Pencarian

Makam Bunga Mawar 7

Makam Bunga Mawar Karya Opa Bagian 7


juga baru kali ini pernah menyaksikan ilmu demikian hebat!"
Hee Thian Siang hanya menyambut pujian itu dengan
senyuman, selagi hendak membuka suara, U-tie Khao kembali
berkata dengan perasaan terheran-heran sambil menunjuk ke
depan: "Hee laote, coba lihat di dalam kuil itu bagaimana bisa
timbul api lagi, api itu bahkan sangat aneh, apakah itu bukan
senjata rahasia tunggal Kiu-yu Leng-hwe dari golongan Kie-
lian-pay?" Hee Thian Siang yang mendengar perkataan itu agak
terkejut, ketika ia berpaling benar saja di dalam kuil itu timbul
api. Api itu menimbulkan sinar biru, sangat mirip dengan
senjata rahasia Kiu-yu Leng-hwe yang biasa digunakan oleh
orang Kie-lian-pay. "Dugaan locianpwe memang benar, api itu memang mirip
dengan senjata rahasia tunggal Kiu-yu Leng-hwe golongan
Kie-lian-pay, tetapi tidak perduli betul atau tidak, kita harus
segera bawa Hian-ceng TOtiang ke suatu tempat yang
tersembunyi, biar locianpwe menggunakan caramu yang
ganas itu untuk paksa ia mengaku. . "
Belum habis ucapannya, dua orang itu sama-sama
merasakan adanya ancaman bahaya maka keduanya terus
menggunakan ilmunya meringankan tubuh, lompat ke kiri dan
ke kanan sejauh setombak lebih.
Di belakangnya, entah darimana datangnya ada api
berwarna hijau. Api itu bukan saja menyerang Hee Thian
Siang dan U-tie Khao, tetapi juga ditujukan kepada Hian-ceng
Totiang yang masih rebah dalam keadaan pingsan !
Ketika api itu jatuh di tempat Hian-ceng Totiang, imam itu
lantas terbakar sekujur badannya sehingga menjadi melepuh
dan hangus! Hee Thian Siang dan U-tie Khao mengetahui siapa yang
terbakar oleh api Kiu-yu Leng-hwe tak mungkin dapat ditolong
lagi, maka ia merasa tak perlu untuk memberi pertolongan
kepada Hian-ceng Totiang lagi. Mereka hanya saling pandang
dan tertawa getir, matanya ditujukan ke keadaan
sekelilingnya, untuk mencari siapakah orangnya dan dari
mana melepaskan api " Tetapi lama sekali ia mencari-cari,
bahkan di situ tetap sunyi sepi, tidak terdapat jejak manusia.
Maka Hee Thian Siang lantas berkata dengan suara gemas:
"Dalam urusan ini bagaimana golongan Kie-lian-pay juga
turut campur tangan" Seorang yang masih hidup dan dapat
kita gunakan untuk mencari keterangan, karena kelalaian kita
sudah dihabiskan oleh senjata Kiu-yu Leng-hwe!"
"Kejadian sudah menjadi begini, terpaksa kita harus
mencari lain jalan untuk mengadakan penyelidikan. Tetapi aku
tidak mengerti orang yang melepaskan api Kiu-yu Leng-hwe di
tempat persembunyiannya itu, mengapa hanya menujukan
serangannya kepada Hian-ceng Tojin, tidak ditujukan kepada
laote dan aku?" "Sebabnya aku tahu !"
U-tie Khao merasa heran, maka ia segera menanyakan
sebabnya. Hee Thian Siang lalu menjawab:
"Manusia-manusia dari golongan Kie-lian-pay itu semua
tahu bahwa aku tidak takut dengan api Kiu-yu Leng-hwe!"
Baru berkata sampai di situ, ia terkejut karena ia teringat
bahwa senjata jaring sutera warna merah yang dapat
digunakan untuk menundukkan api Kiu-yu Leng-hwe, jatuh di
tangan Tiong-sun Hui-kheng, oleh karena kalah dalam
pertaruhan. Apabila apoi tadi ditujukan kepada dirinya atau U-
tie Khao, bukankah keadaannya akan serupa dengan Hian-
ceng Tojin" U-tie Khao yang mendengar jawaban itu sangat heran dan
berkata: "Senjata rahasia Kiu-yu Leng-hwe ini, sifat racunnya sangat
ganas, daya menempelnya juga kuat sekali, apa yang lebih
hebat ialah tidak dapat dipadamkan oleh air! Maka baik
manusia maupun benda logam asal terkena api itu tidak luput
dari kehancuran. Sungguh aneh laote memiliki kepandaian
demikian tinggi yang tidak takut dengan api itu !"
Hee Thian Siang teringat pengalaman berbahaya tadi,
dalam hatinya masih bergidik ngeri karena menganggap orang
Kie-lian-pay yang melepaskan senjata Kiu-yu Leng-hwe tadi
mungkin masih bersembunyi di tempat gelap, maka ia
bersikap sombong, katanya sambil tertawa:
"Locianpwe, ketahuilah olehmu, bahwa aku memiliki jaring
wasiat milik Thian-gwa Ceng-mo yang Hwa Ji Swat berikan
kepadaku, benda ini sudah cukup untuk menumpas Kiu-yu
Leng-hwe! Apalagi pada waktu terakhir ini aku kembali
bertemu dengan orang aneh, sudah mendapat pelajaran
caranya untuk membasmi api beracun ini!"
"Hee laoten, kau ketemu orang siapa lagi. .?"
Ditanya demikian, Hee Thian Siang pura-pura bersikap
misterius, katanya sambil tersenyum:
"Hal ini adalah suatu rahasia, jikalau terdengar oleh
kawanan kurcaci itu, akan kehilangan khasiatnya! Maka
marilah kita pergi dari sini, mencari suatu tempat yang lebih
baik, nanti akan kuceritakan kepada locianpwe!"
U-tie Khao tak dapat mengerti apa yang terkandung dalam
hati Hee Thian Siang, terpaksa ia mengikutinya dengan hati
penuh tanda tanya. Setelah mereka menghilang dari tempat tadi, benar saja
lantas muncul dua orang, yang satu adalah Tho-hwa Niocu
dari Kie-lian-pay, yang lain adalah Liong-hui Kiam-khek dario
Tiam-cong-pay. Liong-hui Kiam-khek wajahnya masih pucat, tidak
bersemangat, jelas bahwa saat itu ia masih terluka parah
dalam tubuhnya. Di tempat sembunyinya, matanya terus
ditujukan kepada Hee Thian Siang dan U-tie Khao, setelah
melihat dua orang itu benar-benar sudah berlalu jauh, dia lalu
berkata kepada Tho-hwa Niocu:
"Hiang-ci, kuil Po-hie-he-wan tadi sudah kau bikin hangus
sebagian oleh apimu Kiu-yu Leng-hwe, sekarang kuminta
tolong padamu supaya kau rubuhkan saja bangunan itu, untuk
menutupi lubang di bawah tanah. Sekalian kita ingin lihat
apakah tulang-tulang Kwan Sam Pek terbakar semua atau
belum " Sekali-kali jangan meninggalkan bekas yang
menimbulkan kecurigaan orang lain !"
Tho-hwa Niocu menurut, ia lompat kembali ke kuil yang
sudah terbakar hangus, di antara reruntuhan ;puing, terdapat
tulang-tulang Kwan Sam Pek yang sudah menjadi abu, ia lalu
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, melakukan
serangan kepada tembok-tembok yang masih berdiri sehingga
semuanya rubuh menutupi tempat tersebut!
Setelah semua selesai, Liong-hui Kiam-khek berkata
kepadanya sambil menghela nafas:
"Setan kecil Hee Thian Siang itu adalah murid Pak-bin Sin-
po Hong-poh Cui, sudah begitu hebat asal-usulnya, orangnya
juga sangat licik dan pintar serta sulit dihadapi, apa mau
dikata dia juga bermusuhan dengan kita, enci Hiang, apa kau
tadi tidak dengar katanya bahwa ia sudah mempelajari suatu
cara yang khusus untuk mengalahkan senjata Kiou-yu Leng-
hwe, maka di kemudian hari apabila ketemu dengan setan
kecil itu, harus berlaku hati-hati, jangan terlalu gegabah!"
Tho-hwa Niocu ketika mendengar ucapan itu
memperdengarkan suara tertawa terkekeh-kekeh dan kemudian berkata: "Sungguh tak kusangka seorang jago pedang dari golongan
Tiam-cong yang kesohor namanya ternyata sudah takut
terhadap satu setan kerdil saja. Apakah kau tidak tahu bahwa
aku ini ahli membereskan kaum pria betapa pun kerasnya
sekalipun. ." Tidak menantikan habis ucapan Tho-hwa Niocu, Liong Hui
Kiam-khek sudah berkata dan menggelengkan kepala serta
ketawa getir: "Muslihatmu yang cukup membuat kaum pria luluh dan
bertekuk lutut di hadapanmu, hanya dapat kau lakukan
terhadapku, apakah terhadap Hee Thian SIang si setan kecil
yang masih bau susu itu juga perlu menggunakan keindahan
tubuhmu yang penuh daya seks itu?"
Tho-hwa Niocu kembali perdengarkan suara ketawanya
yang genit, seluruh tubuhnya diletakkan dalam pelukan Liong-
hui Kiam-khek, jago jalang itu mencium pipinya dengan mesra,
kemudian melanjutkan ucapannya:
"Apa sebabnya aku jeri terhadap Hee Thian Siang, lantaran
di belakang dirinya mempunyai sandaran Pak-bin Sin-po si tua
bangka itu, nenek yang berkepandaian sangat tinggi, sifatnya
juga terlalu aneh, aku pernah dipesan wanti-wanti oleh
Ciangbun-suheng, sebelum rencana besar kita berhasil,
sedapat mungkin menghindari bentrokan dengannya!"
Tho-hwa Niocu setelah mendapat perlakuan mesra dari
Liong-hui Kiam-khek, mukanya berseri-seri, ia tempelkan
mulutnya di telinga Liong-hui Kiam-khek mengatakan
beberapa patah kata, yang takut terdengar oleh orang !
Liong-hui Kiam-khek yang mendengar ucapan itu lalu
berkata dengan muka murung:
"Aku telah terkena serangan ilmu Pan-sian ciang dari budak
hina Ca Bu Kao, luka di dalam tubuh masih belum sembuh
seluruhnya. . " Tho-hwa Niocu yang sudah timbul birahinya bagaimana ia
bisa bersabar" Hanya hidungnya saja yang mengeluarkan
suara, tidak menunggu habis ucapan Liong-hui Kiam-khek,
jago pedang itu sudah ditariknya, dan kemudian kedua-
duanya bergelimpangan di dalam gerombolan rumput!
Apa yang dilakukan oleh dua makhluk itu kita tidak perlu
jelaskan. Mari kita sekarang balik kembali kepada Hee Thian
Siang. Dalam perjalanannya itu, Hee Thian Siang telah melihat
bahwa U-tie Khao nampak murung saja, seolah-olah sedang
banyak pikiran, maka ia lantas bertanya sambil tersenyum:
"U-tie cianpwe coba kau tebak, ilmuku yang khusus untuk
memecahkan senjata api Kiu-yu Leng-hwe Kie-lian-pay itu
kudapatkan dari orang aneh tingkatan tua siapa?"
U-tie Khao berpikir dulu, kemudian baru menjawab:
"Apakah bukannya Hong-tim Ong-khek May Ceng Ong?"
Hee Thian Siang menggelengkan kepala dan tersenyum,
U-tie Khao melanjutkan kata-katanya:
"Kalau bukan May Ceng Ong mungkin adalah It-pun
Sinceng, kalau bukan dia, tentunya kau telah berjumpa
dengan Duta Bunga Mawar!"
Hee Thian Siang menggelengkan kepala berulang-ulang,
hingga U-tie Khao berkata lagi:
"Laote, lekaslah kau beritahukan dengan terus terang
jikalau kau demikian minta aku menebak terus-terusan,
bagaimana pun aku tak dapat menebaknya!"
Hee Thian Siang tak dapat menahan perasaan gelinya, ia
tertawa terbahak-bahak dan kemudian berkata:
"Locianpwe itu orangnya cerdik sekali, dengan keahliannya
mencuri, namanya terkenal di kolong langit, hingga sahabat-
sahabat rimba persilatan menghadiahkan julukan padanya
Sam-ciu Lo-pan!" U-tie Khao yang mendengar ucapan itu hatinya merasa
mendongkol, tetapi juga merasa geli, katanya sambil
menggelengkan kepala: "Hee laote, mengapa kau hendak bercanda denganku"
Sejak kapan aku pernah mengajarkan kau ilmu khusus untuk
menumpas api Kiu-yu Leng-hwe dari golongan Kie-lian-pay?"
"Meskipun locianpwe belum pernah memberi pelajaran,
tetapi dari pengalaman yang kudapatkan selama berada di
samping locianpwe, aku mendapat faedah tidak sedikit, dalam
perjalanan ini apabila bertemu lagi dengan orang-orang Kie-
lian-pay yang demikian buas dan jahat, ilmunya boleh dicoba!"
U-tie Khao mendengar ucapan Hee Thian Siang semakin
bingung, sementara itu Hee Thian Siang sudah berkata lagi
sambil tersenyum: "Benda yang dapat digunakan untuk memecahkan api
golongan Kie-lian-pay, adalah api yang mempunyai rasa, yang
locianpwe berikan padaku tiga butir, yang pernah kau gunakan
untuk membakar kuil Po-hie-he-wan!"
U-tie Khao baru saja hendak menggelengkan kepalanya,
Hee Thian Siang sudah berkata lagi:
"Kalau kita sedang berhadapan atau bertempur dengan
orang-orang golongan Kie-lian-pay, kita harus berlaku hati-
hati, jikalau melihat mereka hendak melepaskan api Kiu-yu
Leng-hwe, maka kita segera menggunakan api yang
mempunyai rasa lebih dulu, digunakan untuk menyerang api
itu! Coba locianpwe pikir, dengan tindakan ini, bukankah akan
memberikan mereka suatu pembalasan yang setimpal?"
U-tie Khao kini baru sadar, dan diam-diam memuji
kecerdikan Hee Thian Siang! Maka lantas berkata sambil
tertawa dan menganggukkan kepala:
"Hee laote, kepintaranmu ini, dalam tingkatan muda pada
dewasa ini, barangkali tidak ada tandingannya. . !"
Baru berkata sampai di situ, Hee Thian Siang sudah
berkata sambil menggelengkan kepala:
"Locianpwe jangan memuji aku, semula aku juga
menganggap bahwa aku memiliki sedikit kepintaran, sehingga
diam-diam juga merasa bangga, siapa tahu di gunung Oey-
san kali ini dua kali aku ketemu batunya, dan menerima sekali
pelajaran, barulah tahu bahwa di dunia yang luas ini
jumlahnya orang pintar, sesungguhnya tidak sedikit kalau
dibanding kepintaranku itu tidak berarti apa-apa!"
U-tie Khao yang tidak tahu bahwa Hee Thian Siang pernah
kalah taruhan dengan Tiong-sun Hui Kheng, sehingga sudah
kehilangan jaring wasiat dan lambang bunga mawar milik duta
bunga mawar, sudah tentu ketika mendengar ucapan itu
merasa heran. Selagi hendak menanyakan hal itu, tiba-tiba
melihat bahwa mata Hee Thian Siang ditujukan ke arah jauh,
maka ia juga berpaling mengikuti, di suatu tempat sejarak dua-
tiga puluh tombak jauhnya, tampak sesosok bayangan orang
dari jurusan barat laut lari menuju ke timur.
U-tie Khao merasa bahwa gerakan bayangan orang itu
seperti sudah dikenalnya, dan Hee Thian Siang yang masih
muda dan tajam pandangan matanya, sudah menggunakan
ilmunya menyampaikan suara ke jarak jauh, ia berkata dengan
suara nyaring:

Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Say Locianpwe, tunggu dulu, boanpwe Hee Thian Siang
dan U-tie Locianpwe semua ada di sini !"
