Pencarian

Makam Bunga Mawar 5

Makam Bunga Mawar Karya Opa Bagian 5


dasar atau pedoman yang akan digunakan untuk menghadapi
orang-orang golongan Kun-lun-pay besok pagi, Toheng
mempunyai pikiran apa?"
Mata Thiat-kwan Totiang berputaran, menyapu Peng-sim
Sin-nie dan Cin Lok Pho sebentar, kemudian balas menanya:
"Aku ingin dengar dulu kalian hendak mengambil tindakan
bagaimana?" "Peng-sim taysu dan Pinto sendiri sudah berpendapat asal
sudah mendapat penjelasan yang adil, tidak halangan kita
tidak menarik panjang urusan ini. ." Sebelum habis ucapannya
Liong-hui Kiam-khek tiba-tiba dongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak. Hong-hwat Cinjing memandang jago pedang nomor tiga
yang gagah itu sejenak, lantas bertanya dengan perasaan
heran: "Su-to tayhiap mengapa ketawa" Apakah ucapan pinto
tadi ada salah?" Tidak kecewa Hong-hwat Cinjing sebagai ketua dari satu
partai golongan besar, ia tidak berlaku sombong dan dapat
menghormati tiap orang yang berhadapan dengannya! Sikap
itu telah mendapat pujian dari dua orang golongan Lo-hu-pay
hingga mereka mengangguk-anggukkan kepala merasa
sangat kagum! Tetapi Liong-hui Kiam-khek yang adatnya
sombong saat itu dengan sikapnya yang masih jumawa
berkata dengan suara agak ketus:
"Aku kecewa karena aku anggap apakah kalian semua
takut kepada senjata thian-kheng-ci-ting ditangan ketua Kun-
lun-pay" sehingga kalian merasa perlu merendahkan diri"
Jikalau demikian halnya, perlu apa mesti berunding"
Besok masing-masing boleh mengambil jalan sendiri-
sendiri. Kalian ketua Lo-hu dan tiga orang Bu-tong boleh saja
tak menuntut balas atas kematian saudara-saudara kalian
atau hinaan yang diterima oleh Peng-sim Sin-nie, tetapi bagi
kami orang-orang Tiam-cong-pay, kami lebih suka hancur
lebur menjadi bubur tetapi tidak suka menjadi utuh sebagai
orang terhina. Kami tidak sudi membiarkan begitu saja atas
hinaan orang terhadap suheng hanya hampir terbinasa di
lembah kematian di gunung Cong-lam-san.
Ucapan Liong-hui Kiam-khek itu sesungguhnya sangat
tajam, Peng-sim Sin-nie dan Cin Lok Pho sebetulnya tidak
suka tiga jago pedang Tiam-cong itu banyak mulut, sedangkan
Hong-hwat Cinjin dari Bu-tong-pay yang terkenal sebagai
orang yang berbudi luhur juga merasa tidak senang atas
ucapan Liong-hui Kiam-khek yang menyatakan hendak
mengambil jalan sendiri-sendiri tadi, karena dengan demikian
berarti sudah menutup jalan musyawarah dan perdamaian.
Selagi orang-orang kedua pihak pada ngotot dengan
ceritanya orang-orang Tiam-cong-pay yang hendak
mengambil jalan sendiri, dari bawah gunung tiba-tiba muncul
bayangan orang lain. Orang yang baru tiba itu ternyata adalah adik seperguruan
Peng-sim Sin-nie, Ca Bu Kao yang sudah kita kenal. Hari ini ia
mengenakan pakaian berwarna putih perak yang sangat
indah, sehingga makin menambah kecantikannya. Lebih dulu
ia menemui dan unjuk hormat kepada suci kakak
seperguruannya, kemudian memberi hormat kepada
susioknya, setelah itu baru memberi hormat kepada tiga Imam
Bu-tong. Ketika menyaksikan tiga jago pedang Tiam-cong,
dengan sinar mata yang tajam ia menatap Long-hui Kiam-
khek Su-to Wie. Su-to Wie yang tadinya di hadapan orang-orang Bu-tong
dan Lo-hu sikapnya begitu galak dan jumawa, ketika dia
pandang demikian rupa oleh Ca Bu Kao, lantas menundukkan
kepala dari sikapnya jelas menunjukkan perasaan malu dan
terkejutnya, hingga lenyaplah semua kesombongannya!
Kiranya begitu jago pedang nomor tiga itu melihat Ca Bu
Kao, seketika teringatlah ia kepada perbuatannya sendiri
beberapa waktu yang lalu, ketika ia hendak mencemarkan diri
wanita itu, Oleh karenanya, ketika ia melihat wanita itu muncul
dengan tiba-tiba, juga teringat peristiwa malam itu ketika Ca
Bu Kao menghilang secara misterius, dan ucapan yang
memperingatkan dirinya itu, kinipun seolah-olah masih
berkumandang dalam telinganya.
Bagi Peng-sim Sin-nie sebetulnya masih belum tahu
perhubungan antara adik seperguruannya itu dengan Liong-
hui Kiam-khek. Ia hanya merasa bahwa adik seperguruannya
itu sudah terlalu lama meninggalkan gunung. Tetapi karena
waktu itu ada orang-orang dari Bu-tong dan Tiam-cong, ia juga
tidak enak untuk menegornya. Selagi hendak berkata
beberapa patah dengannya, tiba-tiba dapat dilihat Ca Bu Kao
dengan sinar mata dingin memandang Su-to Wie sejenak, dan
Su-to Wie yang terkenal sombong dan jumawa itu dengan
tiba-tiba menundukkan kepala, seolah-olah merasa malu. Hal
itu sesungguhnya sangat mengherankan ketua Lo-hu-pay.
Kalau Peng-sim Sin-nie sudah merasa terheran-heran
melihat jago pedang nomor tiga itu, adalah terlebih lagi sikap
Tiam-cong-pay Thiat-kwan Totiang dan sutenya Lui Hwa yang
sama sekali tak tahu perbuatan yang dilakukan adik
seperguruannya terhadap wanita itu, kelihatan jelas perubahannya, mereka benar-benar pada merasa heran.
Sementara itu Ca Bu Kao sendiri yang menyaksikan sikap
Liong-hui Kiam-khek demikian itu, lalu perdengarkan suara
ketawa dingin, setelah itu ia berpaling kepada sucinya dan
ketua Butong-pay seraya katanya: "Ciangbun suci dan
Ciangbun Cinjin, perlu apa banyak mulut terhadap manusia
hina yang tidak tahu diri ini. .?"
Perkataan yang terakhir itu telah membuat Liong-hui Kiam-
khek merasa malu dan geram, hawa amarahnya seketika tibul
pula, dengan cepat ia angkat muka dan menegornya: "Budak
hina Ca Bu Kao. ." Tetapi baru mengucapkan perkataan itu, suara tegoran
mana prikemanusiaanmu yang didengar di gunung Hok-gu-
san tempo hari seolah-olah menggema kembali di telinganya,
sehingga saat itu hatinya tergoncang keras dan bungkam
seketika. Selanjutnya Peng-sim Sin-nie dengan menggunakan ilmu
dari golongan Buddha menegornya dengan suara keras: "Su-
to Wie tutup mulut. Jikalau kau berani mengeluarkan
perkataan yang tidak sopan lagi, biarlah kau nanti akan
kuhajar dulu dengan ilmu Pan-sian-ciang dari golongan kami."
Ca Bu Kao yang ucapannya dipotong oleh Liong-hui Kiam-
khek, sebentar ia berdiam dengan sinar mata tajam
mengawasi orang Tiam-cong-pay kemudian berkata pula
melanjutkan ucapannya kepada Peng-sim Sin-nie dan Hong-
hwat Cinjin: "Tentang peristiwa duri beracun itu, didalamnya
masih mengandung rahasia besar, hal ini Ca Bu Kao sudah
mengetahui hampir sembilan puluh persen, besok didalam
pertemuan di gunung ini, pasti akan kubeber dan supaya jelas
keadaan yang sebenarnya, supaya diketahui oleh para tokoh
rimba persilatan yang hadir di sini."
Tiga jago dari Tiam-cong, ketika mendengar ucapan Ca BU
Kao itu semuanya menunjukkan perasaan terkejut dan ingin
tahu keadaan yang sebenarnya.
Sebaliknya dengan ketua Bu-tong Hong-hwat Cinjin saat itu
ia merasa sangat girang, maka ia segera berkata sambil
tersenyum: "Ca lihiap, kalau benar sudah tahu rahasia besar
ini, mengapa tidak mau bicara terus terang" Jikalau
tindakanmu ini dapat mengelakkan bencana yang mengancam
rimba persilatan, sesungguhnya merupakan suatu jasa yang
besar sekali." Ca Bu Kao angkat muka menunjukkan pandangan matanya
ke sekitar puncak gunung, setelah itu ia berkata sambil
tertawa dingin: "Lantaran dibikin celaka oleh orang jahat, akhirnya aku
mendapat pertolongan secara tidak terduga-duga. Lebih
untung lagi aku jadi dapat mengetahui rahasia besar ini.
Sayang apabila puncak gunung Thian-tu-hong ini dijadikan
tempat pembunuhan besar-besaran. Lebih harus disayangkan
bilamana orang-orang dari golongan baik sendiri satu sama
lain berhantam, sedangkan yang bermaksud jahat merasa. ."
Berkata sampai di situ ia sengaja berhenti dulu, matanya
menatap tiga jago dari Tiam-cong. Waktu itu ia melihat Thiat-
kwan Totiang yang memandang Liong-hui Kiam-khek dengan
mata gusar, Ca Bu Kao yang menyaksikan itu, unjukkan
tertawa hambar, kemudian melanjutkan kata-katanya: "Tetapi
semua bukti-bukti itu masih ditangan seorang lain, maka perlu
harus menunggu dulu kedatangan orang tersebut supaya
dapat diumumkan." Peng-sim Sin-nie segera mengajukan pertanyaan:
"Sumoay, mengapa ucapanmu ini begitu samar-samar.
Siapakah orang itu yang kau maksudkan" Kapan kiranya baru
bisa tiba ditempat ini" Barang bukti apa yang berada dalam
tangannya?" Ca Bu Kao yang menyaksikan tiga jago dari Tiam-cong
semuanya menunjukkan sikap terkejut dan memasang telinga,
maka lalu berkata sambil tersenyum: "Urusan ini besar sekali
sangkut pautnya harap Ciangbun suci maafkan sumoay, untuk
sementara perlu merahasiakan dahulu. Sebab orang itu
selambat-lambatnya satu hari ini pasti sudah akan tiba di sini.
Jikalau kuterangkan nama dan kedudukan orang itu, urusan
ini akan bocor lebih dahulu, dan mungkin akan menimbulkan
bahaya besar, atau akan dilakukan pencegatan ditengah jalan
terhadapnya, untuk menutup rahasia mereka."
Peng-sim Sin-nie, Hong-hwat Cinjin kini telah mengetahui
bahwa urusan itu benar-benar sangat penting, dan memang
seharusnya perlu dirahasiakan lebih dahulu, maka ia tidak
menanya lebih jauh, tetapi Thiat-kwan Totiang yang
memperhatikan persoalan itu lalu merubah sikapnya yang
sombong menjadi lemah, ia berkata kepada Ca Bu Kao: "Di
lembah kematian di gunung Ciong-lam-san, aku telah
terbokong oleh sebuah duri beracun warna ungu kehitaman,
sebetulnya aku tak dapat menahan amarahku, maka aku ingin
segera mengetahui musuh yang sebenarnya, supaya aku bisa
menuntut balas. Siapa orangnya yang kau katakan membawa
bukti" Coba kau ceritakan, toh tidak ada halangan. Jikalau kau
khawatir orang itu ditengah jalan akan dipegat atau diganggu,
tiga jago pedang dari Tiam-cong bersedia malam ini juga turun
gunung untuk menjaga keselamatan orang itu, dan
melindunginya sampai di puncak gunung ini dengan keadaan
selamat." Ca Bu Kao menatap wajah Thiat-kwan Totiang sejenak
kemudian berkata: "Orang-orang sebagai tiga jago pedang
Tiam-cong, bagaimana mampu melindungi orang" Besok
jikalau kalian tiga saudara bisa pulang dengan selamat sudah
terhitung beruntung."
Jago pedang nomor dua Lui Hwa lantas membentak
dengan suara keras: "Budak hina dari Lo-hu-pay, kau jangan
coba menghina golongan Tiam-cong, perlu apa menunggu
sampai besok pagi" Dengan terang-terangan saja kita orang-
orang dari kedua partai malam ini mengadakan pertandingan
dulu untuk menetapkan siapa yang unggul dan siapa yang
bakal asor." Peng-sim Sin-nie yang mendengar perkataan Lui Hwa yang
bersifat menantang terang-terangan lalu mengerutkan alisnya,
dengan sinar mata tajam memandang jago itu sejenak
agaknya hendak memberi jawaban.
Hong-hwat Cinjin karena tadi mendengar ucapan Ca Bu
Kao yang mengandung arti sangat dalam, dan iapun tahu
bahwa Peng-sim Sin-nie adalah seorang yang ramah
diluarnya tetapi keras didalamnya, apalagi golongan Lo-hu-
pay dan Tiam-cong-pay satu sama lain sudah ada bibit
permusuhan yang lama, apabila terjadi perselisihan omongan
lagi, kemungkinan bisa menimbulkan kericuhan. Maka ia pura-
pura berlaku marah, diam-diam memberi isyarat dengan mata
kepada Peng-sim Sin-nie, Cin Lok Pho dan Ca Bu Kao,
setelah itu ia lalu membuka suara:
"Pertemuan ini, besok pagi baru dibuka secara resmi,
sekarang partai yang kita undang, Kun-lun, Ngo-bie dan Swat-
san belum lagi tiba, kita yang berlaku sebagai tuan rumah,
bagaimana boleh baku-hantam sendiri lebih dulu" Peng-sim
Taysu dan Thiat-kwan Toheng, harap supaya pikirkan dahulu
masak-masak, Butong-pay selamanya menjunjung keadilan
dan kebenaran, tidak akan berpihak kepada siapapun juga.
Siapa yang berani bertindak lebih dulu, itu berarti bermusuhan
dengan Butong." Peng-sim Sin-nie yang mengerti maksud ketua Butong-pay
itu lantas diam sedangkan Thiat-kwan Totiang yang tidak suka
berbentrokan dengan Butong-pay maka juga tak berani
melanjutkan maksudnya dan menurut nasehat Hong-hwat
Cinjing. Mereka malam itu mengundurkan diri dari puncak
Thian-tu-hong dan besok pagi baru akan datang lagi untuk
menghadiri pertemuan. Malam itu Peng-sim Sin-nie, Cin Lok Pho dan Ca Bu Kao
bertiga, duduk beristirahat di puncak Kim-lin-hong yang agak
kecil. Malam itu sebetulnya malam terang bulan, tetapi karena
diliputi oleh awan, maka keadaan agak suram.
Peng-sim Sin-nie telah duduk bersemedi, membuka
matanya dan bertanya kepada Ca Bu Kao: "Ca sumoay,
barangkali sudah tiga tahun setengah kau belum pernah
kembali ke gunung Lo-hu-san. ."
"Siaomoay mengalami banyak kejadian yang menyedihkan,
tetapi oleh karena saatnya belum tiba, maaf siao-moay belum
dapat menceritakan kepada suci, nanti setelah pertemuan di
puncak gunung ini selesai, akan menjelaskan semua
persoalan, dan siaomoay bersedia juga untuk menerima
hukuman." Peng-sim Sin-nie biasanya paling sayang kepada sumoay
yang satu ini, maka ketika menyaksikan keadaan dan sikap
Ca Bu Kao yang menyedihkan, meskipun dalam hati merasa
heran, tetapi juga tidak tega mendesak untuk bertanya lebih
jauh, maka lantas menganggukkan kepala dan bertanya:
"Baiklah, untuk sementara aku tak akan menanyakan
urusan pribadimu, tapi tadi kau berkata kepada ketua Butong-
pay Hong-hwat Cinjin, siapa yang kau maksudkan orang yang
akan membawa bukti-bukti itu" Sekarang rasanya kau toh
boleh memberitahukan kepadaku dan kepada Cin susiok."
