Pencarian

Bloon Cari Jodoh 8

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Bagian 8


seru si perwira pula. '"Sebelum kujawab, sukalah engkau mengatakan, perlu
apa engkau mencari mereka?"
"Mereka berani menentang pada kerajaan Ceng?" sahut
perwira. "Menentang " Apakah mereka melawan ?"
"Meninggalkan rumah, membakar semua miliknya,
merusak sawah dan ladang sehingga kehidupan dalam kota
menjadi sepi seperti kota mati lalu melarikan diri. Apa itu
bukan melawan kerajaan Ceng namanya?"
"Aku juga seorang rakyat kecil" kata Huru Hara, tak
mungkin rakyat akan lari apabila diperintah oleh penguasa
yang bijaksana. Kebanyakan setelah menang, perajurit2
tentu mengganas harta benda penduduk dan mengganggu
kaum wanitanya." "Bangsat engkau juga berani menghina pemerintah
Ceng!" teriak perwira itu terus memberi isyarat kepada
anakbuahnya untuk bergerak, "tangkap kedua pemberontak
ini !" Cian-li-ji justeru hendak bergerak tetapi dicegah Huru
Hara, "Jangan, aku mempunyai siasat lain. Biar kita
ditangkap saja," bisiknya.
Memang aneh kelihatannya tetapi nyata, kakek Cian-li-ji
itu, kalau terhadap lain orang tentu membantah dan
mendebat, tetapi kalau terhadap Huru Hara dia selalu
menurut. "Ha, ha, tak perlu kalian harus ngotot mengeluarkan
tenaga. Kalau kami berdua mau melawan, apa kalian
mampu menahan amukan kami berdua " Tetapi aku tak
mau berbuat begitu, kami mau menyerahkan diri saja!" seru
Huru Hara. "Wah, sombongnya," tiba2 seorang prajurit Ceng yang
bertubuh tinggi besar berseru,
"Kalau tak percaya, boleh coba l" sahut Huru Hara yang
tiba2 timbul pikirannya untuk memberi bajaran kepada
prajurit itu. Sebenarnya si perwira sudah mau menerima penyerahan
diri Huru Hara tetapi ketika mendengar kata2 prajurit
anakbuahnya dan kemudian tantangan Huru Hara, diapun
ingin tahu sampai dimana kesaktian pendekar Huru Hara
itu. Dia berpaling kearah prajurit itu dan memberi
anggukan kepala. Prajurit itu ajukan kudanya dan terus mengemplangkan
tombaknya kepada Huru Hara. Huru Hara menghindar dan
menyambar ujung tombak lalu ditariknya, huh.....prajurit
Ceng yang bertubuh tinggi besar itupun terpelanting jatuh
dari kudanya. "Nih tombakmu," seru Huru Hara seraya lemparkan
tombak yang direbutnya kepada prajurit itu.
Malu prajurit itu bukan alang kepalang. Dalam satu
gebrak saja dia sudah rubuh. Maka setelah menyambuti
tombak, dia hendak menebus kekalahannya. Serentak ia
menyerang Huru Hara dengan buas.
Uh .... prajurit itu menjerit kaget ketika tiba2 Huru Hara
menghilang dari hadapannya dan auhhhhh .... ia menjerit
kesakitan ketika telinganya dijiwir sekeras-kerasnya.
"Bangsat, aku akan mengadu jiwa dengan engkau!"
prajurit itu berputar dan terus menusuk tetapi sasarannya
menghilang pula dan kalau tadi telinga kiri sekarang telinga
kanannya yang dipelintir sekeras-kerasnya. Karena tahu
siapa yang memelintir, prajurit itupun berusaha untuk
menahan sakit dan tak mau menjerit. Hanya wajahnya yang
menyeringai seperti harimau tertawa.
Bukan kapok karena mendapat kopi pahit itu,
kebalikannya prajurit itu malah makin kalap. Dia
menyerang Huru Hara dengan kalap.
Rupanya Huru Hara jengkel juga. Setelelah menyelinap
ke belakang orang, dia terus menerkam prajurit itu,
diangkatnya dan terus dilemparkan kearah kawannya,
"Terima kawanmu yang bandel ini!" seru Huru Hara.
Untung tubuh prajurit itu dapat disambut oleh seorang
prajurit berkuda lainnya.
Melihat kesaktian pendekar yang dandanannya nyentrik
itu, terlongonglah rombongan pasukan berkuda Ceng itu.
"Engkau menyerah atau tidak!" bentak perwira mereka.
"Siapa bilang tak mau menyerah;"' Huru Hara balas
membentak. "Ikat kedua pemberontak ini!" seru perwira itu pula
kepada anakbuahnya. "Hai. prajurit Ceng, jangan keliwat menghina," teriak
Huru Hara, "aku rela menyerahkan diri, mengapa masih
hendak kalian borgol. Tidak, kalau kalian mau memborgol,
aku takkan serahkan diri. Bawalah kami ke hadapan
jenderalmu!" Rupanya perwira itu menyadari bahwa Huru Hara dan
Cian-li-ji memang sakti. Kalau di-siksa akan diborgol,
mereka tentu akan mengamuk. Memang mungkin pasukan
berkuda yang berjumlah limapuluh orang itu dapat
membunuh mereka, tetapi ia yakin anakbuahnya tentu juga
banyak yarg korban jiwa. Daripada harus mengorbankan
jiwa anakbuahnya, lebih baik kedua orang ini dihadapkan
saja kepada panglima mereka supaya dijatuhi hukuman,
pikir perwira itu. "Baik, tetapi kalau engkau coba hendak melarikan diri,
aku tak dapat menjamin keselamatan jiwamu lagi," seru
perwira itu. Begitulah dengan diiring. oleh pasukan berkuda yang
bersenjata lengkap, Huru Hara dan Cian-li-ji dibawa masuk
kedalam kota Sam-kwan. Kemudian langsung dibawa ke
markas tentara Ceng yang menempati gedung residen tihu
kota itu. Sepanjang jalan Huru Hara sempat memperhatikan
bagaimana sepi jalan2 dalam kota sehingga kota itu mirip
sebuah kota mati. Dengan diantar oleh perwira itu sendiri maka Huru Hara
dan Cian-li-ji dibawa masuk menghadap pimpinan pasukan
pendudukan kota Sam kwan. Dia seorang Boan yang
bertubuh kekar, berpangkat Sangkau atau kolonel, namanya
Totay. "Lapor, ketika mengejar rakyat yang melarikan diri, kami
berjumpa dengan kedua orang Han ini. Mereka tahu
kemana rombongan rakyat itu tetapi tak mau memberitahu
kepada kami. Bahkan malah menantang berkelahi pada
salah seorang anakbuah kami," seru perwira itu sambil
memberi hormat. Kolonel Totay heran melihat perwujudan kedua tawanan
yang dibawa kehadapannya itu. Yang satu seorang kakek
pendek dan yang satu seorang pemuda yang memakai kain
kepala tetapi dua buah kuncirnya mencuat keluar seperti
sepasang tanduk. "Hai, siapa engkau!" tegur Totay.
"Huru Hara." "Huru Hara" Apa itu?"
"Loan Thian Te."
"Loan Thian Te?" ulang Totay pula. Melihat itu Kho tihu
yang menyerahkan kota Sim kwan kepada tentara Ceng
dan saat itu duduk samping Totay segera memberi
penjelasan hal Loan Thian Te nama pendekar aneh itu
artinya adalah Huru Hara.
"Dan engkau kakek pendek?" tegur Totay.
"Cian-li-ji." "Cian-li-ji" Apa itu?" kembali Totay heran. Kho ti-hu
segera menerangkan bahwa Cian-li-ji itu berarti Telingaseribu-
Ii. "Apa engkau dapat mendengar sampai sejauh seribu li?"
Totay makin heran. "Jangankan seribu li, bahkan detak jantungmupun aku
dapat mendengar." "Hm, akan kucoba," kata Totay, "coba engkau katakan
apa yang sedang kuucapkan dalam hati."
"Mudah sekali," sahut Cian-li-ji, "tetapi aku tak mau
mengatakan." "Mengapa?" "Perlu apa mengatakan kalau tanpa imbalan suatu apa?"
"Edan barangkali kakek ini. Tawanan masakan
menuntut imbalan," pikir Totay. Tetapi karena yakin kakek
itu tentu tak mampu menebak isi hatinya maka dia
menyetujui, "Baik, kuberi kelonggaran engkau mau minta
apa saja?" "Nah, begitu baru cara yang layak," gumam Cian-li-ji,
"aku minta supaya diadakan perjamuan besar untuk
merayakan kemenangan tentara Ceng yang berhasil
menduduki kota ini. Nanti kita adu minum arak. Siapa
yang paling banyak minum, dia yang menang dan dapat
imbalan lagi." Karena sejak menduduki kota itu Totay belum sempat
mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan dan
menghibur para prajurit maka permintaan Cian-li ji itupun
disetujuinya. "Ya, baik," katanya, "sekarang lekaslah engkau katakan!"
"Apa yang engkau ucapkan dalam hati," kata Cian-li-ji
dengan nada seperti seorang pujangga "tak lain adalah
begini : "tak mungkin kakek itu tahu batinku."
Totay terkesiap. Memang begitulah yang dikandung
dalam hatinya. Dia tak percaya kalau Cian-li-ji tahu isi
hatinya. Totay seorang jujur. Kebetulan dia suka dengan orang
yang pandai, terutama apabila orang itu memiliki ilmusilat
tinggi. Dengan sportief, dia membenarkan tebakan Cian-liji.
"Kapan pesta itu akan diadakan?" tanya Cian-li-ji."
"Nanti malam." Mendengar itu beberapa perwira Ceng yang hadir dalam
ruangan itu bersorak gembira. Diam2 mereka berterima
kasih kepada kakek Cian-li-ji.
Kemudian Totay beralih kepada Huru Hara tanyanya,
"Engkau memakai nama Huru Hara, tentu ada maksudnya,
bukan?" "Ya." "Katakan apa maksudnya"'"
"Loan Thian Te artinya ' mengacau dunia ' atau ' dunia
kacau ' . Sesuatu yang kacau tentu timbul huru hara. Nah,
akulah seorang pemburu dan pencipta huru hara.
Kegemaranku memang menikmati huru hara."
"Hm, garang juga," desus Totay, "tetapi berdasarkan
modal apa engkau berani mengangkat diri sebagai pemburu
dan pencipta huru hara itu?"
"Modalku hanya satu : Kebenaran!"
"Kebenaran?" Totay mendecak mulut, "pada hal
kebenaran itu sukar ditentukan. Masing2 mengaku benar."
"Tidak," seru Hara, "memang kebenaran itu banyak
jumlahnya, tetapi kebenaran yang semu. Sedang Kebenaran
yang sejati hanyalah satu."
"Lho, seperti pujangga sajalah engkau mengeluarkan
kata2," seru Totay, "coba katakan bagaimana kebenaran
yang sejati itu?" "Mudah," sahut Huru Hara, "semudah orang
membalikkan telapak tangannya. Tetapi orang memang
gemar mempersukar, gemar merangkai falsafah yang
muluk" sehingga mengaburkan pengertian yang
sesungguhnya dari apa yang hendak diterangkan."
"Ah, rupanya engkau ahli falsafah."
"Sebenarnya falsafah itu sudah ada pada saat Thian
mencipta Bumi dan Langit. Setua kehidupan itu sendiri
karena falsafah itu tak lain adalah cara dan pandangan
hidup." "Hm, tak nyana seorang nyentrik dapat menguraikan
tentang falsafah," diam2 Totay membatin.
"Kalau begitu, setiap manusia itu mengerti falsafah?"
tanyanya. "Soal mengerti atau tidak, itu tergantung pada masing2
orang. Tetapi yang jelas, setiap manusia, sejak lahir sudah
mempunyai falsafah "Sejak lahir" Apa buktinya?"
"Waktu dilahirkan, bayi tentu menangis, sudah
merupakan falsafah hidupnya bahwa tentu akan
menghadapi berbagai derita dalam hidup ini. Pernahkah
engkau melihat bayi lahir tak menangis tetapi tertawa?"
"Pernah!" tiba2 kakek Cian-li-ji berteriak Huru Hara dan
Totay terkejut dan memandang kakek pendek itu, "Siapa
bayi itu?" tanya Totay heran.
"Aku sendiri," kata Cian-li-ji.
"Lho, bagaimana engkau tahu?"
"Ibu bapaku yang kasih tahu."'
"Mengapa engkau tertawa?"
"Katanya, waktu aku lahir, aku kalung usus. Tetapi
selain melilit leher, ujung usus itu menyusup kedalam
ketiakku sehingga karena geli aku terus tertawa-tawa saja . .
. . " "Celaka," Totay mengeluh dalam hati," edan ini dia atau
aku" Sudah jelas dia seorang kakek limbung mengapa aku
mengajukan pertanyaan kepadanya . . . . "
"Loan Thian Te, coba engkau terangkan bagaimana
Kebenaran yang sejati itu?" ia cepat beralih kepada Huru
Hara lagi. "Jika engkau berbuat sesuatu engkau merasa jengah,
malu dan tak enak dalam hati, itu tandanya perbuatanmu
itu tak benar. Kebalikannya kalau engkau merasa bahagia
dan damai dalam hati, itu tandanya perbuatanmu itu
benar," kata Huru Hara.
"Tetapi banyak orang yang mengaku bahwa yang
dilakukannya itu benar," kata Totay.
"Ah, itu hanya soal gengsi atau kepentingan. Tetapi
cobalah suruh dia tanya pada hati nuraninya, tentulah lain
jawabannya. Misalnya tentara kerajaan Ceng yang
menyerang negara kerajaan Beng ini. Dengan segala dalih
alasan, orang Ceng tentu mengatakan benar. Tetapi cobalah
heningkan pikiran menyelam kedalam lubuk hati
nuraninya. Apakah bahagia dan enak hati kalau merampas
tanah orang itu?"

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kerajaan Beng sudah lapuk. Mentii2 korup dan
jenderal2 tak becus saling cakar-cakaran berebut daerah.
Tidakkah sesuatu yang sudah busuk itu harus diganti
dengan yang baru?" Totay melontarkan pertanyaan tajam.
"Itu dalih bangsamu tetapi bagi bangsa Han tentu lain
rasanya. Kalau memang sudah sedemikian bobrok
pemerintahan Beng, seharusnyalah kalau diganti, yang
mengganti dan memperbaiki adalah rakyat Han sendiri."
"Nyatanya tak seorangpun dari bangsamu yang berani
bergerak untuk menumbangkan pemerintahan raja Beng
oleh karena itu terpaksa kami, bangsa Boan, bertindak."
"Jika tak ada orang maka aku yang akan tampil untuk
merombak pemerintahan kerajaan Beng itu, asal pasukan
Ceng segera angkat kaki dari negara ini."
"Engkau?" "Ya. Buktikan sendiri, kalau kalian sudah pergi dari
bumi ini, aku tentu akan mengajak kaum pendekar yang
cinta tanah-air untuk bergerak menangkap kaurn mentri
dorna dan jenderal bebodoran itu. Kalau aku tak menetapi
janjiku ini potonglah leherku!"
Totay terkesiap. Dia seorang jago yang berani, gagah dan
menjunjung kesetiaan terhadap negara. Dia senang melihat
seorang yang mempunyai sikap dan pambek seperti dia,
walaupun orang seorang musuh.
Sebaliknya Kho tihu merah mukanya. Serentak dia
berseru, "To ciangkun, Iebih baik tak usah meladeni orang
semacam dia. Dia jelas seorang pemberontak yang hendak
menentang kekuasaan kerajaan Ceng. Lebih baik hukum
mati saja !" 'Hi, ha, ha," Huru Hara tenawa gelak2, "aneh; aneh,
sungguh aneh." "Kenapa ?" tegur Totay. - "Baru kali ini aku tahu," seru
Huru Hara,' "bahwa seorang budak berani memberi
perintah kepada majikannya."
Bukan main marah Kho tihu dimaki sebagai budak.
Serentak dia berbangkit dan menuding Huru Hara,
"Bangsat, engkau berani menghina seorang pembesar!"
"Pembesar ?" ejek Huru Hara, "di mata rakyat Han,
engkau bukan pembesar tetapi seorang penghianat. Dalam
anggapan orang Ceng, engkau juga bukan pembesar tetapi
seorang budak. Salahkah kalau aku mengatakan begitu ?"