Bayangan orang itu ketika mendengar ucapan Hee Thian
Siang lantas berhenti dan kemudian berbalik menuju ke arah
Hee Thian Siang berdua, benar saja bayangan orang itu
adalah tabib sakti Say Han Kong. Tabib sakti itu kelakuannya
tergesa-gesa seolah-olah ada urusan penting !
Setiba di hadapan Hee Thian Siang berdua, U-tie Khao
lantas bertanya sambil tertawa aneh:
"Tua bangka she Say, mengapa kau berjalan balik" Apakah
di depan menjumpai kesulitan ?"
Say Han Kong tertawa menyeringai, ia menunjukkan
sepotong robekan baju, Hee Thian Siang yang menyaksikan
itu lantas bertanya dengan perasaan terkejut.
"Ujung baju ini, apakah bukan milik Ca Bu Kao" Apakah
Say locianpwe berjumpa dengannya?"
"Nona itu terlalu keras kepala, juga terlalu taat kepada
kekasihnya! Dia baru sembuh dari luka pedangnya, sudah
dengan seorang diri pergi menyerbu Pho-hi To-kwan di
gunung Tiam-cong-san. Aku coba mencegah tetapi tidak
berhasil, hingga hanya mendapat sepotong ujung bajunya saja
!" berkata Say Han Kong sambil menggelengkan kepala dan
menghela nafas. "Pho-hie To-kwan merupakan markas besar dan tempat
terpenting golongan Tiam-cong-pay. Di situ selain tiga jago
pedang, juga terdapat banyak orang-orang kuat, apalagi
permusuhannya dengan orang-orang Lo-hu-pay sudah sangat
dalam sekali! Nona Ca dengan seorang diri menyerbu goa
naga, apalagi luka di badannya baru saja sembuh, barangkali
sangat berbahaya baginya!" berkata U-tie Khao sambil
mengerutkan alisnya. "Justru karena aku merasa tidak tega, maka barulah aku
balik kembali, maksudku hendak mengajak kalian pergi
memberi bantuan bersama-sama. Siapa tahu tadi jikalau
bukan Hee laote yang tajam pandangan matanya, hampir saja
aku lari terus!" berkata Say Han Kong sambil menganggukkan
kepala. U-tie Khao dan Hee Thian Siang yang mendengar
keterangan Say Han Kong, tanpa ayal lagi lantas
mengerahkan ilmunya lari pesat, bersama-sama Say Han
Kong lari menuju ke barat laut.
Sepanjang jalan itu, Hee Thian Siang sambil lari bertanya
kepada Say Han Kong: "Say locianpwe, tadi kau kata bahwa bibi Ca terlalu berat
kepada kekasihnya, apakah maksudnya ucapan locianpwe
itu" Apa sebabnya ia demikian tergesa-gesa pergi ke Pho-hie
To-kwan?" "Lantaran dia buru-buru hendak menolong pria idamannya
Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie!" jawab Say Han Kong.
Jawaban Say Han Kong itu sesungguhnya di luar dugaan
Hee Thian Siang dan U-tie Khao, dengan perasaan heran U-
tie Kha bertanya: "Hendak menolong Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie" Nona
Ca bukankah sudah bentrokan dan menjadi musuh dengan
orang itu" Mereka kan sudah melakukan pertempuran sengit
di depan kuil Pho-hie-hee-wan, sehingga badannya terluka
oleh ujung pedang orang she Su-to itu"
Setelah nona Ca memberitahukan sebab musababnya, aku
baru tahu bahwa itu adalah suatu rahasia yang berbelit-belit,
orang yang Hee laote pernah jumpai di daerah gunung Bin-
san, maupun orang yang pernah kulihat bersama u-tie Khao di
puncak gunung Thian-tu-hong itu bukanlah Liong-hui Kiam-
khek Su-to Wie!" berkata Say Han Kong sambil
menggelengkan kepala dan menghela nafas.
Hee Thian Siang terkejut dan terheran-heran, ia bertanya:
"Apa dia bukan Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie?"
"Andaikata kita tidak kenal, apakah Leng-po Sian-lie yang
pernah bersumpah sehidup semati dengannya, juga bisa
salah lihat?" "Justru karena wajah dua orang itu mirip satu sama lain,
hanya yang mempunyai tanda tahi lalat merah di tengah-
tengah kedua alisnya, barulah dapat dibedakan siapa Liong-
hui Kiam-khek yang benar dan yang palsu." Berkata Say Han
Kong sambil menganggukkan kepala.
"Oo! Menurut ucapan Say Locianpwe ini, Ling-hui Kiam-
khek yang palsu itu jadi masih merupakan saudara kembar
dengan Liong-hio Kiam-khek yang tulen, kalau begitu yang
satu itu pasti adalah jejaka tangan kejam Su-to Keng. Tetapi
bukankah kita sudah dengar, bibi Ca pernah mengatakan
ketika di gunung Ciong-san, bahwa Su-to Keng itu pada dua
tahun berselang pernah terkena serangan oleh ilmu Pan-sian-
ciang dari Peng-sim Sin-nie, sehingga mati tercebur ke dalam
sungai." Berkata Hee Thian Siang.
"Su-to Keng pandai berenang meskipun tenggelam di air,
namun masih bernapas, tetapi setelah kejadian itu ia lantas
mengasingkan diri dan merahasiakan nama aslinya. Ia muncul
lagi di dunia Kang-ouw dengan menggunakan nama dan rupa
adiknya, ialah Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie." Berkata Say
Han Kong. Oe-tie Khao yang berdiri disamping lantas bertanya: "Dan
Liong-hui Kiam-khek yang benar ada dimana?"
"Rahasia dalam rimba persilatan ini panjang ceritanya, kau
pengemis tua dan Hee laote harus dengar keterangan yang
hendak ku mulai dari semula."
"Dalam perjalanan yang sangat panjang ini kita justru
merasa kesepian, maka tidak halangan locianpwe
menceritakan dengan jelas." Berkata Hee Thian Siang sambil
tertawa. Say Han Kong lalu menuturkan rahasia yang dituturkan
oleh Leng-po Giok-li sendiri, kini ia ceritakan kepada mereka.
Seperti apa yang telah diketahui, bahwa golongan Tiam-cong
dan Lo-hu, dua golongan sudah lama mempunyai
permusuhan sangat dalam, orang-orang dari kedua pihak
sering mengadakan pertempuran
tidak henti-hentinya, sehingga tiba waktunya ketika Thiat-kwan Totiang dan Peng-
sim Sin-nie masing-masing menjabat ketua, diantara ketua
partai itu masing-masing muncul satu orang yang berpendirian
sama dan masing-masing telah terjalin cinta kasih yang
sangat dalam, sepasang muda mudi dua golongan itu, bahkan
hendak menggunakan cinta kasih pribadinya untuk berusaha
memperbaiki hubungan dua golongan yang sudah lama
bermusuhan itu. Sepasang pendekar pria dan wanita yang masing-masing
sudah jatuh cinta itu yang wanita adalah Leng-po Giok-li Ca
Bu Kao dari Lu-hu-pay dan yang pria adalah Liong-hui Kiam-
khek Su-to Wie dari Tiam-cong-pay.
Cita-cita mereka berdua meskipun baik dan suci murni,
tetapi didalam gerombolan manusia buruk, bagaimana juga
susah untuk memberanikan diri, Liong-hui Kiam-khek Su-to
Wie pernah membentang maksudnya kepada suhengnya yang
menjadi ketua, tetapi kemudian bahkan disemprot oleh
ketuanya dan sutenya Lui Hwa, bahkan suruh dia menodai
Leng-po Giok-li yang masih suci supaya ia bisa masuk
menjadi anggota golongannya dan dengan menggunakan
gadis itu sebagai komplotannya untuk mencari rahasia
golongan Lo-hu-pay. Suto Wie yang sifatnya jujur sudah tentu
tak mau berlaku demikian rendah, maka ia tetap
mempertahankan pendiriannya. Dengan demikian di antara
saudaranya sendiri itu telah terjadi perselisihan faham dan
akhirnya bercekcok hebat.
Jejaka tangan ganas Suto Keng tepat pada waktu itu sudah
mulai sembuh lukanya, ketika pulang kekuil Pho-hi-to-kwan,
tiba0tiba mendengar saudaranya Suto Wie mengusulkan
supaya memperbaiki hubungannya dengan Lo-hu-pay dalam
keadaan permusuhan hebat seperti itu, sudah tentu lantas
marah, secara licik dan tiba-tiba ia menggunakan ilmu jarinya
Thiat-ji-sin-kang, menotok jalan darah Suto Wie.
Suto Wie yang tertotok jalan darahnya, kepandaian ilmu
silatnya telah dimusnahkan, Suto Keng yang tahu sudah
bertindak keterlaluan, maka lalu minta maaf kepada Thiat-
kwan Totiang. Diluar dugaannya, Thiat-kan Totiang bukan saja tidak
marah, bahkan tertawa disamping suruh orang mencari
tempat untuk mengurung Suto Wie, juga suruh Suto Keng
menyaru menjadi Suto Wie, dengan memakai tanda tahi lalat
merah ditengah dua alisnya, kecuali itu juga mengambil
pedang ceng-hong-kiam Suto Wie sebagai senjatanya.
Selanjutnya ia telah muncul dengan nama Liong-hui Kiam-
khek. Ia berusaha untuk merebut dan menodai diri Ca Bu Kao
supaya ia berbalik menghianati golongannya sendiri Lo-hu-
pay. Leng-po Giok-li bagaimana tahu diantara dua saudara
kembar itu terjadi perpecahan demikian rupa" Maka masih
melanjutkan hubungan cinta kasihnya yang mesra dengan
Liong-hui Kiam Khek yang palsu itu.
Suto Keng dan Suto Wie meskipun sepasang saudara
kembar, tetapi adat dan perangai mereka beda jauh, Suto
Keng sifatnya jahat, tidak seperti Suto Wie yang jujur. Bukan
saja merupakan orang yang gemar pipi licin, tetapi juga
mendapat perintah suhengnya yang menjadi ketua, sudah
tentu ia berusaha sedapat mungkin untuk mendapatkan diri
Ca Bu Kao bahkan demikian bernafsu supaya bisa
menodainya. Untung Leng-po Giok-li masih mempertahankan
kesuciannya, sedikitpun tidak tergerak oleh birahinya. Ia
hanya merasa bahwa kekasihnya itu kini jauh berbeda dari
dulu, kelakuannya agak ceriwis, maka buru-buru berusaha
untuk mempertahankan jangan sampai terjerumus dalam
jurang asmara, ia beritahukan kepada pemuda ceriwis itu,
sekalipun satu sama lain sudah saling mencinta, tetapi
sebelum melakukan pernikahan yang sah jangan sampai
melakukan perbuatan yang membikin noda, nama baiknya,
harus menunggu dulu supaya orang-orang kedua pihak benar-
benar sudah berhasil membujuk ketua masing-masing dan ia
masih mengharap dengan perkawinannya itu dapat
melenyapkan permusuhan dua golongan itu, dengan demikian
barulah ia merasa untung dalam perkawinannya itu.
Maksud baik dari Ca Bu Kao sudah tentu dapat
menggerakan hati Suto Keng yang memang mengandung
maksud jahat. Sementara Suto Keng yang sudah berkobar
nafsu birahinya bagaimana mau melepaskan barang yang
sudah berada ditangannya" Maka ia hendak memperlakukan
Ca Bu Kao dengan jalan kekerasan.
Leng-po Giok Lie dalam keadaan terkejut telah memberi
tamparan kepada pemuda itu, dalam pertengkaran itu Suto
Keng telah menggunakan obat racunnya yang jahat untuk
merusak sebelah pipi Leng-po Giok-lie. Gadis itu karena
wajahnya dirusak, maka buru-buru pergi ke gunung Siong-san
untuk minta obat kepada tabib sakti Say Han Kong, dan
karena ia merasa gemas terhadap Su-to Wie yang berubah
hatinya secara mendadak, maka ia pergi ke gunung Bin-san
untuk minta restu kepada makan bunga mawar supaya Suto
Wie bisa menginsafi kesalahannya.
Ketika Hee Thian Siang mendengar penuturan Say Han
Kong itu, sudah tak sabar lagi mengajukan pertanyaan:
"Dengan cara bagaimana Bibi Ca itu mengetahui rahasia itu?"
"Ketika berada di gunung Hok-gu-san nona Ca berjumpa
lagi dengan Su-to Keng di situ ia terpancing lagi oleh akal
muslihatnya, dan dalam keadaan tidak sadar, hampir saja
dirinya dinodai. Untung keburu ditolong oleh duta bunga
mawar, dari mulutnya orang luar biasa itu, ia diberi tahu
segalanya. Nona Ca setelah mengetahui sebab musababnya,
ia menganggap bahwa Suto Wie yang sebenarnya pasti
dikurung dalam tempat penting Tiam-cong-pay, atau didalam
kuil Pho-hie-to-koan yang merupakan markas besar golongan
itu. Maka setelah pertemuan di gunung Oey-san selesai,
malam-malam ia pergi hendak menyatroni kuil itu. Di depan
kuil ia telah berjumpa dengan jejaka tangan ganas Suto Keng
dalam keadaan sengit nona Ca telah membuka rahasianya
yang telah mencelakakan diri saudaranya sendiri, dengan
demikian kedua orang itu lalu timbul pertengkaran dan
selanjutnya terjadi pertempuran. Suto Keng terkena serangan
ilmu Pan-sian-ciang tiga kali dan nona Ca sendiri terkena
serangan pedang sampai tujuh kali." Berkata Say Han Kong
sambil tertawa. "Dalam perjalanan ke gunung Tiam-cong-san, kukira Bibi
Ca akan sia-sia saja, sebab Su-to Wie itu sama sekali tidak
dikurung didalam kuil Pho-hie-kwan." Kata Hee Thian Siang.
Kali ini giliran Say Han Kong yang keheranan, Hee Thian
Siang lalu menceritakan apa yang dilihatnya di kuil Pho-hie-
hee-kwan. Setelah mendengar cerita Hee Thian Siang, Say Han Kong
berkata sambil mengerutkan alis: "Menurut dugaanku ketika
kuol Pho-hie-hee-kwan kebakaran, orang yang dibawa lari
Hian-ceng totiang, barangkali Suto Wie yang asli. Tetapi waktu
itu pengemis tua dan loate tidak keburu mengejar, entah
disembunyikan dimana sekarang?"
Oe-tie Khao mendengarkan ucapan itu, berkata: "Sekalipun
dugaanmu itu benar, tetapi sekarang barangkali sudah tak ada
waktu untuk mengejar Suto Wie lagi."
"Ucapanmu ini memang benar, kita sekarang memang tidak
sempat mencari Su-to Wie lagi, lebih dulu kita perlu memberi
bantuan nona Ca. Dengan seorang diri ia menyerbu ke kuil
Pho-hie-to-kwan yang banyak orang kuat, ini terlalu
berbahaya!" Berkata Say Han Kong sambil menganggukkan
kepala. "Jika ditilik dari kekuatan orang-orang Tiam-cong-pay yang
ada dikuil Pho-hie-to-kwan seorang Leng-po Giok-lie ditambah
lagi dengan kita tiga orang, rasanya masih kurang cukup.
Tetapi dalam keadaan terpaksa, tidak ada orang lain yang
dimintai bantuan, kita terpaksa melawannya dengan nekat."
Berkata Oe-tie Khao sambil mengawani Say Han Kong dan
Hee Thian Siang. Hee Thian Siang juga tahu bahwa jika ditilik dari
kepandaian ilmu silat, dipihaknya sendiri tiga orang belum
tentu dapat melawan orang golongan Tiam-cong-pay, ia
segera teringat kepada sahabat barunya Leng Pek Cok.
