mekar.
Yang satu berlincahan bagaikan sepasang kupu menarirari
diatas rumpm bunga. Tetapi Ko Cay Seng memang lihay. Walaupun dia
dijepit dan muka belakang tetapi dia masih dapat
menghalau ataupun menghindar dari ke dua taburan
pedang lawan. Hanya diam2 dia terkejut dan gelo karena
terlalu memandang rendah kepada lawan.
Sementara di partai lain yaitu Tong Kui Tik lawan
pertapa tua Suto Kiat, juga berlangsung pertempuran yang
dahsyat. Keduanya bertempur dengan tangan kosong, tetapi
dahsyatnya lebih dari nenggunakan senjata tajam.
Pertapa Suto Kiat itu memiliki ilmupukulan luar biasa
yakni Im-yang-ngo-heng-ciang atau Pukulan Lima-unsurnegatip-
positip. Suatu ilmu-pukulan yang sakti dari dunia
persilatan daerah Tibet. Disebut lima unsur karena pukulan
itu mengandung lima macam tenaga-dalam panas, dingin,
keras, lunak dan lekat. Untung kepandaian pertapa itu
belum mencapai tingkat yang tinggi dan baru mencapai
tataran ketujuh, Tetapi sekalipun demikian, hebatnya sudah
tak terperikan. Dengan susah payah Tong Kui Tik menggunakan
tenaga-sakti Kiu-yang-sin-kang, ilmu andalan dari
perguruan Go-bi-pay. Ku-yang-sin-kang bersifat lunak tetapi
menghancurkan yang keras.
'"Hm, siapakah pertapa ini " Walaupun ilmu pukulan Imyang-
ngo-heng-ciang yang dimiliki belum mencapai tataran
kesembilan, tetapi sudah begini hebat," pikir Tong Kui Tik.
Karena pernah mengembara ke daerah Tibet maka diapun
dapat mengenal ilmupukulan im-yang-ngo-heng ciang.
Ilmupukulan itu termasuk salah satu dari sepuluh Lui-ciang
atau Pukulan-geledek dari dunia persilatan Tibet.
Tetapi pertapa itu juga tak kurang kejutnya "Siapakah
orangtua ini " Mengapa dia memiliki tenaga-sakti Kiu-yangsin-
kang yang begini hebat ?"
Karena saling jeri, keduanya tak berani memandang
enteng lawan. Pada saat pertempuran yang berjalan serba
cepat dan dahsyat itu mencapai limapuluh jurus, tiba2
pertapa Suto Kiat menyerang dengan jurus Sin-eng-tian-ki
atau Rajawali-sakti-mengebas-sayap. Sspasang tangan
susul- menyusul melancarkan pukulan maut. Yang satu
di'ambari dengan tenaga-dalam keras dan yang satu
dengan tenaga-dalam lekat.
"Hm. apa boleh buat," pikir Tong Kui. Cepat dia
gunakan jurus Cui-ta jut-mui atau mabuk-keluar-pintu.
Jurus itu merupakan jurus serangan membalas serangan.
Dengan gerak sempoyongan seperti orang mabuk
sepasang tangan Tong Kui Tik pun berhamburan
menangkis dan menghantam tangan lawan.
Terdengar bunyi macam api disiram air ketika tangan
mereka beradu. Keduanya tersurut mundur dua langkah.
Tong Kui Tik rasakan lengannya kesemutan tetapi pertapa
itupun tergetar lengannya. Jelas keduanya berimbang.
Diam2 Tong Kui Tik terkejut. Belasan tahun ia
mengasing diri di gunung untuk mengasuh In Hong. Sejak
ditinggal mati oleh kedua orangtuanya, In Hong yang
masih kecil itu ikut pada eng-kongnya. Disamping


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengajarkan ilmusilat kepada cucunya, Tong Kui Tik
sendiripun giat berlatih ilmusilat, terutama untuk mencapai
kesempurnaan dalam tenaga-sakii Kiu-yang-sin-kang.
Tetapi dia tak kira bahwa begitu turun gunung dia harus
sudah bertemu dengan seorang pertapa dari Se-ik yang
berkepandaian begitu tinggi.
Ternyata pertapa Suto Kiat itu salah seorang kaki tangan
Torkun, panglima besar balatentara Ong. Demikian pula
sasterawan Ko Cay Seng. Keduanya memang diperintah
Torkun untuk menyelundup kedilam daerah kekuasaan
kerajaan Beng, untuk menyelidiki kekuatan mereka. Dan
juga untuk menghubungi dan membujuk jenderal2 maupun
mentri kerajaan Beng yang ingin berhamba pada kerajaan
Ceng. Sejak ikut Torgun, baru pertama kali itu Suto Kiat
menghadapi seorang lawan yang dapat mengimbangi
kepandaiannya. Tengah kedua lawan itu menumpahkan seluruh
kepandaiannya, sekonyong-konyong di sebelah sana
terdengar In Hong berteriak, "Hai, sasterawan gadungan,
engkau mempunyai muka atau tidak ?"
"Hm," desuh Ko Cay Seng dengan geram.
"Wan-ong-ko, berhenti dulu," teriak In Hong seraya
loncat ke belakang. ''Kenapa ?" walaupun heran namun Wang-ong Kui ikut
loncat mundur. "Tadi dia bilang dalam lima jurus tentu dapat
mengalahkan kita. Sekarang sudah berapa! jurus ?"
"Duapuluh lima jurus :"
In Hong berpaling kearah Ko Cay Seng, serunya, "Tuh
dengar tidak " Kalau minta tambah bilang dong terus terang
l" Merah padam muka Ko Cay Seng.
-oodwoo- Jilid: 9 Eh, ketemu lagi. Memang Ko Cay Seng lak menyangka kalau dia harus
memeras tenaga untuk menghadapi serangan sepasang
ilmupedang dari kedua lawannya. Ilmu pedang Peh-hoakiam
secara tak terduga, merupakan pasangan yang sesuai
dengan ilmupedang Song-ou-tiap-kiam. Sepasang
ilmupedang itu ternyata dapat saling mengisi
kekurangannya. Sebenarnya Ko Cay Seng memiliki ilmu permainan thiatpit
( pena besi ) yang hebat. Sepasang thiat-pitnya sekali
dimainkan dapat menusuk tujuh buah jalandarah pada
tubuh lawan. Kiu-kiong-sin-pit atau Pit-sakti-sembilan Istana. Yang di
maksud dengan istana disini tak lain adalah jalandarah
tubuh manusia. Ilmu pit Kiu-kiong-sin-pit itu sebenarnya
sekaligus dapat menusuk sembilan jalandarah Kang. Tetapi
Ko Cay Seng baru mampu meyakinkan menusuk enam
jalandarah. Mungkin dalam dunia persilatan, sudah tak ada
lagi tokoh yang mampu memainkan Kiu-kiong-sin-pit
sampai tataran yang tertinggi. Bahkan mampu menusuk
sampai enam buah jalandarah saja, sudah jarang terdapat.
Karena termakan oleh propokasi In Hong Ko Cay Seng
panas hatinya dan sumbar2 dengan tangan kosong dia akan
merubuhkan lawan dalan lima jurus. Dia tergelincir dan
harus menelan ejekan dari In Hong. Karena tak mau
menggunakan senjatanya thiat-pit dan hanya menggunakan
jari kedua tangannya untuk menutuk, dia harus hati2, dan
tak leluasa bergerak menghadapi pedang Wan-ong Kui
yang tajam luar biasa. Walaupun ia masih mampu menghadapi kedua
anakmuda itu sampai duapuluh jurus dalan kedudukan
menang angin, tetapi menurut perjanjian, dia harus
menyerah. Lima jurus dengan duapuluh lima jurus, terpaut
banyak sekali. "Bagaimana, mau minta tambah?" In Hong menegas
lagi. Sejenak Ko Cay Seng melirik ke arah pertapa Suto Kiat.
Dilihatnya kawannya itu sedang mati-matian menghadapi
lawan. Walaupun tidak kalah tetapi juga sukar memang.
Iapun menyadari bahwa In Hong itu seorang yang bermulut
tajam. Jika ia berkeras melanjutkan pertempuran itu, dia
tentu akan diejek habis habisan.
"Hm, aku seorang ksatrya yang memegang janji. Aku
bukan takut atau kalah dengan kalian budak2 yang tak
ternama, melainkan hanya hendak menetapi janji saja,"
kata Ko Cay Seng, "tapi ingat, lain waktu kalau bertemu
lagi, kalian tentu kucincang."
"Uh, engkau anggap ini daging sapi yang dapat dicincang
seperti bakso ?" dengus In Hong, "pergilah, kali ini aku
dapat mengampunimu ..."
Ko Cay Seng bersuit nyaring untuk melonggarkan
kesesakan dada dan memberi tanda kepada kawannya.
Setelah itu dia terus melesat pergi dan dalam beberapa kejap
menghilang di balik gerum bui.
Setelah melancarkan serangan dahsyat sehingga dapat
mendesak mundur lawan, pertapa Suto Kiatpun terus loncat
keluar dan menyusul Ko Cay Seng.
Tong Kui Tik duduk pejamkan mata. Melihat itu In
Hong menghampiri, "Engkong, engkau bagaimana ?"
Tong Kui Tik mengangkat tangan mengisyaratkan dara
itu jangan bicara. Dia sedang menyaIurkan napas
memulangkan tenaga. Sementara itu kedengaran Han Bi Ing menghela napas,
"Ah, kalau ayah benar2 sakit, aku dapat menjenguknya.
Orang itu sudah kabur, tak ada lagi yang dapat
menunjukkan tempat ayah...."
"Ing-moay," kata Wan-ong Kui, "kita dapat pergi ke
Thay-goan dan mencari sendiri."
"Tetapi Wan-ong-ko," sahut Han Bi Ing, "menurut kata
orang itu, ayah bersembunyi ditempat yang dirahasiakan.
Bagaimana mungkin kita dapat mencarinya ?"
"Apakah engkau percaya pada keterangan orang itu ?"
balas Wan-ong Kui. "Surat itu benar tulisan ayah," kata Han Bi Ing.
"Ya, memang," tiba2 terdengar Tong Kui Tik berseru.
Ternyata jago tua itu sudah berbangkit dari duduknya.
Sebelum In Hong sempat bertanya, dia sudah bicara dengan
Han Bi Ing. "Tong pehpeh," seru Han Bi Ing, "mengapa engkau
melarang permintaan ayah supaya aku kembali dengan
membawa peti harta itu ?"
"Ayahmu sendiri yang mengatakan."
"Ayahku mengatakan ?" Han Bi Ing terkejut.
"Coba engkau ulang apa baris pertama dalam surat
ayahmu itu ?" "Ayah menulis . . . 'ah, memang benar kata orang,
impian itu' harus dibalik artinya'. Beberapa waktu yang -
lalu aku bermimpi dipestakan orang dan dihormati dengan
besar-besaran seperti mempelai agung. Tak tahunya, aku
harus menderita ke dalam pertempuran. Kemudian aku
bermimpi dilempar kedalam sungai dan terdampar di
karang sunyi, ternyata aku tertolong . . . .". Maka aku harus
mengakui, bahwa pentafsiran impian itu arus dibalik
dengan kenyataannya....."
"Cukup," seru Tong Kui Tik, "berdasarkan itu ayahmu
telah memberi isyarat, bahwa segala apa yang ditulis dalam
surat itu, bahwa dia telah tolong dan dilidungi oleh
pembesar2 kerajaan Ceng, harus engkau balik. Kalau dia
mengatakan engkau pulang, jangan engkau pulang. Kalau
dia mengatakan supaya engkau membawa peti harta itu,
jangan engkau bawa peti itu....."
"Oh, Tong pepeh," serta merta Han Bi Ing memeluk kaki
Tong Kui Tik," terima kasih peh-peh. Aku memang buta
dan bodoh. Untung peh-peh telah menyelamatkan diriku."
Tong Kui Tik mengangkatnya bangun, "Ya, memang
orang harus perlu pengalaman hidup. Yang penting, kita
harus cermat dan waspada menghadapi segala apa."
"Wan-ong-ko, ilmupedangmu sungguh indah sekali,"
tiba2 In Hong berteriak, "apa namanya!
Wan-ong Kui tahu kalau In Hong itu seorang dara yang
lincah dan polos bicara. Dia pun mengatakan nama
ilmupedangnya. "Eh, mengapa serasi benar dangan ilmupedangku
Sepasang-kupu-kupu " Seratus bunga mekar dan kupu2
menari-nari, ah ... ."
"Tetapi sasteravvan tadi juga sakti. Dia tidak kalah.
Hanya karena dia terlalu congkak, dia tak dapat
mengalahkan kita dalam lima jurus. Andaikata tidak ada
perjanjian itu tentulah kita yang kalan," sahut Wan-ong
Kui. In Hong mengangguk, "Ya, benar. Walaupun hanya
duapuluh lima jurus, tetapi dia dapat menghadapi serangan
pedang kita berdua dengan tangan kosong. Engkong,
siapakah sasterawan itu."
Tong Kui Tik gelengkan kepala, "Dalam ke sempatan
melirik keadaanmu tadi, dia menggunakan dua buah jari
tangan kanan dan kirinya untuk menutuk pedangan. Jelas
dia tentu seorang ahli tutuk yang lihay. Tetapi aku tak
kenal." "Dia adalah Kiu-kiong-thiat-pit Ko Ca Seng," tiba2 Han
Bi Ing berseru. Sekalian orang terkejut. In Hong cepat bertanya,
"Bagaimana cici tahu" Bukankah tadi cici mengatakan tak
kenal dengan orang itu?"