"Dia bernama. . "
Baru saja mengucapkan demikian, Ca Bu Kao lantas


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bungkam, setelah itu ia menggelengkan kepala dan berkata
pula: "Suci dan susiok, maafkan aku merasa lebih baik untuk
sementara jangan menjelaskan dulu, ini rasanya mesti
selamat." "Sumoay, kau sesungguhnya terlalu kumanja, sehingga
kelakuanmu semakin tidak beres. Apa salahnya sekarang kau
ceritakan" Apakah kau takut aku dan Cin susiokmu akan
membocorkan rahasia?" Berkata Peng-sin Sin-nie.
Ditegor demikian, muka Ca Bu Kao merah seketika, ia
buru-buru minta maaf dan berkata sambil tertawa: "Suci dan
Susiok maafkan Ca Bu Kao tadi berlaku salah. Mana berani
aku takut suci dan susiok membocorkan rahasia" Hnay aku
anggap bahwa disekitar kita ini terang harus ada orang-orang
jahat yang diam-diam mengintai. ."
Cin Lok Pho menganggukkan kepala dan berkata sambil
tertawa: "Apa yang kau katakan memang benar, kita lebih baik
berlaku hati-hati, tidak boleh gegabah. Bagaimanapun juga
kita toh hanya menunggu semalam saja, besok toh akan tahu
sendiri. Perlu apa. ."
Sebaliknya dengan Peng-sim Sin-nie, pendeta wanita yang
berhati jujur itu menganggap bahwa orang-orang dari berbagai
partai sudah berjanji besok akan bertemu di puncak Thian-tu-
hong, hanya semalam saja, bagaimana bisa terjadi hal0hal
yang tak diinginkan. Tetapi iapun tahu bahwa sumoay itu
biasanya terlalu tinggi hati dan tidak pandang mata semua
orang, mengapa berubah begitu hati0hati. Bukankah itu
sangat mengherankan" Namun untuk menguji adiknya, ia
sengaja memotong ucapan Cin Liok Pho dan berkata:
"Mengapa susiok juga percaya ucapan sumoay yang tak
keruan juntrungannya itu?"
Begitu ucapannya tidak keruan juntrungannya keluar dari
mulutnya, Peng-sim Sin-nie mendadak berseru: "Hee! !"
sementara itu ia sudah suap dengan ilmu Pan-siang-ciang
yang terampuh, kedua tangannya dirangkapkan di depan dada
lalu mengeluarkan serangan yang tak berwujud ke arah sudut
puncak gunung yang ada beberapa titik api warna hijau.
Api hijau itu seluruhnya berjumlah tujuh, lelatu api itu hanya
sebesar biji buah, kalau tertiup angin sebentar terang sebentar
buram, ia naik tinggi perlahan lahan, kecuali kecepatannya
seperti binatang kunang-kunang biasa, hingga sulit
membedakan apakah itu kunang-kunang ataukah api. Tetapi
kekuatan tenaga yang meluncur dari ilmu Pan-sian-ciang
Peng-sim Sin-nie, ketika mengenakan sasarannya itu, tiba-tiba
terdengar suara "Bum", api sebesar kunang-kunang tadi telah berubah menjadi
gumpalan api tebal warna hijau dan api itu
bertebaran karena akibat serangan Peng-sim Sin-nie tadi.
Anehnya lelatu api itu ketika jatuh di batu, batunya terbakar
dan sebagian yang menyambar daun pohon, pohonnya
menjadi hangus. Sementara itu Cin Lok Pho yang mengikuti gerakan Peng-
sim Sin-nie juga menggunakan ilmu meringankan tubuh,
secepat kilat lompat melesat setinggi tujuh tombak. Ditengah
udara ia masih melakukan salto dan kemudian menyerbu ke
sudut puncak gunung tempat dimana api warna hijau tadi
muncul. Namun ketika ia tiba ditempat tersebut, tetap tidak
menemukan apa-apa, hanya di suatu tempat ia menampak
seutas tali yang terbuat dari rotan, setelah itu di bawahnya
didapati sepotong bambu sepanjang sekaki lebih.
Sebagai orang Kangouw kawakan, Cin Lok Pho yang
menyaksikan keadaan demikian segera mengetahui bahwa
ditempat itu benar ada bangsa manusia jahat yang sembunyi
ditempat gelap. Dan orang itu mengandung maksud keji
terhadap diri tiga orang. Orang jahat itu mungkin akan
mengintai gerak-gerik atau mendengarkan pembicaraan Ca
Bu Kao, tetapi setelah mereka tahu bahwa Ca Bu Kao tidak
mau memberi keterangan, baru merasa kecewa, barulah dari
bambu itu meniup api yang berwarna hijau tadi, dan orangnya
juga melarikan diri dengan menggunakan tali rotan.
Peng-sim Sin-nie ketika melihat Cin Lok Pho membongkok
dan memungut sesuatu barang, lalu bertanya kepadanya: "Cin
Susiok, apakah menemukan tanda apa-apa" Senjata rahasia
yang digunakan oleh orang tadi rupanya seperti senjata
rahasia kaum Kie-lian-pay yang bernama Kiu-ju Leng-hwee
yang sudah dirubah."
Cin Lok Pho balik kembali ke tempat semula, lalu
menjawab sambil menganggukkan kepala: "Senjata-senjata
rahasia berbagai partai, hanya senjata tunggal dari Kie-lian-
pay ini, ialah Kiu-ju Leng-hwe yang mirip dengan api sebesar
kunang-kunang tadi. Tetapi pertemuan partai-partai besar di
puncak Thian-tu-hong besok, Kie-lian-pay tidak termasuk
undangan, walaupun Kie Tay Cao berambisi besar, mungkin
dengan pura-pura sebagai peninjau tetapi maksudnya hanya
untuk menilik kekuatan berbagai partai, rasanya juga tak perlu
sampai mengutus anak buahnya berbuat demikian keji
terhadap kita." Ia lalu memberikan bambu yang dipungutnya kepada Peng-
sim Sin-nie, kemudian berkata: "Senjata rahasia api Kie-ju
Leng-hwe golongan Kie-lian-pay bentuknya seperti lentera,
tapi api itu bukan saja diperkecil seperti kunang-kunang, tapi
juga bisa diletakkan dibumbung
bambu ini, waktu digunakannya ditiup dengan mulut, dari sini terbukti bahwa
tindakan itu bukanlah secara kebetulan saja, melainkan sudah
direncanakan baik-baik. Untung kau tadi bermata jeli, hingga
dapat mematahkan api itu. Apabila api itu meledak didekat
kita, walaupun tak sampai mati tetapi akan bisa terbakar
hangus atau melepuh, sudah tentu besok kita tak dapat
menghadiri pertemuan dan terpaksa diam-diam kembali ke Lo-
hu-san dengan penderitaan hebat."
"Susiok tak perlu memuji, tindakanku tadi bukanlah karena
mataku jeli, hanya pihak sanalah yang kurang hati-hati,
sehingga tanpa mereka sadari sudah menunjukkan
kecerobohan." Cin Lok Pho dan Ca Bu Kao semua merasa heran hingga
pada menanyakan sebabnya. Peng-sim Sin-nie lalu berkata
sambil menunjuk rembulan di langit: "Mereka menggunakan
senjata rahasia api yang jahat ini, sengaja dibuat mirip
kunang-kunang, supaya orang tidak mengira sehingga mudah
tertipu olehnya. Sekalipun pikiran mereka itu cukup sempurna,
tetapi bagaimana juga masih ada kekeliruannya, sebab malam
ini adalah malam terang bulan di musim dingin, dalam udara
sedingin ini darimana datangnya kunang-kunang?"
Cin Lok Pho dan Ca Bu Kao setelah mendengar
keterangan itu barulah mengerti sehingga pada tertawa geli
sendiri. Pada waktu itu, sudah hampir jam tiga malam, angin
gunung bertiup cukup kencang, Ca Bu Kao tidak ingin suci
dan susioknya kebingungan lama-lama, maka dengan
menggunakan jari tangan ia menulis di atas tanah: "Orang
yang kita tunggu namanya Hee Thian Siang, dia adalah murid
kesayangan Pak-bin Sin-po Hong-poh Cui."
Peng-sim Sin-nie dan Cin Lok Pho setelah membaca
tulisan itu, mereka saling pandang dan menganggukkan
kepala. Ca Bu Kao dengan cepat menghapus tulisan itu, dan
kembali menulis kata-kata: "Dibadan orang itu membawa
barang bukti yang cukup untuk membuka rencana rahasia
orang jahat yang menggemparkan rimba persilatan, maka
besok pagi sebaiknya tunggu kedatangannya dulu, barulah
bertanya kepada Kun-lun-pay. Seandainya ia datang agak
lambat, harap suci berunding dulu dengan ketua Butong-pay
sedapat mungkin supaya diundurkan waktunya, jangan
sampai dilanjutkan dengan demikian barulah bisa
menghindarkan kerewelan yang tidak diharapkan."
Tindakan Ca Bu Kao tadi hanya untuk menghindarkan
terbukanya rahasia oleh orang luar, maka Peng-sim Sin-nie
juga menggunakan perhatian sepenuhnya untuk mengikuti
jalan tulisan Ca Bu Kao, setelah itu mereka lalu pada istirahat
untuk menantikan datangnya pagi hari.
Peng-sim Sin-nie dan Cin Lok Pho yang memiliki
kepandaian sangat tinggi, setelah duduk bersemedi cukup
lama, lalu tampak seperti orang tidur tak tahu apa-apa. Hany
Ca Bu Kao yang pikirannya agak risau, tak dapat melakukan
semedinya dengan baik. Apa yang dipikir olehnya ialah kelambatan kedatangan Hee
Thian Siang ke puncak gunung, sebab jikalau diingat sifat-sifat
dan adatnya Hee Thian Siang, seharusnya ia sudah dapat
datang lebih dahulu ke tempat itu untuk menonton keramaian.
Tetapi mengapa hingga hari itu masih belum tampak mata
hidungnya" Apakah ia kembali menemukan halangan setelah
berpisah dulu" Hal kedua yang masih mengganggu pikirannya ialah dirinya
sendiri ketika berada di gunung Hok-gu-san, karena lalainya
sehingga terkena obat mabuk dan hampir saja dirinya dinodai
oleh Liong-hui Kiam-khek, setelah ditolong oleh duta bunga
mawar, ia masih merasa sangsi apakah yang dinamakan
"orang itu masih utuh seluruhnya?"
Pikiran itu terus mengganggu hingga hampir pagi, namun
Hee Thian Siang masih tetap belum tampak mata hidungnya.
Peng-sim Sin-nie terpaksa bersama susioknya dan Ca Bu Kao
bersama-sama pergi ke puncak Thian-tu-hong.
Pada waktu pagi itu, bukan saja rombongan dari Butong-
pay dan Tiam-cong-pay semua sudah berkumpul, sedangkan
dari pihak yang diundang, ialah pemimpin partai Kun-lun-pay
Tie-hui-cu juga sudah datang bersama sutenya Siong Phiauw-
yan dan Siauw Tek, selain dari pada itu ketua partai Ngo-bie-
pay Hian-hian Sian-lo juga datang bersama sumoaynya Siu-
hong To-kow dan Hok Siu In, sementara itu ketua Kie-lian-pay
Kie Tay Cao yang datang sebagai peninjau juga datang
bersama-sama Pao Sam-kow yang mendapat julukan Pek-
thauw Losat (Iblis kepala putih). sedangkan dari Swat-san-pay
yang juga sebagai peninjau saat itu datang kedua bagian
pelindung hukum Ceng-kak Siansu, orang-orang dari rimba
persilatan yang sudah datang adalah Say Han Kong, pencuri
sakti Oe-tie Khao dan lain-lain yang jumlahnya sepuluh orang
lebih, mereka semua sudah berkumpul di puncak gunung,
hanya ketua Swat-san-pay Peng-pek Sin-kun yang akan bantu
pihak Kun-lun-pay serta dua pembantunya masih belum
tampak datang. Delapan partai besar dari rimba persilatan pada dewasa itu,
kecuali ketua Siauw-lim-pay yang tidak datang, tujuh yang
lainnya semua sudah datang bersama-sama pembantunya
yang terpilih, pertemuan itu benar-benar merupakan
pertemuan besar yang bagi sementara orang-orang rimba
persilatan dianggap belum pernah ada.
Semua orang yang datang berkunjung hampir rata-rata
menunjukkan sikap serius, hanya beberapa orang saja yang
memang mengandung maksud tertentu sudah menunjukkan
sikap tenang, diantaranya bahkan khawatir tak dapat
menyaksikan pertunjukan ramai.
Ketua Kun-lun-pay Tie-hui-cu, adalah seorang tua rambut
putih yang mengenakan pakaian Imam, meskipun usianya
sudah lanjut, namun sikapnya masih gagah. Ketua Kun-lun-
pay itu ketika melihat kedatangan Peng-sim Sin-nie bertiga,
lantas berkata kepada ketua Bu-tong-pay sambil tersenyum:
"Pinto dan ketua Ngo-bie-pay Hian-hian Sian-lo dan lain-
lain datang kemari karena undangan ketua partai Bu-tong,
Tiam-cong dan Lo-hu. Sekarang meskipun salah seorang
sahabat pinto ketua Swat-san-pay masih belum tiba, rasanya
tidak perlu menunggu sehingga menghambat waktu, maka
dengan ini pinto minta supaya salah seorang dari golongan
Bu-tong atau Tiam-cong atau Lo-hu sudi menerangkan
maksud pertemuan ini."
Ketua Butong-pay yang lebih dahulu sudah mendapat
kisikan Peng-sim Sin-nie supaya menghambat waktunya untuk
menunggu kedatangan Hee Thian Siang, supaya jangan
sampai timbul kesalah pahaman lebih besar, maka ketika
mendengar pertanyaan itu ia lantas menganggukkan kepala
memberi hormat kepada Tie-hui-cu, kemudian berkata sambil
tersenyum: "Orang-orang dari delapan partai besar, biasanya jarang
saling berjumpa sungguh merupakan suatu kebetulan hari ini
kita sedang menghadapi menjelangnya tahun baru, bisa
berkumpul ditempat ini. Apa salahnya bila kita menunggu lagi
sebentar atas kedatangan ketua Swat-san-pay?"
Selagi Tie-hu-cu hendak bersuara, orang-orang yang
berada di puncak gunung, dengan tiba-tiba menunjukkan
pandangan matanya ke bawah gunung.
Tak lama kemudian, sesosok bayangan putih melesat ke
puncak gunung Tiam-tu-hong.
Oran yang baru datang itu adalah seorang berpakaian
jubah sutera putih, orang itu hidungnya besar dan mulutnya
lebar, matanya segede jengkol, sedang brewoknya seperti duri
landak, rambutnya panjang hampir sebatas pinggang, bentuk
badan orang itu sesungguhnya sangatlah aneh, agak mirip
dengan orang utan, tetapi tokoh-tokoh rimba persilatan yang
ada di situ sebagian besar tahu bahwa orang itu adalah
seorang aneh yang kepandaian dan kekuatannya tidak di
bawah ketua Swat-san-pay sendiri, tapi oleh karena ketua
Swat-san-pay pernah melepas budi besar terhadapnya, maka
orang itu seumur hidupnya hanyalah mengabdi padanya
sebagai budak, namanya ialah Leng Pek Ciok, dan julukannya
Swat-san Peng-lo (budak dari gunung Swat-san)
Ketua Kun-lun-pay Tie-hui-cu, yang sudah kenal baik
dengan Swat-swan Penglo itu, maka begitu menampak
kedatangannya lalu disapanya sambil memberi hormat:
"Kuucapkan terima-kasih atas kuncungan Loheng kemari,
begitupun atas bantuanmu yang besar sekali artinya. Tetapi
bagaimana dengan Pek-pek Sin-kun. ."