Dalam hati berpikir, orang aneh itu kata setelah memberi


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laporan kepada Peng-pek Sin-kun, akan terjun ke dunia Kang-
ouw lagi untuk menyelidiki duri beracun Thian-keng-cek, jika
ditengah jalan kebetulan bisa ketemukan dia, bukankah
merupakan suatu bantuan tenaga yang paling baik"
Say Han Kong yang melihat Hee Thian Siang tiba-tiba
berpikir, lantas bertanya sambil tersenyum: "Hee Laoute, kau seorang cerdas dan
pintar, kulihat kau sedang memikirkan
apa-apa, apakah kau sedang mencari daya upaya yang lebih
baik?" "Pengetahuan dan pengalaman kedua locianpwe lebih
banyak daripadaku, bagaimana Hee Thian Siang dapat
memikirkan daya yang lebih baik. Aku sebetulnya sedang
memikirkan bahwa perjalanan kita ke Tian-cong-san ini
meskipun sangat berbahaya, tetapi dalam perjalanan ini
kemungkinan bisa bertemu dengan seorang yang dapat
memberi bantuan pada kita, sekalipun jika benar-benar kita
sudah kepepet dan dalam bahaya, kita juga masih ada jalan
untuk menolong diri sendiri." Berkata Hee Thian Siang sambil
tertawa. Oe-tie Khao seolah-olah baru disadarkan, ia bertanya:
"Benar. . benar, di badan Hee Thian Siang ada sebutir senjata ampuh yang dapat
menghancurkan Pho-hie-to-kwan, yang
membuat tiga jago Tiam-cong mau tak mau harus memikirkan
masak-masak sebelum melakukan tindakannya, benda itu
adalah Kian-thian-pek-lek, senjata peledak golongan Pak-bin."
Kian-thian-pek-lek meskipun merupakan senjata pusaka
perguruan kami, tetapi Hee Thian Siang anggap karena
senjata itu terlalu ganas juga harus patuh kepada pesan Suhu,
belum berani menggunakan senjata sembarangan. Tetapi
karena harus membela keselamatan Bibi Ca serta membela
keadilan dan kebenaran dunia Kangouw, terpaksa aku akan
menggunakannya untuk menghadapi orang Tiam-cong yang
mengandalkan jumlah banyak." Berkata Hee Thian Siang.
Berkata sampai di situ, matanya ditujukan ke arah Barat
laut, kemudian berkata pula:
"Locianpwe berdua, kalau kita sudah mengambil keputusan
tepat, seharusnya jangan ayal di jalan, sebab Bibi Ca, dengan
badan yang masih putih bersih, dengan seorang diri
menerjang ke goa srigala, sesungguhnya terlalu berbahaya.
Kita harus tiba dan memberi bantuan pada saat yang tepat,
jangan sampai ia terhina atau dinodai oleh kawanan manusia
jahat itu!" Say Han Kong dan U-tie Khao juga berpendapat demikian,
maka semuanya mempercepat jalannya, untuk menuju ke
markas Tiam-cong-pay! Dalam perjalanan mereka itu meskipun mengandung resiko
bahaya besar, tetapi dalam pertempuran sengit yang akan
terjadi, akan membuat markas besar Tiam-cong-pay Pho-hie
To-kwan, diobrak-abrik demikian rupa, sehingga menggegerkan orang-orang Tiam-cong-pay!
Semua itu kini baik kita tunda dulu dan nanti akan
dilanjutkan lagi. Pada saat Hee Thian Siang bertiga baru saja bergerak
menuju ke Pho-hie To-kwan di gunung Tiam-cong-san, tempat
yang baru ditinggalkan oleh rombongan Hee Thian Siang tadi,
daerah pegunungan Bu-leng-san, tempat itu merupakan tanah
kuburan tua. Di samping itu merupakan tanah kuburan tua. Di
samping rumput dan alang-alang yang lebat, juga terdapat
banyak tulang-tulang manusia dan peti-peti mati yang
berserakan di sana-sini, ditambah lagi malam itu sudah larut
dan habis turun hujan, keadaannya semakin sunyi dan seram !
Dalam keadaan demikian, di tanah kuburan yang sepi
menyeramkan itu, muncul seorang lelaki dan seorang
perempuan. Yang lelaki adalah Su-to Kheng, yang menyamar
menjadi Su-to Wie sedang yang perempuan adalah wanita
tergenit dalam rimba persilatan, anggota dari golongan Kie-
lian-pay, Tho-hwa Nio-cu Kie Liu Hiang! Kedua orang itu
berjalan ke suatu kuburan yang letaknya lebih tinggi, tetapi
kuburan itu sudah tidak ada yang mengurus dan tak ada yang
merawat. Su-to Kheng menghentikan langkahnya dan berkata
kepada Tho-hwa Nio-cu sambil tertawa:
"Peribahasa mengatakan: Menjadi orang jangan melakukan
perbuatan yang melanggar hati nurani", maka meskipun
tengah malam mendengar ketukan maut juga tidak akan
kaget! Selama hidupku, entah berapa banyak jiwa yang
melayang di sepasang tanganku, tetapi terhadap saudaraku
sendiri, oleh karena aku menurunkan tangan secara ragu-
ragu, menotok jalan darahnya Lo-im-hiat, hingga kini aku tidak
berani bertemu muka dengannya, coba kau pikir, ini aneh atau
tidak?" Sepasang mata Tho-hwa Niocu memancarkan cahaya
buas, ia memandang Su-to Kheng sejenak, lalu berkata sambil
tertawa dingin: "Kau yang mendapat gelar JEJAKA TANGAN GANAS
ternyata nyalimu begitu kecil, kau sudah berani berbuat, tetapi
takut bertanggung jawab! Kini Pho-hie-hee-wan sudah hancur,
apakah kau masih hendak antar dia ke kuil Pho-hie To-kwan,
untuk membocorkan rahasiamu sendiri?"
Su-to Kheng yang mendengar ucapan itu, belum
menjawab, Kie Liu Hiang sudah berkata lagi sambil ketawa
terkekeh-kekeh: "Saudaramu itu meskipun merupakan sedarah sedaging,
tetapi dalam hubungan kasih, belum tentu lebih erat daripada
hubungan kasih antara dua kekasih! Apakah kau masih ingat,
lantaran hubunganku denganmu, aku telah menggunakan
racun merenggut jiwa suamiku sendiri?"
"Ucapanmu memang benar, orang bernyali kecil bukanlah
seorang laki-laki, jikalau tidak kejam bukanlah seorang jantan!
Sekarang aku minta tolong padamu supaya kau bawa keluar
Su-to Wie dari goa itu, biarlah di saat yang terakhir ini aku
hendak menasehati padanya beberapa patah kata!" Berkata
Su-to Kheng sambil tertawa dingin.
Kie Liu Hiang menunjukkan senyumnya yang kejam, ia
membalikkan diri dan lompat sejauh tiga tombak, lalu berjalan
menuju ke sebuah lubang yang tertutup oleh alang-alang dan
rumput, ia lalu memondong keluar tubuh Liong-hui Kiam-khek
Su-to Wie yang sudah menderita lahir dan bathin sekian
lamanya, ia bawa laki-laki itu keluar lubang, dan didudukkan di
depan sebuah kuburan. Su-to Kheng yang melihat saudaranya meskipun sudah
ditotok jalan darahnya, hingga seluruh kepandaiannya sudah
musnah, keadaannya waktu itu seperti orang cacat, tetapi
wajahnya masih tetap gagah dan tampan, terutama sinar
matanya yang menunjukkan semangatnya yang tak
terpatahkan, hingga membuat Su-to Kheng berdiri bulu
romanya sendiri, bibirnya bergerak-gerak tetapi tiada sepatah
katapun yang keluar dari mulutnya. Tho-hwa Niocu yang
menyaksikan keadaan demikian, alisnya dikerutkan, mulutnya
mengeluarkan suara: "Hei. . !" lalu mengulurkan tangannya menepuk pundak Su-to
Kheng seraya bertanya sambil
tertawa: "Tadi bukankah kau hendak bicara dengan saudaramu?"
Ditepuk demikian oleh Tho-hwa Niocu, dengan tiba-tiba Su-
to Kheng timbul pikiran jahatnya, dengan mata memandang
Su-to Wie, ia bertanya: "Saudara, kau telah kutotok jalan darah Lo-im-hiatmu,
sehingga menjadi demikian rupa, apakah dalam hatimu
membenci aku?" Liong-hui Kiam-khek dengan sinar mata aneh memandang
bergiliran kepada saudara sekandung sendiri tetapi berhati
jahat bagaikan ular berbisa, dan Tho-hwa Niocu si perempuan
bejat, kemudian menggeleng-gelengkan kepala, suatu tanda
bahwa ia tidak membenci. Su-to Kheng melihat saudaranya itu tidak membenci
dirinya, dalam hati merasa agak lega, ia berkata sambil
menganggukkan kepala: "Saudara kau masih terhitung orang yang berhati, kau tidak
membenciku itulah benar! Kau tak tahu meskipun jalan
darahmu terpenting telah tertotok, sehingga kepandaian ilmu
silatmu untuk sementara telah lenyap, tetapi asal kau bisa
merobah kesalahanmu, saudaramu ini nanti akan minta
kepada Ciangbun suheng, supaya diberikan sebutir pil obat
Kiu-coan Ban-leng-tan dari golongan kita, masih bisa pulih
seperti sedia-kala."
Su-to Wie yang mendengar ucapan itu berkata, dengan
nada suara dingin: "Obat pil Kiu-coan Ban-leng-tan, seluruhnya hanya ada dua
butir, bagaimana boleh digunakan sembarangan untuk
menolong aku" Lagi pula walaupun tubuhku hancur lebur,
cita-citaku tidak akan berubah; bahkan aku sudah bertekad,
seandainya aku tidak mati dan kepandaianku pulih kembali,
aku juga sudah bersumpah tidak akan hidup bersama-sama
denganmu dan Ciangbun suheng!"
"Adik, kau selamanya bicara tidak pernah berbohong, tadi
kau bukankah mengatakan tidak membenci aku?" Bertanya
Su-to Keng terkejut. "Engkoh, kau adalah saudara sekandungku, jangankan
turun tangan secara menggelap menotok jalan darahku,
sekalipun kau bunuh dan bakar tubuhku, aku juga tidak akan
membenci. Yang kubenci adalah tindakanmu dan tindakan
Ciangbun suheng yang berlaku jahat atas tingkatan tua,
perbuatan itu seperti sudah kehilangan perikemanusiaan dan
akal budinya. Cobalah kau pikir, bagaimana kejam perbuatan
suheng yang sudah menganiaya Kwan Sam Pek susiok
sampai demikian rupa?" berkata Su-to Wie.
Ucapan yang penuh semangat yang diucapkan oleh Su-to
Wie itu membuat terkejut Su-to Keng, tetapi ia segera
mengeluarkan suara tertawa yang menyeramkan, dan berkata
kepada saudaranya: "Kwan Sam Pek terlalu membanggakan diri sebagai
tingkatan tua! Dengan kedudukannya yang sudah
mengundurkan diri, ia mencoba mencampuri urusan besar
partai kita, terhadap ketuanya juga terlalu tidak sopan.
Kesalahan itu bukankah dicari sendiri" Sekalipun dibunuh
rasanya juga tidak ada salahnya. Sebaliknya yang diucapkan
olehnya sebelum lidahnya dipotong oleh Ciangbun suheng,
kita tidak tahu jelas apa yang dimaksudkan?"
Su-to Wie yang menyaksikan sikap engkohnya hanya tahu
bahwa saudara sekandungnya itu telah tersesat terlalu dalam,
rasanya tidak dapat dibiarkan begitu saja, mengingat akan
hubungan saudaranya, ia menghela nafas panjang, setelah itu
baru menjawab: "Kwan susiok dalam hidupnya kecuali kepandaian ilmu
silatnya yang sangat tinggi, juga seorang yang pintar dan
banyak akalnya. Ia hanya tidak menduga bahwa dalam
golongan Tiam-cong-pay ada orang yang berani melanggar
tata tertib serta berkhianat terhadap tingkatan tua, barulah
terbokong olehmu dan Ciangbun suheng! Kata-kata Bunga
song menunjuk jalan, rembulan purnama di atas kepala,
meskipun mengandung maksud sangat dalam, tetapi siaote
sendiri ternyata juga dianiaya pada waktu itu, sehingga
sampai sekarang masih belum dapat memikirkan artinya."
"Adik, kalau kau mengucapkan kata-kata yang tidak
berguna lagi, dan kau tahu tapi juga tidak mau menjawab, itu
berarti mencari kematianmu secara cepat!" Berkata Su-to
Keng sambil tertawa mengejek.
"Sejak aku tertotok jalan darahku di hadapan meja
sembahyang leluhur Tiam-cong-pay, soal mati hidupku sudah
tidak ada dalam pikiranku! Sebagai seorang adik aku hanya
dapat mencoba menasehati engkau, persoalan yang
menyangkut penganiayaan diriku, kau boleh tidak terlalu
pikirkan, tetapi tindakan terhadap Kwan susiok yang demikian
kejam, harus siap sedia untuk menerima pembalasan dari
Tuhan!" Berkata Liong-hui Kiam-khek dingin.
Su-to Keng nampak sangat marah, dengan suara bengis ia
membentak: "Tutup mulutmu, apa yang dinamakan pembalasan dari
Tuhan" Su-to Keng tidak perduli! Sekarang aku hendak
bertanya kepadamu, kau mau melepaskan cita-citamu atau
tidak" Karena aku sudah bertekad hendak menjunjung nama
baik Tiam-cong-pay dan sudah bersumpah hendak menumpas
musuh bebuyutan kita Lo-hu-pay."
"Dendam antara golongan Lo-hu dan Tiam-cong, sudah
berlangsung seratus tahun lamanya, hingga menimbulkan
pertempuran yang tidak henti-hentinya, dan membuat tidak
aman dunia rimba persialtan! Koko, kau tak usah banyak
omong untuk menasehati aku melepaskan cita-citaku yang
hendak memperbaiki hubungan dengan Lo-hu-pay kecuali Su-
to Wie sudah menjadi abu, kalau aku masih hidup pasti aku
akan berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan
permusuhan itu!" Su-to Keng yang mendapat julukan JEJAKA BERTANGAN
GANAS, sudah tentu seorang yang berhati kejam dan
bertangan ganas! Oleh karena Su-to Wie masih merupakan
saudara sekandungnya sendiri, maka ia tidak tega untuk
membunuh. Jikalau orang lain barangkali sudah lama jiwanya
dikirim ke akhirat! Setelah mendengar ucapan Su-to Wie, alis Su-to Keng
berdiri, katanya dengan suara bengis:
"Adik kau masih keras kepala, kalau aku mau mengambil
jiwamu, bukankah itu sangat mudah sekali?"
Dengan sikap yang tak takut sedikit pun juga Su-to Wie
berkata dengan suara gagah:
"Koko, silahkan kau turun tangan, kalau kau membinasakan
adikmu, itulah paling baik, supaya di kemudian hari kalau aku
hendak menuntut balas dendam bagi Kwan susiok, tidak lagi
mengingat adanya perhubungan persaudaraan denganmu,
dengan demikian aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk
bertindak!" Su-to Wie waktu itu bukan saja tidak mudah digertak,
bahkan di hadapan Tho-hwa Niocu dia membeber rahasia Su-
to Keng demikian jelas, hingga sifat kebinatangan Su-to Keng
muncul pula, katanya sambil tertawa dingin:
"Kau jangan coba menggunakan kata-kata hubungan tali
persaudaraan untuk menggerakkan hatiku yang keras, malam
ini aku pasti mengiringi kehendakmu untuk mengirim kau ke
akhirat! Tapi sebelum kau mati masih ada satu hal yang harus
kutanyakan lebih dahulu, jikalau kau tak menjawab dengan
sejujurnya, jangan kau salahkan kalau aku bertindak kejam


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadapmu." Sehabis berkata demikian, dengan senjata pakunya, ia
gunakan untuk melukai paha kiri Su-to Wie, setelah itu ia
berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Ini adalah hubungan tali persaudaraan, biarlah kau lebih
dulu merasakan tangan kejam Su-to Keng, yang berani
menentang kehendaknya!"
Sungguh tidak kecewa Su-to Wie menjadi seorang lelaki
jantan berhati baja, senjata paku yang ganas itu meskipun
masuk dalam daging pahanya sehingga darahnya mengucur
keluar, namun sikap dan wajahnya sedikit pun tidak berubah.
