Makam Bunga Mawar 8
Makam Bunga Mawar Karya Opa Bagian 8
tiba tumbuh setangkai bunga teratai sedang gagang yang lain
tumbuh benda yang bentuknya mirip dengan bulan sabit,
tetapi memancarkan sinar berkilauan.
Lui Hwa tidak berlaku gegabah, ia lintangkan pedang di
depan dada untuk melindungi bahaya, setelah itu ia berkata
sambil tertawa: "Dalam tongkatmu ini rasanya kau perlengkapi
berbagai macam barang yang tidak sedikit."
"Bukan apa-apa, hanya sebuah tongkat yang bisa panjang
dan diperpendek, ujungnya diperlengkapi bunga teratai,
ditambah lagi dengan senjata golok To liong-to yang khusus
untuk memecahkan ilmu Khikang, dalam tujuh wajah sekarang
baru muncul empat, bagaimana sudah anggap banyak"
Sebaiknya kau berhati-hati dengan tongkatku ini, ia belum
mengeluarkan senjatanya yang paling ampuh yaitu senjata
pembetot nyawa." Sementara itu Oe-tie Khao tangannya sudah pegang
tengah-tengah tongkatnya yang kini berubah menjadi senjata
aneh, karena dari ujung terdapat baja yang berbentuk bunga
teratai, sedang di ujung lain golok bulan sabit, dua benda
tajam itu seolah-olah semua dapat menyerang musuhnya
dengan senjata aneh sekarang ia menyerbu Lui Hwa dan
menyerang dengan hebatnya.
Dalam hal kepandaian ilmu silat, meskipun kepandaian Lui
Hwa lebih unggul sedikit dari dada Oe-tie Khao, tetapi oleh
karena ia Harus berlaku hati-hati dengan senjata Oe-tie Khao
yang bentuknya sangat aneh itu, maka setiap ia sambuti
dengan hati-hati sekali. Setelah pertempuran itu sudah
berlangsung selama dua tiga puluh jurus masih belum dapat
menggunakan ilmu pedang Tiam cong-pay yang diagulkan.
Hee Thian Siang yang menyaksikan pertandingan itu
tampaknya sangat girang, ia berkata kepada Say Han Kong
dengan suara pelahan: "Say locianpwe, kalau dilihat keadaan yang seperti ini,
suasana malam ini tidak demikian buruk seperti apa yang kita
duga semula, jikalau Oe-tie locianpwe menggunakan
senjatanya membetot nyawa dalam tongkatnya itu, barangkali
akan membuat Lui Hwa mengalami sedikit kesulitan."
Say han Kong mengerutkan alisnya, dengan suara
perlahan pula ia berkata kepada Hee Thian Siang:
"Laote, kau tidak tahu, senjata tongkat Cit-po li-kong-cay
Oe-tie Khao itu, sedikit pun tidak ada gunanya, tongkat itu
semata-mata merupakan barang gaib, yang hanya dapat
digunakan untuk menggertak orang. Jikalau sampai diketahui
oleh Lui Hwa keadaannya akan berubah dan membahayakan
dirinya sendiri, kecuali apabila musuh itu terjebak oleh akal
yang baru saja kita bicarakan tadi, sehingga menggunakan
senjata rahasia pasir beracun, mungkin kita dapat
menggunakan senjata berbisa untuk melawan bisa dengan
demikian barangkali kita akan dapat menguasai keadaan!"
Hee Thian Siang yang mendengarkan ucapan itu baru tahu
bahwa Serangan hebat yang dilancarkan oleh Oe-tie Khao itu,
sebetulnya hanya merupakan suatu tipuan belaka namun
demikian serangan itu benar saja menimbulkan repot
lawannya. Lui Hwa merasa khawatir, maka setiap merasakan
bahwa gerakannya selalu terhalang!
Tetapi pasir beracun itu adalah senjata rahasia tunggal
golongan Tiam cong yang dapat dipakai untuk menjagoi rimba
persilatan, bukan saja khasiatnya mirip dengan api Kiu-yu-
Leng-hwe, oleh karena pasir ini dapat ditebarkan secara luas
maka hebatnya jauh lebih besar daripada Kiu-yu-leng-bwe.
Justru senjata rahasia ganas inilah yang ditakuti oleh Leng-po
Giok-li. Dengan cara bagaimana Oe-tie Khao menghendaki
lawannya menggunakan senjata itu" Benarkah pengemis tua
itu memiliki kepandaian atau senjata yang dapat digunakan
untuk merampas pasir beracun"
Pihak Hee Thian Siang masih diliputi perasaan heran dan
tanda tanya, di pihak Thiat kwan Totiang juga menyaksikan itu
juga merasa jengkel, ia anggap bahwa senjata tongkat yang
dipakai oleh Oe-tie Khao itu terlalu sakti, jikalau dibiarkan
pengemis tua itu menggunakan senjatanya terus-terusan, ji
sutenya Lui Hwa mungkin akan mengalami kesulitan, maka ia
lalu memberikan isyarat kepada Lui Hwa supaya jangan
melayani terus, tetapi supaya lekas menurunkan serangannya
yang mematikan! Benar saja, ketika Lui Hwa mendengar isyarat suhengnya
diperhebat hingga dalam waktu sekejap mata, U-tie Khao
telah dikurung oleh sinar pedang Lui Hwa!
U-tie Khao sendiri juga merasakan hebatnya serangan itu,
maka ia tidak berani menyambut, hanya dengan
mengandalkan kelincahannya, mengelakkan setiap serangan
lawannya! Lui Hwa setelah berhasil mendesak mundur
lawannya, lalu menggunakan kesempatan baik itu, pedangnya
dialihkan ke tangan kiri, sedang tangan kanannya dengan
kecepatan bagaikan kilat memakai sarung tangan kulit yang
khusus menggunakan senjata pasir beracunnya!
Ketika U-tie Khao menyaksikan Lui Hwa sudah memakai
sarung- tangan, lalu berkata kepada Say Han Kong dengan
suara nyaring: "Say Han Kong dan Hee Laote, awas menjaga diri nona
Ca, hidung kerbau she Lui ini hendak menggunakan senjata
rahasia pasir beracun yang sangat ganas!"
Lui Hwa yang mendengarkan perkataan itu dengan
sombongnya memperdengarkan
suara ketawa dingin, sementara itu U-tie Khao sudah berkata lagi:
"Hidung kerbau, asal kau berani menggunakan pasir
beracunmu, aku juga akan suruh kau merasakan satu senjata
wasiatku yang selama ini belum pernah kugunakan!
Lui Hwa bagaimana mau percaya ucapan Oe-ti Khao itu,
sambil memperdengarkan suara tawanya, tangan kanannya
yang memakai sarung dimasukkan ke dalam kantong kulit
yang tergantung di pinggangnya, setelah itu ia menggenggam
pasir beracunnya dan ditebarkan seluas setombak lebih, pasir
itu mengeluarkan sinar yang kemerah-merahan, mengurung
sekujur badan U-tie Khao!
Senjata pasir beracun itu adalah ciptaan Lui Hwa sendiri
jikalau tidak digunakan disimpan di dalam kantong kulit yang
terbuat dari kulit ular, bentuknya hanya seperti pasir biasa,
hanya warnanya merah berkeredepan, tetapi jikalau sudah
ditebarkan, begitu tertiup angin lantas terbakar dan menjadi
api yang mengandung bisa, hingga lawannya sulit untuk
mengelakkan dirinya dari serangan api itu!
Tetapi U-tie Khao dengan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak,
tongkat di tangannya didorong ke depan, dari ujungnya yang
berbentuk bunga teratai, setiap ujungnya bunga mengeluarkan
"menyemburkan" air yang berbau aneh, air itu ditujukan ke udara untuk memadamkan
api dari pasir berbisa tadi!
Air ajaib itu adalah semacam air yang terbuat dari bahan
minyak yang mudah terbakar, ia dapatkan itu ketika ia
merantau keluar negeri dan didapatkan secara tidak terduga-
duga, kemudian olehnya minyak itu dibuat menjadi air dan
dimasukkan ke dalam tongkatnya, ia sungguh tak menduga
bahwa air ajaib itu kini dapat digunakan.
Dalam mata Lui Hwa, air yang keluar dari tongkat itu tentu
tidak dipandang mata olehnya, maka ia berani omong besar,
dengan ucapan sangat jumawa ia mengejek U-tie Khao.
"Inikah yang kau maksudkan senjatamu yang belum pernah
kau gunakan itu " . . ."
Baru saja menutup mulutnya, wajahnya tiba-tiba berubah,
dengan cepat ia lompat ke samping!
Kiranya air yang muncrat dan tongkat itu, begitu menyentuh
sinar api yang keluar dari pasir beracunnya, saat itu lantas
menjadi padam, sedangkan air itu berubah menjadi api, terus
meluncur ke arah Lui Hwa sendiri!
Meskipun Lui Hwa sudah gesit tindakannya untuk
menyingkir, tetapi karena terjadinya itu secara tidak terduga-
duga, masih agak terlambat, apalagi U-tie Khao waktu itu
sudah menarik kembali tongkatnya, dengan kedua tangannya
ia melancarkan serangannya dengan menggunakan tenaga
dalam untuk mendorong api itu semakin ganas.
Api itu begitu menyambar tubuhnya, Lui Hwa merasa tidak
beres, benar saja ketika api itu menyentuh pakaiannya, lantas
mulai membakar dirinya. Terbakar sedikit kulit dan rambut memang tak menjadi
halangan tetapi yang dikhawatirkan ialah kantong kulit yang
berisi pasir beracun yang tergantung di pinggang Lui Hwa,
apabila kantong itu ikut terbakar, juga akan menimbulkan
kebakaran hebat, dan pasir beracun jika tersentuh api pasti
akan meledak dan menimbulkan bahaya besar, bukan saja Lui
Hwa sendiri akan menjadi hancur luluh, tetapi orang-orang di
sekitarnya sejarak lima tombak termasuk Say Han Kong dan
lain-lainnya. Hee Thian Siang agaknya masih belum mengetahui bahaya
sudah mengancam, ia masih berkata-kata dengan Say Han
Kong dan Ca Bu Kao untuk memuji kecerdikan U-tie Khao
yang dianggapnya bahwa tongkat itu merupakan senjata
terampuh untuk menghadapi pasir beracun ! Sedangkan U-tie
Khao sendiri juga yakin usahanya berhasil, sedikitnya dapat
menyingkirkan Lui Hwa, diam-diam merasa bangga, sedikitpun tidak memikirkan akibatnya!
Pada saat semua orang masih berdiri bingung
menyaksikan kejadian itu, dan bahaya setapak demi setapak
sudah datang mengancam di tengah udara tiba-tiba tampak
berkelebatnya sinar putih yang meluncur dari tangan Thiat-
kwan Totiang. dan dengan cepat sekali menyambar Kantong
kulit yang tergantung di pinggang LUi Hwa, dan sedikit pun
tidak melukai orangnya! Selanjutnya ujung pedang itu
menyontek, sehingga kantong yang sudah dipenuhi oleh air
yang menyembur keluar dari tongkat U-tie Khao jadi terbang di
tengah udara. setelah itu, ditambah lagi oleh serangannya,
kantong itu dibikin terpental sejauh enam tombak lebih!
Thiat-kwan Totiang setelah berusaha sekuat tenaga untuk
menghindarkan bahaya yang mengancam orang-orangnya, di
samping itu ia membentak kepada Lui Hwa: "Lui jite, lekas
bergulingan untuk memadamkan api yang membakar dirimu,
dan berusahalah mengobati luka-lukamu sendiri, orang-orang
yang datang malam ini nampaknya terlalu berani mati biarlah
aku yang akan turun tangan sendiri untuk membereskan
mereka, satu pun jangan mengharapkan bisa keluar dari Pho-
hie to-kwan dalam keadaan hidup!"
Baru saja menutup mulutnya, tiba-tiba terdengar suara
ledakan hebat, kantong kulit yang berisi pasir beracun, sudah
meledak. Bukan saja sudah menghancurkan kuil Po hie to
kwan, sedang apinya yang ganas, juga sudah menimbulkan
kebakaran di beberapa tempat. Hebatnya api itu,
sesungguhnya sangat menakutkan!
Thiat kwan Totiang lalu memberi isyarat kepada orang-
orangnya supaya lekas menolong tempat kebakaran, setelah
itu ia sendiri dengan pedang terhunus dan muka merah
padam menghampiri U-tie Khao, katanya dengan nada suara
dingin: "U-tie Khao, jikalau aku tadi tidak turun tangan dalam waktu
yang tepat, perbuatanmu tadi bukankah akan menimbulkan
bencana hebat?" U-tie Khao sesungguhnya tidak pernah menyangka bahwa
perbuatan tadi menimbulkan akibat yang begitu hebat, maka
diam-diam ia juga merasa tidak enak, atas teguran itu ia diam
saja sambil mengerutkan alisnya!
Thiat-kwan Totiang memandang beberapa bagian kuilnya
yang sudah terbakar, dengan sinar mata buas ia berkata pula:
Di dalam dunia Kang-ouw semua orang tahu bahwa siapa
yang membunuh orang harus mengganti jiwa, siapa yang
hutang uang harus mengganti uang! Kuilku ini telah kau
rusakkan demikian hebat, sekarang aku akan mengambil
tulang-tulang rusukmu untuk mengganti!"
Sejak Thiat kwan Totiang turun tangan, U-tie Khao sudah
tahu, bahwa kali ini sulitlah untuk lolos dari tangan ketua Tiam
cong pai itu, tetapi sebaliknya semangatnya terbangkit, ia
mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak:
Thiat kwan Totiang dibingungkan oleh sikap U-tie Khao
yang aneh itu, maka lalu bertanya dengan perasaan terheran-
heran: "Mengapa kau tertawa?"
Dengan alis berdiri dan mata melotot, selagi U-tie Khao
hendak menjawab, Hee Thian Siang sudah lompat maju
sambil membawa senjata Sam ciok hwan, katanya sambil
tertawa: "U-tie locianpwe, silahkan mengaso dulu, biarlah Hee THian Siang yang
menghadapi ketua Tiam cong pai ini!"
U-tie Khao tahu bahwa anak muda itu bukan tak
berkepandaian tinggi, sedang kecerdikannya juga tidak di
bawahnya sendiri, apalagi ia adalah murid Pak bin Sin po,
salah seorang terkuat pada dewasa ini, rasanya sedikit
banyak akan membuat ragu-ragu Thiat-kwan Totiang. Oleh
karena itu, maka ia lantas mengundurkan diri dan berkata
sambil tersenyum: "Hee laote, kau hendak menggantikan aku sudah tentu
lebih baik daripada aku hadapi sendiri, tetapi lawan kita ini
adalah ketua dari satu partai, kepandaian ilmu silatnya tentu
bukan main hebatnya, jangan kau berlaku sembrono atau
gegabah!" Thiat kwan Totiang dengan sikap dingin memandang Hee
THian Siang dan lalu berkata sambil menganggukkan kepala:
"Kau yang menghadapi, tidak ada halangan. U-tie Khao
karena hutang sudah pasti harus membayar, sedang kau
setan kecil ini karena membunuh orang, maka juga akan
membayar jiwa!" Hee Thian Siang yang mendengar ucapan itu juga lantas
tertawa terbahak-bahak: "Mengapa kau juga tertawa?" bertanya Thiat-kwan Totiang.
"Kalau aku membunuh orang, kau kata harus mengganti
dengan jiwa, dan kau sendiri yang sudah membunuh orang,
apakah tidak mengganti jiwa?"
"Harus dilihat, siapa yang dibunuh."
Sepasang mata Hee Thian Siang memancarkan sinar
tajam, dengan sinar mata yang tajam, ia menatap ketua Tiam
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cong pai, setelah itu ia membentak dengan keras:
"Orang yang kau bunuh adalah susiokmu yakni Kwan Sam
Pek! Alasannya hanya kau hendak merebut . . ."
Bukan kepalang terkejutnya Thiat kwan Totiang setelah
mendengar perkataan itu, sudah tentu juga merasa tidak
senang boroknya dikorek oleh Hee Thian Siang, maka dalam
keadaan kalap ia berkata dengan suara keras:
"Bangsat kecil tidak tahu diri, kau berani mengucapkan
kata-kata yang tidak keruan, lekas serahkan jiwamu!"
Ucapan itu disusul oleh gerakan serangan yang ditujukan
ke ulu hati Hee Thian Siang!
"Melihat kau ketua dari salah satu partai besar, hatimu
ternyata demikian kerdil!"
Secepat kilat ia menggunakan senjata gelangnya untuk
mengunci pedang Thiat kwan Totiang! Ketika di hadapan kuil
Pho hie hee wan di gunung Bu leng san, Hee Thian Siang
pernah menggunakan siasat dan gerak tipu semacam itu
menjatuhkan Hian ceng Tojin! Tetapi untuk menghadapi ketua
Tiam cong pai, siasat itu tentu tidak mempan lagi. Thiat kwan
Totiang mengibaskan tangan kanannya, hingga pedang yang
terjepit oleh sepasang gelang Hee Thian Siang terlepas lagi,
sedangkan Hee Thian Siang merasakan kesemutan kedua
tangannya, bahkan sudah mengeluarkan darah, maka
sepasang senjata gelangnya juga jatuh ke tanah!
Say Han Kong, U-tie Khao dan Ca Bu Kao menyaksikan
gerakan Thiat-kwan Totiang baru sejurus sudah berhasil
menjatuhkan senjata Hee Thian Siang, hingga semuanya
pada terkejut dan terheran-heran!
Thiat kwan Totiang yang sudah tumbuh nafsu
membunuhnya, dengan gerakan yang sangat lincah baru saja
dengan tangan kanannya menjatuhkan senjata lawannya,
tangan kirinya secepat kilat menggunakan lengan jubah untuk
mengibaskan hembusan angin hebat, hembusan angin hebat
itu tepat mengenai diri Hee Thian Siang, hingga terpental
sejauh lima tombak! Oleh karena ketua Tiam cong pai itu sudah menggunakan
tenaga sepenuhnya ia menduga pasti bahwa lawannya itu
mesti mati, maka ia berkata dengan bangga:
"Hee Thian Siang sudah mati, di antara kalian siapa. . ."
Belum lagi habis ucapannya, Hee Thian Siang tiba-tiba
melompat bangun dari tanah dan berkata sambil menuding
Thiat kwan Totiang: "Hidung kerbau yang tak tahu malu, bagaimana kau masih
berani mengucapkan ucapan sombong" Seranganmu dengan
lengan jubah tadi barangkali masih belum dapat
membinasakan aku!" Thiat kwan Totiang yang menyaksikan kejadian itu sesaat
merasa terheran-heran dan malu kepada diri sendiri, ia pikir
senjata Hee Thian Siang sudah terpukul jatuh, dalam keadaan
tidak berjaga-jaga, lagi pula tidak mengerahkan tenaganya,
maka setelah dihajar oleh kekuatan tenaga dalamnya,
seharusnya sudah mati, bagaimana bukan saja tidak mati,
bahkan masih bisa melompat bangun dan berbicara"
Selagi otaknya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan, tabib
sakti Say Han Kong sudah berada di depannya, ia menepuk
pundak Hee Thian Siang dan berkata sambil tersenyum :
"Hee laote, kali ini biarlah aku yang mewakili kau!"
Belum lagi habis ucapannya, secepat kilat tangannya
sudah bergerak, di luar dugaan Hee Thian Siang, tabib itu
telah menotok jalan darah bagian ketiaknya!
Jikalau pada waktu biasa, sekalipun Say Han Kong turun
tangan secara tiba-tiba rasanya belum tentu dapat merubuhkan Hee Thian Siang tapi malam itu Hee Thian Siang
sedang terluka parah, lagi pula memaksakan diri untuk lompat
bangun, nafasnya sudah mulai sesak, maka tidak kuat
memberikan perlawanan sama sekali, dengan demikian, maka
ia lantas rubuh dan jatuh lagi!
Thiat kwan Totiang tahu benar, bahwa Say Han Kong
pandai ilmu obat-obatan, Hee Thian Siang yang waktu itu
belum mati, mungkin dapat disembuhkan oleh obatnya. Dan
dengan hidupnya tabib itu, ada kemungkinan akan mengadu
kepada guru Hee Thian Siang ! Hal itu sudah tentu akan
merupakan bahaya di kemudian hari bagi golongan Tiam cong
pai, maka dari pada menghadapi bahaya besar, sebaiknya
empat orang malam itu juga dibinasakan semua, supaya tidak
diketahui oleh siapa pun juga. Dengan demikian, Hong poh
Cui seandainya hendak menuntut balas juga tidak dapat
menemukan saksinya! Setelah mengambil keputusan itu, ketika melihat Say Han
Kong menyentuh Hee Thian Siang dan selagi satu tangan
hendak mengambil gelangnya Hee Thian Siang lalu berkata
dengan nada suara dingin :
"Say Han Kong, apakah kau masih ingin menolong
jiwanya?" Say Han Kong meneruskan usahanya untuk mengambil
senjata Hee Thian Siang, dengan sinar mata yang tajam ia
menatap Thiat kwan Totiang, setelah itu ia menjawab dengan
suara lantang: "Bagi seorang tabib, harus memiliki jiwa untuk menolong
sesama manusia jangankan Hee Thian Siang laote ini yang
datang bersamaku, sekali pun orang-orang dari golongan mu,
seandainya ada orang yang terkena racun atau terluka parah,
aku juga akan memberikan pertolongan!"
"Kata-katamu ini seolah-olah penuh cinta kasih, tetapi raja
akherat sudah menetapkan jam tiga harus mati, bagaimana
dapat diperpanjang sampai jam lima" Aku bukan saja akan
membuat Hee Thian Siang mati seketika, sekali pun kau dan
lain-lainnya juga kukirim ke neraka sekalian!"
Say Han Kong yang mendengar ucapan tekebur itu alisnya
berdiri, selagi hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara
tertawa yang sangat merdu kemudian disusul oleh kata-
katanya: "Perkataan yang demikian kejam, aku tidak percaya keluar
dari mulut ketua Tiam cong pai Thiat kwan Totiang!"
Setelah itu, dari tembok tinggi di belakang kuil Tho hie to
kwan melayang turun tiga bayangan, satu hitam satu kuning
satu putih terlapis kuning. Ilmunya meringankan tubuh tiga
golongan putih itu, semua merupakan ilmu yang jarang
tampak di dalam rimba persilatan sehingga diam-diam Thiat
kwan Totiang yang waktu itu masih diliputi oleh kemarahan,
mau tak mau harus waspada, ia lompat ke samping beberapa
kaki jauhnya. Bayangan orang itu sudah berada di hadapannya,
bayangan itu adalah puteri tunggal Thian-gwa Ceng-mo Tiong-
sun Hui Kheng, bayangan putih adalah binatang aneh berbulu
kuning keemas-emasan dan bayangan putih terlapis kuning
dan bentuknya kecil adalah si Siaopek, kera ekcil yang sangat
cerdik itu! U-tie Khao dan Ca Bu Kao semua tak mengenali Tiongsun
Hui Kheng dan dua peliharaannya, tetapi Say Han Kong
bukan saja masih mengenali kera kecil itu juga mengenali
gadis cantik yang mengenakan mantel hitam itu. Ia adalah
Tiongsun Hui Kheng yang dahulu memenangkan pertaruhan
kudanya Ceng hong kie. Tetapi malam itu siaopek sudah mengenakan rompi emas
yang sangat indah! Thiat kwan Totiang meskipun tidak kenal dengan Tiongsun
Hui Kheng, tetapi dari sikapnya yang agung, sudah dapat
menduga bahwa gadis itu bukan dari golongan sembarangan,
terutama dua peliharaannya dua binatang luar biasa!
Dengan alis dikerutkan ia bertanya: "Siapakah nona ini"
Tahukah bahwa orang yang malam-malam memasuki kuil ini
ada pantangan golongan Tiam-cong?"
Tiongsun Hui Kheng, begitu kakinya menginjak tanah,
pertama-tama matanya ditujukan kepada Hee Thian Siang,
ketika menampak pemuda itu rebah dengan memejamkan
matanya, alisnya dikerutkan seolah-olah tidak mendengar
pertanyaan Thiat kwan Totiang, maka tidak dihiraukannya
sama sekali. Sementara Say Han Kong sudah mengeluarkan sebutir
pilnya yang dibuat dari buah pohon Lengci, segera
dimasukkan sebutir ke mulut Hee Thian Siang, kemudian
berkata kepada Tiongsun Hui Kheng dengan suara perlahan:
"Nona Tiongsun, jawablah dulu pertanyaan ketua Tiam
cong pai. Hee Thian Siang laote untuk sementara tidak
halangan, tunggu setelah kita keluar dari markas Tiam cong
pai, nanti aku akan periksa dengan teliti!"
Tiongsun Hui Kheng yang mendengar ucapan itu,
kemarahannya mulai hilang, dengan sinar mata yang tajam ia
menatap Thiat kwan Totiang, kemudian berkata lambat-
lambat: "Namaku Tiongsun Hui Kheng, dengan mengandalkan
hubungan ayah dengan ketua Tiam cong pai yang dahulu
yang demikian erat, maka aku berani datang kemari untuk
menghindarkan kuil pho hie to kwan dari bencana, dan toh kau
masih sesalkan aku melanggar pantangan."
Thiat kwan Totiang yang sudah lama mendengar Thian-
gwa Ceng mo Tiongsun Seng ada mempunyai seorang puteri
yagn pandai menjinakkan segala binatang, maka setelah
melihat binatang aneh berbulu emas dan kera kecil yang
cerdik itu sudah merasa curiga, kini setelah mendengar
Tiongsun Hui Kheng menyebutkan namanya, benar saja apa
yang dicurigainya itu ternyata benar, dan oleh karena suhunya
sendiri dahulu mempunyai hubungan erat dengan Thian-gwa
Ceng mo, maka ia terpaksa merubah sikapnya dan berkata
sambil pura-pura tertawa:
"Oooo, kiranya adalah adik Tiongsun, maafkan aku yang
tidak menyambut kedatanganmu secara baik ! Tetapi entah
apa yang adik maksudkan bahwa kedatanganmu ke Pho hie
to kwan adalah hendak menghindarkan kuil kita dari
bencana?" "Tahukah kau asal-usul dan perguruan dia?" tanya
Tiongsun Hui Kheng sambil menunjuk Hee Thian Siang.
"Dia adalah muridnya Pak bin Sin po Hong poh Cui."
"Nenek itu sifatnya keras dan aneh pula, ia juga lebih susah
dihadapi daripada ayahku, apalagi dia terlalu membela kepada
murid-muridnya! Jikalau Hee Thian Siang yang merupakan
murid satu-satunya mati di dalam tanganmu, sudah pasti
Hongpoh Cui akan mencari kau. Dalam keadaan marah, tentu
dia akan mengambil tindakan keras ! Hanya aku kuatir
senjatanya Kian thian Pek lek, seluruh kuil ini pasti akan
hancur lebih menjadi abu!"
Thiat kwan Totiang memang tahu hebatnya Hongpoh Cui,
maka ia tadi menggunakan ilmunya Tiat siu sin kang, ialah
serangannya dengan lengan jubah. Setelah membinasakan
Hee Thian Siang ia akan membinasakan yang lain-lainnya,
tetapi maksud jahat itu ia tak dapat menerangkan maka
terpaksa diam saja. Tiong-sun Hui Kheng yang menyaksikan Thiat-kwan
Totiang diam saja, segera mengetahui meskipun imam tua itu
diluarnya garang, tapi didalam hatinya merasa jeri, maka
lantas berkata sambil tertawa hambar: "Kau tadi menyebut aku
adik, dan sekarang dengan kedudukanku sebagai adik, aku
hendak menyelesaikan pertikaian ini. Kedua pihak kuminta
supaya menghentikan pertempuran. Permintaanku ini rasanya
toh tidak keterlaluan" Dan kalau memang mau dilanjutkan,
tunggulah saja pada nanti pertemuan di puncak Thian-tu-hong
yang kedua, boleh dibereskan sekalian."
Thiat-kwan Totiang menatap wajah Tiong-sun Hui Kheng
sejenak, sementara hatinya menimbang-nimbang, jika ia tidak
terima permintaannya, bukan saja akan tambah musuh kuat
lagi, apalagi orang-orang yang berada dihadapannya malam
ini, kecuali Hee Thian Siang, masih ada lagi Tiong-sun Hui
Kheng dan dua binatang aneh yang pasti juga tidak mudah
dihadapi. Maka ia terpaksa berkata:
"Mereka bukan saja sudah memasuki Pho-hie-to-kwan
secara lancang, juga melukai beberapa anak buah kami,
bahkan melakukan hinaan, pinto sudah tak dapat
mengendalikan kesabaran lagi, sehingga terpaksa turun
tangan ganas. Sekarang kalau adik Tiong-sun ingin jadi
pemisah, biarlah permusuhan ini kita tunda hingga pertemuan
di puncak Thian-tu-hong, demikian juga boleh. Hanya adik
Tiong-sun juga harus tahu bahwa kuterima permintaanmu ini
semata-mata karena memandang mukamu, bukan karena aku
takut Pak-bin Sin-po atau senjata Kian-thian-pek-lek."
Say Han Kong dan Oe-tie Khao tahu bahwa ucapan Thiat-
kwan Totiang itu semata-mata hanya sebagai alasan untuk
undurkan diri. Maka mereka tiada berkata apa-apa. Tetapi
tidak demikian dengan Ca Bu Kao, ketika mendengar ucapan
itu merasa sangat muak, ia mengeluarkan suara dari hidung,
dan selagi hendak menyela, Tiong-sun Hui Kheng yang
menyaksikan keadaan demikian segera menggelengkan
kepala tersenyum kepada Ca Bu Kao kemudian berkata:
"Kalau totiang sudah berkata demikian, maka Tiong-sun
Hui Kheng bersama Say Tayhiap dan lainnya kini hendak
minta diri." Mendengar disebutnya nama Say tayhiap, Thiat-kwan
Totiang kembali mengerutkan alisnya, katanya dengan
perasaan tidak senang: "Adik Tiong-sun, kedatanganmu kali
ini sungguh tidak kebetulan, lain kali jika kau hendak datang
ke Pho-hie-to-kwan, harus lebih dahulu memberi kabar,
supaya pinto bisa menyambut dari jauh jangan dianggap
kurang sopan terhadap sahabat lamanya."
Tiong-sun Hui Kheng dapat menangkap maksud kata-kata
Thiat-kwan Totiang, ia menyesalkan kedatangan secara tiba-
tiba, dan membantu Say Han Kong dan lain-lain, tetapi ia
berlagak tidak tahu. Segera melambaikan tangannya bersama
Say Han Kong dan lain-lain undurkan diri dari Pho-hie-to-
kwan. Turun dari gunung Tiam-cong-san melalui satu
tikungan, Say Han Kong lalu menghentikan langkahnya dan
memeriksa luka Hee Thian Siang.
Tiong-sun Kui Kheng juga tahu bahwa Hee Thian Siang
terluka parah, alisnya dikerutkan dan bertanya kepada Ca Bu
Kao yang berdiri di sisi dirinya: "Dia terluka oleh siapa"
Agaknya. .!" Ca Bu Kao yang melihat Hee Thian Siang meskipun sudah
makan sebutir obat pil yang terbuat dari getah lengci, namun
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih belum tampak agak sembuh, juga merasa cemas,
ketika ditanya ia juga tidak bisa memberikan jawaban
memuaskan, maka terpaksa menjawab dengan suara
perlahan: "Ia terkena serangan Thiat-kwan Totiang yang
menggunakan ilmu Tiat-siu-sin-kang!"