"Pek Ciok tidak berani menerima sebutan demikian dari
Ciang-bunjin. Majikanku Peng-pek Sin-kun dan istrinya, oleh
karan mendapat halangan di bawah gunung, terpaksa balik
kembali ke Tay-swan-san, beliau suruh budak untuk
mengabarkan kepada Ciangbun-jin dan minta maaf karena tak
bisa turut menghadiri pertemuan ini."
Peng-sim Sin-nie ketika mendengar keterangan itu, lalu
menanyakan halangan apa yang mengakibatkan Pek-pek Sin-
kun dan istrinya, telah di bokong oleh manusia jahat yang
tidak diketahui rupanya.

Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua tokoh persilatan yang mendengar keterangan itu
seluruhnya merasa tertarik.
Peng-sim Sin-nie segera teringat pada api warna hijau
sebesar kunang-kunang yang tadi malam disaksikan, matanya
lalu ditujukan kepada ketua Kie-lian-pay yang berdiri diantara
para penonton, namun waktu itu Kie Tay Cao sikapnya
tenang-tenang saja, seolah-olah tidak tahu apa-apa. Tetapi
sucinya Pao Sam-kow bibirnya tersungging senyum
mengejek. Tie-hui-cu yang mendapat penjelasan demikian, lalu
berkata: "Tak kusangka lantaran urusan partai kami Kun-lun-
pay sudah merembet sahabat baikku, sehingga mendapatkan
kesulitan yang tak terduga-duga, tolong sampaikan ucapanku
kepada Peng-pek Sin-kun suami istri, katakan saja setelah
pertemuan di Thian-tu-hong ini selesai, Tie-hui-cu akan
berangkat ke Tay-swat-san untuk menyampaikan terima-kasih
dan penjelasannya." Leng Pek Ciok mundur setengah langkah, kemudian
menjawab sambil memberi hormat: "Maafkan budakmu ini,
untuk sementara aku tak akan kembali ke gunung Tay-swat-
san, karena hendak menyelidiki keadaan di bawah gunung,
siapakah kiranya orang yang begitu tidak tahu malu dan
berani mati membokong majikanku, aku hendak minta
keadilan darinya." Sehabis berkata demikian, tiba-tiba mengangkat muka, dua
matanya memancarkan sinar bercahaya tajam, menyapu
semua orang yang hadir di situ sejenak, setelah itu ia lantas
bergerak dan melayang turun ke kaki gunung.
Setelah berlalu, Peng-sim Sin-nie menarik napas panjang
dan berkata sambil menggelengkan kepala: "Bagi orang-orang
rimba persilatan, mau gontok-gontokan atau saling membunuh
memang boleh saja, tetapi sebagai orang persilatan harus
bersikap jujur dan harus berani berlaku terus terang.
Perbuatan membokong secara menggelap itu adalah
perbuatan paling rendah dan paling memalukan, pertemuan ini
juga diadakan oleh karena perbuatan rendah yang memalukan
itu." "Ucapan Peng-sim taysu itu agaknya mengandung maksud
dalam, pinto ingin mendapat keterangan yang jelas!" Bertanya
ketua partai Kun-lun sambil menatap Peng-sim Sin-nie.
Sementara itu ketua Butong-pay Hong-hwat Cinjing karena
saat itu Hee Thian Siang masih belum sampai, ia tahu tidak
dapat diundurkan lagi waktunya, maka bertanya kepada Tie-
hui-cu sambil tersenyum: "Tie-hui Toheng, maafkan kalau
pinto ada salah, ada suatu kejadian yang sangat ajaib, pinto
hendak minta keterangan dari toheng."
"Silahkan Cinjin tanya, kalau pinto tahu sudah pasti akan
menjawabnya dengan jelas."
"Anak murid Kun-lun-pay, kecuali senjata Pek-houw Liong-
gin-cut (senjata paser macan putih) apakah masih
menggunakan senjata rahasia lainnya?"
Tie-hui-cu yang ditanya demikian, sejenak nampak
tercengang, kemudian menjawab sambil menganggukkan
kepala: "Golongan kami masih ada semacam senjata rahasia
yang sangat lihai, senjata itu namanya Thian-keng-cek, namun
tidak boleh digunakan secara serampangan oleh anak buah
kami. "Seandainya Thian-keng-cek yang kau katakan tadi berbisa
atau tidak?" "Senjata rahasia itu, adalah duri dari sebuah pohon ajaib
yang tumbuh di puncak gunung tertinggi Kun-lun-san, pohon
itu bercabang dua, cabang yang menjulur ke selatan ada
bisanya, sedang yang ke Utara tidak berbisa. Duri yang
berbisa begitu mengenakan daging manusia atau binatang,
pokoknya asal mengenai darah korbannya perlahan-lahan
menjadi kejang dan akhirnya mati, korban yang terkena duri
itu sukar sekali ditolong, maka kami selamanya melarang anak
murid Kun-lun-pay menggunakan senjata rahasia itu, hanya
kalau berada di daerah pegunungan atau sedang bermalam
ditempat belukar, bila diserang oleh binatang buas atau ular
berbisa dan jiwanya benar-benar terancam baru boleh
menggunakan senjata itu, tetapi sekali-kali tidak boleh
digunakan kepada manusia. Yang tidak berbisa juga dapat
menembusi segala benda yang bagaimanapun kerasnya.
Sekalipun besi, baja, atau bahan logam lainnya semua tak
mempan menjaganya. Senjata ini juga khusus untuk
memecahkan kepandaian orang yang memiliki ilmu kebal,
artinya yang tidak mempan senjata tajam."
Hong-hwat Cinjing yang mendengar penjelasan Tie-hui-cu
demikian nyata dan sikapnya juga demikian tenang, lantas
saling berpandangan dengan ketua Tiam-cong-pay dan ketua
Lo-hu-pay, setelah itu ia bertanya pula: "Pinto hendak
menanya lagi, pohon yang ajaib itu kecuali tumbuh dipuncak
tertinggi Kun-lun-san, apakah ditempat lain juga bisa tumbuh"
Dan bagimana bentuk dan rupanya pohon itu?"
Tie-hui-cu menjawab masih dengan sikapnya yang tenang
dan tidak menunjukkan sikap ragu-ragu: "Dunia ini sangat
luas, banyak gunung-gunung yang terpencil mungkin masih
banyak mengandung rahasia, meskipun siapa juga tidak bisa
menutup rahasia untuk selamanya, tapi hingga saat ini pinto
masih belum pernah dengar di daerah lain ada tumbuh pohon
berduri sebangsa Thian-keng itu. Memang macamnya duri
Thian-keng-cek ada banyak, duri itu panjangnya hanya kira-
kira satu dim lebih sedikit, bentuknya berujung tiga, yang tak
ada bisanya berwarna hijau mulus, sedang yang berbisa
warnanya biru kehitaman. Setelah mendengar keterangan itu, dengan sikap serius
Hong-hwat Cinjin mengeluarkan tiga butir duri berujung tiga
berwarna biru kehitaman, diletakkan di telapak tangannya.
Sementara itu Thiat-kwan Totiang dan Peng-sim Sin-nie
masing-masing juga mengeluarkan sebutir duri yang serupa,
duri-duri itu ditunjukkan kepada Tie-hui-cu.
"Tie-hui Toheng, silahkan periksa dengan seksama, duri
berujung tiga yang berada dalam tangan pinto dan tangan
Peng-sim taysu serta Thiat-kwan Totiang ini, apakah benar
adalah dari Thian-keng-cek yang mengandung racun sangat
berbisa dan merupakan senjata rahasia tunggal dari golongan
toheng?" Thie-hui-cu begitu melihat sudah dapat mengenali bahwa
duri itu memanglah senjata rahasia yang dinamakan Thian-
keng dari golongannya, yang dilarang untuk digunakan
sembarangan. Maka setelah menyaksikan duri-duri itu, ia lalu
saling berpandangan dengan sutenya Siong Phiauw Yan dan
Siauw Tek, dan setelah itu ia berkata kepada Hong hwat Cinjin
bertiga dengan perasaan keheranan:
"Bolehkah pinto numpang tanya kepada tiga saudara ketua,
duri Thian-keng ini memang benar adalah barang yang hanya
terdapat di gunung Kun lun-san, darimana saudara
mendapatkan barang itu?"
Hong-hwat Cinjing ketika mendengar keterangan Tie-hui-cu
yang mengakui terus terang barang miliknya, seketika itu ia
berada dalam kedudukan agak sulit, maka ia mengerutkan
alisnya dan merangkapkan kedua tangannya di atas dada,
setelah memuji nama Budha barulah berkata:
"Pinto hanya dapatkan ini dari golongan kami yang biasa
mendapat sebutan Bu-tong Cit-cu, tiga di antaranya ialah Pek
Tin, Go Tin dan He-tin, semua terbinasa terbokong oleh
senjata berbisa ini, juga duri ini kudapatkan dari tubuh
mereka! " Mengenai binasanya tiga orang Bu-tong, itu didalam
kalangan Kangouw belum begitu banyak tersiar, maka tokoh-
tokoh yang hari itu datang kecuali beberapa orang yang sudah
mengetahui, yang lainnya seketika itu terkejut dan keheranan.
Mereka tahu bahwa ketua Kun-lun-pay hari itu kedudukannya
sudah terjepit, tidak mudah baginya untuk mengelakkan
tuduhan itu, ada kemungkinan akan menimbulkan
pertentangan dan pertempuran hebat.
Sementara Peng-sim Sin-nie juga berkata sambil
menyebutkan nama Buddha: "Ketika kami hendak
mengadakan pertandingan ilmu silat dengan Thiat-kwan
Totiang di lembah kematian, sebelum pertandingan dimulai,
dari luar lembah orang membokong dengan menggunakan
senjata ini, kalau bukan karena sahabat karib Sin-nie It-pun
Sin-ceng datang memberi pertolongan dengan getahnya
pohon lengci dalam waktu yang tepat, mungkin Peng-sim Sin-
nie dan Thiat-kwan Totiang sudah lama terkubur dalam
lembah itu." Keterangan Peng-sim Sin-nie itu sesungguhnya merupakan
suatu berita dalam rimba persilatan. Tie-hui-cu sendiri yang
mendengarkan juga merasa kaget, hingga alisnya selalu
dikerutkan, dan setelah berunding dengan kedua sutenya
barulah berkata kepada Hong-hwat Cinjing bertiga:
"Urusan ini sesungguhnya sangat aneh, tetapi pinto tadi
sudah berkata dengan sejujurnya, maka sekarang
bagaimanapun juga sulit untuk membantahnya. Jikalau tiga
saudara ketua hendak menuntut balas terhadap golongan
kami Kun-lun-pay, Tie-hui-cu sebagai ketua, sudah tentu
bersedia bertanggung jawab sepenuhnya."
"Kun-lun-pay selamanya suka menjauhkan diri dari segala
pertentangan, sehingga pada dihormati oleh sahabat-sahabat
rimba persilatan, maka kematian tiga anggota terpenting kami,
perbuatan itu di bokong oleh orang jahat, namun Hong-hwat
masih belum berani memastikan itu perbuatan anak buah
Kun-lun-pay, maka mau tak mau pinto undang datang kemari,
hendak minta keterangan darimu tentang senjata itu. Asal
toheng dapat memberi keterangan yang adil, Butong-pay tidak
akan mencari setori secara serampangan, sehingga
menimbulkan keretakan persahabatan dari kedua golongan
kita." Baru Hong-hwat Cinjin memberi keterangan, Ceng-kak
Siansu yang berdiri di barisan para pengunjung, lantas
merangkapkan kedua tangannya di depan dada sambil
memuji nama Buddha, ia berkata:
"Hong-hwat Cinjing benar-benar tidak tercela menjadi
pemimpin partai Butong-pay. Jikalau dalam rimba persilatan
ada orang yang berjiwa seperti Toheng, sudah tentu diantara
kita tak akan ada timbul pertentangan dan pertumpahan
darah. Segalanya bisa dibereskan dengan jalan musyawarah
atau perundingan." Tetapi sikap Hong-hwat Cinjin semakin lunak dan semakin
merendah, Tie-hui-cu semakin sulit untuk menjawab, maka
setelah dipikirnya bolak-balik, ketua Kun-lun-pay itu merasa
tidak bisa mendapatkan perkataan yang sesuai dalam
menjawab ucapan ketua Butong-pay tadi.
Hubungan ketua Ngo-bie-pay Hian-hian Sianlo dengan Tie-
hui-cu sangat erat sekali, ketika menyaksikan kedudukan
sahabatnya dalam keadaan terjepit demikian rupa, lantas
berkata: "Saudara-saudara Hong-hwat Cinjin, Peng-sim taysu
dan Thiat-kwan Totiang, aku si orang tua yang berkedudukan
sebagai orang luar, bolehkah kiranya hendak mewakili
sahabat Tie-hui dari Kun-lun-pay untuk menanggapi persoalan
ini?" Thiat-kwan Totiang yang melihat Hian-hian Sian-lo hendak
turut campur tangan, perdengarkan suara dari hidung, tetapi
Hong-hwat Cinjing dan Peng-sim Sin-nie masih berdiam diri
sambil menganggukkan kepala, berarti mereka tidak
berkeberatan atas usul Hian-hian Sian-lo. Hian-hian Sian-lo
setelah menatap para ketua Kun-lun, Bu-tong, Ngo-bie dan
Tiam-cong bergiliran lalu berkata dengan suara lantang:
"Persoalan tentang penggunaan senjata duri berbisa untuk
melakukan serangan secara serampangan menurut hemat
pin-nie, jikalau bukan lantaran golongan Kun-lun-pay ada
mempunyai anak murid yang tidak beres, sudah tentu
dilakukan oleh orang lain yang mengandung maksud tertentu
sengaja hendak menimbulkan huru-hara, supaya berbagai
partai pada baku hamtam sendiri. Maka pin-nie ingin minta
tiga saudara ketua, supaya memberikan keluangan waktu
kepada Tie-hui-cu dalam waktu setahun ini supaya berusaha
untuk membikin terang urusan ini. Pada hari tahun depan, kita
boleh berkumpul lagi di sini, dan Tie-hui-cu harus memberikan
tanggung jawabnya kepada saudara-saudara ketua bertiga."
Baru saja Hian-hian Sian-lo menutup ucapannya, di atas
puncak gunung tampak berkelebat sesosok bayangan
manusia, Hee Thian Siang yang sekian lama ditunggu-tunggu
oleh Ca Bu Kao, telah muncul dengan mendadak. Namun
sikapnya tergesa-gesa sekali, pandangan matanya ditujukan
kepada semua orang sejenak, kemudian dengan tergesa-gesa
pula lompat ke dalam barisan para peninjau, di situ ia
menghampiri Say Han Kong, setelah itu ia bertanya sambil
mengerutkan alisnya: "Say locianpwe, jikalau ditilik dari keadaan sekarang ini,
pertemuan ini rasanya masih belum dimulai, benarkah
begitu?" Say Han Kong yang tidak mengerti maksud pertanyaan
Hee Thian Siang hanya menjawab sambil menganggukkan
kepala dan tertawa: "Bukan saja belum dimulai, malah
mungkin akan diperpanjang satu tahun lagi. Keramaian hari ini
barangkali tak akan dapat kita saksikan."
"Tidak perduli diperpanjang atau tidak, aku hanya ingin
menonton keramaian saja, toh tidak ada lebih penting
daripada menolong jiwa. Mari locianpwe lekas ikut aku!"
Berkata Hee Thian Siang, dan setelah itu ia menarik tangan
Say Han Kong dan lari menuju ke bawah gunung.