"Jahanam, kupotong lehermu!" Kho Tihu serentak
mencabut pedang hendak maju menghampiri Huru Hara.
Tetapi dibentak Totay, "Jangan bergerak, duduklah !"
Kho tihu tertegun. Ia hendak membantah tetapi Totay
sudah berkata kepada Huru Hara, "Engkau seorang jantan
yang berani. Bangsa Ceng menghargai seorang yang gagah
berani. Untuk melengkapi penghargaanku, engkau akan
kucoba !" Totay bertepuk tangan dan tampillah seorang lelaki
tinggi besar, tangan dan dadanya penuh bulu yang lebat.
'Loan Thian Te, cobalah engkau ciptakan gara2 dengan
pengawalku Kolok ini," seru Totay.
Kakek Gan-li-ji hendak maju tetapi dicegah Huru Hara,
"Biar aku yang menghadapinya," bisik Huru Hara.
Huru Hara tak tahu si tinggi besar Kolok hendak
mengajaknya berkelahi dengan cara apa. Tahu2 tangan
Kolok yang besar sudah mencengkeram tengkuk dan tahu2
pula dia sudah diangkat keatas, diputar-putar lalu dilempar
oleh Kolok. "Uhhhhh....." Huru Hara bergeliatan dan berusaha agar
jangan sampai jatuh terbanting ke lantai. Walaupun agak
terhuyung-huyung namun dia berhasil menginjakkan
kakinya ke lantai waktu melayang turun.
Terdengar sorak tertawa dari Kho tihu dan beberapa
perwira yang berada dalam ruangan itu. Hanya Totay yang
kerutkan kening. Diam2 ia kejut melihat kepandaian Huru
Hara. Ia tahu bagaimana kekuatan Kolok. Kolok dapat
seekor kerbau dan melemparkan sampai beberapa tombak
jauhnya. Manusia bertubuh kecil seperti Huru Hara, tentu
akan lebih jauh lagi jaraknya dan tentu akan terbanting,
kalau tidak remuk tulangnya paling tidak tentu pingsan.
Huru Hara maju menghampiri ke muka Kolok lagi dan
menantang, "Hayo, lemparkan lagi, raksasa !'
Kolok deliki mata karena disebut raksasa itu.
.Melangkah maju dan segera merentang, kedua lengan
hendak mengangkat tetapi tiba2 dia meraung dan menyurut
mundur, "Aduhhhhh !"
Sekalian orang terkejut dan memandang apa yang terjadi
pada raksasa itu, Kolok menunduk dan mengusap-usap
dadanya. Astaga... ternyata dada Kolok yang penuh bulu
itu sekarang sudah bersih dan berwarna merah karena
berlumur bintik2 darah Kini orang tahu apa yang terjadi. Bulu dada Kolok telah
dicabut habis oleh Huru Hara. Orang hanya tertawa geli
tetapi tidak demikian dengan Totay. Selain geli juga diam2
dia terkejut akan kepandaian Huru Hara yang dalam waktu
sekejap dapat mencabut habis bulu dada Kolok.
Kolok marah. Dia terus lari menghampiri Huru Hara,
menyambar tubuhnya dan lalu diangkat dan diputar putar
untuk dilemparkan. Orang2, terutama Kho tihu sudah siap bersorak untuk
menyambut adegan Huru Hara terbanting di lantai. Tetapi
mereka terbelalak karena sampai beberapa waktu Kolok
tidak juga melemparkan Huru Hara, melainkan masih tetap
diputar putar saja. "Lempar saja ! Lempar -saja !" terdengar suara orang
berteriak-teriak menganjurkan. Tetapi entah bagaimana
Kolok tetap memutar-mutar saja. Wajahnya mengerut
seperti orang yang tengah mengangkat gunung.
Rupanya Totay memperhatikan hal itu. Dia heran juga.
Apa yang menyebabkan Kolok tak dapat melemparkan
tubuh Huru Hara yang sedang diputarnya itu "
"Hian-tit, awas !" teiiak Cian-li-ji yang kuatir.
"Tak apa, paman."
"Bagaimana engkau rasakan ?"
"Seperti terbang melayang-layang di angkasa paman."
''Wah, enak kalau begitu ?"
"Lumayaaannnnn."
"Hian-tit, mengapa dada si raksasa menjadi gundul ?"
teriak Cian-li ji pula. "Pindah tempat."
"Eh, bulu dada bisa pindah tempat?"
"Ya." "Pindah kemana ?"
"Ke mukanya....." sahut Huru Hara.
Dan ketika Cian-li-ji memandang Kolok, dia terus
tertawa keras, "Benar, benar, aha, sekarang dia berobah
menjadi kera raksasa."
Sekalian orangpun segera memandang kearah Kolok.
Mereka terkejut ketika melihat wajah Kolok penuh
bertumbuh bulu rambut. Apa yang dikatakan Cian-li-ji
memang tepat. Kolok tampak seperti seekor kera raksasa.
Lebih terkejut pula ketika mereka melihat kaki Kolok
mulai melekuk dan tubuhnya makin lama makin turun ke
bawah sampai akhirnya berjongkok. Dia sudah tidak dapat
memutar-mutar tubuh Huru Hara lagi melainkan hanya
mengangkat diatas kepalanya.
"Huakkkkk," pada lain kejab raksasa Kolok menggembor
dan muntahkan segumpal darah. Tangannya lunglai dan
Huru Harapun melenting berdiri.
"Paman, kasih minum anggurmu!" seru Huru Hara
ketika melihat keadaan Kolok.
Cian-li-ji lari menghampiri. Saat itu Kolok berjongkok
diam. Tanpa ditanya lagi, Cian-li-ji terus mencengkam
mulut Kolok sehingga ternganga lalu dituang dengan arak
dalam guci yang diambil dari dalam bajunya.
"Sudah, jangan engkau habiskan. Enak saja engkau,"
gerutu Cian-li-ji seraya lepaskan cengkeraman mulut Kolok,
"kalau bukan keponakanku yang menyuruh, sekalipun
engkau berlutut dihadapanku, tak nanti kuberimu minum
arakku yang istimewa ini."
Beberapa saat kemudian Kolok dapat berdiri. Dia
memang kasar tetapi jujur. Dia menghampiri Huru Hara,
"Terima kasih atas kebaikan hohan yang memberi arak
obat." *Salah," seru Huru Hara, "bukan aku tetapi pamanku itu
yang punya arak." "Terima kasih, kakek," kata Kolok-
"Kakek" Kapan aku menikah dengan nenekmu?"
lengking Cian-li-ji. Mendengar itu Kolok terlongong tetapi semua orang
tertawa. "Kolok," tiba2 Totay berseru, "apa yang terjadi
padamu?" "Entah bagaimana tiba2 kurasakan tanganku melekat
pada tubuh pemuda itu. Berulang kali hendak kulemparkan
tetapi tak dapat. Dan celakanya makin lama tubuhnya
makin berat sehingga aku tak kuat bertahan lagi," kata si
raksasa yang jujur. Totay geleng2 kepala, "Ini suatu pelajaran agar apabila
menghadapi lawan, jangan mengabaikan kekuatan lawan.
Dan kalau berkelahi, jangan hanya pakai kekuatan tenaga
tetapi juga harus memakai otak, mengerti?"
Kolok mengiakan. Dan Totay suruh dia mundur
kemudian berkata kepada Huru Hara, "Engkau memang
hebat sekali, Loan Thian Te. Sekarang engkau boleh
beristirahat dulu bersama pamanmu."
"Eh, apakah engkau tak mau membebaskan kami?" Cianli-
ji melengking lagi. "Apa engkau sudah lupa, kakek linglung?" balas Totay.
'"Lupa apa"' Cian- li-ji melongo.
"Bukankah engkau minta dipestakan"-"Nah, nanti
malam engkau boleh hadir dalam pesta yang akan
kuadakan." "Bagus, bagus," teriak Cian-li-ji, "pesta selain dapat
menambah gairah, pun dapat menjadi jembatan
persahabatan. Coba saja, kalau engkau mengadakan pesta
setiap malam, bukankah engkau akan mendapatkan banyak
sahabat?" "Benar," sambut Totay, "memang aku akan mendapat
banyak sahabat tetapi aku kehilangan seorang sahabat yang
paling baik di dunia."
"Siapa?" "Sahabatku yang bernama si fulus."
"Aduh mati aku," setu Cian-li-ji, "itulah jahatnya fulus.
Dia akan menjadikan setiap orang, entah bangsa apa saja,
menjadi budaknya. Tetapi ingat, jangan engkau mau
menjadi budak uang tetapi jadilah tuannya."
"Bagaimana maksudmu?"
"Jika terlalu menyembah uang, memuja si fulus, kita
tentu menjadi budaknya. Tetapi kalau kita dapat
mempergunakan menurut kehendak hati ini, kita menjadi
tuannya. Seperti aku, inilah contohnya. Coba kalian
geledah badanku, aku tentu tidak punya uang, Mengapa"
Karena aku tak mau jadi budak uang."
"Lho, lalu bagaimana engkau akan hidup?"
"Tentu saja hidup," sahut Cian-li-ji, "aku bisa makan di
rumahmakan, minum arak dan mendapatkan apa yang
kukehendaki walaupun aku tak punya uang."
"Mencuri atau merampok?"
"Tidak!" teriak Cian-li-ji, "mereka senang memberikan
kepadaku. Kalau perlu aku jual tenagaku kepada mereka."
"Sudahlah, silakan kalian beristirahat," kata Totay lalu
menyuruh seorang prajurit untuk mengantarkan pendekar
Huru Hara dan kakek Cian-li-j ji ke ruang yang disediakan
untuk tetamu." "Paman," kata Huru Hara setelah berada berdua dengan
Cian-li-ji, "kita harus hati2 dalam perjamuan nanti."
"Hati2 bagaimana?"
"Jangan sembarangan makan dan minum sebelum yakin
makanan atau minuman itu tak mengandung racun atau
bius." "O .... " -oodwoo- Jilid 12 Kakek Cian-li-ji agak terkejut mendengar pesan Huru
Hara, "Engkau curiga mereka akan meracuni kita ?"
"Mereka adalah orang Ceng, kita tak boleh terlalu
percaya," jawab Huru Hara.
"Tetapi bukankah mereka sendiri yang mengundang kita
menghadiri pesta ?" "Ya, tetapi bukankah mudah saja untuk mencampuri
obat racun atau bius dalam hidangan dan minuman kita ?"
"Apakah mereka hendak menangkap kita " Perlu apa?"
"Mereka tentu sudah mendapat kesan bahwa kita ini
rakyat Han yang tak senang pada kerajaang Ceng".
"Senang tak senang, terserah kepada mereka karena kita
memang tak perlu harus menyenangkan hati mereka."
"Ya," sahut Huru Hara, "oleh karena itu maka perlulah
kita berhati-hati dalam pesta itu."
"Lalu bagaimana cara kita mengetahui makanan atau
minuman ttu mengandung racun atau tidak ?"
"Rasanya tentu berbeda. Aku dapat mengenyam dengan
lidahku." "Kalau begitu engkau harus memberitahu kepadaku
setiap engkau tahu makanan atau minuman itu baracun."
"Baik," Huru Hara berhenti sejenak," tetapi kurang
leluasa kalau kukatakan didepan orang. Mereka tentu
mendengar." "Ya, benar, lalu bagaimana caranya ?"
"Begini saja." kata Huru Hara, "kalau aku mengetahui
makanan atau minuman itu beracun, aku akan berbatukbatuk.
Tetapi kalau aku diam saja berarti minuman dan
makanan itu tidak mengandung suatu apa."
"Benar," seru Cian-li-ji gembira," aku juga akan memberi
isyarat batuk2 apabila kurasakan makanan atau minuman
itu mengandung racun."
Demikian setelah menetapkan cara mereka mengadakan
hubungan, pada malam itu mereka pun diundang oleh


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang prajurit supaya menghadiri perjamuan yang
diadakan di ruang besar. To tay, perwira2 Ceng. Kho tihu
dan pembesar2 kota Sam Kwan hadir dalam meja
perjamuan. Sedang di ruang luar pun disiapkan berpuluh
meja hidangan untuk .para prajurit.
Melihat kehadiran Huru Hara bersama kakek Cian- li- ji,
diam2 para prajurit itu heran mengapa pimpinan mereka,
kolonel Totay, begitu menaruh perhargaan teihadap kedua
orang itu. Bahkan perwira yang memimpin pasukan
berkuda siang tadi, tak habis herannya. Bukankah Huru
Hara dan kakek itu jelas berskap menentang kepada tentara
Ceng " Mengapa Totay masih memperlakukannya sebagai
tetamu terhormat." Namun bagi kakek Cian-li-ji, mata para hadirin yang
memandangnya dengan keheranan itu, tak diacuhkan sama
sekali. Dia tampak gembira sekali seperti menghadapi
perjamuan biasa. Kho tihu bertindak sebagai tuanrumah. Dia sibuk
menuangkan arak ke cawan para pembesar Ceng, "Silahkan
anda menikmati arak simpanan kami yang istimewa," kata
tihu itu kepada Huru Hara dan Cian-li-ji.
Huru Hara dan Cian-li-ji segera menepuk cawannya,
"Ah, arak begini engkau bilang rstimewa. Kurang keras, aku
minta yang lebih keras lagi dari ini," kata Cian li ji
seenakrya sendiri seperti orang pesan minuman di rumahmakan.
Setelah berulang kali membasahi kerongkongan dengan
arak maka hidanganpun mulai mengalir.
"Tuan2 sekalian, untuk merayakan kemenangan
balatentara Ceng maka malam ini sengaja kudatangkan
rombongan penyanyi cantik dari So-ciu," kata Kho tihu.
Maka beberapa nona cantik segera berhamburan keluar
dan berpencaran ke beberapa ruangan. Yang berada di
ruang besar tempat perjamuan para pembesar, adalah
seorang nona cantik berpakaian kuning muda. Dia
membawa sebuah harpa. Nona itu memperkenalkan diri dengan nama Lan Lan
dan mengatakan bahwa tak begitu pandai menyanyi maka
apabila terdapat kekurangan harap para tetamu suka
memberi maaf. Apa yang diduga sekalian orang bahwa nona cantik itu
hanya mengucapkan kata2 merendah, memang benar.
Ternyata suaranya amat merdu dan permainan harpanya
pun tinggi sehingga mempesonakan sekalian hadirin.
Perjamuan berjalan dengan meriah. Silih berganti
hidangan keluar. Terutama arak, tak pernah berhenti.
Takeran minum kakek Cian-li ji memang hebat. Dia
menantang adu minum arak tetapi tak ada seorangpun yang
berani menyambuti. Beberapa waktu kemudian, Huru Hara yang tajam
hidungnya segera mencium bau yang berlainan pada arak
yang dituangkan Kho tihu. Ia hendak memberi isyarat
tetapi Cian-Ii ji malah tak menghiraukan lagi. Kakek itu
tengah melekatkan pandang matanya kepada si penyanyi
cantik. Rupanya dia terpesona melihat kecantikan nona itu.
Sambil memandang sambil tangannya mengangkat cawan
arak dan diminumnya, "Ah, mengapa baru sekarang bertemu. Kalau empat
limapuluh tahun yang lalu, engkau tentu menjadi milikku,"
Cian li-ji mengoceh seorang diri.
"Tuan2 sekalian," seru Kho tihu, "ada suatu acara yang
menarik. Nona Lan Lan suka bersenandung membuat
gurindam. Dia akan mengutipkan sebaris kata, barang siapa
yang dapat membuat rangkaian kata untuk mengimbangi
kata-katanya itu, dia akan menghaturkan arak dari So-ciu
kepada tuan." Permainan itu sebenarnya disebut tui-Iian atau memberi
pasangan dari kata2 yang diucapkan si penari. Misalnya
dalam bahasa Indonesia terdapat sebuah peribahasa
berbunyi ..."dalam laut dapat diduga ....... " " lalu diberi
pasangan yang memberi ulasan arti pada kata2 itu yakni ...
"hati manusia siapa yang tahu ..."
Pengumuman Kho tihu itu segera disambut riuh rendah
oleh hadirin. "Ah, jangan melulu menghaturkan arak saja," tiba2
kakek Cian-li-ji mengeluh.
"Habis, suruh apa lagi ?"
"Hi, hi, hi........" kakek itu tertawa mengikik.