Ia hanya berkata sambil mengerutkan alisnya terhadap
saudara tuanya yang berhati kejam bagaikan serigala itu:
"Koko, kau memperlakukan aku bagaimana pun kejamnya
itu tidak apa. Pertanyaan yang hendak kau ajukan padaku,
jikalau aku tahu, aku pasti menjawabnya! Tetapi sebelum aku
mati aku ada sedikit permintaan, aku berharap supaya kau
mengingat bahwa aku adalah adik kandungmu sendiri, supaya
kau bisa menerima baik permintaanku!"
Pada saat itu, Su-to Keng kembali mengambil dua buah
paku di tangannya, mendengar perkataan itu ia bertanya
dengan nada suara dingin:
"Kau ada permintaan apa, kau katakan dulu, tetapi di
antara kita untuk selanjutnya jangan lagi menggunakan
perkataan saudara sekandung!"
Tadi ketika paku menancap di dalam pahanya, rasa sakit
tidak mematahkan semangatnya, ia sedikit pun tidak
mengerutkan alisnya! Tetapi sekarang setelah mendengar
ucapan terakhir dari Su-to Keng, kata-kata itu sangat menusuk
hati dan perasaannya, sehingga airmatanya mengalir keluar!
Namun demikian, terhadap saudara sekandung itu agaknya
tidak merasa benci, sebaliknya dengan perasaan sayang ia
memandang kepada Su-to Keng, dan katanya lambat-lambat:
"Koko, walaupun kau tega memutuskan hubungan saudara
denganku, tetapi aku yang menjadi adikmu, kecuali di
kemudian hari apabila aku menuntut balas untuk Kwan Susiok
tidak akan memaafkan dirimu, sekarang ini masih tetap. . "
Su-to Keng yang mendengar ucapan itu tidak dapat
mengendalikan hawa amarahnya lagi, ia berkata dengan
suara bengis: "Sekarang kematian sudah berada di hadapan matamu,
dengan apa kau hendak menuntut balas dendam Kwan Sam
Pek" Karena kau masih pandang diriku sebagai engkomu,
maka aku juga akan berikan tanda mata lagi terhadap
kesetiaanmu ini. Tadi paku telah menancap di paha kirimu,
sekarang satu ini ku akan tancapkan di lengan kananmu, kau
ada permintaan apa, mengapa kau tidak lekas jelaskan?"
Sehabis berkata demikian tangannya bergerak dan paku di
dalam genggamannya melesat dan menancap ke lengan
kanan Su-to Wie! Kepandaian ilmu silat Su-to Wie sudah
dimusnahkan, terhadap serangan senjata paku sudah tentu
tidak bisa mengelak dan menyingkir. Ia tahu bahwa malam itu
harapan hidupnya sudah tidak ada lagi, sulit untuk terlepas
dari tangan kejam saudaranya sendiri. maka ia keraskan hati
untuk menerima segala siksaan, sedikit pun tidak ingin
mengelak! Tetapi ketika senjata paku itu melayang ke arahnya,
dengan tiba-tiba lengan kanannya seperti disengat oleh
serangga, hingga dirasakan kesemutan, dengan sendirinya
lengan itu lantas diturunkan dan serangan paku yang
dilancarkan oleh Su-to Keng melayang mengenai bajunya,
kemudian jatuh di atas rumput! Su-to Wie anggap hal itu
bukan suatu kebetulan, mungkin ada orang yang melindungi
dirinya di tempat gelap. Oleh karena ia khawatir menimbulkan
kecurigaan Su-to Keng, maka ia buru-buru berkata:
"Apa yang kuminta ialah harap engko suka mengingat
dengan gelarku Liong-hui Kiam-khek, yang kudapatkan secara
tidak mudah, supaya jangan kau pakai lagi. Untuk selanjutnya
menggunakan gelarmu sendiri JEJAKA BERTANGAN
GANAS, dan sekali pun siaote mati, juga tidak akan
menyesal!" Su-to Keng yang mendengar perkataan itu tertawa
terbahak-bahak, kemudian berkata sambil menganggukkan
kepala: "Aku meminjam nama gelarmu Liong-hui Kiam-khek ini
maksudku semata-mata hendak mencari kesempatan untuk
merampas kehormatan Leng-po Giok-lie Ca Bu Kao, karena
dengan demikian membuatnya mau tak mau harus kawin
denganku, dan dengan demikian pula Lo-hu-pay juga akan
tergabung dalam golonganku!"
Su-to Wie yang mendengar ucapan itu, bulu romanya
berdiri semua, ia bertanya dengan suara gemetaran:
"Dia. . dia. . apakah sudah kau. . ."
Tho-hwa Niocu yang selama itu berdiri di samping
menyaksikan semua itu, tidak pernah mengeluarkan sepatah
kata pun juga, sekarang dia menggertak gigi, ia melirik kepada
Su-to Keng dengan sikapnya yang buas !
Su-to Keng berkata pula: "Tetapi sekarang, entah bagaimana Ca Bu Kao sudah
mengetahui rahasiaku, untuk selanjutnya tidak perlu lagi aku
meminjam gelarmu, maka aku terima baik permintaanmu ini!"
Dari ucapan Su-to Keng tadi, Su-to Wie mengakui bahwa
Ca Bu Kao sudah mengetahui semua rencana jahat Su-to
Keng, dan kesuciannya juga belum ternoda, maka hatinya
merasa girang, katanya sambil tersenyum:
"Terimakasih atas kebaikan koko, kau masih hendak
bertanya apa lagi, apa yang Suto Wie tahu pasti akan
menjawabnya!" Dengan sinar mata buas Suto Keng memandang adiknya
sejenak, kemudian bertanya dengan suara dalam:
"Setan tua Kwan Sam Pek menghargai dirimu, dahulu
dengan seorang diri ia bertempur dengan ketua-ketua Siauw-
lim, Lo-hu dan Ki-lian, senjata pedang Pek-liong-kiam yang
digunakan waktu itu, dan sejilid buku ilmu pedang Pek-liong-
kiam-po, sekarang ada dimana, apakah ia pernah
memberitahukan padamu?"
"Kwan susiok sehabis melakukan perjalanan ke berbagai
tempat, ketika pulang kembali, tidak lama berada di kuil Pho-
hie To-kwan, sudah kau aniaya dengan Ciangbun suheng,
sama sekali belum pernah melakukan pembicaraan denganku,
bagaimana kitab ilmu pedangnya Pek-liong Kiam-po dan
pedangkan Pek-liong-kiam bisa diberitahukan kepadaku?"
Menjawab Suto Wie sambil menggelengkan kepala.
Suto Keng tahu benar sifat-sifat adiknya yang selamanya
tidak pernah membohong, kalau ia berkata demikian, berarti
benar-benar ia tidak tahu tentang kitab ilmu pedang dan
pedang Pek-liong-kiam, maka ia lantas mengeluarkan tiga
buah paku diletakkan dalam telapak tangannya, sambil
pelototkan sepasang mata, ia berkata kepada adiknya:
"Jejaka Tangan Ganas membunuh orang selamanya tak
pernah kedipkan mata, tetapi hari ini aku secara spesial
memberikan kau kesempatan hidup, kau sebetulnya mau atau
tidak. . " Tidak menunggu habis ucapan Suto Keng, Suto Wiwe
sudah menjawab sambil menggelengkan kepala:
"Koko tidak usah menasehati aku apa-apa, hati Suto Wie ini
sudah beku seperti batu. ."
Baru berkata sampai di situ, dihadapannya berkeredepan
tiga buah paku yang dilancarkan Suto Keng, senjata-senjata
rahasia paku itu ditujukan kepada tiga jalan darah di bagian
dada kanan, kiri, dan bagian ketiak!
Dengan serangan itu, Suto Keng menganggap bahwa
adiknya itu pasti binasa, tetapi serangan yang dilakukannya
secara ganas dan secara cepat, dengan tiba-tiba agak miring
ke samping, meluncurnya hampir semua ke bagian kiri, semua
tak mengenai sasarannya, hanya lewat di bawah ketiak Suto
Wie! Pada sebelumnya, ketika serangan yang ditujukan kepada
lengan kanan belum mengenai sasaran, Suto Keng mengira
bahwa adiknya itu mengelak, maka ia tidak ambil pusing,
tetapi kali ini Ia telah merasakan ada apa-apa yang
merintangi, dengan sinar mata buas matanya ditujukan ke
gerombolan rumput di belakang Suto Wie, maka ia curiga di
situ ada orang bersembunyi dan sengaja main gila
terhadapnya ! Tho-hwa Niocu yang berdiri di samping juga sudah
mengetahui ada apa-apa yang tidak beras, tetapi ia masih
berpura-pura tidak tahu, ia memberi isyarat dengan matanya
kepada Suto Keng, katanya sambil tertawa:
"Lukamu baru saja sembuh, tadi malam kau juga berlaku
seperti orang kelaparan, hingga sudah tidak bisa lagi
menggunakan senjata rahasiamu, bukankah ini sangat lucu"
Tetapi kalau kau memang sudah bertekad hendak mengirim
adikmu ke sorga, seharusnya jangan batalkan maksudmu
setengah jalan, kau boleh gunakan lagi serangan tangan
kosongmu Thian-seng-hiu-hoat, kemudian kau serang lagi
dengan senjata pakumu!"
Su-to Keng mengerti maksud ucapan Tho-hwa Nio-cu, dari
sakunya kembali mengambil tujuh buah paku, sedangkan Kiu
Liu Hiang sendiri juga sembunyikan dua butir api Kiu-yu Leng-
hwe, matanya ditujukan ke arah gerombolan rumput di
belakang Su-to Wie, apabila melihat tanda yang mencurigakan
ia segera turun tangan. Selagi sepasang manusia terkutuk itu hendak merncanakan
tipu muslihatnya yang licin, Su-to Wie sendiri dengan tiba-tiba
merasakan sambaran angin dingin pada sepasang pahanya,
sehingga badannya dirasakan dingin.
Di samping itu telinganya juga mendengar suara halus
seperti nyamuk tetapi dapat ditangkap dengan jelas, suara itu
adalah suara orang berbicara ditujukan kepada dirinya:
"Sepasang pahamu yang jalan darahnya sudah ditotok orang
sekarang sudah terbuka, lekas kau berdiri dan lari menuju ke
gerombolan rumput di belakang dirimu, jikalau Su-to Keng
menyerang dengan senjata gelap, kau boleh berlaku pura-
pura sudah pulih kembali kepandaian ilmu silatmu, dengan
secara sembarangan saja kau kibaskan jubahmu, tindakan itu
akan menimbulkan keajaiban.!"
Su-to Wie yang sudah ditotok jalan darahnya sehingga
kehilangan semua kepandaian ilmu silatnya, kembali
dilumpuhkan urat nadi kedua pahanya, sehingga ia tidak bisa
berdiri atau berjalan, maka ketika mendengar ucapan itu ia
masih setengah percaya setengah tidak. Tetapi coba bangkit,
benar saja urat nadinya sudah normal kembali, hingga saat itu
juga berdiri tegak. Su-to Keng yang saat itu baru mengeluarkan lima buah
pakunya, dengan tiba-tiba melihat Su-to Wie berdiri, hingga
wajahnya pucat seketika, sambil mengeluarkan suara
bentakan keras, ia mengeluarkan serangan tangannya yang
paling buas ditujukan kepada saudaranya.
Serangan Thian-seng-chiu-hoat itu, meskipun merupakan
ilmu serangan yang sangat ampuh, tapi kebanyakan
menggunakan senjata rahasia jenis uang logam, atau biji
teratai yang sangat ganas, serangan itu lebih hebat daripada
menggunakan senjata rahasia yang halus.
Su-to Wie waktu itu meskipun sudah bisa berjalan, tetapi
seluruh kepandaian ilmu silatnya sudah dimusnahkan,
terpaksa ia bertindak menurut pesan orang yang
mengucapkan kata-kata secara menggelap tadi. Dengan
lengan bajunya ia kibaskan untuk menyambut senjata rahasia
yang ditujukan kepadanya. Suatu kekuatan tenaga dalam
tanpa berwujud membarengi gerakan Su-to Wie, menyapu
bersih senjata rahasia yang dilancarkan oleh Su-to Keng,
paku-paku itu terjatuh bertebaran di tanah.
Kejadian itu membuat Su-to Keng terheran-heran, hampir
saja ia berteriak. Su-to Wie sendiri juga tidak kalah herannya, karena
mengetahui dirinya terlepas dari bahaya, ia buru-buru
melarikan diri ke gerombolan rumput di belakangnya.
Pada waktu itu dari gerombolan rumput itu dengan tiba-tiba
muncul sebuah kepala aneh yang bentuknya seperti
tengkorak, sedangkan api Kiu-yu-leng-hwe yang sudah
disiapkan oleh Tho-hwa Nio-cu, saat itu juga sudah meluncur
keluar dari tangannya. Begitu api itu tiba, kepala aneh itu juga melesat terbang ke
tengah udara, dan dengan tepat terkena serangan api yang
sangat ganas itu. Ketika api Kiu-yu-leng-hwe itu melesat dan memancarkan
sinarnya yang hijau, baru tampak tegas bahwa kepala yang
seperti tengkorak tadi ternyata memang benar tengkorak
binatang, entah kerbau atau kuda. Tengkorak itu setelah
terkena api Kiu-yu-leng-hwe, telah hancur berantakan,
sehingga apinya juga bertebaran ke sekitarnya. Kejadian itu
mengejutkan Su-to Keng dan Tho-hwa Nio-cu, keduanya
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, dengan cepat lompat
melesat meninggalkan tempat mereka berdiri, karena takut
terbakar oleh api Kiu-yu-leng-hwe yang dilepaskan sendiri.
Tetapi dua manusia jahat dan kejam itu bagaimana mau
mengerti. Keduanya setelah menyingkir dari tempat bahaya,
kembali melompat melesat menyerbu Su-to Wie yang belum
sembunyikan diri di gerombolan rumput, tetapi pada saat itu
dengan tiba-tiba terdengar suara orang yang bagaikan
geledek kerasnya. Suara itu sangat ringkas, hanya terdiri dari
empat kata: "DIMANA. . HATI. . NURANIMU ITU. .?"
Ucapan "Dimana hati nuranimu itu?" masuk dalam telinga
Su-to Keng, dengan tiba-tiba ia terdiam. Pengalamannya
ketika berada di gunung, waktu ia sedang menggunakan obat
bius hendak menodai Ca Bu Kao, pengalamannya waktu itu
juga sama dengan yang dialami malam ini, maka buru-buru ia
menarik tangan Tho-hwa Nio-cu, dua-duanya lantas melarikan
diri ke dalam tanah kuburan yang luas dan sepi itu.!
Su-to Wie dengan perasaan bingung dan terheran-heran
berjalan masuk ketempat yang penuh rumput itu, tetapi
didalam gerombolan rumput itu ternyata tidak ada orangnya,
hanya di atas tanah ia menemukan sepotong kertas dan
sebutir obat pil warna merah, diatas kertas itu terdapat tulisan
yang berbunyi: "MAKAN PIL INI DULU BARU BACA
TULISAN" Pada saat seperti itu, Su-to Wie sudah tentu menurut saja,
ia mengambil pil warna merah itu lalu ditelannya. Saat itu
sekujur badannya terasa hangat dan kemudian ia membuka


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampul di atas kertas itu terdapat tulisan yang berbunyi:
"LEMBAH LIE-CIE-KOK DIGUNUNG KOLO-KONG-SAN,
BUNGA SONG MENUNJUKAN JALAN, REMBULAN DIATAS
KEPALA!" Dari kata-kata yang berbentuk syair itu, kalau dihubungkan
bait yang diatas agaknya lebih mudah, tetapi bait yang bawah
agak sulit, sebab lembah Lie-cie-kok di gunung Kolo-kong-san
itu jelas merupakan nama suatu tempat, sedang barisan
bawah yang dikatakan "Bunga Sing menunjuk jalan, rembulan
di atas kepala" bukan saja tidak tahu ia apa maksudnya, yang
mengherankan ialah, bunyi kata-kata itu sama dengan apa
yang diucapkan oleh susioknya Kwan Sam Pek, ketika hendak
dipotong lidahnya oleh Thiat-kwan Totiang.