Ca Bu Kao sungguh tak menduga, Hee Thian Siang datang
secara tergesa dan pergi lagi dengan cara tergesa pula.
Sebetulnya ia hendak mencegah, tapi oleh karena di hadapan
orang persilatan demikian banyak, sudah tentu ia merasa
malu untuk berkaok-kaok memanggilnya. Dan lagi kalau
ditinjau dari sikap Hee Thian Siang yang demikian cemas,
mungkin benar-benar ada orang penting yang memerlukan
pertolongan Say Han Kong, maka ia hanya mengawasi
berlalunya orang itu dari puncak gunung.
Sementara itu, Hian-hian Sian-lo kembali berkata kepada
Hong-hwat Cinjin bertiga: "Saudara ketua bertiga, apakah
saudara juga sependapat dengan usul aku si nenek tua tadi?"
Peng-sim Sin-nie diam saja tidak menjawab, sedangkan
Hong-hwat Cinjin perdengarkan suaranya setelah lebih dulu
memuji nama Buddha: "Bu-tong-pay bersedia menerima baik
usul Sianlo, diharap supaya pada tahun depan di waktu dan
tempat seperti ini, supaya pihak yang berkepentingan suka


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan keadilan kepada kami."
Baru saja Hong-hwat Cinjing menutup mulut, suara tertawa
sangat aneh tiba-tiba terdengar dari kalangan peninjau. Ketua
Kie-lian-pay Khie Tay Cao berpaling ke arah Pao Sam-kow
dan berkata kepadanya: "Pao suci, tak disangka kita yang
datang dari tempat demikian jauh, ternyata tidak akan dapat
menyaksikan kepandaian tinggi jago-jago dari enam partai
besar ini, hanya menyaksikan pertemuan yang tak ada kepala
dan ekornya seperti ini. ."
Sebelum habis ucapan ketua Kie-lian-pay, dari golongan
tuan rumah terdengar suara bentakan bengis, ketua Tiam-
cong-pay Thiat-kwan Totiang saat itu sudah bicara sambil
tertawa dingin: "Saudara Kie Tay Cao, kau jangan merasa
kecewa dulu. Kami partai Tiam-cong meski merupakan satu
partai kecil yang tak dapat dibandingkan dengan Bu-tong dan
lainnya yang mengaku golongan kebenaran dan memiliki jiwa
besar, yang tidak mau menuntut balas dendam atas kematian
tiga orang penting golongan Bu-tong, namun, perbuatan yang
dilakukan terhadap diriku di lembah kematian di gunung Cong-
lam-san, kami tidak akan tinggal diam. Dan bersedia
menerima pelajaran dari ketua Kun-lun-pay yang menjadi
orang yang harus bertanggung jawab atas senjata duri berbisa
itu." Tantangan Thiat-kwan Totiang yang ditujukan secara terus
terang ini membuat suasana gawat yang sudah mulai reda
atas usaha Hian-hian Sianlo kini diliputi ketegangan lagi. Tie-
hui-cu dengan alis dikerutkan segera berkata kepada Tiat-
kwan Totiang sambil memberi hormat:
"Thiat-kwan Totiang ketahuilah olehmu, sebelum perkara
kejahatan membokong orang dengan menggunakan senjata
duri berbisa Thian-keng ini menjadi terang, kami orang Kun-
lun-pay merasa sangat menyesal terhadap partai Bu-tong, Lo-
hu dan Tiam-cong. Dengan cara bagaimana masih berani
berlaku keras atau mengajak bertanding dengan kalian?"
"Apakah kalian orang-orang Kun-lun-pay hanya bisa
menyerang orang secara menggelap, tidak berani bertanding
secara jantan?" Berkata Thiat-kwan Totiang dengan suara
dingin. Tuduhan itu sesungguhnya terlalu berat. Tie-hui-cu, Siong
Phiauw Yan dan Siau Tek, ketika mendengar ucapan itu,
wajah mereka dengan mendadak lantas berubah.
Tie-hui-cu buru-buru menggunakan tangannya mencegah
kedua sutenya itu melakukan gerakan, ia masih berkata
kepada Thiat-kwan Totiang sambil tertawa: "Orang-orang
golongan Kun-lun-pay belum sampai demikian tidak berguna
dan tidak tahu maku seperti apa yang kau katakan tadi. Kalau
dikehendaki, untuk mengadakan pertandingan saja,
sebetulnya tidak menjadi halangan, tetapi atas kebijaksanaan
saudara ketua yang sudah memberi waktu setahun, supaya
aku mengadakan penyelidikan dan mempertanggung
jawabkan. ." Belum habis ucapannya, Thiat-kwan Totiang sudah
memotong sambil tertawa dingin:
"Bu-tong dan Lo-hu boleh saja memberi waktu padamu
satu tahun, tetapi aku dari Tiam-cong-pay, sedikitpun tidak
mau bersabar lagi terhadap manusia tidak tahu malu itu. Yang
ku kehendaki, pada saat dan tempat seperti sekarang ini,
harus dibereskan dengan di hadapan para tokoh rimba
persilatan yang ada di sini."
Betapapun besar kesabarannya Tie-hui-cu, saat itu juga
tidak sanggup lagi mengendalikan kesabarannya. Atas ucapan
pedas dari Thiat-kwan Totiang, maka hawa amarahnya
perlahan mulai timbul, sepasang matanya bergerak-gerak
dengan sinar yang tajam. Ketua Kie-lian-pay Khie Tay Cao yang mendengar ucapan
keras Thiat-kwan Totiang kembali memberi dorongan
semangat, lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Bagus, itu bagus. Thiat-kwan Toheng itu barulah satu-
satunya ucapan yang bersemangat pendekar dari orang yang
ada di puncak gunung hari ini."
Tie-hui-cu mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-
bahak, matanya ditujukan kepada Khie Tay Cao. Selagi
hendak membuka mulut, saudara termuda ketua Ngo-bie-pay
Hian-hian Sianlo, ialah Hok Siu In yang usianya paling muda,
sudah tidak dapat lagi mengendalikan perasaannya, dengan
tiba-tiba ia berjalan menuju ke lapangan, dan berkata kepada
Thiat-kwan Totiang dengan suara marah:
"Berapa jurus ilmu pedang Hui-hon U-liu-kiam-hoat dari
kalian golongan Tiam-cong-pay ada apanya yang dapat kau
banggakan" Mengapa kau berani membuka mulut besar dan
bertingkah d hadapan orang banyak" Mengapa kau tidak
membuka mata melihat ketua-ketua Bu-tong-pay dan Lo-hu-
pay, betapa besar jiwa mereka" Jikalau kau hendak main
gagah-gagahan, aku tidak suka memandang perbuatanmu
yang sangat congkak itu, lekas kau turun ke gelanggang, Hok
Siu In akan memberi pelajaran beberapa jurus kepadamu
dengan ilmu pedang golongan Ngo-bie-pay."
Ketua Ngo-bie-pay Hian-hian
Sianlo sungguh tak menyangka bahwa adik seperguruannya itu secara tiba-tiba
sudah bertindak membela Kun-lun-pay, tetapi ia juga hanya
mengerutkan alisnya tidak mencegah lebih jauh.
Ketua Tiam-cong-pay menatap Hok Siu In sejenak,
mungkin karena melihat gadis yang muda belia itu, maka
dipandangnya dengan sikap menghina, katanya dengan suara
dingin: "Nona Hok, meskipun kau hendak membela Kun-lun-
pay, tetapi dengan kepandaian yang kau miliki sekarang ini,
barangkali masih belum memerlukan aku turun tangan
sendiri." Hian-hian Sianlo yang mendengarkan ucapan takabur itu
memperdengarkan suara dari hidung, kemudian berkata
padanya: "Ketua Tiam-cong-pay, kau jangan terlalu tinggi
pandang dirimu sendiri. Jikalau Hok Siu In masih belum ada
kedudukan untuk bertanding denganmu biarlah aku nenek tua
ini menyambuti seranganmu, kau pikir bagaimana?"
Tokoh-tokoh rimba persilatan dari rombongan peninjau
ketika mendengar orang-orang golongan Ngo-bie dan Tiam-
cong hendak mengadu kepandaian, semangat mereka
tergugah lagi. Pada saat itu Tie-hui-cu memberi hormat dan berkata
kepada Hian-hian Sianlo: "Sianlo, harap jangan marah dulu,
jikalau Tiam-cong-pay benar-benar mau mengerti, maka soal
yang menyangkut golongan Kun-lun-pay biarlah orang Kun-lun
sendiri yang mempertanggung jawabkan."
Sehabis berkata demikian, ia memberi isyarat dengan
matanya kepada sam-sutenya Siauw Tek, maksudnya minta
sutenya itu turun tangan untuk menggantikan Hok Siu In.
Siauw Tek yang melihat isyarat dari suhengnya seketika itu
mengerti, baru saja hendak turun ke lapangan, Hok Siu In
yang sudah lama menunggu, kedua alisnya berdiri dan
berkata pula kepada Thian-kwan Totiang.
"Jikalau kau anggap dirimu sebagai ketua dari suatu partai,
hingga tak memandang diriku, boleh saja kau perintahkan
sutemu yang menamakan diri jago pedang nomor dua atau
jago pedang nomor tiga yang turun ke lapangan. Apakah ilmu
pedang Hui-hong U-liu-kiam-hoat yang selamanya kau
banggakan itu masih patut menghadapi ilmu pedangku dari
Ngo-bie?" Thiat-kwan Totiang sangat marah atas tantangan itu,
matanya ditujukan kepada Liong-hui Kiam-khek jago pedang
nomor tiga, kemudian berkata kepadanya: "Sam sute, jikalau
ada kegembiraan sukalah kiranya kau turun ke lapangan
untuk menghadapi jago pedang terpandai dari Ngo-bie-pay
ini!" Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie yang mendengar ucapan
suhengnya itu lalu turun ke lapangan. Sudah lama sebenarnya
ia dengar kabar tentang ilmu pedang Siu In, ternyata yang
paling pandai dari dua saudara tuanya, maka ia tak aberani
memandang ringan kepada gadis cantik itu, sambil memberi
hormat ia berkata: "Nona Hok, harap berlaku hati-hati, pedang Ceng-liong-kiam
ditangan Su-to Wie ini bukanlah terbuat dari
besi biasa." Sehabis berkata demikian, ia menyentil ujung pedang
dengan jari tangannya, hingga pedan itu mengeluarkan suara
mengaung dan menimbulkan sinar!
Meskipun Hok Siu In sudah tahu bahwa pedang Ceng-bok-
kiam ditangan lawannya adalah pedang pusaka yang tajam
sekali, tetapi ia sedikitpun tidak merasa heran atau jeri, dari
dalam sakunya ia mengeluarkan pedang pusaka dari gunung
Tay-piat-san, pedang yang masih menjadi gulungan itu
diletakkan di telapak tangannya dan ia berkata kepada Liong-
hui Kiam-khek sambil tertawa:
"Pedang Ceng-bong-kiam, hanya terbuat dari bahan besi
yang agak baik, yang lebih tajam dari pedang biasa, apa yang
kau banggakan" Kenalkah kau senjata apa yang berada di
tanganku ini?" Ucapan Hok Siu In itu menarik perhatian orang yang ada di
situ, hingga semua mata ditujukan kepada butiran warna
perak yang berada di tangannya. Sebagai seorang yang
berpengalaman ketua Bu-tong-pay Hong-hwat Cinjin pertama-
tama yang mengeluarkan seruan kaget, kemudian berkata:
"Butiran perak ini seperti pedang Liu-yap-hian-sie-kiam
peninggalan Tay-piat Sianjing, seorang jago pedang nomor
satu dirimba persilatan pada tiga ratus tahun berselang."
"Pengetahuan Ciang-bun Cinjin sesungguhnya sangat luar,
Hok Siu In sangat kagum!" Berkata Hok Siu In sambil memberi
hormat dan tertawa. Sehabis berkata, ia lalu mengempos kekuatan tenaga
dalamnya, disalurkan ke pedangnya, selama itu tidak
tertampak gerakan sedikitpun juga, namun butiran perak yang
berada di tangannya tiba-tiba berubah menjadi sebilah pedang
bagaikan daun pohon nyiur, pedang itu panjangnya hanya dua
kaki lebih, namun sinarnya berkilauan.
Pedang Liu-yap-hian-sie-kiam
peninggalan Tay-piat Sianjing itu dari bentuknya saja sudah sangat aneh, apalagi
Hok Siu In yang sudah menyalurkan kekuatan tenaga didalam
awak pedang itu, semakin mengejutkan semua orang yang
ada di situ. Kini semua mata ditujukan ke lapangan, mereka ingin
menyaksikan pertandingan antara jago pedang nomor tiga dari
Tiam-cong dan jago pedang nomor empat dari Ngo-bie,
siapakah nanti yang akan menang, dan siapa yang akan
kalah" Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie sesungguhnya tidak
menduga bahwa gadis cilik itu juga mempunyai pedang
pusaka yang jarang ada didalam dunia, oleh karenanya
didalam hatinya agak kuncup, tetapi oleh karena pedang Liu-
yap-bian-sie-kiam yang lemas itu, pedangnya kecil dan
pendek, maka ia masih tidak begitu jeri untuk menghadapinya,
ia mulai membuka serangannya dengan mata memandang
Hok Siu In tanpa berkedip.
Sebaliknya Hok Siu In saat itu tangannya menggenggam
pedang lemasnya, dilintangkan di hadapan dadanya, ia
miringkan badan dan menggeser ke kanan, secepat kilat ia
sudah putar kakinya tiga putaran, dua jago pedang itu sama-
sama maju ke tengah lapangan dan saling menyerang.
Pertandingan ilmu pedang itu sesungguhnya menggemparkan
semua orang yang ada di situ.
Tiga jurus kemudian pedang masing-masing mengeluarkan
hembusan angin dan hawa yang sangat dingin.
Ilmu pedang dalam golongan Tiam-cong unggul dalam
kecepatan dan keganasannya, sedang ilmu pedang Ngo-bie
unggul dalam kelincahan dan gerak tipunya yang aneh, dua
orang itu masing-masing mengeluarkan kepandaiannya
sendiri-sendiri, kedua pihak sama-sama mengerahkan ilmu
kekuatan tenaganya, sehingga bagi penonton yang biasa
menggunakan pedang pada mencurahkan perhatiannya ke
medan pertempuran. Begitupun pemimpin Bu-tong-pay Hong-
hwat Cinjing, juga saban-saban menganggukkan kepala
memberi pujian. Sementara itu Ca Bu Kao oleh karena dalam hati masih
ada yang dipikirkan, sepasang matanya terus ditujukan
kepada Su-to Wie, ia memperhatikan setiap gerakan sehingga
yang paling kecil dari jago pedang nomor tiga itu, diam-diam
juga merasa heran mengapa Hee Thian Siang begitu
terlambat datangnya" Bahkan begitu tiba lantas pergi lagi
secara tergesa-gesa bersama Sah Han Kong, apakah
sebetulnya yang sedang dilakukan dan apakah ia hendak
mengobati orang terluka"
Sementara itu dua jago pedang yang sedang bertarung
ditengah lapangan sudah memuncak ke taraf penentuan!
Pedang Ceng-hong-kiam ditangan Liong-hio Khiam-khek
yang lebih panjang dari pedang Hok Siu In dengan sinar yang
berkilauan dan gerak tipu ilmu pedangnya yang sangat ganas,
hampir setiap serangannya mengancam tempat-tempat
berbahaya badan Hok Sui In, bahkan beberapa kali ujung
pedang hampir memapas rambut diatas kepala lawannya.