"Hebatkah serangannya?" Bertanya Tiong-sun Hui Kheng
terkejut. Ca Bu Kao mengerutkan alisnya, dengan wajah murung ia
menjawab: "Waktu itu Lui Hwa sedang menggunakan
senjatanya yang terampuh pasir beracun, apa mau senjata
ampuh itu telah digagalkan oleh Oe-tie Khao taihiap, orang-
orang Tiam-cong-pay yang mengalami kekalahan hebat,
menimbulkan kemarahan ketuanya. Thiat-kwan Totiang
sangat marah dan turun tangan sendiri. Dengan demikian
serangannya sudah pasti tidak mengenal kasihan. Mungkin
dia menggunakan kekuatan tenaga sepenuhnya."
"Kalau ditilik dari kekuatan dan kepandaian ketua Tiam-
cong-pay ini dan hebatnya serangan Tiat-siu-sin-kang, apabila
dilakukan dengan sepenuh tenaga, sekalipun orang terbuat
dari batu juga akan hancur lebur seketika. Tetapi dengan cara
bagaimana Hee Thian Siang waktu itu tidak mati seketika dan
masih bisa pertahankan badannya?" Berkata Tiong-sun Hui
Kheng kaget. Berkata sampai di situ ia berhenti sejenak, tiba-tiba ia
teringat sesuatu, katanya pula sambil menganggukkan kepala:
"O, sekarang aku mengerti, ketika di bawah kaki gunung Oey-
san aku pernah memberi Hee Thian Siang tiga lembar emas
sisik naga pelindung jalan darah peninggalan Tay-piat sianjin,
mungkin lantaran barang itu yang melindungi jalan darah
bagian dadanya sehingga ia tidak sampai mati."
Say Han Kong yang mendengar ucapan itu segera
memeriksa dada Hee Thian Siang, benar saja ia menemukan
sisik naga pelindung jalan darah itu berada dijalan darah
dibagian dadanya, sedang yang lain berada dibagian
punggungnya. Tabib sakti itu setelah mengetahui sebab
musabab lantas berkata sambil menghela napas:
"Dua jalan darah dibagian dada Hee Thian Siang, sama
dilindungi oleh pusaka peninggalan Tay-piat Sianjin, meskipun
terkena serangan Thiat-sing-kang jikalau bisa menahan napas
pada waktu yang tepat, tidak akan menjadi halangan, tapi ia
beradat keras, ketika terluka ia telah menggunakan ilmunya
untuk melompat bangun dan berkata keras kepada Thiat-kwan
Totiang sehingga napas dan tenaga mengalami pukulan
hebat, meskipun sudah makan sebutir obat yang dibuat dari
getah buah lengci, namun masih. ."
Tiong-sun Hui Kheng melihat Say Han Kong setelah
memeriksa keadaan Hee Thian Siang, wajahnya masih
murung, dan kata-katanya itu juga agak ragu-ragu, ia tahu
keadaan sangat gawat, maka perasaannya jadi cemas dan
bertanya: "Mengapa Say tayhiap tidak melanjutkan
keteranganmu, apakah. ."
"Sekalipun menggunakan seluruh kepandaianku, paling
lama juga cuma bisa menahan jiwanya tujuh hari saja."
Berkata Say Han Kong sambil menghela napas panjang.
Ca Bu Kao dan Oe-tie Khao yang mendengar ucapan itu
saling pandang. "Say tayhiap adalah tabib sakti pada dewasa ini, benarkah
tidak dapat menolong jiwanya?" Bertanya pula Tiong-sun Hui
Kheng cemas. Say Han Kong menatap Leng-po Giok-lie, kemudian
berkata: "Nona Ca, luka Hee Thian Siang sekarang ini serupa
keadaannya dengan lukamu waktu kena serangan pasir
beracun dahulu, hanya dengan setetes getah pohon lengci
atau setangkai bunga teratai Swat-lian yang bisa menolong.
Tetapi dua macam barang luar biasa itu yang satu ada di
lautan Timur dan yang lain ada di perbatasan Tibet dalam
waktu tujuh hari bagaimana keburu. ."
Tiong-sun Hui Kheng tampak girang, katanya: "Lautan timur
terlalu jauh, tetapi gunung Swat-san yang berada di
perbatasan Tibet dalam waktu tujuh hari mungkin masih bisa
datang kembali." Say Han Kong yang mendengar ucapan itu juga teringat
kepada kudanya ceng-hong-kie, maka lantas bertanya kepada
Tiong-sun Hui Kheng: "Nona Tiong-sun, apakah kudamu
Ceng-hong-kie itu juga kau bawa kemari?"
Karena mengingat bahwa Say Han Kong adalah majikan
lama Ceng-hong-kie maka ketika ditanya demikian, wajah
Tiong-sun Hui Kheng menjadi merah.
Sesaat kemudian ia mengeluarkan siulan pelan, dan kuda
yang cerdik itu benar saja lantas mencarinya, melihat Say Han
Kong lantas menghampiri dan menunjukkan sikapnya yang
masih mengenali bekas majikannya yang lama.
Ling-po Giok-lie Ca Bu Kao menganggukkan kepala dan
berkata: "Dengan adanya kuda istimewa ini, dalam waktu tujuh
hari mungkin tidak menjadi soal, tapi buah Swatlian itu
merupakan barang yang tidak ternilai, bagaimana Peng-pek
Sim-po suka memberikan orang sampai setangkai"
Kepandaian orang Swat-san-pay juga merupakan kepandaian
yang luar biasa, rasanya tidak mudah kita hadapi. ."
Kalau benar hanya jalan ini yang bisa menolong Hee Thian
Siang, meskipun sukar, juga harus dicoba. Apalagi aku
memiliki kuda istimewa, siopek serta binatang anehku ini,
mungkin aku dapat mendapatkannya, siapa tahu?" Berkata
Tiong-sun Hui Kheng. Berkata sampai di situ, ia berpaling dan bertanya kepada
Say Han Kong: "Waktunya sudah mendesak rasanya tidak
perlu menghambat lagi, Tiong-sun Hui Kheng kini hendak
berangkat ke gunung Tay-swat-san, Say tayhiap dan lain-lain
dimana hendak menunggu?"
Say Han Kong berpikir sejenak, kemudian berkata: "Di tepi
lautan jihay sebelah Timur ada sebuah kuil tua, kita akan
menunggu di sana." Tiong-sun Hui Kheng menganggukkan kepala, lantas minta
diri dan lompat ke atas kudanya bersama siaopek. Dengan
cepat kudanya dibedal menuju ke gunung Tay-swat-san.
Say Han Kong dan lain-lain yang menunggu di kuil tua di
tepi laut, masih mengalami berbagai kejadian yang
mendebarkan hati, tetapi hal itu baiklah kita tunda dulu, kita
sekarang mengikuti perjalanan Tiong-sun Hui Kheng.
Tiong-sun Hui Kheng yang melakukan perjalanan itu,
sepanjang jalan memikirkan dirinya sendiri: Ia merasa heran,
sebab ia selamanya tidak suka bergaul dengan orang biasa,
kesukaannya bergaul dengan binatang, tetapi entah kenapa
setelah bertemu muka dan mengadakan pertaruhan dengan
Hee Thian Siang, hatinya selalu memikirkan pemuda itu,
hingga dengan tergesa-gesa ia menyusul ke gunung Tiam-
cong-san, bahkan setelah melihat Hee Thian Siang terluka ia
telah majukan diri memikul tugas berat itu, melakukan
perjalanan ribuan pal jauhnya, untuk mencari buah teratai
Swat-lian untuk menyembuhkan luka Hee Thian Siang.
Kalau memikir semua itu Tiong-sun Hui Kheng merasa
malu sendiri: "Tindakanku ini hanya memenuhi rasa sebagai
orang dunia Kang-ouw yang harus membantu kawan, dan
harus menolong sesama yang terluka, putri Thian-gwa Ceng-
mo tidak mungkin bisa terlibat oleh jaring asmara."
Siaopek yang berada dalam pelukannya, ketika melihat
majikannya berkata kepada diri sendiri agaknya seperti
berubah kelakuannya, lalu menggunakan tangannya untuk
menepuk-nepuk pundak Tiong-sun Hui Kheng.
Tiong-sun Hui Kheng yang paham bahasanya, tahu bahwa
keranya itu telah mengetahui kelakuannya sendiri yang beda
dengan biasanya, maka seketika itu wajahnya menjadi merah,
pura-pura berkata kepadanya: "Siaopek jangan kau menggoda
aku, apakah sesalkan aku mengapa ketika berada dikui Thie-
hee-kwan aku tidak memberi kau kesempatan untuk
berkelahi" Kau harus tahu, bahwa dengan imam itu semuanya
merupakan orang-orang yang sangat jahat."
Siaopek yang cerdik ketika mendengar ucapan itu,
sepasang matanya berputaran memancarkan cahaya tajam,
agaknya merasa penasaran.
Tiong-sun Hui Kheng tahu benar bahwa keranya itu beradat
tinggi, maka ia mengelus-elus manja dan berkata pula sambil
tertawa: "Sebenarnya kau yang sudah memakai rompi sisik
naga peninggalan Tay-piat Sianjin, ditambah lagi dengan
kecerdikanmu, sekalipun ketemu dengan tokoh yang bagaimana pun kuatnya, masih sanggup menghadapi. Untuk
selanjutnya, apabila ada kesempatan, aku akan memberi kau
bergerak, tetapi jangan kau sembarangan mengambil jiwa
orang!" Siaopek yang mendengar ucapan itu tampaknya sangat
girang, ia menjatuhkan kepalanya di atas pelukan majikannya,
sedangkan binatang buas berbulu kuning emas itu yang lari di
belakang Ceng hong kie saat itu mengeluarkan suara
geramnya yang aneh ! Tiongsun Hui Kheng yang mendengar geram binatangnya,
sudah mengerti maksudnya, maka ia lalu berkata kepadanya :
"Tay wang, kau jangan terlalu gembira dulu, kau berbeda
dengan Siaopek, oleh karena kau mengikuti aku belum lama,
sehingga sifat buasmu masih belum lenyap apabila kau
bertindak sembarangan dan melakukan pembunuhan secara
sembarangan, aku nanti akan hukum berat padamu!"
Binatang aneh yang dinamakan Tay wang itu setelah
mendengar ucapan majikannya, lagi pula dengan
memperhatikan sikap nonanya, badannya gemetar agaknya
sangat takut. Tiongsun Hui Kheng sangat sayang kepada tiga
binatangnya itu, ketika menyaksikan binatang buas itu
demikian sikapnya, ia merasa kasihan, maka lantas berkata
sambil tersenyum : "Tay wang, kali ini setelah perjalanan kita dari gunung Tay
swat san, kau jangan berlaku sembarangan,
segala-galanya kalau kau menurut benar kataku, aku nanti
akan menyayangi dirimu seperti aku menyayangi diri Siaopek!"
Dengan mengandalkan kudanya yang istimewa, baru dua
hari lebih sudah tiba di daerah pegunungan Tay swat san.
Tempat kediaman ketua Swat san pai Pengpok Sin kun
bersama istrinya Mao Giok Ceng, yang terletak di tempat yang
tertinggi yang dinamakan Hian peng gwan.
Kalau kuda biasa, di tempat yang diliputi oleh salju dan
berhawa dingin itu pasti sudah kaku kedinginan, apalagi untuk
lari. Tetapi kuda Ceng hong kie adalah kuda istimewa, ia
sedikit pun rupanya tidak takut dingin. Di atas pegunungan
yang penuh salju ia bisa naik seperti berjalan di tanah datar!
Puncak gunung tertinggi itu ada sebuah dataran tinggi yang
terbuat dari salju keras dan pintu gerbangnya terpancang
sebuah papan gedung HIAN PENG GWAN.
Tiongsun Hui Kheng yang sifatnya lemah lembut dan
ramah tamah, tidak suka berlaku curang, turun dari keduanya
terpisah dari tempat itu kira-kira tiga tombak dengan
menggandeng kudanya ia berjalan lambat-lambat.
Terpisah dengan pintu gerbang Hian peng gwan masih satu
tombak lebih, kedatangannya itu disambut oleh dua pelayan
wanita berbaju putih. Dua pelayan itu memberi hormat, ia
bertanya sambil tersenyum:
"Bolehkah numpang tanya, siapakah nama nona yang
mulia" Adakah hendak berjumpa dengan ketua kami suami
istri?" Tiongsun Hui Kheng melihat pelayan berbaju putih itu
semuanya sangat cantik, orangnya pun ramah tamah,
ditambah lagi ketika melihat pakaian yang tipis meskipun
berdiri di atas gunung yang hawanya dingin demikian rupa
sudah pasti memiliki kepandaian ilmu tinggi, maka ia juga
menjawab sambil senyum: "Namaku Tiongsun Hui Kheng, bagaimana sebutan suci
berdua?" Dua pelayan wanita berbaju putih yang cantik manis itu
ketika disebut enci oleh Tiongsun Hui Kheng muka mereka
merah, maka buru-buru memberi hormat dan menjawab:
"Nona, kita berdua adalah saudara sekandung, namaku
Leng Eng dan dia ini Leng Kiat, Swat san Peng bu Leng Pek
Ciok adalah kakek kita! Nona adalah puteri Tiongsun
locianpwe yang namanya sangat kesohor, tingkatannya lebih
tua setingkat daripada kita!"
Mendengar keterangan bahwa Leng Eng dan Leng Kiat itu
adalah cucu Leng Peng Ciok, memang sebenarnya
tingkatannya sendiri masih tua setingkat daripada mereka.
Maka ia juga tidak merendah lagi. Selagi hendak memberikan
maksud kedatangannya yang hendak menjumpai Pengpok
Sinkun, Leng Kiat yagn berdiri di sebelah kanan, agaknya
merasa senang dengan Tiongsun Hui Kheng, lantas berkata
sambil tersenyum: "Nona Tiongsun, kau datang dari jauh pasti ada
maksudnya. Sebaiknya kau berunding dengan nyonya saja !
Sebab ada nyonya lebih ramah. Sinkun sendiri sejak pulang
dari gunung Oey san, karena terbokong oleh orang jahat,
hingga kini masih marah-marah saja. Beberapa kali ia ingin
pergi ke daerah Tionggoan bersama kakekku untuk
menyelidiki siapakah yang menggunakan duri beracun Thian
keng cek itu, maka rasanya susah diajak bicara!"
Tiongsun Hui Kheng tersenyum sambil menganggukkan
kepala. Leng Kiat lalu berkata kepada Leng Eng:
"Enci, kau pergi kawani bibi Tiongsun pergi pesiar ke
gunung untuk menikmati pemandangan alam di sekitar Hian
peng gwan, aku akan memberitahukan kepada nyonya!"
Sehabis berkata, ia bergerak menuju ke sebuah bangunan
yang bentuknya seperti goa. Gerakannya gesit sekali,
menunjukkan betapa tinggi ilmunya meringankan tubuh!
Leng Eng mengawasi siaopek yang berada dalam pelukan
Tiongsun Hui Kheng, dan binatang aneh berbulu emas serta
kuda Ceng hong kie, lantas berkata sambil tersenyum:
"Bibi Tiongsun, kudanya terlalu bagus sekali, dan kera putih
ini rupanya sangat lucu ! Kita di sini di daerah dingin yang
hampir tiap hari turun salju, juga memelihara sepasang kera
salju, kecuali bulunya yang putih, bentuknya mirip dengan
binatang berbulu warna emas ini!"
"Tiongsun Hui Kheng baru menyahut : "Ooooooo. . . . . . . !"
dan selagi hendak bertanya, tiba-tiba dari dalam goa salju itu
ada orang keluar.
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang yang baru keluar itu gerakannya sangat indah dan
lemah gemulai, sebentar saja sudah tiba di hadapan matanya.
Dia adalah seorang wanita cantik setengah umur yang
mengenakan pakaian warna ungu.
Tiongsun Hui Kheng tahu bahwa wanita cantik setengah
umur ini pasti adalah istri Pengpok Sinkun Mao Giok Ceng,
maka lalu berkata sambil tersenyum: "Boanpwe Tiongsun Hui
Kheng, oleh karena ada suatu urusan, dari jauh boanpwe
datang kemari, harap Mao locianpwe maafkan atas tindakanku
ini!" Istri Pengpok Sinkun Mao Giok Ceng memang seorang
yang ramah tamah, ditambah lagi sikapnya yang simpatik dari
Tiongsun Hui Kheng, apalagi siaopek menimbulkan suka
kepada orang yang melihatnya, maka lantas berkata sambil
tersenyum: "Nona Tiongsun, kau datang dari tempat jauh, pula ada
urusan penting ! Sebetulnya aku akan persilahkan kau masuk
ke dalam gubukku ini, untuk menyambut kau sebagaimana
mestinya, tetapi oleh karena suamiku sejak pulang dari
gunung Oey san, keadaannya kurang baik. . ."
Tidak menantikan Mao Giok Ceng habis kata-katanya,
Tiongsun Hui Kheng sudah memberi hormat dan berkata
sambil tertawa: "Tiongsun Hui Kheng tidak berani mengganggu Sinkun,
tetapi karena salah satu sahabat boanpwe terkena serangan
ilmu Tiat siu Sinkang dari ketua Tiam cong pai Thiat kwan
Totiang sehingga mendapat luka dalam, maka barulah
memerlukan datang kemari. Sudikah kiranya Mao locianpwe
memberikan setangkai buah teratai swat lian " Supaya dapat
boanpwe gunakan untuk menolong jiwanya?"
Mao Giok Ceng setelah mendengar keterangan Tiongsun
Hui Kheng bahwa kedatangannya itu hendak minta buah
swatlian, sikapnya menunjukkan keberatan, katanya lambat-
lambat: "Daerah pegunungan Thian jan peng san ini, meskipun
tumbuh tanaman buah teratai swatlian tetapi juga hanya ada
tiga tangkai saja, yang lainnya oleh karena waktunya belum
tiba, sebagian besar warnanya masih putih, masih boleh
dianggap sebagai obat biasa saja!"
Tiongsun Hui Kheng yang mendengar keterangan itu baru
saja merasa lega karena sikap Mao Giok Ceng yang demikian
ramah dan baik hatinya, apalagi buah teratai swatlian itu ada
tiga tangkai banyaknya, mungkin suka memberikan setangkai
padanya. Tetapi pada saat itu Mao Giok Ceng sudah berkata
pula: "Tetapi tiga tangkai buah teratai itu, setengah sudah diambil oleh duta bunga
mawar dan ketika suamiku dan aku terkena
serangan di bawah kaki gunung Oey san sudah mengenakan
setengah tangkai lagi, dan untuk menjaga serangan penjahat
itu lagi, yang menggunakan duri beracun secara
sembarangan, suamiku kembali memetik setangkai lagi,
dibuat obat yang dapat digunakan untuk memunahkan racun.
Maka itu, sekarang ini hanya tinggal setangkai saja dan
merupakan yang terakhir!"
Tiongsun Hui Kheng ketika mendengar bahwa buah teratai
itu tinggal setangkai yang terakhir, alisnya dikerutkan,
wajahnya menunjukkan sikap kecewa!
Menampak wajah Tiong-sun Hui Kheng diliputi oleh rasa
sedih, Mao Giok Ceng lantas berkata sambil menghela napas:
"Kami suami istri meskipun berdiam di goa Hian-peng-goan
dan mendirikan partai Swat-san-pay tetapi buah teratai Swat-
lian itu adalah tumbuhan alam yang dikaruniai oleh Tuhan,
agaknya tidak pantas kalau kami kangkangi sebagai milik
sendiri." "Maksud Mao locianpwe, apakah kiranya locianpwe tidak
melarang orang lain masuk ke lembah Thian-han-kok untuk
mengambil buah teratai itu?"
"Melarang sih tidak, tetapi ada tiga rupa ketentuan yang
rasanya sulit ditembus, maka selama itu belum pernah ada
orang luar yang berhasil mengambil buah teratai itu dari
lembah Thian-han-kok."
"Mao locianpwe, sudikah kiranya locianpwe memberitahukan kepada boanpwe tentang tiga ketentuan itu?"
Mao Giok Ceng mengawasi Tiong-sun Hui Kheng dan tiga
ekor binatang ajaibnya itu dengan bergiliran, kemudian
berkata sambil menganggukkan kepala: "Ketentuan pertama
ialah; buah teratai Swat-lian itu tumbuh di atas tebing salju
setinggi sepuluh tombak, orang yang hendak mengambil
dilarang menggunakan segala macam alat tambang juga
senjata rahasia. Harus diambilnya dengan mendaki ke atas
tebing tersebut, supaya jangan merusak akarnya."
Tiong Sun Hui Kheng memandang siaopek sejenak, ia rasa
bahwa ketentuan pertama ini mungkin dapat menyulitkan
orang lain, tetapi tidak demikian dengan si kera kecil itu. Maka
ia lalu bertanya pula: "Dan apakah ketentuan yang kedua itu?"
"Di dalam lembah Thian-han-kiok, ada berdiam dua ekor
orang hutan daerah dingin, tenaganya kuat sekali, luar biasa
ganasnya. Mereka bertugas menjaga buah teratai Swat-lian.
Orang yang hendak mengambil buah teratai tersebut hanya
boleh mengusirnya, tidak boleh membinasakan dengan
tangan ganas." Tiong-sun Hui Kheng sebagai seorang gadis yang memiliki
kepandaian menjinakkan segala binatang buas, maka
terhadap ketentuan kedua itu agaknya mudah diatasi. Maka
diam-diam ia merasa girang dan menanyakan lagi ketentuan
yang ketiga. Mao Giok Ceng yang tadi menampak wajah gadis itu
sangat murung, tetapi setelah mendengar keterangan tentang
dua ketentuan itu, mendadak berubah ramai dengan
senyuman, agaknya sedikit pun tidak anggap soal penting dua
ketentuan itu. Maka ia lalu berkata dengan perasaan heran:
"Dua ketentuan itu tadi, adalah ketentuan yang harus ditaati
pada sebelum bertindak hendak mengambil buah teratai,
tetapi ketentuan yang ketiga ini, adalah ketentuan yang
mengenai sesudahnya! Barang siapa yang berhasil
mendapatkan buah teratai swatlian, diharuskan berdiam di
dalam lembah Thian han kok tiga hari lamanya untuk diuji
kekuatannya bisa tahan hawa dingin atau tidak, setelah itu
baru diperbolehkan keluar!"
Ketentuan ketiga inilah yang menyulitkan Tiongsun Hui
Kheng, sebab Hee THian Siang yang sedang menghadapi
bahaya maut, apabila tiga hari kemudian baru boleh keluar
dari lembah Thian han kok, bukankah akan memperlambat
waktunya yang sudah ditetapkan dalam tujuh hari harus sudah
kembali" Mao Giok Ceng kembali menampak wajah Tiongsun Hui
Kheng menjadi murung, lalu menghela napas, kemudian
berkata : Tiga ketentuan ini, sesungguhnya terlalu sulit tetapi buah
teratai swat lian itu merupakan obat ajaib dan sangat mujarab
serta jarang ada di dalam dunia, maka Swat san pai mau tak
mau . . . ." Tiongsun Hui Kheng segera memotongnya:
"Boanpwe bukan takut menghadapi tiga ketentuan itu,
hanya minta Mao locianpwe supaya sudi memberi sedikit
kelonggaran!" "Nona Tiongsun, kau denganku seperti ada jodoh, begitu
aku melihat kau, aku merasa suka, kelonggaran bagaimana
yang kau kehendaki" Katakanlah terus terang, jikalau tidak
keterlaluan, aku pasti akan meluluskan permintaanmu!"
Mendengar ucapan itu, Tiongsun Hui Kheng sudah lebih
dulu menghaturkan terima kasih, kemudian berkata sambil
tersenyum: "Tiongsun Hui Kheng karena sahabat karibnya terluka
parah, barulah datang kemari mengganggu locianpwe.
Seandainya boanpwe ada jodoh dapat mentaati dua ketentuan
yang terdahulu, sehingga berhasil mendapatkan buah teratai
swat lian, maka boanpwe minta locianpwe memberi izin
supaya mengirim lebih dulu kepada bintang peliharaan
boanpwe, ke gunung Im Cong san, untuk menolong jiwa
sahabat boanpwe yang terluka itu. Setelah itu boanpwe
dengan seorang diri akan berdiam tiga hari lamanya di dalam
lembah Thian han kok. Setelah batas waktu tiga hari sudah
terpenuhi, baru keluar dari lembah!"
Mendengarkan permintaan Tiongsun Hui Kheng yang
cukup pantas, Mao Giok Ceng lalu berpikir, kemudian berkata
sambil menganggukkan kepala : "Demikian besar perhatian
nona terhadap sahabatmu itu. sudah tentu aku bersedia
menerima baik permintaanmu ini, tetapi dua ketentuan yang
terdahulu, rasanya sudah sulit sekali, apalagi ketentuan yang
ketiga, harus berdiam di dalam lembah Thian han kok tiga
hari, menahan lapar dan hawa dingin, di samping itu juga ada
kemungkinan terancam arus hawa yang dapat
menghancurkan tulang, telinga dan hidung, apakah nona
Tiongsun kiranya sanggup?"
Tiongsun Hui Kheng sedikit pun tidak gentar, katanya
dengan sikap menghormat: "Terima kasih atas kesediaan
locianpwe meluluskan permintaan boanpwe, tapi kini boanpwe
hendak memberi pesan beberapa patah kata kepada kuda
boanpwe ini, setelah itu mohon locianpwe menunjukkan
jalannya yang menuju ke lembah Thian han kok!"
Sehabis berkata demikian, ia memutar diri, lalu
menghampiri kudanya Ceng hong kie. Di telinga kdua
istimewa itu ia mengucapkan beberapa patah kata dengan
suara sangat pelahan. Kuda itu tampak mengangguk-
anggukkan kepalanya, mukanya yang panjang ditempelkan
kepada muka majikannya, hingga tampaknya sangat mesra.
Setelah itu, lantas lari keluar, di dekat tempat itu ia mencari
tempat sendiri untuk beristirahat.
Mao Giok Ceng yang menyaksikan semua kejadian itu,
diam-diam merasa heran, tanyanya kepada Tiongsun Hui
Kheng: "Nona Tiongsun, kudamu ini demikian cerdik, apakah
bukan kuda Ceng hong kie yang sangat terkenal
kecerdikannya itu?" Tiongsun Hui Kheng menganggukkan kepala,
membenarkan dugaan Mao Giok Ceng, lalu menanyakan lagi
jalannya menuju ke lembah Thian han kok.
Mao Giok Ceng mengawasi siaopek dan Tay wong
sebentar, lalu bertanya sambil tersenyum:
"Apakah nona juga hendak membawa dua binatang
peliharaan ini ke lembah Thian han kok?"
Tiongsun Hui Kheng mengelus-elus Siaopek dan Tay
wong, lalu menjawab: "Kera sangat cerdik ini, selamanya tidak mau berpisah
dengan boanpwe, kalau boanpwe bawa, mungkin ada juga
gunanya!" Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula sambil
menunjuk Tay-wong: "Tentang Tay-wong ini, setelah boanpwe berhasil
mendapatkan buah teratai Swat lian, boanpwe suruh dia
pulang dahulu ke tepi laut di Propinsi In-lam!"
"Kalau nona memang sudah mengambil keputusan
demikian, baiklah aku akan antar sendiri padamu ke lembah
Thian han kok!" Mendengar ucapan itu, Tiongsun Hui Kheng lalu
mengucapkan selamat berpisah dengan Leng Eng dan Leng
Kiat, kemudian ikut Mao Giok Ceng ke lembah Thian han kok,
yang letaknya di sebelah barat daya Hian peng gwan, di
tengah-tengah antara puncak gunung Cek thian dan Tiat
bong. Dalam perjalanan, Mao Giok Ceng berkata kepada
Tiongsun Hui Kheng sambil tersenyum:
"Hari ini nona masuk ke lembah Thian han kok, waktunya
baik, sebab arus hawa dingin yang sangat berbahaya itu, pada
setiap waktu tertentu paling hebat. Tadi malam baru saja lebat
waktu tertentu it, maka hawa dingin mulai hari ini agak kurang,
sedikit hangat dari pada waktu biasa!"
Keterangan nyonya rumah itu seolah-olah memberikan
petunjuk, maka Tiongsun Hui Kheng malu-malu menyatakan
terima kasihnya. Sementara itu, Mao Giok Ceng sudah melanjutkan kata-
katanya: "Terhadap ancaman bahaya alam semacam ini, aku
juga tidak dapat memberi petunjuk yang tepat. Aku hanya tahu
bahwa dahulu orang-orang yang masuk ke lembah Thian han
kok hendak mengambil buah teratai merah itu, sebagian besar
mati kedinginan terserang oleh arus hawa dingin itu. Mereka
itu kebanyakan karena mengandalkan ilmu kekuatan tenaga
dalamnya yang dianggapnya sudah sempurna betul, ketika
terserang oleh arus hawa dingin, telah menggunakan hawa
murni dalam tubuhnya yang termasuk hawa panas dan
akhirnya, betapapun tinggi kepandaian mereka, betapa hebat
kekuatan tenaga dalam mereka, bagaimana sanggup
bertahan serangan hawa dari alam sampai tiga hari " Maka
pada akhirnya tidak mampu lagi menghindarkan diri dari
bencana ! Sebaiknya berusaha berjaga-jaga dengan jalan
menghitung tepat waktunya arus hawa dingin itu datang.
Sewaktu memasuki lembah, sedapat mungkin berlaku tenang,
simpan tenaga, begitu arus hawa dingin timbul, baru
menggunakan hawa murni dalam tubuh, perlahan-lahan
disalurkan ke seluruh tubuh, jangan sampai jalannya darah
terganggu. Dengan cara demikian, mungkin bisa terhindar dari
bencana." Tiongsun Hui Kheng yang sangat cerdik, mendengar
ucapan itu, ia sudah mengerti bahwa Mao Giok Ceng sengaja
memberikan petunjuk yang sangat berharga baginya
bagaimana menolak serangan arus hawa dingin, apabila arus
itu datang. "Demikian besar cinta locianpwe terhadap boanpwe,
terlebih dahulu boanpwe mengucapkan banyak-banyak terima
kasih atas budi locianpwe, di kemudian hari apabila locianpwe
membutuhkan bantuan tenaga boanpwe, boanpwe pasti
menyediakan tenaga untuk membalas budi locianpwe ini!"
Mao Giok Ceng pikir, Thian gwa Ceng mo Tiongsun Seng
adalah salah seorang dari tiga aneh rimba persilatan yang
kukoay dan paling sukar dilayani, tetapi putri satu-satunya ini
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengapa sikapnya lemah lembut, ramah tamah, sangat
menyenangkan" Karena keadaannya yang sangat baik terhadap gadis itu,
maka diberitahunya lagi beberapa petunjuk yang berharga.
Katanya: "Tetapi, apa yang kukatakan tadi, semua ditujukan kepada
orang-orang yang tidak berhasil mengambil buah teratai Swat
lian. Karena nona adalah keturunan tokoh kenamaan,
mungkin jauh berbeda dengan orang lain. Apabila dalam
perjalananmu ini, berhasil mendapatkan buah teratai itu,
sudah tentu semuanya tidak perlu dikhawatirkan."
Tiongsun Hui Kheng masih hendak menanyakan sebabnya,
keduanya sudah tiba di depan mulut lembah Thian han kok
yang tertutup oleh batu besar setinggi empat lima tombak,
sehingga orang yang hendak masuk ke dalam lembah harus
melompati batu tinggi itu.