"Ayah pernah menyebut namanya tetapi aku memang
belum pernah tahu orangnya," jawab Han Bi Ing.
"O, Kiu-kiong-thiat-pit" Kiu-kiong itu artinya sembilan
istana. Dan thiat-pit adalah pena besi. Apa artinya?"
"Ayah mengatakan bahwa Kiu-kiong-thiat-pit Ko Cay
Seng itu seorang ahli tutuk jalandarah yang sakti," kata Han
Bi Ing. "Benar," sahut Tong Kui Tik, "sekarang aku ingat.
Empatpuluh tahun yang lalu, dunia persilatan mengenal
seorang tokoh termasyhur bernama Ko Sam Hiap bergelar
Kiu-kiong-thiat-pit. Dengan sepasang pena besi dia dapat
menutuk sembilan buah jalandarah ditubuh lawan. Kiukiong
bukan sembilan istana tetapi sembilan buah
jalandarah manusia."
"Jika begitu mungkinkah sasterawan tadi putera dari Ko
Sam Hap itu?" tanya In Hong.
"Mungkin saja, mengingat dia juga orang she Ko.
Sedangkan Ko Sim Hiap sudah berpuluh-puluh tahun tak
terdengar beritanya lagi. Kabarnya dia sudah mati," kata
Tong Kui Tik lalu beralih kepada cucunya, "Hong,
mengapa engkau tak dapat merobah watakmu?"
"Watak yang bagaimana, engkong?"
"Suka mengolok-olok orang. Untung sasterawan tadi
sombong, kalau tidak, andaikata dia marah dan
menyerangmu dengan senjata thiat-pit, apakah engkau
mampu melawan?" In Hong tertawa mengikik, "Jelek2 begini aku dapat
mengenal watak orang, engkong. Kalau berhadapan dengan
seorang lawan yang serius dan cerdik, aku tak berani
menggodanya. Tetapi kalau dia sombong seperti sasterawan
tadi, tentu akan kupancing kemarahannya supaya dia panas
hati, sumbar dan lengah, hi, hi, hi . . . . "
Tong Kui Tik hanya geleng2 kepala. Kemudian dia
bertanya kepada Han Bi Ing kemana tujuannya.
"Tong pehpeh," kata Han Bi Ing, "menilik surat itu
memang tulisan ayah, tentulah ayah masih hidup. Maka
kupikir aku hendak menuju ke Thay-goan saja untuk
mencari ayah." "Jangan," Tong Kui Tik gelengkan kepala, "ayahmu jelas
tak menghendaki hal itu."
"Tetapi pehpeh," bantah Han Bi Ing, "bukankah dia akan
menderita tanpa ada yang dapat memberi pertolongan"
Kalau dia masih hidup, jelas dia tentu ditawan orang2
Ceng." "Kutahu ayahmu seorang yang cerdik. Dia tahu kerajaan
Ceng membutuhkan orang2 berilmu tinggi seperti dia.
Walaupun ditawan tetapi dia tentu belum sampai disiksa.
Untuk sementara ini dia tentu tak menderita suatu apa,
kecuali hanya kebebasannya yang dirampas."
"Lalu aku harus bagaimana, Tong pehpeh?"
"Laksanakan perintah ayahmu semula."
"Menuju ke Lou-hu-san?"
"Ya." "Tetapi pehpeh. Aku tak mau bersenang-senang diri
sendiri kalau ayah sampai menderita."
"Kim tayhiap itu dulu pemimpin dunia persilatan.
Puteranya tentu kenal dengan berbagai ketua perguruan
maupun tokoh2 ternama. Kalau putera Kim tayhiap
meminta, tentulah mereka akan membantu untuk
membebaskan ayahmu."
"Benar, Ing-moay," kata Wan-ong Kui, "apa yang
dikatakan Tong lopeh itu memang benar. Nanti setelah tiba
disana, kita dapat mencari daya untuk menolong ayahmu."
Han Bi Ing mengangguk. "Engkong, mari kita ikut mengantar cici Ing. Bukankah
dulu waktu pemakaman Kim tayhiap, engkong tak dapat
hadir. Nah, engkong dapat meminta maaf kepada
puteranya itu," seru ln Hong.
"Apa engkau tak jadi mencari nenek-gurumu?"
"Bukankah engkong mengatakan bahwa putera Kim
tayhiap itu tentu kenal dengan tokoh2 persilatan. Bukankah
kita dapat menanyakan diri nenek-guru kepada mereka?"
Tong Kui Tik diam tetapi akhirnya dia menyetujui juga.
Demikian mereka berempat segera melanjutkan perjalanan
ke Lou-hu san. Disepanjang perjalanan tak ada peristiwa yang penting,
Hanya hubungan antara Wan-ong Kui dengan Han Bi Ing
maupun In Hong, makin akrab. Lucunya, Wan- ong Kui
dapat merasakan, bahwa kedua gadis itu seolah-olah terlibat
dalam persaingan untuk mendekati dia.
"Celaka," diam2 Wan-ong Kui mengeluh dalam hati,


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"kalau saja mereka tahu aku ini siapa, uh....."
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di-tempat
tujuan. Gunung Lou-hu-san mempunyai beberapa puncak.
Tempat kediaman Kim Thian Cong di puncak Giok-li-nia.
Makin dekat dengan tempat yang dituju, makin
teganglah hati Wan-ong Kui dan Han Bi Ing, Hanya saja
ketegangan mereka itu tidak sama bahkan saling
bertentangan. Han Bi Ing gelisah membayangkan bagaimanakah
kiranya putera Kim Thian Cong itu. Adakah dia seorang
pemuda yang cakap dan berbudi halus seperti Wan-ong
Kui" Adakah pemuda itu nanti mau menerimanya sebagai
isteri" Adakah .... adakah .... banyak nian pertanyaan
adakah yang menghuni dalam benak si jelita itu.
Sedangkan Wan-ong Kui mempunyai lain renungan. Ia
merenungkan tentang peristiwa beberapa tahun yang lalu
dengan putera Kim Thian Cong yang bernama Blo'on. Ia
gemas dan merasa terhina sekali atas tindakan Blo'on
kepadanya. Jika Blo'on mau minta maaf dan mengakui
kesalahannya serta bersedia melanjutkan lagi ikatan itu, dia
. .. dia dapat mengampuni. Tetapi kalau pemuda itu
berkeras kepala menolak, dia tetap akan membunuhnya.
"Ah, kasihan Han Bi Ing, dia akan menjadi janda. Tetapi
apa boleh buat," akhirnya ia meneguhkan rencana dalam
hatinya. Sayup2 tampak genteng warna merah dari sebuah
bangunan yang berdiri di puncak Giok-li-nia, Makin lama
merekapun makin mendekati bangunan itu.
"Ah, putera Kim tayhiap itu tentu sudah besar," kata
Tong Kui Tik. "Engkong, apakah engkau kenal padanya ?"
Tong Kui Tik gelengkan kepala.
Tak berapa lama merekapun melihat sebuah bangunan
rumah gedung besar. Diatas pintu rumah itu tergantung
sebuah papan bertuliskan Wisma Damai.
Saat itu hari sudah menjelang petang. Kabut malam
mulai bertebaran menimbulkan hawa dingin.
"Ai, aneh benar pemuda itu. Masakan krasan tinggal
ditempat gunung yang begini sunyi senyap," gumam In
Hong. Pintu gedung itu tidak tertutup dan mereka pun
melangkah masuk. Tetapi keadaannya sunyi senyap tiada
tampak barang seorangpun juga. Bahkan perabot di ruang
itu juga amat sederhana, hanya seperangkat meja kursi.
Satu-satunya perhiasan hanya sebuah lukisan seorang lelaki
yang cakap dan berwibawa. Lukisan itu tertempel pada dinding
dan didepannya terdapat sebuah meja dari sebuah hiolou
atau tempat dupa. Dua batang dupa masih menyala
mengemelutkan asapnya yang harum.
"Ah, Kim tayhiap," seru Tong Kui Tik seraya
menghampiri ke muka meja dan membungkukkan tubuh
memberi hormat dengan khidmat.
"Hong, ayo haturkan hormat kepada Kim tayhiap,"
serunya. In Hongpun segera melakukan perintah Wan- ong Kui
dan Han Bi Ing juga ikut memberi hormat.
Diam2 Han Bi Ing memperhatikan gambar besar pada
dinding itu. Seorang lelaki yang berumur setengah baya.
Wajahnya cakap, mata dan sepasang alisnya yang lebat,
menampilkan kewibawaan dan keperibadian yang kuat.
Diam-diam ia membayangkan bahwa putera Kim Thian
Cong tentu juga memiliki keperibadian seperti ayahnya.
"Ah, hidup manusia itu memang seperti bermimpi. Sejak
berpisah dengan Kim tayhiap pada tigapuluh tahun
berselang, aku tak dapat bertemu lagi dengannya untuk
selama-lamanya.....," Tong Kui Tik menghela napas.
"Macan mati meninggalkan kulit, manusia mati
meninggalkan nama. Walaupun sudah meninggal tetapi
nama Kim Thian Cong akan tetap di kenang untuk selamalamanya.
Hong, ingatlah, engkau harus hati2 menjaga
nama," kata Tong Kui Tik pula.
"Tetapi engkong, aku kan hanya seorang anak
perempuan . . ." "Jangan mempunyai pikiran begitu, Hong," sahut Tong
Kui Tik, "bukankah nama Hoa Bok Lan tercatat sebagai
serikandi yang takkan terlupa sepanjang jaman ?"
"Ah, engkong, mana aku mampu menyamai Hoa Bok
Lin ?" "Itulah," seru Tong Kui Tik," ibarat orang bertanding,
engkau sudah kalah sebelum bertanding. Engkau telah
memperkalahkan dirimu sebelum engkau berusaha. Itu
anggapan salah, Hong. Setiap orang harus jangan merasa
dirinya sudah kalah tetapi harus memiliki pendirian bahwa
apa yang lain orang mampu, kitapun dapat melakukan
juga." "Ah, lain kata lain kenyataannya, engkong," bantah In
Hong. "Nah, itu yang disebut 'kalah sebelum bertanding'.
Karena merasa sudah kalah, maka engkaupun lemas tak
bersemangat lagi untuk berusaha. Itu salah," kata Tong Kui
Ttk, "jangan mempunyai anggapan begitu tetapi berusaha
dan berjuanglah. Soal berhasil atau gagal tidak akan
mengurangi nilai daripada perjuanganmu yang engkau
lakukan dengan sungguh hati. Bukankah dewasa ini negara
sedang terancam musuh dari luar " Nah, inilah kesempatan
yang baik bagaimu untuk berjuang."
Sementara engkong dan cucunya itu sedang tukar
pembicaraan, Wan-ong Kui juga mempunyai kesan sendiri
terhadap gambar dari Kim Thian Cong. Ia menghela napas
dalam hati. Dia sendiri tak tahu apa arti daripada helaan
napas itu. "Hai siapakah yang mengganggu ketenangan ruang
sembahyang ini !" tiba2 terdengar suara orang berseru tak
senang. Tong Kui Tik dan ketiga pemuda serempak berpaling
kearah suara itu. Seorang pemuda yang bertampang cakap
dan halus masuk ke dalam ruang itu. Mereka tertegun
ketika pemuda itu tiba dihadapan mereka.
Pemuda itu nyentrik sekali. Mukanya putih karena
dilumuri bedak. Memakai kopiah kepala dari kain tetapi
sampingnya diberi dua buah lubang. Dari kedua lubang itu
mencuat keluar seuntai rambut seperti kuncir, mengenakan
celana hitam dan baju merah.
Han Bi Ing terbeliak, Wan-ong Kui melotot dan In Hong
mendelik. Hanya Tong.Kui Tik yang tenang2 memberi
salam, "Maaf, kami telah lancang masuk kedalam ruang
ini." "Hm. mau apa kalian datang kemari ?" tegur pemuda
berkuncir itu. "Maaf boleh kami tahu siapakah anda ini ?" kata Tong
Kui Tik. "Aku yang bertanya dulu !" seru pemuda itu.
"O. kedatangan kami ini hendak mohon bertemu dengan
Kim kongcu." "Siapa Kim kongcu itu ?"
"Putera Kim Thian Cong tayhiap."
"Apa engkau belum kenal dengan pemuda itu ?"
"Belum." "Aneh," gumam pumuda nyentrik, "kalau belum kenal
mengapa hendak bertemu. Tong Kui Tik terkesiap. Ia heran melihat sikap dan
bicara pemuda itu. Sebelum ia menerangkan lebih lanjut, In
Hong sudah tak kuat dan menyelutuk, "Mengapa aneh " Ini
kan bukan urusanmu. Siapa engkau " Lekas panggilkan
Kim kongcu" "Ini bukan hotel dan aku bukan jongos, mengapa engkau
memberi perintah seperti tuan-besar saja !" balas pemuda
nyentrik itu. Tong-Kui Tik tahu bagaimana perangai cucunya. Untuk
menghindari ramai2, buru2 dia berkata, "Hong, tak boleh
kurang sopan. Kita ini tetamu."