Sedangkan pedang Liu-yap-bian-si-kiam ditangan Hok Siu
In meskipun bentuknya kecil dan pendek, tapi sangat
berbahaya, apalagi diimbangi dengan gerak tipu ilmu
pedangnya yang licah dan aneh luar biasa, ujung pedang itu
beberapa kali hampir menembusi ulu hati Su-to Wie! Dua jago
pedang yang sedang mengadu kepandaian itu meskipun tiap
saat berada dalam keadaan berbahaya, dan setiap saat
bahaya maut bisa merenggut jiwa masing-masing, namun satu
sama lain masih tetap tenang, sedikitpun tidak kalut
gerakannya! Tetapi orang-orang dari pihak Tiam-cong dan
Ngo-bie yang berdiri sebagai penonton, terutama ketua
masing-masing, sebaliknya merasa berdebaran dan hampir
tak berani bernapas. Thiat-kwan Totiang maupun Hian-hian Sian-lo sudah
beberapa kali ingin memanggil orang di pihaknya supaya
menghentikan pertempuran itu, tetapi mereka agaknya
beranggapan sama tiada satupun yang berani mengeluarkan
suara, satu sama lain saling menunggu siapa yang akan
membuka suara lebih dulu!
Karena dua orang ketua partai itu di satu pihak khawatir
orangnya sendiri, sedangkan dilain pihak mereka segan turun


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan, agar jangan sampai menurunkan derajatnya sendiri,
maka kedua-duanya pada akhirnya tiada seorangpun yang
mengeluarkan suara untuk mencegah berlangsung
pertandingan itu. Sementara itu Hok Siu In yang merasa gemas terhadap
lawannya, saat itu sambil mengertak gigi ia ke arah seluruh
tenaga dalamnya ke tangan kanan, dengan memakai gerak
tipu "Naga langit menggulung ekor" pedang di tangannya
berubah menjadi sinar berkilauan yang berputaran
menggulung kepala Liong-hui Kiam-khek.
Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie yang sudah lama belum
berhasil menundukkan lawannya, juga sudah bertekad hendak
mengadu jiwa dengan gadis itu. Sambil mengeluarkan siulan
panjang, gerak tipunya dirubah, dengan gerak tipu yang
terampuh ia menerjang lawannya. Suara siulan panjang Su-to
Wie tadi mengejutkan Ca Bu Kao, tetapi karena ia sedang
menghadapi keadaan gawat, maka tidak mengambil pusing itu
semuanya, matanya cepat ditujukan kepada dua bilah pedang
yang sedang beradu itu! Dua bilah pedang pusaka itu setelah
beradu menimbulkan suara hebat.
Ketua Tiam-cong dan ketua Ngo-bie, masing-masing
dengan perasaan terkejut maju selangkah, sedan Hok Siu In
dan Su-to Wie juga sudah lompat mundur tiga kaki! Lengan
kiri Hok Siu In dirasakan kejang dan ngilu, pedang lemasnya
hampir terlepas dari genggaman tangannya.
Demikian pula dengan Su-to Wie, saat itu nampaknya lebih
mengenaskan karena pedang pusakanya yang diandalkan
ternyata sudah rompal oleh pedang lemas lawannya, hingga
pada saat itu ia berdiri tertegun dengan perasaan marah,
terkejut dan sayang! Thiat-kwan Totiang yang menyaksikan keadaan demikian,
segera turun sendiri ke lapangan, dalam keadaan marah ia
menantang dengan suara lantang: "Ketua-ketua Kun-lun dan
Ngo-bie, siapakah yang akan turun ke lapangan, ataukah
kedua-duanya turun berbareng?"
Tantangan Thiat-kwan Totiang diucapkan dengan suara
yang amat jumawa, bukan saja membuat Hian-hian Sianlo dan
Tie-hui-cu sudah tak dapat mengendalikan kesabarannya lagi,
bahkan membuat Peng-sim Sin-nie dan Hong-hwat Cinjin
yang mendengarkan juga turut menggeleng-gelengkan kepala,
menunjukkan sikapnya yang tidak senang.
Siapakah sebetulnya yang akan menerima tantangan Thiat-
kwan Totiang" Dan bagaimana kesudahannya pertempuran
hebat itu" Untuk sementara kita akan tunda dulu, dan biarlah
kita mengikuti perjalanan Hee Thian Siang yang tergesa-gesa
datang ke puncak Thian-tu-hong dan buru-buru mengajak
pergi Say Han Kong. Say Han Kong yang mengikuti Hee Thian Siang lompat
turun ke bawah, karena masih belum mengerti maksud
pemuda itu maka ia bertanya sambil tersenyum: "Hee laotee,
katamu tadi yang mengatakan bahwa menontong keramaian
tidak lebih penting daripada menolong jiwa orang, ucapan itu
meskipun benar, tetapi siapakah yang harus ditolong"
Terlukakah atau sakitkah" Bolehlah kau beritahukan lebih
dulu?" Hee Thian Siang yang sikapnya masih cemas, dan sedang
mengerahkan ilmunya meringankan tubuh, meluncur ke
bawah gunung, ketika mendengar pertanyaan itu lantas
menjawab: "Harap locianpwe cepat sedikit, kalau locianpwe
terlambat, barangkali tidak keburu menolong jiwanya. Korban
yang perlu ditolong itu adalah. ."
Say Han Kong yang mendengar sampai di situ diam-diam
mempercepat kakinya, dan secara kelakar ia berkata: "Hee
laote, sekalipun kau tidak mau mengatakan, aku juga dapat
menebak siapa orangnya!"
Hee Thian Siang berpaling mengawasi Say Han Kong
sejenak, kemudian berkata sambil menggelengkan kepala:
"Julukan locianpwe adalah Say Han Kong, tetapi bukanlah
Say Kui Kok, boanpwe tidak percaya dapat meramalkan hal-
hal yang belum terjadi, apalagi meramalkan dengan jitu!"
Say Han Kong berani mengucapkan perkataan tadi, hanya
atas dasar apa yang dilihatnya dan didengar di puncak Thian-
tu-hong, ia menganggap bahwa dugaan itu pasti tidak keliru,
maka saat itu lalu menjawab dengan bangganya: "Laote, kali
ini kau mungkin akan heran, meskipun aku tidak mempunyai
julukan Say Kui Kok, tetapi aku memiliki kepandaian Kui Kok!
Kau mengajak pergi aku secara tergesa-gesa dan katamu
perlu menolong orang dengan segera, orang yang kau hendak
tolong itu bukankah ketua Swat-san-pay Peng-pek Sin-kun
dan istrinya Mao Giok Cing?"
Hee Thian Siang berkata sambil menggelengkan kepala
dan tertawa besar: "Tidak benar, tidak benar, dugaan
locianpwe seluruhnya keliru. ."
Belum habis ucapannya dengan tiba-tiba ia berhenti dan
memandang Say Han Kong dengan terheran-heran, kemudian
bertanya: "Ketua Swat-san-pay Pang-pek-kun dan istrinya
semua memiliki kepandaian ilmu silat luar biasa, cara
bagaimana mereka bisa terluka dengan mendadak?"
Say Han Kong dengan ringkas menceritakan apa yang
dilihatnya di atas puncak Thian-tu-hong, setelah itu ia terus
menanya Hee Thian Siang: "Hee laote, kalau kau mengatakan
dugaanku itu keliru, apakah orang yang terluka di bawah
gunung ini selain dari pada Peng-pek Sin-kun dan istrinya,
masih ada orang lain yang kau pandang sebagai tamu luar
biasa?" Hee Thian Siang yang semula mengerutkan alisnya,
setelah mendengar pertanyaan terakhir dengan tiba-tiba
tersenyum dan dengan sikap sangat misterius berkata sambil
menunjuk ke depan: "Di depan sana dibagian tikungan itu, kita sudah akan tiba
ditempat yang kumaksudkan. Untuk apa
sekarang locianpwe perlu menanya demikian jelas" Korban
yang kuminta locianpwe tolong itu, kalau kukatakan sebagai
makhluk luar biasa didalam dunia sudah pasti tidak salah,
tetapi apakah boleh sekiranya kalau ditambah istilah tamu luar
biasa" Itu terserah kepada locianpwe nanti setelah
menyaksikan sendiri!"
Jawaban Hee Thian Siang yang semakin mengandung
misteri semakin mengherankan Say Han Kong, karena tempat
yang dituju itu hanya terpisah kira-kira lima tombak saja, maka
ia tidak menanyakan lebih jauh dan dengan cepat lompat
melesat ke tempat itu. Di belakang sebuah gunung itu ada sebuah batu besar
yang atasnya sangat rata, tetapi ketika Say Han Kong tiba
ditempat itu dan menyaksikan apa yang ada di atas batu
lantas berdiri tertegun dan merasa terheran-heran, lama ia
baru berkata sambil menunjuk Hee Thian Siang serta
menggelengkan kepada dan menghela napas: "Hee laote, kau
ternyata sudah mempermainkan aku, aku harus meninggalkan
Thian-tu-hong yang sedang ramai-ramainya, dengan maksud
apa kau ajak aku lari kemari?"
Perasaan Say Han Kong dapat dimengerti, karena saat itu
ia hanya menyaksikan seekor kera kecil berbulu putih yang
rebah terlentang di atas batu itu, dimana ada orang yang oleh
Hee Thian Siang dikatakan sebagai makhluk luar biasa
didalam dunia" Hee Thian Siang sehabis mendengarkan ucapan Say Han
Kong lalu berkata dengan sungguh-sungguh: "Apakah
locianpwe ada membawa obat yang baru dibuat" Tolong,
lekas tolong jiwanya kera putih ini! Setelah locianpwe
menyaksikan lukanya, mungkin tahu bahwa hal ini besar
hubungannya dengan apa yang kini berlangsung di atas
puncak gunung, kiraku ini merupakan ekor daripada kejadian
yang kini sedang diperbincangkan oleh orang-orang kuat
rimba persilatan di atas puncak gunung ini!"
Mendengar ucapan Hee Thian Siang itu, Say Han Kong lalu
menghampiri batu besar untuk memeriksanya, ia lihat kera
putih itu sekujur badannya gemetaran, napasnya sudah
hampir putus, lengan kirinya tertancap sebuah duri berbisa
berujung tiga yang berwarna biru kehitaman! Begitu melihat
duri berbisa itu, benar saja Say Han Kong segera berubah
wajahnya dan menunjukkan perasaan terkejut serta terheran-
heran, ia buru-buru mengeluarkan capitan besinya untuk
menjepit keluar duri berbisa itu dan setelah itu ia memberikan
sebuah pil dan dimasukkan ke dalam mulut kera putih.
Sambil memberi pertolongan, ia berkata kepada dirinya
sendiri: "Kembali duri berbisa Thian-kheng main gila, tiga
orang Kun-lun-pay yang menghadiri pertemuan itu semuanya
masih berada di puncak Thian-tu-hong, siapakah orangnya
yang menggunakan duri berbisa ini" Benda yang digunakan
untuk membokong Peng-pek Sin-kun suami istri, mungkin juga
benda ini?" "Pertemuan besar di puncak Thian-tu-hong ini mungkin
sangat ruwet sekali! Aku sebetulnya tadi malam telah tiba di
puncak gunung, tetapi karena di perjalanan berkali-kali
mengalami serangan yang dilakukan secara menggelap oleh
orang-orang yang bermaksud hendak mencegah
kedatanganku, maka kedatanganku agak terhalang, dan pada
akhirnya ketika tiba di bawah puncak Thian-tu-hong, jikalau
bukan karena kera putih ini yang mendahului aku, dan
akhirnya mengalami nasib seperti ini barangkali juga aku akan
dihadiahi sebuah duri beracun, yang membunuh orang tanpa
suara dan tanpa wujud, akan tetapi luar biasa ganasnya!"
Say Han Kong yang pagi itu baru tiba, sudah tentu tidak
tahu apa yang terjadi tadi malam, maka ketika mendengar
penuturan itu, ia lantas menanya kepada Hee Thian Siang,
pemuda itu juga memberitahukan apa yang telah dialaminya.
Hee Thian Siang, dari jauh-jauh menampak Tiong-sun Hui-
kheng, pikirannya semakin bimbang dan seolah-olah
semangatnya terbawa oleh berlalunya gadis itu. Pikirannya
sejak waktu itu selalu mengharapkan agar Tiong-sun Hui-
kheng itu adalah gadis yang dilihatnya di gunung Kiu-san
dahulu itu, sebab jikalau gadis yang dilihatnya itu adalah Liok
Giok Jie, murid dari Kun-lun-pay, dengan terjadinya peristiwa
ini mungkin akan menimbulkan banyak keruwetan baginya.
Dengan pikiran bimbang itu ia lanjutkan perjalanannya
kegunung Oey-san, ia yang selamanya bernyali besar dan
gemar segala kejadian aneh, waktu itu sudah pikir,
bagaimanapun juga pada malam hari sebelum pertemuan
diadakan harus tiba di puncak gunung Thian-tu-hong. Apa
mau, baru saja tiba ditempat hanya beberapa pal terpisah dari
Thian-tu-hong, setiap tiba ditempat-tempat yang sunyi dan
rimba-rimba selalu menghadapi serangan gelap dengan
berbagai senjata rahasia, orang-orang yang menyerang
secara menggelap itu agaknya mengandung maksud hendak
merintangi Hee Thian Siang supaya tidak dapat melanjutkan
perjalanannya. Hee Thian Siang semula masih tak menduga bahwa selagi
tokoh-tokoh kuat dari berbagai golongan berkumpul di atas
gunung Oey-san, bagaimana bisa terjadi hal semacam itu"
Jikalau ia tidak memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh
luar biasa, benar-benar sudah terluka oleh serangan gelap itu.
Tetapi setelah mengalami dua kali, ia mengetahui bahwa
senjata-senjata rahasia yang digunakan untuk menyerang
dirinya itu semuanya merupakan senjata-senjata rahasia yang
sangat berbisa, hingga ia lalu mengetahui bahwa serangan itu
bukanlah secara kebetulan, melainkan sudah disengaja, maka
ia lantas berlaku hati-hati.
Oleh karena tindakannya yang hati-hati itu maka perjalanan
lantas mulai perlahan, malam itu di bawah sinar rembulan,
Hee Thian Siang dapat lihat bahwa ia kini berada di suatu
tempat yang letaknya sangat berbahaya, jalanan yang dilalui
itu di apit oleh dua puncak gunung, bukan saja sempit, tapi
juga sangat berbahaya, apalagi dibagian kiri jalanan itu
terdapat banyak pohon-pohon lebat, hingga keadaannya
sangat gelap. Ia berjalan lambat-lambat sambil berpikir, rimba kecil di tepi
jalan ini, adalah suatu tempat yang paling baik untuk
melakukan serangan menggelap, mengapa aku tidak berlagak
seperti tidak tahu" Dalam berpikiran demikian, ia berjalan
terus dengan tenang, namun sudah siap siaga, begitu ada
sedikit gerakan ia segera menyerbunya. Ia sudah bertekad
hendak menemukan salah seorang dari orang-orang yang
melakukan serangan menggelap itu, juga ia ingin tahu,
siapakah adanya orang jahat itu. Setelah mengambil
keputusan demikian, dengan sikap yang seolah-olah tidak ada
persiapan ia berjalan seenaknya, bahkan kadang-kadang
celingukan ke kanan kiri, dan mendongakkan kepala untuk
memandang rembulan di langit, seperti tak menghiraukan
keadaan di sekitarnya. Rimba di bawah puncak gunung itu terpisah dengan
jalanan gunung kira-kira tiga tombak lebih, Hee Thian Siang
mengerti, asal ia berjalan memasuki jalan itu, di belakangnya
pasti ada senjata rahasia sejenis jarum atau paku berbisa
yang sangat jahat, akan menyerang dirinya, maka ia harus
bersedia lebih dahulu, ia mengeluarkan jaring wasiat warna
merah pemberian Bu-san-siansu Hwa Ji Swat, digenggam
dalam telapak tangannya. Benar saja, Hee Thian Siang yang baru beberapa langkah
di belakangnya sudah ada serangan senjata rahasia yang
mengarah dirinya. Hee Thian Siang melirik ke belakang, ia melihat diantara
bayangan pohon tampak tiga buah benda berwarna biru
meluncur ke arahnya, ia terkejut karena senjata rahasia yang
digunakan untuk menyerang dirinya itu, ternyata adalah
senjata rahasia yang dinamakan In-leng-pek-cian atau Anak
panah berbulu putih, senjata rahasia semacam itu hanya
boleh dielakkan tetapi tidak boleh disambut, juga tak boleh
disentuh dengan senjata tajam, karena senjata rahasia itu
mengandung bahan peledak dan sangat berbisa.