"Mengapa tertawa ?"
"Malu ah kalau mengatakan... "
"Kenapa malu " Bilanglah !"
"Kasih sun ......."
"Sun " Apa itu sun ?"
"Cipok...." "Apa cipok itu ?" tanya Kho tihu.
''Engkau memang tihu goblok !" teriak kakek Cian-li-ji,"
masakan sun tidak tahu, ci:pok juga tak mengerti. Apa perlu
kukatakan dengan tlerus terang ?"
"Ya, bilanglah kakek pendek !" teriak beberapa perwira
yang geli melihat tingkah kakek itu.,
Cian-li-ji deliki mata kearah perwira2 Ceng itu lalu
berseru, "Sun atau cipok artinya yalah cium, goblok!"
Gelak tertawa segera memenuhi ruang perjamuan.
Sedang Kho tihu merah mukanya.
"Baik," akhirnya dia kerkata, "tetapi untuk menjaga
jangan sampai terjadi ugal-ugalan seperti tingkah kakek
pendek ini, maka kutetapkan begini. Yang dapat memberi
pasangan kata dengan tepat, boleh mencium. Tetapi kalau
salah diapun akan dihukum. Ditampar muka, atau ditabok
kepalanya, terserah pada nona Lan Lan".
"Setuju ! Akur ! " teriak hadirian.
"Tunggu !". Cian-li-ji melengking, "aku ada usul. Supaya
adil, harus dua kali. Pertama, nona cantik itu yang
mengeluarkan bait kata pertama lalu penantangnya
mengimbangi pasangan bait kedua. Setelah itu dibalik.
Penantangnya yang mengeluarkan bait kedua pasangannya.
Kalau dua kali kalah, baru dihukum. Tetapi kalau duakali
menang, baru diberi ganjaran. Itu baru adil!"
"Benar, benar !" Setuju sekali! "teriak hadirin. Dan Kho
Tihu terpaksa menyetujui.
Lan Lan segera tampil ke tengah ruang, Tuan2, aku yang
bodoh ini memang gemar bermain gurindam seloka.
Silakan tuan2 memberi petunjuk," serunya dengan nada
yang berirama merdu. Cian-li-ji terus berbangkit tetapi kalah dulu dengan
seorang perwira muda. Perwira itu berwajah tampan.
Rupanya dia bangsa Han. "Tuankah yang hendak menemani aku bergurindam ?"
tanya Lan Lan dengan lirik mata yang menikam.
"Mati aku," Cian-li-ji menggeram dan bergeliatan di
kursi seperti cacing kepanasan.
"Ah, harap nona jangan mengeluarkan bait yang sukar,"
perwira muda itu tersenyum.
"Curang !" tiba2 Cian-li-ji menuding perwira muda itu,
"dia curang, main kayu. Masakan minta si cantik supaya
mengeluarkan bait yang gampang " Mana boleh !"
Sekalian orang tertawa. Mereka makin mendapat
gambaran kalau Cian-li-ji itu seorang kakek linglung.
Bukankah perwira muda itu hanya mengucapkan kata2
merendah diri " Mengapa dituduh hendak main kayu "
"Maaf, tuan, aku segera mulai," kata si cantik pula. Dan
mulailah ia bersenandung :
Lok hoa yu ih Bunga gugur mempunyai arti
Maka menyahutlah perwira muda itu :
Lang sim sui ti Hati manusia siapa yang tahu.
"Bagus, tuan," puji Lan Lan, "sekarang silahkan tuan
yang mengajukan bait pertama.
Ceng jin gan li jut Se-si
Dimata sang pecinta, kekasihnya itu seperti Se-si
tampaknya. Se Si adalah nama seorang wanita yang masyhur paling
cantik dalam jamannya karena apabila melukiskan
kecantikan seorang wanita lalu dikatakan seperti Se Si.
"Ih, tuan bermain api, "Lan Lan tertawa merayu.
Kemudian dia menyahut : Hong mo ah thau sip pat pian
Gadis liar selalu berobah hatinya sampai delapan belas kali.
"Bagus nona," seru perwira bangsa Han itu, Maka
bersenandunglah Lan Lan pula ;
Sian jin ho ki Orang baik mudah dilihat Dan perwira itu lalu menyambuti :
Sian ma nan ki Kuda baik sukar dinaiki Lan Lan tertawa, "Silakan tuan yang mulai." Dan
perwira muda itapun bersenandung:
Jing cui kian te Air bening tampak dasarnya
Lan Lan tak lekas menyahut melainkan memenung
diam. Sampai beberapa jenak baru dia berkata, "Maaf, tuan
aku tak dapat mengatakan dan pasangannya. Aku
menyerah ......" Suara tepuk tangan bergema dalam ruang itu Lan Lan
lalu menghaturkan secawan arak wangi kehadapan si
perwira, "Lan Lan mempersembahkan arak wangi kepada
perwira yang gagah dan tampan ......"
"Aduh mak......" Cian-li-ji makin geram.
Tiba2 dia berbangkit dan berteriak, "hayo, lekas mundur,
giliran lain orang !"
Kembali terdengar suara gelak tertawa melihat tingkah
laku kakek pendek itu. Perwira muda, itupun kembali ke
tempat duduknya lagi. Dan kuatir kalau didahului orang
lagi, Cian-li-ji teru lari ke muka Lan Lan,
"Nona manis," katanya, "dekat dengan engkau, aku
merasa muda kembali. Dulu aku gemar juga merangkai
syair, menggubah gurindam. Silahkan nona mengeluarkan
kepandaian nona tetapi jangan yang sukar lho......."
"Curang ! Curang !" teriak beberapa perwira" Mereka
hendak membalaskan kawannya si perwira muda tadi
karena dituduh curang oleh Cian-li-ji. "Hai, kakek pendek,
engkau menuduh perwira tadi curang, sekarang engkau
sendiri juga curang, sekarang engkau sendiri juga curang !"
teriak mereka. ''Betul, kalian betul!" sahut Cian-li-ji lalu berpaling
kearah Lan Lan, '"maaf, nona, aku tak bermaksud hendak
meminta nona mengeluarkan bait yang gampang. Tidak,
silakan saja nona hendak mengeluarkan bait apa saja !"
Lan Lan tertawa geli melihat ulah kakek itu.
Jin lo bu leng Orang yang tua tidak mampu apa-apa lagi
"Ai, jangan menghina dong, manis," seru kakek Cian-li-ji
karena terkejut begitu membuka mulut, Lan Lan terus
menyerangnya. "Ah, tidak," Lan Lan tertawa, "itu kan hanya bait syair.
Silakan mengatakan pasangannya."
"Baik," sahut Cian-li-ji lalu berkata:
Jin lo sim put lo Orangnya tua, tetapi hatinya tidak ikut tua.
Gelak tawa segera menggemuruh dalam ruang. Bahkan
ada yang berseru, "Ya, itu namanya, tua-tua keladi, makin
tua makin menjadi-jadi. "Orang tua keranjingan namanya!" seru yang lain pula.
"Maaf," tiba2 Lan Lan tertawa, "bukan begitu pasangan
bait itu." "Hah" Tetapi bukankah nona melukiskan tentang
keadaan orang tua?" tanya Cian-li-ji
"Ya, tetapi jangan dijawab menurut kehendak tuan
sendiri. Karena setiap syair itu sudah mempunyai pasangan
tertentu." "Mati aku," Cian-li-ji mengeluh, "lalu bagaimana
pasangannya yang benar?"
"Begini seharusnya : Jiu lo bu leng. Artinya pohon yang
tua sudah tak punya sari".
"Ah, belum tentu," bantah G.an-Ji-ji, "apakah semua
pohon kalau sudah tua tentu lapuk" Buktinya, keladi itu
makin tua kan makin menjadi-jadi suburnya."
"Ya, itu kan keladi. Tetapi ini syair yang di dasarkan
pada umumnya, bukan hanya satu jenis seperti keladi," kata
Lin Lan. "Kalau begitu, aku dianggap kalah nih?"
"Kalau engkau mau mengakui, engkau seorang lelaki
jantan. Tetapi kalau tidak, berarti engkau banci!"
"Tidak, tidak! Aku tak suka jadi orang banci!" seru Cianli
j i, "ya, baiklah, aku mengaku kalah. Sekarang giliranku
yang mengeluarkan bait pertama :
Jin lay thoh jin Orang datang mencari jodoh.
Merah muka Lan Lan, serunya, "Ah, ngawur. Masakan
ada syair begitu!" "Ada saja," lengking Cian-li-ji, kaiau tak ada, masakan
aku mengada-ada. Bagaimana, engkau menyerah tidak?"
Setelah beberapa saat memikir belum juga menemukan
pasangannya akhirnya Lan Lan menyatakan menyerah.
"Ah, mudah saja," kata C an-li-ji dengan bangga,
"begini".. Niau lay tho'i lim Burung datang masuk ke hutan.
'"Ya," kata Lan Lan, "sekarang aku akan mengucapkan
bait pertama lagi : Lo put ki lee Sudah tua tak kenal aturan
"Lho, mengapa engkau terus menerus menyerang
orangtua saja?" teriak Cian-li-ji, "apa kalau orang sudah tua
itu tentu jelek" Ingat nona manis, engkau sendiri kelak juga
akan tua seperti aku, lho ....... "
"Hi, hi, hi," Lan Lan tertawa mengikik, "bukan aku
hendak menyerang tuan. Tetapi syair macam begitu
memang ada. Silakan saja tuan membuat pasangannya."
"Ah, mudah saja, dengarlah :


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ping put ki thi Penyakit tak pandang orang.
"Salah! Salah!" tiba2 terdengar perwira muda yang maju
pertama kali tadi berseru.
"Lho, apanya yang salah?" Cian-li-ji merentang mata
lebar2. "Salah caranya!"
"Salah caranya apa?"
"Tadi setelah aku dapat mengucapkan pasangan bait
pertama dari nona itu maka dalam babak kedua, aku yang
mengucapkan bait pertama dan nona itu yang memberi
pasangannya. Tetapi mengapa dalam babak kedua, tetap
nona itu yang mengucapkan bait pertama" Salah!"
"Apakah benar begitu, nona?" tanya Cian-li-ji/
Lan Lan mengangguk. "Matiiiik," Cian-li-ji menampar, mukanya, *'jadi yang
kedua tadi batal kalau begitu?"
"Ya, karena tidak menurut peraturan."
Cian-li-ji menghunjamkan kakinya ke lantai berulangulang,
"sialan ....... "
"Sekarang silakan tuan mengeluarkan bait pertama itu,"
kata Lan Lan. "Bait syairku ini merupakan suatu pertanyaan. Mungkin
dalam kamus syair-pasangan tidak ada tetapi di kalangan
masyarakat hal itu ada Dengarkanlah :
Dari mana datangnya lintah"
"Ah, apa itu" Itu kan bukan syair, mana aku tahu?" seru
Lan Lan. "Kampungan! Kampungan!" teriak beberapa orang.
"Bukan syair, asal dapat memberi pasangannya, ya
boleh. Kalau tak dapat, ya harus kalah jawab Cian-li-ji lalu
berpaling seraya mengacungkan tinju kearah orang2 yang
berteriak tadi, "Kampungan atau bukan, pokoknya menang!
Iri, ya?" Hadirin menjawab dengan gelak tawa.
"Bagaimana nona?" kata Cian-li-ji, "dapat memberi
pasangannya atau tidak"''
Setelah merenung beberapa jenak, Lan Lan mengangguk,
"Baiklah, aku menyerah. Tetapi karena syair yang engkau
katakan itu memang tidak termasuk kumpulan syair yang
umum, maka aku-pun hanya menghadiahkan arak wangi
saja kepadamu." "Tidak bisa !" teriak Cian-li-ji, "peraturan dari Kho tihu
tadi sudah menyebut bahwa yang menang boleh
mengajukan permintaan apa saja kepadamu. Sekarang aku
menghendaki hadiah yang kedua."
"Apa itu ?" tanya Lan Lan.
"Hadiah kesatu adalah hidangan arak. Dan hadiah kedua
yalah .... ih, malu ......."
"Kakek tak tahu diri, masakan mau minta cium kepada
nona yang cantik !" teriak beberapa orang.
Merah muka Lan Lan mendengar seruan itu. Namun dia
tertawa, '"Begini sajalah. Pertama, akan kuhidangkan arak
wangi. Setelah itu aku akan memperdengarkan sebuah
nyanyian untukmu dan yung ketiga baru meluluskan
permintaanmu yang kedua tadi, bagaimana ?"
"Setuju !" seru Cian li-ji.
Lan Lan terus menuang arak kedalam sebuah cawan dan
dengan kedua tangan dihaturkan ke hadapan Cian-li-ji,
"Tuan, kupersembahkan arak wangi kepadamu. Semoga
engkau dapat melayang2 ke alam impian yang indah....."
Tanpa banyak bicara, Cian-li-ji menyambuti dan terus
meminumnya habis, "Apa hanya secawan saja ?"
"Oh, apa tuan menghendaki lagi?" Lan Lan pun
menuang secawan lagi. Berturut-turut Cian-j li-ji telah
minum sampai lima cawan. Kemudian Lan Lanpun mendendangkan sebuah lagu
yang merdu. Lagu yang kuasa mencengkam hati sekalian
orang. Belum nyanyian itu selesai tiba2 Cian-li-ji rubuh. Lan
Lan menjerit kaget dan Huru Hara pun segera lari
menghampiri. "Paman, kenapa engkau ?" serunya seraya
mengangkat tubuh kakek itu.
"Auh .... tidak apa2, aku ngantuk sekali ingin tidur ..... ,"
Cian-li-ji menguap. Huru Hara heran. Pada hal jelas dilihatnya bagaimana
beberapa jenak yang lalu kakek itu masih bergairah sekali
adu syair dengan penyanji Lan Lan. Sekarang mengapa dia
begitu lemas dan ingin tidur"
"Hai penyanyi, bawa kemari poci arak itu bentaknya
kepada Lan Lan. Lan Lan gemetar. Dia memberikan poci arak kepada
Hulu Hara. Huru Hara mencium sisa arak yang masih
terdapat dalam dipoci itu tetapi dia tidak merasakan suatu
bau yang mencurigakan. "Engkau apakan pamanku ini ?" bentaknya kepada Lan
Lan. "Tidak apa2, tuan," kata Lan Lan ketakutan, "aku hanya
menghidangkan arak wangi, kemungkinan paman tuan itu
mabuk." Karena tak mendapatkan sesuatu gejala yang
membahayakan jiwa Cian-li-ji, Huru Hara menganggap
kata2 Lan Lan itu benar. Huru Hara segera membawa
Cian-li-ji beristirahat kedalam kamarnya. Setelah itu dia
kembali ke ruang perjamuan lagi.
Perjamuan dilanjutkan sampai jauh malam. Para perwira
banyak yang mabuk. Juga prajurit prajurit yang berada di
luar ruang, banyak yang mabuk dan menggeletak. Mereka
makan dan minum sepuas-puasnya bahkan melebihi
takeran sehingga tertidur di ruang perjamuan.
Sekonyong-konyong terdengar suara ribut2 di ruang
belakang. Seorang pelayan bergegas menghadap Kho tihu,
"Tihu, di bagian belakang gedung timbul kebakaran !"
"Siapa yang menyebabkan kebakaran itu ?" Kho tihu
terkejut. "Entah, tihu," jawab pelayan itu, "kami semua sudah
tertidur tahu2 gudang dan kandang kuda terbakar, Rupanya
ada orang yang membakar!"
Belum sempat Kho tihu memberi perintah, prajurit
penjaga pintu kota masuk menghadap, "Lapor ciangkun,"
kata mereka kepada Totay, "pintu kota telah bobol diserang
pasukan musuh!" '"Celaka!" Totay melonjak bangun, "lekas siapkan
pasukan untuk menggempur mereka. Tetapi para perwira
dan prajurit2 yang berada dalam ruang perjamuan itu sama
tidur melentuk. "Arak apa yang engkau hidangkan, tihu ?"
"Arak wangi biasa, ciangkun," Kho tihu gemetar,
"mungkin mereka minum kelewat batas hingga sampai
mabuk." "Lekas suruh orang ambil air dingin dan guyurkan pada
perwira dan prajurit2 yang tertidur itu," perintah Totay.