"Ya tetapi dia bicaranya seperti cuka !'
"Kailau enigkau diperlakukan tak sopan oleh orang, yang
malu bukan engkau tetapi orang itu," kata Tong Kui Tik
lalu berpaling kepada pemuda nyentrik itu, "Maaf, sekali
lagi kami hendak mohon bertemu dengari putera Kim
tayhiap. Kami datang dengan membawa persahabatan dan
kedamaian." "Ada beperluan apakah anda hendak bertemu dia ?"'
"Ajakah perlu harus diterangkan "
"Ya." "Mengapa " Bukankah nanti apabila bertemu dengan
Kim kongcu akan dapat mengatakannya ?"
"Setiap orang yang hendak bertemu harus lebih dulu
memberitahu keperluannya."
Tong Kui Tik tertegun. Tiba2 Wan-ong Kui maju,
tegurnya, "Siapa engkau?"
"Engkau lihat aku ini siapa ?"
"Kim Bloon !" Pemuda nyentrik itu tidak kaget tetapi tenang-tenang
berkata, "Bagaimana engkau tahu ?"
"Itu bukan urusanmu," balas Wan-ong kui.
"Siapa engkau ?"'
"Engkau lihat aku ini siapa ?" Wan-ong Kui balas
menirukan gaya pemuda nyentrik tadi.
'"Setan !" Wan-ong Kui terus hendak memukul.
"Eh, mau pukul-pukulan atau mau bertamu!" bentak
pemuda nyentrik itu. "Engkau menghina aku !"
'"Engkau suruh aku melihat dirimu dan aku mengatakan
keadaan yang sebenarnya. Mengapa engkau marah!"
"Wan-ong siau-heng, harap sabar," seru Tong Kui Tik,
"engkau bilang dialah putera Kim tay hiap itu ?"
"Siapa lagi kalau bukan pemuda macam begitu !" Wanong
Kui menggeram. "Benarkah engkau putera Kim tayhiap ?"
"'Ya, ampuuuun.....," tiba2 In Hong melengking.
"Ohhhh," Han Bi Ing mendesuh.
In Hong benar2 tak menyangka bahwa putera seorang
pendekar besar seperti Kim Thian Cong ternyata seorang
pemuda yang blo'on. Han Bi Ingpun seperti diguyur air es. Pemuda yang
dibayangkan tentu miliki sifat2 seperti gambar Kim Thian
Cong ternyata seperti seorang badut. Rambutnya dibelah
menjadi dua untai kuncir dan mukanya berbedak tebal
seperti badut. Ah, apakah dia harus jadi isteri pemuda
semacam itu"." "Wan-ong-ko?"," tak terasa Han Bi Ing mengeluh
pada pemuda cakap itu. "Eh, apa-apaan itu, ya ampun " Engkau minta ampun
kepada siapa ?" tegur pemuda nyentrik yang mengaku
sebagai putera Kim Thian Ceng.
"Hong, sudahlah," cepat Tong Kui Tik mencegah
cucunya bicara. Lalu dia berseru kepada pemuda nyentrik
itu, "O, sutit, engkau sudah begini besar," dia terus hendak
memeluk pemuda itu, Tetapi pemuda itu menyurut
mundur. "Eh, nanti dulu, siapa engkau, aku belum kenal, jangan
main peluk saja !" serunya.
Tong Kui Tik menerangkan bahwa dia sahabat Kim
Thian Cong yang sudah tigapuluh tahun tak berjumpa,
"Kim sutit, aku sungguh menyesal dan minta maaf karena
tak dapat menghadiri upacara pemakaman ayahmu."
"Tak perlu !" "Lho, kenapa ?" Tong Kui Tik terkejut
"Kalau mau minta maaf, mintalah kepada arwah ayah,
tak perlu kepadaku."
"Eh, engkau kan puteranya."
"Ya, tetapi aku sendiri juga tidak hadir waktu itu."
"Hah ?" Tong Kui Tik terperanjat," engkau tidak hadir
dalam upacara pemakaman ayahmu?"
"Sudah kukatakan tidak."
"Mengapa?" "Dia sedang sakit, engkong," tiba2 In Hong menyelutuk.
Dia tak tahan melihat sikap pemuda nyentrik itu.
"Sakit apa?" Tong Kui Tik heran.
"Sakit ayan . . . . "
"Budak liar, jangan lancang mulut. Aku tidak punya
penyakit ayan!" teriak pemuda nyentrik itu.
Mau tak mau Wan-ong Kui tertawa. Diam2 Tong Kui
Tik juga geli. "Dia benar, engkau salah, adik Hong," seru Wan-ong
Kui. "Lalu apa penyakitnya?" In Hong masih me nanggapi.
"Sinting!" "Jahanam engkau!" pemuda nyentrik itu rnencak2 karena
dimaki sinting, "aku waras, aku tidak sinting!"
"Kalau waras, mengapa engkau seorang pemuda
memakai bedak setebal itu?" seru ln Hong.
"Budak perempuan liar, ketahuilah!" seru pemuda
nyentrik sambil deliki mata, "disini hawanya dingin dan
banyak nyamuk. Kalau malam terpaksa mukaku kubedaki
begini. Bedak itu dapat menolak nyamuk dan menahan
hawa dingin." "Kim kongcu, kemana sajakah engkau ketika
pemakaman ayahmu itu"'' tanya Tong Kui Tik pula.
"Mengembara." "Cari cengkerik barangkali ..." tiba2 Iri Hong mengoceh
pula. Sekalian orang tertawa. Walaupun Tong Kui Tik deliki
mata kepada dara itu tetapi diam2 dia juga geli.
"Eh, budak perempuan liar, apa engkau kira aku ini anak
kecil?" tegur pemuda nyentrik itu.
"Siapa yang bilang engkau anak kecil?"
"Bukankah cari cengkerik itu perbuatan anak kecil?"
"Tidak selamanya anak kecil. Orang tuapun dapat juga
mencari cengkerik. Semisal tidak selama yang berbedak itu
harus orang perempuan, orang lakipun juga pakai bedak . . .
. " "Budak perempuan, ini tempatku. Kalau engkau terus


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerus bersikap liar, tentu akan kuusir dari sini!"
"Ya, ampuuuuun, marah ya?"
"Sudahlah, Hong, jangan kurang sopan," seru Tong Kui
Tik lalu berkata pula kepada pemuda nyentrik itu, "Kim
kongcu, kedatanganku kemari ini hanyalah perlu untuk
menyambangi sahabatku Kim tayhiap. Maukah kongcu
menunjukkan dimana makam ayahmu itu?"
"Mau apa tanya makam ayah?"
"Aku hendak berziarah ke sana untuk menghaturkan
maaf dan hormatku kepada arwah Kim tayhiap."
"Jangan!" Tong Kui Tik terbeliak. Aneh sekali pemuda ini,
pikirnya. Tetapi dia makin mendapat kesan bahwa putera
Kim Thian Gong itu memang agak tidak normal
pikirannya. Dia tak marah, kebalikannya malah menghela
napas sedih. Sedih atas nasib Kim Thian Cong, seorang
pendekar besar yang harum namanya dan diangkat sebagai
pemimpin dunia persilatan tetapi mempunyai putera yang
tidak waras pikirannya. "Kim kongcu, mengapa engkau tak memperbolehkan
aku berziarah ke makam ayahmu?" katanya dengan nada
masih penuh kesabaran. In Hong heran. Berulang kali engkongnya menerima
kata2 yang menusuk hati dari pemuda nyentrik itu tetapi
mengapa engkongnya masih bersabar saja. Ah, In Hong
memang tak tahu perasaan hati engkongnya terhadap
keluarga Kim Thian Cong. "Engkau tak tahu," kata pemuda nyentrik itu, "bahwa
untuk berziarah ke makam ayah harus ada izin dulu."
"Izin" Izin dari siapa?" Tong Kui Tik heran.
"Izin dari tujuh perguruan besar."
"Tujuh perguruan besar yang mana saja?"
"Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Hoa-san-pa, Go-bi-pay,
Kun-lun-pay, Kong-tong-pay dan Kay-pang."
"Mengapa harus minta idin kepada ketujuh perguruan
besar itu?" "Karena merekalah yang bertanggung jawab akan
keselamatan jenasah ayah."
"Bertanggung jawab atas keselamatan jenasah Kim
tayhiap?" "Ya." "Aneh," gumam Tong Kui Tik, "apakah jenasah Kim
tayhiap pernah diganggu orang?"
"Ya," sahut pemuda yang dianggap sebagai Kim Blo'on
putera Kim Thian Cong, "pada waktu hendak dimakamkan,
jenasah ayah telah hilang dicuri orang."
"Minta ampuuuuun," kembali In Hong melengking.
"Eh, apa engkau punya sakit jantung, budak liar?" tegur
Blo"on kepada In Hong.
"Siapa bilang!"
"Kalau tidak mengapa tiap kali engkau selalu minta
ampuuun saja." "Hi, hik," In Hong tertawa mengikik, "cengkerik di
gunung tahunya hanya ngerik saja. Tak tahu kalau di kota
ada alat tetabuhan yang sangat merdu semacan harpa.
Minta ampuuuun itu adalah istilah baru yang tersebar di
kota, menyatakan kalau orang terkejut dan heran melihat
sesuatu yang ganjil. Coba saja engkau turun ke kota, tentu
setiap orang akan berteriak minta ampuuuuun kalau ketemu
engkau !" "O, jenasah Kim tayhiap pernah dicuri orang" Siapakah
pencurinya ?" buru2 Tong Kui Tik mengikat perhatian
Blo'on dengan pertanyaan.
"Ah, soal itu panjang sekali kalau diberitakan. Cukup
kalau kukatakan bahwa persoalan itu sudah dapat
diselesaikan dan jenasah ayah sudah diketemukan dengan
selamat. Namun sekalipun begitu, ketua dari ketujuh
perguruan besar itu tetap sepakat untuk mengadakan
peraturan bahwa barangsiapa yang hendak berkunjung ke
makam ayah harus mendapat idin dari mereka."
"Ah, sukar. Perguruan itu tersebar di beberapa tempat
yang jarak masing2 amat jauh. Bagai mana mungkin aku
hendak memperoleh idin itu?" Tong Kui Tik menghela
napas. "Maka lebih baik kalian lekas tinggalkan tempat ini dan
tak perlu harus berziarah kemakam ayah," kata Blo"on.
In Hong marah karena engkongnya secara halus diusir.
Tetapi sebelum dara itu sempat membuka suara, Tong Kui
Tik sudah berkata lagi, "Masih ada sebuah hal vang ingin
kutanyakan kepadamu, Kim kongcu."
"Soal apa?" "Apakah tak ada ketua dari ketujuh perguruan besar itu
yang datang kemari ?"
"Dulu ada," kata Blo'on, "tetapi sekarang jarang."
'"Siapa yang datang kemari ?"
"Tak tentu," jawab Blo'on "tetapi yang paling sering
adalah Hui Gong taysu dari Siau-lim-si dan Ang Bin tojin
dari Bu-tong-pay. Ada kalanya Hong Hong tojin dari Go-bipay
dan lain2." "O, apakah mereka datang sendiri ?"
"Tidak tentu. Ada kalanya hanya mengirim salah
seorang muridnya." "Baik." "Masih ada pertanyaan lagi ?".
"Tidak," "Jika begitu, silahkan tinggalkan tempat ini."
"Aku sih sudah tak ada urusan, tetapi Wan ong kongcu
ini masih ada," kata Tong Kui Tik.
"Wan-ong kongcu" Kongcu dari mana dia"*
"Ya aku inilah," seru Wan-ong Kui seraya maju
selangkah ke muka. "'O, engkau yang mau marah tadi. Ada keperluan apa
engkau kemari ?" "Dua urusan," sahut Wan-ong Kui, "kesatu, aku
mengantarkan nona Han Bi Ing dari kota Thay-goan."
"Dan yang kedua "'
"Yang kesatu dulu," sahut Wan-ong Kui, "setelah selesai
baru kukatakan yang kedua."
"Apa keperluan nona Han Bi Ing datang kemari ?" tanya
Blo'on. "Silakan tanya sendiri kepada nona Han."
Blo'on mengulangi pertanyaannya kepada Han Bi Ing.
Nona itu dengan malu2 menyahut, "Aku hendak
menyerahkan surat dari ayahku."
"O, menyerahkan surat kepada siapa ?"
"Kepada putera Kim Thian Cong tayhiap di puncak
Giok-li-nia sini. Apakah engkau benar puteranya ?"
"Engkau anggap aku pantas tidak menjadi putra ayahku
?" balas Blo'on. "Pantas tak pantas, kalau memang benar puteranya, ya
harus tetap puteranya."
"Benar puteranya atau bukan, juga terserah pada
anggapanmu sendiri. Kalau engkau menganggap aku putera
ayah, memang aku puteranya. Tetapi kalau engkau anggap
bukan, ya bukan." "Aneh," gumam In Hong, "kalau anaknya bilang terus
terang. Kalau bukan ya harus bilang secara jujur. Mana
pakai anggapan segala."
"Ya," Han Bi Ing menambah, "kalau benar puteranya,
bilang putranya. Kalau bukan, ya bilang bukan. Karena
surat ini hanya boleh kuserahkan kepada putera Kim
tayhiap saja." "Sudah kukatakan," sahut Blo'on, "terserah engkau mau
menganggap aku ini putera Kim tayhiap atau bukan.