Oleh karena itu, diam-diam ia merasa bersyukur bahwa ia
mendapat hadiah jaring wasiat yang dapat digunakan untuk
menumpas segala senjata rahasia yang berbisa.
Setelah ia mengetahui senjata rahasia yang menyerang
dirinya, tanpa ayal lagi, ia membuka jaring wasiat di
tangannya, jaring itu berubah menjadi gumpalan warna merah,
tiga buah anak panah beracun itu telah digulungnya ke dalam
jala. Oleh karena Hee Thian Siang sudah bertekad hendak
mencari tahu siapa orangnya yang melakukan serangan
menggelap itu, maka disamping menjala senjata rahasia


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan jaring wasiatnya, ia juga terus lompat melesat ke
dalam rimba tanpa berhenti.
AKan tetapi orang yang melakukan serangan terhadapnya
itu rupanya memang sengaja tidak mau dilihat orang, begitu
melancarkan serangnya dengan senjata gelap seolah-olah
tidak perdulikan serangannya itu mengenakan sasarannya
dengan tepat atau tidak, setelah melancarkan serangan
segera melarikan diri, oleh karena itu walaupun Hee Thian
Siang sudah menyerbu dengan cepatnya namun ketika tiba
didalam rimba ia hanya menyaksikan berkelebatnya bayangan
orang yang menghilang diantara puncak-puncak gunung,
hingga sudah tak keburu lagi untuk mengejarnya.
Selagi Hee Thian Siang masih merasa gemas, tiba-tiba dari
jurusan Barat daya terdengar suara saling bentak dan
kemudian disusul dengan suara jeritan mengerikan.
Karena malam itu sunyi, maka suara itu terdengar sangat
nyata. Hee Thian Siang tahu, darimana datangnya suara itu,
setidaknya di suatu tempat sejauh sepuluh tombak lebih,
maka ia mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan lari
menuju ke tempat tersebut, namun dalam hatinya ia tak
mengerti, sebab apa pada malaman pertemuan besar di atas
puncak Thian-tu-hong dengan cara bagaimana ditengah jalan
yang menuju kegunung Oey-san itu bisa terjadi peristiwa
demikian aneh" Ketika ia tiba ditempat tersebut, tempat itu sudah tidak jauh
di bawah kaki Thian-tu-hong, tetapi tempat itu sunyi senyap,
juga sudah tak terdapat jejak seorangpun juga, hanya di atas
batu besar ditengah-tengah rimba itu ada sebuah barang aneh
yang menarik perhatiannya.
Benda-benda itu sebesar kacang, sebanyak sepuluh butir
lebih menancap di atas batu, benda-benda itu kalau dilihat
sepintas lalu seperti pasir putih yang menancap di atas salju.
Say Han Kong setelah mendengar cerita Hee Thian Siang
seolah-olah baru tersadar, maka ia lalu memotongnya dan
bertanya: "Suara saling bentak yang kau dengar itu sudah
pasti suara Peng-pek Sin-kun suami istri, mungkin sedang
diserang oleh kawanan manusia jahat, dan suara jeritan yang
kau dengar itu mungkin adalah suara yang keluar dari mulut
orang-orang yang melakukan serangan itu, karena terkena
serangan balasan Sin-kun suami istri. Sebab benda-benda
aneh yang menancap diatas batu yang kau lihat itu adalah
senjata rahasia tunggal golongan Swat-san-pay yang
dinamakan Peng-pek Gin-kong-san."
Hee Thian Siang kini baru mengerti, selagi hendak bicara,
kera putih yang terkena serangan duri beracun itu setelah
makan obat yang diberikan oleh Say Han Kong, obat itu benar
saja menunjukkan keajaibannya, dalam waktu singkat, racun
di tubuhnya sudah punah, sehingga keadaan monyet itu juga
sudah pulih seperti sediakala. Dengan tiba-tiba kera itu lompat
berdiri, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya melesat
ke atas bukit yang sangat tinggi.
Hee Thian Siang yang baru hendak berkata kepada Say
Han Kong, ketika mendengar suara bergeraknya kera putih
itu, baru saja menoleh tapi kera itu sudah melesat tinggi dua
tiga puluh tombak, hanya tinggal bayangan putih yang
bergerak di atas pohon di puncak gunung.
"Kera putih ini gesit sekali, apakah piaraan perguruanmu?"
Bertanya Say Han Kong sambil memuji.
"Dia bukan saja gesit gerakannya, juga sangat
menyenangkan, bahkan ia bisa memainkan ilmu pedang Wan-
kon Kiam-hoat, tetapi majikan kera putih itu kalau kusebutkan
locianpwe barangkali merasa tidak senang, sebab dia adalah
Tiong-sun Hui-kheng yang dahulu menangkan kuda Ceng-
hong-kie milik locianpwe."
Say Han Kong yang mendengar perkataan itu tertawa,
kemudian berkata: "Hee laote, jangan pandang aku seperti
manusia berjiwa kerdil saja. Nona Tiong-sun itu meskipun
sudah menangkan kuda kesayanganku, tetapi terhadap
kecantikan dan kecerdikannya aku masih berkesan dalam
sekali dalam pikiranku. Apalagi dia sudah menjinakkan kuda
tersebut, kukira sudah pada tempatnya kuda itu kuhadiahkan
kepadanya. Hanya di kemudian hari apabila ada jodoh aku
masih ingin menanyakan kepadanya dengan cara bagaimana
kudaku bisa demikian jinak terhadapnya?"
"Dalam hal ini locianpwe tidak perlu menanyakan kepada
Tiong-sun Hui-kheng, aku sudah mengerti, rasanya dapat
memberi jawaban untukmu."
"Coba kau ceritakan, karena persoalan ini sudah lama
mengganggu pikiranku, sudah lama pula aku ingin
mendapatkan jawabannya."
"Nona Tiong-sun itu, kecuali mempunyai peliharaan kera
putih yang sangat cerdik tadi, masih ada peliharaan seekor
binatang aneh berbulu kuning emas yang sangat galak,
namun ia dapat memerintahnya menurut sesuka hatinya.
Maka aku menduga gadis itu pasti paham bahasa hewan. ."
Say Han Kong yang mendengarkan keterangan itu terus
menganggukkan kepala sementara itu Hee Thian Siang
melanjutkan ucapannya: "Karena nona Tiong-sun paham
bahasa hewan, maka hari itu ketika di atas gunung Ciong-san
ia berbisik-bisik di telinga Ceng-hong-kie, kuda itu sebagai
kuda istimewa sudah tentu lantas menurut kehendaknya. Ini
seperti juga locianpwe yang mengerti obat-obatan, kalau
mengobati orang sakit tidak mendapatkan kesulitan."
Say Han Kong tahu bahwa jawaban itu mungkin benar,
maka diam-diam ia dapat membayangkan bahwa putri Thin-
gwa Ceng-mo itu dalam penghidupannya sehari-hari pasti
sangat unik. "Kera kecil tadi kalau benar peliharaan nona Tiong-sun
bagaimana ia bisa datang ke gunung Oey-san sendirian, dan
terkena serangan duri berbisa?"
Hee Thian Siang lalu menceritakan bagaimana pertemuan
dengan Hok Siu In di gunung Tay-piat-san sedang mencari
barang pusaka, dan kemudian berjumpa dengan Tiong-sun
Hui Kheng yang menghadiahkan pedang Liu-yap-bian-si-kiam
kepadanya, setelah itu ia melanjutkan kata-katanya yang
belum habis tadi, ia beritahukan bagaimana kera putih itu
terkena serangan senjata berbisa dan ia lantas lari ke puncak
Thian-tu-hong untuk meminta pertolongannya.
Semula sebetulnya Hee Thian Siang tidak kenal benda apa
yang menancap di atas batu yang bentuknya seperti pasir
putih berkilauan yang ternyata adalah senjata rahasia tunggal
golongan Swat-san-pay, waktu itu dengan penuh keheranan ia
hendak mengambilnya sebuah untuk dilihatnya.
Di luar dugaannya ketika ujung jarinya baru menyentuh
butiran-butiran putih yang sangat aneh itu, hawa dingin yang
keluar dari senjata itu begitu hebat dirasakan oleh jarinya,
dalam keadaan keheranan ia buru-buru menarik kembali
jarinya dan kemudian di puncak gunung yang agak jauh ia
mendengar suara orang tertawa aneh.
Secepat kilat Hee Thian Siang angkat kepala, tampak
olehnya di atas tebing sejauh sepuluh tombak lebih dan
setinggi beberapa puluh tombak, berdiri sesosok bayangan
orang yang bertubuh kecil pendek.
Karena ia sedang mencari orang yang melepaskan senjata
duri beracun itu, sudah tentu tidak mau melepaskan orang itu
begitu saja. Saat itu ia lalu bertanya-tanya kepada diri sendiri
apakah ia perlu segera mengejar ke puncak gunung itu"
Sementara itu bayangan putih itu sudah melayang turun
dari tempat setinggi itu ke arah Hee Thian Siang.
Pada waktu itu rembulan kebetulan tertutup oleh awan,
hingga keadaannya agak gelap. Hee Thian Siang meskipun
sudah menggunakan pandangan matanya yang tajam juga tak
dapat melihat tegas keadaan yang sebenarnya dari bayangan
putih itu. Ia hanya merasakan bahwa orang itu berani
melayang turun dari tempat yang demikian tinggi, ilmunya
meringankan tubuh sudah tentu jarang ada orang yang
mampu menandingi. Akan tetapi bayangan putih itu ketika tiba ditempat
dihadapannya kira-kira lima enam tombak, tiba-tiba
mengeluarkan suara siulan perlahan. Hee Thian Siang baru
tahu bahwa bayangan itu ternyata sejenis binatang, bukan
manusia, hingga saat itu ia merasa malu pada dirinya sendiri,
dengan cepat ia teringat kepada kera putih aneh yang bisa
mainkan ilmu pedang Wan-kon Kiam-hoat yang pernah
dilihatnya di gunung Tay-piat-san.
Selagi masih berpikir, bayangan putih itu sudah berada
dihadapannya, dan memang benar bayangan putih yang
pernah dilihatnya di gunung Tay-piat-san itu, saat itu kera itu
menatap wajah Hee Thian Siang dengan sepasang matanya
yang tajam. Hee Thian Siang yang melihat kera putih itu berada di situ,
ia mengira bahwa majikannya Tiong-sun Hui Kheng barangkali
juga berada ditempat dekat-dekat situ, maka ia lalu balas
memandang. Kera putih itu benar-benar sangat cerdik, ia seolah dapat
menduga pikiran Hee Thian Siang, maka berulang-ulang ia
menggoyangkan tangannya di hadapan Hee Thian Siang.
Hee Thian Siang dahulu sudah tahu bahwa majikan kera itu
paham bahasa hewan dan sebagai binatang yang cerdik
pandai, pasti juga paham bahasa manusia, maka ia lalu
bertanya sambil tersenyum: "Maksudmu menggoyangkan
tangan kepadaku apakah kau hendak mengatakan bahwa
majikanmu tidak berada di dekat sini?"
Kera putih yang mendengar perkataan itu menganggukkan
kepala, dari mulutnya hanya mengeluarkan suara yang tidak
dimengerti oleh Hee Thian Siang.
Hee Thian Siang yang menyaksikan keadaan demikian
lantas berkata lagi: "Aku tidak seperti majikanmu yang paham
bahasamu, kata-katamu terhadapku ini, seolah-olah memetik
gitar di hadapan sapi, sia-sia saja usahamu."
Kera putih itu benar saja lantas tidak mengeluarkan suara,
kembali ia menggunakan kedua tangannya untuk memberi
tanda-tanda dengan gerakan tangan.
Kali ini Hee Thian Siang dapat mengerti sedikit gerakan
tangan yang diberikan oleh kera putih itu, maka lalu bertanya
sambil tersenyum: "Apa kau mengatakan bahwa majikanmu
kini sedang ada urusan dan tidak keburu datang, mungkin
besok atau lusa baru tiba disini?"
Kera putih itu menunjukkan sikap kegirangan, berulang-
ulang ia menganggukkan kepala. Hee Thian Siang benar-
benar suka sekali kepadanya, maka ia lalu pentangkan kedua
tangannya, dan kera putih itu sesungguhnya luar biasa, ia
agaknya juga mengerti maksud baik Hee Thian Siang, maka
secepat kilat ia lompat melesat ke dalam pelukannya,
mukanya yang penuh bulu putih ditempelkan di pipi Hee Thian
Siang, agaknya juga merasa senang.
Hee Thian Siang dengan sangat gembira memeluk tubuh
kera kecil itu, sedang tangannya mengelus-elus tubuhnya
yang berbulu indah, tetapi selagi mereka sedang dalam
keadaan demikian, ditempat sejauh tiga empat tombak,
didalam tempat yang tumbuh pohon-pohon lebat, tiba-tiba
terdengar suara aneh. Hee Thian Siang dan kera putih yang sama-sama memiliki
kepandaian luar biasa, daya pendengarannya juga sama-
sama tajam, maka begitu suara itu masuk ke telinga mereka,
keduanya lalu tujukan matanya ke arah tempat yang tumbuh
rumput lebat itu, bahkan kera putih itu segera merosot turun
dari pelukan Hee Thian Siang.
Benar saja didalam gerumbulan rumput itu ada sembunyi
manusia jahat, orang yang bersembunyi itu sudah bertindak
lebih dahulu, tiga buah benda berkelebatan kembali meluncur
ke arahnya. Kera itu memperdengarkan suara yang amat marah, ia
lompat tinggi lima tombak, kemudian bentangkan lengannya
yang panjang menyambar pada tiga buah benda
berkeredepan itu. Hee Thian Siang dapat mengenali bahwa tiga buah benda
berkeredepan mengandung sinar biru itu adalah panah
berbulu putih yang pernah menyerang dirinya secara
menggelap, maka buru-buru mencegah dengan suara nyaring:
"Siaopek, kau tidak boleh menyambar benda itu, benda itu tak
boleh dipegang oleh tangan."
Siaopek juga pada waktu itu sudah bergerak sangat
gesitnya, meskipun sudah mendengar ucapan Hee Thian
Siang, tetapi agaknya sudah tidak keburu menarik kembali
tangannya, hingga kedua tangannya itu telah menyambar
benda berkeredepan tadi. Hee Thian Siang karena tahu bahwa senjata rahasia panah
berbulu putih itu mengandung racun yang sangat berbisa, dan
sedikitpun tidak boleh disentuh oleh tangan, jikalau tidak
tangan itu pasti melepuh dan kini setelah menyaksikan kera itu
menyambar dengan kedua tangannya, sudah tentu hatinya
merasa cemas, apa mau ia tidak berdaya untuk
mencegahnya. Selagi dalam keadaan gelisah, tiba-tiba
terdengar pula suara nyaring, dan enam buah benda
berkeredepan kembali melesat keluar dari gerombolan rumput
tadi menuju ke arah kera putih tadi. Enam benda
berkeredepan yang terdiri lima buah kecil dan sebuah besar
itu, Hee Thian Siang begitu melihat sudah dapat mengenali
bahwa itu adalah senjata rahasia yang terganas, yang berupa
paku berbisa, menyaksikan meluncurnya senjata rahasia itu,
hatinya semakin cemas. Ia pikir kera putih itu meskipun gesit
sekali gerakannya, rasanya juga sulit untuk mengelakkan diri
dari serangan gencar yang dilakukan oleh orang-orang jahat
itu. Selagi Hee Thian Siang dalam keadaan cemas, kera putih
itu memperdengarkan suara siulan panjang, bulunya yang
putih dengan tiba-tiba pada berdiri, enam benda berkelebatan
yang berupa enam senjata rahasia paku beracun tadi sudah
lebih dulu terpental jatuh, kemudian kedua tangannya itu
digerakkan pula dan tiga batang panah berbulu putih kembali
dipatah-patahkan dan dilempar sejauh empat lima tombak.