Perwira2 dan prajurit2 itu gelagapan waktu disiram
dengan air dingin. Rasa mabuk mereka memang sudah
berkurang tetapi masih belum hilang sama sekali.
"Lekas bersiap menyambut serangan musuh!" teriak
Totay. Dengan masih agak pening perwira dan prajurit2 itu
bergegas keluar tetapi mereka segera disambut oleh suara
sorak sorai yang dahsyat.
"Ciangkun, gedung tihu sudah dikepung musuh," salah
seorang perwira segera menghadap' Totay.
"Apakah pasukan Beng ?" tanya Totay.
"Bukan," sahut perwira itu," mereka tidak mengenakan
seragam prajurit tetapi pakaian biasa."
"Pertahankan gedung ini, aku akan keluar," kata Totay
terus mengambil tombak dan melangkah ke luar.
"Hayo, menyerah atau tidak?" teriak seorang Ielaki
setengah tua yang mencekal pedang. Rupanya dia adalah
pimpinan pasukan yang menyerbu gedung tihu.
"Bakar! Bakar saja!" teriak anakbuahnya.
Dengan tenang Totay berteriak dari muka pintu, "Hai,
kalian ini pasukan dari mana?"
"Pasukan rakyat Han!" teriak orang" itu.
"Hm, pasukan pemberontak," pikir Totay, "kemungkinan
tentu pasukan yang dibentuk tokoh2 persilatan."
"Hai, hohan yang memimpin pasukan. Aku mau
menyerah kalau engkau dapat mengalahkan aku," Totay
menantang. "Jangan meladeni dia Nyo tayhiap," seru beberapa
anakbuah. "Hm, orang Ceng itu mengira kalau kita tak mampu
mengalahkan dia," dengus lelaki gagah yang dipanggil Nyo
tayhiap itu. "Dia sudah ibarat ikan dalam jaring. Tak perlu meladeni
kata-katanya," kata seorang lelaki yang berada
disampingnya. "Bagaimana kawan2 kita yang lain?" bisik orang she
Nyo. "Gedung ini sudah kita kepung rapat. Ki tayhiap
menyerang dari bagian belakang gedung," sahut lelaki
pendampingnya. "Ki hiante, aku kepingin menjajal kepandaian jenderal
Ceng itu. Pokoknya, mereka kan tak dapat lolos, biar aku
bermain-main dengannya. Syukur bisa menangkapnya,"
kata orang she Nyo yang lengkapnya bernama Nyo Beng.
"Baik, aku akan menghadapimu," serunya seraya
melangkah maju. "Bagus," Totay juga melangkah maju, "kita bertempur
dengan tangan kosong atau senjata?"
"Terserah saja," sahut Nyo Beng, "tetapi ingat, aku tak
punya banyak waktu untuk meladeni engkau."
"Kalau begitu kita pakai senjata saja," seru Totay.
"Baik," jawab Nyo Beng.
Keduanya segera bersiap. Totay menggunakan pedang
dan Nyo Beng dengan tombak. Nyo Beng terkejut ketika
menyaksikan permainan pedang Totay yang sedahsyat
halilintar menyambar. Tetapi Totaypun tak kalah kejutnya
ketika mengalami tekanan dari ilmu permainan tombak
Nyo Beng yang dirasakan bagai naga menari-nari di lautan.
"Hm, orang Ceng ini tentu pernah mendapat pelajaran
ilmusilat dari perguruan ternama," pikir Nyo Beng.
"Hm, pemimpin barisan pemberontak ini tentu seorang
tokoh silat yang hebat," demikian Totay juga menimangnimang.
Dalam sekejap mata, keduanya sudah melangsungkan
pertempuran sampai seratus jurus. Kedahsyatan
pertempuran itu sampai mengaburkan mata sekalian orang
yang menyaksikan. Tiba2 dengan bermandi darah seorang perwira prajurit
Ceng lari keluar dan berseru, "Ciang-kun, gedung tihu
dibakar dan musuh menyerang dari belakang. Lekas
ciangkun meloloskan diri ....." dan sambil berkata perwira
itu terus menyerang Nyo Beng.
Totay loncat mundur dan lari kedalam. Tiba diambang
pintu ia terkejut mendengar jeritan yang ngeri. Ketika
berpaling ternyata perwira anakbuahnya tadi telah tertusuk
ujung tombak Nyo Beng. "Ah, jasamu takkan kulupakan. Kelak aku tentu
membalaskan kematianmu, Cola," kata Totay dalam hati
terus melangkah masuk. Didalam dia disambut oleh Kho tihu dan Huru Hara,
"Ciangkun, mari kita lolos dari sini," kata Kho tihu.
Mereka hendak menerobos keluar pintu samping. Tetapi
dari arah ruang belakang, bermunculan beberapa lasykar
rakyat yang terus menyerang mereka, "Tangkap tihu
penghianat! Cincang pembesar anjing itu!" teriak mereka
seraya menyerbu. "Silakan ciangkun lolos, aku yang menahan mereka,"
tiba2 Huru Hara loncat menahan serbuan orang2 itu.
Huru Hara menyadari bahwa lasykar rakyat itu bukan
bangsa perampok maka iapun tak mau melukai mereka.
Setelah berhasil mengundurkan mereka dia terus mencari
Cian-li-ji. "Hai, kemanakah paman Cian?" teriaknya terkejut ketika
mendapatkan kamar tempat istirahatnya, kosong
melompong. Cian-Ii ji yang berbaring ditempat tidurpun tak
tampak lagi. Dia tak dapat merangkai suatu dugaan tentang hilangnya
kakek itu karena saat itu api semakin berkobar. Dia terpaksa
keluar dan lari menerobos dari samping.
Disitu dia melihat suatu adegan yang menegangkan.
Totay sedang menghadapi keroyokan beberapa lasykar
rakyat. Belum sempat Huru Hara menghampiri dilihatnya
Totay menjerit dan terhuyung-huyung mendekap bahu
kirinya. Ternyata panglima Ceng itu terkena sebatang
anakpanah di bahunya. Sementara Kho tihupun sudah
diringkus oleh lasykar rakyat.
Tanpa banyak pikir, Huru Hara menerjang orang2 yang
hendak menyerang Totay. Dan secepat kilat dia
menyambar tubuh Totay lalu membawa lari. Kebetulan dia
melihat seekor kuda tengah lari kebingungan karena
kandang kuda bakar. Ia segera menangkap kuda itu,
mengangkat Totay ke punggung kuda dan dia terus
mencelaknya dan melarikan kuda itu menerjang ke utara.
"Tangkap ! Tangkap jenderal Ceng ! Jangan biarkan dia
lolos!" terdengar teriak gemuruh dari lasykar rakyat yang
berusaha untuk menghalangi dan mergejar. Bahkan ada
juga yang melepaskan anakpanah. Tetapi kesemuanya itu
dapat ditangkis oleh Huru Hara. Gemparlah suasana medan
pertempuran ketika menyaksikan seorang pendekar nyentrik
tengah menyelamatkan jenderal Ceng menerobos dari
kepungan lasykar rakyat. Tak tahu Huru Hara tiba dimana. Dia hanya
membiarkan dirinya dibawa lari kuda itu. Untung malam
itu rembulan menyembul sedikit sehingga cuaca tidak gelap.
Entah berapa jam lamanya ketika tiba disebuah
pegunungan dan melihat sebuah cekung karang yang
menyerupai gua, Huru Hara pun berhenti dan menurunkan
Totay lalu dibawa kedalam gua karang itu.
Ternyata Totay telah pingsan. Anakpanah masih


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menancap pada bahunya, darah mengalir membasahi
pakaiannya. Ia bingung. Kalau dicabut, lukanya tentu akan
mengalirkan banyak darah lagi. Namun kalau tak dicabut,
jiwa orang Ceng itu akan terancam maut.
Akhirnya ia mencari rumput. Ah, kebetulan di
pegunungan itu banyak tumbuh tanaman nia atau legundi.
Ketika masih kecil, ia ingat sering disuruh ayahnya mencari
daun nia itu.. Kata ayahnya, daun itu berkhasiat tinggi
untuk obat. Sekarang ia hendak mencobanya. Setelah
meremas-remasnya sampai halus, barulah ia berani
mencabut anakpanah dari bahu Totay dan terus dilumuri
dengan remasan daun itu. Kemudian dia mencari air dan diminumkan. Menjelang
pagi, Totay tersadar. DiIihatnya Huru Hara duduk
bersemedhi dipintu gua. Totay bergeliat bangun.
"Loan-heng, terima kasih atas pertolonganmu," serunya
dengan pelahan. Namun Huru Hara diam saja. Dan Totay juga tak berani
mengganggunya. Setelah fajar menyingsing barulah Huru
Hara tampak berbangkit, Totay mengulangi ucapan terima
kasihnya. "Ah, hanya soal kecil, tak perlu berterimakasih,'" sahut
Huru Hara. "Loan-heng," kata Toiay pula, "mengapa engkau
menolong aku ?" "Kalau engkau seorang Boan dapat berlaku secara
ksatrya, mengapa aku seorang Han tidak bisa ?"'' balas Huru
Hara. "Bagaimana maksudmu ?"
"Engkau mengatakan bahwa seorang ksatria akan
menghargai seorang ksatrya. Pendirian kami orang Han,
juga memilikinya. Engkau telah menerima dan menjamu
aku, walaupun kau tahu aku menentang pasukan Ceng.
Engkau menghormat aku sebagai seorang kesatria yang
setia negara. Panglima pasukan Ceng, ketahuilah, bahwa
bangsa Han juga tahu menghargai seorang ksatria walaupun
dia itu seorang musuh"
"O, apakah engkau hendak membalas budi?" tanya
Totay. "Panglima Ceng," kata Huru Hara, "jika apa yang
engkau lakukan kepadaku engkau anggap sebagai
pemberian budi, maka apa yang kulakukan ini anggaplah
sebagai balas budi. Tetapi pendirianku sesungguhnya
hanyalah menetapi sifat seorang ksatrya yang menghargai
ksatrya lain. Karena hanya seorang ksatrya sejati yang
dapat menghargai ksatrya yang lain."
Totay terkesiap. Tak nyana bahwa dalam diri seorang
muda yang mengenakan dandanan seperti pahlawan
kesiangan, ternyata bersemayam jiwa ksatrya yang luhur.
Dalam perjalanan hidup selama ini baru pertama kali itu ia
bertemu dengan seorang yang berjiwa ksatrya.
"Bagaimana keadaan lukamu ?" tiba2 Huru Hara beralih
pertanyaan. "Sudah tak berdarah. Kurasa tentu cepat sembuh," jawab
Totay. "Baik," kata Huru Hara, "tempat ini kurang baik bagimu.
Masih berbahaya. Engkau tentu harus lekas2 kembali
kedalam pasukanmu, bukan?"
Totay mengangguk. "Silakan engkau berangkat. Kuda itu pakailah."
Totay terkesiap. "Panglima Ceng," kata Haru Hara, "sekali lagi
kutandaskan bahwa apa yang kulakukan tadi adalah sesuai
dengan apa yang engkau pernah lakukan kepadaku
semalam. Namun sesungguhnya kita terpisah oleh dua garis
perjalanan yang berbeda. Engkau seorang panglima Ceng
yang ditugaskan oleh rajamu untuk memerangi kerajaan
Beng. Engkau berjuang sebagai seorang ksatrya yang
mengabdi kepada nagara. Tetapi akupun seorang rakyat
Han. Aku juga berjuang mengabdi kepada negaraku.
Walaupun kita berdiri dfihak yang berlawanan, tentu kita
masing2 menetapi kewajiban sebagai seorang ksatrya. Oleh
karena itu, setelah kita nanti berpisah, maka kita harus
kembali kedalam perjuangan masing2. Mungkin kelak kita
akan berjumpa di medan pertempuran atau di tempat2
umum kita akan saling berhadapan sebagai lawan. Dalam
keadaan begitu, kita harus menjalankan kewajiban masing2,
Engkau boleh membunuh aku dan akupun boleh
membunuh engkau. Kematian begitu tak boleh disesalkan
karena merupakan kematian ksatrya."
Totay masin terkesiap mendengarkan.
"Aku menentang tindakan kerajaan Ceng yang hendak
menjajah tanah-airku. Dan engkau hanya melakukan
tugasmu sebagai seorang panglima. Maka apabila kita
bertemu lagi, tak perlu kita mengingat peristiwa hari ini
tetapi harus sebagai musuh yang saling berhadapan."
Totay, kolonel pasukan Ceng yang sudah banyak jasanya
selama dalam peperangan melawan tentara kerajaan,
terpesona dan melayang-layang pikirannya seperti orang
mabuk arak. Dia tidak maibuk arak tetapi mabuk
mendengar untaian kata2 dari seorang pendekar nyentrik
yang menamakan diri sebagai Huru Hara. Seumur hidup
baru saat itu dia menyadari akan makna dari jiwa seorang
ksatrya yang luhur. Biasanya orang tentu akan gembira
karena dapat menangkap seorang musuh. Karena hal itu
berarti suatu pahala besar yang akan memberikan dia
kenaikan pangkat. Tetapi seorang pendekar rakyat yang pakaiannya tak
keruan, ternyata tidak silau akan segala jasa dan hadiah.
Dia tetap menetapi laku seorang ksatrya utama. Dapat
menarik garis tajam antara sifat ksatrya dengan sifat
angkara, sifat temaha dengan sifat perwira, budi dengan
permusuhan. "Loan tayhiap, engkau benar2 seorang ksatria yang
hebat," tak ada lain kata2 yang diucapkan mulut Totay
kecuali seuntai persembahan kata pujian.
"Panglima Ceng," seru Huru Hara, "matahari sudah
semakin terang, silakan lekas berangkat."!
Totay mengiakan. Dia terus menghampiri kuda dan
mencemplaknya, "Betapapun, aku akan selalu mengingat
budimu, sampai jumpa!"
"Tunggu!" tiba2 Huru Hara berseru dan Totaypun
hentikan kudanya. "Jika engkau benar2 hendak membalas budi maka
kuminta begini. Apabila engkau menduduki sebuah kota
atau tempat, janganlah mengganggu rakyat. Laranglah
prajurit2mu supaya jangan menganiaya rakyat, merampas
harta benda dan kaum wanita mereka. Jika engkau dapat
melakukan hal itu berarti engkau sudah membalas budi
kepadaku." "Baik, akan kulaksanakan," kata Totay lalu melambaikan
tangan dan terus mencongklangkan kudanya.
Secara tak disadarinya, Huru Hara telah berjasa besar
dalam peperangan antara pasukan Ceng dengan pasukan
Beng. Totay telah melaksanakan permintaan Huru Hara
sehingga rakyat di kota maupun di desa2 yang diduduki
pasukan Totay selalu aman dan tak diganggu. Tetapi
peristiwa itu terjadi di kelak kemudian hari. Sekarang
marilah kita tetap mengikuti perjalanan Huru Hara dulu.
Dia duduk termenung-menung memikirkan apa yang
telah terjadi, "Ah ....," ia menghela napas, "hidup itu
memang aneh. Banyak sekali peristiwa yang muncul secara
tak terduga-duga ?"."
Ia hendak mencari Li Thian Ong ke kota Khay-hong,
tahu2 harus mengalami peristiwa di kota Sam-kwan. Ia
benci kepada orang Ceng yang hendak menduduki tanahairnya
tetapi ia berkenalan dengan seorang panglima Ceng
dan bahkan menyelamatkan jiwa panglima itu dari
kepungan lasykar rakyat yang hendak merebut kembali kota
Sam-kwan. "Tindakanku itu tentu menimbulkan kesan mereka
bahwa aku membantu orang Ceng. Tetapi mereka tak tahu
bahwa aku berjuang untuk membela keluhuran jiwa orang
Han. Kita orang Han tak boleh kalah berbudi dan berjiwa
besar dengan orang Ceng ....... "
'Celaka!" tiba2 ia terhenyak, "sekarang aku kejepit
diantara dua kekuatan yang saling beradu, lasykar rakyat
Han menuduh aku sebagai penghianat karena membantu
panglima Ceng. Tetapi kerajaan Ceng juga memandang aku
seorang pernberontak yang menentang mereka."
"Tetapi biarlah. Seorang lelaki harus berani bertindak
melaksanakan pendiriannya. Kelak apabila mendapat
kesempatan, akan kujelaskan kepada orang2 lasykar rakyat
itu bagaimana pendirianku. Terserah mereka mau
menerima atau tidak, akupun tetap akan melanjutkan
perjuanganku menentang kerajaan Ceng."