Lama Su-to Wie memikirkan artinya tulisan dalam surat itu,
dengan tiba-tiba ia merangkaikan bariasan kata-kata itu
dengan pertanyaan Su-to Keng kepada dirinya tentang
pedang Pek-liong-kiam dan kitab ilmu pedang Pek-liong Kiam-
pho. Diam-diam ia berpikir: Apakah sebelum Kwan susiok
dianiaya maksudnya ia memanggil aku, supaya aku bertindak
menurut kata-kata yang mengandung rahasia itu, untuk
mencari pedang Pek-liong-kiam dan kitabnya Pek-liong Kiam-
pho dengan itu untuk membereskan perpecahan golongan
Tiam-cong-pay dan menghukum ketuanya yang berbuat
melanggar aturan" Setelah berpikir demikian, ia pikir hendak menuju ke
lembah Lie-cie-kok, di gunung Ko-lo-kongsan untuk mencari.
Sejak ia makan pil merah tadi, semangatnya terbangun, tetapi
oleh karena jalan darah Ngo-im-hiatnya tertotok, kekuatan
tenaga dalamnya masih belum pulih kembali, ditambah lagi
karena paha kirinya tertusuk oleh Paku Su-to Keng, barangkali
sebelum tiba ditempat yang dituju sudah dikejar dan
dibinasakan oleh Thiat-kwan Totiang dan saudara
sekandungnya sendiri yang berhati kejam.
Selagi masih dalam keadaan ragu, tiba-tiba angin meniup
kencang sehingga awan-awan di langit tersapu bersih, kini
rembulan memancarkan sinarnya yang terang benderang lagi.
Dengan munculnya sinar bulan, hati Su-to Wie yang sudah
dingin, dengan tiba-tiba hangat lagi, ia pikir jika bukan orang
ajaib tadi yang memberikan pertolongan, itu pasti sudah mati
ditangan saudaranya sendiri. Bagaimanapun juga dirinya toh
seolah-olah hidup kembali dari kematian, apa salahnya kalau
menurut petunjuk surat itu pergi ke gunung Ko-lo-kongsan
untuk mengadu untung. Sambil mengertek gigi, ia mencabut paku yang menancap
di paha kirinya. Setelah itu ia ikat lukanya dengan sobekan
pakaiannya, setelah selesai semua ia melanjutkan
perjalanannya ke gunung Ko-lo-kongsan.
Biarlah kita tinggalkan dulu Su-to Wie yang melakukan
perjalanannya ke gunung Ko-lo-kongsan, sekarang kita balik
ke kuil Po-hie-to-kwan digunung Tiam-cong-san.
Ketua Tiam-cong-pay Thiat-kwan Totiang bersama sutenya
sejak kembali pertemuannya digunung Oe-wan, ia sendiri
bersama sutenya Liu Hwa, lantas melakukan perjalanannya
menuju ke propinsi Im-lan, sedangkan Su-to Keng karena
ingin bersenang-senang dengan Tho-hwa niocu maka hingga
saat itu masih belum kembali ke gunung.
Dari pengalamannya selama di gunung Oey-san Thiat-
kwan Totiang tahu benar bahwa rencana yang diatur bersama
ketua Kie-lian-pay Khie Thay Cao ada kemungkinan akan
gagal, pertempuran hebat dalam rimba persilatan sudah
berada di depan mata. Maka setelah kembali ke po hie-to-
kwan, segera mengumpulkan semua tokoh kuat golongan
Tiam-cong, tiap orang diberikan sekantong kecil pasir
beracun, yang dianggap barang pusaka dan tidak sembarang
digunakan, ia tugaskan kepada semau anak buahnya supaya
giat melatih ilmunya Lui-hwa-cang-hwat dan ilmu pedang Hui-
hong-u-liu-cang-hwat. Hari itu ketika That Kawan totiang sedang memeriksa
sendiri latihan beberapa anak buahnya tiba-tiba mendapat
laporan rahasia, bahwa adik seperguruan ketua Lo-hu-pay,
Leng-po Giok-li Ca Bu Kao dengan seorang diri datang
berkunjung dan kini sudah berada di bawah kaki gunung
Tiam-cong-san. Thiat-kwan Totiang bersama sutenya Liu Hwa saling
pandang sejenak, lantas berkata sambil mengerutkan alisnya:
"Ca Bu Kao seorang diri datang ke Tiam-cong, mungkin sudah
bosan hidup. Tetapi terhadap wanita itu aku masih ingin
menggunakan tenaganya, Lui sute kau sambut
kedatangannya menurut tata cara dunia Kangouw."
Lui Hwa menganggukkan kepala, dengan mengajak dua
imam kecil berjalan keluar untuk menyambut kedatangan Ca
Bu Kao. Ca Bu Kao sejak mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya tentang diri Su-to Wie sudah bertekad hendak
menolongnya. Maka dengan cara menempuh bahaya ia pergi
ke gunung Tiam-cong-san tetapi ia juga tahu bahwa dengan
seorang diri untuk menghadapi begitu banyak tokoh-tokoh
kuat, memang sangat berat, ia juga tahu bahwa ia tidak
sanggup melawan Thiat-kwan Totiang dll. Maka ia telah
mengambil keputusan tidak akan masuk secara menggelap,
sebaliknya dengan menurut peraturan rimba persilatan dia
datang berkunjung secara terang-terangan. Dia hendak
menggunakan cara dan kata-kata untuk membuka rencana
busuk di kalangan Tiam-cong-pay, ia ingin tahu bagaimana
ketua Tiam-cong-pay hendak menjawab.
Begitu kedatangannya disambut oleh Lui Hwa, ia terpaksa
mengendalikan hawa amarahnya, ia berkata sambil memberi
hormat: "Ca Bu Kao dengan secara lancang datang
berkunjung, harap locianpwe suka memaafkan."
Lui Hwa menganggukkan kepala membalas hormat, dan
berkata sambil tersenyum: "Ca lihiap datang berkunjung dari
tempat jauh, ini membuat Pho-hie Tokwan merasa bangga.
Liu Hwa diperintahkan oleh Ciangbunjin menyambut, silahkan
Ca lihiap masuk ke dalam kuil."
Habis berkata ia lalu minggir dan mempersilahkan tamunya
itu masuk. Golongan Tiam-cong dan golongan Lo-hu telah lama saling
bermusuhan, maka Kuil Pho-hie Tokwan itu bagaikan sarang
harimau. Tetapi Ca Bu Kao oleh karena hendak menolong
kekasihnya sekalipun gunung api, ia juga dianggap sebagai
jalan besar, maka sedikitpun tidak merasa takut, ia berjalan
masuk. Thiat-kwan Totiang menunggu di ruangan tengah, Ca Bu
Kao lebih dulu memasang dupa di hadapan Ceng Cowsu,
setelah itu ia duduk ditengah pandangan mata semua anak
murid Tiam-cong. Tak lama kemudian, seorang imam kecil keluar membawa
teh, Thiat-kwan Totiang mempersilahkan tamu itu minum,
kemudian bertanya sambil tersenyum:
"Belum lama kita berpisah di puncak Thian-tu-hong, entah
ada keperluan apa Ca-lihiap datang berkunjung?"
Ca Bu Kao tersenyum, ia menjawab sambil menatap wajah
Thiat-kwan Totiang: "Totiang yang sudah tahu, perlu apa pura-pura bertanya"
Ca Bu Kao juga selamanya tidak pernah membohong,
kedatanganku ini adalah hendak mencari Liong-hui Kiam-khek
Suto Wie!" Thiat-kwan tidak menduga bahwa Ca Bu Kao sudah
mengetahui keadaan yang sebenarnya, tetapi ia masih
mengira bahwa yang dimaksudkan oleh Ca Bu Kao adalah
Liong-hui Kiam-khek yang palsu, maka lantas berkata sambil
tersenyum: "Suto Wie sejak pertemuan di gunung Oey-san, oleh
karena masih ada urusan pribadi, kini masih belum kembali. . "
"Orang yang kucari bukanlah Liong-hui Kiam-khek yang
turut hadir di pertemuan gunung Oey-san, melainkan Liong-hui
Kiam-khek Suto Wie yang kau keram di dalam kuil Pho-hie To-
kwan ini!" Thiat-kwan Totiang yang mendengar perkataan itu
sepasang alisnya dikerutkan, tanyanya:
"Bagaimana Ca lihiap dengan tiba-tiba berbicara soal
rahasia kepadaku" Suteku belum pernah melanggar peraturan
perguruan, dengan cara bagaimana harus dikeram" Apalagi
aku tadi sudah menjelaskan bahwa ia masih berada di luar,
belum kembali ke gunung!"
"Ucapan Totiang ini hanya berpura-pura untuk mengelabui
mata orang saja! Suto sutemu yang masih belum kembali dan
sedang bersenang-senang dengan Tho-hwa Niocu barangkali
bukan Suto Wie, melainkan Suto Keng!"
Thiat-kwan Totiang yang mendengar ucapan itu, dalam hati
diam-diam terkejut, sebab rahasia itu dengan cara bagaimana
diketahui oleh Ca Bu Kao" Tetapi karena ia harus
mempertahankan kedudukannya sebagai ketua, terpaksa
pegang teguh pendiriannya, katanya dengan suara heran:
"Ca lihiap, oleh karena hari ini kau datang ke sini dan
menurut aturan dunia Kang-ouw, maka menjadi tamu agung
bagiku, Thiat-kwan Totiang, tidak pantas bagiku mengeluarkan
perkataan yang tidak sopan terhadapmu! Tetapi aku juga
minta agar Ca lihiap hargai diri sendiri, jangan lagi
mengucapkan perkataan yang bukan-bukan, Suto Keng
suteku, bukankah sudah tiga tahun berselang sudah dihajar
oleh sucimu, dan jatuh ke dalam sungai?"
Mendengar jawaban itu, Ca Bu Kao tahu bahwa Thiat-kwan
Totiang sudah pasti tidak mau mengaku terus terang!
Sedangkan ia sendiri saat itu juga tak dapat mengeluarkan
bukti-buktinya yang kuat, apabila satu sama lain tidak dapat
keakuran dan timbul perselisihan, sudah pasti dia sendiri yang
mendapat kesulitan, bahkan sama sekali tidak ada faedahnya
bagi Liong-hui Kiam-khek yang hendak ditolong!
Setelah dipertimbangkan untung ruginya, maka hawa
amarahnya mulai reda, ia tidak lagi mendesak, sebaliknya
berkata sambil tertawa: "Ca Bu Kao hanya dengar cerita orang saja, belum
dipastikan kebenarannya! Dan kini Ca Bu Kao minta diri, aku
juga membawa pesan suciku, minta kita sama-sama mencari
dan menyelidiki persoalan yang menyangkut duri beracun
Thian-kheng-cek." Sementara itu, Lui Hwa yang mendengar ucapan Ca Bu
Kao, jelas gadis itu sudah mengetahui Suto Keng yang
menyamar menjadi Suto Wie, ia merasa bahwa gadis itu
sudah tidak bisa lagi untuk memihak kepada Tiam-cong-pay,
maka pikirnya selagi datang seorang diri, lebih baik
disingkirkan, supaya golongan Lo-hu-pay kehilangan seorang
muridnya yang kuat! Oleh karena itu maka ketika mendengar Ca Bu Kao minta
diri, lantas memberi isyarat dengan lirikan mata kepada Thiat-
kwan Totiang tetapi Thiat-kwan Totiang sebaliknya pura-pura
tidak melihat, ia bangkit dan berkata sambil tersenyum:
"Persoalan yang menyangkut duri beracun Thian-kheng-
cek merupakan perhatian yang tidak akan kulupakan tiap
siang hari dan malam. Thiat-kwan juga sudah mengurus
beberapa anak murid Tiam-cong yang pandai untuk
mengadakan penyelidikan, jikalau Ca lihiap mendapat kabar
harap suka mencari anak buah Tiam-cong-pay yang terdekat,
supaya memberi kabar kepadaku, atas budimu itu terlebih
dahulu Thiat-kwan mengucapkan banyak-banyak terima
kasih!" Ca Bu Kao membalikkan diri dan keluar dari ruangan itu,
Thiat-kwan Totiang membalas hormat dan mengantarkan
sendiri sehingga di luar kuil!
Setelah Ca Bu Kao pergi jauh, Lui Hwa ketika kembali ke
kuil bertanya kepada suhengnya dengan terheran-heran:
"Toa suheng, apakah kau anggap bahwa perempuan itu
masih dapat kita gunakan?"
Thiat-kwan Totiang ketika ditanya demikian lantas tertawa
terbahak-bahak: Perbuatan itu telah menimbulkan keheranan Lui Hwa!
Setelah berhenti tertawanya, Thiat-kwan Totiang berkata
sambil menatap wajah sutenya:
"Lui jite, bagaimana kau pandang suhengmu sudah begitu
rendah" Ca Bu Kao sudah tahu bahwa Suto samte menyamar
menjadi Liong-hui Kiam-khek, bagaimana kita bisa gunakan
lagi?" Lui Hwa meskipun juuga merupakan orang yang kejam,
tetapi kalau dibanding dengan toa suhengnya itu, masih kalah
jauh! Saat itu ia masih belum dapat memahami maksud Thiat-
kwan Totiang, maka ia bertanya dengan perasaan heran:
"Kalau toa-suheng sudah tahu bahwa perempuan itu sudah
tidak ada harganya untuk digunakan, mengapa setelah ia
masuk jaring sendiri, sebaliknya kau lepaskan lagi, apakah
tidak menimbulkan bahaya di kemudian hari?"
Thiat-kwan Totiang mengulurkan tangannya dan menepuk
pundak Lui Hwa, katanya sambil tertawa terbahak-bahak:
"Lui jite, di dalam hal kepandaian ilmu silat, meskipun kau
dapat direndengkan dengan tokoh silat manapun juga, tetapi
di dalam gal kecerdikan otak, kau masih perlu banyak belajar,
dan kau kira Ca Bu Kao yang datang dari tempat demikian
jauh, sudah cukup dengan sepatah dua patah kata lantas
pergi begitu saja?" Kini Kui Hwa barulah sadar, katanya:
"Apa toa suheng anggap Ca Bu Kao masih berani
menyirapi kuil Pho-hie To-kwan?"
"Tidak perduli lelaki atau perempuan, asal sudah terlibat
oleh asmara, pasti berusaha sebisa mungkin untuk menolong
kekasihnya yang berada dalam keadaan bahaya, tidak akan
menghiraukan keselamatan diri sendiri! Maka jangan kata
hanya kuil Pho-hie To-kwan kita, sekalipun lautan api, Ca Bu
Kao juga akan menerjangnya! Maka itu, malam ini ia pasti
akan datang lagi," Berkata Thiat-kwan Totiang sambil tertawa.
Lui Hwa diam-diam mengagumi kecerdikan suhengnya, ia
berkata sambil tersenyum:
"Kepandaian ilmu silat golongan Lo-hu gadis itu, kita tidak
boleh pandang ringan, apalagi ilmu serangan tangan
kosongnya Pan-sian-ciau-lek, lebih-lebih kita harus berjaga-
jaga, nanti malam kalau ia datang, apakah siaute sendiri yang
harus menghadapinya?"
"Lui jite, pikiran seperti kau ini merupakan pikiran yang
kurang tepat! Kalau aku hendak membunuh dia secara


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudah, apa perlunya tadi kubiarkan ia keluar dari kuil ini?"
Berkata Thiat-kwan Totiang sambil menggelengkan kepala.
Lui Hwa merasa bingung atas jawaban suhengnya itu
sehingga ia berdiri termangu-mangu.
Thiat-kwan Totiang yang melihat sikap sutenya, lantas
tertawa dan berkata: Ada sebuah pepatah yang sangat bagus: Kalau
membentang gendewa harus membentang dengan tertib,
kalau menggunakan anak panah harus menggunakan yang
panjang, kalau hendak memanah orang, lebih dulu harus
memanah keduanya, kalau hendak menangkap penjahat,
lebih dulu menangkap kepalanya. Dan kalau hendak
membunuh orang, ialah menghancurkan perasaan hatinya
adalah yang paling baik! Malam ini tidak perlu kita
menggunakan ilmu Liu-hwa-ciang, juga ilmu Hui-hong-u-liu-
kiam-hwat atau pasir beracun yang telah kau latih demikian
rajinnya, Aku jamin Ca Bu Kao pasti runtuh nyalinya dan
terbang semangatnya, ia pasti akan bunuh diri sendiri karena
tidak tahan penderitaan hatinya."