Demikian pula dengan surat ini. Kalau mau menyerahkan,
boleh. Tidak pun tak apa. Aku tak mempunyai kepentingan
dengan surat itu." "Ing-moay," tiba2 Wan-ong Kui menengahi, "dia
memang Kim Blo'on putera Kim tayhiap."
"O, pantas, pantas," In Hong berteriak seraya bertepuk
tangan. "Kenapa budak liar !" bentak Blo'on.
"Onng menamakan benda atau anak, tentu harus
disesuaikan dengan wajudnya. Dan eigkau memang tak
mangecewakan dengan namamu itu."
"Engkau menghina ?"
"Tidak." sahut In Hong yang tajam lidah "aku hanya
berkata menurut keadaan yang sebenarnya. Apakah orang
seperti engkau harus memakai nama Tay Hong atau
pahlawan besar" Kan tidak pantas. Kalau ayahmu .memberi
kau nama Blo'on, itu memang tepat sekali."
"Hm, cewek2 semacam engkau memang genit-genit.
Tetapi coba saja, pada suatu hari engkau tentu akan
menangis." "Mengapa "'" In Hong heran.
"Kalau melihat mulutmu yaag tajam, tingkah ulahmu
yang liar dan sikapmu yang genit, pemuda mana yang sudi
memperisteri engkau" Nah pada saat itulah kelak engkau
akan menangisi karena tak dapat jodoh ...-."
"Tutup mulutmu, blo'on sinting!" teriak In Hong dengan
merah padam karena malu, "daripa mendapat lelaki
semacam engkau, lebih baik aku tak kawin. Hanya gadis
yang . . . . " tiba2 ia tak melanjutkan perkataannya karena
teringat akan Han Bi Ing. Dia kuatir kata2 itu akan
menyinggung perasaan Han Bi Ing.
"Genit, mengapa tak melanjutkan perkataanmu" Gadis
yang .... yang bagaimana, hayo, bilanglah!" teriak Blo'on.
"Gadis yang tak tahu dan tak kenal kepadamu!" dengan
lincah dara itu dapat mengalihkan jawabannya.
"Hong, sudahlah, biarkan nona Han Bi Ing melanjutkan
pembicaraannya," kata Tong Kui Tik.
"Engkau mau menerima surat dari ayahku atau tidak?"
rupanya Han Bi Ing jengkel juga melihat tingkah dan
ucapan Blo'on. "Lho, aneh, engkau mau menyerahkan kepadaku atau
tidak?" balas Blo'on.
Wan-ong Kui menyambar surat dari tangan Han Bi Ing
lalu menyerahkan kepada Blo'on, "Nih, terimalah dan baca
apa isinya!' Dengan santai Blo'on membuka surat itu. Seketika
wajahnya mengerut tegang, "Ah, tak mungkin . . . . "
"Apa yang tak mungkin?" seru Wan-ong-Kui. Dia sudah
tahu persoalannya dan dia mewakili Han Bi lng untuk
berbicara dengan Blo'on. Ia tahu sebagai seorang gadis, Han
Bi Ing tentu malu untuk mengurus tentang perjodohan
dirinya. Apalagi harus otot-ototan dengan seorang pemuda
nyentrik seperti Blo'on. "Siapa Han Bun Liong itu, aku tak kenal."
"Dia jelas ayah dari nona ini."
"Terserah dia punya anak siapa. Tetapi aku tak pernah
merasa kenal dengan dia, mengapa dia terus berani
menetapkan perjodohan ini!''
"Jelas hal itu sudah disetujui oleh kedua orangtua, ayah
nona Han dan ayahmu."
" Tanyakan saja pada ayah."
"Engkau gila!" teriak Wan-ong Kui, "bukankah Kim
tayhiap sudah meningal dunia?"
"Engkau susul ke akhirat atau tunggu saja kalau ayah
kelak menitis kembali."
"Kim Blo'on, jangan sembarangan bicara seenakmu
sendiri," hardik Wan-ong Kui dengan nada tajam, "ini
bukan urusan guyon tetapi mengenai nasib orang."
"Habis, aku harus bilang bagaimana?" seru Blo'on.
"Bukankah isi surat itu sudih jelas?"
"Memang jelas," sahut Blo'on, "tetapi aku tak tahu
menahu soal itu. Ayah tak pernah bilang apa2 kepadaku."
"Apakah ibumu tak pernah bererita?"
"Ibuku sudah meninggal sejak aku masih kecil."
Wan-ong Kui tertegun. Sesaat kemudian ia berkata pula,
"Tetapi engkau harus percaya kepada apa yang dikatakan
Han lo-enghiong, ayah nona Han Bi Ing ini. Kalau tak ada
persetujuan begitu, masakan dia mau menyuluh nona Han
datang kemari." "Eh, bung, jangan mendesakkan alasan yang tak ada
landasannya. Andaikata engkau, apakah engkau terus mau
menerima saja hal itu. Engkau belum kenal dengan
seseorang, lalu tiba2 engkau menerima suratnya yang
menjodohkan puterinya kepada engkau. Apakah engkau
terus kontan menerimanya?"
Wan-ong Kui tertegun. Memang pertanyaan Blo'on itu
sukar dijawab. "Han lo-enghiong seorang tokoh yang termasyhur kaya,
dermawan dan gagah. Bagaimana mungkin beliau hendak
menipu engkau?" bantah Wan-ong Kui.
"Engkau benar," kata Blo'on, "tetapi untuk engkau
sendiri. Sedang untuk aku, tidak bisa. Aku belum kenal
dengan Han lo-enghiong dan ayahku juga tak pernah
mengatakan hal itu. Bagaimana mungkin aku dapat
menerimanya begitu saja?"
Wan-ong Kui tertegun. "Ada dua jalan," kata Blo'on lebih lanjut "jika engkau
hendak menyelesaikan persoalan ini."
"Bagaimana?" "Pertama, aku minta supaya Han lo-enghiong datang
kemari untuk memberi kesaksian hal itu. Kedua, harus
mencarikan bukti bahwa mendiang ayah, pernah
mengadakan persetujuan begitu.
"Kalau salah satu dari permintaanmu dapat
kulaksanakan, apakah engkau mau menerima?"
"Itu baru soal resmi atau tak resminya surat itu. Jelasnya,
baru suatu bukti tentang terjadi per setujuan antara ajah
dengan Han lo-enghiong saja. Soal aku menyetujui atau
tidak, masih akan kupertimbangkan lagi."
"Wan ong-ko," teriak Han Bi Ing, "ambil kembali surat
itu!" "Kenapa, Ing-moay?"
"Aku hanya menuruti perintah ayah. Aku tidak akan
mengemis belas kasihannya. Bahkan aku berterima kasih
karena dia tak mengakui surat itu dan akupun tidak terikat
lagi!" kata Han Bi Ing dengan nyaring.


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, Ing-moay," kata Wan-ong Kui lalu mengajak
sekalian orang keluar. "Hai, bukankah engkau masih ada urusan lagi dengan
aku?" "Tunggu!" seru Wan-ong Kui, "nanti aku segera kembali
kesini lagi." Setelah keluar dari wisma, berkatalah Wan-ong, "Tong
lopeh, Ing-moy dan nona In, tolong kalian tunggu disini.
Aku hendak menemui Kim Blo'on lagi."
"Lho aneh," seru In Hong, "mengapa kita tak boleh
mendengarkan" Apakah rahasia?"
"Ya, anggaplah begitu," Wan-ong Kui berkata dengan
nada terpaksa, "nanti setelah selesai, akan ku beritahu
kepada kalian." " Habis berkata Wan-ong Kui terus masuk
kedalam wisma lagi. "Engkau mau mengatakan soal yang kedua?" tegur Kim
Blo'on. "Ya," sahut Wan-ong Kui, "tetapi soal ini menyangkut
urusan peribadi kita. Kuharap jangan engkau beritahukan
kepada siapa juga, tahu?"
"O, ada urusan peribadi" Apakah itu?" Kim Blo'on
heran. "Bukankah pikiranmu masih waras?"
"Apa engkau kira aku ini gila?"
"Baik, dengarkan dan jawablah pertanyaanku ini," kata
Wan-ong Kui. "Hm". "Beberapa tahun yang lalu, apa engkau masih ingat kalau
engkau pernah berkelana?"
"Ya." "Apa engkau pernah mengobati puteri baginda Ing Lok
yang sakit keras itu?"
"Rasanya pernah."
"Jangan pakai rasanya. Pernah atau tidak, jawab yang
tegas!" "Ya." "Engkau dapat menyembuhkan penyakit ki-ongcu (
puteri raja ) atau tidak?"
"Ya, kong-cu memang sembuh."
"Lalu seri baginda Ing Lok mengganjar engkau hadiah
apa?" "Puteri itu." "Bagus," seru Wan-ong Kui, "siapa nama puteri yang
akan dijodohkan kepadamu itu?"
"Eh, mengapa engkau bertanya begitu melilit?"
"Jawab!" bentak Wan-ong Kui.
"Aku lupa namanya."
"Gila!"' teriak Wan-ong Kui, "masakan puteri yang
hendak dijodohkan kepadamu, engkau tak tahu namanya."
"Eh, soal lupa itu hakku sendiri. Mengapa engkau
hendak main paksa mengharuskan aku ingat?"
"Hm," dengus Wan-ong Kui, "engkau menganggap
baginda bersungguh-sungguh hendak menganugerahkan
puterinya atau hanya sekedar main2 saja?"
"Aku tak memiliki anggapan apa2!"
"Apa maksudmu?"
"Baginda mau menganugerahkan puterinya atau tidak,
aku tak peduli." "Tetapi nyatanya puteri itu telah diberikan kepadamu."
"Ya." "Mengapa engkau melarikan diri?"
"Aku seorang manusia bebas."
"Engkau pengecut!"
"Eh, apa katamu?"
"Engkau pengecut! Engkau seorang lelaki yang tak
bertanggung jawab." '"Lho, jangan seenakmu sendiri memaki orang!"
"Engkau memang harus dan wajib dimaki!"
"Aku kan tuan dari diriku sendiri. Mengapa aku tak
boleh berbuat apa yang kuanggap baik untukku?"
"Benar," sambut Wan-ong Kui, "engkau mau mencebur
laut, mau terjun ke jurang, mau minum racun, mau apa
saja, itu memang hakmu. Tetapi engkau kan mempunyai
tanggung jawab kepada puteri itu, mengapa engkau minggat
begitu saja" Engkau telah menghina raja, mempermainkan
puteri baginda." "Lho, aku kan belum resmi menikah tetapi baru akan
dinikahkan?" bantah Blo'on.
"Itu kan soal peresmian upacara saja tetapi amanat
baginda sudah dikeluarkan, berarti sudah resmi."
Blo'on terkesiap, "Eh, inikah yang engkau maksudkan
dengan urusan peribadi itu?"
"Apa lagi kalau bukan begitu."
"Lalu bagaimana maksudmu?"
"Tergantung kepadamu."
"Aku tidak mengerti omonganmu!"
"Engkau mau menerima puteri itu sebagai isterimu atau
tidak?" Blo'on tertawa. "Mengapa tertawa?" Wan-ong Kui terbeliak.
"Kerajaan Beng sudah pecah. Jangankan puteri bahkan
bagindapun sudah wafat. Dalam keadaan dimana nasib
seseorang masih belum dapat dipastikan, mengapa harus
meributkan persoalan suami isteri?"
"Itu bukan urusanmu, itu urusan seluruh pemerintah dan
rakyat kerajaan Beng. Engkau tahu, bagaimana perasaan
puteri itu?" "Siapa yang tahu perasaan orang?"
"Engkau telah membunuh dia. Dia benci dan merasa
malu karena sebagai seorang puteri raja, telah engkau
permainkan begitu rupa."
Blo'on tertawa ringan, '"Engkau bicara seolah-olah
engkau ini puteri itu sendiri . . . . "
"Aku utusannya!"
"O, engkau diutus puteri untuk mencariku?"
"Ya." "Untuk apa ?" "Untuk meminta ketegasanmu. Engkau mau menerima
puteri itu sebagai isterimu atau tidak!"
"Kalau menerima, mana puteri itu ?"
"Itu bukan urusanmu. Akulah yang akan membawa
puteri itu kesini." "Kalau aku tidak menerima ?"
"Engkau harus mati !"
"Siapa yang membunuh aku ?"
"Aku." "O, engkau hendak membunuh aku " Enak saja. Apa
kaukira aku ini bangsa ayam yang gampang engkau
sembelih ?" "Buktikan saja nanti!"
"Hm," dengus Blo'on, "beginilah sifat manusia itu.
Manusia yang berkuasa, menganggap rakyat itu harus
tunduk pada perintahnya. Manusia yang tua, menganggap
anak itu wajib menurut perintah orangtua. Raja memaksa
aku harus menikah dengan puterinya. Tadi Han Bun Liong
dari Thay-goan itu juga hendak suruh aku memperisteri
anaknya. Katanya sejak kecil sudah dipacangkan dengan
aku. Aku ini seperti manusia yang tak boleh memilih jodoh
sendiri, tak berhak menentukan pilihanku sendiri. . . ."
"Tidak !" tiba2 Blo'on berteriak.
"Hm, engkau menolak ?"