Mao Giok Ceng berhenti dan berkata sambil menunjuk batu
besar itu: "Kebesaran alam, sesungguhnya di luar perhitungan
manusia. Seperti batu ini, adanya tepat menutupi mulut
lembah, juga berfungsi menahan meniupnya angin dingin dari
dalam lembah. Jikalau tidak ada batu besar ini, entah
bagaimana keadaannya kediaman kita di Hian Peng Gwan"
Nanti kalau nona lompat masuk melalui batu ini, harap berlaku
hati-hati. Aku sudah bicara terlalu banyak terhadapmu, ini
sudah melampaui batas-batas ketentaraan yang sudah kita
tetapkan. Maka untuk sementara aku harus meninggalkan
kau, tiga hari kemudian, aku nanti datang lagi, untuk
menyambut kau keluar dari lembah!"
Tiongsun Hui Kheng anggap bahwa nyonya rumah itu
sangat baik sekali, maka lalu menarik tangannya dan berkata
sambil tertawa: "Mao locianpwe, sambutan locianpwe terhadap boanpwe
sesungguhnya baik sekali, selanjutnya boanpwe ingin supaya
banyak mengadakan perhubungan!"
Mao Giok Ceng menganggukkan kepala sambil tersenyum:
Tiongsun Hui Kheng berkata pula sambil tersenyum manis:
"Tetapi sebutan locianpwe ini rasanya kurang intim, untuk
selanjutnya bolehkah kalau boanpwe sebut locianpwe bibi
saja?" "Mempunyai seorang kemenakan seperti kau cantik manis
ini, siapakah orangnya yang tidak senang " Aku sudah
perhitungkan timbul dan berlalunya arus hawa dingin yang
sangat ganas itu, kalau sekarang ini kau masuk ke lembah
mengambil buah teratai, waktunya sangat tepat ! Maka aku
yang menjadi bibimu ini, tidak perlu banyak bicara lagi. Tiga
hari kemudian aku nanti datang lagi untuk menyambut kau!"
Sehabis berkata ia melambaikan tangan sambil tersenyum,
kemudian meninggalkan Tiongsun Hui Kheng seorang diri.
Sepulangnya di rumah, ia telah memberitahukan kepada
suaminya bahwa ia sudah memungut seorang kemenakan
perempuan yang cantik manis.
Tiongsun Hui Kheng mengawasi berlalunya Mao Giok
Ceng, mengingat pesan bibinya tadi, maka ia harus segera
masuk ke lembah untuk melaksanakan tugasnya.
Pada saat itu, Siaopek si kera kecil putih, sudah lompat-
lompatan dalam dukungan majikannya. Tiongsun Hui Kheng
sudah mengerti maksud Siaopek, maka melepaskan
tangannya, dan secepat kilat monyet itu sudah melesat ke
atas batu tinggi! Tiongsun Hui Kheng khawatir monyetnya mendapat
kesulitan, maka diperintahkannya turun pula, kemudian
bersama-sama dengannya lompat melesat ke atas batu.
Benar saja, baru saja berada di atas batu, hawa dingin
dirasakan semakin hebat. Untung Tiongsun Hui Kheng yang sejak kanak-kanak
sudah mendapat didikan sendiri dari ayahnya, ditambah lagi
dengan ilmunya yang pandai menjinakkan binatang, maka
sejak anak-anak sudah banyak sekali makan buah-buahan
ajaib yang didapatkan dari kawan-kawan binatangnya. Ilmu
dan kekuatan tenaga dalam maupun kepandaian ilmu silatnya,
bukan saja jauh lebih tinggi daripada Hee Thian Siang dan
anak-anak muda sebayanya, sekalipun para ketua delapan
partai besar pada waktu itu, juga harus pandang lain. Maka
meskipun harus berlaku sangat hati-hati, tetapi sedikitpun
tidak merasa takut. Ia memperhatikan keadaan dalam lembah
sejenak, lantas melompat turun.
Lembah Thian han kok berbeda dengan lembah biasa,
hanya merupakan lembah sempit bagaikan jalanan berliku-
liku. Oleh karena di kedua sampingnya semua adalah tebing-
tebing saja tingginya ratusan tombak, maka tiada
pemandangan alam yang menghijau. Di permukaan bumi
hanya terbentang pemandangan yang putih meletak dan
hawanya yang dingin meresap tulang.
Tiongsun Hui Kheng bersama dua ekor binatangnya yang
luar biasa, setelah melompat turun ke dalam lembah, lantas
berkata kepada Tay-wong: Tay wong, keluarkan suaramu, coba pancing keluar dua
binatang orang utan dari dalam lembah, aku pikir hendak
dijinakkan dulu, supaya jangan mengganggu usaha kita untuk
mengambil buah teratai!"
Mendengar perintah majikannya, Tay-wong lantas pentang
mulutnya yang lebar, tetapi Siaopek mendadak melarangnya.
Semula Tiongsun Hui Kheng merasa heran, tetapi
kemudian lantas mengerti, ia berkata sambil tersenyum:
"Siaopek sungguh pintar, Tay-wong jangan terlalu nyaring
suaramu. Aku pernah dengar ayah berkata, dalam daerah
pegunungan salju, kumandangnya echo sangat nyaring sekali,
maka tidak boleh mengeluarkan suara terlalu keras. Jikalau
tidak, bisa menimbulkan gugur salju, ini merupakan suatu
bencana besar!" Tay-wong meski agak bodoh kalau dibanding dengan
Siaopek, tetapi tokh masih lebih cerdik daripada binatang buas
biasa. Maka setelah mendengar pesan majikannya, benar
saja, ia tidak berani mengeluarkan suara terlalu nyaring.
Suara yang keluar dari mulutnya itu, seolah-olah suara
yang keluar dari mulut seorang tokoh berkepandaian tinggi
yang menggunakan ilmu tenaga dalam!
Sesaat kemudian, benar saja segera mendapat sambutan
dari tempat yang agak jauh.
Tiongsun Hui Kheng berdiri di tengah-tengah antara dua
binatangnya, matanya ditujukan ke tempat jalanan tikungan
sejauh lima atau enam tombak.
Tak lama kemudian, dari atas tebing melayang turun dua
sosok bayangan putih; itu adalah dua ekor orang hutan
setinggi lima kaki, sekujur badannya berbulu putih sepanjang
kira-kira enam dim yang sangat menyolok adalah sepasang
lengannya yang sangat panjang.
Orang utan salju itu meskipun galak, tetapi lagaknya sangat
cerdik dan tidak berlaku gegabah. Mungkin tahu bahwa Tay-
wong tidak muda didekati, maka lantas berhenti di depan
Tiongsun Hui Kheng bertiga sejak kira-kira tiga tombak.
Siaopek memandang sebentar kepada dua ekor binatang
itu, tangan dan kakinya bergerak-gerak, demikian pula
mulutnya juga cecuwitan tidak ada hentinya.
Tiongsun Hui Kheng yang mengerti bahasa binatang,
mengetahui maksud Siaopek yang memuji dua orang utan itu.
"Siaopek, meskipun mereka sangat menyenangkan, tetapi
adalah binatang peliharaan Swat san pai, apakah kau ingin
ajak mereka pulang " Adat Tay-wong terlalu keras, jikalau
sampai terjadi pertarungan, mungkin akan menimbulkan luka
pada mereka. Sebaiknya kau saja yang menghadapi mereka
untuk bertanding mengadu kekuatan tenaga, biar mereka
merasa kagum dulu, nanti aku akan berbicara sendiri dengan
mereka!" Mendengar perintah majikannya, Siaopek berjalan
perlahan-lahan menghampiri dua eko orang utan yang
memandang dirinya dengan sikap tegang.
Ia mengeluarkan suara dari mulutnya dan mengacungkan
tangan depan untuk memberi tanda kepada mereka.
Orang utan salju itu juga termasuk sejenis binatang
monyet, bahasa mereka sudah tentu sama. Maka mereka
segera mengerti maksud Siaopek, yang mengajak bertanding
kekuatan tenaga. Pikiran binatang monyet, hampir sesuai dengan pikiran
manusia, dua ekor orang utan salju itu meskipun tahu
keadaan lawannya agak berbeda dengan yang lain, mungkin
tidak mudah dihadapi, tetapi dianggapnya terlalu pendek dan
kecil, apabila dihadapi dengan berduaan bersama kawannya,
monyet kecil itu pasti bonyok!
Selagi mereka saling berpandangan, Siaopek sudah
bertindak lebih dulu. Secepat kilat ia lompat setinggi beberapa
tombak, melalui kepala merek. Di tengah udara berjumpalitan
lagi, dua tangannya menyambar batang leher dua orang utan
dan kemudian dilemparkan jauh-jauh.
Dua ekor binatang aneh yang tinggi besar itu, ternyata
sudah terlempar jatuh sejauh beberapa kaki.
Dua ekor orang utan itu sesungguhnya tidak menduga
bahwa monyet kecil itu memiliki kekuatan tenaga demikian
hebat. Baru saja mereka berusaha merayap bangun dengan
kalapnya, Siaopek sudah mengulurkan tangannya lagi, dan
menyambar dada orang utan yang berada di sebelah kiri.
Orang utan itu mengelakkan diri ke samping, lalu balik
menyambar diri Siaopek. Siaopek yang merupakan seekor binatang luar biasa,
sengaja hendak mempertontonkan kekuatan tenaganya, maka
ketika melihat lawannya menyambar, ia tidak mengelak, malah
membiarkan dirinya disergap oleh lawannya.
Orang utan itu menganggap bahwa kali ini pasti dapat
mematahkan tangan Siaopek, tetapi dugaannya itu ternyata
keliru ! Betapapun keras dan runcing kuku jari yang menerkam
tubuh Siaopek, tetapi seolah-olah tidak dirasakan olehnya.
Malah sebaliknya, dengan tangan kiri Siaopek menggunakan
gerak tipu dari ilmu silat Wankong Cianghoat melakukan
serangannya, hingga serangan itu mengenakan telak dada
lawannya. Orang utan itu seolah-olah digenjot oleh martil besar,
seketika itu juga mundur terhuyung-huyung beberapa langkah
dan hampir jatuh rubuh di tanah.
Orang utan yang bertubuh tinggi besar dan kekar ini, kini
baru merasa gentar, mereka berdua mengawasi Siaopek
dengan sikap terheran-heran.
Tiongsun Hui Kheng yang menyaksikan semua kejadian, ia
menganggap bahwa saatnya sudah tiba untuk turun tangan
sendiri. Maka ia lalu berjalan menghampiri dan berkata sambil
tersenyum: "Siaopek, sudah cukup, jikalau mereka timbul sifat buasnya
dan berlaku nekad, bisa menimbulkan akibat tidak baik!"
Di samping memberi peringatan kepada Siaopek, ia sudah
berjalan menghampiri dua orang utan putih itu.
Tiongsun Hui Kheng suka bersahabat dengan kawanan
binatang, nyalinya besar, sikapnya lemah lembut namun
mengandung wibawa. Orang utan yang biasanya sangat galak itu, kini
memandangnya dengan perasaan aneh, sedikit pun tidak
berani bergerak. Tiba di depan orang utan, Tiongsun Hui Kheng
menggunakan bahasa monyet, berkata kepada dua orang
utan itu: "Orang utan! Siaopek dan Tay-wong peliharaanku ini,
kekuatan tenaganya lebih besar dari pada kalian berdua, perlu
apa kalian berkelahi dengan mereka " Biarlah kita mengambil
buah teratai Swat-lian, untuk menolong jiwa orang!"
Dua orang utan itu setengah mengerti setengah tidak,
mereka masih tetap tidak bergerak, hanya pentang matanya
lebar-lebar. Tiongsun Hui Kheng sangat suka kepada dua ekor orang
utan itu, maka lantas memberanikan diri, mengelus-elus bulu
mereka yang putih halus dan panjang.
Dua ekor orang utan itu semula agak takut tetapi setelah
mengetahui bahwa gadis itu tidak mengandung maksud jahat,
malah merasa girang. Mereka membiarkan kepalanya di elus-
elus dengan membuka lebar mulutnya, tetapi tidak bergerak
sama sekali. Tampaknya sangat jinak.
Tiongsun Hui Kheng tahu bahwa dua ekor orang utan itu
bukan saja sudah mulai jinak, bahkan sudah ada tanda-tanda
hendak menyerah. Maka dengan sikap lebih mesra ia minta
dua lembar bulu dari mereka.
Benar saja, dua ekor orang utan itu memenuhi
permintaannya, masing-masing mencabut selembar bulu dari
kepalanya dan diberikan kepada Tiongsun Hui Kheng.
Apalagi binatang-binatang sejenis monyet, kalau suka
memberikan bulunya, berarti sudah bersedia menakluk dan
tidak berani berontak lagi.
Tiongsun Hui Kheng yang menyaksikan sikap demikian,
sudah tentu sangat girang. Ia menerima pemberian bulu orang
utan itu dan meminta supaya menunjukkan jalannya yang
menuju ke tempat pohon bunga teratai Swat lian. Benar saja
dua ekor orang utan itu lantas menurut. Dengan berjalan dulu
di muka, mereka mengantarkan Tiongsun Hui Kheng berjalan
menuju ke bagian dalam lembah Thian han kok.
Tiongsun Hui Kheng bersama dua ekor binatangnya yang
mengikuti orang utan itu, dapat merasakan bahwa hawa udara
dalam lembah itu semakin dalam semakin dingin. Jika tidak
memiliki kekuatan tenaga dalam cukup sempurna, tidak
menunggu timbulnya arus dingin yang jahat itu, juga sudah
mati kaku. Setelah melalui banyak jalan tikungan, keadaan lembah
semakin sempit, tebing di kedua sisi menjulang tinggi ke
langit. Dua ekor orang utan itu mendadak menghentikan
langkahnya. Tiongsun Hui Kheng mendongakkan kepala. Di atas tebing
yang tingginya kira-kira tiga puluh tombak itu, tampak
setangkai bunga aneh berbentuk mirip dengan bunga teratai
berwarna merah. Maka ia lalu berkata kepada dua orang-
orang utan itu: "Bunga merah itu, apakah bunga teratai yang disebut Swat
lian itu?" Dua orang utan itu mengangguk-anggukkan kepala dan
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluarkan kata-kata dalam bahasa binatangnya:
Maksudnya membenarkan pertanyaan Tiongsun Hui Kheng.
Tetapi karena takut larangan dari Mao Giok Ceng dan
suaminya, maka tidak berani mengganggunya.
Tiongsun Hui Kheng tertawa dan menepuk-nepuk bahu dua
orang utan itu, kemudian berkata sambil menunjuk Siaopek:
"Tebing setinggi tiga puluh tombak, barangkali tidak
menyulitkan Siaopek. Kamu tidak perlu membantu, tetapi
jangan mengganggu, itu saja sudah cukup!"
Setelah itu ia berpaling dan berkata kepada Siaopek:
"Siaopek, kau perhitungkan dulu masak-masak, apakah
kau sanggup mencapai ke atas itu?"
Siaopek mendongakkan kepala mengawasi bunga teratai
warna merah itu kemudian menganggukkan kepala.
Tiongsun Hui Kheng berkata pula:
"Kalau kau sanggup naik ke atas, bukalah rompi emasmu,
supaya tidak licin!"
Tetapi Siaopek tidak menurut, sebaliknya sudah
mengeluarkan suara siulan yang panjang kemudian melompat
melesat setinggi tujuh-delapan tombak dengan masih
menggunakan rompi emas itu!
Menyaksikan Siaopek demikian membandel, Tiongsun Hui
Kheng hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Siaopek yang mengapung di tengah udara, dengan
beberapa kali lompatan, sudah tiba dekat bunga teratai Swat
lian. Dua orang utan itu yang menyaksikan gerakan Siaopek
demikian lincah, juga mengawasinya dengan perasaan
kagum. Dengan sangat mudah Siaopek menunaikan tugasnya,
setelah memetik bunga teratainya, kembali mengorek akarnya
di dalam salju. Tiongsun Hui Kheng yang mengingat kebaikan Mao Giok
Ceng, ketika menyaksikan perbuatan Siaopek, lantas berseru
mencegahnya. Tetapi ternyata sudah terlambat, tangan
Siaopek yang jail sudah berhasil mengorek akarnya sebesar
lengan manusia yang warnanya putih.
Setelah itu, ia melayang turun dan langsung menuju ke
dalam pelukan majikannya.
Karena sudah terlanjur, disesalkan pun tidak ada gunanya.
Sebelum ditegurnya, mulutnya sudah dimasuki sepotong buah
teratai oleh Siaopek. Tiongsun Hui Kheng yang tidak mau
mengecewakan hati binatang peliharaannya, terpaksa
menerimanya. Ketika barang itu terkunyah oleh giginya,
menimbulkan rasa dan bau sangat harum, dan sebentar
kemudian setelah berada dalam perutnya, sekujur tubuhnya
merasa hangat, tidak lagi merasa takut oleh hawa dingin.
Pada waktu itu, ia baru teringat kepada perhatian Mao Giok
Ceng, asal bisa mendapatkan akar dan buahnya bunga teratai
Swat-lian, tidak perlu khawatir apa-apa. Mungkin yang
ditujukan adalah buah ini, dan mungkin pula jika dimakan
semua, tidak takut kepada serangan arus hawa dingin yang
sangat jahat itu lagi. Karena yang diambil oleh siaopek cukup besar, lalu dibagi
bagikan kepada siaopek, taywong dan dua orang utan itu.
Setelah itu ia menyerahkan Swat-lian merah kepada
taywong, suruh binatang itu bawa ke kuil dimana Say Han
Kong dan lainnya pada menunggu, sedang ia sendiri bersama
siaopek harus berdiam dalam lembah selama tiga hari untuk
mentaati pesan Mao Giok Ceng.
Taywong yang bentuknya demikian buas dan galak, tetapi
terhadap majikannya sangat takut sekali. Setelah menerima
barang yang diberikan oleh majikannya, ia lantas kabur untuk
melaksanakan tugasnya. Sekarang kita tinggalkan dulu Tiong-sun Hui Kheng
bersama Siaopek yang harus berdiam tiga hari didalam
lembah Thian-san-kok, dan mari kita kembali kepada Say Han
Kong, Oe-tie Khao, Ca Bu Kao dan Hee Thian Siang yang
menunggu di sebuah kuil tua yang sudah rusak keadaannya.
Kuil tua itu meskipun keadaannya sudah rusak, tetapi
menempati tanah yang luas sekali.
Say Han Kong dan lain-lain, menempati ruangan ketiga
untuk tempat meneduh sementara.
Oleh karena dari jalan napas dan nadinya, Say Han Kong
mengetahui bahwa luka Hee Thian Siang sangat parah, ia
khawatir sebelum bunga teratai Swat-lian sampai, tidak keburu
ditolong, maka kembali diberikannya dua butir obat yang
terbuat dari getah lengci, disamping itu juga dibantu dengan
tenaga dalam. Patung-patung yang dipuja dalam kuil itu, sudah lama
rusak, tetapi dua buah peti mati yang diletakkan di ruangan
Timur, mungkin karena terbuat dari bahan kayu pilihan,
keadaannya masih sangat bagus, jelas bahwa dua buah peti
mati itu adalah milik peninggalan keluarga kaya, mungkin
karena keluarga itu mengalami kehancuran sehingga tidak
ada keturunan yang merawatnya, dan dibiarkan tinggal
didalam kuil yang kini rusak, tidak ada yang mengubur.
Say Han Kong dan kawannya pada lima hari pertama sejak
mendiami kuil itu tidak mengalami kejadian apa-apa, tetapi
pada hari ke enam waktu malam, Oe-tie Khao yang pergi
keluar untuk membeli makanan, ketika kembali wajahnya
menunjukkan sikapnya yang serius, berkata kepada Say Han
Kong dan Ca Bu Kao. "Aku tadi ketika masih berada sepuluh pal dari sini, melihat
Su-to Keng yang menyamar menjadi Liong Hui Kiam Khek
minta keterangan kepada orang-orang kampung, yang
mungkin sebentar lagi akan datang mencari kemari, apakah
kita perlu mengadakan persiapan?"
Ca Bu Kao yang mendengar disebutnya nama Su-to Keng,
hawa amarahnya meluap seketika, alisnya berdiri, giginya
bercatrukan. Katanya dengan nada gemas: "Jikalau Su-to
Keng datang seorang diri, ini merupakan suatu kesempatan
yang baik bagiku untuk menuntut balas dendam, supaya aku
bisa membunuhnya ditempat ini."
Say Han Kong menggeleng-geleng kepala kepada Ca Bu
Kao, seraya berkata: "Su-to Keng seorang yang sangat buas
dan kejam, dia sudah tahu bahwa aku bukanlah lawan yang
mudah baginya, sedangkan aku dan pengemis tua ini, juga
bukan orang dari golongan sembarangan, bagaimana dia
berani datang sendiri?"
JILID 9 Hawa amarah Ca Bu Kao agaknya tak mudah dipadamkan,
katanya dengan alis berdiri: "Tempat ini bukan daerah
kekuasaannya seperti di kuil Pho-hie-hee-wan apalagi letak
tempat ini juga sangat bagus, sekalipun dia datang bersama
kawan-kawannya juga belum tentu kita akan mengalami
kekalahan." Oe-tie Khao sementara itu juga turut bicara, berkata sambil
tertawa: "Perkataan nona Ca memang benar, tetapi Hee Thian
Siang terluka parah ini merupakan halangan bagi kita. Tho-
hwa niocu dari Kie-lian-pay, dengan Su-to Kheng
hubungannya sudah seperti suami istri, ada kemungkinan ia
akan ikut datang kemari. Jika ikut campur tangan, dengan
sebuah api Kiu-leng-hwenya, atau mungkin dengan senjata
beracunnya Su-to Kheng, bukankah akan mengakibatkan Hee
Thian Siang turut mendapat bencana?"
Ca Bu Kao yang mendengar ucapan itu lantas berkata:
"Kita mencari suatu tempat yang aman, lalu meletakkan Hee
Thian Siang ditempat itu, bukankah setelah itu boleh
bertempur sepuas-puasnya dengan kawanan penjahat itu ?"
Say Han Kong berkata sambil tertawa getir: "Didalam kuil
tua yang sudah rusak keadaannya seperti ini, dimana ada
tempat yang aman ?" Oe-tie Khao dengan tiba-tiba seperti teringat sesuatu,
katanya sambil tertawa: "Aku sebetulnya juga sangat mual
terhadap sikap orang Tiam-cong-pay yang sangat buas dan
kejam itu, aku pikir, hendak menggunakan kedudukan kita
ditempat gelap ini, untuk menghadapi mereka yang ditempat
terang, supaya mereka mendapat pembalasan atas
perbuatannya yang kejam ! Mengenai tempat untuk
menyembunyikan Hee Thian Siang, aku juga sudah pikirkan,
tetapi agaknya kurang enak terhadap Hee-laote kita ini yang
sedang menderita luka".
"Apakah kau hendak menyimpan Hee Thian Siang didalam
peti mati di ruangan Timur itu ?", bertanya Say Han Kong
sambil mengerutkan alisnya.
"Hee-laote sudah menelan tiga butir pil yang terbuat dari
getah buah lengci, hanya luka didalamnya saja yang belum
sembuh seluruhnya seharusnya tidak perlu takut kalau
diletakkan didalam peti mati", berkata Oe-tie Khao sambil
menganggukkan kepala dan tertawa.
"Hawa bangkai, kalau tutup pintunya dibuka juga lantas
buyar, maka juga tidak perlu takut. Tetapi meletakkan Hee-
laote bersama-sama tengkorak didalam peti mati, bagaimanapun juga rasanya. . .", berkata Say Han Kong.
Sementara itu dari tempat yang agak jauh tiba-tiba tampak
delapan buah api Kiu-yu Lenghwe ! Oe-tie Khao yang
menyaksikan itu, katanya dengan nada marah:
"Orang-orang dari Kie-Lian-pay benar juga sudah datang,
menurut api Kiuyu Lenghwe yang dilepas sebanyak delapan
buah, kedudukan orang itu ternyata masih jauh lebih tinggi
daripada Tho-hwa Niocu Kie Liu Hiang !".
Say Han Kong juga mengerti bahwa bahaya yang
mengancam semakin dekat, pertempuran hebat tidak mungkin
dapat dihindarkan, maka terpaksa menyetujui usul Oe-tie
Khao dan berkata kepadanya:
"Pengemis tua, kau lekas pergi ke ruangan Timur, coba
buka tutup peti mati, lebih dahulu kau buyarkan hawa
bangkainya, kemudian membuat lubang beberapa buah di
bawah peti mati untuk jalan nafas, asal musuh sudah dekat,
kita letakkan Hee Thian Siang ke dalam peti mati itu,
kemudian kita masing-masing mencari tempat untuk
menyembunyikan diri".
Oe-tie Khao melakukan seperti apa yang diminta oleh Say
Han Kong, pekerjaan membuka peti mati dikerjakan dengan
baik sekali, sedikitpun tidak meninggalkan bekas diatas
petinya. Tetapi ketika tutupnya dibuka, Oe-tie Khao terkejut, kiranya
di peti mati yang dibuka itu masih membujur bangkai seorang
laki-laki yang berpakaian jubah panjang yang sangat rapi,
keadaannya masih seperti hidup, sedikitpun tidak terdapat
tanda busuk, maka juga tidak terdapat hawa busuk bangkai.
Oleh karena waktunya sangat mendesak, Oe-tie Khao tidak
mendapat kesempatan untuk melakukan pemeriksaan yang
teliti. Baru saja ia menggunakan jari tangannya untuk
membuat lubang di peti mati, Say Han Kong sudah datang
bersama Ca Bu Kao dengan memondong Hee Thian Siang,
kata tabib itu sambil mengerutkan alisnya:
"Tadi kulihat ditempat yang tak jauh dari kuil ini, kembali
ada tujuh buah api Kiucu Leng-hwe, itu pasti adalah Tho-hwa
Niocu bersama Su-to Kheng, yang datang kemari, kita
seharusnya segera sembunyikan Hee Thian Siang baik-baik,
apakah kau sudah membuat lubang hawa di bawah peti mati?"
Oe-tie Khao menganggukkan kepada, maka Say Han Kong
lalu meletakkan tubuh Hee Thian Siang yang masih belum
sadar betul, ke dalam peti mati. Setelah itu perlahan-lahan ia
menutup dengan tutupnya lagi.
Untung dia buah peti mati itu terbuat dari bahan kayu yang
sangat bagus, ruangnya juga luas, meskipun didalamnya ada
menggeletak sebuah bangkai dan seorang hidup, juga masih
terdapat ruang cukup lebar.
Sewaktu Say Han Kong membantu Oe-tie Khao menutup
peti mati, hidungnya dengan tiba-tiba dapat mengendus bau
aneh, maka lantas berkata dengan sikap terheran-heran:
"Hawa semacam ini, rasanya seperti semacam hawa yang
jarang ditemukan didalam dunia. ."
Belum habis ucapannya tiba-tiba terdengar suara nyaring
yang keluar dari seorang berkepandaian sangat tinggi. Wajah
Say Han Kong berubah, ia berkata kepada Ca Bu Kao dan
Oe-tie Khao dengan sangat perlahan:
"Siapakah orang itu " Kekuatan dan kepandaiannya
agaknya masih di atas Su-to Kheng. Kita harus sembunyikan
diri baik-baik, jikalau tidak terpaksa betul-betul tidak perlu
turun tangan". Sehabis berkata demikian, ia lalu memberi
isyarat supaya semua berpencaran.
Oe-tie Khao melesat keluar dan sembunyikan diri didalam
rumput yang lebat didalam kuil. Say Han Kong lompat ke atas
dan sembunyi di tempat gelap. Sedangkan Ca Bu Kao
sembunyi di atas penglari didalam kuil.
Pada waktu itu tiga sosok bayangan secepat kilat sudah
tiba di hadapan pintu kuil. Yang berada di sebelah kiri benar
adalah Su-to Keng, tetapi waktu itu ia sudah tidak menyamar
lagi sebagai Liong-hui Kiam-khek, melainkan berpakaian imam
seperti asalnya; sebelah kanan adalah si cantik centil Tho-hwa
Niocu, sedangkan yang berada di tengah seorang nenek
berambut putih yang usianya sudah lanjut, namun sinar
matanya sangat tajam, agaknya juga sangat berwibawa, jelas
kekuatan dan kedudukannya nenek itu masih di atas Kiu Liu
Hiang. Say Han Kong yang berada ditempat tinggi dapat
menyaksikan dengan jelas, ia dapat mengenai bahwa nenek
itu adalah Pek-tho Losat Nikow dari golongan Kie-lian-pay
yang sudah beberapa puluh tahun menutup diri didalam goa
es di gunung Kie-lian, dan sudah lama pula tidak mencampuri
urusan dunia. Kepandaian Pao Sam Kow tinggi sekali, bahkan masih
merupakan suci atau kakak seperguruan ketuanya Kia-lian-
pay, Khie Thay Cao. Dengan munculnya secara tiba-tiba
ditempat itu, Say Han Kong sendiri juga merasa sangat
terkejut. Ia khawatir apabila Ca Bu Kao dan Oe-tie Khao tidak
sanggup mengendalikan perasaannya bertindak secara
gegabah, padahal pasti bukan tandingan nenek itu.
Nenek itu berdiri di depan pintu, berkata dengan nada
suara dingin: "Su-to laote, kau memeriksa bagian depan. Kie Liok-moay
memeriksa ruangan kedua, sedangkan aku sendiri akan
mengadakan pemeriksaan di ruangan ketiga. Kalau benar
laporan yang disampaikan kepada kita, bahwa rombongan
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu bersembunyi didalam kuil ini, tidak usah takut
mereka akan terbang ke langit".
Su-to Kheng dan Kiu Liu Hiang yang mendapat perintah itu,
masing-masing bergerak menuju ke tempat yang ditunjuk
untuk melakukan tugasnya. Sedangkan Pao Sam Kow sendiri
mengeluarkan ilmunya meringankan tubuh, lompat melesat
setinggi lima tombak lebih, kemudian bagaikan seekor burung
malam melayang menuju ruangan ketiga.
Say Han Kong yang sembunyikan diri di atas atap bagian
gelap, sebetulnya paling mudah diketahui, tetapi karena udara
gelap, dan karena pikiran tiap orang itu ditujukan ke bagian
tempat yang gelap terhadap bagian yang agak terang kadang
diabaikan, maka sepasang mata Pao Sam Kow yang tajam
hanya ditujukan ke bagian-bagian yang gelap saja, tidak
memperhatikan tempat dimana Say Han Kong bersembunyi.
Oe-tie Khao yang sembunyikan diri di tempat rumput, oleh
karena keadaan disekitar kuil itu yang tidak terurus, maka
rumputnya tumbuh panjang dan lebat. Pao Sam Kow bertiga
mungkin anggap tidak mudah membasmi habis seluruh
tempat yang penuh rumput itu, maka belum bertindak untuk
mencari. Kedudukan Oe-tie Khao sebetulnya menguntungkan
dirinya, sebab lawannya tidak mau bertindak secara gegabah
untuk mengadakan pemeriksaan di situ, sedangkan dia yang
berada di luar dapat mengintai gerak-gerik mereka.
Baru saja Pao Sam Kow melayang turun tangan ketiga, Oe-
tie Khao juga terkejut, sementara dalam hatinya berpikir:
Pantas suara tadi demikian hebat, kiranya adalah Pek-Tho
Losat yang sudah lama tidak muncul dan yang belakangan ini
tertampak di puncak Thiau-tu-hong bersama-sama Kie Thay
Cao. Ia bersama Say Han Kong mempunyai kekhawatiran
bersama, ialah kuatirnya Ca Bu Kao nanti kalau melihat Su-to
Keng tidak dapat mengendalikan hawa marahnya, apalagi
tempat persembunyiannya, di atas penglari didalam ruangan
itu. Ia belum dapat menegasi yang masuk itu adalah Pek Tho
Losat, tokoh kuat dari golongan Kie-lian. Apabila sampai
terjadi pertempuran, sudah pasti akan parah.