Kini Hee Thian Siang baru tahu, bahwa kera putih itu
benar-benar sejenis binatang yang luar biasa, ia ternyata
memiliki kulit demikian tebal bagaikan baja, ia tidak takut
senjata tajam atau api. Tetapi perasaan itu belum lenyap, kera putih yang tidak
mempan senjata berbisa itu selagi hendak bergerak lagi untuk
menyerbu ke dalam gerombolan rumput untuk mencari
musuhnya, tiba-tiba mengeluarkan suara jeritan tertahan,


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian jatuh rubuh tidak bergerak lagi.
Hee Thian Siang terkejut dan keheranan, tanpa menghiraukan segala bahaya, dengan cepat ia mengejarnya,
sementara itu telinganya dapat menangkap suara ser-seran
dua kali, dua senjata rahasia yang sangat kecil bentuknya
telah menyerang ke arah dadanya.
Tetapi ketika ia menyerbu melesat ke tempat kera tadi
sudah siap dengan jaring wasiatnya warna merah, maka
ketika senjata rahasia itu menyerang dirinya, kembali ia dapat
menggunakan jaring wasiatnya untuk menjaring senjata
rahasia tadi. Tempat itu kembali menjadi sunyi, Hee Thian Siang
menggerakkan tangannya, menyerang dengan membabi buta
ke tempat yang penuh tumbuhan rumput, tetapi tidak terdapat
apa-apa. Maka ia buru-buru memondong kera putih yang
terluka dan meninggalkan tempat yang penuh bahaya itu.
Ia mencari sebuah batu besar yang licin, lalu meletakkan
kera putih diatasnya, mata kera yang cerdik itu dirapatkan,
sekujur badannya menggigil tidak hentinya.
Hee Thian Siang sebetulnya tak tahu, dengan cara
bagaimana kera putih itu terluka, dan terkena senjata apa,
tetapi tiba-tiba ia teringat apa yang dilihatnya di lembah
kematian, yang waktu itu Thia-kwan Totiang dan Peng-sim
Sin-nie juga menunjukkan badan yang menggigil, keadaan itu
serupa dengan keadaan kera putih yang disaksikannya saat
itu, maka ia memeriksa sekujur badan kera itu, dan benar saja
di lengan kirinya ia dapat menemukan sebuah duri beracun
thian-keng-cek yang berwarna biru kehitaman.
Kulit dan daging kera putih yang begitu keras dan kebal
dan toh masih tak sanggup menahan serangan senjata
berbisa itu, maka saat itu Hee Thian Siang diam-diam juga
keheranan sendiri, ia tidak berani lancang mencabut duri
berbisa itu, sementara otaknya berpikir dengan cara
bagaimana ia harus menolong jiwa kera putih itu.
Dari ingatannya kepada keadaan Thiat-kwan Totiang dan
Peng-sim Sin-nie di lembah kematian, ia lalu teringat kepada
getah pohon lengci yang umurnya sudah ribuan tahun, ia kini
teringat pula bahwa setetes getah itu telah diberikan kepada
Say Han Kong yang dibuat obat untuk persediaan dalam
pertemuan di atas puncak Thian-tu-hong esok hari, teringat
kepada diri tabib sakti itu, maka Hee Thian Siang buru-buru
naik ke puncak Thian-tu-hong.
Ditengah jalan ketika ia membuka jaring wasiatnya, benda
yang jatuh dari jaring itu ternyata juga sebuah duri berbisa.
Ketika Hee Thian Siang berangkat menuju ke puncak, hari
sudah hampir terang, ketika ia tiba di puncak ketua Bu-tong-
pay sudah memberi pesan banyak kepada ketua Kun-lun-pay
Tie-hui-cu. Hee Thian Siang karena memikirkan keselamatan dari kera
putih tadi, dan kedua karena mendengar kabar bahwa
pertemuan itu akan diundurkan satu tahun, maka buru-buru ia
menarik tangan Say Han Kong, sampai kepada Ca Bu Kao ia
juga tidak keburu menemuinya, dengan cepat balik lagi ke
bawah gunung. Say Han Kong yang mendengar penuturan Hee Thian
Siang, lantas berkata sambil tersenyum: "Hee laote, sekarang
kera putih itu sudah pergi, aku yang sebagai tabib ternyata
tidak mengecewakan harapanmu yang sudah memberikan
obat mujizat setetes getah pohon lengci itu. Karena tugas kita
sudah selesai, sebaiknya kita balik lagi ke puncak gunung,
bagaimana kesudahannya benar akan diundurkan atau tidak?"
Karena Hee Thian Siang sendiri juga masih ingin bertemu
dengan Ca Bu Kao yang mendadak menghilang di gunung
Hok-gu-san, ia juga ingin tanya apa sebabnya, maka ia dapat
menyetujui usul Say Han Kong itu.
Dua orang itu dengan cepat balik kembali ke puncak
gunung Thian-tu-hong, tapi ketika mereka tiga ditempat
tersebut, tempat itu sudah kosong melompong, beberapa
puluh tokoh-tokoh rimba persilatan dari berbagai golongan
semuanya sudah tak tampak bayangannya, hanya tinggal si
pencuri sakti Oe-tie Khao seorang yang masih berdiri
menyender di bawah pohon cemara, mendongakkan kepala
mengawasi awan di langit, seolah-olah sedang menunggu
kedatangan Say Han Kong dan Hee Thian Siang.
Begitu melihat Oe-tie Khao, Say Han Kong lalu bertanya:
"Pengemis tua, para ketua dari tujuh partai besar dan tokoh-
tokoh rimba persilatan yang menghadiri pertemuan besar hari
ini, apakah sudah berlalu dengan tergesa-gesa tidak
meninggalkan apa-apa di sini?"
"Nah kau lihat saja, apakah itu bukan tanda-tanda yang
ditinggalkan oleh orang-orang yang mengadakan pertemuan
di sini?" Sehabis berkata demikian ia ulurkan tangannya menunjuk
ke sudut Timur laut di puncak gunung.
Say Han Kong dan Hee Thian Siang tujukan pandangan
matanya kearah yang ditunjuk Oe-tie Khao, ditempat itu yang
di bawahnya terdapat jurang yang curam, ada lima enam buah
batu besar seberat ribuan kati, tiga diantaranya benar saja
terdapat tanda aneh. Sebuah diantaranya terdapat tanda sepasang telapak
tangan wanita sedalam kira-kira satu dim lebih, sebuah lagi,
agaknya dibelah oleh sebuah senjata yang sangat tajam,
hampir saja pecah menjadi dua.
Masih ada sebuah lagi, seluruhnya sudah remuk,
hancuran-hancuran batu itu tampak berkeping-keping dan
berserakan di sekitarnya.
Say Han Kong yang menyaksikan keadaan demikian
alisnya dikerutkan dan bertanya kepada Oe-tie Khao: "Kau
jangan coba main gila, katakanlah terus terang, tadi siapa
yang bertempur sengit di atas puncak gunung ini?"
Oe-tie Khao menganggukkan kepala dan berkata: "Setelah
kalian pergi, orang-orang Tiam-cong-pay dengan sikap yang
galak mendesak orang-orang Kun Lun pay supaya
mengadakan pertempuran. Tie-hui-cu masih tetap bersabar
belum mau meladeni tantangan orang-orang Tiam-cong-pay,
akan tetapi kejadian itu telah menimbulkan kemarahan Hok
Siu In dan Ngo-bie-pay, lalu mengadu pedang dengan Liong-
hui Kiam Khek jago pedang nomor tiga dari Tiam-cong-pay."
JILID 6 Hee Thian Siang yang pernah mengadu kepandaian
sepintas lalu dengan Liong-hui Kiam-khek ketika di daerah
gunung Bin-san, maka ia khawatirkan Hok Siu In, dengan
cepat ia bertanya: "Su-to Wie merupakan ahli pedang
kenamaan, Hok Siu In barangkali bukan tandingannya. ."
Baru berkata sampai disitu, Oe-ti Khauw perdengarkan
suara tertawanya yang aneh, dan berkata: "Hee laote,
dugaanmu ini hampir keliru semua! Anggota termuda dari
empat jago pedang Ngo-bi itu, merupakan orang yang sudah
dihadapinya. Dua orang itu bertempur seratus jurus lebih,
dalam ilmu pedang bukan saja tidak kalah dengan ilmu
pedangnya Liong-hui Kiam-khek, bahkan sudah berhasil
memapas pedang pusaka Liong-hui Kiam-khek yang terkenal
sangat tajam itu!" Hee Thian Siang memandang Say Han Kong sejenak,
kemudian kembali berkata kepada Oe-tie Khao: "Apakah Hok
Siu In menggunakan pedang Liu-yap-bian-si-kiam peninggalan
Tay-piat Sianjin?" "Bagaimana kau Hee laote dapat menebak jitu" Jikalau
Hok Siu In tidak memiliki pedang itu, dalam tiga atau lima
ratus jurus, barangkali masih belum sanggup menjatuhkan Su-
to Wie." Hee Thian Siang yang mendengar bahwa ilmu pedang Hok
Siu In itu demikian hebat, dalam hati merasa kaget! Dalam
hatinya diam-diam berpikir, aku harus melatih dengan giat,
jikalau tidak, mungkin akan mendapat malu kalau nanti
mengadakan pertandingan dengannya di atas gunung Ngo-bi-
pay! Say Han Kong yang mendengar penuturan Oe-tie Khao lalu
bertanya sambil tersenyum: "Kiranya pertemuan di atas
puncak Thian-tu-hong yang ditutup secara tergesa-gesa ini
masih meninggalkan pertandingan ilmu pedang yang demikian
menarik, aku yang diajak pergi oleh Hee laote sungguh
merasa sayang tidak dapat menyaksikan pertandingan seru
tadi!" Dengan wajah agak marah Hee Thian Siang bertanya
kepada Oe-tie Khao sambil menunjuk tiga buah batu besar
yang terdapat tanda: "Oe-tie locianpwe, tanda yang terdapat di atas batu itu
darimana datangnya" Batu yang terdapat tanda
telapak tangan itu, mirip dengan telapak tangan Peng-sim Sin-
nie yang menggunakan ilmu Pan-sian-ciang dari golongan
Budha!" "Laote, kau benar-benar mempunyai pengetahuan sangat
luas! Pedang Su-to Wie terpapas, ketua Tiam-cong-pay Thiat-
kwan Totiang lantas turun tangan sendiri, ia turun kelapangan
dan menantang ketua-ketua Ngo-bie dan Kun-lun untuk
mengadakan pertempuran."
"Kalau begitu urusan itu semakin menjadi-jadi, bahaya
mengancam rimba persilatan juga semakin besar! Thiat-kwan
Totiang sudah mengeluarkan tantangan, Hian-hian Sianlo dan
Tie-hui-cu, barangkali tidak akan membiarkan padanya
berlaku sombong! Diantara dua ketua itu siapakah yang turun
tangan lebih dahulu?"
"Hian-hian Sianlo yang lebih dulu turun ke lapangan
menerima tantangan Thiat-kwan Totiang tetapi Tie-hui-cu
karena menganggap terjadinya pertemuan itu disebabkan oleh
Kun-lun-pay, maka ia tidak mau menyerahkan tanggung
jawabnya kepada orang lain, maka ia mendahului turun ke
lapangan dan melakukan pertempuran hebat dengan Thiat-
kwan Totiang!" Hee Thian Siang yang mendengarkan hatinya seperti
dikitik-kitik, ia merasa menyesal hari itu tak dapat
menyaksikan pertempuran seru itu! Terpaksa ia bertanya lagi
kepada Oe-tie Khao: "Siapakah akhirnya yang merebut
kemenangan dalam pertempuran itu?"
"Orang-orang yang berkepandaian tinggi seperti mereka itu,
sebetulnya susah sekali akan menentukan siapa yang
menang dan siapa yang kalah dalam waktu singkat. Senjata
Thian-keng-cek bertemu dengan pedang Hui-hong-liu-kiam,
ilmu tangan kosong Kun-lun In-liong berhadapan dengan
Liong-ciang Hiu-hwa-ciang, ditambah lagi dengan beberapa
serangan yang menggunakan kekuatan tenaga dalam.
Setelah bertarung terus lama sekali, ternyata masih dalam
keadaan seri, siapapun tak ada yang menang dan yang
kalah!" Say Han Kong ketika mendengar sampai di situ lantas
menyela: "Kalau kedua pihak tak ada yang menang dan yang
kalah, bukankah lebih baik disudahi saja" Dengan menurut
usul ketua Bu-tong-pay pertemuan itu diundurkan waktunya
setahun lagi, untuk memberi kesempatan kepada orang-orang
Kun-lun-pay untuk menyelidiki persoalan itu.!"
"Hong-hwat Cinjin pada saat itu lantas turun tangan untuk
memberi nasehat kepada pihak, tapi ketua Kie-lian-pay Kie
Tay Cao yang datang dari jauh untuk meninjau dan menonton
bersama sucinya Pao Sam-kow, mereka itu adalah orang-
orang yang mengandung maksud tertentu, mereka agaknya
merasa tak senang kalau dunia tidak menjadi kalut. Mereka
yang berdiri sebagai penonton telah mendesak kepada orang
Tiam-cong dan Kun-lun-pay dengan ucapannya yang penuh
ejekan, seolah-olah mendorong dua orang itu untuk bertempur
sampai ada yang mati salah satu, dengan demikian maka
ketua Tiam-cong dan Kun-lun-pay tidak bisa mengakhiri
pertemuan itu, sehingga keadaan betul-betul sudah menjadi
semakin gawat!" "Aku semula heran, mengapa Kie-lian-pay datang dari
tempat demikian jauh dengan semua orang-orangnya, kalau
begitu benar saja Kie Tay Cao mengandung maksud tidak
baik!" Berkata Hee Thian Siang terkejut.
"Dua sute Tie-hui-cu ialah Siang Biauw Yan dan Siau Tek,
memang sedari semula sudah merasa kurang puas terhadap
suhengnya yang terlalu sabar, kini setelah mendengar ejekan
Khie Tay Cao itu semakin tak dapat mengendalikan hawa
amarahnya, keduanya lantas bertindak dan menegor Khie Tay
Cao bersama Pao San-kow. ." Berkata Oe-tie Khao.
"Khie Tay Cao dan Pao Sam-kow semua bukanlah orang-
orang yang bisa berlaku sabar, dengan demikian keonaran
pastilah bertambah besar dan tidak dapat diselesaikan dengan
mudah!" berkata Say Han Kong.
Oe-tie Khao menghela napas dan berkata pula: "Kalau
benar keonaran itu terjadi dan tidak sudah diselesaikan, pasti
hebat kesudahannya, saat yang kritis itu, ketua Bu-tong-pay
dan Lo-hu-pay serta pelindung hukum Siau-lim-pay Ceng-kek
Siansu yang datang sebagai peninjau, masing-masing lantas
turun ilmu kepandaian mereka yang sangat tinggi!"
Say Han Kong dan Hee Thian Siang semangatnya
terbangun seketika, mereka dengan penuh perhatian
mendengarkan keterangan Oe-tie Khao lebih lanjut: "Ketua
Lo-hu-pay Peng-sim Sin-nie dengan ilmunya Pan-san ciang
dari golongan Budha telah meninggalkan bekas di atas batu,
dan ketua Bu-tong-pay Hong-hwat Cinjing menggunakan
ilmunya Bu-tong Sim-hwat, dengan pedangnya ia membelah
batu besar, sedangkan Ceng-kek Siansu dari Siauw-lim-pay
dengan ilmu golongan siau-lim yang dinamakan Tai-lek-im-
kong-cu, sebuah batu besar yang beratnya ribuan kati itu
dipukul hancur lebur. ."