Tetapi penjelasan Thiat-kwan Totiang itu makin
membingungkan Lui Hwa, setelah ketua Tiam-cong-pay itu
bisik-bisik di telinganya, Lui Hwa barulah mengerti dan
menyatakan kekagumannya. Benar saja seperti apa yang telah diduga oleh Thiat-kwan
Totiang, Ca Bu Kao telah mengambil keputusan malam itu
hendak mengadakan penyelidikan di dalam kuil Pho-hie To-
kwan. Setelah ia keluar dari kuil Pho-hie To-kwan, dengan
seorang diri ia pesiar di tempat sekitar daerah itu, untuk
melewatkan waktu, Tetapi oleh karena pikirannya selalu
memikirkan keselamatan kekasihnya, maka ia menikmati
semua pemandangan alam itu dengan perasaan kosong!
Malam yang dinanti-nantikan itu akhirnya telah tiba, di
tengah udara diliputi oleh awan, keadaan tidak begitu terang,
Ca Bu Kao mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya lari
menuju ke markas Tiam-cong-pay ialah kuil Pho hie to kwan!
Keadaan kuil itu tidak ada tanda-tandanya yang luar biasa,
beberapa anak murid Tiam cong pay agaknya masih
melakukan ibadat, di malam yang sunyi itu, kadang-kadang
terdengar suara orang membaca kitab suci, tidak seperti
sarang penjahat yang diliputi oleh kebuasan.
Oleh karena kuil itu memakan tempat sangat luas, di
bagian depan bahkan kadang-kadang dikunjungi oleh
penduduk di bawah kaki gunung, maka Ca Bu Kao tahu
apabila ada rahasia, pasti berada di bagian belakang. Dengan
sangat hati-hati sekali, ia berjalan menuju ke bagian belakang
untuk mencari tempat di mana di kurungnya sang kekasih!
Setelah melalui tiga ruangan besar, di depan matanya
terdapat sebuah dinding tembok yang tinggi, pintu besinya
tertutup rapat, di depan pintu terdapat tulisan yang berbunyi
Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk! Ca Bu Kao yang
memeriksa keadaan di situ, mengingat pula temboknya yang
sangat tinggi, maka ia menarik kesimpulan bahwa di balik
dinding tembok itu pasti merupakan tempat penting dari kuil
itu! Benar saja, ketika Ca Bu Kao baru saja melayang ke atas
tembok, sudah terdengar suara yang timbul dari sebuah kupel
yang berbentuk aneh, suara itu merupakan suara orang
ketawa yang menyeramkan. Suara itu begitu masuk di telinga Ca Bu Kao segera
dikenalinya sebagai suara tertawa ketua Tiam-cong pay
sendiri Thiat kwan Totiang!
Tetapi bangunan berbentuk segi delapan itu sesungguhnya
sangat aneh temboknya setinggi sekitar dua tombak, bukan
saja tidak kelihatan atapnya, juga tidak ada pintu dan
jendelanya. Pada bagian yang dihadapi oleh Ca Bu Kao,
terdapat sebuah lobang bundar, garis tengahnya 1 kaki.
Lui Hwa yang termasuk jago pedang nomor dua golongan
Tiam cong, dengan empat orang anak buahnya masing-
masing dengan pedang terhunus berdiri di luar lobang,
agaknya sedang bertugas sebagai penjaga.
Ca Bu Kao yang menyaksikan keadaan demikian, diam-
diam timbul rasa curiganya, dalam hati bertanya-tanya sendiri,
entah apa yang dilakukan oleh Thiat kwan Totiang di dalam
tempat aneh itu" Mengapa ia menunjukkan sikap demikian
hati-hati" Belum lenyap pikirannya itu, dari dalam bangunan aneh itu
tiba-tiba terdengar suara jeritan mengerikan, selanjutnya
disusul oleh suara tertawa yang keluar dari mulut Thiat-kwan
Totiang. Suara jeritan itu, kedengaran sangat mengerikan, sehingga
bisa menegakkan bulu roma, tetapi suara tertawa itu
kedengarannya sangat buas dan menyeramkan.
Ca Bu Kao sejak diberitahu oleh duta bunga mawar bahwa
ada orang yang menyaru Long-hui Kiam Khek yang tulen,
hatinya selalu memikirkan keselamatan kekasihnya maka
ketika mendengar suara yang mengerikan itu, hatinya merasa
hancur luluh, dan setelah mendengar tertawanya ketua Tiam-
cong-pay yang menyeramkan, dengan sendirinya lantas
menduga kepada diri Su-to Wie.
Oleh karena di hadapannya tampak Lui Hwa bersama
empat anak buah Tiam-cong-pay yang menjaga keras, Ca Bu
Kao terpaksa hendak mengintai dari atas tembok yang tinggi
itu, maka diam-diam ia memutar kebagian samping.
Selama ia berjalan setapak demi setapak itu suara jeritan
dan suara tertawa bukan saja masih terdengar nyata, bahkan
suara tertawa ketua Tiam-cong-pay itu semakin lama semakin
bengis, dan suara jeritan itu juga semakin lama semakin
menyayat hati. Sehingga membuat Ca Bu Kao yang sudah
lama berkelana di dunia Kangouw dan sudah lama pula
menghadapi segala bahaya, perasaannya menjadi tidak
tenang dan hatinya berdebaran.
Memutar kira-kira sepuluh tombak, Ca Bu Kao dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh lompat melesat, kedua
tangannya memegang tembok, sepasang matanya ditujukan
kebagian dalam. Benar saja Liu Hwa dan empat anak
buahnya teraling oleh tembok tinggi dan tidak melihat dirinya.
Karena tempat itu merupakan sarang harimau ia khawatir
sedikit suara bisa menimbulkan curiga, maka ia tidak
menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk melesat lebih
jauh, setapak demi setapak ia berjalan ke bangunan yang
aneh itu. Baru saja ia mendekati tembok di bawah bangunan itu,
kembali terdengar suara mengerikan. Tetapi suara itu
meskipun mengerikan, namun sudah mulai agak perlahan,
seolah-olah orang tersiksa itu sudah tidak punya tenaga lagi
untuk mengeluarkan suara.
Hati Ca Bu Kao berdebar semakin keras, ia mengerahkan
ilmu meringankan tubuh lompat melesat setinggi setombak
lebih, dengan cepat menggunakan kedua tangannya
merambat ke atas, untuk mengintai keadaan dalam tembok.
Bangunan yang berbentuk aneh itu menggunakan jaring
tembaga yang sangat rapat sebagai gantinya atap rumah,
atap jaring tembaga itu tampak sinar terang benderang, tetapi
keadaan yang mengerikan membuat Ca Bu Kao yang
menjuntai hampir saja terlepas tangannya karena tak sanggup
menahan kesedihannya. Bangunan berbentuk aneh yang ditutup oleh jaring
tembaga itu hanya sekitar tujuh-delapan tombak saja, tetapi
kecuali bara api yang menyala sedikitpun tidak terdapat alat-
alat yang lainnya, dalam ruangan itu hanya terdapat tiga orang
satu seorang imam kecil berpakaian hijau, satu lagi ialah ketua
Tiam-cong-pay sendiri Thiat-kwan Totiang, dan yang lain
seorang yang bagian atas badannya terbuka seluruhnya,
sedang bagian bawah hanya mengenakan celana pendek, di
belakang punggungnya terdapat tanda-tanda hangus melepuh
bekas terbakar, sehingga sekujur kulitnya melepuh, dan waktu
itu sudah tengkurap di tanah dalam keadaan pingsan.
Ca Bu Kao meskipun tidak melihat wajah orang yang
disiksa itu, tetapi dari belakang punggungnya dan potongan
tubuhnya, sangat mirip dengan kekasihnya yaitu Liong-hui
Kiam-khek Su-to Wie. Selagi Ca Bu Kao berada dalam keadaan terkejut dan hati
pilu, Thiat-kwan Totiang yang sangat buas dan kejam kembali
memperdengarkan suara tawanya yang menyeramkan, dan
kemudian disusul oleh kata-katanya: "Karena Sute sudah tidak
mau bekerja sama denganku, apalagi Lo-hu-pay sudah
mengirimkan hal-hal yang tidak diingini, terpaksa suhengmu
bertindak. Tetapi bagi kita, sebelum aku mengiringi kehendakmu, aku masih suruh kau merasakan tangan Ciang-
bun suhengmu supaya semua tahu bahwa barang siapa yang
berani menentang kehendakku harus kuperlakukan dengan
cara seperti ini." Kata-kata yang keluar dari mulut Thiat-kwan Totiang, setiap
patah kata bagaikan ujung pedang yang menikam ulu hati Ca
Bu Kao, hingga hatinya dirasakan hancur luluh, hampir saja ia
jatuh pingsan. Sebab, meskipun Thiat-kwan Totiang tidak
menyebut nama Su-to Wie tetapi dari maksud yang diucapkan
itu sudah dapat dimengerti bahwa orang yang disiksa itu benar
adalah Liong-hui Kiam-Khek Su-to Wie yang tak mau menurut
kehendak suhengnya. Pada saat itu Thiat-kwan Totiang memberi isyarat dengan
tangan kepada imam kecil berbaju hijau, imam itu lantas
mengangkat seember air dingin, diguyurkan ke badan orang
yang disiksa, setelah itu ia mengulurkan tangannya
membalikkan orang yang bernasib malang itu.
Ca Bu Kao dalam hatinya masih mengandung sedikit
harapan, matanya ditujukan kebagian muka orang yang
disiksa itu, tetapi baru saja dilihatnya, kembali hatinya hancur
luluh. Sebab muka orang itu keadaannya sama dengan
belakang punggungnya, semuanya sudah melepuh tidak
dapat dikenali lagi. Thiat-kwan Totiang seolah-olah tidak mempunyai perasaan
sama sekali, menghadapi orang yang keadaannya demikian
mengenaskan masih tidak berbalik perasaannya, dengan
nada suara dingin ia berkata kepada imam berbaju hijau: "Kau
gunakan lagi besi panas itu satu kali lagi, aku nanti akan
segera kirim ia untuk menghadap si susiok dialam baka."
Kata-kata "Si susiok" itu benar-benar telah membuyarkan
semua harapan Ca Bu Kao, otaknya saat itu dirasakan kosong
melompong, yang tinggal hanya suatu keinginan saja,
keinginan itu adalah mati. Ia sudah ingin menggunakan
ilmunya untuk menggempur kepala sendiri, mengikuti
kekasihnya pergi bersama ke lain dunia.
Ini bukankah karena Ca Bu Kao terlalu lemah tidak berani
menggempur orang-orang Tiam-cong-pay. Oleh karena situasi
pada saat itu tidak menguntungkan pihaknya. Setelah
menunjukkan betapa hebat dan betapa kuat penjagaan Tiam-
cong-pay, karena ia tidak sanggup meluncur melalui atap
jaring itu, juga tidak sanggup dalam waktu sangat singkat
memukul mundur Lui Hwa dan empat anak buahnya yang
menjaga tempat itu, apalagi asal di luar terjadi sedikit
pergerakan saja, Thiat-kwan Totiang yang berada didalam
sudah pasti akan menurunkan tangan kejam.
Dalam keadaan yang sudah tak berdaya sama sekali itu,
maka Ca Bu Kao barulah timbul keinginannya yang hendak
menghabisi jiwanya sendiri.
Tapi baru saja ia hendak melaksanakan keinginannya,
sebelum tangan menggempur kepalanya sendiri, tiba-tiba ia
teringat pula, lebih baik ia mati dengan jalan lempar dirinya
dari atas gunung Tiam-cong-san atau ke dalam laut, tetapi
tidak boleh mati ditempat itu. Sebab jika orang Tiam-cong-pay
yang merupakan manusia-manusia buas tidak tahu malu,
apabila melakukan perbuatan keji terhadap jenasahnya, bukan
saja ia akan mengandung malu, tetapi juga akan menodai
nama baik Lo-hu-pay. JILID 8 Oleh karena berpikir demikian, ia batalkan tekadnya
hendak bunuh diri, dan sementara itu tangannya terdengar
suara "Ser. ." setelah hidungnya mengendus bau daging
terbakar. Imam kecil itu sudah mulai menggunakan besinya
yang panas untuk menyiksa lagi.
Ca Bu Kao tidak tega menyaksikan kekasihnya disiksa
demikian rupa, sambil menggertak gigi melayang turun dan
lari meninggalkan tempat itu.
Baru saja ia bergerak, Lui Hwa yang ditugaskan untuk
menjaga tempat itu, sudah mengetahui, matanya lalu ditujukan
ke arahnya, dan berseru sambil mengeluarkan suara bangga:
"Budak hina Ca Bu Kao tunggu dulu, kau dari tempat sejauh
ribuan pal, dua kali kau memasuki kuil Pho-hie-to-kwan
dengan secara terang dan menggelap, bagaimana kau tidak
meninggalkan ilmumu golongan Lo-hu-pay?"
Ca Bu Kao yang sudah bertekad hendak korbankan jiwa
bagi kekasihnya, tetapi ia juga berusaha untuk
mempertahankan kesuciannya, maka ia tidak menghiraukan
tantangan Lui Hwa, ia tetap mengarahkan tenaganya, dengan
menggunakan ilmunya meringankan tubuh, terus lari, sedang
mulutnya menjawab dengan suara bengis:
"Kawanan manusia durhaka, kejahatan kalian pasti akan
mendapat pembalasan jahat pula! Su-to Wie dan Ca Bu Kao,
di masa hidupnya menjadi seorang gagah, mati juga akan
menjadi setan gagah pula. . . . ."
Baru saja hendak meninggalkan tempat berbahaya itu, dari
bagian lain tampak tiga bayangan orang mengejar padanya!
Ca Bu Kao mengira terjebak pula oleh pasukan
tersembunyi Tiam-cong-pay, terpaksa ia mengertak gigi, baru
saja ia hendak melawan secara mati-matian tetapi dengan
tiba-tiba ia dapat lihat bahwa orang yang menuju ke arahnya
itu adalah bala bantuan yang merupakan Say Han kong, Utie
Khao dan Hee Thian Siang yang hendak membantu dirinya!
Melihat kedatangan ketiga bala bantuan itu, kesedihan
dalam hati Ca Bu Kao kini telah meledak tak ampun lagi
airmatanya mengalir ke luar, dan berkata kepada Say Han
Kong bertiga dengan suara sedih:
"Say locianpwe bertiga sudah datang, ca Bu Kao meskipun
mati juga tidak akan menyesal tapi kuminta supaya Say


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

locianpwe bertiga suka membawa jenasahku keluar dari
daerah Pho-hie to-kwan ini, atau kalau tidak biarlah
musnahkan saja, sekali-kali jangan terjatuh ke tangan
manusia-manusia berhati serigala ini, ca Bu Ka0 sekali pun
mati juga akan masih merasa bersyukur dan berterima kasih
kepada Say locianpwe sekalian!"
Ucapan tersebut baru keluar dari mulutnya, bibirnya
tersungging senyuman getir, ilmunya Pan-sin cian-lek
dikerahkan ke tangan kanan, lalu diangkat hendak memukul
kepalanya sendiri. Hee Thian Siang yang bermata jeli secepat kilat sudah
mencegah maksud ca Bu Kao, ia bertanya dengan perasaan
heran: "Bibi Ca, mengapa kau hendak mengambil jalan pendek?"
Semula Ca Bu Kao yang ditanya itu wajahnya menjadi
merah, tetapi kemudian dengan sinar mata yang tajam ia
menjawab dengan suara lantang:
"Aku dengan Liong-hui Kiam-kek Suto Wie, sudah
bersumpah sehidup semati, sekarang dia sudah mati di
tangan ketuanya yang juga merangkap menjadi suhengnya,
yang ternyata tidak mempunyai perikemanusiaan!"