"Engkau hanya seorang utusan. Suruh raja datang sendiri
kemari untuk bicara dengan aku."
"Perlu apa " Pertama, seri baginda Ing Lok sudah wafat.
Kedua, pada waktu itu baginda sudah berkenan
menurunkan amanatnya mengenal perjodohan itu."
"Itu kan kehendak raja. Semisal dengan surat dari Han
Bun Liong tadi. Itu kehendak dia sendiri dan mungkin
kehendak orangtuaku. Tetapi semuanya bukan
kehendakku." "Tetapi bukankah waktu itu engkau sudah menerima ?"
"Aku belum pernah menyatakan begitu. Seolah-olah aku
tak berhak menyatakan pendapat dan harus menerima !"
"Jadi ?" "Tak perlu membicarakan peristiwa itu lagi. Sekarang
negara sedang terancam musuh. Mengapa baginda tidak
memikirkan bagaimana untuk menghancurkan musuh
melainkan mengurus urusan tetek-bengek begini."
Wan-ong Kui terkesiap. "Aneh, mengapa baginda mengejar-ngejar aku. Pada hal
puteri itu cantik. Baginda dapat menikahkan dengan siapa
saja, yang lebih cakap lebih pandai dari aku."
"Hm," dengus Wan-ong Kui, "mungkin baginda merasa
berhutang budi kepadamu karena engkau dapat
menyembuhkan penyakit puteri."
"Aku tak merasa menghutangkan budi kepada baginda.
Kalau aku dapat menyembuhkan, itu hanya secara
kebetulan saja. Mungkin puteri memang belum takdirnya
mati sehingga Thian mengirim aku untuk menolongnya."
"Ah, engkau hendak cari alasan."
'"Sebagai rakyat, akupun wajib memberi bantuan kepada
raja sebagai suatu pengabdian, bukan hutarg-piutang budi !"
"Hm, engkau boleh beranggapan begitu," kata Wan-ong
Kui, "tetapi akupun harus menunaikan tugas yang diberikan
baginda. Kalau engkau menolak, berarti engkau menghina
baginda dan puteri raja. Aku diberi kekuasaan penuh untuk
membunuhmu sebagai hukuman."
"Soal itu aku minta tempo."
"Berapa lama?" "Sampai nanti setelah penjajah Ceng enyah dari bumi
kita !" Wan-ong Kui terkesiap. Tetapi pada lain saat dia
berkata, "Baik. Tetapi sekarang aku minta janjimu dulu."
"Apa ?" "Engkau harus mengakui bahwa puteri raja itu adalah
isterimu. Soal pelaksanaannya aku setuju pada pendirianmu
yalah setelah penjajah Ceng kita usir."
"Tidak," Blo'on menolak, "soal itu kita rundingkan lagi
kelak setelah peperangan ini selesai. Tak perlu segala janji."
"Penting," sahut Wan-ong Kui," dengan berjanji itu
berarti puteri itu adalah milikmu.
"Engkau mencelakai puteri !"
"Apa ?" Wan-ong Kui terbeliak.
"Dalam keadaan seperti sekarang ini, setiap orang tak
tahu bagaimana nasibnya. Apakah engkau berani
memastikan kalau aku tentu masih hidup sampai
peperangan selesai ?"
"Mengapa tidak " Kalau engkau tinggal di gunung ini,
siapa yang akan mengganggumu ?"
"Tidak, aku takkan enak2 tidur selama negara ini sedang
terancam musuh. Dan lagi apa engkau kira dengan tinggal
di gunung ini aku tentu selamat ?"
"Mengapa tidak ?"
"Hm, kalau sudah takdirnya, masakan engkau, aku dan
setiap orang mampu menghindar dari Giam-lo (raja
akhirat). Di rumah, sembunyi, tidur pun orang bisa mati."
"Apa engkau hendak turun gunung ?"
"Itu urusanku sendiri, tak perlu engkau ikut campur.
Tetapi yang jelas, aku takkan berpeluk tangan mengawasi
rakyat kita sedang ditindas penjajah Ceng."
Wan-ong Kui terdiam. Beberapa saat kemudian dia
berkata, "Begini. Aku menghendaki sepatah kata saja dari
mulutmu yang berjanji bahwa engkau mau menerima puteri
itu sebagai isterimu."
"Tidak perlu berjanji," seru Blo"on, "besok kalau
peperangan sudah selesai dan kita masih sama2 hidup, kita
bicara lagi !" "Engkau mau mengakui puteri itu sebagai isterimu atau
tidak ?" "Ah, perlu apa harus meminta pengakuan.. Bukankah
hal itu malah menyiksa dirinya ?"
"Menyiksa bagaimana ?"
"Andaikata aku mati dalam peperangan, tidakkah puteri
akan menjadi seorang janda " Lain halnya kalau tak ada
pengakuan, dia masih tetap sebagai seorang gadis puteri."
Wan-ong Kui tertegun sejenak, kemudian berkata pula,
"Tidak, aku harus membawa laporan kepada puteri tentang
hasil pertemuanku dengan engkau. Paling tidak, engkau
harus memberi suatu pengakuan bahwa engkau mengakui
puteri sebagai isterimu."
"Ah, tak perlu,"
"Engkau menganggap tak perlu, tetapi aku menganggap
perlu. Engkau harus memberi pernyataan, engkau mau
mengakui puteri sebagai isteri atau tidak !"
"Sudah kukatakan, besok saja kalau peperangan sudah
selesai. Jangan engkau memaksa sekarang."
"Hm, jika begitu, jelas engkau masih ragu2, pada hal
persoalan itu sudah dinyatakan dalam firman seri baginda.
Baik, karena engkau keras kepala, akupun terpaksa harus
menggunakan wewenang yang telah diberikan kepadaku
untuk mengambil batang kepalamu!"
Noot: Tentang peristiwa Blo'on dengan puteri raja,
silakan baca Pendekar Blo'on.
"Boleh, boleh," sahut Blo'on, "silakan ambil kalau
engkau mampu." Wan-ong Kui serentak mencabut pedang dan berseru,
"Hayo, pakailah senjatamu juga!"
Blo'onpun segera melolos pedang. Wan-ong Kui tak mau
banyak bicara lagi dan terus membuka serangan.
Tring, tring, tring .... Terdengar sambaran angin yang tajam dari gerak
permainan pedang kedua pemuda itu. Dan ada kalanya
terjadi benturan senjata yang menimbulkan dering suara
yang menusuk telinga. Seru sekali pertempuran antara kedua pemuda itu. Wanong
Kui memainkan ilmupedang Peh-hoa-kiam-hwat yang
hebat tetapi dia heran atas permainan ilmupedang lawan.
Kalau tak salah lawan menggunakan ilmupedang Giok-likiam-
hwat atau ilmupedang Bidadari.
"Aneh," gumam Wan-ong Kui dalam hati, "ilmupedang


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giok-li-kiam itu khusus untuk pendekar wanita. Tetapi
Blo'on ini anak lelaki, mengapa dia memainkan ilmupedang
itu?" Memang Peh hoa-kiam-hwat atau ilmupedang Seratusbunga,
setanding sekali dengan ilmu pedang Giok-li-kiam.
Baik gayanya yang mengutamakan keluwesan dan
ketangkasan maupun jurusnya yang indah, hampir sama.
Sementara rombongan Tong Kui Tik yang menunggu di
halaman luar, karena lama tak melihat Wan-ong Kui keluar
dan kemudian mendengar suara gemerincing senjata
beradu, menyebabkan mereka terkejut.
"Eh, rupanya terjadi pertempuran senjata," seru In Hong
yang tajam telinganya. Dia terus menghampiri kedalam
wisma. Tong Kui Tik dan Han Bi Ingpun mengikuti.
Apa yang mereka saksikan dalam ruang wisma itu,
membuat mereka terkejut, "Ai, mereka bertempur,
engkong," seru In Hong.
Wan-ong Kui terkejut, cepat ia membisiki, "Kalau
engkau seorang ksatrya, engkau harus pegang janjimu tadi."
"Janji apa?" kata Blo'on seraya masih memainkan
pedangnya. "Bahwa urusan kita ini, jangan sampai terdengar
mereka." "Aku sih tak perlu harus memberitahu kepada mereka.
Mereka kan rombonganmu."
"Hm, asal engkau pegang janjimu sajalah," dengus Wan
ong Kui seraya menyerang dengan deras.
Tiba2 In Hong berteriak, "Wan-ong-ko, mengapa engkau
menyerangnya ?" "Mulutnya usil, perlu diberi hajaran." sahut Wan-ong
Kui. "Ya." seru In Hong, "bagaimana kalau kubantu, biar
cepat selesai?" Sebelum Wan-ong Kui menyahut, Blo'on sudah
melengking, "Boleh, boleh, mari budak liar, engkau maju
sekalian. Kalau perlu semua boleh maju, biar menghemat
tempoku." "Jangan Hong," cegah Tong Kui Tik ketika melihat
cucunya hendak ikut mengeroyok.
"Tetapi dia menantang aku, bahkan engkong juga
ditantangnya," seru In Hong.
Tong Kui Tik tersenyum, "Karena mendengar engkau
menawarkan bantuan kepada Wan-ong Kui, maka dia
panas hatinya." "Tetapi engkong," In Hong masih tak puas, "mengapa
engkong tak mengidinkan aku meringkusnya ?"
"Ua, uah, budak liar yang genit mulut, "tiba2 Blo'on
menyanggapi," enak saja kalau ngomong. Seperti ayam saja
mau diringkus. Cobalah kalau engkau mampu . . . ,"
Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring dari jauh.
Dan cepat sekali terdengar langkah kaki orang memasuki
ruang. Sekalian orang berpaling dan tahu2 dalam ruang itu telah
muncul empat orang lelaki.
"Ah," diam2 Tong Kui Tik mengeluh dalam hati ketika
melihat dua dari pendatang itu tak lain adalah sasterawan
Ko Cay Seng dan pertapa Suto Kiat.
Tetapi dia lebih terkejut ketika melihat kedua kawan Ko
Cay Seng. Yang satu seorang imam tua dan yang satu
seorang lelaki berumur 35-an tahun, dandanannya seperti
orang Boan yang berpangkat.
Bahwa kedatangan Ko Cay Seng dan Suto Kiat
membawa dua orang kawan tentulah tidak membawa
maksud baik, dapat dimaklumi Tong Kui Tik. Tetapi yang
mengejutkan hati jago Go-bi-pay yang telah dikeluarkan
dari perguruan itu tak lain bahwa imam itu juga berasal dari
perguruan Go-bi-pay. Tetapi sebelum dia sempat bertanya, In Hong sudah
menyeluluk, "Hai, mengapa kalian nongol lagi "'"
"Budak liar, jangan bermulut tajam. Kedatanganku
kemari karena mengantar kedua kawan yang mempunyai
urusan disini," sahut Ko Cay Seng.
"Kim kongcu, mundurlah, biar kubereskan pemuda
lawanmu itu," tiba2 orang Boan yang berpakaian indah itu
berseru seraya maju dan terus menghantam Wan-ong Kui.
Sudah tentu W-an-ong Kui terkejut. Dia geliatkan
pedangnya menyongsong pukulan orang Boan itu. Tetapi
orang Boan itu cepat tamparkan tangan kiri sehingga
pedang Wan-ong Kui tersiak ke samping.
"Kim kongcu, mengapa engkau diam saja" Hayo,
ringkuslah dia!" seru orang Boan itu kepada Blo'on.
Memang saat itu Blo'on tertegun dan hentikan
permainannya. Andaikata pada saat Wan-ong Kui
menyerang orang Boan tadi, dia menyerang Wan-ong Kui,
tentulah Wan-ong Kui celaka, Tetapi ternyata dia hentikan
serangannya. "Hai, siapa engkau!" melihat Wan-ong Kui diserang, In
Hong terus melesat ke muka dan menusuk punggung orang
Boan itu. Tetapi orang Boan itu menghindar ke samping.
"Ho, engkau budak liar" Dengarkanlah," seru orang
Boan itu, "Kim kongcu adalah kawan kami!"
"Siapa engkau!"
"Aku Barbak, adik dari panglima Torgut dari pasukan
kerajaan Ceng." "Apa putera Kim tayhiap itu kawanmu," In Hong
terkejut. "Ya," sahut Barbak, "dia sudah banyak sekali jasanya
menangkap tokoh2 persilatan yang menentang kerajaan
Ceng. Kelak dia akan diambil menantu oleh kak Torgun!"
Kata2 Barbak, adik dari panglima besar kerajaan Ceng,
bagaikan halilintar meletus. Sekalian orang terkejut. Bahkan
Blo'on sendiri juga tersentak kaget.'
"O, dia seorang penghianat?" seru In Hong.
"Budak liar, jangan lancang mulut. Dia bukan
penghianat. Dia seorang pahlawan yang berjasa besar pada
kerajaan Ceng. Dia ingin menyelamatkan rakyat dari
kehancuran!" "Hai, tidak, tidak! Aku tak kenal siapa engkau! Jangan
memfitnah," teriak Blo'on.
Barbak tertawa riang, "Sudahlah, Kim kong cu. Tak
perlu kita main sandiwara. Di hadapan budak liar semacam
ini, perlu apa kita takut membuka kartu."
"Engkau . . . eng . . . . " saking kagetnya, dada Blo'on
sampai sesak bernapas sehingga ucapannya tersekat sekat.