Belum lagi lenyap pikirannya, Pao Sam Kow tiba-tiba
memanggil dengan suara nyaring:
"Su-to laote dan Kie liok-moay lekas kemari, mereka benar
saja sembunyi didalam ruangan ketiga ini."
Say Han Kong yang mendengar ucapan itu matanya
ditujukan pada tangga-tangga batu dan lantai dalam ruangan
ketiga, ia tahu bahwa kuil itu sudah lama tidak didiami orang,
keadaannya sangat kotor, dimana-mana terdapat debu, dan
debu-debu yang tebal itu karena kedatangan sendiri berempat
telah meninggalkan bekas kaki, bekas-bekas itu telah
diketahui oleh Pao San Tow.
Sedangkan Ca Bu Kao yang sembunyi di atas penglari,
oleh karena mendengar orang itu menyebut Su-to Kheng laote
dan menyebut Kie Liu Hiang Liok-moay, yang berarti adik
seperguruan ke enam, apalagi suaranya juga seperti suara
perempuan tua, maka secepat itu ia sudah menduga kepada
diri Pao Sam Kow yang dahulu pernah dilihatnya di puncak
Thian-tu-hong. Ca Bu Kao tahu apabila yang datang itu Su-to Kheng dan
Kie Liu Hiang berdua saja, maka dengan kekuatan yang terdiri
dari dirinya sendiri dan Say Han Kong serta Oe-tie Khao
bertiga sudah cukup untuk membereskan mereka. Tetapi kini
ditambah lagi dengan Pek-tho Losat, kekuatan kedua pihak
lantas berubah. Dalam keadaan demikian maka ia harus
mengendalikan hawa amarahnya sendiri, jangan sampai
membahayakan diri Hee Thian Siang yang terluka parah.
Oleh karena memikirkan diri Hee Thian Siang, maka Ca Bu
Kao tidak berani berkutik. Sebaliknya dari kamar sebelah
Timur tiba-tiba terdengar suara aneh yang sangat perlahan
sekali. Begitu suara itu masuk di telinganya, bukan kepalang
terkejutnya Ca Bu Kao, ia pikir di ruang sebelah Timur itu tiada
orang sembunyi hanya ada dua buah peti mati, darimana
datangnya suara aneh itu" Apakah Hee Thian Siang sadar
dan pulih ingatannya, tetapi tidak tahan dikeram dalam peti
mati sehingga menimbulkan suara"
Masih untung suara aneh itu sebentar kemudian sudah
lenyap kembali. Sedangkan Su-to Keng dan Tho-hwa Nio-cu
yang berada di luar kuil, kebetulan karena dipanggil oleh Pao
Sam Tow, keduanya lantas menghampiri Pau Sam Tow,
sehingga tak seorangpun yang mendengar.
Tho-hwa Nio-cu matanya ditujukan ke dalam ruangan yang
sunyi dan gelap itu, lalu berkata kepada Pao Sam Kow sambil
berkata: "Toa suci, kau sudah masuk dan periksa didalam
ruangan ini, apakah terdapat tanda-tanda yang
mencurigakan?" "Perlu apa harus mengadakan pemeriksaan, kau lihat
sendiri, didalam kuil yang sudah rusak demikian rupa, dimana-
mana terdapat debu, sedangkan bagian depan ini tampaknya
bersih dan terdapat tanda bekas telapak kaki orang bukankah
sudah jelas bahwa orangnya berada didalam?"
Mendengar keterangan ini, mata Tho-hwa Nio-cu ditujukan
ke dalam ruangan, kemudian berkata pula sambil tertawa: "Ca
Bu Kao, semua perbuatan yang mencelakakan diri kekasihmu
Liong-hui Kiam-khek adalah aku yang merencanakan,
bagaimana kau tidak ingin menuntut balas" Lekaslah keluar
untuk menghadapi aku Kiu Liu Hiang!"
Ca Bu Kao yang beradat tinggi hati dan yang benci
terhadap kejahatan, apalagi terhadap wanita itu, terlebih-lebih
bencinya. Sebetulnya ia sudah akan keluar menyambut
tantangannya. Tetapi untuk keselamatan Hee Thian Siang ia
terpaksa menahan diri dan mandah diejek dan dihina oleh Kiu
Liu Hiang. Say Han Kong yang berada di atas dan Oe-tie Khao yang
berada didalam gerombolan rumput, menganggap bahwa atas
penghinaan Tho-hwa Nio-cu, Ca Bu Kao pasti akan unjuk diri,
maka ia siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Apa yang dikhawatirkan ternyata tidak terjadi, itu di luar
dugaannya. Tho-hwa Nio-cu selesai mengeluarkan perkataan
demikian, dari dalam kuil itu tidak ada reaksi apa-apa,
keadaan masih tetap sunyi sepi.
Say Han Kong dan Oe-tie Khao setelah tidak nampak Ca
Bu Kao turun, hal itu sesungguhnya di luar kebiasaan yang
beradat keras, maka diam-diam juga merasa heran, tetapi
merekapun merasa senang. Walaupun Ca Bu Kao tetap bersabar, tidak mengeluarkan
suara tetapi dalam kamar sebelah Timur dengan tiba-tiba
terdengar pula suara aneh, suara itu jelas keluar dari dalam
peti mati, hingga semua menduganya bahwa Hee Thian Siang
sudah siuman dan berusaha hendak bangkit dari dalam peti
mati. Suara aneh itu, bukan saja sudah didengar oleh Pao Sam
Kow, Su-to Keng dan Kie Liu Hiang bertiga, sedangkan Say
Han Kong juga sudah merasa bingung, entah darimana
datangnya suara itu" Adalah Su-to Keng yang terlebih dahulu
mengeluarkan suara, ia berkata sambil tertawa dingin: "Kalian juga merupakan
orang-orang yang mempunyai sedikit nama,
perlu apa main gila didalam kuil gelap ini" Mengapa kalian
tidak berani unjuk muka secara terang-terangan?"
Tho-hwa Nio-cu lantas menyambung: "Orang-orang seperti
mereka yang menganggap diri sebagai ksatria, jikalau
menghadapi bahaya, bukankah serupa saja dengan manusia
biasa yang takut mati" Mereka gentar menghadapi Toa suci,
oleh karenanya tidak berani keluar. Kita juga tidak perlu
masuk ke dalam, jangan terjebak oleh perangkap mereka.
Baiknya kita menurut cara pengemis tua Oe-tie Kao sewaktu
di kuil Pho-hie-hee-wan dengan menggunakan beberapa buah
api kiucu lenghwe untuk membakar kuil ini, kita tak usah kuatir
orang-orang itu tidak akan keluar dari ruangan ini."
Usul Kie Liu Hiang itu sesungguhnya sangat keji, sehingga
Say Han Kong, Oe-tie Kao dan Ca Bu Kao yang
mendengarkan pada mengerut alisnya. Tetapi selagi Kie Liu
Hiang menutup mulut, Po Sam Kao sudah tertawa terbahak-
bahak kemudian berkata: "Perlu apa harus membakar kuil" Mereka tidak berani
keluar tetapi aku berani masuk untuk mengadakan
pemeriksaan. Dengan mengandalkan kepandaian yang tidak
berarti yang mereka miliki sekalipun dipasang jebakan, juga
tidak bisa berbuat apa-apa terhadap diriku."
"Apakah Poa toaci selama tiga belas tahun itu didalam goa
sudah berhasil menciptakan ilmu yang tidak takut senjata
tajam?" Bertanya Su-to Keng.
"Ilmu sakti membekukan tubuh, aku hanya berhasil melatih
sampai sebelas bagian saja, Suto laote harus tahu. ." Berkata Po Sam Kow sambil
tertawa bangga. "Tahu, tahu sebelas bagian ilmu membekukan tubuh
meskipun belum mencapai ke puncak kesempurnaan, tetapi
juga sudah seperti seorang yang mempunyai badan kebal dan
tidak mempan senjata. Jangankan senjata biasa atau senjata
rahasia, sekalipun golok atau pedang pusaka tidak usah
takut." Berkata Su-to Keng sambil menganggukkan kepala.
Sehabis berkata ia dengan satu gerakan, pedang itu
ditusukkan kepada Po Sam Kow.
Po Sam Kow hanya tersenyum, benar saja ia tidak takut
sedikitpun dengan senjata tajam. Tangannya diulur untuk
menangkis serangan, dan ketika pedang itu mengenakan
lengan tangan Po Sam Kow, seperti mengenai kulit keras,
pedang Lenghong-kiam yang sangat tajam, sedikitpun tak ada
gunanya, karena tidak dapat melukai perempuan tua itu.
Su-to Keng kini merasa kagum benar-benar, Kiu Liu Hiang
yang menyaksikan itu juga tampak amat bangga dan gembira.
Demikianpun dengan Po Sam Kow sendiri. Tetapi Say Han
Kong dan Oe-tie Kao yang menyaksikan itu semua pada
terkejut, dan Ca Bu Kao yang mendengar juga merasa heran.
Suara aneh dari kamar sebelah tidak terdengar lagi,
sehingga keadaan sepi seperti biasa. Sedangkan Pao Sam
Kow mulai berjalan masuk ke dalam ruangan. Oleh karena
keadaan sangat gelap, Pao Sam Kow minta disediakan korek
api kepada Tho-hwa Nio-cu.
Selagi Po Sam Kow berbalik meminta korek api, sebetulnya
merupakan suatu kesempatan baik bagi Ca Bu Kao
melancarkan serangan secara menggelap. Tetapi karena Pao
Sam Kow tadi sudah menunjukkan kekebalan ilmunya, maka
ia kuatir jika serangannya gagal, maka dia tetap bersabar.
Poa Sam Kow setelah menerima korek api, agaknya tidak
mau ditaruh di tangannya, matanya mengawasi ke atas
sejenak, kemudian api itu dilepaskan kesana dan tepat
menancap di penglari bawah Ca Bu Kao. Dengan demikian
dibagian bawah penglari itu meskipun terang, bagian atasnya
semakin gelap, hingga Ca Bu Kao semakin tidak kelihatan
lagi. Pao Sam Kow dengan meminjam penerangan dari korek
api tadi, dapat mengadakan pemeriksaan di kamar-kamar
bagian Timur dan Barat, tetapi ia agak terkejut dan terheran-
heran, di situ tidak terdapat jejak manusia, mengapa tadi
timbul suara aneh" Setelah berpikir sejenak tiba-tiba ia mengerti, katanya
sambil tertawa: "Dua buah peti mati yang ada di sebelah Timur keadaannya sangat
mencurigakan, apakah mereka
bersembunyi didalam peti mati itu" Biar aku coba periksa.
Setelah berkata ia berjalan menuju kamar Timur,
perbuatannya itu telah mendebarkan Say Han Kong bertiga
yang bersembunyi ditempat gelap, terutama Ca Bu Kao yang
bersembunyi di atas penglari, hatinya semakin cemas karena
Hee Thian Siang yang disembunyikan didalam peti mati
sebelah kanan, apabila Pao Sam Kao membuka peti mati
sebelah kiri lebih dahulu tentu ia dapat menyaksikan bahwa
peti mati itu masih ada bangkai manusianya, dengan demikian
mungkin ia tidak akan timbul rasa curiganya dan segera
mengundurkan diri, ini juga ancaman bahaya sudah lenyap.
Tetapi apabila ia membuka peti sebelah kanan lebih dulu,
maka Ca Bu Kao akan bertindak tanpa menghiraukan
bagaimana akibatnya, mungkin ia akan menerjang nenek itu
dari tempat sembunyinya. Meskipun ia sudah mengambil keputusan demikian, tetapi
ia tidak melihat tindakan apa-apa, sedangkan kalau ia
bergerak pasti akan menimbulkan suara, berarti
memberitahukan tempat sembunyinya.
Dalam keadaan terpaksa ia coba berdiri, di atas penglari
berjalan mengendap-endap beberapa tindak, untuk melongok
ke sebelah Timur. Berjalan kira-kira tujuh delapan kaki, ia sudah melihat
keadaan di ruangan sebelah Timur, tetapi apa yang
disaksikannya membuat ia lebih berdebaran, buru-buru
mengerahkan ilmu Ban-sian-cek-lek ke kedua tangannya.
Kiranya api yang dinyalakan di ruangan tengah sinarnya
tidak mencapai ke ruangan kamar sebelah Timur itu, hanya
dalam keadaan samar-samar Pao Sam Kow seolah-olah
seperti bayangan iblis dan bayangan iblis itu justru sedang
bergerak menuju ke peti mati, di mana ada tersembunyi Hee
Thian Siang. Hati Ca Bu Kao berdebaran, akhirnya bayangan Pao Sam
Kow bukan saja berhenti di depan peti sebelah kanan, bahkan
perlahan-lahan mengangkat sepasang tangannya diletakkan
ke tutup peti mati. Pada saat itu perasaan tegang Ca Bu Kao sudah tidak bisa
dilukiskan dengan pena. Ia sudah hampir berlaku nekad untuk
menyergap nenek itu. Dalam keadaan yang sangat kritis itu, suara aneh tadi
kembali terdengar. Ketika mendengar suara aneh itu Ca Bu Kao hampir saja
jatuh pingsan, tetapi sebentar kemudian ia merasa bergidik,
bulu romanya hampir berdiri semua. Suara aneh itu bukan
timbul dari peti mati sebelah kanan, melainkan timbul dari peti
mati sebelah kiri. Pao Sam Kow yang sudah mengangkat tinggi kedua
tangannya, belum sampai digunakan untuk membuka peti
mati, tiba-tiba terdengar suara aneh dari peti mati sebelah kiri,
maka cepat ia membalikkan diri. Tangan kanannya bergerak
melancarkan serangan dari jarak jauh yang ditujukan kepada
peti mati sebelah kiri. Nenek ini bukan saja berkepandaian tinggi tetapi juga
bertindak sangat hati-hati. Ia sendiri yang sudah berhasil
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melatih ilmu kekebalannya masih tetap khawatir bahwa di
dalam peti mati tersembunyi kekuatan yang tak terduga-duga,
maka lebih dulu ia melancarkan serangan jarak jauh dengan
menggunakan ilmunya hong-ciang yang dinginnya meresap
tulang. Serangan dengan menggunakan ilmu serupa itu sebetulnya
terlalu ganas. Serangan itu tidak melukai bagian luar, tetapi
merusak bagian dalam. Tidak perduli benda apapun yang
berada di dalam peti mati itu jikalau terkena serangan itu
sudah pasti akan hancur lebur tidak perlu dikhawatirkan lagi.
Tindakannya itu sebetulnya terlalu ganas, siapa tahu
bahwa hal-hal di dunia ini kadang-kadang bisa terjadi di luar
dugaan manusia. Setelah ia melakukan serangan jarak jauh
dengan ilmunya yang sangat jahat, suara aneh itu bukan
lantas lenyap, bahkan sebaliknya terdengar makin hebat.
Seolah-olah ada orang yang akan keluar dari dalam hendak
memecahkan peti mati itu.
Dengan demikian Pao Sam Kow semakin marah. Ia
semakin ingin tahu siapakah sebetulnya orang yang
bersembunyi di dalam peti mati itu, mengapa sanggup
melawan ilmunya yang sangat jahat itu"
Dalam keadaan terkejut dan marah, kembali ia melancarkan serangannya, tetapi kali ini kekuatan tenaganya
ditambah lebih banyak. Dalam jarak lima langkah, angin yang timbul dari
serangannya itu sudah bisa membuat mati orang karena
kedinginan. Dalam hati Pao Sam Kow berpikir sekalipun orang
yang di dalam peti itu terbuat daripada batu, juga pasti akan
hancur lebur, tetapi setelah serangan Pao Sam Kow itu
mengenai peti mati, suara aneh dari dalam peti mati itu
terdengar semakin hebat. Ca Bu Kao yang berdiri di atas penglari dan sudah hendak
menyergap Pao Sam Kow telah dapat menyaksikan itu
semua, hingga diam-diam juga terkejut dan terheran-heran. Ia
tahu bahwa malam itu di kuil itu pasti akan terjadi sesuatu
yang sangat menarik. Oe-tie Khao yang bersembunyi di luar dan Say Han Kong
yang sembunyi di atas, juga mendengar suara aneh yang
hebat itu, hingga mereka tahu akan terjadi sesuatu yang di
luar perhitungannya. Tetapi mereka tak dapat menduga
mengapa Ca Bu Kao saat itu masih belum tampak
mengadakan tindakan apa-apa, maka mereka masih tetap
bersabar. Sementara itu Suto Keng dan Kie Liu Hiang masing-masing
sudah siap. Yang satu sudah siap hendak menggunakan
serangan pasir beracunnya, dan yang lain sudah siap dengan
api kiu-jit-leng-hwenya. Mereka pasang mata untuk menjaga-
jaga jika ada orang lari keluar dari dalam kuil.
Pao Sam Kow sendiri yang merupakan seorang yang buas,
waktu itu sudah memuncak amarahnya oleh karena
dipermainkan oleh suara aneh dari dalam peti mati itu.
Sepuluh jari tangannya dipentang seluruhnya, ia sudah
mengerahkan ilmu jari tangannya Kim-kong-jiaw untuk
menerkam tutup peti mati, dan kemudian secara tiba-tiba
diangkat dan ditariknya. Suara aneh dari dalam peti mati tadi sebetulnya hendak
keluar dengan jalan memecahkan tutup peti mati. Karena
dirinya di dalam peti maka kaki tangannya tidak mudah
digerakkan; apalagi tutup peti mati itu terbuat dari bahan kayu
yang sangat kuat dan dipantek kuat pula, maka sebegitu lama
masih belum berhasil menembus keluar. Dan kini setelah Pao
Sam Kow menggunakan ilmu Kim-kong-jiawnya untuk
membuka peti mati, telah merupakan suatu kekuatan dari luar
dan dalam dengan berbareng, maka sebentar kemudian
terdengar suara bagaikan ledakan. Tutup peti mati itu terbuka
dan hancur berantakan. Begitu tutup peti mati itu hancur berantakan dari dalam peti
mati berhembus hawa dingin. Orang yang rebah di dalam peti
mati perlahan-lahan bangkit berdiri. Mayat itu ternyata juga
merupakan seorang perempuan tua yang rambutnya sudah
putih semua, dengan dandanannya yang berwarna emas.
Dari sinar api yang samar-samar, Ca Bu Kao waktu itu juga
melihat wajah orang dari dalam peti mati itu. Saat itu
badannya gemetaran sebab ia segera dapat memikirkan
bahwa orang perempuan tua berambut putih itu mungkin
adalah Pek-thao Ya-cie nenek Liong-lo yang dikatakan sudah
mati pada sepuluh tahun berselang. nenek itu merupakan
seorang buas dari golongan hitam.
Nenek Liong-lo itu dahulu dengan suaminya sering
mendapat julukan "mumi" Siong Teng, pada beberapa puluh
tahun berselang namanya sangat dikenal di kalangan Kang-
ouw terutama golongan hitam. Tetapi sepuluh tahun berselang
telah dikabarkan binasa, entah dengan cara bagaimana kini
muncul di tempat itu" Dua buah peti mati itu, kalau yang satu
berisi mayat nenek Liong-lo, yang lain sudah pasti suaminya
ialah "mumi" Siong Teng.
Usul yang ditelorkan oleh buah pikiran Oe-tie Khao yang
hendak menyembunyikan Hee Thian Siang ke dalam peti mati,
kini dengan tak disangka-sangka bahwa mayat yang berada di
dalam peti mati itu adalah mayatnya seorang jahat serta buas,
dan bagaimana akibatnya, sesungguhnya sulit dibayangkan!
Pao Sam Kow dahulu sebelum menutup diri bertapa di
dalam goa gunung Kie-lian sudah pernah timbul perselisihan
dengan nenek Liong-lo itu; maka ia tahu benar bahwa ilmu
cengkeraman jari tangan yang dinamakan Ngo-kwi Tok-jiaw
dari nenek itu sangat ganas sekali! Dan kini dengan tidak
terduga-duga telah bertemu kembali. Dua kali ia
menggunakan ilmunya Im-hong Ciang tetapi tidak berhasil
melukai lawannya. Maka ketika ia berhadapan dengan nenek
itu diam-diam juga terkejut. Buru-buru ia menyingkir dan
lompat mundur tiga langkah. Matanya ditujukan kepada nenek
rambut putih itu, katanya dengan suara keras:
"Liong-lo tak disangka-sangka di waktu malam gelap
seperti ini dan di dalam kuil yang sudah rusak ini, aku telah
bertemu dengan sahabat lama. Coba malam ini kita main-
main beberapa jurus dengan sungguh-sungguh. Aku ingin
tahu apakah aku Pek Thao Lo-sat ini yang akan menangkan
atau Pek Thao Ya-cie yang bisa menangkan aku Pek-thao Lo-
sat?" Pada waktu itu Say Han Kong yang berada di atas, U-tie
Khao yang berada di luar kuil serta Su-to Keng dan Kie Liu
Hiang berempat menyaksikan itu dengan hati berdebaran.
Sedangkan Ca Bu Kao yang berada di atas penglari di
samping berdebaran juga merasa geli, sebab dua nenek yang
satu justru berjulukan Pek-thao Lo-sat bertemu muka dengan
nenek yang berjulukan Pek-thao Ya-cie.
Pao Sam Kow setelah mengeluarkan perkataan itu tidak
mendapat jawaban dari Pek-thao Ya Cie, nenek Liong-lo.
nenek itu masih berdiri tegak di dalam peti matinya, sepasang
matanya yang buas, namun tidak bersinar, seolah-olah sudah
padam sinarnya memandang Pao Sam Kow.
Pao Sam Kow yang menyaksikan keadaan demikian dalam
hatinya juga bergidik, dengan hati penuh tanda tanya ia
bertanya pula: "Liong-lo sebetulnya kau masih hidup atau sudah mati,
manusia atau setan . . "
Sementara itu dengan tiba-tiba berhembus angin dingin.
Nenek Liong-lo tiba-tiba lompat keluar dari dalam petinya.
Sepasang lengan tangannya diluruskan dan menyergap
kepada Pao Sam Kow . Pao Sam Kow sendiri karena masih
belum mengetahui benar Pek-thao Ya-Cie itu entah manusia
ataukah sudah menjadi setan atau tengkorak, sudah tentu ia
tak berani menyambut serangan itu. Dengan jalan
mengelakkan diri ia menyingkir sejauh tujuh kaki. Benar saja
serangan nenek Lion-lo itu meskipun hebat tapi tak ada
perubahan. Pao Sam Kow begitu menyingkir tangan Liong-lo
yang kuat dan tajam telah menerkam tembok dinding kuil itu.
Pao Sam Kow segera sadar, lantas berseru: "dia adalah
mumi. . Tetapi serangan mumi itu benar-benar hebat dan
menakutkan. Dinding tembok itu meskipun sudah tua tetapi
masih kokoh, kini telah rubuh berantakan.
Badan orang yang sudah mati beberapa tahun karena di
masa hidupnya sudah pernah makan berbagai obat mukjijat
maka jenazahnya tidak busuk, dan kini setelah mendapatkan
hawa dari orang hidup telah menjadi semacam mumi.
Pek-Thao Losat Pao Sam Kow khawatir bahwa Su-to Keng
dan Tho-hwa Nio-Cu tak mengetahui bahaya itu, maka buru-
buru mengikuti di belakangnya dan melancarkan serangan
dari belakang yang dilancarkan ke punggung nenek Liong-Lo.
Di samping itu ia juga melancarkan serangannya dengan
menggunakan ilmunya Im-hong-ciang.
Serangan dengan ilmu Im-hong-ciang
itu hampir menggunakan seluruh kekuatan tenaga Pao-Sam-Kow tetapi
masih belum berhasil melukai tubuh nenek Liong-Lo.
Serangan itu hanya membuat pakaian nenek Liong-Lo hancur
dan beterbangan menjadi setengah telanjang.
Waktu itu yang paling sulit keadaannya adalah Leng-po
Giok-lie Ca Bu Kao. Ia pikir nenek Liong-Lo yang berada
dalam peti mati sebelah kiri sudah menjadi mumi, kalau begitu
bangkai Siong Tong yang berada dalam peti mati sebelah
kanan bukankah semakin menakutkan" Maka seharusnya ia
lekas-lekas membawa keluar Hee Thian Siang yang masih
dalam keadaan pingsan. Jikalau tidak, apabila terjadi sesuatu
atas diri jago muda itu, akibatnya sangat hebat!
Dalam keadaan sangat khawatir, terpaksa ia melayang
turun, tetapi sehabis terjadi kericuhan tadi, keadaan dalam peti
mati sebelah kanan itu tampaknya masih tenang-tenang
seperti tidak terjadi apa-apa. Maka ia lalu berpikir, jikalau
dilindungi keselamatannya maka sebaiknya dibiarkan saja,
meskipun perbuatan itu mengandung bahaya juga. Hanya
dengan demikian mungkin masih bisa menghindarkan dari
serangan musuh-musuhnya. Dua macam pikiran bertentangan dalam otak Ca Bu Kao. Ia
tak dapat mengambil keputusan dengan segera. Tapi setelah
ia mencoba menyingkap sedikit peti mati itu dan kemudian
pasang telinga, setelah mengetahui tak ada suara-suara dan
tanda-tanda aneh lainnya, maka ia baru mengambil keputusan
membiarkan Hee Thian Siang berada dalam peti mati, sedang
ia sendiri diam-diam merayap keluar untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya. Pada waktu itu pemandangan di luar kuil sangat
menakutkan. Pek-thao Losat Pao Sam-kow, Su-to Keng dan
Tho-hwa Nio-cu, tiga orang tokoh kuat dalam rimba persilatan
pada waktu itu, sedang repot menghadapi nenek Liong-Lo
yang sudah menjadi mumi. Mereka berputar-putaran demikian
rupa, namun tidak berdaya menjatuhkan bahkan mereka
sendiri yang kewalahan menghadapi mumi itu.
Kiranya Su-to Keng tadi yang mendengar Pao Sam-kow
yang memberitahukan kepadanya bahwa itu adalah mumi,
kemudian ia melihat seorang perempuan tua berambut putih
berwajah menakutkan keluar dari reruntuhan kuil tua, maka
segera hendak menyerangnya dengan pasir beracunnya.
Tetapi baru saja mengangkat tangan kanannya, tiba-tiba
menampak Pao Sam Kow mengejar dari belakang. Oleh
karena senjata rahasia pasir beracun itu begitu ditebarkan
bisa mencapai jarak yang sangat luas, maka ia khawatir
racunnya itu bisa melukai Pao Sam Kow juga, terpaksa ia
membatalkan maksud nya, dan berkata dengan suara cemas:
"Hiangcie, mengapa kau tidak lekas menggunakan apimu
kiu-yu-lenghwe?" Tho-hwa Nio-cu Kie Liu Hiang setelah mengetahui keadaan
itu dan mendengar ucapan Su-to Keng, lantas turun tangan.
Dua buah kiu-yu lenghwe, dilepaskan dengan beruntun,
sebuah mengenai dengan tepat buah dada Nenek Liong Lo,
sebuah lagi mengenai lengan kanannya, sehingga sesaat
kemudian sekujur badan nenek Liong Lo terbakar oleh api
yang sangat ganas itu!. Say Han Kong yang berada di atas genteng yang
menyaksikan kejadian itu, diam-diam merasa geli, ia pikir Su-
to Keng dan Kie Liu Hiang nampaknya dalam hal ini masih
kurang pengetahuan. Karena dengan perbuatannya itu akan
menyulitkan keadaan diri mereka sendiri. Sebab nenek Liong
Lo adalah satu mumi bukanlah manusia hidup; bagaimana
bisa takut terbakar atau keracunan?"
Sementara itu Oe-ti Khao khawatir bahwa pertempuran
hebat itu nanti akan membahayakan dirinya sendiri, maka
dengan diam-diam dari tempat sembunyinya didalam rumput
beralih ke belakang tembok, sebab ia tahu bahwa Pek-thao
Losat Pao Sam Kow sudah berhasil mempelajari ilmu ?"" Im-
hong-ciang yang sangat ganas, sedangkan nenek Liong Lo
kini sudah berubah menjadi mumi, maka pertempuran itu pasti
akan hebat dan membawa akibat sangat luas.
Benar saja, ketika tubuh Pek-thao Ya-ce nenek Liong Loh
terbakar oleh api Kiu-yu lenghwe, keadaannya semakin
menakutkan, wajahnya juga tampak semakin buas. dua
tangannya dengan jari-jarinya yang runcing waktu itu diangkat
tinggi-tinggi, digunakan untuk menerkam menyergap kepada
Pao Sam Kow, Su-to Keng dan Kie Liu Hiang. Mereka tidak
berdaya sama sekali, berulang-ulang harus lompat mundur
dan berusaha hendak melarikan diri!
Dalam suasana yang gawat itu, dari jurusan barat dan
utara, timbul tanda-tanda aneh, dari sebelah barat terdengar
suara dengung yang sangat nyaring, sedang dari jurusan
utara timbul tujuh buah api kiu-yu lenghwe!
Sesaat kemudian, dari kedua jurusan muncul banyak
bayangan menuju ke gereja tua itu. Dua bayangan itu
menyerbu masuk ke dalam kuil dengan cara lompat masuk
dari pintu atau dari tembok. Oleh karena kedatangan mereka
terlalu dekat, dan keadaan justru sangat gelap maka hampir
bertubrukan satu sama lain.
Orang yang datang dari sebelah utara, tubuhnya tinggi
kurus, berkumis pendek, matanya seperti mata ayam. Orang
itu mengenakan pakaian panjang berwarna putih, dikedua
daun telinganya tergantung dua renceng uang kertas, bentuk
semacam itu mirip dengan setan penjaga pintu!
Sedangkan dari sebelah Barat, adalah seekor binatang
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aneh berbulu kuning emas yang tampaknya sangat buas.
Orang yang bentuknya seperti setan penjaga pintu itu adalah
Ngo-te atau saudara seperguruan yang kelima dari Pao Sam
Kow yang bernama Ciauw Khian!
Sedangkan binatang aneh yang berbulu kuning emas dan
tampaknya sangat buas itu adalah binatang piaraan Tiong-sun
Hui Kheng yang disuruh pulang lebih dahulu mengantarkan
bunga teratai Swat-lian ke tempat dimana Say Han Kong
berempat menunggu, untuk mengobati luka Hee Thian Siang.
Binatang itu yang dahulu pulang dengan membawa bunga
teratai Swat-lian tetapi kini sudah tidak tampak lagi!
Sementara itu Thoa-hwa Nio-cu yang sedang repot diserbu
oleh nenek Liong Lo yang sudah menjadi mumi, matanya telah
melihat binatang aneh sangat buas berbulu kuning emas itu
yang datang bersama Ciauw Khian, maka ia lalu berseru
dengan suara nyaring: "Ciauw ngoko awas, binatang ini tampaknya sangat galak
dan tidak mudah ditundukkan . ."
Sebelum habis ucapan Thoa-hw Nio-cu, Ciauw Khian
sudah tertawa terbahak-bahak, tangan kanannya digerakkan,
dengan menggunakan ilmunya thiat-pi-pe-chiu melancarkan
serangan kepada binatang aneh berbulu kuning emas itu!
Taywong yang merupakan binatang gaib luar biasa, bukan
saja tenaganya sangat kuat, tetapi juga berkulit tebal hingga
tidak mempan senjata tajam!
Maka terhadap serangan Ciauw Khian tadi, sedikitpun tidak
menghiraukan. Sebaliknya menggunakan kesempatan selagi
lawannya itu turun tangan, dan badannya masih di udara,
binatang itu sudah pentang jari tangannya yang runcing
menyambar ketiak kiri Ciauw Khian!