Hee Thian Siang yang mendengar ucapan itu juga terkejut,
ia bertanya pula dengan hati cemas:
"Bibi Ca, Liong-hui Kiam-kek Suto Tayhiap mati di mana"
Dengan cara bagaimana kau tahu?"
Ca Bu Kao membalikkan dirinya dan menunjuk bangunan
aneh itu seraya berkata: "Aku tadi telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ia
disiksa dengan besi panas di dalam kamar tahanan itu,
sekarang barangkali sudah putus jiwanya."
Pada saat itu Lui Hwa tidak maju mengejar lagi hanya
dengan sikap sangat tenang berkata dengan suara pelahan
kepada Thiat-kwan Totiang yang baru keluar dari kamar
tahanan. Tetapi di sekitar Say Han Kong, Oe-tie Khao Hee
Thian Siang dan Ca Bu Kao berdiri, entah dari mana
datangnya orang-orang begitu banyak yang sudah mengurung
dengan senjata terhunus! Hee Thian Siang yang mendengar keterangan dari Ca Bu
Kao bahwa gadis itu pernah menyaksikan Suto Wie disiksa
dalam kamar rahasia itu, lantas saling berpandangan mata
dengan Say Han Kong dan Oe-tie Khao mereka merasa
terheran-heran, maka dengan sungguh-sungguh berkata
kepada Ca Bu Kao: "Bibi Ca, manusia hidup dalam dunia paling berharga
adalah kawan sejati, jikalau Liong-Hui Kiam-kek Suto Tayhiap
benar-benar sudah teraniaya, maka Hee Thian Siang sudah
tentu tidak berani menghalangi bibi Ca yang hendak
menghabiskan jiwa sendiri untuk mengikuti jejak tayhiap!"
Mendengar ucapan Hee Thian Siang itu, Ca Bo Kao agak
heran, maka lalu bertanya:
"Apakah maksud ucapan Hee laote ini " Apakah kematian
Suto Wie itu masih ada mengandung rahasia?"
Say Han Kong yang berdiri di samping lalu berkata dengan
sungguh-sungguh: "Ca lihiap, sabarlah dahulu untuk sementara tunggu aku
nanti akan minta kepada ketua Tiam cong-pay ini, setelah
mengetahui keadaan sebenarnya, barulah mengambil
keputusan lagi!" Berkata sampai di situ ia berhenti sebentar, matanya mengawasi
keadaan di seputarnya, meskipun tahu
bahwa dirinya sudah dikepung rapat, tetapi sikapnya masih
tenang saja, dengan menurut peraturan dunia Kang-ouw ia
menjura memberi hormat dan berkata kepada Thiat-kwan
Totiang. "Seorang tidak berguna dari rimba persilatan Say Han kong
Oe-tie Khao, Ca Bu Kao dan Hee Thian Siang berempat,
malam-malam berani datang berkunjung ke kuil Pho-hie-to-
kwan, harap Totiang maafkan atas kelancangan kita!"
Thiat-kwan Totiang memandang empat orang itu bergiliran,
mukanya menunjukkan kegusarannya, ia berkata dengan
nada suara dingin: "Kuil Pho-hie-to-kwan di gunung Tiam-
cong-tidak dapat dibandingkan dengan puncak Thian tu hong
gunung Oey-san, tetapi ini bagaikan gunung golok dan rimba
pedang, atau sarang harimau dan goa naga, kalian datang
boleh datang tetapi hendak berlalu lagi, itulah mustahil."
Hee Thian Siang yang mendengar ucapan tekebur itu
lantas tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Kalau sudah
berani menerjang ke goa naga sudah tentu memiliki sedikit
kepandaian untuk menundukkan naganya ! Kita datang secara
terang kalau kembali bukankah sama saja bisa kembali
dengan seenaknya" Mari! Hee Thian Siang masih ada
beberapa patah kata hendak minta keterangan dari kau ketua
Tiam-cong-pay!" Dengan wajah merah padam, Thiat-kwan
Totiang memandang Hee Thian Siang, kemudian berkata sambil
tertawa sinis. "Aku tadi telah mendapat laporan rahasia, kau bocah ini
berulang-ulang coba menghalang-halangi usaha golongan
kita, malam ini lebih baik kita berlaku salah terhadap Pak-bin
Sin-po Hong-poh Cui, bagaimana pun juga aku tidak akan
membiarkan kau keluar dari Po-hie-to-kwan, dalam keadaan
hidup!" "Sebelum diketahui kepandaian masing-masing, kau si
hidung kerbau bagaimana berani mengucapkan perkataan
sombong lebih dahulu" Kau tunggu dulu, sehabis
pertanyaanku selesai, aku masih ingin menerima pelajaran
dari golongan Tiam-cong-pay, sebetulnya ada apanya yang
patut kau banggakan itu?" Berkata Hee Thian Siang sambil
tertawa terbahak-bahak. "Kepandaian ilmu golongan Tiam-cong betul tidaknya patut
dibanggakan, sebentar lagi kau akan tahu sendiri! Kau hendak
menanyakan urusan apa" Boleh tanyakan sekarang!" Berkata
Thiat-kwan Totiang sambil tertawa dingin.
Hee Thian Siang menunjuk bangunan aneh itu dan
kemudian bertanya; "Orang yang kau siksa di dalam kamar ini, betul Liong-Hui
Kiam-khek Su-to Wie atau bukan?"
Oleh karena Thiat-kwan Totiang sebagai seorang ketua
dari salah satu partai besar juga merupakan salah seorang
penting dalam rimba persilatan pada dewasa itu, kalau tadi Ia
dapat menggunakan akal untuk mengelabui mata Ca Bu Kao,
tetapi sekarang terhadap Hee Thian Siang dan lain-lainnya, di
mata orang banyak ini bagaimana pun juga ia harus pegang
teguh prestasinya maka ia tidak berani membohong lagi.
Terpaksa ia menggelengkan kepala sebagai jawabannya
bahwa orang yang disiksa dalam kamar itu bukanlah Liong-
Hui Kiam-khek Su-to Wie! Begitu melihat Thiat-kwan Totiang itu menggelengkan
kepala, Ca Bu Kao yang menyaksikan seolah-olah memakan
obat penenang urat syaraf yang paling manjur, saat itu hatinya
merasa sangat girang, boleh jadi karena girangnya sehingga
air matanya mengalir keluar dari matanya.
Sementara itu Lui Hwa yang menyaksikan Hee Thian Siang
menunjukkan sikap yang bangga tak sanggup kendalikan
hawa amarahnya lagi, katanya dengan nada suara gusar:
"Kalian jangan merasa bangga dulu, siksaan yang akan
diterima oleh Liong-hui Kiam-khek Suto Wie di belakang hari,
sudah pasti lebih hebat daripada siksaan yang diterima oleh
orang dalam kamar tadi!"
"Kau dengan Liong-hui Kiam-khek Su-to Wie masih
saudara dalam satu perguruan, bagaimana kau hendak
berlaku kejam terhadapnya?" Tanya Hee Thian Siang dingin.
Thiat-kwan Totiang memandang Ca Bu Kao sejenak, lantas
menjawab: "Di dalam rimba persilatan, orang harus mengutamakan
peraturan yang menghormat orang tua dan perguruannya, Su-
to Wie yang bertindak menurut kemauannya sendiri, tidak
mengindahkan perintah ketuanya sudah tentu harus
menanggung resiko atas kesalahannya sendiri!"
Hee Thian Siang setelah mendengar ucapan Thiat-kwan
Totiang dengan tiba-tiba alisnya berdiri, mulutnya
mengeluarkan suara tertawa menghina.
"Mengapa kau tertawa seperti orang gila?" Bertanya Thiat-kwan Totiang tidak
senang. "Aku tertawakan kau, karena kau ternyata juga mengerti
maksudnya menjunjung tinggi orang tingkatan tua!" Berkata
Hee Thian Siang marah. Ucapannya itu ialah berdasarkan atas dugaannya sendiri
bahwa siksaan yang dijatuhkan kepada Kwan Sam Pek,
mungkin dilakukan oleh ketua Tiam-cong-pay itu sendiri, maka
ia sengaja mengeluarkan ucapan demikian untuk mencoba
hati ketua itu. Thiat-kwan Totiang karena dalam hati merasa malu sendiri,
benar saja setelah mendengar ucapan Hee Thian Siang itu dia
menunjukkan perasaan terkejut, tidak berani menjawab
langsung, sebaliknya pura-pura marah dan membentak
dengan suara keras: "Anjing kecil, kau mengeluarkan
perkataan yang tidak sopan, siapa sudi meladeni kau orang
gila" Kalian sudah berani memasuki Tho-hie-ta-kwan dengan
secara lancang, kukira sudah pasti ada mempunyai persiapan,
apakah kalian sudah bersedia hendak berkelahi?"
Hee Thian Siang yang melihat Thiat-kwan Totiang
mengelakkan pertanyaannya, bahkan hendak menunjukkan
keganasannya, ia segera mengerti bahwa dugaan sendiri
bersama Say Han Kong dan Oe-tie Khao pasti tidak salah,
maka kembali ia tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata
dengan suara lantang: "Manusia yang tidak melakukan perbuatan melanggar hati
nurani sendiri, sekalipun tengah malam ada orang mengetuk
pintu juga tidak akan kaget atau ketakutan. Kau jangan coba
mengelakkan pertanyaanku tadi, juga jangan ada pikiran takut,
perbuatan durhaka yang dikutuk oleh Dewa-dewa itu aku
hendak beberkan di hadapan tokoh-tokoh rimba persilatan
yang hendak berkumpul di atas puncak Thian-tu-hong pada
tanggal enam belas bulan dua belas tahun depan, disitulah
kami akan membeber rahasiamu. Sementara malam ini kau
hendak bagaimana bertindak, apa kau menghendaki aku
bertempur lebih dulu dengan kau?"
Hee Thian Siang yang sangat cerdik, dari situ ketua Tiam-
cong-pay ia sudah dapat menebak pikiran orang, maka dia
berani mengeluarkan tantangannya, dengan demikian ia
mendahului Thian-kwan Totiang supaya tidak bersikap curang.
Terutama ucapan yang terakhir tadi, telah membuat ketua
Tiam-cong-pay yang berkepandaian tinggi berhati ganas dan
sudah bertekad hendak membasmi Say Han Kong berempat,
untuk menyingkirkan bahaya di kemudian hari, kini terpaksa
merasa tidak enak untuk turun tangan sendiri.
Sementara itu Liu Hwa yang menyaksikan sikap suhengnya
nampak serba sulit, lantas berkata sambil tertawa:
"Ciangbunjin perlu apa marah" Orang dari tingkatan muda
yang tidak ada artinya ini sekalipun siaote juga merasa belum
perlu turun tangan sendiri, perintahkan saja kepada murid-
murid generasi kedua golongan kita, rasanya sudah cukup
untuk menghadapinya."
Thiat-kwan Totiang karena tahu benar Hee Thian Siang
meskipun usianya masih sangat muda tetapi karena ia adalah
murid Pak-bin Sin-po, tentunya memiliki kepandaian ilmu silat
yang sangat tinggi, tetapi kalau ia sendiri turun tangan, oleh
karena baik usianya maupun tingkatannya yang berada jauh,
jikalau memang ia juga menjadi tertawaan orang, apalagi
kalau sampai kalah, maka ia juga merasa serba salah, ketika
mendengar ucapan Liu Hwa tadi, lantas menganggukkan
kepala dan berkata: "Si kecil tangan ganas Tang Cin ada
dimana?" Belum lagi menutup mulut, dari rombongan sebelah barat
terdengar suara orang menyahut, seorang imam berwajah
bengis, berusia kira-kira tiga puluh tahu, telah melesat dan
menghadap kepada Thiat-kwan Totiang.
Hee Thian Siang diam-diam berpikir, Su-to Keng
mempunyai gelar jejaka tangan ganas, sekarang imam muda
ini gelarnya tangan ganas kecil, tentunya merupakan orang
yang kejam dan bertangan ganas, sudah tentu pula bukan dari
golongan baik-baik. Si tangan ganas kecil Tang Cin berdiri
tegak di hadapan ketuanya, setelah memberi hormat ia
berkata: "Tecu Tang Cin, kini menghadap untuk menantikan
perintang Ciangbunjin!"
Mata Thiat-kwan Totiang menatap Hee Thian Siang,
dengan alis berdiri dan wajah marah katanya dengan suara
dalam: "Kalau ada orang dari golongan rimba persilatan, tidak mengindahkan
peraturan dan tata tertib dunia Kang-ouw,
datang berkunjung tanpa memberitahukan nama, dengan
mengandalkan kepandaian berani memasuki daerah terlarang
partai kita, menurut peraturan dalam golongan kita, orang itu
harus mendapat hukuman apa?"
"Bagi orang yang memasuki bagian depan kuil Pho-hie-to-
kwan secara gegabah, dikutungi sebelah kaki atau tangannya,
jikalau sampai bagian belakang, harus dibunuh sampai mati."
menjawab Tang Cin. "Kalau sudah tahu aturan dan larangannya maka sekarang
aku perintahkan kau segera potong sebelah kaki atau tangan
orang-orang ini untuk melindungi hukum kita." Demikian Thiat-
kwan Totiang mengeluarkan perintahnya.
Si tangan ganas kecil yang mendengar perintah itu, dengan
sinar mata buas memandang Hee Thian Siang lalu berkata
pula kepada ketuanya: "Tecu menurut perintah akan
menjalankan tugas itu dengan segera, tetapi tecu dengar
bahwa sahabat she Hee ini adalah murid Pak-bin Sin-po
Hong-poh. ." "Tidak perduli dia murid siapa, tidak perduli dari golongan
mana, oleh karena sudah melanggar peraturan golongan kita
sendiri." Bentaknya bengis.
Hee Thian Siang yang menyaksikan pertunjukan itu merasa
sangat muak, tetapi karena memikir dirinya sendiri sudah
berani menerjang ke dalam goa macan, maka kini telah
bertekad hendak mengacau sarang penjahat itu.
Sementara itu Tang Cin yang mendengar suara ketuanya
tadi, lantas memberi hormat, setelah itu ia berpaling dan
berkata pula kepada Hee Thian Siang: "Hee sicu, pinto Tan
Cin atas perintah ketua, hendak minta pelajaran beberapa
jurus dari ilmu kepandaianmu, baik dengan senjata atau


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tangan kosong, kita mengadu kepandaian yang tulen."
Oleh karena Hee Thian Siang sendiri dahulu pernah
bertempur dengan Su-to Keng yang menyamar menjadi Su-to
Wie dan kemudian pernah bertempur dengan Hian-ceng
Cinjing dari Pho-hie hee-wan dengan ilmu pedangnya Hui-
hong-u-liu-kiam-hwat, maka ia tahu benar bahwa ilmu silat
terampuh golongan Tiam-cong itu semuanya merupakan ilmu
silat yang sangat ampuh, ia sendiri sekalipun bisa merebut
kemenangan tetapi pasti harus mengeluarkan banyak tenaga,
maka sebaiknya menggunakan ilmu Kiam-thian Khie-kang
yang merupakan ilmu kepandaian terampuh dari suhunya,
untuk lebih dulu memberi hajaran kepada imam itu.
Pada saat itu Say Han Kong anggap keadaan di sekitarnya
sangat berbahaya, Thiat-kwan Totiang dan Lui Hwa berada
dihadapannya menilik dirinya, ia juga melihat bahwa sepasang
mata Hee Thian Siang sudah bernapsu benar, ia dapat
menduga bahwa jago muda yang keras kepala dan berhati
baja itu mungkin sudah timbul nafsu membunuh, maka ia
buru-buru mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, dan
berbisik di telinganya: "Hee laote, kita berada di sarang
penjahat, maka harus mengadakan reserve, supaya kita bisa
keluar dengan selamat. Dalam pertempuran baiknya jangan
terlalu memforsir tenaga, sudah cukup kalau dibikin terluka
saja." Hee Thian Siang karena sudah mengambil keputusan dan
ilmunya Kiam-thian-khie-kheng diam-diam sudah dipusatkan,
ketika mendengar ucapan demikian, ia masih tetap unjukkan
tertawa dan berkata kepada Tang Cin: "Karena ketuamu
sudah memberikan perintah kepadamu untuk membasmi
orang-orang yang berani masuk ke daerah terlarang golongan
Tiam-cong, sayang Hee Thian Siang yang ingin
mempertahankan jiwanya, maka kit sebaiknya bertanding
kekuatan tenaga dalam, bagaimana kalau kita putuskan dalam
pertandingan satu jurus saja?"