"Sudahlah Km kongcu, jangan kuatir," Barbak tertawa,
"hari ini kita memang sengaja datang kemari ini untuk
menjaring mereka berempat. Lawanmu itu, adalah keluarga
raja Beng, harus kutangkap. Orangtua itu, murid murtad
dari perguruan Go-bi-pay, nanti Hian Hian tojin yang akan
membereskan. Budak perempuan liar itu, pernah menghina
Ko-heng. Ko-heng (Ko Cay Seng) yang akan memberi pelajaran.
Dan gadis cantik itu, puteri Han Bu Liong, biar Suto
siangjin yang menangkapnya agar Han Bun Liong
menyerah. Dan engkau, Kim kongcu, silahkan memeriksa
makam ayahmu. Kemungkinan ada orang yang hendak
mencuri jenasah ayahmu lagi!"
"Tidak, engkau bohong !" teriak Blo'on
"Ai, mengapa engkau masih tak percaya ke pada Kim
kongcu," Barbak tertawa, "kalau aku bohong, engkau boleh
kembali kemari dan buntulah aku ! Lekas, jangan sampai
terlambat !" Mendengar itu Blo'on bingung. Ia tak kenal siapa mereka
berempat itu. Tetapi menilik orang Boan yang bernama
Barbak itu begitu serius, kemungkinan memang makam
ayahnya hendak diganggu orang.
"Biarlah aku ke sana. Kalau memang dia bohong, aku
masih dapat kembali kesini untuk membuat perhitungan
dengan orang Boan ini," akhirnya Blo'on mengambil
keputusan dan terus lari.
In Hong dan Tong Kui Tik serempak hendak mencegah
tetapi begitu keduanya maju, ln Hong sudah dihantam Ko
Cay Seng dan Tong Kui Tik diserang imam tua. Blo'on tak
mengira kalau keadaan dalam ruang itu, dia terus lari
menuju ke makam ayahnya. Kini Wan-ong Kui berhadapan dengan Barbak, Tong
Kui Tik dengan imam Go-bi-pay, In Hong dengan Ko Cay
Seng. Pertapa Suto Wan tidak mendapat lawan. Dia segera
menghampiri ke tempat Barbak.
'"Ciangkun," serunya. Ia menyebut Barbak dengan
panggilan ciangkun (jenderal ), "potong ayam tak perlu
pakai pisau pemotong kerbau. Harap ciangkun beristirahat,
serahkan pemuda pucat itu kepadaku."
"Terima kasih, siangjin," sahut Barbak seraya loncat
mundur, "aku hendak menyusul Kim kongcu untuk
membicarakan urusan penting."
"Silakan," jawab Suto Kiat, "nanti tentu akan kami
haturkan beberapa pemberontak ini."
Mendengar itu Barbak terus melesat keluar.
"Hm, kiranya engkau budak orang Boan," dengus Wanong
Kui kepada Suto Kiat. "Jangan banyak mulut!" bentak Suto Kiat, "kalau engkau
mau menyerah, tentu engkau akan ringan hukumanmu,
kemungkinan akan mendapat kebebasan. Tetapi kalau
engkau keras kepala, ha, ha, jangan menyesal kalau sudah
terlambat." "Hanya manusia2 yang takut mati dan rakus hidup,
bersedia menjadi budak kaum penjajah yang hendak
menguasai negara kita!" seru Wan-ong Kui.
"Jangan banyak mulut!" Suto Kiat terus menampar
dengan lengan jubahnya. Segelombang angin kuat,
menderu kearah Wan-ong Kui. Wan oig Kui terkejut dan
cepat loncat menghindar. Namun terpaksa dia harus
memutar pedangnya untuk menghapus arus tenaga lawan
yang masih terasa menggetarkan tubuhnya.
Menyadari bahwa lawan memiliki tenaga pukulan yang
sakti, Wan-ong Kuipun berlaku hati-hati untuk
menghadapinya. Untung ia memiliki pedang pusaka yang
luar biasa tajamnya sehingga banyak membantunya untuk
menahan desakan lawan. Sementara In Hong yang harus berhadapan dengan
sasterawan Ko Cay Seng, masih coba2 untuk menggunakan
siasat membuat hati lawan panas agar mau sesumbar seperti
ketika bertempur siang tadi.
"Hai, orang she Ko, mengapa tak mengeluarkan
sepasang thiat-pitmu " Apa engkau tak takut menderita
kekalahan seperti siang tadi ?" In Hong sengaja
mengejeknya. Kekalahan yang diderita Ko Cay Seng sebenarnya bukan
suatu kekalahan bertempur melainkan kekalahan karena
kehabisan waktu. Ia sumbar kalau dalam lima jurus pasti
dapat mengalahkan In Hong dan Wan-ong Kui. Tetapi
ternyata sampai duapuluh lima jurus ia tetap tak berhasil.
Dan akhirnya ia harus pergi.
Ia tahu bahwa dara itu memang bermaksud hendak
membikin panas hatinya. Namun melihat bahwa saat itu
dia hanya berhadapan dara itu seorang diri karena Wan-ong
Kui sudah dikerjai Suto Kiat, diapun tetap menganggap
enteng. Apa lagi dihadapan Barbak, adik dari panglima
besar kerajaan Ceng, ia tentu malu sekali apabila sampai
menderita kekalahan lagi.
"Ho engkau kira yang pintar itu hanya engkau sendiri,
budak liar " Bukankah engkau hendak melancarkan siasat
untuk membuat panas hatiku sehingga aku mau memberi
keringanan kepadamu" Heh, heh," Ko Cay Seng tertawa
mengekeh. "Heh, heh," In Hong balas menirukan tertawa Ko Cay
Seng, "siapa sudi meminta keringanan kepadamu " Aku kan
suruh engkau pakai senjata agar jangan sampai engkau
kalah seperti siang tadi " Hm, apa engkau kira aku tak
mengerti ilmu kepandaianmu yang sekaligus dapat
menusuk sembilan jalandarah orang " Tetapi uh,
sebenarnya engkau masih harus belajar lagi, karena jelas
kulihat engkau baru mampu menusuk tiga atau paling
banyak empat jalandarah orang. Kalau mau jadi kuku
garuda, harus memiliki kepandaian yang tinggi, jangan
kepalang tanggung seperti engkau itu. Cis, kalau aku jadi
pembesar Ceng, aku tak sudi pakai orang semacam engkau.
Orang yang dengan paling2 hanya berani berhadapan anak
perempuan saja!" Bukan main marah Ko Cay Seng ditelanjangi begitu rupa
oleh In Hong. Dia sudah tahu kalau si dara hendak
membikin panas hatinya. Dia berusaha hendak menekan
perasaannya tetapi kata2 yang berhamburan seperti banjir
dari mulut dara itu, benar2 membuat mukanya merah
padam seperti kepiting direbus. Apalagi ketika imam Go-bipay
dan pertapa Suto Kiat juga mendengar dan
menyempatkan waktu untuk berpaling memandangnya, Ko
Cay Seng benar2 seperti semut diatas kuali panas,
kelabakan setengah mati. "Bukankah engkau ini anak dari Ko Sam Hiap yang
terkenal sebagai ahli menutuk jalandarah dengan pit besi
itu" Huh, kau tahu mengapa dia tak berani keluar ke dunia
persilatan lagi" Tak lain karena dia takut setengah mati
kepada guruku. Bapamu yang bisa menutuk sembilan buah
jalandarah saja sudah keok, apalagi engkau yang baru
mampu menutuk tiga atau empat jalandarah, heh, heh . . ..
" In Hong memberondongnya dengan kata yang tajam
lagi. Apa yang didengar dari keterangan engkongnya tadi
tentang tokoh Ko Sam Hiap, terus dibuat senjata untuk
memberondong Ko Cay Seng.
In Hong tahu bahwa saat itu dirinya terancam bahaya.
Engkongnya tentu tak dapat menolong karena sedang
berhadapan dengan seorang lawan. Juga Wan-ong Kui
tentu sibuk sendiri karena berhadapan dengan Suto Kiat.
Sedang Han Bi Ing walaupun nganggur tetapi tak dapat
membantu karena tak mengerti ilmusilat. Ia nekad untuk
membikin panas hati lawan. Sukur kalau lawan mau
sumbar seperti siang tadi tetapi kalau tidak mau, paling


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak dia dapat mengulur waktu. Siapa tahu mungkin akan
datang seseorang yang dapat merobah keadaan yang
berbahaya pada saat itu. Diluar dugaan In Hong, Ko Cay Seng tertegun
mendengar ocehan dara itu. Dia heran, mengapa dara itu
tahu nama ayahnya, tahu tentang ilmu kepandaian
ayahnya, bahkan tahu sampai tataran berapa kepandaian
ilmu thiat-pit yang dimiliki ayahnya dan dia sendiri. Tetapi
ketika mendengar dara itu mengatakan kalau ayahnya (Ko
Sam Hap) takut keluar karena dikalahkan oleh guru si dara
itu, dia marah, "Bohong! Siapa bilang ayahku kalah dengan
gurumu" Siapa nama gurumu itu?"
"Coba engkau ingat2, bukankah ayahmu pernah
bercerita kalau dia kalah unggul kepandaiannya dengan
seorang tokoh yang dijumpainya?"
Ko Cay Seng tcrkesiap. Ia memang pernah mendengar
ayahnya menceritakan sebuah peristiwaj yang aneh.
Pada suatu hari ayahnya ( Ko Sam Hiap ) bertemu
seorang tua berambut putih dan jenggot putih yang panjang
sampai menutup dada. Orang itu mengatakan dia kepingin
mati tetapi sayang selama ini tak ada orang yang dapat
membunuhnya, "Kalau engkau dapat membunuh aku, akan
kuberimu sebuah kitab pusaka berisi suatu ilmusilat sakti
yang sudah tak ada lagi dalam dunia persilatan."'
Ko Sam Hiap tertarik dan menyanggupi. Tetapi
walaupun dia sudah tumpahkan seluruh ilmu menutuk
sembilan buah jalandarah dengan 'thiat-pit, tetapi tetap dia
tak mampu menyentuh tubuh orangtua aneh itu. Orangtua
itu tidak membalas tetapi dia memiliki gerak yang
mengherankan. Tampaknya diam tetapi bergerak, kosong
tapi berisi, ke kanan tetapi sesungguhnya ke kiri, menyurut
ke belakang tetapi ternyata maju kedepan.
Ko Sam Hiap benat2 terkejut, kagum dan putus asa.
Akhirnya ia merjatuhkan berlutut minta maaf dan mohon
diberi pelajaran. Tetapi orangtua aneh itu menolak,
katanya, "Segala apa di dunia ini mempunyai jodoh atau
pasangan. Engkau tak berjodoh dengan kitab pusaka itu
".." Sejak itu Ko Sam Hiap tak keluar dari tempatnya. Dia
berusaha mengingat setiap gerakan orangtua itu dan coba2
untuk merangkai dan nyusunnya dalam sebuah tata-gerak.
Dia memang berhasil tetapi tak dapat menentukan isi atau
intisari pokok dari gerak tata-langkah yang luar biasa dari
orangtua aneh itu. Teringat akan cerita ayahnya itu, tiba2 timbul pertanyaan
dalam hati Ko Cay Seng, "Apakah dara ini murid dari
orangtua aneh itu?" "Ah, tak mungkin," pada lain saat ia membantah dugaan
itu, "orangtua itu ketika bertemu ayah pada tigapuluh tahun
yang lalu, sudah tua renta. Kemungkinan sekarang sudah
mati. Tak mungkin dara yang baru berumur belasan tahun
ini dapat menjadi muridnya!"
Jika dengan gertakan itu In Hong dapat memaksa Ko
Cay Seng berpikir-pikir dulu atau paling tidak dapat
meagulur waktu, pun diantara Tong Kui Tik dengan imam
tua dari perguruan Go-bi-pay telah terjadi percakapan yang
menarik. "Hm, orang she Tong, kukira engkau sudah tak berani
muncul lagi. Ternyata engkau masih hidup," seru imam tua
itu. "Siapakah tosu ini?" tegur Tong Kui Tik dengan masih
bernada sabar. "Aku Hian tojin dari Go-bi-pay."
"Dengan Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay yang
sekarang?" "Dia murid Biau Hun ciang-bun-jin yang terdahulu dan
aku murid dari Biau Ceng tojin, suheng dan Biau Hun ketua
Go-bi-pay yang dulu."
Tong Kui Tik terkejut, "Jika begitu engkau adalah sutit (
murid keponakan ) dari suhuku Biau Gong tojin.....
"Memang Biau Gong tojin yang kini menjadi tiang-lo (
tetua ) Go-bi-pay adalah supehku. Tetapi aku tak kenal
engkau. Hanya kudengar bahwa Biau Gong tianglo dahulu
pernah mempunyai seorang murid orang biasa. Murid itu
telah melanggar peraturan perguruan dan telah diusir."
Tong Kui Tik teringat bahwa waktu ia masih belajar di
perguruan Go- bi-pay, memang paman gurunya, Biau Ceng
tojin, masih belum mempunyai murid. Kemungkinan
setelah dia diusir, barulah Biau Ceng menerima Hian Hian
tojin. "Lalu apa maksud Hian Hian sute . . . . "
"Jangan menyebut sute kepadaku. Engkau bukan murid
Go bi-pay lagi!" tukas Man Hian.