Ciauw Khian juga merupakan salah seorang tokoh kuat
dalam rimba persilatan pada dewasa itu, kepandaiannya
Patung Emas Kaki Tunggal 3 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Delapan Kitab Pusaka Iblis 1
tiba tumbuh setangkai bunga teratai sedang gagang yang lain
tumbuh benda yang bentuknya mirip dengan bulan sabit,
tetapi memancarkan sinar berkilauan.
Lui Hwa tidak berlaku gegabah, ia lintangkan pedang di
depan dada untuk melindungi bahaya, setelah itu ia berkata
sambil tertawa: "Dalam tongkatmu ini rasanya kau perlengkapi
berbagai macam barang yang tidak sedikit."
"Bukan apa-apa, hanya sebuah tongkat yang bisa panjang
dan diperpendek, ujungnya diperlengkapi bunga teratai,
ditambah lagi dengan senjata golok To liong-to yang khusus
untuk memecahkan ilmu Khikang, dalam tujuh wajah sekarang
baru muncul empat, bagaimana sudah anggap banyak"
Sebaiknya kau berhati-hati dengan tongkatku ini, ia belum
mengeluarkan senjatanya yang paling ampuh yaitu senjata
pembetot nyawa." Sementara itu Oe-tie Khao tangannya sudah pegang
tengah-tengah tongkatnya yang kini berubah menjadi senjata
aneh, karena dari ujung terdapat baja yang berbentuk bunga
teratai, sedang di ujung lain golok bulan sabit, dua benda
tajam itu seolah-olah semua dapat menyerang musuhnya
dengan senjata aneh sekarang ia menyerbu Lui Hwa dan
menyerang dengan hebatnya.
Dalam hal kepandaian ilmu silat, meskipun kepandaian Lui
Hwa lebih unggul sedikit dari dada Oe-tie Khao, tetapi oleh
karena ia Harus berlaku hati-hati dengan senjata Oe-tie Khao
yang bentuknya sangat aneh itu, maka setiap ia sambuti
dengan hati-hati sekali. Setelah pertempuran itu sudah
berlangsung selama dua tiga puluh jurus masih belum dapat
menggunakan ilmu pedang Tiam cong-pay yang diagulkan.
Hee Thian Siang yang menyaksikan pertandingan itu
tampaknya sangat girang, ia berkata kepada Say Han Kong
dengan suara pelahan: "Say locianpwe, kalau dilihat keadaan yang seperti ini,
suasana malam ini tidak demikian buruk seperti apa yang kita
duga semula, jikalau Oe-tie locianpwe menggunakan
senjatanya membetot nyawa dalam tongkatnya itu, barangkali
akan membuat Lui Hwa mengalami sedikit kesulitan."
Say han Kong mengerutkan alisnya, dengan suara
perlahan pula ia berkata kepada Hee Thian Siang:
"Laote, kau tidak tahu, senjata tongkat Cit-po li-kong-cay
Oe-tie Khao itu, sedikit pun tidak ada gunanya, tongkat itu
semata-mata merupakan barang gaib, yang hanya dapat
digunakan untuk menggertak orang. Jikalau sampai diketahui
oleh Lui Hwa keadaannya akan berubah dan membahayakan
dirinya sendiri, kecuali apabila musuh itu terjebak oleh akal
yang baru saja kita bicarakan tadi, sehingga menggunakan
senjata rahasia pasir beracun, mungkin kita dapat
menggunakan senjata berbisa untuk melawan bisa dengan
demikian barangkali kita akan dapat menguasai keadaan!"
Hee Thian Siang yang mendengarkan ucapan itu baru tahu
bahwa Serangan hebat yang dilancarkan oleh Oe-tie Khao itu,
sebetulnya hanya merupakan suatu tipuan belaka namun
demikian serangan itu benar saja menimbulkan repot
lawannya. Lui Hwa merasa khawatir, maka setiap merasakan
bahwa gerakannya selalu terhalang!
Tetapi pasir beracun itu adalah senjata rahasia tunggal
golongan Tiam cong yang dapat dipakai untuk menjagoi rimba
persilatan, bukan saja khasiatnya mirip dengan api Kiu-yu-
Leng-hwe, oleh karena pasir ini dapat ditebarkan secara luas
maka hebatnya jauh lebih besar daripada Kiu-yu-leng-bwe.
Justru senjata rahasia ganas inilah yang ditakuti oleh Leng-po
Giok-li. Dengan cara bagaimana Oe-tie Khao menghendaki
lawannya menggunakan senjata itu" Benarkah pengemis tua
itu memiliki kepandaian atau senjata yang dapat digunakan
untuk merampas pasir beracun"
Pihak Hee Thian Siang masih diliputi perasaan heran dan
tanda tanya, di pihak Thiat kwan Totiang juga menyaksikan itu
juga merasa jengkel, ia anggap bahwa senjata tongkat yang
dipakai oleh Oe-tie Khao itu terlalu sakti, jikalau dibiarkan
pengemis tua itu menggunakan senjatanya terus-terusan, ji
sutenya Lui Hwa mungkin akan mengalami kesulitan, maka ia
lalu memberikan isyarat kepada Lui Hwa supaya jangan
melayani terus, tetapi supaya lekas menurunkan serangannya
yang mematikan! Benar saja, ketika Lui Hwa mendengar isyarat suhengnya
diperhebat hingga dalam waktu sekejap mata, U-tie Khao
telah dikurung oleh sinar pedang Lui Hwa!
U-tie Khao sendiri juga merasakan hebatnya serangan itu,
maka ia tidak berani menyambut, hanya dengan
mengandalkan kelincahannya, mengelakkan setiap serangan
lawannya! Lui Hwa setelah berhasil mendesak mundur
lawannya, lalu menggunakan kesempatan baik itu, pedangnya
dialihkan ke tangan kiri, sedang tangan kanannya dengan
kecepatan bagaikan kilat memakai sarung tangan kulit yang
khusus menggunakan senjata pasir beracunnya!
Ketika U-tie Khao menyaksikan Lui Hwa sudah memakai
sarung- tangan, lalu berkata kepada Say Han Kong dengan
suara nyaring: "Say Han Kong dan Hee Laote, awas menjaga diri nona
Ca, hidung kerbau she Lui ini hendak menggunakan senjata
rahasia pasir beracun yang sangat ganas!"
Lui Hwa yang mendengarkan perkataan itu dengan
sombongnya memperdengarkan
suara ketawa dingin, sementara itu U-tie Khao sudah berkata lagi:
"Hidung kerbau, asal kau berani menggunakan pasir
beracunmu, aku juga akan suruh kau merasakan satu senjata
wasiatku yang selama ini belum pernah kugunakan!
Lui Hwa bagaimana mau percaya ucapan Oe-ti Khao itu,
sambil memperdengarkan suara tawanya, tangan kanannya
yang memakai sarung dimasukkan ke dalam kantong kulit
yang tergantung di pinggangnya, setelah itu ia menggenggam
pasir beracunnya dan ditebarkan seluas setombak lebih, pasir
itu mengeluarkan sinar yang kemerah-merahan, mengurung
sekujur badan U-tie Khao!
Senjata pasir beracun itu adalah ciptaan Lui Hwa sendiri
jikalau tidak digunakan disimpan di dalam kantong kulit yang
terbuat dari kulit ular, bentuknya hanya seperti pasir biasa,
hanya warnanya merah berkeredepan, tetapi jikalau sudah
ditebarkan, begitu tertiup angin lantas terbakar dan menjadi
api yang mengandung bisa, hingga lawannya sulit untuk
mengelakkan dirinya dari serangan api itu!
Tetapi U-tie Khao dengan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak,
tongkat di tangannya didorong ke depan, dari ujungnya yang
berbentuk bunga teratai, setiap ujungnya bunga mengeluarkan
"menyemburkan" air yang berbau aneh, air itu ditujukan ke udara untuk memadamkan
api dari pasir berbisa tadi!
Air ajaib itu adalah semacam air yang terbuat dari bahan
minyak yang mudah terbakar, ia dapatkan itu ketika ia
merantau keluar negeri dan didapatkan secara tidak terduga-
duga, kemudian olehnya minyak itu dibuat menjadi air dan
dimasukkan ke dalam tongkatnya, ia sungguh tak menduga
bahwa air ajaib itu kini dapat digunakan.
Dalam mata Lui Hwa, air yang keluar dari tongkat itu tentu
tidak dipandang mata olehnya, maka ia berani omong besar,
dengan ucapan sangat jumawa ia mengejek U-tie Khao.
"Inikah yang kau maksudkan senjatamu yang belum pernah
kau gunakan itu " . . ."
Baru saja menutup mulutnya, wajahnya tiba-tiba berubah,
dengan cepat ia lompat ke samping!
Kiranya air yang muncrat dan tongkat itu, begitu menyentuh
sinar api yang keluar dari pasir beracunnya, saat itu lantas
menjadi padam, sedangkan air itu berubah menjadi api, terus
meluncur ke arah Lui Hwa sendiri!
Meskipun Lui Hwa sudah gesit tindakannya untuk
menyingkir, tetapi karena terjadinya itu secara tidak terduga-
duga, masih agak terlambat, apalagi U-tie Khao waktu itu
sudah menarik kembali tongkatnya, dengan kedua tangannya
ia melancarkan serangannya dengan menggunakan tenaga
dalam untuk mendorong api itu semakin ganas.
Api itu begitu menyambar tubuhnya, Lui Hwa merasa tidak
beres, benar saja ketika api itu menyentuh pakaiannya, lantas
mulai membakar dirinya. Terbakar sedikit kulit dan rambut memang tak menjadi
halangan tetapi yang dikhawatirkan ialah kantong kulit yang
berisi pasir beracun yang tergantung di pinggang Lui Hwa,
apabila kantong itu ikut terbakar, juga akan menimbulkan
kebakaran hebat, dan pasir beracun jika tersentuh api pasti
akan meledak dan menimbulkan bahaya besar, bukan saja Lui
Hwa sendiri akan menjadi hancur luluh, tetapi orang-orang di
sekitarnya sejarak lima tombak termasuk Say Han Kong dan
lain-lainnya. Hee Thian Siang agaknya masih belum mengetahui bahaya
sudah mengancam, ia masih berkata-kata dengan Say Han
Kong dan Ca Bu Kao untuk memuji kecerdikan U-tie Khao
yang dianggapnya bahwa tongkat itu merupakan senjata
terampuh untuk menghadapi pasir beracun ! Sedangkan U-tie
Khao sendiri juga yakin usahanya berhasil, sedikitnya dapat
menyingkirkan Lui Hwa, diam-diam merasa bangga, sedikitpun tidak memikirkan akibatnya!
Pada saat semua orang masih berdiri bingung
menyaksikan kejadian itu, dan bahaya setapak demi setapak
sudah datang mengancam di tengah udara tiba-tiba tampak
berkelebatnya sinar putih yang meluncur dari tangan Thiat-
kwan Totiang. dan dengan cepat sekali menyambar Kantong
kulit yang tergantung di pinggang LUi Hwa, dan sedikit pun
tidak melukai orangnya! Selanjutnya ujung pedang itu
menyontek, sehingga kantong yang sudah dipenuhi oleh air
yang menyembur keluar dari tongkat U-tie Khao jadi terbang di
tengah udara. setelah itu, ditambah lagi oleh serangannya,
kantong itu dibikin terpental sejauh enam tombak lebih!
Thiat-kwan Totiang setelah berusaha sekuat tenaga untuk
menghindarkan bahaya yang mengancam orang-orangnya, di
samping itu ia membentak kepada Lui Hwa: "Lui jite, lekas
bergulingan untuk memadamkan api yang membakar dirimu,
dan berusahalah mengobati luka-lukamu sendiri, orang-orang
yang datang malam ini nampaknya terlalu berani mati biarlah
aku yang akan turun tangan sendiri untuk membereskan
mereka, satu pun jangan mengharapkan bisa keluar dari Pho-
hie to-kwan dalam keadaan hidup!"
Baru saja menutup mulutnya, tiba-tiba terdengar suara
ledakan hebat, kantong kulit yang berisi pasir beracun, sudah
meledak. Bukan saja sudah menghancurkan kuil Po hie to
kwan, sedang apinya yang ganas, juga sudah menimbulkan
kebakaran di beberapa tempat. Hebatnya api itu,
sesungguhnya sangat menakutkan!
Thiat kwan Totiang lalu memberi isyarat kepada orang-
orangnya supaya lekas menolong tempat kebakaran, setelah
itu ia sendiri dengan pedang terhunus dan muka merah
padam menghampiri U-tie Khao, katanya dengan nada suara
dingin: "U-tie Khao, jikalau aku tadi tidak turun tangan dalam waktu
yang tepat, perbuatanmu tadi bukankah akan menimbulkan
bencana hebat?" U-tie Khao sesungguhnya tidak pernah menyangka bahwa
perbuatan tadi menimbulkan akibat yang begitu hebat, maka
diam-diam ia juga merasa tidak enak, atas teguran itu ia diam
saja sambil mengerutkan alisnya!
Thiat-kwan Totiang memandang beberapa bagian kuilnya
yang sudah terbakar, dengan sinar mata buas ia berkata pula:
Di dalam dunia Kang-ouw semua orang tahu bahwa siapa
yang membunuh orang harus mengganti jiwa, siapa yang
hutang uang harus mengganti uang! Kuilku ini telah kau
rusakkan demikian hebat, sekarang aku akan mengambil
tulang-tulang rusukmu untuk mengganti!"
Sejak Thiat kwan Totiang turun tangan, U-tie Khao sudah
tahu, bahwa kali ini sulitlah untuk lolos dari tangan ketua Tiam
cong pai itu, tetapi sebaliknya semangatnya terbangkit, ia
mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak:
Thiat kwan Totiang dibingungkan oleh sikap U-tie Khao
yang aneh itu, maka lalu bertanya dengan perasaan terheran-
heran: "Mengapa kau tertawa?"
Dengan alis berdiri dan mata melotot, selagi U-tie Khao
hendak menjawab, Hee Thian Siang sudah lompat maju
sambil membawa senjata Sam ciok hwan, katanya sambil
tertawa: "U-tie locianpwe, silahkan mengaso dulu, biarlah Hee THian Siang yang
menghadapi ketua Tiam cong pai ini!"
U-tie Khao tahu bahwa anak muda itu bukan tak
berkepandaian tinggi, sedang kecerdikannya juga tidak di
bawahnya sendiri, apalagi ia adalah murid Pak bin Sin po,
salah seorang terkuat pada dewasa ini, rasanya sedikit
banyak akan membuat ragu-ragu Thiat-kwan Totiang. Oleh
karena itu, maka ia lantas mengundurkan diri dan berkata
sambil tersenyum: "Hee laote, kau hendak menggantikan aku sudah tentu
lebih baik daripada aku hadapi sendiri, tetapi lawan kita ini
adalah ketua dari satu partai, kepandaian ilmu silatnya tentu
bukan main hebatnya, jangan kau berlaku sembrono atau
gegabah!" Thiat kwan Totiang dengan sikap dingin memandang Hee
THian Siang dan lalu berkata sambil menganggukkan kepala:
"Kau yang menghadapi, tidak ada halangan. U-tie Khao
karena hutang sudah pasti harus membayar, sedang kau
setan kecil ini karena membunuh orang, maka juga akan
membayar jiwa!" Hee Thian Siang yang mendengar ucapan itu juga lantas
tertawa terbahak-bahak: "Mengapa kau juga tertawa?" bertanya Thiat-kwan Totiang.
"Kalau aku membunuh orang, kau kata harus mengganti
dengan jiwa, dan kau sendiri yang sudah membunuh orang,
apakah tidak mengganti jiwa?"
"Harus dilihat, siapa yang dibunuh."
Sepasang mata Hee Thian Siang memancarkan sinar
tajam, dengan sinar mata yang tajam, ia menatap ketua Tiam
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cong pai, setelah itu ia membentak dengan keras:
"Orang yang kau bunuh adalah susiokmu yakni Kwan Sam
Pek! Alasannya hanya kau hendak merebut . . ."
Bukan kepalang terkejutnya Thiat kwan Totiang setelah
mendengar perkataan itu, sudah tentu juga merasa tidak
senang boroknya dikorek oleh Hee Thian Siang, maka dalam
keadaan kalap ia berkata dengan suara keras:
"Bangsat kecil tidak tahu diri, kau berani mengucapkan
kata-kata yang tidak keruan, lekas serahkan jiwamu!"
Ucapan itu disusul oleh gerakan serangan yang ditujukan
ke ulu hati Hee Thian Siang!
"Melihat kau ketua dari salah satu partai besar, hatimu
ternyata demikian kerdil!"
Secepat kilat ia menggunakan senjata gelangnya untuk
mengunci pedang Thiat kwan Totiang! Ketika di hadapan kuil
Pho hie hee wan di gunung Bu leng san, Hee Thian Siang
pernah menggunakan siasat dan gerak tipu semacam itu
menjatuhkan Hian ceng Tojin! Tetapi untuk menghadapi ketua
Tiam cong pai, siasat itu tentu tidak mempan lagi. Thiat kwan
Totiang mengibaskan tangan kanannya, hingga pedang yang
terjepit oleh sepasang gelang Hee Thian Siang terlepas lagi,
sedangkan Hee Thian Siang merasakan kesemutan kedua
tangannya, bahkan sudah mengeluarkan darah, maka
sepasang senjata gelangnya juga jatuh ke tanah!
Say Han Kong, U-tie Khao dan Ca Bu Kao menyaksikan
gerakan Thiat-kwan Totiang baru sejurus sudah berhasil
menjatuhkan senjata Hee Thian Siang, hingga semuanya
pada terkejut dan terheran-heran!
Thiat kwan Totiang yang sudah tumbuh nafsu
membunuhnya, dengan gerakan yang sangat lincah baru saja
dengan tangan kanannya menjatuhkan senjata lawannya,
tangan kirinya secepat kilat menggunakan lengan jubah untuk
mengibaskan hembusan angin hebat, hembusan angin hebat
itu tepat mengenai diri Hee Thian Siang, hingga terpental
sejauh lima tombak! Oleh karena ketua Tiam cong pai itu sudah menggunakan
tenaga sepenuhnya ia menduga pasti bahwa lawannya itu
mesti mati, maka ia berkata dengan bangga:
"Hee Thian Siang sudah mati, di antara kalian siapa. . ."
Belum lagi habis ucapannya, Hee Thian Siang tiba-tiba
melompat bangun dari tanah dan berkata sambil menuding
Thiat kwan Totiang: "Hidung kerbau yang tak tahu malu, bagaimana kau masih
berani mengucapkan ucapan sombong" Seranganmu dengan
lengan jubah tadi barangkali masih belum dapat
membinasakan aku!" Thiat kwan Totiang yang menyaksikan kejadian itu sesaat
merasa terheran-heran dan malu kepada diri sendiri, ia pikir
senjata Hee Thian Siang sudah terpukul jatuh, dalam keadaan
tidak berjaga-jaga, lagi pula tidak mengerahkan tenaganya,
maka setelah dihajar oleh kekuatan tenaga dalamnya,
seharusnya sudah mati, bagaimana bukan saja tidak mati,
bahkan masih bisa melompat bangun dan berbicara"
Selagi otaknya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan, tabib
sakti Say Han Kong sudah berada di depannya, ia menepuk
pundak Hee Thian Siang dan berkata sambil tersenyum :
"Hee laote, kali ini biarlah aku yang mewakili kau!"
Belum lagi habis ucapannya, secepat kilat tangannya
sudah bergerak, di luar dugaan Hee Thian Siang, tabib itu
telah menotok jalan darah bagian ketiaknya!
Jikalau pada waktu biasa, sekalipun Say Han Kong turun
tangan secara tiba-tiba rasanya belum tentu dapat merubuhkan Hee Thian Siang tapi malam itu Hee Thian Siang
sedang terluka parah, lagi pula memaksakan diri untuk lompat
bangun, nafasnya sudah mulai sesak, maka tidak kuat
memberikan perlawanan sama sekali, dengan demikian, maka
ia lantas rubuh dan jatuh lagi!
Thiat kwan Totiang tahu benar, bahwa Say Han Kong
pandai ilmu obat-obatan, Hee Thian Siang yang waktu itu
belum mati, mungkin dapat disembuhkan oleh obatnya. Dan
dengan hidupnya tabib itu, ada kemungkinan akan mengadu
kepada guru Hee Thian Siang ! Hal itu sudah tentu akan
merupakan bahaya di kemudian hari bagi golongan Tiam cong
pai, maka dari pada menghadapi bahaya besar, sebaiknya
empat orang malam itu juga dibinasakan semua, supaya tidak
diketahui oleh siapa pun juga. Dengan demikian, Hong poh
Cui seandainya hendak menuntut balas juga tidak dapat
menemukan saksinya! Setelah mengambil keputusan itu, ketika melihat Say Han
Kong menyentuh Hee Thian Siang dan selagi satu tangan
hendak mengambil gelangnya Hee Thian Siang lalu berkata
dengan nada suara dingin :
"Say Han Kong, apakah kau masih ingin menolong
jiwanya?" Say Han Kong meneruskan usahanya untuk mengambil
senjata Hee Thian Siang, dengan sinar mata yang tajam ia
menatap Thiat kwan Totiang, setelah itu ia menjawab dengan
suara lantang: "Bagi seorang tabib, harus memiliki jiwa untuk menolong
sesama manusia jangankan Hee Thian Siang laote ini yang
datang bersamaku, sekali pun orang-orang dari golongan mu,
seandainya ada orang yang terkena racun atau terluka parah,
aku juga akan memberikan pertolongan!"
"Kata-katamu ini seolah-olah penuh cinta kasih, tetapi raja
akherat sudah menetapkan jam tiga harus mati, bagaimana
dapat diperpanjang sampai jam lima" Aku bukan saja akan
membuat Hee Thian Siang mati seketika, sekali pun kau dan
lain-lainnya juga kukirim ke neraka sekalian!"
Say Han Kong yang mendengar ucapan tekebur itu alisnya
berdiri, selagi hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara
tertawa yang sangat merdu kemudian disusul oleh kata-
katanya: "Perkataan yang demikian kejam, aku tidak percaya keluar
dari mulut ketua Tiam cong pai Thiat kwan Totiang!"
Setelah itu, dari tembok tinggi di belakang kuil Tho hie to
kwan melayang turun tiga bayangan, satu hitam satu kuning
satu putih terlapis kuning. Ilmunya meringankan tubuh tiga
golongan putih itu, semua merupakan ilmu yang jarang
tampak di dalam rimba persilatan sehingga diam-diam Thiat
kwan Totiang yang waktu itu masih diliputi oleh kemarahan,
mau tak mau harus waspada, ia lompat ke samping beberapa
kaki jauhnya. Bayangan orang itu sudah berada di hadapannya,
bayangan itu adalah puteri tunggal Thian-gwa Ceng-mo Tiong-
sun Hui Kheng, bayangan putih adalah binatang aneh berbulu
kuning keemas-emasan dan bayangan putih terlapis kuning
dan bentuknya kecil adalah si Siaopek, kera ekcil yang sangat
cerdik itu! U-tie Khao dan Ca Bu Kao semua tak mengenali Tiongsun
Hui Kheng dan dua peliharaannya, tetapi Say Han Kong
bukan saja masih mengenali kera kecil itu juga mengenali
gadis cantik yang mengenakan mantel hitam itu. Ia adalah
Tiongsun Hui Kheng yang dahulu memenangkan pertaruhan
kudanya Ceng hong kie. Tetapi malam itu siaopek sudah mengenakan rompi emas
yang sangat indah! Thiat kwan Totiang meskipun tidak kenal dengan Tiongsun
Hui Kheng, tetapi dari sikapnya yang agung, sudah dapat
menduga bahwa gadis itu bukan dari golongan sembarangan,
terutama dua peliharaannya dua binatang luar biasa!
Dengan alis dikerutkan ia bertanya: "Siapakah nona ini"
Tahukah bahwa orang yang malam-malam memasuki kuil ini
ada pantangan golongan Tiam-cong?"
Tiongsun Hui Kheng, begitu kakinya menginjak tanah,
pertama-tama matanya ditujukan kepada Hee Thian Siang,
ketika menampak pemuda itu rebah dengan memejamkan
matanya, alisnya dikerutkan seolah-olah tidak mendengar
pertanyaan Thiat kwan Totiang, maka tidak dihiraukannya
sama sekali. Sementara Say Han Kong sudah mengeluarkan sebutir
pilnya yang dibuat dari buah pohon Lengci, segera
dimasukkan sebutir ke mulut Hee Thian Siang, kemudian
berkata kepada Tiongsun Hui Kheng dengan suara perlahan:
"Nona Tiongsun, jawablah dulu pertanyaan ketua Tiam
cong pai. Hee Thian Siang laote untuk sementara tidak
halangan, tunggu setelah kita keluar dari markas Tiam cong
pai, nanti aku akan periksa dengan teliti!"
Tiongsun Hui Kheng yang mendengar ucapan itu,
kemarahannya mulai hilang, dengan sinar mata yang tajam ia
menatap Thiat kwan Totiang, kemudian berkata lambat-
lambat: "Namaku Tiongsun Hui Kheng, dengan mengandalkan
hubungan ayah dengan ketua Tiam cong pai yang dahulu
yang demikian erat, maka aku berani datang kemari untuk
menghindarkan kuil pho hie to kwan dari bencana, dan toh kau
masih sesalkan aku melanggar pantangan."
Thiat kwan Totiang yang sudah lama mendengar Thian-
gwa Ceng mo Tiongsun Seng ada mempunyai seorang puteri
yagn pandai menjinakkan segala binatang, maka setelah
melihat binatang aneh berbulu emas dan kera kecil yang
cerdik itu sudah merasa curiga, kini setelah mendengar
Tiongsun Hui Kheng menyebutkan namanya, benar saja apa
yang dicurigainya itu ternyata benar, dan oleh karena suhunya
sendiri dahulu mempunyai hubungan erat dengan Thian-gwa
Ceng mo, maka ia terpaksa merubah sikapnya dan berkata
sambil pura-pura tertawa:
"Oooo, kiranya adalah adik Tiongsun, maafkan aku yang
tidak menyambut kedatanganmu secara baik ! Tetapi entah
apa yang adik maksudkan bahwa kedatanganmu ke Pho hie
to kwan adalah hendak menghindarkan kuil kita dari
bencana?" "Tahukah kau asal-usul dan perguruan dia?" tanya
Tiongsun Hui Kheng sambil menunjuk Hee Thian Siang.
"Dia adalah muridnya Pak bin Sin po Hong poh Cui."
"Nenek itu sifatnya keras dan aneh pula, ia juga lebih susah
dihadapi daripada ayahku, apalagi dia terlalu membela kepada
murid-muridnya! Jikalau Hee Thian Siang yang merupakan
murid satu-satunya mati di dalam tanganmu, sudah pasti
Hongpoh Cui akan mencari kau. Dalam keadaan marah, tentu
dia akan mengambil tindakan keras ! Hanya aku kuatir
senjatanya Kian thian Pek lek, seluruh kuil ini pasti akan
hancur lebih menjadi abu!"
Thiat kwan Totiang memang tahu hebatnya Hongpoh Cui,
maka ia tadi menggunakan ilmunya Tiat siu sin kang, ialah
serangannya dengan lengan jubah. Setelah membinasakan
Hee Thian Siang ia akan membinasakan yang lain-lainnya,
tetapi maksud jahat itu ia tak dapat menerangkan maka
terpaksa diam saja. Tiong-sun Hui Kheng yang menyaksikan Thiat-kwan
Totiang diam saja, segera mengetahui meskipun imam tua itu
diluarnya garang, tapi didalam hatinya merasa jeri, maka
lantas berkata sambil tertawa hambar: "Kau tadi menyebut aku
adik, dan sekarang dengan kedudukanku sebagai adik, aku
hendak menyelesaikan pertikaian ini. Kedua pihak kuminta
supaya menghentikan pertempuran. Permintaanku ini rasanya
toh tidak keterlaluan" Dan kalau memang mau dilanjutkan,
tunggulah saja pada nanti pertemuan di puncak Thian-tu-hong
yang kedua, boleh dibereskan sekalian."
Thiat-kwan Totiang menatap wajah Tiong-sun Hui Kheng
sejenak, sementara hatinya menimbang-nimbang, jika ia tidak
terima permintaannya, bukan saja akan tambah musuh kuat
lagi, apalagi orang-orang yang berada dihadapannya malam
ini, kecuali Hee Thian Siang, masih ada lagi Tiong-sun Hui
Kheng dan dua binatang aneh yang pasti juga tidak mudah
dihadapi. Maka ia terpaksa berkata:
"Mereka bukan saja sudah memasuki Pho-hie-to-kwan
secara lancang, juga melukai beberapa anak buah kami,
bahkan melakukan hinaan, pinto sudah tak dapat
mengendalikan kesabaran lagi, sehingga terpaksa turun
tangan ganas. Sekarang kalau adik Tiong-sun ingin jadi
pemisah, biarlah permusuhan ini kita tunda hingga pertemuan
di puncak Thian-tu-hong, demikian juga boleh. Hanya adik
Tiong-sun juga harus tahu bahwa kuterima permintaanmu ini
semata-mata karena memandang mukamu, bukan karena aku
takut Pak-bin Sin-po atau senjata Kian-thian-pek-lek."
Say Han Kong dan Oe-tie Khao tahu bahwa ucapan Thiat-
kwan Totiang itu semata-mata hanya sebagai alasan untuk
undurkan diri. Maka mereka tiada berkata apa-apa. Tetapi
tidak demikian dengan Ca Bu Kao, ketika mendengar ucapan
itu merasa sangat muak, ia mengeluarkan suara dari hidung,
dan selagi hendak menyela, Tiong-sun Hui Kheng yang
menyaksikan keadaan demikian segera menggelengkan
kepala tersenyum kepada Ca Bu Kao kemudian berkata:
"Kalau totiang sudah berkata demikian, maka Tiong-sun
Hui Kheng bersama Say Tayhiap dan lainnya kini hendak
minta diri." Mendengar disebutnya nama Say tayhiap, Thiat-kwan
Totiang kembali mengerutkan alisnya, katanya dengan
perasaan tidak senang: "Adik Tiong-sun, kedatanganmu kali
ini sungguh tidak kebetulan, lain kali jika kau hendak datang
ke Pho-hie-to-kwan, harus lebih dahulu memberi kabar,
supaya pinto bisa menyambut dari jauh jangan dianggap
kurang sopan terhadap sahabat lamanya."
Tiong-sun Hui Kheng dapat menangkap maksud kata-kata
Thiat-kwan Totiang, ia menyesalkan kedatangan secara tiba-
tiba, dan membantu Say Han Kong dan lain-lain, tetapi ia
berlagak tidak tahu. Segera melambaikan tangannya bersama
Say Han Kong dan lain-lain undurkan diri dari Pho-hie-to-
kwan. Turun dari gunung Tiam-cong-san melalui satu
tikungan, Say Han Kong lalu menghentikan langkahnya dan
memeriksa luka Hee Thian Siang.
Tiong-sun Kui Kheng juga tahu bahwa Hee Thian Siang
terluka parah, alisnya dikerutkan dan bertanya kepada Ca Bu
Kao yang berdiri di sisi dirinya: "Dia terluka oleh siapa"
Agaknya. .!" Ca Bu Kao yang melihat Hee Thian Siang meskipun sudah
makan sebutir obat pil yang terbuat dari getah lengci, namun
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih belum tampak agak sembuh, juga merasa cemas,
ketika ditanya ia juga tidak bisa memberikan jawaban
memuaskan, maka terpaksa menjawab dengan suara
perlahan: "Ia terkena serangan Thiat-kwan Totiang yang
menggunakan ilmu Tiat-siu-sin-kang!"