Dalam pertandingan ilmu silat, baik dengan tangan kosong
maupun menggunakan senjata, siapa yang kuat bisa saja
mencecar lawannya dengan serangan yang gencar dan hebat
tetapi pihak yang lemah masih bisa menggunakan kelincahan
gerak badannya untuk mengelakkan serangan lawannya.
Hanya dalam pertandingan mengadu tenaga dalam, sedikitpun tidak dapat menggunakan akal atau kecerdikan,
apalagi hanya dalam satu jurus. Dengan lain perkataan, juga
berarti suatu keputusan antara mati dan hidup dalam sejurus
itu saja. Oleh karenanya, maka tantangan Hee Thian Siang itu
membuat Tang Cin yang bersikap ramah tapi berhati kejam,
yang mendengar itu tertegun di tempatnya.
Hee Thian Siang yang menyaksikan keadaan demikian,
berkata pula sambil tertawa terbahak-bahak: "Orang Tiam-
cong-pay ternyata hanya bisa omong besar saja, tetapi
sebetulnya tidak memiliki kepandaian yang benar-benar. ."
Belum lagi habis ucapannya, si tangan ganas kecil Tang
Cin sudah memusatkan ilmunya Hek-sat-im-ciang ke dalam
tangannya, dengan tiba-tiba dan tanpa memberi peringatan
lebih dahulu sudah melancarkan serangannya kepada Hee
Thian Siang. Hee Thian Siang yang sudah mengerahkan seluruh
kekuatannya untuk melindungi sekujur badannya ketika
diserang secara mendadak, ia lantas lonjorkan tangannya,
tetapi gerakan itu sedikitpun tidak menimbulkan hembusan
angin. Ketika dua pasang tangan saling beradu, ilmu Hek-sat-im-
ciang Tang Cin yang disalurkan melalui kedua tangannya
sudah mendesak dengan hebatnya, tapi Hee Thian Siang dua
tangannya tiba-tiba agak ditarik kembali kemudian dengan
tiba-tiba pula dibalikkan, sambil tertawa terbahak-bahak
ilmunya Kiam-thian-khie-kang juga disalurkan melalui kedua
tangannya dan balas mendesak dengan hebatnya.
Thiat-kwan Totiang sebagai ketua dari partai besar, sudah
tentu memiliki pemandangan luas, ketika mendengar suara
ketawa Hee Thian Siang tadi, samar-samar ada mengandung
kekuatan Kian-thian-khie-kang lantas berkata kepada Li Hwa
sambil mengerutkan alisnya: "Tak kuduga she Hee itu dalam
usia begini muda sudah dapat mempelajari ilmu Kian-thian-
khie-kang, ilmu terampuh Hong-poh Cui, ilmu yang dilatih
Tang Cin justru paling takut terhadap ilmu semacam ini,
barangkali ia tidak akan lolos dari bahaya maut."
Sambil bicara matanya ditujukan ke tengah lapangan, saat
itu tangan Tang Cin masih menempel di sepasang tangan Hee
Thian Siang, satu sama lain sedang mengadu kekuatan
dengan hebatnya. Tetapi di pihak Hee Thian Siang tampak
tenang-tenang saja, bahkan di bibirnya masih tersungging
satu senyuman, sebaliknya Tang Cin, sepasang matanya
melotot, keringat dingin menetes dengan deras, mulai turun
dari jidatnya. Thiat-kwan Totiang yang menyaksikan keadaan itu kembali
berkata dan perintahkan kepada anak buahnya: "Cit sute Hian
Hwa, kau keluarlah, murid yang bertugas di Pat-kwa-tong hari
ini, lekas persiapkan untuk keperluan Tang Cin suheng!"
Dari rombongan anak buah Tiam-cong-pay, muncul
seorang Imam berwajah merah dan berewokan, tetapi
sebelum orangnya tiba, di lapangan, Hee Thian Siang tiba-tiba
menarik kembali tangannya, kaki tangannya diangkat, untuk
menendang rubuh Tang Cin yang sudah menjadi bangkai,
darah mengucur keluar dari lubang mulut dan telinganya.
Say Han Kong yang menyaksikan dalam pertempuran
babak pertama itu di pihak Tiam-cong-pay sudah kehilangan
satu jiwa, ia sudah mengetahui bahwa kedua pihat tidak dapat
diselesaikan dengan cara baik, jikalau hendak keluar dari kuil
Pho-hie-to-kwan dalam keadaan selamat, mau tak mau harus
melalui suatu pertempuran hebat dan sengit.
Baru saja ia sendiri hendak turun ke lapangan untuk
menggantikan Hee Thian Siang, Leng-po Giok-lie Ca Bu Kao
sudah lompat melesat dan turun ke tengah lapangan.
Hee Thian Siang tahu benar kepandaian ilmu silat Ca Bu
Kao yang jauh lebih tinggi daripada dirinya sendiri, maka untuk
sementara ia undurkan diri, dan berkata sambil tertawa
kepada imam bermuka merah yang oleh Thiat-kwan Totiang
disebut sebagai Cit sutenya Hian Hwa: "Hee Thian Siang
untuk sementara hendak beristirahat dulu, biarlah kau
merasakan kepandaian ilmu Lo-hu-pay dari bibi Ca ini."
Antara golongan Lo-hu dan Tiam-cong memang sudah
lama mendendam permusuhan maka Ca Bu Kao dan Hian
Hwa tojin juga tidak perlu banyak bicara, lantas mulai
bergebrak. Hian Hwa tojin merupakan seorang dari tingkatan yang
lebih tua setingkat daripada Tang Cin, sudah barang tentu
kepandaiannya lebih tinggi sedikit, ilmu tangan kosongnya
meskipun belum mencapai ke taraf sempurna, tetapi juga
sudah cukup kuat, gerakannya yang gencar dan dibarengi
dengan kekuatan tenaga dalam, kadang-kadang melancarkan
serangan yang mematikan, yang susah dijaga oleh lawannya.
Ca Bu Kao juga menggunakan ilmu tangan kosong dari Lo-
hu-pay, kepandaian tenaga dalamnya lebih tinggi setingkat
dari Hian Hwa tojin tapi oleh karena ia belum sembuh betul
dari lukanya, meskipun ia sudah diberi obat oleh Say Han
Kong, tetapi sedikit banyak mempengaruhi gerakannya, maka
setelah beberapa jurus, keadaannya masih menunjukkan
sama kuatnya, belum dapat merebut kemenangan.
Hian Hwa tojin agaknya sudah dapat menemukan
kelemahan Ca Bu Kao, serangannya semakin gencar, hingga
menimbulkan kemarahan Ca Bu Kao, ia juga tidak ingat
keadaan lukanya sendiri, dengan beruntun ia menggunakan
gerak tipu terampuh untuk menggempur lawannya.
Serangan dari gerak tipu Pan-sian-ciang-lek, berhasil
mendesak Hian Hwa tojin, sehingga terpaksa menyambut
dengan kekerasan dan akhirnya terpental mundur beberapa
langkah dengan terhuyung-huyung, imam itu merasakan
darahnya bergolak, wajahnya pucat pasi, jelas bahwa luka
dalamnya sudah tidak ringan lagi. Tetapi Ca Bu Kao sendiri
juga lantaran memforsir tenaganya, luka di bagian pundaknya
terbuka lagi, hingga darahnya membasahi pakaiannya.
Say Han Kong buru-buru memanggil balik Ca Bu Kao,
dengan obat luka yang dibawanya, dia berikan kepadanya.
Sedangkan dipihak Thiat-kwan Totiang, ketika
menyaksikan keadaan demikian, dengan wajah penuh sesal,
memerintahkan Hian Hwa tojin mundur, kemudian ia
mengeluarkan siulan panjang, semua anak buahnya yang
berada diseputaran itu berkumpul menjadi satu ke tengah
lapangan, orang-orang itu berdiri terpisah tiga tombak lebih
dari Hee Thian Siang dan lain-lain. Masing-masing
menghunus pedang panjangnya dan membentuk satu barisan
pedang yang bentuknya sangat aneh.
Selesai membentuk barisan pedang, Thit-kwan tojin
dengan wajah merah padam, berkata kepada sutenya Lui
Hwa: "Lui Jie sekarang kuperintahkan kau turun tangan
sendiri, jangan kau pandang muka kepada siapapun juga,
bunuh semua orang-orang yang datang itu, biarlah mereka
belajar kenal dengan kepandaian Tiam-cong yang tulen."
Berkata sampai di situ ia berhenti sejenak, dan berkata
kepada anak-anak muridnya yang membentuk barisan pedang
itu: "Sekarang barisan pedang Tiang-keng Kiam-tin sudah
terbentuk, daerah di belakang kuil Pho-hie-to kwan ini hanya
boleh orang masuk tidak boleh orang keluar. Anak-anak murid
Tiam-cong yang bertugas menumpas musuh itu, tidak perduli
berjaga dibagian mana saja, apabila penjagaannya dipatahkan
oleh musuh, akan dihukum mati."
Semua anak murid Tiam-cong-pay menerima perintah itu,
pedang panjang setiap orang semua diangkat setinggi dada,
ujung pedang ditujukan ke arah Say Han Kong berempat,
suara sunyi namun diliputi oleh ketegangan hingga membuat
daerah itu diliputi oleh nafsu pembunuhan.
Say Han Kong yang melihat suasana sudah memburuk,
sepasang alisnya dikerutkan, ia pikir dipihak sendiri yang
hanya empat orang, selain Leng-po Giok-lie lah yang
berkepandaian paling tinggi, tetapi lukanya telah kambuh
kembali, tentunya tidak sanggup melakukan pertempuran
hebat dalam waktu yang lama. Kedua adalah Hee Thian
Siang, sedangkan dirinya bersama Oe-tie Khao meskipun
masing-masing memiliki kepandaian istimewa, tetapi
kepandaian ilmu silat yang sebenarnya, kalau dibanding
dengan sepasang jago pedang Tiam-cong itu, masih belum
nempil. Di sini sudah tahu bukan saja jumlah orang kalah banyak,
sedang kekuatan tangannya juga masih belum bisa
mengimbangi, untuk keluar dari dalam barisan pedang itu, ia
belum tahu harus menggunakan cara bagaimana" Oe-tie
Khao yang melihat Lui Hwa yang sudah berdiri ditengah
lapangan dengan gagahnya, lalu berkata kepada Say Han
Kong: "Tua bangka, kau jangan kesal, peribahasa
mengatakan, Sebelum takdir dipantang mati! Malam ini aku si
pengemis tua juga terpaksa akan turun tangan sendiri, dengan
senjata tongkat Cit-po Likongkay ini, aku hendak menguji
kepandaianku melawan ilmu pedang Tiam-cong yang
dimainkan oleh hidung kerbau she Lui itu."
Hati Say Han Kong tergerak, ia bertanya dengan suara
perlahan: "Pengemis tua, kau selamanya mendapat gelar
Sam-ciu lopan, tongkatmu Lie-kongkay itu ditambah dengan
gelar Cit-po, apakah benar ada rahasianya untuk
menundukkan. ." "Rahasia tidak boleh dibocorkan, aku betul-betul tidak takut
dengan ilmu pedang Tiam-cong dari hidung kerbau she Lui itu,
tetapi jikalau dia sudah naik darah dan menggunakan senjata
pasir beracunnya yang sangat ganas, aku terpaksa minta
tolong kepadamu untuk membantu aku." Memotong Oe-tie
Khao sambil tertawa. Dua jago tua itu semuanya memiliki kecerdasan otak luar
biasa, kini karena harus menghadapi musuh tangguh, maka
masing-masing mengasah otak dan peras keringat berunding
dengan cara bagaimana untuk menghadapi musuh-musuhnya,
tetapi mereka tidak menggunakan ilmu menyampaikan suara
ke dalam telinga, sebaliknya kata-kata itu diucapkan dengan
terang-terangan, seolah-olah sengaja supaya didengar oleh
Lui Hwa dan Thiat-kwan Totiang.
Lui Hwa juga tahu benar bahwa Oe-tie Khao itu seorang
pengemis sakti yang sangat cerdik, disamping itu juga
memiliki kepandaian dan pengetahuan berbagai macam
senjata rahasia, ketika mendengar ucapannya bahwa ia tidak
takut ilmu pedangnya, maka segera menduga bahwa senjata
tongkatnya itu pasti diperlengkapi senjata khusus.
Sehabis bicara dengan Say Han Kong, Oe-tie Khao
berjalan menuju ke lapangan sambil ketawa berseri-seri dari
badannya mengeluarkan sebuah tongkat pendek sekaki lebih,
tongkat itu warnanya hitam legam, yang terbuat dari baja
tulen. Lui Hwa yang menyaksikan tongkat baja itu, bentuknya
demikian pendek, seolah-olah barang permainan anak-anak,
lantas mengerutkan alisnya, ia tahu bahwa tongkat aneh itu
pasti memiliki daya yang luar biasa, jikalau tidak, dengan cara
bagaimana Oe-tie Khao berani menggunakannya untuk
menghadapi senjata pedangnya"
Benar saja, Oe-tie Khao setelah tongkat berada di
tangannya, tidak nampak gerakan apa-apa, ia hanya
mengeluarkan suara tertawa aneh, tetapi dengan cara tiba-
tiba tongkat itu menjadi panjang sehingga hampir tiga kaki,
tongkat itu dilintangkan di depan dada, sedang kedua kakinya
dengan suatu gerakan seolah-olah orang mabok, bergerak ke
samping dan ke kanan! Jago pedang nomor dua Tiam-cong Lui Hwa juga
merupakan salah seorang persilatan, ia kini mendapat
kenyataan bahwa senjata tongkat Oe-tie Khao bukan saja bisa
menjadi panjang dan pendek menurut keinginan hatinya,
tetapi juga menggunakan ilmu silat yang sudah jarang ada
didalam rimba persilatan, ilmu silat itu ialah ilmu silat yang
menggunakan senjata tongkat yang dinamakan Pat-sian-cui-
kay. Atau ilmu tongkat delapan dewa yang mabok arak.
Diam-diam ia lalu mengambil keputusan, ia harus berlaku


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati-hati untuk menjaga jangan sampai terbokong oleh
lawannya sehingga menodai nama baik tiga jago pedang
Tiam-cong selain itu, setelah melayani beberapa jurus segera
menggunakan senjata rahasianya yang terampuh, pasir
beracun untuk menyingkirkan pengemis tua yang tindak
tanduknya, senjata dan ilmu silatnya sangat aneh.
Oe-tie Khao waktu itu sudah membuka serangannya lebih
dahulu, tongkatnya ditujukan ke depan dada Lui Hwa.
Lui Hwa yang sudah banyak pengalaman dan sudah
banyak menghadapi lawan besar, dapat berlaku sangat hati-
hati, ketika diserang oleh Oe-tie Khao dengan tongkatnya
yang sangat pendek, tongkat itu berikut lengannya cukup lima
kaki panjangnya, tetapi anehnya serangannya itu dilakukan
dari jarak enam kaki lebih, hingga ia dapat menduga bahwa
serangan itu pasti mengandung rahasia apa-apa, maka ia
sengaja tidak menyambuti, hanya melompat mundur tiga kaki
jauhnya. Benar seperti apa yang ia duga, selagi ia lompat mundur,
ujung tongkat ditangan Oe-tie Khao dengan tiba-tiba mulur
panjang lagi delapan dim.
Belum hilang rasa terkejutnya Lui Hwa, Oe-tie Khao sudah
melancarkan serangannya, kini ujung tongkatnya dengan tiba-
Setan Harpa 2 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pedang Berkarat Pena Beraksara 6
^