Tong Kui Tik terkesiap lalu mengangguk.
"Go-bi-pay telah menentukan pendirian. Dalam
peperangan ini, akan berdiri netral, tidak akan membantu
kerajaan Beng, juga tidak mendukung kerajaan Ceng. Gobi-
pay hanya sebuah perguruan yang menyiarkan ajaran
agama dan musilat. Tidak mencampurkan politik negara."
"0," desuh Tong Kui Tik, "sejak kapankah peraturan itu
diresmikan ?" "Mengapa engkau bertanya begitu ?" balas Tian Hian
tojin. "Karena dulu waktu aku masih belajar di Go-bi-pay."
kata Tong Kui Tik, "bahkan suhu sering menanamkan
ajaran2 tentang keadilan dan kebenaran. Membela keadilan
dan kebenaran adalah suatu dharma yang baik."
"Memang benar," sahut Hian Hian.
"Dan membela kerajaan Beng dan serangan orang2
Boan, juga suatu dharma yang baik."
"Itu berarti mencampuri politik negara. Tidak boleh."
seru Than Hian. "O, apakah Go-bi-pay yang sekarang, menganggap
bahwa pasukan Ceng yang hendak menjajah negara kita itu
adil dan benar ?" "Itu urusan negara .. .."
"Jawab menurut suara hati nuranimu !" teriak Tong Kui
Tik," adil atau tidak, benar atau tidak kalau suku Boan itu
hendak menduduki negara Beng ?"
"Orang she Tong," sambut Hian Hian, "jangan
mencampur-adukkan urusan perorangan dengan urusan
negara. Urusan negara jauh lebih luas dan lebih banyak
liku-likunya daripada urusan pertorangan."
Tong Kui Tik tertawa, "Perbedaan sedikit dengan banyak
itu hanya soal jumlah tetapi tak merobah sifat pendirian itu,
Keadilan harus dijunjung, Kebenaran harus ditegakkan."
"Kerajaan Beng sudah bobrok. Raja hanya bersenangsenang
dengan arak dan wanita. Mentri dorna menguasai
pemerintah. Keadilan dan Kebenaran sudah kabur. Itulah
sebabnya maka kerajaa Ceng muncul untuk membela
Kebenaran dan menegakkan Keadilan di singgasananya."
"Itu alasan orang Boan. Engkau orang Han mengapa,
engkau membela orang Boan," sahut Tong Kui Tik,
"kerajaan Beng bobrok, kita orang Han sendiri yang akan
mengurus. Tak perlu harus kerajaan Ceng campur tangan."
Hian Hian tertawa, "Jelas, jelas. Sekarang sudah jelas
bahwa kabar yang mengatakan engkau menentang kerajaan
Ceng dan hendak menggabung dengan kaum pemberontak,
itu memang benar. Bukankah begitu ?"
"Tentang aku hendak bergabung diri pada apa yang
engkau sebut sebagai pemberontak, itu masih belum
kupikirkan. Tetapi yang jelas aku memang menentang
kerajaan Ceng yang hendak menduduki kerajaan Beng !"
"Bagus, bagus," seru Hian Hian tojin dengan gembira,
"dengan begitu jelas engkau mampunyai tiga macam dosa
yang tak dapat diampuni lagi.'
Tong Kui Tik terkesiap namun sesaat kemudian ia
berseru tenang, "Coba katakan apa ketiga kesalahanku itu."
"Pertama, engkau melanggar peraturan perguruan Go-bipay
yang melarang anakmuridnya mencampuri urusan
politik negara." "Kedua," kata Hian Hian tojin pula. "engkau berani
menentang kerajaan Ceng, Dan ketiga, engkau
menggabungkan diri pada kaum pemberontak. Hukuman
dari ketiga dosa itu adalah mati "!
"O," dengus Tong Kui Tik, "apakah aku yang hendak
dihukum mati itu tak boleh membela diri ?"
"Boleh." "Terima kasih," kata Tong Kui Tik dengan nada yang
tenang, "tuduhan pertama itu ngawur ! Tadi aku menyebut
engkau sebagai sute, engkau menolak dan mengatakan
kalau aku sudah bukan. murid. Go-bi-pay lagi. Tetapi
mengapa sekarang engkau menuduh aku melanggar
peraturan Go-bi-pay " Bukankah sekarang aku sudah bukan
murid Go-bi-pay lagi ?"
Hian Hian tojin mengangguk, "Benar, memang Go bipay
tak mau mengakui engkau sebagai murid lagi. Tetapi
ada suatu peraturan yang menentukan tentang bekas murid
atau murid yang sudah diusir dari perguruan Go-bi-pay.
Jika sudah dipecat, dia berbuat baik, hidup tenang sebagai
rakyat biasa. Go-bi-paypun takkan mengambil , tindakan
lagi kepadanya, Tetapi kalau dia masih aktief dalam dunia
persiatan. lebih2 menggabungkan diri pada golongan Hitam
atau pada gerombolan pemberontak, Go-bi-pay tetap akan
mencarinya." "Apa hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya ?"
"Dia harus mengembalikan ilmu kepandaiannya yang
didapat dari perguruan Go-bi-pay !"
"Dan engkau anggap bahwa aku telah berkomplot
dengan golongan Hitam dan kaum pemberontak ?"
"Ya." "Tidak !" teriak Tong Kui Tik," aku tak pernah keluar ke
dunia persilatan. Aku memang menentang kerajaan Ceng
yang hendak menghancurkan negara kita ini. Itu pendirian
peribadiku. Aku belum menggabungkan kepada apa yang
engkau sebut sebagai kaum pemberontak itu."
"Tetapi bukankah karena engkau memiliki pendirian
begitu engkaupun hendak menggabungkan diri pada kaum
pemberontak ?" Hian Hian tojin.
"Bagi kerajaan Ceng, memang kaum yang menentang
mereka dicap sebagai kaum memberontak. Tetapi apa yang
sebenarnya diberontak itu" Ap akah melawan orang asing;
yang hendak menjajah negara kita pantas disebut sebagai
pemberontak" Memang bagi orang Boan, bisa mengatakan
begitu. Tetapi engkau seorang putera Han, mengapa engkau
juga berkata begitu?"
"Aku ingin menyelamatkan rakyat dari bencana
peperangan yang menghancurkan!" jawab Hian Hian tojin.
"Tojin," seru Tong Kui Tik, "tolong tanya, dalam
kedudukan dan jabatan apakah engkau datang kemari?"
Hian Hian terkesiap. Namun ia tak gentar dan menyahut
dengan tegas, "Aku tianglo dari Go-bi-pay yang hendak
mengadakan pembersihan pada seorang bekas murid yang
masih bertindak salah karena melanggar peraturan
perguruan!" "Masih kurang lengkap, tojin," seru Tong Kui Tik,
"engkau harus mengatakan pula bahwa engkau adalah
pembesar atau kaki tangan kerajaan Ceng."
"Kalau aku menyangkal, engkau tentu tak percaya. Maka
terserah saja bagaimana engkau hendak menganggap diriku.
Tetapi yang penting aku akan bertindak sebagai seorang
tianglo terhadap seorang bekas murid Go-bi-pay. Engkau
harus mengembalikan ilmu kepandaian yang engkau I
peroleh dari Go-bi-pay!"
"Caranya ?" Tong Kui Tik menegas.
"Hm, masakan engkau masih berlagak pilon," seru *Hian
Hian tojin, "engkau kan sudah tua, tentu mengerti.
Terserah, engkau sendiri yang menghancurkan tulang pipeh-
kutmu atau aku yang harus bertindak !'
Tong Kui Tik tenang2 menjawab," Hian Hian tojm, sejak
aku dikeluarkan dari parguruan Go-bi-pay, memang aku tak
pernah menggunakan ilmu silat dari perguruan lagi. Dan
aku bersumpah, selama aku tak diakui sebagai murid Go bipay,
aku takkan mengaku sebagai murid Go-bi-pay dan
takkan menggunakan llmusilat dari perguruan itu. Adakah
hal itu masih belum memuaskan engkau ?"
Hian Hian tertawa mengejek. "Engkau boleh berkata
begitu tetapi terhadap orang2 tua bangkotan seperti aku
yang tahu akan seluk beluk ilmu.silat, hal itu tentu tak mau
percaya." Wajah Tong Kui Tik mengernyut tegang,, Serunya,
"Lalu bagaimana kehendakmu ?"
"Tetap akan melaksanakan hukuman seperti yang
tercantum dalam peraturan Go-bi-pay." kata Hian Hian
tojin. Tiba2 Tong Kui Tik tertawa nyaring. Nadanya seolah
telah menggetarkan atap ruang dan, menyusup keluar.
Hian Hian tojin terkejut. Jelas orang she Tong itu kini
memiliki tenaga-dalam yang hebat. Seingatnya, dewasa itu
dalam perguruan Go-bi- pay tak ada tokoh yang
mempunyai tenaga-dalam sekuat itu. Bahkan ketua Go bipiy
yang sekarang, Hong Hong tojin, juga masih kalah
setingkat dengan Tong Kui Tik.
"Hian Hian tojin." seru Tong Kui Tik setelah berhenti
tertawa, "silakan engkau ambil kembali kepandainku yang
berasal dari Go-bi-pay. Tetapi karena sekarang aku bukan
murid Go-bi-pay, aku terpaksa akan membela diri. Tetapi
jangan kuatir, aku takkan menggurakan ilmusilat dari Gobi-
pay!" "Ucapan seorang ksatrya ... . "
"Bagi kuda binal yang lari!" sambut jago tua Tong Kui
Tik. Makna ucapan itu tak lain bahwa Hian Hian tojin
hendak memperingatkan Tong Kui Tik supaya tidak ingkar
janji. Artinya Tong Kui Tik tak boleh menggunakan
ilmusilat dari Go bi-pay.
"Oang sbe Tong, bersiaplah.!"
"Silahkan memulai dulu," jawab Tong Kui Tik.
Hian Hian tojin membuka serangan dengan jurus Hunsoh-
ngo-gak atau Awan-menutup-lima-gunung. Tangannya
menampar kepala Teng Kui Tik tetapi jago tua itu loncat


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghindar. Hian Hian menyusuli lagi berturut-turut
sampai tujuh delapan serangan, akan tetapi Tong Kui Tik
tak mau menangkis melainkan hanya menghindar saja.
*'Hai, mengapa engkau hanya main menghindar saja?"
tegur Hian Hian tojin. 'Betapapun aku dulu adali
etapapun aku dulu adalah murid Go-bi- pay. Kata orang
meneguk air harus ingat sumbernya '. Walaupun aku sudah
tak mau menggunakan ilmusilat Go-bi-pay lagi, tetapi
ilmusiiat yang kuciptakan itu tak lain karena berkat
pengetahuan dasar yang telah kuterima dari Go-bi-pay.
Maka terhadap anakmurid Go-bi-pay, aku selalu mengalah.
Kalau memaksa harus bertempur pun aku selalu mengalah
sampai sepuluh jurus tak mau membalas . . . . "
"Orang she Tong, engkau bermulut besar sekali!
Sambutlah seranganku ini!" dengan geram Hian Hian tojin
lancarkan sebuah pukulan yang disebut Mo-thian-ciang
atau pukulan Meraih langit.
Darrrrr..... -oodwoo- Jilid: 10 Hian Hian tojin, sute dari Hong Hong tojin ketua
perguruan Go-bi-pay, marah sekali karena tersinggung
dengan ucapan Tong Kui Tik. Dengan mengerahkan
delapan bagian tenaga-sakti dia menghantam Tong Kui Tik
sekuat-kuatnya. Tetapi Tong Kui Tik loncat menghindar.
Dia masih mengingat bahwa Hian Hian itu adalah
anakmurid dari susioknya (paman guru) Biau Ceng tojin.
Dia tak kenal dengan Hian Hian tetapi ia kenal dengan
susioknya Biau Ceng tojin itu. Ketika masih belajar di Gobi-
pay. dia banyak menerima petunjuk dari su-sioknya.
Dia ingin membalas budi kepada paman gurunya maka
dia tak mau melayani Hian Hian dengan sungguh-sungguh.
Tong Thian siansu, ketua Ga-bipay angkatan kelima
mempunyai tiga orang murid yakni Biau Gong, Biau Ceng
dan Biau Hun. Sebenarnya yang layak mengganti
kedudukan sebagai ciang-bun-jin atau ketua adalah Biau
Gong tojin. Tetapi karena peristiwa Tong Kui Tik yang
dituduh membunuh Asita lhama, kepala kuil Mutiara Putih
di Tibet lalu Tong Kui Tik diusir dari perguruan, Biau Gong
tojin sangat menyesal dan menolak jabatan ' ciang-bun-jin.