Say Han Kong dan Hee Thian Siang yang mendengar
penuturan itu kembali tujukan pandangan matanya kearah
Timur laut yang waktu itu tampaknya sepi sunyi.
Oe-tie Khao berdiam sejenak hingga suasana menjadi
sunyi, setelah hening agak lama kembali terdengar
perkataannya: "Dengan diunjukkannya kepandaian-
kepandaian ilmu luar biasa itu, juga berarti bahwa tiga partai
Bu-tong, Siauw-lim dan Lo-hu sudah bertekad untuk bekerja
sama dan bersatu hati. Betapapun hebatnya orang-orang
Tiam-cong dan Kie-lian juga tahu benar bahwa kemarahan
orang-orang tiga partai itu sulit dihadapi, maka terpaksa
mereka mengalah dan menurut usul Hong-hwat Cinjin untuk


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengundurkan pertemuan itu satu tahun lagi, dengan
demikian maka pertemuan itu lantas bubar!"
Oe-tie Khao setelah menceritakan apa yang terjadi diatas
puncak Thian-tu-hong lalu berkata pula kepada Hee Thian
Siang sambil tertawa: "Tadi Leng-po Giok-li Ca Bu Kao
sebelum meninggalkan tempat ini, karena tahu aku akan di
sini menunggu pulangnya kau dan si tua bangka ini, maka
meninggalkan pesan padaku, ia menjelaskan kedatangan
laote yang agak terlambat, kemudian pergi lagi dengan secara
tergesa-gesa serta tidak membawa barang bukti, supaya ia
dapat membuka rahasia atau rencana jahat yang mengancam
rimba persilatan. ."
Hee Thian Siang melongo, ia tak mengerti apa yang
dimaksudkan oleh Ca Bu Kao, maka lalu bertanya: "Dengan
cara bagaimana Bibi Ca berkata demikian" Mana aku ada
bukti untuk membuka rahasia manusia-manusia jahat yang
hendak mengeruhkan dunia persilatan?"
Melihat sikap pemuda itu, Oe-tie Khao juga merasa heran,
maka lalu berkata: "Hee laote, ini sungguh aneh, diri laote ada membawa bukti,
bagaimana tidak tahu" Sayang nona Ca
pergi tergesa-gesa ia belum memberi penjelasan barang apa
yang dinamakan sebagai bukti kuat itu?"
"Perlu apa Bibi Ca pergi demikian tergesa-gesa?" Bertanya Hee Thian Siang.
"Katanya hendak mengejar Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie
untuk membuka rahasia besar yang bagi rimba persilatan dan
membereskan urusan pribadinya."
Tampaknya di sana ada rencana jahat, di sini juga rencana
jahat, orang rimba persilatan memang selalu mengutamakan
kejujuran, bagaimana bisa berubah menjadi dunia kejahatan?"
Kata-kata Hee Thian Siang itu, meninggalkan kesan dalam
hati Say Han Kong dan Oe-tie Hao, tiga orang saling pandang
tanpa bicara sepatah katapun juga, hingga suasana semakin
sunyi senyap. Angin gunung meniup kencang, awan di langit
berterbangan. Hee Thian Siang semakin memikir semakin
tidak mengerti, ia ingin sekali segera menemukan Ca Bu Kao,
untuk menanyakan sebabnya.
Sambil mengerutkan alisnya, ia menarik napas,
memecahkan kesunyian, kemudian berkata kepada Oe-tie
Khao: "Apakah bibi Ca tidak pernah minta aku untuk
menemuinya di suatu tempat?"
"Ca lihiap hanya mengatakan bahwa dalam perjalanan ini
tidak diketahui bagaimana akhirnya, maka ia tak dapat
menjanjikan tempat bertemu denganmu, ia hanya menyuruh
aku menyampaikan kepadamu, apabila tidak ada urusan yang
penting, tidak halangan kau pergi ke Barat laut gunung Tiam-
cong-san sebagai tujuan, oleh karena dengan tujuan yang
sama ini mungkin bisa bertemu di gunung itu."
"Locianpwe berdua, bagaimana tujuan locianpwe
selanjutnya?" Bertanya Hee Thian Siang sambil mengawasi.
"Aku dengan tua bangka she Say ini, selamanya seperti
awan yang beterbangan di atas langit, atau gelombang
disungai, kemana saja tiba menurut aliran angin dan air, tidak
mempunyai tujuan tertentu, jikalau benar di Barat laut ada
urusan tidak halangan kita pergi ke sana menyaksikan kuil Ku-
hi-to-koan milik jago pedang golongan Tiam-cong." Berkata
Oe-ti Khao sambil tertawa.
Say Han Kong tersenyum dan menganggukkan kepala, ia
dapat menyetujui perkataan Oe-tie Khao ini. Hee Thian Siang
yang mendengarkan ucapan itu baru saja hendak berkata lagi,
dari jauh tiba-tiba terdengar suara binatang aneh.
Suara binatang itu baru masuk ke telinganya, sikap Hee
Thian Siang kembali menjadi tegang, ia bangkit dan berdiri ke
lamping gunung, berpaling ke arah Say Han Kong dan Oe-tie
Khao, setelah itu ia memberi hormat dan berkata: "Hee Thian
Siang masih ada urusan penting, untuk sementara minta diri
dulu, harap dua locianpwe jalan lebih dulu, kita nanti bertemu
dijalan Barat laut."
Sehabis berkata demikian, lantas melesat turun dengan
kecepatan bagaikan kilat, sebentar saja sudah tak kelihatan.
Say Han Kong memanggil kepadanya: "Hee laote!" Tetapi
tidak mendapatkan jawaban dari Hee Thian Siang.
Oe-tie Khao lalu berkata sambil tertawa aneh: "Tua bangka,
perlu apa kau panggil dia"
Apakah kau tadi tidak lihat sikap bocah tasi tergesa-gesa,
sudah pasti dia ada urusan penting."
"Bukan aku tidak tahu bahwa dia ada urusan penting!
Tetapi oleh karena sekarang ini duri berbisa sedang meraja-
lela dan menimbulkan onar dimana-mana, apalagi racunnya
tak dapat disembuhkan dengan obat biasa, maka aku pikir
hendak memberikan obat yang ku bikin dengan campuran
getah lenci, untuk bekal beberapa butir baginya."
"Tua bangka kau benar-benar mempunyai pikiran halus,
urusan ini memang sangat penting. ." Berkata Oe-tie Khao
sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Dengan tiba-tiba ia berdiam, setelah berpikir sejenak
kemudian ia berkata pula: "Tetapi aku tadi lihat muka Hee
Thian Siang terdapat tanda gembira, juga ada tanda-tanda
guram, kejadian-kejadian yang menggirangkan, tapi juga ada
sedikit gangguan, kekagetan dan gangguan meskipun tidak
terluput, namun tidak membahayakan jiwanya. Kita boleh
tunggu sampai bertemu kembali, nanti dibicarakan lagi."
"Pengemis tua, pengalamanmu dan pengetahuanmu
selama berkelana didunia Kangow ternyata sudah banyak
mendapat kemajuan, sekarang kau juga sudah mendapat
pelajaran sebagai tukang ramal, suka dukanya setiap orang
tergantung kepada pikiran dan tindakannya sendiri, orang
dahulu pernah berkata: Bahaya dan bahagia tidak ada
pintunya, hanya orang yang memasuki sendiri, pembalasan
antara baik dan jahat bagaikan bayangan yang mengikuti
jejak. Hee Thian Siang baik kepribadian maupun kepandaian
ilmu silatnya, atau sifat-sifatnya dan kecerdikannya, semua
merupakan orang dari golongan pilihan, benar-benar
merupakan bakat sangat bagus yang jarang tampak dalam
rimba persilatan selama beberapa tahun ini, tetapi batu giok
jikalau tidak digarap tidak akan menjadi alat yang berguna,
biarlah ia menerima sedikit gangguan yang tidak berarti, ini
juga merupakan suatu pengalaman yang berguna baginya."
Dua orang pendekar luar biasa dalam rimba persilatan itu,
berjalan sambil mengobrol, oleh karena mereka sudah
bertekad hendak memberi bantuan kepada Ca Bu Kao, maka
perjalanan itu ditujukan ke arah Barat laut.
Dalam perjalanan itu apa yang akan dijumpai untuk
sementara baiklah kita tunda dulu, sekarang kita balik kepada
Hee Thian Siang. Hee Thian Siang yang masih berada di daerah puncak
Thian-tu-hong, dari jauh mendengar suara binatang aneh,
suara itu mirip dengan suara dari binatang aneh berbulu
emas, maka ia mengira bahwa majikan binatang itu ialah
Tiong-sun Hui Kheng sudah di daerah pegunungan itu, maka
ia buru-buru minta diri pada Say Han Kong dan Oe-tie Khao
dengan cepat pergi menuju ke arah suara binatang aneh tadi.
Tetapi suara binatang itu hanya satu kali, lantas berhenti.
Setelah Hee Thian Siang turun dari puncak gunung, kembali
melalui beberapa jalan tikungan, sudah tidak tahu kemana
harus mencari. Tempat ia berdiri saat itu, kebetulan terpisah tidak jauh dari
tempat dimana ia tadi bersama-sama Say Han Kong memberi
pertolongan kera kecil berbulu putih, Hee Thian Siang yang
berdiri termangu, selagi hendak berjalan menuruti langkah
kakinya, tiba-tiba dari dalam rimba pohon cemara yang agak
jauh terdengar suara orang berkata: "Saudara kecil ini,
bolehkah tunggu sebentar mari kita mengobrol!"
Suara itu keras dan nyaring, jelas bukanlah orang dari
golongan sembarangan. Hee Thian Siang menengok ke arah datangnya suara itu,
tampak olehnya didalam rimba pohon cemara itu berjalan
keluar seorang tua yang hidungnya besar mulutnya lebar,
matanya melotot dan brewoknya seperti duri landak, sedang
rambutnya terurai ke pundaknya, usia orang tua itu sekitar
lima-enam puluh tahunan. Hee Thian Siang yang melihat orang yang baru muncul itu
demikian aneh rupanya, segera teringat ucapan Say Han
Kong yang ditujukan kepadanya tentang manusia aneh dari
Swat-san-pay, orang itu adalah Ling Pek Ciok yang memiliki
kepandaian sangat tinggi, bahkan mungkin tidak dibawah
ketuanya Swat-san-pay sendiri, tetapi oleh karena pernah
menerima budi besar, maka ia rela seumur hidupnya menjadi
budak ketua Swat-san-pay.
Baru saja ia memikirkan asal usulnya orang tua itu, orang
tua aneh itu yang memang benar Leng Pek Ciok menghampiri
padanya, Hee Thian Siang lalu menyoja, memberi hormat,
kemudian berkata: "Bapak ini apakah bukan Swat-san Peng. ."
Berkata sampai di situ, tiba-tiba ia terdiam. Sebab ia
teringat perkataan selanjutnya yang berbunyi Lo, yang berarti
budak, dirasakan terlalu kurang sopan, jikalau ia lanjutkan
mungkin menyinggung perasaan orang itu.
Swan-san Penglo Leng Pek Ciok rupanya dapat menduga
pikiran Hee Thian Siang, ia lalu berkata sambil tersenyum:
"Leng Pek Ciok yang menerima budi besar dari majikanku,
maka rela menjadi budak seumur hidupnya, sebutan budak
terhadapku bukan berarti apa-apa. Laote kalau memang
sudah kenal asal usul diriku, panggil aku Leng Pek Ciok saja
juga baik, kau panggil Swat-san Penglo juga tidak halangan,
terserah bagaimana kau hendak menyebutnya. Tetapi aku
tidak tahu, bolehkah laote memberitahukan namamu dan asal
usulmu serta gurumu?"
Hee Thian Siang merasa bahwa Swat-san Penglo itu
sikapnya sangat polos dan terus terang, sifat itu cocok dengan
sifatnya sendiri, maka lantas berkata sambil tersenyum:
"Namaku Hee Thian Siang, murid golongan Pak-bin, aku
bukan saja mengetahui asal usul cianpwe, bahkan mungkin
dapat menebak maksud locianpwe memanggilku."
Swat-san Penglo menatap wajah Hee Thian Siang, lalu
berkata sambil menganggukkan kepala dan tersenyum: "Ho. .
laote ternyata muridnya Pak-bin Sin-po Hong-poh Cui. Kau
berbeda dengan orang biasa. Kau panggil aku Leng
Locianpwe itu kurang tepat, aku juga tidak sanggup menerima,
jikalau kau tetap tak mau memanggilku Swat-san Penglo, atau
Leng Pek Ciok, panggillah aku dengan sebutan Leng Toako
saja, dengan demikian hubungan kira agak intim."
Hee Thian Siang menurut, maka lalu berkata sambil
tertawa: "Panggil kau toako sebetulnya tidak halangan, tapi
kau yang menerima budi besar dan rela menjadi budak orang
sedangkan aku tak mempunyai kewajiban seperti itu, dilain
waktu apabila ketemu dengan ketua Swat-san-pay, aku hanya
dapat menyebut dia sebagai locianpwe saja."
Leng Pek Ciok yang mendengar itu tertawa terbahak-bahak
dan kemudian berkata: "Unik, unik, laote kau sesungguhnya
merupakan orang yang sangat menyenangkan. Kau boleh
legakan hatimu, sebutan toako dan laote antara aku
denganmu hanya merupakan urusanmu dan urusanku pribadi,
tidak menyangkut siapapun juga, sudah tentu laote tidak perlu
membahasakan diri terhadap majikanku budak, aku juga tidak
perlu menyebut suhumu Hong-poh Sinpo locianpwe dan
menyebut diriku sendiri sebagai boanpwe."
Hee Thian Siang yang mendengar perkataan itu segera
merubah sebutannya dan memanggil orang tua itu Leng
toako. Leng Pek Ciok tampaknya sangat senang sekali, ia
tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Laote, kau benar-benar
panggil aku toako, dan aku yang menjadi toako ini, sebaliknya
tidak mempunyai apa-apa sebagai hadiah pertemuan ini."
Hee Thian Siang tahu benar, bahwa Swat-san Penglo itu
memiliki kepandaian ilmu silat sangat tinggi sekali, maka ia
lantas berkata sambil tertawa: "Jikalau toako memberikan aku
hadiah barang biasa saja, aku juga tidak mau, barang
berharga susah dicari. Sebaiknya untuk sementara catat saja
sebagai rekening, kita hitung dilain waktu saja."
"Dicatat rekening juga boleh, kau tadi kata dapat menebak
maksudku mencari kau. ." Berkata Leng Pek Ciok sambil
menganggukkan kepala dan tertawa.
Tidak menunggu habis ucapan Leng Pek Ciok, Hee Thian
Siang sudah berkata sambil tertawa: "Bukankah toako hendak
mencari keterangan tempat disekitar ini, apakah tidak ada
orang yang patut dicurigai, atau orang yang tersangkut
dengan perbuatannya yang membokong ketua Swat-san-pay
suami istri?" Mata Leng Ciok terbuka lebar, memancarkan sinar tajam
berkilauan, ia bertanya dengan keheranan: "Bagaimana Laote
bisa menebak demikian jitu" Bagaimana kau bisa mengetahui
bahwa majikanku suami istri dibokong oleh kawanan manusia
tidak tahu malu?" "Bukankan toako sendiri yang pergi ke puncak gunung
Thian-tu-hong dan mengumumkan di depan tokoh-tokoh
persilatan?" Berkata Hee Thian Siang sambil tertawa.
Leng Pek Ciok kembali menatap wajah Hee Thian Siang, ia
memandang pemuda itu dari atas sampai bawah, dengan tiba-
Neraka Hitam 3 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Durjana Dan Ksatria 10
^