"Hebatkah serangannya?" Bertanya Tiong-sun Hui Kheng
terkejut. Ca Bu Kao mengerutkan alisnya, dengan wajah murung ia
menjawab: "Waktu itu Lui Hwa sedang menggunakan
senjatanya yang terampuh pasir beracun, apa mau senjata
ampuh itu telah digagalkan oleh Oe-tie Khao taihiap, orang-
orang Tiam-cong-pay yang mengalami kekalahan hebat,
menimbulkan kemarahan ketuanya. Thiat-kwan Totiang
sangat marah dan turun tangan sendiri. Dengan demikian
serangannya sudah pasti tidak mengenal kasihan. Mungkin
dia menggunakan kekuatan tenaga sepenuhnya."
"Kalau ditilik dari kekuatan dan kepandaian ketua Tiam-
cong-pay ini dan hebatnya serangan Tiat-siu-sin-kang, apabila
dilakukan dengan sepenuh tenaga, sekalipun orang terbuat
dari batu juga akan hancur lebur seketika. Tetapi dengan cara
bagaimana Hee Thian Siang waktu itu tidak mati seketika dan
masih bisa pertahankan badannya?" Berkata Tiong-sun Hui
Kheng kaget. Berkata sampai di situ ia berhenti sejenak, tiba-tiba ia
teringat sesuatu, katanya pula sambil menganggukkan kepala:
"O, sekarang aku mengerti, ketika di bawah kaki gunung Oey-
san aku pernah memberi Hee Thian Siang tiga lembar emas
sisik naga pelindung jalan darah peninggalan Tay-piat sianjin,
mungkin lantaran barang itu yang melindungi jalan darah
bagian dadanya sehingga ia tidak sampai mati."
Say Han Kong yang mendengar ucapan itu segera
memeriksa dada Hee Thian Siang, benar saja ia menemukan
sisik naga pelindung jalan darah itu berada dijalan darah
dibagian dadanya, sedang yang lain berada dibagian
punggungnya. Tabib sakti itu setelah mengetahui sebab
musabab lantas berkata sambil menghela napas:
"Dua jalan darah dibagian dada Hee Thian Siang, sama
dilindungi oleh pusaka peninggalan Tay-piat Sianjin, meskipun
terkena serangan Thiat-sing-kang jikalau bisa menahan napas
pada waktu yang tepat, tidak akan menjadi halangan, tapi ia
beradat keras, ketika terluka ia telah menggunakan ilmunya
untuk melompat bangun dan berkata keras kepada Thiat-kwan
Totiang sehingga napas dan tenaga mengalami pukulan
hebat, meskipun sudah makan sebutir obat yang dibuat dari
getah buah lengci, namun masih. ."
Tiong-sun Hui Kheng melihat Say Han Kong setelah
memeriksa keadaan Hee Thian Siang, wajahnya masih
murung, dan kata-katanya itu juga agak ragu-ragu, ia tahu
keadaan sangat gawat, maka perasaannya jadi cemas dan
bertanya: "Mengapa Say tayhiap tidak melanjutkan
keteranganmu, apakah. ."
"Sekalipun menggunakan seluruh kepandaianku, paling
lama juga cuma bisa menahan jiwanya tujuh hari saja."
Berkata Say Han Kong sambil menghela napas panjang.
Ca Bu Kao dan Oe-tie Khao yang mendengar ucapan itu
saling pandang. "Say tayhiap adalah tabib sakti pada dewasa ini, benarkah
tidak dapat menolong jiwanya?" Bertanya pula Tiong-sun Hui
Kheng cemas. Say Han Kong menatap Leng-po Giok-lie, kemudian
berkata: "Nona Ca, luka Hee Thian Siang sekarang ini serupa
keadaannya dengan lukamu waktu kena serangan pasir
beracun dahulu, hanya dengan setetes getah pohon lengci
atau setangkai bunga teratai Swat-lian yang bisa menolong.
Tetapi dua macam barang luar biasa itu yang satu ada di
lautan Timur dan yang lain ada di perbatasan Tibet dalam
waktu tujuh hari bagaimana keburu. ."
Tiong-sun Hui Kheng tampak girang, katanya: "Lautan timur
terlalu jauh, tetapi gunung Swat-san yang berada di
perbatasan Tibet dalam waktu tujuh hari mungkin masih bisa
datang kembali." Say Han Kong yang mendengar ucapan itu juga teringat
kepada kudanya ceng-hong-kie, maka lantas bertanya kepada
Tiong-sun Hui Kheng: "Nona Tiong-sun, apakah kudamu
Ceng-hong-kie itu juga kau bawa kemari?"
Karena mengingat bahwa Say Han Kong adalah majikan
lama Ceng-hong-kie maka ketika ditanya demikian, wajah
Tiong-sun Hui Kheng menjadi merah.
Sesaat kemudian ia mengeluarkan siulan pelan, dan kuda
yang cerdik itu benar saja lantas mencarinya, melihat Say Han
Kong lantas menghampiri dan menunjukkan sikapnya yang
masih mengenali bekas majikannya yang lama.
Ling-po Giok-lie Ca Bu Kao menganggukkan kepala dan
berkata: "Dengan adanya kuda istimewa ini, dalam waktu tujuh
hari mungkin tidak menjadi soal, tapi buah Swatlian itu
merupakan barang yang tidak ternilai, bagaimana Peng-pek
Sim-po suka memberikan orang sampai setangkai"
Kepandaian orang Swat-san-pay juga merupakan kepandaian
yang luar biasa, rasanya tidak mudah kita hadapi. ."
Kalau benar hanya jalan ini yang bisa menolong Hee Thian
Siang, meskipun sukar, juga harus dicoba. Apalagi aku
memiliki kuda istimewa, siopek serta binatang anehku ini,
mungkin aku dapat mendapatkannya, siapa tahu?" Berkata
Tiong-sun Hui Kheng. Berkata sampai di situ, ia berpaling dan bertanya kepada
Say Han Kong: "Waktunya sudah mendesak rasanya tidak
perlu menghambat lagi, Tiong-sun Hui Kheng kini hendak
berangkat ke gunung Tay-swat-san, Say tayhiap dan lain-lain
dimana hendak menunggu?"
Say Han Kong berpikir sejenak, kemudian berkata: "Di tepi
lautan jihay sebelah Timur ada sebuah kuil tua, kita akan
menunggu di sana." Tiong-sun Hui Kheng menganggukkan kepala, lantas minta
diri dan lompat ke atas kudanya bersama siaopek. Dengan
cepat kudanya dibedal menuju ke gunung Tay-swat-san.
Say Han Kong dan lain-lain yang menunggu di kuil tua di
tepi laut, masih mengalami berbagai kejadian yang
mendebarkan hati, tetapi hal itu baiklah kita tunda dulu, kita
sekarang mengikuti perjalanan Tiong-sun Hui Kheng.
Tiong-sun Hui Kheng yang melakukan perjalanan itu,
sepanjang jalan memikirkan dirinya sendiri: Ia merasa heran,
sebab ia selamanya tidak suka bergaul dengan orang biasa,
kesukaannya bergaul dengan binatang, tetapi entah kenapa
setelah bertemu muka dan mengadakan pertaruhan dengan
Hee Thian Siang, hatinya selalu memikirkan pemuda itu,
hingga dengan tergesa-gesa ia menyusul ke gunung Tiam-
cong-san, bahkan setelah melihat Hee Thian Siang terluka ia
telah majukan diri memikul tugas berat itu, melakukan
perjalanan ribuan pal jauhnya, untuk mencari buah teratai
Swat-lian untuk menyembuhkan luka Hee Thian Siang.
Kalau memikir semua itu Tiong-sun Hui Kheng merasa
malu sendiri: "Tindakanku ini hanya memenuhi rasa sebagai
orang dunia Kang-ouw yang harus membantu kawan, dan
harus menolong sesama yang terluka, putri Thian-gwa Ceng-
mo tidak mungkin bisa terlibat oleh jaring asmara."
Siaopek yang berada dalam pelukannya, ketika melihat
majikannya berkata kepada diri sendiri agaknya seperti
berubah kelakuannya, lalu menggunakan tangannya untuk
menepuk-nepuk pundak Tiong-sun Hui Kheng.
Tiong-sun Hui Kheng yang paham bahasanya, tahu bahwa
keranya itu telah mengetahui kelakuannya sendiri yang beda
dengan biasanya, maka seketika itu wajahnya menjadi merah,
pura-pura berkata kepadanya: "Siaopek jangan kau menggoda
aku, apakah sesalkan aku mengapa ketika berada dikui Thie-
hee-kwan aku tidak memberi kau kesempatan untuk
berkelahi" Kau harus tahu, bahwa dengan imam itu semuanya
merupakan orang-orang yang sangat jahat."
Siaopek yang cerdik ketika mendengar ucapan itu,
sepasang matanya berputaran memancarkan cahaya tajam,
agaknya merasa penasaran.
Tiong-sun Hui Kheng tahu benar bahwa keranya itu beradat
tinggi, maka ia mengelus-elus manja dan berkata pula sambil
tertawa: "Sebenarnya kau yang sudah memakai rompi sisik
naga peninggalan Tay-piat Sianjin, ditambah lagi dengan
kecerdikanmu, sekalipun ketemu dengan tokoh yang bagaimana pun kuatnya, masih sanggup menghadapi. Untuk
selanjutnya, apabila ada kesempatan, aku akan memberi kau
bergerak, tetapi jangan kau sembarangan mengambil jiwa
orang!" Siaopek yang mendengar ucapan itu tampaknya sangat
girang, ia menjatuhkan kepalanya di atas pelukan majikannya,
sedangkan binatang buas berbulu kuning emas itu yang lari di
belakang Ceng hong kie saat itu mengeluarkan suara
geramnya yang aneh ! Tiongsun Hui Kheng yang mendengar geram binatangnya,
sudah mengerti maksudnya, maka ia lalu berkata kepadanya :
"Tay wang, kau jangan terlalu gembira dulu, kau berbeda
dengan Siaopek, oleh karena kau mengikuti aku belum lama,
sehingga sifat buasmu masih belum lenyap apabila kau
bertindak sembarangan dan melakukan pembunuhan secara
sembarangan, aku nanti akan hukum berat padamu!"
Binatang aneh yang dinamakan Tay wang itu setelah
mendengar ucapan majikannya, lagi pula dengan
memperhatikan sikap nonanya, badannya gemetar agaknya
sangat takut. Tiongsun Hui Kheng sangat sayang kepada tiga
binatangnya itu, ketika menyaksikan binatang buas itu
demikian sikapnya, ia merasa kasihan, maka lantas berkata
sambil tersenyum : "Tay wang, kali ini setelah perjalanan kita dari gunung Tay
swat san, kau jangan berlaku sembarangan,
segala-galanya kalau kau menurut benar kataku, aku nanti
akan menyayangi dirimu seperti aku menyayangi diri Siaopek!"
Dengan mengandalkan kudanya yang istimewa, baru dua
hari lebih sudah tiba di daerah pegunungan Tay swat san.
Tempat kediaman ketua Swat san pai Pengpok Sin kun
bersama istrinya Mao Giok Ceng, yang terletak di tempat yang
tertinggi yang dinamakan Hian peng gwan.
Kalau kuda biasa, di tempat yang diliputi oleh salju dan
berhawa dingin itu pasti sudah kaku kedinginan, apalagi untuk
lari. Tetapi kuda Ceng hong kie adalah kuda istimewa, ia
sedikit pun rupanya tidak takut dingin. Di atas pegunungan
yang penuh salju ia bisa naik seperti berjalan di tanah datar!
Puncak gunung tertinggi itu ada sebuah dataran tinggi yang
terbuat dari salju keras dan pintu gerbangnya terpancang
sebuah papan gedung HIAN PENG GWAN.
Tiongsun Hui Kheng yang sifatnya lemah lembut dan
ramah tamah, tidak suka berlaku curang, turun dari keduanya
terpisah dari tempat itu kira-kira tiga tombak dengan
menggandeng kudanya ia berjalan lambat-lambat.
Terpisah dengan pintu gerbang Hian peng gwan masih satu
tombak lebih, kedatangannya itu disambut oleh dua pelayan
wanita berbaju putih. Dua pelayan itu memberi hormat, ia
bertanya sambil tersenyum:
"Bolehkah numpang tanya, siapakah nama nona yang
mulia" Adakah hendak berjumpa dengan ketua kami suami
istri?" Tiongsun Hui Kheng melihat pelayan berbaju putih itu
semuanya sangat cantik, orangnya pun ramah tamah,
ditambah lagi ketika melihat pakaian yang tipis meskipun
berdiri di atas gunung yang hawanya dingin demikian rupa
sudah pasti memiliki kepandaian ilmu tinggi, maka ia juga
menjawab sambil senyum: "Namaku Tiongsun Hui Kheng, bagaimana sebutan suci
berdua?" Dua pelayan wanita berbaju putih yang cantik manis itu
ketika disebut enci oleh Tiongsun Hui Kheng muka mereka
merah, maka buru-buru memberi hormat dan menjawab:
"Nona, kita berdua adalah saudara sekandung, namaku
Leng Eng dan dia ini Leng Kiat, Swat san Peng bu Leng Pek
Ciok adalah kakek kita! Nona adalah puteri Tiongsun
locianpwe yang namanya sangat kesohor, tingkatannya lebih
tua setingkat daripada kita!"
Mendengar keterangan bahwa Leng Eng dan Leng Kiat itu
adalah cucu Leng Peng Ciok, memang sebenarnya
tingkatannya sendiri masih tua setingkat daripada mereka.
Maka ia juga tidak merendah lagi. Selagi hendak memberikan
maksud kedatangannya yang hendak menjumpai Pengpok
Sinkun, Leng Kiat yagn berdiri di sebelah kanan, agaknya
merasa senang dengan Tiongsun Hui Kheng, lantas berkata
sambil tersenyum: "Nona Tiongsun, kau datang dari jauh pasti ada
maksudnya. Sebaiknya kau berunding dengan nyonya saja !
Sebab ada nyonya lebih ramah. Sinkun sendiri sejak pulang
dari gunung Oey san, karena terbokong oleh orang jahat,
hingga kini masih marah-marah saja. Beberapa kali ia ingin
pergi ke daerah Tionggoan bersama kakekku untuk
menyelidiki siapakah yang menggunakan duri beracun Thian
keng cek itu, maka rasanya susah diajak bicara!"
Tiongsun Hui Kheng tersenyum sambil menganggukkan
kepala. Leng Kiat lalu berkata kepada Leng Eng:
"Enci, kau pergi kawani bibi Tiongsun pergi pesiar ke
gunung untuk menikmati pemandangan alam di sekitar Hian
peng gwan, aku akan memberitahukan kepada nyonya!"
Sehabis berkata, ia bergerak menuju ke sebuah bangunan
yang bentuknya seperti goa. Gerakannya gesit sekali,
menunjukkan betapa tinggi ilmunya meringankan tubuh!
Leng Eng mengawasi siaopek yang berada dalam pelukan
Tiongsun Hui Kheng, dan binatang aneh berbulu emas serta
kuda Ceng hong kie, lantas berkata sambil tersenyum:
"Bibi Tiongsun, kudanya terlalu bagus sekali, dan kera putih
ini rupanya sangat lucu ! Kita di sini di daerah dingin yang
hampir tiap hari turun salju, juga memelihara sepasang kera
salju, kecuali bulunya yang putih, bentuknya mirip dengan
binatang berbulu warna emas ini!"
"Tiongsun Hui Kheng baru menyahut : "Ooooooo. . . . . . . !"
dan selagi hendak bertanya, tiba-tiba dari dalam goa salju itu
ada orang keluar.
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang yang baru keluar itu gerakannya sangat indah dan
lemah gemulai, sebentar saja sudah tiba di hadapan matanya.
Dia adalah seorang wanita cantik setengah umur yang
mengenakan pakaian warna ungu.
Tiongsun Hui Kheng tahu bahwa wanita cantik setengah
umur ini pasti adalah istri Pengpok Sinkun Mao Giok Ceng,
maka lalu berkata sambil tersenyum: "Boanpwe Tiongsun Hui
Kheng, oleh karena ada suatu urusan, dari jauh boanpwe
datang kemari, harap Mao locianpwe maafkan atas tindakanku
ini!" Istri Pengpok Sinkun Mao Giok Ceng memang seorang
yang ramah tamah, ditambah lagi sikapnya yang simpatik dari
Tiongsun Hui Kheng, apalagi siaopek menimbulkan suka
kepada orang yang melihatnya, maka lantas berkata sambil
tersenyum: "Nona Tiongsun, kau datang dari tempat jauh, pula ada
urusan penting ! Sebetulnya aku akan persilahkan kau masuk
ke dalam gubukku ini, untuk menyambut kau sebagaimana
mestinya, tetapi oleh karena suamiku sejak pulang dari
gunung Oey san, keadaannya kurang baik. . ."
Tidak menantikan Mao Giok Ceng habis kata-katanya,
Tiongsun Hui Kheng sudah memberi hormat dan berkata
sambil tertawa: "Tiongsun Hui Kheng tidak berani mengganggu Sinkun,
tetapi karena salah satu sahabat boanpwe terkena serangan
ilmu Tiat siu Sinkang dari ketua Tiam cong pai Thiat kwan
Totiang sehingga mendapat luka dalam, maka barulah
memerlukan datang kemari. Sudikah kiranya Mao locianpwe
memberikan setangkai buah teratai swat lian " Supaya dapat
boanpwe gunakan untuk menolong jiwanya?"
Mao Giok Ceng setelah mendengar keterangan Tiongsun
Hui Kheng bahwa kedatangannya itu hendak minta buah
swatlian, sikapnya menunjukkan keberatan, katanya lambat-
lambat: "Daerah pegunungan Thian jan peng san ini, meskipun
tumbuh tanaman buah teratai swatlian tetapi juga hanya ada
tiga tangkai saja, yang lainnya oleh karena waktunya belum
tiba, sebagian besar warnanya masih putih, masih boleh
dianggap sebagai obat biasa saja!"
Tiongsun Hui Kheng yang mendengar keterangan itu baru
saja merasa lega karena sikap Mao Giok Ceng yang demikian
ramah dan baik hatinya, apalagi buah teratai swatlian itu ada
tiga tangkai banyaknya, mungkin suka memberikan setangkai
padanya. Tetapi pada saat itu Mao Giok Ceng sudah berkata
pula: "Tetapi tiga tangkai buah teratai itu, setengah sudah diambil oleh duta bunga
mawar dan ketika suamiku dan aku terkena
serangan di bawah kaki gunung Oey san sudah mengenakan
setengah tangkai lagi, dan untuk menjaga serangan penjahat
itu lagi, yang menggunakan duri beracun secara
sembarangan, suamiku kembali memetik setangkai lagi,
dibuat obat yang dapat digunakan untuk memunahkan racun.
Maka itu, sekarang ini hanya tinggal setangkai saja dan
merupakan yang terakhir!"
Tiongsun Hui Kheng ketika mendengar bahwa buah teratai
itu tinggal setangkai yang terakhir, alisnya dikerutkan,
wajahnya menunjukkan sikap kecewa!
Menampak wajah Tiong-sun Hui Kheng diliputi oleh rasa
sedih, Mao Giok Ceng lantas berkata sambil menghela napas:
"Kami suami istri meskipun berdiam di goa Hian-peng-goan
dan mendirikan partai Swat-san-pay tetapi buah teratai Swat-
lian itu adalah tumbuhan alam yang dikaruniai oleh Tuhan,
agaknya tidak pantas kalau kami kangkangi sebagai milik
sendiri." "Maksud Mao locianpwe, apakah kiranya locianpwe tidak
melarang orang lain masuk ke lembah Thian-han-kok untuk
mengambil buah teratai itu?"
"Melarang sih tidak, tetapi ada tiga rupa ketentuan yang
rasanya sulit ditembus, maka selama itu belum pernah ada
orang luar yang berhasil mengambil buah teratai itu dari
lembah Thian-han-kok."
"Mao locianpwe, sudikah kiranya locianpwe memberitahukan kepada boanpwe tentang tiga ketentuan itu?"
Mao Giok Ceng mengawasi Tiong-sun Hui Kheng dan tiga
ekor binatang ajaibnya itu dengan bergiliran, kemudian
berkata sambil menganggukkan kepala: "Ketentuan pertama
ialah; buah teratai Swat-lian itu tumbuh di atas tebing salju
setinggi sepuluh tombak, orang yang hendak mengambil
dilarang menggunakan segala macam alat tambang juga
senjata rahasia. Harus diambilnya dengan mendaki ke atas
tebing tersebut, supaya jangan merusak akarnya."
Tiong Sun Hui Kheng memandang siaopek sejenak, ia rasa
bahwa ketentuan pertama ini mungkin dapat menyulitkan
orang lain, tetapi tidak demikian dengan si kera kecil itu. Maka
ia lalu bertanya pula: "Dan apakah ketentuan yang kedua itu?"
"Di dalam lembah Thian-han-kiok, ada berdiam dua ekor
orang hutan daerah dingin, tenaganya kuat sekali, luar biasa
ganasnya. Mereka bertugas menjaga buah teratai Swat-lian.
Orang yang hendak mengambil buah teratai tersebut hanya
boleh mengusirnya, tidak boleh membinasakan dengan
tangan ganas." Tiong-sun Hui Kheng sebagai seorang gadis yang memiliki
kepandaian menjinakkan segala binatang buas, maka
terhadap ketentuan kedua itu agaknya mudah diatasi. Maka
diam-diam ia merasa girang dan menanyakan lagi ketentuan
yang ketiga. Mao Giok Ceng yang tadi menampak wajah gadis itu
sangat murung, tetapi setelah mendengar keterangan tentang
dua ketentuan itu, mendadak berubah ramai dengan
senyuman, agaknya sedikit pun tidak anggap soal penting dua
ketentuan itu. Maka ia lalu berkata dengan perasaan heran:
"Dua ketentuan itu tadi, adalah ketentuan yang harus ditaati
pada sebelum bertindak hendak mengambil buah teratai,
tetapi ketentuan yang ketiga ini, adalah ketentuan yang
mengenai sesudahnya! Barang siapa yang berhasil
mendapatkan buah teratai swatlian, diharuskan berdiam di
dalam lembah Thian han kok tiga hari lamanya untuk diuji
kekuatannya bisa tahan hawa dingin atau tidak, setelah itu
baru diperbolehkan keluar!"
Ketentuan ketiga inilah yang menyulitkan Tiongsun Hui
Kheng, sebab Hee THian Siang yang sedang menghadapi
bahaya maut, apabila tiga hari kemudian baru boleh keluar
dari lembah Thian han kok, bukankah akan memperlambat
waktunya yang sudah ditetapkan dalam tujuh hari harus sudah
kembali" Mao Giok Ceng kembali menampak wajah Tiongsun Hui
Kheng menjadi murung, lalu menghela napas, kemudian
berkata : Tiga ketentuan ini, sesungguhnya terlalu sulit tetapi buah
teratai swat lian itu merupakan obat ajaib dan sangat mujarab
serta jarang ada di dalam dunia, maka Swat san pai mau tak
mau . . . ." Tiongsun Hui Kheng segera memotongnya:
"Boanpwe bukan takut menghadapi tiga ketentuan itu,
hanya minta Mao locianpwe supaya sudi memberi sedikit
kelonggaran!" "Nona Tiongsun, kau denganku seperti ada jodoh, begitu
aku melihat kau, aku merasa suka, kelonggaran bagaimana
yang kau kehendaki" Katakanlah terus terang, jikalau tidak
keterlaluan, aku pasti akan meluluskan permintaanmu!"
Mendengar ucapan itu, Tiongsun Hui Kheng sudah lebih
dulu menghaturkan terima kasih, kemudian berkata sambil
tersenyum: "Tiongsun Hui Kheng karena sahabat karibnya terluka
parah, barulah datang kemari mengganggu locianpwe.
Seandainya boanpwe ada jodoh dapat mentaati dua ketentuan
yang terdahulu, sehingga berhasil mendapatkan buah teratai
swat lian, maka boanpwe minta locianpwe memberi izin
supaya mengirim lebih dulu kepada bintang peliharaan
boanpwe, ke gunung Im Cong san, untuk menolong jiwa
sahabat boanpwe yang terluka itu. Setelah itu boanpwe
dengan seorang diri akan berdiam tiga hari lamanya di dalam
lembah Thian han kok. Setelah batas waktu tiga hari sudah
terpenuhi, baru keluar dari lembah!"
Mendengarkan permintaan Tiongsun Hui Kheng yang
cukup pantas, Mao Giok Ceng lalu berpikir, kemudian berkata
sambil menganggukkan kepala : "Demikian besar perhatian
nona terhadap sahabatmu itu. sudah tentu aku bersedia
menerima baik permintaanmu ini, tetapi dua ketentuan yang
terdahulu, rasanya sudah sulit sekali, apalagi ketentuan yang
ketiga, harus berdiam di dalam lembah Thian han kok tiga
hari, menahan lapar dan hawa dingin, di samping itu juga ada
kemungkinan terancam arus hawa yang dapat
menghancurkan tulang, telinga dan hidung, apakah nona
Tiongsun kiranya sanggup?"
Tiongsun Hui Kheng sedikit pun tidak gentar, katanya
dengan sikap menghormat: "Terima kasih atas kesediaan
locianpwe meluluskan permintaan boanpwe, tapi kini boanpwe
hendak memberi pesan beberapa patah kata kepada kuda
boanpwe ini, setelah itu mohon locianpwe menunjukkan
jalannya yang menuju ke lembah Thian han kok!"
Sehabis berkata demikian, ia memutar diri, lalu
menghampiri kudanya Ceng hong kie. Di telinga kdua
istimewa itu ia mengucapkan beberapa patah kata dengan
suara sangat pelahan. Kuda itu tampak mengangguk-
anggukkan kepalanya, mukanya yang panjang ditempelkan
kepada muka majikannya, hingga tampaknya sangat mesra.
Setelah itu, lantas lari keluar, di dekat tempat itu ia mencari
tempat sendiri untuk beristirahat.
Mao Giok Ceng yang menyaksikan semua kejadian itu,
diam-diam merasa heran, tanyanya kepada Tiongsun Hui
Kheng: "Nona Tiongsun, kudamu ini demikian cerdik, apakah
bukan kuda Ceng hong kie yang sangat terkenal
kecerdikannya itu?" Tiongsun Hui Kheng menganggukkan kepala,
membenarkan dugaan Mao Giok Ceng, lalu menanyakan lagi
jalannya menuju ke lembah Thian han kok.
Mao Giok Ceng mengawasi siaopek dan Tay wong
sebentar, lalu bertanya sambil tersenyum:
"Apakah nona juga hendak membawa dua binatang
peliharaan ini ke lembah Thian han kok?"
Tiongsun Hui Kheng mengelus-elus Siaopek dan Tay
wong, lalu menjawab: "Kera sangat cerdik ini, selamanya tidak mau berpisah
dengan boanpwe, kalau boanpwe bawa, mungkin ada juga
gunanya!" Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula sambil
menunjuk Tay-wong: "Tentang Tay-wong ini, setelah boanpwe berhasil
mendapatkan buah teratai Swat lian, boanpwe suruh dia
pulang dahulu ke tepi laut di Propinsi In-lam!"
"Kalau nona memang sudah mengambil keputusan
demikian, baiklah aku akan antar sendiri padamu ke lembah
Thian han kok!" Mendengar ucapan itu, Tiongsun Hui Kheng lalu
mengucapkan selamat berpisah dengan Leng Eng dan Leng
Kiat, kemudian ikut Mao Giok Ceng ke lembah Thian han kok,
yang letaknya di sebelah barat daya Hian peng gwan, di
tengah-tengah antara puncak gunung Cek thian dan Tiat
bong. Dalam perjalanan, Mao Giok Ceng berkata kepada
Tiongsun Hui Kheng sambil tersenyum:
"Hari ini nona masuk ke lembah Thian han kok, waktunya
baik, sebab arus hawa dingin yang sangat berbahaya itu, pada
setiap waktu tertentu paling hebat. Tadi malam baru saja lebat
waktu tertentu it, maka hawa dingin mulai hari ini agak kurang,
sedikit hangat dari pada waktu biasa!"
Keterangan nyonya rumah itu seolah-olah memberikan
petunjuk, maka Tiongsun Hui Kheng malu-malu menyatakan
terima kasihnya. Sementara itu, Mao Giok Ceng sudah melanjutkan kata-
katanya: "Terhadap ancaman bahaya alam semacam ini, aku
juga tidak dapat memberi petunjuk yang tepat. Aku hanya tahu
bahwa dahulu orang-orang yang masuk ke lembah Thian han
kok hendak mengambil buah teratai merah itu, sebagian besar
mati kedinginan terserang oleh arus hawa dingin itu. Mereka
itu kebanyakan karena mengandalkan ilmu kekuatan tenaga
dalamnya yang dianggapnya sudah sempurna betul, ketika
terserang oleh arus hawa dingin, telah menggunakan hawa
murni dalam tubuhnya yang termasuk hawa panas dan
akhirnya, betapapun tinggi kepandaian mereka, betapa hebat
kekuatan tenaga dalam mereka, bagaimana sanggup
bertahan serangan hawa dari alam sampai tiga hari " Maka
pada akhirnya tidak mampu lagi menghindarkan diri dari
bencana ! Sebaiknya berusaha berjaga-jaga dengan jalan
menghitung tepat waktunya arus hawa dingin itu datang.
Sewaktu memasuki lembah, sedapat mungkin berlaku tenang,
simpan tenaga, begitu arus hawa dingin timbul, baru
menggunakan hawa murni dalam tubuh, perlahan-lahan
disalurkan ke seluruh tubuh, jangan sampai jalannya darah
terganggu. Dengan cara demikian, mungkin bisa terhindar dari
bencana." Tiongsun Hui Kheng yang sangat cerdik, mendengar
ucapan itu, ia sudah mengerti bahwa Mao Giok Ceng sengaja
memberikan petunjuk yang sangat berharga baginya
bagaimana menolak serangan arus hawa dingin, apabila arus
itu datang. "Demikian besar cinta locianpwe terhadap boanpwe,
terlebih dahulu boanpwe mengucapkan banyak-banyak terima
kasih atas budi locianpwe, di kemudian hari apabila locianpwe
membutuhkan bantuan tenaga boanpwe, boanpwe pasti
menyediakan tenaga untuk membalas budi locianpwe ini!"
Mao Giok Ceng pikir, Thian gwa Ceng mo Tiongsun Seng
adalah salah seorang dari tiga aneh rimba persilatan yang
kukoay dan paling sukar dilayani, tetapi putri satu-satunya ini
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengapa sikapnya lemah lembut, ramah tamah, sangat
menyenangkan" Karena keadaannya yang sangat baik terhadap gadis itu,
maka diberitahunya lagi beberapa petunjuk yang berharga.
Katanya: "Tetapi, apa yang kukatakan tadi, semua ditujukan kepada
orang-orang yang tidak berhasil mengambil buah teratai Swat
lian. Karena nona adalah keturunan tokoh kenamaan,
mungkin jauh berbeda dengan orang lain. Apabila dalam
perjalananmu ini, berhasil mendapatkan buah teratai itu,
sudah tentu semuanya tidak perlu dikhawatirkan."
Tiongsun Hui Kheng masih hendak menanyakan sebabnya,
keduanya sudah tiba di depan mulut lembah Thian han kok
yang tertutup oleh batu besar setinggi empat lima tombak,
sehingga orang yang hendak masuk ke dalam lembah harus
melompati batu tinggi itu.
Mao Giok Ceng berhenti dan berkata sambil menunjuk batu
besar itu: "Kebesaran alam, sesungguhnya di luar perhitungan
manusia. Seperti batu ini, adanya tepat menutupi mulut
lembah, juga berfungsi menahan meniupnya angin dingin dari
dalam lembah. Jikalau tidak ada batu besar ini, entah
bagaimana keadaannya kediaman kita di Hian Peng Gwan"
Nanti kalau nona lompat masuk melalui batu ini, harap berlaku
hati-hati. Aku sudah bicara terlalu banyak terhadapmu, ini
sudah melampaui batas-batas ketentaraan yang sudah kita
tetapkan. Maka untuk sementara aku harus meninggalkan
kau, tiga hari kemudian, aku nanti datang lagi, untuk
menyambut kau keluar dari lembah!"