Dia rela menjadi tiang-lo atau sesepuh perguruan Gobi-pay
saja. Kedudukan tianglo itu memang sangat dihormati,
hampir menyamai kedudukan penasehat atau dewan
pertimbangan dari perguruan. Tetapi tak punya kekuasaan
dalam urusan perguruan. Kekuasaan tetap berada di tangan
ketua sepenuhnya. Sebenarnya setelah Biau Gong mengundurkan diri, calon
ketua Go-bi-pay harus jatuh pada murid yang kedua yakni
Biau Ceng tojin. Tetapi Tong Thian siansu mempunyai
pertimbangan lain. Seorang ketua perguruan, selain harus
memiliki kepandaian ilmusilat yang tinggi, juga harus
mempunyai kewibawaan dan keperibadian yang kuat dan
jujur. Dalam hal itu menurut wawasan Tong Thian siansu,
Biau Ceng kurang memiliki. Biau Ceng memang lebih hebat
ilmusilatnya tetapi Biau Hun lebih jujur dan setia
keperibadiannya. Tong Thian siansu mengumumkan pengangkatan Biau
Hong tojin sebagai ketua Go-bi-pay dalam sebuah rapat
besar perguruan itu. Tetapi seminggu kemudian, Tong
Thian siansu jatuh sakit dan menutup mata.
Beberapa tahun kemudian barulah Biau Ceng tojin
menerima seorang murid yalah Hian Hian itu. Murid itu
amat disayanginya karena baik bakat ilmusilat maupun
perangainya, Hian Hian memang sesuai dengan gurunya.
Setelah Biau Hun mengundurkan diri, ketua Go-bi-pay
dijabat oleh Hong Hong tojin sampai sekarang. Karena
Biau Ceng tojin itu suheng dari Biau Hun tojin, maka
muridnya yakni Hian Hian menurut tingkatan adalahsuheng
dari Hong Hong tojin. Tetapi Hian Hian lebih
senang menyebut dirinya sebagai sute karena umurnya
kalah tua dengan Hong Hong tojin.
Sebenarnya Hong Hong tojin atau ketua Go-bi-pay yang
sekarang sudah mencium bau tentang gerak gerik Hian
Hian tojin yang mengadakan hubungan dengan tokoh2
yang bekerja pada kerajaan Ceng. Tetapi karena selama itu
belum ada bukti yang jelas dan lagi paman gurunya yakni
Biau Ceng siansu yang menjadi guru Hian Hian itu selalu
melindungi muridnya, maka Hong Hong tojin pun agak
sungkan. Pukulan yang dilancarkan Hian Hian kepada Tong Kui
Tik memang bukan alang kepalang hebatnya. Hian Hian
menggunakan ilmu Pek-lui ciang atau pukulan Seratushalilintar.
Karena.Tong Kui Tik sempat menghindar maka
dinding ruanganlah yang menjadi korban, hancur
berantakan sehingga menimbulkan sebuah lubang besar.
"Hm, Hian Hian benar2 hendak membunuh aku," pikir
Tong Kui Tik sesaat menyaksikan kedahsyatan pukulan
lawan. Diam2 pula ia makin gelisah. Keadaan fihaknya
tidak menguntungkan. Wan-ong Kui dihadang pertapa
yang tentu berkepandaian tinggi. In Hong berhadapan
dengan Ko Cay Seng. Jelas dara itu bukan tandingannya.
Sedang Blo'on yang menuju ke makam ayahnya disusul
Barbak. Dia masih belum percaya kalau putera Kim Thian
Cong itu map bersekutu dengan orang Boan.
"Aku harus cepat2 menyelesaikan pertempuran ini.
Sebenarnya aku tak ingin melukai Hian Hian. Tetapi Hian
Hian ternyata amat bernafsu sekali untuk membunuhnya,
sukar untuk melepaskan diri dari libatannya," pikir Tong
Kui Tik lebih lanjut, yah, apa boleh buat. Terpaksa aku
harus melayani imam ini dulu."
Dia serentak mengeluarkan ilmusilat ciptaannya sendiri.
Ilmusilat itu didasarkan atas perhatiannya terhadap burung
elang yang terbang dan dinamakan Hui-eng-sip-pat-poh
atau Delapan-belas-gerak- elang-terbang.
Dengan menggunakan pukulan itu, barulah Tong Kui
Tik dapat menghindar dan mengimbangi permainan Hian
Hian. Memang diam2 Hian Hian terkejut melihat permainan
Tong Kui Tik yang berloncatan menyambar-nyambar
seperti burung elang. Dan dia harus mengakui bahwa gaya
permainan lawan yang hebat itu bukanlah ilmu kepandaian
dari perguruar Go-bi-pay.
Sementara itu memang Wan-ong Kui mampu
menghadapi serangan pertapa Suto Kiat sampai berpuluh
jurus. Hal itu disebabkan karena Wan-ong Kui
menggunakan pedang pusaka sehingga memaksa lawan
harus hati2 bergerak. Tetapi bagaimanapun juga, karena
pertapa itu lebih tinggi kepandaiannya maka lama
kelamaan Wan-ong Kui terdesak juga.
"Lepas!" tiba2 Suto Kian membentak.
"Ih. . . .," Wan-ong Kui mendesis kejut ketika
pergeiangan tangannya tertutuk jari lawan dan pedangnya
mencelat ke udara. Setelah berhasil menutuk pergelangan tangan lawan,
pertapa Suto Kiat terus maju hendak mencengkeram bahu.
Wan-ong Kui tetapi pada saat itu tiba2 ia rasakan ubun2
kepalanya diserang orang. Terpaksa ia harus membuang
diri melesat ke sam ping.
Ternyata pada saat sedang melambung ke udara, Tong
Kui Tik melihat pedang Wan-ong Kui mencelat keatas.
Cepat ia menyambarnya lalu dengan gunakan gerak Huieng-
cok-thau atau Elang-terbang-mematuk-kepala, ia
menukik kebawah dan menghantam ubun-ubun kepala Suto
Kiat. Untung pertapa itu cepat loncat ke samping, kalau
terlambat sedikit saja, tentulah ubun2 kepalanya sudah
bobol. "Inilah pedangmu," seru Tong Kui Tik seraya
melemparkan pedang pusaka itu kepada Wan- ong Kui.
Habis menyerahkan pedang, Tong Kui Tik cepat
menyongsong Suto Kiat yang sudah maju menerjang.
Tetapi berbareng pada saat itu, Hian Hian tojin juga
memburu datang. Dia hendak menyerang Tong Kui Tik
tetapi dihadang oleh Wan ong Kui. Dengan demikian
terjadilah bertukaran lawan. Sekarang Tong Kui Tik
berhadapan dengan Suto Kiat. Wan-ong Kui melawan Hian
Hian tojin. Jika waktu melawan Hian Hian, Tong Kui Tik masih
terpancang rasa sungkan kini berhadapan dengan Suto Kiat,
dia tak sungkan lagi. Serentak dia menyerang pertapa itu
dengan gerakl Hui-eng-sip-pat-poh (Delapan-belas-gerakelang
terbang). Pelahan-lahan Suto Kiat mulai terdesak dan
mundur sampai akhirnya keluar dari ruang wisma. Kini
mereka bertempur di halaman.
Rupanya Hian Hian juga mempunyai pikiran seperti
pertapa Suto Kiat. Bertempur menghadapi seorang lawan
yang menggunakan senjata pusaka, dia harus bergerak
dengan lincah. Kalau berada dalam ruang yang penuh
orang, jelas gerakannya kurang leluasa. Maka diapun segera
memancing lawan supaya keluar ke halaman. Tetapi Hian
Hian pun telah menarik pelajaran dari adegan tadi. Agar
jangan sampai Tong Kui Tik sempat menolong Wan-ong
Kui, maka Hian Hian memancing pemuda itu supaya
meninggalkan wisma agak jauh. Setelah berada dibalik
gerumbul pohon yang terpisah seratusan langkah dari
wisma, barulah Hian Hian berhenti dan menghadapi Wanong
Kui. Kini dalam ruang itu hanya tinggal In Hong yang sedang
menghadapi Ko Cay Seng bersama Han Bi Ing yang berdiri
di sudut ruang. Saat itu Ko Cay Seng sudah menyerang In Hong. Dia
tahu kalau adu mulut, dia tentu kalah dan bisa muntah
darah karena gemas. Diapun ingin membuktikan apakah
benar In Hong itu mutid dari orang sakti yang dulu pernah
berjumpa dengan ayahnya ( Ko Sam Hiap ).
Ilmupedang Song-ou-tiap (sepasang kupu2 ) yang
dimainkan In Hong memang cukup hebat. Untuk beberapa
waktu, Ko Cay Seng memang dapat ditahan. Tetapi
menghadapi ilmu tutukan jari dari keluarga Ko yang
termasyhur itu, mau tak mau In Hong sibuk bukan
kepalang. Itu saja Ko Cay Seng baru mencapai tataran
keenam yakni baru dapat menutuk enam jalandarah.
Andaikata dia sudah menguasai sampai tataran yang
tertinggi, tentulah In Hong sudah sejak tadi rubuh.
Pada suatu saat yang menegangkan, jari Ko Cay Seng
menyelonong menusuk uluhati In Hong.
''Adik Hong, silangkan pedang ke dada, pedang kiri
julurkan kemuka, tusuk hidungnya!" tiba-tiba terdengar
suara orang berteriak. Ko Cay Seng terkejut. Ia tertegun. Sesaat ia menjerit
kaget karena ujung pedang In Hong sudah hampir
menyentuh ujung hidungnya. Cepat ia condongkan kepala
ke belakang lalu menggeliat berputar kesamping terus
menutuk lagi. "Adik Hong, putar badan kesamping dan babat lengan
lawan dengan pedang tangan kiri!" kembali Han Bi Ing
berteriak. Semula In Hong tadi memang kaget waktu mendengar
petunjuk Han Bi Ing. Ia tahu Han Bi Ing tampaknya seperti
seorang gadis lemah yang tak mengerti ilmusilat. Namun
karena Ko Cay Seng tertegun maka ia lakukan juga perintah
Han Bi Ing itu. Dan karena hasilnya mengejutkan, dapat
mematahkan serangan Ko Cay Seng, maka waktu kedua
kalinya Han Bi Ing memberi petunjuk iru, In Hong tak
ragu2 lagi untuk menurut.
"Setan," gumam Ko Cay Seng dalam hati ketika bukan
saja serangannya gagal, pun ia juga terpaksa harus
menyingkir supaya lengannya jangan sampai terbabat
pedang In Hong. Demikian peristiwa itu berlangsung terus menerus.
Setiap kali Ko Cay Seng melancarkan serangan maut, Han
Bi Ing terus berteriak memberi petunjuk kepada In Hong.
Dan setelah In Hong melakukannya, memang hasilnya
mengejutkan In Hong sendiri maupun Ko Cay Seng.
Setelah sepuluh jurus berlangsung begitu akhirnya
marahlah Ko Cay Seng. Kalau gadis itu dibiarkan saja
mengoceh memberi petunjuk, tentulah dia takkan dapat
merebut kemenangan. Gadis itu harus kubungkam dulu,
akhirnya Ko Cay Seng mengambil keputusan.
Dia loncat menerjang In Hong dengan sebuah tutukan ke
mata. Dan saat itu Han Bi Ingpun berteriak memberi
petunjuk. Pada waktu In Hong menyurut mundur dan
hendak berkisar ke samping, tiba2 Ko Cay Seng loncat
menerjang Han Bi Ing. "Cici Ing ....!" In Hong menjerit kaget "sekali. Ia hendak
loncat tetapi sudah terlambat.
Ko Cay Seng sudah rentangkan tangan mendekap tubuh
Han Bi Ing dan tampaknya Han Bi Ing tak berdaya
menghadapi. "Auhhhhh . . tiba2 Ko Cay Seng menjerit keras dan
loncat mundur ke belakang.
"Adik Houg, lekas serang dia!" teriak Han Bi Ing.
In Hong tak tahu apa yang terjadi namun dia lakukan
juga perintah Han Bi Ing. Cepat ia loncat menerjang. Tetapi
Ko Cay Seng ayunkan tangannya terus lari keluar.
"Awas, jarum beracun!"' teriak Han Bi Ing.
In Hong memang juga menduga begitu. Ia memutar
pedangnya untuk menyapu senjata gelap yang ditaburkan
lawan, terdengar beberapa denting kecil ketika pedangnya
berhasil memukul beberapa batang jarum.
"Aduhhhhh....." In Hong menjerit dan rubuh ke lantai.
"Adik Hong!" Hin Bi Ing berteriak kaget dan lari
menghampiri. Ternyata sebatang jarum telah mengenai kaki In Hong
sehingga dara itu tak dapat bergerak dan rubuh.
"Cici Ing, kakiku kena jarum," seru In Hong sembari
menunjuk ke arah betis kaki kanannya.
"Ah," Han Bi Ing makin gelisah. Ia mencopot sepatu In
Hong dan menggulung celananya. Tepat diatas mata kaki


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dara itu, tertancap sebatang jarum emas. Han Bi Ing cepat
mencabutnya lalu ia mengeluarkan obat Kim-jong-san,
dilumurkan pada bekas luka yang terkena jarum.
"Ah, untung bukan jarum beracun," kata Han Bi Ing
setelah memeriksa jarum emas itu.
"Cici Ing, engkau ternyata mengerti ilmu silat . . . ."
"Sudahlah, adik Hong," Han Bi Ing memberi isyarat
supaya gadis itu jangan bicara, "lekaslah engkau melakukan
pernapasan. Kita masih menghadapi beberapa lawan yang
tangguh." In Hong menurut. "Aku hendak keluar menjenguk keadaan Wan ong-ko
dan ayahmu, adik Hong,"' kata Bi Ing seraya melangkah
Pedang Pembunuh Naga 17 Pendekar Riang Karya Khu Lung Istana Kumala Putih 11
^