Baru ia menenangkan perasaannya tiba2 teringat sesuatu,
"Hai, kemanakah paman Cian-li-ji" Mengapa dia hilang
dari kamarnya?" Setelah mengingat akan keadaan Cian-li-ji pada saat itu,
bagaimana lemas tak bertenaga dan ingin tidur, tak
mungkin dalam waktu sirgkat paman Cian-li-ji itu akan
bangun dan melarikan diri. Lalu siapakah yang
membawanya lari" "Hai," tiba2 ia bertemu pada suatu gambaran, "tentulah
diculik oleh lasykar rakyat yang menyerang kedalam
gedung tihu itu. Ya, benar, tentu begitu!"
Setelah merangkai dugaan maka timbullah keputusan
pada Huru Hara, "Aku harus mencari paman Cian-li-ji.
Akan kuminta dari tangan lasykar rakyat itu. Ya, benar, aku
harus lekas2 kesana agar paman Cian-li-ji jangan sampai
dibunuh karena dianggap menjadi kaki tangan orang Ceng!"
Serentak dia ayunkan langkah.
==oo0oo== Nenek penangis Tiba di kota Sam-kwan, Huru Hara terkejut. Kota itu
sunyi senyap seperti kota mati. Pasukan rakyat yang
menyetbu gedung tihu ternyata tidak terus menduduki kota
itu tetapi mengundurkan diri masuk kedalam hutan lagi.
Rupanya memang begitulah siasat mereka. Tahu kalau
kalah kekuatan, mereka tak mau langsung mengadakan
pertempuran secara terbuka dengan pasukan Ceng. Tetapi
mereka lebih senang menggunakan siasat gerilya. Tengah
malam mereka menyerbu musuh, menghancurkan dan
membakar markas musuh lalu menghilang pula kedalam
hutan. Huru Hara berusaha meniti mayat2 yang masih
bergelimpangan di mana2. Mayat2 prajurit Ceng dan
anakbuah laskar rakyat. Dia hendak mencari kemungkinan
mayat paman Cian-li-ji terdapat diantara mayat2 itu. Tetapi
ternyata tak ada. Ketika ia mengangkat muka, ia terkejut ketika beberapa
langkah di mukanya berdiri seorang, nenek tua yang
mencekal tongkat. Nenek itu penuh keriput dahinya,
rambutnya pun sudah putih semua tetapi sepasang matanya
masih berkiiat-kilat tajam menikam.
"Nenek, engkau mencari siapa ?" tegur Huru Hara.
Nenek itu maju menghampiri dan tiba2 ayunkan
tongkatnya menggebuk Huru Hara, "Ah Hok, ternyata
engkau minggat kemari !"
"Aduhhhh," Huru Hara menjerit ketika kepalanya
terkemplang ujung tongkat. Ia tak menyangka akan digebuk
si nenek. Pada saat si nenek ayunkan tongkat ia terkejut dan
hendak menghindar tetapi tongkat nenek itu luar biasa
cepatnya. "Hayo, mau pulang tidak !" nenek itu ayunkan
tongkatnya menggebuk punggung Huru Hara, bluk, bluk ....
"Nenek, engkau keliru ! Aku tak kenal engkau....." baru
Huru Hara hendak memberi keterangan nenek itu sudah
menggebuk punggungn lagi, "Apa engkau bilang " Engkau
tak kenal pada nenekmu " Kurang ajar benar, engkau ini,
budak liar!" "Aduh ..... aduh .,..," Huru Hara melonjak kesakitan.
Tetapi diam2 ia merasa heran. Sebenarnya ia sudah
berusaha hendak menghindar tapi tak mampu.
Dan ada suatu keanehan lain yang dirasakan Huru Hara.
Biasanya asal ia menghendaki, maka ada sejenis tenagadalam
yang terkandung dalam tubuhnya dapat memancar
keluar. Orang mengatakan bahwa dia memiliki apa yang
disebut Ji-ih-sin-kang atau tenaga-sakti-menurut-kemauanhatinya.
Misalnya ia dipukul, ia menangkis dan orang yang
memukul itu tentu terpental. Andaikata ia tak keburu
menangkis, asal ia ingin untuk menahan pukulan itu maka
pukulan itupun tak mempan dan si pemukul akan
menderita kesakitan sendiri, bahkan dapat terpental ke
belakang. Tetapi ketika digebuk si nenek, walaupun sudah
mengerahkan Ji-ih-sin-kang. tetap ia merasa kesakitan.
"Tetapi aku memang tak kenal engkau!" teriak Huru
Hara. Krak.... nenek itu ayunkan tongkat hendak ngernplang
kepalanya tetapi Huru Hara menangkis. Tongkat itu tetap
menimbulkan rasa sakit pada tangan Huru Hara.
"Hayo, pulang," tiba2 nenek itu mencekal pergelangan
tangan Huru Hara dan terus diseret pergi.
Menghadapi seorang nenek yang aneh dan tak waras
pikirannya itu terpaksa Huru Hara membiarkan saja dirinya
dibawa. Ternyata nenek itu menuju kesebuah hutan diluar
kota. Menyusup kedalam hutan mereka tiba disebuah lembah
hutan siong. Ia heran mengapa nenek itu berjalan secara
aneh, sebentar mendorongnya ke kanan, sebentar ke kiri,
lalu mengajak meloncat, kemudian berputar dua tiga kali
pada gerumbul pohon siong yang ditengahnya terdapal
segunduk batu marmar putih,
"Apa-apaan nenek ini " Masakan jalan kok begini aneh "
Edan barangkali, eh ..... loncat?" teriak Huru Hara ketika
lengannya diseret oleh nenek itu. Walaupun tak sakit tetapi
ia tak dapat melepaskan diri. Ia berusaha hendak meronta
tetapi tenaganya serasa habis sehingga ia terus menuruti


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja kehendak si nenek. Kalau memang harus melompati
sebuah liang atau gerumbul berduri, itu sih tak apa. Tetapi
ternyata yang dilompati itu hanya sebuah batu marmar kecil
berbentuk segi-delapan. Dan batu marmar itu menggeletak
di tanah yang datar. Akhirnya setelah didoyong kian kemari dengan cara
berjalan yang aneh, tibalah mereka sebuah pondok yang
terbuat dari kayu. "Hayo masuk," seru nenek itu seraya menyeret Huru
Hara kedalam pondok. Pondok itu amat sederhana. Alat2 perabotan hanya dua
buah kursi dan sebuah meja batu yang beibentuk segidelapan.
"Ah Hok, kemana saja engkau beberapa hari ini?" tegur
nenek itu pula. "Nenek edan," gerutu Huru Hara dalam hati, "aku tak
kenal dia tetapi dia tetap berkeras mengatakan aku ini, eh
..... apanya ya, aku juga belum tahu."
"Nenek ini .menganggap aku ini siapa?" akhirnya dia
bertanya. "Bocah edan," damprat nenek itu, "masakan engkau tak
tahu dirimu itu apaku" Bukankah engkau ini cucuku si Ah
Hok yang nakal itu?"
"Ah Hok" Ha, ha, ha," tiba2 Huru Hara tertawa gelak.
"Bocah edan" Masakan engkau lupa dirimu itu siapa?"
bentak nenek aneh itu. Tetapi tidak marah melainkan
tersenyum karena melihat Huru Hara tertawa.
"Tetapi aku bukan Ah Hok. Aku Huru Hara," seru Huru
Hara. "Edan engkau," teriak si nenek, "punya nama baik2
mengapa diganti dengan Huru Hara" apakah engkau
hendak cari gara2?" "Itu memang namaku, nenek."
"Sudahlah, diam saja!" bentak si nenek, "kamu
keluyuran kemana-mana engkau tentu kemasukan setan
sehingga namamu sendiri sampai lupa."
Huru Hara menyeringai, "Aku tidak kemasukan setan.
Aku waras." "Memang orang gila tentu menganggap dirinya waras
dan mengatakan orang yang waras itu gila. Engkaupun
demikian juga. Engkau sudah tak waras lagi karena
kemasukan setan lalu engkau menganggap aku nenekmu ini
tidak waras. O kasihan benar engkau, cucuku Ah Hok..... ,"
tiba2 nenek itu menangis.
Entah bagaimana tiba2 hati Huru Hara ikut iba, "Ah,
nenek, jangan menangis....."
Tiba2 nenek itu berhenti menangis dan tertawa, "Ah,
cucuku, ternyata sekarang engkau sudah ingat kepadaku
lagi." Huru Hara geleng2 kepala. Kalau dia menyangkal dia
kuatir nenek itu akan menangis lagi. Namun kalau
mengakui, tentu dia akan dianggap sebagai cucu si nenek
itu yang bernama si Ah-Hok.
"Sekarang beristirahatlah di kamarmu sendiri, Hok," kata
nenek itu. Huru Hara melongo. Dimanakah kamar itu.
"Bagaimana, apa engkau mau makan dulu?" tanya si
nenek ketika melihat Huru Hara terbengong.
"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala.
"Kalau begitu, beristirahatlah di kamarmu.
"Tetapi aku tak tahu di mana kamarku itu.
"Apa engkau suruh aku menangis lagi?" tanya si nenek.
"Perlu apa harus menangis "'" bantah Huru Hara, "tetapi
aku memang tak tahu kamarku itu."
"Ah Liong".! Ah Liong.....!" tiba2 nenek itu berteriak
keras2. "Apa nek " Aku sedang cari sayur," seru sebuah suara
anak kecil. "Kemarilah! Engkohmu si Ah Hok sudah pulang !"
"O, benarkah itu " Tunggu nenek aku segera datang."
Tak berapa lama muncul seorang anak laki laki berkepala
gundul. Umurnya disekitar 8 tahun, wajahnya terang, mata
bundar, alis tebal, bibirnya menah.
"Mana engkoh An Hok, nek ?" teriak anak lelaki kecil
itu. "Itu !" si nenek menuding kearah Huru Hara. Bocah laki
itu tertegun ia merentang mata, "Lho, apa itu engkoh Ah
Hok, nek ?" "Eh, engkau juga kemasukan setan ini, Masakan
engkohmu si Ah Hok engkau tak mengenalnya lagi."
"Ya, perawakanrya memang sama, wajahnya hampir
mirip setapi engkoh Ah Hok tak memiliki dua kuncir begitu
macam, apalagi kanan kiri."
'"Soal kuncir kan mudah. Ambil gunting dan potong saja
kuncir itu, nanti kan sama dengan engkohmu si Ah Hok."
Ah Liong, bocah lelaki itu, mengiakan. Dia masuk
kedalam kamar dan keluar lagi dengan membawa gunting.
Dia langsung menghampiri Huru Hara, "Engkoh Ah Hok,
nenek suruh aku memotong kedua kuncirmu itu."
Huru Hara mengkal. Tetapi dia ingin tahu sampai
dimana tingkah laku bocah kecil dengan nenek tua itu.
"!Ya, silakan saja," katanya.
Bocah kecil yang bernama Ah Hok itu suruh Huru Hara
duduk lalu dia mulai menggunting kuncir sebelah kiri dari
kepala Huru Hara, "Uh, uh ..... mengapa tak mempan?"
Huru Hara diam saja. "Setelah berulang kali mencoba memotong kuncir Huru
Hara dengan gunting tetapi tak mampu akhirnya Ah Hok
bertanya, "Engkoh Ah Hok, dari bahan apakah kucirmu ini
engkau buat?" "Bocah edan," damprat Huru Hara, "masakan kuncir
terbuat dari bahan apa. Itu kan rambut kepala yang tumbuh
sendiri." "Tetapi mengapa gunting tak mempan.?"
"Mungkin guntingmu sudah tak tajam. Cari saja pisau
yang tajam." "Benar," seru Ah Liong terus lari masuk dan keluar lagi
membawa pisau yang tajam. Dijambaknya kuncir Huru
Hara lalu dipotong dengan pisau, "Uh, uh ....... " kembali
mulut bocah itu tak henti-hentinya mendesuh-desuh karena
tak mampu memotong kuncir Huru Hara.
Saking mengkalnya, Ah Liong terus menarik kuncir
Huru Hara sekuat-kuatnya. Kalau tak dapat dipotong, lebih
baik dicabut saja, pikirnya.
Tetapi dia. menjerit kaget ketika kuncir itu memancarkan
arus tenaga yang kuat sekali sehingga dia terlempar
beberapa langkah ke belakang, uh ......"
"Ah Liong, jangan kurang ajar, masakan rambut
engkohmu engkau tarik2," seru nenek aneh itu.
"Aku tidak....."
"Ai, sudahlah. Kalau tidak dapat dicukur, biarlah.
Tentulah engkohmu senang memakai hiasan kuncir, jangan
diganggu," kata nenek itu.
Ah Liong mengomel panjang pendek tetapi tak
dihiraukan si nenek, "Ah Liong, bawalah engkohmu ke
kamarnya. Suruh dia mandi dan ganti pakaian. Dan
buatkan bubur ayam yang enak. Baik2lah engkau
melayaninya kalau tidak dia tentu akan minggat lagi."
"Engkoh Ah Hok, mari kuantar ke kamarmu," kata Ah
Liong seraya menarik tangan Huru Hara dan Huru Hara
menurut saja. Kamar dari Ah Hok itu ternyata terletak di luar pondok.
Walaupun tak ada alat perabot lain2 kecuali balai2 dan
meja, tetapi keadaan kamar itu cukup bersih.
"Disini ?" tanya Huru Hara.
"Eh, mengapa engkau lupa?" Ah Liong kerutkan dahi,
lalu bertanya, "apa engkoh tidak mandi dulu?"
"Mandi" Dimana?"
"Lho, aneh," seru Ah Liong pula, "bukankah engkoh
paling gemar mandi di telaga?"
Karena beberapa hari tak mandi, tubuh dan pakaian
Huru Hara memang kotor. Dia memang hendak
mengetahui siapa sesungguhnya nenek aneh itu.
"Baik, aku mau mandi," katanya. Dia bersama Ah Liong
segera menuju kesebuah tempat di ujung lembah. Disitu
terdapat sebuah telaga kecil.
"Wah, jernih sekali airnya. Apakah nama telaga ini?"
seru Huru Hara. "Telaga Kia-ti."
"Kia-ti telaga kac..?"
"Ya," kata Ah Liong, "airnya bening seperti kaca sehinga
dasar telagapun kelihatan."
Ah, betapa sejuk air yang merendam tubuhnya ketika
Huru Hara membenam diri dalam telaga itu. Segala
ketegangan dan keletihan hilang sama sekali. Dia merasa
semangatnya segar, pikirannya terang.
Sambil merendam diri, pikirannyapun me-layang2
merenungkan diri nenek aneh itu. Jelas bahwa nenek itu
telah keliru menganggap dia sebagai cucunya yang bernama
Ah Hok. Dan bocah gundul Ah Liong itu tentulah adik Ah
Hok. "Kemanakah gerangan si Ah Hok itu:'" Ialu timbul
pertanyaan dalam hati Huru Hara, "ah, menurut omongan
si nenek tadi, sudah beberapa waktu Ah Hok pergi dari
rumah." Kemudian ia merenung lebih lanjut, mengapa nenek itu
tinggal bersama kedua cucunya dihutan yang sepi. Lalu
siapakah orangtua kedua anak itu.
Tiba2 ia terkejut ketika merasa kakinya bergetar, jarijarinya
seperti melekat dan kejang. Cepat dia kerahkan
tenaga untuk menolak. Tetapi beberapa saat kemudian,
kembali dia merasa kejang lagi.
"Aneh," pikirnya, "rasanya kakiku seperti disedot arus
air. Hm, kali ini biarlah. Coba saja akan kubiarkan kakiku
disedot sampai kemana."
Karena dia mengosongkan diri dari tenaga melawan,
pelahan-Iahan dia ditarik ke bawah dan makin ke bawah
sehingga akhirnya kakinya seperti menginjak dasar telaga.
Ia rasakan kakinya seperti melekat pada dasar telaga yang
merupakan benda yang keras, mungkin batu cadas.
Huru Hara mendapat pikiran. Dia segera kerahkan
seluruh tenaga ke kaki untuk menginjak kebawah. Dalam
ilmu silat penggunaan tenaga untuk membuat tubuh berat
atau menginjak dengan kaki, disebut ilmu Cian-kin-tui atau
Tindihan-seribu-kati. Tetapi Huru Hara tak tahu, pokoknya
dia mengerahkan tenaga untuk menginjak sekuat-kuatnya.