Tiongsun Hui Kheng anggap bahwa nyonya rumah itu
sangat baik sekali, maka lalu menarik tangannya dan berkata
sambil tertawa: "Mao locianpwe, sambutan locianpwe terhadap boanpwe
sesungguhnya baik sekali, selanjutnya boanpwe ingin supaya
banyak mengadakan perhubungan!"
Mao Giok Ceng menganggukkan kepala sambil tersenyum:
Tiongsun Hui Kheng berkata pula sambil tersenyum manis:
"Tetapi sebutan locianpwe ini rasanya kurang intim, untuk
selanjutnya bolehkah kalau boanpwe sebut locianpwe bibi
saja?" "Mempunyai seorang kemenakan seperti kau cantik manis
ini, siapakah orangnya yang tidak senang " Aku sudah
perhitungkan timbul dan berlalunya arus hawa dingin yang
sangat ganas itu, kalau sekarang ini kau masuk ke lembah
mengambil buah teratai, waktunya sangat tepat ! Maka aku
yang menjadi bibimu ini, tidak perlu banyak bicara lagi. Tiga
hari kemudian aku nanti datang lagi untuk menyambut kau!"
Sehabis berkata ia melambaikan tangan sambil tersenyum,
kemudian meninggalkan Tiongsun Hui Kheng seorang diri.
Sepulangnya di rumah, ia telah memberitahukan kepada
suaminya bahwa ia sudah memungut seorang kemenakan
perempuan yang cantik manis.
Tiongsun Hui Kheng mengawasi berlalunya Mao Giok
Ceng, mengingat pesan bibinya tadi, maka ia harus segera
masuk ke lembah untuk melaksanakan tugasnya.
Pada saat itu, Siaopek si kera kecil putih, sudah lompat-
lompatan dalam dukungan majikannya. Tiongsun Hui Kheng
sudah mengerti maksud Siaopek, maka melepaskan
tangannya, dan secepat kilat monyet itu sudah melesat ke
atas batu tinggi! Tiongsun Hui Kheng khawatir monyetnya mendapat
kesulitan, maka diperintahkannya turun pula, kemudian
bersama-sama dengannya lompat melesat ke atas batu.
Benar saja, baru saja berada di atas batu, hawa dingin
dirasakan semakin hebat. Untung Tiongsun Hui Kheng yang sejak kanak-kanak
sudah mendapat didikan sendiri dari ayahnya, ditambah lagi
dengan ilmunya yang pandai menjinakkan binatang, maka
sejak anak-anak sudah banyak sekali makan buah-buahan
ajaib yang didapatkan dari kawan-kawan binatangnya. Ilmu
dan kekuatan tenaga dalam maupun kepandaian ilmu silatnya,
bukan saja jauh lebih tinggi daripada Hee Thian Siang dan
anak-anak muda sebayanya, sekalipun para ketua delapan
partai besar pada waktu itu, juga harus pandang lain. Maka
meskipun harus berlaku sangat hati-hati, tetapi sedikitpun
tidak merasa takut. Ia memperhatikan keadaan dalam lembah
sejenak, lantas melompat turun.
Lembah Thian han kok berbeda dengan lembah biasa,
hanya merupakan lembah sempit bagaikan jalanan berliku-
liku. Oleh karena di kedua sampingnya semua adalah tebing-
tebing saja tingginya ratusan tombak, maka tiada
pemandangan alam yang menghijau. Di permukaan bumi
hanya terbentang pemandangan yang putih meletak dan
hawanya yang dingin meresap tulang.
Tiongsun Hui Kheng bersama dua ekor binatangnya yang
luar biasa, setelah melompat turun ke dalam lembah, lantas
berkata kepada Tay-wong: Tay wong, keluarkan suaramu, coba pancing keluar dua
binatang orang utan dari dalam lembah, aku pikir hendak
dijinakkan dulu, supaya jangan mengganggu usaha kita untuk
mengambil buah teratai!"
Mendengar perintah majikannya, Tay-wong lantas pentang
mulutnya yang lebar, tetapi Siaopek mendadak melarangnya.
Semula Tiongsun Hui Kheng merasa heran, tetapi
kemudian lantas mengerti, ia berkata sambil tersenyum:
"Siaopek sungguh pintar, Tay-wong jangan terlalu nyaring
suaramu. Aku pernah dengar ayah berkata, dalam daerah
pegunungan salju, kumandangnya echo sangat nyaring sekali,
maka tidak boleh mengeluarkan suara terlalu keras. Jikalau
tidak, bisa menimbulkan gugur salju, ini merupakan suatu
bencana besar!" Tay-wong meski agak bodoh kalau dibanding dengan
Siaopek, tetapi tokh masih lebih cerdik daripada binatang buas
biasa. Maka setelah mendengar pesan majikannya, benar
saja, ia tidak berani mengeluarkan suara terlalu nyaring.
Suara yang keluar dari mulutnya itu, seolah-olah suara
yang keluar dari mulut seorang tokoh berkepandaian tinggi
yang menggunakan ilmu tenaga dalam!
Sesaat kemudian, benar saja segera mendapat sambutan
dari tempat yang agak jauh.
Tiongsun Hui Kheng berdiri di tengah-tengah antara dua
binatangnya, matanya ditujukan ke tempat jalanan tikungan
sejauh lima atau enam tombak.
Tak lama kemudian, dari atas tebing melayang turun dua
sosok bayangan putih; itu adalah dua ekor orang hutan
setinggi lima kaki, sekujur badannya berbulu putih sepanjang
kira-kira enam dim yang sangat menyolok adalah sepasang
lengannya yang sangat panjang.
Orang utan salju itu meskipun galak, tetapi lagaknya sangat
cerdik dan tidak berlaku gegabah. Mungkin tahu bahwa Tay-
wong tidak muda didekati, maka lantas berhenti di depan
Tiongsun Hui Kheng bertiga sejak kira-kira tiga tombak.
Siaopek memandang sebentar kepada dua ekor binatang
itu, tangan dan kakinya bergerak-gerak, demikian pula
mulutnya juga cecuwitan tidak ada hentinya.
Tiongsun Hui Kheng yang mengerti bahasa binatang,
mengetahui maksud Siaopek yang memuji dua orang utan itu.
"Siaopek, meskipun mereka sangat menyenangkan, tetapi
adalah binatang peliharaan Swat san pai, apakah kau ingin
ajak mereka pulang " Adat Tay-wong terlalu keras, jikalau
sampai terjadi pertarungan, mungkin akan menimbulkan luka
pada mereka. Sebaiknya kau saja yang menghadapi mereka
untuk bertanding mengadu kekuatan tenaga, biar mereka
merasa kagum dulu, nanti aku akan berbicara sendiri dengan
mereka!" Mendengar perintah majikannya, Siaopek berjalan
perlahan-lahan menghampiri dua eko orang utan yang
memandang dirinya dengan sikap tegang.
Ia mengeluarkan suara dari mulutnya dan mengacungkan
tangan depan untuk memberi tanda kepada mereka.
Orang utan salju itu juga termasuk sejenis binatang
monyet, bahasa mereka sudah tentu sama. Maka mereka
segera mengerti maksud Siaopek, yang mengajak bertanding
kekuatan tenaga. Pikiran binatang monyet, hampir sesuai dengan pikiran
manusia, dua ekor orang utan salju itu meskipun tahu
keadaan lawannya agak berbeda dengan yang lain, mungkin
tidak mudah dihadapi, tetapi dianggapnya terlalu pendek dan
kecil, apabila dihadapi dengan berduaan bersama kawannya,
monyet kecil itu pasti bonyok!
Selagi mereka saling berpandangan, Siaopek sudah
bertindak lebih dulu. Secepat kilat ia lompat setinggi beberapa
tombak, melalui kepala merek. Di tengah udara berjumpalitan
lagi, dua tangannya menyambar batang leher dua orang utan
dan kemudian dilemparkan jauh-jauh.
Dua ekor binatang aneh yang tinggi besar itu, ternyata
sudah terlempar jatuh sejauh beberapa kaki.
Dua ekor orang utan itu sesungguhnya tidak menduga
bahwa monyet kecil itu memiliki kekuatan tenaga demikian
hebat. Baru saja mereka berusaha merayap bangun dengan
kalapnya, Siaopek sudah mengulurkan tangannya lagi, dan
menyambar dada orang utan yang berada di sebelah kiri.
Orang utan itu mengelakkan diri ke samping, lalu balik
menyambar diri Siaopek. Siaopek yang merupakan seekor binatang luar biasa,
sengaja hendak mempertontonkan kekuatan tenaganya, maka
ketika melihat lawannya menyambar, ia tidak mengelak, malah
membiarkan dirinya disergap oleh lawannya.
Orang utan itu menganggap bahwa kali ini pasti dapat
mematahkan tangan Siaopek, tetapi dugaannya itu ternyata
keliru ! Betapapun keras dan runcing kuku jari yang menerkam
tubuh Siaopek, tetapi seolah-olah tidak dirasakan olehnya.
Malah sebaliknya, dengan tangan kiri Siaopek menggunakan
gerak tipu dari ilmu silat Wankong Cianghoat melakukan
serangannya, hingga serangan itu mengenakan telak dada
lawannya. Orang utan itu seolah-olah digenjot oleh martil besar,
seketika itu juga mundur terhuyung-huyung beberapa langkah
dan hampir jatuh rubuh di tanah.
Orang utan yang bertubuh tinggi besar dan kekar ini, kini
baru merasa gentar, mereka berdua mengawasi Siaopek
dengan sikap terheran-heran.
Tiongsun Hui Kheng yang menyaksikan semua kejadian, ia
menganggap bahwa saatnya sudah tiba untuk turun tangan
sendiri. Maka ia lalu berjalan menghampiri dan berkata sambil
tersenyum: "Siaopek, sudah cukup, jikalau mereka timbul sifat buasnya
dan berlaku nekad, bisa menimbulkan akibat tidak baik!"
Di samping memberi peringatan kepada Siaopek, ia sudah
berjalan menghampiri dua orang utan putih itu.
Tiongsun Hui Kheng suka bersahabat dengan kawanan
binatang, nyalinya besar, sikapnya lemah lembut namun
mengandung wibawa. Orang utan yang biasanya sangat galak itu, kini
memandangnya dengan perasaan aneh, sedikit pun tidak
berani bergerak. Tiba di depan orang utan, Tiongsun Hui Kheng
menggunakan bahasa monyet, berkata kepada dua orang
utan itu: "Orang utan! Siaopek dan Tay-wong peliharaanku ini,
kekuatan tenaganya lebih besar dari pada kalian berdua, perlu
apa kalian berkelahi dengan mereka " Biarlah kita mengambil
buah teratai Swat-lian, untuk menolong jiwa orang!"
Dua orang utan itu setengah mengerti setengah tidak,
mereka masih tetap tidak bergerak, hanya pentang matanya
lebar-lebar. Tiongsun Hui Kheng sangat suka kepada dua ekor orang
utan itu, maka lantas memberanikan diri, mengelus-elus bulu
mereka yang putih halus dan panjang.
Dua ekor orang utan itu semula agak takut tetapi setelah
mengetahui bahwa gadis itu tidak mengandung maksud jahat,
malah merasa girang. Mereka membiarkan kepalanya di elus-
elus dengan membuka lebar mulutnya, tetapi tidak bergerak
sama sekali. Tampaknya sangat jinak.
Tiongsun Hui Kheng tahu bahwa dua ekor orang utan itu
bukan saja sudah mulai jinak, bahkan sudah ada tanda-tanda
hendak menyerah. Maka dengan sikap lebih mesra ia minta
dua lembar bulu dari mereka.
Benar saja, dua ekor orang utan itu memenuhi
permintaannya, masing-masing mencabut selembar bulu dari
kepalanya dan diberikan kepada Tiongsun Hui Kheng.
Apalagi binatang-binatang sejenis monyet, kalau suka
memberikan bulunya, berarti sudah bersedia menakluk dan
tidak berani berontak lagi.
Tiongsun Hui Kheng yang menyaksikan sikap demikian,
sudah tentu sangat girang. Ia menerima pemberian bulu orang
utan itu dan meminta supaya menunjukkan jalannya yang
menuju ke tempat pohon bunga teratai Swat lian. Benar saja
dua ekor orang utan itu lantas menurut. Dengan berjalan dulu
di muka, mereka mengantarkan Tiongsun Hui Kheng berjalan
menuju ke bagian dalam lembah Thian han kok.
Tiongsun Hui Kheng bersama dua ekor binatangnya yang
mengikuti orang utan itu, dapat merasakan bahwa hawa udara
dalam lembah itu semakin dalam semakin dingin. Jika tidak
memiliki kekuatan tenaga dalam cukup sempurna, tidak
menunggu timbulnya arus dingin yang jahat itu, juga sudah
mati kaku. Setelah melalui banyak jalan tikungan, keadaan lembah
semakin sempit, tebing di kedua sisi menjulang tinggi ke
langit. Dua ekor orang utan itu mendadak menghentikan
langkahnya. Tiongsun Hui Kheng mendongakkan kepala. Di atas tebing
yang tingginya kira-kira tiga puluh tombak itu, tampak
setangkai bunga aneh berbentuk mirip dengan bunga teratai
berwarna merah. Maka ia lalu berkata kepada dua orang-
orang utan itu: "Bunga merah itu, apakah bunga teratai yang disebut Swat
lian itu?" Dua orang utan itu mengangguk-anggukkan kepala dan
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluarkan kata-kata dalam bahasa binatangnya:
Maksudnya membenarkan pertanyaan Tiongsun Hui Kheng.
Tetapi karena takut larangan dari Mao Giok Ceng dan
suaminya, maka tidak berani mengganggunya.
Tiongsun Hui Kheng tertawa dan menepuk-nepuk bahu dua
orang utan itu, kemudian berkata sambil menunjuk Siaopek:
"Tebing setinggi tiga puluh tombak, barangkali tidak
menyulitkan Siaopek. Kamu tidak perlu membantu, tetapi
jangan mengganggu, itu saja sudah cukup!"
Setelah itu ia berpaling dan berkata kepada Siaopek:
"Siaopek, kau perhitungkan dulu masak-masak, apakah
kau sanggup mencapai ke atas itu?"
Siaopek mendongakkan kepala mengawasi bunga teratai
warna merah itu kemudian menganggukkan kepala.
Tiongsun Hui Kheng berkata pula:
"Kalau kau sanggup naik ke atas, bukalah rompi emasmu,
supaya tidak licin!"
Tetapi Siaopek tidak menurut, sebaliknya sudah
mengeluarkan suara siulan yang panjang kemudian melompat
melesat setinggi tujuh-delapan tombak dengan masih
menggunakan rompi emas itu!
Menyaksikan Siaopek demikian membandel, Tiongsun Hui
Kheng hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Siaopek yang mengapung di tengah udara, dengan
beberapa kali lompatan, sudah tiba dekat bunga teratai Swat
lian. Dua orang utan itu yang menyaksikan gerakan Siaopek
demikian lincah, juga mengawasinya dengan perasaan
kagum. Dengan sangat mudah Siaopek menunaikan tugasnya,
setelah memetik bunga teratainya, kembali mengorek akarnya
di dalam salju. Tiongsun Hui Kheng yang mengingat kebaikan Mao Giok
Ceng, ketika menyaksikan perbuatan Siaopek, lantas berseru
mencegahnya. Tetapi ternyata sudah terlambat, tangan
Siaopek yang jail sudah berhasil mengorek akarnya sebesar
lengan manusia yang warnanya putih.
Setelah itu, ia melayang turun dan langsung menuju ke
dalam pelukan majikannya.
Karena sudah terlanjur, disesalkan pun tidak ada gunanya.
Sebelum ditegurnya, mulutnya sudah dimasuki sepotong buah
teratai oleh Siaopek. Tiongsun Hui Kheng yang tidak mau
mengecewakan hati binatang peliharaannya, terpaksa
menerimanya. Ketika barang itu terkunyah oleh giginya,
menimbulkan rasa dan bau sangat harum, dan sebentar
kemudian setelah berada dalam perutnya, sekujur tubuhnya
merasa hangat, tidak lagi merasa takut oleh hawa dingin.
Pada waktu itu, ia baru teringat kepada perhatian Mao Giok
Ceng, asal bisa mendapatkan akar dan buahnya bunga teratai
Swat-lian, tidak perlu khawatir apa-apa. Mungkin yang
ditujukan adalah buah ini, dan mungkin pula jika dimakan
semua, tidak takut kepada serangan arus hawa dingin yang
sangat jahat itu lagi. Karena yang diambil oleh siaopek cukup besar, lalu dibagi
bagikan kepada siaopek, taywong dan dua orang utan itu.
Setelah itu ia menyerahkan Swat-lian merah kepada
taywong, suruh binatang itu bawa ke kuil dimana Say Han
Kong dan lainnya pada menunggu, sedang ia sendiri bersama
siaopek harus berdiam dalam lembah selama tiga hari untuk
mentaati pesan Mao Giok Ceng.
Taywong yang bentuknya demikian buas dan galak, tetapi
terhadap majikannya sangat takut sekali. Setelah menerima
barang yang diberikan oleh majikannya, ia lantas kabur untuk
melaksanakan tugasnya. Sekarang kita tinggalkan dulu Tiong-sun Hui Kheng
bersama Siaopek yang harus berdiam tiga hari didalam
lembah Thian-san-kok, dan mari kita kembali kepada Say Han
Kong, Oe-tie Khao, Ca Bu Kao dan Hee Thian Siang yang
menunggu di sebuah kuil tua yang sudah rusak keadaannya.
Kuil tua itu meskipun keadaannya sudah rusak, tetapi
menempati tanah yang luas sekali.
Say Han Kong dan lain-lain, menempati ruangan ketiga
untuk tempat meneduh sementara.
Oleh karena dari jalan napas dan nadinya, Say Han Kong
mengetahui bahwa luka Hee Thian Siang sangat parah, ia
khawatir sebelum bunga teratai Swat-lian sampai, tidak keburu
ditolong, maka kembali diberikannya dua butir obat yang
terbuat dari getah lengci, disamping itu juga dibantu dengan
tenaga dalam. Patung-patung yang dipuja dalam kuil itu, sudah lama
rusak, tetapi dua buah peti mati yang diletakkan di ruangan
Timur, mungkin karena terbuat dari bahan kayu pilihan,
keadaannya masih sangat bagus, jelas bahwa dua buah peti
mati itu adalah milik peninggalan keluarga kaya, mungkin
karena keluarga itu mengalami kehancuran sehingga tidak
ada keturunan yang merawatnya, dan dibiarkan tinggal
didalam kuil yang kini rusak, tidak ada yang mengubur.
Say Han Kong dan kawannya pada lima hari pertama sejak
mendiami kuil itu tidak mengalami kejadian apa-apa, tetapi
pada hari ke enam waktu malam, Oe-tie Khao yang pergi
keluar untuk membeli makanan, ketika kembali wajahnya
menunjukkan sikapnya yang serius, berkata kepada Say Han
Kong dan Ca Bu Kao. "Aku tadi ketika masih berada sepuluh pal dari sini, melihat
Su-to Keng yang menyamar menjadi Liong Hui Kiam Khek
minta keterangan kepada orang-orang kampung, yang
mungkin sebentar lagi akan datang mencari kemari, apakah
kita perlu mengadakan persiapan?"
Ca Bu Kao yang mendengar disebutnya nama Su-to Keng,
hawa amarahnya meluap seketika, alisnya berdiri, giginya
bercatrukan. Katanya dengan nada gemas: "Jikalau Su-to
Keng datang seorang diri, ini merupakan suatu kesempatan
yang baik bagiku untuk menuntut balas dendam, supaya aku
bisa membunuhnya ditempat ini."
Say Han Kong menggeleng-geleng kepala kepada Ca Bu
Kao, seraya berkata: "Su-to Keng seorang yang sangat buas
dan kejam, dia sudah tahu bahwa aku bukanlah lawan yang
mudah baginya, sedangkan aku dan pengemis tua ini, juga
bukan orang dari golongan sembarangan, bagaimana dia
berani datang sendiri?"
JILID 9 Hawa amarah Ca Bu Kao agaknya tak mudah dipadamkan,
katanya dengan alis berdiri: "Tempat ini bukan daerah
kekuasaannya seperti di kuil Pho-hie-hee-wan apalagi letak
tempat ini juga sangat bagus, sekalipun dia datang bersama
kawan-kawannya juga belum tentu kita akan mengalami
kekalahan." Oe-tie Khao sementara itu juga turut bicara, berkata sambil
tertawa: "Perkataan nona Ca memang benar, tetapi Hee Thian
Siang terluka parah ini merupakan halangan bagi kita. Tho-
hwa niocu dari Kie-lian-pay, dengan Su-to Kheng
hubungannya sudah seperti suami istri, ada kemungkinan ia
akan ikut datang kemari. Jika ikut campur tangan, dengan
sebuah api Kiu-leng-hwenya, atau mungkin dengan senjata
beracunnya Su-to Kheng, bukankah akan mengakibatkan Hee
Thian Siang turut mendapat bencana?"
Ca Bu Kao yang mendengar ucapan itu lantas berkata:
"Kita mencari suatu tempat yang aman, lalu meletakkan Hee
Thian Siang ditempat itu, bukankah setelah itu boleh
bertempur sepuas-puasnya dengan kawanan penjahat itu ?"
Say Han Kong berkata sambil tertawa getir: "Didalam kuil
tua yang sudah rusak keadaannya seperti ini, dimana ada
tempat yang aman ?" Oe-tie Khao dengan tiba-tiba seperti teringat sesuatu,
katanya sambil tertawa: "Aku sebetulnya juga sangat mual
terhadap sikap orang Tiam-cong-pay yang sangat buas dan
kejam itu, aku pikir, hendak menggunakan kedudukan kita
ditempat gelap ini, untuk menghadapi mereka yang ditempat
terang, supaya mereka mendapat pembalasan atas
perbuatannya yang kejam ! Mengenai tempat untuk
menyembunyikan Hee Thian Siang, aku juga sudah pikirkan,
tetapi agaknya kurang enak terhadap Hee-laote kita ini yang
sedang menderita luka".
"Apakah kau hendak menyimpan Hee Thian Siang didalam
peti mati di ruangan Timur itu ?", bertanya Say Han Kong
sambil mengerutkan alisnya.
"Hee-laote sudah menelan tiga butir pil yang terbuat dari
getah buah lengci, hanya luka didalamnya saja yang belum
sembuh seluruhnya seharusnya tidak perlu takut kalau
diletakkan didalam peti mati", berkata Oe-tie Khao sambil
menganggukkan kepala dan tertawa.
"Hawa bangkai, kalau tutup pintunya dibuka juga lantas
buyar, maka juga tidak perlu takut. Tetapi meletakkan Hee-
laote bersama-sama tengkorak didalam peti mati, bagaimanapun juga rasanya. . .", berkata Say Han Kong.
Sementara itu dari tempat yang agak jauh tiba-tiba tampak
delapan buah api Kiu-yu Lenghwe ! Oe-tie Khao yang
menyaksikan itu, katanya dengan nada marah:
"Orang-orang dari Kie-Lian-pay benar juga sudah datang,
menurut api Kiuyu Lenghwe yang dilepas sebanyak delapan
buah, kedudukan orang itu ternyata masih jauh lebih tinggi
daripada Tho-hwa Niocu Kie Liu Hiang !".
Say Han Kong juga mengerti bahwa bahaya yang
mengancam semakin dekat, pertempuran hebat tidak mungkin
dapat dihindarkan, maka terpaksa menyetujui usul Oe-tie
Khao dan berkata kepadanya:
"Pengemis tua, kau lekas pergi ke ruangan Timur, coba
buka tutup peti mati, lebih dahulu kau buyarkan hawa
bangkainya, kemudian membuat lubang beberapa buah di
bawah peti mati untuk jalan nafas, asal musuh sudah dekat,
kita letakkan Hee Thian Siang ke dalam peti mati itu,
kemudian kita masing-masing mencari tempat untuk
menyembunyikan diri".
Oe-tie Khao melakukan seperti apa yang diminta oleh Say
Han Kong, pekerjaan membuka peti mati dikerjakan dengan
baik sekali, sedikitpun tidak meninggalkan bekas diatas
petinya. Tetapi ketika tutupnya dibuka, Oe-tie Khao terkejut, kiranya
di peti mati yang dibuka itu masih membujur bangkai seorang
laki-laki yang berpakaian jubah panjang yang sangat rapi,
keadaannya masih seperti hidup, sedikitpun tidak terdapat
tanda busuk, maka juga tidak terdapat hawa busuk bangkai.
Oleh karena waktunya sangat mendesak, Oe-tie Khao tidak
mendapat kesempatan untuk melakukan pemeriksaan yang
teliti. Baru saja ia menggunakan jari tangannya untuk
membuat lubang di peti mati, Say Han Kong sudah datang
bersama Ca Bu Kao dengan memondong Hee Thian Siang,
kata tabib itu sambil mengerutkan alisnya:
"Tadi kulihat ditempat yang tak jauh dari kuil ini, kembali
ada tujuh buah api Kiucu Leng-hwe, itu pasti adalah Tho-hwa
Niocu bersama Su-to Kheng, yang datang kemari, kita
seharusnya segera sembunyikan Hee Thian Siang baik-baik,
apakah kau sudah membuat lubang hawa di bawah peti mati?"
Oe-tie Khao menganggukkan kepada, maka Say Han Kong
lalu meletakkan tubuh Hee Thian Siang yang masih belum
sadar betul, ke dalam peti mati. Setelah itu perlahan-lahan ia
menutup dengan tutupnya lagi.
Untung dia buah peti mati itu terbuat dari bahan kayu yang
sangat bagus, ruangnya juga luas, meskipun didalamnya ada
menggeletak sebuah bangkai dan seorang hidup, juga masih
terdapat ruang cukup lebar.
Sewaktu Say Han Kong membantu Oe-tie Khao menutup
peti mati, hidungnya dengan tiba-tiba dapat mengendus bau
aneh, maka lantas berkata dengan sikap terheran-heran:
"Hawa semacam ini, rasanya seperti semacam hawa yang
jarang ditemukan didalam dunia. ."
Belum habis ucapannya tiba-tiba terdengar suara nyaring
yang keluar dari seorang berkepandaian sangat tinggi. Wajah
Say Han Kong berubah, ia berkata kepada Ca Bu Kao dan
Oe-tie Khao dengan sangat perlahan:
"Siapakah orang itu " Kekuatan dan kepandaiannya
agaknya masih di atas Su-to Kheng. Kita harus sembunyikan
diri baik-baik, jikalau tidak terpaksa betul-betul tidak perlu
turun tangan". Sehabis berkata demikian, ia lalu memberi
isyarat supaya semua berpencaran.
Oe-tie Khao melesat keluar dan sembunyikan diri didalam
rumput yang lebat didalam kuil. Say Han Kong lompat ke atas
dan sembunyi di tempat gelap. Sedangkan Ca Bu Kao
sembunyi di atas penglari didalam kuil.
Pada waktu itu tiga sosok bayangan secepat kilat sudah
tiba di hadapan pintu kuil. Yang berada di sebelah kiri benar
adalah Su-to Keng, tetapi waktu itu ia sudah tidak menyamar
lagi sebagai Liong-hui Kiam-khek, melainkan berpakaian imam
seperti asalnya; sebelah kanan adalah si cantik centil Tho-hwa
Niocu, sedangkan yang berada di tengah seorang nenek
berambut putih yang usianya sudah lanjut, namun sinar
matanya sangat tajam, agaknya juga sangat berwibawa, jelas
kekuatan dan kedudukannya nenek itu masih di atas Kiu Liu
Hiang. Say Han Kong yang berada ditempat tinggi dapat
menyaksikan dengan jelas, ia dapat mengenai bahwa nenek
itu adalah Pek-tho Losat Nikow dari golongan Kie-lian-pay
yang sudah beberapa puluh tahun menutup diri didalam goa
es di gunung Kie-lian, dan sudah lama pula tidak mencampuri
urusan dunia. Kepandaian Pao Sam Kow tinggi sekali, bahkan masih
merupakan suci atau kakak seperguruan ketuanya Kia-lian-
pay, Khie Thay Cao. Dengan munculnya secara tiba-tiba
ditempat itu, Say Han Kong sendiri juga merasa sangat
terkejut. Ia khawatir apabila Ca Bu Kao dan Oe-tie Khao tidak
sanggup mengendalikan perasaannya bertindak secara
gegabah, padahal pasti bukan tandingan nenek itu.
Nenek itu berdiri di depan pintu, berkata dengan nada
suara dingin: "Su-to laote, kau memeriksa bagian depan. Kie Liok-moay
memeriksa ruangan kedua, sedangkan aku sendiri akan
mengadakan pemeriksaan di ruangan ketiga. Kalau benar
laporan yang disampaikan kepada kita, bahwa rombongan
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu bersembunyi didalam kuil ini, tidak usah takut
mereka akan terbang ke langit".
Su-to Kheng dan Kiu Liu Hiang yang mendapat perintah itu,
masing-masing bergerak menuju ke tempat yang ditunjuk
untuk melakukan tugasnya. Sedangkan Pao Sam Kow sendiri
mengeluarkan ilmunya meringankan tubuh, lompat melesat
setinggi lima tombak lebih, kemudian bagaikan seekor burung
malam melayang menuju ruangan ketiga.
Say Han Kong yang sembunyikan diri di atas atap bagian
gelap, sebetulnya paling mudah diketahui, tetapi karena udara
gelap, dan karena pikiran tiap orang itu ditujukan ke bagian
tempat yang gelap terhadap bagian yang agak terang kadang
diabaikan, maka sepasang mata Pao Sam Kow yang tajam
hanya ditujukan ke bagian-bagian yang gelap saja, tidak
memperhatikan tempat dimana Say Han Kong bersembunyi.
Oe-tie Khao yang sembunyikan diri di tempat rumput, oleh
karena keadaan disekitar kuil itu yang tidak terurus, maka
rumputnya tumbuh panjang dan lebat. Pao Sam Kow bertiga
mungkin anggap tidak mudah membasmi habis seluruh
tempat yang penuh rumput itu, maka belum bertindak untuk
mencari. Kedudukan Oe-tie Khao sebetulnya menguntungkan
dirinya, sebab lawannya tidak mau bertindak secara gegabah
untuk mengadakan pemeriksaan di situ, sedangkan dia yang
berada di luar dapat mengintai gerak-gerik mereka.
Baru saja Pao Sam Kow melayang turun tangan ketiga, Oe-
tie Khao juga terkejut, sementara dalam hatinya berpikir:
Pantas suara tadi demikian hebat, kiranya adalah Pek-Tho
Losat yang sudah lama tidak muncul dan yang belakangan ini
tertampak di puncak Thiau-tu-hong bersama-sama Kie Thay
Cao. Ia bersama Say Han Kong mempunyai kekhawatiran
bersama, ialah kuatirnya Ca Bu Kao nanti kalau melihat Su-to
Keng tidak dapat mengendalikan hawa marahnya, apalagi
tempat persembunyiannya, di atas penglari didalam ruangan
itu. Ia belum dapat menegasi yang masuk itu adalah Pek Tho
Losat, tokoh kuat dari golongan Kie-lian. Apabila sampai
terjadi pertempuran, sudah pasti akan parah.
Belum lagi lenyap pikirannya, Pao Sam Kow tiba-tiba
memanggil dengan suara nyaring:
"Su-to laote dan Kie liok-moay lekas kemari, mereka benar
saja sembunyi didalam ruangan ketiga ini."