Hasilnya memang hebat. Ia rasakan tanah keras yang
dipijaknya itu makin lama terasa pecah! dan makin
berantakan. Tetapi kakinyapun makin terbenam kebawah.
Ketika hampir mencapai lutut barulah tenaga sedot itu
berhenti tetapi sebagal gantinya sekarang telapak kakinya
melekat pada sebuah benda keras.
Huru Hara terkejut. Ia duga benda itulah yang
memancarkan kakinya dari benda itu. Serentak ia kerahkan
tenaga sakti Ji-ih-sin-kang dai berontak meluncur keatas.
Memang tak terdengar suatu letupan apa2 tetapi jelas dia
dapat merasakan bahwa benda2 yang membenam kakinya
itu berhamburan terbuka sehingga dia dapat melambung
keatas. Tiba2 ia mendapat pikiran untuk melihat benda apakah
yang telah menyedot kakinya begitu keras itu "
Serentak ia mengayun tubuh berjumpalitan menukik
kedalam dasar telaga lagi. Karena bening sekali dapatlah
dia melihat benda itu. "Ah, sebatang pedang," serunya seraya menyelam dan
menyambar pedang itu, terus meluncur kepermukaan
telaga..... "Engkoh Hok, engkau masih ingat tidak bagaimana
keadaan telaga ini pada malam hari?" seru Ah Liong.
"Tidak," Huru Hara terus berenang ke tepi. Ia
menyelipkan pedang pandak itu dalam bajunya dan tak
mengatakan apa2 kepada Ah Liong.
"Ya, memang engkau lupa segala apa tentang rumah dan
tempat ini. Mengapa bisa begitu?" tanya Ah Liong.
"Ah Liong," seru Huru Hara, "engkau mengatakan apa
tadi" Apakah terdapat hal2 yang aneh pada telaga ini kalau
pada malam hari?" "Ya," sahut Ah Liong, "coba saja kita nanti menjenguk
kemari. Tentu engkau akan tahu sendiri."
"Cobalah engkau kasih tahu sekarang Ah Liong," pinta
Huru Hara, "kalau tiada yang luar biasa, perlu apa malam2
aku harus melihat kemari?"
"Kalau pada malam nari," permukaan telaga ini amat
terang." "Ah, tentu saja," kata Huru Hara, "karena tertimpa sinar
rembulan, permukaan telaga kelihatan terang."
"Tidak begitu, engkoh," bantah Ah Liong, "sekalipun
pada malam gelap, permukaan telaga ini tampak terang
bahkan lebih terang daripada kalau malam ada
rembulannya." "Benarkah begitu ?"
"Ah, masakan aku membohongi engkau," gerutu Ah
Liong, "tetapi ah, sukar engkoh Hok."
"Mengapa ?" Huru Hara heran.
"Kalau tahu kita kemari pada malam hari nenek tentu
marah." "Marah " Kenapa marah ?"
"Hm, engkau ini pelupa sekali. Bukankah dahulu kita
berdua pernah kemari pada tenga malam, tiba2 nenek
muncul dan kita berdua lalu diikat pada pohon dan
digebuki. Satu hari kita tidak diberi makan, "Mengapa
engkau berdua berani melanggar pantangan itu tak boleh
datang ke telaga Kia-ti pada malam hari ?" begitulah nenek
memarahi kita." "O, apakah nenek pernah memberi larangan begitu ?"
Huru Hara terkejut. Ah Liong geleng2 kepala, "Hm, apa2 lupa apa2 lupa.
Memang nenek pernah melarang begitu."
"Apa sebabnya ?"
"Entahlah." "Tetapi mengapa engkau tahu kalau pada malam hari


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permukaan telaga ini bersinar terang?"
"Ya, karena pada malam itu kita kemari dan dipergoki
nenek." Huru Hara mengangguk. Tiba2 dia bertanya, "Eh, Ah
Liong, aku memang pelupa sekali. Aku tak ingat apa2 lagi.
Siapakah nama nenek kita itu ?"
"Entah, aku juga tak tahu."
"Engkau gila Ah Liong," seru Huru Hara, "masakan
punya nenek tak tahu namanya. Habis bagaimana kalau
engkau memanggilnya ?"
"Ya cukup nenek begitu saja," tiba2 Ah Liong berhenti di
sebuah sungai kecil, "tunggu sebentar engkoh Hok, aku
hendak menangkap ikan untuk hidanganmu nanti."
"Kenapa tidak cari di telaga saja ?"
"Telaga Kaca itu memang aneh sekali, engkoh Hok,"
kata Ah Liong, "jangankan ikan, bahkan tumbuhan
pakispun tidak ada karena tidak dapat hidup disitu. Pernah
kucoba, kusebari dengan ikan kecil tetapi besok pagi ikan2
kecil itu sudah terapung-apung mati."
Huru Hara mengikuti Ah Liong ke sungai kecil. Ah
Liong berjongkok di tepi sungai dan tiba2 tangannya
disorongkan kedalam air lalu diangkat, "ih, kurang besar.
Kurang ajar tuh si merah, dia hendak menghindar,"
tangannya dicelupkan dalam air lagi dan begitu diangkat,
dia sudah mencekal seekor ikan besar merah.
Heran juga Huru Hara melihat cara Ah Liong
menangkap ikan, "Ah Liong, mengapa begitu pandai sekali
engkau menangkap ikan?"
"Bukankah engkau juga diajari nenek menangkap ikan?"
"Aku" Uh, entahlah, sudah lupa."
"Ya, tetapi dalam hal menangkap ikan dan menyumpit
nyamuk, engkau memang kalah tangkas dengan aku,
engkoh Hok," Ah Liong tertawa bangga.
"O, engkau juga mahir menyumpit nyamuk?"
"Tentu," kata Ah Liong, "setiap malam sebelum tidur,
nenek tentu suruh aku memakai sumpit untuk menangkap
sepuluh ekor nyamuk. Kata nenek, kelak kalau aku sudah
mampu menangkap duapuluh lima ekor nyamuk, baru
boleh berhenti dan harus ganti menyumpit lalat."
"Buat apa cari lalat?"
'"Kata nenek itu adalah suatu ilmu yang hebat. Kalau
aku sudah mahir menyumpit nyamuk dan lalat, aku tentu
mampu menyumpit senjata musuh apabila aku harus
bertempur." "Mengapa engkau tak pakai supit untuk nangkap ikan
tadi?" "Nenek tidak boleh. Menangkap ikan pakai tangan
menurut katanya, juga suatu ilmu yang hebat. Kalau
dipukul orang aku dapat menyambar tangan orang itu."
"Dulu waktu baru pertama kali, memang susah sekali.
Beberapa hari aku tak dapat memperoleh ikan. Nenek
marah dan menghadiahi gebukan. Lama kelamaan karena
takut digebuk nenek, aku berlatih sungguh2 dan akhirnya
aku berhasil, mulai dari seekor hingga dua ekor dan
sekarang sudah dapat sekali mencangkum memperoleh
sepuluh ekor ikan." "Apakah dalam latihan menyupit nyamuk dan lalat, juga
begitu?" "Engkau tahu kan, bagaimana watak nenek" Kalau dia
perintah, tentu harus dilakukan sampai berhasil. Nih, lihat,
gundulku sampai tak dapat tumbuh rambutnya karena
sudah ratusan kali dikemplang tongkat nenek."
"Tetapi sekarang engkau kan sudah mampu menyupit
nyamuk dan lalat itu, bukan?"
Ah Liong mengangguk. Dia segera mengajak Huru Hara
pulang. Di tengah jalan diapun bercerita lagi, "Selain itu,
tiap pagi dulu aku pernah disuruh menggendong si Bule."
"Lho, siapa si Bule itu?" tanya Huru Hara. Bule artinya
putih. "Kerbau." "Kerbau" Lalu untuk apa engkau disuruh menggendong
kerbau bule itu?" "Nenek membeli seekor anak kerbau yang berbulu putih.
Suruh aku tiap hari memandikan ke telaga tetapi kalau ke
telaga harus digendong. Bermula memang setengah mati.
Itu waktu aku baru berumur lima tahun. Sudah tentu aku
kalah kuat dengan si Bule. Lalu tiap malam nenek suruh
aku minum segelas obat. Dan sebulan kemudian tenagaku
bertambah kuat sekali sehingga dapat memanggul si Bule."
"Apakah sampai sekarang masih?" tanya Huru Hara.
"Kata nenek aku harus memanggul si Bule tiap pagi."
"Sampai kapan?"
"Sampai tua." "Ah," desuh Huru Hara, "berapa umurmu sekarang?"
"Hampir sembilan."
"Kalau begitu sudah hampir empat tahun tiap pagi
engkau memanggul si Bule?"
"Benar." "Berapa besar si Bule sekarang?"
"Wah. dia sudah besar sekali dan gagah perkasa. Untung
kalau kupanggul, dia masih menurut saja. Kalau tidak, wah,
repot." "Mana si Bule sekarang?"
"Setelah kumandikan, dia terus kulepas dan sepanjang
hari dia keluyuran kemana-mana cari makan sendiri."
"Tenagamu sekarang tentu kuat sekali."
"Temu saja." "Apakah engkau kuat mengangkat aku, tiba-tiba timbul
pikiran Huru Hara untuk menguji tenaga bocah gundul itu.
"Ho, ho, " Ah Liong tertawa, "Bule yang beratnya
seratusan kali saja aku dapat mengangkat masakan
engkau?"." "Cobalah," seru Huru Hara.
Dasar bocah, ditantang begitu timbullah nafsu mencari
menang. Ia menerima baik, "Baik, silakan berdiri tegak,"
katanya. Huru Hara berdiri tegak dan mulailah Ah Liong
mengangkat tubuhnya, hekkkk.....Ah Liong menguak,
"Mati aku ....", cepat2 ia lepaskan tangannya dan terus
mendekap celananya yang meluncur kebawah.
"Ha, ha, ha, ha ....... , " Huru Hara tertawa terbahakbahak
ketika melihat celana anak gundul itu melorot
kebawah. Ternyata karena menggunakan segenap kekuatannya
untuk mengangkat tubuh Huru Hara tetapi tak mampu, tali
kolor celana Ah Liong putus dan meluncurlah celananya ke
bawah. Sudah tentu dia tak mampu mengangkat Huru Hara
karena Huru Hara mengerahkan tenaga Ji-ih-sin-kang untuk
membuat tubuhnya berat. "CabuI ihh!" teriak Ah Liong setelah menarik celana
keatas lagi, "idih, malunya ....... "
"Mengapa malu?" Huru Hara masih tertawa.
"Terang dong," Ah Liong khe-ki sekali, "waktu celanaku
melorot turun, engkau tentu melihat?".."
"Ya, tetapi bukan salahku. Siapa suruh celanamu
melorot kebawah?" "Siapa suruh" Sudah tentu tak ada yang suruh. Masakan
aku mau menyuruh celanaku supaya melorot turun" Uh,
jangan bicara seenakmu sendiri saja!" Ah Long makin
uring-uringan. "Ah Liong, Ah Liong," kata Huru Hara "kelihatan itumu
saja mengapa engkau marah2 tak keruan" Bukankah kita
sama 2 anak laki" Mengapa harus malu?"
"Tentu saja malu," Ah Liong mcnyeringai "masakan
barang itu harus diperlihatkan kepada orang?"
"Si Bule itu jantan atau betina?" tiba2 Huru Hara
bertanya, "Jantan. Kenapa?"
"Bukankah si Bule juga membiarkan itu kelihatan dan
tak malu" Mengapa engkau kalah dengan si Bule?"'
"Lho, mengapa kalah" Bule kan seekor kerbau dan aku
kan anak manusia. Kalau tidak mengapa pakai celana
untuk menutupi" Coba kau sendiri engkoh Hok, bukalah
celanamu." "Wah, jangan," kata Huru Hara.
"Kenapa jangan" Bukankah engkau juga kalah dengan si
Bule?" "Bukan begitu," kata Huru Hara, "engkau masih anak
kecil dan aku sudah besar, aku tak pakai celana, orang tentu
lari nanti melihat."
"Kenapa lari" Aku tidak lari bahkan ingin melihat
itumu." "Mereka tentu mengira aku orang gila!" kata Huru Hara,
"sebaliknya kalau engkau, walaupun tidak pakai celana,
orang kan tidak apa-apa. Paling2 mereka menganggap
engkau seorang anak desa."
"Ah, tetapi susah nih."
"Mengapa susah ?"
"Aku malu." "Kenapa ?" "Karena engkau telah melihat punyaku."
"Habis bagaimana, kan sudah terlanjur. Apa lagi aku tak
sengaja. Yang salah kan tali kolor celanamu mengapa putus
?" "Engkau yang salah !" tiba2 Ah Liong menuding Huru
Hira, "bukankah engkau suruh aku mengangkat tubuhmu ?"
"Ya." "Nah, itulah yang menjadi gara-gara tali celanaku sampai
putus." "Jangan begitu, Ah Liong," bantah Huru Hara, aku kan
hanya suruh engkau mengangkat aku tetapi aku tak suruh
engkau harus putus tali celanamu."
Setelah berdiam sejenak, Ah Liong mengoceh sendiri,
"Ya memang benar. Engkoh Hok tidak suruh aku harus
memutuskan tali celanaku. Lalu siapa yang suruh tali
celana itu putus " "Engkau sendiri Ah Liong," kata Huru Hara.
"Ya, benar, benar, memang aku. Tetapi aku pun
melakukan perintahmu untuk mengangkat engkau. Jadi....
engkau, ya, engkau engkoh Hok, biangkeladi yang menjadi
gara2 tali celanaku putus !"
"Ah, hal itu sudah terlanjur. Dan itu pun hanya urusan
kecil, tak perlu engkau marah atau malu ?""
"Tidak, tidak! Aku tetap malu, hu, hu, hu ...., . ," tiba 2
Ah Liong menangis. Huru Hara geleng2 kepala, "Apakah dunia ini memang
berisi orang gila " Aku sendiri, menurut kata orang, juga
sinting. Paman Cian-li-ji juga tak waras. Tetapi dia sudah
tua. Dan mengapa si gundul Ah Liong ini juga blo'on ....."
"Sudahlah Ah Liong," terpaksa dia menghiburnya, "aku
berjanji takkan mengatakan hal itu kepada siapapun juga !"
"Benarkah itu, engkoh Hok ?"
"Ya, aku berjanji dengan sumpah, tetapi"."
"Tetapi bagaimana ?"
"Kalau engkau tak mau mendengar kataku terpaksa akan
kuceritakan hal itu kepada orang biar engkau malu."
"Baik, engkoh Hok. Akupun berjanji akan menurut pada
engkau. Sampai di pondok, Ah Liong menggoreng ikan dan
menyiapkan hidangan malam untuk Huru Hara. Keduanya
makan bersama. "Apakah nenek tidak makan ?" tanya Huru Hara.
"Dia memang orang aneh," kata Ah Liong," dia tak
pernah makan nasi dan ikan.
"Lalu apa makannanya ?"
"Sayur-sayuran mentah dan buah2an."
"O, aneh juga."
Setelah selesai makan, mereka melanjutkan mengobrol
lagi. Dalam kesempatan itu Huru Hara bertanya, "Ah
Liong, apakah engkau .percaya aku ini si Ah Hok ?"
"Nenek mengatakan begitu, aku harus menurut."
"Tetapi kalau engkau 'sendiri, apakah juga menganggap
begitu ?" "Engkau memang agak mirip. Tetapi bagiku bukan soal
engkau ini engkoh Hok yang tulen atau palsu."
"Lalu apa ?" "Engkau baik kepadaku. Tidak seperti engkoh Hok yang
selalu menindas aku."
"Lho, menindas bagaimana ?"
"Kalau pagi, aku harus menyediakan hidangan teh. Lalu
mengantar dia ke telaga untuk mandi. Disuruh cuci
pakaiannya, menyapu pondok, halaman, membersihkan
tempat pembaringan Bahkan tiap malam sebelum tidur aku
harus memijati kakinya. Kalau tak mau, dia tentu marah
dan menempeleng aku."
"Lho apa nenek tak tahu ?"
"Tidak." "Apa engkau tak memberitahu kepadanya ?"
"Buat apa " Toh percuma saja. Dia malah marah2 dan
membela engkoh Hok."
"Lho, bukankah engkau ini sama2 cucunya ?"
Ah Liong gelengkan kepala, "Bukan. Engkoh Hok
memang cucu nenek tetapi aku bukan. Aku seorang anak
yatim pintu yang ditemukan nenek dan dipelihara, dianggap
sebagai cucunya." "Eh, bagaimana engkau tahu ?"
"Engkoh Ah Hok yang menceritakan," kata ' Ah Liong
dengan berkaca-kaca. Mendengar itu terharu juga hati Huru Hara Diam2 dia
kasihan dan suka kepada anak itu.
"Ah Liong," katanya, "sebenarnya aku ini bukan Ah Hok
tetapi entah karena rupaku mirip dengan Ah Hok, nenek itu
menganggap aku Ah Hok dan memaksa membawa aku
kemari." "O, lalu siapakah engkoh ini ?"
"Aku Loan Thian Te, juga sudah sebatangkara seperti
engkau, Ah Liong." "Kalau begitu kita ini senasib, engkoh ". eh, aku harus
memanggil bagaimana ?"
"Tetap panggil saja engkoh Hok, agar nenek itu tidak


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marah." "Baik," kata Ah Liong, "tetapi bagaimana nanti kalau
yang punya nama pulang ?"
"Kita nanti bicara lagi," kata Huru Hara. Demikian
setelah puas bicara mereka segera masuk tidur. Tetapi
sebelumnya, Ah Liong bilang "Silakan tidur lebih dulu, aku
mau berlatih dulu." "Lho, berlatih apa "Silat." "O," desuh Huru Hara, "boleh aku melihat?"
"Boleh saja." Mereka keluar ke halaman. Disitu Ah Liong mulai
berlatih silat, makin lama makin cepat gerakannya sehingga
tubuhnya tampak seperti bayangan.
"Ah Liong, ilmusilat apa itu ?" tanya Huru Hara setelah
Ah Liong berhenti. "Entah, nenek tak bilang apa2 kecuali suruh aku berlatih.
Dengan ilmusilat itu, kata nenek, aku tentu dapat
mengalahkan sepuluh orang jago silat."
"Uh," Huru Hara hanya mendengus. Kemudian
keduanyapun masuk kedalam pondok dan tidur.
Satu-satunya kegemaran Huru Hara yalah ia semedhi
dulu sebelum tidur. Kadang2 sampai berjam-jam dia
bersemedhi melakukan pernapasan dan penyaluran darah.
Dia merasa bahwa dengan bersemedhi itu pikirannya
bertambah terang, semangat segar, badan sehat.
Pada saat mencapai tingkat yang tertentu, ia rasakan
pancainderanya tajam sekali. Telinganya dapat
mendengarkan suara yang betapapun lembutnya. Ia dapat
mendengarkan suara semut berjalan, cicak merayap dan
daun kering yang berhamburan jatuh di halaman. Dan tak
berapa lama kemudian ia meningkat pula pada puncak
alam tertinggi dari semedhinya. Ia merasa, pikiran
perasaan, pendengaran, penciuman, pernapasan dan
bahkan dirinya telah 'lenyap' semua. Lenyap dalam
kehampaan yang kosong. Hal itu berlangsung sampai pada
keesokan harinya baru dia bangun.
Sejak melakukan ilmu semedhi, dia tak pernah tidur.
Kalau tidur ya duduk bersemedhi itu. Keesokan harinya
apabila bangun, ia rasakan semangatnya segar, lebih segar
dari tidur. Entah berapa jam dia sedang duduk bersemedhi itu tetapi
yang jelas saat itu sudah lewat tengah malam di kala dia
mendengar suara orang berjalan. Bermula masih jauh tetapi
tak berapa lama sudah dekat dan jelas menuju ke pondok
tempat kediaman nenek. Huru Hara terkejut. Mengapa pada tengah malam buta,
ada orang yang datang ke pondok nenek aneh itu" Dengan
jelas ia menangkap suara langkah mereka dan dapatkan
bahwa yang datang itu terdiri dari dua orang. Langkah
mereka sedemikian lembut sehingga hampir seperti daun
gugur. Suatu pertanda bahwa kedua pendatang tentu bangsa
jago silat yang memiliki kepandaian tinggi.
Keduanya berhenti di halaman, "Benarkah Gok pohpoh
ilu tinggal disini?" tanya salah seorang yang mengenakan
pakaian seperti seorang pertapa.
"Ah, saudara Pat Hong apa tak percaya kepadaku?"
jawab kawan yang ditanya itu, "apa gelar Coan-ti-jin
(manusia serba tahu) yang diberikan kaum persilatan
kepadaku itu hanya gelar kosong saja?"
"Harap saudara Coan-ti-jin jangan salah faham," sahut
pertapa yang disebut Pat Hong (delapan-penjuru-angin),
"aku sih hanya menginginkan kepastiannya saja. Karena
kalau kita berhasil mendapatkan pusaka itu, panglima
Torgun dari kerajaan Ceng sudah menjanjikan hendak
mengangkat aku sebagai Kun-su (penasihat perang)"
"Hm".," Coan-ti-jin mendengus.
"Jangan kuatir, saudara Coan-ti-jin," buru2 pertapa itu
menyusuli kata2 , "kalau aku menjadi Kun-su, engkau tentu
juga akan kumintakan pangkat kepada panglima Torgun."
"Beberapa hari yang lalu aku berhasil menangkap
seorang pemuda. Dia mengaku bernama Ah Hok, cucu dari
nenek Gok pohpoh yang tinggal di sini. Menurut
keterangannya, Gok pohpoh masih memakai tongkaat itu."
"Oh, dimana pemuda Ah Hok itu ?"
"Masih kusimpan."
"Bagus, kalau kita gagal dalam usaha ini, kita dapat
memperalat anak itu," kata pertapa Pat Hong. Kemudian
dia memungut sebutir batu kecil dan terus dilontarkan ke
depan pintu pondok. "Hm, kayak bangsa maling yang hendak menanyakan
jalan kepada turun rumah," tiba2 dari dalam pondok
terdengar suara orang. Itulah suara si nenek. Dan pada lain
saat pintupun terbuka! "Hai, pendatang dari mana itu yang tengah datang ?"
seraya melangkah keluar. "Bagus, Gok pohpoh. Apa engkau belum tidur ?"
"Hm, apa engkau buta " Bukankah aku berdiri di tempat
ini ?" "Ha, ha," pertapa Pat Hong tertawa, "aku senang
mendengar suaranya yang ketus itu. Kukira engkau sudah
mampu, karena gemar menangis. Apakah engkau sudah tak
suka menangis lagi ?"
Gok artinya menangis. Gok pohpoh berarti Nenek
penangis atau yang suka menangis.
"Malam ini tidak," sahut Gok pohpoh.
"Mengapa ?" "Karena kalian datang."
"Lho, apa hubungannya kedatangan kami dengan
tangisanmu?" tanya pertapa Pat Hong.
"Kalau sampai bulan ini tak ada tetamu yang datang,
berarti dalam satu tahun penuh saya nganggur. Karena itu
saya harus menangis."
"O, apakah tiap tahun tentu ada orang yang berkunjung
kemari?" "Hampir dipastikan begitu. Bahkan kadang dalam
setahun sampai dua tiga kali aku harus menerima tetamu."
"Mengapa engkau senang mendapat tetamu?" tanya
pertapa Pat Hong. "Karena tamanku bertambah penghuni!"
"Taman apa?" "Taman Pahlawan Sia-sia."
"Apa?" teriak pertapa Pat Hong, "engkau maksudkan
taman pemakaman?" "Apalagi kalau tidak begitu. Sebentar lagi kalianpun akan
tinggal di taman indah itu. Banyak kawan disitu dan tiap
hari akupun tentu datang bersembahyang."
"Nenek gila!" teriak pertapa Pat Hong, "mengapa engkau
bunuh mereka?" "Aku tak mencari mereka tetapi mereka yang mencari
aku. Aku tak membunuh mereka tetapi mereka yang minta
dibunuh. Bukankah kedatangan kalian ini juga hendak
merampok tongkatku ini?"
"Gok pohpoh, kalau berbuat tentu merasa. Bukankah
begitu?" "Hm, siapa engkau?" tegur nenek Gok dengan kilatkan
matanya yang tajam. "Siapa namaku, aku sudah tak ingin memakai karena
memakaipun orang tak mau menerima. Aku diharuskan
memakai nama yang mereka berikan kepadaku yakni Coanti-
jin. " "Manusia-serba-tahu artinya?" nenek Gok menegas.
"Ya, begitulah. Tetapi aku sendiri memang merasa serbatak-
tahu." "Apa yang engkau maksudkan dengan pertanyaanmu
tadi?" kata nenek Gok.
"Tongkat Hek-ci-thiat (besi magnit hitam ) adalah milik
dari Thiat Ci cinjin yang hidup pada seratus tahun yang
lalu. Dengan sebatang tongkat dan sebatang pedang pandak
dia pernah menjagoi dunia persilatan. Dia memang seorang
tunas berbakat luar biasa seperti Tio Tan Hong, raja pedang
yang diakui sebagai cikal-bakal perguruan Thian-san-pay.
Kecerdasan Thiat Ci cinjin dipersamakan dengan Tat Mo
cousu, pendiri perguruan Vihara Siau lim si. Tetapi sayang
Thiat Ci tergoda oleh paras cantik dan akhirnya harus
mengalami hari terakhir yang mengenaskan ....... "
"Kang-ou-te it-bi-jin, wanita paling cantik dalam dunia
persilatan Li Gwat Go berhasil merayunya dan akhirnya
dapat meracuni sehingga Thiat Ci menjadi seorang invalid
selama-Iamanya. Menyadari dirinya pasti akan dibunuh si
ular cantik Li Gwat Go, dia segera melarikan diri dengan
naik burung garuda peliharaannya ..... "
"Tepat pada saat itu muncullah Gwat Go di kamar.
Melihat Thiat Ci diterbangkan burung garuda, Gwat Go
marah dan lari mengejar. Dia lepaskan anakpanah. Karena
gugup Thiat Ci lupa keadaan dirinya. Dia menangkis
anakpanah itu de jngan tongkatnya. Sudah tentu dia tak
mampu sehingga tongkatnya jatuh ke bawah dan dapat diambil
Gwat Go. "Di tengah udara timbullah pikiran Thiat i. Dia tahu
bahwa racun itu amat ganas. Dalam beberapa waktu lagi
dia tentu mati maka dia mengambil keputusan
melemparkan dua buah pusaka ke bawah, "Setiap benda
tentu bertuan. Hanya yang berjodoh akan mendapatkan
pusaka itu?"" "Telur busuk, engkau datang kemari hendak jual cerita
atau hendak merampok!" teriak nenek Gok.
"Tetapi karma telah menimpa pada si ular cantik Gwat
Go. Diapun mati dipaksa minum racun oleh In Liat, murid
dari Thiat Kia cinjin dan tongkat pusaka itupun jatuh ke
tangan In Liat?".."
"Keparat, jangan banyak mulut!" teriak nenek Gok.
"In Liat mempunyai seorang putera bernama In Siu
Lam. In Siu Lam sebenarnya sudah beristeri Tong Yan Cu
tetapi karena dia pernah ditolong jiwanya oleh Beng Giok
Lan, atas persetujuan Teng Yan Cu, In Siu Lun mengambil
Beng G.ok Lau sebagai isteri yang kedua."
Kebetulan Tong Yan Cu dan Beng Giok Lan sama2
hamil. Ketika tiba pada waktunya, Yan Cu melahirkan
seorang bayi perempuan. Tetapi tiba2 seorang wanita
bernama Liu-ma yang menjadi pelayan Giok Lan memberi
anjuran kepada Giok Lan. Giok Lan setuju dan pelayan
yang bernama Liu-ma itu segera menukarkan bayi
perempuan anak Giok Lan dengan bayi laki anak Yan Cu
....... " "Bangsat, mampus engkau!" tiba2 nenek Gok menjerit
dan ayunkan tangan kearah tetamu lelaki tua yang
menamakan diri sebagai Coan-ti-jin atau si Manusia-serbatahu
... . -oodwoo- Jilid 13. Coan-ti-jin atau Manusia-serba tahu terkejut ketika
melihat nenek Gok ayunkan tangan ke arahnya. Dia
mengira kalau nenek itu tentu melontarkan senjata rahasia
atau pukulan tenaga-sakti dari jauh. Tetapi ternyata tidak
ada apa2. Dia hendak berkata lagi, Tetapi sebelum sempat
membuka mulut, dia menjerit kaget dan tubuhnya terpental
ke udara, bum.... lima tombak jauhnya dia tepelanting
jatuh, ke tanah. Kepalanya pusing tujuh keliling sehingga
dia harus duduk pejamkan mata untuk menenangkan
darahnya yang bergolak-golak.
"Bu-heng-sin-kang!" teriak Pat Hong cinjin
"Hm,-banyak cara untuk mengantar pemakaman para
penghuni Taman Pahlawan Sia-sia itu. Ada yang pergi
dengan lunak, ada yang harus diantar dengan kekerasan,"
dengus nenek Gok, "Gok pohpoh, mengapa engkau marah kepadanya "
Apakah engkau takut ketahuan siapa dirimu ini ?" seru
pertapa Pat Hong. "Sebenarnya hal itu tak penting. Siapa diriku boleh saja
kalian ketahui karena toh kalian sebentar lagi akan tinggal
di Taman Pahlawan Sia-sia..."
"Jika begitu, engkau mengakui kalau Liu-ma itu adalah
engkau sendiri, bukan ?" seru pertapa Pat Hong.
"Apa kepentinganmu dengan hal itu ?" nenek Gok balas
bertanya. "Tentu saja ada," sahut Pat Hong."
"Apa kepentinganmu!"
"Ketahuilah, Gok pohpoh," seru pertapa Pat Hong, "aku
adalah sahabat dari Tong Kui Tik."
"Aku tak peduli dengan Tong Kui Tik atau Tong Ko
Song atau Tong Bo Long segala."
"Tak peduli tetapi engkau harus peduli. Peduli pun
engkau harus peduli. Karena kedatanganku kemari adalah
untuk hal itu." "O. baru kali ini ada seorang tetamu yang bertujuan lain
dari lain2 tetamu," seru Gok poh poh dengan nada
mengejek. "Setelah engkau jelas," kata pertapa Pek Hong, "maka
jawablah pertanyaanku secara jujur."
"Tergantung dari apa yang engkau tanyakan," sahut
nenek Gok. "Mengapa engkau menganjurkan supaya Beng Giok Lan
menukarkan bayi perempuannya dengan bayi lelaki dari
Tong Yan Cu." "Apa hubunganmu dengan Tong Yan Cu ?"
"Dia adalah puteri dari sahabatku Tong Kui Tik."
"Wajar," kata nenek G3k, "Beng Giok Lan adalah isteri
kedua. Untuk merebut cinta dan pengaruh dari suaminya,
dia harus mempunyai anak laki2."
"Dan ternyata Beng G ok Lui berhasil merebut kasih
sayang suaminya, bukan ?"
"Memang," jawab nenek Gok, "ln Siu Lam lebih
mencintai Beng Giok Lan daripada Tong Yap Cu."
"Mana lebih dulu yang menjadi isteri In Siu Lam," kata
pertapa Pat Hong, "Tong Yan Cu atau Beng Giok Lan?"
"Tentu saja Tong Yan Cu."
"Apakah Tong Yan C u tahu kalau suaminya mengambil
Beng Giok Lan sebagai isteri juga ?"


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tong Yan Cu menyetujui bahkan menganjurkan
suaminya supaya memperisteri Beng Giok Lan."
"Jika begitu jelas Beng Giok Lan itu seorang wanita yang
tak tahu budi. Air susu yang diberikan Tong Yan Cu telah
dibalas dengan air tuba oleh Beng Giok Lan."
"Jangan menuduh seenakmu sendiri, pertapa gombal !"
terak nenek Gok," mana engkau dapat mengetahui hati
wanita. Tahukah engkau apa sebab Tong Yan Cu
mengidinkan bahkan menganjurkan suaminya mengambil
isteri lagi ?" Pertapa Pat Hong tertegun lalu berkata, "Memang aku
tak tahu apa tujuannya. Tetapi bukankah hal itu
menunjukkan kebesaran hatinya sebagai seorang isteri ?"