Say Han Kong yang mendengar ucapan itu matanya
ditujukan pada tangga-tangga batu dan lantai dalam ruangan
ketiga, ia tahu bahwa kuil itu sudah lama tidak didiami orang,
keadaannya sangat kotor, dimana-mana terdapat debu, dan
debu-debu yang tebal itu karena kedatangan sendiri berempat
telah meninggalkan bekas kaki, bekas-bekas itu telah
diketahui oleh Pao San Tow.
Sedangkan Ca Bu Kao yang sembunyi di atas penglari,
oleh karena mendengar orang itu menyebut Su-to Kheng laote
dan menyebut Kie Liu Hiang Liok-moay, yang berarti adik
seperguruan ke enam, apalagi suaranya juga seperti suara
perempuan tua, maka secepat itu ia sudah menduga kepada
diri Pao Sam Kow yang dahulu pernah dilihatnya di puncak
Thian-tu-hong. Ca Bu Kao tahu apabila yang datang itu Su-to Kheng dan
Kie Liu Hiang berdua saja, maka dengan kekuatan yang terdiri
dari dirinya sendiri dan Say Han Kong serta Oe-tie Khao
bertiga sudah cukup untuk membereskan mereka. Tetapi kini
ditambah lagi dengan Pek-tho Losat, kekuatan kedua pihak
lantas berubah. Dalam keadaan demikian maka ia harus
mengendalikan hawa amarahnya sendiri, jangan sampai
membahayakan diri Hee Thian Siang yang terluka parah.
Oleh karena memikirkan diri Hee Thian Siang, maka Ca Bu
Kao tidak berani berkutik. Sebaliknya dari kamar sebelah
Timur tiba-tiba terdengar suara aneh yang sangat perlahan
sekali. Begitu suara itu masuk di telinganya, bukan kepalang
terkejutnya Ca Bu Kao, ia pikir di ruang sebelah Timur itu tiada
orang sembunyi hanya ada dua buah peti mati, darimana
datangnya suara aneh itu" Apakah Hee Thian Siang sadar
dan pulih ingatannya, tetapi tidak tahan dikeram dalam peti
mati sehingga menimbulkan suara"
Masih untung suara aneh itu sebentar kemudian sudah
lenyap kembali. Sedangkan Su-to Keng dan Tho-hwa Nio-cu
yang berada di luar kuil, kebetulan karena dipanggil oleh Pao
Sam Tow, keduanya lantas menghampiri Pau Sam Tow,
sehingga tak seorangpun yang mendengar.
Tho-hwa Nio-cu matanya ditujukan ke dalam ruangan yang
sunyi dan gelap itu, lalu berkata kepada Pao Sam Kow sambil
berkata: "Toa suci, kau sudah masuk dan periksa didalam
ruangan ini, apakah terdapat tanda-tanda yang
mencurigakan?" "Perlu apa harus mengadakan pemeriksaan, kau lihat
sendiri, didalam kuil yang sudah rusak demikian rupa, dimana-
mana terdapat debu, sedangkan bagian depan ini tampaknya
bersih dan terdapat tanda bekas telapak kaki orang bukankah
sudah jelas bahwa orangnya berada didalam?"
Mendengar keterangan ini, mata Tho-hwa Nio-cu ditujukan
ke dalam ruangan, kemudian berkata pula sambil tertawa: "Ca
Bu Kao, semua perbuatan yang mencelakakan diri kekasihmu
Liong-hui Kiam-khek adalah aku yang merencanakan,
bagaimana kau tidak ingin menuntut balas" Lekaslah keluar
untuk menghadapi aku Kiu Liu Hiang!"
Ca Bu Kao yang beradat tinggi hati dan yang benci
terhadap kejahatan, apalagi terhadap wanita itu, terlebih-lebih
bencinya. Sebetulnya ia sudah akan keluar menyambut
tantangannya. Tetapi untuk keselamatan Hee Thian Siang ia
terpaksa menahan diri dan mandah diejek dan dihina oleh Kiu
Liu Hiang. Say Han Kong yang berada di atas dan Oe-tie Khao yang
berada didalam gerombolan rumput, menganggap bahwa atas
penghinaan Tho-hwa Nio-cu, Ca Bu Kao pasti akan unjuk diri,
maka ia siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Apa yang dikhawatirkan ternyata tidak terjadi, itu di luar
dugaannya. Tho-hwa Nio-cu selesai mengeluarkan perkataan
demikian, dari dalam kuil itu tidak ada reaksi apa-apa,
keadaan masih tetap sunyi sepi.
Say Han Kong dan Oe-tie Khao setelah tidak nampak Ca
Bu Kao turun, hal itu sesungguhnya di luar kebiasaan yang
beradat keras, maka diam-diam juga merasa heran, tetapi
merekapun merasa senang. Walaupun Ca Bu Kao tetap bersabar, tidak mengeluarkan
suara tetapi dalam kamar sebelah Timur dengan tiba-tiba
terdengar pula suara aneh, suara itu jelas keluar dari dalam
peti mati, hingga semua menduganya bahwa Hee Thian Siang
sudah siuman dan berusaha hendak bangkit dari dalam peti
mati. Suara aneh itu, bukan saja sudah didengar oleh Pao Sam
Kow, Su-to Keng dan Kie Liu Hiang bertiga, sedangkan Say
Han Kong juga sudah merasa bingung, entah darimana
datangnya suara itu" Adalah Su-to Keng yang terlebih dahulu
mengeluarkan suara, ia berkata sambil tertawa dingin: "Kalian juga merupakan
orang-orang yang mempunyai sedikit nama,
perlu apa main gila didalam kuil gelap ini" Mengapa kalian
tidak berani unjuk muka secara terang-terangan?"
Tho-hwa Nio-cu lantas menyambung: "Orang-orang seperti
mereka yang menganggap diri sebagai ksatria, jikalau
menghadapi bahaya, bukankah serupa saja dengan manusia
biasa yang takut mati" Mereka gentar menghadapi Toa suci,
oleh karenanya tidak berani keluar. Kita juga tidak perlu
masuk ke dalam, jangan terjebak oleh perangkap mereka.
Baiknya kita menurut cara pengemis tua Oe-tie Kao sewaktu
di kuil Pho-hie-hee-wan dengan menggunakan beberapa buah
api kiucu lenghwe untuk membakar kuil ini, kita tak usah kuatir
orang-orang itu tidak akan keluar dari ruangan ini."
Usul Kie Liu Hiang itu sesungguhnya sangat keji, sehingga
Say Han Kong, Oe-tie Kao dan Ca Bu Kao yang
mendengarkan pada mengerut alisnya. Tetapi selagi Kie Liu
Hiang menutup mulut, Po Sam Kao sudah tertawa terbahak-
bahak kemudian berkata: "Perlu apa harus membakar kuil" Mereka tidak berani
keluar tetapi aku berani masuk untuk mengadakan
pemeriksaan. Dengan mengandalkan kepandaian yang tidak
berarti yang mereka miliki sekalipun dipasang jebakan, juga
tidak bisa berbuat apa-apa terhadap diriku."
"Apakah Poa toaci selama tiga belas tahun itu didalam goa
sudah berhasil menciptakan ilmu yang tidak takut senjata
tajam?" Bertanya Su-to Keng.
"Ilmu sakti membekukan tubuh, aku hanya berhasil melatih
sampai sebelas bagian saja, Suto laote harus tahu. ." Berkata Po Sam Kow sambil
tertawa bangga. "Tahu, tahu sebelas bagian ilmu membekukan tubuh
meskipun belum mencapai ke puncak kesempurnaan, tetapi
juga sudah seperti seorang yang mempunyai badan kebal dan
tidak mempan senjata. Jangankan senjata biasa atau senjata
rahasia, sekalipun golok atau pedang pusaka tidak usah
takut." Berkata Su-to Keng sambil menganggukkan kepala.
Sehabis berkata ia dengan satu gerakan, pedang itu
ditusukkan kepada Po Sam Kow.
Po Sam Kow hanya tersenyum, benar saja ia tidak takut
sedikitpun dengan senjata tajam. Tangannya diulur untuk
menangkis serangan, dan ketika pedang itu mengenakan
lengan tangan Po Sam Kow, seperti mengenai kulit keras,
pedang Lenghong-kiam yang sangat tajam, sedikitpun tak ada
gunanya, karena tidak dapat melukai perempuan tua itu.
Su-to Keng kini merasa kagum benar-benar, Kiu Liu Hiang
yang menyaksikan itu juga tampak amat bangga dan gembira.
Demikianpun dengan Po Sam Kow sendiri. Tetapi Say Han
Kong dan Oe-tie Kao yang menyaksikan itu semua pada
terkejut, dan Ca Bu Kao yang mendengar juga merasa heran.
Suara aneh dari kamar sebelah tidak terdengar lagi,
sehingga keadaan sepi seperti biasa. Sedangkan Pao Sam
Kow mulai berjalan masuk ke dalam ruangan. Oleh karena
keadaan sangat gelap, Pao Sam Kow minta disediakan korek
api kepada Tho-hwa Nio-cu.
Selagi Po Sam Kow berbalik meminta korek api, sebetulnya
merupakan suatu kesempatan baik bagi Ca Bu Kao
melancarkan serangan secara menggelap. Tetapi karena Pao
Sam Kow tadi sudah menunjukkan kekebalan ilmunya, maka
ia kuatir jika serangannya gagal, maka dia tetap bersabar.
Poa Sam Kow setelah menerima korek api, agaknya tidak
mau ditaruh di tangannya, matanya mengawasi ke atas
sejenak, kemudian api itu dilepaskan kesana dan tepat
menancap di penglari bawah Ca Bu Kao. Dengan demikian
dibagian bawah penglari itu meskipun terang, bagian atasnya
semakin gelap, hingga Ca Bu Kao semakin tidak kelihatan
lagi. Pao Sam Kow dengan meminjam penerangan dari korek
api tadi, dapat mengadakan pemeriksaan di kamar-kamar
bagian Timur dan Barat, tetapi ia agak terkejut dan terheran-
heran, di situ tidak terdapat jejak manusia, mengapa tadi
timbul suara aneh" Setelah berpikir sejenak tiba-tiba ia mengerti, katanya
sambil tertawa: "Dua buah peti mati yang ada di sebelah Timur keadaannya sangat
mencurigakan, apakah mereka
bersembunyi didalam peti mati itu" Biar aku coba periksa.
Setelah berkata ia berjalan menuju kamar Timur,
perbuatannya itu telah mendebarkan Say Han Kong bertiga
yang bersembunyi ditempat gelap, terutama Ca Bu Kao yang
bersembunyi di atas penglari, hatinya semakin cemas karena
Hee Thian Siang yang disembunyikan didalam peti mati
sebelah kanan, apabila Pao Sam Kao membuka peti mati
sebelah kiri lebih dahulu tentu ia dapat menyaksikan bahwa
peti mati itu masih ada bangkai manusianya, dengan demikian
mungkin ia tidak akan timbul rasa curiganya dan segera
mengundurkan diri, ini juga ancaman bahaya sudah lenyap.
Tetapi apabila ia membuka peti sebelah kanan lebih dulu,
maka Ca Bu Kao akan bertindak tanpa menghiraukan
bagaimana akibatnya, mungkin ia akan menerjang nenek itu
dari tempat sembunyinya. Meskipun ia sudah mengambil keputusan demikian, tetapi
ia tidak melihat tindakan apa-apa, sedangkan kalau ia
bergerak pasti akan menimbulkan suara, berarti
memberitahukan tempat sembunyinya.
Dalam keadaan terpaksa ia coba berdiri, di atas penglari
berjalan mengendap-endap beberapa tindak, untuk melongok
ke sebelah Timur. Berjalan kira-kira tujuh delapan kaki, ia sudah melihat
keadaan di ruangan sebelah Timur, tetapi apa yang
disaksikannya membuat ia lebih berdebaran, buru-buru
mengerahkan ilmu Ban-sian-cek-lek ke kedua tangannya.
Kiranya api yang dinyalakan di ruangan tengah sinarnya
tidak mencapai ke ruangan kamar sebelah Timur itu, hanya
dalam keadaan samar-samar Pao Sam Kow seolah-olah
seperti bayangan iblis dan bayangan iblis itu justru sedang
bergerak menuju ke peti mati, di mana ada tersembunyi Hee
Thian Siang. Hati Ca Bu Kao berdebaran, akhirnya bayangan Pao Sam
Kow bukan saja berhenti di depan peti sebelah kanan, bahkan
perlahan-lahan mengangkat sepasang tangannya diletakkan
ke tutup peti mati. Pada saat itu perasaan tegang Ca Bu Kao sudah tidak bisa
dilukiskan dengan pena. Ia sudah hampir berlaku nekad untuk
menyergap nenek itu. Dalam keadaan yang sangat kritis itu, suara aneh tadi
kembali terdengar. Ketika mendengar suara aneh itu Ca Bu Kao hampir saja
jatuh pingsan, tetapi sebentar kemudian ia merasa bergidik,
bulu romanya hampir berdiri semua. Suara aneh itu bukan
timbul dari peti mati sebelah kanan, melainkan timbul dari peti
mati sebelah kiri. Pao Sam Kow yang sudah mengangkat tinggi kedua
tangannya, belum sampai digunakan untuk membuka peti
mati, tiba-tiba terdengar suara aneh dari peti mati sebelah kiri,
maka cepat ia membalikkan diri. Tangan kanannya bergerak
melancarkan serangan dari jarak jauh yang ditujukan kepada
peti mati sebelah kiri. Nenek ini bukan saja berkepandaian tinggi tetapi juga
bertindak sangat hati-hati. Ia sendiri yang sudah berhasil
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melatih ilmu kekebalannya masih tetap khawatir bahwa di
dalam peti mati tersembunyi kekuatan yang tak terduga-duga,
maka lebih dulu ia melancarkan serangan jarak jauh dengan
menggunakan ilmunya hong-ciang yang dinginnya meresap
tulang. Serangan dengan menggunakan ilmu serupa itu sebetulnya
terlalu ganas. Serangan itu tidak melukai bagian luar, tetapi
merusak bagian dalam. Tidak perduli benda apapun yang
berada di dalam peti mati itu jikalau terkena serangan itu
sudah pasti akan hancur lebur tidak perlu dikhawatirkan lagi.
Tindakannya itu sebetulnya terlalu ganas, siapa tahu
bahwa hal-hal di dunia ini kadang-kadang bisa terjadi di luar
dugaan manusia. Setelah ia melakukan serangan jarak jauh
dengan ilmunya yang sangat jahat, suara aneh itu bukan
lantas lenyap, bahkan sebaliknya terdengar makin hebat.
Seolah-olah ada orang yang akan keluar dari dalam hendak
memecahkan peti mati itu.
Dengan demikian Pao Sam Kow semakin marah. Ia
semakin ingin tahu siapakah sebetulnya orang yang
bersembunyi di dalam peti mati itu, mengapa sanggup
melawan ilmunya yang sangat jahat itu"
Dalam keadaan terkejut dan marah, kembali ia melancarkan serangannya, tetapi kali ini kekuatan tenaganya
ditambah lebih banyak. Dalam jarak lima langkah, angin yang timbul dari
serangannya itu sudah bisa membuat mati orang karena
kedinginan. Dalam hati Pao Sam Kow berpikir sekalipun orang
yang di dalam peti itu terbuat daripada batu, juga pasti akan
hancur lebur, tetapi setelah serangan Pao Sam Kow itu
mengenai peti mati, suara aneh dari dalam peti mati itu
terdengar semakin hebat. Ca Bu Kao yang berdiri di atas penglari dan sudah hendak
menyergap Pao Sam Kow telah dapat menyaksikan itu
semua, hingga diam-diam juga terkejut dan terheran-heran. Ia
tahu bahwa malam itu di kuil itu pasti akan terjadi sesuatu
yang sangat menarik. Oe-tie Khao yang bersembunyi di luar dan Say Han Kong
yang sembunyi di atas, juga mendengar suara aneh yang
hebat itu, hingga mereka tahu akan terjadi sesuatu yang di
luar perhitungannya. Tetapi mereka tak dapat menduga
mengapa Ca Bu Kao saat itu masih belum tampak
mengadakan tindakan apa-apa, maka mereka masih tetap
bersabar. Sementara itu Suto Keng dan Kie Liu Hiang masing-masing
sudah siap. Yang satu sudah siap hendak menggunakan
serangan pasir beracunnya, dan yang lain sudah siap dengan
api kiu-jit-leng-hwenya. Mereka pasang mata untuk menjaga-
jaga jika ada orang lari keluar dari dalam kuil.
Pao Sam Kow sendiri yang merupakan seorang yang buas,
waktu itu sudah memuncak amarahnya oleh karena
dipermainkan oleh suara aneh dari dalam peti mati itu.
Sepuluh jari tangannya dipentang seluruhnya, ia sudah
mengerahkan ilmu jari tangannya Kim-kong-jiaw untuk
menerkam tutup peti mati, dan kemudian secara tiba-tiba
diangkat dan ditariknya. Suara aneh dari dalam peti mati tadi sebetulnya hendak
keluar dengan jalan memecahkan tutup peti mati. Karena
dirinya di dalam peti maka kaki tangannya tidak mudah
digerakkan; apalagi tutup peti mati itu terbuat dari bahan kayu
yang sangat kuat dan dipantek kuat pula, maka sebegitu lama
masih belum berhasil menembus keluar. Dan kini setelah Pao
Sam Kow menggunakan ilmu Kim-kong-jiawnya untuk
membuka peti mati, telah merupakan suatu kekuatan dari luar
dan dalam dengan berbareng, maka sebentar kemudian
terdengar suara bagaikan ledakan. Tutup peti mati itu terbuka
dan hancur berantakan. Begitu tutup peti mati itu hancur berantakan dari dalam peti
mati berhembus hawa dingin. Orang yang rebah di dalam peti
mati perlahan-lahan bangkit berdiri. Mayat itu ternyata juga
merupakan seorang perempuan tua yang rambutnya sudah
putih semua, dengan dandanannya yang berwarna emas.
Dari sinar api yang samar-samar, Ca Bu Kao waktu itu juga
melihat wajah orang dari dalam peti mati itu. Saat itu
badannya gemetaran sebab ia segera dapat memikirkan
bahwa orang perempuan tua berambut putih itu mungkin
adalah Pek-thao Ya-cie nenek Liong-lo yang dikatakan sudah
mati pada sepuluh tahun berselang. nenek itu merupakan
seorang buas dari golongan hitam.
Nenek Liong-lo itu dahulu dengan suaminya sering
mendapat julukan "mumi" Siong Teng, pada beberapa puluh
tahun berselang namanya sangat dikenal di kalangan Kang-
ouw terutama golongan hitam. Tetapi sepuluh tahun berselang
telah dikabarkan binasa, entah dengan cara bagaimana kini
muncul di tempat itu" Dua buah peti mati itu, kalau yang satu
berisi mayat nenek Liong-lo, yang lain sudah pasti suaminya
ialah "mumi" Siong Teng.
Usul yang ditelorkan oleh buah pikiran Oe-tie Khao yang
hendak menyembunyikan Hee Thian Siang ke dalam peti mati,
kini dengan tak disangka-sangka bahwa mayat yang berada di
dalam peti mati itu adalah mayatnya seorang jahat serta buas,
dan bagaimana akibatnya, sesungguhnya sulit dibayangkan!
Pao Sam Kow dahulu sebelum menutup diri bertapa di
dalam goa gunung Kie-lian sudah pernah timbul perselisihan
dengan nenek Liong-lo itu; maka ia tahu benar bahwa ilmu
cengkeraman jari tangan yang dinamakan Ngo-kwi Tok-jiaw
dari nenek itu sangat ganas sekali! Dan kini dengan tidak
terduga-duga telah bertemu kembali. Dua kali ia
menggunakan ilmunya Im-hong Ciang tetapi tidak berhasil
melukai lawannya. Maka ketika ia berhadapan dengan nenek
itu diam-diam juga terkejut. Buru-buru ia menyingkir dan
lompat mundur tiga langkah. Matanya ditujukan kepada nenek
rambut putih itu, katanya dengan suara keras:
"Liong-lo tak disangka-sangka di waktu malam gelap
seperti ini dan di dalam kuil yang sudah rusak ini, aku telah
bertemu dengan sahabat lama. Coba malam ini kita main-
main beberapa jurus dengan sungguh-sungguh. Aku ingin
tahu apakah aku Pek Thao Lo-sat ini yang akan menangkan
atau Pek Thao Ya-cie yang bisa menangkan aku Pek-thao Lo-
sat?" Pada waktu itu Say Han Kong yang berada di atas, U-tie
Khao yang berada di luar kuil serta Su-to Keng dan Kie Liu
Hiang berempat menyaksikan itu dengan hati berdebaran.
Sedangkan Ca Bu Kao yang berada di atas penglari di
samping berdebaran juga merasa geli, sebab dua nenek yang
satu justru berjulukan Pek-thao Lo-sat bertemu muka dengan
nenek yang berjulukan Pek-thao Ya-cie.
Pao Sam Kow setelah mengeluarkan perkataan itu tidak
mendapat jawaban dari Pek-thao Ya Cie, nenek Liong-lo.
nenek itu masih berdiri tegak di dalam peti matinya, sepasang
matanya yang buas, namun tidak bersinar, seolah-olah sudah
padam sinarnya memandang Pao Sam Kow.
Pao Sam Kow yang menyaksikan keadaan demikian dalam
hatinya juga bergidik, dengan hati penuh tanda tanya ia
bertanya pula: "Liong-lo sebetulnya kau masih hidup atau sudah mati,
manusia atau setan . . "
Sementara itu dengan tiba-tiba berhembus angin dingin.
Nenek Liong-lo tiba-tiba lompat keluar dari dalam petinya.
Sepasang lengan tangannya diluruskan dan menyergap
kepada Pao Sam Kow . Pao Sam Kow sendiri karena masih
belum mengetahui benar Pek-thao Ya-Cie itu entah manusia
ataukah sudah menjadi setan atau tengkorak, sudah tentu ia
tak berani menyambut serangan itu. Dengan jalan
mengelakkan diri ia menyingkir sejauh tujuh kaki. Benar saja
serangan nenek Lion-lo itu meskipun hebat tapi tak ada
perubahan. Pao Sam Kow begitu menyingkir tangan Liong-lo
yang kuat dan tajam telah menerkam tembok dinding kuil itu.
Pao Sam Kow segera sadar, lantas berseru: "dia adalah
mumi. . Tetapi serangan mumi itu benar-benar hebat dan
menakutkan. Dinding tembok itu meskipun sudah tua tetapi
masih kokoh, kini telah rubuh berantakan.
Badan orang yang sudah mati beberapa tahun karena di
masa hidupnya sudah pernah makan berbagai obat mukjijat
maka jenazahnya tidak busuk, dan kini setelah mendapatkan
hawa dari orang hidup telah menjadi semacam mumi.
Pek-Thao Losat Pao Sam Kow khawatir bahwa Su-to Keng
dan Tho-hwa Nio-Cu tak mengetahui bahaya itu, maka buru-
buru mengikuti di belakangnya dan melancarkan serangan
dari belakang yang dilancarkan ke punggung nenek Liong-Lo.
Di samping itu ia juga melancarkan serangannya dengan
menggunakan ilmunya Im-hong-ciang.
Serangan dengan ilmu Im-hong-ciang
itu hampir menggunakan seluruh kekuatan tenaga Pao-Sam-Kow tetapi
masih belum berhasil melukai tubuh nenek Liong-Lo.
Serangan itu hanya membuat pakaian nenek Liong-Lo hancur
dan beterbangan menjadi setengah telanjang.
Waktu itu yang paling sulit keadaannya adalah Leng-po
Giok-lie Ca Bu Kao. Ia pikir nenek Liong-Lo yang berada
dalam peti mati sebelah kiri sudah menjadi mumi, kalau begitu
bangkai Siong Tong yang berada dalam peti mati sebelah
kanan bukankah semakin menakutkan" Maka seharusnya ia
lekas-lekas membawa keluar Hee Thian Siang yang masih
dalam keadaan pingsan. Jikalau tidak, apabila terjadi sesuatu
atas diri jago muda itu, akibatnya sangat hebat!
Dalam keadaan sangat khawatir, terpaksa ia melayang
turun, tetapi sehabis terjadi kericuhan tadi, keadaan dalam peti
mati sebelah kanan itu tampaknya masih tenang-tenang
seperti tidak terjadi apa-apa. Maka ia lalu berpikir, jikalau
dilindungi keselamatannya maka sebaiknya dibiarkan saja,
meskipun perbuatan itu mengandung bahaya juga. Hanya
dengan demikian mungkin masih bisa menghindarkan dari
serangan musuh-musuhnya. Dua macam pikiran bertentangan dalam otak Ca Bu Kao. Ia
tak dapat mengambil keputusan dengan segera. Tapi setelah
ia mencoba menyingkap sedikit peti mati itu dan kemudian
pasang telinga, setelah mengetahui tak ada suara-suara dan
tanda-tanda aneh lainnya, maka ia baru mengambil keputusan
membiarkan Hee Thian Siang berada dalam peti mati, sedang
ia sendiri diam-diam merayap keluar untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya. Pada waktu itu pemandangan di luar kuil sangat
menakutkan. Pek-thao Losat Pao Sam-kow, Su-to Keng dan
Tho-hwa Nio-cu, tiga orang tokoh kuat dalam rimba persilatan
pada waktu itu, sedang repot menghadapi nenek Liong-Lo
yang sudah menjadi mumi. Mereka berputar-putaran demikian
rupa, namun tidak berdaya menjatuhkan bahkan mereka
sendiri yang kewalahan menghadapi mumi itu.
Kiranya Su-to Keng tadi yang mendengar Pao Sam-kow
yang memberitahukan kepadanya bahwa itu adalah mumi,
kemudian ia melihat seorang perempuan tua berambut putih
berwajah menakutkan keluar dari reruntuhan kuil tua, maka
segera hendak menyerangnya dengan pasir beracunnya.
Tetapi baru saja mengangkat tangan kanannya, tiba-tiba
menampak Pao Sam Kow mengejar dari belakang. Oleh
karena senjata rahasia pasir beracun itu begitu ditebarkan
bisa mencapai jarak yang sangat luas, maka ia khawatir
racunnya itu bisa melukai Pao Sam Kow juga, terpaksa ia
membatalkan maksud nya, dan berkata dengan suara cemas:
"Hiangcie, mengapa kau tidak lekas menggunakan apimu
kiu-yu-lenghwe?" Tho-hwa Nio-cu Kie Liu Hiang setelah mengetahui keadaan
itu dan mendengar ucapan Su-to Keng, lantas turun tangan.
Dua buah kiu-yu lenghwe, dilepaskan dengan beruntun,
sebuah mengenai dengan tepat buah dada Nenek Liong Lo,
sebuah lagi mengenai lengan kanannya, sehingga sesaat
kemudian sekujur badan nenek Liong Lo terbakar oleh api
yang sangat ganas itu!. Say Han Kong yang berada di atas genteng yang
menyaksikan kejadian itu, diam-diam merasa geli, ia pikir Su-
to Keng dan Kie Liu Hiang nampaknya dalam hal ini masih
kurang pengetahuan. Karena dengan perbuatannya itu akan
menyulitkan keadaan diri mereka sendiri. Sebab nenek Liong
Lo adalah satu mumi bukanlah manusia hidup; bagaimana
bisa takut terbakar atau keracunan?"
Sementara itu Oe-ti Khao khawatir bahwa pertempuran
hebat itu nanti akan membahayakan dirinya sendiri, maka
dengan diam-diam dari tempat sembunyinya didalam rumput
beralih ke belakang tembok, sebab ia tahu bahwa Pek-thao
Losat Pao Sam Kow sudah berhasil mempelajari ilmu ?"" Im-
hong-ciang yang sangat ganas, sedangkan nenek Liong Lo
kini sudah berubah menjadi mumi, maka pertempuran itu pasti
akan hebat dan membawa akibat sangat luas.
Benar saja, ketika tubuh Pek-thao Ya-ce nenek Liong Loh
terbakar oleh api Kiu-yu lenghwe, keadaannya semakin
menakutkan, wajahnya juga tampak semakin buas. dua
tangannya dengan jari-jarinya yang runcing waktu itu diangkat
tinggi-tinggi, digunakan untuk menerkam menyergap kepada
Pao Sam Kow, Su-to Keng dan Kie Liu Hiang. Mereka tidak
berdaya sama sekali, berulang-ulang harus lompat mundur
dan berusaha hendak melarikan diri!
Dalam suasana yang gawat itu, dari jurusan barat dan
utara, timbul tanda-tanda aneh, dari sebelah barat terdengar
suara dengung yang sangat nyaring, sedang dari jurusan
utara timbul tujuh buah api kiu-yu lenghwe!
Sesaat kemudian, dari kedua jurusan muncul banyak
bayangan menuju ke gereja tua itu. Dua bayangan itu
menyerbu masuk ke dalam kuil dengan cara lompat masuk
dari pintu atau dari tembok. Oleh karena kedatangan mereka
terlalu dekat, dan keadaan justru sangat gelap maka hampir
bertubrukan satu sama lain.
Orang yang datang dari sebelah utara, tubuhnya tinggi
kurus, berkumis pendek, matanya seperti mata ayam. Orang
itu mengenakan pakaian panjang berwarna putih, dikedua
daun telinganya tergantung dua renceng uang kertas, bentuk
semacam itu mirip dengan setan penjaga pintu!
Sedangkan dari sebelah Barat, adalah seekor binatang
Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aneh berbulu kuning emas yang tampaknya sangat buas.
Orang yang bentuknya seperti setan penjaga pintu itu adalah
Ngo-te atau saudara seperguruan yang kelima dari Pao Sam
Kow yang bernama Ciauw Khian!
Sedangkan binatang aneh yang berbulu kuning emas dan
tampaknya sangat buas itu adalah binatang piaraan Tiong-sun
Hui Kheng yang disuruh pulang lebih dahulu mengantarkan
bunga teratai Swat-lian ke tempat dimana Say Han Kong
berempat menunggu, untuk mengobati luka Hee Thian Siang.
Binatang itu yang dahulu pulang dengan membawa bunga
teratai Swat-lian tetapi kini sudah tidak tampak lagi!
Sementara itu Thoa-hwa Nio-cu yang sedang repot diserbu
oleh nenek Liong Lo yang sudah menjadi mumi, matanya telah
melihat binatang aneh sangat buas berbulu kuning emas itu
yang datang bersama Ciauw Khian, maka ia lalu berseru
dengan suara nyaring: "Ciauw ngoko awas, binatang ini tampaknya sangat galak
dan tidak mudah ditundukkan . ."
Sebelum habis ucapan Thoa-hw Nio-cu, Ciauw Khian
sudah tertawa terbahak-bahak, tangan kanannya digerakkan,
dengan menggunakan ilmunya thiat-pi-pe-chiu melancarkan
serangan kepada binatang aneh berbulu kuning emas itu!
Taywong yang merupakan binatang gaib luar biasa, bukan
saja tenaganya sangat kuat, tetapi juga berkulit tebal hingga
tidak mempan senjata tajam!
Maka terhadap serangan Ciauw Khian tadi, sedikitpun tidak
menghiraukan. Sebaliknya menggunakan kesempatan selagi
lawannya itu turun tangan, dan badannya masih di udara,
binatang itu sudah pentang jari tangannya yang runcing
menyambar ketiak kiri Ciauw Khian!
Ciauw Khian juga merupakan salah seorang tokoh kuat
dalam rimba persilatan pada dewasa itu, kepandaiannya
Patung Emas Kaki Tunggal 3 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Delapan Kitab Pusaka Iblis 1