'"Gombal !" teriak nenek Gok, "yang jelas sudah sepuluh
tahun menikah dengan In Siu Lam, Tong Yan Cu belum
punya anak. Agar suaminya jangan marah dan tetap dapat
dimilikinya maka diapun menganjurkannya supaya
mengambil isteri lagi. Jadi Beng Giok Lan itu hanyalah
sebagai alat untuk tujuan Tong Yan Cu, mengerti ?"
"Tetapi mengapa Beng Giok Lan menukarkan bayinya
dengan bayi Tong Yan Cu ?" pertapa Pat Hong masih tak
puas. "Beng Giok Lan tahu kalau dirinya diperalat oleh Tong
Yan Cu maka diapun tak mau kepalang-tanggung untuk
merebut kekuasaan pada rumahtangga In Siu Lam."
"Bohong !" teriak pertapa Pat Hong, "jangan engkau
menggombalkan Tong Yan Cu tetapi menjunjung Beng
Giok Lan diatas kepalamu. Kurasa, menilik Beng Giok Lan
itu seorang wanita cantik dan berilmu silat tinggi, tak
mungkin dia mau menjadi isteri kedua dari In Siu Lam
kalau tak mempunyai tujuan tertentu."
"Benar!" tiba2 terdengar sebuah suara yang tandas. Yang
jelas bukan dari pertapa Pat Hong maupun Coan-ti-jin.
Nenek Gok dan pertapa Pat Hong terkejut. Serempak
mereka berpaling dan dari balik gerumbul pohon tampillah
seorang lelaki setengah tua yang mengenakan dandanan
sebagai seorang sasterawan.
"Apa yang dikatakan saudara pertapa ini memang benar.
Beng Giok Lan mempunyai tujuan untuk merebut pusaka
dari In Siu Lam. Bukankah ayah dari In Siu Lam itu
bernama In Liat dan ln Liat itu sutit (murid keponakan) dari
Thiat Ci tinjin " Ha, ha, Si ular cantik Li Gwat Go dapat
meracuni Thiat Ci cinjin dan merampas tongkat pusaka Cithiat-
ciang tetapi Li Gwat Go akhirnya mati dipaksa minum
racun oleh In Liat. Tongkat pusaka itu jatuh ke tangan In
Liat dan lalu diwariskan kepada puteranya si In Siu Lam itu
..." "Siapa engkau !" bentak nenek Gok.
"Hoia, saudara Cian-ti-jin, kenapa engkau duduk
terpekur seperti patung ?" tiba2 sasterawan itu berteriak
kaget melihat di halaman itu terdapat seorang lelaki tengah
duduk pejamkan mata seperti sebuah patung.
Tampak Coan-ti-jin membuka mata dan ber seru, '"O,
Ko tayjin, engkau . . . ."
"Ah, jangan menyebut Ko tayjin," kata "sasterawan itu.
"saudara Coan-ti-jin, engkau kenapa?"
"Aku lengah dan termakan pukulan Bu-heng-sin-kang
dari nenek jahat itu. Untung aku masih membawa leng-tan
yang manjur," kata Coan-ti-jin seraya berbangkit, "Pat
Hong cinjin inilah saudara Ko Cay Seng yang pernah
kukatakan itu," serunya kepada pertapa Pat Hong.
"Ko tayjin, maaf, aku tak tahu," kata Pat Hong cinjin
seraya memberi hormat. Dari Coan ti-jin, pertapa itu mendapat keterangan bahwa
Ko Cay Seng dan Suto Kiat adalah orang kepercayaan dari
Tergun panglima kerajaan Ceng. Kalau dapat berkenalan
dengan Ko Cay Seng atau Suto Kiat, tentu akan mudahlah
untuk mendapat kedudukan,
"Ah, harap cinjin jangan merendah. Aku ini sahabat dari
Coan-ti-jin," kata Ko Cay Seng.
Setelah gagal dalam pertempuran dengan rombongan
Tong Kui Tik, In Hong dan Wan-ong-kui, dengan
menderita luka karena telapak tangannya ditusuk dengan
tusuk - kundai oleh Han Bi Ing, terpaksa Ko Cay Seng
beristirahat untuk beberapa waktu. Setelah sembuh, barulah
dia keluar lagi menjalankan tugas, menyusup kedaerah yang
masih dikuasai kerajaan Beng, untuk mengacau, memecah
belah dan terutama untuk mempengaruhi kaum persilatan
daerah Tiong-goan supaya membantu kerajaan Ceng ( baca
jilid 10). "Hai, kawanan kurcaci!" teriak nenek Gok yang mengkal
karena orang berbicara sendiri, "kalian disini ini tetamu
atau tuanrumah?" "Ho, jangan marah, nenek penangis. Kami hanya pinjam
waktu untuk berkenalan. Mengapa engkau begitu bernafsu,"
Ko Cay Seng tertawa. "Apa maksudmu?" bentak nenek Gok.
"Serahkan semua pusaka yang engkau rebut dari Beng
Giok Lan, isteri In Siu Lam itu," kata Ko Cay Seng.
"Hm, permintaan yang latah dari orang2 yang menjadi
penghuni Taman Pahlawan Sia-sia," seru nenek Gok.
Sejenak mengerut dahi, ia berkata pula, "perlu apa engkau
meminta pusaka itu" Kalau memang beralasan, akan
kupertimbangkan." "Pusaka itu harus digunakan untuk kepentingan rakyat
dan negara. Ditanganmu seorang nenek yang sudah
ongkang-ongkang di tepi liang kubur, pusaka itu tiada
gunanya. Maka lebih baik engkau serahkan saja pusaka itu
kepadaku. Nanti ku berimu uang yang dapat engkau
nikmati pada masa hari tuamu....."
"Aku tidak butuh uang !" tukas nenek Gok, "hanya satu
keterangan dari mulutmu. Engkau katakan pusaka itu harus
digunakan untuk kepentingan rakyat dan negara. Itu benar."
"Aha, ternyata penilaianku keliru. Engkau seorang nenek
yang sadar dan berjiwa besar," puji Ko Cay Seng.
"Tetapi rakyat dan negara manakah yang hendak engkau
bantu dengan pusaka itu:" serui nenek Gok.
"Lho, masakan hal itu perlu kuterangkan lagi?"
"Sudah tentu perlu," sahut nenek Gok, "karena sekarang
ini ada dua negara yang sedang berperang, Kerajaan Beng
dengan kerajaan Ceng. Engkau hendak membantu siapa?"
Ko Cay Seng tertegun. Ia harus hati2 menjawab
pertanyaan itu. Setelah merenung sejenak ia berkata "Gok
pohpoh, engkau sendiri merasa sebagai rakyat yang mana?"
"Rakyat Beng," sahut nenek Gok, "tetapi aku tak senang
dengan raja Beng yang tak mau mengurus rakyat dan
negaranya itu." Mata Ko Cay Seng berkilat-kilat gembira "Bagus Gok
pohpoh, akupun juga berpendirian begitu. Raja Beng tak
pantas lagi menjadi raja dan harus diganti dengan raja
Ceng." "Dan engkau hendak menggunakan pusaka itu untuk
membantu kerajaan Ceng?" tanya nenek Gok.
"Bukankah pendirian Gok pohpoh juga demikian?"
"Aku bertanya kepadamu, engkau yang harus menjawab,
bukan aku!" bentak Gok pohpoh.
"Rasanya kerajan Ceng akan membawa perobahan baik
kepada rakyat semua."
"Bagus," seru nenek Gok, "sayang aku sudah tua.
Bukankah kau bekerja pada kerajaan Ceng?"
Menduga bahwa nenek itu tentu berfihak ke pada
kerajaan Ceng maka menyahutlah Ko Cay Seng dengan
dengan tegas, "Ya."
"Bagus," seru nenek Gok, "kalau begitu engkau layak
menerima tongkat pusaka itu. Tetapi layang . . . . "
"Mengapa?" Ko Cay Seng terbeliak.
"Engkau harus memenuhi syarat lebih dulu."
"Apa syaratnya?"
"Tinggalkan kepalamu!"
Ko Cay Seng terbeliak kaget, "Apa katamu?"
"Tinggalkan batang kepalamu!"
"Lho, aneh, bukankah engkau menyetujui pendirian
untuk membantu kerajaan Ceng?"
"Tanyakan kepada kedua koncomu itu. Apakah dalam
pembicaraan tadi aku pernah mengatakan begitu?"
"Engkau memusuhi kerajaan Ceng?"
"Apakah aku mengatakan begitu?" balas nenek Gok.
"Lha habis apa maksudmu meminta batang kepalaku
itu?" Ko Cay Seng mulai hilang kesabarannya.
"Setiap manusia yang hendak menginginkan tongkat
pusaka itu, harus meninggalkan batang kepalanya. Lebih2
kalau dia seorang budak kerajaan Ceng, dia harus
meninggalkan seluruh tubuhnya juga! Jelas?"
Merasa dipermainkan si nenek, seketika sasterawan Ko
Cay Seng marah, "Nenek gila, engkau kira hari ini engkau
masih dapat bersikap seperti raja" Hm, ketahuilah, jika
engkau mau menyerahkan dengan baik2, aku sih masih
dapat memintakan pengampunan kepada kedua sahabat ini
supaya engkau diberi hidup. Tetapi kalau engkau menolak,
terpaksa akan kami sembelih!"
"Bangsat, hayo majulah kalian bertiga!" teriak nenek
Gok. "Tunggu!" teriak pertapa Pat Hong, "aku masih hendak
bertanya kepadamu Gok pohpoh?"!
"Soal apa?" "Apakah si Ah Hok itu putera Tong Yan cu yang engkau
tukar dengan bayi perempuan dari Beng Giok Lan itu?"
tanya Pat Hong cinjin- Waktu masih didalam pondok sebenarnya Gok pohpoh
juga sudah mendengar langkah kaki kedatangan Coan-ti-jin
dan Pat Hong cinjin. Pun pembicaraan kedua orang itu
dapat didengar jelas. Ia terkejut ketika mendengar Coan-tijin
mengatakan telah menangkap seorang pemuda bernama
Ah Hok yang mengaku cucu dari nenek Gok. Aneh,
pikirnya. Bukankah Ah Hok sudah berada di rumah "
Memang dalam alam pikiran nenek itu. Huru Hara itu
adalah si Ah Hok. "Bukan !" serunya menjawab pertanyaan Pat Hong
cinjin. "Lalu siapa namamu ?"
"Perlu apa engkau harus tahu ?"
"Gok gopoh, menurut katamu tadi, hari ini engkau akan
menjadikan kami bertiga penghuni Taman Pahlawan Siasia.
Sebagai salah seorang calon penghuni tamanmu itu,
apakah engkau tak memberi kelonggaran kepadaku "
Apakah engkau masih kuatir, aku nanti menjadi penghuni
yang penasaran karena keinginanku tak engkau kabulkan ?"
Nenek Gok diam merenung Pikir2 permintaan pertapa
itu juga beralasan. Bukankah sebentar lagi mereka akan
mampus " Mengapa aku takut memberitahu kepadanya "
Pikir nenek itu. Tetapi karena mendengar kata2 Coan-ti-jin
yang telah menangkap seorang pemuda bernama Ah Hok,
nenek Gok bersangsi. Dia harus menyelidiki hal ini tetapi
sekarang tiada waktu. Agar anak itu jangan menderita
siksaan dari Coan-li-jin, lebih baik sekarang dia
membohong. "Dia bernama Ah Mo."
"Dimana dia sekarang -"
"Cukup !" bentak nenek Gok, "engkau tahu namanya itu
sudah cukup. Dimana dia berada, toh nanti setelah engkau
menjadi penghuni Taman Pahlawan Sia-sia, arwahmu kan
dapat gentayangan mencari anak itu."
Kedatangan Coan-ti-jin dan Pat Hong cinjin serta
munculnya Ko Cay Seng di halaman itu diketahui semua
oleh Huru Hara dan Ah Liong yang juga sudah bangun.
Keduanya bersembunyi dibalik gerumbul pohon. Keduanya
mendengar jelas semua pembicaraan yang berlangsung
antara nenek Gok dengan ketiga pendatang itu.
Waktu Ko Cay Seng menelanjangi asal usul nenek Gok,
Huru Hara dan Ah Liong terkejut Kini keduanya baru tahu
bahwa nenek itu dulu bernama Liu-ma, menjadi pelayan
dari Beng Giok Lan, isteri kedua dari tokoh ternama In Siu
Lan. Liu-ma telah menukar bayi lelaki yang dilahirkan
Tong Yan Cu dengan bayi perempuan yang dilahirkan Beng
Giok Lan. Kemudian Liu-ma itulah yang merebut tongkat
pusaka dari In Siu-Lam. Dan ketika terjadi tanya jawab antara Lu ma (sekarang
nenek Gok) dengan Ko Cay Se. Ah Liong terkejut.
"Celaka," diam2 Ah Liong berteriak dalam hati,
"bukankah dulu nenek pernah mengatakan bahwa
sebenarnya aku lebih baik memakai nama Ah Mo daripada
Ah Liong. Tetapi nanti saja setelah tepat pada hari
ulangtahunku yang ke sepuluh, namaku Ah Liong itu akan
diganti dengan Ah Mo " Jika begitu, aku inilah dari Tong
Yan Cu yang ditukar itu ?"
"O, makanya nenek itu bengis sekali kepadaku," pikir Ah
Liong lebih lanjut. Serentak perhatiannyapun tertuiu pada
pertapa Pat Hong yang mengaku sebagai sahabat orang
yang bernama Tong Kui Tik. Siapakah Tong Kui Tik itu "
"Ah, kalau ibuku bernama Tong Yan Cu, apakah Tong
Kui Tik itu bukan ayahnya ?" Ah Liong menimang lebih
lanjut. "Mengapa pertapa Pat Hong itu hendak mencari aku"
Apakah sahabatnya yang bernama Tong Kui Tik yang
minta tolong kepadanya untuk mencarikan aku ?"
Makin bergolak hati Ah Liong setelah mencapai
pemikiran begitu. Seketika timbul rasa benci kepada nenek
Gok. Karena tingkah jahat nenek itulah maka dia (Ah
Liong) sampai hidup terlunta-lunta berpisah dari kedua
orang tuanya. "Hai, tunggu pertapa.....!" karena tak kuat menahan
gejolak hatinya tiba2 Ah Liong menjerit dan terus keluar
dari tempat persembunyiannya dan langsung lari ke
halaman. Huru Hira terkejut. Anak itu tak bilang apa2 terus lari.
Ah, celaka anak itu," pikir Huru hara. Terpaksa diapun
keluar dari balik gerumbul pohon, menyusul Ah Liong.
'"Nenek Gok, benarkah dulu engkau yang merampas aku
dari mamaku ?" Ah Liong menghadap nenek Gok dan
bertanya.

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setan cilik, pergilah, jangan mengacau disini !" bentak
nenek Gok seraya ayunkan tongkatnya hendak menggebuk.
Tetapi secepat itu Huru Hara sudah menarik tubuh Ah
Liong ke belakang. "Hai apakah engkau yang bernama si Ah Mo itu, nak ?"
teriak Pat Hong cinjin serentak.
"Ya," sahut Ah Liong, "siapa engkau ?"
"Aku Pat Hong cinjin sahabat baik dari engkongmu
Tong Kui Tik." "Apakah aku juga orang she Tong ?" tanya Ah Liong
pula. "Benar, engkau sebenarnya putera dari Tong Yan Cu
yang ditukar dengan bayi perempuan oleh nenek jahat itu !"
"Dimana mamaku ?"
"Dibunuh nenek Gok."
"Ayahku ?" "Juga diracuni nenek setan itu !"
"Tidak !" teriak nenek Gok,
"Ah Liong jangat! percaya omongannya. Engkau bukan
putera dari Tong Yan Cu."
"Jangan menjilat ludahmu lagi, nenek," seru Pat Hong
cinjin, "Ah Mo, mari engkau ikut aku. Akan kuantarkan
engkau kepada engkongmu Tong Kui Tik."
Huru Hara membisiki beberapa patah kepada Ah Liong
dan anak gundul itu segera melengking, "Tidak sudi! Aku
dapat mencarinya sendiri."
"Ah Mo, mengapa engkau tak mau ikut aku?" teriak
Dendam Iblis Seribu Wajah 17 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Sumpah Palapa 23
^